

NSSI-08
I.
Ketika matahari telah condong ke barat,
mulailah rombongan yang pertama datang ke tempat itu. Rombongan yang
datang paling awal adalah rombongan dari Gunung Tidar. Beberapa waktu
yang lampau Mahesa Jenar pernah menyaksikan orang-orang dari golongan
hitam ini berkumpul, tetapi agaknya kali ini pertemuan mereka lebih
bersifat resmi.
Suami-istri Sima Rodra itu datang bersama
beberapa pengiring, di bawah pimpinan seorang yang bertubuh pendek
dengan otot-otot yang menjorok, membuat garis-garis di wajah kulitnya
yang hitam. Dengan demikian nampak betapa kokohnya ia, bahkan mirip
seekor orang hutan. Uling Putih dan Uling Kuning sendiri datang
menyambut rombongan itu, serta langsung dibawa ke salah satu barak yang
terbesar, yang agaknya merupakan ruang pertemuan. Setelah mereka
berbicara beberapa saat, rombongan itu kemudian dipersilahkan memasuki
salah satu barak yang lain, yang rupa-rupanya menjadi tempat penginapan.
Demikian, datanglah berturut-turut
rombongan dari hutan Tambakbaya. Lawa Ijo bersama-sama dengan Wadas
Gunung, Carang Lampit, Cemoro Aking, Bagolan dan beberapa orang lagi.
Disusul oleh kedatangan Ki Ageng Lembu Sora beserta para pengiringnya.
Meskipun Mahesa Jenar telah menduga sebelumnya bahwa Lembu Sora pasti
akan hadir juga dalam pertemuan itu, namun hatinya berdebar-debar pula
menyaksikan kedatangannya.
Tetapi satu hal yang Mahesa Jenar masih
menunggu-nunggu. Yaitu kehadiran Jaka Soka. Sampai matahari rendah
sekali, Ular Laut dari Nusakambangan itu belum menampakkan diri.
Sedangkan Pasingsingan dan Sima Rodra menurut perhitungan Mahesa Jenar
pasti akan muncul ketika pertemuan itu sudah akan dimulai.
Sesaat kemudian matahari tenggelam dengan
damainya, disusul oleh cahaya purnama penuh yang memancar dari sebuah
bola yang melayang-layang di langit.
Pada saat yang demikian, agaknya pertemuan antara golongan hitam itu sudah akan dimulai.
Beberapa orang telah keluar dari
barak-barak mereka, dan berkumpul di pinggir lapangan rumput itu. Uling
Putih dan Uling Kuning untuk penghabisan kali memeriksa tempat pertemuan
itu. Setelah ia merasa bahwa segala sesuatunya tidak ada kekurangan,
maka segera terdengar sebuah kentongan dipukul perlahan-lahan.
Sesaat kemudian muncullah tokoh-tokoh
hitam dari barak mereka masing-masing menuju ke lapangan. Juga Ki Ageng
Lembu Sora yang akan mengikuti pertemuan itu. Tetapi di antara mereka
masih belum nampak Jaka Soka, Pasingsingan dan Sima Rodra.
Uling Putih sebagai tuan rumah segera
mempersilahkan tamu-tamunya di tempat yang telah direncanakan. Lembu
Sora sebagai tamu kehormatan menempati sisi sebelah barat bersama-sama
dengan Uling Rawa Pening. Bagian selatan disediakan untuk Rombongan dari
Gunung Tidar, sedangkan Bagian timur untuk gerombolan Hutan Tambakbaya.
Bagian utara yang disediakan untuk rombongan dari Nusakambangan masih
tampak kosong. Sedang tempat-tempat yang disediakan untuk Pasingsingan
dan Sima Rodra pun masih tampak kosong.
Tetapi belum lagi mereka selesai
menempatkan diri, tiba-tiba dari arah utara muncullah satu rombongan,
yang di depan mereka berjalan seorang muda yang berwajah tampan. Ialah
Jaka Soka yang datang sambil tersenyum-senyum, beserta beberapa
pengiringnya. Dengan munculnya Jaka Soka, tiba-tiba suasana segera
berubah menjadi tegang, meskipun orang itu sendiri selalu
tersenyum-senyum. Apalagi Lembu Sora tiba-tiba tidak dapat menguasai
dirinya. Dengan serta merta ia berdiri sambil mencabut pedang
panjangnya. Tanpa menunggu apapun ia langsung berlari menyerang Jaka
Soka yang baru saja datang.
Jaka Soka, ketika melihat serangan itu
menjadi terkejut. Tetapi segera ia menyadari bahwa hal yang demikian
memang wajar terjadi, sebab pasti Lembu Sora masih sakit hati kepadanya,
karena ia sama sekali tidak berusaha untuk mencegah pada saat Mahesa
Jenar akan membunuhnya, bahkan agaknya Jaka Soka pada waktu itu
menunjukkan bahwa ia bersenang hati atas peristiwa itu.
Karena itu, Jaka Soka pun segera
menyambut serangan Lembu Sora. Dengan cepatnya, ia memutar tongkatnya,
dan sesaat kemudian tangan kanannya telah memegang sebuah pedang yang
lentur, sedang tangan kiri memegang tongkatnya yang dipergunakannya
sebagai perisai.
Pada saat itu Lembu Sora telah berdiri di
hadapan Jaka Soka. Pedangnya yang besar itu terayun deras mengarah ke
leher Jaka Soka. Tetapi ternyata Jaka Soka cukup gesit, sehingga
demikian pedang itu menyambar. Jaka Soka segera merendahkan diri sambil
menjulurkan tangan kanannya untuk menyerang lambung Lembu Sora dengan
pedangnya. Melihat serangan itu, Lembu Sora meloncat setapak mundur.
Tetapi, Jaka Soka tidak mau memberi kesempatan lagi. Secepat Lembu Sora
melangkah, iapun cepat meloncat maju dengan tangan kanannya tetap
terjulur ke depan dan ujung pedang lenturnya masih tetap mengarah
lambung. Melihat ujung pedang Jaka Soka itu tetap mengejarnya, Lembu
Sora segera meluruskan tangannya pula. Dan karena pedangnya lebih
panjang dari pedang Jaka Soka, maka terpaksa Jaka Soka menarik
serangannya.
Lembu Sora tidak mau melepaskan
kesempatan itu. Segera pedangnya yang besar serta panjang melampaui
ukuran biasa itu, diputarnya seperti memutar lidi, sehingga menimbulkan
bunyi berdesingan dan angin yang menyambar-nyambar menyertai putaran
pedangnya.
Mendapat serangan yang dahsyat itu Jaka
Soka terpaksa menangkis dengan kedua tangannya, dengan pedang lenturnya
serta tongkat hitam yang juga merupakan rangka dari pedangnya. Tetapi ia
adalah seorang pemimpin bajak laut yang terkenal. Karena itu ia segera
dapat mencapai keseimbangan. Bahkan serangannya menjadi semakin
berbahaya pula.
Sesaat itu, orang-orang lain yang
menyaksikan gerakan Lembu Sora yang tak mereka duga, menjadi terkejut
dan tidak tahu apa yang harus mereka kerjakan. Baru setelah mereka
menyaksikan perkelahian mati-matian antara keduanya, mereka menjadi
sadar atas apa yang terjadi.
Uling Kuning yang pernah bertengkar pula
dengan Jaka soka, hatinya menjadi terbakar pula. Hampir saja ia ikut
serta menyerang Jaka Soka, kalau sekali lagi kakaknya Uling Putih tidak
memperingatkan.
“Biarkanlah mereka,” kata Uling Putih. “Adalah baik sekali kalau salah seorang, atau kedua-duanya binasa.”
Dengan pandangan tidak mengerti, Uling
Kuning menatap wajah kakaknya. Sehingga dengan tertawa pendek Uling
Putih perlu menjelaskan, “Aku setuju dengan pendapat Jaka Soka,
bahwa akhirnya kita akan saling berusaha untuk membinasakan. Kalau salah
seorang atau kedua-duanya binasa, bukankah saingan kita berkurang?
Kalau Lembu Sora binasa, Banyubiru akan dengan mudah kita kuasai. Sedang
Pamingit mungkin akan jatuh ke dalam pengaruh Sima Rodra. Tetapi Sima
Rodra itu kelak harus kita binasakan pula, cepat atau lambat, sebelum
atau sesudah Demak sendiri binasa.”
Mendengar keterangan kakaknya itu, Uling
Kuning ikut tertawa pula. Serta tak sengaja ia memandang Lawa Ijo dan
Sima Rodra berganti-ganti. Ternyata mereka sama sekali tidak beranjak
dari tempatnya. Agaknya mereka pun mempunyai perhitungan yang sama
sehingga mereka tidak menganggap perlu untuk melerainya.
Sementara itu pertempuran antara Jaka
Soka dan Lembu Sora menjadi semakin dahsyat. Laskar Lembu Sora yang
melihat pemimpinnya bertempur serentak bergerak maju. Tetapi segera
mereka terhenti ketika mereka melihat para pengiring Jaka Soka
menyiapkan panah mereka. Agaknya para bajak laut itu biasa mempergunakan
senjata jarak jauh dalam pekerjaan mereka sehari-hari, bila mereka
sedang merompak dan membajak kapal-kapal yang berlayar di daerah kerja
mereka.
Tetapi, orang-orang Lembu Sora ternyata
memiliki kelicinan seperti pemimpinnya pula. Begitu mereka tertahan
karena ancaman panah, segera mereka bubar berpencaran ke segala penjuru.
Tentu saja hal ini agak menyulitkan orang-orang Jaka Soka. Namun para
bajak laut itu pun terdiri dari orang-orang yang berhati keras. Ketika
mereka merasa bahwa senjata panah mereka kurang berguna, segera mereka
menyiapkan golok-golok mereka. Demikianlah maka suasana menjadi
bertambah tegang. Tidak saja laskar Pamingit dan para pengiring Jaka
Soka saja yang kemudian bersiaga, tetapi juga orang-orang Lawa Ijo, Sima
Rodra dan Gerombolan Uling Rawa Pening segera bersiaga penuh. Sebab
tidak mustahil kalau salah satu pihak akan mengambil kesempatan dalam
kekisruhan yang terjadi itu.
Namun meskipun demikian, tak seorang pun
dari orang-orang Lembu Sora atau Jaka Soka yang berani memulai sebelum
mereka mendapat perintah dari pemimpin-pemimpin mereka. Sedang Lembu
Sora maupun Jaka Soka agaknya ingin menyelesaikan masalah itu seorang
diri, tanpa bantuan orang lain. Sebab dengan demikian akan puaslah hati
mereka masing-masing yang berhasil membinasakan lawannya karena tangan
sendiri.

Lembu Sora yang kuat dan garang seperti
singa itu menyerang semakin dahsyat dengan pedang yang terayun
kian-kemari, sedang Jaka Soka berkelahi benar-benar seperti seekor ular
yang membelit, menjalur dan mematuk-matuk berbahaya sekali.
Semua yang menyaksikan pertempuran itu
terpaksa menahan nafas. Mau tidak mau mereka harus mengagumi keperkasaan
kedua orang yang sedang bertanding. Lembu Sora percaya akan kekuatan
tubuhnya melawan Jaka Soka yang mempunyai cara bertempur yang lemas
sekali.
Sesaat kemudian pertempuran itu sampai ke
taraf yang menentukan. Baik Jaka Soka maupun Lembu Sora telah
mengerahkan segenap tenaganya secara berlebih-lebihan, sehingga dalam
waktu yang singkat mereka telah merasa bahwa tenaga mereka seakan-akan
telah terperas habis. Karena itu sebelum mereka jatuh dan tidak
bertenaga lagi, mereka telah sedemikian bernafsu untuk membinasakan
lawannya.
Maka pada saat yang demikian, pada saat
semua yang hadir lagi menahan nafas, tiba-tiba muncullah orang yang
selama ini mereka nanti-nantikan, ialah Pasingsingan dan Sima Rodra.
Melihat Lembu Sora dan Jaka Soka sedang dengan dahsyatnya mempertaruhkan
nyawanya, Pasingsingan dan Sima Rodra mengernyitkan alisnya. Tiba-tiba
hampir tak diketahui apa yang sudah dilakukan oleh Pasingsingan, Jaka
Soka dan Lembu Sora terpental bersama-sama beberapa langkah, dan
kemudian mereka jatuh bergulingan. Ketika mereka bangun, mata mereka
menunjukkan kemarahan yang luar biasa. Tetapi ketika mereka melihat
Pasingsingan telah berdiri diantara mereka, wajah mereka yang merah itu
segera menjadi pucat dan ketakutan.
“Apa yang telah kalian lakukan?” bentak Pasingsingan.
Lembu Sora dan Jaka Soka sama sekali
tidak menjawab. Dan karena mereka tidak menjawab, Pasingsingan segera
memanggil Lawa Ijo, dan bertanya kepadanya, “Kenapa mereka berkelahi?”
Dengan singkat Lawa Ijo menceriterakan
apa yang telah terjadi, pertentangan antara Jaka Soka dan Lembu Sora
pada saat mereka sedang mencegat pasukan-pasukan dari Demak beberapa
waktu berselang.
Mendengar ceritera Lawa Ijo, sekali lagi Pasingsingan menyernyitkan alisnya, kemudian katanya, “Kenapa kalian diam saja melihat perkelahian itu?”
Lawa Ijo, Sepasang Uling Rawa Pening, dan
Sima Rodra terkejut mendengar pertanyaan itu, sehingga tak seorang pun
yang dapat menjawabnya.
“Kalian tak usah berbohong,” lanjut Pasingsingan, “sebab kalian akan bersyukur kalau salah seorang sekutu kalian atau kedua-duanya binasa,”.
Yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu semakin diam, sebab Pasingsingan langsung dapat menebak isi hati mereka.
Kemudian Pasingsingan menoleh kepada Jaka Soka dan Lembu Sora, katanya, “Kalian telah merusak suasana malam purnama ini”
Lembu Sora dan Jaka Soka tidak berkata sepatah pun. Mereka menundukkan kepala mereka dalam-dalam.
“Kembalilah ke tempat kalian masing-masing.” perintah Pasingsingan.
Mendengar perintah itu segera Lembu Sora
berjalan menuju ke tempatnya semula. Sedang para pengiringnya kemudian
juga pergi ke tempat masing-masing.
Sementara itu Lawa Ijo, Sima Rodra muda
telah mengambil tempatnya pula, sedang sepadang Uling Rawa Pening sibuk
mempersilahkan Jaka Soka untuk menempatkan diri beserta para pengirinya
di sisi utara. Adapun Pasingsingan kemudian dipersilahkan duduk
bersama-sama dengan Sima Rodra tua di sisi sebelah barat, di samping
tempat duduk Uling Rawa Pening.
Setelah suasana menjadi tenang kembali,
serta para peserta pertemuan itu telah duduk di tikar pandan di
sisi-sisi yang telah ditentukan, berkatalah Pasingsingan dengan
nyaringnya, “Kalian, orang yang disebut golongan hitam, tetapi yang
sebenarnya bercita-cita luhur seperti lazimnya manusia yang selalu ingin
mencapai tingkatan tertinggi dalam kehidupan, bersyukurlah di dalam
hati kalian bahwa pada malam hari ini kalian dapat berkumpul
bersama-sama. Tetapi kalian pasti tak akan dapat berbuat sesuatu, sebab
tidak ada diantara kalian yang pantas menjadi pemimpin diantara kita.
Terbukti bahwa tidak seorang pun diantara kalian yang berhasil membawa
keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu kemari.”
Pasingsingan diam sebentar. Pandangannya
beredar dari setiap wajah yang berada di sekitar lapangan kecil itu.
Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Kalau kalian ingin mendapatkan
tingkatan itu dengan mengadu kepandaian, maka cara itu pun tidak akan
menyelesaikan masalahnya. Sebab suatu pertarungan diantara kalian dalam
saat ini pasti hanya akan memakan waktu berlarut-larut. Coba lihat apa
yang dilakukan oleh Jaka Soka dengan Ki Ageng Lembu Sora. Andaikata
mereka dibiarkan bertempur terus pasti mereka akan mati kelelahan
kedua-duanya, bersama-sama, atau kalau mereka menghemat tenaga mereka,
pertempuran semacam itu akan dapat berlangsung berhari-hari.”
Kembali Pasingsingan diam sejenak, lalu ia melanjutkan, “Yang
penting sekarang kesatuan diantara kita masih kita perlukan. Marilah
kita ubah persetujuan kita, dengan mengadakan persetujuan baru. Barang
siapa yang terdahulu menemukan Keris Nagasasra dan Sabuk Inten, dialah
yang segera diumumkan dan kita angkat menjadi pemimpin kita, dan kita
dukung perjuangannya melawan pemerintah Demak.
Suasana kemudian menjadi hening sepi.
Tetapi dalam pada itu degup jantung Mahesa Jenar serta kawan-kawannya
bertambah cepat. Apalagi Mahesa Jenar, Gajah Alit dan Paningron yang
datang sebagai prajurit-prajurit Demak. Tetapi bagaimanapun mereka harus
menahan diri, sebab di hadapan mereka berkumpul tokoh-tokoh hitam yang
kuat, ditambah lagi dengan Pasingsingan dan Sima Rodra yang pernah
mereka dengar namanya.
Tetapi lebih terkejut lagi mereka berlima ketika Pasingsingan kemudian melanjutkan, “Sedangkan
sekarang kalian mempunyai pekerjaan yang lebih penting. Pertemuan ini
dapat kalian lanjutkan nanti setelah pekerjaan kita selesai. Nanti kita
dapat mengatur siasat, menentukan sikap dan sebagainya, setelah
orang-orang lain yang tidak kita undang tidak turut serta mendengarkan
pembicaraan kita.”
Yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu
menjadi sibuk berpikir serta menduga-duga. Demikian pula Mahesa Jenar
dan kawan-kawannya yang dengan lamat-lamat dapat mendengarkan setiap
pembicaraan mereka, menjadi sibuk berpikir pula, sampai Pasingsingan
berkata lebih lanjut, “Kalian ternyata terlalu sibuk memikirkan
bagaimana cara kalian untuk membinasakan kawan sendiri daripada
berhati-hati menghadapi lawan.”
Orang-orang golongan hitam itu menjadi
bertambah bingung, sedang Mahesa Jenar dan kawan-kawannya, jantungnya
bertambah cepat bergetar. Apakah kehadiran mereka telah diketahui oleh
Pasingsingan?
Melihat kebingungan orang-orang yang berkumpul di sisi-sisi lapangan itu, terdengar Sima Rodra tua tertawa pendek, katanya, “Apakah
yang akan kalian banggakan untuk dapat menemukan Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten yang tidak tentu di mana sekarang berada. Apakah
benar-benar telah hilang dari Banyubiru atau hanya disembunyikan saja
oleh si Gajah Sora atau si tua bangka Sora Dipayana, ayah Lembu Sora
itu. Sedangkan apa yang ada di hadapan hidung kalian saja tidak kalian
ketahui.”
Perasaan mereka yang mendengarkan
kata-kata itu menjadi semakin kisruh. Melihat keadaan itu agaknya
Pasingsingan tidak sabar lagi, katanya keras-keras, “Berdirilah
kalian dan berjalanlah kalian ke arah tenggara. Lihatlah setiap pohon
yang tumbuh di sana, kalian akan menemukan orang yang telah kalian
sangka mati terguling ke dalam jurang beserta empat orang kawannya.”
Tampaklah betapa terkejutnya tokoh-tokoh
hitam yang sedang berkumpul itu. Tetapi tidak kurang pula terkejutnya
Mahesa Jenar dengan kawan-kawannya. Ternyata kehadiran mereka telah
diketahui oleh Pasingsingan dan Sima Rodra. Bagaimanapun mereka terpaksa
mengakui betapa tinggi ilmu kedua orang dari angkatan tua itu. Di
samping itu, kata-kata Pasingsingan merupakan suatu peringatan bagi
Mahesa Jenar beserta kawan-kawannya, untuk tidak mempunyai pilihan
selain berjuang mati-matian untuk mempertahankan hidup masing-masing,
meskipun mereka sadar bahwa seandainya Pasingsingan dan Sima Rodra ikut
campur maka tak ada jalan untuk melepaskan diri dari maut. Meskipun
demikian, kemungkinan-kemungkinan itu memang sudah terpikirkan sejak
mereka berangkat. Karena itu, satu-satunya jalan adalah mencari korban
sebanyak-banyaknya sebelum dirinya binasa.
Karena itu sebelum mereka terkunci di
atas pohon, maka segera dengan cepat Mahesa Jenar turun diikuti oleh
kawan-kawannya. Demikian mereka sampai di atas tanah, segera mereka
menyiapkan senjata masing-masing. Gajah Alit segera menimbang-nimbang
bola besinya yang bertangkai rantai, Paningron bersenjata sebuah tombak
yang berkait kecil, sedang Mantingan dan Wiraraga tampak menggosok-gosok
trisula masing-masing, seolah-olah sedang membesarkan hati
senjata-senjata itu. Hanya Mahesa Jenar sendirilah yang tidak
bersenjata, tetapi di sisi telapak tangannya tersimpan senjata yang
dahsyat, yaitu Aji Sasra Birawa.
Sementara itu, tokoh-tokoh hitam yang
terdiri dari tujuh orang, Sima Rodra muda suami-istri, kakak-beradik
Uling, Lawa Ijo, Jaka Soka dan Lembu Sora segera berloncatan
berlari-lari ke arah yang ditunjukkan oleh Pasingsingan.
Ketika tokoh-tokoh hitam itu sedang
mendekati Mahesa Jenar dengan kawan-kawannya, terdengarlah Sima Rodra
berteriak dengan suaranya yang gemetar, “He, kalian laskar yang
mengikuti pemimpin-pemimpin kalian kemarin. Janganlah kalian menjadi
penonton saja. Kepunglah orang-orang yang telah memberanikan diri
bertindak sombong dan merendahkan kita sekalian.”
Mendengar perintah Sima Rodra tua, segera
laskar-laskar golongan hitam itu bubar berlari-larian memencar ke
segenap arah untuk mengepung Mahesa Jenar dan kawan-kawannya.
Gajah Alit yang merasa bahwa senjatanya kurang menguntungkan bila dipergunakan di tempat yang berpohon-pohon, segera berkata, “Kakang
Mahesa Jenar, aku kira lebih baik aku menyongsong mereka di tempat
terbuka supaya rantaiku tidak melilit-lilit pepohonan.”
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, Gajah
Alit telah menghambur lari seperti sebuah batu yang menggelinding cepat
sekali. Mahesa Jenar beserta kawan-kawannya yang lain, agaknya tidak
tega melepaskan Gajah Alit menyongsong seorang diri. Karena itu, ia
segera menyusulnya, menyongsong lawan-lawan mereka di tempat yang
terbuka.
———-oOo———-
II
Yang mula-mula sekali sampai adalah Lawa
Ijo. Hatinya yang panas melebihi bara itu tidak dapat dikendalikan lagi.
Dendamnya kepada Mahesa Jenar bertimbun-timbun sampai menyentuh langit.
Tetapi di antara gerumbul di tepi lapangan itu yang muncul pertama-tama
adalah Gajah Alit. Tanpa menanyakan apa-apa lagi, Gajah Alit langsung
menyerangnya. Lawa Ijo terpaksa membatalkan maksudnya untuk mencari
Mahesa Jenar, karena ia harus melayani Gajah Alit yang menilik geraknya,
ternyata sangat berbahaya. Lawa Ijo tidak berani menganggap enteng
kepada lawannya yang gemuk pendek hampir bulat itu. Apalagi ketika Lawa
Ijo mendengar desing bola besi yang berputar-putar mengerikan melibat
tubuhnya. Cepat-cepat ia meloncat mundur dan cepat ia berdiri di atas
tanah, kedua tangannya telah memegang pisau belati panjangnya. Dengan
senjata-senjata itulah ia bertempur melawan Gajah Alit.
Yang menyusul di belakang Lawa Ijo adalah
Sepasang Uling dari Rawa Pening. Sambil memutar-mutar cemetinya, mereka
menyerang dengan ganas sekali. Tetapi segera mereka terhenti ketika
Mantingan dan Wiraraga menghadangnya. Agaknya sepasang Uling itu sudah
menjadi sedemikian marahnya sehingga langsung mereka menghantam Wiraraga
dan Mantingan, dua orang yang kini tidak dapat direndahkan. Mereka
telah dibekali dengan sebuah ilmu yang sukar tandingannya, yaitu Pacar
Wutah. Melihat sepasang Uling itu menyerang berpasangan, segera Wiraraga
dan Mantingan pun melawannya dengan berpasangan pula.
Paningron agaknya lebih suka melawan
seorang yang bertubuh besar dan tinggi serta berkumis dan berjanggut
lebat. Ialah Sima Rodra Muda dari Gunung Tidar.
Yang datang terakhir adalah Lembu Sora
dan Jaka Soka, yang sudah hampir kehabisan tenaga setelah mereka
bertempur sendiri, beserta isteri Sima Rodra. Karena semuanya telah
mempunyai lawannya masing-masing, maka Mahesa Jenar mau tidak mau harus
bertempur melawan ketiga orang itu untuk mencegah bantuan mereka kepada
tokoh-tokoh yang sedang mengadu tenaga. Adalah suatu keuntungan besar
bahwa Lembu Sora dan Jaka Soka baru saja bertempur mati-matian sehingga
hampir tiga perempat bagian tenaganya telah terperas habis. Juga karena
pertentangan diantara mereka itu pula, maka pasangan mereka tidak begitu
tertib sehingga Mahesa Jenar tidak begitu banyak mengalami kesulitan
untuk melawan mereka bertiga.
Sejenak kemudian terjadilah
lingkaran-lingkaran pertempuran yang hebat di tepi lapangan itu. Lawa
Ijo dengan kedua pisau di tangannya menyerang bertubi-tubi dengan
marahnya. Ia bermaksud untuk membinasakan Gajah Alit secepat-cepatnya
supaya segera ia dapat melawan Mahesa Jenar. Di hadapan gurunya, Lawa
Ijo menjadi bertambah garang, sebab ia tidak perlu lagi takut terhadap
aji Sasra Birawa. Karena itu gerakannya menjadi bertambah sengit. Tetapi
Gajah Alit adalah perwira dari pasukan Nara Manggala, pasukan pengawal
raja. Karena itu kepandaiannya hampir mumpuni, dan sama sekali tidak
berada di bawah Lawa Ijo. Apalagi tangan yang pendek-pendek itu
diperpanjang dengan rantainya yang berkepala bola besi, yang seakan-akan
bola besi itu mempunyai mata, sehingga seolah-olah selalu mengejar
kepala Lawa Ijo ke mana kepala itu disingkirkan. Dengan demikian untuk
sementara Lawa Ijo harus melupakan Mahesa Jenar, sebab orang yang
dihadapi itu pun merupakan seorang yang perkasa.
Di bagian lain, Uling Putih dan Uling
Kuning bertempur berpasangan melawan Wiraraga dan Mantingan yang
bertempur berpasangan pula. Di bawah cahaya purnama penuh, perkelahian
itu tampak betapa berbahayanya apabila salah seorang menjadi lengah
sedikit saja. Mereka berloncatan, sambar-menyambar dengan hebatnya.
Sepasang cemeti di tangan kedua Uling itu berputar-putar dan
terayun-ayun ke segenap penjuru, seolah-olah menjadi gumpalan-gumpalan
asap yang melibat isi-mengisi satu sama lain. Tetapi sementara itu dua
Trisula di tangan Wiraraga dan Mantingan pun bergerak berkilat-kilat
memantulkan cahaya bulan. Ujungnya yang bermata masing-masing 3 buah itu
seakan-akan berubah menjadi ratusan bahkan ribuan, yang oleh
kedahsyatan ilmu Pacar Wutah menjadi benar-benar seperti genggaman demi
genggaman bulan pacar yang ditebarkan, sehingga sangat sulit untuk
menghindarinya.
Paningron mempunyai cara sendiri dalam
pertempurannya melawan Sima Rodra muda yang bersenjatakan pusakanya,
sebuah tombak pendek yang dinamainya Kala Tadah. Ia tidak begitu banyak
bergerak. Di atas kedua kakinya, ia berdiri teguh, sedang tombak
berkaitnya tergenggam di tangannya. Ia hanya berkisar setapak demi
setapak menghadapi lawannya yang bertubuh tinggi besar itu. Dan apabila
serangan datang, tangannyalah yang bergerak tangkas sekali. Tetapi
meskipun demikian, apabila tampak padanya kesempatan, seperti kilat ia
meloncat dan menyerang dengan garangnya. Tetapi Sima Rodra pun adalah
seorang yang cukup berpengalaman, sehingga segera ia menyesuaikan diri
dengan lawannya. Ia tidak berani banyak membuang tenaga yang tidak
perlu, sebab dengan demikian, lawannya akan dapat membinasakan apabila
tenaganya sudah separuh habis.
Sedangkan Mahesa Jenar yang menghadapi
tiga orang sekaligus, bertempur seperti banteng terluka. Ia masih
mencoba mengalahkan lawannya tanpa Aji Sasra Birawa yang mengerikan itu.
Sebab gurunya selalu berpesan kepadanya bahwa apabila nyawanya tidak
terancam benar-benar, sebaiknya ia tidak mempergunakan Sasra Birawa itu.
Tetapi kemudian ternyata bahwa ketiga lawannya meskipun sudah tidak
mempunyai tenaga penuh, namun akhirnya, karena mereka bersama-sama harus
mempertahankan jiwa mereka, gerak mereka pun menjadi garang. Agaknya
Lembu Sora dan Jaka Soka untuk sesaat dapat melupakan pertentangan
mereka, ditambah dengan istri Sima Rodra yang bertempur dengan
jari-jarinya yang mengembang dan di ujung-ujung jari itu tampak
kuku-kukunya yang panjang dan bersalutkan logam yang pasti beracun.
Itulah senjatanya yang ditakuti lawan-lawannya.
Lembu Sora dengan pedang panjangnya dan
Jaka Soka dengan pedang lenturnya merupakan bahaya-bahaya yang setiap
saat dapat mencabut jiwa Mahesa Jenar.
Sementara itu laskar golongan hitam dari
tingkat yang paling bawah sampai pada orang-orang seperti Wadas Gunung,
Sri Gunting, Sakayon, Carang Lampit dan sebagainya menyaksikan
pertempuran itu dengan mata tanpa berkedip. 12 Orang yang perkasa sedang
bergulat mati-matian antara hidup dan mati. Diantara kilatan senjata
serta sambaran-sambaran angin yang ditimbulkan oleh pertempuran itu,
berkali kali terdengar dentangan senjata serta teriakan-teriakan
nyaring, yang bahkan kadang menimbulkan percikan bunga api
memancar-mancar.
Pasingsingan dan Sima Rodra pun mengikuti
pertempuran itu dengan saksama. Tetapi sampai sekian jauh ia masih
belum memerintahkan kepada laskar-laskar golongan hitam itu untuk turut
serta dalam pertempuran itu, sebab hal itu belum pasti akan
menguntungkan, malahan mungkin akan merepotkan saja.
Dalam ketegangan yang semakin lama
semakin memuncak itu, seolah-olah waktu berjalan lambat sekali. Agaknya
bulan pun ingin menyaksikan pertempuran yang hebat itu sehingga
perjalanannya agak terganggu.
Tetapi, sesaat kemudian Sima Rodra dan
Pasingsingan menjadi agak cemas melihat jalannya pertempuran. Sudah
sampai sekian lama, namun orang-orangnya masih belum ada tanda-tanda
dapat menguasai lawannya. Apalagi ketika tiba-tiba mereka menyaksikan
Mahesa Jenar, yang ternyata akhirnya merasa terdesak, telah mengambil
sikap. Kakinya diangkat dan ditekuk kedepan, satu tangannya menyilang
dada sedang tangannya yang lain diangkat tinggi-tinggi. Segera pula ia
mengatur pernafasannya dan memusatkan tenaganya pada sisi telapak
tangannya. Itu adalah pertanda bahwa Mahesa Jenar telah memutuskan untuk
mempergunakan senjatanya yang tersimpan di dalam sisi telapak
tangannya, Sasra Birawa.
Lembu Sora, Jaka Soka dan Istri Sima
Rodra, yang menyaksikan sikap Mahesa Jenar itu segera berloncatan mundur
dan berpencaran. Mereka sadar bahwa apabila salah seorang dari mereka
sampai tersentuh tubuhnya maka mereka tidak dapat mengharapkan untuk
dapat menyaksikan terbitnya matahari fajar besok.
Karena itu mereka menjadi semakin hati-hati, dan tidak berani menyerang sekenanya, meskipun mereka masing-masing bersenjata.
Melihat keadaan itu, Sima Rodra ternyata
tidak mau membiarkan tokoh-tokoh hitam itu kehilangan hati. Maka segera
terdengar ia mengaum hebat. Akibatnya pun hebat sekali. Suara itu
rasanya seperti mengguncang isi dada. Pasingsingan yang melihat Sima
Rodra tua itu sudah akan bertindak, ia pun tidak tinggal diam. Meskipun
bukanlah sewajarnya kalau orang-orang angkatan tua itu harus melawan
Mahesa Jenar, namun bagi mereka tidak akan ada banyak bedanya, apakah
Lawa Ijo dan kawan-kawannya, apakah Pasingsingan dan Sima Rodra yang
membinasakan, meskipun mula-mula ia mengharap bahwa anak muridnya
beserta kawan-kawannya dapat menyelesaikan masalah mereka sendiri untuk
tidak membawa-bawa namanya. Tetapi sekarang, terpaksa ia terjun ke dalam
pertempuran itu.
Tetapi baru saja ia meloncat, terdengarlah Sima Rodra berkata, “Pasingsingan,
kau jangan memperkecil perananku dalam pembunuhan yang akan aku
lakukan. Kau tinggal pilih, aku atau kau yang membunuh kelima ekor
kelinci yang sombong itu.”
Mendengar teriakan Sima Rodra itu Pasingsingan tertawa, jawabnya, “Apakah bedanya? Kau yang membunuh kelima-limanya, atau aku, atau kita berdua?”.
Terdengarlah Sima Rodra menggeram. Kemudian katanya, “Baiklah….
Marilah kita berlomba. Siapakah diantara kita orang tua-tua ini yang
masih cukup kuat bergerak. Kau atau aku yang terbanyak dapat membunuh
kelima orang yang sudah jemu memandang purnama malam ini.”
Kembali terdengar Pasingsingan tertawa.
Suara tertawanya seolah-olah menyusup ke dalam tulang dan daging,
sehingga menimbulkan perasaan nyeri dan pedih. Ketika suara tertawanya
itu lenyap, terdengarlah suara suitan nyaring diikuti oleh suatu auman
dahsyat. Dan seperti kilat berloncatanlah Pasingsingan dan Sima Rodra
memasuki arena.
Mahesa Jenar yang masih menunggu
kesempatan beserta keempat kawannya mendengar seluruh percakapan itu.
Mau tidak mau hati mereka tergetar hebat. Ternyata sekarang Pasingsingan
dan Sima Rodra akan ikut serta dalam pertempuran itu. Mereka sama
sekali bukanlah orang-orang yang takut mati, tetapi sebentar lagi mereka
harus binasa sebelum dapat berbuat sesuatu atas tokoh-tokoh hitam itu.
Itulah yang menggelisahkan hati mereka. Tetapi kenyataan itu sama sekali
tak dapat diingkari lagi.
Segera darah mereka bergolak ketika
mereka mendengar suitan Pasingsingan yang disusul dengan auman dahsyat
Sima Rodra. Apalagi ketika dengan aba-aba itu, tokoh-tokoh hitam yang
sedang bertempur itu segera berloncatan menjauhkan diri dari lawan
masing-masing, agar tidak mengganggu kedua tokoh angkatan tua yang akan
terjun dalam pertempuran.
Mahesa Jenar beserta kawan-kawannya sadar
bahwa saat terakhir telah hampir tiba. Ketika lawan-lawan mereka
berloncatan pergi, untuk sesaat mereka tertegun, tetapi sesaat kemudian
tanpa sesuatu tanda apapun, agaknya mereka mempunyai persamaan
perhitungan, sehingga seolah-olah digerakkan oleh satu tenaga, mereka
berloncatan saling mendekat, untuk dapat bersama-sama melawan kedua
orang tokoh dari angkatan tua itu.
Melihat mereka berkumpul dalam satu
lingkaran, terdengarlah Pasingsingan dan Sima Rodra tertawa hampir
berbareng, kata Pasingsingan, “Suatu kesetia-kawanan yang
mengagumkan. Meskipun kalian berdatangan dari perguruan yang
berbeda-beda, tetapi karena nasib kalian telah akan kami tentukan, maka
kalian dapat bekerja sama dengan rapi sekali. Nah sekarang, lawanlah
kami berdua yang tak bersenjata ini dengan segenap kemampuan kalian,
sebelum kalian tak sempat menikmati lezatnya madu.”
Kata-kata itu hebat akibatnya. Bunyinya
terdengar lebih dahsyat dari seribu guruh yang meledak bersama-sama.
Tetapi justru karena itu maka setiap hati dari kelima orang itu menjadi
pasrah pada garis hidupnya masing-masing. Dengan demikian maka lenyaplah
segala perasaan gentar dan cemas. Yang ada dalam dada mereka hanyalah
satu kepercayaan bahwa pintu sorga akan terbuka bagi mereka yang gugur
dalam menunaikan tugas mereka untuk membela kebenaran dan kebajikan.
Karena itu mereka menjadi lebih mantap menggenggam senjata masing-masing
yang siap diayunkan.
Sesaat kemudian, tampillah Pasingsingan
dan Sima Rodra bersama-sama, berbareng dengan bergeraknya setiap senjata
kawan-kawan Mahesa Jenar. Segera berkobarlah suatu pertempuran yang
dahsyat. Kedua orang dari angkatan tua itu memang ternyata memiliki
ketinggian ilmu yang luar biasa, sehingga dengan tertawa-tawa saja
Pasingsingan dan Sima Rodra dengan senangnya mempermainkan korbannya.
Dalam pada itu, Mahesa Jenar dan
kawan-kawannya telah bertempur mati-matian untuk mempertahankan diri.
Mereka sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk menyerang.
Pasingsingan dan Sima Rodra yang hanya dua orang itu seolah-olah seperti
angin ribut yang melanda dari segenap penjuru, sedang suara tertawa
mereka mengumandang dari segala arah.
Semakin lama, Mahesa Jenar dan
kawan-kawannya menjadi semakin bingung. Mereka sudah tidak tahu lagi di
mana lawan-lawan mereka berada. Tetapi tahu-tahu tubuh mereka telah
tersentuh oleh tangan-tangan yang panasnya melampaui panas api. Mereka
sadar bahwa Pasingsingan dan Sima Rodra sampai saat itu baru sampai pada
taraf menggoda saja, serta menimbulkan kebingungan dan kesakitan yang
semakin lama semakin merata di segenap tubuh Mahesa Jenar dan
kawan-kawannya. Sehingga akhirnya Mahesa Jenar dan kawan-kawannya itu
bertempur seperti orang gila yang mengayun-ayunkan senjata tanpa tujuan,
bahkan hampir-hampir saja mereka telah mengenai satu sama lain.
Sementara itu suara tertawa Pasingsingan
dan Sima Rodra semakin lama menjadi semakin mengerikan dan
menggoncang-goncang dada. Mahesa Jenar dan kawan-kawannya semakin lama
menjadi semakin tak terkendalikan. Mereka bergerak berputaran tanpa
tujuan dan hampir diluar kesadaran mereka masing-masing.
Sesaat kemudian agaknya Pasingsingan dan
Sima Rodra telah jemu dengan permainan mereka. Karena itu segera
terdengar Pasingsingan berkata, “Sima Rodra, agaknya kelinci-kelinci
itu sudah hampir gila. Apakah kita perlu membunuhnya ataukah kita buat
saja mereka benar-benar gila?” “
Buat apa kita menonton orang-orang gila berkeliaran di daerah ini?” jawab Sima Rodra, “Baiklah, kita bunuh saja mereka dengan senjata mereka sendiri,”.
Mendengar percakapan Pasingsingan dengan
Sima Rodra itu, Mahesa Jenar dengan keempat kawannya meremang seluruh
tubuhnya. Tetapi juga karena itu darah mereka meluap-luap karena marah.
Dengan sisa-sisa kesadaran yang masih ada, mereka pasrahkan jiwa dan
raga kepada kekuasaan yang Tinggi. Dan sesudah itu mereka bersiap untuk
menghadapi saat-saat terakhir.
Mahesa Jenar serta keempat kawannya itu
masih sempat menyaksikan di bawah remang-remang cahaya purnama yang
disaput mega, bayangan Pasingsingan dan Sima Rodra menyambar ke arah
mereka, dan sejenak kemudian mereka melihat kedua orang itu berdiri
sambil tertawa nyaring beberapa langkah di hadapan mereka dengan sebuah
tombak berkait di tangan Pasingsingan serta sebuah trisula di tangan
Sima Rodra.
“Nah…” kata Pasingsingan, “Jangan
salahkan aku kalau kalian mati karena senjata kawan sendiri. Yang
mula-mula harus membuat perhitungan adalah Mahesa Jenar. Kau telah
membunuh Watu Gunung, melukai Lawa Ijo, dan dengan Gajah Sora kalian
menyerang aku di Banyubiru. Kaulah orang yang pertama-tama harus binasa.
Setelah itu sebenarnya bagiku sudah tidak ada soal lagi, apakah aku
atau Sima Rodra yang akan membelah perut kalian.”
Mahesa Jenar mendengarkan kata-kata itu
dengan dada yang bergetar. Bukan oleh ketakutan bahwa maut akan
melibatnya, tetapi karena ia harus meninggalkan tugas-tugas sucinya
sebelum seujung kuku dapat diselesaikan. Namun bagaimanapun ia adalah
seorang jantan, karena itu ia tidak akan ada artinya. Maka segera ia pun
mempersiapkan dirinya dengan apa yang ada padanya. Mendengar kata-kata
Pasingsingan itu, agaknya keempat kawan Mahesa Jenar tidak akan
membiarkan Mahesa Jenar menjadi korban yang pertama-tama. Karena itu
seperti orang yang berebutan, mereka tiba-tiba berloncatan
mengelilinginya. Mahesa Jenar menjadi terharu melihat kesetiakawanan
yang sedemikian tinggi. Meskipun Paningron dan Wiraraga kini sudah tidak
bersenjata lagi, tetapi mereka sama sekali tidak gentar menghadapi
kemungkinan yang mendatang.
Melihat kejadian itu Pasingsingan menjadi marah, katanya, “Ke tepilah kalian yang tidak berkepentingan. Atau kalian semuanya akan bersama-sama binasa.”
Tak seorang pun menjawab, tetapi tak
seorang pun beranjak dari tempatnya. Hal itu menjadikan Pasingsingan
semakin marah. Tetapi belum lagi ia berkata sesuatu, Sima Rodra yang
agaknya tidak sabar lagi, menggeram. “Mereka ternyata benar-benar telah gila dan tidak mampu berkata-kata. Karena itu buat apa kita memilih korban. Marilah bersama-sama kita binasakan mereka sekaligus.”
Pasingsingan tidak menjawab. Tetapi segera mereka berdua bergerak dan seperti petir mereka menyambar bersama-sama.
Tetapi sementara itu Mahesa Jenar dan
kawan-kawannya tidak berdiam diri saja sambil menunggu dada mereka
tertembus senjata. Mereka pun segera berusaha untuk melawan sekuat-kuat
tenaga mereka. Maka segera terjadilah sekali lagi pertempuran yang maha
dahsyat.
Tetapi adalah di luar dugaan mereka
semuanya, bahwa tiba-tiba saja Mahesa Jenar dapat memberikan perlawanan
yang mengerikan. Dengan sebatang dahan kayu ia menyambar, melompat,
menangkis dan menyerang dengan dahsyatnya hampir di luar kemampuan
manusia. Ia seolah-olah berada di segala tempat dan dapat menggagalkan
segala serangan Pasingsingan dan Sima Rodra, walaupun tidak diarahkan
kepadanya. Sehingga baik kawan-kawan Mahesa Jenar sendiri maupun
Pasingsingan dan Sima Rodra menjadi terheran-heran. Mantingan, Gajah
Alit, Wiraraga dan Paningron sampai-sampai terpaksa berhenti bertempur
karena Mahesa Jenar selalu bergerak dan seolah-olah melayang-layang di
hadapan mereka, pada setiap waktu nyawa mereka terancam, sehingga di
dalam lingkaran pertempuran itu seakan-akan ada beribu-ribu Mahesa Jenar
yang bertempur bersama-sama. Karena itu dada mereka sekarang tergoncang
hebat, tidak karena Pasingsingan dan Sima Rodra, tetapi justru karena
Mahesa Jenar yang berubah menjadi ribuan Mahesa Jenar dengan
kesaktiannya yang dapat menandingi Pasingsingan dan Sima Rodra.
Sebaliknya Pasingsingan dan Sima Rodra
menjadi terheran-heran tak keruan. Menghadapi lima orang yang sebenarnya
bagi mereka sama sekali tak berarti itu, tiba-tiba saja menjadi agak
kerepotan.
Serangan-serangan mereka yang seharusnya
sudah tidak mungkin dielakkan oleh orang-orang yang setingkat dengan
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya itu, tiba-tiba dapat dimusnahkan hanya
oleh sepotong dahan kayu. Karena itu mereka menjadi semakin marah.
Apalagi ketika mereka melihat kelima orang yang melawannya itu bergerak
berputaran melingkar dan melibat satu sama lain dengan gerak yang tak
terduga-duga dan membingungkan.
Sebenarnya kawan-kawan Mahesa Jenar itu
sama sekali tidak mampu mengadakan gerakan-gerakan yang sedemikian
rumitnya, tetapi Mahesa Jenar lah yang mendorong mendesak dan
kadang-kadang menarik mereka untuk membuat gerakan-gerakan yang
aneh-aneh.
Akhirnya Pasingsingan menjadi tidak sabar
lagi, demikian juga Sima Rodra. Segera mereka melemparkan
senjata-senjata rampasan itu, dan tiba-tiba di tangan Pasingsingan telah
tergenggam sebilah pisau belati panjang yang berwarna kuning
gemerlapan, sedang di jari-jari Sima Rodra seolah-olah tumbuhlah
kuku-kukunya yang panjang dan bersalut logam. Agaknya kedua orang itu
telah sedemikian marahnya sehingga mereka merasa perlu mempergunakan
senjata-senjata simpanan mereka.
Dalam pada itu, segenap tokoh-tokoh hitam
yang menyaksikan pertempuran itu menjadi cemas dan kebingungan.
Berkali-kali mereka menggosok-gosok mata mereka, sebab di dalam
keremangan cahaya bulan yang tidak seterang siang hari, mereka telah
menyaksikan suatu pertempuran yang tak dapat diikuti oleh
pikiran-pikiran mereka. Pasingsingan dan Sima Rodra adalah dua tokoh
yang berada dalam tingkatan guru Mahesa Jenar, bahkan mungkin berada
diatas guru-guru orang-orang lain kawan-kawan Mahesa Jenar. Tetapi
ternyata untuk melawan mereka berlima, kedua orang sakti itu telah
terpaksa mempergunakan senjata-senjata mereka yang hampir sama sekali
tak pernah mereka perlihatkan. Apalagi di dalam lingkaran pertempuran
itu, mereka melihat bayangan Mahesa Jenar berubah, seakan-akan lebih
dari satu Mahesa Jenar yang berdiri di sana sambil bergerak
menyambar-nyambar tak terikuti oleh pandangan mereka.

Barulah teka-teki itu terpecahkan ketika
Pasingsingan dan Sima Rodra yang sudah kebingungan meloncat beberapa
langkah surut untuk mengambil jarak dengan kelima lawannya yang aneh
itu.
Karena Pasingsingan dan Sima Rodra adalah
dua orang yang sudah kenyang makan asin pahit kehidupan, maka mereka
segera menaruh curiga bahwa pasti ada sesuatu yang tidak wajar.
Ketika mereka telah berdiri dengan jarak
dua tiga langkah, tahulah mereka bahwa mata mereka telah terkelabui.
Karena itu segera Pasingsingan berteriak nyaring dibarengi oleh suara
auman dahsyat dari Sima Rodra untuk menyatakan kemarahan hati mereka.
Ternyata yang berdiri di hadapan mereka
itu, yang semula adalah lima orang, tiba-tiba tanpa setahu orang
setingkat Pasingsingan dan Sima Rodra telah berubah menjadi tujuh orang.
Sedang kedua orang yang melibatkan diri kedalam pertempuran itu
berpakaian kumal dan berwarna gelap mirip sekali dengan pakaian Mahesa
Jenar. Apalagi gerak mereka pun sedemikian dekat dengan gerak anak
perguruan Pengging itu. Mereka berdualah yang memegang tongkat potongan
dahan kayu. Sedang Mahesa Jenar yang sebenarnya tanpa diketahuinya
sendiri telah memegang sepotong dahan kayu yang mirip dengan kedua dahan
yang lain. Itulah sebabnya bahwa dalam keributan pertempuran itu Mahesa
Jenar seolah-olah berubah menjadi beribu-ribu Mahesa Jenar yang berada
di segala tempat.
Mengalami peristiwa itu Pasingsingan dan
Sima Rodra untuk sejenak tertegun heran. Ini adalah suatu kejadian yang
luar biasa. Meskipun Pasingsingan dan Sima Rodra sadar bahwa mereka
adalah manusia-manusia biasa, namun peristiwa itu adalah peristiwa yang
hampir tak mungkin dapat dimengerti. Hal ini adalah suatu pertanda bahwa
kedua orang yang memasuki arena itu adalah orang yang mumpuni.
Apalagi Mahesa Jenar sendiri beserta
keempat kawannya. Mereka jadi ragu-ragu sendiri apakah otak mereka telah
benar-benar tidak bekerja dengan baik.
Baru kemudian sadarlah mereka bahwa ada
orang lain yang sengaja akan menolong jiwa mereka. Karena ternyata
ketika mereka sempat memperhatikan setiap wajah diantara mereka,
dapatlah mereka ketahui bahwa kedua orang yang berpakaian mirip dengan
Mahesa Jenar, kumal dan gelap itu, sama sekali bukan Mahesa Jenar.
Wajah-wajah mereka tampak merah kehitam-hitaman. Di bawah cahaya bulan
yang remang-remang, memang sangat sulit untuk mengenali siapakah mereka
itu. Apalagi agaknya kedua orang itu dengan sengaja telah mewarnai
wajah-wajah mereka dengan warna-warna hitam dan merah. Sedemikian
hebatnya peristiwa itu mempengaruhi perasaan mereka sehingga kelima
orang itu tubuhnya menjadi gemetar.
Sementara itu darah Pasingsingan dan Sima
Rodra serasa mendidih, membakar rongga dada mereka. Mereka merasa bahwa
perbuatan kedua orang itu telah dilakukan dengan sengaja untuk
menghinanya. Karena itu mereka menjadi marah sekali. Maka terdengarlah
suara Pasingsingan yang seolah-olah melingkar-lingkar di dalam perut
itu, “Hai orang-orang yang telah berbuat seolah-olah jantan tanpa
tandingan, kalian telah menghinakan kami. Apakah kalian tidak sadar
bahwa perbuatan kalian itu dapat mengancam keselamatan jiwa kalian?”
Maka terdengarlah salah seorang menjawab
dengan nada yang tajam tinggi dibuat-buat, sehingga semua orang yang
mendengarnya mengetahui bahwa suara itu bukanlah suara aslinya untuk
menyembunyikan diri, “Aku hanya ingin bermain-main saja
Pasingsingan, seperti kau ingin bermain-main dengan kelima
kelinci-kelinci ini. Bukankah permainanku tidak kalah baiknya dengan
permainanmu?”
Mendengar jawaban itu Sima Rodra menyahut dengan suaranya yang menggeletar, “Apa hubungan kalian dengan orang-orang yang akan aku binasakan itu?”
Kembali terdengar jawaban, “Hubungannya adalah, aku tidak senang melihat kau membinasakan orang-orang yang tak bersalah.”
Oleh jawaban itu, darah Sima Rodra dan Pasingsingan semakin menggelegak, “Aku beri kesempatan kau minta ampun kepadaku,” kata Sima Rodra, “atau, aku akan membinasakan kalian juga?”
Terdengarlah suara tertawa tinggi nyaring. Kemudian orang itu menjawab pula, “Aku
tidak senang melihat kau membinasakan kelima orang yang tak bersalah
itu, apalagi kau akan membinasakan kami berdua. Pastilah, bahwa kami
menjadi semakin tidak senang lagi.”
“Janganlah kalian berbicara seenaknya,” bentak Pasingsingan, “Kau
anggap bahwa orang-orang itu tak bersalah? Aku mempunyai sebuah
ceritera yang tak akan habis aku ceriterakan semalam suntuk untuk
membuktikan kesalahan mereka.”
“Aku sudah tahu apa yang akan kau ceriterakan.” Terdengar kembali sebuah jawaban, “Dan
aku mengerti pula apa yang kau anggap kesalahan orang-orang itu, bahwa
mereka telah berusaha mencegah kejahatan-kejahatan yang kalian atau
murid-murid kalian lakukan.”
Karena jawaban itu Pasingsingan hampir tak dapat menguasai dirinya, namun ia masih bertanya pula, “Siapakah sebenarnya kalian?”
Jawab orang itu, “Orang yang selalu
menyembunyikan wajahnya di belakang topeng yang jelek itu, tak perlu
berusaha mengetahui siapakah orang-orang yang berdiri di hadapannya.”
Sekarang Pasingsingan benar-benar tak
dapat menguasai dirinya. Dengan satu gerakan yang hampir tak dapat
ditangkap oleh kecepatan pandangan mata, Pasingsingan meloncat maju.
Belati panjangnya berkilau gemerlapan
oleh sinar bulan yang remang-remang. Sedang Sima Rodra yang melihat
kawannya mulai bertindak, segera pula mengaum menggetarkan sambil
menerkam, tak ubahnya seekor harimau lapar.
Yang menyaksikan kedua serangan
tokoh-tokoh hitam dari angkatan tua itu, dadanya berdesir. Seakan-akan
tak ada seorang pun yang dapat menghindarkan diri dari serangan yang
demikian dahsyatnya.
Tetapi ternyata dugaan mereka meleset.
Dua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu, yang
masing-masing menerima serangan dari Pasingsingan dan Sima Rodra, masih
sempat berteriak nyaring, “Mahesa Jenar, mundurlah beserta kawan-kawanmu. Biarlah mereka selesaikan urusan ini dengan orang-orang yang sebaya.”
Setelah itu mereka segera berloncatan menghindari serangan-serangan lawannya yang hampir saja telah mengenainya.
Mahesa Jenar dengan keempat kawannya,
setelah mendengar kata-kata orang yang tak dikenalnya itu, segera
berlari menjauhi sampai lebih dari 10 langkah.
Setelah itu maka terjadi suatu
pertarungan yang maha dahsyat. Pertarungan yang jarang terjadi.
Pasingsingan yang telah terkenal sebagai seorang yang paling ditakuti
itu bertempur mati-matian dengan seorang yang tak dikenal, yang memiliki
ilmu sempurna.
Demikian pula Sima Rodra. Ternyata
lawannya memiliki ilmu yang tinggi pula sehingga pertempuran diantara
mereka tidak kalah hebatnya.
Sejenak kemudian pertempuran itu sudah
tidak dapat disaksikan dengan jelas. Yang tampak hanyalah asap yang
bergulung-gulung libat melibat, serta kilatan cahaya yang
menyambar-nyambar, disertai dengan angin yang melingkar-lingkar diantara
mereka yang sedang bertempur itu.
Selain suara derap mereka yang sedang
berjuang itu tak ada lagi yang bergerak, bahkan tak seorangpun yang
sempat mengedipkan mata. Suasana di lapangan kecil di tepi hutan itu
benar-benar dicekam oleh suasana tegang yang mengerikan. Angin yang
bertiup semilir seakan-akan menyebarkan udara maut ke segenap penjuru,
sedang bunga-bunga liar menaburkan bebauan yang menjadikan udara
bersuasana mati namun harum.
Demikianlah pertempuran itu menjadi
semakin lama semakin dahsyat. Orang-orang yang tak dikenal itu ternyata
benar-benar dapat menandingi Pasingsingan dan Sima Rodra. Bahkan semakin
lama semakin nampak bahwa Pasingsingan dan Sima Rodra menjadi agak
terdesak. Hal ini adalah suatu kejadian yang sangat menggoncangkan dada
mereka yang menyaksikan. Mereka jadi sibuk menduga-duga siapakah kedua
orang itu. Wajahnya yang sengaja disaput dengan warna-warna hitam dan
merah itu menjadi sangat susah untuk dikenali di dalam keremangan cahaya
bulan.
Akhirnya, ketika Pasingsingan dan Sima
Rodra semakin terdesak, maka tak ada pilihan lain dari mereka kecuali
mempergunakan ilmu-ilmu terakhir yang menjadi andalan mereka. Segera
Sima Rodra meloncat beberapa langkah mundur. Dengan sebuah auman yang
hebat ia menggetarkan tubuhnya. Itulah suatu pertanda bahwa Harimau Liar
dari Rojaya itu telah mempergunakan ajinya yang dahsyat, Macan Liwung.
Sedang di lain pihak, Pasingsingan segera mengenakan cincinnya yang
bermata merah menyala, Kelabang Sayuta, dibarengi dengan ilmunya Alas
Kobar. Akik Klabang Sayuta adalah semacam batu akik beracun yang sangat
tajam dan pernah dipergunakan oleh Lawa Ijo untuk menghantam Mahesa
Jenar. Untunglah Mahesa Jenar memiliki daya penawarnya. Sedang aji Alas
Kobar sebenarnya adalah suatu ilmu yang maha dahsyat, yang apabila
dipergunakan untuk menyerang lawan, akibatnya seperti api yang maha
besar, yang seolah-olah sanggup memusnahkan hutan yang lebat.
Melihat kedua lawannya telah
mempergunakan ilmu-ilmu yang paling akhir dimiliki, serta mempunyai daya
hancur yang luar biasa, maka kedua orang yang berpakaian mirip dengan
Mahesa Jenar itu segera berloncatan mundur. Tampaklah mereka mengerutkan
kening dan menarik nafas panjang. Tetapi mereka sudah tidak memiliki
waktu banyak untuk berfikir, sebab sesaat kemudian Pasingsingan dan Sima
Rodra telah siap untuk menghancur lumatkan lawan-lawan mereka.
Mahesa Jenar beserta keempat kawannya
yang menyaksikan gerak Pasingsingan dan Sima Rodra yang berubah menjadi
buas dan mengerikan itu, menahan nafas. Dada mereka berdegupan. Apakah
kira-kira yang akan terjadi apabila kedua orang yang berpakaian mirip
Mahesa Jenar itu sampai terjamah oleh tangan-tangan yang siap menyebar
maut itu?
Sebaliknya adalah Lawa Ijo, Sima Rodra
beserta kawan-kawannya. Seolah-olah mereka sudah melihat bahwa
perkelahian itu sudah sampai pada akhir. Kedua orang itu pasti segera
akan lebur menjadi tepung, dan sesudah itu mereka akan menyaksikan
lawan-lawannya yang paling dibencinya, yaitu Mahesa Jenar akan lumat
pula beserta keempat kawan-kawannya.
Tetapi apa yang mereka saksikan adalah
sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Kedua orang yang
berpakaian mirip Mahesa Jenar itu kemudian tampak berdiri tegak di atas
kedua kaki yang renggang, sedang kedua tangan mereka bersilang dengan
telapak tangan masing-masing di atas pundak seperti orang yang sedang
bersemedi. Tetapi apa yang mereka lakukan itu hanya sesaat, tidak lebih
dari sekeredipan mata. Setelah itu, segera mereka berloncatan dan
bergerak, mirip dua ekor rajawali yang menyambar-nyambar dengan
dahsyatnya. Tetapi tak seorang pun yang mengetahuinya, bahwa kedua orang
itu telah mempergunakan ilmu yang mereka namakan Naga Angkasa. Ilmu
yang telah mereka ciptakan bersama setelah mereka bertahun-tahun
menekuni dan mempelajari gerak dari binatang-binatang di udara. Sehingga
akhirnya mereka menemukan suatu kedahsyatan dari gerak burung rajawali
yang mereka gabungkan dengan kelembutan gerak seekor ular yang sanggup
membelit, melingkar dengan lemasnya. Dilambari dengan kekuatan batin
yang sempurna dari kedua orang yang tak dikenal itu, maka Naga Angkasa
merupakan suatu ilmu yang sukar untuk diperbandingkan.
Karena itu, beradunya ilmu-ilmu yang
dahsyat itu kemudian menimbulkan suasana yang hampir tak dapat
digambarkan. Macan Liwung, Alas Kobar dan Naga Angkasa. Di dalam
lingkaran pertempuran itu terjadilah benturan-benturan yang mengerikan.
Meskipun mereka tidak bersenjata, sentuhan tubuh-tubuh mereka dengan
ilmu mereka masing-masing telah melebihi berdentangnya senjata. Ketika
pertempuran itu kemudian bergeser semakin mendekati hutan, maka
tampaklah pepohonan menjadi bergoyang-goyang oleh angin yang timbul
karena gerakan-gerakan mereka yang sedang bertempur. Daun-daun kering
berterbangan melebihi tiupan angin kemarau. Kemudian disusul dengan
kengerian yang memuncak. Tangan-tangan mereka yang tak dapat menyentuh
lawan-lawan mereka, yang dengan gerak yang tak dapat dicapai oleh mata
biasa berhasil menghindar, dan kemudian mengenai pepohonan, menjadi
roboh berantakan. Suaranya berderak-derak menggetarkan seluruh hutan di
tepi Rawa Pening itu, di sela oleh teriakan nyaring dan auman dahsyat
Sima Rodra tua.
Baik Mahesa Jenar dan kawan-kawannya,
maupun Lawa Ijo beserta seluruh golongan hitam, ketika menyaksikan
kedahsyatan pertempuran itu, kemudian seperti orang-orang yang melihat
pertunjukan yang menakutkan.
Sedang pertempuran itu sendiri semakin lama menjadi semakin dahsyat.
Sementara itu bulan yang berjalan
menyusur garis edarnya, semakin lama menjadi semakin tinggi tergantung
di langit yang bersih. Hanya sekali-kali mega putih seperti kapas
berterbangan di muka wajahnya yang kuning pucat, seperti wajah gadis
yang ketakutan melihat pahlawannya sedang berjuang diantara hidup dan
mati.
Demikianlah, ketika bulan itu sudah
melampaui titik puncak langit, terjadilah perubahan dalam keseimbangan
pertempuran di hutan Rawa Pening. Kedua orang yang berpakaian mirip
Mahesa Jenar serta wajahnya disaput dengan warna merah dan hitam itu
kemudian berpendapat bahwa apabila keringatnya semakin banyak mengalir,
akan hanyutlah warna-warna hitam dan merah di wajahnya. Maka dengan
demikian pasti mereka akan dikenal oleh lawan-lawannya. Apalagi kalau
pertempuran itu sampai menjelang fajar. Karena itu, segera mereka
mengeluarkan segenap ilmunya, kekuatan lahir dan batinnya. Naga Angkasa
itu semakin lama menjadi semakin garang setelah mendapatkan saluran yang
lapang.
Pasingsingan yang percaya kepada ilmunya
Alas Kobar menjadi keheran-heranan dan gelisah. Ilmu yang dapat
menghindarkan diri dari panasnya ilmu Alas Kobar yang melebihi bara api.
Bahkan kadang-kadang ia terlibat dalam satu keadaan yang sangat
berbahaya. Udara yang dingin seolah-olah meniup-niup dari segala arah
dan melilit-lilit tubuhnya seperti ular. Sementara ia sedang berusaha
menguraikan lilitan hawa dingin itu, tiba-tiba melayanglah lawannya dari
udara dengan tangan yang mengembang siap menerkam lehernya. Untuk
melawan serangan yang demikian, terpaksa ia mempergunakan pisaunya di
tangan kiri dan akik Klabang Sejuta di tangan kanan dilambari dengan
ilmunya Alas Kobar. Beruntunglah Pasingsingan bahwa agaknya lawannya
mengenal betapa saktinya kedua senjatanya itu sehingga beberapa kali ia
berhasil membebaskan diri dari serangan-serangan maut yang mengerikan
itu.
Sima Rodrapun diam-diam mengumpat dalam
hati. Lawannya benar-benar seperti hantu yang menakutkan.
Gerakan-gerakannya cepat tak terduga, sedang aji Macan Liwung ternyata
sampai sekian lama tak dapat menjatuhkannya. Karena itu ia menjadi
semakin ganas dan beberapa kali mengaum keras. Namun bagaimanapun juga
lawannya benar-benar seorang yang luar biasa, yang menyerangnya seolah
terbang di udara, tetapi sekali-kali berguling dan tangannya mematuk
seperti kepala ular mengarah ke bagian-bagian tubuhnya yang lemah.
Benturan-benturan yang terjadi di dalam pertempuran itu, meyakinkan Sima
Rodra bahwa lawannya pun memiliki kekuatan yang dapat menandingi
kekuatan Macan Liwung. Karena itu ia menjadi gelisah sebab sesudah Macan
Liwung tidak ada lagi yang dapat dibanggakan.
Sesaat lagi semakin jelaslah bahwa kedua
orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu mempunyai beberapa
kelebihan dari lawannya. Lawan Pasingsingan hampir dalam setiap geraknya
dapat memotong gerakan-gerakan Pasingsingan, bahkan mendahuluinya.
Karena itu Pasingsingan menjadi semakin heran dan kebingungan.
Tetapi sama sekali ia tak dapat
meraba-raba, dari perguruan manakah ilmu yang diwarisi oleh
lawan-lawannya yang aneh itu. Sebab menilik beberapa geraknya, ia
mengenal sumber-sumber yang bermacam-macam. Bahkan ada beberapa
kemiripan dengan gerakan-gerakan dari perguruannya sendiri, tetapi ia
juga melihat beberapa gerakan yang sesuai dengan dasar-dasar gerak
peninggalan dari almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh yang bersumber dari
Ranggalawe yang dahsyat itu. Malahan ia melihat juga gerakan-gerakan
hebat yang berasal dari almarhum Raden Gadjah yang pernah dengan susah
payah dipelajarinya namun sama sekali belum sempurna.
Karena kegelisahan serta kebingungan
itulah maka Pasingsingan bertempur semakin lama semakin kehilangan
keseimbangan. Meskipun kemarahannya menggelegak sampai kepala, namun
tenaganya tidak dapat mengimbangi perasaannya. Sehingga semakin bernafsu
ia mengalahkan lawannya semakin hilanglah keseimbangan gerakannya.
Agaknya sedemikian pula dengan Sima
Rodra. Bagaimanapun ia berusaha dengan sekuat tenaganya yang diandalkan
itu, namun ilmunya Macan Liwung memang berada di bawah kedahsyatan Naga
Angkasa. Karena itu semakin lama Sima Rodra tua itu menjadi semakin
terdesak mundur. Beberapa kali ia mencoba untuk mengadakan
serangan-serangan yang membahayakan, tetapi usahanya selalu tidak
berhasil. Ia menganggap bahwa selama ini tak seorang pun yang mampu
mengatasi ilmunya yang mengerikan itu. Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis
Anganten yang mewarisi sebagian ilmunya Menak Jingga dari Blambangan
dan sahabatnya sendiri Bugel Kaliki yang terkenal itupun
setinggi-tingginya baru dapat menyamainya. Namun tiba-tiba sekarang ia
berhadapan dengan seorang yang tak dikenal yang dapat melebihi
ketinggian ilmunya. Meskipun wajah orang-orang itu tak jelas baginya
namun pasti bahwa mereka bukan orang dari Pandan Alas beserta
sahabat-sahabatnya.Karena itu hatinya lambat laun menjadi kecil pula. Ia
masih mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Apabila ia
sampai dilibat oleh lawannya sehingga ia benar-benar dibinasakan maka
segala rencananya akan pudar. Bagaimanapun, seperti juga Pasingsingan,
ia berkeinginan melihat muridnya, bahkan anaknya sendiri menjadi orang
yang berkekuasaan besar. Itulah sebabnya ia bekerja mati-matian untuk
mendapatkan keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dengan sekutunya
Pasingsingan, meskipun ia sadar bahwa kemudian Pasingsingan pasti akan
mengusahakan agar keris itu dapat dimiliki oleh murid kesayangannya,
Lawa Ijo.
Karena itu, baik Sima Rodra maupun
Pasingsingan merasa bahwa bagaimanapun mereka tak akan mampu untuk
mengalahkan lawannya. Ia tidak berani memerintahkan kepada Lawa Ijo dan
kawan-kawannya untuk ikut serta dalam pertempuran itu, sebab bahayanya
akan besar sekali apabila mereka sampai tersentuh kesaktian ilmu
lawannya. Apalagi dengan demikian Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pasti
tidak akan tinggal diam. Karena itu jalan yang sebaik-baiknya selagi
masih berkesempatan adalah menarik diri.
Mendapat keputusan itu, maka segera
terdengarlah suara tertawa Pasingsingan yang mengerikan. Suara itu
bergetar di antara gerak-geraknya yang semakin terdesak itu. Mahesa
Jenar dan kawan-kawannya terkejut mendengar suara Pasingsingan, yang
seolah-olah mendapat suatu kemenangan yang gemilang. Tetapi sebenarnya
suara itu adalah suatu pertanda kepada Lawa Ijo dan anak buahnya untuk
segera menghindarkan diri. Karena itu, betapa kecut hati Lawa Ijo
beserta anak buahnya melihat suatu kenyataan bahwa Pasingsingan yang
diagung-agungkan itu tidak dapat mengatasi lawan-lawannya.
Maka, tidak perlu diulangi lagi, Lawa Ijo
segera meloncat dan berlari sekencang-kencangnya menjauhi lawan-lawan
Pasingsingan, disusul oleh Wadas Gunung, Carang Lampit, Cemara Aking dan
kawan-kawannya.
Melihat Lawa Ijo dan para pengiringnya
melarikan diri, tokoh-tokoh golongan hitam itu terkejut. Segera mereka
sadar bahwa keadaan menjadi sangat genting. Apalagi ketika kemudian
terdengar geram Sima Rodra seperti merintih-rintih, dan kemudian disusul
dengan lenyapnya Suami Isteri Sima Rodra muda menyusup kedalam hutan,
maka pemimpin-pemimpin gerombolan hitam itu tidak menunggu lebih lama
lagi, segera mereka dengan pengiring-pengiring mereka berlari-lari
menyelamatkan diri mereka masing-masing.
Melihat peristiwa itu Mahesa Jenar dan
kawan-kawannya menjadi keheran-heranan. Mereka sama sekali tidak dapat
mengetahui apakah yang terjadi. Sesaat kemudian terdengarlah orang-orang
yang berpakaian seperti Mahesa Jenar itu tertawa nyaring. Sedang solah
mereka menjadi semakin lincah dan berbahaya.
Akhirnya Sima Rodra merasa bahwa tidak
ada gunanya ia bertahan lebih lama lagi. Mungkin ia masih dapat
bertempur sampai sehari, namun kesudahannya akan sudah pasti, yaitu
lawannya akan dapat membinasakannya. Karena itu, dengan mengaum hebat,
ia meloncat undur dan setelah itu dengan kecepatan yang mungkin
dicapainya, ia berusaha untuk menyelamatkan diri. Melihat Sima Rodra itu
berlari seperti terbang meninggalkannya, lawan Sima Rodra itu tertawa
kembali. Tetapi sama sekali ia tidak berusaha untuk mengejarnya.
Berbeda dengan lawan Pasingsingan. Ketika
Pasingsingan tinggal seorang diri, ia pun segera berusaha untuk
melepaskan diri dari pertempuran itu, namun lawannya sama sekali tidak
memberi kesempatan. Bahkan akhirnya dengan mengerahkan segenap tenaganya
lahir dan batin, dilambari dengan ilmu Naga Angkasa, lawan Pasingsingan
itu berhasil melibat tubuh Pasingsingan dengan gerak-geraknya yang
mirip dengan gerak Ular, tetapi yang kadang-kadang seperti seekor burung
Rajawali yang meniup menyambar-nyambar. Mengalami peristiwa itu
Pasingsingan menjadi bingung. Keringat dinginnya mengalir membasahi
jubah abu-abunya. Dengan segenap kekuatannya ia mencoba bertahan, dan
melindungi dirinya dengan Belati Panjangnya yang bernama Kiai Suluh,
serta akik Kelabang Sayuta dibarengi dengan ilmunya Alas Kobar dan Gelap
Ngampar. Namun Naga Angkasa itu seperti hantu saja yang berada disegala
tempat dan menyerang dari segala penjuru.
Pasingsingan mengeluh didalam hati.
Karena itulah maka pemusatan pikirannya sedikit demi sedikit menjadi
terurai, sehingga dengan demikian daya kekuatan Alas Kobar serta Gelap
Ngampar pun menjadi berkurang. Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba
terasalah udara dingin sedingin air embun, membelit diseluruh bagian
tubuhnya, dibarengi dengan suatu teriakan dahsyat seperti teriakan
burung rajawali yang sedang marah, terasalah pundaknya dicengkam oleh
tangan yang kuat seperti baja. Dengan cepat ia menggerakkan pisau
panjangnya, tetapi sama sekali tak mengenai sesuatu. Cepat ia mengulangi
berkali-kali, tetapi yang ada dihadapannya bagaikan hantu yang dapat
berkisar-kisar dengan cepatnya tanpa mengadakan gerakan sesuatu. Bahkan
akhirnya tangan yang sekuat baja itu berhasil menangkap tangannya dan
dipilinnya kebelakang. Pasingsingan merasakan suatu keanehan membersit
didalam dadanya. Bahwa didunia ini ada kekuatan seperti itu, yang sama
sekali tak diduganya semula. Sebenarnya ia sendiri merasakan bahwa
ilmunya tidak usah terlalu jauh kalah dari ilmu lawannya. Hanya kekuatan
orang itu agaknya yang luar biasa.
Dengan mengerahkan segenap kekuatannya
yang terakhir Pasingsingan mencoba untuk melepaskan diri, namun orang
itu agaknya mengerahkan segenap kesaktiannya pula untuk dapat tetap
menguasai Pasingsingan.
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya melihat
kejadian itu dengan jantung yang berdegupan hebat. Meskipun mereka agak
terguncang perasaan, namun timbul pula kebanggaan serta ketenteraman
diri. Mereka menyaksikan bahwa akhirnya Pasingsingan dapat dikalahkan.
Tiba-tiba dalam keremangan cahaya bulan
mereka melihat tangan orang yang menangkap Pasingsingan itu bergerak
cepat sekali sehingga dalam sekejap ditangan itu telah berkilat-kilat
cahaya sebuah keris yang agaknya tidak kalah hebatnya dari pisau belati
panjang Pasingsingan. Dengan penuh bernafsu orang yang berpakaian mirip
Mahesa Jenar itu mengayunkan kerisnya untuk menembus dada Pasingsingan.
Tetapi kembali Mahesa Jenar dan
kawan-kawannya dikejutkan oleh bayangan yang melontar kearah mereka yang
sedang bertempur itu. Ia adalah orang yang satu lagi, yang berpakaian
mirip Mahesa Jenar, yang tadi bertempur dengan Sima Rodra. Dengan
cekatan ia menangkap tangan kawannya yang memegang keris yang hampir
saja memusnahkan orang yang memakai kedok jelek berjubah abu-abu dan
menamakan diri Pasingsingan.
Orang itu agaknya terkejut, sehingga
pegangannya mengendor. Kesempatan ini agaknya dapat dipergunakan
Pasingsingan dengan baik. Cepat ia berusaha membebaskan diri, dan dalam
sekejap tampaklah ia seperti terbang berlari menyusup kedalam hutan.
Jubahnya yang abu-abu melambai-lambai ditiup angin malam, namun hanya
sesaat, karena sesaat kemudian ia telah lenyap ditelan lebatnya hutan.
Orang yang memegang keris, yang hampir
saja menyobek dada Pasingsingan itu memandang kawannya dengan mata yang
bertanya-tanya. Rupa-rupanya ia menjadi sangat kecewa. Katanya Kakang, “kenapa kakang menahan aku pada saat Pasingsingan sudah diambang maut?”
Kawan orang itu menarik nafas panjang.
Perlahan-lahan ia melangkah menjauh. Matanya yang sayu dilemparkan ke
arah purnama yang dengan tenangnya mengambang di langit yang bersih.
Hanya kadang-kadang saja tampak beterbangan kelelawar-kelelawar yang
sedang mencari mangsanya.
“Adi..”. terdengarlah orang itu berkata, “Entahlah apa sebabnya, aku tidak dapat membiarkan Pasingsingan itu terbunuh. Mungkin masanya memang belum sampai.”
“Masihkah Kakang ingin melihat kejahatan-kejahatan berikutnya yang akan dilakukan oleh Pasingsingan?” desak yang lain.
“Tentu tidak, Adi,” jawabnya. “Tetapi
apakah kata bapa guru nanti atas kematian Pasingsingan. Sebab
bagaimanapun juga ia adalah muridnya pula. Apalagi sebenarnya letak
kesalahan yang menyebabkan segala kejadian ini, adalah aku sendiri.
Kalau terjadi kejahatan-kejahatan, maka sebenarnya semuanya itu
bersumber pada diriku. Bersumber pada pemuasan nafsu yang tiada mengenal
batas. Karena itulah maka hukuman yang sepantasnya adalah dibebankan
kepadaku.”
“Kau terlalu perasa, Kakang. Kalau
suatu kota tenggelam dilanda banjir, bukanlah mata air yang harus
memikul beban kesalahannya? Sebab dari mata air itulah sawah-sawah
mendapat air, serta kepentingan-kepentingan lain yang berguna. Meskipun
karena mata air itu dapat timbul banjir. Tetapi perkembangannya telah
melampaui beberapa tingkatan yang tidak ada hubungannya. Air yang
mengalir ke lautan menjadi mendung dan kemudian hujan lebat. Barulah
terjadi banjir. Untuk mencegah banjir itu haruskah orang-orang menutup
segenap mata air? Seperti Kakang merasa bersalah kalau Pasingsingan
berbuat kejahatan-kejahatan?”
Orang yang lain itu sama sekali tak
menjawab. Perlahan-lahan tampak orang itu mengangguk-anggukkan kepala.
Tetapi pandangannya masih melekat pada bulan di langit.
“Kakang..”. orang yang satu melanjutkan,
“Aku persilahkan Kakang melenyapkan perasaan itu. Perasaan yang
menyalahkan diri tanpa batas. Suatu pengakuan yang demikian tidak akan
menguntungkan. Bagi Kakang, bagi orang lain dan bagi bebrayan agung.”
“Sudahlah Adi,” potong yang lain. Nada suaranya jauh dan dalam.
“Aku tahu akan perasaanmu. Suatu rasa kesetiaan dan kecintaanmu kepada
saudara tua. Namun barangkali aku masih menunggu sampai guru memberikan
ijinnya.”
Mahesa Jenar mendengarkan percakapan itu
dengan saksama. Kecuali dirinya tak seorang pun yang mengerti siapakah
kedua orang itu. Tetapi bagi Mahesa Jenar, percakapan mereka cukup
memberi penjelasan, siapakah mereka berdua. Karena itu segera ia berlari
dan berjongkok di hadapan mereka. Keempat kawan-kawannya, meskipun
tidak dapat mengerti siapakah mereka itu, namun sebagai ucapan terima
kasih, mereka segera menirukan perbuatan Mahesa Jenar.
“Paman…,” kata Mahesa Jenar, “Perkenankanlah aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas pertolongan Paman Paniling dan Paman Darba.”
Kedua orang itu, yang memang sebenarnya
adalah Paniling dan Darba, menjadi agak terkejut mendengar nama-nama
mereka disebut oleh Mahesa Jenar. Maka terdengarlah Darba tertawa
pendek. “Dari mana kau tahu tentang kami? Adakah warna-warna yang tersaput di wajah kami telah terhapus?”
“Aku telah mengenal paman berdua,” jawab Mahesa Jenar, “baik suara Paman yang sebenarnya itu, maupun persoalan-persoalan yang Paman perbincangkan”
“Memang otakmu cemerlang seperti matahari musim kemarau” sahut Darba sambil tertawa kembali. “Bukankah begitu kakang?”
Paniling mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku
sudah mengira kalau kau akan berbuat itu. Mengintip musyawarah
orang-orang dari golongan hitam. Sadar atau tidak sadar, kau telah
bermain-main api kembali. Karena itulah kami datang kemari. Beberapa
waktu yang lampau aku telah memperingatkan agar kau berhati-hati
menghadapi orang-orang dari golongan hitam itu. Hampir saja kau binasa
pada saat kau dikerubut oleh tokoh-tokoh hitam itu. Sekarang kau masuk
ke dalam bahaya yang lebih besar lagi, dimana hadir Sima Rodra tua dan
Pasingsingan.”
Mahesa Jenar sama sekali tidak menjawab. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Pamanmu Paniling terlalu hati-hati, Mahesa Jenar,” sahut Darba.
“Mungkin karena umurnya yang telah lanjut. Tetapi kira-kira pada saat mudanya melebihimu.”
“Mungkin,” potong Paniling sambil tersenyum, “Memang anak-anak muda senang menyerempet-menyerempet bahaya.”
“Dan karena itulah mereka mencapai kemajuan-kemajuan,” sambung Darba, “Karena
dengan pengalaman-pengalaman mereka, masa depan seakan-akan telah
diratakan. Sedang bagi mereka yang tidak berani menempuh bahaya, tak
sesuatu apapun yang akan bisa dicapainya.”
“Meskipun demikian…” jawab Paniling, “Segala
sesuatu wajib diperhitungkan. Kalau kita berani menempuh bahaya, bukan
berarti kita harus bunuh diri. Mahesa Jenar, kami datang kemari karena
kami mencemaskan kau. Tetapi Adi Darba mengusulkan supaya kami membuat
permainan ini dengan berpakaian mirip pakaianmu. Sebab kami tahu bahwa
kau tidak pernah berganti pakaian kecuali kalau pakaianmu satu-satunya
itu sedang kau cuci.”
Semua yang mendengar kata-kata Paniling
itu tersenyum. Mahesa Jenar menjadi agak malu. Memang, ia sama sekali
tidak mempunyai pakaian lain selain yang dipakainya. Kalau pakaian itu
dicuci, terpaksa ia menunggu sampai kering.
“Maksudku…” sahut Darba, “Salah
seorang diantara kami yang mungkin dapat berbuat sesuatu mewakilimu.
Dengan demikian tak seorang pun berani merendahkan kau lagi. Tetapi
ternyata kau datang berlima, sehingga kami agak menemui kesulitan.
Untunglah bahwa kami menemukan suatu cara untuk bermain-main dengan
Pasingsingan. Sayang, Kakang Paniling menahan kerisku yang sudah melekat
di dada Pasingsingan itu.”
“Sudahlah Adi Darba” potong Paniling, “aku minta maaf kalau aku membuat kau kecewa. Sekarang yang penting adalah usaha untuk menemukan kembali keris yang hilang itu.”
“Mahesa Jenar…” sambung Paniling, “Apakah kau tidak memperkenalkan sahabat-sahabatmu itu kepadaku?”
Mendengar pertanyaan Paniling, Mahesa
Jenar seakan-akan disadarkan dari kekhilafannya. Segera ia mulai
memperkenalkan satu persatu sahabat-sahabatnya yang telah bersama-sama
melakukan suatu pekerjaan yang berbahaya. Dan kepada sahabat-sahabatnya,
Mahesa Jenar memperkenalkan Paniling dan Darba sebagai dua orang petani
yang sakti, yang telah menolong jiwanya untuk kedua kalinya. Namun sama
sekali tidak disinggung-singgungnya bahwa Paniling itulah yang dahulu
pernah mengenakan jubah abu-abu dan kedok yang kasar, dan yang menamakan
diri Pasingsingan.
Setelah mereka saling memperkenalkan diri, maka berkatalah Paniling, “Mahesa
Jenar, aku kira kerjaku untuk kali ini sudah selesai. Aku dan pamanmu
Darba akan segera kembali. Tetapi pesanku, janganlah terlalu lama anak
pungutmu kau tinggalkan. Sebab bagaimanapun juga, banyaklah bahaya yang
mengancam anak itu.”
Kembali Mahesa Jenar seperti orang yang
tersadar dari mimpi. Segera ia ingat kepada Arya, anak yang sampai
sekarang masih menjadi buruan pamannya sendiri. Karena itu tiba-tiba
hatinya menjadi tidak tenteram. Meskipun Arya kini telah berada di
tempat yang jauh, namun mungkin saja orang-orang Lembu Sora akan sampai
ke sana.
Maka setelah Paniling dan Darba pergi
meninggalkan mereka, segera mereka mengadakan pembicaraan tentang
pekerjaan-pekerjaan apa yang harus dilakukan oleh mereka masing-masing.
Gajah Alit dan Paningron harus segera
kembali ke Demak untuk melaporkan segala kejadian di tepi Rawa Pening
itu. Melaporkan tentang kebenaran laporan mengenai adanya golongan hitam
yang kuat dan berbahaya bagi ketenteraman negara. Dengan manyaksikan
serta mengalami sendiri, Paningron serta Gajah Alit harus percaya, bahwa
orang yang bernama Pasingsingan dan Sima Rodra, tetua dari golongan
hitam, termasuk orang yang tak dapat diabaikan, meskipun jumlah
orang-orang yang demikian itu tidak banyak.
Demikianlah maka segera Paningron dan
Gajah Alit mohon diri. Mahesa Jenar melepaskan mereka berdua dengan
pesan agar untuk sementara dirinya jangan tersinggung-singgung pula
dalam laporan mereka, sebab ia masih belum mempunyai keinginan untuk
kembali ke Demak sebelum Nagasasra dan Sabuk Inten diketemukan. Juga
Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan itu untuk menitipkan bukti-bukti
tentang kebenaran alasan-alasan Gajah Sora, bahwa ia tidak mampu
mempertahankan kedua keris itu dari usaha-usaha golongan lain untuk
memilikinya. Bagaimanapun hebatnya Gajah Sora, yang pernah menerima
hadiah pusaka sebuah tombak yang bernama Kyai Bancak, namun menghadapi
orang-orang seperti Pasingsingan dan Sima Rodra, maka Gajah Sora tidak
lebih dari seorang anak-anak yang baru saja dapat berjalan.
Dalam pada itu Wiraraga pun minta diri
untuk kembali ke Wanakerta bersama-sama dengan Ki Dalang Mantingan.
Tetapi sebelum mereka berangkat, Mahesa Jenar minta kepada Ki Dalang
Mantingan untuk membantu mengawasi tanah perdikan Banyubiru. Dalam
kedudukannya sebagai seorang dalang maka ia akan lebih leluasa bergerak
di mana saja.
Maka setelah segala pembicaraan selesai,
berpisahanlah mereka. Masing-masing ke arah tujuan masing-masing. Gajah
Alit dan Paningron kembali ke Demak, Wiraraga dan Mantingan ke Wanakerta
lewat Banyubiru.
Sedangkan Mahesa Jenar harus segera
kembali kepada Arya Salaka yang telah beberapa hari ditinggalkan seorang
diri, dan hanya dititipkan kepada para tetangga yang baik hati.
Mengingat kata-kata Ki Paniling, hati
Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Memang sebenarnyalah
pasti Lembu Sora tetap akan berusaha untuk membunuh Arya. Sebab
sepeninggal Gajah Sora, Arya lah yang paling berhak atas tanah perdikan
Banyubiru. Sedang apabila Arya ini dilenyapkan, maka keturunan Sora
Dipayana tidak ada lain tinggal Lembu Sora seorang diri. Dengan demikian
maka Banyubiru dengan sendirinya akan jatuh ke tangan orang itu.
———-oOo———-
III
Mengingat hal itu semuanya, maka segera
Mahesa Jenar mempercepat langkahnya untuk dapat segera sampai ke rumah,
dimana Arya ditinggalkan. Di perjalanan pulang itu hati Mahesa Jenar
menjadi tidak tenteram. Ia telah menyatakan kesanggupannya kepada Gajah
Sora untuk memelihara anak itu, serta mendidiknya dan mengajarinya dalam
olah kanuragan sehingga anak itu kelak dapat menjadi orang yang
berguna.
Ketika burung-burung menyambut fajar yang
segar dalam belaian angin pagi yang bertiup halus dari pegunungan serta
melintasi lembah-lembah, Mahesa Jenar masih tetap berjalan cepat-cepat.
Seakan-akan kesegaran fajar itu tak terasa baginya. Namun meskipun
demikian, sinar matahari pagi yang memancar cerah, dapat menimbulkan
perasaan yang cerah pula. Karena itu Mahesa Jenar mempercepat
langkahnya. Karena perasaannya yang kecemasan, ia sama sekali tak
dipengaruhi oleh kelelahannya.
Demikianlah seharian Mahesa Jenar
berjalan terus. Hanya sekali dua ia berhenti untuk mencari sumber air,
apabila terasa lehernya disekat dahaga, serta kemudian untuk beberapa
saat ia menyegarkan tubuhnya dengan duduk-duduk sejenak. Hanya sejenak,
sebab ia tidak dapat membiarkan perasaannya diburu oleh kegelisahan.
Karena itu, dengan tergesa-gesa segera Mahesa Jenar melanjutkan
perjalanannya pula.
Demikian pula ketika matahari yang lelah
setelah menempuh peredarannya sehari penuh itu menjelang garis pertemuan
langit dan bumi, serta sebentar lagi seolah-olah tenggelam ditelan
garis pemisah itu. Mahesa Jenar sama sekali tidak peduli. Meskipun
perlahan-lahan, karena gelapnya malam kemudian mentakbiri bumi, Mahesa
Jenar tetap berjalan terus di bawah sinar bulan yang baru saja lewat
purnama penuh.
Maka di pertengahan malam, Mahesa Jenar
melihat cahaya pelita yang berpancaran di sebuah dusun yang kecil.
Itulah desa dimana Arya ditinggalkannya.
Melihat nyala pelita yang seolah-olah
melambai-lambai meneriakkan nama Arya Salaka, hati Mahesa Jenar menjadi
berdebar-debar. Meskipun Salaka itu bukan sanak dan bukan kadang, namun
telah dianggapnya sebagai anak sendiri. Apalagi mengingat segala
pesan-pesan dari Gajah Sora. Maka pertanggungjawaban anak itu seluruhnya
ada padanya.
Tetapi semakin dekat Mahesa Jenar dengan
desa itu, hatinya menjadi semakin gelisah. Rasa-rasanya ada sesuatu yang
tidak menyenangkan. Ia seakan-akan mendapat suatu firasat yang tidak
baik.
Demikianlah dengan gelisah dan setengah
berlari Mahesa Jenar memasuki desanya yang kecil, yang biasanya selalu
diliputi oleh suasana tenteram dan damai. Tetapi pada malam itu,
tampaklah beberapa kesibukan yang aneh. Dari jarak yang semakin dekat,
Mahesa Jenar melihat beberapa orang berjalan cepat-cepat dengan membawa
obor, dan yang lebih mengejutkan lagi mereka menuju ke sebuah gubuk
kecil di sudut desa itu. Itulah rumah yang dibangunnya, serta
ditinggalinya bersama-sama dengan Arya. Dengan berlari-lari kecil Mahesa
Jenar melintas pematang untuk segera dapat sampai ke rumahnya.
Demikian ia sampai ke ambang pintu,
demikian semua mata memandanginya dengan keheranan, seolah-olah tidak
sewajarnyalah kalau ia datang pada malam itu. Baru sesaat kemudian
seorang diantara mereka dapat menguasai dirinya, katanya, “Anakmas Mahesa Jenar, marilah…, marilah duduk dahulu.”
Hati Mahesa Jenar sama sekali tidak enak
mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang mengandung perasaan yang iba.
Apalagi ketika ia memandangi setiap wajah yang berada di dalam rumah
itu. Arya Salaka tidak ada.
Sekali lagi ia meneliti setiap orang yang
berada di dalam ruangan gubugnya, namun Arya Salaka tetap tidak tampak.
Tiba-tiba berdesirlah jantung di dalam dadanya. Dan, dengan suara yang
bergetar ia bertanya, “Di manakah anakku, Arya Salaka?”
Serentak semua mata memandang kepadanya
dengan pandangan penuh iba. Salah seorang diantaranya, setelah beberapa
lama baru dapat menjawab pertanyaan itu dengan kata yang terputus-putus.
“Angger, duduklah dahulu, nanti kami kabarkan di mana anakmu berada.”
Mendengar jawaban itu, Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah, desaknya, “Di manakah Arya Salaka?”
“Angger…” jawab yang lain, “Maafkanlah
kami sebelumnya, bahwa kami tidak dapat memenuhi harapan Angger untuk
melindungi anak itu. Baru tadi hal itu terjadi. Ketika beberapa orang
bersenjata datang ke rumah ini menjelang senja. Dengan kekerasan mereka
membawa Arya. Kami telah berusaha menggagalkan maksud mereka. Tetapi
kami adalah petani-petani yang tak berarti seperti kau juga. Karena itu
kami sama sekali tidak berdaya untuk menahannya.”
Tiba-tiba darah Mahesa Jenar menggelegak
hebat. Jantungnya berdentang menggoncangkan dada. Matanya yang sayu
karena kelelahan berubah seperti bara api.
“Duduklah Ngger,” kata yang lain pula. “Biarlah kita bicarakan bagaimana caranya untuk dapat mencari anakmu itu.”
Tetapi Mahesa Jenar sudah tidak dapat
mendengar kata-kata itu. Matanya yang membara itu sesaat beredar ke
wajah-wajah para petani kecil yang baik hati serta ramah tamah. Hanya
sesaat, sebab sekejap kemudian seperti orang kehilangan akal, Mahesa
Jenar meloncat berlari ke luar halaman.
Beberapa orang kemudian memburunya sambil berteriak-teriak, “Tunggulah Angger…, tunggulah….”
Mahesa Jenar tertegun sejenak. Ia menjadi
agak bingung, ke mana arah yang harus dianut kalau ia mau menyusul
Arya. Lalu katanya hampir berteriak, “Kemanakah anak itu dibawa?”
Beberapa orang jadi ragu-ragu, namun salah seorang menjawab pula, “Mereka pergi ke arah timur melalui jalan di sebelah desa kami itu.”
Mahesa Jenar tidak menunggu kata-kata itu
berakhir. Segera ia meloncat dan berlari kencang-kencang ke arah yang
ditunjukkan oleh tetangga-tetangganya. Lamat-lamat ia masih mendengar
orang-orang itu berteriak, “Angger, kembalilah. Mereka adalah
orang-orang perkasa dan bersenjata. Kita cari akal untuk mengambil anak
itu, tetapi jangan dengan kekerasan.”
Namun bagi Mahesa Jenar suara-suara itu
tidak lebih dari suara berdesirnya daun-daun kering yang rontok oleh
angin malam yang kencang. Karena itu justru ia mempercepat larinya
seperti orang yang kehilangan akal, semakin lama semakin cepat.
Sesaat kemudian Mahesa Jenar sampai ke
padang rumput yang luas. Di sana-sini terdapat padas. Di bawah cahaya
bulan yang hampir penuh, Mahesa Jenar dapat memandang ke arah yang agak
jauh. Tetapi matanya yang tajam tak dapat menangkap apapun kecuali
puntuk-puntuk yang seolah-olah gelembung-gelembung yang tumbuh dari
dalam tanah yang sedang mendidih. Karena itu, hatinya bertambah cemas.
Bagaimanakah keadaan Arya Salaka…? Apakah ia dibawa ke padang rumput
itu.., atau ke mana…? Dalam kebimbangan itu Mahesa Jenar mencoba
mengamat-amati tanah-tanah di sekitarnya. Kalau-kalau ia menemukan
sesuatu sebagai petunjuk. Tiba-tiba ia melihat rumput-rumput liar di
padang rumput itu rebah searah. Tampaknya jelas, bekas sesuatu yang
diseret diatas rumput itu. Hati Mahesa Jenar kemudian berdebar-debar.
Apalagi ketika kemudian ia melihat warna yang kehitam-hitaman di atas
rumput yang mewarnai jari-jarinya pula. Darah. Adakah darah ini darah
Arya Salaka? Hati Mahesa Jenar kini benar-benar mendidih. Mahesa Jenar
yakin pasti terjadi sesuatu yang tak menyenangkan atas anak itu. Maka
seperti digerakkan oleh tenaga gaib, Mahesa Jenar berlari lebih cepat
lagi, sehingga tampaknya seperti bayangan malaikat yang melayang-layang
di atas padang rumput yang luas. Ia tidak tahu, sudah berapa lama ia
berlari.
Tetapi, tiba-tiba Mahesa Jenar berhenti
berlari. Dilihatnya agak jauh di depannya sebuah bayangan yang bergerak
perlahan-lahan. Apalagi ketika dilihatnya bayangan itu adalah seorang
yang sedang mendukung sesuatu. Cepat Mahesa Jenar menyelinap ke belakang
sebuah puntuk, serta dengan hati-hati ia mendekati bayangan yang
berjalan semakin lama semakin cepat.
Ketika jarak orang itu sudah dekat serta
dapat dicapainya dengan jelas oleh matanya yang tajam, perasaan Mahesa
Jenar terlonjak hebat. Yang didukung oleh orang itu tidak lain adalah
Arya Salaka. Karena itu segera darahnya bergelora. Ia sama sekali belum
pernah mengenal orang itu. Maka segera ia mengambil kesimpulan, bahwa
orang itu adalah salah seorang yang melarikan Arya. Perasaan Mahesa
Jenar segera menghubungkan kejadian itu dengan Lembu Sora. Tidak
mustahil bahwa kejadian-kejadian ini adalah atas perintahnya.
Melihat hal itu, Mahesa Jenar tidak dapat
mengendalikan diri lagi. Seperti kilat ia meloncat dari tempat
persembunyiannya sambil berteriak, “Hai orang yang mengandalkan kejantanan diri…. Letakkan anak itu, dan marilah kita membuat perhitungan.”
Orang itu terkejut. Dengan tangkasnya ia
memutar tubuhnya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar sudah siap untuk
menyerang, perlahan-lahan anak yang di dalam dukungannya itu diletakkan.
Agaknya ia menjadi curiga pula, karena itu segera orang itu pun
mempersiapkan dirinya. Tetapi belum lagi ia bertanya sesuatu, Mahesa
Jenar sudah tidak dapat lagi menahan diri. Seperti taufan yang dahsyat,
ia segera menyerang lawannya. Namun agaknya lawannya pun bukanlah orang
yang dapat direndahkan. Dengan cepat ia berhasil menghindari serangan
Mahesa Jenar. Bahkan dalam saat yang tidak lebih dari sekejap mata, ia
sudah siap untuk membalas serangan itu.
Segera terjadilah suatu pertempuran yang
hebat. Serangan Mahesa Jenar datang seperti mengalirnya ombak yang
digerakkan oleh taufan yang dahsyat, sedang lawannya tidaklah kurang
dari batu karang yang kokoh kuat. Bahkan tidak jarang pula orang itu
berhasil mengadakan serangan-serangan balasan yang sangat berbahaya.
Tangannya dapat bergerak-gerak dengan cepat serta tak terduga. Agaknya
mereka berdua memiliki ilmu yang seimbang.
Setelah mereka bertempur beberapa saat,
ia menjadi keheran-heranan di dalam hati. Kalau orang ini orang Pamingit
sangatlah mustahil. Ia sudah dapat mengukur kekuatan Lembu Sora yang
dianggap orang terkuat di daerahnya, sedang orang ini memiliki beberapa
kelebihan, daripada kepala daerah perdikan itu. Tetapi kemungkinan yang
lain adalah Lembu Sora minta bantuan kepada orang lain dengan imbalan
yang tinggi. Sebab hal yang sedemikian tidaklah mustahil dilakukan oleh
orang itu. Mendapat pikiran yang demikian, hati Mahesa Jenar menjadi
semakin panas, karena itu serangannya menjadi semakin dahsyat pula.
Sehingga dengan demikian lawannya harus berjuang lebih keras lagi untuk
dapat menyelamatkan dirinya.
Demikianlah terjadi suatu pertempuran yang dahsyat diantara dua orang perkasa.
Tandang Mahesa Jenar semakin lama semakin
garang, terdorong oleh suatu perasaan bertanggung jawab terhadap Arya,
yang berarti terhadap masa depan Banyubiru. Tetapi lawannya pun menjadi
semakin garang pula.
Mereka saling menghantam, saling
menyerang dengan hebatnya. Ketika Mahesa Jenar mendapat kesempatan,
dengan segenap kekuatannya tangannya menghantam dada lawannya. Demikian
kerasnya sehingga lawannya terdorong beberapa langkah dan kemundian
jatuh terlentang. Mahesa Jenar tidak mau kehilangan kesempatan. Cepat ia
meloncati lawannya yang belum sempat bangun. Tetapi tiba-tiba terasa
perutnya muak sekali, dan dengan kerasnya ia terlempar. Agaknya perutnya
telah terkena dengan kerasnya tendangan lawannya. Untuk beberapa saat
Mahesa Jenar kehilangan keseimbangan. Ketika ia telah berhasil berdiri
tegak kembali, sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang kanannya,
kembali ia terdorong ke belakang sampai punggungnya melekat pada sebuah
puntuk padas. Lawannya dengan cepat memburunya, dan sebuah pukulan
tangan kiri melayang dengan kerasnya. Mahesa Jenar tidak mau rahang
kirinya dikenai pula. Cepat ia memutar tubuhnya sambil merendahkan
dirinya. Tangan kiri lawannya itu berdesing dengan kerasnya disertai
dengan sambaran angin yang mengejutkan. Pada saat itulah kaki Mahesa
Jenar melayang ke lambung orang itu. Terdengarlah sebuah keluhan
tertahan, dan orang itu terlempar beberapa langkah. Cepat ia melangkah
maju dan beberapa kali tangannya berhasil menghantam lawannya sehingga
lawannya itu jatuh berguling. Melihat lawannya jatuh, Mahesa Jenar
segera meloncat maju. Tetapi langkahnya segera terhenti ketika dengan
lincahnya pula orang itu telah menyerang kembali ke arah dadanya. Dengan
tangkas Mahesa Jenar membalas ke arah pelipisnya. Tetapi orang itu pun
tidak mau dikenai pukulan Mahesa Jenar. Cepat ia merendahkan diri, dan
sebuah hantaman yang kuat tepat mengenai perut Mahesa Jenar. Sekali lagi
perut itu terasa muak dan seolah-olah isinya bergelut di dalamnya.
Untunglah Mahesa Jenar telah mengalami masa penggemblengan baik
jasmaniah maupun rohaniah, sehingga dengan memusatkan segala tenaganya
tetap tegak. Ketika lawannya sekali lagi akan mengulangi serangannya,
Mahesa Jenar berhasil mendahului dengan sebuah tendangan yang dahsyat
mengenai wajah orang itu, sehingga orang itu terlempar beberapa langkah.
Namun demikian ia terjatuh, demikian ia berusaha untuk tegak kembali.
Dari sudut bibirnya melelehlah cairan berwarna merah. Darah. Ketika
tangannya mengusap darah itu, serta dirasanya cairan yang hangat, maka
orang itu menjadi marah sekali. Matanya segera menyala seperti api.
Bibirnya tampak bergetar-getar namun tak sepatah kata yang terdengar.
Tiba-tiba dari wajahnya yang membara itu memancar perasaan dendam tiada
taranya. Cepat orang itu menjulur lurus ke depan. Melihat sikap itu,
Mahesa Jenar terkejut. Ia pernah mendengar dari gurunya tentang sikap
yang demikian. Suatu sikap pemusatan pikiran dan perasaan untuk
memancarkan suatu ilmu yang dahsyat.
Tetapi Mahesa Jenar sama sekali tidak
sempat untuk mengingat-ingat lebih lama lagi, sebab apabila ia terlambat
menjaga diri, maka akibatnya tidak dapat dibayangkan. Karena itu
cepat-cepat ia memusatkan segala tenaga lahir dan batin, mengatur
peredaran pernafasannya. Satu kakinya diangkat dan ditekuk ke depan,
sedang sebelah tangan menyilang dada, dan yang satu lagi diangkatnya
tinggi-tinggi. Peristiwa seterusnya, hanya terjadi dalam sekejap. Lawan
Mahesa Jenar itu meloncat maju, dan dengan telapak tangannya ia
menghantam dahsyat sekali. Tetapi pada saat itu Mahesa Jenar telah
mengayunkan tangannya pula, sehingga berbenturanlah sisi telapak
tangannya dengan telapak tangan lawannya.
Terjadilah suatu benturan yang tidak
terkira dahsyatnya. Suaranya berdentam seperti sebuah ledakan. Dan
akibatnya pun hebat pula. Kedua-duanya terlempar beberapa langkah surut,
dan kemudian mereka jatuh terguling untuk kemudian beberapa saat
pandangan mereka menjadi gelap, dan hilanglah kesadaran mereka.
Pada saat itu pecahlah fajar di langit.
Warna yang kemerah-merahan membayang di ujung timur, diantar oleh kokok
ayam hutan saling bersahutan. Angin pagi yang segar berhembus silir
menggerakkan batang-batang ilalang yang seolah-olah menari kegirangan
menyambut datangnya pagi yang segar.
Dalam kesegaran angin pagi itu, dari arah
timur berlarilah seekor kuda tidak terlalu cepat. Penunggangnya yang
berwajah tampan, beberapa kali selalu mengamat-amati jalan yang akan
dilewati. Agaknya ia sedang menuruti jejak dari seekor kuda. Dalam
cahaya fajar, rupa-rupanya penunggang kuda itu harus memperhatikan
bekas-bekas itu dengan saksama. Tetapi arahnya adalah tepat kepada dua
orang yang masih terbaring tak sadarkan diri.
telah semakin dekat, dan ketika
tiba-tiba matanya yang bercahaya itu melihat kedua orang yang terbaring
tak bergerak, maka ia menjadi sangat terkejut. Cepat ia meloncat turun
mengamat-amati lawan Mahesa Jenar. Dengan wajah yang cemas, ia
meraba-raba dada orang itu, menggerak-gerakkan tangannya dan
mengendorkan ikat pinggang kulit yang melilit di perutnya. Setelah itu
perlahan-lahan ia mendekati Mahesa Jenar. Alangkah terkejutnya ia, pada
saat ia melihat siapakah yang terbaring pingsan itu, sehingga
terloncatlah suaranya yang lunak halus, “Kakang Mahesa Jenar….” Setelah
itu ia menjadi kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Apalagi ketika ia sadar bahwa pasti telah terjadi pertempuran diantara
mereka berdua.

Mendengar suara orang ketiga yang halus,
Mahesa Jenar terkejut bercampur heran. Pandangannya bergerak-gerak
berganti-ganti ke arah kedua orang yang berada di hadapannya.
Dalam cahaya matahari pagi yang sudah
semakin jelas, Mahesa Jenar dapat melihat kedua-duanya dengan terang.
Yang seorang adalah seorang laki-laki yang perkasa, bertubuh tegap
kekar, berwajah cakap, serta berpakaian bagus. Beberapa macam perhiasan
melekat pada pakaiannya yang sudah menjadi kotor.
Tetapi yang paling menggetarkan adalah
orang yang satu lagi. Meskipun orang itu berpakaian sederhana, tetapi
dari wajahnya memancar cahaya yang menyilaukan mata Mahesa Jenar. Ketika
orang itu menyapanya, darah Mahesa Jenar serasa berdesir lebih cepat. “Kakang Mahesa Jenar, apakah yang telah menyebabkan Kakang bertengkar dengan Kakang Sarayuda?”
Mendengar pertanyaan itu, Mahesa Jenar
menundukkan kepalanya. Melihat wajah orang yang disebut Sarayuda itu,
tiba-tiba Mahesa Jenar meragukan tuduhannya, bahwa orang itu telah
menjadi suruhan Lembu Sora untuk membunuh Arya.
Karena Mahesa Jenar beberapa lama tidak menjawab, maka terdengarlah suara Sarayuda, masih dengan nada kemarahan, “Kau kenal dia, Pudak Wangi…?”
Orang yang dipanggil Pudak Wangi itu menganggukkan kepalanya, jawabnya, “Ya, aku kenal orang itu Kakang, seperti aku mengenal Kakang Sarayuda”
Mendengar jawaban Pudak Wangi, Sarayuda bertambah tidak senang. Katanya, “Di mana dan kapan kau kenal dia?”
Pudak Wangi tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Kakang, marilah Kakang Mahesa Jenar aku perkenalkan dengan Kakang Sarayuda.”
Mendengar ajakan Pudak Wangi, perasaan
Mahesa Jenar menjadi bertanya-tanya. Apakah hubungan antara Pudak Wangi
dengan Sarayuda…? Sebaliknya Sarayuda yang masih dipengaruhi oleh
kemarahannya, menjadi agak bingung.
Agaknya Pudak Wangi merasakan kekakuan suasana, maka ia menjelaskan, “Kakang Mahesa Jenar.., Kakang Sarayuda adalah murid Eyang Pandan Alas.”
Mendengar keterangan itu, hati Mahesa
Jenar berdebar tak keruan. Kalau demikian ia telah berbuat suatu
kesalahan. Mustahillah kalau murid Pandan Alas telah berbuat suatu
kejahatan. Perlahan-lahan matanya beredar ke arah Arya terbaring, dan
perlahan-lahan didekatinya anak itu. Anak tempat menumpahkan segala
harapan masa depannya, karena ia sendiri sampai saat itu belum mempunyai
gambaran sesuatu tentang kelanjutan dari perguruannya, maka ia telah
berbuat suatu kesalahan. Sambil meraba-raba tubuh Arya, Mahesa Jenar
mengangguk hormat kepada Sarayuda, katanya, “Barangkali aku telah berbuat kesalahan. Karena itu aku minta maaf sebesar-besarnya. Aku adalah Mahesa Jenar, murid dari Almarhum Kyai Ageng Pengging Sepuh.”
Mendengar pengakuan Mahesa Jenar,
Sarayuda menjadi terkejut pula, disamping pertanyaan-pertanyaan yang
bergelut di dalam dadanya.
Kalau orang itu murid Almarhum Kyai Ageng
Pengging Sepuh seperti yang pernah didengar dari gurunya, lalu apakah
sebabnya ia demikian saja menyerangnya tanpa sebab? Tetapi, belum lagi
Sarayuda bertanya, terdengar Mahesa Jenar melanjutkan, “Tuan…
sebenarnya aku tadi telah meraba-raba. Menilik sikap Tuan, pastilah Tuan
ada hubungannya dengan salah seorang sahabat almarhum guruku. Tetapi
aku sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengingat-ingat. Baru
kemudian setelah Adi Pudak Wangi mengatakan bahwa Tuan adalah murid Ki
Ageng Pandan Alas, aku jadi teringat kepada ceritera guruku, bahwa sikap
yang demikian tadi adalah sikap khusus perguruan Ki Ageng Pandan Alas
dengan sebutan Aji Cunda Manik.”
Wajah Sarayuda kini telah mengendor, namun matanya masih mengandung bermacam-macam pertanyaan. Katanya, “Aku
pun kemudian tahu pula, bahwa Tuan telah melawan Aji Cunda Manik dengan
aji yang terkenal, Sasra Birawa. Untunglah bahwa aku tidak lumat
karenanya.”
“Ah, jangan merendahkan diri Tuan,” sahut Mahesa Jenar.” Cunda Manik adalah suatu kekuatan yang tiada taranya.”
“Tetapi,” bertanya Sarayuda kemudian, “apakah sebabnya Tuan menyerang aku tanpa sebab, sedang aku lagi berusaha menyelamatkan jiwa anak itu?”.
Tiba-tiba wajah Mahesa Jenar jadi pucat. Maka dengan gugup ia bertanya, “Tuan sedang berusaha menyelamatkan jiwa anak ini?”
“Demikianlah,” jawab Sarayuda. “Ketika
aku sedang menikmati kesejukan malam di padang ilalang ini, aku
mendengar jerit anak itu. Ketika aku mendekatinya, maka aku melihat
seorang anak sedang diseret dan disiksa oleh tiga orang yang tak
mengenal perikemanusiaan. Akhirnya aku terpaksa membunuh ketiga orang
yang tidak mau mendengarkan peringatanku. Bahkan mereka telah mencoba
untuk membunuh anak yang sudah pingsan itu.”
Mendengar ceritera itu, Mahesa Jenar menjadi semakin pucat. Katanya, “Kalau
demikian, Tuanlah yang telah menyelamatkan jiwa anak itu? Kalau
demikian maka dengan menyerang Tuan, aku telah berbuat kesalahan yang
berlipat-lipat. Sebab aku mengira bahwa Tuan telah mengambil anakku itu
dari rumahku.”
Sarayuda mengangguk-anggukkan kepala.
Sekarang ia sedikit banyak telah dapat mengetahui duduk perkaranya,
kenapa Mahesa Jenar langsung menyerangnya pada saat ia sedang mendukung
anak yang pingsan itu.
“Agaknya Tuan telah salah sangka,” katanya.
Mahesa Jenar menjawab lirih, “Benar Tuan, aku terlalu tergesa-gesa, karena kecemasan akan nasib anakku.”
“Siapakah anak itu?” tanya Pudak Wangi, yang memperhatikan percakapan kedua orang itu dengan saksama.
“Arya Salaka,” jawab Mahesa Jenar. “Ia adalah putra Kakang Gajah Sora, kepala perdikan Banyubiru, yang juga cucu Paman Sora Dipayana.”
“Aku pernah mendengar nama itu dari Bapa Pandan Alas,” sahut Sarayuda, “dan untunglah bahwa aku telah menjumpai orang-orang yang mencoba mengganggunya.”
Kemudian Mahesa Jenar menceriterakan
segala sesuatu yang telah terjadi atas Arya, dan suatu kebetulan yang
tak disangka-sangka bahwa kemudian ia bertemu dengan murid Ki Ageng
Pandan Alas, Sarayuda dan Pudak Wangi mendengarkan kata-kata Mahesa
Jenar itu dengan seksama.
Sampai akhirnya Mahesa Jenar berkata, “Aku
minta maaf, Tuan, bahwa aku telah menyerang Tuan. Untunglah bahwa Tuan
adalah seorang perkasa. Kalau sampai terjadi sesuatu atas diri Tuan maka
aku akan menanggung dosa yang tiada taranya.”
Sarayuda tersenyum hambar. Bagaimanapun
juga ia masih agak jengkel kepada Mahesa Jenar. Tetapi mendengar
keterangan Mahesa Jenar, ia dapat mengerti sepenuhnya, perasaan apakah
yang mendorongnya sehingga ia berbuat demikian.
Kemudian atas persetujuan mereka bersama,
Arya segera didukung oleh Pudak Wangi di atas kudanya, dan segera
dilarikan ke tempat pemondokannya, untuk segera mendapat perawatan yang
lebih baik. Sedang Sarayuda dan Mahesa Jenar segera berjalan
menyusulnya, meskipun kemudian mereka terpaksa kembali dengan membawa
alat-alat untuk mengubur orang-orang yang terbunuh oleh Sarayuda.
Mereka pergi ke sebuah bukit, dimana Ki
Ageng Pandan Alas membangun sebuah gubug sebagai tempat peristirahatan.
Di sebelahnya terbentang sebuah tanah pategalan yang luas, milik
orang-orang padepokan di bukit itu pula. Sebagai seorang yang sedang
melakukan tugas yang diliputi oleh rahasia, maka Ki Ageng Pandan Alas
pun merahasiakan diri pula. Di padepokan itu Ki Ageng Pandan Alas pun
merahasiakan diri. Di padepokan itu Ki Ageng Pandan Alas diterima
sebagai seorang penduduk yang baik hati beserta cucunya seorang pemuda
pemalu yang tidak pernah keluar dari gubugnya.
Hanya kadang-kadang Ki Ageng Pandan Alas
yang menamakan dirinya Ki Punjung, pergi beberapa hari untuk mendapatkan
keterangan tentang keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Namun sampai
beberapa minggu kedua keris itu masih diliputi oleh takbir kegelapan.
Sedang apabila Ki Ageng Pandan Alas
berada di rumah, maka hampir setiap saat, siang dan malam, ia membentuk
Pudak Wangi yang sebenarnya adalah Rara Wilis, untuk menjadi seorang
yang berilmu. Ia ingin merebut kembali ayah Rara Wilis dari dunia
kejahatan dengan mempergunakan keperwiraan Rara Wilis yang diharapkan
dapat menandingi ibu tirinya, anak Sima Rodra tua dari Lodaya.
Dalam pondok itulah Rara Wilis mengalami penggemblengan.
Beberapa lama kemudian, datanglah seorang
pemuda dari Gunung Kidul. Sarayuda, yang pada masa kanak-kanaknya
menjadi kawan bermain Rara Wilis. Pemuda itu adalah murid Ki Ageng
Pandan Alas. Ketika masa berguru sudah cukup, maka beberapa lama
Sarayuda diajaknya merantau untuk mendapat pengalaman. Setelah beberapa
lama kemudian, disuruhnya Sarayuda kembali ke Gunung Kidul untuk
menerima warisan orang tuanya, yaitu kedudukan sebagai Demang di Gunung
Kidul. Pada saat Rara Wilis menjadi dewasa, Sarayuda merasa bahwa
persahabatannya dengan Rara Wilis telah mengalami perubahan. Perasaannya
sebagai pemuda kadang-kadang tersentuh-sentuh dengan tajamnya. Tetapi
belum lagi Sarayuda mengatakan sesuatu, terjadilah malapetaka yang
menimpa Rara Wilis. Ibunya meninggal dunia. Terpaksa ia menyabarkan diri
untuk beberapa saat, sehingga masa berkabung itu lampau. Tetapi tanpa
diduganya, pada suatu hari Rara Wilis pergi meninggalkan Gunung Kidul.
Tak seorang pun yang mengetahui ke mana arah tujuannya. Meskipun
Sarayuda telah memerintahkan beberapa orang untuk mencarinya, namun
selalu sia-sia saja.
Karena itu, untuk memenuhi tuntutan
perasaannya yang tak dapat dibendung lagi, maka pada suatu hari Sarayuda
sendirilah yang pergi untuk menemukan Rara Wilis. Karena Sarayuda
memiliki pengalaman yang cukup, maka meskipun dengan susah payah,
bertanya kesana-kemari, akhirnya ia mendapatkan beberapa keterangan yang
meskipun samar-samar tentang seorang gadis yang berjalan seorang diri.
Tetapi untuk beberapa lama ia kehilangan jejak. Ia telah mencoba mencari
Ki Ageng Pandan Alas ke Pliridan, Wanasaba, dan ke tempat-tempat yang
pernah dikunjunginya dahulu. Namun Ki Ageng Pandan Alas tidak dapat
ditemuinya. Ia yakin bahwa Ki Ageng Pandan Alas tidak akan membiarkan
cucunya itu merantau tanpa tujuan. Pada suatu saat pasti Rara Wilis akan
berada bersama-sama dengan Ki Ageng Pandan Alas. Pada suatu saat di
lereng Gunung Sumbing, pada saat ia sedang beristirahat di sebuah goa
yang pernah dikunjungi bersama dengan gurunya, datanglah seorang yang
juga akan berteduh di tempat itu. Dan ternyata, orang itulah Ki Ageng
Pandan Alas. Betapa girang hati Sarayuda bertemu dengan gurunya tanpa
disangka-sangka. Seterusnya Sarayuda menyertai Ki Ageng Pandan Alas,
kembali ke pondoknya, ke tempat ia meninggalkan Rara Wilis yang telah
berubah menjadi Pudak Wangi. Namun bagaimanapun bagi Sarayuda, baik Rara
Wilis maupun Pudak Wangi sama sekali tidak ada bedanya.
Maka untuk beberapa lama Sarayuda tinggal
bersama-sama dengan Ki Ageng Pandan Alas dan Pudak Wangi, untuk
mendapat kesempatan pada suatu saat melahirkan perasaannya kepada Rara
Wilis.
Pada malam itu, ketika udara malam yang
sejuk membelai gubug kecil tempat tinggal Ki Ageng Pandan Alas bersama
muridnya, Sarayuda tiba-tiba ingin melihat-lihat keadaan sekeliling
bukit kecil itu. Maka segera ia menyiapkan kudanya, dan perlahan-lahan
dinaikinya kuda itu tanpa tujuan.
Tiba-tiba ketika kudanya sampai di padang
terbuka, Sarayuda mendengar sayup-sayup jerit seseorang. Cepat-cepat ia
memacu kudanya ke arah suara itu. Dan yang dilihatnya adalah seorang
anak yang diseret oleh tiga orang yang agaknya sama sekali tidak
berperikemanusiaan. Sarayuda mencoba untuk mencegah serta bertanya
tentang anak itu, apakah sebab-musababnya. Tetapi sama sekali ia tidak
mendapat jawaban. Malahan ketiga orang itu menyerangnya bersama-sama.
Maka tidak ada jalan lain, kecuali melawannya. Malahan akhirnya ketiga
orang itu binasa. Ketika kemudian ia mengangkat anak itu, dan akan
dibawanya kembali, kudanya telah berlari mendahului. Kemudian tanpa
diduga-duganya datanglah Mahesa Jenar menyerangnya, sehingga mereka
harus bertempur hampir separuh malam.
Kuda yang telah beberapa hari tinggal di
rumah Ki Ageng Pandan Alas itu ternyata dapat menemukan jalan. Agaknya
ia ketakutan dan terkejut ketika Sarayuda bertempur melawan tiga orang
lawannya. Pudak Wangi yang mengetahui bahwa kuda itu pulang tanpa
penumpang menjadi agak cemas. Karena itu ia berusaha untuk mencarinya
dengan menuruti jejak kudanya. Sehingga akhirnya dijumpainya Sarayuda
dan Mahesa Jenar bersama-sama pingsan. Untunglah bahwa Pudak Wangi tidak
terlambat, sehingga tidak terlanjur terjadi sesuatu.
Di rumah Ki Ageng Pandan Alas, Arya
mendapat perawatan yang baik, sehingga dalam waktu yang singkat
tampaklah bahwa tidak terlanjur terjadi sesuatu, baik Mahesa Jenar
maupun Sarayuda.
Ternyata bahwa Ki Ageng Pandan Alas
mempunyai cukup pengetahuan pula dalam hal obat-obatan. Meskipun tidak
begitu sempurna, namun karena usianya yang telah lanjut serta pengalaman
yang luas, maka banyak pula dedaunan dan akar-akar yang membuat
kesehatannya telah hampir pulih kembali.
Atas permintaan Pandan Alas pula, maka
Mahesa Jenar untuk beberapa lama tinggal di rumah itu sambil menunggu
Arya Salaka sampai benar-benar sembuh.
Dalam waktu yang singkat itu, timbullah
rasa persahabatan yang erat antara Mahesa Jenar dengan Sarayuda yang
usianya hampir sebaya. Sarayuda mengagumi Mahesa Jenar sebagai seorang
yang cerdas, bersikap dewasa serta banyak mempunyai ceritera-ceritera
tentang kepahlawanan yang menarik. Sedang terhadap Sarayuda, Mahesa
Jenar merasa berhutang budi yang tiada taranya. Juga karena sikap
Sarayuda yang berterus terang, yang memancar dari lubuk hati tanpa
pamrih.
Tetapi disamping itu, disamping perasaan
yang bahagia, karena Arya telah terselamatkan, dan karena ia
berkesempatan bertemu dengan Ki Ageng Pandan Alas dan bersahabat dengan
muridnya, namun ada pula perasaan lain yang menusuk-nusuk dada Mahesa
Jenar. Pertemuannya dengan Pudak Wangi pada kesempatan yang sama sekali
tak diduganya itu, telah menimbulkan kenangan pada segenap
peristiwa-peristiwa yang lalu, pada saat pertemuannya yang mula-mula
sekali di hutan Tambak Baya. Suatu perasaan yang berbahagia pada saat ia
dapat menyelamatkan gadis itu dari tangan Jaka Soka. Tetapi juga suatu
kenangan yang seram, pada saat gadis itu hilang. Hampir saja ia membunuh
orang yang sama sekali tak bersalah. Mengingat hal-hal itu Mahesa Jenar
tersenyum sendiri.
Beberapa saat kemudian, Ki Ageng Pandan
Alas sengaja mempertemukannya dengan seorang pemuda baru yang bernama
Pudak Wangi di Banyubiru.
Semuanya itu telah membuat Mahesa Jenar
selalu diganggu oleh kenangan yang susul-menyusul, yang setiap kali
terasa menggores jantungnya, serta meninggalkan bekas luka yang pedih.
Apalagi sekarang, pemuda yang bernama
Pudak Wangi itu selalu berada di sekitarnya. Karena itu maka hatinya
tidak pernah merasa tenteram. Bagaimanapun ia mencoba melupakan
bayangan-bayangan yang selalu mengejarnya, serta bagaimanapun juga ia
mencoba menasehati dirinya, bahwa yang berada di rumah itu adalah
seorang pemuda, namun ia tidak dapat membohongi diri, tidak dapat
mencabut kembali pengertiannya, bahwa Pudak Wangi itu adalah Rara Wilis.
Kadang-kadang Mahesa Jenar menjadi jengkel kepada dirinya sendiri.
Kalau demikian maka untuk mengisi waktunya, supaya tidak selalu diganggu
oleh perasaan-perasaan itu, Mahesa Jenar sering pergi berburu seorang
diri, sebab Arya masih belum kuat benar untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang agak berat. Dengan busur yang dapat dipinjamnya
dari Pudak Wangi, Mahesa Jenar sering melakukan perburuan.
———-oOo———-
IV
Demikianlah pada suatu malam yang gelap,
Mahesa Jenar telah mempersiapkan busur serta anak-panahnya. Kali ini ia
ingin mendapatkan harimau. Sengaja ia tidak mengajak Sarayuda, supaya ia
dapat berbuat sesuka hati tanpa ada yang mengganggunya.
Setelah ia minta diri kepada Arya, serta
menyanggupinya untuk membawakan kulit harimau yang besar, maka
berangkatlah Mahesa Jenar ke padang ilalang yang diseling-seling dengan
semak-semak. Di tempat-tempat itulah biasanya berkeliaran
harimau-harimau yang sedang mencari mangsa.
Angin malam yang bertiup lewat
perbukitan, mengantarkan hawa yang segar. Di langit yang biru gelap,
bintang-bintang bergantungan dengan riangnya. Beberapa kali
lembaran-lembaran mega yang putih terapung-apung lewat, seperti
rakit-rakit berkeliaran di danau yang luas.
Sekali dua kali Mahesa Jenar memandang ke
arah langit yang terbentang di atas kepalanya. Alangkah luasnya. Dengan
memandang ke arah langit serta benda-benda angkasa yang tiada taranya
itu, terasa betapa kecilnya manusia ini. Tidak lebih dari satu titik
pada sebuah bidang seluas kerajaan Demak. Apalagi kalau kita hadapkan
hati kita kepada Sang Pencipta. Maka manusia itu benar-benar sama sekali
tak berarti.
Ketika Mahesa Jenar sedang mengagumi
keperkasaan alam, tiba-tiba terdengarlah oleh telinganya yang sangat
tajam itu, langkah orang mengikutinya. Dengan hati-hati sekali Mahesa
Jenar memperhatikan langkah itu dengan saksama. Sampai akhirnya dengan
gerakan yang cepat sekali Mahesa Jenar menghentikan langkahnya serta
membalikkan diri. Tetapi demikian ia menghadap orang yang mengikutinya
itu, debar dadanya berubah menjadi suatu perasaan heran. Sebab yang
berdiri di hadapannya adalah Pudak Wangi.
Untuk sesaat mereka saling berdiam diri.
Pudak Wangi menundukkan wajahnya, sedang jari-jarinya bermain-main pada
ujung bajunya. Baru beberapa lama kemudian Mahesa Jenar dengan agak
tergagap bertanya, “Akan ke manakah Adi Pudak Wangi malam-malam begini?”
Pudak Wangi tidak segera menyahut. Kemudian ia bertanya, “Bukankah Kakang Mahesa Jenar hendak berburu?”
Mahesa Jenar mengangguk mengiyakan.
“Kalau demikian aku akan pergi berburu pula,” lanjut Pudak Wangi.
Maka terloncatlah jawaban Mahesa Jenar tanpa sadar, “Adi… aku kira tidaklah pantas kalau kau berjalan-jalan di malam hari, serta berburu pula bersama aku.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, kembali Pudak Wangi menundukkan wajahnya malu. Tetapi sesaat kemudian ia menjawab, “Kakang Mahesa Jenar…, kalau Kakang boleh berburu pada malam hari, apa sebabnya aku tidak…? Adakah bedanya…?”
Mahesa Jenar terdiam. Barulah ia sadar
bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang bernama Pudak Wangi,
bukan dengan seorang gadis yang bernama Rara Wilis. Karena itu, segera
ia menjawab, “Tidak … Adi, sama sekali tak ada bedanya.”
“Kalau demikian berarti aku diperkenankan untuk pergi berburu pula,” Desak Pudak Wangi.
Karena jawaban itu Mahesa Jenar semakin terdesak. Meskipun demikian ia masih berusaha untuk mencegah Pudak Wangi ikut serta. “Tetapi banyak halangannya berjalan di malam hari, meskipun Adi pada dasarnya diperkenankan berburu pula.”
Dengan tersenyum Pudak Wangi menjawab, “Kenapa
Kakang Mahesa Jenar cemas akan bahaya. Aku sudah lebih lama tinggal di
tempat ini, sehingga aku lebih banyak mengenalnya. Kecuali itu,
andaikata bahaya datang, biarlah aku coba untuk mengatasinya. Bukankah
aku murid Ki Ageng Pandan Alas?”
Sekali lagi Mahesa Jenar terdesak,
sehingga ia tidak dapat berkata-kata lagi. Pudak Wangi memandang Mahesa
Jenar dengan tersenyum kecil. Melihat senyum Pudak Wangi, bagaimanapun
Mahesa Jenar tergetar hatinya. Kemudian terdengar kembali Pudak Wangi
berkata, “Jadi, masih tetapkah Kakang Mahesa Jenar menolak aku ikut serta?”
Dengan tergagap Mahesa Jenar cepat-cepat menjawab, “Silahkan Adi… silahkan.”
Kembali Pudak Wangi tersenyum. Tetapi ia
tidak berkata-kata lagi. Maka kemudian berjalanlah mereka berdua dengan
busur di tangan masing-masing. Tetapi di sepanjang jalan hampir tak
terdengar kata-kata. Suasana kekakuan masih tetap ada, membatasi
pergaulan mereka.
Bintang-bintang yang gemerlapan masih
bergayutan di langit. Di selatan, bintang Gubug Penceng tepat berdiri di
atas kutub. Dan angin malam dengan segarnya membelai hati mereka yang
sedang berjalan di kegelapan malam.
Tetapi, tiba-tiba langkah mereka
terhenti. Di kejauhan terdengar bunyi telapak kuda semakin lama semakin
mendekat, dan tidak lama kemudian mereka melihat bayangan dua orang
berkuda melintas di padang ilalang itu.
Ketika orang-orang itu melintas dekat
Mahesa Jenar dan Pudak Wangi berdiri, mendadak salah seorang membelokkan
kudanya mengarah kepadanya. Untuk tidak menimbulkan kesan-kesan yang
kurang baik, segera Mahesa Jenar dan Pudak Wangi meletakkan busur-busur
mereka.
Beberapa langkah di hadapan Mahesa Jenar,
kuda itu berhenti, disusul dengan orang yang satu lagi, yang agaknya
mengikutinya pula.
Dengan kasar dan masih tetap di punggung kudanya, orang itu bertanya, “He, siapakah kalian yang pada malam-malam begini berkeliaran di sini?”
“Kami adalah petani-petani di bukit ini,” jawab Mahesa Jenar.
“Hem… desis yang lain. Lalu apa kerja kalian di sini?”
“Kami sedang berburu ayam hutan,” jawab Mahesa Jenar pula.
Mendengar jawaban itu agaknya mereka percaya. Maka bertanyalah salah seorang diantaranya lebih lanjut, “Adakah kau lihat di sekitar bukit ini kemarin atau lusa atau beberapa hari yang lalu tiga orang asing lewat?”
“Tiga orang?” ulang Mahesa Jenar
sambil mengingat-ingat. Tiba-tiba ia teringat kepada keterangan
Sarayuda, bahwa Arya telah diseret oleh tiga orang yang tak dikenalnya.
Sedang menilik pakaian mereka, maka mereka tak ubahnya dengan orang yang
telah menyerang Banyubiru untuk membunuh Arya. Karena itu segera Mahesa
Jenar menghubungkan kedua orang itu dengan ketiga orang yang telah
mencoba membunuh anak itu. Maka timbullah keinginannya untuk meyakinkan
pendapatnya itu.
Maka katanya, “Aku memang telah
melihat tiga orang lewat di sini, Tuan. Tetapi tidak hanya tiga orang
saja, mereka telah membawa serta seorang anak laki-laki bersama dengan
mereka.”
“Seorang anak laki-laki?” potong salah seorang diantaranya.
“Ya, aku tidak tahu apakah anak itu anak salah seorang dari ketiga orang itu,” lanjut Mahesa Jenar.
“Bukan, sama sekali bukan,” jawab yang lain.
“Pasti demikian, sela Mahesa Jenar, Sebab anak itu didukungnya dengan penuh kasih, sebagai seorang bapak terhadap anaknya.”
Maka terdengarlah kedua orang itu tertawa riuh, dan terdengarlah salah seorang berkata, “Umur anak itu tidak akan lebih dari panjangnya malam pada saat kau lihat. Kapan kau lihat mereka lewat di sini?”
Mendengar kata-kata itu, Mahesa Jenar
menjadi yakin bahwa dua orang itu adalah kawan-kawan yang sedang mencari
ketiga orang yang ternyata telah dibunuh oleh Sarayuda. Karena itu,
segera terungkaplah kemarahan Mahesa Jenar. Karena orang-orang ini
adalah pasti orang-orang Lembu Sora. Maka, karena gelora kemarahannya,
timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk menghajar kedua orang itu. Segera
Mahesa Jenar memancing mereka ke dalam suatu perselisihan, katanya, “Tuan
salah terka. Anak itu sampai sekarang masih segar bugar. Oleh ketiga
orang itu, ia mereka titipkan kepada kami, sementara mereka pulang untuk
mengambil jemputan dan kendaraan.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, wajah kedua orang itu segera berubah hebat. Dengan gugup salah seorang bertanya, “Ketiga orang itu berasal dari mana?”
“Dari Banyubiru,” jawab Mahesa Jenar cepat-cepat. “Mereka adalah utusan Nyi Ageng Gajah Sora.”
Wajah kedua orang itu menjadi bertambah tegang, apalagi ketika Mahesa Jenar melanjutkan, “Nama anak itu adalah Arya Salaka.”
“Berikan anak itu kepadaku!” Tiba-tiba yang seorang berteriak.
Dengan tenang Mahesa Jenar memandang
wajah orang itu. Hidungnya yang besar hampir melengkung, terletak
diantara kedua matanya yang mirip dengan mata burung hantu. Sedang yang
lain adalah gambaran dari wajah seorang yang tidak mempunyai pikiran.
Sudut-sudut bibirnya tertarik agak ke bawah, dan matanya tidaklah
bedanya dengan mata sebuah patung. Mati dan tak bersinar sama sekali.
“Siapakah sebenarnya kalian?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku juga suruhan Nyi Ageng Gajah Sora dari Banyubiru,” jawab mereka.
“Sayang, bahwa aku tidak berani menyerahkan anak itu kecuali kepada yang telah menitipkan,” sahut Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, agaknya kedua orang itu menjadi marah sekali, teriaknya, “Kau berikan anak itu, atau kau aku seret di belakang kudaku?”
Melihat muka-muka yang kasar dari kedua orang itu Mahesa Jenar menjadi muak. Tetapi masih juga ia menjawab dengan tenang, “Aku
tidak akan memberikan anak itu. Ketahuilah bahwa ketiga orang Banyubiru
yang akan menyelamatkan Arya Salaka itu sudah aku bunuh, dan sekarang
anak itu pun akan aku bunuh pula. Aku adalah orang Ki Ageng Lembu Sora
dari Pamingit.”
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, kedua
orang berkuda itu tubuhnya menjadi bergetar karena marah. Mereka sadar
bahwa mereka telah dipermainkan serta telah dikenal pula sebagai
orang-orang Lembu Sora yang diperintahkan membunuh Arya. Karena itu
tidak ada jalan lain kecuali membinasakan kedua orang yang tidak
dikenalnya itu. Dengan gigi yang gemeretak mereka mencabut pedang-pedang
mereka.
Bersamaan dengan itu, Mahesa Jenar pun
menjadi semakin muak pula melihat mata yang mirip dengan mata burung
hantu, serta mata yang sama sekali padam di atas bibir yang melengkung
ke bawah. Karena itu segera ia akan bertindak melenyapkan pemandangan
yang sama sekali tidak menarik hati itu. Tetapi baru saja Mahesa Jenar
akan melangkah, terasalah Pudak Wangi menggamit pundaknya sambil
berbisik, “Kakang Mahesa Jenar, berilah aku kesempatan untuk berlatih. Tetapi jangan lepaskan aku dari pengawasan.”
Mahesa Jenar agak terkejut mendengar bisik Pudak Wangi, tetapi kemudian ia tersenyum. Dengan berbisik pula ia menjawab, “Silahkan murid Ki Ageng Pandan Alas.”
Oleh jawaban itu, Pudak Wangi menjadi
agak malu. Namun sesaat kemudian Mahesa Jenar telah meloncat ke samping
pada saat serangan kedua orang berkuda itu datang.
Pudak Wangi pun lincah pula. Sambil
memungut busurnya ia meloncat ke samping, serta dengan tangkasnya ia
berjongkok, untuk sesaat yang sangat pendek siap melontarkan anak
panahnya.
Sengaja Pudak Wangi tidak segera
mengarahkan anak panahnya kepada orang-orang yang mengendarai kuda-kuda
itu, karena ia ingin mengetahui sampai di mana tingkat ilmu yang pernah
diterima dari kakeknya, Ki Ageng Pandan Alas.

Karena itu mereka segera meloncat turun dan lari-lari berputaran sambil mendekati bersama-sama dari arah yang berlawanan.
Pudak Wangi, yang memang sama sekali tak
ingin membunuh mereka dengan panahnya, segera meletakkan busurnya serta
kemudian mencabut pedangnya pula.
Kedua orang lawannya menjadi keheranan kenapa orang itu tidak mempergunakan panahnya.
Tetapi mereka sama sekali tidak mau
membuang-buang waktu lagi. Segera mereka bersama-sama mendesak maju.
Karena Mahesa Jenar kemudian menyingkir saja, maka perhatian mereka
tercurah kepada Pudak Wangi.
Ternyata Pudak Wangi yang meskipun baru
menerima pelajaran beberapa bulan saja, namun ia telah dapat menunjukkan
kelincahan serta ketangkasan bergerak. Dengan melingkar dan kemudian
meloncat mundur, ia berhasil menghindari kedua serangan yang datang dari
arah yang berbeda itu sekaligus. Bahkan demikian kakinya menyentuh
tanah, ia segera meloncat maju menyerang dengan pedangnya yang tipis
namun tajamnya tiada terkira.
Pedang itu dibuat oleh Ki Ageng Pandan
Alas, khusus untuk Pudak Wangi. Meskipun bentuknya tidak ubahnya pedang
biasa, namun pedang itu agak lebih ringan.
Kedua orang lawan Pudak Wangi itu
terkejut melihat lawannya dapat menghindarkan diri, bahkan kemudian
dengan cepatnya telah menyerang kembali. Segera mereka berloncatan
mundur. Meskipun kedua orang itu adalah dua orang yang telah berpuluh
tahun menjadi laskar Pamingit, namun mereka belum pernah menerima
latihan yang teratur dan bersungguh-sungguh, sehingga apa yang mereka
lakukan adalah cara-cara yang kasar namun sederhana. Mereka lebih senang
mempergunakan tenaga dari pada otak mereka. Karena itu, meskipun
melawan dua orang sekaligus, Pudak Wangi dapat melayani mereka dengan
baiknya. Meskipun setelah beberapa lama, ternyata bahwa kedua orang
Pamingit itu, bagaimanapun juga telah memiliki pengalaman yang jauh
lebih banyak daripada Pudak Wangi, sehingga akhirnya Pudak Wangi
perlahan-lahan menjadi agak terdesak.
Tetapi bagaimanapun juga Mahesa Jenar
menjadi keheranan. Agaknya darah Ki Ageng Pandan Alas yang mengalir di
dalam tubuhnya telah memberinya bekal yang cukup untuk menjadikannya
seorang yang perkasa.
Baru beberapa bulan yang lalu di hutan
Tambak Baya, seorang gadis hampir membunuh dirinya karena ia
dikejar-kejar oleh Jaka Soka, dan kemudian setelah gadis itu
ditolongnya, telah menjadikan Mahesa Jenar hampir gila karena gadis yang
ditolongnya itu lenyap. Semuanya itu baru terjadi beberapa bulan, yang
bagi Mahesa Jenar seolah-olah baru kemarin sore. Sekarang, Mahesa Jenar
menyaksikan gadis yang mengubah dirinya menjadi seorang pemuda bernama
Pudak Wangi, telah dapat melawan dua orang laki-laki yang tubuhnya kuat
seperti orang hutan, dengan otot-otot menjorok di permukaan kulit.
Bagaimanapun tekunnya Pudak Wangi belajar, serta bagaimanapun sakti guru
yang memberinya pelajaran, kalau di dalam tubuh Pudak Wangi tidak
tersimpan bakat yang kuat, pasti dalam waktu yang pendek itu pelajaran
yang diterimanya belumlah berarti.
Tetapi, tidak demikianlah dengan Pudak
Wangi. Tangannya yang memegang pedang itu bergerak dengan cepatnya.
Agaknya menjadi ciri dari ilmu pedang Ki Ageng Pandan Alas, bahwa daun
pedang itu tampaknya selalu bergetar, sehingga mengaburkan arah
geraknya. Untuk melawan ilmu pedang dari Gunung Kidul itu, kedua orang
Lembu Sora harus bekerja mati-matian. Mereka mengandalkan kekuatan
tenaga mereka, ditambah dengan pengalaman-pengalaman yang mereka dapat
puluhan tahun. Meskipun demikian kadang-kadang nyawa mereka hampir saja
disambar oleh pedang Pudak Wangi.
Untunglah, bahwa Pudak Wangi sangat
kurang pengalaman. Ia belum pernah mengalami perkelahian benar-benar
yang dapat mengancam jiwanya maupun jiwa orang lain. Sampai sedemikian
jauh Pudak Wangi baru mengalami latihan-latihan dengan gurunya serta
kakak seperguruannya, Sarayuda. Karena itu, maka dalam saat-saat yang
menentukan ia menjadi agak ragu-ragu. Beberapa kali tampak Pudak Wangi
menarik kembali serangannya yang sangat membahayakan jiwa
lawan-lawannya.
Dengan demikian maka akhirnya Pudak Wangi
berada di dalam kekuasaan lawan-lawannya yang sama sekali tidak tahu
diri. Mereka sama sekali tidak peduli bahwa lawannya kadang-kadang tidak
sampai hati melukai kulitnya. Bahkan mereka telah mempergunakan
kesempatan itu sebaik-baiknya. Meskipun kemudian Pudak Wangi sadar bahwa
seharusnya ia tidak beragu-ragu lagi, namun waktunya telah agak
terlambat. Lawan-lawan Pudak Wangi telah berhasil menempatkan diri
mereka pada kedudukan yang menentukan. Mengalami hal yang demikian itu,
Pudak Wangi menjadi agak bingung. Ia masih belum tahu beberapa
kesempatan yang dapat dipergunakan untuk mengatasi keadaan, karena
kurangnya pengalaman.
Maka segera teringatlah Pudak Wangi
kepada Mahesa Jenar. Dengan sudut matanya, ia melihat dalam sepintas
Mahesa Jenar dengan enaknya duduk di atas rumput sambil melihat
perkelahian itu seperti sedang menikmati pertunjukan. Sama sekali tidak
ada kesan bahwa Mahesa Jenar melihat kesulitan yang sedang dialaminya.
Karena itu dengan agak terpaksa Pudak Wangi menjerit, “Kakang Mahesa Jenar, sudah puaskah Kakang melihat permainanku?”
Mendengar suara Pudak Wangi yang halus
nyaring itu Mahesa Jenar tersenyum. Ia sebenarnya melihat kesulitan
Pudak Wangi. Tetapi karena keadaannya belum terlalu membahayakan,
timbullah keinginannya untuk menggoda gadis itu. Ia juga mengerti maksud
Pudak Wangi dengan kata-katanya, yang sebenarnya memintanya untuk
membantu. Namun ia menjawab dengan tertawa pendek, “Belum Adi, permainan Adi bagus sekali. Aku masih ingin menyaksikan beberapa lama lagi.”
Pudak Wangi mendengar jawaban Mahesa
Jenar menjadi jengkel sekali, tetapi untuk berterus terang ia pun agak
malu-malu, karena itu sekali lagi ia menjerit, “Aku sudah cukup lama berlatih, Kakang.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum.
Tinggi hati juga gadis ini, katanya dalam hati. Maka, tiba-tiba Mahesa
Jenar ingin memaksa gadis itu supaya menyatakan permintaan untuk
menolongnya. Karena itu ia menjawab, “Latihanmu baru mulai, Adi…
gerak-gerakmu baru sampai pada taraf memanaskan badan. Aku ingin melihat
kalau kau benar-benar sudah menunjukkan kepandaianmu.”
Mendengar jawaban itu hati Pudak Wangi
menjadi semakin jengkel. Akhirnya ia menjadi sadar bahwa Mahesa Jenar
sedang mengganggunya. Apalagi ketika itu, kedua orang lawan Pudak Wangi,
yang merasa dirinya direndahkan menjadi bertambah marah. Mereka
menyerang semakin garang dan ngetok kekuatan. Sehingga akhirnya
timbullah jiwa kemanjaan seorang gadis di dalam dada Pudak Wangi. Sekali
lagi ia menjerit hampir menangis, “Kakang, baiklah kalau Kakang ingin melihat dadaku terbelah.” Dan berbareng dengan itu Pudak Wangi melemparkan pedangnya ke arah salah seorang dari lawannya.
Melihat pedang itu melontar ke arahnya,
orang itu menjadi terkejut sekali, sehingga ia meloncat mundur
menghindar. Demikian pula yang seorang lagi, menjadi tertegun beberapa
saat.
Tetapi tidak pula kalah terkejutnya
adalah Mahesa Jenar. Dengan melemparkan pedangnya, Pudak Wangi sama
sekali tidak bersenjata lagi. Sedangkan sesaat kemudian kedua lawannya
telah berhasil menguasai diri mereka masing-masing, sehingga segera
melakukan serangan-serangan mereka kembali.
Meskipun demikian agaknya Pudak Wangi
sama sekali sudah tidak menghiraukan lagi. Ia berdiri saja tegak dengan
tenangnya menanti ujung-ujung pedang yang mengarah ke dadanya.
Melihat peristiwa itu, Mahesa Jenar
menjadi cemas. Ia dapat mengerti bahwa Pudak Wangi marah kepadanya.
Kemarahan seorang gadis yang manja. Mahesa Jenar mendadak teringat pada
saat Rara Wilis akan bunuh diri di hutan Tambak Baya. Karena itu secepat
kilat tangannya kiri dan kanan, kedua-duanya meraih dua buah batu
sebesar telur ayam. Dengan sekuat tenaganya kedua batu itu dilemparkan
ke arah dua lawan Pudak Wangi berturut-turut. Hasilnya adalah mengerikan
sekali. Batu-batu itu tepat mengenai pelipis orang yang berwajah padam
seperti mayat. Suaranya gemeretak memecahkan tulang pelipisnya. Tanpa
dapat berbuat sesuatu, orang jatuh terjerembab untuk tidak bangun lagi.
Sedang yang sebuah lagi mengenai dada orang yang bermata seperti mata
burung hantu. Terdengar ia berteriak keras-keras dan kemudian jatuh
berguling-guling kesakitan. Dari mulutnya memancar darah segar. Tetapi
beberapa saat kemudian orang itu terdiam untuk selama-lamanya.
Melihat kedua peristiwa yang tak
disangka-sangka itu, Pudak Wangi terperanjat bukan kepalang. Apalagi
ketika dilihatnya darah yang mengalir dari luka-luka kedua lawannya.
Peristiwa itu adalah suatu peristiwa yang belum pernah disaksikannya.
Karena itu hatinya ngeri dan ketakutan.
Di luar sadarnya maka ia kemudian berlari dan seperti seorang anak kecil
ia menyembunyikan wajahnya ke dada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar adalah seorang yang sudah
berpuluh kali melihat darah mengalir. Tetapi ketika tiba-tiba Pudak
Wangi berlari ke arahnya dan kemudian menangis terisak-isak, Mahesa
Jenar kemudian seperti terpaku di atas tanah. Jantungnya berdebaran dan
darahnya seolah-olah membeku. Untuk beberapa saat mulutnya terkunci
rapat-rapat dan seolah-olah seluruh persenjataannya mati terkunci.
Baru beberapa saat kemudian Pudak Wangi
sadar akan dirinya. Karena itu dengan penuh kemalu-maluan sebagai
lazimnya seorang gadis, ia perlahan-lahan menarik dirinya dan selangkah
demi selangkah ia menjauhi Mahesa Jenar. Tetapi untuk beberapa lama
Mahesa Jenar masih diam mematung. Ditatapnya wajah Pudak Wangi yang
tunduk itu dengan jantung yang bergelora. Baru kemudian ketika Pudak
Wangi menjatuhkan dirinya di atas rumput-rumput kering, Mahesa Jenar
merasa seolah-olah terbangun dari sebuah mimpi yang indah.
Tetapi bagaimanapun, Mahesa Jenar hampir
tidak pernah bergaul dengan gadis-gadis. Meskipun yang duduk di
hadapannya itu menurut wujudnya adalah seorang pemuda namun hatinya
melihat, bahwa ia adalah seorang gadis. Karena itu untuk beberapa lama
kemudian Mahesa Jenar masih diam termangu-mangu. Tetapi kemudian
perlahan-lahan Mahesa Jenar maju juga mendekati Pudak Wangi yang masih
terisak-isak menahan tangis.
Melihat Pudak Wangi menangis, Mahesa
Jenar merasa bahwa ia bersalah. Tetapi sebenarnya maksudnya adalah
bergurau saja. Maka ingin rasanya ia minta maaf kepada gadis itu.
Setelah ia dekat berdiri di belakang Pudak Wangi, berkatalah Mahesa Jenar, “Wilis, aku minta maaf.”
Mendengar namanya disebut, dada Pudak
Wangi tiba-tiba terasa sesak. Telah beberapa lama ia tidak pernah
mendengar seseorang memanggilnya dengan namanya yang sebenarnya.
Sekarang tiba-tiba ia mendengar lagi nama itu, namanya sebagai seorang
gadis disebut oleh seorang yang dikaguminya. Karena itu timbullah rasa
haru yang menggelegak, sehingga kemudian Rara Wilis tak dapat menahan
dirinya lagi, dan menangislah ia sejadi-jadinya.
Melihat hal itu Mahesa Jenar menjadi
semakin bingung. Ia tidak tahu kenapa Pudak Wangi menangis semakin
keras. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar sama sekali tidak tahu apa yang
harus dilakukan. Dengan gemetar ia melangkah kian kemari. Sebentar ia
duduk di belakang Pudak Wangi, tetapi sebentar kemudian kembali ia
berdiri dan melangkah pula kian-kemari.
Sesaat kemudian terasalah malam menjadi
semakin sepi. Angin malam yang gemerisik di sela-sela tangis Pudak
Wangi, mengantarkan udara yang dingin. Kelelawar yang merajai langit di
malam hari, masih tampak berkeliaran di muka tebaran bintang-bintang
yang menaburkan cahayanya yang gelisah, segelisah hati Mahesa Jenar.
Maka akhirnya Mahesa Jenar menjatuhkan dirinya di samping Pudak Wangi, dan untuk beberapa lama mereka saling berdiam diri.
Ketika di kejauhan terdengar ayam hutan
berkokok bersahutan, Mahesa Jenar menjadi seperti tersadar, bahwa ia
harus berbuat sesuatu. Mereka tidak dapat terus-menerus berdiam diri di
tengah-tengah padang terbuka sampai esok pagi. Kerana itu Mahesa Jenar
ingin menghibur hati Pudak Wangi, tetapi karena banyaknya kata-kata yang
tersimpan di dalam dadanya, yang keluar hanyalah, “Adi Pudak Wangi, marilah kita teruskan perburuan kita.”
Pudak Wangi memandang wajah Mahesa Jenar
dengan sinar mata yang kecewa. Tetapi ia sendiri tidak tahu kenapa
hatinya kecewa. Mungkin hatinya mengharapkan Mahesa Jenar berkata lebih
banyak lagi, meskipun ia sendiri takut menduga-duga kata-kata apa yang
dinantinya itu.
Namun semuanya itu hanya terjadi dalam
sesaat, sebab sesaat kemudian Pudak Wangi segera kembali ke dalam
keadaannya kini. Ia adalah seorang pemuda, murid Ki Ageng Pandan Alas.
Karena itu segera ia mencoba menguasai perasaannya. Dan dengan gagahnya
ia menjawab ajakan Mahesa Jenar, “Marilah kakang, serta dengan tegak berdiri ia meneruskan, “kita berlomba, siapakah yang lebih dahulu berhasil mendapatkan binatang buruan.”
Mendengar jawaban Pudak Wangi itu, Mahesa
Jenar tersenyum kecil. Segera ia memungut busurnya dan kemudian mereka
bersama-sama meneruskan perburuan mereka diantara gerumbul-gerumbul yang
semakin lama semakin hebat.
Tetapi meskipun mereka telah berjalan di
daerah perburuan, hati mereka sama sekali tidak tertarik kepada
binatang-binatang hutan. Itulah sebabnya maka beberapa ekor menjangan
yang seharusnya telah mati, mendapat kesempatan untuk masih menikmati
segarnya rumput dan akar-akaran.
Akhirnya Pudak Wangi menjadi lelah. Maka katanya, “Kakang, baiklah perlombaan kita tunda sebentar. Aku ingin beristirahat dahulu.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya, “Baiklah, Adi… aku pun lelah”.
Setelah itu, maka segera mereka mencari tempat peristirahatan, di atas batu-batu yang berserakan.
Maka terdengarlah segera mereka dan Pudak
Wangi bercakap-cakap tentang hal-hal yang sama sekali tidak penting.
Pembicaran itu beredar dari satu ke lain hal sehingga akhirnya sampai
pada diri Mahesa Jenar. Terdengarlah dengan penuh keinginan tahu Pudak
Wangi bertanya, “Kakang Mahesa Jenar, tidakkah Kakang Mahesa Jenar bermaksud untuk kembali ke Demak dan memangku jabatan Kakang kembali?”
Mendengar pertanyaan itu, Mahesa Jenar
tertegun sebentar. Apakah perlunya maka Pudak Wangi menanyakan hal-hal
yang menyangkut dengan kedudukannya?
“Adi…” jawab Mahesa Jenar, “Jabatan
itu memang menyenangkan. Sebagai seorang perwira pasukan pengawal raja
aku banyak mempunyai kesempatan untuk berbangga. Baik terhadap orang
lain maupun terhadap diri sendiri. Tetapi sayang bahwa aku tidak dapat
kembali pada saat-saat yang dekat ini. Apalagi ketika aku merasa bahwa
aku wajib untuk ikut menemukan kembali keris-keris Nagasasra dan Sabuk
Inten. Maka keinginanku untuk kembali ke Demak menjadi semakin tipis.”
“Sebagai seorang prajurit,” sela Pudak Wangi, “Bukankah Kakang akan lebih banyak kesempatan untuk menemukan keris-keris itu?”
“Mungkin demikian,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi
mungkin juga sebaliknya. Sebab tugas seorang prajurit adalah beraneka
ragam. Kecuali itu Adi, pengabdian seseorang bertebaran pada banyak
bidang. Aku sekarang sedang mengabdikan diriku dengan cara ini.”
Pembicaraan mereka jadi terputus ketika
mereka mendengar gemersik halus di belakang mereka. Mahesa Jenar cepat
meloncat berdiri dengan busur di tangan, serta anak panah yang siap
meluncur. Sebab yang terdengar itu sama sekali bukan harimau atau babi
hutan, tetapi suara langkah manusia.
Tetapi meskipun pandangan Mahesa Jenar
sangat tajam, namun Mahesa Jenar tidak dapat melihat seseorang di
belakangnya. Karena itu ia menjadi curiga. Cepat ia melangkah maju,
meskipun dengan penuh kehati-hatian. Sedang Pudak Wangi pun segera
mempersiapkan anak panahnya. Namun setelah beberapa lama mereka
mencari-cari, tak seorang pun yang mereka jumpai. Maka hati mereka
menjadi gelisah. Kalau benar dugaan mereka, bahwa yang didengarnya itu
langkah seseorang, pastilah orang itu orang yang sakti.
Baru beberapa lama kemudian, ketika
mereka sudah menjadi bertambah gelisah, terdengarlah suara tertawa halus
di kejauhan. Mendengar suara itu, tiba-tiba Pudak Wangi menundukkan
kepalanya. Wajahnya menjadi merah, semerah jambu dersana. Suara itu
sangat dikenalnya, sebagai suara seseorang yang mengasuhnya, Ki Ageng
Pandan Alas. Mahesa Jenar yang mengenal suara itu, juga menjadi malu.
Namun segera ia berkata lantang, “Adi, lihatlah babi hutan hampir sebesar kerbau.”
Setelah berkata demikian, segera Mahesa
Jenar meloncat berlari menyusup ke dalam semak-semak. Pudak Wangi segera
tersentak pula. Ia mengira bahwa Mahesa Jenar benar-benar telah melihat
seekor binatang buruan. Karena itu, segera ia pun meloncat menyusulnya.
Tetapi meskipun mereka telah berlari-lari
beberapa lama, namun sama sekali Pudak Wangi tak melihat seekor
binatang pun, sampai akhirnya ia melihat Mahesa Jenar berdiri tegak
menantinya.
“Manakah binatang itu Kakang?” tanya Pudak Wangi.
Dengan menarik nafas Mahesa Jenar menjawab, “Sama sekali aku tak melihat seekor binatang pun Adi. Tetapi aku mendengar suara tertawa Ki Ageng Pandan Alas.”
Pudak Wangi menjadi tersenyum jengkel. Namun ia membenarkan pula sikap Mahesa Jenar yang agak rikuh terhadap kakeknya.
Tetapi mereka menjadi terkejut pula
ketika tiba-tiba terdengar kembali suara tertawa itu. Suara Ki Ageng
Pandan Alas yang justru berada di tempat yang bertentangan dengan arah
semula.
Mendengar suara itu, Mahesa Jenar sadar,
bahwa ia tidak dapat menjauhkan dirinya dari orang tua yang sakti itu,
selama orang tua itu menghendakinya. Teringatlah Mahesa Jenar akan sikap
jenaka dari Ki Ageng Pandan Alas. Karena itu akhirnya ia tidak akan
menghindar lagi, bahkan segera ia menjatuhkan diri dan duduk di atas
rumput-rumput kering. Agaknya Pudak Wangi memaklumi hal itu, dan segera
ia pun duduk di samping Mahesa Jenar. Namun untuk beberapa lama mereka
sama sekali tidak berkata sepatah pun.
Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar kemersik
yang disusul oleh dengus seekor binatang. Dengan mata yang tajam,
dibalik semak-semak di hadapan mereka tampaklah sesuatu yang
bergerak-gerak, dan sesaat kemudian muncullah seekor rusa yang agaknya
terbangun dari tidurnya. Dengan isyarat tangan, Mahesa Jenar menunjuk ke
arah binatang itu. Pudak Wangi yang kemudian melihat pula, dengan cepat
sekali telah memasang anak panahnya dan sesaat kemudian rusa itu
terlonjak dan memekik tinggi. Anak panah tepat mengenai lambungnya.
Tetapi sekejap kemudian menancaplah anak panah kedua, yang dilepaskan
oleh Mahesa Jenar pada leher binatang itu. Tanpa diulang lagi, rusa itu
jatuh dan mati seketika.
“Nah, bukankah aku yang menang?” kata Pudak Wangi diiringi oleh suara-suara tertawanya yang segar. “Akulah yang pertama-tama mengenainya.”
“Akulah yang menang”, bantah Mahesa Jenar, “Karena panahkulah binatang itu mati.”
“Tetapi akulah yang lebih dahulu, bantah Pudak Wangi kembali.”
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dengan
tersenyum, didekatinya rusa yang telah mati itu, kemudian setelah ia
membuka baju, dipanggulnya binatang itu, katanya, “Marilah kita
pulang, Adi. Rusa ini cukup besar untuk pesta besok. Pesta kemenangan
Adi Pudak Wangi atas dua orang yang akan membunuh anakku Arya Salaka”
“Ah…” potong Pudak Wangi. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Mahesa Jenar pun tidak berkata-kata lagi.
Segera mereka dengan seekor rusa di pundak Mahesa Jenar, berjalan
kembali pulang. Di sepanjang jalan pulang, Mahesa Jenar sempat
mengamat-amati dengan saksama Pudak Wangi yang berjalan di depannya.
Melihat tingkah lakunya, maka Mahesa
Jenar semakin yakin bahwa tidak lama lagi Pudak Wangi pasti akan menjadi
seorang yang perkasa seperti kakak seperguruannya, Sarayuda.
Setidaknya, ia akan dapat memenuhi keinginan kakeknya, gurunya pula,
bahwa akhirnya ia pasti akan dapat menandingi ibu tirinya, istri Sima
Rodra muda dari Gunung Tidar, anak Sima Rodra dari Lodaya. Mahesa Jenar
membayangkan bahwa persoalannya kemudian akan menjadi bertambah melilit
lagi. Persoalan antara mereka yang sedang memperebutkan Kyai Nagasasra
dan Sabuk Inten, ditambah dengan persoalan Rara Wilis dengan ibu
tirinya, yang pasti akan sangkut-menyangkut pula dengan usaha Arya untuk
menemukan kembali kedudukan ayahnya yang telah dirampas oleh pamannya,
Lembu Sora.
Sampai di rumah, mereka temui Arya masih
tidur nyenyak. Maka tanpa dibangunkannya, rusa hasil buruan itu langsung
dibaringkan di samping Arya, untuk mengejutkan anak itu besok pagi.
Kemudian Pudak Wangi segera pergi ke
pembaringannya untuk beristirahat, sedang Mahesa Jenar seperti biasanya
tidur dengan alas anyaman daun kelapa yang direntangkan di atas tumpukan
jerami di samping gubug Ki Ageng Pandan Alas.
Karena kelelahan serta kantuknya yang sangat maka segera Mahesa Jenar jatuh tertidur.
Ia terbangun ketika didengarnya suara
orang bercakap-cakap di halaman belakang rumah itu. Tanpa disengaja ia
mendengar bahwa mereka yang bercakap-cakap itu adalah Pudak Wangi dengan
Sarayuda, sebagai seorang gadis dengan seorang pemuda.
Tiba-tiba saja dengan tidak diketahuinya
sendiri, darah Mahesa Jenar bergetar membentur dinding-dinding jantung.
Maka timbullah keinginannya untuk mendengarkan percakapan mereka lebih
lanjut. Dengan masih berpura-pura tidur, ia memasang telinganya untuk
mencoba menangkap setiap kata-kata mereka. Dan apa yang didengarnya
telah menambah cepat gelora hatinya.
“Wilis…” terdengar suara Sarayuda jauh di dalam dadanya, “Sejak
kecil aku telah mengenalmu. Mengenal sebagai cucu guruku. Sejak itu aku
telah merasakan suatu perbedaan antara pergaulanku denganmu dibanding
dengan pergaulanku dengan kawan-kawan lain. Perasaan itulah yang agaknya
kemudian berkembang menjadi perasaan seperti yang aku alami kini, dan
yang pasti sudah aku ketahui pula. Karena itu Wilis, aku telah berusaha
untuk menemukan kau kembali setelah kau melenyapkan diri beberapa saat
yang lalu dari Gunung Kidul setelah ibumu meninggal dunia. Dengan
menyimpan harapan di dalam hati, bahwa kau akan memiliki perasaan yang
demikian pula.”
Kemudian untuk beberapa lama, sama sekali
tak terdengar suara. Namun bagi Mahesa Jenar, suara detak jantungnya
seolah-olah sedemikian kerasnya sehingga jauh melampaui bunyi bedug.
Tetapi sesaat kemudian terdengar Sarayuda melanjutkan, “Wilis,
kalau beberapa waktu yang lalu aku pulang dari perantauanku, dan untuk
beberapa lama aku tak pernah mengatakan perasaan itu kepadamu dan kepada
siapapun, itu karena aku merasa bahwa aku masih belum mempunyai
syarat-syarat yang cukup. Sekarang aku telah memiliki pekerjaan yang
pantas. Yang dilintirkan dari ayahku kepadaku, yaitu jabatan Demang,
yang aku kira akan dapat mencukupi bagi jaminan masa depan.”
Kembali Sarayuda diam. Tetapi kali ini
juga Rara Wilis sama sekali tidak menjawab. Bahkan akhirnya terdengar
isak tangisnya diantara desah angin menjelang fajar, yang bagi Mahesa
Jenar seolah-olah merupakan desir suara meluncurnya anak-anak panah yang
langsung menembus jantungnya, serta menimbulkan luka yang pedih.
“Wilis…” Sarayuda melanjutkan, “Aku
tidak tahu kenapa kau menangis. Apakah kau terharu, marah, gembira atau
kata-kataku telah menyinggung perasaanmu? Tetapi apa yang aku lakukan
adalah benar-benar terdorong oleh perasaanku yang bersih.”
Masih belum terdengar Rara Wilis menjawab.
“Bukan maksudku untuk memancingmu dengan janji Wilis,” desak Sarayuda kemudian, “Tetapi meskipun hanya setapak aku telah memiliki tanah, dan walaupun hanya seekor kerbau kurus, aku telah berternak pula.”
Meskipun kata-kata itu terluncur dari
mulut Sarayuda tanpa maksud apapun terhadap orang lain, namun bagi
Mahesa Jenar, kata-kata itu merupakan sebuah cermin surya kantha
yang dapat menimbulkan bayangan seratus kali lipat. Tiba-tiba Mahesa
Jenar melihat dirinya dalam kaca itu sebagai seorang pengembara tak
berarti. Seorang yang tidak mempunyai rumah dan tempat tinggal, tidak
mempunyai tanah yang subur untuk jaminan hidupnya, tanpa ternak dan
tanpa kedudukan. Serta dilihatnya pula bayangan Sarayuda sebagai seorang
yang memiliki syarat-syarat yang penuh. Tanah hampir seluas tanah yang
terbentang di daerah Gunung Kidul yang ditaburi oleh 1000 puncak-puncak
pegunungan yang asri. Ternak yang setiap hari memenuhi padang-padang
rumput di tebing-tebing pegunungan dan di dataran-dataran, sawah yang
subur di lembah-lembah yang luas dipagari oleh lereng-lereng hijau.
“Mahesa Jenar…” tiba-tiba terdengar hatinya berkata, “Apakah
kau akan berusaha untuk menyaingi Demang Sarayuda yang kaya raya serta
gagah perkasa itu…? Mungkin kau akan dapat berhasil merebut hati Rara
Wilis, tetapi dengan demikian kau akan menyiksanya sepanjang umurnya.
Wilis akan mengalami hidup yang sulit, penuh dengan kekurangan dan
penderitaan. Kalau kau melanjutkan usahamu untuk menemukan keris-keris
Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten, lalu apakah yang dapat kau lakukan
terhadap Rara Wilis? Kau bawa serta untuk kau binasakan di bawah
kekejaman-kekejaman lawan-lawanmu, atau kau umpankan kepada orang-orang
golongan hitam sebagai barang permainan? Atau barangkali kau bermaksud
meninggalkannya di suatu tempat? Dengan demikian Rara Wilis akan
kesepian. Tiap malam ia akan menghitung setiap desir angin yang
menyentuh wajahnya dengan mata yang mengaca, dengan penuh harapan pada
setiap tarikan nafasnya, menantimu pulang. Tetapi adakah kau akan pulang
kembali kepadanya?”
Kata-kata hatinya itu mendengung
sedemikian kerasnya di dalam kepala Mahesa Jenar. Ditambah dengan
berbagai kenangan yang susul-menyusul. Apalagi kalau diingatnya bahwa
Sarayuda adalah seorang yang telah menyelamatkan Arya, yang telah
melepaskannya dari kemarahan Gajah Sora. Dan tiba-tiba karena semuanya
itu, terasa bahwa kepalanya seolah-olah berputar, semakin lama semakin
cepat semakin cepat.
Mahesa Jenar memejamkan matanya
rapat-rapat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menguasai perasaannya.
Namun betapa sulitnya. Malahan kenangan-kenangan masa lalu, yang seolah
susul-menyusul, nampak semakin jelas. Bagaimana ia telah berusaha
menyelamatkan Rara Wilis dari tangan Jaka Soka, sehingga akibatnya,
hampir saja ia dibinasakan oleh Pasingsingan.
Tetapi karena tiba-tiba sekarang dirinya
merasa tidak berhak lagi untuk mencoba mengambil hatinya, kenapa
sekarang tiba-tiba ada orang lain yang menarik garis pemisah? Mengingat
hal itu semua, darah Mahesa Jenar bergelora. Bukankah ia seorang
laki-laki? Kalau demikian maka untuk mencapai idaman hati, taruhannya
adalah nyawa. Ia tahu bahwa Sarayuda termasuk orang yang sakti, yang
memiliki ilmu keturunan dari Ki Ageng Pandan Alas, yaitu Cunda Manik.
Namun ia yakin bahwa Sasra Birawa tidak pula kalah dahsyatnya.
Penyelesaian dari pertempuran itu tidaklah penting. Kalau ia menang,
maka ia pasti dapat memiliki Rara Wilis, tetapi kalau ia kalah, adalah
kebinasaan. Ini akan lebih baik daripada hidup dengan hati yang kosong.
Karena pikiran itu, tiba-tiba darah
Mahesa Jenar menggelegak. Apalagi ketika timbul dugaannya, bahwa
Sarayuda sengaja menyatakan perasaannya terhadap Rara Wilis untuk dapat
didengarnya. Kalau demikian, maka berarti bahwa Sarayuda dengan
terang-terangan menantangnya. Maka hampir saja Mahesa Jenar meloncat
berdiri, kalau tidak tiba-tiba saja timbul pula pikirannya yang lain.
Sehingga terjadilah desak-mendesak antara perasaan yang satu dengan yang
lain, pikiran yang satu dengan yang lain.
Rara Wilis bukanlah semacam barang yang
dapat diperebutkan. Ia adalah seorang manusia yang berhak menjatuhkan
pilihan. Meskipun seandainya ia menang dalam perang tanding dengan
Sarayuda, tetapi ternyata Rara Wilis sebenarnya tidak memilihnya. Maka
yang akan dimilikinya hanya Rara Wilis dalam bentuk wadagnya, bukan
keseluruhannya. Apakah artinya bagi Mahesa Jenar, memiliki Rara Wilis
tanpa hatinya. Karena itu maka kemauan Mahesa Jenar jadi mengendor lagi.
Malahan kembali timbul di dalam dadanya,
suatu perasaan yang pedih, ketika ia tiba-tiba teringat kata-kata Rara
Wilis di padang ilalang pada saat mereka berburu tadi. “Tidakkah kakang bermaksud untuk kembali ke Demak dan memangku djabatan kakang kembali”
Bukankah pertanyaan itu jelas. Rara Wilis
akan berkata kepadanya, bahwa kenapa ia adalah seorang perantau,
seorang yang tidak mempunyai tempat tinggal? Kenapa ia hidup sebagai
seorang yang selalu berkeliaran di hutan-hutan, bukit-bukit dan
lembah-lembah…?
Kalau demikian maka Rara Wilis pasti
sedang memperbandingkan dirinya yang tidak hidup seperti lazimnya orang
yang berkeluarga. Kenapa ia tidak menjadi Demang seperti Sarayuda yang
menguasai tanah dengan seribu bukit, ternak di padang dan sawah yang
subur di lembah-lembah…? Kenapa ia tidak berkata kepada Rara Wilis
tentang rumah yang besar serta halaman yang ditumbuhi pohon buah-buahan
serta dipagari oleh tanam-tanaman berbunga…? O…, semuanya itu pasti akan
selalu menggugahnya kelak, apabila Rara Wilis kelak benar-benar menjadi
istri Mahesa Jenar. Ataupun kalau tak terucapkan, perlahan-lahan pasti
akan membakar hati gadis itu. Karena itu sebelum semuanya itu terjadi
maka lebih baik Mahesa Jenar menarik diri. Kalau ia ingin melihat Rara
Wilis berbahagia, maka ia harus melepaskan kepentingannya sendiri yang
dikendalikan oleh nafsu. Tidak! Ia tidak akan membiarkan Wilis menderita
dan terlalu banyak berkorban untuknya.
“Aku tidak akan mengganggunya,” desis Mahesa Jenar.
Kemudian dengan diam-diam dan hati-hati
sekali Mahesa Jenar bangkit dari pembaringannya, anyaman daun kelapa di
atas jerami. Perlahan-lahan ia memasuki gubug Pandan Alas dari pintu
depan, dan tanpa bersuara didukungnya Arya Salaka dari pembaringannya.
Kemudian dengan hati-hati ia meninggalkan gubug yang telah menimbulkan
peristiwa pahit itu.
Arya yang kemudian terbangun, sama sekali
tak mengetahui duduk perkaranya. Ia merasa bahwa pamannya berlari
kencang sekali, karena itu ia bertanya, “Paman…, ke mana Paman akan pergi?”
Mahesa Jenar tidak menjawab pertanyaan
itu, malahan ia berlari semakin kencang dan kencang, menuju ke gubug
yang telah dibangunnya bersama Arya Salaka.
Perjalanan mereka menyusup melewati hutan-hutan kecil yang tidak begitu lebat.
Ketika fajar menyingsing, Mahesa Jenar
mencoba untuk menguasai dirinya. Ia berusaha untuk tidak menimbulkan
kesan yang asing bagi orang-orang yang dijumpainya di jalanan. Karena
itu Arya segera diturunkannya dari dukungan. Orang-orang yang sedang ke
sawah serta orang-orang yang pergi mencari kayu di hutan, hanya
memandang Mahesa Jenar sepintas saja, meskipun kadang-kadang ada yang
heran pula, Dari manakah sepagi itu, ayah-beranak sudah berada di
perjalanan? Tetapi Mahesa Jenar sudah sama sekali tidak memperhatikannya
lagi. Ia berjalan terus dengan kecepatan yang penuh, tanpa
beristirahat.
Akhirnya Arya menjadi kelelahan. Maka bertanyalah ia, “Paman…, kemanakah kita pergi?”
Mahesa Jenar tidak menjawab pertanyaan
itu. Ia masih saja berjalan cepat-cepat. Karena itu Arya kadang-kadang
terpaksa berlari-lari untuk mengikuti langkah Mahesa Jenar.
“Paman…, tunggulah!” teriak Arya.
Mahesa Jenar yang sedang diliputi oleh
berpuluh ribu masalah itu hampir tak mendengar suara Arya. Ia masih saja
berjalan cepat tanpa menoleh.
Mendengar Arya berteriak-teriak, Mahesa
Jenar berhenti menoleh. Tetapi, Arya yang biasanya mendapat perhatian
sepenuhnya dari Mahesa Jenar, kini rasa-rasanya sangat menjengkelkan
sekali. Dengan keras pula Mahesa Jenar berteriak, “Arya…, tidakkah kau dapat berjalan lebih cepat?”
“Aku lelah sekali Paman,” jawab Arya.
„Baru beberapa langkah kau berjalan. Ayo
belajarlah menjadi seorang laki-laki. Apakah kau, yang sudah sebesar
itu masih harus selalu dimanjakan…? Didukung sampai punggungku patah?” teriak Mahesa Jenar dengan kasarnya.
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Arya
terkejut bercampur heran. Ia belum pernah melihat Mahesa Jenar bertindak
sekasar itu terhadapnya. Padahal ia sama sekali tidak merasa berbuat
suatu kesalahan. Ia ingat jelas bahwa pamannya kemarin berkata kepadanya
agar ia tidur saja, pamannya akan pergi berburu. Kemudian ketika ia
terbangun, ia sedang didukung oleh pamannya sambil berlari-lari. Dan
sekarang tiba-tiba saja pamannya marah kepadanya.
Sedang Arya kebingungan, terdengar kembali suara Mahesa Jenar, “Arya…, tidakkah kau mau berjalan?”
Arya tersentak, cepat ia melangkah
menyusul. Namun di hatinya terasa ada sesuatu yang mengeram. Dan
tiba-tiba saja terasa tenggorokannya tersumbat. Alangkah asingnya sikap
pamannya. Sikap yang belum pernah dirasakannya selama ia bertemu
dengannya. Apalagi sejak ayahnya meninggalkan Banyubiru, dan sejak
beberapa orang selalu mengejar-ngejarnya dan akan membunuhnya. Pamannya
selama itu selalu melindunginya dengan saksama. Tetapi sekarang sikap
Paman Mahesa Jenar itu tiba-tiba berubah. Maka tanpa dirasanya matanya
jadi membasah. Dengan susah payah Arya berusaha untuk mencegah air mata
yang hampir pecah. Namun akhirnya Arya Salaka tidak tahan lagi. Apalagi
ketika didengarnya Mahesa Jenar membentaknya, “Arya, kau anak
laki-laki yang sudah sebesar itu masih juga menangis? Ayo, berlarilah
kalau kau masih mau beserta aku. Kalau tidak, terserahlah kepadamu.” Setelah
berkata demikian, Mahesa Jenar melangkah melanjutkan perjalanannya.
Meskipun kemudian terdengar suara Arya memanggil-manggilnya, “Paman…, Paman…!”
Tiba-tiba saja langkah Mahesa Jenar
terhenti. Dilihatnya di pinggir jalan sempit di tepi hutan itu seseorang
berdiri seperti menantinya. Ketika Mahesa Jenar berhenti, tampaklah
orang itu melambaikan tangannya memanggil. Hati Mahesa Jenar jadi
berdebar-debar, apalagi kemudian ketika dikenalnya orang itu adalah Ki
Ageng Pandan Alas. Kakek dan guru Rara Wilis, yang telah memecahkan
hatinya. Tetapi ketika Mahesa Jenar sadar bahwa ia tidak dapat
bermain-main dengan orang tua itu, maka dengan langkah yang berat ia
pergi mendekatinya.
“Mahesa Jenar…” kata orang tua itu setelah Mahesa Jenar berdiri di hadapannya, “Aku menangkap suatu sikap yang aneh padamu.”
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya tanpa menjawab.
“Kenapa kau pergi tanpa pamit kepadaku?” lanjut Ki Ageng Pandan Alas.
Juga kali ini Mahesa Jenar tidak menjawab.
Terdengarlah orang tua itu tertawa lirih, namun wajahnya tidak secerah biasanya.
Ketika beberapa saat kemudian Mahesa Jenar masih berdiam diri, Pandan Alas meneruskan, “Adakah sesuatu yang telah tak menyenangkan hatimu Mahesa Jenar?”
Perlahan-lahan Mahesa Jenar mengangkat
wajahnya. Tetapi ketika pandangannya membentur mata orang tua itu,
kembali ia menundukkan mukanya. Dengan suara yang berat ia menjawab, “Ki
Ageng…, aku adalah orang yang tak berarti, yang tidak sepantasnya
tinggal bersama-sama dengan Ki Ageng, Adi Pudak Wangi dan Demang
Sarayuda yang kaya raya.”
Sekali lagi Ki Ageng Pandan Alas tersenyum. Katanya, “Mahesa
Jenar…, aku telah mendengar seluruhnya percakapanmu dengan Rara Wilis
di padang perburuan. Aku juga melihat bagaimana kau menyaksikan Rara
Wilis berkelahi melawan dua orang yang kemudian kau bunuh dengan
lemparan batu. Tetapi seterusnya, menurut gagapanku, kau menjadi
tersinggung karenanya. Maka segera aku menyusulmu untuk mendapat
penjelasan. Tetapi mendengar kata-katamu tadi, aku dapat mengambil
kesimpulan bahwa kau merasa disisihkan, karena kau bukan seorang yang
kaya seperti Sarayuda”
Mahesa Jenar mengangguk perlahan-lahan. Katanya melanjutkan, “Ki
Ageng…, bukankah Ki Ageng mendengar sendiri, bagaimana Rara Wilis
menanyakan kepadaku? Kenapa aku tidak menjabat kedudukanku kembali?
Bukankah itu sudah jelas, bahwa Rara Wilis sama sekali tidak senang
melihat seseorang yang merantau memperjuangkan keyakinannya?”
“Bukan tidak senang, Mahesa Jenar…” jawab Ki Ageng Pandan Alas, “Tetapi sebagai seorang gadis, pastilah ia berangan-angan.”
“Angan-angan itu akan dapat dipenuhi
oleh Ki Demang Sarayuda, yang memiliki tanah, ternak dan pangkat.
Apalagi ia adalah seorang yang sakti pula, yang akan dapat melindungi
keselamatan Rara Wilis” sela Mahesa Jenar.
Mendengar kata Mahesa Jenar itu, wajah Ki
Ageng Pandan Alas nampak berkerut. Alisnya bergerak-gerak, sedang
matanya memancarkan perasaannya yang kecewa. Katanya, “Mahesa Jenar…, meskipun Sarayuda itu muridku, namun
aku melihat beberapa kelebihan ada padamu. Tetapi ternyata bahwa kau
juga mempunyai kekurangan yang besar. Hatimu keras seperti baja, tetapi
getas seperti baja pula. Kalau demikian… baiklah, aku akan berusaha
untuk membentuk Sarayuda lebih lanjut, untuk melenyapkan
kekurangan-kekurangannya agar dapat menyamaimu.” Setelah
mengucapkan kata-kata itu, dalam sekejap saja Ki Ageng Pandan Alas telah
melangkah jauh. Ketika Mahesa Jenar akan menjawab, orang tua itu telah
hilang masuk ke dalam hutan.
Maka, tiba-tiba timbullah penyesalan di
hati Mahesa Jenar. Mungkin ia sudah menyakitkan hati orang tua itu.
Sehingga dengan demikian kemungkinan untuk dapat kembali kepada Rara
Wilis menjadi semakin tipis. Karena itu tiba-tiba menggeloralah kembali
kejengkelan di dalam dadanya. Dunia ini menjadi seolah-olah gelap dan
tanpa masa depan. Hidupnya menjadi tak berarti sama sekali. Kalau
demikian buat apa ia mesti berjuang untuk masa depan. Masa yang akan
dipenuhi oleh kepahitan hidup…?
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada Ki
Paniling yang sebenarnya bernama Radite, yang menjauhkan diri dari
pergaulan ramai. Yang kemudian lebih senang hidup diantara para petani
miskin tanpa berpikir tentang masa depan. Tentang negara, tentang
bangsa.
O…, adakah demikian balas jasa yang
diterimanya atas perjuangan yang dilakukan selama ini? Kalau demikian
maka alangkah tenteramnya hidup Paniling.
“Paman…” tiba-tiba terdengar suara Arya dekat di belakang Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar agak terkejut mendengar
suara itu. Tetapi ketika ia menoleh dan nampak wajah Arya yang kuyu,
kembali terungkitlah kejengkelannya. Anak itu adalah isi dari masa depan
yang gelap, yang pahit, yang akan menyiksanya. Buat apa ia harus ikut
serta membinanya. Anak itu bukanlah anaknya. Biarlah Gajah Sora sendiri
bertanggung jawab atasnya. Kalau kelak ia marah kepadanya, biarlah Gajah
Sora mencoba mengukur lebar dadanya.
Karena pengaruh pikirannya yang kelam itu berteriaklah Mahesa Jenar membentak, “Pergi…, pergi kau kelinci cengeng. Buat apa kau ikuti aku?”
Mendengar suara kasar itu, dada Arya
Salaka rasa-rasanya seperti tersambar petir, sehingga tubuhnya menggigil
ketakutan. Belum lagi ia dapat bersuara, Mahesa Jenar telah melompat
berlari. Berlari kencang-kencang seperti orang yang kehilangan ingatan.
Meskipun kemudian terdengar jerit Arya Salaka, “Paman…, Paman...” namun suara itu semakin lama semakin jauh semakin jauh di belakangnya.
Suara Arya Salaka itu akhirnya lenyap
menghantam batas-batas hutan. Sedang Mahesa Jenar masih saja berlari
menyusup semak-semak seperti orang gila. Dengan napas yang
terengah-engah, ia mendaki bukit kecil sambil masih terus berlari,
menjauhi manusia. Ia akan pergi ke suatu tempat dimana hidupnya tak
tersentuh oleh apapun.
Di puncak sebuah bukit, atau di pusat
hutan yang lebat, ia akan bertapa. Menghadapkan hidupnya melulu buat
masa langgeng. Akan ditinggalkannya dunia yang penuh dengan bayangan dan
angan-angan seperti mimpi yang nikmat, tetapi kemudian yang
membantingnya ke dalam jurang kekecewaan yang maha dalam.
Tetapi, tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut
melihat sebuah bayangan menghadang perjalanannya di tempat yang temaram
oleh bayangan pepohonan. Karena itu segera ia memperlambat langkahnya.
Ia menjadi semakin terkejut lagi ketika dari kejauhan dilihatnya
bayangan itu mengenakan jubah abu-abu.
“Pasingsingan…” desisnya. Hatinya kemudian agak gelisah. Tetapi tiba-tiba ia tersenyum sendiri.
“Bagus,” desisnya. “Kalau Pasingsingan mau membunuh aku pula, aku akan mengucapkan terima kasih kepadanya.”
Mendapat pikiran itu, kembali Mahesa
Jenar berlari, ke arah orang yang berjubah abu-abu yang disangkanya
Pasingsingan itu. Tetapi kembali ia terkejut bukan kepalang, ketika
ternyata orang yang berjubah abu-abu itu tidak mengenakan topeng kasar
seperti yang biasa dipergunakan oleh Pasingsingan.
Apalagi ketika Mahesa Jenar sempat
memandang wajah orang itu. Kurus dan janggutnya yang sudah putih tumbuh
lebat pepat, menutup sebagian dari mukanya, sedang rambutnya yang sudah
putih dibiarkannya terurai menjuntai dari bawah ikat kepalanya. Menilik
garis-garis umur yang tergores di keningnya, nyatalah bahwa umur orang
itu sudah sangat tua, namun tubuhnya masih nampak segar dan kuat.
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada
orang yang telah mengambil keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten di
Banyubiru. Orang itu berpakaian mirip dengan jubah Pasingsingan, namun
bukan Pasingsingan. Sedang rambutnya yang putih itu, dapat saja pada
waktu ia mengambil keris di Banyubiru digelungnya di bawah ikat
kepalanya. Adapun wajahnya, tak seorangpun yang mengetahuinya. Karena
itu tiba-tiba timbul dugaannya bahwa orang inilah yang telah mengambil
pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Maka dengan tiba-tiba pula Mahesa Jenar berteriak, “He Kyai…, adakah kau yang mengambil pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten?”
Orang itu sama sekali tidak menjawab dan
tidak bergerak. Hanya matanya saja yang tajam bersinar memandang ke arah
Mahesa Jenar tanpa berkedip.
Bersambung ke Jilid 9
———-oOo———-
Koleksi Ki Arema
Editing oleh Ki Arema
5 Tanggapan
Tinggalkan Balasan
