

NSSI-05
I.
YANG mengherankan, tetapi juga agak menjengkelkan Mahesa Jenar, orang itu masih saja tertawa lirih. Katanya, “Marilah kita keluar, supaya kita tidak harus berdesak desakan dengan dinding-dinding ruang ini.”
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia langsung melangkah keluar diikuti oleh
orang itu. Sambil berjalan Mahesa Jenar menimbang-nimbang tentang
lawannya. Pastilah orang ini berilmu tinggi dan pasti orang itu pula
yang telah menyebarkan sirep sedemikian tajamnya.
Maka ketika mereka sudah sampai di luar
goa, segera mereka saling berhadapan dengan taruhan yang besar. Juga
masing-masing menyadari bahwa mereka akan berhadapan dengan lawan yang
cukup tangguh. Karena itu tidak ada pilihan lain kecuali bekerja
mati-matian untuk memperebutkan kedua pusaka itu. Apalagi Mahesa Jenar
yang langsung atau tidak langsung ikut serta bertanggung jawab akan
keselamatan pusaka itu. Maka taruhannya untuk mendapatkan kedua keris
itu adalah nyawanya.
Sejenak kemudian setelah mereka bersiap, terdengarlah orang itu berkata, “Marilah Tuan, permainan kita mulai.”
“Silahkan,” jawab Mahesa Jenar pendek.
Dan segera terjadilah suatu pertarungan
yang dahsyat. Meskipun mula-mula mereka tampaknya agak segan-segan,
tetapi ketika mereka merasakan benturan-benturan serta tekanan-tekanan
dari masing-masing pihak, akhirnya mereka tidak lagi mengendalikan diri.
Lawan Mahesa Jenar itu ternyata memang
orang perkasa luar biasa. Gerakan-gerakannya serba cepat dan mempunyai
tenaga yang hebat, sehingga menimbulkan desiran-desiran angin yang
menyambar-nyambar mengiringi setiap gerak dari tubuhnya. Sedang Mahesa
Jenar adalah seorang yang mempunyai pengalaman yang cukup baik, sehingga
setiap gerakan tangan serta kakinya selalu mempunyai arti serta
membahayakan. Tubuhnya yang tidak sebesar lawannya itu, bergerak-gerak
seperti bayangan yang dengan lincahanya menari-nari mengitari lawannya
dengan belaian maut.

Karena beberapa pukulan yang dapat
mengenainya itu, Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan. Wajahnya
tampak menyala, serta matanya menyorotkan sinar-sinar yang memancarkan
pergolakan darahnya. Sekali ia melompat ke depan, dan dengan sebuah
gerak tipuan yang bagus ia berhasil menarik perhatian lawannya pada
tangan-tangannya yang menyerang ke arah kepala. Kemudian dengan
kecepatan yang hampir tidak tampak, ia mengangkat kaki kanannya dan
langsung menghantam dada lawannya. Demikian keras serangan itu, sehingga
lawannya terpental beberapa langkah. Tetapi demikian ia tegak, demikian
ia telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Bahkan sesaat
kemudian ia telah melangkah maju, dan dengan kuatnya ia menghantam ke
arah dada Mahesa Jenar. Dengan satu langkah, Mahesa Jenar bergerak ke
samping, dan demikian pukulan itu tidak mengenai sasarannya demikian
Mahesa Jenar membalas dengan sebuah pukulan pada wajah orang itu. Kali
ini Mahesa Jenar sekali lagi tak berhasil mengenainya, sehingga orang
itu terdorong mundur. Mahesa Jenar tidak mau memberi kesempatan lagi,
sekali lagi ia menyodok perut lawannya, sehingga orang itu menggeliat
kesakitan dan meloncat beberapa langkah ke samping. Tetapi Mahesa Jenar
tidak mau kehilangan kesempatan yang baik itu. Ia pun sekali lagi
meloncat dan dengan bergelombang ia menyerang bertubi-tubi sehingga
orang itu terdesak mundur dan mundur.
Tetapi rupanya keadaannya tidaklah tetap
demikian. Tiba-tiba orang itu menggeliat ke samping, dan dengan suatu
putaran yang cepat ia berhasil membingungkan Mahesa Jenar, yang ingin
memotong putaran itu. Cepat ia mempergunakan kesempatan ini untuk
meloncat ke samping lawannya, dan dengan suatu gerakan yang tangkas ia
merendahkan diri. Setengah lingkaran ia memutar tubuhnya untuk langsung
menyerang Mahesa Jenar. Mahesa Jenar terkejut melihat gerakan-gerakan
yang berubah-ubah itu, sehingga ketika sebuah pukulan melayang ke
wajahnya, ia tidak sempat mengelakkan diri. Demikian kerasnya pukulan
itu sehingga Mahesa Jenar terdorong beberapa langkah. Pukulan itu terasa
sakitnya bukan main. Sebagai seorang perwira, tubuh Mahesa Jenar cukup
mempunyai daya tahan yang kuat. Tetapi dikenai oleh pukulan ini wajahnya
menjadi panas dan sejenak pandangan matanya agak kabur. Ketika ia
mengusap wajah itu dengan tangannya, terasa sesuatu yang cair dan hangat
meleleh dari hidungnya. Darah.
Mengalami kenyataan itu, marahnya semakin
memuncak. Ia benar-benar harus berkelahi dengan mengerahkan segenap
kemampuannya. Maka ketika orang itu menyerangnya kembali, Mahesa Jenar
segera merendahkan diri. Dengan pangkal telapak tangannya ia berhasil
menghantam dagu lawannya. Terdengarlah suara gemeratak gigi beradu.
Demikian kerasnya serta dibarengi kemarahan, maka pukulan Mahesa Jenar
seperti berlipat-lipat dahsyatnya, sehingga muka orang itu terangkat
tinggi-tinggi. Mahesa Jenar tidak mengabaikan kesempatan berikutnya.
Selagi muka orang itu masih terangkat, ia meloncat maju menumbukkan
dirinya sambil menghantam perut orang itu dengan lututnya. Terdengarlah
orang it mengaduh tertahan dan terlontar surut. Mahesa Jenar langsung
memburu dan menghantamnya bertubi-tubi. Orang itu terdorong terus hingga
suatu ketika ia tidak dapat mundur lagi karena punggungnya sudah
melekat dengan dinding padas. Mahesa Jenar melihat kesempatan itu. Ia
tidak mau melepaskan lawannya kali ini. Maka dengan kekuatan penuh ia
meloncat maju dan menghantamkan muka orang itu dengan kedua tangannya
sekaligus. Tetapi orang itu ternyata tidak menyerah demikian saja.
Tiba-tiba, ketika Mahesa Jenar meloncat, orang itu pun menyerang dengan
kakinya ke arah perut Mahesa Jenar. Serangan yang sama sekali tak diduga
oleh Mahesa Jenar. Karenanya, serangan itu bulat-bulat telah
melemparkannya dan ia jatuh terguling beberapa kali.
Mahesa Jenar telah mengalami pertempuran
dengan lawan yang beraneka macam. Pada saat ia bertempur dengan Lawa
Ijo, seorang tokoh hitam yang perkasa, ia pun mengerahkan segenap
tenaganya. Tetapi bagaimanapun ia tidak merasakan adanya tekanan-tekanan
yang sedemikian hebatnya seperti saat ini. Tidak saja ia tidak berhasil
menekan lawannya, tetapi benar-benar ia merasakan bahwa tubuhnya
menjadi sakit-sakit dan nyeri.
Mengingat bahwa yang dipertaruhkan adalah
pusaka-pusaka istana, serta kesadarannya akan pertanggung jawabannya
sebagai seorang yang merasa turut serta membina kesejahteraan rakyat,
maka ia merasakan kengerian yang sangat apabila pusaka-pusaka itu sampai
jatuh ke golongan hitam yang manapun. Karena itu tidak ada jalan lain
bagi Mahesa Jenar kecuali membinasakan orang itu. Pada saat ia tidak
dapat menguasai lawannya, maka cara satu-satunya adalah mempergunakan
ilmunya Sasra Birawa. Maka ketika tidak ada pilihan lain, segera ia
meloncat bangkit dan segera ia memusatkan segala kekuatan batinnya serta
mengatur pernafasannya, memusatkan segala kekuatan lahir-batin pada
telapak tangan kanannya. Demikianlah ia berdiri di atas satu kakinya,
sedang kakinya yang lain ditekuk ke depan. Tangan kirinya disilangkannya
di muka dadanya, sedang tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi.
Kemudian demikian cepat bagai sambaran kilat ia meloncat maju dan dengan
dahsyat ia mengayunkan tangan kanannya ke arah kepala lawannya.
Melihat sikap itu, lawan Mahesa Jenar terkejut bukan buatan. Segera ia meloncat mundur sambil berteriak, Tahan… Tuan, tahankan dulu.
Tetapi Mahesa Jenar sudah terlanjur
bergerak. Kalau ia menahan serangannya maka kekuatan yang sudah tersalur
itu pasti akan memukul dirinya sendiri lewat bagian dalam tubuhnya.
Karena itu tidak ada cara lain kecuali melanjutkan serangannya untuk
membinasakan lawannya.
Melihat Mahesa Jenar tidak mengubah
serangannya, tiba-tiba orang itu pun segera bersiap, tidak menghindarkan
diri, karena tidak ada kesempatan lagi, melainkan ia berdiri di atas
kedua kakinya yang melangkah setengah langkah ke depan, lutut kaki
kanannya ditekuk sedikit. Mula-mula ia merentangkan kedua tangannya,
tapi ketika pukulan Mahesa Jenar sudah melayang, segera ia menyilangkan
kedua tangannya di muka wajahnya.
Melihat sikap itu, jantung Mahesa Jenar
seperti berhenti berdenyut karena terkejut. Tetapi segala sesuatu sudah
terlambat. Sebab tangan Mahesa Jenar sudah tinggal berjarak beberapa
cengkang saja dari orang itu.
Dengan satu gerakan pendek, kedua tangan
yang disilangkan di muka wajahnya, orang itu menahan hantaman tangan
Mahesa Jenar. Dan sesaat kemudian terjadilah suatu benturan yang maha
dahsyat seperti berbenturnya halilintar. Akibatnya dahsyat pula. Orang
itu terlempar jauh ke belakang dan bulat-bulat terbanting di tanah tanpa
dapat berbuat sesuatu. Matanya menjadi gelap dan nafasnya tersekat di
kerongkongan. Sebentar kemudian ia tak dapat merasakan sesuatu. Pingsan.
Sedangkan Mahesa Jenar sendiri, yang
menghantamkan ilmunya Sasra Birawa, merasakan bahwa tangannya
seolah-olah tertahan oleh selapis baja yang tebalnya lebih dari sedepa.
Karena itu kekuatan yang dilontarkan itu seolah-olah membalik dan
memukul bagian dalam tubuhnya, ditambah dengan desakan dari orang yang
dipukulnya itu. Karena itu Mahesa Jenar juga terlempar, tidak hanya
seperti sebuah balok yang melayang, tetapi seperti kayu yang oleh
kekuatan raksasa dihantamkan ke punggung padas yang ada di belakangnya.
Demikian dahsyatnya Mahesa Jenar terbanting sehingga pada saat itu juga,
pada saat ia terhempas, ia sudah tak dapat lagi merasakan apa-apa
kecuali kepekatan yang dahsyat menerkam dirinya. Dan ia pun pingsan
pula.
Demikianlah keadaan segera menjadi
senyap. Hanya desir angin di rerumputan serta semak-semak yang
kedengaran gemeresik lembut. Di kejauhan terdengar suara binatang malam,
serta gonggong anjing yang berebutan mangsa. Di mulut goa Sima Rodra
itu menggeletak sebelah-menyebelah dua sosok tubuh yang sama sekali tak
sadarkan diri.
Baru beberapa saat kemudian, oleh
kesegaran angin yang mengusap wajahnya, orang itu, yang telah bertempur
mati-matian melawan Mahesa Jenar, yang ternyata mempunyai ketahanan
tubuh yang luar biasa, sehingga dialah yang pertama-tama dapat menarik
nafas dan perlahan-lahan menggerakkan tubuhnya. Tetapi demikian ia
berusaha bergerak terdengarlah ia mengeluh perlahan. Ternyata tubuhnya
terasa nyeri dan sakit seluruhnya. Maka, untuk beberapa saat orang itu
terpaksa berdiam diri, mengatur jalan pernafasannya serta berusaha untuk
menguasai kembali pikirannya.
Angin masih berhembus perlahan-lahan. Dan
ini telah menolong menyegarkan tubuh orang itu, sehingga beberapa saat
kemudian ia berhasil dengan susah payah mengangkat tubuhnya dan duduk
bersandar pada kedua tangannya. Berkali-kali ia menarik nafas panjang.
Keringat dingin masih saja mengalir membasahi seluruh pakaiannya. Baru
setelah tubuhnya terasa bertambah segar ia perlahan-lahan bangkit
berdiri.
Ketika ia memandang ke daerah
sekelilingnya, tiba-tiba matanya tertumbuk pada tubuh yang masih
terbaring tak bergerak, beberapa langkah dari mulut goa. Sekali lagi ia
menarik nafas. Ia tahu benar bahwa pukulan lawannya itu adalah pukulan
yang tak ada taranya dahsyatnya.
Perlahan-lahan dan tertatih-tatih ia
berjalan selangkah demi selangkah mendekati Mahesa Jenar yang masih
belum sadar. Dengan mata yang bercahaya orang itu memandangi tubuh
Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya. Memandangi
tubuh yang meskipun tidak setinggi dia, tetapi tampak kokoh kuat bagai
seekor banteng.
Ketika orang itu melangkah selangkah lagi
mendekati Mahesa Jenar, terasa bahwa tubuhnya semakin terasa sakit.
Karena itu ia berhenti dan duduk di atas padas beberapa langkah dari
tubuh Mahesa Jenar yang masih terbujur tak bergerak.
Ia terpaksa menahan diri, tidak segera
mendekatinya sampai tubuhnya sendiri agak terasa kuat. Karena itu
dibiarkannya Mahesa Jenar terbaring tak bergerak beberapa langkah di
hadapannya.
Ketika sekali lagi angin malam membelai
tubuh-tubuh yang sedang kesakitan itu, tampak bahwa Mahesa Jenar mulai
bergerak-gerak. Dan sesaat kemudian ia sudah dapat membuka matanya,
meskipun masih samar-samar. Apalagi di dalam kegelapan malam. Yang
pertama-tama dilihatnya adalah bintang-bintang yang bertaburan di
langit, dan sesudah itu matanya tertumbuk pada tubuh tinggi tegap
berdada lebar, duduk di atas padas di hadapannya, yang dengan tajam
memandanginya seperti sebuah bayangan hantu hitam yang akan menerkamnya.
Tetapi pada sat itu ia sama sekali tak dapat berbuat sesuatu. Seluruh
tubuhnya terasa sakit dan nyeri. Sambungan-sambungan tulangnya terasa
seperti lepas dan tak dapat dikuasainya. Karena itu kalau terjadi
sesuatu ia sama sekali tak akan dapat membela diri.
Maka sekali lagi Mahesa Jenar memejamkan
matanya untuk mengumpulkan ingatannya. Dan perlahan-lahan ketika
tubuhnya terasa semakin segar karena angin malam yang lembut, ingatannya
pun sedikit demi sedikit menjadi cerah kembali meskipun kepalanya masih
saja pening dan seperti berputar-putar.
Apa yang baru saja dialami menjadi
semakin jelas dalam kepalanya. Bagaimana ia mempergunakan ilmu
kepercayaannya Sasra Birawa dan bagaimana orang yang dihantamnya itu
merentangkan tangannya dan selanjutnya disilangkan di muka wajahnya. Dan
sekarang, orang yang dikenai ilmunya itu ternyata masih saja hidup dan
duduk di dekatnya. Mengingat hal itu, Mahesa Jenar tiba-tiba merasa
gembira sekali. Dan kegembiraannya itu telah sangat mempengaruhi
keadaannya, sehingga tiba-tiba ia dapat duduk, meskipun dengan susah
payah untuk menegakkan tubuhnya yang duduk lemah seperti tak bertulang.
Meskipun demikian, wajah Mahesa Jenar tampak cerah dan matanya
menyorotkan cahaya segar.
Demikian pula orang yang duduk di atas
padas itu. Ketika ia menyaksikan Mahesa Jenar telah dapat duduk, ia pun
menjadi gembira. Senyum yang tulus telah menggerakkan bibirnya.
Perlahan-lahan dengan suara parau ia menyapa, “Tidakkah tuan mengalami sesuatu?”
Mahesa Jenar tersenyum pula, meskipun agak kecut. Jawabnya, “Bagaimana aku mengatakan bahwa aku tidak mengalami sesuatu kalau bangun saja rasanya seperti tidak mungkin.”.
Orang itu menundukkan kepalanya seperti menyesali dirinya, katanya kemudian, “Maafkan aku.”
Mendengar kata-kata itu segera Mahesa Jenar menyahut, “Jangan
Tuan menyalahkan diri sendiri. Akulah yang seharusnya minta maaf kepada
Tuan, sebab akulah yang pertama-tama mulai. Berbahagialah aku bahwa
Tuan ternyata sehat walafiat karena kesaktian Tuan.”
Terdengar orang itu tertawa lirih. “Tuan
salah duga. Aku pun mengalami keadaan seperti Tuan. Sampai sekarang aku
masih belum berhasil untuk mencapai jarak ke dekat Tuan terbaring,
karena seluruh sendi tulang-tulangku sakit bukan kepalang, karena di
dalam tangan Tuan tersimpan aji Sasra Birawa.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sahutnya, “Sekali lagi, maafkan aku.”
“Tak apalah…” jawab orang itu,
“malahan aku merasakan suatu keuntungan, mendapat kehormatan mencicipi
ilmu Tuan yang maha dahsyat itu. Dan dengan demikian aku mengenal Tuan,
yang pasti salah seorang murid dari Paman Pengging Sepuh.”
Mahesa Jenar mengangguk perlahan, katanya, “Benar
Tuan, aku tinggal satu-satunya murid yang masih harus menjunjung tinggi
nama kebesaran Ki Ageng Pengging Sepuh Almarhum. Untung jugalah bahwa
aku tidak binasa kali ini. Kalau hal itu terjadi, berakhirlah nama
perguruan Pengging. Bukankah Tuan telah mempergunakan aji Lebur
Sekethi?”
“Terpaksa.” gumam orang itu seperti kepada diri sendiri, “hanya sekadar supaya aku tidak lumat.”
“Benar Tuan…,” potong Mahesa Jenar,
“Tuan sama sekali benar. Akulah yang terlalu lancang. Tetapi siapakah
sebenarnya Tuan? Bukankah Lebur Sakethi itu menurut guruku Almarhum dan
yang kukenal adalah milik Ki Ageng Dipayana?”
“Tuan menebak dengan tepat.” jawab orang itu, “Karena
itu ketika Tuan mengatakan bahwa Tuan adalah orang Pangrantunan, segera
aku menjadi curiga. Sebab Pangrantunan adalah daerah masa
kanak-kanakku. Aku adalah anak Ki Ageng Sora Dipayana.”
“Apakah Tuan yang disebut Ki Ageng Gajah Sora?” tanya Mahesa Jenar.
“Benar Tuan, jawab orang itu, “Akulah yang bernama Gajah Sora.”
Mendengar jawaban itu, Mahesa Jenar jadi
merenung. Untunglah bahwa tak terjadi sesuatu dalam pertempuran tadi.
Kalau saja ada salah langkah, maka akibatnya akan mengerikan. Salah satu
diantaranya pasti binasa. Sebab ajian seperti Sasra Birawa dan Lebur
Sakethi mempunyai daya yang dahsyatnya luar biasa. Tidak hanya sebagai
ajian yang tidak saja dipergunakan menyerang, tetapi juga bertahan.
Sejenak kemudian terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora bertanya kepadanya, “Tetapi sampai sekarang Tuan belum menyebut nama Tuan.”
Mahesa Jenar seperti tersadar dari renungannya, maka jawabnya, “Namaku adalah Mahesa Jenar.”
“Mahesa Jenar?” ulang Gajah Sora. “Aku
belum pernah mendengar nama ini dari ayahku yang sering menyebut-nyebut
nama sahabat-sahabatnya serta murid-muridnya. Bukankah seorang murid Ki
Ageng Pengging itu terbunuh…?”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar, “Bahkan tidak saja ia muridnya, tetapi juga putranya.”
Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Ki Kebo Kenanga…. Bukankah begitu?”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar pendek.
“Kakaknya, Ki Kebo Kanigara, kabarnya lenyap tak meninggalkan bekas,” sambung Gajah Sora . “Dan Tuan? Adakah Tuan mempunyai sebutan yang lain?”
“Semua yang Tuan katakan adalah benar. Akulah
yang sedikit sekali mengenal sahabat-sahabat guruku. Mungkin ini
disebabkan Guru sudah lama melenyapkan diri, dan akhirnya diketahui
bahwa beliau telah wafat, sehingga tidak banyak yang dapat diceritakan
kepadaku. Adapun mengenai aku sendiri, memang benarlah kata Tuan, sebab
sejak aku menjadi prajurit, aku selalu dipanggil dengan nama Tohjaya.”
“Tohjaya…, ya Tohjaya,” ulang Gajah Sora,
“Kalau nama ini memang pernah aku dengar. Tidak saja dari ayahku,
tetapi hampir setiap orang menyebutnya sebagai pengawal raja. Tetapi
kenapa Tuan sampai di sini?”
Akhirnya dengan singkat Mahesa Jenar
bercerita tentang segala-galanya yang pernah dialami. Juga tentang
pertemuannya dengan Ki Ageng Sora Dipayana di Pangrantunan dan
pertemuannya dengan Ki Ageng Lembu Sora.
“Memang, anak itu agak bengal,” sahut Gajah Sora kemudian. “Biarlah
lain kali aku mengurusnya. Juga tentang sepasang Uling, yang sampai
sekarang masih aku biarkan saja sambil menunggu orang-orang golongan
hitam itu berkumpul. Tetapi yang penting sekarang, apakah yang kita
lakukan?”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepala
sambil memandangi mulut goa yang masih saja ternganga seperti mulut
seekor naga raksasa yang siap menelannya. Beberapa saat ia agak
kebingungan. Tetapi akhirnya ia berkata, “Kalau saja tadi aku tahu
bahwa Tuan adalah Ki Ageng Gajah Sora, maka aku kira aku tidak akan
mengganggu Tuan. Nah Tuan, sekarang terserah kepada Tuan akan kedua
keris itu.”
“Tidak,” jawab Gajah Sora, “Tuan lebih berhak untuk mengambilnya serta menyerahkan kembali ke Istana Demak.”
“Aku adalah seorang perantau,” sahut Mahesa Jenar, “Aku kira lebih aman kalau Tuan yang menyimpannya sampai datang waktunya untuk diserahkan kepada yang berhak nanti.”
Tampaklah sejenak Gajah Sora merenung menimbang-nimbang. Akhirnya ia berkata, Baiklah,
sekarang kedua pusaka itu kita ambil dan kita bawa pulang. Bukankah
Tuan sudi singgah ke Banyu Biru sehari dua hari…? Atau sampai pada saat
pertemuan kalangan hitam. Di sana dengan aman segala sesuatu dapat kita
bicarakan.
Tentu saja Mahesa Jenar tidak dapat menolak ajakan itu. Karena itu ia pun segera mengiakan.
Maka setelah itu, setelah mereka merasa
bahwa tubuh mereka telah dapat dibawa berjalan, masuklah mereka dengan
sangat hati-hati ke dalam goa itu dan langsung menuju ke ruang dimana
kedua pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten disimpan.
Setelah menyembah beberapa kali, maka diambillah kedua pusaka itu dan
dibawa keluar seorang satu, dengan tujuan untuk membawanya ke Banyu
Biru, ke rumah Ki Ageng Gajah Sora yang untuk selanjutnya akan
dibicarakan penyerahannya kepada yang berhak di Istana Demak.
Tetapi belum lagi mereka sempat
meninggalkan daerah bukit Tidar, tiba-tiba mereka mendengar derap
langkah kuda yang cukup banyak mendaki Gunung Tidar dari arah utara.
Kedatangan mereka ini sudah pasti sangat mengejutkan Mahesa Jenar maupun
Ki Ageng Gajah Sora.
“Siapakah mereka?” tanya Mahesa Jenar.
“Entahlah,” jawab Ki Ageng Gajah
Sora sambil menggelengkan kepalanya. Derap kuda itu semakin lama
semakin dekat, dan tampaknya mereka langsung menuju ke arah goa.
“Mereka menuju kemari,” desis Gajah Sora.
“Ya, mereka menuju kemari,” ulang Mahesa Jenar.
“Lalu bagaimanakah sebaiknya sikap kita?” Gajah Sora ingin mendapat pertimbangan.
Dengan keadaan tubuh mereka yang hampir
remuk itu, sudah pasti bahwa mereka tak akan cepat berbuat apa-apa
seandainya yang datang itu akan membahayakan. Karena itu yang
sebaik-baiknya bagi mereka adalah menghindari orang-orang berkuda itu.
“Dengan keadaan kita seperti ini, sebaiknyalah kalau kita menghindari mereka,” kata Mahesa Jenar.
“Baiklah. Marilah kita bersembunyi,” jawab Gajah Sora.
Sementara itu, kuda-kuda itu semakin
dekat. Segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar mencari tempat untuk
berlindung, di bawah semak yang rimbun.
Belum lagi mereka selesai menempatkan
diri, muncullah dari balik-balik padas beberapa orang berkuda. Meskipun
gelap malam masih menyeluruh, tetapi remang-remang mereka dapat juga
menyaksikan tubuh-tubuh orang-orang berkuda itu.
Tepat di muka goa mereka menghentikan
kuda mereka, dan langsung dengan suara lantang terdengar salah seorang
dari mereka berteriak, “Hei Sima Rodra, sudah gilakah engkau. Kau biarkan semua penjaga-penjagamu tidur?”
Suara itu melontar memukul
dinding-dinding padas dan dipantulkan kembali berturut-turut beberapa
kali. Namun tak ada jawaban yang terdengar. Berkali-kali orang itu
berteriak-teriak memanggil, tetapi juga tak pernah ada jawaban.
Akhirnya mereka berhenti berteriak-teriak. Salah seorang dari mereka berkata, “Ada sesuatu yang tidak beres. Hai salah seorang dari kamu, bangunkan semua orang yang tidur. Juga pengawal-pengawal gerbang.”
“Baik Ki Lurah,” jawab salah satu diantaranya. Dan sejenak kemudian terdengar langkah seekor kuda menjauh.
Sementara itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar
beruntung dapat menyaksikan orang-orang berkuda itu dengan jelas. Yang
berkuda paling depan adalah dua orang yang gagah tegap, meskipun
badannya tidak begitu besar. Mukanya tampak panjang meruncing, dan
masing-masing menggenggam sebuah cemeti panjang. Mereka tampaknya hampir
seperti dua orang kembar.
Ketika Mahesa Jenar sedang menduga-duga, terdengarlah Gajah Sora berbisik, “Itulah
Sepasang Uling dari Rawa Pening. Yang di sebelah kanan itulah yang tua,
yang disebut Uling Putih, sedang yang lain adalah Uling Kuning.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Itulah mereka yang bernama Uling Putih dan Uling Kuning.
Kedatangan mereka sudah pasti untuk menuntut dendam akibat terbunuhnya
salah seorang kepercayaannya.
Sebentar kemudian datanglah beberapa
orang berlari-lari ke arah goa itu pula. Mereka adalah anak buah Sima
Rodra yang tertidur karena kekuatan sirep Gajah Sora. Salah seorang
diantaranya, yang gemuk agak pendek, bertubuh kuat seperti seekor orang
hutan, maju mendekati sepasang Uling yang masih saja duduk di atas
kudanya.
Katanya, “Salam kami untuk Sepasang Uling dari Rawa Pening.”
Rupanya kakak-beradik Uling itu sama sekali tak memperhatikan sapa itu. Bahkan salah seorang dari mereka membentak, “Hai, Sakayon, di manakah suami-istri macan liar itu?”
Rupanya yang dipanggil Sakayon itu tersinggung juga hatinya. Jawabnya, “Buat apa kau cari mereka?”
“Jangan banyak cakap,” bentak Uling Kuning, “Cari mereka”.
Terdengar Sakayon mendengus, “Hemm…. Kau kira kau bisa memerintah aku…? Tanyakan dengan baik, aku akan menyuruh salah seorang untuk memanggilnya.”
Sepasang Uling yang kasar itu menjadi marah. Teriaknya, “Kalau kau masih juga berlagak, aku patahkan lehermu.”
Tetapi Sakayon sama sekali tidak takut. Malahan terdengar ia tertawa, “Kau
jangan main sekarat di sini. Katakan apa perlumu. Kalau suami-istri
Sima Rodra tidak ada, akulah yang harus menyelesaikan semua soal.”
Ternyata Uling Kuning hatinya lebih mudah
terbakar daripada kakaknya. Hampir saja ia memutar cemetinya kalau
Uling Putih tidak mencegahnya. Sedang Sakayon pun telah pula menarik
pedang pendek tetapi besar seperti tubuhnya.
“Jangan layani dia, Kuning” kata Uling Putih, sambil menarik kekang kudanya dan melangkah beberapa langkah maju.
“Baiklah Sakayon,” katanya, “aku tunduk kepada peraturanmu. Tolong, katakan kepada Suami-Istri Sima Rodra bahwa aku ingin menemui mereka.”
Sakayon yang merasa mendapat kemenangan, membusungkan dadanya sambil menjawab, “Itulah namanya tamu yang tahu diri.” Lalu katanya kepada salah seorang anak buahnya, “Panggilkan Ki Lurah. Katakan bahwa kakak-beradik dari Rawa Pening ingin menemuinya.”
Orang yang disuruhnya itu segera berlari
ke dalam goa. Tetapi sebentar kemudian ia telah muncul kembali dengan
nafas yang terengah-engah. Katanya dengan gugup, “Kakang Sakayon…,
Ki Lurah tidak ada di dalam goa. Bahkan ruang penyimpanan yang tidak
pernah terbuka itu pun tampaknya telah dibuka dengan paksa.”
“Hei…!” teriak Sakayon terkejut.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi ia meloncat dengan tangkasnya
masuk ke dalam goa. Menilik geraknya maka Sakayon pun pasti termasuk
orang yang berilmu tinggi. Mungkin ia adalah kepercayaan Suami-Istri
Sima Rodra. Sakayon telah keluar dari dalam goa. Gerak-geriknya
menunjukkan kegelisahan hatinya. Sejenak kemudian tanpa berkata apapun
ia berlari kesamping goa dimana Sima Rodra tadi lenyap.
“Mereka telah mempergunakan pintu rahasia ini” teriaknya, “Pasti terjadi sesuatu atas mereka”.
Kemudian kembali ia berlari ke arah tamu-tamunya. Katanya dengan nafas yang memburu, “Mereka
telah lenyap. Untuk tiga hari setidak-tidaknya kalian tak akan dapat
menemui mereka. Sedangkan kedua pusaka yang disimpannya itu telah lenyap
pula. Kalau yang mengambil Suami-Istri Sima Rodra, mereka tidak perlu
memecahkan pintu.”
“Keris itu lenyap…?” tanya Uling Putih. Suaranya pun menunjukkan suatu kecemasan yang sangat. “Kalau kata-katamu betul, pasti akan menimbulkan suasana yang panas dalam pertemuan kami nanti.”
Uling Kuning yang lebih kasar itu tidak berkata apapun, tetapi segera ia meloncat turun dari kudanya dan langsung masuk goa.
“Kau tidak percaya?,” teriak Sakayon, “Baiklah, lihatlah sendiri.”
Rupanya Uling Putih tidak tega membiarkan
adiknya memasuki goa seorang diri. Sebab mungkin ada hal-hal yang tidak
beres. Karena itu ia pun segera meloncat turun dan cepat-cepat menyusul
memasuki goa itu.
Sejenak suasana menjadi sepi. Masing-masing diam sambil menunggu kakak-beradik itu keluar dari mulut goa.
Sementara itu, ketika semua perhatian dicurahkan ke mulut goa, berbisiklah Gajah Sora, “Tuan, bukankah kita dapat mempergunakan kesempatan ini untuk menyingkir dari kandang macan ini? “
Rupanya Mahesa Jenar pun telah memperhitungkan demikian, sehingga ia segera menyetujuinya. “Baik Tuan, tetapi jalan mana yang akan kita lalui?”
“Apakah Tuan belum melihat gerbang dari benteng Sima Rodra ini?” tanya Gajah Sora.
“Belum,” jawab Mahesa Jenar, “Aku memasuki halaman ini dengan memanjat dinding belakang.”
Tampaklah Gajah Sora tersenyum. Katanya, “Akh,
Tuan kurang hati-hati. Seharusnya Tuan mengetahui lebih dahulu sebelum
berbuat sesuatu, arah-arah mana yang dapat Tuan lewati kalau bahaya
datang. Atau setidaknya Tuan telah memiliki pengetahuan tentang itu.”
Mahesa Jenar tersenyum pula, katanya, “Tuan benar. Aku memang kurang hati-hati. Tetapi apakah sekarang kita dapat melewati gerbang?”
“Tentu,” jawab Gajah Sora, “Orang-orang yang menjaganya sedang berkumpul di sini.”
“Kalau demikian marilah kita pergi,” sahut Mahesa Jenar lagi.
Maka sebentar kemudian, Gajah Sora dan
Mahesa Jenar dengan hati-hati sekali menyelinap dari satu rumpun ke
rumpun yang lain, dari balik padas yang satu ke padas yang lain.
Selangkah demi selangkah mereka berhasil mendekati gerbang yang
menghadap ke utara. Gerbang ini dalam keadaan biasanya selalu dijaga
dengan kuatnya oleh orang-orang kepercayaan Sima Rodra. Tetapi
orang-orang itu sekarang sedang berkumpul di depan goa untuk dapat
mencegah kalau sepasang Uling itu akan berbuat sesuatu. Maka dengan
tidak banyak mendapat kesulitan, Gajah Sora dan Mahesa Jenar berhasil
keluar melewati gerbang yang menganga tak terjaga. Setelah itu, setelah
mereka berada di luar, segera mereka meloncat ke dalam semak-semak dan
menjauhi benteng Sima Rodra itu dengan mengambil jalan menyusup
rumpun-rumpun liar dan menjauhi jalan yang semestinya. Dengan keadaan
tubuh mereka yang hampir remuk itu, mereka harus dengan hati-hati sekali
menuruni tebing yang curam serta menloncati padas-padas yang rumpil.
Untunglah bahwa mereka berdua mempunyai dasar kecekatan yang cukup,
sehingga meskipun dengan susah payah pula mereka dalam waktu singkat
telah dapat mencapai dataran di sebelah bukit kecil itu.
Tetapi demikian mereka merasa bahwa jalan
yang akan mereka lalui tidak lagi sulit, mereka mendengar lamat-lamat
derap kuda yang keluar dari gerbang benteng bukit Tidar, yang semakin
lama terdengar semakin jauh. Rupanya sepasang Uling dari Rawa Pening itu
ketika sudah yakin bahwa Suami-Istri Sima Rodra tak dapat mereka temui,
serta sepasang keris itu tidak lagi berada di tangan mereka, mereka
merasa bahwa tak ada gunanya lagi tinggal terlalu lama di Bukit Tidar.
Setelah suara derap kuda itu lenyap, kembali Gajah Sora dan Mahesa Jenar
melanjutkan perjalanan untuk secepat-cepatnya menjauhi gunung Tidar.
Untuk menghilangkah jejak, mereka tidak langsung berjalan ke timur,
tetapi mula-mula mereka melingkar ke barat untuk selanjutnya membelok ke
utara, ke Banyu Biru.
Di perjalanan, ternyata bahwa Gajah Sora
dan Mahesa Jenar yang baru saja berkenalan itu menjadi begitu akrab,
seolah-olah mereka telah berkenalan bertahun-tahun. Dalam banyak hal
mereka selalu bersamaan pendapat dan perhitungan.
Setelah beberapa lama mereka berjalan,
serta mereka sudah yakin benar bahwa orang-orang Sima Rodra tidak lagi
dapat menemukan mereka, mereka merasa perlu untuk beristirahat, untuk
menyegarkan tubuh mereka. Maka dicarilah tempat yang sesuai untuk
sekadar melepaskan lelah.
Tetapi demikian mereka duduk bersandar di
pepohonan, karena lelah dan tegang yang dialaminya beberapa saat yang
lalu, segera mereka jatuh tertidur.
Demikian nyenyaknya, sehingga mereka sama
sekali tak merasa bahwa malam telah lama lewat, dan matahari telah
tinggi di langit. Ketika cahaya matahari itu, menerobos daun-daun dan
memanaskan tubuh mereka, kedua orang yang kelelahan itu baru terbangun.
Terasalah sesudah mereka beristirahat benar-benar, meskipun hanya
sebentar, tubuh mereka menjadi bertambah segar. Meskipun masih saja
terasa agak kaku-kaku dan nyeri, namun mereka telah sanggup untuk
berdiri tegak dan melangkah dengan tangkas, berkat daya tahan tubuh
mereka yang cukup kuat.
Setelah mereka mencuci muka serta sekadar
minum air dari sumber yang ditemukannya di dekat mereka beristirahat,
mulailah mereka melanjutkan perjalanan. Mula-mula mereka akan singgah ke
Pangrantunan untuk menemui Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi setelah
dipertimbangkan untung-ruginya, mereka membatalkan maksud itu. Di
perjalanan pulang itu, barulah mereka mengetahui bahwa wajah-wajah
mereka tampaknya seperti berubah. Beberapa noda biru dan bengkak-bengkak
tampak di sana-sini. Hal itu menunjukkan betapa hebatnya perkelahian
mereka semalam. Sehingga apabila mereka saling memandang, mereka menjadi
tertawa sendiri. Di samping itu, dalam hati masing-masing timbullah
rasa kagum satu sama lain. Sebab dalam pertempuran dan perkelahian yang
mereka alami sebelum itu, jarang tubuh mereka dapat disakiti, apalagi
sampai biru-biru dan bengkak-bengkak. Juga perasaan Gajah Sora dan
Mahesa Jenar juga menjadi geli bercampur heran. Kenapa Ki Ageng Sora
Dipayana begitu yakin bahwa cara perkenalan yang aneh itu tidak akan
membawa akibat yang dapat berbahaya. Sebab rupanya, dengan memberi
banyak petunjuk kepada Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana memang
bermaksud untuk mempertemukannya dengan Gajah Sora yang kebetulan juga
sedang disuruhnya mengambil kedua pusaka itu, tanpa memberitahukan lebih
dahulu.
Dengan wajah-wajah yang demikian, apabila
mereka singgah di Pangrantunan, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Baik
kepada mereka sendiri maupun kepada Ki Ageng Sora Dipayana yang
menyamar sebagai seorang petani miskin.
Karena itu mereka berketetapan hati untuk melangsungkan saja perjalanan mereka ke Banyu Biru.
Pada malam berikutnya mereka bermalam
pula di tengah-tengah hutan. Sengaja mereka tidak menuruti jalan ke
Bergota karena mereka merasa bahwa barang-barang yang mereka bawa adalah
bukan barang biasa, yang apabila sampai diketahui orang akan dapat
banyak menimbulkan kerepotan.
Seperti juga malam kemarin, karena lelah
dan mereka belum pulih seluruhnya, Gajah Sora dan Mahesa Jenar demikian
meletakkan tubuhnya, demikian mereka mendengkur nyenyak sekali. Tetapi
malam ini ternyata tidak setenteram malam kemarin. Belum lagi mereka
melampaui tengah malam, mendadak terasa tubuh mereka dikenai sesuatu.
Gajah Sora dan Mahesa Jenar adalah orang-orang yang pernah mengalami
latihan-latihan jasmaniah maupun kesiagaan batin. Maka demikian tubuh
mereka kena sentuhan yang tidak wajar, demikian mereka meloncat berdiri
dan dalam sekejap mereka telah bersiaga.
Dan tepat pada saatnya, terdengarlah
gemerisik dedaunan disamping mereka, dan dengan suatu auman yang dahsyat
meloncatlah seekor harimau hitam yang besarnya bukan kepalang, menerkam
Mahesa Jenar. Untunglah bahwa tubuh Mahesa Jenar telah agak terasa
baik, sehingga dengan menjatuhkan diri ia bebas dari terkaman harimau
hitam itu. Bahkan tiba-tiba ia menjadi marah sekali atas gangguan yang
mendadak datangnya. Karena itu ia tidak menanti lebih lama lagi. Saat
itu pula segera ia mengatur jalan pernafasan menurut ajaran gurunya,
menyilangkan tangan kirinya di muka dada serta mengangkat tangan
kanannya, satu kakinya ditekuk ke depan. Dan dengan menggeram penuh
kemarahan, ia meloncat ke arah harimau yang baru saja menjejakkan
kakinya keatas tanah itu, berbareng dengan mengayunkan pukulan Sasra
Birawa. Tetapi ketika tangannya sudah hampir menyentuh tubuh harimau
itu, tiba-tiba dengan gerakan aneh harimau itu berguling-guling tangkas
sekali sehingga pukulan Mahesa Jenar yang dilambari kekuatan ilmu Sasra
Birawa itu tidak mengenai sasarannya. Dengan demikian ia terseret oleh
kekuatannya sendiri sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangan.
Untunglah bahwa dengan cepat Mahesa Jenar dapat menguasai dirinya
kembali sehingga ia tidak jatuh tertelungkup. Tetapi pada saat yang
demikian, pada saat dimana Mahesa Jenar masih belum dapat menguasai
keseimbangan sepenuhnya, harimau itu telah siap merobek-robeknya.
Untunglah bahwa kawan seperjalanannya bukan pula orang kebanyakan. Ia
menyaksikan kegagalan Mahesa Jenar dengan penuh keheranan. Heran atas
sikap seekor harimau yang dengan tangkas dapat membebaskan dirinya dari
pukulan maut Mahesa Jenar, bahkan harimau itu telah siap pula untuk
menerkamnya. Karena itu Gajah Sora tidak mau kehilangan waktu. Cepat
seperti kilat ia meloncat sambil merentangkan tangannya, yang sesaat
kemudian telah menyilang dadanya. Dengan suatu gerakan melingkar lewat
atas kepalanya ia menghantam harimau itu dengan dahsyatnya. Bahkan Gajah
Sora telah mempergunakan ilmunya Lebur Sakethi. Melihat serangan yang
tiba-tiba datang itu, harimau hitam biasa meloncat menghindari pukulan
Lebur Saketi yang tidak pula kalah dahsyatnya. Juga kali ini Gajah Sora
tak berhasil mengenainya. Tetapi sementara itu, Mahesa Jenar telah dapat
menguasai diri sepenuhnya. Sehingga demikian ia melihat harimau itu
berhasil menghindari pukulah Gajah Sora, demikian Mahesa Jenar
mengulangi serangannya dengan ilmunya Sasra Birawa. Kali ini harimau
hitam yang sedang mengelak itu tidak sempat berbuat apa-apa. Tangan
Mahesa Jenar berhasil mengenai tengkuknya. Harimau itu meloncat
tinggi-tinggi dan mengaum hebat sekali. Gajah Sora, yang menjadi marah
pula, tidak mau membiarkan harimau itu, karenanya sebelum harimau itu
jatuh di tanah ia telah mengulangi pula serangannya dengan aji Lebur
Sakethi.
Akibat dari dua pukulan maha dahsyat itu hebat sekali. Harimau hitam itu terpental beberapa langkah.
Akibat dari dua pukulan maha dahsyat itu hebat sekali. Harimau hitam itu terpental beberapa langkah.

Orang yang berkerudung kulit harimau
hitam itu berdiri dengan angkuhnya. Tubuhnya gagah besar melampaui
ukuran yang biasa. Jambang dan janggutnya tidaklah begitu lebat, tetapi
hampir memenuhi seluruh mukanya. Matanya tampak bercahaya di dalam
gelap, benar-benar seperti mata seekor harimau. Dalam cahaya bintang
yang samar-samar, Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang berpandangan tajam
itu dapat menyaksikan bahwa wajah orang itu pastilah bengis dan kejam.
Sebentar kemudian terdengarlah ia menggeram perlahan-lahan, lalu
terdengarlah suaranya dalam sekali, “Pukulan kalian luar biasa
dahsyatnya. Terasa betapa sakit dan nyerinya. Karena itu, kau telah
berbuat kesalahan dalam dua hal. Mengambil kedua pusaka itu dan
menyakiti tubuhku. Akibatnya adalah dua hal pula, kembalikan keris itu
dan aku akan membalas pukulan kalian. Kalau kalian mati karena pukulanku
bukanlah salahku.”
Mendengar kata-kata itu, Gajah Sora dan
Mahesa Jenar menjadi gemetar karena marah. Biarpun orang itu tidak dapat
dibunuhnya karena kesaktian andalan mereka yang terakhir, tetapi mereka
bukanlah anak-anak kecil yang harus menerima saja hukuman dari orang
tuanya. Karena itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera menyiagakan diri
untuk bersama-sama menghadapi bahaya yang besar, dan untuk taruhan yang
besar pula, yaitu kedua keris Pusaka Demak dan nyawa mereka, maka
menurut pertimbangan Gajah Sora dan Mahesa Jenar, tidaklah mereka
bersalah apabila mereka terpaksa mempergunakan keris-keris yang sedang
mereka pertahankan mati-matian itu. Karena itu, tangan Mahesa Jenar dan
Gajah Sora segera melekat pada ukiran keris yang mereka bawa
masing-masing.
Melihat gelagat itu, orang yang berkerudung kulit harimau itu berdesis, “Hem..,
kalian akan mempergunakan Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten itu untuk
melawan aku. Bagus. Memang tak seorangpun di dunia ini yang akan dapat
tetap hidup meskipun hanya tergores seujung rambut saja. Tetapi aku
harus meyakinkan kalian, bahwa kalian tak akan dapat menyentuh tubuhku
dengan kedua pusaka itu.”
Habis mengucapkan kata-kata itu, orang
itu segera bersiap untuk menyerang Gajah Sora dan Mahesa Jenar.
Bagaimanapun beraninya Gajah Sora dan Mahesa Jenar, hati mereka bergetar
juga. Tergetar karena menghadapi bahaya yang mungkin akan dapat
menggagalkan tugas mereka untuk menyelamatkan Kiai Nagasasra dan Sabuk
Inten.
Sejenak kemudian seperti angin menyambar,
orang itu mulai dengan serangannya. Alangkah dahsyatnya, Gajah Sora dan
Mahesa Jenar segera memencarkan diri, dan tak ada pilihan lain kecuali
mencabut kedua pusaka yang mereka bawa yang kemudian sejenak diungkulkan
di atas kepala masing-masing. Kiai Nagasasra berbentuk seekor naga
bersisik emas, yang memancarkan cahaya kuning menyilaukan, sedang Kiai
Sabuk Inten yang ber-luk 11 tampak berkilat-kilat memancarkan cahaya
yang kebiru-biruan. Gajah Sora dan Mahesa Jenar meskipun tidak dapat
menyamai kecepatan gerak lawannya tetapi mereka bukan pula anak-anak
ingusan. Apalagi di tangan mereka sekarang bercahaya-cahaya pusaka yang
tiada taranya. Karena itu orang yang berkerudung kulit harimau itupun
tidak berani merendahkan. Segera mereka bertiga terlibat dalam satu
pertempuran yang luar biasa hebatnya. Tampaklah sebuah bayangan hitam
menyelinap menyusup dan kemudian meloncati gumpalan-gumpalan cahaya
kuning yang silau dan cahaya biru yang gemerlapan. Itulah cahaya dari
kedua pusaka itu di tangan orang-orang yang hampir sempurna olah
senjata.
Tetapi ternyata apa yang dikatakan orang
itu benar-benar terjadi. Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang sudah bekerja
mati-matian, sama sekali tak berhasil menyentuh kulit lawannya dengan
senjata-senjatanya. Hanya untunglah bahwa karena kedua pusaka itu pula,
lawan mereka belum juga berhasil dapat mengenai tubuh mereka. Kalau saja
Gajah Sora atau Mahesa Jenar sampai tersinggung oleh tangan hantu itu,
pastilah kulit mereka akan robek. Akhirnya, ketika pertempuran itu sudah
berlangsung beberapa saat, dan masih saja Gajah Sora dan Mahesa Jenar
memberikan perlawanan yang sengit, orang yang berkerudung kulit harimau
itu tidak sabar lagi. Ia meloncat beberapa langkah ke belakang, dan
dengan gerak yang menakutkan ia menggetarkan tubuhnya sambil mengaum
mengerikan. Sesaat kemudian ia telah siap untuk mengadakan
serangan-serangan terakhir yang mematikan. Meskipun Gajah Sora dan
Mahesa Jenar tidak mengerti arti dari gerakan-gerakan itu, mereka yakin
bahwa saat yang menentukan segera akan tiba.
Gajah Sora dan Mahesa Jenar pun segera
mempersiapkan diri. Mereka berdiri kira-kira berjarak 3 sampai 4
langkah, yang dapat dicapainya dalam satu loncatan. Mereka sudah
bertekad untuk bertempur sampai kemungkinan yang terakhir. Kalau mereka
berdua harus mati, maka setan itu pun harus dapat dilukainya pula dengan
salah satu dari kedua keris itu, sehingga ia pun pasti akan mati pula.
Orang yang berkerudung kulit harimau itu
setelah berhenti mengaum segera bersikap seperti akan menerkam.
Tangannya terjulur ke depan, sedangkan jari-jarinya dikembangkan.
Melihat sikap itu, segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar teringat kepada
istri Sima Rodra yang bertempur dengan cara yang serupa. Tetapi orang
ini ternyata mempunyai ketinggian ilmu yang berlipat-lipat.
Sejenak kemudian, hampir pada saat orang
itu meloncati Gajah Sora, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang
nyaring meskipun tidak terlalu keras. Kemudian disusul gemerisik
daun-daun yang tergetar karena suara tertawa itu. Alangkah besar tenaga
yang dilontarkan lewat suara yang tidak begitu keras itu.
Mendengar suara itu, orang berkerudung
kulit harimau itu tampak terkejut bukan main. Dan keadaan itu sangat
mengejutkan Gajah Sora dan Mahesa Jenar pula. Mereka telah terkejut
karena getaran suara itu, disusul oleh sikap orang yang berkerudung itu.
Orang berkerudung itu kemudian menegakkan
kepalanya. Ia menggeram hebat menunjukkan kemarahannya. Kemudian
terdengar ia berkata, “Hem…, apa kepentinganmu dengan mengganggu pekerjaanku?”
Dan terdengarlah jawaban yang lunak halus hampir seperti suara perempuan, katanya, “Terhadap anak-anak itu kau sudah akan mempergunakan ajimu Macan Liwung?”
“Apa pedulimu?” jawab orang itu.
“Banyak kepentinganku atasnya, mereka
adalah murid-murid sahabatku. Dan bukankah persoalan itu adalah
persoalan anak-anak. Sebaiknya orang tua tidak usah ikut campur,” jawab suara itu.
Sebaiknya kau mengurus kepentinganmu sendiri, sahut orang berkerudung itu.
“Ini juga termasuk kepentinganku,” jawab suara itu pula.
“Aku tidak pedulikan kau,” potong orang berkerudung itu.
“Tetapi aku mempedulikan kau. Kalau
kau memaksa pula untuk mencampuri perkara anak-anak. Baiklah kita yang
tua-tua ini membuka permainan sendiri. Sedang anak-anak biarlah mereka
belajar menyelesaikan masalah mereka.”
“Gila…. Selamanya kau gila. Kau berharap dapat mengalahkan aku sekarang?”
“Tidak.” jawab orang itu,
“Aku tahu bahwa aku tak akan mengalahkan kau. Tetapi setidak-tidaknya
kau juga tidak akan dapat mengalahkan aku. Dan permainan itu akan
memberi kesempatan kepada anak-anak itu untuk berlindung pada
bapak-bapaknya. Karena ada seorang bapak telah ikut campur pula.”
Suara orang asing yang lunak dan mirip
suara perempuan itu terang berasal dari belakang Gajah Sora dan Mahesa
Jenar. Meskipun demikian, Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak berani
menoleh ke belakang. Mereka tahu bahwa orang itu pasti tidak akan
bermaksud jahat, sebab kalau demikian sudah sejak tadi ia dapat
membunuhnya dari arah punggung. Apalagi ketika mereka berdua mendengar
pembiaraannya dengan orang yang berkerudung itu, hati mereka seperti
disiram embun.
Tetapi meskipun demikian mereka hampir
tak berani berkedip. Sebab setiap saat orang yang berkerudung itu dapat
meloncatinya dan merebut pusaka-pusaka itu, yang barangkali malahan
dapat dipergunakan untuk melawan orang yang berada di belakangnya itu.
Sebentar kemudian kembali orang berkerudung itu menggeram. Katanya, “Jangan coba halangi aku.”
Sesudah itu terjadilah suatu hal diluar
daya pengamatan Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Meskipun mereka berdua
termasuk orang-orang yang disegani karena kesaktiannya, tetapi mereka
samasekali tidak dapat menangkap gerakan orang berkerudung itu. Apa yang
dilihatnya hanyalah seperti pancaran kilat yang membelah langit,
sedemikian tiba-tiba dan berlangsung cepat sekali. Orang berkerudung itu
tahu-tahu rasanya sudah melekat di pelupuk mata Gajah Sora. Kemudian
segera disusul dengan peristiwa yang sama cepatnya. Sebuah benturan yang
luar biasa dahsyat terjadi di hadapan mata Gajah Sora dan Mahesa Jenar
tanpa dapat diketahui permulaannya.
Apa yang mereka ketahui kemudian adalah
orang berkerudung itu telah berdiri berhadap-hadapan dengan seorang yang
berperawakan kecil. Sikapnya pun mirip dengan suaranya. Sama sekali
tidak gagah dan garang, tetapi justru mirip sikap seorang perempuan.
Orang itu berdiri dengan tubuh masih
bergetar diantara Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Dan dihadapannya berdiri
orang berkerudung itu, yang juga tampak sedang berusaha menguasai
keseimbangannya.
“Kau benar-benar akan mencampuri urusanku?” bentak orang berkerudung itu.
“Sudah aku katakan sejak tadi,” jawab orang yang mirip dengan perempuan itu.
Kemudian tampaklah orang berkerudung itu
memandangi berganti-ganti Gajah Sora, Mahesa Jenar dan orang asing itu.
Mukanya yang hampir seluruhnya ditumbuhi rambut yang jarang-jarang itu
tampak berkerut. Lalu katanya dengan suara parau, “Baiklah, aku
tidak dapat melawan kalian bertiga. Tetapi jangan mengira bahwa aku
telah melepaskan kepentinganku atas kedua anak-anak yang bermain-main
dengan pusaka-pusaka itu.” Setelah berkata demikian, segera ia meloncat tak ubahnya seekor harimau dan kemudian menyusup lenyap di gerumbul liar.
Setelah orang berkerudung itu tidak nampak lagi, berkatalah orang asing itu kepada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. “Guru
kalian ternyata kurang hati-hati. Untunglah aku melihat harimau itu,
sedang kalian tidur nyenyak. Sehingga aku terpaksa membangunkan kalian
dengan batu. Seharusnya guru kalian tidak melepaskan kalian tanpa
pengawasannya.”
Gajah Sora dan Mahesa Jenar kemudian
dengan membungkuk hormat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya,
dan dengan agak berdebar-debar Gajah Sora mencoba bertanya, “Bolehkah aku mengetahui, siapakah Tuan?”
Orang itu tersenyum, jawabnya, “Tidaklah gurumu pernah berceritera tentang aku?”
Gajah Sora mengernyitkan alisnya sambil
mengingat-ingat ceritera gurunya tentang sahabat-sahabatnya. Mahesa
Jenar juga mencoba untuk menebak-nebak siapakah kiranya yang berdiri
dihadapannya itu. Tiba-tiba mereka hampir bersamaan teringat kepada
ceritera guru masing-masing. Pendekar sakti yang menurut istilah guru
mereka, sama sekali tampangnya tak berarti. Mungkin orang inilah yang
dimaksud. Maka dengan hampir bersamaan pula mereka mengucapkan sebuah
nama, “Tuankah yang bergelar Titis Anganten dari Banyuwangi?”
Kembali orang itu tersenyum, jawabnya, “Nah ternyata kalian kenal aku. Guru-gurumu pasti pernah berkata tentang orang yang tampangnya tak berarti,” Lalu terdengarlah ia tertawa nyaring.
“Aku dengar Kakang Pengging Sepuh telah wafat,”tanyanya
tiba-tiba kepada Mahesa Jenar. Mahesa Jenar tertegun. Rupanya dengan
tepat orang itu mengetahui bahwa ia adalah murid Ki Ageng Pengging
Sepuh. Maka segera ia pun menjawab, “Benar apa yang Tuan katakan.”
Orang itu mengangguk-angguk, katanya kemudian, “Dan tidakkah Kakang Sora Dipayana mengetahui bahwa Macan Ireng itu berada di sini.”
Gajah Sora segera menjawab, “Mungkin Tuan, sebab guru tak pernah menyebutkan itu.”
“Mungkin,” sahut orang yang ternyata adalah Titis Anganten. “Sebab
kedatangannya belum seberapa lama. Ketika aku ketahui bahwa alas Lodaya
kosong, segera aku pergi ke Gunung Tidar. Ketahuilah bahwa orang itulah
yang sebenarnya bernama Sima Rodra. Ia adalah ayah dari isteri Sima
Rodra yang sekarang. Dan terkaanku adalah tepat. Ia pergi mengunjungi
anak perempuannya di Gunung Tidar. Beberapa lama aku terpaksa mengeram
mengawasinya. Jadi aku dapat melihat seluruhnya yang terjadi di muka goa
Sima Rodra. Aku dapat melihat kedatangan kalian dari arah yang berbeda.
Dan aku terpaksa membantu ketajaman sirep yang kau sebarkan, sebab Sima
Rodra itupun telah mencoba melawannya. Dan karena kami lakukan berdua,
maka sirep kamipun menang. Untunglah bahwa Sima Rodra berdua itu berlari
ke dalam pintu rahasia, sehingga ayahnya memerlukan waktu untuk keluar
melalui lobang yang lain sehingga ia baru dapat menyusul kalian sekarang
ini. Dan agaknya karena kedatangannya itu ingin dirahasiakan, dan
karena kepercayaannya kepada anaknya, ia tidak merasa perlu untuk
membantu”
Persoalannya menjadi jelas bagi Mahesa
Jenar dan Gajah Sora. Ternyata ketika mereka tertidur nyenyak, mereka
telah dibangunkan oleh Titis Anganten. Itulah sebabnya mereka merasa
seperti dilempar dengan batu. Dan apa yang mereka hasilkan sekarang,
sebagian adalah karena jasa orang itu pula.
Karena itu, sekali lagi mereka mengucapkan terima kasih yang tak terhingga.
“Tetapi..” katanya Titis Anganten kepada Mahesa Jenar, “sampai sekarang aku masih belum mengenal nama-nama kalian. Siapakah namamu anak muda?.”
“Namaku Mahesa Jenar, Tuan. Sebagai seorang prajurit aku disebut Ronggo Tohjaya,” jawab Mahesa Jenar.
Titis Anganten mengangguk-angguk. “Sudah
lama sekali aku tak bertemu dengan Kakang Pengging Sepuh, sehingga aku
belum mengenal nama murid-muridnya.” Sahutnya, “Sedang apa yang kau
lakukan terhadap lawan-lawanmu dengan Sasra Birawa yang terkenal itu,
kau benar-benar mengingatkan aku kepada gurumu. Kelak kalau telah
mengendap benar-benar dan dapat menguasai setiap saluran nafasmu dengan
baik, maka dapat diharapkan bahwa kau setidak-tidaknya akan dapat
menyamai gurumu. Hanya sayang bahwa gurumu itu tidak lagi berkesempatan
menuntunmu lebih lama lagi, sehingga kau harus berjuang sendiri untuk
mencapai kesempurnaan.” Kemudian Titis Anganten bertanya kepada Gajah Sora, “Ilmumu Lebur Seketi ternyata sedikit lebih masak dari Mahesa Jenar. Siapakah namamu?”
“Aku bernama Gajah Sora, Tuan,” jawab Gajah Sora.
Titis Anganten mengernyitkan alisnya. Katanya kemudian,
“Namamu mirip dengan nama gurumu. Mungkin kau tidak saja muridnya.
Menilik wajahmu yang mirip dengan wajah Kakang Sora, aku sejak tadi
sudah mengira bahwa kau adalah anaknya.”
“Benar Tuan…” jawab Gajah Sora, “aku adalah anaknya yang sulung,”
Kembali Titis Anganten mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambungnya, “Mungkin
karena gurumu yang bahkan ayahmu masih selalu dapat mendampingimu
itulah maka ilmumu agak lebih masak sedikit dari Mahesa Jenar. Tetapi
bagaimanapun aku telah dapat menyaksikan suatu pertunjukan yang luar
biasa. Sasra Birawa beradu dengan Lebur Seketi. Dua macam ilmu yang tak
ada bandingnya.”
Mendengar pujian itu, Mahesa Jenar dan Gajah Sora agak canggung pula.
“Nah sekarang sarungkan pusaka-pusaka itu,” kata Titis Anganten lebih lanjut.
Kata-kata itu telah menyadarkan Gajah
Sora dan Mahesa Jenar bahwa sejak tadi kedua pusaka keramat itu masih
saja digenggamnya erat-erat. Karena itu maka setelah diungkupkan di atas
kepala masing-masing, keris itu kemudian disarungkan kembali.
“Sekarang…”, kata Titis Anganten melanjutkan, “untuk
sementara kalian akan aman. Macan Ireng itu pasti tidak akan
mengganggumu lagi. Tetapi untuk seterusnya kau harus berhati-hati. Sebab
ilmunya yang dinamainya Macan Liwung itu tak kalah pula dahsyatnya.
Mungkin ilmu itu masih belum diturunkan kepada anak atau menantunya.
Tetapi dengan kejadian-kejadian ini tidak mustahil bahwa ia akan
menurunkan ilmunya itu segera untuk mendapat tenaga-tenaga yang akan
membantunya melawan angkatan tua dan kalian. Akibatnya, pastilah besar.
Apalagi kalau Sima Rodra itu menghubungi sahabat-sahabatnya. Misalnya Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme.”
“Mungkin juga dengan Ki Pasingsingan dari Mentaok” sela Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu tampaklah Titis Anganten agak terkejut. Maka bertanyalah ia, “Pasingsingan katamu”
Mehesa Jenar menjadi agak ragu-ragu. Ia tidak mengerti mengapa Titis Anganten itu terkejut. Tetapi akhirnya ia menjawab juga, “Ya… Tuan, Pasingsingan, guru Lawa Ijo di Mentaok.”
“Ah, barangkali kau keliru Mahesa Jenar,” kata Titis Anganten, “Tidakkah gurumu sering mengatakan kepadamu bahwa Pasingsingan itu termasuk salah seorang dari kami?”
“Benar, Tuan,” Mahesa Jenar menjelaskan, “Tetapi ternyata ia telah mengambil seorang murid yang terkenal dengan sebutan Lawa Ijo, yang termasuk dalam golongan hitam.”
Kembali wajah Titis Anganten berubah. Rupanya ia tidak menyetujui keterangan Mahesa Jenar.Katanya, „Siapakah yang mengatakan itu kepadamu?”
„Aku pernah melukai Lawa Ijo itu dengan Sasra Birawa,” jawab Mahesa Jenar. „Hal
itu terpaksa aku lakukan karena Lawa Ijo mempergunakan cincin bermata
akik yang merah menyala dan beracun. Pada saat itulah muncul
Pasingsingan yang akan membunuhku. Untunglah bahwa pada saat itu hadir
pula Ki Ageng Pandan Alas, meskipun tidak menampakkan diri.”
“Pandan Alas?” potong Titis Anganten. Dan tiba-tiba wajahnya menjadi terang oleh suatu kesan yang lucu terhadap Pandan Alas.
“Ya, Ki Ageng Pandan Alas telah memberikan tanda-tanda kehadirannya dengan sebuah tembang Dandanggula,” sambung Mahesa Jenar.
“Ah, masih saja orang tua itu senang pada tembang. Masihkah suaranya baik dan nadanya tidak sumbang?” tanyanya lagi.
Terdengarlah Titis Anganten tertawa lirih. “Bagus-bagus, orang tua jenaka itu rupanya masih akan panjang umur. Tetapi bagaimana dengan Pasingsingan?”
Mendengar pertanyaan itu segera Mahesa Jenar menjawab, “Orang itu memakai kedok kayu yang kasar.”
“Betul…, kau betul. Pasingsingan itu
mungkin berwajah bopeng sehingga ia malu menampakkan wajahnya. Kami
sahabat-sahabatnya pun belum pernah mengenal wajahnya yang asli. Dan
batu merah yang disebutnya akik Kelabang Sayuta itu benar-benar
miliknya. Tetapi…,” Titis Anganten berhenti sebentar, lalu melanjutkannya, “Aneh kalau ia termasuk aliran hitam.”
“Menurut Ki Ageng Pandan Alas, beliau meragukan keaslian Pasingsingan itu,” sahut Mahesa Jenar.
“He…?” kembali Titis Anganten terkejut. “Mungkin…,
mungkin. Tetapi setan mana yang berani mengaku Pasingsingan itu? Pasti
ia termasuk dalam tingkatan orang tua itu pula. Kalau tidak, barangkali
umurnya tidak akan lebih dari satu hari saja.”
Titis Anganten berhenti berbicara. Tampaklah ia sedang berpikir. Lalu tiba-tiba katanya, “Nah
Gajah Sora dan Mahesa Jenar, pulanglah kalian. Sebaiknya Kakang Sora
Dipayana segera diberi tahu mengenai kehadiran Sima Rodra. Perkara
Pasingsingan biarlah diurus oleh Pandan Alas, yang sudah tidak punya
urusan apa-apa lagi kecuali bertanam jagung. Ya, memang ia suka menanam
jagung sejak muda. Itulah pokok makanannya. Ia sama sekali tidak pernah
makan beras.” Kemudian terdengarlah Titis Anganten itu tertawa. Lalu sambungnya, “Kalau
Kakang Sora Dipayana sudah tahu, selesailah tugasku. Aku ingin
melanjutkan perjalanan ke barat, mumpung aku sudah sampai di sini. Aku
ingin mengunjungi Kakang di Gunung Slamet.”
“Tetapi tidakkah Tuan hendak singgah di rumahku?” sahut Gajah Sora. “Dan mungkin Tuan akan dapat bertemu dengan ayah. Barangkali pertemuan itu dapat menggembirakan ayah.”
Titis Anganten menggelengkan kepalanya. “Pertemuan
semacam itu selalu menjadi pembicaraan orang. Apalagi di daerah yang
sedang ribut ini. Katakanlah bahwa aku akan datang besok kalau aku akan
pulang ke Banyuwangi. Ketahuilah bahwa di sini segala sesuatu tak dapat
dirahasiakan kalau kita tidak melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.
Sekarang, aku sudah lelah setelah bersembunyi beberapa hari mengintip
Sima Rodra. Nah selamat berpisah. Salam buat ayahmu Gajah Sora.”
Setelah itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak sempat lagi untuk
mengatakan sesuatu, sebab segera Titis Anganten melangkah pergi
menyelinap diantara dedaunan, dan hilang ditelan gelap.
Tinggallah kini Gajah Sora dan Mahesa
Jenar, yang segera teringat kepada pekerjaannya. Karena itu segera
mereka pun melanjutkan perjalanan. Makin cepat mereka sampai ke
Banyubiru, makin amanlah keris yang dipertaruhkannya itu.
Sampai di Sarapadan, segera mereka
memotong jalan ke Bergota. Mereka berjalan dengan cepat tanpa berhenti.
Sebab bagaimanapun kemungkinan Sima Rodra akan menyusul mereka masih
tetap ada, meskipun Titis Anganten telah mengatakan bahwa untuk
sementara mereka dapat merasa aman.
Demikianlah mereka berjalan tanpa
berhenti, sehingga pada hari berikutnya, ketika matahari sudah condong
ke barat, mereka dengan selamat sampai ke Banyubiru. Beberapa orang yang
sedang bekerja di sawah segera berhenti memandang ke arah Gajah Sora
dan Mahesa Jenar. Bahkan beberapa orang datang berlari-lari menyambut
kepala daerah perdikan mereka.
Segera jalan-jalan yang akan mereka
lewati menjadi ramai. Mereka menyambut dengan tulus dan bangga atas
kepala daerah mereka, yang mereka taati. Tetapi tak seorangpun dari
mereka yang mengetahui bahwa kepala daerah mereka itu baru saja
menyelesaikan suatu pekerjaan yang hampir membawa nyawanya.
Beberapa orang yang berdiri di tepi jalan itu bersorak-sorak ramai sekali, tetapi ada pula yang berbisik, “Dari manakah Ki Ageng Gajah Sora itu…? Dan siapakah kawan seperjalanannya itu…?”
Tampaklah kesibukan yang luar biasa. Hal
ini disebabkan tak seorang pun dari penduduk Banyubiru yang mengetahui
bahwa Ki Ageng Gajah Sora pergi meninggalkan kota. Tiba-tiba mereka
melihat Ki Ageng Gajah Sora telah kembali.
Mahesa Jenar menyaksikan sambutan rakyat
yang meriah itu dengan hati yang berdebar-debar. Tampaklah betapa Ki
Ageng Gajah Sora memiliki sifat kepemimpinan yang tinggi, sehingga
rakyatnya sangat mencintainya.
Di kiri kanan jalan, di balik pagar
manusia yang menyambutnya, tampaklah halaman-halaman yang luas-luas dan
bersih. Dan di atas halaman-halaman itu berdiri rumah-rumah yang besar
dan bagus. Hal itu memberi pertanda bahwa Banyubiru tergolong daerah
yang bercukupan. Apalagi ketika Mahesa Jenar menyaksikan bahwa pada
umumnya lumbung-lumbung mereka sama sekali tak berdinding, malahan ada
yang bentuknya hanya seperti payung yang berdaun lebar. Maka dapatlah
diambil kesimpulan bahwa daerah itu merupakan daerah yang aman dan
makmur.
Banyubiru terletak di lambung bukit
Telamaya di kaki Gunung Merbabu sebelah utara. Di hadapannya terbentang
dataran tinggi yang dibagi dalam dua jenis tanah. Di sebelah barat
merupakan tanah persawahan yang subur, sedang di sebelah timur terdapat
sebuah rawa yang besar. Kemudian di bagian utara dari rawa-rawa itu
ditumbuhi pohon-pohon liar yang lebat, disambung dengan hutan-hutan
belukar.
Di dalam hutan-hutan belukar yang
berawa-rawa itulah bersembunyi gerombolan Uling yang terkenal dengan
nama Sepasang Uling dari Rawa Pening. Daerahnya merupakan daerah yang
sangat sulit dicapai. Meskipun demikian, Sepasang Uling itu telah
membuat sendiri jalan rahasia menuju ke sarangnya.
Bagi rakyat Banyubiru, sawah serta Rawa
Pening itu merupakan sumber penghasilan yang utama. Rawa Pening terkenal
banyak sekali menyimpan ikan-ikan rawa yang besar-besar. Sehingga
dengan demikian penghidupan mereka agak dapat terjamin pula. Sedangkan
gerombolan Uling itu, sama sekali tidak berani mengganggu mereka, sebab
di bawah pimpinan Ki Ageng Gajah Sora, rakyat Banyubiru merupakan rakyat
yang kuat lahir dan batinnya.
Demikianlah maka Ki Ageng Gajah Sora di
sepanjang jalan melambai-lambaikan tangannya untuk menyambut sorak-sorai
rakyatnya. Tiada lama berselang, terdengarlah derap beberapa ekor kuda
yang datang dari arah depan. Dan muncullah dari kelokan jalan, beberapa
orang berkuda menyongsong kedatangan Ki Ageng Gajah Sora dan Mahesa
Jenar. Demikian kuda-kuda itu mendekati Ki Ageng Gajah Sora, meloncatlah
seorang yang bertubuh agak pendek dan gemuk dari atas kudanya.
Wajahnya, meskipun sudah ditandai dengan garis-garis umur, tetapi tampak
kekanak-kanakan dan jenaka. Kecuali kuda yang dinaikinya, orang itu
masih menuntun seekor kuda lagi yang berwarna putih, sudah lengkap
dengan pelananya.
Ketika yang lain melihat orang itu meloncat turun, maka berloncatan pulalah mereka dari atas kuda-kuda mereka.
Maka berkatalah orang yang pendek gemuk itu dengan suara berderai, “Anakmas
Gajah Sora, hampir Rawa Pening aku suruh aduk untuk mencari Anakmas,
kalau-kalau sedang mandi di sana. Bahkan Gunung Gajahmungkur itu aku
suruh balikkan, mungkin Anakmas terselip di dalamnya. Sungguh pandai
Anakmas membikin orang tua bingung. Kemanakah Anakmas selama beberapa
hari ini?”
Ki Ageng Gajah Sora tersenyum. Jawabnya, “Tetapi tak sesuatu yang Paman lakukan. Untunglah aku selamat. “
Alis orang tua yang sudah memutih itu bergerak-gerak. Katanya,
“Aku sudah memerintahkan. Tetapi Nyi Ageng melarangnya. Katanya aku
disuruh menunggu sampai seminggu ini. Kalau tidak, Nyi Ageng sendiri
akan memberi perintah untuk mencari Anakmas.”
Kembali Gajah Sora tersenyum. “Dan sekarang aku sudah kembali, Paman.”
Kembali orang tua itu berkata, “Aku
memang sudah mendapat kesimpulan, bahwa Anakmas pergi untuk sesuatu
tugas yang tak seorang pun boleh mengetahui, kecuali Nyi Ageng. Kalau
tidak, pastilah Nyi Ageng Gajah Sora sudah ribut sejak semula.” Lalu terdengarlah suara orang itu tertawa menderai. “Karena
itu aku tidak berusaha lagi untuk mencari Anakmas. Dan sekarang Anakmas
sudah pulang dengan selamat bersama-sama seorang yang belum aku kenal.”
Lalu membungkuklah orang itu kepada Mahesa Jenar. Katanya, “Bolehkah aku memperkenalkan diri Anakmas…? Namaku Wanamerta.”
Mahesa Jenar membalas hormat orang tua itu, jawabnya, “Aku bernama Mahesa Jenar, yang oleh kebaikan hati Ki Ageng Gajah Sora, aku mendapat kehormatan singgah di Banyubiru.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya kepada Ki Ageng Gajah Sora, “Anakmas
Gajah Sora, karena aku tidak tahu bahwa Anakmas datang berdua, maka aku
hanya membawa seekor kuda untuk Anakmas. Maka baiklah kalau Anakmas
Mahesa Jenar ini mempergunakan kudaku saja untuk bersama-sama dengan
Anakmas Gajah Sora.”
“Lalu Paman…?” tanya Gajah Sora.
“Biarlah aku memakai salah satu dari kuda anak-anak itu,” jawabnya.
Maka dipersilahkannya Mahesa Jenar
mempergunakan kuda Wanamerta yang berwarna abu-abu agak kemerah-merahan,
sedang Gajah Sora mempergunakan kudanya sendiri yang berwarna putih.
Meskipun mereka sekarang berkuda, tetapi
mereka berjalan perlahan-lahan juga, sebab masih saja orang-orang
menyambut mereka di kiri kanan jalan.
Setelah beberapa lama mereka berjalan
diantara rakyat Banyubiru, sampailah iring-iringan berkuda itu ke sebuah
lapangan luas, yang di tengah-tengahnya tumbuh sepasang pohon beringin.
Lewat tengah-tengah lapangan yang tak lain adalah Alun-alun Banyubiru,
mereka menuju ke sebuah rumah besar yang berpendapa luas dan bertiang
ukir-ukiran. Itulah tempat kediaman Ki Ageng Gajah Sora.
Di muka pendapa itu telah banyak orang
berjajar-jajar menanti. Diantara mereka berdiri seorang perempuan.
Ketika iring-iringan itu sampai di muka pendapa, segera Ki Ageng Gajah
Sora dan Mahesa Jenar turun dari kuda, dan berjalan ke arah para
penyambut. Sampai di muka tangga, perempuan itu segera mengambil siwur
dan mencuci kaki Ki Ageng Gajah Sora. Orang itulah Nyi Ageng Gajah Sora.
Setelah Nyi Ageng Gajah Sora mencuci kaki suaminya maka dipersilahkan
Mahesa Jenar mencuci kakinya, dan seterusnya berganti-ganti dengan
mereka yang turut serta menjemput kedatangan Gajah Sora dan Mahesa
Jenar. Setelah itu Gajah Sora suami-istri bersama-sama dengan Mahesa
Jenar langsung menuju ke Pringgitan.
Mereka jadi tertegun sejenak ketika
mereka melihat di dalam Pringgitan itu duduk seorang yang telah lanjut
usianya, berkain kotak-kotak dan berbaju lurik hijau bergaris-garis
besar. Dari wajahnya memancar keagungan pribadinya yang berwibawa.
Melihat orang itu, segera Gajah Sora
berlutut sebagai pernyataan bakti dari seorang putra kepada ayahnya.
Orang itulah Kiai Ageng Sora Dipayana.
Mahesa Jenar pun segera membungkuk
hormat. Ia sudah pernah bertemu dengan Ki Ageng Sora Dipayana itu di
Pangrantunan. Bahkan ia banyak memberikan petunjuk-petunjuk untuk
mendapatkan Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten, meskipun harus melalui suatu
ujian, bertempur melawan Gajah Sora.
Tetapi orang yang sama itu, sekarang
nampak jauh berbeda dengan yang pernah ditemuinya di Pangrantunan
dahulu. Kalau saja ia tidak mengenal jenggotnya yang panjang, rambutnya
serta alisnya yang telah memutih seluruhnya, juga tidak di rumah Ki
Ageng Gajah Sora, maka besarlah kemungkinan bahwa ia sudah tidak dapat
mengenal lagi.
Melihat kedatangan anaknya serta Mahesa
Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Setelah Mahesa Jenar dan Gajah
Sora suami-istri mengambil tempat duduk di atas sebuah tikar pandan di
hadapan Ki Ageng Sora Dipayana, berkatalah orang tua itu, “Selamatlah kedatangan kalian setelah menunaikan kewajiban kalian yang berat.”
Maka berceriteralah Gajah Sora atas
segala pengalaman-pengalaman mereka berdua selama mereka berusaha untuk
menemukan kedua keris pusaka dari Demak itu. Dan yang terakhir
diceritakan pula kehadiran Sima Rodra dari Alas Lodaya yang berusaha
untuk merebut kembali kedua keris itu. Juga diceriterakan bahwa mereka
mendapat pertolongan Pendekar Sakti dari Banyuwangi.
Mendengar cerita Gajah Sora itu Ki Ageng
Sora Dipayana mengernyitkan alisnya yang sudah putih. Tampaklah bahwa
orang tua itu sedang sibuk berpikir.
Katanya kemudian, “Kau memang
beruntung Gajah Sora, bahwa Titis Anganten sempat membebaskan engkau
dari tangan Sima Rodra itu. Kalau saja Pendekar Banyuwangi itu tidak
menyaksikan pertemuanmu dengan Sima Rodra, kau berdua meskipun
mempergunakan Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten maka tidak ada kemungkinan
kau berdua dapat membebaskan diri dari padanya. Kalau hal itu terjadi
maka kesalahan yang terbesar adalah terletak di pundakku. Aku terlalu
menyisihkan diri dan yang terakhir terlalu sibuk dengan urusan-urusan
kecil di Pangrantunan sehingga aku tidak tahu atas kedatangan Harimau
Hitam itu. Dan yang pasti Pandan Alas pun masih belum tahu akan hal itu,
sebab kalau ia tahu maka setidak-tidaknya ia akan mencegah Mahesa Jenar
mendekati Gunung Tidar.” Kemudian kembali Ki Ageng Sora Dipayana
itu merenung. Mungkin ia sedang memecahkan cara untuk mengusir Sima
Rodra itu dari Gunung Tidar. Tetapi Sima Rodra bukanlah seorang yang
dapat diremehkan. Ia mempunyai kesaktian yang setingkat dengan Ki Ageng
Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Pasingsingan dan sebagainya.
Tetapi bagaimanapun, dengan diketahuinya
bahwa Sima Rodra ada di Bukit Tidar merupakan suatu hal yang sangat
menguntungkan. Sebab dengan demikian dapatlah diadakan
persiapan-persiapan seperlunya untuk menghindari kemungkinan kemungkinan
yang tidak diharapkan.
“Baiklah Gajah Sora…,” kata Ki Ageng Sora Dipayana kemudian. “Urusan
Sima Rodra serahkan saja padaku. Itu merupakan soal orang tua-tua.
Sekarang yang penting simpanlah Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten itu di
tempat yang baik, sehingga keduanya aman sampai dapat kalian serahkan
kepada kalangan Istana, jagalah bahwa hal itu merupakan rahasia sehingga
tak seorang pun, meskipun orang dalam, boleh mengetahuinya, juga adikmu
Lembu Sora.”
Maka segera Ki Ageng Gajah Sora
melaksanakan petunjuk-petunjuk ayahnya. Disimpannya Kiai Nagasasra dan
Sabuk Inten di dalam ruang tidurnya.
Setelah itu, setelah semuanya
dilaksanakan dengan baik, segera Ki Ageng Sora Dipayana minta diri.
Gajah Sora yang telah mengetahui tabiat ayahnya, sama sekali tidak
menahannya. Sebab ia tahu betul bahwa apa yang dilakukan ayahnya
sebagian besar adalah atas perhitungannya yang tepat.
Karena itu maka diantarkannya Ki Ageng
Sora Dipayana itu sampai ke halaman belakang, bersama-sama dengan Mahesa
Jenar. Dan pergilah orang tua itu tanpa ada yang mengetahuinya, kecuali
mereka bertiga.
Setelah itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar
segera pergi ke pendapa, menemui orang-orang yang sudah lama menanti
untuk mendengarkan kemana Gajah Sora selama ini pergi. Tetapi apa yang
dikatakan Gajah Sora hanya sekadar memuaskan hati mereka, sedangkan
kepentingan yang sebenarnya sama sekali tak disinggung-singgung.
Meskipun demikian pembicaraan itu
ternyata menarik juga. Pertanyaan-pertanyaan datang bertubi-tubi, yang
kadang-kadang memang agak merepotkan. Tetapi dengan sedikit berputar
balik, akhirnya puaslah semua orang.
Maka setelah pertemuan itu berlangsung
beberapa saat, segera Gajah Sora dan tamunya minta waktu untuk
beristirahat, sehingga sesaat kemudian bubarlah pertemuan itu.
Gajah Sora kemudian mempersilahkan
tamunya untuk beristirahat di Gandok sebelah timur dimana sudah
disediakan ruangan untuk Mahesa Jenar. Disana ia akan tinggal untuk
beberapa waktu, memenuhi permintaan Ki Ageng Gajah Sora.
Keluarga Gajah Sora seluruhnya hanyalah terdiri dari tiga orang kecuali pembantu-pembantunya.
Gajah Sora dan istrinya yang ramah selalu
melakukan kewajibannya dengan baik selaku seorang istri kepala Daerah
Perdikan. Ia mengerti apa yang harus dilakukan, tidak hanya terhadap
suaminya tetapi juga kepada rakyatnya. Ia selalu siap memberikan
pertolongan-pertolongan yang diperlukan oleh penduduk wilayahnya.
Kemudian seorang anak laki-laki, putra Gajah Sora.
Mahesa Jenar mengenal anak itu pertama
kali ketika ia sedang duduk bersama-sama Ki Ageng Gajah Sora di halaman
depan rumahnya. Tiba-tiba dari atas pohon melayanglah sebuah bayangan ke
arah Gajah Sora. Mahesa Jenar yang tidak tahu-menahu, hampir saja
menangkap bayangan itu. Tetapi ketika dilihatnya Gajah Sora tidak
bergerak, Mahesa Jenar pun mengurungkan niatnya.
Bayangan itu kemudian dengan kuatnya
melekat di punggung Ki Ageng Gajah Sora. Ternyata ia adalah seorang anak
laki-laki yang berumur sekitar 13 tahun. Badannya tampak kuat dan agak
gemuk. Wajahnya bulat mirip benar dengan wajah ayahnya. Ia sudah agak
besar, tetapi karena ia putra satu-satunya, tampaklah bahwa ia agak
manja juga meskipun tidak berlebih-lebihan.
Menilik sikap dan geraknya, pastilah ia sudah banyak menerima pendidikan dan pelajaran-pelajaran dari ayahnya.
Ki Ageng Gajah Sora sendiri, umurnya agak
terpaut sedikit dari Mahesa Jenar. Mereka setuju untuk memanggil dengan
sebutan kekeluargaan. Karena Gajah Sora agak lebih tua dari Mahesa
Jenar, maka Mahesa Jenar memanggilnya Kakang.
Di rumah Ki Ageng Gajah Sora, Mahesa
Jenar merasakan ketenteraman hidup kekeluargaan. Berbeda sekali dengan
jalan hidup yang ditempuhnya akhir-akhir ini. Pergi dari satu tempat ke
tempat lain. Mengalami bermacam-macam kejadian yang sebagian besar
adalah di luar kehendaknya.
Dan sekali-kali kalau ia sedang terbaring
di ruang tidurnya, yang bersih dan teratur segala perabotnya. Timbullah
iri hatinya kepada mereka yang berhasil membangun rumah tangga yang
baik. Dalam saat-saat yang demikian, kadang-kadang merayap pula di dalam
dadanya suatu keinginan untuk dapat menikmati kehidupan seperti ini.
Ketika ingatan Mahesa Jenar yang kadang-kadang melayang itu sampai
kepada masa-masa yang baru saja dilampauinya, terbayang kembali dengan
jelas satu persatu peristiwa-peristiwa itu muncul berganti-ganti di
dalam angan-angannya. Teringatlah ia kepada sebuah halaman yang sejuk
dan nyaman dari rumah Wirasaba yang digarap oleh istrinya yang cantik
dan setia, yang karena kebodohannya, terpaksa terjadi kesalah-pahaman.
Suaminya, seorang yang tinggi hati, yang tidak mau mendapat pertolongan
dari orang lain. Tetapi hatinya merasa lega, kalau diingatnya bahwa
orang itu telah menemukan kesadarannya. Kemudian ingatan Mahesa Jenar
terlempar kepada suatu peristiwa di hutan Tambak Baya. Pertemuannya
dengan Jaka Sora dan Lawa Ijo. Dan tiba-tiba ia menjadi berdebar-debar
ketika terbayang wajah seorang gadis yang ketakutan dan yang kemudian
akan membunuh dirinya sendiri dengan keris Sigar Penjalin. Dan
jantungnya terasa berdegup keras sekali ketika ia mencoba mengingat-
ingat gadis itu, yang sedang tidur nyenyak di hadapannya. Tetapi
kemudian Rara Wilis itu lenyap pula.
Yang ada kini hanyalah dirinya.
Dipandanginya kulitnya yang berwarna merah tembaga terbakar terik
matahari. Tiba-tiba terasa bahwa belum waktunya bagi Mahesa Jenar untuk
membayangkan ketenteraman hidup berkeluarga.
Karena itu, maka jalan sebaik-baliknya
adalah melanjutkan usahanya untuk melaksanakan tujuan hidupnya, bekerja
keras diantara rakyat untuk kepentingan rakyat. Membebaskan mereka dari
segenap gangguan kejahatan yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan
liar dan jahat.
———-oOo———-
II
Ketika Mahesa Jenar bangun dari tidurnya
pada suatu pagi yang cerah, ia mendengar derap kuda memasuki halaman.
Dari celah-celah pintu yang kemudian dibukanya sedikit, ia dapat melihat
rombongan orang-orang berkuda langsung menuju ke pendapa. Ketika Mahesa
Jenar melihat orang yang paling depan, ia mengernyitkan dahinya. Ia
sendiri tidak menyadari bahwa ia menjadi muak melihat wajah itu. Berbeda
sekali dengan Ki Ageng Gajah Sora yang tampak agung dan berwibawa.
Tetapi orang ini, meskipun dari tetesan darah yang sama, sama sekali tak
mempunyai ciri-ciri kebesaran seperti kakaknya. Karena itu Mahesa Jenar
acuh tak acuh saja atas kedatangan adik Ki Ageng Gajah Sora, yaitu Ki
Ageng Lembu Sora dengan beberapa pengiringnya.
Kembali pintu gandok itu ditutup.
Kemudian Mahesa Jenar melemparkan dirinya di atas amben bambu yang
panjang di sisi ruang tempat tidurnya.
Sebentar kemudian terdengar suara ribut
di pendapa. Rupanya mereka sedang sibuk menyambut kedatangan
tamu-tamunya dari Pamingit. Terdengarlah kemudian suara Ki Ageng Gajah
Sora dengan ramahnya mempersilahkan adiknya masuk ke pringgitan.
Ketika mereka semua sudah masuk, Mahesa Jenar berdiri, lalu dengan kesal pergi keluar ke samping gandok.
Dilayangkannya pandangan matanya ke
dataran yang terbentang di bawah lambung bukit Telamaya. Di bagian barat
terbentang tanah persawahan yang subur. Padi yang pada saat itu sedang
menguning dan burung-burung yang terbang di atasnya. Tetapi
burung-burung itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mencuri
butiran-butiran padi yang bergoyang-goyang karena tiupan angin pagi yang
lembut, sebab anak-anak yang menungguinya selalu menghalau mereka,
dengan goprak dan hantu-hantuan yang digerakkan dengan tali.
Di bagian timur, agak jauh menjorok ke
utara terbentang rawa. Airnya yang gelisah memantulkan cahaya matahari
yang masih merah, yang baru saja tersembul dari balik cakrawala.
Beberapa perahu lesung para nelayan masih tampak hilir- mudik seperti
sepotong lidi yang terapung-apung untuk menggali kekayaan yang tersimpan
di dalamnya.
Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar derap
kuda yang lari sangat kencang seperti dikejar hantu. Kuda itu tidak
masuk halaman lewat gerbang depan, tetapi menyusup melalui pintu butulan
di samping. Mahesa Jenar memalingkan mukanya dengan agak segan-segan. “Anak itu lagi,”
desis Mahesa Jenar. Dan muncullah dari pintu butulan pagar itu seorang
anak laki-laki yang berwajah bulat dan agak gemuk menunggang kuda hitam
mengkilat. Ketika anak itu melihat Mahesa Jenar, cepat-cepat ia
menghentikan kudanya.
“Selamat pagi Paman,” sapanya sambil menyeringai.
“Dari mana kau Arya?” tanya Mahesa Jenar kepada anak Ki Ageng Gajah Sora itu.
Arya Salaka itu tidak segera menjawab,
tetapi dijatuhkannya sebuah benda yang cukup berat dari punggung kuda
itu. Melihat benda itu Mahesa Jenar terkejut. “Uling…?” katanya.
“Ya, Paman, aku dari Rawa Pening menangkap uling itu,” jawabnya.
Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Kau
memang nakal Arya. Bukankah ayahmu telah melarangmu pergi ke Rawa
Pening? Besok, kalau kau sudah bertambah besar tentu kau boleh pergi ke
sana. Tetapi sekarang belum waktunya kau pergi sendiri.”
Anak itu meloncat turun lalu mendekati Mahesa Jenar. Bisiknya, “Paman, jangan Paman katakan kepada ayah kalau aku pergi sendiri”
“Lalu uling itu…?” tanya Mahesa Jenar.
Arya Salaka diam termangu. Kemudian jawabnya, “Aku katakan bahwa Paman lah yang menangkap.”
Mahesa Jenar tersenyum, katanya, “Hampir semalam suntuk aku bersama ayahmu di pendapa itu. Bagaimana aku pergi menangkap uling?”
Kembali Arya Salaka kebingungan. Akhirnya ia mendapat jawaban. Dengan tertawa ia berkata, “Gampang Paman, aku akan katakan bahwa seorang kawan memberi aku uling sebagai hadiah.”
“Hadiah apa?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku tidak tahu, Paman.” Ia menjadi kebingungan lagi.
“Tetapi seharusnya kau tidak pergi ke sana,” kata Mahesa Jenar menasehati, “Arya.
Banyak bahayanya. Bukan saja uling-uling macam itu, tetapi uling yang
tinggal di sebelah rawa itu akan lebih berbahaya bagimu, kalau mereka
tahu bahwa kau adalah putra Ki Ageng Gajah Sora.”
Anak itu memandang Mahesa Jenar dengan penuh perhatian. Katanya, “Uling Putih dan Uling Kuning, maksud Paman?”
Mahesa Jenar mengangguk.
“Baiklah Paman,” jawabnya, “tetapi pada suatu saat aku pasti akan dapat menangkapnya seperti menangkap uling itu.”
“Nah, pergilah,” kata Mahesa Jenar, “gantilah pakaianmu yang basah kuyup itu.”
Tanpa menjawab, anak itu memutar tubuhnya
lalu melangkah pergi. Tetapi demikian Mahesa Jenar memandang punggung
anak itu, ia menjadi terkejut, sebab punggung itu terluka dan darah cair
mengalir dari luka itu.
“Arya..”. panggil Mahesa Jenar, “kenapa punggungmu luka?”
“Luka…?” tanya Arya keheranan. “Ah tidak seberapa Paman.”
“Tetapi dari luka itu banyak mengalir darah.”
Arya Salaka menggosok punggungnya dengan tangannya, dan terasa sesuatu yang cair dan hangat. “Uling itu mencoba melawan, Paman,” katanya kemudian, “Kami berkelahi beberapa lama. Tetapi akhirnya aku dapat membunuhnya.”
“Untunglah uling itu tidak menyeretmu ke dalam rawa,” sahut Mahesa Jenar.
“Kakiku dibelitnya, Paman,” jawab Arya Salaka bangga. “Dan
memang ia mencoba menarik aku ke rawa. Tetapi tentu saja aku tidak mau.
Rasa-rasanya tidak akan menarik berkunjung ke lubang uling. Karena itu
aku berusaha membunuhnya dengan belati. Dan akhirnya sebagai Paman lihat
sekarang, uling itu sudah mati. Kalau saja ibuku tidak tahu bahwa aku
yang menangkapnya, pasti beliau senang untuk memasaknya.”
Setelah berkata demikian, segera Arya
meloncat dengan lincahnya menangkap ekor uling itu lalu diseretnya ke
dapur sambil berlari-lari.
Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepala. “Luar biasa,”
katanya kepada diri sendiri. Memang, sejak ia melihat anak itu pertama
kali, ia sudah merasa kagum. Arya Salaka merupakan seorang anak-anak
laki-laki yang memiliki bakat yang baik. Badannya kukuh dan otaknya pun
ternyata dapat bekerja dengan baik. Uling adalah sebangsa binatang air
yang mirip dengan ular dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia adalah
belut raksasa. Tetapi anak ini dapat menangkapnya.
Sebentar kemudian terdengar suara Nyai
Ageng Gajah Sora nyaring. Rupanya Nyai Ageng sedang memarahi Arya
Salaka. Kemudian terdengarlah langkah Arya berlari-lari keluar dan
langsung meloncat memanjat sebatang pohon. Dari sana ia meloncat ke atas
atap yang dibuat dari papan, untuk bersembunyi. Setelah itu tampak Nyai
Ageng menyusul di belakang, tetapi Arya Salaka telah lenyap. Mahesa
Jenar segera memalingkan kepalanya, dan pura-pura tidak mengetahui.
Tetapi ketika Nyai Ageng melihatnya, segera ia mendekati Mahesa Jenar, “Kami
mendapat tamu dari Pamingit, Adik dari Ki Ageng. Barangkali Adi Lembu
Sora dapat memperkenalkan diri dengan Adi Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar pura-pura terkejut lalu membalikkan dirinya. Jawabnya, “Baiklah Nyai Ageng, sebaiknya aku mandi dulu.”
“Silakanlah Adi,” katanya kemudian. Lalu ditinggalkannya Mahesa Jenar kembali seorng diri.
Dengan langkah-langkah segan Mahesa Jenar
pergi menuruni tangga batu yang dibuat di lereng bukit di samping rumah
Ki Ageng Gajah Sora, pergi ke mata air. Di sanalah biasanya ia mandi.
Ia sama sekali tidak bernafsu untuk bertemu dengan Lembu Sora. Tetapi
sebagai seorang tamu maka tak baik kalau ia menolak.
Maka setelah Mahesa Jenar selesai
membersihkan diri, segera ia pun naik ke pendapa dan langsung masuk ke
pringgitan untuk menemui Ki Ageng Lembu Sora.
Melihat kehadiran Mahesa Jenar, segera Gajah Sora memperkenalkannya kepada Lembu Sora, katanya, “ Adi Lembu Sora, ini adalah Adi Mahesa Jenar, sahabatku yang telah lama tidak bertemu, katanya. Lalu kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Adi
Mahesa Jenar…, Adi Lembu Sora ini adalah adikku satu-satunya yang
sekarang memerintah daerah Perdikan Pamingit. Ia datang juga hanya untuk
kunjungan kekeluargaan.”
Ternyata memang Ki Ageng Lembu Sora
seorang yang sombong. Ketika Mahesa Jenar membungkukkan diri
menghormatnya atas perkenalan itu, ia mengangkat dadanya dan memandang
Mahesa Jenar dengan pandangan yang merendahkan. Kemudian ia bertanya, “Sahabat, adakah yang menarik perhatianmu, sampai kau datang dari jarak yang sedemikian jauhnya ke Banyubiru?”
Pertanyaan itu sungguh tidak
menyenangkan. Tetapi bagaimanapun Mahesa Jenar adalah tamu yang sopan,
maka ia mencoba untuk tidak mengesankan ketidak-senangannya. Maka
jawabnya, “Ki Ageng, memang banyak yang menarik perhatianku di sini. Terutama keramah-tamahan penduduknya.”
Lembu Sora menarik dagunya hampir melekat
dadanya. Matanya menjadi berkilat-kilat. Rupanya ia merasakan sindiran
halus yang diucapkan oleh Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak menjawab, sebab
segera Gajah Sora yang bijaksana mengalihkan pembicaraan mereka ke
hal-hal yang tak berarti. Namun bagaimanapun ada suatu kesan yang dalam
menggores di dalam jantung Mahesa Jenar, bahwa Ki Ageng Lembu Sora
bukanlah seorang yang baik hati. Dan sebenarnyalah bahwa memang orang
ini telah banyak memusingkan kepala ayahnya. Ki Ageng Sora Dipayana.
Andaikan Lembu Sora itu orang lain, maka mudahlah soalnya. Tetapi ia
adalah anak Ki Ageng Sora Dipayana, seperti juga Gajah Sora Dipayana. Di
sinilah mulanya letak kesalahannya. Nyai Ageng Sora Dipayana dahulu
terlalu memanjakan anak bungsunya, sehingga akhirnya anak ini susah
diatur. Sedangkan Ki Ageng Sora Dipayana tidak mau mengecewakan
istrinya, karena ia sangat menyayanginya. Nyai Ageng Sora Dipayana
adalah seorang istri yang setia, sejak Ki Ageng masih menjadi seorang
yang harus mulai segala soal. Membuka hutan dan segala macam kerja yang
harus dikerjakan dalam suasana sakit dan pedih. Pada keadaan yang
demikian, satu-satunya orang yang bersedia membantunya adalah almarhum
istrinya itu. Karena itu, meskipun sekarang istrinya sudah tidak ada
lagi, Ki Ageng Sora Dipayana tidak sampai hati untuk berlaku keras
kepada anak kesayangan istrinya itu.
Setelah Mahesa Jenar merasa bahwa ia
telah cukup lama turut serta menemui Ki Ageng Lembu Sora, segera ia
minta diri untuk pergi berjalan-jalan, melihat-lihat kota Banyubiru. Ia
tidak ingin lebih lama lagi bercakap-cakap dengan Ki Ageng Lembu Sora,
yang tampaknya tak mau menghargai orang lain. Sebab ia sendiri bukanlah
orang yang amat kuat menahan hati.
Maka setelah ia mendapat izin dari tuan
rumah, segera ia turun ke halaman dan berjalan keluar. Ia sama sekali
tidak mempunyai tujuan kecuali sekadar menuruti langkah kakinya.
Tetapi demikian ia keluar halaman,
dilihatnya seorang yang berdiri bersandar dinding. Orang ini belum
pernah dikenalnya. Beberapa orang Banyubiru yang dekat dengan Gajah Sora
sudah hampir dikenal seluruhnya. Melihat Mahesa Jenar keluar, segera
orang itu memutar tubuhnya dan berjalan perlahan-lahan menjauhi gerbang.
Mahesa Jenar menjadi agak curiga. Tetapi apakah yang akan dilakukan di
siang hari, dimana sinar matahari yang mulai terik ini membakar seluruh
halaman?
Tetapi bagaimanapun, orang itu sangat
menarik perhatiannya. Sehingga timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk
mengetahui maksud orang itu. Maka segera Mahesa Jenar pun berjalan
mengikutinya dari jarak kira-kira 50 langkah. Ia menjadi semakin curiga
ketika orang itu beberapa kali menengoknya dan mempercepat langkahnya.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut
melihat bayangan yang melayang dari sebatang pohon di pinggir jalan,
langsung menyerang orang yang diikutinya. Ia menjadi bertambah terkejut
ketika diketahuinya bahwa bayangan itu adalah Arya Salaka yang tak
diketahui sebab-sebabnya menyerang orang yang berjalan di depan Mahesa
Jenar itu. Ternyata orang itu pun bukan orang sembarangan. Dengan
tangkasnya ia mengelakkan diri, bahkan sekaligus ia berputar sambil
menyerang dengan tumitnya. Arya Salaka, ketika tidak berhasil menyerang
orang itu dari atas pohon, rupanya menyadari bahwa lawannya berbahaya.
Karena itu ia pun segera bersiap, sehingga ketika kaki lawannya melayang
ke perutnya, ia meloncat mundur. Demikian kaki yang tak berhasil
mengenainya itu berdesing di hadapan perutnya, Arya Salaka segera
meloncat sambil menghantam dada orang itu. Tetapi bagaimanapun Arya
Salaka adalah seorang anak yang belum dewasa. Apalagi lawannya ternyata
memiliki kecepatan bergerak, sehingga demikian Arya Salaka meloncat,
demikian ia masuk ke dalam perangkap lawannya. Tangannya yang terjulur
untuk menyerang itu dapat ditangkap dan dengan sekali gerak tangan itu
dipilinnya. Tetapi Arya Salaka ternyata cerdik juga. Ia mengikuti saja
putaran tangannya, tetapi demikian ia membelakangi orang itu demikian
cepat ia menendangnya. Orang itu sama sekali tidak mengira bahwa
anak-anak itu dapat berbuat demikian, sehingga karena hal yang sama
sekali tak terduga-duga itu ia terlontar ke belakang dan tangkapannyapun
lepas. Rupanya orang itu menjadi marah sekali. Matanya tampak
berapi-api dan dengan tidak ragu-ragu lagi ia pun meloncat maju
menghantam Arya Salaka. Gerakan itu demikian cepatnya sehingga Arya
Salaka tidak sempat mengelak. Maka yang dapat dikerjakan hanyalah
menangkis pukulan itu. Tetapi, bagaimanapun kuatnya, Arya Salaka adalah
seorang anak yang sama sekali tak seimbang dengan lawannya. Maka
demikian tangannya yang disilangkan di muka kepalanya itu terbentur
tangan lawannya, ia terpental jauh dan hampir saja kepalanya membentur
dinding halaman. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dengan cepatnya meloncat
dan menangkap Arya Salaka.
Arya Salaka berdesis menahan sakit.
Tangannya terasa panas seperti terbakar. Tetapi meskipun demikian ia
masih saja akan meloncat maju kalau tidak ditahan oleh Mahesa Jenar,
sehingga ia meronta-ronta berusaha melepaskan pegangan itu.
“Lepaskan…, lepaskan aku Paman,” teriaknya.
Orang yang diserangnya itu rupanya juga benar-benar marah, katanya, “Lepaskan anak kurangajar itu, biar aku pecahkan kepalanya.”
“Tunggu dulu Arya…”. tanya Mahesa Jenar perlahan-lahan, “Apakah sebabnya kau menyerang orang itu?”
“Ia berjalan hilir-mudik dan mengintai-intai rumah kami. Mungkin ia seorang penjahat yang akan memasuki rumah kami ini,” jawabnya.
“Tutup mulutmu!” hardik orang itu.
“Tutup sendiri mulutmu,” balas Arya Salaka, “selama ini, di kota ini tidak ada orang yang bertingkah laku seperti kau. Tak
pernah kota ini ada kejahatan seperti kota-kota lain. Dan kau aku kira
bukan orang Banyubiru, yang datang untuk membuat onar di sini.”
Mendengar makian Arya Salaka, orang itu
tak dapat menahan diri lagi. Karena itu ia melangkah maju dan dengan
tangannya yang kuat ia menampar muka Arya Salaka. Tetapi Arya Salaka
sudah berada di tangan Mahesa Jenar. Karena itu sudah pasti kalau Mahesa
Jenar tidak akan membiarkan begitu saja hal itu terjadi. Maka ketika
tangan itu sudah terayun, Mahesa Jenar memutar tubuhnya dan memasang
sikunya, sehingga tangan orang itu mengenai siku Mahesa Jenar.
Mengalami perlakuan Mahesa Jenar, orang itu menjadi semakin marah. Bentaknya, “Apamukah anak ini…? Anakmu…? Kalau begitu kau tak pandai mengajar anakmu sehingga anakmu kurangajar.”
“Tunggu dulu..”. jawab Mahesa Jenar, “Jangan
berlaku kasar terhadap anak-anak. Memang barangkali anak ini terlalu
nakal, tetapi biarlah orang tuanya yang mengajarnya. Seharusnya kau
melaporkan saja kepada ayah bundanya. Sedang kau sendiri, memang dapat
menimbulkan sangkaan yang bukan-bukan. Sikapmu agak mencurigakan.”
Wajah orang itu menjadi merah padam.
Kata-kata Mahesa Jenar sangat menusuk perasaannya. Karena itu, hampir
berteriak ia kembali membentak, “Apa hakmu berkata demikian. Adakah kau pengawal kota atau Kepala Daerah Perdikan ini?”
“Aku bukan apa-apanya,” jawab Mahesa Jenar, masih setenang tadi. “tetapi tiap-tiap warga kota ini berhak turut serta menjaga keamanan kotanya. Dan bukankah kau bukan penduduk Banyubiru?”
Mata orang itu menjadi semakin
berapi-api. Tetapi rupanya ada sesuatu pertimbangan yang menahannya
untuk tidak berbuat sesuatu. Akhirnya ia berkata lantang, “Tak ada gunanya aku melayani orang-orang gila macam kau dan anak itu.” Lalu
ia memutar tubuhnya, dan melangkah pergi. Tetapi kali ini Mahesa Jenar
yang kemudian tidak membiarkan orang itu pergi. Maka, segera ia
menahannya, katanya, “Nanti dulu, bukankah kau bermaksud melaporkan
anak ini kepada ayahnya. Nah, marilah aku antar kau kepadanya. Ayah anak
ini adalah Ki Ageng Gajah Sora”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, segera
wajah orang itu berubah. Sebentar kemudian nampak ia menjadi pucat dan
gemetar. Tetapi sebentar kemudian kembali wajahnya menyala-nyala.
Kemudian kembali ia melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Melihat sikapnya, Mahesa Jenar bertambah
curiga. Segera Arya Salaka dilepaskan dan didorongnya ke pinggir,
sedangkan ia sendiri segera meloncat untuk menghadang orang yang
dicurigainya itu.
“Tunggu dulu… “katanya, “urusan kita belum selesai.”
Terdengar gigi orang itu gemeretak
menahan marah. Sikap Mahesa Jenar dirasa sudah keterlaluan. Meskipun
demikian ia masih berusaha untuk menghindari bentrokan. Jawabnya, “Tidak ada persoalan diantara kita, sebaiknya kau jangan memulainya.”
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa
itu segera tertarik dan mengerumuninya. Mereka mengenal Mahesa Jenar
sebagai sahabat Ki Ageng Gajah Sora. Beberapa orang diantara mereka
bertanya-tanya, apakah yang terjadi…? Belum lagi Mahesa Jenar sempat
menjawab, Arya Salaka telah mendahului berceritera dengan suara yang
mengalir seperti air terjun.
Orang itu menjadi semakin gelisah, wajahnya kembali menjadi pucat. Katanya, “Jangan dengarkan omongan anak itu. Sekarang beri aku jalan. “
“Ki Sanak..”. potong Mahesa Jenar, “kenapa
kau begitu tergesa-gesa. Sebaiknya kau memperkenalkan dirimu kepada
penduduk Banyubiru ini supaya mata mereka tidak menyorotkan pandangan
kecurigaan.”
ORANG itu sekarang sudah tidak dapat lagi
mengendalikan dirinya karena putus asa. Ia tidak mendapat kesempatan
untuk meninggalkan tempat itu begitu saja. Matanya berubah menjadi liar
dan mencari tempat-tempat yang lemah, di mana ia mungkin menerobos untuk
melarikan diri. Tetapi orang yang mengerumuninya itu seolah-olah
sengaja mengepungnya rapat-rapat. Setelah orang itu tidak dapat melihat
kemungkinan itu tiba-tiba ia menarik keris yang terselip di bawah
bajunya. Maka dengan suara yang parau ia berteriak, “Minggir, atau aku terpaksa membunuh kalian.”
Melihat orang itu menarik kerisnya,
beberapa orang yang mengerumuninya surut ke belakang. Tetapi mereka sama
sekali tidak takut. Orang Banyubiru bukanlah sebangsa penakut. Kalau
mereka mundur hanyalah supaya ada jarak cukup dapat bertindak tepat.
Apalagi Mahesa Jenar. Ia sama sekali tak berkisar dari tempatnya.
Bahkan, dengan tersenyum ia berkata, “Janganlah bermain-main dengan benda yang demikian, sebab senjata hanyalah mendatangkan bencana, terutama bagi yang membawanya”
“Diam…!” teriak orang itu semakin putus asa. “Pergi kau, atau biarkan aku pergi.” Orang
itu selangkah mendekati Mahesa Jenar dengan keris terhunus. Melihat
orang itu mendekati Mahesa Jenar, beberapa orang bergerak pula. Mereka
masih belum tahu sampai di mana kemampuan bertindak Mahesa Jenar,
sehingga penduduk Banyubiru merasa perlu untuk melindungi tamu mereka.
Tetapi Mahesa Jenar masih saja berdiri di tempatnya.
Sementara itu terdengarlah beberapa orang
keluar dari halaman. Mereka ternyata Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng
Lembu Sora dengan beberapa pengiringnya. Ketika mereka mendengar
ribut-ribut di luar, mereka ingin pula mengetahuinya. Dan ternyata Arya
Salaka telah berlari memberitahukan persoalan itu kepada ayahnya.
Orang-orang yang berdiri berkerumun segera menyibak, ketika mereka melihat kepala daerah mereka datang.
Melihat orang-orang berdatangan, orang yang mencurigakan itu menjadi semakin pucat, dan semakin kebingungan.
Tiba-tiba terjadilah suatu hal yang tidak
terduga-duga. Ketika Ki Ageng Lembu Sora melihat orang itu, matanya
menjadi merah menyala. Dan tidak seorang pun yang mengira bahwa Lembu
Sora secepat kilat menarik kerisnya dan sambil berteriak ia meloncat
menikam perut orang itu.

Gerakan Lembu Sora terlalu cepat sehingga tak seorang pun dapat mencegahnya.
Orang itu terdorong mundur beberapa
langkah. Cepat-cepat tangannya memegang perutnya yang terluka, dan
kerisnya sendiri terlepas jatuh. Tubuhnya menggigil seperti orang
kedinginan, sedang wajahnya memancarkan rasa heran dan kemarahan yang
tak terhingga. Ia memandangi Lembu Sora dengan matanya yang semakin
pucat. Dari sela-sela jarinya mengalir gumpalan-gumpalan darah cair.
Bibirnya yang menjadi putih itu bergerak-gerak, tetapi tak sepatah
katapun terucapkan, sampai akhirnya ia tersungkur dan tak bernafas lagi.
Kemudian terdengarlah suara-suara yang
tidak jelas dari beberapa orang yang menyaksikan dengan penuh keheranan
atas kejadian itu. Mereka semua sudah mengenal bahwa Lembu Sora adalah
adik Ki Ageng Gajah Sora, tetapi mereka sama sekali tidak membayangkan
bahwa adik Gajah Sora dapat bertindak sekasar itu terhadap seseorang
yang belum jelas kesalahannya. Apalagi Mahesa Jenar dan Gajah Sora
sendiri, yang menjadi kurang senang atas tindakan Lembu Sora.
“Kau terlalu tergesa-gesa Adi Lembu Sora,” kata Gajah Sora.
“Maafkan aku Kakang…”. jawab Lembu Sora. “Aku
terlalu tidak dapat menahan hati terhadap orang yang menganiaya putra
Kakang. Sebab aku sendiri mempunyai seorang anak yang sebaya dengan
Arya, yaitu Sawung Sariti, sehingga aku merasa bahwa tindakan yang kasar
terhadap anak-anak adalah tindakan yang paling terkutuk.”
Gajah Sora menarik alisnya. Kemudian
diperintahkannya beberapa orang untuk mengurusi jenazah itu, sedang
beberapa orang yang lain supaya mencari keluarganya, apabila mungkin.
Setelah semuanya mulai dikerjakan, Gajah
Sora dan Lembu Sora serta para pengiringnya masuk kembali. Mahesa Jenar
masih saja berdiri diantara mereka yang sedang menyelesaikan penguburan
jenazah itu. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai masalah. Tadi ia sempat
meneliti wajah Lembu Sora lebih saksama. Matanya yang berapi-api,
bibirnya yang agak tebal dan selalu tertarik ke bawah bagian-bagian
tepinya, menunjukkan bahwa ia benar-benar orang yang tidak
tanggung-tanggung. Yang dapat membunuh orang, asal ia mau, dan sesudah
itu dapat melupakannya dengan sekaligus seperti tak terjadi apa-apa.
Tetapi bagaimanapun, apa yang baru dilakukan adalah tindakan yang kasar
sekali. Tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat pikiran lain. Apakah hal itu
cukup kuat sebagai suatu alasan untuk membunuh. Tidak mungkinkah kalau
pembunuhan itu dilakukan karena ada sebab-sebab lain…?
Sementara itu datanglah Arya Salaka mendekatinya. Wajahnya tampak tidak seriang biasanya. Bisiknya, “Aku
menyesal Paman. Aku tidak mengira bahwa orang itu akan mengalami nasib
terlalu buruk, sehingga Paman Lembu Sora membunuhnya.”
“Sudahlah, Arya..” Jawabnya Mahesa Jenar, “lain
kali jangan terlalu nakal. Untunglah aku melihat kau berkelahi. Kalau
tidak, barangkali kepalamu tadi sudah terbentur dinding.”
“Mula-mula aku hanya ingin mengetahui, apakah yang akan dilakukan orang itu, Paman,” katanya, “kelakuannya nampak aneh. Dan aku tidak sempat memberitahukan kepada siapapun juga”.
“Sudah pernahkah kau melihat orang itu sebelumnya?” tanya Mahesa Jenar.
“Belum. Yang pasti ia bukan orang Banyubiru. Aku hampir mengenal semua orang di kota ini,” jawabnya.
Mahesa jenar merenung sejenak. Lalu katanya, “Sudahlah,
lupakan itu. Marilah kita sekarang berjalan-jalan. Barangkali kau dapat
menunjukkan tempat-tempat yang belum pernah aku lihat.”
Maka kembali Mahesa Jenar berjalan-jalan
tanpa tujuan. Kali ini ia pergi bersama Arya Salaka yang nakal.
Diajaknya Mahesa Jenar mendaki lereng bukit Telamaya.
“Dari sana Paman dapat melihat seluruh dataran Tanah Rawa,” kata Arya Salaka.
“Dari Banyubiru, dataran itu juga dapat dilihat, Arya,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi pandangan kita tidak seluas apabila kita berdiri di sana” bantah Arya Salaka.
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Memang
ia sama sekali tidak mempunyai tujuan. Jadi ke mana saja pergi, bagi
Mahesa Jenar adalah sama saja.
Sampai di lereng bukit yang agak tinggi,
mereka berdua dapat melihat hampir seluruh dataran. Tanah-tanah yang
subur dengan padinya tampak seperti permadani kuning yang dibentangkan
di bawah kaki mereka. Sedang di bagian timur tampak Rawa Pening
berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari.
Tiba-tiba mata Mahesa Jenar yang tajam
tertarik pada beberapa titik yang bergerak-gerak. Titik-titik itu
terlalu kecil, tetapi mata Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya bahwa
titik-titik itu adalah orang-orang berkuda.
“Kau lihat titik-titik yang bergerak-gerak itu?” tanya Mahesa Jenar kepada Arya Salaka.
“Yang mana Paman?” tanya Arya Salaka sambil berusaha mempertajam pandangan matanya.
“Di sebelah selatan rawa itu,” jawab Mahesa Jenar.
Akhirnya Arya Salaka dapat melihatnya pula. “Ya…, aku melihatnya, Paman” katanya.
“Kau tahu, apakah itu kira-kira?” tanya Mahesa Jenar.
Arya mengerinyitkan alisnya. “Entahlah,” jawabnya.
Itu adalah orang-orang berkuda, kata Mahesa Jenar.
“Orang-orang berkuda?” tanya Arya. Rupanya ia sangat tertarik. “Di
sini memang sering ada orang-orang berkuda. Tetapi yang bergerombol
demikian adalah jarang sekali. Berapa orang kira-kira mereka, Paman?”
Mahesa Jenar mengamat-amati sejenak, lalu katanya, “Ya, antara sepuluh orang.”
Tiba-tiba wajah Arya Salaka berubah. Pasti terpikir sesuatu olehnya. Maka berkatalah ia, “Paman, marilah kita lihat, siapakah mereka itu.”
Mahesa Jenar tersenyum. “Jarak itu
tidak terlalu dekat Arya, belum tentu lewat tengah hari kita sampai ke
sana. Bukankah jalan menuju ke tempat itu berkelok-kelok?”
“Kita pulang dahulu.” Arya menjelaskan maksudnya, “Lalu kita ambil kuda, dan pergi ke sana.”
Arya tidak menunggu jawaban Mahesa Jenar, tetapi terus saja menghambur lari menuruni tebing.
Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain
kecuali mengikutinya. Memang sebenarnya ia pun tertarik pada rombongan
orang-orang berkuda yang datang dari arah timur itu.
Ketika Mahesa Jenar sampai di luar
dinding halaman rumah Arya, ia melihat Arya sudah menunggunya dengan dua
ekor kuda. Yang seekor berwarna hitam mengkilat dan yang seekor lagi
berwarna abu-abu. Ketika Mahesa Jenar menghampirinya, segera Arya
menyerahkan kuda yang berwarna abu-abu itu kepadanya.
“Mudah-mudahan tamasya ini menyenangkan Paman,” kata
Arya sambil meloncat ke atas punggung kudanya. Kemudian tanpa menunggu
Mahesa Jenar, ia telah memacu kudanya. Mahesa Jenar segera menyusul
sambil menggerutu di dalam hati, “Memang anak ini nakal sekali. “
Sebentar kemudian kuda-kuda itu telah
menuruni jalan-jalan perbukitan, dan segera mencapai jalan yang menuju
ke Rawa Pening. Debu yang dihamburkan oleh kaki-kaki kuda itu
bergulung-gulung di terik matahari. Berkali-kali Mahesa Jenar yang
berjalan di belakang menghapus wajahnya, yang rasanya bertambah tebal
oleh debu yang melekat.
Setelah mereka berkuda beberapa saat,
tampaklah jauh di depan mereka debu yang berhambur-hamburan. Segera Arya
memperlambat kudanya sampai Mahesa Jenar berjalan di sampingnya.
“Itukah mereka Paman?” tanya Arya Salaka.
“Ya, itulah mereka,” jawab Mahesa Jenar.
“Lalu apa yang akan kami lakukan?” tanya Arya lagi.
“Terserahlah kepadamu,” jawab Mahesa Jenar tersenyum. “Bukankah aku hanya mengikutimu?”
Arya mengerutkan keningnya. Ia mencoba
untuk mengingat-ingat, apakah yang mendorongnya untuk pergi. Tetapi yang
ditemukannya hanyalah suatu keinginan untuk mengetahui semata-mata.
Sesudah itu tidak ada apa-apa lagi. Karena itu ia menjadi bingung
mendengar jawaban Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar menangkap kesan itu. Lalu katanya, “Arya,
lain kali pikirkan dahulu sebelum kau bertindak, supaya kau tidak mudah
terjerat dalam suatu bahaya. Sekarang aku kau bawa ke dalam suatu
tindakan yang tak kau ketahui sendiri maksudnya.”
Arya memandang wajah Mahesa Jenar dengan
penuh kesibukan di dalam hati. Tetapi ketika ia melihat kesan wajah
Mahesa Jenar, segera ia berkata hampir berteriak, “Paman, jangan Paman mengganggu. Aku sudah kebingungan.”
Kembali Mahesa Jenar tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab, sehingga kembali Arya bertanya, “Aku akan tidak berbuat lagi Paman. Tetapi bagaimana sekarang?”
Akhirnya Mahesa Jenar kasihan juga melihat Arya bingung. Maka katanya, “Kenapa kau menjadi bingung? Bukankah biasa saja kalau kita berjalan berpapasan? Apa halangannya?”
Jawaban Mahesa Jenar yang sederhana itu telah membuat Arya menjadi geli sendiri. Katanya dalam hati, “Ya kenapa aku bingung. Bukankah benar kata Paman Mahesa Jenar itu…?” dan akhirnya
Arya Salaka tertawa sendiri. Tetapi tanpa disadarinya sendiri otaknya
yang tangkas dapat mengikuti jalan pikiran Mahesa Jenar. Dengan
berpapasan saja sudah dapatlah kiranya didapat kesan mengenai
orang-orang berkuda itu.
Orang-orang berkuda itu semakin lama
jaraknya menjadi semakin dekat. Mahesa Jenar masih selalu cemas atas
tindakan-tindakan Arya yang kadang-kadang tak terkendalikan itu
memperingatkan sekali lagi, katanya, “Arya, terhadap orang-orang
yang sama sekali belum kau kenal, jangan berbuat sebelum kau ketahui
beberapa hal lebih dahulu. Juga terhadap orang-orang berkuda itu. Kita
berjalan biasa saja dan jangan menimbulkan kesan yang menarik perhatian
mereka, supaya mereka tidak bercuriga. “
Arya memalingkan kepalanya. Sambil tersenyum ia menjawab, “Aku sudah berjanji Paman, untuk tidak melanggar nasehat-nasehat Paman.”
Sementara itu, orang-orang berkuda itu
sudah demikian dekat, dan sebentar kemudian mereka telah bersilang
jalan. Ternyata mereka terdiri sekitar 10 orang dan bersenjata lengkap.
Mereka pada umumnya bertubuh tegap dan gagah. Wajah-wajah mereka tampak
keras dan mengandung sifat-sifat yang kurang menyenangkan. Ketika
mereka berpapasan, 10 pasang mata itu bersama-sama mengawasi Mahesa
Jenar dan Arya Salaka. Untunglah Arya Salaka tidak berbuat sesuatu yang
menarik perhatian sehingga mereka biarkan saja anak itu lewat bersama
seseorang yang mungkin dianggap bapaknya.
Tetapi dalam waktu yang sekejap itu
banyak artinya bagi Mahesa Jenar. Orang-orang itu pastilah mempunyai
maksud yang tidak baik. Kedatangan mereka di daerah Perdikan Banyubiru
dengan senjata lengkap, pasti mempunyai hubungan dengan keris Nagasasra
dan Sabuk Inten. Sebab bagaimanapun hal itu disekapnya sebagai suatu
rahasia, namun tidaklah mustahil bahwa Sima Rodra sendirilah yang dengan
sengaja meniup-niupkan berita bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten berada di
Banyubiru. Hal ini harus segera diketahui oleh Ki Ageng Gajah Sora.
“Paman…,” tiba-tiba suara Arya mengejutkan Mahesa Jenar yang sedang sibuk berpikir, “kemana kita sekarang?”.
Mahesa Jenar segera menoleh ke belakang. Orang-orang berkuda itu telah agak jauh di belakang mereka.
“Ke manakah jalan ini Arya?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku belum pernah berjalan jauh lewat jalan ini, Paman,” jawab Arya. “Tetapi
kata ayah, jalan ini menuju ke Pajaten dan kemudian lewat daerah hutan
akan sampai ke jalan silang ke Bergota setelah membelok kembali ke arah
barat.”
Mahesa Jenar tampak berpikir sejenak. Kemudian ia bertanya lagi, “Adakah simpangan yang dapat menghubungkan kembali dengan Banyubiru tanpa mengambil jalan yang kita lewati tadi?”
„Aku belum tahu, Paman,” jawab Arya.
„Kita berhenti sebentar Arya,” kata Mahesa Jenar sambil menarik kekang kudanya. Arya juga segera menghentikan kudanya.
“Arya…”, kata Mahesa Jenar, “Kita
harus segera kembali. Kalau mungkin lewat jalan lain. Sebab kalau kita
mengambil jalan yang sama, pasti akan menimbulkan kecurigaan orang-orang
berkuda itu sehingga mungkin mereka akan berbuat sesuatu atas kita.”
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Rupanya ia dapat mengerti keterangan Mahesa Jenar. Tiba-tiba hampir berteriak ia berkata, “Paman…
aku pernah pergi berburu bersama ayah. Kami mendaki lereng bukit ini
lewat lorong sempit yang biasa dilewati orang mencari kayu. Aku tidak
tahu apakah aku dapat menemukan jalan itu kembali. Tetapi yang masih aku
ingat, kami lewat di sebelah randu alas raksasa yang tampak itu,
Paman.”
Mahesa Jenar memandang ke arah pohon
raksasa yang ditunjukkan oleh Arya. Pohon itu terletak di tengah-tengah
hutan yang tidak begitu lebat di lereng bukit itu.
“Mungkinkah orang-orang tadi juga akan pergi berburu, Arya…? tanya Mahesa Jenar.
Aku kira tidak, Paman” jawab Arya, “Sebab perlengkapan mereka sama sekali bukan perlengkapan orang berburu,
Diam-diam Mahesa Jenar memuji kecerdasan otak anak itu. Katanya kemudian, “Beranikah kau mencoba membawa aku bertamasya ke bawah pohon itu?”
Arya berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Marilah kita coba, Paman. Bila kita dapat mencapai pohon itu jalannya akan lebih mudah untuk mencapai Banyubiru. Sebab
lorong di bawah pohon itu akan tembus sampai ke Sendang Muncul. Kalau
sudah sampai di sendang itu sambil memejamkan mata aku dapat menuntun
Paman sampai ke rumah ayah.”
“Kau terlalu sombong Arya,” potong Mahesa Jenar sambil tersenyum. “Sebaiknya
kita coba saja. Tetapi kalau kau tidak berhasil membawa aku sampai ke
rumahmu, awas. Aku tidak mau lagi bermain gundu.”
Arya tidak menjawab lagi. Tetapi segera
ia menarik kekang kudanya dan memutarnya untuk seterusnya meloncat
menyusup hutan yang tidak begitu lebat di lereng timur pegunungan
Telamaya. Sedang Mahesa Jenar pun segera mengikuti Arya. Sebenarnya ia
sama sekali tidak sangsi lagi setelah Arya dapat menunjukkan ancar-ancar
untuk mencapai Banyubiru. Sebab baginya sama sekali tidak akan menemui
kesulitan untuk mencapai pohon randu alas raksasa itu. Meskipun demikian
sengaja ia berjalan di belakang untuk memberi kesempatan kepada anak Ki
Ageng Gajah Sora itu.
Ternyata Arya sama sekali tidak
mengecewakan. Dengan tangkasnya ia mengendalikan kudanya ke arah yang
benar, meskipun sekali-sekali kuda itu harus berjalan sangat
berhati-hati kalau sedang mendaki tebing yang terjal.
Akhirnya setelah beberapa lama mereka
menyusup semak-semak dan belukar yang tidak begitu tebal, akhirnya
dengan bangga Arya berkata, “Inilah Paman, Arya telah dapat menemukan jalan.”
Mahesa Jenar tersenyum melihat wajah Arya yang lucu. Maka katanya, “Kau
memang seorang pemburu yang hebat, Arya. Binatang-binatang buruanmu
pasti tidak akan dapat melepaskan diri kalau kau sedang memburunya.”
Di luar dugaan Mahesa Jenar, tampak wajah Arya tiba-tiba merengut. Jawabnya, “Hanya
itukah, Paman…? Tidakkah aku dapat menjadi lebih baik daripada seorang
pemburu? Ayah mengharap bahwa aku akan dapat menjadi seorang pahlawan.”
Kata-kata Arya itu sangat mengejutkan
Mahesa Jenar. Ia tidak mengira bahwa di dalam dada anak itu telah
tertanam suatu cita-cita yang sedemikian besarnya. Kembali Mahesa Jenar
kagum, tidak hanya kepada anak itu, tetapi sekaligus Ki Ageng Gajah Sora
yang telah berhasil mencetak pola cita-cita hari depan anaknya. Saat
yang demikian, kembali mengetuk perasaan Mahesa Jenar tentang gambaran
masa depannya sendiri. Tak seorang pun yang akan dapat melanjutkan
cita-citanya. Kalau pada suatu ketika ia sudah tidak dapat lagi
menggerakkan tangannya serta tak dapat lagi melangkahkan kakinya, maka
ia akan terpencil dari segenap percaturan. Dan tak seorang pun akan
berkata, “Aku adalah keturunan Mahesa Jenar, dan ayahku mengharap aku menjadi seorang pahlawan.”
Apakah artinya perjuangan masa kini,
apabila perjuangan itu tidak dapat tanggapan dari masa depan? Pastilah
apa yang telah dihasilkan atas cucuran keringat dan darah itu satu
persatu akan lenyap seperti lenyapnya batu dari permukaan air. Hilang.
Tenggelam ditelan bergolaknya gelombang sejarah.
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersadar oleh
suara Arya yang masih belum puas ketika Mahesa Jenar tidak menjawab
pertanyaannya. Katanya, “Benarkah begitu Paman, bahwa suatu waktu aku akan dapat menjadi seorang pahlawan?”
“Tentu, tentu… Arya. Kau akan menjadi seorang pahlawan,” jawab Mahesa Jenar cepat-cepat.
Tampaklah Arya Salaka mengangguk puas.
“Nah, sekarang kita tinggal menuruti lorong sempit ini untuk mencapai Sendang Muncul,” sambung Arya Salaka.
“Marilah Arya, kau berjalan di depan,” jawab Mahesa Jenar.
Segera Arya dan Mahesa Jenar melanjutkan
perjalanannya menuju ke Sendang Muncul. Tetapi di sepanjang perjalanan
itu Mahesa Jenar tidak dapat melepaskan diri dari gangguan gagasannya
mengenai masa depannya.
Tiba-tiba belum beberapa lama mereka
berjalan, Arya Salaka menghentikan kudanya. Matanya tertambat pada
sesuatu di atas tanah, di jalan yang sedang dilaluinya. Tetapi belum
lagi ia mengucapkan sesuatu, Mahesa Jenar telah melihat telapak-telapak
kuda di lorong sempit itu. Telapak-telapak itu muncul dari dalam belukar
di tepi lorong itu dan beberapa langkah setelah mengikuti lorong itu,
kemudian lenyap pula ke seberang yang lain.
“Telapak-telapak kuda Paman,” desis Arya.
Mahesa Jenar menganggukkan kepala. Ia
mencoba untuk mengetahui adakah telapak-telapak kuda itu ada hubungannya
dengan orang-orang berkuda yang baru saja berpapasan jalan. Menilik
arahnya, maka tidaklah mungkin bahwa telapak telapak ini adalah telapak
kaki-kaki kuda yang dijumpainya tadi. Jumlahnya juga tidak sesuai.
Telapak-telapak ini tidak lebih dari lima ekor kuda.
Maka segera ia mendapat firasat bahwa bahaya yang besar telah mendatangi kota ini. Karena itu katanya kepada Arya, “Arya…
mungkin ada bahaya di sekitar kita, karena itu marilah kita pulang.
Mungkin ada gunanya kita membicarakan hal ini dengan ayahmu.”
Rupanya Arya mengerti pula. Karena itu sambil mengangguk ia mempercepat jalan kudanya.
Ketika matahari telah melampaui titik
tengah, mereka sampai di Sendang Muncul. Dari sana mereka dapat
menaburkan pandangan ke dataran di muka lambung pegunungan itu. Tetapi
mereka sama sekali tidak melihat lagi orang-orang berkuda yang
dijumpainya tadi. Pasti mereka telah membelok masuk hutan. Hal ini juga
merupakan suatu pertanda yang berbahaya. Mungkin tapak-tapak kuda yang
dijumpainya itu juga berasal dari orang-orang berkuda yang ditemuinya
tadi. Karena itu maka mereka berdua segera melanjutkan perjalanan
pulang, untuk menyampaikan apa yang telah mereka lihat itu kepada Ki
Ageng Gajah Sora.
———-oOo———-
III
Sampai di rumah, segera mereka menambatkan kuda-kuda mereka di belakang dapur, dan sesudah itu mereka langsung pergi ke pendapa.
Ki Ageng Gajah Sora ketika melihat
kedatangan Mahesa Jenar segera mempersilahkannya. Pada saat itu Ki Ageng
Gajah Sora dan Ki Ageng Lembu Sora beserta beberapa orang pengiringnya
sedang duduk bercakap-cakap di pendapa. Sikap Ki Ageng Lembu Sora masih
saja tidak menyenangkan bagi Mahesa Jenar. Meskipun demikian Mahesa
Jenar sama sekali tak menunjukkan ketidaksenangannya.
“Sudahkah Adi berkeliling sampai ke segala sudut?” tanya Ki Ageng Gajah Sora.
“Sudah Kakang,” jawab Mahesa Jenar. “Bahkan
aku telah sampai agak jauh ke sebelah timur. Aku dibawa Arya sampai ke
pohon randu alas raksasa, yang katanya, ia pernah mengikuti Kakang
berburu ke sana.”
“Kau bawa Pamanmu sampai ke kediaman Kaki Klantung itu Arya?” tanya Gajah Sora kepada anaknya.
“Ya…, Ayah…,” jawab Arya yang rupanya akan berceritera lebih banyak lagi, tetapi segera disahut oleh Mahesa Jenar, “Jadi randu alas itu terkenal dengan tempat kediaman Kaki Klantung?”
“Begitulah kata orang,” jawab Gajah Sora.
“Di perjalanan,” sambung Mahesa Jenar, “kami bertemu dengan beberapa orang pemburu. Yang
pertama kami bertemu dengan 10 orang, lalu di sebelah randu alas itu
kami temui telapak-telapak kaki kuda, kira-kira sebanyak lima ekor.”
Mendengar keterangan Mahesa Jenar, Ki
Ageng Gajah Sora mengerutkan keningnya. Terbayang pada wajahnya,
perasaan yang kurang wajar.
Sedang Arya memandang wajah Mahesa Jenar
dengan keheran-heranan. Mahesa Jenar tahu betul bahwa yang mereka jumpai
bukanlah pemburu-pemburu. Tetapi meskipun demikian ia sama sekali tidak
berkata apa-apa. Ia tidak tahu, apakah maksud Mahesa Jenar dengan
berkata demikian.
“Suatu kehormatan bagiku,” tiba-tiba Ki Ageng Gajah Sora berkata, “Sekian banyak pemburu-pemburu telah memerlukan datang berburu ke wilayah Banyu Biru. Memang
sebelum ini, sering benar orang pergi berburu babi hutan. Tetapi sekian
banyak orang sekaligus adalah suatu hal yang jarang-jarang sekali
terjadi.”
Sementara itu, Mahesa Jenar selalu
berusaha untuk memperhatikan wajah Ki Ageng Lembu Sora. Tetapi ternyata
wajah itu tidak menunjukkan perubahan. Ia mendengarkan saja percakapan
Mahesa Jenar dengan Gajah Sora tanpa menaruh perhatian apa-apa.
Ketika udara menjadi semakin panas, maka
Ki Ageng Lembu Sora beserta para pengiringnya dipersilakan beristirahat
di gandok kulon, sedang Mahesa Jenar dipersilakan untuk makan siang
bersama Arya, sebab yang lain telah mendahuluinya.
Sementara Mahesa Jenar makan, ia sempat
melihat kesibukan Gajah Sora. Rupanya laporannya menarik perhatiannya.
Ia memerintahkan beberapa orang untuk melihat lihat keadaan kota di
bagian timur, sedang beberapa orang lain diperintahkan untuk
mengelilingi bagian kota yang lain.
Sesudah makan, Mahesa Jenarpun segera
kembali ke ruangnya di gandok wetan. Tetapi baru saja ia membaringkan
dirinya, didengarnya seseorang mendatanginya. Ternyata orang itu adalah
Ki Ageng Gajah Sora.
“Adi..”. kata Gajah Sora sambil duduk di atas bale-bale panjang di sisi tempat berbaring Mahesa Jenar. “Aku sangat tertarik kepada ceriteramu.”
Mahesa Jenar pun segera bangkit. Jawabnya, “memang, orang-orang yang aku jumpai itu menarik perhatian, Kakang.”
“Bagaimanakah pertimbanganmu tentang orang-orang itu, Adi?” tanya Gajah Sora.
“Kesannya kurang baik,” jawab Mahesa Jenar. “Dan
rupa-rupanya Kakang telah mengambil tindakan yang benar. Memerintahkan
beberapa orang untuk berjaga-jaga. Mereka, orang-orang berkuda itu, aku
kira sedang berada di hutan-hutan, menanti saat untuk bertindak. Tetapi
aku tidak tahu apakah yang akan mereka lakukan.”
“Limabelas orang adalah jumlah yang kecil, Adi,” kata Gajah Sora. “Tetapi mungkin tidak hanya itu. Dan apabila mereka dikendalikan oleh tangan yang baik, maka akibatnyapun besar pula.
Nah, baiklah kita tunggu laporan orang-orangku sambil berjaga-jaga. Sekarang aku persilakan Adi beristirahat.”
Nah, baiklah kita tunggu laporan orang-orangku sambil berjaga-jaga. Sekarang aku persilakan Adi beristirahat.”
Kembali Mahesa Jenar ditinggalkan seorang
diri di dalam ruang itu. Ia mencoba membayangkan kembali wajah-wajah
orang-orang berkuda yang ditemuinya tadi. Pastilah sesuatu akan terjadi
di kota ini. Terbayanglah dalam angan-angannya beberapa puluh orang
berkuda sedang merayap-rayap mendekati kota, yang selanjutnya pasti akan
membuat keributan. Kalau mereka merasa cukup kuat, mungkin mereka akan
menyerbu rumah ini untuk mengambil Keris Nagasasra dan Sabuk Inten.
Sejenak kemudian Mahesa Jenar mendengar
derap kuda memasuki halaman. Dari celah-celah pintu yang tidak tertutup
rapat, ia dapat melihat Wanamerta dengan beberapa orang pengiring
memasuki halaman. Meskipun Wanamerta telah lanjut usia, tetapi nampaklah
betapa tangkasnya ia meloncat turun dari kudanya. Dengan langkah yang
tergesa-gesa, Wanamerta naik ke pendapa untuk menemui Ki Ageng Gajah
Sora. Tetapi sejenak kemudian ia telah turun kembali. Dipanggilnya
beberapa orang pengiringnya untuk diberi perintah-perintah. Setelah itu
segera orang-orangnya meloncat ke atas kuda masing-masing dan sekejap
kemudian mereka telah lenyap di balik regol halaman.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Ia lega melihat kecepatan bertindak Gajah Sora. Tetapi ia sama sekali
tidak berani mencampurinya apabila tidak diminta.
Ketika orang-orang itu telah pergi,
Wanamerta kembali ke pendapa, untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan
dengan Ki Ageng Gajah Sora.
Sementara itu wajah langit di sebelah
barat mulai membayang cahaya kemerah-merahan. Dan sejalan dengan semakin
rendahnya matahari, hati Mahesa Jenar menjadi semakin tegang pula.
Teringat jelas kata-kata Sima Rodra tua bahwa ia sama sekali belum
melepaskan keinginannya untuk memiliki kembali keris Nagasasra dan Sabuk
Inten.
Ia mulai menghubung-hubungkan, apakah orang-orang berkuda itu mempunyai hubungan dengan kata-kata Sima Rodra itu.
Belum lagi ia mendapat suatu kesimpulan
apapun, maka masuklah seseorang ke dalam ruangannya untuk meminta Mahesa
Jenar naik ke pendapa.
Di dalam pendapa itu ternyata telah hadir
pula kecuali Wanamerta, juga Ki Ageng Lembu Sora dan beberapa orang
pengiringnya. Juga tampak beberapa orang pembantu Gajah Sora dalam
melakukan tugasnya sebagai kepala daerah perdikan.
Menghadapi beberapa tokoh itu, Mahesa
Jenar teringat pada masa-masa ia masih menjadi seorang prajurit. Sesudah
itu, ia biasa menghadapi setiap masalah seorang diri. Dan sekarang ia
akan menghadapi suatu masalah, dimana ia tidak berdiri sendiri. Karena
itu disamping ketegangan yang ada di dalam hatinya, sedikit membersit
kegembiraannya pula.
Ternyata Ki Ageng Gajah Sora pada saat
itu sedang membicarakan masalah orang-orang berkuda yang berada di
sekitar kota. Orang-orang berkuda itu tidak saja datang dari arah timur
seperti yang ditemui oleh Mahesa Jenar, tetapi menurut laporan,
orang-orang berkuda semacam itu datang pula dari arah barat. Maka
jelaslah sudah bahwa mereka mempunyai maksud yang jahat.
Pada pertemuan itu Mahesa Jenar mendengar
pula kesediaan Ki Ageng Lembu Sora untuk tidak pulang pada hari itu. Ia
bermaksud untuk turut serta berjaga-jaga apabila ada hal-hal yang tidak
dikehendaki.
“Adi Mahesa Jenar…, kata Gajah Sora beberapa saat kemudian, “sebenarnya
aku tidak mau mengganggu kesenangan Adi di Banyu Biru ini sebagai
seorang tamu. Tetapi tiba-tiba keadaan orang-orang itu mendatangi daerah
yang tak berarti sama sekali ini. Kalau mereka bermaksud merampas harta
benda, maka di daerah miskin ini sama sekali akan mengecewakan mereka.
Tetapi bagaimanapun kami terpaksa mempertahankan diri terhadap apapun
yang pernah kami miliki.”
Kata-kata itu tegas bagi Mahesa Jenar.
Meskipun Gajah Sora tidak menyebut-nyebut tentang kedua pusaka
simpanannya, tetapi ia telah minta kepada Mahesa Jenar untuk
bersama-sama mempertahankan pusaka-pusaka itu.
Sementara itu, terdengarlah derap kuda
dengan kencangnya berlari memasuki halaman. Seorang pemuda yang tegap
kuat segera menghentikan kuda itu dan langsung meloncat turun. Dengan
langkah yang tergesa-gesa ia naik ke pendapa menghadap Ki Ageng Gajah
Sora.
Menilik wajahnya, pasti ia membawa
sesuatu berita yang penting. Untuk beberapa lama ia tidak berkata
apa-apa sambil memandangi orang-orang yang hadir. Tampaknya ia ragu-ragu
untuk menyampaikan sesuatu.
Ki Ageng Gajah Sora melihat keragu-raguannya, maka katanya, “Katakanlah apa yang telah kau lihat.”
“Ki Ageng..”. katanya di sela-sela nafasnya yang mengalir cepat, “Pasukan Paman Sanepa telah terlibat dalam suatu pertempuran dengan kira-kira 30 orang berkuda yang datang dari arah barat.
Tigapuluh…?” ulang Gajah Sora.
Tigapuluh…?” ulang Gajah Sora.
“Ya, Ki Ageng,” jawab pemuda itu.
“Berapa orang yang dibawa oleh pamanmu?” tanya Ki Ageng.
“25 Orang, Ki Ageng,” jawabnya.
“Seimbang,” kata Ki Ageng. “Tetapi kau boleh membawa orang-orang Sanjaya bersamamu. Nah, pergilah. Di sana ada 10 orang.”
“Baik, Ki Ageng.” Lalu dengan
tangkasnya ia meloncat turun dan dengan kecepatan luar biasa, ia naik ke
punggung kudanya. Sekejap kemudian derap kuda itu telah semakin jauh
dan lenyap.
“Kita sudah mulai,” kata Gajah Sora yang tampaknya masih tenang saja.
“Kakang Wanamerta,” sambung Gajah Sora, “Suruhlah
membunyikan tanda bahaya, supaya orang-orang kita di segenap arah
mempersiapkan diri dan mengerti bahwa di salah satu sudut kota ini telah
terjadi bentrokan.”
Wanamerta segera memerintahkan seorang
untuk membunyikan tanda bahaya. Dan sebentar kemudian telah
meraung-raung hampir di seluruh kota Banyubiru, bunyi titir yang
bersahut-sahutan.
Orang-orang yang duduk di pendapa itu
wajahnya menjadi bertambah tegang. Mereka masih menanti perintah, apakah
yang harus mereka kerjakan.
Tetapi Ki Ageng Gajah Sora sendiri dapat melakukan tugasnya dengan tenang dan tidak tergesa-gesa.
Pada saat itu gelap malam telah mulai
turun. Batang-batang pohon di halaman menjadi semakin kabur diselubungi
oleh kehitaman malam yang bertambah pekat.
Tiba-tiba di daerah utara tampaklah
langit berwarna darah. Disusul oleh bunyi kentongan tiga kali lima kali
ganda, berturut-turut.
“Kebakaran,” kata Wanamerta.
Dengan mata yang memancarkan kemarahan Ki
Ageng Gajah Sora memandang kearah langit yang membara diarah utara itu.
Tetapi meskipun demikian ia masih bersikap tenang.
“Siapakah yang berada di sana?” tanya Gajah Sora kepada Wanamerta.
“Adi Pandan Kuning,” jawab Wanamerta singkat.
“Pandan Kuning…?” ulang Gajah Sora.
“Ya.”
“Kalau begitu mereka pasti terdiri
dari orang-orang pilihan pula, sehingga di hadapan Paman Pandan Kuning,
mereka berhasil membakar rumah,” kata Gajah Sora hampir bergumam.
“Paman…,” kata Gajah Sora kemudian, “Suruh seseorang sediakan kuda-kuda kami.”
Meskipun kata-kata itu diucapkan dengan
perlahan-lahan tetapi artinya adalah besar sekali. Gajah Sora sendiri
telah merasa perlu untuk sewaktu-waktu bertindak. Menurut
perhitungannya, orang-orang yang mendatangi Banyubiru itu pasti terdiri
dari orang-orang yang tak dapat direndahkan.
Wanamerta tidak lagi mau membuang waktu.
Maka segera diperintahkan seorang untuk menyiapkan kuda-kuda mereka.
Berbareng dengan itu Ki Ageng Lembu Sorapun telah memerintahkan orangnya
untuk mempersiapkan kuda-kuda mereka pula.
Pada saat orang-orang itu menyiapkan kuda
di halaman, muncullah diantara mereka Arya dengan dua ekor kuda di
tangannya. Seekor berwarna hitam mengkilat dan yang seekor lagi berwarna
abu-abu.
“Inilah kuda Paman,” teriaknya kepada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar terkejut melihat Arya hadir dalam kesibukan itu. “Kau mau kemana, Arya?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku ikut Paman ke tempat kebakaran itu,” jawabnya.
“Arya…,” potong Gajah Sora, “Kau jangan menambah kesibukanku dan pamanmu. Masuklah ke dalam. Kalau kau mau pergi juga, seterusnya aku tak mau mengajari kau sama sekali.”
Arya memandang ayahnya dengan penuh
kecewa. Tetapi ia sama sekali tidak berani membantah. Sebab dalam
saat-saat yang demikian ayahnya memang dapat bertindak agak keras
terhadapnya.
Sementara itu keributan semakin
menjadi-jadi. Orang-orang Banyubiru adalah orang-orang yang cukup
terlatih di bawah pimpinan Gajah Sora.
Karena itu di beberapa tempat yang juga
timbul pertempuran-pertempuran, Laskar Banyubiru segera dapat menguasai
keadaan. Tetapi di bagian barat dan utara, ternyata kekuatan mereka tak
dapat dianggap ringan. Di pendapa, Ki Ageng Gajah Sora beberapa kali
menerima penghubung-penghubung dari daerah pertempuran, dan dengan
cermatnya ia memberikan perintah dan petunjuk-petunjuk.
Tetapi, tiba-tiba orang-orang yang berada
di pendapa itu bersama-sama digetarkan oleh bunyi kentongan
dua-tiga-dua-tiga dari arah utara, sedangkan api tampak semakin menjalar
ke beberapa arah.
Mendengar bunyi kentongan itu, kemarahan
Gajah Sora tak dapat dikendalikan lagi. Bunyi kentong dua-tiga-dua-tiga
mempunyai arti yang sama sekali tidak menyenangkan. Tanda itu mengatakan
bahwa Laskar Banyubiru terdesak hebat.
Dengan gigi yang terkatub rapat, Gajah Sora terloncat dari duduknya. Geramnya, “Setan manakah yang mencoba mengganggu ketenteraman Banyubiru?”
“Paman Wanamerta..”. kata Gajah Sora kepada Wanamerta, “Aku
akan pergi ke tempat itu. Rupanya kekuatan lawan dipusatkan di sana.
Berilah tanda supaya sebagian dari pasukan cadangan dikerahkan ke
utara.”
Segera Wanamerta memerintahkan memukul
kentongan dua-empat-dua-empat berturut-turut. Bersama dengan itu Gajah
Sora meloncat ke atas kudanya.
“Adi Lembu Sora dan Mahesa Jenar, marilah kita lihat daerah itu,” katanya.
Mahesa Jenar nampak ragu sebentar. Kalau
mereka seluruhnya meninggalkan tempat itu, lalu bagaimanakah dengan
keris yang disimpan oleh Gajah Sora?
Rupanya keragu-raguan itu diketahui oleh Gajah Sora, katanya, “Tak seorang pun yang akan dapat mengalahkan Paman Pandan Kuning kalau bukan seorang yang luar biasa hebatnya. Jadi
menurut perhitunganku, pimpinan dari gerombolan itu berada di sana.
Biarlah rumah ini aku serahkan kepada Paman Wanamerta dan Paman
Sawungrana. Aku percaya kepada Paman berdua dengan beberapa orang
pasukannya. Berilah aku tanda kalau keadaan memaksa. Ingat Paman, tak
seorangpun boleh menginjakkan kakinya di halaman rumah ini.”
“Baik Anakmas, aku akan menjaganya,” jawab Wanamerta.
“Siapa yang di halaman belakang?” tanya Gajah Sora.
“Panjawi dengan laskarnya,” jawab Wanamerta.
“Bagus, aku percaya pula pada anak muda itu. Kelak ia pasti menjadi seorang prajurit pilihan. Nah, Paman… aku akan berangkat.” Sekejap
kemudian Gajah Sora mendera kudanya dan lari dengan kencangnya. Lembu
Sora dengan beberapa pengiringnya segera menyusul dan yang paling
belakang adalah Mahesa Jenar dengan kuda abu-abu yang dibawa oleh Arya
tadi.
Maka segera iring-iringan itu meluncur
seperti angin ke arah tempat kebakaran di sebelah utara Banyubiru di
kaki bukit Telamaya. Dari tempat yang agak tinggi di luar halaman,
mereka dapat melihat dengan jelas api yang berkobar-kobar di beberapa
tempat.
Melihat nyala api itu, hati Gajah sora
menjadi semakin panas. Ia memacu kudanya lebih laju lagi. Kuda yang
telah berlari sekuat tenaga itu menurut perasaan Gajah Sora seperti ular
yang merambat di dedaunan. Lambat sekali.
Tetapi akhirnya dengan menahan kekesalan
hati, mereka sampai juga di tempat pertempuran. Dari jarak yang cukup,
Gajah Sora dengan rombongannya dapat melihat arena pertempuran yang
terjadi di pinggir sebuah perkampungan. Rupanya pertempuran itu telah
berlangsung dengan serunya. Di kedua belah pihak telah jatuh beberapa
orang korban.
Ternyata, pasukan-pasukan cadangan
Banyubiru yang dipimpin oleh Ki Bantaran telah tiba di tempat itu dan
telah pula melibatkan diri dalam pertempuran. Dalam pengamatan yang
sebentar itu Gajah Sora melihat betapa kuatnya pihak lawan. Dilihat dari
bekas-bekasnya, ternyata bahwa arena pertempuran itu telah bergeser
agak jauh mendekati perkampungan. Bahkan beberapa orang dari mereka
telah membakar rumah-rumah penduduk yang tak bersalah.
Kemarahan hati Gajah Sora semakin
menggelora. Karena itu setelah ia menemukan pertimbangan mengenai
keseluruhan pertempuran itu, segera ia memberikan perintah. “Lembu Sora…” katanya,
“bawalah anak buahmu ke sebelah kiri. Lingkari arena ini, dan kau harus
dapat menguasai jalan kecil di ujung sawah itu. Kalau aku berhasil
mendesak mereka, usahakan jangan dibiarkan mereka lolos. Aku ingin tahu
siapa mereka. Bawalah beberapa orang bersamamu.”
“Baik Kakang,” jawab Lembu Sora.
Setelah itu iapun segera pergi ke tempat yang telah ditentukan. Ia
melingkar menyusup perkampungan untuk kemudian muncul kembali menuju ke
jalan kecil di ujung sawah. Dalam keremangan cahaya api yang menjilat ke
udara, arena pertempuran itu seolah-olah sengaja dijadikan daerah yang
diterangi oleh ribuan obor di sekitarnya.
Sepeninggal Lembu Sora, Gajah Sora dan
Mahesa Jenar berdiri mengawasi medan. Mahesa Jenar adalah bekas prajurit
pengawal raja. Karena itu ia mempunyai pandangan yang cukup masak
mengenai keadaan medan. Maka segera ia melihat kelemahan Laskar
Banyubiru. Katanya, “Kakang, menurut pengamatanku, letak kesalahan
Laskar Banyubiru adalah, beberapa orang yang cukup masak berkumpul di
dalam satu titik. Sehingga di bagian-bagian lain banyak terdapat
kelemahan.”
Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Kau
benar Adi Mahesa Jenar. Aku melihat pula kelemahan itu. Tetapi pastilah
mereka menghadapi keadaan darurat. Bahkan Bantaran pun telah terlibat
dalam perkelahian di titik itu pula.”
“Siapakah yang bersenjatakan pedang panjang serta melompat-lompat dengan lincahnya itu?” tanya Mahesa Jenar.
“Itulah Pandan Kuning,” jawab Gajah Sora. “Yang bersenjata tombak itu adalah Bantaran. Lainnya adalah orang-orang pilihan dari Laskar Banyubiru.”
“Kakang...” tiba-tiba Mahesa Jenar berkata agak terkejut, Rupanya mereka hanya melawan satu orang saja.
Gajah Sora mempertajam pandangannya.
Nyala api yang berkobar-kobar di sekitar daerah pertempuran itu membuat
ratusan bayangan dari orang-orang yang bertempur itu, beraneka ragam.
Ada yang panjang, ada yang besar seperti raksasa yang meloncat-loncat
menerkam mangsanya. Karena itu keadaan medan menjadi agak kabur.
“Aku kira tidak hanya seorang, Adi, tetapi dua orang,” jawab Gajah Sora.
“Ya, dua orang,” sambung Mahesa Jenar hampir berteriak, Dan aku pernah mengenal kedua orang itu.
Hampir saja Mahesa Jenar meloncat
menyerbu. Tetapi tiba-tiba dilihatnya Lembu Sora telah mendahuluinya
dari arah belakang. Lembu Sora menyambar dari atas kudanya seperti
seekor elang yang sedang marah. Geraknya tangkas dan tangguh. Rupanya ia
adalah seorang yang ahli bertempur di atas kuda.
Pandan Kuning, Bantaran, dan lebih dari
tujuh orang bertempur bersama-sama melawan dua orang. Tetapi dua orang
itu ternyata tangguh sekali. Sehingga sampai sekian lama kedua orang itu
masih tampak segar dan lincah. Sekarang mereka mendapat bantuan Lembu
Sora. Ternyata Lembu Sora juga tidak mengecewakan. Ia bersenjatakan
sebuah pedang yang panjang dan besar. Pedang itu di tangannya yang kokoh
kuat, hanya seperti setangkai lidi yang berputar-putar dan berkilauan
kena cahaya api.
Dari jarak yang agak jauh itu, terdengar
tidak jelas Lembu Sora memberikan aba-aba, dan sebentar kemudian keadaan
segera berubah dengan cepatnya. Pandan Kuning dengan kawan-kawannya
segera memotong batas kedua lawannya, sedang Lembu Sora dengan garangnya
menyerang yang seorang dari mereka. Maka segera terjadi dua lingkaran
pertempuran. Lembu Sora melawan seorang, sedang seorang lagi harus
melayani Pandan Kuning dan kawan-kawannya.
“Anak itu punya otak juga,” gumam Gajah Sora. “Ia pasti bermaksud membunuh seorang demi seorang.”
“Bukankah ia putra Ki Ageng Sora Dipayana pula?” kata Mahesa Jenar.
Gajah Sora tersenyum, jawabnya, “Sayang ia agak bengal.”
Mahesa Jenar tidak menjawab, perhatiannya
terikat sekali pada pertempuran yang berlangsung dengan hebatnya.
Tetapi kemudian ia menjadi agak bingung melihat ketidak-wajaran dalam
pertempuran itu.
“Kakang Gajah Sora,” katanya, “ tidakkah Kakang melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya?
“Ya.” jawab Gajah Sora. “Rupa-rupanya ada pertempuran segitiga di daerah ini.”
“Tepat, Kakang,” kata Mahesa Jenar. “Lalu apakah yang akan kita lakukan?”
“Biarlah Lembu Sora dan Paman Pandan Kuning melayani lawannya yang rupa-rupanya tidak terlalu membahayakan,” jawab Gajah Sora. “Marilah kita bersihkan saja yang lain, baru kita membantu menangkap kedua orang itu,” kata Gajah Sora selanjutnya.
Sehabis berkata demikian, Gajah Sora mendera kudanya langsung terjun ke dalam kancah pertempuran.
Sepeninggal Gajah Sora, Mahesa Jenar
masih beberapa saat berdiri mengawasi medan. Rupanya Gajah Sora ingin
mempergunakan siasat lawan untuk memukul mereka kembali.
Pemimpin-pemimpin gerombolan penyerbu itu agaknya telah mengatur siasat
dengan cermatnya. Mereka berhasil memancing tokoh-tokoh Laskar Banyubiru
untuk berkumpul di dalam satu lingkaran, sedang orang-orangnya akan
menjadi agak leluasa untuk menjalankan pengacauan dan pembakaran.
Gajah Sora memaklumi siasat itu. Dan ia
juga tidak dapat menyalahkan pemimpin pemimpin laskarnya untuk mengepung
pimpinan gerombolan yang tangguh itu. Sebab apabila mereka tidak
menghadapi bersama-sama, maka dengan mudahnya mereka akan dibinasakan
satu demi satu.
Karena itu, Gajah Sora berhasrat
memecahkan siasat itu dengan merusak barisan laskar gerombolan itu.
Dengan demikian pemimpin-pemimpin mereka pasti akan mendatanginya tanpa
diminta. Sebab pastilah mereka menyangka bahwa tak seorang pun akan
mampu menahan laskar mereka yang mereka perkuat, meskipun ada laskar
lain yang ada diluar perhitungan, sehingga terpaksa terjadi pertempuran
segitiga. Namun salah satu dari mereka ternyata telah berhasil dengan
siasat mereka, dan membakar rumah penduduk yang tak berdaya. Sedang di
dalam perhitungan mereka, Gajah Sora sendiri akan tetap berada di
rumahnya untuk menjaga pusaka-pusaka yang disimpannya.
Tetapi yang masih belum dapat dipecahkan,
baik oleh Mahesa Jenar maupun Gajah Sora, adalah adanya dua laskar yang
dalam waktu bersamaan menyerang Banyubiru. Sedang mereka bertempur pula
satu sama lain, meskipun maksud mereka hampir jelas, yaitu menginginkan
pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Kecuali itu Mahesa Jenar juga sangat
tertarik ketangguhan dua orang tokoh gerombolan yang dengan tangkasnya
dapat mempertahankan diri dari kepungan Pandan Kuning serta
kawan-kawannya.
Sementara itu pertempuran berlangsung
terus dengan hebatnya. Laskar Banyu Biru telah berjuang mati-matian
untuk mencoba mempertahankan tanah mereka serta seluruh isinya.
Dengan munculnya Lembu Sora, keadaan
sudah mulai berubah. Lembu Sora ternyata juga merupakan seorang
laki-laki yang luar biasa. Pedangnya yang terlalu besar menurut ukuran
biasa itu berputar seperti baling-baling yang dengan dahsyatnya selalu
melingkari lawannya dengan serangan-serangan maut. Tetapi lawan Lembu
Sora pun memiliki kelincahan yang luar biasa. Sayang bahwa jarak mereka
agak jauh dari Mahesa Jenar. Apalagi prajurit-prajurit yang sedang
bertempur itu selalu bergerak-gerak membayangi pandangannya, sehingga ia
tidak dapat melihat dengan jelas.
Karena tertarik kepada kedua orang
pemimpin gerombolan yang perkasa itu, Mahesa Jenar ingin lebih mendekat
lagi. Maka segera ia turun dari kudanya dan mengikatkan kuda itu pada
sebatang pohon. Dengan perlahan-lahan, ia menerobos medan yang sedang
ribut, ia berjalan mendekati Lembu Sora.
Beberapa kali Mahesa Jenar mendapat
serangan dari laskar-laskar gerombolan itu, tetapi dengan satu-dua
gerakan saja Mahesa Jenar telah dapat merobohkan mereka.
Di bagian lain, di tengah pertempuran itu
tiba-tiba terdengar sorak sorai yang riuh rendah. Rupanya Laskar
Banyubiru ketika melihat kepala daerah mereka yang perkasa terjun ke
arena, mereka menjadi gembira sekali. Tiba-tiba, seolah-olah tubuh
mereka masing-masing mendapat tambahan kekuatan yang hebat. Karena itu
mereka bersorak-sorak gemuruh. Dan bersamaan dengan itu gerak mereka
menjadi lebih dahsyat.
Sorak sorai itu segera disambut oleh hampir seluruh Laskar Banyubiru yang berada di arena itu.
Dengan kehadiran Lembu Sora, Gajah Sora
dan Mahesa Jenar, segera keadaan medan menjadi berubah. Laskar dari
kedua gerombolan yang semula bertempur satu sama lain, memusatkan
kekuatan mereka untuk menggempur Laskar Banyubiru. Meskipun demikian,
Laskar Banyubiru kini kekuatannya sudah jauh bertambah.

Tiba-tiba dari arah lain terdengarlah
sebuah suitan nyaring. Disusul dengan bunyi suitan pula dari orang yang
sedang bertempur melawan Pandan Kuning. Rupanya suitan-suitan itu
merupakan tanda-tanda dan perintah. Segera tampaklah beberapa laskar
gerombolan berlontaran menyerbu Pandan Kuning dan kawan-kawannya. Mereka
mencoba untuk mengganti kedudukan pemimpinnya yang dengan satu gerakan
dahsyat memecahkan kepungan Pandan Kuning dan kawan-kawannya. Ia
melepaskan diri dari pertempuran itu untuk dapat langsung menghadapi
Gajah Sora.
Maka ketika orang itu telah berdiri di
luar lingkaran, Mahesa Jenar segera dapat melihatnya dengan jelas. Dan
pada saat itu pula rasanya jantung Mahesa Jenar menggelegak hebat. Orang
yang memimpin gerombolan itu, dan yang telah bertempur dengan gagahnya,
adalah seorang yang bertubuh kekar, berkumis setebal ibu jari, dan di
kedua belah tangannya tergenggam dua bilah pisau belati panjang. “Lawa Ijo….” geram Mahesa Jenar diantara suara gemeretak giginya yang beradu dengan kerasnya.
Maka dengan gerak tanpa sadar, Mahesa
Jenar meloncat lebih dekat lagi untuk mengenali pasangan Lawa Ijo yang
sedang bertempur melawan Lembu Sora dengan kekuatan yang seimbang. Orang
itu pasti memiliki kekuatan setidak-tidaknya sama dengan Lawa Ijo.
Ketika Mahesa Jenar sudah menjadi semakin
dekat dan dapat melihat lawan Lembu Sora itu agak jelas, ia menjadi
bertambah terkejut lagi. Orang itu adalah seorang laki-laki tampan,
dengan sebuah tongkat hitam di tangan kiri yang dipergunakan sebagai
perisai, sedang di tangan kanannya tampak sebilah pedang tipis yang
lentur.
“Sebuah permainan gila-gilaan,” desis Mahesa Jenar. Tubuhnya menjadi gemetar menahan deru darahnya yang menggelora seperti gemuruhnya air bah.
Dengan tak disangka-sangka, tiba-tiba ia
bertemu dengan orang-orang yang menjadi musuh utamanya. Terutama Lawa
Ijo, yang sampai dua kali berhasil melepaskan diri dari Mahesa Jenar.
Meskipun demikian di dalam hati Mahesa Jenar memuji kekuatan daya tahan
tubuh Lawa Ijo yang besar sekali. Beberapa saat yang lalu ia berhasil
menghantam Lawa Ijo dengan senjata andalannya, yaitu Sasra Birawa.
Tetapi sekarang ia melihat Lawa Ijo telah segar bugar kembali.
Bagaimanapun hebatnya daya pengobatan Pasingsingan, namun kalau di dalam
tubuh Lawa Ijo itu sendiri belum dialasi oleh kekuatan yang hebat,
pastilah ia memerlukan waktu berbulan-bulan untuk dapat sembuh kembali.
Tetapi, sekarang, kedua orang itu, Lawa
Ijo dan Jaka Soka, yang sebenarnya merupakan saingan yang hebat sekali,
untuk sementara dapat bekerja bersama-sama, untuk dapat merampas Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten.
Karena itu, tidak ada suatu hasrat pun
yang bergolak di dalam dada Mahesa Jenar pada saat itu, kecuali
membinasakan Lawa Ijo dan sekaligus kalau mungkin Jaka Soka. Sebab
orang-orang yang berciri watak demikian, merupakan duri yang selamanya
selalu akan menyakiti tubuh masyarakat.
Pada saat itu Jaka Soka sedang bertempur
mati-matian melawan Lembu Sora. Kekuatan keduanya benar-benar seimbang.
Lembu Sora kini sudah turun dari kudanya untuk melawan Jaka Soka yang
bertempur seolah-olah melilit dan melingkar-lingkar seperti ular. Tetapi
dalam pertempuran itu, Jaka Soka benar-benar tak mampu mendekati
lawannya yang dapat mengurung dirinya dalam lingkaran sambaran pedangnya
yang besar itu.
Maka untuk sementara Mahesa Jenar dapat
melepaskan Jaka Soka. Syukurlah apabila Lembu Sora berhasil
membinasakannya. Tetapi setidak-tidaknya pertempuran itu akan
berlangsung lama, sehingga ia akan mendapat kesempatan untuk menemaninya
bermain, setelah ia membinasakan Lawa Ijo. Mahesa Jenar pada saat itu
telah memutuskan untuk tidak memperpanjang waktu. Ia sudah bersedia
untuk mempergunakan ilmunya Sasra Birawa dalam pukulannya yang pertama.
Ia tidak mau didahului oleh Gajah Sora dengan Lebur Seketinya untuk
membinasakan Lawa Ijo.
Tetapi kembali dadanya terguncang. Ketika
ia sudah hampir meloncat ke arah Lawa Ijo, tiba-tiba dari antara laskar
yang bertempur itu meloncatlah seorang yang berperawakan tinggi besar
berambut lebat dengan kumis dan janggut yang lebat pula. Ia bersenjata
tombak pendek. Dan bersamaan dengan serangannya yang menderu seperti
angin ribut itu, terdengar suaranya mengaum dahsyat seperti seekor
harimau yang sedang marah.
“Kau gila Lawa Ijo…,” teriaknya. “Jangan mencoba menghalangi aku atau mendahului maksudku.”
Lawa Ijo tampaknya agak terkejut mendapat
serangan itu. Tetapi ia adalah seorang yang tangkas. Karena itu, dengan
satu loncatan ia berhasil membebaskan dirinya. Bahkan kemudian
terdengarlah suara tertawanya yang menyeramkan.
“Kita sama-sama mengail di satu kolam, Harimau jelek,” katanya kemudian. “Apakah salahnya?”
“Tetapi akulah yang paling berhak atas keris-keris itu,” jawab orang yang tinggi besar itu, yang tidak lain adalah Sima Rodra muda dari Gunung Tidar.
Kembali Lawa Ijo tertawa pendek, “Salahmulah bahwa keris-keris itu sampai terlepas dari tanganmu.”
Sima Rodra muda itu tidak menjawab,
tetapi segera ia melanjutkan serangannya dengan tombak pendeknya yang
dinamainya Kyai Kalatadah, yang pernah hampir saja dicuri oleh anak buah
sepasang Uling dari Rawa Pening.
Serangan itu datangnya cepat sekali
sehingga Lawa Ijo tidak sempat mengelak. Segera ia menggerakkan kedua
pisau belatinya untuk menangkis serangan Sima Rodra. Dua kekuatan yang
dahsyat saling beradu. Terdengarlah suara gemerincing nyaring dan bunga
api berpencaran di udara.
Mahesa Jenar tertegun melihat kejadian
itu. Segera ia mengurungkan niatnya. Dan tiba-tiba saja timbul
keinginannya untuk menyaksikan dua tokoh golongan hitam itu mengadu
tenaga.
Maka segera terjadilah pertempuran yang
dahsyat. Kedua-duanya percaya pada kekuatan tubuhnya sehingga tampaknya
mereka berdua segan untuk mengelakkan diri dari benturan-benturan. Kedua
tangan Lawa Ijo yang memegang dua bilah pisau belati panjang itu
menyambar-nyambar, seolah-olah berdatangan dari segala arah. Sedang Sima
Rodra dengan dahsyatnya pula memutar tombak pendeknya mengarah ke
segenap bagian tubuh Lawa Ijo.
Kedua orang tokoh hitam itu, apabila
tidak dikendalikan oleh kemarahan yang meluap-luap, pastilah mereka akan
menghindari pertempuran. Sebab mereka telah merasa bahwa kekuatan
mereka seimbang, sehingga perkelahian yang semacam itu hanya akan
membuang-buang waktu saja. Beberapa waktu yang lalu Lawa Ijo sudah
pernah bertempur melawan Sima Rodra. Tetapi tak seorang pun yang dapat
mengatasi yang lain. Kemudian setelah beberapa lama mereka berpisah
merendam diri untuk mempersiapkan pertemuan terakhir tahun ini,
tiba-tiba mereka bertemu dalam satu tujuan yang sama. Meskipun
masing-masing telah mendapat tambahan ilmu yang cukup banyak, namun
ternyata kekuatan mereka masih tetap seimbang.
Melihat pertempuran itu, hati Mahesa
Jenar tergetar juga. Seandainya ia tidak memiliki ilmu sakti Sasra
Birawa, mungkin sulit baginya untuk dapat mengalahkan baik Lawa Ijo
maupun Sima Rodra.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya ingin dapat menjatuhkan lawannya dengan segera.
Tetapi yang agak mengherankan Mahesa
Jenar, kenapa Sima Rodra baru saat itu muncul di arena. Apakah kerjanya
sebelum itu…? Padahal sesaat sebelum ia menyerang Lawa Ijo, laskarnya
sudah jauh terdesak oleh Laskar Banyubiru yang merasa mendapat tenaga
baru dengan hadirnya Gajah Sora.
Di lain bagian dari pertempuran itu
nampak Lembu Sora dan Jaka Soka bekerja keras untuk dapat menguasai
lawannya. Tetapi ternyata keduanya pun memiliki kekuatan yang seimbang.
Hanya keseimbangan pertempuran diantara laskar-laskar mereka kini telah
berubah sama sekali. Laskar Banyubiru dalam waktu yang dekat pasti akan
dapat menguasai keadaan, apalagi pada saat itu Gajah Sora dan Mahesa
Jenar ada didalam barisan Laskar Banyubiru tanpa ada yang dapat
menghalangi gerakan-gerakan mereka.
Tetapi sementara itu, tiba-tiba agak jauh
di ujung desa, Mahesa Jenar melihat bayangan yang bergerak-gerak dengan
kecepatan yang luar biasa. Gerakan-gerakan mereka jauh lebih cepat dan
lincah daripada gerakan-gerakan Sima Rodra maupun Lawa Ijo. Segera
Mahesa Jenar tertarik pada bayangan itu. Dan untuk sementara ia lupa
bahwa ia sedang menonton pertempuran antara dua orang tokoh hitam yang
gagah itu.
Oleh karena itu ia segera meloncat
memburu ke arah bayangan yang tampaknya hanya samar-samar, dan selalu
bergerak-gerak itu. Ketika sudah dekat, barulah ia dapat melihat agak
jelas bahwa dalam kepekatan malam yang hanya dapat dicapai samar-samar
oleh sinar-sinar api yang masih berkobar-kobar itu, ada dua orang yang
sedang bertempur pula.
Tetapi pertempuran ini sangat mengejutkan
hati Mahesa Jenar. Kedua orang yang sedang bertempur itu ternyata
memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Mereka bergerak-gerak,
berputar-putar dan meloncat-loncat seperti tubuhnya tidak memiliki
berat. Bahkan kadang-kadang kedua orang itu meloncat tinggi berputar di
udara, dan kadang-kadang hampir seperti terapung-apung untuk beberapa
saat. Tetapi kadang-kadang mereka berubah menjadi dua orang yang
seolah-olah bertubuh besi yang saling membentur, menghantam dengan
kuatnya, seakan-akan mereka bukan manusia-manusia yang tubuhnya terdiri
dari daging dan tulang-tulang yang dapat patah.
Melihat bayangan yang bertempur dengan
hebatnya itu Mahesa Jenar tertegun heran. Pastilah kedua orang itu
memiliki ilmu yang tinggi.
Sementara itu, rupanya Gajah Sora melihat
pula dua orang yang sedang bertempur itu. Ternyata seperti juga Mahesa
Jenar, ia pun berusaha untuk mendekat.
“Siapakah mereka?” tanya Gajah Sora.
Mahesa Jenar menggelengkan kepala. “Entahlah,” jawabnya.
“Marilah dengan hati-hati kita dekati, mereka pasti tergolong dalam angkatan yang jauh di atas kita,” sambung Gajah Sora.
Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi apa
yang dikatakan oleh Gajah Sora itu memang sudah terpikir olehnya. Karena
itu segera ia pun menyusup ke sebuah halaman dan dengan mengendap-endap
bersama Gajah Sora, berusaha untuk mendekati dua orang yang sedang
bertempur dengan hebatnya itu.
Untuk mendekati tempat pertarungan itu
tidaklah sulit bagi Mahesa Jenar dan Gajah Sora, sebab mereka bertempur
di satu tempat yang sempit tanpa berkisar dari satu titik, yaitu di
tengah jalan dusun di ujung desa.
Semakin dekat mereka dengan titik
pertarungan itu, menjadi semakin jelas pula ketinggian ilmu kedua orang
yang bertanding itu. Mereka saling menghantam, menangkap dan membanting
lawannya. Tetapi demikian salah seorang terlempar ke atas tanah,
demikian ia melenting dan tegak kembali untuk dalam sekejap telah dapat
membalas menyerang pula.
Gajah Sora dan Mahesa Jenar tergolong
orang-orang yang memiliki kesaktian yang tidak kecil artinya di kalangan
orang-orang perkasa. Tetapi melihat cara kedua orang itu bertempur
terasalah bahwa ilmu mereka itu baru merupakan ilmu yang permulaan saja.
Ketika mereka berdua, Gajah Sora dan
Mahesa Jenar, sedang terikat oleh pertempuran itu, tiba-tiba
terdengarlah salah seorang diantara mereka berkata, “Hei, apa kerjamu di sini?”
Gajah Sora dan Mahesa Jenar terkejut
bukan main. Mereka berdua berada di tempat yang terlindung dan gelap.
Sedangkan mereka berdua saja masih belum sempat menyaksikan kedua orang
yang berdiri di tengah jalan itu dengan baik, tetapi justru salah
seorang diantaranya sudah dapat melihat mereka yang berlindung.
Untuk sementara Gajah Sora dan Mahesa Jenar masih berdiam diri. Mungkin bukan mereka yang disapa.
“Rupa-rupanya kau sengaja memanggilnya” jawab yang lain masih sambil bertempur, “supaya membantumu. “
“Tutup mulutmu,” bentak yang lain pula. “Jangan terlalu sombong. Kau kira bahwa aku tak mampu melawanmu.”
Yang lain diam tak menjawab, tetapi rasanya mereka bertempur semakin seru.
Ketika sesaat kemudian Gajah Sora dan Mahesa Jenar masih belum menjawab, kembali terdengar suara orang yang pertama. “Hai Gajah Sora dan Mahesa Jenar, kenapa kau berdiri seperti patung di situ?”
Mendengar nama mereka disebut, baru Gajah
Sora dan Mahesa Jenar yakin bahwa benar-benar mereka berdualah yang
disapa oleh orang itu. Tetapi belum lagi salah seorang menjawab,
terdengar suara orang kedua, “Hei, kenapa kalian tak membantu bapakmu yang sudah hampir kehabisan napas?”
Mendengar kata-kata itu, Gajah Sora dan
Mahesa Jenar tersentak. Mereka tidak perlu lagi bersembunyi-sembunyi.
Karena itu mereka berdua meloncat mendekat. Ketika mereka sudah demikian
dekat, barulah mereka tahu bahwa benar-benar Ki Ageng Sora Dipayana
yang sedang bertempur dengan dahsyatnya itu melawan seorang bertubuh
raksasa yang mempunyai kesaktian sejajar pula. Tetapi rasa-rasanya
mereka masih belum mengenal orang itu.
“Gajah Sora…” kata Ki Ageng Sora Dipayana tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun dari lawan-lawannya. “Kenapa kau begitu bodoh meninggalkan rumahmu tak terjaga?”
“Paman Wanamerta, Sawungrana dan Panjawi dengan pasukannya berjaga-jaga di sana, Ayah,” jawabnya.
“Apa arti dari mereka bertiga. Pulanglah. Ajak Mahesa Jenar. Tinggalkan Lembu Sora bersamaku di sini,” perintahnya. “Bukankah laskarmu di sini tidak banyak menderita kekalahan?”
“Mereka memberikan tanda kekalahan itu, Ayah,” jawab Gajah Sora.
“Akh… kau memang terlalu muda digugah
kemarahan Gajah Sora. Prajurit Banyubiru meskipun terpaksa menarik
pasukannya beberapa kali tetapi masih belum memberi tanda kekalahan.
Paling-paling mereka akan minta bantuan laskar cadangan.”
“Tetapi tanda itu telah dibunyikan, Ayah….” Gajah Sora mencoba menjelaskan.
Ki Ageng Sora Dipayana masih melayani
lawannya dengan gigih. Mereka bertempur dengan cara yang agak
membingungkan bagi Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Tubuh mereka seolah-olah
menjadi kebal dan tidak dapat disakiti oleh pukulan yang bagaimanapun
kerasnya. Karena itu baik Gajah Sora maupun Mahesa Jenar tidak tahu
bagaimana terbuka kemungkinan untuk dapat memenangkan pertempuran itu.
“Gajah Sora…” kata Ki Ageng Sora Dipayana, “yang
membunyikan tanda itu bukanlah Laskar Banyubiru. Tetapi itu hanyalah
suatu cara buat menarikmu untuk datang ke daerah pertempuran ini”.
Mendengar keterangan ayahnya, hati Gajah
Sora terguncang hebat. Karena itu segera ia meloncat meninggalkan tempat
itu untuk segera kembali ke rumahnya.
“Gajah Sora…” panggil ayahnya sebelum Gajah Sora jauh. Gajah Sora berhenti sejenak.
“Suruhlah Pandan Kuning, Bantaran,
Panunggal dan beberapa orang kemari. Suruhlah mereka membawa tali yang
kuat untuk mengikat kucing sakit-sakitan ini.”
“Hemmm….!” geram lawannya. “Kau kira kau bisa menangkap aku?”
“Kalau dalam keadaan keseimbangan…” jawab Sora Dipayana, “setetes
air akan mempunyai pengaruh untuk mengubah keseimbangan itu. Maka
kedatangan beberapa orang yang tak berarti itu pasti mempunyai akibat
yang tak kau harapkan”.
“Setan tua…, kau licik sekali!”, Kembali orang itu menggeram berusaha menangkap seorang penyerang.
“Aneh” jawab Sora Dipayana, “kami dan laskar kami berusaha menangkap seorang penyerang, Apakah itu licik?”,
“Nah Gajah Sora dan Mahesa Jenar,” berangkatlah, katanya kepada Gajah Sora dan Mahesa Jenar.
Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera
berlari meninggalkan tempat itu, sambil memberi aba-aba kepada Pandan
Kuning dan kawan-kawannya. Apalagi pada waktu itu keadaan pertempuran
seolah-olah sudah hampir seluruhnya dapat dikuasai oleh Laskar
Banyubiru, kecuali pertarungan antara Sima Rodra muda dengan Lawa Ijo
serta Jaka Soka melawan Lembu Sora.
Gajah Sora cepat-cepat melompat ke kuda
putihnya, sedang Mahesa Jenar berlari kencang-kencang ke kudanya yang
ditambatkannya tadi. Dan sejenak kemudian mereka telah berpacu ke arah
rumah Ki Ageng Gajah Sora.
Seperti pada saat mereka berangkat,
demikian pula pada saat itu, rasanya kuda-kuda itu berjalan demikian
lambatnya. Beberapa kali mereka mendera kuda mereka untuk segera sampai
di rumah. Sebab kalau sampai Ki Ageng Sora Dipayana merasa khawatir,
maka pastilah ada sesuatu yang mengancam keselamatan pusaka-pusaka yang
disimpannya.
Pada saat mereka meninggalkan arena
pertempuran itu, mereka masih dapat mendengar suara lawan Ki Ageng
Soradipayana itu mengaum seperti seekor harimau, dan sesaat kemudian
disahut oleh auman yang menyeramkan pula dari Sima Rodra muda. Ketika
mereka menoleh, tampaklah sebagian dari laskar yang sedang bertempur itu
berloncatan meninggalkan gelanggang, seperti air laut yang sedang
surut. Maka dengan cepatnya jumlah laskar itu menjadi berkurang.
Tetapi mereka sudah tidak punya waktu
lagi untuk memperhatikan perubahan itu dengan seksama, sebab pikiran
mereka telah lari mendahului ke arah pusaka-pusaka yang mereka simpan.
Namun demikian Gajah Sora sambil memacu kudanya masih sempat bertanya, katanya, “Adi Mahesa Jenar, siapakah kira-kira yang bertempur melawan ayah itu? “
Mahesa Jenar menarik keningnya. Lalu jawabnya, “Aku tak dapat mengatakan dengan pasti Kakang. Tetapi aku kira ia adalah Sima Rodra tua dari Lodaya.”
“Tepat seperti dugaanku,” sahut Gajah Sora. “Bulu-bulu
yang jarang-jarang yang tumbuh di wajahnya, tubuhnya yang besar seperti
raksasa, dan akhirnya teriakannya yang seperti aum seekor harimau. Hanya
saja ia tidak mengenakan kerudung kulit harimau hutan seperti pada saat
kita jumpai pertama kali. Itu adalah usahanya untuk menyamar sebagai
laskar biasa, Kakang.
“Untunglah bahwa Ki Ageng Sora Dipayana tidak membiarkan daerah ini,” kata Mahesa Jenar.
Gajah Sora tidak menjawab lagi. Kudanya
dipacu semakin kencang. Kudanya adalah kuda pilihan, yang memiliki
kecepatan berlari seperti anak panah. Tetapi pada saat itu rasa-rasanya
kuda itu berlari seperti keong yang merayap-rayap di batu-batu berlumut.
Semakin dekat mereka dengan halaman rumah
Gajah Sora, hati mereka menjadi semakin tegang. Pikiran mereka dipenuhi
oleh berbagai macam gambaran yang mungkin terjadi pada kedua keris
pusaka yang disimpannya.
Akhirnya ketika mereka muncul dari sebuah
kelokan jalan, terbentanglah di hadapan mereka Alun-alun Banyubiru, dan
setelah menyeberangi jalan-jalan itu, mereka akan sampai di rumah Gajah
Sora.
Dari kejauhan, rumah itu nampaknya sepi
saja. Tak ada sesuatu yang mencurigakan, apalagi keributan-keributan.
Tetapi meskipun demikian hati mereka malahan semakin bergelora.

Melihat mereka yang bertempur itu Gajah
Sora dan Mahesa Jenar menarik kekang kudanya, dan berhenti beberapa
langkah dari pohon beringin itu. Didalam gelap malam serta gerak-gerak
yang melontar kesana kemari, agak sulitlah bagi Mahesa Jenar dan Gajah
Sora untuk segera mengenal orang yang sedang berkelahi itu. Tetapi
menilik gerak serta cara mereka, pastilah mereka tergolong dalam tataran
yang sama tinggi dengan Ki Ageng Sora Dipayana. Beberapa kali Gajah
Sora dan Mahesa Jenar melarikan kudanya melingkari pohon beringin itu.
Tetapi setiap kali mereka hanya melihat bayangan yang berloncatan dan
lenyap di balik pohon beringin itu.
Namun bagaimanapun, Gajah Sora dan Mahesa
Jenar telah memiliki dasar-dasar ilmu kepandaian yang cukup, sehingga
meskipun agak lama akhirnya dengan terperanjat sekali mereka melihat
salah seorang diantaranya mengenakan jubah abu-abu dan bertopeng kayu
yang kasar buatannya, sehingga mirip dengan wajah hantu.
“Pasingsingan,” desis Mahesa Jenar.
“Ya, Pasingsingan,” ulang Gajah Sora.
Belum lagi mereka dapat mengenal dengan baik yang satu lagi, terdengarlah lawan Pasingsingan itu berkata, “Hai anak-anak bodoh, jangan menonton seperti menonton adu jago. Lebih baik kau pulang dan lihat barang-barangmu.”
Mendengar suara orang itu, darah Mahesa
Jenar tersirap. Ia pernah mendengar suara itu dan bahkan ia pernah
menerima perintahnya untuk mencari keris Nagasasra dan Sabuk Inten.
Maka dengan tak disengaja ia berteriak, “Bukankah tuan Ki Ageng Pandan Alas”
Maka jawab orang itu, “Ingatanmu baik sekali Mahesa Jenar, tetapi lekaslah pergi.”
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dua
tokoh sakti telah memperingatkan mereka mengenai pusaka-pusaka itu. Maka
segera mereka memutar kuda mereka dan dilarikan menuju ke halaman rumah
Gajah Sora. Dalam waktu yang pendek itu Gajah Sora sempat bertanya, “Beliaukah Ki Ageng Pandan Alas?”
“Ya, beliaulah. Apakah Kakang Gajah Sora belum pernah mengenalnya?” kata Mahesa Jenar.
“Pernah, tetapi sudah lama sekali,” jawab Gajah Sora.
Bersambung ke Jilid 6
———-oOo———-
Koleksi Ki Arema
Editing oleh Ki Arema
7 Tanggapan
Tinggalkan Balasan

jan euNAK puoooollll,
lebih doeloe dari gandok PDLS……!!!
mungkin lebih greGET pak SATPAM,
hehee3x, cuma nyusUL gak mekSoo
Pdls…..para kadang bisa mbaca NSSI teks
di sini,