

NSSI-02

I
Mendengar jawaban itu, mendadak tangis
Nyi Wirasaba terputus karena terkejut. Ia tidak begitu mengerti maksud
jawaban suaminya, dan karena itu ia bertanya kepada Ki Wirasaba, “Apakah maksudmu, Kakang?”
“Nyai,” Ki Wirasaba menjelaskan,
“kalau kau dibebaskan oleh Samparan dan kawan-kawannya setelah kau
menyerahkan dirimu, maka kau tidak berhak lagi kembali kepadaku. Tetapi
kalau ada orang lain yang membebaskan engkau, Nyai, maka akulah yang
tidak berhak lagi menerima aku.”
Mendengar penjelasan itu, Nyai Wirasaba terkejut bukan kepalang, maka kembali meledaklah tangisnya. “Kakang,”
katanya di antara sedu-sedannya, “aku masih bersih seperti kemarin,
Kakang. Bukankah dengan demikian aku masih berhak kembali kepadamu?
Kalau aku tidak lagi merasa berhak kembali kepadamu, kau hanya akan
tinggal dapat mengenang namaku, sebab aku telah bertekad untuk bunuh
diri. Tetapi kalau orang lain yang membebaskan aku, kenapa kau merasa
tidak berhak lagi menerima aku?” kata Nyi Wirasaba diantara sedu-sedannya.
“Nyai,” jawab Ki Wirasaba, “laki-laki yang tahu diri, hanya dapat memetik buah dari pohon yang ditanamnya sendiri,”.
Mendengar jawaban itu, Ki Asem Gede tidak
kalah terkejutnya. Maka segera ia melompati pintu dan cepat-cepat
menemui menantunya. Mahesa Jenar dan Mantingan yang merasa
berkepentingan pula, segera mengikuti Ki Asem Gede. Barangkali mereka
dapat menolong memberikan beberapa keterangan yang diperlukan.
Mendengar kata-kata Wirasaba, Mahesa
Jenar dan Mantingan dapat menduga, kalau orang itu mempunyai harga diri
yang cukup tinggi. Tetapi yang masih merupakan pertanyaan, mengapa
Wirasaba sendiri tak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya?
Melihat kedatangan Ki Asem Gede dan dua
orang yang tak dikenalnya, Wirasaba menjadi agak terkejut. Tetapi segera
ia membungkuk hormat dengan tetap masih duduk bersila di atas
pembaringannya.
“Selamat datang Bapak Asem Gede.”
Ki Asem Gede membalas hormat, jawabnya, “Selamat
Wirasaba, aku datang mengantarkan istrimu. Mudah-mudahan kau mau
menerimanya dengan baik. Kau tidak usah mempersoalkan siapakah yang
membebaskannya. Yang penting, ia pulang dengan selamat, dan masih tetap
seperti saat ia diambil darimu.”
Wirasaba diam sejenak. Ia tundukkan
kepalanya sambil berpikir. Sebenarnya ia adalah seorang jantan yang
memang agak tinggi hati. Ia tidak mau menerima pertolongan orang lain
berdasarkan belas kasihan. Apalagi dalam persoalan ini, persoalan
seorang istri.
“Siapakah yang telah membebaskan istriku?” tanya Wirasaba.
Ki Asem Gede tertegun sejenak. Ingin ia
mengaku telah membebaskan anaknya untuk menjaga perasaan menantunya,
tetapi ia takut kalau dengan demikian ia dikira orang yang tak mengenal
budi. Sebaliknya Mahesa Jenar pun sebenarnya ingin mengatakan bahwa Ki
Asem Gede telah membebaskan anaknya, tetapi ia pun takut kalau-kalau hal
ini dianggap merendahkan orang tua itu.
Melihat gelagat yang demikian, Ki
Wirasaba dapat menebak bahwa seseorang telah membebaskan istrinya.
Bahkan tidak mustahil kalau orang itu adalah salah seorang yang sekarang
berada di hadapannya, atau kedua-duanya. Maka segera muncullah sifat
tinggi hatinya, katanya, “Bapak Asem Gede, aku mempunyai dugaan
bahwa orang itu telah membebaskan istriku. Aku juga mempunyai dugaan
bahwa orang itu telah berhasil membebaskan istriku dengan kekerasan.
Sebab mustahil Samparan dan Watu Gunung akan melepaskan korbannya begitu
saja sebelum nyawanya dapat dicabut. Adakah orang yang menyabung nyawa
tanpa pamrih?”
Mendengar sindiran itu, hati Mahesa Jenar
tergoncang hebat. Tidak kalah pula terperanjatnya Mantingan dan Ki Asem
Gede, sehingga wajah mereka menjadi semburat merah. Nyi Wirasaba
melihat gelagat yang kurang baik itu. Dan kembali sebuah goresan tajam
melukai hatinya yang sudah hampir sembuh. Cepat ia menjatuhkan diri di
samping pembaringan suaminya, berlutut sambil menangis, katanya, “Kakang, aku telah kembali kepadamu. Jangan lepaskan aku lagi.”
Mendengar ratap istrinya, sebenarnya hati
Wirasaba terobek-robek karenanya. Ia pun sebenarnya sangat mencintai
istrinya, sebagaimana istrinya mencintainya. Tetapi perasaan harga diri
yang berlebih-lebihan telah melibat hati Wirasaba, sehingga sedikit pun
ia tidak menunjukkan getaran perasaannya.
Mata Wirasaba yang sayu memandang keluar
lewat jendela di samping pembaringannya. Memandang daun-daun yang
bergoyang-goyang digerakkan angin, serta kilatan-kilatan matahari yang
jatuh bertebaran di atas tanah pegunungan yang kemerah-merahan.
Suasana kemudian dikuasai oleh kesepian
yang tegang. Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Kutuk apakah yang
ditimpakan Tuhan atas dirinya, sehingga ia mengalami suatu kejadian yang
demikian rumitnya? Haruskah pada suatu saat ia berhadapan dengan
Wirasaba sebagai lawan? Kalau demikian, maka menang atau kalah ia akan
tetap sama saja. Sama-sama mengalami penderitaan batin. Kalau Mahesa
Jenar kalah, maka kekalahan itu tak akan dapat dilupakannya seumur
hidupnya. Sebaliknya kalau ia menang, bagaimanakah nasib Nyai Wirasaba?
Sebab dengan demikian Ki Wirasaba pasti tidak akan mau menerimanya
kembali. Bahkan mungkin ia akan membunuh dirinya.
Belum lagi Mahesa Jenar menemukan jalan keluar, tiba-tiba didengarnya Wirasaba berkata, “Nyai, aku akan menerima kau kembali sebagaimana kau terlepas dari tangan Samparan.”
Suara Wirasaba itu terdengar sebagai gemuruhnya seribu guntur yang menggelegar bersama-sama.
Suasana menjadi bertambah tegang. Peluh
dingin telah mengalir di seluruh tubuh Mahesa Jenar. Apa yang diduganya
ternyata benar-benar terjadi.
Sampai saat itu pun ia masih belum dapat
menemukan suatu pilihan. Bagaimanapun, sebagai seorang laki-laki ia
tidak bisa menelan tantangan itu begitu saja. Sehingga dengan demikian
tubuhnya menjadi gemetar menahan perasaannya yang melonjak lonjak.
Hampir saja ia melangkah maju dan menerima tantangan itu. Tetapi ketika
dilihatnya Nyai Wirasaba masih menangis, bahkan makin menjadi-jadi, ia
kembali ragu-ragu.
Akhirnya setelah perasaannya berjuang
beberapa lama, Mahesa Jenar mengambil suatu keputusan yang sangat berat.
Sebagai seorang laki-laki, apalagi sebagai seorang yang berjiwa
prajurit, ia belum pernah menghindari suatu tantangan. Tetapi kali ini
bertekad, berkorban buat kedua kalinya, untuk ketentraman hidup putri Ki
Asem Gede. Karena itu ia berdiam diri, tanpa mengucapkan sepatah kata
pun. Ki Asem Gede menjadi kebingungan, dan tidak tahu apa yang
seharusnya dilakukan. Ia pun mempunyai pikiran yang sama dengan Mahesa
Jenar. Kalau saja Mahesa Jenar menerima tantangan itu, Mahesa Jenar
bukanlah tandingan Wirasaba. Bagaimanapun hebatnya menantunya, tetapi
setinggi-tingginya yang dapat dicapainya adalah tingkat Dalang
Mantingan. Apalagi dalam keadaan seperti sekarang ini.
Belum lagi suasana yang tegang itu
terpecahkan, mendadak mereka dikejutkan oleh suatu bayangan yang
melayang, meloncat masuk lewat jendela yang terbuka di samping
pembaringan Wirasaba. Geraknya cepat dan lincah sekali. Mereka menjadi
semakin terperanjat ketika mereka melihat siapakah orang itu. Ternyata
orang yang telah berdiri tegak diantara mereka adalah Samparan.
“Pengecut tua,” teriaknya sambil
menuding wajah Ki Asem Gede, ”kau curi anakmu dengan laku seorang
perempuan. Aku telah merampasnya dengan kejantanan. Aku telah melukai
dua orang murid Wirasaba yang menghalangi maksudku. Seharusnya kau ambil
perempuan itu dengan laku seorang jantan pula. Nah, sekarang aku datang
untuk mengambilnya kembali”
Melihat tingkah laku, sikap dan kata-kata
Samparan, Ki Asem Gede terkejut bukan kepalang. Apalagi yang mau
diperbuat oleh setan kecil ini?
Sedangkan Mantingan mempunyai tanggapan
lain. Mungkin kawanan Lawa Ijo telah datang untuk menuntut balas atas
kematian Watu Gunung dengan mempergunakan Samparan sebagai umpan.
Lain pula dengan Ki Wirasaba. Melihat
kedatangan Samparan dan mendengar kata-katanya, matanya menjadi
berkilat-kilat. Seakan-akan suatu cahaya terang memancar di dalam
jiwanya.
“Samparan,” sahut Wirasaba,
”kau pun tidak berlaku jantan. Kau tidak mengambil istriku dari
tanganku. Kau hanya berani melayani anak-anak yang baru dapat
meloncat-loncat tak berarti. Kalau benar katamu, Bapak Ki Asem Gede
mengambil istriku, Bapak Asem Gede ingin mengembalikan keadaan seperti
semula. Nah, sekarang, kalau kau inginkan istriku, ambillah ia dari
tanganku dengan laku seorang jantan”.
Samparan tertawa dingin, jawabnya, “Kau bermaksud demikian?”
Ki Wirasaba tertawa nyaring. Wajahnya kini menjadi cerah seperti cerahnya matahari.
Mahesa Jenar yang berotak cerdas segera
menangkap arah persoalannya. Diam-diam ia memuji kelincahan otak
Samparan. Tetapi lebih dari itu, ia kagum maksud baik Samparan, meskipun
dengan tindakannya itu ia menghadapi kemungkinan yang berat sekali.
“Kau telah mengundang orang-orang ini untuk melindungi istrimu?” tanya Samparan dengan nada menghina.
Wirasaba yang tinggi hati, segera merasa tersinggung. Dengan marahnya ia menjawab, “Samparan,
mulutmu terlalu lancang. Aku belum kenal mereka keduanya. Mereka datang
bersama-sama Bapak Asem Gede. Urusan ini adalah urusanku dengan kau.
Jadi kau dan akulah yang harus menyelesaikan.”
Kembali Samparan tertawa dingin.”Wirasaba,
jangan kau mimpi akan masa lampau. Memang beberapa tahun yang lalu kau
merupakan seorang tokoh yang mempunyai nama cemerlang. Sebutanmu cukup
menggetarkan. Tetapi dengan kakimu yang lumpuh sekarang ini, kau menjadi
sebatang seruling gading yang telah retak”.
Mahesa Jenar dan Mantingan terperanjat
dua kali lipat. Ternyata Wirasaba adalah orang yang terkenal dengan
sebutan Seruling Gading. Seorang tokoh penggembala yang tak ada
tandingannya diantara mereka. Kekuatan tubuhnya dan kepandaiannya meniup
seruling merupakan suatu paduan yang sudah ditemukan. Tetapi Seruling
Gading itu kini sudah lumpuh. Dan kata-kata Samparan itu juga merupakan
jawaban atas teka-teki yang selama ini selalu membelit pikiran Mahesa
Jenar dan Mantingan. Karena kelumpuhannya itu pulalah agaknya, maka
Wirasaba tak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya.
Mendengar ejekan Samparan itu, hati
Wirasaba menjadi terbakar. Ia sudah hampir tak dapat menguasai
kemarahannya. Cepat tangannya meraih senjatanya dari bawah bantalnya.
Sebuah kapak bertangkai yang panjangnya kira-kira hampir sedepa.
“Kalau kau tidak membawa senjata, Samparan …, kau boleh meminjam senjata-senjata ku. Manakah yang kau sukai?”
kata Wirasaba sambil menunjuk ke sudut ruang. Pada dinding yang
ditunjuk itu bergayutan bermacam-macam senjata. Kapak, tombak, pedang,
keris dan sebagainya.
Perlahan-lahan Samparan berjalan ke sudut
ruang tempat senjata itu tergantung. Dengan tenangnya ia mulai
menimang-nimang senjata itu satu demi satu.
“Wirasaba,” katanya,
”alangkah banyaknya jenis senjatamu sebagai pertanda kebesaran namamu.
Hanya saja tak satu pun sebenarnya yang cukup berharga kau pergunakan.
Tetapi baiklah aku mencoba tombak pendekmu ini untuk melayani kapakmu
yang terkenal itu.”
Wirasaba menjadi bertambah marah
mendengar celaan itu, sehingga kemudian ia tidak sabar lagi. Ia telah
bersiap dan menggeser tubuhnya ke tepi pembaringan. Samparan yang telah
mendapatkan pilihan senjata diantara sekian banyak macam senjata yang
tergantung di sudut ruang itu pun segera mempersiapkan diri.
Ki Asem Gede dan Mantingan segera
mengetahui pula maksud Samparan. Itulah sebabnya mereka berdiri
termangu-mangu penuh kekhawatiran akan keselamatan Samparan. Tetapi
Samparan berdiri tenang-tenang saja, meskipun ia tahu pasti tingkat
ketinggian ilmu Wirasaba.
“Samparan, mulailah!” Wirasaba menggeram tidak sabar lagi.
Samparan memperdengarkan suara tertawa
yang hambar dan dingin. Sebentar ia memandang wajah Mahesa Jenar yang
dikagumi. Sorot matanya memancar aneh, sebagai sorot mata anak-anak yang
dilepas dari pelukan bapaknya yang akan pergi berperang.
Tetapi sekejap kemudian Samparan segera meloncat dengan lincahnya, sambil memutar tombaknya menyerang Wirasaba.
Mahesa Jenar melihat segala gerak
Samparan dengan terharu. Ia memandang Samparan sebagai seorang anak yang
telah hilang, dan kini sedang berusaha untuk kembali ke pangkuan
kebenaran. Samparan sedang berjuang untuk menebus segala dosa yang
pernah dilakukan.
Samparan mulai dengan sebuah tusukan ke
arah dada Wirasaba. Sebenarnya gerak Samparan cukup lincah dan mantap.
Hanya sayang bahwa ia tidak dapat menyelaraskan gerakan-gerakan kaki
dengan tangannya. Sedangkan Wirasaba ternyata memang seorang yang
berilmu cukup tinggi. Meskipun ia tidak dapat mempergunakan kakinya,
tetapi dengan gerak tangannya yang tampaknya tidak banyak membuang
tenaga, ia dapat menangkis serangan-serangan Samparan, sehingga
tusukannya meleset ke samping. Bahkan sekaligus ia siap menghantam
lengan Samparan dengan tangkai kapaknya. Cepat Samparan menarik
serangannya, dan selangkah meloncat ke kiri. Kembali mata tombak
Samparan akan mematuk lambung lawannya. Namun Wirasaba cukup cekatan.
Dengan tenaganya, ia memutar kapaknya untuk menangkis serangan tombak
Samparan itu.
Demikianlah, pertarungan itu semakin lama
semakin bertambah sengit. Samparan telah mengeluarkan hampir segenap
ilmunya untuk menundukkan lawannya. Sedangkan Wirasaba, bagaimanapun
hebatnya, namun karena ia hanya mampu menangkis serangan lawannya dan
hanya mampu menyerang dalam jarak yang sangat terbatas, maka tampaklah
ia mulai terdesak. Untunglah bahwa ia memiliki sepasang tangan yang kuat
dan cekatan, sehingga pada saat-saat yang sangat berbahaya ia masih
berhasil membebaskan dirinya dari ujung tombak Samparan.
Mahesa Jenar, Mantingan dan Ki Asem Gede,
yang menyaksikan pertarungan itu, mengikuti dengan perasaan yang
tegang. Berbagai macam gambaran membayang di kepala masing-masing. Kali
ini pun mereka diliputi oleh kecemasan-kecemasan yang sangat tak
menyenangkan.
Apalagi Nyai Wirasaba yang tak dapat
mengerti persoalan yang dihadapi saat itu. Hatinya menjadi bergolak
sedemikian hebatnya, sehingga ia tidak berani lagi menyaksikan
pertempuran itu.
Maka, semakin lama semakin jelaslah bahwa
Samparan akan berhasil menguasai keadaan. Ia mempergunakan suatu cara
yang sangat menguntungkan. Sesaat ia meloncat maju sambil menyerang,
tetapi sesaat apabila serangannya gagal, ia segera meloncat surut
menjauhi Wirasaba untuk menghindari serangan-serangannya yang sangat
berbahaya.

Sementara itu, waktu yang sesaat itu
dapat dipergunakan oleh Wirasaba sebaik-baiknya. Segera ia dapat
memperbaiki keadaan. Dengan suatu gerakan yang dahsyat, kapaknya
mengayun ke arah kepala Samparan. Samparan tersadar tepat pada saatnya.
Tetapi ia tidak lagi dapat menghindar. Segera disilangkannya tombak
pendeknya untuk menangkis kapak Wirasaba. Maka terjadilah suatu benturan
yang hebat. Ternyata tenaga Wirasaba luar biasa kuatnya. Juga tombak
Wirasaba yang dipergunakan Samparan adalah tombak pilihan yang tak
terpatahkan oleh kekuatan Wirasaba sendiri. Tetapi tenaga Samparan lah
yang tak dapat menandingi kekuatan-kekuatan itu, sehingga tangan yang
memegang tombak itu tergetar hebat, dan tombak itu meleset lepas dari
pegangannya.
Mereka yang menyaksikan kejadian itu
darahnya serasa terhenti. Sebab kelanjutannya tentu akan mengerikan
sekali. Mahesa Jenar yang sudah dapat meramalkan apa yang akan terjadi,
hampir saja meloncat maju untuk mencegahnya. Untunglah segera ia sadar,
bahwa kalau ia berbuat demikian, akibatnya akan sangat tidak
menyenangkan bagi dirinya maupun bagi ketenteraman hati Wirasaba. Maka
yang dapat dilakukannya hanyalah mengharap suatu keajaiban sehingga apa
yang ditakutkan itu tidak terjadi. Tetapi rupanya tidak demikianlah yang
terjadi.
Tombak Samparan yang disilangkan itu
berhasil menyelamatkan kepalanya, tetapi kapak Wirasaba yang terayun
demikian derasnya dan digerakkan oleh kekuatan yang luar biasa itu,
tidak seberapa mengalami perubahan arah. Maka terjadilah suatu goresan
panjang merobek dada Samparan.
Terdengarlah suatu keluhan yang tertahan.
Samparan terhuyung-huyung surut beberapa langkah. Dari lukanya
menyembur darah yang merah segar. Mahesa Jenar, Mantingan dan Ki Asem
Gede tergoncang hatinya melihat peristiwa itu. Telah berapa puluh kali
mereka melihat darah yang mengucur dari luka, tetapi jarang mereka
mengalami kejadian seperti ini.
Wirasaba yang tidak mengetahui latar
belakang dari peristiwa itu, memandang Samparan dengan tak berkedip.
Dari wajahnya memancar perasaan puas dan dendam sedalam lautan. Ia
merasa bahwa dengan demikian telah terbalaslah sebagian rasa sakit
hatinya, dan ia merasa bahwa tak ada hutang budi kepada siapapun juga.
———-oOo———-
II
Samparan, yang dadanya terbelah, masih
berusaha sekuat sisa tenaganya untuk keluar dari ruangan itu. Kedua
tangannya ditekankan pada dadanya yang terluka itu.
Mahesa Jenar memandangnya dengan penuh
haru. Cepat ia menyusul, diikuti oleh Mantingan dan Ki Asem Gede. Tepat
sampai di luar pintu, rupanya Samparan sudah tidak dapat lagi menguasai
keseimbangan badannya. Untunglah bahwa Mahesa Jenar cepat menangkapnya,
ketika ia hampir saja terjatuh. Dan dengan perlahan-lahan Samparan
diletakkan di atas tanah.
Meskipun lukanya sangat membahayakan,
tetapi wajah Samparan sama sekali tak menunjukkan rasa sakit. Bahkan
dengan tenangnya ia memandang Mahesa Jenar, Matingan dan Ki Asem Gede
berganti-ganti. Kemudian dengan tersenyum ia berkata, “Ki Asem Gede. Ki Dalang Mantingan dan Ki Sanak Mahesa Jenar, aku sudah berusaha untuk mengurangi kesalahanku.”
Ki Asem Gede mengangguk-angguk, jawabnya,“Puaskanlah hatimu. Nah sekarang biarlah aku mencoba menyembuhkan luka-lukamu”
“Tak ada gunanya, Ki Asem Gede,” jawab Samparan sambil menggelengkan kepalanya, dengan suara sangat pelan.
“Biarlah aku coba,” desak Ki Asem Gede, meskipun ia sendiri sudah melihat, bahwa hampir tak ada kemungkinan untuk mengobati luka Samparan itu.
Kembali Samparan memaksa dirinya tersenyum dan menggeleng perlahan-lahan.
“Ki Sanak Mahesa Jenar,” desahnya kemudian,”
sebelum aku mati, baiklah aku katakan kepadamu suatu rahasia yang ingin
kau ketahui. Bukankah sekarang aku tidak perlu takut kepada Lawa Ijo
dan kepada siapapun? Kau mau mendengar?”
Mahesa Jenar segera merapatkan dirinya. Lalu jawabnya, “Aku
ingin mendengar, Samparan. Tetapi sekarang bukan waktunya. Kau terlalu
banyak mengeluarkan darah, karena itu kau harus beristirahat.”
Samparan menarik nafas dalam-dalam. “Waktuku
tinggal sedikit. Dengarlah. Menurut Watu Gunung, Lawa Ijo sekarang
berada di Pasiraman. Sebuah telaga kecil di seberang hutan Mentaok. Desa
tempat tinggalnya itu pun bernama Desa Pasiraman pula. Desa itu
terletak tepat di tepi hutan. Agak ke barat sedikit terdapatlah hutan
yang hampir dipenuhi oleh pohon pucang, sehingga hutan itu disebut Alas
Pucang Kerep,” kata Samparan. Samparan berhenti sebentar. Terdengar arus nafasnya semakih cepat.
“Beristirahatlah Samparan,” desak Mahesa Jenar, ”Keterangan itu sudah cukup bagiku,”
Samparan berusaha untuk menggeleng. ”Belum
cukup. Di sana Lawa Ijo sedang menggembleng diri. Ia sedang berusaha
untuk memulihkan luka-lukanya yang dideritanya ketika ia sedang berusaha
mencuri pusaka-pusaka di Kraton Demak” lanjut Samparan sangat lemah.
Mahesa Jenar agak terkejut mendengar keterangan itu. “Kalau demikian, Lawa Ijo inilah yang pernah dilukainya dahulu,” pikir Mahesa Jenar.
“Usaha Lawa Ijo untuk memulihkan diri, ternyata sekarang sudah berhasil,” sambung Samparan hampir berbisik-bisik,
”Ia selalu berada dalam pengawasan gurunya. Aku belum pernah bertemu
dengan gurunya itu, tetapi seperti apa yang digambarkan oleh Watu
Gunung, aku dapat membayangkan bahwa gurunya itu adalah seorang iblis
yang jarang ada duanya”.
Mahesa Jenar menjadi tertarik pada cerita
Samparan, sehingga ia lupa bahwa ia berhadapan dengan seorang yang luka
berat. Maka desaknya tidak sabar, “Siapakah nama gurunya itu?”
“Ia adalah seorang yang mempunyai kesaktian luar biasa. Namanya Pasingsingan.”
“Pasingsingan?” ulang Mahesa
Jenar. Terkejutnya bukan alang kepalang. Ia pernah mendengar nama itu
dari gurunya, baik Syeh Siti Djenar maupun Ki Ageng Pengging Sepuh.
Tetapi tokoh ini sama sekali tak digambarkan sebagai seorang tokoh yang
aneh dan sakti. Tetapi yang didengarnya, Pasingsingan adalah seorang
yang luhur budi. Seorang penolong yang tak pernah memperkenalkan wajah
aslinya, karena ia selalu memakai topeng. Hanya karena topeng itu dibuat
sedemikian kasar dan jelek, maka Pasingsingan digambarkan sebagai
seorang yang berwajah menakutkan.
Adakah sesuatu peristiwa yang terjadi
sehingga tokoh itu berbalik diri dari lingkungan putih ke lingkungan
hitam? Tetapi sementara itu Samparan telah mulai berbisik lagi. “Beberapa
waktu yang lalu …, Lawa Ijo pernah dilukai oleh seorang senapati Demak,
waktu ia sedang berusaha untuk mendapatkan pusaka.”
Mendengar cerita ini Mahesa Jenar semakin tertarik.
“Ki Sanak, dalam lingkungan golongan
hitam terdapat suatu kepercayaan, bahwa barang siapa memiliki sepasang
pusaka yang mereka perebutkan, adalah suatu pertanda bahwa orang itu
akan dapat merajai seluruh golongan hitam. Dengan demikian akan cukup
kekuatan dan dukungan bila pada suatu saat mendirikan suatu pemerintahan
tandingan yang kekuasaannya akan dapat menyaingi kekuasaan Demak.” Suara Samparan menjadi semakin perlahan-lahan, tetapi masih cukup jelas.
“Sedangkan Lawa Ijo, atas petunjuk
Pasingsingan, akan mencuri langsung pusaka asli, yang menurunkan
sepasang pusaka yang diperebutkan itu,” lanjut Samparan.
“Apakah ujud dan nama pusaka-pusaka itu?” Tiba-tiba Ki Asem Gede menyela.
Samparan menarik nafas untuk mengatasi denyut jantungnya yang semakin memburu. “Pusaka-pusaka
itu berupa keris. Seekor naga bersisik seribu dan sebuah keris lain
berlekuk sebelas dengan pamor yang memancarkan cahaya kebiru biruan.”
“Naga Sasra dan Sabuk Inten,” potong Dalang Mantingan mengejutkan.
“Ya,” jawab Samparan,
”demikian mereka menyebut namanya. Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi
yang sepasang, yang mereka perebutkan itu masih meragukan. Pasingsingan
mengira bahwa keris itu hanyalah keturunannya saja, sedang yang asli
masih berada di keraton. Untunglah bahwa pada saat Lawa Ijo akan mencuri
pusaka-pusaka itu, ada dua orang prajurit terlepas dari pengaruh
sirepnya yang terkenal. Empat orang anak buah Lawa Ijo terbunuh,
sedangkan Lawa Ijo sendiri terluka di bagian dalam dadanya”.
Sekarang Mahesa Jenar semakin bertambah
jelas bahwa Lawa Ijo yang berusaha memasuki gedung perbendaharaan itulah
yang dimaksud oleh Samparan.
“Untunglah bahwa ada orang-orang seperti kedua prajurit itu.” Samparan meneruskan, ”Alangkah gagahnya. Kemudian Lawa Ijo dapat mendengar bahwa kedua prajurit itu bernama Rangga Tohjaya dan Gajah Alit,”
Sekarang Ki Asem Gede dan Mantingan yang
terperanjat. Rangga Tohjaja adalah Mahesa Jenar. Jadi kalau demikian
Mahesa Jenar pernah bertempur, bahkan melukai Lawa Ijo. Dengan tak
mereka sadari terloncatlah sebuah pertanyaan dari mulut Ki Asem Gede, “Jadi Anakmas pernah melukai Lawa Ijo?”
Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar
menjadi bimbang sebentar. Samparan, yang meskipun dalam keadaan parah,
tampak wajahnya berubah hebat mendengar pertanyaan Ki Asem Gede itu. Ia
menyebutkan bahwa yang melukai Lawa Ijo adalah Rangga Tohjaja dan Gajah
Alit, tetapi kenapa Ki Asem Gede bertanya kepada Mahesa Jenar?
Mahesa Jenar menangkap perubahan wajah
Samparan. Pikirannya mengatakan, tak baik orang yang pada saat-saat
terakhir masih menyimpan teka-teki. Karena itu ia menjawab pertanyaan Ki
Asem Gede. Tetapi jawaban ini ditujukan kepada Samparan. “Samparan,
barangkali kau heran, bahkan mungkin tak percaya. Tetapi biarlah aku
beritahukan kepadamu supaya kau percaya. Supaya kau menjadi jelas.
Akulah Rangga Tohjaja yang kau maksudkan tadi. Memang aku pernah
bertempur dan melukai Lawa Ijo di halaman dalam Istana Demak. Karena
itulah aku akan selalu mencarinya.”
Belum lagi Mahesa Jenar selesai berkata,
tiba-tiba dilihatnya mata Samparan yang tenang itu, membasah. Lalu
kata-katanya terputus-putus. “Jadi … inikah pahlawan itu?
Berbahagialah aku dapat bertemu dengan Tuan. Nah, Tuan Rangga Tohdjaja,
mudah-mudahan usahaku yang kecil ini dapat mengurangi dosaku. Akhirnya
hendaklah tuanku ketahui, bahwa Pasingsingan berpendirian, apabila
keturunan dari kedua pusaka itu saja mempunyai kasiat yang demikian,
apalagi pusaka-pusaka aslinya.”
Sejenak kemudian wajah Samparan menjadi
semakin tegang. Beberapa kali ia berusaha menguasai jalan pernafasannya.
Tetapi bagaimanapun, keadaannya bertambah parah. Darah masih mengalir
dari lukanya. Tiba-tiba sebagai seorang tabib, tersadarlah Ki Asem Gede
bahwa ia harus bertindak secepatnya untuk menyelamatkan jiwa Samparan,
sampai kemungkinan yang terakhir.
“Adi Mantingan,” katanya, ”marilah kita angkat Samparan ini ke Gandok Wetan. Barangkali ada suatu cara untuk mengobatinya”.
Mendengar kata-kata itu, segera Mantingan
bangkit dan siap bersama-sama Ki Asem Gede mengangkat Samparan. Tetapi,
dengan senyuman yang sayu, Samparan berbisik perlahan. “Terimakasih
Ki Asem Gede. Tetapi masih ada suatu rahasia lagi yang perlu Tuan
ketahui, Rangga Tohjaja. Besok pada bulan terakhir tahun ini, akan ada
suatu pertemuan para sakti dari aliran hitam untuk menilai ilmu
masing-masing, dan sekaligus mencari seorang tokoh sebagai pemimpin
mereka. Kecuali kalau sebelum itu seseorang diantara mereka dapat
membuktikan bahwa ia telah memiliki pusaka-pusaka Nagasasra dan Sabuk
Inten. Dalam hal ini maka mereka hanya akan menentukan urutan hak
saudara tua dari setiap gerombolan.”
Kemudian denyut jantung Samparan turun
dengan cepatnya. Wajahnyapun menjadi semakin pucat. Meskipun demikian ia
masih berusaha untuk berkata, “Bulan terakhir tahun ini, tepat pada
saat purnama naik, di lembah Tanah Rawa-rawa, akan hadir dalam
pertemuan itu antara lain Lawa Ijo dari Mentaok. Sepasang Uling dari
Rawa Pening sebagai tuan rumah, yaitu Uling Kuning dan Uling Putih.
Suami-istri Sima Rodra dari Gunung Tidar, Djaka Soka, Bajak Laut yang
berwajah tampan dari Nusakambangan, yang mendapat julukan Ular Laut.” Sebenarnya Samparan masih akan berkata menyebut beberapa nama lagi, tetapi ia sudah terlalu lemah.
“Sudahlah Samparan,” potong Ki Asem Gede, ”Jangan pikirkan semua itu. Tenangkanlah dan beristirahatlah,”.
Samparan tersenyum buat terakhir kalinya.
Ia menarik nafas panjang, dan sesudah itu terhentilah denyut
jantungnya. Mereka yang menyaksikannya, untuk sesaat menundukkan kepala
masing-masing dengan rasa haru.
Perlahan-lahan tubuh itu kemudian
diangkat dan diletakkan di atas bale-bale di Gandok Wetan. Tetapi
wajahnya sekarang tidak lagi membayangkan kejahatan seperti yang pernah
dilakukan semasa hidupnya. Wajah itu kini bagaikan kotak kaca yang sudah
dibersihkan isinya dari kotoran-kotoran yang semula memenuhinya.
Kemudian Ki Asem Gede segera memanggil
beberapa orang pelayan dan murid-murid Wirasaba. Mereka diminta merawat
mayat Samparan. Mayat seorang yang pernah menggemparkan Pucangan dengan
kejahatan-kejahatan. Selain itu, kepada murid-murid Wirasaba bahkan
kepada Nyi Wirasaba, Ki Asem Gede minta supaya tidak mengatakan suatu
apapun tentang peristiwa Samparan dan kawan-kawannya kepada Ki Wirasaba.
Maka, Samparan adalah satu-satunya
diantara kelima orang gerombolannya yang mendapat penghormatan terakhir
pada saat penguburannya. Pengorbanan Samparan sebagai penebus dosa
tidaklah sia-sia. Untuk beberapa lama Ki Wirasaba dapat menikmati
ketenteraman hidupnya kembali di samping istrinya yang setia.
———-oOo———-
III
Pada malam setelah semua peristiwa itu
terjadi, Mantingan dan Mahesa Jenar diminta untuk tinggal di rumah Ki
Wirasaba bersama-sama Ki Asem Gede. Tetapi untuk menghindari hal-hal
yang dapat menimbulkan salah faham, maka sengaja Mantingan dan Mahesa
Jenar tidak banyak bercakap-cakap dengan Ki Wirasaba. Hanya dalam
kesempatan itu, ketika mereka duduk-duduk bertiga, Mahesa Jenar, Ki
Dalang Mantingan dan Ki Asem Gede, berceriteralah orang itu, tentang
sebab-sebabnya Ki Wirasaba menjadi lumpuh.
“Wirasaba adalah seorang pilihan dalam kalangannya,” ceritera ki Asem Gede,.” Yaitu
para penggembala. Ia mendapat gelar Seruling Gading karena
kepandaiannya meniup seruling. Pada usia yang masih sangat muda, ia
mulai dengan perantauannya dari satu daerah ke daerah yang lain untuk
menuruti keinginannya yang melonjak-lonjak di dalam dadanya. Ia
sebenarnya berasal dari Karang Pandan, di kaki Gunung Lawu. Sehingga
pada suatu saat sampailah ia ke Prambanan. Kedatangannya bagiku sangat
menguntungkan. Sebab pada saat itu aku sedang dibingungkan oleh sebuah
lamaran yang mengerikan. Anakku, istri Wirasaba itu, pada saat itu
sedang menerima lamaran dari seorang yang sangat ditakuti di daerah
kami. Tetapi orang itu bukanlah orang baik-baik. Adatnya sangat kasar
dan angkuh. Sehingga anakku bersumpah di hadapanku, kalau terpaksa ia
harus menjalani perkawinan itu, berarti bahwa hidupnya harus diakhiri
Kehadiran Wirasaba merupakan angin baru bagi anakku. Perkenalan mereka semakin lama menjadi semakin erat. Sebagai orang tua aku segera mengetahui bahwa hati mereka terjalin.
Pradangsa, orang yang ingin mengawini
anakku itu, melihat hubungan yang semakin erat itu. Ia menjadi marah
bukan kepalang. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak terkalahkan, ia
berusaha menyelesaikan persoalan itu dengan caranya. Ditantangnya
Wirasaba untuk berkelahi. Aku yang belum mengetahui tingkat ilmu yang
dimiliki oleh Wirasaba, menjadi cemas. Tetapi Wirasaba sendiri menerima
tantangan itu dengan senang hati,” lanjut Ki Asem Gede.
Maka, pada suatu hari yang telah
ditentukan, dilangsungkanlah pertemuan itu di atas sebuah gundukan pasir
di pinggir sungai Opak. Aku yang selalu kecemasan, memerlukan dengan
diam-diam berusaha untuk dapat mengikuti pertemuan yang tidak
menyenangkan itu.
Yang mula-mula datang ke tempat itu
adalah Wirasaba, tepat pada saat warna merah di langit yang terakhir
terbenam ke dalam warna kelam. Rupanya sengaja ia datang lebih awal
untuk mengetahui keadaan tempat itu.
Setelah beberapa saat ia mengamati
tempat itu sejengkal demi sejengkal, maka duduklah Wirasaba di atas
sebuah batu di tepi sungai yang mengalirkan airnya yang jernih. Dari
dalam bajunya dikeluarkannya sebuah seruling yang terbuat dari pring
gadhing. Sambil menunggu kedatangan lawannya, ia mulai berlagu dengan
serulingnya itu. “Baru sekali itu aku mendengar Wirasaba meniup
serulingnya. Dan memang sudah sewajarnyalah kalau ia mendapat sebutan
Seruling Gading.
Mula-mula serulingnya itu membawakan
lagu yang sejuk menyongsong datangnya bulan. Nadanya seperti silirnya
angin senja. Kemudian lagu itu menurun makin dalam, tetapi sesaat
kemudian melonjak riang, seriang wajah gadis yang menyongsong datangnya
kekasih. Sesaat kemudian berubahlah lagu Wirasaba mendendangkan kisah
cinta. Sambil menatap wajah bulan, ia berlagu dengan lembutnya. Tetapi
sebentar kemudian ia meloncat berdiri. Sedang serulingnya masih
saja berlagu. Dipandangnya tenang-tenang Candi Jonggrang sebagai
lambang keagungan cinta yang tiada taranya. Kesanggupan Yang Maha Besar,
yang dilahirkan karena cinta. Candi Jonggrang yang mengagumkan itu
dapat diciptakan hanya dalam waktu satu malam, sebagai suatu usaha
raksasa untuk memenuhi tuntutan cinta.
Maka beralunlah seruling Wirasaba
dengan lembut dan mesra. Seakan-akan ia mengungkapkan suatu ceritera
rakyat tentang cinta abadi antara Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi. Dan
karena itulah maka lahir segala isi bumi ini.
Wirasaba sebagai lazimnya
penggembala, tiada dapat terpisah dari serulingnya. Sahabat pada
saat-saat sepi, pada saat-saat binatang gembalanya asyik bermain di
padang rumput. Karena itulah maka setiap lagu yang dipancarkan dari
serulingnya, selalu melukiskan kisah yang terjalin di hatinya.
Sebagai seorang yang hidup bebas di
padang-padang terbuka, dalam berlagu pun Wirasaba ternyata tidak mau
terikat pada gending-gending yang sudah ada. Lagunya menjangkau jauh
melampaui batas gending-gending yang dirasanya terlalu miskin untuk
mengungkapkan seluruh perasaannya. Karena itu lagunya bebas terlontar
tanpa ikatan. Namun demikian dapat melukiskan segenap warna dalam
jiwanya.
Tetapi, ketika ia sedang asyik
tenggelam dalam lagunya, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang
merobek-robek kekhusukan lagu yang hampir sampai ke puncak keindahannya.
Aku segera mengenal suara itu. Suara
Pradangsa. Kali ini rupanya ia ingin memperlihatkan kesaktiannya dengan
menyalurkannya lewat suara tertawanya yang mengerikan. Cepat-cepat aku
berusaha untuk tidak hanyut ke dalam pengaruhnya. Tetapi disamping itu
aku pun menjadi cemas kembali. Wirasaba memang seorang ahli meniup
seruling. Tetapi Pradangsa bukanlah seorang penggemar lagu. Ia adalah
seorang yang kasar dan hanya dapat menghargai kekuatan tenaga. Bukan
kemesraan dan kelembutan.”
“Apalagi ternyata suara tertawa itu
tidak segera berhenti. Tetapi gelombang demi gelombang terdengar seperti
susul-menyusul. Seperti datangnya ombak lautan segulung demi segulung
menghantam tebing.”
“Dalam kecemasanku itu, tiba-tiba aku
dikejutkan lagi oleh suara seruling Wirasaba. Tetapi setelah itu aku
menjadi bersyukur. Bahkan aku menjadi berbangga hati. Suara seruling
yang mesra lembut itu segera berubah melengking tajam. Kemudian Wirasaba
berteriak penuh kemarahan karena cintanya terganggu. Yang sama sekali
tak aku duga, adalah bahwa kemarahan Wirasaba yang dilontarkan lewat
nada-nada serulingnya itu pun ternyata mengandung pengaruh yang luar
biasa pula. Maka kemudian seakan-akan terjadilah benturan dahsyat antara
suara tertawa Pradangsa dengan nada-nada seruling. Wirasaba yang
sebentar melonjak, naik tajam, dan kemudian turun menukik kembali, lalu
menggelegar seperti guruh yang dengan penuh kemarahan menghantam gunung.
Karena benturan itulah maka seolah-olah tercapailah suatu
keseimbangan, sehingga kedua suara itu semakin lama semakin lirih …
semakin lirih. Bahkan akhirnya keduanya berhenti dengan sendirinya.
Tepat pada saat suara itu berhenti,
meloncatlah sebuah bayangan dari seberang, dengan tangkasnya dari batu
ke batu menyeberangi sungai Opak. Dari geraknya yang cepat dan tangkas,
sudah dapat dikira sampai dimana kekuatan tenaganya.
Belum lagi Pradangsa menjejakkan
kakinya di tepian, mulutnya sudah mendahului berteriak dengan suara
gunturnya. “Hai anak cengeng. Rupanya kau hanya mampu menjadi seorang
penipu seruling. Itu saja kau hanya bisa membawakan lagu-lagu cengeng
seperti apa yang baru saja kau lagukan.”
Wirasaba adalah seorang yang tinggi
hati. Mendengar dirinya disebut anak cengeng, segera bangkitlah
kesombongannya. “Memang, aku hanya mampu melagukan lagu-lagu cengeng.
Lagu-lagu cinta dan kasih. Tetapi aku adalah orang yang tahu diri.
Sekali dua kali aku pernah bercermin, meskipun hanya di permukaan air.
Maka sadarlah aku bahwa wajahku jauh lebih tampan daripada wajahmu yang
kasar itu. Karena itulah aku berhak melagukan lagu cinta dan kasih.
Tidak saja lagu maut seperti yang kau miliki satu-satunya.”
Pradangsa adalah seorang yang kasar
dan sombong. Ia tidak pernah menerima hinaan yang sampai sedemikian.
Karena itu segera darahnya naik ke kepala.
“Setan!” makinya semakin kasar, ”Aku
tidak pernah menyesal bahwa wajahku kasar dan jelek. Tetapi dengan
tenaga yang aku miliki, aku mampu berbuat apapun. Aku mampu memperistri
setiap perempuan yang aku kehendaki. Nah, kau sekarang mencoba
mengganggu kebiasaanku itu. Karena itu bersediakah untuk mati?”
Wirasaba tidak mau banyak bicara lagi. Diselipkannya seruling pring gadingnya ke dalam bajunya.
“Kau hanya mau berbicara saja?” potongnya.
Pradangsa bergumam di dalam mulutnya,
dan kemudian kembali ia tertawa nyaring. Tetapi suara tertawanya
terputus ketika Wirasaba membentak. “Aku tidak banyak waktu,
bersiaplah.”
Pradangsa pun rupanya juga menganggap
bahwa waktunya telah tiba. Karena itu ia pun segera bersiap. Dengan
tidak banyak lagi persoalan, segera mereka terlibat dalam sebuah
perkelahian. Dalam bagian permulaan nampak bahwa Wirasaba dapat melayani
Pradangsa dengan baik, seperti suara serulingnya yang mengimbangi suara
tertawa lawannya. Geraknya cukup cekatan. Tetapi yang masih meragukan,
apakah ia dapat mengimbangi tenaga raksasa yang dimiliki oleh Pradangsa.
Dalam setiap perkelahian, Pradangsa hampir tidak pernah menghindarkan
diri dari setiap serangan. Tetapi, setiap serangan itu selalu
dibenturnya dengan serangan pula, sebab ia sangat percaya pada
kekuatannya.
Demikian pula agaknya pada saat itu.
Pradangsa sama sekali tidak menghindarkan diri ketika Wirasaba
menyerangnya dengan dahsyat. Rupanya Pradangsa mengira bahwa Wirasaba
hanya mampu meniup serulingnya saja. Memang bentuk tubuh Wirasaba
tidaklah sebesar Pradangsa. Tetapi apa yang telah terjadi? Pada saat
itu, ketika Pradangsa membalas serangan Wirasaba yang dahsyat, ternyata
dalam tubuh Wirasaba yang tidak sebesar lawannya itu tersimpan suatu
tenaga yang hebat sekali, yang sama sekali tak diduga oleh Pradangsa.
Sedangkan Pradangsa sendiri adalah seorang yang memiliki tenaga raksasa
pula.
Tetapi ternyata, Wirasaba yang telah
sekian kali merantau, menjelajahi beberapa daerah, memiliki pengalaman
yang lebih banyak. Sedangkan Pradangsa hanyalah seorang tokoh lokal yang
telah mencapai puncak kekuatannya. Ia sudah merasa tak terkalahkan.
Memang Pradangsa adalah seorang kuat atas pemberian alam.
Maka ketika terjadi benturan itu,
tampaklah betapa picik pengetahuan Pradangsa. Ia hanya memusatkan tenaga
serta perhatiannya pada kedua belah tangannya. Dengan sepenuh tenaga
yang ada padanya menghantam tangan Wirasaba yang menyerang dadanya. Ia
sama sekali tidak menduga bahwa pada sekejap sebelum benturan itu
terjadi, Wirasaba mengubah serangannya dengan menarik tangan kirinya.
Ketika tangan kanannya membentur tangan Pradangsa, ibu jari tangan
kirinya sempat mengetuk leher Pradangsa itu.
Akibat benturan itu pun sangat hebat
sekali. Bagaimanapun uletnya Wirasaba, ia tergetar surut. Demikian juga
Pradangsa, terdorong mundur. Karena ketukan jari pada lehernya,
Pradangsa merasa bahwa nafasnya menjadi sesak. Inilah sumber kekalahan
Pradangsa. Sebab dalam perkelahian seterusnya, Pradangsa selalu diganggu
oleh peredaran nafasnya yang semakin lama terasa semakin sesak dan
sakit. Meskipun demikian, pertempuran itu masih juga berlangsung lama.
Mereka tampaknya seperti dua ekor ular yang saling berlilitan dan
timbul-tenggelam diantara lawannya.
Tetapi sampai sekian, kepastian dari
akhir pertempuran itu sudah jelas. Sebab Wirasaba jauh berpengalaman.
Apalagi ia bertempur tidak saja dengan tenaganya, tetapi juga dengan
otaknya. Sedangkan Pradangsa hanyalah mirip seekor babi yang terlalu
percaya pada kekuatannya. Meskipun ia memiliki kelincahan, namun dalam
beberapa saat kemudian ia sudah benar-benar dikuasai oleh
serangan-serangan Wirasaba yang menjadi semakin keras. Akhirnya
Pradangsa menjadi semakin terdesak. Dan tampaklah bahwa pertempuran itu
sudah hampir selesai.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal
yang sangat mengejutkan. Ketika Pradangsa merasa bahwa ia tidak mampu
mengalahkan lawannya, dilakukannya suatu kelicikan. Tangannya tiba-tiba
menggenggam potongan-potongan besi lembut dari kantongnya, yang kemudian
dilemparkan ke arah Wirasaba. Tampaklah betapa terkejutnya Wirasaba.
Potongan-potongan besi itu bertebaran mengarah hampir ke segenap bagian
tubuhnya.

Ki Asem Gede berhenti. Beberapa kali ia
menelan ludah. Agaknya ia menjadi haus setelah berceritera demikian
panjangnya. Meskipun demikian ia masih meneruskan pula, “Pada saat
itulah aku berlari-lari kepada Wirasaba yang masih terduduk di tanah.
Wirasaba terkejut melihat kedatanganku. Ia mengangguk hormat meskipun
sambil menyeringai kesakitan. Tetapi aku tidak sempat membalasnya.
Perhatianku hanya terpusat pada kakinya. Aku mempunyai dugaan bahwa
potongan-potongan besi itu berbisa. Sebab seorang seperti Pradangsa itu
tidak mustahil berbuat demikian. Dan dugaanku itu benar. Ketika
luka-luka itu aku teliti, ternyata tak mengeluarkan darah setetes pun.
Maka cepat-cepat aku suruh Wirasaba menelan ramuan-ramuan obat pelawan
bisa. Tetapi hasilnya tidak seperti yang aku harapkan.”
“Biasanya, setiap luka yang
mengandung bisa, setelah menelan ramuan obatku itu segera mengeluarkan
darah yang berwarna kebiru-biruan. Ramuan itu juga menghanyutkan segala
racun yang telah menyusup ke dalam darah daging. Tetapi tidak
demikianlah kaki Wirasaba itu. Luka-luka di kakinya tetap tidak
mengalirkan darah. Bahkan di sekitar luka itu tumbuhlah bengkak-bengkak.
Maka dapatlah aku mengambil kesimpulan bahwa bisa yang dipergunakan
oleh Pradangsa adalah bisa yang keras sekali. Karena itu aku tidak
berani memperpanjang waktu. Ramuan obat yang aku berikan hanya
sekadar menahan bisa itu saja. Tetapi karena kaki Wirasaba kedua-duanya
hampir tak dapat lagi dipergunakan, terpaksa aku memapahnya.
Baru ketika sampai di rumah, di bawah
cahaya lampu, aku dapat mengetahui dengan pasti bahwa potongan-potongan
besi itu direndam dalam ramuan warangan yang kuat sekali. Aku mempunyai
dugaan bahwa warangan itu dicampur dengan bisa sejenis laba-laba hijau
yang terdapat di hutan Tambak Baya.
Meskipun aku sudah berusaha keras
sebagai seorang tabib, tetapi sama sekali tak berhasil melawan bisa itu.
Yang dapat dilakukan hanyalah membatasi menjalarnya racun itu ke bagian
tubuh yang lain.
“Itulah Anakmas Mahesa Jenar dan Adi
Mantingan, sebab-sebab yang menimbulkan cacat pada Wirasaba. Tetapi hal
yang membesarkan hatiku adalah, bahwa anakku tetap setia pada janjinya,
meskipun laki-laki yang dikaguminya itu telah cacat. Sehingga perkawinan
mereka pun dapat dilangsungkan”.
Ki Asem Gede mengakhiri ceriteranya
dengan suatu tarikan nafas yang dalam. Seolah-olah sesuatu yang
menyumbat hatinya kini telah terlontar keluar. Meskipun demikian nampak
juga suatu perasaan kecewa yang tersirat di wajahnya. Sebagai seorang
tabib kenamaan, Ki Asem Gede merasa mendapat suatu peringatan langsung
dari Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa bagaimanapun usaha anak manusia, namun
keputusan terakhir berada di tangan-Nya. Sudah beratus-ratus bahkan
beribu-ribu orang yang ditolongnya, diobati dan disembuhkan. Namun
terhadap sakit menantunya sendiri, yang bergaul hampir setiap hari, ia
tak mampu berbuat apa-apa.
“Tak adakah obat yang dapat menyembuhkannya?” tanya Mahesa Jenar.
“Tidak ada,” jawab Ki Asem Gede. Mata Ki Asem Gede jadi suram dan gelisah. “Bahkan
obat yang aku berikan itu pun tak dapat menanggulangi sepenuh-penuhnya.
Mungkin bisa itu tak menjalar ke bagian tubuh yang lain, tetapi pada
bagian yang terluka bisa itu seperti api yang tersimpan di dalam sekam.
Sedikit demi sedikit membunuh setiap bagian tubuh di sekitar luka itu,” lanjutnya. Ki Asem Gede terdiam sebentar. Seperti orang yang terbangun dari tidur, dan tiba-tiba ia berkata, “Ada Anakmas …, ada.”
“Ada?” ulang Mahesa Jenar dan Mantingan berbareng.
Namun kemudian tampaknya Ki Asem Gede menjadi kendor kembali, katanya, “Ada Anakmas, tetapi aku kira obat itu tidak dapat diketemukan.”
“Sudahkah Bapak berusaha?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
Ki Asem Gede menggelengkan kepalanya. “Mustahil …, mustahil,” desisnya.
“Katakanlah Ki Asem Gede,“ desak Mahesa Jenar, „mungkin di antara kami ada yang pernah mendengar atau melihatnya,”.
Ki Asem Gede tampak ragu-ragu sebentar, tetapi akhirnya ia berkata, “Anakmas,
memang ada obat untuk melawan bisa yang bagaimanapun kerasnya. Tetapi
obat itu hampir hanyalah merupakan dongeng belaka.”
Mahesa Jenar dan Mantingan mengerutkan keningnya bersama-sama seperti berjanji. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar bertanya, “Kenapa Ki Asem Gede? Apakah obat itu terlalu sulit untuk didapatkan?”
“Anakmas benar,“ sahut Ki Asem Gede sambil mengangguk, „Sebab obat yang dapat melawan segala bisa itu, sepengetahuanku adalah bisa Ular Gundala,”
“Ular Gundala?” ulang Mahesa Jenar, sedang Mantingan menyela, “Aku pernah mendengar nama ular itu”.
“Ya, ular Gundala,” Ki Asem Gede menegaskan. “Ada
dua macam ular Gundala. Yaitu ular Gundala Seta dan Ular Gundala
Wereng. Kedua-duanya mempunyai jenis bisa yang tak terlawan. Tetapi
kedua-duanya mempunyai sifat yang berlawanan. Bisa ular Gundala Wereng,
bekerja seperti pada umumnya bisa, meskipun ketajamannya berlipat-lipat.
Tetapi bisa ular Gundala Putih bekerja sebaliknya. Kalau kedua jenis
ular bisa itu berbenturan maka akhirnya akan menjadi tawar. Karena
itulah maka bisa ular Gundala Putih-lah yang dapat menjadi obat yang
sangat mujarab untuk menawarkan segala macam bisa, meskipun kalau bisa
itu berdiri sendiri akan mempunyai akibat yang berbeda.
Ini adalah pengertian secara umum
saja. Sebab disamping itu masih ada sebab-sebab lain, kenapa bisa ular
Gundala itu sedemikian ampuhnya. Menurut ceritera, ular Gundala adalah
semacam senjata dari para Dewa. Ular Gundala Wereng adalah senjata dari
Sang Batara Kala, sedangkan ular Gundala Seta adalah senjata Batara
Wisnu. Kalau senjata-senjata itu sedang dipergunakan, maka memancarlah
bunga-bunga api di udara. Kalau sinarnya putih kebiru-biruan, itulah
pancaran dari ular Gundala Seta, senjata Wisnu. Sedangkan ular Gundala
Wereng memancarkan cahaya merah membara agak kehitam-hitaman”.
Wajah Ki Asem Gede masih membayangkan kekecewaan. Bahkan mendekati putus asa.
Tetapi ketika Mahesa Jenar mendengar
ceritera ini, ia menjadi teringat kepada sahabat karibnya semasa mereka
masih muda. Pada saat mereka baru menginjak ambang pintu kedewasaan.
Yaitu seorang yang kemudian terkenal bergelar Ki Ageng Sela, yang pada
masa anak-anaknya bernama Anis atau beberapa orang memanggilnya Nis dari
Sela. Sela adalah seorang yang luar biasa. Geraknya cepat melampaui
kilat. Bahkan sampai beberapa orang mengatakan bahwa ia mewarisi
kecepatan bergerak ayahnya yang juga bergelar Ki Ageng Sela, yang
menurut ceritera dapat menangkap petir.
Pada suatu kali, ketika Ki Ageng Sela
sedang menyepi di tepi sendang Jalatunda, tiba-tiba ia disambar oleh
semacam sinar putih kebiru-biruan. Untunglah bahwa ia dapat bergerak
cepat luar biasa, sehingga ia dapat menghindari sambaran sinar itu.
Bahkan ia masih juga sempat menangkapnya. Tetapi demikian tangannya
menyentuh benda itu, terkejutlah ia bukan kepalang. Sebab pada saat itu
tangannya terasa telah menangkap seekor binatang yang bulat panjang.
Untunglah bahwa sebelumnya ia pernah mendengar ceritera tentang seekor
ular yang pandai terbang dan bercahaya. Ular yang diceriterakan menjadi
penggembala hujan. Maka secepat kilat benda yang ditangkapnya itu
sebelum sempat menggigitnya, dibantingnya ke tanah.
Adalah suatu keuntungan bahwa binatang itu tidak dihantamkan pada sebatang pohon atau batu. Sebab kalau demikian, binatang itu pasti akan remuk. Saat itu, ia dapatkan binatang itu masih utuh, meskipun terbenam lebih dari sejengkal ke dalam tanah.
Adalah suatu keuntungan bahwa binatang itu tidak dihantamkan pada sebatang pohon atau batu. Sebab kalau demikian, binatang itu pasti akan remuk. Saat itu, ia dapatkan binatang itu masih utuh, meskipun terbenam lebih dari sejengkal ke dalam tanah.
Kemudian bangkai ular itu diambilnya.
Ternyata ular itu adalah seekor ular yang aneh. Panjangnya dibanding
dengan besarnya dapat dikatakan terlalu pendek. Sisiknya berwarna putih
mengkilap agak kebiru-biruan. Pada bagian kepalanya tergoreslah semacam
lukisan jamang, sedangkan pada ujung ekornya melingkarlah warna kuning
keemasan.
Maka, ketika ular aneh itu dibawa pulang,
terlihatlah binatang itu oleh Ki Ageng Warana. Melihat bangkai ular
itu, Ki Ageng Warana terperanjat, apalagi ketika ia mendapat keterangan
dari Sela. Maka segera orang tua itu minta izin kepada Sela untuk
mengambil bisanya. Sela yang menganggap binatang itu hanya sebagai
barang yang aneh, sama sekali tidak keberatan. Ia tidak mengira kalau
karena itu ia mendapat semacam obat yang tak ada bandingnya. Obat
penawar segala macam bisa yang bagaimanapun tajamnya. Racun dari bisa
binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Oleh Ki Ageng Warana, binatang itu
diperas bisanya. Dengan mempergunakan keahliannya, ia dapat menampung
bisa itu. Kemudian dengan berbagai ramuan, bisa itu berhasil dipadatkan.
Tetapi hanya tinggal kecil sekali, hanya kira-kira sebesar biji kacang
tanah. Biji sari bisa ular ajaib itu dihadiahkan kepada Ki Ageng Sela.
Meskipun Ki Ageng Warana minta sebagian kecil, Ki Ageng Sela pun sama
sekali tidak keberatan. Dengan biji bisa itu, Ki Ageng Warana telah
membebaskan dirinya sendiri dari berbagai macam bisa. Juga Ki Ageng Sela
dan bahkan Mahesa Jenar sebagai seorang sahabat karib Nis dari Sela,
mendapat kesempatan untuk menikmati kasiatnya pula.
Oleh Ki Ageng Warana, biji bisa ular itu
direndamnya dalam air, yang kemudian dengan mempergunakan duri yang
telah direndam di dalam air itu, untuk menusuk simpul-simpul jalan
darah. Dengan demikian, mereka tawar dari segala macam bisa.
Mahesa Jenar sebagai sahabat paling dekat
Ki Ageng Sela, tidak hanya mendapat kesempatan membebaskan diri dari
segala pengaruh bisa dan racun, tetapi ia juga mendapat hadiah dari
sahabatnya, sebagian dari biji bisa itu.
Dengan biji bisa itu Ki Ageng Warana
telah membebaskan dirinya sendiri dari berbagai macam bisa. Juga Ki
Ageng Sela dan bahkan Mahesa Jenar sebagai seorang sahabat karib Nis
dari Sela, mendapat kesempatan untuk menikmati kasiatnya pula.
Oleh Ki Ageng Warana, biji bisa ular itu
direndam dalam air, yang kemudian dengan mempergunakan duri yang telah
direndam didalam air itu, untuk menusuk simpul-simpul jalan darah.
Dengan demikian, mereka tawar dari segala macam bisa.
Mahesa Jenar, sebagai sahabat paling
dekat Ki Ageng Sela, tidak saja mendapat kesempatan membebaskan diri
dari segala pengaruh bisa dan racun, tetapi ia mendapat hadiah dari
sahabatnya sebagian dari biji bisa itu.
Maka, diceriterakannya semua itu kepada
Ki Asem Gede. Tentang ular yang bersinar putih kebiru-biruan serta
tentang biji bisa Ular itu. Barangkali biji bisa itu dapat dipergunakan
untuk mengobati kaki Wirasaba sebagaimana bisa ular Gundala Seta.
Ki Asem Gede dan Mantingan mendengar
ceritera itu dengan penuh perhatian. Wajah Ki Asem Gede sebentar tampak
berkerut, sebentar terkejut, kemudian sebentar menjadi cerah, untuk
seterusnya muram kembali. Tetapi kemudian tiba-tiba jadi bersinar
terang.
“Anakmas,” kata Ki Asem Gede kemudian setelah Mahesa Jenar selesai berceritera, “ Ki
Ageng Warana adalah raja dari segala tabib. Sayang aku sampai sekarang
belum pernah berkesempatan bertemu dengan beliau. Sebab beliau adalah
seorang yang aneh. Sebentar nampak, sebentar menghilang. Berbahagialah
anakmas Nis dari Sela dapat bertemu dengan orang tua yang aneh itu. Dan
berbahagia pulalah Anakmas Mahesa Jenar bersahabat dengan Anakmas Sela.
Sebab menurut ciri-ciri yang Anakmas ceriterakan itu, ular yang
menyambar demikianlah yang bernama ular Gundala.”
“Tetapi Ki Ageng Warana tidak menamakan ular itu ular Gundala,” Mahesa Jenar menjelaskan, tetapi disebutnya ular Candrasa.”
Tiba-tiba cahaya mata Ki Asem Gede menjadi cerah secerah matahari pagi yang memercik diatas rumput-rumput hijau.
“Ya itulah Anakmas,” katanya hampir berteriak, ”Candrasa Seta. Memang
terdapat beberapa dongeng mengenai ular ajaib itu.Sebagai senjata
dewa-dewa, ia disebut Ular Gundala. Tetapi sebagai penggembala air
dilangit ia disebut ular Candrasa”.
Kemudian Mahesa Jenar mengambil sebuah
tabung bambu kecil yang diikatkan di bagian dalam pakaiannya. Tetapi
meskipun obat itu tak pernah terpisah dari tubuhnya, bahkan ia pernah
mendapat tusukan di simpul jalan darahnya oleh Ki Ageng Warana, namun ia
masih belum pernah melihat bukti kasiatnya.
Ki Asem Gede menerima benda itu dengan dada berdebar. Diamat-amatinya benda itu dengan saksama.
“Anakmas Mahesa Jenar, marilah kita lihat kasiat benda ini”
Kemudian Ki Asem Gedepun segera mengambil
sebuah cawan tembikar dan bumbung berisi bisa. Segera biji bisa ular
itu direndamnya di dalam air, lalu diteteskannya bisa dari dalam
bumbungnya ke dalam air rendaman itu, setelah biji bisanya disisihkan
kedalam tempat yang lain.
Apa yang terjadi sangatlah mengejutkan.
Air di dalam cawan itu menjadi seakan-akan menggelegak dan mendidih.
Maka setelah timbul beberapa gumpal asap, air di dalam cawan itu menjadi
surut. Akhirnya sesaat kemudian air itu menjadi tenang kembali.
Semuanya memandang peristiwa itu tanpa berkedip. Kemudian berkatalah Ki Asem Gede. “Ini
adalah suatu benturan langsung antara dua jenis bisa tanpa perantara.
Maksudnya adalah, bahwa kedua jenis bisa itu tidak bekerja atas sesuatu
zat, misalnya yang satu membekukan sedang yang lain mencairkan darah.
Dan anakmas dapat menyaksikan sendiri betapa hebatnya bisa Ular Gundala
atau Candrasa itu.”
Mahesa jenar termenung sejenak. Lalu katanya, “Kalau begitu, dapatkah Ki Asem Gede mengobati kaki kakang Wirasaba?”
“Akan aku coba,” jawab Ki Asem Gede, ”tetapi
harus perlahan-lahan. Sebab bisa di dalam tubuh Wirasaba telah bekerja
terlalu lama. Kalau tubuhnya itu tidak mempunyai daya tahan yang luar
biasa, ia telah lama binasa. Karena itu aku tidak berani mengobatinya
sekaligus. Benturan yang berlebihan di dalam tubuhnya antara dua jenis
bisa itu akan dapat membunuhnya. Dan untuk itu akan memerlukan waktu”.
Akhirnya Ki Asem Gede minta kepada Mahesa
Jenar untuk diizinkan meminjam biji bisa itu. Ia akan mencoba sedikit
demi sedikit mengobati kaki Wirasaba yang bertahun-tahun tak dapat
dipergunakan.
Sementara itu malam menjadi semakin
dalam. Bunyi jangkrik terdengar saling bersahutan dengan kemersik daun
yang digerakkan oleh angin malam sejuk.
Maka, Ki Asem Gede atas nama anak menantunya mempersilahkan kedua tamunya itu untuk beristirahat.
———-oOo———-
IV.
Tetapi, malam itu Mahesa Jenar sama
sekali tidak berhasrat untuk tidur. Ketika ia sudah membaringkan
dirinya, teringatlah kembali semua peristiwa yang dialaminya pada
hari-hari terakhir. Maka barulah terasa penat-penat di bagian-bagian
anggota badannya.
Selain itu terngianglah kembali semua
ceritera Samparan pada saat terakhir sebelum menghembuskan nafasnya yang
penghabisan. Tentang Lawa Ijo, tentang pertemuan yang akan diadakan
oleh golongan hitam, tentang pusaka-pusaka Kiai Nagasasra dan Sabuk
Inten, dan tentang seorang yang disebut oleh Samparan bernama
Pasingsingan. Semuanya itu masing-masing bagi Mahesa Jenar memerlukan
perhatian-perhatian khusus.
Sebenarnya kalau Lawa Ijo atas petunjuk
Pasingsingan ingin mendapat pusaka Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten dengan
memasuki Gedung Perbendaharaan Istana, ia pasti akan kecewa. Sebab
kedua pusaka itu sedang jengkar meninggalkan tempat penyimpanannya. Tak
seorang pun yang mengetahui, kemana perginya dan siapa yang membawanya.
Sedangkan kepada Pasingsingan sendiri,
Mahesa Jenar tak habis-habis heran. Bahkan hampir tak masuk akal, kalau
sampai Pasingsingan mempunyai seorang murid semacam Lawa Ijo.
Mengenai pertemuan golongan hitam itu pun akan merupakan suatu peristiwa yang cukup menarik.
Kecuali itu, bila Lawa Ijo telah
menyatakan diri untuk mengambil bagian dalam pertemuan itu, pastilah
bahwa pagi-pagi ia telah mempersiapkan diri. Ini berarti bahwa Lawa Ijo
selalu berusaha untuk memperdalam segala ilmunya sampai
sedalam-dalamnya. Apalagi di bawah asuhan seorang sakti yang bernama
Pasingsingan.
Lalu bagaimanakah dengan dirinya? Dengan
terbunuhnya salah seorang anggota gerombolan Lawa Ijo, bahkan saudara
muda seperguruannya, berarti Mahesa Jenar sudah berhadapan langsung
dengan golongan itu. Golongan Lawa Ijo yang bersarang di hutan Mentaok.
Karena itulah maka Mahesa Jenar mulai
menilai dirinya kembali. Sebenarnya ia tidak ingin lagi mempergunakan
tenaganya dan ilmu tata berkelahi yang pernah dipelajarinya untuk
memecahkan soal. Tetapi berhadapan dengan gerombolan Lawa Ijo, soalnya
menjadi lain. Terhadap gerombolan itu, dan gerombolan hitam umumnya, ia
tak dapat berbuat lain, kecuali harus mempersiapkan diri dalam keadaan
siaga tempur.
Maka, dengan tak sesadarnya Mahesa Jenar
mengamat-amati tangannya dengan jari-jarinya yang kokoh kuat. Telah
berapa jiwa melayang karenanya, selama ia berusaha menegakkan keadilan
dan kemanusiaan. Dan sekarang, tangan ini harus siap membunuh pula, juga
untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan.
Bahkan alangkah menariknya untuk
mengetahui pula kejadian-kejadian dalam pertemuan yang akan
diselenggarakan oleh golongan hitam itu, pada saat purnama naik, bulan
terakhir tahun ini.
Maka dengan tidak sengaja pula, Mahesa Jenar bangkit dan berjalan mondar-mandir di dalam ruangan itu.
Malam sudah begitu dalam dan sepi.
Kecuali suara-suara binatang malam yang sekali-kali memecah sunyi. Pada
saat yang demikian tiba-tiba saja timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk
mencoba kembali kekuatan tenaganya. Mungkin akan berguna nanti. Kalau
ada kesempatan, bukankah suatu hal yang baik sekali untuk membinasakan
segala tokoh-tokoh hitam pada saat mereka berkumpul?
Tetapi mereka pun bukanlah kumpulan anak-anak kecil yang dapat ditakut-takuti oleh seekor anjing yang sedang menggonggong.
Belum lagi Mahesa Jenar mendapat sasaran
untuk memulai, tiba-tiba didengarnya sayup-sayup suara yang bergetar
panjang, mendirikan bulu roma. Suara itu menggetarkan udara seperti
getaran gelombang pantai. Bagi penduduk Pucangan, suara itu memang
sering terdengar. Bahkan hampir setiap malam, apabila kademangan itu
telah terbenam dalam sunyi malam. Setiap penduduk kademangan yang
mendengar suara mengerikan itu tubuhnya tentu akan menggigil karenanya.
Tetapi sebaliknya adalah Mahesa Jenar.
Mendengar suara itu tiba-tiba timbullah kegembiraannya. Dengan lincahnya
ia segera meloncat turun ke halaman. Untuk beberapa saat ia berdiri
mendengarkan dari mana arah suara yang menggeletar itu. Mahesa Jenar
merasa bahwa ia akan mendapat kawan berlatih yang baik. Maka kemudian
dengan tidak berpikir panjang lagi. Segera ia meloncat dan seperti kilat
berlari ke arah suara yang menarik hati itu, agak jauh di luar
pedesaan.
Ketika sekali lagi suara itu terdengar
semakin panjang, Mahesa Jenar menjadi bertambah gembira, sehingga ia
semakin mempercepat langkahnya. Tampaklah ia kemudian seperti bayangan
yang terbang dalam kegelapan.
Setelah beberapa lama berlari, Mahesa
Jenar menghentikan langkahnya. Dari sinilah arah suara tadi terdengar.
Dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan, ia mengamat-amati keadaan di
sekitarnya, yang penuh semak-semak dan rumput-rumput ilalang yang tumbuh
liar.
Tiba-tiba telinga Mahesa Jenar yang tajam
menangkap suara berdesir dari dalam semak-semak itu. Cepat ia
membalikkan diri ke arah suara itu, dan bersiaga. Apa yang dicari, kini
telah muncul dari balik batang-batang ilalang.
Mahesa Jenar tersenyum, ketika dilihatnya
seekor harimau loreng sangat besar, hampir sebesar kerbau, memandangnya
dengan keheran-heranan. Matanya yang kehijau-hijauan memancar seperti
lentera yang menyorot kepadanya. Untuk beberapa saat harimau itu berdiri
mematung. Agaknya harimau itu heran, manusia manakah yang telah
mengantarkan dirinya sendiri untuk menjadi santapan malamnya.
Ketika harimau itu perlahan-lahan maju ke
depan, darah Mahesa Jenar berdesir juga. Alangkah besar dan garangnya.
Dan dengan tidak sesadarnya, kembali Mahesa Jenar mengawasi tangannya
serta jari-jarinya yang kokoh kuat.
Dan pada telapak tangan Mahesa Jenar,
seolah-olah terbayang apa yang pernah terjadi pada saat terakhir,
sebelum gurunya melenyapkan diri dan kemudian ternyata wafat. Pada saat
ia mendapat warisan ilmu yang sebenarnya sangat hebat. Suatu ilmu yang
dapat dikatakan tersimpan di tangan Mahesa Jenar. Sebab kalau ia ingin
menerapkan ilmu itu, haruslah dipergunakan sisi telapak tangannya.
Meskipun pada dasarnya ilmu itu mempergunakan kekuatan jasmaniah, tetapi
tidaklah demikian seluruhnya. Bertahun-tahun Mahesa Jenar melatih diri
meyakinkan ilmu itu, yang mempergunakan unsur-unsur gerak pendahuluan 10
macam. Sebelum itu ia masih harus membiasakan keadaan jasmaniahnya.
Setiap pagi dan sore menghantamkan sisi telapak tangannya pada
bermacam-macam benda. Dari pasir, kayu, sampai ke batu.
Sepuluh unsur gerak pendahuluan itu
hanyalah sekadar patokan untuk menekan lawannya sampai sedemikian rupa
sehingga pada saat yang terakhir dimana keadaan sudah memungkinkan,
dilontarkanlah pukulan dengan sisi telapak tangan.
Tetapi pukulan itu tidak akan memenuhi
harapan, bila saat itu tidak dibarengi dengan suatu kekuatan batin yang
luar biasa besarnya, serta pemusatan tenaga. Inilah sebenarnya yang
sulit dilaksanakan. Untuk dapat melakukan ini semua, Mahesa Jenar harus
bekerja keras beberapa tahun lamanya.
Latihan-Latihan itulah yang sangat terasa
berat. Pada taraf permulaan Mahesa Jenar harus melatih mengatur
pernafasan, kemudian pemusatan pikiran dan terakhir menggabungkan
segenap kekuatan lahir batin. Semua itu untuk disalurkan lewat sisi
telapak tangannya.
Dalam pelaksanaannya tidaklah mesti 10
unsur gerak itu dilakukan berurutan. Tetapi unsur yang hanya sekadar
merupakan patokan yang dapat dibolak-balik, diambil beberapa bagiannya
saja menurut kebutuhan. Bahkan dapat dimasuki dan digabungkan dengan
unsur-unsur gerak yang lain.
Setelah Mahesa Jenar menjalani semua
latihan-latihan itu, hasilnya sangat hebat. Tangan Mahesa Jenar, bila
dikehendaki seolah-olah dapat berubah menjadi palu besi yang sangat
berat.
Tetapi meskipun demikian, sampai saat itu
Mahesa Jenar belum pernah mempergunakan ilmunya itu untuk melawan
sesama manusia. Ia baru mencoba menghantam-hancurkan kayu dan bahkan
batu. Tetapi terhadap sesama manusia, Mahesa Jenar masih belum sampai
hati mempergunakannya. Sebab, akibatnya dapat dibayangkan.
Namun sekarang Mahesa Jenar merasa
berhadapan dengan lawan yang tak dapat diabaikan. Apalagi Lawa Ijo
adalah murid Pasingsingan. Lebih-lebih kalau Pasingsingan sendiri ikut
campur dalam urusan ini.
Karena itu, Mahesa Jenar memutuskan,
bahwa ia harus mempersiapkan ilmunya itu. Ilmu yang pernah dipelajarinya
dengan sungguh-sungguh dan bersusah payah.
Dan sekarang, ia mendapat sasaran yang
tepat. Seekor harimau loreng yang sangat besar sekali, yang pasti sangat
mengganggu penduduk di sekitar daerah ini. Sebab seekor harimau yang
hampir sebesar kerbau ini tentu akan senang menangkap ternak para
petani.
Meskipun kekuatan jasmaniah harimau
sebesar itu, jauh berlipat dari kekuatan jasmaniah manusia biasa, Mahesa
Jenar yakin bahwa ia akan dapat mengatasinya, dengan ilmunya yang oleh
gurunya disebut Sasra Birawa.
Sementara itu, Mahesa Jenar segera
tersadar oleh suara gemersik kaki harimau yang berdiri tidak jauh di
hadapannya. Harimau itu telah merunduk sangat rendah, dan siap menerkam.
Dengan mengaum keras, harimau itu dengan
garangnya meloncat akan menerkam Mahesa Jenar. Kedua kaki depannya
menjulur hampir lurus dengan tubuhnya. Kuku-kukunya yang tajam siap
merobek-robek mangsanya. Sedang taring-taringnya yang tajam-runcing,
menyeringai. Mengerikan sekali.
Tetapi Mahesa Jenar adalah seorang yang
telah terlatih baik untuk menghadapi setiap kemungkinan dan segala macam
bahaya. Maka ketika dilihatnya harimau itu meluncur menerkamnya, dengan
cekatan Mahesa Jenar merendahkan diri dan meloncat ke samping. Harimau
itu kembali mengaum dengan hebatnya. Rupanya ia sangat marah ketika
mangsanya terlepas dari terkamannya. Tetapi selama harimau itu masih
mengapung di udara, ia sama sekali tak dapat mengubah geraknya.
Ketika harimau itu mendarat di tanah, ia
menjadi terkejut sekali. Tidak saja karena sasarannya telah
menghindarkan diri, tetapi juga karena tiba-tiba saja terasakan sesuatu
yang menghantam punggungnya, dan bahkan seperti melekat dengan eratnya.
Mahesa Jenar ketika telah berhasil
menghindarkan diri, maka tepat pada saat harimau itu menjejakkan kakinya
di atas tanah, dengan kecepatan luar biasa Mahesa Jenar meloncat ke
atas punggung harimau itu, dan menghantamnya sekali. Seterusnya kedua
tangannya dengan eratnya berpegangan pada leher harimau itu.
Tetapi harimau adalah binatang yang
mempunyai kekuatan yang luar biasa. Pantaslah kalau disebut raja hutan.
Apalagi seekor harimau yang sedang marah, seperti yang sedang dihadapi
oleh Mahesa Jenar.
Harimau itu menggeliat dengan sepenuh
tenaga untuk melepaskan pegangan Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar
dengan eratnya mencengkeram leher harimau itu, sehingga tangan itu tidak
terlepas. Akhirnya harimau yang sudah mencapai puncak kemarahannya itu
meloncat tinggi. Setelah terjun kembali, segera menjatuhkan diri dan
bergulingan di tanah. Bagaimanapun eratnya pegangan Mahesa Jenar, tetapi
mengalami hal yang demikian tak urung tangannya terlepas juga. Bahkan
ia terlempar ke samping, sampai beberapa langkah dan jatuh
berguling-guling. Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki keuletan yang
luar biasa. Demikian Mahesa Jenar jatuh terguling beberapa kali, segera
ia meloncat dan tegak kembali tepat pada saatnya. Sebab pada saat itu,
harimau yang marah itu telah siap kembali menerkam. Tetapi setelah
mengalami kegagalan, rupanya harimau itu mendapat suatu pengalaman,
bahwa dengan suatu terkaman dari jarak yang jauh, ia tak berhasil
menguasai mangsanya. Maka kali ini harimau itu tidak lagi merunduk lalu
meloncat. Perlahan-lahan tetapi pasti, harimau itu mendekati lawannya.
Mahesa Jenar bertambah berhati-hati
melihat perubahan sikap harimau itu. Untuk melawan langsung seekor
harimau sangatlah berbahaya. Kuku-kukunya serta gigi-gigi yang tajam itu
dapat merobek kulitnya. Maka diputuskannya untuk segera mengakhiri
perkelahian.

Sesaat kemudian malam menjadi sunyi
kembali. Yang terdengar, kecuali tarikan nafas Mahesa Jenar, adalah
suara-suara binatang malam dan belalang bersahutan.
Di langit, bintang-bintang gemerlapan, seperti permata yang ditaburkan di atas selembar permadani biru kelam.
Dengan tajamnya Mahesa Jenar mengawasi
lawannya yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Ia dapat sedikit berbangga
hati, bahwa sampai sekarang ia mendapat kebahagiaan untuk memiliki ilmu
gurunya yang dahsyat itu. Seandainya yang dikenai itu manusia biasa,
maka dapatlah dibayangkan, bahwa manusia itu akan hancur lebur tanpa
sisa.
Belum lagi Mahesa Jenar puas menikmati
kemenangannya, tiba-tiba terdengarlah suara gemersik ilalang di
belakangnya. Cepat-cepat ia memutar tubuhnya dan segera bersiaga.
Tetapi ketika ia melihat siapakah yang
berdiri di belakangnya, ia menjadi terkejut bukan kepalang. Kalau
misalnya Lawa Ijo yang berada di situ, ia tidak akan seterkejut pada
saat itu.
Ternyata yang berdiri di belakangnya, dengan wajah cerah, secerah bintang yang gemerlapan di langit, adalah Nyai Wirasaba.
Dalam beberapa saat Mahesa Jenar tidak
dapat mengucapkan sepatah katapun, sedang Nyai Wirasaba tertunduk malu.
Tetapi kemudian, Mahesa Jenar berhasil menguasai perasaannya, dan dengan
sedikit tergagap ia bertanya. “Nyai Wirasaba, kedatangan Nyai sangat mengejutkan aku.”
Nyai Wirasaba masih diam tertunduk. Sampai Mahesa Jenar meneruskan, “Apakah yang Nyai maksudkan, sehingga Nyai memerlukan datang kemari?”
Akhirnya Nyai Wirasaba menjadi seperti
tersadar dari sebuah mimpi. Memang kedatangannya pun adalah seperti
peristiwa dalam mimpi.
Nyai Wirasaba, pada saat sebelum
perkawinannya, sangat mengagumi suaminya karena ketangguhan, kejantanan
serta keberaniannya. Tetapi kemudian suaminya menjadi lumpuh, sehingga
tak ada lagi yang dapat dikaguminya. Meskipun demikian ia tetap
mencintainya.
Tiba-tiba muncullah seorang yang menurut
anggapannya sangat mengagumkan pula, berani dan bersifat jantan. Ketika
Mahesa Jenar keluar dari ruang tidurnya dan berdiri di halaman,
sebenarnya Nyai Wirasaba sudah berada di halaman pula, untuk
membeningkan pikirannya yang kusut. Mendadak pada saat itu terdengarlah
aum harimau di kejauhan. Dan ketika dilihatnya Mahesa Jenar, menjadi
gembira dan berlari ke arah suara itu, tanpa sadar ia segera
mengikutinya untuk sekadar dapat menyaksikan sikap jantan Mahesa Jenar.
Meskipun ia tidak berlari secepat Mahesa Jenar, arah suara harimau yang
mengaum berkali-kali itu telah menuntunnya sampai ke tempat pertarungan
itu. Apalagi ketika ia menyaksikan bagaimana Mahesa Jenar membunuh
lawannya. Hatinya menjadi melonjak dan tak dapat dikuasainya lagi.
Karena itulah, ketika ia mendengar
pertanyaan Mahesa Jenar, ia menjadi agak bingung. Tetapi kemudian
dijawabnya juga dengan penuh kejujuran. “Aku tidak tahu, kenapa aku kemari.”
“Tidak tahu?” sahut Mahesa Jenar heran.
“Ya, aku tidak tahu. Mungkin hanyalah
terdorong oleh keinginanku menyaksikan suatu peristiwa yang dapat
mengungkat kembali suatu kenang kenangan yang indah pada masa muda.”
“Apa yang Nyai Wirasaba lakukan adalah sangat berbahaya.” berkata Mahesa Jenar kemudian,
”Bagaimana kalau aku tidak dapat memenangkan pertandingan ini?
Barangkali Nyai Wirasaba pun akan menjadi santapan macan loreng itu”.
“Tidak mungkin.” jawab Nyai Wirasaba, ”Aku yakin kalau harimau itu akan terbunuh”.
“Nyai Wirasaba yakin?” tanya Mahesa Jenar. Matanya memancarkan berbagai pertanyaan.
Kembali Nyai Wirasaba tertunduk diam. Dia sendiri tidak tahu kenapa ia mempunyai perasaan demikian.
“Nah, sebaiknya Nyai Wirasaba sekarang pulang. Adalah berbahaya sekali bagi Nyai untuk tetap berada disini.” Mahesa Jenar menasehati seperti anak kecil yang kemalaman bermain.
Tetapi Nyai Wirasaba tetap tak bergerak.
Bahkan tiba-tiba saja perasaannya terbang ke alam angan-angan yang
pahit. Tiba-tiba saja ia rindukan kembali masa gadisnya beberapa tahun
lampau. Saat-saat pertemuan dan perkenalannya dengan Ki Wirasaba, serta
cita-citanya untuk dapat menimang seorang anak laki-laki yang segagah,
seberani dan sejantan ayahnya. Tetapi sekarang, selama Wirasaba lumpuh,
hampir seluruh bagian bawah tubuhnya, selama itu pula ia tak dapat
mengharap menimang seorang anak laki-laki seperti yang dirindukannya.
Kembali perasaan Nyai Wirasaba melonjak dan tak dapat dikendalikan, sehingga tiba-tiba ia tersedan.
Mahesa Jenar adalah seorang laki-laki
yang mempunyai perbendaharaan pengalaman yang luas sekali. Tetapi
meskipun ia pernah berkenalan dengan banyak sekali wanita, ia sendiri
belum pernah bergaul terlalu rapat. Sehingga wanita baginya adalah
makhluk yang asing, yang mempunyai perasaan di luar kemampuannya untuk
menjajaginya. Apalagi ia sendiri belum beristri. Maka ketika dilihatnya
Nyai Wirasaba menangis, hatinya menjadi bingung kalang kabut. Ia menjadi
semakin tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia sendiri tidak
merasakan adanya suatu kesalahan yang dapat menusuk perasaan. Karena itu
untuk beberapa saat ia hanya dapat berdiri diam seperti patung,
sedangkan perasaannya bergolak menebak-nebak, apakah sebabnya Nyai
Wirasaba menangis. Akhirnya ia sampai pada suatu kesimpulan yang sangat
ditakutinya. Karena pengetahuan Mahesa jenar tentang perasaan seorang
wanita sangat sempit, maka ia telah mempunyai tanggapan yang salah
terhadap Nyai Wirasaba.
Karena itulah ia bertambah cemas. Katanya dengan suara gemetar
“Nyai, aku telah mengorbankan harga diriku dengan tidak menerima
tantangan Ki Wirasaba, sekedar untuk mengembalikan suasana ketenteraman
rumah tangga kalian. Dan sekarang, ketenteraman yang sudah hampir pulih
kembali itu akan terganggu pula, apabila kita berdua pada malam begini
berada di tempat ini. Karena itu pulanglah dan lupakanlah segala angan
angan itu”.
Nyai Wirasaba adalah seorang wanita yang
berperasaan halus, sehalus rambut dibelah tujuh. Ditambah pula sudah
beberapa tahun ia meladeni suaminya yang cacat kaki, sehingga ia menjadi
semakin perasa.
Maka ketika ia mendengar perkataan Mahesa
Jenar, ia terperanjat. Meskipun Mahesa Jenar sama sekali tak bermaksud
jahat, dan perkataannya itu diucapkan dengan jujur menurut perasaannya,
tetapi akibatnya seperti sembilu yang langsung membelah ulu hati Nyai
Wirasaba. Sebagai seorang wanita yang dididik oleh seorang saleh seperti
Ki Asem Gede, maka sudah tentu ia mementingkan sifat-sifat keutamaan
seorang wanita. Diantaranya sifat setia dan bakti kepada suaminya.
Dengan demikian, maka perkataan Mahesa
Jenar telah menggelorakan darahnya. Ia merasa tersinggung dengan
anggapan itu. Meskipun ia sangat mengagumi keperwiraan seseorang, namun
ia menjadi gusar juga karena tuduhan itu.
Maka dijawabnya kata-kata Mahesa Jenar itu dengan suara yang bergetar. “Tuan,
aku telah mengagumi keperwiraan Tuan, keberanian dan kejantanan Tuan.
Dan dengan tidak sadar pula aku telah mengikuti Tuan sampai ke tempat
ini untuk menyaksikan keperwiraan Tuan. Hal ini mungkin disebabkan aku
terlalu mengagumi kejantanan suamiku pada masa muda kami berdua. Dengan
menyaksikan kejantanan Tuan, aku mendapat suatu jembatan yang dapat
menghubungkan kembali kepada kenangan masa silam. Suatu masa yang penuh
dengan harapan dan cita-cita. Tetapi Tuan telah menuduh aku dengan
tuduhan yang menyakitkan hatiku.” Suara Nyai Wirasaba tersekat di kerongkongan oleh air matanya yang mendesak.
Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar tidak
kurang terperanjatnya. Tetapi ia tetap tidak dapat mengerti, Kalau
demikian halnya, mengapa seorang wanita seperti Nyai Wirasaba sampai
bersusah payah mengikutinya. Karena Mahesa Jenar adalah seorang yang
berdada terbuka serta tidak suka menyembunyikan perasaannya, maka
berkatalah ia, “Tetapi sampai demikian perlukah Nyai Wirasaba pergi ke tempat ini pada malam begini?”
Sekali lagi dada Nyai Wirasaba yang penuh
itu terguncang. Ia menjadi bertambah gusar mendengar kata-kata Mahesar
Jenar itu. Tetapi seperti halnya Mahesa Jenar yang tak dapat menjajagi
perasaannya, Nyi Wirasaba pun tidak tahu sama sekali akan ketulusan hati
Mahesa Jenar. Bahkan ia menyangka bahwa dalam kesempatan itu Mahesa
Jenar ingin memancing-mancing untuk meraba-raba perasaannya. Karena itu
dengan marahnya ia berkata, “Tuan, aku tidak menyangka bahwa hati
Tuan ternyata palsu. Maka baru sekarang aku mengerti kenapa suamiku
berkata, bahwa tak mungkin seseorang menyabung nyawanya tanpa pamrih.
Tetapi Tuan jangan mimpikan air mengalir ke udik.”
Sekarang Mahesa Jenar yang merasa dadanya
terguncang. Ia tidak dapat membayangkan bahwa wanita cantik seperti
Nyai Wirasaba itu dapat sedemikian marahnya sehingga mengeluarkan
kata-kata yang menusuk perasaan demikian pedihnya. Karena itu, seluruh
tubuh Mahesa Jenar menggigil karena ia berusaha menahan diri. Disamping
itu ia mulai merasa bahwa mungkin perkataan-perkataannya telah
menyinggung perasaan Nyai Wirasaba. Maka dalam kebingungan itu, ia hanya
dapat berdiri terpaku seperti patung. Tak ada sepatah kata pun yang
diucapkan. Sampai Nyai Wirasaba menyambung pula, “Tuan, barangkali
Tuan menyangka bahwa suamiku hanya dapat bermain main dengan suatu
permainan yang jelek dengan Samparan. Tetapi ketahuilah Tuan, bahwa aku
mengharap ia lekas sembuh. Dan sesudah itu aku tidak tahu apakah aku
masih dapat mengagumi ketangkasan Tuan di hadapan suamiku.”
Sekali lagi dada Mahesa Jenar terguncang.
Ia adalah seorang laki laki yang mengutamakan keperwiraan seorang
ksatria. Ia sudah menahan dirinya sekian lama sejak ia menerima
sindiran-sindiran Wirasaba di hadapan Mantingan dan Ki Asem Gede.
Seandainya Nyai Wirasaba tidak langsung menyinggung harga dirinya
sebagai seorang laki-laki, mungkin ia masih dapat menahan dirinya,
meskipun dadanya akan menjadi sesak. Tetapi sekarang, Nyai Wirasaba yang
karena marahnya, telah langsung merendahkan harga dirinya sebagai
seorang laki-laki dengan memperbandingkannya dengan Wirasaba. Karena
itulah maka Mahesa Jenar tidak dapat lagi membendung aliran perasaannya
yang semakin deras mendesak dan telah cukup lama tertahan. Meskipun
demikian ia masih berusaha untuk menyambut tantangan itu dengan sebaik
mungkin, meskipun nafasnya menjadi berdesakan. “Mudah-mudahan Ki
Wirasaba lekas sembuh. Dan aku akan mencoba melayaninya, meskipun
barangkali aku tidak akan dapat memberi kepuasan… dan ….” masih
banyak yang akan diucapkan Mahesa Jenar, tetapi ia tidak tahu bagaimana
melakukannya. Sedangkan yang keluar dari mulutnya adalah, “Nyai,
kalau ada kesalahanku maafkanlah, tak ada gunanya aku lebih lama tinggal
di sini. Perkenankanlah aku pergi. Tolong pamitkan kepada mereka
berdua, dan lain kali aku mengharap dapat bertemu kembali. Juga kepada
Ki Wirasaba, sampaikan salamku, sampai bertemu apabila ia telah sembuh
kembali.”
Belum lagi Mahesa Jenar mengucapkan seluruh kata-katanya, terdengar suara Nyai Wirasaba hampir berteriak, “Salahkulah kalau aku sampai datang kemari, apapun sebabnya, karena aku seorang wanita.”
Kemudian diluar dugaan Mahesa Jenar, Nyai Wirasaba segera berlari meninggalkan tempat itu.
Mahesa Jenar terpaku di tempatnya. “Alangkah tumpulnya perasaanku. Sungguh aku tidak mengerti, apa yang baru saja terjadi”.
Belum lagi Mahesa Jenar menemukan
jawaban, didengarnya dari arah samping suara gemersik rumput kering.
Cepat ia memutar tubuhnya menghadap ke arah suara itu. Ternyata apa yang
dijumpainya mengejutkannya pula. Orang yang datang itu adalah Ki Dalang
Mantingan. Sesaat darah Mahesa Jenar jadi berdegupan. Kalau ada orang
ketiga yang menyaksikan hadirnya Nyai Wirasaba di tempat itu, dapatlah
menimbulkan bermacam-macam kemungkinan. Tetapi karena ia percaya bahwa
sahabatnya itu tidak akan menjelekkan namanya, maka segera ia pun dapat
menguasai dirinya kembali.
Sementara itu terdengar Mantingan berkata, “Adimas, maafkanlah kalau kedatanganku sangat mengejutkan Adimas.”
“Tidak.” jawab Mahesa Jenar sambil menggeleng lemah, ”Tidak seberapa Kakang Mantingan. Tetapi sudah lamakah kakang berada di sini?”.
“Sudah…” sahut Mantingan,
”Sudah lama. Aku menyaksikan semua yang terjadi. Sejak Adimas membunuh
harimau itu dengan tangan, sampai perselisihan paham yang terjadi antara
Adimas dan Nyai Wirasaba”.
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya sambil kembali menggeleng lemah. Kemudian katanya, “Aku tidak mengerti kenapa hal-hal serupa itu bisa terjadi. Kau dengar seluruh pembicaraan kami Kakang?”
“Seluruhnya.” jawab Mantingan, ”Aku datang ke tempat ini bersamaan waktunya dengan Nyai Wirasaba,”.
“Kau tahu bahwa aku di sini?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Ya, sebab ketika aku mendengar aum
harimau dan terbangun dari tidurku, aku tidak melihat Adimas di
pembaringan. Segera aku pergi mencarinya. Ketika aku turun ke halaman,
aku melihat Nyai Wirasaba sedang berlari dengan kencangnya ke arah suara
harimau itu. Tentu saja aku tidak dapat membiarkan hal semacam itu.
Segera aku pun pergi menyusulnya. Dan seterusnya seperti apa yang
terjadi di sini.”
Mendengar keterangan Mantingan, Mahesa
Jenar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian untuk beberapa saat mereka
berdiam diri, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sampai kembali
Mantingan berkata, “Adimas, sebenarnya apa yang terjadi hanyalah karena kesalah-pahaman belaka.”
“Apa pendapat Kakang tentang hal itu?” sela Mahesa Jenar.
“Maafkanlah kalau aku katakan, bahwa tidak banyak yang Adimas ketahui tentang perasaan seorang wanita.” Mantingan meneruskan,
”Sebaliknya Nyai Wirasaba menerima keterbukaan dada Adimas itu dengan
kemasgulan dan kegusaran. Sebenarnya tak ada persoalan apa-apa antara
Adimas dan Nyai Wirasaba. Karena itu tak ada alasan bagi Adimas untuk
tergesa-gesa pergi.”
Mahesa Jenar diam sejenak. Ia mencoba
mencerna keterangan Ki Dalang Mantingan. Tetapi akhirnya kembali ia
menggeleng lemah. Katanya, “Kakang Mantingan, aku kira lebih baik
aku pergi. Banyak hal yang tidak menguntungkan apabila aku tetap tinggal
di sini. Kakang tahu bahwa aku bukanlah seorang yang sabar dan pradah
untuk menerima perangsang perangsang yang dapat membakar perasaanku. Aku
juga masih belum tahu apakah Wirasaba sudah puas dengan kematian
Samparan.”
Kembali mereka berdiam diri. Udara malam
yang lembab di daerah pegunungan mengalir dibawa arus angin
perlahan-lahan. Dan dalam keheningan itu kembali suara-suara malam
bertambah jelas.
Sebenarnya sangatlah berat perasaan
Mantingan untuk melepas Mahesa Jenar pergi. Meskipun baru beberapa hari
ia mengenalnya, namun seolah-olah hatinya telah tergenggam erat dalam
tali persahabatan. Karena itu ia berusaha keras untuk menahan Mahesa
Jenar.
“Adimas,” katanya sejenak kemudian mengusik sepi malam, “kalau
Adimas berkeras untuk meninggalkan tempat ini, bukankah lebih baik
Adimas pergi ke Prambanan? Kakang Demang Penanggalan akan merasa
berbahagia kalau Adimas sudi tinggal beberapa hari di rumahnya.”
Mahesa Jenar tidak segera menjawab ajakan
itu. Memang pernyataan yang demikian itu mungkin sekali. Tetapi
mengingat kemungkinan-kemungkinan lain, dimana Ki Asem Gede turut
berkepentingan, adalah kurang pada tempatnya. Sedangkan ia sama sekali
tidak mengerti persoalannya. Tidaklah enak perasaan Mahesa Jenar untuk
meninggalkan keluarga Ki Asem Gede dan kemudian tinggal pada keluarga
Mantingan.
Dengan demikian suasana menjadi kaku,
seperti garis-garis karang di tebing-tebing pegunungan yang merupakan
lukisan-lukisan hitam di atas dasar kebiruan langit yang ditaburi
bintang-bintang.
Akhirnya Mahesa Jenar mengambil suatu ketetapan. Ia harus pergi meninggalkan daerah itu. Katanya, “Kakang
Mantingan, terpaksa aku tidak dapat mengubah keputusanku. Banyak hal
yang dapat aku lakukan kalau aku melanjutkan perjalananku. Mungkin aku
dapat menemukan sarang Lawa Ijo di hutan Mentaok atau gerombolan
orang-orang berkuda yang membuat upacara-upacara aneh dengan
mengorbankan gadis-gadis itu.”
Sampai sekian Mantingan sudah menduga bahwa sulitlah baginya untuk tetap menahan Mahesa Jenar.
Sementara itu Mahesa Jenar meneruskan, “Kakang
Mantingan, meskipun aku bukan lagi seorang prajurit, namun aku masih
tetap ingin mengabdikan diriku. Sebab pengabdian yang sebenarnya tidak
harus melulu ditujukan kepada raja, tetapi sebenarnyalah bahwa
pengabdian harus ditujukan kepada rakyat. Karena itu aku akan merasa
berbahagia sekali kalau aku dapat berbuat sesuatu untuk ketenteraman
hati rakyat. Nah kakang Mantingan, sampai sekian saja pertemuan ini.”
Tak sepatah katapun yang dapat diucapkan
Mantingan. Betapa kagumnya ia terhadap Mahesa Jenar yang telah menemukan
garis tujuan bagi hidupnya. Meskipun ia sendiri juga selalu berusaha
untuk melakukan hal-hal yang serupa, yaitu membasmi kejahatan, tetapi
apa yang dilakukannya itu adalah diluar kesadaran bagi sesuatu tujuan
yang besar. Karena itu apa yang dilakukannya adalah suatu perbuatan
sepotong-sepotong tanpa suatu garis penghubung dari yang satu dengan
yang lain.
Kemudian terdengar kembali Mahesa Jenar berkata, “Kakang
Mantingan, sampai di sini kita berpisah. Mudah-mudahan kita dapat
bertemu lagi. Kalau Kakang Mantingan tidak berkeberatan, di akhir tahun
ini, dua hari sebelum purnama penuh, kita bertemu di sekitar Banyu Biru
dan Rawa Pening. Bukankah pada saat itu akan terjadi sesuatu yang
penting?”
Seperti diperingatkan akan kelalaiannya, Mantingan menjawab, “Baiklah Adimas. Baiklah
kita menyaksikan pertemuan para tokoh-tokoh sakti dari aliran hitam
itu. Sementara itu masih ada waktu bagiku untuk sedikit menambah
pengetahuanku yang sangat picik ini. Sesudah itu aku juga akan segera
kembali ke Wanakerta. Mudah-mudahan aku diizinkan oleh guruku, Ki Ageng
Supit.”
“AKU kira Ki Ageng Supit tidak akan
keberatan, selama apa yang kita lakukan tidak bertentangan dengan garis
kebijaksanaan negara. Nah, Kakang Mantingan, selamat tinggal. Salamku
buat Ki Asem Gede dan Demang Penanggalan.”
Dengan perasaan yang sangat berat
Mantingan melepas Mahesa Jenar pergi. Sebenarnya Mahesa Jenar pun merasa
betapa beratnya meninggalkan daerah ini, meskipun ia mengalami banyak
hal yang tak menyenangkan. Tetapi justru karena itu ia akan tetap
terkenang pada sahabat-sahabatnya, dimana ia sendiri sedang mengalami
kesulitan.
———-oOo———-
V
Kini kembali Mahesa Jenar dengan
pengembaraannya. Mula-mula ia berjalan menyusur jalan yang dilaluinya
ketika ia mengikuti Ki Asem Gede. Tetapi ia tidak mau terus sampai ke
Prambanan. Karena itu, ketika jalan ini akan memasuki belukar, ia
mengambil jurusan lain. Ia memilih jalan yang membelok ke barat,
menyeberangi Sungai Opak. Meskipun ia sama sekali belum mengenal daerah
yang dilaluinya, tetapi sedikit banyak ia mengenal ilmu perbintangan
yang diharapkan dapat menuntunnya ke arah yang dikehendaki.
Demikianlah Mahesa Jenar sebagai seorang
perantau berjalan dari desa ke desa, dari kademangan yang satu ke
kademangan yang lain. Dilewatinya desa-desa Semboyan, Kalimati, Temu
Agal, terus ke selatan, lewat daerah Si Lempu dan Cupu Watu. Terus
kembali membelok ke barat tanpa berhenti.
Maka pada saat fajar menyingsing
sampailah Mahesa Jenar ke depan mulut hutan yang lebat, yang terkenal
dengan nama Alas Tambak Baya.
Sampai daerah ini Mahesa Jenar berhenti
sejenak. Dipandanginya hutan lebat yang terbentang di hadapannya.
Meskipun hutan itu tidak begitu besar, tetapi sangat berbahaya. Di
dalamnya bersarang banyak jenis binatang berbisa. Karena itu jarang
orang yang lewat. Sebab kecuali binatang-binatang berbisa yang dengan
sekali sengat dapat membunuh seseorang, juga di dalam hutan itu banyak
bersarang penyamun-penyamun dan perampok-perampok.
Hanya rombongan yang agak besar dengan
kawalan yang kuat sajalah yang berani menyeberangi hutan ini. Kebanyakan
mereka adalah pedagang-pedagang dari pesisir utara yang membawa
barang-barang untuk dipertukarkan dengan hasil-hasil hutan. Tetapi
meskipun rombongan-rombongan itu telah menyewa beberapa orang pengawal
yang dianggapnya kuat, namun tidak jarang diantara mereka yang tak
berhasil keluar lagi dari hutan ini.
Pada saat nama Lawa Ijo sedang cemerlang
beberapa saat yang lalu, daerah ini pun merupakan daerah pengaruhnya.
Tetapi tiba-tiba ia seakan-akan menarik diri dan melepaskan semua
hak-haknya atas beberapa daerah. Ternyata apa yang dilakukan oleh Lawa
Ijo adalah memusatkan perhatian dan waktunya untuk memperebutkan dan
menemukan pusaka-pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten, di samping
persiapan-persiapan untuk menghadapi pertemuan puncak dari tokoh-tokoh
sakti aliran hitam.
Karena itu timbullah kesan seakan-akan
kekosongan pemerintahan di wilayah pengaruh Lawa Ijo. Penjahat-penjahat
kecil yang semula harus tunduk pada setiap peraturan yang dibuat oleh
Lawa Ijo, sekarang merasa bebas dan dapat berbuat sekehendak hati
mereka. Tidak jarang terjadi bentrokan-bentrokan dan
pertempuran-pertempuran antara satu golongan dengan golongan yang lain,
untuk memperebutkan rezeki.
Demikianlah kira-kira isi hutan lebat
yang bernama Tambak Baya, yang sebenarnya hanya merupakan anak dari
induk hutan yang lebih besar dan dahsyat, yaitu Alas Mentaok.
Tetapi, meskipun seakan-akan Lawa Ijo
telah menghentikan sebagian besar dari kegiatannya, namun tak segolongan
pun dari para penjahat kecil yang berani melakukan pekerjaannya di
hutan induk yang lebat ketat itu. Sebab bagaimanapun, mereka masih
menghormati pusat kebesaran kerajaan Lawa Ijo.
Sementara itu Mahesa Jenar masih tegak
memandang kehijauan hutan di hadapannya, yang berkilat-kilat terkena
cahaya matahari, karena pantulan embun pagi yang sedang mulai menguap.
Dalam keheningan udara pagi, hutan itu tampaknya seakan-akan tubuh
raksasa yang sedang terbujur lelap. Mengerikan.
Untuk menyeberangi hutan itu Mahesa Jenar
memerlukan waktu beberapa hari, sampai dijumpainya pedesaan kecil di
daerah Pliridan. Sesudah itu ia akan sampai ke bagian hutan yang bernama
Beringan dan di bagian selatan yang penuh dengan rawa-rawa, bernama
Pecetokan. Untuk melampaui kedua daerah ini pun diperlukannya waktu
beberapa hari pula. Kalau ia ingin menemui padukuhan, ia harus menyusup
ke selatan, ke daerah Nglipura dan Mangir.
Mengingat itu semua, Mahesa Jenar merasa
perlu untuk mendapat bekal makanan secukupnya. Maka sebelum memasuki
hutan itu diperlukannya untuk singgah di pedukuhan yang terdekat untuk
membeli bahan makanan sekadarnya. Disamping itu ia mengharap pula bahwa
di dalam hutan itu pun akan tersedia bahan makanan, terutama daging.
Di sebuah gardu di tepi sebuah desa,
dilihatnya banyak orang sedang berjualan. Rupanya gardu itu merupakan
tempat berkumpul bagi mereka yang akan menyeberangi hutan. Mereka
menunggu sampai jumlah yang cukup, kemudian bersama-sama mengupah
beberapa orang yang kuat untuk mengawal mereka sampai ke Nglipura,
Mangir atau daerah Begelen di seberang hutan Mentaok setelah melintasi
pegunungan Manoreh.
Lalu lintas ini mulai ramai kembali sejak
Lawa Ijo melepaskan beberapa daerah pengaruhnya. Sedangkan terhadap
perampokan-perampokan kecil, para pengawal bersama-sama para pedagang
dalam jumlah yang cukup besar, merasa mampu untuk menandingi
perampok-perampok itu.
Diantara mereka yang berkumpul di situ
terdapat beberapa orang saudagar, beberapa orang yang barangkali akan
mengunjungi sanak saudara di tempat yang jauh. Mereka semua menyandang
senjata. Ada yang membawa tombak, kapak, pedang yang berjuntai di
pinggang, keris, dan sebagainya.
Yang menarik perhatian Mahesa Jenar,
diantara mereka ada seorang gadis yang cantik. Menilik pakaiannya, ia
pasti termasuk salah seorang dari keluarga yang cukup. Tetapi melihat
wajahnya, tampaklah betapa suram dan sayu. Mungkin ada sesuatu masalah
yang memaksanya untuk melawat demikian jauhnya sehingga terpaksa harus
menyeberangi hutan Tambak Baya.
Selain gadis itu, Mahesa Jenar juga
tertarik kepada seorang muda yang berwajah tampan dan bersih. Umurnya
tak banyak terpaut dengan umurnya sendiri. Pemuda itu berpakaian rapi
seperti seorang pedagang kaya. Kainnya lurik berwarna cerah, sedangkan
bajunya agak gelap berkotak-kotak. Dari celah-celah bajunya tampaklah
timang emasnya berteretes intan. Serasi benar dengan kulitnya yang
kuning bersih. Namun agaknya ia terlalu berani dengan menonjolkan
kekayaannya melewati daerah yang berbahaya itu.
Kedatangan Mahesa Jenar diantara mereka
sama sekali tidak menarik perhatian. Baik bagi mereka yang akan
mengadakan perjalanan maupun para pengawal yang tampaknya telah siap.
Sebab, keadaan Mahesa Jenar dengan pakaiannya yang kusut serta janggut
dan kumisnya yang serba tak teratur itu, tampak seperti seorang perantau
yang biasanya memang mencari kesempatan untuk dapat berbareng dengan
rombongan-rombongan yang demikian. Para pengawal sudah sering melihat
hal yang serupa. Dan dari para perantau semacam ini sama sekali tak
dapat diharap untuk menambah upah mereka. Tetapi karena biasanya para
perantau itu tidak pernah mengganggu, maka para pengawal pun tak pernah
merasa keberatan, malahan hampir tak peduli. Bahkan dari para perantau
ini dapat pula diambil keuntungannya, dengan menambah jumlah orang dalam
rombongan itu, yang juga berarti menambah satu tenaga apabila sesuatu
terjadi.
Mula-mula Mahesa Jenar sama sekali tak
menaruh perhatian atas rombongan itu, sebab ia tidak mempunyai
kepentingan apa-apa. Tetapi karena diantara orang-orang itu agaknya ada
yang menarik perhatiannya, maka ia pun mencoba untuk mendekati mereka
dengan berpura-pura membeli beberapa macam makanan.
Semakin dekat semakin jelaslah kedukaan
yang menggores di wajah gadis cantik itu. Menurut dugaan Mahesa Jenar,
gadis itu umurnya berkisar diantara 20 tahun. Menilik sikap, kata-kata
dan beberapa gerak-geriknya, gadis itu adalah gadis yang manja. Tetapi
karena itu pulalah maka Mahesa Jenar menjadi bertambah heran. Mengapa
gadis manja ini menempuh perjalanan yang berbahaya? Pada saat itu Mahesa
Jenar masih belum tahu, apakah gadis itu mempunyai kawan seperjalanan
diantara rombongan itu.
Sedangkan pemuda tampan itu pun semakin
menarik perhatiannya pula. Meskipun pemuda itu berwajah tampan dan
bersih serta bersikap sopan, tetapi ketika Mahesa Jenar sempat memandang
matanya, ia menjadi curiga. Mata yang redup dan selalu bergerak-gerak
bukanlah mata orang baik-baik. Bibirnya yang tipis dan selalu
menyungging senyum yang aneh itu pun telah menyatakan bahwa ia mempunyai
sifat yang tidak berterus terang dan meremehkan orang lain.
Karena itulah maka Mahesa Jenar kemudian
membatalkan niatnya untuk mendahului rombongan itu. Ia merasa tertarik
untuk mengikuti iring-iringan itu. Ketajaman perasaannya mengatakan
bahwa ada hal yang tidak wajar pada pemuda tampan itu.
Ternyata Mahesa Jenar tidak perlu
menunggu lama, sebab sebentar kemudian terdengarlah aba-aba dari
pimpinan pengawal yang sudah setengah umur untuk menyiapkan
kawan-kawannya yang terdiri dari kira-kira 10 orang, untuk segera
berangkat, mumpung hari masih pagi.
Semakin curigalah Mahesa Jenar terhadap
pemuda itu, karena kemudian tampak sikapnya yang semakin sopan
berlebih-lebihan. Dengan sangat cekatan ia membantu kawan-kawan dalam
rombongan itu, terutama gadis cantik yang juga menarik perhatian Mahesa
Jenar itu.
Sebentar kemudian siaplah semuanya.
Beberapa orang pengawal membawa beban masing-masing, disamping senjata
mereka. Dan hampir setiap orang dalam rombongan itu membawa bungkusan
besar dan kecil. Tetapi tidak demikianlah pemuda itu. Kecuali pakaian
yang melekat di tubuhnya, tak sehelai benang pun dibawanya. Namun di
tangannya tergenggam sebatang tongkat yang agak panjang, berwarna hitam
mengkilap.
Kembali terdengar pemimpin rombongan itu
memberikan aba-aba. Sesaat kemudian mulailah iring-iringan itu bergerak.
Jumlah orang yang ikut serta dalam rombongan itu, kecuali para
pengawal, kira-kira berjulmah 25 orang. Diantaranya hanya terdapat tiga
orang wanita. Dua diantaranya berjalan dengan suami masing-masing.
Sedangkan gadis cantik yang menarik perhatian Mahesa Jenar, ternyata
hanya seorang diri.
Mahesa Jenar segera mengikuti rombongan
itu. Dan dengan tidak diduganya sama sekali, seorang wanita yang
berjalan dengan suaminya, memanggilnya. Mahesa Jenar ragu-ragu sebentar.
Tetapi agar tidak mencurigakan, ia mendatangi wanita itu.
“Bapak, sukakah Bapak membawa beberapa bebanku ini? Nanti aku akan memberi sekadar upah,” kata wanita itu kepada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar bimbang sebentar. Hatinya menjadi geli.
“Atau barangkali kau mau menentukan berapa besarnya upah yang kau minta?” sambung suaminya.
Cepat-cepat Mahesa Jenar membungkuk hormat. Lalu jawabnya, “Akh,
terserahlah kepada Tuan. Berapa pun besarnya upah yang akan Tuan
berikan, pasti akan sangat menyenangkan. Dengan demikian aku akan dapat
membeli sekadar oleh-oleh buat anak-anakku.”
Suami-istri itu mengangguk-angguk. Lalu diserahkannya beberapa bebannya kepada Mahesa Jenar.
Hal ini sebenarnya menguntungkan Mahesa
Jenar, sebab dengan demikian ia dapat mendekati rombongan itu tanpa
suatu kecurigaan. Tetapi ia terpaksa mendongkol juga. Sebenarnya ia
lebih senang jalan berlenggang daripada membawa beban yang cukup berat
itu. Meskipun sebenarnya Mahesa Jenar bertubuh kuat, namun ia pun harus
ber-pura-pura merasa berat pula.
Setelah beberapa saat mereka mengikuti
jalan setapak di tengah-tengah rimba liar itu, mulailah perjalanan
mereka agak sulit. Beberapa kali pemimpin rombongan itu memperingatkan
supaya mereka berhati-hati terhadap segala jenis serangga, lebih-lebih
ular. Rupanya pemimpin rombongan itu sudah amat berpengalaman menempuh
perjalanan demikian. Karena itu tampaklah betapa bijaksana ia membawa
orang-orang yang di bawah tanggung jawabnya itu. Apabila jalan amat
sulit, tidak segan-segan ia menolong, bahkan menggendong para wanita
dalam rombongan itu. Meskipun pemimpin rombongan itu rambutnya telah
berwarna dua, tapi ia masih tampak sehat, tangkas dan kuat.
Demikianlah rombongan itu berjalan sangat pelan, sehingga kemajuan yang dicapainya amat lambat pula.
Pada hari itu, perjalanan tak menemui
gangguan apapun. Ketika matahari hampir terbenam, segera pemimpin
rombongan memerintahkan tiga orang pengawal berpencar untuk mendapatkan
tempat berkemah yang aman. Sebentar kemudian tempat itu pun telah
diketemukan, dan mulailah rombongan itu mengatur tempat peristirahatan
buat malam harinya. Dengan senjata masing-masing mereka membersihkan
rumput-rumput liar dan akar-akar pohon-pohon besar untuk kemudian
dibentangkan tikar.
Sebenarnya Mahesa Jenar sangat merasa
tidak sabar berjalan bersama dengan rombongan ini. Kalau ia berjalan
sendiri, mungkin jarak yang ditempuhnya adalah 2 atau 3 kali lipat.
Tetapi sekarang, setelah ia terikat dengan rombongan itu, maka ia tidak
dapat berbuat lain daripada mengikuti dengan menahan diri.
Ketika malam telah gelap, para pengawal
segera menyalakan api. Sebentar kemudian lidah api itu pun telah
menjilat-jilat ke udara. Panas yang dipancarkan terasa nyaman sekali
pada malam yang dingin itu. Dan sebentar kemudian, karena kelelahan,
beberapa orang telah jatuh tertidur.
Tetapi Mahesa Jenar sama sekali tak
tertarik untuk tidur. Meskipun ia juga merasakan lelah. Oleh pemilik
barang yang dibawanya, Mahesa Jenar mendapat pinjaman sehelai tikar. Dan
di atas tikar itu ia merebahkan dirinya.
Malam semakin lama menjadi semakin dalam.
Binatang-binatang hutan mulai keluar dari sarangnya. Suaranya terdengar
bersahut-sahutan. Ada yang aneh kedengarannya, tetapi ada pula yang
mengerikan, seperti teriakan bayi yang kehausan air susu ibunya.
Dalam keremangan cahaya api, mata Mahesa
Jenar yang tajam melihat betapa gadis cantik itu menjadi ketakutan.
Sebentar-sebentar ia duduk, sebentar berbaring. Tetapi sebentar kemudian
ia membenamkan kepalanya diantara bungkusan-bungkusan kecil yang
dibawanya. Sebab tidak ada seorang pun di dalam rombongan itu yang dapat
dimintai perlindungan seperti kedua wanita yang lain, kecuali
bulat-bulat ia menggantungkan dirinya kepada para pengawal.
Tetapi yang terlebih menarik perhatian
adalah si pemuda tampan. Tampak sekali betapa gelisahnya. Ia sama sekali
tak membawa apapun, kecuali tongkatnya. Karena itu ia sama sekali tak
berbaring.
Sebentar ia duduk, sebentar kemudian
berdiri dan berjalan mondar-mandir. Baru setelah lewat tengah malam,
tampaknya ia agak tenang. Ia duduk di atas sebuah batu dan bersandar
pada sebatang kayu. Tidak lama kemudian tampaklah pernafasannya berjalan
perlahan dan teratur. Rupanya ia tertidur.
Melihat pemuda yang aneh itu tertidur,
Mahesa Jenar pun menjadi agak tenang. Dan tidak atas kehendaknya
sendiri, Mahesa Jenar pun tertidur pulas.
Malam kemudian menjadi bertambah kelam.
Setitik demi setitik embun mulai menggantung di dedaunan. Suara binatang
hutan sudah mulai berkurang. Hanya kadang-kadang saja masih terdengar
aum harimau yang kemudian disusul jerit ngeri beberapa ekor anjing
hutan.
Tetapi dalam keadaan bagaimanapun, para
pengawal itu tetap pada tugasnya. Mereka bergiliran tidur. Tiap-tiap
kali tiga orang yang tetap bangun dan dengan penuh tanggung jawab
melakukan tugasnya. Selain itu pemimpin rombongan itu pun kadang-kadang
bangun menemani mereka yang kebetulan sedang mendapat giliran. Sedangkan
mereka yang telah merasa mengupah orang untuk menjaga dirinya, merasa
bahwa keadaan mereka telah aman. Karena itu mereka tidak lagi merasa
perlu untuk tetap bangun semalam suntuk.
Ketika malam sudah menjadi semakin jauh,
telinga Mahesa Jenar yang tajam sekali itu, mendengar suatu suara yang
aneh. Meskipun pada saat itu ia sedang tertidur, tetapi suara itu dapat
didengarnya, bahkan telah menyadarkannya.
Perlahan-lahan ia membuka matanya
sedikit. Dan apa yang dilihatnya dari celah-celah kelopak matanya adalah
sangat mengejutkan sekali. Tetapi meskipun demikian ia tidak segera
bertindak.
Dilihatnya pada waktu itu, tiga orang
yang bergiliran jaga dan duduk di dekat perapian, telah menggeletak tak
bergerak. Sedangkan disampingnya berjongkok si pemuda tampan.
“Alangkah hebatnya pemuda ini,”
pikir Mahesa Jenar. Ia dapat merobohkan ketiga-tiganya tanpa banyak
ribut-ribut. Untunglah bahwa telinganya telah terlatih baik untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Melihat hal yang demikian, Mahesa Jenar
menjadi semakin waspada. Apalagi ketika pemuda tampan itu kemudian
berdiri dan memandang berkeliling. Dan apa yang diduganya adalah benar.
Perlahan-lahan pemuda itu berjalan
berjingkat ke arah gadis cantik yang sedang tidur dengan nyenyaknya.
Maka tahulah Mahesa Jenar bahwa pemuda tampan itu akan melarikan gadis
yang sedang lelap itu.
Melihat hal yang sedemikian, ia tidak
dapat tinggal diam. Meskipun ia sendiri tidak akan bertindak langsung,
tetapi seharusnyalah bahwa ia berusaha untuk mencegahnya.
Perlahan-lahan dan hati-hati sekali
tangannya meraba-raba mencari sebuah kerikil kecil. Ketika sudah
didapatnya, maka dengan hati-hati pula kerikil itu dijentikkan ke arah
kaki pemimpin pengawal yang sedang tidur pula.
Rupa-rupanya pengawal itu mempunyai
perasaan yang tajam pula. Ketika ia merasa tubuhnya tersentuh kerikil
yang dilemparkan Mahesa Jenar, ia pun segera terbangun. Maka apa yang
pertama-tama dilihatnya adalah ketiga orangnya yang sedang bertugas
telah menggeletak. Sesudah itu lalu dilihatnya si pemuda tampan berjalan
hati-hati ke arah gadis yang sedang tidur lelap.

“Hebat…” pikir Mahesa Jenar. Pemuda ini cekatan luar biasa. Siapakah ia sebenarnya?
Ketika pemimpin pengawal itu merasa bahwa
pukulannya dapat dielakkan dengan mudah, ia menjadi semakin marah.
Dengan geramnya ia melompat maju sekaligus tangannya menyambar leher.
Tetapi kembali serangannya itu gagal. Dengan mencondongkan tubuhnya,
pemuda tampan itu dapat menghindarkan diri, bahkan sekaligus kakinya
mengait kaki lawannya. Untunglah bahwa orang tua itu masih lincah juga,
sehingga dengan satu loncatan ia dapat melepaskan diri.
Melihat cara orang itu menghindari serangannya, si pemuda tampan menjadi tertawa kecil, katanya, “Bagus… Pak, kau masih juga pandai bermain bajing loncat”.
Sementara itu, para pengawal yang lain,
serta orang-orang yang sedang tidur nyenyak itu pun terbangun mendengar
keributan-keributan itu. Beberapa orang menjadi gugup dan
bertanya-tanya. Tetapi para pengawal yang lain, yang melihat pemimpinnya
bertempur, segera ikut serta melibatkan diri tanpa banyak berpikir.
Maka, sejenak kemudian terjadilah suatu
pertempuran yang sengit. Pemuda itu seorang diri harus bertempur melawan
tujuh orang. Tetapi ternyata pemuda itu benar-benar tangguh luar biasa.
Melawan tujuh orang yang telah berani menyatakan dirinya menjadi
pengawal perjalanan di daerah yang berbahaya, sama sekali ia tidak
tampak mengalami kesulitan. Dengan tangkasnya ia berloncatan ke sana
kemari diantara pepohonan hutan. Tongkat hitamnya berputar-putar
melindungi tubuhnya. Meskipun para pengawal itu mempergunakan
bermacam-macam senjata, ada yang memakai pedang, ada yang mempergunakan
tombak, gada besi dan sebagainya, tetapi semuanya itu tampaknya tidak
banyak berguna.
Beberapa orang lain pun kemudian dapat
menerka apa yang akan dilakukan oleh pemuda itu. Karena dalam keadaan
demikian, mereka merasa senasib, maka merekapun menjadi marah.
Beberapa orang kemudian segera bangkit dan menyatakan kesetiakawanan mereka, untuk menangkap pemuda tampan itu.
Tetapi adalah aneh sekali. Pemuda itu
tampaknya licin seperti belut. Geraknya cepat dan lincah sekali, bahkan
mirip dengan gerak seekor ular yang melilit-lilit diantara pepohonan,
tetapi sejenak kemudian menjulur melakukan serangan yang berbahaya.
Malahan setelah mereka bertempur beberapa lama, tampaklah bahwa pemuda
itu tetap menguasai keadaan. Bahkan beberapa saat kemudian ia masih
sempat tertawa-tawa dan berteriak nyaring. “Jangan kalian turut campur. Aku inginkan gadis itu.”
“Jahanam,” bentak kepala pengawal, “aku
telah menyanggupkan diri melindungi semua yang menjadi tanggung
jawabku. Bagaimanapun hebatnya kau, aku akan tetap melawan sampai
kemungkinan terakhir.”
Kembali pemuda itu tertawa, katanya, “Aku akan menghitung sampai bilangan 10. Siapa yang tidak mau minggir, bukan salahku kalau ia binasa.”
Mendengar ancaman itu beberapa orang merasa ngeri juga sehingga bulu roma mereka berdiri.
“Satu … dua … tiga …..” Pemuda itu mulai menghitung bilangan.
Sampai bilangan ini, telah banyak
diantara mereka yang meloncat keluar dari gelanggang. Bagaimanapun
perasaan kesetiakawanan mereka namun karena mereka tidak langsung
berkepentingan, maka mereka merasa lebih baik minggir daripada turut
menjadi korban. Karena itu, setelah bertempur beberapa lama, terasalah
bahwa pemuda itu adalah pemuda yang perkasa.
Sampai bilangan ketujuh, tak ada lagi
seorang pun yang berani membantu ketujuh pengawal yang sedang bertempur
mati-matian itu. Sehingga pertempuran itu semakin nampak berat sebelah.
Tetapi dalam pada itu Mahesa Jenar merasa kagum dan hormat kepada
ketujuh pengawal itu, yang tidak lagi menghiraukan keselamatan diri
mereka dalam melakukan kewajiban.
Sejenak kemudian Mahesa Jenar merasa tak
sampai hati melihat keadaan yang demikian, maka segera ia melompat dan
masuk ke dalam arena pertempuran. Tetapi sampai sedemikian jauh ia sama
sekali tidak merasa perlu memperlihatkan kepandaiannya. Ia berkelahi
dengan cara yang nampaknya sama sekali tak teratur dan sekaligus untuk
mengetahui sampai dimana keperkasaan lawannya.
Pemuda tampan itu, ketika melihat Mahesa
Jenar masuk ke dalam kancah perkelahian, terpaksa menghentikan
hitungannya dan berkata kepada Mahesa Jenar, “Hai orang tolol, kau jangan bermain-main di situ. Menyingkirlah.”
Mahesa Jenar pura-pura tak mendengar
seruan itu. Dengan gerak yang bodoh ia menyerang terus bersama-sama
ketujuh orang pengawal itu. Beberapa saat kemudian, kembali pemuda itu
mengulangi seruannya, tetapi juga kali ini Mahesa Jenar tidak
mempedulikannya. Ia berkelahi dengan gerak sekenanya saja. Bahkan ia
menyerang pemuda itu dengan segenggam tanah yang dilemparkan ke mukanya,
karena ia memang tidak bersenjata.
Akhirnya pemuda itu menjadi gusar, teriaknya, “Bagus,
kalau kau tak mau berhenti, aku akan melanjutkan hitunganku, lalu
sesudah itu kalian akan mampus semua. Dan gadis itu akan aku bawa pulang
tanpa seorang pun dapat menghalangi”.
Mendengar teriakan pemuda tampan itu,
gadis cantik yang menjadi sasarannya menjerit ngeri, tetapi suaranya
hilang ditelan oleh kelebatan rimba.
Akhirnya, si pemuda sampai juga pada
hitungan yang ke 10. Sesudah itu ternyata ia benar-benar akan melakukan
apa yang dikatakan. Secepat kilat ia maju menggempur lawannya.
Tongkatnya berputaran cepat bukan main, seolah-olah berubah menjadi
segulung awan hitam yang menakutkan.
Mahesa Jenar melihat gelagat ini, tetapi ia masih saja bertempur tanpa aturan.
Pertempuran itu segera berubah menjadi
semakin cepat dan dahsyat. Tongkat hitam itu melayang menyambar-nyambar
tak henti-hentinya. Tetapi sampai sekian lama tak seorangpun yang dapat
dikenainya. Si pemuda sendiri kemudian menjadi heran, kenapa tongkatnya
tak menyelesaikan pertempuran sebelum fajar. Menilik kepandaian ketujuh
orang yang mengeroyoknya, ia sudah dapat memastikan bahwa sedikitnya
empat diantaranya harus sudah binasa, apalagi si perantau tolol itu.
Tetapi, karena sampai sedemikian jauh ia
masih belum mampu menjatuhkan seorang pun, Mahesa Jenar, yang dalam mata
si pemuda merupakan orang tolol yang berani, sangat mengganggu
perkelahian itu. Sekali waktu ketika tongkatnya melayang ke arah tengkuk
salah seorang lawannya, tiba-tiba perantau tolol itu melemparkan pasir
ke arah mukanya, sehingga ia terpaksa memejamkan matanya. Dengan
demikian maka calon korbannya itu sempat menghindarkan diri. Pada saat
lain, ketika hampir saja tongkatnya berhasil menyodok leher, si pemuda
tolol itu kakinya terantuk batu, sehingga jatuh tertelungkup menimpa
lawan yang hampir binasa itu. Dengan demikian mereka jatuh bergulingan.
Dan juga kali ini tongkatnya tak menemukan sasaran.
Si pemuda akhirnya marah kepada Mahesa Jenar, geramnya, “Hai
orang tolol. Jangan berbuat gila di sini. Kalau kau tak mau lekas
minggir, kaupun akan kubinasakan. Bahkan kaulah yang pertama-tama akan
mengalami nasib jelek”.
Mendengar seruan itu, sadarlah Mahesa
Jenar bahwa pemuda itu sudah benar-benar marah. Maka tidak sepantasnya
lagi kalau ia bermain-main saja. Maka segera ia pun mempersiapkan diri
untuk menyambut setiap serangan yang benar-benar akan dilancarkan
kepadanya.
———-oOo———-
VI
Tetapi, sementara itu, terjadilah suatu
hal yang sangat mengejutkan mereka semua. Tidak saja para pengawal dan
mereka yang melakukan perjalanan, tetapi juga pemuda itu dan Mahesa
Jenar.
Tiba-tiba dalam suasana keributan
pertempuran, di antara kesepian rimba itu, menggetarlah suara tertawa
nyaring yang semakin lama terdengar semakin mengerikan.
Segera, semua yang mendengar suara itu
mengenal, bahwa itulah suara maharaja yang kekuasaannya terbentang
meliputi seluruh hutan Mentaok dan bagian-bagiannya. Ia adalah yang
sangat ditakuti dengan namanya yang seram, Lawa Ijo.
Bahkan kali ini suara tertawa itu
sedemikian mengerikan, seperti memenuhi seluruh rimba dan mengepung
mereka dari segala penjuru. Demikian hebatnya pengaruh suara tertawa
itu, seperti mengguncang-guncang dada. Sehingga arahnya pun tak dapat
diketahui dari manakah sumber suara itu. Beberapa orang menjadi bingung
dan ketakutan, bahkan ada yang menjadi lemas dan hampir pingsan. Tidak
ketinggalan para pengawal pun segera nampak sangat cemas. Sebab
munculnya Lawa Ijo setelah beberapa lama lenyap itu, adalah sangat
tiba-tiba dan tak disangka-sangka.
Mahesa Jenar yang mempunyai telinga
sangat tajam, dengan saksama memperhatikan suara itu. Meskipun
perlahan-lahan, akhirnya dapat diketahui dari manakah asalnya.
Tetapi rupanya pemuda tampan itu pun
bukan orang biasa. Pendengarannya ternyata sangat tajam. Untuk
mengetahui arah suara itu, diangkatnya wajah. Meskipun tidak secepat
Mahesa Jenar, ia pun akhirnya dapat mengetahui sumber suara itu. Maka
segera ia pun bersiaga menghadap ke arah suara itu, sambil berteriak. “Hai
Lawa Ijo, kau jangan main gila di hadapanku. Ayo keluarlah dari
sarangmu. Apakah yang sebenarnya kau kehendaki dengan memperdengarkan
suara tertawamu yang memuakkan itu?”
Mendengar seruan pemuda itu, semua orang, termasuk Mahesa Jenar, menjadi bertanya-tanya dalam hati. “Siapakah dia, yang telah berani menantang Lawa Ijo ini?”
Sementara itu suara tertawa Lawa Ijo pun
semakin lama semakin surut, dan akhirnya mereka dikejutkan oleh sebuah
bayangan yang melayang turun dari dahan yang cukup tinggi. Tetapi yang
sama sekali tak diduga-duga, kecuali oleh Mahesa Jenar dan pemuda tampan
itu, ternyata Lawa Ijo bertengger di atas dahan yang hanya berjarak
tidak lebih dari 20 depa dengan mereka. Samar-samar oleh cahaya api yang
masih menyala, tampaklah bahwa Lawa Ijo pun sebenarnya masih muda.
Usianya tidak juga terpaut banyak dengan pemuda tampan itu maupun dengan
Mahesa Jenar. Tubuhnya kekar kuat, matanya hitam mengkilat memancarkan
sinar kekejaman dan kebengisan. Sedangkan di bawah hidungnya melekatlah
kumis yang lebat hitam melintang menyeramkan. Meskipun pada saat itu
Lawa Ijo tersenyum, tetapi senyumnya sama sekali tidak menambah manis
wajahnya, bahkan beberapa orang yang melihatnya menjadi gemetar
ketakutan, seakan-akan melihat senyuman malaikat pencabut nyawa yang
berhasil melakukan tugasnya dengan baik.
Perlahan-lahan, setapak demi setapak,
Lawa Ijo berjalan mendekati pemuda tampan itu. Di pinggangnya membelit
kain berwarna putih dengan lukisan hijau di atasnya. Pastilah itu gambar
yang menyeramkan. Kelelawar dengan kepala serigala. Sedangkan di tangan
kanannya tergenggam sebilah pisau belati panjang.
Ternyata pemuda tampan itu sama sekali
tidak gentar. Meskipun demikian ia tidak mau merendahkan Lawa Ijo.
Tangannya segera memutar tongkat hitamnya, dan tiba-tiba dari dalamnya
ia mencabut sebilah pedang kecil yang lentur.
Melihat hal itu Lawa Ijo tertawa, tetapi kali ini tertawanya pendek. Kataya, “Ular Laut gila, kau jangan main gagah-gagahan di daerah ini.”
Mendengar kata-kata Lawa Ijo, sekali lagi
Mahesa Jenar terkejut. Pikirnya,“Inilah agaknya yang disebut Samparan
dengan panggilan Ular Laut yang memiliki wajah tampan dan bernama Jaka
Soka. Karena itulah maka dengan enaknya ia dapat melawan tujuh orang,
bahkan lebih dari itu. Dan dengan beraninya pula ia menantang Lawa Ijo”.
Mendengar ucapan Lawa Ijo, Jaka Soka sama
sekali tidak menjadi takut. Malahan kembali bibirnya yang tipis itu
menyungging senyum aneh. Jawabnya, “Daerah inikah yang kau maksud?”.
“Jaka Soka,” sambung Lawa Ijo,
”kau jangan mencari perkara. Kau tahu bahwa seluruh hutan Mentaok dan
bagian-bagiannya serta segala isinya adalah daerah wewenangku”.
“Hem…,” Jaka Soka bergumam,
”telah berapa bulan atau berapa tahun kau merendam diri di sarangmu? Dan
tahu-tahu sekarang masih mengatakan daerah ini daerah wewenangmu. Lawa
Ijo, menurut pikiranku daerah ini sekarang merupakan daerah tak bertuan”.
“Kau jangan mengigau Soka. Aku belum
pernah melepaskan hak yang pernah aku miliki. Kalau beberapa waktu
terakhir aku tidak pernah berbuat sesuatu, itu bukannya aku tak lagi
berwenang di daerah ini. Hanya saja, dalam waktu-waktu itu aku tak
merasa perlu untuk berbuat apa-apa. Anggapanmu bahwa daerah ini daerah
tak bertuan itu sama sekali salah, selama aku masih bernafas. Nah
sekarang tinggalkan daerah ini”.
Jaka Soka sama sekali tak terpengaruh oleh kata-kata Lawa Ijo itu. Bahkan kemudian ia tertawa kecil. Jawabnya, “Lawa
Ijo, kau jangan berlagak seperti seorang yang paling berkuasa. Apa
dasarmu kau berani memerintah aku untuk meninggalkan daerah ini? Kau
masih belum menunjukkan bahwa kau memiliki sepasang pusaka Kiai
Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Juga belum pasti bahwa kau akan berhasil
memenangkan semua pertandingan yang akan kami selenggarakan akhir tahun
ini. Jadi pada saat ini kau dan aku masih belum mempunyai sangkut paut
apapun juga”.
Lawa Ijo menarik alisnya yang tebal itu tinggi-tinggi sambil mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Lalu bagaimana seharusnya?”
Jawab Jaka Soka, “Seharusnya kau tak
usah mengganggu aku. Tetapi kalau kau tetap tak menghendaki aku
melakukan perbuatan-perbuatan di daerah ini, seharusnya kau paksa aku
pergi”.
Kembali Lawa Ijo tertawa pendek. Katanya, “Kau
masih seperti masa-masa lampau. Setelah kau capai tingkatmu yang hampir
sempurna sekarang ini, seharusnya kau tak lagi banyak bernafsu untuk
berkelahi. Dan apakah artinya pertempuran diantara kita. Beberapa waktu
yang lampau kita pernah berkelahi sampai beberapa hari. Dan tidak
seorangpun dari kita yang kalah. Kalau pada saat ini kami
kembali bertempur, menurut pendapatku hasilnya akan sama saja. Karena
itu baiklah kita hormati persetujuan yang pernah kita buat mengenai
daerah kerja kita masing-masing”.
Jaka Soka menjadi berbimbang hati. Dahinya berkerut dan otaknya berputar cepat. Melihat Jaka Soka ragu, Lawa Ijo menambahkan, “Atau
kalau kau merasa tidak perlu lagi dengan persetujuan itu, baiklah
dihapus saja sama sekali. Aku tak keberatan kau melakukan kegiatan di
wilayah ini, tetapi kau jangan menyalahkan aku kalau aku akan melakukan
kegiatan di Nusa Kambangan dan di lautan. Sebab aku pun pernah menjadi
bajak laut pada usia 14 tahun.”
Dahi Jaka Soka semakin berkerut. Dan akhirnya pecahlah tertawanya. Katanya, “Memang, kau penjahat tak tanggung-tanggung Lawa Ijo. Baiklah kalau demikian aku mengalah, “Tetapi….” Jaka Soka berhenti berbicara, tetapi matanya merayap kepada gadis cantik yang duduk gemetar dan ketakutan.
Lawa Ijo pun mengerti maksud Jaka Soka. Sahutnya sambil tersenyum, “Soka, kemana kau pergi, selalu kau bawa pulang gadis-gadis. Apakah sarangmu masih belum penuh?”
Jaka Soka tertawa lirih, jawabnya, “Alangkah
bodohnya kau. Nusa Kambangan cukup luas untuk menampung semua gadis
dari pulau Jawa ini. Dan atas gadis ini kau tidak keberatan?”
Mendengar percakapan mereka, gadis itu
menjadi semakin ketakutan. Tubuhnya menggigil dan keringat dingin telah
membasahi tubuhnya. Sekarang di hadapan kedua penjahat terkenal itu,
rombongan yang berjumlah 10 orang dengan mereka yang telah tersadar dari
pingsannya pun tidak mungkin dapat menghalangi maksud Ular Laut yang
gila itu. Meskipun orang-orang lain juga merasa ketakutan dan ngeri,
tetapi sebesar-besarnya mereka hanya harus menyerahkan barang-barang
mereka. Tetapi gadis itu harus menyerahkan dirinya. Satu-satunya harapan
baginya adalah kalau Lawa Ijo tetap pada pendiriannya, melarang Jaka
Soka berbuat sesuatu di daerah ini. Sebab Lawa Ijo sendiri, menurut
berita yang tersiar, tak pernah menculik atau menghendaki seorang gadis.
Tetapi, alangkah kecewanya gadis itu,
bahkan hampir saja ia jatuh pingsan ketika didengarnya Lawa Ijo berkata
sambil tertawa pendek, “Jaka Soka, sebenarnya aku sama sekali tak
mengubah pendirianku. Tetapi sebagai seorang sahabat, baiklah aku
hadiahkan gadis itu kepadamu. Aku sama sekali tak berkepentingan
dengannya, sebab aku mempunyai kepentingan lain.”
Mendengar jawaban Lawa Ijo, Jaka Soka menjadi gembira sekali. Katanya,
“Lawa Ijo, memang hanya itulah yang sebenarnya aku kehendaki dari
rombongan ini. Hanya barangkali kau anggap aku bersalah, bahwa aku tidak
minta izinmu dahulu. Nah, sekarang kau telah mengizinkan”.
Sekali lagi Lawa Ijo tertawa. “Terserahlah kepadamu, Soka,” katanya.
Mendengar keputusan Lawa Ijo, gadis itu
semakin putus asa. Tak ada lagi harapan baginya untuk melepaskan diri
dari tangan penjahat itu.
Mahesa Jenar selalu memperhatikan
perkembangan keadaan dengan cermat. Ia dihadapkan pada satu persoalan
yang juga cukup rumit. Di sini, tanpa diduga-duga ia telah bertemu
dengan Lawa Ijo yang sengaja akan dicarinya. Tetapi di sini juga, ada
seorang yang dapat mengganggu pertemuan itu. Yaitu Jaka Soka yang
ternyata mempunyai kekuatan seimbang dengan Lawa Ijo. Kalau pada saat
itu Mahesa Jenar membuat perhitungan dengan Lawa Ijo, ia sendiri belum
tahu pasti siapakah yang akan menang. Apalagi kalau kemudian Jaka Soka
ikut campur, maka masalahnya akan merugikan. Menurut perhitungan Mahesa
Jenar, melawan dua orang adalah pekerjaan yang berat sekali, bahkan
mungkin diluar kuasanya.
Tetapi, diluar itu ia menghadapi soal
baru. Jaka Soka menghendaki untuk membawa gadis itu pulang ke Nusa
Kambangan. Apakah hal yang demikian dan berlangsung di bawah hidungnya
akan dibiarkan saja? Andaikan ia bertindak, dalam hal ini pun ada
kemungkinan ia terlibat dalam pertempuran melawan kedua orang itu.
Sebagai seorang prajurit pilihan, Mahesa Jenar sama sekali tidak
mengenal takut. Kalau ia sampai berpikir demikian, masalahnya adalah
atas dasar perhitungan cara dan bagaimana untuk mencapai maksudnya.
Selagi Mahesa Jenar sibuk berpikir, Jaka
Soka dengan matanya yang redup dan senyum aneh yang menghiasi bibirnya
yang tipis, telah mulai bergerak dan berjalan perlahan-lahan ke arah
gadis cantik itu. Sementara itu Lawa Ijo berteriak bergurau, “Jaka Soka,
sebenarnya aku iri hati melihat ketampanan wajahmu. Tetapi kau rupanya
adalah seorang tampan yang sial. Sebab gadis-gadis yang kau kehendaki
menjadi pingsan kegirangan, karena akan mendapat pasangan yang setampan
kau ini.”
Jaka Soka sama sekali tak mendengar
perkataan Lawa Ijo itu. Ia sedang kegirangan akan mendapat gadis yang
demikian cantiknya, melebihi semua gadis yang pernah dilihatnya.
Tetapi terjadilah suatu hal diluar
perhitungannya. Dalam keputus-asaan, gadis itu memutuskan untuk lebih
baik membunuh dirinya. Ia sama sekali tidak mau dinodai kehormatannya
oleh iblis-iblis yang demikian itu. Maka secepat kilat ia mengambil
keris dari dalam bungkusan yang dibawanya, dan segera ia menarik keris
itu dari warangkanya.
Jaka Soka sama sekali tidak mengira bahwa
hal yang demikian akan terjadi. Karena itu ia terkejut, sehingga
langkahnya terhenti. Ia masih belum tahu, maksud yang sebenarnya gadis
itu menarik keris. Karena itu ia harus berhati-hati. Tetapi tiba-tiba
saja ia melihat keris itu melayang menuju ke arah dada gadis itu
sendiri.
Jaka Soka tersadar. Karena itu harus
dicegahnya. Tetapi sayang jaraknya masih terlalu jauh. Sehingga
terloncatlah teriakan dari mulutnya yang berbibir tipis itu dengan noda
yang cemas. Cemas akan kehilangan gadis itu. “Jangan …. Jangan lakukan itu.”
Tetapi teriakannya itu menggetar tanpa
sesuatu pengaruh apapun atas gadis yang sudah bertekad untuk mati
daripada jatuh di tangan bajak laut yang berwajah tampan itu.
Tiba-tiba tampaklah sebuah bayangan
melontar dengan cepatnya menyambar pergelangan tangan gadis itu,
sehingga keris yang digenggamnya tidak sampai menembus dadanya. Gadis
itu terkejut bukan kepalang. Demikian juga semua yang menyaksikan.
Bahkan Jaka Soka dan Lawa Ijopun menjadi terkejut dan heran melihat
orang dapat bergerak demikian cepatnya.
Itulah Mahesa Jenar yang telah mencoba
untuk menyelamatkan jiwa gadis cantik itu. Dan sekaligus keris itupun
telah berpindah ketangannya pula. Tetapi belum lagi debar jantung mereka
berhenti, kembali mereka terkejut, terutama Mahesa Jenar sendiri, Jaka
Soka dan Lawa Ijo, ketika mereka melihat keris yang sekarang sudah
berada di tangannya.
“Kiai Sigar Penjalin,” desis mereka hampir bersamaan.
Itulah nama keris yang dipegang oleh
Mahesa Jenar. Keris yang berbentuk lurus. Satu sisinya melengkung hampir
setengah lingkaran, sedangkan sisi yang lain datar seperti kebiasaan
keris. Mirip seperti batang penjalin yang dibelah dua dan diruncingkan
ujungnya. Yang mengejutkan mereka adalah, keris itu terkenal sebagai
pusaka seorang sakti yang mempunyai nama sejajar dengan Pasingsingan.
Yaitu Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak Wanasaba. Demikian terkejutnya
Mahesa Jenar sampai tangannya yang memegang keris itu gemetar.
Maka setelah agak reda sedikit dan
nafasnya mulai teratur, Mahesa Jenar berdiri dengan teguhnya memandang
tajam kepada Jaka Soka. “Apakah yang kau kehendaki dari gadis ini?” tanya Mahesa Jenar.
Getar hati Jaka Soka sementara itu telah
turun. Tetapi sekarang otaknya dihinggapi oleh suatu pertanyaan.
Perantau tolol itu, kenapa tiba-tiba saja dapat berbuat sedemikian
cepatnya, sehingga jiwa gadis cantik itu tertolong. Selain itu, gadis
itu ternyata memiliki keris Kiai Sigar Penjalin. Apakah hubungannya
dengan Ki Ageng Pandan Alas?
Jaka Soka berpaling kepada Lawa Ijo untuk
mendapat pertimbangan. Ternyata Lawa Ijo pun pada saat itu sedang
berpikir keras. Ia memandang keris Sigar Penjalin yang berada di tangan
Mahesa Jenar itu tanpa berkedip. Baru setelah beberapa saat kemudian ia
berkata, “Jaka Soka, menurut pendapatku sebaiknya kita tidak membuka
suatu persoalan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Sebab dengan membawa keris
Sigar Penjalin, gadis itu mempunyai hubungan dengan Ki Ageng Pandan
Alas.”
Jaka Soka dalam hati kecilnya membenarkan
juga keterangan Lawa Ijo itu. Sebab ia pun tahu bahwa Ki Ageng Pandan
Alas termasuk orang yang aneh. Ia selalu berada di mana saja merantau
dari satu tempat ke tempat lain.
Namun demikian, ia sayang juga melepaskan
gadis cantik yang sudah sekian lama diikutinya. Sebab dalam
pengamatannya, belum pernah ia menemukan gadis secantik itu. Kalau kali
ini ia tak berhasil membawanya pulang, maka seumur hidupnya belum tentu
ia akan menjumpainya lagi.
Sebaliknya, gadis cantik itu sama sekali
tidak menduga bahwa keris yang dibawanya mempunyai pengaruh yang
sedemikian hebatnya. Ia sendiri belum pernah mendengar nama Ki Ageng
Pandan Alas dari Klurak. Keris yang dibawanya adalah keris peninggalan
ibunya pada saat ibunya menghembuskan nafas terakhir. Menurut ibunya,
keris itu adalah keris kakeknya, seorang petani miskin yang pada saat
itu sedang merantau mencari daerah baru yang lebih subur, yang
barangkali dapat dipakai sebagai tempat tinggal yang baru. Dan menurut
ibunya, kakeknya sekarang berada di desa Pliridan. Daerah antara hutan
Tambak Baya dan Beringan, bagian dari hutan Mentaok. Suatu daerah yang
baru dibuka oleh beberapa orang, yang nampaknya subur untuk daerah
pertanian.
“Lawa Ijo,” kata Jaka Soka kemudian setelah berpikir sejenak. “Memang
aku sebenarnya segan terhadap orang tua itu. Tetapi menurut pikiranmu
apakah ia mengetahui bahwa gadis itu aku bawa pulang ke Nusa Kambangan?”
“Soka,” jawab Lawa Ijo, “Pandan
Alas itu tidak ubahnya seperti hantu yang berada di mana saja, pada
saat apa saja. Ia seolah-olah memiliki seribu mata dan seribu telinga
yang bertebaran di seluruh tanah ini.”
“Tetapi ternyata sekarang ia tak ada di tempat ini,” potong Jaka Soka
“Kau jangan berkeras membawa gadis
itu, Soka. Meskipun seandainya Pandan Alas pada saat ini tidak melihat
dan mengetahui, tetapi perbuatan itu kau lakukan di hadapan saksi-saksi
yang pada suatu ketika pasti akan terdengar pula oleh hantu yang
bertelinga seribu itu. Kalau sudah demikian halnya, kau tidak akan dapat
lagi hidup tenteram dan berlindung di mana pun di dunia ini.”
Jaka Soka terdiam. Tampak alisnya
berkerut-kerut. Tiba-tiba terdengarlah ia menjawab dengan jawaban yang
sama sekali tidak terduga-duga. Semua yang mendengar menjadi terkejut,
seperti tanah tempat mereka berpijak itu runtuh. Katanya dengan suara
yang mantap, “Lawa Ijo, kau benar. Memang aku seharusnya tidak
berbuat itu di hadapan saksi-saksi. Karena itu maka akan aku bunuh semua
orang yang menyaksikan peristiwa ini, kecuali kau,”.
Baru mendengar kata-kata itu, dan belum
lagi Jaka Soka berbuat sesuatu, orang-orang yang mendengarnya
seolah-olah telah terbang nyawanya. Lawa Ijo yang matanya memancarkan
sinar kebuasan dan kebengisan itu pun terkejut mendengar keputusan Jaka
Soka untuk membunuh sekian banyak orang itu. Katanya memperingatkan, “Jaka Soka, sebaiknya kau pikir masak-masak apa yang akan kau lakukan itu. Apalagi hal itu terjadi di daerah kuasaku”.
“Lawa Ijo, kau tidak akan tersangkut
dalam perkara ini. Dan percayalah, bahwa apabila tak seorang pun yang
hidup diantara orang-orang ini, maka bagaimanapun tajamnya telinga
Pandan Alas, ia tak mungkin dapat mendengarnya”.
Tampaklah dahi Lawa Ijo berkerut.
Rupa-rupanya ia berpikir keras. Tetapi bagaimanapun, ia tetap tidak
dapat mengerti jalan pikiran Jaka Soka. Mengorbankan sekian banyak orang
hanya untuk mendapatkan seorang gadis. Seandainya taruhan itu untuk
memperebutkan sebuah pusaka atau harta benda yang tak ternilai, agaknya
Lawa Ijo masih dapat mengertinya.
Mereka yang mendengarkan percakapan itu,
hatinya diliputi oleh suasana ketegangan yang hebat. Mereka mengharap
Lawa Ijo tetap pada pendiriannya, tak mengizinkan Jaka Soka berbuat
demikian kejamnya hanya untuk memanjakan nafsunya. Mereka rela andaikata
kemudian Lawa Ijo merampas segala harta benda mereka, asal nyawa mereka
diselamatkan. Bahkan ada diantaranya yang mulai menyesali gadis cantik
itu di dalam hatinya. Sebab, karena gadis itulah maka nyawa mereka
terancam untuk dikorbankan.
Sampai beberapa saat Lawa Ijo tidak
berkata-kata. Ia menjadi bimbang. Sebenarnya lebih baik baginya untuk
tidak menambah lawan. Apalagi seorang sakti seperti Ki Ageng Pandan
Alas. Tetapi untuk menolak permintaan Jaka Soka pun akan mempunyai
akibat yang tak menyenangkan. Sebab ia tahu betul tabiat kawannya ini.
Semua kehendaknya harus dapat terlaksana. Apalagi kalau ia sedang
tergila-gila kepada seorang gadis. Bagaimanapun kejamnya Lawa Ijo, namun
tak akan terlintas dalam pikirannya untuk berbuat demikian, hanya untuk
seorang gadis. Sebab ia sama sekali memang tidak pernah tertarik kepada
gadis seperti itu. Baginya, gadis-gadis demikian hanyalah akan
mempersulit diri saja.
“Lawa Ijo,” sambung Jaka Soka ketika Lawa Ijo lama tak menjawab,
”seharusnya kau tak usah takut kepada Pandan Alas. Sebab Paman
Pasingsingan tentu tidak akan tinggal diam andaikata Pandan Alas salah
duga terhadapmu mengenai masalah ini”.
Mendengar desakan terakhir ini, Lawa Ijo
tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi bagi mereka yang
menyaksikan, anggukan kepala Lawa Ijo itu bagaikan melihat jatuhnya palu
keputusan hukuman mati bagi mereka semua.
Maka terjadilah kegemparan di antara
mereka. Beberapa orang telah menangis merintih-rintih minta diampuni dan
diselamatkan jiwanya. Mereka bersumpah untuk tidak membuka mulut
tentang peristiwa ini kepada siapa pun. Beberapa orang lagi jatuh
pingsan, dan yang lain menggigil ketakutan.
Dalam keadaan yang demikian, terasalah
kesetiakawanan mereka hancur lumat demi keselamatan masing-masing.
Bahkan ada diantara mereka yang sampai hati terang-terangan mengumpati
gadis yang sama sekali tak bersalah itu.
Di dalam keributan itu, tiba-tiba gadis
cantik itu berdiri tegak. Kepalanya terangkat dan dadanya menengadah.
Lenyaplah kesan-kesan ketakutan dan kecemasan yang membayang di
wajahnya. Dari mulutnya yang mungil itu terdengarlah suaranya yang
gemetar. “Saudara-saudara seperjalanan… aku minta maaf kalau
kehadiranku diantara saudara-saudara menyebabkan saudara-saudara menemui
kesulitan. Tetapi ketahuilah bahwa orang ini tidak akan berguna
membunuh saudara-saudara sekalian, sebab aku telah memutuskan untuk
bunuh diri.” Kemudian gadis itu berpaling kepada Mahesa Jenar, katanya, “Ki
Sanak, aku berterima kasih kepadamu, atas usahamu menyelamatkan jiwaku.
Tetapi adalah lebih berharga jiwa dari sekian banyak orang termasuk ki
sanak sendiri, daripada aku seorang. Karena itu berikanlah keris itu
kembali kepadaku.”
Sudah tentu Mahesa Jenar tidak dapat
berpangku tangan menyaksikan semua itu terjadi. Ia telah berjanji kepada
dirinya sendiri, mengabdikan diri bagi kedamaian hati rakyat dan
kemanusiaan. Sebab dengan demikian ia telah mengabdikan dirinya pula
kepada tanah tumpah darah dan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia menjadi
terharu mendengar ucapan gadis yang menyediakan diri sebagai tumbal
keselamatan sekian banyak orang. Tetapi belum lagi ia sempat menjawab,
terdengar suara Jaka Soka memerintah, “Perantau tolol. Jangan kau serahkan kepadanya, supaya aku selamatkan jiwamu. Berikan saja keris itu kepadaku.”
Tetapi Mahesa Jenar sudah mendapat suatu
ketetapan. Apalagi ketika ia mendengar bahwa Jaka Soka akan membunuh
semua orang yang ada, hanya untuk merampas seorang gadis. Sedangkan
gadis itu sendiri sama sekali tidak menghendakinya.
Karena itu, dengan sikap seekor banteng,
Mahesa Jenar melangkah, lalu berdiri diantara gadis yang pucat itu.
Wajahnya memancarkan kebulatan tekadnya, apapun yang akan dihadapi.
Meskipun ia harus melawan Jaka Soka dan Lawa Ijo sekaligus. Dengan
tenangnya pula ia menjawab kata-kata Jaka Soka. “Jaka Soka yang
dikenal sebagai seorang Bajak Laut yang menakutkan. Buat apa aku
mengharap kau membebaskan jiwaku. Kalau aku terpaksa berkubur di
tengah-tengah hutan Tambak Baya ini. Karena aku membela
kebenaran, aku sama sekali tidak akan menyesal. Karena itu selagi aku
masih bernafas, kau tak akan dapat menyentuh gadis yang belum aku kenal
sebelumnya ini.”
Jawaban Mahesa Jenar ini hebat akibatnya.
Muka Jaka Soka segera berubah menjadi merah membara, dibakar oleh
kemarahannya. Kalau tadi ia melihat orang itu dapat bergerak begitu
cepat, baginya bukanlah ukuran bahwa orang itu cukup berharga untuk
dilawannya. Apalagi sebelum itu, perantau tolol itu telah melawannya
bersama-sama dengan ketujuh orang pengawal, dan sama sekali tak
menunjukkan keistimewaan apa-apa. Meskipun demikian, dalam hati Jaka
Soka mengakui, bahwa orang itu benar-benar orang tolol yang berani.
Selain itu, kata-kata Mahesa Jenar
ternyata mempunyai akibat yang mengejutkan pula terhadap para pengawal.
Dengan tak terduga sama sekali, pemimpin pengawal yang telah agak lanjut
usia itu tiba-tiba meloncat ke samping Mahesa Jenar. Dengan penuh
tanggung jawab ia berkata, “Jaka Soka, aku pun pernah mendengar
kebesaran namamu. Dan sekarang aku sempat menyaksikan pula. Bahkan
sekaligus aku dapat mengetahui betapa biadabnya Bajak Laut dari Nusa
Kambangan ini. Karena itu, bagaimana aku berani berlagak di hadapanmu.
Tetapi karena kali ini aku sedang dibebani oleh suatu tanggung jawab,
maka bersama-sama perantau yang belum aku kenal ini, aku bersedia
menjadi banten. Apa artinya sisa umurku yang tinggal beberapa tahun
lagi, kalau dilumuri oleh suatu pengkhianatan akan tugas yang dibebankan
di pundakku….”
“Cukup!” potong Jaka Soka.
Tetapi suaranya terputus sampai sekian, karena getaran kemarahannya.
Wajahnya menjadi semakin merah. Giginya gemeretak, sedangkan matanya
seolah-olah memancarkan api, seperti perapian yang masih menyala-nyala.
Apalagi ketika dilihatnya kesembilan pengawal yang lain pun tiba-tiba
serentak berdiri dengan teguhnya menggenggam senjata masing-masing
demikian eratnya. Seakan-akan teguhnya ingin mengatakan, bahwa gugurlah
mereka dalam tugasnya dengan senjata di tangan.
Tetapi kembali terjadi hal yang sama
sekali tak diduga-duga. Orang yang dianggapnya sebagai perantau tolol
yang menumpang berjalan, bahkan ada di antara mereka yang memberikan
beban dengan menyanggupinya untuk memberi upah sekedarnya itu, berkata
dengan lantangnya kepada pemimpin pengawal itu. “Bapak …, Bapak telah lanjut usia. Apalagi
orang yang dilawan bukan sembarang orang. Karena itu minggirlah.
Biarlah aku yang berumur sebaya melawannya, untuk mewakili mereka yang
berhati kecil, sekecil hati kelinci, sehingga kehilangan rasa
kesetiakawanan mereka. Bahkan ada yang sampai hati menyalahkan gadis ini
pula. Tetapi karena aku tidak sepantasnya mempergunakan keris Sigar
Penjalin milik seorang sakti ini, baiklah keris ini aku titipkan
kepadamu. Janganlah gadis ini diberi kesempatan untuk bunuh diri sebelum
kita semua binasa.”
Karena pengaruh perbawa kata-kata Mahesa
Jenar itu, maka orang tua itu seolah-olah diluar sadarnya menerima keris
Sigar Penjalin. Sementara itu Lawa Ijo rupanya benar-benar tak mau
terlibat dalam persoalan ini. Karena itu ia bersikap sebagai seorang
penonton saja, yang kemudian malahan perlahan-lahan duduk pada sebuah
akar pohon.
Sedang Jaka Soka kini telah sampai pada
puncak kemarahannya. Meskipun demikian ia masih ingat pada harga
dirinya. Segera pedang kecilnya disarungkan ke dalam tongkat hitam
manis, dan melemparkan tongkat itu kepada Lawa Ijo. Geramnya, “Lawa Ijo, tolong bawakan tongkatku ini,” kata Jaka. Lalu katanya kepada Mahesa Jenar, “Setan.
Kau berani meremehkan aku. Aku harap kau maju bersama-sama, supaya
cepat selesai pekerjaanku. Membunuh kalian. Semua. Tak seorang pun akan
aku sisakan.”
Segera sesudah itu Jaka Soka bersiap
untuk menghancur-lumatkan orang yang telah berani menghinanya. Sementara
itu Mahesa Jenar pun telah bersiap pula. Sebab ia tahu benar bahwa
lawannya itu adalah orang yang mendapat sebutan Ular Laut yang Ganas
dari Nusa Kambangan.
Mereka yang menyaksikan adegan itu,
hatinya berdegub, dipenuhi oleh bermacam-macam persoalan. Meskipun ada
juga yang merasa tersentuh oleh sindiran Mahesa Jenar, bahwa tak seorang
pun diantara mereka yang berani membela gadis yang sedang dalam
kesulitan itu. Bahkan ada pula yang mengumpatinya, kecuali para pengawal
yang merasa memikul tanggung jawab.
Tetapi tak seorang pun dari mereka yang
menaruh setitik harapan kepada perantau yang tolol meskipun berani itu.
Bahkan ada yang menganggap kelakuan Mahesa Jenar itu hanya akan menambah
kemarahan Jaka Soka, sehingga akan mempercepat kematian mereka tanpa
pertimbangan lagi.
Sedang gadis cantik itu sendiri memandang
Mahesa Jenar sebagai orang yang aneh. Setelah menyaksikan Mahesa Jenar
bersama-sama dengan para pengawal tak dapat memenangkan perkelahian
melawan pemuda tampan yang ternyata bernama Jaka Soka itu, tiba-tiba
sekarang ia, si perantau itu, ingin melawannya seorang diri. Tetapi,
disamping perasaan itu, timbul pula suatu perasaan lain yang asing dalam
diri gadis itu. Suatu perasaan dimana ia ingin mendapatkan perlindungan
dari orang yang aneh itu lebih daripada yang lain-lain, juga lebih
daripada para pengawal itu sendiri, meskipun ia tidak tahu apakah orang
itu akan dapat melakukannya.
Sesaat kemudian, kembali terdengar Jaka Soka menggeram hebat. “Sebenarnya
sayanglah tanganku ini dikotori oleh darah kelinci seperti tampangmu
itu. Tetapi karena kau adalah kelinci yang paling tak tahu diri, maka
terpaksa aku ingin menguliti tubuhmu.”
Kata-kata itu benar-benar menyeramkan.
Tetapi lebih-lebih lagi ketika orang-orang itu melihat tangan Ular Laut
itu menjulur dengan dahsyatnya ke arah tulang-tulang iga Mahesa Jenar.
Rupanya Jaka Soka yang seakan sedang gila dibakar oleh kemarahannya itu,
ingin membunuh lawannya dengan pukulan yang pertama.
Mereka yang menyaksikan gerak Jaka Soka
itu tersirat darahnya. Beberapa orang memejamkan matanya, sebab menurut
dugaan mereka tulang-tulang iga perantau tolol itu segera akan rontok
seluruhnya. Bahkan beberapa orang segera memegangi dada masing-masing,
se-olah-olah tulang iga merekalah yang akan lepas berderai-derai.
Untunglah bahwa pada saat itu Mahesa
Jenar telah benar-benar siap dan waspada. Sebab ia tahu bahwa lawannya
bukanlah lawan biasa, tetapi ia adalah seorang pemuda yang mempunyai
nama di kalangan aliran hitam.
Meskipun demikian ia kagum juga melihat
kegesitan Ular Laut itu. Melihat serangan yang datang dengan dahsyatnya,
segera Mahesa Jenar dengan cepatnya pula mengelak ke samping.
Seterusnya ia tidak mau membuang-buang waktu lagi. Karena itu, ketika ia
berhasil membebaskan diri dari serangan pertama Jaka Soka, segera ia
membuka serangan pula. Sebuah serangan dengan kakinya menyambar perut
lawannya. Tetapi Jaka Soka bukan anak kemarin sore. Ketika ia merasa
bahwa serangannya yang pertama gagal, segera ia mengubah sikapnya dan
dengan satu gerakan melingkar ia berhasil mengelakkan serangan Mahesa
Jenar. Sebaliknya Mahesa Jenar adalah seorang prajurit yang
berpengalaman. Melihat lawannya menghindar, cepat-cepat ia memotong arah
dan tahu-tahu ia sudah berada di muka Jaka Soka kembali, sekaligus
menyerang dengan tangkasnya ke arah leher lawannya. Jaka Soka menjadi
terperanjat bukan buatan. Apalagi sebelumnya ia memandang orang itu
sebagai seorang yang tak berarti meskipun mempunyai cukup keberanian.
Dengan demikian kewaspadaannya jadi berkurang. Karena itu, ketika dengan
tak diduganya sama sekali lawannya itu dapat bergerak dengan lincahnya,
ia tidak sempat mengelakkan diri. Mau tidak mau ia harus melawan
serangan itu dengan sebuah pertahanan yang rapat, kalau ia tidak mau
binasa.
Karena itu terjadilah suatu benturan yang
dahsyat. Mahesa Jenar telah mempergunakan sebagian besar tenaganya,
sedangkan Jaka Soka pun telah mengerahkan kekuatannya pula. Akibatnya
adalah hebat sekali. Tubuh Mahesa Jenar bergetar hebat dan ia terdorong
surut kebelakang. Jaka Soka pun terlempar beberapa depa, dan kemudian
meski sudah berusaha, ia tak berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya.
Sehingga ia jatuh beberapa kali berguling, barulah ia berhasil meloncat
tegak kembali.
Mengalami hal ini, dada Jaka Soka serasa
akan pecah. Darahnya mendidih dan menggelagak sampai kepala. Ia sama
sekali tidak mengira, bahwa lawannya, yang dalam pandangannya semula
tidaklah lebih dari seekor kelinci yang tidak tahu diri itu, ternyata
memiliki tenaga yang demikian dahsyatnya. Karena itu, matanya menjadi
semakin menyala. Tahulah Jaka Soka sekarang, kenapa tadi ia sama sekali
tidak berhasil membunuh seorang pun dari para pengawal yang
mengeroyoknya. Rupanya orang ini tidak saja kebetulan menubruk
kawan-kawannya, melemparnya dengan pasir pada saat tepat tongkatnya
hampir menyambar korban, kemudian jatuh bergulingan menimpa beberapa
orang yang dadanya hampir rontok oleh tongkatnya. Hal itu pastilah
disengaja untuk menyelamatkan para pengawal itu. Sebab ternyata bahwa
orang itu mempunyai kepandaian yang luar biasa.
Sedang Mahesa Jenar sendiripun terkejut
pula mengalami benturan itu. Ternyata tenaga Jaka Soka pun dahsyat,
sehingga ia tergetar surut. Dalam hal ini Mahesa Jenar sadar, bahwa Jaka
Soka terlalu menganggapnya tak berarti, sehingga apabila Jaka Soka
sungguh-sungguh menggempurnya dengan segenap kekuatan dan ilmunya, maka
keadaannya pasti akan lain. Bahkan mungkin keadaannya akan berimbang.
Sesaat kemudian, baik Jaka Soka maupun
Mahesa Jenar telah mempersiapkan diri kembali untuk memulai perkelahian.
Mereka berdua sadar, bahwa kekuatan mereka tidak terpaut banyak. Maka
kunci kemenangan dari pertempuran ini terletak dalam kepandaian serta
keprigelan mereka membawakan diri dalam keadaan-keadaan yang genting.
Sebentar kemudian perkelahian itu segera
mulai kembali dengan sengitnya. Cara berkelahi Jaka Soka itu benar-benar
seperti ular. Melingkar, melilit lawannya dan mematuk dengan
jari-jarinya demikian dahsyatnya. Geraknya cepat dan licin tak
terduga-duga. Sedangkan Mahesa Jenar bersikap lebih tenang. Ia bertempur
seperti seekor banteng yang teguh, kokoh dan tangguh. Ia tidak begitu
banyak bergerak, tetapi demikian tubuhnya berkisar, menyambarlah udara
maut ber-putar-putar.
Maka berlangsunglah perkelahian itu
demikian dahsyatnya. Mereka bergerak sambar menyambar diantara pepohonan
hutan, sehingga terdengarlah suara berderak batang-batang patah kena
sambaran tangan mereka yang keras bagaikan besi.
Mereka yang menyaksikan pertempuran itu
telah berlari-lari berpencaran. Sedang dalam otak mereka berkecamuk
seribu satu pertanyaan mengenai diri perantau aneh itu. Setelah mereka
menyaksikan betapa hebat tenaganya, serta betapa dahsyat caranya
bertempur, mereka menjadi kebingungan.
Adanya Jaka Soka diantara mereka, serta
munculnya Lawa Ijo dengan tiba-tiba itu saja, telah cukup memeningkan
kepala mereka. Apalagi keputusan Jaka Soka untuk membunuh mereka semua,
karena mereka menyaksikan perbuatannya, menculik seorang gadis. Dan
sekarang, tiba-tiba di hadapan mereka muncul seorang lagi, yang semula
mereka anggap sama sekali tak berarti, tetapi ternyata dapat mengimbangi
ketangkasan Jaka Soka. Karena itu, pastilah akan muncul pula sebuah
nama diantara mereka yang akan mengejutkan pula. Nama orang yang mereka
sangka perantau tolol itu.
Di saat yang sedemikian tegangnya, dimana
berputar-putar udara yang bernafaskan maut, pecahlah fajar di ujung
Timur. Cahayanya yang kuning kemerah-merahan melimpah ke persada bumi
yang dipenuhi oleh segala macam pertentangan. Pertentangan-pertentangan
yang mudah diselesaikan, pertentangan-pertentangan yang sulit
diselesaikan, bahkan kadang-kadang terdapat pertentangan-pertentangan
yang tak mungkin dipecahkan.
Meskipun cahaya kemerahan itu masih
begitu lemah untuk dapat menerangi pedalaman hutan yang lebat, tetapi
berkas-berkas cahayanya yang menerobos dedaunan, sedikit banyak telah
dapat pula menyibak gelapnya malam, dan mengurangi kepekatan rimba,
menggantikan cahaya perapian yang telah terlalu lama padam.
Maka makin lama semakin tampak jelaslah dua bayangan yang sedang mati-matian mengadu tenaga itu.
Sementara itu Lawa Ijo telah mengikuti
pertempuran itu dengan saksama. Di dalam hati ia memuji juga keuletan
Jaka Soka yang pada akhir tahun ini akan bersama-sama mengadakan semacam
pertandingan dengan beberapa orang lainnya, termasuk dirinya. Diam-diam
ia merasa mendapat keuntungan dengan kejadian itu. Sebab dengan
demikian ia dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan Jaka Soka, yang pada
akhir tahun ini pasti akan menjadi salah seorang lawannya yang berat.
Karena itu sejak pertempuran berkobar, perhatiannya terikat kepada
setiap gerak Jaka Soka.
Tetapi, setelah pertempuran itu
berlangsung agak lama, Lawa Ijo menangkap gerak-gerak yang menarik
perhatiannya dari lawan Jaka Soka. Maka segera perhatiannya beralih.
Gerak orang ini demikian tenang, kokoh dan tangguh. Pastilah ia bukan
orang sembarangan. Sesaat kemudian mendadak Lawa Ijo terkejut sekali
sampai ia meloncat selangkah ke depan. Matanya dengan tajamnya mengawasi
setiap gerak Mahesa Jenar sampai matanya seolah-olah mau meloncat dari
kepalanya.
Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu pada
gerak-gerak Mahesa Jenar. Gerakan-gerakan yang pernah dilihatnya, bahkan
pernah dialami kedahsyatannya.
———-oOo———-
VII
Maka dengan suatu gerakan yang cepat
sekali, secepat sambaran halilintar, ia meloncat maju ke tengah-tengah
arena pertempuran. Sementara itu dengan nyaringnya mulutnya berteriak, “Jaka Soka, minggirlah!”
Baik Jaka Soka maupun Mahesa Jenar
serentak terkejut mendengar seruan itu. Apalagi ketika mereka melihat
bahwa Lawa Ijo telah meloncat ke tengah-tengah mereka. Maka sesaat
pertempuran itu terhenti, dan tanpa berjanji lebih dahulu, mereka
bersama-sama meloncat selangkah surut.
Wajah Jaka Soka masih merah membara sebagai ungkapan kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Katanya, “Lawa
Ijo, apalagi yang kau maui dariku sehingga kau hentikan perkelahian
ini. Meskipun aku tidak segera dapat membunuh orang yang sombong ini,
tetapi aku sudah bertekad untuk melayani sampai berapa hari pun, bahkan
bertahun-tahun sampai salah seorang dari kami hancur”.
“Kau benar Soka,” sahut Lawa Ijo, ”tetapi sudah aku katakan, bahwa daerah ini adalah daerahku, sehingga kaupun harus menurut angger-anggerku,”.
Jaka Soka memandang Lawa Ijo dengan mata yang menyalakan api kemarahan katanya, “Apalagi yang kau kehendaki dariku?”.
“Aku tak menghendaki apa-apa lagi daripadamu, Soka,” jawab Lawa Ijo, ”kecuali serahkan orang ini kepadaku,”.
Mata Jaka Soka bertambah berapi-api lagi. Sahutnya,“Lawa Ijo, apakah kau sudah memandang aku sedemikian rendahnya sehingga kau perlu menolong aku?”.
Lawa Ijo mendengus pendek. Sambil menggeleng ia berkata, “Sama
sekali tidak, kawan. Tetapi seperti yang kau katakan tadi, bahwa yang
aku hadiahkan kepadamu hanyalah gadis itu saja. Dan sekehendakmulah
kalau yang lain-lain akan kau bunuh. Tetapi orang ini tidak. Sebab aku
sendirilah yang akan membereskannya.”
Mendengar ucapan Lawa Ijo itu, wajah Jaka
Soka menjadi semakin menyala. Giginya gemeretak dan tubuhnya menggigil
menahan marah. Dengan suara gemuruh ia menjawab, “Aku bukan
perempuan yang perlu perlindungan laki-laki. Buat apa aku menerima
hadiah dari seekor kelelawar busuk seperti tampangmu itu? Lawa Ijo…
jangan coba merendahkan aku.”
Meskipun wajah Lawa Ijo nampaknya jauh
lebih buas dari wajah Jaka Soka yang tampan itu, namun ternyata kepala
Lawa Ijo agak lebih dingin. Karena itu ia sama sekali tidak menunjukkan
kegusarannya mendengar kata-kata Jaka Soka itu. Bahkan ia masih menjawab
dengan tenang meskipun tampak pula kegarangannya. “Jaka Soka, aku
tidak peduli atas tanggapanmu terhadap permintaanku. Serahkan orang itu
kepadaku. Sebab aku mempunyai urusan yang lebih penting dari urusanmu.
Urusanku menyangkut nama baik dan harga diri perguruanku, sedang
urusanmu hanyalah urusan perempuan itu saja.”
Oleh keterangan Lawa Ijo yang terakhir
itu, nyala kemarahan Jaka Soka menjadi surut. Sedang pancaran matanya
yang berapi-api itu pun segera redup dan membayangkan keheranan.
Tanyanya kemudian, “Kau katakan bahwa kau mempunyai urusan dengan orang ini perkara perguruanmu?”
Lawa Ijo mengangguk.
Jaka Soka menjadi bertambah heran. Dan
tanpa disengaja ia memandang Mahesa Jenar. Baru sekarang ia
memperhatikan lawannya itu dengan saksama. Tubuhnya tegap kekar. Dadanya
bidang. Meskipun ia berwajah lunak, tetapi pandangan matanya
memancarkan kecermelangan pribadinya. Pikirnya “Pantas bahwa aku tak dapat menjatuhkannya.”
”Siapakah orang ini?” pertanyaan itu demikian saja meluncur dari mulut Jaka Soka.
Dan sekaligus semua telinga yang berada
di sekitar arena itu segera memperhatikan. Sebab pertanyaan yang
demikian itu timbul pula di setiap hati orang menyaksikan pertempuran
itu. Bahkan diantara mereka telah timbul harapan baru, setelah mereka
menyaksikan kridha orang yang mereka anggap tidak lebih dari seorang
perantau. Lebih-lebih sepasang suami-istri yang telah merasa terlanjur
menyuruh orang itu membawakan beban mereka.
Maka semua perhatian pada saat itu tertambat pada mulut Lawa Ijo yang akan menjawab pertanyaan Jaka Soka.
Sementara itu terdengarlah Lawa Ijo tertawa pendek. Kemudian barulah ia menjawab, “Jaka
Soka… jangan kau terkejut kalau aku mengucapkan nama orang ini. Ia
adalah orang yang telah membunuh adik seperguruanku kemarin lusa. Watu
Gunung. Dan yang tidak akan pernah aku lupakan, orang ini pernah pula
melukai bagian dalam dadaku.”
Berdebarlah setiap jantung mereka yang
mendengar kata-kata ini. Pastilah orang ini bukan orang sembarangan.
Tidak terkecuali Jaka Soka. Sudah sejak lama ia mengenal Lawa Ijo. Dan
pernah pula ia berkelahi melawan orang ini. Tetapi tak pernah salah
seorang dari mereka berdua dapat mengatasi yang lain. Kalau orang ini
pernah melukai Lawa Ijo pastilah ia memiliki kesaktian yang tinggi.
Kemudian terdengarlah Lawa Ijo melanjutkan kata-katanya, “Sayang
bahwa ia tidak bersikap perwira. Ia menyerang aku pada saat aku sedang
meloncat turun dari atap gedung perbendaharaan istana Demak.”
Hati Mahesa Jenar melonjak mendengar
sindiran Lawa Ijo. Ia sama sekali tak mau menerima keterangan itu. Sebab
pada saat ia menyerang Lawa Ijo, ia sedang berusaha untuk melindungi
Gadjah Alit yang justru diserang oleh Lawa Ijo dengan sikap yang tidak
perwira. Kecuali Lawa Ijo tidak menyerang dari depan, juga pada saat itu
Gadjah Alit sedang dikerubut oleh tiga orang. Tetapi meskipun demikian
ia tidak merasa perlu melayani fitnah itu. Karena itu ia diam saja.
Dalam pada itu, Jaka Soka pun segera
teringat bahwa memang Lawa Ijo pernah bercerita kepadanya, tentang luka
yang dideritanya pada saat ia berusaha memasuki gedung perbendaharaan di
Demak. Karena itu sebelum Lawa Ijo menyebut nama Mahesa Jenar, ia
mendahului berteriak, “Lawa Ijo, kalau demikian inikah orangnya yang bernama Mahesa Jenar dan bergelar Rangga Tohjaya yang terkenal itu?”
Mendengar nama itu tergetarlah perasaan
mereka yang pernah mengenal kebesarannya. Lebih-lebih para pengawal dan
para pedagang yang datang dari pesisir utara. Tetapi dalam pada itu,
dalam dada masing-masing terbersitlah semacam harapan baru yang menjadi
semakin teguh, bahwa jiwa mereka akan tertolong. Karena itu menjadi
semakin besarlah hati mereka. Selain itu para pengawal kemudian telah
bersiap pula terjun ke dalam pertempuran seandainya Lawa Ijo dan Jaka
Soka akan bersama-sama menyerang Rangga Tohjaya.
Tetapi rupanya Lawa Ijo tidak akan berbuat demikian.
“Jaka Soka,” Katanya,
”karena itulah aku minta kerelaanmu untuk membuat perhitungan dengan
Rangga Tohjaya ini. Sebab aku mempunyai dugaan, bahwa ia pun sedang
mencari aku. Maka sebaiknya kami tidak menyia-nyiakan pertemuan ini”.
Sekarang, setelah mengerti persoalannya,
Jaka Soka tidak lagi merasa direndahkan oleh Lawa Ijo. Ia pun menganggap
bahwa sikap Lawa Ijo yang demikian itu adalah wajar. Karena itu ia
menjawab, “Sekehendakmulah Lawa Ijo. Sebab daerah ini adalah
daerahmu. Tetapi urusan gadis itu akan tetap menjadi urusanku, meskipun
aku akan menunggu sampai kau selesai. Kalau kau tak berhasil dalam
usahamu untuk membalaskan dendam adikmu, aku akan juga membuat
perhitungan dengan orang ini. Sebab ia dengan sengaja telah
mempermainkan aku ketika ia bersama-sama dengan para pengawal yang
mengerubut aku.”
“Bagus. Sekarang minggirlah,” desis Lawa Ijo.
Sesudah itu maka Lawa Ijo menghadap ke
arah Mahesa Jenar. Matanya yang sudah memancarkan kekejaman serta
kebengisan itu menjadi bertambah mengerikan.
“Tohjaya,” geram Lawa Ijo, ”bersiaplah. Aku akan membuat perhitungan,” .
Mahesa Jenar tak menjawab sepatah kata
pun. Mulutnya terkatup rapat, tetapi ia maju beberapa langkah mendekati
Lawa Ijo dengan sikap yang meyakinkan dan penuh kepercayaan pada diri
sendiri.
Sementara itu, langit telah menjadi
semakin cerah. Angin pagi yang bertiup lambat-lambat menggoyangkan
daun-daun pepohonan dan membuat suara berdesir diantara
cabang-cabangnya. Suaranya merintih, seolah-olah suara lagu yang
mengiringi ratapan hati setiap orang yang menyaksikan permainan maut
antara Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya dengan Lawa Ijo. Dua
orang yang sama-sama terkenal dari aliran yang berlawanan, yang pada
saat itu sedang mengadakan perhitungan hutang pihutang nyawa.
Namun betapa moleknya wajah pagi, tak
seorang pun yang berada di sekitar arena pertempuran itu sempat
memperhatikan. Bahkan tak seekor burung pun di tempat itu yang sempat
berkicau menyambut datangnya matahari.
Seperti Jaka Soka, Lawa Ijo pun tak akan
merendahkan dirinya melawan Mahesa Jenar dengan mempergunakan senjata.
Tetapi setelah ia mengembalikan tongkat hitam Jaka Soka, ia tidak
menitipkan belati panjangnya, melainkan dengan kekuatan jari-jarinya,
belatinya itu dipatahkan, dan kemudian dilemparkan jauh-jauh. Mau tidak
mau, mereka yang menyaksikan pertunjukan itu hatinya terguncang.
Segera setelah itu, maka dengan suatu
suitan nyaring, Lawa Ijo mulai menyerang lawannya. Kedua tangannya
direntangkan dan jari-jarinya siap merobek tubuh lawannya. Dengan suatu
loncatan yang dahsyat, ia menyambar kepala Mahesa Jenar. Mahesa Jenar
sadar bahwa apabila serangan ini mengenai sasarannya, maka ia yakin
bahwa kepalanya akan dapat berlubang sedalam jari.
Sebelum ini, Mahesa Jenar pernah
bertempur dengan Lawa Ijo, karena itu ia tidak dapat mengira-ngirakan
kekuatannya, meskipun ia yakin bahwa selama ini pastilah Lawa Ijo telah
mendapat tambahan yang tidak sedikit.
Melihat serangan Lawa Ijo yang dahsyat
itu, segera Mahesa Jenar merendahkan dirinya, tetapi sekaligus dengan
tangannya ia menyerang perut lawannya dengan empat jari. Sebenarnya Lawa
Ijo sadar bahwa serangannya yang pertama pasti tak akan mengenai
sasarannya. Karena itu ia selalu waspada, sehingga ketika ia melihat
serangan Mahesa Jenar, dengan tangkasnya pula ia menghindarkan diri. Ia
menarik sebelah kakinya ke belakang dan berputar sedikit. Kemudian
sambil merendahkan diri ia menghantam tangan Mahesa Jenar dengan
sikunya. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau tangannya disakiti. Ia segera
menarik serangannya dan mendadak ia meloncat setengah langkah surut,
tetapi demikian kakinya menjejak tanah, demikian ia melontarkan dirinya
ke samping Lawa Ijo, dan dengan tumitnya ia menghantam lambung. Lawa Ijo
terkejut melihat gerakan ini. Kaki Mahesa Jenar bergerak demikian
cepatnya. Tetapi Lawa Ijo pun mempunyai cukup pengalaman. Segera ia
merendah hampir rata tanah. Tetapi demikian ia merendah, kakinya secepat
kilat menyambar betis Mahesa Jenar. Sekarang Mahesa Jenar yang berada
dalam keadaan yang sulit, selagi satu kakinya terangkat. Untunglah bahwa
Mahesa Jenar cukup tenang, sehingga dalam keadaan yang nampaknya
demikian sulitnya ia masih sempat mengelakkan diri. Dengan sebelah
kakinya ia menjejak tanah dan meloncat tinggi. Dengan satu gerakan
kakinya, Mahesa Jenar dapat mengubah arah, sehingga tubuhnya terjatuh
kembali beberapa depa dari lawannya. Lawa Ijo menjadi marah melihat
serangan-serangannya yang dilakukan dengan segenap tenaganya itu sama
sekali tak berhasil. Karena itu segera ia pun menyerang kembali dengan
dahsyatnya. Tangannya, dengan sepuluh jari yang kokoh bergerak
menyambar-nyambar dari segala arah.
Mereka yang menyaksikan pertempuran itu
berdiri terpaku seperti patung. Hati mereka terpukau oleh pertunjukan
maut yang sedang berlangsung dengan dahsyatnya.
Sebentar-sebentar terdengar suara
gemeretak batang-batang kayu yang patah terhantam, baik oleh Mahesa
Jenar maupun oleh Lawa Ijo. Sedang tanah tempat mereka bertempur,
seolah-olah telah berubah sedemikian rupa sehingga menjadi bersih dari
segala tumbuh-tumbuhan.
Perkelahian itu pun semakin lama menjadi
semakin hebat. Tampaklah betapa hebatnya mereka berdua. Sampai sekian
lama tidak nampak siapakah diantara keduanya yang lebih unggul. Lawa Ijo
bertempur dengan penuh dendam akan pembalasan, sedangkan Mahesa Jenar
bertempur dengan suatu tekad yang telah bulat pula, melenyapkan
kejahatan sampai ke akarnya.
Demikian dahsyatnya pertempuran itu,
sehingga waktu berjalan cepat sekali. Dengan tak terasa, matahari telah
miring rendah di ufuk barat. Seolah-olah sengaja mempercepat jalannya
untuk menghindari kesaksian, bahwa di tengah-tengah hutan Tambak Baya
telah terjadi suatu pergulatan maut yang mengerikan.
Daerah pedalaman hutan yang selamanya tak
pernah menerima cahaya matahari sepenuhnya itu, kini telah kembali
suram. Cahaya matahari yang sudah semakin lemah, tidak mampu lagi
menembus sepenuhnya kelebatan daun-daun pepohonan rimba yang liar dan
pekat itu.
Dua orang perkasa yang sedang bertempur
mati-matian itu pun nampak tenaganya semakin lama menjadi semakin
kendor. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki ketahanan
jasmaniah yang luar biasa. Baik Mahesa Jenar maupun Lawa Ijo memang
pernah mengalami pertempuran sampai berhari-hari. Kali ini mereka telah
mengerahkan segala tenaga mereka. Setelah hal itu berlangsung hampir
sehari penuh, terasalah bahwa kemampuan mereka mulai menurun.
Dalam hal ini, yang lebih merasa gelisah
adalah Lawa Ijo. Perasaannya dibebani oleh dendam yang tiada taranya.
Sejak dirinya dilukai di halaman Kraton Demak, ia sudah berjanji di
dalam hatinya, bahwa pada suatu saat ia harus membinasakan orang yang
telah melukainya itu. Ditambah lagi, orang itu pula yang telah membunuh
adik seperguruannya. Karena itu tidak ada pilihan lain kecuali
menghancurlumatkan orang ini. Tetapi ternyata, setelah sekian lama ia
merendam diri serta mencecap ilmu gurunya yang sakti, Pasingsingan,
dengan penuh semangat, namun sudah sehari ia bertempur masih belum ada
tanda-tandanya bahwa ia akan dapat mengalahkan lawannya, apalagi
membinasakan. Karena itu ia menjadi tidak sabar lagi. Tujuannya hanyalah
secepat mungkin membinasakan Rangga Tohjaya. Dengan demikian barulah ia
merasa puas.
Untuk mencapai maksudnya itu, Lawa ijo
meloncat mundur beberapa langkah dari lawannya. Secepat kilat tangannya
mengambil sebuah kantong kecil di ikat pinggangnya. Segera cincin
pemberian gurunya itu dikenakan di jari tangan kanannya. Tampaklah bahwa
cincin itu bermata batu akik merah menyala. Itulah batu akik yang
dinamai Kelabang Sayuta.
Bentuk akik Kelabang Sayuta tidaklah
seperti kebiasaan batu-batu akik yang diasah halus, tetapi batu ini
permukaannya kasar dan bahkan bergerigi tajam. Mahesa Jenar tertegun
melihat lawannya mengenakan cincin. Pasti itu bukan sembarang cincin.
Tetapi belum lagi ia sadar benar Lawa Ijo telah meloncat menyerangnya
dengan garang.
Lawa Ijo telah mengerahkan segenap sisa
tenaganya yang terakhir. Mahesa Jenar terkejut diserang secara demikian.
Lawa Ijo ternyata tidak lagi mempergunakan perhitungan, melainkan asal
saja ia membenturnya. Secepat kilat Mahesa Jenar menghindar ke samping,
tetapi seperti orang gila Lawa Ijo menerjangnya kembali. Demikian
terjadi beberapa kali. Dalam keadaan yang demikian, sebenarnya banyaklah
kesempatan bagi Mahesa Jenar untuk memukul Lawa Ijo. Meskipun demikian
ia masih belum mempergunakan kesempatan itu, sebab ia masih ingin
mengetahui latar belakang dari tindakan-tindakan Lawa Ijo yang aneh itu.
Sebagai seorang yang telah banyak makan garam, seharusnya Lawa Ijo
tidaklah kehilangan akal sampai sedemikian itu. Tetapi Mahesa Jenar
tidak mempunyai kesempatan untuk banyak menduga-duga maksud lawannya.
Sebab Lawa Ijo merangsang semakin hebat. Sehingga akhirnya terpaksa
Mahesa Jenar melayani pula dengan segenap tenaganya. Maka pertempuran
itu menjadi semakin seru dan aneh. Gerak Lawa Ijo menjadi semakin liar
dan seolah-olah membabi buta namun tidak kurang pula berbahayanya.
Akhirnya Mahesa Jenar tak dapat lagi
menahan dirinya mengalami tekanan yang gila, kasar dan liar itu.
Karenanya, ketika ia melihat suatu kesempatan, maka segera ia meloncat
maju, dan dengan gerakan yang dahsyat ia menghantam pelipis lawannya.
Melihat serangan yang demikian hebatnya, Lawa Ijo sama sekali tak
berusaha menghindarkan diri. Memang kesempatan yang demikianlah yang
ditunggunya setelah sekian lama ia berusaha membentur tubuh lawannya,
tetapi belum berhasil.
Dengan mengerahkan segala sisa tenaganya
yang ada, Lawa Ijo melawan dengan sebuah pukulan yang dahsyat pula,
menghantam tangan Mahesa Jenar. Maka terjadilah suatu benturan yang
mengerikan. Mulutnya menyeringai menahan sakit, seolah-olah menjalar ke
seluruh bagian tubuhnya. Sendi-sendi tulangnya seakan-akan copot dari
sambungannya. Sesaat pandangannya jadi kabur berputar-putar.
Sementara itu mereka yang menyaksikan
perkelahian dahsyat itu, darahnya serasa berhenti mengalir, ketika
mereka melihat keadaan Mahesa Jenar. Mereka menyaksikan suatu keadaan
yang tak terduga-duga. Pada saat terjadi benturan, tubuh Mahesa Jenar
tergetar hebat, sehingga ia terlempar beberapa langkah dan jatuh
terguling pula. Tetapi, ketika Mahesa Jenar berusaha untuk meloncat
berdiri, tiba-tiba tangan kanannya terasa pedih tak terhingga. Ketika ia
mengamati tangan itu, ternyata terdapat sebuah goresan kecil. Itulah
luka akibat batu akik Kelabang Sayuta.!
Seterusnya, tidak hanya rasa pedih itu
saja, tetapi tiba-tiba mengalirlah rasa dingin yang seakan-akan menjalar
menurut peredaran darahnya ke seluruh tubuh, sehingga tubuhnya menjadi
gemetar dan seakan-akan beku. Wajah Mahesa Jenar segera berubah menjadi
pucat seputih mayat.
Jaka Soka yang selama itu, dengan enaknya
melihat perkelahian itu, menjadi keheran-heranan juga menyaksikan
akibat dari benturan itu. Lama sekali tidak menduga bahwa Mahesa Jenar
yang sedemikian gagahnya, yang sudah bertempur hampir sehari penuh,
dapat dirobohkan justru pada saat ia menyerang dan dibalas dengan sebuah
serangan pula.
Para pengawal rombongan, yang merasa
telah mendapat perlindungan dalam melakukan tugasnya, melihat kejadian
itu dengan hati yang remuk. Pemimpin pengawal, dengan tidak menghiraukan
keselamatan diri, segera meloncat mendekati Mahesa Jenar yang masih
terduduk dan menggigil hebat.

Sejenak kemudian Lawa Ijo perlahan-lahan
dapat menguasai dirinya kembali. Meskipun masih agak pening, ia sudah
dapat berdiri tegak. Maka ketika ia melihat Mahesa Jenar terduduk di
tanah dengan wajah yang pucat, ia menjadi bergembira. Dan tiba-tiba
terdengarlah suara tertawanya yang menakutkan seperti suara hantu yang
memanggil-manggil dari lubang kubur. Semua yang mendengar suara itu
tegaklah bulu romanya. Kekalahan Mahesa Jenar berarti nyawa mereka akan
lenyap. Sebab Jaka Soka telah mengambil keputusan untuk menghilangkan
jejak penculiknya.
Demikian juga hati pengawal tua yang
menahan tubuh Mahesa Jenar yang lemas itu. Ia menjadi sangat sedih.
Bukan karena takut menghadapi kematian yang sudah membayang di matanya,
tetapi hatinya menjadi pedih sekali bahwa kemungkinan besar jiwa Mahesa
Jenar, seorang pahlawan yang tanpa menghiraukan dirinya sendiri telah
berusaha menyelamatkan rombongan yang sebenarnya menjadi tanggung
jawabnya, tak akan tertolong lagi. Lebih-lebih ketika diingatnya bahwa
Lawa Ijo telah melakukan perbuatan yang curang dan keji, dengan
mempergunakan racun yang keras sekali untuk menumbangkan lawannya.
Maka, hati pengawal tua itu serasa
menyala dibakar oleh kemarahan. Ia sudah mengambil keputusan untuk
melawan sampai mati. Seperti serangga menjelang api. Tetapi ketika ia
akan bangkit dan melawan dengan mengamuk sejadi-jadinya, tiba-tiba
terasa hawa yang hangat mengalir dalam tubuh Mahesa Jenar. Mahesa Jenar
terkejut, tetapi ia tetap menahan dirinya. Hawa yang hangat itu ternyata
mengalir semakin deras dan bahkan hampir mencapai titik panas tubuh
yang wajar.
Timbullah berbagai pertanyaan dalam
dirinya. Apakah yang akan terjadi dengan Mahesa Jenar ini? Sebentar
kemudian bahkan panas itu dengan cepat naik melampaui batas panas tubuh
yang biasa. Hal ini menjadikan pengawal tua itu semakin bingung. Apalagi
sampai sekian lama Mahesa Jenar sendiri seolah-olah pingsan dan tidak
bergerak sama sekali.
Memang Mahesa Jenar pada saat itu sedang
kehilangan tenaga. Batu akik Kelabang Sayuta itu mempunyai kekuatan
mirip dengan bekerjanya racun. Bahkan hampir sekuat racun bisa ular
Gundala Wereng. Sehingga tubuh yang dikenainya, meskipun hanya segores
kecil, akan menjadi bengkak-bengkak seperti ditumbuhi oleh beribu-ribu
bisul. Kemudian tubuh itu akan lemas dan mengalami kelumpuhan
menyeluruh, dan akhirnya disusul dengan kematian, dalam waktu yang
singkat.
Tetapi, ketika kekuatan akik Kelabang
Sayuta itu sedang bekerja didalam tubuh Mahesa Jenar dengan mengikuti
peredaran darah, tiba-tiba terjadilah suatu benturan yang dahsyat di
dalam tubuh itu. Sebab pada saat itu, ketika tersentuh rangsangan dari
luar, bisa ular Gundala Seta yang ada dalam tubuhnya mulai bekerja pula.
Dalam pergolakan itu timbullah panas, sehingga tubuh Mahesa Jenar
menjadi melampaui titik panas yang wajar.
Bisa ular Gundala Seta mempunyai kasiat
yang luar biasa. Lebih-lebih ular ini adalah senjata Wisnu untuk melawan
Kala, lambang dari keangkaramurkaan. Maka sedikit demi sedikit bisa
ular Gundala Seta yang memang sudah ada di dalam tubuh Mahesa Jenar itu
mendesak lawannya, menawar racun akik Kelabang Sayuta. Dengan demikian
tubuh Mahesa Jenar menjadi berangsur-angsur baik kembali.
Meskipun demikian Mahesa Jenar adalah
orang yang cerdik. Ia tidak segera menunjukkan keadaan itu. Sebab
apabila sampai diketahui bahwa ia berangsur-angsur baik, tidak mustahil
Lawa Ijo akan segera bertindak. Membinasakannya sekaligus.
Dalam hal yang demikian ia masih saja berpura-pura tidak sadarkan diri dan membiarkan tubuhnya ditahan oleh pengawal tua itu.
Lawa Ijo, dengan dada menengadah,
memandang tubuh Mahesa Jenar. Matanya memancarkan kepuasan hatinya. Ia
tertawa berkepanjangan sampai Jaka Soka membentaknya, “Hai Kelelawar Hijau yang busuk. Jangan kau tertawa demikian. Aku bisa jadi pening mendengar suaramu yang memuakkan itu.”
Tetapi Lawa Ijo sama sekali tak mendengarnya. Ia sedang menikmati kemenangannya. Katanya, “Soka, lihatlah…. Orang ini yang diagung-agungkan oleh prajurit Demak. Di
sini ia menjumpai kematian sedemikian nistanya. Dan tak seorang pun
akan sempat menguburnya. Apalagi dengan suatu upacara keprajuritan,
diiringi dengan tunggul-tunggul dan panji-panji. Sebab orang-orang lain
pun segera akan mengalami nasib yang sama karena tanganmu”.
Jaka Soka merasa diperingatkan akan
tugasnya. Segera ia pun tersenyum aneh, sedangkan matanya yang redup
membayangkan tuntutan maut yang mengerikan. Katanya, “Bagus, Lawa
Ijo. Kita akan sama-sama menikmati kemenangan. Dan tak seorang pun dapat
menahan aku membawa gadis cantik itu pulang ke Nusa Kambangan,” jawab Jaka Soka.
———-oOo———-
8 Tanggapan
Tinggalkan Balasan

tapi koq cantrik’ne masik satitik….???
ayo dhE
Ikut tamasya di gerbong belakang