

ADBM-004

APALAGI apabila mereka
berhadapan. Namun agaknya Widura sama sekali tidak bersikap demikian.
Karena itu, maka sekali lagi Ki Tambak Wedi itu berkata, “Widura,
orang-orang seperti kau ini benar-benar merupakan mutiara-mutiara yang
tersimpan dalam perbendaharaan keprajuritan Pajang. Aku ingin agar
mutiara-mutiara demikian itu tidak akan hilang tertimbun oleh lumpur.
Karena itu Widura, aku minta kau membantu Sidanti dalam usahanya
mendapatkan tempat yang baik dalam hidupnya yang penuh dengan cita-cita
itu. Aku sendiri pasti akan merupakan kekuatan yang mengalasinya”
Sekali lagi Widura menjadi muak. Bahkan
ia menjadi muak melihat wajah yang panjang bermata seperti mata burung
hantu dan berhidung terlalu runcing itu. Meskipun demikian, tak ada
suatu pun yang dapat dilakukannya. Dan ia masih mendengar Ki Tambak Wedi
meneruskan, “Apabila kelak Sidanti akan sampai di tempat itu, maka kau
pun akan ikut serta mukti pula bersamanya”
Widura menggeleng tegas. Jawabnya, “Biarlah aku di tempatku. Apa pun yang akan aku alami”
Dada Ki Tambak Wedi itu pun sudah mulai
dirayapi oleh kemarahan yang semakin lama semakin menyala. Agaknya
Widura sudah tidak mungkin dapat dibujuknya. Karena itu katanya,
“Widura, apakah kau benar-benar menunggu aku marah?”
Widura yang berdiri seperti pucang
kanginan itu menjawab, “Sudah aku katakan Kiai. Namun aku tetap pemimpin
laskar Pajang di Sangkal Putung. Bukan orang lain”
“Widura” sahut Ki Tambak Wedi yang mulai
tidak dapat mengendalikan kemarahannya. “Kau tetap pemimpin laskar di
Sangkal Putung. Tetapi kau harus menurut perintah-perintah Sidanti yang
akan diberikan terus menerus kepadamu. Perintah-perintahmu hanyalah
saluran dari perintah-perintahnya. Tetapi dimata para prajurit itu, kau
tetap seorang pemimpin yang berwibawa. Bersedia?”
Sekali lagi Widura menggeleng tegas, “Tidak” jawabnya.
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Aku sudah menduga bahwa kau akan tetap pada
pendirianmu. Nah, bagaimanakah kalau aku membunuhmu sekarang?”
Widura menyadari keadaannya. Ia tidak
lebih dari seorang yang kecil di hadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi ia tidak
mau mengorbankan kewibawaan, saluran kewajiban prajurit. Sedang orang
seperti Ki Tambak Wedi itu pasti akan dapat melakukan apa saja yang
dikatakannya. Meskipun demikian Widura menjawab, “Kiai pasti akan mampu
melakukannya. Terserahlah kepada Kiai. Tetapi Kiai harus menyadari
keadaan Sidanti. Anak itu keluar bersama aku. Apakah kata mereka kalau
anak itu kembali seorang diri, dan besok mayatku diketemukan di sini?”
Mendengar jawaban itu Ki Tambak Wedi
tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Katanya di antara derai tawanya, “He
Widura, ternyata kau tidak sejantan yang aku sangka. Ternyata kau mulai
ketakutan dan mencari jalan untuk menolong dirimu sendiri”
Mendengar suara tertawa dan kata-kata Ki
Tambak Wedi itu, telinga Widura seperti terjilat api. Sehingga ia lupa,
dengan siapa ia berhadapan. hampir berteriak ia membentak, “Cukup!”
Ki Tambak Wedi terkejut mendengar
bentakan itu, sehingga dengan serta-merta derai tertawanya itu terputus.
Dengan tajamnya ia memandang wajah Widura yang masih berkata terus,
“Apakah kau sangka bahwa setiap makhluk akan menyerahkan hidupnya
demikian saja tanpa usaha untuk menyelamatkan diri. Bukankah hak setiap
hidup untuk mempertahankan hidupnya?”
“Tetapi caramu adalah cara yang licik” sahut Ki Tambak Wedi.
“Tidak” bantah Widura. “Tetapi aku hanya
ingin mengatakan, kalau kau bunuh aku, maka pekerjaanmu itu tidak akan
bermanfaat. Setiap orang dapat segera mengambil kesimpulan apa yang
sudah terjadi”
“Seandainya mereka mengetahui sekalipun,
apa yang akan mereka lakukan terhadap Sidanti? Apakah mereka berani
melakukan tindakan apa pun terhadap anak itu?”
“Tentu”
“Aku akan dapat membunuh mereka semua”
“Mereka adalah prajurit-prajurit. Kalau
mereka tak dapat mengatasi seseorang, maka atasannyalah yang akan
melakukan. Bagaimana anggapan Kiai tentang seorang perwira tamtama yang
bernama Pemanahan? Juru Mertani atau adipati Pajang sendiri?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Persetan dengan mereka. Tetapi aku tidak sebodoh yang kau
sangka. Aku sudah bersedia alat untuk membunuhmu. Semua orang mengenal
bahwa senjata Sidanti adalah senjata tajam. Sekarang aku akan membunuhmu
dengan senjata pemukul”
Dada Widura menjadi berdebar-debar
karenanya. Apalagi ketika tiba-tiba ia melihat, Ki Tambak Wedi itu
menarik sebuah tongkat besi dari pinggangnya dibawah kain panjangnya.
Besi itu tidak terlalu panjang. Hanya dua jengkal, sebesar ibu jari
kaki. Diamat-amatinya senjata sambil bergumam seolah-olah ditujukan
kepada diri sendiri, “Hem, bukankah orang yang bersenjata pemukul itu
seorang senapati Jipang yang bernama Tohpati? Dan bukankah mulut Sidanti
juga dapat berkata demikian kepada kawan-kawannya? Lihatlah wajah
Sidanti itu sendiri, dan hampir di seluruh tubuhnya menjadi merah biru.
Itu akan bagus sekali untuk melengkapi ceritanya. Kau berdua berjumpa
dengan Tohpati dan beberapa orangnya. Kalian bertempur mati-matian, dan
kau terbunuh dalam perkelahian itu”
Getar di dalam dada Widura menjadi
semakin cepat. Kini ia benar-benar berhadapan dengan maut. Dan ia tidak
akan dapat menemukan jalan untuk menyelamatkan diri. Meskipun demikian
sama sekali tak terlintas di dalam otaknya untuk memenuhi permintaan
Sidanti, menebus nyawanya dengan menjual kewibawaan Pajang.
Demikianlah maka sesaat mereka berada
dalam keadaan yang tegang. Widura, Sidanti dan Ki Tambak Wedi seperti
tonggak-tonggak yang kaku. Yang mula-mula menyobek kesepian adalah Ki
Tambak Wedi. katanya, “Bagaimana Widura. Apakah kau masih ingin bertahan
pada pendirianmu? Memang keadaanmu masih cukup baik. Kalau kau mati,
maka kau akan dihormati sebagai pahlawan. Namun bukankah lebih baik
apabila kita dapat melihat dan merasakan dalam hidup kita ini kehormatan
itu daripada sesudah kita mati?”
Widura tidak menjawab sepatah katapun. Ia sedang mempersiapkan dirinya menghadapi maut.
“Bagaimana Widura?” bentak Ki Tambak Wedi
yang sudah mulai kehilangan kesabaran. “Kalau kau mati, aku akan
berusaha Sidanti lah yang akan mengganti kedudukanmu. Aku akan pancing
Tohpati, aku akan bunuh pula dia atas nama Sidanti”
Widura menggeram mendengar rencana
gila-gilaan itu. Namun kali ini pun ia tidak menjawab. baginya, sudah
tidak ada gunanya lagi untuk berbicara apapun. Maka yang dapat dilakukan
adalah menunggu apa saja yang akan terjadi.
Ki Tambak Wedi ternyata benar-benar telah
kehilangan kesabaran. Dengan sepotong besi itu ia berjalan mendekati
Widura sambil berkata, “Aku tidak biasa mempergunakan senjata semacam
ini. Tetapi untuk kepentingan Sidanti, aku akan memecah batok kepalamu,
sehingga orang benar-benar menyangka kau mati karena pukulan tongkat
baja putih milik Tohpati itu”
Sekali lagi Widura menggeram. Tanpa
disengaja ia mengangkat pedangnya. Melihat gerak pedang itu Ki Tambak
Wedi tertawa terbahak-bahak. Katanya, “Gila. Apakah kau akan melawan
aku? Dengan satu sentuhan dari anak kecil, kau pasti sudah akan roboh.
Jangan gila. Kau hanya tinggal mempersiapkan kepalamu saja. Manakah yang
sebaiknya aku pukul supaya kau segera mati. Dengan demikian aku sudah
bermurah hati kepadamu”
Mulut Widura benar-benar telah terkunci.
Sesaat ia ingat kepada kemenakannya, Sedayu. Namun ia tidak
menyalahkannya. Saat yang lain dikenangnya kemenakannya yang satu lagi,
Untara. Katanya dalam hati, “mudah-mudahan anak itu masih hidup, dan
mudah-mudahan suatu ketika dijumpainya adiknya itu dan diselamatkannya
dari kerakusan Sidanti yang gila ini”
Widura kini melihat Ki Tambak Wedi itu semakin lama semakin dekat. Suara tertawanya masih saja terdengar berkepanjangan.
Tetapi tiba-tiba suara tertawa itu pun
terputus. Mereka semua terkejut bukan buatan. Apalagi Widura dan
Sidanti. Dalam sepi malam itu terdengar tiba-tiba sebuah ledakan
dahsyat. Sehingga getarannya telah menggerakkan daun-daun pepohonan dan
menggugurkan daun-daun kuning yang tidak mampu berpegangan
dahan-dahannya lagi. Bahkan ledakan itu telah menggetarkan dada mereka
yang mendengarnya. Lebih-lebih Widura dan Sidanti.
Ki Tambak Wedi itu kini tegak seperti
patung. Namun tampaklah ia memusatkan perhatiannya memandang segenap
arah. Matanya yang tajam setajam mata burung hantu itu pun menjadi liar.
Dalam ketegangan itu pun sekali lagi
terdengar suara ledakan itu. Lebih keras dan getarannya semakin dalam
menusuk dada. Widura dan Sidanti terpaksa memejamkan mata mereka dan
memusatkan perlawanan mereka dengan kekuatan batin melawan getaran yang
aneh itu.
Mata Ki Tambak Wedi itu pun menjadi
semakin liar. Bahkan tiba-tiba ia berteriak, “Dahsyat. Kekuatan orang
itu pasti sama dengan kekuatan raksasa. Tetapi jangan seperti seorang
pengecut. Mari, datanglah kemari. Aku bersedia menyambutmu”
Namun tak ada jawaban. Yang terdengar sekali lagi suara ledakan itu. Lebih keras pula dari yang terdahulu.
Ki Tambak Wedi itu pun kemudian menjadi
marah bukan kepalang. Seperti orang gila ia berteriak-teriak, “Ayo,
kemarilah. Jangan bersembunyi. Inilah Tambak Wedi”
Tetapi kemudian tegal itu menjadi sepi.
Suara ledakan itu pun tak terdengar lagi. Mengerutkan keningnya Ki
Tambak Wedi itu masih tegak seperti patung. Ia masih mencoba mengetahui
dari manakah arah suara ledakan-ledakan itu. Namun suara itu tak
terdengar lagi.
Dalam pada itu, tumbuhlah suatu persoalan
di dalam dirinya. Dalam diri Ki Tambak Wedi yang perkasa itu. Ia tidak
akan takut berhadapan dengan seitap orang bagaimanapun saktinya. Ki
Tambak Wedi itu merasa, bahwa dirinya pasti akan mampu menghadapi siapa
saja dalam pertempuran seorang lawan seorang. Biar pun orang itu
Adiwijaya, yang terkenal memiliki aji Lembu sekilan, Rog-rog Asem, Sapu
Angin sejak masa kanak-kanaknya, sejak ia masih bernama Mas Karebet.
Setidak-tidaknya ia pasti akan dapat menyelamatkan dirinya dari
lawannya. Namun orang yang meledakkan lecutan-lecutan itu pun bukan
orang kebanyakan, sehingga apabila ia mengejarnya, maka ada kemungkinan
orang itu berhasil melarikan diri.
Yang kemudian mengganggunya adalah,
apabila Widura itu dibunuhnya, maka ternyata akan hadir sedikit-dikitnya
seorang saksi. Orang yang menyuarakan lecutan-lecutan dahsyat itu.
Dengan demikian maka cerita Sidanti lambat atau cepat, pasti akan
diketahui kebohongannya. Karena itu, tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu pun
mengumpat tak habis-habisnya. Katanya, “Setan itu ternyata berhasil
menolong memperpanjang nyawamu Widura. Ia akan merupakan saksi yang
mengganggu jalan Sidanti. meskipun demikian, ingatlah, Sidanti tak akan
pernah melepaskan tuntutannya. Abiarlah kali ini lau tetap hidup. Aku
beri waktu kau sepasar. Kalau dalam sepasar kau tidak merubah
pendirianmu, dalam setiap kesempatan aku akan dengan mudah membunuhmu.
Mungkin dengan cara-cara yang sangat mengerikan”
Widura masih berdiam diri. Apalagi kini,
dadanya masih dipengaruhi oleh getaran-getaran leacutan yang dahsyat
itu. Karena itu ia sama sekali tidak menjawab kata-kata Ki Tambak Wedi.
“Pulanglah berdua. Jangan membuat persoalan supaya aku mempunyai pertimbangan- pertimbangan lain”
Widura masih tetap tegak seperti
tiang-tiang yang beku. Ia mendengar kata-kata Ki Tambak Wedi itu, namun
seakan-akan ia tidak mengerti maknanya. Setelah ia kehilangan harapan
untuk dapat menyelesaikan tugasnya, membersihkan sisa-sisa laskar
Jipang, karena keinginan Sidanti yang melonjak-lonjak, maka tiba-tiba
dadanya digetarkan oleh suara lecutan yang hampir menggugurkan isi
dadanya, kini ia mendengar Ki Tambak Wedi itu mengurungkan niatnya.
Untuk sesaat Sidanti pun menjadi
seolah-olah kehilangan kesadarannya. Namun seperti orang yang tersentak
bangun dari tidurnya ia mendengar gurunya itu berkata, bahwa Widura akan
dibebaskannya. Karena itu, maka timbullah berbagai pertanyaan di dalam
dirinya. Keadaan itu sudah terlanjur sedemikian buruknya. Apabila Widura
itu masih tetap hidup, apakah keadaannya tidak menjadi semakin sulit.
Maka dengan terbata-bata terdengarlah Sidanti itu bertanya, “Guru, apakah guru akan memaafkan kakang Widura?”
“Tidak” sahut gurunya. “Aku hanya memberinya waktu sepasar”
“Kenapa guru masih memberinya waktu?”
“Ada bermacam-macam pertimbangan. Aku
masih berusaha untuk mencari jalan yang baik bagimu. Kecuali apabila
dalam sepasar Widura masih tetap keras kepala. Selain yang sudah akua
katakan, setan yang memperdengarkan suara lecutan itu pun dapat
mengganggu jalanmu Sidanti, “
“Kenapa guru tidak menangkapnya saja, dan membunuhnya pula?”
“Kau dengar suara lecutannya?” bertanya
gurunya. “Kau merasakan getaran di dadamu? Nah, itu pertanda bahwa orang
itu pun bukan orang kebanyakan. Mungkin ia dapat melepaskan diri dari
tanganku meskipun ia tidak berani langsung melawan aku dalam satu
perkelahian”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun masih tampak di wajahnya, bahwa ia menyesal akan keadaan itu.
Seandainya Widura itu terbunuh dan orang mempercayainya, bahwa yang
membunuh Widura itu Tohpati, menilik dari bekasnya, maka tak seorang pun
yang berani menyatakan dirinya, mengganti kedudukan Widura. Semua orang
di Sangkal Putung menyadari, bahwa tak seorang pun yang dapat melampaui
Sidanti. kecuali kalau Pajang menunjuk orang lain yang dikirim langsung
dari Pajang. Namun siapa pun orang itu, nasibnya tidak akan lebih baik
dari Widura.
Kemudian terdengarlah kembali suara Ki
Tambak Wedi, kali ini kepada Widura. “Nah Widura. Aku masih akan
membiarkan kau hidup sepasar lagi. Kembalilah kalian berdua. Sekali lagi
aku memperingatkan kau Widura. Jangan membuat persoalan atas Sidanti,
supaya aku tidak datang kepadamu bersama-sama dengan Tohpati, untuk
memengal lehermu dan seluruh laskarmu”
Kini Widura telah menyadari keadaannya
seluruhnya. Ia mendengar semua kata-kata Ki Tambak Wedi. ternyata orang
itu sama sekali tidak mempunyai pendirian berpihak antara Pajang dan
Jipang. Ia dapat berada dimana saja yang dapat memberinya keuntungan.
Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi mau pun Sidanti adalah benar-benar
orang yang sangat berbahaya.
Yang terdengar kemudian adalah suara Ki
Tambak Wedi pula, “Nah Sidanti. Jangan cemas, aku akan terus menerus
mengawasi keadaan. Kau dengar pula itu, Widura?”
Sebelum Widura berkata sepatah katapun,
dan sebelum Sidanti menjawab terdengarlah Ki Tambak Wedi itu menggeram.
Kemudian dengan serta-merta dilemparkan potongan besi yang masih
digenggamnya ke arah kaki Widura. Kemudian dengan satu loncatan yang
cepat, Ki Tambak Wedi itu menghilang di balik pepohonan. Ia masih akan
mencoba mencari, siapakah yang telah memperdengarkan suara lecutan yang
dahsyat, yang telah mengganggu pekerjaannya. Namun karena suara itu
sudah tidak terdengar lagi, serta Ki Tambak Wedi menyadari, bahwa belum
pasti ia kan dapat menangkapnya, akhirnya Ki Tambak Wedi itu pun
melepaskan maksudnya.
Sidanti dan Widura masih tegak di tempat
masing-masing. Ketika tanpa sesadarnya Widura memandang potongan besi
yang tergeletak beberapa jengkal di muka kakinya ia terkejut bukan
buatan. Besi itu kini melengkung sehingga kedua ujung-ujungnya hampir
bertemu. Adalah kekuatan yang luar biasa yang dapat melakukannya.
Sepotong besi sebesar ibu jari kaki, yang panjangnya tidak lebih dari
dua jengkal itu dapat dilengkungkannya sedemikian, sehingga hanpir
menjadi sebuah lingkaran.
Widura menarik nafas dalam-dalam. Ki
Tambak Wedi benar-benar luar biasa. Namanya yang menakutkan itu, tidak
saja karena kesombongannya, namun ia benar-benar memiliki kekuatan yang
tidak ada taranya.
Sidanti yang melihat wajah Widura dalam
keremangan malam, serta sikapnya yang gelisah, dan kemudian dengan
serta-merta memungut besi yang hampir menjadi lingkaran itu, tertawa
pendek. Desisnya, “Apa kau heran kakang, bahwa Ki Tambak Wedi dapat
melakukannya? Melengkungkan besi sebesar itu dengan tangannya?”
“Tidak” jawab Widura. “Orang yang sakti
seperti Ki Tambak Wedi itu pasti akan dapat berbuat lebih banyak dari
permainan ini, meskipun permainan ini telah menggoncangkan dadaku”
Sekali lagi Sidanti tertawa. Dengan bibir
yang ditarik kesisi ia berkata, “Sejak saat ini kau jangan terlalu
sombong dan berkeras kepala supaya umurmu tidak hanya terbatas pada lima
hari ini saja”
Widura menggeleng. Sahutnya, “Aku tidak
senang orang lain mencampuri persoalan dalam tata kelaskaran Pajang.
Sudah aku katakan, hidup matiku akan aku pertaruhkan untuk kewibawaan
Pajang”
Sidanti mengangkat alisnya. Namun
kemudian ia tertawa pula. Katanya, “Marilah kita pulang. Setelah kakang
Widura beristirahatn mungkin kakang mempunyai pertimbangan lain”
“Pulanglah dahulu” sahu Widura, “Aku masih mempunyai pekerjaan”
Sidanti menjadi heran. Apakah yang akan
dilakukan oleh Widura itu. Tetapi Sidanti yang sombong itu tak mau
merajuk. Karena itu ia menjawab, “Baiklah aku pulang dahulu”
Sidanti kemudian tidak menungu jawaban
Widura. Segera ia melangkah meninggalkan tempat itu, kembali ke
kademangan Sangkal Putung. Kini ia merasa dapat berbuat sekehendaknya.
Sedang Widura pasti tak akan berani menghalanginya lagi.
“Widura itu hanya malu-malu saja mengakui
kekuasaanku sekarang” katanya dalam hati. “Namun aku yakin bahwa ia
tidak akan berani mengganggu aku lagi”
Sidanti itu tersenyum sendiri. Akan
datang gilirannya Sedayu ditundukkannya. Kalau ia tak mampu melakukan
sendiri, maka cara yang sama seperti yang dilakukan atas Widura itu akan
ditempuhnya, “Anak itu akan jauh lebih mudah diselesaikan”. Katanya
pula, “Kalau ia terbunuh, tak akan ada yang mempersoalkannya selain
Widura. Dan aku yakin Widura pun kini akan berdiam diri”
Sidanti itu kemudian berjalan dengan
wajah yang terang, seakan-akan Sangkal Putung itu benar-benar telah
dikuasainya. Seluruhnya. Dan terbayanglah di wajahnya, seorang gadis
yang manis dan lincah, yang pernah mengaguminya pula, Sekar Mirah.
Dengan modal pimpinan atas Sangkal Putung dan kemudian apabila ia
berhasil membinasakan Tohpati atas namanya, maka pasti ia akan cepat
menanjak. Seterusnya, ia harus pandai memanfaatkan setiap kesempatan.
Widura yang masih tegak di tempatnya,
memandang Sidanti itu sampai hilang dalam gelapnya malam. Ia tersadar
ketika kemudian didengarnya ayam hutan berkokok dikejauhan. Ternyata
malam telah jauh melampaui pusatnya. Dan sebentar lagi akan terdengar
kokok ayam jantan yang terakhir kalinya menjelang fajar.
Perlahan-lahan Widura itu pun
menyarungkan pedangnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai
persoalan yang menekan. Ternyata tugasnya menjadi sangat berat dan
berbahaya. Tidak saja Tohpati dan sisa-sisa laskar Jipang yang lain yang
memusingkan kepalanya, namun Sidanti, bagian dari tubuh sendiri, itu
pun benar-benar hampir mencabut nyawanya. Berturut-turut beterbanganlah
angan-angannya atas pekerjaannya yang berat itu. Tohpati, Sidanti, Ki
Tambak Wedi, Agung Sedayu, dan tak dapat diabaikan pula, usaha untuk
menemukan Untara.
Widura menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian terdengar ia bergumam, “Aku tidak dapat menghindarkan diri dari
kewajiban-kewajiban itu. Meskipun tubuhku akan menjadi lumat
karenanya.”
Perlahan-lahan Widura itu pun
melangkahkan kakinya. Tiba-tiba saja ia merasa muak untuk berjalan
bersama-sama dengan Sidanti . Karena itu dibiarkannya anak muda itu
berjalan dahulu. Dan kini ia pun berjalan meninggalkan tegal yang sepi,
sesepi taman pekuburan. Ketika sekali ia menoleh, dilihatnya pohon jambu
mete itu seperti hantu raksasa yang mengembangkan tangan-tangannya yang
banyak sekali jumlahnya untuk menyergapnya. Namun Widura bukan seorang
penakut. Karena itu ia sama sekali tidak menjadi ngeri melihatnya. Dan
ia masih tetap berjalan perlahan-lahan sambil menghirup udara malam yang
segar.
Meskipun tubuhnya menjadi bertambah
segar, namun hatinya tidak dapat menjadi sesegar tubuhnya.
Berbagai-bagai persoalan, satu demi satu membelit di hatinya. Dan ia
tidak mempunyai seorang kawan pun yang dapat diajaknya untuk
membicarakan kesulitan-kesulitannya. Ki Demang Sangkal Putung pun
tidak. Sebab dengan demikian Demang Sangkal Putung itu akan mempunyai
pandangan-pandangan yang berbeda arah penelaahannya. Hudaya, Citra Gati
dan orang lain pun pasti akan menuruti perasaannya saja, tanpa
mempertimbangkan dengan pikiran, serta tanpa memandang kepentingan yang
lebih besar dan jauh. Karena itu pikiran Widura itu pun menjadi suram.
Namun betapa pun juga, dicobanya untuk mengatasi kesulitan itu dengan
sebaik-baiknya.
Ketika Widura telah keluar dari daerah
pategalan itu, tiba-tiba saja ia membelok kekiri. Ia terkejut sendiri
atas langkahnya, “Hem” gumamnya, “Akan kemanakah aku ini?” Tetapi ia
meneruskan langkahnya. Tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk pergi ke
gunung Gowok. Ia tidak menyadari sepenuhnya, apakah kepergiannya itu
akan bermanfaat baginya. Namun, karena pikiran yang suram itu, inginlah
ia berbuat sesuatu. Kiai Gringsing yang hampir setiap malam ditemuinya
di gunung Gowok, kemudian ternyata mendapat tempat tersendiri di dalam
hatinya. Orang yang berbuat dan berbicara seenaknya, seakan-akan hidup
ini hanyalah sebuah permainan yang menyenangkan saja.
“Apakah aku dapat berbicara dengan orang
itu?” gumamnya. Tetapi kemudian ia pun sadar, bahwa ia pasti akan
menjadi kecewa karenanya. Orang bertopeng itu pasti akan
mentertawakannya, dan menyuruhnya supaya membicarakan dengan orang yang
disebutnya gurunya, Sedayu. Karena itu pulalah Widura itu sering
mengumpat di dalam hati. Namun kali ini ia benar-benar ingin menemuinya.
Tetapi Widura itu menjadi ragu-ragu.
Apakah Kiai Gringsing masih berada di sana? Hampir setiap malam ia
datang bersama Sedayu, tetapi sebelum tengah malam. Dan kali ini tengah
malam itu telah jauh lampau. Meskipun demikian Widura itu berjalan
terus.
Di perjalanan itu, kadang-kadang
pikirannya diganggu juga oleh suara lecutan yang dahsyat yang telah
menyelamatkannya. Bahkan kemudian timbul juga berbagai pertanyaan di
dalam dirinya, siapakah orang yang telah berbuat itu? Apakah ada orang
aneh lagi selain Kiai Gringsing? Apakah mungkin Kiai Gringsing pula yang
melakukannya?
Widura menjadi ragu-ragu. Ia mengagumi
kesaktian Kiai Gringsing, namun apakah orang itu mampu menggetarkan
dadanya dengan suara lecutan itu, dan memaksa Ki Tambak Wedi merubah
rencananya?
Gunung Gowok itu kini sudah tidak jauh
lagi berada di hadapannya. Dalam keremangan malam, telah dilihatnya
pohon kelapa sawit tegak di atas puntuk kecil itu. Namun sebelum ia
meloncati parit dan berjalan di atas pematang, tiba-tiba Widura itu
terkejut bukan kepalang, sehingga ia terlonjak karenanya. Dekat di
belakangnya, didengarnya sebuah letusan yang dahsyat, yang hampir saja
menggugurkan isi dadanya.
Secepat-cepatnya Widura berusaha untuk
memutar tubuhnya. Dan dengan gerak naluriah tangannya meraba hulu
pedangnya. Namun tenaganya yang memang belum pulih itu, seakan-akan
tidak mampu untuk melakukan sesuatu. Apalagi getaran di dalam dadanya
masih terasa memukul-mukul tak henti-hentinya.
Namun Widura tak melihat seorangpun.
Dengan sekuat-kuat tenaganya ia memusatkan kekuatan batinnya melawan
getaran-getaran yang masih saja melanda jantungnya. Sehingga lambat laun
ia berhasil pula menenangkan dirinya.
Tetapi ia masih belum melihat seorang pun
di sekitarnya. Karena itu Widura menjadi gelisah. Tangan kanannya masih
melekat dihulu pedangnya. Dan bahkan setelah getaran-getaran di dalam
dadanya mereda, Widura itu pun telah siap untuk menghadapi setiap
kemungkinan yang bakal terjadi, meskipun ia sadar, bahwa tenaganya masih
belum separo pulih kembali.
Tetapi sekali lagi Widura terkejut. Bukan
oleh suara lecutan yang dahsyat. Tetapi kali ini terdengarlah suara
tertawa. Suara yang bernada tinggi dan nyaring.
Dengan serta-merta Widura itu pun
berpaling. Hampir ia mengumpat ketika dilihatnya seseorang duduk di atas
pematang di antara batang-batang padi muda. Dan Widura itu pun segera
mengenalnya. Orang itulah yang dicarinya, Kiai Gringsing.
“Ah” desis Widura. “Kiai benar-benar mengejutkan aku”
“Oh” sahut Kiai Gringsing, “Maafkan aku.
Aku kira kau senang mendengar lecutan-lecutan itu. Coba Widura apakah
kau bisa berbuat seperti aku?”
Sebelum Widura menjawab, Kiai Gringsing
itu sudah berdiri dan diberikannya kepada Widura sebuah cambuk lembu
yang sederhana. Bertangkai bambu cendani dan ujungnya pun dibuatnya dari
anyaman bambu siladan pula.
Dada Widura bergetar karena itu. Ternyata
orang yang membunyikan lecutan-lecutan itu adalah Kiai Gringsing dengan
cambuk bambu yang sangat sederhana pula. Karena itu, maka betapa
kagumnya pemimpin laskar Pajang itu. Bahkan dengan serta-merta
terloncatlah pertanyaannya, “Jadi adakah Kiai tadi yang membunyikan
cambuk itu berturut-turut tiga kali?”
Kiai Gringsing itu tertawa. Jawabnya, “Aku sedang bermain-main”
“Tetapi perbuatan Kiai itu ternyata telah menolong jiwaku” sahut Widura.
“He” Kiai Gringsing terkejut. Katanya, “Bagaimana itu terjadi. Apa hubungannya bunyi lecutan itu dengan jiwamu?”
Widura telah mengenal Kiai Gringsing
beberapa lama. Karena itu maka ia pun telah dapat mengerti serba sedikit
tentang sifat orang bertopeng itu. Maka jawabnya, “Suara lecutan itu
telah menakut-nakuti orang yang akan membunuhku”
“Kau akan dibunuh orang?” bertanya Kiai Gringsing itu.
Widura kini benar-benar mengumpat di
dalam hati. Ia tahu benar bahwa Kiai Gringsing telah berbuat dengan
sadar untuk menolongnya. Namun terpaksa ia menjawab pula, “Ya Kiai”
“Apakah persoalannya, sehingga seseorang berbuat demikian jahatnya?” orang bertopeng itu bertanya
Widura menjadi ragu-ragu sejenak. Ingin
ia mengutarakan semua persoalan-persoalan yang menyumbat dadanya, namun
setelah ia bertemu dengan orang aneh itu, ia menjadi ragu-ragu. Karena
itu ia ingin menjajaginya, apakah pintu terbuka baginya untuk menyatakan
kesulitan-kesulitannya. “Kiai” katanya, “Aku ternyata mempunyai banyak
persoalan-persoalan di sini. Persoalan di dalam lingkungan sendiri dan
persoalan yang aku hadapi atas sisa-sisa laskar Jipang”
Widura benar-benar menjadi kecewa ketika
tiba-tiba Kiai Gringsing itu tertawa. Katanya, “Kau benar bodoh Widura.
Bukankah di Sangkal Putung ada gurumu. Nah katakan kepadanya
kesulitan-kesulitanmu itu. Jangan kau katakan kepadaku”
“Tetapi bukankah Kiai bertanya?” potong Widura.
“Marilah kita tidak mempersoalkan lagi
tentang hal-hal yang mengerikan. Aku takut mendengar perkara-perkara
pembunuhan. Sekarang coba, apakah kau dapat membunyikan cambuk itu”
Sekali lagi Widura menarik nafas panjang.
Panjang sekali. Ditatapnya wajah yang bersembunyi di balik topeng itu.
Namun yang tampak baginya tidak lebih dari wajah mayat dari kayu yang
menyelubungi wajah Kiai Gringsing itu.
Widura mengangkat alisnya ketika ia pun
mendengar orang bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam. Namun hanya
sesaat. Yang kemudian terdengar adalah kata-kata orang bertopeng itu
pula, “Nah, cobalah”
Widura tidak dapat berbuat lain daripada
mencoba membunyikan cambuk itu. Dengan satu gerakan menyentak sendal
pancing ia mencobanya. Dan terdengarlah sebuah lecutan yang keras, namun
hanya sekeras para penggembala membunyikan pecut-pecut mereka.
“Ternyata kau tidak sepandai aku” berkata Kiai Gringsing, “Berikan cambuk itu” mintanya.
Dengan hati yang kosong Widura
menyerahkan cambuk bambu itu. Dan tiba-tiba sekali lagi menggeletar
suara cambuk yang dahsyat. Dan sekali lagi getaran yang dahsyat pula
menghantam dada Widura. Untunglah ia segera berhasil memusatkan kekuatan
batinnya, sehingga dadanya tidak meledak karenanya. Dengan penuh
ketekunan Widura kemudian mencoba menenangkan hatinya. Mencoba meredakan
getaran-getaran yang menghentak-hentak jantungnya.
Ketika ia hampir berhasil terdengarlah
suara Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Jangan marah Widura. Aku hanya
bermain-main. Agaknya kau terkejut karenanya”.
Widura yang menjadi jengkel itu tiba-tiba
teringat pada besi yang dibawanya. Besi yang hampir menjadi sebuah
lingkaran. Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Kiai, aku juga mempunyai
permainan. Apakah Kiai pernah bermain-main dengan lingkaran ini?”
Suara tertawa Kiai Gringsing itu pun terputus. Diperhatikannya potongan besi di tangan Widura itu dengan seksama.
Dilihatnya sepotong besi yang melengkung, sehingga kedua ujung dan pangkalnya hampir bertemu.
“Permainan apakah ini?” bertanya Kiai Gringsing.
Widura kemudian memberikan potongan besi itu kepada Kiai Gringsing sambil berkata, “Permainan yang dibawa oleh Ki Tambak Wedi”
Kiai Gringsing menerima sepotong besi itu
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Permainan
aneh. Bagaimanakah Ki Tambak Wedi itu bermain? Dilemparkan atau
diguling-gulingkan?”
Sekali lagi Widura mengumpat di dalam
hati. Namun Widura pun menyadari, bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di
balik sikap Kiai Gringsing yang dibuat-buat itu. Meskipun demikian, ia
menjawab, “Tidakkah Kiai pernah bermain-main dengan benda-benda yang
demikian? Aku sangka orang-orang tua suka bermain-main dengan
potongan-potongan besi demikian seperti Ki Tambak Wedi. aku sendiri
tidak tahu, apakah yang menyenangkan Ki Tambak Wedi namun ia membuat
lingkaran-lingkaran semacam itu”
Kiai Gringsing itu pun menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak pernah bermain-main dengan benda-benda semacam itu. Inilah”
Sekali lagi Widura menjadi kecewa. Ia
ingin mengatakan kepada Kiai Gringsing bahwa kekuatan Ki Tambak Wedi itu
telah berhasil melengkungkan besi itu. Namun sebelum ia berkata apaun,
dilihatnya Kiai Gringsing melemparkan besi itu ke arahnya sambil
berkata, “Terimalah”
Dengan gerak naluriah Widura melangkah ke
samping. Potongan besi itu tepat mengarah kemata kakinya. Karena itu ia
harus menghindarinya. Namun ketika kemudian ditatapnya potongan besi
yang kini tergeletak di sampingnya, kembali dadanya bergoncang dahsyat
sekali. Ia menjadi lebih terkejut lagi dari pada saat ia melihat besi
melengkung itu dilemparkan dibawah kakinya, oleh Ki Tambak Wedi. dengan
dada yang bergolak, tanpa sesadarnya Widura memungut potongan besi itu.
Dan dengan tangan gemetar ia memeganginya. Namun potongan besi itu kini
telah lurus kembali. “Alangkah dahsyatnya!” katanya di dalam hati.
“Meluruskan potongan besi ini dengan tangan jauh lebih sulit daripada
melengkungkannya. Tetapi orang bertopeng itu telah melakukannya”
Sebelum getaran di dalam dadanya itu
mereda, terdengarlah Kiai Gringsing itu berkata, “Nah Widura, kalau kau
bertemu sekali lagi dengan Ki Tambak Wedi, tanyakanlah kepadanya. Apakah
yang menarik hatinya untuk bermain-main dengan besi-besi semacam itu.
Apakah besi-besi semacam itu pulalah yang dipakainya sebagai gelang di
tangan atau kakinya? Aku sendiri tidak senang bergelang dan berbinggel
dikaki. Apakah bergelang akar atau besi sekalipun”
Kini Widura telah berhasil menenangkan
dirinya dari ketakjubannya. Meskipun demikian, kekagumannya kepada orang
bertopeng itu menjadi bertambah-tambah. Katanya, “Kiai, ternyata Kiai
lebih pandai bermain dengan potongan-potongan besi daripada Ki Tambak
Wedi”
“He?” orang bertopeng itu terkejut, “Apakah aku bermain-main dengan besi itu?”
“Kiai telah berhasil meluruskannya,
“sahut Widura. “Aku menjadi takjub ketika aku melihat Ki Tambak Wedi
dengan tangannya berhasil melengkungkan potongan besi itu. Aku kagum
akan kekuatan yang tersimpan di dalam tangannya. Tetapi kini, ternyata
Kiai dapat pula berbuat demikian. bahkan lebih mentakjubkan lagi.
Bukankah meluruskan besi itu lebih sulit dari melengkungkannya?”
Terdengarlah kemudian Kiai Gringsing itu
tertawa terkekeh-kekeh. Di antara derai tawanya itu terdengar ia
berkata, “Kau memuji aku Widura. Aku menjadi senang sekali karenanya.
Apakah kau sudah kawin?”
Pertanyaan itu benar-benar tak diduganya.
Karena itu Widura menjadi bingung, sehingga Kiai Gringsing itu
mendesaknya, “He Widura, apakah kau sudah kawin?”
“Sudah Kiai” jawab Widura.
“Sudah punya anak?”
“Sudah Kiai, seorang”
“Sayang” berkata orang bertopeng itu
masih dalam derai tertawanya, “Kalau belum, kau akan aku ambil untuk
menantu meskipun aku tidak punya anak perempuan”
Kembali Widura menarik nafas dalam-dalam
sambil mengumpat di dalam hati. Namun ia berdiam diri. Dibiarkannya Kiai
Gringsing berkata sekehendak hatinya. Namun ia masih dicengkam oleh
kekaguman pada orang itu. Orang yang dengan suara lecutan yang dahsyat
telah memperpanjang umurnya, dan dengan kedua tangannya, tanpa
dilihatnya telah berhasil meluruskan besi yang melengkung itu. “Kalau
demikian” katanya dalam hati, “Apakah dugaan Ki Tambak Wedi tidak
keliru? Ki Tambak Wedi menganggap bahwa tidak ada orang sakti selain
dirinya di daerah ini. Bagaimanakah dengan orang bertopeng ini? Orang
yang namanya sama sekali tak dikenal selain olehku dan Agung Sedayu”
Tetapi Widura kemudian terkejut ketika
dikejauhan terdengar suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Ketika
ia memandang ketimur, membayanglah warna-warna semburat merah di atas
garis cakrawala.
“Hampir fajar” desisnya.
Kiai Gringsing itu pun menengadahkan
wajahnya. kemudian katanya, “Ya, hampir fajar. Aku harus segera kembali
sebelum terang tanah. Orang akan menyangka aku sebagai penari topeng
yang kesiangan”
“Kenapa Kiai pakai topeng?” tiba-tiba saja terluncur pertanyaan itu dari mulut Widura.
Kiai Gringsing tiba-tiba terpaku pula di
tempatnya. Diawasinya wajah Widura dengan tajamnya. Namun tanpa menjawab
pertanyaan itu, Kiai Gringsing melangkah meninggalkan Widura seorang
diri.
Widura mengawasi langkah Kiai Gringsing
dengan hati yang berdebar-debar. Tiba-tiba saja keinginannya untuk
mengetahui siapakah sebenarnya orang bertopeng itu melonjak-lonjak di
dalam dadanya. Sehingga tiba-tiba ia meloncat sambil berteriak, “Kiai,
berhentilah”
Kiai Gringsing itu pun berhenti. Ketika
ia berpaling, dilihatnya Widura meloncati parit dan berlari ke arahnya,
“Aku ingin tahu, siapakah Kiai sebenarnya”
“Jangan” jawab Kiai Gringsing. “Kelak akan sampai saatnya, kau tahu siapakah aku, sekarang belum”
“Tidak” jawab Widura. “Aku ingin tahu sekarang”
“Jangan” berkata Kiai Gringsing seperti
orang yang ketakutan. Ketika ia melihat Widura menjadi semakin dekat,
tiba-tiba Kiai Gringsing itu pun berlari pula, sambil berkata, “Jangan
Widura. Kenapa kau masih saja akan menangkap aku?”
Namun Widura tidak memperdulikannya.
Bahkan ia semakin mempercepat larinya. Ia benar-benar berusaha untuk
dapat menangkap Kiai Gringsing.
Demikianlah maka mereka berdua berlari
berkejar-kejaran. Kiai Gringsing itu berlari-lari di sepanjang pematang,
melingkari gunung Gowok dan berputar-putar. Meskipun demikian, Widura
belum berhasil menangkapnya. Bahkan jarak mereka semakin lama menjadi
semakin jauh.
Akhirnya, Widura itu pun tertegun
sendiri. Kiai Gringsing itu seakan-akan lenyap begitu saja, seperti asap
dihembus angin. Widura yang terengah-engah itu berdiri tegak seperti
patung di atas pematang yang basah. Ketika kemudian disapukannya
pandangan matanya berkeliling, dilihatnya dikejauhan, Kiai Gringsing
melambaikan cambuknya. Hanya lamat-lamat terdengar suaranya, “Besok kita
bermain-main lagi digunung kecil itu Widura”
Widura menarik nafas. Tiba-tiba saja ia
menjadi geli sendiri atas kelakuannya. Bahkan ia menjadi malu pula.
Gumamnya, “Gila. Apakah aku telah kejangkitan penyakit Kiai Gringsing
itu pula? Untunglah tak seorang pun yang melihatnya”
Widura yang kemudian menyadari keadaannya
itu, kini melangkah di atas pematang menuju jalan kembali kekademangan
Sangkal Putung. Kadang-kadang ia tersenyum sendiri. Dan berkali-kali iam
merasa, bahwa hampir-hampir saja ia kejangkitan penyakit Kiai Gringsing
yang aneh itu.
Widura itu pun kemudian mempercepat langkahnya. Ia tidak mau kesiangan sampai di kademangan.
Warna-warna merah di ujung timur semakin
lama menjadi semakin tegas. Ketika Widura menjadi semakin dekat dengan
induk desa Sangkal Putung, semakin riuhlah suara kokok ayam jantan yang
seakan-akan menyambutnya. Namun Sangkal Putung tampaknya masih lelap di
balik kabut malam yang seakan-akan awan yang keabu-abuan menyelimuti
raksasa yang kedinginan.
Widura itu pun mempercepat langkahnya. Ia
masih harus sembahyang subuh, sebelum melakukan pekerjaannya yang lain.
Karena itu, ia harus sampai di kademangan sebelum hari menjadi terang.
Ketika Widura itu hampir sampai di regol
halaman kademangan, ia menjadi terkejut. Dalam keremangan embun
menjelang fajar, dilihatnya beberapa orang bergerombol di muka regol
itu, lebih banyak dari yang seharusnya.
Dan Widura menjadi berdebar-debar pula,
ketika tiba-tiba ia mendengar salah seorang yang melihatnya berteriak,
“Itulah Ki Widura telah datang”
Widura itu pun berjalan semakin cepat
pula. Di muka regol itu dilihatnya Hudaya, Citra Gati, Sonya, Sendawa
dan beberapa orang lainnya. Hampir semua dari mereka itu, memegang
senjata mereka masing-masing.
“Apa yang terjadi?” bertanya Widura serta-merta.
Citra Gati itup pun kemudian melangkah maju. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menjawab, “Ternyata kami hanya berprasangka”
“Tentang apa” bertanya Widura pula.
Citra Gati berpaling ke arah Hudaya.
Seakan-akan ia minta pertimbangan sahabatnya itu. Namun Hudaya segera
memalingkan wajah ke arah lain.
Tampaklah mulut Citra Gati berkumat kamit
mengumpati Hudaya. Namun yang kemudian dikatakannya adalah, “Kami
berprasangka atas Sidanti, “
“Kenapa dengan Sidanti?” bertanya Widura pula
Sekali lagi Citra Gati berpaling ke arah
Hudaya, namun Hudaya masih memandang ke bintang-bintang yang masih
bergemerlapan di langit. Karena itu ia menjawab sendiri, “Kami
mengetahui bahwa kakang pergi bersama Sidanti, namun kemudian Sidanti
itu kembali seorang diri. Ketika ada di antara kami yang menanyakan
kepadanya, ia menjawab namun sangat meragukan kami”
Widura itu pun menarik nafas dalam-dalam.
Dadanya benar-benar berguncang mendengar kata-kata Citra Gati. Ia
menjadi berbangga bahwa anak buahnya itu demikian setia kepadanya. Namun
ia melihat bahaya yang besar pula yang ada di antara mereka. Bahaya
yang setiap saat dapat meledak. Ternyata kawan-kawan Sidanti sudah
demikian muaknya kepada anak muda yang sombong itu, sehingga setiap
kesempatan, benturan-benturan di antara mereka agaknya sulit untuk
dihindarkan. Namun betapa pun juga Widura harus memperhitungkan kekuatan
di belakang Sidanti. Ki Tambak Wedi. Kalau sampau terjadi sesuatu atas
muridnya itu, maka tidak mustahil Ki Tambak Wedi akan melakukan
pembalasan dendam yang mengerikan. Bahkan tidak mustahil bahwa Ki Tambak
Wedi dapat meminjam tangan Tohpati untuk melakukannya. Kalau Ki Tambak
Wedi kehilangan Sidanti, maka Tohpati dapat diambilnya menjadi gantinya.
Dan keadaannya akan menjadi semakin kalut. Karena itu, selagi ia belum
menemukan cara penyelesaian yang sebaik-baiknya, maka ia harus
menghindarkan setiap bentrokan yang mungkin terjadi.
Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang
kawan-kawannya itu masih berdiri di seputar Widura. Sehingga dengan
demikian Widura itu terpaksa membubarkannya, “Nah, kembalilah kalian ke
tempat kalian masing-masing. Kalian jangan terlalu berprasangka kepada
seseorang. Untunglah belum terjadi sesuatu atas kalian. Ternyata aku
sekarang aku kembali utuh”. Namun di dalam hatinya Widura itu berkata,
“Hampir saja aku tidak kembali. Kalau terjadi demikian, maka apakah
kira-kira yang dapat timbul di kademangan ini? Apakah anak-anak ini
percaya bahwa aku terbunuh oleh Tohpati?
Tetapi Widura itu tidak berkata apa-apa
lagi. Ia langsung berjalan menyibak orang-orang yang berdiri di muka
regol itu masuk ke pringgitan.
Demikian ia membuka pintu pringgitan, ia
melihat Agung Sedayu masih duduk terpekur. Anak muda itu terkejut ketika
mendengar pintu bergerit, dan ketika berpaling, dan dilihatnya pamannya
kembali, tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. Dan tiba-tiba saja Agung
Sedayu itu menarik nafas dalam-dalam.
Widura itu pun segera pergi ke pembaringannya, melepaskan ikat pinggangnya dan meletakkan pedangnya.
“Apakah kau sudah bersembahyang?” terdengar ia bertanya.
“Sudah paman” jawab Agung Sedayu.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tanpa berkata sepatah pun ia melangkah keluar kembali, pergi ke perigi.
Ketika sekali lagi ia menengadahkan wajahnya kelangit, terdengar ia
bergumam, “Hampir fajar”
Baru setelah Widura itu selesai
bersembahyang, maka ia pun segera duduk pula bersama-sama Sedayu. Widura
itu menggigit bibirnya ketika dilihatnya Sekar Mirah membawa minuman
hangat untuk mereka. Bukanlah kebiasaannya uantuk menyuguhkan makan dan
minum itu dahulu. Tetapi sejak Agung Sedayu berada di kademangan itu,
pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh pembantu-pembantunya, kini telah
diambil alih olehnya.
“Marilah paman” katanya, “Mumpung masih hangat”
“Terima kasih Mirah” sahut Widura.
“Apakah kakang Sedayu tidak ingin berjalan-jalan?” terdengar gadis itu bertanya pula kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu menggeleng lemah. Jawabnya singkat, “Tidak, Mirah”
“Ah, hari cerah. Apakah kakang dapat mengantarkan aku kewarung sebentar?” ajak gadis itu.
Sekali lagi Sedayu menggeleng.meskipun
sebenarnya ingin juga ia pergi, namun ia tidak berani melakukannya.
Karena itu jawabnya, “Tidak Mirah. Aku sedang sibuk di sini”
Sekar Mirah menjadi kecewa. Ditatapnya
wadah Widura seakan-akan ia minta ijin untuk Sedayu. Namun Widura itu
menundukkan wajahnya, merenungi air jahe panas di hadapannya. Meskipun
demikian Sekar Mirah itu masih mencoba memaksanya, katanya, “Aku harus
berbelanja untuk kalian, namun aku takut seandainya aku bertemu dengan
Sidanti di jalan”
Widura kini mengangkat wajahnya.
Dilihatnya Agung Sedayu menjadi bingung untuk menjawab pertanyaan Sekar
Mirah itu. Maka Widura itu pun berkata, “Mirah, jangan takut kepada
Sidanti. Anak itu bukanlah anak yang jahat. Namun kadang-kadang ia
menjadi kecewa karena sikap Sedayu. Nah, pergilah tanpa Sedayu. Aku
menjadi jaminan, bahwa tak akan terjadi sesuatu. Apabila kau pergi
bersama Sedayu, maka anak muda itu akan bertambah kecewa, dan ia akan
dapat berbuat aneh-aneh di Sangkal Putung ini.”
Wajah Sekar Mirah itu menjadi merah.
Betapa ia menjadi sangat kecewa mendengar kata-kata Widura itu. Ternyata
menurut penilaiannya, Widura berpihak kepada Sidanti. “Aneh” katanya
dalam hati. “Bukankah Sedayu itu kemenakannya sendiri?” Meskipun
demikian ia tidak berkata apa pun lagi. Ketika sekali ia memandang wajah
Sedayu, dilihatnya wajah itu menunduk dalam-dalam. “Anak muda itu
menjadi kecewa pula” pikir gadis itu.
Perlahan-lahan Sekar Mirah pergi
meninggalkan pringgitan. Sekali-sekali ia berpaling. Namun baik Widura
mau pun Agung Sedayu tidak lagi memandanginya. Meskipun demikian, Sekar
Mirah itu masih dapat menghibur dirinya, “Sedayu tidak marah kepadaku”
katanya dalam hati. “Ia hanya takut kepada pamannya”
Pagi itu, Sekar Mirah pergi kewarung
seorang diri. Sebenarnya ia pun sama sekali tidak takut seandainya
Sidanti berbuat sesuatu atasnya. Apalagi hari telah berangsur terang,
dan di sepanjang jalan telah menjadi riuh oleh orang-orang yang pergi
datang kewarung di ujung desa.
Widura dan Agung Sedayu yang duduk di
pringgitan itu terkejut ketika mereka mendengar gerit pintu terbuka.
Mereka menggeser duduk mereka, ketika dari pintu itu muncul Ki Demang
Sangkal Putung. Wajahnya yang sudah mulai ditumbuhi oleh garis-garis
umur itu tampak tersenyum. sambil duduk di samping Widura terdengar ia
berkata, “Hampir semalam suntuk adi berkeliling malam ini”
Widura tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya kakang”
“Bukankah tidak ada sesuatu yang mencurigakan?” bertanya ki Demang itu pula.
Widura menggeleng, “Tidak kakang”
Ki Demang Sangkal Putung itu pun kini
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Anak-anak sudah siap
untuk mengadakan perlombaan-perlombaan yang dapat menarik hati mereka
dan menghilangkan kejemuan. Apakah anak-anak adi Widura berminat pula?”
“Ya” sahut Widura, “Aku senang dengan rencana itu”
“Kita dapat segera menyelenggarakannya” berkata Ki Demang itu pula.
Widura itu pun tiba-tiba termenung.
Apakah perlombaan-perlombaan itu akan dapat menggembirakan anak buahnya
dalam keadaan seperti kini. Ia pasti bahwa perlombaan apa pun Sidanti
lah yang akan memenangkannya. Namun akhirnya ia menjawab, “Baiklah
kakang, meskipun kami semuanya sudah tahu, siapakah yang akan menjadi
pemenangnya. Namun akan menyenangkan pula bagi mereka yang akan menjadi
pemenang kedua, ketiga dan seterusnya”
Mendengar keputusan Widura itu, Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu pasti akan menyenangkan
anak-anak muda Sangkal Putung. Perlombaan-perlombaan yang demikian akan
menghilangkan kejemuan, dan mereka merasa bahwa dengan
perlombaan-perlombaan itu, mereka mendapatkan beberapa kebanggaan.
“Kapan perlombaan itu akan kita adakan?” bertanya ki Demang.
Widura mengerutkan keningnya. Tiba-tiba
terngiang ditelinganya kata-katanya Ki Tambak Wedi bahwa waktu yang
diberikan kepadanya hanyalah sepasar. Karena itu, maka apa pun yang akan
dilakukan harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinannya dengan
ancaman itu. Widura percaya bahwa orang semacam Ki Tambak Wedi itu pasti
akan mampu melakukan apa saja yang dikatakannya.
Karena itu maka katanya, “Adakah anak-anak Sangkal Putung telah bersiap untuk melakukan perlombaan ini?”
“Sudah lama mereka mempersiapkan diri”
jawab Ki Demang. “Mereka telah berlatih menggunakan panah, tombak dan
bermacam-macam alat untuk berlomba. Sodoran di atas kuda dan
bermacam-macam lagi”
“Bagus” sahut Widura. namun kemudian
terlintas di dalam angan-angannya setiap sikap dan prasangka pada anak
buahnya. Apakah perlombaan-perlombaan yang demikian tidak akan
menimbulkan persoalan baru? Pedang, tombak dan semacam itu akan sangat
berbahaya bagi anak buahnya yang sedang dibakar oleh ketidak puasan atas
sikap satu dengan yang lain. Karena itu, maka kemudian jawabnya,
“Kakang. Kita memilih segi-segi yang paling tidak berbahaya dalam
perlombaan ini. Terutama bagi anak buahku sendiri. Mereka adalah
prajurit-prajurit yang telah mengalami pertempuran, sebenarnya
pertempuran, beberapa puluh kali. Karena itu perlombaan-perlombaan
dengan pedang dan tombak tidak akan menyenangkan mereka. Sekali pedang
dan tombak mereka terayun, maka tujuan mereka adalah melepaskan nyawa
lawan-lawan mereka. Sehingga dengan demikian pedang-pedang rotan dan
tombak yang berujung bola hanya akan menimbulkan kekecewaan saja.
Meskipun demikian, biarlah mereka diberi kesempatan untuk bermain-main.
Yang paling baik adalah lomba mempergunakan panah. Sedang bagi anak-anak
Sangkal Putung biarlah mereka mendapat kesempatan untuk mempergunakan
segala macam senjata”
Ki Demang Sangkal Putung itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak langsung menangani
anak-anak Widura, namun terasa pula olehnya, sikap-sikap yang amat
menyulitkan bagi Widura untuk mengatasinya. Karena itu maka jawabnya,
“Baiklah adi. Aku sependapat. Jadi kapan kita adakan perlombaan ini?”
Sekali lagi Widura merenung. Harus sebelum waktu yang sepasar itu tiba. Maka jawabnya, “Secepatnya kakang”
“Besok?” bertanya Ki Demang.
“Apakah hal itu mungkin?” sahut Widura.
“Mungkin sekali bagi anak-anak Sangkal Putung” jawab Ki Demang. “Tetapi bagaimana dengan anak buah adi?”
“Anak buahku bersiap setiap saat” sahut Widura, “Jangankan perlombaan, bertempur pun siap”
Ki Demang tersenyum mendengar jawaban Widura. katanya, “Tentu. Hampir aku lupa, bahwa mereka adalah prajurit-prajurit”
Widura pun kemudian tersenyum pula.
Ketika kemudian Ki Demang itu keluar dari
pringgitan, Swandaru telah berdiri tegak bertolak pinggang di pendapa.
Terdengar ia tertawa riuh sambil berkata, “He paman Hudaya, kenapa paman
tidur disitu?”
Hudaya yang terkantuk-kantuk bersandar
pohon sawo terkejut mendengar sapa Swandaru. Kemudian sambil
menggeleng-gelengkan kepala seakan-akan hendak mengusir kantuknya ia
menjawab, “Hem, semalam aku hampir tidak tidur sekejappun”
“Kenapa? Apa paman sedang bertugas?”
Hudaya menggeleng, “Tidak. Tetapi aku bermimpi buruk”
Swandaru tertawa pula, “Mimpi apa?”
“Aku mimpi kau digigit anjing” jawab Hudaya.
Sekali lagi Swandaru tertawa
terkekeh-kekeh. Tubuhnya yang bulat itu terguncang-guncang. Beberapa
orang yang mendengar suara tertawanya berpaling ke arahnya. Ketika
mereka melihat Swandaru, maka mereka tidak memperdulikannya lagi. Anak
itu selalu saja tertawa, seakan-akan ia tidak mempunyai pekerjaan lain,
selain tertawa. Tetapi sekali lagi orang-orang itu berpaling ketika
suara Swandaru itu tiba-tiba saja terputus. Dan orang-orang itulah yang
kemudian tertawa di dalam hatinya. Menggelikan sekali. Swandaru itu
tiba-tiba saja menjadi tegang ketika melihat Sidanti lewat dimukanya.
Namun Sidanti itu berpaling pun tidak.
“Apa kerjamu di sini Swandaru?” terdengar Ki Demang bertanya.
Swandaru mengerutkan keningnya. Dengan
lantang ia menjawab seakan-akan sengaja supaya Sidanti mendengarnya,
“Apa pun yang aku lakukan, bukankah aku berada di rumahku sendiri?”
“Hus” bentak ayahnya. “Jangan ngelindur.
Pergi ke kawan-kawanmu. Katakan, perlombaan diadakan besok di tanah
lapang di muka banjar desa”
“He” Swandaru menjadi sangat gembira, “Besok ayah?”
“Ya”
Swandaru itu pun segera berlari menghambur. Langsung ia berlari ke banjar desa dimana kawan-kawannya sering berkumpul.
Tetapi selain Swandaru, anak buah Widura
pun mendengar kata-kata ki Demang itu. Mereka sudah mendengar pula
sebelumnya bahwa akan diadakan perlombaan bagi mereka. Meskipun mereka
senang juga menyelenggarakannya, namun mereka tidak segembira anak-anak
muda Sangkal Putung itu.
Sidanti pun mendengar kabar itu. Di sudut
pendapa, di tempatnya, ia tersenyum. Katanya dalam hati, “Hem, siapa
yang akan mencoba melawan Sidanti? Dengan rotan pun aku akan mampu
membunuh, setidak-tidaknya melumpuhkan orang-orang macam Hudaya, Citra
Gati dan tikus-tikus bodoh itu. Apalagi dengan tombak berujung bola.
Atau barangkali anak muda yang bernama Agung Sedayu itu?”
Hari itu Sangkal Putung benar-benar
menjadi sibuk. Seakan-akan di Sangkal Putung akan diselenggarakan suatu
peralatan yang maha besar. Anak-anak muda berjalan hilir mudik simpang
siur dengan tergesa-gesa.
Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang
lagi terpaksa ikut sibuk dengan anak-anak muda itu. Mereka terpaksa
memberi mereka beberapa petunjuk tentang penyelenggaraan perlombaan
besok di muka banjar kademangan.
Diberinya anak-anak muda itu
petunjuk-petunjuk bagaimana mereka harus membuat lingkaran-lingkaran
dengan kapur di tengah-tengah lapangan kecil itu. Bagaimana mereka
membuat garis batas bagi sodoran yang akan diselenggarakan pula.
Semuanya dibuat dengan tergesa-gesa.
Namun justru karena itu anak-anak muda Sangkal Putung menjadi sangat
gembira. Sehari-harian mereka bekerja tampa mengenal lelah. Apalagi
mereka yang besok akan ikut bertanding. Tetapi justru karena itu pula
beberapa anak buah Widura yang ditugaskan membantu penyelenggaraan itu
mengumpat tak habis-habisnya. Mereka lebih senang bertempur daripada
merentang-rentang tali dipanas yang terik, membuat pagar dan garis-garis
batas, membuat orang-orangan untuk lomba memanah. Dan masih terlalu
banyak yang harus mereka kerjakan.
Namun betapa sibuknya mereka, Sidanti
sama sekali tidak mau turun dari pendapa. Apalagi membantu mereka.
Bahkan hampir sehari-harian ia berbaring. Kadang-kadang ia tersenyum-
senyum sendiri sambil bergumam, “Alangkah bodohnya orang-orang itu.
Mereka bekerja keras mempersiapkan arena. Besok akulah yang akan
mendapat tepuk sorak dari penonton”
Meskipun demikian, Sidanti menjadi agak
kecewa pula. Setelah ia mendengar bahwa bagi mereka hanya diadakan satu
macam perlombaan saja. Memanah. Yang lain tidak.
“Biarlah” katanya dalam hati. “Aku pun jemu pada permainan anak-anak itu. Tetapi memanah adalah permainan yang mengasyikkan”
Demikianlah hari itu telah dilampaui oleh
anak-anak Sangkal Putung dengan penuh kesibukan. Bahkan sampai pada
malam harinya pun mereka hampir tidak dapat tidur. Mereka sibuk dengan
berbagai persoalan di dalam angan-angannya. Sedangkan mereka yang besok
akan turun kearena, masih mencoba untk menambah ketrampilannya.
Meskipun demikian, Widura tidak
kehilangan kewaspadaan. Dibiarkannya anak-anak Sangkal Putung sibuk
dengan persoalannya. Namun Widura tetap menempatkan orang-orangnya di
segenap penjuru. Ia tidak mau dengan tiba-tiba ditelan begitu saja oleh
laskar Tohpati. Karena itu, setiap saat ia tetap pada kesiapsiagaan yang
sebenarnya. Bukan sekedar bersiap untuk mengadakan
perlombaan-perlombaan semacam itu. Karena itu, maka malam itu pun Widura
telah bersiap untk berkeliling kademangan. Kali ini ia tidak berjalan
bersama Sidanti, tetapi kembali ia pergi dengan Agung Sedayu.
Agung Sedayu tidak pernah mengetahui apa
yang telah terjadi dengan pamannya. Dan ia tidak tahu pula, mengapa
semalam pamannya membawa Sidanti serta, dan kini ia harus ikut pula
kembali seperti malam-malam sebelumnya.
Seperti biasanya, setelah mereka
berkeliling disemua gardu-gardu perondan, maka mereka berdua pergi ke
tempat mereka berlatih, gunung Gowok. Di sepanjang perjalanan itu,
hampir tak ada yang mereka percakapkan. Widura tidak memberitahukan apa
saya yang pernah terjadi, dan Sedayu tidak mau menyatakan
pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dalam dadanya.
Namun kemudian, ketika mereka hampir
sampai ke puntuk kecil itu, terdengar Widura berkata, “Sedayu, apakah
kau tidak ingin ikut serta berlomba?”
Agung Sedayu tidak segera menjawab.
terjadilah suatu kesibukan di dalam dadanya. Ia merasa, bahwa ia pun
mampu untuk melepaskan panah hampir dalam keadaan yang tak mungkin
dilakukan oleh orang lain. Namun, sekali lagi Sedayu terpaksa menggigit
bibirnya. Ia belum berhasil melampaui dinding yan memagari jiwanya.
Alangkah kerdilnya. Ia takut, kalau ia tidak dapat melakukan dengan
pantas, sehingga orang-orang di Sangkal Putung akan kecewa terhadapnya.
Ia takut bahwa orang-orang itu akhirnya mengetahui tentang dirinya.
Bahwa ia tidak lebih dari seorang pengecut. Karena kebimbangan dan
kecemasan yang bercampur baur di dalam dadanya, Sedayu masih tetap
berdiam diri.
“Sedayu” akhirnya terdengar pamannya
berkata, “Aku telah mencegah dilakukannya perlombaan-perlombaan segala
macam jenis. Aku mencoba untuk menghindarkan setiap persoalan yang akan
mempertajam ketegangan dan prasangka di antara anak buahku. Selain itu,
aku telah menghindarkan kemungkinan, bahwa orang-orang Sangkal Putung
dan anak buahku mengharap suatu pertandingan yang dahsyat antara Sidanti
dan adik Untara yang mereka bangga-banggakan.” Widura terdiam sesaat.
Ketika ia berpaling, dilihatnya Agung Sedayu berjalan sambil menekurkan
kepalanya. Kata-kata pamannya itu benar-benar telah menampar jantungnya.
Kalau benar-benar terjadi, bagaimanakah sikap yang akan diambilnya.
Apakah ia akan melawan Sidanti? Alangkah mengerikan. Sidanti adalah
seorang anak muda yang perkasa, yang telah mampu melawan Tohpati
meskipun tidak sempurna. Karena itu, meskipun dengan rotan sebesar ibu
jari kaku, atau dengan tongkat berujung bola rotan, Sidanti itu akan
dapat membunuhnya. Dan ia akan mati terkapar di tengah arena, diiringi
dengan teriakan dan umpatan-umpatan penuh kekecewaan atas dirinya.
Tiba-tiba bulu kuduk Sedayu berdiri. Dan tiba-tiba pula ia menjawab, “aku tidak ikut dalam perlombaan apa pun paman”
Widura lah yang kini terdiam. Kalau Agung
Sedayu itu sama sekali tidak turut, maka akan timbullah berbagai
pertanyaan di antara anak buahnya. Karena itu ia berkata, “Sedayu,
bukankah kau masih pandai melepaskan panah?”
Mendengar pertanyaan pamannya itu sekali
lagi Agung Sedayu terdiam. Sehingga terdengar Widura mendesaknya,
“Sedayu, bukankah kau masih pandai memanah? Mungkin kau dapat ikut dalam
perlombaan itu sehingga kau akan dapat memenangkannya”
Berbagai persoalan kini saling mendesak
di dalam dada Agung Sedayu. Apakah sebenarnya yang ditakutinya dalam
perlombaan memanah? Kalah atau menang, maka ia tak akan menderita sakit
karenanya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu itu menjadi ngeri membayangkan
akibat dari perlombaan itu. Kalau ia kalah, maka orang akan sangat
kecewa kepadanya, namun apabila ia memenangkan perlombaan itu dan
mengalahkan Sidanti, maka jangan-jangan anak muda yang perkasa itu
mendendamnya.
Karena itu akhirnya Agung Sedayu menjawab, “Aku tidak ikut paman”
“He” Widura menjadi semakin tidak mengerti. “Perlombaan memanah pun kau tidak berani?”
“Aku sedang berpikir tentang akibatnya.
Kalau aku menang atas Sidanti, maka jangan-jangan Sidanti menjadi
semakin bersakit hati” jawab Sedayu.
“Hem” terdengar Widura menggeram. Hampir
ia tidak dapat menahan kejengkelannya. Seandainya ia tidak mengingat
bahwa anak itu adalah anak kakaknya perempuan, maka Sedayu pasti sudah
dipukulnya dan dipaksanya untuk berbuat sesuatu. Atau malahan sudah
dipaksanya untuk bertempur melawan Sidanti. Atau anak itu telah lama
diusirnya dari Sangkal Putung. Tetapi apa boleh buat. Namun anak itu
benar-benar telah memusingkan kepalanya, meskipun kali ini alasannya
bisa juga dimengerti.
Akhirnya mereka sampai juga digunung
Gowok. Dengan penuh kejengkelan Widura membawa Agung Sedayu dalam satu
latihan. Karena itu maka apa yang dilakukan Widura, hampir merupakan
pertempuran yang sebenarnya.
Tetapi alangkah bodohnya Sedayu. Ia tidak
dapat mengerti hati pamannya, sehingga ia tidak menyangka bahwa
pamannya kali ini ingin mencobanya, supaya sekali-sekali ia mengalami
suatu keadaan seperti yang harus dialami oleh setiap laki-laki. Sedayu
hanya menganggap bahwa pamannya telah menuntunnya dalam suatu tingkatan
yang lebih maju dari yang biasa dilakukannya. Maka karena ia takut bahwa
pamannya akan marah kepadanya, seandainya ilmunya tidak maju-maju juga,
maka Agung Sedayu itu pun kemudian mencoba melayani pamannya dengan
sepenuh tenaga pula.
Demikianlah maka Widura melepaskan
kejengkelan hatinya pada latihan itu. Serangannya datang bertubi-tubi.
Ia ingin melihat apa yang dilakukan Agung Sedayu, apabila tubuhnya
benar-benar terkena oleh serangannya.
Tetapi sekali lagi Widura itu mengumpat
tak habis-habisnya di dalam hatinya. Demikian ia memperketat
serangannya, maka pertahanan Agung Sedayu pun menjadi semakin rapat.
Bahkan untuk menyenangkan hati pamannya, sekali-sekali Sedayu berhasil
menyerangnya pula dengan serangan-serangan yang kadang-kadang
membingungkannya. Dalam keadaan yang demikian itu, maka Agung Sedayu pun
telah memeras hampir segenap kemampuannya. Kemampuan yang pernah
dipelajarinya dari kakaknya, dari ayahnya dan dari pamannya itu.
Sebenarnyalah Agung Sedayu bukanlah seorang anak yang kerdil dalam
ilmunya, seperti kekerdilan jiwanya. Semakin keras serangan-serangan
yang dilancarkan oleh pamannya itu, semakin heranlah dada Widura
dibuatnya. Betapa serasinya Agung Sedayu memadukan unsur-unsur gerak
yang diwarisi dari Ki Sadewa lewat kakaknya, lewat ayahnya itu sendiri
atau lewat dirinya dengan unsur-unsur gerak yang pernah dilihatnya dan
dihayatinya dalam latihan-latihan melawan Kiai Gringsing di gunung Gowok
itu.
“Aneh” berkata Widura di dalam hatinya.
“Kalau hati anak ini sebesar hati kakaknya, bukankah ilmunya tidak
terpaut banyak dari ilmu yang aku miliki?”
Namun Widura itu tidak berkata apapun.
Dipercepatnya setiap geraknya dan bahkan kini Widura telah sampai kepada
puncak ilmunya. Namun Sedayu itu masih melawannya dengan gigih. Bahkan
kadang-kadang anak muda itu mampu melakukan hal-hal yang tak pernah
dimengertinya sebelumnya.
Selain dari geraknya yang cepat dan
cekatan, ternyata tenaga Agung Sedayu pun cukup kuat pula. Apabila
sekali-sekali terjadi benturan di antaranya, maka terasa juga tubuh
pamannya itu bergetar. Bahkan apabila serangan-serangan Widura itu
berhasil mengenainya, maka Sedayu itu pun hanya berdesis, namun kemudian
seakan-akan anak muda itu tak merasakan sesuatu.
Dan ia mampu untuk bergerak kembali dengan lincahnya, selincah burung seriti menangkap mangsanya di udara.
Namun betapa Agung Sedayu berjuang
mempertahankan dirinya, tetapi Widura memiliki pengalaman yang jauh
lebih besar daripadanya. Sehingga lambat laun, terasa juga
tekanan-tekanan Widura menjadi semakin mendesak. Tangan Widura itu
semakin lama menjadi semakin sering menyentuh tubuhnya. Meskipun tidak
di tempat-tempat yang berbahaya, namun sentuhan-sentuhan itu terasa
sakit-sakit juga.
Widura melihat keadaan itu. Justru Karena itu ia memperkuat serangannya. Ia ingin tahu, batas tertinggi dari ilmu kemenakannya.
Tiba-tiba latihan yang keras itu pun
terganggu. Dari atas puntuk kecil itu, Widura dan Agung Sedayu mendengar
suara tertawa dengan nada yang tinggi. Segera mereka mengenal suara
itu, suara Kiai Gringsing. Bahkan kemudian Kiai Gringsing itu tidak saja
tertawa, tetapi ia kini bertepuk tangan sambil memuji, “Bagus Sedayu,
ternyata muridmu itu menjadi bertambah terampil juga akhirnya”
Gerak Widura itu pun kemudian terganggu.
Karena itu maka kemudian ia melontar mundur sambil berkata, “Sudahlah
Sedayu, kita hentikan dahulu latihan ini”
Mendengar kata-kata pamannya itu, Agung
Sedayu menjadi bergembira. Sebenarnya telah agak lama ia menahan diri
supaya ia tidak mengecewakan pamannya itu.
Dengan demikian latihan yang berlangsung
dengan serunya itu terhenti. Dengan menganggukkan kepalanya Widura
berkata kepada Kiai Gringsing, “Selamat malam Kiai”
“Kenapa latihan ini berhenti?” kata Kiai Gringsing tanpa menghiraukan sapa Widura.
Widura menarik nafas. Jawabnya, “Latihan ini telah berlangsung lama. Kami telah sama-sama lelah”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Gumamnya, “Syukurlah kalau kau selalu tekun dengan
latihan-latihan itu Widura. Mudah-mudahan pada suatu saat kau dapat
menandingi Topati”
“Mudah-mudahan Kiai” sahut Widura. Tetapi
Widura itu kemudian terkejut bukan buatan ketika Kiai Gringsing itu
berkata, “Ternyata Tohpati itu benar-benar seperti hantu. Baru saja aku
melihat ia berjalan mendekat tikungan di sebelah”
“He” bertanya Widura tersentak, “Adakah Kiai melihatnya di tikungan itu?”
Kiai Gringsing mengangguk, “Ya” jawabnya. “Ia berjalan bersama dua orang pengawalnya”
“Jadi apakah mereka melihat kita berlatih di sini?” bertanya Widura pula.
“Aku kita tidak” sahut Kiai Gringsing, “Kalau demikian barangkali kalian telah menjadi mayat dibawah gunung Gowok ini”
“Hem” Widura menarik nafas dalam-dalam. “Setan itu benar-benar berbahaya’
Dalam pada itu Widura menjadi gelisah
karenanya. Kedatangan Tohpati benar-benar berbahaya. Ia akan dapat
mendatangi setiap gardu dan membunuh segenap isinya. Namun apabila
demikian, maka pasti telah didengarnya tanda bahaya. Tetapi agaknya
Tohpati itu hanya sekedar lewat, dan ingin mengetahui keadaan Sangkal
Putung. Tiba-tiba ia menjadi berdebar-debar karenanya. Mungkin Tohpati
telah mendengar tentang perlombaan yang akan diadakan besok, “Gila”
Widura mengumpat di dalam hatinya. “Aku telah melakukan hal-hal yang aku
sangka baik sekali. Aku hanya memberi waktu persiapan penyelenggaraan
satu hari saja, supaya kabar ini tidak tersiar jauh. Namun agaknya hantu
itu telah mendengarnya pula”. Kembali berbagai persoalan telah
menyesakkan dada Widura. persoalan antara laskarnya dengan laskar
Tohpati, persoalan antara orang-orangnya sendiri, persoalan Sidanti dan
gurunya Ki Tambak Wedi, hubungan yang menyedihkan antara Sidanti dan
Sedayu. Dan segala macam persoalan itu setiap kali memukul-mukul otaknya
sehingga kepalanya itu akan pecah karenanya. Dan kini Tohpati itu telah
siap untuk menerkamnya.
Dalam kegelisahannya itu Widura hampir
tak dapat menahan diri ketika ia mendengar Sedayu berkata dengan
gemetar, “Paman, marilah kita kembali kekademangan”
“Kenapa?” bentak Widura.
Ketika ia berpaling, ia melihat betapa
sikap Agung Sedayu menjadi sangat gelisah. Tetapi Widura itu tahu benar,
bahwa anak itu sama sekali tidak gelisah memikirkan Sangkal Putung
seperti dirinya, namun anak itu menjadi gelisah karena ketakutan. Widura
itu menjadi marah ketika ia mendengar Agung Sedayu berkata dengan
jujur, “Paman, apakah yang akan terjadi dengan kita kalau Macan
Kepatihan itu nanti mengetahui kehadiran kita di sini?”
“Persetan dengan Macan Kepatihan” sahut
Widura. Namun kata-kata Widura itu terputus oleh kata-kata Kiai
Gringsing, “Widura, jangan terlalu sombong. Gurumu itu tahu benar
tingkatan ilmumu. Kau belum waktunya melawan Tohpati seorang lawan
seorang, kalau kau tidak mau membunuh diri. Nasehatnya itu harus kau
turut. Sikap berhati-hati itulah yang akan membawamu kejalan
keselamatan”
“Aku bukan pengecut” teriak Widura. “Aku
akan berkeliling kademangan sekali lagi. Aku akan memeringatkan setiap
gardu peronda, bahwa bahaya berada di ujung hidung mereka”
Dada Sedayu itu menjadi semakin bergetar.
Pamannya akan mengadakan pengamatan sekali lagi atas gardu-gardu
peronda. Bukankah dengan demikian kemungkinannya untuk bertemu dengan
Tohpati itu semakin besar. Di sudut-sudut desa, di prapatan-prapatan di
tengah sawah, atau ditikungan-tikungan yang sepi. Namun ia melihat bahwa
pamannya menjadi marah kepadanya. Karena itu betapa Agung Sedayu
mengeluh di dalam hatinya.
Yang kemudian terdengar adalah kata-kata
Kiai Gringsing sambil tertawa, “He kau benar-benar berani Widura,
seperti kau berani menentang maut melawan Ki Tambak Wedi”
Tiba-tiba pandangan mata Widura itu pun
terbanting di atas rerumputan liar dibawah kakinya. Teringatlah ia
kepada pertolongan yang pernah diberikan oleh Kiai Gringsing malam
kemarin. Kini orang yang menolongnya itu memeringatkannya, supaya ia
tidak melawan Tohpati itu seorang lawan seorang. Karena itu ia menyesal
atas kekasarannya. Maka katanya ke sambil menganggukkan kepalanya,
“Maafkan aku Kiai”
“He” sahut Kiai Gringsing. “Kenapa kepadaku. Seharusnya kau minta maaf kepada gurumu itu”
Sekali lagi Widura mengumpat di dalam hatinya. Namun katanya, “Ya ya. Aku akan minta maaf kepadanya”
“Bagus” berkata Kiai Gringsing. “Kau
harus selalu menuruti nasehat gurumu. Di rumah, gurumu pasti akan
memberimu beberapa petunjuk, mungkin tentang persiapan Tohpati itu.
Mungkin tentang hal yang lain. Namun adalah perlu kau dengar seandainya
gurumu itu memerintahkan kepadamu untuk mempersiapkan diri. Seluruh
pasukan. Bukan seorang Widura yang sombong. Serangan itu tidak terlalu
lama akan terjadi. Tetapi Tohpati itu tak akan berbuat apa-apa malam
ini. Nah, selamat malam. Aku tidak sempat bermain-main malam ini. Besok
aku akan nonton perlombaan yang kau adakan”
Dada Widura berdesir mendengar kata-kata
Kiai Gringsing. Namun ia tidak mendapat kesempatan lagi untuk menanyakan
sesuatu. Karena Kiai Gringsing itu kemudian melangkah pergi dengan
langkah seenaknya meninggalkan Widura dan Agung Sedayu yang terpaku di
tempatnya.
Tetapi, tergoreslah di dalam jantungnya,
peristiwa-peristiwa yang pasti akan menggoncangkan lagi kehidupan
Sangkal Putung. Besok atau lusa Tohpati akan menyerangnya kembali. Apa
yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu tidak lebih dan tidak kurang dari
suatu peringatan kepadanya dan pemberitahuan tentang
persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Tohpati. Namun ia tidak perlu
mencemaskan hari besok. Kata-kata orang bertopeng itu, bahwa besok ia
akan menonton perlombaan yang akan diadakannya, telah agak memberinya
ketenangan, meskipun ia tidak dapat menggantungkan nasibnya kepada orang
itu. Mudah-mudahn ia masih berhasil menghim pun kekuatan Sangkal
Putung, yang setidak-tidaknya masih seperti pada saat perlawanannya
dahulu ketika Tohpati menyerangnya. Mudah-mudahn tenaga Sidanti masih
dapat dipergunakannya sebaik-baiknya. Tetapi bagaimana dengan besok
lusa, tiga hari, empat hari dan lebih-lebih lima hari lagi? Bagaimanakah
nasib Sangkal Putung apabila Tohpati menyerang tepat pada saat Ki
Tambak Wedi memuntutnya? Widura menggeleng-gelengkan kepalanya ketika
terlintas di dalam benaknya, harapan bahwa Kiai Gringsing akan
menolongnya kembali apabila Ki Tambak Wedi akan membunuhnya. “Tidak”
katanya dalam hati. “Aku tidak akan memperhitungkan setiap pertolongan
yang belum pasti akan datang. Aku harus memperhitungkan kekuatan
sendiri” katanya pula. Bahkan kemudian timbullah di dalam benaknya suatu
pikiran untuk mengirimkan utusan ke Pajang. Keadaan Sangkal Putung
benar-benar gawat. Biarlah salah seorang perwira yang terpercaya akan
datang untuk melawan Tohpati lebih-lebih Ki Tambak Wedi. “Hem” gumamnya,
“Apabila besok aku belum menemukan cara lain, biarlah seseorang
mengharap kedatangan Ki Gede Pemanahan sendiri menyelesaikan persoalan
Ki Tambak Wedi, atau bekas perwira nara manggala Demak, guru loring
pasar.”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Itulah
keputusannya untuk sementara. Ketika ia memandang wajah Sedayu,
timbullah kembali kejengkelannya terhadap anak itu. Apabila anak itu
memiliki keberanian, mereka berdua pasti akan dapat membunuh Tohpati
meskipun dengan perjuangan yang berat. Sebab ilmu Tohpati itu sendiri
tidak terpaut banyak di atas ilmunya. Namun Sedayu itu hanya pandai
mengeluh, gemetar dan ia pasti akan mati ketakutan sebelum tangannya
mampu menarik pedang dari sarungnya.
Karena itu Widura tidak berkata sepatah
pun kepada kemenakannya itu. Langsung ia memutar tubuhnya dan melangkah
kembali kekademangan.
Sedayu pun kemudian cepat-cepat
mengikutinya. Namun kini terasa olehnya bahwa pamannya itu benar-benar
marah kepadanya. Karena itu maka Sedayu pun benar-benar menjadi bersedih
hati. Ia tidak berani berkata apa pun kepada pamannya selain berjalan
saja di belakangnya.
Di sepanjang jalan itu Widura sempat juga
memikirkan kemenakannya itu. Bagaimana caranya, sehingga ia dapat
menguasai berbagai unsur gerak dan dapat menyusunnya dalam satu gabungan
yang serasi. Anak itu tidak pernah berbuat sesuatu selain duduk
terpekur dan bermain-main dengan rontal dan pensil. Tak pernah
dilihatnya Agung Sedayu berlatih di dalam pringgitan yang tak begitu
luas itu. Dan tak pernah dilihatnya Agung Sedayu meninggalkan pringgitan
selain apabila ia pergi mandi dan sesuci diri. Namun ia tidak mau
menanyakannya. Ia hanya ingin mencari pemecahan dengan caranya sendiri
atas teka teki itu.
Demikian mereka sampai di kademangan,
Widura langsung melepaskan pakaiannya dan merebahkan dirinya di
pembaringannya. Tak sepatah kata pun yang diucapkan kepada Agung Sedayu
sehingga Agung Sedayu itu pun menjadi semakin bersedih. Sekali-sekali ia
sempat juga untuk menilai diri. Dan kadang-kadang timbul juga pikiran
dikepalanya untuk besok mengikuti pertandingan memanah. “Paman marah
karena aku tak ikut serta” katanya dalam hati. “atau karena hal-hal yang
lain, atau karena keseluruhannya”. Namun ia kembali menjadi ngeri
membayangkan akibat dari perlombaan itu. “Ah” katanya dalam hati pula,
“Biarlah paman marah kepadaku. Ia tidak akan berbuat apa-apa selain
berdiam diri. Tetapi akan berbedalah sikap Sidanti itu”
Sedayu pun kemudian mencoba melupakan semua itu. Karena kelelahan akhirnya ia pun tertidur pula dengan nyenyaknya.
Sebenarnya Widura belum juga tertidur. Ia
berdiam diri, dan memang ia munggu kemenakannya tertidur. Ia ingin tahu
apa saja yang ditulis oleh Sedayu dalam rontal-rontalnya. Apakah ada
hubungannya dengan kemajuan ilmunya yang pesat itu. Perlahan-lahan
Widura itu bangun, dan perlahan-lahan pula ia membuka beberapa pakaian
Sedayu yang diberikannya olehnya. Di dalam lipatan-lipatan pakaian itu
ditemuinya beberapa helai rontal yang pernah diminta oleh anak itu
daripadanya.
Demikian Widura membuka halaman pertama
dari rontal itu, demikian dadanya bergetar, “Inilah sebabnya” gumamnya
seorang diri. Kini ia tahu benar, mengapa Agung Sedayu dapat maju dengan
cepatnya. Otak anak itu ternyata cerdas pula dalam penelaahan ilmu tata
bela diri. Di dalam tubuhnya ternyata tersimpan pula darah ayahnya yang
menyalakan keteguhan dan ketrampilan jasmaniah. Namun, sayang betapa
sayangnya. Hati anak itu belum terbuka. Dinding yang mencengkam dirinya
dalam bilik ketakutan belum dapat dipecahkannya.
Jadi apa yang dilakukan oleh Sedayu
selama ini, sama sekali tidak menulis cerita-cerita atau tembang dan
kidung. Tetapi ia telah melukiskan beberapa unsur gerak. Mencobanya
menggabungkan unsur yang satu dengan yang lain, dan mencoba melukiskan
pula cara-cara untuk mempertahankan diri dan mengelak dari
serangan-serangan yang keras.
Di dalam rontal-rotal itu Widura melihat
beberapa gambar dengan garis-garis arah dari setiap gerakan. Digambarnya
beberapa macam unsur gerak, kemudian digambarnya di belakang
gambar-gambar itu, sebuah gambar yang lain dengan garis-garis arah untuk
menggabungkan gambar-gambar yang terdahulu.
“Hem” Widura menarik nafas dalam-dalam,
“Ternyata anak ini melatih diri dengan angan-angannya selain
latihan-latihan yang kami adakan di gunung Gowok. Itulah sebabnya aku
sering melihat unsur-unsur gerak yang tak aku ketahui darimana
dipelajarinya”
Dan Widura itu tak jemu-jemunya melihat
gambar-gambar yang dibuat oleh Agung Sedayu. Suatu cara memperdalam ilmu
yang jarang ditemuinya. Namun ternyata Agung Sedayu pandai juga
menggambar. Gambar-gambar yang dibuatnya ternyata sedemikian jelas.
Sikap, gerak dan tujuan-tujuan dari setiap gerakan sekaligus cara-cara
untuk menghindarkannya.
Tetapi suatu hal yang tak dapat dilakukan
oleh Agung Sedayu. Yaitu melatih untuk percaya pada kekuatan dan
ilmunya. Betapa pun Agung Sedayu mengalami kemajuan yang pesat, namun
ilmu itu seakan-akan pohon yang subur namun tak berbuah.
Tiba-tiba timbullah pikiran di dalam
benak Widura. katanya dalam hati, “Ah, biarlah pada suatu kali, anak ini
mengalami pertentangan yang tak dapat dihindari dengan Sidanti. Aku
ingin melihat apa yang akan dilakukan. Tetapi apabila sekali Agung
Sedayu sempat mengayunkan tangan atau kakinya, maka untuk melawan
Sidanti itu pun Agung Sedayu akan dapat bertahan beberapa lama sampai
saatnya aku memisahkannya. Namun dengan demikian, setidak-tidaknya
perkelahian itu akan berkesan bahwa keduanya memiliki ilmu yang
seimbang. Ternyata gerak dan cara bertahan anak ini mengagumkan juga.
Apabila demikian, seterusnya Agung Sedayu akan menjadi seorang yang
jantan dan berani”
Kemudian dengan hati-hati pula
rontal-rontal itu dimasukkannya kembali ke tempatnya. Dan dengan
hati-hati pula Widura itu berdiri dan berjalan kepembaringannya, dan
sesaat kemudian pemimpin laskar Pajang yang sedang kebingungan itu
tertidur pula.
Malam yang tinggal sepotong itu berjalan
dengan tenangnya. Tohpati yang benar-benar telah menyusup kedalam
dinding perondan laskar Pajang, sebenarnyalah tidak berbuat sesuatu
selain keinginannya untuk mengetahui keadaan. Namun Macan Kepatihan itu
pun mengumpat di dalam hatinya seperti Widura mengumpatinya. Katanya
kepada kedua pengawalnya, “Paman Widura benar-benar seperti setan. Dalam
keadaan apa pun peronda-perondanya tak pernah berlengah hati. Apakah
mereka tidak terpengaruh oleh perlombaan yang akan diadakan besok?
Sayang, aku baru mendengar rencana perlombaan itu senja tadi, sehingga
aku tak sempat menyiapkan anak buahku. Seandainya aku mendapat waktu dua
tiga hari saja, maka pada saat-saat perlombaan itu aku akan dapat
menggulungnya lumat-lumat.
Kedua pengawalnya tak dapat menjawab lain
daripada menganggukkan kepala mereka. Sebab dengan mata kepala mereka
sendiri melihat dari kejauhan kesiagaan laskar Pajang yang sedang
bertugas di gardu-gardu peronda. Mereka melihat beberapa orang dari
mereka berjalan hilir mudik di muka gardu sambil memegang tombak atau
pedang-pedang mereka yang sudah telanjang.
“Tetapi” berkata Tohpati kemudian kepada
pengawalnya, “mudah-mudahan setelah perlombaan itu berakhir, laskar
Sangkal Putung masih tenggelam dalam suasana itu, sehingga meskipun
sedikit mereka melupakan tugas-tugas mereka sehari-hari. Mudah-mudahan
mereka tidak mencium gerakanku kali ini seperti beberapa waktu yang lalu
sehingga aku menjumpai kegagalan yang menyedihkan.
“Persiapan kita akan sangat mudah sekali
diketahui orang, sehingga petugas-petugas sandi Pajang segera
menciumnya” berkata salah seorang pengawalnya.
“Kita akan meninggalkan cara-cara yang
pernah kita lakukan” jawab Tohpati, “aku akan membawa kalian dan
orang-orang kita masuk ke dalam hutan. Semua kekuatan yang terpencar
harus kita tarik. Semuanya akan berkumpul di dalam hutan yang akan aku
tentukan. Dari sana kita akan bergerak. Mudah-mudahan tak seorang pun
yang mengetahuinya, kecuali di antara kita ada pengkhianat atau justru
orang-orang dari petugas-petugas sandi Pajang yang berhasil masuk
kedalam lingkungan kita.”
“Kemungkinan itu kecil sekali” sahut pengawalnya.
“Kau benar” berkata Tohpati pula. “Alu
mengenal anak buahku satu per satu dengan baiknya. Nah, kalau demikian,
aku akan berbuat seperti paman Widura. Secepat-cepatnya sebelum
laskarnya terpencar ke segenap penjuru”
“Kapan kita adakan sergapan itu?” bertanya pengawalnya.
“Secepatnya” sahut Tohpati.
Kemudian mereka tidak bercakap-cakap
lagi. Dengan hati-hati mereka berjalan di daerah perondan laskar Pajang.
Bahkan kadang-kadang mereka berhasil menyusup halaman-halaman yang
gelap dan mendekati tempat-tempat yang penting serta gardu-gardu
perondan. Dengan otak yang cemerlang, Tohpati dapat mengingat-ingat
daerah-daerah yang sepi, yang dapat dilaluinya untuk langsung mencapai
jantung Sangkal Putung, meskipun masih diragukan apabila Tohpati
berjalan bersama dengan orang-orangnya dalam jumlah yang besar. Namun
Tohpati itu selalu mengulang-ulang rencananya. Dan ini adalah kesalahan
yang terbesar yang dibuatnya.
Sejak ia menginjakkan kakinya di daerah
Sangkal Putung, rencana itu telah diucapkannya. Dan ia sama sekali tidak
tahu, bahwa seseorang yang sakti, dengan diam-diam mengikutinya. Dan
orang itu telah berhasil mendengar sebagian dari rencananya. Orang itu
adalah Kiai Gringsing. Karena itulah maka Kiai Gringsing segera pergi
kemudian gunung Gowok. Ia takut apabila Widura dan Sedayu berada di
sana, dan kemudian Tohpati itu pun berjalan ke sana pula. Untunglah
mereka tidak saling berpapasan. Apabila demikian maka pertempuran tak
dapat dihindarkan. Sedangkan Kiai Gringsing tahu benar bahwa Widura
pasti harus bekerja sendiri melawan tiga orang yang jauh berada di atas
kemampuannya.
Dan semuanya itu telah berlalu. Widura
telah tertidur nyenyak di kademangan Sangkal Putung, dan Tohpati pun
telah meningggalkan daerah yang akan dijadikan buruannya.
Menjelang fajar, Sangkal Putung telah
menjadi riuh. Anak-anak telah bangun. Kebih-lebih lagi, mereka yang akan
ikut serta dalam perlombaan-perlombaan. Mereka mengenakan pakaian
mereka yang sebaik-baiknya. Menghias senjata-senjata mereka, dengan
warna-warna yang beraneka. Bagi mereka yang akan mengikuti sodoran,
tidak saja pakaian mereka sendiri yang mereka hias dengan berbagai
keoncer-keloncer kain beraneka warna, namun kuda-kuda mereka pun mereka
hias sebaik-baiknya. Ujung-ujung tombak mereka yang terbuat dari
bola-bola kayu itu pun mereka hiasi dengan pita-pita berwarna. Ada pula
di antara mereka yang membuat kalung-kalung dari rangkaian-rangkaian
bunga. Melati, menur dan sebagainya. Mereka kalungkan rangkaian bunga
itu dilehernya, dileher kuda-kuda mereka dan pada senjata-senjata
mereka.
Demikianlah hari itu Sangkal Putung
ditandai dengan kesipbukan yang luar biasa. Hampir segenap penduduk
Sangkal Putung tumplak blak, mengunjungi lapangan di muka banjar desa.
Mereka ingin menyaksikan anak-anak mereka, adik-adik mereka atau
suami-suami mereka yang ikut serta dalam perlombaan-perlombaan itu.
Ternyata hari itu merupakan hari yang sangat menggembirakan. Namun
apabila ada di antara mereka yang mendengar bahwa semalam Macan
Kepatihan telah mengunjungi kademangan itu, mungkin suasananya akan jauh
berbeda.
Tetapi, ternyata Widura mengetahuinya.
Karena itu, justru ia telah memperkuat setiap sudut kademangan.
Dilengkapinya gardu-gardu peronda itu dengan kuda-kuda yang kuat dan
diperintahkannya untuk mengadakan perondaan keliling dengan kuda-kuda
itu. “Jangan seorang atau dua orang” pesannya kepada anak buahnya.
“Pergilah berempat. Pergunakan kuda yang sebaik-baiknya dan bawalah
tanda-tanda bahaya yang dapat kau bunyikan setiap saat dan disetiap
tempat”
Perintah itu agak mengherankan bagi anak
buahnya. Namun mereka hanya menyangka bahwa karena di daerah Sangkal
Putung sedang ada keramaian, maka penjagaan pun harus diperkuatnya.
Demikianlah maka lapangan di muka banjar
desa itu pun menjadi penuh dengan manusia. Beberapa anak-anak muda telah
menaiki kuda masing-masing dan berjalan melingkar-lingkar di
tengah-tengah lapangan. Beberapa orang di antaranya telah mencoba memacu
kudanya dari satu sudut ke sudut yang lain dengan tombak-tombak mereka
di tangan. Dan sekali-sekali telah terdengar pula sorak sorai penonton,
apabila mereka melihat seorang anak muda yang tampan bermain dengan
manisnya di atas punggung kudanya. Tepuk tangan penonton itu pun
seakan-akan meledak ketika mereka melihat Swandaru masuk ke lapangan
dengan tombak di tangan, bumbung panah di lambung kudanya dan sebuah
busur yang besar menyilang dipunggungnya. Demikian ia memasuki lapangan,
disendalnya kendali kuda putihnya, dan kuda itu pun segera nyirig.
Berjalan miring dengan manisnya. Memang Swandaru itu benar-benar dapat
menguasai kudanya. Sekali lagi ia menarik kekang kudanya sambil
menyentuh perut kuda itu, dan kuda itu pun segera nyongklang, berlari
keliling lapangan.
Laskar Widura yang akan mengikuti
perlombaan itu telah hadir pula. Namun bagi mereka perlombaan yang boleh
diikuti hanyalah perlombaan memanah. Meskipun demikian, untuk
melepaskan kejemuan mereka, banyak juga di antara mereka yang
mengikutinya.
Widura pun kemudian hadir pula di
lapangan itu bersama-sama dengan Ki Demang Sangkal Putung. Di belakang
mereka berjalan Sedayu dengan kepala tunduk. Ketika para penonton
melihat kehadiran mereka, kembali tepuk tangan dan sorak mbata rubuh
bergetar di lapangan itu. Namun perlahan-lahan mereka dirayapi oleh
berbagai pertanyaan di dalam hati mereka. Mereka tidak melihat Widura
dan Agung Sedayu membawa busur dan anak panah, sehingga kemudian mereka
menjadi kecewa. Terdengar salah seorang penonton berbisik, “Apakah
pahlawan itu tidak akan turut serta dalam perlombaan ini?”
Kawannya itu sebenarnya menjadi kecewa
juga. Namun untuk menghibur hatinya sendiri ia menjawab, “Tak
sepantasnya ia ikut dalam perlombaan yang sekecil ini. Mungkin ia akan
ikut serta apabila perlombaan semacam ini diadakan dialun-alun Pajang”
Kawannya yang bertanya itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban yang memang masuk diakalnya.
Sesaat kemudian, Widura dan Ki Demang
Sangkal Putung beserta Agung Sedayu telah duduk di tempat yang telah
disediakan. Pada saat matahari mulai memanjat langit, maka Widura segera
membuka perlombaan itu. Dengan sebuah kapak diputusnya tali yang
mengikat pemukul bende di sudut lapangan. Kemudian seseorang yang telah
ditentukan memungut pemukul bende itu, dan dengan bunyi yang
berdengung-dengung bende itu bergema. Sekali, dua kali dan kemudian tiga
kali.
Dengan diiringi oleh tepuk tangan yang
seakan-akan memecahkan selaput telinga, maka perlombaan segera dimulai.
Beberapa orang anak buah Widura berjalan ketengah lapangan, memimpin
perlombaan-perlombaan bagi anak-anak muda Sangkal Putung. Perlombaan
yang pertama adalah perlombaan ketangkasan bermain pedang. Namun bukan
sebenarnya pedang yang dipergunakan. Tetapi mereka mempergunakan rotan
dan perisai anyaman bambu.
Permainan ini benar-benar mengasyikkan
dan menegangkan. Beberapa anak-anak muda yang gagah telah turut serta
mengambil bagian. Berganti-ganti. Satu dua telah terpaksa keluar dari
lapangan dengan kepala tunduk. Punggung dan dada mereka dilukisi oleh
jalur-jalur merah biru. Namun bagi mereka yang menang, jalur-jalur itu
sama sekali tidak terasa pedihnya.
Sejalan dengan terik matahari yang
semakin menyengat-nyengat tubuh mereka, maka permainan itu pun menjadi
semakin sengit. Bahkan kemudian mencapai puncaknya ketika diarena itu
tinggal dua orang yang berhadapan untuk menentukan, siapakah di antara
anak-anak muda Sangkal Putung yang akan menjadi pemenang pertama dalam
perlombaan itu. Mereka adalah Swandaru Geni dan seorang anak muda yang
gagah, bertubuh tinggi besar, bernama Wisuda.
Sejenak kedua anak muda itu, Swandaru dan
Wisuda saling berhadapan, maka tepuk tangan dan sorak sorai membahana
di udara Sangkal Putung.
Tiga orang anak buah Widura, Hudaya,
Citra Gati dan Sonya telah memimpin pertarungan yang sengit itu. Dengan
seksama mereka memperhatikan setiap gerak, setiap sabetan rotan dan
setiap sentuhan rotan itu ditubuh mereka. Pukulan-pukulan yang mendapat
hitungan adalah pukulan-pukulan yang mengenai tubuh dibagian atas perut
tetapi dibagian bawah leher.
Demikian pertarungan itu berjalan dengan
serunya. Wisuda bertubuh tinggi dan besar, sedang Swandaru lebih pendek
dan bulat. Meskipun demikian ternyata tenaga Swandaru jauh lebih kuat
dari tenaga lawannya. Apabila rotan-rotan mereka berbenturan, tampaklah
bahwa tenaga Swandaru selalu berhasil mendorong tenaga lawannya.
Ketika bende berbunyi, maka pertarungan
itu pun berhentilah. Suasana menjadi tegang ketika para penonton
menunggu Citra Gati mengumumkan pemenangnya. Dan demikian Citra Gati
maju selangkah, maka lapangan yang penuh dengan manusia itu seakan-akan
sama sekali tak berpenghuni. Setelah mencocokkan hitungan masing-masing
maka berkatalah Citra Gati, “Ternyata yang akan menjadi pahlawan dalam
permainan ini adalah anak muda yang bulat pendek, bernama Swandaru”
Langit seakan-akan runtuh di atas mereka
karena sorak para penonton. Namun Swandaru tidak puas dengan sebutan
itu. Katanya membetulkan namanya, “Sebutlah selengkapnya paman, Swandaru
Geni”
Citra Gati tersenyum. ketika ia mengulang
nama itu, tak seorang pun yang mendengarnya, karena suara riuh dari
pada penonton itu sendiri.
Sidanti yang melihat sambutan yang
sedemikian hangatnya atas pahlawan anak-anak muda Sangkal Putung itu
mencibirkan bibirnya. Katanya dalam hati, “Swandaru itu pasti akan
menjadi bertambah sombong. Aku ingin sekali lagi mengajarnya untuk
merasakan bahwa apa yang dicapainya itu belum semenir dibanding dengan
ilmuku. Sayang tak ada kesepatan bagi anak buah laskar Pajang untuk
melakukannya”
Perlombaan yang berikut adalah sodoran.
Dengan duduk dipunggung kuda mereka mempertunjukkan ketrampilam mereka
bermain tombak yang ujungnya dibuat dari bola-bola kayu. Permainan ini
tak kalah menariknya. Di antara sorak kekaguman ada pula yang terpaksa
menerima ejekan-ejekan para penonton, karena sebelum mereka sempat
mempertunjukkan keahlian mereka, ternyata mereka telah jatuh
terpelanting dair kuda-kuda mereka.
Dalam perlombaan ini sekali lagi Swandaru
merajai lapangan di muka banjar desa itu. Kuda putihnya seakan-akan
tahu benar apa yang harus dilakukan untuk membantu tuannya. Dan karena
itulah maka sekali lagi para penonton menyorakinya sebagai pahlawan yang
lengkap dari anak-anak muda Sangkal Putung.
Ki Demang yang duduk di samping Widura
itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berbangga atas hasil yang
dicapai anaknya. Usahanya melatih dan menempa anaknya tidaklah sia-sia.
Mudah-mudahan untuk seterusnya anaknya mendapat bimbingan dan latihan
yang lebih baik daripada apa yang pernah dicapainya.
Widura pun tampak tersenyum-senyum di
antara sorak para penonton. Namun sekali-sekali ia mengedarkan
pandangannya ke segenap sudut. Di antara perhatiannya atas
permainan-permainan itu, diam-diam ia berusaha untuk melihat, apakah
Kiai Gringsing berada di antara para penonton yang sekian banyaknya.
Tetapi Widura itu kemudian menjadi kecewa. Adalah mustahil untuk
menemukan seorang di antara sekian banyak orang, apalagi orang itu belum
dikenalnya. Sudah tentu Kiai Gringsing tidak akan mengenakan topengnya,
dan sudah tentu pula ia tidak akan memakai kain gringsingnya.
Seandainya dapat dijumpainya seseorang memakai kain gringsing, bukanlah
jaminan bahwa orang itu adalah Kiai Gringsing, sebab kain gringsing
memang banyak digemari orang.
Permainan yang terakhir adalah permainan
yang paling menggemparkan. Panahan. Dan panahan ini diikuti pula oleh
anak buah Widura. bahkan seorang anak muda yang sudah lama dikagumi di
Sangkal Putung turut pula mengambil bagian. Sidanti. Namun para penonton
itu menjadi kecewa ketika mereka benar-benar melihat, bahwa Agung
Sedayu tidak ikut serta dalam perlombaan. Apa yang mereka nantikan, dan
juga sebenarnya dinantikan oleh anak buah Widura sendiri, adalah
pertandingan yang akan berlangsung seru antara Sidanti dan Agung Sedayu.
Namun mereka benar-benar menjadi kecewa. Bahkan ada di antara mereka
yang mulai dirayapi oleh berbagai pertanyaan tentang Agung Sedayu.
Apakah sebenarnya anak muda itu mampu berbuat sesuatu?
Swandaru dan Sekar Mirah pun menjadi
kecewa pula karenanya. Dengan wajah bersunguut-sungut Swandaru
menyelinap di antara mereka dan menggamit Agung Sedayu pada lengannya.
Katanya berbisik, “Apakah tuan tidak ikut serta?”
Dada Agung Sedayu berdesir. Namun kemudian dengan lemahnya ia menggeleng. Katanya, “Tidak Swandaru”
Widura mendengar pertanyaan itu. Namun
sengaja berpaling pun tidak. Sebenarnya Widura sendiri menjadi sangat
kecewa bahwa Agung Sedayu tidak mau ikut serta dalam pertandingan ini.
Sesaat kemudian berjajarlah mereka yang
akan mengambil bagian dalam perlombaan ini. Tidak terkecuali, anak buah
Widura. di antaranya Sidanti yang dengan tersenyum-senyum memasuki
lapangan. Betapa kecewa anak muda itu, melampaui semuanya setelah ia
mengetahui pula bahwa Agung Sedayu tidak ada di antara para pengikut
perlombaan.
Di hadapan mereka tergantung lesan yang
harus mereka kenai. Sasaran itu dibuat dari sabut kelapa yang dibalut
dengan kain. Dan dibagi menjadi empat bagian. Kepala, sekecil telur
angsa, leher, yang agak cukup panjang, badan lebih besar dan panjang
dari leher dan yang terakhir bandul sebesar jeruk bali.
Sasaran yang berupa orang-orangan kecil
itulah yang akan menentukan siapakah di antara para pengikut yang paling
pandai membidikkan panahnya.
Ketika bende berbunyi, maka perlombaan
itu pun dimulailah. Setiap pengikut memiliki lima buah anak panah. Dan
oleh kelima buah anak panah itu maka akan diambil nilai tertinggi di
antara mereka. Apabila anak panah mereka mengenai kepala, maka berarti
mereka akan mendapat lima buah nilai. Leher tiga nilai dan badan dua
nilai. Sedangkan apabila pana mereka mengenai bandul, maka apabila
mereka telah mendapat nilai, maka nilai itu akan gugur tiga nilai.
Sesaat kemudian meluncurlah anak panah
yang pertama diikuti oleh sorak para penonton. Namun sayang, panah itu
sama sekali tidak mengenai sasarannya. Disusul dengan anak panah yang
kedua, ketiga. Namun ketiga anak panah itu menyentuh sasaran pun tidak.
Penonton bersorak-sorak kembali ketiga anak panah yang keempat kemudian
tepat mengeni leher sasaran. Tiga nilai.
Maka penonton pun berteriak-teriak pula, “Tiga, tiga”
Penonton mejadi tegang ketika meluncur
anak panah yang kelima. Dan meledaklah sorak para penonton. Bukan karena
mereka menjadi kagum anak panah itu, mereka tertawa geli, karena anak
panah itu mengenai bandul.
“Habis, habis” teriak mereka. Dan tiga
nilai yang didapatnya dari panah keempat itu pun menjadi habis karena
dengan mengenai bandul itu, maka berarti tiga nilai digugurkan.
Orang yang pertama itu sambil menundukkan
kepalanya terpaksa berjalan keluar lapangan. Namun ia pun menjadi geli
juga. karena itu, sempat juga ia tersenyum-senyum sendiri.
Maka kemudian majulah orang kedua,
ketiga, keempat. Namun tak seorang pun yang dapat menggemparkan penonton
karena bidikan-bidikannya yang tepat. Sekali dua kali ada juga di
antara mereka yang mengenai sasaran. Namun di antara lima anak panah
itu, maka paling banyak dua di antaranya yang dapat mengenai sasarannya.
Ketika kemudian sampai pada giliran
Swandaru maju dengan anak panahnya, maka penonton pun menjadi gempar
pula. Swandaru telah dapat merampas hati penonton dengan dua kemenangan
berturut-turut di dalam arena pertandingan itu. karena itu, maka di
antara penonton itu pun mengharap pula, agar kali ini, Swandaru akan
dapat setidak-tidaknya tidak mengecewakan mereka.
Sebenarnyalah, maka anak panah yang
pertama yang dilepaskan oleh Swandaru benar-benar telah menggemparkan
penonton. Meskipun tidak mengenai kepala, namun sekali bidik Swandaru
telah mengguncangkan sasaran dengan mengenai bagian badannya. Kegemparan
penonton menjadi semakin riuh, ketika panah Swandaru yang kedua dapat
mengenai leher. Ketika Swandaru menarik tali busurnya yang ketiga
kalinya, maka terdengarlah suara riuh di sekitar arena, “Naik sedikit
Swandaru, naik sedikit”
Dan meledaklah sorak para penonton
seakan-akan memecahkan selaput telinga ketika anak panah Swandaru itu
benar-benar mengenai kepala sasaran.
Swandaru itu pun kemudian berhenti
sesaat. Setelah menarik nafas dalam-dalam, maka sekali lagi lapangan itu
diguncangkan oleh tepuk sorak yang gemuruh. Sekali lagi anak panah
Swandaru mengenai kepala. Namun para penonton itu menjadi kecewa ketika
anak panah Swandaru yang kelima yang terbang dari busurnya dengan
kecepatan penuh, hanya menyentuh saja kepala sasaran, namun tidak
hinggap padanya, sehingga dengan demikian, anak panah itu dianggap tidak
mengenai sasarannya.
Swandaru itu memandangi anak panah yang
kelima dengan penuh penyesalan. Katanya sambil bertolak pinggang, “He,
kenapa kau tidak mau berpaling sejari saja. Kalau kau berpaling sedikit
saja, maka anak panah itu akan hinggap dikepalamu”
Namun kemudian telah terdengar bende
untuk pengikut berikutnya. Kini mulailah anak buah Widura dengan
perlombaan itu. Namun ada pula di antaranya yang tidak lebih tepat dari
anak-anak muda Sangkal Putung. Sendawa misalnya. Betapa pandai ia
mengayun-ayunkan kelewangnya, namun ternyata ia bukan pembidik yang
tepat, ia dapat mengenai perut lawannya dimedan-medan pertempuran. Namun
perut orang jauh lebih besar dari seluruh tubuh orang-orangan yang
harus dikenainya sebagai sasaran.
Tetapi ternyata Hudaya ada pemanah yang
baik. Sejak ia melepaskan anak panahnya yang pertama, maka ia telah
menggemparkan lapangan itu. Anak panahnya yang pertama ternyata langsung
mengenai kepala sasaran. Demikianlah anak panahnya yang kedua. Ketika
ia merik busurnya untuk yang ketiga kalinya dengan berdebar-debar
penonton menanti. Dan sekali lagi meledaklah sorak yang gemuruh. Panah
ketiga itu pun mengenai kepala sasaran pula. Demikianlah para penonton
menjadi semakin tegang. Sekali lagi para penonton berteriak-teriak
sekuat-kuatnya ketika anak panah yang keempatnya hinggap dikepala.
Dengan demikian ketegangan diarena itu menjadi semakin memuncak. Keempat
anak panah yang telah memenuhi kepala orang-orangan itu pun dicabutlah
untuk memberi tempat seandainya anak panah yang kelima ini pun akan
mengenainya pula. Dan lapangan itu seakan-akan menjadi benar-benar
runtuh ketika penonton menyaksikan anak panah kelima yang lepas dari
busur Hudaya. Anak panah itu pun tepat pula mengenai kepala
orang-orangan itu. Sehingga dengan demikian pemanah itu pun telah
menunjukkan kesempurnaan bidikannya. Bukanlah karena kebetulan ia dapat
mengenai kepala sasaran. Namun sebenarnyalah memang Hudaya adalah
pembidik yang baik.
Ketika kemudian terdengar bende berbunyi,
masuklah Citra Gati ketengah-tengah lingkaran. Dengan tersenyum-senyum
ia memberi ucapan selamat kepada Hudaya, katanya, “Hudaya, ternyata kau
tidak memberi aku tempat. Apa yang dapat kau kerjakan? Tak ada yang
dapat berbuat lebih baik daripadamu”
Hudaya itu pun tersenyum pula. Namun ia
tidak menjawab. ketika ia bergeser dari tempatnya, ia terkejut ketika ia
melihat mata Sidanti menyala-nyala.
Ternyata Sidanti tidak rela melihat
kecakapan Hudaya membidikkan anak panahya. Sambutan rakyat Sangkal
Putung atas kemenangannya itu pun tak menyenangkannya. Tetapi ternyata
Hudaya itu tak menghiraukannya. Ia langsung berjalan kembali ke
tempatnya. Berdiri dalam jajaran para peserta untuk melihat bagaimana
hasil bidikan kawan-kawannya yang lain.
Dan ternyata Citra Gati itu pun tidak
mengecewakan. Dengan tersenyum ia menarik busurnya untuk yang pertama
kalinya. Ketika anak panahnya terlepas, maka dengan tegangnya ia
mengikutinya dengan pandangan matanya. Ia tersenyum pula ketika
didengarnya sorak penonton. Anak panah itu pun hinggap dikepala.
Demikianlah anak panahnya yang kedua, ketiga dan keempat. Lapangan itu
benar-benar menjadi gempar. Ketika ia memasang anak panahnya yang
kelima, Citra Gati berpaling kepada Hudaya. Dilihatnya Hudaya tertawa
dan berkata, “Ayo panahmu tinggal satu. Nilaimu tak akan melampaui
nilaiku. Tak mungkin kau dapat membidik kepala orang-orangan itu hingga
enam kali”
“Berilah aku anak panah satu lagi” sahut Citra Gati.
Hudaya tidak menjawab. Hanya telunjuknyalah yang menunjuk ke orang-orangan di ujung lapangan.
Citra Gati menarik nafas dalam-dalam.
Panah-panahnya yang lain telah dicabut pula. Dan kini ia membidikkan
anak panahnya yang kelima.
Sekali lagi lapangan itu menjadi gempar.
Tidak saja sorak yang membahana, namun beberapa orang yang todal dapat
mengendalikan perasaannya telah melemparkan bermacam-macam benda
keudara. Tutup kepala, tongkat-tongkat dan bahkan kain yang dipakainya.
Anak panah Citra Gati yang kelima pun tepat mengenai sasara. Kepala.
Hudaya pun kemudian berlari-lari
mendapatkan sahabatnya itu. Sambil memberi salam ia berkata, “Terlalu.
Kau tak mau kalah satu nilai pun daripadaku”
Citra Gati tidak menjawab. perlahan-lahan ia bergeser dari lingkaran pembidik.
Kini sampailah giliran yang terakhir.
Demikian anak muda itu berjalan ketengah-tengah lingkaran, maka para
penonton pun telah menyorakinya. Dengan tersenyum anak muda itu
melambaikan tangannya. Namun senyum itu tidak begitu cerah seperti
senyumnya semalam, pada saat ia mengenangkan kemenangan yang bakal
dicapainya. Anak muda itu adalah Sidanti.
Ia sama sekali tidak mencemaskan dirinya.
Ia yakin bahwa kelima anak panahnya akan tepat mengenai sasaran. Namun
betapa pun demikian, maka Hudaya dan Citra Gati itu pun dapat berbuat
seperti apa yang akan dilakukan. Sehingga hal itu pasti akan mengurangi
kebesaran namanya. Meskipun demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Hudaya dan Citra Gati telah melakukannya.
Dan apa yang diyakini itu benar-benar
terjadilah. Sidanti tidak memerlukan waktu terlalu lama seperti Hudaya
dan Citra Gati. Itulah kemenangannya yang dapat ditunjukkan kepada
orang-orang Sangkal Putung. Ia hanya memerlukan saat yang pendek.
Memasang, menarik sambil mengangkat busur, kemudian seakan-akan tanpa
membidik, maka anak panah itu pun meluncur menuju sasaran. Dan adalah
mentakjubkan sekali. Anak panah itu seolah-olah mempunyai mata, sehingga
dengan langsung hinggap dikepala orang-orangan.
Orang-orang Sangkal Putung itu
benar-benar tak dapat menahan diri lagi. Mereka berloncat-loncatan dan
seperti orang yang kehilangan akal kesadaran menari-nari sambil
berteriak-teriak keras-keras.
Dengan sebuah senyuman yang kecil Sidanti
mengambil anak panahnya yang kedua. Anak panah ini pun menggemparkan
para penonton pula. Sekali Sidanti mengerling ke arah Sekar Mirah yang
duduk tidak jauh dari Ki Demang Sangkal Putung. Dilihatnya wajah gadis
itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba ketika ia melihat anak panah Sidanti
hinggap di sasarannya, dengan serta-merta ia pun bertepuk tangan
sekeras-kerasnya.
Namun ketika ia memandang wajah Agung
Sedayu, Sidanti menjadi agak kecewa. Anak muda itu memandang anak
panahnya dengan pandangan yang kosong. Ia bertepuk tnagan karena
orang-orang lain bertepuk tangan. Tetapi tak ada kesan kekaguman
memancar di wajahnya.
“Persetan dengan anak itu” gerutunya di dalam hati. “Namun adalah suatu kenyataan ia tidak berani turun ke arena”
Sidanti puas dengan kata-kata
diangan-angannya. Kembali ia memandang sasarannya, dan kembali anak
panahnya mematuk kepala. Demikianlah maka kegemparan meledak
sejadi-jadinya di lapangan itu ketika panah Sidanti yang kelima hinggap
tepat dikepala orang-orangan itu pula.
Ketika sorak sorai orang-orang Sangkal
Putung itu telah mereda, maka Widura tampak berdiri dan melangkah maju
kearena. Betapa pun isi dadanya, namun ia memberikan ucapan selamat pula
kepada Hudaya, Citra Gati dan Sidanti. Kemudian dengan nyaring ia
berkata, “Kita masih harus memilih satu di antara ketiga-tiganya. Kini
lepaskanlah sasaran itu. Gantungkan dengan tali yang agak panjang.
Terbalik. Kepalanya dibawah. Dan apabila tanda berbunyi, ayunkan
orang-orangan itu. Nah, ketiga-tiganya mendapat kesempatan yang sama.
Membidikkan anak panahnya pada waktu yang bersamaan. Masing-masing
dengan tiga buah anak panah, dalam hitungan sampai angka kelima belas”
Hudaya dan Citra Gati tertawa masam.
Terdengar Hudaya berbisik, “Sekarang aku harus mengaku kalah. Kalau ada
satu saja anak panahku yang hinggap, ambillah nilainya”
“Kita tidak sedang membagi makan.
Ambillah angkamu untukmu. Atau barangkali dapat kau simpan untuk
perlombaan yang akan datang” sahut Citra Gati.
Keduanya kemudian terdiam. Mereka melihat
beberapa orang sedang menggantungkan sasaran dengan tali yang cukup
panjang. Kemudian mereka menerima tiga anak panah masing-masing. Dan
ketika bende berbunyi, mereka harus sudah siap berdiri pada satu baris
lurus menghadap orang-orangan yang telah siap untuk diayunkan.
Sesaat kemudian sasaran itu pun telah dilepaskan. Terayun-ayun seperti buaian tertiup angin yang kencang.
Hudaya, Citra Gati dan Sidanti berdiri
dengan tegangnya. Sedang Sidanti tampak tersenyum-senyum kecil. Kali ini
ia yakin, bahwa ia akan memenangkan pertandingan ini.
Penonton benar-benar menjadi tegang ketika terdengar Widura mulai dengan hitungannya, “Satu, dua, tiga, ………..”
Panah yang pertama lepas adalah anak
panah Sidanti. Anak panah itu benar-benar seperti mempunyai mata.
Meskipun sasarannya masih juga terayun-ayun, namun anak panah Sidanti
tepat mengenai kepala. Dan lapangan itu pun menjadi semakin gemuruh
pula.
“Uh” geram Hudaya, ketika ia melihat
ayunan orang-orangan itu dan menjadi goyah karena anak panah Sidanti.
“Makin sulit” gerutunya. Citra Gati tidak menyahut. Ia membidik dengan
cermatnya, dan anak panahnya yang pertama terbang seperti dikejar setan.
Dan sorak di lapangan itu pun membahana pula. Kali ini Citra Gati pun
tepat mengenai kepala sasaran.
Belum lagi sorak itu berhenti, maka
seolah-olah disusul pula dengan ledakan tepuk tangan yang tak kalah
kerasnya. Panah Hudaya pun menyusul kedua anak panah yang mendahuluinya.
Kepala.
Citra Gati menyeringai. “Setan kau Hudaya” gumamnya.
Namun Hudaya hanya tersenyum saja. Tetapi
segera senyumnya lenyap ketika terdengar para penonton berteriak-teriak
seperti orang mabuk. Panah kedua Sidanti tepat mengenai sasarannya
pula.
Kini sasaran itu terayun berputaran tidak
menentu. karena itu, para pemanah itu menjadi semakin sulit. Hudaya
masih membidkkan anak panahnya. Namun anak panah Citra Gati lah yang
terbang lebih dulu. Yang terdengar adalah pekik penyesalan. Anak panah
Citra Gati itu hanya menyentuh kepala sasaran, namun karena kepala
sasaran itu goyah, dan padanya telah melekat beberapa anak panah, maka
anak panah Citra Gati itu meloncat dan jatuh beberapa langkah dari
orang-orangan itu.
“Gila” teriak Citra Gati diluar sadarnya.
Dan ia mengumpat kembali ketika ia mendengar sorak gemuruh para
penonton seperti akan meruntuhkan gunung Merapi. Anak panah Sidanti yang
ketiga telah hinggap dikepala orang-orangan itu pula.Hudaya menggeram.
Ia belum melepaskan anak panahnya yang kedua. Dengan menggigit bibirnya,
anak panah itu berlari kencang sekali. Namun sekali lagi penonton
menyesal karenanya.
Anak panah itu mengenai anak panah yang
lain pula, yang telah lebih dahulu hinggap pada sasaran itu. Anak panah
itu pun tak dapat hinggap pula dan jatuh terpelanting beberapa langkah
jauhnya.
Pada saat itu Citra Gati telah mengangkat
busurnya. Namun sasaran itu bergerak-gerak tak keruan. Kini tak ada
lagi harapan baginya untuk mengenai kepala, sebab kepala sasaran itu
seolah-olah telah penuh dengan anak panah yang bergoyang-goyang pula.
hana pembidik-pembidik yang luar biasa sajalah yang akan dapat
mengenainya. Karena itu Citra Gati membidikkan anak panahnya keleher
sasaran. Namun tiba-tiba betapa ia menjadi kecewa. Hudaya pun kecewa
bukan buatan. Belum lagi mereka sempat melepaskan anak panah mereka yang
ketiga terdengar Widura mengucapkan hitungan yang terakhir, “Lima
belas……” dan terdengarlah bende berbunyi dengan nyaringnya.
Hitungan yang terakhir itu pun disambut
dengan pekik sorak dari para penonton. Mereka berteriak-teriak menyebut
nama Sidanti. Dan Sidanti itu pun kemudian melangkah maju
ketengah-tengah lapangan sambil melambaikan tangannya.
Anak muda itu menjadi semakin bergembira
ketika ia melihat Sekar Mirah seperti anak-anak yang melonjak-lonjak
sambil mengacungkan ibu jari kepadanya.
“Nah, lihatlah” kata Sidanti dalam
hatinya, “Apa yang dapat dilakukan oleh Sedayu itu. Ternyata tidak lebih
dari seorang perempuan cengeng yang hanya dapat bersembunyi dipunggung
pamannya”
Hudaya masih berdiri di tempatnya, dan
Citra Gati pun masih berada di sampingnya pula. terdengar kemudian
Hudaya berkata, “Aku benar-benar tidak membutuhkan nilai itu. Ambillah.
Kau akan menjadi pemenang kedua”
Citra Gati tersenyum. ia tidak menjawab kata-kata Hudaya. Namun katanya, “Lihatlah betapa sombongnya anak muda itu”
“Biarkanlah ia berbuat demikian” sahut Hudaya. “Coba kau mau apa? bukankah kau dapat dikalahkan dengan jujur?”
“Aku tidak mau apa-apa” jawab Citra Gati, “Aku benar-benar kalah. Tetapi bagaimana dengan Agung Sedayu?”
Hudaya menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “aku menjadi agak kecewa. Mungkin ia mempunyai perhitungannya
sendiri. Kalau ia menang maka tak ada kekaguman apa pun padanya. Adalah
lumrah ia dapat memenangkan pertandingan sekecil ini. Tetapi kalau ia
dikalahkan Sidanti, maka namanya akan menjadi surut”
Citra Gati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ketika ia memandang berkeliling, ternyata sebagian dari para
penonton telah meninggalkan lapangan itu. Tak ada hadiah yang akan
diberikan, namun Ki Demang Sangkal Putung akan menyiapkan pesta dengan
memotong beberapa ekor lembu bagi kemenangan anaknya dan kemenangan
Sidanti.
Citra Gati itu mengerutkan keningnya
ketika ia melihat Sidanti dan Sekar Mirah sedang bercakap-cakap dengan
asiknya. Ketika sekali ia memandang Agung Sedayu, dilihatnya anak muda
itu menundukkan wajahnya.
Sesaat kemudian Widura dengan resmi
menutup pertandingan itu. Disebutnya para pemenangnya yang disambut
dengan sorak yang gemuruh. Swandaru bagi anak-anak muda Sangkal Putung
ternyata merupakan pemenang dalam segala lapangan. Sedangkan bagi anak
buah Widura sendiri, Sidanti lah yang menjuarainya.
Namun dalam pada itu, kekecewaan di
hatinya terhadap Agung Sedayu kini benar-benar telah sampai kepuncaknya.
Ia melihat kekecewaan pada beberapa orang lain. Dan ki Demang itu pun
telah bertanya kepadanya, kenapa Agung Sedayu tidak bersedia turut serta
meramaikannya. karena itu, demikian ia selesai dengan kata penutupnya,
ia sama sekali tidak berkata apa pun kepada Sedayu. Langsung ia pergi
meninggalkan lapangan itu dengan kepala tunduk.
Beberapa anak buahnya segera mengikutinya
di belakang. Ki Demang pun berjalan pula di sampingnya. Katanya,
“Dimanakah angger Sedayu?”
“Masih di belakang kakang” sahut Widura kosong.
Ki Demang itu pun berpaling. Dilihatnya
Sidanti berjalan bersama Sekar Mirah dan dilihatnya Sedayu masih berada
di tempatnya bersama Swandaru.
Tetapi Ki Demang itu tidak bertanya lagi.
Betapa pun juga dirasakannya sesuatu berdesir di dadanya. Sebagai
seorang ayah, Ki Demang prihatin atas pilihan anak gadisnya. Karena
sikap Sekar Mirah itu, maka pada suatu saat dapat terjadi hal-hal yang
tak diinginkan. Sebagai seorang yang telah cukup usianya, ia tahu benar
apa yang tersembunyi di dalam hati Agung Sedayu dan Sidanti. Tetapi ia
belum dapat berbuat sesuatu. Dan memang sedang dipikirkannya, bagaimana
ia dapat mengendalikan gadis itu.
Agung Sedayu melihat arus manusia itu
dengan berdebar-debar pula. lapangan itu seakan-akan sebuah telaga yang
mengalir ke segenap penjuru, semakin lama menjadi semakin kering,
sehingga akhirnya tinggallah beberapa orang saja yang masih hilir mudik
di lapangan itu.
“Apakah tuan akan kembali?” bertanya Swandaru kepada Sedayu.
Sedayu mengangguk, “Ya” jawabnya singkat. Tetapi ia masih duduk di tempatnya.
“Marilah” ajak Swandaru.
Agung Sedayu memandang berkeliling untuk sesaat. Kemudian ia pun berdiri. Katanya, “Sebentar Swandaru, apakah kau tergesa-gesa?”
“Tidak” jawab Swandaru. “Tetapi apakah ada sesuatu yang penting di lapangan ini?”
Sekali lagi Swandaru memandang
berkeliling. Orang-orang yang bertugas membersihkan lapangan itu pun
telah hampir selesai dengan pekerjaannya. Dan sesaat kemudian lapangan
itu pun benar-benar telah sepi.
Tiba-tiba terdengarlah Swandaru itu bertanya, “Tuan, kenapa tuan tidak ikut dalam perlombaan ini?”
Sedayu menggeleng lemah, “Tidak Swandaru”
“Aku muak melihat kesombongan Sidanti.
Dan aku muak pula melihat Sidanti,” berkata Swandaru pula. “Biarlah
nanti di rumah aku hajar perempuan itu”
“Jangan Swandaru” cegah Sedayu. “Tak ada gunanya. Biarlah ia berbuat apa saja yang disukainya”
Swandaru terdiam. Namun ia menjadi heran. Sedayu masih belum beranjak dari tempatnya, “Apakah yang tuan tunggu?” ia bertanya.
Sekali lagi Sedayu memandang berkeliling.
Lapangan oi telah benar-benar menjadi sepi. Hanya satu dua orang saja
yang masih sibuk melipat tikar dan beberapa perlengkapan.
“Swandaru” berkata Agung Sedayu lirih. Namun kemudian kata-katanya terputus, dan ia menjadi ragu-ragu.
Swandaru memperhatikan wajah Agung Sedayu
dengan seksama. Setelah beberapa lama Agung Sedayu berdiam diri, maka
bertanyalah Swandaru, “Apakah yang akan tuan katakan?”
Sekali lagi pandangan mata Agung Sedayu beredar. Kemudian katanya, “apakah aku dapat meminjam panahmu itu?”
“Apakah yang akan tuan lakukan?” bertanya Swandaru.
“Aku ingin berlatih memanah, supaya lain kali aku dapat ikut serta dalam perlombaan seperti ini”
“Sekarang?”
“Ya”
“Apakah tuan belum pandai memanah?”
Agung Sedayu menggeleng. “Belum Swandaru”
Swandaru menarik nafas. Ia benar-benar kecewa mendengar pengakuan itu. karena itu ia bertanya, “Apakah tuan berkata sebenarnya?”
“Apakah kau sangka aku pandai memanah?” bertanya Agung Sedayu.
“Tuan adalah anak muda yang kami kagumi.
Ataukah mengkin tuan hanya pandai bertempur dalam jarak yang pendek?
Dengan pedang dan tombak?”
“Entahlah Swandaru. Cobalah lihat, bagaimanakah penilaianmu atas diriku”
Swandaru tidak menjawab. dengan
tergesa-gesa ia melepaskan busur yang menyilang di punggungnya/dan
diambilnya anak panahnya dari bumbung di lambung kuda putihnya. “Inilah
tuan” katanya. “Namun berlatih memanah bukanlah dapat dilakukan sehari
dua hari”
“Itulah sebabnya kau mulai dari sekarang”
Swandaru tidak menjawab. ia menjadi tegang ketika ia melihat Sedayu memegang busur dan anak panahnya.
“Swandaru” berkata Sedayu, “Aku akan
mencoba mengenai sasaran yang masih bergantung itu. Tolong, ayunkanlah
seperti pada saat perlombaan tadi”
Swandaru menjadi heran. Kalau Agung
Sedayu masih ingin belajar, mengapa sasaran itu harus diayunkannya?
Tetapi ia tidak menjawab. Ia berjalan saja ke arah sasaran yang masih
tergantung terbalik itu. Ditariknya orang-orangan itu dan kemudian
dilepaskannya seperti pada saat perlombaan kedua antara Hudaya, Citra
Gati dan Sidanti.
Tetapi Swandaru menjadi bertambah heran
ketika ia melihat Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Dengan tangan
Agung Sedayu memberi isyarat, supaya Swandaru mempercepat ayunan
orang-orangan itu.
“Aneh”“ pikir Swandaru, “Apakah yang akan dilakukannya?”
Kini Swandaru itu pun tidak bertanya.
Ditariknya orang-orangan itu semakin jauh, dan kemudian sasaran itu
tidak saja dilepaskan namun didorongnya sehingga ayunannya menjadi
bertambah cepat.
Tetapi kemudian Swandaru itu melihat
Agung Sedayu melambaikan tangannya memanggil. Berlari-lari kecil
Swandaru pergi mendekati Agung Sedayu, katanya setelah ia berdiri di
samping anak muda itu, “Nah, sekarang apakah yang akan tuan lakukan?”
“Swandaru” berkata Agung Sedayu, “Apakah yang harus aku kenai?”
“Terserahlah kepada tuan” jawab Swandaru.
“namun dalam perlombaan-perlombaan, kepalanyalah yang diangap mempunyai
nilai tertinggi”
Sedayu tidak menjawab lagi. Perlahan-lahan ia mengangkat busurnya, sedang Swandaru memandanginya dengan wajah yang tegang.
“Aku akan mengenainya dari atas
berturut-turut” berkata Agung Sedayu. “Mulai dari bandul, kemudian
badan, leher dan yang terakhir kepala”
Swandaru tidak menjawab. Meskipun untuk
mengenai kepala sasaran itu cukup sulit, namun mengenai semua bagian
berturut-turut menurut rencana itu pun bukan pekerjaan yang mudah.
Apalagi ia belum pernah melihat, apakah Sedayu itu benar-benar dpat
membidikkan panahnya.
Tetapi kemudian Swandaru itu pun terpaku
melihat anak panah Sedayu. Anak panah yang pertama itu laju dengan
cepatnya, dan seperti apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu, anak panah
itu mengenai bandulnya tepat di tengah-tengah.
“Tuan” berkata Swandaru dengan
serta-merta. “Ternyata tuan tidak sedang belajar memanah. Tuan dapat
mengenai sasaran yang tuan bidik dengan tepat”
“Aku akan mencoba mengenai badannya” sahut Sedayu. Namun ia meneruskan kata-katanya, “Tetapi kau harus berjanji”
“Apakah yang harus aku janjikan?”
“Jangan berkata kepada siapa pun tentang apa yang akan kau lihat”
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia
benar-benar tidak mengerti sikap Agung Sedayu. Apakah ia sedang
merahasiakan sesuatu? Seandainya ia mempunyai cara yang khusus, supaya
cara itu tidak dapat ditiru oleh orang lain, apakah salahnya kalau ia
mengatakan hasilnya saja? Meskipun demikian, namun Swandaru itu mengguk
kosong sambil menjawab, “Baiklah tuan”
“Kau berjanji?”
“Ya”
“Bagus” sahut Sedayu. Dalam pada itu ia
telah mengangkat busurnya kembali. Dan panahnya yang kedua itu pun
benar-benar mengenai bagian badan dari orang-orangan yang masih saja
terayun-ayun itu.
“Luar biasa” desis Swandaru. “Tuan
benar-benar mengherankan. Tuan membidik bandul, anak panah tuan hinggap
dibandul. Tuan membidik badan dan anak panah tuan hinggap dibadan.
Sekarang tuan akan mengenai lehernya, bukan begitu?”
“Aku akan coba” jawab Sedayu. Namun
demikian ia selesai mengucapkan kata-katanya, demikian anak panahnya
terbang menuju sasarannya, leher.
“Bukan main tuan” berkata Swandaru. “Sekarang bukankah tuan akan mengenai kepala orang-orangan itu?”
Sedayu mengangguk.
“Seharusnya, tuan mengenainya tiga kali.
Dengan demikian aku akan yakin, bahwa tuan lebih pandai dari anak muda
yang sombong itu”
“Jangan membanding-bandingkan Swandaru”
sahut Sedayu. “Aku tidak sedang berlomba. Perlombaan itu sudah selesai
dan Sidanti lah yang mendapatkan kedudukan tertinggi. Sedang kini aku
hanya bermain-main saja. Tak ada hubungan apa pun dengan perlombaan yang
baru saja selesai.”
Sekali lagi Swandaru mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak berkata apapun. Diamatinya anak panah dibusur
Sedayu dengan seksama. Sambil membungkuk-bungkuk ia memerhatikan setiap
gerak jari Agung Sedayu. Dan sesaat kemudian lepaslah anak panah yang
keempat itu.
Sekali lagi Swandaru berteriak, “Bukan main, bukan main. Tuan telah mengenainya pula”
Sedayu tertawa kecil. Ia senang pula
melihat seseorang mengaguminya. Apabila demikian, sebenarnya timbul pula
keinginannya agar semua prang mengetahuinya pula, bahwa sebenarnya ia
pun dapat berbuat saperti apa yang dilakukan oleh orang lain. Namun
kembali ia menjadi cemas, apabila dibayangkannya akibat dari
kelebihannya itu. Ia cemas kalau ada orang yang mendendamnya. Dan kini
yang hadir di lapangan itu tinggal seorang saja. Swandaru. Dan Swandaru
telah berjanji kepadanya, untuk tidak mengatakan apa pun dan kepada
siapa pun tentang apa yang dilihatnya. Karena itu, sebagai imbangan dari
ketakutannya, maka meledaklah keinginannya untuk menunjukkan setiap
kemampuan yang ada pada dirinya, meskipun hanya terhadap seorang saja
dan kepada dirinya sendiri.
Maka katanya, “Swandaru, berapakah anak panahmu seluruhnya?”
“Sepuluh tuan” jawab Swandaru.
“Marilah, berilah aku dua lagi, supaya aku dapat mengenai kepala sasaran itu tiga kali”
Swandaru yang menjadi gembira melihat
permainan Agung Sedayu itu pun berlari-lari kekudanya. Diambilnya
seluruh anak panahnya dan diserahkannya kepada Agung Sedayu, “Inilah
tuan”
Agung Sedayu menerima anak panah itu.
Kemudian dengan cepatnya ia melepaskan dua anak panah berturu-turut. Dan
keduanya itu pun hinggap dikepala sasaran pula.
Swandaru itu pun bertepuk tangan sambil
berteriak-teriak, “Mengagumkan, mengagumkan”. Namun kemudian ia terdiam
ketika Agung Sedayu berdesis, “Jangan ribut Swandaru, aku tidak mau
bermain-main lagi”
“Ternyata tuan melampaui setiap orang yang ikut dalam perlombaan itu. Kenapa tuan sendiri tidak ikut serta?”
Sekali lagi Agung Sedayu membantah, katanya, “Tidak, tak ada hubungannya dengan perlombaan yang baru saja berakhir”
“Ya” sahut Swandaru. “Memang tak ada
hubungannya. Tetapi tuan benar-benar telah mengagumkan aku. Seandainya
tuan melakukannya selagi masih banyak orang di lapangan ini, maka
lapangan ini pasti akan meledak karena sorak mereka yang gemuruh”
“Sudahlah. Lupakan perlombaan itu” potong Agung Sedayu. “Apakah kita masih akan bermain-main?”
“Tentu” jawab Swandaru. “Apakah tuan masih mempunyai permainan yang lebih baik lagi?”
“Swandaru” berkata Agung Sedayu kemudian. “Apakah yang lebih kecil dari kepala sasaran itu?”
Swandaru mengerutkan keningnya.jnya, “Tak ada tuan”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ditatapnya sasaran yang bergerak-gerak terayun kian kemari
meskipun sudah semakin lambat. Dan kemudian terdengar ia bertanya,
“Swandaru, bahan apakah yang dibuat untuk tali pengikat orang-orangan
itu?”
Swandaru menjadi heran. Ia tidak tahu
maksud pertanyaan Agung Sedayu. Meskipun demikian ia menjawab juga,
“Serat tuan, serat nanas yang dipilin menjadi tali yang kuat”
“Apakah bukan jangat?”
“Oh, bukan tuan. Jangat kulit terlalu kaku”
“Marilah kita buktikan”
Sekali lagi Swandaru menjadi
keheran-heranan. Apakah hubungannya antara panah-panah dan serat nanas
itu? karena itu maka ia bertanya, “Bagaimanakah tuan akan membuktikan?
Dan apakah gunanya?”
Agung Sedayu tidak menjawab. namun
dipasangnya sebatang anak panah dibusurnya. Perlahan-lahan busur itu pun
diangkatnya. Kini ia membidikkan anak panah itu.
Swandaru yang masih belum tahu maksud
Agung Sedayu memperhatikannya dengan berbagai pertanyaan memenuhi
dadanya. Kali ini Agung Sedayu menarik tali busur sepenuhnya, sehingga
busur itu seakan-akan hampir menjadi patah. Dengan hati yang
berdebar-debar Swandaru memandangi busurnya. Namun tiba-tiba Agung
Sedayu melepaskan anak panah itu, dan anak panah itu terbang secepat
angin.
Betapa Swandaru menjadi terkejut
menyaksikan hasil bidikan Agung Sedayu. Sehingga untuk beberapa saat ia
tegak seperti patung. Dengan mulut ternganga ia menyaksikan anak panah
yang lepas dari busurnya dengan laju yang tinggi itu telah memutus tali
penggantung orang-orangan yang terayun-ayun. Demikian cepatnya dan
demikian kerasnya. Barulah ia tahu maksud pertanyaan Agung Sedayu,
tentang bahan pembuat tali itu.
Swandaru pun pernah juga melihat tali
penggantung sasaran itu terputus karena anak panah. Namun justru karena
sama sekali tak disengaja. Justru karena anak panah yang condong dari
arah bidikan. Tetapi kini Agung Sedayu telah dengan sengaja membidik
tali itu. Tali yang jauh lebih kecil dari sasaran itu sendiri. Dan Agung
Sedayu ternyata tepat mengenainya.
Karena itu, ketika ia menyadari tentang
apa yang dilihatnya maka dengan serta-merta ia meloncat maju. Dengan
gairahnya ia mengguncang-guncang bahu Agung Sedayu sambil berkata
terbata-bata, “Tuan. Ternyata dugaanku benar. Tuan ternyata benar-benar
melampaui setiap orang yang pernah aku lihat. Bukankah dengan mengenai
tali itu terbukti tuan tak mungkin dikalahkan oleh siapa pun juga. Tali
itu jauh lebih kecil dari kepala sasaran itu. Dan tali itu sedang
bergerak-gerak. Ternyata tuan dapat mengenainya. Tidak saja tepat, namun
tuan sudah berhasil memutuskannya. Bukankah dengan demikian berarti
bahwa tuan mengenainya tepat di tengah-tengah?”
Agung Sedayu yang terguncang-guncang itu
pun melepaskan dirinya. Sambil tertawa ia berkata, “Jangan Swandaru.
Nanti tubuhku rontok karena guncanganmu. Ternyata tenagamu luar biasa
pula, sehingga tulang-tulangku hampir remuk karenanya”
Swandaru menarik nafas. Dengan penuh
kekaguman sekali lagi ia memandangi ujung tali yang terputus oleh anak
panah Agung Sedayu. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia bergumam,
“Apakah tuan dapat menaruh biji-biji mata di ujung-ujung anak panah
itu?”
Agung Sedayu tidak menjawab. namun ia
tertawa. Kini ia pun menjadi bergembira pula seperti Swandaru. Bahkan ia
menjadi semakin berbangga. Timbullah keinginannya untuk menunjukkan
berbagai macam permainan, yang dapat menunjukkan kelebihan-kelebihan
yang dimilikinya dari orang lain sebagai pencurahan hatinya yang selalu
terkekang oleh kekerdilan jiwanya.
“Swandaru” berkata Agung Sedayu kemudian,
“Di dalam pertempuran orang tidak saja terikat kepada sasaran tertentu.
Mungkin ia harus membidik lawan yang sedang berlari kencang bahkan di
atas punggung kuda. Mungkin ia harus membidik tubuh lawannya yang hanya
nampak sebagian kecil karena bersembunyi di balik pepohonan. Nah, maukah
kau membantu aku bermain-main dengan anak panah?”
“Tentu tuan” jawab Swandaru.
“Tetapi kau harus tatag. Jangan cemas, apabila kau melihat anak panah yang mendatang”
“Apakah yang harus aku lakukan?”
“Bawalah orang-orangan itu sambil berpacu dipunggung kuda. Aku akan mencoba mengenainya”
“Ah, bukankah itu berbahaya?”
Agung Sedayu berpikir sejenak. Kemudian
jawabnya, “Baiklah. Aku mempunyai cara lain. Lepaskanlah kepala sasaran
itu. Lemparkan ke udara. Biarlah aku mengenainya dengan anak panah”
“Bagus. Permainan yang mengasyikan” sahut
Swandaru yang kemudian berlari-lari mengambil sasaran yang telah
terjatuh di tanah. Dilepasnya bagian kepalanya dan dengan isyarat ia
menunjukkan kepala orang-orangan itu kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu kemudian bersiap. Dengan isyarat pula ia memberi tanda kepada Swandaru untuk melemparkan sasaran itu keudara.
Kedua anak muda itu benar-benar menjadi
bergembira, seperti sepasang anak-anak yang sedang bermain-main. Dalam
kegembiraan itu maka Agung Sedayu telah melupakan segalanya. Melupakan
kecemasannya dan melupakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat
menyeretnya kedalam persoalan-persoalan yang tidak dikehendakinya.
Swandaru yang berdiri beberapa puluh
langkah dari Agung Sedayu itu pun kemudian melemparkan sasarannya ke
arah Agung Sedayu. Ternyata betapa besarnya tenaga Swandaru. Meskipun
sasatan itu hempir tak memiliki berat, namun Swandaru berhasil
melemparkan melambung melampaui tempat Agung Sedayu berada.
Tetapi sasaran itu tidak sempat
melampauinya. Ketika benda itu hampir sampai di atas kepalanya, maka
meluncurlah anak panah Agung Sedayu dengan kecepatan tinggi.
Apa yang dilihat oleh Swandaru
benar-benar mentakjubkannya. Kini ia bertepuk sejadi-jadinya. Ia melihat
anak panah itu menyambar sasarannya dan bahkan sasaran itu pun ikut
serta melambung ke atas dibawa oleh arus anak panah Agung Sedayu, hampir
tegak lurus keudara.
Tetapi tepuk tangan Swandaru itu pun
kemudian terhenti. Ia melihat Agung Sedayu melangkah beberapa langkah
maju. Dengan tegangnya ia menunggu, apalagi yang akan dilakukan oleh
Agung Sedayu itu, yang kini berdiri tepat dibawah sasarannya yang hampir
mencapai puncak ketinggian. Dan ternyatalah sesaat kemudian sasaran itu
pun seolah-olah terhenti di udara, dan sesaat pula sasaran itu menukik
turun dengan cepatnya.
Namun kembali Swandaru terkejut. Ia
melihat Agung Sedayu menarik busurnya dan sebuah anak panah terbang
secepat tatit menyambar sasaran yang sedang meluncur turun itu. Sesaat
kemudian kedua benda itu pun seolah-olah beradu. Anak panah Agung Sedayu
yang kesembilan telah berhasil mematuk sasarannya pula, sehingga benda
itu pun kemudian berputar seperti baling-baling di udara. Dua batang
anak panah yang saling bertentangan itu seolah-olah sengaja dipasang
sebagai jari-jari dari sebuah baling-baling. Swandaru kini tak dapat
menguasai diri lagi. Dengan cepatnya ia berlari mendekati Agung Sedayu
sambil berteriak-teriak, “Gila, bagaimana tuan dapat melakukan itu?”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia
melingkar beberapa langkah surut. Sasaran yang dikenainya melambung pula
keatas, namun tidak setinggi semula. Karena itu, kini Agung Sedayu siap
melakukan permainannya yang terakhir. Panahnya tinggal sebatang, dan
panah itu akan dihabiskannya. Dengan cepatnya ia memasang anak panah itu
dan sebelum sasarannya jatuh menyentuh tanah, maka Agung Sedayu masih
sempat menyambarnya dengan anak panahnya yang kesepuluh.
Sasaran itu terlempar beberapa langkah,
dan kemudian terjatuh di tanah. Namun seakan-akan sasaran itu terseret
oleh kekuatan anak panah Sedayu beberapa langkah lagi.
Apa yang dilihat oleh Swandaru itu
hampir-hampir tak masuk diakalnya. Tiga anak panah hinggap pada satu
sasaran yang sedang melambung di udara.
Seperti orang yang benar-benar kehilangan
kesadaran Swandaru berteriak-teriak kegirangan. Bahkan kemudian anak
itu telah kehilangan keseimbangan berpikir. Dengan serta-merta ia
berteriak, “Tuan. Setiap orang Sangkal Putung harus tahu apa yang telah
tuan lakukan. ternyata Sidanti tidak sepantasnya untuk menamakan dirinya
pemanah terbaik dari Sangkal Putung. Sebab tuan dapat memanah jauh
lebih baik daripadanya”
Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata
Swandaru itu. Dengan cemasnya ia berkata, “Jangan Swandaru, bukankah
kau telah berjanji?”
“Tuan terlalu merendahkan diri” sahut
Swandaru. “Tetapi sekali lagi anak yang sombong itu harus menyadari
keadaannya, ia bukan manusia yang tak ada bendingnya. Bahkan Sidanti itu
pasti tak akan dapat melakukan seperti apa yang tuan lakukan itu”
“Jangan Swandaru” cegah Agung Sedayu.
Namun Swandaru solah-olah sudha tidak
mendengar lagi kata-kata Agung Sedayu itu. Dengan cepatnya ia berlari ke
arah kuda putihnya. Dan sebelum Agung Sedayu sempat berbuat sesuatu,
Swandaru telah meloncat kepunggung kudanya itu dan seperti sedang
berpacu dengan hantu kuda itu lari kencang-kencang.
Agung Sedayu menjadi bingung. Untunglah
bahwa dalam endongnya sudah tidak terselip lagi sebatang anak panahpun.
Seandainya, ya seandainya demikian, maka sudah pasti kuda Swandaru itu
tak akan dapat pulang kekandang.
Tetapi yang terjadi, Agung Sedayu itu
berdiri dengan kaki gemetar melihat kuda Swandaru itu terbang
meninggalkan lapangan. Sekilas berterbangan pulalah di dalam benaknya,
apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Swandaru itu. Terbayanglah
kemudian, Sidanti akan datang dengan wajah yang merah membara karena
kemarahannya.
Di dalam hati Agung Sedayu itu, timbullah
suatu penyesalan. Betapa dengan sombongnya ia telah menunjukkan
beberapa permainan yang akan dapat membawa kesulitan kepadanya. Apalagi
kini pamannya sedang marah pula kepadanya. Namun ia sudah tidak dapat
berbuat sesuatu. Swandaru itu kini telah hilang di balik rimbunnya
dedaunan.
Yang tinggal adalah sebuah kepulan debu
yang putih, semakin lama semakin tipis dan akhirnya lenyap ditiup angin
yang sepoi-sepoi. karena itu, maka keringat yang dingin segera mengalir
membasahi segenap tubuh Agung Sedayu.
Swandaru itu pun memacu kudanya menyusul
Sidanti yang sedang berjalan perlahan-lahan kembali kekademangan. Dengan
asyiknya ia bercakap-cakap dengan beberapa orang yang sedang
mengaguminya. Bahkan Sekar Mirah yang kemudian berjalan di samping
ayahnya itu pun berkali-kali berpaling dan sekali-sekali dipujinya anak
muda itu di hadapan ayahnya.
Ki Demang Sangkal Putung hanya
kadang-kadang saja menanggapi pujian-pujian itu. Namun di dalam hatinya,
orang tua itu benar-benar mengeluh. Gadisnya harus benar-benar
dikuasainya. karena itu, maka Ki Demang Sangkal Putung itu, bahkan
bertekad untuk bersikap lebih keras lagi terhadap Sekar Mirah. Ia
menyesal bahwa anak gadisnya satu-satunya itu terlalu dimanjakannya.
Baik oleh dirinya sendiri mau pun oleh ibunya, sehingga Sekar Mirah itu
mempunyai sifat yang sukar dikendalikan. Ia berbuat seenaknya seperti
yang dikehendakinya. Perasaannya terlalu tampil ke depan, jauh ke depan
dari pikiran wajarnya.
Widura berjalan saja tanpa menghiraukan
apapun. Hanya kadang-kadang saja ia memandang orang-orang yang lalu
lalang di sekitarnya. Ditatapnya wajah-wajah yang dengan gembira pulang
dari lapangan menyaksikan perlombaan-perlombaan yang sangat menarik
hati. Perlombaan-perlombaan yang jarang terjadi di kademangan yang subur
itu.
Tetapi langkah Widura itu pun kemudian
terhenti, ketika ia melihat dua orang berkuda menuju ke arahnya. Dua
orang yang dikenal baik oleh Widura, sebagai laskarnya yang patuh.
Bahkan kedatangan dua orang berkuda itu pun sangat menarik perhatian
orang-orang yang sedang berjalan pulang dari lapangan itu. Sehingga ada
di antaranya yang ikut berhenti pula, menanti kalau-kalau ada sesuatu
yang penting bagi Sangkal Putung. Tetapi kedua orang itu ternyata sama
sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencemaskan, dengan
tersenyum-senyum ia kemudian turun dari kudanya dan kemudian mengangguk
hormat kepada Widura.
Widura pun mengangguk pula. dilihatnya
juga kedua orang itu hanya tersenyum-senyum, namun bagi Widura, senyum
mereka adalah senyum yang tak begitu wajar. Meskipun demikian Widura
tahu benar maksud kedua orang itu. Mereka tidak mau merampas kegembiraan
orang-orang Sangkal Putung dengan sikap-sikap yang tegang dan
tergesa-gesa.
Widura pun kemudian tidak bertanya
langsung apa keperluan mereka. Tetapi ia yakin pasti ada sesuatu. Kedua
orang itu adalah orang yang sedang bertugas berjaga-jaga di ujung
kademangan.
“Perlombaan sudah selesai” berkata Widura kepada mereka. “Marilah kita ke kademangan”
Kedua orang itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya, dan dengan menuntun kuda mereka, mereka berjalan di samping
Widura ke kademangan.
Sidanti pun melihat kedua orang itu pula,
demikian juga Hudaya dan Citra Gati. Bahkan Sonya yang berjalan
jauh-jauh di belakang bersama Sendawa mempercepat langkah mereka. Tetapi
mereka menjadi kecewa ketika ternyata kedua orang itu tak berkata
apa-apa.
Orang-orang Sangkal Putung yang berhenti
karena kedatangan orang-orang berkuda itu pun kemudian meneruskan
langkah mereka. Ternyata dalam tanggapan mereka, kedua orang berkuda itu
pun agaknya hanya ingin menyaksikan perlombaan di lapangan, namun
mereka sudah terlambat.
Namun Widura yang segera ingin tahu apa
yang sudah terjadi itu, ternyata tidak sabar menunggu sampai mereka tiba
di kademangan. karena itu maka perlahan-lahan hampir berbisik ia
berkata, “Ada sesuatu?”
Salah seorang dari kedua orang berkuda
itu mengangkat wajahnya. sesaat ia memandang orang-orang berjalan di
sekitarnya namun kemudian dengan berbisik pula ia berkata, “Tak begitu
penting, meskipun harus mendapat perhatian”
“Apakah itu?”
“Di antara beberapa orang yang lewat di muka gardu penjagaan kami, kami melihat seorang yang menarik perhatian kami”
Widura mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Siapa?”
“Seorang yang barangkali hadir juga
menyaksikan perlombaan di lapangan. Meskipun pakaiannya kumal dan kotor,
namun tongkatnya telah meyakinkan kami”
“Tongkat baja putih?”
Orang itu mengangguk.
“Berkelapa kuning berbentuk tengkorak?”
Sekali lagi orang itu mengangguk.
Widura itu pun menggeram, “Macan yang gila itu sempat menyaksikan perlombaan itu pula”
“Aku sangka demikian. Namun kami tidak berani menangkapnya. Sebab kami tahu pasti kekuatan yang tersimpan pada dirinya”
“Kalian telah berbuat benar” sahut Widura. “Juga kalian tak dapat menghitung, berapa orang yang dibawanya”
Prajurit berkuda itu mengangguk. Katanya,
“Kami berenam di dalam gardu kami. Seandainya kami harus bertempur,
belum pasti kami berenam sempat melaporkan kehadirannya. Yang dapat kami
lakukan hanyalah memukul tanda bahaya. Dan orang-orang itu pun segera
akan lenyap. Sedang sebagian besar dari kami, pasti sudah mati”
“Benar” sahut Widura pula, kemudian katanya, “Apakah mereka sudah meninggalkan Sangkal Putung?”
“Kami menyangka demikian” jawab orang itu.
“Aku juga menyangka demikian” berkata
Widura. “Orang itu hanya ingin tahu, apakah yang terjadi di sini, dan
sekaligus ia dapat mengetahui pula, gambaran kekuatan laskar kita di
sini. Untunglah bahwa perlombaan pedang dan sodoran hanya aku
peruntukkan anak-anak muda Sangkal Putung, sehingga Tohpati itu tidak
dapat mengukur kekuatan prajurit Pajang di Sangkal Putung”
Orang itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan kemudian mereka itu pun saling berdiam diri. Namun apa
yang didengar oleh Widura dari penjaga-penjaganya itu, semakin
meyakinkannya, bahwa apa yang dikatakan Kiai Gringsing semalam
benar-benar akan dilakukan oleh Tohpati. Sekali lagi menyergap Sangkal
Putung.
Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
derap kaki kuda yang berdentang-dentang di jalan berbatu-batu di
belakang mereka. Semakin lama menjadi semakin keras, sehingga setiap
orang yang mendengarnya menjadi cemas karenanya. Bahkan kedua prajurit
berkuda itu pun menjadi cemas pula. Karena itu, maka semua mata,
berpuluh-puluh pasang, seakan-akan melekat ditikungan jalan di belakang
mereka.
Sesaat kemudian muncullah kuda itu, seekor kuda putih dengan penunggangnya yang gemuk bulat. Swandaru.
“Oh” hampir semua mulut berdesah, ketika
mereka melihat anak muda itu. Sedang Swandaru itu pun menjadi terkejut
pula ketika dilihatnya beberapa orang berhenti di jalan seakan-akan
sedang menunggunya. Sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya sambil menarik
kekang kudanya. “Apakah yang kalian tunggu?”
Kuda Swandaru itu berhenti beberapa
langkah dari Sidanti. Namun Sidanti itu kemudian sama sekali tak
memperhatikannya. Dengan langkah yang tetap Sidanti meneruskan
perjalanannya kembali kekademangan.
Ki Demang Sangkal Putung, yang masih agak jauh dari padanya menjawab pertanyaan anaknya, “Kau mengejutkan kami, Swandaru”
“Ah” sahut Swandaru. “Betapa ayah mudah
menjadi terkejut, sedang kakang Sidanti pun sama sekali tidak terkejut
mendengar derap kudaku”
Langkah Sidanti pun terhenti. Dengan
wajah yang asam ia berpaling ke arah Swandaru. Namun hanya sebentar, dan
kembali ia tidak memperhatikan anak muda itu lagi, seakan-akan
kehadirannya sama sekali tak berarti baginya.
Swandaru melihat kemasaman wajah itu.
karena itu maka hatinya pun menjadi semakin panas. Tiba-tiba timbullah
keinginannya untuk memanaskan hati Sidanti pula. maka katanya lantang,
“Kakang Sidanti, berhentilah sebentar”
Sekali lagi Sidanti berpaling, kali ini ia memandang Swandaru dengan tajam, katanya, “Jangan ribut Swandaru”
“Aku tidak sedang ribut, “Jawabnya.
“Tetapi aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa sebenarnya bukan kaulah
pemanah terbaik di Sangkal Putung”
Kali ini Sidanti benar-benar berhenti. Ia
tidak saja berpaling, namun dengan sigapnya ia memutar tubuhnya.
Ditatapnya wajah Swandaru dengan tajamnya. Dan bertanyalah anak muda itu
dengan suara yang bergetar, “Apa katamu Swandaru?”
Ki Demang Sangkal Putung dan Widura pun
tertarik pula pada kata-kata Swandaru itu. Namun mereka menjadi cemas,
dan berkatalah Ki Demang Sangkal Putung, “Swandaru, hati-hatilah dengan
kata-katamu”
Swandaru tidak menghiraukan kata-kata
ayahnya. Dengan masih tetap di atas punggung kudanya ia berkata, “Aku
berkata sebenarnya, bahwa kakang Sidanti bukan pemanah terbaik di antara
kita”
Sidanti itu pun menjadi heran mendengar
kata-kata Swandaru yang tiba-tiba itu. karena itu beberapa langkah ia
maju mendekati Swandaru. katanya, “Ulangi Swandaru. dan apa alasannya?”
“Baik” jawab Swandaru. “Aku ulangi. Kau
bukan pemanah terbaik di Sangkal Putung. Alasanku, di lapangan masih ada
seorang pemanah yang pasti melampaui kecakapanmu”
Dada Sidanti menjadi bergelora. Betapa
hatinya menjadi panas. Seandainya pada saat itu tidak ada Widura, Ki
Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Sekar Mirah maka mulut
Swandaru itu pasti sudah ditamparnya untuk ketiga kalinya.
Tetapi kini ia masih mencoba menahan
dirinya. Sedang beberapa orang lain pun melangkah mendekati mereka.
Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Sekar Mirah dan
beberapa orang lainnya.
Sekali lagi Ki Demang Sangkal Putung
mencoba mencegah anaknya yang kurang dapat menempatkan diri itu,
katanya, “Swandaru, sudahlah, jangan membual. Apa pun yang terjadi di
lapangan menurut katamu, namun perlombaan sudah selesai. Dan angger
Sidanti lah yang kami anggap sebagai pemenangnya”
Swandaru tertawa. Jawabnya, “Ternyata anggapan itu salah ayah”
“Tidak bisa” sahut ayahnya. “Kami semuanya menjadi saksi”
Swandaru masih tertawa. Dipandangnya
kemudian wajah-wajah yang tegang di sekitarnya. Dilihatnya beberapa
orang memandangnya dengan penuh pertanyaan pada sinar matanya. kKarena
itu, maka Swandaru itu pun berkata pula, “Baiklah. Katakanlah dalam
perlombaan itu kakang Sidanti ternyata menjadi pemenang. Namun aku
katakan bahwa ia bukanlah pemanah terbaik di Sangkal Putung”
Widura masih tetap berdiam diri. Dengan
cepatnya ia memaklumi maksud Swandaru. ketika tak dilihatnya Agung
Sedayu di antara mereka, maka pasti Agung Sedayu lah yang dimaksud oleh
Swandaru itu.dan dengan cepat pula Widura dapat mengira-irakan apakah
yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu. Agaknya ia telah melakukan
beberapa permainan bersama Swandaru. Namun Widura menjadi heran, bahwa
Swandaru telah menyusul Sidanti dan mengatakan apa yang dilihatnya.
Apakah maksud Swandaru itu telah disetujui Agung Sedayu?
Sidanti telah hampir tak dapat menahan
dirinya lagi. Dengan lantang ia berteriak, “Jangan banyak bicara
Swandaru. katakan siapa orangnya!”
Swandaru meredupkan matanya. Dipandangnya
Sidanti baik-baik. Apakah yang akan terjadi kalau ia menyebutkan nama
orang yang telah mengagumkannya itu? Dan dengan las-lasan disebutnya
nama itu, katanya, “Kau ingin tahu namanya? Namanya Agung Sedayu”
Sidanti mendengar nama itu, seperti suara
guruh yang meledak di atas kepalanya. Sesaat wajahnya menjadi tegang,
namun sesaat kemudian tubuhnya menjadi gemetar. Tiba-tiba semua orang
pun menjadi tegang pula ketika mereka melihat Sidanti itu, tanpa sepatah
katapun, melangkah dengan tergesa-gesa menyibak semua orang yang
berdiri di sekitarnya. Dengan dada yang bergelora ia berjalan kembali
kepalangan sambil menjinjing busurnya. Namun demikian masih juga ia
bergumam, “Bagus. Kita buktikan, siapakah di antara kita yang akan
menjadi pemanah terbaik di Sangkal Putung”
Beberapa orang yang kemudian tersadar
akan keadaan itu, segera berjalan pula kembali ke lapangan. Mereka ingin
menyaksikan apakah gerangan yang akan terjadi.
Widura memandang si dengan hati yang
berdebar-debar pula. sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun sesaat kemudian
disadarinya, bahwa ia harus hadir pula di lapangan. Seandainya terjadi
sesuatu dengan Sidanti dan Agung Sedayu, maka ia pun harus dengan cepat
dapat mengatasinya. Meskipun demikian, Widura itu tak dapat melupakan
kehadiran Tohpati di Sangkal Putung. karena itu sebelum ia pergi
menyusul Sidanti, dipesannya dua orang berkuda itu untuk segera kembali
kegardunya, katanya, “Kembalilah ke gardumu. Beritahukan kemudian
gardu-gardu yang lain. Dan selalu siapkanlah tanda bahaya. Jangan
terlambat”
Kedua orang itu mengangguk, jawabnya, “Baik. Akan segera kami lakukan”
Demikian kedua orang berkuda itu pergi,
maka berkatalah Widura kepada ki Demang yang masih saja berdiri
kebingungan, “Marilah kita saksikan, apakah yang terjadi”
“Baik, baik” jawab Ki Demang. Dan kepada
Swandaru ia berkata, “Swandaru, kau selalu saja bikin perkara. Bukankah
dengan demikian kau telah memanaskan hati Sidanti? Apalagi kalau
ternyata kata-katamu benar. Lalu bagaimanakah dengan hasil perlombaan
itu?”
“Kalau mereka ingin bertanding, apa
salahnya ayah” jawab Swandaru. “Bukankah dengan demikian kita akan
mendapat penilaian yang jujur atas semua orang di Sangkal Putung?”
“Kalau ada yang ketinggalan dalam
perlombaan, itu adalah karena keinginannya sendiri” jawab Ki Demang.
Namun ia tidak dapat berkata apa pun seterusnya, ketika diingatnya bahwa
Agung Sedayu adalah kemenakan Widura.
Tetapi Widura lah yang meneruskan, “Apa
yang terjadi kemudian tidak akan mempengaruhi hasil perlombaan. Adalah
salah Agung Sedayu sendiri kenapa ia tidak ikut serta dalam perlombaan
itu. Betapa pun pandainya ia membidikkan anak panah, namun apabila itu
dilakukan setelah perlombaan, maka tak ada sebuah nilai pun yang dapat
diberikan padanya”
Swandaru kini jadi terdiam. Ia sama
sekali tak berani menjawab kata-kata Widura. Namun orang lainlah yang
kemudian berkata, “Biarlah kakang. Biarlah anak muda yang sombong itu
dapat menilai dirinya. Seandainya seseorang dapat melampauinya, meskipun
kelebihan itu tak dapat mempengaruhi hasil perlombaan, namun kita semua
akan mengetahuinya, bahwa ada orang lain yang sebenarnya lebih berhak
atas kemenangan itu daripada Sidanti”
Widura berpaling ke arah suara itu.
Dilihatnya di belakangnya Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil
berkata, “Kau benar kakang Citra Gati”
Widura menarik nafas dalam-dalam.
Meskipun demikian ia menjawab, “Aku harus ada di antara mereka.
Pertandingan yang kemudian ini pun tak boleh lebih dari pertandingan
memanah”
Hudaya tersenyum masam. Sahutnya, “Apa
salahnya? Bukankah semuanya ini terjadi diluar arena yang seharusnya?
Kalau kali ini kakang masih mencegahnya, maka itu hanya aka nberarti
menunda-nunda penyelesaian”
Di dalam hatinya Widura pun membenarkan
kata-katanya Hudaya itu. Namun segera terlintas di dalam kepalanya,
bayangan-bayangan yang mencemaskannya. Tohpati. Kalau orang-orangnya
sibuk dengan bentrokan-bentrokan antara sesama, apakah jadinya kalau
Tohpati itu tiba-tiba saja menerkam Sangkal Putung,? Kalau terjadi
sesuatu, maka hal itu pasti akan didengar oleh Macan Kepatihan itu.
Sebab siapa tahu bahwa seorang dua orang dari laskar Jipang masih ada di
antara mereka dan menyaksikan perselisihan itu.
Hal inilah yang tak terpikirkan oleh
Hudaya, Citra Gati dan orang-orang lain. Mereka hanya menuruti perasaan
mereka saja. Kebenciannya kepada kesombongan Sidanti agaknya telah
benar-benar memuncak. Dan mereka mengharap Agung Sedayu akan memberi
beberapa peringatan kepada Sidanti. Namun ada hal lain lagi yang tak
mereka ketahui. Agung Sedayu tidak lebih dari seorang penakut.
Karena itu, kali ini pun Widura menjadi
pening karenanya. Meskipun demikian, maka Widura berkata tegas, “Tak
akan ada perkelahian di antara kita”
Hudaya dan Citra Gati tidak berkata-kata
lagi. Namun wajahnya membayangkan kekecewaan hatinya. Sesaat mereka
saling berpandangan. Hudaya itu, kemudian tersenyum hambar ketika ia
melihat Citra Gati mengangkat bahunya.
Ketika mereka melihat Widura melangkah
kembali ke lapangan, mereka itu pun mengikutinya pula. sedang Ki Demang
Sangkal Putung dengan wajah yang masam berkata kepada anaknya,
“Swandaru, segera kau akan melihat akibat pokalmu itu”
Swandaru menundukkan wajahnya. kini baru
disadarinya, mengapa Agung Sedayu mencegahnya untuk tidak menyampaikan
cerita tentang dirinya itu kepada siapa pun juga. Barulah kini ia dapat
menilai perbuatannya itu. Namun semuanya sudah terjadi. Dan sebenarnya
hatinya pun terbersit harapan seperti yang diucapkan oleh Hudaya dan
Citra Gati itu. Namun ia tidak membantah ayahnya lagi. Bahkan ia pun
kemudian turun dari kudanya dan dituntunnya kuda itu berjalan di
belakang ayahnya. Sedang Sekar Mirah ternyata berjalan jauh mendahului.
Dengan tergesa-gesa ia berjalan di belakang Sidanti di antara beberapa
orang lain yang ingin juga menyaksikan pertandingan yang kedua, yang
pasti tidak kalah menggemparkan dari pertandingan yang baru saja
selesai.
Bahkan beberapa orang sudah mulai
menilai-nilai kedua anak muda yang mereka anggap sebagai
pahlawan-pahlawan yang mengagumkan. Mereka berdua adalah anak muda yang
namanya menjadi buah bibir orang-orang Sangkal Putung. Sidanti ternyata
terkenal sebagai seorang yang gagah berani yang dengan kesaktiannya
mampu bertahan melawan Macan Kepatihan. Sedang Agung Sedayu bagi mereka
merupakan seorang pahlawan penyelamat padukuhan Sangkal Putung.
Keduanya kini akan berhadapan dalam satu pertandingan memanah. Alangkah mengasyikkan.
Sidanti sendiri yang berjalan paling
depan dari iring-iringan yang semakin lama menjadi semakin panjang itu,
dadanya benar-benar bergelora karena hatinya yang panas. Sejak semula ia
berharap agar ia dapat bertanding dalam kesempatan apa pun dengan Agung
Sedayu. Namun ia menjadi kecewa ketika Agung Sedayu tidak ikut serta
dalam perlombaan itu. Namun tiba-tiba di belakangnya, Agung Sedayu telah
membuatnya menjadi bersakit hati. Kini biarlah dibuktikan siapa di
antara mereka berdua yang berhak menamakan dirinya pemanah terbaik di
Sangkal Putung.
Kabar itu, kabar tentang Agung Sedayu,
segera menjalar seperti api yang membakar kademangan Sangkal Putung.
Setiap mulut dan setiap telinga telah dirayapi oleh berita itu. Beberapa
orang berlari-lari pulang, untuk memanggil kakak-kakak mereka,
adik-adik mereka dan keluarga-keluarga mereka yang telah terlanjur
sampai di rumah, untuk menyaksikan pertandingan yang pasti akan
menggembirakan hati mereka, melampaui pertandingan yang baru saja
selesai.
Beberapa saat kemudian Sidanti itu pun
menjadi semakin dekat dengan lapangan di muka banjar desa, sejalan
dengan hatinya yang menjadi semakin bergelora oleh kemarahan. Maka ia
pun semakin mempercepat langkahnya, seakan-akan ia ingin meloncat dengan
satu loncatan yang akan dapat mencapai sisa jarak yang sudah tidak
terlalu jauh itu.
Di lapangan, Agung Sedayu berdiri dengan
dada yang berdebar-debar. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya.
Cemas, kecewa, meyesal bercampur baur. Sehingga lututnya pun menjadi
gemetar. Ternyata Swandaru tidak menepati janjinya, sehingga akibatnya
benar-benar tak seperti yang diharapkan. karena itu, dalam kebingungan
Agung Sedayu itu berjalan hilir mudik tak menentu. Sekali-sekali ingin
ia pergi meninggalkan lapangan. Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu.
Sehingga akhirnya dadanya itu pun serasa berdnentangan, ketika ia
mendengar suara orang-orang yang ribut semakin lama menjadi semakin
dekat. Dan ternyatalah kemudian apa yang ditakutkannya. Dari balik
rimbunnya daun-daun, dari balik dinding-dinding batu, muncullah
orang-orang itu. Berbondong-bondong dan kemudian pecah berlarian
mengelilingi lapangan.
Darah Agung Sedayu itu pun hampir
berhenti mengalir ketika dilihatnya, di ujung iring-iringan itu berjalan
seorang yang sanga menakutkan baginya. Sidanti.
Dan Sidanti itu langsung berjalan ke arah
Agung Sedayu. Dengan langkah yang tetap namun tergesa-gesa, seakan-akan
ia takut terlambat, meskipun hanya sekejap.
Tetapi hati Agung Sedayu itu pun kemudian
menjadi agak tenteram ketika kemudian dilihatnya, pamannya datang pula
ke lapangan. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang lagi. Dengan
demikian ia hanya dapat berdoa mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas
dirinya.
Sidanti itu pun kemudian berhenti hanya
beberapa langkah saja di muka Agung Sedayu. Dengan wajah tegang
dipandanginya wajah Agung Sedayu.
Agung Sedayu masih saja berdiri di
tempatnya. Betapa pun dadanya berguncang, namun dicobanya juga menguasau
dirinya. Bahkan kemudian dilihatnya juga Sekar Mirah yang memandangnya
dengan penuh teka-teki. Akhirnya pamannya dan Ki Demang Sangkal Putung
pun berdiri dilingkaran itu pula. hanya Swandarulah yang berdiri agak
jauh, namun wajahnya masih sasa tampak memancarkan kebanggaannya atas
Agung Sedayu. Sekali-sekali disambarnya wajah Sidanti dengan tatapan
matanya. Ditariknya bibirnya ke samping dan kemudian ia tersenyum.
Betapa menyesal Agung Sedayu melihat anak
muda itu. Namun kini semuanya telah terlanjur. Dan dirinyalah kini yang
menjadi pusat perhatian segenap penduduk Sangkal Putung yang semakin
lama menjadi semakin banyak.
Seperti guruh menggelegar di langit,
Agung Sedayu itu mendengar Sidanti berkata parau, “Adi Agung Sedayu. Aku
telah mendengar apa yang baru saja kau lakukan”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Dengan
sudut matanya memandang wajah Swandaru. namun ia pengumpat di dalam hati
ketika dilihatnya Swandaru itu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kemudian Agung Sedayu itu menjawab, “Aku tidak berbuat
apa-apa kakang Sidanti”
Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian
anak muda itu tersenyum masam, “Jangan menghina aku. Kenapa kau tidak
turut saja berlomba?”
“Aku tidak berhasrat” sahut Agung Sedayu.
“Tetapi kenapa kau membuat kericuhan setelah pertandingan selesai?”
“Apakah yang aku lakukan?”
Mata Sidanti menjadi semakin menyala. Dan
hati Agung Sedayu menjadi semakin kecut karenanya. Namun dicobanya juga
untuk tetap menatap wajah Sidanti dengan wajah tengadah. Tetapi
lutunyalah yang terasa bergetaran. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak
dapat menghindarkan diri dari pertanggungan jawabnya atas semua
perbuatannya. Kata-katanya dan anggapan orang-orang Sangkal Putung bahwa
ia adalah seorang pahlawan. Dan anggapan-anggapan itu belum pernah
dibantahnya. Apalagi ketika dilihatnya di sampingnya Sekar Mirah berdiri
dengan wajah yang cerah. Kepada gadis itu pun telah banyak
diceritakannya tentang perjalanannya ke Sangkal Putung bersama kakaknya
dahulu. Dan diceritakannya betapa ia berdua bertempur melawan Alap-alap
Jalatunda dan pande besi dari Sendang Gabus. Betapa dengan dahsyatnya ia
berdua berhasil membunuh tiga orang di antaranya dan cerita-cerita lain
yang dibuatnya untuk menutupi kekerdilan jiwanya.
Kini ia dihadapkan pada satu pembuktian.
Ia tidak dapat berbuat apapun, selain berbuat sesuatu untuk
menyelamatkan namanya. Tetapi, betapa ia memaksa dirinya, namun lututnya
yang gemetar dan hatinya yang berdebar-debar itu sangat menyulitkannya.
Dan kemudian terdengar Sidanti berkata
pula dengan suara yang lantang, “Kau telah menyuruh Swandaru
berteriak-teriak sepanjang jalan, bahwa pemenang dalam perlombaan itu
bukan pemanah terbaik di Sangkal Putung”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
Sekali lagi dipandanginya wajah Swandaru. dan Agung Sedayu itu pun
menjadi semakin menyesali sikap Swandaru itu. Dengan tertawa Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun Agung Sedayu itu kemudian menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak menyuruhnya. Dan aku tidak berbuat apa-apa”
Semua orang yang mendengar jawaban Agung
Sedayu itu menjadi heran. Tanpa berjanji, maka semua orang berpaling ke
arah anak muda yang gemuk itu, seolah-olah mereka bertanya kepadanya,
apakah yang dikatakannya itu benar-benar bukan sebuah dongengan.
Swandaru pun merasakan
pertanyaan-pertanyaan yang memancar dari wajah-wajah itu. Sesaat ia
menjadi bingung. Kenapa Agung Sedayu idak saja mengakuinya dan kalau
perlu membuktikan di hadapan orang-orang itu? Kenapa masih saja ia
merendahkan dirinya sedemikian? Namun tiba-tiba Swandaru itu pun mundur
beberapa langkah, keluar dari lingkaran orang yang berjejal-jejal.
Dengan nanar ia memandang berkeliling lapangan. Akhirnya ia berlari-lari
untuk memungut sesuatu yang tergolek di lapangan itu.
“Inilah” teriaknya, “Aku akan dapat
memberikan bukti kepada kalian. Lihatlah sasaran ini. Panah-panahku
masih tertancap di sini. Sasaran ini aku lemparkan keudara, dan anak
muda itu telah mengenainya tiga kali di udara. Ya tiga kali di udara”
Semua mata memandangi bekas kepala
orang-orangan itu. Mereka melihatnya tiga anak panah masih melekat pada
benda itu. Dan mereka mendengar pula kata-kata Swandaru itu. Tiga anak
panah mengenai satu sasaran yang terbang di udara. Mereka tidak tahu,
bagaimana cara Agung Sedayu mengenainya. Namun dengan serta-merta mereka
bertepuk tangan gemuruh.
Tepuk tangan yang gemuruh itu benar-benar
telah menyalakan bara di dada Sidanti. Selangkah ia maju, dan
terdengarlah ia berkata lantang, “Bohong, adakah kalian melihat,
bagaimana caranya ia mengenainya?”
Suara yang gemuruh itu pun berangsur
diam. Dan akhirnya sama sekali ketika mereka melihat Widura melangkah
maju memasuki lingkaran. Dengan tenangnya ia memandang Sidanti dan Agung
Sedayu berganti-ganti. Kemudian dipandangnya semua wajah yang berdiri
mengitari mereka itu.
Betapa pun juga, Widura itu pun berusaha
untuk mengasai keadaan. Sebagai seorang pemimpin maka ia harus berbuat
sesuatu. karena itu maka katanya, “Tak ada pengaruh apa pun atas
perlombaan yang sudah berjalan. Kita sudah menetapkan pemenangnya. Namun
permainan-permainan yang lain masih akan dapat dilakukan. Tetapi bukan
untuk merubah dan mempengaruhi perlombaan itu.”
(bersambung ke Jilid 5)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-04/

Tinggalkan Balasan