

ADBM-008

“JANGAN panggil dengan
sebutan yang terlalu jauh. Panggillah dengan sebutan yang lebih dekat.
Kakang. Juga kepada Untara lebih baik kau memanggilnya demikian” potong
Widura.
“Ya” sahut Agung Sedayu, “Aku lebih senang”
“Baiklah” sahut Swandaru, “Marilah, minumlah”
Widura dan Agung Sedayu pun minum pula
air jahe yang hangat. Dengan demikian maka keringat mereka semakin
banyak mengalir membasahi tubuh mereka.
Dalam pada itu Ki Tanu Metir itu pun
bertanya pula, “Dari manakah angger berdua malam ini. Apakah seperti
biasanya nganglang setiap gardu perondan?”
“Ya” sahut Widura, “Dan ke gunung Gowok.
Aku sedang berlatih bermain pedang. Guruku, Agung Sedayu telah
mencobakan ilmu yang paling akhir”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya.
Sedang Ki Demang Sangkal Putung menjadi terheran-heran. Apalagi Swandaru
sehingga dengan serta-merta berdesah, “Ah”
Mereka menjadi semakin tidak mengerti
ketika Widura berkata, “Tetapi seorang yang menamakan diri Kiai
Gringsing selalu saja mengganggu kami, sehingga usaha kami itu pun tidak
dapat kami lakukan seperti yang kami kehendaki”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sebelum berkata sesuatu, maka Widura telah berkata pula,
“Akhirnya kami tidak meneruskan latihan kami. Tetapi kami berpacu dengan
orang yang tidak kami kenal itu kekademangan”
Ki Tanu Metir menarik alisnya. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Siapakah yang lebih dahulu sampai?”
“Ki Tanu Metir” jawab Widura.
“He” sahut Ki Tanu Metir, “Kau berpacu dengan Kiai Gringsing, namun kenapa aku yang lebih dahulu sampai?”
Widura menggeleng, jawabnya, “Entahlah. Aku tidak tahu”
Ki Tanu Metir itu menundukkan wajahnya.
Widura dan Agung Sedayu duduk dengan gelisahnya, sedang Ki Demang
Sangkal Putung dan Swandaru masih saja memandang mereka dengan penuh
pertanyaan yang memancar dari wajah-wajah mereka.
Agung Sedayu yang semula juga ikut
menjadi bingung perlahan-lahan dapat menangkap, apakah yang dilakukan
pamannya itu. Bahkan kemudian tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimanakah
dengan Kakang Untara?”
Pertanyaan itu mengejutkan Ki Tanu Metir,
sehingga dengan serta-merta ia menjawab, “Sudah semakin baik. Angger
Untara sudah dapat bangun dan berjalan-jalan. Sebentar lagi luka iu akan
sembuh, meskipun masih diperlukan waktu untuk memulihkan kekuatannya”
“Tetapi malam ini aku tidak harus berkuda
ke Sangkal Putung sendiri, dan Kiai tidak usah menyusulku dan setelah
Kiai kalah bertempur melawan aku, maka Kiai harus bertempur melawan
Alap-alap Jalatunda”
Ki Tanu Metir tidak dapat menyembunyikan
senyumnya lagi. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan mendekati Untara.
Ternyata Untara itu juga tidak sedang tidur. Bahkan ketika ia melihat
Ki Tanu Metir itu mendekati maka desisnya, “Bagaimana Kiai?”
“Kemana aku harus bersembunyi lagi ngger?” bertanya Ki Tanu Metir kepada Untara.
“Kiai tidak perlu bersembunyi lagi”
Ki Tanu Metir menarik nafas panjang.
Kemudian gumamnya, “Tamatlah cerita tentang seorang dukun tua dan
tamatlah cerita tentang orang yang berkerudung kain gringsing”
“Cerita itu sudah lama tamat” sahut Widura.
Ki Tanu Metir berpaling. Ditatapnya wajah
Widura yang aneh. Tetapi sesaat kemudian orang tua itu tertawa geli.
Katanya, “Terlalu banyak yang ingin kau ketahui ngger. Tetapi baiklah,
aku tidak perlu bersembunyi lagi. Dugaanmu benar”
Widura tertawa. Agung Sedayu pun tertawa. tetapi Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru sama sekali tidak tahu, apakah yang lucu.
Karena itu, maka Swandaru itu pun segera bertanya, “Apakah yang aneh paman Widura?”
Widura menggeleng sambil tersenyum, “Tidak apa-apa. hanya suatu permainan saja”
“Permainan apa?”
“Ki Tanu Metir mencoba bersembunyi ketika melihat kami lewat. Disangkanya kami tidak melihatnya”
Swandaru mengerutkan keningnya. Jawaban
Widura itu semakin membingungkannya. Sehingga kemudian ia mendesaknya,
“Tetapi, bagaimanakah cerita tentang paman Widura dan orang yang disebut
gurunya yang bernama Agung Sedayu itu?”
“Oh” sahut Widura, “Aku hanya
bermain-main. Ki Tanu Metir pernah bertanya kepadaku, siapakah guruku,
karena aku tidak mau menunjukkannya, maka aku jawab saja sekenanya,
Agung Sedayu”
Swandaru mengumpat-umpat di dalam
hatinya. Ia tahu betul, bahwa bukan itulah jawaban dari pertanyaannya.
Meskipun demikian ia sudah tidak bertanya lagi. Namun, bagaimanapun
juga, ia tidak dapat menjajagi, bahwa sendau gurau itu telah
mengungkapkan suatu peristiwa yang selama ini menjadi teka-teki bagi
Widura. meskipun Ki Tanu Metir belum mengatakan kepadanya, namun Widura
telah dapat merabanya. Bagaimanakah yang pernah terjadi atas Untara.
Bagaimanakah sebabnya, maka orang-orang di sekitar rumah Ki Tanu Metir
menyangka bahwa orang tua itu bersama Untara telah hilang dibawa
gerombolan Plasa Ireng. Kini semuanya sudah menjadi agak jelas bagi
Widura. sudah tentu Plasa Ireng beserta Alap-alap Jalatunda tidak akan
dapat berbuat sesuatu terhadapnya.
Ki Demang Sangkal Putung pun sebenarnya
mempunyai keinginan untuk mengetahui, apakah sebenarnya yang sedang
dipercakapkan oleh Ki Tanu Metir dan Widura, tetapi ia segera
mengendalikan dirinya. Persoalan-persoalan diluar dirinya, dan mungkin
menyangkut kepentingan kelaskaran Pajang, lebih baik baginya untuk tidak
turut mempersoalkannya apabila tidak diminta.
Sesaat kemudian kembali mereka duduk
melingkar di atas tikar pandan di pringgitan. Untara masih tetap
berbaring dipembaringannya. Meskipun lukanya telah jauh berkurang, namun
ia masih belum kuat benar untuk terlalu lama duduk.
Di antara mereka sudah terhidang berbagai
makanan. Meskipun sudah terlalu dingin, namun dapat juga untuk
menggerakkan rahang-rahang mereka.
Sambil makan Ki Tanu Metir berkata seakan-akan sambil lalu saja, “Bagaimanakah kabarnya angger Sidanti itu sekarang?”
Widura mengerutkan keningnya. Dan dilihatnya wajah Swandaru menjadi tegang.
“Tak ada kabarnya” jawab Widura, “Tetapi sudah pasti ia tidak akan kembali ke Sangkal Putung”
“Tetapi ia pasti mendendam” potong Swandaru tiba-tiba, “Aku telah melukainya”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebenarnyalah bahwa Sidanti itu mendendam. Tidak saja kepada Swandaru
tetapi juga kepada Agung Sedayu. Sedang mereka, Widura dan Agung
Sedayupun, mendengar dengan jelas, apa yang dikatakan oleh Ki Tambak
Wedi, bahwa dendam Sidanti yang terbesar justru kepada Agung Sedayu dan
Swandaru. Agung Sedayu yang dianggap menggesernya dari sudut hati Sekar
Mirah, dan Swandaru yang telah melukainya bahkan hampir membunuhnya.
Tetapi Agung Sedayu itu menjadi tenteram ketika ternyata bahwa Kiai
Gringsing yang sekarang duduk di hadapannya sebagai seorang dukun tua
itu, akan melindunginya.
Tetapi Swandaru tidak mendengar janji
yang pernah diucapkan oleh orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing.
Sehingga dengan demikian maka dadanya menjadi berdebar-debar apabila
diingatnya nama itu. Sidanti. Selagi mereka masih berada di halaman yang
sama, Sidanti telah pernah menamparnya dua kali. Apalagi kini, maka
Sidanti itu tidak akan sekedar menamparnya saja. Tetapi pasti
membunuhnya.
Ayahnya pun merasakan kecemasan itu.
Karena itu selagi mereka mempercakapkan Sidanti, maka sama sekali Ki
Demang Sangkal Putung itu pun ingin mencari perlindungan bagi anaknya.
Maka katanya, “Aku menjadi cemas juga akan Angger Sidanti itu.
Hubungannya dengan Swandaru terlalu jelek. Sehingga keadaan Swandaru
kini pun selalu terancam pula olehnya. Apalagi pada saat terakhir,
Swandaru itu telah berusaha untuk membunuhnya, sehingga dengan demikian
maka dendam angger Sidanti itu pun menjadi semakin dalam pula”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Swandaru berusaha menyelamatkan aku”
Widura melihat kecemasan yang membayang
di wajah ayah-beranak itu. Baik Ki Demang Sangkal Putung maupun Swandaru
agaknya tidak akan dapat merasa tenteram. Karena itu, maka Widura itu
pun menjadi iba pula kepada mereka. Sehingga tanpa sengaja ia berkata,
“Jangan cemas kakang Demang, selagi Ki Tanu Metir masih di sini”
Ki Demang terkejut mendengar kata-kata
Widura itu. Bahkan Ki Tanu Metir itu sendiri pun terkejut. Tetapi
kembali Ki Demang Sangkal Putung itu menjadi kecewa. Ia menyangka bahwa
Widura masih saja bergurau. Karena itu ia berdesah, “Ah, nasib Swandaru
benar-benar mencemaskan”
Widura menyadari kata-katanya. Bahkan ia
menyesal, bahwa Ki Demang merasa ia hanya bergurau saja. Maka katanya
kemudian untuk meyakinkan Ki Demang Sangkal Putung itu, “Aku berkata
sebenarnya kakang Demang. Sekaligus aku minta pula keringanan hati Ki
Tanu Metir untuk menyelamatkan Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama”
Ki Demang Sangkal Putung sama sekali
tidak segara dapat mengerti kata-kata itu. Sekali-sekali ditatapnya
wajah Widura, dan sekali-sekali diamat-amatinya dukun tua itu. Sehingga
akhirnya ia bertanya, “Maksud adi, apakah apabila angger Agung Sedayu
atau Swandaru dicederai oleh angger Sidanti, maka Ki Tanu Metir akan
mengobatinya hingga sembuh?”
Ternyata Ki Demang Sangkal Putung itu
benar-benar tidak mengerti maksud Widura. dan sebenarnya bahwa Widura
mengatakan sesuatu sebelum lawan berbicaranya siap untuk menerimanya.
Widura mengatakan suatu hal diluar pengetahuan Ki Demang Sangkal Putung.
Tetapi, agak sulitlah bagi Widura untuk berkata terus terang tentang Ki
Tanu Metir, meskipun ia sadar, bahwa itu harus dikatakannya.
Setelah menimbang beberapa lama, maka
kemudian Widura itu pun menjawab, “Ki Demang, biarlah Ki Tanu Metir
berusaha untuk memberikan beberapa pengetahuan kepada Agung Sedayu dan
Swandaru, sehingga mereka berdua tidak dapat dikalahkan oleh Sidanti”
Ki Demang Sangkal Putung mengerutkan
keningnya. Katanya dengan ragu-ragu, “Angger Agung Sedayu barangkali
dapat berbuat demikian. Sebab malahan angger Sedayu sudah melampaui
ketinggian ilmu Sidanti. Tetapi anakku itu?”
“Itulah yang aku maksud, kakang” sahut
Widura, “Biarlah Ki Tanu Metir menuntun Swandaru dan Agung Sedayu.
Karena Agung Sedayu telah memiliki bekal yang cukup, maka biarlah untuk
Sementara Swandaru akan mendapat perhatian lebih banyak daripada Agung
Sedayu. Sebab ternyata bahwa dendam itu disebabkan oleh Swandaru sedang
berusaha menyelamatkan Agung Sedayu. Sehingga karena itulah maka aku pun
minta dengan sangat Ki Tanu Metir untuk memenuhi permintaan itu”
Ki Demang Sangkal Putung benar-benar
menjadi pening mendengar keterangan Widura yang justru menjadikannya
semakin bingung. Swandaru pun tidak kalah bingungnya. Sehingga bahkan ia
menjadi jengkel. Dengan bersungut-sungut ia berkata, “Paman Widura,
bahaya itu sebenarnya sedang mengancam kami. Aku dan kakang Agung
Sedayu. Apakah dalam keadaan itu aku harus belajar mengobati luka-luka
supaya aku sempat mengobati lukaku seandainya Sidanti mencelakakan aku?”
Widura benar-benar menjadi sulit untuk
mengatakan maksudnya. Sedang Ki Tanu Metir sendiri sama sekali tidak
membantunya. Karena itu, maka katanya kemudian kepada Ki Tanu Metir, “Ki
Tanu Metir, tolonglah, jelaskanlah maksudku kepada kakang Demang dan
Swandaru. dan katakanlah kepada kami, apakah Ki Tanu bersedia memenuhi
permintaan kami. Mengambil Agung Sedayu dan Swandaru sebagai murid Kiai
dan memberi mereka bekal keselamatannya dari ancaman Sidanti”
Ki Tanu Metir mengangkat wajahnya.
ditatapnya setiap orang yang duduk di sekitarnya satu demi satu.
Kemudian perlahan-lahan ia berkata, “Jadi bagaimana Angger Widura?”
“Terserahlah kepada Kiai” jawab Widura.
Ki Tanu Metir mengangguk-angguk. Kemudian
kepada Widura ia berkata, “Angger, permintaan angger aku terima dengan
senang hati. Mudah-mudahan aku mampu berbuat demikian, seperti yang
telah aku ucapkan Ki Tambak Wedi sendiri. sekarang apakah angger Agung
Sedayu dan angger Swandaru bersedia menerima tawaran itu?”
Agung Sedayu lah yang dengan serta-merta menjawabnya, “Aku sangat berterima kasih atas kesempatan itu Kiai”
Tetapi Swandaru belum juga menyadari
keadaannya. Ia masih merasa seakan-akan percakapan itu seperti
senda-gurau saja. Namun meskipun demikian ia tidak berkata apa-apa,
hanya sinar matanya sajalah yang memancarkan kebimbangan dan
kebingungannya.
Ki Tanu Metir menangkap kebimbangan di
hati Swandaru itu. Karena itu, maka katanya, “Angger, aku tahu angger
menjadi ragu-ragu. Mungkin angger tidak mendapat keyakinan, bahwa dengan
belajar kepadaku, angger mungkin akan menyelamatkan diri sendiri dari
bahaya yang akan ditimbulkan oleh Sidanti. Karena itu, maka aku akan
mencoba menyakinkan angger untuk kepentingan keselamatan angger sendiri”
Ki Tanu Metir itu berhenti sesaat. Sekali lagi ditatapnya wajah-wajah
yang ada di sekitarnya. Terasa alangkah berat hatinya untuk mengatakan
sesuatu yang terkandung di dalam dadanya. Sebenarnya Ki Tanu Metir
bukanlah seorang yang suka menunjukkan kelebihan-kelebihannya kepada
orang lain. Sebenarnyalah bahwa apakah Swandaru percaya atau tidak,
bukanlah kepentingannya. Juga seandainya Swandaru itu kelak akan
mengalami nasib yang malang karena pokal Sidanti, itu pun sama sekali
bukan kepentingannya. Namun ia sadari bahwa seharusnyalah anak itu
diusahakan untuk dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun Ki Tanu
Metir itu pun mengetahuinya, bahwa pertentangan antara Swandaru dan
Sidanti tidak saja timbul karena persoalan Agung Sedayu itu. Tetapi
sejak masa-masa lampau sebelumnya, pertentangan itu memang telah ada.
Namun sebab yang langsung sekali adalah usaha Swandaru membunuh Sidanti
pada saat-saat Sidanti hampir saja berhasil melumpuhkan Agung Sedayu.
Karena itu, oleh sesuatu tekanan di dalam hatinya yang belum pernah
dikatakannya kepada orang lain, maka Ki Tanu Metir merasa berkewajiban
untuk menolong Swandaru itu, seperti ia menolong Agung Sedayu sendiri,
karena persoalan yang bersangkut-paut.
Dengan demikian, maka setelah berhenti
sejenak, Ki Tanu Metir itu berkata, “Angger Swandaru, sebelum angger
mulai dengan mematuhi petunjuk-petunjuk yang akan aku berikan, adalah
wajar sekali kalau angger harus menjadi yakin, bahwa orang yang dipatuhi
itu akan dapat memberinya sesuatu. Karena itu, maka biarlah aku mencoba
meyakinkan angger. Aku bukan sengaja untuk menunjukkan keanehan dan
mungkin juga menyombongkan diri, tetapi aku tidak melihat cara yang lain
untuk itu”
Swandaru memandang Ki Tanu Metir tanpa
berkedip. Ki Demang Sangkal Putung pun menjadi semakin bingung. Tetapi
ia benar-benar ingin melihat, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Tanu
Metir itu.
Ki Tanu Metir itu pun kemudian berpaling
kepada Agung Sedayu dan berkata, “Angger, apakah peristiwa yang angger
saksikan tadi mampu meyakinkan angger Swandaru?”
Agung Sedayu tahu benar maksud Ki Tanu
Metir. Karena itu segera diceritakannya apa yang baru saja dilihatnya.
Tetapi seperti juga Ki Tanu Metir, Agung Sedayu ragu-ragu, apakah
ceritanya cukup meyakinkan tanpa melihatnya sendiri.
Meskipun demikian, maka Agung Sedayu
telah mencoba menceritakan apa yang telah terjadi. Pertempuran antara Ki
Tambak Wedi dan Kiai Gringsing. Dan ternyata bahwa Kiai Gringsing itu
adalah Ki Tanu Metir itu sendiri.
Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung
mendengarkan cerita itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka
dapat mengerti beberapa bagian dari cerita itu. Namun tampaklah pada
wajah Swandaru, bahwa ia masih juga ragu-ragu mendengar cerita Agung
Sedayu.
Mereka bukan tidak percaya pada Agung
Sedayu, namun mereka sangatlah sukar utuk membayangkannya, bahwa hal itu
dapat terjadi atas seorang dukun tua seperti Ki Tanu Metir itu.
Ki Tanu Metir pun dapat menangkap keragu-raguan itu. Tetapi apakah yang dilakukannya untuk meyakinkan mereka itu.
Dalam kebimbangan itu tiba-tiba terdengar
Untara berkata, “Aku juga mempunyai sebuah cerita. Apakah kau mau
mendengarkan Swandaru?”
“Tentu” sahut Swandaru kosong.
“Baiklah” berkata Untara pula.
perlahan-lahan ia bangkit dan dengan perlahan-lahan pula ia berjalan dan
duduk di samping Ki Tanu Metir.
“Lukaku sudah tidak berbahaya lagi” katanya.
Swandaru dan kesempatan memandanginya dengan tegang. Cerita apakah yang akan dikatakan oleh Untara itu.
“Ki Demang Sangkal Putung dan kau
Swandaru” berkata Untara itu kemudian, “Cerita ini adalah cerita tentang
diriku sendiri. Cerita tentang seorang prajurit yang gagal memenuhi
kewajibannya. Mungkin sebagian kalian telah mendengar dari Agung Sedayu,
namun aku yakin bahwa pada saat itu paman Widura dan Agung Sedayu telah
berusaha mencari aku” Untara berhenti sejenak. Dilihatnya tidak saja
Swandaru dan ayahnya yang mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Tetapi
juga Agung Sedayu dan Widura sendiri.
“Aku kira, pada waktu itu hampir semua
orang menyangka aku telah hilang. Bahkan mungkin orang menyangka bahwa
aku telah diculik oleh gerombolan Plasa Ireng, sebab sepeninggal Agung
Sedayu kemari, pada waktu itu datanglah Plasa Ireng dan Alap-alap
Jalatunda. Namun ternyata aku selamat. Di dalam rumah itu hanya ada aku
berdua dengan Ki Tanu Metir. Seorang dukun tua. Aku sedang terluka, agak
parah hampir seperti lukaku sekarang. Nah, siapakah menurut dugaan
kalian yang telah menyelamatkan aku dari tangan Plasa Ireng itu?”
Widura dan Agung Sedayu menjadi semakin
jelas akan persoalan itu. Sudah tentu Plasa Ireng tidak akan mampu
mengambil Untara pada saat itu, sebab di dalam rumah itu ada Ki Tanu
Metir, yang kemudian menamakan dirinya Kiai Gringsing.
Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung pun
segera dapat menjawab pertanyaan Untara itu. Sudah pasti Ki Tanu Metir.
Namun kembali mereka tidak dapat membayangkan, apakah yang sudah
dilakukan oleh dukun tua itu untuk menyelamatkan Untara. Bagaimanakah
rupanya kira-kira kalau orang tua itu bertempur, apakah ia harus melawan
Ki Tambak Wedi ataukah ia harus berkelahi melawan Plasa Ireng dengan
beberapa orang kawannya.
Swandaru dan Ki Demang itu benar-benar
berada dalam kebimbangan dan keragu-raguan. Sehingga kemudian terdengar
Untara berkata seterusnya, “Nah, ternyata Ki Tanu Metir lah yang
berhasil menyelamatkan aku. Setelah Ki Tanu Metir itu berhasil mengusir
Plasa Ireng dan orangnya, maka segera aku pun disembunyikannya di atas
kandang kuda, sementara itu Ki Tanu Metir pergi menyusul Agung Sedayu.
Baru setelah Ki Tanu Metir kembali, maka aku dibawanya pergi, mengungsi
ke tempat yang tak banyak dikenal orang. Dan memang tidak banyak orang
yang akan menyangka bahwa aku disembunyikan oleh dukun tua itu. Namun
sebenarnyalah demikian”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dadanya sudah berdebar-debar seandainya kakaknya mengatakan
bahwa ia telah menjadi ketakutan dan hampir menjadi pingsan ketika
kakaknya itu memaksanya pergi ke Sangkal Putung. Sehingga sampai saat
terakhir, tidak seorang pun dari Sangkal Putung yang mengetahui, bahwa
Agung Sedayu baru saja melampaui suatu masa yang tak pernah disangkanya
akan terjadi.
Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun keragu-raguan yang bersarang di
dalam dada mereka, masih belum dapat mereka lenyapkan.
Ki Tanu Metir yang melihat perasaan itu
pun kemudian berkata, “Angger Swandaru. Aku akan mencoba menunjukkan
beberapa permainan yang dapat meyakinkan angger. Bukan semata-mata aku
ingin dipercaya, namun semata-mata untuk memberikan dasar-dasar
kepercayaan kepada Angger Swandaru, bahwa usahanya akan tidak terlalu
sia-sia. mungkin memang tidak akan dapat berhasil seperti yang
diharapkan, misalnya, dalam waktu yang pendek akan segera dapat
mengimbangi Sidanti, namun setidak-tidaknya ada usaha ke arah itu.
Mudah-mudahan lambat-laun akan berhasil pula, meskipun dari sedikit”
Swandaru tiba-tiba menjadi gembira. Kalau
ia akan dapat melihat apa pun yang dilakukan oleh Ki Tanu Metir, maka
ia akan dapat meyakininya apa yang dilihat itu. Dan apabila demikian,
maka ia berjanji di dalam hatinya, bahwa ia tidak akan merasa seorang
murid yang tekun. Mudah-mudahan ia tidak akan merasa selalu terancam
hidupnya oleh Sidanti sepanjang umurnya.
Karena itu ketika Ki Tanu Metir mengajak
mereka itu kehalaman, maka dengan serta-merta Swandaru itu pun berdiri
dan berkata, “Benar-benar di luar kemampuanku untuk memikirkan apa yang
telah terjadi itu, dan mungkin apa yang terjadi dalam permainan ini.
Tetapi aku berjanji, bahwa aku akan menjadi seorang murid yang tekun,
demi keselamatanku sendiri dan demi kelangsungan ketentraman di daerah
ini”
“Bagus” seis Ki Tanu Metir, “Angger
adalah putra seorang Demang yang akan dapat nglintir kekuasaan itu.
Mudah-mudahan angger akan dapat membawa bekal secukupnya”
“Terima kasih Kiai” jawab Swandaru.
Ki Tanu Metir itu pun kemudian berjalan
mendahului mereka. Tetapi di muka pintu ia berhenti. Sambil berpaling ia
berkata, “Kita ke gunung Gowok”
Swandaru tidak peduli, apakah permainan
itu dilakukan di rumah, di halaman, atau di gunung Gowok. Karena itu ia
menjawab, “Marilah. Aku akan kut kemana Kiai akan pergi”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian kembali ia berjalan kehalaman. Ki Demang Sangkal
Putung yang ingin juga melihat hal-hal yang baginya tak dapat
dimengertinya itu ikut pula bersama Widura dan Agung Sedayu. Hanya
Untara sajalah yang tinggal di pringgitan dan kembali ia membaringkan
dirinya.
Para penjaga regol yang melihat mereka
keluar menjadi heran dan bertanya-tanya di dalam hati. Kemanakah mereka
itu pergi? Widura dan Agung Sedayu baru saja pulang dari nganglang.
Sekarang mereka pergi lagi bersama Ki Demang, Swandaru dan Ki Tanu
Metir. Apakah ada seseorang yang perlu segera mendapat pertolongan dukun
tua itu?
Tetapi mereka ridak bertanya terlalu
banyak. Mereka hanya menyapa dan sekedar bertanya sepantasnya. Namun
Widura yang menjawabnya hanya sekedar menjawab sepantasnya,
“Berjalan-jalan” katanya.
Mereka itu pun kemudian berjalan
tergesa-gesa ke gunung Gowok. Di sepanjang jalan itu, mereka hampir
tidak bercakap-cakap sepatahpun. Masing-masing sedang sibuk dengan
angan-angannya.
Ki Tanu Metir itu pun sibuk pula dengan
pikirannya sendiri. adalah aneh sekali, bahwa ia seakan-akan memaksa
seseorang untuk menjadi muridnya tidak atas permintaan anak itu sendiri.
hal yang benar-benar menggelikan. Bahkan terpaksa ia membuktikan kepada
anak itu sesuatu yang meyakinkannya, untuk bersedia menjadi muridnya.
Tetapi ia tidak dapat menolak permintaan Widura. dan ia tidak dapat
membiarkan anak itu hidup dalam ketakutan atas bayangan orang lain yang
mendendamnya. Ia harus menolongnya, meskipun dengan demikian terjadi
kejanggalan itu.
Pada saat permulaan dari penurunan ilmu
itu, Ki Tanu Metir telah melihat sesuatu yang menarik perhatiannya pada
Swandaru. Anak itu memiliki sikap tinggi hati lebih dari Agung Sedayu.
Mungkin terpengaruh oleh kebiasaan hidupnya sebagai seorang anak Demang,
sehingga seakan-akan ia pun memiliki pula kekuasaan yang dimiliki oleh
ayahnya, Swandaru tidak segera menerima tawaran untuk menjadi muridnya.
Namun ia meragukannya. Ia tidak ingin melihat hal-hal yang tidak
dimengertinya itu lambat laun, namun dalam kebimbangan ia menunggu,
meskipun telah didengarnya beberapa keterangan mengenai dirinya.
Tetapi dengan demikian, maka Swandaru
mempunyai sifat yang lebih terbuka pula. ia lebih senang melihat dan
membuktikan langsung daripada menyimpan teka-teki di dalam hatinya.
“Namun anak muda itu harus tahu” berkata
Ki Tanu Metir di dalam hatinya, “Bahwa bukan kehendakku untuk
mendapatkan murid-murid yang aku kehendaki, namun apa yang aku lakukan
adalah untuk kepentingannya semata-mata, sehingga dengan demikian ia
seharusnya tidak berbuat sekehendaknya seakan-akan tidak memerlukannya,
tetapi harus benar-benar bertanggung-jawab bagi masa depannya sendiri”
Tetapi Ki Tanu Metir belum dapat
mengatakan itu sekarang kepada Swandaru. Mungkin Agung Sedayu akan
segera dapat mengertinya, namun Swandaru pasti belum. Anak itu harus
melihat sesuatu lebih dahulu, sesuatu yang dapat menarik perhatiannya
dan kepercayaannya. Tetapi apa?
Ki Tanu Metir menarik nafas panjang. Ia
harus berbuat untuk menunjukkan kelebihannya dari orang lain.
Benar-benar suatu hal yang asing baginya. “Mudah-mudahan aku tidak
sekedar terdorong untuk menyombongkan diri” orang tua itu tersenyum di
dalam hati.
Tanpa terasa mereka pun kemudian sampai
pula di sebuah tanah lapang kecil di dekat puntuk kecil yang bernama
gunung Gowok. Widura dan Agung Sedayu sudah kenal betul dengan gunung
itu. Kepada batang kelapa sawit di atasnya, dan kepada tanah lapang yang
kecil itu. Jauh lebih baik dari Ki Demang Sangkal Putung itu sendiri.
Swandaru menjadi gembira. Dilihatnya
bintang-bintang yang bergantungan di langit yang biru. Dilihatnya awan
yang tipis bergerak lembut keutara.
Sesaat Ki Tanu Metir berdiri
termangu-mangu. Terasa sangatlah berat baginya untuk memulai sebuah
permainan yang aneh-aneh. Mungkin ia akan dapat berbuat demikian dalam
keadaan yang serta-merta, tetapi ketika hal itu dirancangnya lebih
dahulu, maka malahan terasa menjadi sulit.
Setelah sesaat mereka tegak membeku, maka
Ki Tanu Metir menyadari, bahwa ia harus segera mulai. Karena itu, maka
dengan agak canggung diambilnya sepotong besi yang diselipkannya diikat
pinggangnya. Dengan ragu-ragu ia berkata kepada Swandaru, “Lihatlah
ngger, mungkin kau kenal potongan-potongan besi semacam ini. Dengan
potongan-potongan besi semacam ini Ki Tambak Wedi mencoba menakut-nakuti
lawannya. Dengan tangannya Ki Tambak Wedi membengkokkan besi-besi
semacam ini sehingga hampir berbentuk lingkaran, sehingga mirip dengan
bentuk senjata yang disukainya di samping nenggalanya seperti kepunyaan
Sidanti yang tertinggal di Sangkal Putung”
Swandaru tidak menjawab. ia hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia menunggu apa yang akan dilakukan
oleh Ki Tanu Metir atas potongan besi itu.
Orang-orang yang berdiri tegak itu pun
kemudian melihat, Ki Tanu Metir menggenggam besi itu erat-erat, kemudian
dengan kekuatan tangannya sepotong besi itu dilengkungkannya hampir
berbentuk sebuah lingkaran. Widura dan Agung Sedayu menahan nafasnya.
Terlebih-lebih Widura. ia pernah melihat Ki Tambak Wedi
menakut-nakutinya dengan permainannya semacam itu.
Tetapi mereka terkejut ketika Swandaru itu berkata, “Kiai, apakah aku tidak dapat melakukannya?”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya.
Tetapi ia tidak mau mengecewakan Swandaru. Besi yang lengkung itu
diluruskannya kembali dan diberikannya kepada Swandaru, “apakah angger
ingin mencoba?”
Swandaru menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, “Biarlah aku mencobanya Kiai”
Swandaru kemudian menerima potongan besi itu. Sesaat ia diam. Dipandanginya Ki Tanu Metir dan potongan besi itu berganti-ganti.
“Silakan ngger, silakan mencoba”
Swandaru itu masih berbimbang hati. Tetapi kemudian dicobanya melakukan seperti apa yang baru saja diperbuat oleh Ki Tanu Metir.
Ketika ia mencoba melengkungkan besi itu,
Swandaru benar-benar terkejut. Disangkanya pekerjaan itu amat mudahnya.
Karena itu, maka dikerahkannya segenap kekuatan yang ada padanya.
Dengan menggertakkan giginya, kedua tangannya menekan potongan besi itu.
Ternyata kekuatan Swandaru pun
benar-benar menakjubkan. Besi itu seakan-akan menggeliat, dan kemudian
perlahan-lahan membengkok. Tetapi hanya sedikit sekali.
Nafas Swandaru menjadi terengah-engah.
Ternyata kekuatannya yang dibangga-banggakannya selama ini hanya mampu
membengkokkan besi itu sedikit saja. Itu pun telah dikerahkan tenaganya
sebesar-besar mungkin. Sedang Ki Tanu Metir nampaknya dapat berbuat
demikian mudahnya, bahkan kedua ujung dan pangkalnya menjadi hampir
bertemu.
“Bagaimana ngger?” bertanya Ki Tanu Metir
kemudian. Swandaru menyerahkan potongan besi itu kembali sambil
berkata, “Aku tidak mampu Kiai”
Ki Tanu Metir tersenyum. Dilihatnya mata
Swandaru selalu memandanginya. Dari pandangan mata itu Ki Tanu Metir
melihat kepercayaan yang mulai tumbuh di dalam hati Swandaru. Namun
kepercayaan itu belum cukup meyakinkannya, bahwa Ki Tanu Metir
benar-benar memiliki kelebihan seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu.
Sebenarnyalah bahwa Swandaru pun belum pernah melihat kelebihan Ki
Tambak Wedi dari orang lain. Tetapi Swandaru telah mempercayainya. Ia
percaya karena ia melihat kelebihan Sidanti, murid Ki Tambak Wedi itu,
selain setiap orang menyebutnya sebagai seorang yang paling ditakuti di
sekitar gunung Merapi. Swandaru percaya karena hampir setiap mulut telah
mengucapkannya. Sedang Ki Tanu Metir adalah seorang yang sama sekali
tak dikenal sebelumnya.
Ki Tanu Metir menyadari keadaan itu.
Ketenaran seseorang berpengaruh juga bagi kepercayaan orang lain
terhadapnya. Meskipun ketenaran belum tentu menunjukkan ukuran
sebenarnya dari seseorang. Namun Ki Tanu Metir tidak mengingkari
pendapat itu. Karena itu, maka ia masih harus mendapatkan kepercayaan
lebih banyak lagi dari calon muridnya itu.
Namun setiap ia akan mulai, maka
keragu-raguannya tumbuh kembali di dadanya. Permainan yang manakah yang
sepantasnya dipertunjukan. Apakah ia mengajak saja Agung Sedayu atau
Widura bertempur atau berdua bersama-sama. Tetapi Ki Tanu Metir akan
tetap merasakan kebimbangan Swandaru seandainya Swandaru merasa bahwa
Widura dan Agung Sedayu telah bersama-sama bersetuju. Kalau demikian,
maka sebaiknya Swandaru itu sendiri yang melakukannya.
Tetapi sudah tentu, bahwa permainan itu
tidak harus merupakan perkelahian. Karena itu, maka berkatalah Ki Tanu
Metir kepada Swandaru, “Kau telah melihat pameran dengan kekuatan ngger.
Tetapi tidak selalu bahwa kelebihan kekuatan pada seseorang akan dapat
menyelamatkannya dari orang lain yang lebih lemah daripadanya.
Kesempatan kelincahan seseorang juga akan turut menentukannya. Nah,
sekarang marilah kita melihat, apakah kita cukup memiliki kelincahan”
Sebelum menjawab, maka Ki Tanu Metir itu
kemudian mencari beberapa buah batu. Batu itu pun kemudian diletakkannya
dalam sebuah lingkaran yang tidak terlalu besar. Kemudian katanya
kepada Swandaru, “Nah, marilah kita bermain kejar-kejaran. Apakah angger
Swandaru mampu menyentuh aku di dalam lingkaran ini? Kalau aku meloncat
terlalu jauh keluar lingkaran atau apabila Angger Swandaru berhasil
menyentuh tubuhku, maka aku telah angger kalahkan”
Swandaru mengerutkan keningnya. Permaian
ini adalah permainan anak-anak saja nampaknya. Karena itu maka ia
menjadi ragu-ragu. Sehingga Ki Tanu Metir itu mendesaknya, “Marilah
ngger. Kejarlah aku”
Swandaru menarik nafas. Meskipun demikian
dicobanya juga untuk menyentuh Ki Tanu Metir di dalam lingkaran itu.
Mula-mula ia merasa bahwa Ki Tanu Metir terlalu menganggap dirinya
sebagai anak-anak. Karena itu maka dilakukannya permintaan Ki Tanu Metir
itu dengan segan-segan. Ia berjalan saja mendekati orang tua itu, dan
dengan loncatan-loncatan dicobanya menyentuh tubuhnya. Tetapi semakin
lama Swandaru itu pun menjadi semakin jengkel. Telah berkali-kali ia
mencobanya, tetapi setiap kali orang tua itu selalu menghindarinya.
Karena itu semakin lama Swandaru menjadi semakin bernafsu. Lingkaran itu
tidak terlalu lebar. Ia tinggal mengejar dan menyentuh tanpa
takut-takut untuk mendapat serangan atau apa pun dari orang tua itu.
Tetapi ia tidak pernah berhasil. Semakin cepat ia bergerak, maka orang
tua itu menjadi semakin cepat pula. sekali-sekali merunduk, namun di
saat yang lain meloncat tinggi-tinggi. Bahkan ketika Swandaru telah
benar-benar kehilangan kesabarannya, dan dengan sepenuh tenaganya ia
mengejarnya, maka Ki Tanu Metir itu benar-benar telah membingungkannya.
Sekali-sekali ia bahkan kehilangan orang tua itu. Baru ketika orang tua
itu memanggilnya, disadarinya, bahwa orang tua itu telah berada di
belakangnya.
Ternyatalah kemudian bahwa bukan Swandaru
yang berhasil menyentuh Ki Tanu Metir. Tetapi berkali-kali Ki Tanu
Metirlah yang menggamitnya sambil menghitung, “Satu, dua, tiga……” dan
setiap sentuhan maka Ki Tanu Metir menambah hitungannya. Ketika hitungan
Ki Tanu Metir telah sampai bilangan keduapuluh lima, maka ia berkata,
“Kalau kita bertaruh ngger, setiap sentuhan sebutir kelapa, maka
duapuluh lima butir angger harus membayar”
Akhirnya Swandaru itu pun berhenti.
Nafasnya benar-benar terengah-engah. Ia berdiri sambil bertelekan dengan
kedua tangannya pada pinggangnya. Dan dengan parau ia berkata, “Tidak
dapat. Tidak dapat Kiai”
Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sederhana sekali. Tetapi dengan
permainan yang sederhana itu, Ki Tanu Metir benar-benar telah
menunjukkan kekuatan dan kelincahan yang luar biasa.
Ki Demang Sangkal Putung yang telah
memiliki pengalaman yang jauh lebih panjang dari Swandaru segera
melihat, bahwa Ki Tanu Metir adalah seorang yang sakti namun penuh
kesederhanaan. Ia tidak menunjukkan kelebihannya dengan cara-cara yang
mengejutkan dan mengerikan, namun dengan cara yang sangat sederhana. Dan
dengan demikian, maka Ki Demang itu pun segera memahami, bahwa
sifat-sifat itulah sebenarnya sifat Ki Tanu Metir. Bukan orang yang
sesongaran dan terlalu membanggakan kelebihannya.
Namun berbeda dengan Swandaru sendiri,
Swandaru adalah anak muda yang sedang berkembang. Angan-angannya
membumbung tinggi keatas awan di langit yang biru. Tak pernah ia puas
melihat keadaan sekitarnya. Ia ingin segalanya yang serba besar, dahsyat
dan mengejutkan. Karena itulah maka ia sama sekali belum puas dengan
apa yang dilihatnya itu. Meskipun ternyata bahwa ia tidak mampu
menyentuh ujung baju Ki Tanu Metir, namun tidak demikianlah kesaktian
seseorang menurut angan-angannya. Seorang yang sakti harus mampu berbuat
sesuatu yang dahsyat dan mengerikan. Memukul seekor lembu dengan
tangannya sehingga pecah kepalanya. Ia sama sekali tidak puas dengan
main-main kejar-kejaran, meskipun dengan demikian ia dapat melihat
kelincahan dan kecepatan bergerak Ki Tanu Metir.
Ki Tanu Metir yang melihat Swandaru itu
berdiri dengan nafas terengah-engah segera bertanya, “Bagaimana angger
Swandaru. apakah angger dapat memahami apa yang angger lihat?”
“Tetapi dalam keadaan bahaya Kiai” jawab
Swandaru, “Kita tidak hanya sekedar berlari-lari dan menghindarkan diri.
Namun kita harus dapat melumpuhkan lawan. Apakah dengan berlari-lari
dan menghindar kita akan mampu menjatuhkan musuh-musuh kita?”
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian jawabnya, “Yang paling baik bagi kita ngger, adalah
menyelamatkan diri kita. Apakah kita harus selalu menjatuhkan lawan kita
dalam setiap pertempuran?”
Swandaru menjadi semakin tidak mengerti.
Lalu apakah artinya pertempuran kalau kita hanya sekedar menghindarkan
diri dengan berlari-lari saja? Karena itu maka ia bertanya, “Jadi,
apakah dengan berlari-lari menghindar persoalan akan selesai? Tidak
Kiai. Misalnya Sidanti itu. Kalau suatu ketika aku bertemu dengan
Sidanti, dan ia menyerangku, apakah aku hanya akan mampu melarikan diri,
atau katakanlah menyelamatkan diriku sendiri. Apakah dengan demikian
persoalanku dengan Sidanti selesai? Bagaimanakah kalau aku bertemu di
saat yang lain?”
“Jadi bagaimana?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Kalau aku bertempur” sahut Swandaru
dengan nada yang berat, “Maka aku harus dapat menghindari serangan lawan
dan harus pula dapat membinasakan lawan”
Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas.
Katanya, “Jadi angger harus dapat membinasakan lawan dalam artian
membunuhnya atau bagaimana?”
“Ya, demikianlah seharusnya”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekali lagi ia melihat perbedaan yang tajam antara Swandaru
dan Agung Sedayu. Meskipun keduanya anak muda, dan bahkan mungin sebaya,
namun keduanya memandang persoalan-persoalan yang harus dihadapinya
dengan cara berpikir berbeda. Swandaru, seorang anak yang bertubuh kokoh
kuat dengan bekal yang keras dan tegang dalam masa-masa pancaroba.
Ketika anak itu meningkat dewasa, maka ia dihadapkan pada kekisruhan
yang melanda kademangannya. Dalam pada itu ia hanya mendapat tuntunan
lahiriah semata-mata. Berlatih untuk bertempur. Membinasakan lawan kalau
tidak ingin dibinasakan. Sehingga semboyan yang ada padanya adalah,
dibinasakan atau membinasakan. Tidak ada orang yang memberinya petunjuk,
bahwa membinasakan lawan tidak selalu harus membunuhnya. Seorang yang
dapat membinasakan lawan dalam tekad dan tujuannya yang salah, dan
menjadikannya orang yang baik sehingga menyadari kesalahannya, untuk
seterusnya menghentikan perbuatan-perbuatan itu, dapat juga dianggap
sebagai usaha yang berhasil, meskipun tanpa membunuhnya.
Tetapi ia tidak dapat memberitahukan hal
itu sekarang. Dan sudah pasti, bahwa Swandaru tidak akan segera dapat
mengerti. Pengertian tentang hal semacam itu, sudah tentu diperlukan
waktu. Dan Ki Tanu Metir itu menyadari, bahwa waktu yang diperlukan
untuk Swandaru akan jauh lebih banyak dari waktu yang diperlukan untuk
Agung Sedayu. Swandaru pasti menganggap hal yang demikian sebagai suatu
kelemahan atau bahkan mungkin sifat-sifat cengeng.
Namun banyaklah contoh-contoh yang akan
dapat diberikannya. Seorang penjahat dan liar pada suatu ketika akan
dapat menjadi seorang alim yang berbudi. Yang bertobat dengan tulus dan
menjadi seorang hamba Tuhan yang baik. Kesadaran yang demikian akan
dapat terjadi dalam banyak persoalan. Dalam persoalan yang bersifat
pribadi maupun persoalan yang lebih luas, sebagaimana yang dihadapi oleh
Widura. Para pengikut Arya Penangsang sampai saat itu, masih belum
mengakui keadaan yang dihadapinya. Sehingga karena itu maka mereka
terperosok kedalam perbuatan-perbuatan tercela. Bukan sebagai seorang
prajurit yang memanggul cita-cita kenegaraan yang tinggi, tetapi
kesempatan sebagai gerombolan-gerombolan yang menakut-nakuti rakyat.
Apa yang terjadi di hadapan Swandaru
itulah yang mendorongnya dalam masa pancaroba itu, berangan-angan
tentang kejantanan, kekerasan dan kemenangan-kemenangan yang tampak oleh
mata. Ki Tanu Metir pun menyadari, bahwa tekad yang demikian tidak
boleh dipatahkan, tetapi harus mendapat penyaluran yang wajar.
Perlahan-lahan. Karena itulah maka Ki Tanu Metir itu pun kemudian tidak
mempunyai pilihan yang lain untuk memenuhi harapan Swandaru, meskipun
tidak berlebih-lebihan. Ia harus dapat memberikan suatu contoh yang
tepat menurut selera anak muda dari Sangkal Putung itu. Tetapi apakah
yang dapat dipertunjukkan di hadapannya. Di hadapan Swandaru dan
orang-orang lain. Apakah ia harus mematahkan pedang dengan jari-jarinya
atau memukul kelapa sawit itu hingga roboh dengan telapak tangannya?
Tetapi bagaimanapun juga Ki Tanu Metir
harus melakukannya. Kali ini Ki Tanu Metir tidak mau berbuat menurut
seleranya. Ia harus dapat memenuhi selera Swandaru. Karena itu, maka
lebih baik baginya untuk bertanya saja, katanya, “Angger Swandaru, kalau
angger tidak puas dengan permainan kejar-kejaran itu maka permainan
apakah yang angger senangi?”
Swandaru pun tertegun diam. Ia sendiri
menjadi bingung. Sejak lama ia mengangan-angankan untuk menjadi seorang
jantan yang tidak dapat dikalahkan. Tetapi yang bagaimana? Ketika ia
mendengar pertanyaan itu, maka ia pun menjadi bimbang. Ia tahu apa yang
dimaksudkannya, tetapi ia tidak dapat mengatakan.
Karena itu, maka Swandaru itu pun berkata
dengan jujur, “Kiai, aku sebenarnya hanya ingin menjadi laki-laki yang
sakti. Mungkin seperti Ki Tambak Wedi, atau setidak-tidaknya seperti
kakang Untara, atau yang lain-lain yang dapat memenangkan
pertempuran-pertempuran dan perkelahian-perkelahian”
Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Kehormatan yang diidam-idamkan oleh Swandaru ternyata
adalah kemenangan jasmaniah. Kemenangan-kemenangan dalam
perkelahian-perkelahian dan pertempuran. Ia sama sekali tidak
mengangankan kemenangan lain yang dapat dicapainya tanpa perkelahian dan
pertempuran. Tetapi Ki Tanu Metir menghargai kejujurannya. Swandaru itu
berkata apa saja yang dipikirkannya. Karena itu, maka Ki Tanu Metir
masih mempunyai harapan, bahwa kelak Swandaru itu akan dapat dituntunnya
sedikit demi sedikit.
Kali ini, Ki Tanu Metir benar-benar harus menunjukkan ketangkasannya berkelahi. Tidak ada pilihan lain. Tetapi bagaimana?
Tiba-tiba orang yang tampaknya demikian
lemahnya, berjalan tersuruk-suruk dan dahi yang berkerut-kerut itu
meloncat dengan garangnya. Dengan lantangnya ia berkata, “He Angger
Widura, cabutlah pedangmu. Berdua dengan Agung Sedayu. Tidak, ayolah
bertiga dengan Swandaru. cepat sebelum aku melukai kalian dengan
senjataku ini”
Hampir tak terlihat oleh mata mereka, Ki
Tanu Metir tiba-tiba telah menggenggam sebuah cambuk kecil yang
berjuntai beberapa cengkang. Bukan cambuk yang dipakainya bertempur
melawan Ki Tambak Wedi. tetapi cambuk ini agak lebih kecil.
Tetapi gerak Ki Tanu Metir itu
benar-benar mengejutkan. Tiba-tiba saja ia sudah menyerang dengan
senjatanya. Letusan cambuk itu meledak-ledak ditelinga Swandaru seperti
letusan-letusan bambu sebesar paha yang termakan api. Swandaru
benar-benar terkejut melihat gerakan dan serangan yang tiba-tiba itu.
Tanpa disadarinya segera ia mencabut pedangnya. Dan dengan serta-merta
ia pun bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang.
Widura dan Agung Sedayu pun segera
menarik pedangnya. Meskipun agak segan-segan juga, namun mereka terpaksa
menuruti kehendak itu. Sebab dengan demikian, maka mereka telah
membantu meyakinkan Swandaru terhadap kelebihan Ki Tanu Metir.
Tetapi kembali Swandaru terkejut bukan
kepalang, sebelum ia sempat berbuat apa-apa, maka terasa seakan-akan
sebuah sambaran menyentuh pedangnya. Ternyata ujung cambuk Ki Tanu Metir
telah membelit pedangnya. Sebuah sentakan telah merenggut pedang itu
dari tangannya.
Sesaat Swandaru tegak seperti patung.
Dilihatnya pedangnya terlempar dan jatuh beberapa langkah daripadanya.
Demikian kagumnya ia melihat kecepatan itu, sehingga untuk sesaat ia
tidak bergerak seperti tonggak.
“Kenapa pedangmu kau lepaskan” bertanya Ki Tanu Metir
Swandaru tidak menjawab. namun ia segera
menyadari keadaannya. Dilihatnya kini Widura dan Agung Sedayu telah
menyerang Ki Tanu Metir itu dengan pedang masing-masing. Namun serangan
keduanya seakan-akan sama sekali tidak berarti bagi Ki Tanu Metir.
Dengan berloncatan serangan kedua orang itu dengan mudahnya dihindari.
“Mereka tidak bersungguh-sungguh” pikir
Swandaru. “Aku akan membuktikan bahwa Swandaru bukan tikus yang kagum
melihat kucing menari-nari”
“Beri kesempatan aku mengambil senjataku” teriak Swandaru.
“Ambillah” sahut Ki Tanu Metir sambil melayani Agung Sedayu dan Widura.
Ki Tanu Metir itu pun kemudian berkata pula, “Marilah Ki Demang kita bermain-main”
Ki Demang belum lagi selesai mengelus
dadanya. Tidak disangkanya bahwa dukun tua itu benar-benar mampu
bergerak selincah burung sikatan menghadapi ujung-ujung pedang. Tetapi
ia tersadar ketika Swandaru berbisik, “Mereka hanya pura-pura. Mari
ayah, kita buktikan, apakah benar-benar Ki Tanu Metir bukan hanya
seorang dukun saja”
Mula-mula Ki Demang Sangkal Putung merasa
segan pula. tetapi ketika ia melihat Widura menggerakkan pedangnya
seperti baling-baling dan melibat Ki Tanu Metir sejadi-jadinya, maka
perlahan-lahan Ki Demang itu pun menarik pedangnya pula.
Kini mereka bertiga menghadapi Ki Tanu
Metir dengan pedang di tangan. Swandaru pun kemudian dengan tergesa-gesa
memungut pedangnya pula. dengan hati-hati ia segera mendekati lingkaran
pertempuran itu untuk mencoba menunjukkan bahwa ia pun memiliki
kekuatan yang dapat dibanggakan. Kalau sekali lagi ujung cemeti itu
membelit pedangnya, maka pedang itu akan dipertahankan dengan
kekuatannya. Meskipun Ki Tanu Metir itu memiliki kekuatan yang
berlebihan, apakah ia dapat segera merebut pedangnya, sedangkan
orang-orang lain akan menyerangnya? Setidak-tidaknya ayahnya, apabila
Widura dan Agung Sedayu hanya berpura-pura saja.
Tetapi sekali lagi Swandaru itu terkejut
bukan kepalang. Baru saja ia mengacungkan ujung pedang itu, tiba-tiba
sekali lagi pedangnya meloncat dari tangannya. Dan sekali lagi ia
mendengar Ki Tanu Metir itu berkata, “Jangan lepaskan Swandaru”
Swandaru menggeram. Berlari-lari ia
memungut pedangnya. Kali ini ia tidak bernafsu untuk menyerang.
Digenggamnya pedangnya erat-erat. Tetapi kali ini ia benar-benar menjadi
bingung. Ketika terasa ujung cambuk Ki Tanu Metir menarik pedangnya,
maka pedang itu dipertahankannya. Namun sebuah tarikan yang kuat telah
membantingnya terjerebab.
Tertatih-tatih Swandaru segera berusaha
bangun. Sekali lagi menggeram. Swandaru merasa bahwa tarikan ujung
cambuk itu terlalu tiba-tiba dan menyentak, sedangkan ia menggenggam
pedangnya terlampau erat, sehingga ia tertarik ke depan dan kehilangan
keseimbangan.
Ketika ia tegak berdiri, dilihatnya Ki
Tanu Metir masih sibuk melayani Widura, Agung Sedayu dan Ki Demang
Sangkal Putung. Bukan main panas hati Swandaru Geni itu. Ternyata bahwa
tiga kali ia kehilangan senjatanya, dan bahkan yang terakhir kalinya ia
terpaksa jatuh terjerebab mencium tanah.
Dengan lengan bajunya, Swandaru
membersihkan debu yang melekat di wajahnya. Bajunya pun menjadi kotor
pula karenanya. Namun semuanya itu tak dihiraukannya. Kali ini ia
benar-benar akan mempertahankan dirinya dari tarikan cambuk itu.
Betapapun kuatnya Ki Tanu Metir, namun apabila ia benar-benar bertahan,
maka ia pasti bahwa ujung cambuk yang kecil itu akan terputus oleh tajam
pedangnya, meskipun terbuat dari janget tenatelon sekalipun.
Karena itu, maka kini Swandaru memungut
pedangnya sekali lagi. Digenggamnya pedang itu erat-erat. Dengan
hati-hati ia berjalan ketitik pertempuran, dan diacungkannya pedangnya
ke arah Ki Tanu Metir. Dengan sepenuh tenaga ia memegang hulu pedangnya.
Sedang kedua kakinya yang melangkah setengah langkah ditekuk pada
lututnya sedikit. Kini Swandaru berdiri rendah. Pedangnya teracung ke
arah Ki Tanu Metir. Namun Swandaru itu sama sekali tidak bergerak.
Kakinya seakan-akan menghunjam jauh kedalam tanah, sehingga anak muda
itu kini seakan-akan sebuah pokok dari sebatang pohon yang berakar jauh
kepusat bumi.
“Kali ini aku akan bertahan sekuat-kuat
tenagaku” kata Swandaru di dalam hatinya. Sehingga dengan demikian maka
Swandaru itu memusatkan segenap kekuatannya pada genggaman pedangnya
serta kedua belah kakinya.
Beberapa saat ia melihat pertempuran itu
masih berlangsung. Sebenarnya bahwa Ki Tanu Metir sangat lincah dan
cekatan diluar dugaan. Orang tua yang tampaknya tidak memiliki daya
gerak sama sekali itu ternyata seorang yang dapat bergerak secepat kilat
menjilat langit dan memiliki tenaga sekuat tenaga raksasa. Meskipun
demikian, Swandaru masih tetap bertekad untuk bertahan dari kemungkinan
yang keempat. Pedangnya terjatuh atau dirinya terjerebab.
Tetapi kembali Swandaru itu terkejut.
Kali ini Ki Tanu Metir itu tidak menyerangnya, mencabut pedang dari
tangannya atau menariknya jatuh. Tiba-tiba Swandaru itu menjadi bingung
ketika Ki Tanu Metir itu bertanya kepadanya, “Swandaru, dengan berdiri
mematung seperti itu, kau tidak akan dapat mengalahkan lawanmu. Betapa
lemahnya lawanmu itu, maka ia akan dengan leluasa mencoba menyerangmu
dari arah yang dipilihnya. Sedang engkau sendiri hanya tegak saja
seperti sebuah tonggak. Kenapa?”
Pertanyaan itu benar-benar tak diduganya.
Sesaat Swandaru tidak dapat menjawab. bahkan wajahnya menjadi merah.
Dadanya bergelora dan berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatinya.
Tetapi kemudian ia menyadari kebenaran kata-kata Ki Tanu Metir. Ia tidak
dapat bertempur dengan caranya itu. Berdiri diam tanpa bergerak.
Karena itu, maka tiba-tiba Swandaru itu
segera meloncat, menyerbu kedalam pertempuran itu. Digerakkan pedangnya
dengan garangnya, terayun-ayun menggetarkan. Tetapi sekali lagi
pedangnya terlempar jatuh beberapa langkah daripadanya.
Kali ini Swandaru benar-benar terpaku di
tempatnya. Kenapa hal itu dapat terjadi? Namun dengan demikian,
benar-benar ia mendapatkan suatu keyakinan akan kecepatan bergerak Ki
Tanu Metir itu. Dalam perkelahian itu, ia sama sekali tidak mendapat
kesempatan sama sekali untuk mencoba melawan Ki Tanu Metir. Ia sama
sekali tidak mendapatkan waktu sekejap pun untuk ikut serta dalam
pertempuran itu. Sehingga dengan demikian, maka tiba-tiba Swandaru
berkata, “Aku tidak akan mengambil pedangku kembali.”
Ki Tanu Metir tersenyum dalam hati. Tetapi terdengar ia bertanya, “Kenapa ngger?”
“Hem” Swandaru menarik nafas panjang-panjang. Jawabnya, “Tak ada gunanya”
“Jadi bagaimana?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Ya bagaimana? Aku sama sekali tidak sempat berbuat apa-apa.”
Ki Tanu Metir itu pun kemudian meloncat
beberapa langkah ke belakang sambil berkata, “Sudahlah. Kita akhiri
pertempuran ini. Angger Swandaru telah menjadi jemu.”
Perkelahian itu pun segera berakhir.
Widura dan Agung Sedayu tidak dapat menahan geli hatinya melihat
Swandaru berdiri bertolak pinggang. Wajahnya berkerut-kerut dan bibirnya
bergerak-gerak meskipun ia tidak berkata apa pun juga.
“Bagaimana? Bertanya Ki Demang Sangkal Putung pada anaknya.
Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya bersungguh-sungguh, “Aku tidak ikut apa-apa. Sama sekali tidak.”
“Kenapa?” bertanya Widura sambil tertawa.
Sekali lagi Swandaru menggelengkan
kepalanya. Pipinya yang gembung itu bergerak-gerak lucu sekali. Namun
kini ia telah mendapatkan suatu keyakinan di dalam hatinya, bahwa Ki
Tanu Metir benar-benar orang yang luar biasa. Tetapi meskipun demikian,
selera Swandaru agak berbeda dengan apa yang dilihatnya. Ia adalah
seorang yang memiliki kekuatan jasmaniah yang besar sekali. Tubuhnya
yang besar dan hampir bulat itu, baginya terlalu sulit untuk bergerak
cepat. Karena itu, maka ingin sekali ia melihat Ki Tanu Metir melakukan
suatu perbuatan yang dapat menggetarkan dadanya. Namun ia tidak berani
mengatakannya. Disimpannya saja keinginan dalam hatinya. “Mungkin suatu
ketika aku akan melihatnya, atau barangkali Ki Tanu Metir hanya mampu
berbuat seperti itu. Membanggakan kecepatan gerak tanpa dasar kekuatan?”
Namun kemudian katanya di dalam hatinya, “Tetapi Ki Tanu Metir mampu
melengkungkan sepotong besi.”
Swandaru itu menggeleng kepalanya
kembali. Diakuinya kekuatan Ki Tanu Metir. Tetapi hatinya bertanya pula,
“Aku kurang puas. Aku kurang puas. Kenapa Ki Tanu Metir tidak mau
menggempur padas itu sampai pecah.”
Tetapi Swandaru tidak mengatakan ketidakpuasannya. Ketidakpuasan itu disimpannya saja di dalam hatinya.
Berbeda dengan Ki Demang Sangkal Putung.
Demang itu menjadi benar-benar kagum melihat Ki Tanu Metir itu. Orang
itu ternyata memiliki ketangkasan yang benar-benar tidak dibayangkan
sebelumnya. Kekaguman Ki Demang Sangkal Putung tidak saja karena Ki Tanu
Metir mampu bergerak dengan kecepatan yang tidak dimengertinya,
sehingga Swandaru sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk bermain
pedang, tetapi orang tua itu kagum juga akan cara Ki Tanu Metir untuk
menunjukkan kelebihannya. Terasa bahwa usaha Ki Tanu Metir untuk
memperlihatkan kepada orang lain, tidak terlalu berlebih-lebihan. Tanpa
sikap sombong dan tidak menunjukkan kesadaran diri akan
kelebihan-kelebihannya. Sikap yang dalam keseluruhannya benar-benar
jarang ditemuinya. Sederhana, berilmu tinggi dan keseimbangan perasaan
dan pikiran.
Orang-orang yang berada di lapangan kecil
itu terkejut ketika mereka mendengar kokok ayam jantan yang
bersahut-sahutan. Bintang-bintang yang berjejal-jejal di langit, satu
demi satu telah menghilang. Sedang ditimur membayang warna semburat
merah mengusap langit yang biru kehitaman.
“Hampir fajar” desis Ki Tanu Metir.
“Apakah permainanmu ini sudah cukup? Bertanya Widura kepada Swandaru.
Swandaru mengangguk kepalanya. Jawabnya, “Sementara sudah cukup paman.”
“Sementara?” ulang ayahnya.
Swandaru tidak menjawab. Ditundukkannya
kepalanya. Namun hatinya menyahut, “Ya. Sementara. Aku ingin melihat
kedasyatan tenaga Ki Tanu Metir. Menggugurkan gunung atau mengeringkan
lautan. Dasyat. Tidak sekedar kelincahan dan kekuatan yang diam seperti
melengkungkan sepotong besi. Tetapi kekuatan yang hidup. Yang
menggetarkan dada ini.” Namun kata-kata itu sama sekali tidak terloncat
dari bibirnya.
“Nah, apakah kita dapat kembali sekarang?” bertanya Ki Tanu Metir.
Semuanya mengiakan. Mereka segera akan melakukan kewajiban ibadah mereka.
Ketika fajar merekah, maka burung-burung
liar terdengar berkicauan seakan-akan berebut keras meneriakkan selamat
pagi. Cahaya matahari yang cerah melontar mengusap ujung-ujung pepohonan
yang hijau segar. Di langit awan yang putih berhamburan mengalir ke
utara didorong oleh angin ngarai.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Anak muda itu tegak berdiri di samping kandang kuda di belakang rumah
Kademangan. Ditatapnya cahaya matahari yang bermain-main di atas tanah
yang kering seperti berloncat-loncatan berkejaran.
Anak muda itu mengerutkan keningnya.
Hampir saja kepalanya dipecahkan oleh Sidanti di halaman ini, di samping
kandang kuda itu. Namun kini ia akan mendapat kesempatan yang lebih
banyak untuk mematangkan diri sendiri. Ki Tanu Metir yang dikaguminya
itu telah berjanji untuk menjadikannya seorang murid.
“Mudah-mudahan aku dapat menjadi seorang murid yang baik” gumamnya.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya dengan sendirinya. Ia mencoba memahami kata-kata Ki Tanu Metir
kepada Swandaru semalam. Dan ia dapat mengertinya.
Agung Sedayu itu kemudian berpaling
ketika ia mendengar gerit senggot di atas sumur. Dilihatnya seorang
gadis mengambil air dari sumur itu. Dada Agung Sedayu terasa berdesir.
Gadis yang sudah sering kali dilihatnya itu tiba-tiba menjadi bertambah
segar dalam siraman cahaya matahari pagi yang bermain-main ditubuhnya.
Tubuh yang bulat segar. Tubuh yang kuat seperti tubuh kawan-kawannya
gadis pedesaan yang tidak saja duduk bersolek di dalam biliknya tetapi
juga bekerja keras membantu ayah bundanya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu berjalan
menghampirinya. Ketika gadis itu berpaling, maka Agung Sedayu tersenyum
kepadanya, “biarlah aku membantumu”
“Jangan Tuan” sahut Sekar Mirah, “Biarlah aku mengambil air sendiri.”
Panggilan itu terasa asing baginya kini.
Tiba-tiba ia sama sekali tidak senang mendengar sebutan itu. Karena itu,
maka katanya, “Mirah. Jangan panggil aku demikian. Biarlah kita yang
menghuni rumah ini bersikap akrab. Seperti Swandaru kini tidak lagi
diperkenankan bersikap terlalu hormat”.
Sekar Mirah menundukkan wajahnya.
Dilihatnya bayangannya di dalam sumur. Bayangan seorang gadis remaja
yang segar gembira. Tetapi bayangan itu kemudian pudar dan lenyap ketika
upihnya menyentuh permukaan air itu.
“Bagaimana aku harus menyebut tuan?” bertanya Sekar Mirah tanpa berpaling.
“Bertanyalah pada Swandaru.” sahut Agung Sedayu, “Bagaimana ia menyebut aku sekarang.”
“Ah” Sekar Mirah itu tersenyum.
Diangkatnya takir upihnya keatas. Dan dituangkannya air dari takir upih
sebesar bejana itu kedalam kelentingnya.
“Marilah, aku ambilkan air untukmu” berkata Agung Sedayu.
“Jangan tuan” jawab Sekar Mirah
“Jangan panggil demikian”
“Bagaimana?”
“Bertanyalah pada kakakmu”
“Baik, aku akan merubah panggilan itu
nanti kalau aku telah bertemu dengan kakang Swandaru. Bukankah sekarang
aku belum tahu bagaimana aku harus memanggil tuan?”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya bertanya, “Kenapa bukan orang lain yang
mengambil air ini?. Bukan pembatu-pembatumu?”
“Tak ada bedanya” sahut Sekar Mirah
Agung Sedayu terdiam. Ditatapnya sekali lagi Sekar Mirah yang sedang menimba air itu seperti baru sekali dilihatnya.
Sekar Mirah yang merasa selalu
diperhatikan oleh Agung Sedayu menjadi segan. Sehingga katanya kemudian,
“Tuan, apakah yang aneh padaku?”
“Oh” wajah Agung Sedayu menjadi
kemerah-merahan. Cepat-cepat ia berpaling sambil berkata, “Tak ada. Tak
ada yang aneh padamu. Tetapi aku ingin membantumu mengambil air”
“Tak usah” sahut Sekar Mirah
Agung Sedayu tidak lagi memaksanya.
Dibiarkannya Sekar Mirah menimba air. Mengisi kelentingnya dan kemudian
menjinjingnya pada lambungnya.
“Berat?” bertanya Agung Sedayu
Sekar Mirah menggeleng lemah, “Tidak” jawabnya, “Aku sudah biasa mengambil air”
Agung Sedayu tidak berkata-kata lagi.
Dilihatnya saja Sekar Mirah itu berjalan sambil menjinjing kelenting
itu. Terasa hatinya menjadi tergetar melihat langkah gadis itu. Cepat,
lincah dan penuh gerak dan gairah atas pekerjaannya.
“Gadis yang keras hati” desah Agung Sedayu.
Sebenarnya Sekar Mirah mempunyai hati
yang menyala-nyala menyongsong hari depannya. Dilihatnya setiap orang
dari anggota prajurit Pajang dengan seksama. Dinilainya seorang demi
seorang, dan dikaguminya mereka yang penuh kejantanannya berjuang
melawan musuh-musuhnya.
Itulah sebabnya mula-mula Sekar Mirah
hampir tak pernah berpisah dengan Sidanti. Didorongnya pemuda itu untuk
bertempur, berkelahi dan melawan musuh. Di desaknya pemuda itu untuk
menemukan tempat yang sebaik-baiknya dalam kesatuannya. Dilecutnya
Sidanti untuk meraih masa-masa yang gemilang pada masa-masa yang akan
datang.
Dan Sidanti mendengarkannya dengan penuh
minat. Sidanti menerimanya dengan penuh harapan. Bukan saja apa yang
dikatakan oleh Sekar Mirah, namun demikianlah kata hatinya sendiri. Ia
adalah seorang anak muda yang memandang masa depan sebagai miliknya.
Miliknya sendiri. Sebagai api yang disiram minyak ia bertemu dengan
Sekar Mirah. Hasrat yang tersimpan di hatinya menjadi semakin menyala.
Apalagi gurunya adalah seorang yang bernama Ki Tambak Wedi. Seorang yang
bercita-cita setinggi awan di langit. Namun dirinya sendiri tidak
pernah dapat menggapainya, sehingga dengan demikian maka dinobatkannya
dirinya sendiri menjadi seorang yang disegani dan ditakuti di daerah
lereng gunung Merapi. Pertemuan di antara merekalah yang sebenarnya
telah membakar Sangkal Putung. Bukan saja usaha Macan Kepatihan yang
nyata-nyata berhadapan beradu dada, namun Sidanti ternyata merupakan
bahaya yang membayang di balik punggung.
Tetapi ternyata Sekar Mirah itu pun
menjadi kecewa terhadap Sidanti. Ternyata bukan Sidanti yang ingin
didorongnya maju, tetapi dirinya sendiri. Ketika ia melihat nafsu
Sidanti yang menyala-nyala, justru ia menjadi kecewa. Sidanti berjuang
untuk dirinya sendiri, bukan untuk Sekar Mirah. Sekar Mirah bagi Sidanti
adalah seorang yang baik hati, yang mendorongnya untuk semakin gigih
berjuang. Tidak untuk Pajang, tetapi untuk dirinya, Sidanti. Dan
ternyata Sekar Mirah adalah seorang gadis yang cantik.
Ketika kemudian hadir Agung Sedayu, maka
hati Sekar Mirah segera berkisar. Ia mengharap untuk menemukan seorang
pahlawan yang baru. Pahlawan yang dapat mendengarkan suara hatinya.
Pahlawan yang dapat mengerti gelora dadanya. Pahlawan yang akan berjuang
untuknya, yang akan mempersembahkan setiap kemenangan kepadanya.
Tetapi Sekar Mirah belum menemukannya
pada Agung Sedayu. Ternyata sampai kini Agung Sedayu benar-benar seorang
yang berjuang dengan tulus.
“Ia adalah kemenakan paman Widura”
berkata Sekar Mirah di dalam hatinya, “Sehingga karena itu maka ia tidak
akan berani berbuat diluar kehendak pamannya itu”
Karena itu, maka Sekar Mirah menjadi
ragu-ragu. Ketika ia melihat perang tanding di lapangan, antara Sidanti
dan Agung Sedayu dalam ketangkasan memanah dan seterusnya, hatinya
benar-benar berguncang-guncang. Sekali-sekali ia kagum melihat
ketangkasan Sidanti, serta nyala dan hasrat untuk menggenggam masa depan
di tangannya. Ia melihat anak muda itu dengan penuh tekad menentang
setiap tantangan. Sedang Agung Sedayu seolah-olah dibayangi oleh
keragu-raguan dan kebimbangan. Tetapi kemudian perasaan Sekar Mirah itu
terlempar pada suatu harapan yang diilihatnya dalam kemampuan Agung
Sedayu. Ketrampilannya melepas anak panahnya, serta ketepatan bidiknya
telah menariknya kedalam satu pertimbangan yang kacau.
Kemenangan Agung Sedayu pada saat itu
telah benar-benar meyakinkan Sekar Mirah, bahwa hari depan Sidanti pasti
akan benar-benar tertutup. Dalam pada itu, maka hilanglah segenap
keragu-raguannya. Ia tidak dapat lagi bergantung pada anak itu, kepada
Sidanti. Bahkan meskipun seandainya Sidanti menemukan masa-masa yang
maju dan gemilang, maka masa-masa yang demikian adalah masa-masanya
sendiri. Masa-masa yang dimilikinya sendiri. Bukan masa-masa yang akan
diperuntukkannya. Bahkan dirinya pun bagi Sidanti, pasti hanya akan
dipergunakan untuk kepentingan anak muda itu. Sebagai pendorong dan
penuntun menjelang hari-hari yang akan lebih terang, bagi Sidanti.
Tetapi kini Sidanti sudah tidak ada di
Sangkal Putung lagi. Sidanti telah hilang dari halaman rumahnya. Ia
mendengar beberapa orang berkata kepadanya, seandainya perkelahian di
antara Agung Sedayu dan Sidanti itu dilakukan dengan jujur, maka sudah
pasti Sidanti tidak akan memenangkannya. Tetapi tiba-tiba Sidanti telah
berbuat curang. Tetapi karena itulah maka Swandaru pun menjadi terlibat
pula kedalamnya.
Sekar Mirah yang kemudian bekerja didapur
itu pun tidak dapat segera menggeser perasaannya. Agung Sedayu
tampaknya telah berubah. Ia kini tampak segar dan gembira. Dihari-hari
yang lewat, Agung Sedayu hampir tak pernah keluar dari pringgitan. Baru
sejak akhir-akhir ini seringkali ia tampak berjalan-jalan di halaman.
Namun wajahnya masih saja selalu dibayangi oleh kemuraman dan
keragu-raguan. Tetapi kini sudah tidak lagi. Wajah itu menjadi cerah.
Dan Sekar Mirah tidak dapat mengingkari dirinya lagi. Ia telah tertarik
pada wajah itu. Wajah yang tampak lebih halus dan lunak dari wajah
Sidanti. Tetapi apakah api yang menyala di dada Sedayu itu sedahsyat api
yang menyala di dada Sidanti?
Hari itu Sangkal Putung tidak mendapat
perubahan apa-apa. seperti hari-hari yang lain, para petugas sibuk
dengan kewajibannya. Gardu-gardu masih berisi penjaga-penjaga yang
mengawasi keadaan. Dan warung di ujung desa masih juga ramai dikunjungi
para pembeli dan penjual yang tidak berani pergi ke tempat yang lebih
jauh.
Untara kini telah menjadi lebih baik. Ia
telah dapat turun kehalaman dan melihat laskar Pajang melakukan
tugasnya. Satu-satu Untara menanyakan kepada mereka, nama mereka dan
rumah tempat tinggal mereka. Keluarga mereka dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan mereka itu sebagai seorang prajurit dan sebagai
manusia.
Ketika Untara itu bertanya kepada seorang
yang berwajah keras dan berjanggut tebal, maka didengarnya jawaban,
“Aku beranak sebelas tuan”
“Sebelas” Untara terkejut, “Dimana sekarang mereka tinggal?”
“Pengging”
“Kau berasal dari Pengging?”
“Ya” jawab orang itu.
Untara meninggalkannya. Sebelas orang.
Dan sebelas orang itu semua beserta ibunya menunggunya di rumah.
Menunggu orang yang berjanggut tebal itu pulang.
“Hem” Untara menggeram. Katanya dalam
hati, “Persoalan Macan Kepatihan harus cepat selesai. Kalau tidak, maka
persoalan ini akan berlarut-larut. Waktu yang akan dipakai untuk
merampungkan persoalan ini tidak terbatas pada bilangan minggu, bulan
dan bahkan tahun”
Tetapi Untara harus menunggu punggungnya
sembuh benar-benar. Kalau kekuatannya telah pulih kembali, maka ia akan
memimpin langsung laskar ini bersama Widura. Mereka tidak boleh hanya
menunggu saja, namun mereka harus bergerak, menusuk dijantung pertahanan
dan tempat persembunyian mereka.
Ada pun Agung Sedayu dan Swandaru sejak
hari itu adalah murid Ki Tanu Metir. Mereka sudah tidak lagi
dibingungkan oleh orang yang berkerudung kain gringsing. Namun Ki Tanu
Metir sendiri itu pun masih membawa teka-teki pula bagi mereka. Apakah
sebenarnya ia seorang dukun tua saja? Seorang dukun yang tidak mempunyai
kepentingan langsung dengan Agung Sedayu atau Untara atau Widura atau
Swandaru? namun Agung Sedayu dan Swandaru sama sekali tidak mempersulit
diri mereka. Mereka ingin mendapat ilmu dari orang tua itu. Dan ia akan
memanfaatkan ilmu itu kelak.
Sejak hari itu, maka Swandaru dan Agung
Sedayu telah mulai dengan hari pertama mereka berguru. Ki Tanu Metir
membawa mereka kesungai yang agak jauh dari Sangkal Putung. Di sanalah
mereka mendapat beberapa petunjuk dari Ki Tanu Metir. Petunjuk-petunjuk
untuk memulai dengan pelajaran-pelajaran jasmaniah. Mereka harus
mendengarkan petunjuk-petunjuk itu dan mencoba mengertinya.
Agung Sedayu mendengarkan setiap
kata-kata Ki Tanu Metir dengan seksama. Dicobanya untuk mengerti dan
dicobanya untuk mencernakannya. Namun Swandaru merasa waktu itu
terbuang-buang. Baginya lebih baik Ki Tanu Metir langsung mengajarnya
dengan unsur-unsur gerak daripada harus mendengarkannya berbicara saja
tentang beberapa hal yang penting untuk masa depannya.
Tetapi Ki Tanu Metir itu berbicara terus, dan ia masih harus mendengarkannya.
“Anak-anakku” berkata Ki Tanu Metir, “Apa
yang akan kalian dapat, hendaknya akan dapat bermanfaat bagi masa-masa
mendatang. Bukan saja bagi kalian berdua, tetapi juga bagi beberapa
lingkungan kalian. Ilmu yang akan kalian pelajari adalah sekedar alat.
Alat itu tidak selalu harus dipergunakan dalam setiap kesempatan dan
keadaan. Tetapi alat hanya akan dipergunakan pada kemungkinan yang
paling tepat”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya sedang Swandaru memandangi percikan-percikan air yang mengalir
dibawah batu-batu tempat duduk mereka.
“Hari ini adalah hari yang pertama bagi
kalian” berkata Ki Tanu Metir itu, “Dan dihari pertama kalian harus
yakini, bahwa alat yang akan kalian terima bukanlah alat yang terbaik.
Katakanlah bahwa alat ini adalah alat yang paling jelek. Alat yang hanya
akan dipergunakan apabila sudah tidak ada alat lain, yang dapat kalian
pakai. Namun jangan pula mencari sebab, sehingga kalian terdorong pada
kemungkinan untuk mempergunakan alat ini. Ingat-ingatlah, alat ini
adalah alat yang paling jelek yang kau miliki. Alat yang paling baik
adalah alat yang telah ada di dalam dirimu. Kasih sayang di antara
sesama dan pegangan-pegangan yang kalian dapat dari ibadah kalian kepada
Tuhan. Ingatlah ini. Janganlah dengan alat ini kalian mengorbankan apa
yang sudah kalian miliki itu”
Kembali Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dan Swandaru masih saja memandangi percikan air dibawah tempat duduk mereka.
“Apakah kalian mengerti kata-kataku?” bertanya Ki Tanu Metir itu kemudian.
“Ya Kiai” sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.
“Bagus” berkata Ki Tanu Metir kemudian,
“Ingat, jangan sesorangan. Jangan salah langkah. Bahkan tak ada seorang
pun didunia ini yang paling menang. Suatu ketika seseorang pasti akan
dikalahkan oleh yang lain, dan yang lain itu akan dikalahkan pula orang
yang lain lagi. Lebih baik kalian tak pernah mempergunakan ilmu ini
sepanjang hidupmu, daripada setiap kali kau terpaksa melakukannya. Namun
kalian dengan ini mengemban tugas-tugas kemanusiaan yang wajib kalian
tegakkan. Sudah tentu tanpa mengorbankan segi kemanusiaan yang lain”
Kembali Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dan kali ini pun Swandaru mengangguk-angguk pula.
“Nah, kita kembali ke kademangan” berkata Ki Tanu Metir
Swandaru terkejut. Jadi hanya inilah
pelajaran pertama yang akan diterimanya? Ia tidak sabar lagi. Sidanti
dapat datang nanti sore atau besok atau lusa. Apakah ia telah dapat
mencapai ilmu yang diharapkannya?
Ki Tanu Metir pun meihat perubahan wajah
Swandaru. Dilihatnya Swandaru itu memandanginya dengan penuh keheranan.
Karena itu maka Ki Tanu Metir itu pun bertanya, “Kenapa ngger?”
Swandaru mengangkat alisnya. Kemudian jawabnya, “Jadi hanya inikah yang Kiai berikan hari ini?”
“Ya”
“Kenapa hanya duduk-duduk begini kita harus pergi jauh-jauh dari rumah?”
Ki Tanu Metir memandang Swandaru dengan
heran. Anak itu sama sekali belum dapat menyesuaikan dirinya sebagai
seorang murid terhadap gurunya. Namun Ki Tanu Metir tidak menjadi kecewa
karenanya. Sedikit demi sedikit ia harus menuntun muridnya yang aneh
itu.
“Swandaru” berkata Ki Tanu Metir, “Lebih
baik kita mengambil tempat yang jauh daripada kita dilihat orang. Bagiku
tidak akan menguntungkan bila sebelum kita mulai apa-apa orang-orang
sudah meributkan perbuatan kita. Mungkin hanya seorang dua orang sajalah
yang mengetahuinya, namun sampai sehari maka hal itu pasti sudah akan
sumebar ke segenap sudut kademangan. Dan setiap orang akan menilaimu
setiap hari. Hari ini kau dapat berbuat apa, dan besok kau akan dapat
berbuat apa lagi”
“Baik Kiai” jawab Swandaru, “Aku
sependapat. Tetapi marilah segera kita mulai. Apabila besok atau lusa
aku bertemu dengan Sidanti, maka aku tidak lagi memerlukan pertolongan
orang lain untuk melawannya”
Ki Tanu Metir terkejut mendengar
kata-kata itu. Namun kemudian ia pun tersenyum. Jawabnya, “Angger,
ketahuilah, bahwa untuk membentuk seseorang menjadi seorang Sidanti, itu
diperlukan waktu bukan sehari dua hari. Tetapi setahun dua tahun.
Bahkan lebih. Tergantung juga kepada orang-orang itu sendiri. Kalau ia
mampu, maka ia akan menjadi lebih cepat terbentuk. Tetapi tidak dalam
sehari dua hari. Apalagi kau harus menyusul orang lain yang jauh lebih
dulu daripadamu. Bukankah dengan demikian kau memerlukan waktu yang
lama?”
Alangkah kecewanya Swandaru mendengar
kata-kata Ki Tanu Metir itu. Ia memang pernah mendengar, bahwa berguru
kepada seseorang diperlukan waktu yang lama. Tetapi kalau setiap
kesempatan dipergunakan sebaik-baiknya maka waktu itu pasti akan dapat
diperpendek. Seperti saat ini misalnya, mereka hanya duduk-duduk saja
diterik matahari, sesudah itu pulang kembali kekademangan. Bukankah
dengan demikian mereka hanya membuang-buang waktu saja. Besoknya mereka
akan kehilangan waktu pula. Lusa dan seterusnya.
Tetapi Swandaru itu tidak berkata-kata lagi. Ketika Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu telah berdiri, ia pun segera berdiri pula.
Namun Ki Tanu Metirlah yang masih berkata
lagi, katanya, “Swandaru, kau tidak perlu tergesa-gesa, asal untuk
seterusnya kau bekerja dengan tekun, maka mudah-mudahan kau akan segera
dapat menyusul Sidanti itu”
“Ya Kiai” sahut Swandaru kesal. Ia telah
membayangkan sejak semalam dirinya menjadi seorang yang perkasa
melampaui Sidanti, bahkan melampaui keperkasaan Tohpati. Tetapi ia masih
harus menunda keinginan itu. Bahkan sama sekali ia belum mendapat
apa-apa dihari pertama, kecuali nasehat-nasehat saja.
Ia tersadar ketika Ki Tanu Metir itu berkata pula, “Marilah kita pulang”
“Marilah Kiai” sahut Swandaru kosong.
Tetapi sekali lagi Swandaru heran. Ki Tanu Metir itu malahan pergi ketengah sungai sambil mengajak mereka, “Mari ikuti aku”
Swandaru dan Agung Sedayu menjadi
ragu-ragu sejenak. Kalau orang tua itu mengajaknya pulang, mengapa ia
malahan pergi ketengah, dan tidak berjalan menyusur tanggul seperti
semula.
Tetapi Agung Sedayu segera mengerti
maksud orang tua itu. Ia pun kemudian mengikutinya meloncat dari batu
kebatu menyusul Ki Tanu Metir.
“Bukankah sungai ini nanti akan sampai di
pinggir desa Sangkal Putung dan sidatannya akan lewat sebelah halaman
rumahmu Swandaru?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Ya” jawab Swandaru yang berdiri ditepian.
“Karena itu, marilah kita mengambil jalan memintas, lewat sungai ini maka kita akan lebih cepat sampai”
“Ah” desah Swandaru, “Aku lebih senang menyusur tanggul ini”
Ki Tanu Metir tertawa. Agung Sedayu pun
tersenyum pula. agaknya Swandaru benar-benar tidak tahu maksud gurunya,
sehingga karena itu, maka Agung Sedayu berkata, “Swandaru, mari kita
bermain kejar-kejaran di atas batu-batu ini”
Swandaru menggeleng malas. Ia semakin
kesal karenanya. Waktunya telah banyak terbuang. Apakah mereka masih
harus bermain seperti anak-anak.
Tetapi kembali Agung Sedayu mengajaknya
sambil tertawa, “Swandaru, lihatlah betapa Ki Tanu Metir meloncat dari
batu ke batu. Marilah”
Kembali Swandaru menggeleng. Katanya
dalam hati, “Akh, apa lagi kerja orang tua itu. Bukankah lebih baik
memberitahukan kepada kita, apa yang harus kita lakukan? Unsur-unsur
gerak, satu atau dua, untuk diulang-ulang”
Tetapi dengan demikian Agung Sedayu pun
menjadi kesal pula. Swandaru benar-benar tidak segera tahu maksud orang
lain tanpa diberitahukannya sejelas-jelasnya. Seperti juga sifatnya
sendiri yang selalu terbuka dan terus terang. Karena itu, maka Agung
Sedayu itu pun terpaksa berkata, “Swandaru, kau ikut berlatih atau
tidak?”
Swandaru terkejut. “Berlatih?” ulangnya, “Berlatih apa?”
“Inilah latihan pertama yang harus kita lakukan”
“Oh” Swandaru itu tertegun sesaat.
Kemudian dilihatnya Ki Tanu Metir meneruskan perjalanannya. Meloncat
dari satu batu ke batu yang lain dengan lincahnya tanpa menyentuh air
sedikit pun juga. Bahkan sekali-sekali diloncatinya batu-batu yang kecil
dan goyah. Namun batu-batu itu seakan-akan bergerak pun tidak.
Sesaat Swandaru terpaku di tempatnya.
Dilihatnya Ki Tanu Metir meloncat-loncat seperti orang sedang menari. Di
belakangnya menyusul Agung Sedayu. Dengan hati-hati anak muda itu
meloncat pula dari batu kebatu. Namun tampaklah betapa ia masih harus
memperhitungkan setiap langkahnya. Dicobanya mengikuti apa yang telah
dilakukan oleh Ki Tanu Metir. Namun sekali-sekali ia masih harus
berhenti menjaga kesetimbangan tubuhnya.
Tiba-tiba Swandaru itu pun tertawa.
digaruk-garuknya kepalanya sambil bergumam, “Alangkah bodohnya aku. Aku
tidak segera tahu maksud orang tua itu”
Maka dengan serta-merta Swandaru itu pun berteriak, “Tunggu, aku ikut serta”
Ki Tanu Metir itu pun segera berhenti.
Demikian juga Agung Sedayu. Mereka bersama-sama berpaling dan dilihatnya
Swandaru Geni meloncat ke atas sebuah batu yang besar. Tubuhnya yang
bulat itu meluncur dari tebing sungai dan mencoba berdiri di atas batu
itu. Sesaat ia masih harus mengatur keseimbangannya, namun kemudian ia
tertawa sambil berkata, “Tunggulah, aku akan segera sampai ke tempatmu
kakang Sedayu”
Swandaru itu pun segera mulai dengan
loncatan-loncatannya. Dari satu batu kebatu yang lain. Dicobanya juga
meloncati batu-batu yang telah tersentuh kaki Ki Tanu Metir. Namun
sekali-sekali batu-batu itu terguncang dan Swandaru terpaksa berpegangan
pada batu-batu yang lain. Bahkan satu kali ia tergelincir dan jatuh
masuk kedalam air.
“Gila” gumamnya seorang diri. Pakaiannya
menjadi basah kuyup. Dengan wajah bersungut-sungut ia muncul dari dalam
air seperti seekor tikus kehujanan.
Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir tidak
dapat menahan tawa mereka. Ketika Swandaru kemudian bangkit dan berdiri
di atas sebuah batu maka Ki Tanu Metir berkata, “Bukan apa-apa. kau
hanya jatuh kedalam air”
“Ya, tidak apa-apa” sahut Swandaru kesal.
Tetapi tiba-tiba ia mengumpat ketika Ki Tanu Metir berkata, “Ulangi. Ulangi sekali lagi”
“Kenapa aku harus mengulangi. Apakah Ki Tanu Metir ingin melihat aku sekali lagi jatuh kedalam air?”
“Tidak” jawab Ki Tanu Metir, “Latihan ini
adalah latihan dasar. Sekedar menghangatkan tubuh. Karena itu, maka
angger harus dapat melakukannya.”
Swandaru bersungguh-sungguh.
Dilangkahinya kembali beberapa batu yang sudah dilampauinya. Dan sekali
lagi meloncat kejurusan Agung Sedayu. Namun kali ini pun Swandaru masih
belum dapat berdiri dengan tegak pada batu yang telah
menggelincirkannya. Namun kali ini ia tidak jatuh bulat-bulat ke dalam
air. Setelah beberapa saat ia bertahan atas keseimbangannya, maka
terpaksa ia harus terjun kembali. Namun ia dapat tegak di atas kakinya,
meskipun di dalam air juga.
“Bukan main” Swandaru itu mengeluh. Apalagi ketika Ki Tanu Metir minta ia mengulanginya satu kali lagi.
Swandaru terpaksa mengulangi sekali lagi.
Kali ini ia benar-benar memperhitungkan setiap langkahnya. Dengan
hati-hati ia meloncat dari satu batu kebatu berikutnya. Dan ketika ia
meloncat kebatu yang itu-itu juga, maka ia menahan nafasnya. Dijaganya
keseimbangan tubuhnya benar-benar dan ditapakkannya kakinya pada ujung
jari-jarinya, dalam pemusatan perhatian yang bulat.
Swandaru menarik nafas panjang ketika
untuk yang ketiga kalinya ia berhasil. Tubuhnya seakan-akan menjadi
bertambah ringan, dan keseimbangannya serasa menjadi lebih baik. Ia
tidak tahu apakah sebabnya hal itu dapat terjadi, “Mungkin karena aku
telah melakukannya tiga kali berturut-turut” katanya dalam hati.
Tetapi ia tidak dapat terlalu lama tegak
berdiri menikmati kemenangannya yang pertama itu. Ketika ia mengangkat
wajahnya, dilihatnya Ki Tanu Metir berkata, “Marilah, teruskan
perjalanan ini sampai ke ujung desa Sangkal Putung”
Agung Sedayu pun kemudian berputar dan
melanjutkan loncatan-loncatannya. Namun ketika suatu kali, dilompatinya
sebuah batu yang sedikit goyah, maka batu itu pun bergerak sedikit ke
samping, dan kini Agung Sedayu lah yang terbanting dipermukaan air.
Swandaru terkejut, namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak, “Nah,
rasakanlah. Aku sudah lebih dahulu mandi. Kakang pun harus mandi pula”
Ki Tanu Metir pun berhenti pula.
dilihatnya Agung Sedayu bangkit dari dalam air sambil tertawa. Kainnya,
bajunya, ikat kepalanya menjadi basah kuyup. Perlahan-lahan ia berdiri
dan dikibaskannya pakaiannya yang dilekati pasir sungai.
“Hem” desis Swandaru, “Memang segar kakang, mandi dengan segenap pakaiannya”
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau nanti juga harus melampaui batu ini Swandaru”
“He” Swandaru mengerutkan keningnya.
Dilihatnya batu yang telah menjatuhkan Agung Sedayu itu. Batu yang
seakan-akan bergoyang-goyang digerakkan arus sungai yang tidak seberapa
deras.
“Ah” katanya dalam hati, “Bagaimana mungkin”
Sesaat kemudian dilihatnya Agung Sedayu
telah siap untuk mengulangi langkahnya tanpa mendapat perintah dari Ki
Tanu Metir. Ia tahu benar, bahwa setiap kesalahan harus
dibetulkannya.Dipusatkannya segenap perhatiannya. Dengan wajah yang
tegang ditatapnya batu itu. Kemudian ditahankannya nafasnya dan dengan
sepenuh hasrat ia meloncati kembali batu-batu itu sehingga akhirnya
sampailah ia kepada batu yang agak goyah itu. Namun kali ini ia berbuat
cepat sekali. Bahkan kakinya seakan-akan tidak berpijak pada batu itu.
Batu itu hanya disentuhnya saja. Sedang kakinya yang lain segera
meloncat kebatu yang lain pula.
Batu itu pun bergerak pula sedikit. Namun
Agung Sedayu telah meloncat lebih lanjut, sehingga kali ini Agung
Sedayu selamat sampai kebatu berikutnya. Agung Sedayu itu pun kemudian
berhenti. Kini ia melihat Swandaru yang semakin lama menjadi semakin
dekat. Ketika ia sampai kebatu yang goyah itu, maka ia bergumam di dalam
hati, “Aku sudah bersedia, dan aku tidak akan jatuh lagi kedalam
sungai”
Tetapi ternyata ia salah sangka. Batu itu
adalah batu yang goyah. Sehingga karenanya, maka ketika ia meloncat ke
atasnya, sekali lagi ia terguncang dan kehilangan keseimbangan. Meskipun
ia berusaha untuk meloncat kebatu yang lain, namun ternyata ia tidak
berhasil.
Tetapi Swandaru kali ini tidak mau jatuh
sendiri kedalam air. Agung Sedayu yang menunggunya sambil tertawa
tiba-tiba terkejut. Dengan tidak disangka-sangka tangan Swandaru meraih
pundaknya, dan jatuhlah mereka berdua kedalam air bersama-sama.
Ketika mereka muncul lagi dari permukaan air, maka mereka tidak dapat menahan gelak tawa mereka yang seperti meledak dari dada.
Ki Tanu Metir yang melihat mereka
bergumul di dalam air itu pun tertawa pula terkekeh-kekeh, sampai
tubuhnya terguncang-guncang. Demikian asyiknya ia tertawa dan melihat
murid-muridnya yang basah kuyup, sehingga Ki Tanu Metir itu tidak
melihat bahwa beberapa orang melihatnya dengan pandangan yang tajam.
Mereka sama sekali tak mengetahuinya, apa yang dilakukan oleh kedua
anak-anak muda itu.
Tiba-tiba batu tempat Ki Tanu Metir
berdiri berguncang, dan hampir saja Ki Tanu Metir kehilangan
keseimbangan. Secepat kilat ia sempat berpaling dan memandangi orang
orang ditepi sungai itu. Tetapi sekejap kemudian tiba-tiba Ki Tanu Metir
pun terhuyung-huyung dan jatuh pula ke dalam air.
Agung Sedayu dan Swandaru terkejut. Ki
Tanu Metir itu pun terpelanting jatuh. Tetapi segera mereka terlihat
beberapa orang ditepi sungai itu tertawa terbahak-bahak. Seseorang di
antaranya masih memegang sebutir batu, sedang orang yang lain berkata,
“lemparanmu tepat kakang.”
Mata Agung Sedayu dan Swandaru terbelalak
melihat orang-orang itu, seorang di antaranya adalah orang yang
bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang. Di tangannya tergenggam
sebatang tongkat besi baja putih dengan kepala kekuning-kuningan
berbentuk sebuah tengkorak.
Hampir saja Swandaru berdesis. Tetapi untunglah ia dapat menahan diri. Namun hatinya berteriak, “Macan Kepatihan”
Agung Sedayu pun berdiri tegak tak
bergerak. Tetapi tiba-tiba mereka berdua terkejut ketika mendengar Ki
Tanu Metir berkata, “E, tole tolonglah. Tolonglah aku berdiri.”
Sesaat mereka heran melihat Ki Tanu Metir
tertatih-tatih berusaha untuk berdiri. Namun sekali-sekali ia
tergelincir kembali. Tubuhnya benar-benar menggigil dan dengan
terbata-bata ia berteriak-teriak sambil melambaikan tangannya.
Agung Sedayu cepat menangkap maksud Ki
Tanu Metir. Orang tua itu telah menjadi seorang tua yang tak berdaya.
Karena itu segera ia berlari dan menolong Kiai Gringsing yang sedang
menggigil. Diangkatnya orang tua itu berdiri dan didudukkannya di atas
sebuah batu yang besar. Sedangkan Swandaru melihat perbuatan Sedayu itu
dengan herannya. Kenapa orang tua itu harus ditolongnya berdiri dan
harus dipapah ke atas sebuah batu yang besar? Bukankah orang tua itu
pula yang besar? Bukankah orang tua itu pula yang telah memaksanya
meloncat-loncat dan memberi mereka beberapa contoh untuk melakukannya?
Namun Swandaru tidak bertanya apa pun juga. Ia pun perlahan-lahan
berjalan mendekati Ki Tanu Metir. Ia semakin heran ketika dilihatnya
orang tua itu menyeringai kesakitan. Ia sendiri telah tiga kali jatuh
terpelanting, namun ia tidak merasa apa-apa. Orang tua itu baru sekali
jatuh. Tetapi ia telah tampak sedemikian payahnya.
Tetapi ia menarik nafas ketika ia mendengar orang tua itu berbisik, “Jangan terjadi bentrokan dengan orang-orang itu sekarang”
“Oh” desahnya. Sekali dilayangkannya
pandangan matanya ketebing dan kemudian dipandanginya orang tua yang
duduk kedinginan di atas batu itu.
Tetapi Swandaru kini telah mengerti
maksud Ki Tanu Metir itu. Dan mereka berdua, Agung Sedayu dan Swandaru
pun kemudian mengerti pula, bahwa sebenarnya Ki Tanu Metir pasti akan
mampu mempertahankan keseimbangannya seandainya yang hadir di pinggir
kali itu Ki Tambak Wedi, tetapi orang tua itu pasti mempunyai
pertimbangan lain sehingga ia tidak mau terlibat dalam bentrokan dengan
Tohpati dan beberapa kawannya saat ini.
“He!” tiba-tiba mereka mendengar seseorang di antara orang-orang yang berdiri ditebing itu berteriak, “Siapakah kalian?”
Ki Tanu Metir memandangi mereka dengan wajah ketakutan. Kemudian jawabnya gemetar, “Kami orang-orang Benda tuan”
“Apa kerja kalian di sini?”
“Kami sedang menyelusur air sawah tuan. Dan kami berhenti sejenak untuk mandi”
Orang-orang itu tertawa. Kata salah seorang dari mereka itu, “Apakah kalian biasa mandi dengan seluruh pakaian kalian?”
“Tidak tuan. Salah seorang anak itu tergelincir, namun rupa-rupanya ia tidak mau melihat kawannya masih tetap kering”
Kembali mereka tertawa. dan kembali terdengar salah seorang berteriak, “Apakah benar-benar kalian hanya menyusuri air?”
“Ya tuan” sahut Ki Tanu Metir, “Tetapi siapakah tuan-tuan ini?”
“Kami dari Sangkal Putung” sahut orang yang bertongkat baja putih itu.
Swandaru menjadi berdebar-debar. Ia
pernah bertemu muka dengan Macan Kepatihan itu, selagi Tohpati itu
bertempur melawan Sidanti dan Widura. tetapi pertemuan itu hanya sekejap
dan Tohpati waktu itu sedang disibukkan oleh perkelahian itu. Sehingga
agaknya Tohpati itu kurang mengenalnya.
Ki Tanu Metir kemudian bertanya pula, “Apakah yang akan tuan lakukan di sini?”
“Hem. Aku ingin mendapat beras, apakah orang-orang Benda mempunyai persediaan cukup?”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba ia menggeleng. Jawabnya perlahan-lahan, “Ah, tuan telah
memeras semua persediaan kami. Beberapa orang Pajang yang berada di
Sangkal Putung itu? Setiap minggu kami harus menyerahkan berbakul-bakul
beras, sehingga kami sendiri akan menjadi kelaparan karenanya”
Tohpati itu tertawa. Kemudian katanya, “Bukankah dengan demikian kalian membantu perjuangan kami melawan orang-orang Jipang?”
“Bagi kami tuan, sudah tentu lebih penting makan kami sehari-hari”
Macan Kepatihan mengerutkan keningnya.
Dipandangnya ketiga orang yang berada dibawah tebing itu berganti-ganti.
Kemudian katanya, “He, apakah anak-anak muda itu tidak mau ikut
bergabung dengan kami untuk melawan laskar Macan Kepatihan?”
Ki Tanu Metir menggeleng, “Mereka adalah
cucu-cucuku. Biarlah mereka menikmati ketentraman hidup di rumah. Apakah
keuntungan kami apabila anak-anak muda itu turut bertempur?”
“Anak-anak muda seluruh kademangan
Sangkal Putung bangkit serentak. Mereka telah menyumbangkan tenaga
mereka untuk kemenangan Pajang. Apakah cucu-cucumu itu tidak ikut serta
he?”
“Sudah aku katakan buat apa mereka ikut
bertempur? Dan apakah sebenarnya keuntungan orang-orang Pajang dan
orang-orang Jipang yang kini saling bertentangan?”
“Kami sedang mempertahankan pendirian
kami masing-masing. Kami tidak senang melihat pengikut-pengikut Arya
Penangsang berkeliaran”
“Mungkin pimpinan tuan tidak senang
melihat Arya Penangsang. Tetapi apakah perlunya pertengkaran itu
berlarut-larut terus? Sejak Arya Penangsang terbunuh, maka persoalan
kalian sebenarnya telah selesai”
“Siapa yang bilang he, pak tua?”
Ki Tanu Metir tertawa. Kemudian katanya,
“Lima enam hari yang lalu, kawan-kawan tuan datang ke pondokku. Seorang
bertubuh sedang, masih sangat muda dan tampan. Dikawani oleh seorang
yang sudah menginjak setengah umur. Namun wajahnya menunjukkan
kewibawaan yang tinggi. Namanya Untara dan Widura”
Macan Kepatihan mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Apakah yang mereka lakukan dipondokmu?”
“Apakah tuan-tuan kenal mereka?”
“Tentu” sahut Macan Kepatihan, “Untara
adalah senopati laskar Pajang di daerah ini. Dikaki-kaki gunung Merapi.
Sedang paman Widura adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung”
“Oh, jadi mereka adalah pemimpin-pemimpin tuan?”
Macan Kepatihan menggigit bibirnya.
Adalah tidak senang mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia terpaksa
menjawab, “Ya, apa yang mereka lakukan?”
“Pertama, mereka mencari beras seperti
tuan, mereka telah membawa sepuluh bakul beras. Apakah tuan tidak
mendapat bagian dari yang sepuluh bakul itu sehingga tuan terpaksa
mencari sendiri?”
Tohpati terdiam sesaat. Tetapi kemudian
jawabnya, “Kau benar-benar orang tua yang bodoh. Berapa ratus orang
Pajang yang berada di Sangkal Putung. Sepuluh bakul beras hanya cukup
untuk tiga hari, paling lama lima hari. Nah, apakah yang akan kami makan
besok, lusa dan seterusnya?”
“Dari desa-desa lain tuan akan dapat
mengambil beras pula. Tetapi itu tidak penting. Yang penting
pemimpin-pemimpin tuan itu berkata kepadaku bahwa sebenarnya mereka
telah jemu bertempur”
“Tidak” sahut Macan Kepatihan.
“Apa yang tidak, tuan? Apakah tuan tidak
bertanya bahwa pemimpin-pemimpn tuan pernah berkata demikian? Atau
apakah tuan tidak percaya bahwa orang-orang Jipang juga jenuh bertempur?
Atau tuan tidak percaya bahwa setiap orang sudah jemu melihat
pertempuran?, “Aku tidak percaya bahwa pemimpin-pemimpin Pajang berkata
demikian. Aku juga tidak percaya bahwa orang-orang Jipang telah jemu
bertempur pula. Dan aku juga tidak percaya bahwa setiap orang sudah jemu
melihat pertempuran.
“Jadi jelasnya tuan tidak percaya kepadaku?”
“Bukan. Mungkin orang Pajang berkata kepadamu. Tetapi mereka tidak berkata yang sebenarnya.”
“Mereka berbohong? Apakah gunanya?”
“Orang-orang Jipang pun tidak pernah
merasa jemu bertempur. Mereka sedang memperjuangkan sebuah cita-cita.
Dan cita-cita itu akan mereka bawa mati.”
“Cita-cita? Bertanya Ki Tanu Metir,
“apakah sebenarnya cita-cita itu bagi orang Jipang? Apakah mereka akan
menghidupkan kembali dan meletakkan Arya Jipang yang sudah gugur itu
apabila mereka sudah berhasil? Tuan. Apakah tuan tidak sependapat dengan
pemimpin-pemimpin tuan? Bahwa sebenarnya di antara mereka dan
orang-orang Jipang itu tidak terdapat soal-soal yang tidak perlu
melibatkan mereka dalam pertentangan yang berlarut-larut?
Pemimpin-pemimpin tuan itu berkata, bahwa orang-orang Jipang yang
sekarang masih mengangkat senjata, sebenarnya hanyalah orang-orang yang
keras hati dalam kesetiakawanan mereka. Kalau mereka setia pada
cita-cita mereka semula, maka cita-cita itu tidak akan dapat terlaksana.
Apa pun yang akan mereka lakukan. Seandainya orang-orang Pajang
akhirnya dapat mereka tumpas, namun trah Sekar Seda Lepen, dasar dari
perjuangan Arya Penangsang telah punah. Tak ada orang yang dapat
menempatkan diri sebagai penerus cita-cita itu. Tak ada orang yang dapat
menamakan diri trah Sekar Seda Lepen.”
“Tetapi itu adalah perjuangan menuntut
keadilan. Siapakah yang membunuh Sekar Seda Lepen? Kalau Sekar Seda
Lepen tidak terbunuh, apakah Arya Penangsang tidak akan naik keatas
tahta?”
“Ya,ya. Pemimpin tuan juga mengatakan dasar tuntutan orang-orang Jipang itu, sekarang tuan juga mengatakan.
“Oh” Tohpati mengusap kumisnya. Hampir-hampir ia lupa, bahwa ia mengaku sebagai orang Sangkal Putung.
Tetapi tak seorang pun tahu pasti, apa
yang terjadi dengan Sekar Seda Lepen. “Terdengar Ki Tanu Metir
meneruskan, “dan semua itu telah lampau. Kalau kita tenggelam dalam
urut-urutan dendam, kapan kita akan berhenti berkelahi sesama kita?”
Tohpati terdiam. Sesaat sambil
mengurut-urut kumisnya yang tebal melintang. Di dalam hatinya timbullah
berbagai pertanyaan tentang orang tua yang mengaku berasal dari
padukuhan benda itu. Macan Kepatihan sama sekali tidak dapat mengerti,
kenapa orang-orang dari benda dapat berkata-kata seperti yang diucapkan
oleh orang tua itu.
“Mungkin orang-orang Widura, atau Widura
sendiri pernah berkata demikian seperti yang dikatakannya tadi.” Berkata
Tohpati dalam hatinya. Kemudian suara di dalam hatinya itu berkata
pula, “Apakah benar-benar Widura dan Untara sudah jemu bertempur?”
Tohpati kemudian menggelengkan kepalanya ketika di dalam hatinya
terbetik suatu pertanyaan, “Apakah orang-orang Jipang tidak jemu
bertempur? Kapankah pertempuran itu akan berakhir?”
“Tidak” kata-kata orang itu dibantahnya
sendiri di dalam hatinya pula, “Aku tidak akan pernah jemu bertempur.
Syukurlah kalau orang-orang Pajang telah menjadi jemu. Itu adalah
pertanda pertama bahwa mereka telah sampai ke tepi jurang kehancuran
mereka.”
Tetapi Tohpati itu terkejut ketika Ki
Tanu Metir berkata pula, “Nah, Tuan. Kalau tuan tidak sedang
mengejar-ngejar orang Jipang, maka tuan akan dapat hidup di dalam
lingkungan keluarga tuan. Di dalam lingkungan anak istri tuan kalau tuan
sudah punya. Kalau tidak, maka ibu tuan dan ayah tuan tidak akan selalu
menunggu tuan diambang pintu halaman”
“Kami bukan laki-laki cengeng” sahut
Tohpati, “Setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. Kau pun harus
mengorbankan berasmu untuk perjuangan ini. Nanti siang aku akan segera
datang ke Benda untuk mengambil beras itu”
“Jangan tuan, jangan hari ini. Tuan pasti
akan kecewa, sebab perempuan-perempuan kami belum menumbuk padi. Besok
atau lusa baru tuan dapat datang mengambilnya”
“Aku perlu hari ini. Katakan kepada
penduduk Benda, bahwa laskar Pajang tidak dapat menunda kebutuhannya.
Siapa yang tidak tunduk kepada setiap perintah laskar Pajang, maka ia
akan dihabisi jiwanya. Kau dengar?”
“Huh, tuan menakut-nakuti kami. Laskar Jipang pun tidak mengancam sekasar itu, tuan. Apakah tuan sedang bersenda gurau?”
Tohpati tersenyum di dalam hati. Kalau ia
dapat memisahkan laskar Pajang dari kekuatan rakyat yang mendukungnya,
maka kekuatan Pajang pasti akan berkurang. Setidak-tidaknya di Sangkal
Putung. Karena itu, maka jawabnya, “Persetan dengan laskar Jipang.
Apakah mereka juga sering mengambil beras ke padukuhan Benda?”
“Ya tuan, kadang-kadang. Tetapi mereka tidak pernah mengancam seperti tuan”
“Jipang ternyata sedang berusaha
mendekatkan dirinya kepada orang-orang padesan untuk mendapat dukungan.
Tetapi Pajang lah yang berkuasa atas kalian, sehingga kalian tidak bebas
membantah perintahnya”
Mata Agung Sedayu dan Swandaru yang sejak
tadi duduk mematung, tiba-tiba memancarkan kemarahannya yang selama ini
ditahan di dalam hatinya. Mereka tidak dapat mendengar fitnahan yang
sedemikian tajamnya atas laskar Pajang yang berada di Sangkal Putung.
Tetapi sebelum mereka berbuat sesuatu, maka dengan isyarat tangan yang
disembunyikan di balik batu, Ki Tanu Metir telah mencegah mereka berbuat
sesuatu.
Dalam pada itu, maka terdengar Ki Tanu
Metir itu berkata pula, “Nah, itulah tuan. Kalau kalian, tuan-tuan tidak
saling bertentangan, maka tuan-tuan tidak perlu berebut pengaruh atas
rakyat padesan. Tuan-tuan dapat berbuat banyak untuk orang-orang kecil
seperti kami ini”
“Tidak mungkin. Mereka bertentangan
kepentingan. Kami orang-orang Pajang akan mempertahankan kemenangan
kami, meskipun kami tahu, bahwa tuntutan Arya Penangsang itu adil”
Mendengar kebohongan itu, hampir-hampir
Swandaru dan Agung Sedayu tidak dapat menguasai diri. Tetapi sekali lagi
Ki Tanu Metir memberinya isyarat.
“Ya, katakanlah bahwa tuntutan Arya
Penangsang itu adil. Tetapi garis keturunan yang sekarang memegang
kekuasaan atas Demak telah patah. Putra-putra Sultan Trenggana telah
hampir punah pula. Pangeran Prawata telah dibunuh oleh Arya Penangsang.
Sunan Hadiri dari Kalinyamat. Kemudian yang terakhir tetapi gagal adalah
Adipati Jipang. Katakanlah bahwa Arya Penangsang sedang berjuang
menuntu warisan. Lalu, apakah Adipati Hadiwijaya di Pajang harus dengan
rela hati menyerahkan lehernya untuk dipancung? Sedang Hadiwijaya itu
sama sekali tidak tahu menahu tentang terbunuhnya Sekar Seda Lepen.
Bukankah Adipati Pajang pun merasa, bahwa kini sedang memperjuangkan
keadilan?
Nah tuan, selama keadilan itu dilihat
dari sudut yang berbeda-beda, maka keadilan itu sendiri tidak akan dapat
serupa bentuknya. Karena itu maka yang paling baik adalah apa yang
dikatakan pemimpin tuan. Menjemukan. Pertentangan yang berlarut-larut
adalah menjemukan sekali. Pertentangan itu tidak akan dapat memberikan
apa-apa kepada kami. Kepada orang-orang kecil. Bahkan hanya akan
menguras lumbung-lumbung kami. Beras-beras kami dan hidup kami akan
menjadi semakin kering. Tetapi kalau tuan tidak saling bertentangan
menimbang dendam di hati, maka kami akan dapat bekerja dengan baik,
dengan tenang, dengan tentram. Dan tuan-tuan yang bijaksana akan dapat
menuntun kami, tidak dalam olah senjata, tidak dalam bermain pedang dan
tombak, tetapi dalam olah tetanen dan kebutuhan kami sehari-hari”
Macan Kepatihan terdiam pula sesaat.
Kata-kata itu benar-benar menyentuh sudut hatinya. Tetapi tiba-tiba
terdengar orang yang berdiri di sampingnya, Sanakeling, tertawa
terbahak-bahak. Katanya, “He pak tua. Darimana kau dengar uraian yang
melingkar-lingkar itu?”
Ki Tanu Metir memandang orang yang
berdiri di samping Macan Kepatihan itu. Kemudian jawabnya, “Sebagian aku
dengar dari pemimpin-pemimpin tuan sendiri. Dari orang yang bernama
Widura dan yang lain bernama Untara”
Sekali lagi Macan Kepatihan mengerutkan
keningnya. Kalau Widura dan Untara berpendirian demikian, maka apakah
sebenarnya yang telah mendorong mereka, orang-orang Pajang dan
orang-orang Jipang saling berbunuhan? Namun kembali Sanakeling berkata,
“Mungkin pemimpin-pemimpin kami sedang berputus asa karena mereka tidak
segera berhasil menguasai keadaan di sini, begitu?”
Swandaru dan Agung Sedayu menjadi
benar-benar muak mendengar percakapan itu. Mereka menjadi heran, kenapa
Ki Tanu Metir masih juga telaten berbicara dengan Macan Kepatihan.
Apalagi orang yang berdiri di sampingnya itu.
Yang paling sukar untuk mengendalikan
dirinya adalah Swandaru. Hampir-hampir ia berteriak memaki-maki.
Untunglah bahwa Agung Sedayu yang agaknya lebih tenang menggamitnya.
Agung Sedayu yang sejak masa anak-anaknya kelalu menghindari
bentrokan-bentrokan, ternyata berpengaruh juga sampai saat ini. Meskipun
alasannya telah berbeda. Dahulu Agung Sedayu menghindari setiap
bentrokan dengan siapa pun juga karena ia takut mengalami. Tetapi
sekarang, ia menghindari bentrokan karena pertimbangan lain. Kali ini
gurunya tidak mengijinkannya. Kebiasaannya untuk menghindari setiap
pertentangan pada masa kecilnya ternyata membantu memperliat hatinya,
menambah kesabarannya. Karena ini, apalagi di samping gurunya, ia sama
sekali tidak takut bertempur dengan beberapa orang yang berada di atas
tebing. Namun gurunya mengisyaratkan kepadanya untuk tetap tenang dan
menghindari betrokan. Meskipun Agung Sedayu tidak tahu benar alasan
gurunya, namun ia mematuhinya.
Ki Tanu Metir yang mendengar kata-kata
orang yang berdiri di samping Macan Kepatihan menjadi seakan-akan
terkejut. Kemudian sambil mengangkat kepalanya ia bertanya, “Apakah
pemimpin-pemimpin kalian benar-benar berputus asa?”
“Tentu” sahut Sanakeling, “Kalau tidak,
maka ia pasti tidak akan mengigau seperti itu. Perang adalah kewajiban
seorang prajurit. Jadi apabila ada seorang prajurit yang tidak mau
berperang, maka ia adalah seorang prajurit yang tak bernilai”
“Oh, jadi apabila keadaan Pajang dan
Jipang telah menjadi baik kembali, maka apakah Adipati Pajang akan
memecat semua prajuritnya?”
“Ah, orang tua yang bodoh. Tentu tidak.
Negara yang tidak mempunyai prajurit maka negara itu akan tidak berarti.
Setiap saat lawan mereka akan dengan senang hati merampok segala
miliknya”
“Oh, jadi apabila peperangan yang satu sudah selesai, maka setiap negara perlu membuat persoalan dengan negara lain?”
“He, kenapa?”
“Prajurit dan perang adalah satu, menurut tuan yang di samping itu”
Macan Kepatihan tertawa. Sanakeling
akhirnya tertawa juga. “Alangkah bodohnya pertanyaan itu” gumam
Sanakeling. Tetapi Macan Kepatihan menggelengkan kepalanya. Gumamnya,
“Tidak. Pertanyaan itu bukan pertanyaan yang bodoh. Ia telah mengambil
kesimpulan yang tepat dari kata-katamu sendiri”
“Tetapi maksudku bukan begitu kakang. Maksudku, setiap prajurit harus bersedia berperang, tidak boleh jemu”
“Jelaskan kepada orang tua itu, jangan kepadaku” potong Macan Kepatihan.
“Oh” Sanakeling mengerutkan keningnya.
Dipandangnya orang tua yang duduk di atas batu dibawah. Kakinya
berjuntai terendam di dalam arus sungai yang tidak sedemikian keras.
Tiba-tiba wajah Sanakeling menjadi tegang. Dan dengan bersungguh-sungguh
ia berkata, “Marilah kita tinggalkan orang tua gila itu”
Sanakeling tidak menunggu jawaban Macan
Kepatihan. Segera ia memutar tubuhnya dan berjalan menjauhi tebing
sungai itu bersama beberapa orang yang lain. Namun ketika Macan
Kepatihan akan beranjak pergi, maka Ki Tanu Metir itu memanggilnya,
“Tuan” katanya, “Tunggulah sebentar”
Macan Kepatihan berhenti. Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir yang kedinginan. Katanya, “Ada apa kakek?”
“Tuan, apakah nanti tuan akan datang kepadukuhan kami?”
“Tentu. Prajurit Pajang tidak dapat
menunggu lebih dari saat yang telah ditentukannya sendiri. orang yang
mencoba menghambat perintahnya, maka ia akan dibinasakan”
“Tuan” berkata Ki Tanu Metir, “Berapa tahun peperangan ini akan berakhir?”
“Kenapa?”
“Aku ingin menghitung umurku dengan
kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi, tuan. Kalau peperangan ini
masih akan berlangsung lama maka aku akan melihat padukuhanku
benar-benar menjadi kering, dan anak cucuku pasti akan mati kelaparan.
Sebab beras-beras kami akan selalu mengalir keluar padukuhan kami.
Sekali harus kami serahkan kepada tuan. Kepada laskar Pajang. Sekali
yang lain kepada laskar Jipang”
“Kenapa kau beri juga beras kepada orang-orang Jipang?”
“Mereka datang dengan senjata di tangan
tuan. Apakah yang dapat kami lakukan? Baik orang Pajang maupun orang
Jipang. Dan sebenarnyalah pemimpin-pemimpin tuan menjadi jemu berperang.
Apakah tuah tidak? Seorang prajurit Pajang pernah berkata kepadaku,
bahwa ketika ia berangkat kemedan perang, anaknya baru berumur tiga
hari. Anak yang lahir dari istrinya tercinta, setelah mereka hampir
sepuluh tahun kawin. Prajurit itu berkata ‘Kalau aku pulang nanti,
anakku pasti sudah besar. Tetapi ia pasti takut melihat wajahku yang
setiap hari menjadi semakin buas karena bau darah’. Tuan, benarkah
demikian? Apakah prajurit yang selalu berada di peperangan menjadi buas,
eh, maksudku keras?”
Tohpati melangkah kembali ke tebing
sungai itu. Ia tertarik mendengar kata-kata Ki Tanu Metir. Pertanyaan
yang didengarnya itu benar-benar telah menyentuh hatinya. Dan tanpa
setahunya ia menganggukkan kepalanya, “Ya. Mungkin prajurit itu benar.
Setiap hari seorang prajurit dihadapkan pada saat-saat yang tegang dan
melihat kekerasan”
“Apakah tuan tidak berpendapat bahwa ketegangan dan kekerasan itu sebaiknya berakhir?”
Tohpati tiba-tiba mengerutkan keningnya.
Dan dengan serta-merta ia melangkah surut. Ia tidak mau mendengarkan
pertanyaan-pertanyaan orang tua itu mebih banyak lagi.
Pertanyaan-pertanyaan yang mengetuk dinding hatinya. Dinding hati
seorang manusia yang kebetulan menjadi seorang prajurit. Seorang manusia
yang kebetulan memiliki senjata di tangannya dan sedang memperjuangkan
kehendak dan cita-cita dengan senjata itu. Bahkan mencoba memaksakan
kehendak itu kepada orang lain dengan tajam senjatanya, baik atau tidak
baik menurut penilaian orang lain.
Tohpati kini tidak mau mendengarkan lagi
Ki Tanu Metir memanggilnya. Cepat ia berputar dan melangkah pergi
meninggalkan orang tua yang duduk berjuntai di atas batu. Beberapa
langkah daripadanya berdiri Sanakeling bertolak pinggang. Di sampingnya
dua orang kawannya sedang mengais-ngais tanah dengan ujung pedangnnya.
“Kenapa orang tua gila itu masih saja dilayani” gumam Sanakeling.
Macan Kepatihan tidak menjawab. Ia berpaling sejenak, namun ia berjalan terus sambil menundukkan wajahnya.
Sanakeling pun kemudian berjalan pula di
belakangnya bersama kedua orang yang berdiri di sampingnya. dikejauhan
tiga orang berjalan mendekati mereka dan berjalan dalam rombongan itu
pula. Dan mereka masih mendapat kawan seorang lagi. Seorang anak muda
yang bermata tajam, setajam mata burung alap-alap. Mereka adalah
orang-orang yang harus mengawasi keadaan selama Tohpati berhenti ditepi
sungai. Untunglah bahwa Alap-alap Jalatunda tidak turut menjenguk ke
dalam sungai itu. Apabila demikian, maka ia pasti tidak akan melupakan
Agung Sedayu.
Sepeninggal Macan Kepatihan, Swandaru
tidak sabar lagi, sehingga dengan serta-merta ia bertanya, “Kiai,
Tohpati itu ternyata telah datang kehadapan Kiai. Kenapa orang itu tidak
saja Kiai tangkap? Tidakkah dengan demikian maka pertempuran yang Kiai
katakan menjemukan itu akan segera berakhir?”
“Tidak mungkin ngger. Apakah kita bertiga akan mampu menangkapnya?”
“Kenapa tidak? Bukankah mereka hanya berempat atau lima orang? Kiai sendiri pasti akan mampu melakukannya”
“Mungkin aku mampu mengalahkan lima orang
itu. Tetapi bagaimana dengan kalian? Lihatlah, apakah mereka
benar-benar hanya berlima?”
“Bukankah aku masih dapat menghitung demikian baik?” sahut Swandaru dengan nada tinggi.
“Belum tentu. Coba, tengoklah sekarang”
Swandaru menjadi ingin membuktikan
kebenaran kata-kata Ki Tanu Metir. Karena itu segera ia meloncat berlari
ke tebing. Dengan tergesa-gesa ia mendaki tebing, dan dengan hati-hati
ia mencoba mengintip Macan Kepatihan yang sudah berjalan agak jauh.
Ketika dilihatnya rombongan itu, Swandaru menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata Ki Tanu Metir benar. Mereka tidak hanya berlima atau berenam.
Tetapi sekarang rombongan itu menjadi tidak kurang dari sepuluh orang.
Bahkan di sudut-sudut desa dikejauhan masih mungkin pula berdiri
orang-orangnya yang sedang mengawasi keadaan di sekitarnya.
Perlahan-lahan Swandaru meluncur turun.
Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya, Kiai benar.
Mereka sudah bersepuluh sekarang. Mungkin masih akan tambah lagi”
“Nah, karena itu, maka sebaiknya kalian
tidak tergesa-gesa menentukan sikap apabila kalian menghadapi sesuatu.
Cobalah membuat perhitungan-perhitungan yang cermat, baru kalian
menentukan sikap. Tetapi itu tidak berarti bahwa kalian harus
membuang-buang waktu untuk itu. Kalian perlu berpikir cepat dan tepat”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya mereka. Tetapi dalam pada itu Agung
Sedayu bertanya pula, “Tetapi Kiai, bukankah yang mereka katakan itu
bohong belaka? Apakah benar bahwa orang-orang Pajang dan Sangkal Putung
selalu berbuat sedemikian kasarnya terhadap penduduk?”
“Tentu tidak ngger”
“Tetapi orang-orang itu mengatakannya. Mereka berpura-pura menjadi orang Pajang. Dan berbuat hal-hal yang jelek atas penduduk”
Ki Tanu Metir tersenyum. “Namun dengan
demikian bukankah kita dapat mengetahuinya, salah sebuah cara yang
mereka tempuh? Mereka ternyata tidak saja berperang dengan pedang dan
tombak, namun mereka mempergunakan cara-cara yang licik untuk mengurangi
kekuatan prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung dengan memisahkan
mereka dari penduduk di sekitarnya. Dan pengetahuan kita atas cara itu
adalah sangat penting. Angger Untara dan Angger Widura harus segera
mengetahuinya pula”
Kembali Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sekali lagi mereka menyadari
kekurangan mereka. Ternyata orang tua itu telah berbuat menurut
pertimbangan yang semasak-masaknya.
Dalam pada itu maka Ki Tanu Metir itu
berkata pula, “Nah ngger, untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang
kurang baik, maka marilah kita meninggalkan tempat ini segera. Aku
tidak dapat memastikan apakah mereka akan kembali atau tidak. Namun
apabila mereka kemudian berbicara di antara mereka, dan diketemukannya
persoalan-persoalan yang mereka anggap kurang wajar, maka mereka pasti
akan segera kembali. Karena itu, maka marilah kita segera menyingkir”
Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk dan hampir bersamaan mereka menjawab, “Marilah Kiai”
Ki Tanu Metir itu pun kemudian berdiri.
Dan segera kembali ia meloncat dari satu batu kebatu yang lain. Namun
kali ini ia berkata, “Kalian tidak perlu menginjak batu bekas kakiku.
Pilihlah sendiri batu-batu mana yang mungkin kalian loncati. Namun
kalian dapat melihat, bagaimana caraku meloncat. Cara ini pun nanti akan
sangat berguna bagi kalian dalam langkah-langkah unsur-unsur gerak yang
akan kalian pelajari”
Swandaru menarik nafas panjang. Ia tidak
perlu lagi jatuh terguling kedalam air. Kini ia dapat memilih batu-batu
yang tidak sesulit langkah Ki Tanu Metir. Namun meskipun demikian
sekali-sekali ia masih juga harus terjun kedalam air, meskipun tidak
terpelanting jatuh.
Ternyata Agung Sedayu lebih lincah dari
Swandaru. Kecakapannya dan bekalnya masih agak lebih banyak dari saudara
seperguruannya yang gemuk bulat itu. Bahkan dalam olah senjata pun
Agung Sedayu terpaut cukup jauh dari Swandaru. Dan inilah kesulitan Ki
Tanu Metir. Namun ia adalah orang yang berpengalaman, sehingga kesulitan
itu pun pasti akan dapat di atasinya.
Ketika mereka mendekati padukuhan Sangkal
Putung, dan ketika mereka sudah sampai di sekitar tanah persawahan yang
sedang digarap, maka mereka pun segera berhenti. Mereka kemudian
berjalan sebagaimana biasa menyelusur tepian memasuki padukuhan Sangkal
Putung.
Tetapi ketika seseorang melihat mereka,
maka tiba-tiba orang itu tertawa terkekeh-kekeh. Mereka segera mengenal
Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi bahwa mereka basah kuyup adalah sangat
menggelikan. “Anakmas Swandaru, kenapa kau menjadi basah kuyup?”
Swandaru tersenyum lucu sekali. Dengan singkat ia menjawab, “Mandi”
“Apakah kalian mandi dengan seluruh pakaian kalian? Dengan ikat kepala kaian dan kamus timang segala?”
“Ya”
“Tanpa membuka baju dan kain panjang?”
“Aku tejatuh, tahu” potong Swandaru.
“Bertiga?”
“Ya, bertiga. Kami berjatuhan ke dalam sungai”
Orang itu tertawa berkepanjangan. Namun
Swandaru tidak memperdulikannya lagi. Mereka bersama berjalan
tergesa-gesa lewat pinggir kali, kemudian menyusuri parit sidatan yang
akan sampai di belakang rumah Swandaru Geni.
Ketika mereka naik pinggiran susukan itu,
maka Swandaru itu pun mengumpat-umpat. Regol belakang ternyata ditutup
rapat-rapat. Dengan jengkelnya Swandaru memukul-mukul pintu regol itu.
Namun tidak seorang pun yang mendengarnya.
“Gila orang-orang Sangkal Putung” desahnya.
“Marilah kita lewat jalan samping” ajak Agung Sedayu.
“Tidak mau” jawab Swandaru, “Pakaian kita basah kuyup. Mereka, seisi halaman pasti akan mentertawakan kita”
“Lalu bagaimana?”
Swandaru berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba
ia berjalan mendekati sebatang pohon randu diluar regol halamannya.
Lewat pohon itu ia memanjat ke atas. Kemudian dengan susah payah ia
mencoba menggapai dinding halaman. namun ternyata ia tidak berhasil.
“Bagaimana?” bertanya Agung Sedayu.
Swandaru menggeleng, “Sulit” desahnya.
“Turunlah, biar aku mencobanya” berkata Agung Sedayu.
“Huh. Sejak kecil aku sudah pandai
memanjat. Kali ini aku tidak dapat meloncati jarak ini. Apakah kau pikir
kau lebih pandai daripadaku?”
“Aku hanya akan mencoba” jawab Agung Sedayu.
Swandaru itu pun kemudian meloncat turun.
Kini Agung Sedayu lah yang mencobanya. Namun ia pun tidak juga
berhasil. Ki Tanu Metir yang melihat mereka berdua sibuk dengan pohon
randu itu tersenyum. Kemudian katanya, “Turunlah ngger. Biarlah aku
mencoba pula”
Agung Sedayu pun turun pula dari pohon
itu. Namun mereka berdua, Agung Sedayu dan Swandaru menjadi heran pula
di dalam hatinya, apakah Ki Tanu Metir juga cekatan memanjat
Namun ternyata orang tua itu pun masih
sangat lincahnya. Dengan cepat ia melonjak naik, seperti seekor tupai.
Jauh lebih cepat dari Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi Ki Tanu Metir
itu tidak berhenti ketika ia telah mencapai ketinggian yang sejajar
dengan dinding halaman. Ia masih naik lagi beberapa depa. Kemudian
dengan lincahnya orang tua itu berjejak pada batang randu itu dan
melenting hinggap di atas dinding halaman yang cukup tinggi itu.
Sekali lagi Swandaru harus melihat bahwa
kelincahan orang tua itu benar-benar mengagumkan. Bahwa tidak saja
kekuatan tubuhlah yang menentukan segala-galanya. Namun kecekatan dan
kelincahan akan banyak dapat membantu dalam segala persoalan jasmaniah.
Ki Tanu Metir itu pun kemudian meloncat
dan menghilang di belakang dinding, sedang sesaat kemudian regol dinding
itu pun terbuka, “Masuklah” berkata orang tua itu.
Swandaru dan Agung Sedayu segera
melangkah masuk. Meskipun mereka tidak berkata apapun, namun di dalam
kepala Swandaru semakin tajamlah pengakuannya atas seorang yang
menamakan diri Ki Tanu Metir itu. Bahwa apa yang telah diperlihatkan
kepadanya barulah sebagian kecil dari segenap ilmunya. Dan karena itulah
maka ia menjadi semakin mantap berguru kepadanya.
Jauh dari padukuhan Sangkal Putung,
Tohpati berjalan sambil menundukkan wajahnya. rombongannya semakin lama
menjadi semakin banyak, sehingga akhirnya sampai pada duapuluh orang.
Tidak banyak di antara mereka yang bercakap-cakap. Sekali dua kali
terdengar ada yang berbisik-bisik di antara mereka. Namun kemudian
kembali mereka berdiam diri.
Dalam perjalanan itu, hati Tohpati selalu
diganggu seja oleh pertanyaan-pertanyaan yang didengarnya dari Ki Tanu
Metir, “Ya” gumamnya di dalam hati, “Berapa tahun pertempuran ini akan
berakhir?”
Tohpati itu pun kemudian berpaling.
Dilihatnya beberapa wajah anak buahnya yang kosong. Kosong seperti otak
mereka yang kosong pula.
“Apakah kepentingan mereka bertempur?”
desis Tohpati di dalam hatinya, “Apakah mereka tahu juga, bahwa kami
sedang melepaskan dendam kami atasa gugurnya Adipati Jipang?”
Tohpati itu pun terkejut sendiri
mendengar kata-kata hatinya, “Dendam. Ya. Ternyata mereka kini tinggal
mencoba untuk melepaskan dendam semata-mata. Seperti kata-kata orang tua
di tengah-tengah sungai itu. Sebab mereka sudah pasti tidak akan dapat
mencapai apa yang sejak semula mereka perjuangkan mati-matian.
Kembalinya tahta pada garis keturunan Sekar Seda Lepen yang terbunuh
sebelum sempat duduk di atas singgasana.
Macan Kepatihan itu berdesah di dalam
hatinya. Apakah sudah sewajarnya kalau ia membawa orang-orang yang tidak
tahu-menahu itu kedalam suatu peperangan yang tak akan kunjung habis.
Sedang ia tahu pasti bahwa akhir dari perjuangan ini bukanlah suatu yang
dapat dibangga-banggakan. Bagi dirinya sendiri, sudah pasti tidak ada
jalan kembali. Namun bagi orang-orangnya yang tidak banyak mengetahui
tentang Arya Penangsang dan tuntutan-tuntutannya?
Tiba-tiba Macan Kepatihan itu mengumpat, “Setan. Orang tua itu bukan orang yang tolol”
Sanakeling terkejut. Selangkah ia menyusul maju dan bertanya, “Kenapa?”
Macan Kepatihan menggeram dengan
marahnya. Langkahnya tiba-tiba terhenti dan dengan kepala tengadah ia
mengulangi kata-katanya, “Orang tua di tengah sungai itu benar-benar
bukan orang bodoh.” Sanakeling mengangkat alisnya. Kata-kata Tohpati itu
mengherankannya. Apakah yang sebenarnya menarik pada orang tua itu?
Tohpati telah memberi kesan kepada orang tua itu seolah-olah orang
Pajang lah yang selalu datang ke padesannya dan merampas beras. Bukankah
itu sudah memberikan suatu keuntungan. Kalau orang tua itu
menyebarluaskan kata-kata Tohpati, maka mereka, penduduk Benda pasti
akan membenci laskar Pajang dan setidak-tidaknya akan mengurangi bantuan
mereka kepada orang-orang Pajang. Sehingga orang-orang Benda tidak lagi
akan memberikan banyak keterangan tentang gerakan-gerakan Tohpati yang
dapat mereka lihat dan mereka ketahui.
Tetapi Sanakeling itu menjadi semakin terkejut ketika Tohpati berkata, “Ternyata kitalah yang bodoh. Bukan orang tua itu”
“Siapakah orang tua itu menurut dugaanmu?” bertanya Sanakeling.
Macan Kepatihan menggeleng, “Aku tidak
tahu. Tetapi orang itu memberikan suatu kesan yang aneh di dalam hatiku.
Ia bukan tidak sengaja mengajukan berbagai pertanyaan dan pasti
bukanlah kebetulan kalau mereka berada di tempat itu di siang hari
begini”
Sanakeling tidak bertanya lagi. Namun ia benar-benar heran ketika ia melihat mata Tohpati kemudian menjadi suram.
“Apakah kita akan kembali lagi kesungi itu untuk meyakinkan diri?”
Tohpati menggeleng, “Tidak ada gunanya.
Mereka pasti telah pergi. Mereka pasti bukan orang-orang Benda. Dan
anak-anak muda itu pasti bukan cucunya. Aku terpengaruh melihat mereka
basah kuyup, sehingga aku kehilangan kewaspadaan dalam mengamati mereka.
Sekarang aku baru membayangkan kembali kedua anak muda itu. Matanya
bersinar tajam. Mulutnya terkatub rapat. Namun mereka duduk dengan suatu
kepastian di dalam hati mereka. Mereka duduk terlalu tenang dan mereka
sama sekali tidak keheranan melihat kita. Yang bertubuh kecil agaknya
seorang anak muda yang tenang dan menyimpan sesuatu di dalam tubuhnya,
sedang yang gemuk rasa-rasanya aku pernah melihatnya”
“Dimana?”
Macan Kepatihan berpikir sejenak.
Dicobanya untuk mengingat-ingat kapan ia melihat anak muda itu. Tetapi
anak muda itu basah kuyup seluruh pakaiannya, sehingga memberikan kesan,
seakan-akan anak itu benar-benar seorang anak padesan yang bodoh. Namun
setelah Tohpati dengan segenap daya ingatnya mencoba mengenalnya, maka
tiba-tiba Macan Kepatihan itu berteriak, “Gila!. Kita tidak saja bodoh,
tetapi kita sudah benar-benar gila, Sanakeling. Apakah kau tidak
mempunyai mata lagi he?”
Sanakeling menjadi bertambah heran, “Apa yang telah kau lihat?”
“Anak itu. Anak yang gemuk itu. Bukankah
anak itu pernah turut dalam lomba memanah di lapangan dekat banjar desa
Sangkal Putung? Bukankah anak itu yang menjadi pemenang di antara
anak-anak muda Sangkal Putung?”
Sanakeling mengerutkan keningnya sambil
menggigit bibirnya. Akhirnya ia pun tersentak sambil berkata, “Ya, ya.
Aku melihat pula waktu itu. Aku memang melihat anak yang gemuk seperti
anak muda yang basah kuyup seperti tikus sawah itu tadi”
“Hem” Tohpati menggeram, namun kemudian
ia berkata, “Biarlah mereka kembali dengan suatu pengertian, bahwa
Tohpati tidak saja mampu bertempur dengan senjata. Tetapi Tohpati juga
berbuat hal-hal yang lain, yang dapat mempersempit gerakan orang Pajang”
“Tetapi mereka kini mengetahui cara itu.
Anak itu pasti akan menyampaikannya kepada Widura atau Untara yang
sekarang sudah berada di Sangkal Putung pula”
“Ya. Tetapi Untara akan melihat pula
bahwa luka-luka Tohpati yang ditimbulkannya kini telah sembuh
benar-benar. Tohpati telah menjadi segar kembali. Dan sebentar lagi
Tohpati akan mampu menggulung Sangkal Putung”
Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah kita kembali. Kita lihat, apakah mereka masih berada di tempat itu”
Tohpati menggeleng, katanya, “Mereka
bukan orang-orang bodoh seperti kita. Mereka pasti tahu siapa kita.
Karena itu mereka pasti sudah pergi”
Sanakeling tidak menjawab. dilihatnya
betapa Tohpati menjadi sangat kecewa karenanya. Tetapi Sanakeling tidak
melihat bahwa hati Macan Kepatihan yang tak pernah dapat digoncangkan
itu kini sedang ragu-ragu. Diragukannya kata-katanya sendiri, “Apakah ia
benar-benar mampu menggulung Sangkal Putung?”
Dan kembali beberapa pertanyaan telah
menggoncangkannya pula. Pertanyaan yang menggores dinding hatinya,
“Apakah sebenarnya yang akan aku dapatkan dengan menduduki Sangkal
Putung? Makan. Itu saja?”
Pertanyaan itu tak pernah mengganggunya
sebelum ia bertemu dengan orang tua di tengah-tengah sungai itu.
Pertanyaan itu bahkan tidak pernah ada. Namun kini pertanyaan itu sangat
mengganggu ketenangannya. Bahkan kemudian pertanyaan-pertanyaan yang
lain bermunculan pula di dalam benaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang
dapat menyulitkannya. Apakah ia untuk seterusnya akan dapat menduduki
Sangkal Putung apabila berhasil direbutnya?, “Tidak” pertanyaan itu
dijawabnya sendiri. “Widura dan Untara akan mengerahkan pasukan yang
kuat untuk merebut Sangkal Putung. Merampas kembali kademangan itu.
Meskipun aku telah mendapatkan beberapa pikul padi dan kekayaan-kekayaan
yang lain tetapi beberapa bulan kemudian, maka kami akan kelaparan
lagi. Dan pasukan Untara akan diperkuat pula. Sedang apabila kami tetap
bertahan di kademangan itu, apakah yang akan kami lakukan kemudian?
Menjadi Adipati? Mewarisi cita-cita Arya Penangsang?”
“Menjemukan” desisnya tiba-tiba.
Sanakeling terkejut mendengar kata-kata itu sehingga dengan serta-merta
ia bertanya, “Apa yang menjemukan?”
Tetapi Macan Kepatihan sendiri bukan main terkejutnya mendengar kata-kata itu. Kata-katanya sendiri.
Sehingga karena itu maka Macan Kepatihan
itu menjadi gelisah. Apalagi ketika Sanakeling mendesaknya, “Apakah yang
menjemukan he?”
Tohpati menjawab sekenanya, “Widura dan
Untara. Mereka benar-benar menjemukan. Karena itu mereka harus segera
dilenyapkan. Ayo, kita kembali. Malam ini Sangkal Putung kita bakar
sampai habis. Persetan dengan segala lumbung-lumbungnya dan persetan
dengan segala macam isinya”
Sanakeling mengerutkan keningnya.
Dilihatnya wajah Macan Kepatihan menjadi merah membara. Namun demikian
ia menjawab, “Bagaimana mungkin. Sebagian orang-orang kita tidak ada di
tempat. Mereka sedang mencoba mengambil perbekalan keutara”
“Aku tidak peduli”
“Masih harus dipertimbangkan” sahut Sanakeling. “Aku tidak mau membunuh diri”
“Terserah kepadamu. Aku akan pergi malam ini”
“Jangan kehilangan perhitungan”
Tohpati tersadar dari kebingungannya.
Ketika dilihatnya Sanakeling penuh kebimbangan, maka berkatalah Macan
Kepatihan itu kemudian, “Kau tidak sependapat?”
“Berbahaya sekali”
“Kapan orang-orang yang pergi itu akan datang kembali?”
“Tiga empat hari. Mereka akan membawa
sisa-sisa laskar kita yang betembaran di sisi utara Pajang. Kekuatan itu
akan dipusatkan di sini. Bukankah begitu kehendakmu? Nanti apabila kau
telah berhasil di sini, maka kau akan membawa seluruh barisan ke utara
dan melepaskan beberapa kepentingan di selatan. Kalau keadaan di utara
menjadi lebih baik, kau akan bertempur dan memulai perjuangan seterusnya
dengan landasan daerah utara. Bukankah begitu?”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan bimbangnya ia berkata, “Ya. Aku pernah berkata demikian”
“Nah, karena itu, apakah kau akan menunggu orang-orang yang pergi itu?”
“Ya, aku akan menunggu dalam waktu yang
pendek. Setelah itu, aku tidak akan dapat menunda lagi. Sejak kini
seluruh pasukan harus disiapkan”
“Bagus. Kita harus menebus kekalahan yang pernah terjadi, bukan untuk mengulangi kesalahan itu”
“Ya, kau benar. Mari kita kembali”
Tohpati tidak menunggu jawaban
Sanakeling. Dengan tergesa-gesa ia melangkah kembali kesarangnya.
Sanakeling berjalan di belakangnya bersama-sama dengan Alap-alap
Jalatunda. Dengan berbisik-bisik alap-alap muda itu bertanya, “Kenapa
dengan Macan Kepatihan itu?”
Sanakeling menggeleng. Entahlah. Mungkin
orang tua di tengah-tengah kali yang dijumpainya tadi membiusnya. Ia
tampak bingung dan hampir-hampir kehilangan keseimbangan”
“Tetapi bukankah ia masih mendengarkan nasehat kakang?”
“Untunglah demikian. Kalau tidak, maka ia akan membunuh dirinya”
Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Ia
berjalan saja di samping Sanakeling. Di dalam hatinya ia bergumam,
“Untunglah, Tohpati mendengarkan nasehatnya. Kalau tidak, maka laskarnya
akan menjadi semakin tercerai berai”
Tetapi orang-orang itu ternyata tidak
tahu kalau Untara terluka. Sehingga dengan demikian maka mereka tidak
mempergunakan kesempatan itu untuk menghancurkan Sangkal Putung meskipun
Widura masih ada. Seandainya Tohpati tahu, maka ia akan mempergunakan
saat itu sebaik. Dan bahkan Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda pasti
akan menyetujuinya. Mereka pasti tidak akan memperhitungkan hadirnya
seorang dukun tua yang pasti akan menggemparkan mereka, seandainya ia
mau berbuat sesuatu di dalam pertempuran yang terjadi
Karena itulah maka kini Macan Kepatihan
benar-benar telah kehilangan pengertian dan gambaran tentang kekuatan
yang sebenarnya ada di Sangkal Putung. Anak-anak muda yan semakin hari
tekadnya semakin menyala dan berlatih dengan tak mengenal lelah.
Orang-orang tua pun tidak juga mau ketinggalan. Meskipun Sidanti
meninggalkan Sangkal Putung, namun Agung Sedayu telah siap
menggantikannya dalam setiap persoalan. Anak muda itu ternyata tidak
kalah dari Sidanti dalam segenap hal. Apabila ia telah memiliki
pengalaman seperti Sidanti, maka Agung Sedayu benar-benar tidak akan
mengecewakan.
Demikianlah ketika Macan Kepatihan
menyiapkan kembali sebuah serbuan yang akan dilancarkan atas Sangkal
Putung, maka Sangkal Putung pun sedang giat menempa dirinya.
Sementara itu, Swandaru dan Agung Sedayu
telah dengan tekun menuruti nasehat-nasehat Ki Tanu Metir. Mereka kini
tidak lagi berlatih di sungai. Tetapi mempergunakan ruang-ruang tertutup
di belakang ka demangan, atau di tempat lain yang telah disediakan oleh
Ki Demang Sangkal Putung. Apabila malam datang, maka pergilah mereka
berjalan-jalan bersama dengan Widura dan kadang-kadang Untara ke gunung
Gowok. Di tempat itulah Swandaru dan Agung Sedayu bekerja keras untuk
membentuk dirinya. Namun sebagian perhatian Ki Tanu Metir
dititik-beratkan pada Swandaru. Anak yang gemuk itu harus mencapai
tingkatan yang tidak begitu jauh dari Agung Sedayu. Barulah mereka dapat
bersama-sama menerima pimpinan dan bimbingan yang serupa.
Semakin hari luka Untara pun menjadi
semakin ringan. Bahkan kini luka itu telah tidak mengganggunya lagi.
Karena obat-obat reramuan yang dibuat oleh Ki Tanu Metir dan diminumnya
setiap hari, maka kesehatannya pun telah benar-benar pulih. Kekuatan
tenaganya, ketangkasannya, sehingga Untara telah benar-benar siap untuk
melakukan tugasnya kembali.
Di hari-hari terakhir, Untara telah
mendengar pula dari orang-orangnya bahwa kegiatan Tohpati telah
ditingkatkan. Tohpati telah melakukan kegiatan yang melampaui kebiasaan.
Tetapi setelah lewat tiga hari dari peristiwa di pinggir kali itu,
Tohpati ternyata belum melakukan sergapannya. Namun dengan demikian,
berarti kepada Tohpati telah menjadi dingin kembali, dan persiapannya
akan menjadi lebih masak.
Sebenarnyalah Tohpati kemudian menjadi
lebih tenang. Ia tidak lagi berbuat tergesa-gesa. Bahkan dua kali ia
telah menunda rencananya untuk menyerang Sangkal Putung.
Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, dan
orang-orangnya semula menganggap bahwa Macan Kepatihan merasa
persiapannya masih belum cukup masak. Namun setelah Macan Kepatihan
menunda rencananya sampai dua kali, maka mereka terpaksa menduga-duga.
Apakah yang sebenarnya telah terjadi pada pemimpin laskar Jipang yang
gigih itu.
Tetapi tak seorang pun yang tahu, apakah
yang telah bergolak di dalam dada Tohpati. Seorang senapati yang tidak
pernah ragu-ragu dalam mengambil setiap keputusan. Seorang pemimpin yang
mempunyai perbawa yang kuat, dan seorang pemimpin yang berjiwa
kepemimpinan. Tetapi pada saat-saat terkhir, Tohpati tampaknya selalu
ragu-ragu atas segala keputusannya. Bahkan kadang-kadang tampak ia
menjadi bingung tak bernafsu.
Keadaan itu benar-benar mencemaskan
beberapa orang pembantunya. Terutama Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda.
Namun sampai sedemikian jauh, belum ada di antara mereka yang berani
menanyakannya.
Meskipun laskar Jipang kemudian telah
siap melakukan segala macam perintahnya, meskipun seluruh sisa-sisa
pasukan Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan sisa-sisa laskar Plasa Ireng
beserta laskar yang tercerai berai telah berkumpul di hutan-hutan di
sebelah barat Sangkal Putung, namun Tohpati tidak segera mulai dengan
serangannya. Bahkan tampaklah ia menjadi murung dan ragu-ragu. Namun
dalam saat-saat terakhir, Macan Kepatihan itu selalu berjalan
berkeliling, dari seorang laskarnya keorang berikutnya. Mereka
bercakap-cakap dan berbincang dalam berbagai persoalan. Mereka berbicara
tentang hal-hal yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan
kelaskarannya.
Beberapa orang anggota laskarnya menjadi
heran dan terkejut. Pemimpinnya yang ditakuti dan disegani itu tiba-tiba
telah datang kepadanya, menepuk pundaknya sambil bertanya dalam banyak
persoalan.
Seorang yang bertubuh tinggi kurus dan
berkumis jarang-jarang hampir tak dapat menjawab ketika tiba-tiba saja
Tohpati telah berdiri di sampingnya sambil bertanya, “He, apa kerjamu?”
Orang itu memandang pemimpinnya seperti baru sekali dilihatnya, sehingga Tohpati itu mengulangi, “Apa kerjamu?”
Terbata-bata orang itu menjawab, “Duduk tuan, aku hanya duduk saja”
Tohpati tersenyum. Dipandanginya wajah yang kurus pucat itu. Tiba-tiba ia bertanya pula, “Berapa umurmu?”
Delapan belas tahun, tuan”
“He?” Tohpatilah yang kemudian terkejut.
Anak itu berumur delapan belas tahun. Namun wajahnya tampak jauh lebih
tua dari umurnya itu. Sehingga hampir tidak percaya ia mengulangi
pertanyaannya, “Umurmu berapa?”
Laskar yang kurus itu benar-benar menjadi heran. Namun ia menjawab, “Delapan belas tahun tua.n Benar-benar delapan belas tahun”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dengan wajah yang suram ia berkata, “Kau masih sangat muda. Apakah kau
masih mempunyai ayah dan ibu?”
Anak itu menggeleng. Tiba-tiba wajah anak
itu pun menjadi suram pula sesuram wajah pemimpinnya. Dengan suara
parau ia menjawab, “Ayah telah mati terbunuh beberapa bulan yang lampau”
“Kenapa? Bertanya Tohpati, “Siapakah yang membunuhnya?”
“Ayah terbunuh ketika laskar Pajang
memasuki padukuanku. Ayah mencoba ikut bertahan. Namun ujung tombak
orang Pajang telah menyobek dadanya”
“Oh” Tohpati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan nada yang rendah ia bertanya, “Sekarang apakah kau
ingin menuntut kematian ayahmu itu?”
“Tentu tuan. Aku harus membalas dendam
yang membara di hati. Aku telah bersumpah, bahwa aku harus dapat menebus
kematian ayahku dengan dua atau tiga orang Pajang. Aku tidak peduli apa
yang sebenarnya terjadi antara Jipang dan Pajang”
Tohpati menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata anak ini bertempur sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
cita-cita Aya Penangsang yang dianggapnya sedang berusaha menuntut
keadilan. Anak itu sama sekali tidak tahu, apakah yang dikehendaki oleh
Adipati Jipang itu. Tidak tahu menahu tentang Sekar Seda Lepen. Tidak
tahu menahu tentang Sunan Prawata, Ratu Kalinyamat yang bertapa hanya
berkain rambutnya sendii, karena suaminya terbunuh oleh Arya Penangsang.
Tidak tahu bahwa Adipati Pajang kemudian telah berhasil membinasakan
arya Penangsang dengan tangan putra angkatnya Mas Ngabehi Loring Pasar.
Tidak. Anak itu tidak tahu apa-apa. Ia hanya mendendam karena ayahnya
terbunuh. Mungkin ayahnya sedang berjuang untuk satu cita-cita. Tetapi
anak ini tidak. Anak ini hanya ingin melepaskan dendam di hatinya.
Tetapi ia melihat semangat yang menyala dari mata anak itu. Mata yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tubuhnya yang kurus.
Tiba-tiba terluncur dari mulut Tohpati, “Ibumu?”
Anak itu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Ibu telah lama pergi”
“Kemana?”
Anak itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian dengan berat hati ia menjawab, “Ibu pergi dengan laki-laki lain”
Tohpati mengerutkan keningnya. Ia menjadi
semakin iba mendengar jawaban itu. Sebab dengan demikian, maka adalah
suatu kemungkinan bahwa ayahnya pun bertempur bukan karena cita-cita.
Tetapi sekedar melepaskan sakit hatinya. Dan pengaruh keluarga yang
buruk itu kemudian telah memaksa anak itu untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang memancarkan dendam di hatinya.
Tiba-tiba Tohpati mendengar kawannya yang
duduk di sampingnya tertawa meringkik seperti seekor kuda. Tohpati sama
sekali tidak senang mendengar suara tertawa itu, sehingga ia membentak,
“Kenapa kau tertawa?”
Orang yang tertawa itu terkejut. Ia sendiri tidak menyadari bahwa ia telah tertawa. Karena itu, maka ia menjadi ketakutan.
“Kenapa kau tertawa, he?” Tohpati mengulangi.
Sedemikian takutnya orang itu sehingga
tanpa dapat berpikir ia menjawab, “Anak itu tuan. Anak itu berbuat
seperti laki-laki yang dikatakannya”
“He?” wajah Tohpati menjadi merah. Sambil menggertakkan giginya ia bertanya kepada anak muda itu, “Apa yang telah kau lakukan?”
Anak muda itu menggigil seperti kawannya
yang duduk di sampingnya. “Tidak, tidak tuan” katanya dengan gemetar.
Sekali ia memandangi kawannya itu, dan sesekali ia memandang kaki
Tohpati. Ia sangat menyesal kenapa kawannya itu mengatakannya, dan
kawannya itu pun bukan main terkejut mendengar kata-katanya sendiri.
“Apa yang telah kau lakukan?” bertanya Tohpati dengan nada yang berat penuh tekanan.
“Aku tidak apa-apa tuan” jawab anak muda itu terbata-bata.
“Apa yang sudah kau lakukan?” ulang Tohpati.
“Tidak ada tuan”
Sekali lagi Tohpati bertanya, kali ini perlahan-lahan, “Apa yang sudah kau lakukan?”
Tubuh anak muda itu menjadi semakin
gemetar. Hampir tak terdengar ia berkata, “Aku hanya membalas sakit
hatiku tuan. Aku membenci perempuan karena ibuku yang tidak setia”
“Apa yang telah kau lakukan terhadap perempuan?”
Laki-laki itu menjadi semakin ketakutan.
Hampir-hampir ia menangis karenanya. Lamat-lamat ia menjawab, “Tidak
apa-apa tuan. Aku hanya berbuat menuruti perasaan. Aku sudah menyesal”
Tohpati berpaling pada kata-kata yang
duduk di sampingnya. laki-laki itu pun menunduk dalam-dalam. Tiba-tiba
ia menyambar pundaknya sambil mengguncang tubuhnya, “Apa yang sudah
dilakukannya?”
Laki-laki itu menjadi gemetar. Bibirnya
bergerak-gerak namun suaranya tidak juga keluar dari mulutnya. Ketika
Tohpati sama sekali mengguncang pundaknya, barulah ia berkata, “Ia, ia
membawa istri orang tuan”
Bukan main marah Tohpati mendengar
jawaban itu. Itu adalah perbuatan terkutuk. Perbuatan yang tidak dapat
dibenarkan. Hampir saja ia memukul laki-laki kurus dan berkumis jarang
yang baru berumur delapan belas tahun itu. Namun tiba-tiba disabarkannya
dirinya. Sambil menggigit bibirnya ia menggeram.
Tohpati mengangkat wajahnya. Apa yang
dilakukan itu bukanlah satu-satunya kejahatan yang telah pernah terjadi
di antara anak buahnya. Ia bukannya tidak mendengar bahwa anak buahnya
pernah pula merampok, mencegat orang dan menyamunnya di perjalanan.
Membunuh, menculik dan berbagai kejahatan-kejahatan yang lain. Tetapi
Tohpati menyadari, bahwa itu adalah akibat yang tidak dapat dihindarkan
dari keadaan laskarnya kini. Keadaan yang serba sulit dan tertekan.
Beberapa orangnya telah menjadi berputus asa dan kehilangan pegangan,
seperti anak muda yang baru berumur delapan belas tahun itu. Anak itu
sama sekali tidak tahu apa yang sudah dilakukannya.
Tohpati itu menekan dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kenapa hal itu kau lakukan?”
Anak muda yang kurus pucat dan berkumis
jarang itu tidak dapat menjawab. Ia tidak pernah berpikir sebelumnya,
kenapa ia membawa perempuan itu. Barulah kini ia mencoba bertanya kepada
dirinya, kenapa ia membawa perempuan itu. Tetapi perempuan itu tidak
pernah merasa bahwa ia menyesal karena perbuatannya. Perempuan itu
sampai sekarang masih juga selalu berusaha menyenangkannya dan
memeliharanya.
Ia terkejut pula ketika mendengar Tohpati
bertanya pula, “Kenapa kau bawa perempuan iu. Dan apakah perempuan itu
tidak ketakutan tinggal bersamamu di antara kawan-kawanmu?”
Laki-laki itu menggeleng, “Ia senang tinggal bersama kami tuan”
“Oh” Tohpati mengelus kumisnya, “Siapakah perempuan itu?”
Laki-laki itu ragu-ragu sesaat. Kemudian jawabnya, “Namanya Nyai Pinan”
“He?” sekali lagi Tohpati terkejut. Nyai
Pinan. “Hem” Macan Kepatihan itu menarik nafas dalam-dalam.Kdh,
“Untunglah anak itu belum aku pukul kepalanya”
Tohpati itu tiba-tiba kehilangan
kemarahannya. Ia menjadi kasihan kepada anak laki-laki itu. Nyai Pinan
adalah seorang perempuan yang jauh lebih tua dari laki-laki itu.
Perempuan yang berumur tigapuluh lima tahu, bukanlah perempuan yang
perlu disesalkan apabila ia telah pergi meninggalkan suaminya. Pantaslah
bahwa perempuan itu sama sekali tidak menyesal dan ketakutan tinggal di
antara laskarnya, di antara laki-laki yang kasar dan keras.
Macan Kepatihan itu tiba-tiba saja
melangkahkan kakinya pergi meninggalkan laki-laki itu. Sekilas masih
terbayang di dalam benaknya, perempuan yang bernama Nyai Pinan itu
dahulu pernah dibawa oleh Plasa Ireng atau oleh orang lain di antara
laskarnya.
“Gila. Kehidupan ini benar-benar kehidupan yang liar. Menjemukan, menjemukan”
Tohpati itu pun kemudian langsung pergi
kedalam gubugnya di tengah-tengah hutan. Langsung ia merebahkan dirinya
di atas sebuah pembaringan bambu. Sekali-sekali terdengar ia menggeram.
Dibayangkannya kehidupan seluruh laskarnya. Yang berada dekat-dekat di
sekitarnya, dan yang betebaran dibeberapa tempat yang lain. Laskar yang
diperintahkannya untuk membuat Pajang kehilangan kesempatan membangun
dirinya karena kekisruhan-kekisruhan yang terjadi.
“Apakah hasil yang telah kucapai dengan itu” desahnya.
Dibayangkannya bahwa rakyatnya justru
menjadi bingung dan ketakutan. Tak ada ketenangan dan tak ada kesempatan
mereka menikmati hidup setenang-tenangnya.
“Tetapi bukankah itu yang aku kehendaki?”
Kata-kata itu dijawabnya sendiri, “Ya.
Kini ternyata bahwa aku hanya sekedar mendendam di hati, melepaskan
kekecewaan dan sakit hati. Aku hanya ingin Pajang tidak berhasil
menenangkan dirinya dan melakukan rencana-rencananya. Itu saja.”
Macan Kepatihan itu menggeram. Dengan
serta-merta ia bangkit dan menghentakkan kakinya ketanah sambil berkata
kepada dirinya sendiri, “Gila. Kenapa aku bertemu dengan orang tua itu.
Dengan orang yang mengatakan dirinya orang Benda. Alangkah bodohnya aku.
Orang itu bukan orang Benda. Dan orang itu bukan orang yang bodoh.
Pertanyaannya telah menggoncangkan hatiku. Tetapi aku sudah berada di
tengah-tengah arus. Aku tidak dapat berjalan kembali.”
Macan Kepatihan itu tiba-tiba melangkah
dan berjalan keluar. Diluar dipanggilnya seorang laskarnya. Katanya,
“Panggil Sanakeling.”
Sesaat kemudian Sanakeling telah berada
di dalam gubugnya. Wajahnya tampak tegang dan sekali-sekali timbullah
pertanyaan memancar dari matanya.
“Apakah kita sudah benar-benar siap” bertanya Macan Kepatihan.
Pertanyaan itu terdengar aneh ditelinga
Sanakeling. Macan Kepatihan telah beberapa kali melihat sendiri, bahwa
laskar Jipang telah ditarik sebagian besar kedalam hutan itu untuk
melakukan rencananya yang tertunda-tunda. Kalau waktu persiapan yang
diperlukan terlalu lama, maka mereka akan segera kehabisan persediaan
bahan makanan. Dengan demikian maka ketahanan laskarnya pun pasti akan
berkurang.
Meskipun demikian, maka Sanakeling itu
menjawab, “Sudah. Sudah sejak beberapa hari yang lalu laskar Jipang
telah siap melakukan perintah. Bahkan kini mereka hampir kehilangan
gairah untuk bertempur karena pertempuran tertunda-tunda.”
Tohpati mengerutkan keningnya. Tetapi ia
tidak dapat membantah kata-kata Sanakeling itu. Ia mengakui, betapa
seorang prajurit akan kehilangan semangatnya apabila mereka harus
menunggu dan menunggu, sedangkan mereka sudah siap untuk melakukan
setiap perintah.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
Tohpati menjawab, “Baik. Aku tidak akan menunda sergapan untuk kesekian
kalinya. Tetapi aku harus yakin bahwa sergapan kita kali ini akan
berhasil.”
“Kita telah mengukur kekuatan mereka”
sahut Sanakeling, “kita sudah tahu kekuatan-kekuatan yang ada di dalam
Kademangan Sangkal Putung. Dan kita kini telah memperhitungkan kekuatan
itu pula. Orang yang berhasil membunuh Plasa Ireng itu pun telah kita
perhitungkan. Tiga orang itu dalam satu lingkaran pertempuran akan
melampaui kekuatan Plasa Ireng. Sedangkan lawan Alap-alap Jalatunda
ternyata memerlukan perhatian. Seorang dari mentaok akan mengawasi
Alap-alap Jalatunda. Widura serahkan kepadaku, dan Untara adalah
lawanmu. Terserah kepadamu, apakah perlu seseorang untuk membantumu,
ataukah kau merasa bahwa kau akan berhasil melawannya sendiri. Sedang
jumlah laskar yang kita pergunakan kini ternyata bertambah banyak. Hanya
untuk mengumpulkan mereka aku memerlukan waktu sehari. Sebab untuk
mengurangi kesempatan, sebagian tersebar dibeberapa tempat.
“Bagus. Siapkan mereka besok. Malam nanti aku akan melihat-lihat keadaan.”
Sanakeling mengerutkan alisnya. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Kenapa?”
“Apakah kali ini tidak akan tertunda lagi seperti hari-hari yang lalu?”
Macan Kepatihan mendengar sindiran itu. Namun ia tidak menjawab.
Sesaat mereka berdiam diri. Wajah Tohpati menjadi tegang. Kemudian terdengar ia berkata, “Tinggalkan aku sendiri.”
Sanakeling mengangkat alisnya. Kemudian
ia berdiri dan berjalan keluar ruangan itu dengan hati bimbang. Sekali
ia berpaling dan dilihatnya Tohpati menekur kepalanya. Pemimpin laskar
Jipang itu tampaknya tidak segarang beberapa saat yang lalu. Karena
itulah Sanakeling menjadi cemas. Ia tidak mau melihat setiap kelemahan
yang ada di dalam dirinya, di dalam tubuh laskarnya, apalagi dipucuk
pimpinannya. Ia menghendaki semuanya berjalan keras, cepat dan dapat
menimbulkan akibat yang menggoncangkan lawan-lawannya. Menimbulkan
kengerian dan ketakutan.
Sepeninggal Sanakeling, maka Tohpati itu
pun segera memanggil seorang yang telah agak tua. Orang itu telah agak
tua. Orang itu pernah menjadi penasehatnya dalam berbagai hal. Seorang
yang tidak saja memiliki pengalaman yang luas. Namun ia adalah seorang
yang memiliki daya pengamatan yang jauh.
Orang tua itu berdebar-debar mendengar
panggilan Tohpati. Telah agak lama Tohpati tidak memerlukannya. Hampir
tidak pernah dapat ia menemui anak muda yang menggemparkan seluruh
daerah Demak itu. Namun kini tiba-tiba Tohpati memanggilnya.
“Duduklah paman Sumangkar.”
Orang yang telah agak lanjut dan bernama Sumangkar itu duduk di samping Tohpati sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terima Kasih, ngger.”
“Kenapa paman tidak pernah menampakkan diri akhir-akhir ini?”
“Sumangkar mengerutkan alisnya yang
hampir memutih. Jawabnya, “Angger tidak pernah memanggil paman ini. Dan
karena itu maka aku tidak berani mengganggu angger.” Tohpati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya serta-merta, “Paman,
aku akan memulai dengan sebuah sergapan baru. Apakah paman sependapat?”
Sumangkar mengerutkan keningnya pula.
Pertanyaan ini agak aneh baginya. Sudah beberapa kali Tohpati
melakukannya tanpa minta pendapatnya. Tiba-tiba kini pemimpin yang
garang itu bertanya tentang rencananya itu. Justru karena itu maka
Sumangkar menjadi ragu-ragu.
“Bagaimana paman?” desak Tohpati.
Sumangkar menarik nafasnya dalam-dalam.
Dikenangannya ketika Tohpati itu menjadi sangat marah, dan seterusnya
hampir tak pernah ia diajaknya berbincang. Tohpati itu marah ketika ia
mencoba memperingatkan bahwa segenap usaha yang akan dilakukan adalah
sia-sia. Tetapi kini ia menghadapi pertanyaan itu. Pertanyaannya yang
seperti pernah didengarnya dahulu.
Karena itu maka untuk sejenak Sumangkar
menjadi ragu-ragu. Apakah sebabnya tiba-tiba saja Tohpati memanggilnya
dan bertanya kepadanya mengenai hal itu pula?
Karena Sumangkar tidak segera menjawab, maka Tohpati itu mendesaknya, “Bagaimana paman?”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Raden. Pertanyaan itu sangat sulit bagiku.”
“Kenapa? Bukankah paman memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam olah keprajuritan? Bukankah
paman bekas seorang yang cukup dekat dengan paman Mantahun? Nah,
bagaimanakah pendapat paman?”
“Aku adalah seorang yang telah berumur
agak lanjut. Seharusnya aku harus berkata sebenarnya menurut
pertimbangan di dalam kepalaku. Namun aku tidak dapat menutupi
kenyataan, bahwa untuk berkata sebenarnya adalah sulit sekali. Bukankah
angger pernah marah kepadaku karena aku tidak sependapat dengan angger?”
Tohpati menarik keningnya. Dipandanginya
Sumangkar tajam-tajam seperti ingin dilihatnya pusat jantungnya. Dan
karena itulah maka Sumangkar itu menundukkan kepalanya.
“Paman” berkata Tohpati, “aku tahu paman
adalah seorang yang pilih tanding. Seorang yang memiliki kesaktian yang
sukar dicari bandingnya. Kenapa paman berpikiran terlalu pendek. Kalau
paman mempunyai tekad yang agak kuat di dalam dada paman, maka paman
akan dapat menyumbangkan tenaga paman dalam perjuangan ini. Tetapi
selama ini paman lebih senang mendekam di dapur sambil menghangatkan
tubuh. Kenapa paman tidak lagi bersedia memandi tombak atau memegang
gagang pedang?”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya,
jawabnya, “Sudah aku katakan Raden, alasan-alasan yang memaksa aku
untuk berdiam diri.”
“Tetapi kenapa paman tidak pergi saja dan menyeberang ke pihak Pajang?”
Sumangkar mengangkat kepalanya sesaat.
Namun kemudian ditundukkannya lagi. Pertanyaan itu amatlah sulitnya.
Meskipun demikian dijawabnya pula dengan jujur, “Raden, aku adalah hamba
kepatihan Jipang sejak aku melepaskan pakaian Wira Tamtama karena
umurku yang telah lanjut. Aku adalah saudara seperguruan Kakang Patih
Mantahun. Aku adalah kawan berbincang, dan aku salah seorang yang ikut
serta menyetujui tuntutan Arya Penansang kepada Pajang dan putra-putra
Sultan Trenggana yang lain. Tetapi caraku agak berbeda dengan cara yang
telah ditempuh angger Pangeran. Aku menyarankan agar angger melakukan
tuntutan dan perjuangan tanpa mengorbankan saudara-saudara sepupunya
dengan cara yang telah ditempuh. Dengan demikian maka kawula Demak akan
segera melihat noda-noda pada dirinya. Tetapi itu telah ditempuhnya, dan
aku tidak dapat menghindarkannya. Kakang Mantahun adalah seorang yang
keras hati sehingga Arya Penangsang yang terlalu dilanda oleh arus
perasaannya itu terbakar oleh rencananya. Dan terjadilah apa yang telah
terjadi. Apakah dengan demikian masih ada kemungkinan bagiku untuk
menyeberang ke Pajang?”
Tohpati mendengarkan kata demi kata
dengan penuh perhatian. Ia merasakan bahwa apa yang terjadi kemudian
adalah akibat dari ketergesa-gesaan para pembantu Arya Penangsang. Namun
sebagai seorang prajurit yang terpercaya, maka ia tidak dapat berbuat
lain daripada meneruskan perjuangan itu. Tetapi apakah yang dapat
dicapainya dengan perjuangannya itu?
Meskipun demikian Tohpati itu berkata
tajam, “Tetapi paman selama ini hampir tidak berbuat apa-apa. Pada saat
Adipati Penangsang masih melakukan perjuangan, paman ternyata menjadi
seorang yang ditakuti di garis-garis perang. Namun kemudian paman tidak
lebih dari seorang juru masak yang malas. Kenapa paman tidak mau
bertempur seperti masa-masa lampau itu?”
Sumangkar menarik alisnya tinggi-tinggi.
Sebagai seorang yang telah berusia lanjut, maka ia dapat berpikir dengan
tenang. Dan dengan enang pula ia menjawab, “Kalau aku turut dalam
peperangan yang tidak akan berarti apa-apa ini Raden, maka aku hanya
akan memperpanjang penderitaan. Penderitaan rakyat Pajang dan rakyat
Jipang sendiri. Sebab seperti yang pernah aku katakan, perjuangan ini
tidak akan berhasil. Apa yang dapat kita lakukan hanyalah pembalasan
dendam pada beberapa pihak. Melepaskan sakit hati dan membuat onar
dimana-mana. Apakah kira-kira demikian juga cita-cita Arya Penangsang
sendiri? Seandainya Arya Penangsang berhasil merebut tahta, apakah yang
kira-kira akan dikerjakan? Memanjakan diri sendiri atau berbuat sesuatu
untuk membentuk Demak menurut seleranya? Nah, bandingkanlah dengan apa
yang kau lakukan ngger. Dengan anak buah angger dan dengan seluruh
perbuatan laskar Jipang ini”
Tohpati mengerutkan keningnya. Terdengar
ia menggeram. Kata-kata Sumangkar itu hampir seperti kata-kata orang tua
yang dijumpainya di sungai beberapa hari yang lampau. Kata-kata orang
tua yang telah memiliki berbagai pertimbangan. Tetapi Tohpati masih
ingin meyakinkan dirinya, “Paman, apakah dengan demikian kita tidak
menjadi seorang pengecut? Seorang yang tidak berani menghadapi pahit
getir perjuangan? Seorang prajurit sejati akan pantang menyerah. Pantang
menyerah kepada lawan, dan pantang menyerah kepada keadaan”
“Raden benar” sahut Sumangkar, “Jangan
menyerah kepada lawan.Jangan menyerah kepada keadaan. Namun jangan
membutakan diri atas kenyataan. Selama ini kita masih dihadapkan pada
cita-cita, maka kita tidak akan berputus asa. Namun apabila kita
menyakini kelemahan diri dan meyakini bahwa apa yang hendak kita capai
itu tidak akan terpenuhi, maka sebaiknya kita menyadari keadaan. Korban
telah semakin banyak dan korban itu tidak akan berarti apa-apa. Korban
yang sia-sia. Korban dari nafsu pembalasan dendam dan sakit hati”
Tohpati tidak berkata apa-apa lagi. Ia
kini seakan-akan melihat sebuah gambaran yang suram tentang masa depan
laskarnya. Ia kini melihat betapa korban berjatuhan dikedua belah pihak
tanpa dapat merubah keadaan. Korban yang menurut Sumangkar adalah korban
yang sia-sia.
Sesaat mereka berdiam diri. Tohpati
dengan angan-angannya dan Sumangkar dengan angan-angannya pula. Namun
sejenak kemudian terdengar Macan Kepatihan itu menggeram, “Apakah paman
menyayangkan korban-korban itu?”
“Ya” sahut Sumangkar pendek.
“Mati bagi prajurit adalah kemungkinan
yang sudah diketahuinya. Mati bagi seorang prajurit adalah kemungkinan
yang sama dengan kemungkinan untuk hidup. Sehingga mati magi seorang
prajurit sama sekali bukan suatu hal yang mengejutkan”
“Angger benar. Mati bagi aku dan bagi
angger adalah kemungkinan yang paling dekat terjadi. Bahkan lebih dekat
dari kemungkinan untuk hidup. Tetapi apakah mati bagi mereka yang sama
sekali tidak tahu menahu persoalan ini juga dapat dibenarkan? Apakah
mati bagi orang-orang Sangkal Putung, dukuh Pakuwon, Benda dan
orang-orang lain di sekitar Pajang dan Jipang Wanakerta, di sebelah
barat Demak dan di sudut-sudut Bergota itu juga sudah wajar? Laskar
Raden yang terpencar dan menyusup di daerah-daerah itu benar-benar tak
terkendalikan. Rakyat di daerah itu dan laskar Pajang berusaha untuk
menumpasnya. Yang mati di antara laskar angger dan laskar Pajang adalah
wajar. Tetapi rakyat yang tergilas oleh arus peperangan itu?”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Bahkan menurut bunyi di sudut relung hatinya berkata, “Bukan hanya
mereka. Tetapi bahkan anggota-anggota laskarnya sendiri bukanlah
orang-orang yang tahu akan keadaannya. Ada di antara mereka yang hanya
terlanjur terdorong oleh arus yang tidak dapat dihindari tanpa keyakinan
apa-apa. Tetapi ada yang dengan sengaja dan mempergunakan kesempatan
untuk kepentingan-kepentingan yang kotor. Bahkan ada yang kedua-duanya,
putus asa dan kesempatan berbuat di luar peraturan-peraturan. Merampas
dengan dalih yang itu-itu juga, untuk kepentingan perjuangan. Membunuh
dengan dalih itu-itu juga, mengkhianati perjuangan atau berpihak kepada
musuh. Menculik dan merampok. Bahkan segala perbuatan yang bertentangan
dengan perikemanusiaan. Apabila peperangan ini masih berlangsung terus,
maka hal-hal yang serupa itu masih akan berlangsung lama.
Kembali mereka berdua terlempar dalam
kesenyapan. Yang terdengar hanyalah nafas Macan Kepatihan yang semakin
cepat mengalir lewat lubang-lubang hidungnya. Matanya yang tajam
menerkam dinding bambu yang berlubang-lubang di hadapannya. Tetapi
lubang-lubang itu kini sama sekali sudah tidak kelihatan.
Ketika Tohpati berpaling menembus
celah-celah tutup keyong gubugnya yang tidak rapat, maka terdengar ia
berdesis, “Sudah hampir gelap”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, sudah hampir gelap”
Tiba-tiba Tohpati berdiri. Beberapa
langkah ia berjalan ke sudut ruangan itu. Diraihnya tongkat baja
putihnya yang tersangkut di atas pembaringannya. Sumangkar memandang
senjata itu dengan wajah yang tegang. Ia tidak tahu, apakah yang akan
dilakukan oleh Macan Kepatihan yang garang itu. Tetapi ketika ia melihat
Tohpati memutar tubuhnya, dan dilihatnya dalam keremangan ujung malam
itu kesan sikap yang wajar, maka Sumangkar pun tidak beranjak dari
tempatnya. Dari lubang pintu cahaya pelita menembus masuk kedalam
ruangan. Bukan pelita, tetapi sebuah obor yang menyala-nyala di samping
dimulut pintu.
“Paman, aku ingin berjalan-jalan bersama paman malam ini” suara Tohpati datar dalam nada yang rendah.
Dada Sumangkar berdesir. Tidak pernah Tohpati membawanya pergi akhir-akhir ini. Kini tiba-tiba Macan Kepatihan itu mengajaknya.
Banyak hal yang dapat terjadi kemudian.
Apakah Macan Kepatihan itu marah kepadanya, apakah Macan Kepatihan itu
ingin mendengar pendapat-pendapatnya lebih lanjut, adalah teka-teki yang
tak dapat diketahuinya. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat menolak.
Kalau Tohpati ingin berbuat jahat kepadanya, maka sudah tentu ia tidak
akan pergi berdua, sebab Sumangkar tahu pasti, bahwa Tohpati menyadari
keadaannya. Sumangkar bukanlah lawannya. Sumangkar adalah takaran dua
tiga kali daripadanya. Sebab Sumangkar adalah suadara seperguruan dari
gurunya, Patih Mantahun. Tetapi apa yang dilakukan Sumangkar itu
kemudian tidak lebih dari seorang juru masak yang baik. Bahkan sebagian
besar dari laskarnya yang baru ditemukan oleh orang-orang Jipang
sepanjang peperangan atau prajurit-prajurit Jipang yang tersebar
dimana-mana tidak mengenal Sumangkar dengan baik. Mereka menyangka bahwa
orang itu benar-benar seorang juru masak.
Ketika Sumangkar tidak segera menjawab, maka sekali lagi Tohpati berkata, “Paman, kita pergi berdua malam ini”
“Kemana ngger?”
Tohpati menarik nafas dalam-dalam.
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang aneh. Sumangkar pasti sudah tahu
kemana mereka akan pergi dalam keadaan serupa itu. Meskipun demikian
Tohpati itu menjawab, “Paman pasti sudah tahu, kemana kita akan pergi
dalam keadaan ini. Dimana laskarku sudah siap untuk menggempur Sangkal
Putung”
“Oh, jadi kita melihat-lihat Sangkal Putung?”
“Ya”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata Tohpati telah memaksanya untuk melibatkan diri kedalam
peperangan yang dibencinya itu. Peperangan yang semakin lama menjadi
semakin jauh daru bentuknya. Tetapi keputusan terakhir pasti ada padanya
sendiri.
Tohpati ternyata kemudian tidak menunggu
Sumangkar menjawab. perlahan-lahan ia berjalan kepintu dan sekali ia
berpaling. Ketika dilihatnya Sumangkar telah berdiri, maka Tohpati itu
pun berjalan terus.
Di muka gubug Sanakeling dan
orang-orangnya, Tohpati berhenti. Dipanggilnya Sanakeling yang sedang
menghadapi seceting nasi dan daging menjangan.
“Apakah kakang akan pergi?” bertanya Sanakeling.
“Ya” jawab Tohpati, “Pekerjaanmu besok
mengumpulkan semua kekuatan. Malam ini aku ingin melihat Sangkal Putung
bersama paman Sumangkar”
Sanakeling mengerutkan keningnya. Ia
kenal siapakah Sumangkar itu. Ia kenal kebesaran namanya pada masa-masa
lampau. Tetapi ia kenal juga, bahwa Sumangkar kini lebih senang menjadi
seorang juru masak dengan pisau dapur di tangannya. Membelah daging
binatang-binatang buruan dan membelah kayu-kayu bakar.
Bagi Sanakeling, Sumangkar sekarang
hampir-hampir tidak berarti sama sekali. Seandainya Sumangkar itu mati
sekalipun, maka laskar Jipang tidak akan merasa kehilangan. Sebab
pekerjaannya segera dapat diganti oleh orang lain.
Karena itu, maka Sanakeling itu pun bertanya, “Apakah kau tidak memerlukan orang lain?”
“Tidak” jawab Tohpati menggelengkan kepalanya.
Sanakeling tidak bertanya-tanya lagi.
Macan Kepatihan sudah cukup dewasa untuk menjaga dirinya, sehingga ia
sudah cukup mempunyai perhitungan.
Ketika Tohpati itu kemudian berjalan
meninggalkannya, maka segera Sanakeling masuk kembali kedalam biliknya,
menjatuhkan dirinya di sebuah bale-bale dan kembali meneruskan menikmati
daging menjangan muda. Satu kakinya diangkatnya keatas bale-bale sedang
kakinya yang lain berjuntai kebawah. Sambil mengunyah nasi, Sanakeling
berkata tersendat-sendat, “He, panggil Alap-alap kerdil di gubugnya”
Seseorang yang brediri di muka pintu berpaling. Sekali lagi Sanakeling berkata, “Panggil Alap-alap itu”
“Baik, baik Ki Lurah” jawab orang itu
sambil berlari-lari ke gubug yang lain. Tetapi kemudian langkahnya
terhenti. Dilihatnya Tohpati dan Sumangkar berjalan di hadapannya menuju
ke gubug Alap-alap Jalatunda pula.
———-oOo———-
(bersambung ke Jilid 009)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-08/

Tinggalkan Balasan