

NSSI-10
I.
Kemudian setelah titik-titik itu hilang
di kelokan jalan, kembali Wiradapa memandang berkeliling. Tiba-tiba
matanya terhenti pada Manahan dan Handaka yang masih duduk di bawah
pohon di simpang jalan. Tampaklah orang itu tersenyum dan kemudian ia
melangkah mendekati.
”Tuan tidak ikut serta dengan rombongan itu?” tanya Manahan sambil menghormat.
Wiradapa menggelengkan kepala sambil menjawab, ”Tidak Ki Sanak, aku lebih senang tinggal di rumah.”
”Kemanakah mereka pergi?” tanya Manahan pula.
”Entahlah,” jawab Wiradapa.
Tetapi di balik kata-katanya itu Manahan menangkap sesuatu yang tidak
wajar. Namun ia sama sekali tidak mendesaknya.
”Siapakah mereka itu Tuan?” tanya Manahan mengalihkan persoalan.
”Adakah mereka bukan penduduk pedukuhan ini?”
”Bukan Ki Sanak,” jawab Wiradapa
sambil duduk di sisi Manahan. Mereka bukan penduduk pedukuhan ini.
Menurut keterangan mereka, mereka datang dari Banyubiru. Anak muda itu
adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru dan Pamingit, yang menurut
keterangan mereka, adalah bekas daerah Pangrantunan lama.
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dengan ekor matanya ia melihat wajah Bagus Handaka yang berubah menjadi
merah. Untunglah bahwa anak itu menundukkan wajahnya sehingga perubahan
itu tidaklah begitu nampak.
”Anak muda itu bernama Sawung Sariti,” lanjut Wiradapa, ”Dan orang-orang itu adalah pengawal-pengawal mereka dari Pamingit.”
”Apakah keperluan mereka datang kemari?” tanya Manahan pula.
Wiradapa tersenyum. Ia memandang Manahan dengan wajah yang lucu. Jawabnya, ”Suatu keperluan yang penting bagi orang-orang yang punya cita-cita,
Manahan menarik nafas. Ia sadar akan
permainannya. Memang bagi orang yang pekerjaaannya merantau dari satu
desa ke desa yang lain, pertanyaannya agak terlampau maju. Meskipun
demikian, terdorong oleh keinginan untuk mengetahui lebih lanjut, ia
bertanya pula, ”Tuan, apakah cita-cita seseorang yang telah menjabat sebagai kepala daerah perdikan?”
Kembali Wiradapa tersenyum. Katanya, ”Banyak
juga yang ingin kau ketahui Ki Sanak. Memang barangkali bagimu apa yang
telah kau capai hari ini telah cukup tanpa memikirkan masa depan.
Tetapi justru bagi orang-orang yang semakin tinggi pangkatnya, semakin
tinggi cita-citanya. Demikian juga Anakmas Sawung Sariti. Bukankah
diatas kepala perdikan masih banyak jabatan penting? Jabatan-jabatan
istana, misalnya. Sedang jabatan istana yang paling tinggi adalah raja.”
”Raja…?” ulang Manahan. ”Menurut pendengaranku, raja adalah jabatan turun- temurun.”
”He, kau tahu juga tentang raja?” potong Wiradapa, kemudian ia melanjutkan, ”Tetapi tidak selamanya demikian.”
Manahan mendengarkan kata-kata Wiradapa
dengan sungguh sungguh. Ia mengharap agar dengan demikian Wiradapa
sampai pada keterangan yang sejauh-jauhnya.
”Tuan…, adakah orang yang lain kecuali keturunannya boleh menjadi raja?” tanya Manahan pula.
Wiradapa tertawa geli. ”Memang dapat terjadi demikian. Adakah Ki Sanak ingin menjadi raja?”
Manahan tertawa pula. Sahutnya, ”Siapakah
yang tidak mau menjadi raja? Apapun yang dikehendaki selalu ada.
Makanan lezat serta minuman segar. Pakaian gemerlapan serta perhiasan
yang cemerlang.”
Wiradapa tidak dapat menahan tertawanya, sampai tubuhnya berguncang-guncang. ”Memang
barangkali kepentinganmu, apabila kau menjadi raja, adalah makanan
lezat serta minuman segar. Tetapi kau tidak pernah berpikir tentang
pekerjaan serta kewajibannya.”
”Apakah pekerjaan raja?” tanya Manahan.
”Banyak sekali,” jawab Wiradapa.
”Banyak sekali dan tidak menyenangkan. Meskipun demikian banyak orang yang ingin menjabatnya. Termasuk Anakmas Sawung Sariti.”
”Tetapi kenapa Tuan muda yang ingin menjadi raja itu datang kemari. Adakah ia ingin menjadi raja di sini?” sahut Manahan.
Sekali lagi Wiradapa tertawa. Jawabnya, ”Baiklah
aku ceriterakan kepadamu, barangkali perlu kau ceriterakan kelak buat
anak cucumu sebagai pengetahuan. Mungkin anak cucumu kelak tidak lagi
menjadi perantau seperti Ki Sanak ini. Untuk menjadi raja kadang-kadang
diperlukan benda-benda pusaka sebagai sipat kandel, atau sebagai wadah
untuk menerima wahyu keraton. Dengan memiliki pusaka-pusaka tertentu,
orang menjadi kuat menerima wahyu. Tanpa pusaka itu, mungkin seseorang
yang tidak kuat menerima wahyu keraton, malahan dapat menjadi gila.
Misalnya, setelah ia menjadi raja, mempergunakan kekuasaannya
sewenang-wenang, atau menghambur-hamburkan uang perbendaharaan, sehingga
akhirnya ia jatuh dari jabatannya itu dengan berbagai cara. Nah,
sekarang Anakmas Sawung Sariti sedang bersiap-siap untuk mendapatkan
pusaka istana yang akan menjadi sipat kandel. Pusaka itu berupa dua
keris yang maha sakti, yang bernama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten.”
Mendengar keterangan itu sesuatu terasa
berdesir di dada Manahan, dan kemudian jantungnya terasa berdetak lebih
cepat. Juga Bagus Handaka terkejut sampai ia mengangkat mukanya.
Untunglah bahwa Manahan masih dapat mengendalikan diri, sehingga
perasaannya tidak berkesan pada wajahnya. Demikian juga Bagus Handaka,
cepat-cepat menundukkan mukanya kembali.
”Jadi kedatangan mereka kemari, adalah dalam usaha mereka menemukan pusaka pusaka itu,” sambung Wiradapa.
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sikap yang bodoh ia bertanya, ”Adakah kedua keris itu di sini?”
Wiradapa menggelengkan kepala, jawabnya, ”Tak seorangpun diantara kami di sini yang pernah melihat keris-keris itu, bahkan mendengar namanya pun baru kali ini.”
Melihat cara mengatakannya, Manahan percaya bahwa Wiradapa telah berkata sebenarnya.
Karena itu ia menjadi kecewa, sebab ia mengharapkan setidak-tidaknya petunjuk di mana kira-kira kedua keris itu sekarang.
”Tetapi…” sambung Wiradapa, ”Di
sebelah selatan, ada sebuah padepokan yang disebut orang Padepokan
Karang Tumaritis atau disebut juga Karangdempel. Di sana tinggal seorang
tua yang saleh. Yang suka menolong sesama. Bahkan ia terkenal dengan
kepandaiannya mengobati segala macam penyakit. Ke sanalah Anakmas Sawung
Sariti tadi pergi, menghadap orang tua yang menamakan dirinya
Panembahan Ismoyo. Konon orang percaya bahwa orang tua itu titisan Dewa
Ismoyo yang ditugaskan untuk menunggui pertapaannya. Kemudian seperti
kepada diri sendiri ia meneruskan, Tetapi mudah-mudahan seandainya
beliau tahu, janganlah beliau memberitahukan kepadanya.”
Kata-kata yang terakhir itu justru
menyentuh perasaan Manahan serta meninggalkan kesan yang aneh. Kalau
sampai orang seperti Wiradapa yang baik hati itu mengucapkan kata-kata
yang demikian, pastilah ada sebabnya yang cukup penting. Dan tiba-tiba
tanpa sadar ia bertanya, ”Kenapa demikian Tuan?”
Wiradapa tersadar bahwa ia telah
mengucapkan kata-kata yang sebenarnya tidak perlu. Segera ia mencoba
memperbaiki kesalahannya, katanya sambil tersenyum hambar, ”Eh, mudah-mudahan kepadakulah Panembahan Ismoyo kelak memberitahukan.”
Manahan sadar sesadar-sadarnya, bahwa
Wiradapa ingin bergurau untuk menyembunyikan keterlanjurannya. Dan
karena itu iapun segera menyesuaikan diri untuk menyenangkan hati
Wiradapa.
Sambil tertawa-tawa Manahan menyahut, ”Kalau
Tuan kelak mendapatkan pusaka-pusaka itu, serta kemudian menjadi raja,
bukankah Tuan akan sudi mengambil kami berdua sebagai pekatik?”
Mendengar kata-kata Manahan, Wiradapa tertawa, lalu jawabnya, ”Bukankah kau mau berdoa untukku?”
”Tentu, Tuan…, tentu!” jawab Manahan.
Wiradapa menarik nafas panjang. Mendadak saja dahinya tampak berkerut, katanya perlahan-lahan, ”Aku tidak boleh mimpi demikian, asal desa ini dapat aku selamatkan dari noda, aku telah merasa senang.”
Sekali lagi perasaan Manahan tersentuh. Namun ia tidak bertanya apa-apa. Sehingga kemudian Wiradapa berdiri sambil berkata, ”Ah,
lebih baik aku pergi dahulu Ki Sanak, untuk menengok sawah. Kalau Ki
Sanak sudah lelah duduk-duduk di sini, pulanglah. Ki Sanak dapat
beristirahat di rumah. Bukankah besok Ki Sanak akan mendapat pekerjaan
penting?”
Karena itu pula maka Manahan teringat untuk menanyakan pekerjaan apakah kira-kira yang akan dilakukannya besok. ”Tuan…, apakah yang harus aku kerjakan besok?”
Wiradapa menggelengkan kepalanya, ”Entahlah. Dan setelah itu ia pun segera melangkah pergi.”
Dari percakapan pendek itu Manahan dapat
mengambil banyak kesimpulan. Pasti terjadi sesuatu yang kurang wajar di
pedukuhan kecil dan sepi ini. Mungkin pula telah terjadi beberapa
pertentangan pendapat diantara mereka.
Setelah Wiradapa agak jauh, berkatalah Manahan kepada Bagus Handaka, ”Handaka…, bukankah dengan permainan ini banyak yang dapat kita ketahui?”
Handaka mengangguk, dan sambil tersenyum ia menjawab, ”Permainan yang sulit, Bapak.”
Manahan tertawa mendengar jawaban Handaka, katanya melanjutkan, ”Semakin
sulit permainan ini, semakin banyak hal yang kita dengar. Apalagi
besok. Mungkin kita akan mendapat pekerjaan yang menyenangkan sekali.”
”Mudah-mudahan Bapak, mudah-mudahan bukan pekerjaan yang sulit,” jawab Handaka.
”Karena itu…” sahut Manahan, ”Marilah kita beristirahat untuk menyiapkan diri menghadapi pekerjaan kita besok.”
Handaka tidak menjawab, dan ketika
kemudian Manahan berdiri dan melangkah, Handaka pun mengikutinya. Mereka
dengan perlahan-lahan, tepat seperti dua orang pemalas, berjalan di
sepanjang jalan yang membujur diantara persawahan, dimana tampak banyak
orang laki-laki perempuan bekerja keras untuk makan mereka sehari-hari.
Beberapa pasang mata memandang Manahan dan Handaka dengan pandangan yang
aneh. Tetapi Handaka dan Manahan sama sekali tidak menghiraukan lagi.
Pikiran mereka sedang dicengkam oleh pertanyaan yang melingkar di
seputar hari besok. Apakah kira-kira yang harus dikerjakan.
Siang hari itu, Manahan dan Handaka
duduk-duduk saja di dalam ruangan mereka. Hanya ketika matahari condong
tanpa ada yang menyuruhnya, Handaka mengambil air untuk mengisi jeding
dan padasan.Setelah sembahyang Isa, kembali mereka menyekap diri sambil
bermain macanan.
Sesaat kemudian setelah malam semakin
dalam, Manahan dan Handaka pun segera menutup pintu ruangnya. Mereka
sama sekali tidak bernafsu untuk keluar. Dalam kesempatan yang demikian
Handaka lebih senang belajar berbagai-bagai ilmu dari gurunya, yang
mengajarinya membaca dan menulis pula. Kadang-kadang Handaka minta
gurunya berceritera mengenai berbagai ilmu pengetahuan yang mungkin akan
sangat berguna kelak.
Demikian juga malam itu, Manahan
menceriterakan berbagai hal dari lontar-lontar yang pernah dibacanya
sehingga tidak terasa malam menjadi semakin jauh menukik ke pusatnya.
Tetapi tiba-tiba mereka terganggu oleh
suara telapak-telapak kaki memasuki halaman. Kemudian terdengar suara
memanggil dari halaman.
”Adi Wiradapa…, sudahkah Adi tidur?”
Kemudian terdengar jawaban dari dalam, ”Belum Kakang, marilah, silahkan.”
Agaknya Lurah pedukuhan itu dengan
pengiringnya datang berkunjung. Setelah rombongan itu masuk dan
dipersilahkan duduk, terdengarlah mereka bercakap-cakap. Mula-mula
perlahan-lahan tetapi lama kelamaan menjadi semakin keras. Manahan dan
Bagus Handaka segera ikut memperhatikan percakapan itu pula.
”Kakang Lurah….” Terdengar suara Wiradapa. ”Aku tidak akan turut mempertanggungjawabkan perbuatan terkutuk itu.”
”Adi Wiradapa…” jawab lurah itu, ”Sudah berpuluh tahun kita bekerja bersama-sama. Sekarang kenapa Adi mau mengubah naluri itu?”
”Aku hanya mau bekerja sewajarnya,” jawab Wiradapa.
”Tetapi dengan pekerjaan itu, kita akan mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk menjadi kaya raya,” sahut lurah pedukuhan itu.
”Hem….” Wiradapa menggeram, ”Aku
tidak mau pedukuhan ini ternoda. Pedukuhan yang sudah berpuluh-puluh
tahun kita bina, sekarang akan kita korbankan untuk keperluan yang
sesat.”
”Jangan berlagak seperti malaekat.
Apakah kesalahan itu dapat ditimpakan kepada kita? Kalau aku mengajak
Adi Wiradapa untuk turut serta dalam pekerjaan ini, adalah karena Adi
Wiradapa akan banyak memperingan pekerjaan kami dan akan kami bagi
hadiah yang kita terima bersama-sama. Sebab aku tidak ingin untuk
mendapatkannya sendiri.”
”Aku tidak mimpi untuk menerima hadiah, Kakang,” potong Wiradapa.
”Hem, jangan menyesal kalau terjadi sesuatu. Aku
telah menyiapkan orang-orangku sendiri. Tanpa Adi, pekerjaan ini akan
selesai dengan baik. Tetapi jangan coba menghalangi aku.”
”Jangan menakut-nakuti aku dengan ancaman,” sahut Widarapa.
”Aku sudah mengenal Kakang Lurah, dan Kakang Lurah sudah lama pula mengenal aku.”
Lurah pedukuhan itu tidak menjawab,
tetapi terdengar ia menggeram marah. Kemudian terdengar langkahnya pergi
disusul oleh langkah menjauhi.
Percakapan itu sangat menarik perhatian
Manahan dan Bagus Handaka. Tetapi sayang bahwa dari percakapan itu, tak
ada yang menunjukkan tindakan apa yang akan dilakukan oleh lurah itu.
”Apakah yang akan mereka lakukan Bapak?” tanya Bagus Handaka berbisik.
Manahan menggelengkan kepala. ”Entahlah,” jawabnya.
”Adakah lurah itu akan menyerang Sawung Sariti?” tanya Handaka seterusnya.
Handaka mengangguk-angguk. Tetapi pikirannya menjadi bertambah kalut.
”Mungkin pekerjaan kita besok ada hubungannya dengan peristiwa ini,” kata Manahan kemudian.
”Ya, mungkin demikian Bapak,” sahut Handaka.
Setelah itu kembali mereka berdiam diri, mereka-reka dan menebak-nebak apakah yang kira-kira akan terjadi.
Dalam pada itu terdengarlah Wiradapa menutup pintu dan kemudian terdengar ia berkata kepada istrinya, ”Nyai, tidurlah di ruang belakang. Jangan pedulikan apa yang terjadi.”
”Ada apakah sebenarnya Kakang? Dan kenapa Kakang tidak mau bekerja sama dengan Kakang Lurah?” tanya istrinya.
”Tak ada apa-apa. Tetapi sekali lagi, jangan pedulikan apa yang terjadi,” jawab Wiradapa.
”Tetapi…?” Terdengar istrinya masih akan bertanya.
”Sudahlah Nyai,” potong suaminya, ”Tak ada apa-apa yang terjadi”.
Kemudian istri Wiradapa tidak berkata
apa-apa lagi. Kemudian terdengar ia pergi ke ruang belakang, dekat
dengan ruang Manahan.Setelah itu terdengar gemerincing senjata. Agaknya
Wiradapa bersiap-siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Manahan dan Handaka menjadi semakin
bertanya-tanya di dalam hati. Begitu penting agaknya persoalan yang
dihadapi oleh Wiradapa, sehingga ia terpaksa menyiapkan senjata, untuk
menghadapi orang yang telah berpuluh tahun bekerja bersama-sama.
Kemudian kembali malam ditelan sepi. Yang
terdengar hanyalah suara jengkerik dan angkup nangka bercuit-cuit.
Tetapi dalam setiap dada orang-orang di dalam rumah itu, berdeburan
dengan riuhnya, kekhawatiran kecemasan dan keinginan tahu tentang apa
yang bakal terjadi.
Sampai tengah malam, kesepian malam
berjalan tanpa terganggu. Manahan dan Handaka sudah berbaring di
pembaringan mereka. Namun mereka sama sekali tidak meninggalkan
kewaspadaan. Meskipun mereka tidak berjanji, namun di dalam hati mereka
masing-masing tersimpan suatu keinginan untuk membantu Wiradapa kalau
kemudian terjadi sesuatu, apabila dianggap perlu. Dengan diam-diam
Manahan meraba-raba dinding. Kalau terpaksa dinding kayu dan bambu itu
harus dijebolnya untuk dapat dengan segera sampai di ruang dalam.
Baru ketika tengah malam itu telah lewat,
terjadilah sesuatu. Beberapa orang terdengar hilir-mudik di halaman,
bahkan beberapa diantaranya telah berada di halaman belakang.
Hati Manahan dan Handaka kemudian
berdebar-debar pula. Karena itu, meskipun mereka masih tetap berbaring,
tetapi siap untuk melakukan setiap gerakan yang perlu. Apalagi ketika
dengan telinga yang tajam mereka mendengar ada nafas orang dekat di muka
pintu ruang, malahan mereka melihat pula dinding ruang itu
bergerak-gerak. Pastilah bahwa ada orang yang sedang mengintip. Namun
demikian mereka masih tetap berbaring, sehingga tidak menimbulkan suatu
kecurigaan.
Tetapi sampai beberapa lama, mereka sama
sekali tak mengalami sesuatu. Meskipun langkah-langkah di halaman masih
saja terdengar, namun agaknya mereka, yang hilir-mudik itu tak berbuat
lain kecuali berjalan kesana-kemari. Sehingga dengan demikian Manahan
menduga bahwa orang-orang itu hanyalah ditugaskan untuk mengawasi
Wiradapa. Sedang Wiradapa agaknya tidak mau membuat perkara. Ia masih
tetap di dalam rumahnya, meskipun masih juga kadang-kadang terdengar
suara senjatanya yang agaknya tak lepas dari tangannya. Dengan demikian
rumah itu diliputi oleh ketegangan yang semakin memuncak. Manahan dan
Bagus Handaka sama sekali tidak mencemaskan keadaan mereka, karena
mereka merasa cukup mampu untuk menjaga diri. Tetapi mereka menjadi
tegang pula, karena teka-teki yang mengetuk-ngetuk perasaan mereka
terus-menerus sejak siang tadi. Mereka ingin teka-teki itu segera
terpecahkan.
Tetapi ketika malam sudah semakin dalam, terdengarlah hiruk-pikuk di kejauhan.
Segera Manahan dan Bagus Handaka bangkit
untuk memperhatikan suara-suara itu, yang semakin lama terdengar semakin
riuh. Dengan pengetahuannya yang tinggi, Manahan segera mengetahui
bahwa keributan itu adalah keributan pertempuran. Tetapi ia tidak dapat
menebak pihak-pihak manakah yang sedang bertempur itu. Mungkin pihak
penduduk pedukuhan itu di bawah pimpinan lurah mereka sedang menyerang
Sawung Sariti dengan para pengikutnya. Kalau demikian, maka besar
kemungkinannya laskar Gedangan akan dimusnahkan. Tetapi kalau demikian
halnya, lalu siapakah yang berdiri di belakang lurah Gedangan itu, yang
menjanjikan hadiah besar?
Sesaat kemudian tiba-tiba terdengar Wiradapa menggeram, lalu berteriak, ”Siapakah di luar…?”
Terdengar suara tertawa pendek. Kemudian jawabnya, ”Kau tak perlu mengenal aku, Wiradapa.”
”Baik, aku tak perlu mengenal kau,” sahut Wiradapa. ”Tapi hentikan pengkhianatan itu.”
Manahan dan Bagus Handaka berdebar-debar
dan cemas mendengar percakapan itu, tetapi juga terkejut. Ternyata yang
berada di halaman bukanlah laskar Gedangan. Dan karena kekalutan itu
Manahan dan Bagus Handaka menjadi ragu-ragu untuk berpihak.
”Kalau kalian tak mau menghentikan pengkhianatan itu, aku yang akan berbuat,” terdengar kembali Wiradapa berteriak. Dan kembali terdengar tawa menyeramkan di halaman. ”Kau jangan berlagak Wiradapa. Seandainya
kau memiliki kesaktian sekalipun kau tak akan memenangkan kami berenam.
Karena itu, tetaplah kau di rumahmu sampai ada keputusan hukuman apa
yang harus kau jalani besok.”
”Gila…!” potong Wiradapa. ”Kau
kira aku sebangsa cacing yang tak mampu berbuat apa-apa. Cobalah
kalian, meskipun berenam memasuki rumahku ini. Jangan harap dapat keluar
lagi dengan selamat.”
”Luar biasa,” teriak orang lain dari halaman. ”Sayang kami tak mendapat perintah untuk memasukinya.”
Wiradapa tidak menjawab. Tetapi ia menggeram penuh kemarahan. Kemudian terdengar langkahnya hilir-mudik di dalam rumahnya.
Kegelisahan di rumah itu tidak saja
mencengkam hati Wiradapa, tetapi juga merayap-rayap di kepala Manahan
dan Bagus Handaka. Sehingga tanpa disengaja Manahanpun kemudian bangkit
dan berjalan pula hilir mudik di dalam ruangan, sedang Bagus Handaka
menjadi asik bermain-main dengan ujung tombaknya yang keramat, Kyai
Bancak.
Ternyata pertempuran yang hiruk pikuk itu
tak berlangsung lama. Sesaat kemudian suara itu telah lenyap. Tetapi
justru karena itu Manahan jadi curiga. Ia mendapat firasat bahwa ada
suatu permainan yang kotor di balik segala peristiwa ini. Ia kemudian
teringat akan kelicikan Lembu Sora. Tidaklah mustahil bahwa anaknya pun
akan berbuat demikian.
Belum lagi Manahan mendapat suatu
perkiraan apa-apa, terdengarlah beberapa ekor kuda berderap memasuki
halaman, langsung mengepung rumah. Lamat-lamat terdengar suara Wiradapa
marah. Geramnya, ”Setan. Orang itu benar-benar cari perkara.”
Kemudian disusul sebuah teriakan di halaman, ”Masih adakah tikus itu di dalam?
”Masih, Tuan,” jawab yang lain dari halaman pula.
”Bagus, ia harus bertanggungjawab atas peristiwa itu,” sahut yang tadi.
Lalu terdengarlah beberapa orang berloncatan turun, disusul oleh ketukan pada pintu rumah Wiradapa. ”He, Wiradapa. Bukalah pintu”
”Siapakah kau?” teriak Wiradapa dari dalam.
”Apa pedulimu. Tak ada kesempatan
untuk bermanis-manis dan sapa-menyapa. Buka pintu dan ikuti aku
menghadap Anakmas Sawung Sariti,” jawab yang di luar.
”Aku bukan pegawainya. Buat apa aku menghadap?” sahut Wiradapa dengan beraninya.
Mendengar jawaban itu Manahan dan Bagus
Handaka saling berpandangan. Agaknya Wiradapa tidak berdiri di pihak
Sawung Sariti. Tiba-tiba perasaan mereka jadi lega. Kalau sampai mereka
terpaksa melibatkan diri, mereka tidak perlu segan-segan. Sebab mereka
itu pasti tidak akan membantu anak Lembu Sora itu.
Sementara itu terdengarlah beberapa orang tertawa berderai. Dan kembali terdengar seseorang berkata, ”Kau
terlalu sombong Wiradapa, apakah kau kira pintu rumahmu berlapis baja?
Dan kau sendiri bertulang besi, sehingga berani membantah perintah ini?”
”Aku kira kau juga belum bertulang besi,” jawab Wiradapa dengan beraninya. ”Karena itu buat apa aku takut? Cobalah pecahkan pintu. Aku ingin melihat kalau kau berani.”
Agaknya yang di luar pun jadi ragu. Terdengarlah ia mengumpat dan kemudian berkata, Wiradapa, “kalau kau jantan, keluarlah.”
Sekarang terdengar suara Wiradapa menghina, “Jangan
bicara tentang kejantanan. Kalau kau datang sendiri sebagai jantan
sejati, akan aku sambut di halaman dengan penuh kejantanan.”
Kembali terdengar orang itu mengumpat-umpat. Kemudian berkatalah ia kepada anak buahnya, “Biarlah ia hidup sampai esok pagi. Jagalah jangan sampai lolos. Juga orang-orang malas yang tidur di ruang belakang. Ada kerja buat mereka esok.”
”Baik Kakang,” jawab yang lain.
Setelah itu terdengar derap kuda menjauh.
Tetapi tidak beberapa lama kemudian
terdengar derap itu mendekat kembali. Bahkan lebih banyak lagi. Ketika
kuda itu telah berhenti di halaman, terdengar suara yang sudah dikenal
oleh Manahan dan Bagus Handaka. Yaitu suara Sawung Sariti. ”Wiradapa,
kau benar-benar tidak mau keluar? Kau harus mempertanggungjawabkan
perbuatanmu. Kau mengkhianati kami, sehingga beberapa orang kami jadi
korban.”
”Jangan coba putar-balikkan keadaan,” bantah Wiradapa dari dalam.
”Bagus, kalau kau tak mau keluar, aku suruh bakar rumahmu ini,” ancam Sawung Sariti, maka musnahlah Wiradapa sekeluarga.
“Gila!” teriak Wiradapa, “begitukah cara putra kepala daerah perdikan yang besar memaksakan kehendaknya kepada orang lain?”
Terdengar Sawung Sariti tertawa dengan nada yang tinggi. Kemudian katanya, ”Aku
tidak perduli. Keluarlah. Rumah dan keluargamu akan selamat. Mungkin
kau juga akan selamat kalau ternyata kau tak bersalah. Juga suruh
orang-orang malas peliharaanmu itu pergi bersama kau. Ada pekerjaan
untuknya.”
Kemudian suasana dicengkam oleh kesepian.
Bagus Handaka memandang Manahan dengan penuh pertanyaan. Hal itu
diketahui oleh Manahan, sehingga terdengar ia berbisik, ”Kita ikuti mereka Handaka, Jaga dirimu baik-baik. Agaknya pada suatu saat kita harus bertindak”
Handaka mengangguk, ketika bersamaan
dengan itu terdengar langkah menuju ke ruangan itu. Sesaat kemudian
terdengar orang membentak-bentak, ”Ayo keluar! Keluar…!”
Sekali lagi Handaka memandang wajah
Manahan yang tetap tenang, seperti air di telaga yang dilindungi oleh
gunung-gunung dari gangguan angin. Ketika Manahan menganggukkan
kepalanya, Handakapun berdiri, lalu bersama-sama melangkah ke arah
pintu. Demikian pintu terbuka, menyerbulah beberapa orang masuk. Manahan
dan Handaka segera didorong keluar dengan bentakan-bentakan yang kasar.
Di luar, gelap malam masih membalut
seluruh pedukuhan kecil yang sepi itu. Namun saat itu digemparkan oleh
kedatangan tamu-tamu dari Banyubiru yang agaknya membuat keributan.
Kemudian mereka digiring ke halaman
depan, dan di sana ternyata Wiradapa pun terpaksa keluar rumah pula. Ia
masih memperhitungkan keselamatan keluarganya, sehingga ketika rumahnya
diancam akan dibakar, terpaksa ia mengambil keputusan lain.
Dengan dikawal kuat, mereka bertiga segera dibawa ke kalurahan. Sawung Sariti, dengan naik kuda, berlari mendahului.
Sampai di pendapa kelurahan, Manahan
melihat beberapa orang bersenjata siap berjaga-jaga. Nampaknya mereka
adalah gabungan dari laskar pedukuhan itu bersama-sama dengan Laskar
Pamingit. Sedang diantara mereka tidak tampak seorang pun dari
Banyubiru. Manahan yang tajam pandangannya, segera memperhitungkan
keadaan itu.
Wiradapa kemudian sebagai seorang pesakitan dihadapkan kepada Sawung Sariti yang duduk di samping lurah pedukuhan itu.
”Wiradapa…” kata Sawung Sariti dengan lagak seorang hakim. ”Sadarkah kau akan segala perbuatanmu?”
Wiradapa memandang Sawung Sariti dengan penuh kebencian. Jawabnya, ”Aku berbuat dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab untuk kebaikan nama pedukuhan yang telah aku bina berpuluh tahun.”
”Tutup mulutmu!” bentak Sawung Sariti, ”Jangan
coba berkata yang bukan-bukan. Aku bertanya dan minta
pertanggungjawabanmu atas kematian orangku yang paling baik. Bukankah
kau telah membuat gerombolan untuk merampok kami?”
Wiradapa menggeram marah. Jawabnya, ”Setan pun tak akan percaya ocehanmu”
Sawung Sariti menjadi marah sekali. Dengan nada yang tinggi ia berkata hampir menjerit, ”Widarapa.
Kau telah menghina rombongan kami. Apakah kau kira bahwa kami tak mampu
bertindak? Dengarlah baik-baik. Rombongan kami dengan kekuatan cukup
akan dapat memusnahkan seluruh pedukuhan ini. Tetapi kami tidak akan
berbuat demikian. Kami tahu bahwa tidak seluruh penduduk ini bersalah,
ternyata bahkan ada beberapa orang yang membantu kami. Dan aku akan
berterima kasih kepada mereka itu. Sekarang katakan kepada kami siapakah
yang turut dalam penyerbuan itu. Atau batangkali kau minta bantuan
kepada salah satu gerombolan di sekitar daerah ini? Malahan mungkin dua
orang yang kau sebut perantau malas itu adalah anggota gerombolan pula”
Mata Wiradapa menjadi menyala-nyala. Dengan gigi gemeretak ia menyahut, ”Jangan
banyak bicara. Apakah sebenarnya maksudmu? Membunuh aku atas permintaan
lurah pengecut itu, supaya aku tidak selalu membayanginya? Aku menolak
turut dalam permainan gila-gilaan itu, tetapi agaknya lurah yang tamak
itu takut aku membuka rahasia.”
”Diam!” bentak lurah yang sejak tadi berdiam diri.
”Kau mau menyeret orang lain masuk ke jurang yang telah kau gali sendiri?”
Wiradapa tertawa rendah, ”Pengecut!”
”Kau pengecut,” sahut Sawung Sariti. ”Nah
rakyat Gedangan…. Pedukuhanmu telah dinodai oleh Wiradapa. Untunglah
bahwa aku tidak memusnahkan kalian. Tetapi aku menuntut kesetiaan kalian
pada pedukuhanmu ini. Apakah yang dapat kau lakukan untuk membuktikan
itu? Sedang sekarang di hadapanmu berdiri seorang pengkhianat.”
Akibat kata-kata Sawung Sariti itu dalam
sekali. Segera, semua mata orang yang hadir di pendapa tertuju kepada
Wiradapa. Wajah-wajah itu kemudian menjadi semakin tegang, semakin
tegang, disusul kata-kata lurah mereka, ”Atas nama pimpinanmu, bertindaklah.”
Kata-kata itu merupakan aba-aba yang
serentak menggerakkan orang-orang Gedangan yang berdiri di pendapa itu.
Segera mereka melangkah maju dengan senjata di tangan siap untuk
membunuh Wiradapa.
Manahan terkejut menyaksikan peristiwa
itu. Segera ia teringat bagaimana ia sendiri pernah mengalami fitnah
yang dituduhkan oleh Lembu Sora di Banyubiru. Untunglah pada saat itu
Gajah Sora sempat mencegahnya. Tetapi kali ini, pimpinan mereka justru
berdiri di pihak Sawung Sariti. Maka segera ia menggamit Bagus Handaka
yang segera dapat menanggapi.
Maka berbisiklah Manahan, ”Handaka,
kita bebaskan Wiradapa. Tetapi aku tetap ingin mengetahui siapakah yang
terbunuh diantara rombongan Sawung Sariti. Karena itu marilah kita
menarik perhatian mereka dengan melarikan diri. Tetapi ingat, kita harus
tertangkap.”
”Lalu apakah mereka tidak akan membunuh kita?” tanya Handaka.
”Tidak, sebab ada sesuatu yang harus kita lakukan. Mungkin sesuatu yang sangat rahasia. Baru sesudah itu kita akan dibunuh,” jawab Manahan.
Bagus Handaka menarik nafas. Tugas itu
sebenarnya sangat berat dan berbahaya. Manahan dapat membaca perasaan
Handaka itu, namun ia hanya tersenyum.
Ketika orang-orang di pendapa sudah
semakin ribut, tiba-tiba meloncatlah Manahan melarikan diri diikuti oleh
Bagus Handaka. Tetapi mereka sama sekali tidak berusaha untuk
bersembunyi. Dengan ketolol-tololan mereka berlari sepanjang jalan
pedukuhan.
Melihat Manahan dan Bagus Handaka lari,
beberapa orang berteriak-teriak memanggil, dan beberapa orang yang cepat
berpikir segera mengejarnya. Perhatian seluruh isi pendapa kemudian
terpusat kepada Manahan dan anaknya yang sedang berusaha melarikan diri.
”Tangkap mereka…” teriak Sawung Sariti.
Tetapi agaknya ia tidak begitu percaya
kepada anak buahnya, sehingga ia sendiri kemudian melompat dengan
tangkasnya, dan seperti anak panah ia terbang mendahului orang-orang
yang telah lebih dahulu mengejar Manahan dan Handaka.
Manahan dan Handaka yang memang tidak
benar-benar akan melarikan diri, sengaja memperlambat langkah mereka,
setelah cukup jarak yang mereka tempuh untuk memberi kesempatan kepada
Wiradapa melenyapkan dirinya. Tetapi telinga Manahan segera menangkap
langkah yang sangat cekatan menyusulnya. Dengan agak terkejut Manahan
menoleh. Dan dengan kagum ia melihat Sawung Sariti menghambur ke
arahnya.
”Berhenti!” teriak anak muda itu.
Manahan dan Bagus Handaka masih
berpura-pura lari. Namun dalam hati Manahan dihinggapi oleh suatu
pertanyaan baru. Alangkah hebatnya anak itu. Menilik gerak serta
langkahnya, agaknya Sawung Sariti telah memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Sebentar kemudian anak muda itu telah
dapat menyusul Manahan. Tangannya segera menyambar baju perantau yang
malang itu, sedang tangannya yang lain terayun deras ke arah rahang
Manahan. Manahan sama sekali tidak berusaha mengelak ketika sebuah
pukulan yang keras mengenainya. Dengan keras ia terlontar ke belakang
dan akhirnya ia jatuh berguling-guling sambil berteriak-teriak, ”Ampun Tuan Muda…, ampun.” Tetapi
dalam pada itu ia dapat mengukur sampai dimana kekuatan Sawung Sariti,
yang benar-benar membuatnya heran. Tenaga anak muda itu benar-benar
mengagumkan. Untunglah bahwa yang dikenainya adalah Manahan. Kalau saja
Manahan benar-benar seorang perantau, maka Sawung Sariti telah membuat
suatu kesalahan, sebab kepala perantau itu pasti akan retak
dibuatnya. Sesaat ia telah mencoba-coba membanding-bandingkan anak itu
dengan Bagus Handaka. Apakah Bagus Handaka juga memiliki kekuatan
sebesar itu? Namun agaknya ia tidak perlu mencemaskan muridnya, meskipun
ia belum yakin benar bahwa Handaka dapat melebihi kekuatan Sawung
Sariti.
”Kau mencoba untuk melarikan diri he…?” Kemudian terdengar Sawung Sariti membentak-bentak marah. Sementara itu orang-orang yang lain berdatangan pula.
”Tidak Tuan Muda, tidak,” rintih Manahan, sedang Bagus Handaka berdiri tidak jauh darinya dengan gigi yang terkatub rapat.
”Apa kau bilang?” teriak Sawung Sariti. ”Dengan berbuat begitu kau masih ingkar bahwa kau akan melarikan diri?”
”Tidak Tuan Muda, aku tidak akan melarikan diri. Tetapi aku takut,” jawab Manahan.
”Takut? Apa yang kau takutkan?” potong anak muda itu.
”Aku takut melihat pembunuhan,” sambung Manahan dengan suara gemetar.
Tanya jawab itu kemudian terhenti ketika kemudian datang pula beberapa orang berlari-lari.
”Ada apa kalian menyusul?” tanya Sawung Sariti marah.
”Wiradapa melarikan diri, Tuan,” jawab orang itu.
”He, apa kau bilang?” Mata Sawung Sariti kem”udian menyala-nyala, dengan suara yang gemetar ia meneruskan, Kau bilang Wiradapa melarikan diri?”
”Ya, Tuan,” jawab orang itu ketakutan.
Tiba-tiba semuanya dikejutkan oleh
gerakan Sawung Sariti yang hampir tak terlihat kecepatannya, disusul
oleh teriakan ngeri. Orang yang berdiri di hadapannya itu terlempar
beberapa langkah dan kemudian terjatuh sambil mengerang kesakitan.
”Setan…!” gerutunya. ”Apakah
yang kalian kerjakan…? Dan buat apa aku mengupah kalian? Menjaga seekor
tikus sakit-sakitan saja kalian tidak mampu. Ayo cari sampai ketemu.
Kalau tidak, kalian jadi gantinya.”
Beberapa orang berdiri bingung, sampai terdengar Sawung Sariti berteriak,” Pergi, pergi monyet…!” Dan bubarlah orang-orang itu berlari bertebaran untuk mencari Wiradapa.
Setelah orang-orang itu pergi, Sawung
Sariti memandang Manahan dan Handaka dengan geramnya. Dengan menahan
kemarahan ia berdesis, ”Orang-orang gila inilah yang telah merusak rencanaku.” Kemudian katanya kepada salah seorang pengikutnya, ”Bawa mereka kembali ke kelurahan.”
Beberapa orang segera bergerak menangkap
tangan Manahan dan Handaka. Dengan kasarnya mereka didorong-dorong,
bahkan kadang-kadang ditendang-tendang untuk pergi kembali ke pendapa
kelurahan.
———-oOo———-
II
Sampai di pendapa kalurahan, Sawung
Sariti membentak-bentak tak habis-habisnya. Beberapa buah tempat duduk
dibanting-bantingnya hingga pecah berderak-derak. Semuanya memandang
anak muda yang perkasa itu dengan ketakutan. Tetapi diantara segenap
mata yang kecemasan itu, memancarlah keriangan di mata Bagus Handaka. Ia
melihat kegesitan sikap Sawung Sariti. Dengan demikian ia menjadi
gembira. Mudah-mudahan ia mendapat kesempatan yang baik.
”Bapak…” bisik Handaka perlahan-lahan, ”Anak muda itu hebat sekali. Mudah-mudahan aku mendapat kawan berlatih yang cukup baik.”
Mendengar bisik muridnya, Manahan tersenyum, namun ditahannya. Hati-hati, ”Hati-hatilah. Agaknya ia pun memiliki ilmu yang cukup.”
Handaka masih akan berkata lagi, tetapi tidak jadi, karena terdengar Sawung Sariti berteriak, ”Paman
Lurah Gedangan. Aku tidak mau rencanaku gagal sama sekali. Karena itu
pekerjaan pemalas-pemalas itu tidak dapat ditunda sampai besok.”
Lurah Gedangan yang ketakutan pula segera menjawab, ”Terserah Tuan.”
”Perintahkan pada orang-orang itu
semua untuk berjaga-jaga di luar. Besok mereka harus mengubur
orang-orangku yang gugur. Tak seorang pun boleh meninggalkan pendapa,” perintah Sawung Sariti lantang.
Segera Lurah Gedangan itu menirukan perintah Sawung Sariti, bahkan sampai pada kata-katanya pun ia tidak berani mengubahnya.
”He Manahan dan Handaka…” Terdengar Sawung Sariti memanggil. ”Aku mempunyai pekerjaan untukmu berdua. Aku tidak bisa menunggu sampai besok karena kau telah mencoba melarikan diri.”
Manahan dan Handaka pun segera berdiri sambil mengangguk hormat. Jawab Manahan, ”Apapun yang diperintahkan kepada kami, selama kami mampu melakukannya, pasti akan kami junjung tinggi.”
”Diam!” bentak Sawung Sariti. ”Mau atau tidak mau bukanlah urusanku. Tetapi pekerjaan itu harus kau selesaikan. Mari ikuti aku.”
Manahan jadi ragu sebentar, tetapi kemudian segera ia naik ke pendapa diikuti oleh Handaka.
Tetapi langkah mereka terhenti ketika
terjadi ribut-ribut di luar. Ketika mereka menoleh, tampaklah Wiradapa
digiring ke pendapa. Dari pelipisnya mengalir darah segar. Sedang dua
tiga orang yang menangkapnya menderita luka-luka pula. Agaknya Wiradapa
telah melawan dengan gagah berani.
”Monyet itu tertangkap pula,” teriak Sawung Sariti.
”Ya, Tuan Muda,” jawab salah seorang diantaranya dengan bangga.
”Bagus…. Nah, kau akan aku ikutsertakan dengan para pemalas sahabat-sahabatmu ini. Ayo ikuti aku,” perintahnya pula kepada Wiradapa.
Kemudian beberapa orang mendorong Wiradapa dengan kuatnya sehingga hampir saja ia tertelungkup.
”Kalau kau tidak mencoba lari, hidupmu masih mungkin aku pertimbangkan,” gerutu Sawung Sariti.
Kemudian Manahan, Handaka dan Wiradapa
segera dibawa masuk oleh Sawung Sariti dengan hanya diikuti oleh lurah
Gedangan dan pengawalnya. Sampai di ruang dalam, mereka melihat tiga
sosok mayat terbujur di lantai. Sambil menyeringai Sawung Sariti
berkata, ”Lihat tiga diantara para korbanmu.”
Wiradapa tidak menjawab, hanya wajahnya yang menegang.
”Jangan berbuat tolol” bentak Sawung Sariti, ”Dengan sekali pukul aku sanggup memecahkan kepala kalian bertiga.”
Setelah berkata demikian, Sawung Sariti
membawa ketiga orang tawanan itu ke ruang yang lain. Mereka jadi
terkejut pula ketika samar-samar di bawah sinar lampu mereka melihat
pula sesosok tubuh terbaring diam.
”Itulah pekerjaan kalian,” katanya. ”Kalian harus membawa mayat itu ke tempat yang akan ditunjukkan oleh Pak Lurah.”
Wiradapa memandang lurahnya dengan mata
yang memancarkan perasaan dendam tiada taranya. Sehingga dari mulutnya
meluncurlah umpatan yang kasar, ”Kakang Lurah, kelakuanmu lebih rendah dari anjing. Dan sekarang kau mau mencuci bekas-bekasnya dengan melenyapkan aku.”
Wiradapa terpental menubruk dinding.
Meskipun Sawung Sariti tidak mengerahkan segenap kekuatannya, namun
telah cukup menjadikan mata Wiradapa berkunang-kunang. Tetapi Manahan
kagum akan ketetapan hatinya. Meskipun dengan susah payah ia bangkit
namun wajahnya masih memancarkan dendam dan kebencian. Ia sama sekali
tidak takut menghadapi segala macam bencana yang akan dialami.
Melihat sikap Wiradapa yang demikian, Sawung Sariti menjadi semakin marah, katanya, ”Wiradapa,
lebih baik kau mempergunakan saat terakhirmu sebaik-baiknya. Atas
kemurahan hatiku, sesudah kau bertiga mengubur mayat itu, kalian boleh
memilih cara yang kau anggap baik untuk membunuh kalian, dengan demikian
kalian tidak akan membuka rahasia tempat pemakaman nanti.”
Mendengar kata-kata itu, hati Manahan
berdesir hebat. Inilah agaknya permainan yang dilakukan oleh Sawung
Sariti. Sampai sekian, beberapa hal telah dapat diduga oleh
Manahan. Agaknya Sawung Sariti telah bersekutu dengan lurah Gedangan.
Lurah itu harus berhubungan dengan orang-orang yang harus menyerang
mereka. Beberapa korban harus jatuh, dan diantaranya terdapat seorang
yang penting. Orang itu pasti merupakan bayangan yang menakutkan bagi
Sawung Sariti, sehingga harus disingkirkan dengan tidak meninggalkan
kesan. Sampai kuburannya pun harus dirahasiakan pula. Kalau kemudian
ternyata diketahui, bahwa orang itu terbunuh, Sawung Sariti pun dapat
cuci tangan. Pembunuhan itu dilakukan oleh gerombolan perampok yang akan
merampok rombongan mereka, dan mayatnya tidak diketahui. Tetapi apabila
mungkin orang itu hanya akan dinyatakan hilang, pergi tidak pamit dan
sebagainya.
Dalam kesibukannya Manahan dikejutkan oleh bentakan Sawung Sariti, ”Ayo
cepat, apa yang kalian tunggu lagi? Kalau kalian sampai berbuat
aneh-aneh, maka akulah yang akan menentukan jalan kematian yang harus
kau tempuh. Aku dapat berbuat apa saja yang mungkin tidak kalian
duga-duga.”

”Kalian mau melakukan perbuatan itu. Pengecut. Matilah sebagai seorang jantan…”
Sekali lagi kata Wiradapa terputus oleh
sebuah pukulan yang keras. Tetapi kali ini ia mengelak. Bahkan ia
membalas menyerang pula. Kembali Manahan kagum melihat kejantanan orang
itu, meskipun ia yakin bahwa Sawung Sariti bukanlah lawannya.
Dan itu ternyata dalam beberapa saat yang
pendek saja. Dengan cepatnya Sawung Sariti berhasil menangkap tangan
Wiradapa, dan sekali putar Wiradapa sudah tidak berdaya lagi.
”Orang gila!” geram Sawung Sariti, dan kemudian katanya kepada Manahan, ”Kau akan mendapat pekerjaan baru nanti. Mengubur orang ini hidup-hidup.”
Hati Manahan dan Handaka terlonjak
mendengar perintah itu. Namun hal itu lebih baik. Sebab dengan demikian
ada kesempatan baginya untuk menolong orang itu.
Kemudian justru Manahan dan Handaka yang
tidak sabar lagi. Segera ia ingin mengetahui siapakah yang terbaring di
hadapannya itu. Maka ketika ia sudah berdiri di samping mayat itu,
cepat tangannya bergerak menarik kerudungnya.
”He…” teriak Sawung Sariti terkejut. ”Apa yang kau lakukan itu…? Apakah kau juga ingin mendapat hukuman yang sama dengan orang ini?”
Tetapi Manahan sama sekali tak
mempedulikan teriakan Sawung Sariti itu, sehingga akhirnya terbukalah
kerudung mayat itu. Dengan demikian, di bawah sinar lampu yang
samar-samar, yang seolah ikut serta berduka atas kematian beberapa orang
yang tak berdosa, Manahan dan Handaka dapat melihat siapakah yang
terbaring tak bergerak di hadapannya dengan wajah putih pucat serta
membayangkan ketulusan hatinya. Melihat wajah yang pucat itu Manahan dan
Bagus Handaka terlonjak. Hatinya bergelora seperti akan memecahkan
dadanya, sehingga kemudian tubuhnya menggigil hebat.
Sementara itu terdengarlah Sawung Sariti menghardik penuh kemarahan, ”He,
pemalas-pemalas yang tak tahu diri. Apa urusanmu dengan mayat itu,
sehingga kau berani membuka kerudungnya? Ingat, bahwa aku dapat
membunuhmu dengan cara yang lebih hebat daripada dikubur hidup-hidup.”
Tetapi Manahan dan Bagus Handaka tidak
mendengar suara itu. Mereka sedang berjuang untuk menguasai perasaannya.
Namun agaknya Bagus Handaka sudah tidak kuasa lagi menahan dirinya.
Seperti kilat ia meloncat dan sekejap kemudian ia sudah berdiri di
hadapan Sawung Sariti. Sawung Sariti, Lurah Gedangan, Wiradapa dan dua
orang pengawal Sawung Sariti terkejut melihat gerakan itu. Apalagi
ketika dengan gigi gemeretak Handaka berteriak nyaring, ”Sawung
Sariti, kau benar-benar biadab. Apakah keuntunganmu dengan membunuh
Paman Sawungrana? Mungkin kau takut bahwa pada suatu ketika orang
mengetahui bahwa kau sama sekali tak berhak mengaku diri putra kepala
tanah perdikan Banyubiru. Karena itu kau menganggap perlu untuk
menyingkirkan orang yang paling ”mengetahui keadaan yang sebenarnya.’
Karena terkejut, untuk beberapa lama
Sawung Sariti berdiri seperti patung. Tetapi kemudian tiba-tiba dengan
tidak berkata apapun, ia langsung menyerang Handaka dengan hebatnya.
Tangannya dengan keras mengarah ke rahang, sedang tangannya yang lain
menyambar leher. Ia bermaksud melumpuhkan lawannya dengan sekali gerak.
Tetapi ternyata anak perantau malas yang berdiri di hadapannya itu
benar-benar telah membingungkan benaknya. Dengan gerak yang tangkas
Handaka menggeser tubuhnya sehingga serangan Sawung Sariti tidak
mengenai sasarannya.
Kembali Sawung Sariti terpaku. Tetapi
hanya sesaat. Ia sadar bahwa ia harus menyelamatkan dirinya ketika
Handaka membalas menyerangnya. Sehingga sekejap kemudian terjadilah
pertempuran diantara kedua anak muda itu. Namun sampai sekian Sawung
Sariti masih sangat merendahkan lawannya. Ketika para pengawalnya akan
bertindak, ia berteriak dengan sombongnya, ”Biarkan anak yang sombong itu mengenal aku dengan baik. Jangan diganggu.”
Maka berlangsunglah kemudian perkelahian
yang sengit. Karena Sawung Sariti bertempur seorang diri, Manahan pun
tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Malah tiba-tiba timbul
keinginannya untuk mengetahui sampai di mana perbandingan ilmu yang
dimiliki oleh kedua anak muda itu.
Beberapa saat kemudian, Sawung Sariti
segera diganggu oleh kerisauan hatinya. Karena sama sekali ia tidak
menduga bahwa anak perantau malas itu mampu melawannya sampai beberapa
lama. Karena itu semakin mendidihlah darahnya. Timbullah berbagai dugaan
mengenai anak itu. Sehingga sambil bertempur berteriaklah ia, ”Hei
anak gila, apakah kau belum pernah mendengar nama Sawung Sariti dengan
baik? Atau barangkali kau baru sekarat. Nah katakan kepadaku siapakah
sebenarnya kau ini. Mungkin benar dugaanku bahwa kau adalah salah
seorang dari gerombolan perampok, menilik ketangkasanmu. Tetapi jangan
mimpi dapat meluputkan diri dari hukumanku atas kelancanganmu ini.”
Bagus Handaka memberi kesempatan Sawung
Sariti sampai habis berbicara, tetapi setelah itu seperti angin ribut ia
menyerang dengan dahsyatnya. Sekali lagi Sawung Sariti terkejut. Dengan
agak sibuk ia berusaha membebaskan dirinya. Untunglah bahwa ia pun
memiliki kepandaian yang cukup sehingga dengan suatu gerakan melingkar
dan meloncat ia dapat menghindari serangan Bagus Handaka. Kemudian
pertempuran itu menjadi semakin sengit. Sedang Sawung Sariti menjadi
semakin heran pula melihat tandang lawannya.
Tetapi Manahan yang menyaksikan
pertempuran itu tidak pula kalah herannya. Ia melihat Sawung Sariti
dapat mengimbangi muridnya. Ia tahu pasti bahwa seandainya ilmu yang
diterimanya khusus dari ayahnya, maka mustahil bahwa dalam waktu yang
singkat itu Sawung Sariti telah memiliki ilmu yang sedemikian tinggi.
Akhirnya Manahan sampai pada suatu kesimpulan yang sangat
menggelisahkan, bahkan menyedihkan hatinya. Ia menduga bahwa
sepeninggalnya, Ki Ageng Sora Dipayana telah kembali ke Banyubiru,
dengan atau tanpa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Tetapi menilik
Sawung Sariti masih mencarinya, maka kemungkinan besar kedua keris itu
masih belum diketemukan. Tetapi agaknya orang tua itu telah menerima
keterangan yang salah tentang daerah perdikan itu.
Dengan licinnya Lembu Sora pasti
membujuknya, sehingga orang tua itu percaya pada kisah yang disusunnya.
Maka karena tidak ada keturunan lain yang dapat diharap meneruskan dan
mewarisi ilmunya, maka Sawung Sariti telah menerima langsung pelajaran
dari orang tua itu.
Pertempuran itu berlangsung semakin lama
semakin dahsyat. Sedang hati Manahan semakin gelisah pula. Sebab ia
melihat pertarungan antara hidup dan mati dari cabang perguruan Ki Ageng
Sora Dipayana. Dua orang sahabat yang pada masa-masa yang silam selalu
bekerja bersama untuk kesejahteraan umat manusia. Tetapi pada saat itu,
ia tidak mampu berbuat apa-apa.Manahan sama sekali tidak dapat
melerainya, karena apa yang dilakukan oleh Sawung Sariti telah jauh
menyimpang dari sifat keutamaan ilmu Ki Ageng Sora Dipayana. Sedang
agaknya Kyai Ageng Sora Dipayana telah bekerja mati-matian menurunkan
ilmu itu kepadanya. Ternyata dengan ketangkasan dan keperkasaan Sawung
Sariti, yang dengan tangkasnya, bertempur melawan Bagus
Handaka. Untunglah bahwa Bagus Handaka pernah mengalami kemajuan yang
pesat sekali, selama enam malam di pantai Tegal Arang. Dimana seorang
yang berilmu mumpuni berpura-pura menyerangnya setiap malam
berturut-turut. Kalau seandainya Bagus Handaka hanya melulu menerima
pelajaran darinya tanpa suatu loncatan, maka bagaimana bisa muridnya itu
mampu melawan murid Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi ternyata bahwa kedua
anak itu berimbang.
Mengalami perlawanan yang tidak kalah
hebatnya dari ilmunya sendiri, Sawung Sariti menjadi gelisah. Ia menjadi
curiga terhadap anak muda yang melawannya itu. Maka sekali lagi ia
berteriak, ”He anak sombong, siapakah sebenarnya kau? Dan darimanakah kau mengenal bahwa yang gugur itu Paman Sawungrana?”
Handaka menyeringai marah sambil menjawab, ”Buat apa kau tahu siapakah aku. Sebab sebentar lagi namamu akan terhapus dari muka bumi.”
Sawung Sariti adalah seorang anak muda
yang sombong. Selama hidupnya ia selalu dihormati dan dimanjakan. Karena
itu ketika ia mendengar jawaban Bagus Handaka, hatinya bertambah
menyala-nyala. Karena itu ia tidak lagi berpikir lain kecuali
membinasakan lawannya. Ia tidak lagi mempedulikan apakah lawannya
bersenjata atau tidak. Cepat seperti kilat tangan Sawung Sariti menarik
pedangnya dan diputarnya seperti baling-baling. Ternyata ketangkasannya
mengolah senjata tidak mengecewakan pula.
Melihat lawannya bermain pedang, Handaka
meloncat beberapa langkah mundur, dan dengan gerak yang tidak kalah
cepatnya tangannya telah memegang sebuah ujung tombak bertangkai pendek.
Itulah Kyai Bancak. Tanda kebesaran tanah perdikan Banyubiru.
Sawung Sariti sendiri belum pernah
melihat tombak itu. Karena itu ia sama sekali tidak terkejut. Bahkan ia
menyerang dengan garangnya. Perlawanan Bagus Handaka pun tidak kalah
dahsyatnya. Agaknya salah seorang pengawalnya pernah mengenal tombak
itu. Tombak yang mempunyai cahaya kebiru-biruan. Karena itu dengan gugup
ia berteriak, ”Angger, itulah tombak Kyai Bancak.”
Meskipun Sawung Sariti belum pernah
melihat Kyai Bancak, ia pernah mendengarnya. Karena itu ketika ia
mendengar nama itu disebutkan, ia pun menjadi terkejut dan meloncat
mundur.
Bagus Handaka kini benar-benar sudah
tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Maka ketika ia mendengar
seseorang menyebut nama tombaknya, ia menjadi bangga, dan dengan sengaja
ia ingin menunjukkan kepada Sawung Sariti bahwa tombak kebesaran
Banyubiru itu ada padanya. Karena itu segera ia berteriak menjawab, ”He orang yang berwajah hantu, kau mengenal tombak ini…?”
Karena pengaruh tombak di tangan Bagus Handaka, tiba-tiba orang itu menjadi takut dan menjawab,” ya, ya… anak muda, aku kenal tombak itu.”
”Ayo katakan siapakah yang pernah memiliki tombak ini?” desak Handaka.
Orang yang ketakutan itu menjawab gugup, ”Ki Ageng Gajah Sora”.
”Bagus…” jawab Bagus Handaka, ”Siapakah Gajah Sora itu?”
Seperti orang yang kehilangan akal orang itu menjawab, ”Kepala Daerah Perdikan Banyubiru.”
“Bagus…” ulang Bagus Handaka. “Kalau
kau tahu itu, katakan kepada anak muda sombong yang mengaku putra
kepala daerah perdikan Banyubiru dan Pamingit sekaligus, bahwa Banyubiru
bukanlah miliknya.”
Mendengar percakapan itu Sawung Sariti
menjadi berdebar-debar. Ia memang pernah mendengar ceritera tentang
tombak itu. Dan ia mengetahui pula bahwa kakak sepupunya hilang tak
tentu perginya, membawa Kyai Bancak.
Dalam saat yang pendek itu otaknya
berputar keras. Tidak mustahil bahwa yang berdiri di hadapannya itu
adalah kakak sepupunya. Ia pernah bergaul pada waktu kecil. Tetapi
setelah beberapa tahun tidak bertemu, memang ada kemungkinan untuk tidak
mengenalnya lagi. Apalagi anak muda yang berdiri di hadapannya itu
wajahnya kehitaman-hitaman terbakar terik matahari serta berpakaian
lusuh dan jelek. Kalau demikian, lalu siapakah yang mengaku menjadi
bapaknya itu…? Akhirnya ia memutuskan untuk menanyakan saja kepada anak
muda yang memegang tombak itu, ”Anak muda yang perkasa, adakah kau sebenarnya memang berhak atas tombak itu?”
”Adakah kau tahu seseorang yang berhak memilikinya kecuali aku?” jawab Handaka.
”Menurut pendengaranku, satu-satunya
orang yang berhak atas tombak itu, kecuali Paman Gajah Sora yang
sekarang masih di Demak, adalah putranya yang bernama Arya Salaka,” sahut Sawung Sariti.
Mengikuti pembicaraan kedua anak muda
yang sedang diamuk oleh kemarahan itu, Manahan menjadi agak cemas.
Ternyata Sawung Sariti yang biasa bergaul dengan orang-orang
pemerintahan mempunyai cara-cara yang licin dalam setiap pembicaraan,
sedang Bagus Handaka yang hidup diantara para petani dan nelayan,
memiliki kejujuran yang utuh. Sehingga ia sama sekali tidak sadar bahwa
ia terseret ke dalam sebuah percakapan yang berbahaya. Manahan yang
sadar akan itu, cepat berusaha untuk mencegah Bagus Handaka menjawab
pertanyaan Sawung Sariti. Tetapi agaknya ia terlambat.
Sebab demikian tangannya bergerak untuk menggamit anak itu, terdengarlah mulut Bagus Handaka berkata, ”Akulah Arya Salaka, karena itu aku mengenal Paman Sawungrana yang gugur karena pokalmu.”
Meskipun sebelumnya Sawung Sariti sudah
menduga-duga, namun mendengar jawaban itu ia masih terkejut sekali
sehingga tubuhnya bergetar. Dengan demikian sekaligus ia melihat bahaya
yang lebih besar menghadang di depannya. Sepeninggal Sawungrana,
sebenarnya ia telah mengurangi jurang yang menghalanginya untuk sampai
pada kekuasaan yang penuh atas Banyubiru dan Pamingit sepeninggal
ayahnya. Tetapi ternyata Arya Salaka yang memang masih diragukan itu,
benar-benar masih hidup dan sekarang berdiri di hadapannya. Karena itu,
tidak ada tindakan yang lebih tepat dan baik menurut anggapannya kecuali
melenyapkannya sama sekali. Maka segera ia berteriak nyaring, ”Bagus
sekali, kalau kau benar-benar Arya Salaka. Maafkanlah aku Kakang, bahwa
aku harus bertindak tegas meskipun terhadap saudara sepupuku sendiri,
karena kau telah bersekutu dengan Wiradapa.” Kemudian terdengar Sawung Sariti berteriak lebih keras lagi, ”Hei orang-orang yang berada di pendapa, kepunglah rumah ini, jangan seorang pun boleh lari.” Lalu katanya kepada dua orang pembantunya beserta lurah Gedangan, ”Ayo tangkap Kakang Arya Salaka.”
Mendengar perintah Sawung Sariti itu,
barulah kedua orang pengawalnya itu sadar. Bagaimanapun juga mereka
adalah pengikut-pengikut Sawung Sariti. Sehingga meskipun anak muda yang
disebutnya melakukan perlawanan, tak ada pilihan lain selain
menangkapnya hidup atau mati. Karena itu segera mereka berloncatan
menyerbu.
Sementara itu orang-orang yang berada di
pendapa Kalurahan itu pun sudah mulai bergerak. Memang sejak mereka
mendengar suara ribut di ruang dalam, mereka menjadi bingung. Tetapi
karena mereka takut untuk meninggalkan pendapa itu, maka dengan gelisah
mereka tetap saja tidak meninggalkan tempatnya. Baru ketika mendengar
suara Sawung Sariti berteriak, maka seperti kuda yang dilepas dari
kandang, mereka menghambur berlarian mengepung rumah lurah Gedangan,
sebagian lagi menerobos masuk. Sehingga terdengar suara hiruk pikuk tak
keruan.
Wiradapa menjadi keheran-heranan dan
bingung melihat tingkah laku anak perantau malas itu, menjadi sadar pula
akan bahaya. Tetapi ia sama sekali tidak berani mencampuri pertempuran
antara kedua anak muda yang memiliki kepandaian yang jauh di atasnya.
Maka yang dapat dikerjakan adalah mengurangi tenaga lawan Handaka.
Dengan tanpa diduga-duga maka segera ia menyerang lurahnya yang sudah
bersiap untuk membantu Sawung Sariti menangkap anak muda yang dikenalnya
sebagai anak perantau malas.

Sementara itu beberapa orang telah
memasuki ruangan itu. Suasana kemudian berubah menjadi ribut tak keruan.
Di ruang yang tak seberapa lebar itu berjejal-jejalan orang yang
bersama-sama akan menangkap Bagus Handaka.
Ketika Manahan melihat dua orang pengawal
Sawung Sariti beserta banyak orang yang lain mulai mengerubut muridnya,
ia tidak dapat tinggal diam. Segera ia pun menerjunkan dirinya ke dalam
kekalutan itu.
Melihat Manahan turut campur, marahlah
kedua orang pengawal Sawung Sariti, yang mengira bahwa Manahan tidak
lebih dari seorang yang hanya dapat berlari-lari saja. Maka dengan acuh
tak acuh salah seorang darinya mendorong Manahan minggir. Tetapi betapa
terkejutnya, ketika tangannya seolah-olah menyentuh dinding besi, bahkan
ia sendiri terdorong surut. Maka segera orang itu mengerti, bahwa
Manahan pun tidak kalah hebatnya dari anak yang telah bertempur melawan
Sawung Sariti.
Karena itu, ia tidak dapat menganggap
enteng lagi, bahwa musuhnya hanya seorang yang mampu berlari-lari saja.
Dengan demikian terpaksa ia menyediakan tenaga sepenuhnya untuk melawan
Manahan, dengan perhitungan bahwa biarlah Sawung Sariti mendapat bantuan
dari orang-orang yang telah datang memasuki ruangan itu. Kemudian
apabila ia telah dapat menyingkirkan Manahan, barulah Bagus Handaka akan
diselesaikan.
Dengan demikian maka terjadilah tiga
lingkaran pertempuran. Bagus Handaka melawan Sawung Sariti dibantu oleh
beberapa orang, Manahan melawan dua orang pengawal Sawung Sariti, dan
Wiradapa melawan lurahnya.
Sesaat kemudian ternyata dugaan para
pengawal Sawung Sariti itu meleset. Mereka sama sekali tidak dapat
dengan segera menyelesaikan pekerjaannya. Meskipun mereka bukanlah orang
yang dapat diremehkan, namun untuk menundukkan Manahan bukanlah
pekerjaan yang ringan. Sedangkan Bagus Handaka, ketika harus mengalami
lawan yang jumlahnya sama sekali tak seimbang, menjadi agak terdesak.
Untunglah bahwa ia memiliki keuletan serta ketabahan hati. Perhatian
Bagus Handaka pada berjenis-jenis binatang hutan yang sedang berkelahi,
banyak memberi manfaat kepadanya. Tetapi ia tidak usah terlalu lama
bercemas hati. Sebab perlahan-lahan tetapi pasti Manahan terus-menerus
mendesak lawannya. Bahkan sebagian dari tenaganya telah dapat
dipergunakannya untuk mengurangi tekanan pengeroyokan terhadap muridnya.
Wiradapa yang bertempur pula dalam
keadaan berimbang dengan kekuatan lurah Gedangan. Mereka agaknya telah
mencurahkan segala kemampuan mereka untuk segera mengalahkan lawannya.
Tetapi disamping itu, bergolaklah kegelisahan diantara mereka. Baik
Lurah Gedangan, Wiradapa maupun Sawung Sariti bersamaan para
pengiringnya, meskipun sebabnya berbeda-beda. Sebagian dari mereka
menjadi bertanya-tanya di dalam hati, siapakah sebenarnya kedua orang
yang mereka anggap perantau malas itu. Sebab dalam keadaan yang
demikian, ternyata bahwa kepandaian mereka dalam ilmu tata berkelahi
tidak ada yang menandingi.
Beberapa saat kemudian Sawung Sariti yang
cerdik, akhirnya merasa bahwa akhir dari pertempuran itu tidaklah
seperti yang diharapkan. Ruangan yang sempit itu sama sekali tak
menguntungkannya. Sebab beberapa orang yang mengeroyok lawannya itu,
malahan kadang-kadang menganggunya. Sehingga terpaksa beberapa kali ia
harus berteriak-teriak dan malahan beberapa kali pula ia terpaksa
memukul orangnya sendiri yang sangat menjengkelkannya. Karena hal itulah
maka akhirnya ia membuat perhitungan-perhitungan dengan seksama. Dalam
waktu yang dekat ia harus dapat mengatasi keadaan, dan setidak-tidaknya
menyelamatkan dirinya sendiri.
Pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin ribut dan kacau. Apalagi ketika tiba-tiba pelita yang tergantung
di dinding terlempar jatuh. Minyaknya yang tumpah berhamburan itu
segera dijilat api, dan dalam sekejap telah menyala berkobar-kobar. Maka
terjadilah keributan yang semakin kacau. Orang-orang di dalam ruangan
itu tidak lagi memperhatikan lawan-lawan mereka, tetapi mereka segera
berusaha untuk dapat keluar dan menghindarkan idri dari nyala api yang
semakin lama semakin besar, bahkan akhirnya api itu telah merayap
sepanjang dinding ruangan.
Dalam keadaan yang demikian, Bagus
Handaka dan Manahan menjadi kehilangan pengamatan atas lawan-lawan
utamanya. Beberapa orang yang berlari-lari kian kemari itu, sangat
mengganggunya. Bahkan beberapa orang telah melanggar mereka dan
mendorong-dorong mereka tanpa sengaja. Manahan yang segera dapat
mengerti dan menguasai masalahnya menjadi sangat marah. Sebab ia yakin
bahwa Sawung Sariti telah dengan sengaja membakar ruangan itu. Karena
itulah maka dengan sekuat tenaga ia menerjang orang-orang yang
menghalangi jalannya menerobos keluar sambil berteriak, Handaka, lawanmu
telah berada di luar.
Mendengar suara gurunya, Handaka pun
segera meloncat dan menyibakkan orang-orang yang sedang kacau itu.
Beberapa orang jatuh bergulingan dan terinjak-injak kawan-kawan mereka
sendiri. Namun Manahan dan Bagus Handaka sama sekali tak sempat
memperdulikan mereka itu. Perhatiannya terpusat kepada Sawung Sariti,
anak pamannya yang telah berkhianat kepada ayahnya.,
Namun alangkah kecewa mereka itu. Sebab
demikian Manahan dan Bagus Handaka sampai di halaman, terdengarlah derap
kuda menderu, dan seperti terbang lepaslah tiga buah bayangan orang
berkuda melarikan diri.
”Itulah dia…” teriak Manahan, ”Marilah kita cari sisa kuda mereka”.
Handaka tidak menunggu kalimat Manahan
berakhir. Segera dia berlari ke halaman belakang. Tetapi ternyata
kandang kuda itu telah kosong. Agaknya Sawung Sariti yang cerdik itu
sempat menyingkirkan dan menakut-nakuti kuda yang lain, sehingga
kuda-kuda itu lari berpencaran.
Bagus Handaka menjadi seperti orang yang
kebingungan berlari-lari mengelilingi kandang kuda itu. Namun ia sama
sekali tak menemukan seekor pun.
Gila! geramnya penuh kemarahan.
Manahan pun tidak kalah marahnya. Namun ia lebih dapat menguasai diri. Maka katanya kemudian kepada muridnya, ”Sudahlah Handaka, baiklah kita bicarakan apa yang harus kita kerjakan seterusnya.”
Sementara itu, terdengarlah jerit dan
teriakan diantara ledakan-ledakan kebakaran. Dalam waktu yang pendek,
api telah menguasai hampir seluruh rumah kalurahan yang dibuat dari
kayu, bambu dan ijuk itu. Beberapa orang berlari-larian menjauhi.
Diantara mereka tampaklah tertatih-tatih Wiradapa yang agaknya menderita
luka-luka.
Melihat Wiradapa yang sudah hampir-hampir
tak mampu lagi menjauhkan dirinya dari kemarahan api itu, hati Bagus
Handaka dan Manahan bersama-sama tergetar. Cepat mereka meloncat dan
memapahnya ke halaman belakang. Ketika Wiradapa sadar bahwa yang
menolongnya itu adalah dua orang yang dianggapnya perantau malas dan
ternyata telah sangat membingungkannya itu, cepat-cepat ia menjatuhkan
diri sambil berkata perlahan-lahan, ”Tuan, maafkanlah aku. Aku tidak
tahu siapakah sebenarnya tuan-tuan ini. Sedang tuan muda ini agaknya
masih ada hubungan darah dengan tuan muda Sawung Sariti yang tamak itu.”
Manahan cepat-cepat menangkap lengan Wiradapa dan menariknya berdiri. Katanya, ”Kakang Wiradapa, kami adalah benar-benar dua orang perantau seperti apa yang kami katakan.”
Wiradapa menggelengkan kepala, sahutnya, ”Aku
telah mendengar perdebatan antara anak muda yang disebut-sebut bernama
Arya Salaka, putra Ki Ageng Gajah Sora yang memiliki tombak Kyai Bancak,
dengan Sawung Sariti yang mengaku dirinya putra kepala daerah perdikan
Banyubiru.”
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya, maka jawabnya, ”Baiklah Kakang, nanti saja saatnya Kakang akan tahu juga. Tetapi bagaimana sekarang dengan api itu?”
Mendengar kata-kata Manahan itu, barulah
Wiradapa sadar bahwa rumah lurah Gedangan hampir musnah dimakan api.
Dalam keadaan itu, tak seorangpun yang mencoba untuk memadamkannya.
Suasana takut, cemas dan bermacam-macam lagi telah menguasai seluruh
penduduk Gedangan, dengan kedatangan Sawung Sariti beserta rombongannya,
yang tampak penuh mengandung rahasia. Itulah sebabnya tak seorangpun
yang berani mendekati halaman kalurahan yang menjadi terang benderang
oleh lidah api yang menyala-nyala seperti hendak menjilat langit.
Beberapa orang yang berdiri jauh dari
tempat kebakaran, memandang api itu dengan mata yang sayu serta hati
yang berdebar-debar. Selama ini mereka menganggap bahwa dari rumah
itulah ketertiban dan kepemimpinan pedukuhan mereka dipancarkan. Sedang
pada saat itu mereka melihat api dengan lahap telah menelannya, tanpa
dapat berbuat sesuatu, karena mereka sama sekali telah kehilangan akal.
Mereka sudah sama sekali tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya.
Tiba-tiba diantara gemeretak suara api
yang menjadi semakin besar itu, terdengarlah suara tertawa yang
menyeramkan. Yang kemudian disusul dengan suara memanggil-manggil, ”Wiradapa… Adi Wiradapa yang bodoh. Kemarilah, kemarilah.”
Wiradapa, Manahan dan Bagus Handaka
terkejut mendengar suara itu. Segera mereka berjalan perlahan-lahan
mengelilingi api dan mencari siapakah yang telah memanggil-manggil itu.
Ketika mereka sampai di sisi rumah yang hampir habis itu, kembali
terdengar suara orang tertawa terbahak-bahak.
Alangkah terkejut mereka, ketika mereka
melihat lamat-lamat di atas pendapa yang telah hampir runtuh, seseorang
yang berdiri bertolak pinggang. Berdesirlah dada mereka ketika mereka
mengetahui bahwa yang berdiri sambil tertawa-tawa itu adalah lurah
Gedangan.
Untuk sesaat mereka tertegun menyaksikan
pemandangan yang menyeramkan itu. Apalagi ketika dengan mata kepala
sendiri mereka melihat lurah Gedangan itu berkata nyaring, ”He, Adi
Wiradapa… kenapa kau menolak bekerja sama dengan kami. Lihatlah kini
rumahku sudah berdinding emas bertiang baja. Aku kini menjadi seorang
yang kaya raya. Dan sebentar lagi aku akan diangkat menjadi bupati.
Setelah itu kembali lurah Gedangan itu tertawa terbahak-bahak.”
”Kakang Lurah… Kakang Lurah….” Tiba-tiba Wiradapa berteriak.
Lurahnya yang berdiri di tengah-tengah
api yang menyala-nyala itu sama sekali tak mendengar teriakannya.
Malahan masih saja ia tertawa dan tertawa.
”Kakang Lurah…!” teriak Wiradapa sekali lagi, ”Tinggalkan pendapa itu, sebelum Kakang terbakar.”
Tetapi kali ini pun suara Wiradapa itu
sama sekali tidak terdengar oleh lurah Gedangan yang telah terganggu
urat syarafnya itu. Ia masih saja berdiri bertolak pinggang sambil
berkata-kata tak menentu lagi.
Tiba-tiba Manahan dan Handaka terkejut
ketika mereka melihat Wiradapa meloncat ke arah pendapa. Untunglah cepat
mereka berhasil menahannya. Tetapi Wiradapa agaknya kehilangan
kesadarannya pula. Sambil meronta-ronta ia berteriak, ”Kakang Lurah… Kakang Lurah… Kemarilah. Rumah itu sudah terbakar. Turunlah, turunlah….”
Namun akhirnya suaranya lenyap ditelan
berderaknya suara pendapa itu runtuh. Bersamaan dengan itu lenyap pula
bayangan lurah Gedangan yang tenggelam ditelan oleh angan-angannya untuk
menjadi kaya raya serta menjadi bupati.
Bersamaan dengan runtuhnya pendapa
kalurahan itu, Wiradapa menutup mukanya dengan kedua belah telapak
tangannya. Bagaimanapun, lurah Gedangan yang lenyap di dalam nyala pi
itu adalah kawan seperjuangannya membangun pedukuhan itu. Mereka
bersama-sama mengalami jerit tangis serta tawa nyanyinya para perintis
yang kemudian dapat membangunkan pedukuhan yang nampaknya menjadi
semakin maju. Sedang pada saat itu di hadapan matanya, ia menyaksikan
kawan senasib sepenanggungan itu lenyap di telan api.
Dengan tak terduga-duga, terdengarlah
Wiradapa menggeram dan terisak. Meskipun terpaksa pada saat yang
terakhir ia menempuh jalan yang berselisih dengan kawan sepenanggungan
itu, namun apa yang pernah mereka alami ternyata telah begitu dalam
menggores di dalam hatinya.
”Sudahlah Kakang,” bisik Manahan menghibur. ”Apa
yang sudah terjadi biarlah terjadi. Yang penting apakah yang akan
datang. Dengan peristiwa ini janganlah Kakang Wiradapa kehilangan akal
dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Dengan hilangnya Kakang Lurah
Gedangan, bukan berarti kewajiban Kakang Wiradapa untuk tampil ke depan
terhenti. Sehingga apa yang pernah dicapai itu tidak akan tersia-sia
saja.”
Mendengar kata-kata Manahan,
perlahan-lahan kesadaran Wiradapa berangsur-angsur utuh kembali. Bahkan
dengan nasehat itu terasalah bahwa masa depan pedukuhan itu seolah-olah
terletak di tangannya. Pasang surut serta timbul tenggelamnya pedukuhan
Gedangan di kemudian hari berada di dalam tanggung jawabnya.
Karena itulah maka seolah-olah ia
mendapat tenaga baru. Dengan tekad yang telah membulat di dalam dadanya,
ditengadahkannya mukanya, memandang kepada nyala api yang masih saja
berkobar-kobar menelan korbannya.
Tetapi mata Wiradapa kini sudah tidak
sesayu tadi. Bahkan tampaklah memancar tekad yang teguh, bahwa ia akan
bekerja keras untuk melaksanakan tugas yang maha berat itu. Lewat
matanya yang menyala-nyala yang mengimbangi nyala api yang membakar
kalurahan itu, seolah-olah tersiratlah kata janjinya untuk meneruskan
pembinaan pedukuhan kecil yang telah dirintisnya bersama-sama dengan
orang yang kini telah luluh karena ketamakannya.
Kemudian tiba-tiba meloncatlah Wiradapa,
berdiri tegak menghadap ke arah pendapa yang telah menelan lurahnya, dan
terdengarlah dari mulutnya suara bergetar perlahan-lahan, ”Mudah-mudahan
Tuhan selalu menuntunku, serta menunjukkan jalan yang benar bagiku.
Demikian pula kepada rakyat Gedangan yang sedang ditelan kegelapan.”
Manahan dan Bagus Handaka merasakan bahwa
Wiradapa benar-benar memiliki keluhuran budi. Karena itu mereka merasa
terharu melihat sikapnya yang sama sekali tidak mendendam kepada
lurahnya yang hampir saja menjerumuskannya ke dalam jurang kematian yang
sangat mengerikan di tangan putra kepala daerah perdikan Pamingit,
Sawung Sariti.
Berbareng dengan itu, di ujung timur
fajar mulai mengembang. Cahaya yang kemerah-merahan dipancarkan ke
seluruh permukaan bumi, membelah kehitaman malam. Di sana sini terdengar
suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan, seolah-olah sama sekali
tidak mempedulikan bahwa pernah terjadi suatu kegoncangan di dalam
pedukuhan kecil yang biasanya damai dan tenang itu.
Seakan-akan segan menghadapi tantangan
cahaya pagi yang perkasa, api yang menelan seluruh isi kelurahan itu
berangsur-angsur surut. Sedang Wiradapa, Manahan dan Bagus Handaka masih
saja berada di halaman.
”Tuan…” kata Wiradapa kemudian, ”Apakah yang harus aku kerjakan pertama-tama?”
Manahan sadar bahwa pertanyaan yang
diucapkan dengan setulus hati itu, bersandar kepada keinginannya untuk
mengetahui, siapakah sebenarnya mereka itu. Maka dengan
bersungguh-sungguh Manahan menjawab, ”Kakang, menurut pendapatku, yang harus Kakang kerjakan pertama-tama adalah memulihkan kepercayaan rakyat kepada Kakang Wiradapa.”
”Akan kucoba. Aku merasa bahwa
beberapa orang masih percaya sepenuhnya kepadaku. Kepada mereka akan aku
bebankan pekerjaan itu. Mudah-mudahan mereka berhasil,” sahut Wiradapa. Selanjutnya ia meneruskan, ”Marilah
Tuan beristirahat di pondokku. Barangkali Tuan sudi mengatakan siapakah
sebenarnya Tuan-Tuan yang telah menyelamatkan pedukuhan ini dari
ketamakan, keserakahan dan dari jalan yang sama sekali sesat, yang akan
ditempuh Kakang Lurah.”
Manahan serta Bagus Handaka tidak dapat
menolak ajakan itu. Maka segera Bagus Handaka melangkah meningggalkan
halaman serta rumah yang telah menjadi abu.
Tetapi sampai di regol dinding halaman,
Bagus Handaka berhenti. Matanya kemudian menjadi semakin sayu. Mula-mula
Manahan tidak tahu, kenapa muridnya berlaku demikian. Tetapi kemudian
ia dapat menangkap apakah yang sedang bergolak di dalam dada anak itu.
Perlahan-lahan Handaka memutar tubuhnya
menghadap ke sisa-sisa reruntuhan rumah yang sudah menjadi musna sama
sekali. Dengan pandangan yang pedih tampaklah bibirnya bergerak-gerak
menyebut nama Sawungrana. Seseorang yang pernah memberinya permainan
pada masa kecilnya. Orang yang pernah menjadi kawannya berlatih. Juga
seorang dari beberapa dari beberapa orang yang tak begitu banyak, yang
merupakan pagar-pagar keamanan Perdikan Banyubiru. Ia adalah orang kedua
setelah Wanamerta.
Kini orang itu telah tiada lagi. Jenazahnya pun tak dapat diselamatkan karena kekalutan yang terjadi.
Manahan yang dapat merasakan sepenuhnya
kepedihan hati muridnya itu merasa pula bersalah, bahwa dalam keributan
itu sama sekali tak diingatnya untuk menyelamatkan jenasah Sawungrana.
Namun adalah lebih baik demikian daripada dikubur disuatu tempat tanpa
diketahui oleh seorangpun.
”Handaka…” kata Manahan meghibur hati muridnya, ”Marilah kita lepaskan pamanmu Sawungrana dengan hati yang ikhlas, agar perjalanannya menghadap Tuhan tidak terganggu.”
Perlahan-lahan Handaka mengangguk kecil
seolah-olah memberikan hormatnya yang terakhir kepada abu jenazah
Sawungrana. Baru setelah itu ia melangkah meninggalkan halaman kelurahan
itu bersama-sama dengan gurunya serta Wiradapa.
Melihat keseluruhan itu, Wiradapa menjadi
semakin tidak mengerti. Apakah hubungan antara anak muda itu dengan
orang yang terbunuh itu? Namun demikian ia tidak bertanya sesuatu.
Maksudnya biarlah hal itu disimpannya sampai nanti di pondoknya.
Sampai di rumahnya Wiradapa disambut
dengan tangis oleh isrinya, yang menyangka bahwa suaminya telah lenyap
dan tak akan dapat bertemu kembali. Tetapi ternyata bahwa suaminya itu
kini masih utuh berdiri di hadapannya, meskipun beberapa luka-luka yang
cukup banyak menggores-gores tubuhnya.
Karena itulah maka, dengan kegirangan
yang tiada terkatakan, Nyai Wiradapa segera menangkap beberapa ekor
ayam, sebagai pesta keselamatan buat suaminya.
———-oOo———-
III
Sehari itu Manahan dan Bagus Handaka
sibuk melayani dan menjawab pertanyaan pertanyaan yang mengalir tanpa
henti-hentinya dari Wiradapa dan beberapa orang kepercayaannya yang
kemudian datang mengunjunginya. Mereka mendengarkan uraian Manahan
dengan mulut ternganga dan hati yang berdebar-debar. Mereka sama sekali
tidak mengira bahwa dua orang yang mereka sangka perantau malas itu
dapat menyelamatkan pedukuhan mereka dari kehancuran mutlak.
Bagus Handaka ternyata sudah tidak dapat
menyembunyikan diri lagi. Terpaksa ia menyatakan dirinya sebagai putra
Ki Ageng Gajah Sora yang bernama Arya Salaka.
Sedangkan Mahesa jenar, meskipun kemudian
diketahui bukan ayah Bagus Handaka, namun ia masih berhasil
menyembunyikan dirinya yang sebenarnya.
Ketika orang-orang kepercayaan Wiradapa
itu mengetahui keadaan sebenarnya, serta peran apakah yang telah
dilakukan oleh Manahan bersama muridnya, serta setelah mereka
menyaksikan sendiri betapa tinggi ilmu kedua orang itu, maka mereka
serentak berpendapat, bahwa tak ada orang lain yang pantas melindungi
pedukuhan kecil itu selain mereka berdua.
Tetapi sayang bahwa dengan rendah hati
Manahan dan muridnya terpaksa menolak kepercayaan rakyat Gedangan,
meskipun mereka sanggup untuk beberapa lama tinggal di situ.
Alangkah kecewanya mereka, ketika
permintaan itu tak dapat dipenuhi, namun bagaimanapun mereka tetap
menaruh harapan pada masa depan, di bawah pimpinan Wiradapa, serta untuk
sementara mendapat bimbingan langsung dari Manahan serta muridnya.
Demikianlah sejak hari itu, pedukuhan
Gedangan telah mendapatkan wajahnya yang baru. Pedukuhan kecil itu
berhasil mencapai kedamaian dan ketenangannya kembali setelah beberapa
orang kepercayaan Wiradapa bekerja mati-matian memberikan sesuluh yang
diperlukan kepada mereka yang telah tersesat. Kepada mereka yang
mendapat banyak janji dan harapan-harapan yang diberikan oleh lurah
mereka yang lama, yang telah hilang ditelan api yang diminyaki oleh
ketamakannya sendiri.
Berbeda dengan keadaan dipadukuhan kecil
itu, perasaan Manahan dan Handaka sendiri selalu digelisahkan oleh
angan-angan mereka tentang beberapa masalah yang belum terpecahkan.
Apalagi ketika ternyata kehadiran Bagus Handaka telah diketahui oleh
Sawung Sariti yang pasti akan sampai ke telinga Lembu Sora. Hal itu
bukanlah suatu hal yang boleh diabaikan. Selama Lembu Sora masih
mengingini daerah perdikan Banyubiru yang kelak akan dilintirkan kepada
anaknya, selama itu nyawa Bagus Handaka selalu dikejar-kejarnya. Manahan
masih saja menebak-nebak, laskar mana sajakah yang telah dipergunakan
oleh Sawung Sariti untuk membunuh Sawungrana. Mungkinkah ia
mempergunakan laskar Pamingit atau laskar sewaan yang lain. Menurut
perhitungan Manahan Sawung Sariti pasti telah mempergunakan dua golongan
laskar yang saling tidak tahu-menahu. Laskar pertama adalah laskar
Pamingit yang harus bertahan bersama-sama dengan laskar Gedangan, sedang
laskar yang lain, harus menyerang rombongan mereka. Dalam keributan
itulah Sawung Sariti menghabisi jiwa Sawungrana. Mungkin dengan
tangannya sendiri, mungkin dengan tangan kedua pengawalnya yang berwajah
seram itu. Mereka mendapat perintah untuk dengan bersungguh-sungguh
bertempur mengusir para penyerang, yang menurut lurah mereka akan
merampok pedukuhan kecil itu. Bahkan dari lurah yang tamak itu, mereka
mendapat janji menerima upah yang tinggi.
Hal ini adalah sama sekali tidak wajar,
bahwa berjuang untuk tanah serta kampung halamannya dijanjikan orang
untuk menerima hadiah.
Tetapi dalam beberapa hari saja,
bekas-bekas peristiwa itu sudah mulai dilupakan orang. Mereka mulai
bekerja keras membangun pedukuhan mereka dengan petunjuk-petunjuk
Manahan dalam berbagai segi. Dari segi pertanian, perkebunan sampai pada
segi-segi pertahanan dan pertempuran. Beberapa orang yang memang
berbakat serta mempunyai kemungkinan untuk menerima ilmu tata berkelahi,
mendapat latihan-latihan kilat dari Manahan dan Bagus Handaka yang
kemudian terpaksa mempergunakan namanya sendiri Arya Salaka. Tetapi
agaknya anak itu lebih senang dipanggil Bagus Handaka.
Suasana yang tenang, damai namun penuh
dengan daya gerak dan pencapaian nilai yang jauh lebih maju dalam segala
segi itu, tiba-tiba menjadi sangat terganggu.
Pedukuhan kecil yang hampir tidak
mempunyai banyak persoalan dengan lingkungan di luarnya, pada suatu saat
mendadak telah dikacaukan oleh kedatangan orang-orang berkuda dari arah
tenggara. Laskar berkuda itu tanpa sebab dan tanpa bertanya sesuatu
langsung mengadakan pembunuhan dan pembakaran dengan ganasnya.
Pada suatu subuh yang kelam di permulaan
musim ketiga, pedukuhan kecil itu digetarkan oleh suara titir dari
setiap kentongan yang ada di pedukuhan itu. Setiap laki-laki mulai dari
yang menginjak usia dewasa sampai mereka yang masih dapat tegak, segera
berloncatan bangun dan berlari-larian berkumpul di halaman lurah mereka
yang baru, Wiradapa, dengan senjata siap di tangan.
Di halaman itu tegak seperti batu karang,
Manahan dan Bagus Handaka. Dahi mereka tampak berkerut-kerut penuh
dengan teka-teki tentang serbuan dari orang-orang berkuda yang
seolah-olah tanpa sebab dan tanpa wara-wara. Sedang Wiradapa sendiri
sibuk mengatur barisan laskar Gedangan dibantu oleh beberapa orang
kepercayaannya.
Dalam pada itu datanglah berlari-larian
seorang pengawas yang melaporkan bahwa pasukan berkuda itu dipimpin oleh
dua orang suami-istri. Tergetarlah dada Manahan mendengar laporan itu.
Karena itu segera bertanya, ”Kau melihat kedua orang suami istri itu…?”
”Ya, Tuan… aku melihat sendiri.
Beberapa kawan kami yang mencoba menahan serangannya, menjadi binasa
hanya dengan sapuan tangan mereka,” jawab pengawas itu.
”Bagaimanakah bentuk tubuh mereka?” tanya Manahan mendesak.
”Si suami bertubuh gagah kekar,
berambut lebat hampir menutupi seluruh wajahnya. Istrinya bertubuh
tinggi ramping, berkuku panjang seperti seekor harimau betina,” jawab orang itu pula.
””Sima Rodra Gunung Tidar...’ desis Manahan.
Mendengar nama itu hati Wiradapa tergetar. Begitu pula mereka yang pernah mendengar nama itu termasuk Bagus Handaka.
Bagaimanapun besar jiwa kepahlawanan
penduduk Gedangan serta kecintaan mereka terhadap kampung halaman
mereka, namun mendengar nama itu diucapkan hati mereka menjadi
tergoncang. Sima Rodra Gunung Tidar di telinga mereka adalah seolah-olah
nama hantu yang siap menerkam nyawa setiap orang yang melawan
kehendaknya. Tetapi yang sama sekali tak mereka ketahui apakah salah
mereka terhadap hantu-hantu itu, sehingga pedukuhan itu harus menjadi
korbannya.
Tuan… kata Wiradapa, Lalu apakah yang mesti kami kerjakan apabila benar-benar yang datang itu Sima Rodra Gunung Tidar?
Manahan menyesal telah menyebut nama itu,
sehingga telah menakut-nakuti dan memperkecil hati mereka. Karena itu
untuk mengembalikan keberanian laskar Gedangan, Manahan menjawab dengan
tertawa kecil, Kakang Wiradapa, bukankah kami sudah bertekad untuk
mempertahankan setiap jengkal tanah dengan tetesan darah? Sedangkan
mengenai suami-istri Sima Rodra itu serahkanlah kepadaku serta anakku
Bagus Handaka. Mereka adalah kenalan lamaku. Mungkin ia akan
berpendirian lain setelah melihat aku di sini.
Untuk beberapa saat mereka tampak
ragu-ragu. Tetapi hati mereka kemudian menjadi tegar ketika mereka
melihat Manahan melangkah diikuti oleh muridnya, dengan wajah yang
tenang, ke arah api yang menyala-nyala di ujung pedukuhan itu.
”Kakang Wiradapa…” kata Manahan sebelum meninggalkan halaman. ”Kepunglah mereka. Hancurkan laskarnya sedapat mungkin. Biarkan pimpinannya aku layani dengan muridku ini.”
”Baiklah Tuan,” jawab Wiradapa
mantap. Setelah itu dengan tengara kentongan, pasukan itu berpencar
menurut siasat yang telah dipersiapkan. Dengan petunjuk Manahan pula
atas pengalaman yang pernah diperoleh Ki Asem Gede, laskar Gedangan
supaya menyerang dengan senjata jarak jauh. Panah dan api. Mereka supaya
menghindari pertempuran perseorangan. Sebab nilai perseorangan laskar
Gedangan tidak akan dapat mengimbangi nilai perseorangan laskar yang
datang dari bukit hantu itu.
Sebentar kemudian terjadilah pertempuran
yang dahsyat sekali. Agaknya cara-cara yang pernah dipakai oleh Ki Asem
Gede itu benar-benar membingungkan laskar Sima Rodra. Karena itulah
tiba-tiba terdengar Sima Rodra mengaum hebat menunjukkan kemarahannya.
Setiap dada yang disinggung oleh getaran suara itu menjadi bergetaran
seperti terhantam angin ribut. Suara yang terlontar dari mulut harimau
liar itu benar-benar dahsyat akibatnya. Laskar Gedangan, yang mula-mula
berbesar hati melihat hasil perjuang-an mereka, tiba-tiba keberaniannya
kuncup dan hampir lenyap. Apalagi ketika melihat seorang laki-laki
bertubuh besar kekar di atas kudanya mengamuk sejadi-jadinya.
Tetapi pada saat mereka sudah hampir
kehabisan akal, tiba-tiba muncul di dalam pertempuran, seseorang yang
dengan tenangnya menyapa orang bertubuh besar kekar yang sedang mengamuk
di atas kudanya itu. ”Selamat datang Sima Rodra. Maafkanlah bahwa aku agak terlambat menyambutmu.”
Kesan dari sapa itu adalah luar biasa
pula. Sima Rodra tampaknya terkejut sekali, sehingga ia menjadi tertegun
diam seperti patung. Ia sama sekali tidak mengira bahwa di pedukuhan
terpencil itu ditemuinya orang yang menjadi musuh utamanya. Tidak saja
musuh perseorangannya tetapi telah benar-benar menjadi musuh
golongannya.
Melihat kesan wajah Sima Rodra itu,
laskar Gedangan menjadi semakin tergugah semangatnya, disamping semakin
besar tanda tanya yang mengetuk-ngetuk hati mereka. Agaknya orang yang
menamakan dirinya Manahan itu benar-benar orang yang aneh, sehingga
terhadap hantu Gunung Tidar itu pun sikapnya sangat meyakinkan.
Tiba-tiba menggelegarlah suara Sima Rodra, “Apa kerjamu di sini Mahesa Jenar?”
Mendengar nama itu disebutkan, terasa
agak janggal bagi Manahan, yang telah agak lama merubah namanya. Sedang
bagi pnduduk Gedangan sebutan itu semakin membingungkan mereka.
“Aku datang di pedukuhan ini sengaja menunggumu setelah beberapa lama kita tidak bertemu,” jawab Manahan sambil tertawa pendek.
Sima Rodra terdengar menggeram marah. Katanya, “Jangan campuri urusanku untuk menumpas tikus-tikus yang telah berani membunuh beberapa orangku beberapa waktu yang lalu.”
Berdesirlah hati Manahan oleh jawaban
itu. Segera ia dapat menghubungkan kedatangan Sawung Sariti, serangan
laskar yang tak dikenal serta keributan-keributan yang ditimbulkan.
Karena itu segera ia menjawab sekaligus menebak, “Sima Rodra, agaknya kau yang telah menjual diri kepada Sawung Sariti untuk membunuh Kakang Sawungrana?”
Kembali Sima Rodra menggeram. “Apa pedulimu…..?”
“Ketahuilah….” sahut Manahan, “Akulah
yang telah membunuh beberapa orang yang tak aku ketahui golongannya
dalam keributan-keributan yang timbul. Aku sangka mereka adalah
orang-orang Pamingit atau manapun yang tak kukenal. Dan mereka itu telah
ditelan api yang dinyalakan oleh Sawung Sariti sendiri,”
Mendengar keterangan Manahan, mata Sima
Rodra Suami Istri menjadi merah menyala-nyala. Mereka yang belum pernah
mengenal wajah itu menjadi menggigil ketakutan. Bagus Handaka, seorang
yang hampir tak mengenal takut, hatinya menjadi berdebar-debar pula.
“Kalau begitu….” terdengar suara Sima Rodra bergetar hebat, “Kepadamulah aku harus menuntut balas.”
“Memang demikianlah adilnya, jawab Manahan. Karena itulah aku sudah bersedia melayanimu bersama-sama dengan anak angkatku ini.”
Sekali lagi Sima Rodra menggeram hebat.
Ia sama sekali tidak mau tersinggung kehormatannya sebagai seorang yang
percaya kepada kekuatan diri. Karena itu segera ia berteriak gemuruh, “Hentikan pertempuran. Aku ingin mendapat penyelesaian yang adil dengan Mahesa Jenar.”
“Bagus…..” sahut Mahesa Jenar, ”Agaknya kau dapat pula bersikap jantan.”
Sesaat kemudian berhentilah pertempuran
antara laskar Gedangan melawan laskar dari Bukit Tidar. Segera mereka
berkerumun untuk menyaksikan pertunjukan yang jarang terjadi di
pedukuhan kecil itu.
Tiba-tiba belum lagi mereka bertempur terdengarlah suara istri Sima Rodra itu melengking, ”Kyai….
serahkanlah orang itu kepadaku. Biarlah aku saja yang menyelesaikannya.
Bukankah aku sekarang berbeda dengan dua tiga tahun yang lalu….?”
Mendengar kata-kata itu hati Manahan
berdesir, meskipun ia tahu bahwa maksud kata-kata itu untuk
menakut-nakutinya. Tetapi tidaklah mustahil bahwa apa yang dikatakan itu
mengandung kebenaran. Sebab selama itu, ayahnya, Sima Rodra tua dari
Lodaya, pasti tidak tinggal diam. Ilmunya yang mengerikan, Macan Liwung,
serta kecekatannya bergerak yang mirip seperti seekor harimau, sangat
menakjubkan.
Kemudian terdengarlah Sima Rodra menjawab, ”Berikanlah kesempatan pertama kepadaku sebagai suatu kehormatan yang dapat kami berikan kepadanya yang terakhir.”
Manahan benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu. ”Jangan
berebut dahulu. Kalian akan mendapat giliran masing-masing. Tetapi
kalau kalian masih membiasakan diri bertempur berpasangan, biarlah Bagus
Handaka membantuku, sebab aku merasa pasti bahwa aku tidak akan mampu
melawan kalian berdua.”
Merahlah telinga Suami Istri Sima Rodra
mendengar jawaban itu. Apalagi yang disebutnya dengan nama Handaka tidak
lebih dari seorang anak-anak. Karena itu dengan marahnya Harimau Liar
itu menjawab, ”Baiklah biarlah aku binasakan kau sampai kepada muridmu. Supaya untuk seterusnya kau tidak selalu mengganggu.”
Selesai dengan kata-katanya itu, segera
suami istri itu meloncat dari kudanya dan dengan gerakan seperti badai
mereka menyerang Manahan dan Bagus Handaka. Sima Rodra bertempur melawan
Manahan, sedang istrinya dengan marahnya menyerang Bagus Handaka.
Melihat gerakan mereka, Manahan agak
terkejut. Memang ternyata mereka telah mendapat banyak kemajuan. Karena
itu segera ia mencemaskan muridnya. Dalam kesempatan yang pendek ia
berbisik, ”Handaka, hindari setiap benturan serta sentuhan dengan
kuku-kuku harimau betina itu. Sebab kuku itu beracun. Aku hanya percaya
kepada kecepatanmu bergerak. Bukan kekuatanmu.”
Handaka maklum kepada nasehat gurunya.
Segera ia sadar bahwa lawannya memiliki ketinggian ilmu di atasnya.
Karena itu ia harus melayani dengan otaknya, tidak dengan tenaganya
melulu.
Dan ternyata kemudian setelah mereka
bertempur beberapa saat, segera Bagus Handaka merasa betapa angin yang
sangat membingungkan melibatnya dari segenap arah. Untunglah bahwa ia
banyak menaruh perhatian pada setiap gerak yang dianugerahkan kepada
alam oleh Penciptanya, kepada setiap makhluk yang paling lemah
sekalipun. Kali ini Bagus Handaka benar-benar menjadi seekor kelinci
yang harus menghindari terkaman serigala ganas, seperti yang pernah
diamatinya dengan saksama. Atau seperti seekor kancil yang menyelinapkan
hidupnya diantara kaki-kaki harimau yang garang.
Karena itulah maka ia tidak dapat
bertempur di tempat yang sempit, Bagus Handaka kemudian berkisar dari
tempatnya, menyusup pepohonan dan mempergunakan batang-batang pohon
sebagai perisai.
Meskipun demikian, ternyata bahwa ia
selalu berhasil menyelamatkan dirinya dari libatan gerakan-gerakan yang
dahsyat dari Harimau Betina Gunung Tidar yang garang itu, meskipun ia
terpaksa berlari-larian dan hanya sekali-sekali saja menyerang, apabila
benar-benar ada kesempatan. Bahkan dengan demikian ia berhasil membuat
istri Sima Rodra itu semakin marah dan menjerit-jerit tak
habis-habisnya.

Maka pertempuran antara dua orang perkasa
itu pun berlangsung dengan dahsyatnya. Sima Rodra menjadi semakin
garang, karena hatinya dibebani oleh dendam yang meluap-luap, sedang
Manahan dengan penuh tekad serta janji kepada diri sendiri, untuk
melenyapkan setiap unsur kejahatan yang merusak sendi-sendi penghidupan.
Kemudian mereka pun tidak dapat bertahan
bertempur di titik yang sama. Perlahan-lahan pertempuran itu berkisar
dari satu lingkaran ke lingkaran yang lain, dengan menandai bekas-bekas
yang mengerikan. Pohon-pohon berderakan roboh, serta batu-batu
menghambur-hambur simpang-siur di udara. Kaki-kaki mereka telah
memecahkan apa saja yang terinjak.
Medan pertempuran itu kemudian menjadi
seolah-olah daerah angin prahara yang belit-membelit dan
hantam-menghantam, bahkan kadang-kadang dibarengi dengan teriakan yang
membahana seperti guntur disusul dengan benturan-benturan dahsyat dari
tangan-tangan mereka yang saling menghantam.
Laskar dari kedua belah pihak yang
menyaksikan pertempuran itu menjadi terpukau diam. Meskipun mereka
pernah pula menyaksikan pertempuran-pertempuran dahsyat, apalagi laskar
dari Gunung Tidar, namun kali ini merupakan suatu pertempuran yang
benar-benar jarang terjadi.
Berbeda dengan pertempuran itu, Bagus
Handaka masih saja bermain kucing-kucingan. Dengan cerdiknya ia memilih
tempat-tempat yang gelap dan berpohon-pohon meskipun kadang-kadang ia
dikejutkan oleh pukulan yang dahsyat dari Istri Sima Rodra, yang
mematahkan pohon-pohon yang dipergunakan sebagai perisai. Keadaan itu
sebenarnya sangat menggetarkan hati Handaka. Namun adalah suatu
keuntungan bahwa baik tubuhnya maupun jiwanya telah tertempa hebat,
sehingga bagaimanapun ia tidak kehilangan akal.
Meskipun demikian, disamping melayani
lawannya yang tangguh luar biasa, Manahan masih selalu mencemaskan
muridnya. Hanya kadang-kadang saja ia sempat melirik Handaka yang
berlari-larian di dekatnya, kemudian anak itu menyerang sekali dua kali,
kemudian kembali berlindung di balik pohon-pohonan.
Namun bagaimanapun juga akhirnya Manahan terpaksa mengakui bahwa Handaka sama sekali tak akan dapat bertahan lebih lama lagi.
Karena itu Manahan telah berjuang semakin
keras. Ia mengharap dapat segera menyelesaikan pertempuran. Dengan
demikian ia akan dapat pula menyelamatkan Bagus Handaka. Tetapi ternyata
Sima Rodra sekarang bukan lagi Sima Rodra tiga tahun yang alu. Sima
Rodra itu ternyata telah memiliki berbagai macam ilmu yang belum
dimilikinya dahulu. Gerakannya menjadi sangat garang, cekatan dan sangat
berbahaya, sehingga untuk menandinginya, Manahan sudah harus memeras
segenap ilmunya. Karena itu ia menjadi gelisah. Bagaimana jadinya Bagus
Handaka kalau ia tidak segera dapat menolongnya.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal di
luar dugaan. Ketika Bagus Handaka telah benar-benar terdesak, dan tidak
mampu untuk berbuat sesuatu, hati Manahan tergoncang hebat. Cepat ia
meloncat mundur, menghindar dari lingkaran pertempuran. Pada saat itu ia
melihat tangan istri Sima Rodra itu telah terayun deras sekali, sedang
Bagus Handaka yang baru saja kehilangan keseimbangan dan jatuh
bergulingan, masih belum sempat meloncat berdiri. Manahan tidak
mempunyai kesempatan lagi untuk meloncat mendekati. Maka satu-satunya
kemungkinan adalah menyelamatkan muridnya dari jarak jauh. Untunglah
bahwa ia masih sempat menyambar sebuah batu dan dengan sekuat tenaga
batu itu dilemparkan ke arah istri Sima Rodra. Ternyata pertolongannya
itu untuk sementara berhasil. Istri Sima Rodra terpaksa meloncat
menghindari batu yang dengan derasnya menyambar kepalanya. Saat yang
sangat berharga itu ternyata dapat dipergunakan Handaka dengan baiknya.
Cepat ia melenting berdiri dan dengan tangkasnya pula tangannya
menyambar tombaknya, Kyai Bancak. Pada saat itu Manahan tidak dapat
berbuat lebih banyak lagi. Sebab Sima Rodra telah menggeram dengan
hebatnya dan menerkamnya sebagai seekor harimau yang kelaparan. Sehingga
sesaat kemudian pertempuran telah berulang lagi dengan dahsyatnya.
Demikian juga Bagus Handaka, ia harus sudah bekerja mati-matian melawan
istri Sima Rodra itu. Meskipun di tangannya telah tergenggam Tombak
Pusaka Banyubiru, namun ia masih banyak mengalami kesulitan. Tetapi
sedikit banyak tombak di tangannya itu akan dapat memperpanjang daya
perlawanannya.
Tiba-tiba, ketika Bagus Handaka sekali
lagi mengalami tekanan yang hebat, sedang Manahan masih belum sempat
untuk menolongnya, datanglah sebuah bayangan yang seperti melayang
memasuki lingkaran pertempuran. Dengan tangan kirinya ia mendorong Bagus
Handaka, sehingga anak itu jatuh terpelanting. Dan sesudah itu tanpa
mengucapkan sepatah katapun ia langsung menyerang istri Sima Rodra.
Bagus Handaka ketika kemudian telah dapat
meloncat berdiri, memandang orang itu dengan penuh keheranan. Tenaganya
meskipun terasa lunak, namun kuatnya bukan kepalang. Meskipun demikian,
dalam keheranannya itu ia menjadi gembira pula. Sebab menilik
kekuatannya, ia mengharap bahwa orang itu dapat mengimbangi istri Sima
Rodra. Kemudian dengan mulut ternganga ia memperhatikan pertempuran yang
berlangsung dengan hebatnya. Kedua-duanya memiliki kecepatan bergerak
yang mengagumkan, sehingga pertempuran itu seolah-olah berubah menjadi
bayang-bayang daun yang bergerak-gerak ditiup angin pusaran.
Manahan dan Sima Rodra suami-istri pun
tidak pula kalah herannya. Mereka sama sekali tidak mengenal siapakah
orang yang telah berani ikut campur dalam pertempuran itu. Namun
beberapa saat mereka tidak sempat memperhatikan lebih saksama lagi,
karena masing-masing masih harus berjuang diantara hidup dan mati. Hanya
kemudian terdengar istri Sima Rodra itu berteriak melengking karena
marahnya. ”He, orang yang tak tahu diri. Siapakah kau yang berani mencampuri urusan kami?”
Namun orang yang perkasa itu sama sekali
tidak menjawab. Bahkan ia mempercepat gerakannya sehingga istri Sima
Rodra itu terpaksa bekerja lebih keras lagi, sejalan dengan memuncaknya
kemarahannya. Tetapi agaknya lawannya pun memiliki ketangkasan yang
mengagumkan. Tangannya dengan lemasnya bergerak menyambar-nyambar
seperti ujung ribuan cambuk yang bergerak bersama-sama, sehingga dengan
demikian terasa bahwa serangan orang itu datangnya dari ribuan arah
pula.
Hal yang sedemikian itu dapat dilihat
pula oleh Sima Rodra. Ia kemudian agak mencemaskan istrinya. Maka
sekarang ialah yang bekerja mati-matian untuk segera dapat menundukkan
lawannya. Karena itu tandangnya menjadi semakin garang. Serangannya
datang bergulung-gulung seperti ombak yang diguncang oleh badai. Namun
ternyata lawannya tangguh seperti batu karang, yang sama sekali tak
dapat ditundukkan. Karena itu, maka tiba-tiba Harimau Hitam dari Gunung
Tidar itu tidak sabar lagi. Dengan mengaum hebat, direntangkannya kedua
belah tangannya, serta tubuhnya menggeletar dengan hebatnya. Itulah
tandanya bahwa Hantu Gunung Tidar itu akan mempergunakan Aji Macan
Liwung.
Melihat sikap lawannya, Manahan terkejut.
Ia pernah melihat sikap yang demikian ketika ia melawan orang
berkerudung kulit harimau hitam bersama-sama dengan Gajah Sora. Yang
kemudian ternyata bahwa orang itu adalah Sima Rodra tua dari Lodaya. Ia
mengenal gerak yang demikian, yang menurut seorang sakti dari
Banyuwangi, Titis Anganten, adalah pemusatan tenaga untuk melontarkan
Aji Macan Liwung. Karena itu untuk sesaat hatinya tergetar hebat.
Tetapi Manahan tidak sempat berbuat
banyak. Belum lagi ia sempat berbuat sesuatu, dilihatnya Sima Rodra itu
telah meloncat dengan suatu auman yang mengerikan. Untunglah bahwa
Manahan adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh yang mumpuni. Ditambah lagi
dengan pengalaman yang telah menempa dirinya siang malam. Karena itu,
melihat Sima Rodra menerkamnya dengan ajinya yang sangat berbahaya,
Manahan tetap dapat menguasai dirinya. Dengan cermat ia mempelajari
gerak lawannya untuk dengan tepat menghindarkan dirinya. Ketika kedua
tangan Sima Rodra dengan kuku-kukunya yang mengembang itu melayang ke
arahnya, cepat Manahan menjatuhkan diri dan berguling-guling ke arah
yang berlawanan, justru lewat di bawah kaki Sima Rodra yang melayang di
atas satu kakinya, kakinya yang lain ditekuk ke depan, sebuah tangannya
menyilang dada dan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi. Dengan gerak
secepat petir menyambar, Manahan meloncat dan menghantamkan sisi telapak
tangannya ke arah dada Sima Rodra yang baru saja berhasil memutar
tubuhnya. Maka terjadilah suatu benturan yang maha dahsyat. Sima Rodra
yang telah mengenal pula tanda-tanda yang mengerikan itu, segera mencoba
menghimpun kekuatannya untuk melawan. Namun Sasra Birawa adalah suatu
ilmu yang jarang ada tandingnya. Itulah sebabnya maka tubuh Sima Rodra
yang besar kekar itu terlempar beberapa langkah, dan kemudian seperti
sebuah batu terbanting berguling-guling, dibarengi dengan pekik ngeri
yang keluar sekaligus dari mulut istri Sima Rodra dan orang yang
melawannya. Untuk beberapa kejap, orang yang bertempur melawan Harimau
Betina Gunung Tidar itu diam mematung mengawasi tubuh Sima Rodra yang
kemudian terbujur diam tak bergerak. Sedang mata yang membayangkan
kengerian dan ketakutan tersirat di wajah istri Sima Rodra. Agaknya ia
merasa, dengan kekalahan yang dialami oleh suaminya itu, merupakan suatu
titik batas yang tak akan mampu lagi diatasi. Apalagi dengan demikian
ia merasa bahwa ia harus berhadap-hadapan dengan orang yang telah
berhasil membinasakan suaminya itu, di samping orang yang tak
dikenalnya. Karena itu, meskipun dendamnya menggelegak sampai ke
lehernya, maka ia lebih baik menghindarkan diri dari kebinasaan, untuk
kelak dapat membalaskan sakit hati serta kematian suaminya. Maka selagi
mereka masih belum sampai menarik perhatian atasnya, lebih baik ia
melenyapkan diri.
Mendapat keputusan itu, secepatnya ia
meloncat ke arah kudanya, dan dalam sekejap melontarkan diri ke punggung
kuda itu, untuk seterusnya menarik kendali kudanya yang kemudian
berlari seperti angin. Berbareng dengan itu mengumandanglah suara
Harimau Betina itu berteriak, “Tunggulah hari pembalasan akan datang.”
Setelah derap suara kuda yang kemudian
disusul oleh para pengawalnya itu lenyap, suasana menjadi hening sepi.
Mereka kini ternyata telah berada agak jauh dari ujung desa, dimana
pertempuran itu dimulai. Manahan, Bagus Handaka, orang yang takdikenal
itu, beserta setiap orang yang berada di situ, berdiri diam seperti batu
dengan wajah-wajah yang tegang. Pandangan mereka berganti-ganti beralih
dari Manahan, Bagus Handaka yang masih menggenggam Kyai Bancak, orang
yang hanya tampak remang-remang dalam gelap malam, dan Sima Rodra yang
terbujur diam, meskipun masih terdengar ia lamat-lamat mengerang menahan
sakit dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada.
Untuk beberapa lama, orang itu mengawasi
Sima Rodra pula. Tetapi kemudian, terjadilah suatu hal yang tak seorang
pun menduganya. Dengan menggeram orang itu dengan dahsyatnya menjadi
terkejut sekali. Untunglah bahwa ia cekatan, sehingga meskipun agak
sulit, ia berhasil menghindarkan dirinya. Tetapi agaknya pemuda itu
tidak mau berbicara lagi. Sekali lagi ia menyerang Manahan, sekali lagi
dan sekali lagi berturut-turut. Mula-mula Manahan yang masih bingung
menebak-nebak, hanya selalu menghindar-hindar saja. Dengan suara
bergetar ia mencoba bertanya, Ada apakah Ki Sanak menyerang aku?
Akibat dari pertanyaan itu mengherankan.
Orang yang menyerang Manahan itu tiba-tiba terloncat selangkah mundur.
Meskipun wajahnya tak begitu jelas dalam gelap malam, namun agaknya
orang itu memperhatikan Manahan dengan saksama. Tetapi kemudian kembali
ia mengejutkan tidak saja Manahan, juga orang-orang yang hadir menjadi
semakin bertanya-tanya dalam hati. Sebab sesaat kemudian orang itu
dengan tiba-tiba kembali meloncat menyerang Manahan dengan dahsyatnya.
Kembali Manahan dengan penuh pertanyaan mencoba menghindarkan diri dari
serangan-serangan yang sangat berbahaya itu. Sekali dua kali Manahan
masih berhasil meloncat-loncat seperti berpijak di atas batubara. Namun
apa yang dapat dilakukan itu tidaklah lama. Sebab bagaimanapun juga
orang itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi pula, sehingga akhirnya
Manahanpun menjadi jengkel. Akhirnya terpaksa Manahan pun mulai membalas
serangan demi serangan. Dalam sekejap terjadilah kembali pertempuran
yang dahsyat. Kedua-duanya memiliki tenaga serta kecepatan gerak yang
mengagumkan.
Pertempuran ini pun tidak kalah
dahsyatnya dengan pertempuran yang telah terjadi antara Manahan melawan
Sim Rodra. Meskipun lawan Manahan ini belum memiliki kedahsyatan tenaga
seperti Sima Rodra, namun kelincahannya sangat mengagumkan. Ia memiliki
daya serang yang luar biasa serta membingungkan. Dua belah tangannya itu
merupakan senjata yang sangat berbahaya. Kini, Manahan seolah-olah kini
berhadapan dengan seorang yang memiliki beberapa pasang tangan, yang
bergerak bersama-sama menyerangnya. Itulah sebabnya semakin lama Manahan
semakin kehilangan kesabaran. Ia tidak mau menjadi korban dari suatu
masalah yang gelap, yang sama sekali tak diketahuinya. Maka akhirnya,
dengan mengerahkan kekuatannya, Manahan pun kemudian berjuang dengan
hebatnya. Serangannya datang seperti asap yang bergulung-gulung melibat
lawannya. Karena itu beberapa lama kemudian terasa bahwa Manahan akan
dapat menguasai keadaan. Setapak demi setapak tetapi pasti, ia selalu
berhasil mendesaknya.
Tetapi dalam pada itu lawannya pun segera
mengerahkan segenap tenaganya. Gerakannya menjadi semakin lincah dan
cepat. Agaknya ia pun menyadari bahwa lawannya memiliki beberapa
kelebihan daripada dirinya. Karena itu ia bertempur dengan sangat
berhati-hati.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran
itu, termasuk Bagus Handaka, tidak habisnya keheran-heranan. Mereka sama
sekali tidak tahu persoalan apa yang telah terjadi. Mula-mula mereka
melihat seseorang membantu Bagus Handaka melawan istri Sima Rodra
sehingga sepasang Harimau Gunung Tidar itu sudah dapat dikalahkan.
Tetapi yang tiba-tiba saja malahan orang yang telah membantu itu dengan
dahsyatnya berganti menyerang. Namun demikian tak seorangpun berani
berbuat sesuatu. Tak seorangpun yang berani mencoba melerainya.
Jangankan para penduduk Gedangan, sedang Bagus Handaka pun melihat
pertempuran itu dengan wajah yang kagum. Pada saat Manahan bertempur
dengan Sima Rodra, ia sama sekali tidak sempat menyaksikannya, sebab ia
sendiri harus selalu berloncat-loncatan menghindari serangan istri Sima
Rodra. Pada saat ia menyaksikan pertempuran antara orang yang
menolongnya itu melawan istri Sima Rodra yang tak sehebat gurunya, iapun
telah mengaguminya. Apalagi pertempuran itu. Diam-diam ia menjadi
semakin kagum melihat keperkasaan Manahan, namun ia heran juga melihat
orang dapat bertempur selincah lawan gurunya itu.
Tetapi yang tak seorang pun tahu, adalah
kesibukan hati Manahan. Ketika lawannya telah sangat terdesak, dan
melawannya dengan segenap ilmu yang dimilikinya, Manahan menjadi
berdebar-debar. Agaknya ia pernah bertempur dengan seseorang yang
memiliki ilmu yang demikian dahsyat serta lincah. Meskipun demikian
sesaat ia masih bertempur sepenuh tenaga. Ia tak mau ditelan oleh
angan-angannya, yang belum mendapat kepastian. Karena itulah ia masih
saja mendesak maju, serta mempersempit setiap kesempatan bergerak dari
lawan, yang bagaimanapun lincahnya, akhirnya merasakan juga ilmunya
belum dapat disejajarkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Manahan.
Akhirnya ketika ia sudah tidak mampu lagi
melawan dengan tangannya, tiba-tiba memancarlah sebuah cahaya yang
berkilat-kilat. Di tangan orang itu kemudian tergenggam sehelai pedang
yang tipis, yang agak lebih kecil sedikit dibandingkan dengan pedang
biasa.
Melihat pedang itu hati Manahan berdesir.
Cepat ia meloncat mundur, dan dengan dada bergetaran ia akan mencoba
untuk menghentikan pertempuran. Namun belum lagi mulutnya sempat
mengucapkan kata-kata, orang itu telah meloncat menyerang dadanya.
Tetapi sekarang Manahan tidak lagi berusaha untuk melawan, bahkan
menghindar pun tidak.
Ketika ia melihat pedang itu, dan
kemudian ia melihat ujung pedang itu selalu bergetar dalam tangan
lawannya, ia sudah pasti, siapakah orang itu. Karena itu betapa
menyesalnya, bahwa ia telah benar-benar bertempur, dan bahkan mungkin
sudah menyakitinya pula.
Dalam sesaat itu, ia sudah dapat
mengetahui hampir segala persoalan kenapa tiba-tiba ia diserangnya. Juga
ia yakin bahwa lawannya telah pula mengetahui siapakah sebenarnya
dirinya.
Sebaliknya, orang itupun terkejut ketika
Manahan sama sekali tak menghindari mata pedangnya yang sudah hampir
merobek dada itu. Kalau semula ia benar-benar marah dan dendam, namun
ketika Manahan sama sekali seolah-olah pasrah diri, hatinya bergoncang.
Tiba-tiba saja timbullah suatu perasaan, bahwa tidak semestinyalah ia
harus melukai orang itu, apalagi setelah lawannya itu pasrah.
Lebih-lebih sampai mengambil jiwanya. Karena itu, kemudian dengan
gugupnya ia mencoba untuk menarik serangannya. Tetapi sayang bahwa
lontaran tenaga loncatnya sedemikian besar. Maka yang dapat dilakukannya
adalah mengubah arah pedangnya. Meskipun demikian, karena ujung
pedangnya yang setajam pisau pencukur itu sudah hampir melekat dada,
maka terpaksa ujung pedang itu masih menggores lengan Manahan.
Mengalami peristiwa itu, Manahan berdesis
kecil sambil terdorong setapak ke samping oleh gerak naluriahnya.
Tetapi setelah itu, kembali ia tegak seperti patung, tanpa suatu usaha
untuk membalas, apalagi membinasakan lawannya.
Berdesirlah setiap dada, dari mereka yang
mengelilingi arena pertempuran itu. Sedang diantara mereka, dada
Handakalah yang paling terguncang. Tanpa disengajanya ia telah meloncat
maju. Tetapi kemudian ia tidak berani melangkah, sebelum mendapat izin
dari gurunya. Meskipun keinginannya untuk melakukan apapun karena
kemarahannya yang telah memuncak melihat gurunya dilukai, pada saat
gurunya sudah menghentikan perlawanan. Sedangkan ia yakin bahwa kalau
saja Manahan menghendaki, pasti ia berhasil menghindari tusukan pedang
itu.
Tetapi lebih dari segala keanehan yang
telah terjadi, orang-orang di sekitar arena pertempuran itu seolah-olah
benar-benar melihat suatu pertunjukan yang sengaja untuk memusingkan
kepala mereka. Sebab setelah itu, tiba-tiba ia melihat orang yang telah
melukai Manahan itu pun berdiri pula seperti patung sambil menundukkan
wajahnya dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa ia pun sangat menyesal bahwa
Manahan telah terluka. Orang itu merasa bersalah, bahkan lebih dari itu,
berbagai-bagai perasaan bergulat di dalam hatinya. Karena itu dengan
tangan bergetar ia menyarungkan pedangnya perlahan-lahan. Setelah itu,
tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dan berlari ke arah Sima Rodra yang
masih saja terlentang sambil mengerang kesakitan. Segera ia menjatuhkan
dirinya, dan berlutut di sampingnya.
Suasana kemudian dicengkam oleh kesepian
yang mendalam. Setiap orang seakan-akan mencoba untuk tidak melakukan
suatu gerakan pun. Bahkan suara nafas mereka menjadi tertahan-tahan
pula.
Tetapi tiba-tiba di dalam kesepian itu
terdengarlah suara tangis yang tertahan. Beberapa orang hampir menjadi
tak percaya kepada dirinya sendiri, bahwa mereka telah mendengar tangis
seorang perempuan.
”Ayah…” terdengar suara di antara isak tangis itu.
Untunglah, bahwa pada saat itu sisi
telapak tangan Manahan menghantam dada Sima Rodra, ia sedang dalam
kesiagaan penuh untuk melontarkan ajinya Macan Liwung, sehingga daya
kekuatannya pun telah dipergunakan hampir sepenuhnya. Dengan demikian ia
telah terhindar dari kebinasaan yang mengerikan. Bahkan karena
kekuatan tubuhnya yang melampaui kekuatan manusia biasa, setelah
mengalami penggemblengan dari mertuanya, Sima Rodra tua dari Lodaya, ia
masih tetap hidup, meskipun keadaannya sudah sangat payah karena
luka-luka di tubuhnya bagian dalam.
Karena itu ia masih dapat mendengar
seseorang menangis di sampingnya. Ketika ia membukakan matanya, ia
terkejut. Yang menangis berlutut di sampingnya itu adalah orang yang
telah bertempur melawan istrinya. Maka dengan penuh keheranan ia
memandanginya.
Apalagi sekali lagi ia mendengar orang itu memanggilnya dengan suara sayu, ”Ayah….”
Bagaimanapun buasnya Harimau Gunung Tidar
itu, ketika pada saat-saat jiwanya dalam bahaya, dan tiba-tiba seorang
dengan sayu menangisinya, kebuasannya tiba-tiba menjadi luluh.
Lebih-lebih lagi ketika ternyata suara itu adalah suara perempuan.
Disamping perasaan sakit yang menyengat-nyengat hampir seluruh tubuhnya,
hatinya diganggu oleh pertanyaan yang hampir tak masuk di akalnya,
bahwa masih ada seorang perempuan kecuali istrinya, yang sudi
menangisinya, justru baru saja ia bertempur mati-matian melawan istrinya
itu.
Maka karena kebingungannya itulah dengan suara yang gemetar ia bertanya, ”Siapakah kau…? ”
Orang yang berlutut itu memandang wajah
Sima Rodra dengan pandangan lembut penuh haru. Meskipun ia pernah
mendendamnya, namun sekarang, di hadapan orang yang telah sama sekali
tak mampu bergerak itu, segala perasaan dendamnya seperti lenyap
dihanyutkan banjir.
Karena beberapa lama tidak terdengar jawaban, kembali Sima Rodra bertanya terputus-putus, ”Siapakah kau…?”
Orang yang berlutut di hadapannya itu seperti tersadar dari mimpi. Maka dengan suara yang gemetar pula ia menjawab lirih, ”Ayah…, aku anakmu…, Rara Wilis.”
”Wilis, kau Rara Wilis…?” tanya Sima Rodra dengan suara yang tergagap. Matanya terbelalak, memancarkan cahaya yang aneh.
”Ya, ayah….” Aku Rara Wilis.
”Wilis… Wilis….” Suara Sima
Rodra mengulang-ulang nama itu seperti hendak meyakinkan kebenarannya.
Dan mendadak ia berusaha untuk mengangkat kepalanya, namun tenaganya
sudah tidak memungkinkan lagi, karena itu segera ia terjatuh kembali.
Untunglah Manahan yang dikenal oleh Sima
Rodra dan Rara Wilis dengan nama Mahesa Jenar, dengan cepat menangkap
kepala Sima Rodra, sehingga tidak terantuk tanah.
Melihat Mahesa Jenar berusaha
menolongnya, Sima Rodra menggeram marah. Meskipun tubuhnya telah terlalu
letih, namun ia memaki-maki juga. Katanya, ”Pergilah kau Mahesa
Jenar yang menyangka bahwa dirimu adalah manusia yang paling tulus di
dunia ini. Jangan kau kotori tanganmu dengan kejahatan yang melekat pada
tubuhku.”
Meskipun demikian, Mahesa Jenar tidak
melepaskan tangannya untuk menahan kepala Sima Rodra. Dan karena Sima
Rodra tidak berdaya untuk menghindari maka akhirnya ia berdiam diri.
”Tenangkanlah hatimu Sima Rodra, bisik Mahesa Jenar. Dalam saat yang demikian tidak seharusnya kau masih mendendam.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu
kembali Sima Rodra menggeram. Namun ia tidak berkata apa-apa. Akhirnya
kembali matanya menatap orang yang mengaku diri anaknya. Maka
meluncurlah dari bibirnya yang bergerak perlahan-lahan suatu keluhan
singkat. Kemudian ia mencoba berkata pula, ”Wilis… benarkah kau anakku…?”
”Ya ayah, aku benar-benar anakmu yang kau tinggalkan bersama ibu,” jawab Rara Wilis sedih.
”Di mana ibumu sekarang?” tanya Sima Rodra semakin lemah.
Kembali Rara Wilis terisak. Dengan kata-kata yang hampir tak terdengar ia membisiki ayahnya, ”Ibu telah meninggal, setahun sepeninggal ayah.”
Sima Rodra menarik nafas dalam-dalam.
”Wilis…” katanya kemudian, ”Maafkanlah
ayahmu ini. Mungkin kau telah mendengar segenap garis perjalanan
hidupku yang dipenuhi oleh noda-noda hitam. Sampaikan pula permintaan
maafku kepada kakekmu, Ki Santanu.”
”Ayah…” sahut Rara Wilis, ”Lupakanlah
apa yang pernah terjadi. Aku sudah berjuang dengan sepenuh tenagaku
atas petunjuk dan bantuan kakek yang ternyata juga bernama Ki Ageng
Pandan Alas.”
”Pandan Alas…?” ulang Sima Rodra.
”Ya ayah, Kakek Santanu adalah Ki Ageng Pandan Alas,” jawab Rara Wilis menegaskan.
“O…” kembali Sima Rodra menarik nafas dalam-dalam. Suaranya semakin perlahan-lahan, meskipun cukup jelas, “Alangkah
bodohnya aku, dan agaknya mataku telah buta pula. Tetapi, benarkah
bahwa Ki Santanu itu Ki Ageng Pandan Alas…? Agaknya daripadanya pula kau
memperoleh ilmu yang dahsyat itu….”
Rara Wilis mengangguk kecil. Jawabnya, “Aku
pelajari dengan tekun, siang dan malam, untuk dapat merebut ayah
kembali dari tangan Harimau Betina Gunung Tidar. Setelah cukup ilmuku,
aku pergi merantau mencari ayah pula. Ketika aku mendengar di daerah
ini, segera aku menyusul. Dan sekarang aku telah menemukan ayah dalam
keadaan parah.”
Kembali terdengar Rara Wilis menangis
terisak-isak. Sedangkan mata Sima Rodra itu memancarkan sinar kemarahan
yang tak terhingga kepada Mahesa Jenar.
”Sudahlah Wilis…” kata Sima Rodra, ”Kau
adalah seorang gadis yang perkasa melampaui laki-laki biasa. Karena itu
jangan menangis. Kalau kau bertemu dengan kakekmu, sampaikan baktiku.
Ki Panutan yang telah mendurhaka. Tetapi dapatkah kau buktikan bahwa Ki
Santanu adalah Ki Ageng Pandan Alas?”
Perlahan-lahan Rara Wilis mengangguk.
Ditariknya sebilah keris dari wrangka di lambungnya di balik bajunya.
Sambil menunjukkan keris itu ia berkata, Inilah ayah.
”Sigar Penjalin…” desis Sima Rodra, ”Cobalah aku merabanya.”
Segera keris itu diserahkan kepada Sima
Rodra yang menerimanya dengan sisa tenaganya. Meskipun demikian,
terjadilah sesuatu diluar dugaan mereka. Dengan tangannya yang lemah
Sima Rodra mencoba menggoreskan keris yang sakti tiada taranya itu ke
tangan Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang.
Demikian juga Rara Wilis yang sama sekali tidak menduga bahwa ayahnya
akan berlaku demikian. Karena itu tidak sesadarnya ia memekik kecil.
”Kenapa kau terkejut Wilis…? Biarlah aku mati bersama-sama dengan orang yang telah membunuhku. Adakah kau kenal dia…?”
Rara Wilis mengangguk perlahan.
Melihat Rara Wilis mengangguk, Sima Rodra, yang mula-mula bernama Ki Panutan, mengernyitkan alisnya, ”Hem…” desahnya. ”Siapakah orang ini sebenarnya…?”
”Sebagai yang ayah kenal,” jawab Rara Wilis, ”Namanya
Mahesa Jenar, yang mencoba melawan kejahatan. Menurut kakek, ia adalah
bekas seorang prajurit yang bergelar Rangga Tohjaya.”
”Bekas prajurit…?” ulang Ki Panutan, yang kemudian disebut Sima Rodra muda. ”Apakah hubunganmu atau kakekmu dengan dia?”
”Tak ada,” sahut Rara Wilis.
”Tetapi Kakang Mahesa Jenar itu pernah membebaskan aku dari kebuasan Jaka Soka Nusakambangan.”
“He…” Sima Rodra terkejut, setelah itu tubuhnya bertambah lemah. Dengan suara yang hampir berbisik ia berkata, ”Syukurlah kau terlepas dari tangan Ular Laut yang keji itu.”
Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata, ”Maafkan
aku Mahesa Jenar. Agaknya kau benar-benar telah berjuang untuk
menegakkan sendi-sendi kebajikan. Kalau demikian biarlah dalam saat yang
terakhir ini aku bercermin diri. Baik… kau Wilis… maupun kau Mahesa
Jenar… telah menempatkan diriku pada titik kesadaran. Karena itu aku
akan berlalu dengan hati yang lapang.”
”Ayah…” potong Rara Wilis, ”Aku telah bersusah payah, berusaha untuk menemukan ayah.”
Ki Panutan itu tampak tersenyum. Meskipun
wajahnya yang ditumbuhi oleh rambut-rambutnya yang lebat, yang baru
beberapa waktu berselang memancarkan cahaya yang mengerikan, sebagai
seorang yang menamakan dirinya Sima Rodra, kini tiba-tiba telah berubah
sama sekali. Dengan mata yang bersih bening, serta senyum keikhlasan, ia
berbisik perlahan sekali, ”Wilis… biarlah aku pergi. Puaslah sudah
hatiku setelah aku mengetahui bahwa anakku telah menjadi seorang gadis
yang perkasa, serta berhati bersih. Kau mau berlutut di sampingku
meskipun kau tahu bahwa hidupku penuh diwarnai oleh noda dan dosa.”
Setelah itu, nafasnya menjadi semakin sesak. Beberapa kali Ki Panutan itu menggeliat menahan sakit.
”Ayah… ayah….” Rara Wilis hampir memekik.
Ki Panutan yang telah memejamkan matanya itu perlahan-lahan membukanya kembali. Sekali lagi ia tersenyum penuh keikhlasan.
”Ayah, jangan pergi….” jerit
Rara Wilis yang sudah kehilangan keperkasaannya menyaksikan keadaan
ayahnya, tetapi ia telah berubah menjadi seorang gadis kembali yang
menyaksikan saat-saat terakhir dari ayahnya yang selama ini dicarinya.
Tetapi tak seorang pun yang kuasa menahan
renggutan maut. Demikianlah perlahan-lahan Ki Panutan itu menutup
matanya. Ia masih sempat menyilangkan tangannya di dadanya sebagai suatu
pernyataan keikhlasan hatinya. Diantara rambut yang tumbuh hampir
memenuhi wajahnya itu, terseliplah bibirnya membayangkan senyum. Dan
sesaat kemudian Ki Panutan yang telah menggemparkan dengan kebiasaannya
menculik gadis-gadis untuk upacara-upacara kepercayaannya yang
aneh-aneh, serta perampokan dan kejahatan-kejahatan yang pernah
dilakukan di bawah nama Sima Rodra serta panji-panji bergambar harimau
hitam, kini meninggal dunia di tangan musuh utamanya dengan penuh
keikhlasan. Bersamaan dengan itu terdengarlah Rara Wilis memekik tinggi.
Dengan tangis yang memancarkan kekecewaan hatinya, ia menelungkup di
atas tubuh ayahnya yang sudah membeku.
Melihat semuanya itu, serta setelah
mendengar pembicaraan mereka, orang-orang Gedangan menjadi sedikit
banyak dapat menangkap persoalan di antara mereka. Meskipun demikian
mereka masih berdiri tegak seperti patung. Bagus Handaka juga tidak
beranjak dari tempatnya. Ia kini sudah teringat siapakah orang itu.
Namun ia mengenalnya sebagai Pudak Wangi.
Maka terharulah sekalian yang menyaksikan
peristiwa itu. Pertemuan pada saat-saat terakhir yang memilukan. Tidak
ketinggalan pula hati Mahesa Jenar. Disamping itu ia tidak mengerti apa
yang harus dilakukan.
Tiba-tiba kembali hatinya digetarkan oleh
gadis anak Ki Panutan itu. Dengan tangkasnya gadis itu berdiri tegak.
Tangan kirinya menggenggam Kyai Sigar Penjalin, sedangkan tangan
kanannya menuding ke arah Mahesa Jenar dengan pandangan yang
menyala-nyala.
Rara Wilis hampir saja tidak dapat
mengendalikan dirinya lagi. Setelah bertahun-tahun ia bekerja keras
untuk dapat merebut ayahnya dan kemudian berangan-angan untuk dapat
hidup damai kembali di tempat asalnya, ternyata kini pada saat yang
diimpi-impikan itu datang, ayahnya terbunuh oleh Mahesa Jenar.
Maka dengan gemetar penuh luapan perasaan ia berkata, ”Kakang
Mahesa Jenar. Kau telah merampas seluruh masa depan yang
kuangan-angankan selama ini. Karena itu Kakang, aku akan membuat suatu
perhitungan hutang-piutang. Kau telah membebaskan diriku dari tangan
Jaka Soka di hutan Tambak Baya. Tetapi kemudian kau binasakan ayahku
pada saat aku menemukannya. Dengan demikian maka aku anggap bahwa
hutang-piutang kita telah lunas. Sejak ini aku anggap bahwa aku adalah
orang yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan Mahesa Jenar.
Semua persoalan berikutnya adalah persoalan yang harus diperhitungkan
tersendiri.”
”Wilis…” jawab
Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak sempat berkata lebih banyak lagi, sebab
sekejap kemudian Rara Wilis telah meloncat dengan kecepatan yang
mengagumkan, menerobos ke dalam gelap malam, dan hilang di dalamnya.
Mahesa Jenar kemudian diam tertegun.
Banyak hal yang sebenarnya akan diutarakan. Tetapi apa boleh buat.
Sebenarnya ia sangat kecewa mendengar kata-kata Rara Wilis. Kalau ia
membunuh Sima Rodra, adalah karena Sima Rodra telah melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Bertentangan
dengan perikemanusiaan, apalagi dipandang dari segi Ketuhanan.
Namun demikian ia percaya, bahwa pada suatu saat Rara Wilis pasti akan dapat menginsyafi hal ini.
Melihat kekisruhan yang sedang membelit
hati Mahesa Jenar, yang dikenal oleh penduduk Gedangan bernama Manahan,
tak seorang pun berani mendekatinya, apalagi bertanya sesuatu kepadanya,
termasuk Bagus Handaka. Baru kemudian ketika Manahan itu telah
melangkah pergi dan mengajak muridnya, Wiradapa segera menjejerinya,
meskipun ia masih berdiam diri.
Pada pagi hari berikutnya, atas
permintaan Mahesa Jenar, diselenggarakanlah pemakaman Sima Rodra muda
yang sebenarnya bernama Ki Panutan, dengan baik. Bagaimanapun jahatnya
orang itu, namun pada saat terakhirnya, ia sudah menemukan dirinya
kembali. Karena itu wajarlah bahwa terhadap jenazah itu tidak perlu
dilakukan pembalasan dendam.
Namun bagaimanapun, pada hari itu
perasaan Manahan seolah-olah sedang diselimuti oleh kabut tebal. Ia
merasa bahwa dirinya telah dihanyutkan oleh keadaan yang sama sekali tak
menguntungkan. Adalah suatu kebetulan yang sangat menyulitkan bahwa
orang yang pertama-tama dibinasakan adalah Sima Rodra, ayah Rara Wilis.
Meskipun demikian, dengan penuh kesadaran
Mahesa Jenar yang juga bernama Manahan itu, tetap pada pendiriannya.
Bahwa mereka yang termasuk dalam golongan hitam harus dibinasakan,
terutama pemimpinnya, yang mempunyai nama menggetarkan seperti Lawa Ijo,
sepasang Uling dari Rawa Pening, Jaka Soka dari Nusakambangan, dan
tidak ketinggalan Istri Sima Rodra yang masih tidak kalah berbahayanya.
Maka karena semuanya itu pula Mahesa
Jenar teringat pada kesanggupannya untuk mencari Keris Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten. Diketemukannya kedua keris itu, akan dapat
membuktikan pula bahwa Gajah Sora tidak bersalah.
Karena itu maka ia bermaksud untuk secepatnya meninggalkan Gedangan meneruskan perjalanan. Tetapi kemana…?
Dari Wiradapa ia pernah mendengar seorang
yang menamakan diri Panembahan Ismaya. Menurut Wiradapa, berdasarkan
kabar yang baru-baru saja didengarnya, orang itu adalah seorang yang
sangat luas pengetahuannya. Meskipun Panembahan Ismaya itu hampir tidak
meninggalkan pertapaannya, namun ia adalah seorang yang sakti, yang
mungkin dapat menunjukkan di manakah keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten, atau setidak-tidaknya petunjuk ke mana ia harus mencari,
atau bagaimanakah caranya untuk menemukannya.
Dengan demikian maka timbullah keinginan
Manahan untuk bertemu dengan orang yang disebut Panembahan Ismaya itu.
Seandainya orang itu tidak dapat menunjukkan pusaka-pusaka yang hilang
itu, namun setidak-tidaknya pertemuan dengan seorang Panembahan akan
banyak memberinya manfaat.
Maka segera Manahan mengemukakan
hasratnya itu kepada Wiradapa, untuk mendapat petunjuk-petunjuk ke mana
ia harus pergi serta syarat-syarat yang diperlukan untuk menemui
Panembahan Ismaya.
Setelah ia mendapat beberapa petunjuk
maka segera ia minta diri untuk menghadap Panembahan itu, serta
seterusnya melanjutkan perjalanannya. Tentu saja Wiradapa merasa
keberatan, tetapi bagaimanapun juga Manahan terpaksa meninggalkan
padukuhan kecil itu.
Setelah Manahan memberikan beberapa
petunjuk untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang mungkin datang, baik
dari pihak Sawung Sariti maupun dari pihak istri Sima Rodra, dengan
memberikan latihan-latihan singkat kepada beberapa orang, barulah
Manahan tega meninggalkan pedukuhan Gedangan. Sebab kemungkinan yang
paling baik adalah mempergunakan senjata-senjata jarak jauh dengan
mengandalkan jumlah yang banyak. Sebab tidak mungkin mereka melakukan
perlawanan perseorangan terhadap orang-orang seperti Sawung Sariti
ataupun Istri Sima Rodra.
Di suatu pagi yang cerah, berangkatlah
Manahan dan Bagus Handaka meninggalkan Gedangan untuk menghadap seorang
yang menamakan dirinya Panembahan Ismaya, dengan diantar oleh
berduyun-duyun penduduk yang ditinggalkan sampai ke ujung desa. Mereka
melepas Manahan bersama muridnya dengan hati yang berat. Sedang
sebenarnya Manahan pun merasa khawatir pula. Tetapi ia mengharap bahwa
apabila masih ada orang-orang yang mendendam, dendam mereka tidak
ditujukan kepada rakyat Gedangan, tetapi kepada dirinya yang telah
bertekad menghadapi segala akibat dari perbuatannya.
Sebaliknya, dengan perjalanan itu,
Handaka menemukan kegembiraannya kembali. Berjalan di alam luas, di
bawah langit yang terentang tanpa batas. Batu -batu yang menjorok di
lereng-lereng bukit, serta semak-semak yang terserak-serak diantara
padang-padang ilalang, tampaknya sangat mengagumkan di bawah cahaya
pagi. Gemersik daun-daun yang bergerak ditiup angin, terdengar seperti
suara orang yang berbisik-bisik, terpesona oleh kebesaran alam serta
Maha Penciptanya.
Di lereng-lereng bukit, di kehijauan
rumput yang basah oleh embun, tampak berloncat-loncatan, dan kemudian
menghilang di dalam semak anak-anak kijang yang keriangan.
Tetapi perjalanan mereka kali ini
bukanlah perjalanan yang terlalu jauh. Setelah mereka bermalam satu
malam di perjalanan, maka pada keesokan harinya, tanda-tanda yang
pertama dari padepokan yang dicarinya telah tampak.
Di sebuah puncak bukit kecil, tampaklah
dari kejauhan sebatang pohon beringin tua yang menghijau diantara
batu-batu padas yang berwarna sawo. Itulah padepokan yang dinamai oleh
penghuninya Karang Tumaritis. Di situlah Panembahan Ismaya mengolah
diri, bertapa mesuraga. Belum lagi matahari mencapai titik tertinggi di
langit, mereka telah menyusur jalan setapak yang melingkar-lingkar
menaiki lereng bukit kecil itu. Sampai di lambung bukit, Manahan dan
Bagus Handaka telah dipesonakan oleh tanam-tanaman berbunga yang asri.
Di sana sini tampaklah taman-taman yang teratur rapi, diwarnai oleh
dedaunan yang berseling-seling. Tanam-tanaman yang berdaun lebar,
berdaun sedang dan tanam-tanaman yan berdaun sempit. Dari yang berwarna
hijau muda, hijau tua dan berwarna kemerah-merahan.
Demikianlah Manahan dan Bagus Handaka
berjalan di antara keindahan taman bunga yang digarap oleh tangan yang
pasti sangat mencintai alam.
———-oOo———-
IV
Beberapa lama kemudian tampaklah dua
orang cantrik menuruni lereng itu. Wajahnya jernih cerah dan masih
sangat muda, sebaya dengan Bagus Handaka. Meskipun pakaian mereka sangat
sederhana, namun tampaknya bersih dan serasi.
Tetapi mereka menjadi terkejut sekali
ketika mereka melihat Manahan dan Bagus Handaka menaiki bukit itu.
Bahkan mereka kemudian terpaku seperti patung dengan pandangan yang
bertanya-tanya. Melihat sikap mereka, segera Manahan mengetahuinya,
bahwa pasti bukit kecil yang terpencil ini sangat jarang dikunjungi
orang. Untuk segera menghilangkan kesan yang kurang baik, segera
Manahan dan Bagus Handaka mengangguk hormat. Melihat tamunya mengangguk,
kedua cantrik itupun segera menanggapinya, dan dengan ramahnya berkata,
”Tuan… apakah keperluan Tuan berdua mengunjungi tempat kami yang tak berarti ini?”
Dengan ramah pula Manahan menjawab, ”Ki
Sanak, kedatangan kami kemari adalah terdorong dari keinginan kami
untuk menghadap yang terhormat Panembahan Ismaya yang bertapa di bukit
Karang Tumaritis. Bukankah bukit ini yang bernama KarangTumaritis?”
Kedua cantrik itu tersenyum. Salah seorang diantaranya menjawab, ”Benar
Tuan, bukit kecil ini memang bernama Karang Tumaritis. Dan di bukit ini
pula tinggal Panembahan Ismaya. Kami adalah cantrik-cantrik yang
mengabdikan diri pada Panembahan. Kalau Tuan-tuan ingin menghadap,
baiklah kami sampaikan nama Tuan-tuan berdua kepada Panembahan Ismaya.
Sedang Tuan-tuan kami persilahkan untuk menanti di bawah beringin itu.”
”Baiklah Ki Sanak,” sahut Manahan. ”Nama kami adalah Manahan dan Bagus Handaka.”
Setelah mengangguk sekali lagi, segera
kedua cantrik itu berlalu untuk menyampaikan permintaan kedua orang tamu
yang akan menghadap Panembahan.
Di bawah beringin tua, Manahan dan Bagus
Handaka menanti, sambil menikmati keindahan lembah dan ngarai yang
terbentang di bawah bukit kecil itu. Pandangan mata mereka beredar dari
relung-relung lembah, padang-padang rumput di dataran yang berseling
dengan semak-semak, kemudian merayapi lereng-lereng bukit kecil itu
sendiri dan akhirnya taman bunga di sekitar mereka. Tiba-tiba mereka
terkejut ketika mereka melihat beberapa bagian dari taman itu tersulam
beberapa jenis tanaman baru. Bukan karena jenis tanaman baru itu akan
menambah keasriannya, tetapi jelas bahwa sulaman itu disebabkan karena
kerusakan. Dugaan mereka bertambah kuat pula ketika mereka melihat
pagar-pagar hidup yang membatasi jalan-jalan sempit di pekarangan itu
terdapat beberapa sulaman pula. Siapakah kira-kira yang merusakkan
tanaman-tanaman yang begitu rapi itu…?
Belum lagi Manahan dan Bagus Handaka
selesai menikmati seluruh isi halaman itu, tampaklah kedua cantrik yang
menemuinya tadi berjalan mendekatinya. Dua cantrik itu baru saja muncul
dari sebuah rumah kecil yang berdinding kayu, dan beratap ijuk. Meskipun
rumah itu sederhana saja, tetapi tampak betapa cermat pemeliharaannya.
Beberapa langkah di depannya, kedua
cantrik itu berhenti. Dan setelah membungkuk hormat, berkatalah salah
seorang, Tuan, marilah Tuan berdua kami persilahkan menungu di gubug
kami dahulu. Panembahan tengah merendam diri di telaga Pangawikan di
bagian selatan bukit ini. Nanti apabila matahari telah surut beliau baru
kembali.
”Ki Sanak…” jawab Manahan, ”Biarlah kami menunggu di sini saja. Alangkah sejuknya udara, dan alangkah indahnya pemandangan.”
Kedua cantrik itu tersenyum, maka berkata yang lain, ”Tuan terlalu memuji. Tetapi Panembahan selalu tidak puas dengan hasil kerja kami.”
”Pastilah Panembahan Ismaya seorang yang cinta pada alam”, sahut Manahan.
”Tuan benar,” jawab salah seorang cantrik itu. Sesaat kemudian ia melanjutkan, ”Namun begitu marilah kami persilahkan beristirahat di gubug kecil itu sambil menunggu kedatangan Panembahan.”
Tidak sepantasnyalah kalau Manahan
menolak ajakan itu. Maka bersama-sama dengan Bagus Handaka segera mereka
diantar memasuki rumah kayu yang beratap ijuk itu. Meskipun rumah itu
pendek dan beratap ijuk, namun kesejukan udara terasa meresap ke
dalamnya. Mereka berdua dipersilahkan duduk diatas bale-bale bambu yang
besar di sisi pintu.
”Tuan…” kata salah seorang, ”Kami persilahkan Tuan menunggu sebentar, kami akan minta diri untuk menyelesaikan pekerjaan kami.”
”Silahkan,” kata Manahan sambil mengangguk.
Kedua orang itu segera meninggalkan
Manahan dan Bagus Handaka, tetapi sementara itu, muncullah seorang
cantrik yang lain, yang agak lebih tua dari kedua cantrik tadi. Dengan
senyum ramah pula ia menyapa, ”Tuankah yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka?”
Mendengar pertanyaan itu Manahan dan
Bagus Handaka serentak terbelalak karena terkejut. Mereka memperkenalkan
diri sebagai Manahan dan Bagus Handaka, tetapi cantrik itu menyebut
nama-nama mereka yang sebenarnya. Karena itu dada mereka jadi tergetar.
Sebaliknya, cantrik itupun menjadi terkejut pula. Ia tertegun berdiri di pintu seperti kebingungan. Tiba-tiba berkatalah ia, “Tuan… kalau demikian agaknya aku salah duga. Mungkin
ada tamu yang lain yang bernama seperti yang aku sebutkan tadi. Sebab
Panembahan telah memerintahkan kepadaku untuk datang mendahului kemari
menemui kedua orang tamu yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka,
putra Kepala Daerah Perdikan Banyubiru. Maka maafkanlah kesalahan ini.
Selanjutnya siapakah Tuan berdua yang barangkali akan menemui
Panembahan?”
Manahan dan Bagus Handaka menjadi semakin
kisruh. Agaknya Panembahan Ismaya telah mengetahuinya, bahkan sampai
pada orang tua Arya Salaka. Karena itu maka Manahan menjadi berterus
terang, ”Ki Sanak, benarlah kami berdua yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Putra Kepala Daerah Perdikan Banyubiru.”
Cantrik itulah kemudian yang tampak bingung. Lalu katanya dengan tarikan nafas dalam-dalam, ”Syukurlah, tetapi agaknya Tuan terkejut ketika aku menyebut nama Tuan.”
Mendapat pertanyaan itu, Manahan bertambah sibuk. Namun akhirnya ia berkata dengan jujur, ”Ki
Sanak, pada saat aku datang, aku memperkenalkan diriku dengan nama yang
akhir-akhir ini kami pakai dalam pengembaraan kami, yaitu Manahan dan
Bagus Handaka. Karena itulah kami terkejut ketika Ki Sanak menyebut
nama-nama kami yang sebenarnya.”
”O….” desis cantrik itu. ”Aku juga tidak mengerti, dari mana Panembahan tahu nama-nama Tuan yang sebenarnya.”
Mendengar keterangan itu, Manahan dan
Bagus Handaka menjadi terpesona. Mereka merasa bahwa mereka benar-benar
akan bertemu dengan Panembahan Ismaya yang waskita.
”Kalau demikian…” cantrik itu melanjutkan, ”Biarlah aku menemani Tuan-tuan di sini seperti perintah Panembahan, sebelum beliau datang.”
Kemudian duduklah cantrik itu
bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Dari cantrik itu pula,
Mahesa Jenar tahu bahwa seorang cantrik telah memberitahukan
kehadirannya kepada Panembahan yang sedang merendam diri di telaga
Pangawikan, yang kemudian memerintahkan cantrik itu untuk menemuinya.
Maka kemudian mereka bercakap-cakap
tentang berbagai-bagai masalah, bergeser dari yang satu kepada yang
lain. Dari jenis tanam-tanaman sampai berbagai jenis tumbuh-tumbuhan
yang mengandung manfaat untuk obat-obatan. Akhirnya sampailah
pembicaraan mereka kepada tanam-tanaman yang tumbuh di halaman serta
sulaman-sulaman barunya. Maka berkatalah cantrik yang bernama Jatirono, ”Tuan,
beberapa waktu berselang, taman kami itu telah dirusakkan oleh beberapa
orang berkuda yang tidak kenal keindahan. Mereka datang dengan
kuda-kuda mereka menerjang tanaman kami setelah mereka marah-marah dan
memaki-maki. Aku tidak tahu apakah sebabnya. Tetapi setelah mereka
menghadap Panembahan, agaknya mereka merasa kecewa karena beberapa
sebab. Lalu seorang diantaranya yang sebaya dengan Tuan Muda putra
Banyubiru itu, marah-marah. Mereka tidak saja merusak taman kami, tetapi
mereka juga merusak beberapa perabot rumah kami.”
”Tidakkah seorangpun dapat mencegahnya?” tanya Arya Salaka, meskipun ia agak canggung atas sebutan yang diucapkan oleh cantrik itu.
Cantrik itu menggelengkan kepalanya, katanya, ”Siapakah
diantara kami yang mampu mencegah seorang yang perkasa itu? Kami adalah
orang-orang lemah yang bertekun diri di padepokan ini untuk suatu
pengabdian rokhaniah. Karena itu kami hanya dapat menyaksikan apa yang
dilakukan oleh anak muda itu dengan hati yang berdebar-debar.”
Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang
sebenarnya lebih senang disebut Bagus Handaka, menarik nafas untuk
mengendorkan perasaan mereka. Sebab mereka sudah pasti bahwa anak muda
yang merusak-rusak itu adalah Sawung Sariti. Demikian sombongnya anak
itu, sehingga mereka berani melakukan hal-hal yang sama sekali tak
berkesopanan, di hadapan seorang Panembahan. Tetapi semuanya itu telah
lampau, sehingga keduanya hanya dapat menahan perasaan mereka yang
melonjak-lonjak.
Maka, ketika mereka sedang bercakap-cakap
dengan asyiknya, masuklah seorang gadis kecil menjinjing sebuah nampan
berisi minuman dan makanan. Dengan cermatnya gadis itu menyuguhkan
mangkok tanah yang berisi air jeruk serta makanan dan buah-buahan kepada
tamunya. Dan kemudian membungkuk hormat, berjalan meninggalkan mereka.
Mahesa Jenar tersenyum melihat keprigelan
gadis yang baru berumur belasan tahun itu, sehingga meloncatlah
pertanyaannya, Alangkah tangkasnya gadis kecil itu. ”Apakah ia salah seorang endhang di padepokan ini?”
Jatirono tertawa kecil. Jawabnya, ”Gadis
kecil itu adalah satu-satunya putri cucu Panembahan Ismaya. Saudaranya
laki-laki adalah tetua kami para cantrik. Namanya Putut Karang Tunggal,
yang sekarang sedang menemani Panembahan berendam di telaga Pangawikan.”
”O…” sahut Mahesa Jenar. ”Karena itulah maka wajahnya bercahaya.”
”Siapakah nama gadis kecil cucu Panembahan itu?”
”Endang Widuri,” jawab Jatirono.
„Endang Widuri?“ ulang Mahesa Jenar. „Suatu
nama yang bagus. Tetapi lebih dari pada itu, Endang Widuri adalah
seorang gadis yang lincah dan cakap, di bawah tuntunan yang sempurna
pula.”
”Mudah-mudahan demikianlah,” jawab Jatirono, ”Meskipun sebagai anak-anak, nakalnya bukan alang kepalang.”
Demikianlah setelah Mahesa Jenar dan Arya
Salaka menikmati hidangan yang disuguhkan oleh Endang Widuri, maka
berkatalah Jatirono, ”Tuan berdua, kami persilahkan tuan
beristirahat di sini. Sebentar lagi Panembahan Ismaya akan sudah dapat
menerima Tuan-tuan. Karena itu biarlah aku menengoknya sebentar.”
Maka pergilah Jatirono meninggalkan
Mahesa Jenar dan Arya Salaka untuk menengok apakah Panembahan Ismaya
telah siap menerima tamunya. Hanya sebentar kemudian masuklah ke dalam
rumah kecil itu seorang pemuda tampan, bertubuh gagah serta berdada
bidang. Namun geraknya halus dan sopan. Ia tidak berpakaian seperti
para cantrik yang lain, tetapi ia mengenakan sebuah jubah putih. Dengan
penuh hormat ia berkata, ”Tuan, Eyang Panembahan Ismaya sudah
selesai merendam diri. Sekarang beliau sedang bersiap untuk menerima
Tuan-tuan. Karena itu kami persilahkan tuan bersama aku menghadap.”
Bagaimanapun juga hati Mahesa Jenar
menjadi berdebar-debar. Ia adalah seorang ksatria yang biasa bergaul
dengan para kesatria pula, sewaktu ia masih berada di lingkungan istana.
Sehingga dengan demikian jaranglah baginya bergaul dengan seorang
Panembahan seperti Panembahan Ismaya. Sedang Arya Salaka, justru karena
selama ini ia hidup diantara para petani dan nelayan, ia sama sekali
tidak merasakan suatu kejanggalan apapun. Meskipun dari gurunya ia
selalu menerima petunjuk-petunjuk yang berharga tentang sopan santun dan
tata pergaulan.
Dari pondok kecil itu mereka menyusur
jalan sempit diantara tanam-tanaman hijau dihiasi oleh bunga-bunga dari
berbagai warna, menuju ke sebuah pondok lain yang agak lebih besar.
Namun pondok ini pun dibuatnya dari kayu dan beratap ijuk pula.
”Di rumah itulah Eyang Panembahan akan menerima Tuan-tuan”, kata pemuda yang bertubuh tegap itu.
Menilik sebutan yang diucapkan, maka
Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa pemuda yang sedikit lebih tua dari
Arya Salaka itulah yang bernama Putut Karang Tunggal, saudara laki-laki
dari Endang Widuri.
Ketika mereka memasuki rumah itu segera
mereka melihat seorang yang telah lanjut usia duduk di atas sebuah batu
hitam yang dialasi oleh kulit kayu. Meskipun kesan wajahnya yang telah
tua, serta rambutnya telah memutih kapas, namun tubuhnya masih nampak
segar. Agaknya orang itu tampak jauh lebih muda dari umur yang
sesungguhnya.
Mahesa Jenar dan Arya Salaka segera
mengerti, bahwa orang itulah yang disebut Panembahan Ismaya. Karena itu
mereka berlaku sangat sopan dan hati-hati.
Tetapi Mahesa Jenar dan Arya Salaka
terkejut ketika tiba-tiba, setelah Panembahan Ismaya itu melihat mereka,
segera ia berdiri sambil tergesa-gesa menyongsongnya. Dengan sangat
hormat ia menyambut tangan Mahesa Jenar untuk bersalaman. Mahesa Jenar
menjadi agak kaku dan heran, kenapa seorang Panembahan sampai sedemikian
menghormati tamunya. Apalagi dirinya yang tidak menunjukkan tanda-tanda
kebesaran apapun, malahan agaknya tidak cukup pantas untuk mendapat
kehormatan bertemu dengan seorang Panembahan.

Untuk menghilangkan kekakuan, Mahesa Jenar pun mengangguk dengan takzimnya sambil menjawab, ”Berbahagialah aku mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan.”
Tetapi apa yang dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu semakin mengejutkan Mahesa Jenar, ”Bagiku
kedatangan Anakmas adalah suatu kurnia. Sebab aku sama sekali tidak
bermimpi bahwa tempat ini akan mendapat kunjungan dari seorang perwira
istana seperti Anakmas Rangga Tohjaya.”
Mahesa Jenar menjadi semakin sibuk
menduga-duga, alangkah jauh dari dugaannya tentang Panembahan itu. Namun
demikian Mahesa Jenar menjadi bertambah tidak mengerti, darimanakah
orang tua itu dapat mengenalnya sebagai seorang prajurit dan bernama
Rangga Tohjaya?
Dalam kebingungan itu terdengar Panembahan Ismaya berkata kembali, ”Marilah Anakmas….”
Seperti orang yang kehilangan kesadaran
Mahesa Jenar melangkah masuk diikuti oleh Arya Salaka. Mereka berdua
kemudian duduk pula di atas batu hitam yang juga beralaskan kulit kayu.
Sedang pemuda tampan yang mengantar mereka tadi dengan takzimnya duduk
bersila di lantai di belakang Panembahan Ismaya.
Setelah Panembahan Ismaya menanyakan
keselamatan Mahesa Jenar, serta beberapa hal tentang dirinya serta
perjalanannya mendaki bukit kecil itu, akhirnya Panembahan Ismaya sampai
pada sebuah pertanyaan tentang keperluan Mahesa Jenar.
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar diam. Ia
masih ragu. Apakah perlu ia mengutarakan keperluannya. Bukankah
Panembahan Ismaya yang bijaksana itu telah dapat membaca perasaan yang
tersimpan di dalam dadanya.
Melihat Mahesa Jenar termangu berkatalah Panembahan itu, “Anakmas,
kedatangan Anakmas ke bukit kecil ini pastilah mempunyai suatu maksud.
Meskipun tidak sewajarnya kalau aku yang tak berarti ini memberanikan
diri untuk menerima pertanyaan Anakmas. Sebab apakah yang dapat aku
kerjakan? Aku adalah seorang tua yang tak pernah meninggalkan bukit ini,
sehingga pasti yang aku ketahui tidaklah lebih dari katak di bawah
tempurung.”
Namun bagaimanapun juga Mahesa Jenar
menganggap bahwa Panembahan Ismaya itu seolah-olah memiliki indera
keenam, yang dapat melihat barang yang tak kasatmata. Karena itu dengan
takzimnya ia menjawab, “Panembahan telah mengetahui apa yang tidak
pernah aku katakan kepada Panembahan, yaitu tentang nama kami berdua.
Tetapi karena ketajaman indera Panembahan, Panembahan telah dapat
mengetahuinya. Adalah sama sekali tidak pantas kalau aku harus
mengatakan keperluanku menghadap Panembahan, seolah-olah aku tidak
percaya akan ketajaman pandangan Panembahan.”
Mendengar kata Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu tertawa lirih. ”Anakmas
telah salah duga. Sebenarnya tidak ada seorang pun yang dapat
mengetahui perasaan orang lain dengan tepat, selain Yang Maha Tahu.
Tentang nama Anakmas dan cucu Arya Salaka, bukanlah karena aku dapat
melihat apa yang belum terjadi, tetapi karena semata-mata nama Anakmas
berdua telah demikian tenarnya di sekitar bukit ini. Seorang cantrik
yang turun untuk mendapatkan perbekalan kami telah mendengar nama
Anakmas berdua sebagai penyelamat di padukuhan Gedangan. Dan hampir
setiap mulut dari penduduk pedukuhan itu selalu menyebut nama Tuan yang
rangkap, bahkan nama Anakmas sebagai bekas prajurit Demak. Bukankah nama
itu disebut-sebut pula oleh anak Sima Rodra yang Anakmas bunuh?”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Hal itu memang mungkin sekali. Tetapi bagaimanapun juga
Mahesa Jenar tidak dapat melarikan diri dari sinar mata tajam yang
seolah-olah menusuk sampai ke segala relung jantungnya. Meskipun
demikian, maka tak ada cara lain yang baik baginya daripada memenuhi
permintaan Panembahan Ismaya, mengutarakan maksud kedatangannya. Maka
dengan agak berat Mahesa Jenar berkata, ”Bapa Panembahan, aku
mendengar tentang kewaskitaan Panembahan dari seorang yang bernama
Wiradapa, penduduk dan sekarang menjadi lurah di padukuhan Gedangan.
Karena itu aku memberanikan diri menghadap Panembahan untuk memohon
petunjuk, barangkali Panembahan berkenan memberitahukan kepada kami
berdua, di manakah atau cara bagaimanakah kami berdua dapat menemukan
Keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang lenyap dari
perbendaharaan istana dan pernah menjadi rebutan dari mereka yang
menggolongkan diri dalam suatu gerombolan yang ingin merebut
pemerintahan dengan segala cara, termasuk Sima Rodra yang beberapa waktu
lalu terbunuh di Gedangan.”
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu
Panembahan Ismaya mengernyitkan alisnya. Perlahan-lahan ia
mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kemudian dengan tersenyum berkata, ”Anakmas,
dalam waktu yang singkat ada dua orang yang mempunyai pertanyaan yang
sama. Beberapa waktu yang lalu, datang padaku seorang yang menyatakan
dirinya putra Kepala Daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru. Dan
ternyata anak muda itu terlibat dalam suatu bentrokan dengan Anakmas
berdua di Gedangan, menurut berita yang sampai di bukit ini. Anak muda
yang bernama Sawung Sariti itu, ternyata menanyakan juga kedua keris
yang bernama Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi sayang bahwa aku tak
dapat menunjukkannya, sehingga marahlah anak muda itu. Sekarang Anakmas
datang pula dengan pertanyaan yang sama. Tentu saja pertanyaan itu amat
mencemaskan hatiku. Sebab jangan-jangan Anakmas akan marah pula
kepadaku.”
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya sambil menyahut, ”Bapa
Panembahan, apakah hakku marah kepada Panembahan. Bahwa aku telah
mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan, bagiku telah merupakan
suatu kesempatan yang tak dapat aku lupakan.”
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu kembali mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya pula, ”Aku
sudah mengira, bahwa Anakmas tidak akan marah kepadaku seperti anak
muda itu. Namun begitu aku sangat menyesal bahwa tak ada pengetahuanku
tentang kedua keris itu, yang Anakmas kehendaki itu.”
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar mencoba
menyembunyikan perasaannya namun di wajahnya membayang pula kekecewaan
hatinya, apalagi Arya Salaka. Meskipun demikian, Mahesa Jenar sama
sekali tak ada perasaan menyalahkan kepada Panembahan Ismaya. Sebab
bagaimanapun juga waskitanya seseorang, namun pasti bahwa tidak semua
sudut dunia ini dapat diketahuinya.
Agaknya perasaan Mahesa Jenar itu dapat diketahui oleh Panembahan Ismaya, yang kemudian berkata meneruskan, ”Anakmas,
aku tahu bahwa Anakmas menjadi kecewa. Hal itu disebabkan karena berita
yang berlebih-lebihan tentang diriku. Orang menganggap bahwa aku dapat
melihat segala isi dunia ini, dari yang paling kasar sampai yang paling
halus. Meskipun demikian, aku mempunyai satu permintaan pada Anakmas
berdua yang tidak aku sampaikan kepada anak muda yang bernama Sawung
Sariti, untuk sementara tinggal bersama-sama aku di Bukit Karang
Tumaritis ini. Aku tidak tahu apakah dengan demikian akan ada
tanda-tanda yang dapat menunjukkan jalan atas maksud-maksud Anakmas itu.
Tetapi pada saat aku melihat Anakmas berdua, aku merasa bahwa aku
mempunyai kewajiban untuk membantu. ”
Mendengar keterangan Panembahan Ismaya
yang terakhir itu, mata Mahesa Jenar menjadi bercahaya. Kata-kata itu
diucapkan oleh seorang Panembahan. Karena itu ia yakin bahwa artinya pun
tidak sesederhana kata-kata itu sendiri. Maka karena itu segera ia
menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab, ”Panembahan
adalah bijaksana. Apa yang Panembahan anggap baik, pastilah amat baik
bagi kami. Apalagi kemurahan hati Panembahan untuk memberikan tempat
berteduh bagi kami berdua, pasti akan kami junjung tinggi.”
Panembahan itu tersenyum, lalu katanya meneruskan, ”Anakmas
berdua terlalu rendah hati. Namun janganlah Anakmas menjadi kecewa
kalau akhirnya aku tak dapat berbuat apa-apa atas keinginanku membantu,
yang hanya dibekali oleh kemauan melulu.”
Sekali lagi Mahesa Jenar mengangguk sambil berkata, ”Kemauan Panembahan bagi kami adalah jauh lebih berharga dari apapun juga.”
Akhirnya Mahesa Jenar dan Arya Salaka
diperkenankan untuk beristirahat. Selanjutnya memenuhi permintaan
Panembahan Ismaya, mereka berdua untuk beberapa lama tinggal
bersama-sama di Karang Tumaritis. Mereka berdua hidup dan bergaul dengan
beberapa orang cantrik yang melayani Panembahan Ismaya dengan rajinnya
di bawah pimpinan Putut Karang Tunggal.
Namun setelah tujuh hari mereka tinggal
di situ, Panembahan Ismaya sama sekali belum pernah
menyinggung-nyinggung tentang kedua pusaka itu. Kalau mereka bertemu,
maka apa yang dibicarakan oleh Panembahan Ismaya adalah hal-hal yang
sama sekali tak berarti. Bahkan kesempatan untuk bertemu pun sangat
terbatas. Panembahan Ismaya selalu menyepi di ruang samadinya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar percaya,
bahwa Panembahan Ismaya pada suatu hari akan dapat memberinya bantuan
untuk menemukan kedua keris itu.
Selama mereka berada di Karang Tumaritis,
mereka mendapat kesempatan untuk mengunjungi setiap lekuk liku
pegunungan itu. Sebagai tuan rumah, para cantrik amatlah ramahnya,
sehingga Mahesa Jenar dan Arya Salaka merasa seperti di rumah sendiri.
Bahkan di bukit itu pun Arya Salaka masih sempat untuk menerima
pelajaran-pelajaran dari gurunya, meskipun mereka terpaksa mencari
tempat yang agak tersembunyi. Sebab ternyata penghuni bukit itu agaknya
tidak pernah membayangkan adanya gerak-gerak kekerasan yang dapat
bermanfaat bagi kehidupan mereka, kecuali menelaah masalah-masalah
kerohanian di bawah tuntunan Panembahan Ismaya.
Tetapi pada beberapa hari kemudian,
terjadilah suatu peristiwa yang sama sekali di luar dugaan Mahesa Jenar
dan Arya Salaka. Ketika mereka sedang berjalan-jalan menyusur tebing
bukit itu, dilihatnya agak jauh di lembah di belakang bukit itu,
beberapa perkemahan yang sedang dipersiapkan. Mula-mula mereka sama
sekali tidak menaruh perhatian sama sekali, sebab mereka menyangka bahwa
kemah dari batang-batang ilalang itu telah dibuat oleh para pemburu.
Tetapi ketika ternyata di bagian-bagian yang lain di sekitar bukit itu
dibuat pula kemah-kemah yang serupa, maka Mahesa Jemar mulai curiga.
Apalagi ketika akhirnya ia mempunyai kesimpulan bahwa bukit Karang
Tumaritis itu telah dikepung rapat, sehingga setiap jengkal tanah
mendapat pengawasan dengan saksama.
Mau tidak mau Mahesa Jenar terpaksa menebak-nebak. Siapakah yang telah membuat perkemahan itu, dan apakah maksudnya.
Pada malam itu, hati Mahesa Jenar menjadi
berdebar-debar ketika ia mendapat undangan dari Panembahan Ismaya untuk
menghadap. Maka bersama dengan Jatirono dan Arya Salaka Mahesa Jenar
pergi memenuhi undangan itu.
Sebagai biasa Panembahan Ismaya menyambut
kedatangannya dengan penuh hormat, serta mempersilahkan Mahesa Jenar
dan Arya Salaka duduk di atas batu hitam yang beralaskan kulit kayu.
Setelah itu dimintanya Jatirono meninggalkan mereka.
”Anakmas…” kata Panembahan Ismaya kemudian setelah menanyakan keadaan Mahesa Jenar selama tidak bertemu. ”Perkenankanlah aku menyampaikan suatu berita yang barangkali agak tidak kita harap-harapkan….” Panembahan
Ismaya berhenti sejenak, sedang Mahesa Jenar dengan penuh perhatian
mendengarkan setiap patah kata yang meluncur dari mulut orang tua itu.
Tetapi meskipun Panembahan Ismaya belum menyampaikan berita apakah yang
tidak menyenangkan itu, namun Mahesa Jenar sudah dapat meraba bahwa yang
dimaksudkan pasti adanya beberapa perkemahan yang mengelilingi bukit
itu. Dan ternyata apa yang dirabanya itu benar.
”Di sekeliling bukit ini…” Panembahan itu meneruskan, ”Ada beberapa orang yang membangun perkemahan. Barangkali hal itu telah dapat Anakmas lihat pula.”
”Benar Bapa Panembahan,” jawab Mahesa Jenar. ”Aku telah melihat perkemahan itu, yang seolah-olah berusaha mengepung bukit kecil ini”.
Panembahan Ismaya menarik nafas. Kemudian katanya pula, ”Tak
ada diantara kita yang mengetahui apakah maksud orang-orang yang telah
melakukan itu. Dan karena itulah maka aku ingin minta tolong kepada
Anakmas.” Sampai sekian Panembahan tua itu berhenti pula.
Mendengar permintaan itu, tentu saja Mahesa Jenar tidak akan menolaknya. Maka jawabnya, ”Bapa
Panembahan, aku akan selalu bersedia untuk melakukan apapun yang
mungkin. Apalagi apabila ada hubungannya dengan kemah-kemah yang memang
sangat menarik hati itu.”
”Benar Anakmas,” sambung Panembahan, ”Memang
aku bermaksud untuk mengetahui siapakah yang telah membangun perkemahan
itu. Aku kira mereka mempunyai maksud-maksud yang tidak dapat mereka
katakan secara berterus terang. Sebab apabila demikian, maka mereka
pasti tidak akan melakukannya. Kalau persoalan mereka dapat dilakukan
dengan baik pastilah mereka akan langsung menaiki bukit ini.”
”Lalu apakah yang harus aku lakukan Bapa…?” tanya Mahesa Jenar.
”Anakmas…” jawab Panembahan itu, ”Nanti apabila hari telah larut, aku ingin melihat perkemahan itu. Sudikah Anakmas mengantarkan aku?”
Mendengar permintaan itu Mahesa Jenar
terkejut. Panembahan Ismaya sendiri akan pergi melihat perkemahan dari
orang-orang yang sama sekali belum dikenalnya. Karena itu segera ia
menjawab, ”Bapa Panembahan. Sebenarnya tidaklah perlu Bapa
Panembahan sendiri pergi untuk menyaksikan kemah-kemah itu. Biarlah aku
dan Arya saja yang melakukan. Sedang hasilnya akan aku laporkan kepada
”Panembahan.’
Panembahan Ismaya tersenyum mendengar jawaban Mahesa Jenar. Maka katanya, ”Hal
itu tak dapat aku benarkan Anakmas. Anakmas adalah tamu di bukit ini.
Bukankah tidak semestinya kalau aku sebagai tuan rumah membebankan suatu
pekerjaan kepada tamunya melulu, sedang tuan rumah sendiri akan
berpangku tangan.”
”Panembahan…” sela Mahesa Jenar, ”Kalau demikian, bukankah Panembahan dapat menunjuk salah seorang cantrik pergi bersama kami? ”
Panembahan Ismaya menggelengkan kepala. Katanya, ”Itupun
tidak mungkin. Para cantrik adalah anak-anak yang keselamatannya ada di
dalam tanggungjawabku. Aku masih belum tahu, apakah pekerjaan yang akan
kita lakukan itu berbahaya atau tidak. Karena itu aku tidak dapat
menugaskan orang lain dalam hal ini. Kalau aku berani minta kepada
Anakmas, adalah karena aku yakin bahwa Anakmas memiliki kemampuan
melampaui manusia biasa. Terus terang saja, bahwa Anakmas mungkin akan
dapat melindungi diriku apabila ada hal-hal yang sangat tidak
menyenangkan, meskipun seharusnya aku percaya bahwa keselamatan
seseorang sangat tergantung kepada garis yang telah digoreskan oleh Yang
Maha Kuasa. Dan bukan pula seharusnya aku menaruh curiga kepada hal-hal
yang belum pasti.”
Hati Mahesa Jenar tergerak mendengar
kata-kata itu. Meskipun Panembahan Ismaya itu telah sedemikian lanjut,
namun sebagai seorang yang memegang pimpinan dalam bidangnya, ia sangat
melindungi orang-orangnya. Karena itu, Mahesa Jenar merasa bahwa apabila
ia terpaksa menolak, pasti akan menyinggung perasaan orang tua itu.
Maka yang dapat dikatakan hanyalah, ”Panembahan, kalau demikian maka aku tidak dapat berbuat lain dari pada memenuhi permintaan Bapa.”
”Nah, kalau demikian akan senanglah hatiku. Meskipun
aku merasa bahwa di dalam hati Anakmas pasti mentertawakan aku, seorang
yang menamakan dirinya Panembahan, namun masih mencemaskan
keselamatannya.”
Mahesa Jenar tidak menjawab, kecuali
menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia agak tidak sependapat dengan
pernyataan Panembahan Ismaya itu. Sebagai seorang prajurit, ia
membenarkan pada setiap usaha untuk keselamatan diri maupun pasukannya.
Hal itu sama sekali bukanlah sesuatu yang perlu disesalkan. Tetapi
disamping itu ia mencoba untuk memahami pula alam pikiran Panembahan
Ismayaa yang tidak mementingkan persoalan lahiriah.
Maka ketika malam telah larut, Panembahan
tua itu kemudian berkemas-kemas untuk turun dari bukit Karang
Tumaritis. Orang tua itu sengaja melepaskan jubah putihnya, dan
menggantinya dengan kain hitam supaya tidak jelas terlihat di dalam
gelapnya malam.
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 11
Koleksi Ki Arema
Editing oleh Ki Arema
6 Tanggapan
Tinggalkan Balasan
