

NSSI-03
I.
TETAPI sebentar
kemudian, kepuasan mereka dipecahkan oleh suatu kenyataan yang sangat
aneh bagi Lawa Ijo. Tak pernah seorang pun yang dapat melepaskan diri
dari kematian, apabila tubuhnya tergores sedikit saja oleh aji Klabang
Sayuta. Tetapi apa yang disaksikan sekarang adalah sama sekali tidak
masuk akal.
Demikianlah ketika Mahesa Jenar merasa
bahwa tubuhnya telah pulih kembali, segera dengan kecepatan gerak
laksana kilat menyambar, ia meloncat, dan tahu-tahu ia sudah berdiri
dihadapan Lawa Ijo. Semua yang menyaksikan hatinya tercekam, seperti
melihat mayat yang bangun dari kubur. Bahkan mereka seolah-olah melihat
diri mereka sendirilah yang karena pertolongan Tuhan Yang Maha Esa telah
dibebaskan dari daerah mati.
Mahesa Jenar disamping rasa sukur yang
tak terhingga, bahwa lantaran sahabat karibnya, Kiai Ageng Sela, ia
telah menerima anugerah Tuhan yang telah membebaskannya dari pengaruh
segala macam bisa. Namun ia juga menjadi marah bukan kepalang kepada
Lawa Ijo.
Ternyata Lawa Ijo yang telah mematahkan
pedangnya sendiri dengan jari-jari sewaktu perkelahian akan dimulai,
bukanlah benar-benar seorang jantan. Seperti juga Watu Gunung, Lawa Ijo
sama sekali tidak memperhatikan sikap kejujuran dalam segala masalah.
Wajah Mahesa Jenar berubah menjadi merah
membara. Mulutnya terkatub rapat, tetapi giginya gemeretak. Terhadap
orang-orang yang demikian, tidak lagi ada sikap yang manis.
Maka karena marahnya yang meluap-luap,
Mahesa Jenar tidak lagi dapat mengendalikan dirinya sendiri. Sebelum
Lawa Ijo sadar terhadap kejadian itu, Mahesa Jenar telah mengangkat satu
kakinya yang ditekuk ke depan, tangan kirinya disilangkan di atas
dadanya, sedangkan tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Secepat kilat
Mahesa Jenar meloncat maju, dan dengan sedikit merendahkan diri ia
menghantam lambung lawannya dengan ilmunya yang terkenal, Sasra Birawa.
Lawa Ijo melihat segala gerak-gerik
lawannya seperti dalam mimpi. Ia baru sadar ketika tiba-tiba dilihatnya
Mahesa Jenar meloncat dekat sekali di hadapannya, dan tangannya melayang
ke arah lambungnya. Tetapi segala sesuatunya telah terlambat. Terkena
pukulan sisi telapak tangan Mahesa Jenar yang dilambari ilmu Sasra
Birawa itu rasanya bagaikan tertimpa seribu gunung yang runtuh
bersama-sama. Demikian Lawa Ijo merasakan kedahsyatan Sasra Birawa,
pandangannya terlempar dengan derasnya seperti anak panah yang terlepas
dari busurnya mengarah tepat ke sebatang pohon raksasa yang berdiri
kokoh kuat bagai benteng baja.
Mereka yang menyaksikan peristiwa itu
menjadi bingung. Mereka tidak dapat mengerti perasaan apa yang
berkecamuk di kepalanya, seolah-olah terlepas dari kesadaran diri. Sebab
kejadian yang dilihatnya itu adalah hal yang tak dapat dibayangkan bisa
terjadi.
Tetapi belum lagi tersadar, telah disusul
pula oleh suatu peristiwa yang lain, yang tidak dapat mereka mengerti
pula. Beberapa orang menjadi sedemikian bingungnya sehingga pingsan.

Semua orang memandang orang berjubah itu
dengan tubuh gemetar. Dalam pada itu, tiba-tiba Jaka Soka segera
melangkah maju dan dengan hormatnya ia berkata, “Paman Pasingsingan, aku menyampaikan hormat setinggi-tingginya!”.
Pasingsingan. Nama itu mendengung kembali
di telinga Mahesa Jenar. Inilah rupanya Guru Lawa Ijo yang telah datang
untuk menolong muridnya. Maka mau tidak mau hatinya tercekam pula. Ia
pernah mendengar kesaktian orang ini dari gurunya. Dan sekarang, ia
telah berhadap – hadapan dengan orang itu dalam keadaan yang tak
menguntungkan.
“Rangga Tohjaya….” Tiba-tiba
terdengar Pasingsingan berkata, tanpa menghiraukan salam Jaka Soka.
Suaranya berat, dalam dan tak begitu jelas seperti bergulung dalam
perutnya, karena pengaruh topeng yang dipakainya itu. “Untunglah Lawa Ijo bukan sembarang orang,” sambungnya, ”sehingga meskipun ia terluka parah, tetapi aku yakin bahwa ia masih akan dapat hidup,”. Orang itu berhenti sejenak. Matanya yang berada dibalik topengnya itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya. “Hal itu adalah karena pertolonganku.” Pasingsingan melanjutkan, ”Kalau tidak, ia pasti sudah binasa terbentur pohon ini. Karena itu, kau aku anggap telah melakukan pembunuhan atas muridku”.
Kembali hati Mahesa Jenar melonjak. Ia
tahu apa arti kata-kata itu. Dalam hal yang demikian, tiba-tiba ia
teringat kepada almarhum kedua gurunya yang merupakan angkatan yang sama
dengan Pasingsingan itu. Kalau saja mereka masih ada, pasti mereka
tidak akan membiarkannya berhadap-hadapan sendiri. Tetapi sekarang ia
seorang diri menghadapinya. Sebagai seorang prajurit pastilah Mahesa
Jenar tidak selalu menggantungkan dirinya kepada orang lain.
Karena itu, meskipun ia tahu, bahwa
kekuatannya tak seimbang, ia bertekad untuk melawan mati-matian. Maka
segera kembali ia memusatkan pikiran, mengatur jalan pernafasannya dan
mengumpulkan segala tenaganya pada sisi telapak tangannya, meskipun ia
belum bersikap.
Tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan mendengus lewat hidungnya, “Hem…,
kalau Sasra Birawa itu gurumu yang mempergunakan, barangkali aku harus
berpikir bagaimana menghindarinya. Tetapi kalau hanya kau yang akan
mencobakan pada tubuhku, barangkali sebaiknya aku menyediakan diri
sebelum aku membunuhmu!”
Mendengar kata-kata Pasingsingan itu, mau
tidak mau hati Mahesa Jenar bergetar hebat. Bukan karena ia takut mati.
Tetapi kematian yang demikian pada saat ia diperlukan untuk melindungi
suatu rombongan yang akan binasa, adalah sayang sekali. Tetapi apa boleh
buat.
Sementara itu tampaklah Pasingsingan
bergerak maju. Ia selangkah demi selangkah mendekati Mahesa Jenar tanpa
meletakkan Lawa Ijo dari dukungannya.
“Tohjaya,” katanya, ”kau
adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh. Dan kau telah beruntung mewarisi
ilmu saktinya Sasra Birawa. Karena itu lawanlah aku. Supaya kau mati
dengan tangan merentang, bukan mati sebagai seekor lembu yang
disembelih,”. Mahesa Jenar yang sudah tidak melihat kemungkinan
lain daripada mati, kini seperti sudah tidak mempunyai perasaan lagi.
Tak perlu lagi ada pertimbangan-pertimbangan lain. Maka segera ia pun
bersiap untuk menerjang lawannya, menjelang saat matinya. Sementara itu
Pasingsingan berdiri dengan acuh tak acuh saja seperti tidak akan
terjadi sesuatu atas dirinya.
Orang-orang lain yang berada di situ,
sudah seperti orang linglung yang tak tahu apa-apa. Perasaan mereka
sudah terbanting-banting beberapa kali sampai hancur. Meskipun ada
diantara mereka yang matanya terbuka dan seolah-olah memandang Mahesa
Jenar dan Pasingsingan berganti-ganti, tetapi mereka tidak mengerti
tentang apa yang dilihatnya. Mereka tidak lagi dapat membayangkan, bahwa
sebentar lagi Pasingsingan akan dapat berbuat sekehendaknya atas Mahesa
Jenar tanpa ada yang dapat merintanginya.
Tetapi sesaat kemudian mereka dikejutkan
oleh suara berdentangnya orang menebang pohon. Ini adalah suatu keanehan
baru, sesudah bertubi-tubi terjadi peristiwa-peristiwa yang aneh
berturut-turut.
Pada saat itu, meskipun matahari belum
tenggelam, tetapi sinarnya sudah demikian lemahnya sehingga tidak dapat
lagi menembus rimbunnya daun-daun pepohonan rimba, sehingga di dalam
hutan itu sudah menjadi agak gelap. Pada saat yang demikian, tidaklah
biasa seseorang menebang pohon.
Apalagi di tengah hutan Tambakbaya.
Orang-orang yang mencari kayu, baik kayu bakar maupun untuk perumahan,
tidak akan menebang kayu di tengah rimba yang demikian lebatnya.
Lebih-lebih tidak jauh dari tempat itu, baru saja terjadi pertarungan
yang dahsyat antara Mahesa Jenar dan Lawa Ijo. Berkali-kali terdengar
Lawa Ijo bersuit atau berteriak nyaring. Mustahil kalau suara-suara itu
tak didengarnya.
Tetapi ternyata suara itu terus
terdengar. Bahkan semakin lama semakin jelas. Makin nyatalah, bahwa
sumber suara itu tidak begitu jauh. Yang lebih mengherankan lagi, suara
berdentangnya pohon yang ditebang itu, bagaikan nada-nada lagu yang
mempesona.
Rupanya Pasingsingan heran juga mendengar
suara itu. Diangkatnya wajahnya yang terlindung dibalik topengnya dan
tampaklah ia mendengarkan suara itu dengan saksama. Dalam keadaan yang
demikian, suasana berubah menjadi sunyi. Suara berdentangnya pohon
ditebang itu menjadi bertambah jelas seakan-akan memenuhi seluruh rimba.
Gemanya bersahut-sahutan disegala arah sehingga amat sulitlah untuk
mengetahui dengan pasti sumber suara itu.
Sebentar kemudian suara itu menjadi agak
kendor dan semakin perlahan-lahan pula. Tetapi sementara itu disusullah
dengan mendengungnya suara baru yang juga seharusnya tak mungkin
terjadi.
Di tengah-tengah rimba yang liar pekat,
dan yang diliputi oleh suasana perkelahian dan hawa pembunuhan itu,
menggemalah sebuah lagu. Dandanggula yang diungkapkan oleh sebuah suara
yang indah. Lagu itu sedemikian mempesona, sehingga semua orang yang
mendengarnya menjadi lupa akan segala-galanya kecuali lagu itu sendiri.
Jaka Soka dan Mahesa Jenar adalah orang yang cukup masak. Tetapi
meskipun demikian tampak juga bahwa mereka dihinggapi oleh
perasaan-perasaan yang aneh. Dandanggula itu terdengar begitu jelas
sehingga kata demi kata dapat dimengerti dengan baik. Bunyi syair dari
tembang itu adalah:
Lir sarkara, wasianing jalmi
Ambudiya budining sasatnya
Memayu yu buwanane,
Ing reh hardaning kawruh,
Wruhing karsa kang ambeg asih,
Sih pigunane karya,
mBrasta ambeg dudu,
Mengenep nenging cipta,
Wruh unggayaning tindak kang ala lan becik,
Memuji tyas raharja (Kusw)
Ambudiya budining sasatnya
Memayu yu buwanane,
Ing reh hardaning kawruh,
Wruhing karsa kang ambeg asih,
Sih pigunane karya,
mBrasta ambeg dudu,
Mengenep nenging cipta,
Wruh unggayaning tindak kang ala lan becik,
Memuji tyas raharja (Kusw)
Tak seorang pun yang mengetahui
tanggapan Pasingsingan atas lagu itu dengan pasti, sebab wajah orang itu
tertutup oleh kedok. Tetapi melihat sikapnya, ia sama sekali tidak
senang mendengarnya, meskipun lagu itu dibawakan oleh suara yang merdu
dan syairnya mengandung nasihat yang baik. Sebagaimana seseorang harus
berusaha menyelamatkan dunia ini dengan banyak memiliki pengetahuan.
Pengetahuan yang luas tentang cinta manusia untuk memberantas kejahatan.
Serta dengan mengendapkan cipta untuk mengetahui batas antara baik dan
buruk. Disertai doa kepada Tuhan untuk kebahagiaan.
Kemudian malahan Pasingsingan menjadi gelisah ketika ia mendengar lagu itu diulang kembali.
Akhirnya, tiba-tiba ia berputar menghadap
ke utara dan dengan garangnya ia menggeram. Sedang kata-katanya sangat
mengejutkan mereka yang mendengarnya, seperti halilintar meledak di atas
kepala masing-masing. Termasuk Mahesa Jenar dan Jaka Soka.
”Setan tua…! Apa maksudmu mengganggu
urusanku? Baiklah. Hanya sayang kali ini aku tidak ada waktu untuk
melayanimu. Karena itu lain kali aku akan menemuimu, kalau aku tidak
sedang membawa beban seperti kali ini. Sampai ketemu Pandan Alas!”
kata Pasingsingan. Setelah itu tanpa diketahui arahnya, tahu-tahu
Pasingsingan telah lenyap dari pandangan mereka beserta Lawa Ijo.
Lenyapnya Pasingsingan itu tidak begitu menarik perhatian Mahesa Jenar
dan Jaka Soka. Seperti berjanji, mereka setelah mendengar nama Pandan
Alas, segera meloncat ke utara, kearah mana Pasingsingan tadi menghadap.
Mereka menduga, bahwa dari sanalah sumber suara tadi datangnya. Sebab
kebetulan Mahesa Jenar dan Jaka Soka berbareng ingin melihat wajah orang
aneh itu. Tetapi setelah agak jauh mereka menyusup, yang mereka temui
hanyalah bekas luka pada pokok sebuah pohon raksasa. Meskipun mereka
hanya menemui bekasnya saja, namun telah cukup menggetarkan hati mereka.
Sebab menurut pendengaran mereka, waktu Ki Ageng Pandan Alas menebang
pohon itu hanyalah sebentar saja, sedang yang mereka lihat bekasnya
adalah luar biasa. Sebatang pohon raksasa yang besarnya lebih dari empat
pemeluk, ternyata telah luka hampir separonya. Sedang tatal kayu bekas
tebangan itu, berbongkah-bongkah hampir sebesar kepala anjing. Sungguh
mengagumkan. Apalagi ketika disamping pohon itu, yang mereka ketemukan
hanyalah sebuah kampak kuno dari batu, yang diikat pada setangkai dahan
basah sebagai pegangannya.
”Luar biasa,” desis Jaka Soka.
Mahesa Jenar mengangguk mengiakan. ”Aku
tidak dapat mengira kekuatan apa yang telah membantu orang itu, sehingga
ia dapat berbuat sedemikian mengagumkan.”
Jaka Soka tidak menjawab. Tampaknya ia
sedang berpikir keras. Akhirnya setelah dipertimbangkan bolak-balik ia
mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu serta mengurungkan
maksudnya menculik gadis yang memiliki keris Sigar Penjalin milik Ki
Ageng Pandan Alas. Katanya kemudian kepada Mahesa Jenar, ”Mahesa
Jenar, ternyata aku salah duga kepadamu. Karena itu baiklah kali ini aku
mengaku kalah dan mengurungkan niatku menculik gadis cantik itu. Aku
merasa bersyukur, bahwa kau tidak mempergunakan ilmumu yang menurut
Paman Pasingsingan disebut Sasra Birawa, ketika melawan aku. Kalau demikian halnya, maka aku kira aku pun akan jadi lumat. Juga benar apa yang dikatakan oleh Lawa Ijo, bahwa Pandan Alas benar-benar berada di segala tempat. Sekarang baiklah aku pergi dulu. Sampai lain kali.”
Selesai mengucapkan kata-kata itu, segera dengan lincahnya Jaka Soka
alias Ular Laut yang terkenal sebagai bajak laut yang bengis itu
meloncat dan lenyap diantara lebatnya hutan.
Tinggallah kini Mahesa Jenar seorang
diri. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai masalah dan persoalan. Tetapi
yang penting adalah mengatur rombongan itu kembali. Dan kemudian
membicarakan kemungkinan-kemungkinan lebih lanjut. Ketika Mahesa Jenar
sampai di tempat rombongan, ia melihat bahwa beberapa orang telah tampak
mulai agak tenang kembali. Terutama para pengawal. Malahan ada
diantaranya yang sudah dapat mengatur barang-barangnya. Meskipun
demikian mereka masih saja nampak ketakutan. Ternyata ketika mereka
mendengar gemerisik daun yang disebakkan oleh Mahesa Jenar, mereka masih
terkejut juga. Tetapi ketika mereka melihat, bahwa yang datang adalah
Mahesa Jenar, perasaan mereka nampak lega. Malahan ada yang berlari-lari
menyambut dan langsung berjongkok dan menyembahnya. Terutama sepasang
suami-istri yang telah minta kepadanya untuk membawa bebannya. Kedua
orang itu menyembah sambil menangis minta diampuni. Segera Mahesa Jenar
pun menenangkan mereka, serta segera minta agar para pengawal menyalakan
api.
Sebentar kemudian beberapa orang telah mengumpulkan kayu, serta apipun segera dinyalakan.
Mereka, seluruh anggota rombongan, telah
duduk mengelilingi api yang menyala-nyala dan menjilat-jilat ke udara.
Daun-daun di atas nyala api itu bergerak-gerak seperti menggapai-gapai
kepanasan. Malam pun segera turun dengan cepatnya. Pepohonan serta
dedaunan nampak seperti diselimuti oleh warna yang hitam kelam. Di
sana-sini mulai terdengar kembali suara-suara binatang malam.
Pada wajah-wajah di sekeliling api itu,
masih menggores rasa cemas dan takut. Kejadian-kejadian siang tadi
sangat berkesan di hati mereka. Pertarungan-pertarungan dahsyat dan
kejadian-kejadian yang aneh terjadi berturut-turut seperti
peristiwa-peristiwa dalam mimpi yang menakutkan.
Terutama gadis cantik yang hampir-hampir
saja menjadi sumber bencana. Ia masih saja merasa bahwa dirinya bersalah
sehingga rombongan itu mengalami kekacauan, ia, bahkan hampir
dimusnahkan, kalau tidak secara kebetulan ada seorang perkasa yang
melindunginya. Karena itu ia masih saja belum berani memandang
wajah-wajah kawan seperjalanannya.
Sejenak kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh Mahesa Jenar yang berkata kepada orang-orang dalam rombongan itu. Katanya, “Kawan-kawan,
bahaya tidak lagi bakal datang, setidak-tidaknya malam ini. Karena itu
tenanglah dan beristirahatlah. Aku kira kalian sehari penuh masih belum
juga makan. Sekarang kesempatan itu ada. Sesudah itu kalian bisa tidur
nyenyak seperti tadi malam.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu,
mereka serentak diperingatkan oleh rasa lapar yang semula tak
dihiraukan. Segera diantara mereka membuka bekal-bekal mereka, tetapi
tidak sedikit diantara anggota rombongan itu yang sudah tidak punya rasa
lapar lagi. Juga sesudah itu, tak seorang pun yang dapat merasa kantuk.
Sejenak kemudian mulailah Mahesa Jenar berunding dengan para pengawal, tentang bagaimana baiknya rombongan tersebut.
Menurut pendapat Mahesa Jenar, sebaiknya
rombongan itu tidak meneruskan perjalanan. Sebab kalau pada langkah
pertamanya mereka sudah menemui kesulitan, kelanjutannya pun akan tidak
menguntungkan. Kemungkinan-kemungkinan yang tak menguntungkan adalah
banyak sekali. Lawa Ijo, terang, bahwa ia tidak berdiri sendiri. Ia
adalah seorang pemimpin dari sebuah gerombolan yang cukup besar. Hanya
sekarang gerombolan itu seakan-akan sedang dibekukan. Tetapi, kalau
sampai mereka mendengar, bahwa kepala mereka dilukai, mereka pasti tidak
akan tinggal diam. Karena itu, selagi masih ada waktu, sebaiknya
rombongan itu besok pagi berangkat kembali ke tempat semula.
Tak seorang pun diantara mereka yang
dapat menolak pendapat ini. Memang pada umumnya mereka telah dihinggapi
perasaan takut yang luar biasa. Untunglah, bahwa pada saat itu datang
Mahesa Jenar menolong mereka. Kalau tidak, mereka pasti sudah jadi
bangkai.
Tetapi dalam suasana yang demikian, mendadak gadis cantik yang merasa dirinya bersalah, berkata kepada Mahesa Jenar, “Tuan,
aku terpaksa tidak dapat menerima saran Tuan untuk kembali. Sebab aku
memang tidak punya tempat untuk kembali. Tetapi aku juga tidak dapat
memaksa rombongan ini berjalan terus. Karena itu, baiklah kalau
rombongan ini berjalan kembali dengan para pengawal, aku akan berjalan
sendiri melanjutkan perjalanan ke Pliridan. Hanya sebagai bekal
perjalanan, aku minta kerisku tadi dikembalikan kepadaku. Sebab kalau
aku bertemu seorang seperti pemuda yang akan menculik aku, sebaiknyalah
kalau aku bunuh diri.”
Gadis itu mengucapkan kata-katanya dengan
mata sayu diwarnai oleh hatinya yang putus asa. Ia merasa tidak berhak
lagi berkumpul dengan orang-orang serombongannya. Sebab ia telah merasa
berbuat kesalahan yang tak termaafkan.
Mahesa Jenar dan beberapa orang tampak
mengerutkan keningnya. Memang dalam keadaan terjepit, ada diantara
mereka yang sampai hati mengumpati gadis itu. Tetapi dalam keadaan yang
demikian, timbul pulalah perasaan iba terhadapnya.
GadiS itu menundukkan kepalanya semakin dalam. Matanya yang bulat, nampak mengambang air mata yang ditahan sekuat-kuatnya.
”Tak ada jalan buat kembali,” ujarnya lirih.
Dalam kata-kata itu, ternyata bahwa ada sesuatu rahasia yang menyelubungi diri gadis itu.
Tiba-tiba Mahesa Jenar ingin mengetahui
lebih banyak lagi tentang diri gadis itu, yang sampai saat itu masih
belum dikenal namanya.
”Siapakah sebenarnya kau ini?” tanya Mahesa Jenar kemudian, ”Serta apakah hubunganmu dengan Ki Ageng Pandan Alas?.”
Gadis itu mengangkat mukanya sedikit, jawabnya, ”Tuan,
sebenarnya aku sama sekali tidak mengenal siapakah Ki Ageng Pandan Alas
itu. Kalau aku memiliki keris yang tuan hubungkan dengan nama Pandan
Alas, adalah diluar pengetahuanku. Aku menerima keris itu dari almarhum
ibuku, sedangkan ibu menerimanya dari kakek. Seorang petani miskin yang
sedang merantau mencari daerah baru, dan sekarang menurut almarhum
ibuku, kakek itu tinggal di daerah Pliridan. Dan sama sekali tak bernama
Pandan Alas, tetapi bernama Ki Santanu, sedangkan aku sendiri dinamai
oleh ayahku, Rara Wilis.”
Mahesa Jenar mendengarkan jawaban gadis
yang bernama Rara Wilis itu dengan seksama. Pengakuannya, bahwa ia sama
sekali tak mengenal Ki Ageng Pandan Alas semakin menarik perhatian
Mahesa Jenar. Mendadak berkilatlah dalam hatinya, suatu keinginan untuk
mengetahui rahasia yang menyelubungi gadis itu. Sehingga berkatalah
Mahesa Jenar, ”Bapak-bapak para pengawal, serta saudara-saudara
seperjalanan. Barangkali aku mempunyai suatu cara yang dapat memenuhi
kehendak kalian. Sebaiknya kalian kembali dengan para pengawal, mungkin
tak akan banyak menemui halangan, sedangkan gadis ini, yang berkeras
hendak melanjutkan perjalanan dan menemui kakeknya, biarlah aku antarkan
saja. Sebab perjalanan ke Pliridan bukanlah suatu pekerjaan yang
ringan.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu
melonjaklah kegirangan di hati Rara Wilis. Tiba-tiba matanya yang
berkaca-kaca itu jadi berkilat-kilat. Tetapi sebentar kemudian kembali
perasaan kegadisannya menguasai dirinya, sehingga wajahnya jadi
kemerah-merahan, serta kembali ia menundukkan mukanya.
Mahesa Jenar pun menangkap perubahan
wajah Rara Wilis. Dan tidak disadarinya hatinya pun bergoncang.
Sebaliknya beberapa orang lain menjadi kecewa mendengar keputusan Mahesa
Jenar untuk tidak menyertai mereka kembali. Sebab bersama sama dengan
Mahesa Jenar, mereka semua merasa bahwa keamanan mereka terjamin.
Sementara itu kembali Mahesa Jenar
berunding dengan para pengawal, serta memberi petunjuk mengenai beberapa
kemungkinan. Sehingga akhirnya terdapat suatu keputusan, bahwa mereka
semuanya akan kembali dengan para pengawal, sedangkan Mahesa Jenar
sendiri akan mengantar Rara Wilis sampai ke Pliridan.
Demikianlah pada malam itu hampir tak
seorang pun dapat tidur, kecuali beberapa orang, karena lelah lahir dan
batin, seakan-akan terlena sambil bersandar di pokok pepohonan. Berbeda
dengan siang tadi, dimana hari seakan-akan berlari demikian cepatnya,
malam itu rasa-rasanya tak bergerak. Suara binatang malam, serta desiran
angin rimba terasa sangat menjemukan dan menakutkan. Mereka semua
mengharap agar malam lekas berakhir. Sehingga cepat-cepat mereka dapat
pergi meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
Baru setelah mereka mengalami kejemuan
yang luar biasa, terdengar ayam rimba berkokok bersahut-sahutan. Dari
celah-celah kelebatan dedaunan hutan, tampaklah membayang warna merah di
langit. Segera orang-orang itu semua mengatur barang-barangnya dan
menyiapkan diri untuk menempuh perjalanan yang berlawanan dengan yang
ditempuhnya kemarin, kecuali Rara Wilis yang setelah menerima kembali
kerisnya akan melanjutkan perjalanannya ke Pliridan, diantar oleh Mahesa
Jenar sendiri.
———-oOo———–
II
Maka setelah semuanya bersiap, serta
setelah para pengawal dan mereka yang mengadakan perjalanan sekali lagi
mengucapkan terimakasih kepada Mahesa Jenar, mulailah mereka berangkat
kembali. Di depan sendiri berjalan pengawal tua itu dengan senjata di
tangan. Baru setelah rombongan itu lenyap dibalik pepohonan, Rara Wilis
beserta Mahesa Jenar pun berangkat melanjutkan perjalanan ke barat, ke
daerah Pliridan.
Di perjalanan, tidak banyak yang mereka
percakapkan, kecuali apabila Mahesa Jenar memandang perlu untuk
memberitahukan tempat-tempat berbahaya atau binatang binatang berbisa.
Tetapi perjalanan Mahesa Jenar sekarang
bertambah laju, karena tidak harus bersama-sama dengan rombongan yang
besar. Sekali dua kali Mahesa Jenar pun harus berlaku seperti pemimpin
rombongan pengawal, menuntun bahkan menggendong Rara Wilis apabila jalan
sangat sulit, meskipun keduanya agak segan-segan. Tetapi terpaksalah
hal itu dilakukan. Sebab memang sekali dua kali mereka menjumpai
rintangan yang berat.
Demikianlah mereka berjalan terus
seakan-akan tak mengenal lelah. Bagi Rara Wilis, perjalanan ini,
meskipun melewati daerah hutan yang tak kalah liarnya dengan yang
ditempuh kemarin, tetapi rasanya tidak begitu berat. Bahkan setelah
lebih dari setengah hari ia berjalan, sama-sekali tak terasa lelah
olehnya, haus ataupun lapar.
Perjalanan yang begitu sulit itu bagaikan
sebuah tamasya, diantara kehijauan ladang serta keindahan taman.
Gemerisik daun kering yang dilemparkan oleh angin, terdengar merdunya.
Rara Wilis sendiri tidak begitu menyadari, kenapa hatinya menjadi sedemikian bening dan cerah.
Tidak banyak hal yang mereka temui di
perjalanan. Ketika malam datang, mereka beristirahat di bawah sebuah
pohon yang cukup besar. Setelah rumput-rumput liar di bawah pohon itu
dibersihkan, segera Rara Wilis merentangkan tikarnya, sedangkan Mahesa
Jenar mengumpulkan kayu dan kemudian menyalakan api.
Malam itu pun dilampauinya dengan tak ada
sesuatu yang terjadi. Pagi-pagi setelah mereka mempersiapkan diri,
segera perjalanan pun dilanjutkan.
Perjalanan itu masih harus melampaui satu
malam lagi. Maka pada hari ketiga itu, Rara Wilis serta Mahesa Jenar
menempuh perjalanan yang terakhir untuk mencapai daerah Pliridan.
Demikianlah, ketika matahari telah miring
ke barat, hutan Tambakbaya semakin lama semakin bertambah tipis.
Pepohonan tidak lagi selebat dan liar seperti daerah pedalaman.
Sementara itu terasa debaran jantung yang aneh dalam dada Rara Wilis.
Telah lebih sepuluh tahun ia tak berjumpa dengan kakeknya. Sekarang, ia
ingin mencarinya di daerah yang tak dikenalnya.
Sebentar kemudian mereka telah sampai
pada perbatasan hutan. Di depan mereka tinggallah beberapa grumbul kecil
yang tidak begitu berarti.
“Inilah daerah Pliridan,” gumam Mahesa Jenar hampir kepada dirinya sendiri.
Mendengar ucapan Mahesa Jenar, Rara Wilis
yang berjalan di depan jadi terhenti. Beberapa macam perasaan bercampur
aduk di otaknya. Sekali ia menarik nafas panjang. Alangkah lega hatinya
setelah hutan yang lebat itu dapat dilewatinya.
Tetapi sementara itu lalu kemana ia mesti pergi?
Sekali dua kali ia menoleh kepada Mahesa
Jenar. Wajahnya yang cerah itu menjadi agak suram oleh kebimbangan
hatinya. Mahesa Jenar dapat menangkap perasaan Rara Wilis. Katanya, “Rara Wilis, dapatkah kau menunjukkan di daerah manakah kira-kira kakekmu tinggal?”.
Rara Wilis menggelengkan kepalanya.
Memang ia sama sekali tak mengerti arah tempat tinggal kakeknya. Ia
hanya mendengar, bahwa kakek itu tinggal di daerah Pliridan.
Mahesa Jenar pun sementara itu menjadi
agak berbimbang pula. Ia beberapa tahun yang lalu pernah mengenal daerah
ini. Tetapi apa yang dilihatnya sekarang, ternyata mengalami banyak
perubahan.
“Tuan,” kata Rara Wilis dengan penuh keragu-raguan, “Aku
sama sekali tidak membayangkan kalau demikianlah keadaan daerah
Pliridan. Menurut gambaran angan-anganku. Pliridan adalah sebuah desa
yang dilingkungi oleh persawahan dan ladang. Tetapi ternyata daerah ini
hanyalah padang rumput yang diselingi oleh gerumbul-gerumbul liar.”
“Tetapi aku kira tidaklah demikian
seluruhnya, Rara Wilis. Beberapa tahun yang lalu, desa-desa seperti yang
kau bayangkan itu memang pernah ada. Entahlah kenapa sekarang keadaan
itu berubah. Meskipun demikian aku yakin, bahwa di sekitar daerah ini
masih juga didiami orang. Karena itu baiklah kita coba mencarinya.”
Di wajah Rara Wilis masih saja membayang
kebimbangan hatinya, bahkan kebimbangan itu kemudian berubah menjadi
suatu ketakutan. Bagaimanakah kalau ia tak dapat menemui kakeknya?
Pastilah, bahwa Mahesa Jenar tak akan dapat terus-menerus menemaninya.
Melihat perubahan wajah Rara Wilis, Mahesa Jenar pun menangkap
perasaannya, karena itu ia mencoba menghiburnya. “Rara Wilis, tak
usah kau merasa takut. Aku masih mempunyai perasaan kuat, bahwa di sini
masih didiami orang. Seandainya tidak demikian, maka aku bersedia
mengantar kau pulang ke rumah ayahmu.”
Tetapi akibat perkataan itu adalah
sebaliknya dari yang diharapkan. Karenanya Mahesa Jenar menjadi terkejut
sekali ketika dilihatnya Rara Wilis malahan meneteskan air mata.
Meskipun sudah ditahan sekuat-kuatnya.
Sekarang Mahesa Jenar yang kebingungan.
Sekali lagi ia merasa demikian tumpulnya perasaannya. Ia pernah
mengalami suasana yang bersamaan, meskipun keadaannya berbeda. Yaitu
pada waktu ia berhadapan dengan Nyai Wirasaba. Pada saat itu juga ia
menjadi kebingungan dan tidak mengerti apa yang harus dikerjakan.
Sekarang Rara Wilis itu pun menangis di
hadapannya tanpa sebab. Justru pada saat ia berusaha untuk menghiburnya.
Karena itu perasaannya menjadi tidak enak sekali.
Tetapi setelah ia mempunyai sebuah
pengalaman yang tak menyenangkan, ia tidak lagi mau menebak-nebak. Maka
terlintaslah dalam pikirannya, bahwa jalan yang terbaik adalah
menanyakan sebabnya, kenapa Rara Wilis menangis. Mendapat pikiran yang
demikian, Mahesa Jenar menjadi agak lega sedikit. Dan dengan hati-hati
sekali ia mencoba bertanya. “Rara Wilis, aku telah mencoba untuk
menenangkan hatimu, tetapi justru akibatnya adalah sebaliknya. Karena
itu, dapatkah aku menanyakan, apakah sebabnya kau menangis?”
Rara Wilis tidak segera menjawab. Ia
melangkah beberapa kali ke samping, dan kemudian menjatuhkan dirinya
duduk di rumput-rumput liar. Dari matanya masih saja terurai
tetesan-tetesan airmata. Baru setelah beberapa saat, ia menjawab dengan
kata-kata yang tersekat-sekat. “Tuan, aku merasa bersyukur, bahwa
aku dapat berjumpa dengan seorang yang demikian baik hati seperti Tuan.
Karena itu tak adalah jalan bagiku untuk menyatakan terima kasihku yang
tak terhingga. Tetapi sangatlah menyesal Tuan …, bahwa kalau aku tak
dapat menemukan kakekku, aku tak dapat kembali kepada ayahku. Meskipun
ayahku dahulu tergolong orang yang berada, tetapi tak adalah tempat
bagiku di sana.”
Mahesa Jenar menjadi semakin
menebak-nebak tentang keadaan gadis aneh itu. Rupanya banyak rahasia
yang menyelubungi dirinya, sehingga ia terpaksa menempuh perjalanan yang
sedemikian berbahayanya.
“Rara Wilis,” tanyanya kemudian, “aku
bukanlah ingin terlalu banyak mengetahui tentang dirimu, tetapi bagiku
kau adalah seorang gadis yang diselubungi oleh kabut rahasia yang
kelam.”
“Mungkin Tuan benar,” jawab Rara Wilis, “Tetapi buat tuan tidaklah sepantasnya kalau aku menyembunyikan sesuatu rahasia.” Matanya yang bulat tetapi sayu itu memandang Mahesa Jenar, seperti mata kanak-kanak yang minta perlindungan.
Mahesa Jenar menjadi semakin tidak
mengerti apa yang harus dilakukan. Di luar kesadarannya ia pun ikut
serta duduk diatas rumput-rumput liar.
“Tuan,” Rara Wilis mulai dengan ceritanya,
”ayahku adalah seorang yang banyak mempunyai pengaruh di daerah
Pegunungan Kidul. Meskipun daerah itu tandus dan kering, tetapi ayahku
mempunyai peternakan yang cukup, sehingga dapatlah ia digolongkan orang
berada. Tetapi ibuku adalah keturunan orang yang miskin. Kakekku semasa
masih tinggal di Pegunungan Kidul, tidaklah lebih dari seorang buruh
yang bekerja dengan upah yang sangat kecil. Meskipun demikian kakek
termasuk orang yang tidak mau menjadi beban orang lain. Sepuluh tahun
yang lalu kakek yang merasa kehidupannya semakin hari semakin sulit,
terpaksa pergi meninggalkan kampung halaman. Memang sebelum itupun kakek
adalah seorang perantau. Mungkin ini disebabkan oleh kehidupannya yang
sulit, sehingga pada saat-saat tertentu, yaitu pada saat paceklik, kakek
pergi meninggalkan kampung untuk beberapa bulan. Tetapi sejak 10 tahun
yang lalu, kakek tidak kembali pulang. Meskipun pada masa kanak-kanakku,
apabila kakek berada di rumah, selalu digendongnya kemana ia pergi. Kepergiannya
tidak terlalu lama mempengaruhi perasaanku. Sebab ayah dan ibuku selalu
memanjakan aku. Tetapi akhir-akhir ini terjadilah peristiwa-peristiwa
yang merusak kehidupan damai itu. Beberapa tahun yang lalu, di kampung
halamanku, datanglah seorang perempuan dari Bagelen. Kelakuannya
tidaklah seperti lazimnya perempuan-perempuan di daerah kami. Di daerah
kami banyak pendekar yang ternama, termasuk ayahku yang bernama Ki
Panutan. Tetapi tidaklah biasa seorang perempuan jadi pendekar. Berbeda
halnya dengan perempuan pendatang itu. Ternyata ia adalah seorang
pendekar perempuan, yang tidak diduga-duga. Ia pun telah dapat
mengalahkan beberapa pendekar ternama di daerah kami.” Rara Wilis berhenti sejenak. Alisnya tampak berkerut. Ia mencoba mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah berlaku.
“Tuan …,” sambungnya beberapa saat kemudian.
“Keanehan perempuan itu tidak saja pada kependekarannya, tetapi juga
pada tingkah lakunya. Kadang-kadang ia bersikap garang dan kasar seperti
halnya pendekar laki-laki di daerah kami. Tetapi kadang-kadang ia
menjadi lunak dan mesra, penuh sifat halus seorang wanita.
Rupanya gabungan dari kedua
sifat-sifat itulah yang telah memecahkan kebahagiaan rumah-tangga kami.
Sebab ternyata hubungan perempuan itu dengan ayahku semakin hari semakin
rapat. Ibuku adalah perempuan lugu, yang hanya dapat bekerja di dapur
dan meladeni seorang suami seperti apa yang dilakukan
perempuan-perempuan lain di desa kami. Ibuku tidaklah dapat memberi
saran, nasihat atau apapun semacam itu kepada ayahku sebagai seorang
pendekar. Juga ibuku tidak pandai merayu hati laki-laki. Dan karena
itulah maka semakin dekat ayahku dengan perempuan pendatang itu, semakin
jauh ia dari ibuku. Rupanya hal itu dapat dilihat oleh penduduk di
daerah kami, sehingga menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan.
Tetapi lebih daripada itu, ayah pun perangainya seakan-akan berubah. Ia
pun kemudian mempunyai kebiasaan-kebiasaan aneh. Minum minuman keras dan
hal-hal kasar lainnya. Kepadaku pun ayah menjadi semakin jauh pula.
Alangkah benciku kepada perempuan
itu, seperti ia juga sangat benci kepadaku. Bahkan ia selalu menyakitiku
tanpa ada pembelaan dari ayah, apalagi ibu yang hanya dapat memelukku
dan menangisi.
Waktu itu, tak banyak yang dapat aku
ketahui, selain pada suatu hari datanglah beberapa orang pendekar
terkenal, yang dulu adalah sahabat-sahabat ayahku. Tanpa kuketahui
sebab-sebabnya, mereka bertempur melawan ayahku serta perempuan
pendatang itu. Rupanya ayahku memang seorang pendekar pilihan
dan perempuan itu pun tak kalah garangnya. Sehingga meskipun ayah dan
perempuan itu dikerubut, tetapi dapat juga memberi perlawanan yang
berarti. Ibuku sendiri waktu itu tak dapat berbuat lain, kecuali
memelukku dan menangis sejadi-jadinya di belakang dapur rumah kami.
Akhirnya …, bagaimanapun kuatnya
ayahku serta perempuan pendatang itu, namun tidaklah dapat menahan arus
kemarahan pendekar-pendekar ternama di dareh kami yang demikian banyak
jumlahnya. Sehingga sejak itu, ayahku pergi dengan perempuan pendatang
itu, dan tidak pernah kembali.
Sejak itu pula ibu selalu menanggung
kesedihan yang tak terhingga, meskipun anehnya, tetangga-tetangga
bersikap baik sekali. Bahkan para pendekar yang mengerubut ayahku,
bersikap manis sekali kepada ibuku. Bahkan istri-istri mereka selalu
berusaha untuk dapat bercakap-cakap dan menghibur ibuku. Tetapi rupanya
ibuku lebih suka mengurung dirinya serta membenamkan diri dalam duka.” Kata Rara Wilis,
“beberapa tahun kemudian membayanglah puncak kesedihan yang bakal
terjadi. Ibuku sakit. Semakin lama sakit itu semakin keras dan
seolah-olah sudah terasa, bahwa sakit itu tak akan dapat diobati. Ternak
kami yang sekian banyaknya, kekayaan kami, tidak dapat membendung arus
kematian yang semakin lama semakin deras bergulung-gulung menghantam
tebing-tebing kehidupan ibuku. Maka setelah beberapa tahun kemudian dari
kepergian ayahku, ibuku menutup mata, serta meninggalkan keris yang
Tuan namakan Sigar Penjalin itu kepadaku, sebagai suatu bukti bahwa aku
adalah keturunan Ki Santanu dari Pegunungan Kidul. Jadi sama sekali
bukan Ki Ageng Pandan Alas dari Wanasaba.
Maka akupun akhirnya merasa, bahwa
aku tidak dapat hidup tanpa ada satu pun yang aku cintai. Meskipun aku
mendapat warisan yang cukup banyak, tetapi semuanya itu tak berarti bagi
hidupku yang kering.” Rara Wilis mengakhiri ceriteranya dengan sedu-sedan yang seperti meledak dari rongga dadanya.
Mahesa Jenar mendengarkan ceritera Rara
Wilis itu dengan penuh haru. Rupanya kegersangan hati gadis itulah yang
mendorongnya untuk menempuh jalan yang sangat berbahaya, mencari
kakeknya, sekadar untuk dapat menyangkutkan cinta serta harapannya.
Mungkin ia mengharapkan kakeknya suka kembali ke kampung halaman, untuk
bersama-sama hidup dalam suasana yang hanya dapat dikenangnya kembali.
Tetapi, meskipun Mahesa Jenar dapat ikut
serta sepenuhnya merasakan betapa keringnya hidup tanpa sangkutan cinta,
namun ia tidak dapat berbuat suatu untuk menenangkan hati gadis cantik
itu. Oleh karenanya ia menjadi gelisah sendiri. Perlahan-lahan ia
berdiri lalu berjalan mondar-mandir tanpa tujuan.
Sementara itu, matahari telah hampir
menyelesaikan perjalanannya yang sunyi mengarungi langit. Cahayanya yang
masih ketinggalan, tampak gemerlapan di atas punggung-punggung bukit.
Mahesa Jenar masih saja berjalan
mondar-mandir dengan gelisahnya. Dalam hatinya berkecamuk perasaan heran
yang tiada habis-habisnya. Bagaimana mungkin seorang ayah dapat
melupakan putrinya, hanya karena seorang perempuan yang tak dikenal
asal-usulnya, sehingga ia telah melepaskan hari depan gadisnya serta
hari depan garis keturunannya?
Beberapa saat kemudian, ketika Rara Wilis
telah menjadi agak tenang, Mahesa Jenar pun segera mempersilahkannya
untuk berjalan kembali. Sebab bagaimanapun Mahesa Jenar masih
mengharapkan untuk dapat menjumpai seseorang di daerah ini.
Perjalanan di daerah ini tidaklah sesulit
berjalan di hutan. Mereka hampir tidak pernah menemui
rintangan-rintangan yang berarti.
Setelah mereka berjalan beberapa saat,
tiba-tiba Mahesa Jenar berhenti. Matanya memandang ke satu arah dengan
tajamnya, dan sejenak kemudian ia meloncat beberapa langkah, lalu
berjongkok, mengamati sesuatu. Rara Wilis terkejut bercampur heran
melihat tingkah laku Mahesa Jenar. Ia pun segera berlari dan ikut serta
mengamati arah yang sama. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Karena itu
dengan herannya ia bertanya, “Tuan, adakah Tuan melihat sesuatu? “
“Rara Wilis …. Lihat rumput-rumput ini,”
jawab Mahesa Jenar. Rara Wilis memandang rumput yang ditunjuk oleh
Mahesa Jenar itu dengan seksama, tetapi ia tetap tidak melihat sesuatu.
“Ada apa dengan rumput-rumput itu?,” tanyanya.
“Lihatlah, rumput ini rebah dan
patah-patah. Lihatlah di tempat itu, juga terdapat hal yang sama, juga
di sebelah sana dan sana. Kau tahu artinya? Apalagi di tempat yang
tanahnya agak gembur ini.”
Rupanya otak Rara Wilis pun tidak begitu tumpul, sehingga ia berteriak menebak. “Telapak kaki manusia …?”
”Ya,” sahut Mahesa Jenar.
’Telapak kaki yang masih agak baru. Pasti seseorang baru saja melewati
daerah ini. Mungkin ia adalah penduduk daerah Pliridan ini, atau
mungkin….” Mahesa Jenar tidak melanjutkan perkataannya. Tetapi Rara Wilis dapat menangkap kelanjutannya.
”Mudah-mudahan bukanlah penjahat-penjahat itulah yang sengaja dikirim untuk mematai-matai perjalanan kita” katanya.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar berdiri
tegak. Otaknya bekerja keras untuk mencoba menebak, siapakah kira-kira
yang meninggalkan bekas tapak kaki yang masih segar itu. Menurut
pendapatnya, ada empat kemungkinan, yaitu penduduk setempat, Jaka Soka,
Pasingsingan, atau Ki Ageng Pandan Alas. Diam-diam ia membandingkan
telapak kaki itu dengan telapak kakinya sendiri. Ternyata telapak kaki
itu agak lebih dalam. Menurut pendapatnya, pastilah orang itu adalah
orang yang gemuk sekali, atau orang yang membawa beban agak berat.
Tiba-tiba terlintaslah dalam benaknya, bahwa Pasingsingan adalah
kemungkinan yang paling dekat, sebab Pasingsingan dalam perjalanannya
kembali ke Pasiraman mendukung Lawa Ijo yang terluka. Dan tidaklah
mustahil kalau jalan ini dilewati, sebab arah perjalanannya sesuai
dengan arah jalan ini.
Mahesa Jenar ragu-ragu sebentar. Ia tidak ingin menggelisahkan hati gadis itu. Karena itu ia menjawab,” Tidaklah begitu penting Rara Wilis, tetapi sebaiknya kita beralih jalan.”
Rara Wilis mengerutkan dahinya, otaknya memang cukup cerdas, karena itu ia menjawab, “Kalau
Tuan sampai menganggap perlu untuk menempuh jalan lain, pastilah ada
sesuatu yang sangat penting. Katakanlah Tuan, supaya aku tidak usah
menebak-nebak.”
Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain,
kecuali mengatakan segala sesuatu yang berkecamuk di dalam otaknya. Rara
Wilis pun sependapat dengan pikiran itu. Maka mereka memutuskan untuk
mencari jalan lain.
Demikianlah mereka meninggalkan dan
menjauhi jalan setapak yang paling mungkin dilalui orang. Mereka
membelok ke arah selatan, menyusup gerumbul-gerumbul kecil menuju ke
arah pepohonan yang agak lebat di depan mereka. Mungkin di daerah itu
terdapat mata air, atau tempat yang aman untuk bermalam, atau sukurlah
kalau didiami orang.
Ketika mereka sampai, ternyata tempat itu
tidak juga ditinggali manusia. Memang, di sana terdapat sebuah mata air
yang mengalirkan air cukup deras, dan ditampung dalam sebuah telaga
yang hijau bening.
Pada saat itu, matahari telah sampai di
garis cakrawala. Sinarnya sudah tidak lagi dapat menembus takbir
gelapnya malam, yang turun perlahan-lahan, tetapi pasti akan menelan
bumi.
Mehesa Jenar pun segera mengadakan
persiapan untuk bermalam. Hanya untuk kali itu, menurut pertimbangan
Mahesa Jenar, sebaiknyalah kalau tidak menyalakan api, meskipun Mahesa
Jenar sadar bahwa andaikata bekas-bekas kaki tadi benar-benar bekas kaki
Pasingsingan, pastilah ia tidak sengaja akan menjebaknya. Sebagai orang
seperti Pasingsingan, apabila dikehendaki tentu tidak akan meninggalkan
jejak sedemikian jelasnya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar harus
selalu tetap waspada. Dipersilahkan Rara Wilis untuk beristirahat,
berbaring di atas tikar yang masih saja dibawanya ke mana-mana. Sedang
Mahesa Jenar sendiri duduk bersandar pohon sambil memperhatikan suasana
di sekitarnya.
Alam pun segera menjadi hitam. Untunglah,
bahwa bulan yang remaja menghiasi langit diantara taburan
bintang-bintang. Sehingga sinarnya yang remang-remang dapat menembus
dedaunan yang tidak begitu lebat seperti lebatnya hutan.
Mata Mahesa Jenar yang tajam itu selalu
menembus keremangan malam untuk menangkap tiap-tiap gerakan yang mungkin
mencurigakan. Tetapi tiba-tiba saja mata itu terbanting ke tubuh
seorang gadis cantik yang berbaring diam di depannya. Dengan demikian
jantungnya berdesir cepat tanpa sesadar.
Ia pernah bertemu, melihat dan berkenalan
dengan puluhan bahkan ratusan gadis cantik. Bahkan ia pernah berkenalan
dengan seorang yang menurut pendapatnya memiliki kecantikan yang
sempurna, yaitu Nyai Wirasaba. Tetapi tidaklah pernah ia merasakan suatu
getaran yang aneh seperti dirasakannya pada malam itu. Diam-diam Mahesa
Jenar memandangi tubuh yang terbaring seperti sebuah golek kencana itu.
Dari ujung kakinya, tangannya, dadanya sampai ke rambutnya yang
bergerak-gerak dibelai angin malam yang berhembus lirih.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Sebagai manusia biasa, Mahesa Jenar juga kadang-kadang membayangkan
suatu rumahtangga yang tenteram dan lumrah. Tetapi segera Mahesa Jenar
dapat langsung memandang ke dirinya sendiri. Ia tidak lebih dari seorang
perantau yang akan menjelajahi desa demi desa, hutan demi hutan, untuk
mengabdikan keyakinannya. Untuk itu, maka masih banyaklah yang harus
dikerjakan.
Karenanya, oleh kesadarannya tentang
dirinya, maka segala perasaan-perasaan yang berdesir di hatinya terhadap
gadis cantik itu segera didesak sekuat-kuatnya.
Maka dengan serta merta direnggutkannya
pandangannya dari tubuh Rara Wilis, dan segera dilemparkan kembali ke
arah bayang-bayang daun dan ranting-ranting yang selalu bergerak-gerak,
seolah-olah sedang mengganggunya.
Sedang angin malam yang berdesir di
dedaunan masih saja menyapu wajahnya, dan sekali-sekali terdengar di
kejauhan ringkik kuda liar yang terkejut mendengar teriakan-teriakan
anjing hutan.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba
saja ia terbanting kembali ke dalam suasana yang kini sedang dihadapi.
Suatu daerah asing yang diliputi oleh suasana yang membahayakan. Segera
diangkatnya kepalanya, serta diperhatikannya keadaan di sekelilingnya
dengan saksama. Sebagai seorang yang mempunyai pengalaman yang luas,
Mahesa Jenar mendapatkan suatu firasat, bahwa ada sesuatu yang
mencurigakan. Mendadak telinganya yang tajam itu mendengar suara
berdesir lambat sekali. Tetapi Mahesa Jenar sudah cukup mendapat
gambaran bahwa seseorang datang mendekatinya. Orang itu pasti bukanlah
orang yang mempunyai ilmu yang terlalu tinggi. Sebab gerak serta
pernafasannya tidaklah dikuasainya dengan baik. Karena itu sekaligus
Mahesa Jenar dapat mengetahui dari arah mana orang itu datang. Tetapi ia
tidak segera mengadakan tindakan apa-apa. Ia ingin mengetahui lebih
dahulu, apakah kira-kira maksud orang itu mengintainya. Karena itu ia
tetap duduk di tempatnya, serta bersikap seperti tak mengetahuinya.
Meskipun dalam keadaan yang demikian ia sudah bersiaga untuk menghadapi
segala kemungkinan.
Suara berdesir itu pun semakin lama
semakin jelas, serta suara tarikan nafasnya semakin memburu pula. Tetapi
pada jarak tertentu suara itu tidak lagi maju. Rupanya orang itu baru
mempersiapkan diri untuk menyerang.
Mendadak Mahesa Jenar terkejut ketika
mendengar suara itu mundur dan menjauh. Segera Mahesa Jenar tahu, bahwa
orang itu tidak bermaksud menyerang, tetapi hanya mengintai saja. Hal
yang demikian itu malahan akan dapat mengandung bahaya yang lebih besar.
Karena itu segera Mahesa Jenar bangkit dan dengan beberapa loncatan
saja ia sudah berdiri di samping orang yang mengintainya.
Orang itu terkejut. Mahesa Jenar yang
dikira tidak mengetahui kehadirannya, kini tiba-tiba sudah ada di
sampingnya. Karena itu tidaklah mungkin ia dapat melepaskan diri. Dengan
demikian ia menghentikan langkahnya, dan tidak ada jalan lain kecuali
mendahului menyerang. Orang itu segera mengangkat goloknya, dan dengan
sekuat tenaga dibabatnya pundak Mahesa Jenar. Mendapat serangan yang
tiba-tiba, Mahesa Jenar menjadi terkejut pula. Ternyata meskipun orang
itu tidak dapat menguasai pernafasannya dengan baik, tetapi ia mempunyai
keistimewaan pula.

“Kau siapa?,” tanya Mahesa Jenar
geram. Tetapi orang itu tidak menjawab. Demikianlah sampai Mahesa Jenar
mengulangi pertanyaan itu dua kali. Akhirnya Mahesa Jenar menjadi
jengkel dan menekan punggung orang itu semakin kuat serta memutar tangan
yang terpuntir itu semakin keras, sehingga orang itu mengaduh
kesakitan.
“Kalau kau tidak menjawab,” desak Mahesa Jenar, ”tanganmu akan aku patahkan,”
Rupanya orang itu pun masih merasa perlu memiliki tangan sehingga dengan terpaksa menjawab, “Aku adalah Sagotra.”
“Apa maksudmu mengintai kami? “
desak Mahesa Jenar lebih lanjut. Kembali orang itu diam saja. Mahesa
Jenar menjadi semakin jengkel, dan ia menekan orang itu lebih keras
lagi, sehingga orang itu mengaduh lebih keras pula. “Jawablah! Atau tanganmu betul-betul patah.” Mahesa Jenar makin geram.
“Tak ada gunanya kau memaksa aku berkata lebih banyak lagi,” jawabnya. Rupa-rupanya ia harus merahasiakan tugasnya betul-betul, sehingga sampai ke ajalnya kalau perlu.
“Keadaanku sudah pasti,” sambungny, ”berkata atau tidak berkata, aku akan menemui kematian. Karena itu biarlah aku mati dengan menggenggam rahasia.”
“Keadaanku sudah pasti,” sambungny, ”berkata atau tidak berkata, aku akan menemui kematian. Karena itu biarlah aku mati dengan menggenggam rahasia.”
Mahesa Jenar kagum juga melihat
kejantanan orang itu, sampai berani menantang maut. Tetapi ia ingin
untuk mendapat keterangan tentang maksud orang itu, yang pasti tidak
baik. Maka setelah mendapat suatu cara ia berkata, “Baiklah, kalau
kau tidak mau berkata. Aku hormati kejantananmu. Tetapi janganlah
tanggung-tanggung. Aku ingin melihat pameran kesetiaan. Kau pernah
mendengar cerita, bahwa di daerah ini banyak terdapat Ngangrang Salaka…?
“
Mendengar Mahesa Jenar menyebut Ngangrang
Salaka, tengkuk orang itu serentak meremang. Jantungnya berdegup hebat,
sampai tubuhnya terasa gemetar. Ngangrang Salaka adalah sejenis semut
ngangrang yang luar biasa buas serta rakusnya. Binatang apapun yang
sampai terperosok ke sarangnya pasti hancur dimakannya. Keluarga semut
itu membuat sarang di bawah pohon-pohon yang sudah membusuk, dengan
memerlukan tanah 10 atau 15 langkah persegi. Tubuh semut itu besarnya
tidak terpaut banyak dengan semut ngangrang biasa, hanya warnanya yang
merah mempunyai beberapa baris-baris putih perak.
Mahesa Jenar merasakan, bahwa kata-katanya mempunyai akibat pada orang itu. Dengan demikian ia melanjutkan, “Kalau
kau belum pernah mendengar, baiklah kau akan aku perkenalkan dengan
semut itu. Tetapi sebelumnya lebih baik kalau kakimu aku patahkan dulu
supaya kau tidak dapat lari darinya.” Selesai mengucapkan kata-kata
itu, segera Mahesa Jenar melepaskan tangan orang itu. Tetapi segera
pula menangkap kaki dan melipatnya. Pergelangan kaki kirinya dijepitkan
pada lipatan lutut kaki kanan, sedang tangan Mahesa Jenar siap
mematahkan pergelangan kaki kanan orang itu. “Jangan…, jangan…!” teriak orang itu tiba-tiba. “Bunuhlah aku dengan cara lain. Tetapi aku jangan kau siksa di sarang semut Salaka”
“Itu adalah urusanku.” jawab Mahesa Jenar seenaknya, ”Sekehendakkulah untuk memilih cara bagaimana sebaiknya membunuh kau,”.
Tampaknya Mahesa Jenar betul-betul akan melaksanakan ucapannya itu, karenanya maka kembali orang itu berteriak, “Jangan, jangan, bunuhlah aku dengan cara lain.”
Kembali Mahesa Jenar tertawa dingin. “Seorang yang telah berani menyatakan dirinya sebagai pengemban tugas, seharusnya tidak takut menghadapi segala macam bahaya.”
“Aku sama sekali tidak takut mati.” teriak orang itu, ”Tetapi cara kematian yang demikian adalah mengerikan sekali. Lepaskan aku dan biarlah aku bunuh diri”.
Kembali Mahesa Jenar mengagumi orang itu, tetapi keterangan yang diperlukan harus didapatnya. Maka katanya, ”Kalau kau mau berkata, aku beri kau kebebasan untuk memilih jalan kematian.”
Lagi orang itu diam menimbang-nimbang.
Rupanya terjadi pergolakan hebat di dalam dirinya. Baru ketika Mahesa
Jenar menekan pergelangan kakinya ia berteriak, ”Baiklah aku berkata asal aku dibebaskan dari siksaan ngangrang Salaka.”
”Baiklah…,” jawab Mahesa Jenar, ”berkatalah.”
Lalu dilepaskannya pergelangan kaki orang itu, dan ia melangkah satu
langkah surut. Mengalami perlakuan yang demikian, orang itu ternyata
sangat terkejut. Ia tidak tahu maksud lawannya yang dengan begitu saja
telah melepaskan tangkapannya. Sehingga untuk beberapa saat ia tetap
tertelungkup tanpa bergerak, sampai Mahesa Jenar menegurnya, ”Duduklah dan berkatalah.”
Kembali ia tersentak mendengar tegur
Mahesa Jenar. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di hadapan Mahesa
Jenar. Sementara itu Mahesa Jenar telah pula duduk menghadapi orang yang
menamakan dirinya Sagotra.
Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan
mata yang hampir tak berkedip. Rupanya ia sedang mencoba memahami
sikapnya. Mula-mula Sagotra menganggap bahwa Mahesa Jenar adalah seorang
yang bengis dan kejam, seperti yang tiap-tiap hari dilihat di dalam
tata pergaulannya. Tetapi kemudian seperti orang yang sama sekali tidak
menaruh prasangka apa-apa, ia dilepaskan. Kalau hal itu disebabkan
karena keyakinan akan kemenangannya, pastilah ia tidak bersikap
sedemikian lunak. Mungkin ia sudah diangkatnya tinggi-tinggi, diputar di
udara, lalu dibantingnya ke tanah. Barulah setelah setengah mati,
disuruhnya ia berkata. Atau mungkinkah segala-galanya akan dilakukan
nanti setelah ia selesai berkata? Sebab menurut pertimbangannya,
tidaklah mungkin orang yang melakukan pengintaian seperti apa yang
dilakukannya itu akan dilepaskan, karena akibatnya akan membahayakan.
Mengingat hal itu, Sagotra menjadi ngeri.
Mahesa Jenar menangkap kebimbangan hati Sagotra. “Sagotra, berkatalah. Aku hanya ingin keteranganmu, lebih daripada itu tidak.”
Sagotra sama sekali tidak mengerti maksud
Mahesa Jenar. Tetapi meskipun demikian ketakutannya menjadi jauh
berkurang. Menilik sikap, kata-kata serta maksudnya, pastilah Mahesa
Jenar bukan orang yang bengis dan kejam. Karena itu Sagotra menjadi malu
kepada diri sendiri. Bahwa orang yang dipercaya untuk melakukan tugas
ini dapat luluh hatinya hanya oleh gertakan saja. Tetapi disamping itu
ia menjadi kagum pada Mahesa Jenar yang mempunyai sifat-sifat yang tak
pernah dijumpainya dalam tata pergaulan di sarangnya. Tiba-tiba saja ia
merasa kengerian dan kejemuan untuk dapat bertemu dengan gerombolannya
kembali, yang tidak pernah merasakan betapa indahnya hidup manusia yang
dapat menikmati terbitnya fajar, serta bulatnya bulan. Serta betapa
tenteramnya hidup ini apabila ia berkesempatan mengagungkan alam.
Lebih-lebih penciptanya, Tuhan Yang Maha Agung. Hal yang demikian
tidaklah pernah dialami selama Sagotra hidup di dalam sarang
gerombolannya, dimana setiap saat hanyalah berlaku hukum kekerasan dan
pembunuhan bagi mereka yang tidak mentaati peraturan.
“Tuan,” katanya kemudian, “Benarkah Tuan yang bernama Rangga Tohjaya?”
Mahesa Jenar mengangguk mengiakan.
“Aku telah mendapat tugas untuk mencari Tuan,” lanjutnya.
Kembali Mahesa Jenar mengangguk perlahan, katanya, “Sekarang aku sudah kau ketemukan.”
“Ya, aku sudah menemukan Tuan. Tetapi
keperkasaan Tuan jauh diatas dugaanku. Sehingga Tuan tanpa menoleh
dapat melihat kedatanganku.”
“Tetapi kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada saat kau temukan aku? Bahkan kau hanya mengintip lalu pergi?”
Sagotra membetulkan duduknya, lalu jawabnya,
“Memang, aku hanya mendapat perintah untuk menemukan tempat Tuan.
Sesudah itu aku harus melaporkan. Sebab kami yakin, bahwa untuk
menangkap Tuan diperlukan 10 sampai 20 orang yang tergolong tingkat
atasan dalam gerombolan kami.”
“Kau ini sebenarnya termasuk gerombolan apa?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
Kembali orang itu ragu-ragu. Dengan
menyebutkan nama gerombolannya, mungkin sangat tidak menguntungkan
baginya. Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang sama sekali
tidak memancarkan rasa permusuhan, hatinya agak tenang sedikit. Meski
dengan jantung berdegup, berkatalah Sagotra, “Tuan, sebenarnya aku
sama sekali tidak berani menyebut nama gerombolanku, sebab aku tahu
bahwa Tuan mempunyai persoalan yang mendalam dengan pemimpinku. Meskipun
demikian, karena sikap Tuan yang tak pernah aku temui dalam gerombolan
kami, menimbulkan kepercayaan pada diriku, bahwa Tuan mempunyai
kepribadian lain daripada orang-orang kami.” Orang itu berhenti sejenak untuk meyakinkan kata-katanya sendiri. Lalu sambungnya, “Tuan… kami adalah gerombolan Lawa Ijo.”
Pengakuan itu sama sekali tidak
mengejutkan hati Mahesa Jenar. Memang ia sudah mempunyai dugaan bahwa
kemungkinan terbesar orang itu datang dari gerombolan Lawa Ijo atas
perintah Pasingsingan. Hanya kecepatan mereka bertindak itulah yang
mengagumkan.
“Sagotra, kata Mahesa Jenar kemudian, Aku dengar gerombolan kini sedang dibekukan. Benarkah itu?”
“Benar, Tuan.” Jawab Sagotra,
”Tetapi meskipun demikian, kami, beberapa orang tetap dalam tugas kami.
Sedang orang lain yang tidak diperlukan diperkenankan untuk sementara
meninggalkan sarang kami. Tetapi kami 25 orang yang merupakan anggota
inti di bawah pimpinan Wadas Gunung, saudara muda seperguruan Lawa Ijo,
harus selalu bersiap untuk setiap saat bertindak.”
Mendengar nama Wadas Gunung, Mahesa Jenar
jadi teringat kepada Watu Gunung, yang menurut Samparan juga merupakan
saudara muda seperguruan dengan Lawa Ijo. Karena itu ia bertanya, ”Sagotra, kenalkah kau dengan Watu Gunung?”
“Ya, pastilah aku kenal.” jawab Sagotra,
”Ia adalah saudara kembar Wadas Gunung. Dan kedua-duanya saudara
seperguruan Lawa Ijo. Aku juga sudah mendengar kabar yang dibawa oleh Ki
Pasingsingan, bahwa Watu Gunung telah Tuan binasakan ketika ia sedang
mengunjungi kampung kelahirannya. Serta karena itu pulalah sekarang kami
20 orang di bawah pimpinan Wadas Gunung sendiri sedang mencari Tuan.”
Mendengar keterangan terakhir dari
Sagotra ini hati Mahesa Jenar tergoncang pula, 20 orang sedang
mencarinya. Sementara itu Sagotra melanjutkan, “Tetapi anehlah Tuan,
bahwa kali ini Ki Pasingsingan salah hitung. Hal seperti ini belum
pernah terjadi. Kami telah mendapat petunjuk untuk mencegat Tuan di
suatu tempat. Menurut perhitungan Ki Pasingsingan, pada hari ini
menjelang malam Tuan pasti sampai ke tempat itu. Tetapi ternyata
perhitungan itu meleset. Dan tuan telah mengambil jalan lain menghindari
tempat yang telah kami persiapkan untuk menjebak Tuan. Karena itu, kami
lima orang telah disebarkan untuk mencari Tuan.”
Mahesa Jenar mendengarkan keterangan Sagotra dengan penuh perhatian. Akhirnya ia bertanya, “Kapankah Pasingsingan sampai ke sarang gerombolanmu? “
“Kemarin lusa, “ jawab Sagotra.
“Kemarin lusa?” ulang Mahesa
Jenar dengan herannya. Sulit baginya untuk membayangkan kecepatan
berjalan Pasingsingan. Ditambah lagi ketika ia teringat telapak kaki
yang masih tampak baru, yang ditemuinya sore tadi. Mahesa Jenar menjadi
bertambah heran lagi. Sampai kemudian ia bertanya, “Adakah orang lain yang kau temui lewat jalan yang seharusnya aku lalui?”
“Tidak Tuan, tidak ada.” Jawab
sagotra, ”Kalau ada, pastilah orang itu kami tangkap. Sebab pasti orang
itu kami sangka Tuan, karena diantara kami tidak ada yang pernah
mengenal wajah Tuan, kecuali hanya ciri-ciri Tuan yang digambarkan oleh
Ki Pasingsingan.”
Mahesa Jenar menjadi bertambah heran.
Adakah pihak ketiga yang sengaja memberi tanda kepadanya supaya
mengambil jalan lain? Ia jadi bingung menimbang-nimbang. Tetapi sampai
sekian lama tak dapat ia memecahkan teka-teki itu. Satu-satunya
kemungkinan yang membayang di kepala Mahesa Jenar hanyalah Ki Ageng
Pandan Alas.
Belum lagi masalah telapak kaki bisa
dipecahkan, mereka melihat di arah sebelah selatan warna merah membayang
di udara. Pasti di sana ada orang yang menyalakan api. Segera Mahesa
Jenar ingat, bahwa Wadas Gunung beserta 20 orangnya sedang bersiap
menghadangnya. Tetapi menilik arahnya, pasti bukan mereka itu.
“Sagotra…,” kata Mahesa Jenar kemudian. “Kawan-kawanmukah yang menyalakan api itu? “
Sagotra memandang pula ke arah warna merah yang mewarnai keremangan malam. Ia menggeleng perlahan. Lalu jawabnya, “Bukan Tuan. Itu pasti bukan kawan-kawan. Mereka menghadang Tuan tidak di arah itu.”
“Lalu siapakah menurut pendapatmu yang menyalakan api itu?”
Sagotra tampak berpikir sejenak dan akhirnya ia menjawab, “Tuan, mungkin itu adalah orang tua yang agak kurang waras, yang merupakan satu-satunya penghuni daerah ini.”
“Satu-satunya?” sahut Mahesa Jenar agak terkejut. “Jadi didaerah ini tidak lagi ditinggali manusia kecuali orang tua itu?”
Sagotra menggelengkan kepalanya. “Tidak, Tuan.” katanya kemudian, ”Memang daerah ini sekarang sama sekali kosong, kecuali seorang itu”
”Sagotra,” Mahesa Jenar ingin mendapat penjelasan lebih banyak, ”beberapa
tahun yang lalu, aku pernah menempuh perjalanan melewati daerah ini. Di
sini banyak aku ketemukan perkampungan-perkampungan yang dilingkungi
oleh sawah serta ladang. Tetapi, sekarang aku sama sekali tidak lagi
melihat sebuah desa pun di sini. Bahkan seperti yang kau katakan bahwa
di sini tidak lagi ditinggali manusia kecuali seorang itu saja.”
”Benar Tuan,” jawab Sagotra, ”beberapa
tahun yang lalu memang daerah ini merupakan daerah yang cukup ramai.
Tetapi, sejak Lawa Ijo menghentikan kegiatannya, daerah ini menjadi
daerah yang paling banyak mengalami keributan. Penjahat-penjahat kecil
yang mula-mula sama sekali tidak berani melakukan kegiatannya di wilayah
ini, seolah-olah mendapat kesempatan untuk berbuat sekehendaknya tanpa
ada pengekangan. Pada saat Lawa Ijo masih melakukan kegiatan, daerah ini
merupakan salah satu daerah yang merupakan lumbung dari gerombolan
kami, yang secara teratur harus menyerahkan semacam pajak. Tetapi, di
samping itu daerah ini mendapatkan perlindungan langsung dari gerombolan
kami, sehingga tak adalah gerombolan lain yang berani mengganggunya.
Baru setelah itu, setelah Lawa Ijo melepaskan wajib pajak bagi penduduk
di daerah ini, serta sejalan dengan pembekuan gerombolan kami untuk
sementara, maka penduduk di daerah ini tidak lagi dapat melepaskan diri
dari keganasan gerombolan-geombolan kecil itu. Sehingga semua
penduduknya dalam waktu yang singkat sekali telah pergi mengungsi.
Kecuali satu orang itu”
“Kenapa orang itu tidak pergi?” tanya Mahesa Jenar seterusnya. “Tidakkah
dia takut menghadapi keganasan gerombolan-gerombolan itu? Ataukah dia
sedemikian hebatnya sehingga tak seorang pun berani mengganggunya…?”
” Tidak, Tuan….” sahut Sagotra,
”Ia sama sekali tidak memiliki kepandaian apa-apa. Aku sendiri pernah
datang mengunjunginya. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, orang itu
agak kurang waras. Ia merasa bahwa ia sama sekali tidak mempunyai milik,
sehingga menurut perhitungannya tidak akan ada orang yang datang
mengganggunya, “.
Mahesa Jenar mendengar keterangan Sagotra
dengan saksama. Ia mulai menghubung hubungkan keterangan itu dengan
kakek Rara Wilis. Mungkinkah orang tua itu adalah Ki Santanu…?
“Siapakah nama orang tua itu?” tanya Mahesa Jenar tiba-tiba. Sagotra menggelengkan kepalanya, ”Tak
ada orang yang mengetahui nama sebenarnya. Aku juga pernah menanyakan
kepadanya, tetapi ia hanya menyebutkan panggilan yang biasa
diperuntukkannya saja.”
“Ya, siapa panggilan itu?” desak Mahesa Jenar
“Orang memanggilnya dengan sebutan Ki Ardi.”
“Ardi? “ulang Mahesa Jenar.
Sagotra mengangguk.
Tiba-tiba terlintaslah dalam benak Mahesa
Jenar, bahwa Ardi dapat berarti Gunung. Sedang kakek Rara Wilis pun
berasal dari daerah pegunungan. Ah, apakah salahnya kalau ia berkenalan
dengan orang tua itu?
“Sagotra…,” katanya kemudian, “Dapatkah kau menunjukkan jalan ke rumah Ki Ardi itu?”
Sagotra diam-diam menimbang-nimbang. Ia
menjadi agak kebingungan. Tentang dirinya sendiri, ia belum mendapat
penyelesaian. Sekarang ia mendapat pekerjaan baru, mengantarkan Mahesa
Jenar ke rumah orang tua itu. Tetapi sesudah itu lalu bagaimana?
Mestikah ia harus bunuh diri, atau Mahesa Jenar akan membunuhnya…? Serta
bagaimanakah kalau ia bertemu dengan kawan-kawannya yang juga sedang
mencari Mahesa Jenar?
Mahesa Jenar melihat kebingungan hati
Sagotra serta sedikit banyak menangkap perasaannya. Tetapi, disamping
itu mendadak timbul pula kebimbangan di hatinya sendiri. Lalu bagaimana
dengan Sagotra itu kemudian? Kalau orang itu dilepaskan, maka soalnya
akan berkepanjangan. Pastilah ia akan melaporkan semuanya kepada Wadas
Gunung dengan keduapuluh kawannya. Dan ini berarti suatu pekerjaan yang
sangat berat. Sedangkan untuk membunuhnya, tidaklah terlintas dalam
angan-anannya. Sebab orang seperti Sagotra bukanlah seorang yang pantas
untuk menerima hukuman yang demikian berat. Sebab ia tidaklah lebih dari
seorang pesuruh. Karena itu kemungkinan satu-satunya adalah membawa
Sagotra itu seterusnya, sampai keadaan terasa aman. Mendapat pikiran
yang demikian itu, maka Mahesa Jenar segera mengambil keputusan,
katanya, “Sagotra, barangkali kau segan untuk melakukan
permintaanku, menunjukkan jalan ke rumah Ki Ardi, sebab kau merasa bahwa
tak ada gunanya kau berbaik hati kepadaku. Tetapi ketahuilah Sagotra,
aku terpaksa memutuskan untuk membawamu kemana aku pergi, demi
keamananku. Kalau aku seorang diri, barangkali aku segera melepaskanmu.
Lalu sesudah itu aku dapat menyelamatkan diriku secepat-cepatnya. Tetapi
sekarang aku sedang melindungi seorang gadis. Karena itu, janganlah
membantah perintahku. Janganlah kau takut, bahwa sesudah semuanya
selesai aku akan membunuhmu. Sebab bagiku kau tidak lebih dari sebuah
alat yang tak perlu dirusak. “
Kalau yang berkata demikian itu Wadas
Gunung, atau salah seorang dari rombongannya, hati Sagotra pasti tidak
akan banyak terpengaruh. Sebab ia tahu pasti, bahwa kata-kata yang
demikian itu sama sekali tak berarti. Bagi Wadas Gunung serta
kawan-kawan segerombolannya, tidak ada batas antara sahabat yang setia
pada hari ini, serta lawan yang harus dibinasakan hari esok.
Tetapi yang berkata demikian adalah orang
lain. Orang yang baru saja dikenalnya, bahkan yang telah diserangnya
dengan sekuat tenaga untuk dibunuh. Namun demikian orang itu masih
berkata kepadanya, bahwa ia masih boleh mengharap untuk dapat
menyaksikan matahari terbit esok pagi. Dan kata-kata ini mempunyai kesan
yang jauh berlainan dengan segala pujian, janji dan segala macam yang
pernah keluar dari pemimpin-pemimpin rombongannya.
Karena itu hati Sagotra bergoncang hebat.
Tanpa sadar, Sagotra meloncat, lalu bersujud di muka Mahesa Jenar
sampai mencium tanah. Dan anehnya, sejak ia meninggalkan masa
kanak-kanaknya, serta kemudian terperosok dalam dunia yang hitam kelam,
baru sekaranglah orang yang bernama Sagotra itu sampai meneteskan air
mata. Bukan saja karena ia terlepas dari terkaman maut. Sebab hal yang
demikian itu telah seringkali dialami. Dalam segala kegiatannya sebagai
anggota gerombolan penjahat, banyak tangkapan-tangkapan maut yang dapat
dihindari Sagotra. Tetapi ia tidak pernah merasa terharu sama sekali
mengalami peristiwa-peristiwa itu, bahkan yang ada di dalam benaknya
adalah dendam yang membara, serta kebanggaan dan kesombongan.
Mahesa Jenar menyaksikan sikap Sagotra
itu dengan penuh keheranan. Ia tidak dapat menangkap seluruh perasaan
yang bergelut dalam dada orang itu, sehingga tampak sangat menggelikan.
Bahwa orang itu tinggi tegap, berkumis tebal serta berkulit hitam
mengkilap, tetapi menangis tersedu-sedu. Karena itu katanya, “Sagotra,
agak aneh kelakuanmu itu bagiku. Seorang laki-laki macam kau yang
dengan sikap jantan berani menentang maut, kini tiba-tiba menangis macam
anak-anak.“
“Tuan…,” jawab Sagotra sambil mengangkat kepalanya, “Tak pernah selama hidupku merasakan sesuatu yang demikian mengharukan seperti kali ini. Ternyata bukanlah kekerasan melulu yang dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan ini. Meskipun
Tuan bermodalkan kekuatan yang tiada taranya, tetapi sikap Tuan adalah
suatu penguasaan mutlak atas diriku. Seandainya Tuan tidak berbuat
demikian, mungkin dalam kesempatan-kesempatan yang ada aku pasti akan
menyerang Tuan, atau setidak-tidaknya aku ingin mati sebagai seorang
laki-laki sejati. Tetapi sekarang, hidup matiku bulat-bulat di tangan
Tuan. Juga seandainya Tuan ingin menyaksikan aku mati di sarang semut
Salaka, tidaklah menjadi masalah lagi bagiku.”
Mahesa Jenar terharu juga mendengar
kata-kata Sagotra. Tetapi meskipun demikian, ia tetap berhati-hati.
Sebab kata-kata itu keluar dari mulut seorang penjahat yang cukup
mempunyai ikatan yang sempurna. Tidak mustahil bahwa cara-cara yang
demikian sering dilakukan untuk mengurangi kewaspadaan lawan. Hanya
karena kejadian itu tampaknya meyakinkan, maka Mahesa Jenar pun tidak
perlu lagi terlalu mencurigainya. Sejenak kemudian mereka saling berdiam
diri, hanyut oleh arus perasaan masing-masing.
Sementara itu nyala api di sebelah
selatan itu pun tampak semakin terang. Angin malam pun terasa demikian
dingin menggigit tulang.
“Sagotra,” kata Mahesa Jenar kemudian memecahkan kediaman mereka, ”marilah kita pergi,“.
“Mari Tuan,” jawab Sagotra.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar berdiri tegak serta memandang ke arah Rara Wilis berbaring.
“Tetapi mestikah gadis itu aku bangunkan? “ desis Mahesa Jenar.
“Atau kita menunggu sampai besok, “ sahut Sagotra.
“Tidakkah ada bahayanya?” jawab Mahesa Jenar, ”Apakah tidak mungkin salah seorang kawanmu datang pula ke tempat ini? Dengan demikian kaupun pasti akan mendapat kesulitan.”
Sagotra diam menimbang-nimbang. Memang
mungkin sekali salah seorang dari kawannya datang pula ke tempat ini
meskipun mula-mula mereka berpencaran.
“Jadi bagaimana pendapat Tuan?” tanya Sagotra lagi.
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia
pun sedang berpikir, bagaimana sebaiknya. Kalau pada saat itu ia
langsung bersama-sama Rara Wilis, pergi ke arah api itu, tidakkah ada
kemungkinan orang-orang yang sedang mencarinya pergi ke arah api itu
juga?
“Sagotra,” katanya, ”tidakkah kawan-kawanmu juga akan pergi ke arah api itu?”
“Aku kira tidak Tuan.,” jawab Sagotra, ”Pasti mereka tahu bahwa arah itu adalah arah rumah Ki Ardi.”
”Tetapi mungkin pula mereka berpikir
bahwa di sana akan dapat mereka temukan kami, yang dapat diperhitungkan,
bahwa kami akan pergi ke arah api itu.”
Sagotra mengangguk kecil. Memang masuk
akal pula bahwa kawan-kawannya mempunyai perhitungan yang demikian. Jadi
bagaimanakah sebaiknya…?
Kembali mereka diam menimbang-nimbang.
Memang tidaklah mudah menghindari gerombolan Lawa Ijo yang berjumlah 20
orang, justru di wilayah mereka sendiri. Sagotra yang merupakan salah
seorang dari gerombolan itu pun masih belum dapat menemukan,
bagaimanakah jalan yang sebaik-baiknya untuk menghindari kawan-kawannya.
“Tuan…” akhirnya Sagotra bertanya, “Adakah sesuatu kepentingan Tuan dengan orang itu?”
Mendapat pertanyaan yang demikian, Mahesa
Jenar agak menjadi repot untuk menjawabnya. Pastilah ia tidak akan
dapat mengatakan bahwa ia sedang mencari seseorang ada hubungannya
dengan keris Sigar Penjalin. Sebab pastilah ia mendapat jawaban bahwa
orang itu bernama Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak, Wanasaba. Tiba-tiba
Mahesa Jenar teringat bahwa kakek Rara Wilis itu menyebut dirinya Ki
Santanu. Karena itu segera ia menjawab, “Sagotra, sebenarnya
kedatanganku ke daerah Pliridan ini adalah untuk mencari seseorang yang
bernama Ki Santanu. Kalau aku dapat bertemu dengan Ki Ardi, mungkin aku
akan dapat menanyakan kepadanya tentang orang-orang yang pernah tinggal
di daerah ini. Mungkin ia mengenal orang yang bernama Ki Santanu itu.”
Sagotra tampak mengerutkan keningnya. Ia
mencoba mengingat-ingat orang-orang yang pernah tinggal di daerah ini.
Sebab ia dalam melakukan tugasnya banyak berhubungan pula dengan
penduduk, sehingga hampir semua dikenalnya. Tetapi nama Santanu belum
pernah dikenalnya.
“Tuan,” jawab Sagotra,
”barangkali aku dapat mengenal semua orang di sini sedemikian baiknya,
seperti juga Ki Ardi. Tetapi nama itu belum aku dengar. Mungkin
disamping namanya ia mempunyai sebutan lain, atau barangkali Tuan dapat
mengatakan kepadaku bagaimanakah ciri-ciri orang itu?”
Mahesa Jenar menggeleng perlahan-lahan. Katanya, “Aku
sendiri belum pernah mengenal wajahnya. Ia adalah kakek gadis itu. Nah,
mungkin kau dapat bertanya kepadanya. Marilah kita tengok ia,
barangkali sudah bangun.”
Sagotra tidak menjawab. Segera ia berdiri
dan berjalan di belakang Mahesa Jenar. Tetapi mendadak terjadilah
sesuatu yang mengejutkan. Cepat seperti kilat, Mahesa Jenar meloncat ke
arah tikar yang masih terbentang. Tetapi Rara Wilis sudah tidak ada lagi
terbaring diatasnya. Jantung Mahesa Jenar bergelora hebat sekali.
Sadarlah ia bahwa ia telah berbuat suatu kelengahan. Di daerah yang
berbahaya serta mengandung banyak rahasia ini, ia telah terlalu lama
meninggalkan Rara Wilis seorang diri.
Segera ia berdiri tegak serta mengangkat
kepalanya. Memusatkan pikiran serta segenap pancainderanya untuk
menangkap tiap-tiap gerakan maupun suara di sekitarnya. Tetapi tidak ada
yang tampak selain daun dan ranting yang digoyangkan angin, serta tak
ada yang didengar selain gemersik dedaunan itu, serta tarikan nafas
Sagotra.
Mahesa Jenar adalah seorang yang cukup
matang. Ia memiliki ketenangan pikiran serta kecepatan bertindak. Tetapi
meskipun demikian, kali ini hampir kehilangan semua sifat-sifatnya itu.
Pada saat ia menghadapi Pasingsingan, ia masih tetap sadar dan dapat
menguasai pikiran sepenuhnya. Tetapi sekarang ia menghadapi suatu
peristiwa yang belum pernah dirasakan. Hilangnya Rara Wilis dirasakannya
sebagai suatu peristiwa yang langsung menusuk perasaannya yang paling
dalam. Dalam ketidaksadarannya tiba-tiba Mahesa Jenar berlari kesana
kemari sambil memanggil-manggil nama Rara Wilis. Melihat sikap Mahesa
Jenar yang demikian itu, Sagotra menjadi heran bercampur cemas, sehingga
terpaksa ia pun turut berlari-lari kian kemari. Tetapi sebagai orang
yang lebih tua, tahulah Sagotra bahwa Mahesa Jenar tidak hanya merasa
bertanggung jawab atas hilangnya Rara Wilis, tetapi pastilah ada suatu
perasaan yang jauh lebih dalam daripada itu. Dan memang demikianlah
kiranya. Mahesa Jenar mencoba mendesak perasaan-perasaan yang
menyentuh-nyentuh hatinya terhadap Rara Wilis, tetapi ternyata perasaan
itu telah menyangkut di hatinya sedemikian eratnya.
Hilangnya Rara Wilis dirasakannya sebagai hilangnya sebagian dari jiwanya sendiri.
Sampai beberapa saat masih saja Mahesa
Jenar memanggil-manggil Rara Wilis. Tetapi tidak ada suara yang
menyambutnya. Sehingga ketika Mahesa Jenar sudah pasti, bahwa Rara Wilis
telah lenyap, menggelegaklah darahnya. Tubuhnya bergetar, serta giginya
gemeretak. Tiba-tiba saja ia ingin menghancurkan apa saja yang ada di
sekitarnya untuk menyalurkan amarahnya. Dalam keadaan yang demikian,
dengan penuh kemarahan Mahesa Jenar menyalurkan segala kekuatannya ke
sisi telapak tangannya, disilangkannya tangan kirinya di muka dada,
serta diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi. Dengan sekali loncat ia
telah berdiri disamping sebuah batu seperut kerbau. Maka dengan
menggeram hebat sekali, dihantamnya batu itu sampai pecah berserakan.
Sagotra adalah seorang penjahat yang
telah banyak makan garam. Telah banyak sekali ia menyaksikan betapa
hebatnya Lawa Ijo. Tetapi ketika ia menyaksikan apa yang telah dilakukan
oleh Mahesa Jenar, tubuhnya menjadi gemetar. Pada saat ia menyaksikan
Lawa Ijo terluka parah, sama sekali ia tidak percaya, bahwa luka itu
disebabkan oleh karena pukulan tangan saja. Ia menyangka, bahwa orang
yang telah melukainya pasti mempergunakan senjata rahasia atau
sebangsanya. Tetapi sekarang, ketika ia berkesempatan untuk menyaksikan
sendiri, akibat dari pukulan orang yang telah melukai Lawa Ijo itu, bulu
tengkuknya serentak berdiri. Kalau misalnya saja, pukulan itu dikenakan
kepalanya, pastilah akan hancur berserakan pula lebih dari batu itu.
Diam-diam Sagotra mengucap syukur dalam hatinya, bahwa Mahesa Jenar
tidak masuk dalam jebakan mereka. Sebab kalau sampai hal itu terjadi,
maka akibatnya pasti hebat sekali. Meskipun gerombolannya berjumlah 20
orang, serta diantaranya ada orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang
Lampit yang mempunyai kepandaian hampir setingkat Wadas Gunung, Bagolan
yang terkenal mempunyai aji welut putih, serta beberapa orang lagi,
tetapi sulitlah kiranya untuk dapat menangkap Mahesa Jenar. Andaikata
itu bisa terjadi, pastilah lebih dari separo diantaranya sudah tak lagi
sempat menyaksikan datangnya fajar.
Tetapi, belum lagi Sagotra habis
berangan-angan, tiba-tiba matanya terbelalak lebar, tubuhnya semakin
gemetar lagi, serta peluh dingin mengalir membasahi seluruh badannya.
Pada saat itu, Mahesa Jenar yang tidak puas dengan pelepasan amarahnya,
mendadak meloncati Sagotra dan langsung memegang leher orang itu, sambil
menggeram, “Setan, rupanya kau telah memancing aku untuk menjauhi Wilis.“
Belum lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu,
nafas Sagotra telah terasa sesak. Ingin ia menjawab, tetapi tak sepatah
katapun keluar dari mulutnya, karena ketakutannya yang amat sangat. Ia
tahu betul, bahwa dalam keadaan yang demikian dapat saja Mahesa Jenar
bertindak diluar kesadarannya.
Wajah Mahesa Jenar yang lunak, kini telah
berubah menjadi merah membara dibakar oleh kemarahannya. Kedua
tangannya yang memegang leher Sagotra semakin lama semakin menekan.
Kini nafas Sagotra benar-benar menjadi
sesak. Tangan Mahesa Jenar itu terasa demikian erat mencekik lehernya,
sampai akhirnya ia merasa, bahwa akhir hidupnya telah tiba, justru
karena hal yang sama sekali tak diketahuinya. Tetapi ketika telah
terasa, bahwa harapan untuk hidup sudah tidak ada lagi, hatinya malahan
menjadi tenang. Maka dengan susah payah ia berkata, “Tuan, aku tidak
akan menghindarkan diri dari hukuman yang akan Tuan jatuhkan atas
diriku. Sebab hal yang demikian adalah wajar sekali. Tetapi yang aku
sangat sedih adalah justru kematianku disebabkan oleh suatu hal yang
sama sekali tak kumengerti. Sebab aku sama sekali tak sengaja
menjauhkan Tuan dari gadis itu. Maka, kalau Tuan benar-benar akan
membunuhku, bunuhlah aku sebagai salah seorang anggota gerombolan Lawa
Ijo yang ingin mencelakakan Tuan“
Ternyata kata-kata yang diucapkan dalam
keadaan yang putus asa itu, dapat menyentuh kesadaran Mahesa Jenar.
Apalagi ketika Mahesa Jenar sejenak memandang wajah Sagotra yang kasar,
jelek dan kotor, tetapi yang dari matanya memancar keputus-asaan dan
kekosongan. Bahkan lama-kelamaan berubah menjadi seperti mata
kanak-kanak yang belum pernah dijamah dosa.
Demikianlah, maka sedikit demi sedikit
Mahesa Jenar dijalari kembali oleh sifat-sifatnya, serta sedikit demi
sedikit pikirannya dapat bekerja kembali. Sejalan dengan itu pegangan
tangannya pun menjadi semakin kendor dan kendor, sehingga akhirnya
dilepaskanlah leher Sagotra itu sama sekali.
“Maafkanlah aku,” Sagotra, bisik Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata itu kembali hati Sagotra melonjak hebat sekali. Hampir saja air matanya tidak lagi dapat ditahannya.
“Sagotra…,” kata Mahesa Jenar selanjutnya, yang bagaimanapun masih ingin mendapat lebih banyak penjelasan, “Benarkah kau tidak berbuat itu?“
“Tuan,” jawab Sagotra,
”memang aku dapat memahami tuduhan itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa
kedatanganku sama sekali tak ada hubungannya dengan hilangnya gadis itu.
Kecuali kalau hal ini dilakukan oleh orang-orang segerombolanku di luar
rencana semula.”
Mahesa Jenar menundukkan kepala. Tetapi
ia dapat mempercayai kata-kata Sagotra. Sebab andaikata hal itu
dilakukan oleh kawan-kawan Sagotra, bahkan Jaka Soka sekalipun, ia pasti
akan dapat menangkap suara ataupun gerak dari orang itu, sebab untuk
mengalahkan Sagotra ia sama sekali tidak perlu memusatkan segala
perhatiannya. Apalagi jarak mereka dengan Rara Wilis berbaring tidaklah
demikian jauhnya. Karena itu ia menduga, bahwa hal ini dilakukan oleh
seseorang yang memiliki kehebatan luar biasa pula. Tiba-tiba bulu
tengkuknya meremang, ketika ia mengingat betapa cepatnya Pasingsingan
bertindak. Perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tikar yang masih
terbentang itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar melihat bungkusan Rara Wilis
masih juga ada di situ. Ia jadi teringat, bahwa dalam bungkusan itu
terdapat sebilah keris pusaka Ki Ageng Pandan Alas, yaitu Kiai Sigar
Penjalin. Tetapi alangkah terkejut serta kecewanya ketika ternyata keris
itu telah lenyap pula. Akhirnya seperti orang yang dicopoti segala
tulangnya. Ia duduk lemas diatas tikar Rara Wilis.
Sagotra yang masih saja mengikutinya
kemana ia pergi, duduk pula di atas tikar di belakang Mahesa Jenar.
Tetapi sama sekali ia tidak berani menegurnya.
Angin malam masih saja berhembus silir,
yang bagi Mahesa Jenar terdengar sebagai sebuah lagu sedih yang
mengiringi ratapan hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa, bahwa tanpa
disengaja ia telah menguntai butiran-butiran mutiara harapan yang kini
telah terenggut dan berderai berserakan. Alangkah dalam luka yang
dideritanya. Dua masalah yang sekaligus menghancurkan perasaannya.
Sebagai seorang laki-laki langsung ia telah dihinakan. Sebuah
pertanggungjawaban yang digenggamnya telah dirampas oleh orang tanpa
dapat berbuat apa-apa, dan sekaligus yang hilang itu adalah sebagian
dari jiwanya pula.
Dalam keadaan yang demikian tiba-tiba
seperti orang bermimpi Mahesa Jenar mendengar alunan lagu Dandanggula
sayup-sayup sampai. Mendengar lagu itu, geragapan Mahesa Jenar berdiri.
Meskipun lagu itu tidak begitu jelas, tetapi segera Mahesa Jenar
mengenal, bahwa Dandanggula itu telah dibawakan oleh seorang yang oleh
Pasingsingan beberapa hari yang lalu disebut Pandan Alas. Seperti juga
beberapa hari yang lalu, suara itupun bergulung-gulung berkumandang
memenuhi segala penjuru. Sehingga sulitlah bagi Mahesa Jenar untuk
mengetahui dengan pasti arah suara itu. Mahesa Jenar segera berdiri
tegak, kepalanya sedikit diangkat ke atas dengan memusatkan
pancainderanya untuk menangkap getaran Dandanggula yang lamat-lamat
sampai ke telinganya. Pada saat itu, perasaan Mahesa Jenar sedang
bergolak hebat, karena hilangnya Rara Wilis.
Karena itu, seakan-akan Mahesa Jenar
mendapat suatu tenaga rohaniah tambahan yang cukup besar, sehingga
kemampuan Mahesa Jenar pun seakan-akan bertambah. Dengan demikian,
setelah beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri, hampir seperti orang
bersamadi, perlahan-lahan ia dapat menangkap arah suara yang sayup-sayup
sampai ke telinganya itu.
Maka ketika ia telah mendapat suatu
kepastian dari mana arah suara itu, cepat seperti kilat ia meloncat dan
kemudian menyusup gerumbul menuju arah barat.
Sagotra bertambah heran menyaksikan
kelakuan Mahesa Jenar, disamping keheranannya mendengar suara lagu
Dandanggula itu. Karena itu ia pun segera berlari mengikuti Mahesa
Jenar, sehingga mereka berdua seolah-olah sedang bermain kejar-kejaran.
Sebentar kemudian Mahesa Jenar telah
keluar dari gerumbul kecil itu, serta dengan cekatan sekali ia melompat
keatas gundukan tanah yang agak tinggi untuk dapat menangkap setiap
gerak di padang rumput yang terbuka itu. Sebab mustahil kalau sampai ada
orang di padang terbuka yang sedemikian itu sampai terlepas dari
pengawasannya yang seakan-akan mempunyai kelebihan dibanding mata orang
biasa.
Tetapi sampai beberapa saat, sama sekali ia tidak melihat suatu apapun. Sedang suara Dandanggula itupun telah berhenti.
Sementara itu, bulan pun telah rendah
sekali, hampir sampai ke garis cakrawala, sehingga malam menjadi semakin
kelam. Mahesa Jenar menjadi semakin mengeluh dalam hati. Dirasanya
betapa picik pengetahuan serta rendah ilmu yang dimilikinya, sehingga
dalam keadaan seperti ini sama sekali ia tidak berdaya.
Pada mulanya ia merasa, bahwa cukuplah
kiranya bekal yang dimiliki untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan
yang bakal datang dalam perantauannya. Tetapi ternyata menghadapi
tokoh-tokoh macam Pasingsingan, Ki Ageng Pandan Alas, ia tidak lebih
dari seorang anak kecil yang baru pandai berdiri.
Dengan tidak sengaja Mahesa Jenar
memandangi bulan yang masih sangat remaja, yang hampir tenggelam di kaki
langit. Sinarnya demikian suram, sesuram hatinya.

Melihat hal itu berdebarlah jantungnya
cepat sekali. Tetapi ketika ia hampir saja melompat mengejar bayangan
itu, tiba-tiba ia menjadi tertegun heran. Kedua orang itu melambaikan
tangannya kepadanya, seakan-akan menyampaikan ucapan selamat tinggal.
Terasa ada suatu kesan yang aneh
meraba-raba hati Mahesa Jenar. Mula-mula timbul suatu perasaan yang
sakit, ketika ia melihat Rara Wilis bersama-sama dengan seorang
laki-laki yang tidak dikenalnya. Tetapi ketika Mahesa Jenar teringat
akan lagu Dandanggula yang baru saja didengarnya, segera teringat
pulalah ia akan Ki Ageng Pandan Alas. Lebih-lebih ketika ternyata
laki-laki itu dengan tangannya yang lain melambaikan sebilah keris yang
tampak seperti membara di keremangan malam. Tahulah Mahesa Jenar, bahwa
itulah Sigar Penjalin yang sudah berada di tangan pemiliknya. Juga mau
tidak mau pastilah ia menghubungkan nama Ki Santanu dengan Ki Ageng
Pandan Alas. Maka dengan sedih serta hati yang kosong, diluar sadarnya
Mahesa Jenar mengangkat tangannya pula untuk melambaikan salam
perpisahan.
Sesaat kemudian lenyaplah bayangan itu bersama dengan lenyapnya butiran-butiran yang pernah berkilau di hatinya.
Sekali lagi Mahesa Jenar lemas seperti
kehilangan segala tulang-belulangnya. Sebagaimana manusia biasa, ia
merasa betapa sedihnya perpisahan yang terjadi secara tiba-tiba itu.
Terbayanglah kembali segala peristiwa
yang pernah terjadi, sejak pertama kalinya ia tertarik kepada wajah Rara
Wilis yang terselip diantara beberapa orang yang akan menyeberang hutan
Tambakbaya. Terbayang pula bagaimana pada malam pertama gadis cantik
itu ketakutan mendengar teriakan-teriakan binatang hutan, serta
bagaimana Jaka Soka berusaha untuk menculiknya, sehingga terpaksalah ia
ikut serta dalam perkelahian antara para pengawal dengan Jaka Soka.
Dengan terpaksa pula ia harus berhadapan untuk kedua kalinya dengan Lawa
Ijo. Juga terbayang dengan jelas, bagaimana selanjutnya ia harus
mengantar Rara Wilis seorang diri ke daerah Tambakbaya yang rasanya
bagaikan tamasya yang tak akan terlupakan. Juga pada saat terakhir
dimana ia menunggui gadis itu, yang tidur dengan nyenyaknya karena
lelah. Kakinya, tangannya, dadanya yang penuh berisi serta rambutnya
yang bergerak-gerak dibelai angin.
———-oOo———–
III
Mahesa Jenar terduduk di rerumputan liar
sambil menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Ingin ia segera
melenyapkan segala kenang-kenangan itu. Tetapi semakin keras ia
berusaha, semakin jelas gambaran-gambaran itu menerawang di hatinya.
Sagotra juga masih saja berada di
belakang Mahesa Jenar, dapat merasakan kesedihan Mahesa Jenar
sepenuhnya. Meskipun selama ini perasaannya dikuasai oleh nafsu untuk
membunuh, merampas dan sebagainya, tetapi sebagai manusia ia pun pernah
merasakan tali batin yang pernah menjeratnya.
Tetapi sampai sekian, yang tak
dimengertinya, kenapa Mahesa Jenar sama sekali tak berbuat apa-apa
ketika ia menyaksikan bayangan yang tiba-tiba muncul di depan wajah
bulan yang hampir tenggelam itu. Meskipun ia tahu betapa hebatnya orang
yang membawa Rara Wilis itu, tetapi ia mengagumi Mahesa Jenar sebagai
manusia luar biasa. Sehingga meskipun dengan agak ragu-ragu ia beranikan
diri untuk bertanya, “Tuan, kenapa Tuan tidak bertindak ketika mereka menampakkan diri di hadapan Tuan?”
Mahesa Jenar baru merasa bahwa ia berkawan, ketika ia mendengar sapa itu. Perlahan-lahan ia menoleh, serta menjawabnya, “Sagotra, tidakkah kau tahu siapa dia? Sehingga tak akan bergunalah kalau aku mengejarnya.“
“Siapakah orang itu, Tuan?” tanya Sagotra ingin tahu.
“Ki Ageng Pandan Alas,” jawab Mahesa Jenar.
“Ki Ageng Pandan Alas…?” ulang Sagotra terkejut. “Jadi dialah orangnya yang mempunyai kesaktian sejajar dengan Ki Pasingsingan? “
Mahesa Jenar mengangguk perlahan, sedang
Sagotra dengan penuh ketakjuban menggeleng-gelengkan kepalanya. Itulah
sebabnya maka orang itu berhasil mengambil Rara Wilis tanpa diketahui
oleh orang seperti Mahesa Jenar.
“Kenapa Rara Wilis ia ambil?” tanyanya lebih lanjut. “Adakah hubungan antara mereka? “
“Aku tidak tahu, Sagotra,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi yang aku ketahui adalah Rara Wilis membawa keris Sigar Penjalin.”
“Itulah pusaka Ki Ageng Pandan Alas,” potong Sagotra.
“Ya,” sambung Mahesa Jenar. “Tetapi Rara Wilis mengatakan, bahwa keris itu berasal dari kakeknya yang bernama Ki Santanu.” Dan
tiba-tiba saja karena kata-katanya sendiri Mahesa Jenar teringat pada
nama yang disebutkan Sagotra, yaitu Ki Ardi. Apalagi ketika ia memandang
ke arah selatan, masih tampaklah di sana bayangan warna merah di udara.
Maka timbullah kembali keinginannya untuk bertemu dengan orang itu.
Sebab darinya ia ingin mendapat beberapa keterangan tentang orang-orang
yang pernah tinggal di daerah itu. Karena itu katanya kepada Sagotra, “Sagotra, marilah antarkan aku kepada Ki Ardi.”
“Masih adakah gunanya?” sahut Sagotra.
“Aku tidak tahu, Sagotra. Tetapi antarkan aku ke sana,” jawab Mahesa Jenar.
Maka dengan tidak menjawab lagi Sagotra
langsung berdiri serta bersama-sama Mahesa Jenar menempuh jalan ke arah
selatan menuju rumah Ki Ardi.
Demikianlah malam menjadi gulita, karena kedipan bintang-bintang di langit tidak mampu menyibakkan gelapnya malam.
Mereka berjalan tanpa lagi banyak
berbicara. Sagotra yang tampaknya sudah agak biasa berjalan di daerah
ini, berjalan di depan. Sedang Mahesa Jenar, meskipun belum banyak
mengerti tentang daerah yang dilalui, tetapi ia mempunyai pandangan yang
tajam sekali, sehingga tidaklah banyak menemui kesulitan.
Demikianlah maka setapak demi setapak mereka mendekati arah api yang masih menyala-nyala.
Maka setelah mereka berjalan beberapa
lama, melewati padang ilalang, serta menyusup gerumbul-gerumbul kecil
yang berserakan disana-sini, sampailah mereka di sebuah bukit kapur yang
kecil. Mahesa Jenar serta Sagotra tidak langsung menampakkan diri,
tetapi dari jarak beberapa depa mereka masih berdiri di semak-semak.
Dari situlah mereka menyaksikan tempat kediaman Ki Ardi, serta Ki Ardi
sendiri yang pada saat itu sedang berada disamping api yang menyala
nyala, sedang memahat sebuah batu besar. Ternyata rumah Ki Ardi tidaklah
lebih dari sebuah goa di bukit kecil itu, yang langsung menghadap ke
batu besar yang sedang dipahatnya. Ketika Mahesa Jenar mengamat-amati
pahatan Ki Ardi itu, ia menjadi kagum. Di atas batu yang besar itu
dipahatkan gambar seekor ular naga besar, yang tampaknya sedang marah.
Kepalanya menengadah ke atas, serta mulutnya menganga lebar. Disela-sela
giginya yang runcing mengerikan itu tampaklah lidahnya menjulur keluar.
Sedang ekor naga itu terurai ke belakang, berlekuk-lekuk. Di belakang
serta di depan ular yang sedang marah itu, tampaklah dua ekor yang tak
kalah garangnya, siap menerkam. Kuku-kuku serta taring-taring harimau
itu tampak tajam menakutkan.
Sebelum itu Mahesa Jenar telah sering
melihat pahatan-pahatan batu serta patung-patung yang bagus buatannya di
kota-kota. Bahkan candi-candi yang termasyur pun telah sering pula
dikunjungi. Namun pahatan Ki Ardi itu tidak pula kalah indahnya.
Garis-garisnya tegas dan mantap, sehingga pahatan itu dapat
mengungkapkan watak serta keadaan binatang-binatang itu
sejelas-jelasnya. Mereka yang menangkap pahatan itu segera akan dapat
merasakan, bahwa seolah-olah sebentar lagi akan terjadi pergulatan
dahsyat antara naga raksasa itu melawan dua ekor harimau yang ganas.
Sagotra yang hampir sepanjang hidupnya
tak pernah mengenal arti bentuk semacam itu, tak begitu dapat mengenal
betapa tinggi nilai pahatan Ki Ardi. Yang tampak olehnya pada saat itu
tidaklah lebih gambar seekor naga yang hendak bertempur melawan dua ekor
harimau. Tidak nampak olehnya mata naga itu sedemikian menyala karena
marahnya, sedang kedua harimau itu telah begitu bernafsu untuk menguasai
lawannya.
Mahesa Jenar yang mengagumi keindahan
pahatan itu, tidak jemu-jemu selalu memandanginya dengan saksama. Baris
demi baris dinilainya dari berbagai sudut. Tetapi lebih dari itu,
mendadak ia terperanjat. Hatinya bergoncang hebat, sampai diluar
sadarnya ia meloncat maju. Melihat hal itu, Sagotra menjadi terkejut
pula. Apalagi yang menyebabkan Mahesa Jenar berbuat demikian? Tidak pula
kalah kagetnya Ki Ardi sendiri, sampai-sampai ia terlonjak.
Apa yang nampak pada Mahesa Jenar,
lukisan naga itu tidak lain daripada lukisan Keris Nagasasra. Ketika
tanpa disengaja ia menghitung lekuk tubuh naga itu yang berjumlah 11,
maka Nagasasra itu sekaligus mewujudkan dapur Sabuk Inten pula.
“Nagasasra Sabuk Inten…?” desis Mahesa Jenar.
Ki Ardi yang masih belum dapat menguasai
dirinya, menjadi ketakutan, sampai tubuhnya gemetar. Tanpa menduga-duga,
tiba-tiba saja seseorang telah muncul di sampingnya tanpa suara.
Dengan mata yang menyorotkan berbagai
dugaan Mahesa Jenar bergantian memandang kepada Ki Ardi dan hasil
pahatannya yang berwujud Nagasasra Sabuk Inten. Melihat bentuk Naga yang
hampir tepat seperti bentuk keris Kiai Nagasasra, yang hanya berbeda
ukurannya saja, pastilah Ki Ardi pernah setidak-tidaknya melihat keris
itu, sedang dapur Sabuk Inten yang menyamai lekuk keris Kiai Sabuk Inten
pun menimbulkan dugaan pada Mahesa Jenar bahwa Ki Ardi pernah melihat
kedua duanya, yang kebetulan pada saat ia meninggalkan Demak, kedua
keris itu sedang lenyap dari gedung perbendaharaan. Apalagi telah
didengarnya pula dari Samparan bahwa ada kepercayaan golongan hitam,
bahwa kedua keris itu telah mempunyai keturunan atau rangkapannya
masing-masing yang justru sedang diperebutkan. Tetapi yang masih belum
dapat diketahui dengan pasti adalah yang diperebutkan itu benar-benar
rangkapannya atau malahan aslinya yang lenyap dari perbendaharaan
Kerajaan Demak.
Berbagai pikiran hinggap pergi di kepala
Mahesa Jenar. Tetapi tidaklah mungkin kalau hal ini hanyalah suatu
kebetulan. Atau malah Ki Ardi termasuk salah seorang dari golongan hitam
yang juga sedang memperebutkan keris itu? Sedemikian besar keinginannya
untuk memilikinya, sehingga terwujud dalam pahatannya sebagai ungkapan
perasaannya. Malahan tiba-tiba Mahesa Jenar teringat pada kata-kata
Samparan beberapa hari yang lalu sebelum menghembuskan nafas
terakhirnya, bahwa di kalangan hitam terdapat nama sepasang suami-istri
Sima Rodra. Tetapi menurut Samparan, Sima Rodra itu berdiam di Gunung
Tidar. Namun tidak mustahil kalau si suami pergi merantau dalam usahanya
menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau demikian halnya, anehlah
kalau Lawa Ijo sampai tidak tahu, bahwa di daerahnya bermukim salah
seorang saingannya. Kalau saja Sagotra yang tidak mengerti, itu adalah
hal yang wajar sekali.
Tetapi apa yang dilukiskan dalam pahatan
itu, hampir jelas sekali. Dua ekor harimau yang dikatakan itu adalah
suami Sima Rodra yang sedang siap menerkam seekor naga yang melukiskan
Keris Kyai Nagasasra sekaligus Kyai Sabuk Inten.
Karena itu Mahesa Jenar ingin mendapatkan
kepastian dari dugaannya. Kalau saja orang itu benar-benar Sima Rodra,
pastilah ia mempunyai ketahanan yang setingkat dengan Lawa Ijo. Karena
itu ia tidak ingin terlibat dalam pertempuran, sebab dalam keadaannya
yang sekarang ini, dimana jiwanya sedang bergolak, maka tidaklah
mustahil baginya, segera mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmunya
Sasra Birawa apabila sedikit saja ia terdesak. Karena itu ia ingin
dengan singkat serta tanpa diduga-duga, menguasai orang itu, sehingga
tidak usah terjadi pertempuran. Sedang ia akan dapat memaksa lawannya
untuk memberi keterangan tentang kedua keris itu.
Maka setelah Mahesa Jenar mendapat
kepastian pikiran, segera dengan gerakan kilat ia meloncat menangkap
dengan tangkapan mati pergelangan tangan Ki Ardi. Tetapi apa yang
dialami adalah diluar dugaan. Ketika tangannya menyentuh kulit Ki Ardi
terasalah bahwa tangan itu sedemikian kendornya, serta tak bertenaga.
Sehingga Mahesa Jenar malah terkejut.
Dengan tak disengaja maka mulailah Mahesa
Jenar memandangi tubuh Ki Ardi. Ternyata baru saat itulah ia dapat
mengenal tubuh itu dengan seksama, sebab sejak kehadirannya,
perhatiannya telah terikat oleh pahatan orang itu.
Ki Ardi meskipun tidak tergolong tinggi,
namun ia tidaklah pendek. Umurnya telah agak lanjut, dan ini ditandai
oleh kerut-kerut mukanya serta rambutnya yang sudah putih. Ketika Mahesa
Jenar memandang mata orang tua, yang menatapnya dengan keheran-heranan
atas kelakuannya, Mahesa Jenar menjadi terkejut. Meskipun orang itu
matanya yang tampaknya sedemikian bening, seolah-olah air di dalam
sumur, yang dalam sekali. Juga nampaklah dasarnya yang berputar-putar
semakin lama semakin dalam, seakan-akan sumur itu akan mengisap hanyut.
Mahesa Jenar menjadi semakin heran, bahkan kemudian menjadi cemas, sebab
dirinya menjadi seakan-akan ikut serta berputar semakin cepat. Sadarlah
Mahesa Jenar kemudian, bahwa ia sama sekali tidak berhadapan dengan
seorang yang mengutamakan kekuatan jasmaniah. Tetapi orang tua itu
ternyata mempunyai kekuatan batin yang luar biasa, sehingga dengan
kekuatan itu ia dapat mempengaruhi orang lain. Akhirnya Mahesa Jenar
tidak tahan lagi melihat perputaran yang melilitnya itu, sehingga segera
tangan Ki Ardi dilepaskan dan ia meloncat tiga langkah surut.
Sagotra sama sekali tidak tahu maksud
serta akibat perbuatan Mahesa Jenar itu, sehingga ia masih saja berdiri
diam seperti patung. Tetapi ia menjadi heran, ketika dilihatnya
tiba-tiba Mahesa Jenar membungkuk hormat kepada orang itu, sambil
berkata, ”Maafkan aku Ki Ardi, aku telah salah duga terhadap Bapak.”
Ki Ardi masih saja memandanginya dengan
sorot mata keheranan. Bahkan kesan-kesan ketakutannya pun masih ada. Dan
inilah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin pening. Orang yang
mempunyai pengaruh sedemikian besarnya, hanya dengan sorot matanya saja,
tetapi yang seakan-akan tidak sadar akan kekuatannya sendiri, sehingga
masih saja berkesan ketakutan. Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar
berpikir keras. Bagaimanapun, ia adalah seorang bekas prajurit pengawal
raja yang sudah sering mengalami hal-hal yang tampaknya diluar
kewajaran. Maka dalam hal itu pun segera Mahesa Jenar sadar, bahwa
pastilah ada suatu rahasia yang menyelubungi orang tua itu. Pastilah ada
hal-hal yang sengaja disembunyikan. Mungkin ia sengaja berbuat demikian
supaya orang tidak mengenal atau menduga, bahwa sebenarnya ia mempunyai
kelebihan dari orang lain.
Maka dengan hormatnya, sekali lagi Mahesa Jenar berkata, ”Maafkan, aku yang salah duga terhadap Bapak.”
Sejenak kemudian tampaklah bibir orang itu bergerak-gerak dan terdengarlah suaranya kecil bergetar, “Tuan, apakah salahku sehingga Tuan menyakiti aku?”
Mahesa Jenar menundukkan mukanya dengan penuh penyesalan atas kelancangannya. Maka jawabnya, “Bapak, sama sekali Bapak tidak bersalah. Tetapi akulah yang berbuat kesalahan terhadap Bapak.”
Orang tua itu tidak menjawab lagi. Hanya
matanya yang sudah cekung itu merenung jauh sekali menembus gelap malam.
Kembali Mahesa Jenar kagum atas mata itu, yang seakan-akan dapat
menelan segala isi padang ilalang luas itu, bahkan isi dari hutan
Tambakbaya.
Ingin ia menghubungkan orang tua ini
dengan Ki Ageng Pandan Alas yang diduganya juga Ki Santanu. Tetapi Ki
Ageng Pandan Alas adalah seorang yang mempunyai kekuatan jasmaniah luar
biasa, sehingga hanya dengan kapak batu kuno ia dapat melukai sebatang
pohon yang besarnya lebih dari empat pemeluk, hampir separonya.
Sedangkan orang tua ini mempunyai tubuh yang kendor dan sama sekali tak
bertenaga. Apalagi baru beberapa saat berselang Ki Ageng Pandan Alas
pergi bersama-sama Rara Wilis. Meskipun demikian, setiap kemungkinan
bisa terjadi. Mengingat hal itu semua, Mahesa Jenar semakin sibuk
berpikir.
Akhirnya ia mengambil ketetapan bahwa sebaiknya ia dengan baik-baik bertanya, mengenai pahatan itu. Katanya, “Bapak…, yang kau lakukan mendorong keinginanku untuk mengetahui pahatan yang sedang Bapak buat itu.”
Orang itu menjadi heran mendengar kata-kata Mahesa Jenar, jawabnya, “Adakah dengan membuat pahatan ini aku telah berbuat kesalahan terhadap tuan?”
“Tidak Bapak,” sahut Mahesa Jenar cepat-cepat, ” Tetapi bolehkah aku bertanya, apakah yang sedang Bapak pahat itu? “
Kembali orang itu heran. Kemudian dengan
langkah yang lambat serta agak kebongkok bongkokan orang itu berjalan
menjauhi pahatannya beberapa depa, lalu mengamat-amati dengan seksama.
Tiba-tiba saja ia tersenyum, serta matanya menjadi cerah. “Pahatanku sudah hampir selesai. Apa yang tadi tuan tanyakan?”
“Pahatan itu….” Mahesa Jenar menjawab, ”Apakah yang sedang Bapak pahat?”
“Tidakkah Tuan tahu…” kata orang tua itu sambil mendekati pahatannya. Dan kemudian diraba-rabanya hasil kerjanya itu dengan mesra. “Bukankah ini seekor naga? Katakanlah Tuan, apakah aku tidak berhasil melukis seekor naga?”
“Tentu, tentu,” jawab Mahesa Jenar dengan cepat
“Lalu apa yang Tuan tanyakan?” tanya orang tua itu.
“Maksudku,” jawab Mahesa Jenar. ”apakah yang Bapak lukiskan itu seekor naga, atau suatu bentuk dari benda-benda yang pernah Bapak lihat sebelumnya?”
Orang tua itu semakin heran, tanyanya, “Adakah Tuan pernah melihat sesuatu benda yang mirip dengan pahatanku ini?”
Mahesa Jenar jadi ragu. Mula-mula ia
ingin mengatakan tentang keris Nagasasra yang mempunyai bentuk yang sama
dengan pahatan naga itu. Mustahil kalau kesamaan itu hanyalah kebetulan
saja. Kesamaan cita dalam cipta yang sampai sedemikian dekatnya dengan
aslinya. Kesamaan yang sedemikian itu pastilah yang satu diilhami oleh
yang lain atau malahan salinan sepenuhnya. Tetapi akhirnya diurungkannya
keinginan itu. Karena tidak akan banyak gunanya. Sebab pastilah orang
tua itu sengaja merahasiakan. Maka, akhirnya Mahesa Jenar hanya berkata,
“Tidak… Bapak, tetapi apa yang Bapak pahatkan adalah suatu bentuk
yang dahsyat sekali. Ataukah Bapak pernah melihat seekor naga yang
sedemikian?”
Tampaklah Ki Ardi mengerutkan keningnya. Tetapi sejenak kemudian ia tersenyum. “Belum,
Tuan. Aku belum pernah melihat seekor naga pun. Yang pernah aku lihat
hanyalah ular-ular kecil yang sering berkeliaran di sekitar tempat ini.
Tetapi aku pernah mendengar dongeng dongeng tentang seekor naga. Nah,
menurut gambaran angan anganku sedemikianlah kira-kira bentuknya.”
Kembali orang tua itu meraba-raba pahatannya. Ia nampaknya bangga serta bahagia sekali atas hasil kerjanya.
“Tuan…,” katanya kemudian, “Silakan
Tuan berdua duduk. Aku ingin menyelesaikan pekerjaan ini, sekarang
juga. Sebab tidaklah mungkin untuk ditunda. Sementara itu silakan Tuan
mendengarkan dongeng tentang naga yang sedang aku pahatkan ini.”
Dengan tiada menunggu jawaban, Ki Ardi
segera mulai dengan kerjanya kembali. Mahesa Jenar dan Sagotra segera
mengambil tempat duduk di dekat api yang masih menyala-nyala. Suaranya
gemeretak, karena ledakan-ledakan kecil yang ditimbulkan oleh
dahan-dahan yang sedang dimakan api.
———-oOo———–
IV
“Tuan,” Ki Ardi sambil memahat mulai berceritera. “Naga
ini menurut ceritera dilahirkan dalam dua alam yang berbeda tempatnya.
Tetapi dalam pahatanku ini, tidaklah kedua-duanya aku lukiskan, tetapi
aku ingin mendapat satu bentuk kesatuan dari dua ekor naga itu. Seekor
naga dilahirkan di samodra, sedangkan satu lagi dilahirkan di angkasa.
Tetapi diatas bumi ini mereka bertemu dan bersahabat. Keanehan dari
kedua ekor naga itu adalah, yang seekor bersisikkan emas, sedangkan yang
seekor, di leher, perut serta ekornya berbalutkan intan permata. Pada
suatu hari, raja yang sedang berkuasa diatas bumi ini, merasa disusahkan
oleh seorang putrinya. Putri itu jatuh cinta kepada seorang yang sama
sekali tak dikehendaki oleh ayahandanya. Sebab laki-laki itu bukanlah
laki-laki biasa. Menurut ceritera, laki-laki itu berasal dari bintang
kemukus yang sering membawa bencana. Hanya karena laki-laki itu terlalu
sakti, maka tidak ada yang berani mengganggunya.
Maka pada suatu ketika bertemulah raja itu dengan kedua ekor naga yang sedang merantau mengelilingi bumi ini.
Raja itu kemudian minta kedua ekor
naga itu untuk mengusir laki-laki yang mengganggu puterinya. Kedua ekor
naga itu menyanggupinya.
Didatanginya laki-laki yang berasal
dari bintang kemukus itu. Maksudnya, apabila tidak perlu, masalahnya
akan diselesaikan dengan damai. Tetapi rupanya laki-laki itu merasa
yakin akan kesaktiannya, sehingga akhirnya terjadilah pertempuran yang
maha dahsyat. Kedua ekor naga itu pun ternyata mempunyai kesaktian yang
luar biasa. Laki-laki itu dengan bersenjatakan petir di kedua belah
tangannya menyerang dengan ganasnya, sedangkan naga yang bersisik emas
itu, dari mulutnya menyembur api yang menyala-nyala. Sementara itu naga
yang bersisik intan permata itu, dari kedua matanya memancar sinar yang
beracun. Tetapi karena kesaktian mereka masing-masing, senjata-senjata
itu hampir tidak banyak berguna. Laki-laki bintang itu ternyata tidak
saja mampu bertempur di atas daratan. Sekali-sekali ia terjun pula ke
dasar lautan. Tetapi naga yang lahir di dalam samodra itu tidak
membiarkannya. Disusullah ia ke dasar lautan dan bertempurlah mereka di
sana. Air laut pun menjadi bergolak seakan-akan mendidih. Kalau
laki-laki itu jemu bertempur di lautan, terbanglah ia ke angkasa. Dan
bertempurlah mereka di udara. Demikian dahsyat pertempuran itu sampai
langit menjadi gelap, hanya kadang-kadang saja memancar kilat dan petir
disela oleh semburan api yang tak terkira panasnya, keluar dari mulut
naga bersisik emas itu.
Demikianlah pertempuran itu
berlangsung sampai 40 hari, 40 malam. Tetapi masih saja belum ada yang
nampak akan kalah. Bahkan pertempuran itu semakin lama semakin sengit.
Sekali waktu terjadi di dalam samodra, dan sekali waktu di angkasa”
Tiba-tiba orang tua itu berhenti, sambil perlahan-lahan ia berjalan mundur menjauhi pahatannya.
Sebentar ia tersenyum dan sebentar kemudian keningnya berkerut. Katanya, “Tuan, pahatanku telah selesai. Apakah kata tuan tentang ini?”
Mahesa Jenar yang sejak semula telah merasakan keindahan pahatan itu menjawab, “Bagus, Ki Ardi.“
Ki Ardi tertawa perlahan. Lalu sambungnya, “Baru
sekarang aku mendapat pujian atas hasil kerjaku. Selama ini tidak
pernah seorang pun, jangankan pujian-pujian, sedang perhatian saja tidak
pernah aku dapatkan. Sagotra dengan kawan-kawannya yang sering
berkeliaran di daerah ini, sama sekali tidak dapat menikmati hasil
pekerjaanku. Nah, Sagotra, apa katamu sekarang?”
Sagotra yang sejak tadi berdiam diri,
menjadi agak bingung untuk menjawab pertanyaan Ki Ardi itu. Maka ia
menjawab sekenanya saja, “Bagus, Ki Ardi.“
Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh mendengar jawaban Sagotra. “Apa yang bagus?“
Sagotra menjadi agak tersipu mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak mau kalah. “Nagamu
itu Ki Ardi, kalau saja bersisikkan emas benar-benar, serta berbalutkan
intan permata, mungkin umurmu tidak lebih dari malam ini.”
Kembali Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh, lanjutnya, “Pastilah
itu terjadi kalau nagaku benar-benar seperti dongeng yang pernah aku
dengar itu. Tetapi sesudah kau bunuh aku, kau juga akan mati ditelan
nagaku ini.”
Rupanya Sagotra bukan ahli berdebat. “Orang
tua gila. Kalau kau tanyakan pendapat orang lain mengenai pahatanmu
itu, pastilah kau mengharap orang itu memujinya. Tetapi pahatanmu itu
sebenarnya sangatlah jelek”
Ki Ardi masih saja tertawa. Rupanya ia
sudah biasa bergaul dengan Sagotra serta kawan-kawannya Lawa Ijo yang
lain. Katanya kemudian, “Sebaiknya kau makan dulu, baru menilai
pahatanku ini. Nah masuklah ke mulut gua itu, nanti kau akan mendapatkan
jagung bakar. Makanlah itu, baru kau memberikan pendapatmu“
Tetapi Sagotra rupanya malu dengan adanya
Mahesa Jenar di situ. Karena itu pura-pura saja ia tidak mendengar.
Bahkan ia berkata terus, “Ki Ardi, aku lebih suka mendengar dongenganmu daripada menyaksikan pahatanmu itu.“
Sambil masih tertawa, Ki Ardi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah aku lanjutkan dongeng itu, tetapi aku ingin bertanya, siapakah kawan barumu ini?”
Mendengar pertanyaan itu darah Mahesa
Jenar tersirap, sedang Sagotra menjadi bingung, bagaimana harus menjawab
pertanyaan itu. Sebentar mereka berdiam diri mencari jawaban, akhirnya
Mahesa Jenar yang menjawab, “Ki Ardi aku dan Sagotra secara
kebetulan saja bertemu di perjalanan. Dan Sagotra telah berbaik hati
mengantarkan aku ke arah api yang Bapak nyalakan.”
Ki Ardi mengangguk-angguk kecil, katanya melanjutkan, “Anehlah
kalau hal itu terjadi. Biasanya apa yang dilakukan oleh Sagotra dan
kawan-kawannya membunuh dan merampas terhadap siapa saja yang
dijumpainya di daerah ini”
“Ki Ardi,” potong Sagotra tidak senang, ”jangan kau membual. Lebih baik kau berkata atau berceritera tentang hal-hal yang baik.”
Mendengar kata Sagotra yang diucapkan dengan nada keras, Ki Ardi nampak agak takut-takut juga. Maka katanya membetulkan, “Maaf Sagotra… maksudku bukan tidak baik, aku hanya ingin bergurau saja. Nah sekarang aku lanjutkan saja ceriteraku.”
Kemudian Ki Ardi mengambil tempat duduk
di hadapan Mahesa Jenar, juga di dekat api. Sebentar kemudian mulailah
ia melanjutkan ceriteranya. “Kedua ekor naga itu, yang telah berumur
40 hari 40 malam, belum dapat menguasai lawannya. Karena itu
pertempuran semakin bertambah sengit. Seluruh penduduk bumi menjadi
ketakutan. Tidak ada tempat untuk mengungsikan diri. Sebab pertempuran
itu terjadi di seluruh permukaan bumi, di seluruh lautan, dan diseluruh
langit. Raja bumi itu pun menjadi bertambah prihatin. Apalagi putrinya
setiap hari selalu menangis saja. Tetapi untuk mengabulkan permintaan
putri itu, tidak terlintas di dalam pikiran ayahanda raja. Karena itu ia
tidak tahu apa yang akan dikerjakan. Akhirnya ia terpaksa menunggu saja
akan kesudahan pertempuran yang maha dahsyat antara laki-laki dari
bintang kemukus itu dengan dua ekor naga yang dimintai bantuan.
Demikianlah pertempuran itu masih berlangsung terus, di laut timbul gelombang sebesar gunung, di darat bertiup angin topan yang dahsyat. Sedangkan di udara, petir menyambar-nyambar guruh dan bunga-bunga api yang maha panas. Sampai hari yang ke-100, keadaan masih belum berubah, hati raja bertambah gelisah pula.
Demikianlah pertempuran itu masih berlangsung terus, di laut timbul gelombang sebesar gunung, di darat bertiup angin topan yang dahsyat. Sedangkan di udara, petir menyambar-nyambar guruh dan bunga-bunga api yang maha panas. Sampai hari yang ke-100, keadaan masih belum berubah, hati raja bertambah gelisah pula.
Maka pada hari yang ke 101, dengan
tidak disangka-sangka menghadaplah seekor naga yang amat sederhana, ke
hadapan raja. Naga itu berwarna agak kehitam-hitaman. Matanya
berkilat-kilat seperti bintang. Dengan rendah hati naga itu berkata
kepada raja, ”Paduka yang memerintah kerajaan bumi, perkenankanlah hamba
mengabdikan diri kepada Paduka serta diperkenankan membantu kedua
saudara hamba yang sedang bertempur melawan laki-laki yang berasal dari
bintang kemukus.”
Tentu saja permintaan itu dikabulkan
oleh raja. Maka dengan senang hati, naga itu langsung menuju ke medan
pertempuran yang saat itu sedang terjadi di daratan. Kedatangannya
menimbulkan perbawa yang luar biasa, sehingga dengan tiba-tiba saja
pertempuran itu berhenti sejenak.
Melihat kedatangan naga ini, mereka
bertiga yang sedang bertempur menjadi heran. Maka bertanyalah naga yang
bersisik emas, ”Hai naga yang sangat sederhana, tanpa menunjukkan
tanda-tanda kebesaran apapun, apakah maksud kedatanganmu?”
Naga itu menjawab, ”Saudaraku, aku datang untuk membantumu.”
Mendengar jawaban itu, naga berbalut
intan merasa tidak senang. Lalu katanya, ”Saudaraku hanyalah mereka yang
dapat menunjukkan tanda kebesarannya.”
Alangkah sedih hati naga yang
kehitam-hitaman itu, ditambah lagi laki-laki dari bintang kemukus itu
memakinya pula. ”Kau yang mirip sebatang pohon roboh itu akan turut
serta dalam permainan ini…?”
Tetapi disabarkannya hati naga yang
sederhana itu. Jwabnya, ”Terserahlah kata-kata kalian atas diriku.
Tetapi aku ingin menunjukkan pengabdianku.”
”Kalau demikian” kata naga bersisik emas, ”kerjakanlah itu sendiri.”
Ya,” sahut naga yang bersalutkan intan, ”kerjakanlah itu sendiri.”
”Baiklah,” jawab naga yang kehitam-hitaman, ”Silakan kalian beristirahat.”
Mendengar kata-kata Naga Hitam itu,
alangkah marahnya laki-laki bintang yang merasa dirinya sangat sakti.
Maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun langsung diserangnya naga hitam
itu dengan kedua belah tangannya yang memegang petir. Tetapi apa yang
disaksikannya sangatlah mengagumkan. Naga hitam itu melingkar cepat
sekali dan dengan sekali menggerakkan ekornya kedua petir itu pun telah
dapat direbutnya, dan dengan suara menggelegar petir-petir itu
dibantingnya di punggung gunung sampai pecah berserakan.
Laki-laki bintang itu terkejut
menyaksikan hal yang demikian. Tetapi ia pun tidak kurang saktinya.
Segera kedua tangannya itu bergerak menangkap guruh yang sedang
berkeliaran di langit. Maka dengan sekuat tenaga, guruh itu pun
dihantamkan ke kepala lawannya. Naga itu melihat guruh yang dengan suara
gemuruh mengarah ke kepalanya, segera menyemburkan angin kencang dari
mulutnya, sehingga guruh itu pun terlontar kembali ke arah laki-laki
bintang itu. Hanya karena kecepatannya menghindar, laki-laki
itu tidak hancur karena senjatanya sendiri. Dengan kejadian-kejadian
itu, laki-laki bintang kemukus yang merasa dirinya tak terkalahkan itu
menjadi marah sekali. Dikeluarkannya segala kesaktian serta
kepandaiannya yang terakhir untuk menyerang naga hitam itu. Maka segera
terjadilah pertempuran yang tak terkira dahsyatnya. Tidak hanya lautan
menjadi bergolak, topan mengalir dengan derasnya, serta petir
menyambar-nyambar, tetapi segera hutan-hutan menjadi terbakar. Lautan
mendidih serta gunung-gunung terlempar berserak-serakan. Kedua lawan
yang sedang mengadu tenaga itu telah mempergunakan apa saja yang dapat
dipegangnya untuk dijadikan senjata.

Kemana laki-laki itu pergi, gumpalan
api itu tetap menyusul di belakangnya, sehingga akhirnya laki-laki
bintang kemukus itu merasa bahwa ia tak mampu lagi menandingi naga hitam
yang dapat menyalakan api dari tubuhnya, jauh lebih panas daripada api
yang keluar dari mulut naga yang bersisik emas, dan jauh lebih berbahaya
dari sorot beracun di kedua belah mata naga yang berbalut intan
permata.
Maka tidak ada jalan lain, kecuali
kembali ke asalnya. Segera laki-laki bintang itu pun terbang lebih
tinggi, dan akhirnya lenyaplah ia berlindung di balik kabut beracun yang
memancarkan cahaya yang menyilaukan, yang menyelubungi dunianya, yaitu
bintang kemukus.
Setelah melihat lawannya kembali ke
asalnya, naga hitam itu merasa bahwa tugasnya telah selesai. Segera ia
turun kembali ke bumi untuk menemui kedua naga yang bersisik emas dan
berbalut intan. Mudah-mudahan setelah ia menunjukkan jasanya, sudilah
kiranya kedua naga itu mengaku sebagai saudara.
Tetapi alangkah kecewanya, ketika ia sampai di bumi, kedua ekor naga itu sudah tidak ada lagi.
Maka menghadaplah naga hitam itu
kepada baginda raja bumi untuk menanyakan kalau-kalau kedua ekor naga
itu sudah mendahuluinya menghadap. Di sepanjang jalan, naga hitam itu
selalu bersyukur di dalam hati, mereka dalam keadaan telah hampir pulih
kembali. Orang-orang sudah tidak lagi ketakutan. Agak berbanggalah
hatinya kalau ia mendengar beberapa orang menyebut-nyebutnya sebagai
pahlawan yang berhasil mengusir laki-laki bintang kemukus yang membawa
bencana wabah berbahaya. Tetapi kebanggaan itu disimpannya dalam hati,
sebab ia merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah amal pengabdian
semata.
Ketika ia menghadap raja bumi,
alangkah terkejutnya waktu ia melihat upacara penyambutan yang luar
biasa. Ia bahkan menjadi malu dan kaku.
Ketika ia berkesempatan menghadap
baginda, yang pertama ditanyakan adalah kedua ekor naga yang bersisik
emas dan berbalut intan. Tetapi dengan menyesal, baginda bersabda, Naga
Hitam.., kedua saudaramu itu telah meninggalkan kerajaan bumi di luar
pengetahuan kami, seorang menteri yang melihatnya, menanyakan kemana
mereka pergi. Naga bersisik emas menjawab bahwa ia akan pergi tanpa
tujuan, sebab ia telah merasa bersalah menghinakan engkau. Sedangkan
naga yang berbalut intan berkata bahwa ia minta maaf kepadamu. Juga
mereka merasa malu sekali bahwa mereka tak dapat memenuhi janjinya,
mengusir laki-laki dari bintang itu.
Naga hitam itu menjadi sedih sekali.
Hampir saja ia meneteskan air mata. Untunglah bahwa ia sadar, kalau ia
sedang berada diantara mereka yang menyambutnya dengan penuh kebesaran.
Dari baginda, naga hitam itu mendapat
hadiah sebuah gua yang indah sekali, yang berdinding emas dan
bertahtakan intan berlian. Tetapi naga hitam itu masih saja senang
berkeliaran di rawa-rawa dan hutan-hutan, sebagai daerah permainannya
masa kanak-kanak.
Sekali waktu masih terasa kesedihan hatinya mengenang kedua ekor naga yang pergi meninggalkannya.
KI ARDI menghentikan ceritanya sejenak.
Ia membetulkan duduknya sambil kembali mengamat-amati pahatannya,
seolah-olah ingin memahami kesesuaian antara bentuk pahatannya serta isi
ceriteranya.
Sagotra meskipun orang yang kasar, namun
rupanya ia gemar juga mendengarkan dongeng tentang kesaktian-kesaktian.
Karena itu ketika beberapa saat Ki Ardi masih belum melanjutkan
ceriteranya, ia berkata, “Ki Ardi ceriteramu bagus sekali. Tetapi rupanya kau sengaja menjengkelkan kami dengan memutus-mutus ceritera itu.”
Sekali lagi Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh. Lalu jawabnya, “Sabarlah Sagotra, pastilah ceritera itu aku lanjutkan…. Nah dengarlah baik-baik.“
“Naga hitam itu sepanjang waktunya
masih dipergunakan untuk mengharap pada suatu saat bertemu kembali
dengan kedua Naga yang dirasanya senasib. Apalagi setelah keduanya
mengaku bersalah terhadapnya.
Tetapi akhirnya yang paling
menyedihkan adalah, ketika ia mendengar kabar bahwa terjadilah
kerusuhan-kerusuhan di istana raja bumi. Banyak bangsawan dan kesatria
saling bertengkar, bertempur, bahkan saling membunuh. Soalnya adalah
karena mereka berebut untuk mendapatkan putri baginda yang pernah jatuh
cinta pada laki-laki bintang kemukus. Sedemikian hebatnya perebutan itu
sehingga para bangsawan dan kesatria tidak malu-malu lagi mempergunakan
laskar pengikut masing-masing untuk mencapai maksudnya. Sehingga
memang kadang-kadang terjadilah pertempuran-pertempuran kecil diantara
mereka. Hampir saja naga hitam itu marah, dan mengambil keputusan untuk
memusnahkan sekalian bangsawan dan kesatria, malahan kerajaan bumi
sekaligus. Tetapi untunglah bahwa ia dapat menyabarkan diri. Sebab ia
pun pernah merasa berjuang untuknya.
Adapun naga yang bersisik emas serta
naga yang bersalut intan memang sebenarnya pergi meninggalkan kerajaan
bumi karena menyesal dan malu. Mereka pergi merantau tanpa arah dan
tujuan, dengan maksud untuk bertapa dan menjauhkan diri dari
masalah-masalah lahiriah. Sebab ternyata tanda-tanda kebesaran yang
mereka miliki tidaklah dapat dipergunakan untuk mengatasi lawan yang
cukup sakti, bahkan tidak berguna sama sekali.
Kabar kepergian kedua ekor naga itu
menggemparkan kerajaan-kerajaan di luar bumi. Yaitu kerajaan di bawah
tanah, di bawah lautan dan di lapisan-lapisan langit. Serentak mereka
menyebar panglima-panglimanya untuk menemukan serta membujuk kedua ekor
naga untuk berpihak kepada mereka masing-masing. Dengan perhitungan
kesaktian kedua ekor naga itu digabungkan dengan kesaktian-kesaktian
yang telah ada pastilah dapat mengalahkan kerajaan bumi, walaupun
dibantu oleh naga hitam yang sakti.”
“Pada suatu saat sampailah ia di suatu daerah yang kelam. Daerah yang sama sekali tak dikenal.”
Kembali Ki Ardi berhenti. Dan kembali pula ia memandangi pahatannya. Sebentar kemudian katanya, ”Nah,
pada bagian inilah ceritera itu aku ambil sebagai bahan pahatanku ini.
Daerah kelam itu dikuasai oleh dua ekor harimau raksasa yang berkulit
hitam legam. Ternyata kedua ekor harimau ini pun ingin dapat menguasai
kedua ekor naga itu. Baik secara halus ataupun secara kasar. Ketika
ternyata kedua ekor naga itu menolak bekerja sama dengan mereka,
terjadilah suatu perselisihan. Sehingga akhirnya pertempuranpun tak
dapat dihindarkan. Sebenarnya kedua ekor harimau itu tak dapat menguasai
lawannya, kalau saja daerah mereka tidak menguntungkan. Daerah kelam
yang penuh rahasia itu sangat membingungkan kedua ekor naga itu.
Sehingga akhirnya naga itu pun hanya bertahan apabila diserang. Tetapi
setelah ia terjebak ke dalam daerah itu, sulit bagi mereka untuk mencari
jalan keluar.”
Sampai sekian Ki Ardi menarik nafas
dalam-dalam. Nampaknya legalah hatinya, seolah-olah ia telah melahirkan
suatu rahasia yang selama ini disimpannya.
Tetapi sementara itu Sagotrapun mendesak, “Tidakkah Ki Ardi akan mengakhiri dongeng itu?”
“Mengakhiri…?” tanya Ki Ardi, ”Bagaimana aku akan mengakhiri? Kejadian itu memang baru sampai sekian,”.
“Baru sampai sekian…?” tanya Sagotra heran.
Mahesa Jenar pun tidak kalah herannya.
Apalagi ketika dilihatnya perubahan garis wajah Ki Ardi. Kesan-kesan
kejenakaan yang selama ini selalu tersembul diantara tawanya, lenyap
sama sekali. Bahkan ketika Mahesa Jenar memandang matanya, yang sejak
semula sudah mengagumkan, kini seakan-akan dunia ini ada di dalamnya.
Tetapi rupanya Sagotra tidak melihat perubahan itu, sehingga masih saja ia mendesak, “Ki Ardi… katakanlah akhir dari dongeng itu. Nanti aku akan memuji pahatanmu itu pula.“
Ki Ardi tersenyum, tetapi senyumnya kosong. Malahan tiba-tiba ia berkata sambil berdiri, “Tunggulah Sagotra, akhir dari cerita ini masih agak lama. Sekarang aku akan masuk sebentar. Kawanilah Tuan ini.“
Rupanya Sagotra ingin lekas-lekas
mendengar akhir ceritera itu sehingga ia menggerutu tak habis-habisnya.
Meskipun demikian Ki Ardi seolah-olah tidak mau lagi mendengarkan. Ia
berjalan perlahan- lahan masuk ke dalam goa dan sejenak kemudian
lenyaplah ia ditelan gelap.
Mahesa Jenar yang melihat perubahan itu,
menjadi curiga. Tetapi ia sama sekali tak menunjukkan kecurigaannya.
Hanya saja karena mungkin segala sesuatu dapat terjadi, maka haruslah ia
bersiaga.
Apalagi ketika sampai beberapa lama, Ki
Ardi masih juga belum muncul. Kecurigaan Mahesa Jenar semakin bertambah.
Kembali terasa betapa bodohnya, sehingga ia dapat dipermainkan oleh
keadaan. Ataukah ia sudah berubah menjadi seorang penakut, yang selalu
diliputi oleh perasaan was-was dan curiga…?
Sagotra pun akhirnya merasa tidak sabar,
hanya masalahnya yang berbeda. Maka segera ia pun berdiri dan
memanggil-manggil Ki Ardi. Tetapi tidak ada terdengar orang menyahut.
Karena tampaknya Sagotra telah terbiasa bergaul dengan Ki Ardi.
Tampaknya telah pula Sagotra terbiasa masuk-keluar rumahnya. Maka,
ketika panggilannya tiada mendapat sambutan, segera Mahesa Jenar pun
berdiri dan melangkah menuju ke mulut goa. Dan sejenak kemudian ia pun
telah lenyap ditelan gelap.
———-oOo———-
V
Maka, saat itu, Mahesa Jenar tinggal
duduk seorang diri disamping api yang masih menyala-nyala.
Bayangan-bayangan yang ditimbulkan tampak selalu bergerak-gerak.
Kadang-kadang membesar bagai akan menerkam, dan kadang-kadang mengecil
seperti akan lenyap.
Suasana malam itu rasanya diliputi oleh
suatu rahasia. Dan ini sangat menggelisahkan Mahesa Jenar. Aneh, bahwa
pada saat itu ia merasa kehilangan ketenangan.
Sejenak kemudian, apa yang digelisahkan
ternyata terjadi. Tiba-tiba dengan tak diketahui arahnya, di atas bukit
kapur kecil itu tampaklah sesosok tubuh manusia yang berdiri tegap.
Meskipun cahaya api itu samar-samar mencapainya, tetapi tidak dilihatnya
wajah orang itu dengan jelas, meskipun Mahesa Jenar yang berpandangan
sangat tajam.
Segera Mahesa Jenar pun meloncat berdiri.
Ia tidak tahu maksud orang itu. Tetapi pastilah ia tergolong orang
sakti, sehingga dengan begitu saja, tanpa diketahui arahnya, ia sudah
hadir di situ. Sehingga untuk menjaga diri dari segala kemungkinan,
segera Mahesa Jenar memusatkan pikirannya, mengatur pernafasannya serta
menyalurkan segala kekuatannya ke sisi telapak tangannya, meskipun ia
belum bersikap.
Melihat kesiagaan Mahesa Jenar, orang itu
tertawa lirih. Bunyi tertawanya lunak dan menyenangkan. Ketika kemudian
orang itu berkata, Mahesa Jenar menjadi terkejut, sampai tubuhnya
gemetar. Suara orang itu ternyata kecil dan nyaring. “Mahesa Jenar, tidak perlu kau kerahkan ilmumu Sasra Birawa, aku tak bermaksud apa-apa. Maafkan kalau aku mengejutkan engkau.”
Ternyata suara itu pernah didengarnya.
Ya, bahkan baru saja. Suara itu adalah suara Ki Ardi. Jadi ternyata
benarlah dugaannya, bahwa Ki Ardi bukanlah orang sembarangan.
Apalagi ketika orang itu melambaikan
sebilah keris yang tampaknya seperti membara di kegelapan malam. Jantung
Mahesa Jenar serasa akan berhenti.
“Kalau begitu,” katanya tergagap Tuan adalah Ki Ageng Pandan Alas.”
“Ya…,” jawab orang itu,
”sengaja aku bersembunyi di sini untuk membayangi setiap gerak
Pasingsingan yang aku sangsikan keasliannya. Sebab Pasingsingan, adalah
sahabatku dimasa muda, tidaklah tergolong dalam aliran hitam. Dan
sementara ini, Pasingsingan memelihara murid kesayangannya yang kau
lukai, biarlah aku mengurus keluargaku pula. Kau sementara ini dapat
tinggal di sini. Seminggu lagi kau dapat menuai jagung di belakang bukit
ini. Baru setelah itu kau lanjutkan perjalanmu. Sayanglah jagung itu
kalau tak ada yang memetiknya”
Dengan tak sengaja Mahesa Jenar melangkah
maju mendekati bukit kapur itu. Tetapi segera Ki Ardi yang ternyata
juga Ki Ageng Pandan Alas mencegahnya. “Mahesa Jenar, aku masih
belum mempunyai waktu untuk menemuimu. Yang penting kau ketahui adalah
tak perlu Sagotra kau beritahu masalah ini. Mungkin ia sudah berubah
pikiran, tetapi di dalam keadaan terpaksa sulitlah ia menyimpan rahasia.
Juga kau tak perlu menjelentrehkan ceritera yang baru saja aku
ceritakan. Aku percaya bahwa pasti kau tahu maksudnya, kalau aku katakan
bahwa Naga Hitam itu kemudian dikenal dengan nama Kyai Sengkelat.”
“Nah, Mahesa Jenar,” kata Ki Ardi kemudian, baiklah aku pergi dahulu, aku harap kita dapat bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik.
Belum lagi Mahesa Jenar sempat menjawab,
Ki Ageng Pandan Alas telah pergi dengan cepatnya dan segera lenyap
ditelan gelap. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Alas, kembali Mahesa Jenar
merasa, bahwa apabila ia berhadapan dengan tokoh-tokoh itu, alangkah
kecil dirinya. Ki Ageng Pandan Alas, Ki Pasingsingan dan yang pernah
didengarnya lagi dari gurunya tentang orang-orang yang setingkat dengan
mereka itu, kecuali gurunya sendiri almarhum juga yang terkenal dengan
sebutan Pangeran Gunung Slamet, Ki Ageng Sora Dipayana dari pinggang
Gunung Merbabu yang kemudian hampir tak pernah terdengar namanya, dan
juga yang terkenal dengan sebutan yang aneh Titis Angentan yang berasal
dari Banyuwangi yang memiliki kesaktian seperti Adipati Blambangan
Wirabumi yang hanya dapat dikalahkan oleh Raden Gajah pada waktu itu.
Tetapi sementara Mahesa Jenar merenungkan
dirinya, teringatlah ia akan pesan Ki Ageng Pandan Alas tentang
dongengannya yang dihubungkannya dengan Kyai Sengkelat. Cepat-cepat
ingatan Mahesa Jenar bekerja. Akhirnya diketemukanlah hubungan dongengan
Ki Ardi itu dengan cerita yang pernah didengarnya. Yaitu tentang Naga
yang bersisik emas dan bersalut intan pastilah yang dimaksud Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang pada waktu itu, untuk menyembuhkan
penyakit seorang putri Majapahit, terpaksa pada suatu malam bertempur di
udara dengan sebilah keris sakti pula yang bernama Kyai Condong Campur.
Tetapi kedua keris itu tak dapat menyelesaikan tugasnya, malahan Kyai
Sabuk Inten agak mengalami luka-luka, patah sedikit ujungnya. Sementara
itu Kyai Sangkelat yang dapat mengusir Kyai Condong Campur sehingga
menjelma menjadi bintang kemukus yang masih mendendam kepada umat
manusia dengan memancarkan bermacam-macam kuman penyakit. Juga jelaslah
sudah sekarang dimana Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada.
Pastilah kedua keris itu ada di tangan suami-istri Sima Rodra dari
Gunung Tidar. Dengan menceriterakan itu pastilah maksud Ki Ageng Pandan
Alas minta kepadanya untuk menemukan kembali kedua keris itu.
Tentu saja Mahesa Jenar menerima tugas ini dengan penuh tanggung jawab.
Sementara itu tampaklah Sagotra keluar dari dalam goa. Ia masih saja menggerutu. “Orang itu gila, dimana ia bersembunyi, gumamnya.”
“Tuan…” katanya kepada Mahesa Jenar,
“orang itu tidak ada di dalam rumahnya. Sudah aku aduk sampai ke
sudut-sudutnya tetapi aku tak bisa menemukannya. Memang kalau orang itu
sedang kambuh gilanya, rumah ini sering ditinggalkan begitu saja sampai
berhari-hari. Mungkin kini tiba-tiba sakitnya itu datang lagi.”
“Sudahlah Sagotra,” jawab Mahesa Jenar “janganlah
kau pikirkan orang tua itu. Biarlah ia mendapatkan kepuasan dengan
caranya sendiri. Sekarang baiklah kita bicarakan masalah kita sendiri,
masalahmu dan masalahku.”
Tiba-tiba tersadarlah Sagotra terhadap keadaannya, sehingga membelitlah kembali kegelisahan hatinya.
“Sagotra,” kata Mahesa Jenar melanjutkan,
“apakah kau akan kembali kepada kawan-kawanmu ?. Kalau demikian
pertimbanganmu, sekarang aku kira belum begitu terlambat. Tentang diriku
terserah kepadamu. Apakah akan kau laporkan kepada kawan-kawanmu apakah
tidak.“
Tampaklah Sagotra diam-diam
menimbang-nimbang dipikirkannya setiap segi yang mungkin menguntungkan
dan yang mungkin mencelakakan. Bagaimanakah akibatnya kalau ia kembali
kedalam gerombolannya. sedangkan kalau tidak lalu kemanakah ia akan
pergi ?. Setelah Sagotra berkenalan dengan seorang seperti Mahesa Jenar,
terasalah betapa miskinnya hidup dalam sarang gerombolan. Meskipun ia
tidak pernah merasakan kekurangan akan sandang dan pangan, tetapi
ternyata bukanlah itu-itu melulu yang diperlukan bagi pemenuhan
kebutuhan hidup. Karena itu, timbulah keinginannya untuk dapat menemukan
suatu kehidupan baru.
“Tuan,” katanya kemudian,
“sebenarnya aku tidak lagi mempunyai keinginan untuk kembali kepada
gerombolanku. Tetapi karena selama ini aku hanya mengenal penghidupan
yang sedemikian, aku menjadi bingung, bagaiman aku harus memulai
penghidupan baru. Atau barangkali kalau tuan menghendaki, aku dapat ikut serta dengan tuan kemana tuan pergi.“
Mendengar permintaan Sagotra, Mahesa
Jenar menjadi agak kebingungan. Sudah wajarlah kalau Sagotra merasa
canggung untuk memulai suatu macam penghidupan yang lain daripada selama
ini dilakukannya. Tetapi iapun tidak akan dapat menerima Sagotra selalu
bersamanya. Sebab banyaklah hal-hal yang tidak boleh dimengerti oleh
orang lain, yang harus dikerjakan.
Tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat suatu pikiran yang dapat menolong menemukan jalan keluar. Katanya “Sagotra,
kau tidak dapat terus menerus bersamaku. Sebab akupun tidaklah tahu
pasti akan masa depanku. Tetapi aku mau menunjukkan kau suatu jalan
keluar yang barangkali dapat kau tempuh, apabila benar-benar kau
menghendaki jalan keluar dari penghidupanmu yang hitam sekarang ini. Dan
sekaligus kau dapat menolong aku pula, maukah kau ?”
Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan
mata yang hampir tak dapat berkedip. Permintaan Mahesa Jenar untuk
menolongnya adalah suatu penghormatan baginya. Karena itu dijawabnya
kemudian “Tuan, apa yang tuan perintahkan pasti akanaku lakukan dengan
sepenuh kemampuan yang ada padaku. Nah katakankah tuan.”
“Sagotra,” kata Mahesa Jenar selanjutnya
“tolonglah aku menyampaikan kabar kepada sahabatku. Pergilah kau
menyeberang hutan Tambak Baya. Terserahlah jalan mana yang akan kau
ambil. Tetapi arahnya adalah arah dimana kau temukan aku tadi, sedikit
agak ke utara. Kau akan sampai di sebuah desa di seberang hutan Tambak
Baya yang bernama Cupu Watu. Dari sana kau langsung menuju ke arah
timur. Lewat sebuah candi yang terkenal dengan nama Candi Tara, bekas
tempat pemujaan Dewi Tara. Dari sana kau langsung menuju Prambanan.
Temuilah Demang yang bernama Pananggalan. Sampaikan salam keselamatanku
kepadanya. Dan katakanlah aku mengharap kedatangan adiknya Ki Dalang
Mantingan di daerah Rawa Pening, dua hari sebelum purnama penuh, pada
bulan terakhir tahun ini.”
“Katakanlah bahwa Ki Dalang Mantingan
sudah tahu kepentingannya. Selanjutnya atas tanggunganku mintalah
perlindungan kepadanya untuk dapat hidup dalam lingkungan keluarga
Kademangan itu. Asal kau mau mencurahkan segala ketulusan serta
keihlasan hati, pastilah kau akan diterima dengan baik.”
Sagotra agak berbimbang sebentar
mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Memang ia selalu ragu-ragu untuk dapat
mempercayai dirinya sendiri. tetapi ia tidak mau mengecewakan Mahesa
Jenar. Karena itu ia berjanji dalam hatinya, bahwa ia akan memenuhi
permintaan itu sedapat-dapatnya.
Maka setelah segala petunjuk-petunjuk
yang diperlukan telah diberikan oleh Mahesa Jenar, segera Sagotrapun
bersiap untuk menempuh suatu perjalanan yang cukup berbahaya bagi
dirinya. Tetapi sebenarnya Sagotra bukanlah seorang penakut. Dan ia
termasuk tokoh yang ke 6 sesudah Wadas Gunung, Carang Lampit dan
sebagainya diantara ke-20 orang yang sedang mencegat Mahesa Jenar.
Karena itu setelah berketetapan hati untuk menempuh perjalanan itu, maka
iapun tak pula mengenal gentar.
Karena perjalanan didaerah hutan itu akan
berlangsung beberapa hari, meskipun dengan agak malu-malu sedikit
diperlukannya juga mengambil beberapa ontong jagung sebagai bekal
perjalanannya.
Dan berangkatlah Sagotra pada malam itu
juga supaya tidak terlambat. Sebab apabila ditunggu sampai besok
pastilah beberapa kawannya sudah mencarinya.
Sepeninggal Sagotra, Mahesa Jenar segera
merasa betapa sepinya tinggal seorang diri ditengah padang, dibawah
sebuah bukit kapur. Tetapi bagaimana juga ia ingin memenuhi permintaan
Ki Ageng Pandan Alas untuk tinggal kira-kira seminggu di tempat itu.
Rupanya Ki Ageng Pandan Alas merasa sayang pula pada tanaman-tanamannya
kalau tak ada yang memetiknya. Tetapi karena menunggu jagung itulah maka
Mahesa Jenar terpaksa terikat dalam keadaan yang sulit.
Pada hari pertama, Mahesa Jenar
memerlukan untuk mengenal seluruh daerah di sekitar bukit kapur itu.
Benarlah kata Ki Ageng Pandan Alas, bahwa di belakang bukit itu banyak
terdapat tanaman jagung yang subur. Sedangkan agak kesamping sedikit
terdapat sebuah blumbang yang berair jernih.
Demikianlah Mahesa Jenar berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan kehidupan Ki Ardi. Merebus jagung dan membakar
daging hasil buruan semalam. Kemudian mengelilingi tanaman jagung,
kalau-kalau diganggu burung, makan pagi, berburu dan seterusnya.
Pada hari kedelapan ia telah mulai merasa
jemu. Apalagi sebuah tugas yang besar, yaitu membebaskan keris
Nagasasra dan Sabuk Inten masih menantinya. Tetapi meskipun demikian
disabarkan juga hatinya sebab jagung yang sudah mulai kuning itu dua
hari lagi pasti sudah masak untuk dipetiknya.
Tetapi pada hari ke 9 terjadilah suatu hal yang dapat merubah rencananya.
Pada hari itu Mahesa Jenar sedang sibuk
menyalakan api sebagaimana dilakukan tiap-tiap hari apabila malam tiba,
seperti juga yang dilakukan oleh Ki Ardi. Tiba-tiba telinganya yang
tajam menangkap suara beberapa orang yang dihanyutkan angin utara. Suara
itu semakin lama semakin jelas, sehingga dapat diterka bahwa
orang-orang itu sedang mendekatinya. Mahesa Jenar tidak tahu siapakah
kira-kira orang-orang yang datang itu. Untuk tidak menimbulkan hal-hal
yang tidak dikehendaki maka segera Mahesa Jenar menyelinap masuk ke
dalam goa. Dari sana, dari dalam gelap, ia akan dapat melihat siapakah
mereka itu, apabila mereka mendekati perapian.
Benarlah dugaannya. Beberapa orang datang
beriring-iringan mendekati perapian. Di muka sendiri berdiri seorang
gagah tegap. Sedang di belakangnya berjalan seorang yang tinggi agak
kekurus-kurusan. Di belakangnya lagi berjalan seorang yang pendek bulat
dan berkumis lebat. Di belakang mereka berjalan beberapa orang yang
tampaknya amatlah garang-garangnya.
Melihat orang yang berjalan paling depan
darah Mahesa Jenar berdegupan. Segera teringatlah ia akan wajah
seseorang yang pernah dibinasakannya. Yaitu Watu Gunung. Teringatlah
Mahesa Jenar akan kata-kata Sagotra bahwa seorang saudara kembar Watu
Gunung, yaitu Wadas Gunung, sedang mencarinya. Kalau demikian pastilah
orang yang berjalan paling depan itu Wadas Gunung, sedangkan yang lain
adalah sebagian dari rombongan gerombolan Lawa Ijo yang berjumlah 18
orang.
Mahesa Jenar masih saja berdiri di dalam gelap. Kalau tidak perlu, ia akan menghindari bentrokan-bentrokan yang akan terjadi.
Tiba-tiba orang yang pendek bulat itu berteriak dengan nyaringnya. “Ardi…, Ki Ardi…!”
Mahesa Jenar jadi berbimbang hati.
Perlukah panggilan itu dijawab? Kalau demikian halnya, pastilah segera
dikenal bahwa suaranya lain dengan suara Ki Ardi. Karena itu maka ia
berdiam diri saja.
Karena tidak mendapat jawaban, orang pendek itu mengulangi lagi, teriaknya. “Ardi…,
hai Ki Ardi. Jangan main-main. Kali ini waktu kami hanya sedikit. Kami
hanya ingin mendapat beberapa ontong jagung untuk makan kami besok.
Sesudah itu kami akan pergi.”
Kembali suara itu tidak mendapat jawaban.
“Orang tua gila.” gerutunya, ”Masih saja ia suka bermain gila dalam waktu yang begini.”
“Ki Ardi…!” teriak yang tinggi kurus itukemudian, ”Kami sedang sibuk dengan tugas kami. Keluarlah! Jangan bermain gila-gilaan selagi kami tergesa-gesa,”.
Juga teriakan ini lenyap ditelan malam tanpa ada jawaban.
Rupanya Wadas Gunung menjadi jengkel, katanya, “Carang
Lampit dan Bagolan. Masuklah. Seret orang itu keluar dan ambil saja
persediaan makanan yang ada. Aku masih ingin menunggu setan itu sampai
tiga hari”
Mahesa Jenar segera menangkap isi
kata-kata Wadas Gunung. Rupanya dalam menunggu kedatangannya, rombongan
itu kehabisan makanan. Sedang yang dimaksud dengan setan yang ditunggu
itu, pastilah dirinya. Kembali Mahesa Jenar bimbang. Apakah yang akan
dilakukan? Untuk tetap berdiam diri di dalam goa adalah sangat
berbahaya. Apabila benar-benar ada diantara mereka yang masuk dan
mengenalnya, maka pasti akan terjadi perkelahian. Dan perkelahian
melawan beberapa orang, di ruangan yang sempit tidaklah menguntungkan
baginya.
Karena itu, segera sebelum orang yang
disebut Carang Lampit dan Bagolan itu memasuki goa, Mahesa Jenar telah
lebih dahulu meloncat ke mulut goa. Kehadiran Mahesa Jenar yang
tiba-tiba itu sangat mengejutkan seluruh rombongan Lawa Ijo. Juga
Bagolan yang pendek bulat, Carang Lampit yang tinggi kekurus-kurusan,
bahkan juga Wadas Gunung sendiri. Baru setelah beberapa saat Wadas
Gunung dapat mengatur perasaannya bertanyalah ia, “Siapakah kau yang berada di rumah Ki Ardi?”
“Aku adalah anaknya,” jawab Mahesa Jenar.
Wadas Gunung mengerutkan alisnya, kemudian katanya, “Sudah sejak lama aku mengenal Ki Ardi. Tetapi tak pernah aku mendengar bahwa ia mempunyai seorang anak.”
“Aku kira,” jawab Mahesa Jenar, ”tidak ada perlunya untuk menceriterakan anak-anaknya kepada orang lain,”
Kembali Wadas Gunung menarik alisnya
tinggi-tinggi. Tetapi sementara itu ia pun tidak habis-habisnya
mengamat-amati tubuh Mahesa Jenar. Akhirnya diketemukannya ciri-ciri
yang cocok dengan keterangan yang diterimanya dari Ki Pasingsingan.
Karena itu tiba-tiba saja ia bertolak pinggang dan dari mulutnya
berderailah sebuah tawa yang mengerikan yang menusuk-nusuk ulu hati,
seperti suara jeritan hantu kubur.
Melihat sikap Wadas Gunung serta
mendengar derai tertawanya, tahulah Mahesa Jenar, bahwa Wadas Gunung
telah mengenalnya. Karena itu ia pun segera bersiap menghadapi segala
kemungkinan.
Setelah beberapa lama surutlah suara
tertawanya. Dan demikian suara itu berhenti, berteriaklah Wadas Gunung
itu dengan suaranya yang nyaring. “Hai, seluruh rombongan yang
sedang mencari seorang yang bernama Rangga Tohjaya. Pantaslah, bahwa
orang ini dapat memperpanjang umurnya sampai sembilan hari, karena ia
disembunyikan oleh Ki Ardi. Tetapi bagaimanapun akhirnya orang itu dapat
kami temukan juga. Nah, sekarang pandanglah orang ini dengan baik,
amatilah dengan saksama, sebab sebentar lagi ia harus kita binasakan.
Sekarang kita boleh mengaguminya sebagai seorang yang perkasa, yang
telah berhasil membunuh saudara kembarku Watu Gunung dan yang dapat
melukai pemimpin kami Lawa Ijo. Dendam kami adalah setinggi gunung,
sedalam lautan. Sekarang bersiaplah dan jangan lepaskan orang ini. Juga
setelah orang ini binasa, harus dibinasakan juga Ki Ardi, yang telah
berusaha membebaskan orang ini dari tangan kita.”
Mendengar kata-kata Wadas Gunung, segera
setiap orang anggota gerombolan itu mempersiapkan diri dan mencabut
senjata masing-masing. Sebagian besar dari mereka bersenjatakan sebilah
belati panjang sebagai senjata yang khusus diperuntukkan anggota
rombongan Lawa Ijo. Tetapi diantaranya ada juga yang bersenjata dua. Di
tangan kirinya ia memegang pisau belati panjang, sedang tangan kanannya
menggenggam sepotong carang pring ori sebesar ibujari kaki, tetapi
panjangnya tidak lebih dari lima jengkang. Bagolan, di kedua belah
tangannya menggenggam bola besi bertangkai. Wadas Gunung sendiri
ternyata juga tidak mau memandang ringan kepada Mahesa Jenar. Ia pun
memegang dua buah senjata di kedua belah tangannya. Yaitu belati
panjang.
Melihat semua lawannya bersenjata, Mahesa
Jenar mulai menimbang diri. Hatinya terasa berdegupan juga. Sebab
orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit, Bagolan dan sebagainya
tampaknya bukan pula orang sembarangan. Apalagi kini mereka menggenggam
senjata masing-masing. Maka mulailah Mahesa Jenar berpikir. Di manakah
tempat yang paling menguntungkan untuk melawan mereka? Di mulut goa, ia
tidak akan dapat diserang dari samping dan belakang. Tetapi kalau
ujung-ujung senjata itu bersama menyerangnya dari depan, sulit baginya
untuk menghindar. Maka lebih baik baginya apabila bertempur di tempat
terbuka. Ia akan dapat mempergunakan kegesitan, serta mudah-mudahan
gelap malam di luar membantunya. Mendapat pikiran itu, sebelum Mahesa
Jenar mendapat serangan, segera ia meloncat dengan kecepatan yang luar
biasa, menerobos orang-orang yang mengepungnya. Dan tahu-tahu Mahesa
Jenar telah berada di belakang mereka, di dekat api yang menyala-nyala.
Secepat kilat tangannya memegang dua batang kayu yang sedang dimakan
api. Dengan kedua batang cabang kayu sebesar lengan itulah ia siap
menghadapi segala kemungkinan.
Melihat kecepatan Mahesa Jenar bergerak,
hampir semua orang sangat heran sampai terdiam seperti patung. Dengan
loncatan yang hampir tak dapat dilihat, kepungan mereka dengan begitu
saja sudah dapat ditembus. Menyaksikan buruannya telah berada di luar
jaring, Wadas Gunung menjadi marah sekali. Sehingga dengan teriakan
keras ia memerintahkan kepada anak buahnya segera untuk mengepung
kembali.
Wadas Gunung sendiri bersama-sama Carang
Lampit, Bagolan orang ke-3, Seco Ireng orang ke-4, Cemara Aking orang
ke5, dan Tembini orang ke-7, langsung menyerang. Ketujuh orang tokoh itu
dikurangi Sagotra, merupakan tenaga gabungan yang luar biasa kuatnya,
meskipun tidak lengkap. Senjata mereka tampak gemerlapan memenuhi udara
dan seolah-olah bergulung-gulung melanda Mahesa Jenar dengan dahsyatnya.
Mahesa Jenar segera melihat bahaya yang akan datang. Sudah pasti Mahesa
Jenar tidak akan dapat sekaligus menangkis serangan dari enam orang
yang mempunyai kekuatan yang cukup. Karena itu segera Mahesa Jenar
mencari akal. Maka dengan tiba-tiba tanpa diduga oleh seorangpun, Mahesa
Jenar dengan kedua cabang kayu di tangannya memukul api yang sedang
menyala-nyala ke arah penyerang-penyerangnya. Segera bara-bara api serta
potongan-potongan kayu yang masih menyala bertebaran di udara dan
mengarah kepada lawan-lawannya.
Wadas Gunung beserta kawan-kawannya
terkejut bukan alang kepalang. Sama sekali tak terlintas di dalam
pikirannya, bahwa serangan mereka akan mendapat sambutan begitu panas.
Karena itu segera mereka sibuk menghindarkan diri dari serangan api.
Mereka yang sempat menghindar segera berloncatan kian kemari, sedang
mereka yang tidak lagi mempunyai kesempatan, segera berusaha memukul api
itu dengan senjata masing-masing. Melihat kebingungan itu Mahesa Jenar
tidak menyia-nyiakan waktu. Segera ia melompat serta memutar kedua
potong kayunya, menyerang keenam orang yang masih belum sempat
mempersiapkan diri. Serangannya ini ternyata mempunyai hasil yang cukup
baik. Kayu di tangan kirinya dengan derasnya menyambar Cemara Aking.
Melihat serangan yang datang tiba-tiba itu Cemara Aking tidak sempat
menghindar. Maka yang dapat dilakukan hanyalah menangkis serangan Mahesa
Jenar dengan kedua pisau belati panjangnya yang disilangkan di muka
kepalanya. Tetapi pukulan Mahesa Jenar demikian kerasnya sehingga
tangan Cemara Aking tidak mampu untuk melawannya. Ia tak berhasil
menghindarkan kepalanya dari benturan kayu Mahesa Jenar. Segera
pemandangannya menjadi kuning berputaran, serta kepalanya seolah-olah
ditindih batu yang besar sekali. Cemara Aking terhuyung-huyung surut
beberapa langkah ke belakang dan akhirnya ia terduduk lemah. Dalam saat
yang bersamaan pula, tangan kanan Mahesa Jenar sempat menyambar lambung
Carang Lampit. Tetapi Carang Lapit ternyata mempunyai kekuatan yang
cukup pula sehingga ia berhasil mengurangi tekanan serangan Mahesa Jenar
dengan carang orinya. Meskipun demikian lambungnya terasa sakit bukan
kepalang. Dan ini telah banyak mengurangi kebebasan geraknya. Melihat
kedua kawannya dikenai dalam saat yang sangat singkat Wadas Gunung
menjadi bertambah marah, disamping perasaan keheranan serta keseganan
yang merambati hatinya. Segera iapun membuka sebuah serangan dengan
menusuk dada Mahesa Jenar.

Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Api yang dinyalakan Mahesa Jenar sudah tidak lagi menyala.
Hal ini sangat menguntungkan Mahesa Jenar
yang berpandangan tajam sekali. Ia melawan kerubutan itu dengan
berloncatan kesana-kemari, menyusup diantara mereka dan kadang-kadang
meloncat menjauhi. Tetapi lawannya bukan orang-orang sembarangan.
Ternyata Wadas Gunung mempunyai kecakapan sejajar dengan Watu Gunung.
Sedangkan Carang Lampit hanya sedikit berada di bawah Wadas Gunung.
Untunglah orang ini telah dilukainya lebih dulu sehingga geraknya
tidaklah berbahaya sekali. Bagolanpun ternyata tidak kalah gesitnya
dengan Gagak Bangah yang bersama-sama dengan Watu Gunung dulu
mengerubutnya. Ditambah lagi dengan Seco Ireng, Tembini dan Cemara Aking
yang baru dapat bergerak sedikit-sedikit saja, karena kepalanya masih
pening sekali. Disamping itu mereka masih mempunyai tenaga cadangan yang
siap menyerangnya dari segala jurusan.
Ketika pertempuran itu sedang berlangsung
dengan dahsyatnya, dimana masing-masing pihak berusaha untuk
mengalahkan lawannya. Maka di sebelah timur membayanglah warna fajar.
Langit yang kelam menjadi kemerah-merahan, sedangkan bintang fajar
memancar dengan cemerlangnya.
Melihat cahaya merah itu, hati Mahesa
Jenar menjadi berdebar-debar. Apabila sebentar lagi langit menjadi
terang, akan sulitlah kedudukannya.
Apalagi sampai saat itu saja sudah terasa
bahwa tenaganya sebagai manusia biasa adalah sangat terbatas. Melawan 6
orang cukup kuat, ditambah lagi yang lain-lain yang telah pula mulai
bergerak mengeroyoknya, adalah suatu pekerjaan yang barangkali diluar
kemampuan tenaganya yang biasa. Tekanan yang kuat dari Wadas Gunung,
serangan yang tiba-tiba dari Tembini yang telah bersenjatakan pisau
belati panjang, gempuran-gempuran bola bertangkai Bagolan,
sambaran-sambaran carang ori yang tidak kalah berbahayanya, serta
tusukan-tusukan parang Seco Ireng yang dahsyat adalah bahaya-bahaya yang
setiap saat dapat merenggut jiwanya. Dalam keadaan gelap, mereka masih
agak ragu-ragu mempergunakan senjata itu, sebab Mahesa Jenar selalu
berusaha untuk membelit lawan-lawannya. Tetapi kalau matahari sudah
terbit, akan berbedalah keadaannya. Mungkin ia tak akan mampu melawan
sampai tengah hari saja. Karena itu mengingat keselamatan diri, tugas
yang masih harus diselesaikan serta pertimbangan yang sebaik-baiknya,
adalah membinasakan gerombolan hitam itu. Terlintas dalam pikiran Mahesa
Jenar untuk segera menyelesaikan pertempuran ini sebelum fajar. Adapun
cara satu-satunya adalah dengan mempergunakan ilmunya Sasra Birawa, di
sisi telapak tangan kanannya, digabungkan dengan kemahirannya
mempergunakan segala macam senjata dengan tangan kirinya. Dan untunglah
pada saat itu ia memegang sebuah tombak berkait. Dengan mempergunakan
gabungan kedua macam kekuatan itu ia memperhitungkan bahwa ia akan dapat
mengakhiri pertempuran sebelum cahaya matahari yang pertama.
Tetapi belum lagi ia melaksanakan
maksudnya, tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan dan
tak terduga-duga. Pada saat itu, pada saat pengikut Lawa Ijo siap untuk
menyerang Mahesa Jenar bersama-sama, terjunlah seseorang ke kancah
pertempuran. Meskipun Mahesa Jenar tidak berkesempatan untuk mengenal
orang baru itu dengan seksama, tetapi sepintas ia melihat bahwa orang
itu berperawakan sedang, serta bersenjatakan sebuah kapak sangat besar.
Tampaknya ia tidak begitu lincah, tetapi mendengar desing ayunan
kapaknya dapat diduga betapa besar tenaganya.
Dengan kekuatan yang luar biasa, ia
memutar kapaknya, dan langsung menyerang pengikut-pengikut Wadas Gunung.
Sejenak kemudian terjadilah dua lingkaran pertempuran yang amat
dahsyat. Dengan hadirnya orang baru, yang masih belum sempat dikenalnya,
Mahesa Jenar merasa bahwa pekerjaannya menjadi berkurang. Sebab mau
tidak mau perhatian Wadas Gunung sebagai pemimpin rombongan menjadi
terpecah, sehingga ia tidak lagi dengan sepenuhnya mengadakan tekanan
kepada Mahesa Jenar. Apalagi ternyata luka di lambung Carang Lampit
tidak dapat dianggap ringan. Di arah luka itu terasa makin lama semakin
sakit. Karena itu gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah dan hampir
tak berarti. Demikian juga keadaan Cemara Aking.
Di dalam dua lingkaran pertempuran itu,
Mahesa Jenar harus melawan tokoh-tokoh gerombolan Lawa Ijo yang sudah
tidak begitu penuh lagi kekuatannya, sedang anggota-anggota gerombolan
itu terpaksa tidak dapat turut serta mengeroyok Mahesa Jenar, sebab
mereka harus melayani pendatang baru yang dengan garangnya menghantam
mereka dengan kapaknya.
Mengalami perubahan keadaan ini, Mahesa
Jenar pun merasa masih belum waktunya mempergunakan ilmunya Sasra
Birawa. Sebab ia merasa bahwa bersama dengan orang baru itu ia akan
dapat mematahkan kekuatan Wadas Gunung.
Perhitungan Mahesa Jenar memanglah tepat.
Meskipun orang baru itu tidak begitu lincah, tetapi tiba-tiba sambaran
kapaknya selalu diikuti dengan berdesingnya angin maut. Anggota-anggota
gerombolan Lawa Ijo yang mencoba menangkis ayunan kapak itu, senjatanya
terlepas dan terpatahkan.
Melihat keadaan itu Wadas Gunung menjadi
marah sekali. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan Mahesa Jenar yang
bagaimanapun dirasakan lebih berbahaya, apalagi kepadanyalah ia
menyimpan dendam. Karena itu dengan teriakan nyaring ia memerintahkan
Bagolan untuk melawan orang berkapak itu. Mendengar perintah Wadas
Gunung segera Bagolan dengan loncatan panjang meninggalkan gelanggang
dan segera terjun ke lingkaran pertempuran lain. Ternyata Bagolan pun
mempunyai tenaga raksasa. Sehingga dalam pertempurannya melawan orang
berkapak itu seringkali terjadi benturan-benturan yang dahsyat antara
bola besi bertangkai dengan kapak raksasa itu. Bagaimanapun perkasanya
orang berkapak itu, ketika ia harus melawan keroyokan yang sedemikian
banyaknya ditambah lagi dengan seorang tokoh seperti Bagolan, akhirnya
tampak juga bahwa ia agak terdesak.
Sebaliknya Mahesa Jenar yang lawannya
berkurang lagi seorang menjadi semakin leluasa bergerak. Tetapi dalam
pada itu segera ia melihat kerepotan orang yang bersenjatakan kapak itu.
Maka segera iapun menjadi cemas. Meskipun ia sama sekali belum
mengenalnya, tetapi pada saat ia melibatkan diri dalam pertempuran itu,
adalah sangat menguntungkannya. Karena itu ia tidak dapat membiarkan
saja ketika ia melihat orang berkapak itu terdesak.
Untuk mengimbangkan keadaan, Mahesa Jenar
berpikir bahwa sebaiknya pertempuran tidak terbagi. Ia dan orang
berkapak itu harus berada dalam satu lingkaran pertempuran menghadapi
seluruh gerombolan. Dengan demikian ruang pertempuran menjadi bertambah
sempit.
Mendapat pikiran yang demikian segera
Mahesa Jenar memutar tombaknya, dan dengan gerakan kilat ia meloncat
menembus kepungan lawan. Selanjutnya dengan cepat sekali ia meloncat
kesamping orang yang bersenjata kapak itu, sambil berkata, “Ki
Sanak, baiklah kita bekerja bersama. Kau hadapi separo lingkaran, aku
separo. Disamping itu kita pergunakan setiap kesempatan untuk menghantam
lawan.” Orang berkapak itu tidak menjawab tetapi ia tahu maksud
Mahesa Jenar, maka segera ia pun menempatkan diri beradu punggung dengan
Mahesa Jenar.
bersambung ke Jilid 4
———-oOo———-
5 Tanggapan
Tinggalkan Balasan

sret-sret-sreeeet….dok,
asiK….asiK…..asiKkkkkkkkkkkkkkkkk