

ADBM-010

TETAPI dengan berita
itu, maka Sangkal Putung harus lebih berhati-hati lagi. Lawan mereka
kini bukan saja Tohpati dan Sumangkar yang setiap saat dapat menyusup ke
dalam lingkungan mereka, tetapi juga Sidanti dan Ki Tambak Wedi yang
apabila mereka kehendaki mereka akan dapat berjalan-jalan di daerah
Kademangan Sangkal Putung yang mereka kenal dengan baik. Karena itu maka
mereka harus lebih berwaspada apabila malam-malam yang akan datang
salah seorang atau dua tiga orang dari mereka nganglang kademangan.
Sehari itu, cerita tentang Sidanti dan Ki
Tambak Wedi yang bertempur melawan Tohpati dan Sumangkar telah tersebar
luas di antara laskar Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung. Sengaja
berita itu disebarkan sejauh-jauh mungkin supaya mereka menjadi semakin
berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan. Gardu-gardu dengan demikian
menjadi semakin cermat mengawasi keadaan. Penjaga-penjaga menjadi lebih
hati-hati dan penghubung-penghubung pun selalu berwaspada apabila
tiba-tiba mereka bertemu dengan orang-orang yang mereka anggap sebagai
hantu-hantu yang berkeliaran, siang maupun malam.
Tetapi malam berikutnya, bukan saja
berita tentang Sidanti dan Tohpati yang ternyata berkeliaran, dan yang
suatu saat mereka saling bertemu dan bertempur, tetapi datang pula
seorang pengawas menghadap Untara. Seorang prajurit dalam jabatan sandi.
Untara, Widura, Kiai Gringsing, Ki Demang
Sangkal Putung, Agung Sedayu dan Swandaru, dengan dada yang
berdebar-debar menerima orang itu.
“Apakah yang kau ketahui tentang Tohpati?” bertanya Untara.
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya,
kemudian katanya, “Kami, para pengawas melihat kesibukan di antara
mereka. Bahkan salah seorang dari kami telah berhasil menghubungi
orang-orang kami yang dekat dengan lingkungan laskar Tohpati. mereka
kini sedang menyiapkan diri untuk menyerbu Sangkal Putung kembali”
Mereka yang mendengar laporan itu sama
sekali tidak terkejut. Mereka selalu menunggu, siang maupun malam,
serbuan yang serupa itu dapat terjadi. Tetapi adalah lebih baik apabila
hal itu telah mereka ketahui sebelumnya seperti pada saat-saat yang
lewat.
“Kapan rencana itu akan mereka lakukan?” bertanya Widura.
“Secepatnya, mungkin dalam dua tiga hari ini”
Ki Demang Sangkal Putung tersenyum,
katanya, “Beberapa hari yang lalu, mereka telah menyiapkan diri pula.
Bahkan sampai dua tiga kali, namun serangan itu tidak juga datang”
“Tetapi kali ini agaknya serangan itu tidak akan ditunda-tunda lagi” Sahut pengawas itu.
“Mereka hanya ingin menakut-nakuti kita” gumam Swandaru.
“Itu salah satu dari siasat Tohpati yang
cerdik” berkata Untara, “Beberapa kali ia menggagalkan serangannya,
supaya untuk seterusnya kita selalu menganggap bahwa
serangan-serangannya akan tertunda-tunda pula. Tetapi apabila kita telah
lengah, maka sergapan itu benar-benar datang”
Yang mendengar penjelasan Untara itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Untara yang berpandangan luas
itu sangat berhati-hati menanggapi setiap persoalan.
“Ya, Angger Untara benar” sahut Ki Demang Sangkal Putung, “Ternyata aku telah termakan oleh siasat itu”
“Belum terlambat” sahut Widura
“Kalau mereka tidak datang” sambung Swandaru, “Kitalah yang datang kepada mereka”
Serentak, mereka yang duduk di
pringgitan, berpaling kepada Swandaru. Mereka merasakan getaran
kata-kata itu. Getaran kata-kata seorang anak muda yang sedang dibakar
oleh darah mudanya.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
Ia dapat mengerti sedalam-dalamnya perasaan yang sedah membakar hati
Swandaru Geni. Sebagai seorang anak Demang Sangkal Putung, ia merasa
bahwa tanah kelahirannya itu selalu dalam keadaan kecut dan suram.
Ketakutan, kegelisahan dan kecemasan membayangi setiap wajah. Bahkan
setiap orang di Sangkal Putung menjadi ngeri apabila senja datang,
apabila matahari mendekati punggung pegunungan di ujung barat. Namun
mereka menjadi gelisah apabila mereka mendengar ayam jantan berkokok
menjelang fajar.
Mereka selalu diganggu oleh
bayangan-bayangan yang menakutkan. Apabila malam datang, maka
seolah-olah orang-orang Jipang merayap-rayap di halaman rumah-rumah
mereka. Merangkak-rangkat mendekati pintu dan setiap saat mereka akan
dapat dikejutkan oleh ketokan yang keras dan kasar pada pintu-pintu
rumah mereka.
Tetapi apabila matahari mulai membayang
di ujung timur, mereka membayangkan sepasukan laskar Jipang dalam gelar
Sapit Urang, atau dalam gelar Wilan Punanggal, bahkan mungkin dalam
gelar Samodra Rob datang melanda kademangan itu.
Karena itulah maka setiap laki-laki di
Sangkal Putung di setiap malam selalu menggantungkan senjata di atas
pembaringan mereka, kecuali mereka yang berada di gardu-gardu. Bahkan
lebih banyak dari mereka yang tidak berada di dalam rumah mereka, tetapi
di gardu-gardu, di simpang-simpang empat dan di bajar desa, dengan
pedang di tangan, atau keris di lambung.
Namun hati mereka menjadi agak tentram
apabila mereka melihat laskar Pajang yang tampaknya selalu tenang dan
teguh hati. Mereka berbangga apabila mereka melihat pedang yang
berjuntai diikat pinggang mereka, atau tombak di pundak mereka. Bukan
saja laskar Pajang, namun anak-anak muda mereka sendiri telah memberi
kepada mereka sekedar ketentraman dan keberanian.
Tetapi bagaimanapun juga, Sangkal Putung
selalu dibayangi oleh ancaman-ancaman yang menegangkan. Seperti bumbung
yang dipanggang di atas api. Setiap saat akan meledak dengan dahsyatnya.
Bukan saja Kiai Gringsing, tetapi hampir
setiap orang, bahkan Agung Sedayu yang sebaya dengan Swandaru itu pun
dapat melihat perasaan itu. Namun selain perasaan itu, Kiai Gringsing
melihat perasaan yang lain yang mendorong Swandaru kedalam gelora yang
lebih dahsyat lagi. Seperti yang pernah dilihatnya, Swandaru tidak
segera dapat mengerti, mengapa mereka harus menghindari Tohpati dan
Sidanti pada saat mereka bertemu di padang rumput malam yang lampau.
Kiai Gringsing menyadari bahwa anak muda itu sukar mengendalikan
perasaannya yang sedang berkobar. Apalagi setelah ia merasa mendapatkan
bekal yang lebih banyak dari masa-masa sebelumnya. Karena itu maka Kiai
Gringsing merasa bahwa tugasnya membentuk Swandaru jauh lebih berat
daripada Agung Sedayu. Baik dalam ilmu tata bela diri maupun dalam
pembinaan watak dan sifatnya.
Dalam pada itu, maka terdengarlah Untara
menyahut sambil tersenyum, “Pendapatmu sangat baik Swandaru. Kalau
mereka tidak datang, kita akan menjemput mereka. Namun sayang, bahwa
kita masih harus melihat jalan-jalan manakah yang dapat kita lalui untuk
sampai ke pesangrahan Macan Kepatihan itu”
“Nah, bukankah orang yang dapat mengetahui bahwa mereka akan menyerang kita itu dapat menunjukkan dimana tempat tinggal mereka?”
Untara masih tersenyum. Jawabnya,
“Mudah-mudahan. Tetapi orang-orang itu pasti hanya mengetahui letak dan
sekedar keadaan mereka. Namun mereka tidak akan mengenal tempat itu
sebaik Tohpati mengenal Sangkal Putung. Mereka tidak atau belum dapat
mengenal bahaya dan rintangan yang mungkin dipasang oleh orang-orang
Macan Kepatihan. Tempat-tempat yang berbahaya sebagai tempat yang
sengaja dipersiapkan untuk menyergap dan menghancurkan kita. Sebab
mereka tahu pasti, bahwa daerah mereka tidak akan dilewati orang lain
selain orang-orang mereka. Dan suatu ketika orang-orang Pajang. Berbeda
dengan Sangkal Putung. Bagaimanapun juga, Sangkal Putung adalah daerah
terbuka”
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia
mengerti keterangan itu. Tetapi ia berkata di dalam hatinya, “Kenapa
kita tidak menyergapnya dari arah-arah yang berbeda? Kalau dari satu
arah di pasang rintangan-rintangan maka dari arah yang lain kita akan
dapat mencapainya”. Tetapi Swandaru tidak mengatakannya. Ia mengerti
betul bahwa di dalam perbendaharaan pengalaman Untara, semuanya itu
telah diperhitungkan dengan seksama.
Sepeninggal orang yang menyampaikan kabar
kepada Untara tentang persiapan orang-orang Jipang itu, maka segera
Untara mempersiapkan laskarnya. Kepada petugas sandi itu Untara
berpesan, bahwa pada saatnya ia harus menerima berita kelanjutan dari
berita itu. Sedangkan kepada Swandaru dan Agung Sedayu, Untara berpesan
untuk sementara merahasiakan berita itu, supaya rakyat Sangkal Putung
tidak menjadi gelisah dan supaya Tohpati tidak menyadari bahwa
rencananya sudah diketahui.
Namun yang diketahui oleh rakyat Sangkal
Putung dan bahkan laskar Pajang sendiri, mereka diwajibkan meningkatkan
kewaspadaan dan latihan-latihan mereka, supaya mereka tidak menjadi
lengah dan bahkan melupakan bahaya yang setiap saat dapat datang.
Meskipun demikian, orang-orang yang telah penuh dengan pengalaman
seperti Hudaya, Citra Gati, Sonya dan beberapa orang lain, segera dapat
merasakan kesibukan para pemimpin mereka, dan dengan tersenyum Citra
Gati pada suatu senja berbisik kepada Hudaya, “Adi, apakah aku masih
akan sempat mencukur rambut yang tumbuh di wajahku ini besok?”
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan malam nanti aku belum mati”
Hudaya tersenyum, katanya, “Pasti belum malam nanti”
Sonya yang ada didekat mereka menyahut, “aku sudah menyiapkan pisau itu sekarang kakang Citra Gati, mumpung kau masih sempat”
Citra Gati mengerutkan keningnya,
kemudian tangannya meraba kumisnya yang jarang, “Hem” desahnya, “Jangan
sekarang. Aku belum sempat”
Sonya pun kemudian tersenyum. Katanya, “Aku sudah mengasah pedang. Kapan kira-kira kita bermain-main lagi?”
Citra Gati mengerutkan keningnya, jawabnya, “Pasti sudah mendesak. Dua tiga hari lagi”
“Kenapa perintah itu tidak dijelaskan saja kepada kita? Supaya kita menjadi semakin gairah berlatih dan memersiapkan diri”
Citra Gati menggeleng, “Entahlah. Pasti
ada pertimbangan-pertimbangan lain. Mungkin untuk membuat kesan
seolah-olah kita belum menyadari bahaya yang akan mengancam. Dengan
demikian kewaspadaan orang-orang Jipang akan berkurang, seperti pada
saat-saat yang lampau. Terutama pada saat serangannya yang pertama”
Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya,
tetapi Hudaya terawa pendek, “Sebenarnya kita sudah siap menerima
mereka, atau datang ke tempat mereka”
“Kemana?” bertanya Citra Gati.
“Ke sarang mereka” sahut Hudaya.
“Ya, dimana sarang itu?”
Hudaya menggeleng, “Kalau aku tahu, aku sudah pergi ke sana”
“Uh, jangan membual. Belum sampai kau ke jarak seribu langkah, kepalamu telah retak oleh tongkat baja putih itu”
Hudaya tersenyum. Dikenangnya pada saat
ia harus membantu Sidanti bersama Citra Gati untuk melawan Tohpati.
Senjata tongkat baja putih itu terasa seperti seekor nyamuk yang
beterbangan di sekeliling telinganya. “Ngeri” gumamnya tiba-tiba.
“Apa yang ngeri?” bertanya Citra Gati dan Sonya hampir bersamaan.
“Tongkat baja putih itu. Ketika Tohpati datang untuk pertama kali, kepala tongkat itu hampir menyambar kepalaku”
“Oh” sahut Sonya, “aku tidak sempat ikut
bertempur saat itu. Aku hanya boleh berlari. Tetapi lusa, kalau Macan
Kepatihan itu datang kembali, akulah lawannya”
Mereka bertiga tertawa, seakan-akan
mereka mempercakapkan suatu peristiwa yang lucu. Namun percakapan itu
adalah suatu pengakuan, betapa besarnya perbawa Macan Kepatihan pada
lawan-lawannya.
Mereka berhenti tertawa ketika mereka
melihat Swandaru dan Agung Sedayu berjalan melintasi pendapa turun
kehalaman. Mereka kemudian berjalan berdua kehalaman belakang
kademangan.
“Sudah mendesak” terdengar Agung Sedayu
berbisik. Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku tidak sabar. Apa
kata orang itu tadi?”
“Laskar Tohpati kini telah siap seluruhnya”
“Aku berani bertaruh, serangan itu pasti akan ditunda lagi”
“Menurut persiapan yang diketahui oleh prajurit sandi itu, agaknya mereka benar-benar akan segera menyerang”
Swandaru menggeleng lemah, “Seperti
beberapa waktu yang lalu. Persiapan itu telah sempurna, namun mereka
tidak datang. Kali ini pun agaknya demikian”
“Kita tunggu saja tengah malam nanti. Orang itu berjanji akan datang, atau orang lain yang ditugaskannya”
“Aku tidak sabar. Sarang Macan Kepatihan
itu pasti di sekitar tempat mereka bertempur melawan Sidanti itu. Kita
aduk saja seluruh hutan itu, maka kita pasti akan menjumpai sarangnya”
gerutu Swandaru.
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia tahu
benar tabiat saudara seperguruannya. Meskipun demikian, terasa suasana
yang berbeda pada kademangan itu. Firasatnya mengatakan bahwa Tohpati
benar-benar akan datang.
Swandaru kemudian pergi berbelok memasuki
dapur. Dilihatnya ibunya dan Sekar Mirah sedang menunggui beberapa
orang yang sedang masak. Ketika Swandaru melihat gumpalan daging rebus,
maka segera disambarnya sepotong.
“He, Swandaru. Daging itu baru direbus. Belum lagi dibumbui. Digarami pun belum”
Swandaru tidak menjawab. Tangannya menyambar sejumput garam. Kemudian dilumurkannya garam itu pada gumpalan dagingnya.
“Huh” Sekar Mirah mencibirkan bibirnya. “Anak muda kentuk”
Swandaru berhenti. Ia berpaling sambil bertanya, “apa itu?”
“Anak muda yang suka masuk kedapur, adalah anak muda yang ketuk”
Swandaru tertawa terbahak-bahak. Sambil berteriak ia bertanya, “He, kakang Agung Sedayu, kau mau daging?”
Agung Sedayu yang berjalan keperigi
mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia tidak menjawab. Langsung diraihnya
senggot timba, dan dengan tersenyum ia menarik senggot itu turun.
Sekar Mirah yang mendengar gerit timba
segera mengetahui bahwa Agung Sedayu berada di perigi. Tetapi ketika ia
beranjak, Swandaru membentaknya, “Mau apa kau?”
“Apa pedulimu?”
“Yang mengambil air itu bukan Sidanti”
Tiba-tiba Sekar Mirah itu meloncat
mengambil sepotong kayu dan dilemparkannya kepada kakaknya. Swandaru
bergeser setapak sambil tertawa, “Jangan marah, aku berkata sebenarnya”
Ketika lemparannya tidak mengenai sasarannya, Sekar Mirah langsung mengambil segayung air.
“Mirah” cegah ibunya, “Jangan membuat dapur menjadi becek”
Sekar Mirah bersungut-sungut sambil berjalan keluar. Gerutunya, “Awas kakang Swandaru”
Tetapi bukan saja Swandaru yang
bermain-main mengejek adiknya, namun sebenarnya ibunya pun kadang-kadang
heran melihat sifat anak perempuannya itu. Ibunya itu tahu benar,
hubungan yang tampaknya bersungguh-sungguh antara Sekar Mirah dan
Sidanti beberapa waktu yang lampau.
Ibunya itu pun mengetahui
perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Sejak Agung Sedayu datang ke
kademangan ini. Agaknya Sekar Mirah adalah seorang pengagum atas
sifat-sifat kejantanan, kepahlawanan. Dan terpengaruh oleh kedudukan
ayahnya, ia adalah seorang gadis yang selalu berangan-angan tentang
kepemimpinan dan kedudukan. Ketika setiap orang di Sangkal Putung
membicarakan keberanian anak muda yang bernama Sidanti disetiap medan
pertempuran, maka Sekar Mirah pun mengaguminya berlebih-lebihan.
Dimatanya pada saat itu tak ada seorang laki-laki yang melampaui Sidanti
di seluruh Sangkal Putung. Itulah sebabnya maka hubungannya dengan anak
muda itu tampak bersungguh-sungguh.
Tetapi pada suatu ketika hadirlah Agung
Sedayu di antara mereka. Setiap mulut menyebut namanya sebagai seorang
anak muda yang telah membebaskan Sangkal Putung dari bencana. Seorang
anak muda yang pemalu dan pendiam, tetapi menyimpan kesaktian yang tiada
taranya. Namun Sekar Mirah kadang-kadang menjadi ragu-ragu menghadapi
Agung Sedayu. Anak itu terlalu lembut. Bahkan anak itu selalu
menghindarkan diri dari bentrokan yang akan terjadi atas dirinya dan
Sidanti. Bahkan Agung Sedayu membiarkan dirinya dihinakan dan
direndahkan di muka Sekar Mirah dan pamannya Widura. Sekar Mirah
hampir-hampir kehilangan kepercayaan tentang kesaktian Agung Sedayu,
ketika anak muda itu tidak mau mengikuti sayembara memanah beberapa saat
yang lalu.
Namun Sekar Mirah tidak dapat mengerti,
kenapa Agung Sedayu ternyata benar-benar memiliki kelebihan dari orang
lain. Kenapa Agung Sedayu menyembunyikan kelebihannya itu. Seandainya
Swandaru tidak melihatnya, maka kemampuan Agung Sedayu tetap akan
terpendam untuk seterusnya.
“Anak muda itu terlampau rendah hati”
desisnya di dalam hati ketika ia melihat kemenangan Agung Sedayu atas
Sidanti di lapangan pada saat-saat mereka sedang berlomba.
Kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh Agung Sedayu benar-benar membuat
hati Sekar Mirah meledak-ledak.
Sepeninggal Sidanti, maka hubungannya
dengan Agung Sedayu menjadi semakin dalam. Sekar Mirah semakin lama
menjadi semakin mengagumi Agung Sedayu. Dari kakaknya ia mendengar bahwa
Agung Sedayu mampu mengalahkan Alap-alap Jalatunda digaris peperangan.
Tetapi Sekar Mirah tidak dapat mengerti kenapa Alap-alap Jalatunda itu
tidak dibinasakan seperti Sidanti membinasakan Plasa Ireng. Bukankah
dengan demikian namanya akan menjadi semakin ditakuti oleh lawan dan
disegani oleh kawan? Bukankah dengan demikian kejantanannya akan menjadi
semakin mengagumkan setiap orang di Sangkal Putung seperti Sidanti di
saat-saat yang lampau. Sidanti selalu membanggakan diri kepadanya bahwa
ia telah lebih dari sepuluh kali membinasakan lawan-lawannya
dipeperangan. Kemudian angka itu dengan cepatnya naik. Duapuluh dan yang
terakhir sebelum Tohpati sendiri datang ke Sangkal Putung, Sidanti
berkata, “Nanggala ini telah menghisap darah lebih dari limapuluh orang”
Tetapi Agung Sedayu tak pernah berkata
tentang peperangan. Agung Sedayu tidak pernah bercerita, berapa orang
telah pernah dipenggal lehernya, atau berapa orang pernah ditumpahkan
darahnya.
Namun di samping kekecewaan-kekecewaan
itu, Agung Sedayu telah benar-benar memikat hati Sekar Mirah. Ada
kekuatan-kekuatan lain yang telah menariknya. Bukan karena
kekaguman-kekaguman yang berlebih-lebihan. Bukan karena Agung Sedayu
banyak menceritakan kemenangan-kemenangannya seperti Sidanti. Bukan
karena sifat-sifatnya yang keras dan tegas. Tetapi ujud wadag Agung
Sedayu lah yang telah mempesona Sekar Mirah. Meskipun Sekar Mirah
kadang-kadang kecewa atas sifat dan sikap Agung Sedayu yang menurut
anggapannya telalu lemah dan menyia-nyiakan kekuatan-kekuatan yang
tersimpan di dalam tubuhnya, namun wajah Agung Sedayu selalu membayang
di rongga matanya.
Ketika Sekar Mirah melangkahi pintu
dapur, ia masih mendengar suara tertawa Swandaru di dalam rumahnya.
Tetapi Sekar Mirah tidak memperdulikannya. Bahkan kemudian gadis itu
melangkahkan kakinya ke perigi, menghampiri Agung Sedayu yang sedang
menimba air.
“Untuk apa kakang menimba air?” bertanya Sekar Mirah.
“Mandi” jawab Agung Sedayu. Jawaban itu
terlalu singkat bagi Sekar Mirah, sehingga karena itu maka sambil
mencibirkan bibirnya Sekar Mirah menirukan jawaban itu, “Mandi”
Agung Sedayu berpaling. Ketika dilihatnya wajah Sekar Mirah yang memberengut, Agung Sedayu tersenyum, “Kenapa?”
“Kenapa?” Kembali Sekar Mirah menirukan.
Agung Sedayu kini tertawa. Tangannya
masih sibuk melayani senggot timba. Ketika air di dalam upih telah
dituangkannya kedalam jambangan, maka dilepaskannya senggot timba itu.
Perlahan-lahan ia berjalan mendekati Sekar Mirah sambil bertanya,
“Apakah jawabanku salah?”
“Tidak” sahut Sekar Mirah pendek.
Kini suara tertawa Agung Sedayu menjadi
semakin keras. Katanya, “Ah, agaknya aku telah berbuat suatu kesalahan
di luar sadarku. Maafkan aku Mirah”
“Tidak ada yang harus dimaafkan” sahut Sekar Mirah sambil berjalan menjauh.
Agung Sedayu mengikuti di belakangnya
beberapa langkah. Kemudian diambilnya sebutir batu, dan dilemparkannya
ke arah sarang lebah disebuah cabang yang tinggi.
Begitu sarang lebah itu terkena lemparan Agung Sedayu, maka berbondong-bondong lebah-lebah itu beterbangan.
Sekar Mirah terkejut. Ketika dilihatnya
segerombol lebah beterbangan di udara, maka ia menjadi ketakutan. Dengan
serta-merta ia berlari dan bersembunyi di belakang Agung Sedayu sambil
berkata cemas, “Kakang, lebah itu akan menyengat kita”
Agung Sedayu tertawa. Jawabnya, “Biarlah kita menjadi bengkak-bengkak karenanya”
“Kakang, aku takut”
Agung Sedayu masih tertawa. Dilihatnya
lebah itu semakin banyak beterbangan mengitari sarangnya yang baru saja
disentuh oleh batu Agung Sedayu. Tetapi lebah itu adalah lebah gula yang
jarang sama sekali tidak berbahaya dan tidak buas.
Tetapi Sekar Mirah menjadi semakin
ketakutan melihat lebah beterbangan mengitari sarangnya, “Kakang”
katanya, “Bagaimana kalau lebah-lebah itu menyerang kita?”
“Kulitku kebal” sahut Agung Sedayu, “Tak ada lebah yang dapat menyengat kulitku”
“Tetapi aku tidak” berkata Sekar Mirah sambil mengguncang-guncang tubuh Agung Sedayu.
“Lihat” berkata Agung Sedayu, “Lebah itu
akan menurut segala perintahku. Sebentar lagi mereka pasti akan kembali
ke dalam sarang-sarang mereka setelah diketahuinya bahwa aku yang
berdiri di sini”
Sekar Mirah tidak menjawab, tetapi ia masih berpegangan pada lengan Agung Sedayu.
Dan sebenarnyalah lebah-lebah yang
beterbangan itu satu demi satu hinggap kembali ke dalam sarangnya.
Sehingga semakin lama gerombolan lebah yang mirip dengan gumpalan asap
itu menjadi semakin tipis.
Sekar Mirah memandangi lebah-lebah itu
dengan mulut ternganga. Namun ketika dilihatnya lebah itu menjadi
semakin berkurang, hatinya pun menjadi semakin tenang.
“Apakah mereka tidak akan menyerang kita kakang?” gumamnya.
“Kalau lebah-lebah itu akan menyerangmu, biarlah aku lawan mereka. Bukankah aku wajib melindungimu?”
“Kenapa? Siapa yang mewajibkan melindungi aku?”
“Oh, jadi bukan begitu?”
“Tidak ada kewajiban itu” jawab Sekar Mirah sambil bersungut.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kembali ia meraih sebutir batu.
“Untuk apa?” bertanya Sekar Mirah terkejut.
“Sekehendakkulah” sahut Agung Sedayu
sambil membidik sarang itu kembali, “Kali ini aku akan menjatuhkan
sarangnya. Dengan demikian lebah itu akan menjadi liar. Aku tidak takut
sebab kulitku kebal. Dan aku tidak perlu melindungi seseorang di sini”
“Jangan. Jangan kakang” minta Sekar Mirah
“Sekehendakku” jawab Agung Sedayu.
“Aku takut”
“Sekehendakku”
“Kakang, jangan”
Agung Sedayu telah menarik tangannya siap
mengayunkan lemparan batunya. Tetapi Sekar Mirah memegangi tangannya
sambil meminta, “Jangan. Kalau kakang melempar juga, aku akan
berteriak-teriak”
Agung Sedayu tertawa. Batu di tangannya dilemparkannya dan kemudian katanya, “Kanapa kau melarang?”
“Aku takut disengat lebah”
“Lebah itu sama sekali tidak berbahaya.
Lihatlah sarangnya yang melekat pada pohon itu. Bukankah itu sarang
lebah gula? Bahkan sebaiknya besok aku bikin gelodok. Kalau lebah it mau
bersarang kedalam gelodok, maka kita akan mendapatkan madu”
Sekar Mirah menekan dadanya sambil bersungut-sungut, “Kakang menakut-nakuti aku”
“Seharusnya kau tidak takut Mirah. Lebah
itu sama sekali tidak berbahaya, seandainya lebah yang paling buas
sekalipun. Lebih berbahaya daripada itu adalah laskar Jipang yang
dipimpin Tohpati. Kalau Tohpati itu menyerang kita, dan berhasil
memasuki kademangan ini, nah barulah kau boleh merasa takut atau
barangkali kau akan berbangga atas kedatangannya”
“Kenapa aku berbangga?”
“Tohpati berwajah tampan, bertubuh tegap kekar dan seorang yang sangat sakti”
“Huh” Sekar Mirah mencibirkan bibirnya,
kemudian katanya, “Apakah peduliku?” Tetapi tiba-tiba ia bertanya,
“Tetapi apakah benar-benar Tohpati mungkin sampai ke rumah ini?”
Agung Sedayu memandangi wajah gadis itu dengan seksama, kemudian jawabnya, “Bagaimana kalau hal itu terjadi?”
“Jangan, jangan biarkan hal itu terjadi kakang” sahut Sekar Mirah
Kali ini Agung Sedayu tidak mengganggunya
lagi ketika dilihatnya wajah Sekar Mirah menjadi bersungguh-sungguh.
Seakan-akan dari matanya memancar kecemasan yang sangat. Sekali lagi ia
bertanya, “Apakah laskar Jipang itu masih cukup kuat untuk mematahkan
pertahanan Sangkal Putung?”
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia
takut kalau jawabannya akan menambah kegelisahan gadis itu. Dan karena
Agung Sedayu tidak menjawab, Sekar Mirah mendesaknya lagi, “Kakang,
apakah dengan kepergian Sidanti, kekuatan Sangkal Putung menjadi sangat
jauh berkurang?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
Terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Sambil menarik nafas
dalam-dalam Agung Sedayu bertanya, “Siapa yang mengatakannya Mirah?”
Sekar Mirah menggeleng, “Tidak ada.
Tetapi aku menyangka demikian. Sebab kakang Sidanti adalah seorang yang
sangat sakti. Bukankah kakang Sidanti telah berhasil membunuh orang yang
bernama Plasa Ireng sebelum ia meninggalkan Sangkal Putung?”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya,
“Mungkin Sidanti sangat sakti. Tetapi apakah tidak ada orang lain yang
menyamai kesaktiannya?”
“Ya, ya, ada” sahut Sekar Mirah cepat-cepat, “Kau, kakang”
Agung Sedayu menggeleng, “Bukan, bukan aku”
“Ya, aku melihat sendiri kau memenangkan perlombaan memanah pada waktu itu”
“Bukan ukuran dalam peperangan yang campuh” jawab Agung Sedayu.
“Tetapi unsur perseorangan sangat berarti dalam peperangan yang betapapun juga”
“Mungkin kau benar. Tetapi aku mengharap
bahwa ada orang lain yang akan dapat mengganti kedudukannya. Bukankah di
Sangkal Putung masih ada kakang Untara dan paman Widura?”
“Ya, dan kau kakang?”
“Aku tidak terhitung dalam tingkatan itu. Aku hanya seorang untuk menambah hitungan saja”
Sekar Mirah memandang Agung Sedayu dengan
sudut matanya. Alangkah jauh berbeda. Kalau yang berdiri di hadapannya
itu Sidanti maka jawabannya pasti akan bertentangan sama sekali. Sidanti
pasti akan menjawab, “Tak ada orang lain di Sangkal Putung yang dapat
menyamai aku”. Tetapi Agung Sedayu berkata lain, “Aku hanya seorang
untuk menambah hitungan saja”
“Hem” Sekar Mirah menarik nafas.
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
Sekar Mirah menggeleng, “Tidak apa-apa”
Kembali Agung Sedayu tersenyum. Ia
menyangka bahwa Sekar Mirah masih jengkel kepadanya karena lebah gula
itu. Tetapi ia tidak tahu apa yang sebenarnya bergolak di dalam gadis
itu. Diam-diam ia selalu membandingkan Agung Sedayu dengan Sidanti.
Sidanti baginya adalah seorang laki-laki
yang dahsyat. Ia selalu berkata tentang dirinya, tentang kepercayaan
pada diri sendiri, tentang kemampuan dan tentang cita-citanya yang
melambung setinggi langit. Ia kagum kepada anak muda itu. Ia kagum akan
kedahsyatannya, akan kepercayaan kepada diri sendiri, akan kemampuan dan
cita-citanya. Tetapi ia hanya mengaguminya. Lebih dari itu, ternyata
tidak. Ia kecewa bahwa Sidanti pergi. Kecewa karena di Sangkal Putung
tidak ada seorang yang dapat dibanggakan kesaktiannya. Tidak ada orang
yang berkata kepadanya, bahwa dadanya adalah perisai dari kademangan
ini. Tidak ada orang yang berkata kepadanya seperti Sidanti pernah
berkata, “Mirah, berkatalah. Apakah aku harus membawa sepotong kepala
untuk kakimu? Tunggulah, pada saatnya, aku akan membawa kepala Tohpati.
Rambutnya dapat kau pakai untuk membersihkan alas kakimu”
Meskipun Sekar Mirah tahu benar justru
Untara ternyata melampaui kedahsyatan Sidanti menghadapi Tohpati, namun
ia hampir tidak mengenal Untara. Orang itu terlalu angker baginya.
Seakan-akan hampir-hampir belum pernah ia bercakap-cakap dengan orang
itu. Karena itu maka tidak sentuhan apa-apa yang dapat memberinya
kebanggaan. Widura yang menurut pendengaran Sekar Mirah tidak kalah
saktinya dari Sidanti, itu pun bagi Sekar Mirah tidak berarti apa-apa.
Dahulu ia pernah mengharap di dalam hatinya, semoga Sidanti dapat
menunjukkan kelebihannya dari Widura, sehingga Sidanti mendapat tempat
yang lebih baik daripadanya. Dengan demikian ia akan dapat turut
merasakan kedudukan anak muda itu. Sebab Sekar Mirah lebih mengenal
Sidanti dari Widura yang sama sekali hampir tidak pernah
mempedulikannya.
Di antara mereka yang dapat dibanggakan
di Sangkal Putung yang dikenalnya dengan baik adalah Agung Sedayu.
Menurut penilaiannya Agung Sedayu ternyata melampaui Sidanti. Ia melihat
sendiri Agung Sedayu memenangkan perlombaan memanah beberapa saat yang
lalu. Bahkan ketika mereka berkelahi di samping kandang kuda itu pun
ternyata Sidanti terpaksa mengambil sepotong kayu sebagai senjatanya.
Sedang Agung Sedayu sama sekali tidak mempergunakan senjata apapun.
Tetapi kenapa Agung Sedayu tidak pernah berkata kepadanya, “Mirah,
apakah aku harus membawa kepala Tohpati untuk alas kakimu?”
Tidak, Agung Sedayu tidak berkata demikian kepadanya. Anak muda itu hanya akan membuat gelodok lebah gula untuk mendapat madu.
Sebenarnya Sekar Mirah menjadi kecewa
atas sikap Agung Sedayu itu. Sikap yang baginya kurang jantan. Kurang
dahsyat dan kurang perkasa. Sangat berbeda dengan Sidanti. Tetapi
meskipun Sekar Mirah mengagumi Sidanti, namun ia mempunyai perasaan yang
aneh terhadap Agung Sedayu yang mengecewakannya itu. Perasaan yang tak
dimilikinya terhadap Sidanti.
“Alangkah mengagumkan seorang anak muda,
seandainya berwadag Agung Sedayu namun memiliki sifat-sifat kejantanan
Sidanti” gumamnya di dalam hati, “Sayang Sidanti tidak terlalu menarik,
dan lebih-lebih sayang lagi, Sidanti telah mengkhianati kawan sendiri”
Ketika Sekar Mirah masih saja termeung, maka berkatalah Agung Sedayu, “Kenapa kau termenung Mirah?”
“Oh” Sekar Mirah tergagap seperti baru terbangun dari tidurnya, “Tidak apa-apa”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
Ternyata Sekar Mirah tidak saja masih jengkel kepadanya hanya karena
lebah itu. Maka itu ia bertanya, “Kenapa kau termenung? Apakah kau masih
marah kepadaku tentang lebah itu, atau tentang hal yang lain?”
“Tidak kakang” jawab Sekar Mirah sekenanya, bahkan kemudian diteruskannya, “Aku masih cemas tentang laskar Tohpati itu”
Tiba-tiba Agung Sedayu tertawa, “Jangan
cemas. Tohpati tidak berbahaya bagi Sangkal Putung. Laskarnya tidak
melampaui laskar Pajang di Sangkal Putung, ditambah dengan anak-anak
muda yang berani dan bertanggung jawab”
“Tetapi Tohpati sendiri?” bertanya Sekar Mirah.
“Bukankah di sini ada kakang Untara atau paman Widura?”
Sekar Mirah menggigit bibirnya, “Kalau kakang Untara atau paman Widura tidak ada?”
“Mereka akan tetap di sini Mirah”
“Ya. Seandainya tidak ada. Atau ada halangan apapun”
Agung Sedayu menarik nafas panjang, namun
ia tersenyum, “Salah seorang dari mereka pasti berada di sini. Kalau
ada keperluan yang sangat penting sekalipun, pasti mereka tidak akan
pergi berdua”
“Seandainya mereka berdua sakit? Sakit panas, sakit perut atau sakit apa pun yang berat dan bersamaan?”
“Itu adalah suatu halangan di luar kemampuan manusia. Namun di sini ada seorang dukun yang pandai yang akan dapat mengobatinya”
“Oh” Sekar Mirah menjadi tidak sabar.
Katanya hampir berteriak, “Keduanya tidak dapat maju berperang. Apa pun
alasannya. Lalu bagaimana, apakah Sangkal Putung akan menyerah?”
Meskipun Agung Sedayu tidak tahu maksud
Sekar Mirah namun ia menjawab, “Tentu tidak Mirah. Di sini ada paman
Citra Gati dan paman Hudaya. Ada juga paman Sonya dan kakang Sendawa.
Mereka dapat menggabungkan kekuatan mereka dalam satu lingkaran untuk
melawan Tohpati”
Mendengar jawaban Agung Sedayu itu Sekar
Mirah terhenyak duduk di atas setumpuk kayu bakar. Ditekankan tangannya
pada dadanya yang seakan-akan menjadi sesak. Jawaban Agung Sedayu
benar-benar tidak diharapkannya. Meskipun ia terduduk di atas seonggok
kayu bakar namun hatinya berteriak, “Oh, Agung Sedayu yang bodoh, kenapa
jawabanmu demikian mengecewakan aku? Kenapa kau tidak menjawab sambil
mengangkat kepalamu, “Seandainya mereka sakit, atau berhalangan apa pun
Sekar Mirah, ak, Agung Sedayu lah yang akan melawan Tohpati. Aku akan
bunuh orang itu, aku penggal kepalanya, dan aku berikan sebagai alas
kakimu”
“Oh” tiba-tiba Sekar Mirah mengeluh.
Agung Sedayu benar-benar tidak mengerti
maksud Sekar Mirah. Ia melihat gadis itu menjadi kecewa. Tetapi ia tidak
tahu kenapa ia menjadi kecewa.
Terdorong oleh kegelisahannya karena ia
tidak tahu apa yang dikehendaki oleh Sekar Mirah, maka dengan jujur
Agung Sedayu itu bertanya, “Mirah, apakah sebenarnya yang kau kehendaki
dengan segala macam pertanyaanmu?”
“Kakang Agung Sedayu” berkata Sekar Mirah menahan jengkel, “Apakah kau tidak akan ikut bertempur?”
“Tentu Mirah”
“Kenapa kakang hanya menyebut nama-nama
orang lain? Kakang tidak pernah menyebut nama kakang sendiri. Apakah
dengan demikian berarti bahwa kakang tidak banyak mempunyai kepentingan
dengan laskar Tohpati itu? Atau barangkali kakang tidak mempedulikan
mereka. Atau tidak memperdulikan Sangkal Putung?”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu semakin tidak mengerti.
“Baiklah aku bertanya terus kakang,
tetapi aku ingin segera mendengar jawabanmu yang terakhir. Aku ingin kau
menyebut namamu sendiri. Kakang, bagaimanakah seandainya tidak ada
orang lain yang dapat lagi maju melawan Tohpati? Apakah yang akan kakang
lakukan?”
Agung Sedayu tiba-tiba
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini tahulah arah pertanyaan Sekar
Mirah. Karena itu, tiba-tiba Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab,
“Oh, itukah yang ingin kau ketahui Mirah”
“Ya, aku ingin mendengar jawabmu. Aku
ingin mendengar apakah yang dapat kau berikan kepada Sangkal Putung.
Apakah yang dapat kau sumbangkan kepada tanah kelahiranku ini? Bukan
kakang Untara, bukan paman Widura, bukan paman Hudaya, paman Citra Gati,
paman Sonya. Bukan kakang Swandaru, bukan ayah, bukan orang lain.
Tetapi kakang Agung Sedayu”
“Hem” Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya, “Aku sendiri? Baiklah. Aku akan menjawab
pertanyaanmu Sekar Mirah. Kalau tidak ada orang lain yang akan melawan
Tohpati, maka sudah tentu aku akan melawannya”
“Hanya itu?” Sekar Mirah masih kecewa.
“Lalu apa laig?”
“Apakah kau biarkan Tohpati mengalahkanmu? Membunuhmu?”
“Kau aneh Mirah”
“Apa yang aneh padaku? Kaulah yang aneh”
“Kenapa kau bertanya demikian?”
“Habis. Kau tidak berkata, apa yang akan kau lakukan atas Tohpati itu”
Perlahan-lahan Agung Sedayu kemudian
dapat meraba pertanyaan-pertanyaan Sekar Mirah yang membanjiri dirinya
itu. Sekar Mirah ingin mendengar jawaban yang dapat memberinya kepuasan.
Yang dapat menenteramkan dirinya dan mungkin dapat memberinya
kebanggaan. Namun tidak terpikir oleh Agung Sedayu bahwa keinginan Sekar
Mirah bukan saja jawaban-jawaban yang dapat menenteramkan hatinya, dan
memberinya kebanggaan, tetapi Sekar Mirah ingin mendapat seorang
pahlawan yang dapat mengimbangi Sidanti.
Karena itu bagaimanapun juga Agung Sedayu
masih juga tidak memberinya kepuasan seperti yang dikehendakinya,
ketika ia mendengar Agung Sedayu itu menjawab, “Sekar Mirah, sudah tentu
aku akan melawan Tohpati dengan segenap tenaga dan kemampuan yang ada
padaku. Aku masih ingin hidup lebih lama lagi, Mirah. Karena itu maka
aku tidak akan membiarkan Tohpati berbuat sekehendak hatinya. Aku akan
melawannya. Tetapi takdir berada di tangan Tuhan. Itulah sebabnya maka
aku tidak dapat berkata lebih jauh daripada itu tentang diriku. Aku
berwenang berusaha, namun akhir daripada semua peristiwa berada di
tanganNya”
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun ia sama sekali tidak puas dengan sifat-sifat Agung
Sedayu itu, namun ia tidak akan mendesaknya lagi.
Sekar Mirah semakin melihat
perbedaan-perbedaan yang ada pada Agung Sedayu dan Sidanti. Ia pernah
juga dahulu mendengar Agung Sedayu itu berkata tentang dirinya. Bahkan
dahulu Agung Sedayu lebih banyak menyebut-nyebut dirinya dan
membanggakan tugas-tugas yang telah diselesaikannya. Tetapi sekarang,
sungguh mengherankan, Agung Sedayu seakan-akan telah kehilangan gairah
atas kemenangan-kemenangan yang pernah dicapainya.
Tetapi bagaimanapun juga, Agung Sedayu
itu selalu membayanginya. Wajahnya hampir tidak pernah lenyap dari
matanya. Bahkan di dalam tidur sekalipun. Namun justru karena itulah
maka Sekar Mirah menjadi semakin kecewa. Ia ingin melibatkan dirinya
dalam hubungan yang semakin dalam. Namun Agung Sedayu tidak bersikap
seperti yang diinginkannya.
Sekar Mirah yang duduk di atas seonggok
kayu bakar itu mengangkat wajahnya. Ia mendengar langkah orang di sudut
rumahnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya seorang prajurit berjalan ke
perigi. Di lambungnya tergantung pedang yang panjang.
“Kenapa senjata itu disandangnya?” tiba-tiba ia bertanya.
Agung Sedayu berpaling. Ia melihat
prajurit itu. Karena itu ia menjawab, “Sangkal Putung berada dalam
kesiap-siagaan penuh. Prajurit itu aku kira baru saja nganglang
kademangan”
“Apakah Tohpati akan segera menyerang?”
“Aku tidak tahu. Tetapi kemungkinan itu setiap saat memang dapat terjadi”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Ia
memang melihat pada saat-saat terakhir kesibukan yang meningkat. Ia
melihat ayahnya semakin jarang-jarang berada di rumah, dan kakaknya
tidak pernah berpisah dengan pedangnya.
“Apakah sudah ada berita tentang penyerbuan yang bakal datang?”
Agung Sedayu ragu-ragu sejenak. Ia tidak
dapat berkata berterus terang. Agaknya Ki Demang dan Swandaru pun belum
berkata kepada gadis itu. Karena itu jawabnya, “Meskipun tidak ada
berita apa pun dan dari siapa pun Mirah, memang kita wajib selalu
berwaspada. Ketegangan memang meningkat akhir-akhir ini. Tohpati
mempercepat gelombang kegiatannya pula”
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kadang-kadang ia menjadi cemas membayangkan apa yang bakal
terjadi seandainya Macan Kepatihan itu benar-benar akan menggulung
Sangkal Putung. Tetapi kadang-kadang ia mengharap serbuan itu datang. Ia
mengharap kakaknya, Swandaru berhasil membunuh orang-orang penting dari
laskar Tohpati itu. Dan ian mengharap Agung Sedayu berhasil lebih
banyak lagi. Bahkan ia mengharap bahwa Agung Sedayu lah yang akan
membunuh Tohpati, bukan Untara dan bukan Widura.
Tetapi apabila ia melihat sikap Agung
Sedayu, kembali ia menjadi kecewa, “Hem” desahnya di dalam hati, “Orang
ini lebih pantas menjadi seorang penulis kitab-kitab tembang daripada
seorang prajurit. Seorang yang hampir setiap hari duduk di atas tikar
pandan, menggurat-gurat rontal dengan pensilnya. Kemudian membaca
kisah-kisah yang menawan hati. Kisah kasih antara Pandu dan Kirana, atau
kisah petikan-petikan dari Mahabharata.
Ketika Sekar Mirah sejenak berdiam diri
sambil memandangi noktah-noktah dikejauhan, maka berkatalah Agung
Sedayu, “Betapapun kuatnya laskar Macan Kepatihan, Mirah, tetapi kau
jangan cemas. Sangkal Putung pun semakin lama menjadi semakin kuat.
Anak-anak muda yang kini menjadi semakin kaya akan pengalaman dan
semakin kaya akan tekad mempertahankan tanahnya, menjadi perlambang
kemenangan-kemenangan yang akan dicapai oleh daerah ini”
“Mudah-mudahan” gumam Sekar Mirah,
“Mudah-mudahan kademangan ini dapat di selamatkan. Tohpati dapat
terpenggal lehernya dan orang-orang Jipang itu dapat dimusnahkan”
“Kemungkinan yang kita harapkan akan terjadi Mirah. Jangan takut”
Sekar Mirah itu kemudian bangkit dan
berjalan perlahan-lahan keperigi. Katanya, “Mudah-mudahan itu akan
segera terjadi dan kakang akan datang kepadaku sambil bercerita, bahwa
pedang kakang telah menghisap darah lebih dari seratus orang”
Agung Sedayu tersenyum. Tetapi ia tidak
menjawab. Dipandanginya Sekar Mirah untuk beberapa saat, kemudian ia
bertanya, “Apakah kau akan mengambil air?”
“Tidak”
“Lalu mengapa?”
“Tidak apa-apa”
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ia melihat Sekar Mirah mengambil sebuah belanga dan menjiningnya kedapur.
Agung Sedayu tidak mengikutinya terus. Ia
melihat Sekar Mirah berpaling dan tersenyum kepadanya. Senyum seorang
gadis yang lincah dan manis. Namun bagaimanapun juga, Agung Sedayu
melihat sesuatu di belakang senyum yang manis itu. Sekar Mirah adalah
seorang gadis yang keras hati. Seperti kakaknya, gadis itu pun ingin
melihat dan mendengar peristiwa-peristiwa yang dahsyat. Seandainya sama
sekali itu pun seorang pemuda seperti Swandaru, maka keduanya akan
menjadi pasangan kakak-beradik yang dahsyat pula.
Ketika Agung Sedayu kemudian kembali ke
pringgitan, dilihatnya seseorang yang datang memasuki pringgitan itu
pula besama-sama dengan kakaknya. Sesaat kemudian orang itu bersama
dengan Untara telah duduk berhadapan sambil berbicara perlahan-lahan.
“Baiklah” berkata Untara kemudian, “Aku akan mempersilakan paman Widura dan bapak Demang kemari”
Untara itu pun kemudian menyuruh
seseorang memanggil Widura dan Ki Demang Sangkal Putung. Agung Sedayu
pun diperkenankan pula ikut hadir di dalam pertemuan kecil itu besama
dengan Swandaru Geni.
Ketika orang-orang yang penting itu telah
berkumpul, maka mulailah orang itu berkata, “Kakang Untara, hampir
pasti bahwa Tohpati akan menyerbu besok pagi-pagi. Agaknya mereka tidak
akan mengulangi serangan malamnya yang gagal. Mereka akan mencoba
memecahkan pertahanan Sangkal Putung pada siang hari. Mereka akan
menempuh arah yang lurus dari barat. Mereka kali ini akan datang dalam
gelar perang yang sempurna”
“Apakah laskar mereka bertambah kuat sehingga Tohpati mengambil keputusan datang dengan gelar perang?”
“Sanakeling berhasil menghimpun tenaga
cukup banyak. Meskipun ia tidak berhasil menghubungi laskar yang
tersebar dipantai utara, namun yang ada benar-benar telah cukup untuk
mengimbangi kekuatan laskar Pajang di Sangkal Putung ini”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Terbayang dipelupuk matanya sepasukan yang kuat datang dari arah barat
dipagi-pagi buat dalam gelar yang sempurna. Sembil menarik nafas
dalam-dalam ia berkata, “Tohpati telah kehabisan kesabaran”
“Ya” jawab orang itu. “Mereka menganggap
bahwa serangan kali ini haruslah serangan yang terakhir. Mereka sudah
jemu menunggu kesempatan untuk memasuki Sangkal Putung. Beberapa bagian
laskar dari utara telah terlalu lama berada di daerah ini. Bahkan
Tohpati sendiri, sudah ingin melepaskan beberapa kepentingan di selatan.
Namun sesudah Sangkal Putung jatuh. Sesudah mereka mendapat bekal yang
cukup untuk perjalanan mereka kembali kedaerah yang bertebaran”
Yang mendengarkan keterangan orang itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menyadari apa yang sedang
mereka hadapi sekarang. Agaknya bahaya kali ini benar-benar telah
menggoncangkan dada mereka.
Keadaan ini benar-benar menegangkan, “Desis Ki Demang Sangkal Putung.
Untara berpaling. Sambil tersenyum
senapati yang masih muda itu berkata, “Tidak banyak bedanya dengan
serangan-serangannya yang lampau Ki Demang”
Ki Demang mengerutkan keningnya.
Sahutnya, “Ah, angger hanya ingin membesarkan hatiku. Tetapi aku
mempunyai gambaran yang lain. Macan Kepatihan benar-benar telah
mengerahkan kekuatan yang luar biasa”
“Tetapi kekuatannya sangat terbatas.
Laskar Pajang dimana-mana telah berusaha memotong perhubungan mereka,
sehingga yang dapat mereka kumpulkan itu pun pasti belum merupakan
bahaya yang sebenarnya bagi Sangkal Putung” jawab Untara
Ki Demang tidak segera menjawab. Sekali
disambarnya wajah Widura yang tegang. Kemudian wajah Agung Sedayu dan
akhirnya wajah anaknya sendiri. Dilihatnya Swandaru Geni tersenyum.
Wajahnya menjadi amat cerah, dan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
ia berkata, “Bagus, lebih besar kekuatan Tohpati, akan lebih baik bagi
kita. Kita akan dapat menimbang, seberapa sebenarnya kekuatan kita di
Sangkal Putung. Ayah sebenarnya tidak perlu cemas. Anak-anak Sangkal
Putung semakin banyak yang bersedia ikut memegang senjata. Sedang mereka
pun menjadi semakin banyak memiliki pengalaman. Nah, aku mengharap
Tohpati mengerahkan seluruh sisa laskar Jipang”
“Huh” sahut Ki Demang Sangkal Putung,
“Kau hanya pandai membual Swandaru. Kau tidak memperhitungkan kecakapan
laskar Jipang dibandingkan dengan anak-anak muda Sangkal Putung”
“Ayah memperkecil arti anak-anak kita
sendiri” jawab Swandaru sambil mengerutkan keningnya. Ia tidak senang
mendengar keluhan itu, sebab ia sendirilah yang memimpin anak-anak muda
Sangkal Putung.
“Swandaru benar kakang Demang” potong
Widura, “Kakang harus mencoba membuat hati mereka menjadi besar.
Anak-anak Sangkal Putung hampir setingkat dengan laskar Pajang sendiri
dan sudah tentu laskar Jipang pula. Beberapa orang bekas prajurit yang
ada di Sangkal Putung telah menguntungkan keadaan meskipun pada umumnya
usia mereka telah cukup tinggi. Namun pengalaman mereka menggerakkan
senjata dan olah peperangan masih cukup baik”
Ki Demang Sangkal Putung tidak menjawab.
Tetapi ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Dicobanya untuk menenangkan
hatinya. Tetapi sebagai seorang yang bertanggung-jawab atas Sangkal
Putung, atas semua isi dan penghuninya, maka mau tidak mau Demang
Sangkal Putung itu menjadi prihatin. Bagaimana nasib orang-orangnya
apabila laskar Tohpati benar-benar dapat menmbus pertahanan Untara.
Bagaimana akan jadinya dengan kademangan ini? Tetapi apabila
dipandanginya wajah Widura, wajah Untara, Agung Sedayu dan apalagi
anaknya sendiri, terasa ketenangan merayapi dadanya. Wajah-wajah itu
tampak teguh dan meyakinkan bahwa mereka akan mencoba sekuat-kuat tenaga
mereka melindungi kademangan yang subur dan kaya ini.
“Kakang Untara” terdengar prajurit sandi
itu berkata, “Aku akan segera kembali ke tempat tugasku. Mudah-mudahan
aku akan mendapat keterangan-keterangan yang lebih jelas. Malam ini kami
akan mencoba untuk membuat hubungan terus-menerus dengan kakang di
sini”
Untara mengangguk, “Baik, lakukan
pekerjaanmu sebaik-baiknya. Keadaan kami di sini sebagian tergantung
kepada keterangan-keterangan yang akan kau berikan kemudian”
“Baik kakang” sahut orang itu.
Dan sesaat kemudian orang itu pun minta diri untuk kembali ke tempatnya.
Sepeninggal orang itu, maka Widura dan
Untara segera menentukan keadaan. Apa yang harus mereka lakukan untuk
melawan kedatangan laskar Macan Kepatihan itu.
“Jangan dilupakan, bahwa kita akan minta Kiai Gringsing untuk ikut serta” desis Widura.
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sahutnya, “Baik paman, aku akan minta kepadanya. Tetapi dimana Ki Tanu
Metir itu sekarang?”
“Berjalan-jalan” sahut Agung Sedayu, “Namun aku sangka bahwa guru tidak akan berkeberatan”
Untara dan Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka pun yakin akan kesediaan itu, “Nanti kalau Ki Tanu
Metir kembali, sampaikan sekali lagi permohonan kami itu Sedayu” minta
Untara kepada adiknya.
“Baik kakang” jawab Agung Sedayu.
Widura pun kemudian memanggil beberapa
orang pemimpin kelompok untuk datang keringgitan. Kini mereka tidak lagi
harus merahasiakan kedatangan Tohpati besok. Perlahan-lahan namun
jelas, Widura menguraikan apa yang kira-kira akan mereka hadapi.
Hudaya yang duduk di samping Sonya
tersenyum mendengar penjelasan itu. Ketika kemudian pandangan matanya
bertemu dengan pandangan mata Citra Gati, yang duduk di belakang Untara,
mereka pun mengangguk-angguk sambil tersenyum pula.
“Kakang Hudaya” bisik Sonya, “Cepat-cepatlah mencukur janggut dan kumismu malam ini”
“Sst” desis Hudaya, “Jangan ribut. Lihat kakang Citra Gati sedang menghitung, berapa sisa hutangnya yang tidak perlu dibayarnya”
Sonya menutup mulutnya dengan kedua
tangannya ketika ia hampir tidak dapat menahan tawanya. Namun ia tidak
tertawa lagi ketika kemudian ia melihat beberapa orang kawan-kawannya
menjadi tegang. Hanya Sendawa agaknya tidak banyak menaruh perhatian.
Sekali-sekali ia memandang lampu yang menggapai-gapai tiang. Dan hari
pun segera memasuki ujung malam.
Malam yang pasti akan sangat menegangkan
seluruh Sangkal Putung. Sebab besok pagi-pagi mereka akan dihadapkan
pada suatu bahaya yang benar-benar tidak dapat diabaikan.
Dengan cermatnya Widura dan Untara mulai
mengatur laskar mereka. Mereka mempertimbangkan ketiap kemungkinan dan
setiap keadaan dengan pemimpin-pemimpin kelompok di dalam laskar Pajang
itu. Dengan penuh kesungguhan mereka mengurai kekuatan yang ada pada
mereka dan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada lawan mereka.
Setapak demi setapak malam pun memasuki
daerah kelamnya semakin dalam. Pembicaraan di antara para pemimpin
Pajang itu pun menjadi semakin meningkat. Gelar-gelar yang harus mereka
persiapkan untuk menghadapi kemungkinan dari setiap gelar yang akan
dipergunakan oleh Macan Kepatihan.
“Tohpati pasti akan berada di pusat
pimpinan gelarnya” berkata Untara, “Ia adalah seorang senapati yang
bertanggung-jawab atas tugas-tugasnya”
“Ya” Widura menjawab. “Itu dapat kita
pastikan. Seandainya mereka mempergunakan gelar Dirada Meta, maka
Tohpati akan menjadi ujung belalainya”
“Kemungkinan yang paling banyak terjadi. Gelar Dirada Meta pasti akan sesuai dengan sifat-sifat Macan Kepatihan itu.
“Lalu bagaimanakah gelar kita, dan siapakah yang akan berada di pusat pimpinan?” bertanya Swandaru.
Semua orang berpaling kepadanya.
Pertanyaan itu sebenarnya sudah mereka ketahui jawabnya. Pastilah Untara
yang akan berada dipusat pimpinan. Seandainya mereka harus melawan
dalam gelar yang lebih luas karena jumlah mereka lebih banyak, meskipun
nilainya belum pasti melampaui laskar Jipang, karena di antara mereka
terdapat anak-anak muda Sangkal Putung, misalnya gelar Garuda Nglayang,
maka Untara pasti akan menjadi ujung paruhnya.
Untara sendiri tersenyum mendengar
pertanyaan itu. Jawabnya, “Siapakah menurut penilaianmu yang paling
tepat untuk melawan Tohpati itu Swandaru?”
Swandaru kemudian tersenyum pula. Ia
ingin berkata, “Swandaru lah yang paling mungkin untuk melawan Macan
Kepatihan yang garang itu, seandainya diberi kesempatan”. Tetapi
Swandaru kemudian bahkan menundukkan wajahnya.
Yang terdengar kemudian adalah suara
Untara, “Biarlah aku mencoba sekali lagi melawan Macan Kepatihan itu.
Mudah-mudahan kali ini aku dapat pula mengimbanginya”
“Siapakah senapati-senapati pengapitnya kakang?” bertanya Swandaru pula.
Untara mengerutkan keningnya. Ia melihat
Swandaru mempunyai keinginan yang besar untuk mendapat tanggung-jawab
yang cukup dalam pertempuran itu. Tetapi pertempuran kali ini bukanlah
semacam sebuah permainan yang menggembirakan. Laskar Jipang pasti akan
menempatkan orang-orangna yang paling terpilih di antara mereka. Sedang
Swandaru masih terlalu muda dalam pengalaman dan dalam kematangan
berpikir. Untara lebih condong untuk memilih Agung Sedayu meskipun anak
itu ternyata dalam bertindak terlalu banyak pertimbangan-pertimbangan.
Namun bekal yang dimiliki Agung Sedayu ternyata lebih banyak dari
Swandaru.
Namun sudah tentu Untara tidak akan
mengecewakan anak muda itu. Karena itu maka jawabnya, “Swandaru, kita
harus memperhitungkan siapakah kira-kira yang akan menjadi senapati
pengapit Macan Kepatihan. Seandainya mereka mempergunakan gelar Dirada
Meta, maka sudah dapat dibayangkan, bahwa Sanakeling adalah salah
seorang senapati pengapitnya. Salah seorang yang akan di tempatkan di
ujung gading gajah raksasa yang akan mengamuk itu. Sedang di ujung yang
lain, mungkin Macan Kepatihan akan menempatkan Alap-alap Jalatunda atau
orang lain yang lebih baik daripada orang itu”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling pringgitan. Dilihatnya di
antara mereka, Widura dan Agung Sedayu di samping dirinya sendiri.
Karena itu maka katanya dalam hati, “Apakah kakang Untara tidak mau
memberi aku kesempatan?”
Dan terdengarlah Untara berkata,
“Swandaru, aku ingin menempatkan paman Widura untuk melawan Sanakeling.
Tak ada orang lain yang mampu melakukannya. Aku mempunyai perhitungan,
bahwa Sanakeling akan menjadi pengapit kanan Macan Kepatihan, sehingga
aku akan minta paman Widura mempimpin sayap kiri pasukan Sangkal Putung”
“Satu-satunya kemungkinan” sesis Swandaru, “Lalu siapakah yang harus melawan Alap-alap Jalatunda?”
Untara mengerutkan keningnya. Apalagi
ketika ia melihat sekali dua kali Swandaru memandang ke arah Agung
Sedayu, seolah-olah ia sedang membandingkan dirinya sendiri dengan Agung
Sedayu itu. Karena itu maka kembali Untara berada dalam kesulitan.
Apakah ia akan dapat memilih salah seorang dari mereka? Kalau ia
menunjuk Swandaru, Agung Sedayu pasti tidak akan menjadi kecewa. Tetapi
Swandaru sama sekali kurang pengalaman dalam perang yang memasang
gelar-gelar sempurna.
Namun akhirnya, Untara menemukan
jawabnya. Ditebarkannya pandangannya berkeliling dan akhirnya berhenti
pada seseorang yang duduk agak di belakangnya. Katanya, “Disayap yang
lain aku pasang Citra Gati”
Swandaru sekali lagi mengerutkan
keningnya. Kini ia benar-benar salah tebak. Ia menyangka bahwa Untara
akan memilih satu di antara mereka berdua, Agung Sedayu atau dirinya
sendiri.
Namun sebelum ia menyatakan pendiriannya,
terdengar Untara memberi penjelasan, “Aku harus menempatkan seorang
prajurit Pajang dalam gelar yang sempurna ini, supaya garis perintahku
dapat tersalur dengan baik. Sebenarnya aku ingin menempatkan Agung
Sedayu atau kau Swandaru. Tetapi ada yang belum kalian ketahui,
saluran-saluran perintah dalam gelar perang yang sempurna. Nah, karena
itu aku tempatkan saja Citra Gati itu disayap kanan. Meskipun demikian,
Swandaru, kau dan Agung Sedayu akan merupakan ujung-ujung kuku dalam
gelar Garuda Nglayang yang mungkin akan kita pergunakan”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Keputusan Untara adalah keputusan yang bijaksana. Bukan Agung Sedayu dan
bukan Swandaru yang kedua-duanya bukan prajurit Pajang.
Tetapi kemudian Widura memotong
pembicaraan itu, “Bagaimana dengan Sumangkar? Siapakah yang akan
menghadapinya bila Sumangkar itu ikut turun pula dalam laskar Jipang
yang akan segera menyerbu itu?”
Semua yang hadir dalam pertemuan itu
menjadi berdebar-debar karenanya. Mereka sadar akan kemampuan Sumangkar
yang terkenal dengan adik seperguruan Patih Mantahun, yang memiliki
nyawa rangkap di dalam tubuhnya. Kesaktiannya sudah terbukti dapat
mengimbangi Ki Tambak Wedi, hantu lereng gunung Merapi itu.
Tidak ada di antara mereka yang akan
mampu mengimbangi Sumangkar itu, dan mereka semua menyadarinya. Tetapi
harus ada orang yang terpilih di antara mereka. Padahal mereka
masing-masing sudah terikat pada lawan-lawan yang tidak dapat mereka
abaikan pula. Untara melawan Macan Kepatihan, Widura berhadapan dengan
Sanakeling dan Citra Gati harus melawan Alap-alap Jalatunda. Apakah
Agung Sedayu dan Swandaru yang akan dipersiapkan melawan Sumangkar itu?
Ketika mereka baru berteka-teki,
terdengarlah Untara menjelaskan perhitungannya, “Tak ada seorang pun di
antara kita yang sanggup melawan Sumangkar. Namun meskipun demikian,
kita akan mendapat seorang yang akan sanggup untuk mengimbanginya, Kiai
Gringsing”
Para pemimpin laskar Pajang itu
mengangkat wajah-wajah mereka. Terdengar mereka bergumam di antara
mereka. Berulang kali terdengar mereka menyebut nama Kiai Gringsing itu.
Namun belum seorang pun dari mereka yang tahu pasti siapakah Kiai
Gringsing itu. Karena itu terdengar Sendawa meyakinkan dirinya,
“Siapakah Kiai Gringsing itu?”
Untara menarik alisnya. Agaknya
orang-orangnya belum mengenal siapakah Kiai Gringsing itu. Beberapa
orang sudah dapat meraba-raba, namun yang lain sama sekali belum
mengenalnya.
Tetapi kini Untara tidak berahasia lagi.
Untuk menentramkan orang-orangnya ia berkata, “Orang yang kalian kenal
setiap hari sebagai dukun yang baik itulah orangnya. Yang hampir setiap
malam pergi berjalan-jalan dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Yang hampir
setiap hari berada di antara orang-orang yang sakit. Namanya Ki Tanu
Metir”
Kembali terdengar mereka bergumam.
Beberapa orang yang sudah menduganya tersenyum bangga atas ketepatan
tebaknya. Tetapi kini mereka belum melihat, dimanakah orang itu. Karena
itu maka Citra Gati berkata, “Dimanakah Ki Tanu Metir itu sekarang?”
Untara mengangkat wajahnya. kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata, “Panggilah Kiai Gringsing”
Agung Sedayu segera berdiri dan melangkah
keluar pringgitan. Dicobanya untuk mencari Kiai Gringsing di pendapa,
namun orang itu tidak kelihatan. Dengan segan Agung Sedayu turun
kehalaman yang sudah menjadi semakin kelam. Dicarinya gurunya di antara
para penjaga gerbang. Orang tua itu kadang-kadang berkelakar di gardu
penjagaan bersama-sama mereka yang bertugas.
“Aku tidak melihat Ki Tanu Metir sepanjang sore ini” berkata salah seorang penjaga.
“Apakah Ki Tanu Metir pergi keluar?”
“Aku tidak melihatnya” sahut penjaga itu, “Entahlah sebelum aku bertugas di sini”
“Siapakah yang bertugas sebelum kalian?”
“Di antaranya kakang Santa”
Agung Sedayu pun bergegas-gegas mencari
Santa di pendapa. Namun ternyata orang itu juga tidak melihat Ki Tanu
Metir. Katanya, “Aku tidak melihatnya”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Apakah Ki Tanu Metir sedang berada di belakang? Agung Sedayu
pun kemudian mencoba mencarinya keperigi. Tetapi diperigi itu pun Ki
Tanu Metir tidak ditemukannya.
Satu-satunya kemungkinan tinggallah di
banjar desa. Masih ada satu dua orang yang dirawat di sana. Mungkin Ki
Tanu Metir ada di antara mereka.
Karena itu maka Agung Sedayu segera pergi
ke pringgitan, memberitahukan kepada kakaknya, bahwa ia akan mencoba
mencari Ki Tanu Metir ke banjar desa.
“Aku pergi bersamamu” sela Swandaru sebelum Untara menjawab.
Agung Sedayu mengangguk, “Marilah” jawabnya.
Dan Untara pun kemudian bertanya, “Apakah kau sudah mencari di seluruh halaman ini?”
“Sudah kakang”, “Tidak seorang pun yang melihatnya?”
“Tidak kakang, para penjaga regol pun tidak melihat bahwa Ki Tanu Metir meninggalkan halaman”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Apabila dikehendakinya sudah tentu ia dapat pergi tanpa seorang pun yang
mengetahuinya. Meloncat dinding halaman belakang atau lewat manapun.
Tetapi mungkin juga, hanya karena para penjaga tidak begitu
memperhatikannya.
“Sore tadi aku masih bercakap-cakap dengan Ki Tanu Metir” Agung Sedayu menjelaskan.
“Kalau demikian” berkata Untara, “Cobalah kau cari Ki Tanu Metir di banjar desa”
Agung Sedayu dan Swandaru segera pergi
meninggalkan kademangan. Malam sudah semakin kelam dan langit pun tampak
gelap kelabu dilapis oleh mendung yang rata. Sekali-sekali asl
menengadahkan wajahnya dan dilihatnya kesempatan lidah api berloncatan.
Bintang-bintang jauh bersembunyi di balik tabir yang hitam.
Agung Sedayu itu pun segera terkenang
pada waktu kakaknya Untara, membawanya pergi meninggalkan padukuhannya
Jati Anom. Pada saat kakaknya itu mendapat berita bahwa Tohpati akan
melanda Sangkal Putung untuk yang pertama kalinya. Alangkah jauh
bedanya, perasaannya pada waktu itu dan perasaannya pada saat ini. Pada
saat itu perasaannya diliputi oleh ketakutan dan kecemasan. Betapa ia
menjadi gemetar. Namun ketika pundaknya telah terluka dan memancarkan
darah, dan dirasakannya luka itu, serta desakan-desakan keadaan yang
tidak dapat dihindarinya, maka pecahlah belenggu yang mengungkungnya
selama ini. Ditemukannya nilai-nilai baru pada dirinya. Dan karena
itulah maka kini Agung Sedayu sama sekali tidak lagi dicengkam oleh
ketakutan, meskipun beberapa segi sifat-sifatnya masih juga melekat pada
dirinya, sehingga Untara menganggapnya sebagai seorang anak yang
terlalu banyak mempunyai pertimbangan. Akibatnya adalah, ragu-ragu,
meskipun ragu-ragu ini bukanlah ungkapan dari bentuk ketakutan dan
kecemasan.
Agung Sedayu dan Swandaru berjalan
tergesa-gesa ke banjar desa. Mereka takut kalau hujan segera akan jatuh.
Dengan demikian maka mereka akan menjadi basah kuyup.
“Alangkah sepi malam ini” desis Agung Sedayu.
“Mungkin beberapa orang mendapat firasat
buruk. Mungkin beberapa orang telah menyangka bahwa bahaya besok pagi
akan mengancam kademangan ini” sahut Swandaru, “Tetapi mungkin karena
mendung yang tebal”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Besok pagi-pagi buta mereka pasti sudah mengungsi
kekademangan dan ke banjar desa. Hati Agung Sedayu berdesir ketika ia
mendengar tangis bayi memecah kesepian malam. Tangis itu terdengar
betapa rawannya di antara bunyi guruh yang menggelegar di langit.
“Kenapa anak itu menangis?” desisnya.
Swandaru heran mendengar desis itu.
Ketika ia berpaling, dilihatnya Agung Sedayu masih memandangi rumah yang
memancarkan tangis bayi itu.
“Bayi-bayi menangis di malam hari” sahut
Swandaru, “Mungkin kakinya digigit nyamuk, mungkin terkejut mendengar
tikus melonjak-lonjak di atap rumahnya”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi hatinya selalu tersentuh-sentuh oleh tangis itu. Besok
pagi-pagi bayi-bayi di Sangkal Putung akan dibangunkan oleh ibu-ibunya.
Digendongnya dan dibawanya berlari-lari kekademangan sambil menggandeng
anak-anaknya yang lebih besar. Anak-anak itu berlari-larian dengan hati
yang cemas, secemas hatinya dahulu, pada saat ia harus pergi mengikuti
kakaknya dari Jati Anom. Alangkah pahitnya perasaannya waktu itu. Ia
pernah mengalaminya. Ketakutan. Dan besok perempuan dan anak-anak di
Sangkal Putung akan mengalaminya pula, ketakutan.
Agung Sedayu dan Swandaru terkejut ketika
guruh meledak dengan kerasnya, seakan-akan menggetarkan seluruh bumi.
Cahaya yang terang benderang menjilat langit. Hanya sesaat, kemudian
gelap kembali.
Keduanya berjalan semakin cepat. Banjar
desa tidak terlalu jauh. Sekali mereka melampaui gardu perondan.
Beberapa orang duduk dengan malasnya dibawah cahaya pelita. Tetapi
beberapa orang yang lain berdiri dan berjalan hilir mudik di muka gardu
itu. Ketika mereka melihat dua sosok bayangan dalam gelapnya malam,
segera mereka menundukkan tombak mereka sambil bertanya, “Siapa?”
“Aku” sahut Swandaru, “Swandaru Geni.
“Oh” gumam penjaga itu, yang segera mengenal suara Swandaru, “Akan kemanakah adi berdua?” bertanya penjaga itu.
“Banjar desa” sahut Swandaru pendek.
Penjaga itu tidak bertanya lagi. Tetapi
kemudian Agung Sedayu lah yang bertanya, “Apakah kalian melihat Ki Tanu
Metir lewat jalan ini menuju ke banjar desa?”
Penjaga itu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabna, “Tak seorang pun lewat sejak senja”
“Sore tadi?” desak Sedayu.
“Agaknya juga tidak”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah aku melihatnya di banjar desa”
“Silakan. Tetapi hati-hatilah. Jalan tampaknya terlalu sepi”
“Kalian terpengaruh oleh suasana” sahut
Swandaru, “Mendung yang telbal, guruh dan kilat yang memancar di langit
menjadikan malam ini sangat sepi”
Peronda itu mengangkat alisnya. Sekali
ditatapnya langit yang gelap pekat. Kemudian gumamnya seolah-olah kepada
diri sendiri, “Ya, mungkin adalah Swandaru benar”
Swandaru dan Agung Sedayu tidak menjawab
lagi. Dengan tergesa-gesa mereka meninggalkan gardu perondan itu
langsung menuju banjar desa. Sangkal Putung. Jarak mereka sudah tidak
terlalu jauh lagi. Namun karena angin yang basah dan kilat yang
bersambung di langit maka Agung Sedayu dan Swandaru itu seakan-akan
berlari supaya mereka tidak kehujanan.
“Perintah paman Widura belum sampai kepada para perondan itu bukan?” bertanya Swandaru
“Aku kira belum” sahut Agung Sedayu.
“Namun seakan-akan mereka sudah tahu bahwa mereka sudah dihadapkan pada bahaya”
“Firasat seorang prajurit” jawab Agung Sedayu.
Mereka sama sekali tidak memerlukan waktu terlalu lama. Segera mereka sampai keregol banjar desa di samping sebuah lapangan.
Ketika mereka dengan tergesa-gesa
menyusup regol itu, maka sekali lagi mereka terhenti ketika dua ujung
tombak menghalangi mereka, “Siapa?”
“Swandaru Geni” sahut Swandaru.
“Oh” desis penjaga itu, “Kalian mengejutkan kami. Tidak pernah kalian datang di malam hari begini”
“Kau yang tidak pernah melihat kedatangan
kami” sahut Agung Sedayu, “Hampir setiap malam kami datang kemari,
meskipun hanya lewat di samping regol ini”
Penjaga itu mengerutkan keningnya, “Aku tidak pernah melihatnya”
Agung Sedayu tersenyum, “Mungkin. Mungkin
kau sedang tidur. Mungkin orang lain yang bertugas di sini, dan mungkin
memang aku berjalan terlalu jauh sehingga kau tidak akan dapat
melihatnya di malam hari”
“Oh” kembali penjaga itu berdesis, “Tetapi kau sekarang singgah di banjar ini. Adalah sesuatu yang penting?”
“Tidak” jawab Agung Sedayu, “Kami hanya ingin mencari Ki Tanu Metir”
“Tidak ada di sini” sahut penjaga itu.
“Jangan main-main” sela Swandaru Geni. “Ada yang penting bagi dukun tua itu”
“Ya, bapak dukun itu tidak ada di sini”
“Bukankah di sini masih ada orang yang perlu perawatannya?”
“Siang tadi ia datang, tetapi tidak terlalu lama. Sesudah itu ia pergi, dan ia tidak kembali lagi”
“Tadi sore aku masih bercakap-cakap di kademangan” gumam Agung Sedayu.
Penjaga itu menggeleng, “Entahlah”
Meskipun demikian, namun agaknya Agung
Sedayu dan Swandaru masih belum puas, sehingga hampir bersamaan keduanya
berkata, “Kami akan mencoba melihatnya”
Penjaga itu tersenyum, “Kami tidak akan menyembunyikan dukun tua itu. Apakah ada orang sakit di kademangan?”
“Seluruh Kademangan Sangkal Putung sedang sakit” sahut Swandaru.
Penjaga itu tidak tahu maksud Swandaru.
Tetapi ia menjawab, “Kalau demikian silakan. Mungkin aku tidak
melihatnya memasuki regol, apabila dukun tua itu mempunyai aji
panglimunan sehingga dapat melenyapkan diri dari pandangan mata”
Swandaru dan Agung Sedayu segera
melangkah masuk. Di banjar desa mereka melihat beberapa orang prajurit
yang bertempat tinggal di banjar desa itu, berbaring-baring dengan
tenangnya. Bahkan ada pula di antara mereka yang duduk menghadapi pelita
sambil bermain macanan.
Ketika mereka melihat Swandaru dan Agung
Sedayu memasuki pendapa bajar desa itu, maka beberapa orang yang sedang
berbaring segera bangun dan yang bermain macanan itu pun berhenti.
“Siapa pemimpin kelompok di sini?” bertanya Agung Sedayu.
Orang yang sedang menghadapi permainan macanan menjawab, “Kakang Sendawa. Kini sedang dipanggil ke kademangan”
“Oh” desis Swandaru, “Aku melihatnya tadi. Tetapi apakah Ki Tanu Metir tidak ada di sini sekarang?”
“Tidak” jawab mereka serempak.
Agung Sedayu menarik nafas. “Aneh” sesahnya.
“Biasanya guru selalu mengatakan, kemana ia pergi” bisik Swandaru.
Sesaat mereka berdiri saja seperti patung
di pendapa banjar desa itu. Mereka mencoba mengingat-ingat kemanakah
kira-kira Ki Tanu Metir itu pergi. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat
menemukan jawabnya.
“Justru pada saat yang penting” kembali Agung Sedayu berdesah.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Marilah kita laporkan kepada paman Widura dan kakang Untara”
Agung Sedayu mengangguk. Kepada orang
yang duduk di samping pelita, Agung Sedayu berkata, “Baiklah aku kembali
ke kademangan. Sebentar lagi kakang Sendawa akan datang membawa berita
penting untuk kalian. Sejak kini jangan lepaskan senjata kalian dari
tangan”
Yang mendengar kata-kata Agung Sedayu itu
menjadi berdebar-debar. Namun mereka adalah prajurit-prajurit, sehingga
isyarat itu sudah cukup bagi mereka sebagai isyarat bahwa keadaan
menjadi semakin berbahaya.
Meskipun demikian ada yang bertanya, “Apakah yang kira-kira akan terjadi? Tohpati akan datang malam ini?”
“Tunggulah kakang Sendawa” jawab Agung
Sedayu. “Ia akan memberikan perintah kepada kalian. Segera ia akan
kembali meskipun seandainya hujan segera tercurah dari langit. Karena
itu bersiaplah menghadapi setiap kemungkinan”
Sejenak para prajurit di banjar desa itu
saling berpandangan. Namun apa yang dikatakan Agung Sedayu dan Swandaru
telah cukup banyak bagi mereka sebagai suatu perintah untuk bersiap
sepenuhnya. Karena itu maka selah seorang dari mereka berkata, “Jadi
kami harus berada dalam kesiap-siagaan tertinggi?”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Mereka, laskar Pajang di banjar desa itu
pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kesiap-siagaan tertinggi adalah
pertanda bahwa sebentar lagi mereka harus menghadapi peperangan. Atau
tanda-tanda peperangan itu telah semakin dekat.
“Sudahlah” Agung Sedayu kemudian minta diri, “Kami akan mencari dukun tua itu”
“Silakan” jawab beberapa orang serempak.
Sepeninggal Agung Sedayu dan Swandaru di
antara mereka terdengar salah seorang berkata, “Seperti hari-hari yang
lalu, Tohpati mencoba membuat kita tidak bisa tidur, sedang mereka
sendiri tidur mendengkur di kandangnya”
“Jangan kehilangan kewaspadaan” sahut
kawannya sambil berdiri, “Mungkin kali ini mereka benar-benar datang
untuk memenggal lehermu. Karena itu lebih baik kau sediakan pedangmu.
Apakah Tohpati itu tidak membawa senjata, maka pedangmu akan berguna
bagimu. Ingat, senjata Tohpati hanyalah sepotong tongkat yang berkepala
tengkorak. Bukan alat yang baik untuk memotong kepala. Ia akan berterima
kasih kalau kau sediakan pedang untuknya”
Orang yang pertama meraba lehernya yang
pajang. Jawabnya, “Sayang sekali. Leher ini adalah leher yang jenjang.
Dulu istriku jatuh cinta kepadaku karena leher ini. Sekarang, ketika
anakku telah genap sepuluh, maka leher ini tidak pernah lagi dikagumi
oleh istriku itu. Meskipun demikian, aku tidak akan menyerahkannya
kepada siapapun”
Kawannya tertawa. Tetapi ia tidak
menjawab. perlahan-lahan ia berjalan kesudut pendapa banjar itu
mengambil sebuah tombak pendek, sambil bergumam kepada diri sendiri
dibelainya senjatanya itu, “Malam sangat dingin. Marilah, tidur bersama
ayah”
Kawan-kawannya memandanginya sambil
tertawa. Namun satu demi satu mereka pun berdiri, berjalan ke tempat
senjata masing-masing dan mengambilnya. Ketika mereka berbaring lagi,
maka mereka telah memeluk setiap senjata mereka dengan eratnya.
“Tidur” berkata salah seorang dengan
lantangnya, “Tidurlah sepuas-puasnya supaya besok menjelang fajar, kita
telah segar kembali. Mungkin Sangkal Putung akan menerima tamu”
“Atau bahkan sebelum kau sempat tidur kau harus sudah bangun lagi”
Tak ada yang menyahut. Pendapa banjar
desa itu tiba-tiba menjadi sangat sepi. Masing-masing kini telah
terbaring diam. Tidak ada lagi yang bermain macanan. Angan-angan mereka
dicengkam oleh gambaran yang beraneka. Masing-masing memandang
persoalannya menurut kepentingan dan kegairahan masing-masing. Namun
mereka semuanya menunggu seseorang, Sendawa.
Sementara itu Agung Sedayu dan Swandaru
telah berdiri di jalan kembali kek kademangan. Sejenak mereka
termangu-mangu. Apakah mereka cukup melaporkannya kepada Untara bahwa Ki
Tanu Metir tidak mereka temukan, atau mereka masih akan mencari ke
tempat yang lain?
“Bagaimana?” bertanya Swandaru Geni.
Agung Sedayu terdiam sejenak. Ketika ia
mengangkat wajahnya, maka dilihatna mendung menjadi semakin tebal dan
kilat semakin banyak berkeliaran di langit. Angin yang lembab mengalir
semakin kencang, menggoyang-goyangkan ujung-ujung pepohonan dengan suara
yang riuh.
“Kakang Untara harus cepat mengambil
kesimpulan. Kalau tidak, maka kita tidak cukup waktu untuk menyiapkan
diri malam ini” berkata Agung Sedayu.
“Ya, aku juga masih harus menyiapkan
anak-anak muda Sangkal Putung. Agaknya mereka malam ini betebaran di
gardu-gardu. Di banjar ini aku tidak melihat mereka” sahut Swandaru
Geni, namun ia meneruskan, “Tetapi mungkin pula mereka berkumpul di
rumah Tima yang sedang memperingati selapan kelahiran anaknya yang
pertama”
“Kalau mereka berkumpul di sana, maka
tugasmu akan berkurang” berkata Agung Sedayu pula, “Kau akan menemukan
mereka bersama-sama sekaligus”
“Ya” sahut Swandaru, “tetapi sekarang bagaimana?”
“Kita kembali” jawab Agung Sedayu, “Nanti kalau kakang Untara telah menjatuhkan perintah terakhir, biarlah kita mencarinya lagi”
Swandaru mengangguk-anggut, desisnya, “Marilah”
Keduanya pun kemudian berjalan
tergesa-gesa kembali kekademangan. Sekali-sekali mereka melihat lidah
api memancar menyilaukan. Namun sekejap, mereka telah berada dalam kelam
kembali. Ketika mereka sampai di muka gardu perondan, maka berkata
Agung Sedayu kepada mereka, “Tingkatkan kesiagaan”
Para penjaga itu mengangkat wajah-wajah mereka. Terdengar salah seorang bertanya, “Apakah Kiai Dukun itu kalian ketemukan?”
“Tidak. Kami masih harus mencarinya. Tetapi tingkatkan kewaspadaan” sahut Agung Sedayu.
“Apakah ada bahaya di sekitar Sangkal Putung?”
“Kalian akan segera mendapat perintah itu”
“Terima kasih” sahut di antara mereka.
Dan Agung Sedayu pun kemudian melihat beberapa orang yang duduk
terkantuk-kantuk di atas gardu berloncatan turun setelah meraih senjata
masing-masing.
“Biarlah kita mengadakan ronda keliling di wilayah perondaan kami”
“Silakan” sahut Agung Sedayu, “Kami akan segera kembali sebelum hujan”
Agung Sedayu dan Swandaru kini berjalan
semakin cepat. Bersamaan dengan guruh yang menggelegar di langit, mereka
merasa beberapa tetes air menyentuh tubuh mereka.
Ketika Swandaru menengadahkan telapak
tangannya terdengar dikejauhan suara gemerasak semakin lama menjadi
semakin keras dan semakin dekat.
“Hujan yang lebat itu telah datang” desis Swandaru.
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Langkah-langkah mereka pun menjadi
semakin cepat pula. Regol kademangan kini sudah berada beberapa puluh
langkah saja daripada mereka.
Ketika bunyi hujan yang lebat itu
seolah-olah jatuh menimpa mereka, maka mereka telah meloncat masuk
kedalam regol halaman kademangan. Dibawah atap regol itu Swandaru
menarik nafas sambil berdesah, “Hem, tepat. Demikian hujan tercurah dari
langit, kita telah sampai di sini”
Agung Sedayu pun mengibas-ngibaskan
bajunya. Beberapa titik air telah membasahinya. Ketika ia memandang
kehalaman, tampaklah halaman itu tersaput oleh air hujan yang
benar-benar seperti tertumpah dari udara. Sinar pelita yang tergantung
ditiang regol halaman memancarkan cahayanya yang redup kemerah-merahan
menembus butir-butir air hujan yang pepat padat.
“Kita harus menyeberangi halaman itu” desis Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sahutnya, “Hujan lebat bukan main. Kita akan basah kuyup meskipun jarak
pendapa itu tidak lebih dari limabelas duapuluh langkah’
Swandaru memandang berkeliling, kemudian gumamnya, “Adakah di sini payung belarak?”
Salah seorang penjaga di regol itu menggeleng, “Sayang tidak ada”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Para
penjaga di regol, Agung Sedayu dan Swandaru terkejut ketika mereka
mendengar petir meledak dekat sekali di atas regol halaman itu, bahkan
seakan-akan meledak di dalam kepala mereka masing-masing.
“Gila” umpat Swandaru sambil menyumbat
lubang kupingnya. Tetapi ledakan itu telah lewat. Dan suara ledakan itu
telah terlanjur masuk kedalam lubang kupingnya.
Hujan semakin lama menjadi semakin lebat.
Butiran-butiran air yang berjatuhan menjadi semakin padat, sehingga
bayangan yang keputih-putihan membusa di halaman kademangan iu. Sinar
lampu yang menyala kemerah-merahan hanya mampu menerangi tetesan-tetesan
air diteritisan regol halaman itu. Dan air yang tergenang di halaman
semakin lama menjadi semakin banyak, sehingga kemudian air itu pun
merambat naik kelantai regol dan dengan derasnya mengerutkan keningnya
mengalir keluar dibawah kaki-kaki mereka yang berada di dalam regol
halaman. Beberapa orang penjaga meloncat naik keamben yang tinggi. Namun
dua orang lain terpaksa harus tetap berada di tempat mereka sambil
memegangi tombak-tombak mereka. Mereka itulah yang sedang mendapat
giliran berjaga-jaga. Mereka berdiri di tempatnya meskipun kaki-kaki
mereka terbenam di dalam genangan air yang melimpah dari halaman
mengalir ke jalanan.
Dalam hiruk pikuk air hujan yang jatuh
dari langit itu, terdengar Agung Sedayu bertanya, “Apakah kalian sudah
melihat Ki Tanu Metir datang?”
Hampir serentak para penjaga di regol itu menjawab, “Belum”
Agung Sedayu dan Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Hampir bersamaan mereka berdesah, “Aneh”
“Kita harus segera memberitahukan kepada kakang Untara” berkata Agung Sedayu.
Swandaru ragu-ragu sejenak. Ditatapnya
air hujan yang lebat di antara suara angin yang kencang. Ketika kilat
memancar sekali di langit, maka mereka melihat ujung-ujung pepohonan
seperti menggeliat diputar angin.
“Hujan dan angin” desis salah seorang penjaga.
Agung Sedayu berpaling. Kemudian ia
bergumam seperti kepada diri sendiri, “Tetapi besok pagi kita akan
mengalami prahara yang lebih berbahaya”
“He?” bertanya penjaga itu.
Agung Sedayu menggeleng, “Tunggulah perintah itu. Kau akan tahu, kenapa aku bingung mencari Ki Tanu Metir”
Para penjaga itu mengerutkan keningnya.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mereka berguman, “Itukah sebabnya
para pemimpin kelompok kami berkumpul di pringgitan?”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Mereka kemudian terdiam. Meskipun mereka
tidak gentar menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang, namun
terasa juga dada mereka berdebar-debar.
“Ah, biarlah kami berlari saja menyeberangi halaman itu”
“Kalian akan basah kuyup”
“Tidak apa-apa. Hanya basah karena air” sahut Agung Sedayu.
“Bukan basah karena darah” sambung Swandaru sambil tertawa. Para penjaga pun tertawa.
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian
melipat kain mereka dan membelitkannya pada bagian belakang ikat
pinggang mereka. Sambil mengawasi air hujan yang pekat itu mereka
berdiri diteritisan regol halaman. Pelita di pendapa yang menyala-nyala
hampir-hampir tidak dapat mereka lihat, meskipun jaraknya tidak begitu
jauh.
“Ayolah, hujan ini selebat pada saat aku pergi dari Jati Anom bersama kakang Untara”
“Mari” sahut Swandaru.
Dan keduanya pun kemudian terjun kedalam
air yang tergenang di halaman dan berlari menembus kepekatan air hujan
yang seperti tertumpah dari langit yang retak.
Demikianlah mereka naik ke pendapa, maka
pakaian mereka benar-benar telah basah kuyup. Tak setitik noda kering
pun yang melekat pada pakaian mereka. Ikat kepala, baju, kain dan celana
mereka.
Beberapa orang yang duduk-duduk di pendapa terperanjat melihat dua orang berlari-lari meloncat ketangga pendapa.
“Siapa?” teriak salah seorang dari mereka.
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab.
Namun terdengar Swandaru menyumpah, “Setan. Basah kuyup juga pakaianku
meskipun jarak itu hanya sejangkau tangan kidal”
Karena Agung Sedayu dan Swandaru tidak
menjawab, maka beberapa orang segera mendekatinya. Namun kemudian
terdengar mereka tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “He,
seperti tikus terjerumus dalam parit”
Swandaru bersungut-sungut. Segera ia
berlari lewat pintu gandok masuk kedalam rumah mencari ganti pakaian.
Sedang Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu di pendapa. Pakaian
yang diberikan kepadanya oleh pamannya, berada di pringgitan.
Tetapi, terasa dingin air hujan itu
sampai menggigit tulang. Sehingga karenanya maka Agung Sedayu tidak
tahan lagi. Dengan pakaiannya yang basah kuyup ia masuk ke pringgitan.
Beberapa orang yang duduk di pringgitan segera berpaling. Ketika Untara
dan Widura melihatnya, maka mereka pun tertawa pula.
“Gantilah Sedayu, lalu katakan apakah kau temukan orang yang kau cari itu”
Agung Sedayu segera bersembunyi di belakang sehelai warana untuk mengganti pakaiannya yang basah kuyup itu.
Sesaat kemudian Agung Sedayu dan Swandaru telah duduk kembali di dalam lingkaran para pemimpin kelompok laskar Pajang.
“Bagaimana dengan Kiai Dukun tua itu?” bertanya Untara
Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepala, jawabnya, “Tidak ketemu kakang. Aku telah mencarinya ke banjar desa”
“Ya, aku melihat kalian basah kuyup”
“Ketika hujan turun aku sudah sampai di
regol halaman ini” sahut Swandaru, “Kami basah kuyup dalam jarak yang
hanya beberapa langkah itu saja. Dari regol sampai ke pendapa”
“Alangkah derasnya hujan” desis Widura.
“Dan orang tua itu tidak dapat kau ketemukan” Untara menyambung.
“Ya” jawab Agung Sedayu
“Aneh” gumam Untara, “Dalam keadaan yang
gawat ini, Ki Tanu Metir menghilang dari antara kami. Aku tidak tahu,
apakah orang tua itu benar-benar tidak mengerti, bahwa hari ini adalah
hari yang akan menentukan kedudukan Sangkal Putung, ataukah karena orang
tua itu menghindarkan diri dari kemungkinan untuk turut bertempur?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya, “Aku kira Ki Tanu Metir tidak akan menghindari tugas
yang akan dibebankan kepadanya. Tugas dalam lingkaran kewajiban kita
bersama. Bukankah dengan mempertahankan Sangkal Putung kita telah
memberikan setitik perjuangan untuk menegakkan Pajang? Katakan
seandainya Ki Tanu Metir berada di luar lingkaran pertentangan antara
Jipang dan Pajang, mempertahankan Sangkal Putung adalah tugas
kemanusiaan. Ki Tanu Metir pasti dapat membayangkan, apabila Sangkal
Putung benar-benar hanyut dilanda arus kekuatan Macan Kepatihan, maka di
sini akan terjadi perkosaan atas sendi-sendi kemanusiaan. Perampasan
hak rakyat Sangkal Putung atas tanah dan kekayaan mereka”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sedayu parti tidak akan membenarkan pendapat bahwa Ki Tanu Metir
melarikan diri dari kemungkinan untuk bersama-sama laskar Pajang
bertempur melawan laskar Jipang. Bukankah Ki Tanu Metir sendiri yang
telah memberitahukan bahwa di dalam lingkungan laskar Jipang itu
terdapat seorang yang bernama Sumangkar? Tetapi kenapa justru pada saat
yang genting ini orang tua itu tidak menampakkan diri?
Untara menjadi cemas, apakah Ki Tanu
Metir tidak tahu, bahwa besok pagi-pagi terang tanah, Sangkal Putung
telah dilanda oleh arus laskar Jipang yang kuat, yang telah memutuskan
bertempur dalam gelar yang sempurna?
Tetapi Untara tidak boleh tenggelam dalam
teka-teki itu. Sebagai seorang senapati ia harus segera menentukan
sikap melawan musuh dengan kekuatan yang ada. Ia tidak boleh
mencari-cari sebab untuk membenarkan kelemahan-kelemahan yang ada pada
laskarnya. Untuk mengurangi kesalahan sebagai seorang senapati, dengan
menuduhkan sebab-sebab dari kelemahan itu kepada orang lain. Demikian
juga agaknya dengan Widura. Wajahnya yang suram, tiba-tiba menjadi
tegang. Dengan dahi yang berkerut, ia berkata, “Untara, kita harus
segera menentukan sikap”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya paman. Aku sedang berpikir, apakah sebaiknya yang harus kita lakukan”
“Kita anggap bahwa Ki Tanu Metir tidak ada di antara kita”
Sekali lagi Untara mengangguk, “Ya” jawabnya, “Kita perhitungkan kekuatan yang ada pada kita”
Semua yang duduk di pringgitan itu
tiba-tiba menjadi tegang. Pembicaraan itu telah menunjukkan kepada
mereka, bahwa kekuatan lawan kali ini benar-benar telah mendebarkan dada
para pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung.
“Kita tidak sempat untuk mengirim orang ke Pajang, mengundang salah seorang senapati tertinggi dari Wiratamtama” desis Widura.
Untara menggeleng, katanya, “Tidak paman.
Mungkin Ki Gede Pemanahan atau Ki Penjawi dapat menempatkan diri
langsung menghadapi orang-orang sekuat Sumangkar. Namun kesempatan tidak
mengijinkan lagi. Nah, karena itu siapakah yang kita persiapkan untuk
melawan hantu dari Kedung Jati itu? Hantu yang sering dikatakan orang
dapat membawa nyawa rangkapan di dalam tubuhnya? Tetapi cerita itu
ternyata sama sekali tidak benar. Patih Mantahun terbunuh mati. Dan ia
tidak dapat hidup kembali”
Sesaat pringgitan itu menjadi sepi.
Pertanyaan Untara benar-benar memusingkan kepala mereka. Siapakah yang
akan mampu menghadapi murid kedua dari Kedung Jati itu?
Yang terdengar kemudian adalah suara
hujan yang gemerasak di atas atap rumah kademangan. Di sana-sini
tetesan-tetasan air menembus atap yang tiris. Angin yang kencang, telah
mengguncang-guncang daun pintu pringgitan, sehingga beberapa kali
terdengar daun pintu terbanting.
Di pendapa nyala pelita terayun-ayun
dibuai angin yang kencang, sehingga sekali-sekali nyalanya menjadi redup
hampir padam. Seseorang kemudian telah menutupnya dengan sehelai daun,
untuk melindungi api pelita itu supaya tidak terlanjur padam.
Tak seorang pun yang duduk di pringgitan
segera dapat memecahkan teka teki itu. Sumangkar adalah seorang yang
pilih tanding. Melampaui Macan Kepatihan sendiri yang selama ini menjadi
hantu yang menegakkan bulu tengkuk.
“Kita harus segera mengambil keputusan” terdengar Untara menggeram.
Hampir serentak semua orang di pringgitan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Marilah aku mencoba menentukan orang
itu” berkata Untara lebih lanjut. “Semua orang terpenting telah mendapat
tugasnya masing-masing. Macan Kepatihan itu pun tidak mungkin aku
lepaskan. Sedang paman Widura harus menghadapi Sanakeling. Disayap yang
lain Citra Gati harus dapat menahan Alap-alap Jalatunda. Dan kini kita
mencari lawan untuk Sumangkar itu. Sudah tentu untuk melawan orang itu
harus kita persiapkan beberapa orang dalam satu kelompok. Orang-orang
itu antara lain adalah Agung Sedayu, Swandaru Geni, Hudaya, Sonya serta
orang-orang terpilih dari kelompoknya. Sisanya serahkan pimpinannya pada
Sendawa. Kalian harus berada di ujung barisan, sebagai inti kekuatan
yang akan menghadapi seorang yang luar biasa itu”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangkat
wajahnya. Sesaat mereka saling memandang, kemudian dipandanginya wajah
Hudaya dan Sonya. Mereka tidak segera dapat menjawab, namun di dalam
dada mereka terasa sebuah gelombang yang menghempas dinding jantung.
Sumangkar adalah seorang yang sakti. Sesakti guru mereka Kiai Gringsing.
Tetapi mereka tidak dapat menolak
perintah itu. Dan bukankah mereka tidak harus menghadapinya sendiri?
Karena itu betapa beratnya tugas itu, namun tugas itu harus mereka
lakukan dengan sepenuh kemungkinan yang ada pada diri mereka.
Hudaya dan Sonya tidak begitu terpengaruh
oleh perintah itu. Mereka belum dapat membayangkan, sampai dimana
kesaktian orang yang bernama Sumangkar itu. Mungkin setingkat Macan
Kepatihan atau melampauinya sedikit. Sehingga empat orang termasuk Agung
Sedayu sebenarnya bagi Hudaya dan Sonya telah cukup menentramkan
hatinya. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru pernah melihat orang yang
bernama Sumangkar itu bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Karena itu maka
mau tidak mau, mereka harus mempertimbangkan setiap kemungkinan yang
dapat terjadi.
Dalam pada itu terdengar Untara bertanya, “Bagaimana Sedayu dan Swandaru?”
Kembali Swandaru dan Agung Sedayu saling
memandang. Namun kemudian serentak mereka menganggukan kepala sambil
menjawab hampir bersamaan, “Kami junjung kewajiban itu”
“Bagus” sahut Untara, “Di samping kalian
berdua, Hudaya, Sonya dan beberapa orang terpilih harus bekerja
mati-matian menahan orang tua itu”
Hudaya dan Sonya pun mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Tanpa disadarinya Hudaya meraba-raba janggutnya yang
lebat. Wajahnya yang keras dan hampir tertutup oleh rambut itu tampak
berkerut-kerut.
Sejenak kemudian pembicaraan mereka telah
selesai. Perintah Untara dan Widura telah mereka dengar seluruhnya. Apa
yang harus mereka lakukan untuk menghadapi sergapan laskar Jipang yang
akan datang dalam gelar yang sempurna.
Karena itu maka segera Untara memutuskan
apakah yang harus dilakukan oleh mereka masing-masing segera. Barulah
kemudian Untara berkata kepada Widura, “Nah, sekarang bagaimana dengan
rakyat Sangkal Putung paman?”
Widura mengerutkan keningnya. Sekali ia
berpaling kepada Ki Demang Sangkal Putung, kemudian katanya, “Kakang
Demang. Agaknya tekanan kali ini akan terasa cukup berat. Bagaimanakah
sebaiknya dengan rakyat Sangkal Putung? Dengan perempuan dan anak-anak?”
Ki Demang termenung sesaat. Terbayang di
wajahnya, perasaan cemas yang dalam. Sebagai seorang yang selama ini
bekerja untuk kademangan dan rakyat di kademangan ini, maka semua bahaya
itu benar-benar telah menegangkan urat syarafnya. Tetapi seperti juga
Untara dan Widura, ia tidak boleh tenggelam dalam kecemasannya itu.
Karena itu maka setelah berpikir sejenak, maka katanya, “Perempuan dan
anak-anak harus kita singkirkan”
Untara dan Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi apakah dalam keadaan seperti sekarang ini mereka dapat
meninggalkan rumah-rumah mereka dengan bayi-bayi mereka? Hujan yang
lebat seperti tertumpah dari langit. Guntur meledak-ledak tak
henti-hentinya mengguncang-guncang Sangkal Putung. Tetapi bagaimanapun
juga, kira-kira harus berkumpul dan mendapat pengawalan yang cukup.
Setiap saat yang diperlukan mereka harus dapat di selamatkan dari
keganasan laskar Jipang. Meskipun sama sekali tidak mereka kehendaki,
tetapi seandainya laskar Jipang berhasil masuk kedaerah kademangan ini
maka mereka harus dijauhkan dari orang-orang Jipang yang sedang haus
itu. Haus kemenangan, haus akan benda-benda berharga dan apabila mereka
melihat gadis-gadis Sangkal Putung.
Ki Demang itu pun kemudian berkata pula,
“Adalah menjadi kewajiban setiap laki-laki di Sangkal Putung untuk
menyingkirkan keluarga mereka. Mula-mula mereka harus dibawa kemari,
sedang dalam keadaan yang gawat, mereka akan kita selamatkan pula.
Melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi kemudian. Tetapi
sementara dapat dipersiapkan desa di ujung timur kademangan ini”
Untara dan Widura mengangguk-angguk. Dan
terdengar Widura berkata, “Kalau demikian, maka pembicaraan kita sudah
selesai. Segenap perintah dapat dilakukan segera. Sedang pengungsian
perempuan dan anak-anak dapat dimulai lewat tengah malam. Biarlah mereka
menikmati ketenangan di tengah malam pertama. Biarlah anak-anak tidur
meskipun hanya sebentar, sehingga mereka tidak akan terjaga semalam
penuh karena kegelisahan”
Pertemuan itu pun kemudian diakhiri. Para
pemimpin kelompok segera kembali kekelompok masing-masing. Menyampaikan
berita terakhir yang telah mereka dengar. Setelah cukup lama mereka
tidak maju kegaris perang, maka besok mereka akan berada di dalam gelar
yang sempurna. Karena itu maka seakan-akan mereka kini merasakan kembali
nafas keprajuritan mereka.
Selama ini mereka merasa tidak lebih dari
sekelompok laskar yang dihadapkan pada gerombolan perampok dan
penyamun. Tetapi besok kedua pasukan akan berhadapan, sebagai pasukan
dari Jipang dan pasukan dari Pajang yang selama ini belum menemukan
penyelesaian, meskipun Adipati Jipang telah terbunuh di medan
peperangan.
Untunglah bahwa selama ini laskar Pajang
di Sangkal Putung sempat memberikan bimbingan kepada anak-anak muda
Sangkal Putung untuk mengenal cara-cara bertempur dalam gelar yang
sempurna. Mereka telah berlatih dengan tekun untuk melakukan pertempuran
dalam cara ini. Berbagai gelar telah mereka pelajari. Meskipun mereka
belum setangkas prajurit yang sebenarnya, namun ketangkasan mereka telah
cukup mereka pergunakan sebagai bekal untuk mempertahankan kampung
halaman mereka besok.
Para prajurit yang memang belum lelap
tertidur segera bangkit kembali dan berkerumun disekeliling
pemimpin-pemimpin kelompok mereka untuk mendapat petunjuk-petunjuk yang
penting.
Beberapa orang mendapat tugas khusus
untuk memimpin anak-anak muda Sangkal Putung bersama Swandaru Geni, Ki
Demang sendiri, Jagabaya dan beberapa orang bekas prajurit Demak yang
kemudian menetap di Sangkal Putung. Sedang beberapa orang di antara
mereka adalah petugas-petugas yang harus siap di atas punggung kuda
masing-masing, yang apabila setiap saat diperlukan, mereka harus segera
mencapai tempat-tempat yang dikehendaki.
Sendawa pun segera kembali ke banjar
desa. Betapa hujan seperti tercurah dari langit, namun orang itu beserta
seorang pembantunya berlari kencang-kencang menembus lebatnya
titik-titik air yang berjatuhan dari langit,
“Alangkah lebatnya hujan ini” desis Sendawa sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
“Ya” sahut kawannya, “Hampir aku tidak dapat bernafas”
Dan keduanya pun berlari semakin kencang, agar mereka tidak membeku dibawah hukan yang seakan-akan menjadi semakin lebat.
Swandaru Geni dan Agung Sedayu sesaat
kemudian berdiri termangu-mangu di pendapa kademangan. Mereka harus
segera berbuat sesuatu atas anak-anak muda Sangkal Putung. Tidaklah
sebaiknya Ki Demang yang tua itulah yang berjalan hilir mudik di dalam
hujan yang lebat. Karena itu maka Swandaru kemudian berkata, “Aku akan
ganti pakaian kembali”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku akan kenakan pakaianku yang basah. Bukankah aku harus menari-nari di dalam hujan itu kembali?”
Agung Sedayu termenung sejenak. Lalu
jawabnya, “Aku juga. Sayang pakaian kering ini. Kalau pakaian ini basah
pula, aku tidak lagi punya ganti besok”
“Apakah kita besok masih perlu berganti pakaian?”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
Swandaru tertawa lucu sekali. Katanya, “Bagaimana kalau Sumangkar besok pagi-pagi memelukmu?”
Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia tidak
menjawab pertanyaan itu, bahkan ia berkata, “Cepat, gantilah. Aku juga
mau berganti pakaian kembali. Waktu kita tidak terlalu panjang. Sebentar
lagi kita akan sampai ke tengah malam. Pekerjaan kita akan bertambah
banyak. Menyelenggarakan pengungsian orang-orang perempuan dan
anak-anak”
“Biarlah orang lain mengurusnya” sahut
Swandaru, “Aku akan tidur. Besok menjelang fajar kita harus sudah berada
dalam gelar perang. Jangan membuang tenaga terlalu banyak”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan sesaat kemudian keduanya pun telah berganti pakaian
dengan pakaian-pakaian mereka yang basah. Bahkan mereka berdua sama
sekali tidak mengenakan baju dan ikat kepala. Dengan meloncat-loncat
mereka menuruni halaman dan berlari keregol halaman.
Suasana para penjaga di regol halaman
telah berubah. Mereka telah mendengar perintah, apa yang harus mereka
lakukan. Karena itu maka sebagian besar dari mereka harus mempergunakan
waktu sebaik-baiknya untuk beristirahat, supaya tenaga mereka besok
sepenuhnya dapat mereka manfaatkan.
Swandaru dan Agung Sedayu segera berlari
meninggalkan regol halaman. Semakin lama menjadi semakin cepat untuk
mengurangi perasaan dingin yang seperti menusuk-nusuk kulit. Yang
pertama-tama mereka datangi adalah Jagabaya Sangkal Putung untuk
memberitahukan kepadanya tugas yang harus dilakukannya sejak malam ini.
Jagabaya itu harus menyelenggarakan pengungsian dan besok memimpin
sebagian dari laki-laki Sangkal Putung yang masih mungkin menggenggam
senjata, melakukan pengawalan di kademangan.
“Apakah perlu kita bunyikan tanda bahaya?” bertanya Jagabaya.
“Jangan” cegah Swandaru, “Tidak banyak
manfaatnya. Hanya akan menimbulkan kecemasan dan kekacauan. Rakyat akan
berbuat tanpa dapat dikendalikan”
“Jadi apakah aku harus mendatangi setiap rumah di seluruh kademangan?”
“Apakah begitu juga yang pernah kau kerjakan?” bertanya Swandaru.
“Tidak” sahut Jagabaya itu, “Aku hanya membangunkan beberapa orang, dan berita itu telah menjalar sendiri”
“Nah, lakukanlah. Tetapi beri mereka
ketenangan, bahwa di kademangan akan di tempatkan pengawalan yang kuat.
Para peronda di segenap mulut lorong telah mendapat perintah apabila ada
di antara rakyat yang menjadi bingung dan ingin mengungsi keluar dari
kademangan ini, mereka harus dicegah, dan membawa mereka ke kademangan
supaya tidak timbul kekacauan yang merugikan. Aku akan mempergunakan
tenaga-tenaga anak-anak muda untuk keperluan serupa, membantu
pengungsian ini. Namun sebagian dari mereka harus beristirahat menjelang
fajar besok”
Jagabaya itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “baik. Kewajiban itu akan aku lakukan sebaik-baiknya”
Sesaat kemudian Agung Sedayu dan Swandaru
telah berada kembali dibawah lebatnya hujan. Mereka meninggalkan rumah
Ki Jagabaya, akan memanggil beberapa orang pemuda untuk mengawani Ki
Jagabaya itu. Sedang anak-anak muda yang lain supaya segera bersiap
dalam susunan kelompok-kelompok yang telah ditentukan.
“Kemana kita pergi sekarang?” bertanya Agung Sedayu kepada Swandaru.
“Memanggil anak-anak” sahut Swandaru.
“Ya, tetapi kemana? Di rumahnya masing-masing atau kegardu mana yang kita tuju pertama-tama?”
“Ke rumah Tima. Mungkin anak-anak berada di sana”
Agung Sedayu tidak menjawab. Segera mereka berdua berlari ke rumah Tima yang sedang merayakan selapan bayinya.
Sampai di rumah Tima, Swandaru langsung
meloncat menyusup regol masuk kedalam halaman. Dengan tubuh dan pakaian
yang basah kuyup mereka menaiki tangga pendapa yang terang benderang
karena cahaya lampu-lampu minyak yang betebaran tergantung hampir
disetiap tiang-tiangnya.
Beberapa orang terkejut melihat dua orang
berlari-lari meloncat naik tangga pendapa rumah itu. Namun kemudian
hampir serentak setiap mulut bergumam, “Swandaru dan Agung Sedayu”
Tima yang melihat kehadiran mereka berdua
segera menyongsongnya sambil bertanya dengan serta-merta, “Oh, marilah,
marilah tuan berdua. Akh, aku tidak sempat menyongsong ke rumah. Hujan
lebatnya bukan main. Apakah kalian basah?”
“Tidak” sahut Swandaru, “Aku memiliki aji
pengabaran. Tidak basah oleh hujan dan tidak panas terjilat api”. Namun
suaranya terdengar gemetar karena giginya gemeretak kedinginan.
Yang mendengar jawaban Swandaru itu tertawa geli. Tetapi mereka menjadi iba melihat bibir Swandaru itu bergetaran.
“Mari, mari silakan naik” Tima mempersilakan.
“Sebenarnya sejak senja aku ingin datang
kemari” berkata Swandaru kemudian, “Tetapi aku belum sempat. Hujan telah
tercurah dari langit. Meskipun demikian, aku paksa juga untuk
mengunjungi selapanan bayimu. Nasi megana, telur bulat, sambal goreng
yang pedas. Hem, alangkah nikmatnya”
“Karena itu marilah naik” sekali lagi Tima mempersilakan.
“Tetapi sayang, kami berdua basah kuyup”
“Tidak apa, silakan”
“Kami bisa membeku kedinginan”
Tima menjadi bingung. Apakah maksud
Swandaru itu sebetulnya. Dan tiba-tiba berkata, “Apakah kalian
memerlukan pakaian kering supaya tidak kedinginan?”
“Terima kasih” sahut Swandaru, “Aku kira tidak perlu pakaian kering, bahkan pakaian kalianlah yang akan menjadi basah kuyup”
Tima menjadi bingung. Namun kemudian
terdengar Swandaru berkata, “Sebelum nasi meganamu siap Tima, aku lebih
dahulu ingin bertemu dengan beberapa pemimpin kelompok anak-anak muda
Sangkal Putung yang kebetulan berada di rumah ini”
Tima mengerutkan keningnya. Terasa
dadanya berdebar-debar. Beberapa anak muda yang mendengarnya, dengan
serta-merta bangkit dan berdiri mengelilingi Swandaru dan Agung Sedayu.
“Duduklah” minta Swandaru, “Aku tidak
ingin mengganggu pertemuan ini. Nanti aku juga ingin turut menikmati
suguhan-suguhan yang telah terlanjur siap”
Tetapi anak-anak muda di pendapa itu
justru semakin banyak yang berdiri melingkarinya, sehingga kemudian
Swandaru terpaksa memperingatkan mereka sekali lagi, “Duduklah. Kalau
kalian berebutan berdiri, nanti suguhan-suguhan itu akan terinjak-injak”
Namun kali ini suara Swandaru itu pun
seakan-akan tidak mereka dengar. Berebutan mereka mendekati Swandaru dan
Agung Sedayu. Swandaru akhirnya menjadi jengkel. Tiba-tiba ia meloncat
turun kehalaman, kedalam hujan yang masih tercurah dari langit. Dalam
keriuhan air hujan terdengar suara Swandaru di sela-sela derai
tertawanya, “Nah, marilah, siapa yang akan mengerumuni aku lagi”
Beberapa anak-anak muda mengumpat-umpat
di dalam hatinya. Namun beberapa orang yang kebetulan pemimpin-pemimpin
kelompok anak-anak muda Sangkal Putung melihat, bahwa ada sesuatu yang
penting yang akan disampaikan oleh Swandaru kepada mereka, sehingga
karena itu, maka ada di antara mereka yang benar-benar meloncat pula ke
halaman, dibawah curahan hujan yang lebat.
“He, kau gila” teriak Swandaru. “Tunggulah, aku akan naik lagi ke pendapa”
Namun anak-anak muda itu tersenyum,
jawabnya, “Pasti ada yang penting terjadi. Kalau tidak, maka aku kira
kakang Swandaru tidak akan datang ke tempat ini dengan pakaian basah
kuyup dan tanpa baju”
“Anak setan kau” umpat Swandaru sambil tertawa, “Baiklah, marilah, ikuti aku ke teritis gandok”
Kemudian Swandaru dan Agung Sedayu diikuti oleh lima orang anak muda berlari menuju keteritis gandok.
Ketika mereka sudah berada di tempat yang
teduh, maka segera Swandaru memberitahukan kepada mereka, apa yang
harus mereka lakukan.
“Apakah hanya ada lima orang pemimpin kelompok yang berada di tempat ini?”
“Ya kakang. Pemimpin kelompok dari
kelompok lima, tujuh dan sembilan tidak datang, sedang pemimpin kelompok
delapan sedang bertugas di gardu selatan”
“Besok kalian berada langsung dibawah
pimpinan ayah sendiri. Aku mempunyai tugas khusus bersama kakang Agung
Sedayu. Satu kelompok laskar Pajang ada di antara kalian. Ingat, bahwa
satu kelompok laskar pajang, meskipun jumlahnya hampir sama dengan
kelompok-kelompokmu, namun mereka sudah terlatih baik dan penuh
pengalaman. Kalian berada dibawah tuntunan mereka bersama beberapa orang
Sangkal Putung sendiri bekas prajurit yang akan ikut serta dengan
kalian dalam kelompok-kelompok yang telah ditentukan”
“Baik kakang” jawab mereka hampir bersamaan.
Swandaru menjadi bangga akan kesediaan
anak-anak Sangkal Putung menghadapi bahaya. Mereka benar-benar telah
siap lahir batin untuk membela tanah yang digarapnya setiap hari, tanah
sumber hidupnya, kampung halaman.
“Bagus” sahut Swandaru, “Kalau demikian,
kalian harus segera berbuat sesuatu. Waktumu terbatas sekali. Siapkan
beberapa anak muda untuk membantu Jagabaya. Serahkan beberapa orang dari
kelompok tiga. Mereka harus membantu menyelenggarakan pengungsian dan
kemudian mengadakan pengawalan atas kademangan. Hubungi pimpinan
kelompok orang-orang yang sudah setengah umur. Mereka pun harus membantu
penyelenggaraan pengungsian dan pengawalan atas kademangan. Tetapi
separo dari mereka yang masih sanggup ikut pula besok pagi-pagi
menyongsong musuh, kalian harus bersiap di halaman banjar desa. Tidak
akan ada tanda bahaya dibunyikan. Satu-satunya tanda justru kentong dara
muluk menjelang terang tanah. Atau kalau perlu dipercepat. Ingat, dara
muluk”
Kelima anak muda itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka sudah dapat membayangkan apa yang harus mereka
lakukan bersama ayah-ayah mereka, paman-paman mereka, dan bahkan
kakek-kakek mereka. Setiap laki-laki di Sangkal Putung. Setiap kelompok
mempunyai tugasnya masing-masing. Kelompok anak-anak muda, kelompok
orang-orang yang lebih tua dan kelompok orang-orang setengah umur yang
masih sanggup menggenggam senjata. Bahkan anak-anak tanggung pun akan
diikut-sertakan dalam kesempatan yang sesuai dengan hasrat yang menyala
di dalam dada mereka.
Ketika semuanya sudah menjadi jelas, maka
berkata Agung Sedayu, “Jangan kecewakan Tima yang telah terlanjur
menyediakan suguhan buat kalian. Tetapi usahakan dengan bijaksana supaya
kerja besok tidak terbengkalai”
“Baik kakang” jawab salah seorang dari
mereka, “Aku akan berusaha mempercepat hidangan itu. Sesudah itu, kami
akan bekerja keras”
“Bagus, cobalah untuk beristirahat. Jangan kau peras habis tenagamu malam ini” sambung Agung Sedayu.
“Baik”
“Kalau demikian, kembalilah ke pendapa. Pakaian kalian pun telah basah pula”
“Tidak apa. Kami hanya tinggal sebentar duduk di antara mereka”
Setelah semuanya menjadi semakin jelas,
maka Swandaru dan Agung Sedayu pun segera berlari kembali ke pendapa
bersama kelima anak-anak muda pemimpin kelompok itu. Ditangga pendapat
Agung Sedayu dan Swandaru segera minta diri kepada Tima yang berdiri
dengan mulut ternganga. Ia sama sekali tidak tahu apa yang sedang
dilakukan oleh Agung Sedayu dan Agung Sedayu. Sehingga terloncat dari
mulutnya, “Lalu apakah yang kalian kehendaki datang dalam pakaian yang
basah kuyup tanpa baju, kemudian pergi sebelum aku memberikan apa-apa?”
Swandaru tertawa, “Nanti aku datang kembali”
Tima tidak sempat berkata apa pun lagi.
Mereka yang di pendapa hanya sempat melihat Swandaru dan Agung Sedayu
meloncat kedalam hujan yang lebat dan hilang ditelan oleh kegelapan.
Tima masih berdiri di atas tangga pendapa
rumahnya. Ia merasa aneh atas sikap Swandaru itu. Namun telah terasa
pula di dalam hatinya, bahkan setiap orang dan anak muda yang duduk di
pendapa itu, bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Segera mereka
menghubungkan perintah kesiapsiagaan yang meningkat akhir-akhir ini.
Latihan-latihan yang lebih berat, dan kewaspadaan yang semakin tajam.
Kini yang menjadi pusat perhatian mereka
adalah kelima anak-anak muda yang masih berdiri ditangga pendapa.
Meskipun pakaian mereka basah juga, namun mereka masih sempat naik ke
pendapa dan duduk kembali di tempat masing-masing.
Tima yang tidak sabar segera bertanya kepada salah seorang dari mereka, “Apakah yang penting?”
Yang ditanya menggeleng, “Tidak ada”
“Kau menyimpan rahasia itu?” bertanya anak muda yang lain.
“Tidak. Swandaru hanya datang untuk mempercepat nasi megana yang telah dipersiapkan supaya tidak menjadi terlalu dingin”
Tima segera mengerti. Kini ia yakin,
bahwa pertemuan itu telah dikejar waktu. Ada sesuatu yang penting akan
terjadi. Demikian juga orang-orang lain di pendapa itu. Sehingga karena
itu maka Tima berkata, “Baik. Aku akan percepat gelombang hidangan yang
telah kami siapkan. Bukankah kalian ditunggu oleh tugas-tugas yang
penting ?”
Kelima orang anak muda itu tersenyum. Dan senyumnya itu telah membenarkan ucapan Tima yang segera bergegas ke belakang.
Pertemuan itu cepat selesai jauh sebelum
waktu yang ditentukan. Kelima anak-anak muda pemimpin kelompok segera
memanfaatkan pertemuan itu. Sehingga sejenak kemudian, beberapa
anak-anak muda segera berlari-larian berpencaran dari rumah Tima untuk
melakukan pekerjaan masing-masing.
Sebenarnyalah Sangkal Putung di dalam
malam yang kelam, dibawah cucuran hujan yang lebat itu, telah terbangun
karena sebuah kejutan yang menegangkan. Hilir mudik anak-anak muda dan
orang-orang yang bertugas menyelenggarakan penyingkiran perempuan dan
anak-anak, masuk keluar pintu-pintu rumah, mengetuk pintu-pintu yang
masih tertutup dan memberitahukan kepada mereka untuk mengamankan diri
mereka bersama anak-anak mereka.
Rakyat Sangkal Putung benar-benar
dicengkam oleh kecemasan. Cemas akan datangnya malapetaka besok, dan
cemas akan hujan angin yang kencang. Namun mereka terpaksa meninggalkan
rumah-rumah mereka, membawa barang-barang mereka yang paling berharga.
Dibawah payung-payung belarak dan daun-daun pisang, mereka
berbondong-bondong pergi ke kademangan mengamankan diri dan
barang-barabg mereka. Tangis anak-anak kecil telah memecahkan kesepian
kademangan itu. Obor-obor blarak berlarian di dalam kelamnya malam.
Namun sebagian dari obor-obor itu terbunuh oleh hujan yang masih saja
tercurah dari langit. Tetapi pengungsian berjalan terus.
Laskar Pajang yang berada di kademangan
telah menyingkirkan diri mereka sendiri dari pendapa. Mereka betebaran
di gandok dan di setiap sudut rumah itu untuk memberi tempat kepada para
perempuan dan anak-anak yang segera akan memenuhi pendapa itu.
Pendapa Kademangan Sangkal Putung itu
segera menjadi hiruk pikuk. Rengek anak-anak di antara tangis bayi.
Sedangkan beberapa orang perempuan menjadi gemetar ketakutan. Tetapi
mereka menjadi agak tentram ketika mereka melihat beberapa orang
laki-laki, suami-suami mereka, anak-anak mereka, dan saudara-saudara
mereka telah siap dengan senjata di tangan mereka. Apalagi ketika mereka
melihat beberapa orang prajurit Pajang yang hilir mudik di antara
mereka. Seolah-olah mereka berada di dalam pelukan tangan-tangan yang
akan sanggup melindunginya.
Ternyata waktu merayap terlampau cepat.
Prajurit-prajurit Pajang dan laki-laki Sangkal Putung yang besok harus
maju berperang, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk
beristirahat. Karena itu maka Untara segera mengambil kebijaksanaan
lain. Setiap orang yang besok akan ikut serta dalam perlawanan terhadap
laskar Jipang langsung digaris peperangan harus meninggalkan kademangan
dan pergi kebanjar desa.
Demikianlah maka sesaat kemudian seperti
banjir yang mengalir mereka meninggalkan halaman kademangan. Dan sesaat
kemudian laki-laki di halaman kademangan itu, menjadi semakin susut,
tetapi sebaliknya perempuan dan anak-anak menjadi bertambah-tambah.
Yang tinggal di halaman itu, selain para
pengungsi, tinggallah beberapa orang laki-laki dan para pemuda yang
bertugas mengawal mereka. Tetapi di samping mereka, hampir setiap
laki-laki yang seharusnya tidak turut dalam setiap persiapan karena
umur-umur mereka yang telah lanjut, ternyata tidak mau ketinggalan pula.
Meskipun mereka telah dibebaskan dari kewajiban itu, namun mereka tidak
dapat tinggal diam.
Seorang yang berambut putih seperti kapas
berkata kepada temannya yang berdiri di sampingnya, diteritisan
kademangan itu, “Hem. Kenapa aku tidak diikutsertakan dalam barisan yang
besok akan menyongsong lawan itu?”
Temannya yang sudah tidak bergigi satu
pun menjawab, “Aku juga menyesal. Kemarin aku sudah berkata apabila ada
bahaya datang setiap saat, aku sanggup untuk maju ke garis perang
terdepan. Tetapi Ki Jagabaya tertawa sambil menunjuk gigiku yang telah
habis ini, “Gigimu telah habis Kek”
Aku menjawab, “Bukankah aku tidak akan
menggigit musuh-musuhku? Tetapi tanganku masih kuat mengayunkan pedang.
Jagabaya itu tidak percaya. Aku telah memberinya bukti. Dengan sebuah
kapak, aku membelah sepotong balok di halaman rumah Ki Jagabaya. Tetapi
Ki Jagabaya masih juga tertawa sambil menjawab, ‘Balok itu tak dapat
bergerak kek. Kalau lawanmu itu mampu menghindar dan menjauh, kau akan
kehabisan nafas untuk mengejarnya’. Terlalu, terlalu Ki Jagabaya itu.
Meskipun demikian aku sekarang membawa kapakku itu. Aku akan membuktikan
bahwa aku masih mampu membelah kepala musuh-musuhku”
Temannya yang berambut putih kapas
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku pun masih dapat memanjat
pohon kelapa di halaman rumahku. Kau tahu, di rumahku ada duapuluh lima
pohon kelapa. Aku memanjatnya berganti-ganti tanpa istirahat”
Temannya yang tak bergigi
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Jawabnya, “Itulah. Mereka menyangka
kita sudah pikun. Nanti, apabila orang-orang Jipang itu ada yang
merembes sampai kehalaman ini, akan aku buktikan kemampuanku”
Mereka kemudian berdiam diri. Dengan
tajamnya mereka mengamati beberapa orang prajurit Pajang yang masih
bertugas ditegol halaman itu. Di teritisan yang lain mereka melihat
anak-anak muda yang telah bersiaga penuh. Sebagian dari mereka menyeret
pedang di lambung mereka, dan sebagian lagi memandi tombak di pundak
mereka.
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka berbangga di dalam hati mereka. Tetapi mereka lebih
berbangga hati lagi, ketika mereka melihat orang-orang tua sebaya dengan
mereka, membawa senjata-senjata pula di tangannya. Seorang yang duduk
ditepi pendapa, meskipun hampir seluruh kulitnya telah berkeriput, namun
tangannya masih juga menggenggam sebilah pedang karatan. Pedang yang
agaknya tidak pernah disentuhnya selama ini. Namun justru pedang-pedang
yang karatan itu merupakan senjata yang berbahaya. Luka yang
ditimbulkannya dapat menjadikan penderitanya bengkak dan keracunan.
Seorang yang lain sibuk membelai cucunya yang menangis. Ibu anak itu
sedang menyusui bayinya yang menangis pula. Tetapi anak yang menangis
dipangkuan kakeknya itu masih sempat mempermainkan hulu keris kakeknya.
“Jangan dicabut ngger” desis kakeknya. Tetapi cucunya melengking-lengking ingin melihat benda itu.
“Hem” desis kakeknya. “Mintalah yang lain”
Cucunya terdiam ketika seorang perempuan yang lain memberinya sepotong jenang a lot kepadanya.
Pendapa, pringgitan, bahkan ruangan dalam
dan gandok kademangan itu benar-benar telah penuh sesak. Tak ada
setapak tempat pun yang masih kosong. Anak panah yang malang mujur
terbaring, dan ibu-ibu mereka yang duduk bersimpuh di antara mereka.
Mereka sama sekali tidak memperhatikan lagi pakaian mereka yang basah
kuyup.
Sedang dibawah pendapat itu, diteritisan
gandok dan di belakang kademangan, sebagian anak-anak muda berdiri
berjajar-jajar dengan sebagian laki-laki Sangkal Putung dalam kesiagaan.
Hujan yang lebat terasa menjengkelkan selaki. Tetapi mereka sama sekali
tidak kehilangan kewaspadaan. Setiap saat tangan-tangan mereka siap
mengangkat senjata mereka. Sedang di regol halaman beberapa prajurit
Pajang pun selalu berada dalam kesiagaan penuh.
Prajurit-prajurit yang lain, laki-laki
Sangkal Putung dan anak-anak muda mereka, yang besok mendapat tugas
menyongsong musuh, berjalan dalam iring-iringan kebanjar desa. Beberapa
orang di antara mereka terutama anak-anak mudanya, berjalan langsung
menuju kebanjar itu dari rumah masing-masing. Sedangkan ayah-ayah mereka
terpaksa mengantar istri-istri mereka, dan anak-anak mereka yang masih
kecil lebih dahulu kekademangan.
Demikianlah maka bajar desa dan lapangan dimukanya telah menjadi pusat persiapan untuk menghadapi lawan-lawan mereka besok.
Demikianlah maka semakin jauh malam
memanjat kepuncaknya, maka Sangkal Putung menjadi semakin sibuk.
Persiapan-persiapan menjadi semakin ketat, dan setiap dada menjadi
semakin berdebar-debar. Bagi laskar Sangkal Putung, adalah untuk pertama
kalinya mereka akan menghadapi lawan-lawan mereka dengan gelar yang
sempurna. Namun Widura berkata kepada mereka, “Apa yang akan kalian
alami tidak akan jauh berbeda dari setiap pertempuran yang pernah
terjadi. Kalian hanya lebih terikat pada kerjasama dalam gelar yang
telah ditentukan. Namun untuk selanjutnya apabila kalian selalu ingat
kepada segala petunjuk yang pernah diberikan kepada kalian, maka kalian
tidak akan menemui kesulitan apa-apa. Satu kelompok prajurit Pajang akan
menuntun kalian, apa yang harus kalian lakukan”
Laskar Sangkal Putung itu menjadi
berbesar hati. Tetapi mereka tidak cukup terlatih seperti prajurit
Pajang dan para prajurit Jipang yang mampu bertempur sehari penuh. Mulai
pada saat matahari terbit, dan baru berhenti pada saat matahari
terbenam. Mereka telah cukup dapat mengatur diri mereka untuk
menyesuaikan dengan keadaan itu. Sedangkan laskar Sangkal Putung masih
belum pernah melakukannya. Peperangan yang pernah terjadi tidak sampai
melampaui tengah hari. Dan pertemuran malam pun tidak sampai separo
malam. Kini apabila kedua pihak telah bertekad untuk melakukan
peperangan dalam tingkat terakhir maka mereka harus berani menghadapi
kemungkinan itu.
Untuk menghadapi keadaan ini Untara dan Widura mempunyai cara mengatasinya.
“Kita harus menyediakan tenaga cadangan” berkata Untara
“Ya” Widura membenarkan, “Sebagian dari
mereka harus tetap segar. Kalau kawan-kawan mereka sesudah tengah hari
akan mengalami kekendoran dan kelelahan, maka mereka harus turun ke
garis perang. Bukankah begitu?”
“Ya paman” jawab Untara, “Aku kira jumlah
kita bersama dengan laskar Sangkal Putung melampaui jumlah prajurit
Jipang. Karena itu maka kita akan dapat menyimpan tenaga cadangan di
samping mereka yang bertugas di kademangan dan di gardu-gardu. Apabila
kita ternyata terdesak oleh kekuatan mereka, maka sebagian laskar
cadangan itu dapat kita turunkan kemedan, berangsur-angsur. Dan apabila
perlu, maka sebagaimana peronda di gardu-gardu dapat ditarik seluruhnya.
Di gardu-gardu itu kita tempatkan dua orang pengawas saja, yang apabila
keadaan memaksa mereka hanya bertugas untuk melaporkan keadaan”
“Ya, semua tenaga dapat penyaluran
sewajarnya menurut keadaan dan kekuatan lawan. Pengawal di kademangan
pun kalau perlu dapat dikurangi” sahut Widura.
Kesepakatan pendapat itulah yang kemudian
mereka pergunakan untuk mengatur laskar Sangkal Putung dan prajurit
Pajang. Sekali lagi segenap pemimpin kelompok bertemu. Dan sekali lagi
Untara memberi penjelasan, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus
diperhatikan.
Setelah itu maka segala persiapan telah
selesai. Saat yang pendek itu dapat mereka pergunakan untuk
beristirahat. Beberapa orang di belakang merebus air sambil
menghangatkan tubuhnya. Sedang beberapa orang yang masih sakit, yang di
tempatkan di banjar desa itu menjadi kecewa, bahwa mereka tidak dapat
ikut serta kali ini menyongsong pula kedatangan Macan Kepatihan.
Ketika malam telah melampaui pusatnya,
maka Untara telah mengirim dua orang berkuda untuk menghubungi para
pengawas di gardu terdepa. Namun mereka belum melihat sesuatu dan bahkan
para pengawas yang langsung berada dilingkungan lawan pun belum
memberikan laporan apa-apa
Tetapi Untara dan Widura idak melemahkan
kesiagaan. Mereka tetap dalam kesiapan. Setiap saat laskar di banjar
desa itu dapat digerakkan.
Namun demikian, masih ada yang selalu
membayangi perasaan Untara, Widura dan bahkan beberapa orang Sangkal
Putung yang lain. Ki Tanu Metir masih belum tampak di antara mereka.
Sehingga semakin dekat fajar menyingsing, harapan mereka untuk
mengikutsertakan Ki Tanu Metir menjadi semakin tipis.
Apalagi ketika kemudian telah datang
beberapa orang dari kademangan membawa makan pagi bagi laskar Sangkal
Putung dan prajurit Pajang di banjar desa itu. Maka mereka tidak akan
memerhitungkan kekuatan Ki Tanu Metir lagi.
Kepada laskarnya Widura berkata,
“Makanlah. Makanlah sekenyang-kenyangnya. Mungkin sehari nanti kalian
tidak mendapat kesempatan untuk makan. Apalagi makan, minum pun belum
tentu. Apabila kekuatan kita melampaui kekuatan lawan atau sebaliknya,
maka pertempuran itu akan lekas selesai. Kalian akan menang atau akan
kalah. Tetapi kalau kekuatan kita seimbang, maka belum mengalami
kekalahan salah satu pihak harus berjuang dahulu sehari penuh. Nah,
mudah-mudahan kekalahan itu tidak di pihak kita. Makanlah dan kemudian
siapkan dirimu. Kalian besok harus berusaha sekuat-kuat tenagamu. Tetapi
kalian tidak boleh melupakan, bahwa segala sesuatu tergantung kepada
Yang Maha Pengasih. Karena itu berdoalah, semoga kalian dapat
menyelesaikan tugas-tugas kalian”
Sejenak kemudian mereka telah tenggelam
dalam kesibukan menyuapi mulut-mulut mereka. Citra Gati yang duduk
didekat Sendawa berguman, “Alangkah nikmatya makan pagi kali ini”
“Hus” desis Sendawa, “Apakah makanan ini merupakan makanan terakhir yang dapat kau makan?”
“Jangan berkata begitu” sahut Citra Gati,
“Tetapi masakan kali ini memang lain daripada yang lain. Mungkin juga
nasi hangat dan sambal lombok goreng ini benar-benar sesuai dengan
suasanan yang dingin beku ini”
Keduanya tertawa. Dan keduanya menyuapi mulut-mulut mereka tanpa henti-hentinya.
Tidak terlalu jauh dari Sangkal Putung.
Di tengah-tengah hutan yang tidak terlalu lebat, Tohpati duduk termenung
membelai tongkat baja putihnya. Ia masih mendengar hiruk pikuk
prajuritnya yang sedang menyusun diri.
Berbagai perasaan berkecamuk di dalam
kepala Macan yang garang itu. Baru saja ia menjatuhkan perintah
terakhir. Siap untuk berangkat. Namun demikian, meskipun perintah itu
diucapkannya dengan tegas, tetapi ia tidak dapat mengelabui dirinya
sendiri. Hatinya selama ini selalu dibayangi oleh keragu-raguan.
Peristiwa-peristiwa yang susul-menyusul di saat-saat terakhir
benar-benar sangat mempengaruhinya. Ia mendengar berbagai tanggapan atas
peperangan yang masih saja dilanjutkannya. Mula-mula ia merasa bahwa ia
harus berbangga, ia dapat bertahan sampai sekian lama sepeninggal Arya
Penangsang. Bahkan laskar Jipang yang berserakan masih juga mengakuinya
sebagai pimpinan mereka, sehingga kepadanyalah ketergantungan itu
dipercayakan.
Tetapi, Tohpati bukanlah seorang yang
berhati batu berjantung kayu. Setiap kali ia melihat darah menggelimang
di ujung tongkatnya, setiap kali ia melihat mayat terbujur lintang.
Bukan saja mayat-mayat prajurit yang bertempur di medan-medan perang,
tetapi ia pernah juga melihat mayat-mayat perempuan dan anak-anak yang
terbunuh dalam kerusuhan-kerusuhan. Bahkan ia pernah melihat mayat
seorang perempuan dan bayinya masih dalam pelukan. Tetapi mayat itu
sudah menjadi arang.
Macan Kepatihan itu menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa disadarinya diamatinya tangannya. Besar dan kasar.
Bulu-bulunya tumbuh hampir sampai ketelapak tangannya.
“Hem” geram Macan yang garang itu.
Bulu-bulunya serasa tegak berdiri ketika tiba-tiba dikenangnya bahwa
tangan itu pernah menampar pipi seorang perempuan muda. Demikian
kerasnya sehingga perempuan itu pingsan. Dan tiga hari kemudian
didengarnya bahwa perempuan itu mati.
Perempuan itu datang kepadanya sambil
mengumpat-umpatinya. Dituding-tudingnya wajahnya sambil mengucapkan
sumpah serapah yang paling menyakitkan hati.
“Tohpati” berkata perempuan itu, “Kau bunuh suamiku itu”
Tohpati menggeleng-gelengkan kepala.
Seakan-akan perempuan itu berdiri dimukanya kini. Suaminya, yang baru
saja mengawininya, terbunuh di medan perang. Dan perempuan itu
menyalahkannya.
“Ketamakanmu atas kekuasaan telah
membunuh suamiku” berkata perempuan itu, “Kaulah yang kelak akan menjadi
adipati menggantikan Adipati Jipang, tetapi suamiku yang kau korbankan”
Pada saat itu Tohpati tidak mau mendengar
perempuan itu berteriak-teriak sehingga tanpa disadarinya, terbakar
oleh kemarahan yang memuncak, perempuan itu ditamparnya. Tetapi sama
sekali ia tidak bermaksud membunuhnya.
“Perempuan itu bukan satu-satunya”
desisnya, “Ada sepuluh, seratus bahkan ribuan perempuan yang menangisi
kematian suaminya. Tetapi perempuan-perempuan Pajang,
perempuan-perempuan Sangkal Putung menangisi kematian suaminya dengan
kebanggan di dalam hati. Meskipun mereka menangis, tetapi mereka dapat
berkata, “Kematianmu adalah tawur bagi sawah ladang, kampung halaman.
Kematianmu akan dikenang seumur negeri ini”
Tohpati mengangkat wajahnya ketika ia
mendengar Sanakeling berteriak memberikan aba-aba. Sesaat kemudian
terdengar suara Alap-alap Jalatunda menyahut, dan kemudian yang
lain-lain pun terdengar meneruskan perintah Sanakeling itu.
Tohpati menarik nafas dalam-dalam.
Perintah itu adalah perintah mempersiapkan diri untuk segera berangkat
ke Sangkal Putung. Tetapi Tohpati seakan-akan masih saja terpaku
diambennya. Ia masih duduk termenung sambil membelai tongkat berkepala
tengkorak kuningnya. Ia masih tenggelam dalam seribu macam kenangan.
Bahkan sejak ia menjadi prajurit dalam kadipaten Jipang. Pada masa Demak
masih mengumandang namanya, kemudian datanglah bencana itu. Perang
saudara antara Jipang dan Pajang ketika tahta Demak kosong sepeninggal
Sultan Trenggana yang gugur. Dan kini ia tinggal di dalam barak ilalang
dengan orang-orang sekasar Sanakeling, selicik Alap-alap Jalatunda dan
setamak dirinya sendiri.
Kembali Tohpati terkejut ketika ia
mendengar seseorang memasuki gubug itu. Ketika ia berpaling dilihatnya
Sanakeling berdiri di ambang pintu dengan wajah berseri-seri.
“Semuanya sudah siap kakang Tohpati. Kita menunggu perintah untuk berangkat”
Tohpati pun kemudian tegak berdiri.
Sekali ia menarik nafas pula sedalam-dalamnya. Kemudian terdengar ia
menggertakkan giginya. Ia ingin menindas setiap perasaan yang dapat
mengganggunya. Karena itu sebelum ia bertempur melawan orang-orang
Pajang dan Sangkal Putung, ia harus memenangkan perasaannya lebih
dahulu.
Tetapi alangkah sulitnya. Ia tidak dapat
mempergunakan senjatanya yang mengerikan itu dalam pertempurannya
melawan perasaanya sendiri.
Namun tiba-tiba Tohpati itu berteriak keras-keras sehingga Sanakeling terkejut, “Siapkan mereka!. Aku segera akan datang!”
“Baik kakang!” sahut Sanakeling yang tiba-tiba berteriak pula tanpa disengajanya.
Ketika Sanakeling kemudian lenyap di
dalam kelam di luar barak itu, maka Tohpati pun kemudian melangkah
perlahan-lahan. Sampai diambang pintu ia berhenti sesaat. Ia tidak tahu
kenapa ia berpaling. Kenapa tiba-tiba ia ingin memandangi segenap isi
ruangan itu. Lampu minyak. Tiang-tiang bambu. Sebuah gelodog bambu di
sudut dan sebuah gendi di atasnya. Amben bambu tempatnya berbaring
tidur. Itu saja.
Baru Tohpati itu melangkah keluar.
Hatinya berdesir ketika di dalam cahaya
obor ia melihat berbagai macam umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul.
Terasa sesuatu yang aneh merayap di dalam hatinya. Ia sama sekali tidak
memerintahkan untuk membawa segala perlengkapan upacara perang itu.
Tetapi agaknya perintahnya untuk membuat gelar yang sempurna telah
menumbuhkan perintah pula untuk membawa segala macam tanda-tanda
kebesaran Jipang, meskipun umbul-umbul dan rontek itu sudah menjadi
kumal karena tidak terpelihara. Namun bahwa barang-barang itu dapat di
selamatkan telah membesarkan hatinya pula.
“Itu adalah jasa paman Sumangkar” gumamnya di dalam hati.
Sementara itu Tohpati diam mematung.
Diamat-amatinya seluruh pasukannya yang telah siap menunggu perintahnya.
Tiba-tiba hatinya merasa tersentuh oleh kesetiaan laskarnya itu.
Meskipun keadaan mereka telah jauh terperosok dalam kesulitan yang
sangat, namun dibawah panji-panji kebesaran Jipang, terasa seakan-akan
ia benar masih seorang senapati perang yang berwibawa.
Sebenarnya bahwa Macan Kepatihan itu
masih memiliki kewibawaan di antara anak buahnya, sehingga apa pun yang
diperintahkannya akan dilakukan. Dan kali ini pasukan itu menunggu untuk
berangkat menggempur laskar Sangkal Putung yang dipimpin oleh seorang
senapati muda bernama Untara.
Di muka pasukannya itu telah berdiri
Sanakeling. Di lambung kirinya tergantung sebilah pedang dalam wrangka
putih mengkilat, dan di lambung kanannya, pada ikat pinggangnya
tergantung sebuah bindi dari kayu berlian berlapis besi berjalur-jalur.
Bindi itu di tangan kiri Sanakeling kadang-kadang dipakainya sebagai
perisai untuk menangkis serangan lawan namun apabila bindi itu menyentuh
tubuh lawannya, maka akibatnya tidak kalah berbahaya dari pedang di
tangan kanannya.
Agak jauh di belakang dilihatnya belahan
pasukannya dibawah pimpinan seorang anak muda yang bermata tajam setajam
mata burung alap-alap. Sebenarnya anak muda itu berbangga apabila orang
menyebutnya Alap-alap Jalatunda. Dengan penuh dendam ia mengharap dapat
bertemu lagi dengan Agung Sedayu. Kali ini ia mengharap bahwa ia akan
dapat menebus kekalahannya. Setelah dengan tekun ia melatih dirinya
sendiri hampir siang dan malam, maka sudah tentu ia memiliki kemampuan
yang bertambah-tambah.
Ketika Tohpati memandang wajah Sanakeling
yang samar-samar diterangi oleh cahaya obor yang kemerah-merahan,
dilihatnya wajah yang keras kasar itu hampir tidak sabar lagi menunggu
perintahnya. Karena itu maka sambil menganggukkan kepalanya, Tohpati
melambaikan tongkat baja putihnya yang mengerikan itu.
Sanakeling tersenyum melihat lambaian
tongkat Macan Kepatihan. Dengan serta-merta ia menarik pedangnya.
Diangkatnya pedangnya itu tinggi-tinggi seolah-olah hendak menusuk
langit. Dan kemudian dari sela-sela bibirnya yang tebal, terdengarlaj ia
meneriakkan aba-aba.
Dalam waktu sekejap, hampir setiap
pemimpin kelompok telah mengulangi aba-aba itu. Terdengarlah kemudian
seseorang membunyikan sebuah bende. Suaranya menggema melingkar-lingkar
di dalam hutan itu.
Ketika Sanakeling mengangkat tangannya
untuk kedua kalinya, maka sekali lagi bende itu bergema, suaranya
memukul-mukul batang-batang kayu dan dedaunan. Hampir setiap tubuh di
dalam pasukan itu bergerak. Tangan-tangan mereka sekali lagi meraba-raba
pakaian mereka, senjata mereka dan perlengkapan-perlengkapan mereka
yang lain. Mereka tidak boleh menjadi korban karena kealpaan mereka atas
persiapan mereka sendiri.
Sesaat kemudian Sanakeling mengangkat
pedangnya untuk yang ketiga kalinya. Pedang itu melingkar satu kali,
disambut oleh bunyi bende untuk yang ketiga kalinya. Bunyi itu terasa
seakan-akan menyentuh sudut hati mereka yang berdiri di dalam barisan
itu. Sudah lama mereka tidak mendengar bunyi aba-aba dengan cara yang
demikian. Sudah lama mereka hanya mendengar aba-aba dari
pemimpin-pemimpin mereka yang berteriak-teriak tidak menentu.
Kadang-kadang bahkan bunyi aba-aba itu terasa sesuka hati yang
mengucapkannya. Namun kali ini mereka mendengar aba-aba seperti yang
selalu didengarnya pada saat Jipang masih tegak. Pada saat mereka masih
bernama seorang prajurit Wiratamtama Jipang, dibawah pimpinan adipati
yang mereka segani, Arya Penangsang. Seorang adipati muda yang perkasa,
dengan seekor kuda bernama Gagak Rimang dan sebilah keris di tangannya.
Keris yang sakti tiada taranya, yang dinamainya Setan Kober. Sedemikian
saktinya keris itu, sehingga orang menganggapnya, bahwa karena sentuhan
keris itu gunung akan runtuh dan lautan akan menjadi kering.
Meskipun kali ini mereka tidak bersama
dengan adipati itu lagi, namun Macan Kepatihan masih tetap memberi
mereka kebanggaan. Macan Kepatihan yang kali ini tidak berada di atas
punggung kudanya, kuda segagah Gagak Rimang yang dinamainya Maruta. Kuda
yang dapat berlari sekencang angin. Namun meskipun demikian, ketika
setiap orang dalam pasukan itu melihat tongkat putihnya yang
berkilat-kilat, maka hati mereka menjadi bangga. Seolah-olah merekalah
yang menggenggam senjata yang mengerikan itu.
Beberapa orang dari mereka tidak dapat
melupakan kenyataan, bahwa Tohpati itu beberapa waktu yang lampau dapat
dilukai oleh senapati Pajang yang di tempatkan di Sangkal Putung, dan
bernama Untara. Tetapi mereka menganggap peristiwa itu sebagai sebuah
kecelakaan. Tohpati pasti tidak dapat dikalahkan oleh siapapun. Mungkin
Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, atau Ki Juru Mertani. Tetapi tidak oleh
orang lain. Apalagi Untara. Tohpati pada waktu itu pasti baru melindungi
seseorang atau lebih, sehingga dirinya sendiri dikorbankannya.
Apalagi kini, dibawah umbul-umbul, rontek
dan tunggul-tunggul kebesaran Jipang, di belakang senapati mereka,
Macan Kepatihan, maka laskar Jipang itu merasa, bahwa mereka adalah
pasukan yang paling kuat yang pernah terbentuk sejak Jipang runtuh.
Demikianlah, maka setelah bende yang
ketiga kalinya itu, pasukan Jipang mulai bergerak dengan sigapnya.
Setiap orang di dalam pasukan itu tampak berwajah cerah, seakan-akan
mereka telah menggengam kemenangan di tangannya.
Dibawah cahaya obor-obor yang menyala
hampir di setiap ujung dan pangkal kelompok, pasukan itu bergerak.
Mereka tidak takut lagi apabila lawan-lawan mereka dapat melihat cahaya
obor-obor itu dari kejauhan. Kini mereka datang dengan dada tengadah,
tanpa berusaha mencari kelengahan lawan. Kini mereka datang beradu muka.
Mereka datang dalam gelar yang sempurna. Dari Sanakeling mereka telah
mendengar perintah, apabila mereka telah sampai di daerah yang luas,
maka mereka segera akan membuat gelar yang cukup tanggon, Dirada Meta.
Laskar Jipang itu kemudian menjalar
bagaikan seekor ular raksasa yang merayap di antara pohon-pohon liar.
Seekor ular naga yang bersisik api. Obor-obor di antara mereka
benar-benar seperti sisik yang gemerlapan.
Semua orang di dalam pasukan itu
tiba-tiba menengadahkan wajahnya ketika mereka melihat kilat menyambar
di udara. Sekali-sekali mereka mendengar guntur menggelegar di langit.
Ketika mereka memandang ke arah timur, tampaklah langit gelap pekat.
Seorang di dalam barisan itu bergumam lirih, “Di arah timur aku kira hujan turun dengan lebatnya”
Kawannya yang berjalan di sampingnya
mengangguk. Sebelum ia menjawab, ditengadahkannya tangannya, katanya,
“Di sini pun hujan sebentar lagi akan turun. Lihat, titik-titik air
telah satu-satu berjatuhan”
“Tetapi angin bertiup ke arah timur. Awan yang basah itu akan dihalau pergi”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Perlahan-lahan ular raksasa itu maju
terus. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan tepi hutan. Dan sesaat
kemudian ujung dari barisan itu telah muncul dari sela-sela belukar dan
batang-batang pohon liar. Kini mereka berjalan di atas padang perdu yang
tidak terlalu luas, diselingi oleh gerumbul-gerumbul dan pepohonan yang
semakin jarang.
Macan Kepatihan yang berjalan di ujung
pasukan itu berdesir. Didekat tempat inilah ia bersama Sumangkar bertemu
dengan Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Bahkan kemudian datang pula Kiai
Gringsing dan kedua orang yang mungkin sekali adalah murid-muridnya.
Macan Kepatihan itu tiba-tiba menundukkan
wajahnya. seolah-olah ia ingin melihat setiap langkah yang dilampaui
oleh kaki-kakinya itu. Dijinjingnya tongkatnya dengan tangan kanannya,
terbuai oleh ayunan lenggangnya. Sekali-sekali tongkat itu tampak
gemerlapan karena cahaya obor yang dipantulkannya.
Agak jauh di hadapan mereka, dua orang
bersembunyi dengan rapatnya di balik dedaunan. Ketika mereka melihat
iring-iringan itu, hati mereka menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika
mereka melihat umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul lengkap dibagian
depan pasukan Jipang.
“Gila” desis salah seorang dari mereka, “Mereka benar-benar datang dalam kelengkapan yang sempurna”
Yang lain tidak menjawab. Ketika mulutnya
hampir terbuka, tiba-tiba didengarnya lamat-lamat suara aba-aba dari
laskar Jipang itu. Dengan sigapnya setiap orang di dalam barisan itu
bergerak. Dan terbentuklah gelar Dirada Meta yang sempurna. Macan
Kepatihan, senapati yang disegani itu, berdiri di ujung gelar itu. Agak
jauh di sisinya, kedua senapati pengapitnya, siap membayangi setiap
perkembangan keadaan. Mereka adalah Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda.
Tepatlah tebakan Untara atas gelar yang akan dilakukan oleh Macan
Kepatihan itu. Namun sebaliknya. Macan Kepatihan pun dapat
memperhitungkan dengan tepat, bahwa Pajang akan mempergunakan gelar yang
lebih luas. Sesuai dengan keadaan laskarnya yang bercampur baur dengan
laskar Sangkal Putung, maka mereka memerlukan medan yang lebih lebar,
supaya tidak terjadi desak-mendesak diatara mereka. Laskar Sangkal
Putung itu pasti belum mampu untuk menghadapi keadaan yang serba
tiba-tiba seperti lasakar Pajang sendiri. Namun keberanian dan tekad
dari orang-orang Sangkal Putung benar-benar memusingkan kepala Tohpati.
Mereka mengamuk seperti orang mabuk, apalagi di sampingnya selalu
dibayangi oleh kemahiran bertempur orang-orang Pajang, sehingga gabungan
di antara mereka, keberanian, tekad yang meluap-luap dan pengalaman
serta kemahiran merupakan kekuatan yang benar-benar ngedab-edabi.
Kedua orang yang bersembunyi itu adalah
orang-orang Pajang yang dipasang oleh Untara. Karena itu maka segera
mereka menyelinap dan berlari terbongkok-bongkok ke arah kuda-kuda
mereka di dalam semak-semak. Sesaat kemudian mereka itu pun telah
meloncat keatas punggung kuda masing-masing dan dengan hati-hati mereka
berusaha untuk mencari tempat-tempat yang terlindung. Baru setelah agak
jauh mereka memacu kuda-kuda mereka dengan cepatnya menuju ke Sangkal
Putung
Tohpati dan beberapa pemimpin pasukan
Jipang melihat kedua orang berkuda itu. Namun mereka sama sekali tidak
berkeberatan seandainya kedatangan mereka kali ini disongsong oleh
laskar Sangkal Putung dan pasukan Pajang. Pasukan Jipang yang terhimpun
dari orang-orang mereka yang betebaran itu merupakan kekuatan yang cukup
besar untuk menggulung Kademangan Sangkal Putung.
Kedua pengawas dari Sangkal Putung itu
memacu kudanya seperti angin. Mereka harus segera sampai Sangkal Putung
dan melaporkan apa yang mereka lihat.
Ketika mereka menjadi semakin dekat
dengan Sangkal Putung, terasa titik-titik hujan semakin deras berjatuhan
di atas tubuh-tubuh mereka. Namun ketika kemudian mereka melihat air
yang tergenang di sana-sini, maka gumam salah seorang adri mereka,
“Agaknya hujan lebat di daerah ini”
Yang lain menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya, lebat sekali. Bahkan angin pun agaknya terlalu kencang”
Keduanya tidak berbicara lagi. Kuda
mereka berlari semakin kencang. Sekali-sekali menyeberangi
genangan-genangan air di jalan yang mereka lalui. Dan ternyata hujan pun
belum teduh sama sekali, sehingga sebelum mereka memasuki Sangkal
Putung mereka telah menjadi basah kuyup pula. Tetapi hujan sudah jauh
berkurang. Air tidak lagi seakan-akan tertumpah dari langit yang retak.
Kedua ekor kuda itu berpacu langsung
kekademangan. Tetapi mereka menjadi kecewa ketika para penjaga regol
kademangan berkata bahwa Untara telah berangkat kebanjar desa.
“Hem” desah salah seorang dari mereka, “Marilah kita lekas ke banjar desa itu”
Dan kembali keduanya berpacu. Derap
langkah kuda-kuda mereka itu terdengar memecah kesepian jalan-jalan di
Sangkal Putung. Sekali-sekali genangan air memercik membasahi kaki
penunggang-penunggang kuda itu. Mereka harus segera menemui Untara atau
Widura.
Di banjar desa derap kuda itu disambut
dengan hati yang berdebar-debar. Kedua orang itu segera dibawa menghadap
Untara dan Widura untuk menyampaikan laporannya tentang laskar Tohpati
itu.
Dengan tergesa-gesa kedua orang itu
menceritakan apa yang telah dilihatnya tentang laskar Jipang yang datang
benar-benar dengan gelar dan kelengkapan gelar yang sempurna.
“Hem” Untara menarik nafas dalam-dalam. “Mereka mempergunakan tanda-tanda kebesaran Kadipaten Jipang?”
“Ya tuan” jawab kedua orang itu.
Untara terdiam sejenak. Meskipun yang
dikatakan oleh kedua pengawasnya itu adalah barang-barang mati,
umbul-umbul, rontek dan sebagainya, namun benda-benda itu langsung atau
tidak langsung akan mempunyai pengaruh pada jiwa setiap orang di dalam
pasukan itu. Tanda-tanda itu akan memberi semangat dan nafsu berjuang.
Tanda-tanda itu dapat memperbesar hati setiap prajuritnya. Tanda-tanda
itu dapat menjadi lambang tekad dari segenap prajurit di dalam barisan
itu.
Widura pun agaknya mempunyai pendapat
yang sama. Karena itu ketika ia melihat Untara termenung, maka gumamnya,
“Apa kita juga memerlukannya, Untara?”
“Ya paman. Alangkah baiknya kalau kita
memiliki benda-benda semacam itu. Kalau tidak, maka sesaat pasukan kita
bertemu dengan pasukan Jipang itu, maka akan terasa seolah-olah pasukan
Jipang itu mempunyai kebesaran melampaui pasukan kita, sehingga mau
tidak mau, perasaan yang demikian akan mempengaruhi setiap prajurit di
dalam pasukan kita. Sedang sebaliknya, pasukan Jipang akan lebih
berbesar hati dengan kebesarannya”
“Lalu apakah kita akan memasang umbul-umbul?” bertanya Widura.
“Berapa banyak umbul-umbul yang ada di sini?”
“Terlalu sedikit. Dan tidak lebih dari
tanda-tanda pasukanku. Sama sekali bukan umbul-umbul kebesaran Pajang,
apalagi Demak” sahut Widura, “Dan itu pun terlalu kecil hampir tidak
akan berarti”
Untara kembali termenung. Dan tiba-tiba
ia berkata, “Tidak apa-apa, yang kecil itu akan merupakan panji-panji
kebanggaan pasukan paman Widura. Tetapi adalah paman mempunyai
panji-panji Gula Kelapa?”
“GulaKelapa? Mengapa?”
“Panji-panji itu adalah lambang kebesaran Demak. Dan tentu akan merupakan lambang kebesaran Pajang pula”
“Tentu. Di dalam pasukanku ada panji-panji itu”
Untara mengangguk-angguk. Kepada Ki
Demang Sangkal Putung ia pun bertanya, “Ada berapa panji-panji Gula
Kelapa di seluruh Kademangan Sangkal Putung?”
Ki Demang ragu-ragu sejenak. Dengan
ragu-ragu pula ia menjawab, “Aku tidak tahu ngger. Apakah di Sangkal
Putung ada panji-panji semacam itu”
“Tentu paman” jawab Untara, “Bukankah
Sangkal Putung dahulu mengakui kebesaran Demak, kemudian mengakui Pajang
dan bukan Jipang?”
Ki Demang itu kembali termangu-mangu.
Tiba-tiba ia tersentak, seakan-akan sebuah ingatan telah menyentak
kepalanya. Katanya, “Ya, ya. Aku ingat sekarang. Di kademangan ini ada
sebuah pepunden. Panji-panji Gula Kelapa yang besar. Panji-panji yang
kita namai Kiai Unggul. Tetapi panji-panji itu adalah pepunden
kademangan ini, yang kami keluarkan dari penyimpanan setahun sekali,
setiap bulan pertama untuk dibersihkan”
Untara mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya, “Itulah. Saat ini adalah waktunya untuk mengeluarkan Kiai
Unggul dari simpanannya”
“Ya, bahkan ada pula panji-panji yang
lain. Milik seorang bekas prajurit Demak. Lengkap dengan tunggulnya.
Panji-panji itu didapatnya pada saat ia ikut berperang melawan
orang-orang Portugis di ujung Melayu bersama pangeran Sabrang Lor”
“Orang itu sudah tua sekali?”
“Ya, panji-panji itu dinamainya Kiai Jetayu”
“Nama seekor burung Garuda” desis Agung Sedayu
“Ya, panji-panji itu pun cukup besar. Hampir sebesar Kiai Unggul” berkata Ki Demang.
Wajah Untara menjadi cerah. Tiba-tiba ia
berkata lantang, “Waktu sudah mendesak. Siapkan pasukan dan siapkan Kiai
Tunggul dan Kiai Jetayu”, kemudian kepada Ki Demang ia berkata,
“Suruhlah seseorang menjemput kedua panji-panji itu. Berkuda sekarang
juga, dan bersama dengan itu ambillah semua tanda-tanda kebesaran
pasukan Pajang di kademangan”
Untara tidak perlu mengulangi
perintahnya. Widura segera berdiri dan berjalan kehalaman. Kepada
bawahannya segera ia memerintahkan untuk menyiapkan pasukan. Sedan
kepada beberapa orang lain diperintahkannya mengambil beberapa tanda
kebesaran di kademangan. Di dalam gelodog, di pringgitan. Sedang
beberapa orang yang lain mendapat perintah dari Ki Demang untuk
mengambil panji-panji Kiai Unggul dan Kiai Jetayu beserta tunggulnya
masing-masing.
Sesaat kemudian di lapangan di muka
banjar desa itu, pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung telah
mempersiapkan dirinya. Mereka menunggu beberapa orang menyiapkan
tanda-tanda kebesaran mereka. Beberapa buah tunggul dengan ujung
berbentuk garuda dan bunga berdaun lima. Itu adalah tanda kebesaran dari
pasukan Widura di Sangkal Putung. Panji-panji yang besar berwarna emas
dengan gambar seekor Garuda yang sedang mengembangkan sayap-sayapnya.
Kemudian beberapa umbul-umbul kecil dan rontek-rontek yang tidak semegah
umbul-umbul pasukan Jipang. Namun ketika kemudian dujung pasukan itu
berkibar tiga buah panji-panji yang besar berwarna Gula Kelapa, maka
kebesaran pasukan Pajang bersama dengan laskar Sangkal Putung itu
menjadi bercahaya.
Ketiga panji-panji itu adalah Kiai
Unggul, Kiai Jetayu dan panji-panji pasukan Widura sendiri. Panji-panji
Gula Kelapa dari pasukan Wiratamtama dibawah kekuasaan Pajang, di
samping panji-panji pasukannya.
Ketika pasukan Pajang beserta laskar
Sangkal Putung itu melihat ketiga panji-panji Gula Kelapa di ujung
pasukannya maka hati mereka serentak bersorak. Kiai Unggul bagi rakyat
Sangkal Putung mempunyai arti tersendiri. Kiai Jetayu itu pun telah
mereka kenal pula sebagai selembar panji-panji pusaka yang bertuah.
Dari kedua orang pengawasnya, Untara
mengetahui bahwa pasukan Jipang sudah berangkat menuju ke Sangkal
Putung. Karena itu maka ia tidak menunggu lebih lama lagi.
Dipersiapkannya seluruh pasukannya untuk segera berangkat menyongsong
pasukan Jipang.
Sesaat kemudian terdengar di pendapa
banjar desa itu, kentongan dalam nada Dara-muluk. Nada yang tidak biasa
diperdengarkan dalam keadaan bahaya seperti saat itu. Namun setiap orang
di Sangkal Putung kali ini mengetahui, bahwa bunyi kentong itu adalah
pertanda bahwa pasukan Pajang beserta laskar Sangkal Putung telah siap
untuk berangkat.
Beberapa orang yang karena suatu sebab,
belum berada di lapangan itu, segera berlari-lari sambil menjinjing
senjatanya, menuju ke banjar desa. Ketika mereka melihat laskar Sangkal
Putung telah bersiap segera mereka memasuki kelompok masing-masing.
Setelah para pemimpin kelompok menghitung
anak buah masing-masing serta segala persiapan telah lengkap, maka
terdengarlah suara Widura memecah gelap malam. Mengumandang memenuhi
lapangan.
Aba-aba itu adalah aba-aba yang pertama.
Aba-aba yang disambut dengan debar di setiap dada. Sehingga lapangan itu
kemudian terhenyak kedalam kesepian. Seakan-akan tak seorang pun yang
berada di sana.
Aba-aba itu adalah aba-aba yang pertama.
Aba-aba yang disambut sesaat kemudian, setelah Widura yakin bahwa segala
sesuatunya telah siap, maka terdengarlah aba-abanya yang terakhir.
Aba-aba itu disambut oleh pemimpin-pemimpin kelompok, yang mengulanginya
dengan cepat seperti apa yang diucapkan oleh Widura.
Maka mulailah pasukan itu bergerak.
Seperti pasukan Jipang, maka pasukan Widura ini pun dilengkapi dengan
obor-obor, sehingga lapangan di muka banjar desa itu menjadi terang
benderang.
Hujan kini sudah tidak lebat lagi.
Titik-titik air satu-satu masih berjatuhan. Namun sudah tidak mampu lagi
memadamkan nyala-nyala obor yang seolah-olah melonjak-lonjak
kegirangan.
Untara dan Widura berjalan di ujung
pasukan itu. Kemudian Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Demang Sangkal
Putung. Hudaya dan Sonya masih berada di dalam kelompoknya masing-masing
sebelum mereka kemudian harus mempersiapkan diri bersama-sama dengan
Agung Sedayu dan Swandaru menghadapi kemungkinan yang paling berat.
Melawan seorang yang bernama Sumangkar.
Di belakang induk pasukan berjalanlah
sebagian dari laskar Sangkal Putung. Mereka berjalan dengan penuh
semangat. Mereka merasa bahwa di pundak mereka terletak tanggung-jawab
atas Sangkal Putung. Pasukan Pajang yang berada di kademangan itu adalah
sekedar tenaga yang memberi bantuan kepada mereka. Merekalah yang harus
melindungi kademangan itu. Dan merekalah yang harus bertempur
mati-matian melawan orang-orang Jipang.
Di belakang laskar Sangkal Putung itu
Citra Gati berjalan sambil menundukkan wajahnya. Ia merasa badannya aneh
kali ini. Kepada seseorang yang berjalan di belakangnya, Citra Gati itu
bertanya, “Kau lihat Hudaya?”
Orang yang mendapat pertanyaan itu menjawab, “Kakang Hudaya masih berada di dalam kelompoknya”
“Panggil ia sebentar kemari” katanya.
Orang itu pun segera keluar dari barisannya. Sesaat ia berhenti menunggu Hudaya yang berada agak jauh di belakang mereka.
Hudaya heran mendengar bahwa Citra Gati
memanggilnya. Karena itu dengan tergesa-gesa ia berjalan mendahului
berisannya kekelompok Citra Gati. Kelompok yang nanti akan memimpin
pasukan Pajang disayap kanan.
Ketika Hudaya telah berjalan didekat Citra Gati, maka dengan serta-merta ia bertanya, “Apakah ada sesuatu yang penting ?”
Citra Gati berpaling. Dilihatnya Hudaya memandanginya dengan tegang.
Citra Gati itu tersenyum. Ia hanya ingin
melepaskan perasaannya yang aneh. Maka katanya, “Apakah kumis dan
janggutmu sempat kau bersihkan?”
Hudaya mengerutkan keningnya. “Belum. Kau
juga belum” jawabnya, “Biarkan saja kumis dan janggut itu. Tetapi
apakah yang penting?”
Citra Gati menggeleng, “Tidak ada” jawabnya, “Aku hanya merasa sepi. Seakan-akan aku berjalan seorang diri disayap ini”
“Uh, bukan main” keluh Hudaya sambil mengerutkan keningnya, “Aku sangka ada hal-hal yang sangat penting”
Citra Gati tersenyum. Tetapi senyumnya
tampak hambar. Katanya, “Jangan marah. Rambut di wajahmu benar-benar
menarik perhatianku. Aku cemas kalau kau tidak sempat membersihkannya
lagi”
Hudayalah yang kini tersenyum, katanya,
“Aku belum pernah melihat seseorang yang bernama Sumangkar. Mungkin ia
ganas, seganas Macan Kepatihan. Tetapi mungkin ia lunak, selunak jenang
alot”
“Jangan mengigau” potong Citra Gati, “Sekarang kembalilah kekelompokmu”
Hudaya menarik nafas dalam-dalam.
Gumamnya, “Aku sangka kau sempat membawa jenang alot itu kakang. Dan kau
ingin memberi aku sepotong. Kalau tahu demikian, aku tidak akan datang”
Citra Gati tidak menjawab. Sekali lagi ia tersenyum, senyum yang hambar.
Hudaya kembali kekelompoknya. Namun ia
merasa aneh. Citra Gati tidak pernah merasakan hal-hal yang aneh di
dalam setiap pertempuran. Ia tidak pernah merasa keganjilan dalam setiap
tugas yang diserahkan kepadanya. Tetapi Hudaya tidak mau dipengaruhi
oleh keadaan itu. Dipusatkannya perhatiannya kepada saat-saat yang akan
datang.
Sesaat kemudian mereka telah meninggalkan
induk padesan Sangkal Putung. Di hadapan mereka terbentang beberapa
desa kecil. Lepas padesan itu nanti, segera mereka akan sampai ke tempat
terbuka. Tanah persawahan yang menghadap langsung kepadang rumput dan
perdu di pinggir hutan.
Untara segera memerintahkan untuk
mempercepat perjalanan, supaya mereka tidak terlambat. Apabila laskar
Tohpati sudah memasuki padesan Sangkal Putung, maka pertempuran akan
menjadi bertambah sulit. Apabila mungkin maka mereka harus sudah
melampaui tanah-tanah persawahan dan bertempur dipadang rumput. Supaya
tanaman mereka tidak terinjak-injak.
Di sepanjang perjalanan itu meskipun
Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru seakan-akan telah membulatkan
hatinya untuk bertempur tanpa Kiai Gringsing, namun di sudut hati mereka
masih juga menyimpan harapan, mudah-mudahan Kiai Gringsing tiba-tiba
saja muncul di antara mereka.
Tetapi semakin jauh mereka berjalan,
harapan itu semakin tipis. Semula mereka masih juga mengharap, bahwa
Kiai Gringsing hanya sedang berteduh karena hujan yang lebat. Namun
setelah hujan menjadi jauh berkurang, dan Kiai Gringsing tidak juga
muncul, maka harapan mereka pun menjadi semakin tipis pula.
Dengan langkah yang tetap setiap orang di
dalam pasukan itu berjalan menuju ke ujung kademangan. Satu dua desa
kecil telah mereka lampaui. Dan akhirnya mereka menembus jalan di
tengah-tengah desa terakhir. Semakin dekat mereka dengan ujung jalan
itu, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar.
Demikian mereka keluar dari mulut lorong
itu, demikian dada mereka bergetar. Ternyata agak jauh di hadapan
mereka, mereka melihat sea untaian obor-obor beriringan. Terdengarlah
hampir setiap mulut bergumam, “Itulah mereka”
Tanpa disengaja setiap tangan segera
meraba senjata masing-masing. Beberapa bagian dari mereka, yang
bersenjata pasangan pedang dan perisai, segera memasang perisai-perisai
mereka di tangan kiri. Sedang mereka yang bersenjata tombak, maka
tombak-tombak itu sudah tidak mereka panggul di atas pundak mereka.
Namun tombak-tombak itu telah merunduk, seolah-olah mereka tidak sabar
lagi untuk meloncat menerkam dada lawan-lawan mereka.
Untara semakin mempercepat perjalanan
itu. Ternyata laskar Jipang telah lebih dahulu sampai dipadang rumpur.
Namun apabila mereka berjalan cepat, maka mereka masih belum terlambat.
Mereka masih akan mencapai sisi padang itu, sebelum laskar Jipang lepas
meninggalkannya.
Kening Untara berkerut ketika ia melihat
iring-iringan laskar Jipang itu. Meskipun Untara belum dapat melihat
dengan jelas, namun sebagai seorang prajurit yang berpengalaman ia
segera dapat menebak, bahwa laskar Jipang telah berjalan dalam gelar.
catatan:
Bagian terakhir jilid ini tidak nyambung dengan bagian awal jilid 11. Sepertinya ada beberapa halaman yang terlewatkan.
———-oOo———-
(bersambung ke Jilid 011)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-10/

Tinggalkan Balasan