

ADBM-001
lanjut >>

SEKALI-SEKALI terdengar petir bersabung
di udara. Setiap kali suaranya menggelegar memenuhi lereng Gunung
Merapi. Hujan diluar seakan-akan tercurah dari langit.
Agung Sedayu masih duduk menggigil di
atas amben bambu. Wajahnya menjadi kian pucat. Udara sangat dingin dan
suasana sangat mencemaskan.
“Aku akan berangkat” tiba-tiba terdengar suara kakaknya,Untara dengan nada rendah.
Agung Sedayu mengangkat wajahnya yang pucat. Dengan suara gemetar ia berkata, “Jangan, jangan kakang berangkat sekarang”
“Tak ada waktu” sahut kakaknya, “sisa2
laskar Arya Penangsang yang tidak mau melihat kenyataan menjadi gila dan
liar. Aku harus menghubungi paman Widura di Sangkal Putung. Kalau
tidak, korban akan berjatuhan. Anak-anak Paman Widura akan mati tanpa
arti. Serangan itu akan datang demikian tiba- tiba”.
“Tidakkah ada orang lain yang dapat menyampaikan berita itu? Potong adiknya.
“Tak ada orang lain” sahut kakaknya.
“Tetapi….” bibir Sedayu gemetar.
“Aku harus pergi” Untara segera bangkit. Tetapi tangan adiknya cepat2 menggapai kainnya.
“Jangan,jangan” adiknya berteriak, “aku takut”
Untara menarik nafas panjang. Katanya,
“kau hanya akan berada di rumah ini sendirian malam nanti. Besok kau
pergi ke Banyu Asri. Kau akan tinggal disana sampai aku pulang”.
“Aku takut, justru malam ini” sahut adiknya, “bagaimana kalau laskar yang liar itu datang kemari”
“Mereka tak akan datang kemari” jawab kakaknya, “aku tahu pasti. Mereka akan menyergap Paman Widura. Karena itu aku harus pergi”
“Tidak – tidak” mata Sedayu mulai basah. Dan akhirnya dari matanya itu melelehkan air mata.
Sekali lagi Untara menarik nafas
panjang-panjang. tanpa sesadarnya ia terlempar kembali, duduk di samping
adiknya. Hatinya menjadi bingung. Ia tidak dapat berpangku tangan
terhadap laskar Widura yang sedang terancam bahaya. Tetapi adiknya
benar-benar penakut. Anak yang telah mendekati usia 18 tahun itu sama
sekali menggantungkan dirinya kepada orang lain. Sepeninggal ayahnya
beberapa tahun yang lampau dan ibunya yang baru beberapa bulan, maka
anak itu hampir tidak pernah berpisah darinya. Apalagi di dalam
kekalutan keadaan seperti saat itu. Sehingga dengan demikian Untara
merasa seakan-akan memelihara anak bayi.
“Sedayu” katanya kemudian, “umurmu telah
hampir 18 tahun. Dalam usia itu Adipati Pajang yang dahulu bernama mas
Karebet, telah menggemparkan Demak, dan sekarang dalam usia yang muda
pula, Sutawijaya berhasil melawan Penangsang yang perkasa”
“Aku bukan mereka” jawab Sedayu
Untara mengeleng-gelengkan kepalanya, katanya, “setidak-tidaknya kau harus malu kepada dirimu sendiri”
“Tetapi aku takut” Sedayu tidak menghiraukan kata-kata kakaknya.
Kembali Untara termenung. Adalah salahnya
sendiri, apabila pada masa kanak-kanaknya adiknya itu terlalu
dilindunginya. Kenakalan kawan-kawannya pasti akan dihadapinya. Karena
itulah maka Sedayu terlalu tergantung padanya. Dan sampai masa
dewasanya, ia tidak mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Meskipun
adiknya itu selangkah dua langkah diajarnya juga cara-cara membela diri
dan di dalam latihan-latihan dapat juga menunjukkan kelincahan dan
ketangkasan, namun kelincahan dan ketangkasannya itu terbatas di
belakang dinding-dinding rumahnya. Hatinya terlalu kecil untuk
berhadapan dengan dunia. Terasa betapa kerdil jiwanya. Apalagi setelah
didengar oleh Agung Sedayu, betapa laskar Penangsang yang sedang
berputus asa itu berkeliaran di lereng gunung Merapi.
Untara kini benar-benar kebingungan. Ia
menjadi gelisah, sedang waktu merambat terus ke pusat malam. Dan hujan
masih saja memukul atap-atap rumah dan dedaunan.
Tiba-tiba Untara mengangkat wajahnya,
gumamnya, “Bagaimana kalau kau ikut”. Namun terasa hatinya sendiri
beragu. Kalau ada bahaya di perjalanan dan adiknya itu kena cidera, maka
seluruh sanak keluarganya, terutama paman dan bibinya di Banyu Asri
akan menyalahkannya.
Agung sedayu memandang wajah kakaknya
yang suram. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya, pada malam yang gelap dan
hujan yang pekat, memaksa diri pergi ke Sangkal Putung. Ketika Sedayu
sedang mencoba untuk berpikir, terdengar kakaknya berkata, “Bagaimana
Sedayu? Kau tinggal di rumah, atau kau ikut serta?”
“Kedua-duanya tidak menyenangkan” jawab Agung Sedayu.
“Kau harus memilih salah satu dari
keduanya” jawab kakaknya, yang akhirnya tidak menemukan jalan lain.
Sebab yang melingkar-lingkar di dalam dadanya adalah, “laskar paman
Widura harus diselamatkan”, dan itu adalah kewajibannya.
Agung Sedayu menjadi bingung. Keduanya
sama sekali tak menarik baginya. Tetapi ia tidak dapat merubah keputusan
kakaknya untuk pergi ke Sangkal Putung. Karena itu akhirnya ia memilih
untuk ikut serta meskipun dengan dada yang berdebar-debar.
“Bagaimana kalau kita berjumpa dengan laskar itu di perjalanan” bertanya Agung Sedayu.
“Kemungkinan yang sama dengan kedatangan mereka ke rumah ini” sahut kakaknya.
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ketika
kakaknya berdiri dan meraih kerisnya dari glodog di samping
pembaringannya, Agung Sedayu pun berdiri pula. Dibetulkannya letak
pakaiannya dan kemudian diteguknya air sere dari mangkuk bamboo dengan
bibir yang gemetar. Namun hatinya tidak mau tenang juga.
“Bawa kerismu” perintah kakaknya.
Agung Sedayu menjadi semakin gelisah, tetapi dengan tangan yang menggigil disisipkannya kerisnya dipinggang kiri.
Diikutinya langkah kaki kakaknya
melompati tludak pintu menuju ke kandang kuda di belakang rumah. Namun
ketika mereka telah berada di atas punggung-punggung kuda, kembali Agung
Sedayu berdesah, “Apakah pekerjaan ini tidak dapat ditunda?”
Kakaknya menggeleng, “tidak” jawabnya, “besok pagi-pagi laskar yang liar itu akan menghantam paman Widura”
Agung Sedayu memandang malam yang pekat
dengan dada yang berdentang-dentang. Pakaiannya telah basah kuyup oleh
hujan yang semakin deras.
“Berdoalah” bisik kakaknya, “Tuhan bersama kita”
Agung Sedayu menggangguk kecil. Tampaklah bibirnya bergerak-gerak. Disebutnya nama Allah Maha Pemurah dan Maha Pengasih.
Kemudian bergeraklah kuda-kuda itu menyusup kedalam kekelaman malam.
Sesaat kemudian mereka meninggalkan
padukuhan Jati Anom menuju ke arah timur. Di belakang mereka berdiri
tegak gunung Merapi yang berselimut kepekatan malam dan kepadatan
butir-butir air hujan yang berjatuhan dari langit. Ketika guruh
menggelegar diudara dan kilat menyambar di atas kepala mereka sekilas
tampaklah jalan yang menjalur dibawah kai-kaki kuda mereka. Becek dan
merah, diwarnai oleh tanah liat yang telah bertahun-tahun sedikit demi
sedikit meluncur dari lereng-lereng bukit.
Untuk beberapa saat mereka berdiam diri
terpaku di atas punggung kuda masing-masing. Hanya setiap kali Agung
Sedayu selalu menoleh kepada kakaknya, seakan-akan takut
ditinggalkannya. Tetapi kakaknya itu selalu menundukkan kepalanya.
Sebenarnyalah ia sedang berpikir. Apakah yang kira-kira akan terjadi di
perjalanan dan apakah yang akan terjadi besok apabila laskar yang liar
itu benar-benar akan menyerang. Kedudukan Widura tidak begitu
menguntungkan dan jumlah orangnya pun tidak begitu banyak, sebab
Sangkal Putung bukanlah daerah yang langsung menghadapi pertempuran.
Tetapi sisa-sisa laskar Arya Penangsang yangtidak mau melihat kekalahan
Adipati Jipang itu berusaha untuk menimbulkan keributan dimana-mana.
Mereka berkeliaran, bahkan melingkari Pajang dan kemudian menyerang
daerah-daerah yang jauh di belakang garis perang. Mereka datang setiap
saat, dan kemudian menghilang seperti hantu. Hutan-hutan jati dan bahkan
hutan-hutan belukar menjadi tempat persembunyian mereka.
Demikianlah petang tadi, sampang Untara
menerima berita tentang laskar yang telah kehilangan tujuan
perjuangannya itu. Mereka berhasrat untuk menyerang Sangkal Putung
Timur. Dan agaknya Widura sama sekali tidak menduga. Namun
lumbung-lumbung yang padat di Sangkal Putung, pasti akan dapat memberi
perbekalan yang baik bagi laskar yang liar itu. Dan memang itulah tujuan
mereka.
Angan-angan Untara terputus ketika mendengar adiknya berbisik, “Kakang, kau melihat bayangan di hadapan kita?”
Untara mengerutkan keningnya, “Ya” jawabnya.
“Orang?” berbisik Agung Sedayu.
Untara menggeleng, “Jangan mengada-adaSedayu. Bukankah itu batang pohon jati yang roboh karena angina tiga hari yang lampau?”
Sedayu mempertajam pandangannya. Namun
bayangan itu seperti seseorang yang bertubuh raksasa menghalang
dipinggir jalan. Tiba-tiba bulu-bulunya meremang dan hatinya menjadi
tegang. Ia merapatkan kudanya kesisi kuda kakaknya.
“Hem” kakaknya menggerang, “Kau bukan anak-anak lagi Sedayu. Seharusnya kau berani menempuh perjalanan ini seorang diri”
Sedayu diam saja. Tetapi hatinya masih tegang.
Ketika kilat menyambar dilangit, dan
nyalanya memenuhi lereng gunung Merapi itu, Sedayu menarik nafas
panjang, Bayangan itu benar-benar pokok pohon jati yang patah diputar
angin.
Tetapi baru saja Sedayu bernafas lega,
tiba-tiba kembali dadanya berdebar-debar. Tidak jauh di hadapan mereka
terbentang padang rumput dan beberapa ratus langkah lagi, tampak tegak
sebatang pohon beringin raksasa. Daerah yang biasa disebut Lemah
Cengkar.
“Kita lewat jalan ini?” terdengar suaranya lirih di antara gemerisik hujan.
“Kenapa?” Tanya kakaknya.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kakaknya sudah tahu jawabnya, “Kau takut macan putih yang menjagai beringin itu?”
Agung Sedayu mengangguk.
“Tidak” kakaknya meneruskan, “Kita tidak lewat Lemah Cengkar. Kita ambil jalan memintas. Kita belok ke kanan”
“Lewat jalan dipinggir hutan belukar?” Sedayu menjadi semakin cemas.
“Ya” jawab kakaknya.
“Macanan?” desak adiknya.
“Ya”
Sedayu semakin gelisah. Katanya,
“Bagaimana kalau kita tiba-tiba berjumpa dengan seekor harimau. Bukankah
daerah Macanan itu terkenal dengan harimau belangnya?”
“Harimau belang itu tidak seganas Macan
Putih di Lemah Cengkar” Untara menakut-nakuti adiknya, meskipun ia sama
sekali tidak takut terhadap macan putih mau pun harimau belang. Namun
lewat Macanan jalan bertambah dekat.
Agung Sedayu terbungkam. Namun tubuhnya
terasa menggigil. Menggigil karena hatinya yang keciut dan menggigil
karena dingin. Tetapi kuda mereka berjalan terus. Bahkan ketika Untara
mempercepat lari kudanya, Sedayu pun segera melecut kudanya pula. Ia
tidak mau berjarak lebih tebal tubuh kudanya dari kuda kakaknya.
Perjalanan mereka menjadi kian sulit.
Tanah yang liat di jalan-jalan sempit itu tampak merah kehitam-hitaman.
Di hadapan merek terbentang hutan belukar. Pandangan mata Untara yang
tajam jauh mendahului kaki-kaki kudanya.
Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat
alisnya. Ketika kilat menyambar ia melihat sesuatu di hadapannya. Kali
ini ia melihat bayangan. Bukan pokok kayu jati yang roboh. Dan bayangan
itu dilihatnya menghilang di ujung jalan.
Untara menjadi berdebar-debar. Ia menoleh kapada adiknya, namun agaknya Sedayu belum melihatnya.
Untara sendiri tidak pernah menjadi takut
apa pun yang berada di depannya. Tetapi kali ini ia membawa adiknya.
Seandainya bayangan itu seekor harimau, maka akan mudahlah untuk
mengatasinya. Harimau tidak selalu menyerang seseorang. Kalau harimau
itu tidak berdiri di tengah jalan, maka seandainya harimau itu lapar,
kuda-kuda mereka akan dapat berlari lebih kencang dari harimau itu.
Meskipun seandainya harimau itu mengadang mereka, Untara pun tidak
takut, sebab telah dua kali ia terpaksa berkelai dengan harimau, dan
harimau-harimau itu selalu berhasil dibunuhnya. Dibunuh dengan keris
yang terselip dipinggangnya itu.
Tetapi bayangan yang bergerak dan
menghilang kedalam hutan adalah bayangan yang tegak di atas kakinya. Ia
melihat dengan ketajaman matanya.Dan ia pasti bahwa bayangan itu adalah
bayangan seseorang.
Untara menarik nafas untuk merdedakan
debar jantungnya. Sekali lagi ia memandangi adiknya, bahkan tanpa
disengaja ia memperlambat kudanya.
Sedayu pun cepat-cepat menarik kekang kudanya. Dengan nafas yang bekejaran ia bertanya, “Ada apa kakang?”
“Tidak ada apa-apa” sahut kakanya, “Jalanan di hadapan kita sangat licin”
“Oh” namun jantungnya menjadi semakin cepat berdentang.
Akhirnya Untara menghentikan kudanya.
Dilontarkannya pandangan matanya kehutan di hadapannya, “Apakah yang
tersembunyi di balik kekelaman itu?”
Hati Agung Sedayu semakin cemas, desisnya, “Adakah sesuatu di hadapan kita?”
Untara bimbang. Tidak seharusnya ia
menyembunyikan bahaya yang mungkin berada di balik kehitaman hutan itu.
Mereka harus berhati-hati. Tetapi kalau adiknya menjadi ketakutan,
keadaan akan lebih jelek lagi.
“Kita lampaui daerah yang licin ini
dengan berjalan kaki” jawab kakaknya. Ia tidak menunggu lebih lama lagi.
Dituntunnya kudanya berjalan perlahan-lahan dengan penuh kewaspadaan.
Ia tidak tahu siapakah yang berada di ujung hutan itu. Kalai mereka
menyerang dengan tiba-tiba, maka duduk di atas punggung kida akan
menjadi lebih berbahaya. Seorang kawannya pernah mengalami nasib yang
tidak menyenangkan, ketika ia mengalami serangan dengan cara pengecut.
Dilintangkan oleh para penyerang itu, seutas tali untuk menjatuhkan
kudanya. Kemudian dalam keadaan yang sulit kawannya itu tidak mampu
mempertahankan diri. Dan kini iat tidak mau mengalami nasib serupa
itu.Hati Sedayu menjadi bertambah kecut. Ia merasa sesuatu yang tidak
pada tempatnya. Karena itu ia bertanya lagi sambil merapatkan diri di
samping kakaknya, “Adakah sesuatu yang berbahaya?”
Kakaknya tidak mau berbohong lagi.
Jawabnya, “Bersiaplah. Mungkin kita berjumpa dengan bahaya, tetapi
mungkin pula kita mendapat teman”
Denyut nadi Sedayu seakan-akan berhenti. Dengan tergagap ia berkata, “Kakang, apakah tidak sebaiknya kita kembali?”
“Nasib paman Widura tergantung kepada kita” sahut kakaknya.
“Tetapi nasib kita sendiri?” desak adiknya.
Untara tidak tahu bagaimana menjawab
pertanyaan itu. Pertanyaan yang wajr. Tetapi ada sesuatu yang tidak
dirasakan oleh adiknya itu. Ia merasa wajib untuk menyelamatkan laskar
Widura, pamannya yang telah bertahun-tahun bersama-sama dalam satu
ikatan perjuangan. Dan yang terakhir, mereka berdua berdiri di pihak
Pajang dalam pertentangannya dengan Jipang. Karena itu ada beberapa
dorongan yang kuat yang memaksanya untuk berjalan terus.
Karena Untara tidak menjawab, Sedayu
mendesaknya, “Kakang, kenapa kita tidak kembali. Bukankah nasib kita
sendiri lebih berharga dari nasib siapa pun juga?”
“Belum pasti kita akan menjumpai bahaya
Sedayu. Bahkan mungkin kita akan mendapat teman seperjalanan. Syukurlah
kalau yang berada di ujung hutan itu anak-anak paman Widura sendiri”.
Namun apa yang dikatakannya sama sekali tidak diyakininya. Sangkal
Putung masih agak jauh.
“Adakah seseorang di ujung hutan itu?” Sedayu semakin cemas.
“Ya” jawab Untara berat.
“Kakang lihat?” desak Sedayu.
“Ya” Untara menjadi semakin cemas. Kalau adiknya menjadi ketakutan, sulitlah keadaannya.
Apa yang diduganya itu benar-benar
terjadi. Tiba-tiba Sedayu semakin merapatkan dirinya sambil merengek,
“Kakang, marilah kita kembali”
“Jangan Sedayu” jawab kakaknya membesarkan hati adiknya, “Kita lihat siapakah yang berada di ujung hutan itu”
“Mereka pasti laskar Arya Penangsang” sahut adiknya.
“Kenapa kita mesti takut kepada mereka?” bertanya kakaknya.
“Mereka adalah orang-orang sakti” jawab adiknya.
“Kita juga laki-laki seperti mereka,
Sedayu” bombing kakaknya, “Apabila mereka orang-orang sakti, mereka
tidak akan dikalahkan oleh laskar Pajang”
“Kita bukan laskar Pajang” bantah adiknya.
“Aku salah seorang dari prajurit Pajang”
potong kakaknya. Untara bukanlah seorang yang biasa menyombongkan
dirinya. Tetapi ia mengharap adiknya mempunyai kepercayaan kepadanya dan
tidak akan menyulitkan keadaanya seandainya ia benar-benar harus
menghadapi bahaya.
“Tetapi aku bukan” rengek adiknya pula. Bahkan kini Sedayu telah mulai menarik-narik bajunya.
Untara menjadi gelisah. Tetapi ia tidak
menjawab. Jarak mereka telah semakin dekat dan Untara tidak memutar
langkahnya. Ketika adiknya akan berkata lagi, Untara berdesis, “diamlah
supaya orang – orang dimuka kita tidak tahu bahwa kau penakut. Dengan
demikian mereka akan semakin berani. Dan mereka akan mempermainkan kita
seperti kelinci.”
Sedayu terbungkam. Betapa ia menjadi
sangat takut untuk menyatakan ketakutannya. Karena itu dengan lutut yang
gemetar ia pun berjalan terus.
Tiba – tiba Untara menggeram. Untunglah
mereka tidak akan dapat melihat bamboo wulung yang kehitam – hitaman
itu. Apalagi di dalam kepekatan hujan malam yang kelam. Namun ketajaman
mata Untara dapat membedakannya dengan warna air yang keputih – putihan
memantulkan cahaya cakrawala yang sangat lemah. Dan apabila kaki – kaki
kuda mereka menyentuhnya, akibatnya akan mengerikan sekali.
Beberapa langkah dari bamboo yang
melintang itu Untara berhenti. Tak ada seorang pun yang tampak. Namun ia
yakin di dalam hutan, di balik pohon – pohon yang rapat itu, pasti
bersembunyi seseorang atau lebih.
Ketika Sedayu melihat bambu yang
melintang itu, maka darahnya seakan – akan membeku. Ia pernah melihat
cerita kakaknya tentang seseorang yang malang melanggar seutas tali yang
terentang di jalan. Tetapi hatinya telah benar – benar dicekam oleh
ketakutan sehingga sama sekali ia tidak berani berkata sepatahpun.
Bahkan terasa lututnya semakin gemetar, dan seakan – akan ia telah tidak
mampu lagi untuk berdiri tegak di atas kedua kakinya itu.
Sekali, Untara menarik nafas. Ia tak mau
mendekat lagi. Sebab dengan demikian, ia akan berada di dalam kedudukan
yang kurang baik. Orang – orang yang berada di belakang rimbunnya daun –
daun akan dapat melihatnya dengan jelas, sedang ia sendiri tak akan
dapat melihat mereka. Karena itu, sengaja Untara menanti salah seorang
dari mereka atau beberapa orang sekaligus datang kepadanya.
Untuk sesaat keadaan menjadi sunyi
tegang. Nafas Sedayu terdengar berebut dahulu keluar dari hidungnya. Ia
tidak berani berkata apapun, namun tangannya erat berpegangan baju
kakaknya. Perlahan – lahan tangan Untara meraba tangan adiknya, dan
dicobanya untuk melepaskan pegangan itu. Sebab setiap saat ia perlu
bergerak cepat. Tetapi Sedayu berpegangan semakin erat bahkan
sekali-sekali menariknya.
Untara menarik nafas.
Tiba-tiba Sedayu terkejut ketika kakaknya
berkata lantang, “Biarkan mereka Sedayu. Kita tidak akan berbuat
apa-apa. Namun kalau mereka mengganggu kita, kau baru boleh bertindak
sesuka hatimu. Syukurlah kalau mereka sahabat-sahabat kita yang baik”
Sedayu tidak tahu maksud kata-kata itu.
Bahkan debar jantungnya seperti akan memecah dadanya. Ia ingin
mengatakan sesuatu namun mulutnya seperti telah tersumbat.
***
Tetapi yang diharapkan Untara terjadilah.
Orang-orang yang bersembunyi di balik pohon-pohin yang rimbun itu
mendadak menjadi tidak sabar. Sehingga dengan demikian terdengar salah
seorang di antara mereka berteriak, “Siapa kalian?”
Pertanyaan itu bagi Sedayu terdengar
seperti petir yang meledak ditelinganya. Kini tidak saja lututnya yang
gemetar, tetapi seluruh tubuhnya menggigil dan dadanya bergetar,sedang
darahnya seolah-olah berhenti menyumbat kerongkongan, sehingga nafasnya
menjadi sesak. Ia tidak dapat bertahan berpegangan baju kakaknya lagi
ketika tangan kakaknya menyentuh tangannya. Kini Untara dapat maju
selangkah,bisiknya, “peganglah kendali kuda-kuda kita”
Tetapi Sedayu tidak menangkap kendali kuda Untara bahkan dengan tidak disadarinya, kembali ia berpegangan baju kakaknya.
Perlahan-lahan kakaknya menarik tangan
adiknya adiknya sambil berkata lirih, “Sedayu,kalau kau tak mau memegang
kendali kuda, jangan berpegangan bajuku, berpeganganlah tangkai
kerismu.”
Tetapi hati Sedayu yang tinggal semenir
itu tak dapat lagi menangkap arti kata-kata kakaknya. Ketika kakaknya
bergeser selangkah lagi, tangan Sedayu terkulai lemas. Dan ia berdiri di
antara dua ekor kuda seperti tiang yang lapuk. Sebuah sentuhan yang tak
berarti akan dapat merobohkannya.
Dalam pada itu kembali terdengar suara dari ujung hutan berteriak di antara butir-butir hujan yang sudah mulai mereda.
“He, siapa kalian?”
Untara mencoba menembus kepekatan malam,
namun ia tak berhasil. Karena itu maka dijawabnya berhati-hati, “kami
anak-anak dari sendang gabus. Siapakah kalian?”
“Ya” sahut Untara
“Anak siapa?” terdengar sebuah pertanyaan.
Untara beragu. Adakah mereka mengenal
setiap orang di Sendang Gabus. Untara sendiri tidak banyak mengenal
orang-orang dari Sendang Gabus, meskipun pedukuhannya Jati Anom tidak
jauh dari Sendang Gabus itu. Untuk menyebut namanya tak mungkin baginya.
Seandainya orang-orang yang bersembunyi itu sisa-sisa laskar
Penangsang, maka nama Untara pasti mereka kenal. Dengan demikian tak
mungkin baginya untuk melampaui tempat itu tanpa pertumpahan darah.
Karena itu ia mencoba menyembunyikan namanya sejauh mungkin. Ia masih
mencoba untuk menghindarkan diri dari bentrokan kekerasan, sebab
tugasnya adalah tugas yang sangat penting. Kalau ia gagal mencapai
Sangkal Putung maka Widura akan mengalami bencana. Karena itu maka ia
menjawab untung-untungan, “Anak Sadipa”
“Sadipa” sahut suara di ujung hutan
“Ya”
“Sadipa yang mana, yang tinggi sakit-sakitan atau yang pendek kudisan?” bertanya suara itu pula”
Kembali pengenalannya atas orang yang
bernama Sadipa, “Sadipa yang lain. Tinggi besar,berkumis panjang. Tetapi
yang satu tangannya cacat.”
“Bagus” sahut suara itu, “kau benar-benar
anak Sendang Gabus, kau benar-benar kenal dengan Sadipa. Tetapi kenapa
kau berbohong ?”
Untara menjadi berdebar-debar. Ia telah
menyebutkan sebuah nama yang dikenalnya. Ia telah menyebutkan
ciri-cirinya. Tetapi orang di belakang kegelapan itu tahu ia berbohong.
Tiba-tiba Untara melihat banyangan yang
bergerak-gerak muncul dari balik pepohonan. Cepat ia melangkah surut,
selangkah saja dimuka adiknya. Nalurinya telah membawanya untuk
melindungi adiknya yang menggigil ketakutan.
Orang yang muncul dari hutan itu berjalan
perlahan-lahan mendekatinya. Terdengarlah ia tertawa lirih, namun
suaranya menghentak-hentak dada.
Agung Sedayu menjadi kian ketakutan. Namun kakaknya tegak dimukanya seperti betu karang.
“Siapakah sebenarnya?” bertanya orang itu.
Untara mencoba mengawasi wajahnya.
Lamat-lamat ia melihat garis-garis yang keras. Tubuhnya tidak begitu
tinggi, namun ketat dan kekar. Orang itu masih beberapa langkah maju.
“Ha” katanya kemudian, setelah ia berhenti kira-kira tiga empat langkah dari Untara, “dua anak yang berani”. Siapakah namamu?”
“Aku anak Sadipa” Untara mengulangi.
Kembali orang itu tertawa, “jangan
berbohong” katanya, “Anak Sadipa yang tinggi besar,berkumis panjang dan
satu tangannya cacat, tidak segagah kalian. Aku kenal mereka. Aku orang
Sendang Gabus.”
Untara terkejut mendengar keterangan itu. Apakah orang yang berdiri di hadapannya itu orang Sendang Gabus?
“Kalau kau orang Sendang Gabus, siapa namamu?” sahut Untara.
“Tebak siapa aku?” orang itu berkata sambil tertawa.
Kembali Untara diam. Ia mencoba
mengingat-ingat semua orang Sendang Gabus yang pernah dilihatnya. Dan
tiba-tiba ia teringat orang ini. Pande besi di Sendang Gabus.
“Aku ingat” tiba-tiba Untara menyahut, “kau pande besi Sendang Gabus.”
Orang itu mengangkat alisnya,katanya, “kau kenal aku?”
Ya, kau adalah salah seorang prajurit
Jipang sambung Untara. Namun dengan demikian Untara menjadi semakin
berdebar-debar. Pande besi itu kenal kepadanya dahulu. Mudah-mudahan
orng itu telah melupakannya.
Tetapi ternyata Untara tidak beruntung.
Orang itu selangkah maju, dan dicobanya untuk mengenal wajah Untara
baik-baik. Diamatinya anak muda itu dengan seksama. Maka tiba-tiba
katanya disertai derai tawanya, “Ha. Jangan bohong lagi. Kalian anak
Jati Anom.” Orang itu berhenti sejenak untuk mengingat-ingat. Maka
sambungnya menyentak, “setan. Bukankah kau yang bernama Untara. He?”
Untara tidak dapat lagi menyembunyikan
namanya. Orang itu ternyata masih mengenalnya. Namun meskipun demikian
ia menjawab, “Ya, aku Untara. Bukankah kita bertetangga?”
“Persetan. Kau pengikut Karebet yang gila itu?” bentak pande besi itu.
“Hem” Untara menarik nafas. “apakah
bedanya?” kau berada di pihak Jipang dengan keyakinanmu, aku berada di
pihak Pajang dengan keyakinanku.”
“Huh” sahut orang itu, “kau sangka Karebet berhak merajai pulau Jawa. Ia tidak lebih dari anak penunggu burung di sawah.”
“Yang penting bagiku,apakah yang telah di lakukan dan akan dilakukan bagi tanah kita ini.” Sahut Untara.
“Aku bukan tukang bicara seperti kau”
bentak orang itu. “Wahyu keraton tidak dapat hadir pada sembarang orang.
Tidak akan dapat hadir dalam diri penggembala seperti anak Tingkir
itu.”
“Tetapi Penangsang telah mati. Apa katamu?” bantah Untara
“Persetan. Namun Cita-citanya tetap hidup” jawab pande besi itu.
Untara tersenyum. Katanya, “Tahukah kau
tentang yang kau katakan itu? Cita-cita? Bukankah kau menghilang dari
Sendang Gabus karena kau tidak dapat membayar utangmu pada Demang
sendang Gabus?”
“Persetan. Persetan. Setiap pengikut Adiwijaya harus mati. Kau pula harus mati” gertak pande besi itu.
“Kau akan membunuh aku?” bertanya Untara.
Orang itu berpikir sejenak. Ia kenal akan
nama Untara yang gemilang di laskar Pajang. Ia sadar bahwa ia sendiri
tak mampu melawannya. Karena itu ia menjawab, “Ya, aku akan membunuhmu.
Maksudku golonganku. Golongan Arya Jipang.”
“Hem” Untara menarik nafas, “kenapa
golongan? Paman pande besi” sambung Untara, “Paman bisa mengakhiri cara
hidup yang tidak berketentuan itu. Orang-orang Pajang bukan pendendam.”
“Persetan.” tiba-tiba orang itu bersuit nyaring, dan sesaat kemudian muncullah tiga orang dari dalam belukar,
Terdengar Untara menggeram, “empat orang”
desisnya. Sekali ia menoleh pada adiknya. Adiknya masih menggigil
ketakutan.Tampaklah mulutnya bergerak-gerak. Namun suaranya sama sekali
tak terdengar. Untara menyesal, kenapa adiknya itu dibawa serta Kalau ia
singgah sebentar di Banyu Asri, adiknya dapat dititipkannya disana.
Namun apakah pamannya sedang di rumah juga belum pasti.
Tiga orang yang datang kemudian itu pun
kini telah berada di samping si pande besi. Yang seorang bertubuh
tingg9i kekurus-kurusan, yang seorang lagi tinggi gagah sedang yang
seorang lagi masih sangat muda, lebih tua sedikit dari adiknya.
“Untara” berkata si pande besi, “sayang
kami tidak biasa menawan seseorang. Karena itu sama sekali tidak
bermaksud menangkap kalian.”
Untara menyadari arti kata-kata itu. Pande besi itu akan berkata, “kalian berdua akan kami bunuh”
Karena itu ia tidak dapat melihat kemungkinan lain daripada bertempur melawan keempatnya. Tetapi bagaimana dengan adiknya?
Tiba-tiba Untara berkata lantang,
“Sedayu, menepilah. Biarlah aku saja yang menghadapi mereka. Kau tidak
perlu ikut serta. Orang-orang ini sama sekali tak cukup bernilai untuk
melawanmu.”
Si Pande besi menggeram, “Jangan terlalu sombong.”
Untara sama sekali tidak bermaksud
menyombongkan diri, tapi dia ingin menutupi kelemahan adiknya, sehingga
orang-orang itu tidak akan berani mengganggunya. Untunglah bahwa keempat
orang itu tidak terlalu memperhatikan adik Untara itu, sehingga mereka
tidak mengetahui, apakah sebenarnya yang sedang terjadi dengan anak muda
itu. Menggigil ketakuatan dengan dada sesak.
Pande besi Sendang Gabus bersama ketiga
kawannya itu tiba-tiba memencar. Di tangan mereka masing-masing
tergenggam senjata. Pande besi itu memegang sebuah tongkat besi, si
jangkung kurus memegang golok pendek, yang gagah bersenjata belati di
kedua tangannya, sedang si anak muda memegang pedang.
“Anak ini bernama Untara” teriak si pande besi, “karena itu berhati-hatilah.”
“Untara” desis si anak muda. Tetapi ia
tidak bertanya lebih lanjut. Namun di dalam dadanya terbersit suatu
perasaan yang aneh. Ia pernah terlibat bersama-sama dengan
kawan-kawannya dalam suatu pertempuran melawan prajurit-prajurit Pajang
yang dipimpin oleh Untara. Betapa kagumnya ia melihat Untara yang
perkasa itu. Kini ia berhadapan langsung dengan orang itu. Tiba-tiba
hatinya bergetar. Meskipun demikian ia harus bertempur. Dengan ketiga
kawannya ia pasti dapat membunuh orang yang disegani itu.
Untara sadar bahwa lawan-lawannya
benar-benar akan membunuhnya bersama-sama dengan adiknya. Karena itu, ia
harus melawan mereka. Apabila terpaksa, maka bukan salahnyalah kalau
ada di antara mereka yang terpaksa mati. Namun tidak mustahil pula,
bahwa kemungkinan yang tidak menyenangkan itu ada padanya.
Karena itu segera Untara bersiap. Ia
harus menarik seluruh perhatian dari keempat lawannya, sehingga tak ada
di antaranya yang mengganggu Agung Sedayu.
Maka dengan gerak yang cepat, secepat
tatit menyambar di langit,Untara meloncat menyerbu di antara mereka.
Dengan berputar di atas sebuah kakinya, ia menyerang dua orang
sekaligus. Serangannya tidak begitu berbahaya, namun benar-benar
mengejutkan. Karena itu maka si jangkung dengan sangat terkejut meloncat
mundur, dan si tinggi gagah, terpaksa meloncat kesamping. Meskipun
mereka tidak dapat dikenai oleh serangan Untara, namun serangan itu
benar-benar tidak mereka duga. Belum lagi debar jantung mereka berhenti,
mereka melihat Untara melayang dengan garangnya. Kali ini Untara tidak
hanya mengejutkan mereka. Tangannya yang cekatan dengan cepatnya meraih
tongkat besi si Pande Besi, dan dengan suatu tarikan yang cepat, tongkat
itu sudah berpindah di tangannya.
“Setan, demit, tetekan” pande besi dari
Sendang Gabus itu mengumpat tidak habis-habisnya. Sedang kawannya
melihat serangan itu seperti melihat seekor elang menyambar anak ayam
yang sama sekali tak berdaya. Tetapi pande besi itu segera sadar. Segera
ia meloncat pada si tinggi besar, “berikan aku sebuah pisaumu”
teriaknya. Si pande besi tidak menunggu jawaban. Segera direbutnya
sebuah pisau kawannya itu.
Sementara itu, kawan-kawannya yang lain
telah menyadari kedudukan mereka. Segera mereka menyerang bersama-sama
dari arah yang berbeda-beda.Untara menarik nafas. Ia bersyukur di dalam
hatinya, bahwa keempatnya telah dapat ditarik dalam satu lingkaran
pertempuran. Karena itu Untara tidak menyia-nyiakan waktu. Ia harus
segera menyelesaikan pertempuran itu, supaya ia sempat mencapai Sangkal
Putung sebelum subuh.
Pertempuran itu pun segera menjadi
semakin sengit, Pande besi dati Sendang Gabus itu pun ternyata memiliki
kekuatan tenaga yang luar biasa. Gerakannya pasti akan menimbulkan
getaran yang mengerikan. Orang yang tinggi kurus itu memiliki
keistimewaan pula. Tangannya yang panjang setiap kali terjulur
menjulurkan angin maut. Sedang di ujung tangannya itu tampak sebuah
golok berkilat-kilat. Orang yang tinggi besar itu pun mempercayakan
dirinya pada kekuatan tangannya. Pisau belatinya menyambar-nyambar dari
segala arah. Bahkan sekali-sekali sengaja dibenturkannya dengan tongkat
besi di tangan Untara. Namun Untara bukan anak-anak yang sedang berlatih
anggar. Setiap benturan dengan senjatanya, telah memaksa lawannya untuk
berpikir kembali. Bahkan orang yang tinggi besar itu pun kemudian tidak
berani lagi mencoba-coba membenturkan senjatanya yang sebenarnya
terlampau pendek. Sedang si anak muda ternyata tangkas dan cekatan
sekali. Sekali-sekali ia meloncat menyerang, namun apabila keadaannya
sulit, cepat-cepat ia menarik dirinya, meloncat surut. Namun seandainya
ia bertempur seorang diri, maka umurnya tidak akan lebih panjang dari
seekor sulung yang terjun ke dalam api.
Demikianlah, Untara bekerja mati-matian.
Malam yang kelam telah menolongnya. Ia tidak perlu takut- takut
senjatanya akan mengenai kawan-kawannya. Ia dapat menyerang setiap
bayangan yang ada di setiap garis serangannya. Tetapi, lawannya tidak
dapat berbuat demikian. Mereka harus lebih berhati-hati. Sebab Untara
itu benar-benar lincah seperti anak kijang. Sekali-sekali ia melontar di
antara mereka berempat, namun tiba-tiba ia telah berada diluar
lingkaran. Bahkan sekali-sekali lawannya menjadi bingung, seolah-olah
Untara dapat melenyapkan diri di antara percikan-percikan hujan yang
hampir reda.
Agung Sedayu melihat perkelahian itu
dengan denyut jantung yang tak teratur. Sekali-sekali berdentang seperti
guntur di dalam dadanya, namun sekali-sekali terasa berhenti bergerak.
Kakinya gemetar sehingga kedua lututnya beradu. Meskipun demikian ia
malihat juga anak muda sebayanya bertempur melawan kakaknya. Timbullah
keheranan di dalam dadanya. Kenapa anak semuda itu berani berkelahi
melawan kakaknya? Kakaknya bagi Agung Sedayu adalah orang yang sangat
dikagumi. Orang yang dalam pandangan Sedayu tak ada duanya di dunia ini.
Meskipun demikian, ia menjadi cemas. Apakah kakaknya dapat melawan
empat orang sekaligus. Ia belum pernah melihat perkelahian yang
sebenarnya. Perkalahian untuk mempertaruhkan nyawa. Yang pernah
rilihatnya, adalah bagaimana kakaknya berlatih. Bahkan kadang-kadang ia
ikut serta. Ia tahu bagaimana harus menghindar, menyerang dan
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Namun keberaniannya tak ada
untuk melakukannya.
Untara masih bertempur dengan garangnya.
Bahkan lawan-lawannya semakin lama semakin menyadari keperkasaannya.
Namun tiba-tiba Untara menjadi cemas. Pande Besi itu sekali-sekali
melemparkan pandangannya pada Agung Sedayu. Ia melihat bagaimana anak
muda itu berdiri. Ia melihat tangan Sedayu tergantung lemah. Bahkan
sekali-sekali anak itu menutup wajahnya. Sekali-sekali memalingkan
mukanya. Pande Besi yang licik itu berpikir di dalam hatinya, “anak yang
satu ini aneh benar”
Memang Agung Sedayu sama sekali tidak
menunjukkan suatu minat atas perkelahian itu, bahkan terpancarlah
kengerian dan ketakutan dari wajahnya. Namun meskipun demikian pande
besi itu terpaksa menduga-duga, “ada dua kemungkinan,” pikir pande besi,
“anak ini terlalu percaya kepada kesaktiannya, sehingga ia kecewa
melihat cara kawannya bertempur. Tetapi kemungkinan yang lain, anak ini
seorang pengecut”
Dalam keragu-raguan itu diingatnya kata-kata Untara, “Orang-ornga ini sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.”
Tetapi tiba-tiba pande besi itu tertawa.
Suaranya benar-benar nyaring. Ia sudah mendapatkan suatu kepastian,
bahwa anak itu anak yang kerdil. Kerana itu ia segera menemukan cara
untuk memecah perhatian Untara. Maka terdengarlah ia berkata di antara
derai tawanya, “He Untara yang perkasa. Sudah berapa lama kita
bertempur. Kenapa kawanmu itu hanya menonton saja seperti sabungan
ayam.”
Dada Untara semakin berdebar-debar. Ia
melihat kecurigaan lawannya. Sikap adiknya benar-benar tidak meyakinkan.
Meskipun demikian ia menjawab, “Buat apa ia susah-susah menghadapi
kalian? Aku sendiri cukup mampu untuk melakukan.”
Pande Besi itu tertawa terus. Nadanya
semakin tinggi dan memuakkan, sehingga Untara benar-benar menjadi muak.
Cepat ia meloncat dan mengayunkan tongkatnya menyerang. Suara tertawa
pande besi itu terputus. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi tegang.
Hampir saja kepalanya retak oleh sambaran senjatanya sendiri. Namun
untunglah ia sempat merendahkan tubuhnya sementara dengan lincahnya si
anak muda menyerang lambung Untara dengan pedangnya. Untara terpaksa
menggeliat untuk menghindari ujung pedang lawannya. Dengan sebuah
putaran ia meloncat tiba-tiba tongkat besinya telah terayun ke dada si
tinggi besar.serangan ini terlalu tiba-tiba. Hampir saja orang yang
tinggi besar itu terpaksa mengakhiri perkelahian. Untunglah bahwa kedua
kawannya yang lain sempat menolongnya. Orang yang tunggu kurus sempat
memukul tongkat Untara dengan goloknya. Namun kekuatannya sama sekali
tak memadai, sehingga ketika goloknya tersentuh tongkat Untara, terasa
senjatanya terpental. Tangannya terasa nyeri dan tiba-tiba ia melihat
goloknya seperti terbang terlempar beberapa daripadanya.
Pande Besi, yang mengepalai gerombolan
itu segera melihat bahaya yang bakal datang. Mereka berempat dengan
senjata di tangan masing-masing tidak mampu menghadapi Untara seorang
diri. Apalagi kini salah seorang dari mereka tidak bersenjata lagi.
Karena itu, maka segera ia mengambil
keputusan untuk melakukan rencana liciknya. Dengan tiba-tiba ia meloncat
surut, dan dengan berteriak nyaring ia berkata, “Bunuhlah Untara itu
dengan senjata-senjata kalian aku akan mencoba kesaktian anak muda yang
seorang lagi.”
Untara terkejut mendengar teriakan itu.
Maka perhatiannya benar-benar menjadi terpecah. Ia melihat sebuah
serangan pedang mendatar ke arah perutnya, sementara itu orang yang
tinggi besar menusuknya dari punggung.
Namun Untara adalah seorang prajurit
Pajang yang terpercaya. Karena itu dengan cekatan ia menggeser tubuhnya
sambil merendahkann dirinya, pedang si anak muda hanya lewat secengkal
dari tubuhnya, sedang pisau orang yang tinggi besar itu mematuk agak
jauh. Namun karena itu, Untara memerlukan beberapa saat untuk
membebaskan diri dari serangan-serangan berikutnya. Sementara itu si
pande besi telah berlari ke arah Agung Sedayu.
Agung Sedayu melihat seseorang
menyerangnya. Karena itu maka darahnya serasa benar-benar berhenti
mengalir. Dengan gerak nalurinya, yang dituntun oleh latihan bersama
kakaknya, tangannya bergerak meraba hulu kerisnya. Namun tangan itu
gemetar da kehilangan kekuatannya. Maka kerisnya tidak juga lolos dari
wrangkanya. Bahkan yang terdengar suaranya terbata-bata, “Kakang, kakang
Untara.”
Pande Besi yang licik itu tertawa
nyaring. Suaranya kini benar-benar menjadi buas seperti hantu yang haus
darah. Ia telah yakin bahwa anak muda yang seorang itu akan dapat
dijadikannya korban pertama tanpa kesulitan. Maka katanya sambil
berlari, “Tahanlah Untara. Biarlah ia melihat anak muda yang satu ini
mengalami nasib yang malang.”
Sesaat Untara menjadi bingung. Ia sudah
tidak mendapat kesempatan lagi untuk mengejar si Pande Besi. Ia telah
tertinggal beberapa langkah. Kalau saja adiknya mampu berbuat sesuatu
maka ia akan mendapat kesempatan untuk menolongnya. Tetapi adiknya telah
menjadi kaku ketakutan.
Tiba-tiba Untara membungkukkan badannya.
Diraihnya sebuah batu sebesar telur. Dengan sekuat tenaganya ia melempar
kudanya yang berdiri di samping adiknya. Kuda itu manjadi terkejut.
Sambil meringkik tinggi kuda itu meloncat dan berlari kencang tanpa
arah. Untunglah bahwa kuda yang seekor lagi terkejut pula, dan seperti
yang lain kuda itu pun melontar seperti panah.
Kedua ekor kuda itu benar-benar memberi
kesempatan kepada Untara. Sebab dengan itu si pande besi terpaksa
tertahan beberapa saat. Ia tak mau melanggar kuda-kuda yang menjadi liar
itu. Dan sesaat itu telah cukup bagi Untara. Untara tidak menghiraukan
lagi ketiga lawannya yang lain. Dengan serta merta, seperti si Pande
Besi, Untara meloncat berlari kencang-kencang. Dengan penuh kemarahan
yang mengguncang-guncang dadanya, langsung ia menyerang dengan tongkat
besinya. Tongkat besi itu terayun deras sekali. Untara telah
menggunakannay dengan penuh tenaga. Si Pande Besi itu tidak menyangka
bahwa Untara dapat secepat itu menyusulnya. Segera ia memutar tubuhnya,
namun ia sudah tidak mungkin untuk menghindar. Untara meloncat dengan
garangnya, dan yang dilihatnya tongkat besi itu telah terayun di atas
kepalanya. Karena itu si pande besi hampir saja dapat menangkisnya
dengan pisau belatinya.
Tetapi pisau itu terlalu pendek untuk
menahan ayunan tongkatnya sendiri. Namun tongkat itu kini diayunkan oleh
tangan yang jauh lebih kuat dari tangannya. Tangan seorang tamtama yang
sedang dibakar oleh kemarahan.
Karena itu meskipun si pande besi mancoba
untuk menghindar benturan langsung dengan memukul tongkat Untara
kesamping, namun usahanya itu tidak banyak menolongnya. Tongkat Untara
masih mengenai pelipisnya. Maka terdengarlah pande besi yang malang itu
berteriak tinggi. Kemudian ia terlempar dan jatuh berguling. Sesaat
kemudian nafasnya pun terputuslah.
Untara menarik nafas. Ia berlega hati
bukan karena ia dapat membunuh lawannya, tetapi karena ia telah berhasil
menyelamatkan adiknya. Namun untuk sesaat Untara kehilangan kewaspadaan
anak muda yang bersenjata pedang itu benar-benar lincah. Tiba-tiba saja
serangannya mengarah ke punggung. Karena itu segera Untara berkisar
selangkah ke samping. Namun saat yang mengejutkan itu dapat dipergunakan
oleh orang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata pisau.dengan penuh
nafsu dendam orang itu menusuk leher Untara. Tusukan itu pun sedemikian
tiba-tiba pada saat Untara sedang menghindari sambaran pedang si anak
muda. Karena itu Untara tidak dapat berbuat banyak. Pada saat Untara
mencoba merendahkan tubuhnya dan berputar setengah lingkar, pisau itu
pun berubah arah. Untara masih dapat melihat pisau itu melingkar, namun
tak ada waktu lagi baginya. Yang dapat dilakukan hanyalah mencondongkan
tubuhnya sedikit ke belakang, tetapi pada saat itu terasa ujung pisau
itu mencegat pundak kirinya.
Terdengar Untara menggeram. Kemarahannya
kini telah benar-benar membakar seluruh darahnya. Dengan gigi gemeretak
Untara memandang orang yang bertubuh tinggi besar itu untuk sesaat.
Kemudian seperti gelombang yang menghantam tebing Untara meloncat maju.
Tongkat besi di tangannya berputar seperti baling-baling, yang kemudian
dengan dasyatnya menyerang lawannya. Apalagi ketika terasa betapa pedih
luka di pundaknya itu. Darah yang merah segar mengalir semakin lama
semakin deras. Karena itu Untara harus menyelesaikan pertempuran sebelum
ia kehabisan darah, atau dirinya akan ditelan oleh maut beserta adiknya
sekaligus. Orang yang tinggi besar itu terkejut melihat serangan Untara
yang membadai. Cepat ia meloncat surut. Ia sudah tidak akan dapat
mempertahankan dirinya dengan pisaunya itu. Dalam keadaan yang sulit
itu, kawannya yang tinggi kekurus-kurusan tampil ke depan. Goloknya yang
besar bergerak-gerak dengan cepatnya. Sebuah tusukan yang dasyat
mengarah ke lambung lawannya. Namun Untara yang marah sempat mengelak.
Bahkan kini Untara sudah tidak lagi mengekang diri. Ia sempat berjongkok
menghindari golok lawannya. Dan sekaligus tongkatnya bergerak mendatar.
Terdengarlah sekali lagi jerit kesakitan,
ketika terdengar sebuah benturan. Benturan antara tongkat besi di
tangan Untara dengan tulang-tulang kaki orang yang kurus itu. Sesaat
kemudian terdengar tubuhnya terbanting. Pada saat itu orang yang
bertubuh tinggi besar melihat suatu kemungkinan untuk membunuh Untara.
Ia tidak akan dapat menyerangnya pada jarak jangkau tangannya karena
kecepatan bergerak lawannya. Karena itu, selagi Untara masih belum dapat
berdiri tegak orang itu dengan sepenuh tenaga melemparkan pisaunya ke
arah tubuh lawannya.
***
Untunglah Untara melihat pisau itu.
Karana itu ia mengurungkan geraknya. Bahkan sekali lagi merendahkan
tubuhnya sambil berputar, sehingga pisau itu tidak menghunjam ke dalam
tubuhnya.
Sebenarnyalah bahwa nasib manusia
ditentukan oleh kekuasaan diluar kemampuan jangkau manusia. Pisau yang
berlari seperti panah itu meluncur dengan cepatnya melampaui Untara.
Namun tanpa disangka-sangka terdengarlah sebuah jerit tertahan. Orang
yang terbaring karena tulang kakinya retak itu tiba-tiba terguling
sekali, kemudian ia mencoba mengangkat wajahnya dengan pandangan aneh.
Tetapi sesaat kemudian kepalanya jatuh terkulai. Mati. Sebuah pisau
telah tertancam langsung menyayat jantung.
Yang melihat peristiwa itu untuk sesaat
terpaku diam. Untara dan kedua lawannya. Dada mereka masing-masing
terguncang oleh peristiwa yang tak mereka sangka-sangka. Apalagi orang
yang bertubuh tinggi besar itu. Tanpa disengajanya, ia telah membunuh
kawannya sendiri.
Kini Untara untuk seterusnya tinggal
menghadapi dua lawan. Namun darah telah terlalu banyak mengalir dari
lukanya. Karena itu tubuhnya pun semakin menjadi lemas. Sebab dengan
demikian berarti maut akan menerkamnya. Karena itu segera ia bersiap
untuk melanjutkan pertempuran itu.
Kedua lawannya pun telah bersiap pula.
Anak muda yang bersenjata pedang itu setapak demi setapak maju mendekat,
sedang orang yang bertubuh tinggi besar yang kini tidak bersenjata lagi
itu masih mencoba untuk mencobanya dengan tangannya.
Kedua lawan Untara itu pun agaknya
melihat kemungkinan yang dihadapinya. Mereka lamat-lamat melihat darah
meleleh dari luka di pundak Untara. Karena itu mereka asal saja dapat
memperpanjang perlawanan mereka Untara pasti akan dapat mereka
binasakan. Alangkah mereka dapat berbangga kepada kawan-kawan mereka
bahwa mereka telah berhasil membunuh salah satu perwira Pajang yang
bernama Untara. Nama yang disegani oleh lawan dan dikagumi oleh kawan.
Sesaat kemudian kembali anak muda itu
menyerang dengan tangkasnya. Kemampuannya memainkan pedang cukup menarik
perhatian Untara. Tetapi Untara tidak banyak mempunyai waktu. Kalau ia
terlambat maka ia akan ditelan oleh maut. Karena itu selagi masih cukup
mempunyai tenaga, maka ia harus berjuang untuk menyelamatkan nyawanya,
nyawa adiknya dan berpuluh-puluh orang lain di Sangkal Putung. Karena
itu,tidak ada pilihan lain bagi Untara, kalau ia tidak membunuh
lawan-lawannya, maka taruhannya adalah berpuluh-puluh nyawa di Sangkal
Putung termasuk nyawanya sendiri.
Tetapi anak muda, lawannya itu
benar-benar lincah. Dengan sengaja ia memancing Untara untuk bergerak
terlalu banyak, sehingga dengan demikian darah yang mengalir dari luka
menjadi semakin banyak pula. Namun Untara bukan anak-anak lagi, karena
itu meskipun ia memuji di dalam hatinya atas kecerdasan lawannya, namun
ia mengumpat-umpat pula.
Namun, Untara selalu menahan dirinya
untuk tidak hanyut dalam arus kemarahannya. Ia menyerang dengan dasyat,
namun ia tidak membiarkan tenaganya diperas sia-sia.
Meskipun tenaga Untara telah banyak
berkurang, namun kekuatan lawannya pun tinggal separo dari semula.
Dengan demikian maka segera tampak, bahwa Untara akan segera dapat
mengatasi kedua lawannya. Kedua orang itu semakin lama semakin terdesak,
dan akhirnya sampailah mereka pada batas kemampuan mereka. Selagi
Untara masih kuat mengayunkan senjatanya, maka sekali lagi terdengar
sebuah pekik kesakitan. Orang yang tinggi besar itu pun rebah di tanah
untuk tidak bangun lagi.
Yang tinggal kini adalah anak muda yang
lincah itu. Meskipun anak muda itu melihat kelemahan lawannya, namun ia
masih mampu untuk menilai diri sendiri. Karena itu, tiba-tiba ia
meloncat surut dan dengan lantang ia berteriak, “kali ini kau menang
Untara, tetapi lain kali kau akan menyesal. Apalagi kawanmu, pengecut
itu, seumur hidupnya tidak akan tenteram selama aku masih hidup di dunia
ini.”
Untara tidak mau mendengar kata-kata itu.
Cepat ia meloncat menyerang. Tetapi ia sudah tidak setangkas semula.
Tulang-tulangnya seperti menjadi lemas dan tak berdaya. Karena itu ia
menjadi cemas, jangan-jangan anak muda itu akan berlari-larian dan
menunggunya sampai ia terkulai jatuh. Dengan demikian, maka ia tak akan
berdaya lagi menghadapi kemungkinan apapun.
Tetapi tidaklah demikian. Anak muda itu
bahkan tiba-tiba meloncat menjauh, dan berlari meninggalkan tempat itu.
Ia sudah tidak melihat lagi ketika Untara terhuyung-huyung berjalan
mendekati adiknya.
“Sedayu” desisnya.
Sedayu masih menggil ketakutan. Tetapi ia
melihat Untara dengan susah payah datang kepadanya. Karena itu ia pun
segera berlari mendekat, “Kakang, kenapa kau?” terdengar suaranya
gemetar.
Nafas Untara semakin lama semakin cepat
mengalir. Badannya gemetar seperti orang kedinginan. Dengan mata yang
sayu dipandanginya wajah adiknya yang pucat. Dan sekali-sekali tangannya
meraba luka pundaknya. Luka itu cukup dalam, namun sebenarnya tidak
begitu berbahaya seandainya darahnya tidak terlalu banyak mengalir.
“Tolong” desis Untara, “balut lukaku”
Sedayu melihat luka yang menganga di
pundak kiri kakaknya. Ia menjadi ngeri melihat luka itu. Tetapi
dipaksanya dirinya untuk membalut luka itu dengan sobekan kain kakaknya.
“Sedayu” Untara berdesis sambil menahan nyeri, “darahku sudah terlalu banyak mengalir. Kau dapat menolong aku berjalan”
“Tentu” jawab adiknya. Namun matanya beredar mencari kuda mereka. Tetapi kuda itu sudah tak tampak lagi.
Tetapi Untara masih berkata lagi, “Jangan membuang waktu. Kuda-kuda itu sudah tidak ada di sekitar tempat ini.”
Sedayu tidak menjawab. Dicobanya memapah
Untara berjalan di jalan-jalan yang becek berlumpur. Sekali-sekali
terdengar Untara menggeram. Tidak saja karena perasaan pedih yang selalu
menyengat-nyengat pundaknya, namun juga berbagai perasaan telah
bergelut di dalam dadanya. Untara tidak saja mencemaskan dirinya, namun
ia cemas juga akan nasib adiknya. Lebih-lebih lagi tentang nasib Widura
dengan laskarnya. Anak muda yang melarikan diri itu dapat membawa banyak
akibat. Ia akan dapat kembali mencari mereka berdua di sekitar tempat
ini dengan kawan-kawan-kawan baru, atau anak itu dapat memperhitungkan
arah perjalanannya, sehingga serangan ke Sangkal Putung akan dipercepat.
Pikiran sedayu pun tidak pula dapat
berjalan lagi. Ia melangkah dengan hati yang kosong. Berbagai perasaan
tang memukul-mukul dadanya telah menjadikan Sedayu kehilangan pengamatan
diri. Ia tidak merasakan dan menyadari apa yang telah dilakukan. Ia
berjalan karena kakaknya menaruhnya berjalan sambil menggantung di
pundaknya dengan tangan kanannya.
Untara menjadi semakin cemas ketika di
antara rasa sakitnya timbul suatu perasaan aneh. Matanya serasa akan
selalu terkatub. Dan sesaat-saat kesadarannya seperti lenyap. Segera
Untara tahu bahwa ia telah hampir kehabisan darah. Dengan demikian ia
akan dapat pingsan setiap saat. Dalam kecemasannya Untara masih
menyadari, bahwa ia tidak akan mungkin dapat mencapai Sangkal Putung
dalam keadaannya itu, apabila ia tidak mendapat pertolongan.
Sekali-sekali Untara menarik nafas. Di
sekitarnya terbentang hutan belukar meski tidak terlalu tebal. Namun
tempat itu tak akan ditemui rumah seseorang.
“Kalau saja aku dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir” tiba-tiba ia berdesis
Adiknya terkejut mendengar suara kakaknya, “apa katamu?” ia bertanya.
“Rumah Ki Tanu Metir” jawabnya.
Sedayu pernah pula pergi ke rumah Ki Tanu
Metir bersama ayahnya dahulu di Dukuh Pakuwon. Tetapi rumah itu masih
agak jauh. Dan tiba-yiba saja Sedayu menyadari keadaannya. Dengan penuh
ketakutan ia memandang berkeliling. Belukar. Kalau saja tiba-tiba ada
binatang buas yang muncul di hadapan mereka, maka celakalah mereka
berdua. Sehingga dengan demikian Sedayu tidak teringat lagi kepada
kata-kata kakaknya, bahkan katanya dengan gemetar, “jalan di hadapan
kita sangat gelapnya. Bagaimanakah nasib kita kalau kita bertemu dengan
harimau misalnya?”
“Hem” kakaknya menahan perasaannya, katanya tanpa menghiraukan adiknya, “kita pergi ke tempat Ki Tanu Metir.”
“Masih jauh” sehut adiknya.
“Kalau lukaku tak diobati” jawab kakaknya, “aku akan mati”
Sedayu menjadi ngeri mendengar kata-kata
kakaknya. Bagaimana kalau kakaknya benar-benar mati. Karena itu ia
berdiam diri, meskipun hatinya dicekam oleh ketakutan. Takut kepada
kegelapan di hadapannya, takut kepada nasibnya. Memang ia takut kepada
segala-galanya. Tetapi ia lebih takut lagi kalau kakaknya mati.
Karena itu ia tidak berani membantah
lagi. Dipapahnya kakaknya berjalan menuju ke Dukuh Pasewon, meskipun
kengerian selalu merayap-rayap dadanya.
Untara semakin lama semakin lemah.
Meskipun demikian ia selalu berusaha untuk mempertahankan kesadarannya.
Sungguh tidak menyenangkan apabila ia harus mati karena darahnya kering.
Baginya lebih baik mati dengan luka pedang menembus jantungnya. Tetapi
ia tidak berputus asa. Ia percaya bahwa Allah Maha Pengasih. Karena itu
ia selalu memanjatkan doa di dalam hatinya, semoga Allah
menyelamatkannya.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti. Mereka
mendengar gemerisik daun di dalam belukar. Hati Sedayu yang kecut
menjadi semakin kecil. Dengan suara gemetar ia berbisik, “Kakang, kau
dengar sesuatu?”
Untara mengangguk. Tetapi ia tidak dapat
berbuat sesuatu. Tubuhnya telah demikian lemahnya. Karena itu maka yang
dapat dilakukan hanya menyerahkan diri sepenuhnya kepada sumber
hidupnya.
Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat
wajahnya. Katanya lirih, “Bukan langkah manusia dan bukan pula binatang
buas yang sedang merunduk. Kau dengar ringkik kuda?”
“Ya” sahut adiknya.
Untara kemudian bersiul nyaring. Kudanya
adalah kuda yang jinak. Seandainya kuda itu kudanya, maka akan
dikenalnya suara siulan itu.
“Ya Allah, serunya ketika dari dalam belukar muncul seekor kuda yang tegar kehitam-hitaman. “Itu kudaku”
Wajah Sedayu pun menjadi agak cerah,katanya, “lalu, apakah kita akan berkuda?”
“Ya” sahut kakaknya, “kudamu tak ada, namun kita berdua akan berkuda bersama-sama”
“Kembali?”
“Tidak” jawab Untara, “ke rumah Ki Tanu Metir, supaya lukaku diobatinya.”
Sedayu tidak membantah. Ia takut kalau
kakaknya mati. Karena itu dibantunya Untara naik ke atas punggung
kudanya, baru kemudian ia pun naik pula. Untunglah bahwa kuda Untara
adalah kuda yang kuat, karena itu, meskipun di atas punggungnya duduk
dua anak muda, namun kuda itu masih dapat berlari kencang.
Kini harapan di dalam dada Untara tumbuh
kembali. Ia akan dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir lebih cepat.
Mudah-mudahan Ki Tanu Metir ada di rumahnya.
Demikianlah, setelah mereka menembus
rimbunnya pategalan yan gsubur di ujung hutan, sampailah mereka
kepadukuhan kecilyang dinamai orang Dukuh Pakuwon. Di pedukuhan kecil
itulah tinggal seorang dukun yang sudah setengah tua. Yang dengan
pengalamannya ia mengenal berbagai jenis dedaunan yang dapat dipakainya
untuk menyembuhkan luka dan bahkan dikenalnya beberapa jenis racun
yangmenusuk ke dalam tubuh seseorang.orang itulah yang bernama Ki Tanu
Metir. Kepadanya Untara meletakkan harapannya, mudah-mudahan Ki Tanu
Metir dapat menolongnya.
Kuda-kuda anak muda itu berhenti di muka
sebuah pondok kecil. Pondok Ki Tanu Metir. Setelah menolong kakaknya
turun dari kuda,maka dipapahnya kakaknya itu kepintu yang tekatup rapat.
Namun demikian Untara berlega hati ketika dilihatnya cahaya lampu yang memancar menembus lubang-lubang dinding.
Perlahan-lahan Untara mengetuk pintu
rumah itu dengan penuh harapan. Ki Tanu Metir adalah sahabat almarhum
ayahnya dahulu. Mudah-mudahan sisa-sisa persahabatan itu masih membekas
dihati dukun tua itu.
Ketika mereka telah beberapa kali mengetuk terdengarlah sapa dari dalam lirih, “Siapa?”
“Aku Ki Tanu” jawab Untara, “Untara dari Jati Anom”
“Untara” ulang Ki Tanu Metir, “Untara, o, adakah engkau Angger Untara putera Ki Sadewa?”
“Ya Ki Tanu” jawab Untara dengan suara gemetar.
Ki Tanu Metir segera mengenal suara itu.
Suara seseorang yang sedang mengalami cedera. Karena itu dengan
tergesa-gesa orang tua itu berjalan ke arah pintu. Terdengar suara
telumpahnya diseret di atas lantai tanah.
Sesaat kemudian pintu bambu itu bergerit,
dan muncullah dari celah-celahnya seorang tua bertubuh sedang.
Rambutnya telah hampir seluruhnya menjadi putih. Alisnya yang tumbuh
jarang-jarang di atas sepasang matanya telah memutih pula. Dahinya
terbuka lebar, serta dibawahnya memancar sepasang mata yang tajam
bening.
Ketika ia melihat Untara dipapah adiknya, orang tua itu terkejut dan terloncatlah dari mulutnya, “Kau terluka ngger?”
“Marilah” Ki Tanu Metir mempersilahkan, “duduklah” biarlah aku mencoba melihat luka itu.”
Untara berlega hati. Ia tak perlu memintanya. Orang tua itu telah berusaha untuk menolongnya atas kemauan sendiri.
Segera orang tua itu menuntun Untara dan
dipersilahkan duduk di atas bale-bale bambu. Katanya kepada Sedayu,
“Tolong ngger peganglah celupak ini, mataku telah menjadi kurang baik”
Sedayu pun segera melangkah mengambil
lampu minyak kelapa dan membawa kedekat kakaknya. Sementara itu Ki Tanu
telah sibuk membuka pembalut luka di pundak Untara.
Ketika Ki Tanu melihat luka yang menganga itu, ia menggelengkan kepalanya, gumannya, “Hem, luar biasa”
“Apa yang luar biasa?” desis Untara.
“Tubuhmu sangat tahan ngger”. Sudah
berapa darah yang tertumpah. Angger masih tetap sadar. Marilah,
bersandarlah supaya angger tidak terlalu lelah.”
Untara segera bersandar pada setumpuk
bantal. Terasa tulang-tulangnya seperti dilolosi. Sebentar-sebentar
matanya terkatub dan perasaannya seperti hilang-hilang datang. Karena
itu segera Untara memusatkan segenap kekuatan betinnya untuk bertahan.
Sementara Ki Tanu Metir memelihara luka itu, tiba-tiba terbersit kembali
dalam pikiran Untara, “Widura harus diselamatkan”
Tetapi kemudian disadarinya keadaan diri.
Dengan demikian Untara hanya dapat menarik nafas untuk mencoba
menentramkan hatinya yang bergolak.
Sambil mengusapi luka Untara dengan
reramuan daun-daunan Ki Tanu bertanya, “Agaknya angger berdua menjumpai
bahaya di perjalanan.”
“Ya” jawab Untara singkat
“Penyamun?” bertanya Ki Tanu pula
Untara menggeleng lemah, “Bukan” jawabnya, “sisa-sisa laskar Adipati Jipang”
“Hem, guman Ki Tanu, “mereka berkeliaran di tempat ini.”
“Di sini?” Untara terkejut mendengarnya.
“Ya,di sekitar tempat ini” jawab Ki Tanu.
Untara diam sejenak. Nafasnya menjadi kian sesak. Namun darahnya sidah tidak mengalir lagi dari lubang lukanya.
“Salah satu di antara mereka adalah pande besi dari Sendang Gabus” berkata Untara lirih.
“Ya, mereka itulah” sahut Ki Tanu segerombolan orang-orang yang putus asa. Adakah angger bertemu dengan pande besi itu?”
“Ya” jawab Untara
“Sendiri?”
“Tidak. Mereka mencegat jalan di ujung hutan. Berempat.
“Angger berdua” potong Ki Tanu.
“Ya” jawab Untara. Tetapi Sedayu segera menundukkan wajahnya.
“Sungguh luar biasa. Angger berdua
berhadapan dengan empat orang yang bengis. Pande besi itu terkenal di
daerah ini” berkata Ki TAnu seterusnya, “Bagaimana dengan mereka? Dan
siapa sajakah mereka itu”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Lukanya
sudah tidak terlalu pedih. Tetapi tenaganyalah yang terasa semakin
susut. Karena itu ua menjawab singkat, “Aku belum kenal mereka”
“O” Ki Tanu pun segera menyadari keadaan
tamunya, maka segera ia menyelesaikan pekerjaannya. Baru kemudian ia
duduk di samping Agung Sedayu dan dibiarkannya Untara meristirahat
bersandar setumpuk bantal.
“Bagaimanakah lawanmu yang tiga orang angger?” bertanya Ki Tanu kepada Sedayu.
Sedayu menjadi bingung. Sebenarknya ia
malu mendengar pertanyaan itu, Tetapi akhirnya ia menjawab, “Seorang
tinggi kekurus-kurusan”
“Sebenarnya ia orang lugu” potong Ki Tanu, “Sayang ia terlalu mudah terpikat. Namanya Tumida”
“Yang seorang tinggi besar” sambung Sedayu.
“Aku belum mengenalnya” gumam Ki Tanu.
“Yang seorang lagi masih muda” Sedayu meneruskan.
“Sebaya angger?” bertanya Ki TAnu.
“Kira-kira” Sedayu mengangguk.
“Alap-alap Jalatunda” desis Ki Tanu, “Anak itu ikut serta?”
“Ya” jawab Sedayu, namun dadanya bergetar. Nama Alap-alap Jalatunda pernah didengarnya.
Mendengar nama itu Untara terperanjat
pula. Desisnya, “Jadi anak itukah yang disebut Alap-alap Jalatunda.
Pantas ia lincah dan cerdas”
“Ya” sahut Ki Tanu, “Nama itu timbul
sesudah laskar Penangsang pecah. Pande besi dan Alap-alap Jalatunda
menjadi terkenal. Mereka bersarang di Karajan”.
Di Karajan?” ulang Untara heran, “Di samping Jati Anom?”
“Ya” jawab Ki Tanu.
Untara kemudian termenung. Kalau demikian
mereka bukan bagian dari laskar yang akan memukul Sangkal Putung.
Dengan demikian Untara menjadi sedikit berlega hati. Namun kecemasannya
yang lain segera timbul. Kalau demikian maka mereka segera akan datang
kembali dengan kawan-kawan baru mereka menjelajahi tempat ini untuk
mencarinya.
Ketia ia sedang berangan-angan terdengar Ki Tanu bertanya kepada Seday, “Merka itukah yang melukai angger Untara?”
“Ya” jawab Sedayu.
Ki Tanu mengangguk-angguk, kemudian seperti orang terbangun daru tidurnya ia bertanya, “Lalu siapakah angger ini?”
“Sedayu” jawab Sedayu, “adik kakang Untara”
“Pantas, pantas” orang tua itu
mengangguk-angguk, “Kalian menjadi seakan-akan sepasang burung rajawali
yang perkasa. Kalau tidak, tidak akan kalian dapat melawan Pande besi
dan Alap-alap Jalatunda sekaligus. Apalagi bersama kedua kawan-kawannya
yang lain. Lalu bagaimana dengan mereka? Adakah mereka mengejar kalian?”
Sekali lagi Sedayu menundukkan wajahnya.
Kemudian perasaan malu merayapi dadanya. Telinganya menjadi gatal
mendengar orang tua itu menyebut mereka berdua seperti sepasang burung
rajawali. Tetapi sejalan dengna itu Sedayu menjadi semakin kagum kepada
kakaknya. Bukankah kakaknya sendiri dapat melawan mereka berempat, dan
membunuh tiga di antaranya. Maka segera ia menjawab dengan bangga, “Tiga
di antaranya terbunuh, Anak muda yang bernama Alap-alap Jalatunda itu
melarikan diri”.
“Luar biasa, luar biasa” gumamnya.
Diamat-amatinya Untara yang bersandar sambil memejamkan matanya.
Perlahan-lahan orang tua itu mengusap keningnya sambil berdesis, “Nama
Untara benar-benar cemerlang. Kini akan tumbuh nama baru di sampingnya,
Sedayu”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Ia tidak
berani memandangi wajah kakaknya yang menjadi kian pucat. Kalau saja ia
mampu berbuat seoerti yang dikatakan orang tua itu, maka kakaknya pasti
tidak akan terluka. Karena itu tiba-tiba tanpa disengajanya, Sedayu
memandang kepada dirinya. Seorang penakut yang tidak ada bandingnya.
Pada saat kakaknya berjuang untuk menegakkan Pajang, ia hanya dapat
bersembunyi di rumah pamannya di Banyu Asri. Pada saat anak-anak muda
memandi senjata, yang dilakukan tidak lebih daripada membantu ibunya
menanak nasi dan membelah kayu. Tidak lebih daripada itu.
Sedayu memejamkan matanya. Tetapi
seakan-akan bayangan masa lampaunya menjadi semakin jelas. Dikenangknya
kembali masa kanak-kanaknya. Ayah dan ibunya terlalu menanjakannya
setelah dua orang kakaknya yang lain, adik-adik Untara, meninggal pada
umurnya yang tidak lebih dari empat dan enam tahun. Karena mereka takut
kehilangan Agung Sedayu pula, maka mereka memeliharanya agak
berlebih-lebihan. Agung Sedayu menyadari semuanya itu. Tetapi semuanya
sudah lampau.
Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar
kakaknya berkata, “Sedayu, Aku tidak mampu untuk bangkit berdiri.
Bagaimanakah dengan paman Widura?”
Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu, karena itu ia berdiam diri.
“Jangan pikirkan yang lain” potong Ki Tanu, “berisitirahatlah”
Untara berdesis menahan perasaan-perasaan
yang bergumal di dalam dadanya, perasaan cemas dan bingung. Akhirnya
terdengar ia berkata perlahan-lahan, “Sedayu. Hanya engkaulah yang aku
harapkan untuk menolong menyelamatkan paman Widura”
Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan tergagap ia bertanya, “Apa yang harus aku lakukan?”
“Kau pergi ke Sangkal Putung” desis Untara.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.
Benarkah kakaknya menyuruhnya ke Sangkal Putung? Sebelum ia bertanya
terdengar Untara berkata pula, “Agung Sedayu, aku tidak tahu lagi,
bagaimana aku harus melindungimu. Di sini dan di perjalanan ke Sangkal
Putung akan sama saja bahayanya. Bahkan mungkin bahaya itu akan datang
kemari lebih dahulu. Sebab orang-orang Alap-alap Jalatunda pasti kan
mencari aku. Kalau benar sarang mereka di Karajan, maka mereka pasti
akan sampai ketempat .ini. Mereka pasti memperhitungkan bahwa kita akan
datang kemari. Dan mencobanya mencari”
“Tetapi Sangkal Putung tidak terlalu
dekat” potong Sedayu terbata-bata. “Jalannya gelap dan licin. Dan
bagaimanakah kalau aku bertemu dengan Alap-alap Jalatunda?”
Anak itu akan kembali ke Karajan, sedang
kau akan pergi ke selatan. Kalau kau ingin menempuh jalan yang paling
aman, meskipun agak jauh, pergilah menyusur Kali Sat, kemudian kau akan
sampai Sangkal Putung dari arah barat”.
Mulut Agung Sedayu terasa menjadi beku.
Perjalanan ke Sangkal Putung benar-benar tidak menyenangkan. Ia menyesal
kenapa ia ikut dengan kakaknya. Kalau ia berada di rumah, maka
keadaannya pasti akan lebih baik.
Ki Tanu melihat Agung Sedayu dengan
keheran-heranan.. Katanya ragu-ragu, “Sebenarnya aku tidak tahu mengapa
angger harus pergi ke Sangkal Putung. Namun aku melihat sesuatu yang
tidak aku duga. Kalau perjalanan ke Sangkal Putung memang penting,
kenapa Angger Sedayu berkeberatan? Dan apa pula keberatannya kalau
angger bertemu dengan dengan Alap-alap Jalatunda?”
Agung Sedayu benar-benar menjadi bingung.
Bahkan Utara pun tak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan Ki Tanu Metir
itu. Karena itu sesaat kemudian suasana menjadi beku. Yang terdengar
kemudian adalah suara Ki Tanu pula, “Bukankah Angger Sedayu berdua
dengan angger Untara mampu menghadapi Alap-alap Jalatunda itu sekaligus
dengan Pande besi Sendang Gabus? Bukankah pade besi itu bahkan terbunuh
bersama-sama dengan dua kawannya lagi?”
“Angger Sedayu, dalam gerombolan itu tak
ada seorang pun yang melampaui kesaktiannya dari si pande besi yang
tamak itu. Karena itu jangan takut dengan Alap-alap Jalatunda”
Mulut Sedayu seakan-akan tersumbat. Nafasnya terdengar meloncat satu-satu, namun dadanya terasa sesak.
Sedang Untara masih duduk bersandar
tumpukan bantal. Matanya kadang-kadang terbuka, tetapi kadang-kadang
terpejam. Dalam kekelaman pikiran itu Untara benar-benar menjadi
bingung. Ia hampir-hampir tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan.
Dengan sisa-sisa kesadarannya yang masih ada, Untara membuat
perhitungan-perhitungan. Akhirnya ia mendapat kesimpulan bahwa Agung
Sedayu lebih aman di perjalanan ke Sangkal Putung daripada tinggal di
dukuh Pakuwaon. Didorong pula oleh rasa tanggung jawab terhadap Widura,
maka kemudian ia berkata perlahan-lahan namun penuh kepastian, “Agung
Sedayu, tinggalkan tempat ini sebelum Alap-alap Jalatunda datang
mencabut nyawa kita. Pergilah ke Sangkal Putung dan temuilah paman
Widura”
Jantung Agung Sedayu terasa berdentangan.
Dengan suara gemetar ia mencoba membantah perintah itu, “Kalau aku
bertemu dengan mereka, bukankah kepergianku tidak ada gunanya?”
Tidak, kau tidak akan bertemu dengan mereka. Aku sudah pasti” jawab Untara, “Tempuhlah jalan barat”
“Bagaimana dengan tikungan Randu Alas?” Sedayu menjadi semakin cemas.
“Omong kosong dengan gendoruwo mata satu” Untara hampir membentak, “Pergilah”
Bibir Agung Sedayu tampak bergerak-gerak
namun tak sepatah kata pun terloncat dari bibirnya, bahkan akhirnya
matanyalah yang berkaca-kaca.
Ki Tanu masih belum dapat mengerti,
kenapa Agung Sedayu tiba-tiba menjadi ketakutan. Tetapi sebelum ia
bertanya lagi terdengar suara Sedayu mengiba-iba tanpa malu-malu,
“kakang, aku takut”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia mengerti kini, siapakah sebenarnya Untara dan bagaimanakah
dengan Sedayu. Karena itu ia pun berdiam diri.
Tiba-tiba orang tua itu terkejut ketika
Untara berkata dengan keras sambil meraba hulu kerisnya dengan tangannya
yang lemah, “Sedayu, pergilah! Kalau kau tidak mau pergi juga, biarlah
kau memilih mati karena kau berbuat seperti seorang laki-laki atau mati
karena kerisku sendiri”
“Kakang” Sedayu hampir menjerit. Namun wajah Untara seolah-olah telah menjadi beku.
Seakan-akan suara adiknya tidak
didengarnya. Bahkan dengan mata terpejam Untara berkata pula, “Bagiku
Sedayu, daripada kau mati ketakutan selama Alap-alap Jalatunda itu nanti
mencekikku, lebih baik kau mati dengan luka senjata di dadamu”
Tubuh Sedayu benar-benar menggigil.
Jantungnya berdentangan seperti guruh yang menggelegar di dalam rongga
dadanya. Sementara itu Ki Tanu Metir berkata dengan terbata-bata,
“Angger Untara, apa yang akan angger lakukan itu?”
“Kalau Sedayu tidak mau pergi, akan aku bunuh dia” desisnya.
“Angger” Ki Tanu Metir mencoba menenangkannya, “jangan berkata begitu”
Untara tidak menjawab, namun terdengar ia menggeram.
Akhirnya berkatalah Ki Tanu Metir,
“Angger Sedayu, kakangmu telah menentukan apa yang akan dilakukan.
Karena itu sebaiknya angger pergi. Bukankah puncak ketakutan angger itu
adalah maut. Dan maut itu berada dalam gubug ini. Kalau angger pergi ke
Sangkal Putung, belum pasti angger bertemu dengan maut itu. Seandainya
demikian, maka maut di perjalanan itu akan jauh lebih baik daripada maut
yang akan menerkam angger di sini. Baik itu dilakukan oleh angger
Untara, mau pun dilakukan Alap-alap yang gila itu, yang pasti akan jauh
mengerikan lagi”
Kepala Sedayu tiba-tiba menjadi pening.
Berdesak-desakanlah perasaan yang bergumul di dalam dadanya. Maut
terlalu mengerikan. Dan maut itu tiba-tiba saja kini hadir di
hadapannya. Sehingga seperti seorang perempuan cengeng Sedayu membiarkan
dirinya hanyut dalam perasaannya tanpa malu. Sedayu menutup wajahnya
dengan kedua tangannya. Dan terdengar suaranya gemetar, “Adakah kakang
berkata sebenarnya”
“Akan kulakukan apa saja yang telah aku
katakan, Sedayu” suara Untara lirih namun pasti, “Tinggalkan tempat ini
segera. Aku sudah muak melihat kau merengek-rengek seperti bayi”
Dada Agung Sedayu hampir meledak
mendengar kata-kata itu. Namun mulutnya bahkan menjadi terkunci. Seperti
patung ia tidak bergerak, sampai kakaknya membentaknya, “Pergi sekarang
juga!”
Perlahan-lahan Sedayu berdiri. Kakinya
hampir-hampir tidak kuat lagi menahan berat tubuhnya. Tetapi ia takut.
Takut kepada kakaknya. Takut kalau kakaknya akan membunuhnya. Dan
ketakutannya itu begitu menekan dadanya, sehingga melampaui ketakutannya
atas kegelapan malam diluar dan tikungan randu alas. Karena itu
meskipun hayatnya serasa telah terbang meninggalkan tubuhnya, Sedayu
berjalan juga menuju kepintu. Ketika Ki Tanu Metir mendahuluinya, dan
membuka pintu untuknya, orang tua itu mendengar Sedayu menahan isak di
dadanya. Maka bisiknya menghibur, “angger, serahkan jiwa dan ragamu
kepada yang memilikinya. Kalau sudah saatnya akan diambilNya, maka
berlakulah kehendakNya meskipun angger berperisai baja. Namun kalau
angger akan disingkirkan dari bencana, maka berlakulah pula kehendak Nya
itu. Karena itu jangan takut”.
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya, namun ketakutan yang mencekamnya tidak juga mau meninggalkannya.
Dimuka pintu sekali lagi ia menoleh
kepada kakaknya. Tetapi kakaknya memejamkan matanya. Karena itu Sedayu
melangkah terus. Diluar dilihatnya kuda kakaknya. Dengan gemetar ia
melangkah kepunggung kuda itu.
“Selamat jalan ngger” desis Ki Tanu
Metir. Aging Sedayu tidak menjawab. Namun kepalanya terangguk. Dengan
hati yang kosong ia menarik kekang kudanya, dan ketika kuda itu bergerak
menyusup kedalam malam yang pekat, maka Sedayu merasa seakan-akan
dirinya telah menyusup kedaerah maut.
Akhirnya ketika Sedayu sadar, bahwa
perjalanan itu harus dilakukannya, maka segera ia memacu kudanya dengan
mata yang hampir terpejam. Setiap kali ia membuka matanya, setiap kali
dadanya berdesir. Di malam yang gelap itu selalu dilihatnya seakan-akan
bayangan-bayangan hitam menghadangnya di perjalanan. Namun ia sudah
tidak dapat lagi berpikir. Karena itu ia tidak mau lagi melihat apa pun
yang berada di perjalanan itu.
Ketika Sedayu telah hilang di balik
kekelaman malam, Ki Tanu Metir menutup pintunya kembali. Kemudian
perlahan-lahan ia mendekati Untara yang lesu. Dan terdengarlah ia
bertanya, “Kenapa hal itu angger lakukan?”
Untara menarik nafas dalam-dalm. Terdengar ia bergumam, “Mudah-mudahan Tuhan melindunginya”
Ki Tanu Metir duduk perlahan-lahan di
samping Untara. Ia mengangguk-angguk kecil ketika terdengar gumam Untara
pula, “Kasihan Sedayu”
“Tetapi bukankah angger menghendakinya?” bertanya orang tua itu.
“Aku hanya ingin supaya Sedayu
meninggalkan rumah ini dan sekaligus aku ingin paman Widura
melindunginya, selain keselamatan laskar paman Widura sendiri. Paman
Widura kenal anak itu” jawab Untara.
Kembali Ki Tanu metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tahulah ia sekarang bahwa Untara sama
sekali tak bersungguh-sungguh dengan ancamannya.
“Anak itu benar-benar keterlaluan”
berkata Untara pula, “Aku hanya menakut-nakutinya, supaya ia mau pergi.
Ketakutan hanya dapat dikalahkan dengan ketakutan yang lebih besar. Dan
aku sudah berhasil mengusirnya. Mudah-mudahan ia selamat” Untara
berhenti sejenak, kemudian terdengar ia meneruskan dengan susah payah,
“Bukankah lebih baik Ki Tanu Metir menyingkirkan aku pula sebelum
Alap-alap Jalatunda datang kemari?”
“Tidak angger, tidak” sahut orang tua itu cepat-cepat, “Angger memerlukan perawatanku di sini”
“Tetapi” jawab Untara, “kalau hal itu
membahayakan ki Tanu? Kalau mereka datang kemari, dan ditemuinya aku di
sini, maka tidak saja aku yang akan dibunuhnya, tetapi Ki Tanu akan
diganggunya pula”
“Jangan berpikir tentang aku” berkata Ki Tanu Metir, “Luka angger agak parah, Aku sedang mencoba untuk mengobatinya”
Untuk sesaat keduanya terdiam. Ketika
Untara mendengar derap kuda dihalaman, hampir saja ia berteriak
memanggil adiknya itu kembali, tetapi segera ia mempergunakan akal dan
perhitungannya untuk melawan perasaannya. “Kalau Alap-alap Jalatunda itu
tidak datang kemari, dan Sedayu menemui bencana dalam perjalanannya,
akulah yang bertanggung jawab” katanya dalam hati. Dan Untara sadar,
apabila terjadi demikian maka peristiwa itu pasti akan menyiksanya
seumur hidup. Ia akan kehilangan adiknya dan sekaligus ia sama sekali
tidak berhasil menyelamatkan Widura dan laskarnya. Tetapi kalau
Alap-alap Jalatunda yang bengis itu benar-benar datang ke rumah itu
bersyukurlah ia, meskipun nyawanya sendiri pasti akan melayang. Namun ia
telah berhasil untuk terakhir kalinya menyelamatkan adiknya. Tetapi
kemungkinan yang lebih jelek lagi, Alap-alap Jalatunda itu berpapasan
dengan adiknya, dan adiknya itu dibunuhnya setelah anak itu menunjukkan
tempatnya, kemudian Alap-alap itu datang membunuhnya. “Aku telah
berusaha” pikir Untara. Segalanya akan mungkin terjadi. Untara menarik
nafas dalam-dalam. Dengan penuh kepercayaan kepada kekuasaan Tuhan,
Untara berhasil menenangkan dirinya. Bahkan ia berdoa semoga kemungkinan
yang paling baiklah yang terjadi. Agung Sedayu selamat sampai Sangkal
Putung dan Alap-alap Jalatunda tidak datang kepondok itu.
Tetapi Untara terkejut ketika didengarnya
bentakan-bentakan kasar jauh ditikungan jalan. Ketika ia membuka
matanya, dilihatnya Ki Tanu Metir berdiri dengan gelisah.
“Suara apakah itu Ki Tanu?” bertanya Untara lemah.
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menangkap setiap kata-kata kasar dan keras yang memecah kesepian malam itu.
Lamat-lamat terdengar suara itu, “Dimana he, dimana rumah dukun itu?”
Tak terdengar jawaban, namun terdengar
seseorang mengaduh perlahan-lahan. Sesaat kemudian terdengar bentakan,
“Kalau kau tak mau mengatakan, maka kaulah yang akan kami bunuh”
“Ampun” sahut suara yang lain, “aku hanya mendengar suara kuda berderap”
“Gila, aku tidak bertanya apakah kau
mendengar suara kuda itu. Tunjukkanlah rumah Tanu Metir. Orang itu akan
mengatakan segala-galanya dan kau akan aku lepaskan” teriak yang lain.
Kembali tak terdengar jawaban, dan kembali terdengar suara kasar dan beberapa buah pukulan.
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Desisnya, “Orang itu tidak mau menunjukkan rumah ini”
“Kasihan” geram Untara. Terdengar giginya
gemeretak menahan marah. Tetapi tubuhnya sudah terlalu payah. “Ki Tanu”
katanya kemudian, “Biarlah mereka menemukan aku. Maka nyawa orang itu
dan mungkin nyawa Ki Tanu dapat diselamatkan”
“Apakah arti nyawa-nyawa kami” jawab Ki
Tanu Metir, “angger adalah salah seorang yang sangat berguna, sedang
kami adalah orang-orang yang tak berarti”
Untara terharu mendengar jawaban itu.
Ternyata bahwa jiwa kepahlawanan tidak saja berkobar di dalam dada para
prajurit yang dengan senjata di tangan mempertaruhkan nyawanya demi
pengabdiannya kepada tanah kelahiran dan kebenaran yang diyakininya,
tetapi di dalam dada orang tua itu pun ternyata menyala api kepahlawanan
yang tidak kalah dahsyatnya. Melampaui keteguhan hati seorang prajurit
dengan senjata di tangan menghadapi lawannya dalam kemungkinan yang
sama, membunuh atau dibunuh. Tetapi orang tua itu, seorang dukun yang
hidup di antara para petani yang sederhana, telah menantang maut dengan
perisai dadanya, kulit dagingnya.
Untara menggeleng lemah, “Tidak” katanya,
“sudah sewajarnya seorang prajurit mati karena ujung senjata, namun
tidak seharusnya aku berperisai orang lain untuk keselamatanku. Karena
itu biarlah mereka menemukan aku di sini. Selagi sempat, biarlah Ki Tanu
Metir menyelamatkan diri”.
“Ini adalah rumahku” jawab Ki Tanu Metir,
“Kalau aku lari sekarang, maka ke rumah ini pula aku akan kembali, dan
orang-orang itu akan dapat menemukan aku di sini. Tak ada gunanya”
Sekali lagi Untara menarik nafas. Sebelum
sempat ia menjawab berkatalah Ki Tanu Metir, “Angger, kenapa kita tidak
berusaha menyelamatkan diri kita berdua? Angger akan aku sembunyikan.
Kalau-kalau orang-orang yang gila itu datang kemari, dan tidak menemukan
angger maka aku pun akan selamat pula”
“Hem” Untara menggeram. Belum pernah ia
berpikir untuk menyembunyikan diri pada saat musuhnya datang. Tetapi
kali ini keadaannya jelek sekali. Bahkan tubuhnya semakin lama menjadi
semakin lemah, meskipun darahnya tidak lagi mengalir.
“Mungkinkah itu” terdengar suara Untara lirih, sedang ditikungan bentakan-bentakan kasar masih terdengar.
“Marilah angger aku sembunyikan di
sentong kiri. Aku timbuni angger dengan ikatan bulir-bulir padi”. Ki
Tanu Metir tidak menunggu Untara menjawab. Segera ia mencoba menolongnya
berdiri. Untara takut kalau-kalau mereka berdua akan roboh, tetapi
agaknya Ki Tanu yang tua itu masih cukup kuat untuk memapahnya.
Di sentong kiri, Ki Tanu Metir segera
membongkar timbunan bulir-bulir padi. Perlahan-lahan Untara ditolongnya
masuk ke dalam sebuah bakul yang besar, “Melingkarlah disitu ngger, dan
berusahalah untuk dapat bernafas” berkata Ki Tanu Metir.
Kembali Untara menggeram, Namun ia
mengharap bahwa dengan demikian, ia dan sekaligus Ki Tanu Metir dapat
diselamatkan. Lusa apabila luka dibahunya itu sudah sembuh, ia akan
datang kembali untuk bertemu dengan Alap-alap Jalatunda.
Dengan tergesa-gesa Ki Tanu segera
menimbuni Untara dengan ikatan bulir-bulir padi. Seikat demi seikat
dengan hati-hati. Di dalam bakul yang besar itu Untara memejamkan
matanya. Terasa nafasnya menjadi semakin sesak. Namun ia masih dapat
bernafas.
Demikian Ki Tanu selesai dengan
pekerjaannya, terdengar pintu rumahnya diketuk keras-keras, dan
terdengarlah suara kasar memanggilnya, “mbah dukun, buka pintumu”
Untara menjadi berdebar-debar. Ternyata
Alap-alap Jalatunda atau orang-orangnya benar-benar datang. Meskipun
demikian ia masih dapat mengucap syukur karena adiknya telah pergi.
Untuk sesaat Ki Tanu Metir berdiri dengan
tegang. Ia tidak segera beranjak dari tempatnya sehingga terdengar
kembali pintu rumahnya dipukul keras-keras, “He, buka pintu Ki Tanu”
Ki Tanu tidak mungkin untuk mengelak
lagi. Karena itu dengan terbata-bata ia berteriak dari sentong kiri,
“Ya, ya tunggu. Aku sudah bangun”
Tersuruk-suruk Ki Tanu Metir bergegas
pergi ke pintu, dengan menyeret telumpah dikakinya. Sementara itu
kembali terdengar pintunya hampir berderak patah, “Aku tidak sempat
menunggu” terdengar suara di belakang pintu.
“Ya, ya” sahut orang tua itu, “aku sedang berjalan”
Sesaat kemudian Ki Tanu Metir telah
membuka pintunya. Demikian pintu itu menganga, demikian beberapa orang
dengan senjata di tangan berloncatan masuk. Dua orang yang lain memasuki
rumah itu sambil mendorong-dorong seorang yang bertubuh kecil pendek.
“Kaukah itu Kriya” terloncat dari mulut
Ki Tanu Metir. Orang itu menyeringai ketakutan. Jawabnya, “Ya kiai, aku
diseretnya ketika aku sedang melihat air diparit. Aku sangka karena
hujan yang lebat ini, parit-parit akan banjir. Waktu aku sedang menutup
pematang, datanglah orang-orang ini”
“Tak usah mengigau” bentak salah seorang
dari mereka, “Monyet itu tidak kembali ke Jati Anom. Mereka pasti kemari
untuk mengobati lukanya”
“Siapa?” berkata Ki Tanu Metir.
Seorang anak muda di antara mereka
perlahan-lahan melangkah mendekati Ki Tanu Metir, “Hem” geramnya, “Kita
telah berkenalan kiai, namun baru hari ini aku sempat mengunjungi
rumahmu”
“Ya, ya angger, aku pernah mengenal nama angger. Bukankah angger Alap-alap Jalatunda?”
“Siapakah yang memberi aku gelar
demikian” bertanya anak muda itu. Namun terasa pada nada kata-katanya
betapa ia bangga mendengar sebutan itu.
“Aku tidak tahu” sahut Ki Tanu Metir, “Mungkin karena kedahsyatan angger, maka dengan sendirinya nama itu tumbuh”
Anak muda itu tertawa lirih. Kemudian
katanya, “Bagus. Kalau kau sudah mengenal aku maka jangan sekali-sekali
mengganggu pekerjaanku”
“Tidak ngger, tidak” sahut Ki Tanu cepat-cepat, “aku pasti akan membantu angger”
Di sentong kiri, Untara masih dapat
mendengar semua percakapan itu. Karena itu ia menjadi semakin
berdebar-debar ketika didengarnya nama Alap-alap Jalatunda. Anak itu
bukan lawan yang berat baginya. Tetapi dalam keadaannya kini, maka tak
ada yang dapat dilakukan. Meskipun demikian, dibelainya juga hulu
kerisnya. Tangan yang pertama menyentuhnya, pasti akan digoresnya dengan
keris itu. Dan ia yakin, setiap goresan ditubuh lawannya, betapa pun
kecilnya, akibatnya adalah maut. Warangan yang keras dikerisnya itu
benar-benar sangat berbahaya, apabila tidak segera dapat penawarnya.
Sebentar kemudian Untara mendengar
Alap-alap Jalatunda berkata, “Ki Tanu, aku sedang mencari seseorang. Ia
terluka ketika ia mencoba melawan aku. Adakah seseorang datang kemari
untuk berobat?”
Ki Tanu Metir berdiam diri sesaat. Ia
sedang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan itu. Tetapi karena itu
maka Alap-alap muda itu membentaknya, “Jawab pertanyaanku”
Ki Tanu Metir menggeleng, jawabnya, “tidak ngger, tak seorang pun datang kemari”
Alap-alap Jalatunda tertawa. Katanya,
“Kiai adalah seorang dukun yang terkenal. Orang yang terluka itu pasti
pernah mendengarnya. Karena itu ia mesti datang kemari. Apakah untung
rugimu kalau kau sebut dimana dia sekarang?”
O, angger benar. Tak ada untung ruginya
kalau aku menyebut tempatnya, kalau aku mengetahuinya. Tetapi siapakah
orang itu?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Jangan berpura-pura. Orang itu bernama Untara. Sangat berbahaya bagi kami dan bagi kalian” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Hem. Untara” ulang Ki Tanu Metir. “Tak seorang pun datang kemari sehari ini”
“Baru beberapa saat. Aku telah melukai pundaknya. Jangan bohong” bentak anak muda itu.
“Aku tidak berbohong ngger” jawab Ki Tanu.
Pandangan mata Alap-alap Jalatunda itu
menjadi tajam, benar-benar seperti mata burung alap-alap. Selangkah ia
maju mendekati Ki Tanu Metir sambil berkata, “Kau sudah tua. Tidakkah
kau ingin menikmati sisa-sisa hidupmu? Jawab pertanyaanku dimana Untara
kau sembunyikan”
Ki Tanu Metir menjadi gemetar. Namun ia menjawab juga, “Tak ada ngger, benar-benar tak ada”
“Dengar Ki Tanu” bentak anak muda itu,
“Aku bertemu dengan anak itu di ujung hutan. Ia mencoba melarikan diri.
Dalam perkelahian seorang lawan seorang, aku telah melukainya. Kemudian
Untara yang mempunyai nama yang cemerlang itu bertempur berdua dengan
kawannya. Karena mereka berdua itulah maka mereka sempat melarikan diri.
Nah katakan kepadaku, dimana dia sekarang. Kawan-kawanku yang menyusuri
jalan ke Jati Anom tidak menemuinya. Ia pasti datang kemari”
“Tidak ngger” jawab Ki Tanu, “sungguh tidak”
“He monyet bungkik” teriak Alap-alap itu kepada Kriya, “Jawab pertanyaanku”
Kriya itu pun didorongnya maju. Dan
terdengarlah Alap-alap yang garang itu berteriak, “Kau lihat orang
berkuda masuk kedukuh Pakuwon”
“Aku dengar derap kuda” sahut orang itu.
Tiba-tiba sebuah pukulan bersarang diwajahnya, sehingga Kriya itu pun terpelanting jatuh. “Ampun” mintanya.
“Kau lihat dua orang di atas satu punggung kuda seperti katamu tadi ditikungan” teriak Alap-alap itu.
Kriya terdiam. Matanya memandangi Ki Tanu Metir, dan dari mata itu memancar kengerian yang tersangkut dihatinya.
Orang yang pendek kecil itu benar-benar
berada dalam kesulitan. Ia tidak dapat mengingkari penglihatannya, yang
sudah terdorong dikatakannya ditikungan ketika bertubi-tubi
tangkai-tangkai senjata mengenai punggungnya. Tetapi ia takut pula untuk
menyebutnya sekali lagi di hadapan Ki Tanu Metir. Bukan karena Ki Tanu
Metir mempunyai kekasaran dan kebengisan seperti orang-orang itu, namun
karena Ki Tanu Metir adalah orang tua yang disegani dipadukuhan itu. Ki
Tanu Metir adalah seorang yang sangat baik bagi mereka. Apabila anak
istri orang-orang padukuhan itu sakit, maka Ki Tanu Metir pasti bersedia
untuk menolongnya. Pagi, sore, siang atau malam. Karena itu Kriya tidak
sampai hati untuk mengatakan apa yang dilihatnya, Sebab dengan
demikian, maka akan celakalah orang tua yang baik hati itu.
Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir ketika
Kriya melihat Alap-alap Jalatunda melangkah mendekatinya. Dengan
mengerutkan tubuhnya yang kecil itu, serta menutupi ubun-ubun
dikepalanya dengan kedua telapak tangannya ia memohon, “Ampun”
Alap-alap jalatunda tertawa. Seperti anak
nakal yang tertawa-tawa melihat seekor anjing ketakutan, ia memandangi
Kriya yang kecil dan pendek itu, “Kenapa kau tak mau mengulangi
kata-katamu. Kau takut kepada orang tua ini?” berkata anak muda itu
sambil menunjuk Ki Tanu.
Sekali lagi Kriya memandangi wajah Ki
Tanu Metir, wajah yang biasanya selalu bening, namun kali ini pun
tampak, betapa perasaan cemas sangat mengganggunya.
Tiba-tiba terdengarlah orang tua itu berkata perlahan-lahan, “Kriya, berkatalah sebenarnya”
Kriya tidak segera mengetahui maksud Ki
Tanu Metir. Karena itu untuk sesaat ia beragu, sehingga terdengar Ki
Tanu Metir berkata mengulangi, “Katakanlah apa yang kau ketahui kepada
angger alap-alap Jalatunda”
Meskipun dengan ragu-ragu, kemudian Kriya
membuka mulutnya ketika ia mendengar Alap-alap Jalatunda itu tertawa
dan selangkah mendekatinya sambil menggerak-gerakkan ujung pedangnya
dimuka wajahnya, “Ampun ngger, Sebenarnya aku melihat orang berkuda itu”
“Hem, baru sekarang kau katakan itu,” geram Alap-alap Jalatunda. “Lalu?”
“Ya, dua ekor kuda di atas punggung orang…..eh …..eh…., dua orang berkuda di atas satu punggung kuda” sahut Kriya kebingungan.
Kemudian Alap-alap Jalatunda itu memutar
tubuhnya menghadap Ki Tanu Metir sambil tertawa menyeringai. Katanya,
“Kau dengar dukun tua, lidah si bungkik itu terputar-putar?”
“Aku dengar” jawab Ki Tanu Metir, “Tetapi
adakah seseorang yang masuk kepadukuhan ini pasti datang ke rumahku?
Bagaimanakah kalau orang itu sekedar lewat dan terus ke Glagah Legi atau
ke Gedawung?”
Alap-alap Jalatunda mengerutkan
keningnya, namun jawabnya, “Hanya di sini tinggal seorang dukun yang
ternama” Dan tiba-tiba mata Alap-alap itu menjadi liar, “Mana dia”
bentaknya, sehingga Kriya terkejut dan menggigil karenanya.
Untara yang mendengar bentakan-bentakan
itu pun menjadi gelisah. Apakah yang akan dilakukan terhadap orang setua
Ki Tanu. Tetapi Untara terkejut ketika jawabnya Ki Tanu justru menjadi
tenang, “Angger, kalau angger tidak percaya, silakan mencarinya”
Mata Alap-alap Jalatunda yang liar itu beredar berkeliling kesegenap sudut, kemudian sekali lagi ia berteriak, “Bohong!”
Tiba-tiba di antara mereka, di antara
kawan-kawan Alap-alap Jalatunda itu terdengar seseorang tertawa.
Suaranya menggelegar dan jauh berbeda dengan suara Alap-alap Jalatunda,
“He Alap-alap kecil, agaknya kau terlalu baik hati. Jangan buang-buang
waktu. Berpencarlah dan cari disemua sudut rumah ini”
Ki Tanu Metir terkejut mendengar suara
itu. Demikian juga Untara. Orang yang menyebut, “Alap-alap Jalatunda
dengan sebutan Alap-alap kecil itu pun pasti bukan orang kebanyakan.
Karena itu dada Untara menjadi semakin berdebar-debar.
Alap-alap Jalatunda sendiri mengerutkan
keningnya. Kemudian sahutnya, “Bagus”, dan kepada anak buahnya ia
berkata, “Carilah orang yang bernama Untara itu sampai ketemu. Suguhkan
dia kepada tamu kita kakang Plasa Ireng”
“Plasa Ireng” Untara menyebut nama itu di
dalam hati. Dan debar jantungnya pun menjadi bertambah cepat, sejalan
dengan tubuhnya yang bertambah lemah. Plasa Ireng adalah orang yang
benar-benar menakutkan. Ia adalah salah seorang prajurit Jipang yang
dipercaya. Seperti Arya Jipang sendiri, Plasa Ireng adalah seorang
pemarah, dan bahkan Plasa Ireng memiliki sifat-sifat yang jauh lebih
bengis dari Arya Penangsang. “Orang itu ada di sini pada saat aku tak
mampu menemuinya” pikir Untara. Seandainya Untara tidak terluka, maka
dengan penuh gairah Plasa Ireng itu akan disambutnya. Tetapi keadaan
Untara sedemikian buruknya, sehingga untuk berdiri pun agaknya terlalu
payah baginya, hanya karena darahnya terlalu banyak mengalir.
Sesaat kemudian orang-orang Alap-alap
Jalatunda itu memencar ke segenap sudut rumah Ki Tanu Metir. Setiap
lekuk-lekuk diperiksanya, bahkan sampai-sampai gledeg-gledeg bambu pun
dibukanya. Tetapi tak seorang pun mereka ketemukan. Sentong kanan,
tengah dan kiri pun mereka jenguk pula, bahkan dengan lampu di tangan
mereka. Namun di sentong-sentong itu mereka hanya melihat setumpuk
bantal dan di sentong kiri seonggok untaian padi di dalam bakul yang
besar. Namun Untara tak mereka temukan.
Selagi mereka sibuk mencari-cari, kembali
terdengar Plasa Ireng terawa nyaring diluar pintu. Katanya, “Kuda itu
telah kemari, tetapi aku melihat bekas kakinya meninggalkan tempat ini”
Alap-alap Jalatunda pun segera meloncat
keluar. Segera ia pun mengamat-amati bekas kaki-kaki kuda itu dibawah
cahaya oncor di tangan Plasa Ireng. Kemudian terdengar ia memanggil,
“Bawa Kriya kemari”
Kriya yang pendek itu pun segera didorong
keluar. Kemudian diseret mendekati alap-alap Jalatunda yang masih
terbungkuk-bungkuk mengamat-amati telapak-telapak kaki kuda.
“Kriya bungkik..!” teriak Alap-alap muda itu, “Kau lihat orang ini datang. Pasti kau lihat ia pergi”
“Ya, aku lihat” jawab Kriya terbata-bata.
“Kenapa kau tidak bilang sejak tadi? Kau
sengaja mempermainkan kami?” bentak Alap-alap Jalatunda sambil
melekatkan ujung pedangnya pada perut Kriya yang kecil itu.
“Tidak, tidak..” sauara Kriya hampir merintih.
“Atau kau termasuk gerombolan orang yang bernama Untara itu?” desak Alap-alap Jalatunda’
“Tidak…” sahut Kriya.
“Jadi kenapa kau lindungi dia?” desak anak muda itu. Ia harus dapat berlaku kasar, sekasar Plasa Ireng.
“Aku tidak tahu kalau kuda yang datang
itu kemudian juga kuda yang aku lihat meninggalkan padukuhan ini” jawan
Kriya mencoba menyelamatkan dirinya.
“Kenapa? Adakah perbedaanya?” pertanyaan
itu sedemikian cepatnya sehingga Kriya tidak sempat mempertimbangkan
jawabannya. Karena itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya, “Yang datang
berdua, yang pergi hanya seorang”
“Ha” jawaban itu benar-benar mengejutkan.
Kriya sendiri terkejut mendengar jawaban itu. Ki Tanu Metir yang
mendengar percakapan itu mengerutkan keningnya. Ia tak akan dapat
mengelak lagi. Tetapi ia tidak kehilangan ketenangannya. Karena itu
sikapnya benar-benar mengherankan.
Tiba-tiba terdengar Alap-alap Jalatunda
tertawa berderai dan Plasa Ireng itu pun tertawa pula. Terdengar Plasa
Ireng berkata, “Yang seorang melarikan diri, tetapi kawannya yang luka
ditinggalkannya di sini”
Untara mnenjadi gelisah. Bukan karena
dirinya sendiri, namun dengan demikian maka Ki Tanu Metir pasti akan
mengalami bencana. Alap-alap Jalatunda yang ingin mendapat pujian dari
Plasa Ireng itu dapat berbuat hal-hal diluar dugaan. Dan apa yang
dilakukan Plasa Ireng sendiri akan sangat mengerikan. Apalagi ketika
Untara mendengar Plasa Ireng membentak, “He dukun celaka, aku tidak
telaten melihat cara Alap-alap kecil itu mencari lawannya. Untara adalah
seorang yang sangat berbahaya. Aku ingin menemuinya di segala medan
peperangan namun aku selalu gagal. Hanya namanya saja yang pernah aku
dengar. Di segala garis perang Untara pasti berhasil menyapu
lawan-lawannya. Nah, tunjukkan kepadaku sekarang dimana orang itu”
Kemudian katanya kepada Alap-alap Jalatunda, “Alap-alap kecil, serahkan
Untara kepadaku, kau dapat menemukan yang seorang lagi”
“Anak itu telah pergi” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Kau dapat memeras keterangan dari orang
pendek itu kemana ia melarikan diri. Pakai kudaku. Kejar dia dan bawa
dia kemari atau penggal lehernya dan tinggalkan di sekitar Sangkal
Putung”
Perintah-perintah itu mengalir seperti pancuran. Dan perintah-perintah itu benar-benar mengejutkan.
Dada Untara pun tiba-tiba bergolak dengan
dahsyatnya. Untara sesaat ia lupa tentang lukanya. Yang didengarnya
kemudian adalah suara Alap-alap Jalatunda, “Untara adalah lawanku.
Karena itu aku ingin menyelesaikan perkelahian itu”
Plasa Ireng menarik nafas, tampak dahinya berkerut. Katanya, “Kaukah yang melukainya?”
“Sudah aku katakan” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Dalam perkelahian seorang lawan seorang?” desak Plasa Ireng.
“Ya” sahut anak muda itu.
Tiba-tiba Plasa Ireng tertawa, katanya,
“Jangan mengelabui orang tua. Aku tahu siapakah Untara dan siapakah
Pratanda yang sekarang bergelar Alap-alap Jalatunda. Atau kau takut
kepada yang seorang itu pula”
Wajah Alap-alap Jalatunda menjadi merah.
Namun tidak berani berbuat sesuatu meskipun hatinya melonjak. Meskipun
demikian ia menjawab, “Jangan memperkecil arti Alap-alap Jalatunda di
daerah ini. Kenapa aku takut kepada yang seorang lagi. Berdua dengan
Untara aku telah berhasil mengalahkan mereka”
“Jangan ulangi!” bentak Plasa Ireng.
Sikapnya benar-benar garang. Apalagi kepada lawan-lawannya. Kepada
Alap-alap Jalatunda itu pun ia berkata, “Kalau sekali lagi kau sebut
kemenanganmu itu, aku tampar mulutmu. Sekarang pakai kudaku, kejar yang
seorang sampai ketemu” kemudian kepada Kriya Plasa Ireng berkata, “ke
arah mana kuda yang itu?”
Kriya yang kecil pendek itu telah
kehilangan seluruh hatinya, karena itu maka jawabannya pun meluncur
dengan lancarnya, “keselatan”
“Terus?” desak Plasa ireng.
“Tidak. Disimpang tiga membelok kebarat” jawabnya.
“Nah, kejar dia. Lewat Kali asat” perintahnya.
Alap-alap Jalatunda masih berdiri di tempatnya, sehingga Plasa Ireng membentak, “Pergi…!”
Alap-alap Jalatunda yang garang itu tidak
membantah. Bergegas-gegas ia pergi kejalan kecil dimuka halaman Ki Tanu
Metir. Dan sesaat kemudian terdengarlah derap kuda berlari.
Mendengar derap kuda itu, berdentanglah
jantung Untara. Segera ia mencemaskan nasib adiknya. Tiba-tiba saja ia
mencoba menyibakkan tumpukan padi di atasnya. Namun terasa pundaknya
menjadi semakin sakit. Dan ketika ia meraba pundak itu, terasa darahnya
kembali mengalir. Karena itu dicobanya untuk menenangkan dirinya. Ia
mencoba berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. Dalam pada itu
terdengar Plasa Ireng membentak, “He dukun tua, kangan menyamakan aku
dengan Pratanda yang cengeng itu. Sekali aku bertanya, kau harus
menunjukkan tempat Untara. Kalau tidak sebaiknya aku sobek mulutmu, dan
aku bakar rumah ini. Nah, tunjukkan tempat Untara itu sekarang”
Sekali lagi Untara menggeliat. Ia sama
sekali tidak rela, apabila dukun yang naik itu mengalami bencana karena
dirinya. Tetapi dengan demikian, keadaannya menjadi semakin buruk. Darah
yang kembali mengalir dari lukanya itu, sangat mempengaruhinya.
Sehingga Untara menjadi sangat cemas. Ketika matanya seakan-akan tidak
dapat dibukanya lagi, sesaat kesadarannya seperti hilang. Dan tiba-tiba
ia menjadi sangat pening. Lamat-lamat masih didengarnya Ki Tanu Metir
menjawab tenang, “Sayang ngger Plasa Ireng, aku tidak dapat menunjukkan
tempat itu”
“He..!” Plasa Ireng berteriak, “Kau mencoba membantah. Jangan mengorbankan dirimu untuk monyet yang ganas itu”
“Ia berada di rumahku” jawab Ki Tanu, “karena itu keselamatannya berada di tanganku”
Jawaban itu benar-benar mengejutkan.
Untara pun terkejut. Namun ia tidak mau mengorbankan orang tua itu.
Tetapi ketika ia mencoba sekali lagi untuk bangkit, maka kepalanya
menjadi semakin peningnya. Perlahan-lahan kesadarannya menjadi semakin
tipis. Dan ketika ia mencoba berteriak untuk menunjukkan dirinya maka
dunia seakan-akan kelam. Untara tidak sadarkan diri.
Malam yang gelap masih merajai seluruh
permukaan bumi. Satu-satu dilangit bintang berebut dahulu muncul dari
balik awan yang mengalir dihanyutkan angin selatan. Udara yang dingin
membelai daun-daunan dan pohon-pohonan yang masih basah.
Di atas jalan berbatu-batu menuju Sangkal
Putung, lewat Kali Asat terdengarlah suara kaki kuda berderap. Kuda itu
berlari dengan kencang, namun tidak dengan kecepatan penuh.
Penunggangnya, Agung Sedayu, bukanlah seorang penunggang kuda yang
berani. Karena itu, meskipun perasaan takut selalu mengejarnya, namun ia
tidak berani memacu kudanya dengan kecepatan penuh.
Ketika Agung Sedayu mencoba memandang
jauh ke depan, jantungnya menjadi berdebar-debar. Sekali lagi ia harus
membelok kemudian ia kan sampai ke Bulak Dawa. Di ujung bulak yang
panjang itulah terdapat sebuah pohon randu alas raksasa, yang terkenal
dengan sebutan tikungan randu alas. Dibawah randu alas jalan membelok
kekiri lewat Kali asat dan sekali lagi ia harus membelok kekanan.
Kemudian ia akan sampai kejalan lurus langsung menuju Sangkal Putung.
Teringatlah ia akan ceritera tentang
genderuwo bermata satu penunggu randu alas itu. Terasalah seluruh
bulu-bulunya tegak. Tetapi terdorong oleh ketakutannya yang lain,
ketakutannya kepada kakaknya yang akan membunuhnya, maka dipaksanya juga
kudanya berlari. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak henti-hentinya
meratap di dalam hati. Perintah kakaknya dirasanya telah menghadapkannya
pada suatu pilihan yang sama-sama mengerikan baginya. Seakan-akan
kakaknya sengaja menjerumuskannya ke daerah maut. Berjalan ke Sangkal
Putung atau tinggal di rumah Ki Tanu Metir, maut itu dapat hadir setiap
saat untuk mencekiknya.
Ketika sekali lagi Agung Sedayu memandang
ke depan, kudanya telah sampai dikelok jalan, dan sesaat kemudian di
hadapannya terbentang daerah persawahan yang panjang. Bulak dawa.
Kini hujan telah benar-benar teduh.
Bahkan di antara bintang-bintang dilangit, tampak bulan tua muncul dari
balik awan. Cahayanya yang kemerah-merahan memencar terlempar ke atas
daun-daun padi yang subur di tanah persawahan. Di sana sini air yang
bergenangan memantulkan sinar bulan yang redup itu.
Sekali-sekali Agung Sedayu menengadahkan
wajahnya. Mula-mula ia agak berlega hati, ketika malam tidak lagi
sedemikian pekat. Namun tiba-tiba karena itu maka terasa segenap
bulu-bulu ditubuhnya menjadi tegak.
Jauh di arah timur, remang-remang
dilihatnya hutan yang terbujur keselatan, seakan-akan raksasa sedang
lelap tertidur. Sepi. Agung Sedayu segera memalingkan wajahnya. Kalau ia
menempuh jalan timur, maka ia akan menyusur jalan ditepi hutan itu. Ia
manarik nafas. Untunglah kakaknya berpesan untuk menempuh jalan barat,
meskipun agak jauh sedikit. Lewat jalan ini, jaranglah orang bertemu
binatang buas yang kelaparan, dan mencari mangsanya sampai keluar daerah
perburuan mereka.
Tetapi tiba-tiba mata Sedayu terbentur
pada sebuah pohon yang besar menghadang di ujung jalan. Randu alas.
Tanpa disadarinya Sedayu menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu
memperlambat larinya. Pohon itu dimata Sedayu seolah-olah berbentuk
seorang raksasa yang tegak memandangnya dengan penuh nafsu. Tidak.
Malahan tiba-tiba rimbun daunnya berubah menjadi kepala hantu yang bulat
keputih-putihan, genderuwo mata satu. Hampir Sedayu memekik ketakutan.
Tetapi suaranya tak sempat meloncat keluar. Sekali lagi ia menarik
kendali kudanya, lebih keras. Dan kini kuda itu berhenti.
Jantung Sedayu berdebar terlalu cepat.
Terdengarlah nafasnya berkejaran lewat lubang hidungnya. Tiba-tiba
perasaan takutnya memuncak. Tetapi ketika terpikir olehnya untuk kembali
ke dukuh Pakuwon, hatinya diterkam oleh ketakutan yang lain. Kakaknya
siap membunuhnya.
“O” terdengar Agung Sedayu mengeluh.
Dirasanya seakan-akan dirinya adalah manusia paling sengsara di atas
bumi ini. Kakaknya yang selama ini amat menyayanginya, menjaganya setiap
saat, tiba-tiba kini membiarkannya dihadang maut. Bahkan memaksanya
untuk terjun kedaerah yang mengerikan itu. Terasa mata Sedayu menjadi
basah karenanya. Ia tidak dapat mengerti, mengapa ia harus pergi ke
Sangkal Putung malam ini. Ternyata Untara lebih sayang kepada Widura
daripada kepadanya.
“Ibu, ayah” desisnya. Tetapi ia terkejut
mendengar suaranya sendiri. Kalau ayah dan ibunya yang sudah meninggal
itu tiba-tiba datang, maka ia pun akan mati ketakutan. Karena perasaan
itulah maka Sedayu menjadi semakin bingung. Ingin ia berteriak, namun
tak bisa dilakukannya.
Tanpa disadarinya, ketakutannya itu telah
membawanya mendekati bencana yang jauh lebih besar dari yang
dikhayalkan tentang genderuwo bermata satu. Jauh di belakangnya berderap
seekor kuda yang lain, Alap-alap Jalatunda.
Pada saat Agung Sedayu dibakar oleh
ketakutan, pada saat itu Alap-alap Jalatunda memacu kudanya
habis-habisan. Mula-mula ia ragu-ragu terhadap pemuda yang dikejarnya.
Apakah pemuda itu tidak akan mencelakakannya. Seandainya pemuda itu
benar-benar seperti yang dikatakan Untara, maka kedatangannya adalah
untuk mengantarkan nyawanya. Tetapi kemudian diingatnya, bagaimana sikap
anak muda itu ketika pande besi sendang gabus menyerangnya. Tiba-tiba
Alap-alap Jalatunda itu tersenyum. Kalau Agung Sedayu benar-benar anak
yang mumpuni, ia pasti mengambil jalan timur. Ternyata anak itu menurut
Kriya telah mengambil jalan barat.
“Menyenangkan” desisnya, “Aku akan
mendapat permainan yang baik, jauh lebih baik dari Untara yang luka itu”
Maka Alap-alap Jalatunda itu pun memacu kudanya lebih cepat,
“Mudah-mudahan aku dapat menyusulnya”
Kaki-kaki kuda Alap-alap Jalatunda itu
pun berderap pula di atas jalan berbatu menuju Kali Asat. Dibenaknya
sama sekali tidak terhiraukan genderuwo mata satu di tikungan randu
alas. Ceritera itu pernah didengarnya pula. Tetapi hati Alap-alap yang
muda itu tidak sekecil hati Agung Sedayu. Karena itu Alap-alap yang
garang itu tidak pernah gentar seandainya betul-betul ada genderuwo mata
satu menghadang di depannya, bahkan ia akan lebih gentar apabila ia
bertemu dengan Untara.
Karena itu Alap-alap Jalatunda berpacu
dengan penuh gairah. Kalau ia dapat menangkap anak muda itu, memenggal
kepalanya dan melemparkan kedua bagian tubuh yang terpisah itu maka ia
akan dapat menggetarkan laskar Pajang yang bersarang di Sangkal Putung.
Kembali Alap-alap Jalatunda tersenyum dan
bersamaan dengan itu, kudanya dipacu semakin cepat. Kini ia bertekad
untuk dapat menyusul anak muda itu.
Di Bulak dawa Agung Sedayu masih terpekur
di atas punggung kudanya yang tegak seperti patung. Dadanya yang penuh
sesak oleh gelora perasaannya seakan-akan hendak meledak. Bahkan
akhirnya Agung Sedayu tidak berhasil menguasai dirinya, sehingga
beberapa kali terdengar ia mengeluh. Di tengah-tengah bulak yang panjang
dan sepi itu, seolah-olah Agung Sedayu mendapat kesempatan untuk
meledakkan segala himpitan di dadanya.
Agung Sedayu tidak tahu, sudah berapa
lama ia berhenti di tengah-tengah jalan di antara sawah-sawah yang
terbentang sedemikian luasnya, tetapi akhirnya ia terkejut ketika
lamat-lamat didengarnya derap kuda di belakangnya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Didengarnya suara itu baik-baik, “Derap kuda”, desisnya. “Siapa?”
Sedayu mencoba untuk menebak, “Adakah
kakang Untara” katanya seorang diri. Kemudian ia menggeleng, “Lukanya
agak parah” kata-katanya dijawabnya sendiri.
“Adakah mereka itu gerombolan Alap-alap
Jalatunda?” kembali ia berkata sendiri. Mendengar kata-katanya itu
sendiri dada Sedayu berdentang. Namun karena pengalamannya yang picik
maka perhitungannya pun picik pula. Katanya, “Alap-alap Jalatunda tidak
berkuda”
Untuk sesaat Agung Sedayu menjadi agak
tenang. Bahkan ia mengharap mendapat teman untuk melewati tikungan randu
alas. Tetapi tiba-tiba tumbuhlah di dalam benaknya, “Bagaimanakah kalau
Alap-alap Jalatunda itu menemukan kudaku?”
Sekali lagi dada Agung Sedayu berguncang.
Pikiran itu semakin lama menjadi semakin kuat. Malah kemudian Agung
Sedayu menjadi pasti. Pikirnya, “Derap kuda itu adalah derap kudaku
sendiri, tetapi dengan Alap-alap Jalatunda dipunggungnya”.
Demikianlah tiba-tiba kaki Agung Sedayu
menjadi gemetar. Dalam kecemasannya, maka lenyaplah segala akalnya yang
jernih. Yang ada di dalam hatinya tinggallah, “Bagaimana aku harus
bersembunyi di bulak ini?”
Derap kuda di belakangnya itu pun semakin
lama menjadi semakin dekat. Ia tidak dapat mengira-irakan, masih
seberapa jauhnya. Namun di malam yang sepi itu, suara derap itu
rasa-rasanya tinggal beberapa langkah di belakangnya.
Tiba-tiba mata Agung Sedayu tersangkut
pada sebuah parit yang agak dalam. Tanpa berpikir lagi, maka dengan
tergesa-gesa ia meloncat turun. Demikian tergesa-gesanya sehingga ia
jatuh terjerebab di tanah yang becek. Tertatih-tatih ia bangun, kemudian
berlari-lari terjun kedalam parit, sehingga pakaian yang basah menjadi
semakin kuyup. Tetapi Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya lagi.
Bahkan kemudian, dengan tidak mengingat persoalan-persoalan yang dapat
terjadi kemudian, anak yang ketakutan itu memungut sebuah batu dan
dengan batu itu ia melempar kudanya. Kuda itu terkejut. Satu kali kuda
itu meloncat, kemudian berputar-putar dan berlari kencang-kencang ke
arah tikungan randu alas.
Pada saat itulah Alap-alap Jalatunda
muncul dikelok jalan di belakangnya. Hati anak muda yang sedang berpacu
itu pun berdesir ketika di dalam keremangan cahaya bulan ia melihat
seekor kuda yang berlari searah dengan kudanya. “Adakah kuda itu kuda
kawan Untara?” Jarak kedua ekor kuda itu masih belum terlalu dekat.
Dengan demikian Alap-alap Jalatunda masih belum dapat melihat bahwa di
punggung kuda itu tak ada seorang pun yang menaikinya. Karena itu,
sesaat ia masih diganggu oleh keragu-raguannya. Jangan-jangan penunggang
kuda itu benar-benar sakti seperti yang dikatakan Untara.
“Bukankah aku Alap-alap Jalatunda”
desisnya. “Alap-alap Jalatunda tidak mengenal takut. Meskipun seandainya
yang berkuda itu Untara sendiri”. Alap-alap yang muda itu tersenyum
sendiri ketika dari sudut hatinya terdengar jawaban, “Ya, karena kau
tahu pasti bahwa Untara sedang terluka parah”
Alap-alap Jalatunda itu pun segera memacu
kudanya secepat angin. Ia tidak mau melepaskan buruannya atau menunggu
sampai ke Sangkal Putung. Orang itu harus segera ditangkapnya. Hidup
atau mati. Karena itu tiba-tiba Alap-alap itu berteriak ngeri, mirip
seperti suara burung alap-alap yang berteriak di udara. Kudanya itu pun
berlari semakin kencang seperti gila.
Agung Sedayu seakan-akan membeku di dalam air parit yang dingin. Ia melihat seekor kuda lari dimuka hidungnya.
Dilihatnya pula anak muda sebayanya duduk
merapat di atas punggung kuda itu seperti sedang berpacu. Dalam
keremangan cahaya bulan Agung Sedayu dapat mengenal, bahwa penunggang
kuda itu adalah anak muda yang tadi bertempur dengan kakaknya, Alap-alap
Jalatunda. Maka dari itu giginya gemeretak, tetapi sama sekali bukan
karena kemarahannya.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu tidak
dapat menggerakkan meskipun hanya ujung jarinya. Hatinya berdebar-debar
seakan-akan bunyi guruh meledak-ledak di dalam rongga dadanya.
Suara kuda Alap-alap Jalatunda itu pun
semakin lama semakin samar. Ketika Agung Sedayu menjengukkan kepalanya
yang gemetar lamat-lamat dilihatnya sebuah noktah hitam semakin lama
semakin menjadi kabur. Dan akhirnya hilang seakan-akan ditelan oleh
gendoruwo bermata satu di ujung jalan. Tetapi Sadayu kini sudah tidak
ingat lagi kepada gendoruwo bermata satu itu. Dan matanya pun kini dapat
melihat pohon randu alas itu dengan jelas. Lingkaran yang
keputih-putihan di tengah-tengah bayangan hitam itu tidak lain adalah
bagian-bagian yang tak berdaun. Sedayu menarik nafas. Namun ketakutan
yang lain kini mencekamnya. Bagaimanakah seandainya Alap-alap Jalatunda
itu nanti kembali. Dan perasaan takutnya itu semakin lama semakin
menghunjam kepusat dadanya. Demikian takutnya sehingga akhirnya Agung
Sedayu tidak dapat lagi berpikir. Tiba-tiba saja ia berdiri dan
merangkak menaiki tepian parit. Seperti orang yang kehilangan kesadaran
diri, Agung Sedayu berlari-lari ke arah jalan kembali ke dukuh Pakuwon.
Biarlah kakaknya membunuhnya, daripada mati karena tangan Alap-alap
Jalatunda yang garang itu. Mula-mula ada juga niatnya untuk lari kemana
saja. Tidak ke arah Alap-alap Jalatunda dan tidak kembali ke kakaknya.
Tetapi kemana? Dan apakah yang akan terjadi dengan dirinya besok lusa
dan seterusnya. Karena itu maka niat itu pun tak berani dilakukannya.
Ketika Agung Sedayu hampir sampai kepangkal jalan bulak yang panjang
itu, sebelum ia membelok tiba-tiba sekali lagi ia mendengar derap kuda.
Karena itu langkahnya pun terhenti. Dicobanya untuk mengetahui dari arah
mana kuda itu datang. Ketika ia menoleh, di sepanjang bulak dawa itu
tak dilihatnya sesuatu, sementara itu derap kuda itu pun menjadi semakin
dekat. Sekali lagi Agung Sedayu menjadi sedemikian bingungnya sehingga
kembali ia berlari keparit ketepi jalan. Tetapi parit itu melengkung dan
berbelok. Karena itu ia memerlukan waktu untuk mencapai kelokan parit
itu.
Ketika kuda itu muncul di siku jalan,
Agung Sedayu baru mencapai tanggul parit, sehingga dengan tergesa-gesa
ia meloncat terjun kedalamnya. Namun orang yang berkuda itu sempat
melihatnya. Dan tiba-tiba saja penunggangnya menarik kekang kudanya, dan
tepat di muka Agung Sedayu terjun, kuda yang berlari kencang itu pun
berhenti.
Agung Sedayu masih terbaring di dalam
parit. Hanya wajahnya sajalah yang berada di permukaan air. Ketika ia
mendengar bahwa derap kuda itu berhenti, maka ia menjadi semakin
ketakutan da kembali merataplah ia di dalam hati. Meratapi nasibnya yang
malang semalang-malangnya.
Didengarnya orang di atas punggung kuda
itu menggeram. Dan kemudian didengarnya orang itu berkata, “Siapa yang
bersembunyi di dalam parit?”
Mendengar suara itu dada Agung Sedayu bergoncang. Serasa nyawanya telah berada di ujung ubun-ubunnya.
“He, jawablah” terdengar suara itu pula.
Berat dan lantang, “Siapa itu? Kalau kau ingin berbuat baik, datanglah.
Kalau kau tidak datang, bersiaplah. Kita akan bertempur.”
Agung Sedayu benar-benar menjadi beku. Ia
tidak dapat berbuat lagi sesuatu apapun. Tubuhnya menggigil namun
mulutnya masih terkunci.
“Nah” suara itu berkata pula, “Kau tidak
mau menampakkan dirimu. Siapa pun kau aku tidak akan takut. Berkemaslah,
kita mengadu kesaktian.”
Sedayu masih mendengar orang itu meloncat
turun. Kemudian tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh menjenguknya dari
atas tanggul. Melihat orang itu Sedayu benar-benar hampir pingsan.
Seorang yang mengenakan sebuah topeng untuk menutupi wajahnya. Tubuhnya
yang sedang berbalut dengan sebuah kain gringsing. Ketika orang itu
melihat Agung Sedayu, maka berderailah tertawanya.
“He” kenapa kau berbaring disitu? Apakah
kau sedang mulai bertapa? Tapa kungkum? Ayo wudarlah tapamu sebentar.
Kita berkenalan. Orang yang biasa tapa kungkum adalah orang yang sakti,
tak akan betah sedemikian lama merendam diri dalam air dikala udara
begini dingin. Ayo bangunlah”
Agung Sedayu masih menggigil. Memang
udara sedemikian dinginnya. Tetapi Sedayu tak merasakan udara yang
dingin itu. Sehingga terdengar orang itu berkata lagi, “Hem, benar-benar
kau orang sakti. Kau dapat menutup segenap panca indramu sehingga kau
tak terpengaruh oleh kedatanganku. Kalau demikian aku terpasaksa
membangunkan kau”
Tiba-tiba orang itu pun meloncat turun.
Dengan serta merta ia mencoba untuk mengangkat tubuh Agung Sedayu.
Tetapi tubuh itu tak terangkat. Bahkan orang itu kemudian berkata,
“Belum pernah aku menjumpai orang seberat ini. Aku telah menjelajahi
hampir setiap sudut kerajaan Demak dan kemudian Pajang, Jipang dan
segala pecahan Demak”. Hem” orang itu menggeleng-gelengkan kepala.
Tetapi ia berkata pula, “Bangunlah hai pertapa mumpung kau baru
memulainya. Kalau tidak, jangan kau sebut aku curang kalau aku
membunuhmu sebelum kau wudar dari tapamu”
Agung Sedayu belum pernah melihat orang
seorang pertapa. Karena itu ia tidak tahu bagaimana seseorang mesu diri
dengan bertapa. Maka ketika orang itu menyebutnya sedang bertapa, ia
tidak mengerti meskipun terasa juga sebutan itu terlalu
berlebih-lebihan. Namun ketika orang itu mengancamnya akan membunuhnya,
maka dengan susah payah, ia mencoba untuk menguasai tubuhnya. Dengan
susah payah ia mengangkat kepalanya, kemudian duduk bersandar kedua
belah tangannya.
Melihat Agung Sedayu bangkit, orang itu
mundur selangkah. Dan sekali lagi ia tertawa nyaring, “Ha” katanya,
“ternyata masih belum tega akan hidup matimu. Ayo berdirilah, kita
bertempur”
Agung Sedayu tanpa sesadarnya memandangi
orang yang berdiri di hadapannya itu. Dan tiba-tiba saja merayaplah
suatu perasaan yang aneh di dalam dadanya. Meskipun orang yang baru saja
datang itu selalu menantangnya, namun nadanya sangat berbeda dengan
kata-kata yang bernah diucapkan oleh si Pande besi Sendang Gabus atau
oleh Alap-alap Jalatunda.
“Berdirilah” tiba-tiba orang itu mengulangi kata-katanya.
Sedayu masih belum berdiri. Ia masih
duduk dan sebagian tubuhnya masih terendam air. Namun tak
disangka-sangkanya orang itu datang menghampirinya dan menolongnya
berdiri. Katanya, “Ayo, tegaklah. Kau hampir beku terendam air”
Ketika Agung Sedayu kemudian berdiri,
orang itu memandangnya dengan seksama. Lalu katanya, “Kau gagah benar.
Badanmu kekar sedang urat-uratmu kencang. Tubuh idaman bagi setiap
lelaki. Nah, sudahkah kau bersedia untuk bertempur?”
Dengan serta merta, tanpa dikehendakinya sendiri Agung Sedayu menggeleng lemah.
“Tidak?” teriak orang bertopeng itu, “Kau tidak mau berkelahi?”
Sekali lagi Agung Sedayu menggeleng dengan sendirinya.
“Hem” desis orang bertopeng itu, “Kau
belum mengenal aku. Panggillah aku Kiai Gringsing. Sebutan itu bukan
namaku, tetapi aku senang dipanggil demikian”
Perasaan yang aneh, yang merayap-rayap di
dalam dada Agung Sedayu menjadi semakin menebal. Orang itu mempunyai
sikap yang sangat berbeda. Tiba-tiba ketakutannya pun berkurang. Kalau
orang itu ingin berbuat jahat terhadapnya, maka dengan mudah hal itu
dapat dilakukan. Namun tanda-tanda yang demikian masih belum dilihatnya.
Nada suaranya pun tidak kasar dan tidak mengandung permusuhan. Sedikit
demi sedikit Aung Sedayu mencoba menguasai otaknya kembali, meskipun ia
masih belum dapat melepaskan perasaan takutnya.
“Aku sangka kau termasuk orang sakti yang
tidak menyukai permusuhan. Baik. Aku pun tidak akakn memaksa. Dahulu
aku pun pernah mengenal orang serupa kau ini” berkata orang bertopeng
itu.
Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja terloncat
dari mulut Sedayu sebuah pertanyaan. Lirih dan gemetar. Tetapi orang
bertopeng itu mendengarnya, “Siapa?” katanya.
Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya, “Namanya Ki Sadewa”
“He” Agung Sedayu terkejut, “Kau sebut nama itu?”
“Ya, kenapa? Kau kenal dia? Atau orang
itu gurumu? Kalau demikian benar dugaanku. Kau orang sakti yang tak
ingin bermusuhan dengan siapun juga” sahut kiai Gringsing.
“Orang itu ayahku” berkata Agung Sedayu dengan penuh kebanggaan.
“He” orang itu terkejut, “Kau anak Ki Sadewa? Benarkah demikian?”
“Ya” jawab Agung Sedayu pendek.
“Pantas, pantas” gumamnya, “Kau memiliki
kekekaran tubuh seperti ayahmu, ketahanan tubuh seperti ayahmu pula, dan
sifat-sifat yang sama pula”. Tetapi tiba-tiba orang bertopeng itu
bertanya menyentak, “Bohong. Kau akan menakut-nakuti aku. Aku takut
seribu turunan dengan orang yang bernama Sadewa itu. Dan kau sekarang
anaknya?”
“Tidak” jawab Agung sedayu, “orang itu benar-benar ayahku”
“Kalau demikian akan aku buktikan” desis Kiai Gringsing.
Darah Agung Sedayu berdesir. Bagaimanakah
caranya membuktikan? Haruskah ia berkelahi lebih dahulu. Agung Sedayu
kemudian menyesal bahwa ia telah menyebut nama ayahnya.
Kiai Gringsing itu kemudian berkata pula, “Kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa kau tak mau berkelahi?”
Agung Sedayu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia mengangguk.
“Bukti yang pertama, seperti Ki Sadewa”
berkata orang bertopeng itu. “Tetapi” ia meneruskan, “kau dapat
berpura-pura. Sedang sebenarnya nafsumu berkelahi melonjak-lonjak.
Sekarang aku ingin membuktikan dengan cara lain. Ki Sadewa adalah
seorang ahli bidik. Memanah, paser, bandil dan sebagainya. Adakah kau
mewarisi kepandaian itu?”
Tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi
cerah. Permainan yang sama sekali tidak memerlukan keberanian. Karena
iru Agung Sedayu sering melakukannya. Bahkan ia benar-benar mewarisi
keahlian ayahnya itu. “Baiklah” jawabnya.
“Nah” berkata Kiai Gringsing, “aku akan melambungkan batu ke udara. Kenailah dengan lemparan pula”.
“Bagus” teriak Agung Sedayu gembira.
Permainan itu memang sering dilakukan dengan ayahnya dahulu. Bahkan
kakaknya, Untara tak menyamainya.
Kiai Gringsing itu kemudian memungut sebuah batu, dan dilemparkannya tak begitu tinggi, “Aku sudah mulai” teriaknya.
Sedayu pun segera memungut batu pula.
Ketika batu yang dilemparkan oleh Kiai Gringsing itu telah mencapai
puncaknya dan meluncur turun, Sedayu mulai melemparkan batunya. Sesaat
kemudian terdengarlah suara kedua batu itu beradu.
“Dahsyat” teriak Kiai Gringsing, “Di
dalam cahaya bulan yang hanya samar-samar kau telah berhasil
mengenainya, Kau benar-benar anak Ki Sadewa. Karena itu aku tak akan
berani menantangmu”
“Kau percaya?” bertanya Agung Sedayu dengan bangga.
“Ya, aku percaya” jawab orang itu.
Agung Sedayu tersenyum. Dan tiba-tiba
hatinya menjadi agak tenteram. Ia merasa bahwa di dalam dirinya
tersembunyi pula kemampuan yang tak dimiliki oleh orang lain.
Tetapi selagi Agung Sedayu berbangga atas
kemampuannya itu, lamat-lamat didengarnya derap seekor kuda. Hatinya
yang mulai berkembang itu tiba-tiba kuncup kembali, “Suara kuda”
desisnya.
“Ya” jawab Kiai Gringsing, “dari arah tikungan randu alas”
Dada Agung Sedayu berdentang. Apakah
Alap-alap Jalatunda yang sedang mencarinya? Keringat dingin mulai
mengaliri seluruh tubuhnya. Dan kembali anak muda itu menjadi gemetar.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing sama sekali
tidak tertarik pada suara derap kaki-kaki kuda itu, maka katanya,
“Jangan hiraukan suara derap itu, siapa pun yang akan lewat biarlah ia
lewat”
Namun Agung Sedayu tidak dapat berbuat
demikian. Dalam pada itu terdengar kembali suara Kiai Gringsing, “Anak
muda, kecakapanmu benar-benar melampaui kecakapan anak-anak muda biasa.
Sejak kapan kau berlatih membidik?”
Agung Sedyu mendengar juga pertanyaan
itu. Tetapi meskipun derap kaki-kaki kuda masih cukup jauh serasa
seperti derap dijantungnya. Namun ia menjawab, “Sejak kecil” Dan
terlintaslah untuk sesaat kenangan masa kanak-kanak itu. Kakaknya lebih
suka berburu kehutan daripada berlatih membidik di rumah. Sedangkan
Agung Sedayu yang tak berani kut serta, menghabiskan waktunya dengan
berlatih memanah, paser, bandil dan sebagainya. Tetapi kecakapannya itu
tidak dipergunakannya, selain dalam perlombaan memanah untuk anak-anak.
Tetapi kenangan itu kemudian terusir oleh
gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin dekat. Dan karena itu maka
tubuhnya semakin gemetar pula.
“Anak muda” berkata Kiai Gringsing,
“agaknya kau tertarik sekali pada orang berkuda itu. Adakah itu
sahabatmu? Kalau demikian biarlah aku pergi dahulu. Lain kali kita
beremu”
“Jangan, jangan pergi Kiai” tanpa
diduga-duga Agung Sedayu berteriak. Dan tiba-tiba saja ia meloncat
mendekati orang bertopeng itu.
“Kenapa?” Kiai Gringsing bertanya.
“Orang yang berkuda itu mungkin Alap-alap Jalatunda” jawab Agung Sedayu.
“Alap-alap Jalatunda? Darimana kau tahu?” bertanya orang bertopeng itu pula.
“Ia sedang mengejar kami. Aku dan kakakku” jawab Sedayu.
“Aku pernah mendengar namanya. Tetapi
apakah keberatanmu?” desak Kiai Gringsing, “Kalau Alap-alap Jalatunda
itu berani mengejar putra Ki Sadewa, apakah ia sudah gila?”
“Ya, ia mengejar aku dan kakakku yang terluka” jawab Agung sedayu.
“Kau dan kakakmu? Siapakah namamu he anak
muda dan siapa nama kakakmu?” sahut kiai Gringsing, “Apakah Alap-alap
Jalatunda itu bernyawa tujuh rangkap?”
“Namaku Sedayu, Agung Sedayu dan kakakku
bernama Untara,” jawab Sedayu yang segera disusulnya dengan
terbata-bata, “Kiai, tolonglah aku” minta anak muda itu.
Kiai Gringsing memandangi Agung Sedayu
dengan seksama. Kemudian orang bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi sesaat kemudian ia tertawa. Katanya, “Kau benar-benar tidak mau
melibatkan diri dalam perkelahian melawan siapa saja. Tetapi jangan kau
umpankan orang lain. Kalau kau tak mau berkelahi, jangan berkelahi. Aku
pun tidak”
“Tidak kiai. Aku minta kiai menolong aku”
desak Agung Sedayu ketakutan. Meskipun mula-mula ia agak malu juga,
namun kemudian terpaksa ia berkata, “Aku tidak pernah berkelahi. Aku
takut”
Orang bertopeng itu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Katanya, “Orang-orang sakti sering berbuat aneh-aneh. Ki
Sadewa juga selalu menghindari perkelahian. Namun ia mempunyai cara yang
baik. Caramu itu adalah keterlaluan. Carilah cara lain. Jangan
pura-pura takut. Tak akan ada orang percaya, keturunan Ki Sadewa menjadi
ketakutan karena Alap-alap Jalatunda. Sedang Ki Sadewa itu pun tak
pernah membiarkan kejahatan berlangsung terus. Kalau ia bertemu
Alap-alap Jalatunda misalnya, orang itu pasti akan ditaklukkan dan
diusahakan untuk meluruskan jalannya”
Agung Sedayu sudah tidak mendengar
kata-kata itu. Karena derap kuda itu semakin dekat, maka Sedayu pun
menjadi bingung. Ketika ia menatap bulak yang panjang dalam keremangan
cahaya bulan telah dilihatnya, seekor kuda berpacu ke arahnya.
“Itulah dia kiai” berkata Sedayu, “Tolonglah aku”
“Bagaimana aku bisa menolongmu, kau
mempunyai kemampuan lebih baik dari aku” jawab Kiai Gringsing, “Atau kau
ingin mengenali aku dengan melihat caraku berkelahi?”
“Tidak, tidak” jawab Sedayu mendesak, “aku takut”
“Angger Sedayu” berkata orang bertopeng
itu. Dan tiba-tiba suaranya menjadi bersungguh-sungguh, “Seandainya kau
bertempur melawan Alap-alap Jalatunda itu, dan karena tak kau sengaja
lawanmu terbunuh, kau tak usah menyesal. Sebab bukan kau sebab dari
perkelahian itu. Apabila kau tak membunuhnya, atau memaksanya pergi, kau
sendiri pasti akan dibunuhnya”
Tetapi agung Sedayu malahan menjadi bertambah ngeri. Maka jawabnya, “Aku tidak berani Kiai, aku takut”
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan
kepalanya kembali. Ditariknya keningnya sehingga topengnya
bergerak-gerak. “Baiklah” katanya, “agaknya kau bercuriga kepadaku dan
ingin mengenal aku lewat unsur-unsur gerakku, tetapi apakah kau mampu
melawan Alap-alap itu?” Dan tiba-tiba saja orang yang bertopeng dan
berselimut kain gringsing itu meloncat, ringan sekali, keatas tanggul
parit. Masih terdengar ia berkata, “Jangan berendam lagi di dalam air
Sedayu, kau akan membeku” Namun kemudian orang itu bergumam lirih, yang
hanya dapat didengarnya sendiri, “Tak berhasil”
Sementara itu kuda yang berlari
kencang-kencang itu pun menjadi semakin dekat. Di atas punggung kuda itu
tampak seseorang yang hampir melekatkan tubuhnya pada tubuh kudanya.
Dari kejauhan penunggang kuda itu pun telah melihat seekor kuda berhenti
di tengah jalan. Karena itu, timbullah pertanyaan di dalam hatinya.
“Siapakah gerangan orang berkuda itu?”
Orang yang datang itu benar-benar
Alap-alap Jalatunda. Anak itu mengumpat tak habis-habisnya ketika ia
berhasil menyusul kuda Agung Sedayu, namun tanpa penunggangnya.
“Setan” dengusnya setelah ia mengetahui
kuda itu tak berpenumpang, “Dimana kau sembunyi kelinci licik” Dan
karena itu maka segera ia memutar kudanya kembali. Menurut perhitungan
Alap-alap Jalatunda, Sedayu pasti masih bersembunyi di sekitar jalan
yang dilampauinya. Tetapi ketika ia melihat seekor kuda berdiri di jalan
itu, maka Alap-alap Jalatunda itu menjadi berdebar-debar. “Persetan,
siapa saja orang itu. Kalau ia berusaha menyembunyikan buruanku, maka
orang itulah yang akan aku penggal kepalanya dan aku lemparkan di
sekitar Sangkal Putung”
Kuda Alap-alap Jalatunda itu pun semakin
lama menjadi semakin dekat, dan Agung Sedayu pun menjadi semakin
gemetar. Tetapi Kiai Gringsing berdiri saja dengan tenangnya menanti
kedatangan Alap-alap muda yang garang itu.
“Aku baru kenal namanya” berkata Kiai Gringsing, “Kalau aku terbunuh oleh Alap-alap Jalatunda, kaulah yang bersalah”
Agung Sedayu tidak menjawab, memang ia
tidak tahu bagaimana harus menjawab. Kalau orang bertopeng itu kalah,
maka sudah pasti dirinya pun akan mengalami bencana. Karena itu
desisnya, “Jangan Kiai, jangan kalah”
Kiai Gringsing tertawa berderai.
Benar-benar ia tertawa karena geli. “Tak seorang pun yang mau kalah
dalam setiap perkelahian. Tetapi tak seorang pun yang pasti bahwa ia
tidak akan dikalahkan, betapa pun lemah lawannya. Bukankah nasib
seseorang tak dapat ditentukan oleh orang itu sendiri, meskipun sudah
menjadi kewajiban seseorang untuk berusaha”
Agung Sedayu tak sempat menjawab karena
Alap-alap Jalatunda telah sedemikian dekatnya. Anak muda di atas
punggung kuda itu segera menarik kekang kudanya, dan kuda itu berhenti
beberapa langkah saja di hadapan kuda Kiai Gringsing. Di dalam cahaya
bulan dilihatnya seorang bertopeng berdiri tegak di atas tanggul parit.
Dan tiba-tiba dilihatnya di dalam parit seorang lain berdiri gemetar,
“Ha” teriaknya kegirangan, “Kaukah itu?”
Agung Sedayu terbungkam. Namun dadanya melonjak-lonjak. Darahnya serasa mengalir semakin cepat.
Alap-alap Jalatunda tertegun.
Dipandanginya orang bertopeng itu dari ujung kakinya sampai keujung ikat
kepalanya, “Apakah kau penari topeng?”
Tetapi orang bertopeng itu menjawab, “Tepat. Aku adalah tokoh Panji dalam setiap ceritera”
“Huh” Alap-alap itu mencibirkan bibirnya, “Jangan main-main, kau berhadapan dengan Alap-alap Jalatunda”
“Ya, aku sudah tahu” jawab Kiai Gringsing
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya, “Dari mana kau tahu?”
“Dari anak muda itu” sahut Kiai Gringsing sambil menunjuk Agung Sedayu.
“Apamukah itu?” bertanya Alap-alap Jalatunda pula.
“Bukan apa-apa. Aku baru saja bertempur
melawan anak itu, dengan perjanjian, siapa yang kalah harus bertempur
melawan Alap-alap Jalatunda. Ternyata aku kalah” jawab Kiai Gringsing,
“Karena itu aku harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda”
Alap-alap Jalatunda membelalakkan
matanya. Ditatapnya Kiai Gringsing dengan tajam penuh pertanyaan.
Terdengarlah kemudian anak muda itu menggeram, “Hem, kanapa kau pakai
topeng? Sebutkan dirimu, supaya aku dapat mengukur kesaktianmu”
“Namaku Kiai Gringsing” jawab orang bertopeng itu.
“Aku belum mengenalmu, kenapa kau menghina aku?” bertanya Alap-alap Jalatunda.
“Aku berkata sebenarnya” jawab Kiai Gringsing.
“Kenapa yang kalah yang harus menghadapi
Alap-alap Jalatunda? Adakah kalian yakin, bahwa kalian adalah
orang-orang sakti yang tak terkalahkan?” desak Alap-alap yang sedang
marah itu.
“Tidak” sahut Kiai Gringsing, “Aku sama
sekali tak berniat untuk bertempur melawanmu, sebab aku baru pernah
mendengar namamu. Tetapi ketika aku lewat, anak muda itu mendekam di
dalam parit. Dengan serta merta ia menghentikan aku. Tetapi ia menjadi
kecewa setelah ternyata aku bukan yang ditunggunya. Sebab aku bukan
Alap-alap Jalatunda. Anak muda itu marah kepadaku, dianggapnya aku
mengganggu pekerjaannya. Kami bertengkar, dan diambilnya keputusan,
kalau aku kalah aku harus menyerahkan Alap-alap Jalatunda kepadanya.
Hidup atau mati. Tetapi …..”
“Cukup!” bentak Alalp-alap Jalatunda,
“jangan membual” Suaranya keras mengguruh, sehingga Agung Sedayu hampir
terjatuh karena terkejut. Namun dalam ketakutannya, timbul pula perasaan
yang aneh, ketika ia mendengar ceritera Kiai Gringsing tentang dirinya.
Kemudian terdengar Alap-alap Jalatunda
itu meneruskan, “Kau memakai topeng itu bukan karena kebetulan. Apakah
maksudmu. Mungkin kau salah seorang yang pernah aku kenal dan mencoba
menyembunyikan dirimu. Tetapi itu tak akan berarti. Hidup atau mati aku
akan dapat merenggut topeng itu dari wajahmu, dan akan jelas bagiku
siapakah kau ini dan apa maksudmu sebenarnya”
Kiai Gringsing menggeleng, “Tidak”
jawabnya, “Tak seorang pun dapat melepas topeng ini, sebab topengku
telah melekat pada kulit wajahku”
“Hem” Alap-alap itu menggeram penuh
kemarahan. “Bagus. Kalau demikian akan aku kelupas kulit mukamu itu”.
Meskipun demikian timbul pula pertanyaan di dalam dadanya. Telah dua
orang yang menyebut anak itu sebagai orang sakti yang tak perlu
melayaninya sendiri. Dari mulut Untara pun ia pernah mendengar hal itu.
Tau, adakah orang bertopeng ini Untara yang sedang menjebaknya?
Alap-alap itu menggeleng, “Tak mungkin, Untara terluka”
Terdengar kemudian jawaban Kiai
Gringsing, “Jangan. Jangan kau kelupas kulit mukaku. Wajahku pasti akan
menakuti anak-anak kelak”
“Jangan banyak bicara” potong Alap-alap
Jalatunda yang menjadi kian marah, “bersiaplah. Kau atau anak muda itu
bagiku sama saka. Satu demi satu kalian akan aku bunuh. Atau kalian
berdua sekaligus. Mari” Alap-alap itu pun segera bersiap. Agaknya ia mau
epat-cepat selesai sehingga tiba-tiba saja di tangannya tergenggam
pedangnya jang putih berkilat-kilat.
“O” berkata Kiai Gringsing, “baiklah.
Karena aku yang harus bertempur maka biarlah aku melayanimu dahulu.
Tunggu sebentar, aku mengambil senjataku” Kiai Gringsing tidak menunggu
jawaban Alap-alap Jalatunda. Dengan enaknya ia berjalan mendekati
kudanya. Katanya kemudian, “Apakah kau akan bertempur di atas punggung
kuda?”
Alap-alap Jalatunda menggeram. Jawabnya, “Aku dapat berkelahi dimana saja. Pilihlah yang kau sukai”
“Aku akan bertempur di atas tanah” sahut Kiai Gringsing.
Alap-alap Jalatunda tidak berkata-kata lagi. Segera ia meloncat turun dari kudanya.
Agung Sedayu melihat peristiwa-peristiwa
itu seperti di dalam mimpi. Ya, hampir semalam penuh ia diganggu oleh
mimpi yang dahsyat. Sehingga rasa-rasanya, apa yang terjadi itu pun
sebagian dari mimpinya itu. Tetapi apabila ia sadar bahwa ujung pedang
Alap-alap Jalatunda itu bukan sekadar menakut-nakutinya di dalam mimpi,
maka kembali bulu-bulunya meremang, dan tubuhnya yang kuyup itu dibasahi
pula oleh keringat dinginnya.
Apa yang diambil oleh Kiai Gringsing
benar-benar mengejutkan Alap-alap Jalatunda. Senjata orang tua itu tidak
lebih daripada sebatang cambuk kecil, cambuk kuda. Karena itu Alap-alap
Jalatunda merasa terhina memaki-maki, “Setan topengan. Kau sangka
leluconmu itu baik. Kalau kau terbunuh pada sabetan pedangku yang
pertama jangan menyesal. Dan jangan mengharap orang lain dapat menuntut
atas setiap pembunuhan yang aku lakukan. Di daerah pertempuran tak
pernah ada hukum yang dapat ditegakkan setegak-tegaknya”.
“Kau benar” sahut Kiai Gringsing, “Hukum
di daerah perang seperti Pajang dan Jipang sekarang adalah hukum perang.
Tetapi karena yang berperang itu adalah manusia-manusia, seharusnya
mereka tidak kehilangan kemanusiaannya”
“Persetan” bentak Alap-alap Jalatunda
yang sudah tidak sbar lagi. Dengan satu loncatan yang panjang ia
menyerang Kiai Gringsing dengan pedang terjulur. Sedang ujung pedangnya
tepat mengarah ke dada orang bertopeng itu. “Mampus kau” teriak
Alap-alap Jalatunda.
Tetapi sekali lagi Alap-alap Jalatunda
terkejut. Kiai Gringsing itu hampir-hampir tak tampak bergerak, namun
ujung pedang Alap-alap Jalatunda tidak menyentuhnya.
“Gila” geram Alap-alap Jalatunda. Anak
muda yang garang itu menjadi semakin marah. Diputarnya pedangnya dan
seperti angin prahara ia menyerang lawannya.
Ternyata Kiai Gringsing itu benar-benar
lincah. Alap-alap Jalatunda itu pun lincah dan tangkas. Namun Kiai
Gringsing dapat mengimbanginya, sehingga serangan Alap-alap yang garang
itu selalu dapat dielakkan.
Demikianlah kemudian mereka berdua
terlibat dalam perkelahian yang sengit. Mereka berdua bergerak dengan
cepatnya melingkar-lingkar. Pedang Alap-alap Jalatunda itu segera
mengurung lawannya, sehingga seakan-akan Kiai Gringsing tidak diberikan
kesempatan untuk bergerak. Namun adalah sangat mengherankan. Alap-alap
Jalatunda tak dapat mengerti, setiap sentuhan dengan senjata Kiai
Gringsing yang aneh itu, terasa tangannya bergetar. Mula-mula ia
menyangka bahwa cambuk kuda itu akan segera putus apabila tersentuh
tajam pedangnya. Tetapi ternyata dugaan itu meleset. Cambuk itu
benar-benar merupakan senjata yang membingungkan bagi Alap-alap yang
masih muda itu. Meskipun demikian, Alap-alap Jalatunda tidak menjadi
cemas. Bahkan ia menjadi semakin marah. Karena itu ia bertempur semakin
garang.
Demikianlah perkelahian itu berlangsung
semakin cepat karena kemarahan Alap-alap Jalatunda. Di atas tanah yang
becek itu kaki-kaki mereka meloncat-loncat dan air yang kemerah-merahan
pun memercik seperti hendak menyingkirkan diri dari injakan kaki mereka
yang sedang bertempur.
Orang bertopeng itu tiba-tiba
menengadahkan wajahnya. Dilihatnya dari lubang topengnya, bulan tua
memanjat sampai ke puncak langit. Karena itu tiba-tiba ia pun menjadi
gelisah. “Hampir fajar” bisiknya dalam hati. Sesaat kemudian menyambar
anak muda yang masih berdiri kaku di dalam parit dengan sudut
pandangannya. “Perkelahian ini harus segera selesai supaya Agung Sedayu
tidak terlambat” kembali Kiai Gringsing itu berkata di dalam hatinya.
Karena itu, maka tiba-tiba gerakannya pun segera berubah. Kiai Gringsing
intu kini tidak saja banyak meloncat-loncat seperti katak untuk
menghindar dan hanya menyerang, tetapi ia telah mengambil keputusan
untuk segera menyelesaikan pertempuran itu.
Bersamaan dengan itu terdengarlah ia
berteriak nyaring kepada Agung Sedayu, “Sedayu, selagi kau sempat,
bersiaplah untuk meneruskan perjalanan. Hari hampir pagi”
Sedayu mendengar teriakan itu. Tetapi ia
masih terpaku di tempatnya. Ia tidak dapat menguasai dirinya karena ia
terpukau melihat perkelahian yang mengerikan itu.
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan
kepalanya. Sementara itu ia masih harus melayani Alap-alap Jalatunda.
Sedang Alap-alap yang garang itu pun terkejut melihat perubahan tata
perkelahian lawannya. Kalau ia semula masih menyangka bahwa orang
bertopeng itu dapat bertahan karena senjata anehnya, maka tiba-tiba ia
merasa bahwa yang dihadapinya itu benar-benar orang yang
setidak-tidaknya melampaui keperkasaannya. Karena itu maka timbullah
berbagai pertanyaan di dalam dirinya. Kiai Gringsing adalah nama yang
belum pernah didengarnya, bahkan orang bertopeng yang berkeliaran di
daerah ini pun belum juga pernah ada yang menyebutnya. Kembali ia
berpikir, adakah orang ini Untara yang sedang menjebaknya, namun menilik
tata perkelahiannya, orang ini jauh berbeda dengan cara Untara
mempertahankan dirinya. Untara bertempur dengan sungguh-sungguh dan
selalu mempergunakan kesempatan-kesempatan untuk menekan lawannya sesuai
dengan sikap keprajuritannya. Tetapi orang ini ternyata berkelahi
seenak-enaknya. Bahkan sama sekali tidak sungguh-sungguh. Baru pada
saat-saat terkhir ia merasa, orang bertopeng semakin cepat dan yang
kemudian terasa benar oleh Alap-alap Jalatunda bahwa ia benar-benar
tidak akan dapat melawannya. Namun kalau teringat olehnya pesan Plasa
Ireng, hatinya pun menjadi berdebar-debar. Apakah kata orang yang ganas
itu, kalau diketahuinya bahwa ia tak mampu menangkap kawan Untara itu.
Tetapi anak muda itu tak dapat mengingkari kenyataan. Beberapa kali
terasa cambuk orang bertopeng itu menyengat tubuhnya. Panas dan pedih.
Bahkan beberapa bagian kulitnya menjadi terluka karenanya.
Karena itu Alap-alap Jalatunda menjadi
bingung. Menghadapi orang bertopeng itu terasa, betapa dirinya tidak
lebih dari alap-alap yang tak bersayap. Alangkah kecil dirinya. Pada
saat ia bertempur berempat dengan Untara masih juga ia mengharap untuk
dapat mengalahkan lawannya itu. Tetapi kini ia seorang diri berhadapan
dengan seorang sakti yang aneh, Seorang yang bertempur dengan cambuk
kuda.
“Persetan dengan kakang Plasa Ireng”
gumam Alap-alap Jalatunda, “Biarlah pada suatu saat ia bertemu dengan
orang bertopeng dan berselimut kain gringsing ini”
Alap-alap Jalatunda pun akhirnya merasa
pasti, bahwa tak ada gunanya lagi untuk bertempur lebih lama. Sebab
dengan demikian ia hanya akan menambah luka-luka dikulitnya. Tetapi
meskipun demikian dendamnya kepada Agung Sedayu belum juga hilang.
Apalagi ketika ia dapat mengambil kesimpulan dari peristiwa itu. Orang
bertopeng itu agaknya telah melindungi Agung Sedayu.
Alap-alap yang garang itu kemudian tidak
mempunyai pilihan lain kecuali melarikan diri. Karena itu dengan
berteriak nyaring ia meloncat dengan garangnya, menyerang Kiai Gringsing
dengan pedangnya. Tetapi tiba-tiba ia menarik serangannya dan dengan
satu loncatan panjang ia berlari ke arah kudanya. Ternyata anak itu
benar-benar cakap bermain-main dengan kuda. Dengan tangkasnya ia
melontarkan diri dan jatuh langsung di atas punggung kuda itu. Kudanya
pun seakan-akan mengetahui apa yang terjadi dengan penunggangnya. Karena
itu segera pula kuda itu meloncat dan berlari kencang-kencang seperti
anak panah.
Kiai Gringsing memandang Alap-alap
Jalatunda yang melarikan diri itu. Tetapi ia sama sekali tak berusaha
untuk mengejarnya. Sebab pekerjaan yang lain masih menunggunya. Agung
Sedayu.
Perlahan-lahan ia melangkah kembali ketepi parit. Dan dari tanggul ia berkata, “Bukankah aku menang?”
Ketika Agung Sedayu melihat Alap-alap
Jalatunda itu melarikan diri, maka dadanya yang bergelora seakan-akan
disiram oleh tetesan-tetesan embun malam yang sejuk dingin. Maka anak
muda itu pun menarik nafas sedalam-dalamnya. Maut yang menghampirinya
kini telah terusir pergi.
“Nah Agung Sedayu” berkata Kiai
Gringsing, “sekarang sebutlah namaku, setelah kau melihat tata
perkelahianku”Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya jujur, “Aku tak tahu
Kiai”
Kiai Gringsing tersenyum. Namun Agung
Sedayu tidak melihat wajah orang itu. Senyum yang aneh. Sedang matanya
memandang anak muda itu dengan penuh kecewa. Gumamnya di dalam hati,
“Sayang” Tetapi orang itu pun kemudian segera berkata, “Sedayu, bukankah
kau akan pergi ke Sangkal Putung?”
“Ya” jawab anak muda itu, “Dari mana Kiai mengetahuinya?”
“Aku hanya mengira-irakan saja. Sebab
pasti laskar Widura perlu mendapat bantuanmu. Kalau tidak, bahaya yang
besar akan mengancam. Dengan kehadiranmu, aku kira bahaya itu akan dapat
dielakkan” berkata orang bertopeng itu.
“Kenapa kehadiranku akan dapat mengelakkan bencana itu?” bertanya Agung Sedayu.
“Ah” desah orang bertopeng itu. Kemudian
katanya, “Bukankah dengan demikian Widura akan mengetahui bahaya yang
akan mengancamnya? Dan dengan kehadiranmu, maka bahaya itu akan dapat
dikurangi. Siapakah di antara mereka yang mampu melawan putera Ki
Sadewa?”
Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Terasa
sesuatu berdesir di dadanya. Tetapi Kiai Gringsing itu berkata terus,
“Nah, pergilah. Mumpung masih ada waktu”
Agung Sedayu sadar akan dirinya.
Diingatnya kata-kata kakaknya. Alangkah marahnya Untara kelak, apabila
ia tidak sampai ke Sangkal Putung tepat pada waktunya. Karena itu maka
ia pun menjawab, “Baiklah Kiai, kita pergi ke Sangkal Putung sekarang”
“Kenapa kita?” bertanya Kiai Gringsing, “Kaulah yang akan pergi. Aku tidak”
“Tidak” sahut Agung Sedayu cepat-cepat. “Kiai pun akan pergi kesana”
“Aku tidak berkepentingan dengan mereka” sanggah Kiai Gringsing.
Agung Sedayu berdiam. Tanpa sesadarnya
anak muda itu memandangi pohon randu alas dikejauhan. Dan tiba-tiba
bulu-bulunya tegak diseluruh wajah kulitnya. Tetapi ia malu untuk
mengatakannya. Orang bertopeng itu pasti tidak akan percaya, dan pasti
akan menyebutnya, putera Ki Sadewa. “Hem” Agung Sedayu mengeluh.
Meskipun demikian ia berkata, “Aku akan terlambat”
“Mungkin” sahut Kiai Gringsing. “Nah,
pakailah kudaku supaya kau sampai sebelum fajar menyingsing. Orang-orang
yang lapar itu akan berusaha merebut perbekalan di Sangkal Putung tepat
pada saat cahaya matahari yang pertama jatuh di atas pedukuhan itu”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Orang
bertopeng itu tahu seluruhnya. Tepat seperti apa yang dikatakan Untara
sebelum mereka berangkat. Tetapi selagi ia akan bertanya, orang
bertopeng itu berkata, “Naiklah. Dan pakai kudaku”
Kiai Gringsing tidak menunggu Sedayu menjawab. Dan tiba-tiba saja orang bertopeng itu meloncat dan berlari ke utara.
“Kiai, kiai…” panggil Agung Sedayu.
Tetapi orang itu segera menghilang disiku jalan. Terdengarlah orang
bertopeng itu bergumam, lirih dan hanya didengarnya sendiri, “Kalau aku
tidak memaksamu pergi dengan cara ini Sedayu, agaknya kau lebih senang
berendam di dalam parit”
Sebenarnyalah. Dengan demikian Agung
Sedayu tidak berani tinggal di tempat itu lebih lama lagi. Karena itu
segera ia memanjat tebing parit itu. Dilihatnya kuda Kiai Gringsing
masih berdiri di tempatnya. Semula anak muda itu berbimbang hati. Tetapi
ia tidak dapat berbuat lain daripada pergi ke Sangkal Putung. Bahkan
akhirnya ia pun merasa berterima kasih kepada orang yang tak dikenalnya
itu. Terima kasih karena nyawanya telah diselamatkan, dan terima kasih
karena ia dapat mempergunakan kuda itu untuk mencapai Sangkal Putung.
Meskipun Agung Sedayu tak juga dapat mengerti, atas segala macam sikap
dan anggapan orang aneh itu terhadapnya.
Dan kini, sebuah kewajiban menunggunya. Sangkal Putung.
Perlahan-lahan Agung Sedayu mendekati
kuda Kiai Gringsing. Ia belum pernah mengenal kuda itu. Dicobanya untuk
membelai surinya. Kuda itu menggerak-gerakkan kepalanya. Ternyata kuda
itu cukup jinak.
“Nah” bisik Agung Sedayu, “Kawani aku ke Sangkal Putung”.
Agung Sedayu segera naik kepunggung kuda
itu. Dan dengan hati yang berdebar-debar kuda itu dipacunya ke Sangkal
Putung. Di hadapannya terbentang sebuah jalan di tengah sawah yang
panjang. Dan di ujung jalan itu menunggunya tikungan randu alas. Namun
Sedayu mencoba untuk melenyapkan perasaan takutnya. Dipaksanya juga
kudanya melaju terus.
Tikungan randu alas itu kini tinggal
beberapa puluh tombak saja di hadapannya. Agung Sedayu segera memejamkan
matanya. Dilekatkannya tubuhnya pada tubuh kudanya, dan dilecutnya kuda
itu sehingga berlari kencang seperti kuda itu takut pula kepada
genderuwo bermata satu.
Agung Sedayu merasa, kudanya membelok
dengan tajam dan sesaat kemudian kuda itu berlari menurun. Tikungan
randu alas telah lewat. Agung Sedayu membuka matanya. “Hem” anak muda
itu menarik nafas panjang. Diamatinya seluruh tubuhnya, dan dirabanya
kedua matanya. Masih utuh. Genderuwo itu sama sekali tidak mengganggunya
seperti kata orang. Genderuwo bermata satu itu selalu iri kepada mereka
yang bermata lengkap. Tetapi Agung Sedayu tak berani menoleh betapa pun
keinginan mendesaknya. “Ah mungkin genderuwo itu takut karena aku
putera Ki Sadewa” pikirnya. Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa
Alap-alap Jalatunda itu pun tak diganggunya.
Jalan di hadapan Agung Sedayu masih
menurun. Kini di hadapannya dilihatnya paedukuhan yang kecil. Kali asat.
Pedukuhan yang sepi itu tak banyak menarik perhatiannya. Dan ketika
sekali lagi Agung Sedayu membelok kekanan sampailah ia kejalan lurus
menuju Sangkal Putung.
Agung Sedayu menjadi agak tenang. Jarak
itu menjadi semakin dekat juga. Karena itu anak muda itu sempat
berangan-angan. Diingatnya semua kata-kata orang bertopeng yang menyebut
dirinya Kiai Gringsing itu. “Alangkah senangnya kalau apa yang
dikatakan orang itu benar-benar ada padaku” pikir Agung Sedayu. “Kalau
aku seorang sakti yang tak terkalahkan. Dan bahkan Kiai Gringsing pun
tak dapat mengalahkan pula. Dengan bekal kesaktian itu aku akan
mengembara. Akan aku datangi sarang-sarang gerombolan liar yang sering
mengganggu ketentraman. Aku bunuh mereka satu demi satu.”, “Ah, tidak”
bantahnya sendiri. “Setiap orang akan ngeri menghadapi kematian. Kalau
aku bunuh mereka, anak istrinya akan menderita. Mereka akan aku ampuni,
apabila mereka kelak menjadi orang yang baik”. Namun disudut hatinya
yang lain berkata, “Tetapi mereka telah berbuat jauh lebih kejam
daripada membunuh”. Dijawabnya sendiri, “Biarlah mereka berbuat
demikian. Kalau aku berbuat demikian pula, apakah bedanya? Alap-alap
Jalatunda misalnya. Aku harus memaafkannya apabila ia benar-benar telah
menemukan jalan yang benar. Bukankah ayah dahulu pernah berceritera,
tentang seorang saudagar kaya yang jatuh miskin. Karena itulah maka ia
tidak dapat membayar hutangnya kepada raja. Namun raja itu bijaksana.
Saudagar itu dibebaskan dari pembayaran hutang. Tetapi, saudagar itu
sama sekali tidak mau membebaskan hutang seorang miskin kepadanya.
Sedang hutang itu sama sekali tak berarti dibandingkan dengan hutangnya
kepada raja. Ketika raja mendengar kedengkian saudagar itu, maka raja
menjadi murka. Dipanggilnya saudagar itu. Dan raja mencabut kemurahan
hatinya. Saudagar itu dipaksa untuk bekerja kepada raja sebagai ganti
hutang yang tak dapat dibayarnya”.
Agung Sedayu puas dengan angan-angannya.
Ia puas dengan sikap yang disimpulkannya. Katanya di dalam hati, “Memang
Tuhan tak akan memaafkan kesalahan kita, kalau kita tak juga memaafkan
kesalahan orang lain kepada kita”
Tetapi kemudian Agung Sedayu menjadi
kecewa ketika ia menyadari keadaannya. Tak pernah ia dapat memaafkan
orang lain yang telah ditundukkannya sebab tak akan ada orang yang
pernah ditundukkan, apalagi disadarkannya dari kesesatan.
“Ya, seandainya” kembali ia bergumam.
Tiba-tiba Agung Sedayu tersentak, dan
tiba-tiba saja kakinya terasa gemetar ketika dedengarnya sebuah terikan
melengking. Tetapi ia menarik nafas panjang, ketika diketahuinya suara
itu ternyata hanyalah suara burung engkak yang pulang kekandangnya,
setelah semalam-malaman mencari mangsanya.
“Hampir pagi” desis Agung Sedayu
kemudian. Karena itu dipacunya kudanya semakin cepat. Dimukanya tampak
sebuah pedukuhan seakan-akan sebuah pulau yang mengapung di dalam lautan
yang hijau. Itulah Sangkal Putung. Beberapa cahaya lampu yang menembus
celah-celah dinding telah dilihatnya, dan disudut jalan tampak sebuah
gardu perondan.
Agung Sedayu langsung berpacu kegardu
itu. Ia tahu benar bahwa digardu itu berjaga-jaga beberapa orang
pamannya, Widura. Karena itu ia pun tidak takut lagi bertemu dengan
Alap-alap Jalatunda.
Ketika mereka mendengar suara kuda, maka
orang-orang digardu itu pun segera turun. Dari jauh mereka sudah melihat
seekor kuda berpacu dengan kencangnya. Karena itu, orang-orang yang
sedang berjaga-jaga itu pun segera bersiap. Pasti ada sesuatu yang
penting.
Demikianlah maka mereka segera
menghentikan kuda Agung Sedayu. Seorang yang bertubuh sedang berhitung
mancung maju ke depan dan bertanya, “Siapa kau?”
“Agung Sedayu” jawab Agung Sedayu lantang, “Aku akan bertemu paman Widura”
“Apakah keperluanmu?” bertanya orang itu pula.
“Penting sekali. Hanya paman Widura lah yang boleh mengetahuinya” jawab Sedayu.
Beberapa orang saling berpandangan.
Kemudian orang yang berhidung mancung itu berkata, “Apakah kau tidak
dapat menunggu sampai besok?”
“Demi kepentingan paman Widura, keselamatanmu sekalian” sahut Sedayu dengan bangganya.
“Antarkan anak muda ini” berkata orang itu kemudian.
Agung Sedayu masih berada dipunggung kuda, ketika dua orang mendekatinya, “Marilah” berkata salah seorang daripadanya.
“Berjalanlah di muka” sahut Agung Sedayu.
Sesaat orang itu saling berpandangan.
Kemudian mereka berdua menoleh ke arah orang yang berhidung mancung,
yang agaknya pemimpin mereka. Orang yang berhidung mancung itu pun
kemudian berkata, “Anak muda, kami para penjaga tidak mengenal siapakah
kau. Tetapi adalah menjadi kebiasaan, bahwa anak muda seharusnya turun
dari kuda sejak anakmas sampai digardu ini”
“Oh” sahut Agung Sedayu, “Maafkan aku.
Aku tergesa-gesa sehingga aku melupakan kebiasaan itu” dan dengan
tergesa-gesa pula Agung Sedayu meloncat dari kudanya.
“Nah” berkata pemimpin itu, “Kami
silahkan mengikuti orang-orangku yang akan mengantarkan anakmas dan
biarlah kuda itu di sini”. “Baik” jawab Sedayu, “Terima kasih”.
“Marilah” ajak salah seorang di
antaranya. Dan orang itu pun segera berjalan. Tetapi yang seorang lagi
masih berdiri tegak. “Silahkan” katanya.
Agung Sedayu menjadi agak bimbang. Namun
akhirnya tahulah ia, bahwa ia harus berjalan di belakang orang pertama,
kemudian orang kedua itu berjalan di belakangnya.
“Anak buah paman Widura sangat
berhati-hati” katanya di dalam hati. Namun meskipun demikian,
sekali-sekali ia menoleh juga kebelakang, seakan-akan orang yang
berjalan di belakangnya itu akan menerkamnya.
Waktu yang diperlukan tidak terlalu lama.
Setelah mereka menyusur jalan desa, di antara pagar-pagar batu setinggi
dada, maka sampailah mereka disebuah halaman yang luas. Pagar halaman
itu pun agak lebih tinggi dari pagar-pagar disekelilingnya. Di depan
halaman itu tampak sebuah regol yang tertutup rapat.
Orang pertama, yang berjalan dimuka Agung Sedayu itu pun segera mengetuk pintu regol itu.
Untuk sesaat tidak terdengar jawaban. Bahkan yang terdengar ketokan pula di dalam. Empat kali berturut-turut.
Agung Sedayu sama sekali tidak tahu
maksud dari ketokan itu. Ia menjadi heran ketika orang yang dimukanya
itu sekali lagi mengetuk pintu itu. Dua kali tiga ganda. Dan tak lama
kemudian pintu itu pun terbuka.
“Siapa?” terdengar sebuah pertanyaan.
“Peronda digardu utara” jawab orang itu. “Kami membawa seorang tamu. Dan tamu itu ingin bertemu dengan Ki Widura”.
“Sekarang?” bertanya orang di dalam halaman.
“Ya. Inilah orangnya. Bertanyalah sendiri” jawab orang itu. Kemudian kepada Sedayu ia berkata, “Marilah anak muda”
Sedayu maju selangkah. Tetapi hatinya
mulai berdebar-debar. Meskipun demikian ia berkata dengan ketenangan
yang dibuat-buat, “Ya. Aku akan bertemu dengan paman Widura”
“Adakah sesuatu hal yang penting sekali?” bertanya orang itu.
“Ya” jawab Agung Sedayu, “Penting sekali. Paman Widura harus segera mendengarnya sebelum fajar”.
Penjaga gardu itu tanpa disengajanya
menengadahkan wajahnya. Ditimur laut dilihatnya bintang panjer esuk
memancar dengan terangnya. Meskipun demikian orang itu tidak mau
kehilangan kewaspadaan-nya. Maka orang itu pun bertanya, “Siapakah kau?”
“Agung Sedayu” jawab Sedayu.
Orang itu mengerutkan keningnya. Nama itu
belum pernah didengarnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya orang
itu berdesis, “Nama itu asing bagi kami di sini”
Agung Sedayu menjadi gelisah. Karena itu katanya, “Paman Widura telah mengenal aku. Bertanyalah kepadaya”
“Baru saja Ki Widura beristirahat setelah
nganglang hampir di seluruh Kademangan Sangkal Putung, Biarlah ia
beristirahat. Besok kau akan menemuinya” berkata orang itu tegas.
Agung Sedayu menjadi bingung. Kalau berita itu tak didengar oleh Widura, maka kakaknya akan menyalahkannya.
Selagi Agung Sedayu terdiam, dilihatnya
seseorang berjalan ke regol halaman itu. Dan terdengarlah orang itu
berkata, “Apa yang terjadi?”
“Oh” orang yang berada dihalaman itu
menoleh, dan kemudian membungkukkan kepalanya, “Selamat malam bapak
Demang. Inilah seorang anak muda ingin bertemu Ki Widura sekarang juga.
Aku ingin menundanya sampai besok”
Bapak Demang Sangkal Putung itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya Agung Sedayu dengan seksama.
Dan kemudian terdengar orang itu bertanya, “Kabar apakah yang kau bawa?”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Benarkah
seandainya berita itu dikatakannya tidak langsung kepada Widura? Apakah
kakaknya kelak tidak akan marah kepadanya? Tiba-tiba ketika Agung Sedayu
teringat kepada kakaknya, maka dengan serta merta ia berkata untuk
membuktikan kebenarannya dan mudah-mudahan dengan demikian, dirinya pun
akan dikenal oleh orang-orang itu, katanya, “Aku membawa berita dari
kakang Untara”
“Untara” Demang Sangkal Putung itu
mengulang, dan hampir setiap mulut yang mendengar nama itu pun mengulang
pula meskipun hanya di dalam hati.
“Adakah angger ini utusan Angger Untara?” bertanya Demang itu.
“Ya” sahut Sedayu cepat-cepat dengan penuh harapan. “Aku adiknya”
“Oh” desis Ki Demang. Dan tiba-tiba ia
pun segera membungkukkan kepalanya. Katanya, “Maafkan kami. Kami belum
mengenal anakmas. Namun nama kakak anakmas adalah jaminan bagi kami,
bahwa kabar yang anakmas bawa pasti kabar yang penting”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya dengan bangganya. Demikian berpengaruhnya nama kakaknya itu,
sehingga pengaruh nama itu melimpah pula kepadanya.
“Marilah ngger” ajak Demang Sangkal Putung. “Biarlah adi Widura dibangunkan apabila kabar itu memang penting”
Agung Sedayu pun kemudian berjalan
mengikuti Ki Demang Sangkal Putung itu. Mereka berjalan melintas halaman
yang luas menuju kependapa. Meskipun demikian Sedayu merasa bahwa dua
orang berjalan di belakangnya.
“Rumah ini adalah rumahku” berkata Demang
itu lirih, “Dan kademangan ini adalah kademangan yang subur. Karena itu
Pajang menganggap penting untuk menempatkan adi Widura di sini meskipun
daerah ini jauh dari garis pertempuran. Apalagi setelah pasukan Jipang
cerai berai”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia
tidak menjawab. “Sayang” demang itu meneruskan, “Persoalan antara Jipang
dan Pajang harus diselesaikan dengan pertumpahan darah. Sebenarnya
adipati Jipang itu pun tidak sejahat yang kita sangka. Namun sayang.
Orang-orang di sekitarnya adalah orang-orang yang tamak dan haus akan
kekuasaan. Mereka membakar hati Arya Jipang yang memang agak mudah
menyala, dengan hasutan-hasutan. Akhirnya Arya Jipang harus menebus
ketergesa-gesaannya dengan jiwanya. Dan orang-orangnya menjadi putus asa
dan liar”.
Demang itu berhenti sejenak, kemudian
meneruskan, “Sekarang kita lihat, dendam menyala dimana-mana. Dapatkah
angger mengatakan, siapakah yang bersalah kalau seandainya dua orang
bersaudara terpaksa bertempur dan saling membunuh karena mereka berada
di pihak yang berlainan?”
Agung Sedayu berdiam diri. Tak tahu ia
bagaimana harus menanggapi kata-kata demang Sangkal Putung itu. Tetapi
di dalam hatinya pun timbul pertanyaan, “Kenapa kita mesti bertengkar?”
Apalagi bagi Agung Sedayu, pertengkaran adalah perbuatan yang
mengerikan.
copas dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-01/
lanjut >>
Satu Tanggapan
