

NSSI-07
I.
Dengan lebih berhati-hati lagi Mahesa
Jenar merangkak semakin dekat dengan orang-orang berkuda. Untung mereka
terlalu asyik menyaksikan pertempuran di lembah, sehingga kehadiran
Mahesa Jenar sama sekali tak mereka ketahui.
Maka dengan suatu gerakan yang cepat
sekali, seperti harimau yang menerkam mangsanya, Mahesa Jenar sambil
menggeram meloncati Lembu Sora yang sama sekali tidak menduganya.
Karena itu, ia sama sekali tidak
bersiaga, ia tidak dapat berbuat sesuatu. Segera Mahesa Jenar
mendekapnya dan karena dorongan kekuatan loncatannya maka Mahesa Jenar
telah mendorong Lembu Sora sehingga keduanya jatuh berguling dari atas
kuda.
Mahesa Jenar yang telah memperhitungkan
setiap gerakannya dengan saksama, segera dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan. Sebaliknya, Lembu Sora menjadi bingung, dan untuk beberapa saat
ia seperti kehilangan pikirannya.
Lembu Sora menjadi sadar ketika lengan
Mahesa Jenar yang kuat telah melingkari lehernya. Cepat tangan kanannya
bergerak meraba hulu kerisnya yang terselip di lambung. Tetapi ia
menjadi terkejut ketika keris itu sudah tidak ada.
Ketika Lembu Sora berusaha untuk mencapai
tangkai pedangnya, tiba-tiba terasa ujung sebuah senjata tajam melekat
di punggungnya. Tahulah ia sekarang bahwa orang yang mendorongnya telah
berhasil pula menghunus kerisnya. Segera Lembu Sora menggigil karena
marah, matanya merah menyala dan nafasnya mengalir bertambah cepat.
”Orang gila manakah yang telah melakukan pekerjaan terkutuk ini?” kata Lembu Sora sambil menggeram.
Sementara itu, orang-orang lain yang
menyaksikan kejadian yang hanya sekejap itu menjadi tertegun. Sesaat
mereka pun menjadi kebingungan dan tidak tahu apa yang dilakukan.
”Kau orang Pandanaran…,” desis
Lembu Sora semakin marah, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sebab
setiap ia bergerak, keris yang menempel di punggungnya itu terasa
semakin menekan.
”Ya,” jawab Mahesa Jenar singkat.
”Aku sudah menduga bahwa kau tidak berani berlaku sebagai seorang jantan,” sambung Lembu Sora.
“Aku hanya dapat berlaku jantan terhadap orang jantan pula,” jawab Mahesa Jenar.
“Kau kira aku tidak mampu membunuhmu kalau kau menyerang aku berhadapan?” kata Lembu Sora hampir berteriak.
“Aku tidak peduli, tetapi
membinasakan kakak kandung dengan caramu itu, adalah bukan laku seorang
jantan. Kau bermaksud membinasakan pasukan Demak itu, dengan harapan
Gajah Sora yang tertuduh berbuat khianat dengan menipu dan kemudian
menjebak. Adakah itu laku seorang jantan?”
“Aku sedang berusaha membebaskannya,” jawab Lembu Sora.
Mahesa Jenar memang sudah menduga bahwa Lembu Sora pasti akan beralasan demikian. Karena itu ia meneruskan, ”Membebaskan Ki Ageng Gajah Sora dan kemudian tidak memberinya tempat menetap karena ia akan selalu diburu oleh alat-alat negara?”
”Ki Ageng Lembu Sora, kau tidak usah
banyak bercerita. Sekarang perintahkan orang-orangmu untuk menarik
laskarmu yang menyerang pasukan Demak itu.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu,
Lembu Sora terkedjut bukan buatan. Karena itu pula maka darahnya menjadi
semakin mendidih membakar hatinya.
Sementara itu, orang-orang yang
menyaksikan peristiwa itu telah mulai memiliki kesadarannya kembali. Dan
bersamaan dengan itu pula mereka menjadi cemas sebab sebagian dari
mereka telah mengenal siapakah Mahesa Jenar, bahkan Lawa Ijo, Wadas
Gunung, Jaka Soka dan Sima Rodra telah mengetahui sampai di mana
kekuatan Mahesa Jenar.
”Mahesa Jenar…” jawab Lembu Sora, ”Kau
jangan mencoba-coba menakut-nakuti aku dengan permainanmu yang licik
itu. Kau kira aku dapat kau paksa dengan caramu yang murahan ini?”
Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi keris di punggung Lembu Sora itu semakin menekan, sehingga ia terpaksa menahan napas.
Kawan-kawan Lembu Sora hanya dapat
menyaksikan semuanya itu dengan hati yang berdebar-debar. Mereka sama
sekali tak berani berbuat sesuatu, sebab dengan demikian berarti riwayat
Lembu Sora akan berakhir.
Meskipun demikian, Lawa Ijo telah mencoba untuk menyelamatkan jiwa Lembu Sora, katanya sambil tertawa dalam, ”Tuan,
Rangga Tohjaya yang perwira. Aku telah mengenal dan merasakan betapa
dahsyatnya ilmu Tuan yang dinamakan Sasra Birawa. Tetapi meskipun
demikian aku yakin kalau Tuan tak dapat mengalahkan kami semua ini
sekaligus”
”Lawa Ijo…” jawab Mahesa Jenar, ”Aku
tidak merasa bahwa aku akan dapat mengalahkan kalian. Yang penting
bagiku sekarang adalah Ki Ageng Lembu Sora memerintahkan orang-orangnya
untuk menarik diri dari pertempuran. Setelah itu, aku tidak tahu apakah
yang akan terjadi dengan diriku. Tetapi mudah-mudahan Ki Ageng Lembu
Sora akan menjadi pelindungku yang baik.”
”Kau gila!” bentak Lembu Sora. ”Lepaskan aku, dan marilah kita berhadapan sebagai orang-orang jantan.”
”Itu adalah soal yang mudah,” sahut Mahesa Jenar, ”Tetapi perintahkan orang-orangmu menarik diri.”
Mendengar kata-kata itu Lembu Sora
menjadi semakin marah, sampai dadanya serasa akan pecah. Apalagi ketika
ujung keris itu serasa semakin menekan punggungnya.
Akhirnya ia tidak mempunyai pilihan lain,
kecuali menuruti permintaan Mahesa Jenar. Ditatapnya satu persatu
wajah-wajah yang kaku tegang di sekitarnya tanpa mendapatkan suatu kesan
apapun juga. Kemudian berkatalah ia kepada salah seorang yang berkuda
itu, ”Berilah tanda untuk menarik pasukan.”
Orang yang diajaknya berbicara itu
rupanya ragu-ragu. Beberapa kali ia memandang berkeliling, dan
seolah-olah ia minta penjelasan dari setiap orang yang berada di situ.
Tetapi setiap wajah yang ditatapnya hanyalah mengesankan kebimbangan dan
ketegangan. Sampai akhirnya ia memandang wajah Jaka Soka. Hanya wajah
inilah yang berkesan lain. Mahesa Jenar yang pada saat itu juga
memandang Jaka Soka, melihat suatu perasaan yang aneh. Apalagi ketika
kemudian ia berkata kepada orang yang memandangnya untuk mendapat
penjelasan itu, katanya, ”Jenawi, tak usah kau beri tanda untuk menarik pasukan”
Semuanya yang mendengar kata-kata yang
diucapkan dengan jelas itu menjadi terkejut. Lebih-lebih Lembu Sora
sendiri, sampai ia membentak kepada Jaka Soka, ”Apakah maksudmu?”
Tampaklah senyum menghias bibir Jaka
Soka. Sedang matanya yang redup itu memandang Lembu Sora dengan sinar
yang aneh. Pandangan yang demikianlah yang pernah menarik Mahesa Jenar
dalam suatu perjalanan menyeberang hutan Tambakbaya. Meskipun wajah Jaka
Soka itu cukup tampan dan bersih, namun wajah yang demikian bagi Mahesa
Jenar tidaklah lebih atau kurang daripada wajah iblis yang paling
berbahaya.
Mereka menjadi bertambah terkejut lagi ketika mereka mendengar jawaban Jaka Soka atas pertanyaan Lembu Sora, ”Maksudku…
Ki Ageng, tak usah laskar Ki Ageng itu ditarik. Biarlah mereka
membinasakan pasukan Demak itu. Dengan demikian bukankah benar kata
Rangga Tohjaya atau Mahesa Jenar itu, bahwa Ki Ageng Gajah Sora tak akan
mendapat tempat lagi di dunia ini, sebab selalu akan diburu oleh
alat-alat negara. Syukur kalau segera ia dapat tertangkap dan dihukum
mati.”
”Aku tidak berkata tentang Kakang Gajah Sora,” potong Lembu Sora, ”Tetapi tentang aku sendiri.”
Kembali Jaka Soka tersenyum, katanya, ”Kalau
kau juga mati karena Mahesa Jenar, adalah baik sekali bagi kami. Dengan
demikian saingan kami telah berkurang satu orang lagi”
”Tutup mulutmu,” bentak Lembu Sora sambil menggigil karena marah yang tak tertahankan lagi, sambungnya, ”Kalau aku dapat lepas dari tangan pengecut ini, aku ingin meremas mulutmu itu Jaka Soka.”
Kembali terdengar Jaka Soka berkata di sela-sela senyumnya, ”Jangan marah Ki Ageng, dan jangan menyesal atas nasib jelek yang kau alami.”
Tubuh Lembu Sora, menjadi semakin
menggigil, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa oleh tekanan keris
Mahesa Jenar. Sedang kawan-kawannya yang lain pun tidak kalah
terkejutnya mendengar kata-kata Jaka Soka itu, sampai terdengar Uling
Kuning yang kasar berkata, ”Tidakkah kau dapat diam Ular Laut gila?”
Mendengar kata-kata Uling Kuning itu, malahan Jaka Soka tertawa lembut, jawabnya, ”Jangan berpura-pura Uling Kuning”
”Atau akukah yang harus menutup mulutmu?” potong Uling Kuning.
Jaka Soka agaknya tidak senang mendengar
kata-kata Uling Kuning yang kasar itu, sehingga ia memutar kudanya
menghadap Uling Kuning, katanya, ”Cobalah kalau kau mau”
Uling Kuning ternyata betul-betul orang
yang kasar dan terburu nafsu. Hampir saja ia mendera kudanya menyerang
Jaka Soka kalau saja kakaknya, Uling Putih tidak mencegahnya, katanya, ”Kenapa kau perlu mendengarkan omongan orang gila itu?”
Terdengarlah Lawa Ijo menyambung, ”Alangkah beraninya kalian. Tetapi apa yang dapat kalian perbuat atas orang itu. Orang yang sudah jelas menghalangi usaha kami?”
Sejenak kemudian mereka semuanya saling
berdiam diri. Otak mereka bekerja keras untuk dapat mencapai suatu
penyelesaian tanpa merugikan diri sendiri. Tetapi kesepian yang tegang
itu kemudian tersobek oleh suara Mahesa Jenar yang lantang, ”Aku
tidak peduli apakah kalian ini sebenarnya sedang bersekutu atau sedang
bersaing. Tetapi sekali lagi aku minta, tariklah pasukan penyerang itu.”
Ia mengakhiri kata-katanya sambil menekankan kerisnya lebih keras
lagi. Terdengar Ki Ageng Lembu Sora berdesis perlahan. Kemudian katanya,
”Kalian tak akan dapat berbuat sesuatu atas tanah ini serta segala
isinya tanpa aku. Karena itu jangan halangi Jenawi memberi tanda untuk
menarik pasukan.”
Semua mata kemudian tertuju kepada Jaka
Soka yang masih dalam keadaan siaga untuk menghadapi Uling Kuning.
Tetapi sesaat kemudian tampaklah kembali sebuah senyuman di bibirnya.
Senyum iblisnya. Katanya, ”Rupa-rupanya kalian lebih senang
berpura-pura, meskipun kalian sudah tahu akhir dari peristiwa ini. Baik
mengenai tanah perdikan Banyu Biru maupun mengenai Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten. Apakah kalian kira bahwa pertemuan akhir tahun itu
nanti akan dapat memberi kepuasan kita semuanya? Itu adalah omong kosong
yang besar. Kalian tahu pasti bahwa Kyai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten
itu akan menuntut kematian demi kematian, sampai akhirnya ia jatuh di
tangan orang yang terkuat diantara kita, bahkan guru-guru kita atau
pendekar-pendekar angkatan tua itu. Meskipun demikian aku akan tetap
hadir di pertemuan akhir tahun, yang sebenarnya tak berarti apa-apa itu.
Nah sekarang aku tidak mempunyai urusan lagi di sini. Aku akan pergi
saja, dan pulang ke Nusakambangan.”
Setelah berkata demikian segera ia
memutar kudanya dan menderanya. Kuda itu segera meloncat dan berlari,
seperti gila, diikuti oleh dua orang berkuda yang berlari menyusulnya.
Kedua orang itu pasti pembantu-pembantu kepercayaannya.
Sejenak kemudian orang yang bernama
Jenawi itu bergerak maju. Sekali lagi ia masih memandangi setiap wajah
yang ada disitu. Sesudah tidak ada kesan-kesan lain, maka segera ia
mengambil sebuah bundaran logam yang mengkilap. Dengan bermain-main
sinar matahari yang memantul dari logam itu, ia sebenarnya sedang
memberikan aba-aba ke arah bukit di seberang tempat pertempuran itu.
Ternyata tanda-tanda yang dikirim lewat
logam yang mengkilap itu dapat sampai ke alamatnya. Dan karena itulah
kemudian dari balik gerumbul-gerumbul di lereng sebelah, terdengar suara
sangkakala mengumandang dengan nyaringnya. Itulah aba-aba kepada para
laskar Lembu Sora yang bergabung dengan laskar-laskar para tokoh hitam
untuk mengundurkan diri. Tetapi yang terbanyak dari laskar penyerang itu
adalah laskar Lembu Sora, sebab dialah yang merasa paling
berkepentingan dengan tanah perdikan Banyubiru.
Sebentar kemudian segera tampaklah
perubahan pada pertempuran yang berlangsung dengan hebatnya di lembah.
Pasukan gabungan yang menyerang pasukan Demak itu segera berpencaran dan
mengundurkan diri cerai berai. Sebab sebenarnya mereka merasakan betapa
dahsyatnya bertempur pasukan-pasukan Wira Tamtama, Wira Jala Pati, Nara
Manggala, Manggala Sraya, dan lebih-lebih kesatuan Manggala Pati yang
mengawal Sang Saka Gula Kelapa.
Karena itu ketika mereka mendengar tanda
untuk mengundurkan diri, maka dengan tidak perlu diulang lagi, mereka
telah saling berebut dahulu meloncat menjauhi prajurit-prajurit Demak
yang bertempur dengan semangat yang tinggi sebagai pengemban
kewajibannya, melindungi ketenteraman negara.
Sekali lagi bulu tengkuk Mahesa Jenar
rasa-rasanya tegak berdiri, ketika dilihatnya bendera-bendara Tunggul
Dahana, Sura Pati, Garuda Rekta dan Tunggul Mega tetap berkibar dengan
megahnya, memagari Sang Saka Gula Kelapa.
Pasukan Demak yang menyaksikan
penyerang-penyerangnya berlari cerai berai, ternyata sama sekali tidak
berusaha untuk mengejar atau menghancurkan dengan senjata-senjata jarak
jauh. Tetapi ketika pertempuran itu telah reda segera pasukan Demak itu
mengubah gelarnya menjadi Gedong Minep kembali. Dan dalam gelar ini
mereka akan melanjutkan perjalanan kembali ke Demak. Beberapa orang dari
prajurit Demak itu segera merawat kawan-kawan mereka yang terluka,
malahan ada beberapa diantaranya yang gugur, untuk dibawa bersama-sama
dengan mereka.
Melihat kenyataan itu, meskipun korban
dari kedua belah pihak itu sama sekali tak seimbang, tetapi terlukanya
seorang saja dari prajurit Demak telah dapat menjadi sebab murkanya
Sultan Demak. Dan pasti Gajah Sora yang menjadi tempat untuk menumpahkan
segala kemurkaan itu. Mengenangkan hal itu jantung Mahesa Jenar
berdenyut semakin cepat. Dan karena kenangannya yang melambung itu
pulalah, maka ia menjadi lengah.
Sebenarnya Lembu Sora bukan pula orang
yang dapat diremehkan. Bagaimanapun ia adalah putra Ki Ageng Sora
Dipayana, seperti juga Gajah Sora. Karena itu ia pun cukup mempunyai
kekuatan yang tidak dapat dianggap ringan.
Ketika tekanan ujung keris Mahesa Jenar
tiba-tiba mengendor, tahulah Lembu Sora bahwa perhatian Mahesa Jenar
hampir seluruhnya tertuju kepada pasukan-pasukan di lembah. Entahlah, ia
sedang menekuri kekalahan pasukan gabungan itu, atau sedang berbangga
hati karena pasukan Demak masih tampak segar bugar, atau ia sedang
mengenangkan nasib Gajah Sora. Tetapi suatu kenyataan bahwa Mahesa Jenar
telah meninggalkan sikap hati-hati. Karena itu Lembu Sora ingin
mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.
Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar
sedang hanyut dalam arus kenangannya yang mengawang, tiba-tiba Lembu
Sora yang mempunyai kekuatan besar sekali itu, menjatuhkan dirinya
setelah dengan cepat sekali ia merenggut lengan Mahesa Jenar yang
melingkar di lehernya. Demikian ia berguling di tanah, demikian kakinya
menyambar perut Mahesa Jenar yang agak kurang bersiaga.
Demikian keras tendangan Lembu Sora, juga
karena Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa hal yang demikian
akan terjadi, maka segera ia terdorong ke belakang beberapa langkah.
Hanya karena keuletan serta pengalamannya maka ia tidak sampai jatuh
terlentang. Malahan, meskipun mendadak, perut Mahesa Jenar terasa mual
dan sakit, namun ia segera dapat menguasai keseimbangannya kembali.
Meskipun demikian hatinya berguncang karena terkejut. Juga orang-orang
yang menyaksikan peristiwa itu menjadi terkejut pula, tetapi cepat
mereka dapat menanggapi keadaan.
Karena itu, ketika mereka melihat Mahesa
Jenar surut beberapa langkah, serta segera dapat menguasai dirinya
kembali, mereka tidak mau memberi kesempatan sama sekali. Lebih-lebih
Lawa Ijo yang tahu pasti sampai dimana kedahsyatan tangan Mahesa Jenar.
Maka sebelum Mahesa Jenar dapat menguasai diri sepenuhnya, Lawa Ijo
mendera kudanya, langsung menyerang Mahesa Jenar dengan tiba-tiba di
tangannya telah tergenggam sebilah pisau belati panjang yang putih
mengkilap.
Tetapi ia menjadi gugup ketika
dilihatnya, dalam sekejap Mahesa Jenar telah berdiri dengan marahnya. Di
atas satu kakinya, tangan kirinya menyilang dada sedang tangan kanannya
terangkat tinggi- tinggi. Lawa Ijo telah mengenal unsur gerak Mahesa
Jenar yang demikian itu. Maka ketika ia telah hampir sampai di hadapan
Mahesa Jenar, dengan kebingungan dan tanpa perhitungan ia meloncat dari
kudanya. Meskipun gerakannya itu sama sekali tak dihitungkan dengan
saksama, namun ia berhasil menyelamatkan nyawanya. Sebab pada saat itu
benar-benar karena marah yang tak tertahankan Mahesa Jenar telah
memutuskan untuk melawan orang-orang itu dengan Sasra Birawa yang
menjadi andalannya. Tetapi pada saat ia mengayunkan ilmunya, Lawa Ijo
dengan gugup telah menjatuhkan dirinya, sehingga tangannya tidak
berhasil menghancurkan dada Lawa Ijo. Tetapi pukulan Mahesa Jenar itu
telah mengenai punggung kuda Lawa Ijo, yang kemudian dengan dahsyatnya
kuda itu memekik tinggi, tetapi sekejap kemudian seperti batu saja jatuh
terguling tak bernafas lagi. Tulang belakang kuda itu patah serta
beberapa tulang iganya remuk.
Melihat kedahsyatan pukulan Mahesa Jenar,
semua yang menyaksikan terguncang hatinya. Namun tak ada pilihan lain
dari mereka itu, kecuali melawan bersama-sama. Maka dengan menggeram
dahsyat Sima Rodra segera menyerang dengan tombak pusakanya dan
bersamaan dengan itu sepasang Uling Rawa Pening pun telah mengayunkan
cambuknya. Cepat Mahesa Jenar meloncat undur untuk menghindari tombak
Sima Rodra yang menyambar dengan dahsyatnya. Dan pada saat itu pula
Lembu Sora telah mencabut pedangnya yang berukuran luar biasa besarnya.
Tetapi meskipun ia masih belum berani mendekat. Baru ketika Lawa Ijo
telah bersiaga pula, mereka menyerang bersama-sama dari arah yang
berbeda-beda. Sebenarnya untuk menghadapi sekian banyak tokoh-tokoh
sakti itu Mahesa Jenar merasa bahwa tenaganya tidak akan mencukupi.
Tetapi apapun yang terjadi, pantang ia menghindari. Karena itu, segera
ia menghimpun segenap kekuatan yang ada padanya untuk dapat memberikan
perlawanan yang sebesar-besarnya. Dengan ayunan yang deras sekali, Lembu
Sora mengarahkan pedangnya ke leher Mahesa Jenar, dan bersamaan dengan
itu pula Lawa Ijo menusuk ke arah lambung, untuk menangkap gerakan
Mahesa Jenar apabila ia menghindari sambaran pedang Lembu Sora dengan
merendahkan diri. Tetapi ternyata Mahesa Jenar sama sekali tak
menghindar dengan merendahkan diri, bahkan dengan loncatan yang keras ia
menerkam Lawa Ijo. Gerakan ini sangat mengejutkannya, sehingga dengan
cepat ia menarik pisaunya dan segera pisau itu dipergunakannya untuk
melindungi dirinya dengan gerakan-gerakan yang berputar. Tetapi Mahesa
Jenar pun segera mengurungkan serangannya. Sementara itu pedang Lembu
Sora yang berat telah berdesing di belakang punggungnya. Cepat ia
memutar tubuhnya dan dengan dahsyatnya tangan Mahesa Jenar menyusul arah
gerakan pedang itu, dengan sisi telapak tangannya yang berlandaskan
ilmunya Sasra Birawa. Ternyata akibatnya adalah hebat sekali. Pedang
Lembu Sora adalah bukan pedang sewajarnya. Tetapi adalah pedang yang
dibuat khusus untuknya, dengan ukuran yang tidak lazim, serta dari baja
pilihan. Tetapi demikian sisi telapak tangan Mahesa Jenar menyentuh
punggung pedang itu, terdengarlah gemeretak pedang itu patah dan disusul
dengan keluhan tertahan. Terasa betapa nyerinya tangan Lembu Sora
sampai pangkal pedang itu terlempar. Ia sama sekali tidak menduga bahwa
kedahsyatan ilmu Sasra Birawa itu mampu mematahkan pedangnya. Ketika ia
melihat kuda Lawa Ijo jatuh dan mati, ia masih belum begitu kagum,
meskipun hal itu telah mengejutkannya pula. Apalagi ia tidak segera
dapat menyaksikan bahwa pukulan Mahesa Jenar itu telah meremukkan
tulang-tulang iga kuda itu. Karena terkejut, heran dan kagum
campur-aduk, juga pada saat itu ia teringat ceritera ayahnya tentang
beberapa orang sahabatnya, diantaranya adalah Ki Ageng Pengging Sepuh
yang terkenal dengan ilmu Sasra Birawa, Lembu Sora menjadi seperti
terpaku di tempatnya. Kesempatan itulah yang akan dipergunakan oleh
Mahesa Jenar. Ia sudah tidak dapat memaafkan lagi kesalahan Lembu Sora
yang sudah sampai hati mengkhianati kakaknya. Maka segera ia bersiaga
dan bersiap meloncat ke arah Lembu Sora dengan pukulan mautnya. Tetapi
keadaan segera berubah dan berselisih dengan rencananya. Mahesa Jenar
pernah melawan Wadas Gunung bersama dengan kira-kira 20 orang sekaligus,
dan dengan suatu keyakinan yang penuh ia akan dapat mengalahkan mereka.
Sekarang ia berhadapan tidak lebih dari 8 atau 9 orang. Tetapi mereka
bukanlah Wadas Gunung, Carang Lampit, Cemara Aking, Bagolan dan
sebagainya. Mereka yang dihadapi sekarang adalah Lawa Ijo, Suami Isteri
Sima Rodra, Sepasang Uling dan Lembu Sora. Karena itu keadaannya akan
sangat jauh berbeda.
Pada saat itu, pada saat ia telah
mengambil suatu kepastian akan dapat membalaskan sakit hati Gajah Sora,
mendadak ketika ia hampir meloncat, menyerbulah kuda Suami-Istri Soma
Rodra seperti gila menerjangnya. Dan bersamaan dengan itu pula
meluncurlah dua buah sinar putih dari tangan Lawa Ijo dan Wadas Gunung.
Meskipun mereka tidak pernah bertempur berpasangan, tetapi karena ilmu
mereka cukup tinggi, mereka dengan mudahnya saling menyesuaikan diri dan
saling mengisi. Demikianlah Sima Rodra dan sebagainya telah bekerja
mati-matian untuk menyelamatkan Lembu Sora.
Mengalami serangan-serangan yang hampir
bersamaan itu, Mahesa Jenar terpaksa mengurungkan serangannya. Dengan
merendahkan diri dan memutar tubuhnya sekaligus, ia berhasil menghindari
serangan dua pisau Lawa Ijo dan Wadas Gunung. Tetapi pada saat itu kuda
suami-istri Sima Rodra telah demikian dekatnya. Untuk menghindarkan
diri dari injakan kaki kedua ekor kuda itu, Mahesa Jenar terpaksa
berguling-guling beberapa kali. Dengan gerakannya itu, Mahesa Jenar
berhasil menyelamatkan dirinya, tetapi serangan berikutnya telah
mendatanginya pula. Dengan cara yang sama dengan Sima Rodra, Uling dari
Rawa Pening menyerang berpasangan pula. Serangan itu tidak kurang
hebatnya. Ditambah lagi dengan sepasang cambuk yang berdesing-desing di
udara. Agar tidak terinjak oleh kaki-kaki kuda itu, Mahesa Jenar
melenting jauh dan berusaha untuk tegak di atas kedua kakinya. Tetapi
malang bagi Mahesa Jenar. Ternyata ia terlalu jauh meloncat, sehingga
ketika ia tegak berdiri, ia telah berada tepat di tepi jurang. Dan
celakanya, tanah tempat ia berpijak itu runtuh. Seperti terseret Mahesa
Jenar dengan cepatnya meluncur ke dalam jurang yang sangat dalam.
Peristiwa itu sama sekali tak terduga
oleh siapapun. Karena itu, mereka yang menyaksikan jadi terperanjat.
Serentak mereka berlarian ke tepi jurang itu untuk melihat Mahesa Jenar
tergulung ke bawah, dan sebentar kemudian hilang ditelan semak-semak dan
batang-batang ilalang yang tumbuh di tepi-tepi jurang itu.
Mahesa Jenar sendiri merasa, seolah-olah
telah terhisap oleh suatu kekuatan raksasa sehingga tidak ada
kemungkinan untuk melawannya. Sesaat setelah ia terguling, masih
dilihatnya semua benda bergerak dengan cepatnya ke atas, seolah-olah
hendak terbang ke arah matahari yang dengan megahnya mengapung di
langit.
Tetapi sesaat kemudian terasalah dirinya
membentur sesuatu yang sangat keras sehingga seolah-olah Mahesa Jenar
terputar melintang dengan kepala ke bawah. Sesaat kemudian ia menjadi
sangat pening, pemandangannya semakin kabur dan kabur. Akhirnya ia tidak
tahu lagi apakah yang terjadi seterusnya.
Lawan-lawan Mahesa Jenar yang berada di
atas jurang itu, setelah debar jantung mereka tenang kembali,
menjalarlah perasaan lega di dalam dada mereka. Sebab apabila mereka
terpaksa bertempur, meskipun mereka bekerja bersama, pasti akan jatuh
korban diantara mereka, sebelum mereka dapat bersama-sama membinasakan
Mahesa Jenar.
Meskipun demikian, mereka merasa betapa
panas hati mereka, karena dengan tindakannya yang luar biasa itu, Mahesa
Jenar telah menggagalkan maksud mereka untuk menghancurkan tentara
Demak, atau setidak-tidaknya membuat tentara itu lumpuh, sehingga dengan
demikian hukuman yang akan dijatuhkan kepada Gajah Sora pasti sangat
berat. Tetapi dengan serangan yang tak begitu berarti itu, masih ada
kemungkinan bagi Gajah Sora untuk mengelakkan diri, atau malahan
diantara para prajurit Demak itu dapat memberikan keterangan bahwa
serangan itu bukan dari Laskar Banyubiru.
Tetapi bagaimanapun, usaha mereka ada
juga hasilnya meskipun hanya sedikit. Yang pasti adalah bahwa Gajah Sora
untuk beberapa saat tidak berada di Banyubiru. Keadaan ini pasti akan
dapat dipergunakan sebagai modal untuk melaksanakan rencana-rencana yang
akan disusun kemudian.
Karena itu, ketika sudah tidak ada lagi
yang akan mereka lakukan, serta mereka telah yakin bahwa Mahesa Jenar
tidak akan mungkin menyelamatkan diri dalam keadaan yang demikian, maka
segera mereka meninggalkan tempat itu. Selanjutnya mereka menuju ke
tempat yang telah mereka tentukan sebagai tempat berkumpul bagi segenap
laskar gabungan.
Namun bagaimanapun, kata-kata Uling Laut
dari Nusakambangan, Jaka Soka sebagai seorang pemimpin Bajak Laut yang
sangat ditakuti, membekas pula di dalam otak mereka. Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten pasti akan menuntut kematian demi kematian, sampai
kedua pusaka itu jatuh ke tangan orang yang terkuat. Dan wajarlah
apabila orang yang terkuat itu kemudian dapat merajai golongannya.
Demikianlah hampir sepanjang jalan tak
seorang pun dari mereka yang mengucapkan kata-kata. Mereka sedang sibuk
menaksir-naksir diri, menaksir-naksir kekuatan gerombolan masing-masing
serta orang-orang mereka yang dapat mereka percaya. Sebab, akhirnya
dalam tata pergaulan yang tak terikat oleh hukum itu, kekuatan
jasmaniahlah yang akan dapat menentukan siapakah yang berkuasa.
Sementara itu, Laskar Banyubiru yang
menarik diri kembali, telah sampai di alun-alun Banyubiru. Wanamerta,
Panjawi, Arya Salaka dan beberapa pimpinan laskar yang lain segera
menghadap Nyai Ageng Gajah Sora dan menceriterakan apa yang telah
terjadi. Nyai Ageng mendengarkan cerita itu dengan berdiam dan
menundukkan kepala. Tetapi kemudian nampaklah butiran-butiran airmata
setetes demi setetes jatuh di pangkuannya. Sebenarnya ia adalah seorang
wanita yang tabah, yang sadar akan kedudukan suaminya sebagai seorang
kepala daerah perdikan yang sekaligus menjadi panglima laskarnya. Namun
mengalami peristiwa kali ini, Nyai Ageng Gajah Sora tidak dapat menahan
airmatanya. Bahkan kemudian didekapnya Arya Salaka, anak laki-laki
satu-satunya, dan kemudian kepala anak itu ditekankan ke dadanya
seakan-akan tak ingin melepaskannya lagi.
Maka setelah cukup mereka memberikan
laporan mereka, Wanamerta dan kawan-kawannya segera mohon diri untuk
memberikan beberapa keterangan kepada laskar Banyubiru yang masih
berkumpul di alun-alun, dan yang kemudian akan dibubarkan. Tetapi dalam
keadaan ini Wanamerta sadar bahwa Banyubiru harus tetap mempertinggi
kewaspadaan, dan bahkan Wanamerta telah mengambil keputusan untuk
mengadakan persiapan yang lebih saksama dengan mengadakan
latihan-latihan keprajuritan.
Sementara itu, matahari tetap beredar
dalam garis perjalanannya. Angin pegunungan yang sejuk bertiup semakin
sore semakin kencang, menggoyang pepohonan dan merontokkan daun-daun
kuning yang telah tidak dapat berpegangan lebih erat lagi.
Pada saat itu, ketika Arya sedang duduk
bertopang dagu di atas tangga pendapa rumahnya, tiba-tiba ia dikejutkan
oleh seekor kuda abu-abu lengkap dengan pelananya, tetapi tanpa
penunggangnya. Kuda itu berjalan perlahan-lahan memasuki halaman.
Arya kenal betul bahwa kuda itu adalah
kuda yang dipergunakan oleh Mahesa Jenar, karena itu segera ia berlari
ke pintu gerbang untuk menengok apakah Mahesa Jenar masih berada di luar
halaman. Tetapi di luar gerbang itu sama sekali tak ada seorangpun
kecuali dua orang laskar yang sedang berkawal.
”Kau lihat kuda ini, Kakang?” tanya Arya kepada salah seorang.
”Ya, aku melihat,” jawab orang itu.
”Tanpa penunggang?” tanya Arya lagi, menegaskan.
”Ya,” jawab orang itu pula, ”Kuda itu datang tanpa penunggangnya.”
Segera Arya menjadi sangat cemas. Apakah
yang telah terjadi dengan Mahesa Jenar? Segera ia meloncat ke atas
punggung kuda itu dan dilarikan ke arah timur untuk melihat barangkali
Mahesa Jenar langsung pergi ke mata air tempat ia biasa mandi. Tetapi
hatinya menjadi kecewa ketika di sanapun ia tidak melihat orang yang
dicarinya. Dengan perasaan yang semakin cemas segera Arya kembali ke
pendapa. Setelah itu ia meloncat turun, langsung berlari ke pringgitan,
dimana Wanamerta yang belum sampai hati meninggalkan rumah itu, sedang
tidur untuk melepaskan lelah.
”Eyang Wanamerta…!” teriak Arya, ”Lihatlah ke halaman.”
Wanamerta terkejut mendengar Arya
berteriak. Segera ia meloncat ke halaman dan apa yang dilihatnya adalah
seekor kuda abu-abu tanpa penunggang.
Wanamerta pun kenal kuda itu, maka iapun menjadi terkejut dan kemudian cemas. Katanya, ”Adakah kuda ini datang tanpa penunggangnya?”
”Ya, Eyang,” jawab Arya. ”Kuda itu datang tanpa penunggang.”
”Dimanakah Anakmas Mahesa Jenar?” gerutu Wanamerta seolah-olah kepada diri sendiri.
”Aku telah mencarinya ke belik tempat
Paman Mahesa Jenar sering mandi dan tidur di bawah beringin di lereng
sebelah, tetapi di sana Paman tidak ada,” sahut Arya.
Wajah Wanamerta tampak berkerut-kerut. Ia
agaknya sedang berpikir dan kecemasan. Sesaat kemudian dipanggilnya
pengawal gerbang, perintahnya, ”Panggil Adi Pandan Kuning,
Sawungrana, Bantaran serta Panjawi. Suruhlah mereka membawa anak buah
masing-masing 10 orang. Kami akan mencari Anakmas Mahesa Jenar.
Mudah-mudahan tidak ada apa-apa dengan anakmas itu.”
Yang disuruhnya segera melangkah pergi
dengan tergesa-gesa ke kandang kuda, dimana kudanya ditambatkan. Dan
sebentar kemudian orang itu telah meluncur di atas punggung kudanya
seperti dilemparkan.
Sebentar kemudian orang-orang yang
dipanggil itu telah lengkap berkumpul di pendapa. Mereka mendengar
keterangan singkat dari Wanamerta bahwa kuda abu-abu yang dipergunakan
Mahesa Jenar telah kembali tanpa penunggangnya. Karena itu dicemaskan
kalau Mahesa Jenar telah menemui sesuatu kecelakaan. Padahal hadirnya
Mahesa Jenar di Banyubiru pada saat itu, pada saat Ki Ageng Gajah Sora
tidak ada, sangat diperlukan untuk melindungi tanah perdikan yang sedang
kehilangan pemimpinnya, serta terancam bahaya dari segala penjuru itu.
Setelah mengadakan pembicaraan sebentar,
maka dibagilah pekerjaan mereka. Bantaran dan anakbuahnya tetap berada
di halaman itu, Sawungrana menjadi penghubung di antara halaman itu
dengan rombongan pencari yang terdiri dari Wanamerta sendiri, Pandan
Kuning, Panjawi dan anak buahnya. Mereka masing-masing telah menyiapkan
alat-alat untuk mengirimkan tanda-tanda bahaya apabila setiap saat
diperlukan. Sementara itu para penjaga pun telah diperintahkan untuk
memukul tanda supaya setiap laskar Banyubiru tetap dalam keadaan siap.
Ketika segala sesuatunya telah siap, maka
segera rombongan itu berangkat, disusul dengan rombongan Sawungrana
dengan arah yang sama, tetapi dengan kecepatan yang lebih kecil. Mereka
pertama-tama menuju ke tempat mereka melihat Mahesa Jenar yang terakhir
kalinya, yaitu pada saat pasukan Banyubiru akan ditarik kembali dari
daerah pertempuran.
Sampai di tempat itu segera beberapa
orang berusaha untuk mendapatkan jejak kaki kuda. Dan ketika jejak itu
diketemukan maka mereka mencoba untuk mengikuti dengan harapan dapat
memecahkan teka-teki hilangnya Mahesa Jenar.
”Mudah-mudahan kuda itu hanya nakal saja sehingga penunggangnya ditinggalnya lari,” desis Wanamerta perlahan-lahan. Tetapi nyata bahwa dibalik kata-katanya itu tersembunyi suatu pergolakan perasaan yang dahsyat.
Dengan tekunnya mereka mencoba untuk
mengikuti terus jejak seekor kuda yang mereka sangka adalah kuda yang
dipakai oleh Mahesa Jenar, sebab arah kuda ini berbeda dengan arah
kuda-kuda yang lain dari laskar Banyubiru. Kalau jejak kuda yang lain
berjalan ke arah barat, maka jejak yang seekor berjalan kearah timur.
Mereka menemukan jejak ini berhenti di sebuah tempat yang agak tinggi,
dan yang kemudian melingkar menuju ke sebuah bukit di sebelah lembah.
Tetapi mereka akhirnya menemukan jejak
itu terputus. Dan tahulah mereka bahwa kuda itu telah ditambatkan di
sebatang pohon. Dari tempat itu disebarlah beberapa orang untuk
menyelidik beberapa tempat dengan suatu harapan bahwa mereka akan
menjumpai Mahesa Jenar sedang mencari kudanya.
Tetapi yang mereka jumpai adalah
mengejutkan sekali. Beberapa orang yang tersebar itu ada yang sampai
pada bekas daerah pertempuran antara pasukan Demak dengan laskar Lembu
Sora. Di situ, mereka menemukan beberapa bekas darah, senjata senjata
yang tertinggal dan sebagainya. Sedang orang lain, yang juga mencari
Mahesa Jenar telah sampai di atas gundukan tanah, dan mereka pun
menjumpai bekas-bekas perkelahian. Seekor kuda ditemukan telah mati.
Yaitu kuda Lawa Ijo yang telah dibunuh oleh Mahesa Jenar dengan
tangannya.
Wanamerta mendengar semua laporan itu
dengan dahi yang berkerut-kerut. Otaknya berputar seperti baling-baling.
Ia tidak dapat mengambil kesimpulan apapun dari apa yang telah
disaksikan oleh anak buahnya. Tetapi yang pasti adalah keadaan telah
menjadi semakin gawat. Dan sesuatu dapat terjadi atas Banyubiru. Maka
terlintaslah dalam angan-angannya bahaya dari segala penjuru siap untuk
menerkam tanah perdikan yang seolah-olah sedang lumpuh itu.
Setelah beberapa saat mereka tak mendapatkan suatu hasil apapun, mereka segera kembali dengan hati gelisah.
Pada malam hari itu juga beberapa
pemimpin Banyubiru segera mengadakan pertemuan. Mereka membicarakan
segala segi yang mungkin terjadi pada keadaan seperti itu. Akhirnya,
setelah mereka membahas beberapa masalah, sampailah mereka pada suatu
keputusan, bahwa satu-satunya kemungkinan, apabila keadaan memaksa,
mereka akan minta bantuan kepada Ki Ageng Lembu Sora dari Pamingit.
Sebab dalam pertimbangan mereka, Ki Ageng Lembu Sora adalah adik Ki
Ageng Gajah Sora. Tetapi mereka sama sekali tidak tahu bahwa Lembu Sora
sendiri ternyata memegang peranan penting dalam kekisruhan-kekisruhan
yang terjadi.
Hilangnya Mahesa Jenar, terutama bagi
Arya Salaka, terasa menekan sekali dalam dadanya. Ia telah kehilangan
ayahnya, dan kemudian orang yang dipercaya oleh ayahnya untuk mengasuh
serta menjadi gurunya dalam olah kanuragan. Disamping itu Mahesa Jenar
adalah kawan bermain-main yang menyenangkan. Itulah sebabnya maka
kemudian ia menjadi pendiam dan selalu bermenung.
Ibunya yang tidak kalah sedihnya, namun
yang selalu berusaha untuk menghiburnya, kadang-kadang menjadi sangat
cemas melihat perkembangan Arya dari hari ke hari. Ia lebih senang
menyendiri dan pergi ke tempat-tempat yang sepi. Kadang-kadang malahan
ia sama sekali tidak mau tidur di dalam rumah, tetapi untuk beberapa
malam Arya Salaka tidur dihalaman belakang. Wanamerta, Panjawi dan
lain-lainnya juga telah berusaha sedapat-dapatnya untuk menggugah
kegembiraan Arya, tetapi usaha mereka sama sekali tak berhasil. Sehingga
akhirnya mereka hanya dapat menyaksikan dengan hati cemas atas
sifat-sifat Arya yang telah berubah itu.
———-oOo———-
II
Dalam pada itu, apa yang telah terjadi dengan Mahesa Jenar?
Pada saat Mahesa Jenar terpelanting ke
dalam jurang, ia menjadi tidak sadarkan diri dan tidak tahu apakah yang
telah terjadi. Tetapi pada saat ia membuka matanya, ia telah berada di
dalam sebuah pondok yang kecil, beratap daun ilalang. Pada saat itu
kepalanya rasanya telah retak, dan perasaan nyeri telah menjalar ke
seluruh tubuhnya. Ketika Mahesa Jenar mencoba untuk bergerak,
sendi-sendi tulangnya terasa sakit bukan main. Akhirnya ia terpaksa
mengurungkan niatnya untuk bergerak dan bangun. Yang dapat dilakukannya
pada saat itu hanyalah menggerakkan kepalanya untuk melihat-lihat
seluruh isi rumah itu. Tetapi di dalam rumah itu tak dilihatnya barang
apapun kecuali bale-bale tempat ia terbaring, paga bambu dengan sebuah
kendhi dan jlupak minyak di atasnya, cangkul di sudut, dan parang pemotong kayu terselip di dinding.
Beberapa saat kemudian, terdengarlah
langkah perlahan-lahan memasuki ruang itu. Dan muncullah dari pintu
samping, seorang tua yang rambutnya telah memutih, berdahi lebar dan
berhidung besar. Wajahnya tampak kasar dan terbakar oleh panas matahari.
Tetapi mata orang itu memancarkan sinar kejujuran dan kebaikan hatinya.
Ketika orang itu melihat Mahesa Jenar telah membuka matanya, tampaklah ia tersenyum lebar. “Nah, Angger…, rupa-rupanya Angger telah sadar,” katanya.
Segera Mahesa Jenar tahu bahwa orang
itulah yang telah menemukan dan menolongnya pada saat ia pingsan.
Meskipun dengan masih agak sukar Mahesa Jenar menjawab perlahan. “Ya bapak.”
Orang itu mengangguk, lalu duduk di bale, sambungnya, “ jangan angger bergerak dahulu. Biarlah kekuatan angger pulih.”
Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi ia mencoba menganggukkan kepalanya. Dan sekali lagi orang tua itu tersenyum lebar.
Mahesa Jenar mencoba mengamati orang itu
lebih seksama. Kecuali berdahi lebar dan berhidung lebar, memang orang
itu sama sekali tidak tampan. Tetapi tubuhnya adalah tubuh idaman bagi
setiap lelaki. Mungkin karena ia harus bekerja keras untuk mencukupi
kebutuhannya setiap hari, maka badannya masih tampak segar dan kuat.
Ototnya kokoh menjalar hampir ke seluruh bagian tubuhnya. Orang tua itu
meskipun tidak begitu tinggi, tetapi tidak pula tergolong pendek.
Rupanya orang yang telah ditolongnya itu
sedang mengamat-mati dirinya. Kembali senyumnya yang lebar menghiasi
bibirnya yang tebal. Katanya, “Adakah sesuatu yang aneh pada diriku?.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar pertanyaan orang itu. Karena itu ia segera dengan perlahan-lahan menggelengkan kepala.
“Angger..,” sambung orang tua itu, “usahakanlah
supaya angger dapat tidur. Jangan berfikir hal yang dapat mengganggu
ketentraman perasaan angger. Di sini angger dapat beristirahat
seenaknya, sebab tidak ada orang lain yang tinggal di sini kecuali aku
seorang diri.”
Kembali Mahesa Jenar mencoba mengangguk.
“Bagus,” orang tua itu melanjutkan, “tidurlah. Atau barangkali angger mau minum.”
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, orang
itu telah melangkah keluar rumah menyambar kendi diatas pagar, dan
sebentar lagi ia telah masuk kembali. Dengan perlahan dan sangat cermat
ia menuangkan air kendi kedalam mulut Mahesa Jenar. Sebenarnya memang
leher Mahesa Jenar terasa kering sekali. Seakan-akan sisi lehernya telah
lekat menjadi satu. Dengan air yang dituangkan kedalam mulutnya, maka
lehernya terasa menjadi sejuk. Bahkan seluruh tubuhnya menjadi segar.
Meskipun demikian ia masih belum mampu untuk bangun.
“Jangan coba untuk bangun dahulu,” orang tua itu melarangnya. “Tidurlah. Aku akan mencari kayu, merebus air, barangkali angger suka air jeruk.”
Sesudah berkata demikian orangitu segera
melangkah pergi. dan tinggallah Mahesa Jenar seorang diri, berbaring
didalam ruangan kecil yang kosong itu. Otaknya yang telah dapat bekerja
dengan wajar, sedikit demi sedikit dapat mengenal kembali apa yang telah
terjadi pada dirinya. Ia merasa bersyukur bahwa ia tidak lumat
terbanting kedalam jurang. Sebab kalau tidak ia pasti sudah binasa.
Sebab bagaimanapun dahsyatnya kekuatan Sasra Birawa yang dimilikinya,
namun untuk melawan tujuh orang sekaligus, agaknya ada diluar batas
kemampuannya.
Kemudian oleh angin yang menghembus lewat
pintu disamping tempat berbaring Mahesa Jenar, serta tubuhnya yang
terasa sudah agak segar, maka Mahesa Jenar akhirnya jatuh tertidur.
Ketika ia terbangun, dilihatnya orang tua
itu telah duduk di sampingnya. Tangannya memegang seberkas lontar.
Tanpa menoleh kepada Mahesa Jenar orang tua itu mulai membaca naskah
yang tertulis di dalam lontar itu. Maka segera menggemalah lagu bait
demi bait dari kidung yang berisikan sebuah cerita yang agaknya menarik
hati.
Pada saat itu tubuh Mahesa Jenar telah
mulai terasa agak kuat. Karena itu ia telah dapat berusaha untuk duduk
dibelakang orang tua yang sedang membaca lontar itu, yang seakan-akan
tidak memperhatikannya.
Bagian pertama dari cerita itu
menggambarkan tentang dua orang sahabat yang pergi merantau untuk
berguru kepada seorang sakti. Meskipun kedua orang itu hanyalah sahabat
saja, namun mereka telah merasa dirinya lebih dari dua orang bersaudara.
Karena itu apapun yang terjadi selalu mereka tanggung bersama.
Akhirnya sampailah mereka kesuatu lembah
yang amat sepi. Lembah yang sama sekali tak pernah disentuh oleh kaki
manusia. Disana dijumpainya seorang petapa yang telah menjauhkan diri
dari kehidupan. Ia hanya tinggal mengabdikan sisa hidupnya untuk
menyembah Yang Maha Agung.
Kedua orang sahabat itu kemudian
menyerahkan hidup matinya kepada sang petapa sakti. Petapa yang telah
menjauhkan diri dari kesibukan manusia itu semula ragu.
Tetapi karena kesadaran akan pembinaan
kebajikan, akhirnya kedua orang itu diterima menjadi muridnya.
Diajarinya mereka berdua tentang berbagai ilmu lahir dan batin. Jaya
Kawijayan dan olah kanuragan sehingga kedua sahabat itu kemudian menjadi
dua orang yang gagah perkasa.
Petapa sakti itu mengharap agar kedua
pemuda itu dapat melanjutkan dharma bhaktinya kepada tata pergaulan
manusia membina kebajikan dan memusnahkan kejahatan.
Adapun petapa sakti itu, tak seorang pun
yang pernah mengenal wajahnya, serta nama yang sebenarnya. Sebab ia
selalu memakai topeng yang sangat kasar buatannya, berjubah abu-abu dan
menyebut dirinya Pasingsingan.
Mendengar nama Pasingsingan disebutkan,
Mahesa Jenar terkejut bukan main. Tanpa disengaja ia mengulangi nama itu
sampai orang itu terkejut dan berhenti.
Perlahan-lahan ia menoleh kepada Mahesa
Jenar, dan ketika ia melihat Mahesa Jenar duduk di belakangnya,
lagi-lagi orang itu tersenyum lebar. “Rupanya Angger telah berangsur baik, dan telah dapat duduk pula, “ katanya.
“Begitulah, Bapak,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi agaknya, adakah yang menarik perhatian Angger dalam ceritera ini?” tanya orangtua itu kemudian. Tetapi ketika Mahesa Jenar akan menjawab terdengar orang itu melanjutkan, “Aku
pernah mendengar kata orang bahwa lagu dapat dipergunakan untuk banyak
tujuan. Dalam peperangan, lagu dapat membangkitkan semangat bertempur
dan berkorban. Seorang prajurit yang telah kehilangan semangat, akan
bangkit keberaniannya apabila ia mendengar sangkakala dalam irama yang
menggelora. Sebaliknya, lagu akan sangat berguna pula dalam waktu
bercinta.” Orang itu berhenti berbicara. Kemudian terdengarlah ia tertawa berderai. “Anakmas pasti pernah bercinta,”
katanya tiba-tiba. Perkataan itu mengejutkan Mahesa Jenar. Tanpa
disengaja ia menggelengkan kepala. Melihat Mahesa Jenar menggeleng,
orangtua itu mengerutkan keningnya, dan dengan nada keheranan ia
bertanya, “Angger belum pernah bercinta?”
Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah oleh pertanyaan itu. Tetapi sekali lagi tanpa disengaja ia menggelengkan kepalanya pula.
Orangtua itu kemudian mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah aku berkata tentang masalah yang lain.” Ia berhenti sebentar, lalu sambungnya, “Kata
orang, lagu dapat pula menyembuhkan atau mengurangi rasa sakit. Nah,
tadi aku mencoba untuk mengurangi rasa sakit yang sedang Angger derita,
meskipun suaraku sama sekali tak merdu dan lagunya pun barangkali banyak
yang salah.”
“Terima kasih, Bapak,” sahut Mahesa Jenar. “Mungkin
karena lagu itu pula aku jadi berangsur baik. Tetapi isi ceritera yang
Bapak lagukan itu pun sangat menarik perhatianku.”
“Angger juga tertarik pada ceritera-cerita semacam itu?” katanya pula. “Kalau
begitu kita mempunyai persamaan kesenangan. Tetapi, sampai sekarang aku
masih belum mengenal siapakah Angger ini sebenarnya?”
Oleh pertanyaan orangtua itu, barulah
Mahesa Jenar menyadari kekakuan hubungannya dengan orang itu. Sebab
masing-masing masih belum saling mengenal namanya. Karena itu, ketika
orangtua itu menanyakan namanya, segera dijawabnya. “Namaku Mahesa Jenar, Bapak…, dan siapakah Bapak ini pula?”
“Akh, aku adalah orang yang sama sekali tak berarti. Tetapi meskipun demikian, baiklah Angger mengenal namaku.” Ia berhenti sebentar untuk menarik nafas, kemudian melanjutkan, “Namaku adalah Ki Paniling.”
Mahesa Jenar menganggukkan kepalanya sambil mengulangi nama itu. Kemudian ia bertanya pula, “Ceritera yang Bapak baca sangat menarik perhatianku. Dari manakah ceritera itu Bapak dapatkan?”
Kening orangtua itu berkerut kembali.
Agaknya ia sedang mengingat-ingat. Tetapi kemudian sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya ia menjawab, “Aku tidak ingat lagi
Angger, di mana dan kapan aku mendapatkan naskah itu. Tetapi aku kira
itu adalah salinan dari naskah-naskah yang ada di mana-mana. Jadi
bukanlah berisikan suatu ceritera yang sedemikian menarik hati.”
Bagaimanapun, keinginan Mahesa Jenar
untuk mengetahui sebanyak-banyaknya tentang isi naskah itu, yang telah
menyebut-nyebut nama Pasingsingan, namun ia selalu berusaha untuk
menguasai diri. Sebab ia masih belum tahu benar dengan siapakah ia
berhadapan. Meskipun menilik sikap, kesederhanaan, cara berpikir serta
hal-hal lain, orang itu bukanlah orang jahat, namun ia tidak dapat
meninggalkan sikap hati-hati.
“Masih panjangkah ceritera itu?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Tidak,” jawab Ki Paniling, “Angger ingin membaca sendiri?”
Mahesa Jenar menganggukkan kepalanya. Ki
Paniling kemudian menyerahkan lontar yang dibacanya itu kepada Mahesa
Jenar. Tetapi Mahesa Jenar kemudian menjadi kecewa ketika kelanjutan
dari ceritera itu hanyalah tinggal beberapa bait saja, yang
menceriterakan tentang keperkasaan dua orang murid Pasingsingan yang
seakan-akan dapat terbang seperti burung rajawali. Adapun nama dari
kedua orang itu, yang dianggap lebih tua karena memiliki beberapa
kelebihan adalah Radite, sedang yang muda disebut Anggara.
“Tidakkah Bapak mempunyai kelanjutan ceritera ini?” tanya Mahesa Jenar dengan penuh keinginan untuk mengetahui.
Orangtua itu mengangguk-angguk sejenak, lalu berkata, “Menurut
ingatanku, aku ada mempunyai tiga jilid dari naskah itu. Tetapi cobalah
nanti Bapak cari, barangkali sedang dipinjam orang selagi mereka punya
keperluan.” Kemudian orangtua itu berdiri, sambil melangkahkan kaki ke luar ia berkata, “Istirahatlah Angger. Bapak akan mencari jilid kedua dan ketiga dari kitab itu.” Lalu hilanglah orangtua itu di balik pintu.
Mahesa Jenar heran mendengar kata-kata Ki
Paniling. Kemanakah ia akan mencari kedua jilid yang lain? Adakah di
sekitar rumah ini? Atau rumah-rumah orang lain?
Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk
mengetahui keadaan di sekeliling tempat itu. Perlahan-lahan Mahesa Jenar
mengingsar tubuhnya ke tepi tempat pembaringannya. Ketika dirasa bahwa
tulang-tulangnya telah tidak begitu nyeri lagi, maka dengan sangat
hati-hati ia mencoba berdiri. Ia merasa gembira sekali, bahwa agaknya
kekuatannya telah berangsur-angsur menjadi baik dan ia sudah tidak
merasakan kesulitan apa-apa untuk berjalan. Karena itu perlahan-lahan
dan hati-hati Mahesa Jenar melangkah ke luar rumah. Ia menjadi agak
bingung ketika sampai di halaman. Ia tidak dapat lagi mengetahui dengan
pasti, di manakah utara dan di mana selatan. Ketika memandang ke arah
matahari terbit, Mahesa Jenar juga agak keheran-heranan. Ia dapat
memastikan bahwa pada saat itu hari masih pagi. Kalau demikian maka ia
telah melampaui satu malam berada di dalam pondok Ki Paniling.
Kemudian dengan tubuh yang masih belum
sehat benar, Mahesa Jenar melangkah lebih jauh lagi. Ia semakin
bertambah heran ketika di depan halaman Ki Paniling itu terdapat sebuah
jalur desa. Maka keinginannya untuk mengetahui keadaan di sekitarnya
menjadi semakin besar. Setapak demi setapak Mahesa Jenar melangkah
menuruti jalan kecil itu, sehingga kemudian barulah ia percaya bahwa
sebenarnya ia telah dirawat oleh seorang yang sama sekali bukan orang
yang terasing, tetapi orang biasa. Mungkin seorang petani miskin yang
tinggal di dalam sebuah kampung kecil bersama-sama dengan orang-orang
miskin lainnya.
Tetapi disamping itu, timbullah suatu masalah lain di dalam kepalanya.
Mahesa Jenar ingat betul bahwa ia telah
terperosok ke dalam jurang yang dalam. Apa yang diketahuinya, daerah itu
daerah pegunungan yang berhutan dan bersemak-semak. Jadi tidaklah
mungkin bahwa ia telah menggelinding sampai tempat yang didiami oleh
manusia. Memang mungkin pada saat itu Ki Paniling sedang mencari kayu,
misalnya, lalu menemukannya. Tetapi membawa seseorang sebesar dirinya di
tempat yang bergunung-gunung dan bertebing-tebing curam adalah sangat
sulit. Sedang daerah ini adalah suatu dataran yang rata, meskipun masih
juga dikitari hutan dan pegunungan. Dengan demikian maka
pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar menjadi semakin berbelit-belit di
kepalanya.
Setelah Mahesa Jenar berjalan beberapa
jauh, terasa kakinya amat penat. Kekuatannya baru sebagian kecil saja
yang dimilikinya kembali. Karena itu ia berhasrat kembali saja ke rumah
Ki Paniling.
Tetapi baru saja ia memutar tubuhnya, tiba-tiba terdengarlah suara ramah, “Adi Darba, itulah kemanakanku yang baru datang kemarin siang.”
Segera Mahesa Jenar memandang ke arah
suara itu. Dilihatnya Ki Paniling sedang bercakap-cakap dengan seorang
petani lain, seorang yang bertubuh agak kekurus-kurusan. Dan seperti
kebiasaan para petani, wajahnya memancarkan isi dadanya dengan terbuka.
Orang yang dipanggil Darba itu kemudian
tertawa. Tertawanya terdengar seperti suara air yang memancar dari mata
airnya. Bersih dan tanpa maksud-maksud yang tidak wajar.
“Kemenakanmu tampak begitu tampan dan gagah, Kakang Paniling, aku jadi agak heran,” katanya dengan jujur.
Ki Paniling tersenyum lebar, jawabnya, “Aku tidak tahu, bagaimana aku dapat mempunyai kemenakan segagah dia”
Kemudian kedua orang itu sama-sama
tertawa. Mau tidak mau Mahesa Jenar berusaha untuk tertawa pula, serta
mengangguk hormat kepada mereka.
“Mahesa Jenar…,” kata Paniling, yang memanggilnya tanpa sebutan seperti lazimnya orang memanggil kemenakannya. “Inilah
pamanmu Darba. Ia termasuk salah seorang cikal bakal kampung ini
sesudah aku. Sebab akulah yang tertua yang datang di sini, kemudian
beberapa orang berturut-turut ikut serta menebas hutan dan membangun
perkampungan kita ini. Bukan begitu Darba?”
Darba tertawa kembali. Jawabnya,
“Pasti aku harus membenarkan katamu. Sebab tak seorang pun yang akan
menyangkal bahwa kaulah yang datang pertama kali di daerah ini.”
Mendengar jawaban kawannya itu, kembali
bibir-bibir tebal di bawah hidung Ki Paniling yang besar itu
bergerak-gerak dan tersenyum lebar.
“Sekarang, singgahlah sebentar, Darba,” ajak Paniling.
“Terimakasih. Masih banyak yang akan aku kerjakan pagi ini. Mengairi sawah dan memasak gula,” jawab Darba. “Aku juga masih nderes tiga pohon lagi.”
“Bagus,” sahut Paniling. “Kalau masak, gulamu nanti antarlah kami buat minum air jahe.”
“Tentu, tentu…” potong Darba, yang lalu melangkah pergi setelah mengangguk kepada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar melihat keakraban pergaulan
dalam hidup sederhana itu dengan perhatian yang luar biasa. Alangkah
jauh bedanya dengan pergaulan orang-orang kota yang banyak dibumbui oleh
sikap berpura-pura.
Setelah petani yang bernama Darba itu
hilang di kelokan jalan, segera Ki Paniling melangkah mendekati Mahesa
Jenar sambil berkata gembira, “Rupanya angger telah banyak mendapat
kemajuan. Sukurlah kalau Angger telah dapat berjalan-jalan. Maafkanlah
kalau aku terpaksa menyebut Angger sebagai kemenakanku. Hal itu hanya
untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tak perlu. Sebab di
padepokan kecil ini segala sesuatu yang tak berarti dapat saja menjadi
peristiwa yang besar.”
“Tak apalah, Bapak,” jawab Mahesa Jenar. “Mana saja yang baik untuk Bapak, akan baik pula untukku.”
“Bagus, bagus…” sahut Ki Paniling, “Sekarang marilah kita pulang, Angger masih jangan terlalu banyak bergerak.”
Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi segera ia melangkah mengikuti Ki Paniling.
Sebentar kemudian mereka telah sampai ke
pondok Ki Paniling. Mahesa Jenar langsung dipersilakan berbaring untuk
memulihkan kekuatannya, sedang Ki Paniling segera menyalakan api serta
mengupas jagung.
Kembali terasa angin yang semilir
mengusap tubuh Mahesa Jenar. Dan karena kesegaran dan kepenatan yang
bercampur-baur, akhirnya sekali lagi Mahesa Jenar jatuh tertidur.
Ia menjadi terbangun ketika didengarnya
hiruk-pikuk di halaman. Meskipun tubuhnya belum pulih sepenuhnya, tetapi
untuk menjaga diri segera ia bangkit, dan memperhatikan keadaan dengan
saksama. Di luar, didengarnya beberapa suara orang laki-laki
menyebut-nyebut namanya. Tetapi kemudian ia menjadi tersenyum sendiri,
namun juga dihinggapi oleh perasaan gelisah. Orang-orang itu ternyata
adalah sahabat-sahabat Ki Paniling yang telah mendengar kabar bahwa
kemenakannya datang mengunjungi kampung mereka yang kecil dan terpencil
ini. Karena itulah mereka memerlukan datang untuk mengucapkan selamat
datang serta menyampaikan salam perkenalan.
Ki Paniling sendiri agaknya menjadi
kerepotan untuk memberi penjelasan kepada sahabat-sahabatnya, tentang
kemenakannya. Tetapi rupanya ia cerdik juga. Supaya tidak ada salah
keterangan dengan Mahesa Jenar, sengaja ia berbicara keras-keras dengan
harapan bahwa dongengannya itu didengar pula oleh Mahesa Jenar. Katanya,
“Adik-adik sekalian, kemenakanku ini datang dari daerah yang jauh
sekali. Ia pada saat-saat yang lampau telah pergi merantau hampir ke
seluruh sudut bumi. Yang terakhir ia mengabdikan dirinya di pusat
kerajaan. Yaitu pada Sultan Demak. Di sana ia menjadi seorang prajurit
yang gemblengan”
Kemudian terdengar suara orang-orang itu
bergumam. Agaknya mereka menyatakan perasaan kagum terhadap salah
seorang prajurit kerajaan yang sudi berkunjung ke kampung kecil itu.
Malahan seorang diantaranya berkata, “Anehlah kau Bapak Paniling.
Kenapa kau mempunyai kemenakan yang menjabat sebagai prajurit Demak,
tetapi kau hidup miskin bersama-sama dengan kami di sini?”
Mendengar pertanyaan itu, terdengar Ki Paniling tertawa. Jawabnya, “Yang menjadi prajurit bukanlah aku, tetapi kemenakanku.”
“Kalau begitu banyaklah yang sudah dilihatnya,” kata yang lain, “Dapatkah kiranya kita mendengar ceriteranya?”
“Tentu, tentu…, apabila ia sudah bangun,” jawab Ki Paniling. “Tetapi jangan tanyakan tentang kedudukannya sebagai prajurit, sebab ia telah mengundurkan diri.”
“Mengundurkan diri?” tanya mereka hampir berbareng.
“Ya,” jawab Paniling.
“Kenapa?” tanya mereka kembali.
Paniling diam sejenak. Baru kemudian ia dapat menjawab, “Sampai hal yang sekecil-kecilnya kalian ingin tahu?”
“Itu bukan kecil soalnya,” jawab salah seorang, “Tetapi
adalah masalah yang besar. Seorang prajurit bagi kami adalah seorang
yang luar biasa. Kalau sampai ia mengundurkan diri, pasti ada hal-hal
yang luar biasa.”
Kembali terdengar Paniling tertawa. Jawabnya, “Otakmu mengkilap seperti batu akik. Bagus,
kau takut kalau kemenakanku itu menjadi buruan, atau dipecat karena
kejahatan? Bagus, dengarlah, ia mengundurkan diri karena perbedaan pokok
mengenai kepercayaan. Ia tidak mau menentang kawan-kawan
seperjuangannya dalam satu pertentangan jasmaniah. Karena itu lebih baik
ia mengundurkan diri, meskipun dengan demikian bukan berarti masa
kebaktiannya terhenti pula. Ia tetap berjuang untuk kesejahteraan kawula
Demak”
Kemudian terdengarlah orang-orang di luar
rumah itu bergumam puas. Tetapi tidak demikianlah perasaan Mahesa Jenar
yang justru menjadi bergolak hebat. Keterangan Ki Paniling itu bagi
Mahesa Jenar bukanlah sekadar kebetulan semata-mata. Tetapi adalah suatu
ceritera yang tepat seperti apa yang dialaminya. Karena itu dadanya
jadi bergoncang.
Bersamaan dengan itu muncullah sebuah
kepala di ambang pintu. Sedemikian tiba-tiba sehingga Mahesa Jenar
menjadi terkejut. Hampir saja ia meloncat menangkapnya, tetapi untunglah
dalam sekejap kepala itu telah lenyap kembali disusul dengan suara
seseorang, “Kakang Paniling, kemenakanmu telah bangun.”
“He….” jawab Paniling, “Bagus, kalau begitu kalian dapat menemuinya, tetapi jangan lupa kepada pesan-pesanku.”
Sesaat kemudian beberapa orang telah
melangkah masuk. Salah satu diantaranya segera membentangkan sebuah
tikar pandan yang kasar, dan di atas tikar itulah segera mereka duduk.
Mau tidak mau Mahesa Jenar harus duduk pula di atas tikar pandan itu.
Meskipun demikian ia tidak dapat meninggalkan kewaspadaan, meskipun
hanya sekejap. Ia tidak tahu jenis sarang apa pula yang sekarang sedang
dimasukinya.
Maka mulailah sahabat-sahabat Paniling
saling berebutan memperkenalkan diri mereka serta bertanya-tanya.
Bertanya tentang hal-hal yang kadang-kadang menggelikan bagi Mahesa
Jenar. Dengan memperhatikan pertanyaan-pertanyaan itu, sebenarnya Mahesa
Jenar dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka benar-benar
petani-petani miskin yang sebagian besar masih sangat rendah
pengetahuannya. Memang ada satu dua diantaranya yang pernah pula
merantau, tetapi pengalaman yang didapatnya pun sama sekali tak berarti.
Kalau demikian, akhirnya Mahesa Jenar mengambil kesimpulan, bahwa yang
sebenarnya kurang wajar adalah Ki Paniling sendiri. Memang sejak semula
ia telah bertanya-tanya dalam hati tentang orang ini. Bagaimana ia dapat
sampai ke pondoknya, dan bagaimana ia sengaja menyebut-nyebut
Pasingsingan, lagi pula ia dapat menebak dengan tepat tentang dirinya,
bahkan tentang kedudukannya sebagai bekas prajurit pun diketahuinya
pula.
Karena itu ia menjadi gelisah. Untunglah
bahwa pertemuan itu tidak berlangsung terlalu lama. Setelah matahari
sampai pada titik puncaknya, segera mereka mohon diri, pulang ke rumah
masing-masing. Yang terakhir meninggalkan ruangan itu adalah Darba.
Dengan tertawa pendek ia berkata, “Mahesa Jenar, datanglah
sekali-sekali ke pondokku meskipun tidak lebih baik dari pondok ini. Aku
juga hidup seperti pamanmu, Paniling. Berbeda dengan orang lain di sini
yang hidup berkeluarga, dengan anak-istri. Tetapi kami, aku dan
pamanmu, hidup sebatang kara.”
“Baiklah, Paman,” jawab Mahesa
Jenar mengangguk. Tetapi, matanya yang tajam menangkap sinar yang
gemerlapan dalam mata petani yang kekurus-kurusan itu. Sinar itu
bukanlah sinar mata seorang petani miskin. Rupa-rupanya dua orang ini
harus mendapat perhatian sepenuhnya. Tetapi Mahesa Jenar pun adalah
orang yang berotak cemerlang. Karena itu segala sesuatu
diperhitungkannya dengan cermat. Juga terhadap kedua orang ini, ia
bersikap sangat hati-hati.
Sebenarnya Mahesa Jenar sama sekali tidak
mempunyai prasangka yang jelek terhadap Paniling maupun Darba. Sebab
cahaya mata mereka serta pancaran wajah mereka sama sekali tidak
menunjukkan sesuatu kepalsuan. Tetapi meskipun demikian ia
memperhitungkan pula kemungkinan-kemungkinan yang sebaliknya. Malahan
kadang-kadang timbul dugaannya, apakah salah seorang diantaranya itu
adalah Pasingsingan?
Setelah semua orang, juga Darba telah
meninggalkan rumah itu, segera Paniling menyodorkan beberapa jagung
rebus beserta gula kelapa yang masih baru kepada Mahesa Jenar. Mahesa
Jenar yang memang merasa lapar segera menerimanya dan dengan lahapnya ia
menghabiskan bagiannya. Setelah itu tidak banyak yang mereka
percakapkan. Apalagi Paniling segera pergi ke kebun untuk menyiangi
tanaman-tanamannya.
Baru ketika matahari telah hilang di
balik batas antara siang dan malam, serta Paniling telah menyalakan
oncor jarak, mereka duduk di atas satu-satunya tempat pembaringan yang
ada di dalam ruang itu.
Tiba-tiba tanpa ditanya Paniling berkata tentang kitabnya, “Angger,
ternyata kedua jilid dari kitab itu belum aku ketemukan. Aku tanyakan
kesana-kemari, agaknya belum aku jumpai siapakah yang telah meminjamnya.
Apakah Anakmas tertarik sekali dengan ceritera itu?”
Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan menjawab pertanyaan itu. Namun demikian katanya, “Aku sangat tertarik kepada ceriteranya, Bapak.”
Paniling mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambungnya, “Ceriteranya memang menarik. Tetapi ceritera itu adalah ceritera biasa saja sebenarnya.”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar tiba-tiba. Ia sedang mencoba untuk memancing pikiran orang tua itu. “Aku juga pernah mendengar ceritera yang hampir sama.”
Orang itu tampak agak terkejut, tetapi sebentar kemudian kesan itu telah hilang kembali. Malahan ia tersenyum sambil menjawab, “Angger juga pernah mendengar? Di mana…?”
“Di Banyubiru,” sahut Mahesa Jenar.
“Banyubiru…? Dekat Rawa Pening?” tanya Paniling.
“Ya, kenapa?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Akh, ceritera itu sampai tersiar demikian jauhnya,” jawab Paniling.
“Demikian jauhnya?” Mahesa Jenar yang sekarang keheranan.
Ki Paniling kembali mengernyitkan alisnya. Dan kembali pula ia tersenyum lebar.
“Bukan jauh sekali,” katanya kemudian, “Tetapi
buat ceritera yang tak berharga itu, adalah suatu kehormatan besar
apabila sampai tersiar ke daerah-daerah yang agak jauh.”
Terasa bagi Mahesa Jenar ada sesuatu yang dapat ditangkapnya dari kata-kata Paniling, karena itu segera ia menyahut, “Kalau ceritera itu sampai di sini, bukankah telah tersebar ke tempat yang lebih jauh lagi?”
Paniling terkejut mendengar jawaban
Mahesa Jenar. Tetapi hanya sekejap, karena hanya sesaat kemudian ia
telah tertawa sambil berkata, “Mungkin, mungkin Angger benar.”
Mahesa Jenar tidak mau melepaskan kesempatan itu lagi, karena itu ia ingin mendesak lebih lanjut. “Ki
Paniling, aku juga pernah mendengar ceritera tentang Pasingsingan itu
di Banyubiru. Cobalah Ki Paniling sudi mendengarkan ceritera yang aku
dengar itu untuk diperbandingkan dengan kelanjutan dari ceritera Ki
Paniling yang tercecer, dari kitab jilid 2 dan 3. Adakah persamaannya
ataukah hanya persamaan nama melulu.”
Mahesa Jenar melihat orang tua itu
menjadi agak gelisah, tetapi ia tidak mau kehilangan kemungkinan untuk
menyentuh-nyentuh perasaan Ki Paniling yang paling dalam. Dengan
demikian ia akan segera tahu dengan siapa ia berhadapan. Dengan kawan
atau lawan. Maka segera Mahesa Jenar melanjutkan, “Menurut ceritera
yang tersebar luas di Banyubiru, tidak saja yang tertulis di
lontar-lontar, tetapi bahkan telah menjadi ceritera rakyat yang tersebar
dari mulut kemulut, mengatakan bahwa Pasingsingan sama sekali bukanlah
seorang yang baik hati, bukan seorang yang pasrah diri kepada Yang Maha
Agung, ia sama sekali tidak mengagungkan kebajikan, apalagi mempunyai
dua orang murid yang bernama Radite dan Anggara. Tetapi Pasingsingan
adalah orang yang sama sekali berlawanan dengan sifat-sifat itu. Ia
mempunyai murid-murid yang sama jahatnya dengan dirinya sendiri, yang
menamakan dirinya sebagai nama pahlawan, yaitu Lawa Ijo, Wadas Gunung
dan Watu Gunung. Yang sama dengan ceritera Bapak adalah bahwa
Pasingsingan itu memang sakti, namun ia telah mempergunakan kesaktiannya
untuk kejahatan, merampok, membunuh, merampas isteri orang, me…. “
“
Bohong!”
tiba-tiba Paniling berteriak keras. Wajahnya jadi tegang dan merah.
Mahesa Jenar terkejut mendengar teriakan itu. Cepat ia hendak bangkit
ketika dilihatnya wajah Paniling menyala. Mahesa Jenar sadar bahwa hal
yang tak dikehendaki bisa terjadi. Karena itu ia cukup waspada.

Tiba-tiba tangan Ki Paniling terjulur
untuk menangkap baju Mahesa Jenar. Cepat ia mengelak, dan dengan gerakan
kuat ia menerkam Paniling. Mahesa Jenar tidak mau didahului oleh orang
tua yang masih belum diketahui siapakah dia dan sampai dimanakah
kekuatannya.
Dengan menangkap orang tua itu, Mahesa Jenar bermaksud memaksanya untuk menjelaskan siapakah sebenarnya dirinya itu.
Tetapi Mahesa Jenar terkejut bukan
kepalang ketika ia sama sekali tak berhasil menyentuh Ki Paniling dalam
tempat yang demikian sempitnya. Bahkan tiba-tiba terasa tangannya
terpilin dan lenyaplah segenap kekuatannya yang memang belum pulih
seluruhnya. Tetapi bagaimanapun ia merasa bahwa Paniling mempunyai
kekuatan yang jauh di atas kemampuannya. Bahkan andaikata kekuatannya
samasekali tak terganggu sekalipun. Namun orang tua itu akan dapat
dengan mudah menangkapnya.
Mengalami peristiwa itu, Mahesa Jenar
segera teringat kepada pertemuan-pertemuannya dengan Ki Ageng Pandan
Alas, Ki Ageng Sora Dipayana yang juga sama sekali tak diduganya. Dengan
demikian ia dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa orang ini pun pasti
tergolong angkatan itu pula. Kalau saja orang ini Pasingsingan, entahlah
apa yang akan terjadi atas dirinya.
Tetapi tiba-tiba terasa tangkapan pada
tangannya itu semakin kendor, semakin kendor, bahkan akhirnya
dilepaskan. Dan dengan keheran-keheranan Mahesa Jenar melihat Ki
Paniling itu membanting diri diatas bale-bale, yang kemudian dengan
kedua telapak tangannya menutupi mukanya.
Mahesa Jenar jadi ragu dan tidak tahu apa
yang akan dilakukannya. Tetapi suatu kelegaan telah membersit di
hatinya. Sebab jelas orangtua itu sama sekali tak bermaksud jahat
kepadanya.
Setelah beberapa saat suasana ruangan
sempit itu dicengkam oleh kesepian yang tegang, maka perlahan-lahan Ki
Paniling mengangkat mukanya. Muka yang tadi tampak merah membara, kini
menjadi pucat keputih-putihan. Bahkan dari matanya memancar sinar duka.
Mahesa Jenar jadi merasa bahwa ia telah berbuat sesuatu yang menyebabkan orangtua itu susah. Maka katanya, “Maafkan aku, Bapak, barangkali aku telah berbuat suatu kesalahan.”
Tiba-tiba Ki Paniling tersenyum lebar, namun senyumnya adalah senyum yang pahit. “Tidak,
Angger…, Angger tidak berbuat suatu kesalahan. Tetapi akulah yang
bodoh. Sebagai orang tua aku telah berbuat sesuatu yang memalukan.
Tetapi itu ada sebabnya.”
Mata orangtua itu semakin membayangkan
kedukaan yang dalam. Hanya kadang kadang saja ia memandang kepada Mahesa
Jenar, tetapi kemudian kembali matanya menatap ke titik-titik, jauh tak
terhingga. Lewat pintu rumah kecil yang belum ditutup itu, terasa angin
malam menghembus halus, menggoyang-goyang nyala pelita jarak yang
melemparkan cahaya suram ke segenap arah.
Untuk beberapa lama mereka berdua masih
berdiam diri. Perlahan-lahan Mahesa Jenar pun kemudian duduk kembali di
samping Ki Paniling.
“Angger…” kata Ki Paniling kemudian memecah sepi, “Maksudku
hanya ingin mengatakan bahwa ceritera yang Angger dengar itu sama
sekali tidak benar. Atau barangkali lebih baik aku katakan bahwa
ceritera itu tidak sama dengan ceritera di dalam kitab-kitabku. Mungkin
benar kata Angger bahwa kedua ceritera itu ditulis oleh orang yang tidak
sama, hanya kebetulan nama tokoh-tokohnya sajalah yang bersamaan.”
“Demikianlah Bapak,” jawab Mahesa Jenar, “ceritera itu bukanlah tidak mungkin bersamaan nama, “.
“Ceritera yang aku baca, Angger…” kata Paniling, “Pasingsingan adalah orang yang baik hati. Menjunjung tinggi keluhuran budi, serta pasrah diri kepada Yang Maha Agung.”
“Dapatkah aku mendengar ceritera itu, Bapak? “ tanya Mahesa Jenar.
Ki Paniling menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya, “Otakmu cemerlang seperti matahari musim kemarau,”
Mahesa Jenar kurang mengerti kepada
kata-kata Paniling itu. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu, sampai
akhirnya Paniling berkata kembali, “Baiklah Angger…, aku tidak tahu
apakah ada gunanya kalau aku berceritera. Sebab kau bukanlah anak-anak
yang mudah tertidur karena dongeng-dongeng yang menyenangkan serta
mengasyikkan.”
Mahesa Jenar menundukkan kepala mendengar
kata-kata Ki Paniling yang rupa-rupanya sudah mengetahui maksudnya,
memancing-mancing keterangan tentang dirinya.
“Angger Mahesa Jenar…,” kata Ki Paniling lebih lanjut, “Bagian
kedua dari ceritera itu mengatakan bahwa setelah kedua murid
Pasingsingan itu menjadi dua orang yang hampir mumpuni, maka
Pasingsingan ingin menyerahkan jabatannya, meskipun jabatan itu
disandangnya atas kemauan sendiri, kepada muridnya yang tua. Tetapi pada
saat itu datanglah seorang yang mengaku murid Pasingsingan yang tertua,
yang merasa berhak untuk mengenakan tanda-tanda kebesaran gurunya,
yaitu jubah abu-abu, topeng yang kasar dan yang terutama adalah sebuah
belati panjang berwarna kuning emas berkilau-kilauan, yang disebut Kyai
Suluh, serta cincin bermata batu akik merah menyala yang dinamai Akik
Klabang Sayuta. Hampir tak ada orang yang dapat melawan kesaktian belati
panjang serta akik Klabang Sayuta itu.”
Sampai sekian terasa punggung Mahesa
Jenar meremang. Ia kenal semua benda-benda yang disebutkan itu. Ia
pernah melihat Pasingsingan memegang sebuah pisau belati yang berwarna
kuning gemerlapan pada saat orang itu hendak bertempur melawan Ki Ageng
Pandan Alas, yang juga terpaksa menarik pusakanya Sigar Penjalin. Sedang
akik Klabang Sayuta yang beracun itu, tidak saja ia pernah melihat,
tetapi ia pernah merasakan betapa dahsyatnya. Kalau saja di dalam
darahnya tidak mengalir bisa Ular Candrasa, entahlah apa yang terjadi
atasnya.
Ki Paniling kemudian melanjutkan ceritanya, “Tetapi agaknya Pasingsingan tidak begitu terkena hatinya kepada bekas muridnya yang telah lama meninggalkannya. Karena
itu ia tetap pada pendiriannya, menyerahkan semua tanda-tanda
jabatannya kepada Radite. Maka pada suatu hari, dengan tidak diketahui
oleh siapapun, Pasingsingan telah lenyap. Tetapi jubah abu-abu serta
semua miliknya itu ditinggalkannya di dalam ruang tidur Radite. Dan
sejak itulah Radite kemudian mengembara dengan nama Pasingsingan untuk
mengamalkan kebajikan demi kesejahteraan hidup umat manusia. Dalam
pengembaraan itu pula ia berkenalan dengan tokoh-tokoh sakti yang lain,
yang juga berusaha untuk menegakkan kebajikan bagi kesejahteraan umat
mahusia. Diantara sahabatnya terdapat seorang yang bernama Kiai Ageng
Pengging Sepuh, yang kemudian mempunyai seorang murid yang menjadi
Prajurit Pengawal Raja bernama Rangga Tohjaya.”
Kembali punggung Mahesa Jenar meremang.
Bahkan kali ini keringat dingin telah membasahi seluruh tubuhnya. Ia
jadi agak bingung. Ternyata Paniling telah hampir mengetahui keseluruhan
dari perjalanan hidupnya. Ia akhirnya malu sendiri, ketika ia merasa
bahwa pancingan-pancingannya terasa berhasil untuk memaksa Paniling
berceritera. Tetapi agaknya orangtua itu telah dapat menebak seluruh isi
hatinya.
“Adapun Anggara…” Ki Paniling meneruskan, “Telah diserahi tugas untuk menunggui tempat pertapaan Pasingsingan. Dan orang itu pun dengan setia melakukan kewajibannya.”
“Tetapi…” sambung Ki Paniling dengan nada yang merendah, “Peredaran
roda tidak selamanya menempuh jalan datar. Radite akhirnya bertemu
dengan murid tertua dari Pasingsingan, yang menamakan dirinya Umbaran.
Dari segi keperwiraan jasmaniah, maka Umbaran ada di bawah kepandaian
Radite.”
Ki Paniling berhenti sebentar. Terasa bahwa nafasnya berangsur cepat. Wajahnya tampak semakin pucat sedang matanya semakin sayu. Kemudian ia kembali melanjutkan ceritanya, “Karena itu Umbaran tidak dapat memaksa Radite untuk menyerahkan tanda-tanda kebesaran gurunya. Namun demikian ada saja jalan yang dapat ditempuhnya. Dan ini termuat pada bagian ketiga dari kitab ini. Bagian yang paling menyedihkan.”
Ki Paniling berhenti sebentar. Terasa bahwa nafasnya berangsur cepat. Wajahnya tampak semakin pucat sedang matanya semakin sayu. Kemudian ia kembali melanjutkan ceritanya, “Karena itu Umbaran tidak dapat memaksa Radite untuk menyerahkan tanda-tanda kebesaran gurunya. Namun demikian ada saja jalan yang dapat ditempuhnya. Dan ini termuat pada bagian ketiga dari kitab ini. Bagian yang paling menyedihkan.”
Kembali Ki Paniling berhenti sejenak, kemudian meneruskan ceritanya lagi, “Bagaimanapun
juga Radite adalah manusia biasa. Meskipun ia telah mengenakan jubah
abu-abu, topeng dan pusaka-pusaka lainnya, namun ia tidak dapat melapisi
hatinya dengan baja. Hatinya masih saja hati manusia yang lunak dan
lemah. Itulah sebabnya ia pada suatu saat jatuh cinta kepada seorang
gadis. Dan inilah sumber dari segala malapetaka. Ketika Umbaran
mengetahui, maka segera ia berusaha memikat hati gadis itu. Memang
Umbaran memiliki wajah yang tampan, sehingga akhirnya dengan tidak
banyak kesulitan ia berhasil menguasai hati gadis itu sepenuhnya. Sedang
di lain pihak, hati Radite telah bulat-bulat berada di dalam genggaman
gadis itu.”
“Akhirnya…” lanjut Ki Paniling, “Terjadilah
sesuatu yang memalukan sekali. Radite dan Umbaran mengadakan suatu
perjanjian tukar-menukar. Inilah yang gila. Dan itu sudah terjadi.” Mahesa Jenar menjadi terkejut ketika nada suara Paniling jadi meninggi. Hampir berteriak ia berkata, Itu sudah terjadi, dan tak dapat dicabut kembali. Tetapi
kemudian seperti orang yang tersadar, Ki Paniling menarik nafas
dalam-dalam. Dan kembali dengan nada yang rendah ia meneruskan, “Radite
dan Umbaran mengadakan perjanjian. Radite mendapat gadis itu, sedang
Umbaran mendapat tanda-tanda kebesaran dari Pasingsingan. Maka
berlangsunglah tukar-menukar itu tanpa saksi, selain Anggara yang dengan
sedih berusaha mencegahnya. Tetapi tukar-menukar itu tetap berlangsung,
dengan hati jantan dan tanggung jawab bagi Radite. Itulah sebabnya maka
ia akan mentaati perjanjian itu untuk seterusnya.”
“Tetapi kemudian,
menyusullah kejadian yang semakin menghimpit hati. Radite sebenarnya
sangat menyesal atas perjanjian itu. Namun di hadapan gadis yang
kemudian menjadi istrinya, ia selalu menyembunyikan penyesalan itu.
Kemudian ia harus mengalami kejadian yang dahsyat, yang barangkali
merupakan hukuman alam. Gadis yang memang sebenarnya sama sekali tak
mencintainya itu, sebab hatinya telah terampas oleh Umbaran, akhirnya
menjadi sakit-sakitan dan meninggal dunia. Kejadian ini merupakan
pukulan yang maha dahsyat dalam kehidupan Radite yang telah gagal itu.
Gagal dalam pengabdiannya kepada umat manusia dan gagal dalam pemanjaan
nafsu pribadi.
Paniling berhenti berkata. Wajahnya menjadi semakin pucat. Dan tiba-tiba di matanya tampak mengembang sebutir air mata.
Mahesa Jenar kini telah menjadi jelas.
Jelas dengan siapa ia sedang berbicara. Karena itu tiba-tiba ia berdiri
dan membungkuk hormat. Katanya, “Jadi tuanlah sebenarnya yang berhak menyebut diri Pasingsingan.”
Paniling mengangkat mukanya. Ia mencoba tersenyum, meskipun betapa pedihnya. Dengan terputus-putus ia menjawab, “Tak usah kau sebut itu. Bukankah hal itu yang kau ingin ketahui?”
“Bukankah segala sesuatu masih belum terlambat?” kata Mahesa Jenar kemudian, “Tuan masih dapat menghentikan perbuatan-perbuatan jahat dari Umbaran, yang kemudian bernama Pasingsingan itu?”
Paniling atau sebenarnya bernama Radite itu menggelengkan kepalanya. “Tidak
dapat. Sebab pada suatu kali, datanglah Guru kepadaku. Meskipun aku
sama sekali tidak dapat melihatnya, tetapi aku kenal suaranya. Ia
berkata kepadaku, Radite…, nama Pasingsingan telah kau korbankan. Kau
tak perlu bersusah payah untuk memperbaikinya kembali. Sebab sekali nama
itu ternoda, buat selamanya tak akan dapat menjadi bersih, sebersih
semula. Karena itu biarkanlah nama itu bernoda untuk seterusnya. Sebab
setiap kali nama itu disebutkan, setiap kali kau akan teringat kepada
kesalahanmu.”
“Itu adalah hukumanku yang paling berat. Hukuman
yang hampir tak tertanggungkan. Karena itu kemudian aku menyembunyikan
diri. Menjauhkan diri dari setiap kemungkinan untuk dapat mendengar nama
Pasingsingan. Tetapi bagaimanapun juga bendungan itu akan tembus pula.
Dan aku sedang mencari saluran untuk mengatakan seluruh gelora yang
bergulung-gulung di dalam dadaku. Sampai pada suatu kali aku temukan
kau. Aku kenal kau karena caramu bertempur melawan 7 orang di bukit
sebelah Banyubiru. Aku mendengar salah seorang menyebutmu Rangga
Tohjaya. Dan aku pernah pula mendengar nama Rangga Tohjaya sebagai
prajurit pengawal raja.”
Kembali mereka berdiam diri dalam
kesibukan angan-angan masing-masing. Tiba-tiba saja Mahesa Jenar
teringat kepada orang yang berjubah abu-abu dan yang telah berhasil
mengambil keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Karena itu
tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimanakah kalau ada seorang lagi yang menyatakan dirinya sebagai Pasingsingan?”
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, Ki
Paniling terkejut bukan buatan sehingga wajahnya berubah hebat. Dengan
pandangan yang mengandung seribu macam pertanyaan, ia berkata, “Adakah orang lain yang kau kenal sebagai Pasingsingan pula?”
Kemudian Mahesa Jenar menceriterakan apa
yang pernah dilihatnya pada saat hilangnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten. Dan tentang orang yang berjubah abu-abu yang mengambil kedua
keris itu.
Paniling mendengarkan ceritera Mahesa Jenar dengan wajah tegang. Alisnya tampak berkerut-kerut. Akhirnya ia bertanya, “Kau lihat orang itu bertopeng pula?”
“Itu yang tidak aku ketahui,” jawab Mahesa Jenar.
Tampaklah wajah Paniling semakin tegang.
Pikirannya bekerja keras namun ia pun agaknya tidak dapat menduga,
siapakah yang telah berjubah abu-abu itu.
Tiba-tiba bertanyalah Mahesa Jenar, “Tuan, bolehkah aku mengetahui, di manakah murid yang seorang lagi dari Pasingsingan itu?”
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, tiba-tiba wajah Paniling agak mengendor. Bahkan kemudian ia tersenyum lebar. “Adakah kau menduga bahwa murid yang satu itu menamakan diri Pasingsingan pula?”
Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan.
Memang mula-mula ia mempunyai dugaan bahwa hal itu mungkin sekali.
Tetapi setelah ia menerima pertanyaan itu, ia menjadi ragu, jawabnya, “Bukan maksudku untuk berkata demikian, Tuan.”
“Kalau kau mempunyai dugaan yang demikian pun adalah wajar sekali” jawab Paniling, “tetapi sayang bahwa dugaan itu meleset, sebab Anggara itu berada di sini pula”
Mendengar jawaban Paniling, segera Mahesa
Jenar teringat kepada sinar mata yang berkilat-kilat dari orang yang
menamakan dirinya Darba. Karena itu segera ia menjawab pula, “Apakah yang menamakan dirinya Paman Darba itulah orangnya?”
Belum lagi Paniling menjawab,
terdengarlah suara tertawa di luar, di depan pintu, sampai Mahesa Jenar
agak terkejut. Kedatangan seseorang sampai jarak yang demikian dekatnya
tanpa diketahui adalah suatu hal yang jarang terjadi. Ketika Mahesa
Jenar menoleh ke arah pintu, dilihatnya orang yang menamakan dirinya
Darba itu telah berdiri di sana dengan wajah bening, sebening air yang
memancar dari mataairnya. Kemudian Darba berkata lirih, seperti kepada
dirinya sendiri mengulangi kata-kata Paniling, “Otakmu cemerlang seperti matahari musim kemarau.”
Kemudian terdengar Paniling berkata, “Kepadanya
tak perlu kita menyembunyikan diri. Aku percaya bahwa orang semacam
Mahesa Jenar akan dapat memegang rahasia, seperti ia memegang rahasia
kerajaan.”
“Kau akan merahasiakannya Mahesa Jenar?” tanya Darba.
“Akan aku coba, Tuan” jawab Mahesa Jenar.
“Juga kepada Kakang Pandan Alas dan
Kakang Sora Dipayana? Bukankah tadi kau berceritera tentang hilangnya
Nagasasra dan Sabuk Inten, meskipun kedua tokoh itu ikut pula
mempertahankannya?”
Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan.
Kalau ia bertemu dengan Ki Ageng Pandan Alas dan Ki Ageng Sora Dipayana,
apakah ia harus merahasiakan pula tentang Pasingsingan…?
Melihat kebingungan Mahesa Jenar, berkatalah Darba, “Kepada
kedua orang itu, juga kepada Titis Anganten, Pangeran Gunung Slamet,
kau tidak usah merahasiakan. Kalau mereka akan melenyapkan Pasingsingan
adalah urusan mereka, bukankah begitu Kakang?”
Tiba-tiba wajah Paniling kembali menjadi
tegang. Ia tidak segera menjawab kata-kata Darba. Pandangannya jauh
lewat pintu yang masih menganga itu langsung menembus gelapnya malam.
Kemudian kembali suara Darba terdengar diantara tertawanya, “Kakang
Paniling, masihkah kau ingin mengadakan perhitungan dengan Umbaran? Aku
kiranya hanya akan mengotori tanganmu saja dengan darah yang telah
digenangi kejahatan. Apalagi kau terikat kepadanya dengan sebuah
perjanjian aneh itu, untuk seterusnya tidak saling mengganggu. Kenapa
kau tidak memerintahkan aku saja untuk menyelesaikan masalah ini? Bukankah aku tidak terikat oleh suatu apapun?” Tiba-tiba wajah Darba yang bening itu berubah, seolah-olah menjadi batu padas yang maha keras.
“Sabarlah Darba,” jawab Paniling yang wajahnya masih setegang tadi, “Aku kira akan datang saatnya.”
Wajah Darba perlahan-lahan menjadi lunak
kembali. Dengan langkah yang perlahan lahan pula ia duduk di samping
Mahesa Jenar. Katanya, “Kakang Paniling kagum melihat caramu
bertempur melawan 7 orang yang termasuk orang-orang kuat. Memang Kakang
Pengging Sepuh telah hampir tercermin seluruhnya di dalam dirimu. Kalau
kau kelak dapat mengendap ilmu Sasra Birawa sehingga mendapat bentuk
yang lebih masak lagi, aku kira kau akan menjadi tepat seperti bayangan
Kakang Pengging Sepuh yang mengagumkan.”
Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan
kepalanya mendengar pujian itu, tetapi bersamaan dengan itu pula segera
ia teringat kepada nasib Banyubiru yang dalam keadaan lumpuh itu.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiam
diri. Paniling dan Darba tak berkata-kata pula. Baru beberapa lama
kemudian berkatalah Mahesa Jenar, “Dan sekarang ke-7 orang yang mengeroyokku itu sedang merencanakan kehancuran Banyubiru.”
Paniling dan Darba tampak mengerutkan kening nya. Kemudian kata Paniling, “Perencana
dari peristiwa Banyubiru itu bukanlah orang bodoh. Karena itu kaupun
harus sangat berhati-hati untuk melawannya. Apa yang kau lakukan
beberapa hari yang lalu, melawan 7 orang sekaligus, adalah perbuatan
yang terlalu berani. Kalau kau tewas dalam pertarungan semacam itu, maka
kau sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Sedang agaknya kau tak
pernah berfikir untuk menghindar. Untunglah bahwa aku berhasil
menggugurkan tanah yang kau injak, ketika kau berdiri terlalu ke tepi,
dengan sebuah lemparan. Sehingga kau dengan tak usah merasa melarikan
diri dari gelanggang, telah dapat terselamatkan, meskipun kau harus
menggelinding ke dalam jurang.”
Dada Mahesa Jenar terasa berdesir
mendengar kata-kata Paniling. Agaknya orang tua itulah yang telah
berusaha menyelamatkan nyawanya. Dengan demikian maka tanpa disengaja ia
berkata dengan gemetar, “Terima kasih Tuan, terima kasih atas pertolongan itu.”
Namun, di dalam hati Mahesa Jenar memancarlah perasaan kagum yang tak terhingga. Dengan satu lemparan, Radite menggugurkan tanah tempat ia berpijak.
Namun, di dalam hati Mahesa Jenar memancarlah perasaan kagum yang tak terhingga. Dengan satu lemparan, Radite menggugurkan tanah tempat ia berpijak.
Paniling tersenyum lebar, jawabnya, “Aku
juga pernah mengalami masa muda. Masa darah kita menggelora, dimana
kita kadang-kadang kehilangan kemampuan untuk mengakui kekurangan diri.”
Terasa oleh Mahesa Jenar kebenaran
kata-kata Paniling. Memang dalam saat yang demikian terasa alangkah
kecilnya apabila seseorang menghindarkan diri dari arena. Tetapi apabila
benar-benar ia dapat ditewaskan, maka untuk selanjutnya ia tak akan
dapat berbuat sesuatu. Karena itu, adalah suatu keuntungan bahwa ia
masih hidup.
“Mahesa Jenar…” kata Paniling kemudian, “Memang
sebaiknya kau kembali ke Banyubiru. Ketahuilah bahwa kau sekarang ini
berada di hutan Pudak Pungkuran. Perjalanan ke Banyubiru dapat kau
tempuh kira-kira dalam satu hari. Tetapi kau tidak perlu tergesa-gesa.
Kau pulihkan dahulu kekuatanmu. Di sini aku mempunyai beberapa jenis
akar yang dapat menolong menambah lancar aliran darah serta menambah
kesegaran tubuhmu.”
Mahesa Jenar segera menyatakan terima kasihnya. Dengan demikian ia dapat beristirahat untuk beberapa saat di rumah Ki Paniling.
———-oOo———
III
Beberapa hari kemudian setelah tubuhnya
terasa pulih kembali, serta keadaan telah memungkinkan, maka Mahesa
Jenar mohon diri kepada Paniling untuk kembali ke Banyubiru. Paniling
dan Darba yang merasa pentingnya kehadiran Mahesa Jenar di tanah
perdikan yang kehilangan pemimpin itu, segera mengizinkannya, diiringi
beberapa pesan dari seorang tua yang telah banyak makan garam, kepada
seorang pemuda yang darahnya masih cepat mendidih. Disamping itu,
Paniling juga memesannya untuk tidak berkata apa-apa tentang
Pasingsingan apabila tidak dianggapnya perlu sekali. Sebab sampai saat
itu, belum ada orang lain yang pernah mengenal wajah asli dari
Pasingsingan, apalagi Pasingsingan tua, guru Radite, yang pada saat itu,
baik Radite maupun Anggara tidak tahu apakah Pasingsingan masih hidup
ataukah sudah tidak ada lagi.
Maka pada suatu pagi yang cerah, diiringi
oleh kicauan burung-burung liar, Mahesa Jenar melangkah dengan segarnya
menuju ke Banyubiru.
Bagaimanapun ia merasa bahwa ia ingin
segera sampai. Sebenarnya daerah Banyubiru, yang paling menarik bagi
Mahesa Jenar adalah Arya Salaka. Kepada anak ini Mahesa Jenar menaruh
perhatian sepenuhnya. Apalagi sejak ayahnya Ki Ageng Gajah Sora,
menyerahkan Arya kepadanya dalam olah kanuragan. Maka seolah-olah ia
telah dibebani suatu tanggungjawab. Apabila kelak pada waktunya Arya
dewasa, dengan tidak memiliki sesuatu yang pantas dipakai sebagai
pegangan bagi seorang kepala daerah perdikan, maka ialah yang paling
dapat disalahkan.
Mengenangkan hal itu, tiba-tiba saja
Mahesa Jenar ingin segera sampai ke Banyubiru. Karena itu segera ia
mempercepat langkahnya. Tetapi karena ia menempuh suatu perjalanan yang
belum pernah dilalui sebelumnya, dan hanya dikenalnya dari ancar-ancar
yang diberikan oleh Ki Paniling, maka perjalanannya tidak dapat terlalu
cepat. Beberapa kali ia harus berhenti untuk mengenali jalan-jalan dan
tempat-tempat seperti yang disebut oleh Paniling.
Dengan demikian maka ia tidak dapat
mencapai Banyubiru dalam sehari. Meskipun matahari telah tenggelam di
langit, Mahesa Jenar dengan perlahan-lahan tetap melanjutkan
perjalanannya. Apalagi ketika dari jarak yang agak jauh, remang-remang
di hadapannya hanya taburan bintang-bintang. Mahesa Jenar melihat
bayangan hitam yang membujur seperti seorang raksasa yang baru
berbaring. Itulah pegunungan Telamaya. Karena itu maka Mahesa Jenar
seakan-akan merasa terhisap oleh pegunungan itu, serta rasa rindunya
kepada Arya Salaka semakin menjadi-jadi. Segera ia pun mempercepat
langkahnya. Rasanya Mahesa Jenar sudah tidak sabar lagi terhadap kakinya
yang sudah mulai lelah.
Tetapi ketika ia sudah semakin dekat,
tiba-tiba dadanya berdentam keras sehingga tubuhnya menjadi gemetar.
Dari kota Banyubiru Mahesa Jenar melihat nyala api yang semakin lama
semakin besar.
Sekarang Mahesa Jenar menjadi benar-benar
tidak sabar lagi. Seperti seekor kijang yang sedang diburu, Mahesa
Jenar meloncat dan kemudian berlari sekencang kencang ke arah api yang
menyala-nyala. Apalagi sebentar kemudian didengarnya suara tanda bahaya
menggema memenuhi seluruh daerah pegunungan Telamaya.
Dengan nafas yang terengah-engah akhirnya
Mahesa Jenar berhasil memasuki kota. Ia berjalan hati-hati sekali.
Beberapa kali ia melihat orang-orang berkuda berlari hilir-mudik.
Beberapa orang sudah dikenalnya sebagai laskar Banyubiru. Tetapi
beberapa yang lain sama sekali belum pernah dilihatnya. Untuk tidak
menimbulkan hal-hal yang tidak diingini, Mahesa Jenar selalu berusaha
menyembunyikan dirinya di balik bayang-bayang pepohonan atau di samping
rumah-rumah. Sekali-sekali ia berlari dari satu tempat kelain tempat
sambil mendekati tempat kebakaran. Ketika Mahesa Jenar berhasil
mendekati tempat itu, dilihatnya laskar Banyubiru terlibat dalam satu
pertempuran dengan laskar yang sama sekali belum dikenalnya. Pertempuran
itu berlangsung dengan serunya, sehingga kedua belah pihak telah
kehilangan ikatan kesatuannya. Mereka seolah-olah bertempur tanpa
pimpinan. Dari jarak yang agak dekat akhirnya Mahesa Jenar dapat melihat
bahwa pasukan Banyubiru berada di bawah pimpinan Bantaran, yang agaknya
merasa terdesak. Bantaran sendiri bertempur seperti harimau luka,
tetapi musuhnya terlampau banyak.
Sebentar kemudian terdengar derap pasukan
yang berlari dari arah barat. Dan muncullah laskar bantuan yang
dipimpin oleh Sawungrana. Pasukan ini pun segera melibatkan diri dalam
pertempuran yang sengit itu.
Dengan datangnya bantuan yang dipimpin
oleh Sawungrana, tampak laskar Banyubiru dapat mencapai keseimbangan
kembali. Bahkan agaknya sebentar kemudian mereka akan segera dapat
menguasai keadaan.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat pikiran lain. Sehilangnya Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten, apakah kira-kira yang masih mereka cari di
Banyubiru? Teringatlah Mahesa Jenar kepada kedudukan Arya Salaka.
Ayahnya yang dibawa ke Demak untuk waktu yang tak ditentukan, bahkan
karena serangan laskar Lembu Sora atas pasukan Demak, mempunyai
kemungkinan yang lebih tak menyenangkan bagi Gajah Sora. Ia menyerahkan
kekuasaan Banyubiru kepada Arya. Ini berarti suatu rintangan langsung
bagi Lembu Sora untuk dapat menguasai Banyubiru.
Karena itu, Mahesa Jenar segera
memperhitungkan setiap kemungkinan. Ia memang agak heran bahwa daerah
yang tak berarti di pinggiran kota ini menjadi tujuan serangan lawan.
Rumah yang sama sekali tidak penting kedudukannya, kecuali banjar-banjar
desa, juga bangunan-bangunan lain yang juga tidak begitu berarti.
Mengingat hal itu, maka segera Mahesa
Jenar mengambil kesimpulan, bahwa serangan ini hanyalah suatu usaha
untuk menarik perhatian semata-mata. Sedang tujuan yang sebenarnya
adalah tempat lain. Mendapat pikiran yang demikian, Mahesa Jenar menjadi
bertambah gemetar. Ia menjadi cemas atas keselamatan Arya. Karena itu
segera ia meloncat dan berlari dari satu tempat yang terlindung ke
tempat yang lain menuju ke rumah Gajah Sora, sehingga beberapa saat
kemudian ia telah dapat mendekati rumah itu. Sebenarnyalah bahwa apa
yang dicemaskan itu benar-benar terjadi. Mahesa Jenar mendengar
keributan di halaman rumah itu. Agaknya telah terjadi suatu pertempuran
pula. Perlahan-lahan ia menyusur regol samping, dan dilihatnya Wanamerta
dan Pandan Kuning serta beberapa orang sedang bertempur menghadapi
lawan yang jumlahnya berlipat dua. Apalagi diantara para penyerang itu
terdapat pula beberapa orang yang termasuk berilmu cukup tinggi.
Melihat pertempuran itu, Mahesa Jenar
menjadi agak bimbang. Apakah ia harus melibatkan diri, ataukah masih
harus ditunggunya perkembangan seterusnya.
Tetapi segera Mahesa Jenar dikejutkan
oleh sebuah bayangan yang melontar keluar lewat pintu belakang. Bayangan
dari seorang anak yang masih belum dewasa. Cepat Mahesa Jenar mengenal,
itulah Arya.
Belum lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu,
dilihatnya Arya merapatkan dirinya pada dinding di sebelah pintu. Sesaat
kemudian muncullah bayangan lain meloncat keluar dari pintu itu pula.
Tetapi demikian bayangan itu melangkahkan kakinya keluar ambang,
demikian Arya dengan tangkasnya menusuk lambungnya, sehingga dengan
tidak dapat berbuat sesuatu orang itu terlempar dan roboh mati. Sedang
tangan Arya dengan eratnya menggenggam tombak Kyai Bancak.
Tetapi kemudian dari pintu itu muncullah
beberapa orang bersama-sama. Agaknya mereka melihat seorang kawan mereka
yang dapat dibunuh oleh Arya, sehingga mereka meloncat keluar dengan
kesiagaan penuh. Karena itu, ketika Arya menusuk orang yang pertama,
segera tampaklah orang itu menangkis serangan Arya dengan sebuah pedang
pendek, sehingga Arya terputar setengah lingkaran.
Tetapi agaknya Arya bukan anak yang
bodoh. Maka demikian serangannya gagal, segera ia meloncat untuk
melarikan diri. Sayang bahwa orang yang mengejarnya cukup banyak segera
mengepungnya.
Tampaklah Arya Salaka yang sama sekali belum cukup dewasa itu menjadi bingung.

Orang-orang yang mengepung Arya itu
segera mengalihkan perhatiannya. Mereka bersama-sama segera menyerang
Panjawi. Tetapi Panjawi adalah orang yang cukup tangkas, sehingga
beberapa orang itu sama sekali tak berhasil mendesaknya. Apalagi
beberapa saat kemudian berdatanganlah beberapa orang laskar Banyubiru
yang segera membantu Panjawi.
Melihat pertempuran itu, Mahesa Jenar
menarik nafas lega. Ia juga merasa kagum kepada Panjawi. Meskipun anak
itu masih harus banyak berlatih, namun ia memiliki dasar-dasar yang baik
dan kuat.
Tetapi sejenak kemudian, Mahesa Jenar
terkejut mendengar sebuah siulan nyaring. Ia pernah mendengar bunyi yang
demikian itu. Bunyi siulan dari gerombolan Lawa Ijo. Dan apa yang
sedang dipikirkan itu adalah benar. Sebab sesaat kemudian ia melihat
bayangan yang melayang dari sebuah pohon langsung menyerang Panjawi.
Untunglah bahwa Panjawi cukup tangkas untuk menghindari serangan itu,
sehingga bayangan itu tidak berhasil mengenainya. Bahkan demikian
Panjawi meloncat menghindar, demikian kembali ia meloncat menyerang
bayangan itu dengan pedangnya. Serangan Panjawi ternyata cukup cepat,
sehingga bayangan itu tidak sempat menghindar. Dengan sebuah pisau
belati panjang, ia menangkis pedang yang mengarah ke dadanya.
Terdengarlah suatu dentangan nyaring. Dan ternyata kekuatan mereka
seimbang. Dalam pada itu, Mahesa Jenar segera mengenal bahwa bayangan
yang meloncat dari atas pohon itu adalah Wadas Gunung.
Segera terjadilah pertempuran yang sengit
antara Wadas Gunung dan Panjawi, sedang di lain pihak terjadi pula
pertempuran yang hiruk-pikuk antara laskar Banyubiru melawan
laskar-laskar penyerang. Pada saat itu, pada saat mereka sedang sibuk
mempertahankan hidup masing-masing, tiba-tiba mata Mahesa Jenar yang
tajam dapat melihat bayangan lain yang datang mengendap-endap ke arah
Arya Salaka yang masih saja mengawasi pertempuran itu dengan mata yang
menyala-nyala. Ia sama sekali tidak berusaha untuk melarikan diri, sebab
ia yakin bahwa Panjawi serta laskarnya akan dapat memenangkan
pertempuran itu. Bahkan dengan girangnya ia melihat pertempuran itu
seperti melihat tontonan yang sangat menarik.
Dengan berdebar-debar Mahesa Jenar
mengikuti gerak gerik orang itu. Melihat caranya bergerak, Mahesa Jenar
dapat meyakini bahwa ia pasti memiliki ilmu yang cukup tinggi. Karena
itu Mahesa Jenar tidak mau menonton saja. Ia pun kemudian dengan
mengendap-endap pula mendekati Arya Salaka dari arah lain. Untunglah
bahwa ia lebih dahulu dapat melihat bayangan itu sehingga dengan
demikian ia dapat lebih berhati-hati. Ternyata sampai sedemikian jauh
bayangan itu belum mengetahui bahwa dari arah lain pula seseorang yang
sedang mendekati Arya Salaka.
Setelah jarak mereka tidak lagi begitu
jauh, terasa di dalam dada Mahesa Jenar jantungnya berdesir keras. Ia
mengenal dengan pasti siapakah orang itu. Dan ia tahu pasti pula apakah
yang akan dilakukannya terhadap Arya. Pedang yang terlalu besar dan
panjang di tangan orang itu telah menambah pula keyakinan Mahesa Jenar.
Orang itu tidak lain adalah Ki Ageng Lembu Sora.
Pada kesempatan yang pendek itu,
berputarlah otak Mahesa Jenar. Sebenarnya, pada saat itu ia mendapat
kesempatan untuk membuat perhitungan dengan Lembu Sora, dengan alasan
yang tepat. Tetapi mengingat pesan Paniling, apakah pada saat itu,
orang-orang lain, seperti Uling Rawa pening, Sima Rodra, Lawa Ijo dan
sebagainya tidak berada pula di tempat itu? Karena itu seharusnya ia
tidak melawan mereka bersama-sama. Mengingat hadirnya Wadas Gunung, maka
kemungkinan hadirnya Lawa Ijo adalah besar sekali. Karena itu terjadi
suatu pertentangan di dalam diri Mahesa Jenar. Perasaannya ingin
membawanya ke dalam suatu perhitungan jasmaniah yang menentukan. Tetapi
pikirannya yang telah dipengaruhi oleh pertimbangan dan nasehat Paniling
mengajaknya untuk berbuat lain.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar dapat berpikir secara wajar, sehingga ditemukannya suatu pemecahan yang tidak terlalu berbahaya.
Pada saat itu, Lembu Sora telah dekat
benar dengan Arya Salaka yang dengan tombak di tangan masih saja
perhatiannya terikat pada pertempuran yang sengit antara Panjawi dan
Wadas Gunung, serta laskar Banyubiru melawan laskar-laskar yang
menyerangnya.
Ternyata Lembu Sora sudah tidak mau
membuang waktu lagi. Meskipun mula-mula ia tampak ragu-ragu, tetapi
akhirnya dengan suatu gerakan yang dahsyat ia meloncat sambil
mengayunkan pedangnya. Meskipun demikian, karena anak yang berdiri di
hadapannya itu, bagaimanapun juga adalah kemenakannya, maka pada saat
pedangnya terayun deras, Lembu Sora memejamkan matanya.

Pada saat itu, dada Lembu Sora terguncang
luar biasa. Kegagalannya pada saat yang menentukan itu sangat
menyakitkan hatinya. Hampir saja ia menjadi mata gelap dan menghancurkan
Banyubiru serta seluruh isinya. Tetapi otaknya yang licin telah
menyelamatkannya. Cepat ia menyelinap, dan dengan kudanya yang tangkas
ia berlari kencang-kencang kembali ke Pamingit. Setelah dengan rahasia
ia memberikan aba-aba kepada laskar gabungan itu untuk segera
meninggalkan Banyubiru, diikuti pula oleh sekutu-sekutunya, tokoh-tokoh
golongan hitam, untuk kemudian dengan laskar murni dari Pamingit. Lembu
Sora akan datang kembali, dengan dalih untuk memberi perlindungan
kepada daerah perdikan, yang dikuasai oleh kakaknya, yang terpaksa tidak
dapat menjalankan kewajibannya.
Arya Salaka yang merasa dirinya ditangkap
oleh seseorang tanpa diketahui dari mana arahnya, menjadi terkejut
sekali. Dengan gerak diluar kesadarannya ia menusuk orang yang
menangkapnya dengan tombaknya, tetapi orang itu sangat tangkasnya,
sehingga tombaknya malahan telah dirampasnya.
Dengan demikian Arya menjadi marah dan
cemas. Segera ia meronta untuk melepaskan diri. Tetapi ketika ia hampir
saja berteriak-teriak, didengarnya orang itu berkata, “Jangan ribut Arya, kita bersembunyi untuk beberapa saat.”
Arya terperanjat mendengar suara itu, suara yang telah dikenalnya. “Paman Mahesa Jenar?” desisnya.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar singkat.
Mendengar jawaban itu, hati Arya Salaka
segera menjadi sejuk seperti disiram embun. Ketakutan, kecemasan dan
kebingungan yang menusuk-nusuk dadanya seketika itu lenyap seperti asap
ditiup angin.
Beberapa saat kemudian, setelah Mahesa
Jenar merasa aman dari kemungkinan dapat diketemukan oleh Lembu Sora dan
laskarnya, segera memberhentikan langkahnya. Nafasnya berjalan cepat,
serta jantungnya berdetakan karena perasaan-perasaan yang bercampur-baur
di dalam kepalanya.
Setelah mereka berdua agak tenang, berkatalah Mahesa Jenar, “Arya, tahukan kau siapakah yang telah menyerang Banyubiru?”
“Tidak Paman,” jawab Arya.
“Kapankah serangan itu mulai?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Sejak matahari terbenam. Tiba-tiba
saja terjadi kerusuhan-kerusuhan di dalam kota. Untunglah bahwa Kakek
Wanamerta segera bertindak untuk mengatasi keributan. Meskipun demikian
ternyata para penyerang itu berkekuatan besar sekali, sehingga untuk
keselamatan selanjutnya, Kakek Wanamerta merasa perlu atas persetujuan
beberapa pemimpin yang lain serta atas persetujuan Ibu untuk mengirimkan
permintaan bantuan ke Pamingit, kepada Paman Lembu Sora, sebab kalau
kerusuhan itu berlarut-larut tidak dapat teratasi, maka Banyubiru akan
semakin rusak.”
Mendengar keterangan Arya Salaka itu,
bergolaklah hati Mahesa Jenar. Ternyata para pemimpin Banyubiru sama
sekali masih belum mengetahui bahwa sumber dari segala bencana itu
justru Lembu Sora sendiri. Puncak dari kejahatannya adalah suatu usaha
untuk membinasakan Arya Salaka. Padahal saat itu, para pemimpin
Banyubiru datang minta perlindungan kepadanya.
“Arya…,” kata Mahesa Jenar kemudian, “Ketahuilah bahwa jiwamu terancam. Karena itu sebaiknya kau bersembunyi untuk sementara waktu.” Mahesa
Jenar tidak meneruskan kata-katanya. Ia menjadi ragu, apakah sebaiknya
ia harus mengatakan terus terang tentang apa yang terjadi sebenarnya,
ataukah ia harus berkata lain.
Arya Salaka menjadi keheran-heranan
mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Apakah kepentingan orang-orang kita
itu membunuhnya? Tetapi baru saja, apa yang telah terjadi, agaknya
memang benar. Beberapa orang telah mengejar-ngejar Arya Salaka, dengan
senjata terhunus.
Arya menarik nafas panjang. Otaknya yang
masih belum cukup masak itu belum dapat menangkap masalah-masalah yang
terlalu sulit. Karena itu ia tidak berpikir lebih lanjut. Apalagi
sekarang ia sudah merasa bahwa dirinya telah mendapat perlindungan.
Ketika melihat wajah Arya yang
seolah-olah masih bersih dari segala macam prasangka, Mahesa Jenar tidak
sampai hati untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya,
oleh karena kekhianatan pamannya.
Dengan melihat kenyataan itu, ada
kemungkinan timbul suatu luka yang berbahaya pada jiwa kanak-kanaknya.
Mungkin ia akan kehilangan seluruh kepercayaan pada seseorang. Apalagi
orang lain, sedang pamannya sendiri telah melakukan kejahatan terhadap
dirinya.
Karena itu, Mahesa Jenar harus berkata
lain kepada Arya Salaka, meskipun maksudnya adalah sama. Mengajak Arya
Salaka untuk sementara bersembunyi. Katanya, “Arya…, mungkin
orang-orang jahat sedang berusaha untuk menangkapmu. Sebab kau sekarang
adalah penjabat kepala daerah perdikan Banyubiru. Dengan menangkap kau,
orang-orang itu akan mengharapkan keuntungan. Mungkin kau akan dijadikan
tanggungan atas suatu pemerasan terhadap Banyubiru. Tetapi juga ada
kemungkinan yang lebih berbahaya lagi bagi dirimu, yaitu menghendaki
jiwamu.
Arya Salaka mengangguk-angguk, tetapi jawabannya sangat memusingkan Mahesa Jenar, katanya, “Aku
tidak perlu takut, Paman, sebab sebentar lagi Paman Lembu Sora pasti
akan datang. Dengan adanya Paman Lembu Sora beserta laskarnya serta
hadirnya Paman Mahesa Jenar di Banyubiru, maka aku kira tak akan ada
seorang pun lagi yang berani mengganggu tanah kami.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Ia mendapat kesulitan untuk memberi penjelasan lebih lanjut. Justru
adanya Lembu Sora di Banyubiru itulah maka bahaya dapat datang setiap
saat bagi Arya Salaka. Setelah berpikir beberapa saat berkatalah Mahesa
Jenar, “Arya, kalau mereka menyerang dengan terang-terangan maka
laskar Banyubiru dan Pamingit pasti akan dapat menghalaunya, tetapi
untuk menangkap atau berbuat hal-hal jahat lainnya terhadapmu, adalah
seribu satu cara yang dapat ditempuh. Karena itu menurut pertimbanganku,
sebaiknya kau bersembunyi untuk sementara. Selama itu, selama keadaan
belum memungkinkan, kau tidak perlu menampakkan diri terhadap siapapun.
Aku akan berusaha untuk menghubungi pemimpin-pemimpin Banyubiru, selama
kau di dalam persembunyian. Selama itu, kau sempat belajar beberapa hal
yang perlu bagi keselamatanmu. Bukankah ayahmu minta kepadaku untuk
melatihmu dalam olah kanuragan?”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu,
serta kesempatan baginya untuk memperdalam pengetahuannya dalam berbagai
ilmu, Arya menjadi gembira. Maka jawabnya, “Baiklah Paman…, kalau Paman mempertimbangkan demikian. Tetapi Ibu pasti akan selalu mencari aku dan mencemaskan keselamatanku.”
“Bagus Arya, pada suatu saat kau akan
kembali ke tanah ini, dan kau akan memelihara tanah ini sebagai tanah
pusaka. Kau harus menjadikan tanah ini tanah harapan bagi masa depan.
Bukankah ayahmu selalu mengharap kau menjadi seorang pahlawan?”
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya menjadi cerah seperti bintang pagi yang berkilau-kilau, karena kebesaran hatinya.
“Kepada ibumu,” Mahesa Jenar melanjutkan, “aku akan selalu berusaha menyampaikan setiap berita tentang dirimu.”
Sekali lagi Arya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sesaat kemudian keadaan menjadi sepi. Dengan pancainderanya yang tajam, Mahesa Jenar sedang mengamati keadaan.
Maka setelah menurut pertimbangan Mahesa
Jenar, sudah tidak ada lagi bahaya yang mengancam, serta hiruk-pikuk
pertempuran sudah tidak terdengar lagi, berkatalah ia kepada Arya, “Arya…,
agaknya keadaan telah bertambah baik. Meskipun demikian, kau harus
berusaha untuk tidak menampakkan diri. Baik kepada para pemimpin
Banyubiru maupun kepada ibu serta rakyatmu. Siapa tahu bahwa masih ada
musuh-musuh yang bersembunyi, yang akan dapat menjebak atau menyerang
kau dari jarak jauh. Karena itu marilah untuk sementara kita tinggalkan
tanah ini dengan suatu keyakinan bahwa kau pasti akan kembali dalam
keadaan aman dan sentosa.”
Arya Salaka tidak menjawab kata-kata
Mahesa Jenar. Wajahnya jadi tampak suram. Bagaimanapun juga, untuk
meninggalkan tanah kelahiran, kampung halaman, dimana setiap hari ia
bermain-main, dimana setiap hari ia meneguk airnya, serta segala-galanya
yang ia cintai, adalah berat sekali bagi seorang anak seumur Arya
Salaka.
Agaknya Mahesa Jenar dapat menebak perasaan Arya, maka sambungnya, “Lupakanlah semuanya, Arya. Kau hanya pergi untuk sementara, dengan suatu kepastian bahwa kau akan kembali.”
Kembali Arya mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun wajahnya menjadi bertambah suram. Katanya, “Mudah-mudahan Ibu selamat. Serta mudah-mudahan Ibu segera mengetahui bahwa akupun selamat.”
“Aku akan segera berusaha untuk memberitahukan itu, Arya,” potong Mahesa Jenar.
“Tetapi pohon jeruk yang aku pelihara dan aku siram setiap hari itu kini sudah mulai berbunga,” jawab Arya.
Mahesa Jenar menjadi terharu mendengar
kata-kata Arya yang memancar dari hatinya yang tulus. Tetapi yang lebih
merisaukan hati Mahesa Jenar adalah, bahwa besok Lembu Sora akan datang
untuk melindungi Banyubiru serta berusaha menelan tanah serta segala
isinya.
Tetapi bagaimanapun, menyelamatkan Arya
adalah tugas yang pertama-tama harus dilakukan. Sebab Arya adalah
satu-satunya pewaris tanah perdikan Banyubiru, yang justru karena itulah
maka jiwanya selalu terancam. Karena itu, Mahesa Jenar menganggap perlu
untuk segera meninggalkan daerah ini sebelum Lembu Sora datang dan
memerintahkan untuk mengaduk seluruh sudut Banyubiru. Pasti Lembu Sora
akan berbuat demikian, dengan alasan untuk keselamatan Arya Salaka.
Tetapi tidak mustahil bahwa kepada laskar Pamingit ia memerintahkan
untuk menemukan Arya dalam keadaan mati. Bukankah dengan demikian Ki
Ageng Lembu Sora bebas dari segala prasangka? Sedang apabila yang
menemukan laskar Banyubiru serta membawa Arya kembali, umurnya pasti
tidak akan panjang pula.
Mendapat pertimbangan itu maka segera Mahesa Jenar mengajak Arya untuk berangkat. “Arya,
kita jangan menunggu terlampau lama. Marilah kita berangkat selagi
kesempatan ada. Siapa tahu bahwa keadaan akan berkembang ke arah yang
tidak kita harapkan.”
“Marilah Paman,” jawab Arya dengan wajah sayu.
Mahesa Jenar menjadi tambah terharu
ketika didengarnya Arya mengatupkan giginya rapat-rapat. Ternyata anak
itu sedang berusaha untuk membendung perasaan harunya meninggalkan
kampung halaman. Namun bagaimanapun juga tampaklah bahwa matanya menjadi
basah oleh air mata. Mata seorang anak yang masih seharusnya mendapat
kasih sayang ayah-ibunya. Tetapi karena keadaan, ia harus berpisah
dengan ayah-ibu yang ia cintai.
Pada saat itu bulan yang tinggal
seperempat bagian telah muncul di langit sebelah timur. Cahayanya yang
merah tembaga tersebar meremangi seluruh pegunungan Telamaya yang sepi,
namun mengerikan. Sebab setiap hati dari penduduk Banyubiru diselubungi
oleh kecemasan dan ketakutan. Hilangnya Gajah Sora dari daerah ini,
ternyata sangat mempengaruhi semangat mereka.
Dalam keremangan bulan yang samar-samar
itu, Mahesa Jenar menggandeng Arya berjalan dengan sangat hati-hati
menyusup semak-semak untuk menjauhi kota.
“Kita pergi ke mana Paman?” tanya Arya tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan itu, Mahesa Jenar
menjadi agak bingung. Ia sendiri belum pernah berpikir ke mana Arya akan
diajak pergi. Tiba-tiba ia teringat kepada suatu daerah terpencil yang
dicikal-bakali oleh Ki Paniling dan Darba. Yaitu daerah di hutan Pudak
Pungkuran. Ia mengharapkan Ki Paniling akan mengizinkan ia tinggal untuk
sementara bersama Arya di sana. Maka kemudian jawabnya, “Kita pergi ke Pudak Pungkuran, Arya.”
“Pudak Pungkuran?” ulang Arya. Ia belum pernah mendengar sama sekali daerah itu. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Sebenarnya Mahesa Jenar ingin membawa
Arya untuk pergi sejauh-jauhnya. Sebab menurut perhitungan Arya, semakin
jauh dari Banyubiru, jiwa Arya pasti akan semakin aman. Tetapi untuk
sementara ia tetap terikat kepada Banyubiru, kepada Rawa Pening. Sebab
meskipun agaknya sudah semakin hambar, namun pertemuan akhir tahun dari
golongan hitam akan tetap dilaksanakan.
Kemudian setelah itu Mahesa Jenar dan
Arya Salaka tidak bercakap-cakap lagi. Mereka sedang disibukkan oleh
pikiran masing-masing. Pikiran tentang keadaan kini serta masa datang.
Sedangkan pikiran Mahesa Jenar diganggu oleh Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten. Bagaimanakah kira-kira yang akan terjadi andaikata kedua
keris itu untuk seterusnya tidak dapat diketemukan? Tidakkah ada
seseorang yang kelak dapat melangsungkan kejayaan Demak? Sebab menurut
kepercayaan, siapa yang kuat memiliki kedua keris itulah, yang kuat pula
menerima wahyu kraton.
Pikiran-pikiran Mahesa Jenar dirisaukan
pula oleh kenyataan adanya dua garis keturunan yang sama-sama berhak
atas tahta. Yaitu putra-putra Sultan Demak sekarang, sedangkan yang lain
adalah putra almarhum Sekar Seda Lepen yang dalam keadaan belum dewasa
telah mewarisi Kadipaten Jipang, bernama Penangsang. Penangsang
sebenarnya memiliki kesempatan yang besar untuk menduduki tahta,
seandainya ayahnya tak terbunuh. Meskipun demikian tidak mustahil kalau
pada suatu saat ia akan menuntut pula haknya serta mengadakan
perhitungan dengan pembunuh ayahnya. Pada saat yang demikianlah akan
terjadi suatu perjuangan yang hebat. Kalau mereka sama-sama percaya
bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten adalah sumber kekuatan untuk menerima
wahyu kraton, maka perjuangan untuk mendapatkan kedua pusaka itu pun
akan menjadi bertambah ramai.
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersadar dari
angan-angannya oleh suara derap kuda yang mendatanginya. Segera ia
menghentikan langkahnya dan dengan saksama memperhatikan suara itu.
Ternyata suara itu semakin lama semakin dekat tepat ke arahnya,
sepanjang jalan hutan yang sempit. Karena itu, segera ia menarik Arya
untuk segera bersembunyi, sebab ia masih belum tahu siapakah para
penunggangnya.
Beberapa saat kemudian terdengar derap
itu menjadi tidak secepat tadi. Agaknya jalan kuda itu diperlambat
ketika menyusup jalan sempit serta banyak rintangan sulur-sulur
pepohonan liar. Ternyata penunggang kuda itu lebih dari 3 atau 4 orang.
Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang
bersembunyi di dalam semak, segera menahan nafas ketika kuda-kuda itu
hampir lewat di depannya. Tiba-tiba terdengar salah seorang berkata, “Kakang, ke mana kita akan mencari?”
“Entahlah,” jawab yang lain. “Mencari seseorang di daerah yang seluas ini adalah sulit sekali.”
“Tidak mungkinkah anak itu dilarikan ke Demak untuk melaporkan segala sesuatu yang terjadi kepada Sultan?” kata yang lain pula.
“Telah diperintahkan untuk memotong jalan.”
“Dan itu tak mungkin dilakukan,” sahut yang lain lagi. “Kalau
orang yang melarikan anak itu bukan orang yang bodoh, ia pasti tidak
akan pergi ke Demak. Sebab tidak akan ada gunanya. Kecuali kalau dapat
ditunjukkan bukti-buktinya, atau yang berkepentingan tertangkap pada
saat itu. Apalagi Sultan sedang murka kepada Gajah Sora.”
Setelah itu, tak terdengar lagi suara mereka. Sedang derap kuda itu semakin lama terdengar semakin jauh dan kemudian menghilang.
Ketika sudah tidak ada tanda-tanda yang
membahayakan lagi, segera Mahesa Jenar bangkit dan menggandeng Arya
untuk berjalan kembali. Mahesa Jenar agak terkejut ketika dirasanya
tangan Arya gemetar. Segera ia dapat menduga perasaan anak itu. Meskipun
ada juga perasaan takut, tetapi pasti Arya menjadi marah sekali
mendengar percakapan orang-orang itu. Ketika baru tiga-empat langkah
mereka berjalan, mendadak Mahesa Jenar menghentikan langkahnya. Ia
mendapat suatu pikiran bahwa jalan ini pasti merupakan jalan yang
berbahaya. Orang-orang tadi dapat dengan segera kembali dan mungkin ada
orang lain yang mencari lewat jalan ini pula. Karena itu segera ia
mempertimbangkan untuk mengambil jalan lain. Ia tidak mau menanggung
akibat tertangkapnya Arya, apabila ia tidak dapat melawan orang-orang
yang mencarinya.
“Arya…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Ternyata jalan ini adalah jalan yang berbahaya. Karena itu marilah kita ambil jalan lain.”
Arya tidak menjawab, tetapi ia hanya menganggukkan kepalanya.
Maka, karena pertimbangan itu, segera Mahesa Jenar dan Arya Salaka membelok menyusup hutan untuk mengambil jalan lain.
Mereka berjalan dengan agak tergesa-gesa.
Mahesa Jenar mengharap untuk dapat segera sampai ke Pudak Pungkuran dan
menitipkan Arya di sana. Setelah itu ia akan berusaha dengan
bersembunyi menemui Wanamerta dan ibu Arya, untuk membeberkan peranan
Lembu Sora yang sebenarnya.
Ternyata Arya pun adalah anak yang betah
berjalan. Meskipun tampaknya ia agak lelah, ketika Mahesa Jenar
mengajaknya beristirahat anak itu menolak. Maka mereka pun berjalan
terus di dalam gelapnya malam.
Mahesa Jenar memang pernah pergi ke Pudak
Pungkuran. Dan ia telah pula mengenal jalan dari tempat itu ke
Banyubiru. Tetapi sekarang untuk menghindari bahaya, ia menempuh jalan
lain. Jalan yang belum pernah dilewatinya. Karena itu ia menjadi agak
bingung dan kesulitan untuk menemukan arah yang tepat di dalam gelap
serta di dalam hutan yang belum pernah dijamahnya.
Maka kemudian ketika fajar menyingsing,
serta melemparkan warna kemerahan ke segenap penjuru, insyaflah Mahesa
Jenar bahwa jalan yang ditempuh adalah jalan yang sama sekali tidak
mengarah ke Pudak Pungkuran.
Karena itu dengan hati berdebar-debar ia berkata, “Arya.., agaknya aku telah kehilangan jurusan untuk mencapai Pudak Pungkuran.”
Arya memandang Mahesa Jenar dengan pandangan yang tidak mengerti. “Lalu ke mana kita pergi, Paman?”
Mahesa Jenar menarik nafas. Dengan
hilangnya arah Pudak Pungkuran, ia tidak lagi mempunyai suatu tujuan
tertentu lagi. Karena itu ia menjawab, “Arya, tujuan bukanlah hal
yang penting bagi kita. Kemanapun kita akan pergi, adalah sama saja.
Sebab akhirnya kita akan kembali lagi ke Banyubiru. Karena itu, jangan
dirisaukan tujuan kita.”
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi badannya sudah bertambah letih. Meskipun demikian Arya masih
belum mau untuk beristirahat. Karena itu kembali mereka berjalan
menyusur hutan yang tidak begitu lebat. Meskipun perlahan-lahan, namun
mereka setapak demi setapak tetap maju.
Ketika matahari sudah mencapai ujung
pepohonan, hutan yang ditempuh itu sudah semakin menipis. Sejenak
kemudian tuntaslah hutan itu. Mahesa Jenar dan Arya Salaka segera
menempuh padang rumput yang tidak begitu luas untuk segera sampai ke
daerah yang didiami orang.
Di sinilah mereka beristirahat.
Orang-orang yang membangun daerah itu menjadi pedesaan, ternyata adalah
orang-orang yang ramah dan baik hati. Yang menerima Mahesa Jenar dan
Arya Salaka sebagai seorang perantau beserta anaknya, dengan senang
hati.
Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak
dapat untuk seterusnya menetap di tempat itu, sebab menurut
pertimbangannya, tempat itu masih terlalu dekat dengan Banyubiru. Karena
itu ketika ia beserta Arya telah beristirahat satu malam, mereka minta
izin kepada penduduk desa itu untuk segera meneruskan perjalanan.
Terpaksa Mahesa Jenar membohongi orang-orang desa itu, dengan mengatakan
arah yang bertentangan dengan arah yang sebenarnya hendak ditempuh,
untuk menghindari orang-orang yang mencari mereka, kalau-kalau
menanyakan kepada penduduk, apabila mereka sampai di tempat itu.
Pada hari berikutnya Mahesa Jenar sampai
pula pada sebuah desa yang lain. Penduduk desa ini terdiri dari
orang-orang yang baik hati dan ramah pula. Mereka menerima Mahesa Jenar
dengan senang hati, serta dengan gembira mereka menerima Mahesa Jenar
sebagai warga baru di desa itu. Di daerah ini Mahesa Jenar merasa, bahwa
keamanan Arya telah dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu ia pun
menyatakan diri sebagai keluarga baru serta dengan bekerja keras ia pun
segera membangun perumahan serta menebas hutan untuk tanah pertanian,
sebagaimana dilakukan oleh setiap pendatang. Di tempat kediamannya yang
baru itu Mahesa Jenar dianggap tidak lebih dari seorang petani biasa.
Seorang yang seperti kebanyakan penduduk di desa itu, yang datang untuk
sekadar dapat memperbaiki nasibnya dengan mengolah tanah yang sedikit
lebih subur dibanding daerah mereka semula.
Demikianlah Mahesa Jenar dan Arya Salaka
telah memulai dengan suatu penghidupan baru, sebagai seorang petani yang
bekerja untuk mempertahankan hidupnya. Setiap pagi mereka pergi ke
ladang, menggarap tanah seperti yang dikerjakan oleh orang lain pula.
Tetapi disamping itu, yang tak seorang
pun mengetahuinya adalah, di dalam setiap kesempatan, terutama apabila
matahari telah terbenam, Mahesa Jenar dengan tekunnya menuntun Arya
dalam berbagai ilmu. Tidak saja olah kanuragan, tetapi juga tata
pergaulan, kesusasteraan dan sebagainya. Lebih dari itu, Mahesa Jenar
juga selalu memberi petunjuk-petunjuk tentang keluhuran budi dan
mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, juga sedikit mengenai ilmu
keprajuritan dan siasat. Sedikit demi sedikit, namun pasti, Arya setiap
saat tumbuh menjadi seorang pemuda yang perkasa serta memiliki berbagai
macam pengetahuan.
———-oOo———-
IV
Sementara itu terjadilah berbagai
perubahan di Banyubiru. Pada malam Arya dilarikan oleh Mahesa Jenar,
Wanamerta telah mengutus beberapa orang untuk minta perlindungan kepada
Ki Ageng Lembu Sora. Ketika utusan Wanamerta sampai di Pamingit, Lembu
Sora justru baru berada di Banyubiru, sehingga utusan itu terpaksa
menunggu untuk beberapa lama. Baru beberapa saat kemudian Ki Ageng Lembu
Sora dengan tergesa-gesa datang kembali. Tentu saja ia sama sekali
tidak mengatakan bahwa ia baru datang dari Banyubiru.
Mendengar permintaan utusan Wanamerta
itu, hati Lembu Sora menjadi gembira sekali. Tanpa berpikir lagi segera
ia menyanggupinya. Pada saat itu pula Ki Ageng Lembu Sora segera
mengumpulkan pasukannya, pasukan murni dari Pamingit, yang dianggapnya
pilihan serta dapat dipercaya. Ia sendiri kemudian berangkat memimpin
orang-orangnya untuk melindungi perdikan Banyubiru. Tetapi ketika
pasukan itu sampai, keadaan telah reda. Para penyerang telah menarik
diri.
Meskipun demikian, dalam pertemuan yang
diadakan oleh Lembu Sora dengan para pemimpin Banyubiru, karena
kelincahan Lembu Sora, maka dicapai suatu persetujuan bahwa selama Gajah
Sora belum kembali, serta Arya Salaka belum diketemukan, Banyubiru
langsung berada di bawah pemerintahan Lembu Sora di Pamingit. Tetapi
untuk kelancaran tata pemerintahan, Lembu Sora diberi wewenang untuk
menempatkan beberapa orangnya di Banyubiru.
Inilah titik permulaan dari kemunduran
secara menyeluruh bagi Banyubiru. Sebenarnya perjanjian perlindungan itu
tidak menyenangkan hati beberapa orang diantara para pemimpin
Banyubiru. Wanamerta sendiri akhirnya menyesal pula. Apalagi
pemuda-pemuda yang mempunyai cita-cita buat masa depannya, yaitu
Bantaran dan Panjawi. Untuk sementara mereka tidak berbuat apa-apa.
Sebab mereka tahu bahwa bagaimanapun Lembu Sora adalah seorang yang
perkasa. Yang memiliki ilmu seperti yang dimiliki oleh kakaknya,
meskipun dalam tingkatan yang lebih rendah.
Dalam pada itu, diam-diam Lembu Sora
selalu berusaha untuk menemukan Arya. Kepada orang-orang Banyubiru, ia
memerintahkan mencari anak itu sebagai pewaris tanah perdikan, sedang
kepada orang-orangnya yang dipercaya, diperintahkannya untuk menemukan
Arya dan membunuhnya. Sebab selama anak itu masih hidup, rasa-rasanya
masih saja ada duri di dalam dagingnya. Karena apabila tiba-tiba Arya
muncul, maka akan terjadilah suatu perjuangan yang lebih berat lagi.
Apalagi Arya membawa tanda kebesaran Banyubiru, yaitu tombak pendek yang
bernama Kyai Bancak, sebuah pusaka yang menjadi kebanggaan Gajah Sora.
Itulah sebabnya ia bekerja mati-matian untuk membinasakannya.
Disamping Arya Salaka, masih ada pula
hal-hal yang sangat merisaukan Ki Ageng Lembu Sora, yaitu pusaka-pusaka
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Ia sadar sepenuhnya, apabila pada
suatu saat ada kemungkinan ia berhadapan dengan sekutu-sekutunya,
tokoh-tokoh golongan hitam, sebagai lawan yang akan saling membinasakan.
Pertolongan ayahnya, Ki Ageng Sora Dipayana, belum tentu dapat
diharapkan. Apalagi kalau ayahnya itu mengetahui bagaimana ia telah
menyingkirkan kakaknya, Ki Ageng Gajah Sora.
Karena itu, usahanya yang pertama adalah
memperkuat diri. Ia selalu berusaha memperbesar pasukannya dengan biaya
yang besar, tanpa mempedulikan tata penghidupan rakyat yang menjadi
semakin sempit. Cita-citanya tidak hanya menguasai seluruh daerah
perdikan yang dulu berada di bawah pemerintahan ayahnya, tetapi kelak
bila ia berhasil mendapat Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, maka
kekuatan itu sangat diperlukan. Dengan kedua pusaka itu ia akan
mempunyai kemungkinan terbesar menerima wahyu kraton. Dengan demikian ia
akan dengan mudahnya dapat menghancurkan kekuatan Demak.
Tetapi meskipun demikian ia masih selalu
berusaha bahwa tokoh-tokoh golongan hitam akan dapat dijadikan landasan
kekuatan pula, sesuai dengan kepercayaan mereka, bahwa barang siapa yang
telah memiliki kedua keris pusaka itu akan dianggap sebagai pemimpin
mereka. Itulah sebabnya maka Lembu Sora selalu banyak memberi
keleluasaan bergerak kepada sekutu-sekutunya, di daerahnya sendiri serta
daerah perlindungannya.
Disamping itu, Lembu Sora juga selalu
berusaha mencari Arya Salaka, sekaligus memerintahkan untuk mendapatkan
keterangan mengenai Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Sementara itu waktu berjalan terus tanpa
henti-hentinya. Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Maka semakin
dekatlah waktu yang akan diselenggarakan tokoh-tokoh hitam untuk
mendapatkan seseorang yang dapat menjadi pemimpin mereka. Tetapi rasanya
nafsu mereka sudah jauh berkurang sejak mereka mengetahui dengan pasti
bahwa keris-keris pusaka yang mereka harapkan telah lenyap serta jatuh
ke tangan seseorang yang tak dikenal.
Demikianlah akhirnya bulan terakhir itu
datang juga. Pada saat itu Mahesa Jenar kemudian bersedia pula untuk
menyaksikan pertemuan itu, meskipun ia sadar bahwa untuk melihatnya
pasti akan sangat sulit. Karena itu ia harus berangkat beberapa hari
sebelum purnama naik, untuk mendapatkan keterangan di mana pertemuan itu
berlangsung. Menurut keterangan yang pernah didengar Mahesa Jenar,
dalam pertemuan itu Uling Putih serta Uling Kuning akan bertindak
sebagai tuan rumah. Karena itu menurut perkiraan Mahesa Jenar, pertemuan
itu akan dilangsungkan di sekitar daerah Rawa Pening. Mahesa Jenar juga
pernah mendapat petunjuk tentang sarang Uling itu, yaitu di dalam rimba
di ujung rawa yang menjorok ke utara.
Mahesa Jenar semula mengharap bahwa
menyaksikan pertemuan itu ia akan dapat mengukur kekuatan tokoh-tokoh
golongan hitam. Tetapi sebenarnya sekarang tanpa menyaksikan pun ia
sudah mendapat gambaran jelas tentang kekuatan mereka, bahkan tentang
orang-orang angkatan tua yang berdiri di belakang mereka.
Tetapi bagaimanapun, Mahesa Jenar tetap berkeinginan menyaksikan pertemuan itu.
Maka, setelah mendekati waktu yang
ditentukan, Mahesa Jenar pun segera mempersiapkan diri. Sebenarnya yang
agak memusingkan kepalanya, adalah Arya Salaka. Ia sebenarnya agak
keberatan untuk meninggalkan anak itu. Tetapi sebaliknya, membawa Arya
adalah sangat berbahaya pula. Tetapi akhirnya Mahesa Jenar menganggap
bahwa lebih aman bagi Arya, serta lebih ringan pula tanggung-jawabnya
apabila Arya ditinggal saja di rumah, dengan pesan agar anak itu tidak
membahayakan dirinya sendiri. Sebaiknya selama Mahesa Jenar pergi, ia
tidak usah pergi keluar rumah untuk menghindarkan hal-hal yang tidak
diinginkan.
Demikianlah maka pada suatu hari, sepekan
sebelum purnama naik, Mahesa Jenar berangkat untuk melakukan suatu
pekerjaan yang berbahaya, setelah ia menitipkan Arya kepada penduduk,
serta pamit kepada mereka itu, bahwa ia akan mengunjungi orang tuanya di
daerahnya yang lama.
Dengan memakai pakaiannya yang kumal,
Mahesa Jenar mengharap bahwa dirinya tidak segera dapat dikenali. Karena
itu pula ia selalu menghindari setiap pertemuan dengan orang-orang
Banyubiru. Apabila kehadirannya sampai diketahui orang, maka usahanya
akan menjadi terhalang. Apalagi kalau hal itu sampai terdengar Ki Ageng
Lembu Sora, yang pasti menduganya telah lenyap, ketika ia tergelincir ke
dalam jurang.
Tetapi sebelum itu Mahesa Jenar masih
harus berusaha untuk bertemu dengan seseorang yang telah berjanji
kepadanya untuk bersama-sama ke Rawa Pening, yaitu Ki Dalang Mantingan.
Usahanya mula-mula adalah mencari tempat
yang kira-kira akan dipergunakan untuk mengadakan pertemuan itu. Hampir
setiap saat ia bersembunyi di semak-semak di sekitar daerah Rawa Pening
yang menjorok ke utara. Meskipun di daerah itu nampaknya tidak ada
jalan, tetapi Mahesa Jenar dapat mengenal bahwa ada sebuah lorong
rahasia yang sengaja dikaburkan dengan semak-semak dan pepohonan kecil
lainnya. Tetapi ia sama sekali belum berani untuk memasuki lorong itu,
sebelum mendapat beberapa kenyataan yang tidak terlalu membahayakan.
Pada hari kedua, Mahesa Jenar melihat
seseorang berkuda memasuki lorong itu. Orang itu bertubuh tegap kekar.
Matanya bersinar-sinar. Hidungnya melengkung, serta dagunya jauh
menggantung di bawah mulutnya. Menilik wajahnya, Mahesa Jenar menduga
bahwa orang yang demikian itu, dapat berbuat sesuatu tanpa
tanggung-tanggung. Ia dapat menjadi kejam seperti iblis. Melihat orang
itu lewat, Mahesa Jenar menahan nafas. Ia masih belum pernah
mengenalnya. Di pinggang orang itu tergantung sebuah pedang. Meskipun
demikian, Mahesa Jenar dapat mengenal bahwa orang itu pasti anggota
gerombolan Uling Rawa Pening, karena orang itu mengenakan ikat pinggang
kulit lebar, bergambar sepasang Uling yang saling membelit.
Hal itu bagi Mahesa Jenar adalah sangat
menguntungkan. Ketika suara derap kudanya sudah tak terdengar lagi,
dengan hati-hati sekali Mahesa Jenar keluar dari persembunyiannya, untuk
kemudian menyusuri lorong itu, mengikuti bekas telapak kaki kuda yang
baru saja lewat.
Ia mengharap dengan demikian akan dapat mendekati, setidaknya mendekati sarang gerombolan Uling Rawa Pening.
Ternyata bahwa lorong itu sengaja dibuat
berkelok-kelok. Beberapa kali Mahesa Jenar menganggap bahwa seterusnya
daerah itu sangat sulit dilewati, namun dengan menerobos semak yang
tipis saja, ia sampai pada tempat yang tidak lagi ada
kesukaran-kesukaran untuk dilaluinya.
Demikianlah Mahesa Jenar dengan hati-hati
dan penuh kewaspadaan selalu mengikuti jejak kuda yang dinaiki oleh
orang yang belum dikenalnya.
Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar tidak
jauh di hadapannya lamat-lamat suara orang tertawa. Cepat ia
menghentikan langkahnya, dan segera menyelinap ke semak-semak. Sesaat
kemudian suara tertawa itu berhenti, tetapi kemudian terdengar orang
bercakap-cakap perlahan-lahan. Karena itu Mahesa Jenar tidak dapat
menangkap isi percakapan mereka.
Dengan sangat hati-hati, Mahesa Jenar
berusaha untuk mendekati orang yang sedang bercakap-cakap itu. Tetapi
ketika ia telah menjadi bertambah dekat, suara percakapan itu telah
berhenti. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih mendengar salah seorang
berkata, “Silahkan Kakang Sri Gunting…, kudamu telah lelah sekali.”
Dengan demikian tahulah Mahesa Jenar,
bahwa orang yang berkuda itu adalah Sri Gunting. Orang pertama di dalam
gerombolan Uling Rawa Pening sesudah sepasang Uling itu sendiri.
Sejenak kemudian, terdengar kembali suara
langkah kuda Sri Gunting disusul dengan langkah kuda lain ke arah yang
berlawanan. Sesaat kemudian Mahesa Jenar melihat orang lain lewat di
depannya. Orang itu pernah dikenalnya beberapa waktu yang lalu. Ia
adalah Yuyu Rumpung, yang bersama-sama dengan Gemak Paron berusaha untuk
mencuri kedua pusaka kraton di Bukit Tidar.
Mahesa Jenar sama sekali tidak
mempedulikan orang itu lewat. Tetapi dengan demikian ia harus semakin
hati-hati. Ternyata lorong itu memang merupakan pintu masuk ke sarang
Uling Rawa Pening. Pantaslah kalau jalan itu selalu dirondai dengan
cermat.
Beberapa langkah kemudian, kembali Mahesa
Jenar mendengar suara orang bercakap-cakap. Juga perlahan-lahan. Tetapi
agaknya lebih dari dua orang. Ketika Mahesa Jenar berhasil mengintip
dari jarak yang agak jauh, dilihatnya Sri Gunting sedang bercakap-cakap
dengan dua-tiga orang yang bersenjatakan tombak. Tetapi juga kali ini ia
tidak mendengar isi percakapan mereka, sampai akhirnya Sri Gunting
meneruskan perjalanannya.
Sampai sekian, Mahesa Jenar tidak berani
lagi menuruti jejak kuda itu secara langsung. Sebab kemungkinan untuk
bertemu orang-orang gerombolan Uling akan bertambah besar. Meskipun
andaikata ia dapat memenangkan perkelahian melawan tiga-empat orang,
namun dengan demikian kedatangannya sudah diketahui lebih dahulu.
Karena itu Mahesa Jenar berusaha untuk
mengikuti kuda Sri Gunting dari semak-semak di sekitar lorong itu,
meskipun kadang-kadang ia harus merangkak-rangkak menerobos pohon-pohon
liar serta sulur-sulur dan tumbuh-tumbuhan merambat lainnya. Dugaan
Mahesa Jenar bahwa penjagaan semakin lama semakin rapat ternyata benar.
Beberapa langkah kemudian kembali terdapat beberapa orang penjaga.
Dengan demikian, Mahesa Jenar mengharap bahwa tidak lama lagi ia akan
sampai ke sarang sepasang Uling Rawa Pening.
Ketika Mahesa Jenar maju lagi, tiba-tiba
sampailah ia pada daerah tumbuh-tumbuhan yang rapat sekali. Pohon-pohon
berduri tumbuh rapat diseling dengan tanaman-tanaman menjalar dan
beberapa tanaman yang sangat gatal apabila menyinggung tubuh, misalnya
pohon rawe, serta pohon-pohon yang mengandung lugut dari jenis bambu.
Melihat kerapatan pepohonan itu, Mahesa
Jenar tertegun sebentar. Ketika ia memandang ke arah Sri Gunting, yang
juga maju dengan perlahan-lahan di atas kudanya, dilihatnya ia membelok
menyusur tanaman-tanaman berduri itu ke arah timur. Perlahan-lahan dan
sangat hati-hati Mahesa Jenar berusaha untuk mengikutinya. Beberapa
langkah kemudian tampaklah sebuah pohon yang tidak terlalu tinggi,
tetapi daunnya sangat lebat. Dibalik pohon itulah Mahesa Jenar melihat
Sri Gunting menghilang. Tahulah kini Mahesa Jenar bahwa pohon-pohon yang
tumbuh rapat sekali itu, memang sengaja diatur demikian, sehingga
merupakan benteng hidup yang mengelilingi pusat sarang Uling Rawa
Pening. Gerombolan yang mempunyai nama tidak kalah menggetarkan daripada
nama Lawa Ijo, yang ditakuti di daerah pantai utara.
Sampai di situ, Mahesa Jenar terpaksa
tidak dapat mengikuti Sri Gunting untuk seterusnya. Ia tidak mau
tergesa-gesa menyusup pohon yang rimbun itu, sebab ia masih belum
mengetahui apakah kira-kira yang berada di belakangnya. Mungkin setelah
menyusup pohon itu, langsung akan memasuki sebuah gardu perondan, atau
malah sampai ke barak Uling sendiri.
Karena itu, Mahesa Jenar terpaksa
berhenti di semak-semak sambil beristirahat. Ia mencoba memutar otak,
bagaimana dapat memasuki, setidak-tidaknya mengetahui keadaan di dalam
sarang itu.
Akhirnya Mahesa Jenar menemukan cara
juga. Meskipun ia tidak pasti akan dapat masuk, tetapi ia akan mendapat
gambaran tentang keadaan dibalik benteng tanaman itu. Sebagai seorang
prajurit, ia pernah mendapat latihan panjat-memanjat, menggantung, dan
berayun dengan tali yang cukup tinggi. Dengan hati-hati, Mahesa Jenar
pun segera memanjat. Dari pohon yang tidak terlalu besar, menjalar ke
pohon lain, sehingga akhirnya Mahesa Jenar berada di atas dahan sebuah
pohon yang memungkinkan ia dapat melihat keadaan di dalam, keadaan pusat
sarang sepasang Uling.
Ternyata di dalam benteng itu ada sebuah
lapangan yang tidak begitu luas. Di pinggir-pinggir lapangan tampaklah
beberapa rumah. Menurut dugaan Mahesa Jenar, rumah-rumah itu terlalu
sedikit untuk dapat didiami oleh anak buah Uling yang banyak jumlahnya.
Karena itu, di tempat lain pasti masih ada tempat-tempat tinggal serupa
itu. Di lapangan itu Mahesa Jenar melihat Sri Gunting berkuda melintas.
Kemudian ia berhenti di depan salah satu dari rumah-rumah yang berjajar
di pinggir lapangan. Seorang telah menerima kudanya, lalu mengikatnya
pada sebuah pohon, sedang Sri Gunting sendiri langsung memasuki rumah
itu. Beberapa saat kemudian dilihatnya Sri Gunting keluar lagi.
Dipanggilnya dua orang laskarnya, kemudian berjalan melintas lapangan
dan menyusup ke balik sebuah pohon. Pohon itulah rupanya pintu
keluar-masuk benteng yang tadi juga dilewati Sri Gunting. Ternyata
dibalik pohon itu sama sekali tidak terdapat sebuah gardu. Memang
beberapa orang tampak mengawalnya, sebagai pengawal pintu gerbang.
Ketika Mahesa Jenar sedang sibuk menduga-duga, di manakah pertemuan akan
dilangsungkan, tiba-tiba dilihatnya keluar dari salah satu diantara
rumah-rumah itu, dua orang yang bertubuh tinggi, tetapi tidak begitu
besar. Berwajah runcing dan berhidung tajam. Itulah sepasang Uling Rawa
Pening, yang di tangan mereka selalu tergenggam sebuah cemeti besar. Di
belakang mereka berjalan Sri Gunting dan dua orang lainnya. Melihat
mereka, mau tidak mau Mahesa Jenar terpaksa menahan nafas. Bagaimanapun
kedua orang itu termasuk dalam tingkatan yang cukup tinggi, sehingga
pancaindera mereka pun tajam pula.
Beberapa saat kemudian Mahesa Jenar
melihat orang-orang mereka menyediakan kuda, lalu dengan kuda-kuda itu
Uling Rawa Pening beserta tiga orang yang mengiringinya, pergi melintasi
lapangan dan menyusup pohon yang merupakan pintu gerbang benteng itu,
untuk kemudian muncul di luar benteng.
Mahesa Jenar jadi menduga-duga. Kemanakah
mereka pergi? Cepat ia turun dengan sangat hati-hati. Tetapi ketika
sepasang Uling itu menyusur benteng ke arahnya, ia jadi diam, dan
bersembunyi dibalik daun-daun yang agak rimbun, apalagi ketika mereka
lewat dekat di bawahnya. Tetapi, adalah suatu keuntungan, ketika Mahesa
Jenar mendengar mereka bercakap-cakap. Terdengar Uling Putih berkata, “Jadi kau yakin bahwa tempat itu telah disiapkan dengan baik?”
Terdengar Sri Gunting menjawab, “Sudah, Ki Lurah. Cuma satu-dua barak yang belum siap benar.”
“Bagus!” Uling Putih meneruskan, Pasingsingan dan Sima Rodra dari Lodaya akan hadir dalam pertemuan itu.
“Tidakkah mereka akan berpihak?” sela Uling Kuning.
“Tidak, mereka pasti akan menghargai nama mereka masing-masing,” jawab Uling Putih.
Setelah itu mereka tidak berkata-kata
lagi. Baru kemudian terdengar Sri Gunting mengatakan sesuatu, tetapi
Mahesa Jenar sudah tidak dapat mendengar lagi.
Dengan mendengar percakapan mereka,
Mahesa Jenar dapat mengambil kesimpulan bahwa pertemuan tokoh-tokoh
hitam itu nanti, tidak akan dilakukan di dalam benteng itu, tetapi di
tempat lain. Hal ini mungkin atas pertimbangan-pertimbangan keselamatan
benteng itu atau untuk tetap merahasiakan sarang gerombolan Uling Rawa
Pening.
Karena itu segera Mahesa Jenar turun dan
bergantungan pada sebuah sulur. Demikian ia sampai di tanah, cepat-cepat
ia berusaha untuk dapat mengikuti kuda sepasang Uling itu. Untuk itu
Mahesa Jenar tidak banyak menemui kesulitan. Kecuali ia sudah mengenal
jalan sempit yang menuju keluar dari benteng, juga kuda-kuda itu tidak
dapat berjalan cepat di jalan yang banyak rintangan itu.
Beberapa ratus langkah kemudian,
rombongan Uling membelok meninggalkan lorong semula dan menempuh jalan
lain yang lebih sulit. Namun bagaimanapun juga Mahesa Jenar tetap dapat
mengikutinya, meskipun kadang-kadang ia harus berlari-lari kecil,
merangkak, meloncat dan merunduk, sehingga akhirnya Mahesa Jenar melihat
di depannya terbentang sebuah padang rumput yang luas. Di pinggir
padang itu sedang dibangun beberapa barak yang sebagian masih
dikerjakan. Itulah tempat yang akan dipergunakan sebagai tempat untuk
menyelenggarakan suatu pertemuan dari tokoh-tokoh golongan hitam.
Mengingat apa yang akan terjadi di lapangan itu, hati Mahesa Jenar
menjadi berdebar-debar juga.
Kemudian teringatlah ia kepada Ki Dalang
Mantingan. Apakah orang itu sudah datang di daerah Rawa Pening ataukah
belum. Dan mungkinkah Ki Dalang Mantingan dapat menemukan tempat
pertemuan itu. Mengingat hal itu, Mahesa Jenar merasa perlu untuk
berusaha menemui Ki Dalang Mantingan sebelum mereka menyaksikan
pertemuan tokoh-tokoh hitam itu.
Beberapa lama kemudian, setelah sepasang
Uling itu berkeliling dan memeriksa barak-barak yang sedang diselesaikan
itu, mereka pun pergi meninggalkan padang rumput itu kembali ke dalam
benteng mereka.
Mahesa Jenar pun menganggap bahwa ia
tidak perlu terlalu lama lagi tinggal di situ. Ia masih mempunyai
beberapa waktu menjelang hari yang ditentukan, untuk dapat melihat-lihat
keadaan di sekeliling tempat itu, serta untuk menemui Ki Dalang
Mantingan.
Sementara itu, langit telah bertambah
samar-samar. Matahari telah menghilang di bawah garis pertemuan bumi dan
langit. Perlahan-lahan malam yang kelam turun menyeluruh, sedang di
langit bintang-bintang timbul berebutan. Tetapi tidak lama kemudian,
cahaya kuning memulai perjalanannya. Seolah-olah memberi peringatan
kepada Mahesa Jenar bahwa dua hari menjelang, purnama penuh akan
menyinari padang terbuka yang akan menjadi ajang pertemuan tokoh-tokoh
dari golongan hitam.
Perlahan-lahan dan hati-hati Mahesa Jenar
menyusup menjauhi padang rumput itu. Dengan mengenal daerah di
sekitarnya, maka ia akan menjadi lebih aman. Gajah Sora pernah
memperingatkan kecerobohannya pada saat ia memasuki sarang Harimau
Gunung Tidar. Karena itu ia tidak mau mengulangi kesalahannya lagi.
Setelah puas, Mahesa Jenar
berputar-putar, dan segera menyusur tepi Rawa Pening, untuk mencapai
daerah Banyubiru. Mungkin Mantingan masih berada di sekitar daerah itu,
atau ia juga sedang berusaha untuk menemukan tempat yang akan
dipergunakan untuk mengadakan pertemuan. Terhadap Mantingan, sebenarnya
Mahesa Jenar masih agak was-was. Ia memang cukup berilmu. Tetapi
berhadapan dengan Lawa Ijo, Jaka Soka dan sebagainya, Mantingan masih
kalah setingkat. Ia pernah berkelahi dengan Mantingan, juga pernah
berkelahi dengan tokoh-tokoh hitam, sehingga ia mempunyai ukuran dalam
memperbandingkan kemampuan mereka.
Tetapi yang belum pernah dilihatnya,
bagaimana Mantingan menggerakkan trisulanya yang terkenal itu.
Mudah-mudahan keahliannya menggunakan trisula akan dapat menandingi Lawa
Ijo dengan pisau belatinya, atau Jaka Soka dengan tongkat hitamnya.
Namun Mahesa Jenar yakin, bahwa waktu yang sedikit menjelang
kepergiannya ke Rawa Pening, Mantingan pasti telah mendapatkan sesuatu
dari gurunya, Kiai Ageng Supit. Kiai Ageng Supit adalah tokoh sakti yang
tidak begitu dikenal, karena orang itu tidak banyak melakukan
perbuatan-perbuatan yang menonjol di luar padepokannya. Tetapi muridnya,
Mantingan, dalam setiap kesempatan selalu berusaha untuk menunjukkan
jasanya kepada masyarakat di sekitarnya. Mungkin gurunya sengaja
memerintahkannya berbuat demikian untuk mewakilinya.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar yang sedang
berangan-angan, terkejut. Di tepi rawa itu ia melihat bayangan dua
orang yang sedang berkelahi dengan dahsyatnya. Mahesa Jenar menjadi
menduga-duga, siapakah mereka itu. Karena itu segera dengan hati-hati ia
pun mendekatinya.
Semakin dekat Mahesa Jenar dengan orang
yang sedang bertempur itu, debar hatinya menjadi semakin keras pula. Di
dalam sinar bulan yang hampir purnama itu Mahesa Jenar dapat melihat
dengan jelas, bahwa kedua-duanya adalah pasti orang-orang yang berilmu
tinggi.
Tiba-tiba debar jantung Mahesa Jenar
berubah menjadi degupan yang menghentak-hentak dadanya. Di dalam cahaya
bulan yang kekuning-kuningan itu tampaklah berkilat-kilat sinar yang
memantul dari senjata orang yang sedang bertempur itu. Senjata yang
cukup dikenalnya, yaitu trisula.
Karena itu cepat Mahesa Jenar mengetahui
bahwa salah seorang dari mereka adalah Mantingan. Maka, Mahesa Jenar
segera berusaha untuk semakin mendekat lagi. Tetapi sekali lagi detak
jantungnya menyentak dan berdegupan dengan riuhnya, ketika ia melihat
lawan Mantingan itu bersenjata bola besi yang diikat di ujung rantai.
Juga senjata itu pernah dikenalnya. Yaitu senjata andalan dari kawan
seangkatannya, seorang perwira dalam pasukan pengawal raja, yang
bertubuh gemuk pendek, yakni Gajah Alit.
Mahesa Jenar menjadi agak keheran-heranan. Apakah kerja Gajah Alit di sini?

Ketika trisula Mantingan dengan dahsyat
mematuk-matuk hampir ke segenap bagian tubuh Gajah Alit, maka Gajah Alit
segera memutar senjata seperti baling-baling. Angin yang dingin meniup
dengan sejuknya, diiringi dengan bunyi yang berdesing-desing.
Karena itu, karena kekuatan mereka
seimbang serta hampir mencapai tingkat tertinggi, maka pertempuran itu
menjadi dahsyat sekali. Mahesa Jenar kemudian menjadi cemas ketika
dilihatnya bahwa agaknya pertempuran itu telah mencapai puncaknya.
Masing-masing telah mengeluarkan segala kemampuan yang ada untuk
membinasakan lawannya. Melihat hal itu Mahesa Jenar menjadi ragu. Kalau
ia melerai mereka, maka Gajah Alit pasti akan mengenalnya. Tetapi bila
dibiarkan, pertempuran itu pasti akan membawa korban.
Selagi Mahesa Jenar termangu-mangu,
pertempuran itu menjadi semakin sengit. Trisula Mantingan bergerak
dengan cepatnya seperti petir menyambar-nyambar, sedang senjata Gajah
Alit berputar semakin cepat pula sehingga yang tampak hanyalah bayangan
hitam yang bergulung-gulung mengerikan, seperti awan gelap yang hendak
melanda dengan dahsyatnya.
Beberapa kali rantai berkepala bola besi
Gajah Alit berhasil melilit senjata lawannya, tetapi ia sama sekali tak
berhasil merampasnya. Bahkan kadang-kadang mereka sampai lama
berputar-putar, tarik-menarik senjata masing-masing, sehingga akhirnya
terpaksa mereka berusaha untuk mengurai lilitan rantai itu.
Demikian senjata mereka terurai, demikian senjata-senjata itu kembali berputar, menyambar dan menusuk-nusuk dengan dahsyatnya.
Melihat semuanya itu akhirnya Mahesa
Jenar mengambil keputusan untuk melerai mereka. Karena itu segera ia
meloncat maju mendekati arena pertempuran itu sambil berteriak nyaring, “Tahan dirimu masing-masing. Hentikan pertempuran ini.”
Tetapi agaknya mereka yang bertempur itu
sama sekali tak mendengarnya, sebab pendengaran mereka dikacaukan oleh
bunyi senjata mereka yang berdesing-desing dan berdentangan saling
beradu. Sedang perhatian mereka seluruhnya tertumpah pada upaya
mempertahankan jiwa masing-masing.
Karena itu sekali lagi Mahesa Jenar berteriak, lebih keras dari semula sambil meloncat lebih dekat lagi, “Kakang Mantingan dan Adi Gajah Alit, hentikan pertempuran.”
Baru ketika mereka mendengar nama-nama
mereka disebut, mereka menjadi terkejut. Apalagi, ketika mereka lihat
seseorang mendekat, Mantingan dan Gajah Alit hampir berbareng meloncat
surut, dan dengan herannya memandang kepada Mahesa Jenar yang kemudian
meloncat diantara mereka. Tetapi untuk sesaat mereka tidak segera
mengenal siapakah yang telah melerai mereka itu, sampai Mahesa Jenar
berkata, “Kakang Mantingan dan Adi Gajah Alit…. Adakah sesuatu yang tidak wajar, sehingga kalian terpaksa bertempur?”
Mantingan dan Gajah Alit, segera mengenal suara itu. Karena itu hampir berbareng mereka menyebut nama Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar, “inilah aku”.
Mendengar jawaban itu, segera mereka berloncatan maju sambil berebutan memberi salam.
“Kemanakah kau selama ini, Kakang?” tanya Gajah Alit, “Kau begitu saja menghilang seperti hantu.”
Mahesa Jenar tidak segera menjawab pertanyaan ini, tetapi malahan ia bertanya, “Kenapa kalian bertempur?”
Mantingan dan Gajah Alit kemudian saling
berpandangan. Memang sebenarnya mereka tidak mempunyai suatu alasan yang
kuat, kecuali mereka sebenarnya hanya saling curiga.
“Aku tidak tahu kakang,” jawab Gajah Alit sambil tersenyum-senyum. Wajahnya yang bulat itu masih saja memancarkan kejenakaannya.
“Kami sebenarnya tidak mempunyai urusan,” jawab Mantingan.
“Lalu apakah sebabnya?” tanya Mahesa Jenar heran.
“Sebenarnya kami belum saling mengenal,” jelas Mantingan.
Mendengar kata-kata itu, barulah Mahesa Jenar sadar bahwa sebaiknya ia memperkenalkan kedua orang yang baru saja bertempur itu.
Dengan mengenal siapakah mereka
masing-masing, hati Mantingan maupun Gajah Alit bergetaran. Bagi Mahesa
Jenar, Gajah Alit adalah seorang perwira prajurit pengawal raja, yang
pasti seorang prajurit pilihan. Sebaliknya nama Mantingan pernah
didengar oleh Gajah Alit, sebagaimana Mahesa Jenar dahulu juga sudah
mendengarnya, sebagai seorang yang telah berhasil membinasakan tiga
orang perampok yang menamakan diri mereka Samber Nyawa.
Di dalam hati Mantingan merasa bersyukur
bahwa ia masih tetap dapat mempertahankan dirinya terhadap Gajah Alit.
Andaikata ia masih belum menerima ilmu Pacar Wutah dari gurunya,
entahlah apa yang akan terjadi atas dirinya. Dan karena ilmu itulah maka
Mantingan menjadi seorang yang perkasa. Gurunya sengaja memberikan ilmu
itu sebagai bekal perjalanannya yang akan sangat berbahaya.
Sejenak kemudian, kembali terdengar Mahesa Jenar bertanya kepada Mantingan dan Gajah Alit, “Apakah urusan kalian, sehingga kalian sampai mempertaruhkan nyawa kalian?”
Gajah Alit tidak menjawab pertanyaan itu.
Malahan ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sebaliknya Mantingan
mencoba untuk memberi penjelasan. Katanya, “Entahlah Adi, tetapi
kami tadi telah berjumpa di temat ini. Karena barangkali kami sama-sama
tidak mau mengatakan keperluan kami, maka kami menjadi saling curiga.
Aku mengira bahwa orang itu adalah salah seorang anggota golongan hitam,
barangkali ia pun mengira aku demikian pula, sehingga akhirnya kami
berkelahi. Mula-mulai kami tidak bersungguh-sungguh tetapi akhirnya kami
jadi mata gelap.”
Mendengar keterangan Ki Dalang Mantingan,
Mahesa Jenar tersenyum. Memang kadang-kadang kita harus mengalami
peristiwa-peristiwa yang aneh, seperti apa yang pernah dialaminya di
Prambanan dan Pucangan.
“Benarkah begitu, Adi Gajah Alit?” Mahesa Jenar menegaskan.
“Begitulah, Kakang,” jawab Gajah Alit, “Sebab
kami belum pernah saling mengenal. Untunglah bahwa Kakang Mahesa Jenar
sempat melerai kami. Kalau tidak, barangkali ada bangkai Gajah tanpa
belalai jadi makanan Gagak.”
Mahesa Jenar tertawa perlahan-lahan. Segera terdengar Mantingan berkata, “Tuan terlalu merendahkan diri. Bersyukurlah aku, kalau sekarang aku masih sempat memandang bulan.”
“Aku tidak dapat mengatakan,” potong Mahesa Jenar, “Siapakah
yang lebih unggul diantara kalian. Karena itu kalian akan menjadi kawan
yang baik bagiku di sini, di dekat sarang sepasang Uling Rawa Pening.” Mahesa Jenar diam sebentar, kemudian ia meneruskan, “Apakah sebenarnya kepentingan Adi Gajah Alit kemari?”
Gajah Alit menarik nafas. Ia akan
menjawab, tetapi agak ragu-ragu sambil memandang Ki Dalang Mantingan,
sampai Mahesa Jenar mendesaknya, “Katakanlah. Kakang Mantingan adalah orang yang tahu membawa masalah.”
“Kakang….” Gajah Alit memulai, “Kedatanganku
adalah atas perintah Sultan. Sebab terdengar keterangan dari
penjabat-penjabat rahasia, bahwa di sekitar rawa ini akan terjadi suatu
pertemuan dari tokoh-tokoh golongan hitam. Karena itu aku mendapat
perintah untuk mengadakan penyelidikan atas kebenaran berita itu. Maka
dikirimkannyalah aku kemari.”
Mendengar keterangan Gajah Alit, Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Jadi kalangan istana sudah mendengar akan adanya pertemuan tengah bulan ini?”
“Ya,” Jawab Gajah Alit, “Bahkan aku tidak seorang diri.”
“Kau tidak seorang diri?” ulang Mahesa Jenar.
“Aku dikirim bersama dengan Kakang Paningron.” Gajah Alit meneruskan.
Mendengar kata-kata Gajah Alit itu hati
Mahesa Jenar jadi berdebar-debar juga. Paningron adalah salah seorang
perwira dari jabatan rahasia. Ilmunya tidak kalah dengan ilmu yang
dimiliki oleh Gajah Alit.
“Di manakah Adi Paningron sekarang?” tanya Mahesa Jenar.
“Sejak senja kami berpisah,” jawab Gajah Alit. “Kami
berusaha untuk menemukan tempat pertemuan Golongan Hitam itu. Tengah
malam kami akan bertemu. Kalau malam ini tempat itu belum kami temukan,
besok kami masih harus bekerja keras.”
Sesaat kemudian Mahesa Jenar jadi ragu.
Kalau dari penjabat rahasia telah dapat mengetahui keberadaannya, maka
ada kemungkinan dirinya dipanggil menghadap. Kepada Gajah Alit, ia masih
mungkin untuk memintanya tidak berkata apa-apa tentang dirinya. Tetapi
bagaimana dengan Paningron?
Agaknya Gajah Alit dapat menangkap perasaan Mahesa Jenar. Karena itu ia berkata, “Kakang
Mahesa Jenar tidak perlu khawatir tentang Kakang Paningron. Ia adalah
seorang penjabat yang baik, tetapi juga bukan jenis orang yang suka
mencari-cari kesalahan orang lain.”
Mendengar keterangan Gajah Alit, Mahesa Jenar tertawa pendek. “Kau pandai menebak perasaan orang Adi. Mudah-mudahan demikianlah hendaknya.”
“Percayakan itu padaku,” tegas Gajah Alit.
“Baiklah…” kata Mahesa Jenar, “Kalau
demikian aku bersamamu menunggu kedatangannya. Juga adalah suatu
keuntungan bahwa kau tidak berjalan bersama-sama dengan Adi Paningron.
Sebab dengan demikian mungkin kalian telah menangkap Kakang Mantingan
yang pergi seorang diri.”
Mendengar percakapan itu Mantingan tertawa pula, serta diantara tertawanya terdengar ia berkata, “Aku pun tidak pergi seorang diri, Adi.”
“He…?” Mahesa Jenar dan Gajah Alit agak terkejut mendengar itu.
“Dengan siapa Kakang pergi?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku pergi bersama Kakang Wiraraga, kakak seperguruanku,” jawab Mantingan.
Mahesa Jenar dan Gajah Alit berbareng
mengangguk-angguk. Terlintaslah dalam angan- angan mereka, bahwa kakak
seperguruan Mantingan setidak-tidaknya adalah setingkat dengan
Mantingan. Dan memang sebenarnyalah demikian. Kakak seperguruannya itu
pun baru saja menerima ilmu Pacar Wutah berbareng dengan Mantingan,
menjelang keberangkatan mereka. Meskipun Wiraraga lebih lama menekuni
pelajaran gurunya, tetapi karena sifatnya yang pendiam dan jarang-jarang
keluar dari padepokan seperti gurunya, maka Mantingan memiliki
pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas. Karena itu, keperkasaan
Mantingan tidaklah kalah dengan kakak seperguruannya itu.
Dalam perjalanannya yang berbahaya itu,
Ki Ageng Supit tidak sampai hati melepaskan Mantingan pergi sendiri,
sebab ia pernah mendengar siapa saja yang tergolong dalam lingkaran
hitam. Karena itu ia minta Wiraraga menyertainya.
“Di manakah kakak seperguruan Kakang itu?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Seperti juga Adi Gajah Alit, Kakang Wiraraga memisahkan diri sejak kemarin. Malam ini kami berjanji akan bertemu. Meskipun tempat yang kita cari itu masih belum dapat kami temukan.”
“Mudah-mudahan Kakang Paningron tidak bertemu dan bertempur dengan kakak seperguruan Kakang Mantingan,” sela Gajah Alit sambil tertawa lucu.
“Mudah-mudahan,” jawab Mahesa Jenar. “Kalau demikian…” lanjut Mahesa Jenar, “Aku
tunggu di sini. Kalian cari kawan-kawan kalian itu, dan bawalah mereka
kemari. Tempat pertemuan itu tak usah kalian cari-cari lagi.”
“Kenapa?” tanya Mantingan dan Gajah Alit hampir berbareng.
“Carilah kawan-kawan kalian,” desak Mahesa Jenar, “dan cegahlah kalau mereka benar-benar bertemu dan bertempur seperti kalian tadi. Aku menunggu kalian di sini.”
Kemudian terdengar Gajah Alit tertawa riuh. “Untunglah aku bertemu Kakang di sini. Melihat gelagatnya pasti Kakang Mahesa Jenar telah menemukan tempat itu.”
“Tepat!” sambung Mantingan, “Aku juga menduga demikian.”
Mahesa Jenar pun kemudian tertawa. “Mungkin kalian benar, karena itu kalian harus cepat-cepat menemukan kawan-kawan kalian.”
“Baiklah,” jawab mereka berbareng.
Ketika mereka telah tidak tampak lagi,
segera Mahesa Jenar mencari tempat untuk beristirahat. Direbahkannya
dirinya di atas sebuah batu besar, sambil memandang bulan dan
bintang-bintang yang bertebaran di langit.
Untuk beberapa lama pikirannya sempat
melayang mondar-mandir dari waktu ke waktu, dari peristiwa yang satu ke
peristiwa yang lain.
Menjelang tengah malam, Mahesa Jenar
mendengar langkah orang mendekati tempatnya berbaring. Cepat ia bangkit
dan memandang ke arah suara itu. Tetapi kemudian ia menarik nafas
panjang ketika ia melihat bayangan dua orang mendekatinya, serta
keduanya membawa senjata ciri perguruan Ki Ageng Supit, yaitu trisula.
Jelaslah bagi Mahesa Jenar bahwa kedua orang itu pasti Mantingan dan
Wiraraga.
Maka demikian kedua orang itu sampai di
hadapan Mahesa Jenar, demikian Mantingan memperkenalkan kakak
seperguruannya kepada Mahesa Jenar dengan sebutan Rangga Tohjaya.
Mendengar nama itu segera Wiraraga membungkuk hormat sambil berkata, “Berbesarlah
hatiku dapat berkenalan dengan seseorang yang pernah menggemparkan
istana, karena berhasil menggagalkan pencurian pusaka di gedung
perbendaharaan. Juga yang telah banyak menyelamatkan rakyat dari
gangguan kejahatan.”
Mendengar pujian itu Mahesa Jenar tersenyum sambil membungkuk hormat pula. Katanya, “Terimakasih
Kakang, tetapi perguruan Kakang adalah perguruan yang terkenal pula.
Karena itu seharusnya akulah yang merasa beruntung berkenalan dengan
Kakang.”
Kembali Wiraraga mengangguk. Wajahnya
yang ketua-tuaan itu tampak tersenyum-senyum. Meskipun umurnya tidak
terpaut banyak dari Mantingan, tetapi nampaknya Wiraraga telah jauh
lebih tua. Rambutnya telah mulai ditumbuhi uban. Matanya memancar
lembut, tetapi dalam. Tubuhnya kekar meskipun tidak begitu tinggi.
Wiraraga memang benar-benar seorang pendiam. Tidak banyak ia
berkata-kata. Ia lebih senang mendengarkan Mantingan berbicara daripada
ia sendiri yang berbicara. Maka karena sifat-sifatnya itulah maka
Wiraraga nampak jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya.
Tidak lama kemudian, tampaklah Gajah Alit
datang pula bersama-sama dengan Paningron. Bagi Paningron, kehadiran
Mahesa Jenar di situ sangat mengejutkan. Agaknya Gajah Alit belum
memberitahukan lebih dahulu, sehingga suasana kemudian menjadi riuh.
Setelah pertemuan itu menjadi lebih
tenang, barulah mereka berbicara tentang tokoh-tokoh hitam yang akan
mengadakan pertemuan pada purnama penuh yang akan datang, serta tempat
pertemuan mereka.
Dengan teliti Mahesa Jenar memberikan
gambaran tentang lapangan yang akan dipergunakan, serta memberitahukan
bahwa dalam pertemuan itu akan hadir Pasingsingan dan Sima Rodra. Dua
orang angkatan tua yang setingkat dengan guru-guru mereka. Karena itu
mereka harus sangat berhati-hati.
Dalam pertemuan itu mereka memutuskan
untuk pada saat itu juga pergi ke tempat yang akan dipergunakan untuk
mengadakan pertemuan itu serta seterusnya mengatur agar setiap saat
tempat itu dapat diawasi bergiliran.
Demikianlah maka segera mereka berlima
pergi bersama untuk melihat keadaan serta kemungkinan-kemungkinan yang
akan mereka lakukan.
Sejak saat itu, mulailah rombongan Mahesa
Jenar itu mengadakan pengawasan dengan teliti berganti-ganti. Mereka
telah berhasil menemukan tempat yang sangat baik. Tempat itu agak
menjorok ke atas, tetapi ditumbuhi pepohonan yang agak lebat. Dari
tempat itu, mereka akan dapat melihat apa saja yang terjadi di lapangan
rumput yang terbentang di hadapannya. Meskipun pada siang hari, tempat
itu akan tetap merupakan tempat yang tersembunyi. Mereka yang sedang
bertugas mengadakan pengawasan harus memanjat sebuah pohon yang tak
begitu tinggi, namun berdaun rimbun. Sedang yang lain dapat dengan aman
beristirahat tidak lebih dari dua puluh langkah dari tempat itu, sambil
menikmati ketupat sambal, bekal yang dibawa oleh Mantingan atau jadah
jenang alot, bekal Gajah Alit.
Pada siang hari itu, Mahesa Jenar dan
kawan-kawannya melihat betapa orang-orang Uling Rawa Pening berusaha
keras menyelesaikan pekerjaan mereka, bahkan pada malam harinya pun
pekerja-pekerja itu tetap melakukan tugas mereka sampai barak-barak itu
siap dipergunakan.
Maka pada hari berikutnya, menjelang
purnama penuh, tampaklah di tempat itu kesibukan-kesibukan yang padat.
Uling Putih dan Uling Kuning sendiri datang menjelang hari sepenggalah.
Ketika matahari telah mencapai puncaknya,
maka mulailah penjagaan-penjagaan sekeliling tempat itu semakin
ditertibkan. Sri Gunting sendiri yang memimpinnya. Beberapa orang telah
diperintahkan untuk meronda keliling, serta beberapa orang lagi
ditempatkan di tempat-tempat yang dianggap perlu.
Dalam pada itu, Mahesa Jenar dan
kawan-kawannya tidak berani lagi berbuat seenaknya. Sebab setiap saat
ada kemungkinan para peronda melintasi tempat mereka bersembunyi. Karena
itu, daripada mereka harus selalu memperhatikan keadaan di sekeliling
mereka, maka mereka lebih menganggap aman apabila mereka semuanya
memanjat pohon. Dengan demikian mereka tidak perlu lagi bersusah payah
menegangkan urat syaraf mereka.
Berdasarkan atas pikiran itu, maka segera
mereka berlima memilih tempat mereka masing-masing. Tidak terlalu dekat
satu sama lain, tetapi juga tidak terlalu jauh.
Beberapa saat, perasaan mereka dihinggapi
oleh ketegangan yang semakin lama semakin memuncak, karena mereka harus
menunggu suatu peristiwa yang cukup penting. Sedang di bawah mereka
beberapa peronda sudah lebih dari dua kali lewat hilir-mudik. Namun
untunglah bahwa tak seorang pun dari mereka merasa perlu untuk
menyelidiki dahan-dahan kayu di atas mereka.
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 8
Koleksi Ki Arema
Editing oleh Ki Arema
5 Tanggapan
Tinggalkan Balasan
