

ADBM-002

Demikian mereka naik ke pendapa, dada
Agung Sedayu pun berdesir tajam. Dilihatnya di pendapa itu, terbaring
beberapa orang laki-laki yang sedang nyenyak tidur. Dibawah cahaya lampu
minyak, tampaklah wajah-wajah mereka yang keras tajam. Sedang beberapa
orang di antaranya tumbuh janggut, jambang dan kumis yang lebat di
wajah-wajah mereka. Mereka terbaring berjajar-jajar di atas tikar
selapis. Namun tampaklah betapa nyenyak mereka itu. Sedang di sudut
pendapa Agung Sedayu melihat beberapa tangkai tombak dan di
dinding-dinding tersangkut pedang perisai dan keris. Pemandangan yang
bagi Agung Sedayu benar-benar tidak sedap. Laki-laki berwajah keras dan
senjata-senjata.
Dan tiba-tiba saja teringat pula olehnya,
bahwa di pinggangnya pun terselip sebilah keris. Ia tidak tahu, apakah
keris itu akan berguna baginya, atau malahan berbahaya baginya. Tetapi
kakaknya memintanya untuk membawa keris itu.
Dengan tidak berkata-kata lagi mereka
menyeberangi pendapa, menuju ke pringgitan. Di pringgitan itu dilihatnya
sebuah warana yang memisahkan sebuah ruangan kecil. Di ruangan kecil
itulah Widura sedang tidur pula.
“Disitulah adi Widura sedang
beristirahat” berkata demang itu. Dan tiba-tiba saja dada Sedayu menjadi
berdebar-debar. Apakah kata paman Widura itu, kalau dilihatnya ia
datang di saat-saat yang begini.
Demang itu pun berbisik pula, “Duduklah ngger. Biarlah aku sendiri yang membangunkannya”
Namun Widura adalah seorang prajurit
terlatih. Karena itu meskipun ia tertidur nyenyak, namun telinganya
dapat bekerja dengan baiknya. Sehingga demang Sangkal Putung itu
sebenarnya tidak perlu membangunkannya. Sejenak mereka berdua masuk, dan
pintu pringgitan itu bergerit meskipun perlahan-lahan, Widura telah
terbangun karenanya. Namun ia tidak segera bangkit. Ia ingin tahu,
siapakah yang datang ke pringgitan itu. Tetapi ketika didengarnya suara
Ki Demang, maka hampir-hampir saja ia tidur kembali kalau tidak segera
disadarinya, bahwa kecuali pak Demang ada orang lain. Bukan dari anak
buahnya.
Ketika Ki Demang itu berjalan
perlahan-lahan dan hati-hati supaya tidak megejutkan orang yang
dibangunkannya, dan menjengukkan kepalanya dari sisi warana, Demang itu
tersenyum asam, “Hem” desisnya, “Ternyata aku tidak perlu membangunkan
adi”
Widura sudah duduk di sisi ranjangnya
ketika Demang Sangkal Putung itu menjenguknya, “apakah ada seorang tamu
yang ingin menemui aku?” bertanya Widura.
“Ya adi” jawab Demang Sangkal Putung, “Demikian pentingnya sehingga tak sabar lagi menunggu esok”
“Siapa?” bertanya Widura.
“Angger Agung Sedayu” jawab Demang.
“Agung Sedayu?” Widura terkejut, dan
segera ia bangun dari pembaringannya, sebuah bale-bale bambu. Dengan
tergesa-gesa ia melangkah keluar. Ketika dilihatnya Agung Sedayu duduk
terkantuk-kantuk hampir ia tidak percaya. Desisnya, “Kau Sedayu”.
Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Ya paman” .
“Sendiri?” pertanyaan itulah yang bertama-tama dilontarkannya.
“Ya paman” jawab Sedayu pula.
Namun terpancarlah keheranan di wajah
Widura. Seakan-akan ia tidak percaya bahwa Agung Sedayu datang seorang
diri. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Tak ada orang lain.
Widura pun segera duduk di hadapan anak
itu dengan penuh pertanyaan di dalam dadanya. Dan Sedayu pun tidak
menunggu pamannya itu bertanya kepadanya. Katanya, “Paman, aku disuruh
kakang Untara untuk menemui paman sebelum fajar”
“Untara?” bertanya Widura dengan kening
yang terangkat. Sebab pasti ada sesuatu hal yang memaksa, sehingga Agung
Sedayu lah yang datang kepadanya. Apalagi Widura telah mengenal anak
itu baik-baik, sebaik ia mengenal anaknya sendiri. “Dimana kakakmu?”
“Nantilah aku ceriterakan paman” jawab
Agung Sedayu, seakan-akan ia adalah seorang yang cakap dalam menanggapi
setiap persoalan. “Ada yang lebih penting dari kakang Untara”
“Oh” sahut pamannya, “Apakah itu?”
Maka Agung Sedayu menyampaikan berita
yang pernah didengarnya dari mulut kakaknya dan orang aneh yang
menamakan dirinya Kiai Gringsing, meskipun ia sama sekali belum
menceriterakan apa-apa tentang orang bertopeng itu.
Widura mendengarkan berita itu dengan
penuh minat. Diperhatikannya kata demi kata yang keluar dari mulut
Sedayu. Dan tiba-tiba ia bertanya, “Kenapa Untara sendiri tidak datang
kemari? Apakah anak itu sudah harus kembali ke Pajang?”
“Belum paman” sahut Sedayu, “Kakang
Untara masih akan tinggal di rumah. Tugasnya di sekitar Jati Anom belum
selesai” Dan dengan serba singkat diceriterakannya bagaimana mereka
berdua dicegat oleh pande besi Sendang Gabus, Alap-alap Jalatunda dan
dua orang kawannya, sehingga Untara terluka karenanya.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sempat juga ia bertanya, “Kau dan kakakmu bertempur berpasangan?”
Agung Sedayu menggerutu di dalam hatinya.
Pamannya masih saja suka menggodanya. Tanpa disengaja ia menoleh,
memandangi wajah Demang Sangkal Putung yang tegang itu. Ia tidak akan
dapat berbohong kepada pamannya, namun ia malu mengakuinya di hadapan
orang lain. Pamannya melihat kesulitan itu, maka segera ia bertanya,
“Adakah Untara akan segera menyusul?”
“Aku tidak tahu paman” jawab Sedayu, “Luka itu agaknya parah juga”
“Baiklah” berkata Widura itu kemudian,
“Kami sangat berterima kasih kepadamu dan kepada Untara. Waktu kita
tinggal sedikit. Lain kali kau dapat berceritera tentang perjalananmu
itu lebih panjang lagi. Kami pasti akan sangat senang mendengarkannya.
Tetapi sekarang aku menghadapi pekerjaan yang berat” Lalu kepada demang
Sangkal Putung itu Widura berkata, “Kakang Demang. Persoalannya pasti
akan menyangkut kademangan ini pula. Lumbung padi dan palawija serta
segala kekayaan kita harus kita selamatkan. Persediaan makanan itu
sangat berarti bagi kita dan bagi sisa-sisa laskar Penangsang itu.
Karena itu, apakah kakang Demang bersedia menyerahkan Jagabaya dan anak
buahnya kepada kami untuk bersama-sama mempertahankan lumbung itu?”
“Tentu adi” jawab Demang itu, “Sebab
apabila lumbung itu lenyap, kami pun akan kelaparan, isteri-isteri kami
dan anak-anak kami. Dan dengan demikian kami pun tidak akan dapat
membantu perbekalan untuk Pajang”
“Terima kasih kakang” sahut Widura,
“Siapkan mereka. Jangan dipergunakan tanda-tanda. Kita harus bersiap
dengan diam-diam supaya laskar Penangsang itu tidak mengetahui persiapan
kita. Tempatkan mereka di halaman banjar desa. Aku akan menyiapkan
orang-orangku. Segera kita akan bersama-sama mengambil keputusan, apa
yang akan kita jalankan”
Sangkal Putung yang diam itu, kemudian
seakan-akan terbangun dari tidurnya. Hilir mudiklah laki-laki bersenjata
di jalan-jalan desa. Tak ada sebuah tengara pun yang terdengar. Dari
jauh desa itu masih nampak dipeluk mimpi. Namun sebenarnya desa Sangkal
Putung itu telah dicengkam oleh kegelisahan.
Sesaat kemudian beberapa orang laki-laki
yang tegap-tegap, para pemimpin kelompok telah berkumpul di pringgitan
itu. Seorang laki-laki berkumis panjang, seorang yang lain, rambutnya
yang panjang dibiarkan terurai dibawah ikat kepalanya. Namun beberapa
orang yang lain tampak tenang-tenang dan berpakaian rapi.
Melihat beberapa orang yang keras dan
kasar itu, Agung Sedayu menjadi kecewa. Disangkanya laskar Pajang adalah
orang-orang yang halus, tampan dan bersih seperti kakaknya. Tidak
disangkanya bahwa di dalam laskar Pajang itu pun ada di antaranya
orang-orang yang mirip bentuknya seperti pande besi Sendang Gabus.
Widura dengan tenang mengulangi
keterangan-keterangan dan berita yang disampaikan Sedayu kepada mereka.
Satu demi satu dan telah pula ditambahnya dengan kemungkinan-kemungkinan
yang dapat terjadi atas Sangkal Putung itu.
Sesaat kemudian pringgitan itu menjadi
sepi. Masing-masing sedang mencoba merenungkan dan membayangkan apa yang
akan terjadi. Dan tiba-tiba kesepian itu dipecahkan oleh suara seorang
yang sudah setengah umur duduk di sudut ruang itu. Katanya, “adakah Ki
Lurah sependapat dengan aku, bahwa laskar Penangsang itu adalah laskar
yang beberapa hari yang lampau berkeliaran di Karang Anom?”
“Ya” Widura mengangguk, “Aku sependapat”
“Kalau demikian” orang itu meneruskan, “Laskar itu dipimpin langsung oleh Macan Kepatihan Jipang”.
Semua orang serentak menoleh kepada orang itu, dan kemudian memandang wajah Widura seperti minta penjelasan.
Widura pun kemudian menjawab, “Aku kira
demikian. Laskar itu dipimpin oleh Tohpati, yang juga disebut Macan
Kepatihan, kemanakan Patih Mantahun”
Terdengar beberapa orang menggeram, dan berkata salah seorang, “Laskar di Karang Anom telah bergerak ke timur. Tidak ke barat”
“Sekarang ternyata, gerakan itu adalah
sebuah cara dari mereka untuk mengelabuhi kita. Dan kita pun agaknya
hampir-hampir saja ditelan oleh macan yang cerdik itu. Untunglah Untara
ada di Jati Anom. Dan untunglah bahwa Sedayu sempat menyampaikan berita
itu kepada kita”
Semua mata pun kemudian memandang Sedayu
dengan penuh ucapan terima kasih. Mereka mendapat kesempatan membela
diri sebelum mereka diterkam oleh Macan Kepatihan yang cerdik itu.
“Kalau angger Untara sekarang ada di sini” desis orang setengar umur di sudut itu.
“Kenapa?” bertanya yang lain.
“Macan itu tidak akan berbahaya” jawab
orang sengah umur itu. Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun salah seorang dari mereka, seorang yang berwajah tampan dan
bergelang akar dipergelangan kirinya tampak tersenyum. Senyum yang aneh.
Agung Sedayu melihat senyum itu, dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak
tenang.
Yang berkata kemudian adalah Widura,
“Kita tidak akan menunggu mereka. Kita sambut mereka di prapatan
Pandean. Kita pagari desa ini dengan benteng pendem. Karena agaknya
laskar mereka lebih besar, maka mereka kita sergap sebelum mereka
menyadari kehadiran kita”.
Orang-orang itu pun mengangguk-angguk.
Dan tiba-tiba berkatalah orang setengah umur itu, “Meskipun angger
Untara tidak di sini, bukankah telah dikirim adiknya untuk menjinakkan
Macan Kepatihan itu?”
Dada Agung Sedayu seperti akan meledak
mendengar kata-kata orang setengah umur itu. Bukankah dengan demikian
berarti ia harus berhadapan dengan Macan Kepatihan itu? Meskipun Agung
Sedayu belum pernah melihat orang yang bernama Tohpati dan bergelar
Macan Kepatihan, namun mendengar namanya saja, Agung Sedayu sudah hampir
pingsan. Apalagi kalau ia harus melawannya.
Lututnya tiba-tiba menjadi gemetar,
ketika beberapa orang mengangguk-angguk dan bergumam, “Tak ada bedanya.
Untara atau adiknya”. Dengan tidak disadarinya, Sedayu memandangi wajah
pamannya, seperti seekor anak ayam yang minta perlindungan pada
induknya.
Widura melihat tatapan mata Sedayu yang
penuh kecemasan itu. Karena itu ia tersenyum, dan dengan tenangnya ia
berkata, “Sedayu, kami akan berterima kasih sekali apabila kau memenuhi
permintaan itu. Tetapi aku kira, kau telah cukup berjasa kepada kami
dengan kehadiranmu ini” Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata,
“Agung Sedayu baru saja menempuh perjalanan yang berat. Berdua dengan
Untara, anak ini terpaksa bertempur melawan pande besi Sendang Gabus dan
Alap-alap Jalatunda sekaligus beserta dua orang kawannya. Karena itu,
biarlah ia beristirahat”
Orang setengah umur itu menjadi kecewa.
Demikian pula agaknya beberapa orang lain. Terdengar seorang di antara
mereka berkata, “Lalu siapakah yang akan berhadapan dengan Macan yang
garang itu?”
Kata-kata itu adalah suatu pengakuan atas kesaktian Macan Kepatihan, sehingga mereka menjadi cemas karenanya.
Yang menjawab pertanyaan itu adalah
Widura, “Karena aku yang bertanggung jawab atas kalian dan daerah ini,
maka aku mencoba melawan Tohpati yang sakti itu”
“Tetapi kalau kakang Widura terikat dalam
pertempuran melawan Macan Kepatihan, siapakah yang akan memimpin kami?”
bertanya yang lain.
Widura terdiam. Tugasnya sedemikian berat, sehingga tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu.
Tiba-tiba anak muda yang berwajah tampan
dan bergelang akar di tangannya itu berkata, “Apakah aku diperkenankan
melawan Macan Kepatihan itu?”
Semua orang memandang kepadanya dengan
penuh pertanyaan. Anak itu masih muda. Tidak saja muda umurnya, namun
anak itu pun belum lama menggabungkan dirinya pada laskar Pajang yang
dipimpin oleh Widura itu. Namun memang di beberapa pertempuran tampaklah
ia melampaui ketrampilan kawan-kawannya sehingga dalam waktu yang
singkat anak itu telah diangkat menjadi salah seorang pemimpin kelompok
anak-anak muda dalam laskar Widura itu.
Widura pun tidak segera menjawab. Ia
memang melihat kelebihan anak muda itu. Dan dikenalnya anak muda yang
bernama Sidanti itu sebagai salah seorang murid dari Ki Tambak Wedi dari
lereng gunung Merapi.
Karena Widura ridak segera menjawab,
Sidanti itu mendesaknya, katanya, “Kakang Widura, berilah aku ijin. Aku
akan mencoba apakah nama yang menakutkan itu sebanding dengan
kesaktiannya”
Widura menatap mata anak muda itu.
Dilihatnya tekad yang menyala. Widura yang telah berpengalaman itu
melihat keberanian yang teguh terpancar pada wajah Sidanti. Maka
meskipun dengan agak ragu-ragu ia berkata, “Aku akan selalu memberikan
kesempatan kepada kalian. Tetapi ketahuilah bahwa Tohpati itu
benar-benar orang yang luar biasa. Ia dapat bertempur seperti hantu yang
tak tersentuh tangan. Namun ia dapat menerkam, benar-benar segarang
harimau belang”
“Ya” jawab Sidanti, “Aku pernah mendengar
ceritera itu. Tubuh Tohpati dapat berubah menjadi asap dan bernyawa
rangkap. Tetapi selama asap itu masih kasat mata, akan aku coba untuk
menangkapnya”
Widura mengangguk-angguk. Ia pun pernah
mendengar, bahwa Ki Tambak Wedi memiliki kesaktian yang luar biasa pula.
Bahkan demikian saktinya, sehingga orang menyebutnya dapat menangkap
angin. Apakah Sidanti juga mampu menangkap asap?
Kemudian berkata Widura itu, “Terserahlah
kepadamu Sidanti. Aku akan memberimu kesempatan” Meskipun demikian
Widura tidak sampai hati melepaskannya sendiri, maka katanya kepada dua
orang lain, “Hudaya dan Citra Gati. Tugasmu adalah mengawasi keadaan
Sidanti. Berilah kesempatan kepadanya untuk melawan Macan Kepatihan itu,
namun apabila keadaan tak menguntungkan baginya, jangan biarkan macan
itu mengganas. Berusahalah bertempur tidak terlalu jauh daripadanya”
Hudaya, laki-laki yang hampir diseluruh
wajahnya ditumbuhi rambut, tertawa lirih. Matanya yang bulat tajam,
memandang Sidanti seperti tak mau melepaskannya. Katanya, “Baiklah.
Tetapi anak muda, jangan bermain-main dengan harimau itu”
“Baiklah kakang” jawab Sidanti.
Citra Gati, orang setengah umur yang
mengharap kehadiran Untara itu pun tersenyum, katanya, “Baiklah. Aku
sudah lama tidak melihat perkelahian yang berarti. Mudah-mudahan Angger
Sidanti dapat menyelesaikan pekerjaannya”
Sidanti tersenyum. Namun wajah yang
tampan itu rasa-rasanya begitu menakutkan bagi Agung Sedayu. Mungkin
terpengaruh oleh keberanian anak muda itu, atau mungkin karena Agung
Sedayu sendiri tak memiliki keberanian untuk melakukannya. Bahkan
menyebut nama Tohpati itu pun ia tak berani.
Ia terkejut ketika Sidanti itu tiba-tiba
saja berkata kepadanya, “Adi Sedayu, biarlah aku mencoba melakukan
pekerjaan yang seharusnya dipercayakan kepadamu. Mudah-mudahan aku dapat
melaksanakannya dengan baik. Bukankah begitu?”
Agung Sedayu menjadi bingung, namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya tanpa sepatah kata pun yang dapat diucapkan.
Sidanti menarik keningnya. Ia kini tidak
tersenyum. Sikap Agung Sedayu dianggapnya terlalu sombong. Katanya
kemudian, “Jangan tersinggung adi. Bukankah kau terlalu lelah setelah
bertempur melawan pande besi Sendang Gabus dan Alap-alap yang cengeng
itu. Nah, sekarang biarlah aku melawan Macan Kepatihan yang garang, yang
sekaligus akan dapat menelan lebih dari sepuluh Alap-alap macam
Pratanda itu”
Kembali dada Sedayu berdesir. Sama sekali ia tidak merasa tersinggung dan sama sekali ia tidak bermaksud apa-apa.
Dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Sehingga anak muda itu semakin tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Widura melihat keadaan itu. Maka katanya,
“Jangan berprasangka Sidanti. Sedayu adalah seorang anak pendiam.
Memang tabiatnya berbuat demikian. Ia tidak tersinggung dan sama sekali
tidak bermaksud menyombongkan diri”.
Tetapi Sidanti masih belum puas.
Jawabnya, “Adakah Sidanti tidak cukup berharga untuk mendapat jawaban
dengan kata-kata, tidak hanya sekedar menganggukkan kepala. Jangan
dinilai Sidanti sama harganya dengan Alap-alap Jalatunda”
Semua yang mendengar kata-kata itu
menarik keningnya. Seorang yang berkumis lebat menyahut, “Sudahlah
Sidanti, tidak baik kita ribut-ribut hanya karena salah paham”
“Aku tidak mulai” jawab Sidanti.
Sedayu menjadi semakin gemetar. Sama
sekali tak diduganya bahwa anak yang tampan dan tersenyum-senyum itu
adalah seorang yang mudah sekali, ya, mudah sekali tersinggung
perasaannya. Untunglah bahwa ruangan itu tidak terlalu terang, sehingga
tak seorang pun yang sempat melihat wajah Sedayu yang pucat.
Orang-orang yang hadir di ruangan itu,
yang sejak semula telah merasa berhutang budi kepada Agung Sedayu,
menilai sikapnya sebagai sikap yang dewasa. Agung Sedayu sama sekali
tidak melayani kemarahan Sidanti. Karena itu beberapa orang menjadi
semakin kagum karenanya. Orang yang berkumis lebat dan bertubuh raksasa
meneruskan kata-katanya, “Kau salah paham Sidanti. Sudahlah hangan
mengada-ada”
Sedayu mendengar kata-kata itu. Kata-kata
yang diucapkan oleh orang yang bertubuh kasar kaku. Namun ucapannya
menunjukkan kematangan dan kehalusan budinya. Tetapi orang yang setengah
umur dan bernama Citra Gati bersikap lain. Desisnya meskipun hanya
perlahan-lahan, “Sidanti. Kau masih belum mengalahkan Macan Kepatihan
itu. Jangan terlalu pagi mimpi menjadi pahlawan”
Sidanti mengerling kepada Citra Gati.
Kemudian hampir kepada semua yang hadir. Agaknya mereka berpihak kepada
Agung Sedayu. Karena itu tiba-tiba Sidanti tersenyum. Senyum yang aneh.
Karena di balik senyum itu tersimpan bibit-bibit ketidak-senangannya
kepada Agung Sedayu.
Widura yang tidak mau membiarkan keadaan
itu berlarut-larut segera berkata, “Adakah kita akan menyergap laskar
Kepatihan ataukah kita ingin ribut-ribut soal yang sama sekali tak
berarti? Cepat tinggalkan tempat ini. Bersiaplah dengan anak buah kalian
masing-masing. Kita segera berangkat. Kita harus mencapai simpang empat
Pandean lebih dahulu”.
Widura tidak menunggu lebih lama lagi. Ia
mendapat kesan kurang menyenangkan dari pertemuan ini. Karena itu ia
sengaja mendahului, berdiri dan melangkah keluar sambil berkata,
“Beristirahatlah di pembaringanku Sedayu”
Orang-orang lain pun segera mengikutinya.
Satu-satu mereka melangkah keluar ruangan. Yang terakhir adalah demang
Sangkal Putung. Diperlukannya menghampiri Agung Sedayu sambil berbisik,
“Terima kasih ngger, kami penduduk Sangkal Putung tak akan pernah
melupakan jasa angger kali ini. Mudah-mudahan kami dapat membebaskan
diri dari cengkraman Macan Kepatihan itu. Kami tidak akan mengganggu
ketentraman istrirahatmu anakmas. Namun apabila terpaksa, aku akan
mengirimkan seorang yang akan memberitahukan kepadamu, apakah ada di
antara kita yang mampu melawan Macan Kepatihan itu. Kalau tak seorang
pun yang mampu melawannya, jangan angger biarkan kami. Kami masih mohon
perlindunganmu”.
Agung Sedayu tidak tahu, apakah yang akan
dikatakan. Tetapi ia tidak akan berdiam diri, atau menjawabnya dengan
anggukan kepala saja. Ia takut kalau-kalau Demang Sangkal Putung itu pun
akan salah mengerti dan menyangkanya anak muda yang benar-benar
sombong. Karena itu, tanpa setahunya sendiri, ia menjawab terbata-bata,
“Ya, ya, Bapak Demang”
Agaknya jawaban itu telah cukup
membesarkan hati Demang Sangkal Putung itu. Dengan tersenyum ia
mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih anakmas”
Maka pergilah demang itu dengan hati yang
lapang. Dilampauinya halaman rumahnya dan ditemuinya Jagabaya Sangkal
Putung. Diberinya orang itu beberapa keterangan dan besiaplah kemudian
anak-anak muda Sangkal Putung. Mereka siap dengan keteguhan hati,
menyelamatkan desa mereka, lumbung-lumbung mereka dan mempertahankan
dearah mereka dari sergapan laskar Macan Kepatihan. Sebab apabila mereka
tidak berhasil, maka untuk masa yang panjang Sangkal Putung akan
mengalami paceklik. Yang berdiri di paling depan adalah anak muda yang
bulat kokoh meskipun tidak begitu tinggi. Dengan mata yang berseri-seri
ia menimang-nimang senjatanya. Sabuah pedang bertangkai gading. Anak itu
adalah anak Demang Sangkal Putung. Swandaru. Namun agaknya anak muda
itu tidak puas dengan namanya, maka ditambahnya sendiri menjadi Swandaru
Geni.
“Ayah” ia bertanya kepada ayahnya, “adakah Macan Kepatihan itu sangat menakutkan?”
“Ia adalah seorang yang sangat sakti nDaru” jawab ayahnya.
Swandaru tertawa. Memang anak itu selalu
tertawa, sedang di dadanya selalu tersimpan keinginan dan cita-cita yang
tanpa batas. Katanya, “Apakah ukuran kesaktian seseorang? Apakah Macan
Kepatihan itu kebal? Biarlah aku nanti mencoba melawannya”
Demang Sangkal Putung menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Dalam laskar Adi Widura, seseorang telah menempati
dirinya sebagai lawannya”.
“Siapa?” bertanya anak muda itu.
“Angger Sidanti” jawab ayahnya.
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak
begitu suka kepada Sidanti. Tetapi ia tidak berani melawan anak itu.
Sebab ia pernah ditampar pipinya. Ketika ia akan membalas, tiba-tiba
saja tangannya telah terpilin ke belakang. Sidanti dapat bergerak
secepat tatit.
Tetapi Swandaru tidak puas dengan nasibnya itu. Ia sama sekali tidak senang atas perlakuan Sidanti kepadanya.
“Sidanti lebih tua beberapa tahun dari
aku” pikirnya, “Nanti pada umurku setua Sidanti sekarang, aku harus
sudah melampauinya” Dan Swandaru ternyata tidak tinggal diam. Dengan
tekun ia selalu berusaha menambah ilmunya. Tetapi anak muda itu tidak
pernah mengetahuinya bahwa Sidanti pun dengan pesatnya maju. Dengan
teratur anak muda itu selalu mendapat bimbingan dari gurunya, Ki Tambak
Wedi, meskipun tidak setiap hari. Dimana ada Sidanti berada bersama
laskar Widura, maka gurunya selalu datang kepadanya. Sepekan atau
sepuluh hari sekali.
Sedang menurut pikiran Swandaru yang
sederhana itu, apabila ia berlatih terus, maka ilmunya pun akan masak
dengan sendirinya. Sedang bekal dari ilmunya itu diterimanya dari
ayahnya, dari beberapa orang sedesanya yang semuanya itu tidak ada yang
melampaui, bahkan menyamai pun tidak, dengan Sidanti sendiri. Meskipun
demikian, Swandaru telah membawa bekal dalam tubuhnya yang gemuk itu.
Anak muda itu tenaganya bukan main. Dan ia bangga pada kekuatannya itu.
Setiap pagi ia berusaha menambah kekuatannya dengan mengangkat apa saja
yang dijumpainya. Batu-batu besar, kayu-kayuan dan bahkan seekor anak
kerbau.
Dan kini anak Demang Sangkal Putung itu
bersama beberapa kawan-kawannya telah siap untuk bersama-sama dengan
laskar Widura menghadapi laskar Macan Kepatihan yang berusaha merebut
perbekalan mereka.
Pada saat ayam jantan berkokok untuk yang
terakhir kalinya, laskar Widura bersama-sama anak-anak muda Sangkal
Putung itu pun mulai bergerak. Dengan cepat mereka berjalan ke Pandean.
Seperti rencana semula, maka laskar itu pun segera menyembunyikan diri
di belakang puntuk-puntuk, parit dan pepohonan. Dengan hati yang tegang
mereka menunggu.
Sidanti duduk bersandar sebatang pohon
aren. Tangannya yang bergelang akar itu membelai senjatanya, sebatang
tombak pendek, dengan ujung tajam dikedua sisinya. Manggala. Dan
dinamainya senjatanya itu Kiai Muncar. Senjata pemberian gurunya, yang
selama ini dibangga-banggakan. Pada tangkai senjatanya itu terukir
gambar dua ekor ular yang saling membelit. Sedang pada kedua buah
kepalanya yang bertolak belakang, terjulurlah lidah ular itu. Dan lidah
ular itulah kedua mata nenggala yang bernama Kiai Muncar itu.
Anak muda itu pun menunggu dengan hati
yang tegang. Yang berada di dalam kepalanya adalah Macan Kepatihan yang
namanya ditakuti hampir di seluruh Jipang dan Pajang. Sekali-sekali
dipandanginya senjatanya, seakan-akan ia bertanya kepadanya, “Apakah kau
akan mampu melawan senjata Tohpati yang mengerikan itu?”
Dari gurunya Sidanti pernah mendengar,
bahwa Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan itu bersenjata sebuah
tongkat baja putih. Di ujung tongkat itu terdapat sebuah logam yang
dinamainya besi kuning, berbentuk tengkorak. Karena itu maka Ki Tambak
Wedi yang agaknya telah mempersiapkan muridnya untuk melawan Tohpati
itu, dan membekalinya dengan senjata yang tak kalah dahsyatnya.
Pada suatu kali Ki Tambak Wedi itu pernah
berkata kepada muridnya, “Sidanti, di Jipang, sepeninggal arya
Penangsang dan Patih Mantahun, maka orang yang ditakuti adalah Tohpati.
Karena itu, bila kau dapat menangkapnya hidup atau mati, maka namamu pun
akan segera di tempatkan tepat dibawah nama Sutawijaya. Sedang
Sutawijaya itu bukanlah seorang yang perlu ditakuti pula. Apalagi putera
adipati Pajang itu sendiri. Kelak apabila kau telah mendapat kesempatan
yang baik dalam tataran keprajuritan di Pajang, maka bukanlah pekerjaan
yang sulit bagimu untuk menyingkirkan Sutawijaya. Biarlah Pemanahan,
Penjawi dan Juru Mertani kelak menjadi urusanku”
Sidanti tersenyum. Terbayang di dalam angan-angannya sebuah jalan lurus keistana Pajang meskipun jauh.
Tiba-tiba Sidanti terkejut ketika ia
mendengar gemerisik di belakangnya. Ketika menoleh dilihatnya Swandaru
berjalan terbungkuk-bungkuk kepadanya.
“Apa kerjamu?” bertanya Sidanti berbisik.
Swandaru duduk di sampingnya, dan dijawabnya lirih, “Mencarimu. Kau akan melawan Macan Kepatihan?”
Sidanti mengangguk
“Sendiri?”
Kembali Sidanti mengangguk.
“Aku ikut” minta Swandaru
“Jangan gila” desisi Sidanti.
“Kenapa?”
“Kita tidak sedang bermain kucing-kucingan, tetapi kita akan menentukan hidup mati bagi Sangkal Putung”
“Aku tahu, karena itu Tohpati harus mati. Kita keroyok berdua”
“Jangan mengigau. Kembali kekelompokmu”
“Aku di sini” bantah Swandaru.
Sidanti menjadi tidak senang. Karena itu ia membentak perlahan-lahan, “Kembali. Atau aku tampar mulutmu”
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak mau ditampar untuk kedua kalinya. Karena itu ia pun diam.
Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka
mendengar suara burung kulik. Itulah pertanda bahwa laskar Macan
Kepatihan telah dilihat oleh pengawas.
“Kembali kekelompokmu” Sidanti mengulangi, dan Swandaru pun segera merangkak ke kelompoknya.
Widura telah berdiri di balik sebatang
pohon yang berdiri di dekat perapatan. Dari kelokan jalan di ujung bulak
yang pendek ia melihat serombongan orang berjalan ke Sangkal Putung.
Namun mereka tidak melewati jalan di
simpang empat itu. Mereka segera meloncati parit, dan menyusur pematang,
memotong langsung menuju Sangkal Putung.
“Mereka menyusuri pematang” bisik Ki Demang.
Widura tidak segera menjawab. Tetapi
tampaklah ia sedang berpikir. Tiba-tiba ia mendengar suara burung kulik
untuk kedua kalinya. Karena itu katanya, “Bukan induk pasukan. Itulah
cara Macan Kepatihan memancing lawannya ke arah yang keliru”
Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya. Gumamnya, “Macan yang cerdik”
“Macan itu memang berotak terang” sahut
Widura. “Rombongan itu akan menyerang dari arah utara. Mereka menyangka
bahwa kita masih belum tahu akan kedatangannya. Apabila kemudian
laskarku dan anak-anak muda Sangkal Putung menyongsongnya ke utara, maka
induk pasukannya akan datang, dan melanda Sangkal Putung dari jurusan
ini”
Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi timbullah persoalan di dalam dadanya, karena itu ia bertanya, “Kita menunggu induk pasukan?”
“Ya, “jawab Widura.”Bagaimanakah dengan orang-orang yang memintas di atas pematang itu?”
Widura berpikir sejenak, “Sedang aku
pikirkan” katanya. Dan sesaat kemudian ia memanggil selah seorang anak
buahnya, “Sonya” katanya. Ketika yang dipanggil telah berdiri di
sampingnya, “Adakah kau masih jagoan lari?”
Sonya memandang Widura dengan penuh
pertanyaan. Tetapi ia menunggu sampai Widura memberinya penjelasan.
“Pancinglah orang-orang itu”
“Apa yang harus aku lakukan?” bertanya orang itu.
Widura mengerutkan alisnya. Kemudian
katanya, “Mudah-mudahan berhasil”. Widura itu berhenti sesaat. Kemudian
dilanjutkannya, “Muncullah dari dalam parit. Berteriaklah memanggil
mereka seakan-akan mereka adalah orang Sangkal Putung. Apabila mereka
telah berhenti, beritahukan kepada mereka, bahwa kau melihat laskar
datang untuk menyerang Sangkal Putung. Aku harap mereka menjadi
ragu-ragu. Nah sesudah itu kau akan mengatakan kepada mereka hal yang
sebenarnya. Laskar penyerang itu telah membagi kekuatannya. Yang
memintas itu adalah laskar pancingan, dan yang lain akan menyusul.
Seterusnya kau harus berlari ke Sangkal Putung. Bunyikan tanda bahaya”.
Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
tahu bahwa tugasnya tidak seberat harus bertempur melawan mereka, “Apa
selanjutnya?” ia bertanya.
“Serahkan kepada kami” jawab Widura.
Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
Widura masih memberinya beberapa petunjuk dan penjelasan. Ia hanya
harus berlari ke Sangkal Putung. Selebihnya tidak. Meskipun demikian,
apabila rencana itu meleset, maka ada juga bahayanya.
“Sekarang?” bertanya orang itu.
“Ya, cepat, sebelum mereka terlampau jauh ketengah persawahan” sahut Widura.
Sonya itu pun kemudian merangkak, dan
melompat kedalam parit. Setelah ia menyusur parit itu beberapa puluh
tombak, maka diangkatnya kepalanya sambil berteriak nyaring, “Hei, siapa
itu. Adakah kalian orang-orang Sangkal Putung?”
Di dalam kesepian ujung malam suara itu
melengking seperti membentur gunung Merapi. Orang-orang yang berjalan di
pematang itu pun mendengar suaranya. Serentak mereka berhenti dan
memandang ke arah suara itu. Pada saat itulah Sonya meloncat dari dalam
parit sambil mengulangi pertanyaannya.
Rombongan yang tak begitu besar itu pun
berhenti. Mereka tegak berjajar di pematang seperti wayang sedang di
simping. Sesaat mereka saling berpandangan. Apalagi kemudian ketika
mereka mendengar suara Sonya berteriak, “Hei dengar, desa kalian akan
mendapat serangan. Lihat sebentar lagi laskar itu akan datang”
Orang-orang dalam rombongan itu pun
saling bertanya-tanya. Siapakah orang yang berteriak-teriak itu. Adakah
ia orang Sangkal Putung? Tetapi bagaimanapun juga, ternyata bahwa orang
itu telah melihat induk pasukannya.
Dalam keadaan yang tiba-tiba itu,
pemimpin rombongan tidak segera dapat mengambil keputusan. Sesaat mereka
masih tegak di atas pematang itu. Bahkan terdengar salah seorang di
antara mereka bergumam sesama, “Siapakah dia?”
Kawannya menggeleng, jawabnya, “Entahlah, tetapi ia melihat induk pasukan”
“Berbahaya” sahut yang lain.
“Ya” akhirnya pemimpin pasukan itu pun berkata, “Tangkap orang gila itu”
Dua orang dari rombongan itu kemudian melangkah kembali. Mereka segera mendekati Sonya. Sedang yang lain masih diam mematung.
Widura melihat pertunjukan itu dengan
hati yang tegang. Setidak-tidaknya, waktu mereka terulur. Apabila induk
pasukan itu muncul dan terlibat dalam pertempuran dengan laskarnya, maka
rombongan itu pasti akan kembali. Namun apabila tidak, maka ia harus
mengambil kebijaksanaan lain. Sebagian laskarnya harus dikirim kembali,
dan melawan rombongan kecil pecahan laskar Macan Kepatihan itu.
Ketika Sonya melihat dua orang datang
kepadanya, maka katanya di dalam hati, “Tepat juga dugaan Ki Widura. Aku
harus berlomba lari” Tetapi Sonya tidak menunggu orang itu menjadi
terlalu dekat. Tiba-tiba ia berteriak, “Hei, ternyata kalian bukan orang
Sangkal Putung. Kalau begitu kalian adalah laskar Jipang yang akan
mencoba memancing pertempuran di sebelah utara Sangkal Putung. Sedang
laskar yang datang kemudian adalah induk pasukan.”
“Siapa kau?” tiba-tiba terdengar salah seorang dari rombongan orang-orang itu bertanya.
Sonya tidak menjawab. Tetapi dipenuhinya
perintah Widura yang terakhir. Segera ia meloncat dan berlari kembali ke
Sangkal Putung. Dua orang yang akan menangkapnya itu pun mengejarnya.
Namun ketika Sonya berlari lewat perapatan dan kedua orang itu
mengejarnya terus, tiba-tiba saja keduanya terbanting jatuh dan tidak
bangun kembali.
Pemimpin rombongan itu menjadi heran.
Dari jarak yang agak jauh, mereka hanya melihat bayangan orang-orangnya
itu berlari dan kemudian tiba-tiba saja lenyap seperti ditelan
perapatan.
Kawan-kawan mereka pun melihat kedua orang itu hilang. Karena itu mereka menjadi heran.
Sedang Sonya yang sedang berlari itu
berlari terus. Sekali ia menoleh, dan pengejar-pengejarnya tidak
dilihatnya lagi. Meskipun demikian, karena ia tidak mendapat perintah
lain, maka ia pun berlari terus ke Sangkal Putung.
Pada saat itu, cahaya yang merah telah
membayang di timur. Bersamaan dengan munculnya sebuah rombongan lain
dari balik tikungan. Demikian orang-orang itu tampak dimata Widura,
demikian ia meraba hulu pedangnya. “Hem” geramnya, “Itulah induk pasukan
mereka”
Demang Sangkal Putung itu pun
mengangguk-angguk. Dilihatnya serombongan orang berjalan tak teratur,
seperti habis menonton tayub. Namun disadarinya, bahwa mereka adalah
prajurit-prajurit Jipang yang tak kalah nilainya dari prajurit-prajurit
Pajang. Hanya karena kekalahan-kekalahan yang berturut-turut dialami
adipatinya, sehingga gugur, maka tekad mereka sudah tidak sebulat
sebelumnya.
Pemimpin rombongan itu, seorang anak muda
yang bertubuh tinggi berdada bidang dan kekar terkejut ketika
dilihatnya pecahan laskarnya masih tegak di pematang. Dan dengan serta
merta ia berteriak, “Hei, kenapa kalian masih di sana?”
Pemimpin rombongan itu pun menjadi
bimbang. Sebelum ia menjawab terdengarlah tanda bahaya bergema di
kademangan Sangkal Putung. Kentong titir.
“Gila” umpat anak muda itu. “Cepat, capai Sangkal Putung lebih dahulu sebelum kami”
“Mereka telah melihat kita. Kami dan
kalian. Seseorang dari mereka mengetahui dengan pasti, bahwa induk
pasukan akan menyusul” jawab pemimpin rombongan itu dari tengah sawah.
Anak muda yang jangkung itu berpikir sejenak, “Dari mana kau tahu?”
“Baru saja ia berlari ke Sangkal Putung
sambil berteriak-teriak tentang laskar pecahan ini dan induk pasukan”
Sahut yang di pematang.
“Gila. Kenapa tidak kalian tangkap?”
“Kami sudah berusaha. Tetapi gagal”
Rombongan itu tiba-tiba berhenti.
Pemimpinnya, anak muda yang tidak lain adalah kemenakan patih Jipang
Mantahun, yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan itu
mengerutkan keningnya.
“Berhenti di tempat kalian!” teriak
Tohpati. Kemudian dengan seksama ia melihat jalan yang terbentang di
hadapannya. Jalan itu sepi, namun kesepian itu terasa tegang. Macan
Kepatihan adalah seorang yang cerdas dan cermat di setiap garis
peperangan. Karena itu tiba-tiba ia berkata nyaring kepada yang masih
tegak di pematang, “Jalan terus, kami pun akan mengikuti jalanmu itu”
“Bukan main” desis Widura sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Anak itu cerdik seperti demit”
Demang Sangkal Putung itu pun menggeleng-geleng pula. Katanya, “Apakah yang akan kita lakukan?”
Widura sadar bahwa ia harus bertindak
cepat. Karena itu ia berkata, “Kita harus cepat mulai, sebelum jarak di
antara laskar kita dan laskar Tohpati itu menjadi semakin jauh. Sebagian
rencana kita sudah gagal, namun sebagian besar belum. Kita pasti akan
dapat mencapai hasil seperti apabila mereka berjalan tepat di muka
hidung kita”
Widura segera mencabut pedangnya.
Kemudian dilemparkannya sebuah kerikil kepada seseorang di sampingnya
sebagai perintah. Kemudain terdengarlah bunyi burung tuhu berturut-turut
tiga kali.
Semua anak buahnya menjadi tegang. Mereka
sudah harus bersiap untuk menyergap. Namun jarak kedua pasukan itu,
masih belum terlalu dekat. Tetapi mereka sadar, bahwa laskar Macan
Kepatihan itu tidak akan lewat di simpang empat.
Kepada Ki Demang, Widura berkata, “Bapak
Demang, bawalah anak-anak Sangkal Putung langsung memotong laskar mereka
yang terpisah. Mereka pasti akan kembali dan berusaha membantu induk
pasukannya. Pecahan itu pasti bukan orang-orang pilihan. Mereka hanya
dipakai sekedar untuk mengelabuhi lawan-lawannya”.
Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara
itu Widura melemparkan kerikil untuk kedua kalinya. Dan kembali
terdengar bunyi burung tuhu berturut-turut tiga kali.
Sindanti tersenyum. Ia pun telah tegak di
belakang pohon aren itu. Ketika ia mendengar aba-aba untuk kedua
kalinya, anak muda itu tidak menunggu lebih lama lagi. Perintah untuk
menyerang itu disambutnya dengan sebuah loncatan dan dengan cepat ia
menghambur lari langsung ke arah Macan Kepatihan.
Tohpati terkejut mendengar bunyi burung
tuhu. Otaknya yang terang segera mengenal, bahwa yang didengarnya itu
sama sekali bukan bunyi burung yang sebenarnya. Karena itu ia pun segera
berteriak nyaring, “Siapkan senjata kalian!”
Tetapi anak buahnya tidak menyangka bahwa
mereka akan segera menerima sergapan. Mereka masih mengira bahwa
kedatangannya baru diketahui oleh seorang pengawas saja. Namun tiba-tiba
saja di hadapan mereka, muncul laskar Widura berloncatan dari
balik-balik pohon dan parit-parit. Karena itu sebagian mereka menjadi
gugup. Tetapi karena mereka adalah prajurit-prajurit yang berpengalaman,
segera mereka dapat menguasai diri mereka, dan dengan tangkasnya mereka
mencabut senjata-senjata mereka.
Macan Kepatihan itu menjadi sangat marah.
Ternyata kehadirannya kali ini telah diketahui benar oleh lawannya.
Karena itu maka segera ia berteriak nyaring, katanya, “Bagus, kalian
ternyata menyambut kedatangan kami. Ayo, majulah!”
Kedua laskar itu pun menjadi semakin
dekat. Tetapi laskar Widura lebih mapan dari lawannya. Mereka sudah lama
bersiap untuk bertempur, sedang laskar Tohpati itu harus mempersiapkan
diri dengan tergesa-gesa. Tetapi Tohpati tidak menjadi bingung, bahkan
terdengar ia memberi aba-aba kepada pecahan laskarnya, “Jangan kembali,
langsung ke jantung Sangkal Putung. Bakar setiap rumah yang ada di sana
dan bunuh semua orang!”
Widura sadar bahwa itu adalah suatu cara
untuk memecah perhatian lawannya. Karena itu ia pun berteriak pula,
“Swandaru, cagah mereka. Kekuatan itu sama sekali tidak berarti, yang
lain tetap pada rencana!”
Swandaru pun segera meloncat dari
persembunyiannya. Dengan tangkasnya ia memutar pedang bertangkai gading
di tangannya. Terdengarlah anak itu berkata, “Ayah, apa yang harus aku
lakukan sekarang?”
“Kau dengar perintah pamanmu Widura?” sahut ayahnya.
“Adakah Macan Kepatihan itu di sana?” bertanya anak itu pula.
“Tak ada waktu untuk meributkannya” potong ayahnya, “Pergilah segera”
Swandaru yang gemuk itu pun kemudian
berlari, seperti roda yang menggelinding di tanah-tanah yang becek.
Sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ia berteriak-teriak seperti
sedang menghalau burung pipit yang mencuri padi di sawah. Kawan-kawannya
yang melihat Swandaru itu pun segera berlari menyusulnya. Seperti
Swandaru, mereka berteriak-teriak pula memekakkan telinga.
Meskipun demikian, namun anak-anak muda
Sangkal Putung itu bukan anak-anak yang hanya pandai berteriak-teriak
saja. Sejak keadaan antara Pajang dan Jipang kian memburuk, mereka telah
menentukan sikap. Dibawah asuhan-asuhan pemimpin-pemimpin kademangan,
mereka melatih diri dengan tekun. Apalagi ketika kemudian datang Widura
berserta laskarnya. Anak-anak itu pun menjadi semakin bernafsu melatih
diri. Karena itu, maka mereka pun mempunyai cukup kemampuan untuk
menggerak-gerakkan senjata-senjata mereka.
Namun demikian, Widura tidak melepaskan
anak-anak itu, dibawah pimpinan Swandaru, Jagabaya dan kemudian demang
Sangkal Putung itu sendiri, melakukan perlawanan terhadap laskar Jipang
yang terlatih itu, meskipun hanya sebagian kecil dan bukan orang-orang
pilihan. Karena itu, maka beberapa orangnya pun diperintahkannya untuk
membantu mereka, serta untuk menjaga agar tekad anak-anak itu tidak
goyah karena kekalahan-kekalahan kecil.
Tohpati, yang mendengar aba-aba Widura
itu pun menggertakkan giginya. Percayalah ia kini, bahwa Widura tidak
akan mudah ditipunya. Rencananya yang sudah disusun masak-masak itu,
ternyata dapat diruntuhkan oleh Widura. Bahkan usahanya yang terakhir,
mempengaruhi tekad perlawanan musuhnya itu pun dapat dipatahkan pula
oleh pengaruh kata-kata Widura itu. Karena itu, maka kesempatan yang
pendek itu pun dipergunakannya baik-baik. Semula ia akan menarik suatu
garis datar langsung menghadapi laskar lawannya. Tetapi laskar Widura
itu pun laskar yang cukup masak. Kelambatan Tohpati yang hanya sesaat,
karena kebingungan beberapa orang pimpinan kelompoknya, telah merubah
keseimbangan antara mereka. Beberapa orang anak buah Widura telah
berhasil melampaui garis yang akan dibuat oleh Macan kepatihan itu,
untuk kemudian merangsang dari lambung.
Tetapi Tohpati tidak pula kalah cekatan.
Segera ia menarik sebagian laskarnya kesatu sisi, dan dibuatnya sebuah
garis pertahanan yang lengkung. Wulan Punanggal.
Widura masih menyaksikan aba-aba Tohpati
dan kelincahan laskarnya. “Luar biasa” desisnya, “Apakah kira-kira yang
dapat dilakukan oleh gurunya, Mantahun dimasa hidupnya?”
Kemudian Widura itu pun melihat, betapa
lincahnya Sidanti menyusup di antara kesibukan laskar kedua belah pihak
yang sudah mulai terlibat dalam pertempuran.
Anak muda itu langsung menghampiri
Tohpati yang masih tegak memandang berkeliling. Dengan cermat ia
mengawasi keadaan medan, dipelajarinya kedudukan laskarnya dan kedudukan
laskar lawannya. Dilihatnya pula pecahan laskarnya di tengah-tengah
sawah yang juga sudah melakukan perlawanan terhadap anak-anak muda
Sangkal Putung yang melanda mereka itu seperti banjir. Dengan semangat
yang menyala-nyala anak-anak muda itu bertempur. Ternyata, meskipun
Swandaru harus berhadapan dengan prajurit-prajurit Jipang, namun
kekuatannya benar-benar berpengaruh atas pertempuran itu. Ayunan
pedangnya benar-benar mengerikan. Setiap usaha untuk menangkisnya, maka
akibatnya adalah pedang lawannya itu terpental jatuh.
Tohpati terkejut ketika ia melihat
seseorang melompat kehadapannya sambil tersenyum. Kemudian terdengar
orang itu berkata, “Selamat pagi Tohpati. Bukankah kau yang bernama
Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan?”
Tohpati mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Apa maumu?”
“Aneh” sahut orang itu, yang tidak lain adalah Sidanti. “Kita berada di dalam pertempuran”
“Bagus” seru Tohpati. “Mana paman widura?”
“Aku akan mewakilinya” jawab Sidanti.
Tohpati masih tetap acuh tak acuh. Ia
mencoba mencari Widura di antara laskar lawannya. Sebelum pecah
perselisihan Jipang dan Pajang, Widura telah dikenalnya. Dan kini ia
ingin mencoba, apakah Widura masih segarang seperti pada masa-masa
lampaunya.
“Siapa yang kau cari?” tiba-tiba terdengar suara Sidanti.
“Pergilah!” bentak Tohpati. “Orang yang
pertama-tama akan aku bunuh adalah paman widura. Aku tidak ada waktu
berkelahi dengan kelinci-kelinci macam kau”. Sementara itu tangan kiri
Tohpati itu melambai kecil. Dan meloncatlah seorang anak buahnya
kesisinya. “Selesaikan anak ini” katanya.
Orang itu tak menunggu perintah untuk
kedua kalinya. Hiruk pikuk pertempuran di sekitar mereka tak banyak
memberi mereka waktu. Karena itu, maka anak buah Tohpati itu pun segera
menyerang Sidanti dengan sebuah tusukan pedang. Tetapi tiba-tiba mata
Tohpati itu pun terbeliak. Yang dilihatnya, dengan suatu gerakan yang
hampir tak tampak oleh mata, Sidanti telah memiringkan tubuhnya, dan
dengan satu gerakan yang tak terduga-duga tangan kirinya telah berhasil
menyobek perut lawannya dengan senjatanya. Terdengar orang itu berteriak
nyaring, dan kemudian tubuhnya terbanting di tanah.
“Hadiah yang tak menyenangkan” desis Sidanti.
Wajah Macan Kepatihan itu pun menjadi merah. Ditatapnya muka Sidanti. Tampaklah anak muda itu tersenyum.
Sementara itu langit pun telah menjadi
semakin cerah. Cahaya matahari pagi tampak seakan-akan
berloncat-loncatan di ujung-ujung senjata. Dan karena itulah maka
kemudian Tohpati melihat senjata yang tajam pada ujung pangkalnya di
tangan Sidanti itu. Tohpati itu pun terkejut. Terdengarlah ia menggeram
parau, “Tambak Wedi”
Sidanti masih tersenyum. Jawabnya, “Kau kenal nama itu?”
“Ya” sahut Macan Kepatihan. “Aku kenal Ki Tambak Wedi, aku kira kau adalah salah seorang muridnya”
Sidanti mengangguk, “Kau benar” katanya.
“Bagus!” seru Tohpati, “Tambak Wedi telah
mengkhianati pamanku. Orang itu adalah sahabat paman Mantahun. Namun
ketika terjadi bentrokan antara Jipang dan Pajang ia mengingkari
persahabatannya. Bahkan kini muridnya di tempatkannya di pihak Pajang”
“Jangan merajuk” jawab Sidanti. “Guruku melihat, bahwa tak ada gunanya memihak Jipang, sebab Jipang pasti akan hancur”
“Pamanku pun berkata demikian” potong
Tohpati cepat-cepat. “Orang semacam Tambak Wedi pasti tidak akan
mempunyai kesetiaan pada suatu sikap. Kau pernah melihat batang ilalang?
Nah, itulah dia. Bila angin bertiup keutara, maka tunduklah ia ke arah
angin itu, bila angin kemudian berputar keselatan, batang ilalang itu
pun berputar pula”
“Cukup” teriak Sidanti. Betapa
tersinggung mendengar kata-kata Tohpati. Karena itu ia pun segera
bersiap dengan nenggala yang dinamainya Kiai Muncar.
“Senjata itu ada di tanganmu sekarang” berkata Tohpati pula, “Nah, aku ingin melihat, apakah kau dapat mempergunakannya”.
Sidanti tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya ia menyerang dengan senjata yang dahsyat itu.
Tetapi yang diserang kini adalah Macan
Kepatihan. Meskipun demikian Tohpati itu pun terkejut pula melihat
kecepatan gerak lawannya. Tetapi Tohpati adalah seorang prajurit yang
berpengalaman dalam pertempuran bersama dan dalam perkelahian
perseorangan. Karena itu serangan Sidanti itu sama sekali tidak
mencemaskannya.
Sesaat kemudian kedua orang itu telah
terlibat dalam suatu pertempuran yang sengit. Sidanti benar-benar dapat
memanfaatkan kedua tajam senjatanya di ujung dan pangkalnya itu.
Nanggala itu berputar seperti baling-baling, kemudian mematuk-matuk
seperti seekor ular naga yang sedang marah. Sekali-sekali dengan satu
ujung, namun tiba-tiba dengan sebuah putaran yang cepat, ujung yang
lainnya menusuk pula dengan dahsyatnya. Benar-benar seperti sepasang
ular naga yang garang.
Tetapi senjata Tohpati tidak kalah
mengerikan. Tongkat baja yang gemerlapan dibawah cahaya matahari pagi,
seakan-akan dari tongkat itu berloncatan butiran-butiran mutiara dan
menghambur di sekitar tempat perkelahian itu. Dan di ujung cahaya yang
putih mengkilap itu tampaklah leretan-leretan kuning seperti seekor
lebah raksasa yang berterbangan. Apabila lebah kuning itu berhasil
hinggap di tubuh lawannya, maka akibatnya adalah maut. Itulah kepala
tongkat Tohpati, yang dibuatnya dari besi kuning berbentuk tengkorak
kecil.
Tohpati dan Sidanti adalah dua anak muda
yang sebaya. Kedua-duanya mempunyai bekal yang cukup dan mempunyai nafsu
yang sama-sama berkobar di dalam dada masing-masing.
Di sekitar mereka pun pertempuran menjadi
semakin seru. Widura dengan penuh kesungguhan memimpin anak buahnya
hampir disemua tempat. Orang itu dapat menyusup di segala titik
pertempuran. Karena itulah maka anak buahnya menjadi berbesar hati,
sebab setiap kali dilihatnya pemimpin mereka yang perkasa itu ada di
sampingnya.
Di tengah sawah, laskar pecahan yang
memisahkan diri dari induk pasukannya itu pun bertempur dengan
sengitnya. Anak-anak muda Sangkal Putung benar-benar mengamuk
sejadi-jadinya. Mereka merasa bahwa hari depan mereka, bahkan hari depan
kampung halamannya sedang terancam. Apabila mereka kali ini gagal
mempertahankannya, maka untuk seterusnya mereka akan kehilangan masa
depan mereka. Sebab akibat dari kehancuran kampung halamannya kali ini,
akan panjang sekali. Kesedihan, kemelaratan, paceklik yang panjang
karena lumbung-lumbung mereka akan habis dirampas dan banyak
penderitaan-penderitaan yang lain. Ibu-ibu mereka, istri-istri mereka
dan adik-adik mereka akan menjadi korban pula karenanya. Meskipun
demikian, lawan-lawan mereka adalah prajurit-prajurit yang terlatih.
Itulah sebabnya, maka kadang-kadang mereka menjumpai
perlawanan-perlawanan yang tak mereka duga-duga. Untunglah bahwa di
antara mereka terdapat orang-orang yang berpengalaman pula. Jagabaya
Sangkal Putung, yang meskipun sudah agak lanjut umurnya, namun ia adalah
bekas prajurit Demak yang baik. Demang mereka yang penuh dengan
tanggung jawab ada pula di antara mereka. Meskipun betapa berat hati,
Demang itu melihat darah yang harus tertumpah. Namun akhirnya
disadarinya, bahwa pada suatu saat pedang di tangannya harus diayunkan,
apabila kebenaran dan haknya telah terancam. Apalagi ada pula di antara
mereka, beberapa orang anak buah Widura yang dapat memimpin mereka dalam
keadaan-keadaan sulit.
Tohpati yang terikat dalam pertempuran
dengan Sidanti menggeram marah. Kesempatannya untuk memperhatikan
keadaan medan sangat terbatas. Sesaat-sesaat ia melihat juga Widura
berloncatan kian kemari hampir di seluruh daerah pertempuran, namun ia
tidak dapat mengimbanginya. Karena itu, maka kemarahannya semakin
memuncak. Sehingga kemudian dengan tenaga sepenuhnya ia bertempur untuk
segera menghancurkan lawannya. Sidanti pun kemudian memeras tenaganya
dalam perlawanannya atas Macan Kepatihan itu. Namun kemudian terasa,
betapa garangnya harimau yang namanya ditakuti oleh hampir setiap orang
Jipang dan Pajang. Betapa Sidanti mendapat tempaan tak henti-hentinya
oleh gurunya, namun kini ternyata, bahwa kesaktiannya belum dapat
melampaui, bahkan menyamai pun tidak, atas Macan yang garang itu.
Sedikit demi sedikit Sidanti merasa, bahwa lebah kuning itu semakin lama
semakin dekat dengan kulitnya. Bahkan sekali-sekali telah terasa
sentuhan angin yang tajam, yang dilontarkan oleh gerak besi kuning yang
berbentuk tengkorak itu.
“Setan” Sidanti menggeram. Ia mengumpat
tak habis-habisnya di dalam hati. Ternyata Macan Kepatihan itu
benar-benar melampaui dugaannya. Orang itu benar-benar dapat bergerak
demikian cepatnya, sehingga orang menyebutnya – Tohpati dapat berubah
menjadi asap.
Meskipun demikian, betapa pun garangnya
Macan Kepatihan itu, namun tidaklah terlalu mudah untuk mengalahkan
Sidanti. Anak muda murid Ki Tambak Wedi itu adalah anak yang tidak lekas
berputus asa. Dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya untuk
tetap melawan Macan Kepatihan itu betapa pun berbahayanya.
Tetapi ia tidak akan dapat memungkiri
kenyataan. Bahaya maut semakin lama semakin mendekat. Tongkat baja putih
berkepala kuning itu kian lama kian cepat seperti nyamuk yang
berputar-putar di telinganya. Karena itu, maka kemudian Sidanti terpaksa
beberapa kali melangkah surut, semakin lama semakin dalam di belakang
garis semula.
Widura melihat kesulitan Sidanti. Tetapi
ia tidak mencemaskannya. Sebab di samping anak muda itu bertempur Hudaya
dan Citra Gati. Orang-orang tua yang dapat dipercaya untuk
setidak-tidaknya meringankan tekanan Macan Kepatihan atas murid Ki
Tambak Wedi itu. Ia sendiri masih tetap berputar-putar di sepanjang
garis pertempuran. Karena itulah maka kemudian tampak, bahwa laskar
Widura berada dalam keadaan yang lebih baik dari lawannya.Hudaya pun
kemudian melihat kesulitan Sidanti. Adalah menjadi kewajibannya untuk
ikut serta memikul kesulitan itu. Karena itu segera ia meloncat,
melepaskan lawan-lawannya dan menyerahkannya kepada beberapa orang lain.
Dengan garangnya orang yang hampir di
seluruh wajahnya ditumbuhi rambut itu menerjunkan diri dalam lingkaran
pertempuran antara Sidanti dan Tohpati. Dengan sebuah tombak pendek ia
menyerang sambil berteriak, “Sidah aku katakan Sidanti, Macan ini tidak
dapat diajak bermain-main”
Melihat lawan yang baru itu Tohpati
menggeram. Kemarahannya telah membakar segenap syarafnya. Dengan
geramnya ia memjawab, “Ayo majulah, kenapa Widura tidak kau bawa serta”
Hudaya tertawa. Laki-laki itu sendiri
tidak tahu kenapa ia tertawa. Namun di dalam hatinya tumbuhlah
kebimbangan atas usahanya membantu Sidanti. Dengan penuh kesadaraan ia
berusaha mengusir setiap anggapan yang pernah didengarnya tentang Macan
Kepatihan itu, namun ketika sekali tombaknya tersentuh tongkat baja
putih itu, Hudaya berkata di dalam hatinya, “Pantaslah orang ini disebut
Macan Kepatihan. Sentuhan senjatanya terasa seperti membekukan segenap
urat darah” Walau pun demikian, Hudaya adalah seorang prajurit. Karena
itu, bagaimanapun juga keadaanya, namun ia harus berjuang.
Melihat Hudaya telah melibatkan diri
dalam perkelahian itu, Citra Gati tersenyum. “Hem, desisnya alangkah
sombongnya murid Ki Tambak Wedi. Namun akhirnya orang-orang tua juga
harus ikut menghadang bahaya. Kalau, ya kalau, Untara ada di antara
kita.” Tetapi Citra Gati pun tidak sampai hati membiarkan mereka berdua
mengalami bencana. Karena itu ia segera menyelinap di antara anak-anak
buah di dalam kelompoknya. Katanya, “Kita yakin atas kemenangan kita,
majulah.”
Kemudian Citra Gati itu pun berdiri di
dalam lingkaran pertempuran itu. Dengan tangkasnya ia berloncatan di
sela-sela senjata lawannya. Dengan sebuah pedang ia mencoba untuk
melawan Tohpati bersama-sama dengan Hudaya dan Sidanti.
Tetapi anak buah Macan Kepatihan itu pun
tidak membiarkan pemimpin mereka mengalami cedera karena beberapa orang
telah bertempur bersama-sama melawannya. Karena itu dengan serta merta
dua orang lain pun segera melibatkan dirinya pula. Sehingga dengan
demikian, keseimbangan perkelahian antara Sidanti dan Tohpati masih juga
belum berubah. Sebab Hudaya dan Citra Gati mau tidak mau harus berusaha
memusnahkan setiap serangan dari kedua orang Jipang itu. Karena itulah
maka kesempatan untuk membantu tidak sedemikian banyak seperti yang
diharapkan. Demikian agaknya orang-orang Jipang itu pun telah bersiap
pula apabila pemimpinnya mengalami peristiwa semacam itu.
Keadaan Sidanti pun semakin lama semakin
menjadi sulit. Hudaya dan Citra Gati bahkan kemudian tak dapat
diharapkannya lagi. Setiap orang Pajang yang mencoba melepaskan Hudaya
dan Citra Gati dari lawan-lawan mereka selalu mendapat lawan-lawan yang
baru.
Tetapi sementara itu, laskar Pajang telah
berhasil mendesak laskar lawannya dari ujung-ke ujung pertempuran.
Bahkan laskar Jipang yang bertempur melawan anak-anak muda Sangkal
Putung itu pun akhirnya terpaksa beberapa kali menarik diri surut.
Swandaru sendiri yang menyadari tenaganya yang perkasa, menghantam
setiap lawan yang berdiri di sekitarnya. Apalagi anak muda itu tidak
hanya melandaskan diri pada kekuatannya, namun ia tahu juga, bahwa ia
harus mempergunakan otaknya.
Ketika Widura melihat Sidanti semakin
terdesak, serta setelah dilihatnya, betapa Hudaya dan Citra Gati sama
sekali tidak berhasil membantunya dengan leluasa, Widura pun menjadi
cemas. Karena itu segera ia meloncat,menyusup di antara pertempuran itu
mendekati Sidanti yang telah hampir kehabisan tenaga. Macan Kepatihan
yang marah itu, telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk segera
membinasakan lawannya. Lawan yang bukan saja ditemuinya digaris
pertempuran ini, namun dendam gurunya kepada guru anak itu pun telah
memaksanya untuk bertempur sekuat tenaga.
Tetapi Widura datang tepat pada waktunya.
Pada saat Sidanti terdorong beberapa langkah surut, serta tongkat baja
itu telah terayun dengan derasnya, sehingga Sidanti tak mungkin lagi
menghindar, selain menangkis dengan Nenggalanya, pada saat itulah Widura
telah berada di sampingnya. Desisnya sambil menyilangkan pedangnya di
hadapan dadanya, “Aku terpaksa agak lambat menyambutmu Angger.”
“He” teriak Tohpati dengan marahnya.
Meskipun demikian ayunan tongkatnya tidak juga ditariknya. Dilihatnya
kemungkinan bahwa Nenggala yang dasyat itu kali ini tak akan mampu
melawan tenaganya, karena kedudukan Sidanti yang sulit. Namun tiba-tiba
dilihatnya bahwa pedang yang bersilang dimuka dada Widura itu terayun
dengan cepatnya memukul tongkatnya dari samping, sehingga tongkat itu
berubah arah.
Sidanti terhindar dari maut yang menerkamnya.
Namun meskipun demikian, tongkat baja
putih itu masih menyentuh pundaknya. Dengan demikian, maka Sidanti
terdorong beberapa langkah surut. Terdengarlah anak muda itu berdesis
menahan pedih yang menyengat pundaknya itu. Terasa sentuhan itu seperti
bara api yang dilekatkan pada kulitnya, ketika tangan kirinya meraba
pundak itu, terasa darahnya meleleh dari luka.
“Setan” desisnya dengan geram.
Kemarahannya membakar seluruh urat nadinya. Namun tangan kanannya
kemudian terasa seakan-akan terlepas dari persendiannya, sehingga tangan
itu dengan lemahnya tergantung di sisinya tanpa dapat digerakkannya.
Sidanti menggeram. Terdengar giginya
gemeretak menahan marah. Tetapi kini tenaganya telah susut lebih dari
separo. Setelah ia memeras tenaganya habis-habisan, kini pundaknya
terluka pula. Karena itu, maka Sidanti merasa, bahwa ia tak akan mampu
menumpahkan kemarahannya kepada Macan Kepatihan itu. Mau tidak mau
Sidanti harus menerima kenyataan yang terluka. Macan Kepatihan itu tidak
dapat dikalahkannya, bahkan pundaknya telah dilukainya. Maka ketika ia
melihat Widura telah siap untuk melawan Tohpati itu, Sidanti menjadi
agak tenang. Sebab dengan demikian maut telah berkisar dari dirinya.
Meskipun demikian, Sidanti masih mencari
sasaran untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan senjatanya di tangan kiri
anak muda itu kemudian melawan siapa saja yang berani datang
mendekatinya. Walau pun telah terluka, namun Sidanti itu masih tetap
berbahaya bagi lawan-lawannya.
Tohpati, yang kehilangan korbannya,
menggeram penuh kemarahan. Katanya, “Paman Widura, kau telah
menggagalkan usahaku membunuh murid penghianat itu. Karena itu, kau
memberi kesempatan, atau kau sendiri yang terbunuh”
“Angger Macan Kepatihan” sahut Widura,
“adalah sudah sewajarnya bahwa sekali kita berhasil mengorbankan lawan
kita, namun kali yang lain kita kehilangan kemungkinan itu. Kini kau
kehilangan Sidanti, namun kau menemukan aku di sini. Nah, jangan cari
yang tidak ada”
“Bagus” teriak Tohpati, “Memang sejak semula aku ingin bertemu dengan paman Widura. Dan kini paman telah datang menyambut aku”
Widura tidak menjawab. Tetapi ia sadar
bahwa ia harus berjuang sekuat kemampuan yang ada padanya. Sebab Tohpati
adalah seorang anak muda yang sakti. Meskipun demikian, Widura kini
sedang mengemban kewajibannya sebagai seorang prajurit. Karena itu ia
harus melawan, betapa pun sakti musuhnya itu.
Dalam pertempuran itu, Widura kini dapat
menghadapi lawannya dengan tenang, setelah ia yakin, bahwa laskarnya
berada dalam keadaan yang lebih baik dari laskar Tohpati. Sedikit demi
sedikit laskar Widura itu dapat mendesak lawannya. Sehingga keadaan itu,
mau tak mau pasti mempengaruhi jiwa Tohpati sendiri.
Widura dan Tohpati itu segera terlibat
dalam pertempuran yang seru. Tampaklah tenaga Tohpati yang kuat seperti
raksasa itu melampaui tenaga Widura, namun Widura adalah prajurit yang
berpengalaman.
Telah berpuluh bahkan beratus kali
dihadapinya lawan-lawan yang tangguh, namun untuk kesekian kalinya ia
masih tetap hidup. Karena itu maka walau pun Tohpati adalah seorang yang
sakti, namun Widura pun memiliki beberapa kesaktian pula, sehingga
dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin seru. Tongkat baja putih
Tohpati berputar melingkar-lingkar dan bayangan warna putih seakan-akan
menyelubungi dirinya, bergulung-gulung seperti ombak yang dahsyat siap
untuk menelan korbannya. Namun pedang Widura pun memiliki kekhususannya
sendiri. Pedang Widura bukanlah pedang yang dapat dibanggakan
ketajamannya. Tetapi pedang itu dapat dipakainya untuk menghantam patah
besi gligen. Namun setiap sentuhan pada ujung pedang itu, maka pastilah
kulit lawannya akan berlubang. Meskipun pedang itu tidak tajam
dipunggungnya, tetapi ujungnya runcing melampaui ujung jarum.Di
sudut-sudut pertempuran yang lain, semakin lama semakin nyata bahwa
laskar Pajang semakin berada dlam keadaan yang lebih baik. Berkali-kali
mereka berhasil mendesak lawannya dan berkali-kali pula laskar Tohpati
terpaksa menarik diri surut. Bahkan laskar Tohpati yang bertempur di
tengah-tengah sawah itu pun kemudian semakin bergeser mendekati induk
pasukannya. Mereka kemudian menjadi ngeri melihat anak-anak muda Sangkal
Putung bertempur seperti orang-orang kerasukan setan. Sedang di antara
mereka terdapat pula orang-orang yang memiliki pengetahuan tempur
setidak-tidaknya menyamai laskar Jipang itu. Gabungan antara tekad yang
menyala-nyala dan otak yang berpengalaman, menjadikan rombongan
anak-anak muda Sangkal Putung itu benar-benar mengerikan.
Namun, keadaan Widura tidak sebaik
keadaan pasukannya. Seperti juga Sidanti, akhirnya Widura terpaksa
mengakui bahwa Macan Kepatihan itu benar-benar perkasa di atas segala
orang yang pernah dilawannya. Tetapi Widura tak dapat mengingkari
kewajibannya. Ia adalah orang yang terakhir yang harus menahan arus
kemarahan Tohpati, apa pun yang akan terjadi pada dirinya. Karena itu,
sadar akan tugasnya, maka Widura pun segera mengerahkan segala
kesaktiannya. Menurut perhitungannya, maka apabila ia berhasil
memperpanjang waktu perlawanannya, maka laskarnya pasti sudah
benar-benar dapat menguasai laskar Jipang, sehingga dengan demikian maka
keadaan itu akan segera mempengaruhi Macan Kepatihan.
Ternyata perhitungan Widura yang
berpengalaman itu pun terjadi. Setiap kali Tohpati dipengaruhi oleh
pekik kesakitan dan kadang-kadang sebuah teriakan maut dari anak
buahnya. Sedikit demi sedikit, satu demi satu anak buahnya pun
rontoklah. Betapa sakit hati Macan yang ganas itu, ketika disadarinya,
bahwa keadaan laskarnya benar-benar tidak menyenangkan. Tetapi karena
itulah maka kemarahannya menjadi semakin memuncak. Widura itu harus
segera dibinasakan. Kemudian ia harus membunuh Sidanti pula. Apabila
kedua-duanya telah terbunuh, maka ia akan dapat membantu laskarnya
memusnahkan orang-orang Pajang yang dibencinya itu. Lebih daripada itu,
maka anak-anak muda Sangkal Putung bukanlah lawan yang perlu
diperhitungkan.
Karena itulah maka Tohpati itu pun segera mengamuk sejadi-jadinya.
Tetapi betapa pun juga, Tohpati tak dapat
membutakan matanya serta menulikan telinganya atas peristiwa-peristiwa
yang menyedihkan yang terjadi di antara laskarnya. Ia tahu benar, bahwa
Widura kini hanya tinggal bertahan memperpanjang waktu. Dan ia pun telah
berusaha melawan waktu itu, sehingga pekerjaannya harus segera selesai.
Tetapi setiap kali ia mendengar, dan setiap kali ia melihat seorang
dari anak buahnya terbanting di tanah dengan darah menyembur dari
lukanya, maka hatinya berdesir pula. Sebagai seorang pemimpin yang baik,
maka Tohpati tidak akan mengorbankan terlalu banyak anak buahnya untuk
hasil yang belum pasti. Dalam waktu yang pendek Macan yang cerdik itu
membuat perhitungan untung rugi dari pertempuran itu. Apabila ia
berhasil membunuh Widura dan Sidanti, maka apakah jumlah laskarnya masih
cukup banyak untuk melawan arus laskar Widura yang tangguh itu. Apakah
orang-orang yang cekatan seperti Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang
lain lagi tidak segera mengambil alih pimpinan dan melawannya dalam
sebuah kelompok yang besar bersama-sama.
Akhirnya Tohpati tidak dapat
mempertahankan tujuan penyerangannya kali ini. Ia harus melihat
kenyataan itu. Karena itu, tiba-tiba Tohpati mengambil suatu keputusan
untuk menarik diri. Namun setidak-tidaknya ia harus dapat mencegah
Widura dan anak buahnya mengambil keuntungan dari keadaan terakhir itu.
Maka sekali lagi dengan segenap kemampuan yang ada, Tohpati melibat
Widura dalam lingkaran bayangan putih. Bayangan putih itu benar-benar
seperti asap yang mengerikan. Asap yang mengandung di dalamnya nafas
maut.
Widura pun berusaha melawan dengan
kemampuan terakhirnya. Tetapi semakin terasa asap putih itu semakin
membingungkannya. Ujung tongkat baja putih yang berwarna kuning itu
semakin lama terasa semakin dekat dari tubuhnya. Tetapi Widura adalah
orang yang tabah. Karena itu ia masih tetap tenang apa pun yang terjadi.
Pada saat-saat terkhir, maka Tohpati itu
pun terkejut ketika dilihatnya seseorang mendekatinya. Sebuah pedang
terayun dengan derasnya, memotong sinar putih yang bergulung-gulung di
sekitarnya. Betapa heran hati macan Kepatihan itu.Tetapi ia tidak
memperhatikannya terlalu banyak. Ayunan tongkatnya itu diperkuat untuk
menghantam pedang yang mencoba melawannya. Maka terjadilah sebuah
benturan yang sengit. Pedang itu terpental beberapa langkah dari titik
benturan, dan terlepas dari genggaman. Namun Macan kepatihan itu pun
terkejut bukan kepalang. Terasa bahwa tangan yang menggerakkan pedang
itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Ketika ia menatap penyerangnya,
maka Tohpati melihat seorang anak muda yang gemuk. Dengan gugupnya anak
itu mencoba mengambil pedangnya yang bertangkai gading. Namun tangan itu
terasa terlalu nyeri. Dengan demikian, maka ia hanya dapat melihat
dengan penuh kecemasan ketika Macan Kepatihan itu sekali lagi memutar
tongkatnya dan menyerangnya.
Ketika Widura melihat anak muda itu hatinya berdesir. Dengan serta merta ia berteriak, “Swandaru, jangan gila. Pergilah”.
Tetapi Swandaru yang sedang mengagumi
kekuatan tangan Tohpati itu tidak beranjak dari tempatnya. Untunglah
bahwa Widura dapat bertindak cepat. Dengan garangnya ia meloncat maju,
dan menyerang Tohpati dengan ujung pedangnya. Tohpati terpaksa melawan
pedang yang terjulur langsung ke dadanya. Sehingga ia menarik
serangannya atas Swandaru. Sesaat kemudian kembali Tohpati merusaha
sekuat-kuat tenaganya untuk membinasakan Widura.
Swandaru kini melihat pertempuran itu
dengan mulut ternganga. Ternyata bahwa kekuatan saja, betapa pun
besarnya, tidak akan bermanfaat apabila tidak disertai rangkapan ilmu
yang lain, ilmu gerak, ilmu ketangkasan dan ilmu menggerakkan senjata.
Lebih dari itu adalah ilmu pemusatan pikiran dan kekuatan pada
titik-titik tertentu. Tetapi ia tidak tahu , bahwa di samping ilmu-ilmu
itu, maka Tohpati mau pun Widura telah mempergunakan ilmu yang dapat
mengungkat kekuatan-kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh mereka
masing-masing. Karena itu, meskipun Swandaru mempunyai kekuatan yang
luar biasa, namun pada saat ia membenturkan pedangnya untuk melawan
tongkat putih Tohpati yang sedang berputar itu, maka tenaganya itu
seakan-akan tidak berarti. Lalu bagaimanakah kira-kira kekuatan Tohpati,
seandainya orang itu dengan sengaja memukulkan tongkatnya dengan
kekuatan sepenuhnya?
Tetapi bagaimanapun juga, perbuatan
Swandaru itu telah memperpanjang waktu perlawanan Widura. Dengan
demikian korban dikedua belah pihak pun semakin bertambah-tambah.
Apalagi di pihak laskar Tohpati. Karena itu maka Tohpati pun segera
mengambil keputusan untuk menyelamatkan orang-orangnya. Ia sama sekali
tidak melihat keuntungan apa pun apabila ia memperpanjang perlawanannya.
Rencana yang disusunnya benar-benar telah hancur berantakan. Maka yang
kemudian dilakukan oleh Macan Kepatihan itu adalah meloncat surut,
melepaskan diri dari ikatan pertempuran dengan Widura. Dengan nyaringnya
ia berteriak, “Tinggalkan pertempuran. Segera!”
Laskar Jipang itu pun adalah laskar yang
terlatih. Mereka pun tahu benar, bagaimana mereka harus meninggalkan
pertempuran. Beberapa orang pemimpin kelompok segera tampil ke depan
melindungi anak buah mereka yang berloncatan mundur. Tohpati itu pun
kemudian meloncat kian kemari, seperti burung elang yang berterbangan
menyambar-nyambar. Dengan tangkasnya ia memotong laskar pajang yang
berusaha mengejar anak buahnya yang melarikan diri. Dari antara laskar
Jipang itu kemudian tampillah orang-orang yang bersenjata jarak jauh.
Bandil, paser dan panah. Ternyata mereka telah benar-benar bersiap
menghadapi setiap kemungkinan, sampai pada kemungkinan mengundurkan
diri. Usaha Widura untuk mengikat kambali Tohpati dalam suatu titik
perkelahian tidak berhasil. Setiap kali Macan Kepatihan itu selalu
menghindar dan dengan tongkatnya ia terus-menerus berusaha menyelamatkan
anak buahnya sejauh mungkin.
Laskar Widura sudah pasti tidak akan
membiarkan lawan-lawan mereka menyelamatkan diri. Dengan gairah mereka
mendesak terus. Namun laskar Tohpati itu pun tidak berlari
bercerai-berai. Mereka mundur dengan teratur. Perlawanan mereka sama
sekali tidak berkurang. Sehingga dengan demikian, pertempuran itu
berlangsung terus, sambil bergeser dari satu garis ke garis berikutnya.
Sekali lagi Widura menggeleng-gelengkan
kepala. Tohpati adalah suatu contoh dari seorang pemimpin yang baik.
“Kenapa anak muda itu masih belum menyadari keadaan” gumamnya. “Apabila
demikian, Pajang akan segera berkembang dan sentausa”
Laskar Tohpati itu pun kemudian mencapai
sebuah desa di belakang garis perlawanan mereka. Demikian mereka
melampaui pagar yang pertama, demikian mereka pecah berpencaran di
antara pohon-pohon yang tumbuh di sana-sini. Di antara pohon-pohon liar
di halaman yang kurang terpelihara dan di antara rumpun-rumpun bambu
yang lebat. Sehingga laskar Widura itu pun segera menemui kesulitan
untuk mengejar mereka terus. Mereka harus berhati-hati, dan mencurigai
setiap pohon-pohon besar yang berada di sekitar mereka. Pohon itu akan
dapat menjadi tempat-tempat persembunyian dan apabila mereka kurang
wapada, maka maut akan menerkam mereka. Dengan demikian, maka kedua
bagian laskar itu bertempur dari satu pohon ke pohon lain, dari satu
rumpun ke rumpun yang lain. Namun keadaan laskar Tohpati menjadi
bertambah baik. Mereka menyerang dan kemudian menghilang. Sedang laskar
Widura yang mengejarnya, kadang-kadang terpaksa melingkar menghindari
kemungkinan-kemungkinan serangan tiba-tiba dari balik-balik gerumbul.
Widura segera melihat keadaan itu. Karena
itu, maka alangkah berbahayanya apabila pengejaran itu dilakukan terus.
Mungkin mereka akan dapat mencapai tepi desa yang lain, dan memaksa
kedua laskar itu bertempur kembali di tempat yang terbuka, namun korban
akan menjadi sangat besar. Karena itu segera Widura berteriak
memerintah, “Hentikan pengejaran”. Dan perintahnya itu kemudian beruntun
diulangi oleh setiap pimpinan kelompok laskarnya.
Demikianlah maka laskar Widura itu
berhenti. Segera mereka menarik diri dan berkumpul kembali diluar desa
itu. Ketika mereka menengadahkan kepala mereka, mereka melihat bahwa
matahari telah berada di atas kepala mereka.
Widura pun kemudian mendengarkan laporan
dari setiap pemimpin kelompoknya. Siapakah yang cedera di antara mereka,
yang terluka dan yang terpaksa gugur dalam mengemban tugas mereka.
Hari itu adalah hari berkabung bagi
Sangkal Putung. Tugas laskar Widura kemudian, beserta orang-orang
Sangkal Putung adalah memelihara mereka yang terluka. Kawan mau pun
lawan. Sebab bagi perawatan perikemanusiaan, tak ada batas di antara
kawan dan lawan. Apalagi di antara mereka, laskar Widura dan laskar
Tohpati, beberapa orang dari mereka adalah kawan-kawan yang pernah
berjuang bersama-sama untuk menegakkan Demak di jaman-jaman sebelumnya.
Namun kini, mereka terpaksa bertemu dalam sebuah permainan senjata yang
berbahaya.
Ketika iring-iringan laskar itu memasuki
Sangkal Putung, tampaklah desa itu menjadi sepi. Ternyata perempuan dan
kanak-kanak telah berkumpul di Kademangan. Sedang beberapa laki-laki
yang meskipun sudah melampaui umur mudanya, tampak berjaga-jaga di
halaman dengan senjata apa saja di tangan mereka.
Ketika mereka mengetahui bahwa iringan
laskar Widura dan anak-anak muda mereka datang, segera mereka membuka
regol yang mereka kancing dengan palang kayu.
Beberapa orang laki-laki dengan tergesa-gesa pergi menyongsong mereka dan membantu mereka menolong kawan-kawan yang terluka.
“Adakah Sangkal Putung baik-baik?” bertanya Widura kepada salah seorang dari mereka.
“Baik tuan” jawab yang ditanya, “Tak ada laskar mereka yang merembes kemari”
“Bagus” sahut Widura. “Siapakah yang berada dikademangan?”
“Setiap laki-laki yang tak ikut maju
menyongsong lawan” jawab orang itu dengan bangga. “Sebagian di
kademangan dan sebagian di lumbung desa”
“Bagus” berkata Widura sambil mengangguk-angguk, “Setiap laki-laki di Sangkal Putung akan menjadi pahlawan”.
Orang itu tersenyum-senyum. Lalu ia bertanya pula, “Bagaimanakah dengan laskar Macan Kepatihan?”
“Mereka telah meninggalkan kita” jawab Widura. “Setidak-tidaknya untuk sementara bahaya tak akan datang kembali”
“Mampuslah mereka” geram orang itu.
Widura tersenyum, namun ia tidak menjawab.
Ketika laskarnya memasuki halaman
kademangan, maka gemparlah halaman itu. Beberapa orang perempuan
berlari-lari menyambut anak-anak mereka yang datang dengan kebanggaan di
dada mereka. Namun ada juga yang terpaksa memeras air mata, karena
anak-anak mereka jatuh menjadi banten kampung halaman.
“Alangkah biadabnya orang-orang Jipang”
keluh mereka. Dan Widura yang mendengarnya, hanya dapat mengelus dada.
Beberapa orang tetangga mereka berkerumun untuk menghibur mereka. Tetapi
mereka sama sekali tidak membayangkan, bahwa isteri-isteri dan ibu-ibu
orang Jipang yang terbunuh itu pun akan mengutuk dengan muaknya sambil
menangis, “Alangkah kejamnya orang-orang Pajang”. Memang sebenarnyalah
peperangan tak dapat dipisahkan dari kekejaman, tangis dan penyesalan.
Maka, di pendapa kademangan itu, di atas
helai-helai tikar pandan, berbaring berderet-deret orang yang terluka.
Sedang orang-orang lain sibuk dengan kawan-kawan mereka yang gugur.
Sedayu, yang berada dikademangan itu
pula, ketika didengarnya pamannya kembali dari peperangan, segera
menyambutnya. Dengan wajah pucat dan gemetar, ia mengikuti pamannya
masuk ke pringgitan. Terbata-bata ia bertanya, “Bagaimanakah dengan
laskar Jipang itu paman?”
Widura tersenyum. “Duduklah Sedayu” katanya mempersilakan.
Sedayu kemudian duduk dengan gelisahnya.
Sementara itu Widura berjalan kesudut ruangan, meraih gendi dari gelodog
bambu, dan minumlah ia sepuas-puasnya.
Di tangga pendapa kademangan, Hudaya
duduk sambil membelai senjatanya. Sekali-sekali tangannya mengusap
pelipisnya yang terluka. Meskipun demikian ia masih sempat tertawa dan
berkata kepada Citra Gati yang duduk di sampingnya, “Untunglah, bukan
kumisku yang terkelupas”
“Lain kali kepalamu” sahut Citra Gati
sambil memijat-mijat tangannya yang terkilir, ketika ia berguling-guling
menghindari serangan tongkat putih Macan Kepatihan. Tiba-tiba
teringatlah olehnya betapa tengkorak kuning di ujung tongkat Tohpati itu
menyambar keningnya. “Ngeri”, gumamnya.
“Apa yang ngeri?” bertanya Hudaya dengan heran.
“Tengkorak itu” jawab Citra Gati.
Kembali Hudaya tertawa. “Ketika seseorang
dari orang-orang Jipang itu menyerang aku, aku menjadi gembira.
Bukankah aku telah dibebaskan dari bahaya tongkat baja putih itu?”
“Ah, gila kau” desah Citra Gati. Dan
kemudian keduanya pun terdiam. Kedua-duanya dicengkam oleh kengerian,
apabila diingatnya senjata Tohpati yang bergulung-gulung seperti
prahara.
Sidanti tidak tampak duduk di antara
mereka. Anak muda itu segera pergi ke dapur. Ditemuinya di sana seorang
gadis yang mula-mula sedang sibuk menyiapkan makan untuk mereka. Tetapi
ketika dilihatnya Sidanti datang kepadanya sambil tersenyum-senyum maka
dengan tergesa-gesa diletakkannya pekerjaannya, dan berlari-lari
menyongsong anak muda itu.
“Kau terluka?” gadis itu bertanya dengan cemas.
Sidanti mengangguk. “Tidak seberapa”
jawabnya. Memang luka itu tidak begitu parah, meskipun tangan kanannya
masih belum dapat digerakkan dengan leluasa.
Sementara itu dari dalam gandok terdengar Swandaru berteriak memanggil, “Mirah, Sekar Mirah”
Sidanti tersenyum mendengar suara itu. Katanya, “Kakakmu memanggil”
Sekar Mirah menyerutkan keningnya, “Biarlah. Kakang terlalu manja”
Dan dari gandok itu terdengar kembali suara Swandaru, “Mirah, he Mirah. Dimana kain parangku?”
“Cari sendiri” sahut adiknya berteriak tidak kalah kerasnya.
“Ayo carikan” bentak kakaknya. “Kalau tidak, aku tak mau mengisi jambangan kalau kau mandi”.
Sekar Mirah tidak menjawab, namun terdengar suara Sindanti, “Jangan terlalu manja Swandaru”.
Mendengar suara Sidanti, Swandaru
terdiam. Namun ia menggerutu, “Setan, Sidanti itu. Awas, kalau Mirah
masih berkawan dengan anak muda itu. Suatu ketika aku hajar
kedua-duanya” Tetapi ia tidak berani memanggil adiknya lagi. Ia tahu,
bahwa adiknya lebih senang tinggal bersama Sindanti daripada datang
kepadanya. Karena itu dengan marah diaduk-aduknya setumpuk kain
digelodog pakaiannya. Dan akhirnya ditemukan juga kain parangnya.
Ketika ia berlari-lari keluar gandok
lewat dapur, sampai dimuka pintu langkahnya terhenti. Dilihatnya Sekar
Mirah sedang membersihkan luka Sidanti dengan asyiknya, dibawah rimbun
daun kemuning. “Gila” geramnya perlahan-lahan. Namun ia tidak berani
mengganggu. Segera ia kembali masuk kedapur dan berlari ke pendapa
sambil menyambar sepotong paha ayam.
Di pringgitan, Widura kini sudah duduk di
muka Agung Sedayu. Dengan cermat diceritakan apa yang terjadi digaris
pertempuran. Akhirnya Widura itu berkata, “Sebenarnya kami harus
berterima kasih kepadamu dan Untara, sebab dengan demikian kami telah
kalian bebaskan dari kehancuran mutlak”
Keduanya kemudian berdiam diri. Namun di
hati Sedayu masih belum tenang benar. Karena itu ia bertanya, “Tetapi,
dengan demikian, tidakkah ada kemungkinan Macan yang ditakuti itu datang
kembali?”
“Mungkin” sahut pamannya. Sebenarnya ia
pun kecewa terhadap hasil yang dicapainya. Namun kemampuan laskarnya
sangat terbatas, dan hasil itulah yang sebesar-besanya dapat dicapai.
“Lalu, bagaimanakah kalau mereka datang kembali dengan tiba-tiba?” desak Sedayu.
“Bukankah di sini ada Sedayu” sahut Widura sambil tertawa.”Ah” Sedayu mengeluh.
Widura iba juga melihat Sedayu menunduk. Karena itu ia segera bertanya, “Adakah kau sempat beristirahat?”
Sedayu menggeleng, “Tidak” jawabnya. Ia
tidak perlu malu-malu kepada pamannya, sebab pamannya telah mengenalnya
dengan baik. “Aku menjadi gelisah” Sedayu meneruskan, “Ketika aku
mendengar tanda bahaya, maka aku tak dapat duduk dengan tenang, apalagi
berbaring”
Widura pun kemudian terdiam ketika mereka
mendengar langkah masuk. Dan sesaat kemudian duduklah diatara mereka Ki
Demang Sangkal Putung. Wajahnya menjadi merah dan debu yang melekat di
wajah itu belum sempat diusapnya. Bajunya masih baju yang dipakainya
bertempur. Basah oleh keringat. Tanpa disangka-sangka orang itu, tetua
kademangan Sangkal Putung, mengulurkan tangannya dengan hidmat kepada
Agung Sedayu sambil berkata dalam, “Angger, kau telah membebaskan daerah
kami, kampung halaman dan lumbung-lumbung kami. Apakah yang dapat kami
lakukan untuk membalas jasa anakmas ini”.
Sedayu menjadi bingung. Namun
diulurkannya juga tangannya untuk menyambut tangan Demang Sangkal
Putung. Terasa tangan Demang itu gemetar, dan tangannya sendiri pun
gemetar pula. Tetapi ta tidak dapat menjawab sepatah katapun. Bahkan ia
menjadi semakin bingung ketika Demang itu berkata, “Ternyata angger pun
tidak sampai hati membiarkan laki-laki yang berada dikademangan ini
menjadi gelisah. Ternyata angger tidak mau beristirahat betapa pun
lelahnya. Bahkan angger telah hilir mudik di pendapa dan di halaman,
sehingga dengan demikian setiap orang yang berada dikademangan ini, baik
perempuan dan anak-anak yang mengungsikan diri, mau pun mereka yang
berjaga-jaga menjadi tenang karenanya, sebab ada di antara mereka yang
sudah mendengar, siapakah angger ini”.
Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus
menanggapi kata-kata Demang Sangkal Putung itu, sehingga dengan
demikian, hampir seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringat dingin,
melampaui keringat yang membasahi baju Ki Demang Sangkal Putung.
Widura melihat Agung Sedayu dengan
menahan senyum. Dilihatnya, betapa keadaan Agung Sedayu yang gelisah.
Tetapi Demang Sangkal Putung itu mempunyai tanggapannya sendiri, katanya
di dalam hati, “Angger Agung Sedayu benar-benar orang yang rendah hati.
Meskipun jasanya bagi kami tak ternilai harganya, namun apabila hal itu
kami sebut-sebut di hadapannya, agaknya tak berkenan di hatinya”
Tetapi Widura itu pun kemudian menjadi
cemas. Apabila orang-orangnya dan orang-orang Sangkal Putung terlanjur
mempunyai anggapan yang keliru terhadap Agung Sedayu, maka akibatnya
akan dapat menyulitkan Agung Sedayu sendiri. Meskipun demikian, Widura
tidak dapat mencegah mereka. Ia sama sekali tidak mengatahui, cara yang
sebaik-baiknya untuk menempatkan Agung Sedayu pada tempat yang
sewajarnya. Bahkan Widura pun kemudian menjadi gelisah ketika teringat
olehnya, bagaimana sikap Sidanti kepada anak itu.
Sebentar kemudian, sampailah saatnya
laskar yang lelah itu menerima makan mereka. Tidak saja mereka yang
berempur disimpang empat Pandean, tetapi semuanya yang berada
dikademangan itu mendapat bagiannya.
Widura pun kemudian melihat-lihat keadaan
laskarnya, melihat mereka yang dengan lahapnya menelan segumpal demi
segumpal nasi ke dalam mulutnya, namun ia melihat juga beberapa orang
yang terpaksa disuapi karena lukanya yang parah.
“Makanlah” bisik Widura kepada mereka yang terluka, “Makanlah banyak-banyak supaya lukamu lekas sembuh”
Orang-orang yang terluka itu menjadi agak
terhibur juga hatinya. Namun betapa mereka mencoba makan
sebanyak-banyaknya, namun leher mereka serasa kering dan tersumbat.
Meskipun menurut perhitungan Widura,
laskar Tohpati itu tidak akan segera datang kembali, namun ia tidak mau
kehilangan kewaspadaan. Di tempatkannya beberapa orang pengawas di luar
kademangan Sangkal Putung, dan dinasehatkannya kepada setiap anak
buahnya, supaya tidak melepaskan senjata mereka, meskipun mereka sedang
beristirahat dan tidur di malam hari.
Demikianlah, malam hari itu, Agung Sedayu
mendapat kehormatan untuk tidur di pringgitan bersama Widura, meskipun
bagi Sedayu tidak disediakan sebuah amben. Namun Sedayu dapat tidur
dengan tenteram di atas tikar pandan didekat pamannya. Malam itu Sedayu
benar-benar dapat melepaskan segenap ketegangan urat syarafnya serta
benar-benar dapat beristirahat dengan puas. Meskipun kadang-kadang
terbangun juga oleh mimpi yang mengejutkan. Tetapi ia kemudian tertidur
kembali setelah ia melihat pamannya masih saja duduk di sampingnya,
sambil menggosok-gosok wrangka kerisnya dengan kelopak bunga keluwih.
Memang, malam itu Widura tidak segera
dapat tidur. Ada-ada saja yang selalu mengganggu pikirannya. Laskar
Tohpati, Agung Sedayu dan Untara.
Tiba-tiba Widura itu pun bergumam, “Ah,
alangkah baiknya kalau Untara itu segera berada di tempat ini. Di sini
ia dapat membantu kami apabila Tohpati itu datang kembali, dan sekaligus
Sedayu tak menggangguku lagi”
Widura itu pun kemudian
mengangguk-angguk. Ia sudah berketetapan hati, besok Sedayu akan
dibawanya menjemput kakaknya yang luka. Mungkin di Sangkal Putung ia
akan mendapat perawatan yang lebih baik. Dan di tempat ini, keamanannya
pun akan lebih baik pula. Karena dalam keadaan terluka, adalah sangat
berbahaya apabila dengan tiba-tiba beberapa orang lawannya datang
mencarinya.
Widura mengangguk-angguk seorang diri
seperti api clupak yang menempel pada tiang pringgitan itu ditiup angin
malam. Tetapi ketika ditatapnya wajah Agung Sedayu, ia menarik nafas.
Alangkah jauh bedanya. Agung Sedayu dan Untara. Kedua-duanya adalah anak
Ki Sadewa, dan kedua-duanya pula lahir dari ibu yang sama, kakak
perempuannya, istri Ki Sadewa itu. “Aneh” gumamnya. Dan tanpa
dikehendakinya sendiri Widura itu pun hanyut kedalam masa lampaunya.
Selagi ia masih tinggal bersama-sama kakak perempuannya itu. Untara
adalah anak yang sulung. Ia lahir dan besar di dalam alam yang bebas dan
penuh gairah. Ia bermain-main bersama kawan-kawannya, berlomba dan
kadang-kadang berkelahi di antara sesama kawan-kawannya. Binten, sodoran
dan sebagainya. Di samping itu, anak itu dengan tekun mempelajari ilmu
tata bela diri dari ayahnya. Bahkan kadang-kadang dibawanya Untara
berjalan jauh. Melihat daerah-daerah yang belum pernah dikunjunginya. Ke
rumah sahabat-sahabatnya. Tidak saja di daerah Demak, namun ia pernah
juga berkunjung ke daerah-daerah yang jauh. Banten, Cirebon, Gresik dan
Banyuwangi. Dari ujung sampai keujung yang lain dari pulau ini. Sudah
banyak yang dilihatnya, dan sudah banyak pula yang didengarnya. Sudah
tentu di perjalanan banyak pula pengalaman-pengalaman yang ditemuinya.
Berkelahi dengan penyamun-penyamun, dengan penjahat-penjahat dan bahkan
berkelahi hanya karena salah paham. Ayahnya adalah seorang sakti yang
sukar dicari bandingnya. Malahan kadang-kadang ayahnya memaksanya untuk
melawan orang-orang yang berbuat jahat kepada mereka, sedang ayahnya
sendiri hanya menontonnya seperti menonton adu ayam. Dan kadang-kadang
ayahnya itu pun terpaksa memberikan pertolongan kepada orang-orang yang
sangat memerlukannya. Karena itu, sejak kecil Untara telah banyak
bermain-main dengan senjata. Sehingga akhirnya, setelah puas dengan
pengembaraan, perkelahian dan pengalaman atas ilmu kesaktiannya, maka Ki
Sadewa kemudian seakan-akan menarik diri dari pergaulan. Ia lebih
senang merendam dirinya di rumah, bermain-main dengan anaknya yang
bungsu dan bekerja dikebunnya. Mananam sayur-sayuran dan bunga-bungaan.
Sedang Sedayu mengalami masa yang jauh
berbeda dengan kakaknya. Ia lahir setelah ibunya mengalami pukulan yang
berat bagi seorang ibu. Dua anaknya laki-laki yang lain, berturut-turut
telah meninggal dunia. Betapa sedih dan cemasnya apabila hal itu akan
berulang kembali. Apalagi di desak pula oleh keinginannya mempunyai
seorang anak perempuan. Namun yang lahir terakhir itu pun laki-laki
pula. Agung Sedayu.
Pada saat itu pula, Ki Sadewa telah
menempuh cara hidup yang lain. Ia sama sekali menghindari setiap
pertentangan yang timbul. Di dalam pengembaraannya, kemudian
ditemukannya suatu kesimpulan, bahwa tak akan dapat ditemuinya
ketentraman hidup di antara gemerlapnya pedang dan pekik kesakitan.
Diusahakannya pula mengembalikan hidupnya kedalam hakekatnya. Manusia
lahir karena pancaran kasih Tuhan, bahkan Tuhan telah memberikan
beberapa bagian dari sifat-sifatnya kepada manusia pula. Namun manusia
akhirnya jatuh kedalam dosa. Dan karena itulah maka manusia dijauhkan
daripada Nya. Namun karena Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Pengam pun
dan Maha Penyayang, maka apabila manusia bertobat, akan diampunkan
dosa-dosa itu. Bertobat lahir batin, hasrat dan perbuatan.
Maka yang dilakukan Ki Sadewa itu
kemudian adalah membekali anak-anaknya dengan cinta itu. Kalau terpaksa
mereka bertempur, maka haruslah dilandasi atas dari itu. Dasar kebaktian
kepada sumber hidupnya dan pengabdian kepada sesama serta pengabdian
kepada diri sendiri.
Tetapi Sedayu tidak pernah mengalami masa
penempaan seperti kakaknya. Ibunya tidak pernah melepaskannya dari
sisinya. Apabila sekali-sekali Untara mengajak adiknya bermain, dan
ditemuinya sedikit lecet dilututnya, maka Untara harus menerima
akibatnya. Sedayu itu dipelihara oleh ibunya dengan kasih yang
berlebih-lebihan. Betapa ia takut kehilangan anak untuk ketiga kalinya,
dan betapa ia ingin mencium seorang anak perempuan. Hanya kadang-kadang
saja ibunya melepas Agung Sedayu bermain-main dengan ayahnya. Namun itu
pun mainan yang tidak berbahaya. Memanah, bandil, paser dan berburu.
Tetapi tidak lebih dari berburu burung. Kalau Untara dapat berbangga
karena ia berhasil menangkap hidup atau mati seekor kijang, maka Sedayu
akan berbangga apabila ia telah dapat memanah seekor burung yang paling
lincah. Sikatan. Tetapi daerah perburuan Sedayu tidak lebih dari batas
pagar halamannya. Memang Agung Sedayu memiliki kecakapan-kecakapan yang
khusus pula. Ia tidak saja dapat membunuh burung dengan panah, bahkan
dengan lemparan-lemparan batu ia berhasil menangkap beberapa ekor
burung. Dan ayahnya yang memiliki pengamatan yang tajam atas kekhususan
anak-anaknya itu pun telah mencoba mengembangkannya.
Meskipun Untara, yang memandang hidup ini
sebagai kancah perjuangan dalam kebaktian dan pengabdian, kadang-kadang
dengan diam-diam mengajak adiknya untuk mempelajari ilmu-ilmu yang
pernah ditekuninya. Dan Sedayu bukan anak yang berotak tumpul. Sedikit
demi sedikit dikuasainya pula beberapa persoalan tata bela diri. Namun
sangat terbatas. Meskipun demikian berkembang pula. Tetapi daerah
hidupnya tak terlalu luas. Sehingga karena itulah Aung Sedayu memandang
daerah sekitarnya sebagai daerah yang sangat berbahaya, dan memandang
segala segi kehidupan dengan penuh kecemasan dan ketakutan. Sehingga
anak itu benar-benar tidak mempunyai kepercayaan kepada dirinya sendiri.
Angan-angan Widura tentang masa lampau
itu pun terhenti ketika dilihatnya Agung Sedayu menggeliat. Ketika anak
itu membuka matanya, dan dilihantnya Widura masih duduk di sampingnya,
maka terdengar ia bertanya, “Mengapa paman belum tidur?”
Widura menggeleng, “Belum Sedayu”
“Apakah masih ada bahaya yang mungkin datang malam ini?”
Sekali lagi Widura menggeleng, “Tidak, tidak ada” jawabnya. “Aku tidak biasa tidur sebelum lewat tengah malam”
Sedayu tidak bertanya lagi, sebab matanya seakan-akan telah melekat. Karena itu ia segera tertidur kembali.
Ketika Widura mendengar ayam jantan
berkokok dipertengahan malam, segera ia bangkit. Perlahan-lahan ia
melangkah keluar dan dilihatnya sekali lagi anak buahnya yang sedang
beristirahat. Ditengoknya pula para penjaga diregol depan.
“Bukankah kalian tidak kantuk?” Widura bertanya kepada salah seorang dari mereka.
“Tidak” jawab orang itu.
“Bagus” sahut Widura, kemudian kepada
yang lain ia berkata, “Tugasmu tinggal sesaat lagi. Rombongan tengah
malam kedua telah siap”.
“Kami sudah siap menunggu” jawab mereka.
Widura tersenyum, lalu ditinggalkannya
orang-orang diregol halaman itu. Di pendapa dilihatnya beberapa orang
masih sibuk melayani kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan ada di
antaranya yang menggeram menahan sakit. Widura datang pula kepada
mereka. Meraba dahi mereka dan berkata, “Tenangkan hatimu. Kau akan
lekas sembuh”
Kemudian ia berjalan di antara anak
buahnya yang tertidur dengan nyenyaknya karena lelah. Di sudut
dilihatnya Sidanti dengan gelisah berbaring. Agaknya lukanya terasa
pedih. Tetapi Widura tidak menyapanya. Ia takut kalau suaranya akan
mengejutkan orang-orang yang sedang tidur.
Ketika ia melangkah masuk ke pringgitan,
dalam keremangan malam ia melihat Ki Demang Sangkal Putung berjalan
melintasi halaman. Agaknya orang itu pun belum tidur juga. Baru saat
kemudian Widura meletakkan tubuhnya untuk beristirahat dipembaringannya.
Malam itu serasa berjalan dengan
cepatnya. Lelah, kantuk dan penat telah menenggelamkan laskar Widura itu
ke dalam pelukan tidur yang nyenyak. Dan malam itu tak diganggu oleh
bermacam-macam ketegangan dan keributan. Sangkal Putung telah tidur
dengan nyenyaknya.
Keesokan harinya, Widura telah bersiap
membawa Agung Sedayu untuk menjemput kakaknya. Makin cepat semakin baik.
Sebab bahaya bagi Untara akan dapat datang setiap saat.
Demikianlah, Widura pagi itu segera
mempersiapkan diri. Dibawanya beberapa orang anak buahnya serta dengan
mereka. Sebab di perjalanan selalu terbuka kemungkinan mereka akan
bertemu dengan orang-orang Jipang. Mungkin Alap-alap Jalatunda dan
kawan-kawannya, mungkin orang-orang lain dari lungkungan laskar Tohpati.
Setelah memberikan beberapa pesan kepada
anak buahnya serta meletakkan pimpinan di tangan Citra Gati, maka Widura
bersama Agung Sedayu beserta orang-orang yang lain pun segera
meninggalkan Sangkal Putung. Diberinya Citra Gati ancar-ancar kemana ia
akan pergi, sehingga apabila keadaan sedemikian memaksa maka Citra Gati
harus segera mengirim orang untuk menjemputnya.
Kali ini Widura dan rombongannya berjalan
ke arah barat. Lewat Kali Asat. Lewat daerah itu, maka kemungkinan yang
pahit dapat dikurangi menjadi sekecil-kecilnya.
Di sepanjang perjalanan mereka hampir
tidak bercakap-cakap sama sekali. Kuda mereka melaju seperti sedang
berlomba. Debu yang putih mengepul bergumpal-gumpal. Agung Sedayu
melihat jalan-jalan dibawah kaki kudanya dengan jantung yang
berdebar-debar. Becek dan berbatu-batu. Apakah jadinya seandainya pada
saat ia memacu kudanya malam lusa, terjadi sesuatu yang tak diharapkan.
Seandainya kudanya tergelincir dan terbanting jatuh? Untunglah bahwa ia
sampai ke Sangkal Putung dengan selamat, meskipun pada saat itu, ia
seakan-akan berpacu sambil memejamkan matanya.
Beberapa saat kemudian mereka telah
sampai di padukuhan kecil yang tidak begitu ramai. Apalagi dalam keadaan
yang penuh dengan kericuhan itu. Meskipun matahari telah tinggi, namun
padukuhan itu masih sepi. Satu dua orang perempuan tampak berjalan
menyeberangi lorong yang membelah desa mereka. Namun kemudian sepi
kembali. Apalagi ketika mereka mendengar derap kuda memecah kesepian
pagi. Maka pintu-pintu yang telah terbuka setebal tubuh itu pun menjadi
terkatub kembali. Orang-orang yang tinggal di pinggir-pinggir jalan,
berusaha mengintip, siapakah yang sedang lewat itu. Namun tak seorang
pun dari mereka yang mengenalnya.
Widura melihat desa-desa yang terpencil
itu dengan sedih. Laskarnya tidak cukup banyak untuk disebarkan di
padukuhan-padukuhan yang terpencar-pencar. Sedang rakyat di desa-desa
itu pun tak akan dapat memberikan perlawanan apa pun seandainya
orang-orang dalam satu gerombolan yang kecil sekalipun datang kepada
mereka, dan memaksa mereka memberikan segala barang miliknya.
Daerah itu dilalui dengan kesan yang
khusus di hati Widura. Sebaliknya Agung Sedayu segera melihat tikungan
di hadapan mereka. Tikungan randu alas. Tetapi kini ia tidak setakut
pada malam lusa. Kali ini Sedayu berani mengamati pohon itu dengan
jelas, meskipun terasa tengkuknya meremang
Kuda mereka masih berpacu terus. Lewat
tikungan randu alas, sampailah mereka di bulak yang panjang. Dan
teringatlah ia bahwa kuda yang dipakainya itu adalah milik seseorang
yang menamakan diri Kiai Gringsing. Karena itu dengan serta merta Agung
Sedayu berkata, “Di ujung bulak inilah aku bertemu dengan Kiai
Gringsing”
“Kiai Gringsing” Widura mengulang.
“Ya” sahut Sedayu. Setelah ia menoleh,
dan dilihatnya kawan-kawannya agak jauh di belakang, maka
diceriterakannya serba sedikit tentang orang bertopeng, berkerudung kain
gringsing dan menyebut dirinya Kiai Gringsing pula.
“Aku belum pernah mendengar nama itu” gumam Widura. “Apalagi bertemu dengan orangnya”
“Orang itu bertempur melawan Alap-alap Jalatunda seperti sedang bermain-main. Senjatanya adalah sebuah cambuk kuda”
Widura mengangkat alisnya. Seseorang yang
bersenjata cambuk kuda pun belum pernah didengarnya. “Orang aneh”
desisnya. “Sudah pasti nama itu bukan nama sebenarnya, dan senjata itu
hanyalah semacam syarat saja. Orang yang demikian pasti akan dapat
melawan musuhnya tanpa senjata apapun”
Sedayu tidak menjawab. Dan kembali mereka
terdiam. Kini mereka telah melampaui tikungan di ujung bulak, sedang
kuda mereka masih berpacu terus.
Ketika Agung Sedayu melihat desa di
hadapannya, hatinya berdebar-debar. Kalau desa itu telah mereka lewati,
maka segera mereka akan sampai kepersawahan. Dari mulut lorong desa itu,
sudah akan akan dapat mereka lihat dukuh Pakuwaon. Sebuah padukuhan
kecil yang tak banyak disebut-sebut orang. Dukuh itu akan tak berarti
sama sekali seandainya di dalamnya tidak tinggal seorang tua bernama Ki
Tanu Metir.
Dengan demikian, maka hasrat Agung Sedayu
untuk sampai ke padukuhan itu menjadi semakin menyala-nyala. Ia ingin
segera melihat kakaknya, dan ia ingin segera membanggakan diri, tugasnya
yang berat telah dapat dilaksanakannya. Dan paman Widura akan dapat
menjadi saksi.
Karena itu kudanya dipacu semakin cepat, sehingga Agung Sedayu beberapa langkah mendahului Widura.
Akhirnya desa di hadapan mereka itu pun
telah dilampaui. Dan dengan dada yang berdebar-debar mereka memasuki
dukuh Pakuwon yang sepi.
Agung Sedayu segera menuju ke rumah yang
pernah dilihatnya. Lewat lorong yang sempit, kemudian sampailah mereka
di sebuah halaman yang sejuk. Halaman rumah Ki Tanu Metir. Namun
alangkah terkejutnya Agung Sedayu, ketika kesan yang mula-mula
didapatnya pada halaman itu adalah, halaman itu kotor dan tak terurus.
“Apakah halaman rumah ini memang sedemikian kotornya”. Daun-daun kuning
yang bertebaran dan bahkan tanaman yang patah terinjak-injak. Apalagi
ketika dilihatnya rumah Ki Tanu Metir. Pintunya menganga lebar-lebar,
namun sepi.
Maka Agung Sedayu pun menjadi cemas.
Segera ia meloncat turun dan dengan lantang memanggil, “Ki Tanu. Ki Tanu
Metir” Namun panggilan itu tak ada jawaban. Sekali, dua kali tetapi
rumah itu tetap sepi. Ketika ia hampir saja meloncat masuk, terdengar
Widura mencegahnya, “Sedayu, jangan masuk”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Kau belum tahu pasti, apa dan siapakah yang ada di dalamnya”
“Oh” dan tiba-tiba Agung Sedayu pun meloncat dan berlari menjauh.
Hatinya menjadi berdebar-debar, namun ia
menjawab, “Rumah ini adalah rumah Ki Tanu Metir, paman. Dan kakang
Untara ada di dalamnya”
Namun Widura tidak menjawab. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Mencurigakan.
“Kau lihat telapak-telapak kaki kuda?” bertanya Widura.
“Ya” sahut Sedayu. “Malam lusa aku datang berkuda bersama-sama kakang Untara”
Widura mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Juga ke belakang rumah?”
Agung Sedayu menggeleng. Dan diikutinya
pandangan mata Widura. Dilihatnya telapak-telapak kaki kuda dari
belakang rumah Ki Tanu. “Oh” desisnya. “Pasti ada orang lain yang datang
ke rumah ini sesudah aku”
Widura kemudian berpaling kepada kawan-kawannya. Katanya, “Lihatlah ke belakang”
Dua orang dari mereka pun segera turun
dari kuda mereka, dan berjalan berhati-hati ke belakang rumah. Tak ada
sesuatu yang mereka lihat. Di belakang rumah itu, terdapat sebuah
kandang kuda. Tetapi kandang kuda itu telah kosong. Dan apa yang
dilihatnya itu pun dilaporkannya kepada Widura.
Widura mengangguk-angguk, “Telapak
kaki-kaki kuda itu adalah kaki-kaki kuda Ki Tanu Metir sendiri”
gumamnya. “Tetapi kenapa tanaman-tanaman ini menjadi rusak”. Kemudian
kepada Agung Sedayu Widura bertanya, “Apakah kudamu menginjak-injak
tanaman pada saat kau datang?”
“Aku kira tidak paman. Meskipun saat itu
malam, namun aku tak merasakan bahwa kaki-kaki kuda itu menginjak-injak
tanaman” jawab Sedayu.
Widura mengangguk-angguk. Ia pun tak
melihat bekas-bekas kaki kuda di antara tanaman yang rusak itu. Karena
itu Widura pun menjadi sibuk berpikir. Perlahan-lahan ia turun dari
kudanya dan dengan hati-hati berjalan mendekati pintu rumah Ki Tanu
Metir. “Kita lihat rumah itu” katanya. Kepada kawan-kawannya Widura
berkata, “Awasi keadaan”.
Dengan penuh kewaspadaan Widura menuju ke
pintu yang terbuka itu. Dengan telitinya ia memandang kedalam. Sepi,
dan telinganya pun tidak mendengar sesuatu. “Ki Tanu” ia memanggil
perlahan-lahan namun tak ada jawaban. Sehingga tiba-tiba Widura itu
meloncat masuk dengan cepatnya, dan kemudian dengan seksama menebarkan
pandangannya berkeliling. Tetapi tak dilihatnya apa pun di dalam rumah
itu.
“Hem” geramnya, “kosong”.
Sedayu yang selalu mengikutinya pun
segera meloncat masuk pula. Yang pertama-tama dilihatnya adalah
bantal-bantal yang berserakan diamben tengah. “Itulah” katanya.
“Apa” Widura terkejut.
“Bantal” jawabnya.
“Ah” Widura menarik nafas. “Kenapa bantal?”
“Disitulah kemarin lusa kakang Untara berbaring. Tetapi bantal itu kini telah bercerai-berai” jawab Sedayu dengan cemas.
Widura mengangguk-angguk. Hatinya menjadi
semakin gelisah. Apakah yang telah terjadi dengan Untara? Karena itu
Widura pun segera memeriksa rumah itu dengan hati-hati. Sentong kanan
dan sentong tengah. Tatapi juga tak ditemuinya sesuatu di dalam
sentong-sentong itu. Di sentong kiri Widura melihat setumpuk padi
berhamburan tak keruan. Ketika ia menengok ke dalam sebuah bakul yang
besar, yang biasanya untuk menyimpan padi, hatinya berdesir. Ia melihat
noda-noda merah di dalamnya. Darah yang kering. Dengan cepat Widura
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Agaknya Untara
telah disembunyikan di dalam bakul itu dan ditimbuni dengan padi. Tetapi
padi itu telah berhambur-hamburan dan bakul itu telah kosong. Karena
itu ia menjadi semakin cemas. Namun Widura sama sekali tak mengatakannya
kepada Sedayu, takut anak muda itu menjadi bingung dan mengganggu
pekerjaannya.
Ketika Widura sudah pasti bahwa di dalam
rumah itu tak ditemuinya sesuatu, maka ia pun segera melangkah keluar
dan diikuti oleh Agung Sedayu. Sekali lagi Widura melihat halaman rumah
Ki Tanu Metir. Namun tak ada sesuatu yang dapat memberitahukan
kepadanya, apakah yang kira-kira sudah terjadi.
Ketika Widura sedang sibuk berteka teki,
maka dilihatnya seseorang berjalan di lorong desa itu. Tetapi orang itu
pun segera memutar diri, ketika ia melihat beberapa orang di halaman
rumah Ki Tanu Metir. Tetapi Widura tak membiarkan orang itu pergi. Ia
ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Mungkin orang itu
tetangga dekat Ki Tanu Metir, sehingga ia dapat memberinya beberapa
pertanyaan. Karena itu dengan bertepuk tangan Widura mencoba
memanggilnya. Tetapi orang itu sama sekali tidak mau kembali, bahkan
menoleh pun tidak.
“Bawa orang itu kemari” perintah Widura kepada orang-orangnya.
Ketika orang yang berjalan menjauh itu
mengetahui dua orang menyusulnya, maka ia pun segera berlari. Tetapi
kedua orang Widura itu berlari lebih cepat, sehingga orang itu pun
segera dapat disusulnya. “Kenapa kau berlari ki sanak?” bertanya salah
seorang daripadanya.
Orang itu menggigil ketakutan. Wajahnya
menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Dengan penuh ketakutan ia menjawab,
“Aku….. aku tidak berlari tuan”
“Jangan takut” berkata orang-orang Widura
itu. “Kami tidak akan berbuat sesuatu. Kami hanya ingin bertanya
sedikit kepadamu. Ikutlah”
Orang itu tidak dapat menyangkal dan
menolak. Dengan lutut gemetar ia berjalan diapit oleh kedua orang
Widura. Sedemikian takutnya, sehingga sekali-sekali ia berjalan
merunduk-runduk. Di dalam benaknya telah terbayang, betapa punggungnya
menjadi patah dan giginya akan rampal habis, seperti gigi Kriya yang
kecil. Orang itu pernah mendengar, bahwa Kriya pun pernah mendapat
pertanyaan dari orang yang tak dikenalnya. Akibatnya orang itu tak dapat
bangun dari pembaringannya.
Karena itu, maka demikian orang itu
sampai di hadapan Widura dan melihat pedang Widura yang besar tergantung
di pinggangnya, segera ia menjatuhkan diri, berlutut sambil merengek,
“Ampun tuan, aku tidak akan mengganggu pekerjaan tuan”
Widura memandang wajah orang itu dengan heran. Bahkan kemudian ia bertanya, “Kenapa ki sanak menjadi ketakutan?”
“Aku tidak akan berbuat sesuatu, tuan” ulang orang itu, seakan-akan ia tidak mendengar pertanyaan Widura.
Widura memandang orang itu dengan
seksama. Seorang setengah umur, namun rambutnya telah memutih. “Aneh”
katanya dalam hati. Dan tiba-tiba saja, Widura memandang daerah di
sekitarnya. Sepi. Menang jalan-jalan desa yang kecil ini tidak akan
terlalu ramai dilewati orang. Namun sejak ia memasuki desa ini, baru
seorang itulah yang dilihatnya. Dengan demikian Widura segera
menghubungkan, halaman yang kotor, tanaman yang patah-patah, kaki-kaki
kuda dan kesepian yang mencekam padukuhan ini. Sedang orang yang
pertama-tama ditemuinya, bersikap aneh terhadapnya. Karena itu maka
dengan perlahan-lahan dan hati-hati Widura bertanya, “Ki Sanak. Kenapa
kau menjadi ketakutan. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Yang kami
inginkan hanyalah beberapa keterangan tentang rumah ini”
“Oh, ampun tuan. Ampun. Aku tidak tahu apa-apa tentang rumah ini dan desa ini” mintanya dengan iba.
Widura menjadi semakin heran, “Apakah yang sebenarnya telah terjadi?” katanya.
Namun orang setengah umur itu menjadi
semakin ketakutan. Kriya, kemarin lusa juga mendapat
pertanyaan-pertanyaan tentang Ki Tanu Metir, tentang tamu-tamunya.
Kemudian oleh orang-orang yang bersenjata pedang seperti orang yang
berdiri dihapannya itu, giginya telah dirontokkan dan bahkan punggungnya
serasa akan patah. Karena itu orang setengah umur itu tak
henti-hentinya merengek-rengek minta ampun dan belas kasihan.Widura
akhirnya menjadi jengkel. Dengan lantangnya ia membentak, “Diam!. Jawab
pertanyaanku!”
Orang itu pun terdiam. Tetapi tubuhnya
menggigil. Kini ia tidak berlutut lagi. Kakinya seakan-akan menjadi
terlalu lemah untuk menahan berat badannya. Karena itu ia terduduk di
tanah dengan hati yang dicengkam kekawatiran.
“Siapa namamu?” bertanya Widura.
“Wangsa, tuan. Wangsa Sepi” jawab orang itu dengan gemetar.
Nama yang aneh. Widura sempat bertanya, “Kenapa Sepi?”
Orang itu menjadi heran. Ia sendiri tidak
pernah berpikir kenapa namanya Wangsa Sepi. Karena itu, pertanyaan
Widura itu sangat membingungkannya. Maka jawabnya sekenanya, “Aku tidak
senang ramai-ramai tuan. Aku senang pada sepi”
Widura mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya pula, “Dimana rumahmu?”
“Di sebelah tuan. Berantara kebon suwung itu” jawabnya.
“Dekat” guman Widura. Karena itu ia
bertanya kembali, “Ki Sanak, jawablah pertanyaanku dengan baik, supaya
aku bersikap baik juga kepadamu”.
“Ya tuan” jawab orang yang ketakutan itu.
Widura pun bertanya pula. Hati-hati dan
perlahan-lahan supaya orang itu tidak menjadi semakin takut kepadanya.
Katanya, “Kau kenal penghuni rumah ini?”
“Kenal tuan” jawab orang itu.
“Namanya?” bertanya Widura.
“Ki Tanu Metir”
“Bagus” sahut Widura. “Nah, katakanlah ki sanak, dimanakah orang itu sekarang? Ke sawah barangkali? Atau kesungai?”
Orang itu menggeleng, jawabnya, “Aku tidak tahu tuan”
Widura mengangkat alisnya. Kemudian
diulangnya pertanyaannya perlahan-lahan, “Ki Sanak, kau akan menjawab
pertanyaan-pertanyaanku bukan? Nah, apakah kau mengetahui atau
mendengar, kemana Ki Tanu Metir pergi?”
Sekali lagi orang itu menggeleng, dan sekali terdengar ia menjawab, “Aku tidak tahu tuan”
Widura menjadi gelisah. Tetapi ia masih
bersabar. Dengan kedua tangannya orang itu ditariknya berdiri. Katanya,
“Berdirilah ki sanak. Berdirilah. Biarlah kita dapat bercakap-cakap
dengan baik”.
Dengan susah payah orang itu pun berusaha
berdiri dan tegak di atas kedua kakinya. Namun lututnya masih juga
gemetar. Apalagi ketika ia sadar, bahwa di sekitarnya berdiri beberapa
orang laki-laki yang berwajah keras dengan pedang dipinggang
masing-masing. Meskipun demikian orang itu masih mendengar Widura
berkata dengan sareh, “Ki sanak. Aku melihat ketidakwajaran di desa ini.
Aku juga melihat beberapa tanda-tanda yang tak menyenangkan. Karena itu
aku datang untuk mencoba mengetahui apa yang telah terjadi untuk
seterusnya mengambil tindakan pencegahan buat saat-saat mendatang”.
Orang itu menjadi heran mendengarnya, kemudian ia memberanikan diri untuk bertanya, “Siapakah tuan-tuan ini?”
“Kami adalah laskar Pajang” jawab Widura.
“Oh” desis orang itu. “Apakah kalian bukan kawan-kawan Alap-alap yang muda itu?”
Widura menarik nafas. Orang itu telah
menyebut nama Alalp-alap Jalatunda. Sedayu pun terkejut pula mendengar
nama itu disebutkan. Karena itu ia memotong, “Apakah Alap-alap Jalatunda
datang kemari?”
Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak. Ditatapnya Widura dan Sedayu dan orang-orang lain berganti-ganti.
“Jawablah” minta Widura.
Orang itu mengangguk, “Ya” katanya. “Kriya telah melihatnya bersama-sama dengan beberapa orang. Di antaranya bernama Plasa”
“Plasa Ireng” sahut Widura terkejut.
“Ya. Agaknya demikian. Aku hanya mendengar dari Kriya ketika aku menengoknya tadi pagi” jawab orang itu.
Widura menarik nafas. Kemudian ia
bergumam perlahan-lahan yang hanya dapat didengarnya sendiri, “Setan
Ireng itu sampai juga di sini”. Maka katanya seterusnya, “Apakah yang
sudah mereka lakukan di sini?”
Wangsa Sepi menjadi ragu-ragu sejenak.
Namun setelah ia mengetahui bahwa orang-orang itu sama sekali bukan
kawan-kawan Alap-alap Jalatunda, hatinya menjadi agak tenang. Maka
jawabnya kemudian, “Tuan. Alap-alap Jalatunda datang bersama-sama
beberapa orang kawannya. Mereka mencari dua orang berkuda yang datang ke
rumah Ki Tanu Metir”.
Widura menjadi berdebar-debar dan dada Sedayu berguncang. Sehingga cepat-cepat ia bertanya, “Adakah mereka diketemukan?”
“Kami tidak tahu pasti tuan. Menurut
Kriya, orang-orang itu telah memaksa Ki Tanu Metir untuk menunjukkan
dimana salah seorang dari kedua orang itu, yang ternyata terluka,
disembunyikan” jawabnya.
Widura mengerutkan alisnya. Sesaat ia berpikir, kemudian katanya, “Dimanakah rumah Kriya itu?”
“Di sudut jalan itu tuan” jawab Wangsa Sepi.
“Antarkan kami kesana. Apakah Kriya sudah dapat diajak berbicara?”
“Sudah tuan” sahut Wangsa Sepi.
Maka pergilah mereka, diantar oleh Wangsa
Sepi ke rumah Kriya. Rumah kecil beratap ilalang disiku jalan. Ketika
mereka memasuki halaman rumah itu, yang dipagari dengan pagar bata
setinggi dada, mereka melihat seorang perempuan berlari-lari masuk
kedalamnya.
“Siapakah orang itu?” bertanya Widura.
“Istrinya tuan” jawab Wangsa Sepi.
“Perempuan itu pasti ketakutan. Ia pasti menyangka bahwa orang-orang
yang memukul suaminya kemarin datang kembali.”
Widura mengangguk-angguk. Kemudian
disuruhnya Wangsa Sepi mendahului, supaya mereka tidak menjadi semakin
ketakutan. “Masukkah Ki Sanak” berkata Widura, “Katakan kepadanya, bahwa
aku bukan orang-orang yang pernah datang kemari”.
Wangsa Sepi mengangguk. Kemudian ia pun
berjalan dahulu, masuk ke rumah Kriya yang bungkik. Orang itu masih
berbaring diamben. Sedang istrinya yang ketakutan berlutut di sampingnya
sambil menangis. Perempuan itu terkejut sampai berjingkat, ketika
tiba-tiba melihat seseorang begitu saja sudah berdiri di sampingnya.
“Aku Nyai” berkata Wangsa Sepi.
“Oh” istri Kriya itu menarik nafas,
kemudian ia bertanya, “Kakang, siapakah orang-orang yang memasuki
halaman ini. Adakah mereka orang-orang yang memukuli kakang Kriya
kemarin?”
Wangsa Sepi memandangnya dengan iba.
Seperti seorang pelindung yang baik ia berkata, “Jangan takut Nyai”,
kemudian kepada Kriya kecil yang terbaring diamben ia berkata, “Jangan
takut adi. Orang itu bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatunda. Mereka ingin
bertemu dengan adi, justru untuk mencari Alap-alap Jalatunda”
Mata Kriya yang kecil itu pun terbelalak, “Benarkah demikian?”
“Ya” jawab Wangsa Sepi. “Karena itu jangan takut”.
Namun mata Kriya masih memancarkan
keragu-raguan hatinya. Ia sudah sedemikian ngerinya mengingat peristiwa
dua malam yang lewat. Beberapa orang telah memukulnya berganti-ganti,
mengancam dan menyengat-nyengat dengan ujung-ujung senjata. Tetapi
apabila benar orang-orang yang datang ini justru mencari Alap-alap
Jalatunda, maka ia dapat titip kepada orang-orang itu. Kalau ketemu, ia
akan minta mereka supaya punggung mereka pun dipatahkan seperti
punggungnya.
Maka katanya kemudian, “Silakan mereka masuk”.
Widura dan Sedayu pun kemudian masuk ke
gubug kecil itu. Mereka melihat penderitaan yang dialami oleh Kriya.
Beberapa luka-luka kecil dihampir seluruh tubuhnya. Wajahnya yang biru
pengab dan sakit yang amat sangat di punggungnya, sehingga orang itu
tidak dapat bangkit dari pembaringannya.
“Jangan bangun” berkata Widura, “Supaya sakitmu tidak bertambah parah”.
Kata-kata yang pertama itu telah
menyejukkan hati Kriya. Ia kini pasti, orang itu bukan kawan-kawan
Alap-alap Jalatuda. Dengan menyeringai menahan sakit ia berkata,
“Silakan tuan-tuan. Aku tidak dapat menyambut tuan-tuan dengan baik”.
“Jangan diributkan” sahut Widura. “Aku
hanya ingin beberapa keterangan. Dapatkah kau menceritakan, apa yang
telah kau ketahui tentang Ki Tanu Metir dan Alap-alap Jalatunda?”
Kriya yang kecil itu menggerak-gerakkan
kepalanya. Kemudian ia bercerita tentang orang-orang yang datang mencari
dua orang berkuda. Tentang Plasa Ireng dan kemudian tentang Alap-alap
Jalatunda yang pergi menyusul yang seorang lagi. Akhirnya ia berkata,
“Mereka telah mencoba memaksa Ki Tanu Metir untuk menunjukkan
orang-orang berkuda itu. Namun Ki Tanu Metir tidak bersedia. Akhirnya
orang-orang itu pun menjadi marah. Tetapi aku tidak tahu, apa yang
terjadi seterusnya, karena tiba-tiba dadaku terasa sesak, dan aku
menjadi pingsan”.
Widura mendengarkan semuanya itu dengan
dada yang berdebar-debar. Sedang Agung Sedayu menjadi sangat cemas.
Dengan nafas yang terengah-engah ia bertanya, “Jadi kemanakah Ki Tanu
Metir kemudian?”
“Tak seorang pun yang tahu” jawab Kriya.
“Namun kami menduga, bahwa Ki Tanu Metir dan orang yang disangka
disembunyikan itu telah dibawa oleh mereka, gerombolan Plasa Ireng”
Sedayu menjadi semakin cemas. Ditatapnya
wajah pamannya yang tegang. Widura mencoba untuk menghubungkan
keterangan-keterangan itu dengan apa yang dilihatnya. “Hem” ia menarik
nafas. Mungkin sangkaan itu benar. Untara diketemukan di dalam bakul
dengan meninggalkan bekas-bekas darah itu. Tetapi kemanakah mereka
dibawa?
Ruangan itu untuk sejenak menjadi sepi.
Namun dada merekalah yang menjadi riuh. Apalagi dada Agung Sedayu.
Dengan penuh kecemasan ia menunggu, apakah yang akan dilakukan oleh
pamannya.
“Ki Sanak,” bertanya Widura kemudian, “Apakah kau pernah mendengar, dimanakah orang-orang Alap-alap Jalatunda itu tinggal?”
Kriya menggeleng lemah. Jawabnya, “Namanya itu menunjukkan tempat. Namun aku tidak pasti”
Widura iru pun kemudian terdiam.
Tampaklah ia merenung, memandang jauh melewati lubang pintu. Di luar,
sinar matahari dengan cerahnya bermain-main di atas daun-daun di
halaman. Widura telah mengetahui dengan pasti bahwa Alap-alap Jalatunda
itu tidak berada di Jalatunda atau sekitarnya, sebab daerah itu telah
lama dibersihkan dari gerombolan-gerombolan kecil yang kehilangan
pegangan itu. Tetapi Widura sadar, bahwa orang-orang seperti Kriya kecil
dan Wangsa Sepi itu tak akan banyak memberinya petunjuk. Ketika Widura
itu berpaling, maka dilihatnya wajah Sedayu yang pucat dan tegang.
“Bagaimana dengan kakang Untara paman?” terdengar ia bertanya dengan gemetar.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
mencoba memeras otaknya. Tanaman-tanaman yang rusak di halaman Ki Tanu
Metir, bukan sekedar terinjak-injak kaki, bahkan kaki-kaki kuda
sekalipun. Bekas-bekas itu adalah bekas perkelahian. Sayang Kriya saat
itu menjadi pingsan, sehingga ia tidak dapat mengatakan siapakah yang
bertempur malam itu. Ki Tanu Metir barangkali? Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Apakah gerombolan Plasa Ireng telah
berbuat sedemikian kasarnya terhadap orang tua itu untuk memeras
keterangannya sehingga halaman itu menjadi rusak? Plasa Ireng tak akan
memerlukan hampir separo halaman untuk keperluan itu. Namun Widura juga
tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa Untara telah mampu mempertahankan
dirinya dan bertempur melawan Plasa Ireng. Kalau terpaksa terjadi
perkelahian di antara mereka, sedang Untara dalam keadaan parah, maka
harapan untuk dapat bertemu kembali dengan Untara adalah sangat kecil.
Demikian juga agaknya, apabila Plasa Ireng itu berhasil menemukan Untara
di dalam persembunyiannya. Karena itu maka Widura pun menjadi gelisah
dan cemas.
Widura tidak segera membuat kesimpulan
yang mendebarkan jantungnya, meskipun itulah kemungkinan yang terbesar
terjadi atas Untara. “Mudah-mudahan Untara tidak mati muda” Widura
berkata di dalam hatinya. “Namun kalau terpaksa terjadi demikian, maka
anak itu telah gugur dalam pelukan kewajibannya bersama dengan seorang
dukun tua. Bahkan Kriya yang tak mengerti ujung pangkal dari
perselisihan antara Pajang dan Jipang itu pun harus menderita karenanya”
Sedayu yang menunggu jawaban pamannya itu
masih saja berdiam diri. Mengangguk-angguk dan menggeleng-gelengkan
kepalanya tanpa berkata sepatah katapun. Karena itu ia mendesak,
“Bagaimanakah dengan kakang Untara itu paman?”
“Aku belum dapat mengambil kesimpulan apa-apa Sedayu” jawab pamannya.
Sedayu menjadi semakin cemas. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Sejenak kemudian Widura itu pun berkata,
“Ki Sanak, aku tidak perlu terlalu lama di sini. Barangkali aku kelak
mendengar keterangan tentang Ki Tanu Metir. Baiklah kini aku mencoba
mencari bekas-bekasnya di sekitar padukuhan ini”.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar karenanya. Kalau pamannya akan mencari kakaknya, apakah itu tidak akan terlalu berbahaya.
Karena dengan tergesa-gesa ia berkata, “Apakah daerah sekitar pedukuhan ini tidak berbahaya paman?”
Widura berpikir sejenak. Kemudian
jawabnya, “Berbahaya atau tidak, tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk
mencari keterangan tentang Untara”.
“Tetapi, bagaimanakah kalau tiba-tiba paman disergap oleh Alap-alap jalatunda?”, bertanya Sedayu.
“Sedayu. Alap-alap jalatunda itu tidak
seberbahaya Macan Kepatihan. Mudah-mudahan aku dapat mengatasinya
apabila kita bertemu” jawab Widura membesarkan hati anak itu.
“Tetapi ia tidak sendiri. Mungkin dengan yang paman sebut Plasa Ireng atau yang lain-lain” desak Sedayu.
“Bukankah aku tidak sendiri?”
“Paman hanya membawa beberapa orang. Mungkin Alap-alap Jalatunda itu berenam, sepuluh atau bahkan satu pasukan”
“Di antara kita ada kau, Sedayu”
“Ah” Sedayu mengeluh.
Widura pun mengeluh di dalam hati. Anak
itu sama sekali tidak membantunya, bahkan ia dapat merupakan tanggungan
yang terlalu berat. Karena itu pula, maka Untara yang perkasa terpaksa
terluka di pundaknya. “Untara pasti sedang melindungi anak ini” pikir
Widura. “Kalau tidak, apakah empat orang yang dipimpin oleh Pande Besi
Sendang Gabus itu melukainya?”
Tetapi Widura tidak akan dapat melepaskan
Agung Sedayu. Ia adalah kemenakannya. Dan betapa pun anak ini pernah
berjasa bagi Sangkal Putung yang dibebankan kepadanya.
Meskipun demikian Widura mempertimbangkan
pula pendapatnya. Tanpa disengajanya, sekali lagi ia melihat akibat
kekasaran Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda. Kriya yang lemah itu kini
masih berbaring dipembaringannya. Namun tiba-tiba pula ia menjadi
heran. Luka itu terlalu berat. Namun penderitaan orang itu agaknya telah
jauh berkurang. Karena itu tiba-tiba ia bertanya, “Ki Sanak, apakah
luka-lukamu tak pernah diobati?”
“Pernah tuan” jawab Kriya sambil menyeringai.
“Bukankah biasanya Ki Tanu Metir lah yang
memberi obat kepada orang-orang sakit? Dan sekarang orang itu telah
tidak ada di rumahnya” bertanya Widura.
“Ya” jawab Kriya. “Tetapi semalam datang
pula orang yang mencari Ki Tanu Metir. Orang yang sudah sangat tua.
Katanya ia adalah sahabat Ki Tanu Metir. Seorang dukun pula. Dan
diberinya aku obat”
“Oh” Widura mengangguk-angguk. “Siapakah namanya?”
Kriya menggeleng. Jawabnya, “Ketika aku
bertanya namanya, orang itu menjadi bingung. Akhirnya ia menjawab sambil
menunjukkan kain yang dipakainya. Kiai Gringsing”
Widura terkejut mendengar jawaban itu.
Apalagi Agung Sedayu. Dengan serta merta ia bertanya, “Adakah Kiai
Gringsing itu bertopeng?”
Sekali lagi Kriya menggeleng, “Tidak”
jawabnya. “Namun wajahnya aneh juga. Berkeriput dan dipakainya pilus
didahinya. Aku takut kalau bertemu dengan orang itu di malam hari
seorang diri”.
Widura mengerutkan keningnya. Keterangan
itu sangat menarik perhatiannya. Karena itu maka ia bertanya pula,
“Apakah yang dilakukan oleh orang itu kemudian?”
“Tidak apa-apa” jawab Kriya, “Setelah
diketahuinya bahwa rumah sahabatnya kosong, dan diberinya aku obat, maka
ia pun segera pergi. Katanya, ia takut kalau-kalau orang yang mencari
Ki Tanu Metir lusa kembali dan menangkapnya pula”
“Tanu Metir ditangkap dalam hubungannya dengan orang yang disembunyikan” sahut Widura.
“Mungkin” jawab Kriya. “Tetapi orang tua
itu berkata bahwa laskar kedua pihak yang sedang memerlukan dukun-dukun
untuk mengobati kawan-kawan mereka yang terluka. Mungkin Ki Tanu Metir
telah mereka bawa untuk keperluan itu”
Widura menarik keningnya. Keterangan itu
masuk akal juga. Tetapi cerita tentang Kiai Gringsing itu mungkin ada
juga gunanya, maka Widura itu pun berkata, “Apakah kau melihat
tanda-tanda yang aneh pada orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing?”
“Tidak” sahut Kriya. “Selain bahwa orang itu telah terlalu tua. Agak bongkok”
“Adakah kau tanyakan rumahnya?”
“Ya. Tetapi tak diberitahukannya. Katanya, apabila Ki Tanu Metir sudah pulang, maka ia sudah tahu, siapakah dirinya”
Widura menarik nafas. Tak ada yang dapat
diketahui tentang Kiai Gringsing. Namun ia mendapat suatu kesimpulan,
bahwa Kiai Gringsing benar-benar orang yang tak mau dikenal. Agung
Sedayu pernah bertemu dengan orang yang menamakan dirinya Kiai
Gringsing. Belum terlalu tua dan bertopeng atau lebih tepat hanya sebuah
tutup muka dengan tiga buah lubang, diarah mata dan hidungnya. Bahkan
dengan seenaknya, bersenjata cambuk kuda orang itu dapat mengalahkan
Alap-alap Jalatunda. Sedang orang yang menamakan Kiai Gringsing pula,
datang kepada Kriya. Orang itu telah terlalu tua, bongkok. Tetapi satu
hal yang dapat ditarik persamaan dari keduanya, wajah keduanya bukanlah
wajah aslinya. Yang datang kepada Kriya itu pun berwajah aneh dan
menakutkan, bahkan memakai pilis di dahinya. Bukankah itu juga suatu
usaha untuk menyembunyikan diri?
Tetapi Widura tidak mau tenggelam dalam
persoalan orang yang tak dikenalnya. Baginya, Untara lebih penting dari
orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu. Karena itu maka sekali
lagi ia minta diri, “Terima kasih atas semua keteranganmu, ki sanak”
berkata Widura kepada Kriya, kemudian kepada Wangsa Sepi, “Ki sanak,
ingat-ingatlah apa yang terjadi kemudian. Mungkin aku akan datang
kembali beberapa hari yang akan datang. Mungkin ada hal-hal yang dapat
memberi penjelasan atas hilangnya Ki Tanu Metir”
“Baiklah tuan” jawab Wangsa Sepi sambil mengangguk.
Widura, Agung Sedayu dan kawan-kawannya
yang menunggu diluar segera meninggalkan rumah Kriya Bungkik. Mereka
kembali ke halaman rumah Ki Tanu Metir. Dengan hati-hati Widura meneliti
bekas-bekas kaki kuda di halaman itu. Kemudian katanya, “Kita coba
mengikuti bekas-bekas kaki kuda Ki Tanu Metir. Mungkin kuda itu dipakai
oleh orang-orang yang mengambilnya”
Kembali Agung Sedayu menjadi gelisah. Katanya berbisik, “Bagaimanakah kalau kita akan sampai ke sarang Alap-alap Jalatunda itu?”
“Suatu kebetulan” sahut Widura. “Segera kita akan tahu, bagaimanakah nasib Untara dan Ki Tanu Metir”
“Tetapi bagaimanakah dengan nasib kita sendiri?”
Widura menarik nafas, katanya, “Lalu apakah yang sebaiknya kita lakukan? Apakah kita biarkan saja Untara hilang?”
“Tidak” jawab Sedayu. “Kita harus mencari
kakang Untara. Tetapi apakah kita tidak kembali ke Sangkal Putung
dahulu, dan paman membawa laskar lebih banyak lagi?”
“Kita akan banyak kehilangan waktu
Sedayu” jawab pamannya. “Sedang laskarku pun sangat terbatas. Kalau
sebagian dari mereka meninggalkan tempatnya, bagaimanakah jadinya
Sangkal Putung itu, apabila Tohpati datang kembali siang ini?”
Sedayu pun terdiam. Namun hatinya tidak
tentram. Di Sangkal Putung ia takut apabila Tohpati datang kembali.
Mengikuti pamannya ia cemas apabila mereka bertemu dengan Alap-alap
Jalatunda. Namun ia tidak dapat menentukan pilihan. Karena itu ia harus
ikut saja kemana pamannya pergi.
Widura kemudian seakan-akan tidak
memperhatikan Agung Sedayu lagi. Dengan penuh minat ia melihat
telapak-telapak kaki kuda di halaman itu. Kemudian dipanggilnya
kawan-kawannya mendekat, dan terdengar ia berkata, “Kita ikuti telapak
kaki-kaki kuda ini”
Kawan-kawannya pun memperhatikan telapak
itu dengan seksama. Mereka harus berusaha membedakan dengan telapak kaki
yang lain. Apabila mungkin, maka mereka akan dapat mengikuti kemana
kuda itu pergi. “Mudah-mudahan kita menemukan tempatnya” gumam Widura.
Sedang Agung Sedayu menjadi berdebar-debar mendengarnya.
Sejenak kemudian, mereka pun telah siap
di atas punggung kuda masing-masing. Perlahan-lahan mereka berjalan
menyusur jalan desa yang sempit sambil memperhatikan jalan dibawah
kaki-kaki kuda mereka, supaya mereka tidak kehilangan jejak.
“Tiga ekor kuda” geram Widura.
“Ya” sahut kawannya. Selain itu mereka
masih melihat telapak-telapak kaki yang lain. Namun telapak-telapak kaki
itu mengarah ke arah yang berlawanan. Di antaranya telapak-telapak kaki
kuda mereka sendiri pada saat mereka memasuki desa itu.
“Dua di antaranya adalah telapak kaki
kuda Sedayu dan Alap-alap Jalatunda yang menyusulnya ke Sangkal Putung”
gumam Widura. “Apabila ada salah satu daripadanya memisahkan diri dari
jalan ini, maka kuda itulah yang telah dipergunakan Plasa Ireng atau
salah seorang daripadanya. Dan kita akan mengikuti arahnya”
Kawan-kawannya itu pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Meskipun di dalam hati mereka
terbersit pula rasa kawatir. Apabila mereka benar-benar sampai disarang
Alap-alap itu, maka pekerjaannya tidak akan kalah beratnya dengan
menyongsong kehadiran laskar Tohpati di Sangkal Putung. Mungkin mereka
akan menghadapi lawan yang berlipat. Namun hati mereka menjadi tenteram
ketika mereka melihat kedua orang yang berkuda di depan mereka. Widura
dan adik Untara. “Mereka berdua tak akan terkalahkan” gumam mereka di
dalam hati.
Karena itu mereka menjadi tenteram.
Meskipun demikian sekali-sekali mereka meraba hulu-hulu pedang mereka,
seakan-akan mereka sedang bersepakat dengan senjata-senjata mereka,
bahwa mereka akan menempuh suatu perjuangan yang berat.
Di sepanjang jalan hampir mereka tidak
bercakap-cakap. Mereka sedang sibuk memperhatikan bekas-bekas kaki kuda
dibawah mereka. Hanya Agung Sedayulah yang kadang-kadang menarik nafas
panjang untuk mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Sebenarnya
ingin juga ia segera mengetahui nasib kakaknya, namun ia cemas apabila
dibayangkannya orang-orang yang kasar dan keras menghadang di
tengah-tengah jalan dengan senjata-senjata di lambung. Meskipun demikian
ia tidak berkata sepatah katapun. Ketika ia menoleh, dilihatnya
orang-orang yang berkuda di belakangnya, sama sekali tidak menunjukkan
kecemasan mereka. Bahkan ketika mereka melihat Agung Sedayu menoleh
kepada mereka, hampir bersamaan mereka tersenyum dan menganggukkan
kepala mereka. Agung Sedayu pun mengangguk. Tetapi ia tidak tahu, kenapa
orang-orang itu mengangguk kepadanya, dan ia juga tidak tahu, kenapa ia
mengangguk pula.
Semakin jauh mereka dari pedukuhan
Pakuwon, hati Widura menjadi semakin heran. Telapak kaki kuda itu tidak
terpisah. Ketiganya menuju Sangkal Putung. “Aneh” desis Widura. “Apakah
salah seorang dari anak buah Plasa Ireng itu pergi juga ke Sangkal
Putung selain Alap-alap Jalatunda?” Namun Widura tidak dapat menjawab
pertanyaan itu.
Demikianlah mereka tetap mengikuti
jejak-jejak itu. Tetapi mereka tak menemukan titik perpisahan dari
jejak-jejak itu. Bahkan akhirnya mereka sampai juga di Bulak Dawa. Dan
jejak-jejak itu masih mengikuti jalan terus ke Sangkal Putung.
Widura juga sedang mempertimbangkan setiap kemungkinan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apakah kita tidak keliru?” gumamnya.
“Apa yang keliru paman?” bertanya Agung Sedayu.
Sekali lagi Widura memandangi jejak-jejak
kaki kuda yang sudah tidak begitu jelas lagi. “Apakah ada jejak-jejak
lain yang sudah terhapus?” gumamnya.
Agung Sedayu tidak menjawab. Dan ketika
kawan-kawan mereka itu telah dekat benar dengan Widura, Widura pun
bertanya kepada mereka, “Adakah kalian melihat salah satu di antaranya
memisahkan diri?”
Orang-orang itu menggeleng. “Tidak” jawab
salah seorang dari mereka. “Kami telah mencoba mengawasi dengan seksama
setiap simpangan. Entahlah kalau jejak-jejak itu telah tidak dapat
dilihat lagi”
Widura mengangguk-angguk. Namun jalan
yang sepi itu, agaknya belum banyak dilalui orang. Apalagi kuda atau
gerobag. Maka katanya, “Kita ikuti jejak itu untuk seterusnya. Kalau
kita tidak menemukan sesuatu, kita kembali ke Sangkal Putung. Lain kali
aku akan mencarinya”.
Ketiga orang itu pun mengangguk, dan
Sedayu pun menjadi agak berlega hati. Namun meskipun demikian, ia selalu
cemas akan nasib kakaknya. Satu-satunya saudaranya, yang selama ini,
bahkan sejak kecil selalu menjaganya dan melindunginya dengan baik.
Pada saat-saat dirinya mengalami
kesulitan yang paling kecil sekalipun maka kakaknya selalu datang
menolongnya. Bahkan kakaknya itu telah banyak sekali mengorbankan
kepentingannya sendiri untuknya.
Kini kakaknya itu mengalami bencana.
Apakah yang dapat dilakukannya? Jiwa Agung Sedayu itu pun menjadi
bergolak. Ingin juga ia datang berkuda menerobos masuk kedalam sarang
orang-orang yang mungkin menculik kakaknya dengan pedang terhunus di
tangan. Ingin ia menolong dan menyelamatkannya. Tetapi kemudian Agung
Sedayu hanya dapat menggigit bibirnya. Tak ada keberanian untuk
melakukannya. Dan disadarinya bahwa apa yang dapat dilakukan hanyalah
berangan-angan.
Mereka masih saja berkuda mengikuti jalan
ke Sangkal Putung. Meskipun tidak sendiri, namun bulu-bulu Agung Sedayu
meremang juga ketika mereka lewat dibawah randu alas yang besar
ditikungan. Setiap kali ia melihat pohon randu alas itu setiap kali ia
teringat cerita tentang genderuwo bermata satu.
Tetapi Widura sama sekali tidak
mempedulikan cerita itu. Ia masih sibuk mencoba mengurai keanehan yang
dihadapinya. Telapak-telapak itu benar-benar menuju ke Sangkal Putung.
Tetapi sampai sekian jauh belum juga menemukan jawaban. Apalagi ketika
mereka kemudian sampai pada daerah yang berbatu-batu. Telapak-telapak
kaki kuda itu seakan-akan lenyap dijilat hantu. Karena itu, Widura
menjadi semakin cemas. Tetapi tak ada hal-hal yang dapat memberinya
petunjuk.
Maka dengan kecemasan yang mencengkam
dadanya, akhirnya Widura terpaksa membawa rombongannya kembali ke
Sangkal Putung. Meskipun demikian Widura itu menggeram, “Suatu ketika
aku harus menemukan jawaban atas hilangnya Untara dan Ki Tanu Metir”
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan
wajahnya. Tetapi matanya menjadi panas, dan dijantungnya seperti akan
pecah. Tetapi tidak lebih daripada itu. Agung Sedayu tidak dapat berbuat
apa pun selain meratap dengan sedihnya.
Ketika mereka sampai di halaman
kademangan, beberapa orang datang menyongsong mereka. Citra Gati,
Hudaya, Sidanti, Swandaru dan beberapa orang lain. Sebelum Widura masuk
ke pringgitan, berbagai-bagai pertanyaan harus dijawabnya. Dan
orang-orang itu pun menjadi kecewa pula. Mereka mengharap Untara ada di
antara mereka, namun ternyata orang itu telah lenyap.
Hanya Sidanti lah yang sama sekali tidak
menaruh minat akan hilangnya Untara. “Biarlah anak itu hilang. Dan
biarlah orang-orang di Sangkal Putung menyadari, bahwa bukan Untara lah
orang yang paling sakti di antara kita. Tohpati itu tidak terpaut banyak
denganku. Apabila guru datang kemari, aku akan mendapat petunjuk
bagaimana harus mengalahkannya” katanya di dalam hati.
Tetapi ketika terlihat pula olehnya
Sedayu, Sidanti mengangkat alisnya. Dan hatinya berkata pula, “Apakah
anak ini benar-benar dapat, setidak-tidaknya mendekati kesaktian
Untara?” Sindanti menarik bibirnya kesisi. Kemudian ia berjalan di
samping pendapa dan sama sekali tak mengacuhkan lagi, apakah yang
terjadi di dukuh Pakuwon.
Di samping pendapa Sidanti berhenti. Dilihatnya Sekar Mirah berjalan ke arahnya. “Siapa yang datang?” gadis itu bertanya.
“Kakang Widura” jawab Sidanti.
“Dengan anak muda yang bernama Agung Sedayu, adik Untara?” bertanya Sekar Mirah pula.
Sidanti menarik alisnya. Katanya, “Ya, tetapi apakah kau mempunyai kepentingan dengan anak itu?”
“Tidak. Tetapi aku ingin melihatnya. Menurut ayah, anak itulah yang telah menyelamatkan Sangkal Putung”.
“Omong kosong” sahut Sidanti. “Apa yang
telah dilakukannya? Ia hanya datang atas nama kakaknya, mengabarkan
bahwa laskar Tohpati akan datang. Selebihnya tidak. Akulah yang terluka
oleh senjata Tohpati itu. Aku tidak yakin, kalau Agung Sedayu dapat
menyelamatkan hidupnya seandainya ia harus menghadapi Macan Kepatihan
itu”
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi
matanya dengan nanar menyapu pendapa rumahnya. Namun yang dicarinya
telah tidak tampak lagi. Widura dan Agung Sedayu telah masuk ke
pringgitan. Di pringgitan, demang Sangkal Putung telah duduk
menunggunya.
“Marilah adi” Ki Demang mempersilakan.
Kemudian mereka pun duduk melingkar di
atas tikar pandan yang putih. Widura sekali lagi megulangi, apa yang
dilihatnya di dukuh Pakuwon. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata,
“Aku tidak berhasil menemukannya”
Demang Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sayang” desisnya.
Ruangan itu sejenak menjadi sepi.
Masing-masing tenggelam di dalam angan-angannya. Kadang-kadang Sedayu
masih mendengar, pamannya menggeram menahan perasaan kecewa yang
merayapi dadanya. Kecewa atas hilangnya Untara dan Ki Tanu Metir, dan
kecewa akan kemenakannya yang seorang lagi. Agung Sedayu. Banyak
persoalan yang akan dihadapinya. Tohpati yang pasti tak akan melepaskan
Sangkal Putung, Untara dan Ki Tanu Metir yang harus diketemukan hidup
atau mati, dan Agung Sedayu dilingkungan anak buahnya. Widura yang telah
banyak menghayati berbagai pengalaman, melihat, betapa Sidanti dengan
tidak disangka-sangka menempatkan sebuah persoalan dengan kemenakannya
itu. Tanggapannya yang kurang menyenangkan dan harga dirinya yang
berlebih-lebihan.
Sedang apa yang dilakukan oleh Agung
Sedayu tidak lebih daripada meratap dan berangan-angan. Ia sama sekali
tidak berusaha untuk melindungi dirinya sendiri.
Sekar Mirah, ketika tidak berhasil
melihat orang yang dicarinya, kemudian berlari kebelakanng. Ketika ia
masuk ke dapur dilihatnya seorang pembantunya siap mengantarkan
mangkuk-mangkuk minuman ke pringgitan. Maka dengan serta merta gadis itu
merebutnya sambil berkata, “Biarlah aku yang mengantarkan.”
Pembantunya tidak dapat menolaknya.
Sehingga kemudian Sekar Mirah sendirilah yang mengantarkan minuman itu.
Dan dengan demikian gadis itu berhasil melihat anak muda yang bernama
Agung Sedayu dengan jelas.
Agung Sedayu yang selalu menundukkan
wajahnya, tak menyadarinya, bahwa seseorang telah mengawasinya dengan
cermat. Sekar Mirah yang kemudian meninggalkan pringgitan, masih selalu
menatap wajah anak muda itu dari balik pintu.
“Nama yang baik” desis Sekat Mirah. Dan tiba-tiba gadis itu terkejut ketika seseorang menepuk pundaknya.
“Ah” desisnya, “Kau mengejutkan aku Kakang Sidanti.”
“Apakah yang kau intip?” bertanya Sidanti.
“Ayah” jawab Sekar Mirah tergagap
“Kenapa dengan Ki Demang?” desak anak muda itu.
“Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu, kenapa ia mengeluh” sahut Sekar Mirah, yang kemudian ganti bertanya, “Apa kerjamu di sini?”
“Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu, kenapa kau mengintip” jawab Sidanti sambil tersenyum.
“Ah” desis Sekar Mirah, “Keluarlah. Kau mengganggu aku di sini.”
Sidanti menggeleng. Jawabnya, “Marilah kita keluar bersama-sama.”
Sekar Mirah tidak menjawab, tetapi ia melangkah pergi ke halaman belakang. Sedang Sidanti mengikutinya di belakang.
“Apakah kau sudah melihat anak itu?” bertanya Sidanti kemudian.
“Ya” jawab Sekar Mirah, “Baru sekarang
aku melihatnya dengan jelas. Anak itu datang lewat tengah malam. Dan
kemarin hampir sehari penuh aku membantu didapur. Baru kemarin sore aku
mendengar nama itu. Nama yang bagus.” Sekar Mirah berhenti sejenak
ketika ia melihat dahi Sidanti mengkerut, kemudian ia meneruskan,
“Seperti namamu.”
Sidanti tersenyum. Namun senyumnya terasa
hambar. Meskipun demikian ia berdiam diri, sehingga Sekar Mirah berkata
terus, “Tadi pagi aku melihatnya. Ketika hampir setiap orang menyebut
namanya karena keberanian dan ketangkasannya, baru aku ingin melihat
wajahnya. Dan wajahnya pun baik sebaik namanya.”
Sekali lagi Sidanti mengerutkan
keningnya. Sahutnya, “Huh, wajah itu tak akan langgeng. Lihat, hampir
setiap wajah laki-laki di sini pasti ditandai goresan-goresan luka.
Hudaya dikening dan pipinya. Citra Gati di belakang telinga kiri dan
hidungnya. Sonya dipelipis kanan dan dahinya. Patra dibahunya. Belum
lagi yang tertutup oleh pakaian-pakaian mereka. Bahkan Sendawa telah
kehilangan sebelah matanya”.
Hampir segenap bulu Sekar Mirah berdiri, “Ngeri” katanya. “Dan apakah pasti bahwa setiap wajah akan terluka. Wajahmu juga?”
“Itulah sebabnya aku berusaha untuk dapat
melindungi tubuhnya dengan kesaktian. Meskipun demikian pundakku telah
terluka. Untunglah tidak seberapa. Lalu, apalah kau sangka bahwa Sedayu
itu mampu melindungi wajahnya yang tampan itu? Lihat, kalau sekali lagi
Tohpati datang, pasti anak itu akan melawannya. Aku berani bertaruh,
bahwa ia akan menjadi cacat”
Sekar Mirah mendengar kata-kata Sidanti
dengan hati yang cemas. Benarlah seperti apa yang dilihatnya, hampir
setiap laki-laki di pendapa rumahnya menderita cacat ditubuhnya,
meskipun hanya goresan-goresan dikulitnya. Dan tanpa sesadarnya ia
bertanya, “Apakah kalau orang yang menyebut dirinya Tohpati itu datang
kembali, Agung Sedayu harus melawannya?”
“Itu adalah kehendaknya sendiri. Ia ingin
menunjukkan kepada kita di sini, bahwa kita di sini adalah orang-orang
yang tidak berarti baginya. Ternyata, kemarin ketika aku minta untuk
menghadapi Macan Kepatihan itu, maka Sedayu menjadi sakit hati”.
Kini Sekar Mirah tidak bertanya-tanya
lagi. Bahkan ia berkata, “Kembalilah kepada kawan-kawanmu. Aku akan
membantu orang-orang yang bekerja didapur”.
“Sekehendakmulah” sahut Sidanti. “Dan sekehendakkulah, apabila aku ingin tinggal di sini”
“Ini rumahku” bantah Sekar Mirah sambil
bertolak pinggang. Sidanti tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku harap bahwa
aku akan tinggal di rumah ini pula”
“Huh” jawan Sekar Mirah sambil mencibirkan bibirnya. “Apakah hakmu”
“Tidak ada” sahut Sidanti.
Sekar Mirah tidak berkata-kata lagi.
Cepat-cepat ia pergi meninggalkan Sidanti dan menuju kedapur. Sidanti
mengawasi gadis itu sampai hilang di balik pintu. Tetapi tiba-tiba saja
anak muda itu menarik keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia bergumam,
“Sedayu harus disingkirkan dari rumah ini. Lebih cepat lebih baik.
Tetapi aku tak punya alasan untuk melakukannya. Mudah-mudahan Tohpati
segera datang kembali. Aku ingin melihat, apakah aku berada dibawahnya
atau setidak-tidaknya menyamainya”. Sidanti menarik nafas, dan terdengar
bergumam terus, “Sayang ia kemenakan kakang Widura. Tetapi kakang
Widura itu sendiri tidak lebih daripada aku”.
Sidanti itu pun kemudian berlahan-lahan
melangkah pergi. Ia berjalan melingkari gandok wetan, kemudian sampailah
ia di sisi pendapa. Dilihatnya beberapa orang kawannya sedang berbaring
dengan nyamannya di bawah pohon sawo. Tetapi ia tidak pergi kesana.
Anak muda itu langsung naik ke pendapa, berjalan kesudut dan diraihnya
senjatanya yang terbungkus kain putih dan tersangkut di dinding.
Kemudian sambil duduk di sudut pendapa itu, Sidanti menggosok tangkai
senjatanya dengan angkup keluwih. Hati-hati seperti seorang pemuda
membelai rambut kekasihnya.
Demikianlah maka sejak hari itu Agung
Sedayu mencoba bergaul dengan anak buah Widura. Beberapa orang bersikap
sedemikian homat kepadanya, sehingga Agung Sedayu menjadi sangat
canggung karenanya. Hanya Sidanti sajalah yang bersikap acuh tak acuh
kepada anak muda itu. Sekali-sekali ia bertanya juga, namun kemudian
lebih baik ia membelai nenggalanya, Kiai Muncar, daripada bergaul dengan
Agung Sedayu. Apalagi sikap canggung Agung Sedayu benar-benar tak
menyenangkannya. Sikap itu dirasakan oleh Sidanti sebagai sikap yang
sombong.
Sore itu ketika Agung Sedayu pergi ke
perigi di belakang rumah, dijumpainya Sekar Mirah sedang menjinjing
kelenting. Gadis itu terkejut dan berdebar-debar. Dengan hormatnya ia
menyapa, “Selamat sore tuan”.
Agung Sedayu mengangguk pula sambil menjawab singkat, “Selamat sore”. Tetapi kemudian ia berjalan terus.
Sekar Mirah mengawasinya pada
punggungnya. Sekali ia menarik nafas, sambil bergumam, “Benar juga kata
orang, anak muda itu sangat pendiam”.
Meskipun demikian Sekar Mirah yang baru
saja melihat Sedayu itu, mempunyai kesan yang aneh. Gadis itu,
sebelumnya senang bergaul dengan Sidanti, karena tidak ada orang lain
yang lebih sesuai dengan dirinya dalam pergaulannya selain anak itu.
Namun tak pernah ia merasakan sesuatu yang mendebarkan jantungnya.
Setiap hari ia bertemu, bercakap bahkan bergurau dengan Sidanti. Bahkan
pernah juga Sekar Mirah bertanya-tanya kepada dirinya, apakah Sidanti
itu benar-benar menarik hatinya. Namun ia tak pernah menemukan jawaban.
“Kenapa aku ributkan anak muda itu”
katanya di dalam hati. “Biarlah ia berbuat sesuka hatinya. Pendiam,
pemurung atau apa saja”. Dan Sekar Mirah kemudian mencoba melupakan
kesan itu sedapat-dapatnya.
Pada malam itu, setelah kademangan
Sangkal Putung menjadi sepi, maka Widura yang belum juga tertidur,
membangunkan Agung Sedayu perlahan-lahan. Ada sesuatu yang akan
disampaikan kepada kemenakannya. Sesuatu yang tak boleh diketahui oleh
orang lain. Sikap anak buahnya kepada Agung Sedayu, sejak permulaan
telah keliru. Dengan demikian kedudukan Agung Sedayu benar-benar dalam
kesulitan. Mereka menganggap Agung Sedayu, adik Untara itu,
setidak-tidaknya akan dapat menentramkan hati mereka, apabila Tohpati
datang kembali. Karena itu, apabila benar demikian, apakah jadinya Agung
Sedayu itu? Sebelum ia bertemu dengan Macan Kepatihan ia pasti sudah
mati ketakutan.
Ketika Agung Sedayu membuka matanya, maka
dilihatnya pamannya duduk di sampingnya. Sambil menggosok matanya,
Agung Sedayu bangkit duduk dimuka pamannya.
“Sedayu” bisik Widura, “Marilah ikut aku”.
“Kemana paman?” bertanya Sedayu terkejut.
“Marilah. Setiap malam aku berkeliling kademangan, melihat gardu-gardu peronda”.
“Apakah paman ingin aku ikut berkeliling?” Sedayu menjelaskan.
Widura mengangguk, “Ya, kita berdua”.
“Berdua?” Sedayu semakin terkejut.
“Jangan takut Sedayu. Kita berada dalam
lingkaran kita sendiri. Penjagaan di kademangan ini sedemikian ketatnya,
sehingga seorang asing pun tak akan dapat memasuki”.
“Kalau demikian, apa gunanya paman berkeliling?”
“Melihat, apakah tugas-tugas itu
dilakukan dengan baik. Kalau tidak, jangankan seorang, bahkan seluruh
laskar Tohpati akan dapat masuk tanpa kita ketahui”.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.
Apakah sebabnya pamannya membawanya serta. Pekerjaan itu sama sekali
tidak menarik hatinya. Dalam malam yanag sedemikian gelapnya, berjalan
menyusuri jalan-jalan desa, jalan-jalan yang sempit dan sunyi. Apalagi
setiap saat mereka akan dapat berjumpa dengan bahaya. Tetapi Agung
Sedayu tidak dapat menolak ajakan itu. Dengan hati yang berat, ia
menggeliat, kemudian berdiri dan membenahi pakaiannya.
“Bawalah kerismu, Sedayu” kata pamannya.
Agung Sedayu terkejut. Teringatlah ia
kepada kakaknya. Pada saat mereka meninggalkan Jati Anom, kakaknya itu
berkata juga kepadanya, seperti pamannya itu.
Dan tiba-tiba saja Sedayu bertanya, “Kenapa aku harus bersenjata? Apakah kita akan bertempur?”
Pamannya tersenyum, namun hatinya
mengeluh melihat kecemasan di wajah kemenakannya. Jawabnya, “Kita adalah
laki-laki. Di daerah yang gawat seperti Sangkal Putung setiap laki-laki
harus bersenjata”.
Agung Sedayu tidak menjawab, hanya debar
jantungnya menjadi semakin cepat. Dengan ragu-ragu diraihnya kerisnya
dari pembaringan pamannya dan kemudian diselipkannya diikat pinggangnya.
Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak tahu pasti, apakah ia akan dapat
menggunakannya.
Mereka berdua pun segera melangkah
keluar. Di pendapa mereka melihat beberapa orang berbaring tidur dengan
nyenyaknya. Sidanti, yang tidur di sudut, sudah tidak gelisah lagi.
Agaknya lukanya telah berangsur baik. Widura melihat anak muda itu
sambil mengerutkan keningnya. Tenaga Sidanti benar-benar diperlukannya.
Namun sifat-sifatnya agak kurang menyenangkan. Tinggi hati, bahkan agak
sombong dan kurang patuh pada perintah-perintahnya. Mungkin anak itu
merasa, bahwa di Sangkal Putung itu tak seorang pun yang dapat menyamai
kesakitannya. Bahkan Widura sendiri agaknya tidak melebihinya.
Mereka berdua kemudian melintas di
halaman. Ketika mereka sampai di regol, beberapa orang penjaga
menganggukkan kepalanya sambil bertanya, “Apakah kakang Widura akan
pergi berkeliling?”
“Ya” sahut Widura
“Siapakah di antara kami yang akan kakang bawa?” bertanya mereka pula.
Widura menggeleng, sahutnya, “Tidak ada. Kami akan pergi berdua”
Agung Sedayu menjadi heran. Kenapa
pamannya tidak membawa serta beberapa orang teman? Apakah itu tidak
terlalu berbahaya? Tetapi ia tidak bertanya. Betapa pun Sedayu masih
juga merasa malu seandainya orang-orang lain mengetahui betapa kecil
jiwanya.
Ketika Widura dan Agung Sedayu telah
hilang tenggelam dalam malam yang gelap, terdengar salah seorang penjaga
regol itu bergumam, “Kakang Widura telah membawa kemenakannya. Itu
berarti, bahwa ia telah pergi bersama lima enam orang dari antara kita.
Bahkan lebih”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan salah seorang dari mereka berkata, “Anak muda itu sangat pendiam”
“Demikianlah agaknya” sahut yang lain. “Orang yang yakin akan dirinya, biasanya tidak banyak ribut dan banyak bicara”
Orang diregol itu pun kemudian berdiam diri, namun mereka tidak kehilangan kewaspadaan.
Widura dan Agung Sedayu berjalan
menyusuri jalan-jalan desa yang disaput oleh hitamnya malam. Ketika
Agung Sedayu menengadahkan wajahnya, dilihatnya awan yang gelap
mentakbiri langit. Sesaat-sesaat tampak lidah api seakan-akan menjilat
ujung-ujung pepohonan dikejauhan.
Widura dan Agung Sedayu singgah dari satu
gardu kegardu yang lain. Mereka melihat betapa anak buah Widura dan
anak-anak muda Sangkal Putung bersiaga, sebab mereka menyadari, bangkit
atau tenggelam, kademangan Sangkal Putung itu berada di tangan mereka.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat
menenangkan dirinya. Setiap kali ia selalu cemas, apakah tidak mungkin
seorang, dua orang atau lebih, mengendap diparit-parit atau di belakang
gerumbul-gerumbul, dan dengan tiba-tiba menyergap mereka. Namun ia tidak
berani bertanya kepada pamannya.
Sampai di ujung desa, Widura masih
berjalan terus. Mereka kini lewat di jalan di antara bentangan sawah
yang luas. Meskipun jarak jangkau pandangan mata mereka tidak dapat
menembus malam yang kelam, namun mereka melihat juga batang-batang padi
yang rimbun.
Hati Agung Sedayu semakin lama menjadi
semakin cemas, sejalan dengan jarak mereka yang semakin jauh dari induk
desa Sangkal Putung. Karena itu akhirnya ia tidak dapat menahan
kekhawatirannya, sehingga ia terpaksa bertanya, “Kemanakah kita ini
paman?”
“Jangan takut Sedayu. Desa di depan, masih dirondai oleh kawan sendiri” jawab pamannya.
Agung Sedayu terdiam, namun detak
jantungnya menjadi semakin deras. Desir angin yang menggerakkan
batang-batang padi terdengar seperti suara hantu yang merintih-rintih.
Agung Sedayu terkejut ketika pamannya berkata, “Kita belok kekanan Sedayu, lewat pematang”
Sebelum Agung Sedayu menjawab, Widura
telah meloncati parit. Karena itu tak ada yang dapat dilakukan oleh anak
muda itu selain mengikutinya di belakang.
Sesaat kemudian mereka berdua sampai pada
suatu bentangan tanah lapang yang sempit. Sebuah puntuk kecil yang
ditimbuhi oleh batang-batang ilalang dan sebuah pohon kelapa sawit.
Bulu-bulu tengkuk Agung Sedayu mulai meremang. Daerah ini tampak sepi.
Terlalu sepi dan menakutkan.
“Sedayu” berkata Widura perlahan-lahan. “Puntuk inilah yang dinamai orang Gunung Gowok”
Seluruh wajah kulit Agung Sedayu terasa
seakan-akan berkeriput. Nama itu mengingatkannya kepada sebuah ceritera
tentang Kiai Gowok.
Kiai Gowok menurut pendengarannya adalah
semacam hantu yang berparas tampan. Meskipun ia tidak suka mengganggu
orang namun kadang-kadang memerlukan sekali-sekali menemui gadis-gadis
cantik. Karena itu tiba-tiba ia melangkah mendekati pamannya.
Pamannya melihat, betapa Agung Sedayu
menjadi takut mendengar nama puntuk itu, maka katanya, “Jangan hiraukan
ceritera tetek bengek tentang puntuk itu”
Agung Sedayu tidak menjawab. Sedang pamannya berkata terus, “Sedayu, bersiaplah. Kita mengadakan latihan untukmu”
Agung Sedayu menjadi heran. Latihan
apakah yang dimaksud oleh pamannya. Apakah ia harus melatih diri, untuk
tidak takut dengan cerita-cerita tentang hantu. Dan didengarnya pamannya
meneruskan, “Sedayu, kau harus menyadari keadaanmu. Hampir setiap orang
di Sangkal Putung menganggapmu sebagai seorang pahlawan. Mereka
menyangka bahwa kau memiliki kesaktian dan ilmu tata bela diri
setidak-tidaknya mendekati kakakmu Untara. Aku tidak tahu, apakah yang
akan terjadi seandainya pada suatu kali kau terpaksa terlibat dalam
suatu perkelahian dengan siapapun. Apalagi kalau Tohpati itu datang
kembali. Sedang orang-orang di Sangkal Putung menyangka kau pasti akan
mampu melawannya. Karena itu, belajarlah berbuat, berpikir dan bersikap
seperti seorang laki-laki”.
Terasa denyut nadi Agung Sedayu menjadi
semakin cepat. Kata-kata pamannya itu benar-benar mendebarkan
jantungnya. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang harus dikatakannya. Ketika
ia tidak segera menjawab, pamannya berkata terus, “Apa yang akan aku
lakukan, adalah mencoba menambah kepercayaanmu kepada dirimu. Marilah
kita berlatih. Untuk seterusnya setiap malam kita berlatih di sini.
Supaya apabila suatu ketika, kau harus berbuat seperti laki-laki
sewajarnya, ada bekalmu meskipun sedikit. Seterusnya, kalah atau menang,
tidak menjadi soal. Kalau kita mati dalam pertempuran nama kita akan
tetap dikenang. Tatapi kalau kita lain daripadanya, maka nama kita akan
senilai dengan daun-daun kering yang diterbangkan angin”
Debar di dada Agung Sedayu menjadi
semakin keras. Kembali ia mengeluh. Ia merasa, bahwa kedatangannya di
Sangkal Putung, benar-benar seakan-akan terjerumus kedaerah yang sama
sekali tak menyenangkan. “Kalau kakang Untara malam itu tidak
menjerumuskan aku ke neraka ini” gumamnya di dalam hati, “Kenapa kakang
Untara meributkan laskar paman Widura di sini? Apakah kalau aku tidak
datang kemari, Sangkal Putung ini benar-benar akan dihancurkan oleh
Macan Kepatihan?”
Tetapi Agung Sedayu tidak sempat
berangan-angan lebih panjang lagi. Dilihatnya pamannya menyingsingkan
lengan bajunya, menarik ujung kainnya dan di sisipkannya ke belakang.
“Bersiaplah Sedayu. Aku tahu bahwa kakakmu pernah memberimu dasar-dasar
latihan. Sekarang kita lihat, sampai dimana kau pernah memilikinya”
Dengan segannya, Agung Sedayu pun
mempersiapkan diri. Sebenarnya ia pernah menerima beberapa pengetahuan
tata bela diri dari kakaknya. Dan kini, mau tak mau ia harus
mempergunakannya. Pamannya agaknya akan mempergunakan cara yang langsung
dalam latihan ini. Dan ternyata dugaan itu benar. Pamannya tidak
menuntunnya, mempelajari unsur demi unsur, namun Widura itu langsung
melihat Agung Sedayu dalam latihan bertempur.
“Awas Sedayu” berkata pamannya. Dalam pada itu Widura pun telah meloncat sambil menyerang dada.
Agung Sedayu terkejut. Cepat ia mengendapkan diri. Tangan Widura itu pun melayang beberapa jengkal di atas kepalanya.
“Paman!”teriak Sedayu” Jangan terlalu keras”
Langkah Widura terhenti. Dengan heran ia bertanya, “Apa yang terlalu keras?”
“Paman menyerang bersungguh-sungguh” sahut Agung Sedayu
Pamannya menarik nafas, jawabnya, “Tidak.
Tetapi aku harus berbuat seakan-akan sungguh-sungguh. Sebab dalam
perkelahian kau tak adan dapat dengan rendah hati mohon agar
lawan-lawanmu tidak bersungguh-sungguh”
Sekali lagi debar dijantung Sedayu
menjadi bertambah cepat. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada
menuruti perinta pamannya itu. Karena itu kembali ia bersiap. Melakukan
latihan adalah jauh lebih baik dari bertempur yang sebenarnya. Ketika
pamannya menyerang sekali lagi, Agung Sedayu pun mengelak pula, dengan
satu loncatan ia membebaskan dirinya. Tetapi Widura tidak berhenti.
Dengan cepat ia berputar, dan serangannya beruntun menyambar Agung
Sedayu.
Gerakan itu tidak begitu sulit untuk
dielakkan. Kakaknya pernah juga berbuat seperti pamannya itu. Satu kali
Agung Sedayu melangkah kesamping, kemudian dengan menarik satu kakinya
terbebas dari serangan tangan pamannya yang mengarah pundaknya. Ketika
kemudian Widura memutar kakinya mendatar setinggi lambung, Sedayu pun
mencondongkan tubuhnya ke belakang sehingga kaki pamannya itu lewat
beberapa jengkal dari tubuhnya.
Tetapi Widura tidak berhenti menyerang.
Bahkan serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Namun Agung Sedayu
masih juga mampu mengelak. Selangkah demi selangkah ia melangkah surut
untuk menghindarkan serangan-serangan pamannya. Sehingga akhirnya
terdengar pamannya berkata, “Apakah kau hanya belajar menghindar saja?
Coba bagaimana kakakmu mengajarmu menyerang”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Gerak
pamannya tidak jauh berbeda dari kakaknya. Keduanya bersumber dari ilmu
ayahnya. Karena itu Sedayu tidak begitu sulit melayani pamannya. Kini
pamannya minta, agar sekali-sekali ia menyerangnya juga. Dan permintaan
itu pun dipenuhinya. Karena itu latihan itu menjadi semakin cepat. Agung
Sedayu benar-benar mengherankan pamannya. Ternyata gerakan-gerakan yang
dilakukan bukanlah gerakan-gerakan yang sederhana seperti anak-anak
muda yang sedang menerima dasar-dasar ilmu bela diri. Tetapi Agung
Sedayu telah memilikinya agak lengkap, meskipun karena kurang
penggunaannya, maka sekali-sekali tampak juga anak muda itu kurang dapat
memanfaatkan beberap unsur yang bagus sekali.
“Hem” desah pamannya di dalam hati. “Anak
ini bukan anak yang bodoh. Sayang, lingkungannya pada masa kanak-kanak
telah membentuknya menjadi seorang pengecut”. Tetapi angan-angan itu
patah, ketika Widura mendengar suara tertawa di samping mereka. Suara
yang bernada tinggi melengking, meskipun tidak terlalu keras.
Agung Sedayu terkejut bukan kepalang.
Yang mulai melintas dikepalanya adalah Macan Kepatihan. Karena itu,
ketika ia melihat pamannya memutar tubuhnya dengan kesiagaan penuh,
segera ia meloncat berlindung di belakangnya.
Ketika mereka berdua memandang ke arah
suara itu, mereka melihat samar-samar seseorang bersandar pohon kelapa
sawit di atas puntuk kecil yang mempunyai nama besar, Gunung Gowok.
Widura masih tegak seperti patung.
Dipandanginya orang yang bersandar pohon kelapa sawit itu dengan wajah
yang tegang. Meskipun demikian Widura melangkah beberapa langkah maju
sambil bertanya, “Siapakah kau?”
Agung Sedayu yang juga dengan
berdebar-debar ikut pula maju beberapa langkah berbisik dengan suara
gemetar, “Apakah itu Macan Kepatihan?”
Widura tidak mendengar pertanyaan itu. Karena itu ia tidak menjawab. Namun sekejap pun ia tidak meninggalkan kewaspadaan.
Orang yang bersandar itu masih juga
bersandar. Widura yang melangkah mendekatinya itu sama sekali tak
diperhatikannya. Suara tertawanya yang bernada tinggi itu bahkan
terdengar kembali.
“Siapakah kau” Widura mengulangi pertanyaannya.
Suara tertawa itu pun kemudian menjadi semakin lirih. Dan terdengarlah orang itu berkata, “Latihan yang bagus”
Widura menjadi semakin bercuriga. Dengan
hati-hati ia melangkah maju pula. Tangannya telah melekat dihulu
pedangnya. Katanya, “Jangan menggangu kami. Katakanlah siapakah kau
supaya aku dapat mengambil sikap”
Orang itu pun kemudian berdiri tegak.
Beberapa langkah ia maju mendekati Widura. Sehingga akhirnya mereka
dapat saling melihat wajah masing-masing.
Ketika Widura melihat wajah orang itu,
mula-mula ia terkejut. Wajah itu tampak seputih mayat. Namun kemudian
Widura menyadarinya, orang itu telah menutup wajah aslinya dengan sebuah
topeng yang berwarna kekuning-kuningan
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-02/
3 Tanggapan
Tinggalkan Balasan

Ngaturaken Ambal Warsa kagem Ki Panji Satria Pameder
kemaren perasaan belom diBUKA……kok
saiki wes….??
embuh-lah pokokE nomer LORO,
monggo….