

ADBM-018

“Kenapa kau?” bertanya prajurit yang bertubuh kecil.
“Kenapa kau berada di situ pula,” jawab prajurit yang ditanya.
Dan mereka pun terdiam. Namun kembali mereka terkejut ketika mereka tiba-tiba mendengar suara tertawa dari kegelapan.
Ternyata suara tertawa itu telah
memecahkan ketegangan yang semakin memuncak. Ketika anak-anak muda
Sembojan, Tlaga Kembar, dan anak-anak muda induk Kademangan Prambanan
melihat, bahwa di kedua belah pihak berdiri beberapa orang prajurit
Pajang, maka mereka pun menjadi berdebar-debar.
Dan kini seperti disentakkan oleh sebuah
tenaga, maka semua kepala berpaling ke arah suara tertawa itu. Namun
suara tertawa itu sendiri segera terputus.
Yang terdengar kemudian adalah suara
gamelan di pendapa banjar desa. Suara gamelan dalam irama yang semkain
panas dan orang-orang tua pun menjadi semakin gila. Mereka telah
melupakan ketuaan mereka. Namun orang-orang di halaman itu, tidak saja
laki-laki, tetapi perempuan-perempuan, beranggapan bahwa orang-orang
laki-laki yang jantan, harus berani turun ke gelanggang tayub. Bahkan
ada di antara isteri-isteri mereka sendiri akan menjadi malu bahwa
laki-lakinya, suaminya, tidak berani menggandeng seorang ledek. Dan
perempuan-perempuan yang demikian, telah ikut membantu suaminya
terjerumus ke dalam daerah yang semakin kelam. Tetapi dengan demikian,
semakin gila seorang suami, maka kesempatan bagi perempuan-perempuan pun
semakin menjadi semakin luas. Sebab suaminya semakin sering berada di
luar rumah, meskipun ada juga di antara mereka, di antara isteri-isteri
itu, yang hanya dapat menangis dan menekan dadanya apabila suaminya
menjadi kambuh. Tuak dan beraneka perbuatan terkutuk. Tetapi dalam
keadaan yang demikian, banyak pula perempuan yang tenggelam dalam daerah
yang suram. Dan celakalah anak-anak mereka. Sebab orang-orang tua yang
demikian tidak akan sempat memperdulikan anak-anaknya. Seperti anak-anak
muda dari Sembojan dan Tlaga Kembar saat itu. Tak seorang pun yang
berada di pendapa itu menaruh perhatian.
Suara tertawa di kegelapan itu
benar-benar telah membakar hati para prajurit yang sedang marah, dan
terutama kedua orang tamu dari Menoreh. Bahkan sejenak kemudian
terdengar tamu yang seorang lagi. Agaknya pimpinan rombongan itu berkata
dalam nada yang marah, “Mana orang itu, he?”
Anak-anak Sembojan mengerutkan keningnya.
Kini mereka tidak dapat tertawa-tawa lagi, sebab ada beberapa orang
prajurit pula yang berdiri di pihak Tlaga Kembar.
Tetapi kedua orang tamu dari Menoreh yang
lain tidak segera menjawab pertanyaan itu, bahkan mereka berkata, “Aku
mendengar seorang yang gila tertawa di kegelapan itu.”
“Ya,” sahut prajurit yang kecil.
Bahkan prajurit yang memihak anak-anak muda Tlaga Kembar pun menyahut, “Anak setan. Siapa dia?”
Prajurit-prajurit itu, baik yang berpihak
kepada anak-anak muda Sembojan maupun Tlaga Kembar, tiba-tiba
bersama-sama melangkah mendekati arah suara tertawa itu. Di belakang
mereka, berjalan kedua tamu dari Menoreh, bahkan kawan-kawannya yang
seorang lagi ikut pula di belakangnya. Anak-anak muda Sembojan dan
anak-anak muda Tlaga Kembar pun beringsut dari tempat masing-masing.
Kini anak-anak muda Tlaga Kembar tidak perlu berusaha melarikan dirinya.
Agaknya ada pula beberapa orang prajurit yang memihak kepada mereka.
Meskipun anak-anak muda Tlaga Kembar segera mengenal prajurit itu,
prajurit yang sering datang kepada mereka dan mendapat bermacam-macam
kesenangan dari anak-anak Tlaga Kembar itu. Namun selain daripada itu,
agaknya anak-anak induk kademangan pun akan menilai mereka lebih baik
dari anak-anak Sembojan. Dengan demikian setidak-tidaknya anak-anak muda
induk kademangan akan dapat membesarkan hati mereka.
Haspada dan Trapsila pun melangkah pula
ke arah suara tertawa di kegelapan. Terdengar kemudian Haspada berdesis,
“Apakah mereka anak-anak muda dari Sangkal Putung itu?”
“Mungkin,” sahut salah seorang dari keempat kawannya.
“Kasihan, anak itu tidak tahu, apakah
sebenarnya yang terjadi di halaman ini. Mereka melihat peristiwa yang
memalukan ini seolah-olah melihat lelucon yang pantas ditertawakan,
meskipun sebenarnya peristiwa ini memang mentertawakan.”
“Siapakah mereka?” bertanya Trapsila.
“Anak-anak Sangkal Putung.”
“Sangkal Putung?” ulang Trapsila.
“Ya. Kademangan lain.” jawab Haspada pendek.
Trapsila mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun tiba-tiba ia menahan nafasnya ketika dilihatnya para prajurit
Pajang itu menarik tiga orang anak-anak muda dari kegelapan. Dua orang
di antaranya bertubuh sedang, sedang yang satunya bertubuh gemuk agak
pendek.
“Merekalah itu,” desis Haspada.
“Kasihan.” Namun Haspada tidak dapat berbuat apa-apa, seandainya ia
tidak ingin bertengkar dengan para prajurit itu.
Terdengar di antara pekik gamelan yang menggila suara prajurit Pajang yang lantang, “Siapa kalian he?”
Prajurit itu menggenggam baju Sutawijaya
sambil mengguncang-guncangnya. Sutawijaya sama sekali tidak melawan.
Dijawabnya pertanyaan itu perlahan-lahan, “Namaku Sutajia, Tuan.”

“Siapakah kedua kawanmu itu, dan dari manakah kalian?”
“Kami datang dari Sangkal Putung, Tuan. Keduanya adalah adik-adik sepupu.”
Mendengar jawaban itu prajurit-prajurit
Pajang itu menegerutkan keningnya. Mereka telah mendengar apa yang
terjadi di Sangkal Putung. Dan mereka tahu siapakah yang berada di
kademangan itu, meskipun perkembangan yang terakhir belum didengarnya.
“Apakah kalian tidak berbohong?” bertanya prajurit yang lain sambil mengguncang lengan Agung Sedayu.
“Tidak, Tuan,” jawab Agung Sedayu. “Sebenarnya kami datang dari Sangkal Putung.”
“Kalau benar kata kawan-kawanmu,” berkata
prajurit yang lain lagi, yang menangkap Swandaru, “jawab pertanyaanku.
Apakah di Sangkal Putung ada beberapa orang prajurit Pajang?”
“Tidak hanya beberapa, Tuan,” Sahut Swandaru, “tetapi segelar sepapan.”
Prajurit-prajurit itu mengerutkan
keningnya. Memang di Sangkal Putung terdapat tidak hanya beberapa orang,
tetapi lebih dari seperangkat prajurit, meskipun belum segelar sepapan
dalam bentuk yang besar.
“Kalau benar-benar kau dari Sangkal
Putung,” bertanya prajurit yang menangkap Sutawijaya sambil
mengguncangnya, “katakan, siapa pemimpinnya?”
“Banyak, Tuan,” sahut Sutawijaya. Namun
ia menjadi berdebar-debar melihat sikap Swandaru. Anak gemuk itu masih
saja tersenyum-senyum.
“Sebutkan salah seorang daripada mereka!” bentak prajurit itu.
Sutawijaya menahan nafas sejenak. Namun kemudian terlontar dari bibirnya, “Sidanti. Salah seorang daripadanya bernama Sidanti.”
Prajurit itu tanpa sesadarnya berpaling
kepada ketiga tamu dari Menoreh. Terdengar salah seorang dari para tamu
itu berkata, “Kau benar. Salah seorang dari pemimpin prajurit Pajang di
Sangkal Putung bernama Sidanti. Tetapi kenapa kalian sampai kemari, dan
kenapa kalian mentertawakan kami?”
“Yang pertama, Tuan,” jawab Sutaijaya,
“kami datang kemari hanya terdorong oleh keinginan saja. Kami ingin
melihat-lihat kademangan-kademangan lain, selain Sangkal Putung. Dan
kini kami telah melihat Kademangan Prambanan.”
“Ya. Tetapi kenapa kalian tertawa, he?” bentak prajurit yang bertubuh raksasa. Agaknya pening kepalanya telah berkurang.
“Kami melihat keanehan di sini.”
“Apa yang aneh?”
Sutawijaya ragu-ragu sejenak, tetapi kemudian ia menjawab
“Di Sangkal Putung, aku tidak pernah
melihat prajurit bertengkar sesamanya. Aku tidak pernah melihat
anak-anak muda saling berkelahi, dan beberapa orang prajurit berada di
pihak yang berlawanan.”
Jawaban itu sederhana sekali. Tidak
berbelit-belit dan tidak terlalu sukar dimengerti. Kesan yang tersirat
dari kata-kata itu adalah anak muda itu menjawab dengan jujur. Tetapi
jawaban itu seperti bara yang menyentuh hati prajurit-prajurit Pajang di
Prambanan. Karena itu, maka alangkah panasnya wajah dan telinga mereka.
Dengan serta-merta, prajurit yang
menggenggam baju Sutawijaya itu mengguncang-guncang lebih keras lagi,
dan tanpa disangka-sangka tangannya yang lain terayun ke wajah anak muda
itu, sehingga terdengar Sutawijaya mengaduh. Kemudian merengek-rengek.
Katanya, “Ampun, Tuan. Ampun. Aku berkata sebenarnya. Aku tidak
berbohong, Tuan.”
Kembali Sutawijaya terdiam ketika tangan itu sekali lagi menampar pipinya.
Agung Sedayu dan Swandaru menjadi
bingung. Apakah yang harus dilakukan. Tetapi tiba-tiba Swandaru
tersenyum di dalam hati melihat Sutawijaya itu beriba-iba sambil
merintih. Katanya, “Ampun, Tuan. Ampun.”
Tetapi prajurit yang marah itu menjadi
semakin marah, geramnya, “Mulutmulah tang mentertawakan kami dan mulutmu
ini pulalah yang menghina kami.”
“Ampun, Tuan,” rintih Sutawijaya. “Aku
berkata sebenarnya. Prajurit-prajurit di Sangkal Putung bertempur
melawan sisa-sisa laskar Arya Penangsang yang menjadi liar. Kalau mereka
satu sama lain berkelahi di pihak-pihak anak muda yang saling
bertentangan, maka sisa-sisa laskar Arya Penangsang itu pasti akan
segera menguasai Sangkal Putung. Di Sangkal putung, justeru para
prajurit menjadi pemisah seandainya sekali dua kali ada anak-anak muda
yang berselisih. Mereka tidak berpihak pada salah satu daripada mereka.
Tetapi mereka bertindak adil.”
Kembali kata-kata Sutawijaya terputus
oleh sebuah tamparan di mulutnya. Kini prajurit itu tidak lagi memegangi
bajunya, bahkan tangannya yang lain pun menampar mulut itu pula.
Sutawijaya terhuyung-huyung beberapa langkah surut, kemudian terjatuh
beberapa langkah di muka Swandaru.
Prajurit agaknya tidak puas melihat
Sutawijaya terjatuh. Ia ingin melihat anak itu pingsan. Tetapi ketika ia
melangkah maju, ia tertegun ketika ia mendengar Haspada berkata,
“Paman. Anak itu terlampau jujur. Ia berkata seperti apa yang
dipikirkannya. Ia melihat keanehan menurut pikirannya dan hal itu
dikatakannya. Ia pernah melihat sikap prajurit Pajang di Sangkal Putung
yang lain dari prajurit Pajang di sini, dan itu dikatakannya pula tanpa
maskud apa-apa.”
“Tutup mulutmu!” bentak prajurit-prajurit itu.
“Paman harus bersikap adil,” kini
Trapsila-lah yang menjawab. “Paman, jangan bertindak karena Paman mampu
berbuat demikian. Bukankah apa yang dikatakan itu sebenarnya telah
terjadi? Bentrokan di antara anak-anak muda muda di Prambanan semakin
menjadi-jadi karena Paman ini menyediakan diri untuk berpihak, sehingga
anak-anak muda semakin berani. Berani dalam arti yang sangat
mengecewakan. Berani dalam pengertian yang sangat memalukan.”
“Diam! Apakah aku juga harus menampar mulutmu?”
“Jangan membentak-bentak,” Sahut
Trapsila. Anak muda itu sama sekali tidak menjadi takut. Bahkan
tiba-tiba dari antara anak-anak muda di halaman itu tampak beberapa
orang bergerak maju. Haspada dan keempat kawan-kawannya, kawan-kawan
Trapsila yang lain dan beberapa anak induk kademangan yang berpendirian
lain dari kawan-kawa mereka yang seakan-akan telah menjadi gila.
“Sikap itu harus diakhiri,” geram Haspada.
Keadaan menjadi tegang. Semakin lama
semakin tegang. Prajurit-prajurit itu menjadi marah bukan buatan melihat
sikap Haspada, Trapsila, dan beberapa anak-anak muda yang lain. Sedang
anak-anak Sembojan, anak-anak Tlaga Kembar berdiri ternganga-nganga.
Mereka bahkan menjadi sangat cemas melihat perkembangan keadaan. Tetapi
sekali lagi ketegangan itu dipecahkan oleh suara tertawa. Kali ini
Swandaru-lah yang tidak dapat menahan dirinya. Namun tiba-tiba ia
terperanjat ketika terasa salah seorang tamu dari Menoreh itu mencengkam
tengkuknya.
Tamu dari Menoreh itu pun tidak lagi
dapat menahan kemarahannya. Demikian kuatnya ia menarik Swandaru,
sehingga anak yang gemuk itu hampir terpelanting jatuh. Kini tamu itulah
yang mengguncang-guncangnya sambil menggeram, “Kenapa kau tertawa, he?
Kenapa?”
“Jangan terlampau keras,” desis Swandaru. “Kalau terlampau keras kau mengguncang-guncang tubuhku, maka aku akan merasa sakit.”
Desis itu benar-benar mengejutkan,
seolah-olah menghentak dada tamu-tamu dari Menoreh itu, bahkan semua
orang yang mendengarnya. Sutawijaya dan Agung Sedayu pun menarik nafas
dalam-dalam. Swandaru ternyata tidak terlampau sabar untuk bermain-main.
Tetapi tangan tamu dari Menoreh itu masih
mencengkam tengkuk Swandaru. Bahkan semakin keras. Terdengar ia berkata
kasar, “Aku tidak hanya akan mengguncang-guncangmu. Tetapi aku mampu
mematahkan lehermu.”
“Jangan. Jangan” desis Swandaru pula.
Kembali dada orang dari Menoreh itu
terhentak. Ternyata anak muda ini bersikap lain dari yang terdahulu.
Anak ini sama sekali tidak merintih dan tidak minta ampun. Namun dengan
demikian sikap Swandaru itu menyebabkan tamu-tamu dari Menoreh itu
menjadi semakin marah.
“He, anak Sangkal Putung,” orang itu menggeram pula. “Jangan kau sangka bahwa leluconmu itu baik bagimu dan kawan-kawanmu.”
“Jangan terlampau kasar,” berkata Swandaru. “Sidanti tidak pernah berbuat sekasar kalian.”
Terasa dada orang-orang Menoreh itu
berdesir. Tetapi kemarahan mereka telah membakar dada sehingga orang
yang mencengkeram tengkuk Swandaru itu menjawab, “Aku akan dapat
menjelaskan kepadanya, kenapa aku mematahkan tengkukmu.”
Yang segera menyahut kata-kata itu adalah Sutawijaya. “Ampun, Tuan. Ampunkan adik kami yang bodoh itu.”
“Tutup mulutmu!” bentak prajurit yang berdiri di muka Sutawijaya. “Kau pun segera akan mengalami perlakuan yang serupa.”
Tetapi sikap Swandaru ternyata berbeda.
Katanya, “Kalau kakak sepupuku minta ampun adalah sudah sepantasnya,
sebab ia berhadapan dengan prajurit Pajang. Tetapi apakah kau di sini
mempunyai wewenang sesuatu?”
Pertanyaan itu benar-benar telah
menghantam dada orang-orang Menoreh itu seperti runtuhnya gunung Merapi
yang menimpa jantungnya. Pertanyaan itu adalah penghinaan yang luar
biasa bagi mereka, sehingga tanpa sesadarnya, orang itu telah menampar
pula pipi Swandaru yang gembung sambil memekik, “Ulangi, coba ulangi
lagi!”
Swandaru berdesis pendek. Tamparan tangan
itu terasa pedih menyengat pipinya. Tetapi ia tidak mengulangi lagi
kata-katanya. Orang Menoreh itu pun memekik-mekik pula. “Ayo, katakan
sekali lagi!”
Agung Sedayu pernah mengalami perlakuan
yang terlalu kasar dari Sidanti. Bahkan Sidanti itu pernah hampir
membinasakan kakaknya, sehingga kebenciannya kepada Sidanti seolah-olah
melimpah kepada orang-orang Menoreh yang belum dikenalnya itu. Demikian
pula agaknya Swandaru. Tetapi ternyata Agung Sedayu masih lebih mampu
mengendalikan perasaannya sehingga ia dapat bersikap lebih menyesuaikan
dirinya dengan sikap Sutawijaya daripada membiarkan perasaannya
berbicara.
Karena Swandaru tidak mau mengulangi
kata-katanya, maka kemarahan orang dari Menoreh itu tidak meningkat
lagi. Namun demikian tangannya masih juga gemetar dan dadanya
berdentang-dentang tak menentu. Dari sela-sela bibirnya yang bergetar ia
berkata, “Kata-katamu tidak akan dapat dibiarkan. Kau harus menyesal
karena mulutmu itu.”
Terdengar salah seorang prajurit menyahut. “Ya. Anak yang gemuk itu ternyata harus mendapat peringatan khusus.”
Hiruk-pikuk yang semakin meningkat itu
ternyata akhirnya mendapat perhatian pula dari beberapa orang yang
berada di pendapa. Seorang yang bertubuh tinggi kurus datang mendekati
mereka sambil bertanya. “Apa yang kalian ributkan?”
“Ada tiga anak-anak gila di sini,” sahut tamu-tamu dari Menoreh itu.
“Hem,” tiba-tiba saja salah seorang
pemimpin prajurit Pajang yang tadi duduk di pendapa telah berada di
halaman itu pula. Dengan suara yang berat ia bertanya, “Apakah yang
telah dilakukannya?”
“Anak-anak itu telah menghina kami, menghina para prajurit dan menghina Kademangan Prambanan dalam keseluruhan.”
“Tidak,” yang terdengar adalah suara Haspada. “Tidak, Paman. Aku ingin Paman mengadakan penelitian.”
Prajurit itu pun agaknya telah
dimabukkan oleh semangkuk tuak, sehingga otaknya sudah tidak terlampau
baik. Meskipun demikian jawaban Haspada telah memberinya pertimbangan
pula. Karena itu maka katanya, “Apakah kau melihat persoalan yang
terjadi Haspada?”
“Ya, Paman, aku melihat.”
“Bawa mereka bertiga ke pendapa.”
Para prajurit tidak menunggu perintah itu
diulangi. Ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu segera diseret
ke pendapa banjar desa, seperti tiga orang penjahat. Beberapa orang yang
berada di pendapa itu terkejut. Sejenak mereka terganggu dari
kegembiraan mereka. Tetapi mereka kemudian terpaksa membiarkan tayub itu
berhenti sesaat.
Karena Sutawijaya dan kedua
kawan-kawannya kini telah dibawa ke pendapa maka hampir semua orang yang
berada di halaman itu dapat melihatnya. Ketiga anak-anak muda itu harus
duduk bersila di pendapa berhadapan dengan pemimpin prajurit yang
memerintahkan membawa mereka itu naik.
Yang wajahnya paling gelap di antara
mereka bertiga adalah Swandaru. Ia merasa malu juga didudukkan di
pendapa itu seperti seorang tertuduh yang telah berbuat kejahatan.
Karena itu, maka ia tidak ingin bermain-main lebih lama lagi. Ketika
prajurit itu memandangnya, maka Swandaru sama sekali tidak menunjukkan
wajahnya. Bahkan kini ia mengumpat-umpat di dalam hatinya. Permainan itu
akhirnya sama sekali tidak menarik baginya.
Apalagi ketika kemudian Swandaru
menyadari, bahwa mereka bertiga benar-benar seperti orang-orang yang
sedang diadili. Maka wajahnya pun menjadi merah padam. Sutawijaya yang
melihat wajah yang gembung itu menjadi merah padam, tersenyum di dalam
hatinya. Wajah Swandaru memang tampak menggelikan sekali.
Di sekeliling mereka bertiga segera
berkumpul Ki Demang Prambanan, Jagabaya yang tinggi kurus, dua orang
pimpinan prajurit Pajang di Prambanan, ketiga tamu-tamu dari Menoreh,
beberapa orang pemimpin Kademangan yang lain. Dan prajurit-prajurit
Pajang tiba-tiba melingkari mereka itu seolah-olah menjaga jangan sampai
ketiga anak-anak itu lari. Namun di dalam kerumunan orang-orang itu
tampak pula Haspada dan Trapsila.
Yang mula-mula bertanya adalah pemimpin
prajurit yang memerintahkan mereka dibawa naik ke pendapa itu. Katanya,
“Apakah benar kalian telah menghina Prambanan, para prajurit Pajang, dan
tamu-tamu dari Menoreh?”
Sebelum Sutawijaya menjawab, maka
Swandaru telah mendahuluinya. “Kami tidak sengaja berbuat demikian.
Tetapi orang-orang dari Menoreh dan para prajurit itulah yang merasa
terhina.”
Prajurit itu terkejut mendengar jawaban
itu. Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu pun terkejut pula.
Jawaban itu agaknya terlampau berani.
Tetapi Swandaru ternyata masih belum
selesai dengan jawabannya, sehingga orang-orang yang berada di
sekitarnya menjadi semakin terkejut pula. Beberapa orang justru terdiam
ternganga-nganga dan beberapa orang yang lain menjadi cemas. Haspada dan
Trapsila pun menjadi sangat cemas pula. Bagi mereka sebaiknya bukan
anak muda yang gemuk itulah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan prajurit
itu.
Tetapi Sutawijaya pun kemudian
membiarkan Swandaru berbicara. Ia pun akhirnya menjadi jemu pula pada
permainan itu. Agung Sedayu ketika berpaling kepada Sutawijaya segera
menyadari, bahwa permainan mereka sebagian telah selesai, dan mereka
membiarkan Swandaru itu berbicara terus. Katanya, “Kami tadi hanya
mengatakan bahwa kami melihat keanehan di Prambanan. Apakah kalian tidak
melihat apa yang terjadi? Tentu, tentu kalian tidak melihat sebab
kalian sedang menari tayub.”
Jawaban itu benar-benar tidak terduga.
Semua orang terpaku di tempatnya seperti patung. Dan suara Swandaru
masih terdengar terus, “Kalian memang tidak sempat melihat apa yang
terjadi di halaman, di luar pendapa ini. Kalian sudah tentu tidak
melihat bahwa anak-anak muda hampir saja berkelahi di antara mereka
kalau saja tidak ada anak muda yang bernama Hapsada dan Trapsila itu.
Tetapi aneh, bahwa beberapa orang prajurit justru mendorong terjadinya
perkelahian di antara mereka. Sebagian memihak anak-anak Sembojan yang
lain memihak anak-anak Tlaga Kembar. Bukankah itu aneh? Kami mengatakan,
bahwa di Sangkal Putung para prajurit Pajang justru menjadi penengah
seandainya ada perselisihan. Tetapi di sini tidak, apalagi perselisihan
karena soal yang memalukan. Dan tamu-tamu dari Menoreh itu marah karena
kami membenarkan anggapan Kakang Haspada dan Kakang Trapsila, bahwa
persoalan yang dipertengkarkan adalah persoalan yang memalukan.”
Kata-kata Swandaru terputus. Orang-orang
yang berada di sekitarnya terkejut pula ketika mereka melihat tangan
prajurit itu terayun ke mulut Swandaru. Tetapi Swandaru yang melihat
tangan itu terayun menegangkan pipinya. Meskipun demikian ketika tangan
prajurit itu menyentuhnya, terasa juga pipinya disengat oleh rasa pedih.
Tetapi ketika salah seorang tamu dari Menoreh beringsut maju dan
berkata, “Biarlah aku yang meremas mulutnya,” maka Swandaru dengan
beraninya menjawab, “Kau jangan turut campur. Tangan prajurit itu sudah
cukup sakit. Tetapi ia mempunyai tanggung jawab di sini. Apakah tanggung
jawabnya itu dipergunakan sewajarnya atau tidak, itu merupakan
persoalan tersendiri. Tetapi kau tidak mempunyai wewenang apa-apa di
sini.”
Kembali kemarahan orang Menoreh itu
memuncak. Dengan serta-merta tangannya pun terayun ke pipi Swandaru.
Tetapi Swandaru tidak membiarkan sekali lagi pipinya ditampar. Maka
dengan tangkasnya ia menarik kepalanya sedikit ke belakang, sehingga
tangan yang terayun itu meluncur di muka wajahnya.
Apa yang terjadi itu benar-benar di luar
dugaan. Para prajurit, para tamu dari Menoreh, para pemimpin Kademangan
Prambanan, Hapsada, Trapsila, dan anak-anak muda yang melihatnya,
sejenak tertegun. Gerak Swandaru bukanlah gerak yang sulit. Gerakan itu
sangat sederhana. Menarik kepala ke belakang beberapa cengkang. Tetapi
apa yang dilakukan itu telah memberikan kesan yang lain daripada apa
yang mereka lihat sebelumnya. Apalagi ketika Swandaru kemudian berkata,
“Jangan terlampau kasar. Aku dapat mengatakannya kepada Sidanti. Sidanti
pasti akan marah melihat kau berbuat curang. Sidanti akan menghargai
sikap jantan.”
Kemarahan tamu itu telah memuncak sampai ke ujung ubun-ubunnya. Karena itu maka terdengar ia berteriak, “Apa maksudmu?”
Haspada dan Trapsila melihat apa yang
dilakukan oleh Swandaru. Mereka menjadi kagum akan keberaniannya. Tetapi
mereka menjadi cemas, apakah anak yang gemuk itu mampu berbuat sesuatu?
Menurut pandangan Haspada, Trapsila, dan bahkan hampir setiap anak-anak
muda Prambanan telah mendengarnya pula, bahwa tamu-tamu dari Menoreh
itu adalah orang-orang yang pilih tanding. Mereka adalah
pengawal-pengawal tanah perdikan yang tangguh. Menurut pendengaran
mereka, tamu-tamu itu tidak ubahnya sebagai seorang prajurit. Bahkan
sebagai pengawal tanah perdikan, mereka mempunyai kemampuan perseorangan
yang dapat dibanggakan. Itulah sebabnya maka mereka menjadi cemas.
Tetapi mereka pun menyesal atas sikap Swandaru yang bagi mereka,
terlalu kurang berhati-hati. Apabila mereka terlibat dalam persoalan
perseorangan, maka tak akan ada pihak-pihak yang dapat mencampurinya.
Dan apa yang dicemaskannya itu ternyata
terjadi. Dengan lantang tamu dari Menoreh itu berkata, “Apakah yang kau
maksudkan dengan sikap jantan? Apakah kau menghendaki perang tanding?”
Tetapi kembali jawaban Swandaru mengejutkan mereka, katanya. “Kalau itu yang paling baik bagimu, akan baik juga bagiku.”
Darah tamu dari Menoreh itu kini telah
benar-benar mendidih. Karena itu dengan serta-merta ia meloncat berdiri
sambil berteriak, “Ayo, bersiaplah. Kita masing-masing berbuat secara
jantan seperti yang kau kehendaki.”
Sebelum Swandaru menjawab, terdengar
suara Haspada, “Tidak pada tempatnya. Anak muda dari Sangkal Putung itu
tidak tahu apa yang sedang dihadapinya.”
“Bohong!” teriak orang itu. “Ia sadar
akan kata-katanya. Tetapi seandainya tidak, siapakah yang akan mewakili?
Rupa-rupanya tamu itu telah tidak lagi dapat mengendalikan perasaannya.
Trapsila itu bergeser setapak. Tetapi
Swandaru telah lebih dahulu berdiri. Tidak meloncat dan bersikap garang.
Dengan tangannya ia bertelekan lutut, kemudian tubuhnya yang gemuk itu
pun ditegakkannya.
“Jangan diteruskan,” cegah Trapsila.
Apalagi ketika ia melihat Swandaru itu berdiri. Dan di sisinya Haspada
menyahut. “Apakah permainan yang demikian dapat dilakukan di hadapan
kita sekarang ini? Apakah tak ada seorang pun yang akan mencegahnya?
Seandainya terjadi sesuatu atas anak muda dari Sangkal Putung ini, maka
Prambanan yang sepanjang sejarahnya tidak pernah mempunyai persoalan
apapun, apalagi yang bersifat kurang baik dengan kademangan itu, kini
telah membuka lembaran yang hitam di antara kita.”
Tetapi kali ini yang menyahut adalah
Swandaru. “Terima kasih atas perhatian kalian. Namun biarlah aku mencoba
melayaninya. Seandainya aku terpaksa babak belur dan berwajah biru
bengap, biarlah menjadi pelajaran bagiku. Tetapi dengan demikian,
apabila Sidanti mendengarnya, ia tidak akan marah lagi. Sebab kami
berhadapan dalam kesempatan yang serupa.”
“Jangan banyak bicara!” bentak tamu itu.
Perlahan-lahan Swandaru melangkah ke
tengah-tengah pendapa. “Di sini cukup luas,” katanya. Sikapnya
benar-benar membakar hati tamu dari Menoreh itu. Tetapi mau tidak mau
tamu itu pun melangkah pula ke tengah-tengah pendapa.
Namun kepalanya hampir meledak ketika ia
mendengar Swandaru berpaling kepada para penabuh yang masih duduk di
belakang gamelannya. “Aku minta gending yang tidak kalah hangatnya
dengan gending tayub.”
“Gila,” desis Sutawijaya. Agung Sedayu
pun menjadi sangat cemas. Mereka belum tahu, sampai di mana tingkat
kemampuan para tamu itu, sehingga apabila Swandaru terlalu banyak
bergurau, maka kemungkinan wajahnya biru bengap dan bengkak-bengkak akan
menjadi lebih besar.
Tetapi yang terdengar kemudian sama
sekali bukan gending yang hangat, sehangat gending tayub, namun lawannya
itulah yang berteriak lantang. “Kau benar-benar tidak tahu diri. Kau
benar-benar anak yang terlampau dungu. Coba perhatikan, dengan siapa kau
berhadapan. Aku adalah salah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Apakah kau masih akan menghina lagi?”
Swandaru mengerutkan keningnya.
Dipandanginya wajah pengawal itu dengan tajamnya. Namun kemudian ia
menjawab, “Aku adalah pengawal Kademangan Sangkal Putung.”
Jawaban itu benar-benar seperti api yang
menyentuh minyak. Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu kini sudah tidak
mampu lagi menahan kemarahannya, sehingga dengan serta-merta ia meloncat
maju sambil berteriak, “Mulutmulah yang harus disobek lebih dahulu.”
Swandaru melihat gerak itu. Cukup cepat.
Ia melihat tangan orang itu terjulur ke wajahnya. Karena itu, maka
secepatnya pula ia mencoba mengelak.
Serangan itu ternyata menyentuh pun
tidak. Tetapi Swandaru pun menyadari, bahwa serangan itu sama sekali
bukanlah serangan yang sebenarnya. Serangan itu datang dengan
serta-merta tanpa perhitungan karena kemarahan yang tak terkendali.
Namun kemenangan pertama yang telah dimiliki oleh Swandaru. Ia dapat
membuat lawannya menjadi sedemikian marahnya, sehingga hampir kehilangan
ketenangannya. Dan ia harus memanfaatkan kemenangan itu sebaik-baiknya.
Ia harus memelihara kemarahan lawannya, supaya ia mendapat kesempatan
lebih baik daripadanya.
Ketika serangan itu gagal, maka terdengar
ia menggeram. Ia merasa aneh, bahwa anak yang gemuk itu mampu
menghindari serangannya, yang meskipun bukan serangan yang didasari
dengan segenap kemampuannya, namun serangan itu cukup cepat bagi seorang
yang bertubuh gemuk dan bertelekkan kedua lututnya apabila ia akan
berdiri dari duduknya.
Bukan saja lawan Swandaru yang terkejut
melihat cara Swandaru menghindarkan diri. Ternyata beberapa orang yang
duduk di sekitar pendapa mulai tertarik melihat perkelahian yang telah
dimulai itu. Haspada dan Trapsila kini terpaksa menimbang-nimbang.
Apakah benar-benar anak yang gemuk itu adalah anak yang terlampau dungu?
Yang terjadi seterusnya benar-benar telah
mencengangkan, bukan saja anak-anak muda Sembojan, anak-anak muda Tlaga
Kembar, anak-anak induk kademangan dan anak-anak padukuhan yang lain,
bukan saja Haspada, Trapsila dan para pemimpin Kademangan Prambanan,
tetapi para prajurit, para tamu dan setiap orang yang melihat menjadi
heran. Ternyata Swandaru sama sekali bukan anak yang terlampau dungu.
Bahkan sifat-sifat Swandaru segera tampak pula di dalam perkelahian itu.
Sifat yang aneh-aneh. Apalagi Swandaru sengaja membangkitkan kemarahan
lawannya. Sehingga tata geraknya pun menjadi sangat menjengkelkan bagi
lawannya.
Lawannya yang menjadi semakin marah dan
marah, akhirnya tidak lagi mempunyai pertimbangan apa pun. Kini ia telah
mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk menghajar lawannya
yang gemuk itu. Serangannya segera meningkat menjadi semakin garang,
segarang angin pusaran.
Swandaru melihat tata gerak lawannya yang
meningkat. Kini ia tidak lagi dapat berkelahi sambil bermain-main. Ia
pun harus segera bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal
ditemuinya dalam perkelahian itu.
Dan apa yang terjadi kemudian seolah-olah
telah membangunkan semua orang yang berada di pendapa dan halaman
banjar desa itu dari sebuah mimpi. Yang mereka lihat sama sekali
bukanlah tamu dari bukit Menoreh itu menghajar Swandaru, tetapi ternyata
perkelahian itu adalah suatu perkelahian yang sengit. Betapa orang
mengagumi pengawal tanah perdikan Menoreh, namun lawannya kali ini
adalah murid Ki Tanu Metir. Dengan demikian, maka tidaklah banyak yang
dapat dilakukan oleh pengawal itu. Bahkan semakin lama, menjadi semakin
jelas, bahwa Swandaru mampu berkelahi lebih baik dari lawannya.
Haspada dan Trapsila sejenak saling
berpandangan. Mulut mereka bahkan seakan-akan terbungkam. Kini
disadarinya, bahwa anak-anak Sangkal Putung telah berusaha mengatakan
apa yang terjadi di Prambanan itu sebagai suatu kepincangan.
Kedua anak itu merasa, betapa dadanya
menjadi berdebar-debar. Dahulu, pada masa kakek-kakek mereka memegang
pimpinan di kademangan ini, maka Prambanan termasuk kademangan yang
tangguh, yang gigih melawan kejahatan. Tetapi tiba-tiba kini Prambanan
hampir-hampir ditelan oleh malapetaka karena tingkah laku anak-anak
mudanya sendiri.
Di tengah-tengah pendapa itu Swandaru
masih bekelahi dengan serunya. Tetapi tubuhnya hampir tidak dilumasi
oleh keringat, karena ternyata ia tidak perlu bekerja terlampau keras.
Meskipun demikian, meskipun Swandaru itu termasuk anak yang lebih senang
menurut pertimbangan sendiri, namun kali ini ia tidak mau menyakiti
hati para tamu itu. Ia tidak berjuang sekuat-kuat tenaganya untuk segera
menjatuhkan lawannya. Tetapi ia membiarkan lawannya menjadi lelah
sendiri.

“Kisanak,” Haspada manggamit Sutawijaya. “Kisanak sengaja mengelabui kami.”
Sutawijaya berpaling. Pernyataan itu agak
membingungkannya. Tetapi ia menjawab juga, “Bukan maksud kami Kisanak.
Kami sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa kami akan menjumpai
peristiwa serupa ini. Kami sudah menjaga agar kami tidak terlibat dalam
persoalan yang sama sekali tidak kami kehendaki.”
“Tetapi Kisanak sengaja mentertawakan
prajurit yang memihak anak-anak muda yang saling bertentangan itu.
Bukankah dengan demikian kalian telah sengaja ikut campur dalam
persoalan itu.”
“Ki sanak benar,” sahut Sutawijaya.
“Namun yang ingin kami campuri bukan persolan anak-anak muda Prambanan,
tetapi adalah persoalan para prajurit Pajang itu.”
“He,” Haspada dan Trapsila mengerutkan
kening mereka. Terdengar Trapsila bertanya, “Apakah kepentingan kalian
dengan para prajurit itu?”
Sutawijaya tergagap. Ia ternyata agak
terlampau jauh menjawab pertanyaan anak-anak muda Prambanan itu. Karena
itu maka dengan terbata-bata ia menjawab, “Maksud kami, kami sama sekali
tidak sependapat melihat sikap para prajurit itu.”
Kedua anak muda Prambanan itu terdiam.
Namun mereka terkejut ketika melihat Agung Sedayu beringsut maju.
Sutawijaya pun terkejut pula, tetapi ia menyadari keadaan sehingga
dibiarkannya Agung Sedayu bertindak apabila dianggapnya perlu.
Dalam pada itu tamu yang seorang telah
bergerak-gerak pula. Ternyata dadanya serasa menyimpan bara ketika ia
melihat kawannya tidak segera dapat memenangkan perkelahian itu. Bahkan
semakin lama agaknya menjadi semakin sulit. Karena itu, maka tanpa
disengajanya ia beringsut pula maju.
“Apakah adikmu yang seorang itu juga mampu membela dirinya seperti adikmu yang gemuk itu?” bertanya Trapsila.
“Mudah-mudahan,” Sahut Sutawijaya. “Ia pun pernah berlatih sehari dua hari,” jawab Sutawijaya.
“Siapakah sebenarnya kalian,” bertanya Haspada tiba-tiba.
Sutawijaya terdiam sesaat. Dipandanginya
wajah Haspada, namun kemudian ia menjawab, “Seperti yang dikatakan
adikku yang gemuk itu. Kami adalah pengawal-pengawal Kademangan Sangkal
Putung.”
“Kami bangga melihat pengawal-pengawal
kademangan seperti kalian,” sahut Haspada. “Meskipun demikian timbul
pula kecurigaan kami. Ternyata kalian suka merendahkan diri, bahkan
terlampau berlebih-lebihan.”
“Sangkal Putung kini ada dalam bahaya,”
sahut Sutawijaya. “Kami setiap kali harus bertempur melawan sisa-sisa
laskar Arya Penangsang bersama para prajurit Pajang di sana. Mereka
pulalah yang telah mendidik kami dan melatih kami dalam olah kanuragan.”
Haspada dan Trapsila terdiam. Jawaban itu
dapat diterima oleh akalnya. Kini perhatian mereka tertarik pada tamu
yang seorang lagi. Agaknya ia sudah tidak dapat menahan dirinya. Bahkan
kemudian dengan serta merta ia berdiri sambil berkata, “Serahkan kelinci
gemuk itu kepadaku.”
Tetapi ternyata kawannya pun tidak mau
melihat kenyataan. Harga dirinya pasti akan tersinggung seandainya ia
tidak dapat memenangkan perkelahian itu. Apalagi ia menyadari, bahwa
anak-anak muda Prambanan, terutama anak-anak Sembojan menganggap mereka
itu orang-orang yang luar biasa, melampaui ketangkasan dan ketangguhan
prajurit-prajurit dari Pajang. Namun ternyata setelah ia memeras
tenaganya, ia masih belum mampu mengalahkan lawannya yang gemuk hampir
bulat itu.
Meskipun demikian kawannya yang seorang
itu benar-benar tidak dapat bersabar lagi. Sekali lagi ia berteriak,
“Tinggalkan lawanmu, biarlah aku patahkan lehernya itu.”
“Jangan ganggu aku,” sahut kawannya yang sedang berkelahi itu dengan nafas tersengal-sengal.
Kawannya itu pun terdiam sejenak. Namun
nafasnya tidak kalah derasnya dengan nafas kawannya yang sedang
berkelahi itu. Terengah-engah. Bahkan kadang-kadang terputus-putus.
Akhirnya, tamu yang satu itu pun tidak
dapat mengendalikan dirinya ketika ia melihat kawannya yang berkelahi
itu terdorong beberapa langkah surut, bahkan hampir terjatuh ke lantai.
Terhuyung-huyung kawannya itu mencoba menguasai keseimbangannya, yang
dengan susah payah berhasil. Tetapi hampir setiap orang, Betapapun
tipisnya ilmunya, dapat melihat, bahwa anak Sangkal Putung yang gemuk
itu sengaja membiarkan lawannya berhasil menguasai diri. Ia tidak
melakukan serangan selama kawannya itu tertatih-tatih. Bahkan seperti
seorang yang berdiri menonton keheran-heranan.
“Minggir!” teriak tamu yang seorang itu, “biarlah aku selesaikan urusan ini.”
“Aku masih sanggup,” sahut temannya.
Tiba-tiba Swandaru berkata, “Jangan berebut. Silahkan keduanya bersama-sama.”
Darah tamu-tamu dari Menoreh itu mendidih. Sorot matanya menjadi merah menyala.
“Apakah kau sudah gila?” terdengar suaranya gemetar.
Tetapi Swandaru masih saja tersenyum.
“Aku hanya ingin kalian tidak berkelahi sendiri karena berebut dahulu,” jawab anak yang gemuk itu.
Dada lawannya serasa hampir-hampir pecah.
Sikap Swandaru telah membakar segenap perasaannya. Bahkan keduanya
hampir-hampir lupa diri dan bersama-sama menyerang Swandaru yang telah
menghina mereka.
Agung Sedayu menarik nafas. Betapapun
kuatnya Swandaru, tetapi untuk melawan mereka berdua, agaknya akan
terlampau berat. Seandainya terjadi demikian, maka Swandaru pasti akan
mengerahkan segenap tenaganya dan adalah mungkin bahwa ia akan lupa diri
dan melepaskan serangan-serangan yang langsung membahayakan jiwa
lawannya. Karena itu, maka tiba-tiba ia pun berdri. Perlahan-lahan ia
melangkah maju sambil berkata, “Aku akan mencoba membantu adikku membuat
keseimbangan. Apakah kita akan bermain-main berpasangan ataukah kita
akan berhadapan seorang lawan seorang?”
Kembali pendapa itu dicengkam oleh
ketegangan. Mereka melihat anak Sangkal Putung yang seorang itu pun
bersedia melayani tamu-tamu mereka dari Menoreh. Sikap dan kata-kata
anak muda ini agak berbeda dengan sikap dan kata-kata anak muda yang
gemuk, yang agaknya senang berkelakar. Anak muda yang kedua ini agaknya
lebih pendiam dan banyak di antara mereka segera menyadari, bahwa anak
muda pendiam itu agaknya lebih matang dari anak yang gemuk bulat itu.
Kedua tamu dari Menoreh itu pun melihat
pula sikap itu. Kini mereka tidak melihat seorang anak muda yang dungu
dan bodoh. Tetapi langkah dan kata-kata Agung Sedayu benar-benar telah
mempengaruhi hati mereka. Karena itu sejenak mereka saling berpandangan.
Dan tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Hem, apakah
keinginanmu berdua? Apakah kalian akan memperlihatkan kepandaian kalian
seorang-seorang ataukah kalian ingin menunjukan kerapihan kalian dalam
pertempuran berpasangan?”
“Kamilah yang bertanya,” sahut Swandaru.
Kedua orang itu saling berpandangan
sejenak. Mereka tidak segera menjawab. Namun segera mereka menyadari,
bahwa setidak-tidaknya orang yang satu ini pun tidak akan kalah dari
anak muda yang gemuk itu.
Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar seseorang berkata, “Aku ingin melihat kalian berkelahi berpasangan.”
Semua orang berpaling ke arah suara itu.
Mereka mengerutkan kening mereka, ketika mereka melihat tamu yang
seorang lagi duduk bersila sambil membelai kumisnya yang tidak begitu
lebat. Dengan tersenyum ia mengulangi kata-katanya, “Berkelahilah
berpasangan.”
Agaknya orang itu mempunyai pengaruh yang
kuat atas kedua kawannya. Ia adalah pemimpin rombongan kecil yang
datang dari seberang Hutan Mentaok itu.
Kembali kedua kawan-kawannya saling
berpandangan. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Baik.
Kita bertempur berpasangan.”
Agung Sedayu tidak menyukai istilah yang
dipakai oleh kedua tamu itu, tetapi ia tidak dapat menyahut.
Perlahan-lahan ia berjalan mendekati Swandaru. Kemudian katanya, “Kita
bermain berpasangan.”
Swandaru tersenyum. Dipandanginya kedua
lawannya yang kini telah berada di hadapan mereka. Bahkan mereka telah
bersiap pula untuk menghadapi kedua saudara seperguruan itu.
Agung Sedayu dan Swandaru sudah tidak
berminat lagi untuk menanyakan sesuatu. Karena itu, maka mereka pun
berdiam diri sambil menunggu.
“Apakah kalian tidak akan menyesal,”
bertanya salah seorang dari mereka, “mungkin wajah kalian akan tidak
dapat dikenal besok karena bengkak-bengkak dan babak belur. Beruntunglah
kalian seandainya tidak ada bagian dari tubuh kalian yang patah.”
Agung Sedayu menjawab dengan segan, “Mudah-mudahan aku selamat.”
Kedua lawannya mengerutkan keningnya.
Jawaban itu terlampau pendek. Namun disadarinya, bahwa mereka akan
berkelahi, tidak harus berbicara berkepanjangan. Karena itu, maka
berkata salah seorang dari mereka, “Bersiaplah, kita akan mulai.”
“Marilah,” sahut Swandaru pendek.
Keduanya pun kini tidak lagi berbicara.
Segera mereka bersiap seperti dua pasang penari yang bersiap untuk mulai
dengan pertunjukannya.
Namun kini Agung Sedayu dan Swandaru
terkejut pula seperti orang-orang lain yang berada di pendapa dan di
halaman banjar desa itu. Bahkan Sutawijaya pun terkejut pula, sehingga
ditengadahkannya wajahnya memandangi tamu dari Menoreh yang seorang
lagi, yang kini masih duduk bersila sambil membelai kumisnya. Dengan
tenangnya orang itu berkata, “He, apakah para penabuh gamelan tidak
dapat mengiringi pertunjukan ini dengan gending yang serasi?”
Keempat orang yang telah bersiap untuk
berkelahi itu pun justeru tertegun, sementara Sutawijaya berbisik di
dalam hatinya, “Orang ini agak berbeda dari kedua teman-temannya.”
Sikap tamu yang seorang ini memang jauh
berbeda dengan dengan kedua kawan-kawannya. Sikapnya tenang dan
meyakinkan. Orang itu tidak mudah menjadi gelisah dan gugup. Bahkan
sambil tersenyum-senyum ia melihat keadaan seperti benar-benar sedang
melihat tayub.
Ketika kedua kawannya masih
termangu-mangu di tengah-tengah pendapa itu, kembali ia berkata, “He,
kenapa kalian berdiri saja di situ seperti patung. Lekas, kalau kalian
mau berkelahi, berkelahilah, kalau kalian mau menari, menarilah.
Lihatlah halaman di sekeliling pendapa dan di pendapa ini. Para penonton
telah menunggu-nunggu apa yang akan terjadi. Biarlah mereka tidak
terlalu lama kecewa. Kalau salah satu pihak akan babak belur, biarlah
itu segera terjadi. Wajah-wajah yang biru bengap dan bengkak-bengkak
pasti akan menarik sekali. Ayo, para penabuh, apakah kalian tidak
sanggup mengiringi tarian maut ini dengan gending-gending yang gila.
Ayo.”
Kedua orang tamu dari Menoreh itu pun
tergagap. Mereka menyadari keadaannya. Karena itu kembali mereka bersiap
menghadapi kedua anak-anak muda Sangkal Putung. Tetapi para penabuh
gamelan masih saja duduk membeku. mereka sama sekali tidak bergerak
untuk mengikuti perkelahian itu dengan iringan gending apapun.
Tetapi kedua pasang lawan itu pun tidak
menunggu. para tamu dari Menoreh segera mulai dengan
serangan-serangannya. Dan kedua saudara seperguruan itu pun segera
mulai melayaninya.
Perkelahian itu kini meningkat menjadi
semakin seru. Kedua tamu dari Menoreh yang sedikit banyak telah melihat
ketangkasan Swandaru tidak mau bermain-main lagi. Mereka tidak dapat
lagi mempunyai anggapan yang lain daripada, bahwa kedua anak-anak muda
itu sebenarnya terlampau kuat bagi mereka.
Sejak perkelahian itu mulai, maka mereka
yang cukup mengerti akan segera dapat melihat bahwa kedua pasangan itu
sama sekali tidak berimbang. Agung Sedayu dan Swandaru memang terlampau
kuat untuk kedua lawannya. Meskipun demikian, mereka masih mencoba
menyesuaikan diri mereka. Kemenangan mereka tidak terlalu menonjol,
meskipun bagi orang yang dapat mengertinya cukup meyakinkan.
Tamu yang seorang, yang sampai saat itu
masih duduk di pinggir pendapa di antara para pemimpin Kademangan
Prambanan dan para prajurit, melihat perkelahian itu dengan wajah yang
kerut-merut. Betapa hatinya sebenarnya menjadi bergolak dan bergelora.
Sebenarnya hatinya sama sekali tidaklah setenang wajahnya. Ia yakin
bahwa kedua kawan-kawannya sama sekali tidak akan dapat mengimbangi
kedua anak-anak muda Sangkal Putung, tetapi disimpannya perasaan itu di
dalam dadanya. Yang tampak di wajahnya adalah sebuah senyuman dan bahkan
kadang-kadang terdengar ia tertawa kecil.
“Hem, alangkah tangkasnya anak-anak muda Sangkal Putung itu,” desisnya.
Para pemimpin Prambanan dan para prajurit
berpaling ke arahnya. Dan ia berkata terus, “Kawan-kawanku itu sama
sekali tidak akan mampu mengimbangi mereka. Kalau benar mereka pengawal
Sangkal Putung, alangkah kuatnya kademangan itu. Tetapi dengan demikian
aku pun menjadi ikut berbangga. Bukankah salah seorang prajurit Pajang
di Sangkal Putung itu kemanakanku, Sidanti. Pastilah anak itulah yang
telah melatihnya menjadi pengawal yang baik.”
Yang mendengarkan kata-katanya itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa mereka kehendaki. Sedang mata
mereka kini kembali melihat perkelahian itu. Semakin lama semakin seru.
Kedua orang dari Menoreh itu telah memeras segenap kemampuan yang ada
pada mereka, dan Agung Sedayu beserta Swandaru pun berusaha melayani
sebaik-baiknya.
Tetapi di mata tamu yang seorang itu,
perkelahian itu sama sekali tidak menarik hatinya. Sebab ia tahu kedua
anak-anak muda dari Sangkal Putung itu pun tidak berkelahi sepenuh
kekuatannya. Para prajurit pun menyadari keadaan itu. Mereka pun
mengerti apa yang terjadi di pendapa, sehingga mereka pun menjadi
terheran-heran. Anak-anak muda Sangkal Putung ternyata adalah anak-anak
muda yang tangguh melampaui dugaan mereka.
Tiba-tiba tamu yang seorang itu pun berteriak, “Menjemukan! Menjemukan! Permainan ini sama sekali tidak menarik.”
Tetapi perkelahian itu masih saja
berlangsung. Mereka berempat seakan-akan tidak mendengar teriakan itu.
Sehingga orang itu mengulangi sekali lagi, “Berhenti! Berhenti!
Perkelahian kalian menjemukan.”
Tiba-tiba perkelahian itu pun mengendor. Akhirnya mereka berloncatan mundur, sehingga perkelahian itu berhenti.
“Kenapa?” Teriak salah seorang tamu itu.
“Kami belum menyelesaikan pekerjaan kami. Kami segera akan membuat kedua
anak-anak ini menjadi biru bengkak.”
Kawannya yang masih saja duduk itu
tertawa. Katanya, “Jangan membual. Apakah kau sangka bahwa kami tidak
tahu yang sebenarnya terjadi? Kalian berdua tidak akan dapat memenangkan
itu. Kalau ada di antara kalian yang biru bengap, maka yang biru bengap
adalah kalian berdua itu sendiri. Bukan anak-anak muda Sangkal Putung
itu. Mereka masih belum menggunakan segenap kekuatan mereka, sedang
kalian telah hampir mati kelelahan. Dengan demikian kami belum dapat
menjajaki sampai di mana puncak kemampuan mereka.”
Kedua kawannya itu tidak menjawab. Mereka tidak akan dapat mengingkari, bahwa sebenarnyalah demikian.
“Aku bangga melihat keterampilan
anak-anak Sangkal Putung itu,” desis orang yang masih duduk itu. Namun
nadanya agak berbeda dengan nada kawannya yang terdahulu. Wajahnya pun
kini tidak lagi secerah semula. Bagaimanapun ia menyembunyikan
perasaannya, namun akhirnya tampak pula, betapa ia merendam kemarahan di
dalam dadanya.
Orang itu pun tiba-tiba berdiri. Sekali
ia mengangguk kepada Ki Demang Prambanan, kemudian kepada kedua pemimpin
prajurit Pajang di Sangkal Putung.
Agung Sedayu dan Swandaru masih berdiri
di tengah-tengah pendapa itu. Tetapi kini dada mereka pun berdebaran.
Mereka melihat perbedaan yang seorang ini dengan kedua kawan-kawannya
yang lain.
Tamu yang seorang itu pun segera
melangkah mendekaiti Agung Sedayu dan Swandaru. Betapa hatinya
bergelora, dan betapa api menyala membakar jantungnya, namun wajahnya
masih juga tersenyum dan dari sela-sela bibirnya terdengar ia berkata,
“Aku mengagumi kalian. Bukankah kalian bukan saja pengawal Kademangan
Sangkal Putung yang mendapat tuntunan dari para prajurit Pajang, tetapi
kalian ini juga saudara seperguruan?”
Agung Sedayu dan Swandaru mengerutkan
keningnya. Orang itu mampu menebak dengan tepat. Namun kedua anak-anak
muda itu pun tahu pula, bahwa orang itu pasti telah membaca unsur-unsur
gerak yang dipergunakan, meskipun Agung Sedayu memiliki unsur-unsur
gerak jauh lebih kaya dari Swandaru, namun dalam pokok-pokoknya keduanya
pasti mempunyai banyak persamaan.
“Apakah aku salah?” bertanya tamu itu.
Agung Sedayu menggeleng sambil menjawab, “Tidak.Tuan benar.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya pula, “Kalian masih cukup muda. Sedang ilmu kalian telah
melampaui kedua kawan-kawanku itu. Bahkan aku tidak berhasil mengetahui
betapa tinggi puncak ilmu kalian dalam perkelahian kalian dengan kedua
kawan-kawanku. Kelak apabila kalian menjadi semakin sempurna dalam olah
kanuragan jaya kawijayan, maka kalian berdua akan menjadi seperti
sepasang elang dari satu sarang.”
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab.
Namun debar jantung mereka tidak mereda. Orang ini pasti menyimpan ilmu
yang jauh berbeda dengan kedua kawan-kawannya itu.
“Nah,” katanya, “apakah kakakmu yang seorang itu juga seperguruan pula?”
Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama menggelengkan kepalanya. Tetapi hanya Agung Sedayu-lah yang menjawab, “Tidak.”
Orang itu berpaling ke arah Sutawijaya.
Agung Sedayu dan Swandaru pun memandanginya. Namun Sutawijaya masih
saja duduk di tempatnya meskipun sekali-sekali tampak ia mengangkat
kepalanya dan mencoba memperhatikan setiap pembicaraan.
Ia tidak pula dapat berdiam diri. Melihat
sikap dan langkah orang itu Sutawijaya pun menjadi cemas. Meskipun
belum dapat dipastikan namun orang ini pasti menyimpan banyak kelebihan
dari kedua kawannya. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu. Ditunggunya
perkembangan keadaan lebih lanjut.
Sejenak kemudian maka tamu dari Menoreh
itu pun bertanya lagi, “Apakah kalian berdua puas dengan kemenangan
kalian atas kedua kawan-kawanku?”
Yang menjawab adalah Agung Sedayu, “Bukan suatu kemenangan.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia menjawab, “Aku menganggapnya sebagai suatu kemenangan.”
“Kami masih dalam permainan. Belum ada kepastian siapakah di antara kami yang akan menang,” sahut Swandaru.
Orang itu mengerutkan keningnya kembali.
Wajahnya kini tidak seterang semula. Senyumnya tidak lagi menghiasi
bibirnya. Dalam nada yang dalam ia berkata, “Jangan menghina. Kalian
sudah pasti bahwa kalian akan menang apabila perkelahian itu diteruskan.
Tetapi dengan kemenangan itu kalian jangan terlampau cepat berbangga.”
Agung Sedayu dan Swandaru terkejut
mendengar jawaban itu. Ternyata yang seorang ini mempunyai harga diri
yang terlampau tinggi. Meskipun demikian Agung Sedayu berkata, “Jangan
menyangka demikian. Tak ada maksud kami menyombongkan diri kami. Bahkan
tak ada maksud kami terlibat dalam perkelahian dengan dalih apapun.
Tetapi kami malam ini tersudut dalam kemungkinan ini. Kemungkinan yang
tidak dapat kami hindari.”
“Omong kosong!” orang itu hampir
berteriak. “Kalian sengaja membuat keributan di halaman dengan menghina
para prajurit dan kedua kawan-kawanku.”
Agung Sedayu dan Swandaru sejenak saling
berpandangan. Kemudian mereka pun memandangi wajah Sutawijaya pula,
seakan-akan mereka ingin mendapat pertimbangan. Namun wajah Sutawijaya
itu tidak berbicara apa pun bagi mereka berdua. Mereka hanya melihat
wajah itu berkerut-kerut.
Sejenak kemudian mereka mendengar orang
itu berbicara lagi, “Kalian datang dari Sangkal Putung dengan sengaja
ingin mempertunjukkan kelebihan-kelebihanmu di sini. Tetapi jangan kau
sangka bahwa Sidanti akan berbangga mendengar tingkah lakumu itu. Kalau
ia mendengar, maka kau pasti akan dicekiknya sampai mati. Sayang ia
tidak melihat kau berbuat seperti ini. Tetapi karena akulah yang melihat
bahwa kau telah menghina kedua kawan-kawanku, maka akulah yang akan
mewakilinya. Ia pasti akan berterima kasih kepadaku apabila kelak aku
mengatakan kepadanya, bahwa tiga orang-orangnya dari Sangkal Putung aku
patahkan tangan-tangannya karena kesalahan mereka sendiri.”
Dada kedua anak-anak muda dari Sangkal
Putung itu berdesir. Agung Sedayu menggigit bibirnya untuk menahan
gelora di dalam dadanya, ia masih mencoba untuk menguasai keseimbangan
perasaannya. Karena itu ia masih belum segera menjawab. Tetapi telinga
Swandaru ternyata telah terlampau panas. Dengan serta-merta ia menjawab,
“Kau sombong seperti Sidanti.”
Jawaban yang pendek itu benar-benar telah
menggoncangkan segenap pertimbangan tamu itu. Wajah tamu dari Menoreh
itu segera menjadi gelap. Dan orang-orang yang melihatnya pun menjadi
semakin tegang. Yang mereka dengar kemudian adalah orang itu berkata,
“Hem, aku ingin kalian bertiga maju bersama-sama supaya perkelahian yang
terjadi tidak menjemukan seperti perkelahian yang baru saja
berlangsung. Ternyata bukan saja tanganmu yang akan aku patahkan, tetapi
juga mulutmu. Ayo, bawa saudaramu yang seorang itu ke arena kalau ia
mampu.”
Tetapi Sutawijaya ternyata tidak menunggu
Agung Sedayu atau Swandaru memanggilnya. Ia kini telah berdiri. Seperti
tamu tadi ia mengangguk hormat kepada para tamu yang lain dan dengan
perlahan-lahan maju ke tengah-tengah pendapa. Ia tertegun ketika salah
seorang pemimpin prajurit berdesis. Tetapi prajurit itu tidak berkata
sesuatu.
Prajurit itu adalah prajurit yang seorang
lagi, bukan pemimpin prajurit yang memberikan perintah untuk
menangkapnya. Karena prajurit itu kemudian sama sekali tidak mengucapkan
kata-kata, maka Sutawijaya pun meneruskan langkahnya ke tengah-tengah
pendapa.
Tamu dari Menoreh yang menantang mereka
berkelahi bersama, memandanginya dengan mata yang menyala. Meskipun
demikian orang itu masih mencoba tersenyum sambil berkata, “Hei. Kalian
masih sangat muda.”
“Ya,” sahut Sutawijaya, “kami masih cukup muda.”
“Bagus,” desis orang itu. “Tetapi kenapa
kalian senang mencari persoalan dengan orang lain. Kenapa kalian senang
mencampuri urusan yang bukan urusanmu?”
“Kami tidak sengaja,” sahut Sutawijaya.
“kami tidak sengaja membuat persoalan dan mencampuri urusan orang lain.
Tetapi kami juga tidak biasa melihat keanehan-keanehan terjadi?”
“Apa yang aneh menurut pertimbanganmu?” bentak orang itu.
“Banyak sekali.”
“Sebut satu di antaranya.”
“Di antaranya adalah, bahwa kau terlampau
merasa dirimu penting dan merasa kau mempunyai wewenang yang
berlebih-lebihan. Itu pun akibat dari sesuatu keanehan. Ternyata kau
adalah tamu yang terlampau manja di sini.”
“Diam!” tamu itu pun berteriak sehingga
hampir setiap orang terkejut karenanya. Dengan luapan kemarahan ia
membentak-bentak. “Kau tidak berwenang apa pun berbuat demikian. Itu
adalah perbuatan yang menyakitkan hati.”
“Aku tidak peduli,” sahut Sutawijaya
dengan tatag. Kini ia tidak lagi berusaha menghindari apapun. “Tetapi
aku tidak senang melihat sikap dan perbuatan yang demikian.”
“Siapkan diri kalian,” teriak orang itu tiba-tiba. “Kita akan segera mulai. Majulah bertiga bersama-sama.”
“Tidak,” sahut Sutawijaya. “Kami bukan
pengecut yang hanya berani berkelahi bersama-sama. Kalau kau berkelahi
sendiri, aku pun akan berkelahi sendiri.”
Darah orang itu telah benar-benar
mendidih sampai ke kepala. Sikap Sutawijaya yang tatag berani itu
benar-benar telah sangat mengganggunya. Anak yang masih terlampau muda
itu seakan-akan merasa dirinya sangat yakin sehingga orang itu
berteriak, “Jangan berbangga karena kawan-kawanmu dapat menang dari
kedua kawan-kawanku. Tetapi jangan mimpi bahwa kalian dapat mengalahkan
aku. Aku adalah adik Kepala Daerah Perdikan Menoreh. Aku adalah paman
Sidanti itu.”
“Pantas,” sahut Sutawijaya tegas.
“Apa?” teriaknya pula.
“Pantas. Benar kata adikku, kau sombong seperti Sidanti.”
Sekali lagi dada orang itu serasa akan
meledak. Sekali lagi ia berkata lantang, “Kita akan mulai. Kalau kau
akan berkelahi seorang diri, dan kau menjadi korban kesombonganmu adalah
bukan salahku. Semua orang akan menjadi saksi.”
“Baik,” sahut Sutawijaya, yang kemudian
berkata kepada Agung Sedayu dan Swandaru, “Minggirlah. Biarlah orang ini
dapat menakar diri.”
Orang itu hampir tidak dapat mengekang
dirinya lagi. Hampir-hampir ia meloncat menerkam Sutawijaya. Tetapi
untunglah bahwa orang-orang yang duduk di tepi pendapa itu telah
mempengaruhinya pula.
Agung Sedayu dan Swandaru pun menjadi
kecewa. Mereka masing-masing ingin pula mendapat kesempatan untuk
melawan orang itu, tetapi karena mereka mengetahui siapakah Sutawijaya
itu, maka mereka pun tidak membantahnya.
Tetapi di pinggir pendapa itu, pemimpin
prajurit yang seorang itu pun tampak menjadi sangat gelisah. Prajurit
itu seakan-akan ingin berbuat sesuatu, tetapi ia menjadi ragu-ragu. Kini
ia melihat kedua kawan masing-masing pihak telah melangkah menepi dan
ia melihat kemarahan telah membara pada wajah keduanya. Apalagi kemudian
ia mendengar tamu dari Menoreh itu berteriak, “Kita bukan anak-anak
tanggung, yang hanya suka berkelahi. Tetapi kita masing-masing menyadari
akibat daripadanya.”
Sutawijaya menyadari kata-kata itu. Para
prajurit dan para pemimpin Kademangan Prambanan pun menyadarnya pula.
Mereka mendengar Sutawijaya menjawab, “Aku tidak takut menghadapi akibat
yang paling parah sekalipun.”
“Bagus,” sahut orang itu. “Kau akan dapat mati di arena ini.”
Perkataan itu telah menegangkan setiap
hati yang mendengarnya. Beberapa orang menjadi ngeri dan
perempuan-perempuan pun menjadi lebih baik menyingkir jauh-jauh.
Tetapi sebelum mereka mulai, maka
tiba-tiba pemimpin prajurit yang gelisah itu pun meloncat berdiri.
Dengan tegangnya ia berkata, “Aku tidak ingin melihat pertumpahan darah
di kademangan ini. Kau bukan orang Prambanan, kau pun bukan. Apakah
sebabnya kalian akan berkelahi di pendapa Banjar Desa Prambanan? Bahkan
sampai mati? Tidak. Aku adalah pamimpin Prajurit Pajang di Prambanan.
Aku mengemban tugas di sini. Dan aku melarang kalian berkelahi.”
Wajah tamu dari Menoreh itu pun menjadi
semakin menyala mendengarnya. Tiba-tiba ia memutar tubuhnya sambil
menjawab kasar, “Akulah yang akan berkelahi, bukan kau?”
“Aku mempunyai wewenang di sini. Aku
penguasa yang mendapat tugas langsung dari pimpinan prajurit Wira
Tamtama, dan bertanggung jawab kepada senapati di daerah lereng Merapi,
Untara.”
Orang itu terdiam. Tetapi dada Agung
Sedayu berdesir mendengar kata-kata itu. Ternyata daerah ini adalah
masih merupakan daerah yang menjadi tanggung jawab kakaknya, Untara.
Tetapi prajurit itu sama sekali belum mengenalnya, bahwa ia adalah adik
Untara. Apalagi dirinya, bahkan ternyata terhadap Sutawijaya pun orang
itu belum mengenalnya.
Tetapi tamu itu berteriak, “Apa peduliku.
Bahkan seandainya Untara di sini, aku tidak akan takut. Aku akan tetap
dalam pendirianku. Berkelahi sampai mati di sini.”
“Aku tidak berkepentingan apakah kau akan mati atau tidak. Tetapi tidak di sisni. Tidak di Prambanan.”
Terdengar gigi tamu itu gemeretak.
Demikian kemarahan menanjak sampai ke ubun-ubun sehingga sejenak justru
ia terdiam. Beberapa orang menjadi heran melihat sikap pemimpin prajurit
itu, bahkan kawannya, pemimpin prajurit yang lain pun menjadi heran
melihat sikap kawannya itu. Dengan tidak sesadarnya ia berteriak,
“Biarkan Kakang. Biarkan saja apa yang akan terjadi. Biarkan saja
anak-anak Sangkal Putung itu dicekik sampai mampus. Mereka telah
menghina kami di sini, menghina tamu-tamu itu dan menghina anak-anak
muda Prambanan.”
“Aku tidak mau melihat daerah ini menjadi
ajang pertentangan dari orang-orang di luar kademangan. Seolah-olah
Prambanan adalah daerah yang paling jelek dari seluruh wilayah Pajang.
Siapa yang akan berkelahi bahkan sampai mati, pergi saja ke Prambanan.
Di sana perkelahian akan mendapat kehormatan dan dapat dilangsungkan di
pendapa banjar desa. Begitu?”
“Tetapi kita tidak bersalah. Para tamu itu pun tidak.”
“Aku tidak tahu siapa yang bersalah. Itu
adalah urusan mereka pula. Kalau mereka ingin menyelesaikan dengan
pertumpahan darah, itu terserah. Mereka adalah laki-laki jantan. Tetapi
tidak di sisni. Tidak di pendapa banjar desa ini.”
“Aku tidak berkeberatan,” bantah pemimpin itu.
“Akulah yang memegang seluruh pimpinan di
sini,” sahut yang lain. “Akulah yang mendapat tanggung jawab tertinggi
di sini. Kecuali kalau Bapak Demang berpendapat lain.”
Di antara para penonton di pendapa itu
kemudian berdiri seorang yang masih cukup muda. Ternyata ialah Demang
Prambanan. Demang yang menurut ukuran umurnya masih terlampau muda.
Dengan wajah yang tegang ia kemudian berkata dari tempanya berdiri, “Aku
sependapat dengan kau, Kakang. Aku tidak ingin melihat pendapa ini
menjadi ajang perkelahian yang tidak aku mengerti ujung pangkalnya.”
“Nah, kalian dengar,” sahut prajurit itu,
kemudian kepada tamu-tamunya dari Menoreh dan kepada Sutawijaya ia
berkata, “Hentikan perkelahian!”
“Tidak!” sahut tamu dari Menoreh. “Tidak
ada alasan untuk mengurungkan perkelahian. Perkelahian ini hanya
dianggap selesai setelah aku mematahkan lehernya.”
“Kau dengar perintahku!” tiba-tiba
prajurit itu pun berteriak. “Aku mempunyai kekuasaaan di sini, dan aku
mempunyai alat-alat kekuasaan itu. Apakah kau akan melawan segenap
prajurit yang berada di wilayah ini?”
Wajah tamu itu pun kini menjadi semakin
membara. Tetapi ia terdiam sesaat. Agaknya pemimpin prajurit itu
benar-benar akan bertindak apabila ia membantah perintahnya. Namun sama
sekali ia tidak rela melepaskan lawannya. Karena itu maka ia pun
menyahut tidak kalah lantangnya. “Baik. Baik. Kalian merasa diri kalian
orang-orang yang luar biasa karena kalian menjadi prajurit Pajang pula,
bahkan prajurit yang mempunyai pengaruh yang cukup.”
Jawaban itu agaknya berpengaruh juga di
hati pemimpin prajurit itu. Tetapi ia telah terlanjur mengucapkan
larangannya, sehingga karena itu ia tidak akan mungkin mencabutnya
kembali. Bahkan sekali lagi ia menegaskan, “Di Prambanan akulah yang
mendapat kekuasaan. Bukan Sidanti.”
“Tetapi Sidanti kelak akan dapat menggantungmu di alun-alun Pajang.”
“Ia bukan Panglima Wira Tamtama, dan bukan pula senapati di daerah ini.”
“Persetan! Tetapi ia berpengaruh.”
“Aku tidak peduli. Tetapi kalian tidak boleh mengotori daerah ini dengan darah yang tidak ada gunanya tertumpah.”
Terdengar gigi tamu itu gemeretak.
Tiba-tiba ia berpaling kepada Sutawijaya dan berkata, “Kita gagal
mempergunakan tempat ini. Tetapi kalau kau jantan, perkelahian ini tidak
akan urung. Kita akan bertemu besok pagi-pagi di tepi kali Opak di
ujung Selatan dari kademangan ini. Kademangan yang dikuasai oleh
orang-orang cengeng macam pemimpin prajurit Pajang dan Demang itu. Kau
setuju?”

“Bagus!” teriak tamu itu. “Besok pada
saat matahari terbit, aku telah menunggumu di sebelah barat perbukitan
Baka. Aku akan membawa senjataku, sebuah pusaka berbentuk tombak pendek.
Kalau kau mempunyai senjata bawalah. Kalau tidak carilah pinjaman
kemana kau suka. Aku telah bertekad, bahwa salah satu di antara dada
kita harus berlubang oleh senjata.”
Sekali lagi dada Sutawijaya berdesir.
Agaknya orang itu telah benar-benar kehilangan keseimbangan berpikir.
Kemarahannya telah mencapai puncak tertinggi, sehingga baginya tidak
akan ada pemecahan lain dari pada maut.
“Hem,” Sutawijaya menggeram. Tetapi ia
tidak sempat menjawab. Ia melihat tamu itu berputar dan berjalan
tergesa-gesa meninggalkannya. Kedua kawannya pun segera mengikutinya di
belakang.
Pemimpin prajurit itu berdiri saja
termangu-mangu. Ia mendengar tantangan itu, dan ia pun mendengar
jawabannya pula. Karena itu hatinya pun menjadi berdebar-debar. Tetapi
ia kini tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Mereka akan berkelahi di luar
daerah Kademangan Prambanan. Meskipun demikian, ia akan mampu memberi
mereka peringatan, apabila mungkin mengurungkan perkelahian itu.
Tetapi prajurit-prajurit yang lain,
termasuk seorang pemimpinnya mempunyai tanggapan yang berbeda. Mereka
telah dikecewakan oleh sikap pemimpinnya itu. Mereka ingin melihat
anak-anak muda Sangkal Putung itu menjadi biru bengap. Bahkan mungkin
tangannya atau kakinya akan patah dan cacat untuk seterusnya. Tetapi
peristiwa itu tidak terjadi. Namun kemudian mereka mendengar persetujuan
mereka, sehingga tanpa sesadarnya beberapa orang dari mereka berkata,
“Baik. Kita menunggu sampai besok. Kita masih mendapat kesempatan untuk
menonton perkelahian yang menarik itu.”
Pemimpinnya yang seorang itu berpaling ke
arah kawan-kawannya. Tetapi kawan-kawannya itu pun tertawa dengan nada
yang aneh. Seakan-akan mereka sengaja mentertawakan sikapnya. Dengan
demikian dada pemimpin itu berdesir. Seandainya benar-benar tamu dari
Menoreh itu tidak menghormati sikapnya, apakah kawan-kawannya para
prajurit itu akan bersedia untuk melakukan perintahnya? Mengusir
tamu-tamu dari Menoreh itu meninggalkan Prambanan? Ia sendiri yakin,
bahwa seorang diri ia tidak dapat mengalahkan tamu yang seorang itu,
adik Kepala Daerah Perdikan Menoreh. Apalagi bertiga. Tetapi ia
mengharap beberapa anak-anak muda Prambanan yang masih menyadari
kedudukannya akan membantunya, meskipun lebih banyak dari mereka yang
lebih senang berbuat seperti orang-orang gila.
Peristiwa itu tiba-tiba telah mendorong
pemimpin prajurit Pajang itu menyadari kesalahannya selama ini. Selama
ini seolah-olah dibiarkannya Prambanan menjadi sebuah hutan belantara.
Tidak ada peraturan yang pasti dapat menjamin ketetapan adat dan tingkah
laku di kademangan ini, sehingga seolah-olah sama sekali tidak
dirasakannya adanya ketenangan. Terutama di kalangan anak-anak mudanya.
Ki Demang Prambanan sendiri seakan-akan sama sekali tidak mempunyai
wibawa apapun. Ia hanya bertindak sesuka hatinya sendiri. Bahkan
kadang-kadang hanyut di dalam arus kegilaan anak-anak muda. Demang
Prambanan sendiri adalah demang yang masih cukup muda, dan itulah
sebabnya, maka kadang-kadang ia masih berpikiran kurang dewasa.
Beruntunglah kali ini Ki Demang Prambanan itu sependapat dengan
pendirian pemimpin prajurit itu, sehingga keputusannya untuk menentang
perkelahian itu menjadi lebih kuat.
Pemimpin prajurit itu melihat satu-satu
para penonton di halaman sekeliling pendapa itu pergi meninggalkan
halaman banjar desa. Wajah-wajah mereka seakan-akan memancarkan
kekecewaan hati mereka, bahwa pemimpin prajurit itu telah mencegah suatu
tontonan yang pasti akan lebih mengasikkan daripada sabung ayam jantan.
Yang akan bersabung di pendapa itu bukan sekedar ayam jantan, tetapi
adalah dua orang laki-laki jantan. Satu dari Bukit Menoreh, yang lain
dari Sangkal Putung. Tetapi tontonan itu menjadi urung. Namun hati
mereka terhibur pula, ketika mereka mengetahui tontonan itu sebenarnya
hanya tertunda sampai esok pagi di tepi kali Opak di ujung kademangan,
sebelah barat pegunungan Baka.
Tamu-tamu, para pemimpin Kademangan
Prambanan di pendapa, dan para prajurit meninggalkan pendapa itu pula.
Mereka sama sekali tidak menyapa pemimpin prajurit yang masih berdiri
tegak di tempatnya dan bahkan Demang Prambanan yang masih tegak pula.
Mereka pergi dengan langkah yang tersendat-sendat seakan-akan ada yang
mereka tinggalkan di pendapa itu. Sekali-kali mereka berpaling, dan
mereka melihat wajah Sutawijaya yang memancarkan ketetapan hatinya,
tanpa perasaan was-was sama sekali meskipun esok pagi ia harus
berhadapan dengan tamu yang mereka segani.
“Wajah anak muda itu pun seakan-akan
mawa cahya,” tiba-tiba salah seorang berdesis. Tetapi tak seorang pun
yang menyahut.Orang yang berbicara itu pun terdiam pula.
Sejenak kemudian maka pendapa itu pun
menjadi sepi. Bahkan halaman banjar desa itu pun telah menjadi senyap.
Satu dua orang masih tampak berjalan mondar-mandir. Tetapi mereka pun
segera pergi. Yang masih tinggal di halaman adalah dua orang perabot
Kademangan Prambanan, Ki Jagabaya yang kurus tinggi beserta adiknya.
Mereka menunggu demangnya dan mereka nanti akan bersama-sama kembali ke
rumah masing-masing yang berdekatan.
Di pendapa itu kini berdiri
termangu-mangu pemimpin prajurit Pajang yang seorang, Ki Demang,
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru. Tetapi di sudut pendapa itu
masih duduk beberapa anak-anak muda, di antaranya adalah Haspada dan
Trapsila.
Prajurit itu memandangi anak-anak muda
itu dengan sorot mata yang mengandung teka-teki. Seolah-olah
pemuda-pemuda itu ingin melihat apa saja yang akan dilakukannya. Tetapi
pemimpin prajurit itu telah mengenal dengan baik siapakah mereka itu.
Haspasa, Trapsila, dan kawan-kawannya adalah anak-anak muda yang
mempunyai tabiat yang berbeda dengan anak-anak muda pada umumnya. Namun
justru karena itu, maka mereka hampir-hampir tak pernah mendapat
perhatiannya. Tetapi kini anak-anak muda itulah yang tinggal
mengawaninya.
Tiba-tiba prajurit itu seakan-akan bergumam kepada diri sendiri, “Apakah yang kau tunggu?”
Anak-anak muda itu pun terkejut
mendengar pernyataan itu. Sesaat mereka saling berpandangan seakan-akan
saling bertanya, “Ya, apakah yang kami tunggu?”
Karena anak-anak muda itu tidak segera
menjawab, maka prajurit itu pun menyambung kata-katanya, kali ini agak
mengejutkan Haspada dan kawan-kawannya, “Aku mengucapkan terimakasih
atas sikapmu. Kau sudah membantu membuat keseimbangan pada saat-saat
yang tidak menyenangkan. Mungkin selama ini kita tidak saling bertemu
dalam perbuatan karena kesalahanku. Tetapi dalam keadaan yang penting,
kalian dapat membantu aku.”
Haspada dan Trapsila tersenyum. Hampir bersamaan keduanya menjawab, “Mudah-mudahan.”
“Terimakasih,” sahut prajurit itu yang kemudian berpaling kepada Sutawijaya dan kedua kawannya. “Bagaimana dengan kalian?”
“Kami akan kembali ke pondokan kami,” sahut Sutawijaya. “Besok aku akan datang ke tempat yang telah kami setujui.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya, “Kalau kau mau mendengar kata-kataku, jangan datang.
Lawanmu adalah orang yang luar biasa. Hanya dengan tombak pendeknya itu
ia seorang diri mampu berburu harimau. Bahkan banyak perbuatan-perbuatan
aneh yang telah dilakukannya di sini hanya dalam waktu yang sangat
singkat. Mungkin sengaja ia memperlihatkan kemampuannya untuk mendapat
perlakuan yang baik di sini.”
“Ya. Tamu itu terlampau manja. Tetapi aku tidak dapat ingkar janji.”
“Aku mencoba memperingatkan kalian. Ia
adalah adik Kepala Daerah Perdikan Menoreh. Namanya Argajaya, sedang
kakaknya bernama Argapati.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya.
Prajurit itu pasti tidak hanya sekedar menakut-nakutinya. Meskipun
mungkin apa yang dikatakan itu agak berlebih-lebihan, tetapi sebagian
besar daripadanya pasti sebenarnya terjadi.
Tetapi Sutawijaya adalah seorang anak
muda yang punjuling-apapak. Anak muda itu mempunyai banyak kelebihan
dari anak-anak muda sebayanya. Karena itu ia sama sekali tidak gentar
mendengar keterangan prajurit itu. Bahkan timbullah hasratnya untuk
menilai kekuatan orang kedua dari Bukit Menoreh. Darah muda yang
mengalir di dalam tubuhnya ternyata sangat mempengaruhi keputusannya.
Terdengar prajurit itu kemudian berkata
pula, “Apakah kalian dapat mengerti keteranganku? Aku bermaksud baik.
Meskipun Argajaya bukan Argapati, tetapi setidak-tidaknya ia memiliki
kekuatan yang dapat dibanggakan.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Terimakasih. Tetapi sayang, aku sudah berjanji
untuk menemuinya besok pagi.”
“Kau dapat membatalkannya. Mungkin kau
perlu minta maaf kepadanya, atau kau segera meninggalkan kademangan ini
kembali ke Sangkal Putung. Argajaya adalah seorang yang sakti. Mungkin
ia mampu menyamai Untara, Senapati Pajang di daerah di sekitar Gunung
Merapi.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Untara
adalah seorang yang tanggon. Untara pulalah yang telah mampu membunuh
Tohpati. Tetapi ia pun pernah maju berperang, bahkan langsung melawan
Arya Penangsang. Meskipun ia tidak pasti, bahwa ia akan dapat
memenangkan pertempuran besok, namun bukanlah wataknya untuk meminta
maaf dan belas kasihan, atau lari dengan diam-diam meninggalkan janji
jantan.
“Aku adalah Sutawijaya,” katanya di dalam hati. “Alangkah aib namaku dan nama ayahku kalau aku tinggal gelanggang colong playu. Aku harus memenuhi janji itu.”
Dan prajurit itu bertanya lagi,
“Bagaimana? Aku sayang melihat kemudaanmu. Menilik kedua adik-adikmu,
maka kalian masih akan jauh berkembang. Mungkin lima atau sepuluh tahun
lagi kau akan berjumpa kembali dengan Argajaya. Dan kau akan menebus
malumu kali ini.”
“Terimakasih,” Sutawijaya mengulangi. “Aku terpaksa menemuinya besok.”
Prajurit itu menarik nafas. Ketika ia
berpaling dilihatnya Haspada dan Trapsila pun menjadi tegang pula.
Tetapi mereka berdua tidak berkata sepatah kata pun.
Hanya demang yang masih muda itulah yang
kemudian mencoba menasehati pula. “Dengarkan nasehat itu. Tak seorang
pun yang mengenal kalian, sehingga nama kalian tidak akan tercemar
karenanya. Berbeda akibatnya jika nama kalian adalah nama yang telah
mengumandang setidak-tidaknya di sekitar daerah ini. Maka kalian pasti
akan mempertahankan harga diri kalian masing-masing. Tetapi kalian akan
lebih sayang pada nyawa kalian daripada nama kalian yang belum dikenal
itu.”
Dada Sutawijaya berdesir. Hampir ia lupa
dan meneriakkan namanya, Sutawijaya putra Panglima Wira Tamtama dan yang
telah berhasil membenamkan tombaknya di perut Arya Penangsang.
Untunglah ia menyadari keadaannya, sehingga maksudnya itu pun
diurungkannya.
Meskipun demikian ia menjawab sekali
lagi, “Terimakasih atas segala nasehat itu. Kami bertiga menyadari bahwa
nasehat-nasehat itu bermaksud baik untuk kepentingan keselamatan kami.
Tetapi biarlah kami mencoba mengadu untung. Kami sebenarnya memang
memerlukan banyak pengalaman untuk kepentingan kademangan kami.”
“Tetapi apabila terjadi sesuatu dengan
salah seorang dari kalian, jangan mendendam pada Kademangan Prambanan.
Kami sama sekali tidak tahu-menahu dan tidak campur tangan dengan
persoalan kalian besok. Prambanan dan Sangkal Putung adalah kademangan
yang selama ini belum pernah mempunyai persoalan apapun,” berkata demang
itu pula.
“Baik Ki Demang,” sahut Sutawijaya. “Kami
dapat mengerti sepenuhnya maksud Ki Demang. Dan kami pun tidak akan
menyangkutkan orang lain dalam persoalan ini.”
Prajurit itu dan Ki Demang Prambanan pun
mengangguk-anggukkan kepala. Sesaat mereka saling berpandangan,
kemudian berkatalah Ki Demang Prambanan, “Terserahlah kepada kalian.
Tetapi kemana malam ini kalian akan bermalam?”
“Kami akan kembali ke tempat kami menumpang malam ini. Kami berada di rumah Paman Astra.”
Kedua orang itu pun mengangguk-anggukan
kepalanya. Kemudian pemimpin prajurit itu pun berkata, “Kembalilah ke
rumah Kakang Astra. Pikirkanlah sekali lagi apa yang akan kalian hadapi
besok. Kalau kalian merubah pendirian kalian, kami akan ikut bersenang
hati. Kalian dapat meninggalkan kademangan ini tanpa gangguan. Aku kira
tamu-tamu itu tidak akan mengejarmu.”
“Baik, aku akan mencoba berpikir sekali lagi,” sahut Sutawijaya.
“Selamat malam,” desis prajurit itu.
“Terima kasih,” sahut Sutawijaya.
Prajurit itu, Ki Demang, dan Ki Jagabaya
beserta adiknya dan kedua perabot desa yang lain, yang sudah mengunggu
di halaman itu pun kemudian pergi meninggalkan banjar desa pula.
Haspada, Trapsila, dan kawan-kawannya pun kemudian berdiri dan berkata,
“Kisanak. Kami sependapat dengan pemimpin prajurit dan Ki Demang.
Meskipun kami telah melihat betapa kalian telah mengejutkan kami, tetapi
bermain-main dengan tamu yang seorang itu adalah sangat berbahaya.”
“Terimakasih Kisanak. Aku akan mencoba
memikirkan sekali lagi,” jawab Sutawijaya pula. Tetapi hatinya sama
sekali tidak bergerak untuk merubah keputusannya. Ia akan menemui orang
itu besok di sebelah Bukit Baka.”
Banjar desa itu pun kini menjadi semakin
sepi. Para penabuh gamelan pun telah tidak ada yang tinggal lagi.
Karena itu maka Sutawijaya dan kawan-kawannya segera meninggalkan tempat
itu pula, kembali ke rumah Astra.
Di sepanjang jalan tidak banyak kata-kata
yang mereka ucapkan. Dengan langkah yang panjang mereka menyuusuri
jalan-jalan di Kademangan Prambanan. Sesudah mereka melintasi sebuah
bulak pendek, maka mereka melihat beberapa orang anak-anak muda
berkumpul bergerombol di pinggir jalan.
“Itulah mereka,” gumam Sutawijaya.
“Apakah mereka masih akan membuat onar lagi? Kali ini kita harus
bersikap lain seandainya mereka berbuat sesuatu. Apalagi kalau di antara
mereka terdapat tamu-tamu dari Menoreh itu.”
Agung Sedayu dan Swandaru menjawab hampir
bersamaan, “Baik.” Dan Swandaru meneruskan, “Aku menjadi muak melihat
sikap mereka. Beruntunglah kademangan ini masih juga menyimpan anak-anak
muda seperti Haspada dan Trapsila.”
“Mudah-mudahan mereka akan segera
mendapatkan tempatnya kembali,” gumam Agung Sedayu. “Aku menjadi heran,
kenapa anak-anak muda seperti mereka itu justru menjadi terasing di
sini.”
Kini mereka terdiam. Jarak mereka menjadi
semakin dekat. Anak-anak muda yang berdiri di pinggir jalan itu pun
agaknya memperhatikan mereka pula.
Tetapi Sutawijaya, Agung Sedayu, dan
Swandaru menjadi heran ketika mereka kemudian melihat anak-anak muda itu
menundukkan kepala. Bahkan satu dua yang masih sempat, menghindar dan
berlindung di balik-balik pagar halaman. Agaknya mereka menjadi malu
melihat Sutawijaya dan kedua kawannya. Apalagi anak-anak muda yang pada
sore harinya telah mencoba menghinannya.
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru
berjalan terus. Berpaling pun tidak. Mereka tidak mau membuat persoalan
dengan mereka, atau sengaja membuat mereka malu.
Ketika kemudian mereka menengadahkan
wajah mereka, mereka melihat bintang Gubuk Penceng telah jauh condong ke
arah barat. Tanpa sesadarnya Agung Sedayu bekata, “Kita sudah hampir
sampai ke ujung fajar.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Gumamnya, “Waktuku tinggal sedikit. Pada saat fajar
menyingsing aku harus sudah berada di sebelah barat Pegunungan Baka. Aku
kira kita tidak akan pergi sendiri. Aku kira banyak anak-anak muda yang
ingin melihat perkelahian itu.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu
“Terpaksa,” desis Sutawijaya, “aku tidak dapat menghindarinya.”
Kedua kawannya tidak menjawab, dan
Sutawijaya berkata terus, “Tetapi aku ingin singgah meskipun hanya
sebentar di rumah Paman Astra. Sukurlah kalau Paman Astra telah
menyediakan minuman hangat. Aku sangat haus.”
“Aku juga,” sahut Swandaru tiba-tiba. “Aku agaknya terlalu lama menari tayub di pendapa, meskipun tanpa diiringi gamelan.”
Kedua kawannya tersenyum. Tetapi kemudian
terdiam. Hanya desir kaki-kaki mereka di atas tanah yang kering
terdengar mengusik sepi malam. Di kejauhan suara burung hantu terdengar
seperti sedang memanggil-manggil.
Ketika kemudian mereka memasuki halaman
rumah Astra maka mereka bertiga itu pun terkejut. Dengan
terbungkuk-bungkuk Astra menyambut mereka sambil berkata, “Mari, Ngger.
Mari silakan masuk ke rumah paman yang jelek ini.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sikap
orang tua itu tiba-tiba berubah. Tetapi sebelum ia bertanya, apakah
sebabnya, Astra telah berkata, “Aku sudah mendengar apa yang telah
Angger lakukan di pendapa dari kedua anakku. Sungguh luar biasa. Angger
telah mengejutkan seluruh anak-anak muda Prambanan. Bahkan anak-anak
yang paling disegani pun tidak akan dapat menyamai angger sekalian.
Angger Haspada dari Sembojan, Angger Trapsila dari Tlaga Kembar, menurut
anak-anakku, mereka tidak akan dapat menyamai angger-angger ini.
Apalagi aku mendengar bahwa Angger Sutajia akan bertanding pagi nanti di
sebelah Bukit Baka.”
Ketiga anak muda itu tersenyum. Tanpa disengaja Sutawijaya bertanya, “Di manakah kedua putera Paman itu?”
“Mereka bersembunyi, ngger. Mereka merasa malu.”
“Mudah-mudahan masih ada rasa malu pada
anak Paman. Dengan demikian Paman masih mempunyai harapan, bahwa
putera-putera Paman akan menjadi sadar, bahwa apa yang mereka lakukan
bukanlah sikap mereka yang sewajarnya. Mereka telah terbius oleh suatu
keadaan yang tidak dapat mereka mengerti sendiri.”
“Ya, ya, Ngger. Mudah-mudahan,” berkata
orang tua itu. “Tetapi, marilah masuk. Marilah bibimu telah menyediakan
sekedar minuman hangat.”
“Terimakasih, Paman.”
Tergesa-gesa Astra masuk ke dalam
rumahnya diikuti oleh Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru. Wajah
Swandaru yang bulat itu tampak tersenyum-senyum sambil berbisik lirih,
“Hem. Minuman hangat dan jadah panggang.”
“Sst,” desis Agung Sedayu. Namun mereka bertiga pun tersenyum.
Di sebuah amben besar mereka duduk
melingkari mangkuk-mangkuk berisi minuman hangat, dan tepat sekali
seperti tebakan Swandaru, jadah panggang dan potongan-potongan jenang
dodol.
Dengan lahapnya mereka menikmati suguhan
itu. Sekali-kali diselingi oleh suara mereka sahut menyahut. Namun Astra
itu pun menjadi semakin heran, bahwa tak ada kesan apa pun di wajah
anak muda yang menyebut dirinya bernama Sutajia itu. Dari anak-anaknya
ia mendengar bahwa anak-anak muda itu besok akan berperang tanding
melawan tamu yang memimpin rombongan dari Bukit Menoreh, bahkan adik
Kepala Tanah Perdikan Menoreh sendiri. Tetapi orang tua itu tidak berani
bertanya tentang pertempuran besok, betapa pun inginnya untuk
mengetahui.
Selagi mereka sibuk mengunyah jadah dan
jenang dodol serta menghirup hangatnya minuman, tiba-tiba pintu rumah
itu diketuk orang. Dari sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat,
mereka dikejutkan oleh hadirnya pemimpin prajurit Pajang yang telah
mencoba mencegah Sutawijaya berkelahi besok.
“Marilah, Tuan, marilah,” Astra menjadi tergopoh-gopoh mempersilakan duduk di amben itu pula.
Sutawijaya dan kedua kawannya segera berdiri pula sambil mengangguk hormat.
Prajurit itu pun kemudian duduk di
antara mereka. Astra segera menyuguhkan semangkuk air hangat dan
segumpal gula kelapa kepada tamunya yang tidak disangka-sangkanya.
Sambil terbungkuk-bungkuk ia bertanya, “Tuan, kedatangan Tuan
benar-benar mengejutkan hatiku. Apakah ada sesuatu yang Tuan anggap
penting untuk datang berkunjung ke rumah yang jelek ini?”
Pemimpin prajurit itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak segera menjawab, tetapi
ditatapnya wajah Sutawijaya dan kedua kawannya berganti-ganti.
Namun dalam sekejap itu Sutawijaya dan
kedua kawannya pun segera dapat melihat, betapa besar pengaruh para
prajurit Pajang di Prambanan. Mereka ditakuti oleh setiap orang dan
dengan demikian, maka mempunyai kekuasaan yang cukup bersar.
Agung Sedayu dan Swandaru pun melihat
sikap Astra dan sikap prajurit itu. Hubungan mereka agak berbeda dengan
sikap setiap prajurit di Sangkal Putung. Hubungan antara para prajurit
dan penduduk Sangkal Putung tampak jauh lebih akrab. Kekuasaan Widura
pun sama sekali hanya terbatas pada segi-segi keprajuritan untuk
menghadapi kekuatan Tohpati pada waktu itu. Demang Sangkal Putung sama
sekali tidak merasa terganggu oleh kekuasaan yang diemban oleh pimpinan
Wira Tamtama itu, bahkan keduanya saling isi-mengisi dengan serasi.
Agaknya berbeda dengan kedudukan Demang dan penduduk Prambanan di mata
para prajurit yang bertugas di tempat ini.
“Semuanya telah menyimpang dari
kewajaran,” desis Sutawijaya di dalam hatinya. Ia tahu benar sikap
ayahnya, Panglima Wira Tamtama. Namun kadang-kadang tidak semua prajurit
merupakan cermin dari sikap Panglimanya.
“Astra,” kemudian terdengar pemimpin
prajurit itu berkata. “Aku datang kemari untuk menemui ketiga
tamu-tamumu anak-anak muda dari Sangkal Putung ini.”
“O,” sahut Astra sambil membungkuk-bungkuk. “Silahkan, Tuan, silahkan.”
Pemimpin prajurit itu menarik nafas.
Kemudian kepada Sutawijaya ia berkata, “Aku tidak dapat melupakan
persetujuanmu dengan tamu-tamu dari Menoreh itu. Begitu aku mencoba
berbaring untuk beristirahat, segera aku menjadi cemas. Bahkan semakin
lama menjadi semakin cemas. Aku tidak tahu, kenapa aku berperasaan
demikian. Aku sudah mencoba berpikir, bahwa kau bukan sanak bukan
kadangku. Seandainya kau mengalami bencana pun, aku tidak akan
kehilangan. Tetapi aku tidak dapat berbuat demikian, sehingga aku
terpaksa menemuimu.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Agung
Sedayu dan Swandaru pun menjadi heran pula atas sikap prajurit itu.
Apakah yang telah mendorongnya berbuat demikian?
Tetapi prajurut itu kemudian mengaku
sendiri, alasan-alasan yang telah mempengaruhi perasaannya selama ini.
Katanya, “Mungkin aku terdorong oleh perasaan bersalah. Selama ini aku
tidak dapat melakukan tugasku sesuai dengan garis-garis yang telah
diberikan oleh senapati daerah lereng Merapi, Untara. Bukankah Untara
sekarang berada di sekitar Sangkal Putung? Mungkin aku cemas apabila
terjadi sesuatu dengan kalian di Prambanan, dan berita itu sampai ke
telinga Ki Untara, seolah-olah aku tidak berbuat apa-apa di sini.”
Kembali Sutawijaya mengerutkan keningnya.
Tanpa dikehendakinya, ia berpaling ke arah Agung Sedayu dan Swandaru.
Namun kemudian ia menjawab, “Tuan, itu adalah tanggung jawabku sendiri.
Kedua kawan-kawanku dan paman Astra menjadi saksi, bahwa Tuan telah
berusaha sebaik-baiknya dan sejauh-jauhnya. Tetapi aku ternyata telah
mengabaikannya. Salahkulah apabila terjadi sesuatu esok pagi.”
Prajurit itu terdiam. Direnunginya wajah
Sutawijaya, seolah-olah ingin dilihatnya isi hatinya. Wajah anak muda
itu agaknya terlampau tenang menghadapi perkelahian yang berbahaya.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Lewat
pintu yang separo terbuka, berhembus angin yang silir menggerak-gerakan
nyala pelita di atas bancik yang tersangkut pada tiang.
Tiba-tiba mereka tersadar, bahwa mereka
tidak usah menunggu terlalu lama. Di kejauhan mereka mendengar suara
ayam jantan berkokok. Kemudian disahut oleh yang lain, dan suara kokok
ayam itu seolah-olah menjalar dari satu kandang ke kandang yang lain.
Bahkan ayam-ayam jantan yang bertengger di pepohonan pun menyahut pula
dengan suara nyaring.
“Hampir fajar,” desis prajurit itu. “Kesempatan terakhir bagi kalian.”
“Maaf, Tuan,” desis Sutawijaya. “Aku
tidak dapat melepaskan janji itu. Betapa rendah martabatku, dan betapa
kecil namaku seperti disebut oleh Ki Demang Sangkal Putung, tetapi aku
harus menjunjung harga diriku dan harga diri keluargaku.”
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya, “Terjadilah di luar lingkungan kekuasaanku. Terjadilah
di luar tanggung jawabku. Kalian yang mendengar ini menjadi saksi,
bahwa aku telah berusaha untuk membatalkan perkelahian ini.”
“Semuanya akan menjadi saksi,” sahut
Sutawijaya. Tetapi darah mudanya telah mendorongnya berkata, “Tetapi
Tuan belum mencoba cara lain.”
Prajurit itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Cara apakah yang kau maksud?”
“Mungkin Tuan dapat menghubungi Argajaya,
dan minta kepadanya untuk membatalkan maksudnya. Minta kepadanya untuk
meninggalkan kademangan ini seperti yang Tuan kehendaki atas kami.”
Wajah prajurit itu menjadi tegang.
Dipandanginya wajah Sutawijaya dengan tajamnya. Bahkan Agung Sedayu pun
terkejut pula mendengar perkataan Sutawijaya. Hanya Swandaru-lah yang
tersenyum-senyum di dalam hati. Baginya perkataan Sutawijaya itu masih
terlampau berhati-hati. Namun bagi Agung Sedayu, apa yang diucapkannya
itu sebenarnya tidak perlu. Apalagi ketika Agung Sedayu melihat wajah
prajurit yang menjadi tegang itu.
Tetapi meskipun demikian, meskipun
Sutawijaya melihat juga kerut-merut di wajah prajurit itu, ia sama
sekali tidak menyesal. Disadarinya benar-benar apa yang diucapkannya,
sehingga karena itu ia sama sekali tidak terkejut ketika prajurit itu
berkata, “Anak muda, aku hanya mencoba menjaga keselamatanmu. Jangan
menjadi sombong dan jangan menyangka bahwa aku akan menjadi ketakutan
seandainya kau mengancam akan melaporkan setiap kesalahan yang pernah
aku lakukan di sini, meskipun apabila masih ada kesempatan aku akan
mencoba untuk memperbaikinya. Mungkin kau mempunyai perhitungan
tersendiri, bahwa seandainya terjadi sesuatu atas dirimu, maka
kesalahanku bukan saja karena aku membiarkan itu terjadi, tetapi apa
yang pernah aku lakukan akan diusutnya pula. Namun itu bukan berarti
bahwa aku akan menundukkan kepalaku di bawah pengaruhmu. Aku bermaksud
baik, tetapi jangan mencoba memeras dan memperalat aku. Aku akan dapat
bersikap sebaliknya.”
Swandaru mengerutkan keningnya mendengar
jawaban itu, sedang dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Apalagi
Astra yang tidak tahu ujung pangkal pembicaraan mereka menjadi sangat
ketakutan. Namun wajah Sutawijaya sendiri sama sekali tidak berubah.
Dengan tenang ia berkata, “Maafkan, Tuan. Maksudku hanya ingin
mengatakan. Bahwa apabila benar-benar Tuan ingin bersikap baik sebagai
seorang prajurit, maka aku mengharap Tuan bersikap adil. Kalau Tuan
menawarkan kebaikan hati kepada kami, maka apakah salahnya hal yang
serupa Tuan berikan pula kepada tamu-tamu dari Menoreh itu.”
“Apakah benar kata kawan-kawanku bahwa kau telah menghina kami, para prajurit Pajang di Prambanan?”
“Tidak, Tuan,” sahut Sutawijaya
cepat-cepat. Tetapi ia masih tetap tenang. “Sekali lagi aku minta maaf.
Aku menyadari maksud Tuan. Tetapi aku menyadari juga bahwa sikap Tuan
tidak adil terhadap kami dan para tamu itu. Mungkin karena mereka datang
dengan tanda-tanda kebesaran mereka sebagai seorang adik dari kepala
tanah perdikan yang besar, sedang kami datang sebagai anak-anak gembala
yang lusuh. Tetapi jangan salah paham Tuan. Kami hanya ingin mengatakan,
bahwa kami sudah terlanjur menganggap bahwa kami tidak kurang selapis
pun dari tamu-tamu dari Bukit Menoreh itu. Itulah sebabnya kami berusaha
untuk menjumpainya nanti di sebelah Bukit Baka.”
“Terserahlah kepadamu. Kau sudah mulai menyombongkan dirimu sebelum kau berbuat sesuatu.”
“Aku hanya mencoba membesarkan hatiku
sendiri Tuan. Aku menyadari, bahwa setiap orang menganggap bahwa lebih
baik bagiku untuk menghindari perkelahian besok selain mereka yang ingin
melihat dadaku berlubang oleh ujung tombak. Tuan memang bermaksud baik,
dan karenanya sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Tetapi sikap
Tuan itu telah memperkecil hatiku. Maaf, Tuan. Aku harap Tuan mengerti
supaya aku tidak menggigil pada saat aku melihat ujung tombaknya. Namun
tak ada niatku untuk lari dari janji yang telah aku ucapkan.”
Wajah pemimpin prajurit Wira Tamtama di
Prambanan itu masih juga tegang. Tetapi ia merasa aneh mendengar
kata-kata anak muda dari Sangkal Putung itu. Ia merasa tersinggung
karenanya, tetapi ia merasakan kebenarannya pula. Bahkan ia merasa
hormat kepada anak yang melihat kenyataan yang telah berlaku di
Prambanan ini. Sehingga dengan demikian ia menjadi ragu-ragu apakah
benar ia hanya berhadapan dengan seorang anak gembala yang karena
keadaan telah menjadi pengawal kademangannya?
Dalam pada itu maka prajurit itu pun
menjadi ragu-ragu. Dengan demikian, maka ruangan itu pun menjadi sunyi
kembali. Yang terdengar kemudian adalah kokok ayam jantan yang menjadi
semakin ramai di segenap sudut desa.
“Hampir fajar,” tiba-tiba Sutawijaya berdesis.
Dalam keragu-raguannya tiba-tiba prajurit itu berkata, “Kau belum sempat beristirahat menghadapi saat yang berbahaya bagimu.”
“Aku sudah cukup beristirahat di sini. Aku sudah minum minuman hangat dan makan pagi, jadah panggang dan jenang manis.”
Prajurit itu tidak menjawab. Sejenak ia
termenung. Kemudian terdengar ia berkata, “Aku akan melihat apa yang
terjadi. Aku kira di sebelah Barat Bukit Baka pagi ini akan menjadi
sangat ramai dikunjungi orang. Mereka ingin melihat punggungmu
dipatahkan, atau dadamu menjadi berlubang. Tetapi aku tidak bertanggung
jawab.”
“Mudah-mudahan terjadi sebaliknya. Punggung tamu itulah yang akan aku patahkan dan dadanyalah yang akan berlobang.”
“Kau terlalu sombong.”
“Tidak, Tuan,” sahut Sutawijaya. “Sudah aku katakan, aku hanya ingin membesarkan hatiku sendiri.”
Prajurit itu memandangi wajah Sutawijaya
dengan saksama. Tiba-tiba ia sadar, bahwa wajah itu sama sekali bukan
wajah seorang gembala atau anak padesan Sangkal Putung. Tetapi ia tidak
tahu, bagaimana ia harus mengatakannya.
Tiba-tiba ia berkata, “Apakah kau
memerlukan senjata? Lawanmu akan mempergunakan sebuah pusakanya yang
berbahaya. Sebatang tombak pendek. Kalau kau perlukan, kau dapat memakai
pedangku.”
“Terima kasih,” sahut Sutawijaya. “Aku mempunyai senjataku sendiri.”
Dada prajurit itu berdesir, tetapi ia berdiam diri.
Ketika suara ayam jantan menjadi semakin
ramai, maka berkatalah Sutawijaya, “Aku tidak ingin terlambat. Lebih
baik aku datang lebih dahulu. Aku akan berangkat segera.”
“Angger,” Astra yang sejak tadi berdiam
diri tiba-tiba berkata, “apakah Angger tidak dapat mengurungkan
perkelahian itu? Aku telah mendengar pula dari anak-anakku bahwa Angger
akan melakukan perang tanding pagi ini.”
Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Sayang, Paman. Doakan saja aku selamat.”
Sutawijaya pun segera minta diri untuk memenuhi janjinya pergi ke sebelah Barat Bukit Baka di tepi Sungai Opak.
Wajah Astra yang tua itu pun kemudian
memancarkan perasaan cemasnya. Sorot matanya menjadi suram dan gelisah.
Bahkan pemimpin prajurit itu pun tertegun-tegun dicengkam oleh perasaan
tak menentu.
Namun terdengar Sutawijaya berkata tegas,
“Aku akan berangkat.” Kepada Agung Sedayu dan Swandaru ia berkata,
“Marilah. Aku tidak mempunyai waktu lagi.”
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab.
Segera mereka turun dari amben bambu yang besar itu dan
mengipas-ngipaskan kain mereka.
Prajurit itu pun tiba-tiba berkata, “Aku akan pergi bersama kalian.”
“Terima kasih,” sahut Sutawijaya yang kemudian sekali lagi minta diri kepada Astra. “Kami akan berangkat, Paman.”
Astra melepas mereka dengan hati yang
gelisah dan cemas. Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia mencemaskan
nasib anak-anak muda yang baik itu. Meskipun anak-anak muda itu baru
saja dikenalnya. Namun dalam tutur kata dan sikapnya, serta apa yang
didengarnya dari kedua anaknya, maka hatinya telah tertarik kepada
mereka.
Tetapi Astra tidak dapat berbuat apa-apa.
Ia hanya dapat memandangi langkah-langkah yang tetap dari ketiga
anak-anak muda itu bersama pemimpin prajurit Pajang di Prambanan,
meninggalkan halaman rumahnya.
Ketika Sutawijaya berbelok lewat sebuah
pematang, maka prajurit itu pun berkata, “Kita menempuh jalan ini.
Jalan ini adalah jalan yang paling dekat.”
Sutawijaya menjadi ragu-ragu sejenak.
Dipandanginya wajah kedua kawannya seolah-olah ingin mendapat
pertimbangan dari padanya. Tetapi kedua kawannya itu sama sekali tidak
berbuat sesuatu bahkan sorot mata mereka pun sama sekali tidak
menunjukkan sesuatu sikap. Karena itu, maka Sutawijaya-lah yang harus
bersikap. Katanya, “Aku harus lewat jalan ini, Tuan.”
“Kau harus memutari ladang. Baru kau akan
sampai ke jalan yang sempit. Di ujung lain dari pematang itu, kau akan
sampai ke jalan kecil, dan jalan kecil itu adalah simpangan dari jalan
yang besar ini.”
Kembali Sutawijaya menjadi ragu-ragu.
Tetapi ia harus melewati batang gayam tempat mereka menyangkutkan
senjata-senjata mereka. Karena itu maka jawabnya, “Jalan inilah yang aku
kenal pada saat aku datang, Tuan. Karena itu aku akan menempuh jalan
ini pula.”
“Aku mengenal setiap sudut Kademangan Prambanan seperti aku mengenal rumahku sendiri.”
Sutawijaya akhirnya tidak mempunyai
alasan lain dari pada alasan yang sebenarnya, sehingga ia tidak lagi
dapat menghindar. Maka katanya, “Aku harus lewat di bawah pohon gayam di
sebelah ladang ini, Tuan.”
Pemimpin prajurit itu menjadi heran, sehingga dengan serta merta ia bertanya, “Kenapa kau harus lewat di bawah pohon gayam?”
Sutawijaya benar-benar sudah tidak ada
kesempatan untuk menyembunyikan keadaannya. Maka jawabnya, “Senjata
kami, kami simpan di pohon itu, Tuan.”
“Senjata?” kembali prajurit itu terkejut.
Ia telah mendengar Sutawijaya berkata bahwa ia akan mempergunakan
senjatanya sendiri, tetapi ketika ia mendengar bahwa senjata itu
tersimpan di pohon gayam, maka ia masih juga terperanjat.
“Ya, Tuan. Kami telah menyembunyikan senjata-senjata kami di atas dahan yang rimbun.”
Prajurit itu tidak menyahut, namun raut
mukanya menjadi berkerut-kerut. Ditatapnya ketiga anak-anak muda itu
berganti-ganti. Sutawijaya dengan wajah yang pasti dan teguh, sedang
anak yang kedua berwajah tenang. Namun dalam ketenangan itulah
tersembunyi relung yang dalam. Seperti wajah air, semakin tenang semakin
dalamlah dasarnya. Anak muda yang ketiga, yang gemuk, adalah anak muda
yang berwajah terang, tetapi membayangkan kekerasan tekadnya.
“Hem,” desah prajurit itu di dalam
hatinya. “Siapakah sebenarnya anak-anak ini. Kenapa baru sekarang aku
dapat mengenali wajah-wajah mereka dengan baik justru di dalam
keremang-remangan. Kenapa aku tidak melihatnya tadi di banjar desa yang
terang benderang?”
Prajurit itu kini tidak membantah lagi.
Diikutinya saja ketiga anak-anak muda itu di belakangnya. Ketika mereka
sampai di bawah pohon gayam, maka segera mereka pun berhenti. Sejenak
mereka tegak berdiri sambil berpandang-pandangan. Namun yang
pertama-tama berkata adalah Swandaru, “Hem, aku lagikah yang harus
memanjat?”
Mau tidak mau Sutawijaya dan Agung Sedayu
tersenyum. Sebelum keduanya menjawab, maka Swandaru telah
menyingsingkan lengan bajunya dan menyangkutkan kain panjangnya. “Tak
ada pilihan lain,” gumamnya.
“Jangan menggerutu,” sahut Agung Sedayu. “Aku pun akan memanjat pula.”
“Kalau aku tahu di mana senjata-senjata
itu disangkutkan, maka aku pun bersedia untuk memanjat pula. Tetapi aku
tidak tahu, apalagi hari masih gelap,” berkata Sutawijaya.
“Huh,” desis Swandaru. “Alasan yang sempurna.”
Sutawijaya tertawa. Dibiarkannya kedua
kawan-kawannya memanjat ke atas. Namun terdengar ia berpesan,
“Berhati-hatilah. Hari masih terlalu gelap.”
Tetapi Swandaru dan Agung Sedayu kemudian
berhasil mengambil seluruh senjata-senjata mereka. Sebatang tombak, dua
batang pedang, tiga buah busur beserta endong panahnya.
Pemimpin prajurit itu terkejut melihat
kelengkapan mereka. Sehingga dengan serta merta ia berkata, “Bukan main.
Kelengkapan kalian telah menambah teka-teki di dalam kepalaku. Siapakah
sebenarnya kalian?”
“Sudah aku katakan,” sahut Sutawijaya, “kami adalah pengawal Kademangan Sangkal Putung.”
Prajurit itu pun terdiam. Tetapi
teka-teki di dadanya justru menjadi semakin membayang di wajahnya.
Sekali-kali nampak mulutnya berkumat-kumit. Tetapi tak sepatah kata pun
keluar dari mulutnya.
Ketika ketiga anak-anak muda itu sudah
siap dengan senjata masing-masing, maka berkatalah Sutawijaya, “Marilah.
Kami sudah siap.”
Prajurit itu menjadi semakin bimbang akan
penglihatan matanya. Sutawijaya kini tidak lagi kelihatan seperti
seorang gembala. Dibenahinya pakaiannya dan dibetulkannya lipatan ikat
kepalanya. Tampaklah betapa anak itu memiliki beberapa kelebihan di
dalam dirinya. Sedang kedua anak-anak muda yang lain pun berbuat pula
serupa. Di lambung mereka kini tergantung sehelai pedang, dan di
punggung mereka tersangkut sebuah busur. Sedang pada ikat pinggang
mereka, tersangkut pula sebuah endong dengan anak-anak panah di
dalamnya.
Nafas prajurit itu tiba-tiba menjadi semakin cepat mengalir. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu.
“Marilah,” sekali lagi Sutawijaya
mengajak kedua kawan-kawannya dan prajurit itu. “Tetapi sebaiknya kita
tidak melewati jalan. Apakah ada jalan lain yang lebih sepi dari jalan
itu?”
Prajurit itu kini telah benar-benar
terpesona melihat ketiga anak-anak muda itu, sehingga kata-kata
Sutawijaya itu telah memukaunya pula. Tanpa sesadarnya prajurit itu
menjawab, “Ada, kita dapat memintas, lewat pematang di sepanjang parit
kecil ini.”
“Bagus,” sahut Sutawijaya. “Hari telah
menjadi semakin terang. Aku tidak mau lagi berpapasan terlalu banyak
orang. Mudah-mudahan aku tidak terlambat. Silahkan tuan berjalan di
depan.”
Sekali lagi prajurit itu melakukan
permintaan Sutawijaya tanpa disadarinya. Segera ia meloncat dan berjalan
di paling depan, memintas pematang di sepanjang parit, menyusur ke
sebelah Barat Bukit Baka.
Kini warna semburat merah di langit
sebelah Timur sudah menjadi semakin nyata. Satu-satu bintang-bintang
yang bergayutan di udara seakan-akan lenyap ditelan cahaya fajar yang
segera pecah. Ujung-ujung pepohonan telah mulai nampak berkilat-kilat
oleh cahaya pagi yang terpantul dari butir-butir embun yang mengantung
di ujung dedaunan.
Sutawijaya dan kawan-kawannya pun segera
mempercepat langkah mereka. Prajurit yang berjalan di depan itu pun
digamitnya sambil berkata, “Aku agaknya akan terlambat.”
“Tidak,” sahut prajurit itu. “Matahari sedang terbit.”
“Saat inilah yang dijanjikan. Pada saat matahari terbit Argajaya menanti aku di sebelah Barat Gunung Baka.”
“Seandainya kau terlambat, maka saat kelambatanmu tidak ada sepemakan sirih.”
“Aku berharap dapat datang lebih dahulu
sebelum Argajaya. Apalagi apabila kemudian ada orang-orang lain yang
mencoba menonton sabungan ini.”
“Pasti. Aku dapat menduga bahwa hampir setiap laki-laki di Prambanan akan hadir melihat perkelahianmu nanti.”
Sutawijaya terdiam. Tetapi ia melangkah lebih cepat lagi.
Akhirnya ujung Gunung Baka itu pun
menjadi semakin dekat. Di antara semak-semak ilalang tampaklah batu-batu
padas yang menjorok seolah-olah ingin menggapai langit. Tetapi Bukit
Baka bukan pegunungan yang cukup tinggi. Meskipun demikian, namun bukit
itu tampak garang dalam keremangan cahaya fajar.
“Kita harus meloncat ke jalan. Parit ini akan menyilang jalan ke Gunung Baka.”
“Apakah ada jalan ke pegunungan itu? Bukankah pegunungan itu seakan-akan pegunungan yang tidak pernah disentuh kaki?”
“Tidak,” sahut prajurit itu. “Banyak orang yang mencoba mendaki ke puncak itu.”
“Apa yang dicarinya?”
“Bermacam-macam kepercayaan telah dicengkam penduduk di sekitar tempat ini tentang gunung kecil itu.”
Sutawijaya mengerutkan dahinya. Tiba-tiba
ia berkata, “Kita turun ke Kali Opak. Adalah lebih baik bagiku menyusur
tepian sungai dari pada berjalan lewat jalan itu. Mudah-mudahan tak
banyak orang di sana.”
Prajurit itu tidak menyahut. Tetapi ia
pun segera membelok ke Barat. Meloncat-loncat di antara puntuk-puntuk
padas. Kini mereka sudah meninggalkan tanah persawahan. Mereka telah
sampai di padang ilalang yang jarang. Di sana-sini berserak-serakan
batu-batu padas yang kelabu.
Sesaat kemudian mereka telah sampai di
pinggir tebing Sungai Opak. Tebing yang tidak begitu tinggi, sehingga
mereka tidak mengalami kesukaran untuk meloncat turun.
Kini mereka berempat berjalan di
sepanjang pasir tepi Sungai Opak. Mereka berjalan dengan langkah yang
panjang ke Selatan. Janji itu mengatakan, bahwa mereka akan bertemu di
pinggir Kali Opak di sebelah Barat Pegunungan Baka.
Sutawijaya terkejut ketika ia melihat
beberapa orang berkerumun di kejauhan. Dengan serta merta ia berkata,
“Apakah kira-kira tempat itu yang disebut oleh Argajaya.”
“Tak ada seseorang yang tahu pasti,
manakah yang dikehendaki oleh Argajaya. Tetapi pasti di sepanjang tepian
ini. Tempat orang berkerumun itu adalah tepat di sebelah Barat ujung
Gunung Baka.”
“Mungkin di sana Argajaya menunggu. Ternyata aku datang terlambat.”
Prajurit itu tidak menyahut. Mereka
berjalan semakin cepat. Sebelum mereka mendekat, berkatalah Sutawijaya
kepada Swandaru, “Sekali lagi aku minta tolong. Bawalah busurku. Aku
hanya akan mempergunakan tombakku.”
Swandaru menarik nafas. Katanya, “Baiklah. Apakah busurmu tidak sama sekali kau berikan aku Kakang Agung Sedayu.”
Sutawijaya tersenyum. Tetapi wajahnya
kini menjadi bersungguh-sungguh. Ia tidak lagi dapat bergurau ketika di
hadapannya telah menunggu sekelompok orang yang ingin melihat dirinya
berkelahi antara hidup dan mati.
Swandaru melihat kesungguhan wajah
Sutawijaya itu meskipun sambil tersenyum. Karena itu, maka Swandaru
tidak mau bersenda lagi. Wajahnya pun menjadi bersungguh-sungguh pula
ketika kemudian ia menerima busur dan endong anak panah Sutawijaya.
Mereka berempat kini berjalan semakin
cepat. Namun tak sepatah kata pun yang terucap. Masing-masing terbenam
dalam angan-angannya sendiri.
Tiba-tiba orang-orang yang berkelompok
itu pun mulai bergerak-gerak seperti sarang semut yang tersentuh
tangan. Agaknya seseorang telah melihat kedatangan mereka, dan berita
itu pun telah menjalar ke segenap telingga, sehingga semua orang di
dalam kelompok itu pun berpaling dan memandangi Sutawijaya dan
kawan-kawannya.
Sutawijaya menarik nafas. Sekali ia
menengadahkan wajahnya. Seleret sinar memancar di langit yang jernih.
Dari balik Gunung Baka sinar matahari seolah-olah meluncur menghujam ke
segenap penjuru.
“Hem,” guman Sutawijaya, “matahari telah memanjat naik.”
“Belum secengkang,” sahut prajurit itu.
Sutawijaya terdiam. Dengan wajah yang
tegang ia berjalan selangkah mendekati kelompok yang tiba-tiba menebar
seakan-akan memberikan jalan.
Langkah Sutawijaya pun menjadi tetap.
Tanpa ragu-ragu ia berjalan masuk ke dalam kerumunan orang-orang
Prambanan. Dengan sorot mata yang tajam ia memandang berkeliling. Setiap
pasang mata yang terbentur dengan sorot mata anak muda itu, tiba-tiba
terpaksa jatuh menunduk memandangi pasir tepian. Sorot mata anak muda
itu ternyata terlampau tajam bagi mereka.
Tetapi Sutawijaya belum melihat orang
yang menantangnya. Meskipun hampir seluruh wajah di baris terdepan telah
dipandanginya, tetapi wajah Argajaya belum tampak berada di tempat itu.
Karena itu maka tanpa disadarinya ia bergumam, “Di manakah tamu yang
terhormat itu?”

Sutawijaya melihat Haspada telah berada
di tempat itu pula. Di sampingnya berdiri Trapsila dan beberapa orang
kawan-kawannya. Di sisi yang lain dilihatnya anak-anak muda saling
bergerombol. Satu dua Sutawijaya masih dapat mengenal. Di sebelah
Selatan adalah gerombolan anak-anak Sembojan, sedang di sisi Utara
adalah anak-anak Tlaga Kembar. Anak-anak induk kademangan bertebaran
hampir di segenap sudut, sedang anak-anak dari padesan-padesan kecil
pun berkumpul di antara mereka. Orang-orang tua berdiri agak ke
belakang. Tetapi agaknya mereka pun ingin melihat apa yang akan
terjadi.
“Apakah Argajaya memilih tempat yang lain?” bertanya Sutawijaya tanpa ditujukan kepada seorang pun.
Tak ada jawaban. Tetapi wajah-wajah orang
yang mengitarinya seakan-akan membantah kata-katanya itu. Seakan-akan
mereka ingin berkata, “Ini adalah batas Kademangan Prambanan. Ini adalah
tepian Kali Opak di sebelah Barat Gunung Baka.”
Tetapi tak seorang pun yang
mengatakannya. Mereka seakan-akan terbungkam dan bahkan terpesona
melihat anak muda yang berdiri di tengah-tengah mereka. Anak muda itu
seakan-akan bukan anak muda yang dilihatnya kemarin. Juga kedua
kawan-kawannya itu seakan-akan sama sekali bukan anak muda yang
berkelahi di pendapa. Dengan pedang di lambung dan busur menyilang di
punggung tampaknya mereka menjadi gagah, segagah prajurit-prajurit
Pajang.
“Apakah pemimpin prajurit Pajang yang
datang bersama-sama dengan mereka itulah yang meminjami mereka senjata?”
Pertanyaan itu tumbuh di setiap dada mereka yang berdiri berkerumun
itu.
Namun yang terdengar adalah suara Sutawijaya, “Aku akan menunggu Argajaya.”
Sutawijaya berkata tidak terlampau keras.
Namun terdengar menyusup dalam-dalam ke dalam telinga orang-orang yang
mengerumuninya. Suara yang terlontar dari bibir anak muda itu terasa
mengandung perbawa yang tajam.
Tetapi ternyata Sutawijaya tidak perlu
menunggu terlampau lama. Kembali orang-orang di dalam kelompok itu
bergerak-gerak. Semua kepala berpaling ke satu arah. Ketika Sutawijaya,
Agung Sedayu, dan Swandaru mengikuti pandangan mereka, terasa dada
mereka berdesir. Di sepanjang jalan kecil yang menembus padang ilalang,
tampak beberapa orang berjalan beriringan. Debu yang tipis tampak
berhamburan terlontar dari tanah yang kering oleh sentuhan kaki-kaki
mereka.
Di paling depan berjalan seorang yang
bertubuh tegap kekar. Dengan kepala tengadah ia melangkah menjinjing
sebatang tombak pendek, sependek tombak Sutawijaya. Orang itu adalah
Argajaya. Di belakangnya berjalan kedua orang kawannya, kemudian
pemimpin prajurit yang satu lagi dan beberapa orang prajurit Pajang.
Bahkan tampak di antara mereka Ki Demang Prambanan, Ki Jagabaya yang
kurus dan beberapa orang perabot desa yang lain.
Tanpa disengajanya Sutawijaya berpaling
ke arah pemimpin prajurit yang seorang yang datang bersamanya. Tampaklah
wajahnya menjadi tegang, lebih tegang dari wajah Sutawijaya. Ia melihat
para prajurit bawahannya seakan-akan telah berpihak kepada tamu yang
sombong itu. Dengan demikian, maka seakan-akan ia telah kehilangan
kewibawaan bagi para prajuritnya. Bahkan Ki Demang Prambanan yang
semalam membenarkan sikapnya, kini agaknya telah berganti pendirian.
Seakan-akan apa yang dikatakan semalam hanyalah suatu mimpi yang kecut.
Sekarang ia ingin bersikap lain. Besok adalah soal besok. Sikapnya baru
akan dipikirkannya besok juga.
Tetapi pemimpin prajurit itu menjadi agak
tenang ketika ia melihat Haspada, Trapsila, dan beberapa kawan-kawannya
berada di tempat itu pula. Kalau ia harus memberikan keputusan, sedang
para prajuritnya tidak dapat dikendalikannya lagi, maka ia akan
memerlukan bantuan anak-anak muda Prambanan itu. Bahkan mungkin ia
memerlukan anak-anak Sangkal Putung ini. Ya, anak-anak Sangkal Putung
ini mungkin akan bersedia membantunya.
Kini iring-iringan itu sudah semakin
dekat. Ketika wajah mereka menjadi kian jelas, maka tampaklah bibir
Argajaya dihias oleh senyum yang cerah.
Sejenak orang-orang yang telah menanti di
pinggir Kali Opak itu terpesona melihat kehadiran Argajaya bersama
orang-orang yang mengiringinya, seakan-akan kehadiran seorang pemimpin
bersama dengan anak buahnya, sehingga mereka itu pun kemudian terdiam
seperti orang-orang tersentuh kaki.
Yang mula-mula terdengar adalah suara
Aryajaya menggelegar, “He, agaknya kau telah datang lebih dahulu anak
muda. Ternyata kau benar-benar anak jantan. Aku sangka kau semalam telah
melarikan diri meninggalkan Prambanan kembali ke rumahmu, bersembunyi
di balik selendang ibumu.”
Alangkah menyakitkan hati. Tetapi Sutawijaya tidak menjawab. Ditungguinya sampai Argajaya semakin dekat.
Sejenak kemudian mereka telah melintasi
rumput-rumput kering di tebing, kemudian berloncatan turun ke tepian.
Para pengikutnya pun segera berloncatan pula. Dan tanpa mereka sadari,
mereka telah membuat suatu kelompok yang seakan-akan terpisah dari
kelompok yang lebih dahulu datang. Bahkan di antara mereka tampak satu
dua anak-anak muda Sembojan dan anak-anak muda Tlaga Kembar yang semalam
saling mengejar dan berkelahi. Ternyata pendapat mereka kini telah
terbelah silang menyilang. Anak-anak Sembojan dan anak-anak Tlaga Kembar
sebagian telah datang lebih dahulu bersama Haspada dan Trapsila.
Sejenak kemudian kembali terdengar suara
Argajaya, “Bagaimanapun juga aku merasa kagum akan kejantananmu.
Meskipun kalian menyadari apa yang kalian hadapi, tetapi kalian tidak
melarikan diri. Sidanti akan bergembira mendengar berita ini. Aku harap
ia akan mendengarnya kelak. Dari salah seorang di antara kalian atau
dari aku sendiri.”
Sutawijaya masih berdiam diri. Ia tegak
seperti tonggak. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru berdiri beberapa
langkah di belakangnya.
Ketika Argajaya menjadi semakin dekat.
Dilihatnya kini bahwa di tangan Sutawijaya tergenggam sebatang tombak
pendek pula. Ia telah melihat tombak itu sejak ia masih berada di atas
tebing. Tetapi baru kini ia melihat ujung dari tombak yang pendek itu.
Tanpa disadarinya dipandanginya ujung tombaknya sendiri. Tombaknya
adalah tombak pusaka. Tetapi dalam sekilas itu ia dapat melihat, bahwa
tombak anak muda itu pun bukan kebanyakan tombak.
Apalagi kemudian ia melihat Agung Sedayu
dan Swandaru yang berdiri tidak jauh dari Sutawijaya itu. Di lambungnya
tergantung pedang, dan di punggungnya menyilang busur.
Hati Argajaya menjadi berdebar-debar. Busur itu semuanya berjumlah tiga buah. Pasti milik ketiga anak itu.
Meskipun demikian ia bertanya, “He, dari mana kau mendapat pinjaman senjata anak muda?”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab, “Senjataku sendiri. Apakah senjatamu itu senjata pinjaman?”
Argajaya terkejut mendengar pertanyaan
itu. Tiba-tiba sorot matanya menjadi tajam dan dengan nada yang berat ia
menjawab, “Pertanyaanmu terlampau tajam anak muda. Semalam, ketika aku
meninggalkan pendapa banjar desa, hatiku telah sedikit mereda. Aku
menganggap bahwa kalian adalah anak-anak yang patut dikasihani. Meskipun
kali ini aku datang dengan senjata di tangan, tetapi aku telah menjadi
lilih. Aku tidak ingin membunuh seperti semalam. Aku hanya ingin
memberimu sekedar peringatan, bahwa kau telah berbuat kesalahan. Tetapi
itu mungkin karena kau sama sekali belum mengenal kami. Aku mengharap
perkenalan pagi ini akan memberimu kesadaran. Kalau kau dan kedua
kawan-kawanmu bersedia minta maaf kepadaku, maka kalian aku anggap tidak
bersalah.”
“Terima kasih, Argajaya,” sahut
Sutawijaya. Namun kata-kata selanjutnya sangat mengejutkan, “Aku sudah
menduga bahwa kau bukan seorang yang terlampau jahat. Kau hanya seorang
pemarah yang tidak dapat mengendalikan diri. Tetapi ingat, sikap yang
demikian adalah berbahaya. Berbahaya bagi orang-orang di sekitarmu dan
berbahaya bagi dirimu sendiri. Seperti kau, maka aku pun kini
sebenarnya sudah kehilangan gairah untuk berkelahi. Dan aku pun akan
bersedia memberimu maaf seandainya kau memerluknnya.”
Darah Argajaya yang cepat mendidih itu
pun tiba-tiba bergejolak sampai kepalanya. Tombaknya pun menjadi
gemetar dan wajahnya menjadi merah membara. Tiba-tiba ia berpaling
kepada Ki Demang sambil berkata, “Kau dengar Ki Demang, apa yang
dikatakannya? Apakah salahku apabila aku benar-benar membunuhnya?”
Ki Demang tidak segera menyahut.
Dilihatnya setiap wajah menjadi tegang. Wajah para prajurit pun menjadi
tegang pula. Bahkan pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya
pun tidak dapat mengerti, kenapa tiba-tiba sikap anak muda itu menjadi
semakin keras dan semakin tajam.
“Apa katamu, he Ki Demang?”
Demang Prambanan terkejut. Tergagap ia
menjawab, “Ya, ya, salahnya. Salahnya sendiri. Aku telah mendengar
kata-katanya yang tidak sopan itu.”
“Nah,” tiba-tiba pemimpin prajurit yang
lain, yang datang bersama Argajaya menyambung, “apa kataku. Ia telah
menghina Prambanan dalam keseluruhan.”
Argajaya itu pun kemudian mengangkat
wajahnya. Sambil memandang berkeliling ia berkata, “Lihatlah, betapa
anak muda dari Sangkal Putung itu telah mencoba membunuh dirinya
sendiri. Kalian menjadi saksi, bahwa aku bersedia memaafkannya, apabila
ia dengan baik dan penuh penyesalan minta kepadaku. Tetapi kalian telah
mendengar jawabnya.”
Terdengar suara bergumam di belakang
mereka. Salah seorang yang telah setengah baya berkata lirih, “He, anak
yang keras kepala. Kenapa kesempatan itu dilewatkannya.”
Yang terdengar kemudian adalah suara
Argajaya pula, “Sekarang adalah terserah kepadaku. Bagaimanapun aku akan
menyelesaikan persoalan ini.”
Kembali setiap mulut menjadi terbungkam.
Namun setiap jantung berdetak semakin keras. Sebagian dari mereka
menyesali anak muda dari sangkal putung itu. Kesempatan yang diberikan
oleh Argajaya akan dapat menyelamatkan mereka. Tetapi kesempatan itu
tidak dipergunakannya.
Argajaya itu pun kemudian maju beberapa
langkah mendekati Sutawijaya yang berdiri tegak seperti patung. Wajahnya
yang merah membara itu pun kemudian tersenyum, meskipun terasa betapa
senyum itu hambar. Katanya, “Hem, kau memang anak muda yang keras hati.
Kau ingin tahu dari mana aku mendapat senjata? Senjata ini adalah pusaka
dari Menoreh. Kau ingin tahu namanya? Namanya Kiai Petit. Apalagi?
Bertanyalah sebelum kau kehilangan kesempatan.”
“Tidak,” jawab Sutawijaya singkat.
“Nah, sekarang katakan kepadaku, siapakah
yang memberimu senjata?” bertanya Argajaya. Tetapi matanya berkisar
memandangi pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya. Dada
prajurit itu berdesir. Ia merasa, bahwa Argajaya berprasangka kepadanya,
dengan demikian, apabila pekerjaan Argajaya atas Sutawijaya selesai,
maka hubungannya dengan tamu itu pasti tidak akan baik. Bahkan mungkin
anak buahnya sendiri pun akan bersikap tidak baik pula kepadanya.
Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam
ketika ia mendengar jawaban Sutawijaya, “Setiap laki-laki Sangkal Putung
pasti bersenjata. Sebab laki-laki Sangkal Putung adalah
pengawal-pengawal kademangannya menghadapi sisa-sisa laskar Arya
Penangsang.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sekali lagi ia melihat ujung tombak Sutawijaya. Tombak itu bukan tombak kebanyakan.
“Bagus,” sahut Argajaya. “Mungkin kau
pernah mendapat ilmu dari Sidanti. Mungkin dari para prajurit yang lain.
Tetapi ternyata kau menjadi terlampau sombong. Sekarang tentukan
sikapmu yang terakhir.
“Aku menunggu kau minta maaf kepadaku dan berjanji untuk bertingkah laku baik dan sopan,” jawab Sutawijaya.
Jawaban itu telah menutup setiap
kemungkinan untuk mengurungkan perkelahian. Argajaya benar-benar menjadi
gemetar. Matanya menyala seperti bara. Terdengar giginya gemeretak. Dan
dengan suara gemetar ia berkata, “Bersiaplah. Kau telah membakar
kemarahanku kembali setelah aku bersedia memaafkanmu.”
“Kau juga telah membuat aku marah,” sahut Sutawijaya lantang.
Argajaya sudah tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Selangkah ia maju, dan tombaknya pun kini telah terangkat setinggi dada.
Namun Sutawijaya telah bersiap pula.
Sekali ia berpaling kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Kedua kawannya
itu pun berdiri dengan tegangnya. Namun ketika Sutawijaya telah hampir
mulai, mereka melangkah menjauhi satu sama lain, sekan-akan mereka ingin
melihat perkelahian itu dari arah yang berbeda.
Argajaya dan Sutawijaya kini telah
berdiri berhadap-hadapan. Tombak-tombak mereka telah mulai bergetar
karena getar jantung mereka yang menjadi semakin cepat. Tetapi agaknya
mereka masih saling menanti agar lawan-lawannyalah yang mulai
menggerakkan senjatanya.
Matahari kini telah merayap naik semakin
tinggi. Warna-warna merah di langit telah menjadi semakin bening.
Lamat-lamat terdengar burung-burung liar menyambut pagi. Sama sekali
tidak dihiraukannya ujung-ujung tombak yang telah siap berbicara di
pinggir Sungai Opak.
Sutawijaya-lah yang kemudian sekali lagi
memancing kemarahan lawannya supaya kehilangan pengekangan diri. Ia
mengharap bahwa lawannyalah yang akan menyerangnya lebih dahulu. Karena
itu maka katanya, “Argajaya. Ternyata kau tidak mendengarkan
kata-kataku. Karena itu, maka aku tidak akan dapat memberimu ampun lagi,
meskipun kau paman Sidanti. Aku ingi memberitahukan pula kepada
Sidanti, bahwa sikap yang demikian seperti yang kau lakukan, adalah
sikap yang tercela. Apalagi kau ingin membuat daerah ini menjadi semakin
parah dengan segala macam kemaksiatan itu.”
Ternyata Sutawijaya berhasil. Ia tidak
sempat menyelesaikan kalimatnya. Dengan garangnya Argajaya meloncat
sambil menggerakkan tombaknya langsung mematuk dada Sutawijaya.
Semua orang yang melihat gerakan itu
terkejut. Mereka yang sedang berdebar-debar mendengar kata-kata
Sutawijaya yang tajam itu dengan serta-merta telah melihat Argajaya
meloncat secepat kilat. Namun Sutawijaya telah benar-benar siap
menanggapi setiap serangan. Juga serangan Argajaya ini pun telah
diperhitungkannya. Dengan demikian, maka dengan tangkasnya pula ia
menarik tubuhnya selangkah ke samping. Dengan merendahkan dirinya
sedikit, Sutawijaya-lah yang kini mencoba menusuk lambung lawannya.
Argajaya terkejut melihat sambutan itu.
Menilik tata geraknya, maka Argajaya menyadari, bahwa lawannya bukanlah
sekedar seorang anak muda yang pernah belajar bermain tombak pada
seorang prajurit saja, meskipun prajurit itu bernama Sidanti. Karena
itu, maka sikap Sutawijaya itu merupakan peringatan baginya, untuk
bersikap lebih hati-hati dan waspada.
Sambil menggeliat, Argajaya menghindarkan
dirinya. Dengan tombaknya ia menangkis serangan Sutawijaya. Dengan
demikian maka kedua tombak itu pun bersentuhan. Namun dari sentuhan itu
terasa betapa kekuatan masing-masing seakan-akan telah menjalari
tangan-tangan lawannya.
Argajaya terkejut ketika terasa tangannya
tergetar. Sentuhan itu bukanlah suatu benturan yang keras. Namun
sentuhan itu telah cukup menggetarkan tangannya. Karena itu, maka
kemarahannya pun menjadi semakin memuncak. Agaknya di tempat ini ia
akan bertemu dengan seorang lawan yang tangguh di luar dugaannya.
Sutawijaya pun merasakan sentuhan itu.
Ia pun merasakan betapa kekuatan tangan Argajaya mengguncang tangannya.
Tetapi tiba-tiba Sutawijaya tersenyum di dalam hatinya. Ternyata
Argajaya bukanlah orang yang perlu ditakuti. Ia merasa bahwa
setidak-tidaknya ia mempunyai kesempatan yang sama dengan lawannya.
Demikianlah maka perkelahian itu semakin
lama menjadi semakin seru. Argajaya benar-benar tidak hanya
menakut-nakuti namanya saja. Tetapi tandangnya benar-benar ngedab-edabi.
Seperti rajawali di langit ia menyambar-nyambar lawannya, kemudian
tombaknya mematuk-matuk seperti anak panah yang meluncur dari segenap
penjuru. Orang-orang Prambanan yang telah mengaguminya menjadi semakin
kagum. Mereka tidak menyangka, bahwa sampai sedemikian dahsyatnya tata
gerak tamunya yang perkasa itu. Tetapi ketika mereka telah
menyaksikannya sendiri, maka kekaguman mereka menjadi kian
bertambah-tambah. Para prajurit pun menjadi kagum pula. Mereka telah
sering melihat peperangan yang dahsyat. Bahkan mereka pun pernah melihat
beberapa orang yang luar biasa berkelahi. Namun mereka masih juga
menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat betapa Argajaya
menggerakkan tombaknya.
Tetapi lebih daripada itu, di samping
kekaguman mereka yang menggetarkan dada mereka, maka lebih-lebih lagi
anak muda dari Sangkal Putung itu. Para prajurit itu pun berdiri dengan
dada berdebar-debar melihat tandang Sutawijaya. Tanpa mereka
sangka-sangka dengan lincahnya anak muda itu dapat mengimbangi tata
gerak Argajaya yang garang. Sehingga semakin seru perkelahian itu, maka
semakin keraslah degup jantung mereka. Dan semakin keraslah dentang
pertanyaan di dalam kepalanya, “siapakah sebenarnya anak-anak muda itu?”
Pemimpin prajurit yang seorang, yang
datang bersama-sama dengan Sutawijaya pun menjadi heran bukan buatan.
Tetapi tanpa disadarinya sendiri seolah-olah ia berdiri di pihak
Sutawijaya. Karena itu, tanpa disadarinya pula, merayaplah perasaan
bangga membakar hatinya. Tanpa disadarinya ia mengarap agar Sutawijaya
mampu mempertahankan dirinya, setidak-tidaknya menyelamatkan diri
sendiri. Adalah di luar sadarnya, bahwa ia pun kemudian tidak
menyenangi sikap tamunya yang merasa dirinya melampaui segala-galanya
itu. Argajaya ternyata bukan orang yang luar biasa. Kini ia dihadapkan
pada seorang anak muda dan anak muda itu ternyata mampu mengimbanginya.
Bukan saja prajurit yang seorang itu yang
menjadi tegang. Prajurit-prajurit yang lain pun menjadi tegang pula.
Ki Demang Prambanan dan anak-anak muda kademangan itu, Haspada dan
Trapsila melihat perkelahian itu dengan tanpa berkedip. Dadanya serasa
dihinggapi perasaan yang aneh. Sutawijaya telah benar-benar mempesona
mereka.
Demikanlah setiap orang yang melihat
perkelahian itu telah dicengkam pula oleh suatu perasaan yang tidak
mereka mengerti sendiri. Wajah-wajah mereka semakin lama menjadi semakin
tegang, ketika tombak-tombak di arena perkelahian itu pun menjadi
semakin cepat berputar.
Adalah suatu kebetulan bahwa Argajaya
pun seorang yang menguasai senjatanya yang berbentuk tombak itu, seperti
yang dipergunakan oleh Sutawijaya pula. Kedua tombak itu seolah-olah
menari-nari berloncat-loncatan, bersentuhan dan bahkan berbenturan satu
dengan yang lain. Kedua pasang tangan yang menggerakkannya adalah
pasangan-pasangan tangan yang benar-benar cekatan dalam olah senjata.
Argajaya sama sekali tidak menyangka,
bahwa ia akan bertemu dengan anak muda seperti yang sedang dilawannya
itu. Hampir-hampir ia tidak dapat mempercayainya bahwa ujung tombaknya
sama-sekali tidak berdaya menyentuh tubuh lawannya. Bahkan sekali-sekali
tubuhnya sendiri hampir-hampir tersobek oleh senjata lawannya. Dengan
demikian, maka kemarahannya pun setiap saat menjadi kian berkobar di
dalam dadanya. Namun Betapapun ia berusaha, tetapi kemungkinan dari
akhir perkelahian itu tidak ditentukannya sendiri. Akhir dari
perkelahian itu adalah tergantung pada kedua belah pihak. Adalah sudah
sewajarnya apabila masing-masing pihak ingin segera memenangkannya dalam
keadaan serupa itu. Apalagi Argajaya. Tetapi lawannya bukan sekedar
menerima nasib yang ditentukan olehnya. Bahkan lawannya pun mempunyai
kemungkinan yang sama besarnya dari pada dirinya sendiri.
Pasir tepian itu pun kemudian menjadi
seolah-olah diaduk dengan bajak. Bekas-bekas kaki mereka telah membuat
sebuah arena yang luas. Keduanya berloncatan menghindar dan menyerang.
Berputar dan berguling-guling di pasir. Dengan demikian, maka
pakaian-pakaian mereka menjadi kotornya. Pakaian yang basah karena
keringat itu, kemudian dilekati oleh pasir yang lembut.
Orang-orang Prambanan benar-benar seperti
dicengkam oleh suatu perasaan yang dahsyat. Perkelahian itu adalah
perkelahian yang belum pernah mereka saksikan. Perkelahian antara dua
orang yang perkasa. Jangankan orang-orang Prambanan bahkan para
prajurit-prajurit Pajang pun menjadi kagum melihat tata gerak mereka.
Argajaya yang marah itu pun berjuang
semakin dahsyat. Berbagai perasaan telah mendorongnya untuk memenangkan
perkelahian itu. Ia adalah seorang tamu yang dihormati, yang telah
menunjukkan beberapa kelebihan yang mengherankan orang-orang Prambanan
dan prajurit-prajurit Pajang di Prambanan. Dengan tombaknya itu ia mampu
membunuh seekor harimau yang besar dan garang. Sedang kini yang
dihadapinya hanyalah seorang anak muda Sangkal Putung. Perasaan malu
telah menggelitik hatinya. Sudah sekian lama ia berkelahi, tetapi belum
tampak suatu tanda bahwa ia mampu menguasai keadaan.
Tetapi ia tidak menyadari siapakah yang
berdiri sebagai lawannya. Sutawijaya yang setelah berkelahi beberapa
lama, segera dapat mengerti sampai di mana kemampuan Argajaya. Meskipun
perkelahian itu masih berlangsung dengan serunya, seakan-akan dua tenaga
raksasa yang sedang beradu, namun kembali Sutawijaya tersenyum di dalam
hati. Ia kini tahu benar bagaimana ia harus menghadapi Argajaya. Di
dalam hatinya Sutawijaya itu bergumam, “Belum melampaui Sidanti.”
Meskipun demikan Sutawijaya tidak
berusaha secepatnya memenangkan perkelahian itu. Kekecewaannya atas
keadaan yang telah disaksikannya di kademangan ini telah memaksanya
berbuat sesuatu. Ia ingin menguasai perhatian orang-orang Prambanan
atasnya, supaya mempunyai wibawa yang cukup untuk dapat berbuat sesuatu.
Sebagai sorang putra dari Panglima Wira
Tamtama Pajang, maka keadaan di Prambanan telah benar-benar menyinggung
perasaan Sutawijaya. Sikap para prajurit dan sikap anak-anak mudanya.
Karena itu selagi ia berada di Prambanan maka apa yang dapat dilakukan
untuk membantu tugas ayahnya, akan dilakukan. Ia ingin mempergunakan
caranya sendiri untuk itu. Cara seorang anak muda pula.
Orang-orang yang berdiri di seputar arena
perkelahian itu masih melihat perkelahian itu berlangsung dengan
sengitnya. Mereka masih melihat keduanya meloncat-loncat dan
berputar-putar. Menyerang dan menghindar. Mereka masih melihat kedua
batang tombak itu saling berbenturan dan mematuk-matuk dengan
dahsyatnya.
Sekali-kali terdengar Argajaya menggeram.
Dengan garangnya ia menerkam dada Sutawijaya dengan ujung tombaknya.
Tetapi setiap kali tombaknya selalu berputar dari arahnya. Ternyata
tombak Sutawijaya sangat lincah. Lebih lincah dari tombak Argajaya.
Demikianlah ketika perkelahian itu telah
berlangsung beberapa lama, maka sampailah Sutawijaya pada rencananya
untuk mempengaruhi orang-orang Prambanan. Argajaya telah mendapat
kehormatan yang luar biasa karena orang-orang Prambanan telah melihat
ketrampilannya bermain dengan senjatanya. Menurut mereka, Argajaya dapat
berburu harimau hanya dengan tombak pendek itu. Tetapi kini Sutawijaya
tidak ingin berburu harimau, tetapi dengan tombak pendeknya itu ia ingin
menjatuhkan Argajaya di hadapan orang-orang Prambanan yang
mengaguminya. Ia harus membuat para prajurit itu menilai dirinya, supaya
para prajurit itu kemudian mendengarkan kata-katanya seperti mereka
mendengarkan kata-kata Argajaya.
Matahari yang melambung di langit kini
sudah menjadi semakin tinggi. Sinarnya menjadi semakin cerah dan panas.
Angin yang bertiup dari Selatan menggerak-gerakkan daun ilalang dan
mengusap wajah-wajah yang tegang di pinggir Kali Opak.
Wajah-wajah yang tegang itu menjadi
semakin tegang. Tiba-tiba mereka melihat betapa tata gerak Sutawijaya
menjadi semakin lincah. Tombaknya menjadi semakin cepat bergetar,
berputar dan mematuk dari segenap arah. Sepasang tangan anak muda itu
seakan-akan telah berubah menjadi berpuluh-puluh pasang tangan dengan
berpuluh-puluh tombak di dalam genggaman.
Argajaya terkejut pula melihat perubahan
itu. Untuk meyakinkan dirinya, Argajaya terpaksa meloncat surut. Tetapi
ia tidak berhasil memisahkan dirinya dari lawannya yang masih muda itu.
Beberapa kali ia ingin melihat lawannya dan mencoba menilai keadaan.
Tetapi beberapa kali pula lawannya selalu membawanya dalam keadaan yang
sulit.
Kemarahan Argajaya pun menjadi semakin
memuncak pula sejalan dengan meningkatnya tata gerak Sutawijaya. Bahkan
kemudian anak muda itu menjadi agak membingungkannya. Sekali-kalli ia
terpaksa meloncat jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari kebingungan.
Namun demikian ia terlepas, demikian lawannya telah siap memaksanya
menjadi sibuk dan bingung kembali.
Sejenak Argajaya masih belum berhasil
mengerti, apakah yang sebenarnya dihadapi. Namun semakin lama, maka
orang itu pun menjadi semakin menyadari keadaannya. Tetapi dengan
demikan ia dihadapkan pada pertentangan di dalam dirinya sendiri. Ia
tidak mau melihat kenyataan itu. Ia tidak mau mengerti apa yang sudah
mulai dilihatnya. Dengan penuh kemarahan ia mendesak setiap perasaan di
dalam dadanya yang mengatakan lawannya adalah anak muda yang pilih
tanding.
“Anak setan itu harus mampus,” geramnya
di dalam hati. Ia mencoba membutakan dirinya dari kenyataan yang
dihadapinya. Meskipun setiap kali ia terdesak mundur dan bahkan beberapa
kali ia harus jatuh berguling-guling di atas pasir tepian untuk
menghindari kejaran ujung tombak lawannya, namun ia masih juga sesumbar
di dalam hatinya, “Kubunuh anak setan ini apabila ia tidak mau mohon
maaf kepadaku.”
Sutawijaya kini benar-benar sudah sampai
pada puncak permainannya. Ia harus meyakinkan kemenangannya kepada
orang-orang Prambanan dan para prajurit Pajang yang melihat pertempuran
itu. Ia tidak sekedar mendapat kesempatan karena kelengahan Argajaya.
Tetapi setiap orang harus yakin bahwa memang anak muda yang menyebut
dirinya pengawal Sangkal Putung itu melampaui ketangkasan dan
keperwiraan lawannya.
Meskipun demikian Sutawijaya masih sadar,
bahwa ia tidak sepatutnya menciderai lawannya. Ia ingin manunjukkan
sikap yang baik. Namun ia mempunyai pula maksud yang lain. Karena itu
maka ia harus menundukkan Argajaya dalam keadaan hidup.
Dalam kemarahannya Argajaya menjadi
semakin garang. Tandangnya menjadi semakin keras dan kasar. Tetapi
dengan demikian maka ketenangannya pun menjadi semakin kabur. Bahkan
yang tampak kemudian hanyalah nafsunya yang menggelepar di dalam
dadanya. Tetapi kemampuannya sama sekali tidak dapat mengimbanginya.
Sutawijaya yang menjadi semakin yakin
dalam menilai lawannya, menjadi semakin matap. Dengan suatu gerakan yang
tiba-tiba ia berhasil mengejutkan Argajaya, sehingga orang itu meloncat
surut. Tetapi dengan tangkasnya anak muda itu memburu, tombaknya
berputar membingungkan. Namun tiba-tiba tombak itu mematuk lambung.
Sekali lagi Argajaya terkejut. Namun ia
masih mempunyai kesempatan untuk menangkis serangan itu. Dengan
tombaknya ia berusaha memukul tombak Sutawijaya. Tetapi tombak
Sutawijaya itu tiba-tiba bergetar dan berputar menghindari tombak
Argajaya sehingga kedua tombak itu sama sekali tidak bersentuhan.
Dalam keadaan yang demikain, Sutawijaya
mempunyai kesempatan yang baik, selagi Argajaya sedang dalam batas
keseimbangan. Gerakannya yang tidak dapat diperhitungkan oleh Argajaya
telah mendorong orang itu sehingga ia tidak dapat menguasai
keseimbangannya lagi. Dengan susah payah, Argajaya meloncat supaya ia
tidak jatuh. Tatapi dalam keadaan itu, kembali serangan Sutawijaya
melandanya.
Kali ini serangan itu benar-benar telah
membingungkan Argajaya. Ia tidak mampu lagi menghindar. Dengan demikian
maka kesempatan satu-satunya baginya adalah menangkis serangan itu.
Tetapi dalam pada itu keseimbangannya sudah hampir-hampir tidak lagi
dapat dikuasainya.
Demikianlah Argajaya yang garang itu kini
benar-benar dalam keadaan yang sulit. Tombak Sutawijaya yang
menyergapnya seakan-akan telah hampir menghunjam di dadanya.
Tetapi Argajaya tidak mau dadanya
dilubangi dengan ujung tombak anak yang menyebut dirinya pengawal
Sangkal Putung itu. Dengan kekuatannya yang disalurkannya pada tangannya
ia memukul tombak Sutawijaya. Namun dalam pada itu dibiarkannya dirinya
terjatuh untuk segera berguling-guling menjauhi lawannya. Tetapi
Sutawijaya tidak melepaskan kesempatan ini. Dengan sekuat tenaga pula ia
membenturkan tombaknya pada tombak lawannya. Ia tidak lagi berusaha
menusuk dada, tetapi ia berusaha melawan pukulan tombak Argajaya.
Maka terjadi benturan yang keras di
antara keduanya. Tetapi keadaan Sutawijaya jauh lebih baik dari
lawannya, sehingga karena itu, maka Sutawijaya mempunyai kesempatan
lebih banyak untuk mengerahkan kekuatannya.
Demikian, maka terjadilah hal yang tidak
tersangka-sangka bagi orang-orang yang mengerumuni perkelahian itu.
Apalagi bagi mereka yang membabi buta mengagumi Argajaya yang perkasa
itu. Dengan dada yang berdebar-debar dan darah yang seakan-akan membeku
mereka melihat tombak Argajaya terlontar dari tangannya dan terjatuh
beberapa langkah daripadanya.
Argajaya sendiri terkejut bukan buatan.
Tetapi tangannya yang nyeri itu sama sekali sudah tidak mampu untuk
menahan senjatanya. Dengan kemarahan yang memuncak sampai ke ubun-ubun
ia menggeram keras. Beberapa kali ia berguling menjauhi lawannya,
kemudian seperti singgat ia melenting dengan lincahnya. Namun
kembali ia terkejut bukan kepalang. Kembali dadanya berguncang seperti
tertimpa reruntuhan Candi Jonggrang yang megah itu ketika tiba-tiba,
tepat pada saat kakinya berjejak di atas tanah, terasa ujung tombak
Sutawijaya menyentuh bajunya, tepat di lambungnya. Dengan suara
perlahan-lahan namun penuh tekanan terdengar suara anak muda itu,
“Sayang. Tombakmu kau lempar tuan.”

Bukan saya Argajaya yang berdiri tegak
seperti patung di tengah-tengah arena perkelahian itu. Orang-orang yang
menyaksikan perkelahian dengan jantung yang tegang itu pun seakan-akan
merasa ujung tombak itu melekat di lambung masing-masing, sehingga tak
seorang pun di antara mereka yang berani menggerakkan tubuhnya. Bahkan
nafas mereka pun menjadi tersendat-sendat dan dada mereka pun menjadi
sesak.
Tombak itu masih melekat di lambung
Argajaya. Ujung tombak itu sama sekali tidak bergetar. Tangan yang
menggengamnya adalah tangan yang yakin akan kemampuannya.
Arena yang hiruk-pikuk oleh perkelahian
itu, kini menjadi sunyi tegang. Wajah-wajah yang membeku, tubuh-tubuh
yang kaku dan nafas yang tersengal-sengal tampak di seputar Argajaya dan
Sutawijaya yang masih belum berkisar dari tempatnya.
Yang terdengar memecah kesepian itu adalah suara Sutawijaya, “Bagaimana, Tuan?”
“Bunuh aku,” suara itu bergetar di antara
bibir Argajaya yang dibakar oleh kemarahannya. Wajahnya yang membara
kini bagaikan menyala.
“Hem,” Sutawijaya menarik nafas, “Kau benar-benar berhati jantan. Tetapi aku bukan pengecut yang membunuh lawan tanpa senjata.”
“Bunuh, jangan menghina.”
“Tidak. Aku hanya akan membunuhmu selagi senjatamu masih di tangan.”
Argajaya tidak menjawab. Kemarahannya hampir meledakkan dadanya. Tetapi ujung tombak itu masih melekat di lambungnya.
Tiba-tiba semua semua orang yang berdiri
di sekitar keduanya terkejut. Agung Sedayu dan Swandaru pun terkejut
ketika mereka mendengar Sutawijaya berkata, “Kalau kau masih berani,
ambil senjatamu. Aku akan membunuhmu apabila kau masih berani melawan
aku.”
Bukan main panas hati Argajaya,
seakan-akan hati itu kini berpijar. Terdengar ia menggeram. Namun sekali
lagi telinganya mendengar Sutawijaya berkata, “Ambil tombakmu, supaya
aku dapat membunuhmu. Kalau kau tidak berani maka pergilah. Kembali ke
ibumu dan sembunyi di belakang selendangnya.”
Argajaya tidak dapat lagi menahan
hatinya. Tiba-tiba kakinya terayun memukul tombak Sutawijaya. Namun
Sutawijaya sudah bersiaga. Diangkatnya tombaknya, sehingga ujung kaki
itu sama sekali tidak menyentuh senjatanya. Sambil tersenyum ia meloncat
mundur dan berkata lantang, “Bagus. Kau ternyata bukan seorang
pengecut. Aku beri kesempatan kau memungut senjata itu. Kita berhadapan
dengan senjata masing-masing di tangan.”
“Kau akan menyesal anak iblis!” geram Argajaya.
Sutawijaya masih tersenyum. Ia berdiri
tegak sambil menunjuk tombak Argajaya, “Ambil. Ambilah. Aku tidak akan
menusuk punggungmu selagi kau membungkuk memungut tombak itu.”
“Kau benar-benar akan menyesal. Ingat, aku tidak akan memberi kau kesempatan. Aku benar-benar akan membelah dadamu.”
Sutawijaya tertawa. Selangkah ia mundur,
sambil berkata, “Ambilah. Ambilah jangan ragu-ragu. Ada dua kesempatan
yang aku berikan kepadamu kini. Mengambil senjata itu untuk melawan dan
kemudian mati, atau berjongkok minta ampun kepadaku. Pengawal Kademangan
Sangkal Putung.”
Kata-kata itu serasa merontokkan jantung
Argajaya. Sekali ia meloncat dengan lincahnya dan tombaknya kini telah
digenggamnya kembali.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Argajaya
pun telah mulai perkelahian itu kembali. Tombaknya kembali berputar dan
mematuk-matuk lawannya. Tandangnya yang dilambari kemarahan yang
memuncak tanpa terkendali benar-benar mengerikan. Tetapi justru karena
itu, maka perhitungannya pun menjadi semakin kabur. Tanggapannya atas
lawannya yang masih muda menjadi kabur pula.
Sutawijaya melayaninya dengan tenang.
Semakin garang lawannya maka ia pun menjadi semakin tenang. Ia semakin
banyak melihat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Argajaya, justru
karena kemarahan itu.
Orang-orang yang menyaksikan perkelahian
itu benar-benar dicengkam oleh ketegangan yang memuncak pula. Beberapa
orang menjadi kabur menilai perkelahian itu. Beberapa orang menjadi
bingung dan beberapa orang menjadi gelisah. Terutama para prajurit
Pajang di Prambanan.
Kemenangan bagi Sutawijaya berarti
penghinaan pula bagi mereka itu. Apalagi kemudian Argajaya terbunuh,
maka mungkin sekali mereka pun akan mendapat bencana. Ketika terpandang
olehnya pemimpinnya yang datang bersama-sama dengan anak muda yang
berkelahi itu, maka dada mereka berdesir. Apakah kira-kira yang akan
dilakukannya? Para prajurit itu merasa, bahwa sedikit banyak mereka
telah menentang atau mengabaikan pemimpinnya itu.
Tetapi yang mereka cemaskan itu pun
mendekati kenyataan. Argajaya kembali terdesak. Orang yang garang itu
hampir-hampir tidak mendapat kesempatan untuk berbuat apapun.
Sekali lagi orang-orang yang mengerumuni
arena itu menahan nafas ketika mereka melihat Argajaya terdesak jauh ke
belakang. Orang itu terpaksa meloncat-loncat dan terus-menerus
menghindar mundur. Sedang Sutawijaya pun nampaknya menjadi garang dan
berbahaya.
Akhirnya sekali lagi mereka melihat
sebuah serangan Sutawijaya membadai. Argajaya yang menjadi semakin lemah
kehilangan setiap kesempatan untuk menghindar. Maka terulanglah apa
yang pernah terjadi. Tombak Sutawijaya memukul tangkai tombak Argajaya,
sehingga tombak pendek itu sekali lagi terlepas dari tangannya.
Dengan gerak naluriah Argajaya meloncat
mundur. Tetapi kali ini Sutawijaya tidak mengejarnya. Kali ini
Sutawijaya tidak menekankan ujung tombaknya ke dada lawannya.
Dibiarkannya lawannya berdiri tegak dengan nafas terengah-engah.
Sutawijaya memandanginya dengah wajah
terangkat. Dengan nada suara yang tinggi ia bertanya, “He, kenapa
tombakmu kau lepaskan lagi, Tuan?”
Argajaya tidak menjawab.
Sutawijaya yang telah menjadi cukup
hangat hatinya ti bertanya, “Apakah kau mencoba menyelamatkan dirimu
dengan cara pengecut itu?”
Terdengar gigi Argajaya gemeretak.
“Kau tahu aku tidak akan membunuh orang
yang tidak bersenjata. Karena itu ketika aku hampir berhasil membunuhmu
kau lepaskan senjatamu,” desis Sutawijaya
Argajaya menggeram karena marah. Terasa
seakan-akan di dalam dadanya berpijar segumpal bara. Tetapi ia tidak
dapat menumpahkan kemarahannya.
“Ambil senjatamu kalau kau laki-laki,” desis Sutawijaya.
Tetapi harga diri Argajaya menyentak di dalam hatinya.
Katanya kasar, “Ternyata kau pun pengecut. Kau tidak berani melihat darah. Kalau kau jantan, bunuh aku tanpa memejamkan mata.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Darah
mudanya tersentuh. Tetapi kemudian ia tertawa sambil berkata, “Kau
benar-benar berani. Kalau demikian, apakah kau tidak sengaja melepaskan
tombakmu?”
Pertanyaan itu tidak kalah tajamnya
menusuk jantungnya. Sekali lagi ia menggeram. Tetapi ia tidak dapat
berbuat sesuatu. Dengan demikian, maka alangkah sakit hatinya. Lebih
baik dadanya segera ditembus senjata dari pada menerima penghinaan itu.
Tetapi Sutawijaya sama sekali tidak ingin
membunuhnya. Sekali lagi ia akan meyakinkan sikap lawannya. Katanya,
“Aku beri kau kesempatan sekali lagi. Ambil tombakmu.”
“Tidak!” sahut Argajaya tegas. “Aku akan mati bersama harga diriku,” ambungnya.
“Apakah kau akan minta maaf ?” bertanya Sutawijaya.
“Tidak. Aku tidak akan minta maaf. Aku
masih menunggu kau minta maaf kepadaku. Dan aku akan memaafkanmu. Kalau
tidak maka sikapku tidak akan berubah. Matilah yang merubah pendirianku
itu.”
“Bagus. Kau adalah seorang yang berani
dan sombong,” sahut Sutawijaya. “Tetapi sayang. Aku tidak akan
membunuhmu. Sudah aku katakan, aku tidak dapat membunuh orang yang tidak
bersenjata.”
“Pengecut. Kau tidak berani melihat darah
musuhmu. Apalagi darahmu sendiri. Setetes darah dari tubuhmu, akan
menjadikan kau mati ketakutan.”
“Untunglah, kau tidak berhasil meneteskan darahku,” sahut Sutawijaya pula.
Kembali Argajaya menggeram. Darahnya serasa mendidih dan kepalanya seakan-akan menyala.
“Aku beri kesempatan kau untuk lain kali. Kau dapat mengambil senjatamu dan pergi meninggalkan Prambanan.”
“Sekehendakku. Aku bukan bawahanmu, bukan
budakmu. Kalau kau tidak senang melihat aku di sini, bunuhlah aku, aku
tidak takut. Tetapi jangan mencoba memerintah.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Orang
itu benar-benar keras kepala. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh
Sutawijaya berkata, “Kau harus pergi meninggalkan Prambanan.”
“Jangan kau ulangi, anak setan! Itu urusanku.”
“Baik. Apabila kau tidak akan pergi
terserah kepadamu. Ternyata kau tidak mempunyai rasa harga diri seperti
yang kau ucapkan. Kau sama sekali tidak malu melihat berpasang-pasang
mata menyaksikan kekalahanmu.”
Kata-kata Sutawijaya itu terasa jauh
lebih pedih menusuk jantungnya dari ujung tombak. Karena itu, maka
terdengar gemeretak gigi Argajaya mengeras. Namun ia masih juga berdiri
tak bergerak.
“Nah, apakah kau akan tetap tinggal di sini?” bertanya Sutawijaya.
“Itu urusanku, tahu!” bentak Argajaya.
“Jangan kau tanyakan lagi. Aku akan tetap tinggal di sini atau aku akan
pergi adalah sepenuhnya tergantung padaku. Kalau kau tidak senang
melihatnya, kau dapat membunuh aku. Ancaman apa pun yang kau ucapkan
sama sekali tidak bernilai bagiku.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia
mencoba menguasai perasaannya yang mulai bergetar. Aragajaya memang
seorang yang keras hati.
Ketegangan perasaan orang-orang yang
menyaksikan sikap keduanya pun menjadi bertambah-tambah. Mereka menjadi
heran melihat kenapa Sutawijaya masih tetap bersabar tidak membunuh
lawannya yang keras kepala itu, tetapi sebagian dari mereka menjadi
semakin kagum melihat keberanian Argajaya. Meskipun tangannya tidak lagi
menggenggam senjata tapi ia sama sekali tidak takut.
Para prajurit yang datang bersama
Argajaya kemudian dijalari pula oleh kekerasan hati seperti orang yang
dikaguminya itu. Mereka pun tiba-tiba menjadi semakin benci melihat
Sutawijaya yang masih menggenggam tombak. Bahkan ada beberapa orang di
antara mereka yang tanpa sesadarnya bergeser beberapa langkah maju.
Seperti juga kedua kawan Argajaya yang tidak dapat membiarkan
pimpinannya dalam keadaan yang sulit itu.
Namun Agung Sedayu dan Swandaru pun
melihat pula gelagat itu. Juga tanpa disadari mereka bergerak selangkah
maju. Bahkan kemudian mereka berdua kini berdiri di dalam lingkaran
orang-orang Prambanan di sekeliling arena.
Keduanya telah menumbuhkan kebimbangan
pula pada orang-orang Argajaya itu. Mereka merasa bahwa mereka berdua
tidak akan dapat mengalahkan kedua anak-anak Sangkal Putung itu. Tetapi
mereka melihat bahwa para prajurit agaknya ada di pihaknya. Namun
pemimpin prajurit yang datang bersama lawan Argajaya itu agaknya
berpendirian lain.
Suasana di tepian Kali Opak itu menjadi
semakin sepi dan semakin tegang. Setiap dada bergolak karenanya.
Anak-anak muda yang melihat peristiwa itu pun mempunyai tanggapan yang
berbeda. Haspada dan Trapsila beserta beberapa orang kawan-kawannya
melihat sikap Sutawijaya dengan penuh kekaguman dan keheranan. Anak itu
pasti bukan sekedar seorang pengawal dari sebuah kademangan.
Tetapi para prajurit yang semakin muak
melihat sikap Sutawijaya pun menjadi semakin panas. Terdengar beberapa
orang berdesis menahan perasaan mereka. Satu dua di antaranya mereka,
tanpa dikehendaki sendiri, telah meraba hulu pedangnya. Tetapi ketika
terpandang oleh mereka itu busur-busur di tangan Agung Sedayu dan
Swandaru, maka mereka masih harus mencoba mengekang perasaan mereka.
Pemimpin prajurit yang datang bersama
Sutawijaya pun melihat keadaan itu. Ia melihat beberapa orang prajurit
menjadi marah atas kemenangan Sutawijaya, apalagi kedua kawan Argajaya.
Mereka akan dapat menemukan titik persamaan kepentingan untuk
bersama-sama menentang Sutawijaya dan kedua kawannya. Sepuluh orang
prajurit dan tiga orang tamu itu pasti akan mempu melawan Sutawijaya dan
kedua kawannya. Lalu bagaimana denga dirinya? Tiba-tiba pemimpin
prajurit itu melihat Haspada dan Trapsila dan beberapa anak-anak muda
pun melangkah maju. Mereka melihat wajah-wajah anak-anak muda itu
menjadi tegang pula setegang wajah-wajah prajurit Pajang yang berdiri di
sisi yang lain.
“Apakah perkelahian ini harus diikuti
oleh pertempuran yang akan berakibat terlampau parah?” desis prajurit
itu dalam hatinya. “Bagaimanakah aku nanti harus mempertanggung jawabkan
peristiwa ini seandainya Ki Untara kelak mendengarnya?”
Pemimpin prajurit itu menjadi bimbang. Namun ia tidak segera menemukan cara untuk mengatasi kesulitan itu.
Dalam pada itu terdengar suara Sutawijaya, “Jadi kau tidak mau memenuhi permintaanku?”
“Tidak!” sahut Argajaya tegas.
“Tetapi sebaiknya kau pergi dari tempat
ini dan menemui Sidanti. Aku ingin mengetahui, apakah kira-kira yang
akan dilakukan oleh kemenakanmu yang tidak kalah sombongnya daripadamu
itu. Mungkin ia akan malu mendengar kekalahan pamannya dari seorang
pengawal Sangkal Putung, meskipun kau sendiri tidak mengenal malu. Atau
barangkali kau akan dibunuhnya karena kau telah menyuramkan namanya.
Tetapi mungkin pula Sidanti akan, menjadi marah melihat kekalahanmu.
Kalau demikian, maka ia akan berhadapan dengan aku.”
“Tutup mulutmu!” potong Argajaya. “Jangan menghina anak muda itu pula.”
“Tak ada kata-kata lain untuk memberi
gelar kepadamu dan kemanakanmu itu kecuali orang-orang yang sombong,
tetapi tidak bernilai.”
“Diam!” teriak Argajaya.
“Kalau kau marah, ambil tombakmu. Mari
kita bertempur. Kalau kau tidak berani mengambil tombakmu, diam dan
dengarkan kata-kataku. Itu adalah urusanku sendiri, apakah aku akan
berbicara terus, apakah aku akan berhenti. Itu adalah tergantung
kepadaku. Tetapi kelebihanku darimu adalah, aku masih mengenggam
tombakku.”
Kepala Argajaya serasa akan meledak
karenanya. Hampir-hampir ia meloncat memungut tombaknya, tetapi harga
dirinya telah mencegahnya. Ia telah mendapat kesempatan satu kali untuk
memungut tombak itu. Karena itu ia tidak akan mengulanginya. Tetapi ia
tidak mau mengakui kemenangan lawannya meskipun akibatnya dadanya akan
dibelah dengan ujung tombak. Karena itu, maka yang dapat dilakukan
hanyalah menggeram dan menggeretakkan giginya. Sedang Sulawijaya dengan
acuh tak acuh masih saja membuatnya marah dan malu.
Sutawijaya mengharap bahwa dengan
demikian Argajaya akan pergi meninggalkan Prambanan. Ia tidak memikirkan
akibat apa yang dapat terjadi. Bahkan sengaja ia membuat Argajaya kelak
membakar kemarahan Sidanti pula.
Tetapi ia masih saja melihat Argajaya berdiri tegak. Ia masih melihat Argajaya tidak bergeser dari tempatnya.
“Kau tidak juga mau pergi?” bertanya Sutawijaya.
“Semauku,” jawab Argajaya pendek.
“Baik. Kalau demikian dengarkan terus kata-kataku. Mungkin kau memang senang mendengarkannya.”
“Cukup!” semua orang terkejut mendengar
kata-kata itu. Ketika mereka berpaling dilihatnya pemimpin prajurit yang
seorang, yang datang bersama-sama dengan Argajaya dan Ki Demang
Prambanan. Dengan garang ia kemudian berkata, “Kau membuat onar di
Prambanan. Sepatutnya kau kami tangkap. Kami prajurit Pajang mendapat
tugas untuk menjaga keamanan daerah ini, di samping pemuda-pemuda
Prambanan sendiri. Meskipun kau menang atas tamu kita, tetapi kau tidak
akan dapat menghadapi kami semuanya.”
“Aku tidak kalah!” teriak Argajaya.
“Benar,” sahut pemimpin prajurit itu. “Apalagi Ki Argajaya belum mengakui kemenanganmu. Karena itu menyerahlah.”
Kening Sutawijaya berdesir. Kemarahannya
tiba-tiba melonjak membakar jantungnya. Tetapi yang terdengar adalah
suara pemimpin prajurit yang datang bersamanya. “Jangan berbuat sesuatu.
Kita telah berjanji untuk menjadi saksi dalam perkelahian ini. Biarlah
yang berkepentingan menentukan sendiri siapakah yang menang dan kalah
secara jantan.”
“Tetapi ia menghina seorang prajurit
Pajang dari Sangkal Puiung pula. Sidanti. Dengan demikian ia menghina
segenap prajurit Wira Tamtama.”
Prajurit yang datang bersama dengan
Sutawijaya terdiam sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, “Ia tidak ingin
menghina Wira Tamtama. Itu hanyalah sekedar luapan kemarahannya karena
Argajaya berkeras kepala.”
“Bohong! Aku tetap akan menangkapnya.”
“Akulah pemimpin prajurit di sini,” jawab pemimpin prajurit itu tegas-tegas. “Aku memerintahkan kalian tinggal diam.”
“Pengecut!” bantah pemimpin yang lain.
“Lihat para prajurit telah bersiap. Kalau kau tak mau turut dengan kami
melakuan tugas ini, kami tidak bertanggung jawab. Aku juga dapat
menyusun laporan tentang dirimu. Bahwa kau telah mengingkari tugasmu
karena kau ketakutan melihat anak setan itu.”
Prajurit itu pun menjadi marah.
Tiba-tiba ia meloncat maju sambil berkata lantang, “Dengar perintahku.
Kalian tetap di tempat kalian!”
“Tidak! Kami akan menangkap anak muda itu.”
“Kalau kalian berkeras kepala, aku berada
di pihaknya. Aku berada di pihak anak muda itu. Kalian memang harus
dihukum karena kalian tidak patuh atas perintahku. Atas nama pimpinan
Wira Tamtama di Pajang, khususnya senapati untuk daerah ini, aku
berkata, jangan berpihak. Tetapi kalau kalian, memaksa, maka aku akan
bertindak demi kekuasaan di tanganku dan tanggung jawabku.”
“Jangan mengigau tentang kekuasaan,”
bantah pemimpin yang lain. “Kau ternyata menyalah-gunakan kekuasaan itu.
Kau tunduk kepada kehendak kami, atau minggir, supaya kau tidak
tergilas oleh sikap kami demi keamanan daerah ini.”
Sutawijaya yang mendengar pertengkaran
itu menjadi kecewa, marah, dan cemas. Ternyata para prajurit Pajang di
Prambanan telah benar-benar kehilangan kepatuhan dan ketaatannya kepada
pimpinannya karena keadaan yang selama ini seolah-olah tidak terkekang
sama sekali. Kini ia melihat pertentangan itu mencapai puncaknya. Bahkan
agaknya bukan saja para prajurit Pajang, namun anak-anak mudanya pun
agaknya telah berbeda pendirian dan sikap. Mereka yang selama ini ikut
serta dalam perbuatan-perbuatan yang aneh-aneh bersama para prajurit
itu, pasti akan berpihak kepada mereka. Tetapi anak-anak muda yang lain
sudah barang tentu akan berdiri berseberangan dengan mereka.
Kini Sulawijaya harus berpikir. Kalau ia
terseret oleh arus perasaannya, maka ia akan melihat dua pihak bertempur
di pinggir Kali Opak ini. Pasti bukan sekedar berkelahi sampai banak
belur, dengan wajah merah biru bengap. Tetapi dalam keadaan seperti
kini, maka kemungkinannya pasti akan lebih jauh. Bahkan mungkin akan
jatuh korban pula karenanya.
Ia terkejut ketika ia mendengar sekali
lagi pemimpin prajurit itu mengancamnya. “Menyerahlah. Aku bersama Ki
Demang Prambanan mengemban pimpinan di Kademangan ini.”
“Tidak!” prajurit yang satu itulah yang membantah. “Kau telah memberontak atas pimpinanmu.”
Tetapi agaknya kata-kata itu tidak
dihiraukannya. Bahkan pemimpin prajurit yang datang bersama dengan
Argajaya dan Ki Demang Prambanan itu dengan serta-merta menarik
pedangnya. Dada Sutawijaya berdesir ketika ia melihat para prajurit pun
menarik pedang masing-masing. Hatinya menjadi semakin cemas ketika
tiba-tiba pemimpin prajurit yang datang bersamanya pun menarik
pedangnya pula. Apalagi kemudian Sutawijaya melihat Haspada, Trapsila,
dan beberapa yang lain berloncatan pula ke arena. Terdengar Haspada
menggeram, “Kami, anak-anak Prambanan yang setia pada pengabdian kami
telah menjadi muak melihat tingkah laku kalian di sini. Kini ada alasan
bagi kami untuk berbuat sesuatu. Kalian lelah menolak perintah pimpinan
kalian, sehingga dengan demikian kalian tidak ada bedanya dengan laskar
Arya Penangsang yang melawan perintah itu.”
Darah para prajurit itu pun menjadi
semakin panas karenanya. Mereka pun segera berloncatan maju dengan
senjata di tangan masing-masing. Tetapi mereka tertegun ketika tiba-tiba
mereka melihat ujung-ujung panah seakan-akan mengarah ke titik-titik
mata mereka. Terdengar Agung Sedayu menggeram, “Aku mampu melepaskan
anak panah ini dalam sekejap dan melepaskan anak panah yang kedua dalam
sekejap berikutnya. Jumlah anak panahku masih melampaui jumlah kalian.
Apalagi bersama anak panah adikku itu.”
Kata-kata Agung Sedayu itu bergetar di
dalam setiap dada para, prajurit Pajang yang sudah siap menerkam
Sutawijaya. Mereka semua kini berdiri tegak bagaikan patung. Tangan
Agung Sedayu yang menggenggam busur dan pangkal anak panah itu tampaknya
benar-benar meyakinkan.
Untuk menekankan kata-katanya Agung
Sedayu berkata, “Aku adalah seorang pemburu. Aku dapat memanah kijang
yang sedang berlari kencang. Apalagi kalian yang berdiri mematung.”
Setiap dada para prajurit itu pun
menjadi semakin bergelora. Kemarahan telah bergolak di dalam dada itu,
tetapi mereka masih juga harus berpikir akibatnya apabila anak panah itu
terlepas dari busurnya. Apalagi kemudian Swandaru pun telah memasang
anak panahnya pula pada busurnya, sedang busur yang lain bersilang di
punggungnya. Katanya, “Aku bukan pemanah sebaik kakakku itu. Tetapi
sambil memejamkan mata aku akan dapat mengenai salah seorang daripada
kalian.”
Beberapa orang prajurit menggeram. Namun
mereka terdiam sambil mengerutkan leher mereka ketika tiba-tiba Swandaru
membentak sambil melangkah maju. “Apakah kalian tidak percaya? Baiklah
aku mencoba.”
Ketika Swandaru kemudian menarik
busurnya, maka para prajurit itu pun semakin berkerut. Adalah terlampau
dekat untuk mencoba menangkis anak panah yang sedang meluncur. Bahkan
Sutawijaya pun mengerutkan keningnya melihat sikap Swandaru. Tetapi
tiba-tiba Swandaru tertawa sambil berkata, “Tidak, aku tidak akan
mendahului. Lebih baik aku menunggu kalian bergerak. Dengan demikian
maka bukan salah kami apabila kalian semuanya akan terbunuh di dalam
arena ini. Untara pun pasti tidak akan menyalahkan kami, dan Sidanti
pasti akan kehilangan kesombongannya apabila pamannya pun terbunuh
pula.”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Adik seperguruannya itu masih juga bergurau dalam keadaan serupa itu.
Kini sejenak mereka saling berdiam diri.
Para prajurit, Argajaya dan kedua kawannya, Sutawijaya, Agung Sedayu,
Swandaru dan anak-anak muda Prambanan, serta Ki Demang, berdiri saja
seolah-olah membeku.
Yang kemudian memecah kesepian adalah
suara Sutawijaya. “Kami telah terdorong ke dalam suatu keadaan yang
tidak kami kehendaki. Tetapi kalianlah yang lelah menyeret kami. Karena
itu maka kami tidak bertanggung jawab, apa pun yang akan terjadi. Juga
apabila di sini akan jatuh korban kemudian. Sekarang aku masih tetap
ingin melihat Argajaya pergi dari tempat ini. Aku tidak pcduli apakah
kemudian ia akan kembali membawa anak muda yang bernama Sidanti.”
Mata Argajaya itu pun menjadi semakin menyala. Sekali lagi ia menggeram, “Persetan!”
“Aku tidak akan membunuhmu Argajaya,”
berkata Sutawijaya. “Kalau kau tidak mau pergi, baiklah. Kau dapat
berbuat sekehendakmu. Tetapi aku pun akan dapat berbuat sekehendakku.
Aku dapat membunuhmu, namun itu sama sekali tidak akan aku lakukan
karena kau tidak bersenjata. Tetapi aku mempunyai cara yang lain untuk
menghukummu. Aku akan melukaimu atau membuatmu cacat seumur hidupmu.”
Kini tubuh Argajaya itu pun menggigil
karena kemarahan yang tidak dapat disalurkannya. Terdengar gemeretak
giginya, dan matanya seakan-akan menyalakan api kemarahannya itu. Tetapi
ia tidak beranjak dari tempatnya.
Sutawijaya akhirnya kehilangan
kesabarannya. Tiba-tiba ia meloncat maju. Terdengar beberapa orang
menahan kejutan jantungnya. Argajaya tidak sempat menghindar ketika
tangkai tombak Sutawijaya terjulur ke arah pelipisnya. Gerak itu sama
sekali tidak diduganya.
———-oOo———-
(bersambung ke Jilid 019)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-18/

Tinggalkan Balasan