

ADBM-006

Ketika latihan itu telah berjalan
beberapa lama, maka tahulah Untara bahwa apa yang dikatakan oleh Widura
itu memang sebenarnya demikian. Agung Sedayu mempunyai bekal yang cukup
untuk menjadi seorang anak muda yang perkasa. Ketangkasan, kekuatan
tenaga dan kelincahan. Apalagi kini, setelah anak muda itu menemukan
kepercayaannya kepada diri sendiri, maka setiap geraknya pun seolah-olah
menjadi lebih mantap. Meskipun beberapa kali Untara melihat
kesalahan-kesalahan yang masih dilakukan oleh adiknya, namun
kesalahan-kesalahan kecil itu segera dapat diperbaikinya.
Dalam latihan-latihan itulah, maka Widura
melihat betapa Untara sebenarnya mempunyai ilmu yang hampir mumpuni.
Bahkan kemudian Widura itu tersenyum sendiri mengenangkan perkelahian
antara Untara dan Sidanti. “Aneh” pikirnya, “Jarang aku temui anak muda
sesabar Untara dalam menghadapi lawan perkelahian apa pun alasannya.
Tetapi terbawa oleh tugas yang diembannya, maka agaknya Untara harus
berlaku bijaksana. Kalau ia mau, maka Sidanti adalah bukan lawannya.”
Namun, Agung Sedayu ternyata telah
mengagumkan pula. Kini anak itu tampaknya tidak ragu-ragu lagi untuk
sekali-sekali membenturkan tenaganya apabila perlu. Meskipun beberapa
kali ia terdorong surut oleh kekuatan Untara, namun segera ia berhasil
menguasai keseimbangan dengan kelincahannya.
Untara melihat ketangkasan adiknya itu
dengan penuh kebanggaan di dalam dadanya. Apa yang dilakukan oleh Agung
Sedayu, benar-benar jarang ditemuinya. Melatih diri dalam
lukisan-lukisan. Membuat perhitungan-perhitungan dengan gambar. Tetapi
ternyata dalam pelaksanaannya pun Agung Sedayu mampu melakukan sebagian
besar dari angan-angannya yang dituangkannya di atas rontal-rontal.
Hanya di sana-sini Untara masih perlu memberinya beberapa petunjuk dan
perubahan, sehingga dengan demikian ilmu Sedayu itu pun menjadi semakin
sempurna.
Ketika Untara telah cukup mengenal ilmu
adiknya, serta menganggap latihan itu telah cukup, maka segera ia
menghentikannya. Agung Sedayu,yang sebenarnya telah menjadi kelelahan,
sgera meloncat surut dan dengan wajah yang riang ia berdiri bertolak
pinggang. Meskipun demikian, tampak juga dadanya menggelombang karena
nafasnya yang terengah-engah.
“Kau lelah” bertanya Untara.
Agung Sedayu mengangguk, jawabnya, “latihan ini terlalu keras bagiku.”
“Belum sekeras perkelahian sebenarnya”
Untara menyahut, “Apalagi kalau kau bertemu dengan Macan Kepatihan
dengan tongkatnya yang mengerikan itu.”
Agung Sedayu menarik nafas. Kemudian ia
pun segera duduk di atas seonggok tanah di samping pamannya. Sedang
Untara masih saja berdiri untuk kemudian memberikan beberapa petunjuk
tentang kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh Agung Sedayu.
“Sedayu” berkata kakaknya, “kau ternyata
mampu bertempur seorang lawan seorang. Tetapi suatu ketika kau akan
turut serta dalam pertempuran brubuh. Pertempuran antara laskar Pajang
dan laskar Jipang. Dalam pertempuran yang demikian kau tidak hanya dapat
membanggakan kekuatan pertempuran seorang lawan seorang. Tetapi kau
harus dapat menempatkan dirimu di antara kawan dan lawan.”
Agung Sedayu kemudian memperhatikan
dengan seksama petunjuk-petunjuk yang diberikan oelah kakaknya.
Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di dalam perang atara dua
kekuatan dalam jumlah yang banyak. Hal-hal yang sebagian lagi pamannya
telah memberitahukannya kepadanya.
Tetapi Untara itu pun berhenti ketika
dilihatnya sebuah bayangan yang bergerak-gerak di belakang pucuk kecil
itu. Namun mereka tidak menjadi cemas karenanya. Orang itu telah mereka
kenal baik-baik. Kiai Gringsing.
Namun mereka menjadi heran ketika melihat Kiai Gringsing itu tidak datang sendiri.
Ketika Untara melihat orang yang datang
bersama dengan Kiai Gringsing itu, tampak wajahnya menjadi tegang.
Dengan agak tergesa-gesa ia kemudian bertanya, “Apakah ada sesuatu yang
penting dengan pekerjaanmu?”
Sebelum orang itu menjawab, terdengar
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Kenapa kau tidak mempersilahkan aku
dahulu, baru bertanya kepada orang ini?”
Untara tertawa. Jawabnya, “Marilah Kiai. Aku mempersilahkan Kiai.”
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata, “Apakah muridmu bertambah seorang lagi Sedayu?”
Agung Sedayu tersenyum, tetapi ia tidak
menjawab. Bahkan yang berkata kemudian adalah Kiai Gringsing, “Nah,
sekarang bertanyalah kepada orang itu.”
Untara mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada orang yang datang bersama dengan Kiai Gringsing, “Kemarilah”
Orang itu ragu-ragu sejenak. Ditatapnya wajah Agung Sedayu dan Widura berganti-ganti.
Untara yang dapat meraba keraguan orang
itu berkata, “Mereka adalah pemimpin laskar-laskar Pajang di Sangkal
Putung. Yang satu adalah adikku Agung Sedayu dan yang lain adalah paman
Widura.”
Orang itu menganggukkan kepalanya sambil
berkata, “Aku pernah mendengar tentang paman Widura di Sangkal Putung,
tetapi baru kali ini aku melihat orangnya.”
Widura tersenyum, sahutnya, “inilah orangnya. Tak ada yang menarik.”
Orang itu tertawa pendek, yang
mendengarpin tertawa pula. kemudian Untaralah yang berkata, “Soma,
berkatalah. Biarlah paman Widura mendengar pula.”
Soma menarik nafas dalam-dalam, kemudian setelah menelan ludahnya ia berkata, “Ada beberapa berita tentang orang itu.”
Sebelum Soma meneruskan, terdengar Widura menyela, “Untara, aku telah memperkenalkan diriku, tetapi siapakah ki sanak ini?”
Untara mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian jawabnya, “ia salah seorang pembantuku.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Segera ia mengerti, orang itu pasti dari pasukan sandi. Karena itu maka
Widura tidak bertanya lagi.
Kemudian berkatalah Soma itu seterusnya,
“Ketika aku datang ke pondokan kakang, ternyata kakang telah tidak ada.
Menurut pesan kakang terakhir, aku harus datang ke rumah itu. Dan yang
aku jumpai adalah Kiai Gringsing.”
“Aku meninggalkan rumah itu dengan
tergesa-gesa tanpa aku rencanakan terlebih dahulu. Tetapi bukankah aku
telah berpesan kepada Kiai Gringsing?”
“Pesan yang aneh” gumam Kiai Gringsing.
Untara tersenyum dan Soma itu pun tersenyum.
“Tak ada orang yang dapat berbicara dalam
bahasamu Untara” berkata Kiai Gringsing kemudian, “dan pesan itu sudah
aku sampaikan. “Kemudian kepada Agung Sedayu Kiai Gringsing berkata,
“He, Sedayu apakah kau dapat mengerti bahasa Untara itu. Bulan muda,
angin selatan, bintang utara. Laju bersama gubug penceng.” Kiai
Gringsing itu pun kemudian tertawa terkekeh-kekeh. “Ayo Sedayu apakah
kau tahu artinya?”
“Aku tahu Kiai” jawab Agung Sedayu.
“Apa?”
“Kisanak itu harus datang bersama Kiai menemui kakang Untara di sini.” Jawab Agung Sedayu sambil tertawa.
Untara tertawa, Soma itu pun tertawa dan yang lain-lain juga tertawa.
“Aku pun dapat memberikan arti menurut kehendakku” berkata Kiai Gringsing.
“Tetapi bukankah Ki sanak itu datang kemari bersama Kiai?” berkata Sedayu.
Kembali mereka tertawa. Tetapi Untara tidak berkata apa-apa tentang kata-kata sandi itu.
“Nah, Soma” berkata Untara kemudian, “katakan berita itu?”
“Macan Kepatihan menempatkan beberapa orang untuk mengamat-amati Benda, namun kemudian pergi ke Timur.”
Untara mengerutkan keningnya, katanya, “Apakah dapat diketahui, pada siapakah orang-orang Tohpati itu bersembunyi?”
“Sudah, tetapi kami belum mengetahui
jumlah itu.” Jawab Soma, “sedang di hutan-hutan di sebelah barat
kadang-kadang tampak juga beberapa orang Jipang. Di antara mereka adalah
Plasa Ireng.”
Kini tidak saja Untara yang mengerutkan
keningnya. Tetapi Widura pun kemudian memperhatikan berita itu dengan
seksama. Bahkan dengan serta-merta ia berkata, “Ada tanda-tanda Tohpati
akan menyergap dari barat?”
Untara mengangguk, “Ya” jawabnya, “Mereka
sedang menyusun kekuatannya di barat. Plasa Ireng dan pasti Alap-alap
Jalatunda telah ditarik pula kedalamnya.”
Widura kemudian termenung sejenak.
Agaknya Tohpati benar-benar mengerahkan segala kekuatan dari sisa-sisa
laskar Jipang Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan mungkin pula pimpinan
laskar Jipang di daerah utara, yang terkenal dengan nama Sanakeling.
Sesaat gunuk Gowok itu menjadi sepi.
Mereka masing-masing hanyut dalam arus angan-angannya. Widura merasa
bersyukur bahwa sampai saat ini Sidanti masih dapat dikuasainya atas
kebijaksanaan Untara,sehingga apabila sergapan Tohpati itu datang
beserta beberapa orang terkenal dari laskar Jipang, tenaganya masih
dapat dipergunakan. Widura pun mengharap Agung Sedayu akan memperkuat
laskarnya pula di samping Untara sendiri.
Untara itu pun kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada pembantunya, “Aku terima
beritamu. Hubungi Trigata. Aku berada di Sangkal Putung. Beritahukan
setiap perkembangan keadaan.”
Orang itu mengangguk. Jawabnya, “Tetapi pasti tidak malam ini. Mungkin besok malam atau lusa.”
“Apakah ada tanda-tanda Tohpati menyergap malam hari?”
“Mungkin. Mereka menyiapkan obor dan panah-panah api.”
“Setan” Untara menggeram, “Tetapi bukan
tujuan mereka menghancurkan Sangkal Putung, sebab mereka memerlukan
lumbung-lumbung padi di sini. Tetapi bahwa mereka menyerang pada malam
hari adalah mungkin sekali.”
“Nah, aku akan pergi dulu kakang. Mungkin keadaan berkembang terlalu cepat.”
“Baik,aku akan berada di Sangkal Putung .”
Orang itu pun kemudian mengangguk, minta diri kepada semua yang hadir di tempat itu, dan menghilang di antara gelapnya malam.
“Petugas yang baik” gumam Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi wajahnya masih tegang. Sebagai seorang yang bertanggung jawab
atas daerah itu, maka segera Widura membuat perhitungan.-perhitungan.
Tiba-tiba ia teringat kepada Tambak Wedi.
“Sepasar” katanya dalam hati. Kini dua hari telah dilampauinya. Tiga
dengan besok. “Gila orang yang tak tahu keadaan itu. Ia terlalu
mementingkan diri sendiri dan muridnya tanpa memandang segenap persoalan
dalam jangkauan yang luas. Tetapi tiba-tiba ia teringat pula pada orang
yang bertopeng yang duduk di mukanya. Dan dengan serta-merta Widura itu
bertanya, “Kiai” katanya, “apakah Kiai bertemu dengan Tambak Wedi di
lapangan. Bukankah Kiai telah melemparkan cemeti Kiai setelah Tambak
Wedi melemparkan gelang besinya.”
Orang itu tertawa, “ya” jawabnya, “ia
memberi aku salam yang hangat, sehangat api neraka. Tetapi setelah
kalian bubar orang itu pergi juga tanpa berbuat sesuatu. Aku sangka ia
akan marah kepadaku. Tetapi ia hanya mengancamku.”
“Apakah katanya?”
Kiai Gringsing itu diam sesaat. Kemudian
dijawabnya, “Ki Tambak Wedi minta aku tidak ikut mencampuri urusannya
dengan kau. Kalau aku tidak memenuhinya, maka aku akan dibunuhnya.”
Widura mengangkat alisnya. Setelah termenung sejenak ia bertanya pula, “Bagaimanakah jawaban Kiai?”
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas.
Kemudian katanya, “Aku kira tak seorang pun yang berhak berbuat seperti
Ki Tambak Wedi itu. Kalau ia ingin berbuat sekehendaknya, maka aku pun
akan berbuat sekehendakku. Bukankah nanti apabila Ki Tambak Wedi marah
aku mencari perlindungan kepada Agung Sedayu?”
“Ah” Agung Sedayu mendesah, tetapi Widura dan Untara tertawa.
Dan Kiai Gringsing itu pun berkata
seterusnya, “Tetapi lupakan sajalah Ki Tambak Wedi itu. Aku harap ia
tidak bersungguh-sungguh. Yang perlu kau pikirkan, bagaimana kau dapat
menghindarkan Sangkal Putung dari bencana yang akan dapat ditimbulkan
oleh Tohpati.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Untara pun kemudian berdiam diri, sedang Agung Sedayu memandang jauh ke
langit, seakan-akan sedang menghitung bintang yang berhamburan di atas
dataran yang biru pekat.
Sesaat mereka saling berdiam diri. Widura
sedang mencoba menghitung-hitung kekuatan di pihaknya dan membandingkan
dengan kekuatan Tohpati. Dalam jumlah, maka Widura dapat berbesar hati.
Dengan anak-anak muda Sangkal Putung, laskarnya pasti berjumlah lebih
banyak dari jumlah laskar Tohpati. Namun dalam penilaian
seorang-seorang, maka Widura masih harus berkeprihatin. Meskipun setiap
orang di dalam laskarnya tidak akan kalah dari setiap orang dalam laskar
Jipang, tetapi anak-anak muda Sangkal Putung, Widura pun tidak yakin
kalau jumlah laskarnya akan memadai. Karena laskar Jipang dapat berada
dimana saja yang mereka kehendaki, sehingga suatu ketika, jumlah laskar
Jipang itu dapat menjadi banyak sekali.
Karena itu maka Widura mengambil
kesimpulan, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung itu pun selagi sempat
harus mendapat penempaan sejauh-jauh mungkin. Bahkan orang-orang yang
sudah agak lanjut usianya, asal mereka sanggup dan bersedia, pasti akan
menjadi tenaga bantuan yang berarti.
Sesaat kemudian, maka Kiai Gringsing itu
pun pergi meninggalkan mereka. Katanya, “Aku akan pulang ke rumahku di
antara rumpun-rum pun bambu. Hati-hatilah, setiap saat Tohpati itu akan
datang. Mungkin benar ia akan menyergap dari arah barat. Karena itu,
awasilah arah itu baik-baik. Namun jangan lengahkan penjagaan-penjagaan
di tempat-tempat lain.”
“Baik Kiai” jawab Widura.
Namun Kiai Gringsing itu berpaling pun
tidak. Orang itu berjalan mendaki puntuk kecil, lewat dibawah pohon
kelapa sawit dan seterusnya hilang di balik puntuk kecil itu.
Belum lagi Untara sempat berpaling, terdengar Agung Sedayu bertanya”Siapakah sebenarnya orang itu?”
Untara tersenyum, jawabnya, “Kiai Gringsing.”
Agung Sedayu hanya dapat menggigit
bibirnya. Ketika kemudian Untara dan Widura tertawa, maka anak muda itu
berdiri sambil menggeliat. Katanya ‘Apakah kita akan tidur di sini?”
Widura bahkan tertawa semakin keras.
Katanya ‘Apakah kau berani tidur di sini? Bukankah setiap malam, apabila
kita berada di tempat ini kau selalu saja mengajak pulang? apalagi
ketika kau dengar Tohpati sedang berkeliaran di daerah ini?”
“Ketika itu tidak ada kakang Untara” jawab Sedayu.
“Bagaimanakah kalau aku lari apabila ada bahaya?” bertanya Untara.
“Apa kakang sangka aku tidak bisa lari secepat kakang?” bantah Agung Sedayu.
Kembali mereka tertawa. Namun terasa oleh
Widura, betapa kemenakannya itu mengalami banyak perubahan. Kini ia
sama sekali tidak tampak menjadi cemas seandainya bahaya betul-betul
mengancamnya. Apalagi setelah ia mendapat beberapa petunjuk oleh
kakaknya. Baik lukisan-lukisannya maupun pelaksanaannya, maka ternyata
Agung Sedayu benar-benar dapat menjadi seorang anak muda yang perkasa.
Apalagi hatinya benar-benar menjadi besar dan tangguh. Maka kekuatan
Agung Sedayu pantas diperhitungkan.
Sesaat kemudian Widura dan Untara pun
berdiri pula. keperluan mereka agaknya sudah cukup buat kali ini.
Sehingga dengan demikian segera mereka pun kembali ke kademangan.
Hari itu setiap penjagaan menjadi lebih
diperkuat. Gardu-gardu peronda dan peronda-peronda keliling. Tohpati
yang berada di sekitar tempat mereka, setiap saat dapat menyergap. Namun
yang harus mendapat pengawasan paling ketat adalah justru daerah barat.
Sedang kerja Widura hari itu adalah
menangani sendiri latihan-latihan bagi anak-anak muda Sangkal Putung di
samping beberapa orang anak buahnya. Langsung diberikannya beberapa
petunjuk penting apa dan bagaimana mereka harus berbuat di dalam
pertempuran-pertempuran. Swandaru, yang memimpin anak-anak muda itu pun
berlatih dengan sekuat-kuat tenaganya, supaya namanya tidak terlalu jauh
dibawah nama-nama yang dikaguminya. Sidanti,Sedayu,Widura dan Untara.
Hanya Sidanti lah yang selalu bersikap
acuh tak acuh atas semua kesibukan itu. Meskipun demikian, sampai saat
itu, Sidanti masih berada dalam barisan Widura.
Hari itu pun ternyata Tohpati belum
menyergap Sangkal Putung. Sehingga pada malam harinyau dan Agung Sedayu
masih dapat memanfaatkannya dengan beberapa latihan penting. Juga
anak-anak muda Sangkal Putung, oleh Widura diajarinya bertempur dimalam
hari. Bagaimana mereka harus mengenal kawan dan lawan di dalam gelap dan
bagaimana mereka harus memberikan ciri masing-masing dan tanda-tanda
sandi. Selain itu Widura pun telah membuat beberapa persiapan untuk
bertempur malam hari. Obor-obor dan panah-panah api untuk mengimbangi
laskar Tohpati yang dengan api akan mencoba mengacaukan pertahanan
pasukan yang berada di Sangkal Putung.
Namun dipagi hari berikutnya, ketika
Untara dan Agung Sedayu sedang sibuk mengurai lukisannya datanglah
seorang penjual keris yang ingin menemui Untara. Kepada para penjaga
dikatakannya bahwa ia mendapat pesanan dari Untara itu.
Ketika seseorang menyampaikannya kepada
Untara, maka Untara itu pun mengerutkan keningnya, kemudian katanya,
“Ya, aku memang memesan sebuah keris. Bawalah orang itu masuk.”
Sesaat kemudian orang yang menyebut dirinya pedagang keris itu diantar masuk ke pringgitan.
“Duduklah” Untara mempersilahkan.
Orang itu pun kemudian duduk di atas
sehelai tikar pandan. Dipunggungnya terselip sebilah keris, dan
dianggarnya pula keris yang lain, pada sangkutannya di dalam jumbai
dibagian depan ikat pinggangnya.
“Paman” berkata Untara kemudian kepada Widura, “apakah paman tidak ingin melihat beberapa bilah keris?”
Widura tersenyum. Tetapi ia tidak
menjawab. Namun demikian ia duduk pula di hadapan orang yang menyebut
dirinya pedagang keris itu. Agung Sedayu pun kemudian hadir juga di
antara mereka.
Sesaat kemudian barulah Untara berkata kepada orang itu, “Apakah kau membawa keris itu?”
Orang itu menggangguk. Kemudian dijawabnya, “Ya, Soma telah menyampaikan pesan itu.”
Untara mengangguk-angguk. Bahkan Widura
pun mengangguk-angguk pula. Sedang Agung Sedayu sekali-sekali mencoba
memandang wajah orang itu.
“Nah, marilah aku perkenalkan dengan
pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung” berkata Untara sambil menunjuk
Widura, “Paman Widura.”
Orang itu mengangguk dalam sambil berkata, “Aku adalah utusan kakang Untara.”
Kembali Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Segera ia tahu bahwa orang itu sama sekali bukan pedagang
keris. Tetapi orang itu adalah salah seorang pembantu sandi dari Untara
dalam kedudukannya sebagai seorang senopati yang memegang kekuasaan atas
nama Panglima Wira Tamtama. Ki Gede Pemanahan.
“Namanya Trigata” sambung Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. nama itu pernah didengarnya di
Gunung Gowok dahulu, ketika kakaknya berpesan pada Soma.
“Nah sekarang, apakah yang akan kau sampaikan?”
“Kelanjutan dari berita-berita yang dibawa oleh Soma.”
“Ya”
“Tohpati hari ini berada di hutan-hutan sebelah barat padukuhan Benda.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “apakah sangkamu persiapannya sudah selesai?”
“Kami menyangka demikian. Orang
menyelundup kami yang di sekitar lingkungan mereka yang dapat kami
hubungi telah mendengar perintah untuk tetap di tempat bagi mereka.”
Kembali Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagaimanakah dengan obor dan panah api?”
Trigata berpikir sejenak, kemudian
jawabnya, “Mungkin akan benar-benar mereka pergunakan. Mereka tidak mau
gagal kali ini. Karena itu mereka akan mempergunakan alat-alat untuk
mengacaukan pertahanan kita di sini.”
Sesaat mereka kini berdiam diri.
Masing-masing mencoba membayangkan apakah kira-kira yang akan terjadi
seandainya laskar Macan Kepatihan itu benar-benar akan datang.
Yang mula-mula berbicara adalah Widura, katanya, “Aku harus menyiapkan orang-orangku.”
“Ya” berkata Untara, “Tetapi tidak
sekarang. Nanti sore setelah matahari hampir tenggelam, supaya Tohpati
tidak sempat mengetahui, bahwa rencananya telah kita mengerti
sebelumnya.”
“Kau benar” berkata Widura, “aku hanya akan membuat latihan-latihan khusus pagi ini.”
Untara menggangguk. Kemudian kepada Trigata Untara itu berkata, “Apakah menurut dugaanmu malam nanti Tohpati akan bergerak.”
“Demikianlah” sahut Trigata.
“Baik” berkata Untara, “usahakan melihat
gerakan mereka meskipun dari jarak yang jauh. Berilah tanda dengan panah
sanderan. Tetapi ingat, kau tidak usah membunuh diri. Demikian kau
melepaskan anak panah sanderan, kau harus segera melarikan dirimu.
Terserahlah kepadamu, siapakah yang berani bertaruh nyawa berdiri di
ujung, yang lain akan menerima tanda itu dan meneruskan ke Sangkal
Putung.”
“Ah pekerjaan itu tidak terlalu
berbahaya” sahut Trigata, “apalagi dimalam hari, kami akan dapat
melakukannya dengan aman. Sebab dapat kami lakukan dari jarak yang cukup
jauh. Pekerjaan ini jauh lebih aman dari melakukan pertempuran itu
sendiri.”
“Bagus, dimana kalian berada?”
“Di Tegal” jawab Trigata, “di rumah seorang petani miskin bernama Pada.”
“Kelak, apabila kau tidak datang sesudah serangan selesai, kami akan mencari kalian.”
“Terima kasih” sahut Trigata.
Kembali kemudian mereka berdiam diri.
Wajah Agung Sedayu tampak tegang. Ada sesuatu yang bergolak di dalam
dadanya. Setelah ia menemukan kepercayaannya pada kekuatan yang
tersimpan dalam dirinya, tiba-tiba timbullah keinginannya untuk ikut
serta dalam pertempuran itu. Meskipun demikian maksudnya itu tidak
segera disampaikannya kepada kakaknya maupun pamannya. Ia akan menunggu
sampai nanti apabila diadakan pertemuan di antara para pemimpiin laskar
di Sangkal Putung.
Widura kemudian meninggalkan Pringgitan.
Diberinya anak buahnya beberapa petunjuk khusus. Meskipun belum
diberitahukannya bahwa Tohpati mungkin sekali akan menyergap malam
nanti, namun secara tidak langsung telah dipersiapkannya anak buahnya
untuk menghadapi kemungkinan itu. Dipersiapkannya pula anak-anak muda
Sangkal Putung untuk menghadapi setiap kemungkinan,pula laki-laki yang
telah berumur agak lanjut. Diberikannya petunjuk tempat-tempat yang
harus mereka pertahankan dan diberitahukannya pula cara-cara untuk
melawan api apabila timbul kebakaran.
Meskipun Widura belum mengatakan, namun
sudah terasa oleh anak buahnya, bahwa bahaya itu semakin dekat. Karena
itu, maka mereka pun telah mulai mengatur hati masing-masing. Siap
menghadapi setiap kemungkinan.
Penduduk Sangkal Putung merasa pula,
bahwa mereka harus ikut serta mempersiapkan diri. Perempuan-perempuan
telah membuat persiapan secukupnya menghadapi masa-masa yang sulit.
Kalau terjadi pertempuran, belum pasti sehari, dua hari akan selesai.
Dan yang paling mengerikan bagi mereka, bagaimanakah kalau laskar Pajang
bersama-sama anak-anak muda Sangkal Putung tidak mampu menahan arus
Macan Kepatihan?
Siang itu juga, Trigata meninggalkan
Sangkal Putung kembali ke tempatnya. Di tempat persembunyiannya ternyata
telah berkumpul lima orang yang siap melakukan tugas-tugas mereka.
Beberapa tanda sandi harus mereka berikan lewat panah sanderan yang
nanti akan memberitahukan beberapa masalah mengenai gerakan Tohpati.
Hari itu Sangkal Putung benar-benar
menjadi sibuk. Di muka banjar anak-anak Sangkal Putung sibuk berlatih.
Sedang anak buah Widura sibuk pula mempersiapkan senjata-senjata mereka.
“Jangan memeras tenaga kalian” Widura
menasehati anak-anak muda Sangkal Putung, “nanti apabila setiap saat
diperlukan, kalian telah menjadi kelelahan.”
Anak-anak muda itu pun menurut pula.
Mereka kini tinggal mendengarkan beberapa petunjuk-petunjuk yang harus
mereka lakukan dalam pertempuran yang setiap saat mungkin akan datang.
Ketika matahari telah condong kebarat,
beberapa orang penjaga di ujung induk desa Sangkal Putung terkejut
mendengar panah sanderan yang meraung-raung di langit, kemudian jatuh di
dekat mereka. Seseorang segera memungut anak panah itu. Namun mereka
tidak melihat sesuatu pada anak panah itu. Karena itu, maka seorang dari
mereka segera meloncat ke atas punggung kuda dan langsung berpacu ke
Kademangan.
Widura dan beberapa orang terkejut karenanya, ketika seorang dengan tergesa-gesa lari naik ke pringgitan.
“Ki Lurah” berkata orang itu kepada
Widura, “sebuah anak panah sanderan telah jatuh didekat gardu penjagaan
kami. Tetapi kami tidak menemukan sesuatu apa pun pada anak panah itu”
Widura mengerutkan keningnya. “Bawalah
kemari” berkata Widura. ketika Untara ikut serta melihat anak panah itu,
maka ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada peronda
yang menemukan anak panah itu ia berkata, “Perkuat penjagaan digardumu”
“Baik tuan” jawab orang itu.
“Kembalilah. Setiap perkembangan akan
kami beritahukan, tetapi kau pun harus melaporkan setiap perkembangan
yang kau ketahui” berkata Untara pula.
Orang itu pun kemudian pergi meninggalkan
pringgitan. Di sepanjang jalan ia menggerutu, “Tidak juga mau
memberitahukan apakah sebenarnya yang akan terjadi” Namun karena itulah
maka para peronda itu menjadi semakin berhati-hati.
Sepeninggal orang itu, maka Untara pun
berkata kepada Widura, “Paman, anak-anak buahku telah mendapat
kepastian. Malam nanti Tohpati akan mulai menyergap Sangkal Putung. Anak
panah yang dikirim saat ini hanya sebuah. Menurut pesan yang aku
berikan kepada mereka, kalau Tohpati akan bergerak sebelum tengah malam,
mereka harus mengirimkan dua anak panah. Sedang kalau kira-kira antara
tengah malam atau sesudah itu, satu anak panah. Sehingga dengan demikian
maka kemungkinan terbesar, Tohpati nanti akan bergerak pada tengah
malam”
Widura mengerutkan keningnya. “Waktu yang
baik” gumamnya. “Mungkin Tohpati memperhitungkan, bahwa pada saat fajar
mereka akan memasuki Sangkal Putung”
Keduanya kemudian berdiam diri.
Masing-masing sedang mencoba melihat setiap kemungkinan yang dapat
terjadi. Yang mula-mula berbicara adalah Agung Sedayu, “Kakang, apakah
Alap-alap Jalatunda akan ikut serta dengan Tohpati?”
Untara mengangguk, “Mungkin sekali”
Agung Sedayu menarik nafas. Namun ia
tidak berkata apapun. Untara yang melihat wajahnya, segera mengerti
perasaan adiknya. “Apakah kau sudah rindu kepadanya?”
Agung Sedayu tersenyum, tetapi ia masih belum menjawab
“Kalau begitu, apakah kau ingin bertemu malam nanti?”
Kini Agung Sedayu mengangguk, “Ya” jawabnya, “Aku sangka Alap-alap Jalatunda itu tidak terlalu menakutkan”
Untara tersenyum, namun kini ia berkata
kepada Widura, “Paman, barangkali sudah sampai waktunya paman
memberitahukan persoalan Sangkal Putung kepada para pemimpin kelompok
anak buah paman”
Widura mengangguk, “Ya. Aku sangka
demikian. Aku akan memanggilnya beserta beberapa pemimpin anak-anak muda
Sangkal Putung, bapak Ki Demang Sangkal Putung dan bapak Jagabaya”
“Jagabaya?” bertanya Untara
“Ya. Ia pun bekas prajurit yang baik. Meskipun umurnya telah agak lanjut, namun tekadnya masih menyala seperti anak-anak muda”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Widura pun kemudian memanggil semua
orang-orang penting di Sangkal Putung. Orang-orangnya sendiri, maupun
orang-orang Sangkal Putung. Dengan singkat Widura menjelaskan kepada
mereka, apakah yang sedang mereka hadapi sekarang. “Mungkin orang-orang
Tohpati itu lebih banyak dari orang-orangnya terdahulu” berkata Widura
kemudian. “Karena itu setiap tenaga harus kita manfaatkan”
Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun ikut bertanggung jawab atas apa
saja yang terjadi diwilayahnya. Karena itu, maka katanya, “Semua
anak-anak, akan dikerahkan dan semua laki-laki yang masih mungkin
mengangkat senjata. Ada beberapa orang bekas prajurit yang meskipun
sudah ubanan, tetapi menyatakan kesediaan mereka untuk ikut serta dalam
pertempuran ini. Enam atau tujuh orang. Bahkan mungkin lebih dari itu”
“Bagus” sambut Widura. “Beberapa orangku akan berada dalam barisan anak-anak muda Sangkal Putung”
Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus” katanya, “Anak-anak Sangkal
Putung akan menjadi bergembira karenanya”
Tetapi hampir semuanya kemudian tak
bersuara ketika Widura berkata, “Tetapi perhatian terbesar harus kita
berikan kepada pemimpin laskar Jipang itu, Macan Kepatihan. Di sini kita
akan menentukan, siapakah yang pantas untuk melawannya tanpa
menimbulkan kemungkinan yang terlalu buruk bagi kita”
Sesaat pringgitan itu menjadi sepi. Tak
seorang pun yang menyahut. Mereka saling berpandangan dan sebagian dari
mereka memandangi Untara dan Sidanti berganti-ganti. Tetapi ada pula di
antara mereka yang berpikir, “Ternyata yang pantas melawan Tohpati itu
adalah Agung Sedayu”
Kesepian itu kemudian dipecahkan oleh
suara Sidanti perlahan-lahan, “Kakang Widura, siapakah yang menurut
kakang paling pantas melawan Macan Kepatihan itu?
Widura terdiam sejenak. Ia menunggu
Untara menjawab pertanyaan itu. Dan sebenarnyalah kemudian Untara
berkata, “Biarlah kita melihat keseluruhan dari musuh kita. Di antaranya
mereka akan datang juga Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan beberapa
orang yang lain. Karena itu, maka tugas kita akan menjadi berat. Aku
sama sekali tidak menganggap bahwa akulah yang paling pantas melawan
Tohpati. Tetapi aku akan bertanggung jawab terhadap atasanku. Biarlah
aku mencoba melawannya, dan sudah tentu Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda
dan yang lain-lain itu pun perlu mendapat perhatian.”
Sidanti tersenyum. Jawabnya, “aku sudah
menyangka” katanya, “kemudian kami, yang lain-lain adalah anak-anak yang
tidak perlu ikut campur dalam pertempuran itu.”
“Bukan begitu” sahut Untara, “aku, paman
Widura tak akan dapat berbuat sendiri-sendiri. Kekuatan laskar Sangkal
Putung adalah karena kita semua. Satu-satu dari diri kita
masing-masing.”
Sidanti itu masih tersenyum. Tetapi ia
tidak menjawab. Ia sudah memperhitungkan sejak semula, bahwa Untara
pasti akan menempatkan dirinya melawan Macan Kepatihan. Sedang di tangan
Untara itu tergenggam kekuasaan. Sehingga dengan demikian, tak akan ada
kesempatan baginya untuk menyainginya. Namun meskipun demikian, Sidanti
mengharap, mudah-mudahan kepala Untara dipecahkan olah Macan yang
garang itu dengan tongkat baja putihnya.
Untara melihat senyum yang aneh itu.
Tetapi ia sama sekali tidak berkata apapun. Dalam keadaan yang demikian,
maka kekuatan mereka sepenuhnya sangat diperlukannya. Karena itu, maka
ia pura-pura sama sekali tidak melihat senyum Sidanti itu. Namun Hudaya,
Citra Gati dan bahkan Agung Sedayu tidak dapat melepaskan perasaannya
yang ganjil. Dari senyum itu mereka melihat, bahwa sesuatu tersembunyi
di belakangnya.
“Kalau Untara itu telah mati oleh
Tohpati” berkata Sidanti, “Maka keadaan Sangkal Putung akan kembali
seperti semula. Apalagi kalau aku mampu membunuh Macan Kepatihan itu.
Mudah-mudahan apa yang aku peroleh sekarang ini dari guruku,
setidak-tidaknya akan dapat mengimbanginya. Sebab Tohpati itu sudah
tidak sempat lagi mendalami ilmunya”
Akhirnya setelah Widura memberikan
beberapa pesan kepada pemimpin-pemimpin kelompok itu, maka pertemuan itu
segera dibubarkan. Mereka masing-masing kembali kepada kelompoknya,
memberikan kepada mereka beberapa petunjuk dan sesaat kemudian mereka
itu telah mempersiapkan diri masing-masing untuk menghadapi suatu
pertempuran yang berat.
Anak-anak muda Sangkal Putung pun
kemudian berlari-larian hilir mudik. Mereka segera memanggil kelompok
masing-masing dan seperti juga anak buah Widura, mereka pun segera
mempersiapkan diri mereka masing-masing.
Ketika kemudian matahari tenggelam di
balik punggung bukit, laskar Sangkal Putung itu pun telah siap di
lapangan. Beberapa orang bekas prajurit ada di antara mereka. Meskipun
orang-orang itu telah menjelang setengah abad, namun tubuh-tubuh mereka
masih tegap, dan senjata-senjata mereka, yang selama ini disimpannya.
Namun kini senjata-senjata itu diambilnya kembali. Terkenanglah mereka
pada masa muda mereka. Bertempur untuk suatu keyakinan yang
digenggamnya. Kini mereka pun akan bertempur kembali untuk suatu
pengabdian atas kampung halaman mereka.
Swandaru berdiri dengan gagahnya.
Pedangnya yang besar tergantung dipinggangnya. Sekali-sekali ia menatap
langit yang biru bersih, yang dibayangi oleh warna-warna merah. Matahari
itu seakan-akan betapa malasnya. Gelap yang turun perlahan-lahan terasa
sangat menjemukan. Mereka itu, anak-anak muda Sangkal Putung sedang
menunggu datangnya tengah malam.
Orang-orang yang sudah setengah tua,
mendapat tugas mereka sendiri. meskipun mereka membawa senjata pula,
namun mereka harus berada di dalam desa mereka. Kalau orang-orang Macan
Kepatihan itu berhasil menembus pertahanan laskar Pajang dan anak-anak
muda Sangkal Putung, maka mereka pun akan ikut serta bertempur. Di
samping itu, kalau Tohpati itu kemudian menjadi putus asa, dan
mempergunakan panah-panah api untuk menimbulkan kebakaran, maka adalah
pekerjaan mereka untuk mengatasinya. Sedang perempuan-perempuan muda
tidak kalah sibuknya. Mereka mendapat pekerjaan yang pantas untuk
mereka. Mempersiapkan makanan bagi mereka yang akan berangkat berperang.
Meskipun demikian, di antara anak-anak gadis itu pun ada pula yang
menyelipkan keris dan patrem di antara ikat pinggang mereka seakan-akan
mereka pun siap pula, apabila perlu, untuk ikut serta bertempur bersama
anak-anak mudanya.
Tetapi di samping semuanya itu,
perempuan- perempuan yang bersembunyi di balik-balik pintu rumahnya
mendekap anak-anak mereka yang masih terlalu kecil dengan eratnya.
Mereka mencoba untuk menghibur anak-anak mereka.
Ketika malam turun, maka Sangkal Putung
benar-benar dikuasai oleh kegelapan. Hampir tak ada rumah yang
menyalakan lampunya, dan bahkan hampir tiada rumah yang berpenghuni.
Hampir setiap laki-laki telah keluar dengan senjata di tangan, dan
hampir setiap perempuan pergi mengungsikan diri ke kademangan, berkumpul
bersama mereka untuk menanggungkan segala macam keadaan bersama-sama.
Apa pun yang mereka alami, apabila dipikulnya bersama-sama, maka terasa
akan menjadi bertambah ringan.
Meskipun hampir semua kekuatan laskar
Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung ditarik ke arah barat, namun
Widura tidak mengosongkan setiap gardu di sudut-sudut lain. Namun isi
dari gardu-gardu itulah yang kemudian sebagian diserahkan kepada
laki-laki Sangkal Putung yang tidak ikut serta dalam pertempuran
langsung dengan anak-anak Macan Kepatihan, meskipun satu dua di antara
mereka telah diperlengkapi dengan alat-alat tanda bahaya yang
sebaik-baiknya, untuk setiap kali apabila bahaya mengancam mereka,segera
mereka dapat memberitahukannya kepada laskar cadangan yang ditinggalkan
di kademangan, bersama dengan beberapa orang Sangkal Putung sendiri, di
sekitar lumbung-lumbung dan di banjar desa.
Kini para peronda telah tahu benar, apa
arti panah sanderan yang setiap saat akan meluncur di sekitar
tempat-tempat mereka. Untara telah berpesan kepada anak buahnya, bahwa
apabila ada tanda-tanda Tohpati menggerakkan laskarnya, supaay mereka
segera mengirimkan anak panah sanderan dua kali ganda berturut-turut.
Dan apabila keadaan amat mendesak karena suatu perubahan, sedang mereka
para petugas yang telah dikirim oleh Untara, tidak sempat memberitahukan
langsung, supaya dikirimnya panah sanderan tiga kali berturut-turut.
Beberapa saat kemudian maka laskar Widura
dan anak-anak muda Sangkal Putung telah siap seluruhnya di lapangan di
muka banjar desa, segera untuk berangkat. Beberapa orang laki-laki telah
siap menempati tempat-tempat yang ditentukan, dan tanda-tanda telah
mereka kenal dengan baiknya.
Namun tiba-tiba mereka menjadi tegang
ketika mereka mendengar derap kuda yang berlari kencang memecah
kesepian. Widura dan Untara segera melangkah maju menyongsong orang
berkuda itu, sedang di belakangnya Agung Sedayu berdiri dengan
berdebar-debar. Kali ini untuk pertama kalinya ia mendapat kesempatan
untuk ikut serta bertempur dengan lawan yang sebenarnya. Sebilah pedang
tergantung di pinggangnya. Namun tanpa setahu kakaknya, disakunya
terdapat beberapa butir batu sebesar telur ayam. Ia sendiri tidak tahu
pasti apakah batu-batu itu akan bermanfaat. Namun begitu saja timbul
keinginannya untuk mencoba apakah ia benar-benar dapat membidik dalam
arti yang sebenarnya. Membidik tidak saja dalam permainan-permainan yang
menggembirakan tetapi membidik dalam pertempuran yang berbahaya.
Sesaat kemudian tampaklah seekor kuda
berlari dengan kencangnya. Demikian kuda itu berhenti, maka meloncatlah
seorang prajurit di hadapan Widura.
Widura dengan tergesa-gesa bertanya kepadanya, “Ada yang penting dipenjagaanmu?”
Orang itu mengangguk, katanya, “kami menerima panah sanderan tiga kali berturut-turut.”
Widura mengerutkan keningnya. Ketika ia
berpaling kepada Untara maka tampaklah Untara sedang berpikir. “Ada
sesuatu yang menyimpang dari rencana semula.” desisnya.
Widura mengangguk.
Setelah Untara itu diam sejenak, maka
katanya, “siapkan seluruh laskar yang ada. Kita siap berangkat kemana
saja. Beberapa orang berkuda supaya bersiap pula. Apabila ada perubahan
arah, orang-orang itu dapat memberitahukannya ke segenap sudut
penjagaan.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian terdengar ia bersuit dua kali. Seorang yang bertubuh kecil
berlari-lari datang kepadanya.
“Sonja” berkata Widura, “siapkan orang-orangmu. Setiap saat kami memerlukan mereka.”
“Baik” sahut Sonja. Kemudian ia pun
berlari-lari kembali ke tempat kawan-kawannya sekelompoknya menunggu
didekat kuda-kuda ditambatkan. Mereka adalah kelompok yang harus
menyampaikan setiap berita kepada segenap tempat yang diperlukan.
Sebelum Widura memberikan
perintah-perintah berikutnya, kembali mereka mendengar suara kaki kuda
berderap. Sekali lagi Widura, Untara dan orang-orang di sekitarnya
menjadi tegang.
Seperti orang yang pertama orang itu pun
tergesa-gesa berkata kepada Widura, “kami telah menerima panah sanderan
dua kali berturut-turut.”
“He” Widura mengerutkan keningnya, “mereka mempercepat gerakan mereka.”
“itulah kecerdikan Macan Kepatihan itu”
sahut Untara, “setiap rencana dirahasiakan di dalam otaknya. Baru pada
saat terakhir dilakukannya rencana itu, sehingga orang-orang mereka
sendiri tidak dapat mengetahui sebelumnya. Karena itulah maka Trigata
itu pun tidak dapat mengetahuinya dengan tepat apa yang akan dilakukan
oleh Macan Kepatihan. Karena orang-orangnya yang dapat melakukan
hubungan dengan orang-orang dalam laskat Tohpati itu pun tidak dapat
mengatakan dengan tepat pula.
Sekali lagi Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Kita juga sudah siap untuk berangkat.
Bukankah kita segera berangkat pula.”
“Marilah” sahut Untara. Sementara tetap ke barat.”
Sekali lagi Widura bersuit dua kali. Dan sekali lagi Sonja berlari-lari kepadanya.
“Satu di antara kalian pergi ke
Kademangan. Yang lain ke setiap gardu peronda. Tohpati telah mulai
bergerak. Ingat jangan menimbulkan kegelisahan di antara mereka.
Kemudian kalian kembali ke tempat ini dan separo dari kalian harus
berada di gardu pertama sebelah barat.”
“Baik” Sonja mengangguk,kemudian kembali
ia meloncat berlari kekelompoknya. Sesaat kemudian maka mereka telah
menghambur ke segenap penjuru.
Kedua penjaga yang datang berkuda
berturut-turut telah kembali ke tempat mereka pula mendahului laskar
Widura. Sedang para penghubung telah menghubungi gardu-gardu yang lain.
Mereka sengaja tidak mempergunakan tanda-tanda, seperti dahulu, supaya
Tohpati tidak menyadari bahwa kehadirannya telah dinantikan.
Para prajurit serta laki-laki dari
Sangkal Putung yang merupakan kekuatan cadangan segera bersiap pula.
Dengan senjata di tangan mereka, mereka mengawasi setiap tempat yang
mereka anggap penting. Beberapa orang berjalan hilir-mudik, dari sudut
yang satu ke sudut yang lain dengan pedang terhunus. Setiap jalan yang
masuk ke induk desa Sangkal Putung telah tertutup rapat olah penjagaan
yang ketat. Gardu-gardu peronda telah dilengkapi dengan senjata-senjata
jarak jauh, panah, bandil dan alat-alat tanda bahaya.
Sementara itu laskar Widura telah mulai
merayap kepintu sebelah barat, lewat tiga jalan. Yang separi menyusur
jalan besar, sednag yang separo lagi dibagi menjadi dua pula. Sebagian
lewat sebelah utara dan sebagian lewat sebelah selatan. Demikian pula
anak-anak muda Sangkal Putung itu pun dibagi menjadi tiga. Sepertiga
lewat jalan besar, sepertiga lewat utara dan sepertiga lewat selatan.
Laskar itu kini telah keluar dari induk
desa Sangkal Putung. Setelah melewati sebuah bulat kecil mereka akan
sampai ke sebuah desa kecil yang hampir-hampir telah dikosongkan. Semua
orang-orangnya telah pergi mengungsi keinduk desa Sangkal Putung.
Ketika Widura yang berjalan di samping
Untara menengadahkan wajahnya, tampaklah langit yang bersih ditaburi
oleh bintang-binang yang gemerlapan. Selembar-selembar awan mengalir
dihanyutkan oleh angin yang lambut.
Sejenak kemudian laskar itu pun telah
sampai di desa kecil itu. Induk pasukan tepat berada di tengah, sedang
kedua sayapnya masing-masing berada di ujung desa-desa itu sebelah utara
dan selatan.
Para penjaga masih tetap berada di tempat
mereka. Namun mereka tidak lagi berada di dalam gardu. Mereka lebih
senang berada di balil pepohonan. Ketika mereka melihat induk pasukan
itu datang, maka seakan-akan mereka bersorak di dalam hati mereka. Sebab
dengan demikian, apabila laskar Tohpati itu datang setiap saat, mereka
tidak harus melakukan perlawanan darurat.
Laskar Widura dan anak-anak muda Sangkal
Putung itu tidak maju terus. Mereka tinggal di dalam desa itu, supaya
lawan mereka tidak segera melihat kehadiran mereka.
Ketika Widura telah mengenal keadaan
sejenak di tempat itu, maka segera diperintahkannya kepada para penjaga,
“Nyalakan pelita di dalam gardumu. Dan nyalakan beberapa lampu di
rumah-rumah yang terdekat.”
“Kenapa justru dinyalakan,Ki Lurah?” bertanya penjaga itu.
Biarlah laskar Tohpati menyangka, bahwa
keadaan di dalam desa ini seperti dalam keadaan biasa. Kalau kau
padamkan lampunya dan semua lampu-lampu, maka itu pasti akan
mencurigakan Macan Kepatihan yang cerdik itu.”
Penjaga itu mengangguk-angguk. “Alangkah bodohnya aku” katanya dalam hati.
Karena itu maka segera ia bergegas-gegas
pergi ke rumah-rumah yang telah kosong, untuk menyalakan lampu-lampunya.
Sedang ting digardunya pun segera dinyalakannya pula.
“Bagus” desis Widura kemudian, “desa ini
akan memiliki wajah seperti wajahnya di setiap hari. Tohpati yang
berpengalaman luas itu pasti pernah melihat pedesaan ini di malam hari
sebelum ia memilih arah. Dan dengan demikian ia pasti akan mengenal
keadaan ini baik-baik.”
Dalam pada itu, maka beberapa pengawas
pun telah dikirim ke depan. Ke tengah-tengah sawah yang menurut
perhitungan mereka akan dilalui oleh laskar Tohpati.
Malam yang masih terlalu muda itu telah
menjadi semakin gelap. Dan di dalam gelap itulah berkeliaran laskar dari
kedua belah pihak dengan alat-alat penyebar maut di tangan mereka
masing-masing.
Sebenarnyalah Tohpati telah berada di
hadapan hidung laskar Pajang itu. Namun mereka menunggu untuk
menyakinkan, apakah yang sebenarnya terjadi di hadapan mereka. Laskar
Tohpati yang bergerak jauh sebelum waktu yang ditentukan semula itu,
dengan cepatnya mendekati Sangkal Putung. Namun laskar itu terhenti
ketika Tohpati melihat suasana pedesaan di hadapannya.
“Desa itu terlampau sepi” desisnya.
Di sampingnya berdiri seorang yang
berwajah keras itu, yang bernama Plasa Ireng, tertawa. Gumamnya,
“setidak-tidaknya mereka telah mendengar bahwa pedesaan mereka terancam
bahaya.”
Tohpati berdesis, kemudian gumamnya, “Sanakeling. Bawalah laskarmu melingkar ke selatan.”
“Baik” sahut orang yang bernama
sanakeling. Bekas pimpinan laskar Jipang daerah utara. Namun untuk
kepentingan kali ini agaknya mereka telah ditarik dalam satu kesatuan.
Namun sebelum Sanakeling itu bergerak, terdengar Alap-alap Jalatunda
yang berdiri di belakang mereka berkata, “Aku melihat pelita-pelita itu
dinyalakan.”
Tohpati tertawa. Dengan nada yang tinggi
ia berkata, “Paman Widura benar-benar cerdik. Ia ingin menjadikan desa
itu seolah-olah tidak mengalami perubahan apa-apa. Namun agaknya anak
buahnyalah yang terlalu bodoh. Sanakeling. Berjalanlah melingkari desa
itu, langsung ke Sangkal Putung. Sayang Paman Widura agak terlambat
menyalakan lampu-lampu itu. Kalau tidak maka kembali kami akan
terjebak.”
Sanakeling kemudian dengan cepat membawa laskarnya ke selatan melingkari desa itu langsung menuju Sangkal Putung.
Tetapi Widura dan Untara pun bukan anak
kemarin petang. Itulah sebabnya mereka telah memasang beberapa orang
jauh di hadapan laskar mereka.
Dalam keheningan malam yang dingin itu,
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sanderan yang meraung-raung di udara.
Sekali, dua kali dan kemudian satu kali lagi.
Untara mengangka alisnya, “ada sesuatu yang terjadi dalam barisan Tohpati itu.” Desis Untara.
Wajah Widura berubah menjadi tegang.
Dengan gelisah ia menunggu orang-orangnya yang diperintahkannya untuk
mengawasi setiap kemungkinan yang ada di hadapan mereka.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
kedatangan seorang pengawas dengan nafas terengah-engah. Tubuhnya dan
seluruh pakaiannya kotor oleh lumpur. Dengan tergesa-gesa ia berkata,
“aku melihat laskar berjalan melingkar di arah selatan langsung menuju
induk desa Sangkal Putung. Mereka pasti masuk dari arah selatan pula.
Tetapi barisan itu tidak begitu besar.”
“Hem” geram Widura, “Macan Kepatihan itu selalu membuat berbagai macam permainan.”
“Mereka telah mencapai simpang empat di bulak sebelah” orang itu berkata seterusnya.
“He?” Widura terkejut, “begitu cepatnya?”
“Ya”
Tiba-tiba demang Sangkal Putung itu
memotong, “serangan yang sangat berbahaya. Apakah aku boleh menarik
laskar Sangkal Putung kembali menyongsong mereka?”
“Jangan” sahut Widura. “kita belum tahu,
siapakah yang memimpin laskar Jipang itu. Mungkin justru itu adalah
induk pasukan mereka.”
Demang Sangkal Putung itu pun terdiam.
Baru sesaat kemudian Widura berkata, “keadaan itu sangat gawat. Biarlah
aku bawa laskar sayap kiri kembali ke kademangan. Seterusnya aku
serahkan pimpinan ini kepadamu Untara. Kalau keadaan tidak terlalu gawat
aku akan kembali kemari.”
Untara mengangguk, “baiklah” jawabnya.
Widura itu pun dengan cepat berlari
kesayap kiri. Kemudian segera laskar kiri itu ditarik mundur, kembali ke
kademangan Sangkal Putung.
Dengan tergesa-gesa mereka berjalan
memintas. Mereka tidak lagi lewat di atas jalan di antara daerah
persawahan. Namun mereka langsung memotong arah. Melompati
tanaman-tanaman yang menghijau. Bahkan sekali-sekali tanam-tanaman itu
pun terpaksa terinjak-injak kaki mereka. Namun tanaman itu besok bisa
disulami. Tetapi kehancuran kademangan mereka akan memerlukan banyak
sekali pengorbanan. Harta, benda, tenaga dan waktu. Itulah sebabnya maka
mereka tidak lagi sempat berpikir tentang tanaman-tanaman itu.
Sesaat kemudian mereka dikejutkan oleh
bunyi tanda bahaya dari gardu selatan. Ternyata para peronda sempat
melihat kedatangan mereka, sehingga mereka terpaksa membunyikan tanda
itu, sementara beberapa orang yang lain, telah mencoba menghambat
gerakan itu dengan senjata-senjata jarak jauh.
Tetapi mereka terkejut ketika mereka
mendengar suara tertawa dari barisan yang datang itu. “He” kenapa kalian
berteriak-teriak minta tolong?”
Pimpinan gardu itu sama sekali tidak
memperhatikannya. Dengan cekatan mereka terus-menerus menghujani
anak-anak panah dari balik gardu mereka seberang menyeberang. Dua orang
lagi telah meloncat kebalik semak-semak di belakang pagar. Anak panah
mereka pun meluncur tak henti-hentinya.
Ternyata usaha itu menolong pula. gerakan
laskar Sanakeling itu terpaksa berhenti sebentar. Mereka seang melihat,
apakah yang sedang dihadapi. Tetapi sesaat kemudian Sanakeling itu
tertawa pula, katanya sambil menghitung, “tiga orang di belakang gardu,
dua orang di balik pagar dan satu orang memukul kentongan. Apakah kalian
berenam sudah jemu hidup? Dua di antara kalian benar-benar mampu
memanah. Namun yang tiga itu sama sekali tak akan berarti apa-apa.
Jangan membidik terlalu tinggi. Tarik tali busurmu agak kuat, supaya
lari panahmu agak cepat dan keras.”
Yang mendengar suara Sanakeling itu
benar-benar manjadi sangat cemas. Orang itu dapat menebak dengan tepat
berapa orang yang sedang berjaga-jaga digardu itu. Mungkin pemimpin
barisan itu dapat melihat arah lepasnya anak-anak panah. Tetapi ternyata
orang itu dapat menebak pula, siapakah di antara mereka yang
benar-benar mampu melepaskan senjata-senjata itu.
Karena itu maka orang itu pasti seorang yang telah kenyang makan garam pertempuran.
Sebenarnyalah para pemuda di gardu itu
berjumlah enam orang. Dua di antaranya adalah anggota laskar Widura.
Sedang yang empat adalah orang-orang Sangkal Putung. Karena itu, maka
perlawanan mereka pun berbeda dari mereka yang telah mengalami
pertempuran berkali-kali. Meskipun demikian, panah-panah itu benar-benar
menjengkelkan Sanakeling. Karena itu, maka tiba-tiba ia berteriak, “He,
dua atau tiga orang, pergilah mendahului kami. Ambillah orang-orang
yang mencoba merintangi perjalanan kami”
Pemimpin gardu itu terkejut. Sanakeling
hanya memerintahkan dua atau tiga orang. Apakah menurut perhitungannya,
orang-orang yang berada digardu itu benar-benar tidak akan mampu
berkelahi melawan tiga orang saja? Kedua prajurit Pajang itu menggeram.
Mereka pun prajurit yang telah masak. Karena itu maka jawabnya, “Kami
berenam di sini seperti dugaanmu. Jangan mengirimkan dua atau tiga
orang. Marilah, datanglah bersama-sama, supaya kalian dapat menilai
pertahanan Sangkal Putung”
Sanakeling mengerutkan keningnya.
Alangkah besarnya kata-kata penjaga gardu itu. Namun kemudian Sanakeling
itu menjawab, “Baiklah. Agaknya kau ingin bunuh diri” Sanakeling itu
diam sejenak. Namun tiba-tiba ia berteriak, “Menyebar. Masuki Sangkal
Putung. Langsung ke kademangan dan kuasai daerah-daerah perbekalan”
Serentak laskarnya bergerak. Kini mereka
sama sekali tak menghiraukan lagi anak panah yang menghujani mereka dari
balik gardu dan semak-semak.
Ketika kemudian terdengar seorang anggota
laskar Sanakeling itu mengaduh, karena pundaknya terkena anak panah,
Sanakeling menggeram, “Setan, bunuh mereka berenam”
Para penjaga gardu mendengar pula
perintah itu. Karena itu maka terasa dadanya berdesir. Betapapun juga,
maka mereka benar-benar tidak sedang membunuh diri. Dengan demikian maka
mereka harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang akan
terjadi.Pemimpin peronda itu pun kemudian menusup di balik semak-semak
pula bersama ketiga orang yang berada di sekitar gardu. Ketika tanda
bahaya dari gardu itu telah disahut oleh gardu-gardu yang lain dengan
tanda kekhususannya, bahwa sumber tanda itu adalah dari gardunya, maka
pemukul tanda bahaya itu pun melepaskan kentongannya dan bersama-sama
dengan kawan-kawannya menyusup di balik semak-semak pula. dengan
beringsut sedikit demi sedikit, mereka terus mengadakan perlawanan
dengan anak-anak panah mereka.
Namun laskar lawan mereka, menjadi
semakin dekat pula. bahkan beberapa orang tleah berlari melingkar dan
meloncati pagar-pagar batu yang melingkari desa itu.
Orang-orang yang berada di dalam
semak-semak itu merasa, bahwa mereka tidak akan dapat melawan mereka.
Karena itu maka mereka pun semakin dalam membenamkan diri kedalam
padesan sambil mencari perlindungan di dalam gelapnya malam.
Tiba-tiba, keenam orang itu menengadahkan
wajah-wajah mereka. Dari kejauhan mereka mendengar derap orang
berlari-lari. “Laskar cadangan” pikir mereka. Karena itu maka pemimpin
gardu itu pun segera memberikan tanda sandi kepada mereka. “Gardu
selatan. Langsung dari arah angin. Laskar lawan mendekati pada jarak
limapuluh depa”
Sebenarnyalah mereka adalah laskar
cadangan yang berada di kademangan. Namun kekuatan mereka pun tidak
seberapa. Meskipun demikian, keenam orang peronda itu menjadi berbesar
hati. Sebab dengan demikian, maka perlawanan mereka akan menjadi lebih
berarti. Dari kejauhan terdengar pemimpin laskar cadangan itu menjawab,
“Kami segera datang”
Yang menyahut kemudian adalah suara
Sanakeling. “Hem. Kalian memanggil kawan-kawan kalian. Baiklah. Agaknya
kalian ingin mendapat kawan lebih banyak lagi dalam perjalanan kalian ke
akhirat”
Namun beberapa orang Sanakeling itu pun
telah sedemikian dekatnya. Sehingga tiba-tiba saja mereka telah terlibat
dalam perkelahian. Kedua laskar Widura itu segera melepaskan busur
mereka, dan dengan serta-merta mereka telah mencabut pedang-pedang
mereka. Ketika beberapa orang melompat menerkamnya, maka segera terjadi
perkelahian yang sengit. Keempat kawannya itu pun tidak membiarkan kedua
orang itu bertempur sendiri. ketika mereka sudah tidak dapat
membidikkan anak panah mereka, maka mereka pun segera melemparkan busur
mereka, dan dengan golok di tangan mereka menyerbu pula dalam
perkelahian iu. Namun mereka benar-benar belum banyak berpengalaman
dalam pertempuran malam. Karena itu, maka mereka tidak dapat melakukan
perlawanan dengan sebaik-baiknya. Setapak demi setapak mereka terdesak
mundur. Apalagi lawan-lawan mereka kemudian datang berloncatan.
Tetapi dalam pada itu, laskar cedangan
itu pun telah datang pula. segera mereka melibatkan diri dalam
perkelahian itu. Meskipun jumlah mereka belum memadai jumlah laskar
Sanakeling, namun di dalam malam yang gelap itu, amatlah sukar untuk
membedakan, siapa kawan siapa lawan. Meskipun laskar masing-masing
agaknya telah memiliki tanda-tanda sandi mereka masing-masing, namun
dalam keributan pertempuran itu, maka banyak diatara mereka yang menjadi
ragu-ragu. Laskar Jipang dan laskar Pajang yang telah jauh lebih
berpengalaman dari anak-anak muda Sangkal Putung itu pun masih juga
belum dapat menempatkan diri mereka dengan baik. Sebab sebenarnya mereka
tidak terlalu biasa mengadakan pertempuran dimalam hari dalam jumlah
yang cukup besar.
Sanakeling melihat kesulitan itu. Maka
teriaknya kemudian, “Nyalakan obor. Jumlah kita lebih banyak. Apalagi
lawan-lawan kita adalah cucurut-cucurut dari Sangkal Putung”
Pemimpin laskar cadangan itu pun tak mau
anak buahnya berkecil hati karena teriakan-teriakan lawannya. Maka
dengan lantang pula mereka menjawab, “He anak-anak muda Sangkal Putung
yang ikut dalam pertempuran ini. Lihatlah apa yang kami lakukan.
anggaplah pertempuran ini sebagai latihan. Sebab ternyata yang dikirim
oleh Tohpati kemari tidak lebih dari laskar yang mereka temukan di
sepanjang pengungsian mereka”
“Gila” sahut Sanakeling. “Inilah Sanakeling. Siapa yang berteriak-teriak itu”
Pemimpin laskar cadangan itu tergetar
hatinya. Sanakeling. Nama itu pernah didengarnya sebagai pemimpin laskar
Jipang di sebelah utara. Namun ia tidak mau mengecilkan hati anak
buahnya yang sedang bertempur itu. Maka katana di dalam gelap, “Ha.
Bukankah terkaanku benar. Sanakeling yang lari dari tekanan laskar
Pajang di sebelah utara, yang dipimpin langsung oleh Ki Panjawi”
“Gila. Siapakah kau. Ayo tampakkan dirimu”
Namun pemimpin laskar cadangan itu tidak
mendekati Sanakeling. Sebab ia tahu, bahwa orang itu benar-benar bukan
lawannya. Meskipun demikian ia menjawab, “Di sini. Datanglah kemari”
Sanakeling menjadi marah bukan buatan. Ia
meloncat dengan garangnya ke arah suara itu. Namun perkelahian menjadi
semakin ribut. Dan sekali lagi ia berteriak, “Tenaga kita berlebihan.
Sebagian dari kalian nyalakan obor”
Sesaat kemudian beberapa obor telah
menyala. Karena itu daerah pertempuran itu menjadi agak terang. Di
beberapa bagian segera tampak wajah-wajah mereka samar-samar di dalam
bayang-bayang yang selalu bergerak-gerak. Pemimpin laskar Pajang menjadi
cemas karenanya. Dengan demikian keringkihan laskarnya segera akan
nampak. Namun demikian, laskar Pajang bersama laki-laki dari Sangkal
Putung sendiri itu telah siap mengorbankan apa saja yang ada pada
mereka.
Karena itu, maka betapapun besarnya
bahaya yang mengancam, namun mereka sama sekali tidak gentar. Bahkan
dengan demikian, mereka segera menyerbu musuh-musuh mereka, mengamuk
sejadi-jadinya. Mereka telah siap berkorban untuk kampung halaman mereka
yang mereka cintai. Sawah ladang mereka yang telah memberi kepada
mereka makan dan minum, serta lumbung-lumbung mereka, persediaan buat
hari-hari mendatang, persediaan buat anak-anak mereka dimusim paceklik.
Dengan demikian, maka pertempuran di ujung desa Sangkal Putung itu
segera berkobar dengan dahsyatnya. Sanakeling yang melihat keberanian
laskar Sangkal Putung itu menggeram marah. Dengan wajah yang merah padam
segera ia pun terjun ke kancah pertempuran itu.
Namun segera mereka dikejutkan oleh
sorak-sorai yang membahana, seolah-olah mengalir di sepanjang jalan di
sisi desa itu. Sesaat kemudian mereka melihat obor yang beterbangan
menuju kekancah pertempuran itu. Kemudian di antara sorak yang
menggelegar itu terdengar suara lantang, “He, siapakah yang memimpin
sempalan laskar Tohpati?”
Suara itu belum terjawab. Namun obor-obor
yang seolah-olah beterbangan berebut dahulu itu menjadi semakin dekat.
Dari antara mereka terdengar kembali suara, “Angin barat. Sayap selatan.
Ayo, siapa yang berada di pihak lawan?”
Mendengar suara itu laskar Pajang yang
sedang bertempur itu pun tiba-tiba bersorak pula. mereka mengenal tanda
sandi itu, dan mereka pun mengenal suara itu, suara Widura. Karena itu
maka segera mereka menyahut, “Laskar mereka dipimpin oleh Sanakeling”
“Setan” geram Sanakeling, “Siapa yang datang?”
Sebenarnyalah yang datang itu adalah
Widura beserta sebagian laskarnya. Dengan tergesa-gesa mereka
berloncatan di atas parit-parit dan pematang supaya mereka segera sampai
ke Sangkal Putung. Ketika mereka melihat nyala obor yang menerangi
daerah sekitar gardu selatan itu hati mereka menjadi berdebar-debar.
Rupanya laskar lawan benar-benar telah sampai ke Sangkal Putung. Tanda
bahaya yang menggema di seluruh kademangan, telah mendorong mereka untuk
berjalan lebih cepat. Karena itu kemudian mereka tidak saja berjalan
cepat-cepat, namun mereka telah berlari-larian berebut dahulu.
Demikian mereka memasuki Sangkal Putung.
Maka segera Widura memerintahkan kepada laskarnya untuk mempengaruhi
pertempuran itu dengan caranya. Laskar yang dibawanya itu segera
bersorak dengan riuhnya.
Ternyata usaha Widura itu pun mempunyai
pengaruh pula. laskar cadangan yang lebih dahulu telah terlibat dalam
pertempuran itu menjadi berbesar hati, sehingga karena itu maka
perlawanannya menjadi semakin seru. Meskipun saat-saat itu tidak terlalu
panjang, namun saat-saat itu adalah saat-saat yang menentukan. Tekanan
yang berat dari laskar Sanakeling, hampir-hampir menjebolkan laskar
cadangan itu. Apabila demikian, maka arus mereka benar-benar akan
melanda kademangan. Sehingga kademangan dan seluruh Sangkal Putung pasti
akan menjadi geger.
Beberapa orang dari laskar Sanakeling itu
telah siap untuk langsung menerobos masuk ke Sangkal Putung. Namun
karena sorak sorai yang riuh itu, serta nyala api obor yang meluncur
dengan cepatnya ke daerah pertempuran, terpaksa mereka mengurungkan niat
itu. Mereka menunggu sementara apa yang akan terjadi.
Sanakeling yang melihat perubahan di
dalam tata pertempuran itu segera mengatur anak buahnya. Mereka yang
telah bersiap untuk langsung masuk ke jantung Sangkal Putung segera
ditariknya kembali. Mula-mula Sanakeling itu berharap, bahwa dengan
sebagian saja dari laskarnya, maka laskar cadangan itu akan dapat
dimusnahkan, sedang yang lain-lain akan dapat merambas jalan masuk
kepusat kademangan itu sebelum laskar Tohpati datang. Namun tiba-tiba
rencananya itu terpaksa diurungkan. Dengan marahnya terdengar Sanakeling
itu menggeram, “He, ternyata cecurut-cecurut itu bertambah pula. jangan
diberi kesempatan untuk memandang fajar esok”
Terdengar kemudian suara tertawa, “Aku pernah mendengar suara itu” berkata suara itu di antara tertawanya.
“Setan” Sanakeling itu mengumpat, “Siapakah yang memimpin laskar Pajang itu?”
“Apakah kau Sanakeling?” sahut Widura yang belum menampakkan dirinya.
Sanakeling menggeram keras sekali. Sementara itu, laskar Widura telah terjun pula kedalam pertempuran yang menjadi semakin riuh.
“Inilah Sanakeling” teriak Sanakeling.
Sesaat Widura melihat pertempuran itu. Ia
melihat beberapa orang laskarnya menebar. Mengambil arah yang tepat,
langsung menghadapi laskar Sanakeling. Beberapa orang di antaranya
memegang obor di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Sedang beberapa
orang yang lain berusaha melindunginya. Karena itu maka pertempuran itu
pun bertambah ribut pula. Obor-obor berhamburan kian kemari pada kedua
belah pihak. Sedang kawan-kawan mereka sibuk mempertaruhkan nyawa
mereka.
Gemerincing pedang di antara pekik sorak
gemuruh membelah sepi malam. Sekali-sekali terdengar sebuah jerit yang
membumbung tinggi.
Tajam pedang berkilat-kilat dalam sinar
obor yang kemerah-merahan. Tetapi warna merah itu telah bertambah merah
karena darah yang tertumpah.
“Perang brubuh” desah Widura, “keduanya
tidak lagi pasang gelar. Tetapi tiba-tiba Widura terkejut. Di antara
riuhnya pedang, tampaklah seseorang yang meloncat-loncat dengan
lincahnya. Sekali-sekali pedangnya terjulur dan kemudian terayun deras
sekali. Widura itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “itulah Sanakeling”
desisnya. “Pedang di tangan kanan dan bindi di tangan kiri.”
Widura tidak dapat membiarkannya
menyambar-nyambar di antara laskarnya. Karena itu, maka dengan
tangkasnya ia meloncat langsung menghadapi pemimpin laskar Jipang dari
utara itu.
“He” Sanakeling itu terkejut ketika ia melihat Widura hadir dalam pertempuran itu.
Widura kini telah tegak di hadapannya
dengan sebuah pedang yang khusus. Pedang yang tidak terlalu tajam, namun
ujungnya runcing seruncing ujung jarum.
“Aku memang mengharap dapat bertemu dalam pertempuran ini.” Berkata Sanakeling.
“Sekarang kau telah berhadapan dengan Widura. Menyesal bahwa pertempuran kita kali ini tidak terlalu leluasa.” Sahut Widura.
Sanakeling menggeram. Widura telah lama
dikenalnya, dan ia telah mengenal pula kemampuan yang tersimpan di dalam
dirinya. Mereka dulu adalah kawan yang baik meskipun tidak terlalu
akrab. Namun keadaan yang memisahkan Pajang dan Jipang sesudah Sultan
Trenggana wafat, telah memutuskan hubungan mereka pula.
Dan Sanakeling pun tahu, siapa yan
memimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Dari Tohpati dia mendengar,
bahwa Widura beberapa waktu dahulu, setelah ia memimpin sendiri laskar
Pajang di Sangkal Putung. Mungkin karena tanggung jawab yang sepenuhnya
berada di pundaknya. Mungkin karena ketekunannya berlatih. Dan dari
Tohpati ia mendengar bahwa dalam barisan Widura itu pula terdapat
seorang anak muda yang bernama Sidanti, murid Ki Tambak Wedi.
Sanakeling menyadari bahwa ia harus
berhadapan dengan salah satu di antara keduanya. Kalau ia harus melawan
Sidanti maka Plasa Ireng lah yang harus melawan Widura atau sebaliknya.
Sedangkan Tohpati akan dapat dengan
leluasa membuat rencana mengatur laskarnya untuk langsung menembus
jantung Sangkal Putung. Mungkin Plasa Ireng masih belum memadai kekuatan
Widura atau Sidanti, namun Alap-alap Jalatunda akan dapat
menyelesaikannya. Betapapun, tetapi anak muda yang menamakan dirinya
Alap-alap Jalatunda memiliki beberapa kelebihan dari orang-orang lain di
dalam laskar Tohpati yang diperkuat itu.
Dan kini, ternyata yang tampil di
hadapannya adalah Widura. Karena itu maka katanya, “Apakah aku
berhadapan dengan induk pasukan?”
Widura mengerutkan keningnya. Tiba-tiba
ia berpaling dan berkata kepada seseorang yang berdiri tegak di
sampingnya dengan sebuah tombak pendek di tangan. Orang itu adalah
seorang penghubung yang memang sedang menunggu perintah. Karena itu ia
tidak turut bertempur.
“Sampaikan kepada laskar yang tinggal, bahwa aku tetap berada di Sangkal Putung. Sebab aku bertemu kawan lamaku Sanakeling.”
Orang itu mengangguk, namun ketika ia sedang bergerak maka Sanakeling itu berteriak, “tungggu”
Orang itu berhenti, namun Widura memberi isyarat untuk berjalan terus. “He” teriak Sanakeling, “berhenti”
Tetapi orang itu tidak berhenti. Karena itu Sanakeling berteriak pada anak buahnya, “hentikan orang itu”
Seseorang meloncat maju memburunya. Namun
orang itu telah tenggelam di balik lindungan beberapa orang kawannya,
sehingga Sanakeling seterusnya hanya mengumpat-umpat.
“He,Widura,” bertanya Sanakeling itu pula, “apakah aku berhadapan dengan induk pasukan?”
Widura berpikir sejenak, “kemudian katanya, “ya, kau berhadapan dengan induk pasukan.”
Sanakeling mengerutkan keningnya, namun
kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Katanya, “jadi inikah induk pasukan
Sangkal Putung yang kau bangga-banggakan?”
“Aku tak pernah membangga-banggakannya. Sekarang kau melihatnya sendiri.”
“Hem” Sanakeling menggeram pula. Sekali
lagi ia memandang pertempuran itu. Ia kini benar-benar terkejut. Dalam
pertempuran itu terjadi banyak sekali perubahan hanya dalam waktu yang
sangat pendek. Ternyata kehadiran laskar Widura benar-benar telah
merubah keseimbangan pertempuran itu.
“Gila” Sanakeling mengumpat dengan
kasarnya, “ketahuilah Widura, di belakangku masih ada bagian dari laskar
yang jauh lebih kuat dari laskar ini. Kalau aku sudah berhadapan dengan
induk pasukan maka pasukanmu yang lain sesaat kemudian pasti sudah akan
musnah. Dan kemudian akan datang saatnya induk pasukanmu ini musnah
pula.
Widura tersenyum. Jawabnya, “Ya, aku
tahu. Sisa-sisa laskar Jipang agaknya benar-benar telah dipusatkan di
sekitar Sangkal Putung. Kalau sempalan laskarnya di sini dipimpin
Sanakeling, maka dibagian yang lain masih ada Tohpati sendiri, Plasa
Ireng, Alap-alap Jalatunda dan siapa lagi?”
“Gila, kau sadari kedudukanmu Widura,
kalau begitu kau telah benar-benar siap mati. Nah lihatlah, Sangkal
Putung untuk yang terakhir kalinya.
Widura bergeser setapak. Di sekitarnya
pertempuran masih berkecamuk. Namun mereka seolah-olah sama sekali tak
menghiraukan kedua pemimpin yang asyik bercakap-cakap itu.
Tetapi kini mereka sudah tidak
bercakap-cakap lagi. Mereka masing-masing telah mengangkat pedang, dan
terdengar Sanakeling itu berkata, “kau harus mati dulu Widura. Laskarmu
akan buyar dengan sendirinya.”
“Aku atau kau” sahut Widura.
Sanakeling tidak menjawab. Digerakkannya pedangnya sambil berkata, “apakah dadamu sudah berperisai baja.”
Widura menyilangkan pedangnya di muka dadanya sambil, menjawab, “Inilah perisaiku.”
Sanakeling sudah tidak melihat
kemungkinan lain daripada menyelesaikan dahulu orang ini, pemimpin
laskar Sangkal Putung itu. Dengan demikian maka laskar Sangkal Putung
itu akan menjadi tercerai berai dengan sendirinya. Apalagi kalau laskar
Tohpati kemudian datang melanda desa yang sedang ketakutan itu maka
semuanya akan segera selesai. Meskipun ia menjadi cemas juga melihat
perkembangan pertempuran itu.
Karena itu maka segera ditundukkannya pedangnya. Dengan gerakan pendek dijulurkannya pedang itu ke dada Widura.
Gerak Sanakeling itu menjadi isyarat dari
suatu perkelahian yang akan menjadi dasyat sekali. Sebab Widura
kemudian mundur selangkah sambil menangkis dengan pedangnya. Sentuhan
dari kedua pedang itu untuk yang pertama kalinya, disusul dengan
sentuhan-sentuhan yang berikutnya. Semakin lama menjadi semakin dasyat.
Dan berkobarlahh pertempuran antara Widura dan Sanakeling itu.
Kedua-duanya adalah pemimpin yang telah cukup banyak makan asam garamnya
peperangan. Masing-masing telah banyak memiliki perbendaharaan
pengalaman di dalam dirinya. Karena itu maka perkelahian itu segera
menjadi perkelahian yang sengit. Sanakeling pernah mendengar keteguhan
perlawanan Widura dari Tohpati sehingga ia dapat membandingkannya dengan
apa yang pernah dilihatnya atas orang itu dahulu. Sedang Widura pernah
mendengar tentangan dari berbagai pihak. Ketrampilannya, kecepatannya
dan ketangguhannya.
Kini mereka berhadapan dalam satu
pertempuran. Dan ternyata apa yang telah mereka dengar itu sebenarnyalah
demikian. Sanakeling terpaksa mengagumi ketangguhan lawannya, sedang
Widura terpaksa berhati-hati karena ketrampilan Sanakeling itu
benar-benar mengherankan.
Dalam pada itu, penghubung yang mendapat
perintah Widura memberitahukan keadaan Sangkal Putung itu kepada Untara,
segera melakukan tugasnya. Dengan berlari-lari kecil ia menghampiri
kudanya yang ditambatkannya di dalam gelap tidak jauh dari pertempuran
itu, ditunggui oleh beberapa orang kawannya. Dengan tangkasnya ia
meloncat ke atas punggung kudanya, dan seperti angin kuda itu dipacunya
ke tempat kedudukan Untara, di ujung Barat dari sebuah desa kecil dari
kademangan Sangkal Putung.
Untara menerima berita itu dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “baik. Aku terima beritamu.”
Sesaat kemudian Untara segera mengurai
keadaan yang dihadapinya. Kini ia benar-benar memimpin induk pasukan
yang diserahkan oleh Widura itu kepadanya.
Ketika ia melihat Sidanti di antara
mereka, maka anak muda itu segera dipanggilnya, “Sidanti, sampai saat
ini belum ada laporan bahwa induk pasukan Tohpati akan merubah arah.
Kalau ia menempuh jurusan ini, maka kita segera akan berhadapan.
sekarang, kau aku serahi untuk memimpin laskar sayap kanan. Atas nama
kakang Widura, yang dikuasakan kepadaku, ambillah pimpinan itu. Kalau
Tohpati telah terlibat dalam pertempuran dengan induk pasukan ini, maka
ambillah arah lambung dan usahakan serangan itu dengan sangat tiba-tiba”
Tetapi Untara itu terkejut ketika Sidanti
menjawab sama sekali diluar dugaannya, “Aku adalah anak buah kakang
Widura. berilah perintah kepada kakang Widura. dan biarlah kakang Widura
yang memberi perintah kepadaku”
Untara mengerutkan keningnya. Meskipun demikian ditahannya hatinya, katanya, “Aku di sini mendapat kekuasaan dari kakang Widura”
Sidanti itu tersenyum. “Aneh, pangkat serta jabatanmu lebih tinggi dari kakang Widura. Apakah wajar kalau kau mewakilinya?”
Untara menarik nafas dalam-dalam.
Pandangan matanya melontar jauh menembus gelapnya malam, telah siap
menerkamnya, Macan Kepatihan beserta laskarnya yang benar-benar telah
mengerahkan segenap kekuatan yang ada pada mereka.
Karena itu, betapa darahnya bergolak,
namun Untara mencoba sekuat-kuat tenagana untuk melawannya. Bahkan
katanya kemudian, “Sidanti, kau benar-benar perasa. Dalam keadaan
seperti sekarang ini, marilah kita lupakan segala persoalan di antara
kita masing-masing. Marilah kita lupakan seandainya ada perselisihan di
antara pribadi kita masing-masing. Marilah kita pusatkan kemampuan yang
ada pada kita untuk menghadapi lawan kita. Macan Kepatihan beserta
laskarnya”
Sidanti mendengar kata-kata Untara itu.
Terasa juga sesuatu menyentuh dadanya, sehingga karena itu katanya,
“Baiklah. Untuk kali ini aku penuhi perintah yang tidak lewat saluran
yang sewajarnya itu, demi keselamatan Sangkal Putung”
“Terima kasih Sidanti” sahut Untara
Sidanti itu pun segera pergi kesayap
kanan. Atas nama pimpinan laskar Sangkal Putung ia memegang pimpinan
sayap kanan. Apabila induk pasukan telah terlibat dalam pertempuran,
maka ia harus segera menyerang dari arah lambung.
Beberapa orang yang berada di sayap kanan
itu menjadi kecewa atas kehadirannya. Tetapi mereka dalam keadaan yang
genting, sehingga Karena itu mereka tidak berbuat apa-apa. mereka
menyadari bahwa Sidanti adalah kekuatan yang tangguh untuk melawan
setiap pimpinan yang namanya menakutkan dari pihak lawan. Para anggota
itu pun telah mendengar bahwa di dalam pasukan lawan itu terdapat pula
nama-nama Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda, Sanakeling dan yang
lain-lain.
Di seberang kegelapan malam, Tohpati
sedang sibuk menilai keadaan pula. ketika didengarnya tanda bahaya
meraung-raung di seluruh Sangkal Putung, maka Macan Kepatihan itu
tertawa. katanya kepada Plasa Ireng, “Mudah-mudahan laskar Pajang
ditarik sebagian besar ke arah suara itu”
Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda yang
muda itu tertawa pula. sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mereka
berkata, “Tanda bahaya itu pasti akan menarik sebagian besar dari
mereka. Karena itu marilah kita menerobos langsung kepusat Kademangan
Sangkal Putung. Sebagian dari kita, masih akan sempat menyelamatkan
laskar Sanakeling, apabila ia keroban lawan.
Macan Kepatihan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Bagus. Marilah kita bergerak”
Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda
segera pergi ke kekelompoknya masing-masing. Dan sesaat kemudian Tohpati
itu pun segera memerintahkan laskar induk itu untuk maju.
Ternyata laskar induk itu tidak saja
berjalan dalam gerombolan yang liar. Mereka berada dalam sebuah garis
yang luas, hampir dalam gelar Garuda Ngalayang meskipun tidak sempurna.
Sengaja Tohpati memisahkan sayap-sayapnya
dengan jarak yang cukup untuk memberi kesempatan kepada sayap-sayapnya
itu melakukan kebijaksanaan menurut keadaan. Apabila ternyata laskar
lawan tidak begitu berat, maka sayap-sayap pasukannya dapat
berjalanterus menuju kejantung Sangkal Putung. Menduduki tempat-tempat
yang penting, terutama lumbung-lumbung padi serta tempat-tempat
perbekalan yang lain. Kemudian kademangan dan banjar desa. Tetapi kalau
lawan yang dihadapi cukup kuat, maka mereka harus menempuhnya dari
lambung.
Pengawas yang dipasang oleh Widura segera
melihat kedatangan laskar lawan itu dalam tebaran yang luas. Karena itu
segera ia merangkak-rangkak dan berusaha secepatnya menyampaikan berita
itu kepada induk pasukannya.
Untara yang menerima berita itu segera
mengatur laskarnya. Dipecahnya sebagian dari induk pasukan itu, untuk
dengan tergesa-gesa menempati sayap kiri.
“Citra Gati memimpin sayap ini?” berkata Untara.
Citra Gati termangu-mangu sejenak.
Dipandangnya Agung Sedayu dengan sudut matanya. Namun ia tidak bertanya
sesuatu. Meskipun demikian Untara memaklumi. Katanya, “Citra Gati,
pimpinlah sayap ini. Biarlah Agung Sedayu besertamu. Ia bukan salah
seorang dari laskar paman Widura, sehingga ia tidak dapat memegang
pimpinan apapun. Tetapi ia akan dapat memberimu bantuan.”
Agung Sedayu menarik nafas. Meskipun kini
ia tidak gemetar lagi, namun bagaimanapun juga, ia masih selalu ingin
bersama-sama dengan kakaknya. Tetapi ia tidak dapat membantah. Karena
itu maka katanya, “Baik, kakang.”
“Cepat, berangkatlah.”
Citra Gati dan Agung Sedayu itu pun
segera membawa sebagian laskar Pajang dan beberapa anak-anak muda
Sangkal Putung beserta mereka. Di antara mereka adalah Swandaru yang
seolah-olah ingin berada didekat Agung Sedayu.
Kini Untara tinggal menantikan kedatangan
laskar Tohpati. Namun Untara tidak ingin bertempur di dalam desa yang
gelap pekat. Karena itu, maka dibawanya laskarnya menyongsong induk
laskar Tohpati yang semakin lama semakin dekat.
Setelah Untara itu menempuh jarak
beberapa puluh langkah dari pedesaan maka laskarnya segera dihentikan.
Diperintahkannya untuk menempatkan diri masing-masing sedemikian,
sehingga tidak segera dapat dilihat oleh lawan-lawan mereka yang sedang
mendekati. Apalagi dalam malam yang gelap segelap malam itu. Hanya
cahaya bintang yang berkedipan di langit sajalah yang dapat memberi
kemungkinan untuk dapat memandang pada jarak yang dekat.
Tetapi ternyata laskar Tohpati itu tidak
maju langsung dalam gelarnya. Ternyata beberapa orang diperintahkan oleh
Macan Kepatihan itu merambas jalan. Mereka berkewajiban untuk
mengetahui, apakah jalan yang mereka tempuh itu tidak berbahaya. Sebab
Tohpati memang sudah menyangka, bahwa laskar Widura tidak akan
menunggunya saja di padesan yang berada dimukanya itu.
Meskipun demikian, namun laskar yang
dipimpin oleh Untara itu pun memiliki pengalaman yang cukup. Karena itu,
ketika mereka telah mengendap di balik pematang, maka dibiarkannya tiga
orang laskar Tohpati yang mendahului barisannya untuk berjalan dengan
tenang. Dibiarkannya orang itu melampaui barisan Untara yang diam-diam
menunggu kehadiran lawannya.
Karena itulah maka, laskar Tohpati pun
berjalan dengan tenangnya setenang ketiga orang yang mendahuluinya itu.
Mereka tidak menduga bahwa laskar Widura yang dipimpin Untara beserta
anak-anak muda Sangkal Putung itu telah menunggu mereka di balik
lindungan bayangan pematang yang hitam kelam. Maka ketika laskar Tohpati
itu sudah semakin dekat, tiba-tiba terdengar suara Untara memecah sepi
malam, mengatasi suara angin yang berdesah di antara daun-daun padi yang
masih sangat muda. Di antara heningnya malam terdengar suara itu,
“Sergap…….!”
Seperti kuda yang lepas dari ikatan, maka
laskar Untara itu pun berloncatan dari balik-balik pematang, langsung
menyergap lawan-lawan mereka yang terhenti karena terkejut. Ternyata
mereka masih memerlukan waktu sekejap untuk melenyapkan desir yang
menggoncangkan dada mereka. Dengan serta-merta mereka menjulurkan
senjata-senjata mereka untuk menyongsong laskar Pajang yang melibat
mereka seperti badai.
“Setan” geram Tohpati. Dengan lantang ia berkata, “Sayap kanan dan kiri, lihat perkembangan keadaan”
Sayap-sayap kanan dan kiri itu pun tidak
segera meneruskan perjalanan mereka menyusup langsung kejantung Sangkal
Putung. Mereka menunggu sesaat untuk melihat perkembangan keadaan induk
pasukannya.
Tiga orang yang mendahului gelar laskar
Macan Kepatihan itu ternyata terkejut bukan kepalang. Cepat mereka
berloncatan kembali dan langsung melibatkan diri dalam pertempuran
melawan orang-orang Pajang. Keadaan itu benar-benar tak disangkanya.
Ternyata orang-orang Pajang telah berhasil dengan baik, menjebaknya dan
menyergap pasukannya.
Pertempuran itu pun segera berkobar
dengan sengitnya. Tetapi pertempuran ini tidak berlangsung di
tengah-tengah desa yang rimbun dalam gelap pepat. Di udara terbuka, maka
mereka masih mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk mengamati kawan
dan lawan. Meskipun demikian pertempuran itu tidak berlangsung terlalu
cepat. Masing-masing masih juga ragu-ragu untuk mengayunkan
pedang-pedang mereka dengan lepas. Karena itu, baik laskar Macan
Kepatihan maupun laskar Widura dibawah pimpinan Untara itu pun
menganggap perlu bahwa beberapa orang di antara mereka menyalakan
obor-obor.
Ternyata laskar yang dihadapi oleh
Tohpati itu cukup berat, sehingga terdengar suara Macan Kepatihan itu
lantang, “Sayap-sayap kanan dan kiri, ikutlah menghancurkan lawan di
sini. Baru kemudian kami bersama-sama memasuki Sangkal Putung”
Untara mendengar pula aba-aba itu. Tetapi
ia tidak memberi aba-aba imbangan. Dibiarkannya sayap-sayapnya
menyergap kemudian setelah pertempuran menjadi riuh.
Sayap-sayap kanan dan kiri dari laskar
Tohpati itu pun kemudian segera menyergap lawannya dari arah lambung.
Sehingga dengan demikian pertempuran itu menjadi bertambah sengit.
Ketika sekali lagi Untara mengawasi pertempuran itu, maka hatinya
menjadi tenang. Jumlah laskarnya kini telah seimbang dengan laskar
Tohpati. Namun meskipun demikian, kemudian disadarinya, bahwa anak-anak
muda Sangkal Putung yang ikut serta dengan mereka, masih belum memiliki
kekuatan yang sama dengan laskar Pajang sendiri. Karena itu maka Untara
kemudian memerintahkan kepada dua orang penghubung untuk segera
menggerakkan sayap-sayap laskar mereka.
Macan Kepatihan itu tersenyum melihat
keseimbangan pertempuran. Menurut perhitungannya, maka ia akan dapat
mengatasi lawannya itu. Namun ia tidak tahu, bagaimanakah keadaan laskar
Sanakeling. Kalau induk pasukan Pajang telah ditarik untuk melawan
laskar Sanakeling, maka keadaan Sanakeling pasti akan gawat. Karena itu
maka Macan Kepatihan segera mengerahkan segenap kekuatan yang ada padana
untuk menebus kekalahan kecil yang dialaminya pada benturan pertama.
Tetapi semakin lama Macan Kepatihan itu
menjadi semakin yakin, bahwa laskarnya akan dapat menjebolkan pertahanan
pasukan Pajang dan akan dapat langsung memasuki induk desa Sangkal
Putung.
Namun tiba-tiba ia terkejut. Dilihatnya
sekumpulan pasukan muncul di arah selatan, langsung menyerbu kedalam
perkelahian itu. Sesaat ia berdiri tegak seperti patung, kemudian
terdengar suaranya lantang, “Sayap kiri, siap melawan sayap lawan”
Yang berdiri disayap kiri terkejut
mendengar teriakan itu. Seorang anak muda dengan mata yang tajam setajam
mata alap-alap menengadahkan wajahnya. dilihatnya sekelompok laskar
langsung menyerbu ke arah mereka yang sedang menghantam lawan dari arah
lambung iu. Dengan tergesa-gesa anak muda itu menarik beberapa orangnya,
yang dengan tergesa-gesa pula melepaskan lawan-lawan mereka.
Dengan marahnya anak muda yang memimpin
sayap kanan laskar Macan Kepatihan itu menggeram. Kemudian dengan
senjata di tangan ia mendahului anak buahnya menloncat menyongsong
laskar yang datang itu.
Yang berdiri dipaling depan dari laskar
Pajang adalah Citra Gati. Ketika ia melihat lawan menyongsongna, segera
ditundukkannya pedangnya. Dan tanpa berkata sepatah kata pun maka kedua
orang itu telah terlibat dalam satu perkelahian, sedang anak buah mereka
pun segera menghambur, dan dengan sengitnya kemudian campuh beradu
senjata.
Agung Sedayu yang berada di dalam sayap
itu melihat Citra Gati bertempur dengan sekuat tenaganya. Lawannya
adalah seorang anak muda yang lincah, namun serangannya kuat dan garang.
Tiba-tiba dada Agung Sedayu bedesir, “Alap-alap Jalatunda” desisnya.
Namun ia tidak berbuat sesuatu atas perkelahian di antara kedua pemimpin
sayap itu. Ketika kedua belah pihak telah tenggelam dalam suatu
pertempuran, Agung Sedayu pun ikut bertempur pula. pertempuran ini
adalah pertempuran yang pertama kali dialami. Meskipun dengan pedangnya
ia mampu melawan setiap serangan yang datang kepadanya, namun terasa
sesuatu bergolak di dalam dadanya. Ketika sekali pedangnya terayun,
memukul pedang lawannya dengan kekuatannya yang tercurah sepenuhnya,
maka pedang lawannya itu terpental jatuh. Kini kesempatan terbuka
baginya. Lamat-lamat ia melihat wajah orang itu dalam cahaya obor
dikejauhan menyeringai pedih. Dilihatnya betapa wajah itu menjadi
ketakutan melihat pedangnya. Ketika tangan Agung Sedayu terjulur, dan
ujung pedangnya hampir menembus dada lawannya, tiba-tiba ia menjadi
ragu-ragu. Ketakutan yang terbayang di wajah lawannya yang telah tidak
bersenjata itu membangkitkan iba di hatinya. Ia belum pernah membunuh
orang. Dan ia sendiri pernah mengalami, betapa sakit perasaan yang
dikejar-kejar oleh ketakutan. Karena itu maka tiba-tiba tangannya yang
sudah terjulur itu digerakkan ke samping, sehingga pedangnya tidak
menembus dada lawannya yang telah berputus asa.
Lawannya terkejut bukan main. Matanya
telah menjadi gelap dan harapannya telah putus. Sekilas terbayang
istrinya yang masih muda menunggunya, serta anaknya yang baru berumur
tiga bulan. Anak yang masih belum pernah ditimangnya, sebab selama ini
ia selalu mengembara dari satu tempat kelain tempat bersama-sama dengan
Alap-alap Jalatunda atau pemimpin-pemimpin Jipang yang lain.
Tetapi tiba-tiba terasa kaki lawannya itu
mendesak dadanya, dan terdengar suaranya lirih, “Pergi. Kalau kau masih
berdiri disitu, aku bunuh kau”
Orang itu benar-benar tidak mengerti.
Namun secepat kilat ia meloncat ke samping, menyusup di antara
teman-temannya dan dengan nafas terengah-engah ia berdiri di belakang
pertempuran itu. Sesaat ia mencoba untuk mengenangkan apa yang baru saja
terjadi. “Mustahil, mustahil” katanya dalam hati sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun ternyata ia masih hidup. Ketika ia
menggeleng-gelengkan kepalanya, maka yang dilihatnya masih saja
perkelahian yang seru. Ia tidak sedang mimpi. Karena itu segera ia
meloncat kembali, mengambil pedang seorang kawannya yang terluka, “Mari,
berikan senjata itu kepadaku”
Kawannya yang terluka itu merangkak ke
samping. Diberikannya pedangnya kepada kawannya sambil berdesah,
“Bunuhlah. Bunuhlah siapa saja yang kau temui. Aku sudah dilukainya. Dan
lukaku parah”
Orang itu menerima pedang itu dengan
tangan gemetar. Kawannya dilukai dadanya, sedang dirinya sendiri, yang
telah pasrah pada nasib, tiba-tiba mendapat kesempatan untuk hidup. Dan
apakah sekarang ia harus membunuh?
Tetapi ia tidak mendapat kesempatan ntuk
berpikir lebih panjang. Sekali lagi ia meliat seorang kawannya jatuh
terlentang dengan luka di dadanya. Karena itu segera ia meloncat kembali
memasuki arena pertempuran yang menjadi kian sengit.
Agung Sedayu masih juga bertempur dengan
gagahnya. Namun ketika ia melihat beberapa orang kawan dan lawannya
terluka, maka kepalanya menjadi serasa pening. Kini lututnya sudah tidak
gemetar karena ketakutan. Apalagi setelah ternyata ia dapat melepaskan
diri dari berbagai bahanya. Namun ia masih belum sampai hati untuk
membunuh orang, meskipun dalam pertempuran.
Tetapi sementara itu pertempuran berjalan
terus. Citra Gati dengan gigihnya bertempur melawan Alap-alap
Jalatunda. Alap-alap yang masih muda itu bertempur dengan tangkasnya.
Pedangnya menyambar-nyambar seperti beratus-ratus pedang.
Tetapi Citra Gati pun cukup
berpengalaman. Pedangnya pun berputar seperti baling-baling. Dengan
sepenuh tenaga dicobanya untuk melawan Alap-alap Jalatunda. Namun
Alap-alap Jalatunda itu mempunyai beberapa kelebihan daripadanya.
Kelincahan dan kecepatannya. Sekali ia menyambar dari samping, namun
dengan cepatnya pedangnya telah terjulur ke arah lambung.
Agung Sedayu yang berdiri beberapa
langkah dari pertempuran itu kadang-kadang dapat menyaksikannya dengan
cermat. Ia melihat, bahwa Alap-alap Jalatunda itu benar-benar tangkas.
Tetapi meskipun demikian, kini Agung Sedayu itu tidak menjadi gentar
seperti pada saat ia melihat Alap-alap Jalatunda bertempur melawan
kakaknya. Bahkan tiba-tiba terungkatlah kebenciannya kepad Alap-alap
Jalatunda itu. Sebab ia adalah salah seorang dari mereka yang
menyebabkan kakaknya terluka pada waktu itu.
Karena itu untuk melepaskan
kebimbangannya melawan setiap orang yang belum pernah dikenalnya dalam
laskar lawannya, maka tiba-tiba Agung Sedayu itu pun meloncat mendekati
Citra Gati. Ia sama sekali tidak cemas lagi melihat pedang Alap-alap
Jalatunda itu. Meskipun demikian, ia menjadi berdebar-debar juga. Kalau
ia terpaksa terlibat dalam pertempuran yang seimbang, apakah ia harus
membunuh lawannya? Namun demikian, ada juga keinginannya untuk
melepaskan gelora yang tersekap di dalam dadanya. Gelora kemarahannya
kepada Sidanti yang belum ditumpahkannya.
Alap-alap Jalatunda yang sedang bertempur
melawan Citra Gati itu melihat seseorang mendekati perkelahian itu.
Karena itu segera ia berteriak, “Ha, siapa lagi yang ingin bertempur
melawan Alap-alap Jalatunda?”
Dalam pada itu seorang prajurit Jipang
tiba-tiba menyerang Agung Sedayu. Namun dengan tangkasnya Agung Sedayu
menghindari serangan itu, bahkan dengan kerasnya ia memukul pedang
lawannya, ke arah yang sama, sehingga justru Karena itu, maka pedang itu
pun meloncat dan terlepas dari tangannya.
Alap-alap Jalatunda sempat menyaksikan
ketangkasan itu. Karena itu maka segera perhatiannya tertarik kepada
lawan yang mendekatinya. Sambil bertempur melawan Citra Gati ia berkata,
“He, alangkah tangkasnya anak itu. Siapakah kau? Apakah kau ingin
melawan Alap-alap Jalatunda?”
Agung Sedayu tidak segera menjawab. namun
diamatinya perkelahian antara alap-alap itu melawan Citra Gati. Baru
sesaat kemudian ia berkata, “Aku Agung Sedayu, adik Untara yang kau
cegat berempat di sekitar Macanan”
“He, kaukah itu? Pengecut yang selama ini aku cari-cari”
“Kita bertemu di sini. Apakah aku benar-benar pengecut?”
Citra Gati menjadi heran. Apakah mereka
sudah berkenalan? Tetapi kemudian diingatnya cerita Agung Sedayu tentang
perjalanannya malam-malam ia pertama kali datang di Sangkal Putung.
Karena itu maka katanya sambil menggerakkan pedangnya, menangkis
serangan Alap-alap Jalatunda, “Apakah kau bertemu dengan kawan lama?”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
“Kalau kau yang bertempur melawan aku
sekarang, maka aku akan dapat melepaskan sakit hatiku. Bukankah kakakmu
yang namanya Untara itu membunuh tiga orang kawan-kawanku?” teriak
Alap-alap Jalatunda.
Agung Sedayu menarik nafas. Kemudian katanya, “Kau masih marah?”
“Setan” desis Alap-alap Jalatunda. “Kalau
kau tidak melarikan diri waktu itu, maka kau telah aku cincang di bawah
randu alas ditikungan”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. “Ya”
katanya dalam hati. “Kalau pada saat itu Kiai Gringsing tidak
menolongku, mungkin aku benar-benar telah dicincangnya”
Kemudian jawabnya, “Tetapi sekarang kita bertemu lagi”
“Jangan lari. Setelah aku menyelesaikan yang seorang ini, akan datang giliranmu”
Citra Gati tersinggung mendengar
kata-kata itu. Karena itu ia memperketat serangannya sambil berteriak,
“Apa kau sangka aku ini dapat kau kalahkan?”
Alap-alap Jalatunda terkejut. Serangan
Citra Gati benar-benar berbahaya. Sedang seorang yang lain telah
menyerang Agung Sedayu pula. namun sekali lagi dengan mudahnya Agung
Sedayu dapat menghindarinya. Bertempur beberapa saat, kemudian dengan
sejuat tenaga melawan serangan orang itu dengan serangan pula, sehingga
kedua senjata mereka beradu. Ketika pedang lawannya itu masih bergetar
di tangannya, mak dengan cepatnya Agung Sedayu memukul pedang itu
sehingga terlepas pula dari genggamannya. Namun sekali lagi ia ragu-ragu
untuk membunuhnya. Maka dibiarkannya lawannya itu berlari menyusup di
antara riuhnya pertempuran.
Kini, setelah beberapa kali Agung Sedayu
meyakinkan kemampuannya, maka dengan tangkasnya ia meloncat mendekati
Citra Gati sambil berkata, “Lepaskan anak muda itu paman. Biarlah ia
melawan aku dahulu”
Citra Gati mengangkat dahinya. Sebenarnya
ia ingin menyobek mulut Alap-alap Jalatunda yang telah menghinanya itu.
Tetapi ia tidak mampu. Karena itu maka jawabnya, “Silahkan. Kalau kawan
lama sudah bertemu, maka aku akan menyingkir”
“Kau mau bunuh diri?” teriak Alap-alap
Jalatunda, “Beberapa waktu yang lalu kau melarikan dirimu, sekarang kau
bersombong diri, melawan aku”
“Pada waktu itu pun aku tidak lari” sahut
Agung Sedayu yang mencoba menutupi kekecewaannya atas masa lampau itu,
“Waktu itu aku sedang menyelamatkan kakang Untara”
Alap-alap Jalatunda mencibirkan bibirnya.
Anak muda itu dapat mengingatknya dengan baik ketika Agung Sedayu
berdiri dengan gemetar melihat Untara bertempur seorang diri.
Tetapi Alap-alap Jalatunda itu
benar-benar menjadi heran, bahwa kini Agung Sedayu benar-benar berani
melawannya atas kehendak sendiri. bahkan sengaja mendatanginya dan
menyatakan dirinya untuk bertempur melawannya.
Sementara itu pertempuran masih
berlangsung terus. Citra Gati yang kemudian melepaskan lawannya, segera
mendapat serangan dari orang-orang Alap-alap Jalatunda yang menyangka
bahwa Agung Sedayu dan Citra Gati akan mengeroyok pimpinan sayapnya.
Tetapi Citra Gati segera berkisar dari tempatnya, dan menyambut serangan
itu dalam jarak yang cukup dari Alap-alap Jalatunda.
Kini Alap-alap Jalatunda berdiri bebas
tanpa lawan seperti Agung Sedayu. Anak buahnya segera mengerti bahwa
mereka beruda akan berhadapan sebagai lawan. Demikian juga dengan anak
buah Citra Gati. Karena itu maka mereka tidak akan mengganggu kedua
orang yang sudah siap untuk bertempur itu. Bahkan mereka sedang sibuk
melayani lawan masing-masing.
Alap-alap Jalatunda itu sekali
melayangkan pandangannya kearena yang tidak begitu luas itu. Perkelahian
masih berlangsung dengan sengitnya. Terasa bahwa jumlah lawannya agak
sedikit lebih banyak. Tetapi beberapa orang diatara mereka adalah
anak-anak muda yang belum begitu tangkas mempergunakan senjata-senjata
mereka, sehingga mereka terpaksa bertempur berpasangan. Tetapi anak buah
Widura sendiri, telah bertempur mati-matian. Dan sebenarnya tandang
mereka ngedap-edabi. Dengan demikian maka anak-anak muda Sangkal Putung
yang berbekal tekad yang menyala di dalam dada mereka itu pun menjadi
garang pula. Di antara mereka, Swandaru tampak mempunyai beberapa
kelebihan. Bahkan kini ia tidak kalah tangkas dengan setiap orang di
dalam pasukan kecil itu. Pedangnya yang besar berputar menyambar-nyambar
seperti baling-baling. Dan setiap benturan, langsung terasa oleh
lawannya bahwa kekuatannya benar-benar bukan main. Karena itulah maka
Swandaru itu benar-benar mengamuk seperti banteng yang terluka.
Alap-alap Jalatunda itu kemudian
memandang Agung Sedayu yang telah siap berdiri di mukanya. Dengan wajah
yang tegan Alap-alap Jalatunda itu membentak, “He, apakah kau sekarang
sudah mendapat seorang guru yang pilih tanding? Yang mampu meremas
prahara?”
Agung Sedayu masih juga berdebar-debar.
Meskipun demikian ia merasa bahwa ia tidak takut lagi menghadapinya.
Karena itu maka katanya, “Alap-alap Jalatunda, aku telah mendapat guru
yang sangat baik. Aku berguru pada keadaan dan waktu. Akhirnya aku
berani menghadipmu kini”
Alap-alap Jalatunda tertawa. katanya,
“Nah, berperisailah dengan segala macam mantra, doa, aji dan ilmu. Namun
sebentar lagi dadamu akan tembus oleh ujung pedangku”
“Tidak. Aku hanya berperisai dengan keyakinan akan kebenaran perjuanganku. Mudah-mudahan Tuhan membenarkan pula”
“Huh, setiap orang meyakini kebenaran perjuangannya. Aku pun yakin, Karena itu jangan membual tentang kebenaran”
“Kau benar” sahut Agung Sedayu, “Tetapi
marilah kita cari kebenaran yang jujur. Kebenaran yang dibenarkan oleh
Tuhan kita. Bukankah kau juga mengakui kebenaran yang mutlak itu?”
“Pandangan kita tak akan bertemu”
“Mungkin tidak. Tetapi apa yang kau
lakukan selama ini, perampokan, pencegatan, perkosaan atas kebebasan dan
kemanusiaan adalah sama sekali tidak mencerminkan kebenaran
perjuanganmu”
“Jangan menggurui aku. Kita sudah memegang pedang di tangan masing-masing”
“Bagus. Aku sudah siap”
Alap-alap Jalatunda tidak berbicara lagi.
Segera ia meloncat sambil menjulurkan pedangnya. Namun Agung Sedayu pun
telah siap pula. ia telah banyak mengalami penempaan selama ini. Dari
kakaknya dimasa kanak-kanaknya, dari ayahnya dan akhirnya dari pamannya.
Namun ia sendiri telah menemukan banyak persoalan yang dapat
dipecahkannya lewat lukisan-lukisannya yang telah disempurnakan oleh
kakaknya, sehingga dengan demikian, maka Alap-alap Jalatunda benar-benar
menjadi heran. Agung Sedayu adalah anak muda yang perkasa.
Demikianlah mereka terlibat dalam
perkelahian yang sengit. Alap-alap Jalatunda yang bertanggung-jawab atas
anak buahnya, segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk
secepat-cepatnya berusaha menyelesaikan pertempuran itu. Sedang Agung
Sedayu kemudian melawannya dengan gigih.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba timbullah
berbagai pertanyaan di dalam diri Agung Sedayu. Ia belum pernah
mengalami pertempuran yang sebenarnya. Karena itu, ia menjadi heran.
Apakah Alap-alap Jalatunda itu tidak bertempur dengan segenap
kemampuannya? Apakah anak muda itu sengaja memancingnya atau
membiarkannya menjadi lelah?
Sampai sedemikian lama, Agung Sedayu sama
sekali tidak merasakan sesuatu kesulitan untuk melawan Alap-alap
Jalatunda yang ditakutinya. Ia dapat melawan dengan baik, bahkan
kadang-kadang ia mampu melibat lawannya dalam keadaan yang sangat sulit.
Karena itu maka Agung Sedayu justru menjadi bingung. Ia akhirnya
menyangka bahwa Alap-alap Jalatunda belum bertempur dengan sepenuh
kemampuannya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun berusaha menyimpan
sebagian dari tenaganya untuk menghadapi setiap saat apabila Alap-alap
Jalatunda itu mengerahkan ilmunya.
Tetapi sebenarnya bahwa Alap-alap
Jalatunda telah berjuang mati-matian untuk membinasakan lawannya. Namun
betapa ia menjadi heran. Lawannya itu menjadi seperti hantu yang sangat
membingungkannya. Sekali-sekali ia dapat menghadapinya dengan mantap,
namun tiba-tiba bayangannya telah melontar mengitarinya seperti bayangan
hantu yang tidak berjejak di atas tanah. Karena itu, maka keringat
dingin telah mengalir disegenap wajah kulitnya. Meskipun demikian
Alap-alap Jalatunda itu masih bertempur dengan garangnya.
Hal inilah yang tidak diketahui oleh Agung Sedayu. Ia masih menyangka bahwa Alap-alap Jalatunda belum bertempur sebenarnya.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu itu
pun masih menunggu. Disimpannya sebagian dari tenaganya. Apabila saatnya
datang, maka segera ia siap untuk bertempur mati-matian.
Bagaimanapun juga, Agung Sedayu itu masih
juga terpengaruh kenangan masa-masa lampaunya. Ia masih menganggap
bahwa Alap-alap Jalatunda adalah seorang anak muda yang perkasa. Karena
itu maka ketika ia mengalami pertempuran melawan alap-alap itu, ia
menjadi ragu-ragu. Sebab dalam perkelahian itu ternyata, bahwa Alap-alap
Jalatunda sama sekali tidak segarang yang disangkanya, sehingga dengan
demikian ia tetap mengira, bahwa Alap-alap Jalatunda masih menyimpan
sesuatu yang akan dipakainya untuk mengakhiri pertempuran.
Demikianlah maka mereka berdua masih
berempur dengan serunya, di dalam riuhnya pertempuran antara laskar
Widura dan anak-anak Sangkal Putung disatu pihak dan laskar Tohpati
dilain pihak.
Sementara itu, induk pasukan mereka pun
bertempur dengan serunya pula. mereka telah berjuang sekuat-kuat tenaga
mereka. Sejak munculnya laskar yang dipimpin oleh Citra Gati itu maka
Macan Kepatihan yang cerdik segera dapat menduga, bahwa akan datang pula
serangan dari sayap lain. Karena itu segera ia berteriak, “Siapkan
sayap kiri”
Dan sebenarnyalah laskar Pajang yang
dipimpin oleh Sidanti itu pun segera melanda lawannya seperti arus
banjir yang berusaha memecahkan tebing. Bergulung-gulung gelombang demi
gelombang.
Sidanti telah mengatur anak buahnya dalam
sap-sap yang tipis. Sebagian anak buahnya langsung berusaha masuk
kedalam barisan lawan. Sedang lawan-lawan mereka yang berdiri dibaris
terdepan, harus berhadapan dengan lapis-lapis yang berikutnya. Dengan
demikian, maka mereka menjadi ragu-ragu. Karena itu itu maka pertempuran
yang ribut itu berlangsung dalam suasana yang tidak menentu. Apalagi
malam yang pekat telah melindungi wajah-wajah mereka sehingga sukar
untuk membedakan siapakah lawan dan yang manakah kawan. Tetapi dengan
demikian Sidanti telah berhasil mengurangi kemungkinan yang tidak
diharapkan bagi mereka yang masih belum lanyah mempermainkan senjata,
sebab dalam keadaan demikian, mereka bertempur berpasang-pasang, bahkan
kadang-kadang dalam jumlah tiga atau empat bersama-sama.
Dalam keadaan demikian itulah maka kedua
belah pihak memandang perlu untuk menyalakan obor-obor lebih banyak lagi
sehingga oleh sinar obor-obor itu mereka dapat sedikit membedakan,
antara lawan dan kawan.
Namun Plasa Ireng tidak membiarkan
pertempuran itu menjadi kisruh tidak menentu. Karena itu maka segera ia
berteriak, “Jangan berkisar dari satu titik. Merengganglah, dan carilah
jarak di antara kawan sendiri”
Arena pertempuran yang mula-mula justru
menjadi kian sempit itu, maka perlahan-lahan menebar kembali. Laskar
Jipang bukan pula laskar kemarin petang. Karena itu segera mereka dapat
menempatkan diri mereka dengan baik.
Sidanti yang memimpin laskar Pajang itu
pun segera dapat melihat siapakah yang memegang perintah dalam laskar
lawannya. Karena itu maka tanpa berkata apa pun segera ia meloncat
menyerbunya.
Plasa Ireng terkejut melihat anak muda itu. Sekali ia meloncat ke samping kemudian dengan menggeram ia berkata, “Siapakah kau?”
“Sidanti” sahut Sidanti. Namun sementara
itu, senjatanya yang berujung tajam di kedua sisinya berputar dengan
cepatnya. Sekali-sekali mematuk dan sekali-sekali menyambar hampir
menyentuh wajah Plasa Ireng.
Plasa Ireng itu menjadi marah bukan
buatan. Dengan menangkis setiap serangan Sidanti ia menggeram, “apakah
kau sudah jemu hidup?”
Sidanti menyerang semakin garang. Meskipun demikian ia menjawab, “Kita berada di medan pertempuran. Jangan ribut”
Plasa Ireng itu pun kemudian berteriak
nyaring. Dengan garangnya ia melawan serangan-serangan Sidanti. Ia pun
bukan anak-anak yang baru sekali menyaksikan darah tertumpah. Plasa
Ireng adalah prajurit sejak mudanya. Seakan-akan ia memang dilahirkan
untuk memanggul senjata.
Demikianlah perkelahian itu cepat
menanjak menjadi dahsyat sekali. Sidanti bergerak dengan lincahnya,
sedang Plasa Ireng bertempur dengan tangguhnya. Keduanya memiliki
beberapa kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
Namun ketika Plasa Ireng sempat
memperhatikan senjata lawannya, maka ia pun menjadi berdebar-debar. Ciri
yang ada di tangan Sidanti itu adalah ciri perguruan Tambak Wedi.
“Hem” desisnya sambil bertempur, “Apakah kau murid Ki Tambak Wedi?”
Sidanti menjadi berbangga hati mendengar pertanyan itu, “Ya” jawabnya singkat.
Sekali lagi Plasa Ireng menggeram,
“Jangan berbangga. Aku mendengar nama Ki Tambak Wedi dari Macan
Kepatihan. Karena itu aku akan mencoba, apakah berita tentang Tambak
Wedi itu benar-benar mendebarkan hati”
Sidanti menjadi tersinggung karenanya.
Maka senjatanya menjadi semakin dahsyat berputar-putar mengitari tubuh
lawannya. Bagaimana Plasa Ireng pun telah mencapai puncak kemarahannya.
Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi bertambah seru.
Sebenarnyalah Sidanti memiliki beberapa keanehan. Ia mampu
meloncat-loncat seperti kijang, namun kadang-kadang ia menyambar seperti
elang. Dengan penuh tekad, ia ingin menunjukkan kelebihannya dari
setiap orang dari kedua belah pikak. Ia ingin membunuh lawannya itu, dan
karena itu ia ingin membanggakan dirinya kepada setiap orang di Sangkal
Putung.
Tetapi Plasa Ireng itu pun ingin berbuat
serupa. Ia ingin segera membinasakan murid Ki Tambak Wedi itu. Dengan
demikian ia pun akan dapat membanggakan dirinya pula.
Plasa Ireng pernah mendengar dari Macan
Kepatihan bahwa murid Ki Tambak Wedi ternyata telah berhasil
menyelamatkan dirinya ketika ia bertempur melawan Macan Kepatihan itu
sendiri, “Tetapi ia akan mati kali ini” berkata Plasa Ireng di dalam
hatinya. Dengan demikian maka pertempuran di antara mereka menjadi
semakin seru. Masing-masing berhasrat untuk membunuh lawannya. Tanpa
ampun, tanpa pertimbangan lain.
Ketika keuda sayapnya telah mendapatkan
lawan masing-masing, maka kini Tohpati menjadi tenang. Kini ia tinggal
mengatur induk pasukannya. Ketika dengan seksama ia memperhatikan
pertempuran itu, maka ia menarik nafas dalam-dalam. Ia menyesal bahwa
kunci pertempuran itu telah dibuka oleh laskar Pajang. Sesaat yang
pendek itu ternyata benar-benar berpengaruh atas laskarnya.”Hem” ia
menggeram. “Sekali lagi dapat disegap oleh Widura. Jaringan
pengawasannya benar-benar luar biasa. Tetapi sejak pertempuran ini
dimulai, aku belum melihatnya. Aku belum melihat seorang pun yang
memberi aba-aba pada laskar ini”
Sasaat ia masih berdiri tegak di belakang
garis pertempuran. Namun kemudian ia tidak akan berdiri saja seperti
patung. Keitka ia melihat bahwa jumlah laskar lawannya agak lebih banyak
maka ia mengerutkan keningnya, “Tidak akan berpengaruh apa-apa” desah
Tohpati itu. Namun ia heran juga, kenapa mereka tidak terpancing oleh
tanda bahaya yang bergema di seluruh Sangkal Putung itu sehingga jumlah
mereka masih cukup banyak. Apakah jumlah laskar Widura itu telah
ditambah?
Namun mata Macan Kepatihan itu
benar-benar tajam. Sekali-sekali ia melihat satu dua orang di antara
laskar Widura yang mempunyai cara dan sikap yang agak berbeda dari
kawan-kawan mereka. Karena itu maka segera Tohpati dapat mengambil
kesimpulan bahwa laskar Widura ini telah bergabung dengan anak-anak
Sangkal Putung sendiri.
“Biarlah aku memberikan tekanan kepada
laskar lawan itu. Mungkin dengan demikian Widura akan menghampiri aku”
berkata Tohpati itu di dalam hatinya.
Karena itu maka segera ia meloncat
menyusup di antara anak buahnya, sehingga sesaat kemudian senjatanya
telah berputaran diarena itu. Tongkatnya yang putih mengkilap dengan
ujung yang kekuning-kuningan segera memberitahukan kepada lawan-lawannya
bahwa Tohpati sendiri telah hadir digaris peperangan. Karena itu,
sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, maka seorang dua orang telah
terpelanting jatuh. Setiap ia bergerak, maka tak ada seorang pun yang
berani menyongsongnya seorang diri. Kalau terpaksa mereka harus melawan
Macan Kepatihan itu, maka mereka berusaha untuk melawan berpasangan,
tiga empat orang sekaligus. Tetapi lawan-lawan mereka yang lain pun
segera menyerang mereka juga, sehingga setiap titik yang dihampiri oleh
Tohpati itu, maka seseorang dari laskar lawannya pasti akan jatuh.
Tetapi Tohpati itu tidak terlalu lama
dapat berbuat demikian. Tiba-tiba dari laskar Pajang, muncullah
seseorang dengan sebuah pedang di tangan. Ketika tongkat Tohpati itu
terayun dengan derasnya ke arah salah seorang prajurit Pajang yang telah
menjadi berputus asa karenanya, maka tiba-tiba pedang itu telah
menyentuhnya. Tidak terlalu keras, namun dari arah yang tepat sehingga
tongkat Tohpati itu tergeser dari arahnya.
Tohpati menggeram keras sekali. Ketika ia
melihat orang yang menyentuh senjatanya itu di dalam remang-remang
cahaya obor ia terkejut. Hampir berteriak ia berkata, “He, adakah kau
adi Untara?”
Orang yang memegang pedang itu menyahut, “Ya”
Sekali lagi Tohpati menggeram. Kini ia
menemukan lawan yang sebenarnya. Karena itu maka ia tidak mau membuang
waktu. Betempur melawan Widura, Sidanti atau siapapun, Tohpati tidak
akan memerlukan waktu yang terlalu banyak. Namun kini Untara berdiri di
hadapannya, maka dengan demikian ada kemungkinan ia harus bertempur
lebih lama lagi, mungkin setengah malam, mungkin lebih.
Untara kini telah benar-benar siap untuk
melawannya. Pedangnya terjulur setinggi dada. “Kakang Tohpati” katanya,
“Aku mendapat tugas untuk menyambut kedatanganmu”
Tohpati menggertakkan giginya. Dengan
sekali loncat, tongkatnya telah mulai menyerang Untara. Namun Untara
telah benar-benar siap. Meskipun Untara tidak mempunyai senjata khusus
seperti Tohpati itu, namun Untara mampu mempergunakan setiap senjata
untuk melawan Tohpati. Karena itu ketika tongkat Tohpati itu terayun ke
arah kepalanya, dengan tangkasnya ia merendahkan dirinya, sedang
tangannya segera menggerakkan pedangnya, mematuk lambung lawannya. Namun
Tohpati pun mampu bergerak secepat kilat, sehingga dengan memiringkan
tubuhnya, serangan pedang Untara telah dapat dihindari.
Kin Tohpati itu kembali mempersiapkan
sebuah serangan. Tongkatnya telah mulai berputaran seperti
baling-baling. Bahkan kemudian seakan-akan menjadi sebuah gumpalan
cahaya yang putih. Sedang kepala tongkatnya itu menjadi seakan-akan
seleret cahaya kuning yang beterbangan di antara gumpalan yang
berkilat-kilat itu.
Dalam pada itu terdengar Tohpati itu menggeram, “Kenapa kau berada di sini adi?”
Untara tersenyum. pada saat itu tongkat
Tohpati menyambarnya kembali. Karena itu, ia terpaksa bergeser surut,
namun kemudian ia meloncat maju dengan tangkasnya. Kini ia menyerang
dengan sebuha sabetan menyilang. Tohpati terkejut. Cepat ia menarik diri
setengah langkah, dan mencondongkan badannya ke belakang. Ketika pedang
Untara itu lewat, maka tongkatnyalah kini langsung menyambar tangan
Untara itu. Namun Untara pun cukup cekatan. Dengan lincahnya ia memutar
dirinya dan menarik tangannya, sehingga tongkat lawannya terayun tanpa
menyentuhnya.
Meksi pun mereka telah bertempur semakin
cepat, namun Untara masih sempat berkata, “Huh. Hampir aku tidak sempat
menjawab untuk selama-lamanya. Nah kakang, aku datang kemari khusus
untuk menerima kedatangan kakang”
“Gila” Tohpati mengumpat, “Apakah paman Widura sudah ditarik ke Pajang?”
“Kakang mencari paman Widura?”
“Aku hampir membunuhnya” sahut Tohpati. Dalam pada itu serangannya telah meluncur kembali.
Tetapi Untara sama sekali tidak lengah.
Setiap saat ia selalu siap menghadapi serangan lawannya. Bahkan dengan
garangnya Untara itu pun segera menyerang kembali.
Untara dan Macan Kepatihan itu pun
kemudian terlibat dalam perkelahian yang semakin lama menjadi semakin
seru. Mereka masing-masing adalah pemimpin yang mendapat kepercayaan.
Pada masa Jipang masih tegak, maka di samping Mantahun sendiri, pepatih
Jipang, maka Tohpatilah prajurit yang paling dipercaya. Sedang Untara
walau pun masih agak lebih muda dari Tohpati, namun ia telah menunjukkan
kelebihan dari prajurit-prajurit yang lain, sehingga panglima
Wiratamtama memberinya kepercayaan di daerah-daerah yang gawat, di
sekitar lereng gunung Merapi.
Tohpati itu bertempur semakin lama
menjadi semakin garang. Tongkatnya menyambar-nyambar seperti elang,
sedang kakinya meloncat-loncat dengan cepatnya, seperti seorang yang
sedang menari di atas bara api. Tetapi Untara mampu melawannya dengan
gigih. Seperti seekor banteng ia siap menghadapi kemungkinan apa pun
juga. Tenang tetapi yakin.
Anak buah masing-masing pun terpengaruh
pula oleh pertempuran kedua pemimpin itu. Mereka pun kemudian melepaskan
segenap kemampuan yang ada pada mereka. Karena itu, maka diarena
pertempura itu semakin lama menjadi semakin riuh. Suara senjata beradu,
diselingi pekik mereka yang lengah sehingga ujung senjata lawannya
hinggap ditubuhnya.
Malam yang gelap itu menjadi semakin
gelap. Perlahan-lahan bintang-bintang di langit merabat melewati garis
edarnya. Angin malam yang dingin berhembus perlahan-lahan mengusap tubuh
mereka yang sedang basah oleh keringat.
Di pinggir selatan induk desa Sangkal
Putung, Widura sedang berjuang dengan gigihnya. Sanakeling yang
melawannya telah memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Ternyata
apa yang pernah didengarnya tentang Widura, adalah bukan sekedar cerita
belaka. Kini ia berhadapan langsung dengan orang yang bernama Widura
itu. Tidak saja ia mempunyai kecepatan dan ketrampilan bertempur, namun
caranya mengatur anak buahnya benar-benar mengagumkan. Karena itu, maka
Sanakeling harus bertempur mati-matian sehingga dengan demikian ia akan
dapat mempengaruhi keadaan keseimbangan laskar mereka. “Kalau aku mampu
membunuh Widura, maka laskar mereka akan dapat aku cerai-beraikan” pikir
Sanakeling itu. Namun ternyata Widura tidak mudah di desaknya. Bahkan
semakin lama menjadi semakin terasa bahwa Widura menjadi semakin mapan.
Karena itu, maka timbullah berbagai
persoalan di dalam dirinya. Sudah cukup lama Sanakeling berusaha
mempertahankan kedudukannya. Namun laskar yang lain, masih belum
dilihatnya memasuki Sangkal Putung. Apalagi kemudian terasa bahwa laskar
Sangkal Putung itu benar-benar sulit untuk dikuasai. Anak-anak muda
Sangkal Putung sendiri bertempur dengan gigihnya, di samping laskar
Widura yang telah masak menghadapi segala macam keadaan pertempuran.
Karena itu, maka Sanakeling itu sama sekali tidak dapat memberikan
tekanan-tekanan seperti yang diharapkan, apalagi merambas jalan ke
kademangan,
Tetapi Sanakeling bukannya prajurit yang
berpikiran pendek. Ia bukan seorang yang lekas menjadi berputus asa. Ia
masih tetap dalam pendiriannya, kalau ia dapat membunuh Widura maka
pekerjaannya akan dapat dilakukan dengan baik.
Dalam keadaan yang demikian itulah
pertempuran itu menjadi semakin sengit. Laskar Widura dan laskar Sangkal
Putung ternyata melebihi jumlah laskar lawan. Namun ternyata bahwa
laskar Sanakeling memiliki pengalaman dan kelincahan lebih baik dari
laskar Sangkal Putung sendiri. Untunglah bahwa laskar Widura mampu
mengimbanginya, meskipun jumlahnya tidak dapat memadai.
Dibagian lain, Agung Sedayu masih juga
bertempur melawan Alap-alap Jalatunda. Laskar Citra Gati di sayap itu
pun ternyata mampu mengimbangi lawannya. Beberapa orang laskar Sangkal
Putung ang tidak saja terdiri dari anak-anak muda, tetapi beberapa orang
tua, namun justru bekas prajurit-prajurit dimasa mudanya, ternyata
memberinya banyak bantuan. Meskipun tenaga orang-orang tua itu sudah
tidak sekuat anak-anak muda, namun pengalamannya benar-benar dapat
memberi beberapa keuntunga. Mereka masih dapat membingungkan lawan-lawan
dengan gerak-gerak yang aneh. Kadang-kadang mereka menghilang di dalam
keriuhan pertempuran, namun dengan tiba-tiba mereka muncul kembali
dengan sebuah serangan yang mengejutkan. Bahkan kadang-kadang mereka
bertempur berpasangan dengan anak-anak muda sambil memberi beberapa
petunjuk kepada mereka.
Citra Gati yang melihat cara mereka
bertempur, sempat juga tersenyum. mereka adalah bekas prajurit Demak
yang tangguh di masa muda mereka.
Tetapi Agung Sedayu sendiri, masih saja
merasa kebingungan. Ia ragu-ragu untuk segera mengakhiri pertempuran.
Kalau ia segera mengerahkan segenap kemampuannya, apakah Alap-alap
Jalatunda itu tidak menjadi beruntung karenanya? Apakah Alap-alap
Jalatunda sengaja membuatnya tidak sabar, dan menunggu sampai ia menjadi
lemah?
Karena itu, maka akhirnya ia memutuskan
untuk melayani saja lawannya. Dibiarkannya lawannya mengambil sikap
lebih dahulu, baru kemudian ia akan menyelesaikannya.
“Biarlah” katanya dalam hati, “Akan aku
layani Alap-alap Jalatunda ini. Sehari, dua hari atau seminggu
sekalipun. Kalau ia masih mampu menggerakkan senjatanya, masa aku tidak
dapat melawannya dengan senjataku”
Dengan demikian Agung Sedayu itu bertempur saja sekedar untuk melindungi dirinya dari sentuhan senjata lawannya.
Tetapi disayap yang lain, keadaan Sidanti
agak lebih sulit. Laskar Plasa Ireng benar-benar memiliki kemampuan
yang baik. Dengan dahsyatnya mereka berhasil menekan laskar yang
dipimpin oleh Sidanti, sehingga pertempuran itu telah bergeser beberapa
langkah surut. Sidanti terpaksa mengambil kebijaksanaan untuk menarik
laskarnya mendekati induk pasukan. Diharapkannya bahwa induk pasukan
akan dapat memberinya bantuan.
Untara pun kemudian melihat kesulitan
Sidanti. Beberapa kali ia mencoba untuk menilai induk pasukan itu. Namun
keadaan induk pasukan itu sendiri tidak sedemikian baiknya. Ternyata
laskar Tohpati pun mampu mengimbangi laskar Untara. Bahkan terasa bahwa
anak-anak muda Sangkal Putung telah mulai susut tenaganya. Mereka belum
biasa memeras tenaganya untuk waktu yang lama, apalagi dalam kesibukan
yang membingungkan. Karena itu, maka Untara menjadi prihatin. Walau pun
demikian, ia berusaha untuk memberi isyarat kepada Hudaya. Isyarat sandi
yang sudah mereka bicarakan sebelumnya.
Hudaya melihat gerak tangan kiri Untara.
Karena itu, maka ia mengerutkan keningnya. Di dalam hati ia bergumam,
“Biarlah Sidanti itu mampus. Kenapa Untara itu memerintahkan aku untuk
membantunya?”
Sebenarnya bahwa isyarat sandi Untara itu
adalah, “Hudaya dan beberapa orang, pergi membantu sayap kanan” Bantuan
itu memang hampir tak berarti. Tetapi sedikit banyak cukup berpengaruh
sekedar untuk mengurangi kesibukan Sidanti.
Sidanti melihat Hudaya dan beberapa orang
memisahkan diri dari induk pasukannya dan pergi kesayap yang
dipimpinnya. Tetapi ia menjadi sangat kecewa. Bantuan itu sama sekali
tidak berarti. Bahkan tersembullah suatu prasangka di dalam hati Sidanti
yang mudah menjadi panas itu. “Hem. Untara sengaja membiarkanku dalam
kesulitan. Setan. Telah menjadi sumpahku, bahwa Untara itu harus
disingkirkan”
Dan ternyata bahwa bantuan Hudaya itu
hampir tak berarti. Namun Hudaya sendiri telah berusaha sebaik-baiknya.
Bahkan hampir seperti orang yang kehilangan kesadaran diri. Mengamuk
sejadi-jadinya.
Namun hal itu telah mendorong Sidanti
untuk berbuat lebih banyak. Kemarahannya kepada Plasa Ireng, dirangkapi
oleh kemarahannya kepada Untara menjadikannya berjuang sekuat-kuat
tenaganya. Tetapi Betapapun juga, kehadiran Hudaya di dalam sayapnya,
telah mengurangi kesibukan pikirannya. Ia menjadi agak tenang untuk
menghadapi Plasa Ireng tanpa banyak berpikir tentang laskarnya. Meskipun
bantuan yang didapatnya tidak banyak memberi kekuatan pada laskarnya,
namun ternyata banyak membantu ketenangannya. Ia kini mencoba memusatkan
perhatiannya kepada lawannya. Plasa Ireng. Ia mencoba untuk sesaat
melupakan orang-orang lain di dalam sayapnya yang dalam keadaan sulit
itu.
Dalam keadaan yang demikian itu, maka
Sidanti benar-benar menjadi seorang anak muda yang pilih tanding. Kalau
beberapa saat yang lampau ia berhasil menyelamatkan dirinya setelah
bertempur beberapa lama melawan Tohpati, maka kini ia berusaha memeras
segenap kemampuan yang ada padanya untuk membinasakan lawannya. Selain
itu, ternyata Sidanti pun seorang yang keras hati. Sekali ia bertekad
untuk membunuh lawannya, maka tak ada alasan apa pun yang dapat
mencegahnya. Kali ini pun ia bertekad membunuh Plasa Ireng, seperti
Plasa Ireng berusaha membunuhnya. Tak ada pikiran lain di dalam
benaknya. Membunuh. Hanya itu. Membunuh.
Dengan demikian maka Sidanti itu pun
kemudian memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Senjatanya bergerak
berputaran sehingga kemudian seakan-akan telah berubah menjadi asap
yang hitam kebiru-biruan. Senjata yang hanya sebatang, namun berujung
sepasang timbal-balik itu, seakan-akan berubah menjadi senjata serupa
yang berpuluh-puluh jumlahnya. Menyerang tubuh Plasa Ireng dari segenap
arah.
Meskipun Plasa Ireng bukan seorang
prajurit yang baru saja belajar memegang senjata, namun tiba-tiba ia
menjadi bingung menghadapi permainan Sidanti. Permainan murid Ki Tambak
Wedi itu benar-benar memeningkan kepalanya. Meskipun demikian, Plasa
Ireng pun tidak segera menjadi cemas. Plasa Ireng adalah seorang
prajurit yang tabah. Berpuluh bahkan beratus kali ia mengalami kesulitan
di dalam peperangan dan perkelahian perseorangan. Namun berpuluh bahkan
beratus kali ia dapat menghindarkan kesulitan itu. Karena itu, maka
dengan sekuat-kuat tenaga yang ada padanya, maka ia berusaha untuk
mematahkan gumpalan sinar hitam kebiru-biruan yang melandanya.
Tetapi gumpalan sinar hitam kebiru-biruan
itu benar-benar seperti asap yang tak dapat disentuh oleh senjatanya.
Sidanti yang menjadi semakin bernafsu itu, telah menyerangnya tanpa
pertimbangan kecuali membinasakan.
Sekali-sekali Plasa Ireng itu pun
meloncat muundur. Ia menjadi berbesar hati ketika ia melihat laskarnya
berhasil menekan laskar Sidanti. Tetapi ia tidak dapat menutup kenyataan
bahwa desing senjata Sidanti itu seakan-akan sebuah siulan maut yang
selalu mengejarnya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak menjadi cemas.
Kalau perlu ia dapat menarik satu dua orang untuk mengganggu Sidanti.
Hudaya yang bertempur di dekat Sidanti
melihat kelebihan Sidanti dari lawannya. Meskipun kebenciannya kepada
anak itu sampai ke ujung rambutnya, tetapi, dalam menghadapi musuhnya,
Hudaya berbesar hati juga melihat kemenangan Sidanti. Karena itu, maka
ia berusaha untuk selalu berada didekatnya. Ia sudah dapat
memperhitungkan apa yang kira-kira akan terjadi. Sebagai seorang
prajurit yang telah bertahun-tahun hidup di dalam arena pertempuran,
maka ia dapat menduga, bahwa apabila terpaksa Plasa Ireng pasti tidak
akan segan-segan memanggil satu dua orang untuk membantunya.
Demikianlah pertempuran disayap kanan itu
menjadi semakin ribut. Laskar Sidanti menjadi semakin lama menjadi
semakin sulit pula. Plasa Ireng pun semakin lama menjadi semakin sulit
pula. Sekali-sekali ia meloncat berkisar di sekitar garis pertempuran
berlindung di belakang beberapa orang laskar yang sedang berjuang. Namun
akhirnya Sidanti berhasil menekannya semakin dalam. Sidanti pun mampu
memperhitungkan keadaan, bahwa daya tahan laskarnya masih lebih baik
dari daya tahan Plasa Ireng. Sehingga meskipun ia melupakan laskarnya
sejenak, tetapi ia akan mencapai hasil yang pasti lebih baik.
Sehingga karena itu, maka Sidanti kemudian memusatkan segenap kemampuannya untuk membinasakan lawannya itu.
Plasa Ireng pun benar-benar merasakan,
betapa serangan-serangan Sidanti semakin menekannya. Senjatanya yang
aneh benar-benar telah berputar-putar ditelinganya. Betapapun Plasa
Ireng mencoba mempertahankan dirinya, namun Sidanti itu mendesaknya
semakin kuat.
Akhirnya Plasa Ireng itu menganggap bahwa
tak akan ada gunanya ia bertahan seorang diri. Dalam peperangan, tak
akan ada celanya, apabila ia harus bertempur berpasangan. Karena itu,
tiba-tiba terdengar ia bersuit nyaring.
Sidanti mendengar suara suitan itu.
Terasa dadanya bergetar. Ia pun tahu pasti, bahwa Plasa Ireng memanggil
seorang atau dua orang untuk membantunya.
Dan sebenarnyalah, seseorang yang
bertubuh tinggi, namun tidak cukup besar dibandingkan dengan tingginya,
meloncat dengan lincahnya, menyerbu ke tempat pertempuran antara Plasa
Ireng dan Sidanti. Di tangannya tergenggam sebilah tombak pendek. Dengan
cepatnya ujung tombak itu bergetar, dan dengan tangkasnya ia memotong
serangan-serangan Sidanti.
Sidanti surut selangkah. Terdengar ia menggeram parau, “Setan. Apakah kau sudah kehabisan akal?”
Plasa Ireng tertawa, “Di dalam
pertempuran, maka setiap orang di pihak lawan adalah musuhnya.
Panggillah orang-orangmu untuk ikut serta dalam pertempuran berpasangan
ini”
Sidanti menjadi semakin marah. Plasa
Ireng ternyata mampu memperhitungkan kekuatan laskarnya. Karena itu,
maka sekali lagi Sidanti dipengaruhi oleh keadaan laskarnya.
Namun tiba-tiba tanpa diduga-duga, Hudaya
yang dengan cepatnya memperhitungkan kemungkinan itu, meloncat dengan
cepatnya. Pedangnya terjulur lurus, langsung kelambung orang yang tinggi
itu. Orang itu terkejut, sekali ia melangkah ke samping dan kemudian
dengan memutar tombaknya ua mencoba menghindarkan serangan Hudaya
berikutnya.
Tidak saja orang yang tinggi itu yang
terkejut. Plasa Ireng pun terkejut pula. ia sama sekali tidak melihat
tanda-tanda Sidanti memanggil seseorang untuk melibatkan diri dalam
pertempuran di antara mereka. Tetapi Hudaya bukan seorang yang hanya
mampu berbuat karena diperintah. Ia pun mampu mengambil sikap dalam
setiap pertempuran. Demikianlah pada saat-saat yang penting itu Hudaya
mampu membuat perhitungan-perhitungan yang cermat. Ia menjadi marah
pula, ketika ia melihat saat-saat terkhir dari lawan Sidanti itu
diganggu oleh orang lain.
Dalam keadaan yang demikian itulah
Sidanti yang berotak cerdas itu mempergunakan keadaan sebaik-baiknya.
Pada saat orang yang tinggi itu masih dalam usaha menyelamatkan dirinya,
maka Sidanti meloncat dengan garangnya. Memutar senjatanya dan mendesak
Plasa Ireng sejadi-jadinya.
Plasa Ireng benar-benar terkejut dan
karena itu sesaat ia kehilangan keseimbangan. Keseimbangan gerak dan
keseimbangan pikiran. Dengan demikian maka justru ia lupa untuk memberi
isyarat kepada orang lain lagi untuk membantunya. Perhatiannya tercurah
sepenuhnya dalam usahanya untuk mempertahankan dirinya. Tetapi ketika
kembali terasa nyawanya seakan-akan telah melekat di ujung senjata
Sidanti, maka barulah ia teringat kembali kepada orang-orang yang
berdiri mengitarinya.
Tetapi Plasa Ireng itu telah terlambat.
Getar senjata Sidanti telah benar-benar memusingkan kepalanya. Maka
demikian terdengar ia bersuit dua kali untuk memanggil orangnya yang
lain, maka demikian pundaknya tergores oleh senjata Sidanti. Plasa Ireng
terkejut bukan buatan. Sekali ia melontar mundur, namun Sidanti itu
sempat mengejarnya, dengan satu loncatan pula. Dan sebelum seseorang
berhasil datang membantunya, terdengarlah Plasa Ireng memekik pendek.
Sekali lagi senjata ciri perguruan Tambak Wedi yang dahsyat itu merobek
dadanya.
Kini Plasa Ireng benar-benar telah
kehilangan keseimbangannya. Matanya kemudian seakan-akan mejadi gelap,
dan sinar-sinar obor di sekitarnya itu serasa menjadi padam
bersama-sama. Yang terasa kemudian sekali lagi sebuah tusukan menghunjam
dadanya, langsung menembus jantungnya. Plasa Ireng itu mengaduh sekali,
kemudian ketika Sidanti menarik senjatanya yang berlumuran darah, Plasa
Ireng itu terseret selangkah maju untuk kemudian jatuh terjerebab
dibawah kaki anak muda itu.
Ketika seseorang datang mendekatinya,
orang itu terkejut. Yang dilihatnya adalah Sidanti berdiri tegak di atas
tubuh Plasa Ireng. Karena itu betapa marahnya orang itu. Dengan
serta-merta ia menyerang Sidanti tepat di dadanya.
Tetapi serangan itu tidak banyak berarti
buat Sidanti. Sekali Sidanti mengelak dan ketika senjata orang itu
terjulur di samping tubuh Sidanti, maka tangan Sidanti bergerak dengan
cepatnya. Sebuah goresan yang panjang telah melukai lambung orang itu.
Ketika orang itu berteriak ngeri, maka sekali lagi Sidanti menusuk
perutnya. Orang itu pun terbanting jatuh di samping tubuh Plasa Ireng.
Tetapi agaknya kemaran Sidanti masih
belum tercurahkan seluruhnya. Ketika sekali lagi ia melihat tubuh Plasa
Ireng, maka terungkatlah geram di hatinya. Karena itu dengan serta-merta
ia menggerakkan senjatanya, menyobek punggun lawannya yang sudah tidak
bernafas itu. Sekali, dua kali dan dipuaskannya hatinya.
Hudaya yang semula tersenyum melihat
kemenangan Sidanti, tiba-tiba mengerutkan keningnya. Sambil melayani
lawannya ia melihat betapa Sidanti berbuat melampaui batas. Hudaya sama
sekali tidak menyangka, bahwa di dalam hati Sidanti itu tersimpan
kekerasan, kekejaman dan kekasaran. Ditubuh anak muda itu ternyata
mengalir darah yang buram, sehingga dengan tangannya, anak muda itu
sampai hati berbuat demikian atas lawannya yang sudah tidak dapat
melawannya.
“Anak setan” geram Hudaya itu, “Alangkah kotornya tangan anak muda itu”
Sidanti itu benar-benar seperti orang
yang sedang kesurupan. Dengan mata yang merah liar dan gigi gemeretak,
disobeknya tubuh lawannya yang terbaring diam
“Adi Sidanti” desis Hudaya yang tidak tahan lagi melihat perbuatan Sidanti, “Sudahlah. Jangan kau turuti hatimu yang gelap”
“Tutup mulutmu” Sidanti itu membentak.
Dan Hudaya menutup mulutnya. Dalam
keadaan itu, ia lebih baik tidak membuat persoalan, sebab kemungkinan
menjadi salah paham sangat besar. Pada saat Sidanti sedang kehilangan
segenap pertimbangannya. Karena itu, maka ia lebih baik memusatkan
perhatiannya pada lawannya. Diputarnya senjatanya dan dengan dahsyatnya
ia menyerang seperti taufan.
Tetapi bukan saja Hudaya yang heran
melihat perbuatan Sidanti. Hampir setiap orang, baik dari laskar Pajang
maupun dari laskar Jipang, hatinya tergetar melihat perbuatan itu.
Perbuatan yang melampaui batas-batas yang dibenarkan dalam tata
pergaulan keprajuritan. Apalagi anak-anak muda Sangkal Putung. Mereka
menjadi ngeri. Bagi mereka, lebih baik memalingkan wajah-wajah mereka,
dan memusatkan segenap perhatian mereka untuk menyelamatkan diri mereka
dari kemungkinan yang sama dengan Plasa Ireng.
Perbuatan Sidanti itu ternyata
berpengaruh bagi lawannya. Mereka menjadi ngeri dan cemas. Selain
kematian pemimpin mereka, maka apa yang mereka lihat itu benar-benar
telah mengerutkan hati mereka.
Setelah puas dengan perbuatannya, Sidanti
tegak berdiri di atas mayat lawannya, satu kakinya menginjak punggung,
dan satu kakinya di atas kepala. Dengan lantang ia berkata kepada laskar
Jipang yang masih bertempur dengan gigihnya, “He, laskar Jipang yang
keras kepala. Lihatlah, pemimpinmu telah terbunuh mati oleh tangan
Sidanti. Ayo, siapa yang berani mengangkat diri menjadi senapati. Inilah
Sidanti, murid Tambak Wedi”
Suara Sidanti itu menggelegar, menyusup
di antara dentang senjata dan jerit kesakitan, menggema berputar-putar
di dalam malam yang kelam, seakan-akan getar suara dari neraka,
memanggil-manggil setiap nama yang ikut serta dalam pertempuran itu.
Malam menjadi semakin dalam.
Bintang-bintang yang gemerlapan di langit bergeser setapak-setapak
kebarat dalam hembusan angin malam yang dingin. Selembar-selembar awan
yang putiih mengalir keutara seperti gumpalan-gumpalan kapuk raksasa
yang sedang hanyut.
Pertempuran diperbatasan kademangan
Sangkal Putung masih berlangsung dengan sengitnya. Disayap kanan, laskar
Jipang seakan-akan telah kehilangan semangat untuk bertempur, setelah
mereka menyaksikan pemimpin mereka jatuh. Kekasaran Sidanti, meskipun
menumbuhkan kengerian di dalam dada laskar Jipang, namun di dalam dada
itu juga menyala dendam yang tiada taranya. Dendam yang seakan-akan
tidak akan kunjung padam. Betapa perbuatan Sidanti itu tergores di
dinding jantung mereka. Sebelum nyawa mereka melayang, maka peristiwa
itu tidak akan mereka lupakan.
Beberapa orang yang tidak dapat menahan
hatinya melihat pemimpinnya mendapat perlakuan yang sedemikian
menyakitkan hati, segera menyerbu bersama-sama. Namun Sidanti
benar-benar memiliki tenaga dan ketrampilan yang luar biasa. Meskipun
beberapa orang datang bersama-sama, namun anak muda itu masih saja mampu
untk mengalahkan mereka.
Tetapi, ketika lawan Sidanti menjadi
semakin banyak, maka Hudaya juga berasa bertanggung-jawab pula atas
kemenangan yang harus mereka perjuangkan, Betapapun hatinya menjadi
pedih melihat perbuatan Sidanti, namun ia datang juga untuk membantunya.
Kemenangan-kemenangan yang didapatnya itu
telah mendorong Sidanti lebih jauh kedalam ketamakan dan
kesombongannya. Kematian Plasa Ireng merupakan racun yang tajam yang
menusuk langsung ke otaknya. Dengan membunuh Plasa Ireng maka Sidanti
merasa bahwa ia wajar untuk menerima kehormatan yang jauh dari
semestinya. Bahkan kematian Plasa Ireng itu telah menumbuhkan suatu
impian yang mengerikan. Laskar Jipang yang kehilangan pemimpinnya itu
pun kemudian menjadi semakin kacau. Seorang yang bertubuh tinggi kurus,
yang bertempur melawan Hudaya mencoba untuk mengambil alih pimpinan.
Dipanggilnya beberapa orang untuk menggantikan perlawanannya terhadap
Hudaya, dan ia sendiri meloncat kesana kemari, memekik tinggi memberikan
aba-aba kepada sisa-sisa laskarnya. Namun usahanya itu tidak banyak
memberikan perubahan apa-apa. bahkan dengan demikian maka ia memberi
kesempatan kepada Hudaya untuk menghindari seitap lawannya, dan membantu
Sidanti yang harus bertempur melawan beberapa orang sekaligus.
Serangan orang-orang lain yang berusaha untuk mencegahnya, terpaksa berhadapan dengan laskar Pajang yang lain pula.
Demikianlah maka laskar Jipang disayap
itu menjadi semakin lemah. Kini orang yang tinggi kurus itulah yang
mengambil alih kebijaksanaan, mendekati induk pasukannya.
Di dalam induk pasukan itu Tohpati
bertempur dengan dahsyatnya melawan Untara. Murid kepatihan Jipang yang
mendapat julukan Macan Kepatihan itu menggeram tidak habis-habisnya.
Untara ternyata mampu menandingi dalam segala hal. Ketrampilannya,
kecepatannya, bahkan kekuatannya. Karena itu, maka Tohpati itu semakin
lama menjadi semakin marah. Namun Untara tetap tak dapat di atasinya.
Sedang Untara pun terpaksa mengerahkan
segenap kemampuan yang ada padanya. Tetapi bekal yang didapatnya dari
ayahnya Ki Saewa, ternyata cukup banyak untuk menghadapi murid Mantahun
ini.
Ketika mereka itu masih dicengkam oleh
ketegangan, karena pertempuran yang dahsyat di antara mereka, datanglah
seorang penghubung yang dengan hati-hati memberitahukan kekalahan yang
terjadi disayap kiri laskar Jipang itu. Dengan tanda sandi, penghubung
itu mengabarkan bahwa Plasa Ireng terbunuh dipeperangan.
Alangkah terkejutnya Tohpati itu. Sekali
ia meloncat jauh ke belakang sambil berteriak nyaring, “Siapa disayap
laskar Pajang itu?”
Orang itu berhenti sejenak untuk
berpikir. Iam endengar pimimpin laskar Pajang itu sesumbar menyebut
namanya sendiri. ketika kemudian teringat olehnya nama itu, maka
jawabnya, “Namanya Sidanti”
“Sidanti?” ulang Tohpati
Yang menjawab adalah Untara, “Orang itu berkata benar”
Tohpati menggertakkan giginya. Ingin pada
saat itu ia meremas tulang murid Tambak Wedi itu. “Hem, kenapa aku
tidak berusaha membunuhnya beberapa waktu dahulu? Aku terlambat sesaat
sehingga paman Widura mampu membebaskannya” katanya dalam hati.
Kini Sidanti itu telah sempat membunuh
seorang kepercayaannya, Plasa Ireng. Karena itu, maka kemarahan Tohpati
itu pun telah meluap sampai keubun-ubunnya. Namun ia tidak mendapat
kesempatan sama sekali untuk menumpahkan kemarahannya kepada Sidanti,
sebab di hadapannya masih berdiri Untara. Dan Untara ini masih belum
dapat dikalahkannya. Karena itu, maka segera ia menggeram, “Pertahankan
diri pada keadaan kalian kini. Usahakan untuk menahan Sidanti dengan dua
tiga kekuatan. Sebentar lagi aku akan datang membunuhnya”. Orang itu
kemudian menghilang di dalam hiruk-pikuk perkelahian, kembali kesayap
kiri. Disampaikannya pesan tu kepada orang yang tinggi kurus, yang
mengambil aluh pimpinan dari tangan Plasa Ireng. Mendengar pesan itu
maka orang itu pun berteriak, “Pertahankan keadaan kalian. Macan
Kepatihan sendiri segera akan datang, membalaskan dendam kakang Plasa
Ireng”
“Plasa Ireng” desis Sidanti. Jadi orang
yang dibunuhnya itu adalah orang yang namanya ditakuti pula hampir
seperti Macan Kepatihan sendiri. dan karena itulah maka Sidanti itu
menjadi semakin membanggakan dirinya.
Berita itu telah membangkitkan kembali
semangat bertempur prajurit-prajurit Jipang itu. Sebagian dari mereka
segera menyerbu dengan dahsyatnya, sedang sebagian yang lain berusaha
untuk tetap mengurung Sidanti dalam satu lingkaran yang pepat.
Tetapi Hudaya tidak membiarkannya
terpisah dari laskarnya. Karena itu, maka ia pun segera berusaha
memecahkan kepungan itu, dan bertempur bersama-sama dengan Sidanti.
Namun meskipun Sidanti melihat usaha-usaha yang dilakukan oleh Hudaya
itu, tetapi ia tetap merasa, bahwa dirinya sumber kemenangan dari laskar
Pajang. Ia yakin bahwa kekalahan sayap ini akan memperngaruhi
pertempuran keseluruhannya.
Tohpati yang marah itu pun kini
benar-benar memeras tenaganya. Untara harus segera dibinasakan. Namun
membinasakan Untara adalah pekerjaan yang sulit. Tohpati itu terpakasa
melihat kenyataan yang dihadapinya, bahwa Untara adalah seorang anak
muda yang perkasa.
Karena itu, maka perkelahian antara Macan
Kepatihan dan Untara itu pun menjadi semakin sengit. Masing-masing
telah sampai kepuncak kemampuan mereka. Namun kini Untara dapat
memusatkan segenap perhatiannya pada lawannya yang menakutkan ini, sebab
dari pertanda yang ditangkapnya, maka agaknya keadaan sayap kiri
lawannya menjadi parah. Dan Untara itu dapat memperhitungkan pula, bahwa
Sidanti berhasil membinasakan pimpinan sayap itu.
Namun Tohpati yang marah itu sedang
membuat perhitungan pula atas keadaannya. Karena itu, maka kini ia
membiarkan Untara menyerangnya dan Tohpati menempatkan dirinya dalam
suatu pertahanan yang rapat. Ia mencoba menilai sayap-sayap lainnya dan
laskar yang dibawa oleh Sanakeling.
“Di samping Untara dan Sidanti masih ada
paman Widura” katanya dalam hati. Namun Tohpati itu masih memiliki satu
kelebihan menurut dugaannya. Alap-alap Jalatunda. “Meskipun demikian
anak itu mampu mempengaruhi keseimbangan keadaan”
Menurut perhitungan Macan Kepatihan yang
berotak cair itu, maka Widura lah yang telah mundur kembali ketika
didengarnya tanda bahaya, dan menyerahkan pimpinan kepada Untara. Karena
itu, maka Tohpati mengharap bahwa Widura itu akan menemukan lawannya
yang seimbang, Sanakeling. Sedang Alap-alap Jalatunda akan merupakan
seorang yang akan dapat menggilas laskar Pajang diarenanya. Kalau
orang-orang disayap kiri mampu bertahan terhadap Sidanti, maka
orang-orangya disayap kanan pasti akan dapat menguasai lawannya di bawah
pimpinan Alap-alap Jalatunda.
Perhitungan Macan Kepatihan itu hanya
sebagian saja yang tepat. Namun ia tidak tahu, bahwa disayap kiri
lawannya, terdapat seorang anak muda yang bernama Agung Sedayu. Yang
meskipun masih sangat hijaunya, namun ia memiliki persiapan yang jauh
dari cukup. Persiapan-persiapan yang selama ini tersimpan saja di dalam
dirinya. Kini sedikit demi sedikit kekuatan yang membeku itu mulai
dicairkannya.
Demikianlah maka akhirnya Tohpati
mengambil kesimpulan, bahwa keadaan laskarnya tidak terlalu parah.
Tetapi kemenangan-kemenangan kecil yang semula mulai tampak di pihaknya,
kini telah runtuh satu demi satu. Dengan penuh tanggung-jawab Tohpati
telah mengirim beberapa orang untuk membantu sayap yang lemah di sebelah
kiri. Orang-orang itu diharap dapat membantu menutup kebebasan gerak
Sidanti. Beru kemudian ia memusatkan perhatiannya atas lawannya. Untara.
Untara yang bertempur dengan dahsyatnya
itu pun menyadari, bahwa ia harus memeras segenap kemampuannya. Dan kini
hal itu telah dilakukannya. Sehingga Betapapun Tohpati berusaha untuk
menguasainya, namun usaha itu akan sia-sia saja.
Bahkan ketika Untara telah sampai
kepuncak segala macam ilmu yang tersimpan di dalam dirinya, terasa bahwa
Macan Kepatihan bukanlah seorang yang tak dapat dikalahkan. Dalam
remang-remang cahaya obor, Untara yang menerima turunan ilmu ayahnya
itu, ternyata sempat membingungkan Macan Kepatihan. Tongkat putih yang
menakutkan berujung kuning itu, sama sekali tidak lebih mengerikan dari
gerak pedang Untara. Pedang itu mampu berputar dan mematuk dari segenap
arah, menembus gumpalan cahaya putih dan garis-garis kuning yang
membentengi Tohpati. Sekali-sekali terdengar kedua macam senjata itu
beradu, dan meloncatlah bunga-bunga api ke udara.
Senjata Tohpati itu memang sebenarnya
merupakan senjata yang luar biasa. Hampir dalam setiap benturan dengan
pedang Untara, pasti meninggalkan bekas luka pada pedang itu. Beberapa
bagian tajamnya telah terpecah-pecah sehingga pedang itu benar-benar
mirip sebuah gergaji. Untunglah pedang yang dipinjamnya dari Widura itu
bukan pula sembarang pedang. Sehingga Betapapun kerasnya benturan yang
terjadi di antara kedua senjata yang digerakkan oleh tenaga-tenaga
raksasa itu, namun pedang itu tidak juga dapat dipatahkan. Meskipun
demikian, menyadari perbedaan sifat kedua senjata itu, Untara kemudian
tidak mau membenturkan senjatanya langsung dalam arah yang bertentangan.
Untara selalu berusaha untuk memukul senjata lawannya agak ke samping.
Namun Untara itu pun terpaksa memperhitungkan apabila perkelahian itu
berlangsung terlalu lama, maka senjatanya akan menjadi semakin lemah.
Tetapi kelincahan, ketangkasan dan
ketrampilan Untara yang telah memeras segala macam ilmu yang dimilikinya
itu, ternyata benar-benar membingungkan Tohpati. Tohpati yang ditakuti
disetiap pertempuran dan bahkan setiap prajurit musuhnya tidak berani
menyebut namanya, namun ternyata kini ia menemukan lawan yang tanggon.
Nama Untara pun merupakan nama yang mengerikan bagi laskar Jipang hampir
disetiap garis peperangan. Di samping kecerdasannya mengatur laskarnya,
Untara pun memiliki beberapa kelebihan dari beberapa senapati yang
lain. Dan ternyata Untara pun mempunyai beberapa kelebihan dari Tohpati.
Keadaan Tohpati semakin lama menjadi
semakin sulit. Apalagi ketika disadarinya, bahwa laskarnya disayap kiri
benar-benar hampir pecah bercerai berai. Karena itu, maka Macan
Kepatihan yang garang itu menjadi cemas. Cemas akan nasib laskarnya yang
sudah tidak begitu besar lagi jumlahnya, yang dengan susah payah
dikumpulkan dari segala medan khusus untuk merebut daerah perbekalan
ini. Namun sekali lagi Macan Kepatihan itu terpaksa mengumpat tak
habis-habisnya. Ia merasa kini, bahwa gerakannya pasti sudah tercium
oleh hidung Untara itu sebelumnya, sehingga Sangkal Putung benar-benar
sudah siap menghadapi kedatangannya.
Dua kali ia dikecewakan oleh laskar Pajang di Sangkal Putung, “Namun akan datang saatnya aku menebus setiap kekalahan” geramnya.
Tetapi Untara itu seakan-akan menjadi
semakin lama menjadi semakin lincah. Pedangnya berputaran mengitari
segenap tubuhnya dari segala arah. Bahkan kemudian, sekali-sekali terasa
ujung pedang itu menyentuhnya.
“Setan” geramnya. Dan diputarnya
tongkatnya semakin cepat. Tetapi Untara pun bergerak semakin cepat pula.
anak muda, yang mendapat kepercayaan langsung dari panglima Wiratamtama
itu benar-benar tidak mengecewakan. Dan ia benar-benar dapat
menanggulangi kedahsyatan Tohpati.
Alangkah terkejutnya Macan Kepatihan itu,
ketika dalam sebuah benturan yang dahsyat, tongkatnya tergetar ke
samping. Hanya sesaat yang sangat pendek, ia melihat pedang Untara
terjulur lurus ke dadanya. Tohpati berusaha untuk memukul pedang itu
kembali dengan tongkatnya, namun pedang itu berputar, dan dengan
cepatnya pedang itu menyentuh lengannya. Ketika Untara menarik pedang
itu, maka tajamnya yang menyerupai gergaji itu meninggalkan bekas luka
di tangan Tohpati. Luka yang menganga seperti luka bekas gergaji.
Terdengar Tohpati menggeram pendek. Dengan cepatnya ia meloncat ke
samping, dan sesaat ia berusaha menjauhi Untara. Ketika ia memandang
lengannya, dilihatnya darah mengalir dari lukanya yang menganga,
seolah-olah dagingnya telah disayat dengan sebuah gergaji yang tumpul.
“Gila kau Untara” desis Tohpati. Matanya
yang meyala menjadi semakin merah karena kemarahannya yang memuncak.
Mulutnya itu meskipun terkatub rapat, namun terdengar giginya gemeretak.
Dengan sebuah teriakan tinggi Macan Kepatihan itu meloncat dengan
garangnya, langsung menyerang Untara dengan tongkatnya. Sebuah ayunan
yang deras sekali menyambar kepala Untara. Namun Untara tidak tertidur
karena kemenangan kecil itu. Dengan demikian segera ia merendahkan
dirinya dan tongkat Tohpati itu terbang lewat di atas kepalanya.
Pertempuran yang sangat seru segera
berkobar kembali. Tohpati yang membara karena kemarahannya, melawan
Untara yang dengan sekuat tenaga ingin segera menyelesaikan pekerjaannya
yang sudah mulai tampak akan berhasil. Sehingga dengan demikian kembali
mereka bertempur dalam puncak ilmu masing-masing.
Namun kali ini pun segera terasam bahwa
Untara memang luar biasa. Meskipun ia masih lebih muda dari Tohpati,
namun Tohpati itu tidak dapat menutup kenyataan, bahwa Untara mampu
menandinginya dari selaga segi.
Kini Tohpati terpaksa membuat
pertimbangan-pertimbangan baru. Ia tidak boleh tenggelam dalam arus
perasaan melulu. Ia harus mampu meninjau pertempuran itu dalam segala
segi, segala kemungkinan dan segala akibat yang dapat timbul karenanya.
Keringkihan disayap kiri benar-benar
sangat mengganggunya. Sedang Alap-alap Jalatunda yang diharap akan dapat
menimbulkan pengaruh yang baru bagi perimbangan kedua pihak, ternyata
masih belum mampu berbuat apa-apa. Karena itu maka Tohpati terpaksa
sampai pada suatu keputusan untuk menghindarkan laskarnya dari
kehancuran.
Dalam kekalutan itu, sekali lagi Tohpati
mencoba melihat pertempuran itu. Namun malam sangat pekatnya. Ia hanya
melihat titik pertempuran disayap kirinya telah bergeser jauh ke
belakang, dan sayap kanannya masih saja belum mencapai kemajuan. Sedang
diinduk pasukannya, meskipun laskarnya mendapat beberapa kesempatan yang
baik, namun ia sendiri telah terluka.
Untara yang telah masak itu melihat
setiap kemungkinan yang akan dilakukan oleh Tohpati. Ketika ia melihat
sikapnya, serta usahanya untuk melihat seluruh laskarnya, maka Untara
dapat meraba maksudnya. Karena itu, maka tekanannya diperketat, sehingga
hampir-hampir Tohpati itu tidak sempat berbuat lain daripada
mempertahankan dri dari ujung pedang Untara yang seakan-akan terbang
memgelilingi kepalanya.
Sementara itu, laskar Tohpati disayap
kiri telah benar-benar hampir lumpuh, sehingga mereka tidak mampu lagi
untuk bertahan sendiri. mereka itu kemudian segera menggabungkan diri
dengan induk pasukan mereka.
Keadaan kedua pasukan diinduk pasukan itu
kini menjadi semakin ribut. Pertempuran di antara mereka menjadi
seakan-akan tidak teratur lagi. Tetapi meskipun demikian, kedua laskar
itu masih tetap bertempur dengan gigihnya. Hanya anak-anak muda Sangkal
Putung kini benar-benar telah menjadi pening. Meskipun beberapa orang
laskar Widura terus menerus berusaha untuk menuntun mereka dan bahkan
selalu mendampingi mereka, namun keadaan mereka itu agak berbeda dengan
laskar Pajang maupun laskar Jipang. Sehingga dengan demikian maka
keseimbangan kedua laskar itu semakin lama menjadi semakin berat sebelah
pula. Tetapi di pihak Pajang mempunyai kelebihan yang ikut serta
menemtukan keseimbangan itu. Sidanti yang lepas tidak mempunyai lawan
yang seimbang itu, mengamuk seperti serigala lapar. Namun beberapa orang
Jipang yang berani telah mengepungnya. Mereka berusaha untuk selalu
membatasi gerak Sidanti itu. Tetapi setiap saat Hudaya selalu berhasil
memecahkan kurungan itu, dan melepaskan Sidanti untuk bertempur seperti
elang yang merajai udara.
Tohpati adalah seorang pemimpin yang
bertanggung-jawab. Ia tidak mau membiarkan korban berjatuhan tanpa arti.
Setelah memperhitungkan keadaan masak-masak, maka yakinlah ia, bahwa ia
tidak akan dapat menembus benteng yang dipertahankan oleh Untara itu.
Bahkan tangannya yang telah terluka itu, semakin lama menjadi semakin
lemah. Dan darah yang mengalir menjadi semakin banyak pula.
Betapa Macan Kepatihan itu menjadi marah,
dan betapa ia menjadi sangat buas, namun ia tidak dapat menuruti
perasaannya tanpa menghiraukan kenyataan.
Sesaat kemudian terdengarlah Macan
Kepatihan itu bersuit panjang. Suitannya itu segera disambut oleh
beberapa pemimpin kelompok di dalam pasukannya. Dan sesaat kemudian
menyalalah berpuluh-puluh anak panah berapi.
Untara terkejut melihat hal itu. Tetapi
sebelum ia sepat berbuat apa-apa, maka panah-panah api itu seperti hujan
berjatuhan di daerah laskarnya.
“Gila” Untara mengumpat. Ia tidak
menyangka bahwa hal itu akan dilakukan oleh laskar Tohpati. Meskipun ia
tahu betul bahwa Macan Kepatihan membuat anak panah api, tetapi
disangkanya anak panah itu hanya untuk dipergunakan untuk membakar rumah
atau apa pun di Sangkal Putung sehingga menimbulkan kekacauan dan
mempengaruhi ketahanan orang-orang Sangkal Putung.
Usaha Tohpati itu sebagian berhasil.
Beberapa anak-anak muda Sangkal Putung menjadi kacau dan hampir
kehilangan akal. Namun tiba-tiba terdengar Untara berteriak, “Berlindung
di daerah lawan”
Anak-anak muda Sangkal Putung mula-mula
tak mengerti maksud aba-aba itu. Namun orang-orang Widura mendahului
mereka, menyerang dan langsung menyusup ke daerah perlawanan musuh.
Tetapi suitan itu ternyata mempunyai arti yang lain pula. demikian
laskar Pajang berusaha masuk dalam garis pertahanan itu, maka laskar
Jipang pun surut ke belakang. Bahkan semakin lama menjadi semakin cepat.
Dan kemudian ternyatalah bahwa laskar Jipang sedang menarik diri.
Untara melihat kenyataan itu. Ia berusaha
untuk tidak melepaskan lawannya. Mereka harus dapat melumpuhkan pasukan
Macan Kepatihan, sehingga untuk seterusnya tidak mendapat kesempatan
berbuat serupa. Menyerang Sangkal Putung dengan kekuatan yang berbahaya.
Demikian pula terjadi disayap kanan
laskat Tohpati itu. Agung Sedayu yang menunggu kekuatan terakhir yang
akan diungkapkan oleh Alap-alap Jalatunda menjadi bertanya-tanya di
dalam hati. Apakah Alap-alap Jalatunda itu sudah sampai pada puncak
kekuatannya? Kalau demikian, apakah yang didengar tentang Alap-alap
Jalatunda hanya sekedar dongengan untuk menakutkan orang-orang yang
mendengarnya. Atau kemampuan dirinya telah cukup mengatasi alap-alap itu
dengan mudah?
Dalam kebingungan itulah Agung Sedayu
melihat laskar lawannya surut dengan cepat. Betapa ia berusaha mengejar
lawannya, namun Alap-alap Jalatunda itu kemudian menenggelamkan diri
dalam hiruk pikuk laskarnya. Mereka mundur sambil melawan serta
melepaskan anak panah.
“Bukan main” desah Agung Sedayu. “Mereka
mempergunakan anak panah” Agung Sedayu itu menyesal bahwa ia tidak
membawa anak panah dan busur. Tetapi tiba-tiba ia teringat, bahwa dalam
sakunya ada beberapa butir batu. Timbullah keinginannya untuk
bermain-main dengan batu itu. Sekali ia melepaskan sebuah batu, maka
terdengarlah seorang lawannya yang sedang membidikkan anak panah memekik
tinggi, dan dalam remang-remang Agung Sedayu melihat orang itu jatuh
terjerebab. Sesaat ia melihat orang itu menggeliat dan menahan sakit.
Agung Sedayu terkejut melihat akibat
perbuatannya. Orang itu tampaknya menjadi sangat menderita. Karena itu,
maka tiba-tiba ia berlari-lari mendekatinya.
“Kenapa kau?” terndengar Agung Sedayu bertanya.
Orang itu masih menggeliat dan
menyeringai kesakitan. Dipegangnya perutnya sambil mengaduh tak
habis-habisnya. Sementara itu kawan-kawannya telah semakin jauh, mundur
dari pertempuran.
Agung Sedayu mencoba menangkap lawannya yang kesakitan itu dan dicobanya untuk menenangkannya, “Jangan berguling-guling”
Tetapi alangkah terkejutnya Agung Sedayu itu, karena sesaat kemudian orang itu pun menjadi diam membeku.
“Oh” desah Sedayu, “Apakah kau mati he?”
Dan sebenarnya orang itu pun telah mati.
Karena itu, maka Agung Sedayu menyesal bukan main. Tetapi ia tidak akan
dapat menghidupkannya lagi.
Swandaru juga melihat Agung Sedayu sibuk dengan orang itu mendekatinya sambil bertanya, “Kenapa dengan orang itu?”
“Aku tidak sengaja membunuhnya. Tetapi orang ini mati”
“Kenapa kalau mati? Bukankah orang itu orang Jipang?”
Agung Sedayu kini telah tegak berdiri.
Digigitnya bibirnya. Dan terasa sesuatu berdesir di dadanya. “Ya”
katanya dalam hati. “Apakah kita sudah sampai sedemikian jauh menyimpang
dari peradaban manusia? Meskipun orang itu orang Jipang, Pajang atau
orang yang ditemuinya di pinggir jalan sekalipun namun selama ia masih
bernama manusia, apakah kita biarkan saja mereka mati selagi masih ada
kesempatan untuk menolongnya?”
Tetapi ketika Agung Sedayu melayangkan
pandangan matanya, maka dilihatnya diberbagai tempat, tubuh-tubuh yang
terbaring membeku. Tetapi ada juga di antaranya terdengar merintih
menahan sakit. Agung Sedayu belum pernah melihat medan pertempuran. Kali
ini adalah kali yang pertama. Karena itu ia menjadi ngeri. Meskipun
kini ia tidak tahut lagi untuk bertempur, tetapi apa yang dilihatnya
benar-benar mendirikan bulu romanya.
Namun sesaat kemudian Agung Sedayu itu mendengar Swandaru berkata, “Marilah. Musuh kita masih berada di pelupuk mata kita”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Sesaat kemudian dilihatnya Swandaru meloncat dan berlari ke arah laskar
Jipang mengundurkan dirinya. Agung Sedayu pun kemudian mengikutinya
pula, namun hatinya benar-benar digelisahkan oleh pengalamannya yang
pertama itu.
Meskipun demikian, ada sesuatu yang
didapatkannya dimedan peperangan itu. Disadarinya kemudian bahwa
Alap-alap Jalatunda pada saat-saat bertempur, sama sekali bukan sekedar
menunggunya lelah sambil menyimpan kekuatan terakhirnya. Tetapi
Alap-alap Jalatunda itu benar-benar telah mengerahkan segenap
kemampuannya. Maka hatinya menjadi semakin besar. Agung Sedayu itu
semakin melihat kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya. Ternyata
Alap-alap Jalatunda yang pernah menghantuinya itu tidak lebih daripada
yang disaksikannya itu, yang ternyata masih berada dibawah kepandaiannya
bermain pedang.
“Aneh” desahnya di dalam hati. “Apakah yang selama ini memagari keberanianku untuk berbuat seperti ini?”
Agung Sedayu itu menjadi semakin percaya
kepada diri sendiri. Tetapi ia masih belum dapat melihat tubuh-tubuh
yang bergelimpangan dibekas medan pertempuran itu.
Laskar Jipang itu pun kemudian
mengundurkan dirinya dengan cepat sambil melawan terus, sehingga dengan
demikian maka laskar Pajang pun tidak dapat berbuat banyak. Mereka hanya
dapat mendesak laskar musuhnya itu. Dalam keadaan yang demikian, maka
laskar dikedua belah pihak hampir bercampur baur dalam satu lingkaran
pertempuran. Namun kemudian laskar Jipang itu menyebar dan dengan cepat
berusaha menyusup ke dalam sebuah desa yang pertama-tama mereka temui.
Di ujung selatan induk desa Sangkal
Putung, Sanakeling melihat di arah barat, panah api menari-nari di
udara. Karena itu, maka ia menjadi terkejut. Ia tidak menyangka bahwa
laskar induknya terpaksa mengundurkan diri. “Kalau demikian” katanya
dalam hati, “Maka laskar yang aku hadapi dan dipimpin oleh Widura
sendiri ini bukan laskar induk. Jadi siapakah yang memimpin laskar induk
lawan ini?”
Tetapi Sanakeling tidak mendapat
jawabannya. Dan ia tidak sempat untuk menanyakannya. Kini ia harus
mematuhi perintah itu meskipun sebenarnya keadaan laskarnya sendiri sama
sekali tidak mengkhawatirkan. Tetapi kalau laskar induk lawannya yang
telah ditinggalkan oleh laskar Jipang itu mengepungnya, maka laskarnya
pasti akan tumpas. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain daripada
mengundurkan diri pula.
Demikianlah maka seluruh pasukan Tohpati
itu kini telah ditarik mundur. Widura pun tidak berusaha mengejar
lawannya terlampau jauh. Sanakeling berhasil juga mengundurkan dirinya
dengan teratur, sehingga dari pihaknya tidak terlalu banyak korban yang
jatuh.
Induk pasukan yang dipimpin oleh Untara
itu mengejar lawannya sampai kedesa pertama yang dapat dicapai oleh
laskar lawannya. Demikian mereka memasuki desa itu, maka seakan-akan
mereka telah lenyap ditelan kegelapan. Obor-obor mereka segera menjadi
padam, dan orang-orang mereka pun segera menyelinap dan hilang di balik
daun-daunan yang rimbun serta rumpun-rum pun bambu yang lebat.
Laskar Pajang sejenak menjadi ragu-ragu.
Mereka sama sekali tidak mendengar seorang pun memberikan aba-aba kepada
mereka. Apakah mereka harus mengejar lawan itu terus atau mereka harus
berhenti di batas desa itu. Sebab alangkah berbahayanya melakukan
pengejaran di dalam gelap yang pekat itu.
Yang terdengar kemudian adalah suara Sidanti, “He, apakah yang harus kami lakukan?”
Tak ada suara yang menyahut. Karena itu
sekali lagi Sidanti berteriak, “Apakah laskar Pajang ini laskar yang
liar, yang dapat berbuat sekehendak diri kita masing-masing? Ayo, bagi
yang memegang pimpinan, berikan perintah”
Kembali suara itu bergulung-gulung dan hilang ditelan kabut malam.
Semua yang mendengar suara Sidanti itu
menjadi tegang. Mereka menunggu jawaban dari pimpinan mereka. Namun
jawaban yang ditunggunya itu tidak juga kunjung datang.
Hudaya, Sidanti dan beberapa orang lagi
menjadi gelisah. Citra Gati dan Agung Sedayu dari sayap yang lain pun
telah bergabung dalam induk pasukan itu pula.
Dalam ketegangan itu terdengar suara Agung Sedayu gelisah, “Kakang Untara, kakang Untara”
Tetapi Untara tidak menyahut. Karena itu
seluruh laskar Pajang pun menjadi gelisah. Dalam hiruk pikuk pengejaran
mereka tidak melihat kemana Untara pergi. Beberapa orang dari mereka
masih melihat Untara berhasil melukai Tohpati. Dan kemudian berusaha
mengejarnya. Tetapi tiba-tiba Untara itu seakan-akan menjadi hilang
lenyap ditelan oleh malam yang kelam.
Suasana segera meningkat menjadi semakin
tegang. Ternyata Untara telah hilang. Dengan demikian, maka laskar
Pajang iu benar-benar menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang mereka
lakukan.
Dalam ketegangan itu terdengar suara Citra Gati, “Siapakah yang melihat ki Untara untuk yang terakhir kalinya?”
“Aku” jawab salah seorang, “Pemimpin kita
itu telah melukai Macan Kepatihan. Tetapi dalam hiruk pikuk pengejaran
aku tidak melihatnya”
“Dimana?” bertanya Citra Gati pula.
“Digaris pertempuran tadi”
“Mari kita cari”
Beberapa orang segera bergerak kembali
kegaris pertempuran beberapa langkah di belakang mereka. Tetapi
terdengar Sidanti berkata, “Kenapa kita cari ia di sana. Bukankah ia
telah berhasil melukai Macan Kepatihan dan mengejarnya. Marilah kita
cari ke depan, ke dalam desa ini”
Citra Gati berpikir sejenak. Untara pasti
tidak akan berbuat demikian. Berbuat sendiri dan meninggalkan laskarnya
dalam keragu-raguan. Pemimpin yang bodoh pun akan tahu, bahwa
keragu-raguan dalam barisannya adalah sangat berbahaya. Maka sesaat
kemudian ia menyahut, “Kita cari di garis pertempuran”
“Tidak” sahut Sidanti, “Jangan membuang waktu”
———-oOo———-
(Bersambung ke Jilid 7)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-06/

Tinggalkan Balasan