

ADBM-003
Orang itu seakan-akan tidak mendengarnya.
Bahkan kemudian ia bertanya kepada Agung Sedayu. “Sedayu, apakah yang
sedang engkau kerjakan? Apakah kau sedang melatih orang ini?”
Dada Widura berdesir mendengar pertanyaan
itu. Ternyata orang itu telah mengenal Agung Sedayu. Namun karena itu,
segera Widura pun mengenalnya, orang itulah agaknya yang menamakan
dirinya Kiai Gringsing. Karena itu kembali ia bertanya, “Apakah kau yang
menamakan dirimu Kiai Gringsing?”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya, “Darimanakah kau tahu bahwa aku bernama Kiai
Gringsing? Apakah gurumu itu telah memberitahukannya kepadamu?”
Sekali lagi dada Widura berdesir. Orang itu menganggapnya murid Agung Sedayu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu pun segera
mengenal bahwa orang itulah yang dahulu pernah menemuinya di Bulak Dawa.
Suaranya dan caranya berkerudung kain gringsing, meskipun topengnya
bukan topeng yang dipakainya itu. Karena itu tanpa disadarinya, ia
menjadi gembira. Ternyata Agung Sedayu tidak takut lagi kepada Kiai
Gringsing. Sejak pertemuannya yang pertama orang itu tidak bermaksud
jahat kepadanya. Maka Sedayu pun segera melangkah maju sambil berkata,
“Benarkah kau Kiai Gringsing yang di Bulak Dawa itu?”
Kiai Gringsing mengangguk, jawabnya, “Tentu, tak ada dua tiga Kiai Gringsing”
Tiba-tiba Sedayu itu pun teringat kepada
orang yang pernah menamakan diri Kiai Gringsing pula di dukuh Pakuwon.
Maka katanya, “Tidak. Yang sudah aku ketahui, ada dua Kiai Gringsing.
Yang lain adalah seorang yang sudah sangat tua dan bongkok”
Kiai Gringsing menggeleng, katanya,
“Jangan bergurau. Teruskan saja pekerjaanmu. Aku tidak akan mengganggu.
Muridmu itu perlu segera mendapat tuntunan yang lebih berat. Agaknya ia
murid yang cukup baik”
“Ah” desah Agung Sedayu. “Jangan berkata
begitu. Itu adalah pamanku. Dan justru pamanku itu sedang mengajari aku,
supaya aku mempunyai bekal di hari-hari mendatang”
Kiai Gringsing itu pun tertawa
berkepanjangan. Katanya, “Kau benar-benar seperti almarhum ayahmu.
Tetapi kau jangan terlalu merendahkan dirimu. Sekali-sekali kau perlu
juga menunjukkan bahwa kau adalah putra Ki Sadewa”
“Itu adalah pamanku” Agung Sedayu
mengulangi. Tetapi ketika ia akan meneruskan kata-katanya, terdengar
Kiai Gringsing memotong, “Aku sudah tahu. Orang itu adalah pamanmu.
Bukankah ia bernama Widura? Dan bukankah ia adik ibumu? Apa salahnya
kalau kau ajari orang itu satu dua unsur-unsur gerak keturunan dari Ki
Sadewa? Menurut pengamatanku, Widura itu pun pernah juga belajar
selangkah dua langkah. Karena itu adalah menjadi kewajibanmu untuk
menyempurnakan”
Mendengar kata-kata itu, telinga Agung
Sedayu menjadi merah. Ia takut kalau pamannya tersinggung karenanya.
Maka katanya, “Kiai, hidup matiku di sini tergantung kepada paman.
Jangan mempersulit keadaanku”
Sekali lagi Kiai Gringsing tertawa, terkekeh-kekeh sehingga tubuhnya seakan-akan berguncang-guncang.
Widura masih tegak seperti patung. Ia
mendengar semua percakapan itu. Meskipun ia terkejut dan heran, karena
namanya pun telah diketahui pula, bahkan hubungan keluarganya, tetapi ia
masih berdiam diri. Meskipun demikian, namun otaknya sedang bekerja
dengan riuhnya. Dicobanya sekali lagi mengingat-ingat apa yang pernah
dilihatnya di Dukuh Pakuwon. Ketiga kuda yang diikutinya berjalan dari
rumah Ki Tanu Metir kejurusan yang sama. Tiba-tiba Widura menemukan
sesuatu. Karena itu dengan tiba-tiba pula ia berkata, “Baiklah Kiai
Gringsing, aku tidak keberatan, apa saja yang kau katakan tentang kami
berdua. Meskipun demikian, aku ingin bertanya kepadamu, dimanakah Untara
dan Ki Tanu Metir? Agaknya kau benar-benar orang yang berpengetahuan
luas. Kau kenal kemenakanku Agung Sedayu, kau sebut-sebut nama kakak
iparku, dan akhirnya kau kenal namaku. Dengan demikian, adalah suatu
kemungkinan pula, bahwa kau mengetahui dimana kemenakanku yang seorang
itu”
Orang yang menamakan dirinya Kiai
Gringsing itu mengerutkan lehernya. Kemudian terdengar ia tertawa
pendek. Jawabnya, “Tentu. Tentu aku tahu semuanya. Untara kini menjadi
salah seorang tamtama Pajang sedang yang kau maksud dengan Ki Tanu Metir
itu adalah seorang tukang obat dari dukuh Pakuwon?”
“Jangan berpura-pura” potong Widura , “Kau tahu bahwa bukan itulah jawabnya”.
“He” Kiai Gringsing terkejut. “Aku adalah seseorang yang tahu semuanya. Apakah jawabku salah?”
“Jangan menyangka aku seorang kanak-kanak
seperti Agung Sedayu” Sahut Widura . Tetapi Kiai Gringsing itu malahan
tertawa berkepanjangan. Katanya, “Hem, tentu. Baru beberapa hari kau
menjadi murid Agung Sedayu? Kau tentu tak akan dapat dipersamakannya”
Semakin lama Widura menjadi semakin
jengkel karenanya. Namun dicobanya mengendalikan dirinya, dan dicobanya
bertanya pula, “Kiai, katakanlah kepada kami, dimana Untara sekarang?”
“Kalau jawabku salah, maka aku tak tahu, dimana ia sekarang”
“Jangan bohong” potong Widura, “Pada malam Untara hilang kau berada di rumah Ki Tanu Metir”
“He” Kiai Gringsing terkejut, dan Agung
Sedayu pun terkejut. Dari mana pamannya tahu, bahwa pada malam itu Kiai
Gringsing berada di rumah Ki Tanu Metir. Dan ternyata Kiai Gringsing
pun bertanya, “Siapa yang berkata demikian?”
“Aku” jawab Widura.
“Kau menyangka yang bukan-bukan. Atau barangkali kau berangan-angan terlalu jauh”
“Tidak. Bukankah kau telah memberi Agung Sedayu seekor kuda?”
“Ya”
“Dari mana kau dapat kuda itu?”
“Kudaku sendiri. Kenapa? Apakah kudamu hilang?”
“Dengar Kiai. Aku telah mencoba mengikuti
jejak kuda yang datang dan yang pergi. Tiga ekor kuda telah
meninggalkan halaman rumah Ki Tanu Metir. Dan ketiga-tiganya menuju
Sangkal Putung. Di sepanjang jalan tak ada telapak kuda yang
meninggalkan jalan itu pula. Tiga Kiai. Hitunglah, yang pertama kuda
Agung Sedayu, yang lari itu. Yang kedua kuda Alap-alap Jalatunda dan
yang ketiga adalah kuda yang kemudian dipakai oleh Sedayu pula. Kudamu,
yang keluar dari kandang kuda Ki Tanu Metir.”
Kiai Gringsing masih tertawa. Jawabnya,
“Kau senang mengotak-atik Widura. Tetapi ternyata pengamatanmu kurang
baik. Apakah kau telah mengamati tepi jalan sepanjang yang kau lampaui.
Bagaimanakah kalau aku masuk ketika jalan itu dengan melompati pagar,
atau muncul dari regol-regol halaman sepanjang jalan?”
Widura menarik nafas, “Memang mungkin”
sahutnya, “Tetapi itu tidak akan kau lakukan. Nah sekarang Kiai, aku
minta tunjukkan anak itu.”
“Jangan ribut Widura. Berlatihlah supaya
kau benar-benar menjadi seorang pemimpin yang sakti. Biarlah aku melihat
dan tidak mengganggu. Jangan ributkan Untara itu. Aku tidak tahu.”
Berkata Kiai Gringsing.
Widura adalah seorang perwira tamtama.
Karena itu maka adalah menjadi kebiasaannya untuk menyelesaikan setiap
persoalan dengan cepat. Karena itu, ia menjadi marah mendengar perkataan
Kiai Gringsing yang melingkar-lingkar itu. Katanya, “Kiai, jangan
bergurau seperti anak-anak. Dimana Untara itu? Kalau tidak aku akan
menangkapmu dan melihat, siapakah kau sebenarnya”.
“He” kembali Kiai Gringsing terkejut.
Sedayu pun menjadi terkejut pula. Apalagi ketika ia melihat pamannya
itu maju selangkah dengan wajah yang tegang.
“Kenapa kau akan menangkap aku?” bertanya Kiai Gringsing. “Apakah hakmu?”
“Aku berhak melakukan segala tindakan, untuk keselamatan Pajang.”
“Apakah hubunganku dengan keselamatan Pajang?”
“Kau tahu dimana Untara, salah seorang perwira tamtama Pajang yang kini tenaganya sangat diperlukan.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukan kepalanya, Kemudian pada Sedayu ia berkata, “Sedayu, apakah kau dapat mencegah muridmu itu?”
Agung Sedayu manjadi bingung. Namun ia
sebenarnya menjadi sangat takut kalau pamannya benar-benar akan
menangkap Kiai Gringsing. Tetapi ia tidak dapat berkata apa-apa. Yang
terdengar kemudian adalah geram Widura, “Minggirlah Sedayu, Biarlah
orang ini aku tangkap. Mungkin ada banyak keterangan-keterangan yang
dapat dikatakannya, dan dengan demikian wajahnya akan segera kita
kenal.”
“Sedayu” berkata Kiai Gringsing dengan nada kecemasan, “Apakah kau dapat mencegah muridmu itu?”
Tetapi Widura tidak memperdulikannya
lagi. Cepat ia melompat untuk menangkap lengan Kiai Gringsing. Tetapi
Kiai Gringsing itu pun melangkah surut, sehingga Widura tidak berhasil
menangkapnya. Tetapi Widura tidak membiarkannya lari, karena itu segera
Kiai Gringsing dikejarnya. Kiai Gringsing itu pun berlari berputar-putar
di antara batang-batang ilalang. Berloncatan dari batu-batu bahkan
melingkar-lingkar pohon kelapa sawit. “Kenapa kau kejar-kejar aku?”
Widura benar-benar menjadi marah. Karena
itu ia berteriak, “Kiai Gringsing, aku dengar kau pernah bertempur
dengan Alap-alap Jalatunda. Kenapa kau sekarang berlari-lari seperti
keledai yang bodoh.”
“Jangan tangkap aku” katanya.
“Kiai, nama seorang bertopeng dan berkain
Gringsing mulai terkenal di daerah ini, nah pertahankan nama itu. Aku
tidak akan mengejarmu lagi, tetapi aku akan menyerangmu.”
“Paman” potong Agung Sedayu yang menjadi semakin cemas.
Tetapi pamannya tak mendengarnya. Kini ia
tidak mengejar lagi, dengan satu loncatan panjang Widura langsung
menyerang Kiai Gringsing. Kiai Gringsing itu pun kini tidak berlari-lari
lagi.
Ketika Widura langsung menyerangnya,
segera ia mengelakkan diri sambil berkata, “Aku tidak pernah merasa
mempunyai persoalan dengan kau Widura. Tetapi kenapa kau menyerang aku?”
Widura tidak menjawab, tetapi ia menyerang kembali dengan garangnya.
Kiai Gringsing masih saja mengelak dan
menghindar. Kemudian terdengar ia berkata pula, “Widura, kalau kau
marah, maka aku tak akan mengganggumu, baiklah aku minta maaf. Aku akan
pergi. Tetapi jangan menangkap aku.”
Widura masih tidak mau mendengarnya. Ia
benar-benar ingin menangkap orang bertopeng itu. Sebab menurut
perhitungannya, Kiai Gringsing benar-benar mengetahui dimana Untara dan
Ki Tanu Metir. Apabila tidak, setidak-tidaknya maka ia akan dapat
mengenali siapakah sebenarnya orang yang bertopeng itu.
Agung Sedayu, yang melihat pamannya
benar-benar menyerang Kiai Gringsing, menjadi semakin cemas. Diam-diam
ia berdoa di dalam hatinya, mudah-mudahan pamannya tidak dapat menangkap
orang bertopeng itu. Ia sendiri tidak mengetahuinya, kenapa tiba-tiba
saja mencemaskan nasib orang yang tidak dikenalnya itu.
Widura yang marah itu menjadi semakin
marah. Karena itu, ia kini benar-benar berusaha dengan sekuat tenaganya.
Setiap kali Kiai Gringsing menghindar, maka menyusullah
serangan-serangannya berturut-turut. Bahkan kemudian gerakan Widura itu
menjadi semakin berat melingkar serta seperti angin pusaran ia melibat
Kiai Gringsing.
Akhirnya Kiai Gringsing pun menjadi
semakin sulit. Ia tidak dapat menghindar dan menghindar terus. Ketika
serangan Widura manjadi semakin cepat maka keadaannya manjadi semakin
berat. Karena itu sekali lagi ia berkata, “Widura, apakah kau
betul-betul akan menangkap aku?”
“Sudah aku katakan” jawab Widura.
“Sekali lagi aku minta, urungkan niatmu” minta Kiai Gringsing.
Tetapi Widura sama sekali tidak mau
mendengar permintaan itu. Bahkan ia mendesak terus dalam tataran ilmunya
yang semakin tinggi.
“Hem” terdengar kemudian Kiai Gringsing
menggeram, “Baiklah. Kau ingin mengertahui siapakah Kiai Gringsing itu
seperti Agung Sedayu juga, ingin mengetahui unsur-unsur gerak yang akan
aku pergunakan, sehingga ia memaksaku untuk bertempur melawan Alap-alap
Jalatunda.”
Widura tidak menjawab.
Serangan-serangannya bahkan semakin membadai. Namun kini agaknya Kiai
Gringsing tidak hanya menghindar terus. Tiba-tiba ia meloncat tinggi dan
dengan suatu gerakan yang cepat sekali, orang itu berputar di udara.
Ketika ia menggeliat, maka disentuhnya punggung Widura. Sentuhan itu
terasa seakan-akan sebuah dorongan yang sangat kuat, sehingga Widura
terhuyung-huyung beberapa langkah maju. Untunglah bahwa Widura adalah
seorang perwira yang telah mengalami berpuluh-puluh pertempuran.
Sehingga dengan tangkasnya ia berhasil menghindarkan diri dari
kemungkinan terjerumus mencium batang-batang ilalang liar yang
bertebaran dilapangan yang sempit itu.
Namun meskipun demikian, betapa Widura
menjadi sangat terkejut. Ia tidak menyangka bahwa orang yang menamakan
dirinya Kiai Gringsing itu mampu bergerak sedemikian cepatnya. Lebih
dari itu, terasa, bahwa kekuatan Kiai Gringsing itu benar-benar
menakjubkan. Tetapi meskipun demikian, Widura, seorang prajurit dalam
tugas-tugas keprajuritannya, tidak segera bercemas hati. Ia memang
merasakan keanehan lawannya, namun ia tidak mengurungkan niatnya. Bahkan
Widura itu kini telah mengerahkan segala kemampuannya. Dengan cepatnya
ia menyerang dan menyerang terus beruntun. Tetapi serangan-serangannya,
apalagi menjatuhkan lawannya, menyentuh pun tidak. Kiai Gringsing
benar-benar mampu bergerak secepat geraknya, bahkan ternyata kemudian
bahwa kecepatan bergerak orang yang bertopeng itu dapat melampauinya.
Ketika kemudian Kiai Gringsing itu mempertahankan dirinya dan
sekali-sekali menyerang juga, terasa, bahwa orang yang bertopeng itu
benar-benar aneh.
Dengan demikian maka perkelahian itu
menjadi semakin lama semakin cepat. Widura kini telah benar-benar
mempergunakan ilmunya yang paling tinggi yang dimilikinya. Karena itu,
maka geraknya pun menjadi semakin garang dan cepat. Kedua tangannya
bergerak-gerak menyerang ke segenap tubuh lawannya. Sedang kedua kakinya
yang kokoh itu sekali dipergunakannya untuk meloncat-loncat namun
tiba-tiba tumitnya manyambar lambung.
Namun betapa ia berjuang, tetapi ia
menyadarinya, bahwa apabila demikian untuk seterusnya, pekerjaannya
tidak akan selesai. Karena itu, maka meskipun ia tidak berhasrat
membunuh lawannya, namun ia ingin mempengaruhinya dan kemudian
melemahkan perlawanannya. Ketika mereka menjadi semakin cepat bergerak
tiba-tiba Widura melangkah surut, dan tiba-tiba pula di tangannya telah
tergenggam pedangnya. Pedang yang besar dan tak begitu tajam, namun
runcing ujungnya malampui ujung jarum.
Kiai Gringsing terkejut melihat pedang
itu, karena itu ia pun meloncat mundur. Bahkan Agung Sedayu yang
mengikuti perkelahian itu dengan ketegangan di dalamnya terkejut pula.
Apakah pamannya benar-benar akan bertempur mati-matian?
Yang terdengar kemudian adalah suara Kiai Gringsing, “Widura, apakah kau akan membunuh aku?”
“Tidak” sahut Widura. “Sudah aku katakan, aku ingin menangkapmu”
“Kenapa dengan pedang?”
“Aku tidak dapat menangkapmu tanpa
senjata. Kau mampu bergerak selincah sikatan. Karena itu, sebaiknya kau
tidak usah melawan, supaya aku tidak melukaimu”
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas.
“Jangan main-main dengan senjata Widura, senjata adalah lambang dari
kematian. Kematian lawan atau kematian diri sendiri. Karena itu,
sarungkan senjatamu. Kita bermain-main kembali. Apakah kau sudah lelah?”
Widura mengerutkan keningnya. Ia melihat
beberapa kelebihan lawannya. Apalagi ketika disadarinya, bahwa nafas
Kiai Gringsing itu masih segar, sesegar pada saat dilihatnya untuk
pertama kalinya.
“Gila” umpat Widura di dalam hatinya.
“Apakah orang ini mempunyai nafas rangkap, atau memiliki sarang angin di
dalam dadanya, sehingga nafasnya tak akan mengganggu”
Namun meskipun demikian, ia sudah
bertekad, menangkap orang itu, orang yang banyak menyimpan teka-teki di
dalam dirinya. Karena itu Widura tidak menyarungkan pedangnya. Bahkan ia
melangkah maju sambil mengacungkan pedangnya kedada Kiai Gringsing.
Katanya, “Kiai, jangan memaksa aku mempergunakan pedangku. Ikutlah aku,
dan tanggalkan topengmu itu supaya aku dapat mengenal wajahmu”
Kiai Gringsing masih tegak di tempatnya,
seakan-akan kakinya jauh menghunjam kepusat bumi. Dipandangnya Widura
dengan seksama, seakan-akan ingin dilihatnya isi dadanya.
Tetapi sesaat kemudian ia berpaling
kepada Agung Sedayu. Katanya sambil tertawa, “Sedayu, apakah orang ini
sudah kauajari memegang senjata?”
Dada Agung Sedayu berdesir, dan jantung
Widura pun berguncang. Ia tidak menyangka bahwa Kiai Gringsing itu
memandangnya seperti kanak-kanak yang sedang merajuk. Karena itu Widura
itu pun menggeram, “Kiai, aku sependapat dengan kau bahwa senjata adalah
lambang dari kematian. Karena itu, jangan mempersulit keadaan. Aku
ingin menangkapmu hidup-hidup sebab aku inginkan beberapa keterangan
darimu. Tetapi kalau kau mati karena pokalmu yang aneh-aneh itu, jangan
menyesal”
Hem” Kiai Gringsing menarik nafas, “Kau benar-benar marah Widura?”
Pertanyaan itu benar-benar membingungkan.
Dan akhirnya Widura pun menjadi bingung memandang kedirinya sendiri.
Apakah ia sedang marah atau karena sekedar didorong oleh
keinginan-keinginan yang meluap-luap untuk segera memecahkan teka-teki
tentang hilangnya Untara. Tetapi ketika ia melihat topeng Kiai Gringsing
yang pucat seperti mayat itu, tiba-tiba saja ia menggeleng, “Tidak”
jawabnya. “Aku tidak sedang marah. Tetapi aku sedang mengemban
kewajiban. Sekarang aku sedang berusaha untuk menangkapmu, karena itu
adalah salah satu dari kewajibanku pula”
“Baik” sahut Kiai Gringsing, “Aku senang
bahwa kau tidak sedang marah. Adalah berbahaya sekali senjata di tangan
orang yang sedang marah. Kalau kau mau bertempur, marilah. Tetapi kita
bertempur tanpa kemarahan di hati. Kata orang, kemarahan akan
mempersempit otak kita. Dan senjata di tangan kita akan menjadi kabur
kegunaannya”
Widura mengerutkan keningnya. Katanya, “Hem. Kau takut kalau karena kemarahanku, aku membunuhmu”
Kiai Gringsing tertawa. Dan jawabnya
mengherankan Widura, “Mungkin. Aku memang takut mati. Mati tanpa arti.
Tetapi kalau kau yang mati, maka kau mati dalam pelukan kewajiban. Nah,
apakah tidak lebih baik, kau saja yang mati supaya kau disebut pahlawan”
“Jangan mengigau, bersiaplah!” bentak Widura.
“Aku sudah siap. Aku dapat bertempur
sambil tersenyum. Apakah orang yang sedang bertempur pasti harus
berwajah tegang seperti tambang? Bukan kita bertempur tanpa kemarahan di
hati?”
Widura tidak menunggu kata-kata Kiai
Gringsing itu berakhir., tiba-tiba saja menggerakkan pedangnya mengarah
kedada lawannya. Namun sekali lagi ia terkejut. Kiai Gringsing itu sama
sekali tidak bergerak, sehingga pedang itu benar-benar akan menghunjam
kedadanya. Tetapi justru karena itu, Widura segera menarik serangannya
dan berteriak, “Hei Kiai. Apakah kau sedang membunuh diri?”
Kiai Gringsing menggeleng, “Tidak” jawabnya. “Aku hanya ingin tahu, apakah kau akan membunuh orang yang tidak bersenjata?”
“Oh” Widura tersadar dari
ketergesa-gesaannya. Ia adalah seorang perwira tamtama yang biasa
bertempur dalam kelompok yang besar, yang tidak pernah bertanya apakah
lawannya bersenjata atau tidak. Tetapi dalam perkelahian seorang lawan
seorang adalah wajar apabila keadaannya harus berimbang. Dengan
demikian, masing-masing tidak meninggalkan kejantanan dan kejujuran.
“Ambillah senjatamu” teriak Widura jengkel.
“Bagus” jawab Kiai Gringsing. Kedua tangannya pun segera bergerak, mengambil sesuatu dari balik kain gringsingnya. Cambuk kuda.
“Gila” geram Widura. “Adakah itu senjatamu?”
“Kenapa? Ini adalah senjataku. Dengan senjata ini pula aku bertempur dengan Alap-alap Jalatunda. Ayo, mulailah”
Widura menjadi semakin tidak mengerti
menghadapi orang aneh ini. Meskipun demikian ia bersiap pula. Tetapi
kini nafsunya untuk bertempur telah jauh berkurang. Bahkan tiba-tiba ia
mengumpat tak habis-habisnya di dalam hatinya.
“Widura” berkata Kiai Gringsing pula,
“Aku akan mempergunakan senjataku pada ujung dan pangkalnya. Aku
memegangnya di tengah-tengah. Awas, lawanlah dengan pedangmu”
Sekarang Kiai Gringsinglah yang
mendahului menyerang. Widura terkejut. Ia mengelak ke samping dan dengan
gerak naluriah, pedangnya pun berputar dan membalas serangan itu dengan
serangan pula. Kini keduanya bertempur pula dengan cepatnya. Kiai
Gringsing itu mempergunakan senjata anehnya dengan cara yang aneh pula.
Tiba-tiba orang bertopeng itu berteriak nyaring, “Nah, kau dapat aku
kenai Widura”
Terasa sesuatu menyengat pundaknya.
Meskipun yang mengenai itu ternyata hanya ujung cambuk kuda, namun
sakitnya bukan kepalang. Sehingga Widura itu melontar surut.
“Nah, bayangkan, bagaimanakah kira-kira
kalau senjataku ini berujung runcing seruncing senjatamu atau seruncing
Nenggala pemberian Ki Tambak Wedi”
Widura terkejut mendengar kata-kata itu.
Nenggala pemberian Ki Tambak Wedi adalah senjata Sidanti. “Ah” gumamnya,
“Ia hanya ingin mencari persamaan” pikirnya. “Tetapi” katanya pula di
dalam hatinya, “Kenapa ia sengaja memegang senjatanya dengan cara yang
aneh itu?”
Tetapi Widura tidak sempat berpikir
terlalu panjang, sebab Kiai Gringsing itu telah menyerangnya pula sambil
berteriak, “Sedayu, awasi muridmu, supaya kau tahu kesalahannya”
Sedayu yang sudah bingung menjadi
bertambah bingung. Tetapi ia memperhatikan pula pertempuran itu. Kiai
Gringsing dengan cambuk kuda di tangan, dan pamannya dengan sebuah
pedang yang menakutkan.
Pertempuran itu semakin lama mejadi
semakin seru. Cambuk Kiai Gringsing bergerak dengan cepatnya, menyambar
dari segala arah. Ujung dan pangkalnya sekali-sekali mematuk tubuh
Widura tanpa dapat dihindari. Semakin lama menjadi semakin sering.
Meskipun Widura berusaha sepenuh tenaga.
Karena itu, maka getar di dalam dada
Widura pun semakin lama menjadi semakin cepat. Ia kini tidak mau
terbelengu oleh perasaan yang tak dimengertinya. Ia tidak memperdulikan
lagi apakah ia sedang marah, atau ia hanya sekedar terdorong oleh
keinginannya untuk mengetahui dimana Untara berada. Dengan demikian maka
nafsunya untuk bertempur mati-matian kini kembali merayapi dadanya.
Sehingga oleh karenanya, maka pedangnya pun bergerak semakin cepat,
secepat baling-baling ditiup angin musim kesanga.
Sedayu melihat pertempuran itu dengan
jantung yang berdentang-dentang. Mula-mula mencemaskan nasib orang
bertopeng itu. Namun dalam pengamatannya kemudian, Kiai Gringsing itu
ternyata mampu mempertahankan dirinya, bahkan beberapa kali ia berhasil
mendesak Widura sehingga pamannya itu meloncat surut. Bahkan kemudian
pertempuran itu terasa sangat menarik hatinya. Dengan penuh gairah ia
memperhatikan setiap gerak dari mereka berdua. Ia mengagumi ketangkasan
pamannya, namun ia heran melihat kelincahan Kiai Gringsing. Cambuk kuda
yang tampaknya sama sekali tak berarti itu ternyata merupakan senjata
yang berbahaya.
Setapak demi setapak perkelahian itu
berkisar dari satu titik ketitik yang lain. Namun Sedayu pun ikut
berkisa-kisar pula. Sekali ia terpaksa menahan napas apabila pedang
Widura menyambar dengan dahsyatnya, sedahsyat elang menyambar mangsanya.
Namun wajahnya pun menjadi tegang, apabila ia melihat pamannya
menyeringai kesakitan apabila cemeti kuda orang bertopeng itu menyentuh
tubuhnya.
“Hem” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Kalau saja aku mampu berbuat seperti mereka itu” gumamnya di dalam hati.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut
ketika ia melihat pamannya melontar mundur. Sekali, dua kali dan Kiai
Gringsing itu mendorongnya terus. Bahkan kemudian dengan tidak
disangka-sangka, kaki orang bertopeng itu berhasil menyambar pergelangan
tangan Widura sehingga pedangnya tergetar. Hampir saja pedang itu
meluncur dari tangannya.
Gigi Widura gemeretak. Kini ia
benar-benar marah. Karena itu tandangnya pun menjadi semakin garang.
Gerak pedangnya pun menjadi semakin cepat, sehingga yang tampak kemudian
seakan-akan kabut putih yang bergulung-guliung melanda orang bertopeng
itu.
Kini Widura lah yang mendesak maju. Kiai
Gringsing terpaksa meloncat surut. Bahkan akhirnya orang bertopeng itu
tiba-tiba tersandar pada pohon kelapa sawit di belakangnya.
Widura tidak membuang waktu lebih lama
lagi. Pedangnya cepat meluncur ke arah Kiai Gringsing. Widura yang
merasa dirinya dipermainkan itu, menusuk lawannya dengan sekuat
tenaganya, meskipun pedangnya tidak mengarah dada. Namun apabila Kiai
Gringsing tidak mampu menghindari kali ini, maka pundaknya pasti akan
tersobek.
Melihat peristiwa itu, Agung Sedayu
terkejut sehingga ia pun meloncat beberapa langkah maju. Namun ia tak
akan dapat berbuat apapun. Yang dilihatnya pedang pamannya yang runcing
itu mematuk dengan garangnya.Tetapi mata Agung Sedayu itu pun terbeliak.
Dengan mulut yang ternganga ia melihat, betapa Kiai Gringsing itu
kemudian berdiri tegak sambil tertawa berkepanjangan. Katanya, “Ah,
tenagamu memang luar biasa Widura. Tetapi kau sekarang pasti akan
menemui kesulitan untuk mencabut pedangmu itu”
“Setan” terdengar Widura mengumpat.
Dengan sekuat tenaga ia berusaha mencabut pedangnya yang tertancap pada
pohon kelapa sawit itu. Ternyata Kiai Gringsing mampu mengelakkan diri
dengan cepatnya, sehingga pedang Widura yang mematuknya itu langsung
mengenai pohon yang disandarinya.
“Jangan main-main kiai” geram Widura dengan wajah yang membara, “Aku dapat bertempur tanpa pedang”
“Jangan” jawab Kiai Gringsing, “Cabutlah pedangmu. Aku menunggu”
Widura masih berusaha sekuat tenaga
mencabut pedangnya. Namun ia masih mengumpat di dalam hatinya. Ternyata
pedang yang runcing itu telah membenam dalam sekali. Tenaganya
benar-benar telah dicurahkan untuk menusukkan pedang itu. Karena itu,
maka sekarang, betapa sukarnya untuk mencabutnya.
Beberapa kali Widura menggeram. Tetapi kemudian Kiai Gringsing itu berkata, “Minggirlah, coba apakah aku mampu mencabutnya”
Widura sendiri tidak menyadari, kenapa
tiba-tiba ia melangkah ke samping dan memberi kesempatan kepada orang
bertopeng itu untuk mencabut pedangnya. Betapa Widura menjadi heran,
apalagi Agung Sedayu. Dengan sebuah teriakan kecil, Kiai Gringsing
berhasil menyentakkan pedang itu dari batang kelapa sawit, meskipun ia
sendiri terhuyung-huyung beberapa langkah mundur. Bahkann hampir saja ia
tergelincir jatuh.
“Hem” orang bertopeng itu menarik nafas,
“Pedang yang aneh. Besar, tumpul namun runcing seruncing jarum. Kenapa
kau membuat pedang seaneh ini?”
Widura tidak menjawab. Tetap ia menggeram. Terdengar giginya gemeretak. Namun ia masih tegak di tempatnya.
“Widura, kita akhiri pertempuran ini. Aku
kembalikan pedangmu. Nah, berlatihlah terus” Kemudian kepada Agung
Sedayu Kiai Gringsing itu berkata, “Sedayu, kau harus bekerja lebih
berat supaya muridmu ini menjadi lekas masak. Ketahuilah, bahwa Sidanti
pun selalu mendapat tempaan dari gurunya. Ki Tambak Wedi setiap saat
mengunjunginya. Bukankah muridmu itu pimpinan laskar Pajang di sini?
Apabila Sidanti kelak melampauinya, maka wibawanya akan berkurang”
Widura terkejut mendengar kata-kata itu.
Demikian juga Sedayu. Apakah Sidanti benar-benar berlatih terus? Tetapi
Kiai Gringsing tidak memberi mereka kesempatan untuk bertanya. Bahkan
sekali lagi ia berkata, “Setiap hari aku akan melihat kalian berlatih di
sini. Aku tidak akan mengganggu. Nah Widura, ini pedangmu”
Sebelum Widura menjawab, meluncurlah
pedang Widura dari tangan Kiai Gringsing. Dengan gerak naluriah Widura
meloncat untuk menangkap pedangnya itu. Kemudian mereka berdua, Widura
dan Agung Sedayu melihat, orang bertopeng itu berjalan seenaknya
meninggalkan mereka. Lewat puntuk kecil itu, dan kemudian hilang di
balik batang-batang ilalang yang tumbuh dengan liarnya.
Widura sesaat berdiri saja mematung.
Pertemuannya dengan Kiai Gringsing itu benar-benar berkesan di hatinya,
“Orang aneh” gumamnya.
Widura terkejut ketika ia mendengar Agung Sedayu mengulangi kata-katanya, “Orang aneh. Ya, memang orang itu orang yang aneh”
Widura menarik nafas panjang. Katanya,
“Orang itu tampaknya selalu tidak bersungguh-sungguh. Tetapi aku
menyesal bahwa aku bersikap terlalu kasar kepadanya. Ah, mula-mula aku
merasa ia menghinaku” Widura berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan,
“Namun agaknya ada sesuatu maksud tersimpan di balik sikapnya yang
seakan-akan tidak bersungguh-sungguh itu”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan didengarnya pamannya berkata, “Bukankah Kiai Gringsing
mengatakan bahwa Sidanti pun selalu mendapat tempaan dari gurunya yang
dahsyat itu?”
“Ya” Agung Sedayu mengangguk.
Sesaat kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka masih memandang ke arah Kiai Gringsing lenyap di balik batang-batang ilalang.
“Sedayu” berkata Widura kemudian. “Kita
akhiri latihan ini. Marilah kita kembali. Ternyata bukan kau yang
mendapat kesempatan untuk berlatih, tetapi aku sendiri. Meskipun
demikian setiap malam kita datang ketempat ini”
Agung Sedayu mengangguk. Dan diikutinya
pamannya meninggalkan tanah lapang yang sempit itu. Mereka berjalan
berurutan di atas pematang, kemudian setelah melangkahi parit mereka
berjalan menyusur jalan desa menuju kademangan Sangkal Putung.
Hampir di sepanjang jalan mereka tidak
bercakap-cakap. Masing-masing sedang dihanyutkan oleh angan-angannya.
Widura masih dirisaukan oleh kata-kata Kiai Gringsing, “Sidanti berlatih
terus”
“Mudah-mudahan anak itu mempunyai itikad
yang baik” katanya di dalam hati. “Semoga ia berlatih untuk menghadapi
Macan Kepatihan”. Namun Widura itu beragu. Sikap anak muda itu memang
kurang menyenangkannya. Apalagi sikapnya terhadap Agung Sedayu.
Tanpa disengajanya, Widura berpaling
kepada kemenakannya yang berjalan menunduk di sampingnya, “Sayang”
gumamnya di dalam hati. “Anak itu benar-benar penakut. Kalau anak-anak
Sangkal Putung tahu, apalagi Sidanti, maka Sedayu akan menjadi orang
yang paling memuakkan di kademangan ini. “Tetapi aneh” berkata Widura
seterusnya di dalam hati, “Kenapa agaknya Kiai Gringsing menaruh
perhatian atasnya. Anak itu telah dilindunginya dari Alap-alap Jalatunda
dan kini ia hadir pula di lapangan sempit itu”
Sedangkan Agung Sedayu sibuk dengan
dirinya sendiri. Timbullah di dalam angan-angannya keinginan yang besar
untuk setidak-tidaknya dapat berbuat seperti pamannya, seperti kakaknya
apalagi seperti Kiai Gringsing yang mampu bergerak selincah burung
sikatan. “Aku akan berlatih terus. Setiap malam” janjinya di dalam hati.
Awan di langit semakin lama menjadi semakin kelam. Satu-satu guruh di langit meledak seperti hendak meruntuhkan gunung.
Widura dan Agung Sedayu mempercepat
langkah mereka. Mereka lebih senang tidur di pringgitan kademangan
Sangkal Putung daripada basah kuyup di jalanan.
Di regol halaman kademangan, Widura
melihat Ki Demang tidur di atas anyaman daun kelapa, sedang di
sampingnya mendengkur anak laki-lakinya, Swandaru.
Widura tersenyum melihat mereka. Meskipun
umur demang Sangkal Putung itu sudah melewati setengah abad, namun ia
merasakan benar bahwa adalah menjadi tanggung jawabnya, hidup atau mati
dari kademangannya. Ia tidak saja menerima jabatannya dalam saat-saat
menyenangkan, bukan sekedar suatu keinginan untuk menerima pelungguh
sawah dan kehormatan sebagai seorang demang, namun ia menyadari, bahwa
di samping hak yang diterimanya itu, maka ia pun harus mengemban
kewajiban yang diperoleh sebagai keseimbangan dari hak-hak itu. Bahkan
lebih dari itu, kampung halamannya adalah tanah yang harus
dipertahankan. Sebagai demang atau bukan.
Beberapa orang penjaga yang duduk di
regol halaman di samping Ki Demang itu pun berdiri ketika mereka melihat
Widura memasuki pintu regol, “Selamat malam tuan” sapa salah seorang
penjaga.
Widura menganggukkan kepalanya. Ketika ia
akan menjawab, dilihatnya Ki Demang menggeliat sambil bergumam, “Apakah
adi Widura baru datang?”
“Ya kakang” jawab Widura.
“Silakan, aku lebih senang tidur di sini. Udara terlalu panas” berkata ki demang itu pula.
“Langit kelam kakang” sahut Widura. “Agaknya sebentar lagi hujan akan turun”
“Agaknya demikian” jawab Ki Demang, “Nah, beristirahatlah”
Widura itu pun kemudian berjalan
bersama-sama dengan Agung Sedayu naik ke pendapa. Ketika mereka melihat
pembaringan Sidanti, mereka terkejut. Pembaringan itu kosong. Dan
senjata di dinding di atas pembaringannya itu pun tidak ada pula. Sedang
di sampingnya masih berjajar beberapa orang tidur dengan nyenyaknya.
Tetapi Widura tidak menanyakannya kepada siapapun. Bersama Agung Sedayu
mereka langsung ke pringgitan.
“Kau lelah Sedayu” berkata pamannya kemudian, “Tidurlah”
Sebenarnya Agung Sedayu itu lelah sekali.
Tidak saja tubuhnya, tetapi juga angan-angannya. Karena itu, segera ia
membaringkan dirinya, di atas tikar pandan di samping pembaringan
pamannya.
Tetapi pamannya tidak segera tidur.
Setelah diteguknya beberapa teguk air dari gendi digelodog bambu, ia pun
duduk sambil mengamati tubuhnya. Tampaklah beberapa goresan-goresan
merah biru dan noda-noda yang kehitaman hampir di segenap bagian
tubuhnya. Ujung dan pangkal cambuk Kiai Gringsing benar-benar
mengagumkan.
Widura itu kemudian terkejut, ketika ia
mendengar langkah menaiki pendapa. Perlahan-lahan dan kemudian kemudian
hilang. Ketika ia memperhatikan keadaan dan memusatkan pendengarannya,
ia mendengar beberapa suara gemerisik. Hanya sebentar, kemudian diam
kembali.
Widura mengangkat alisnya. Tetapi ia diam
saja. Ia masih menunggu beberapa saat. Baru kemudian ia berdiri
perlahan-lahan dan dengan hati-hati melangkah keluar pringgitan. Ketika
ia sampai di pendapa dilihatnya Sidanti telah berbaring di tempatnya,
seakan-akan tidak terjadi apapun.
“Sidanti” panggil Widura perlahan-lahan.
Sidanti menggeliat. Kemudian dengan segan ia menjawab, “Ya kakang”
“Adakah kau yang baru saja naik ke
pendapa?” bertanya Widura pula. Sesaat Sidanti terdiam. Ia ragu-ragu
untuk menjawab. Namun ketika Widura memandangnya dengan seksama,
seakan-akan ingin melihat debar dijantungnya, maka Sidanti itu pun
menjawab, “Ya kakang”
“Dari manakah kau?” bertanya Widura seterusnya.
“Dari belakang kakang. Kenapa?” sahut Sidanti.
“Tidak apa-apa. Sejak tadi aku mencarimu”
Sidanti kemudian bangkit dan duduk dengan malasnya, “Adalah sesuatu yang sangat perlu?”
“Tidak sedemikian penting. Tetapi kemarilah”
“Aku sudah kantuk sekali. Tidakkah dapat ditunda sampai besok?”
“Tentu. Tetapi aku mengharapmu sekarang”
Widura tidak menunggu Sidanti menjawab. Dengah langkah yang tetap ia berjalan memasuki pringgitan kembali.
Sidanti mengumpat di hatinya, “Apa pula yang akan dikatakannya”
Ketika Sidanti sudah duduk di hadapannya,
Widura berkata, “Sidanti. Persoalan ini memang tidak begitu penting.
Tetapi aku perlu menyampaikannya kepadamu” Widura diam sejenak.
Diamat-amatinya baju Sidanti. Basah oleh peluh yang seakan-akan terperas
dari tubuhnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Darimana kau Sidanti?”
Sidanti menjadi agak gugup. Namun sesaat ia telah tenang kembali. Jawabnya, “Dari belakang”
“Bajumu basah oleh keringat” sahut Widura.
Kembali Sidanti menjadi agak gugup.
Jawabnya kemudian, “Aku mencoba melatih diri supaya aku kelak dapat
mengimbangi Macan Kepatihan”
“Sendiri?” desak Widura.
“Ya”
“Sidanti. Aku berbangga akan ketekunanmu.
Namun kau harus memberitahukannya kepada kawan-kawanmu. Apalagi mereka
yang sedang bertugas, supaya tak terjadi salah mengerti. Dalam keadaan
serupa ini, setiap orang akan dapat dicurigai. Sampai saat ini aku belum
pernah dapat laporan, bahwa kau sering mempergunakan waktumu untuk
berlatih diri”
“Apa salahnya?” potong Sidanti, “Apakah
kakang Widura ingin kami semua ini menjadi orang-orang yang tidak pernah
menemukan tingkat yang lebih baik dari tingkat yang kita miliki
sekarang?”
“Tidak Sidanti. Aku tidak bermaksud
demikian. Bahkan aku senang kau melakukannya. Tetapi kenapa dengan
diam-diam. Apakah kau tak ingin misalnya, beberapa orang ikut serta, dan
apakah dengan demikian, ketahanan dan pertahanan kita akan tambah kuat”
“Tentu” jawab Sidanti, “Bukankah telah
kita lakukan setiap hari? Dan apa salahnya kalau aku mempergunakan waktu
khusus untuk aku sendiri?”
“Aku tidak keberatan. Tetapi kau sering
meninggalkan kademangan ini tanpa seorang pun juga mengetahuinya” Widura
mencoba untuk mengetahui, apakah yang dikatakan Kiai Gringsing tentang
Sidanti benar-benar terjadi.
Sidanti untuk sesaat tidak menjawab.
Dipandanginya wajah Widura dengan tajamnya. Tetapi ketika pandangan mata
mereka bertemu, Sidanti itu pun menundukkan wajahnya. Namun dadanya
masih juga berdebar-debar.
Widura tidak segera mendesaknya. Ia
menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Sidanti. Hanya tarikan nafas
mereka terdengar berkejar-kejaran. Baru beberapa saat kemudian Sidanti
menjawab, “Aku pergi atas tanggung jawabku sendiri kakang. Aku
kadang-kadang memerlukan tempat yang baik yang tidak aku temui di
halaman kademangan ini. Juga karena aku tidak ingin diganggu oleh siapa
pun juga”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kini ia yakin akan kebenaran cerita Kiai Gringsing. Namun ia masih
mengharap semoga Sidanti benar-benar akan mengamalkan ilmunya untuk
kemenangan bersama. Meskipun demikian Widura itu pun berkata, “Sidanti,
aku berbangga. Benar-benar berbangga seperti yang aku katakan. Tetapi
aku ingin memberimu peringatan. Jangan terlalu berani meninggalkan
kademangan ini seorang diri. Macan Kepatihan bukan anak-anak yang
ketakutan karena kekalahan-kekalahan kecil. Setiap saat ia dapat datang
kembali. Mungkin seorang diri, dan menyergapmu tanpa seorang pun yang
dapat melihat apa yang akan terjadi”
“Sudah aku katakan” jawab Sidanti, “Kalau
aku terbunuh olehnya selama aku melatih diri, adalah tanggung jawabku
sendiri. Tak seorang pun perlu menangisi mayatku”
“Jangan berkata demikian” sahut Widura.
Kata-katanya tenang dan berat. Kata-kata seorang tua kepada anaknya yang
nakal. “Kalau kau hilang dari antara kami, maka kami semua akan merasa
kehilangan. Kita tidak tahu, sampai kapan kita dalam keadaan yang tidak
menentu ini. Karena itu, kau adalah lawan Tohpati yang dapat kita
banggakan. Ilmumu masih akan berkembang sejalan dengan ilmu Tohpati.
Namun kau memiliki kemenangan daripadanya. Gurumu masih ada”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia tidak
senang atas peringatan itu. Dirasakannya seakan-akan kebebasannya
terganggu. “Apa pun yang aku lakukan adalah hakku” katanya di dalam
hatinya.
“Apakah gurumu tak pernah mengunjungimu?”
tiba-tiba Widura bertanya. Dan pertanyaan itu benar-benar membingungkan
Sidanti. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Sebenarnya ia sendiri
tidak pernah merasa keberatan seandainya semua orang tahu, bahwa gurunya
sering datang mengunjunginya. Namun gurunyalah yang melarangnya. Selalu
teringat olehnya gurunya itu berkata, “Sidanti, kemenangan terakhir
haruslah kemenanganmu. Bukan kemenangan orang lain. Juga bukan
kemenangan kelompokmu, apalagi pimpinanmu”
Karena ingatannya itu, maka Sidanti kemudian menggeleng, “Tidak. Guru tidak pernah datang”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya,
namun ia pasti, bahwa guru Sidanti itu dengan diam-diam selalu datang
dan menempa muridnya dengan tekunnya. Sedang di dalam kepala Sidanti itu
terngiang kata-kata gurunya pula, “Karena itu Sidanti, aku tak mau
seorang pun tahu, bahwa kau sedang menempa dirimu. Aku tak mau seorang
pun dapat meneguk ilmu Tambak Wedi meskipun hanya setetes. Sebab, pada
suatu saat kau harus menjadi orang pertama di Pajang sesudah Hadiwijaya
sendiri”
Kembali suasana di pringgitan itu
tenggelam dalam kesepian. Sidanti kemudian menundukkan wajahnya pula.
Tubuhnya benar-benar merasa lelah setelah ia memeras tenaganya, menerima
ilmu-ilmu penyempurnaan dari gurunya.
“Kau lelah sekali Sidanti” berkata Widura.
“Ya” sahut Sidanti pendek.
“Tidurlah”
Sidanti tidak menunggu perintah itu
diulang untuk kedua kalinya. Segera ia berdiri dan berjalan keluar. Di
muka pintu ia berpaling. Ketika dilihatnya Widura masih mengawasinya,
segera ia melemparkan pandangan matanya ke arah lain.
Kini Widura duduk kembali seorang diri di
atas pembaringannya. Angan-angannya terbang kian kemari. Banyak
persoalan yang dihadapinya. Dan banyak persoalan yang perlu
dipecahkannya. Namun sebagai manusia Widura berdoa, semoga Tuhan Yang
Maha Esa berkenan memberinya jalan terang.
Widura pun ternyata lelah pula. Sejenak kemudian ia pun berbaring dan tertidur pula dengan lelapnya.
Ketika cahaya fajar telah membayang
dipunggung bukit, maka Agung Sedayu pun telah bangun dari tidurnya.
Dikejauhan masih didengarnya satu-satu ayang jantan berkokok menyambut
pagi. Sekali Agung Sedayu menggeliat, kemudian perlahan-lahan ia bangkit
dan berjalan keluar. Terasa betapa nyamannya udara menjelang dini hari.
Di pendapa beberapa orang pun telah bangun. Seorang dua orang telah
turun kehalaman, sedang yang lain lagi bersembahyang subuh. Agung Sedayu
pun segera pergi kepadasan.
Baru setelah ia selesai sembahyang subuh,
dilihatnya pamannya bangkit. Dengan tersenyum ia menyapa, “Ah, kau
bangun lebih dahulu Sedayu”
“Ya paman” sahutnya, “Aku tidur lebih dahulu pula”
Pamannya tersenyum. Dan Agung Sedayu pun
kemudian meninggalkan ruangan itu. Ia ingin menikmati cerahnya fajar.
Satu-satu di langit masih tersangkut bintang-bintang yang dengan
segannya memandang halaman kademangan Sangkal Putung yang baru saja
terbangun dari lelapnya malam.
Sangkal Putung itu ternyata benar-benar
telah terbangun. Di jalan-jalan telah mulai tampak satu dua orang yang
lewat tergesa-gesa. Mereka akan mencoba menjual dagangan mereka di sudut
desa. Sebab mereka masih belum berani berjalan terlampau jauh. Di sudut
desa itu telah menjadi agak ramai sejak beberapa saat yang lampau. Jual
beli dan tukar-menukar banyak pula terjadi.
Tiba-tiba timbullah keinginan Agung
Sedayu untuk berjalan-jalan menyusur jalan di muka kademangan itu. Di
muka regol beberapa orang penjaga mengangguk kepadanya.
“Akan kemana ngger?” bertanya salah seorang daripadanya.
“Berjalan-jalan paman” jawab Agung Sedayu
Orang itu mengangguk. Sahutnya, “Silakan. Barangkali udara pagi di Sangkal Putung dapat menyejukkan hati angger”
Agung Sedayu tersenyum. Dan diayunkannya
kakinya melangkah menurut jalan itu. Sekali-sekali ia berpaling untuk
mengetahui jarak yang telah ditempuhnya. Agung Sedayu tidak ingin
berjalan seorang diri terlalu jauh dari kademangan, meskipun di siang
hari yang cerah sekalipun.
Tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika didengarnya sapa halus di sampingnya. Katanya, “Akan pergi kemanakah tuan sepagi ini?”
Ketika Agung Sedayu menoleh dilihatnya
seorang gadis yang kemarin ditemuinya di kademangan muncul dari sebuah
jalan sidatan. Karena itu maka sambil mengannguk ia menjawab pendek,
“Berjalan-jalan”
Gadis itu, yang tak lain adalah Sekar
Mirah, mengerutkan keningnya. Jawaban yang terlalu pendek. Meskipun
demikian ia memberanikan dirinya untuk bertanya, “Apakah tuan akan pergi
ke warung di sudut desa?”
Agung Sedayu menggeleng, “Tidak” jawabnya.
Sekar Mirah menggigit bibirnya. Tetapi
justru karena itu, maka kesannya atas Agung Sedayu menjadi semakin
dalam. Anak muda pendiam yang sombong. Tetapi Sekar Mirah berkata pula,
“Kalau tidak, akan kemanakah tuan?”
Agung Sedayu menjadi bingung. Ia tidak
tahu, akan kemanakah ia sebenarnya. Maka jawabnya sekenanya, “Aku hanya
berjalan-jalan saja”
“Oh” sahut Sekar Mirah. “Kalau begitu,
apakah tuan ingin melihat warung itu. Barangkali tuan ingin membeli
sesuatu. Buah-buahan, kain atau apa? Warung itu menjadi ramai sejak
daerah ini tidak aman. Sebab mereka tidak berani pergi terlalu jauh.
Bahkan orang-orang dari desa yang lain pun datang kemari. Sebab di sini
ada laskar paman Widura, sehingga mereka merasa mendapatkan perlindungan
daripadanya.
Agung Sedayu menjadi bertambah bingung.
Ia sama sekali tidak memiliki uang sedikitpun. Tetapi sebelum ia menolak
gadis itu telah berkata pula, “Marilah tuan. Tuan akan mendapat kesan
yang lengkap dari daerah ini”
Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain
dari mengikutinya. Sekar Mirah berjalan kembali kewarung di sudut desa.
Ia senang bahwa Agung Sedayu mengikutinya.
“Kedatangan tuan pasti akan menggembirakan para pedagang di warung itu” berkata Sekar Mirah kemudian.
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Bukankah tuan telah menyelamatkan Sangkal Putung?” jawab Sekar Mirah.
Terasa dada Sedayu berdesir. Meskipun
demikian, ia pun tiba-tiba merasakan suatu kebanggaan atas pujian itu.
Pujian yang diucapkan oleh seorang gadis yang ramah.
Sekar Mirah adalah gadis yang lincah.
Banyak persoalan yang ingin diketahuinya, dan banyak persoalan yang
dipikirkannya. Meskipun ia seorang gadis, namun ingin juga ia mengerti
banyak hal tentang keadaan di daerahnya. Sebagai seorang anak demang,
Sekar Mirah selalu melihat dan mendengar ayahnya mempersoalkan daerah
dan orang-orang di daerah Sangkal Putung. Karena itu, maka lambat laun
hatinya pun tertarik pada persoalan-persoalan daerah dan orang-orang di
daerahnya.
Karena itu pula maka di sepanjang jalan
itupun, Sekar Mirah selalu berusaha untuk mengerti akan beberapa
persoalan. Maka dengan hati-hati ia bertanya, “Tuan, apakah tuan adik
dari seorang yang bernama Untara?”
Agung Sedayu mengangguk. “Ya” jawabnya.
“Ah. Semua orang di Sangkal Putung
mengagumi tuan. Bukankah tuan telah menyelamatkan kademangan ini. Semua
orang yang bertemu dengan tuan, pasti akan menundukkan kepalanya
dalam-dalam dengan penuh rasa hormat dan terima kasih”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya di dalam hati, “Ya, seandainya demikian. Tetapi aku akan
berlatih terus. Aku ingin untuk benar-benar menjadi orang yang berhak
mendapat penghormatan yang demikian.”
“Tuan” Sekar Mirah itu berkata lagi, “Untuk mencapai tingkat yang seperti tuan, berapa lama waktu yang tuan perlukan?”
Agung Sedayu terkejut mendengar
pertanyaan itu. Pertanyaan yang tak diduga-duganya. Apalagi dari seorang
gadis. Karena itu untuk sesaat ia tidak menjawab. Sehingga Sekar Mirah
itu berkata pula, “Kakang Swandaru pun selalu berusaha untuk melatih
diri. Namun apa yang dicapainya itu sama sekali tak berarti. Orang-orang
di Sangkal Putung sampai saat ini, yang paling dibanggakan oleh paman
Widura adalah Sidanti”
Dada Agung Sedayu berdesir mendengar nama
itu. Dilihatnya di dalam rongga matanya Sidanti yang tinggi hati itu
memandanginya dengan tajam dan penuh prasangka. Tiba-tiba bulu-bulu
Agung Sedayu meremang. Namun ia tidak menjawab. Sebab, tiba-tiba saja
timbullah di sudut hatinya suatu keinginan yang tak dimengertinya
sendiri. Terhadap gadis itu, ia ingin mempertahankan nama yang telah
dicapainya. “Kenapa demikian”, timbul pula pertanyaan di dalam dirinya.
Tetapi ia menjawab, “Aku melatih diri sejak kanak-kanak”
“Oh” Sekar Mirah menjadi bertambah kagum.
“Pantaslah tuan dapat melakukan semua itu. Aku mendengar seseorang
mengatakan bahwa tuan berhasil mengalahkan Alap-alap Jalatunda.”
Agung Sedayu berdebar-debar. Namun ia
menjawab, “Alap-alap Jalatunda tidak segarang Tohpati” Tiba-tiba hatinya
bergetar ketika ia menyebut nama itu. Meskipun demikian, ia berusaha
untuk tetap tersenyum.
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan
kepalanya dengan bangganya. Agung Sedayu itu telah dapat diajaknya
bicara. Maka katanya seterusnya, “Berapa lamakah tuan akan tinggal di
Sangkal Putung?”
“Aku tidak tahu” jawab Sedayu, “Kalau
kakang Untara sudah ditemukan, aku akan segera kembali ke Jati Anom, dan
kakang Untara akan kembali ke Pajang”
Sekar Mirah kecewa mendengar jawaban itu. Dan ia mengharap, semoga Untara tidak segera dapat diketemukan.
Demikianlah mereka berjalan sambil
bercakap-cakap. Sekar Mirah menjadi gembira dan Agung Sedayu pun
berbangga karenanya. Tanpa disadarinya Agung Sedayu telah banyak
bercerita tentang kademangan-kademangan yang pernah dicapainya dalam
perjalanannya dari Jati Anom. Diceritakannya tentang si Pande Besi dan
tiga kawannya yang terbunuh, dan Alap-alap Jalatunda yang mencegatnya di
Bulak Dawa. Namun setiap kata diucapkan, terasa sebuah goresan yang
pahit di dalam dadanya. Ingin ia mengatakan apa yang sebenarnya, namun
ia tidak mempunyai keberanian, dan bahkan akhirnya ia sengaja
menyombongkan dirinya untuk menyembunyikan kekerdilannya. Seakan-akan ia
benar-benar pahlawan Sangkal Putung.
Ketika mereka sampai di warung ujung
desa, maka apa yang dikatakan oleh Sekar Mirah itu benar-benar terjadi.
Para pedagang dan orang yang berada diwarung itu mengaguminya. Mereka
tiba-tiba saja seperti orang yang terpesona. Berdesakan mereka mengitari
Agung Sedayu untuk sekedar dapat menyambut tangannya. Satu demi satu
orang-orang diwarung itu memberikan salamnya, dan satu demi satu
tangan-tangan mereka itu disambut oleh Agung Sedayu disertai dengan
sebuah anggukan kepala dan sebuah senyuman. Namun tak seorang pun di
antara mereka yang mengetahuinya, bahwa di dalam dada anak muda itu
bergolaklah kecemasan dan kekhawatiran yang dahsyat.
Sekar Mirah yang memperkenalkan Agung
Sedayu itu pun ikut berbangga pula. Kepada kawan-kawannya ia bercerita
seperti burung sedang berkicau tentang anak muda yang bernama Agung
Sedayu itu, seolah-olah ia melihat sendiri peristiwa-peristiwa yang
dialami olehnya. Namun beberapa gadis yang iri hati kepadanya bergumam
di dalam hatinya, “Ah Mirah. Dahulu kau selalu berdua dengan Sidanti.
Sekarang, ketika datang anak muda yang lebih tampan dan sakti, kau
tinggalkan anak muda yang bernama Sidanti itu”
Tetapi tak seorang pun yang berani mengucapkannya. Sebab Sekar Mirah adalah anak Demang Sangkal Putung.
Ketika mereka sudah puas melihat
kekaguman orang-orang Sangkal Putung itu, maka Sekar Mirah dan Sedayu
pun segera kembali ke kademangan. Juga di sepanjang jalan pulang, Sekar
Mirah masih saja berkicau tak henti-hentinya. Namun kini Agung Sedayu
senang mendengarnya.
Sampai di kademangan Agung Sedayu segera
pergi menemui pamannya di pringgitan, dimana Agung Sedayu sehari-hari
menyekap diri. Jarang sekali ia pergi berkumpul dengan orang-orang lain.
Hanya kadang-kadang saja ia bercakap-cakap dengan mereka di pendapa.
Sedang Sekar Mirah dengan tergesa-gesa pergi kedapur. Ia takut terlambat
dengan belanjaannya untuk mempersiapkan makan pagi.
Tetapi langkah Sekar Mirah itu terhenti ketika Sidanti menggamitnya, “Mirah” katanya.
Sekar Mirah berpaling. Dengan tergesa-gesa ia bertanya, “Kenapa?”
“Dari mana kau?”
“Warung” jawab Sekar Mirah pendek.
Sidanti memandangnya dengan tajam. Kemudian katanya, “Dengan Agung Sedayu?”
Sekar Mirah memandang Sidanti tidak kalah tajamnya. Jawabnya, “Ya. Apa salahnya?”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tiba-tiba ia tersenyum. Katanya, “Mirah, jangan marah, meskipun aku
senang melihat kau bersungut-sungut. Aku hanya ingin memberi peringatan.
Jangan terlalu sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui
keadaannya”
Sekar Mirah kemudian menarik nafas.
Wajahnya kini sudah tidak tegang pula. Jawabnya, “Aku hanya bertemu
dengan Sedayu di jalan, dan aku antarkan ia kewarung di ujung desa”
Sidanti pun kemudian melangkah pergi.
Meskipun demikian ia masih curiga berkata, “Ingat-ingatlah Mirah. Jangan
terlalu rapat bergaul dengan siapa pun juga. Aku kurang senang
melihatnya”
Kembali wajah Sekar Mirah menjadi tegang, “Apakah hakmu?”
Tetapi Sidanti tidak menjawab. Berpaling pun tidak. Ia berjalan saja ke belakang rumah dan lenyap di balik pepohonan yang rapat.
Sekar Mirah masih berdiri di tempatnya.
Ia menjadi kesal pada anak muda itu. Tetapi kemudian timbul juga ibanya
kepada Sidanti. Pergaulan mereka telah berlangsung lama, dan anak muda
itu pun tak pernah menyakiti hatinya.
Dengan wajah tunduk Sekar Mirah masuk kedapur. Dilihatnya beberapa orang telah sibuk menyiapkan makan pagi.
“Kami tunggu kau, Mirah” kata ibunya.
“Oh” Mirah sadar akan dirinya. Yang dibawanya itu adalah bumbu-bumbu masak. Karena itu segera diserahkannya kepada ibunya.
“Nasi sudah masak. Tetapi belum ada lauk dan sayurnya. Terlambat” desah ibunya.
“Kadang-kadang saja” sahut Sekar Mirah. “Bukankah tidak setiap hari aku terlambat?”
“Aku jemu mendengar mereka menggerutu” berkata orang yang gemuk, yang duduk di muka api.
“Ah bibi. Jangan kau dengarkan. Bukankah sudah menjadi kebiasaan mereka menggerutu. Apa pun tidak menyenangkan mereka”
“Tetapi mulut orang yang jangkung dan
berkumis tipis itu sangat tajam. Aku pernah dikata-katainya karena
termakan cabe rawit olehnya. Dikiranya aku sengaja memasang untuknya.
Oh, orang itu benar-benar tidak melihat punggungnya. Apa yang
dibanggakannya untuk berlagak di hadapanku”
Tetapi Sekar Mirah menjadi tertawa karenanya. Jawabnya, “Bibi, siapakah yang membelikan lurik abang itu?”
“Oh, oh” orang yang gemuk itu
tersipu-sipu. Namun akhirnya ia menjawab, “Aku tidak pernah minta
kepadanya. Ia sendiri datang kepadaku dan memberikan kain lurik ini”
Sekar Mirah tidak menjawab. Namun ia
masih tertawa. Tetapi tawanya itu patah ketika ia mendengar orang
membentaknya, “Kau baru datang Mirah?”
Ketika Sekar Mirah berpaling, dilihatnya Swandaru bertolak pinggang dipintu dapur. “He, kau baru datang?” desak kakaknya.
Sekar Mirah tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya.
“Kenapa terlambat?” kakaknya membentak.
Tetapi Sekar Mirah tidak juga menjawab, sehingga kemudian Swandaru itu pun pergi dengan sendirinya.
Dapur kademangan itu kemudian tenggelam
dalam kesibukan. Semua bekerja dengan cepat dan tergesa-gesa. Tetapi
Sekar Mirah kali ini tidak selincah biasanya. Kadang-kadang ia duduk
termenung memandangi api yang menjilat-jilat diperapian. Sedang di
tangannya masih tergenggam pisau dapur dan daging yang sedang
dipotongnya.
Ia baru sadar ketika beberapa orang menegurnya.
Tetapi sesaat kemudian kembali ia
termenung. Hatinya sedang dirisaukan oleh angan-angannya tentang
anak-anak muda yang dikenalnya. Ternyata pertemuannya dengan Agung
Sedayu itu pun berkesan pula di hatinya. Namun selalu diingatnya, senyum
Sidanti beberapa saat berselang. “Mirah” katanya, “Jangan terlampau
sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui keadaannya itu”
Akhirnya Sekar Mirah sampai pada suatu kesimpulan bahwa Sidanti menjadi cemburu karenanya.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.
Katanya di dalam hati, “Bukankah aku mengagumi Agung Sedayu seperti juga
orang-orang lain mengaguminya?” Tetapi terdengar pula dari sudut
hatinya, “Ah, kau dulu juga mengagumi Sidanti, karena Sidanti adalah
orang yang paling mengagumkan di Sangkal Putung. Apa katamu kalau kelak
datang Untara yang lebih sakti dari adiknya. Apakah kau akan
mengaguminya pula berlebih-lebihan dan melupakan orang-orang lain?”
“Oh” Sekar Mirah memejamkan matanya. Dan tiba-tiba dilemparkannya pisaunya dan dengan tergesa-gesa ia pergi kebiliknya.
“Mirah” panggil ibunya yang terkejut melihat kelakuan anaknya itu. “Kenapa kau?”
“Kepalaku pening” jawabnya sambil berlari.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Diikutinya anaknya kebiliknya. Dan dirabanya keningnya. Katanya, “Tidak panas Mirah”
Sekar Mirah berbaring dipembaringannya
sambil menengadahkan wajahnya. ketika ibunya meraba keningnya, maka
katanya, “Hanya pening sedikit bu. Mungkin semalam aku kurang tidur”
Ibunya tidak bertanya lagi.
Ditinggalkannya Sekar Mirah sendiri di dalam biliknya. Pesannya,
“Beristirahatlah Mirah. Mungkin kau terlalu lelah”
Sekar Mirah mengangguk. Namun ketika
ibunya telah meninggalkannya, kembali angan-angannya bergolak.
Bermacam-macam persoalan hilir mudik dikepalanya. Sehingga akhirnya ia
menjadi benar-benar pening. Karena itu, maka sehari-harian Sekar Mirah
tinggal di dalam biliknya. Tak seorang pun tahu, apa yang sedang
mengganggu usia remajanya. Mula-mula ia mencoba untuk tidur, namun tidak
dapat. Dengan gelisahnya ia berbaring. Sekali miring kekiri, sekali
kekanan. Kadang-kadang ia bangkit, duduk sambil bertopang dagu, tetapi
sesaat kemudian direbahkannya dirinya kembali. Sekar Mirah keluar dari
biliknya hanya apabila datang saatnya makan. Namun ibunya menyangka
tidak lebih daripada Sekar Mirah sedang pening.
Matahari di langit merayap dengan
lambatnya. Seakan-akan telah jemu akan pekerjaan yang selalu dilakukan
itu setiap hari. Ketika matahari itu kemudian tenggelam di balik
bukit-bukit, maka warna-wana yang kelam seakan-akan turun dari langit,
menyelubungi wajah bumi.
Demikian lah kembali Sangkal Putung
terbenam dalam lelap malam. Ketika sunyi malam menjadi semakin sunyi,
maka Widura dan Agung Sedayu pun berangkat pula berkeliling kademangan.
Dan kemudian mereka berdua itu pun pergi ke puntuk kecil yang bernama
gunung Gowok.
Kini Agung Sedayu semakin gairah
menghadapi latihan-latihannya. Bahkan Widura menjadi heran. Anak itu
sudah menyimpan kemampuan yang tidak diduganya. Sehingga tiba-tiba saja
terloncat pertanyaannya, “Sedayu, darimana kau dapatkan ilmumu itu?”
“Kakang Untara” jawab Agung Sedayu.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Hem” gumamnya. “Kenapa kau masih takut juga kepada Alap-alap Jalatunda?
Kalau kau berani melawannya, aku kira kau sendiri mampu mengalahkannya.
Setidak-tidaknya kau akan dapat mempertahankan dirimu sendiri sehingga
Untara tidak usah terluka karenanya.”
Sedayu menundukkan wajahnya. Memang
terasa juga di hatinya, setiap kali ai melihat perkelahian, timbul juga
kata-kata di hatinya, “Ah. Tidak aneh. Aku juga dapat melakukannya”.
Tetapi ia sediri belum pernah berbuat seperti yang dilihatnya itu dalam
peristiwa-peristiwa yang sebenarnya. Agung Sedayu hanya berani
menghadapi lawannya dalam latihan-latihan Untara dan kini Widura.
“Besok kau bawa senjata panjang seperti pedangku ini” berkata Widura. “Apakah kau pernah juga berlatih dengan pedang?”
Sedayu mengangguk. “Pernah” jawabnya.
“Ayah pernah memberi aku beberapa petunjuk, dan kakang Untara pun pernah
memberi aku latihan-latihan dengan pedang, perisai dan tombak”
“Aneh. Aneh” gumam Widura.
“Apa yang aneh paman?” bertanya Sedayu.
“Kau” jawab pamannya. “Hampir aku
kehilangan akal karena kedatanganmu Sedayu. Aku berterima kasih karena
kau telah memberitahukan kepada kami, bahaya yang akan menerkam kami.
Namun seterusnya kau menjadi beban yang hampir tak tertanggungkan”
Wajah Agung Sedayu menjadi semakin
tunduk. Ia merasakan pula, betapa sulit keadaan pamannya karena
kehadirannya. Tetapi bukankah kakaknya yang telah menjerumuskannya
keneraka ini?
“Sedayu” berkata pamannya pula. “Baiklah
aku berterus terang. Kehadiranmu ternyata sangat menyulitkan keadaanku.
Kini ternyata bahwa kau memiliki kemampuan yang tidak kecil. Namun kau
simpan di dalam dirimu, karena terbalut oleh kekerdilan jiwamu. Cobalah,
pecahkan dinding yang membatasi dirimu itu. Kau kini berada dalam dunia
ketakutan. Kalau sekali kau berani melampaui batas itu, batas antara
ketakutan yang membelengumu dan kebebasan bertindak yang dilambari oleh
keberanian, maka kau merupakan anak muda yang benar-benar mengagumkan.
Sampai saat ini ternyata kau sudah memiliki kemampuan-kemampuan yang
tinggi, apabila kemampuan-kemampuan itu kau ungkapkan, dibumbui oleh
pengalaman-pengalaman, maka kau tak akan kalah melawan Alap-alap
Jalatunda. Kelak kau akan tetap menjadi pahlawan dimata rakyat Sangkal
Putung. Kau tidak akan cemas lagi berhadapan dengan bahaya apapun”.
Kata-kata itu bukanlah yang pertama kali
didengarnya. Kakaknya pernah juga berkata demikian. Dan hatinya sendiri
pun berkata demikian pula. Namun bagaimana? Apabila bahaya itu
benar-benar datang, maka hatinya berkerut sekecil biji sawi. “Hem”
Sedayu menarik nafas. Katanya di dalam hati, “Kenapa manusia didunia ini
harus berkelahi satu sama lain?” Namun ia tidak dapat mengingkari
kenyataan, bahwa masih ada manusia-manusia yang ingin selalu memaksakan
kehendaknya kepada orang lain, manusia-manusia yang ingkar kepada
sumbernya yang memberi manusia kebebasan untuk melakukan pilihan. Selama
manusia tidak menghormati kebebasan yang berasal dari sumber hidupnya,
maka selama itu masih akan ada bentrokan-bentrokan di antara sesama.
Kebebasan yang setia pada sumbernya, yang pada hakekatnya merupakan
kesimpang-siuran hidup manusia seorang-seorang, namun penuh dengan
keserasian dalam ujud keseluruhannya. Yang satu sama lain tidak saling
berbenturan dan bertentangan. Apabila setiap orang menyadari keadaannya
serta patuh pada hakekatnya, sumber hidupnya yaitu kekuasan Tuhan Yang
Maha Tinggi, maka manusia akan menemukan kedamaian. Lahir dan batin.
Tetapi, ternyata manusia telah memiliki
arti sendiri bagi kebebasannya. Kebebasan yang mutlak, yang tak dapat
dikekang oleh dirinya sendiri sekalipun. Yang bahkan kebebasan itu telah
dipakainya untuk mengaburkan arti dalam hidupnya. Dengan demikian maka
hilanglah keserasian hidup antara manusia. Dan timbullah pertentangan
dimana-mana, peperangan dan pembunuhan. Perkosaan terhadap peradaban
manusia itu sendiri.
Demikianlah Agung Sedayu harus melihat
kenyataan itu. Apakah ia harus menelan keharusan yang dipaksakan orang
lain atasnya? Keharusan yang bertentangan dengan haknya? Tetapi betapa
ia menyadari keadaannya, namun dinding yang membatasi dunianya itu tak
mampu dipecahkannya. Dinding yang selalu menyekapnya dalam ketakutan dan
kekhawatiran.
Meskipun demikian, niat untuk
melakukannya kini telah semakin besar mengetuk dadanya. Karena itu, ia
pun berlatih semakin keras. Dikerahkannya segenap tenaganya dan
kemampuan-kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya. Sehingga dengan
demikian Widura menjadi bergembira karenanya. Ia melihat anak muda itu
seakan-akan lain dari Agung Sedayu yang dikenalnya sehari-hari. Lincah,
tangkas dan kuat, bahkan kadang-kadang berhasil membingungkannya karena
kecepatannya.
Tetapi apabila teringat oleh pamannya
itu, betapa kecil hati kemenakannya, maka ia pun menjadi kecewa
karenanya. Meskipun demikian, maka Widura itu bekerja sekeras-kerasnya.
Diusahakannya untuk dapat mengungkat setiap kemampuan yang ada pada
kemenakannya itu.
“Suatu ketika” katanya di dalam hati,
“Apabila ia dihadapkan pada suatu keadaan memaksa, mudah-mudahan ia
telah mampu untuk menyelamatkan diri”
Demikianlah, latihan itu berjalan dengan
cepatnya. Semakin lama semakin cepat. Widura berusaha untuk memeras
tenaga kemenakannya, sedang Agung Sedayu pun berusaha untuk
mengimbanginya.
Widura sendiri, yang ternyata memiliki
ilmu yang cukup tinggi, terpaksa bekerja keras untuk dapat mengatasi
kemenakannya itu. Sekali-sekali Agung Sedayu dapat bergerak secepat
bayangan. Namun sekali-sekali mencoba juga untuk bertahan beradu
kekuatan. Ternyata kekuatan Agung Sedayu pun mengherankan pula. Ketika
serangan Widura membentur dinding pertahanan kemenakannya itu, ia
terkejut. Terasa ia bergetar surut, meskipun Agung Sedayu terdorong
beberapa langkah pula.
“Luar biasa” desis pamannya. “Kekuatanmu pun luar biasa”
Agung Sedayu tersenyum. Ia senang mendengar pujian itu. Jawabnya, “Bukankah bibi dahulu selalu memberiku pekerjaan itu?”
“He” pamannya mengerutkan keningnya. “Pekerjaan yang mana?” ia bertanya.
“Membelah kayu” jawab Sedayu.
“Ah” desah Widura. “Bukan itu. Pasti ada yang lain”
“Setiap pagi kakang Untara mengajari aku
bermain-main berjalan di atas tangan dengan kaki di atas. Kemudian
bermain-main dengan pasir ditepian”
“Permainan apakah itu?”
“Hanya memukul-mukul saja. Pasir dan kadang-kadang batang-batang pohon dengan jari”
“Oh” Widura terkejut. Untara telah
memberikan latihan-latihan itu. Meskipun Sedayu tidak menyadarinya,
namun latihan-latihan itu merupakan latihan yang sangat berguna baginya.
Bagi tubuhnya dan bagi ilmu-ilmu yang dimilikinya. Namun sekali lagi
Widura mengeluh, “Jiwanya. Jiwanya yang terlalu kerdil. Sayang, ibunya
terlalu takut melepaskannya. Sehingga Sedayu tidak lebih dari seorang
yang hanya mengenal dinding-dinding batas halamannya. Kemanjaan dan
perawatan yang berlebih-lebihan. Untunglah, diam-diam Untara telah
memeberinya bekal”
Tetapi latihan mereka terpaksa berhenti
ketika tiba-tiba pula hadir orang bertopeng yang menamakan dirinya Kiai
Gringsing. Yang mula-mula terdengar adalah suara tertawanya. Tinggi dan
nyaring. Namun Widura dan Agung Sedayu sudah tidak terkejut lagi. Mereka
sudah menduga bahwa orang itu akan selalu datang melihat mereka. Bahkan
kemudian Widura menyapanya, “Selamat malam Kiai”
“Oh” jawabnya, “Selamat malam. Apakah kau masih akan menangkap aku Widura?”
“Tidak Kiai” jawab Widura. Ia berusaha
pula untuk menyesuaikan diri dengan orang aneh itu. Karena itu katanya,
“Sebenarnya aku belum melepaskan maksudku itu. Namun aku masih belum
dapat mengalahkan Kiai. Karena itu aku berlatih terus. Guruku, Agung
Sedayu, telah mencoba mempercepat latihan-latihanku”
Orang bertopeng itu pun tertawa. Tetapi
nadanya tidak setinggi semula. Katanya kemudian, “Bagus. Agung Sedayu
harus menempamu lebih keras lagi. Nah, sekarang cobalah. Tangkap aku.
Mungkin latihanmu sehari ini telah menambah ilmumu”
“Bagus” sahut Widura. “Jangan berlari-lari. Aku akan mencoba sekali lagi”
Dengan serta-merta Widura menarik pedangnya, dan dengan garangnya ia langsung menyerang.
“He” teriak Kiai Gringsing. “Aku belum siap”
Namun Widura tidak memperdulikannya. Ia
tahu benar, bahwa Kiai Gringsing adalah seorang sakti yang tak
memerlukan senjata untuk melawannya. Karena itu, maka ia sama sekali tak
menarik serangannya. Ternyata Kiai Gringsing itu pun tak mau dadanya
berlubang. Tepat pada saat pedang Widura hampir menyentuhnya, ia
memiringkan tubuhnya. “Luar biasa” katanya nyaring, “Seranganmu
bertambah cepat”
Widura tidak menjawab. Ketika serangannya
gagal, maka cepat ia memutar tubuhnya, dan mengalirlah serangan demi
serangan melanda Kiai Gringsing.
Widura bukanlah seorang anak-anak lagi.
Pengalaman dan pengetahuannya telah cukup. Karena itu, ia menyadari
benar-benar keadaannya. Ia pasti bahwa Kiai Gringsing itu telah
memperhitungkanmya pula kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi
atasnya. Sebagai seorang pemimpin dalam satu rombongan prajurit,
meskipun masih banyak yang gelap baginya, namun firasatnya berkata,
“Kiai Gringsing ini benar-benar seorang yang bermaksud baik terhadapnya,
terhadap Sedayu dan mungkin pula terhadap Untara dan Ki Tanu Metir”
Karena itu Widura sampai pada suatu
kesimpulan bahwa, Kiai Gringsing sengaja meningkatkan ilmunya, sebab
Sidanti pun berbuat demikian. Dengan demikian maka Widura pun melakukan
perkelahian itu dengan tekad, “Aku sedang berlatih. Dan seorang yang
sakti telah berkenan menuntunku”
Demikianlah mereka tenggelam dalam
pertempuran. Cepat dan mengagumkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Dengan
mulut ternganga ia menyaksikannya. Dan bahkan ia berhasil
mengingat-ingat unsur-unsur gerak yang menarik hatinya.
Ternyata Kiai Gringsing itu tidak saja
bertempur, namun ia banyak berbicara pula. Disebutnya
kesalahan-kesalahan yang dilakukan Widura dan ditunjukkannya apa yang
seharusnya dilakukan. Meskipun kadang-kadang dengan nada yang aneh.
Dan apa yang terjadi di gunung Gowok itu
tidaklah hanya sekali dua kali. Namun berkali-kali. Setiap malam. Dan
hampir setiap malam pula Kiai Gringsing hadir di antara mereka. Bahkan
apabila orang itu tidak tampak, maka Widura dan Agung Sedayu menjadi
kecewa karenanya.
Tetapi tidak seorang pun yang tahu, apa
yang terjadi setiap malam digunung Gowok itu. Yang dilakukan oleh
anak-anak Widura di Sangkal Putung setiap hari pun adalah latihan dan
latihan. Akhirnya mereka menjadi jemu pada latihan-latihan itu. Namun
tak ada lain yang dapat mereka lakukan. Mereka belum dapat meninggalkan
Sangkal Putung pada keadaan yang masih tak menentu itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengalami
kejemuan karenanya. Lambat laun perkenalannya dengan Sekar Mirah menjadi
semakin rapat. Meskipun mereka jarang-jarang bertemu, namun setiap
pertemuan di antara mereka, ternyata berkesan pula di hati
masing-masing. Bahkan setiap Agung Sedayu melihat Sekar Mirah bergolak
di dadanya.
Tetapi Agung Sedayu masih terlalu muda
untuk mengenal perasaannya sendiri. Ia senang bergaul dengan Sekar Mirah
dan menjadi bersedih apabila dilihatnya orang lain berada didekat gadis
itu. Apalagi Sidanti. Namun Sidanti pun selalu berusaha untuk tetap
mendapat perhatian dari gadis itu. Karena itu, pergaulan Sekar Mirah dan
Sedayu sangat mengganggu perasaannya.
“Apakah Agung Sedayu benar-benar seorang
anak muda yang kesaktiannya melampaui orang lain?” pikir Sidanti.
“Sayang, aku belum pernah melihatnya. Tetapi, sekali-sekali perlu juga
aku mencobanya. Terhadap Untara sekalipun, aku tak pernah merasa kagum.
Alap-alap Jalatunda bukan ukuran. Sedang kemenangan-kemenangan yang
pernah dicapainya dalam setiap pertempuran pun tergantung pada banyak
persoalan. Tetapi seorang lawan seorang, aku tak akan gentar”
Demikianlah kemarahan Sidanti itu selalu
merayap-rayap di dalam dadanya. Sekali-sekali ia masih dapat menahan
arus perasaannya itu, tetapi kadang-kadang hampir-hampir ia tak mampu
lagi. Kadang-kadang dadanya terasa akan meledak apabila ia melihat Sekar
Mirah duduk di halaman bersama dengan Agung Sedayu.
Lambat laun, Agung Sedayu merasakan pula
sikap yang aneh dari Sidanti. Karena itu, maka timbullah kecemasan di
dalam hatinya. Ia sama sekali tidak akan berani membayangkan, bagaimana
seandainya anak muda yang mampu melawan Tohpati itu nanti marah
kepadanya. Maka betapa pun perasaannya bergejolak, namun dibatasinya
dirinya sendiri, untuk tidak selalu menyakiti hati Sidanti. Tetapi Sekar
Mirah tidak melihat kecemasan yang mencengkam perasaan Agung Sedayu.
Karena itu apabila Agung Sedayu tidak menampakkan dirinya, maka Sekar
Mirah lah yang pergi mencarinya.
Yang tidak kalah peningnya adalah Widura
sendiri. Ia melihat persoalan yang dapat meledak setiap saat. Ia melihat
betapa Sidanti sama sekali tidak menyukai Agung Sedayu. Dan ia melihat
Agung Sedayu pasti akan ketakutan apabila suatu saat Sidanti tidak dapat
mengendalikan dirinya lagi. Dengan demikian, maka Widura pun telah
berusaha untuk mencagah peristiwa-peristiwa yang hanya akan menambah
bebannya.
“Sedayu” berkata pamannya kepada
kemenakannya itu, “Kau harus dapat memperhitungkan segenap perbuatanmu
di sini. Setiap langkah akan membawa akibat. Melangkahlah kalau kau
berani menanggung setiap akibat yang terjadi. Kalau tidak, jangan
membuat persoalan-persoalan baru yang bagiku tidak kalah sulitnya dengan
laskar Tohpati yang masih saja berkeliaran di sana-sini”
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan
kepalanya. Kadang-kadang timbul juga niatnya untuk menjadi seorang yang
berhati jantan, apa pun yag akan terjadi. Bukankah ia mampu pula
menggenggam pedang? Namun kekerdilan jiwanya telah menjeratnya dalam
sifat-sifatnya yang penakut. Sehingga yang dapat dilakukannya adalah,
semakin menyekap dirinya di pringgitan.
Tetapi suatu ketika ia memerlukan juga
untuk keluar dari pringgitan itu. Ke belakang, kepadasan, untuk
mengambil air wudlu. Dan kesempatan-kesempatan yang demikian itulah yang
dipergunakan Sekar Mirah untuk menemuinya.
“Tuan” panggil gadis itu ketika Agung Sedayu berjalan menyusur dinding-dinding di belakang rumah, “Dari manakah tuan?”
“Dari sumur Mirah”
“Ah” jawab gadis itu, “Tuan tak usah
bersusah payah menimba air. Bukankah laskar paman Widura itu cukup
banyak. Seharusnya tuan tinggal mandi saja seperti paman tuan itu”
“Tidak baik Mirah. Aku di sini sama
sekali bukan seorang pemimpin. Bukan sebagai laskar paman Widura itu pun
bukan. Aku di sini seorang diri”
Sekar Mirah tertawa. Jawabnya, “Tuan
seorang diri dan paman tuan beserta laskarnya, manakah yang lebih
bernilai bagi kami, penduduk Sangkal Putung?”
Sedayu tersenyum. Ia selalu mendengar
Sekar Mirah memujinya. Dan ia senang mendengar pujian itu. Namun kali
ini adalah sangat berlebih-lebihan. Maka jawabnya, “Jangan memperkecil
arti paman Widura dan laskarnya. Mereka telah berhasil mengusir laskar
Tohpati.”
“Apakah tuan tidak dapat berbuat demikian?”
“Sendiri tentu tidak” jawab Sedayu. Namun
di hatinya terdengar kata-katanya sambil meneruskan, “Apalagi seorang
diri. Sepasukan pun tidak mungkin” namun kata-kata itu disekapnya
jauh-jauh di sudut dadanya.
Sekar Mirah masih saja tertawa. Bahkan kemudian kata-katanya mengalir seperti banjir. Tak habis-habisnya. Tak putus-putusnya.
“Tidakkah tuan sekali-sekali ingin berjalan-jalan ke warung kembali?” bertanya Sekar Mirah.
Agung Sedayu menggeleng. “Lain kali Mirah”
“Oh. Tetapi tidakkah tuan ingin melihat
belumbang ayah? Gurame yang dipelihara oleh kakang Swandaru kini telah
sebesar bantal. Barangkali tuan ingin menangkapnya?”
Agung Sedayu menggeleng kembali. “Lain kali saja Mirah”
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.
Memang ia pun merasakan bahwa sikap Agung Sedayu pada saat-saat terakhir
menjadi semakin jauh daripadanya. Karena itu Sekar Mirah menjadi cemas,
apakah sikapnya terlalu menjemukan?
Tetapi pertemuan itu dikejutkan oleh
sebuah langkah tergesa-gesa mendekati mereka. Ketika mereka menoleh
betapa dada Agung Sedayu berguncang. Tanpa diketahuinya sendiri, terasa
lututnya menjadi gemetar. Ternyata yang datang adalah Sidanti.
Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi cemas. Disapanya anak muda itu sambil tersenyum, “Marilah kakang Sidanti”
Namun wajah Sidanti itu menjadi semakin
tegang. Beberapa langkah dari Agung Sedayu ia berhenti. Ditatapnya wajah
anak muda itu dengan tajamnya. Kemudian kepada Sekar Mirah ia berkata,
“Mirah, sudah berapa kali aku memperingatkanmu. Jangan bergaul terlalu
rapat dengan anak muda itu. Aku sama sekali tidak senang melihatnya”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Kini
ia berdiri tegang menghadap Sidanti. Katanya lantang, “Sudah berapa
kali, aku menjawab apakah hakmu?”
Sidanti tidak senang mendengar jawaban
itu. Maka matanya yang bulat itu seakan-akan memancarkan bara kemarahan.
Kepada Agung Sedayu ia berkata, “apakah kepadamu aku harus memberi
peringatan?”
Kata-katanya itu tergores di dada Agung
Sedayu seperti goresan pisau yang setajam pisau penukur. Namun gelora di
dadanya yang gemuruh tidak juga mau berhenti, apalagi ketika dilihatnya
mata Sidanti yang menyala itu. Hatinya menjadi semakin kecut. Namun
dicobanya juga berjuang sekuat tenaga melawan ketakutannya. Dicobanya
untuk bersikap tenang walau dadanya hampir pecah oleh kecemasan dan
kekhawatiran. “Jangan lekas marah kakang Sidanti” suara Agung Sedayu
terdengar bergetar. Namun ia berhasil mengucapkannya.
“Hem” Sidanti menarik nafas untuk mencoba mengendalikan perasaannya. “Ingat, aku tidak senang melihat pergaulan kalian”
Sedayu tidak segera menjawab. ia masih
berjuang untuk tetap menyadari keadaannya. Tetapi Sekar Mirahlah yang
menjawab lantang, “Kau tidak berhak berkata demikian kakang. Aku bebas
berbuat apa pun di halaman rumahku sendiri. Apa keberatanmu?”
Sidanti menggigit bibirnya. Nyala
dimatanya menjadi semakin menyala. Dan ketakutan Sedayu pun menjadi
semakin mencengkram hatinya. Dengan ketenangan yang dibuat-buatnya ia
berkata, “Sudahlah Mirah, biarlah ia mengatakan apa yang akan
dikatakannya”
Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu
dengan heran. Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan kemarahannya,
meskipun Sidanti itu bersikap demikian. Karena itu katanya, “Jangan
tuan. Jangan biarkan Sidanti berbuat sesuka hatinya. Rumah ini rumahku.
Halaman ini halamanku”
Sidanti kini terdengar menggeram.
Kemarahannya telah sampai diubun-ubunnya. Namun ia masih berusaha untuk
tidak menyakiti hati gadis itu berlebih-lebihan. Maka karena itulah
kemarahannya ditumpahkannya ke Agung Sedayu. Katanya, “Sedayu. Aku
dengar kau adalah seorang anak muda yang sakti. Karena itu marilah kita
bersikap jantan”
Hati Agung Sedayu benar-benar telah
berkeriput sekecil hati anak ayam melihat elang. Tetapi di hadapan Sekar
Mirah ia masih mencoba menjaga nilai-nilainya, nilai-nilai yang pernah
dikatakannya kepada gadis itu, meskipun sama sekali hanya sebuah
dongengan belaka. Karena itu masih dengan ketenangan yang dibuat-buat ia
menjawab, “Sidanti. Apakah keuntungan kita berbuat demikian?”
“Jangan bicara tentang untung dan rugi” teriak Sidanti.
Sedayu menjadi bingung. Ia tidak tahu
apalagi yang akan dilakukan. Sedang Sekar Mirah pun menjadi semakin
heran melihat sikap Agung Sedayu. Kenapa Sidanti itu tidak saja
dipukulnya sampai setengah mati?
Suasana kemudian tenggelam dalam
ketegangan. Sidanti berdiri dengan kaki renggang, siap untuk mlancarkan
serangan atau bertahan terhadap setiap kemungkinan. Namun Agung Sedayu
masih saja berdiri dalam sikapnya. Tenang. Ketenangan yang gelisah.
Karena itu Sekar Mirah menjadi semakin
tidak mengerti. Betapa pun orang bersabar hati, namun bagi Sekar Mirah
sikap Sidanti itu sudah berlebih-lebihan.
Apalagi ketika kemudian Sedayu berkata
terputus-putus, “Kakang Sidanti. Jangan kita memberi contoh kurang baik
terhadap laskar paman Widura. Pertentangan kita sama sekali tidak
menguntungkan siapa pun juga, selain laskar Tohpati”
Sidanti kembali menggigit bibirnya. Ia
merasakan kebenaran kata-katannya Sedayu. Karena itu maka ia berdiam
diri untuk beberapa saat. Dan kembali suasana yang tegang itu menjadi
diam. Kemudian kediaman itu dipecahkan oleh sebuah suara nyaring di
sudut rumah, “Siapa yang ribut?”
Dan muncullah seorang anak muda yang
gemuk pendek. Swandaru. Ia berhenti ketika dilihatnya Sidanti dalam
kesiapan, Sedayu yang seakan-akan masih tenang-tenang saja dan adiknya
Sekar Mirah.
“Apa yang terjadi Mirah?” bertanya anak itu.
“Kakang Sidanti memaksa aku untuk
menuruti kehendaknya” jawabnya. Sidanti terkejut mendengar jawaban itu.
Sedayu pun terkejut pula. Dan terdengar gadis itu meneruskan, “Menurut
kakang Sidanti, aku tidak boleh bergaul dengan setiap laki-laki kecuali
kakang Sidanti sendiri”
“Mirah” potong Sidanti. Tetapi Sekar Mirah berkata terus, “Ia mengancamku. Nah, apakah haknya?”
Swandaru memandang Sidanti dengan
tajamnya. Telah lama tertanam bibit-bibit ketidak-senangannya terhadap
anak muda itu. Karena itu ia berkata acuh tak acuh, “Jangan hiraukan
Mirah. Anggaplah kata-katanya seperti angin malam. Gemerisik dan lenyap
bersama embun pagi”
Sidanti adalah anak muda yang masih
berdarah panas. Kata-katanya itu benar-benar menyakitkan hatinya. Karena
itu tiba-tiba saja ia meloncat dan menampar mulut Swandaru seperti
pernah dilakukannya. Swandaru terkejut, namun ia tidak mampu untuk
menghindar. Terasa sebuah sengatan yang dahsyat dipipinya sehingga ia
tersentak mundur. Namun Swandaru itu tidak berhasil mempertahankan
keseimbangan tubuhnya, sehingga ia terbanting jatuh, bersamaan dengan
pekik adiknya Sekar Mirah. “Kakang Swandaru!” teriaknya.
Swandaru berguling beberapa kali.
Kemudian dengan susah payah ia duduk. Dirasakannya kepalanya pening dan
ketika ia mengusap mulutnya, tampaklah tangannya menjadi merah. Darah.
Sekar Mirah memandang Sidanti seperti
memandang hantu. Betapa gadis itu menjadi marah sehingga mulutnya
bergetar. Namun yang dapat diucapkannya hanyalah, “Kau setan, Sidanti”
Pekik Sekar Mirah ternyata didengar oleh
beberapa orang yang sedang terkantuk-kantuk di pendapa. Beberapa orang
berlari-larian ke belakang rumah. Mereka tertegun ketika melihat
Swandaru masih duduk di tanah dan dari mulutnya mengalir darah, di
antara mereka berdiri dengan dada yang bergolak pepmimpin laskar di
Sangkal Putung itu. Widura. Dengan tajam Widura memandang satu demi satu
setiap orang yang berdiri di belakang rumah itu. Sidanti, Sedayu dan
Swandaru. Katanya di dalam hati, “Celaka. Swandaru terlibat pula”
Sidanti masih berdiri seperti tonggak.
Kaki-kainya yang kokoh seakan-akan jauh menghunjam kedalam bumi. Dengan
wajah yang tegang ia berdiri menunggu apa pun yang akan terjadi. Namun
ia sudah terlanjur mengayunkan tangannya. Dengan demikian segala akibat
yang akan imbul pasti akan dihadapinya.
Dalam ketegangan itu terdengarlah Widura menggeram, “Apakah yang terjadi di sini Sidanti?”
Sidanti tidak segera menjawab. Sesaat matanya menyambar Agung Sedayu dan kemudian Sekar Mirah.
Beberapa orang yang berdiri memagari
mereka pun segera dapat menebak, apa yang sudah terjadi. Hudaya
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menyipitkan matanya, sedang Citra
Gati dengan penuh perhatian menatap wajah Sidanti.
Ketika beberapa saat Sidanti tidak
menjawab, maka kembali Widura bertanya, kali ini kepada Agung Sedayu,
“Apa yang terjadi Sedayu?”
Agung Sedayu menundukkan wajahnya,
mulutnya pun seperti terkunci. Karena itu Agung Sedayu juga tidak mampu
menjawab pertanyaan itu. Yang terdengar kemudian adalah kata-katanya
Swandaru, “Yang aku ketahui paman, mulutku berdarah dan kepalaku serasa
hampir terlepas”
Widura berpaling ke arah Swandaru yang masih terduduk di tanah, “Berdirilah Swandaru” berkata Widura.
Dengan susah- payah anak muda itu
berdiri. Beberapa orang berusaha untuk menolongnya dan menghapus darah
yang masih juga meleleh dari mulutnya. Ketika Swandaru telah berdiri
meskipun belum tegak benar, ia mencoba memandang setiap wajah yang ada
di sekitarnya. Namun ayahnya tidak nampak. Meskipun demikian ia berkata
terus, “Tangan kakang Sidanti benar-benar seberat timah”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian kembali ditatapnya mata Sidanti, sehingga dengan nanar Sidanti
terpaksa melemparkan pandangan matanya jauh-jauh.
“Kenapa kau sakiti dia Sidanti?”
“Anak itu mendahului kakang” sahut Sidanti
“Ah” Widura berdesah, “Benarkah demikian?” katanya kepada Swandaru.
“Hem” Swandaru menarik nafas. “Ada dua orang saksi di sini. Sekar Mirah dan Agung Sedayu”
Sidanti menelan ludahnya. Terasa dadanya
menjadi berdebar-debar. Dan didengarnya kembali Widura bertanya,
“Sidanti, apakah sebenarnya yang terjadi?”
Sidanti kini tidak ingin bersembunyi
dibalakang berbagai alasan yang berbelit-belit. Maka jawabnya dengan
dada tengadah, “Yang terjadi adalah persoalan antara aku dan adi Agung
Sedayu. Persoalan antara anak-anak muda. Karena itu sama sekali tidak
bersangkut paut dengan kelaskaran Pajang di Sangkal Putung”
Jawaban itu benar-benar tak diduga oleh
Widura dan oleh siapapun. Sidanti mencoba meletakkan persoalan ini
diluar campur tangan pihak-pihak lain. Karena itu maka Widura pun
menjadi berdebar-debar pula. Katanya, “Aku adalah pemimpin laskar Pajang
di Sangkal Putung. Aku akan bertanggung jawab terhadap setiap peristiwa
yang terjadi di sini. Apalagi di antara anak buahku sendiri”
“Tetapi apabila persoalan itu menyangkut
persoalan kelaskaran” bantah Sidanti. “Persoalanku adalah persoalan
seorang dengan seorang tanpa ada sangkut pautnya dengan kepemimpinan
kakang di sini”
Dahi Widura pun menjadi berkerut
karenanya. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia
adalah seorang pemimpin. Karena itu ia harus tetap memiliki wibawa atas
anak buahnya. Sehingga kemudian ia bertanya, “Lalu apakah kehendakmu?”
“Biarlah kami menyelesaikan persoalan kami sebagai laki-laki” jawabnya.
Jawaban itu sangat mendebarkan hati.
Apalagi Agung Sedayu. Dengan sudut matanya ia memandang wajah pamannya.
Namun kemudian wajahnya itu pun ditundukkannya kembali.
Widura menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian terdengar ia berkata, “Ada hakku untuk berbuat atas kalian.
Terutama atas Agung Sedayu. Dia tamuku di sini, dan kedua ia adalah
keponakanku. Aku melarang dia membuat keonaran di sini”
Terasa sesuatu berdesir di dada Agung
Sedayu. Ia sadar bahwa pamannya berusaha membebaskannya dari
pertentangan ini. Karena itu tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, namun
hanya sesaat, dan wajah itu menunduk kembali.
Beberapa orang menjadi kecewa karenanya.
Terutama Sekar Mirah sendiri. Hudaya yang berdiri di samping Citra Gati
berbisik, “Ah, kakang Widura terlalu memanjakan Sidanti yang sombong
itu, sehingga kemenakannya sendiri dikorbankannya. Aku ingin melihat
sekali-sekali Sidanti itu dihajar orang. Bukankah ini suatu kesempatan
yang baik. Lihatlah betapa kecewa angger Sedayu mendengar keputusan
pamannya. Untunglah ia anak yang patuh, sehingga keputusan itu betapa
pun beratnya, agaknya akan diterimanya juga”
Mulut Citra Gati berkomat-kamit. Dari
matanya menancarlah perasaan muaknya melihat kesombongan Sidanti,
sehingga dengan pimpinannya pun ia telah berani membantah.
Sedang Swandaru dengan wajah yang masam
memandang Widura dari ujung kaki keujung kepalanya. Apakah mulutnya
dibiarkan berdarah, dan Sidanti dibiarkannya begitu saja. Ia memang
berharap, Sedayu turun tangan karena peristiwa itu. Ia mengharap bahwa
apabila Sidanti marah, maka Agung Sedayu pun akan marah pula. Namun
tiba-tiba pamannya mengambil keputusan yang tak diharapkan.
Sesaat kemudian mereka dicengkam oleh
ketegangan. Bukan saja orang-orang di sekitar Sidanti menjadi kecewa,
namun Sidanti sendiri tidak kalah kecewanya. Sebagai seorang anak muda
yang merasa dirinya mumpuni, Sidanti benar-benar ingin memperlihatkan
kemampuannya. Ia yakin, bahwa betapa pun kuatnya Agung Sedayu namun ia
pasti akan dapat bertahan. Bahkan terhadap Untara sekalipun. Karena itu,
betapa ia menyesal, namun ketika ia akan menyatakan sesalnya,
didengarnya Widura berkata, “Aku perintahkan kalian kembali ke pendapa”
Sidanti memandang Widura dengan mata yang gelisah. Katanya, “Biarlah aku di sini”
“Kau dengar perintahku” ulang Widura.
Sidanti masih berdiri di tempatnya.
Beberapa orang yang sudah mulai bergerak pun tiba-tiba berhenti dan
memandang anak muda itu dengan hati yang tegang.
Ketika Sidanti tidak beranjak dari
tempatnya, terdengar kembali Widura berkata, “Sidanti, aku perintahkan
kau kembali ke pendapa”
“Aku di sini” jawabnya.
Widura pun menjadi marah karenanya. Ia
sadar bahwa Sidanti merasa bahwa kesaktiannya telah bertambah-tambah
karena kehadiran gurunya yang menempanya. Namun Widura adalah pemimpin
yang sadar akan kedudukannya. Karena itu, selangkah ia maju sambil
berkata lantang, “Sidanti, untuk terakhir kalinya aku memberikan
peringatanku. Kalau tidak, maka aku akan melakukan kekuasaan yang ada
padaku. Tinggalkan tempat ini, dan pergi ke pendapa”
Tubuh Sidanti pun bergetar karena marah.
Ia tahu benar bahwa Widura tidak lebih dari padanya, sehingga apabila
Widura itu menyerangnya, maka ia tidak yakin bahwa ia tidak akan
melawannya. “Setidak-tidaknya aku akan dapat menyamainya. Bahkan mungkin
melampauinya” katanya di dalam hatinya. Namun ketika ia melihat
beberapa wajah yang keras dan kasar berdiri di sekitarnya, Hudaya, Citra
Gati, Sendawa laki-laki bertubuh raksasa bermata satu, Sonya yang
mempunyai ciri dipelipis dan dahinya, Patra bungkik dan beberapa orang
lagi. Meskipun Sidanti tidak gentar berhadapan dengan setiap orang yang
berdiri disitu, namun kalau mereka maju bersama-sama dengan Widura untuk
menangkapnya, maka ia pasti akan mengalami kesulitan. Karena itu ketika
terpandang sekali lagi mata Widura yang menyala, Sidanti pun kemudian
perlahan-lahan menggerakkan kakinya. Selangkah demi selangkah, namun
perlahan sekali, ia meninggalkan tempat itu pergi ke pendapa.
Ketegangan pun kemudian mereda. Sekali
lagi Widura memandang setiap wajah yang ada di sekitarnya. Kemudian
terdengar kembali perintahnya, “Kembali ke pendapa”
Setiap orang yang berada di tempat itu
pun kemudian berangsur-angsur pergi. Terdengarlah gumam yang simpang
siur di antara mereka. Sedang yang tinggal kemudian adalah Sedayu, Sekar
Mirah dan swandaru. Perlahan-lahan Widura meraba pipi swandaru,
diamat-amatinya noda yang merah kebiru-biruan dipipi itu, “Tangan anak
itu benar-benar luar biasa” katanya di dalam hati.
“Masuklah Swandaru” berkata Widura. “Katakanlah kepadaku nanti apabila ayah datang. Aku akan minta maaf kepadanya”
Swandaru tersenyum meskipun masam, “Kenapa paman minta maaf kepada ayah?”
“Aku menyesal bahwa salah seorang anak
buahku, yang seharusnya melindungi rakyat Sangkal Putung, bahkan telah
menyakiti hati mereka. Bukankah kau pemimpin dari anak-anak muda di
sini? Karena itu maka aku harus minta maaf kepada rakyat Sangkal Putung
lewat ayahmu” sahut Widura.
Swandaru mengangguk-angguk. Pipinya masih
terasa sakit. Dan sakit itu tidak akan sembuh hanya oleh permintaan
maaf saja. Apalagi sakit hatinya. Namun meskipun demikian, dihargainya
juga sikap Widura yang jujur itu.
Swandaru dan Sekar Mirah pun kemudian
masuk ke rumahnya lewat pintu belakang dengan hati kecewa. Bagaimanapun
juga Swandaru tidak dapat melupakan hinaan yang telah dua kali
dialaminya. Karena itu tiba-tiba ia menggeram di dalam hatinya, “Awas
Sidanti, suatu ketika aku harus membunuhmu. Swandaru bukan cacing yang
lemah, tetapi Swandaru, Swandaru Geni, adalah sorang anak jantan”
Sedayu pun kemudian mengikuti pamannya ke
pringgitan. Di pringgitan ia duduk saja sambil menekurkan kepalanya.
ketika pamannya kemudian duduk di hadapannya, hatinya menjadi
berdebar-debar.
“Sedayu” berkata pamannya, “Nah, peristiwa itu sekarang sudah terjadi. Apa katamu?”
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan
wajahnya. Apalagi ketika pamannya itu berkata pula, “Bukankah aku pernah
memberimu peringatan?”
“Aku sudah mencoba melakukannya paman”
sahut Sedayu perlahan-lahan. “Tetapi apabila aku pergi ke sumur atau ke
belakang untuk keperluan lain, kadang-kadang aku masih berjumpa dengan
gadis itu”
“Aku tidak keberatan apa pun yang kau
lakukan Sedayu, asalkan kau dapat mempertanggung-jawabkannya. Aku
berbesar hati melihat ketekunanmu berlatih hampir setiap malam. Aku
berbesar hati melihat kemajuan-kemajuan yang kau capai. Namun hatimu
yang kerdil itu masih sekerdil itu pula. Apalagi berhadapan dengan
Sidanti. Karena itu Sedayu, kali ini adalah kali terakhir aku mencampuri
persoalanmu. Seterusnya, kau sudah cukup besar untuk menjaga dirimu
sendiri”
Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk.
Hampir ia menangis mendengar kata-kata pamannya. Ia kini telah
benar-benar kehilangan pegangan. Kakaknya masih belum diketemukan, dan
pamannya seolah-olah tak mau lagi melindunginya. “Oh” Sedayu mengeluh di
dalam hati.
“Sedayu” berkata pamannya, “Bagaimanakah kalau kau aku antar saja pulang ke Jati Anom?”
Agung Sedayu menggeleng. Ia tidak berani tinggal seorang diri di sana, “Atau ke Banyu Asri?” kata pamannya pula.
Di Banyu Asri pun keadaannya sama sekali
tidak menyenangkan. Orang-orang Jipang yang berpencaran dapat saja
menemukannya di Banyu Asri. Alap-alap Jalatunda yang berkeliaran itu,
misalnya, sebab Alap-alap Jalatunda itu kini sudah terlanjur
mengenalnya, tidak seperti dahulu lagi, sebelum ia pernah bertemu dengan
Alap-alap Jalatunda yang mengerikan itu.
“Biarlah aku di sini paman. Aku berjanji tidak akan keluar dari pringgitan sebelum malam”
“Oh” Widura mengeluh. “Terlalu, terlalu”
gumamnya. Ia telah benar-benar menjadi jengkel. Dan karena itu, maka
mulutnya malahan terbungkam karenanya.
Di pendapa Sidanti masih duduk di sudut
di atas tikar pembaringannya. Hatinya menyala oleh kemarahan yang
memuncak. Tanpa disadarinya, dibelainya senjatanya yang mengerikan.
Beberapa orang yang melihatnya menjadi berdebar-debar karenanya, dan
tanpa sadar pula, mereka duduk-duduk di samping senjata masing-masing.
Tiba-tiba ketika Sidanti itu melihat
Widura melangkah keluar, ia berdiri pula. diletakkannya senjatanya, dan
dengan tergesa-gesa ia menyusulnya.
“Kakang” panggil Sidanti. Widura terkejut, karena itu ia pun segera berhenti.
Tampaklah dahi Widura itu berkerut,
ketika dilihatnya Sidanti dengan tergesa-gesa pergi mendapatkannya.
Bukan saja Widura yang menjadi tegang, namun beberapa orang yang
melihatnya pun tanpa sesadar mereka, serentak berdiri tegak di tempat
masing-masing.
Sidanti pun melihat semuanya itu. Karena
itu maka kini dapat diketahuinya, bagaimana sikap orang-orang dalam
lingkungannya kepadanya. Meskipun demikian Sidanti sama sekali tidak
berkecil hati.
Ketika Sidanti sudah berdiri beberapa langkah di hadapannya, Widura bertanya, “Apakah ada sesuatu yang penting?”
“Ya kakang” jawab Sidanti. “Aku ingin mengatakan sesuatu kepada kakang Widura tanpa didengar oleh seorangpun”
“Katakanlah” sahut Widura.
Sidanti beragu sebentar, sehingga tiba-tiba wajahnya beredar kesegala sudut halaman dan pendapa rumah kademangan itu.
“Kalau kau tidak berteriak-teriak maka mereka tidak akan mendengar” berkata Widura.
Sidanti menarik alisnya tinggi-tinggi. Kemudian tampaklah ia tersenyum. Namun senyum itu terasa aneh bagi Widura.
“Kakang” berkata Sidanti perlahan-lahan sambil melangkah mendekati Widura. “Aku ingin mengatakan sesuatu. Tetapi tidak di sini.”
“Berkatalah sekarang” sahut Widura.
Sidanti menarik nafas. Sekali lagi ia
memandang berkeliling. Ditangga pendapa ia melihat beberapa orang
berdiri berjajar-jajar, dan beberapa orang di antaranya duduk dengan
gelisah. Di regol pun dilihatnya beberapa orang penjaga dengan tombak di
tangan mereka.
“Baiklah kakang” berkata Sidanti, “Aku
hanya akan minta ijin kakang untuk menyelesaikan persoalanku dengan
Agung Sedayu secara jantan, supaya persoalan ini tidak berlarut-larut
dan menjadi semakin dalam menghunjam di dalam dadaku”
Widura terkejut mendengar permintaan itu.
Ternyata Sindanti sama sekali tidak dapat menekan perasaannya. Karena
itu untuk sesaat Widura tidak segera dapat menjawab. Bahkan Sidanti
sempat berkata terus, “Aku bersedia memenuhi syarat apa pun yang akan
diberikan kepada kami berdua. Tanding tanpa atau dengan saksi, tanpa
atau dengan senjata”
Wajah Widura tiba-tiba menjadi tegang.
Terdengar ia menggeram, kemudian katanya, “Tidak. Aku tidak memberimu
ijin. Juga Agung Sedayu tidak akan aku ijinkan”
Sidanti menjadi kecewa. Namun ia masih
berkata terus, “Kakang, agaknya kurang bijaksana. Apakah kakang ingin
dendam kami masing-masing membakar dada kami, sehingga kelak apabila
terdapat kesempatan, maka kami akan bertempur tanpa pengendalian diri?
Kini kami masih cukup sadar, bahwa perkelahian yang akan diadakan ini
adalah perkelahian antara kita. Hanya karena persoalan pribadi. Sehingga
dengan demikian kita masih dapat membatasi diri kita sendiri untuk
tidak menghancurkan laskar kita di hadapan laskar Jipang”
Sekali lagi Widura menggeleng, katanya
tegas, “Tidak. Perkelahian di antara kita sama sekali tak akan
menguntungkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Ia adalah kemenakanku. Dan aku
tidak mau melihat salah seorang dalam aliran darahku yang berkelahi
karena perempuan”
Wajah Sidanti tiba-tiba menjadi merah
membara. Kemarahannya kini menjalar kembali di dadanya. Kata-kata Widura
itu benar-benar suatu tamparan baginya.
Dan tiba-tiba pula perasaan yang
tersimpan di dadanya itu kini terungkat seluruhnya. Betapa ia memandang
Widura tidak lebih daripadanya. Apalagi ia merasa benar-benar bahwa
persoalan yang kini dihadapinya sama sekali bukan persoalan kelaskaran,
tetapi persoalan pribadi. Karena itu kini Sidanti tidak dapat
mengendalikan perasaannya lagi. Meskipun demikian ia masih berkata
perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan, “Kakang, apakah sebenarnya
kakang sedang melindungi anak itu?”
Dada Widura seakan-akan meledak mendengar
pertanyaan itu. Ia sadar, bahwa Sidanti hanya ingin menghina Agung
Sedayu. Namun karena keadaannya memang demikian, maka Widura
hampir-hampir tak dapat menjawab pertanyaan itu. Meskipun demikian ia
berkata, “Jangan mengigau Sidanti. Kalau suatu ketika terjadi
perkelahian di antara kalian, maka kalian berdua akan terpaksa mengalami
hukuman”
Sidanti tersenyum. Senyum yang
benar-benar menyakitkan hati. Katanya, “Hem, kakang Widura. Sebagai
seorang bawahan aku menghormatimu. Namun sebagai seorang yang mempunyai
kebebasan diri dalam persoalanku sendiri aku tidak dapat menerimanya”
Sekali lagi dada Widura terguncang.
Wajahnya menjadi merah pula karena marah. Meskipun demikian ia masih
mencoba untuk menenangkan dirinya.
Orang-orang yang melihat percakapan itu
dari kejauhan menjadi heran. Mereka melihat wajah-wajah yang tegang.
Namun kadang-kadang mereka melihat Sidanti tersenyum-senyum seperti
tidak pernah terjadi sesuatu. Karena itu mereka menebak-nebak apakah
yang mereka bicarakan. Apakah Sidanti sedang minta maaf kepada Widura?
Namun mereka tidak mendengar ketika Widura berkata, “Aku mempunyai kekuasaan di sini Sidanti”
Sidanti masih tersenyum. Katanya, “Kakang Widura ternyata telah menyalahgunakan kekuasaan itu untuk keuntungan pribadi”
Dada Widura benar-benar hampir pecah
karenanya. Ia harus mempertahankan kewibawaannya sebagai seorang
pemimpin. Maka katanya, “Tanpa kekuasaan pun aku dapat memaksamu
Sidanti”
Sidanti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia pun berkata, “Kakang, aku ingin berbicara tanpa seorang pun yang melihat”
“Bagus” berkata Widura. Ia benar-benar
telah menangkap tantangan itu. Karena itu ia harus menerimanya apabila
ia masih ingin dinamai seorang pemimpin. Maka katanya seterusnya, “Nanti
malam kita bisa bertemu tanpa seorang pun yang melihat pertemuan itu”
Dada Sidanti pun bergetar semakin cepat.
Ia sudah menjerumuskan diri kedalam persoalan yang lebih berat. Namun ia
yakin, bahwa ia akan dapat mengatasi semua persoalan itu.
Maka kemudian Sidanti itu pun mengangguk
hormat, lalu pergi meninggalkan Widura yang masih tegak dengan
tegangnya. Dilihatnya anak muda yang terlalu yakin akan dirinya itu,
berjalan ke pendapa, kemudian naik dengan langkah yang tetap.
Widura menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dipandanginya keadaan di sekitarnya. Dilihatnya anak buahnya
berdiri berjajar di samping pendapa, sedang di regol halaman dilihatnya
beberapa orang yang sedang bertugas tegak dengan tombak di tangan.
“Apa pun yang terjadi” katanya di dalam
hati, “Mereka harus menganggap aku sebagai seorang laki-laki yang berani
menghadapi setiap keadaan dibawah kekuasaanku. Kalau aku hindari
tantangan Sidanti, mereka akan kehilangan kepercayaan, dan aku akan
kehilangan kewibawaan”
“Tetapi” terdengar pula suara yang lain, “Bagaimanakah kalau aku dapat dikalahkan?”
“Menang atau kalah bukan soal” jawabnya sendiri, “Aku harus tetap pada keputusanku, keputusan seorang pimpinan prajurit”
Sesaat kemudian Widura itu pun melangkah
kembali keregol halaman. Kemudian kepada para penjaga ia bertanya,
“Adalah kalian melihat Ki Demang sudah datang?”
“Belum tuan” jawab salah seorang dari mereka. “Malahan Swandaru juga keluar halaman”
“Kemana?”
“Tak dikatakan kepada kami”
Widura menjadi berdebar-debar karenanya.
Ia ingin menyampaikan sendiri kabar tentang persoalan antara Swandaru
dan Sidanti, untuk kemudian minta maaf kepadanya. Kalau Swandaru sendiri
yang mengatakannya, maka Ki Demang akan dapat menjadi salah paham.
Apalagi kalau kemudian kawan-kawan Swandaru menjadi marah. Maka
akibatnya akan menyulitkannya.
Tetapi, di samping itu tantangan Sidanti
juga menggelisahkannya. Ia tidak takut menghadapi apapun, namun sebagai
seorang pemimpin ia mempunyai tanggung jawab yang luas.
Bahkan kemudian Widura itu mengumpat di
dalam hatinya. “Alangkah bodohnya Agung Sedayu. Ia telah membuat Sangkal
Putung menjadi berantakan setelah ia berhasil menyelamatkannya. Kalau
anak itu bukan saja seorang pengecut, maka kepalaku tidak menjadi pecah
dibuatnya”
Ketika Widura melangkah kembali ke
pendapa, terasa seseorang menggamitnya. Orang itu adalah Citra Gati.
Dengan wajah yang bersungguh-sungguh ia berbisik, “Apakah yang dikatakan
Sidanti itu kakang?”
Widura memandangnya bersungguh-sungguh pula. Namun kemudian ia tersenyum, “Tidak apa-apa” jawabnya.
Citra Gati menggeleng. Katanya, “Aku
melihat sesuatu yang tidak wajar kakang. Jangan biarkan kami
menebak-nebak, supaya kami tidak semakin muak melihat anak Ki Tambak
Wedi yang sombong itu”
“Tenaganya kita perlukan di sini” sahut Widura.
Citra Gati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dirasakannya, apa yang dikatakan Widura itu benar. Namun
apakah dengan demikian anak muda itu wenang untuk berbuat sesuka
hatinya? Karena itu ia bertanya, “Tetapi kakang, aku melihat tingkah
lakunya semakin lama semakin tidak menyenangkan”
“Aku akan mencoba untuk mengatasinya” jawab Widura
“Mudah-mudahan kakang berhasil” gumam
Citra Gati, “Kalau perlu, kakang dapat minta bantuan kami. Bukankah itu
juga termasuk kewajiban kami?”
Widura mengerutkan keningnya. Katanya,
“Jangan. Dengan demikian dendam di antara kalian akan semakin menyala.
Kewajiban kita masih banyak. Tohpati masih ada di muka hidung kita.
Alap-alap Jalatunda dan Plasa Ireng yang berkeliaran di daerah Pakuwon
dan Karajan. Mungkin masih banyak lagi orang-orang yang bersembunyi di
sana-sini. Suatu ketika mereka akan berhimpun. Dan itu adalah pekerjaan
yang berat”
Citra Gati menarik nafas dalam-dalam. Ia
kagum kepada anak muda yang bernama Sidanti itu, namun ia membencinya.
Meskipun di dalam hatinya ia mengakui, bahwa seorang lawan seorang ia
tak akan dapat mengalahkan Sidanti yang hampir dapat mencapai tataran
Macan Kepatihan, namun ia tidak senang melihat anak itu dibiarkan sesuka
hatinya.
“Kakang” tiba-tiba terdengar Citra Gati
berkata pula, “Kenapa kakang tidak membiarkan angger Agung Sedayu
sekali-sekali mengajarnya untuk bersopan santun?”
Kembali dada Widura bergetar. Namun jawabnya, “Aku benci melihat perkelahian karena perempuan”
“Oh” Citra Gati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tidak dapat berkata apa pun lagi. Itu adalah persoalan
antara paman dan kemenakannya. Karena itu maka ia pun kemudian kembali
ke pendapa dan duduk di samping Sonya dan Sendawa.
“Apa katanya kakang Gati?” bertanya Sendawa setelah Citra Gati duduk di sampingnya.
“Entahlah. Terasa sesuatu dirahasiakan oleh kakang Widura” jawab Citra Gati.
Sendawa, yang matanya cacat sebelah itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangannya masih sibuk menggosok-gosok
senjatanya, sebuah kelewang yang besar dan tebal, sesuai dengan bentuk
tubuhnya yang tinggi besar.
Kemudian mereka tenggelam dalam
kesenyapan. Angan-angan mereka masing-masing terbang bersama awan di
langit. Sekali-sekali burung elang terbang melingkar-lingkar di udara,
mencari mangsanya. Namun induk-induk ayam dengan bulu-bulunya yang
tebal, segera menyelimuti anak-anaknya yang ketakutan.
Widura pun kemudian kembali ke
pringgitan. Dilihatnya Agung Sedayu duduk terpekur. Dan tiba-tiba saja
timbullah perasaan jemu melihat anak itu. Namun ia adalah kemenakannya.
Dan ia datang untuk keselamatannya. Karena itu, maka yang dapat
dilakukan oleh Widura adalah mengumpat-umpat saja di dalam hati.
Matahari pun semakin lama semakin condong kebarat. Dan Widura tidak melupakan janjinya. Malam nanti.
Dan akhirnya malam itu datang. Ketika
pringgitan itu mulai dinyalakan lampu, Widura melihat Demang Sangkal
Putung masuk kedalamnya.
“Silakan kakang” sambut Widura.
Ki Demang dengan lelahnya duduk di
samping Agung Sedayu yang duduk terpekur. Sejengkal ia menggeser diri,
dan terdengar ia berkata lirih, “Marilah Bapak Demang”
“Silakan, silakan ngger” jawab demang
Sangkal Putung itu. “Ah, aku baru saja melihat-lihat apakah sawah kita
masih sempat ditanami”
“Oh” sahut Widura sambil duduk pula, “Bagaimana keadaannya?”
“Baik” jawab ki Demang.
“Aku mencari ki Demang sejak siang tadi” berkata Widura.
“Ya ya. Aku mendengar dari Swandaru. Aku mendengar pula apa yang telah terjadi. Aku menyesal”
“Kami harus minta maaf kepada kakang” berkata Widura.
“Aku juga. Bukankah Sekar Mirah itu anakku? Anak itu memang seharusnya mendapat peringatan”
Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia sama sekali tidak berani ikut serta dalam pembicaraan itu.
Kemudian terdengar Ki Demang meneruskan,
“Dan itu sudah aku lakukan. mudah-mudahan hal yang tak diharapkan ini
tidak terulang kembali”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Untunglah demang Sangkal Putung itu sudah cukup usianya untuk dapat
memandang setiap persoalan dengan tenang. Karena itu, maka keadaan
Widura tidak menjadi bertambah parah lagi.
“Mudah-mudahan” berkata Widura kemudian. “Mudah-mudahan aku akan berhasil menguasai anak buahku”
Ki Demang tersenyum. Namun kemudian ia berkata, “Ah sudahlah, aku ingin bicara masalah lain”
“Apakah itu?” bertanya Widura.
“Aku melihat kejemuan di antara anak-anak kita. Bukankah begitu?”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya” jawabnya. “Terasa benar kejemuan itu. Dan karena itu pulalah maka
sering terjadi hal-hal yang sama sekali tak diharapkan. Anak-anak itu
kadang-kadang membuat hal-hal yang aneh yang kadang-kadang berbahaya”
“Tepat” sahut ki Demang. “Jangankan
anak-anak adi Widura, anak-anak muda Sangkal Putung yang hidup diatara
keluarganya pun menjadi jemu oleh ketegangan ini. Nah, aku ada pendapat,
kalau adi menyetujui”
“Bagaimana?”
Anak-anak muda Sangkal Putung akan mengadakan perlombaan ketangkasan”
“Bagus” sahut Widura dengan serta-merta. “Ketegangan mereka akan tersalur. Biarlah anak-anakku juga mengadakannya”
Ki Demang tersenyum. “Nah, kita tinggal membicarakan kapan dan perlombaan apa?”
“Baik kakang” jawab Widura. “Biarlah nanti anak-anak menentukan sendiri”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya.
Rencana itu adalah rencana yang baik sekali baginya. Tidak saja untuk
menyalurkan ketegangan yang menghimpit mereka terus-menerus, namun juga
untuk memberikan petunjuk-petunjuk bagi anak-anak muda Sangkal Putung
untuk lebih maju dalam olah senjata. Dan lebih dari itu, permainan yang
demikian akan dapat memberi mereka kegembiraan.
“Baiklah” berkata ki Demang itu kemudian, “Biarlah anak-anak membicarakannya. Kini aku ingin beristirahat”
Ki Demang itu pun kemudian berdiri dan
berjalan keluar. Widura yang mengantarkannya sampai kepintu, melihat
anak-anaknya sudah berbaring di tempat masing-masing. Tetapi ketika
pandangan matanya hinggap di sudut pendapa, tempat Sidanti, hatinya
menjadi berdebar-debar. Tempat itu ternyata kosong.
“Anak itu belum berada di tempatnya” gumamnya. Namun ia tidak berkata sepatah katapun.
Ketika ki Demang telah turun kehalaman,
segera Widura masuk kembali ke pringgitan. Dibenahinya pakaiannya,
dikeraskannya ikat pinggangnya dan kemudian disangkutkannya pedangnya di
lambungnya. Ia kini sudah benar-benar siap, apa pun yang akan terjadi
atasnya malam nanti dalam kedudukannya sebagai pimpinan pasukan Pajang
di Sangkal Putung. Ia masih akan berusaha menguasai Sidanti seorang
diri. Janjinya untuk bertemu Sidanti tanpa diketahui oleh siapa pun
benar-benar akan dipenuhi.
Demikianlah ketika Widura telah siap
benar, berkatalah ia kepada Agung Sedayu, “Kau tinggal di rumah kali ini
Sedayu. Aku akan pergi seorang diri”
Dada Agung Sedayu berdebar-debar. Justru
baru siang tadi terjadi peristiwa yang mengusutkan hatinya. Karena itu
ia bertanya, “Kenapa aku tidak ikut serta paman?”
“Tidak apa-apa. Kau tinggal di rumah”
Widura tidak menunggu jawaban Agung Sedayu. Segera ia melangkah keluar.
Katanya dalam hati, “Biarlah anak itu aku tunggu di regol halaman”
Demikian Widura meninggalkan pringgitan,
demikian hati Agung Sedayu kembali keriput. Tiba-tiba saja terasa
dadanya menjadi sesak oleh kecemasan yang menghentak-hentak. “Apakah
paman sengaja membiarkan Sidanti membunuhku?” katanya di dalam hati. Dan
tiba-tiba saja timbullah keinginan yang aneh, “Ah, apabila demikian,
biarlah lebih baik aku ikut saja kepada Kiai Gringsing”. Namun kembali
timbul ragunya, “Jangan-jangan Kiai Gringsing benar-benar menganggapnya
seorang yang sakti. Dengan demikian pada suatu kali ia harus berhadapan
pula dengan seorang lawan apa pun alasannya”
Tiba-tiba Sedayu hampir pingsan ketika
didengarnya pintu berderit dan dilihatnya kepala Sidanti terjulur masuk.
Tetapi anak muda itu tidak meloncat masuk dan memukulnya. Dengan
tersenyum ia bertanya, “Dimanakah kakang Widura?”
“Di luar” jawabnya singkat, tetapi terdengar suaranya bergetar.
Tiba-tiba pandangan mata Sidanti itu
menjadi aneh. Ditatapnya tiap sudut ruangan. Dan kembali ia bertanya,
“Kakang Widura tidak di sini?”
Sedayu menggeleng, dan dadanya menjadi
semakin bergetar. Sidanti masih saja menjulurkan kepalanya sambil
tersenyum. Kemudian tiba-tiba saja ia melangkah masuk. Ditatapnya wajah
Agung Sedayu dengan nyala dendam di matanya. Kemudian terdengarlah
Sidanti berkata, “Sayang, kakang Widura tidak mengijinkan kita
menyelesaikan masalah kita sendiri”
Betapa pun dada Sedayu bergetar, namun
dengan sekuat tenaga masih dicobanya untuk tidak berkesan di wajahnya.
Dengan tergagap ia menjawab, “Demikianlah”
“Tetapi bukankah kita bisa menempuh jalan lain?” berkata Sidanti pula, “Kita tidak usah minta ijin kepada kakang Widura”
Tetapi Sidanti terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar suara Widura diluar pintu, “Sidanti, aku menunggumu di sini”
“Oh” sahut Sidanti, “Aku sedang mencari kakang”
“Marilah Sidanti, biarkan Sedayu di tempatnya. Jangan mencoba melanggar perintahku”
Sidanti menarik alisnya. Tampaklah
wajahnya menjadi tidak senang. Namun ia tidak menjawab. Dengan
tergesa-gesa ia melangkah keluar sambil menggeram, “Baik kakang Widura”.
Tetapi kemarahannya kepada Widura semakan membakar dadanya.
“Aku akan memenuhi permintaanmu” berkata Widura kemudian.
Sidanti tersenyum, “Terima kasih” sahutnya.
“Kita pergi sekarang” Widura meneruskan. “Aku masih akan melihat gardu-gardu peronda lebih dahulu”
Sidanti tidak menjawab. Namun ia
melangkah kesudut pendapa. Dari dinding di atas pembaringannya diraihnya
senjatanya yang menyeramkan itu. Kemudian katanya kepada Widura,
“Marilah kakang”
Widura tidak menjawab. Langsung ia
melangkah menuruni pendapa, sedang Sidanti berjalan di belakangnya. Di
regol halaman Widura berhenti sejenak. Kepada salah seorang penjaga ia
berkata, “Aku akan nganglang kademangan. Lakukan tugasmu baik-baik”
“Baik tuan” jawab penjaga itu. Namun
matanya memancarkan keheranannya. Biasanya Widura pergi hampir setiap
malam dengan Agung Sedayu, namun kini ia pergi bersama Sidanti.
Mereka mencoba meraba-raba apakah sebabnya. Tetapi tak seorang pun di antara mereka yang berani bertanya.
Sepeninggal Widura dan Sidanti, perlahan-lahan Hudaya berjalan keregol itu pula. Gumamnya, “Aneh”
“Apa yang aneh kakang?” bertanya salah seorang penjaga.
“Aku tidak bisa mengerti, apakah
sebenarnya yang memukau kakang Widura. Anak muda yang sombong itu
seakan-akan tak pernah berbuat salah di hadapan kakang Widura. Kalau aku
menjadi kakang Widura, aku biarkan kemenakannya, angger Agung Sedayu
sekali-sekali menghajarnya. Namun agaknya angger Sedayu lah yang
dianggap bermasalah. Lihat, kini anak yang sombong itulah yang
dibawanya”
“Aku pun tak mengerti” sahut Sendawa yang
berada di tempat itu pula. “Siang tadi aku melihat Sidanti
bercakap-cakap di halaman dengan kakang Widura. Aku tidak tahu, apakah
Sidanti itu sedang minta maaf kepada kakang Widura. Tetapi dengan tidak
dibawanya Sedayu kali ini benar-benar mengherankan. Tetapi aku mempunyai
beberapa prasangka”
Semua orang berpaling kepadanya, “apakah prasangka itu?” bertanya Hudaya
“Terlalu kabur” jawab Sendawa, “Tetapi prasangka yang jelek”
Semua yang mendengar kata-katanya itu
menjadi semakin terpaku. Dan terdengar orang yang bertubuh raksasa itu
meneruskan, “Kakang Widura agaknya segan juga terhadap Sidanti”
“Janganlah berkata begitu” sahut salah
seorang diataranya. “Bukankah ki Widura itu telah berkata, menurut
kakang Citra Gati, bahwa tenaga Sidanti itu sangat diperlukan di sini?
Ialah satu-satunya orang di samping ki Widura, yang setidak-tidaknya
dapat menahan arus kemarahan Macan Kepatihan di antara kita”
Sendawa terdiam. Namun di dalam hatinya,
ia membenarkan pula pendapat itu. Tetapi sikap Sidanti benar-benar telah
memuakkan pula. Sedemikian muaknya sehingga tanpa disengajanya ia
bergumam, “Anak muda itu benar-benar anak setan”
“Siapa?” bertanya Hudaya.
“Sidanti, siapa lagi?”
“Kenapa tidak kau tantang saja berkelahi?” bertanya salah seorang sambil tersenyum.
“Tak ada sebabnya” jawab Sendawa
“Gampang. Kalau sekali-sekali kau tangkap gadis anak Ki Demang itu, kau pasti akan berkelahi dengan Sidanti”
“Belum tentu. Aku dapat juga berhadapan dengan ki Demang atau anaknya yang gemuk bulat itu”
“Kau bersetuju dulu dengan mereka”
“Bagus” Sendawa berhenti sebentar, “Tetapi aku tidak berani berkelahi melawan anak kecil itu”
Yang mendengar pengakuan itu pun
tersenyum geli. Sendawa sendiri tersenyum. namun hatinya mengumpat tak
habis-habisnya. Seandainya ia mampu, maka Sidanti pasti sudah
dihajarnya.
Regol halaman itu kemudian menjadi sepi.
Hudaya kemudian melangkah kembali ke pendapa diikuti oleh Sendawa sambil
menyeret kelewangnya yang besar dan tebal seperti tubuhnya. Hampir
semua orang telah tertidur. Citra Gati tidur dengan gelisahnya. Sedang
Patra dengan nyenyaknya mendengkur di samping Sonya.
Widura dan Sidanti masih berjalan
menyusur jalan-jalan desa, singgah dari satu gardu kemudian gardu yang
lain seperti setiap malam dilakukan oleh Widura. Namun kali ini
nampaknya ia sangat tergesa-gesa. Beberapa orang pun menjadi heran,
hampir tidak pernah mereka melihat Sidanti meronda bersama Widura.
Tetapi seperti orang-orang di regol halaman, mereka pun tidak bertanya
pula. Digardu anak-anak muda Sangkal Putung Swandaru berdiri bertolak
pinggang sambil menguap di muka pintu. Tetapi cepat-cepat mulutnya
terkatub ketika ia melihat Widura datang kegardu itu bersama-sama
Sidanti. Tetapi Swandaru pun tidak bertanya sesuatu. Hanya matanya
sajalah yang memancarkan dendam yang tersimpan di hatinya terhadap anak
muda yang perkasa, murid Kiai Tambak Wedi yang namanya menakutkan
segenap daerah-daerah di sekitar gunung Merapi.
Baru setelah semuanya itu selesai,
berkatalah Widura, “Aku sudah selesai dengan pekerjaanku Sidanti,
sekarang kau mendapat giliran”
Mendengar kata-kata Widura itu, Sidanti
pun menjadi berdebar-debar pula. Meskipun demikian ia menyimpan juga
kegembiraan di dalam dadanya. Jawabnya, “Baik kakang. Kemana kita akan
pergi?”
“Terserah kepadamu” jawab Widura.
“Kita pergi ke tegal” ajak Sidanti.
Widura tidak menjawab. Tetapi ketika
mereka sampai disimpang tiga diluar desa induk Sangkal Putung, Widura
membelok kekanan, ke tegal. Sidanti yang berjalan di sampingnya, mencoba
untuk menenangkan dirinya. Meskipun gurunya sendiri telah
memberitahukannya, bahwa Widura tidak lebih daripadanya, namun wibawa
orang itu telah menjadikannya gelisah.
Beberapa saat mereka pun sampai
kepategalan yang luas. Di antara tanaman-tanaman buah-buahan,
terdapatlah beberapa bagian tanah yang kosong. Meskipun Widura tidak
bertanya sesuatu, namun timbullah dugaan dalam hati, bahwa di daerah
sekitar inilah Sidanti mendapat tempaan dari gurunya. Bahkan mungkin
kali ini pun gurunya ada di sekitar tempat ini. Meskipun demikian Widura
sama sekali tidak gentar. Sebagai seorang pemimpin ia akan tetap pada
pendiriannya. Apa pun yang akan dihadapi.
Dibawah sebatang pohon jambu mete yang besar Sidanti berhenti. Katanya, “Kita berhenti di sini kakang”
Widura pun berhenti pula. Ditebarkannya
pandangan matanya berkeliling. Dalam keremangan malam, yang dilihatnya
hanyalah batang-batang pohon buah-buahan yang tegak di sekitarnya.
Batang-batang yang seakan-akan berwana hitam kelam. Kemudian dengan
suara yang berat Widura berkata, “Nah, apakah yang akan kau lakukan
Sidanti?”
Dada Sidanti berdesir mendengar
pertanyaan itu. Bagaimanapun juga Widura memiliki cukup pengaruh atas
dirinya. Namun dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari
pengaruh itu. Maka jawabnya, “Aku ingin minta ijin itu kakang”
“Ijin untuk berkelahi dengan Sedayu?”
“Ya”
“Sudah aku jawab”
Sidanti menarik nafas. Jawabnya, “Kakang tidak berhak melarang”
“Sidanti” berkata Widura. Sebagai seorang
yang lebih tua maka segera ia pun tahu maksud Sidanti yang sebenarnya.
Karena itu ia meneruskan, “Kau tidak usah melingkar-lingkar. Katakan
bahwa kau tidak puas dengan keputusan itu. Namun jangan mimpi aku akan
merubah keputusan itu”
“Nah” sahut Sidanti, “Sekarang aku tahu,
bahwa Sedayu sebenarnya sama sekali bukan seorang pahlawan. Bukan
seorang jantan. Apabila demikian, ia pasti sudah berbuat sesuatu. Tetapi
ia lebih senang bersembunyi di balik punggung kakang Widura. Bukankah
demikian?”
Widura memandang wajah Sidanti dengan sinar mata yang menyala. Jawabnya, “Terserah atas penilaiannmu Sidanti”
“Apakah bukan sebenarnya demikian?”
Widura tidak menjawab. Tetapi ia masih
menatap wajah Sidanti dengan tajamnya. Sehingga kemudian terdengar
Sidanti mengulangi, “Bukankah sebenarnya demikian?”
Widura masih tetap berdiam diri. Dan
pandangannya pun masih tetap menghunjam kedalam biji mata Sidanti.
Dengan demikian Sidanti menjadi semakin gelisah. Untuk menutupi
kegelisahannya tiba-tiba saja ia berkata lantang, “Kakang Widura, kalau
tak kau ijinkan Sedayu bertempur, siapakah yang akan mewakilinya?”
Widura sudah menyangka bahwa akhirnya
Sidanti akan sampai pada saatnya, menantangnya berkelahi. Widura pun
sadar bahwa Sidanti merasa bahwa ia tidak akan dapat dikalahkannya.
Karena itu maka terdengar Widura menjawab, “Sidanti, katakan sajalah apa
yang tersimpan di dalam dadamu. Kau tidak puas dengan keputusanku.
Sedang kau merasa sebagai orang yang tak terkalahkan di Sangkal Putung.
Sekarang kau sedang mencoba memaksakan kehendakmu. Nah, dengarlah. Aku
tetap pada pendirianku” Widura berhenti sejenak kemudian terdengar ia
meneruskan, “Tetapi, itu bukan satu-satunya alasan yang ada di dalam
hatimu. Kau juga ingin mengatakan kepadaku, bahwa kau tak akan dapat aku
kalahkan, sehingga setiap persoalan aku harus mengingat kepentinganmu.
Bahkan tersimpan pula di dalam otakmu, keinginan untuk memegang
pimpinan, setidak-tidaknya apabila aku berhalangan”
“Bohong” potong Sidanti tiba-tiba. Tetapi ia terdiam pula ketika Widura bertanya, “Apakah aku salah duga?”
Sidanti menjadi seakan-akan terbungkam.
Kegelisahannya kini benar-benar sangat mengganggunya. Meskipun
kemarahannya telah memuncak namun ia masih berdiri terpaku tanpa sepatah
kata pun yang dapat diucapkannya. Sehingga ia terkejut ketika Widura
mendesaknya, “Jawab”
“Ya” kata itu meloncat begitu saja dari
mulutnya. Namun sesaat kemudian barulah ia menyadari keadaannya.
Menyadari jawaban yang sudah terlanjur meloncat dari mulutnya. Karena
itu Sidanti sudah tidak akan menelannya kembali. Apalagi ketika ia
mendengar Widura berkata, “Bagus. Kau memiliki kejujuran juga. Namun kau
seharusnya sudah memperhitungkan jawabannya. Aku tidak dapat dipaksa
oleh siapa pun juga. Juga olehmu. Nah, sekarang apa katamu?”
Kembali Sidanti terdiam untuk sesaat.
Namun kemudian dipaksanya juga dirinya untuk mengambil sikap. Karena itu
maka tiba-tiba ditengadahkannya dadanya sambil berkata, “Kakang Widura,
kau harus merubah pendirianmu itu. Aku bukan anak-anak lagi. Tak ada
orang lain yang dapat berbuat seperti yang aku lakukan. Nah, siapakah
yang sudah menahan kemarahan Macan Kepatihan? Apakah yang kira-kira
terjadi seandainya tidak ada Sidanti?”
“Aku akui kau berjasa kepada Sangkal
Putung khususnya. Namun aku tidak dapat membenarkan, kau berbuat
sekehendakmu. Betapa pun besarnya jasamu, namun kau adalah satu di
antara kita yang telah menjalin diri dalam kehidupan bersama untuk
kepentingan bersama”
Tiba-tiba mata Sidanti itu pun menjadi
liar. Kemarahannya kini benar-benar telah membakar dadanya. Katanya,
“Aku akan memaksakan kehendakku”
“Aku sudah menyangka” jawab Widura, “Dan aku sudah siap”
Tetapi Sidanti masih saja berdiri di
tempatnya. Hanya bola matanya sajalah yang seakan-akan meloncat dari
kelopaknya. Widura yang sudah siap itu pun menunggu apa saja yang akan
dilakukan oleh anak muda yang sombong itu. Bahkan Widura masih juga
berkata, “Kalau aku memberimu kesempatan kali ini Sidanti, maka
kesempatan yang serupa akan berulang dan berulang kembali. Sekali aku
membiarkan perintahku dilanggar maka pelanggaran itu pun akan selalu
terjadi”
Sidanti benar-benar telah dibakar oleh
kemarahannya. Namun ia masih berdiri saja, seolah-olah sebuah tonggak
yang mati. Sehingga dengan demikian tegal itu pun menjadi sepi. Kesepian
yang tegang.
Sesaat kemudian, kesepian itu dipecahkan
oleh bunyi bilalang di atas dahan-dahan kayu. Dalam kesepian, terdengar
suara bilalang itu demikian kerasnya sehingga Widura menjadi terkejut
karena suara itu, namun Widura terkejut, karena kedewasaannya berpikir
sebagai seorang prajurit. Demikian telinganya mendengar bunyi bilalang
itu, demikian Widura menjadi pasti, Ki Tambak Wedi ada di sekitar tempat
itu.
Demikian suara bilalang itu berhenti, terdengar Sidanti berkata, “Apakah kakang Widura tetap pada pendirianmu?”
Widura tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.
“Bagus” berkata Sidanti lantang, “Kita lihat, apakah Sidanti tidak berhak menyamai kakang Widura di Sangkal Putung”
“Hak itu hanya dapat kau terima dari panglima tamtama Pajang, Ki Gede Pemanahan” sahut Widura.
“Omong kosong!” bentak Sidanti
Sekali lagi Widura membiarkan anak itu
membentak-bentak. Tetapi dalam pada itu kegelisahan Sidanti pun tidak
juga berkurang. Maka kemudian ia berkata, “Sekarang bersiaplah kakang,
aku akan memaksakan kehendakku dengan nilai-nilai seorang jantan”
“Silakan. Meskipun penilaianmu atas kejantanan terlalu kerdil” sahut Widura.
Sidanti sudah tidak dapat berbicara
apa-apa lagi. Dengan gemetar ia berjalan kesebatang pohon perdu,
menyangkutkan senjatanya, untuk kemudian dengan gemetar pula ia putar
tubuhnya menghadapi Widura tanpa senjata di tangan.
Widura heran melihat kelakuan Sidanti.
Namun kedewasaannya segera menolongnya untuk memecahkan teka-teki itu.
Sidanti adalah seorang pelaku. Dibalakangnya berdiri Ki Tambak Wedi. Apa
yang dilakukan oleh Sidanti itu, agaknya telah diatur oleh gurunya. Dan
kali ini gurunya memerintahkannya untuk berkelahi tanpa senjata.
Widura kemudian melepaskan ikat
pinggangnya. Dengan demikian pedangnya pun terlepas pula. Seperti
Sidanti, Widura pun menyangkutkan pedangnya pula didahan perdu.
Kini mereka berdua telah tegak
berhadap-hadapan tanpa senjata. Sidanti agaknya sudah tidak dapat
bersabar lagi. Dengan serta-merta ia berkata, “Aku akan mulai kakang”
Sebelum Widura menjawab Sidanti telah
meloncat dengan garangnya. Kedua tangannya terjulur lurus ke depan
mengarah satu keleher Widura dengan ibu jarinya, sedang yang lain
menghantam dada dengan keempat ujung-ujung jarinya.
Namun Widura tidak sedang tidur. Karena
itu, dengan tangkasnya ia berputar setengah lingkaran sambil merendahkan
dirinya. Sehingga serangan Sidanti itu terbang beberapa jengkal dari
tubuhnya. Bahkan demikian serangan Sidanti itu lewat, segera Widura
membalasnya dengan sebuah serangan pula. Sebuah serangan mendatar pada
lambung Sidanti.
Tetapi Sidanti itu benar-benar tangkas.
Meskipun tubuhnya masih melambung karena tekanan serangannya, ia
berhasil menggeliat dan menghindari serangan Widura.
“Hem” Widura menggeram. Katanya dalam hati, “murid Kiai Tambak Wedi ini benar-benar lincah”
Sebenarnyalah Sidanti dapat bergerak
selincah burung walet yang menari-nari di udara pada senja hari di atas
pantai. Geraknya cepat dan cekatan. Sekali-sekali ia mampu menyambar
seperti burung elang, namun kadang-kadang ia menukik seperti merpati
jantan.
Tetapi Widura sendiri mirip seekor burung
rajawali yang tangguh. Dengan kedua tangannya yang kokoh kuat, sekuat
sayap-sayap rajawali, ia selalu berhasil melindungi tubuhnya dari
sergapan yang tiba-tiba. Bahkan sepasang kakinya itu pun sangat
mendebarkan jantung. Dengan putaran-putaran yang berbahaya kaki Widura
itu merupakan sebuah perlawanan tersendiri di samping gerak tangannya
yang cepat cekatan. Sehingga Widura itu seakan-akan memiliki sepasang
otak yang masing-masing dapat mengatur kaki dan tangan dalam gerak
pasangan yang tersendiri.
Demikianlah perkelahian itu menjadi
semakin lama semakin seru. Sidanti yang lincah menjadi semakin lincah,
dan Widura yang kokoh itu pun menjadi semakin tangguh.
Kini mereka seakan-akan telah luluh dalam
satu lingkaran yang berputar-putar. Bayangan mereka melontar-lontar
seakan-akan tak terjendali lagi. Saling menyerang dan saling melibat
dalam gerakan-gerakan yang aneh dan membingungkan. Tetapi Sidanti dan
Widura tidak menjadi bingung karenanya. Mereka memiliki daya pengamatan
yang cukup kuat. Meskipun tangan Sidanti yang cepat itu bisa berubah
menjadi berpasang-pasang dan menyerang dari segenap penjuru, namun kaki
Widura itu pun seolah-olah menjadi berpuluh-puluh jumlahnya,
melontar-lontarkan tubuhnya dari satu titik ketitik yang lain.
Sekali-sekali terjadi benturan antara keduanya. Namun ternyata bahwa
kekuatan mereka pun berimbang.
Sekali-sekali Widura terdorong surut,
namun kali yang lain Sidanti terlempar beberapa langkah. Kalau mereka
dalam kesiagaan yang sama, maka setiap benturan akan memaksa keduanya
surut beberapa langkah mundur.
Ketika peluh telah membasahi tubuh-tubuh
mereka, maka perkelahian itu pun menjadi bertambah sengit. Sekali-sekali
Sidanti harus merasakan, betapa wajahnya menjadi panas oleh sengatan
tangan Widura yang berat dan mantap. Sekali ia terdorong surut, dan
sebelum ia berhasil memperbaiki keseimbangannya, tangan Widura telah
menyusulnya. Kembali wajah Sidanti terangkat. Namun ketika sekali lagi
tangan Widura menyambar wajah itu, Sidanti berhasil mengelakkannya.
Kali ini, Widura sendiri terseret oleh
tenaga tangannya sehingga hampir-hampir saja ia tidak mampu melepaskan
diri dari serangan Sidanti yang tiba-tiba. Untunglah kemampuan Widura
cukup tinggi, sehingga ketika sebuah pukulan mengarah kepelipisnya,
Widura sempat merendahkan dirinya. Tetapi ternyata Sidanti pun cukup
lincah. Ketika disadarinya bahwa serangan tak menyentuh tubuh Widura,
cepat-cepat ia menggerakkan kakinya langsung menyerang dada. Widura yang
sedang merendahkan dirinya itu terkejut. Ia tidak sempat mengelak, yang
dapat dilakukannya adalah, memukul kaki Sidanti dengan kedua sisi
telapak tangannya.
Benturan kekuatan itu pun telah mendorong
mereka masing-masing beberapa langkah surut. Dan sesaat kemudian mereka
telah berloncatan kembali, saling menyerang dan saling bertahan.
Sidanti yang lebih muda dari lawannya
memiliki nafsu dan tenaga yang lebih baik dari lawannya, namun Widura
memiliki ketenangan dan pengalaman melampaui Sidanti . Karena itu , maka
dengan pengalamannya itu, Widura selalu dapat menempatkan dirinya,
sehingga meskipun Sidanti lebih banyak menyerangnya, namun keadaan
Widura tidak mencemaskan.
Yang menjadi cemas kemudian adalah
Sidanti . Menurut gurunya, Widura itu pasti akan dapat dikalahkan
setelah ia mendapat tempaan yang khusus untuk kepentingan itu. Namun
ternyata setelah ia berkelahi beberapa lama, Widura itu masih dapat
melawannya dengan baik, sebaik pada saat mereka baru mulai. Meskipun
Sidanti yakin, bahwa Widura itu pun tak akan dapat memenangkan
perkelahian itu, tetapi ia menjadi gelisah, apabila ia tak pula dapat
menang daripadanya.
Bahkan Widura sendiri kadang-kadang
menjadi kagum pada geraknya sendiri. Tiba-tiba saja ia berhasil
melepaskan serangan yang seolah-olah dengan sendirinya meluncur dari
kedua tangan dan kaki-kakinya. Sebagai seorang yang cukup mempunyai
pengalaman dalam pertempuran bersama dan seorang-seorang, maka Widura
merasakan, bahwa ada sisipan ilmu pada ilmunya yang telah dimilikinya
dari kakak iparnya, Ki Sadewa. Namun ilmu itu terasa sama sekali tidak
mengganggunya, bahkan terasa keserasian dan nafas yang sama pula dengan
ilmunya. Tiba-tiba teringatlah ia kepada seorang aneh yang selalu datang
melihat latihan-latihan Agung Sedayu di gunung Gowok. Orang yang
memakai ciri kain gringsing dan juga menamakan dirinya Kiai Gringsing.
“Hem” gumam Widura dalam hati. “Agaknya
ilmu orang aneh itu pun telah menyusup masuk kedalam perbendaharaan ilmu
yang telah aku miliki. Dan ternyata sikapnya yang aneh-aneh itu
menolong aku pula kali ini”
Dan teringatlah oeh Widura kata-katanya orang bertopeng itu, “Sidanti pun selalu melatih diri bersama gurunya”
Tangkapannya atas kata-kata itu ternyata
benar. Pada suatu saat ia harus bertempur melawan anak muda yang sombong
itu. Dan hal itu kini telah terjadi.
Demikianlah dengan nafsu yang bergejolak
di dalam dadanya, Sidanti berusaha untuk dapat mengalahkan Widura, dan
memaksakan kehendak-kehendaknya atas pimpinannya itu. Tidak saja dalam
persoalannya dengan Agung Sedayu, tetapi jauh dari itu. Ia ingin
memaksakan kehendaknya dalam setiap persoalan.
Tetapi ternyata bahwa ia tidak segera
dapat menundukkann Widura. Betapa pun ia telah berjuang. Diperasnya
segenap kemampuan yang telah diterimanya dari gurunya, namun Widura itu
masih saja dengan gigihnya melakukan perlawanan. Tetapi, baik Sidanti
sendiri mau pun Ki Tambak Wedi, sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa
hampir setiap malam, seperti juga Sidanti yang mendapat tempaan
terus-menerus, Widura pun selalu berkelahi melawan orang aneh yang
menamakan dirinya Kiai Gringsing. Bahkan orang aneh itu berkelahi tidak
saja dengan tangan dan kakinya, tetapi dengan mulutnya juga. Orang itu
ternyata sempat melihat kekurangan Widura dan bahkan kesalahan-kesalahan
kecil sekalipun.
Perkelahian yang sengit itu masih
berlangsung lama. Mereka sudah hampir menumpahkan segenap tenaga mereka.
Karena itu maka tenaga masing-masing semakin lama menjadi semakin
susut. Bintang-bintang di langit telah melampaui pertengahannya. Karena
itulah maka Sidanti menjadi semakin gelisah karenanya. Kalau ia gagal
mengalahkan Widura, maka nasibnya bukan menjadi bertambah baik, tetapi
Widura pasti akan semakin bersikap keras kepadanya.
Tiba-tiba Sidanti dan Widura kembali
mendengar suara bilalang. Seperti suara yang semula mereka dengar.
Karena itu Widura pun menjadi semakin berwaspada. Ia yakin, bahwa suara
itu adalah suatu aba-aba yang harus dilakukan oleh Sidanti .
Ternyata dugaan Widura itu pun benar.
Demikian Sidanti mendengar suara bilalang itu, tiba-tiba saja ia
meloncat surut. Kemudian sambil berdiri tegak di atas kedua kakinya yang
kokoh, ia berkata lantang, “Kakang, perkelahian kita tidak akan ada
akhirnya”
Widura tidak segera menyerangnya. Ia pun
kemudian berdiri beberapa langkah dari Sidanti , katanya, “Apakah yang
kau inginkan kemudian?”
“Bukankah kita membawa senjata masing-masing?”
Widura menarik nafas dalam-dalam,
ditatapnya wajah anak muda itu dengan seksama. Namun dalam malam yang
kelam itu tak dilihatnya kesan apa pun pada wajah itu, selain kesan
kemarahan yang membakar jantung Sidanti. Dalam pada itu terdengar Widura
berkata, “Apakah kau menyadari perkataanmu itu Sidanti?”
“Tentu” jawab Sidanti, “Bukankah maksud
kakang Widura mengatakan, bahwa dengan senjata-senjata itu, dada kita
masing-masing akan mungkin terbelah karenanya?”
“Ya”
“Aku menyadari kemungkinan itu. Namun
bukan maksudku membunuh kakang Widura. Kalau kakang bersedia memenuhi
setiap permintaanku, baik dalam hubunganku dengan Sedayu, mau pun
kedudukanku di Sangkal Putung dan seterusnya sebagai prajurit Pajang,
maka aku tak akan menyentuh senjataku dalam perkelahian ini”
Sekali lagi Widura menarik nafas
dalam-dalam. Yang terloncat dari mulutnya adalah, “Sidanti, aku telah
siap mempertahankan keputusanku”
“Bagus” teriak Sidanti sambil meloncat
meraih pusakanya. Sesaat Widura masih tegak di tempatnya. Tetapi ketika
ia melihat Sidanti telah menggenggam senjatanya, maka perlahan-lahan
Widura itu pun berjalan mengambil senjatanya. Pedang yang tidak begitu
tajam, namun ujungnya runcing melampaui ujung jarum.
“Kita akan bertempur sebagai laki-laki, kakang” berkata Sidanti .
“Tentu” sahut Widura.
“Kita tidak ingin saling membunuh, namun siapa yang mula-mula mengalirkan darah dari lukanya, ialah yang kalah”
“Bagus” sahut Widura.
“Yang kalah harus tunduk pada setiap keputusan dari yang menang”
Tiba-tiba Widura menggeleng, “Tidak”
katanya segera. “Kekalahan kita masing-masing di sini tidak mempengaruhi
kedudukan kita. Akulah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung”
Dada Sidanti serasa menggelegar karenanya. Tiba-tiba ia berteriak, “Lalu apakah gunanya kita bertempur di sini?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya memenuhi
permintaanmu. Sebab bagaimanapun, kau tidak akan dapat mempersoalkan
atas Sangkal Putung dan kekuasaan yang ada di tanganku. Aku akan
mengambil keputusan menurut keyakinanku, menurut kebenaran yang aku
yakini. Tidak dapat seorang pun yang akan mempengaruhi keputusan itu”
“Gila. Apakah kau sangka aku tidak dapat membunuhmu kakang” teriak Sidanti pula.
“Kalau aku mati, maka aku akan mati
sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Bukan sebagai kelinci
yang sedang melarikan diri dari terkaman anjing hutan”
Tubuh Sidanti tiba-tiba bergetar karena
kemarahannya. Matanya yang bulat itu sesaat menjadi redup. Kemudian
ditariknya keningnya kesisi, namun kemudian meledaklah kata-katanya,
“Apakah kau ingin kita bertempur sampai mati?”
“Tidak” sahut Widura. “Aku tidak
mempunyai keinginan untuk berkelahi dengan kekuatan dalam lingkunganku
sendiri. Apalagi sampai mati. Tetapi aku juga tidak ingin melihat
kewibawaanku dikurangi. Sebab aku bertanggung jawab kepada panglima
Tamtama di Pajang. Tidak kepadamu dan tidak kepada Agung Sedayu. Sedang
panglima di Pajang itu menyalurkan perintah adipati Pajang yang sedang
menegakkan kewibawaan Demak. Nah, kewibawaanku adalah sebagian dari
kewibawaan adipati pajang itu”
“Persetan” potong Sidanti hampir hangus dibakar kemarahannya, “Bersiaplah”
Widura kini benar-benar tak dapat
menghindarkan diri dari perkelahian bersenjata. Tiba-tiba saja Sidanti
telah meloncat menyerang dengan garangnya. Senjatanya yang tajam di
ujung dan pangkalnya itu berputar seperti baling-baling, kemudian
melontar seperti jarum pemintalan. Sekali-sekali menyambar dengan
ujungnya namun kemudian mematuk dengan pangkalnya.
Widura menggigit bibirnya. Dengan
tangkasnya ia meloncat-loncat menghindari serangan itu. Pedangnya pun
kemudian bergerak-gerak datar, kadang-kadang menyilang dan tiba-tiba
saja terjulur lurus kedada lawannya.
Kali ini pun Sidanti merasakan, bahwa
olah pedang Widura itu cukup mampu untuk melawan senjatanya. Namun ia
masih akan mencoba menggunakan kelincahannya dan kecepatannya untuk
menembus dinding baja dari putaran pedang lawannya.
Perkelahian di antara keduanya kini
menjadi bertambah mengerikan. Senjata Sidanti benar-benar merupakan
senjata yang berbahaya. Setiap sentuhan dari tajam di ujung dan pangkal
senjata itu akan menyobek tubuh lawam. Tetapi pedang Widura itu pun
setiap saat dapat membelah dada lawannya. Dengan kekuatan yang
mengagumkan pedang itu menyambar-nyambar seoerti alap-alap di udara.
Tetapi perkelahian ini pun tak akan
berujung pangkal. Karena kepandaian mereka mempergunakan senjata
masing-masing. Maka yang terjadi hanyalah benturan-benturan di antara
senjata mereka. Demikian besar kekuatan mereka berdua, maka dalam setiap
sentuhan di antara senjata-senjata itu, terperciklah bunga api yang
seakan-akan berloncatan dari kedua senjata itu.
Sidanti pun telah berjuang memeras
segenap ilmunya, dan Widura pun tak kalah sengitnya mempergunakan
segenap tenaganya. Demikian dahsyatnya perkelahian itu, sehingga
seakan-akan tenaga mereka pun segera terhisap habis. Baik Sidanti mau
pun Widura telah mempergunakan pula setiap tenaga cadangan di dalam
tubuh mereka. Kekuatan-kekuatan yang dilambari dengan ketekunan
latihan-latihan dimasa-masa lampau telah mereka kerahkan. Namun keadan
mereka maih tetap berimbang. Bahkan setelah tenaga mereka semakin
susutpun, mereka tak dapat melampaui satu dari yang lain.
Kini serangan-serangan mereka sudah tidak
secermat pada saa mereka mulai. Kadang-kadang mereka terseret beberapa
langkah karena tarikan senjata mereka sendiri. Namun dalam saat yang
demikian, lawannya pun tidak segera sempat menyerang. Dengan lemahnya,
mereka terpaksa melangkah terhuyung-huyung maju.
Bahkan kadang-kadang, karena sentuhan batu-batu kecil pada kaki mereka, mereka telah kehilangan keseimbangan.
Demikianlah pertempuran itu menjadi aneh.
Ketika Sidanti mencoba menembus pertahanan Widura dengan sebuah tusukan
pada lambungnya, maka Widura pun berusaha untuk menghindarinya. Ketika
ia meloncat ke samping, tiba-tiba kakinya terperosok oleh lubang-lubang
yang telah terjadi selama perkelahian itu. Widura yang kelelahan itu
pun tidak dapat menahan diri, sehingga ia terhuyung-huyung hampir jatuh.
Sidanti ingin mempergunakan kesempatan itu, tetapi ketika serangannya
gagal, bahkan ia terseret beberapa langkah oleh senjatanya. Dalam
keadaan yang demikian, masing-masing ingin mencoba mempergunakan
kelemahan-kelemahan lawannya, namun mereka sendiri seakan-akan telah
tidak mampu lagi menggerakkan tangan dan kaki mereka. Sehingga dengan
demikian, tidak ada keseimbangan antara kehendak dan perhitungan mereka
dalam tata perkelahian itu, dengan tenaga-tenaga mereka yang seakan-akan
telah terperas habis. Namun tak seorang pun diatara mereka yang
mendahului mengakhiri perkelahian yang aneh itu.
Malam semakin lama menjadi semakin dalam,
dan bintang-bintang pun menjadi semakin bergeser kebarat. Langit yang
biru gelap tersaput leoh mega yang selembar-selembar mengalir
dihanyutkan oleh angin yang lembut.
Namun yang berkelahi masih berkelahi
juga. Tetapi perkelahian itu kini sama sekali sudah tidak berbahaya lagi
bagi kedua belah pihak. Meskipun sekali-sekali Sidanti masih menusukkan
senjatanya, namun senjata itu tak akan sampai menyentuh tubuh lawannya.
Sedang apabila Widura mencoba mengayunkan pedangnya dengan kedua
tangannya, maka ia sendirilah yang akan terpelanting jatuh.
Nafas mereka berdua kini satu-satu
tersangkut di dalam kerongkongan. Peluh mereka mengalir seperti mereka
sedang bertempur di dalam hujan yang pekat. Bahkan apabila sekali-sekali
terjadi juga benturan di antara senjata-senjata mereka, maka mereka
berdua itu pun terdorong surut dn kemudian terbanting jatuh di tanah.
Dengan susah payah mereka berebut dahulu untuk bangkit, dan apabila
mungkin menyerang sebelum lawannya menguasai diri sepenuhnya. Namun
usaha itu tak akan pernah berhasil. Sebab lutut-lutut mereka seakan-akan
sudah tidak berpaut lagi.
Meskipun tenaganya sudah hampir habis
terperas, namun Sidanti masih mengumpat-umpat dalam hati. Bahkan ia
menjadi heran, bahwa Widura mampu melawan dengan baiknya. Pada saat
mereka berdua bertempur melawan Tohpati berganti-ganti, Widura itu
ternyata tidak lebih baik daripadanya. Kini ia telah mendapat tempaan
yang padat dari gurunya, dan bahkan gurunya itu pun berkata, bahwa
ilmunya pasti akan lebih baik meskipun hanya selapis tipin dari Widura.
Namun ternyata kini, bahwa ilmunya benar-benar tidak melampaui ilmu
Widura itu sendiri. Apakah tempaan selama ini, dihampir setiap malam
dengan ilmu-ilmu gurunya yang hampir sempurna itu sama sekali tak
berpengaruh atasnya?
Sedang Widura pun benar-benar kagum
kepada anak muda murid Kiai Tambak Wedi itu. Namun di dalam lekuk-lekuk
hatinya, terasa juga bahwa ia sedang mengagumi dirinya sendiri. Ternyata
bahwa merah biru di wajah-wajah kulitnya, hampir setiap malam apabila
ia berkelahi melawan Kiai Gringsing yang memegang cemetinya di
tengah-tengah itu ada juga manfaatnya baginya. Kini ia benar-benar
menghadapi senjata Sidanti bukan sekedar cemeti kuda. Apabila senjata
yang mengerikan itu benar-benar dapat menyentuhnya, maka akibatnya tidak
saja sekedar merah biru di wajah-wajah kulitnya, tetapi luka-luka yang
pedih akan menganga. Karena itu pun Widura bersyukur dalam hati.
Siapakah sebenarnya orang aneh yang menamakan dri Kiai Gringsing itu?
Tetapi Widura tidak sempat
berangan-angan. Kini mereka berdua berhadap-hadapan dengan tubuh
gemetar. Bukan karena marah yang membakar dada mereka, namun karena
tenaga nr telah terkuras habis.
Sidanti yang dengan susah payah masih
mencoba tegak di atas kedua kakinya, menggeram dengan suara parau yang
gemetar. Katanya, “Mampus kau kakang Widura”
Keadaan Widura pun tidak lebih naik dari
keadaan Sidanti . namun otaknyalah yan glebih baik. Meskipun nafasnya
telah hampir putus ditenggorokan, namun ia berkata di antara engah
nafasnya, “Sidanti, apakah hasil yang kita dapatkan dari perkelahian
ini?”
Terdengar Sidanti menggeram. Matanya msih
menyalakan kemarahannya yang meluap-luap. Bahkan ia menjadi semakin
marah, ketika ia menyadari keadaannya. Ternyata Widura tak dapat
ditundukkannya. Apalagi ketika ia mendengar pertanyaan Widura itu. Namun
sesaat kemudian pertanyaan itu benar-benar membingungkannya. “Ya,
apakah yang sudah didapatnya dari perkelahian itu?”
Namun yang terlontar dari mulutnya adalah
sebuah makian yang kasar. “Setan. Bukankah dengan demikian kau tahu
bahwa kau bukan orang yang aneh di Sangkal Putung. Bahwa Widura pun
manusia juga yang tidak lebih dari Sidanti?”
“Tentu” sahut Widura. “Apakah aku pernah berkata bahwa aku keturunan malaikat?”
“Tetapi kau merasa, seakan-akan dirimu tak terkena salah. Semua orang harus tunduk atas kehendakmu”
“Itu bukan karena aku Widura. Tetapi itu karena wewenang yang aku terima”
“Omong kosong” bentak Sidanti, “Sejak sekarang kau harus merubah sikap itu”
Widura menggeleng, “Tidak” jawabnya tegas.
Dada Sidanti benar-benar akan meledak
karenanya. Namun ketika ia ingin menyerang lawannya kembali, ia
terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba untuk menemukan
keseimbangannya kembali. “Gila” anak itu mengumpat lagi. Tetapi kali ini
tak ditujukannya kepada siapapun.
Sedang Widura masih tegak di tempatnya.
Namun seandainya sebuah angin kencang menyentuhnya maka Widura itu pun
pasti akan roboh. Karena itu, ia tidak ingin berbuat sesuatu. Otaknya
yang telah dipenuhi dengan berpuluh-puluh ribu macam persoalan ternyata
masih tetap baik, betapa pun tenaganya telah terhisap oleh embun malam.
Kini ia yakin bahwa Sidanti itu sama sekali sudah tak berdaya seperti
dirinya sendiri.
Dalam pada itu, tiba-tiba mereka berdua
terkejut. Namun Sidanti hanya sesaat. Tetapi Widura lah kemudian
terguncang dadanya. Meskipun telah disangkanya lebih dahulu, namun
kehadiran yang tiba-tiba di antara mereka, benar-benar mengejutkan. Dan
dengan wajah cerah Sidanti berkata kepada orang yang baru datang itu,
“Selamat datang guru”
Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Wajahnya yang panjang runcing serta sepasang matanya yang
tajam, setajam mata burung hantu merupakan pertanda, bahwa Kiai Tambak
Wedi adalah seorang yang tidak dapat mengenal puas atas segenap usaha
yang pernah dicapainya.
Widura pun kemudian mengangguk pula.
Seperti Sidanti, ia pun mencoba memberi salam kepada orang sakti itu,
“Selamat datang Kiai”
Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya.
Dipandanginya wajah Widura dengan tajamnya, seperti akan ditelannya
hidup-hidup. Kemudian sambil mengangguk kecil ia menjawab, “Hem, selamat
Widura”
Widura pun mencoba untuk mengenal wajah
orang yang namanya terkenal di daerah sebelah timur gunung Merapi itu.
Semakin jelas ia mengenal wajah itu, hatinya menjadi semakin
berdebar-debar. Di antara sepasang matanya yang tajam itu, tampaklah
hidung Kiai Tambak Wedi besar dan melengkung seperti paruh burung.
Sayang, malam yang pekat itu tak memberi kesempatan kepada Widura untuk
melihat setiap garis yang tergores di wajah itu.
“Widura” berkata Kiai Tambak Wedi itu
kemudian. Suaranya besat dan seakan-akan bergetar saja di dalam dadanya,
“Ternyata kau mampu menyamai muridku”
Widura mangguk kecil. Jawabnya, “Aku hanya mecoba melayani adi Sidanti bermain-main Kiai”
“Jangan sombong” sahut Kiai Tambak Wedi.
“Meskipun kau berhasil mempertahankan namamu, tapi jangan berkeras
kepala. Aku tidak senang melihat sikapmu”
Widura tidak segera menjawab. Sekali lagi
ia mencoba menatap wajah Kiai Tambak Wedi yang sedemikian saktinya,
sehingga orang mengatakan bahwa ia mampu menangkap angin.
“Widura” berkata Kiai Tambak Wedi
kemudian. “Aku heran, bahwa kau mampu bertempur dalam tataranmu
sekarang. Aku sangka kau tidak akan dapat menyamai muridku. Namun
agaknya ilmumu pun bertambah. Aku sangka, setelah Sidanti menambah
ilmunya akhir-akhir ini kau akan menjadi ketinggalan karenanya”
Kali ini pun Widura tidak menjawab. Ia
masih tegak seperti patung. Patung yang kurang seimbang, sehingga setiap
sentuhan akan dapat merobohkannya.
“Tetapi” berkata Kiai Tambak Wedi itu
pula, “Sangkaanku itu keliru” Kiai Tambak Wedi diam untuk sesaat.
Kemudian katanya, “Meskipun demikian itu bukan berarti bahwa setiap
tuntutan Sidanti sudah dilepaskan”
Widura menjadi semakin berdebar-debar.
Guru Sidanti itu kini ternyata telah secara langsung turut dalam setiap
persoalan di Sangkal Putung. Meskipun demikian dibiarkannya Kiai Tambak
Wedi itu berkata, “Widura, sebenarnya aku tidak ingin mencampuri
persoalanmu sebagai pimpinana laskar Pajan di Sangkal Putung. Apabila
kau tidak berbuat banyak kesalahan. Aku bermaksud membiarkan Sidanti
melakukannya sendiri, tetapi ternyata karena Sidanti tak dapat
mengalahkanmu, maka kau pasti masih akan berkeras kepala. Kini biarlah
aku meneruskan permintaan Sidanti itu. Terus terang, tanpa
berbelit-belit . Widura, kau harus menyingkirkan Agung Sedayu. Kedua,
setiap kau berhalangan maka Sidanti lah pemimpin laskar Pajang di
Sangkal Putung. Kemudian kau harus menyampaikan kemenangan Sidanti atas
Tohpati. Seterusnya kau harus mengusulkan kepada atasanmu, panglima
wiratamtama. Untuk kedudukan yang lebih baik bagi Sidanti, ingat, masa
depan Sidanti harus berbeda dari masa depanmu. Kau sudah puas dengan
kedudukanmu sekarang. Tetapi Sidanti tidak. Sidanti melihat jauh kemasa
depan. Dengarlah Widura, bukankah dengan menyingkirkan Jipang, maka
adipati Pajang sekarang ini, adalah pewaris satu-satunya kerajaan Demak.
Aku kira sultan Cirebon, manantu Trenggana pula, tidak akan mempunyai
tuntutan apa-apa. nah, apa pula yang kelak akan terjadi dengan janji
tanah Mentaok dan Pati bagi mereka yang dapat membunuh adipati Jipang?
Bukankah dengan demikian hari depan Pajang sendiri masih akan
berbelit-belit. Dalam keadaan yang demikian Sidanti harus tampil ke
depan. Kau dengar? Kalau kemudian Sidanti telah menemukan kedudukan yang
pantas baginya, kau adalah salah seorang dari panglimanya. Begitu?”
Widura masih berdiam diri. Namun
tiba-tiba ia menjadi muak mendengar semua kata-katanya Kiai Tambak Wedi.
Tetapi ia harus menjaga dirinya. Kiai Tambak Wedi adalah seorang yang
sakti. Bahkan ia terkejut ketika Kiai Tambak Wedi itu berkata, “Kau
adalah anak tangga yang pertama bagi Sidanti , Widura. Bagaimana?”
Tiba-tiba Widura itu pun menggeleng. Kini
ia menjawab dengan ketegasan yang sama seperti jawabannya kepada
Sidanti. “Sayang Kiai, aku tidak dapat memberikan apa-apa kepada
Sidanti”
Kiai Tambak Wedi menarik alisnya.
Kemudian ia tersenyum. Katanya, “Jangan berkeras kepala Widura. Ingat,
nasibmu akan dapat menjadi kurang baik”
Sekali lagi Widura menggeleng. “Kiai,
mungkin aku dapat menjanjikannya di sini karena aku takut kepada Kiai.
Namun aku tidak akan dapat melaksanakannya kelak. Bukankah dengan
demikian aku sekedar menipu Kiai. Karena itu lebih baik berkata terus
terang”
Sidanti yang mendengar percakapan itupun,
wajahnya menjadi semakin membara. Bahkan kemudian ia menggeram,
“Bukankah guru dapat memaksanya?”
“Tentu Sidanti” sahut Kiai Tambak Wedi.
“Aku akan bisa memaksanya. Menangkapnya sekarang dan mengikatnya di
batang jambu mete ini. Kemudian dengan kukuku ini aku dapat menggores
kulitnya sehingga terkelupas. Tetapi Widura tidak akan membiarkannya aku
berbuat demikian, bukankah begitu?”
Dada Widura pun menjadi semakin
berdebar-debar. Meskipun demikian ia menjawab, “Benar Kiai, aku
mengharap Kiai tidak akan berbuat demikian. Tetapi permintaan Kiai itu
pun tak akan dapat aku penuhi”
Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Jangan begitu Widura. Nasibmu, hidup
matimu kini ada di tanganku”
“Terserahlah kepada Kiai”
Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya.
Jawaban itu benar-benar tidak menyenangkan. Katanya, “Widura, jangan
membuat aku marah. Aku bisa membunuhmu sekarang”
“Terserah kepada Kiai. Aku harus tetap
pada perintahku. Hidup atau mati adalah akibat yang sudah aku ketahui
sejak aku masuk menjadi seorang prajurit. Adalah sudah seharusnya aku
mati sambil menggenggam kewajiban. Bukan mengingkari”Kiai Tambak Wedi,
seorang yang sudah kenyang mengenyam pahit manisnya kehidupan itu,
mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Widura. Ia kagum pada
kejantanannya. Kagum pada tanggung-jawabnya. Meskipun demikian, ia sama
sekali tidak senang mendengar jawaban itu. Dengan demikian seakan-akan
Widura itu sama sekali tidak takut kepadanya. Ia ingin agar setiap orang
menjadi gemetar dan menggigil ketakutan mendengar namanya.
(bersambung ke Jilid 4)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-03/

Tinggalkan Balasan