

NSSI-11
I.
Ketika itu di langit bertaburan jutaan
bintang yang berkedip-kedip dengan cemerlangnya. Angin pegunungan yang
silir, perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang dengan sangat hati-hati
menuruni tebing-tebing bukit Karang Tumaritis. Mereka, Panembahan
Ismaya, Mahesa Jenar dan Arya Salaka, tidak melewati jalan-jalan yang
biasa, tetapi mereka menempuh arah yang lain. Sebenarnya Mahesa Jenar
sama sekali tak sampai hati melihat Panembahan Ismaya, pada malam yang
gelap itu, tertatih-tatih dengan tongkatnya menuruni lambung bukit yang
agak sulit itu. Namun kemauan orang itu sama sekali sudah tak dapat
diubahnya. Bagi Mahesa Jenar, tebing itu sama sekali tak berarti
apa-apa. Juga bagi Arya Salaka. Tetapi lainlah Panembahan Ismaya yang
telah lanjut usia.
Karena itulah maka perjalanan mereka
sangat perlahan-lahan. Seolah-olah mereka sama sekali tidak maju-maju
dari satu titik. Kadang-kadang apabila tebing itu agak terlalu terjal,
Mahesa Jenar dan Arya Salaka bersama-sama menolong Panembahan Ismaya,
supaya tidak jatuh terperosok. Meskipun demikian, ketika bintang Gubug
Penceng telah melampaui garis tegaknya, mereka bertiga telah sampai
dikaki bukit kecil itu. Nafas Panembahan tua itu terdengar agak terlalu
cepat karena kelelahan. Namun demikian sambil tersenyum ia berkata, ”Anakmas, bukankah aku mempunyai bakat untuk menjadi prajurit?”
Mahesa Jenar tertawa lirih, lalu sahutnya, ”Kalau Panembahan masih semuda aku ini, barangkali Panembahan jauh lebih kuat daripadaku.”
Mendengar jawaban Mahesa Jenar,
Panembahan Ismaya tertawa terkekeh-kekeh, sehingga tubuhnya
terguncang-guncang. Karena itulah Mahesa Jenar kemudian menjadi cemas,
jangan-jangan suara itu didengar oleh orang-orang yang berada di dalam
perkemahan yang sudah tidak begitu jauh lagi, sedangkan untuk menegurnya
Mahesa Jenar agak segan. Panembahan Ismaya kemudian sadar dengan
sendirinya. Katanya berbisik-bisik, “Celaka…. Apakah mereka mendengar suaraku…?” Setelah
mereka berdiam diri beberapa saat, ternyata mereka tak mendengar suara
apapun. Maka legalah hati mereka, karena ternyata suara Panembahan
Ismaya itu tak terdengar oleh orang-orang di dalam kemah-kemah di
seberang padang ilalang.
“Panembahan…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Aku persilahkan Panembahan menunggu di sini. Biarlah aku mendekati salah satu dari perkemahan mereka yang terdekat itu.”
“Uh..!” keluh Panembahan Ismaya, “Aku sudah sampai di sini. Apakah salahnya kalau aku ikut serta.”
Sebenarnya Mahesa Jenar agak cemas
membiarkan Panembahan Ismaya mendekati perkemahan itu. Mereka masih
belum tahu siapakah yang berada di dalamnya. Kalau mereka terdiri dari
orang-orang yang cukup berilmu maka kedatangan mereka pasti akan
ketahuan, sebab Panembahan Ismaya agaknya kurang dapat mengendalikan
geraknya sebagai dirinya atau Arya Salaka, yang sudah biasa berlatih
diri. Tetapi ia tidak dapat mengutarakan pikirannya itu berterus terang.
Sehingga akhirnya ia terpaksa berkesimpulan, bahwa ia harus benar-benar
melindungi Panembahan itu atas segala sesuatu yang mungkin terjadi.
Karena itu, maka kemudian mereka
bersama-sama dengan hati-hati sekali mendekati kemah yang terdekat di
depan mereka. Adalah suatu kebetulan bahwa kemah yang mereka pilih
adalah kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.
Dengan sangat perlahan-lahan Mahesa Jenar
merangkak paling depan menguakkan batang-batang ilalang dan
kadang-kadang gerumbul-gerumbul kecil di garis perjalanannya. Di
belakangnya merangkak pula Panembahan Ismaya, dan di belakang sekali
Arya Salaka, yang kadang-kadang terpaksa tersenyum geli melihat orang
tua di depannya.
Ketika jarak kemah itu sudah tidak begitu
jauh, Mahesa Jenar sudah mulai mencium bau asap. Agaknya orang-orang
itu sedang menghangatkan dirinya di tepi perapian. Karenanya Mahesa
Jenar harus bertambah hati-hati. Ia berusaha bahwa setiap geraknya tidak
menimbulkan suara. Baginya hal yang demikian itu tidak begitu sulit,
namun tidaklah demikian bagi Panembahan Ismaya.
Untunglah bahwa sampai sedemikian jauh, kedatangan mereka masih belum diketahui.
Ketika sekali lagi Mahesa Jenar menguak
batang-batang ilalang, maka tiba-tiba ia surut selangkah. Di depannya
tampak dua tiga orang sedang duduk mengelilingi api yang sudah hampir
padam. Meskipun perlahan-lahan namun percakapan mereka dapat didengar
oleh Mahesa Jenar dengan jelas. Dengan gerak Mahesa Jenar memberi tanda
kepada Panembahan tua itu agar berhenti dan berhati-hati. Panembahan
Ismaya agaknya mengetahui pula. Karena itu segera ia berhenti dan duduk
bersila. Ia tampaknya sudah demikian lelah. Mahesa Jenar pun segera
duduk di sampingnya, dan agak ke dalam tampak Arya Salaka duduk sambil
memeluk lututnya. Di situ mereka merasa aman terlindung oleh
batang-batang ilalang yang cukup tinggi dan padat. Sedangkan dari tempat
itu pula mereka dapat mendengar setiap pembicaraan dari ketiga orang
yang sedang menghangatkan tubuhnya itu.
Untuk beberapa lama pembicaraan
orang-orang itu sama sekali tidak menyangkut kepentingan mereka berkemah
di situ. Mereka hanya membicarakan diri mereka masing-masing. Mereka
saling menyombongkan diri tentang kecakapan mereka berburu, berolah
senjata dan jumlah orang yang telah pernah mereka bunuh. Meskipun
demikian dari percakapan itu Mahesa Jenar dapat menerka bahwa rombongan
itu bukanlah rombongan orang baik-baik. Rombongan itu pasti termasuk
dalam golongan para penjahat, bahkan bukan penjahat-penjahat kecil,
tetapi mereka termasuk dalam gerombolan yang cukup besar.
Mula-mula Mahesa Jenar hampir menganggap
bahwa para penjahat itu hanya melulu menginginkan kekayaan yang mereka
sangka banyak terdapat di puncak bukit kecil itu. Kalau demikian halnya
maka soalnya akan menjadi sederhana dan mudah. Arya Salaka sendiri
mungkin akan sudah cukup untuk dapat menakut-nakuti mereka.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar terperanjat
oleh percakapan berikutnya. Ketika salah seorang dari mereka menguap
dan berdiri akan meninggalkan perapian itu, berkatalah ia, ”Hati-hatilah
kawan. Jangan sampai orang itu lolos. Aku akan tidur sebentar. Kalau
lurah kita nanti kehilangan orang itu, mungkin kepala kalian yang akan
menjadi gantinya. Ingat, jangan coba menyelesaikan sendiri. Pukul
kentongan kalau kau lihat dia. Sebab baginya kau tidak lebih dari seekor
tikus tak berarti.”
Orang yang masih duduk di tepi perapian yang sudah hampir padam itu tertawa tinggi, jawabnya, ”Macam
apakah orang itu, yang menganggap kita seekor tikus? Justru karena itu
aku ingin melihat orangnya. Kalau ia kuat mengayunkan penggadaku ini
dengan sebelah tangan seperti yang aku lakukan, aku akan menyembahnya
tujuh kali.”
Orang yang berdiri itulah kemudian yang tertawa nyaring. Katanya, ”Aku
akan berdoa mudah-mudahan permintaanmu itu dapat terkabul. Setelah itu
ia melangkah pergi memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah
yang lain.”
Kedua orang yang masih duduk itu menggerutu tak habis-habisnya. Salah seorang darinya berkata, ”Aku kagumi ketangkasan Kakang Sakayon. Sayang hatinya terlalu kecil.”
Mendengar kata-kata itu hati Mahesa Jenar
berdesir hebat. Ia ingat dengan jelas bahwa orang yang bernama Sakayon
adalah salah seorang dari kepercayaan Sima Rodra di Gunung Tidar. Kalau
demikian maka orang-orang yang mengepung bukit itu pasti gerombolan Sima
Rodra. Mendapat pikiran itu ia menjadi berdebar-debar. Cepat ia
menghubungkannya dengan peristiwa yang baru saja lampau, dimana Sima
Rodra telah terbunuh olehnya di padukuhan Gedangan. Maka pikirannya
bekerja dengan cepatnya. Yang dihadapi itu hanyalah anak buah gerombolan
yang telah diketahui kekuatannya. Karena itu, apakah tidak lebih baik
kalau gerombolan itu segera dihancurkannya sama sekali?
Panembahan Ismaya yang melihat kegelisahan Mahesa Jenar berbisik perlahan-lahan, ”Apakah yang telah Anakmas ketahui tentang percakapan mereka?”
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar berbisik pula, ”Mereka
adalah gerombolan Sima Rodra dari Gunung Tidar. Aku telah mengenal
salah seorang diantara mereka. Dan aku mendapat pikiran untuk
menghancurkan mereka sekaligus sekarang juga, kemah demi kemah tanpa
mereka ketahui. Sebab benar-benar mereka tidak lebih daripada
tikus-tikus yang sangat rakus.”
Tiba-tiba Panembahan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya menjadi cemas. Katanya tergagap perlahan-lahan, ”Jangan anakmas, jangan dipakai kekerasan.”
Mendengar kata-kata Panembahan Ismaya,
Mahesa Jenar menjadi bingung. Bagaimana mungkin menghadapi gerombolan
Sima Rodra itu tanpa kekerasan. Karena itu untuk beberapa saat ia
menjadi kebingungan dan tidak tahu apa yang akan dikatakan. Dan karena
Mahesa Jenar berdiam diri, Panembahan Ismaya meneruskan, ”Anakmas, bukankah dengan demikian akan terjadi pertempuran?”
Hampir tidak sadar Mahesa Jenar berkata, ”Ya Panembahan, pertempuran dan pertumpahan darah.”
”O ngger…, aku akan mati ketakutan
melihat pertempuran. Maksudku semata-mata hanyalah untuk mengetahui
apakah maksud mereka mengepung bukit ini. Setelah itu biarlah aku
selesaikan kemudian. Dengan mengetahui maksud itu, bukankah aku telah
mempunyai ancang-ancang untuk berbicara dengan mereka?”
Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung.
Meskipun ia dapat mengerti jalan pikiran Panembahan itu, namun
sebenarnya ia sangat keberatan untuk melepaskan kesempatan ini.
Orang-orang dari gerombolan hitam yang dalam keadaan terpisah-pisah
seperti itu, akan dengan mudahnya untuk digilas, seperti membunuh
cacing. Ia dapat memasuki kemah demi kemah dan membinasakan isinya
sebelum mereka sempat membunyikan tanda apapun. Kemudian ia akan
menghadapi pimpinan mereka, istri Sima Rodra yang pasti akan dapat
dibinasakannya pula. Tetapi Panembahan Ismaya itu melarangnya untuk
berbuat demikian.
Dalam kebingungan itu terdengar kembali Panembahan Ismaya berbisik, ”Anakmas,
kita telah berhasil mengetahui maksud kedatangan mereka. Marilah kita
kembali dan mempertimbangkan apa yang baik aku lakukan untuk
menyelesaikan masalah ini.”
Hati Mahesa Jenar bergolak hebat. Karena itu ia masih duduk diam tak bergerak.
Kalau Mahesa Jenar tidak dapat mengerti
apa yang akan dilakukan, apalagi Arya Salaka. Meskipun ia berdiam diri,
namun tubuhnya telah basah oleh keringat dingin. Bahkan terdengar
giginya gemeretak menahan hati.
Melihat gelagat itu, maka Panembahan
Ismaya menjadi bertambah cemas. Apalagi ketika ia mendengar Arya Salaka
berdesis dengan suara yang gemetar.
”Cucu Arya Salaka…” bisik Panembahan Ismaya, ”Apakah rencanaku itu tidak dapat cucu mengerti?”
”Eyang Panembahan…” jawab Arya Salaka memaksa diri untuk berkata, ”Apakah
salahnya kalau sekarang juga aku bertindak. Menurut Paman Mahesa Jenar,
darma seorang lelaki adalah termasuk menumpas kejahatan. Bukankah saat ini kesempatan itu ada…?”
”Kau betul cucu, kau betul. Dan pamanmu Mahesa Jenar pun betul pula. Tetapi adakah untuk menumpas kejahatan harus dilakukan dengan membinasakan mereka?”
“Bapa Panembahan…” Mahesa Jenar menyahut, “Setiap sisa dari kejahatan akan dapat menjadi benih pada masa yang akan datang.”
“Kau juga benar Anakmas, kau juga benar,” jawab Panembahan Ismaya, nafasnya menjadi semakin memburu. “Tetapi
membunuh sebatang pohon tidak harus memotong dahan-dahan serta
cabang-cabang saja. Yang penting akarnyalah yang harus dibinasakan.”
“Akan sampai juga saatnya kelak,” potong Arya Salaka.
“Cucu…” sahut Panembahan Ismaya
semakin bingung. Tetapi dari mulutnya meluncur kata-kata yang
menunjukkan kedalaman tanggapannya atas keadaan yang dihadapinya. “Kalau
kau mulai dengan orang-orang yang menurut pamanmu tidak lebih daripada
tikus-tikus yang rakus itu, cucu, maka kau tidak akan menemukan rajanya.
Atau kau akan diterkamnya tanpa sepengetahuanmu.”
Mendengar kata-kata Panembahan tua itu,
Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia menjadi seperti orang yang tersadar
dari sebuah angan-angan yang dahsyat. Gamblanglah baginya apa yang
dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu. Ternyata meskipun orang tua itu
tidak cukup pengalaman dalam dunia keprajuritan, namun pandangannya yang
jauh ternyata sangat bermanfaat.
Tetapi agaknya Arya Salaka sama sekali tidak dapat mengerti pikiran Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab, ”Sekarang
atau nanti, soalnya sudah jelas. Baik setiap anggota gerombolan itu
atau setiap orang yang memegang pimpinan, harus kita binasakan. Apakah
bedanya?”
”Arya…” potong Mahesa Jenar dengan tenang, ”Biarlah kita urungkan niat kita. Biarlah kita dapat menangkap orang yang kita
Mendengar pendapat Mahesa Jenar, Arya
Salaka terkejut bukan buatan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gurunya
akan menjadi sedemikian lunak menghadapi gerombolan hitam yang
memuakkan itu. Karena itu wajahnya jadi merah. Jawabnya, ”Guru…
ijinkanlah aku bertindak atas namaku sendiri. Bukankah mereka telah
bekerja sama dengan Paman Lembu Sora untuk mencelakakan ayahku…?”
Sekali lagi Mahesa Jenar menekan dadanya.
Ia dapat merasakan perasaan anak itu. Tetapi ia dapat pula merasakan
betapa bijaksananya Panembahan Ismaya dengan pendapatnya. Maka dengan
penuh kesabaran seorang guru terhadap murid yang dikasihinya, Mahesa
Jenar berkata, ”Arya Salaka, kalau ada orang yang benci kepada
golongan hitam, akulah orangnya yang akan berdiri di baris terdepan.
Namun demikian, ada beberapa pertimbangan yang harus kita perhatikan.”
”Paman…” potong Arya Salaka, ”Haruskah
kita menunggu agar mereka menjadi bertambah kuat dan bersiaga dahulu…?
Ataukah kita menunggu sampai mereka menggantung aku tinggi-tinggi di
pohon beringin tua itu…?”
”O cucu, jangan sebut-sebut peristiwa-peristiwa yang mengerikan itu,” sahut Panembahan Ismaya.
”Tetapi hal itu bisa terjadi, Eyang,” jawab Arya. ”Mula-mula
ayahkulah yang menjadi korban, kemudian apa yang terjadi atas Paman
Sawungrana menambah penjelasan. Dan apakah yang sudah mereka lakukan
terhadap orang-orang Banyubiru dan Pamingit?”
”Arya…” potong Mahesa Jenar, ”Biarlah
aku selesaikan penjelasanku dahulu. Kita harus mempunyai beberapa
pertimbangan. Pertama kita harus menghormati Bapa Panembahan sebagai
tuan rumah. Kedua, kita tidak mau kehilangan pemimpin mereka. Kalau
orang-orang itu telah kita binasakan, maka pimpinan mereka tidak akan
menginjakkan kakinya di daerah ini. Dengan demikian pekerjaan kita akan
bertambah sulit.”
”Kalau demikian biarlah kita
tinggalkan padepokan ini, supaya kita tidak terikat lagi pada sopan
santun. Setelah itu kita bebas untuk bertindak atas orang-orang dari
gerombolan hitam itu,” jawab Arya. Sehabis ucapannya itu, tiba-tiba Arya sudah mulai bergerak untuk meninggalkan tempat itu.
Melihat hal itu Mahesa Jenar terkejut sekali. Karena itu segera ia mencegahnya. ”Arya, apa yang akan kau lakukan? Ingat aku adalah gurumu. Dan aku telah mengasuhmu sampai ketingkatan ini.”
Mendengar suara gurunya yang sudah mulai
keras itu Arya menjadi tergetar hatinya. Rupa-rupanya gurunya
benar-benar mempunyai pendapat yang lain dari pendapatnya terhadap
orang-orang dari gerombolan hitam yang tinggal memijat hancur itu.
Dalam pada itu, tiba-tiba lembah di kaki
bukit Karang Tumaritis itu tergetar oleh suara tertawa yang tinggi
nyaring. Suara itu jelas suara perempuan. Hati mereka yang sedang
bersembunyi di dalam semak-semak itu tiba-tiba menjadi bergetaran dan
berdebar-debar. Mahesa Jenar dan Arya Salaka sama sekali tidak melupakan
bahwa suara itu adalah suara Istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Suara
itu kemudian disahut oleh suatu suara yang tenang berat, meskipun
terdengar kurang menyenangkan. Sambil tertawa pendek terdengar laki-laki
itu berkata, ”Seharusnya kau sedikit memelihara kecantikanmu
daripada terus-menerus merendam kuku-kukumu itu di dalam racun. Dengan
begitu aku tidak akan terlalu ngeri memandangmu.”
Sekali lagi terdengar tertawa iblis
betina itu, bahkan semakin dekat. Dan ketika sekali lagi terdengar suara
laki-laki yang bersamanya, dada Mahesa Jenar bergoncang keras. Suara
itu adalah suara berdesis dari Ular Laut Nusakambangan. ”Jangan coba merayu aku,” katanya, ”Kecuali
kalau kau benar-benar dapat menangkap gadis yang kau sebut-sebut anak
bekas suamimu yang terbunuh itu. Dengan demikian kau berdua akan aku
ambil sekaligus sebagai isteri-isteriku.”
”Kau benar-benar serigala,” jawab istri Sima Rodra, ”Tetapi apakah kau tidak takut kepada Pandan Alas?”
”Itu urusanmu. Kau boleh minta
pertolongan ayahmu, Sima Rodra tua dari Lodaya, dan barangkali juga
Paman Bugel Kaliki akan bersedia pula membantu.”
”Kenapa urusanku?” tanya Istri Sima Rodra.
”Banyak sebabnya,” jawab Jaka Soka yang berwajah tampan itu. ”Pertama,
Sima Rodra adalah ayahmu. Karena itu permintaanmu akan mendapat
perhatiannya. Kedua, Bugel Kaliki adalah sahabat ayahmu itu. Dan ketiga,
kau yang minta aku mengawinimu.”
“He…” potong Istri Sima Rodra terkejut. “Siapa bilang aku minta kau mengawini aku?”
“Lalu apa maksudmu menyeret aku kemari serta segala macam tingkah lakumu yang aneh-aneh itu?” tanya Jaka Soka keheran-heranan.
Sekali lagi tertawa nyaring yang mengerikan itu meluncur dari mulut harimau betina liar Gunung Tidar itu. Jawabnya, “Soka…
kau benar-benar telah berubah menjadi seorang yang alim. Coba katakan
kepadaku, pernahkah kau mengawini segenap perempuan yang kau kumpulkan
di Nusakambangan? Sekarang kau tak usah berpura-pura. Aku juga tidak.
Kita tidak usah mengikat diri dengan cara apapun. Sebab itu hanya akan
menertawakan orang dan mengurangi kemerdekaan kita masing-masing.”
“Gila!” gerutu Jaka Soka. “Ternyata
kau jauh lebih liar dari dugaanku. Tetapi bagaimanapun juga bentuk
hubungan kita, namun syaratku tetap. Kau harus membawa gadis itu
kepadaku. Terserah cara yang akan kau tempuh.“
“Kau terlalu menyakitkan hatiku, tetapi aku tidak akan marah kepadamu. Jangan takut, gadis itu akan kutangkap dan akan kujadikan umpan untuk memancingmu.”
Lalu suara itu disusul oleh suara tawa dengan nada tinggi yang sangat
menyakitkan telinga, yang semakin lama semakin menjauh dan ternyata
kemudian memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang
lain.
Mendengar percakapan itu hati Mahesa
Jenar seperti tertusuk sembilu. Ketika ia menoleh kearah Panembahan
Ismaya, orang tua itu menggigil seperti orang kedinginan. Terdengarlah
suaranya yang lemah gemetar, ”Ya ampun, ada juga manusia-manusia semacam itu di dunia ini.”
”Itulah pimpinan mereka,” sahut Mahesa Jenar. ”Adakah Panembahan merasa bahwa orang-orang semacam itu dapat diajak berbicara?”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu. Malahan ia bertanya
tentang hal yang lain. Katanya, ”Anakmas, pernahkah kau mendengar nama-nama yang disebut-sebut tadi? Pandan Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki?”
Sekali lagi Mahesa Jenar terasa seperti
terbangunkan dari sebuah angan-angan yang hebat. Kalau orang-orang itu,
Sima Rodra dan Bugel Kaliki, berada di tempat ini pula, maka akibatnya
akan hebat sekali. Apakah yang dapat dilakukan terhadap kedua tokoh itu?
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar bukan orang yang dengan mudahnya dapat
ditelan oleh perasaan saja tanpa pertimbangan-pertimbangan dan
perhitungan, sebagaimana harus dilakukan oleh seorang prajurit.
”Bapa Panembahan…” jawabnya, ”Orang-orang
itu adalah orang-orang yang dahsyat, yang memiliki kesaktian luar
biasa. Mereka seolah-olah mampu berbuat sesuatu diluar kemampuan manusia
biasa.”
Orang tua itu menjadi semakin cemas mendengar keterangan Mahesa Jenar. Sambungnya, ”Adakah orang-orang itu di tempat ini pula?”
Mahesa Jenar menggelengkan kepala. Jawabnya, ”Entahlah”
Tetapi sesaat kemudian percakapan mereka terhenti oleh suatu suara, ”He, kau lihat tadi lurah kita?”
Kemudian terdengar jawaban, yang ternyata adalah laki-laki yang sedang menghangatkan tubuh perapian yang hampir padam. ”Ya, aku lihat Nyi Lurah bersama-sama dengan Ular Laut yang sombong itu masuk ke dalam kemah. Apakah ada suatu keperluan?”
”Ya!” jawab orang yang pertama. ”Sima Rodra tua ingin menemuinya.”
Kata-kata yang diucapkan itu, telah cukup
menggetarkan dada Mahesa Jenar. Sadarlah ia sekarang bahwa ia
berhadapan dengan satu gerombolan lengkap dari Gunung Tidar yang di
belakangnya berdiri orang-orang semacam Sima Rodra tua yang dahsyat itu.
Apalagi ketika laki-laki itu meneruskan, ”Katakan kepadanya bahwa ayahnya dan tamunya, si bongkok dari Lembah Gunung Cerme sudah menunggu.”
Kemudian sepi kembali. Yang terdengar hanyalah langkah-langkah mereka yang sesaat kemudian telah lenyap ditelan sepi malam.
Di langit, bintang-bintang masih bermain
dengan riangnya. Sekali-sekali selembar awan putih lewat di depan wajah
langit yang biru tua, dihanyutkan oleh angin yang berhembus
perlahan-lahan. Dingin malam yang dibasahi oleh tetesan embun terasa
menyusup sampai ke tulang.
Sesaat Mahesa Jenar terkenang pada
pertemuan golongan hitam beberapa tahun yang lampau, ketika ia berlima,
dengan Gajah Alit, Paningron, Mantingan dan Wiraraga, terlibat dalam
suatu pertempuran melawan Sima Rodra tua itu bersama Pasingsingan. Pada
saat itu Sima Rodra dan Pasingsingan bertempur berdua hanya karena
mereka bersama-sama ingin membunuh, bukan karena mereka terpaksa
menggabungkan kekuatan mereka. Sekarang, bukit kecil ini telah dikepung
rapat oleh sejumlah laskar gerombolan hitam yang terkenal, ditambah lagi
dengan kehadiran Sima Rodra dan Bugel Kaliki, disamping istri Sima
Rodra muda dan Jaka Soka. Gabungan kekuatan mereka akan merupakan suatu
tenaga dahsyat yang tak terbayangkan.
Disamping itu, ia merasa berterima kasih
pula kepada Panembahan Ismaya, yang telah melarangnya bertindak,
meskipun itu disebabkan oleh ketakutannya melihat kekerasan. Namun
dengan demikian tanpa disengaja Panembahan tua itu telah
menyelamatkannya beserta muridnya.
Sebentar kemudian kembali terdengar suara Istri Sima Rodra muda yang agaknya telah keluar dari kemahnya. ”Sakayon…” katanya, ”Kau harus menjaga supaya orang itu tidak dapat lolos.”
”Baik Nyi Lurah,” jawab Sakayon.
”Aku akan tinggal di sini,” sela suara yang lain, yang ternyata suara Jaka Soka. ”Kalau ia akan mencoba menerobos, akulah yang akan membinasakan.”
”Kau benar,” jawab Jaka Soka. ”Tetapi
aku akan membunuhnya beramai-ramai. Bukankah di sini ada Sakayon dan
kawan-kawannya…? Setidak-tidaknya aku akan dapat mencegahnya sampai
ayahmu datang untuk membinasakannya.’
Sekali lagi Harimau betina itu tertawa, sahutnya, ”Ternyata kau jujur menghadapi lawanmu. Tetapi jangan mimpi ayahku akan membinasakannya.”
”Kenapa?” potong Jaka Soka.
Istri Sima Rodra muda itu tertawa lebih mengerikan lagi. Jawabnya sangat mengejutkan, katanya, ”Aku minta ayah menangkapnya hidup-hidup. Sayang, ia terlalu tampan untuk dibunuh.”
”Gila kau!” bentak Jaka Soka.
Dan bersamaan dengan itu dada Mahesa Jenar serasa akan pecah. Tubuhnya
menggigil menahan kemuakan hatinya. Hampir ia kehilangan pengamatan
diri, kalau ia tidak mendengar Panembahan tua itu berdesis, ”Adakah Sima Rodra ayah perempuan itu?”
Mahesa Jenar mengangguk, tetapi giginya gemeretak. Sementara itu terdengar suara perempuan itu semakin memuakkan, ”Jangan
cemburu Soka. Aku juga tidak cemburu ketika kau ajukan syarat untuk
menangkap gadis anak tiriku itu. Dan jangan kira aku tidak tahu, bahwa
aku akan kau jadikan alat saja, dan sesudah itu akan kaulempar
jauh-jauh. Tetapi kau tidak dapat melakukan itu. Ayahku akan mencekikmu
bersama-sama dengan Pandan Alas. Kecuali kalau itu atas kehendakku.”
”Gila kau. Pergilah, pergilah ke
ayahmu. Aku tidak mempedulikan apa yang akan kau lakukan. Tetapi ingat,
sementara kau perlukan aku, syarat itu harus kau penuhi,” jawab Jaka Soka.
Terdengar kembali suara tertawa iblis betina itu, semakin lama semakin jauh dan kemudian hilang di kejauhan.
Pertunjukan yang dahsyat dan memuakkan
itu telah berakhir. Namun Panembahan tua itu masih menggigil, sedang
dada Mahesa Jenar dan Arya Salaka serasa sesak oleh kemarahan dan
kemuakan yang meluap-luap.
”Anakmas…” bisik Panembahan Ismaya, ”Sungguh mengerikan.”
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar, ”Aku kira lebih baik Panembahan kembali ke padepokan. Agaknya disini terlalu berbahaya bagi Bapa.”
”O, ngger,” sahut Panembahan itu, ”Aku
tidak dapat berjalan sendiri. Tubuhku tiba-tiba jadi lemas seperti
segenap otot bayuku dilolosi. Karena itu sudilah angger berdua
menuntunku mendaki bukit kecil ini.”
Mahesa Jenar tak dapat menolak permintaan
itu. Meskipun ia sebenarnya masih ingin mengetahui lebih banyak lagi
tentang kekuatan laskar Gunung Tidar itu. Karena itu, maka
perlahan-lahan mereka menggeser semakin dalam menyusup semak-semak dan
batang ilalang, untuk kemudian membantu Panembahan tua itu kembali ke
Padepokan diatas bukit.
Tak ada yang mereka percakapkan sepanjang
jalan. Angan-angan mereka masing-masing dicengkam oleh kengerian dengan
alasan yang berbeda-beda.
Dan karena itu pulalah maka Mahesa Jenar
dan Arya Salaka seterusnya sama sekali tak dapat memejamkan mata sekejap
pun, meskipun mereka menghendaki. Pikiran mereka menjadi kalut tak
karuan. Disamping itu, Mahesa Jenar pun harus berpikir pula,
bagaimanakah sebaiknya ia menghadapi iblis-iblis yang berkumpul di
sekitar bukit kecil itu.
Menilik persiapan mereka, maka sudah
dapat dipastikan bahwa mereka akan melakukan pengepungan itu untuk waktu
yang lama. Bagaimanapun juga orang-orang dari Gunung Tidar tidak mau
menganggap Mahesa Jenar sebagai seorang yang tak berdaya menghadapi
mereka. Lebih-lebih lagi setelah Mahesa Jenar mendengar percakapan Jaka
Soka dengan Janda Sima Rodra. Tanpa diketahuinya, bulu kuduknya
meremang. Ia sama sekali tidak takut menghadapi kemungkinan yang paling
berbahaya sekalipun. Namun terhadap iblis betina itu ia merasa ngeri.
Karena itulah dihabiskannya sisa malam itu dengan hati yang berdebaran.
Pada pagi harinya, sesaat setelah
matahari terbit, datanglah Jatirono ke pondok Mahesa Jenar, untuk
menyampaikan undangan Panembahan Ismaya.
Mahesa Jenar merasa bahwa ada hal yang
penting yang akan dibicarakan. Karena itu setelah membersihkan diri,
bersama-sama dengan Arya Salaka ia pergi menghadap.
“Anakmas…” kata Panembahan itu kemudian, “Agaknya
keadaan sangat gawat bagi Anakmas. Tetapi untung lah bahwa mereka sama
sekali tidak mengetahui dengan pasti bahwa Anakmas masih berada di atas
bukit ini.”
“Aku kira tidak demikian Panembahan,” jawab Mahesa Jenar. “Persiapan
mereka menunjukkan bahwa mereka yakin aku masih berada di sini. Hanya
barangkali mereka menganggap bahwa untuk menangkap aku, mereka
memerlukan waktu yang panjang. Sebab bukit ini banyak sekali relung
likunya yang baik sekali untuk bersembunyi. Tetapi Bapa Panembahan, aku
sama sekali tidak akan bersembunyi. Kalau mereka naik ke bukit itu, akau
akan menemuinya dan apa yang terjadi terserahlah kepada kekuasaan Yang
Maha Adil.”
Panembahan Ismaya mengangguk-angguk. Katanya, “Angger
memang seorang jantan tiada taranya. Yang tidak sisip dengan gelar yang
Anakmas miliki, Rangga Tohjaya. Namun demikian anakmas, setiap usaha
dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Agung. Juga usaha untuk menyelamatkan
diri. Sebab tak ada yang dapat dicapai tanpa suatu usaha apapun.”
Ucapan Panembahan tua itu mengena benar
di hati Mahesa Jenar. Sebenarnya ia pun sependapat dengan pikiran itu.
Bahkan menurut perhitungan, ia pun seharusnya berbuat demikian pula.
Tetapi dengan demikian, Panembahan Ismaya akan mengalami akibatnya.
Setidak-tidaknya bukit kecil yang telah dipeliharanya dengan baik itu,
akan dibongkar oleh rombongan Gunung Tidar yang akan mencarinya.
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar, ”Pendapat
Bapa adalah benar sama sekali. Tetapi aku tidak mau menyulitkan
Panembahan karena kehadiranku di sini. Sebelum aku diketemukan, mereka
pasti akan mengaduk Padepokan ini. Bahkan tidak mustahil kalau
Panembahan akan mengalami hal-hal yang tidak diharapkan. Karena itu
biarlah mereka menemukan diriku tanpa banyak kesulitan. Karena
persoalannya adalah persoalanku, dan sama sekali tidak bersangkut paut
dengan Panembahan. Karena aku menghadap kemari itulah sebabnya maka
bukit kecil yang tenang dan damai itu mengalami kegoncangan. Karena itu,
bahkan aku tidak akan menunggu mereka naik. Akulah yang akan berusaha,
kalau mungkin menerobos kepungan mereka.”
Sekali lagi Panembahan tua itu memancarkan pandangan kekaguman. Maka katanya, ”Sekali
lagi aku menghormati kejantanan Anakmas. Namun meskipun demikian,
berilah aku kesempatan berlaku sebagai tuan rumah yang baik. Aku harap
Anakmas tidak menolak permintaanku, supaya aku tidak merasa bersedih.
Bukankah aku yang menahan Anakmas supaya tinggal di bukit ini untuk
beberapa lama? Nah, kalau demikian aku akan menunjukkan sebuah jalan,
sebab menurut pendapatku, setelah aku mendengar keterangan dari Anakmas
malam tadi, sulitlah untuk menerobos kepungan mereka. Meskipun aku tahu
benar maksud Anakmas, bahwa dengan demikian orang-orang itu tidak lagi
akan mendaki bukit ini. Dan Anakmas telah mengatakan pula, bahwa mereka
tidak akan tergesa-gesa bertindak.”
”Anakmas…,” lanjut Panembahan Ismaya,
”Di lereng sebelah selatan bukit ini ada sebuah goa, Aku tidak tahu,
siapakah yang telah membuatnya, atau barangkali hasil perbuatan alam.
Goa itu ditakbiri sebuah gerumbul yang cukup besar. Di situ Anakmas
dapat menyembunyikan diri dengan aman. Aku yakin bahwa tak seorangpun
dapat menemukan mulut goa itu.”
Mendengar keterangan Panembahan Ismaya,
Mahesa Jenar menjadi terharu. Rupa-rupanya ia akan
mempertanggungjawabkan segala sesuatu mengenai dirinya, hanya karena
Panembahan tua itu telah menahannya untuk tetap tinggal dibukit kecil
itu.
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar, ”Aku
tidak akan dibenarkan oleh perasaanku, seandainya aku berbuat demikian.
Dan adakah Panembahan telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan
yang bisa terjadi?”
”Sekali lagi aku minta,” potong Panembahan Ismaya, ”Anakmas
jangan membuat aku bersedih. Percayalah bahwa mereka tidak akan berbuat
sesuatu atas diriku serta padepokan ini, sebab aku dapat mengingkari
kedatangan Anakmas di bukit ini.”
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar bimbang, sedang Panembahan Ismaya selalu mendesak-desaknya saja.
”Panembahan…” akhirnya Mahesa Jenar berkata, ”Memang
tidak sepantasnya aku menolak, tetapi bagaimanapun juga, aku ingin
supaya aku tidak menyulitkan Bapa Panembahan. Karena itu apabila terjadi
kesulitan atas Panembahan Ismaya, maka perkenankanlah aku bertindak
atas pertimbanganku sendiri.”
”Baiklah Anakmas, saratmu aku terima,” jawab Panembahan itu.
Setelah itu kemudian Panembahan Ismaya
memerintahkan kepada cantrik-cantriknya untuk menyediakan perbekalan.
Sebab Mahesa Jenar akan tinggal di dalam goa itu untuk waktu yang tidak
tertentu.
———-oOo———-
II
Demikianlah pada hari itu Mahesa Jenar
dan Arya Salaka diantar oleh seorang cantrik pergi ke goa di lereng
selatan bukit kecil itu.
Setelah menyibakkan sebuah gerumbul yang
cukup lebat, tampaklah di hadapan mereka sebuah mulut goa yang kecil.
Seseorang hanya dapat memasukinya dengan merangkak.
”Di dalam goa itulah kami biasa bermain-main,” kata cantrik yang mengantarkan itu.
“He…?” Mahesa Jenar agak terkejut. “Kalian bermain-main di dalam goa ini?”
“Ya,” jawab Cantrik itu, “Di dalam goa itu terdapat sebuah lobang yang tembus keatas. Dari situlah sinar matahari menerangi bagian dalam goa ini.”
“Kemanakah lubang goa ini tembus?” tanya Mahesa Jenar.
“Kami tidak tahu,” jawab Cantrik itu, “Kami belum pernah menyusurnya jauh ke dalam. Sebab diujung sebelah dalam goa itu gelap sekali.”
Setelah itu maka masuklah cantrik itu ke
dalam goa sambil membawa beberapa macam bekal. Setelah itu baru Mahesa
Jenar dan Arya Salaka merangkak masuk. Memang sebenarnyalah di dalam goa
itu, agak ke dalam, tampak sinar jatuh dari lubang di atas. Lubang itu
tidak seberapa besarnya, namun terdapat lebih dari satu lubang.
Sehingga dengan demikian, beberapa berkas sinar cukup untuk menerangi
sebagian dari ruangan di dalam goa itu.
Goa itu sebenarnya tidaklah seperti
kebiasaan goa-goa. Lantainya licin bersih. Dan yang lebih menyenangkan
lagi, di dalam goa itu terdapat sebuah bale-bale bambu. Agaknya para
cantrik yang sering bermain-main di dalam goa itu telah membuatnya
sebuah bale-bale di dalam.
”Nah, Tuan..” kata cantrik itu kemudian, ”Sekarang perkenankanlah aku meninggalkan Tuan-tuan. Setiap kali aku akan dapat kemari untuk menengok perbekalan Tuan. Menurut
pesan Panembahan, tempat ini harus menjadi tempat rahasia. Sebab siapa
tahu orang-orang yang mengepung bukit ini telah mengirimkan orang untuk
memata-matai keadaan di sekitar bukit ini. Kalau aku terlalu sering
datang kemari, atau Tuan keluar dari goa ini jangan-jangan orang-orang
mereka dapat melihatnya.”
”Pergilah,” jawab Mahesa Jenar, ”Berilah kami kabar apabila terjadi sesuatu atas padepokan ini, lebih-lebih Bapa Panembahan.”

Untuk beberapa saat Mahesa Jenar dan Arya
Salaka mengamat-amati dinding goa itu. Dan kemudian mereka menemukan
suatu ruangan yang agak lebar dengan lubang-lubang pula di atasnya.
”Arya…” kata Mahesa Jenar, Kita
tidak tahu berapa lama kita harus meringkuk di dalam lubang ini. Tetapi
aku kira sehari dua hari ini Sima Rodra masih belum akan bertindak.
Karena itu kita mempunyai cukup waktu untuk menyusur goa ini sebelum
kita mendapat kabar dari cantrik tadi.
Arya Salaka adalah seorang anak yang ingin mengetahui segalanya. Karena itu segera ia menjawab, ”Paman, tidakkah kita mencoba melihat setiap segi goa ini?”
Marilah, jawab Mahesa Jenar.
Maka segera dengan hati-hati mereka mulai
memasuki ke bagian yang lebih dalam lagi. Di beberapa bagian,
lubang-lubang yang menembus ke atas masih saja terdapat. Dan sepanjang
bagian yang masih mendapat penerangan itu, ternyata terdapat bekas-bekas
tempat bermain para cantrik. Di situ terdapat pula alat-alat memasak
dan beberapa perlengkapan lain. Tetapi ketika kemudian mereka sampai ke
bagian yang lebih gelap, hilanglah semua bekas-bekas yang menunjukkan
bahwa tempat itu pernah didatangi oleh para cantrik.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar dan Arya Salaka menyusuri lubang goa yang semakin lama menjadi semakin sempit dan gelap.
Pada hari yang pertama, mereka
menghentikan pengamatan mereka sampai di situ. Tak ada yang istimewa di
dalamnya. Kecuali di beberapa tempat terdapat tetesan-tetesan air yang
jernih. Agaknya para cantrik sering menampung air yang tetes itu pula,
untuk masak-memasak.
Pada hari kedua, Mahesa Jenar dan Arya
Salaka kembali menyusuri lubang goa itu jauh lebih ke dalam. Karena
pandangan mereka yang sudah agak biasa di dalam gelap, maka meskipun
remang-remang mereka dapat melihat di dalam goa itu. Namun yang tampak
hanyalah bayangan batu-batu yang menjorok tak teratur. Ada yang runcing,
ada yang seperti gerigi, dan ada yang halus licin seperti digosok.
Juga pada hari kedua mereka tak
mendapatkan apapun yang menarik perhatian. Dengan perasaan jemu mereka
kembali ke ujung goa, dimana mereka menemukan cantrik yang mengantarkan
mereka, telah berada di situ.
”Ada sesuatu yang terjadi?” tanya Mahesa Jenar tak sabar.
Cantrik itu menggeleng tenang. Tak ada, jawabnya.
”Lalu apakah yang dilakukan oleh orang-orang laskar Gunung Tidar itu selama ini?” sambung Mahesa Jenar.
”Menari dan menyanyi-nyanyi seperti orang gila,” jawab cantrik itu. ”Mereka
berbuat aneh-aneh. Kami tidak melihatnya dengan jelas. Tadi malam kami
mencoba mengintip mereka, meskipun kami sama sekali tak berani
mendekati. Tetapi dari jarak yang sedang, kami melihat mereka
menari-nari mengelilingi perapian dengan laku yang aneh-aneh. Lebih
mengherankan lagi bahwa diantara mereka terdapat pula laskar-laskar
perempuan. Dan apa yang kami lihat adalah sangat mengerikan. Kami hampir
tak percaya pada mata kami. Lebih-lebih lagi, perempuan yang mereka
anggap pimpinan mereka, yang mendapat gelar Harimau Betina dari Gunung
Tidar.”
Mendengar ceritera cantrik itu, mulut
Mahesa Jenar serasa terkunci. Tak sepatah katapun ia menjawab. Dadanya
berdentang-dentang dengan kerasnya. Apalagi ketika ia sadar bahwa tak
ada sesuatu yang dapat dilakukan. Dengan adanya Sima Rodra dari Alas
Lodaya dan Bugel Kaliki, maka setiap usahanya pasti akan sia-sia. Karena
itu untuk sementara ia terpaksa membiarkan segalanya terjadi sampai ia
menemukan suatu cara untuk mengatasinya.
Cantrik itu tidak lama tinggal di dalam
goa. Segera setelah ia menambah bekal-bekal buat Mahesa Jenar, ia minta
diri. Dengan hati-hati sekali ia mengendap keluar, dan kemudian hilang
dibalik semak-semak di muka mulut goa.
Ceritera cantrik itu menambah prihatin
Mahesa Jenar. Ia merasa seperti orang yang sama sekali tak berarti.
Alangkah bodoh dan picik pengetahuan yang dimilikinya, sehingga ia
terpaksa membiarkan kemaksiatan itu berlaku di hadapannya tanpa suatu
daya apapun untuk mencegahnya.
Karena kejemuannya pula, maka pada hari
ketiga Mahesa Jenar dan Arya Salaka memasuki goa itu lebih dalam lagi.
Batu-batu runcing bertebaran di sepanjang dindingnya.
Ketika mereka sampai di bagian lebih
dalam lagi, tiba-tiba langkah mereka terhenti. Lamat-lamat mereka
mendengar gemerisik halus di sekitar tempat itu.
Dengan ketajaman pancainderanya Mahesa
Jenar mencoba untuk mengetahui sumber bunyi itu. Tetapi sebentar
kemudian bunyi itu telah lenyap. Namun meskipun demikian Mahesa Jenar
dan Arya Salaka menjadi bertambah berhati-hati.
Apalagi sesaat kemudian bunyi itu
terdengar lagi. Agak lebih dekat. Sekarang jelas bagi Mahesa Jenar,
bahwa bunyi itu bunyi langkah manusia. Karena itu ia menggamit Arya
Salaka, dan dengan isyarat ia menyuruhnya untuk waspada. Tetapi kemudian
suara itu lenyap kembali.
Kemudian Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun
tidak mau berkisar dari tempatnya. Mereka berdua perlahan-lahan sekali
mendekat pada dinding goa. Untuk beberapa lama mereka bertahan di situ.
Mereka menunggu setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Dan apa yang mereka tunggu-tunggu
tiba-tiba muncullah. Di dalam gelap mereka melihat sesosok tubuh
berjalan perlahan-lahan sekali dan sangat hati-hati. Tetapi agaknya ia
masih belum melihat Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang berdiri melekat
dinding, meskipun barangkali orang itu telah mendengar langkah mereka,
sebab ternyata orang itu berjalan mendekati mereka.
Tetapi ketika jarak mereka tinggal
beberapa langkah, agaknya orang itu dapat pula melihat Mahesa Jenar dan
Arya Salaka. Cepat ia menghentikan langkahnya, dan tiba-tiba ia meloncat
dan berlari menjauh.
Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi
bercuriga. Karena segera mereka menyusulnya. Namun orang itu berlari
terus meskipun tidak begitu cepat karena gelap. Sedang Mahesa Jenar dan
Arya Salaka tidak dapat berlari cepat pula. Karang-karang yang runcing
terbujur lintang tak tentu arah. Meskipun demikian langkah Mahesa Jenar
setidak-tidaknya dapat menyamai langkah orang yang dikejarnya, sehingga
jarak mereka tidak menjadi semakin jauh.
Ketika orang itu sadar bahwa ia dikejar,
maka ia pun mempercepat langkahnya. Belum sedemikian jauh ia berusaha
untuk melenyapkan dirinya, masuk ke dalam sebuah lekuk. Tetapi ternyata
bahwa lekuk itu hanya merupakan sebuah mulut saja dari cabang goa itu
yang cukup dalam pula. Mula-mula Mahesa Jenar agak ragu. Tetapi karena
keinginannya untuk mengetahui siapakah orang itu, maka segera ia
mengejarnya ke dalam cabang goa itu.
Beberapa lama mereka berkejar-kejaran.
Orang itu agaknya sudah amat mengenal keadaan di dalam goa sehingga
dengan mudahnya ia memasuki hampir setiap lobang yang ada. Ternyata di
dalam goa itu tidak saja terdapat satu dua jalur lubang, tetapi
berpuluh-puluh. Karena itulah Mahesa Jenar menjadi sulit untuk mengejar
orang yang sudah mengenal tempat itu dengan baik. Akhirnya ketika ia
merasa bahwa usahanya tidak akan berhasil, dan orang yang dikejarnya itu
sudah tidak nampak pula, segera ia menghentikan langkahnya. Peluh
dinginnya telah merembes hampir membasahi seluruh tubuhnya.
Tetapi yang lebih mengejutkan lagi,
ketika ia menoleh, Arya Salaka tidak dilihat bersamanya. Mahesa Jenar
tertegun untuk beberapa saat. Namun kemudian ia sadar bahwa mungkin anak
itu tidak dapat mengikuti kecepatannya.
Dalam pada itu Mahesa Jenar jadi gelisah.
Gelisah karena kehadiran orang lain didalam goa itu, ditambah dengan
terpisahnya Arya Salaka. Karena itu, untuk beberapa saat ia menanti.
Mungkin Arya akan segera menyusulnya, atau orang yang dikejarnya itu
muncul kembali. Tetapi usahanya itu sia-sia. Telah beberapa lama ia
tinggal di situ, namun tak seorang pun yang nampak.
Mahesa Jenar kemudian bertambah gelisah
lagi. Jangan-jangan Arya Salaka tak dapat menemukan jalan. Bukan itu
saja, tetapi dirinya sendiri pun menjadi kebingungan pula. Ketika
kemudian ia meninggalkan tempat itu dan berusaha kembali ke mulut goa
kembali. Beberapa kali ia berputar-putar melingkar-lingkar, namun yang
dicarinya tidak dapat diketemukannya. Dengan demikian ia pun yakin bahwa
Arya Salakapun pasti kehilangan jalan pula.
Dalam kegelisahannya, kemudian Mahesa
Jenar berteriak memanggil-manggil. Namun ia sama sekali tak mendengar
suara Arya menyahut. Beberapa kali suaranya sendiri melingkar-lingkar
dan kembali meraung-raung di dalam relung-relung goa itu. Akhirnya ia
pun kelelahan sendiri. Dibantingkannya dirinya di atas sebuah batu
dengan masgulnya. Di sekitarnya takbir kegelapan merubunginya. Di
sana-sini meremang batu-batu yang menjorok seperti bayangan-bayangan
hantu yang akan menerkamnya.
Mahesa Jenar sama sekali tidak takut
menghadapi keadaan sekitarnya. Tetapi ia bingung karena kehilangan
muridnya. Apapun yang terjadi atasnya bukanlah soal, sedangkan Arya
masih memiliki masa depan yang panjang dengan penuh harapan-harapan.
Sekali lagi ia masih mencoba memanggil
Arya. Namun suaranya memercik kembali berulang-ulang. Bagi Mahesa Jenar
pantulan suaranya itu terdengar seperti guruh yang memukul-mukul dadanya
yang gelisah.
Tiba-tiba dalam keriuhan perasaan itu,
Mahesa Jenar dikejutkan oleh suara orang tertawa. Suara itu
perlahan-lahan sekali, tetapi jelas dan dekat di sekitarnya. Mendengar
suara itu darah Mahesa Jenar berdesir hebat. Karena itu segera ia
meloncat berdiri dan bersiaga. Namun kemudian, suara itu terhenti dan
tidak ada apa-apa lagi yang terdengar.
Oleh peristiwa itu hatinya menjadi
bertambah gelisah. Ia mempunyai dugaan, bahwa seseorang telah sengaja
memancingnya sampai ke tempat yang membingungkan ini. Dan mungkin
sekaligus memisahkannya dari muridnya.
Ketika kemudian suara tertawa itu
terdengar lagi, Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan. Dipusatkannya
segenap inderanya untuk mengetahui arah suara yang mengganggunya. Mahesa
Jenar adalah seorang yang terlatih baik, jasmaniah dan rohaniah. Karena
itu, meskipun perlahan-lahan akhirnya ia dapat menemukan sumber suara
itu. Maka perlahan-lahan sekali ia berkisar dari tempatnya, menuju ke
arah suara yang menyeramkan. Beberapa langkah kemudian ia berhenti di
tikungan. Suara itu berasal dari sebuah lubang dinding cabang goa itu.
Dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan ia memasukinya dengan melekatkan
tubuhnya di dinding. Tiba-tiba hampir ia terlonjak ketika suara itu
terdengar kembali hampir melekat di hidungnya. Dan bersamaan dengan itu
dilihatnya sebuah bayangan bergerak-gerak di hadapannya.
Tetapi agaknya orang itu pun terkejut
pula atas kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu. Ternyata suara
tertawanya terputus, dan bayangan itu pun segera bergerak menjauh. Kali
ini Mahesa Jenar tidak mau melepaskannya lagi. Ia telah kehilangan
muridnya karena mengejar-ngejar bayangan itu. Maka sekarang ia harus
menangkapnya untuk dipaksanya menunjukkan segala liku-liku goa untuk
mencari muridnya.
Kembali terjadi kejar-mengejar di dalam
goa yang gelap. Untunglah bahwa penglihatan Mahesa Jenar tajamnya
melampaui mata burung hantu, sehingga meskipun agak sulit ia masih dapat
terus-menerus membayangi buruannya. Tetapi seperti semula amat sulitlah
untuk mendekatinya. Goa itu mempunyai beratus-ratus tikungan yang
sangat membingungkan.
Hampir meledaklah dada Mahesa Jenar
ketika sekali lagi ia kehilangan orang yang dikejarnya itu. Tubuhnya
menggigil seperti orang kedinginan. Giginya gemeretak. Kedua tangannya
mengepal tinju. Tetapi tak seorang pun yang dihadapinya.
Dalam keadaan yang serupa itu, tiba-tiba
sekali lagi Mahesa Jenar terperanjat. Tidak beberapa jauh di hadapannya,
ia melihat sebuah bayangan sinar yang meremang. Segera perhatiannya
beralih kepada bayangan itu. Cepat-cepat ia melangkah mendekati. Dan
apa yang diketemukan adalah sebuah lubang yang agak besar. Yang lebih
mendebarkan hatinya adalah, di seberang lubang itu, ia melihat cahaya
yang lebih terang dari keadaan di dalam goa. Maka dengan hati-hati ia
berjongkok dan mengintip keluar. Namun tak ada sesuatu yang
mencurigakan. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk memasuki
lubang itu. Dengan penuh kewaspadaan akhirnya ia merangkak masuk. Tetapi
alangkah terkejutnya. Ketika seluruh kepalanya telah berada diluar
lubang, pertama-tama benda yang disentuhnya adalah batang ilalang.
Karena itu segera seperti meloncat ia melontarkan seluruh tubuhnya. Pada
saat itulah angin senja menghembus tubuhnya dengan segarnya.
Batang-batang ilalang di sekitarnya, yang tingginya melampaui tubuhnya,
bergoyang-goyang ditiup angin. Di sebelah barat masih membayang
warna-warna merah, tetapi matahari telah tenggelam di bawah kaki langit.
Untuk sementara Mahesa Jenar tertegun
heran. Tiba-tiba saja ia telah berdiri di luar goa. Tetapi mulut goa ini
bukanlah mulut goa dari mana ia masuk.
Bagaimanapun juga ia menjadi agak
bimbang. Apakah sekarang yang akan dilakukan. Akhirnya ia mengambil
keputusan untuk menghadap Panembahan Ismaya, sebab ia yakin bahwa ia
masih berada di bukit Karang Tumaritis.
Ketika Mahesa Jenar mulai bergerak,
kembali ia tertegun. Didengarnya agak jauh di bawah suara kuda
meringkik, disusul oleh gelak tertawa dan sorak sorai yang riuh. Sekali
lagi perhatiannya teralih. Mahesa Jenar tiba-tiba ingin melihat apakah
yang terjadi, dan sekaligus ia mengharap dapat memecahkan teka-tekinya
sendiri, serta hilangnya Arya Salaka.
Karena itu segera ia melangkahkan kakinya
dengan hati-hati ke arah suara yang ramai itu. Ketika suara itu telah
semakin dekat, Mahesa Jenar mulai merangkak diantara batang-batang
ilalang. Dan pada saat terakhir, ketika ia menyibakkan daun ilalang, ia
melihat suatu pemandangan yang hampir membuatnya pingsan.
Yang mula-mula dilihatnya adalah
perapian. Meskipun malam baru menginjak diambang pintu. Kemudian di
dekat perapian itu ia melihat Janda Sima Rodra berdiri bertolak
pinggang, sedang di hadapannya, di atas sebuah batu tampak Jaka Soka
duduk memandang lidah api yang menjilat-jilat. Sikapnya acuh tak acuh
saja kepada Harimau Betina yang buas itu.
“Soka…” kata Janda Sima Rodra, “Syaratmu telah aku penuhi.”
”Bohong!” jawab Jaka Soka masih acuh tak acuh.
”Jangan pura-pura tidak tahu. Aku
lihat pada wajah serigalamu itu suatu kerakusan yang tak tertahan-tahan
lagi. Jangan begitu. Gadis itu hanya sekadar syarat. Syaratku. Jadi
jelas, akulah yang penting, sahut perempuan itu.”
Jaka Soka menoleh. Lalu dipandangnya orang-orang yang berada di sekitarnya. ”Kenapa kalian berhenti berteriak-teriak?” katanya.
Tetapi tak seorang pun menjawab. Karena tak seorang pun menjawab, ia melanjutkan, ”Teruskan, teruskan. Aku akan ikut serta.”
”Jawab pertanyaanku,” potong Harimau Betina itu.
”Bagus. Bagus kau,” jawab Jaka Soka. ”Aku tak pernah mengingkari janji. Tetapi tunjukkan syarat itu di hadapanku.”
Terdengarlah tertawa iblis betina itu. Sangat mengerikan. ”Kau tidak percaya kepada Sima Rodra tua dari Lodaya? Dan juga Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme?”
”Siapa bilang tidak percaya?” sahut Jaka Soka cepat-cepat. ”Aku hanya minta kau tunjukkan itu kepadaku.”
“Bagus, jawab Janda Sima Rodra muda. Sakayon…” perintahnya, “Bawa bunga pandan itu kemari. Awas Soka, durinya sangat tajam.”
Jaka Soka tidak menjawab. Ia hanya
tersenyum saja. Senyuman yang sudah pernah dikenal oleh Mahesa Jenar
sebagai senyuman Ular yang bisanya tajam bukan buatan. Dan karena
senyuman itu pulalah dahulu ia mengikutinya sampai ke tengah-tengah
hutan Tambak Baya, sehingga ia dapat menyelamatkan Rara Wilis. Dan
sekarang, agaknya Ular Laut itu masih belum menyerah. Dengan segala cara
ia agaknya berhasil memperalat Janda Sima Rodra itu untuk menangkap
gadis itu.
Sebentar kemudian darah Mahesa Jenar
serasa berhenti mengalir. Tiba-tiba saja dadanya bergetaran dan
kepalanya menjadi pening ketika ia melihat dari dalam salah sebuah
kemah, seorang yang digiring keluar dengan tangan terikat. Orang itu
tidak lain adalah Pudak Wangi, yang dikenalnya dalam keadaannya sebagai
seorang gadis bernama Rara Wilis.
Sampai di tepi lingkaran laskar Gunung
Tidar, Pudak Wangi itu berhenti. Matanya yang merah menyala-nyala karena
marahnya, beredar pada setiap wajah yang berada di lingkaran itu. Pada
saat itu seorang pengawal dengan sombongnya mendorong punggung Pudak
Wangi dengan kerasnya. Karena itu Pudak Wangi yang tidak bersedia,
terdorong dua langkah ke depan. Tetapi setelah itu tiba-tiba ia memutar
tubuhnya, dan dengan cepatnya kakinya bergerak. Malanglah nasib pengawal
yang sombong itu, ketika tumit Pudak Wangi mengenai perutnya. Meskipun
tendangan itu tidak terlalu keras, tetapi karena tepat mengenai arah ulu
hati, maka segera orang itu jatuh tersungkur tak sadarkan diri.
Melihat peristiwa itu, dengan cepatnya Janda Sima Rodra meloncat maju, dengan marahnya. Teriaknya, ”Dalam keadaanmu itu kau masih berani menyombongkan diri di hadapanku?”
Tetapi sebelum Harimau Betina itu dengan
kuku-kukunya menyobek wajah Pudak Wangi, terdengar tertawa yang rendah
memuakkan. Dan terdengarlah Jaka Soka berkata, ”Kau benar-benar seorang pemarah. Kalau syarat yang kau bawa itu kau rusakkan, batallah perjanjian kita.”
Langkah Janda Sima Rodra muda terhenti. Setelah merenung sejenak ia menjawab, “Ular
Laut, kau benar-benar membuat aku gila dan berbuat hal-hal yang sangat
bertentangan dengan kehendakku. Tetapi biarlah. Akan aku serahkan umpan
ini dengan utuh kepadamu.”
Sekali lagi terdengar Jaka Soka tertawa
pendek. Matanya yang redup tetapi memancarkan sinar yang mengerikan
memandangi Pudak Wangi dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya.
“Jangan memandang begitu,” kata Janda Sima Rodra, “Kalau aku yang kau pandang demikian, mungkin aku sudah pingsan.”
Jaka Soka tidak menjawab. Tetapi ia
berdiri dan melangkah ke arah Pudak Wangi yang masih berdiri terpaku
dengan wajah yang merah membara.
Ketika Janda Sima Rodra muda itu melihatnya, maka dengan tertawa nyaring berkata, “Jaka Soka, aku masih belum menyerahkannya kepadamu.”
“Apa lagi yang ditunggu?” sahut Jaka Soka.
“Aku akan menyerahkan kepadamu dalam
satu upacara resmi di hadapan laskarku sebagai saksi. Tetapi tidak
sekarang. Aku masih memerlukannya. Sebab dengan adanya gadis itu di
dalam tanganku, aku mengharap kehadiran seorang lagi.” Kata janda Sima Rodra
Wajah Jaka Soka seketika berubah menjadi merah. Tetapi ia masih mengendalikan dirinya. Katanya, “Kau
benar-benar setan betina. Terserahlah kepadamu. Kalau dengan demikian
kau akan mengangkat harga diriku, kau akan kecewa. Sebab kedatanganku
kemari adalah atas permintaanmu.”
Sekali lagi keadaan jadi tenang karena
suara tertawa Iblis betina yang bergetar membentur dinding-dinding
pegunungan memenuhi lembah. Lalu kemudian ia berkata lantang, “Marilah kita berpesta. Kita ajak tamu kita ini serta, mungkin dengan demikian ia akan mendapatkan kegembiraan.”
Sesaat kemudian ia telah memerintahkan
kepada laskarnya untuk mulai dengan teriakan-teriakan dan
nyanyian-nyanyian yang sama sekali tak menyedapkan. Pada saat itu,
Mahesa Jenar yang bersembunyi di belakang semak-semak menjadi gemetar.
Ia ingat pada peritiwa yang pernah diketemukan bekas-bekasnya di atas
Gunung Ijo, Prambanan. Pada saat itu ia masih belum dapat membayangkan,
apakah yang terjadi. Tetapi sekarang, barulah agak jelas baginya, bahwa
benar-benar rombongan Sima Rodra yang sering menculik gadis-gadis itu
mempunyai kebiasaan yang mengerikan.
Mengingat kerangka-kerangka gadis-gadis
di Gunung Ijo itu bulu Mahesa Jenar meremang. Dan sekarang dihadapannya
ia melihat upacara itu berlangsung.
Teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian
yang tak sedap, yang keluar dari mulut-mulut yang kasar itu semakin lama
semakin menjadi-jadi. Mereka bergerak semakin cepat mengelilingi
perapian. Janda Sima Rodra dan Jaka Soka yang berdiri sebelah-menyebelah
dengan Pudak Wangi, berada di luar lingkaran. Tetapi wajah mereka
membayangkan bahwa perasaan mereka telah hanyut pula dalam keadaan yang
hampir tak sadar. Melihat hal itu Mahesa Jenar menjadi sangat cemas.
Cemas akan keselamatan Pudak Wangi. Sebab dalam keadaan serupa itu, bisa
saja malapetaka menimpanya setiap saat, meskipun selama Janda Sima
Rodra itu masih berada di situ, keselamatannya agaknya masih terjamin.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar telah
bersiaga penuh. Kalau terjadi sesuatu atas gadis yang berpakaian mirip
seorang laki-laki itu, dalam loncatan pertama ia sudah siap
mempergunakan aji Sasra Birawanya, meskipun seterusnya akan sangat
membahayakan jiwanya sendiri. Sebab ia yakin bahwa Sima Rodra tua dan
Bugel Kaliki berada di sekitar tempat itu pula. Tetapi apa boleh buat.
Sementara itu, upacara gila-gilaan itu
menjadi semakin panas. Dan tiba-tiba lingkaran upacara itu melebar dan
melingkar di luar tempat Harimau Betina itu berdiri. Dalam keadaan yang
demikian tampaklah betapa cemasnya Pudak Wangi.
Dalam keadaan hampir tak sadar tiba-tiba
Janda Sima Rodra itu kemudian menarik tangan Jaka Soka dan diseretnya
untuk ikut serta melonjak-lonjak dan berteriak-teriak. Agaknya Jaka Soka
pun menjadi seperti seorang yang tak berperasaan lagi. Tanpa membantah
ia pun langsung ikut serta dalam pesta-pesta yang mengerikan itu.
Sesaat kemudian Pudak Wangi memalingkan
wajahnya. Upacara itu benar-benar telah menjadi-jadi. Tetapi kemanapun
ia memandang, ia melihat keadaan yang serupa. Sehingga akhirnya ia
memejamkan matanya.
Mahesa Jenar akhirnya tak tahan lagi.
Darahnya yang sudah mendidih itu sudah tidak dapat disabarkan. Karena
itulah segera ia bersiap untuk bertindak.
Tetapi sebelum ia bergerak, terdengarlah
derap suara seekor kuda. Semakin lama semakin dekat. Orang-orang yang
sedang melakukan perbuatan-perbuatan gila itu sama sekali tidak
mendengar derap itu. Sehingga kuda itu telah menjadi dekat sekali.
Dengan mata yang tajam, Mahesa Jenar melihat seseorang diatas seekor
kuda merah kehitam-hitaman meluncur seperti anak panah ke arah api yang
masih menyala-nyala. Sesaat orang itu mengekang kudanya agak jauh dari
perapian itu, tetapi sesaat kemudian seperti angin kuda itu meluncur
kembali langsung menerjang orang-orang yang sedang sibuk dengan
kelakuan-kelakuan mereka yang gila itu. Karena itu, ketika seekor kuda
merah kehitam-hitaman menerjang mereka, mereka menjadi kalang kabut dan
untuk sementara kehilangan akal. Namun tidak demikianlah Harimau Betina
Gunung Tidar dan Jaka Soka. Meskipun mereka baru saja tenggelam dalam
irama kegilaan, namun dalam waktu sekejap mereka telah dapat menguasai
diri mereka kembali.

Maka sesaat kemudian terdengarlah Janda
Sima Rodra itu berteriak dengan marahnya. Dan dalam keadaan yang
demikian, segera tampak jari-jarinya yang memiliki kuku-kuku yang
panjang itu berkembang mengerikan. Sedang Jaka Sokapun merasa terhina
pula. Dengan hebatnya ia menggeram, dan sesaat kemudian ia telah
meloncat menghadang kuda yang telah berputar pula.
Ketika wajah orang berkuda itu kemudian
menjadi jelas oleh api yang menyala ditengah-tengah mereka, segera
terdengar suara Pudak Wangi nyaring, ”Kakang Sarayuda….”
Suara Pudak Wangi yang melengking lembut
itu bagi Mahesa Jenar ternyata mempunyai akibat yang hebat sekali. Dalam
saat yang bersamaan, ia telah mengenal pula wajah itu. Sarayuda, yang
membuatnya berdebar-debar. Bagaimanapun juga Mahesa Jenar tidak dapat
melupakan, bahwa pemuda yang perkasa itu telah pernah mengecewakannya,
meskipun mungkin sama sekali tidak disengaja. Dan kehadirannya saat
inipun telah menimbulkan suatu persoalan baru di dalam dadanya.
Dalam saat yang tegang itu terdengarlah Jaka Soka berteriak kasar, ”Hai Janda Sima Rodra, adakah orang ini yang kau pancing dengan umpanmu itu?”
Terdengarlah suara Janda Sima Rodra itu menjawab, ”Aku tak kenal orang ini. Betapapun gagahnya, namun ia adalah sombong sekali.”
Pada saat itu, kuda merah kehitam-hitaman
itu dengan garangnya menyambar Jaka Soka. Tetapi Ular Laut itu,
bukanlah anak-anak kemarin sore yang baru mampu bermain kucing-kucingan.
Dengan menarik tubuhnya satu langkah ke samping, ia telah bebas dari
serangan lawannya. Sambil berjongkok ia menyodok perut kuda itu dengan
tongkat hitamnya. Akibatnya hebat sekali. Kuda itu terkejut dan memekik
berdiri. Saat yang demikian memang ditunggunya. Dengan cepatnya ia
melompat dan menghantam punggung Sarayuda. Tetapi Demang Gunung Kidul
itupun bukan pula anak ingusan. Ia adalah murid tertua Ki Ageng Pandan
Alas. Ketika Demang Gunung Kidul merasa sebuah serangan mengarah ke
punggung, sedang kudanya belum dapat dikuasainya, maka dengan kecepatan
yang sama ia telah berhasil meloncat dan jatuh berguling, untuk kemudian
melenting bangkit dan bersiaga.
Dalam sekejap kemudian terjadilah
pertempuran yang seru. Jaka Soka, Bajak Laut yang ditakuti di daerah
perairan Nusakambangan dan mendapat julukan Ular Laut, menyerang dengan
ganasnya, sedang Sarayuda bertempur dengan gagahnya pula. Dengan
teguhnya ia berdiri di atas kedua kakinya yang lincah menari-nari
membingungkan lawannya. Pada saat yang demikian itu terdengarlah suara
Janda Sima Rodra kepada laskarnya, ”Sakayon, jagalah tawanan ini.
Kepung rapat-rapat dan jangan beri kesempatan bergerak. Biar aku
membantu Jaka Soka membinasakan tamu yang sombong itu.”
Sesaat kemudian, berloncatanlah anak buah
Sima Rodra dengan senjata terhunus berdiri rapat-rapat melingkari Pudak
Wangi yang terikat tangannya.
Kemudian, Janda Sima Rodra itu pun,
dengan kuku-kukunya yang tajam beracun mulai melibatkan diri dalam
pertempuran melawan Sarayuda.
Sarayuda adalah seorang yang tangkas,
tangguh dan perkasa. Namun demikian, ketika ia harus melawan Ular Laut
dan Janda Sima Rodra itu bersama-sama, segera terasa bahwa memang
kekuatan mereka tidak berimbang, karena Ular Laut dan Janda Sima Rodra
itu masing-masing juga merupakan tokoh-tokoh perkasa dari golongan
hitam.
Dalam keadaan yang terdesak, Sarayuda
segera mencabut pedangnya. Pedang yang gemerlapan itu berputar-putar
memancar berkilat-kilat karena cahaya api. Sinarnya yang putih, serta
pantulan sinar kemerah-merahan, menjadikan pedang itu seperti
memancarkan bunga-bunga api. Sarayuda, murid Ki Ageng Pandan Alas itu,
kemudian menyerang dengan tangkasnya. Pedangnya bergetaran dalam ilmu
khusus perguruan Ki Ageng Pandan Alas, terasa sangat membingungkan
lawannya. Tetapi dalam pada itu, segera tampak pula sinar putih
bergulung-gulung belit-membelit dengan bayangan yang kehitam-hitaman
melawan pedang Sarayuda. Itulah senjata Jaka Soka. Pedang kecil yang
lentur, yang dicabutnya dari dalam tongkat hitamnya di tangan kanan, dan
tongkat itu sendiri ditangan kiri, merupakan sepasang senjata yang
menakjubkan. Dibarengi dengan 10 batang kuku-kuku berbisa diujung jari
Harimau Betina dari Gunung Tidar, senjata-senjata itu merupakan gabungan
kekuatan yang mengerikan.
Untuk sesaat Mahesa Jenar terpesona
memandangi pertempuran yang hebat itu. Ia kagum akan ketangkasan
Sarayuda dan memuji kelincahan Jaka Soka, yang bertempur dengan
gerakan-gerakan yang cepat, melingkar, menyerang dan mematuk-matuk,
benar-benar seperti laku seekor Ular yang berbahaya.
Ia baru sadar ketika dilihatnya bahwa Sarayuda benar-benar dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Dalam keadaan yang sedemikian, tiba-tiba
sekali lagi Mahesa Jenar dikejutkan oleh suatu pemandangan yang tidak
diduganya. Di tempat yang agak jauh dari lingkaran pertempuran itu, yang
hanya dapat dicapai oleh cahaya api yang sangat lemah, dilihatnya pula
seseorang bertempur melawan dua orang. Tetapi pertempuran ini jauh
berbeda dengan pertempuran antara Sarayuda melawan kedua lawannya.
Pertempuran yang dilihatnya kemudian itu seolah-olah hanyalah sebuah
permainan lontar-melontar yang kadang-kadang diseling dengan
pukulan-pukulan lamban. Namun agaknya gerak-gerak itu merupakan
gerak-gerak yang meloncatkan kekuatan tiada taranya. Sesaat kemudian
Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Yang seorang itu adalah Ki Ageng
Pandan Alas, sedang kedua lawannya adalah Sima Rodra tua dari Lodaya dan
Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme. Melihat pertempuran itu Mahesa
Jenar menjadi bertambah cemas. Ki Ageng Pandan Alas yang datang untuk
menolong cucunya, ternyata menjumpai lawan yang seangkatan dan berdua
pula.
Meskipun apa yang terjadi diantara mereka
adalah diatas kemampuannya, namun Mahesa Jenar dapat pula melihat,
bahwa Ki Ageng Pandan Alas pun menemui kesulitan untuk melawan kedua
tokoh tua dari golongan hitam itu, sebagaimana Sarayuda juga menemui
kesulitan dalam perjuangannya melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra
muda.
Dalam waktu yang singkat itu terjadilah
suatu pergolakan di dalam dada Mahesa Jenar. Sudah pasti, bahwa ia tidak
akan berguna sama sekali apabila ia berani mencoba-coba mencampuri
urusan Ki Ageng Pandan Alas. Apa yang dapat dikerjakan hanyalah untuk
sementara memperingan pekerjaan orang tua itu. Untuk sementara saja.
Sebab kemudian ia akan segera binasa. Maka yang mungkin dilakukan
hanyalah melibatkan diri dalam lingkaran pertempuran antara Sarayuda dan
lawan-lawannya. Meskipun sebagai manusia biasa, terdapat beberapa benih
keseganan untuk membantunya, namun darah kesatria yang mengalir di
dalam tubuhnya telah melanda kepicikan pandangan itu. Dengan merapatkan
giginya, Mahesa Jenar berusaha untuk melupakan apa yang pernah
dialaminya. Persoalan-persoalan pribadi antara dirinya dan Demang Gunung
Kidul itu. Sehingga sesaat kemudian telah bulatlah hatinya untuk terjun
langsung membantu Sarayuda. Ia mengharap bahwa dengan aji Sasra Birawa
dan Aji Cunda Manik yang dimiliki oleh Sarayuda akan mempercepat
penyelesaian, sehingga ia mengharap dapat menyelamatkan Pudak Wangi.
Setelah itu, ia mengharap pula bahwa Ki Ageng Pandan Alas dapat
menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun apa yang akan dilakukan itu
mengandung bahaya yang maha besar, namun tak ada pilihan lain daripada
berjuang untuk membebaskan gadis cucu Pandan Alas itu. Memang akan
mungkin sekali, untuk sementara salah seorang lawan Pandan Alas
meninggalkan orang tua itu untuk membantu Jaka Soka dan Janda Sima
Rodra, yang berarti kebinasaan baginya dan bagi Sarayuda. Tetapi itu
akan merupakan sebuah pertanggungjawaban dari perjuangan. Karena itu
segera Mahesa Jenar menggulung lengan bajunya dan menyangkutkan kainnya.
Tetapi, kembali dada Mahesa Jenar
digetarkan oleh suatu peristiwa yang tak dapat dimengertinya. Ketika ia
sudah mulai bergerak untuk meloncat, tiba-tiba didengarnya gemerisik
halus di bekalangnya. Cepat ia bersiaga dan membalikkan tubuhnya. Tetapi
apa yang dilihatnya hampir tak masuk diakalnya. Dalam remang-remang
cahaya bintang serta sinar api yang menyusup di celah-celah daun
ilalang, Mahesa Jenar melihat sebuah bayangan yang seolah-olah dirinya
sendiri sedang terbang dan melontar cepat lewat disampingnya. Dengan
pandangan yang penuh kebingungan, matanya mengikuti bayangan itu dengan
tanpa berkedip. Apalagi ketika ia melihat bayangan itu dengan lincahnya
meloncat diatas batu karang tidak jauh dari perapian yang masih
menyala-nyala. Dengan tangan bertolak pinggang serta kaki renggang,
terdengarlah bayangan itu tertawa nyaring. Suaranya mengumandang seperti
guntur yang menggelegar membentur dinding pegunungan, sambil berkata, ”Inilah murid Ki Ageng Pengging Sepuh yang dikenal dengan nama Mahesa Jenar serta bergelar Rangga Tohjaya.”
Mendengar suara yang mengguruh itu, isi
dada Mahesa Jenar seperti diguncang-guncang. Cepat ia memusatkan
kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara yang aneh itu. Ia pernah
mendengar Pasingsingan menghantamnya dengan suara tertawa yang
mengerikan di alun-alun Banyu BIru. Dan sekarang, suara orang yang
berdiri diatas batu karang itu tidak pula kalah dahsyatnya menghantam
dadanya.
Agaknya bukan saja Mahesa Jenar yang
merasa terpukul oleh getaran suara yang dilontarkan dengan landasan
kekuatan batin yang tinggi itu. Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra
yang sedang bertempur itupun segera berloncatan mundur dan
mempergunakan kekuatan batinnya untuk menahan supaya dadanya tidak
rontok. Pudak Wangi pun tampak menundukkan kepala sambil memejamkan
matanya. Agaknya cucu dan sekaligus murid Pandan Alas yang muda itupun
berusaha untuk membebaskan diri dari getaran yang memukul-mukul dadanya.
Bahkan lebih dari pada itu, Pandan Alas, Sima Rodra dan Bugel Kaliki,
tokoh-tokoh tua yang sudah banyak makan pahit asinnya penghidupan itupun
menjadi terkejut pula. Ternyata bahwa karena itu pertempuran mereka
jadi terhenti. Dengan pandangan yang keheran-heranan mereka
memperhatikan orang yang berdiri diatas batu karang dengan kaki renggang
dan kedua tangan bertolak pinggang.
Mahesa Jenar yang telah lebih dahulu
melihat orang yang menyebut dirinya Mahesa Jenar, murid Ki Ageng
Pengging Sepuh itu, ketika sinar api mencapai wajahnya, segera ia
mengenalnya, bahwa wajah itu sama sekali tidak jelas. Rambut yang kasar
tumbuh lebat hampir melingkari seluruh muka, bersambungan dengan kumis
dan janggut yang rapat tak teratur.
Dalam pada itu Mahesa Jenar telah
berusaha keras untuk tidak tenggelam dalam suatu perasaan yang aneh,
bahwa hampir-hampir ia merasa bahwa orang yang berdiri diatas batu
karang itu adalah dirinya sendiri, yang dalam keadaan puncak
keprihatinan, sehingga sama sekali tidak sempat memelihara diri.
Meskipun beberapa kali Mahesa Jenar sudah pernah melihat wajahnya di
permukaan air, namun ia dalam saat yang aneh itu, harus berjuang
mati-matian untuk dapat mengenal dirinya kembali, dan membedakannya
dengan orang yang berdiri diatas batu karang itu.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar mempunyai
kekuatan batin yang tinggi pula, sehingga dalam sesaat ia telah berhasil
menguasai dirinya kembali. Semakin lama ia menjaid semakin jelas
melihat batas antara dirinya dan orang itu. Bahkan akhirnya ia dapat
memperhitungkan berbagai masalah mengenai dirinya dan orang yang mengaku
Mahesa Jenar itu. Orang itu pasti sengaja memakai rambut, kumis dan
janggut yang kasar dan lebat, supaya wajahnya tidak segera dikenal.
Tetapi, yang Mahesa Jenar masih belum dapat menemukan jawabnya, adalah
gerak gerik orang itu hampir mirip bahkan tepat seperti gerak geriknya,
tapi berada diatas kemampuannya. Dan hal itulah kemudian yang menjadi
teka-teki yang tak dapat dipecahkannya.
Sudah untuk kedua kalinya Mahesa Jenar
mengalami hal yang serupa. Ketika ia harus bertempur berlima melawan
Sima Rodra dan Pasingsingan, tiba-tiba saja ia melihat dua orang Mahesa
Jenar melibatkan diri. Kedua orang itu ternyata Ki Paniling atau yang
nama sebenarnya adalah Radite dan Darba atau Anggara. Namun
bagaimanapun juga akhirnya ia dapat mengenal kedua orang itu.
Tetapi ternyata orang yang menyerupai
dirinya kali ini lebih membingungkannya. Sebab gerak geriknya mirip
sekali dengan geraknya sendiri dalam ilmu warisan Ki Ageng Pengging
Sepuh.
Dalam keadaan yang demikian, suasana
menjadi hening tegang. Kecuali suara berderai yang meluncur dari mulut
orang yang berdiri diatas batu karang itu, selainnya sunyi.
Tetapi tiba-tiba orang itu meloncat mirip
seekor garuda yang terbang menukik dari atas batu karang itu langsung
ke arah Pudak Wangi yang masih berdiri mematung.
Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra
itupun segera tahu maksudnya. Sebab di mata mereka, orang itu tidak lain
adalah Mahesa Jenar yang sedang berusaha untuk membebaskan Rara Wilis.
Maka kemudian terdengar suara Janda Sima Rodra itu nyaring, ”Soka,
tamuku sudah datang. Tolong, tangkap dia. Sesudah itu kau boleh
mengambil kami berdua sebagai istrimu. Tapi ingat, aku tidak mau kau
ikat.”
Jaka Soka pun kemudian teringat apa yang
pernah tejadi di hutan Tambak Baya. Orang yang menamakan diri Mahesa
Jenar telah menggagalkan niatnya, waktu ia hendak menculik Rara Wilis.
Karena pada waktu itu, ia tidak berhasil mengalahkannya. Tetapi sekarang
ia telah bekerja keras untuk menambah ilmunya.
Karena itu ia merasa bahwa ia tidak perlu
takut lagi kepada Mahesa Jenar, meskipun terhadap Sasra Birawa ia masih
harus sangat hati-hati dan yang dapat dilakukannya hanyalah
menghindarkan diri. Apalagi sekarang ia dapat bekerja sama dengan Janda
Sima Rodra. Sedangkan Sarayuda, ia mengharap bahwa salah seorang dari
Sima Rodra tua atau Bugel Kaliki mengurusnya.
Juga terhadap Mahesa Jenar itu akhirnya,
apabila dirinya menemui kesulitan, meskipun ia bekerja sama dengan Janda
Sima Rodra, Jaka Soka mengharap Sima Rodra Tua mau membantu
menangkapnya untuk kepentingan anaknya.
Dalam pada itu, Janda Sima Rodra itu
menjadi gembira. Ia ingin Mahesa Jenar tertangkap hidup-hidup. Ia ingin
membalas sakit hatinya karena suaminya terbunuh. Tetapi lebih daripada
itu, keliarannya telah mendorongnya untuk melakukan niat yang memuakkan.
Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang kasar dan berambut
lebat itu ia menjadi agak kecewa. Namun demikian ia sama sekali tidak
mengurungkan niatnya.
Orang ketiga, yang berdiri di dalam arena
itu adalah Sarayuda. Ia mempunyai tanggapan sendiri atas kehadiran
Mahesa Jenar. Meskipun ia menduga bahwa kehadiran Mahesa Jenar kali
inipun bermaksud untuk menyelamatkan Pudak Wangi, namun tiba-tiba
menjalarlah suatu perasaan cemburu yang meluap-luap. Beberapa tahun
yang lalu ia pernah bertempur dengan Mahesa Jenar ketika ia menolong
Arya Salaka. Pada saat itu, ia merasakan suatu perhubungan yang aneh
dengan orang itu. Apalagi ketika tiba-tiba saja Mahesa Jenar pergi
meninggalkan pondok Ki Ageng Pandan Alas tanpa pamit. Dan sejak itulah
ia mempunyai perasaan bersaing. Meskipun sejak itu Mahesa Jenar tidak
pernah muncul kembali dan agaknya Ki Ageng Pandan Alas pun sangat
membesarkan hatinya, namun Pudak Wangi sendiri tidak pernah membuka
hatinya. Ia yakin kalau hal itu disebabkan karena hati itu telah
dirampas oleh orang yang bernama Mahesa Jenar.
Berbeda dengan perasaan Mahesa Jenar
sendiri, yang meskipun ia memiliki perasaan yang sama dengan Sarayuda,
namun ia mendahulukan keselamatan Pudak Wangi dari perasaannya yang
mengganggu. Ia memang sudah membiasakan diri, berkorban untuk
kepentingan yang lebih besar dan luas tanpa pamrih, daripada kepentingan
diri sendiri.
Karena perasaan itulah maka Sarayuda
justru merasa tersinggung karena hadirnya Mahesa Jenar. Apalagi setelah
ia berjuang mati-matian untuk membebaskan gadis cucu gurunya, namun
tidak ada tanda-tanda akan berhasil, bahkan akhirnya gurunya sendiri
menemui kesulitan pula karena hadirnya kecuali Sima Rodra tua yang
memang sudah diduga sebelumnya, juga Bugel Kaliki.
Maka sebelum orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu sampai ke tengah-tengah arena itu, ia berteriak, ”Mahesa
Jenar, murid utama Ki Ageng Pengging Sepuh, janganlah mengganggu
permainan kami. Biarlah kami yang sudah dewasa ini mencoba menyelesaikan
persoalan kami sendiri.”
Terdengarlah orang itu tertawa pendek sambil berhenti beberapa langkah dari mereka. Katanya, ”Aku datang untuk membantumu,”
”Aku tidak perlu bantuanmu,” potong Sarayuda.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu mengerutkan alisnya. Kemudian ia berkata pula, ”Jangan
lekas tersinggung. Bukankah kita masing-masing berjanji di dalam hati
untuk menghancurkan setiap kejahatan…? Apapun persoalan yang ada di
antara kita jangan menjadi sebab, bahwa kita tidak bisa bekerja bersama.
Sebab juga menjadi kewajibanku untuk membebaskan Adi Pudak Wangi.”
Mendengar nama itu disebut, hati Sarayuda menjadi bertambah berdebar-debar. Lalu katanya, ”Pergilah, jangan ikut campur.”
Tetapi orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu tidak pergi, malahan ia berkata kepada semua yang ada di arena itu, ”Dengarlah,
aku datang untuk membebaskan Pudak Wangi. Siapa pun yang menghalangi,
tidak peduli siapa saja, akan berhadapan dengan Mahesa Jenar.”
Setelah itu kembali ia bergerak maju.
Pada saat itu, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang paling berkepentingan
untuk menangkap Mahesa Jenar itu dan menggagalkan maksudnya. Karena
itulah maka mereka berloncatan maju menghalangi. Sedang Sarayuda menjadi
ragu, dan untuk beberapa saat ia kehilangan pegangan, apakah yang akan
dilakukannya. Sementara itu orang-orang tua yang menyaksikan perbantahan
mereka menjadi tertegun heran. Sima Rodra dan Pandan Alas, dengan jelas
mengetahui sampai di mana tingkat ilmu Mahesa Jenar itu, mereka menjadi
agak keheran-heranan. Namun karena yakin, bahwa segala gerakannya
adalah khusus peninggalan Ki Ageng Pengging Sepuh yang dahsyat itu.
Tetapi yang paling heran diantara mereka
adalah Mahesa Jenar sendiri. Apalagi setelah ia menyaksikan orang itu
bertempur melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra. Setiap gerak tubuhnya,
sampai ke ujung bulunya, adalah tepat sekali apa yang selalu
dilakukannya atas dasar ilmu gurunya.
Karena itulah maka Jaka Soka dan Janda
Sima Rodra yang memang benar-benar pernah bertempur dengan Mahesa Jenar,
sama sekali tidak mempunyai curiga apapun terhadap lawannya. Namun Jaka
Soka yang merasa bahwa setelah beberapa tahun ia menekuni ilmunya, yang
diduganya telah dapat melampaui ilmu Mahesa Jenar, ternyata menjadi
kecewa. Sebab Mahesa Jenar yang dihadapinya saat itu, bahkan berdua
dengan Janda Sima Rodra, adalah Mahesa Jenar yang memiliki ilmu yang
belum dapat disamai dengan jarak yang seolah-olah tidak berubah seperti
pada saat ia bertempur di Tambak Baya beberapa tahun berselang.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin lama semakin dahsyat.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar
itu bertempur laksana burung Rajawali yang menyambar-nyambar melawan
Ular Laut yang bertempur bersama-sama dengan seekor Harimau Liar.
Bagaimanapun, Jaka Sokapun ternyata memiliki ilmu yang luar biasa.
Ketika pertempuran itu menjadi semakin hebat, gerakan-gerakan Jaka Soka
menjadi bertambah membingungkan. Serangan-serangan Jaka Soka yang
sebagian besar mengarah ke perut lawannya, dibarengi dengan
sambaran-sambaran sinar putih yang belit membelit dengan bayangan hitam,
merupakan tarian maut yang mengerikan. Sedangkan Janda Sima Rodra yang
bersenjatakan kuku-kukunya terdengar beberapa kali menjerit-jerit
sambil menerkam dengan garangnya. Jari-jarinya yang mengembang dan
kukunya yang gemerlapan merupakan jaringan-jaringan maut yang sukar
dapat ditembus. Apalagi mereka berdua dengan Jaka Soka, selalu berusaha
isi mengisi kelemahan masing-masing.
Tetapi orang yang menamakan dirinya
Mahesa Jenar itu, dalam keadaan yang demikian, bahkan seolah-olah
berubah menjadi Wisnu dalam bentuknya sebagai Kresna penggembala, yang
menari-nari di atas seekor ular Naga yang berkepala tujuh. Namun
perlahan-lahan tetapi pasti, satu demi satu kepala-kepala ular itu
dipangkasnya.
Demikianlah, Jaka Soka dan Janda Sima
Rodra itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Tenaga mereka yang
dicurahkan habis-habisan, tanpa memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi, menjadi semakin lama semakin surut. Sedang lawan mereka,
malahan tampak menjadi semakin garang.
Sesaat kemudian jelaslah apa yang akan
terjadi dengan pertempuran itu. Hal itu dilihat pula oleh Sima Rodra tua
dan Bugel Kaliki. Sudah tentu mereka tidak akan membiarkan hal itu
terjadi. Sedangkan Pandan Alas menjadi termangu-mangu. Ia dapat membaca
perasaan kedua orang itu. Mahesa Jenar dan Sarayuda. Sedangkan ia
sendiri tidak dapat memihak salah seorang diantaranya. Sehingga dengan
demikian, ketika ia mendengar perbantahan Sarayuda dan Mahesa Jenar,
menjadi agak bingung. Namun bagaimanapun juga keselamatan cucunya
adalah suatu hal yang mutlak baginya. Karena itulah maka ketika ia
melihat Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki mulai bersiap-siap, iapun
bersiap pula.
Tetapi belum mereka berbuat sesuatu,
mereka dikejutkan oleh seseorang yang terjun dalam arena pertempuran
itu. Ia adalah Sarayuda. Dengan menggeram marah ia berkata, ”Mahesa
Jenar, sekali lagi aku minta kau tinggalkan pertempuran ini. Kau yang
selama ini tidak berbuat apa-apa, sekarang kau akan berlagak menjadi
pahlawan. Akulah yang pertama-tama bertindak untuk keselamatan Pudak
Wangi. Biarlah urusanku itu aku selesaikan.”
Bukan main terkejutnya orang yang
menamakan diri Mahesa Jenar itu ketika Sarayuda membentak-bentaknya
dengan kasar. Sambil meloncat mundur ia menjawab, ”Sadarkah kau dengan tindakanmu itu?”
Jaka Soka dan Janda Sima Rodra pun
menjadi tercengang-cengang. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa
Sarayuda dan orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu akan bertengkar
sendiri. Dalam pada itu tiba-tiba Ular Laut yang tampan itu
tersenyum-senyum sambil berkata, ”Kita mempunyai kepentingan yang
sama. Aku, tamu kita yang bernama Sarayuda dan Mahesa jenar. Diantara
kita bertiga, ternyata akulah yang paling rendah tingkat kepandaianku.
Alangkah senangnya kalau aku dapat menarik keuntungan dari perang
tanding antara kedua tokoh yang sempurna ini. Tetapi agaknya akupun
telah dapat memperhitungkan siapakah yang akan menang. Sebab aku telah
bertempur dengan kalian berdua berganti-ganti. Sarayuda bukan tandingan
Mahesa Jenar.”

Dengan tidak menghiraukan apapapun lagi,
dengan wajah yang menyala-nyala ia bersiap menyerang Mahesa jenar yang
masih berdiri mematung. Berbareng dengan itu, terdengarlah jerit Pudak
Wangi yang sejak tadi berdiam diri kebingungan. ”Bertempurlah
kalian…, bertempurlah sampai binasa. Setelah itu arwah kalian akan puas
melihat aku binasa pula dengan hinanya di tengah-tengah iblis ini.”
Suara itu jelas merupakan luapan hati seorang gadis yang mencemaskan
kehormatannya, bukan nyawanya. Sebagai cucu dan murid Ki Ageng Pandan
Alas, Pudak Wangi bukanlah seorang pengecut, yang merengek-rengek
menghadapi kematian. Tetapi terhadap Ular Laut dari Nusakambangan itu,
ia benar-benar menjadi ngeri.
Sarayuda tersentak hatinya. Ia tegak
seperti patung, dadanya digoncang oleh kebingungan yang bergelora.
Tetapi dalam pada itu, orang yang menamakan dirinya Mahesa jenar merasa
bahwa ia tidak mempunyai banyak waktu. Orang itu sadar, bahwa apa yang
dilakukan oleh Sarayuda adalah luapan perasaannya saja. Karena itu,
tiba-tiba orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, sekali lagi
meloncat mundur, seterusnya apa yang dilakukan sama sekali tak dapat
dilihat dengan jelas. Sekali lagi seperti seekor Rajawali, orang itu
terbang dengan kecepatan kilat, menyambar Pudak Wangi. Orang-orang yang
berdiri memagari gadis itu, yang sebagian telah diruntuhkan perasaannya
dengan suara tertawa yang menghentak-hentak dada, dapat ditembus dengan
mudahnya. Kemudian berubahlah Rajawali itu menjadi bayangan hantu
menyambar Pudak Wangi, yang seterusnya lenyap ke dalam kegelapan
bayang-bayang gerumbul-gerumbul lebat di sekitar tempat itu.
Kejadian itu hanya berlangsung dalam
waktu yang sangat singkat. Bahkan merupakan sebuah pesona yang
seolah-olah merampas kesadaran dari semua orang yang menyaksikan. Pandan
Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki pun sampai beberapa saat berdiri
seperti patung. Baru setelah bayangan itu terbang, mereka menjadi
tersadar dari sebuah mimpi yang hebat. Dan sadar pulalah mereka bahwa
apa yang mereka usahakan selama itu, menjadi lenyap di hadapan
hidungnya. Sima Rodra dan Bugel Kaliki yang sudah bersusah payah
menangkapnya, dan Pandan Alas yang bersusah payah pula mencari cucunya
itu, ditambah lagi dengan Jaka Soka dan Sarayuda yang mempunyai
kepentingan yang sama pada saat itu, seolah-olah digerakkan oleh satu
daya penggerak, berloncatanlah mereka menyusul ke arah hilangnya
bayang-bayang itu.
Sesaat kemudian, seperti dihisap oleh
kegelapan malam, lenyaplah semua orang yang mula-mula dengan riuhnya
mengelilingi perapian, yang sampai saat itu, apinya sudah jauh surut.
Maka sepilah suasana di tempat itu, setelah semua orang berlari-larian
pergi. Yang terdengar kemudian kecuali keretak sisa-sisa kayu yang
dimakan api, adalah napas Mahesa Jenar yang tersengal-sengal seperti
berebut dahulu meloloskan diri dari tubuhnya yang gemetar. Apa yang
disaksikan itu, bagi Mahesa Jenar seperti gambaran di dalam mimpi. Namun
bagaimanapun, gambaran-gambaran itu telah membingungkannya. Apa yang
dilakukan oleh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu adalah tepat
seperti apa yang akan dilakukannya seandainya ia mampu. Sebab secara
jujur, ia mengakui, bahwa orang yang menyerupainya itu mempunyai
kemampuan yang luar biasa sehingga ia dapat melakukan pekerjaan itu di
hadapan segerombolan orang yang sudah siap untuk menghalang-halangi.
Dalam pada itu kembali Mahesa Jenar ragu. Apakah yang dilihat selama itu
hanyalah khayalan-khayalan saja. Berkali-kali ia mengusap-usap
matanya. Namun cahaya api yang redup itu masih saja mengganggu
kegelapan malam. Ataukah jiwanya sendiri yang telah meloncat keluar dari
tubuhnya, dan kemudian melakukan segala pekerjaan itu untuknya? Mahesa
Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia bukan pemimpi. Karena itu
segera ia sadar, bahwa memang telah ada seseorang yang melakukannya.
Hanya yang aneh baginya, setiap gerak, setiap kata yang diucapkan, tepat
seperti yang terkandung di dalam hatinya.
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar masih
merenung-renung di dalam lindungan batang-batang ilalang. Bahkan semakin
lama hal itu direnungkan, semakin kaburlah perasaannya. Tetapi lebih
dari pada itu, di dalam sudut hatinya yang paling dalam, muncullah
perasaan kecewanya. Pudak Wangi, yang sebenarnya bernama Rara Wilis itu,
untuk kesekian kalinya ia telah menyakiti hati gadis itu. Sewaktu ayah
gadis itu terbunuh olehnya, dan sekarang, gadis itu lenyap di
hadapannya dibawa oleh seseorang yang menyerupai dirinya. Karena itulah
maka sekali lagi ia merasa kehilangan atas sesuatu yang belum pernah
dimilikinya, namun sebaliknya, telah merampas seluruh hatinya.
———-oOo———-
III
Dalam kekalutan pikiran itu, tiba-tiba
terdengarlah suara tertawa lunak perlahan di belakangnya. Tersentak
Mahesa Jenar berdiri dan bersiaga. Tetapi kemudian kembali ia menjadi
bingung, ketika di hadapannya berdiri orang yang menamakan diri Mahesa
Jenar.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar
itupun memandanginya dengan saksama dari ujung kaki sampai ke ujung
kepalanya. Kemudian terdengarlah ia berkata, “Ki Sanak, apakah yang kau lakukan di sini? Dan siapakah kau sebenarnya?”
Mendapat pertanyaan itu Mahesa Jenar
menjadi bingung. Ia sendiri sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan
sesuatu di tempat itu. Ia hanya tertarik oleh suara-suara riuh, serta
keinginannya untuk mendapat jejak dalam usahanya mencari Arya Salaka.
Sekarang, tiba-tiba seseorang, yang sejak semula telah membingungkannya,
menanyakan keperluannya. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar tidak
menjawab, sehingga kembali orang itu berkata, “Agaknya kau terkejut melihat kehadiranku di sini?”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar dengan jujur. “Aku datang ke tempat ini tanpa aku sengaja.”
Sekali lagi orang itu tertawa lunak. ”Adalah
suatu kemustahilan bahwa seseorang sampai ke tempat ini tanpa sengaja.
Aku kira kau datang ke tempat ini untuk mengintip apa yang terjadi di
padang rumput itu. Ataukah kau memang salah seorang diantaranya?”
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar merasa tersinggung oleh pertanyaan itu. Maka jawabnya, ”Ki
Sanak, memang aku telah mengintip apa yang terjadi. Aku kagum
keperkasaanmu. Kau mampu melepaskan diri dari tangan-tangan Jaka Soka,
Janda Sima Rodra ditambah kemudian dengan Sarayuda. Bahkan kau berhasil
melepaskan dirimu pula dari kejaran orang-orang seperti Sima Rodra dan
Bugel Kaliki, apalagi kau membawa beban seseorang.”
”Hem…” Orang itu menarik nafas. ”Kau
terlalu memuji. Tetapi kau sendiri agaknya seorang yang luar biasa
sehingga kehadiranmu sama sekali tak diketahui oleh seorangpun diantara
mereka.”
”He…” sambung orang itu tiba-tiba seperti orang terkejut, ”Kau kenal kepada setiap orang yang ada di padang rumput itu? Siapakah kau sebenarnya?”
Sekali lagi Mahesa Jenar termangu-mangu. Namun bagaimanapun juga ia harus menjawab pertanyaan itu. Maka katanya, ”Akulah yang sebenarnya bernama Mahesa Jenar. Bukankah nama itu telah kau pinjam pada saat kau mengadakan pameran kekuatan?”
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar
itu tampak terkejut bukan buatan. Sekali lagi ia memandang Mahesa Jenar
dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya. Dengan suara yang bergetar
ia berkata, ”Kau bernama Mahesa Jenar…?”
Mahesa Jenar mengangguk.
”Kalau demikian…” sambung orang itu, ”Kita bersamaan nama. Aku juga bernama Mahesa Jenar. Memang demikian. Bukan nama pinjaman seperti dugaanmu.”
Ia berhenti sebentar, lalu meneruskan, ”Tetapi tak apalah. Banyak orang di dunia ini mempunyai nama yang sama.”
Mahesa Jenar menggelengkan kepala. Lalu katanya, “Jangan
pura-pura terkejut, dan jangan katakan tentang nama yang sama. Kau
telah menyebut dirimu lengkap seperti diriku. Kau mengaku murid Ki Ageng
Pengging Sepuh dan bernama Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya.
Tidak sahabat. Tidak mungkin persamaan di antara kita sampai sedemikian
jauhnya.”
Kembali wajah orang itu membayangkan keheranan. Matanya menatap dengan tajamnya. Kemudian hampir berdesis ia berkata, ”Ki
Sanak, janganlah mencari persoalan. Kita belum saling mengenal
sebelumnya. Apakah sebabnya maka Ki Sanak bersikap sedemikian
terhadapku. Dalam keadaanku seperti sekarang ini, sebenarnya aku
memerlukan perlindungan dan sahabat. Barangkali kau dapat melihat apa
yang telah aku lakukan. Aku sedang berusaha menyelamatkan Pudak Wangi
dari tangan para penjahat itu. Dan gadis itu sudah berhasil aku
sembunyikan. Muridku yang bernama Arya Salaka telah hilang. Dan sekarang
aku sedang berusaha mencarinya.”
Mendengar uraian itu dada Mahesa Jenar
bergetar dahsyat. Tetapi Mahesa Jenar adalah seseorang yang berotak
cemerlang. Karena itu segera ia menjawab sambil menebak, ”Kalau
demikian, kaulah yang telah memancingku dan melibatkan diriku dalam goa
yang mempunyai ratusan cabang yang membingungkan itu, sehingga kau dapat
mengetahui dengan tepat bahwa muridku telah hilang.”
Kembali orang itu terkejut. Katanya kemudian, ”Anehlah
yang aku alami selama ini. Apa yang seharusnya aku katakan, sudah kau
katakan. Sedang kau merasa bahwa apa yang akan kau katakan, sudah aku
katakan.”
”Jangan memutar balik keadaan. Sekarang tunjukkan kepadaku, di mana Arya Salaka.” geram Mahesa Jenar yang mulai kehilangan kesabaran.
”Jangan mengigau,” bentak orang itu. ”Dengan igauanmu itu kau bisa membuat aku gila.”
Mendengar orang itu membentak-bentak,
darah Mahesa Jenar bertambah cepat mengalir. Segera ia merasa bahwa
suatu bentrokan jasmaniah sukar dihindarkan. Karena itu segera iapun
bersiaga penuh, sebab seperti telah disaksikan sendiri, orang yang
berdiri di hadapannya memiliki tingkat ilmu yang tinggi. Namun
bagaimanapun juga, Mahesa Jenar harus menghadapi setiap kemungkinan
dengan kejantanan. Maka iapun kemudian membentak pula, ”Apakah
keuntunganmu dengan segala macam ceritera isapan jempol itu? Nah,
sekarang katakan kepadaku, kepada Mahesa Jenar yang bergelar Rangga
Tohjaya, di mana muridku Arya Salaka dan di mana Pudak Wangi kau
sembunyikan?”
Orang itu menarik alisnya. Kemudian warna merah tersirat di wajahnya. Maka sahutnya, ”Tak
kusangka bahwa di dunia ini ada orang semacam kau ini. Orang yang
senang pada pertengkaran tanpa sebab. Aku juga tidak tahu, apakah
keuntunganmu dengan kelakuanmu yang aneh-aneh itu. Meskipun demikian apa
boleh buat. Agaknya kau hanya ingin mengetahui, benarkah Mahesa Jenar,
murid Ki Ageng Pengging Sepuh ini dapat menjunjung tinggi nama
perguruannya.”
Dada Mahesa Jenar menjadi semakin
bergelora ketika nama gurunya disebut-sebut, sehingga ia tak dapat
menahan diri. Dengan meloncat ia berteriak, ”Baiklah kita lihat, siapakah murid Ki Ageng Pengging Sepuh.”
Agaknya orang itu telah bersiaga pula.
Ketika serangan Mahesa Jenar tiba, segera ia mengelakkan diri. Bahkan
dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya, orang itu pun telah membalas
menyerang. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang sengit.
Pertempuran antara dua orang perkasa yang mempergunakan satu jenis ilmu
keturunan dari Ki Ageng Pengging Sepuh.
Yang memusingkan kepala Mahesa Jenar
adalah orang itu dapat bergerak dan mempergunakan ilmu peninggalan
gurunya dengan sempurna. Bahkan dalam beberapa hal, orang itu memiliki
kelebihan-kelebihan dari Mahesa Jenar.
Demikianlah kedua orang itu berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan kebenaran kata masing-masing.
Mahesa Jenar yang bertubuh tegap kekar
berjuang dengan tangguhnya seperti seekor banteng yang tak surut
menghadapi segala macam bahaya, sedang lawannya pun berjuang seperti
seekor banteng yang tak mengenal mundur. Sehingga perang tanding itu
merupakan perang tanding yang maha dahsyat. Apalagi seolah-olah bagi
kedua-duanya sudah saling dapat memperhitungkan gerakan-gerakan lawan.
Dengan demikian yang terjadi seakan-akan hanyalah suatu adu kekuatan.
Kalau dalam beberapa pertempuran mereka kadang-kadang berhasil menembus
kelemahan lawan dengan unsur-unsur gerak yang membingungkan, tetapi kali
ini mereka sama sekali tidak dapat saling mencuri kesempatan. Sebab
mereka seakan-akan mempunyai satu otak yang menggerakkan dua belah anak
permainan macanan dengan tangan kanan di sebelah dan tangan kiri di
sebelah lain.
Namun bagaimanapun juga kedua orang itu
adalah orang yang berbeda, sehingga dalam kenyataannya, mereka pun tidak
sama seluruhnya. Lawan Mahesa Jenar yang mengaku juga bernama Mahesa
Jenar itu ternyata memiliki kekuatan tubuh yang melampaui kekuatan tubuh
Mahesa Jenar, sehingga setelah mereka bertempur berputar-putar,
akhirnya terasalah bahwa Mahesa Jenar mulai terdesak. Hal ini terasa
pula olehnya, sehingga dengan demikian ia menjadi gelisah. Apapun yang
dilakukan, segala macam unsur gerak yang pernah dipelajari, tidak dapat
menolongnya, sebab orang itupun mampu melakukannya. Bahkan kemudian
terasa oleh Mahesa Jenar, bahwa seolah-olah ia telah berjalan mundur
beberapa tahun. Kalau beberapa orang sakti dapat menambah ilmu hampir
setiap saat, baginya, setelah sekian tahun terpisah dari gurunya,
seakan-akan sama sekali tak suatupun yang dicapainya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak
segera kehilangan akal. Jiwa kesatriaannya bergelora memenuhi dadanya,
sehingga apapun yang terjadi, sama sekali ia tidak gentar.
Beberapa saat kemudian, di langit ujung
Timur, terpencarlah warna kemerah-merahan fajar. Perlahan-lahan malam
yang kelam mulai berangsur surut. Semburat merah yang mewarnai daun-daun
ilalang hijau segera telah menimbulkan kesan tersendiri.
Dalam pada itu kedua orang yang bertempur
itu masih saja berjuang mati-matian. Di tengah-tengah rumpun-rumpun
ilalang itu, terjadilah semacam sawah yang baru dibajak oleh bekas-bekas
kaki yang bertempur dengan dahsyatnya.
Tetapi bagaimanapun juga akhirnya Mahesa
Jenar harus mengakui keunggulan lawannya, setelah ia berjuang sekuat
tenaga. Namun demikian ia sama sekali tidak mau mengorbankan diri. Dalam
setiap kemungkinan antara hidup dan mati, akhirnya terpaksalah ia
mempergunakan setiap kemungkinan untuk menolong jiwanya, selama itu
tidak melanggar kehormatan darah kesatriaannya. Maka karena itulah
sesaat kemudian, tampaklah ia mengangkat sebelah kakinya, tangan kirinya
menyilang dada, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi.
Melihat sikap itu, lawan Mahesa Jenar
yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat
berbuat sesuatu, sebab segera Mahesa Jenar meloncat maju dan melontarkan
pukulan Sasra Birawanya yang dahsyat. Ia hanya sempat melihat lawannya
itu menyilangkan kedua tangannya, dan sesudah itu, orang itu terlempar
beberapa langkah surut, dan kemudian jatuh terguling-guling.
Mahesa Jenar, setelah melihat akibat
pukulannya, berdiri mematung. Matanya tajam memandangi lawannya yang
dijatuhkannya itu. Tetapi sesaat kemudian ia terkejut, ketika ia melihat
orang itu tertatih-tatih berdiri. Agaknya pukulannya tidak membinasakan
lawannya. Tetapi setelah terkejut, iapun berlega hati, melihat lawannya
masih hidup. Sebab bagaimanapun juga, bukanlah maksudnya untuk membunuh
hanya karena sekedar ingin membunuh. Kalau ia terpaksa mempergunakan
aji Sasra Birawanya, adalah karena ia tidak mau terbunuh. Justru karena
itulah, ketika ia melihat orang yang dihantamnya itu masih hidup ia jadi
berbesar hati. Juga karena dengan demikian ia akan dapat menanyakan
dimana muridnya dan Pudak Wangi disembunyikan.
]Tetapi kemudian kembali ia terkejut
ketika orang yang dianggapnya sudah tak mampu lagi berbuat sesuatu
karena pukulannya, kecuali hanya berdiri itu, membalikkan diri dan
kemudian meloncat pergi. Sudah tentu Mahesa Jenar tidak membiarkannya.
Kalau orang itu tidak terbunuh oleh pukulannya, ia sudah heran. Apalagi
orang itu masih dapat berlari. Alangkah hebatnya daya tahan tubuhnya.
Karena itu, maka segera Mahesa Jenarpun
meloncat mengejar orang itu, yang ternyata masih dapat berlari cepat.
Maka terjadilah kejar-mengejar diantara batang-batang ilalang yang
tumbuh lebat melampaui tubuh manusia. Tetapi pendengaran dan penglihatan
Mahesa Jenar cukup tajam. Apalagi cahaya matahari sudah semakin terang.
Maka tampaklah setiap ujung batang-batang ilalang yang tergoyangkan
oleh sentuhan tubuh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Karena orang yang dikejarnya itu agaknya
telah terluka, maka semakin lama jarak merekapun semakin pendek pula,
sehingga Mahesa Jenar percaya, bahwa ia pasti akan dapat menangkap orang
itu.
Tetapi kemudian ia menjadi kecewa, ketika
ia tinggal meloncat saja beberapa langkah, orang yang dikejarnya itu
tiba-tiba merunduk dan seolah-olah lenyap diantara batu-batu. Itulah
lobang goa, tempat Mahesa Jenar menembus keluar.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiri
termangu-mangu. Namun ia tidak mau kehilangan waktu. Segera ia
berjongkok dan mendengarkan setiap desir di dalam goa itu, kalau-kalau
lawannya telah memancingnya, dan kemudian membinasakannya pada saat ia
merangkak masuk. Tetapi kemudian Mahesa Jenar mendengar suara
terbatuk-batuk, tidak di depan mulut goa. Agaknya lawannya telah
mengalami luka di dalam dadanya, dan sekaligus ia mengetahui bahwa
lawannya tidak pula berada di muka mulut goa itu, sehingga dengan
demikian segera ia melontarkan diri masuk ke dalamnya. Untuk beberapa
saat ia membiasakan matanya di dalam gelapnya goa. Dan setelah itu ia
perlahan-lahan berjalan sambil memperhatikan setiap suara yang
didengarnya. Sekali lagi ia mendengar suara lawannya terbatuk-batuk. Dan
karena itulah ia dapat mengenal arahnya. Dengan hati-hati
Mahesa Jenar menyusur dinding goa mendekati arah suara itu. Dan karena
ketajaman telinganya, akhirnya Mahesa Jenar menjadi semakin dekat.
Tetapi agaknya orang itupun bergerak pula semakin lama semakin dalam dan
melewati berpuluh-puluh cabang yang membingungkan. Namun Mahesa Jenar
telah bertekad untuk mengikuti orang itu sampai ditangkapnya. Sebab ia
yakin bahwa lukanya tidak akan mengijinkan orang itu bergerak leluasa.
Beberapa langkah kemudian, tiba-tiba
Mahesa Jenar tertegun. Ia sampai pada suatu ruangan yang agak lebar dan
tidak terlalu gelap. Ketika ia melihat ke atas, tampaklah beberapa
lobang-lobang yang tembus. Dari sanalah cahaya pagi jatuh menerangi
ruangan itu seperti ruangan-ruangan yang sering dipergunakan
bermain-main oleh para cantrik. Untuk beberapa lama, sekali lagi Mahesa
Jenar kebingungan. Sekarang ia sama sekali tidak lagi mendengar suara
apapun. Juga suara batuk-batuk orang yang dikejarnya itupun telah
lenyap.
Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi
marah kembali. Dengan saksama ditelitinya dinding ruangan itu
kalau-kalau ada yang mencurigakan. Tetapi selain pintu masuk yang
dilewatinya tadi, sama sekali tak diketemukannya lubang yang lain.
Dengan demikian ia menduga bahwa orang yang dicarinya masih berada di
dalam ruangan itu pula. Maka sekali lagi Mahesa Jenar meneliti setiap
relung ruang itu dengan lebih saksama lagi, sambil tetap mengawasi
satu-satunya lobang masuk ke dalam ruang itu.
Dan dugaannya ternyata benar. Ia terkejut sampai terlonjak ketika di belakangnya terdengar suara tertawa yang lunak perlahan.
Cepat-cepat ia memutar diri dan bersiaga.
Benarlah bahwa yang berdiri di hadapannya, di samping sebuah batu yang
besar, adalah orang yang dicari-carinya.
“Kau tak akan dapat melepaskan diri,” kata Mahesa Jenar.
Orang itu tidak menjawab. Ia maju
beberapa langkah mendekati Mahesa Jenar. Langkahnya tetap, tegap dan
cekatan. Karena itu maka Mahesa Jenar terkejut karenanya. Kalau
demikian, maka orang itu dapat melenyapkan luka-lukanya hanya dalam
waktu yang sangat singkat. Namun demikian Mahesa Jenar masih belum
yakin, bahwa orang itu telah terbebas sama sekali dari akibat
pukulannya. Maka katanya sekali lagi, “Katakan sekarang, di mana Arya Salaka.”
Orang itu berhenti beberapa langkah di
hadapannya dalam keremangan. Terdengarlah kembali ia tertawa perlahan.
Kemudian jawabnya, “Kau telah mencoba menirukan aji Sasra Birawa. Tetapi sayang, jelek sekali.”
Mendengar ejekan itu darah Mahesa Jenar
menggelegak sampai ke kepala. Ia tidak dapat lagi mengendalikan
perasaannya. Karena itu sekali lagi ia meloncat menyerang dengan
sengitnya. Kembali terjadi sebuah pertarungan yang hebat. Dua kekuatan
yang tangguh saling berjuang untuk mempertahankan nama masing-masing.
Tetapi beberapa saat kemudian Mahesa Jenar menjadi gelisah kembali.
Orang itu sama sekali telah terbebas dari luka-luka akibat pukulan yang
luar biasa. Disamping itu kemarahan Mahesa Jenar semakin membakar
hatinya. Dan apa yang dilakukannya kemudian adalah mengulangi apa yang
pernah dilakukan. Dipusatkannya segala kekuatan batinnya, disilangkannya
satu tangannya, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi,
sambil menekuk satu kaki ke depan, ia menggeram hebat siap mengayunkan
ajinya Sasra Birawa.
Sesaat sebelum tangannya menghantam
lawannya, dadanya terasa berdesir hebat ketika ia dalam sekejap melihat
lawannya, yang mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging
Sepuh itu, ternyata juga mengangkat satu kaki, menyilangkan tangan
kirinya di muka dada, serta mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Meskipun demikian Mahesa Jenar sudah
tidak sempat lagi membuat bermacam-macam pertimbangan. Apa yang
dilakukannya kemudian adalah, dengan garangnya ia meloncat dan
menghantam lawannya dengan sepenuh kekuatan dialasi dengan ajinya Sasra
Birawa yang dahsyat.
Tiba-tiba pada saat itu pula ia melihat
lawannya itupun berbuat demikian pula sehingga terjadilah benturan yang
maha dahsyat. Mahesa Jenar merasakan seolah-olah berpuluh-puluh petir
meledak bersama-sama di hadapan wajahnya. Udara yang panas yang jauh
lebih panas dari api, terasa memercik membakar seluruh tubuhnya. Setelah
itu, pemandangannya menjadi kuning berputar-putar, semakin lama semakin
gelap. Akhirnya tanah tempatnya berpijak seolah-olah berguguran jatuh
ke dalam jurang yang dalamnya tak terhingga. Sesudah itu tak satupun
yang diingatnya.
Ia tidak tahu, berapa lama ia pingsan.
Yang mula-mula terasa olehnya adalah
tetesan-tetesan air yang membasahi wajahnya. Perlahan-lahan Mahesa Jenar
mencoba membuka matanya. Mula-mula pemandangan di sekitarnya masih
tampak hitam melulu. Tetapi lambat laun, tampaklah samar-samar cahaya
matahari yang menembus lubang-lubang diatas ruangan itu, semakin lama
semakin terang. Sejalan dengan perkembangan kesadarannya. Kemudian,
ketika pikirannya sudah semakin terang, terasalah bahwa seluruh tubuhnya
basah kuyup. Agaknya seseorang telah menyiramkan air untuk
membangunkannya.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar berusaha
untuk mengingat-ingat apa yang terjadi. Ketika segala sesuatunya menjadi
semakin jelas, maka segera ia berusaha untuk bangkit. Tetapi agaknya
tubuhnya serasa dicopoti segala tulang-tulangnya. Karena itu ketika ia
mencoba mengangkat kepalanya, kembali ia jatuh terbaring.
Darahnya serasa menguap ketika ia
mendengar di sampingnya suara tertawa lunak perlahan. Segera ia
mengenal, siapakah orang itu. Namun bagaimanapun juga ia sama sekali
tidak mampu berbuat apa-apa.
“Ki sanak…” Terdengar orang itu berkata. “Jangan
mencoba-coba menjadi rangkapan Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging
Sepuh. Meskipun tiruan itu sudah kau lakukan dengan saksama, namun kalau
kebetulan kau bertemu dengan orangnya, seperti sekarang ini, segera
akan dapat dikenal kepalsuanmu. Meskipun demikian aku menjadi heran pula
bahwa apa yang kau lakukan sudah hampir dapat menyamai apa yang aku
lakukan. Dan agaknya kau telah mencoba pula mendalami ilmu Sasra Birawa.
Aku tidak tahu dari mana kau pelajari ilmu itu, namun dalam beberapa
hal, telah benar-benar mirip dengan Sasra Birawa yang sebenarnya.”
Mendengar ucapan-ucapan itu telinga
Mahesa Jenar rasanya menjadi terbakar. Ia menggeram beberapa kali, namun
ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat menggerakkan
kepalanya dan melihat orang yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu duduk
dengan enaknya di atas sebuah batu padas, disampingnya.
Beberapa saat kemudian orang itu kembali berkata, “Aku tidak sabar menunggui orang tidur terlalu lama, karena itu aku menyirammu dengan air. Ternyata kau terbangun karenanya.”
Mahesa Jenar ingin berteriak memaki-maki.
Namun suaranya tersumbat di kerongkongan. Yang terdengar hanyalah
sebuah desis kemarahan.
“Bagaimanapun juga, aku hormati ketebalan tekadmu”, sambung orang itu,
“Dalam keadaan yang demikian kau masih tetap pada pendirianmu. Karena
itulah aku belum membunuhmu. Sebab aku ingin mengetahui siapakah orang
yang telah berkeras hati mengaku bernama Mahesa Jenar.”
Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Perlahan-lahan, ia mencoba menjawab, “Jangan kau takut-takuti aku dengan kematian, sebab kematian bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti.”
“Bagus…!” Tiba-tiba orang itu meloncat berdiri. “Kau sendiri yang mengatakan. Jangan salahkan aku kalau aku membunuhmu sekarang.”
Mahesa Jenar bukan seorang penakut.
Apapun yang akan terjadi atasnya bukanlah suatu hal yang perlu
dicemaskan. Meskipun demikian ia menjadi gelisah ketika teringat oleh
Arya Salaka. Ia tidak tahu di mana anak itu sekarang berada. Apakah ia
masih hidup ataukah sudah mati di dalam relung dan lekuk-lekuk goa yang
membingungkan itu. Karena perasaan yang demikian itulah tiba-tiba tanpa
disengajanya ia berkata, “Kau bunuh aku atau tidak, itu bukanlah
urusanku, tetapi itu adalah urusanmu. Namun demikian katakan kepadaku
apakah Arya Salaka masih hidup atau sudah kau bunuh pula?”
Orang itu tertegun sejenak. Tetapi hanya sejenak. Kemudian terdengar ia tertawa. “Jangan
kau persulit dirimu, dan jangan kau kotori jalan kematianmu dengan
dongengan-dongengan yang kisruh itu. Ataukah barangkali kau mengharap
aku mengampuni kau untuk membantuku mencari muridku itu?”
“Cukup!” tiba-tiba Mahesa Jenar
berteriak nyaring. Seluruh sisa kekuatannya telah mendorongnya berbuat
demikian karena kemarahan yang tak tertahankan. “Kau mau membunuh, bunuhlah. Jangan membual.”
Sekali lagi terdengar suara tertawa.
Lunak dan hanya perlahan-lahan. Sesudah itu, orang yang menamakan diri
Mahesa Jenar itu melangkah justru menjauhi Mahesa Jenar. Katanya
kemudian setelah ia sampai ke mulut ruang itu, “Aku tidak mau
mengotori tanganku dengan membunuh orang semacam kau. Biarlah alam
membunuhmu. Kau tidak akan dapat keluar dari ruangan ini sampai ajalmu
tiba.” Setelah itu orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu
segera meloncat keluar dan terdengarlah suara berguguran. Beberapa batu
besar jatuh tertimbun menutupi lubang ruangan itu. Bersamaan dengan itu,
berguguran pulalah rasanya isi dada Mahesa Jenar. Ia ditinggalkan dalam
ruangan tertutup dalam keadaan yang demikian. Bukan main. Suatu
penghinaan yang tiada taranya. Sebagai seorang laki-laki ia lebih senang
hancur di dalam suatu pertempuran daripada dibiarkan mati kelaparan di
dalam sebuah goa.
Karena itulah dirasanya seluruh tubuhnya
mendidih. Seluruh isi rongga dadanya menggelegak seperti akan meledak.
Terasa betapa darahnya mengalir cepat dua kali lipat. Tetapi karena itu
pulalah terasa kekuatannya timbul kembali oleh dorongan perasaan yang
meluap-luap.
Dengan demikian maka sedikit demi sedikit
Mahesa Jenar mulai dapat menggerakkan tubuhnya, sehingga beberapa saat
kemudian ia telah mampu untuk mengangkat tubuhnya dan duduk tegak.
Matahari yang telah mencapai titik
tengah, sinarnya langsung tegak lurus menembus lubang-lubang di atas
ruangan itu dan membuat lingkaran-lingkaran di lantai. Udara yang lembab
di dalam goa itu rasa-rasanya jadi menguap oleh panas matahari.
Mahesa Jenar kemudian menjadi gelisah
karenanya. Ia tidak mau menyerah pada keadaan. Ia tidak mau membiarkan
dirinya mati kelaparan di dalam goa itu tanpa perlawanan. Maka dengan
segenap tenaga yang ada ia pun berdiri dan dengan terhuyung-huyung
berjalan sekeliling ruangan itu berpegangan dinding. Dua tiga langkah ia
masih terus beristirahat, sebab dadanya masih terasa nyeri, disamping
pertanyaan yang selalu memukul-mukul kepalanya. Siapakah gerangan orang
yang telah mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh,
yang mampu mempergunakan ilmu Sasra Birawa, dan justru lebih hebat dari
ilmunya. Menurut ceritera almarhum gurunya, maka Ki Ageng Pengging Sepuh
itu tidak mempunyai murid lain kecuali dirinya dan Ki Ageng Pengging
yang bernama Kebo Kenanga, almarhum, putera gurunya sendiri. Tiba-tiba
sekarang ia bertemu dengan seseorang yang memiliki ilmu gurunya itu
dengan sempurna. Bahkan orang itu telah mengaku bernama Mahesa Jenar dan
mempunyai seorang murid yang bernama Arya Salaka. Seolah-olah orang itu
ingin menyindir akan ketidakmampuannya sebagai seorang murid dari
perguruan Pengging.
Karena pertanyaan-pertanyaan itu, maka
kembali Mahesa Jenar merasa bahwa perkembangannya seolah-olah berhenti
setelah ia terpisah dari gurunya. Sejak itu, ia hanya berusaha untuk
mengamalkan ilmunya saja, tanpa berusaha untuk menambahnya. Dengan
demikian maka ia tidak akan dapat mencapai tingkat seperti gurunya.
Apabila hal yang demikian berlaku juga untuk murid-muridnya kelak, maka
perguruan Pengging semakin lama akan menjadi semakin surut. Padahal
seharusnya setiap murid akhirnya harus melampaui gurunya. Dengan
demikian ilmu akan berkembang terus.
Hati Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi
pedih. Pedih sekali. Justru kesadaran itu timbul ketika dirinya sudah
terkurung di dalam sebuah ruangan yang tertutup rapat. Mungkin ia dapat
menghantam di dinding-dinding ruangan itu dengan Sasra Birawa dan
membuat lubang untuk menemukan jalan keluar, tetapi agaknya sampai ia
mati kehabisan tenaga, usahanya mustahil akan berhasil.
Dalam penelitiannya itu, Mahesa Jenar
menemukan sebuah mata air kecil di belakang sebuah batu. Segera ia
berjongkok, dan membasahi kerongkongannya yang serasa kering dan panas.
Setelah itu terasa tubuhnya menjadi bertambah sehat.
Tetapi perasaannyalah yang tidak
berkembang seperti tubuhnya. Perasaannya yang pedih masih saja menyayat.
Tetapi tiba-tiba memancarlah suatu tekad. Tekad yang membawanya pada
suatu ketetapan hati, bahwa justru dalam keadaannya yang sekarang, ia
akan mengisi sisa hidupnya dengan suatu ketekunan, mendalami ilmunya
mati-matian. Dalam keadaannya itu tiba-tiba ia terkejut melihat bayangan
yang tegak berdiri pada sebuah relung dinding goa itu, sehingga ia
terlonjak berdiri. Tetapi ketika Mahesa Jenar semakin jelas melihat
menembus keremangan relung itu, sadarlah ia bahwa yang berdiri di situ
hanyalah sebuah patung batu yang belum sempurna. Meskipun demikian
hatinya tertarik pula untuk melihatnya. Siapakah yang sudah membuat
patung itu, justru di dalam sebuah ruangan jauh di dalam goa? Akh,
mungkin orang aneh yang telah menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Ketika ia telah semakin dekat, makin
jelaslah bahwa patung batu itu masih belum siap seluruhnya. Dan ketika
ia meraba-rabanya, tampaklah perubahan pada beberapa bagian. Pada bagian
tubuhnya ia melihat lumut-lumut liar merayapi hampir seluruh bagian,
tetapi di bagian kepalanya tampaklah luka-luka baru dari sebuah pahatan.
Tiba-tiba, ketika ia memandang kepala patung itu, hatinya
berdebar-debar. Ia melihat bunga melati terselip di atas kupingnya
sebelah kanan. Rambutnya berjuntai sebatang-sebatang sangat jarang,
sedang ikat kepalanya hanya dikalungkan di lehernya. Itu adalah
ciri-ciri khusus dari gurunya, Ki Ageng Pengging Sepuh, yang semula
bergelar Pangeran Handayaningrat.
Dan tiba-tiba, dari wajah patung itu
seolah-olah memancar suatu tuntutan darinya kepada Mahesa Jenar, apakah
yang dapat dicapainya sepeninggalnya.
Oleh pemandangan yang tak disangka-sangka
itu, hati Mahesa Jenar seperti dicengkam oleh suatu keadaan gaib. Tanpa
sesadarnya ia berjongkok dan menunduk hormat di hadapan patung itu.
Seolah-olah ia merasa berhadapan dengan almarhum gurunya.
Beberapa lama kemudian barulah ia
tersadar. Yang berdiri di hadapannya tidak lebih dari sebuah patung.
Patung yang mempunyai ciri-ciri khusus seperti gurunya, meskipun pahatan
wajahnya tidak sempurna. Namun demikian, Mahesa Jenar merasa, bahwa
patung itu dapat menjadi daya pengantar untuk mencapai suatu pemusatan
pikiran terhadap gurunya. Sekali lagi Mahesa Jenar merasa berada dalam
suatu alam yang gaib. Lewat patung itu ia mengenang seluruh jasa-jasa
gurunya. Seluruh cinta kasih yang pernah dilimpahkan kepadanya. Dan
seluruh pelajaran-pelajaran yang pernah diberikan. Dari huruf pertama
sampai huruf terakhir dalam ilmu tata berkelahi, jaya kawijayan dan
kasantikan. Ia telah menerima pelajaran pula, bagaimana ia harus
merangkai huruf itu menjadi kata-kata, dan kata-kata menjadi kalimat.
Dengan demikian sebenarnya ia telah mendapat dasar-dasar pendidikan
sepenuhnya. Bahkan sampai pada aji Sasra Birawa yang dahsyat itu pun
telah dapat dikuasainya. Soalnya kemudian, bagaimana ia dapat
mengendapkan ilmunya untuk mendapatkan inti sarinya.
Dalam keadaan yang demikian itulah, hati
Mahesa Jenar menyala berkobar-kobar. Tiba-tiba sekali lagi ia dikuasai
oleh keadaan yang khusus. Dengan menyebut kebesaran nama Allah, maka
tanpa sesadarnya ia mulai menggerakkan tubuhnya. Dimulailah
gerakan-gerakan yang pernah dipelajari, dari unsur gerak yang paling
sederhana. Satu demi satu. Kemudian unsur-unsur yang semakin sukar.
Seolah-olah ia sedang menempuh ujian di hadapan gurunya sendiri.
Demikianlah akhirnya Mahesa Jenar
bergerak semakin lama semakin cepat dan hebat. Orang yang bertempur
dengan dirinya, yang menamakan diri Mahesa Jenar itu ternyata telah
melengkapi unsur-unsur gerak yang telah hampir dilupakannya. Demikianlah
maka Mahesa Jenar tenggelam dalam satu pemusatan pikiran untuk
menyempurnakan seluruh ilmunya.
Dalam keadaannya itu Mahesa Jenar lupa
pada segala-galanya. Lupa pada keadaannya, lupa pada waktu, lupa pada
orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, bahkan ia lupa pula tentang
apa yang dilakukan itu. Demikianlah ia berjuang sebaik-baiknya,
mengungkap segala ilmu yang pernah dimiliki.
Tetapi Mahesa Jenar sekarang, bukanlah
Mahesa Jenar pada saat ia sedang mulai belajar dari gerakan pertama,
kedua dan berturut-turut. Sekarang, kecuali segala macam unsur-unsur
gerak yang pernah dipelajari, iapun pernah menempuh pengalaman yang luar
biasa, sehingga dengan demikian, tak disengajanya pula, segala macam
pengalaman itu menyusup masuk, melengkapi ilmunya sendiri. Dalam
pengembaraannya, ia pernah bertemu dengan tunas-tunas dari perguruan
putih dan hitam yang bermacam-macam. Ia pernah bertempur dengan Sarayuda
dari cabang Perguruan Pandan Alas yang terkenal dari Klurak, yang
justru sebenarnya orang Gunung Kidul, Gajah Sora, anak dan sekaligus
murid Ki Ageng Sora Dipayana, Banyubiru. Ia pernah bertempur dengan
murid-murid Pasingsingan seorang tokoh golongan hitam yang memiliki
bermacam-macam ilmu dari golongan putih, Sima Rodra dari Gunung Tidar,
Jaka Soka dari jenis perguruan golongan hitam di Nusakambangan, sepasang
Uling dari Rawa Pening yang mempunyai cara bertempur yang aneh dan
berpasangan. Mau tidak mau, semua jenis ilmu gerak itu saling
mempengaruhi. Juga bersama-sama dengan muridnya, Arya Salaka, Mahesa
Jenar pernah menekuni gerak gerik binatang hutan yang paling lemah,
sampai yang paling buas. Bagaimana yang lemah berusaha melepaskan diri
dari kekuasaan binatang yang buas dan kuat. Juga pertarungan antara
hidup dan mati antara binatang buas yang sama kuat, pertarungan maut
antara burung rajawali dengan ular naga yang besar.
Demikianlah Mahesa Jenar yang menjadi
seolah olah bergerak dengan sendirinya itu, tanpa setahunya telah
mengungkapkan satu jenis ilmu tata berkelahi yang maha dahsyat.
Pemusatan pikiran yang luar biasa dengan perantaraan patung disampingnya
itu, seolah olah Mahesa Jenar sedang mempertanggung jawabkan dirinya
dihadapan gurunya sendiri.
Matahari yang mula-mula memancar dengan
teriknya, semakin lama semakin jauh menjelajah kearah barat. Dan pada
saat mega putih berarak arak ke arah selatan, Matahari itu dengan
lelahnya menyusup kearah garis cakrawala, meninggalkan warna lembayung
yang tersirat dibalik mega-mega mewarnai wajah langit.
Pada saat itulah ruangan yang
dipergunakan oleh Mahesa Jenar itu dicengram oleh kehitaman warna-warna
yang lemah lembayung dilangit sama sekali tidak dapat menembus masuk
kedalamnya. Apalagi sebentar kemudian malam telah menjadi semakin kelam.
Pada saat itulah Mahesa Jenar baru merasa seluruh tubuhnya menjadi
lelah. Kecuali keadaan tubuh yang memang belum pulih benar akibat
benturan aji Sasra Birawa, juga ia telah mencurahkan tenaga melampaui
batas. Karena itulah, maka Mahesa Jenar menghentikan latihannya. Dengan
meraba-raba dinding ia menyelusur kearah mata air didalam ruangan itu
dibelakang sebuah batu. Karena kelelahan dan haus maka Mahesa Jenar
segera minum sepuas-puasnya. Setelah itu iapun segera kembali kemuka
patung yang mempunyai ciri gurunya. Dihadapan patung itulah Mahesa Jenar
merebahkan dirinya untuk beristirahat.
Tetapi meskipun demikian, perasaannya yang sudah terikat pada patung itu, seolah-olah mempunyai kewajiban untuk menjaganya.
Maka ketika diluar goa itu binatang malam
mulai meraja di padang ilalang dan lapangan rumput, mulailah Mahesa
Jenar tenggelam kealam mimpi. Ia tertidur karena kelelahan…
Di langit bintang menari-nari dengan
riangnya diiringi dendang angin yang berhembus lemah. Lubang lubang
diatas ruang yang banyakterdapat didalam goa itu karena hembusan angin,
menimbulkan bunyi-bunyi yang beraneka warna. Dari nada rendah sampai
nada tinggi.
Mahesa Jenar terbangun pada saat matahari
melemparkan sinarnya yang pertama. Dari lubang-lubang diatas ruangan
itu Mahesa Jenar dapat melihat betapa riangnya langit menerima senyuman
Matahari pagi.
Bersamaan dengan itu, terasa seakan akan
datanglah waktunya bagi Mahesa Jenar untuk memulai lagi kewajibannya
terhadap gurunya. Dengan khidmat ia berjongkok dimuka patung batu itu,
dengan perantaraannya mulailah ia memusatkan pikirannya atas semua
ajaran almarhum gurunya. Apabila pikirannya telah benar-benar terpusat,
serta dalam pendekatan diri setinggi-tingginya kepada Tuhan Yang Maha
Esa, mulailah ia dengan pendalaman ilmu yang pernah diterimanya.
Demikianlah apa yang dilakukan Mahesa
Jenar. Tekun melatih diri. Mengulangi dan menghubungkan satu sama lain
untuk kemudian mencari intisarinya.
Hari demi hari telah dilampauinya.
Bagaimanapun kuat tubuh Mahesa Jenar, namun dalam kerja yang sedemikian
keras dan tekun, hanya dengan minum saja, tanpa sebutir makananpun,
akhirnya tubuhnya menjadi semakin lemah. Tetapi tidak demikian dengan
jiwanya. Perkembangan jiwanya bertentangan dengan perkembangan tubuhnya.
Semakin lemah keadaan tubuhnya, jiwanya bertambah membaja. Akhirnya,
ketika pada suatu saat tubuhnya telah menjadi lemah benar karena telah
berulang kali memperdahsyat aji Sasra Birawanya. Mahesa Jenar tidak lagi
dapat berbuat banyak. Jasmaninya adalah wadag yang terbatas.

Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar
sedang mengagumi tenaganya sendiri, terdengarlah sebuah suara tertawa
yang lemah perlahan-lahan di belakangnya. Mahesa Jenar terkejut bukan
main, dan dengan segera ia memutar tubuhnya, menghadap arah suara itu.
Tetapi pada saat itu, ruang di dalam goa itu sudah mulai gelap, sehingga
Mahesa Jenar tidak segera melihat sesuatu.
“Suatu latihan yang hebat,” tiba-tiba
terdengar suara dari arah patung batu. Mendengar suara itu Mahesa Jenar
seperti orang bermimpi. Kata-kata itulah yang sering diucapkan oleh
gurunya. Adakah patung batu itu benar-benar telah berubah menjadi
gurunya? Sesaat kemudian kembali terdengar suara, “Beristirahatlah, hari masih panjang.” Sekali lagi Mahesa Jenar tersentak. Gurunya selalu menasehatinya demikian kalau ia terlalu letih berlatih.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar melangkah
maju mendekati patung itu. Ia menjadi ragu. Bagaimanapun juga, patung
itu baginya tidak lebih daripada batu-batu biasa. Yang kebetulan dapat
dipergunakan sebagai pancatan untuk memusatkan pikirannya. Tidak lebih
dari pada itu. Tetapi kalau tiba-tiba patung itu dapat berbicara adalah
diluar nalar.
Tetapi tiba-tiba ia menjadi terkejut
sekali lagi. Ia melihat bayangan yang bergerak-gerak di belakang patung
itu. Dan di dalam relung itu dilihatnya pula bayangan yang lebih kelam
dari sekitarnya. Cepat Mahesa Jenar dapat mengetahui, bahwa di belakang
patung itu ternyata ada sebuah pintu yang dapat ditutup dan dibuka, yang
dibuat dari batu-batu pula, sehingga tidak diketahuinya sebelum itu.
“Siapakah kau…?” desis Mahesa Jenar bertanya.
“Jangan bertanya demikian,” jawab suara itu.
“Seharusnya kau sudah tahu bahwa Mahesa Jenar datang menjengukmu.”
Mendengar jawaban itu hati Mahesa Jenar
tergetar. Tetapi sekarang ia sudah mendapat suatu keyakinan tentang
dirinya, sehingga dengan demikian ia menjadi bertambah tenang. Maka
katanya kemudian, “Adakah yang menarik hati bagimu, sehingga kau perlukan menjenguk aku?”
“Ada,” jawab orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu.
“Lewat lubang itu aku dapat mengintip apa yang selama ini kau lakukan.”
“Kau keberatan?” sahut Mahesa Jenar.
“Tidak,” jawabnya, “Aku tidak pernah keberatan terhadap kelakuan orang lain yang tidak merugikan diriku, apalagi tidak merugikan orang banyak. Apa yang kau lakukan tidak lebih dari sebuah pertunjukan yang menyenangkan.”
Meskipun Mahesa Jenar tidak senang mendengar kata-kata itu, namun ia masih diam saja.
“Dengan pertunjukanmu itu aku pasti…” sambung orang itu, “Bahwa
kau pernah membaca lontar kisah Mahabarata. Kisah seseorang yang tak
berhasil berguru kepada seorang Pandeta yang bernama Kombayana. Orang
itu, yang bernama Bambang Ekalaya atau lebih terkenal dengan nama
Palgunadi, kemudian membuat patung. Patung Pendeta itu. Pada patung itu
ia berguru. Dan akhirnya benarlah ia dapat menyamai kesaktian murid
Kombayana yang paling dahsyat dalam olah jemparing, yaitu Raden Arjuna.”
Mahesa Jenar merenung sebentar. Memang ia
pernah mendengar ceritera itu. Dan apa yang dilakukan memang mirip
sekali. Tetapi pada saat ia memulainya, ia sama sekali tidak pernah
berpikir, apalagi sengaja menirukan apa yang pernah dilakukan oleh
Bambang Palgunadi. Mengingat peristiwa itu ia menjadi geli sendiri. Lalu
jawabnya, “Kau benar. Mudah-mudahan akupun berhasil pula seperti Palgunadi.”
Tiba-tiba orang itu tertawa tinggi. Katanya, “Kau benar-benar pemimpi. Yang
bisa terjadi semacam itu, hanyalah didalam suatu dongeng saja. Dan kau
agaknya ingin menjadi salah seorang tokoh dongeng-dongeng semacam itu.”
Mahesa Jenar mengangkat pundaknya. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Aku hanya mencoba.”
“Bagus,” sahut orang itu melengking dengan nada yang berbeda. “Aku akan melihat apakah kau berhasil,” sambungnya.
Setelah itu tiba-tiba ia meloncat maju.
Meskipun ruangan itu sudah menjadi semakin gelap, namun Mahesa Jenar
masih melihat orang itu menyilangkan satu tangannya, tangannya yang lain
diangkatnya tinggi-tinggi, sedang satu kakinya dingkatnya dan ditekuk
ke depan.
Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Ia
sama sekali tidak menduga bahwa dalam gerakan yang pertama orang itu
telah menyiapkan suatu bentuk aji yang mirip dengan ajinya Sasra Birawa,
bahkan orang itupun menamainya demikian.
Dalam pada itu Mahesa Jenar sadar bahwa
kekuatan aji orang itu adalah sangat dahsyatnya. Beberapa hari yang
lalu, ia menjadi pingsan karena benturan yang hebat. Sekarang tiba-tiba
orang itu akan mengulanginya kembali. Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat
berbuat lain daripada berusaha menyelamatkan diri. Karena itu, segera
iapun berbuat hal yang sama dengan tubuhnya yang lemah. Ia mengharap
setidak-tidaknya, dengan perlawanannya itu, akan dapat mengurangi
tekanan yang dideritanya karena pukulan aji lawannya.
Sesaat kemudian ia melihat orang itu
meloncat ke depan, dan dengan derasnya mengayunkan tangan kanannya. Pada
saat yang bersamaan, Mahesa Jenar pun dengan segenap kekuatan lahir
batin yang disalurkan dalam aji Sasra Birawa, menghantam tangan yang
terayun ke arah kepalanya itu.
Maka terjadilah suatu benturan yang maha
dahsyat. Dua macam kekuatan ilmu sakti yang oleh para pemiliknya dinamai
Aji Sasra Birawa telah berbenturan. Dan benturan kali ini lebih dahsyat
dari benturan kedua kekuatan sakti itu beberapa waktu yang lalu, karena
Mahesa Jenar telah menemukan inti kekuatan ilmunya.
Meskipun demikian bagaimanapun juga,
keadaan jasmaniah mereka mempengaruhi pula. Mahesa Jenar yang telah
sekian lama tersekap di dalam goa itu tanpa sebutir makananpun, harus
berbenturan melawan seorang yang segar bugar. Namun pancaran kekuatan
yang tersembunyi di balik kekuatan jasmaniah, ternyata memiliki
kemampuan yang nggegirisi.
Demikianlah ketika benturan itu terjadi,
ternyata kedua orang itu bersama terlempar surut. Orang yang menamakan
diri Mahesa Jenar itu, merasakan pula betapa hebat pukulan lawannya,
sehingga ia terpaksa jatuh sekali berguling, barulah ia dapat tegak
kembali. Tetapi dalam pada itu, Mahesa Jenar sendiri terdorong jauh ke
belakang sehingga tubuhnya membentur dinding goa.
Setelah itu dengan lemahnya Mahesa Jenar
terduduk di lantai. Tetapi dalam pada itu terbesitlah suatu perasaan
yang aneh dalam dirinya. Meskipun ia terlempar sampai membentur dinding
goa, dan kemudian dengan lemahnya terduduk di lantai seperti orang yang
kehilangan seluruh tulang-tulangnya, namun dalam benturan itu ia tidak
lagi merasakan percikan panas yang membakar seluruh tubuhnya seperti
yang dialaminya dahulu. Juga kali inipun kepalanya tidak menjadi pening
berkunang-kunang dan ia tidak pingsan. Dengan demikian, timbul pulalah
suatu pikiran di dalam kepalanya, seandainya keadaan jasmaniahnya tidak
terlalu jelek, mungkin akan dapat mengimbangi pukulan lawannya. Tetapi
disamping perasaan gembira yang membersit di dalam dadanya itu, iapun
menjadi cemas kalau-kalau lawannya itu akan mengulangi serangannya untuk
membinasakannya. Meskipun ia sama sekali tidak takut mati, namun ia
masih menginginkan untuk menurunkan ilmu Perguruan Pengging itu kepada
Arya Salaka. Dan karena itulah, terdorong oleh kemauannya yang keras dan
tekad yang mantap, terasalah bahwa perlahan-lahan kekuatannya timbul
kembali. Sehingga meskipun ia masih harus berpegangan pada dinding goa,
namun iapun berhasil untuk berdiri dan menanti apa yang akan terjadi.
Disamping itu ia bersyukur pula, bahwa kini di dalam ruangan itu telah
menjadi semakin gelap. Dengan demikian ia mengharap bahwa orang itu
tidak lagi akan menyerang segera. Kalau saja orang itu menundanya sampai
esok, mungkin ia telah mendapatkan sebagian dari kekuatannya kembali.
Dalam kegelapan itu, maka Mahesa Jenar yang tajam, masih mampu menangkap
bayangan samar-samar di hadapannya. Tetapi sampai sekian lama ia
menyaksikan bayangan itu tegak tak bergerak.
Dan kemudian ternyatalah, apa yang diharapkan Mahesa Jenar. Sebab ruangan yang semakin kelam, maka orang itu pun berkata, “Untunglah
bagimu, ruangan ini menjadi amat gelap sehingga aku berhasrat untuk
menunda umurmu sampai besok. Tetapi bagaimanapun juga aku jadi heran.
Iblis mana yang telah merasuk dalam tanganmu, sehingga kau mampu melawan
Sasra Birawa tanpa cidera.”
Mahesa Jenar menarik nafas. Ia menjadi lega oleh keputusan lawannya. Tetapi ia menjawab sindiran itu, “Bukankah kau telah berceritera tentang Ekalaya dan Pendeta Kombayana?”
Tiba-tiba orang itu tertawa. Nyaring dan panjang. Katanya kemudian, “Bagus, kau telah menghidupkan sebuah cerita petikan dari Mahabarata. Dan aku ingin melihat akhir dari cerita ini. Apakah kau benar-benar mampu menandingi aku.”
“Mudah-mudahan,” jawab Mahesa Jenar pendek.
Sekali lagi orang itu tertawa. Kemudian sambungnya, “Tetapi
aku ingin bertindak adil. Aku tidak mau memenangkan pertempuran ini
melawan seseorang yang hampir mati kelaparan. Tunggulah kau di sini, aku
akan membawa makanan untukmu.”
Kemudian terdengarlah orang itu melangkah pergi.
Mahesa Jenar berdiri termangu-mangu. Ia semakin tidak mengerti kelakuan orang yang juga menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Sesaat kemudian, apa yang dijanjikan
orang itu terjadilah. Ia masuk kembali lewat mulut goa yang mula-mula
ditutupinya dengan reruntuhan batu-batu, yang kemudian terbuka kembali
karena tangan Mahesa Jenar.
Di tangan kanannya ia memegang sebuah obor dan di tangan kirinya sebuah bungkusan daun pisang.
Ia langsung duduk di tengah-tengah ruangan itu, sambil membuka bungkusannya ia berkata, “Kemarilah. Duduklah dan makanlah bersama aku.”
Mahesa Jenar tidak membantah. Tetapi
mula-mula ia pergi dahulu ke mata air. Sesudah minum beberapa teguk baru
ia duduk di depan orang yang juga menamakan diri Mahesa Jenar itu.
“Makanlah,” desak orang itu. “Atau kau takut aku meracunmu?”
Mahesa Jenar menggeleng. “Tidak,” jawabnya. “Orang semacam kau ini pasti tidak akan meracun orang. Sebab kau terlalu yakin akan kesaktianmu.”
Sejenak kemudian mereka berdiam diri
sambil menikmati isi bungkusan yang dibawa oleh orang yang menamakan
diri Mahesa Jenar itu, yang ternyata adalah seonggok nasi dengan lauk
pauknya. Goreng ikan gurami.
Mula-mula Mahesa Jenar tidak menaruh
perhatian sama sekali kepada jenis makanan ini. Tetapi beberapa saat
kemudian ia mulai berpikir.
Dari manakah orang itu mendapat goreng ikan gurami. Ataukah di dalam goa ini terdapat alat untuk menggoreng dan kolam ikan gurami?
“Kau telah berbuat suatu kesalahan,” desisnya.
Orang itu terkejut. “Kesalahan…?” ia bertanya.
Mahesa Jenar mengangguk. Sambil menunjuk sisa ikan gurami itu ia berkata, “Mahesa Jenar yang kehilangan muridnya di dalam goa ini tidak akan menemukan goreng ikan gurami dengan demikian mudahnya.”
Kembali orang itu terkejut. Tetapi hanya sebentar, sebab sebentar kemudian ia tertawa tinggi.
Sambil masih menyuapi mulutnya ia menjawab, “Kau
memang suka ngotak-atik. Apa salahnya kalau aku mendapat goreng ikan
gurami? Aku tangkap ikan ini di kolam di sebelah selatan goa ini.”
“Dari mana kau dapat minyak?” potong Mahesa Jenar.
Orang itu terdiam sebentar, lalu katanya, “Sekarang
ternyata kalau kau tak tahu sama sekali ujung pangkal tempat ini. Aku
berada di dalam goa ini atas petunjuk seorang pendeta sakti yang bernama
Panembahan Ismaya bersama muridku Arya Salaka. Tetapi sesaaat kemudian
muridku itu hilang.”
“Adakah seorang Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh perlu bersembunyi di dalam goa?” bantah Mahesa Jenar.
Sekali lagi orang itu terdiam. Setelah berpikir sebentar barulah ia menjawab, “Kalau kau mengaku pula bernama Mahesa Jenar, apa pula kerjamu di sini?”
Mahesa Jenar membetulkan duduknya. Ia merasa mendapat sesuatu dari percakapan itu. Jawabnya, “Aku masuk ke dalam goa ini karena aku mengejar kau, orang yang mengaku bernama Mahesa Jenar.”
“Tetapi menurut katamu…” sahut orang itu, “Kau
telah berada di dalam goa ini sebelumnya. Bukankah kau menuduh aku
memancingmu, memisahkanmu dari seorang yang kau aku menjadi muridmu?”
“Kalau begitu, kita telah menghuni goa ini bersama-sama. Namun ada bedanya,” jawab Mahesa Jenar. “Kau agaknya telah mengenal segenap lekuk liku goa ini. Aku belum.”
“Aku berada dalam goa ini karena ijin yang memiliki,” potong orang itu. “Kau agaknya seorang penghuni gelap?”
Mahesa Jenar tertawa pendek. Ia merasa kehilangan jalan. Karena itu ia berdiam diri.
Suasana kemudian menjadi hening. Namun
dalam keheningan itu, Mahesa Jenar tidak luput dari suatu keadaan yang
sibuk. Sibuk berpikir dan menebak-nebak. Ia merasa bahwa pasti ada suatu
maksud yang tersembunyi. Mungkin orang itu sudah tahu bahwa dialah
sebenarnya yang bernama Mahesa Jenar.
Tiba-tiba Mahesa Jenar bertanya menyentak, “Kau belum menjawab pertanyaanku, dari mana kau mendapat minyak goreng?”
Orang itu pun terkejut. Jawabnya, “Sudah aku katakan, dari cantrik padepokan Karang Tumaritis.”
“Kenapa kau bersembunyi dalam goa ini?” desak Mahesa Jenar cepat.
“Beberapa orang sakti mencari aku untuk membalas dendam,” jawabnya secepat pertanyaan Mahesa Jenar.
“Kau takut?” desak Mahesa Jenar pula.
“Tidak. Tetapi aku tidak akan mampu melawan mereka.”
“Bohong!” bentak Mahesa Jenar.
Orang itu terkejut. Pandangannya jadi semakin tajam.
“Kau sudah berada diantara mereka. Dan mereka tidak dapat menangkapmu.” potong Mahesa Jenar.
Tiba-tiba mata orang itu menjadi merah. Agaknya ia menjadi marah.
Tetapi Mahesa Jenar tidak peduli. Ia berkata terus, “Ada
beberapa pertentangan dalam ocehanmu. Kau bersembunyi karena
orang-orang sakti yang mengejarmu untuk membalas dendam, tetapi kau
telah berada diantara mereka, dan mereka ternyata tak dapat berbuat
sesuatu. Kemudian kau katakan bahwa kau kehilangan muridmu di dalam goa
ini, sedang agaknya kau mengenal segala lekuk-likunya, sehingga
mustahillah bahwa kau tak dapat menemukannya. Ataupun kalau murid yang
kau katakan itu hilang diluar goa ini, kau akan dapat minta tolong
kepada Panembahan Ismaya dan cantrik-cantriknya untuk mencarinya. Nah,
sekarang katakan kepadaku. Apakah maksudmu sebenarnya dengan mengaku
bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh?”
ORANG itu menjadi semakin marah mendengar
kata-kata Mahesa Jenar yang menghambur seperti bendungan pecah. Tetapi
Mahesa Jenar masih belum berhenti, sambungnya, “Apalagi kau dapat
berceritera tentang semua pengalaman dan peristiwa yang aku alami.
Bahkan sampai pada ke persoalan hubungan antara aku dan orang-orang
sakti yang mengejarku?”
Orang itu sudah tidak sabar lagi. Dengan kerasnya ia membentak, “Cukup!”. Lalu tubuhnya menjadi gemetar, dan tiba-tiba ia meloncat berdiri. Katanya melanjutkan dengan suara gemetar, “Kau
memancing kemarahanku. Aku sudah ingin menunda umurmu sampai besok.
Tetapi ternyata kau ingin menyerahkannya sekarang. Berdirilah, dan
jangan mati berpangku tangan. Apakah kau akan membanggakan Sasra Birawa
tiruan yang hanya mampu memecah batu itu. Itu hanyalah suatu pameran
jasmaniah yang sama sekali tak berharga.”
Setelah itu ia mencari sebuah batu untuk menyandarkan obornya. Kemudian sambil mempersiapkan diri ia berkata, “Marilah kita mulai. Jangan lewatkan waktu dengan sia-sia.”
Sekali lagi Mahesa Jenar terkejut bukan
kepalang. Kalimat itu adalah kalimat yang sering diucapkan oleh gurunya
pula. Sudah beberapa kali ia mendengar orang yang menamakan dirinya
Mahesa Jenar itu pasti mempunyai hubungan dengan gurunya. Kalau tidak,
tidak akan ia menyebut beberapa kata-kata yang bersamaan. Yang selalu
ditujukan kepada dirinya dan saudara seperguruannya almarhum.
Sebelum ia menemukan suatu jawaban,
terdengar orang itu berkata pula, “Berdirilah, dan pergunakan Sasra
Birawa buatanmu yang tidak lebih dari sebuah pedang yang tumpul. Dengan
pedang yang berat dan tumpul itu, kau dapat mematahkan besi gligen,
dengan mengandalkan kekuatan jasmaniah. Tetapi kalau ada sehelai kapuk
yang melayang-layang dibawa angin, pedangmu itu tidak akan berguna. Kau
tidak akan mampu membelah helaian kapuk itu bagaimanapun kuatnya tenaga
jasmanimu. Tetapi untuk memotongnya, kau perlukan sebuah pedang yang
tidak perlu berat dan kuat, namun ia harus tajam setajam perasaanmu.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tersentak.
Kata-kata itu sama sekali bukan kata-kata seorang yang marah dan akan
membunuhnya. Tetapi justru kata-kata yang sangat diperlukannya. Dengan
mesu raga, ia sekarang mampu menangkap isi katakata itu. Bahkan justru
sebagai penjelasan atas perbedaan watak dari gerak-gerak wadagnya dan
gerak-gerak dirinya yang dilihatnya di luar wadagnya. Tetapi sekali. Dua
buah pedang yang berat, kuat namun tumpul, yang mampu memecah henda
apapun, dan yang lain pedang yang ringan, tetapi bermata tajam. Hanya
dengan pedang semacam itulah ia akan mampu memotong sehelai kapuk yang
diterbangkan angin.
Apalagi di dalam kata-katanya, orang itu
ternyata menganggapnya, betapa tajam perasaannya. Sehingga untuk
memangkas kapuk yang diterbangkan angin diperlukan pedang setajam
perasaannya. Sesaat kemudian kembali orang itu berkata, “Berdirilah, aku sudah hampir
mulai.”
mulai.”
Tetapi Mahesa Jenar tidak juga mau
berdiri. Ditatapnya saja wajah orang yang menamakan diri Mahesa Jenar
itu, seolah-olah sampai menembus ke dalam otaknya. Didalam cahaya obor
yang masih menyala-nyala disamping mereka. Mahesa Jenar dapat melihat
wajah itu dengan agak jelas. Kalau orang itu dihilangkan rambut-rambut
yang melingkari mukanya, ia akan dapat memastikan, bahwa tak seorangpun
akan mengenalnya sebagai Mahesa Jenar. Tetapi yang mengherankan, segala
gerak, tingkah-laku serta setiap unsur gerak yang dilakukan adalah tepat
seperti yang dikenal dan dilakukannya. Bahkan tidaklah mungkin, bahwa
secara kebetulan orang itu mengulang kata-kata gurunya sampai beberapa
kali.
Karena itulah maka ia sampai pada suatu
kesimpulan, bahwa orang itu pasti mempunyai hubungan dengan gurunya.
Apapun sifatnya. Dengan demikian maka tidak sewajarnyalah kalau ia
melawannya.
Bahkan ketika sekali lagi orang yang berdiri dihadapannya itu menyuruhnya berdiri, Mahesa Jenar menjawab, “Tidak. Aku lebih senang duduk menikmati makanan yang kau bawa.”
“Kau takut menghadapi kematian?” tanya orang itu.
“Sejak semula aku berkata, bahwa kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan,” jawab Mahesa Jenar.
“Kalau begitu kau menunggu apa lagi?” desak orang itu tidak sabar.
“Kau benar-benar mau berkelahi?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Sebagaimana kau lihat. Aku sudah siap,” jawabnya.
“Aku tidak,” potong Mahesa Jenar.
“Kau takut?” sahut orang itu.
Mahesa Jenar menggeleng. Katanya, “Aku tidak takut. Tetapi aku tidak akan dapat menyamai kesaktianmu. Tidak ada gunanya.”
Mendengar jawaban itu, orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Nah,
kalau begitu kau mengaku sekarang, bahwa kau bukanlah Mahesa Jenar,
murid Ki Ageng Pengging Sepuh. Sebab Mahesa Jenar bukanlah seorang
pengecut.”
“Siapa bilang?,” bantah Mahesa Jenar. “Aku
tidak mengatakan bahwa aku bukan Mahesa Jenar. Tetapi bukan berarti
bahwa di dunia ini tak ada seorang pun yang melampaui kesaktianku. Diantaranya kau.”
Tiba-tiba orang itu jadi kesal sekali. Karena itu ia membentak, “aku akan membunuhmu. Melawan atau tidak melawan.”
“Ki sanak,” jawab Mahesa Jenar dengan tenangnya. Agaknya ia sudah menemukan jalan untuk mendapatkan suatu ketegasan. “Aku
mempunyai usul. Kenapa persoalan ini harus diselesaikan dengan sebuah
perkelahian? Menurut katamu kau disembunyikan disini oleh seorang
Panembahan sakti yang bernama Panembahan Ismaya. Akupun seharusnya
berkata demikian pula kepadamu. Karena itu biarlah Panembahan itu yang
memilih satu diantara kita, siapakah yang dianggapnya benar-benar Mahesa
Jenar.”
“Tidak perlu pihak ketiga. Marilah kita selesaikan soal kita sendiri.”
Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya, “aku
makin yakin sekarang bahwa aku tidak perlu berkelahi. Sebab kau sama
sekali tidak bermaksud bertempur untuk mempertahan-kan suatu kebenaran
dan keyakinan, tetapi kau ingin bertempur karena nafsu ketamakanmu.
Nafsu ingin mempertunjukkan kemenanganmu dan kesaktianmu.”
“Omong kosong,” potong orang itu.
“Aku menantangmu karena kau telah
menamakan dirimu Mahesa Jenar. Bukankah dengan demikian kau meniadakan
adaku sebagai Mahesa Jenar yang sebenarnya?.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum.
Ternyata karena keyakinan pada dirinya sudah bertambah sempurna sehingga
ia tidak lagi bersikap menentang dan tidak lagi membiarkan perasaannya
bergolak. Jawabnya, “kau menganggap dirimu Mahesa Jenar ?.“
“Aku tidak menganggap demikian,” bantah orang itu, “sebab aku memang demikian sebenarnya.“
“Kau dapat berkata demikian kepada orang lain, bahkan kepadaku. Kepada Mahesa Jenar murid Ki Ageng Pengging Sepuh, ” sahut Mahesa Jenar. “Tetapi dapatkan kau berkata demikian kepada dirimu sendiri. Kepada hatimu ?”
Orang itu tiba-tiba menjadi gelisah. tetapi ia diam saja.
“Nah ki sanak. Sebenarnya kau tak usah mempersulit dirimu, ” sambung Mahesa Jenar. “Kau
dapat berbuat sekehendakmu tanpa suatu kesaksianpun di sini. Apakah kau
menamakan dirimu Mahesa Jenar atau bukan di hadapanku, sesudah kau
berhasil membunuhku, akibatnya akan sama saja.”
“Aku jadi yakin terhadap suatu kebenaran tentang dirimu,” tiba-tiba orang itu berkata. “bahwa otakmu memang tidak jelek.”
Sekali lagi Mahesa Jenar terguncang.
Orang yang menamakan dirinya Mahesa Jenar itu sekali lagi membuat heran
dengan kalimat kalimat yang pernah diucapkan gurunya. Sehingga dengan
demikian Mahesa Jenar menjadi semakin yakin pula bahwa orang itu pasti
mempunyai hubungan dengan gurunya. Karena itu ia tidak mau memperpanjang
keadaan dalam belitan pertanyaan-pertanyaan.
Karena itu segera Mahesa Jenar
memperbaiki duduknya menghadap kearah orang yang menamakan dirinya
Mahesa Jenar, yang berdiri tegak dihadapannya. Dengan hidmadnya ia
membungkuk hormat sambil berkata, “Tuan, sudah beberapa kali aku
mendengar tuan mengucapkan kalimat-kalimat yang sering diucapkan oleh
almarhum guruku, ki Ageng Pengging Sepuh. Karena itu aku mengharap agar
tuan tidak terlalu lama mengaduk otakku dengan teka-teki yang tuan
berikan mengenai diri tuan.”
Orang itu memandang Mahesa Jenar dengan
tajamnya. Tetapi mata itu makin lama semakin menjadi lunak. Dengan
sebuah senyuman ia menjawab, “Jadi kau benar-benar percaya bahwa aku
bernama Mahesa Jenar? Bukankah kau akui bahwa aku dapat menirukan
beberapa kalimat yang pernah diucapkan oleh guruku ki Ageng Pengging
Sepuh?.”
“Maafkanlah,” jawab Mahesa Jenar, “bagaimana
aku dapat percaya bahwa diriku dapat dipecah menjadi dua orang. Aku dan
tuan. Tetapi bahwa tuan dapat menirukan kalimat-kalimat ki Ageng
Pengging Sepuh, aku tidak akan membantah, karena itu aku ingin tuan
memecahkan jawaban itu.”
Sekali lagi orang itu tersenyum. Lalu perlahan-lahan berjalan mendekat Mahesa Jenar.
“Kalau kau tidak percaya bahwa aku Mahesa Jenar, lau siapakah aku menurut pendapatmu?,” katanya.
“Aku tidak tahu,” jawab Mahesa Jenar.
“Kau terlalu membiarkan perasaan
marahmu menjalari otakmu, sehingga kau tidak dapat lagi melihat lebih
saksama. Tetapi sekarang agaknya kau telah berhasil mengendapkan diri,
karena itu dengan gembira aku melihat, bahwa kau tidak lagi mudah
dipaksa untuk berkelahi, tanpa tujuan.”
“Mahesa Jenar. Tidakkah kau dapat mengingat-ingat lagi, siapakah yang memiliki ilmu Sasra Birawa di dunia ini ?”
———-oOo———-
IV
Mahesa Jenar seperti terbangun dari mimpi
yang membingungkan. Seharusnya sejak semula ia harus sudah
mengingat-ingat hal itu. Dengan teliti ia mulai mengenangkan masa
lampau. Suatu lingkungan kecil didalam padepokan di Pengging dimana ia
bersama kakak seperguruannya menuntut ilmu jaya kawijayan dan kesaktian,
sebagai bekal hidupnya kelak. Tetapi bagaimanapun ia mengingat-ingat,
namun yang diingatnya hanyalah, didalam padepokan itu, kecuali dirinya
dan almarhum Kebo Kenanga tidak ada seorang muridpun lagi.
Akhirnya ia mulai mengingat siapakah yang
sering datang ke padepokan itu. Orang-orang lain yang mempunyai
hubungan erat dengan gurunya. Tetapi gurunya sangat teliti, sehingga
tidak mungkin ada orang lain yang dapat mencuri ilmu sakti tiu tanpa
setahunya.
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersentak. Ya,
orang itu ada orang yang selalu datang ke padepokan itu melihat-lihat
gurunya menurunkan ilmu kepadanya.
Karena ingatan itulah maka mata Mahesa Jenar menjadi berkilat-kilat. Sekali lagi ia membungkuk hormat. Katanya, “Tuan, baru sekarang agaknya otakku dapat bekerja dengan baik. Perkenankanlah aku menebak siapakah sebenarnya tuan?.”
Orang itu mengangguk. Kemudian katanya, “Kau telah berhasil mengingat kembali orang-orang yang memiliki aji Sasra Birawa?”
“Sudah, Tuan,” jawab Mahesa Jenar, “Pertama
adalah guru. Kedua dan ketiga adalah murid-muridnya. Aku dan almarhum
Ki Ageng Pengging, Ki Kebo Kenanga. Dan keempat adalah saudara muda
seperguruan Guru, yang tidak lain adalah putra guru yang tua, kakak Ki
Kebo Kenanga. Karena itu aku berani memastikan bahwa Tuan adalah orang
yang keempat itu.”
Orang itu mengangguk-angguk. Sahutnya, “Ingatanmu masih baik kalau kau pergunakan. Ternyata kau menebak tepat.”
Sekali lagi Mahesa Jenar membungkuk hormat. Dengan hikmat ia berkata, “Maafkanlah kelancanganku. Sudah berapa puluh tahun Tuan meninggalkan kami sehingga aku tidak dapat mengenal Tuan kembali.”
“Tidak ada yang perlu aku maafkan. Semuanya memang aku kehendaki demikian,” jawab orang itu.
Mahesa Jenar tiba-tiba merasakan suatu
yang bergelora didalam dadanya. Suatu campur baur dari bermacam-macam
perasaan. Sedih, gembira, bangga, terharu. Lebih dari pada itu, ia
beberapa kali mengucap syukur kepada Tuhan di dalam hatinya. Dalam suatu
saat yang tak disangka sangka, ia bertemu dengan putra gurunya yang
tua, yang dalam perguruan menjadi adik seperguruan gurunya. Orang itu
bernama Ki Kebo Kanigara, yang lenyap beberapa tahun sebelum gurunya
meninggal. Dari gurunya ia pernah mendengar bahwa ilmu Ki Kebo Kanigara
itu sama sekali tidak berada dibawah gurunya. Bahkan, karena
kegemarannya mengembara, ia dapat menambah ilmu itu dengan
bermacam-macam bentuk dan isi.
Sekarang ia bertemu dengan orang itu
dalam suatu suasana yang seolah-olah mengandung pertentangan. Karena itu
maka Mahesa Jenar bertanya seterusnya, “Kakang Kebo Kanigara, kalau
sejak selama aku dapat berpikir dengan tenang, maka sejak semula aku
tak akan berani melawan, meskipun aku tidak dapat mengerti maksud kakang
dengan mempergunakan nama serta gelarku.”
Kebo Kanigara tersenyum. Lalu duduk disamping Mahesa Jenar. Dengan perlahan-lahan ia menjawab, “Mahesa
Jenar, kalau kau mengenal aku sejak semula, maka keadaanmu akan berbeda
pula. Apa yang kau capai selama beberapa hari ini, justru karena kau
tidak mengenalku.”
Sadarlah Mahesa Jenar, bahwa Kebo
Kanigara telah memaksa dengan caranya, supaya ia menekuni ilmunya lebih
dalam lagi. Tetapi meskipun demikian ia masih bertanya, “Kakang, bukankah Kakang dapat menuntun aku tanpa teka-teki yang hampir memecahkan kepalaku itu.”
Sekali lagi Kebo Kanigara tersenyum. Jawabnya, “Dengan
demikian keprihatinanmu akan jauh berbeda. Kau akan mendalami ilmumu
dengan tahap-tahap yang biasa. Tetapi, dengan keadaanmu seperti yang kau
alami, kau benar-benar membanting tulang untuk memperdalam ilmu itu.
Justru dengan demikian kau benar-benar telah menemukan sarinya dalam
waktu yang singkat.”
“Tetapi Kakang…” bertanya pula Mahesa Jenar, “Dari
mana Kakang dapat mengetahui semua keadaan yang pernah aku alami.
Bagaimana Kakang tahu bahwa Panembahan Ismaya telah menyembunyikan aku
di sini, dan bagaimana Kakang dapat mengenal hampir setiap orang yang
pernah aku kenal pula?”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia tampak ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab pula, “Mahesa
Jenar… ketahuilah bahwa aku memang merupakan salah seorang dari
penghuni padepokan ini. Apa yang aku lakukan semuanya atas ijin
Panembahan. Dan dari Panembahan pula aku mendapatkan beberapa petunjuk
tentang kau.”
“Siapakah sebenarnya Panembahan Ismaya itu?” tanya Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya, “Pertanyaanmu
aneh Mahesa Jenar. Kau bertanya tentang seseorang yang telah kau sebut
namanya. Bukankah ia Panembahan Ismaya. Panembahan sakti yang mengepalai
padepokan Karang Tumaritis ini?”
Dari jawaban itu Mahesa Jenar dapat
mengetahui bahwa ada sesuatu yang tersembunyi, yang tak seorang pun
boleh mengetahui. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi ia
bertekad untuk pada suatu waktu dapat mengetahuinya pula, siapakah
sebenarnya orang tua yang seolah-olah telah menyisihkan diri dari dunia
ramai itu.
“Kakang…” Mahesa Jenar memulai lagi, “Kalau demikian, di manakah muridku Kakang sembunyikan?”
Kebo Kanigara tertawa. Lunak dan perlahan-lahan. Jawabnya, “Benarkah kau bertanya tentang muridmu?”
Mahesa Jenar menjadi heran. Sambil mengangguk-angguk ia menegaskan, “Ya Kakang. Aku bertanya tentang muridku?”
“Sesudah itu kau pasti akan menanyakan seorang lagi kepadaku,” sahut Kebo Kanigara sambil tersenyum. “Malahan barangkali yang lebih penting bagimu.”
“Ah,” desis Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Sekali lagi Kebo Kanigara tertawa lunak dan perlahan-lahan. Tetapi ia tidak melanjutkan pertanyaannya.
Kemudian Mahesa Jenar berkata untuk mengalihkan pembicaraan, “Kakang, apakah menurut pendapat kakang Kanigara, ilmuku telah meningkat selama ini?”
“Kau telah merasakannya sendiri,” jawab Kebo Kanigara. “Tetapi
menurut penilaianku, kau telah memenuhi harapanku. Sebab menurut
pendapatku, supaya Perguruan Pengging tidak menjadi semakin pudar, maka
murid-muridnya harus dapat selalu melampaui ilmu gurunya. Demikian
berturut-turut. Dan sekarang kau telah mendapatkan itu.”
Kalau ada guntur menggelegar di
telinganya, Mahesa Jenar tidak akan terkejut seperti saat itu. Memang ia
telah merasakan sesuatu perkembangan yang menggembirakan dalam
latihan-latihan yang dilakukan selama ini dengan tekunnya. Tetapi ketika
ia mendengar pernyataan Kebo Kanigara, Saudara muda seperguruan
gurunya, yang memiliki ilmu lebih sempurna dari gurunya sendiri,
mengatakan, bahwa ia telah dapat menyamai kesaktian almarhum gurunya.
”Kakang berkata sebenarnya?” tanya Mahesa Jenar dengan nada kurang percaya.
Kebo Kanigara tersenyum. Jawabnya, ”Aku
berkata sebenarnya. Dan aku telah mencobanya. Juga terhadap gurumu,
ayah Pengging Sepuh pun aku pernah mencoba ilmunya, khusus Sasra Birawa,
dan memperbandingkan dengan kekuatan ilmu yang aku miliki.”
Mahesa Jenar menjadi terdiam oleh
perasaan yang bergulat di dalam dadanya. Ia tiba-tiba menjadi sangat
bergembira. Tetapi hanya sesaat. Sesaat kemudian, ia telah memanjatkan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pencipta Alam yang
telah menunjukkan jalan kepadanya lewat adik seperguruan gurunya. Dan
karena itu pulalah hatinya menjadi tenang. Setenang air telaga yang
tidak dapat dijajagi seberapa dalamnya.
Untuk beberapa lama ruangan itu dikuasai
oleh keheningan Lampu obor yang menyala-nyala dengan lincahnya,
melemparkan sinarnya yang seolah-olah menari di dinding goa itu. Mahesa
Jenar yang masih hanyut dalam angan-angan duduk sambil menundukkan
kepala. Di dalam hatinya, terucapkanlah sebuah janji, bahwa dengan
kematangan yang dicapainya, ia harus lebih banyak menyerahkan darma
baktinya untuk manusia dan kemanusiaan, untuk tanah dimana ia dilahirkan
dan untuk bangsa yang hidup diatasnya. Dan sekaligus ia berjanji di
dalam hatinya itu, bahwa dengan segenap kemampuan yang telah dimiliki
itu, ia harus menumpas segala kejahatan dan pelanggaran atas keharusan
dalam hidup bernegara dan bertata masyarakat. Sehingga terpancarlah api
cinta sejati di atas bumi.

Mahesa Jenar mengangguk satu kali.
Kemudian perlahan-lahan ia berdiri dan memandang patung batu itu dengan
tajamnya. Kebo Kanigara pun kemudian berdiri pula. ”Marilah…” katanya, ”Ikutilah aku. Sekarang kau tak usah marah lagi. Aku akan membawa obor ini, supaya kau tak kehilangan jalan.”
Mahesa Jenar mengikuti Kebo Kanigara itu
dengan langkah yang berat. Seolah-olah ia segan meninggalkan patung batu
itu kesepian. Tetapi ia tidak berkata sepatah pun. Karena Mahesa Jenar
tidak menjawab, Kebo Kanigara meneruskan, ”Mau kau apakan patung batu itu…? Ia tidak bersedih hati kau tinggalkan di ruangan ini.”
Mahesa Jenar tersenyum dan melangkah mengikuti Kebo Kanigara meninggalkan ruangan itu.
”Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian sambil berjalan menyusur goa yang memiliki beratus-ratus cabang yang membingungkan itu, ”Ada beberapa maksud, karena aku terpaksa mempergunakan nama serta gelarmu. Pertama-tama seperti yang telah aku katakan kepadamu. Kedua, aku ingin seseorang tidak merasa berhutang budi kepada orang lain kecuali kepada Mahesa Jenar.”
Kali ini benar-benar Mahesa Jenar tidak dapat menjawab. Sampai Kebo Kanigara meneruskan, ”Untunglah bahwa aku dapat meyakinkan diriku bahwa aku benar-benar bukan orang yang bernama Mahesa Jenar.”
”Nanti akan diketahuinya pula Kakang,” jawab Mahesa Jenar kemudian, ”Bahwa bukan Mahesa Jenar yang sebenarnyalah yang telah berbuat jasa itu.”
”Jangan Mahesa Jenar,” sela Kebo Kanigara, ”Aku telah bersusah payah berperan sebaik-baiknya sebagai Mahesa Jenar.”
”Tetapi bagaimanapun juga orang akan tahu juga, bahwa yang telah melakukan suatu perbuatan yang dahsyat itu pasti bukan aku,” jawab Mahesa Jenar pula. ”Sebab Kakang Kebu Kanigara telah menggunakan sekian banyak orang. Apakah aku dapat melakukan pekerjaan seperti itu?”
”Kau masih belum dapat mengerti tentang dirimu sendiri,” sahut Kebu Kanigara. ”Dengan
samadimu itu, kau akan mampu melakukan apa yang dilakukan olehku dalam
perananku sebagai Mahesa Jenar. Juga terhadap Bugel Kaliki dan Sima
Rodra, kau sekarang tidak berada di bawahnya.”
Sekali lagi dada Mahesa Jenar bergetar. Dan sekali lagi hatinya berjanji untuk membinasakan orang-orang itu.
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada muridnya. Apakah kira-kira yang telah dilakukannya selama ini. Maka bertanyalah ia, ”Kakang Kebo Kanigara. Lalu bagaimanakah keadaan muridku?”
”Agaknya kau benar-benar sayang kepada anak itu,” jawab Kebo Kanigara. ”Aku tidak tanggung-tanggung dalam perananku.” Ia meneruskan, ”Juga terhadap muridmu aku telah memaksanya untuk meningkatkan ilmunya dengan cara yang pernah aku tempuh.”
”Cara yang pernah Kakang tempuh?” ulang Mahesa Jenar dengan herannya. ”Adakah Kakang pernah bertemu dengan anak itu?”
Kebo Kanigara tertawa pendek. ”Pernah,” jawabnya. ”Aku
selalu bertemu dengan anak itu di mana-mana. Karena itu aku banyak
mengetahui tentang kau dan muridmu. Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk
dari Panembahan Ismaya.”
Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar
teringat akan peristiwa-peristiwa yang pernah disaksikan atas muridnya.
Maka dibayangkanlah bentuk orang yang pernah melakukan perbuatan
perbuatan aneh di pantai Tegal Arang. Seorang yang mempergunakan 6
wajah, menyerang muridnya setiap malam berturut-turut. Orang itu
bertubuh besar dan kekar. Dan sekarang orang yang berjalan di hadapannya
itu pun bertubuh besar dan kekar.
”Kakang…” seru Mahesa Jenar sesaat kemudian. ”Aku
sekarang berani memastikan bahwa Kakang telah menolong muridku untuk
suatu loncatan yang tingkatan ilmunya di pantai Tegal Arang dengan cara
kakang yang aneh.”
TERDENGAR Kebo Kanigara tertawa pendek. Jawabnya, “Aku
tidak telaten melihat anak itu maju setapak demi setapak. Sejak aku
dengar kabar bahwa ayah Handayaningrat meninggal dunia, aku jadi
gelisah. Jangan-jangan tak seorang pun yang akan mewarisi dari perguruan
Pengging. Karena adi Kebo Kenanga meninggal pula, maka satu-satunya
yang ada adalah kau. Kemudian kaupun menghilang. Mati-matian aku
mencarimu. Dan akhirnya aku ketemukan kau. Malahan kau telah mempunyai
seorang murid yang berbakat baik. Tetapi kau pergunakan cara-cara ayah
Pengging Sepuh untuk meningkatkan ilmu muridmu. Selangkah kecil demi
selangkah kecil. Maka aku pun berusaha membantumu dengan caraku.”
“Kakang…” sahut Mahesa Jenar. “Sudah sewajarnyalah kalau aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih.”
“Jangan katakan itu,” potong Kebo Kanigara. “Kewajibanmu
dan kewajibanku dalam hal ini tidak ada bedanya. Juga kali ini terhadap
muridmu itu aku isikan ilmu dari perguruan Pengging. Berurutan seperti
rencana yang akan kau berikan. Hanya caraku berbeda dengan caramu.”
Mendengar keterangan Kebo Kanigara,
Mahesa Jenar berdiam diri. Ia sekarang, barangkali setelah mempelajari
ilmunya lebih tekun dengan suatu cara yang tidak direncanakannya lebih
dahulu, tidak akan lagi mengajari muridnya dengan cara yang pernah
dilakukan sebelumnya. Di mana muridnya harus menerima pelajaran
setingkat demi setingkat tanpa mengikutsertakan kemampuan daya cipta
muridnya itu sendiri.
“Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian, “Marilah
kita melihat muridmu itu berlatih. Aku telah minta kepada seseorang
untuk meneternya dan memperbandingkan dengan ilmu perguruan lain.”
“Ilmu perguruan lain?” ulang Mahesa Jenar keheran-heranan. “Adakah seseorang di sini dan perguruan lain?”
“Akan kau lihat nanti,” jawab Kebo Kanigara. “Aku
telah melakukan apa saja yang mungkin atas muridmu itu dalam masa
pembajaan dirinya. Aku sendiri suatu waktu datang melawannya. Dan pada
saat lain aku datang sebagai gurunya, Mahesa Jenar, untuk memberinya
petunjuk petunjuk. Kadang kadang aku hadapkan Arya Salaka dengan ilmu
dari perguruan lain.”
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi.
Tiba-tiba saja ia menjadi rindu sekali kepada satu-satunya murid yang
telah dibawanya menjelajah daerah daerah serta mengalami kesukaran lahir
dan batin. Dalam hatinya ia mengucapkan terima kasih tak habis-habisnya
kepada Kebo Kanigara yang telah membantu mematangkan ilmu muridnya.
Dengan demikian ia mengharap seorang yang tidak kalah saktinya, Ki Ageng
Sora Dipayana dari Banyubiru.
Setelah Mahesa Jenar mengikuti Kebo
Kanigara menempuh jalan yang berliku-liku, maka sampailah mereka kepada
satu gang yang menuju ke dalam sebuah ruang yang agak luas seperti ruang
yang dipergunakan untuk mengurung Mahesa Jenar.
Bersambung ke Jilid 12
———-oOo———-
Koleksi Ki Arema
Editing oleh Ki Arema
5 Tanggapan
Tinggalkan Balasan

Kepareng To Ki..?
pak SATPAM masih kosong,