

ADBM-016

DALAM kegelisahannya, Ki
Tambak Wedi itu kemudian berjalan mendekati desa Benda. Di sepanjang
langkahnya, tak habis-habisnya ia mengumpat-umpat. “Akhirnya aku harus
pergi juga ke desa itu. Lebih baik sejak semula aku kerjakan sendiri
pekerjaan ini.”
Setelah meloncati beberapa buah parit dan
menyibak beberapa macam tanaman di sawah-sawah, akhirnya Ki Tambak Wedi
berdiri di luar dinding desa itu. Dari tempatnya berdiri Ki Tambak Wedi
dapat melihat jalan yang membujur di tengah-tengah bulak memasuki desa
kecil itu. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak mau masuk desa lewat jalan yang
dilihatnya. Lebih baik baginya untuk meloncati dinding batu desa itu.
Ketika Ki Tambak Wedi menjejakkan kakinya
di dalam lingkungan dinding batu, orang tua itu menggeram. Api yang
dilihatnya sudah menjadi semakin besar. Dengan hati-hati ia berjalan ke
arah api itu. Tetapi, di sekitar api itu tampaknya terlampau sepi. Ia
tidak melihat Sidanti, Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda. “Hem,”
geramnya berulang kali. “Anak-anak gila itu pergi ke mana saja. Mereka
sama sekali tidak mau memperhitungkan keadaan. Mereka menuruti saja
perasaannya.”
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi teringat, bahwa
di desa itu pasti ada prajurit Pajang yang sedang mengawasi keadaan
menjeIang saat penyerahan orang-orang Jipang. Gumamnya, “Hem, mungkin
Sidanti sedang melihat-lihat, apakah di desa ini ada orang-orang Pajang.
kalau benar diketemukannya beberapa orang prajurit, maka anak itu pasti
sedang melepaskan kemarahannya.”
Sejenak Ki Tambak Wedi menjadi berbimbang
hati. Tetapi kemudian kembali ia bergumam, “Biarlah aku melihatnya
pula. Orang-orang Pajang pasti berada di ujung jalan itu.”
Akhirnya Ki Tambak Wedi pun segera
dengan tergesa-gesa menyusup rimbunnya dedaunan, meloncati
dinding-dinding halaman, pergi ke ujung jalan.
Dalam pada itu Wira Lele masih berpacu
dengan kudanya. Beruntunglah ia bahwa ketika Ki Tambak Wedi berjalan
mendekati jalan yang dilaluinya, ia telah lampau. Kalau hantu lereng
Merapi itu melihatnya, maka sudah pasti bahwa tubuh Wira Lele akan
terbanting dari punggung kudanya, karena Ki Tambak Wedi akan melempar
dengan gelang-gelang besinya.
Kuda Swandaru adalah kuda yang cukup
baik, sehingga lajunya benar-benar seperti anak panah meluncur dari
busurnya. Ia harus segera menemui Untara, mengabarkan apa yang telah
terjadi, sehingga rencana yang telah disusun rapi oleh pimpinannya itu
tidak pecah berserakan.
Akhirnya Wira Lele melihat juga sebuah
barisan yang berhenti di tengah-tengah bulak. Barisan itu adalah barisan
Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung.
Ketika Untara melihat api yang menjilat
ke udara, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Dengan ragu-ragu ia
berkata kepada Ki Gede Pemanahan, “Ki Gede, aku melihat ketidak-wajaran
dari desa Benda itu.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling, memandangi wajah Untara, dilihatnya pada wajah itu beberap titik keringat.
Kali ini Ki Gede benar-benar menjadi
kecewa. Ternyata persiapan Untara masih belum terlampau masak, sehingga
di saat-saat yang ditentukan masih juga terjadi peristiwa-peristiwa yang
menegangkan dan bahkan mungkin dapat membahayakan.
Tetapi Ki Gede puas dengan persiapan
pasukan Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung yang berbaris di
belakangnya. Bahwa seandainya orang-orang Jipang itu berkhianat atas
persetujuan yang telah dibuatnya, atau sengaja menjebak para prajurit
Pajang, maka pasukan itu sudah benar-benar dalam kesiagaan tempur.
“Bagaimana pertimbanganmu Untara?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Beberapa orang harus menyaksikan keadaan desa itu dari dekat.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Di desa itu tak akan kau jumpai bahaya
yang besar. Kalau orang-orang Jipang ingin menjebakmu di sana, maka
tidak akan terjadi pembakaran itu.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi bagaimanapun juga api itu telah mencemaskannya. Maka katanya, “Ya
Ki Gede, demikianlah kiranya. Tetapi api itu sendiri dapat menimbulkan
berbagai pertanyaan. Mungkin tanpa disengaja para penjaga telah membakar
sebuah timbunan jerami atau alang-alang. Tetapi mungkin juga karena
sebab-sebab lain.”
“Kita tidak mendengar tanda bahaya,” sela Widura yang berdiri di belakang Untara.
Ki Gede Pemanahan masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak panglima itu berdiam diri dan
berpikir. Kemudian katanya, “Baik juga kau mengirimkan beberapa
penghubung untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.”
Untara mengangguk. Di belakang barisan
itu ada tiga orang penghubung dengan kuda-kuda mereka yang siap untuk
melakukan tugas itu.
Tetapi Untara itu kemudian tertegun diam.
Dari kejauhan, mereka melihat seekor kuda muncul di tikungan, dari
balik tanaman-tanaman jagung dan gerumbul jarak liar yang berserakan di
pinggir-pinggir jalan. Kuda itu berpacu semakin dekat. Debu yang
dilemparkan oleh kaki-kakinya mengepul tinggi ke udara.
“Siapa?” desis Ki Gede Pemanahan.
Untara tidak segera menyahut. Tetapi
kemudian setelah orang berkuda itu menjadi semakin dekat ia menjawab,
“Wira Lele, Ki Gede, pemimpin pengawas yang aku tempatkan di Benda.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Wajahnya sama sekali tidak membayangkan kegelisahan dan
kecemasan. Wajah Panglima Wira Tamtama itu selalu membayangkan
ketenangan hatinya, sehingga orang-orang lain pun menjadi tenang pula
karenanya.
Semakin lama Wira Lele itu pun menjadi
semakin dekat, sementara itu wajah Untara dan Widura menjadi semakin
tegang. Mereka merasa tidak sabar lagi menunggu kuda yang berlari
kencang seperti angin itu.
Demikian Wira Lele sampai di hadapan mereka, maka segera Untara dan Widura menyongsongnya sambil bertanya, “Apa yang terjadi?”
Untara dan Widura menjadi semakin
berdebar-debar ketika mereka melihat wajah Wira Lele yang pucat dan
keringatnya yang membasahi seluruh tubuhnya.
“Apa yang terjadi?” Untara mengulangi pertanyaannya.
Dengan serta-merta Wira Lele itu turun
dari kudanya, menganggukkan kepalanya dalam-dalam, kemudian menjawab,
“Di Benda telah terjadi kebakaran.”
“Kenapa?” bertanya Widura singkat.
Sejenak Wira Lele menjadi ragu-ragu
kembali. Apakah ia harus mengatakan seperti pesan Sutawijaya, atau ia
harus mengatakan sebenarnya.
“Kenapa?” desak Widura.
“Oh,” Wira Lele tergagap. Akhirnya ia
memutuskan untuk mengatakan keadaan yang sebenarnya. Dengan terbata-bata
dan seolah-olah tidak berurutan, kata-katanya berebut dahulu meloncat
dari mulutnya. “Beberapa gubug telah dibakar Sidanti.”
Mendengar kalimat yang pendek itu dada Untara dan Widura bergetar. Hampir bersamaan mereka mengulangi nama itu, “Sidanti?”
“Ya.”
Ki Gede Pemanahan pun melangkah maju sambil bertanya, “Apakah Sidanti memasuki desa kecil itu?”
Wira Lele menganggukkan kepalanya
dalam-dalam ketika ia melihat Panglima itu bertanya kepadanya, “Ya tuan,
Sidanti, Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda.”
“Bertiga?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Ya Ki Gede, mereka bertiga.”
Sejenak Untara dan Widura saling
berpandangan. Sekilas teringat olehnya Agung Sedayu, Swandaru dan
Sutawijaya yang mendahului mereka. Apakah mereka tidak terjebak oleh
Sidanti dan kedua kawan-kawannya. Bahkan tiada disengaja terloncat
pertanyaan dari mulut Untara, “Bagaimana dengan anak-anak muda yang
datang berkuda. Apakah kau bertemu dengan mereka?”
“Ya,” sahut Wira Lele. “Kini mereka saling berhadapan. Kuda yang aku pakai adalah kuda Angger Swandaru.”
Untara dan Widura memandangi kuda itu. Kuda itu memang kuda Swandaru.
“Kini mereka pasti sedang bertempur,” sambung Wira Lele.
“Tetapi kau lihat Sidanti hanya bertiga?” sela Widura.
“Ya.”
Widura menarik nafas. Sementara itu Untara berkata, “Mudah-mudahan anak-anak itu tidak mengalami kesulitan.”
“Kalau mereka benar-benar hanya bertiga,”
tiba-tiba terdengar Ki Gede Pemanahan berkata. “Maka aku mengharap
anak-anak itu akan dapat mengatasinya.” Ki Gede itu diam sesaat.
Kemudian ia berpaling kepada Untara. “Apakah adikmu dapat melawan
Sanakeling?”
Untara itu mengangguk. “Aku harap demikian Ki Gede. Mereka berdua pernah bertemu di garis perang, pada saat terakhir.”
“Kalau begitu, mereka tidak akan menemui
kesulitan.” Ki Gede itu terdiam sesaat. Tetapi sejenak kemudian tampak
wajahnya yang tenang itu berkerut. Tiba-tiba kata-katanya mengejutkan
Untara, “Wira Lele, bukankah namamu Wira Lele?”
“Ya Ki Gede,” sahut Wira Lele sambil menganggukkan kepalanya.
“Kau benar-benar hanya melihat tiga orang dari mereka?”
“Ya Ki Gede. Hanya tiga orang. Di perjalanan kemari pun aku tidak melihat orang-orang lain.”
“Tetapi di antara mereka bertiga itu ada Sidanti,” gumam Ki Gede Pemanahan. “Kalau begitu,” katanya, “berikan kudamu kepadaku.”
“Ki Gede,” potong Untara, “apakah yang akan Ki Gede lakukan sekarang?”
“Sidanti adalah murid Tambak Wedi. Hantu itu mungkin berada di sana pula.”
“Ki Gede, aku dan paman Widura yang bertanggung jawab atas semua peristiwa ini. Karena itu, biarlah aku pergj mendahului.”
“Apakah kau dapat berbuat sesuatu kalau tiba-tiba muncul di arena perkelahian itu Ki Tambak Wedi?”
Untara terbungkam. Tetapi ia melangkah maju ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan merenggut kendali kuda Wira Lele.
“Jangan Ki Gede,” minta Untara. “Ki Gede
adalah Panglima Wira Tamtama. Keselamalan Ki Gede jauh lebih berharga
dari keselamatan kita semuanya.”
“Ah,” desah Ki Gede yang tiba-tiba telah
meloncat ke atas punggung kuda itu. “Aku sedang mencemaskan keselamatan
anakku. Aku akan mendahului kalian, cepat susul aku. Kalau terjadi
sesuatu bukanlah salahmu, tetapi salah anakku yang nakal itu.”
“Ki Gede,” Untara masih ingin mencegah, tetapi ia tidak tahu kata-kata apakah yang akan diucapkan.
“Aku menyadari maksudmu Untara,” sahut Ki
Gede Pemanahan, “tetapi pada masa-masa mudaku, aku senakal anakku itu
pula. Karena itu jangan cemaskan aku.”
Untara tidak dapat berbuat sesuatu lagi.
Ia hanya dapat melihat Ki Gede memutar kudanya. Yang terdengar kemudian
adalah kata-kata salah seorang perwira pengawalnya, “Ki Gede, apakah Ki
Gede tidak menunggu kami?”
Ki Gede tersenyum, katanya, “Lindungilah panji-panji itu. Biarlah panji-panji itu tetap berkibar.”
Tak seorang pun sempat mencegahnya. Kuda
itu segera meloncat dan berlari sekencang badai. Gemeretak di atas tanah
berbatu-batu. Semakin lama semakin jauh.
Untara itu pun kemudian tersentak.
Tiba-tiba mulutnya berteriak, “He, berikan kuda penghubung itu. Kenapa
kalian diam saja sejak tadi?”
Para penghubung yang memegang kendali
kuda di bagian belakang dari barisan itu terkejut mendengar teriakan
Untara. Karena itu, maka dengan segera mereka meloncat naik ke
punggung-pungung kuda dan membawa kuda-kuda mereka maju mendekati
Untara.
“Berikan satu kepadaku,” teriak Untara itu pula.
Para penghubung itu sama sekali tidak
tahu maksud Untara. Tetapi mereka pun segera berloncatan turun dan salah
seorang dari pada mereka menyerahkan kendali kudanya kepada Untara.
“Kau akan pergi juga?” bertanya Widura.
“Ya.”
“Sendiri?”
Untara ragu-ragu sejenak. Sehingga Widura berkata pula, “Apakah aku akan menyertaimu?”
Untara menggeleng, “Tidak. Paman memimpin
pasukan ini.” Untara berhenti sejenak kemudian dipandanginya beberapa
orang perwira dan pengawal Ki Gede Pemanahan yang lain. Rupa-rupanya
orang-orang itu pun tahu maksudnya, sehingga salah seorang dari mereka
berkata, “Aku akan pergi bersamamu Adi Untara.”
“Marilah,” sahut Untara.
“Aku juga, bukankah ada tiga ekor kuda,” berkata seorang yang lain.
Maka sejenak kemudian mereka bertiga
telah berada di punggung kuda. Dengan sentuhan pada lambung-lambung kuda
itu, maka ketiganya meloncat dan berlari seperti dikejar hantu.
Tiga ekor kuda itu berpacu dengan cepatnya, berderak-derak di atas jalan yang menuju ke desa kecil di hadapan mereka, Benda.
Di desa Benda, pada saat itu sedang
berlangsung suatu perkelahian yang semakin lama menjadi semakin seru.
Sidanti yang melawan Sutawijaya benar-benar telah berusaha memeras
segenap kemampuannya. Namun ia harus melihat kenyataan pula, bahwa
Sutawijaya benar-benar memiliki kelincahan dan ketangguhan yang suIit
ditandinginya.
Dengan senyum yang selalu membayang di
bibirnya, Sutawijaya pun berusaha untuk menebus kekalahannya. Bahkan
tiba-tiba lukanya itu seolah-olah menjadi terasa pedih kembali.
“Hem,” geramnya, “sedikitnya sebuah goresan di tubuhmu, Sidanti.”
Sidanti tidak menyahut. Tetapi bekerja
lebih keras lagi. Ia sama sekali tidak dapat mengharapkan bantuan siapa
pun juga dalam perkelahian ini, sebab kedua kawannya telah terlibat pula
dalam perkelahian yang seru. Meskipun Alap-alap Jalatunda tidak
mengalami tekanan yang berat, bahkan sekali-sekali ia berhasil mendesak
Swandaru yang gemuk, namun belum menunjukkan suatu kepastian bahwa ia
akan dapat mengalahkan lawannya. Kekuatan Swandaru ternyata benar-benar
merupakan kekuatan raksasa.
Sedang Sanakeling, hampir tidak pernah
mendapat kesempatan untuk menarik nafas. Ternyata Agung Sedayu cukup
cepat menghadapinya. Keduanya adalah orang-orang pilihan dari pihak yang
berlawanan, yang pernah bertemu di garis perang, sehingga dengan
demikian, maka kini mereka telah berusaha sekuat-kuat tenaga
masing-masing untuk segera menguasai lawannya.
Tiba-tiba Sanakeling, Agung Sedayu,
Alap-alap Jalatunda dan Swandaru terkejut ketika mereka mendengar suara
Sidanti mengumpat keras-keras, “Setan. Jangan berbangga dengan sentuhan
senjatamu itu.”
Yang terdengar kemudian adalah suara
tertawa Sutawijaya. Katanya, “Jangan mengumpat-umpat. Aku hanya menagih
hutangmu, tidak lebih. Dan aku masih belum menuntut bunganya.”
“Mampus kau!” teriak Sidanti pula sambil
menyerang Sutawijaya sejadi-jadinya. Wajahnya menjadi merah padam dan
matanya seakan-akan menyala. Dari lengan kirinya menetes darah yang
merah segar.

“Tunggu, aku akan menjobek mulutmu Swandaru,” sahut Sidanti lantang.
Tetapi Swandaru menjawab pula, “Lenganmu sudah terluka. Apakah kau masih dapat menyombongkn dirimu lagi?”
Kata-kata Swandaru terputus. Ia masih
akan berkata lagi, tetapi ketika ia baru saja membuka mulutnya, ujung
pedang Alap-alap Jalatunda hampir saja masuk ke dalam mulutnya itu.
“Gila kau,” anak yang gemuk itu
mengumpat. Dengan cepatnya ia meloncat mundur. Tetapi Alap-alap
Jalatunda mengejarnya dan dengan pedangnya ia menyerang lambung.
Swandaru memutar tubuhnya setengah
lingkaran. Ia tidak mau menghindar lagi. Dengan sekuat tenaganya, pedang
Alap-alap Jalatunda itu ditangkisnya dengan pedangnya pula. Terdengar
suara berdentang. Dari sentuhan kedua tajam pedang itu memercik bunga
api. Namun sekali lagi terasa oleh Alap-alap Jalatunda, betapa kuatnya
tangan Swandaru, meskipun Swandaru terpaksa mengakui pula kecepatan
bergerak Alap-alap Jalatunda. Hampir saja lambungnya tersobek oleh
pedangnya.
Sementara itu, Ki Tambak Wedi berjalan
dengan tergesa-gesa menyusup rimbunnya dedaunan di kebun-kebun dan
meloncati pagar-pagar halaman, menuju ke ujung desa itu. Ia menyangka
bahwa di sana pasti ada gardu pengawas. “Mungkin Sidanti dan
kawan-kawannya sedang berpesta,” gumamnya. “Tetapi itu adalah perbuatan
yang bodoh. Meskipun seandainya mereka berhasil membunuh lima atau enam
orang, tetapi mereka hampir-hampir tidak lagi dapat berpikir tentang
kemungkinan-kemungkinan lain. Mungkin Sidanti demikian bernafsu dan
mencincang korbannya. Mungkin Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda berbuat
serupa.Tetapi kalau mareka tertangkap oleh orang-orang Pajang, maka
mereka pasti akan mengalami perlakuan yang sama.”
Sambil bersungut-sungut Ki Tambak Wedi itu berjalan semakin cepat mendekati gardu perondan di ujung jalan.
Ketika Ki Tambak Wedi sudah menjadi
semakin dekat, maka mulailah ia mendengar gemerincing senjata beradu,
namun karena rimbunnya pepohonan dan dinding-dinding halaman, maka orang
tua itu masih belum dapat melihat apa yang terjadi di gardu peronda
itu.
“Hem,” gumamnya sambil melangkah lebih
cepat, “siapakah yang berada di gardu itu sehingga Sidanti, Sanakeling
dan Alap-alap Jalatunda memerlukan waktu yang cukup lama untuk
membinasakannya?”
Demikian ketika ia sampai di halaman
terakhir, di tepi jalan di muka gardu itu, maka lewat di atas dinding
halaman ia melihat beberapa buah kepala tersembul. Kepala yang
bergerak-gerak bergeser dan kadang-kadang berputaran.
“ltulah mereka,” desisnya.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menjadi
semakin tergesa-gesa. Langkahnya menjadi semakin panjang, dan kemudian
dengan serta merta ia menjengukkan kepalanya dari atas dinding itu.
Demikian kepalanya tersembul di atas
dinding halaman, demikian darahnya serasa membeku. Ia melihat muridnya
bertempur melawan Sutawijaya. Bukan itu saja, tetapi dari tubuh muridnya
telah menetes darah. Di lingkaran yang lain, ia melihat Sanakeling
bertempur melawan Agung Sedayu, dan Alap-alap Jalatunda melawan Swandaru
Geni. Sedang di muka gardu ia masih melihat beberapa prajurit Pajang
berdiri dengan mulut ternganga, seperti sedang menonton adu jago.
Tanpa disengaja Ki Tambak Wedi itu pun
menggeram. Ketika ia sekali mengayunkan kakinya, maka kini ia telah
duduk bertengger di atas dinding batu itu.
Anak-anak muda yang sedang bertempur itu
terkejut. Seakan-akan tiba-tiba saja tanpa sangkan-paran mereka melihat
seseorang duduk di atas dinding. Apalagi ketika mereka melihat wajah
yang keras, hidung yang melengkung seperti paruh burung betet, dan kumis
yang tebal, maka terasa dada mereka berdesir. Lebih-lebih Sutawijaya,
Agung Sedayu dan Swandaru. Dengan segera mereka mengenal, bahwa orang
itu adalah Ki Tambak Wedi.
“Hem,” kembali terdengar Ki Tambak Wedi menggeram, “ternyata kalian sedang bermain-main.”
“Ya, guru,” sahut Sidanti. Hatinya yang
sudah mulai berkeriput tiba-tiba kini mekar kembali ketika ia melihat
gurunya, “Aku ingin membawa mereka, setidak-tidaknya kepala mereka ke
lereng Gunung Merapi.”
Meskipun debar jantung Sutawijaya belum
mereda oleh kehadiran Ki Tambak Wedi, namun mendengar bualan Sidanti
sempat juga ia tertawa. Katanya, “He, apakah kau ingin memenggal
leherku?”
“Tentu,” sahut Sidanti lantang.
“Baik,” jawab Sutawijaya, “mari
perkelahian ini kita lanjutkan. Gurumu menjadi saksi. Sutawijaya atau
Sidanti yang hanya pandai membual tetapi tidak mampu mempermainkan
senjatanya?”
Terdengar gigi Sidanti gemeretak.
Tantangan itu benar-benar menyakitkan hatinya, tetapi ia menyadari
keadaan yang dihadapi. Dengan demikian Sidanti itu terbungkam. Yang
terdengar hanyalah gemeretak giginya.
Bukan saja Sidanti yang menjadi sakit
hati mendengar tantangan itu, tetapi Ki Tambak Wedi pun menjadi marah
pula. Dengan suara parau ia berkata, “Sutawijaya, bagaimanapun juga kau
menyombongkan dirimu, tetapi ketahuilah, bahwa hari ini adalah hari
akhir hidupmu.”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada
Sutawijaya. Tetapi ia bukan seorang pengecut. Sekilas ia memandang
kawan-kawannya yang masih saja bertempur. Namun wajah-wajah itu pun sama
sekali tidak menunjukkan ketakutan. Agung Sedayu dan Swandaru menyadari
keadaan yang di hadapinya pula. Kehadiran Ki Tambak Wedi berarti bahaya
yang tak akan dapat mereka hindari. Tetapi mereka tidak akan bersimpuh
dan menyembah mohon ampun di bawah kaki hantu lereng Merapi itu. Bahkan
hati mereka bergetar ketika mereka mendengar Sutawijaya menjawab sambil
tertawa, “Bagus Ki Tambak Wedi. Kau pasti akan mampu membunuh aku. Dan
aku pun akan melawanmu dengan sikap jantan. Aku dan kawan-kawanku tidak
akan lari meninggalkan gelanggang. Tetapi sebelum mati, aku minta
kepadamu, untuk sedikit mendorong muridmu supaya ia pun dapat bersikap
jantan. Nah Ki Tambak Wedi, apabila demikian, maka aku akan
menyelesaikan perkelahian ini sebagai perkelahian di antara dua orang
laki-laki. Bukan perkelahian anak-anak yang masih harus merengek-rengek
minta pertolongan kepada ayah atau gurunya.”
Sekali lagi terdengar gigi Sidanti
gemeretak. Ia benar-benar dihadapkan pada suatu keadaan yang sulit.
Sebagai seorang laki-laki, maka ia tidak mungkin menghindari tantangan
itu. Namun kenyataan mengatakan kepadanya, bahwa ia benar tidak mampu
melawan Sutawijaya. Apalagi ketika Swandaru menyahut lantang, “Nah,
sekarang baru akan tampak, siapakah yang jantan dan siapakah yang hanya
berani menampar mulut orang yang pasti tak akan mampu melawan.”
“Tutup mulutmu!” bentak Sidanti. Kemarahannya seakan-akan hampir meledakkan dadanya.
Tetapi Swandaru tertawa. Meskipun suara
tertawanya agak sumbang. Suara tertawa sebagai pelepas perasaannya.
Sebab ia tahu benar, bahwa sebentar lagi apabila Ki Tambak Wedi itu
meloncat turun dari atas dinding batu itu, maka nyawanya akan melayang.
Ki Tambak Wedi pun merasa dihadapkan
pada suatu persoalan yang rumit. Tetapi ia pasti akan lebih menghargai
nyawa muridnya dari pada sekedar harga diri. Karena itu, maka segera ia
berkata, “Jangan mencoba menipu aku anak cengeng. Kau pasti mencoba
menunggu orang-orang Pajang datang kemari. Tetapi aku tidak sebodoh itu.
Apa pun yang akan kau katakan tentang muridku, tentang perguruanku, aku
tidak peduli. Sebab umurmu tidak akan lebih dari sesilir bawang.”
Dada Sutawijaya berdesir mendengar
jawaban Tambak Wedi itu. Bukan karena ia takut terbunuh, tetapi ia
menghadapi keadaan yang menurut penilaiannya tidak adil. Demikian juga
agaknya perasaan Agung Sedayu dan Swandaru Geni.
Tetapi sudah pasti mereka tidak dapat
ingkar. Betapapun hatinya memberontak. Mereka ingin diberi kesempatan
menyelesaikan perkelahian itu lebih dahulu. Tetapi apa boleh buat,
Tambak Wedi bukanlah seorang yang sekedar akan menjadi saksi dari
perkelahian itu, tetapi ia adalah salah satu dari musuh-musuhnya.
Ketika kemudian mereka melihat Ki Tambak
Wedi itu meloncat turun, maka hampir bersamaan Sutawijaya, Agung Sedayu
dan Swandaru Geni menggeram. Pada saat terakhir itu mereka mencoba
berbuat sebaik-baiknya, mencoba menekan lawan dengan segenap kekuatan
terakhir.
Swandaru dengan sepenuh tenaga menghantam
lawannya dengan pedangnya yang berhulu gading. Ia tidak perduli, apakah
musuhnya akan melawan serangannya itu dengan sebuah tangkisan atau akan
menghindar. Tetapi ia seolah-olah menjadi bermata gelap. Seperti badai
pedangnya melanda Alap-alap Jalatunda.
Alap-alap itu terkejut, justru pada saat
yang sama sekali tak disangka-sangkanya. Ia menyangka Swandaru akan
mencoba menyelamatkan dirinya dari Ki Tambak Wedi atau setidak-tidaknya
perkelahiannya itu akan menjadi lemah karena putus asa. Namun ternyata
bentuk keputus-asaan yang terungkap dalam diri Swandaru adalah berbeda
dari yang dibayangkan oleh Alap-alap Jalatunda. Dalam keputus-asaan,
Swandaru masih mencoba membinasakan lawannya, sama sekali bukan ingin
melarikan diri sementara Ki Tambak Wedi akan membunuh Sutawijaya.
Karena itu, maka Alap-alap Jalatunda
terpaksa melayani saat-saat terakhir dari perkelahian itu. Ketika ia
mencoba menangkis serangan Swandaru, maka terasa tangannya menjadi
nyeri. Hampir-hampir senjatanya itu terlepas. Untunglah bahwa dengan
sisa kekuatan tangannya ia mampu mempertahankan senjatanya. Meskipun
demikian, sementara nyeri tangannya masih menyengat-nyengat, Alap-alap
itu terpaksa berloncatan surut menghindari serangan-serangan Swadaru
berikutnya.
Demikian pula agaknya Agung Sedayu.
Dengan sepenuh tenaga ia berjuang. Dipergunakannya saat-saat terakhir
yang pendek untuk mencoba mendahului tangan Ki Tambak Wedi atas dirinya.
Tetapi Sanakeling pun mampu menghindari setiap serangannya meskipun ia
harus berloncatan surut dan mengumpat-umpat tak habis-habisnya.
Ki Tambak Wedi melihat kedua anak muda
itu sambil menggeram. Tiba-tiba ia berkata dengan nada parau, “Hem,
kalian telah mulai sekarat.” Kemudian kepada Sanakeling dan Alap-alap
Jalatunda, hantu lereng Merapi itu berkata, “Tahanlah musuh-musuhmu itu
sesaat. Jangan sampai mereka melarikan diri. Yang pertama-tama akan aku
bunuh adalah Sutawijaya, kemudian Agung Sedayu dan yang terakhir, anak
yang gemuk itu, biarlah Sidanti yang menyelesaikan.” Tetapi kata-kata Ki
Tambak Wedi itu terputus. Bahkan yang lain pun terkejut pula ketika
tiba-tiba mereka mendengar Sidanti memekik kecil, sehingga semua
perhatian telah terpukau karenanya.
Ki Tambak Wedi itu pun menjadi terkejut pula. Ia melihat darah yang merah mengalir dari dada Sidanti.
“Setan!” Sidanti itu mengumpat sambil
meloncat jauh-jauh ke belakang. Tetapi Sutawijaya benar-benar seperti
orang kesurupan. Ia tidak mempedulikannya lagi. Dengan cepatnya ia
mengejar lawannya. Sekali lagi tombaknya terjulur, kali ini mengarah
leher Sidanti yang sudah kehilangan keseimbangan. Saat-saat itu adalah
saat yang sangat berbahaya bagi Sidanti. Seolah-olah ia telah kehilangan
kesempatan untuk menyelamatkan dirinya. Meskipun demikian anak muda itu
masih juga mampu menghindar dengan jalan satu-satunya. Dengan
serta-merta ia menjatuhkan dirinya dan berguling ke samping.
Usaha itu hanya berguna sementara bagi
Sidanti. Sebab Sutawijaya pun segera meloncat pula menerkam Sidanti
yang masih berguling di tanah dengan tombaknya.
Darah Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda
serasa berhenti melihat peristiwa itu. Mereka melihat tombak itu
terangkat dan apabila kemudian tombak itu mematuk ke bawah, maka nyawa
Sidanti pun pasti akan melayang.
Tetapi beruntunglah bagi Sidanti, bahwa
saat itu gurunya berada di tempat itu pula. Sudah tentu Ki Tambak Wedi
tidak akan membiarkan muridnya dibunuh di hadapan hidungnya. Karena itu
segera ia meloncat seperti tatit menyambar di langit. Dengan sebuah
sentuhan yang tergesa-gesa pada lambung Sutawijaya, maka anak muda
itulah yang kemudian terlempar beberapa langkah. Yang terdengar kemudian
adalah suara tubuh Sutawijaya itu terbanting jatuh.
Kini nafas Agung Sedayu dan Swandaru
Geni-lah yang tertahan di kerongkongan. Mereka melihat Sutawijaya itu
terbanting dan berguling beberapa kali. Namun alangkah kuatnya tubuh
anak muda itu. Demikian ia berguling beberapa kali, maka segera ia
meloncat bangkit. Tombaknya, Kiai Pasir Sewukir, masih dalam
genggamannya.
Tetapi demikian ia berhasil berdiri, maka anak muda itu pun menyeringai menahan sakit pada lambung dan punggungnya.
“Tambak Wedi,” anak muda itu menggeram.
Tampaklah kini matanya seakan-akan menyala karena kemarahannya.
“Ternyata kau pengecut seperti muridmu. Aku sangka perguruan lereng
Merapi adalah perguruan yang menempa kejantanan dan kejujuran. Tetapi
ternyata kau telah mengajari muridmu dengan perbuatan yang licik.”
“Tutup mulutmu!” bentak Ki Tambak Wedi lebih, “baik kau mengucapkan pesan-pesanmu. Aku benar-benar akan membunuhmu kini.”
Gigi Sutawijaya gemeretak. Sejenak ia
terpaku diam karena kemarahannya yang memuncak. Terasa detak jantungnya
menjadi semakin keras memuku-mukul rongga dadanya. Tetapi Sutawijaya itu
kemudian mengangkat wajahnya. Yang berderap itu bukanlah suara
jantungnya saja, tetapi suara itu adalah derap kaki-kaki kuda, namun
kuda itu masih terlampau jauh.
Bukan saja Sutawijaya yang mendengar
derap suara kaki-kaki kuda di kejauhan, tetapi Ki Tambak Wedi dan
semuanya yang ada di tempat itu pun mendengarnya pula.
“Gila,” Ki Tambak Wedi itu pun mengumpat. Sejenak ia menjadi bimbang.
Suara kaki-kaki kuda itu sekilas terasa
memberi harapan bagi Sutawijaya dan kawan-kawannya, tetapi kening
Sutawijaya itu pun kemudian berkerut. Katanya di dalam hati, “Hem,
kenapa mereka datang berkuda? Derap kaki kuda itu hanya akan mempercepat
kematianku. Seandainya mereka datang sambil berjalan kaki dapat
mendekati tempat ini sebelum aku dicekiknya, maka aku masih dapat
mengharap pertolongannya seperti Sidanti mendapat pertolongan gurunya.”
Tetapi yang terjadi adalah, mereka datang
berkuda. Derap kaki-kaki kuda itu telah memberitahukan kehadiran mereka
selagi mereka masih jauh. “Bukan saja mempercepat kematianku,” desis
Sutawijaya pula di dalam hatinya, “tetapi itu pun akan sangat berhahaya
bagi mereka sendiri. Seandainya Ki Tambak Wedi tidak sendiri dan
orang-orang yang lain ini pun tidak sedang terikat oleh lawan
masing-masing, maka mereka akan dengan mudahnya disergap dari
balik-balik dinding halaman.”
Namun kata-kata di hati Sutawijaya itu
pun terputus, geram ki Tambak Wedi, “Alangkah bodohnya orang-orang
Pajang. Kehadiran mereka hanya mempercepat kematianmu. Sayang aku tidak
mendapat kesempatan bermain-main dengan penunggang-penungang kuda yang
bodoh itu.”
Sutawijaya tidak menjawab. Pikiran itu
dapat dimengertinya. Ketika kemudian ia berpaling ke arah kedua
kawannya, mereka pun telah berhenti berkelahi.
“Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi,
“sebentar lagi beberapa orang dari Pajang akan datang. Aku kira bukan
seluruh pasukan, mereka hanyalah orang-orang yang mendahului pasukan
itu.”
“Wira Lele telah lepas dari tangan kami
guru. Ia sempat memberitahukan peristiwa ini kepada orang-orang Pajang
itu,” sahut Sidanti.
“Tidak apa,” berkata gurunya, “sekarang
tinggalkan tempat ini cepat-cepat. Pilihlah arah yang tepat seperti yang
kita rencanakan supaya kau tidak dilihat oleh orang-orang berkuda itu.”
Sidanti tidak segera menyahut. Terasa
harga dirinya tersentuh. Tetapi terdengar gurunya membentak, “Cepat!
Tinggalkan tempat ini, bersama Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda.
Biarlah aku menyelesaikan ketiga-tiganya.”
Ketiganya tidak lagi menunggu Ki Tambak
Wedi mengulangi. Derap kaki kuda itu sudah semakin dekat. Namun
tiba-tiba derap itu berhenti.
Ki Tambak Wedi mengangkat wajahnya.
Tetapi ia tidak lagi mendapat banyak kesempatan. Ia tidak iagi
mempedulikan suara-suara kaki yang hilang itu. Sidanti dan kedua
kawan-kawannya pun tidak. Ketiganya segera meloncat berlari
meninggalkan tempat itu. Agung Sedayu dan Swandaru masih mencoba untuk
mencegah mereka, tetapi ketika mereka melihat Ki Tambak Wedi menimang
gelang-gelang besinya maka maksud itu pun diurungkannya. Usahanya pasti
akan sia-sia dan mereka pasti hanya akan mati tanpa arti. Lebih baik
bagi mereka untuk mempersiapkan diri melawan hantu lereng Merapi itu
bersama-sama.
Derap kuda itu masih juga belum terdengar
Iagi. Mereka sudah tidak begitu jauh. Tetapi mereka pasti berhenti.
Kalau tidak, maka mereka pasti sudah tampak di tikungan sebelah.
“Aku tidak peduli lagi, apa yang akan
kalian katakan,” geram Tambak Wedi. “Sekarang kalian akan aku bunuh
dengan caraku. Kalau kuda-kuda itu tampak di tikungan, maka kalian akan
menggelepar di tanah. Kalian tidak akan segera mati, tetapi kalian tidak
akan dapat disembuhkan. Aku akan meremas tulang-tulang iga kalian.”
Ki Tambak Wedi itu pun maju selangkah mendekati Sutawijaya. Anak itulah yang paling dibencinya. Sesudah itu Agung Sedayu.
“Setidak-tidaknya kau,” desisnya.
Sutawidjaja itu pun melangkah surut. Ia
melihat Agung Sedayu dan Swandaru justru neloncat mendekatinya.
Senjata-senjata mereka telah siap terjulur lurus ke dada Tambak Wadi.
“Jangan terlampau banyak sekarat,”
geramnya pula. “Aku menunggu kuda itu muncul di tikungan, supaya
penunggangnya melihat bagaimana kalian bertiga mati.”
Tetapi kuda-kuda itu belum juga muncul.
Bahkan suara derapnya pun belum terdengar. Agung Sedayu dan Swandaru
agaknya tidak dapat bersabar lagi. Merekalah yang tiba-tiba mendahului
menyerang Ki Tambak Wedi.
Namun bagi Ki Tambak Wedi, serangan-serangan itu tidak banyak berarti. Meskipun kemudian Sutawijaya ikut pula bertempur.
Dengan loncatan-loncatan pendek serta
mempergunakan gelang-gelang besinya, Ki Tambak Wedi selalu berhasil
menghindari dan menangkis serangan-serangan anak-anak muda itu.
“Gila, kenapa kuda-kuda itu tidak juga
muncul. Kalau mereka meloncat turun, dan mencoba mendatangi tempat ini
sambil bersembunyi, maka aku akan sangat kecewa. Sebab aku pasti akan
membunuh kalian dengan tergesa-gesa. Tetapi apa boleh buat. Lebih baik
aku berbuat cepat dari pada terlambat. Aku tidak akan menunggu kuda-kuda
itu.”
Tetapi tiba-tiba kembali terdengar kuda
berderap. Ki Tambak Wedi itu pun kemudian tersenyum. Katanya, “Ha, aku
mempunyai kesempatan yang baik. Tunggu sampai kuda itu muncul di
tikungan supaya mereka melihat kalian menggelepar kesakitan seperti ayam
disembelih. Aku mengharap ayahmulah yang datang, Sutawijaya.”
Ketiga anak muda itu sama sekali tidak
menjawab. Mereka memperketat serangan-serangan mereka. Meskipun mereka
tahu, bahwa mereka sama sekali tidak berarti bagi Ki Tambak Wedi, namun
mereka ingin mati sebagaimana seorang laki-laki mati di dalam
peperangan. Bukan seperti seekor cucurut yang mati ketakutan melihat
seekor kucing candramawa.
Tetapi Ki Tambak Wedi menjadi semakin
bergembira melayani anak-anak muda itu, meskipun sebenarnya ia telah
hampir sampai pada puncak permainannya. Ia hanya menunggu kuda-kuda itu
muncut di tikungan. Kemudian dengan gerakan yang pasti tak akan dapat
dihindari oleh ketiga anak-anak muda itu, Ki Tambak Wedi akan
menyelesaikan pertempuran. Ia mengharap bahwa orang-orang berkuda itu
masih sempat melihat ketiga anak-anak muda itu menjelang saat matinya
dengan penuh penderitaan.
“Ha,” teriak Ki Tambak Wedi kemudian, “itulah mereka.”
Dada Sutawijaya, Agung Sedayu dan
Swandaru berdesir. Kini mereka tinggal menunggu saat yang sama sekali
tidak menyenangkan itu. Ki Tambak Wedi pasti akan melakukan seperti yang
dikatakannya. Meremas tulang-tulang iga mereka.
Namun tiba-tiba sekali lagi mereka
terkejut. Yang mereka dengar lebih jelas bukanlah langkah kuda-kuda itu,
tetapi derap langkah orang berlari.
Sesaat gerak Ki Tambak Wedi terganggu.
Tetapi segera ia mengetahui bahwa di antara mereka yang berkuda, pasti
ada seseorang yang dengan bersembunyi-sembunyi mendekati perkelahian
itu. Karena itu wajahnya menjadi tegang.
Tetapi apa yang akan dilakukan Ki Tambak
Wedi, masih belum dapat mendahului langkah itu. Sebelum Ki Tambak Wedi
berbuat sesuatu, maka tiba-tiba mereka melihat sebuah bayangan melayang
hinggap di atas dinding halaman di sebelah yang lain dari arah
kedatangan Ki Tambak Wedi.
Darah hantu lereng Merapi itu terasa
seolah-olah berhenti mengalir dengan tiba-tiba. Ia tidak menyangka,
bahwa salah seorang dari mereka mampu datang secepat itu. Dan ternyata
yang bertengger di atas dinding halaman itu adalah Ki Gede Pemanahan.
Ki Tambak Wedi melihat, bahwa sekali lagi
ia mengalami kegagalan. Otaknya yang telah dipenuhi oleh berbagai
pengalaman segera mengatakan, bahwa tak akan ada gunanya lagi baginya
berbuat sesuatu atas ketiga anak-anak muda itu. Ia menyesal bukan
kepalang, bahwa ia menunggu kuda-kuda itu muncul di tikungan, sehingga
ia terlambat karenanya. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa seseorang
mampu bergerak secepat Ki Gede Pemanahan. Seandainya salah seorang yang
berkuda itu tadi meloncat turun pada saat kuda-kuda itu berhenti, maka
betapapun tinggi kemampuannya berlari, tetapi orang itu pasti belum
sampai di tempat ini. Namun ternyata Ki Gede Pemanahan mampu
melakukannya.

Untunglah bahwa yang dibidiknya adalah Ki
Gede Pemanahan, secepat gelang-gelang itu pula, Ki Gede Pemanahan
menjatuhkan dirinya dari alas dinding itu. Seperti seekor kucing ia
meloncat turun, dan secepatnya tegak di atas kedua kakinya yang kokoh
kuat bagaikan sepasang tonggak baja. Sedang di tangan Ki Gede itu telah
tergenggam pusakanya, Kiai Naga Kemala.
Terdengar Ki Tambak Wedi itu menggeram.
Tiba-tiba di tangannya telah tergenggam pula sebuah gelang-gelang yang
lain. Tetapi apa yang dilakukannya adalah di luar dugaan mereka yang
melihatnya. Cepat seperti kilat, Ki Tambak Wedi meloncat surut, kemudian
dengan kecepatan yang sama, ia meloncat lebih jauh lagi, melampaui
dinding halaman dari arah ia datang.
Ki Gede Pernanahan segera berlari ke
dinding itu pula. Tetapi ketika ia sudah bersiap untuk meloncat,
tiba-tiba ia tertegun. Sekali dilayangkan pandangan matanya, tetapi
regol halaman ternyata berada agak jauh daripadanya.
“Tidak ada gunanya,” desisnya.
“Ayah tidak mengejarnya?” dengan serta merta Sutawijaya bertanya.
“Sudah terlampau jauh,” sahut Ki Gede Pemanahan.
“Ayah tidak meloncati dinding itu?” berkata anaknya, “kalau ayah meloncat pula, maka setan itu pasti belum terlampau jauh.”
Ki Gede Pemanahan menggelengkan kepalanya
sambil tersenyum, “Aku masih sayang akan dahiku. Kalau kepalaku muncul
dari batik dinding maka sebuah gelang-gelang pasti akan menyambarnya.
Aku tidak tahu, apakah aku dapat menghindarinya, karena arahnya belum
aku ketahui dengan pasti.”
“O,” Sutawijaya menarik nafas sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, itu akan dapat terjadi,” gumamnya.
Kemudian katanya, “Untunglah bahwa lingkaran yang pertama tidak
dilemparkan kepalaku. Kalau ia berbuat demikian, maka aku tidak lagi
dapat melihat orang-orang Jipang yang menyerah itu.”
Ki Gede Pemanahan menggeleng, “Ia tidak
akan berbuat demikiam selagi ia masih ingin melepaskan diri. Kalau ia
membunuhmu dengan lingkaran itu, maka keris ini akan menancap di
dadanya. Ia tidak akan sempat menghindar selagi ia berusaha melihat
hasil gelang-gelangnya atasmu. Ki Tambak Wedi pun tahu pasti, bahwa aku
dapat juga melemparkan kerisku ini ke arahnya. Karena itu ia mendahului
aku sebelum aku sempat mengayunkan tanganku.”
Dalam pada itu, maka ketiga ekor kuda
beserta para penunggangnya kini sudah menjadi semakin dekat. Demikian
mereka menghentikan kuda-kuda mereka, demikian para penunggang itu
berloncatan turun.
“Ternyata Ki Gede telah berada di tempat ini?” bertanya Untara sambil mengangguk dalam-dalam.
“Kenapa?” bertanya Ki Gede, “bukankah memang aku pergi lebih dahulu dari padamu?”
“Aku menjadi cemas ketika aku melihat seekor kuda di halaman di sebelah tikungan, di mulut lorong ini.”
“Itu memang kudaku.”
“Lalu, apakah kuda itu Ki Gede tinggalkan?”
“Ya. Aku mencoba untuk berhati-hati.
Sebelum aku mendekati desa ini, kudaku telah aku perlambat dan kemudian
aku turun dan menuntun kuda itu memasuki desa ini. Bahkan kuda itu
kemudian aku tinggalkan di sana.”
Untara dan kedua perwira pengawal Ki Gede
Pemanahan itu saling berpandangan. Mereka ternyata demikian
tergesa-gesa sehingga mereka tidak sempat untuk memikirkan bahaya yang
dapat bersembunyi di balik setiap helai daun di desa ini. Seandainya
Sidanti membawa beberapa kawan yang Iain, maka mereka pasti sudah
terjebak di atas punggung kuda mereka masing-masing.
Untara yang masih belum menghapus
keringat di keningnya itu kemudian berkata, “Kami ternyata terlampau
tergesa-gesa. Untunglah bahwa kami tidak mendapat serangan dari
tempat-tempat berhenti sesaat, karena ketergesa-gesaan kami itu.” Untara
berhenti sesaat, dipandanginya anak muda yang masih tegak di tempatnya
masing-masing dengan senjata di tangan-tangan mereka. Kemudian katanya
pula, “Untunglah bahwa Ki Gede telah sampai di tempat ini. Sekali lagi
aku terlambat beberapa saat. Kami berhenti sejenak di ujung desa karena
kami melihat kuda Swandaru yang Ki Gede pakai. Kami bertanya-tanya di
dalam hati kami, namun kami tidak menemukan jawabnya. Akhirnya kami
meneruskan perjalanan. Sampai di tikungan kami melihat apa jang terjadi
di sini.”
“Kalau aku tidak mendahului kalian dan
kalian tidak melihat kudaku sehingga kalian tidak berhenti, apakah yang
kira-kira akan kalian lakukan?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
Pertanyaan itu telah memukul dada Untara
sehingga anak muda itu menundukkan kepalanya. “Ya, apakah yang akan aku
lakukan seandainya aku justru datang lebih dahulu dari Ki Gede
Pemanahan? Apakah aku akan melawan Ki Tambak Wedi?” Karena itulah maka
Untara mendjawab lirih, “Tak ada yang dapat kami lakukan Ki Gede.
Mungkin kami adalah korban yang berikutnya.”
Ki Gede tersenyum. Sambil menyarungkan
kerisnya ia berkata, “Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi Tambak Wedi
itu. Semuanya sudah lalu.” Kemudian ki Gede itu berpaling kepada
puteranya, “Sutawijaya, jadikanlah peristiwa ini peringatan bagimu.
Jangan terlampau menuruti keinginan. Aku pun hampir terlambat. Untung
aku mendengar Ki Tambak Wedi mengancam dengan marahnya, sehingga
suaranya terdengar dari balik dinding-dinding halaman ini. Mula-mula aku
memang tidak segera menemukan tempat ini. Dan aku datang tepat pada
waktunya.”
Sutawijaya menundukkan kepalanya. Ia
tidak menjawab sepatah katapun. Apalagi ketika kemudian terasa
lambungnya menjadi sakit. Lambung yang terkena sentuhan Ki Tambak Wedi,
sehingga ia terbanting jatuh pada saat ia hampir berhasiI membunuh
Sidanti.
Ketika ia menyeringai menahan nyeri
sambil meraba-raba lambungnya itu, Ki Gede Pemanahan memandanginya
dengan cemas. “Kenapa lambungmu?” bertanya orang tua.
“Sakit,” sahut Sutawijaya.
“Ya kenapa?”
Sutawijaya ragu-ragu. Tetapi kemudian ia berkata, “Tak apa-apa. Mungkin sedikit terkilir.”
Tetapi jawaban itu tidak meyakinkan Ki Gede Pemanahan sehingga sekali lagi ia bertanya, “Kenapa lambung itu?”
Namun Sutawijaya yang nakal itu memandangi wajah Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti sambil tersenyum kecut.
“Kenapa?” desak ayahnya.
Yang menjawab kemudian adalah Swandaru, “Putera Ki Gede telah terkena sentuhan Ki Tambak Wedi dan terbanting jatuh.”

Sutawijaya mengangguk.
“Hem,” desis Ki Gede Pemanahan, “untunglah bahwa tulang-tulangmu tidak patah.”
“Ki Tambak Wedi terlampau tergesa-gesa,”
sahut Sutawjaya. “Ia berada dalam jarak yang cukup jauh. Hampir tak
masuk di akal, bahwa kemudian dengan satu kali loncatan, aku
terpelanting.”
“Kenapa ia berbuat demikian. Bukankah ia akan membunuh kalian bertiga? Kenapa tidak langsung saja kau dicekiknya?”
“Ya. Tetapi saat itu ia sedang berusaha
menyelamatkan Sidanti yang kehilangan kesempatan untuk mengelak, sedang
Ki Tambak Wedi ingin membunuhku dengan cara yang dianggap sangat
menyenangkan hatinya.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Terbayang di dalam angan-angannya, bagaimana anaknya dan
kedua kawannya bertempur. Namun ia mengucap syukur di dalam hatinya,
bahwa ia datang tidak terlambat seperti Untara dan kedua kawan-kawannya,
sehingga ia sempat menyelamatkan anaknya. Bukan saja suatu hal yang
sangat memggembirakan dirinya sendiri, tetapi juga menghindarkannya dari
murka Adipati Pajang. Sebab Sutawijaya itu telah diangkat sebagai
putera Adipati Pajang, dan keselamatannya telah dititipkan kepadanya.
Seandainya saat itu Sutawijaya mengalami cidera atau bahkan terbunuh
oleh Ki Tambak Wedi, maka ia akan mengalami bencana dua kali lipat. Ia
akan kehilangan anak laki-lakinya dan mungkin ia akan kehilangan
jabatannya pula karena murka Adipati Pajang yang merasa kehilangan
anaknya pula.
Dalam pada itu, maka sekali lagi terasa
betapa kecewa hati Panglima Wira Tamtama itu atas hasil kerja Untara.
Sangkal Putung yang disangkanya sudah tidak akan diganggu lagi oleh
orang-orang Jipang seperti laporan yang disampaikan oleh Untara,
ternyata masih menyimpan bahaya yang hampir saja menelan keselamatannya
dan keselamatan anaknya.
Namun Ki Gede Pemanahan berusaha untuk
menyimpan penyesalan itu di dalam hatinya. Bagaimanapun juga, ia masih
mencoba mengerti bahwa Untara di hadapkan pada suatu keadaaan yang tidak
dapat diperhitungkannya lebih dahulu. Unsur Ki Tambak Wedi agaknya
adalah sumber dari kekacauan persiapan dan perhitungannya. Kalau tidak
ada hantu lereng Merapi itu, maka Sangkal Putung benar-benar tidak akan
terganggu lagi.
Kini yang mereka tunggu adalah
parkembangan keadaan yang tumbuh pada orang-orang Jipang yang akan
menyerah itu. Mereka pasti melihat api itu pula dan bagaimanakah
tanggapan mereka atas api itu sama sekali tidak diketahui oleh Untara
dan para prajurit Pajang yang lain.
Sementara itu Widura membawa pasukannya
dengan tergesa-gesa ke desa kecil itu. Kalau terjadi sesuatu, maka ia
pun ikut bertanggung jawab pula bersama dengan Untara. Karena itu maka
ia ingin segera sampai dan melihat apa yang telah terjadi.
Dengan hati-hati pasukan itu pun kemudian
memasuki desa Benda. Namun desa itu masih saja sepi seperti tidak
terjadi apa-apa, kecuali api yang kini semakin lama menjadi semakin
surut. Untunglah bahwa jarak dari rumah yang satu ke rumah yang lain
cukup jauh sehingga api itu tidak menjalar ke rumah-rumah yang lain.
Widura menjadi berlega hati ketika
kemudian dilihatnya di ujung lorong itu ki Gede Pemanahan, Untara,
Sutawijaya dan yang lain-lain masih berdiri di muka gardu. Bahkan para
penjaga pun masih juga tegak seperti patung.
Hati Widura menjadi semakin tenteram
ketika dilihatnya orang-orang yang berdiri di ujung jalan itu memandangi
pasukannya sambil tersenyum. Namun ketika ia menjadi semakin dekat,
hatinya menjadi sedikit berdebar-debar kembali, karena dilihatnya ujung
tombak Sutawijaya menjadi semburat merah oleh warna darah.
Widura itu pun kemudian menganggukkan
kepalanya dalam-dalam sambil bertanya, “Apakah yang sudah terjadi ki
Gede? Bukankah angger Sutawijaya, putera Ki Gede tidak mengalami
cidera?”
“Itulah orangnya,” sahut Ki Gede sambil menunjuk puteranya. “Hampir saja ia mati dicekik hantu lereng Merapi.”
“Oh,” Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekilas ia mampu membayangkan bahwa agaknya kedatangan Ki
Gede Pemanahan telah menyelamatkannya.
Kini Widura telah berada di Benda bersama
seluruh pasukannya. Prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung. Karena
itu, maka kewajibannya adalah menunggu perintah, apa yang harus
dilakukannya menjelang kehadiran orang-orang Jipang yang akan menyerah.
Kalau mereka mengingkari janji, maka yang akan terjadi adalah
pertempuran. Bahkan mungkin mereka harus berlari-lari kembali ke induk
kademangan apabila para pengawas melihat orang-orang Jipang mengambil
jalan melingkar dan bermaksud langsung menusuk ke jantung kademangan.
Tetapi meskipun demikian, maka pasukan cadangan yang ditinggalkan akan
mampu menahan orang-orang Jipang itu sampai sebagian dari pasukan ini
datang kembali. Tetapi apabila terjadi demikian, maka pasti tak akan ada
ampun lagi bagi orang-orang Jipang itu.
Matahari yang merambat semakin tinggi
kini telah hampir mencapai puncak langit. Beberapa saat lagi, maka saat
yang dijanjikan akan tiba. Karena itu, maka seluruh pasukan itu pun
berjaga-jaga. Beberapa orang pemimpin kelompok telah mengatur anak buah
masing-masing dan menempatkan mereka terpisah-pisah. Di sawah-sawah yang
tidak ditanami di hadapan desa Benda itulah nanti orang-orang Jipang
berkumpuI. Mereka akan mengumpulkan senjata-senjata mereka dan
membiarkan orang-orang Pajang mengambilnya. Itu adalah suatu upacara
penyerahan yang telah disepakati.
Ki Gede Pemanahan, Untara dan para
pemimpin prajurin Pajang dan Sangkal Putung kini berdiri berjajar di
muka gardu di ujung lorong. Pandangan mereka seolah-olah melekat pada
gerumbul-gerumbul di hadapan mereka.
Di hadapan mereka kini terbentang
sebidang tanah persawahan yang seakan-akan hampir tidak pernah mendapat
perawatan. Para petani menjadi agak ketakutan sejak orang-orang Jipang
saling berkeliaran di sekitar desa itu. Apalagi tanah yang terbentang
agak jauh dari padesan. Gerumbul-gerumbul liar dan ilalang telah tumbuh
semakin tinggi. Tanah itu sama sekali telah tidak lagi digarap oleh
pemiliknya. Dari balik-balik gerumbul-gerumbul itulah nanti akan datang
orang-orang Jipang yang telah menyatakan diri menjerah bersama
senjata-senjata mereka. Mereka akan menyeberangi padang rumput yang
tidak terlampau luas dan berjalan lewat tanah persawahan yang kini telah
menjadi liar itu.
Para pemimpin prajurit Pajang itu
sekali-sekali menengadahkan wajah-wajah mereka memandangi matahari yang
sudah semakin tegak di atas kepala. Matahari itu kini telah mencapai
titik terlinggi tepat di puncak langit.
“Saatnya telah tiba,” gumam Ki Gede Pemanahan.
Hati Untara menjadi berdebar-debar.
Mudah-mudahan tidak terjadi malapelaka bagi Sangkal Putung.
Mudah-mudahan rencana ini dapat berjalan sesuai dengan rencana.
Tiba-tiba ia menyesal atas ketergesa-gesaannya. Ia telah memberanikan
diri menyatakan bahwa persoalan orang-orang Jipang segera akan selesai
sepeninggal Macan Kepatihan. Bahkan ia telah memberanikan menyatakan
bahwa Sangkal Putung kini telah aman tenteram dan mengharap kehadiran Ki
Gede Pemanahan untuk menerima penyerahan sisa-sisa terakhir dari
orang-orang Jipang itu. Sedang beberapa orang yang tidak sependapat
dengan mereka yang menyerah itu, sama sekali tidak akan berarti apa-apa.
Bahkan mereka akan dapat diabaikan untuk sementara.
Namun ternyata kehadiran Ki Gede
Pemanahan telah disambut oleh Ki Tambak Wadi di tegal jagung. Bahkan
kemudian putera ki Gede Pemanahan pun hampir-hampir menjadi korban
pula.
Tetapi kini semuanya itu telah terjadi.
Kalau sekali lagi terjadi sesuatu, maka kepercayaan Ki Gede Pemanahan
kepadanya pasti akan surut terlampau jauh.
Dalam pada itu kembali terdengar Ki Gede Pemanalan berkata, “Bukankah matahari telah berada tepat di atas kepala.”
“Ya, Ki Gede,” sahut Untara ragu-ragu.
“Apakah saat ini yang telah mereka janjikan?”
“Ya, Ki Gede,” kembali terdengar suara
Untara datar. Dalam pada itu kembali Untara teringat kepada Kiai
Gringsing yang seakan-akan menghilang. Namun ia sama sekali tidak dapat
menuntutnya untuk sesuatu kewajiban tertentu. Sebab Kiai Gringsing bukan
prajurit Pajang dan bukan anak buahnya.
“Kita tunggu sejenak,” gumam Ki Gede
Pemanahan. “Kalau sepemakan sirih mereka tidak nampak, maka aku akan
langsung memberikan perintah lain.”
Meskipun Ki Gede Pemanahan bergumam
sambil tersenyum, tetapi jelas bagi Untara, bahwa perasaan Ki Gede
Pemanahan menjadi tidak begitu senang melihat peristiwa-peristiwa yang
terjadi di Sangkal Putung itu. Peristiwa-peristiwa yang sejak
kedatangannya telah menunjukkan bahwa Sangkal Putung tidak sebaik
seperti laporan Untara.
Kini mereka berdiri dengan tegangnya,
memandangi sawah yang ditumbuhi rumput-rumput liar dan batang-batang
jarak yang menjadi lebat. Di belakang gerumbul-gerumbul itu dapat
bersembunyi orang-orang Jipang. Bahkan mereka dapat bertebaran jauh dari
Selatan ke Utara. Mungkin pula mereka menyusup ke Sangkal Putung lewat
di belakang gerumbul-gerumbul itu langsung mendekati induk kademangan
dan menyerang dari samping.
Hampir tak seorang pun yang
bercakap-cakap. Mereka bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan
yang akan terjadi. Para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung yang
menebar itu pun memandangi gerumbul di hadapan mereka dengan mata yang
hampir tidak berkedip.
Semakin lama dada Untara seakan-akan
menjadi semakin bergolak. Dada itu akan dapat meledak apabila laskar
Jipang tidak segera tampak. Apalagi Ki Gede Pemanahan segera akan
menjatuhkan perintah lain. Perintah yang belum diketahui akan bagaimana
bunyinya.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba mereka
melihat sesuatu yang bergerak-gerak dari dalam gerumbul di hadapan
mereka. Mereka melihat seseorang menyeruak batang-batang perdu dan
kemudian muncul di atas rumput-rumput liar yang tumbuh subur di atas
tanah persawahan yang tidak ditanami itu.
Untara melihat orang itu dengan dada berdebar-debar. Selangkah ia maju sambil bergumam, “Itukah mereka?”
“Hanya satu orang,” sahut Ki Gede Pemanahan.
Tapi ternyata yang kemudian menyeruak
dari dalam gerumbul-gerumbul itu tidak hanya satu orang. Sesaat kemudian
kembali mereka melihat seorang yang lain. Disusul orang yang ketiga dan
keempat. Namun yang datang dari balik gerumbul itu sama sekali tidak
seperti yang diharapkan oleh Untara dan para pemimpin Sangkal Putung.
Mereka ternyata tidak lebih dari dua puluh orang.
“Hanya itu?” terdengar Ki Gede Pemanahan bertanya.
Untara tidak segera dapat menjawab. Tetapi keringat dinginnya telah melelehi di segenap permukaan kulitnya.
“Dua puluh atau dua puluh lima orang,,”
berkata Ki Gede Pemanahan pula. “Dua puluh orang Jipang telah mampu
menggerakkan Panglima Wira Tamtama untuk menyambut kedatangannya.”, “
Dada Untara kini benar-benar dipenuhi
oleh kegelisahan yang melonjak-lonjak. Kalau yang datang hanya dua puluh
lima orang itu, alangkah malunya. Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira
Tamtama itu pun pasti akan menjadi sangat marah kepadanya, seolah-olah
duapuluh lima orang Jipang itu cukup bernilai untuk memaksa Ki Gede
Pemanahan datang ke daerah terpencil ini.
Tetapi ketika kemudian mereka melihat
dengan seksama maka mereka melihat sesuatu yang tidak begitu wajar pada
orang-orang Jipang itu. Mereka melihat orang-orang Jipang itu memanggul
sesuatu yang agaknya cukup berat.
“Apakah yang mereka bawa?” tanya Ki Gede bertanya kembali.
“Aku tidak tahu Ki Gede,”,” sahut Untara.
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kemudian matanya yang tajam melihat benda yang
dipanggul oleh orang-orang Jipang itu. Terdengar ia bergumam, “Senjata.
Mereka memanggul senjata di atas pundak-pundak mereka. Kau lihat
ujung-ujung dari senjata-senjata itu? Mereka memanggul tidak hanya
sepucuk senjata di atas pundak masing-masing, tetapi seikat senjata.
Hati Untara menjadi semakin tegang. Ia
tidak tahu kenapa orang-orang Jipang itu memanggul senjata-senjata
mereka yang telah mereka ikat menjadi dua puluh ikat dan mereka bawa
mendahului orang-orang mereka. Untara tidak tahu, apakah yang seterusnya
akan dilakukan oleh orang-orang Jipang itu. Dalam persetujuan mereka,
sama sekali mereka tidak pernah menyatakan bahwa mereka bersedia berbuat
demikian.
Namun Untara tidak dapat berbuat lain
daripada menunggu orang-orang itu menjadi semakin dekat. Untara harus
mendapat keterangan dari mereka, apakah yang seterusnya akan dilakukan
oleh orang-orang Jipang itu.
Semakin lama orang-orang yang memanggul
bongkokan senjata itu pun menjadi semakin dekat. Dengan demikian, maka
semakin jelas pula tampak, bahwa senjata yang mereka bawa itu adalah
segala macam jenis senjata. Tombak, pedang, bindi dan sebagainya.
Ketika orang-orang itu menjadi semakin
dekat, maka Untara pun segera melihat, siapakah yang berdiri di paling
depan dari orang-orang Jipang itu. Orang yang justru tidak membawa
sesuatu. Tetapi ialah yang menentukan segala sesuatu atas orang-orang
Jipang itu. Orang itu adalah Sumangkar.
Dengan kepala tunduk ia berjalan.
Langkahnya satu-satu seperti orang kehilangan gairah untuk menghadapi
hidupnya di masa-masa mendatang.
Melihat orang itu Ki Gede Pemanahan
menarik keningnya tinggi. Tanpa dikehendakinya sendiri ia melangkah maju
sambil berdesis, “Kakang Sumangkar.”
Sumangkar yang kemudian mengangkat
wajahnya melihat Ki Gede Pemanahan itu berjalan ke arahnya, seolah-olah
hendak menyongsongnya. Karena itu maka ia pun segera berhenti sambil
membungkukkan badannya dalam-dalam.
“Kakangmu yang tidak berharga telah menghadap Ki Gede Pemanahan.”
Ki Gede Pemanahan menarik nafas
dalam-dalam. Sumangkar adalah lawan yang cukup tangguh sepeninggal Patih
Mantahun. Ki Gede Pemanahan tahu benar kemampuan yang tersimpan pada
orang tua itu. Tak ubahnya seperti kemampuan Patih Mantahun sendiri.
Dari Untara Ki Gede Pemanahan sudah
mendengar bahwa Sumangkar kini berada bersama-sama dengan laskar Jipang
yang dipimpin oleh Tohpati. Sumangkar-lah orang yang telah berusaha
untuk menghentikan perlawanan sepeninggal Macan Kepatihan. Namun menitik
perkembangan keadaan, maka Ki Gede Pemanahan memang harus berhati-hati.
Apakah Sumangkar tidak sedang menjebaknya bersama-sama dengan Ki Tambak
Wedi.
Ketika Sumangkar melihat Ki Gede
Pemanahan, maka orang itu seakan-akan tidak merasa terkejut. Apakah ia
menganggap bahwa kehadiran Ki Gede Pemanahan menyambutnya itu adalah
sesuatu yang sewajarnya, atau memang ia sudah mendengar dari Ki Tambak
Wedi?
Namun dalam keadaan yang bagaimanapun
juga. Ki Gede Pemanahan harus menghadapinya dengan penuh kewaspadaan. Ia
tidak akan kehilangan kewaspadaan hanya karena beberapa bongkok senjata
yang dibawa oleh orang-orang Jipang itu.
Ki Gede Pemanahan itu pun kemudian
berhenti beberapa langkah di muka Sumangkar. Untara dan Widura pun
kemudian berdiri di kedua sisinya. Di belakang mereka berderet beberapa
orang perwira pengawal Ki Gede Pemanahan.
Sejenak Ki Gede Pemanahan memandangi
orang tua itu. Wajahnya yang suram dan matanya yang cekung menunjukkan
bahwa orang itu telah mengalami keadaan yang tidak menyenangkan hatinya.
“Kau nampak kurus dan lekas bertambah tua Kakang Sumangkar,” sapa Ki Gede Pemanahan.
Sumangkar membungkuk hormat sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Ya Ki Gede, aku bukan saja
cepat menjadi tua, tetapi sebenarnya aku telah tua.”
Ki Gede tersenyum. Katanya pula,
“Sebenarnya Kakang belum terlampau tua. Bukankah umur Kakang tidak
terpaut banyak dengan umurku. Bahkan mungkin kita sebaya?”
“Ya, ya,” Sumangkar masih
mengangguk-anggukkan kepalanya, “mungkin kita memang sebaya. Tetapi Ki
Gede adalah Panglima Wira Tamtama. Ki Gede hidup dalam lingkungan yang
baik sedang aku hidup di hutan-hutan seperti seekor ayam alas yang
terbang dari satu sarang, hinggap ke sarang yang lain menghindari seekor
musang yang selalu memburunya”
Ki Gede Pemanahan tertawa. “Apakah Kakang sudah jemu?”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam.
Jawabnya, “Aku sendiri sebenarnya tidak pernah merasakan itu sebagai
suatu keadaan yang menjemukan Ki Gede. Aku telah membiasakan diri hidup
dalam kesulitan dan penderitaan sejak aku berguru di Kedung Jati bersama
Kakang Mantahun. Juga ketika Kakang Mantahun menjadi Patih Jipang aku
tidak menjadi seorang tumenggung atau senapati perang. Aku waktu itu
adalah seorang abdi kepatihan.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Lalu apakah yang mendorong Kakang mengambil keputusan seperti ini?”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam.
Sekali ia berpaling. Dilihatnya orang-orang Jipang yang memanggul
senjata-senjata mereka, masih berdiri di belakangnya.
“Letakkanlah senjata-senjata itu,”
berkata Sumangkar kepada orang-orang Jipang. Namun kemudian kepada Ki
Gede Pemanahan ia berkata, “Bukankah demikian Ki Gede? Apakah
senjata-senjata ini boleh kami letakkan di sini?”
Ki Gede berpikir sejenak, kemudian jawabnya, “Letakkanlah.”
Orang-orang Jipang itu segera meletakkan senjata-senjata yang terikat dalam ikatan-ikatan yang cukup besar.
“Itulah sebagian besar dari
senjata-senjata kami, Ki Gede,” berkata Sumangkar kemudian kepada Untara
ia berkata, “Kami telah melakukan sesuatu di luar persetujuan Angger
Untara. Tetapi kami yakin, bahwa dengan demikian, kami telah menegaskan
kami untuk menghentikan perlawanan kami.”
Untara tidak segera menjawab. Ditatapnya
wajah Ki Gede Pemanahan sejenak. Seolah-olah ia menyerahkan segala
persoalan kepada Panglima Wira Tamtama itu.
“Hanya inikah senjata-senjata kalian seluruhnya?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Ini sebagian terbesar dari seluruh senjata-senjata kami Ki Gede,” sahut Sumangkar.
“Kenapa tidak seluruhnya?”
“Kami masih memerlukan beberapa pucuk senjata di tangan kami,” sahut Sumangkar.
“Kakang tidak percaya kepada kami?”
“Bukan Ki Gede, bukan,” jawab orang tua
itu cepat-cepat. “Tetapi kami masih harus melindungi diri kami dari
kebuasan serigala-serigala ke sarang kami sendiri.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Namun tiba-tiba ia bertanya kembali, “Kakang, Kakang
belum menjawab pertanyaanku. Apakah yang mendorong Kakang Sumangkar
mengambil keputusan ini? Bukankah Kakang tidak pernah mengalami kejemuan
dengan keadaan Kakang selama ini. Hidup di hutan-hutan dan menurut
istilah Kakang sendiri, terbang dari satu sa-rang hinggap ke sarang yang
lain menghindari musang yang memburunya?”
Sekali lagi Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia menyahut, “Sebenarnya alasan
itu tidak penting bagi Ki Gede. Apa pun yang mendorong kami untuk
menyerahkan diri adalah persoalan kami. Namun meskipun demikian, secara
pribadi aku akan menjawab, sebab Ki Gede sudah bertanya secara pribadi
pula.”
“Benar,” potong Ki Gede, “tetapi
Sumangkar dalam segala keadaan akan dapat menentukan sikap orang-orang
Jipang itu. Bukankah kakang berkata bahwa kakang sendiri, kakang pribadi
tidak pernah merasakan kejemuan karena keadaan itu? Apakah dengan
demikian berarti bahwa Sumangkar menyerah hanya karena kawan-kawannya
menyerah tanpa sesuatu keyakinan apapun? Atau bahkan dengan suatu
keyakinan yang lain?”
Sumangkar menggelengkan kepalanya. Namun
terasa hatinya berdesir mendengar pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu.
Dengan hati-hati pula ia menjawab, “Tidak Ki Gede. Aku cukup mempunyai
keyakinan tentang sikap yang telah aku ambil ini. Dan sikap itu sama
sekali tidak atas landasan kejemuan tentang diriku sendiri. Bukan karena
aku sudah jemu hidup di-hutan-hutan dan selalu dikejar-kejar oleh
Angger Untara dan Angger Widura, bukan karena aku sudah jemu karena
digigit nyamuk sebesar kelingking di paya-paya. Tidak Ki Gede. Kalau
demikian maka justru aku menyerah karena putus asa dan tanpa suatu
keyakinan apa-apa, selain keputus-asaan itu. Tetapi aku datang bukan
karena itu. Aku memang menyerah karena jemu. Tetapi aku jemu melihat
peperangan. Jemu melihat pertumpahan darah yang tidak ada henti-hentinya
tanpa ujung dan pangkal. Karena kejemuan itulah maka aku membawa
beberapa orang Jipang untuk menyerahkan dirinya kepada Angger Untara.
Ternyata di sini bukan saja ada Angger Untara, namun ada Ki Gede
Pemanahan, Panglima Wira Tamtama.”
“Kalau benar demikian alangkah
menyenangkan,” sahut Ki Gede Pemanahan. “Tetapi bagaimana dengan api
yang telah membakar beberapa rumah ini? Dan bagaimanakah dengan orang
orangmu di bulak jagung?”
“Pertanyaan Ki Gede adalah wajar,”
berkata Sumangkar dalam nada yang datar. “Ki Gede pasti akan terpengaruh
oleh api yang menyala di desa ini, seperti kami menjadi bertanya-tanya
di dalam hati kami pula. Kenapa di desa Benda terjadi kebakaran? Tetapi
Angger Untara dan Angger Widura tahu pasti bahwa Sanakeling tidak
sependapat dengan penyerahan ini. Apalagi Sidanti, murid Ki Tambak Wedi.
Karena itu maka mereka telah membuat keributan di desa kecil ini dan
bahkan telah berhasil mencegat Ki Gede di bulak jagung. Tetapi Ki Gede
harus dapat membedakan, bahwa yang melakukannya sama sekali bukanlah
orang-orang Jipang yang telah berjanji untuk menyerah. Mereka adalah
orang-orang Jipang yang berpihak kepada Sanakeling dan Ki Tambak Wedi.”
Tampaklah wajah Ki Gede Pemanahan
berkerut-kerut. Wajah itu tiba-tiba menjadi tegang. Ketika ia berpaling
kepada Untara dan kemudian kepada Widura, maka dilihatnya wajah kedua
pemimpin Prajurit Pajang di Sangkal Putung itu pun menjadi tegang pula.
“Kakang Sumangkar,” berkata Ki Gede
Pemanahan kemudian, “apakah Kakang Sumangkar atau setidak-tidaknya
orang-orang Kakang tidak melakukan perbuatan itu?”
“Tidak Ki Gede, tidak,” jawab Sumangkar.
“Jangan berbohong, Kakang.”
“Kenapa aku berbohong? Sekarang Ki Gede
dapat melihat, aku telah menepati janjiku. Datang ke desa kecil ini,
bahkan tanpa senjata untuk meyakinkan kesungguhan kami di hadapan Ki
Gede Pemanahan dan Angger Untara dan Widura. Sebab sebenarnya kami pun
dapat mengerti, setelah terjadi peristiwa itu, maka para pemimpin Pajang
akan dapat menjadi ragu-ragu.”
Tiba-tiba serentak mereka berpaling
ketika dari belakang para pengawal Ki Gede Pemanahan terdengar seseorang
berkata, “Aneh. Bukankah itu aneh sekali ayah?”
Yang berkata itu adalah Sutawijaya.
Beberapa langkah ia mendesak maju sehingga kemudian ia berdiri di
samping Untara, menghadap ke arah Sumangkar itu pula.
Dada Sumangkar berdesir melihat anak muda
itu. Anak muda itulah yang telah berhasil menyobek perut Arya
Penangsang sehingga ususnya mencuat keluar. Bulu-bulu Sumangkar
tiba-tiba terasa meremang mengenang peperangan itu. Arya Penangsang
benar-benar orang yang keras hati. Meskipun ususnya telah keluar itu
telah disangkutkan pada keris di lambungnya.
Kini anak muda itu berdiri di mukanya
dengan sebatang tombak pendek, bukan tombak berlandasan panjang seperti
yang dipakainya bertempur melawan Arya Penangsang.
Sambil membungkukkan badannya Sumangkar
berkata, “Kau Angger yang perkasa. Berbahagialah ayahanda mempunyai
seorang putera seperti Angger, dan berbahagialah Adipati Pajang
mempunyai prajurit setangkas Tuan.”
“Terima kasih Paman Sumangkar,” sahut
Sutawijaya. Namun sekali lagi ia bertanya kepada ayahnya, “Apakah ayah
merasakan keanehan itu?”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Ya, aku merasakan kejanggalan jawaban Kakang
Sumangkar. Untara dan Widura pasti merasakannya pula.,” Kemudian kepada
Sumangkar Ki Gede Pemanahan bertanya, “Nah, Kakang. Anakku pun
merasakan suatu kejanggalan pada jawaban-jawaban yang Kakang ucapkan.”
Sumangkar menarik alisnya tinggi-tinggi,
sehingga alis yang sudah mulai berwarna putih itu pun bergerak-gerak.
Sekali dipandanginya Sutawijaya. Kemudian Untara dan Widura.
Sekali-sekali ia berpaling memandangi beberapa bagian dari para prajurit
Pajang yang dapat dilihatnya di bawah pohon-pohon yang rindang
sepanjang dinding desa. Dan sekali-sekali ia berpaling juga kepada
orang-orangnya yang berdiri tegang di samping ikatan-ikatan senjata yang
mereka bawa. Matahari yang kini telah melampaui titik pusat itu sama
sekali tidak terasa membakar tubuh-tubuh mereka dan memeras keringat
mereka.
“Apakah yang terasa janggal itu Ki Gede?” bertanya Sumangkar.
“Kakang Sumangkar, jangan Kakang
menganggap bahwa aku terlampau berprasangka,” berkata Ki Gede Pemanahan.
“Di dalam peperangan segala macam siasat dan cara dapat terjadi.
Mudah-mudahan Kakang Sumangkar tidak mempergunakan cara yang licik itu.
Bahkan terbayang pun jangan pada angan-angan Kakang sumangkar.” Ki Gede
Pemanahan berhenti sejenak, namun kemu-dian diteruskanya, “Tetapi
Kakang, kenapa Kakang tidak terkejut dan heran melihat kehadiranku di
sini? Apakah itu bukan hal yang aneh bagi Kakang? Apakah Kakang telah
mengetahuinya lebih dulu?”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Bahkan
matanya kemudian menyorotkan berbagai macam pertanyaan. Bukan saja Ki
Gede Pemanahan yang heran melihat sikap Sumangkar menilai kehadirannya,
tetapi sumangkar pun heran mendengar pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu.
“Ki Gede,” berkata Sumangkar kemudian,
“adakah mengherankan, dan apakah seharusnya aku menjadi terkejut dan
heran melihat seorang Senapati Agung, seorang Panglima Prajurit Wira
Tamtama berada di garis peperangan? Kalau seorang prajurit berada di
garis perang merupakan suatu keanehan, maka alangkah piciknya
pengetahuanku kini tentang peperangan.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan
kepalanya mendengar jawaban Sumangkar itu. Katanya, “Kau benar Kakang.
Tetapi apakah sudah selayaknya, bahwa Panglima Wira Tamtama harus berada
di garis perang pada saat-saat seperti ini? Kalau Kakang menganggap itu
wajar, baiklah. Tetapi kenapa Kakang tidak terkejut medengar bahwa di
desa ini telah terjadi kebakaran? Mungkin Kakang telah melihat asap yang
mengepul tinggi dan api yang menjilat ke udara. Tetapi dari mana Kakang
tahu bahwa yang melakukan pembakaran itu Sidanti, Sanakeling dan
kawan-kawannya? Dari mana pula Kakang tahu, bahwa telah terjadi
pencegatan di bulak jagung yang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi? Maafkan
Kakang, aku menjadi bercuriga mendengar semuanya itu. Aku menjadi
berprasangka, bahwa semuanya telah diatur sebaik-baiknya. Suatu
pembagian tugas yang rapi antara Ki Tambak Wedi dan Sumangkar.”
Sumangkar mendengarkan kata-kata itu
dengan seksama. Baru kini ia justru menjadi terkejut. Tampak orang itu
mengerutkan alisnya, kemudian wajahnya menegang sesaat. Tetapi ternyata
hatinya telah benar-benar semeleh. Orang tua itu telah benar-benar
meletakkan suatu tekad, bahwa ia sampai sedemikian jauh telah berbuat
sebaik-baiknya dalam kemauan yang sebaik-baiknya pula. Karena itu maka
sejenak kemudian ia menjadi tenang kembali.
“Pertanyaan Ki Gede Pemanahan adalah
pertanyaan yang sewajarnya,” berkata Sumangkar itu kemudian. “Kecurigaan
dan prasangka Ki Gede pun beralasan. Tetapi perkenankanlah aku mencoba
menjelaskan”
“Ki Gede, ketika aku melihat api yang
menyala di desa ini, aku menjadi bercuriga. Bukan saja aku sendiri,
tetapi hampir seluruh orang-orang Jipang menjadi bimbang. Apakah
sebenarnya yang telah terjadi. Apakah api itu suatu pertanda bahwa
Pajang membatalkan perjanjian. Maksudku, Pajang membatalkan niatnya
untuk menerima kami kembali? karena itulah maka aku mencoba untuk
mengetahui apa yang telah terjadi. Ternyata dari balik gerumbul-gerumbul
itu aku melihat Sidanti, Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda
berlari-lari meninggalkan desa ini. Bukankah dengan demikian menjadi
jelas, bahwa yang melakukan pembakaran ini pasti Sidanti dan
orang-orangnya? Seterusnya aku menyangka, bahwa di belakang Sidanti
pasti ada Tambak Wedi. Dan apakah dugaan itu meleset?”
“Tentang bulak jagung Ki Gede, memang aku telah mendengarnya lebih dahulu sebelum aku bertemu dengan Ki Gede.”
“Dari siapa Kakang mendengar?” bertanya Ki Gede Pemanahan
“Kiai Gringsing.”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya.
Nama itu masih asing baginya. Meskipun ia pernah mendengarnya sekali dua
kali disebut-sebut oleh Untara, namun nama itu sama sekali tidak
mendapat perhatian yang khusus dari padanya. Tetapi Untara, Widura
apalagi Agung Sedayu dan Swandaru terkejut mendengar nama itu disebut
oleh Sumangkar. Bahkan dengan serta merta Untara bertanya, “Apakah Kiai
Gringsing sekarang berada di sana?”
“Ya,” sahut Sumangkar, “Kiai Gringsing berada di antara orang-orang Jipang yang akan menyerah.”
“Siapakah orang itu?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Kiai Gringsing Ki Gede. Seorang dukun
dari dukuh Pakuwon. Nama yang dipergunakannya sehari-hari adalah Ki Tanu
Metir,” sahut Untara.
Wajah Ki Gede Pemanahan masih
berkerut-kerut. Nama Tanu Metir itu pun tak dikenalnya. Tetapi adalah
menarik perhatian bahwa orang yang bernama Ki Tanu Metir itu dapat
berada di kedua belah pihak. Maka kembali ia bertanya, “Untara, apakah
dukun yang bernama Ki Tanu Metir itu sering berada di Sangkal Putung dan
sering berada di dalam laskar orang-orang Jipang?”
“Tidak Ki Gede,” jawab Untara. “Dukun tua
itu selalu berada di Sangkal Putung. Dukun itu pulalah yang telah
menyembuhkan lukaku sampai dua kali. Namun dalam persoalan ini,
persoalan penyerahan orang-orang Jipang ini. Ki Tanu Metir-lah yang
seolah-olah menjadi perantara. Aku minta orang tua itu membuka jalan
antara orang-orang Jipang itu dan Sangkal Putung.”
“Apakah orang itu dapat dipercaya?” bertanya Pemanahan pula.
“Sepengetahuanku Ki Gede, dan menurut tanggapanku maka aku mempercayainya,” jawab Untara.
“Tetapi kenapa ia sekarang berada di sana?”
Untara tidak dapat menjawab pertanyaan
itu. Ia memang mencari orang tua itu sejak ia kembali dari bulak jagung,
tetapi ia tidak sempat menemukannya. Ternyata Ki Tanu Metir itu telah
berada di antara orang-orang Jipang.
“Ki Gede,” Sumangkar-lah yang kemudian
menjawab pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu, “Kiai Gringsing datang dengan
membawa pertanyaan seperti yang tersimpan di dalam hati Ki Gede. Kiai
Gringsing bertanya, kenapa kami telah berbuat curang, mencegat Ki Gede
di bulak jagung. Namun kecurigaan Kiai Gringnsing dapat segera terhapus
setelah ia melihat persiapan kami. Apalagi Kiai Gringsing sendiri
melihat pertentangan pendapat antara aku dan Sanakeling pada saat kami
menentukan sikap ini. Dengan demikian maka Kiai Gringsing segera
memaklumi, bahwa pasti Ki Tambak Wedi-lah yang telah berbuat onar itu
dengan maksud-maksud tertentu tanpa sepengetahuanku.”
Kembali wajah Ki Gede menjadi
berkerut-kerut. Dicobanya untuk dapat mengerti penjelasan Sumangkar itu.
Tetapi karena Ki Gede Pemanahan belum tahu benar tentang orang yang
bernama Kiai Gringsing, maka kepada Untara ia bertanya, “Untara,
bagaimanakah tanggapanmu tentang Kiai Gringsing itu? Apakah keterangan
Sumangkar tentang orang yang bernama Kiai Gringsing itu dapat kau
benarkan, setidak-tidaknya menurut anggapanmu hal itu dapat terjadi
atasnya?”
Untara menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi
ia harus mengatakan tanggapannya tentang Kiai Gringsing menurut
penilaiannya. Maka jawabnya, “Menurut keadaan yang pernah aku saksikan
Ki Gede, maka Kiai Gringsing itu memang mungkin dapat berbuat demikian.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Kalau kau dapat menganggap bahwa Kiai
Gringsing memang dapat berbuat demikian, dan apabila kau percaya kepada
Kiai Gringsing, maka aku dapat mempercayai sebagian besar dari ceritera
Kakang Sumangkar.”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia kini telah di-bebaskan dari sebuah hukuman yang mengerikan.
Namun dalam pada itu kembali ia mendengar
Ki Gede Pemanahan bertanya pula kepadanya, “Tetapi apakah kau
benar-benar dapat melihat Sidanti dan Sanakeling berlari-lari dari
gerumbul sejauh itu?”
“Tidak Ki Gede,” jawab Sumangkar. “Aku
tidak melihat dari jarak itu. Tetapi aku menyelinap ke gerumbul-gerumbul
yang lebih dekat di sebelah desa ini,” Sumangkar berhenti sejenak,
kemudian dilanjutkannya, “Kiai Gringsing juga ikut serta melihatnya, dan
Kiai Gringsing membenarkan penglihatanku bahwa orang yang berlari-lari
dari desa ini adalah Sidanti.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian kepada Untara dan Widura ia bertanya, “Untara dan
Widura yang memegang tanggung jawab sepenuhnya atas Sangkal Putung,
bagaimana pertimbanganmu?”
Kembali dada Untara dan Widura dilanda
oleh ke ragu-raguan. Tetapi kembali mereka berkata seperti kata hati
mereka, “Ki Gede, kami dapat mempercayainya sampai sekian.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya kepada Sumangkar, “Mana orang-orangmu yang lain? Apakah
kau hanya akan menyerah dengan duapuluh lima orang ini?”
“Tidak Ki Gede,” sahut sumangkar.
“Berdasarkan berbagai pertimbangan, menurut Kiai Gringsing, yang
ternyata aku temui, yaitu kecurigaan para pemimpin Pajang atas diri
kami, maka aku mengambil sikap seperti yang dikehendaki oleh Kiai
Gringsing, untuk meyakinkan para pemimpin Pajang atas kehendak baik
kami. Kami datang bersama-sama senjata-senjata kami. Sesudah itu, maka
segera akan menyusul orang-orang kami apabila segala kesalahpahaman
sudah di atasi.”
Sekali lagi Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tertarik benar kepada orang yang
menyebut dirinya Kiai Gringsing. Ia ingin bertemu dan berbincang
tentang beberapa hal dengan orang itu. Apa yang didengarnya dari
Sumangkar dan Untara seolah-olah telah memberikan kepadanya gambaran
tentang seorang dukun tua yang memiliki beberapa kelebihan dalam
menanggapi berbagai persoalan. Bahkan orang tua itu telah dengan cepat
dapat mengambil sikap untuk menyelamatkan rencana penyerahan yang akan
dilakukan oleh orang-orang Jipang.
“Kakang Sumangkar,” berkata Ki Gede
Pemanahan itu pula. “Telah sampai saatnya Kakang membawa orang-orang
Kakang itu kemari. Apakah Kiai Gringsing akan kembali ke Sangkal Putung
bersama dengan orang-orang Jipang?.”
Sumangkar mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Aku tidak tahu Ki Gede. Aku tidak tahu apakah Kiai Gringsing
akan bersama-sama dengan kami.”
“Baik. Kalau demikian, datanglah bersama laskarmu,” berkata Ki Gede Pemanahan.
“Terima kasih Ki Gede. Aku akan kembali
menjemput mereka di belakang gerumbul-gerumbul itu. Mereka menunggu
apakah mereka dapat datang tanpa kesulitan.”
“Kami telah berjanji,” berkata Ki Gede, “Kalau kalian tidak berbuat sesuatu, maka kami akan menepati janji itu.”
“Terima kasih Ki Gede,” sahut Sumangkar sambil membungkukkan badannya. “Kini perkenankanlah aku menjemput orang-orang kami.”
“Silahkan Kakang.”
Sumangkar itu pun kemudian melangkah
beberapa langkah mundur. Ia masih melayangkan pandangan matanya beredar
pada dinding-dinding halaman desa Benda yang kecil. Ia melihat
ujung-ujung tombak dan pedang di balik dinding-dinding itu. Dan di
sana-sini ia melihat prajurit Pajang bertebaran dalam kelompok kecil di
luar dinding.”
Kemudian setelah ia memutar tubuhnya ia
berkata kepada orang-orang Jipang yang masih berdiri di samping onggokan
senjata yang mereka bawa, “Kalian tetap di sini. Aku akan menjemput
kawan-kawan kalian.”
Orang-orang itu pun mengangguk sambil menyahut, “Baik, Kiai.”
Sumangkar pun segera berjalan
tergesa-gesa meninggalkan orang-orangnya yang berdiri tegang kaku.
Seolah-olah mereka jadi membeku. Tak seorang pun yang berani
menggerakkan ujung jarinya sekalipun.
Orang-orang Sangkal Putung dan para
prajurit Pajang memandangi orang-orang itu dengan sorot mata yang aneh.
Bahkan salah seorang anak muda Sangkal Putung bergumam lirih, “Hem.
Berapa orang anak-anak muda Sangkal Putung yang pernah dilukai oleh
mereka, dan bahkan dibunuhnya.”
Kawannya yang berdiri di sampingnya
berpaling. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kenapa
kita tidak menghancurkan mereka itu saja di sarang mereka?”
Kawannya yang lain menyahut, “Sungguh
menyenangkan. Sesudah tangannya berlumuran darah kami, mereka datang
untuk berjabat tangan dengan tangan-tangan kami. Dan kami pun harus
menyambut uluran tangan berdarah itu. Huh.”
Anak-anak muda Sangkal Putung itu pun
kemudian terdiam ketika mereka melihat seorang prajurit Pajang berjalan
di belakang mereka. Kini mereka berdiri mematung di dalam pagar batu
yang membatasi desa Benda. Mereka masih melihat Sumangkar itu pun
hilang di balik gerumbul-gerumbul yang rimbun.
Ketika salah seorang dari mereka ingin
berkata pula, maka ia pun terdiam ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan
melangkah maju mendekati orang-orang Jipang yang berdiri kaku di samping
onggokan-onggokan senjata mereka.
“He,” berkata Ki Gede Pemanahan kepada salah seorang dari mereka, “Siapa namamu?”
Orang itu menjadi berdebar-debar. Tergagap ia menjawab, “Suradapa. Suradapa Ki Gede.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil mengulangi nama itu. “Suradapa. Nama itu bagus sekali,”
orang Jipang itu menundukkan kepalanya.
“Apakah kau sudah beristeri?”
“Sudah Ki Gede.”
“Berapakah anakmu?”
“Waktu aku tinggalkan isteriku, anakku
ada delapan Ki Gede,” orang itu berhenti sejenak, lalu meneruskan,
“Sekarang mungkin anakku telah menjadi sepuluh”
“He?” Ki Gede terkejut, “Berapa lama kau meninggalkan isterimu. Apakah isterimu beranak kembar?”
“Tidak, Ki Gede.”
“Kenapa bertambah dengan dua sekaligus?”
“Isteriku sama-sama sedang mengandung tua pada saat aku pergi”
“Berapa isterimu?”
“Dua, Ki Gede.”
Ki Gede Pemanahan terseyum. Ditepuknya
bahu orang Jipang itu sambil berkata, “Hem. Kau terlampau kurus untuk
beristeri dua. Tetapi kau memang kaya akan anak. Tetapi kenapa kau
menyerah?”
Orang itu menundukkan kepalanya. Ia
mendapat kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu. Ya, kenapa ia
menyerah? Ia mendengar Sumangkar berkata, bahwa pertempuran-pertempuran
yang akan terjadi kemudian hampir tak akan berarti apa-apa, selain
kerusuhan, pembunuhan dan penaburan benih-benih dendam di mana-mana.
Karena itu ia mencoba menirukan kata-kata Sumangkar. “Ki Gede,” tetapi
ia tidak ingat kalimat-kalimat yang harus diucapkannya. Maka ia
meneruskan, “Aku kepingin melihat anak-anakku dan kedua bayi yang belum
pernah aku lihat.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Apakah tanpa menyerahkan diri, kau tidak dapat melihat anak-anakmu itu.”
Orang itu menggeleng. “Tidak Ki Gede,” jawabnya, “Desa kami sudah dikuasai oleh prajurit Pajang.”
“Kalau demikian, apakah sesudah kau
berhasil melihat anak-anakmu kau akan kembali melarikan diri memihak
kenada Sanakeling dan Sidanti?”
“Tidak Ki Gede, tidak,” sahutnya
cepat-cepat. “Aku akan tetap menyerah untuk seterusnya, sebab aku tidak
ingin lagi berperang. Aku sudah jemu berkeliling dari satu tempat ke
tempat yang lain, dari satu hutan ke hutan yang lain. Aku sudah jemu
mengalami masa yang pahit itu. Makan dari hasil rampasan dan pemerasan.”
“Bagaimana kalau kau memenangkan
peperangan ini?” tiba-tiba terdengar pertanyaan yang tidak
disangka-sangkanya. Pertanyaan yang tidak tahu bagaimana ia harus
menjawabnya. Karena itu maka orang Jipang itu menjadi pucat dan gemetar.
“Bagaimana kalau kau menangkan peperangan
ini,” desak Ki Gede Pemanahan, “Apakah aku akan kau gantung, kau
cincang atau kau angkat menjadi pepatih Jipang?”
Orang itu menjadi semakin pucat. Ia tidak
tahu bagaimana ia menjawab. Keringatnya tiba-tiba semakin banyak
membasahi tubuhnya, tetapi keringat yang dingin.
Beberapa orang anak muda Sangkal Putung
mendengarkan percakapan itu dari sudut desa. Mereka sengaja memerlukan
memperhatikan setiap patah kata yang diucapkan oleh Ki Gede Pemanahan
dan jawaban yang diucapkan oleh orang-orang Jipang itu. Tetapi orang
Jipang itu masih belum menjawab. Kepalanya semakin tunduk dalam-dalam
dan dadanya serasa menjadi kian sesak.
“Suradapa,” berkata Ki Gede Pemanahan,
“sebelum Adipati Jipang memenangkan perang ini, ia telah melakukan
serangkaian pembunuhan-pembunuhan untuk menyingkirkan lawan-lawannya
yang mungkin akan menjadi perintangnya menuju ke Singgasana Demak.
Meskipun aku tahu, bahwa pengaruh pengikut-pengikutnya banyak
mendorongnya melakukan perbuatan yang tidak terpuji itu. Nah, apakah
kira-kira yang akan dilakukan kalau ia kemudian benar-benar menguasai
Demak? Adipati Pajang pasti akan terbunuh. Aku, Ki Juru Mertani, Ki
Penjawi, Ki Wila, Ki Wuragil dan para senapati prajurit. Bandingkan
sikap Adipati Jipang itu dengan sikap Adipati Pajang. Mungkin Arya
Penangsang sendiri tidak ingin berbuat demikian. Tetapi
kekuasaan-kekuasaan yang ada di bawahnya itulah yang telah
menjerumuskannya. Sekarang, Adipati Pajang bersikap lain. Ia tidak
menaburkan dendam yang tersimpan di hati. Bahkan ia mencoba mencari
jalan supaya pertentangan ini berakhir tanpa pertumpahan darah lebih
banyak lagi. Apakah ini dapat kau mengerti dan kau rasakan?”
Orang itu masih menundukkan kepalanya. “Ya Ki Gede,” suaranya menjadi sesak parau.
“Yang lain bagaimana? Apakah kalian dapat juga mengerti perbedaan itu?”
“Ya Ki Gede,” hampir serentak mereka menjawab.
“Kalau begitu, tularkan pengertian itu
kepada kawan-kawanmu. Kepada keluargamu, kepada siapa saja yang kau
temui. Supaya mereka dapat menilai keadaan sebaik-baiknya. Tetapi ingat,
bahwa ini bukan berarti melepaskan setiap hukuman bagi yang bersalah,
tapi hukuman itu pasti akan berlandaskan pada dasar yang kuat dan adil.”
Orang Jipang itu dapat memahami
sepenuhnya kata-kata Ki Gede Pemanahan. Ia pernah mendengar pula
ucapan-ucapan seperti itu dari pemimpin-pemimpinnya. Ia tidak akan
menyesal akan hukuman yang harus di jalani. Tetapi ia tahu pasti kapan
hukumannya itu akan berakhir. Dan ia tahu pasti, bahwa menilik sikap dan
perbuatan para pemimpin prajurit Pajang, maka setiap hukuman pasti akan
dilakukan di atas dasar-dasar peri-kemanusiaan yang adil dan tidak
melanggar pancaran sinar cinta kasih dari Tuhan yang Maha Besar.
“Ya Tuhan Maha Besar dan Maha Murah,”
orang Jipang itu terkejut mendengar suara angan-angannya sendiri. Sudah
terlampau lama ia tidak sempat mengucapkannya. Tiba-tiba kalimat itu
diulang-ulangnya di dalam hati, “Tuhan Maha Besar dan Maha Murah” dan
hatinya pun menjadi tenteram. Seandainya orang-orang Pajang ingkar
janji, memotong kepala mereka seperti menebas ilalang karena mereka
sudah tidak bersenjata, maka kini ia telah menemukan ke-damain abadi di
dalam dirinya. “Tuhan Maha Besar dan Maha Murah.”
Orang Jipang itu mengangkat kepalanya
ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan bertanya, “Kenapa kau tepekur?
Apakah kau menyesal mendengar bahwa kau harus bertanggung jawab atas
semua perbuatanmu berdasarkan hukum yang berlaku?”
Orang itu menggelengkan kepalanya. Ketika
ia mengangkat wajahnya Ki Gede Pemanahan menjadi heran. Wajah itu telah
menjadi berbeda benar dengan wajah sebelumnya. Dengan tatag dan teguh
ia menjawab, “Tidak Ki Gede. Aku akan melakukan setiap hukuman. Hukuman
kerja paksa atau pun kami sekeluarga harus menyingkir dari Demak untuk
tinggal di daerah-daerah terpencil. Di hutan-hutan Mentaok atau di
hutan-hutan sekitar Pati, Kami tidak akan selak meskipun kami akan dihukum mati.”
“He?,” berkata Ki Gede Pemanahan heran. “Sikapmu tiba-tiba berubah. Apakah yang terjadi di dalam dirimu?”
“Aku menemukan ketenangan di dalam menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Murah.”
Ki Gede Pemanahan menepuk bahu orang
Jipang itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Kau telah
menemukan sumber hidupmu kembali. Genggamlah kedamaian itu di dalam
hatimu. Jangan terlepas kembali. Kalau kau mampu menuangkan kedamaian
hatimu itu kepada kawan-kawanmu, maka kau akan mendapat kebahagiaan
berlipat-lipat.”
“Ya Ki Gede, mudah-mudahan aku mampu melakukannya.”
Yang mendengar percakapan itu, Untara,
Widura, bahkan orang-orang Jipang yang lain dan para pemimpin Pajang,
menjadi terharu. Orang ini ternyata tidak saja memilih jalan yang
dikehendaki oleh pimpinan prajurit Pajang untuk segera menyelesaikan
persengketaan yang terjadi dan tersebar di mana-mana, tetapi ia telah
menemukan dirinya sebagai manusia yang berada di antara manusia yang
lain. Manusia yang merasa dirinya berada di dalam lingkungannya sendiri.
Lingkungan yang berasal dari sumber yang sama.
Tetapi bukan saja mereka, orang-orang
Jipang itu yang seakan menemukan ketetapan hati dalam kedamaian yang
abadi apabila mereka dapat mempertahankan nama Tuhan Yang Maha Esa di
dalam hatinya, namun tiba-tiba orang-orang Sangkal Putung yang tidak
henti-hentinya mengumpat-umpat itu pun terhenti pula. Tiba-tiba pula
mereka merasakan sesuatu bergetar di dalam hatinya.
“Apakah arti dari sikap ini,” desis
mereka di dalam hati masing-masing. Tiba-tiba mereka menjadi malu
sendiri. Seolah-olah merekalah yang kini mempertahankan supaya
peperangan tetap berlangsung terus. Supaya pepati masih bertambah-tambah
setiap hari. Namun tiba-tiba mereka dihadapkan pada suatu sikap yang
jernih dari pemimpin tertinggi Wira Tamtama dan hadirnya sinar terang di
dalam diri orang-orang Jipang itu.
Bukan sekedar menyerahkan diri karena
tidak lagi mampu untuk melawan kekuatan Pajang yang setiap hari menekan
mereka, tetapi kini mereka menemukan sumber yang lebih tinggi dari pada
sikap yang mereka ambil. Hakekat dari penghentian perlawanan, bukan saja
karena alasan-alasan lahiriah semata-mata.
Ki Gede Pemanahan tidak berbicara lagi.
Ketika ia memandang ke arah gerumbul-gerumbul liar di hadapannya, maka
dilihatnya sebuah barisan yang menyeruak keluar dari balik gerumbul
jarak kepyar yang menjadi lebat. Barisan itu adalah barisan orang-orang
Jipang.
Panglima Wira Tamtama itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat bahwa mereka sudah tidak
bersenjata lagi. Orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang
pun melihat pula, bahwa mereka datang dalam barisan yang teratur tanpa
senjata di tangan. Dengan demikian, maka ketegangan yang menekan dada
masing-masing tiba-tiba terasa mengendor. Terasa bahwa orang-orang
Jipang itu sebenarnyalah berkehendak atas kebulatan tekad mereka, untuk
menyerahkan diri. Bukan hanya sekedar permainan jebakan yang licik.
Bahkan menurut persetujuan yang telah dibuat, mereka akan datang dengan
senjata masih di tangan. Mereka baru akan mengumpulkan senjata itu di
hadapan para pemimpin prajurit Pajang dan Sangkal Putung. Tetapi kini
mereka datang dengan tangan hampa.
Untara berpaling ketika ia mendengar
langkah di belakangnya. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang
pemimpin laskar Sangkal Putung datang kepadanya. Didengarnya Ki Demang
berbisik, “Mereka sudah tidak bersenjata.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Desisnya perlahan-lahan, “Itu adalah sikap yang terpuji. Ternyata Kiai
Gringsing memegang peranan pula atas sikap orang-orang Jipang itu.”
Sambil memandang barisan yang semakin
lama menjadi semakin dekat Ki demang mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kini ia tidak berbicara lagi. Wajah-wajah para pemimpin prajurit Pajang,
para pemimpin laskar Sangkal Putung, bahkan semuanya yang berada di
tempat itu, menjadi tegang. Mereka melihat derap langkah yang tetap dan
tidak ragu-ragu.
Sebenarnya orang-orang Jipang itu pun
kini tidak ragu-ragu lagi. Apalagi setelah mereka mendengar, bahwa
Panglima Wira Tamtama sendiri telah hadir.
Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama
itu memandangi barisan itu dengan hati yang berdebar-debar.
Sekali-sekali ia berpaling memandangi wajah Untara yang tegang. Semula
kepercayaan Ki Gede Pemanahan terhadap Untara seolah-olah jauh menjadi
susut. Tetapi setelah ia melihat orang-orang Jipang dalam barisan itu,
maka kepercayaannya tumbuh kembali. Dalam keadaan itu, maka Ki Gede
Pemanahan segera dapat membuat perhitungan, bahwa Ki Tambak Wedi pasti
akan menjadi musuh yang lebih berbahaya daripada Tohpati. Musuh yang
bertindak terlampau cepat, mendahului semua perhitungan Untara dan
Widura.
Pada saat-saat mereka melawan Macan
Kepatihan, maka Untara dan Widura hampir tidak pernah salah hitung.
Hampir setiap gerakan Macan Kepatihan itu dapat dipotong oleh Widura dan
kemudian Untara. Namun Ki Tambak Wedi dapat bergerak menembus semua
perhitungan para Senapati Pajang.
Barisan orang-orang Jipang itu pun
menjadi semakin lama semakin dekat. Yang berdiri di ujung barisan itu
adalah Sumangkar dan beberapa orang pemimpin yang lain.
Pemimpin-pemimpin rendahan yang tidak bersedia ikut beserta Sanakeling
dan Alap-alap Jalatunda.
Beberapa puluh langkah dari Ki Gede
Pemanahan yang dipayungi oleh bendera kebesarannya, bendera yang
memberitahukan bahwa pada saat itu hadir Panglima Wira Tamtama, barisan
itu berhenti. Di ujung belakang dari barisan itu masih ada beberapa
orang yang membawa senjata di tangan mereka. Tetapi demikian mereka
berhenti, maka segera senjata itu mereka kumpulkan bersama-sama.
Ketika Sumangkar kemudian melangkah maju
mendekati Ki Gede Pemanahan, maka Panglima Wira Tamtama itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu memang peristiwa yang
penting bagi kedua belah pihak. Bagi orang-orang Jipang dan bagi
Kadipaten Pajang. Dengan penyerahan itu, maka Pajang akan mendapat
kesempatan untuk berbuat lain dari hanya bermain kejar-kejaran dengan
sisa-sisa laskar Jipang itu.
Tetapi bagaimanapun juga, terasa pada
para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung, bahwa mereka masih
merasakan sentuhan yang pahit di dalam hati mereka. Lawan yang sudah
sejak beberapa lama, selalu bertemu dalam medan-medan peperangan, dengan
senjata di tangan masing-masing, maka kini mereka melihat orang-orang
itu mendekati mereka tanpa gangguan suatu apa. Namun dada orang-orang
Jipang itu pun berdesir ketika mereka melihat kesiapsiagaan para
prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung. Mereka melihat ujung-ujung
senjata seperti ujung daun ilalang di padang rumput liar. Pada saat-saat
lampau mereka pun pernah datang ke desa ini, tetapi juga dengan
senjata di tangan. Tetapi kini mereka datang dengan tangan yang hampa.
Kalau terjadi sedikit kesalahpahaman, dan para prajurit Pajang dan
laskar Sangkal Putung itu menyerangnya, maka mereka seolah-olah akan
menebas batang-batang pisang tanpa perlawanan yang berarti sama sekali.
Tetapi menilik sikap Panglima Wira Tamtama maka semuanya akan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.
Demikian pulalah harapan Untara. Ia telah
memberanikan diri mengharap kehadiran Ki Gede Pemanahan dengan
pengharapan yang serupa itu. Semula ia ragu-ragu akan ketaatan para
prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung terhadap keputusan yang
diambilnya. Menerima orang-orang Jipang yang menyerahkan diri dengan
beberapa bentuk pengampunan. Karena itu, apabila Ki Gede Pemanahan
bersedia hadir, akibatnya pasti akan menguntungkan kedua belah pihak.
Para prajurit Pajang, sudah tentu tidak akan berani melanggar
keputusannya dan orang-orang Jipang pun akan terpengaruh oleh wibawa
panglima itu. Dan kini ternyata semuanya itu telah terjadi.
Maka di pinggir desa kecil itu, telah
terjadi saat-saat yang penting. Dengan kesungguhan Sumangkar menyatakan
janji dan kata-kata penyerahan. Betapa berat perasaan orang tua itu.
Namun kata-kata itu harus diucapkannya. Di hadapan Ki Gede Pemanahan,
Untara dan Widura.
Ki Gede Pemanahan, Untara, Widura, Ki
Demang Sangkal Putung, dan para pemimpin yang lain mendengarkan
kata-kata Sumangkar itu dengan penuh minat. Setiap patah kata telah
menunjukkan kesungguhan hati orang tua itu untuk benar-benar mengakhiri
perlawanan.
“Ki Gede Pemanahan,” Sumangkar itu pun
kemudian mengakhiri kata-katanya, “kami dengan ini menyatakan
kesungguhan hati kami untuk menyerahkan diri tanpa syarat apa pun ke
hadapan Ki Gede Pemanahan, ke hadapan senapati untuk daerah ini dan
kepada pimpinan prajurit Pajang di sangkal Putung beserta para pemimpin
kademangan. Kami tidak akan mengingkari kesalahan-kesalahan yang telah
kami lakukan sehingga karenanya kami tidak akan menghindarkan diri dari
setiap hukuman yang akan diletakkan di atas pundak kami.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia telah mendengar dengan baik semua ucapan Sumangkar. Karena
itu maka kemudian ia pun berkata, “Penyerahanmu kami terima. Semoga
saat ini benar-benar dapat mengakhiri kerusuhan-kerusuhan yang terjadi.
Tetapi sayang, bahwa penyerahan ini tidak sempurna. Masih ada beberapa
orang dari kalian yang tidak bersedia berbuat seperti ini dan bahkan
telah bekerja bersama dengan Ki Tambak Wedi. Tetapi itu bukan kesalahan
kalian. Ketahuilah, bahwa terhadap mereka tidak ada pilihan lain kecuali
dilenyapkan. Untuk seterusnya akan berlaku, semua persetujuan kalian
dengan Senapati Pajang untuk daerah ini, Untara. Semoga Tuhan selalu
menerangi hati kita semua. Hati kami, dan hatimu semua.”
Yang berbicara kemudian adalah Untara. Ia
hanya menguraikan beberapa segi pelaksanaan. Orang-orang Jipang itu
harus tinggal di Benda sebelum mereka dibawa ke Pajang bersama-sama
dengan Ki Gede Pemanahan. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Sutawijaya
bertanya, “He, Paman Sumangkar yang suka mengembara, bukankah jalan ini
pula yang menuju ke Alas Mentaok?”
Semua yang mendengar pertanyaan
Sutawijaya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan yang
sedang terjadi itu, menjadi heran. Dengan wajah bertanya-tanya mereka
hampir serentak berpaling memandangnya.
Ki Gede Pemanahan pun heran pula mendengar pertanyaan itu, sehingga katanya, “Apakah kau sedang bermimpi Jebeng?”
“Tidak, Ayah,” sahut Sutawijaya. “Aku tiba-tiba saja ingin mengetahui, jalan ini akan menuju ke mana.”
“Apakah hubungannya dengan persoalan orang-orang Jipang yang menyerahkan diri dan Pamanmu Sumangkar?”
“Aku hanya ingin bertanya kepada Paman
Sumangkar, karena Paman Sumangkar hampir selama ini selalu mengembara
berkeliling. Mungkin Paman Sumangkar telah pernah menyelusur jalan ini
terus ke Barat.”
Ki Gede Pemanahan menarik nafas
panjang-panjang. Ia tahu pikiran apakah yang bergejolak di dalam dada
anak itu, Sutawijaya pasti sedang berpikir tentang Alas Mentaok yang
pernah dijanjikan oleh Adipati Pajang kepada dirinya, dan tanah Pati
bagi kawan seperjuangannya melawan Adipati Jipang pada saat itu. Dan
Sutawijaya pun pasti pernah mendengar janji itu, sehingga tiba-tiba
saja ia menyebut tanah Alas Mentaok.
Dalam pada itu terdengar Sumangkar
berkata, “Ya, Ngger. Jalan ini akan sampai ke Alas Mentaok, tetapi jalan
terlampau sulit. Beberapa bagian hutan di sebelah Barat itu harus
dilampaui. Meskipun hutan ini tidak terlampau lebat, tetapi hutan itu
pun cukup luas. Sekali-sekali Angger akan sampai di pedukuhan-pedukuhan
kecil yang terserak-serak. Tetapi tempat-tempat itu hampir tak berarti.
Padukuhan kecil dan miskin. Padukuhan yang hampir tidak pernah
bersangkut paut dengan pemerintahan karena letak dan keadaan
penduduknya. Tetapi agak yang ke sebelah Barat, Angger akan menjumpai
daerah yang subur. Daerah yang cukup mempunyai kedudukan di daerah
Selatan, Prambanan. Di daerah itu pasti juga sudah dilindungi oleh
sepasukan prajurit dari Pajang. Sayang aku tidak tahu, siapakah yang
berada di sana. Ki Gede Pemanahan pasti mengetahuinya. Prambanan adalah
kademangan yang hampir sekaya Sangkal Putung. Kalau Angger masuk lebih
dalam lagi, maka Angger akan sampai ke hutan Tambak Baya, setelah
melewati Candi Sari, Cupu Watu, dan beberapa pedukuhan kecil yang lain.
Di sebelah Barat hutan Tambak Baya itulah nanti Angger akan menjumpai
hutan belukar yang besar, Alas Mentaok.”
“Apakah belum ada pedukuhan sama sekali di sekitar hutan itu Paman?”
“Ada Ngger. Pliridan, Gumawang, Lipura
dan hampir di ujung Selatan, dekat pantai lautan terdapat pula daerah
yang sudah mulai subur dan ramai, Mangir.”
“Sutawijaya,” potong Ki Gede Pemanahan,
“Untuk apa kau ketahui semuanya itu. Aku sendiri pernah menjelajahi
hampir setiap sudut yang berada di dalam wilayah Demak. Aku pernah juga
sampai ke tempat-tempat yang disebut-sebut oleh Kakang Sumangkar. Tetapi
sekarang ini bukanlah saatnya untuk berbicara tentang Alas Mentaok.”
Sutawijaya terdiam mendengar kata-kata
ayahnya. Ia menyadari bahwa ayahnya dan para pemimpin prajurit Pajang di
Sangkal Putung kini sedang menghadapi tugas yang berat, sehingga
pertanyaannya tentang Alas Mentaok pasti hanya akan mengganggu saja.
Setelah Sutawijaya tidak bertanya-tanya
lagi, maka segala sesuatu segera mulai dipersiapkan. Untara segera
mengatur tempat-tempat penampungan orang-orang Jipang itu, sedang Widura
mempersiapkan para prajurit Pajang yang harus menjaga padesan kecil
ini. Bukan saja menghadapi setiap orang yang mungkin dapat berubah
pendirian selama mereka berada dalam penampungan, tetapi juga terhadap
setiap usaha Sanakeling dan Sidanti, untuk mengacaukan keadaan. Adalah
mungkin sekali mereka tiba-tiba datang dan membuat keributan. Menghasut
orang-orang Jipang yang sudah menyerah atau mengancam mereka, sebab
mereka kini sudah tidak bersenjata.
Ketika upacara penyerahan itu telah
selesai, serta segala macam persiapan penampungan telah cukup, maka Ki
Gede Pemanahan serta para pemimpin prajurit Pajang dan Sangkal Putung
pun segera bersiap untuk kembali ke induk kademangan. Ki Gede Pemanahan
sendiri telah memberikan beberapa pesan khusus bagi para prajurit
Pajang yang bertugas menjaga desa terpencil itu. Bagaimana mereka harus
menghadapi orang-orang Jipang yang sudah menyerah itu, dan bagaimana
mereka harus menghadapi lawan yang masih tetap memandi senjata-senjata
mereka apabila mereka benar-benar datang. Untuk kepentingan itu, maka di
sekitar Desa Benda telah diletakkan beberapa pengawas yang harus dapat
menilai setiap perkembangan keadaan dengan tepat.
Kepada Sumangkar, Ki Gede Pemanahan
berpesan, “Kakang, kalian akan kami tinggalkan. Kakang adalah tetua
orang-orang Jipang, Segala sesuatu harus selalu berada dalam pengawasan
Kakang. Kakang-lah orang satu-satunya yang dapat langsung berhubungan
dengan para prajurit Pajang yang sedang bertugas di tempat ini. Apa pun
yang kurang serasi menurut penilaian Kakang, maka Kakang akan dapat
memberitahukannya kepada para petugas.
“Baik Ki Gede. Kami akan mematuhi perintah itu,” sahut Sumangkar.
Namun ketika Ki Gede Pemanahan akan
meninggalkan tempat itu, maka ia masih sempat bertanya kepada Sumangkar,
“Di manakah orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu? Apakah ia
tidak turut beserta kalian?”
Sumangkar menggeleng lemah, jawabnya, “Tidak Ki Gede. Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu tidak bersama kami.”
“Apakah orang itu tidak ingin bertemu dengan aku?
Sumangkar tertegun sejenak. Namun
kemudian ia menjawab, “Tidak Ki Gede. Ternyata Kiai Gringsing belum
ingin bertemu dengan Ki Gede Pemanahan.”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya.
Ia menjadi semakin tertarik kepada nama itu. Kiai Gringsing yang
sehari-hari disebut Ki Tanu Metir. Seorang dukun yang cakap mengobati
berbagai macam penyakit.
“Baiklah,” berkata Ki Gede Pemanahan. “Lain kali aku mengharap untuk dapat bertemu dengan orang itu.”
“Pesan itu akan aku sampaikan Ki Gede,” sahut Sumangkar.
Dalam pada itu, semua persiapan pun
telah selesai. Ki Gede Pemanahan dan para pemimpin beserta sebagian dari
prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung akan kembali ke induk
kademangan.
Tetapi Sutawijaya tiba-tiba menggamit Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Katanya, “Kita tinggal di sini.”
“Kenapa?, “bertanya Agung Sedayu.
“Kita pergi ke Alas Mentaok.”
“Apakah yang menarik di Alas Mentaok itu?” bertanya Swandaru.
“Itulah yang ingin aku ketahui.”
“Apakah Tuan mempunyai kepentingan dengan hutan itu?” bertanya Agung Sedayu pula.
Sutawijaya memandang ayahnya dengan sudut
matanya. Kemudian katanya perlahan-lahan, “Tanah itu akan dihadiahkan
oleh Adipati Pajang kepada ayah. Aku ingin melihatnya, apakah tanah itu
cukup baik untuk dibuka menjadi suatu pedukuhan. Mentaok akan dapat
menjadi sebuah tanah perdikan.”
“Agung Sedayu mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia pernah mendengar bahwa Mentaok kini masih berupa hutan belantara.
“Aku ikut bersama Tuan,” tiba-tiba Swandaru menyela. Wajahnya yang bulat tampak berseri-seri gembira.
Tetapi wajah Agung Sedayu disaput oleh
keragu-raguan hatinya. Sekali-sekali ia memandangi Sutawijaya, namun
sesaat kemudian ditatapnya wajah kakaknya yang masih sibuk mengatur
barisan bersama pamannya, Widura.
“Aku harus minta ijin Kakang Untara dan Paman Widura lebih dahulu,” berkata Agung Sedayu.
“Uh, kau seperti anak-anak saja,” potong
Sutawijaya. “Bukankah kita sudah cukup dewasa? Kalau aku minta ijin pada
ayah mungkin ayah akan melarangnya. Kau pun pasti akan dilarang pula.
Karena itu maka kita tidak usah minta ijin.
“Mereka pasti akan mencari kita,” berkata Agung Sedayu.
“Biarkan saja mereka mencari kita,” sahut Sutawijaya. “Besok atau lusa, kalau kita kembali, maka mereka akan berhenti mencari.”
“Tetapi apakah Ki Gede akan tinggal beberapa lama di sini?” bertanya Agung Sedayu.
Mas Ngabehi Loring Pasar menggelengkan
kepalanya. “Aku tidak tahu. Kalau ayah tergesa-gesa kembali ke Pajang,
biarlah ia mendahului.”
Agung Sedayu terdiam sejenak. Hatinya dicekam oleh keragu-raguan.
“Kenapa kau selalu ragu-ragu”?” bertanya
Sutawijaya, “Jangan seperti anak kecil. Kau telah mampu berkelahi
melawan Sanakeling yang menurut pengamatanku, apabila perkelahian
berlangsung lebih lama lagi, kau akan memenangkan perkelahian itu.
Kenapa kau selalu masih harus minta ijin kepada kakakmu?”

“Jangan takut,” berkata Swandaru. “Aku pun tidak akan minta ijin kepada ayahku. “
Agung Sedayu masih berdiri dalam kebimbangan, sehingga Sutawijaya berkata, “Ayolah. Mau tidak mau kau harus pergi bersama kami.”
Agung Sedayu tidak dapat membantah lagi.
Ia harus pergi ke Mentaok bersama Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi
Loring Pasar dan Swandaru Geni.
“Tetapi kita harus memberi tahukan kepada para penjaga,” gumam Agung Sedayu.
“Ah, bodoh kau,” berkata Sutawijaya.
“Kalau mereka tahu dan mereka mengatakannya kepada ayah, maka aku tidak
akan diperbolehkannya.”
“Setidak-tidaknya sepeninggalan Ki Gede Pemanahan dari desa ini”
Sutawijaya berpikir sejenak, kemudian katanya, “Baiklah nanti kita memberitahukannya kepada para penjaga.”
Agung Sedayu masih akan mengatakan
sesuatu ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan memanggil, “Sutawijaya.
Mari, kita kembali ke induk kademangan.”
Sutawijaya berpikir sejenak.
Sekali-sekali dipandanginya wajah Agung Sedayu dan Swandaru Geni.
Hampir-hampir ia kehilangan akal bagaimana ia akan dapat menyelinap
meninggalkan barisan itu. Mendengar ajakan itu, Agung Sedayu menjadi
senang. Mudah-mudahan Sutawijaya mengurungkan niatnya. Sama sekali bukan
karena takut menghadapi bahaya di sepanjang jalan, tetapi dengan
demikian kakaknya akan memarahinya.
Tiba-tiba Agung Sedayu kecewa ketika ia
mendengar Sutawijaya menjawab, “Aku akan tinggal di sini sebentar ayah.
Aku akan segera menyusul.”
Ki Gede Pemanahan memandanginya dengan
penuh pertanyaan, bahkan orang tua itu menjadi curiga. Katanya, “Apalagi
yang akan kau lakukan?”
Sutawijaya tertawa, jawabnya, “Aku hanya
akan beristirahat sebentar ayah. Bukankah di sini sudah ada sepasukan
prajurit Pajang? kalau terjadi sesuatu, maka mereka pasti akan dapat
melindungi aku.”
“Tetapi jangan terlampau lama
Sutawijaya,” berkata ayahnya. “Meskipun jarak induk Kademangan Sangkal
Putung dan desa ini tidak terlampau jauh, namun di tengah-tengah bulak
itu dapat bersembunyi segala macam bahaya.”
Sekilas terasa pula oleh Sutawijaya
kekhawatiran ayahnya tentang dirinya di daerah yang ternyata masih
diliputi oleh bahaya itu. Bahaya yang kini datang tidak saja dari
orang-orang Jipang, tetapi lebih-lebih lagi adalah hantu lereng Merapi
yang bernama Tambak Wedi. Namun Sutawijaya itu berpikir, “Tambak Wedi
itu pasti sudah pergi jauh-jauh. Setidak-tidaknya hari ini ia tidak akan
datang kembali kemari. Kalau besok ia datang, maka aku sudah berada di
Alas Mentaok. Mudah-mudahan nanti apabila aku kembali aku tidak
menemuinya dan hantu itu tidak mengetahui bahwa aku pergi ke Alas
Mentaok.”
Sutawijaya itu terkejut ketika ia mendengar suara ayahnya kembali, “He, Sutawijaya, bagaimana? Jangan terlalu lama, kau dengar?”
“Ya, ya Ayah,” jawabnya tergagap. “Aku tidak akan lama di sini”
“Jangan memberi aku bermacam-macam pekerjaan lagi,” berkata Ki Gede Pemanahan pula. “Aku sudah terlalu letih.”
“Baik ayah,” sahut Sutawijaya.
Ki Gede Pemanahan itu pun kemudian
bersama-sama dengan Untara, Widura dan para pemimpin Pajang dan Sangkal
Putung yang lain pergi meninggalkan desa kecil itu. Mereka akan kembali
ke induk kademangan, dan Ki Gede Pemanahan bermaksud bermalam di Sangkal
Putung semalam, sambil menunggu persiapan orang-orang Jipang dan
pasukan pengawal yang akan membawa mereka ke Pajang. Tetapi keadaan kini
telah berkembang menjadi bertambah sulit. Ketika Untara mengetahui,
bahwa Ki Tambak Wedi ternyata bergerak terlampau cepat, maka ia harus
memperhitungkan keadaan. Baik yang akan pergi mengawal orang-orang
Jipang bersama Ki Gede Pemanahan, maupun yang akan ditinggalkan di
Sangkal Putung. Jangan sampai Ki Tambak Wedi dapat memanfaatkan keadaan
itu. Keadaan di mana pasukan Pajang sedang terbagi. Ki Tambak Wedi yang
cerdik itu akan dapat menghadang rombongan ke Pajang atau menusuk
jantung Sangkal Putung yang sedang ditinggalkan oleh sebagian dari para
pengawalnya mengantar orang-orang Jipang ke Pajang.
Karena itu semuanya, maka Untara harus berpikir lebih masak lagi.
Sutawijaya dan kedua kawan-kawan barunya
itu memandangi pasukan yang berjalan meninggalkan desa Benda. Semakin
lama semakin jauh. Sejalan dengan itu, maka hatinya pun menjadi semakin
gembira pula. Katanya berbisik kepada Agung Sedayu dan Swandaru. “Nah,
kita segera berangkat. Jangan menunggu matahari terlampau rendah.
Mungkin kita harus bermalam beberapa malam di perjalanan.”
“Marilah,” terdengar Swandaru yang menyahut.
“Kau masih ragu-ragu,” bertanya Sutawijaya kepada Agung Sedayu.
“Aku tidak meragukan perjalanan yang akan kita lakukan, tetapi bagaimana Kakang Untara setelah mengetahuinya?”
“Aku yang bertanggung jawab,” potong Sutawijaya. “Kalau ia marah, biarlah ia marah kepadaku.”
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Ketika
kemudian Sutawijaya berjalan kembali ke gardu di ujung desa, kedua anak
muda murid Ki Tanu Metir itu mengikutinya di belakang.
“Apakah kita akan pergi berkuda atau berjalan kaki?” bertanya Swandaru.
“Mana yang lebih baik?,” Sutawijaya minta pertimbangan.
Mereka terdiam sejenak. Menilik jarak
yang harus mereka tempuh, maka kuda akan membantu mereka, tetapi
mengingat hutan-hutan yang mungkin terlampau sulit ditembus, maka lebih
baik bagi mereka apabila mereka berjalan kaki. Sebab kuda-kuda mereka
pasti hanya akan mengganggu di sepanjang perjalanan di hutan-hutan
belukar itu.
Ketika kedua kawannya tidak menyahut,
maka Sutawijaya itu pun akhirnya memutuskan, “Kita berjalan kaki.
Mungkin kita akan memerlukan waktu seminggu. Tetapi kita pasti akan
sampai. Tetapi apabila kita pergi berkuda, maka kita akan terhalang di
hutan-hutan belukar atau kita akan melepaskan kuda-kuda kita. Mungkin
kuda-kuda kita itu akan diterkam oleh binatang-binatang buas. Karena itu
lebih baik kita berjalan kaki.”
“Baik,” sahut Swandaru Geni, “Kita berjalan kaki. Bagaimana kakang Agung Sedayu?”
Meskipun hatinya masih ragu-ragu, namun Agung Sedayu menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik. Kita berjalan kaki.”
“Nah, kita berangkat sekarang. Kita akan
masuk ke hutan di hadapan desa Benda ini dan menyeberanginya. Kita harus
keluar dari hutan itu sebelum senja.”
“Tidak mungkin,” potong Agung Sedayu,
“Lihat, matahari telah terguling ke Barat. Meskipun hutan itu tidak
begitu lebat, tetapi hutan itu cukup luas.”
“Ah, persetan,” gumam Sutawijaya
kemudian, “Apakah kita akan menembus hutan itu senja nanti atau apakah
kita akan berjalan di malam hari, kita tidak usah meributkannya. Marilah
kita pergi.”
“Ingat, Tuan, kita sebaiknya
memberitahukan kepergian ini kepada para penjaga, supaya Ki Gede
Pemanahan, Ki Demang Sangkal Putung dan Kakang Untara mendapat gambaran,
berapa hari kita akan kembali,” berkata Agung Sedayu kemudian.
Sutawijaya berpikir sejenak, kemudian ia
pun mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baik,” katanya, “aku akan berkata
kepada pemimpin pengawal.”
Sutawijaya itu pun kemudian pergi ke
gardu penjaga. Kepada seorang prajurit Sutawijaya bertanya, “Siapa
pemimpin pengawal di sini?”
“Kakang Sendawa, Tuan,” sahut penjaga
itu. “Ia berada di rumah sebelah. Rumah itu dipakai sementara untuk
memimpin pengawalan desa ini.”
Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun, tiba-tiba ia berkata, “Katakan kepadanya, aku akan pergi ke Alas Mentaok.”
“He?” prajurit itu terkejut, sehingga matanya terbeliak.
Tetapi Sutawijaya pun menjadi heran pula
melihat prajurit itu memandangnya dengan pandangan yang aneh, sehingga
terloncat pertanyaan dari bibirnya, “Kenapa kau memandangku seperti
melihat hantu?”
“Tuan,” bertanya prajurit itu, “apakah aku tidak salah dengar? Apakah benar Tuan akan pergi ke Alas Mentaok?”
“Ya, kenapa?” jawab Sutawijaya.
“Alas Mentaok itu terletak di sebelah Barat hutan Tambak Baya, Tuan.”
“Ya, aku sudah tahu. Aku akan berjalan
terus ke Barat. Aku akan melewati Prambanan, Candi Sari, Cupu Watu dan
hutan Tambak Baya. Kenapa?”
“Perjalanan yang tidak masuk dalam akalku. Tuan hanya bertiga?”
“Kenapa tidak masuk dalam akalmu? Jarak itu dapat kau ketahui, apakah kau pernah pergi ke sana?”
“Belum, Tuan, tetapi sebagai seorang
prajurit aku pernah mendapat tugas ke Prambanan. Kakak Adi Sedayu itu
pernah pula mendapat tugas di Prambanan.”
“Kau dapat juga sampai ke Prambanan,
mengapa kau heran mendengar rencana perjalanan ini? Bukankah sesudah
Prambanan jarak ke Alas Mentaok tidak lagi begitu jauh?”
“Justru daerah itu adalah daerah yang
berbahaya, Tuan. Mungkin Tuan akan berjumpa dengan penyamun-penyamun
yang sakti. Dan aku pergi ke Prambanan bersama dengan rombongan prajurit
dalam jumlah yang cukup. Karena itu maka aku tidak kuwatir menjumpai
bahaya-bahaya yang serupa. Tetapi apakah Tuan hanya akan bertiga saja?”
Sutawijaya tertawa. Ditepuknya bahu prajurit itu sambil berkata, “Katakan kepada Sendawa. Aku pergi ke Alas Mentaok.”
“Apakah Tuan tidak akan menjumpainya
sendiri? Mungkin Kakang Sendawa dapat menceriterakan serba sedikit
tentang hutan itu. Mungkin Kakang Sendawa pernah mendapat tugas
mengunjungi daerah-daerah terpencil di seberang hutan Mentaok beberapa
waktu yang lampau atas nama kekuasaan Pajang yang menerima limpahan
kekuasaan Demak pada waktu itu. Daerah-daerah yang pernah dikunjungi
adalah daerah-daerah Mangir dan Lipura.”
Sutawijaya menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Sendawa pasti hanya akan menakut-nakuti aku. Katakan saja, aku
pergi bertiga dengan berjalan kaki. Mungkin kami akan melintasi
hutan-hutan bebondotan yang sukar sekali dilalui seekor kuda.”
“Ya, Tuan benar. Kuda-kuda itu hampir tak berarti di hutan-hutan yang lebat.”
“Sudahlah,” berkata Sutawijaya. “Aku akan pergi.”
“Tetapi, Tuan,” bertanya prajurit itu,
“Tuan tidak membawa bekal apa pun di perjalanan. Bagaimana Tuan akan
mendapatkan makanan? Apakah Tuan mempunyai beberapa orang yang telah
Tuan kenal di sepanjang jalan?”
Sutawijaya tertegun sejenak.
Dipandanginya wajah-wajah Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Tetapi kedua
anak muda itu pun agaknya tidak tahu, bagaimana mendapatkan bekal di
perjalanan. Sudah tentu mereka tidak dapat mencari bekal di desa Benda
yang kosong itu. Yang ada hanyalah orang-orang Jipang dan para prajurit
yang sedang bertugas. Mereka sama sekali tidak mempunyai persediaan
makanan dari Sangkal Putung.
Tiba-tiba Sutawijaya itu bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang membawa busur dan anak panah?”
Prajurit itu terdiam sejenak.
“Ada?” desak Sutawijaya.
Prajurit itu mencoba melihat beberapa orang kawan-kawannya yang mendengarkan percakapan itu dengan mulut ternganga.
Tiba-tiba Sutawijaya melihat beberapa
buah busur di sudut gardu. Tanpa bertanya kepada siapa pun ia meloncat
dan mengambil tiga daripadanya.
“He, Agung Sedayu dan Swandaru, apakah kalian dapat memanah?”
Yang menjawab adalah Swandaru Geni,
“Kakang Agung Sedayu adalah pemanah terbaik dari seluruh penghuni
Sangkal Putung, termasuk para prajurit Pajang.”
“Bagus,” Sutawijaya menjadi gembira. Diraihnya beberapa endong anak panah sambil berkata, “Aku pinjam busur-busur ini.”
Para prajurit yang berada di dalam gardu
itu seolah-olah terpaku beku di tempatnya. Mereka tidak dapat berbuat
apa-apa. Mereka hanya melihat Sutawijaya mengambil tiga buah busur dari
lima persediaan busur di gardu itu, beserta tiga endong penuh dengan
anak panah. Mereka kemudian melihat Sutawijaya meloncat keluar sambil
membagikan ketiga busur itu kepada Agung Sedayu dan Swandaru Geni.
“Kalian tidak akan mendapat musuh lagi di
sini. Biarlah senjata-senjata ini kami bawa ke Alas Mentaok,” berkata
Sutawijaya kepada para prajurit Pajang itu.
Sebelum mendapat jawaban, maka Sutawijaya
segera mengajak kedua kawannya itu berjalan meninggalkan desa Benda
menuju ke arah Barat. Alas Mentaok.
Perjalanan itu bukanlah perjalanan yang ringan. Jalan yang harus mereka lewati adalah jalan yang sulit dan jauh.
“Dengan anak-anak panah ini kita akan mendapat bekal di sepanjang jalan,” gumam Sutawijaya.
“Apakah kita akan menyamun atau memeras sambil menakut-nakuti orang dengan anak panah,” bertanya Swandaru.
Sutawijaya tertawa terbahak-bahak
sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Agung Sedayu yang segera menangkap
maksud Sutawijaya pun tersenyum.
“Kenapa?” bertanya Swandaru heran.
“Aku belum pernah menyamun orang,”
berkata Sutawijaya di antara derai tertawanya. “Lebih baik kita menyamun
kijang atau menjangan.”
“O,” Swandaru tersenyum sambil
menundukkan kepalanya. Pipinya yang gembul itu pun menjadi
kemerah-merahan. Ternyata ia tidak cepat menangkap maksud Sutawijaya
dengan busur dan anak panah itu, yang akan menjadi alat berburu yang
baik.
Sesaat kemudian ketiga anak-anak muda itu
terdiam. Mereka berjalan dengan cepat ke arah Barat. Di belakang mereka
pedesaan Benda seolah-olah berjalan mundur sedang gerumbul-gerumbul
jarak yang liar di hadapan mereka pun menjadi semakin dekat. Di
belakang semak-semak itu akan terbentang sebuah lapangan rumput yang
tidak begitu lebar. Dan di seberang lapangan itu mereka akan mendapatkan
sebuah hutan yang cukup luas, meskipun tidak terlampau lebat.
Di langit, matahari telah melewati titik
puncaknya dan dengan perlahan-lahan turun ke cakrawala. Namun panasnya
masih terasa seakan-akan membakar kulit.
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru
berjalan tanpa berpaling lagi. Panas matahari telah memeras keringat
mereka sehingga seluruh pakaian mereka menjadi basah. Kulit mereka yang
menjadi semerah tembaga, menjadi berkilat-kilat karena keringat dan debu
yang melekat.
Para prajurit di Benda pun kemudian
menjadi gempar. Ceritera tentang Sutawijaya dan kedua anak muda yang
telah mereka kenal dengan baik, yaitu Agung Sedayu dan Swandaru
benar-benar menimbulkan berbagai pembicaraan. Ada yang menjadi cemas,
ada yang menjadi heran dan ada yang menjadi kagum karenanya.
Sendawa yang kemudian diberi tahu pula
tentang kepergian ketiga anak-anak muda itu terkejut sekali. Katanya,
“Apakah kalian tidak mencoba mencegahnya?”
“Aku telah mencobanya,” jawab prajurit itu, “tetapi mereka tidak mendengarkan.”
“Alas Mentaok adalah hutan belukar yang
luar biasa lebatnya. Binatang-binatang buas masih berkeliaran dan bahkan
di sekitar hutan yang liar itu masih banyak didiami oleh
penjahat-penjahat yang sebuas binatang-binatang di dalam hutan itu.”
“Aku sudah mengatakannya.”
Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
kemudian ia bergumam, “Mudah-mudahan mereka tidak memasuki hutan itu.
Mudah-mudahan mereka berhenti setelah mereka melihat wajah Alas
Mentaok.”
“Tetapi,” berkata prajurit itu, “bukankah menyeberangi hutan Tambak Baya itu pun cukup berbahaya?”
“Mungkin mereka akan mendapat beberapa
orang kawan. Mudah-mudahan mereka menyeberang bersama-sama dengan
rombongan-rombongan yang sering melewati hutan itu pula bersama-sama
dengan beberapa orang pengawal. Dengan demikian, mereka akan terhindar
dari banyak kesulitan.”
“Mudah-mudahan,” desis prajurit itu.
“Meskipun demikian, kita harus
memberitahukannya kepada para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal
Putung. Bahkan kepada Ki Gede Pemanahan sendiri. Bukankah Raden
Sutawijaya itu putera Ki Gede Pemanahan?”
“Ya. Demikian sebaiknya,” sahut prajurit itu.
“Nah, sekarang pergilah. Sampaikan laporan ini.”
Belum lagi prajurit itu pergi, mereka
terkejut melihat seseorang memasuki rumah pimpinan itu. Ternyata orang
itu adalah dukun tua yang selama ini tidak menampakkan diri. Orang itu
adalah Ki Tanu Metir.
Dengan nada tinggi ia bertanya sambil tersenyum, “Aku dengar, ada di antara kalian yang akan pergi ke Alas Mentaok?”
“Tidak, Kiai,” sahut Sendawa. “Yang pergi ke Alas Mentaok adalah putera Ki Gede Pemanahan, Raden Sutawijaya.”
Ki Tenu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian kembali ia bertanya, “Sendiri ?”
“Tidak,” jawab Sendawa pula. “Bersama dengan dua kawannya. Agung Sedayu dan Swandaru Geni.”
“He?” Ki Tanu Metir itu pun terkejut.
Wajahnya yang tua itu menjadi semakin berkerut-merut. “Apakah
kepentingan mereka dengan Alas Mentaok itu?”
“Kami tidak tahu Kiai,” sahut Sendawa.
“Seorang prajurit telah mencoba mencegah mereka dengan memberikan
gambaran-gambaran tentang perjalanan yang berbahaya itu. Tetapi mereka
bertiga sama sekali tidak takut.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya. Gumamnya, “Tentu tidak. Putera Ki Gede Pemanahan yang telah
berhasil membinasakan Arya Penangsang itu tidak akan mengenal takut
terhadap apapun.”
“Tetapi perjalanan itu sangat berbahaya.”
“Ya,” kembali dukun tua itu bergumam seolah-olah untuk dirinya sendiri, “perjalanan yang berbahaya.”
“Kami akan memberitahukannya kepada ki Gede Pemanahan Kiai. Bukankah sebaiknya demikian?”
“Bagus,” sahut Ki Tanu Metir.
“Beritahukan kepada Ki Gede Pemanahan. Apakah mereka belum lama
berangkat? dan apakah mereka berkuda?”
“Belum terlampau lama. Mereka tidak berkuda.”
“Apakah dengan berkuda anak-anak itu akan dapat dicapai sebelum mereka masuk ke dalam hutan?”
Sendawa mengerutkan keningnya. Dicobanya
menghitung waktu yang sudah dipergunakan oleh Sutawijaya. Namun kemudian
ia mengambil kesimpulan, “Mungkin mereka telah memasuki hutan itu Kiai.
Mereka sudah meninggalkan padukuhan ini sesaat setelah pasukan Pajang
kembali ke induk Kademangan Sangkal Putung. Tetapi agaknya para prajurit
lebih senang memperbincangkannya lebih dahulu, baru memberitahukannya
kepadaku.”
Tampaklah sejenak kecemasan membayang di
wajah orang tua itu. Namun hanya sejenak. Kemudian kembali ia tersenyum,
“Bagus. Secepatnya kalian beritahukan kepada Ki Gede Pemanahan.
Anak-anak itu hanya berjalan kaki saja bukan?”
“Baik, Kiai,” sahut Sendawa. Kemudian
kepada prajurit yang memberitahukannya, Sendawa berkata, “Laporkan
kepada Ki Gede Pemanahan, atau kepada Ki Untara atau Ki Widura.”
“Baik,” jawab prajurit itu sambil
menganggukkan kepalanya. Kemudian menghilang di belakang pintu rumah
itu. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke belakang gardu untuk mengambil
seekor kuda. Para prajurit yang lain, yang melihat seorang kawannya
berlari-lari mengambil seekor kuda segera mengetahuinya, bahwa prajurit
itu harus melaporkan kepergian Raden Sutawijaya bersama dengan Agung
Sedayu dan Swandaru kepada Ki Gede Pemanahan, Untara dan Ki Demang
Sangkal Putung. Meskipun demikian, salah seorang dari mereka pun
bertanya, “Apakah kau akan menyusul anak-anak muda itu atau akan pergi
ke Sangkal Putung?”
“Aku hanya akan melapor,” sahut prajurit
itu sambil meloncat ke atas punggung kuda. Sesaat kemudian maka kuda itu
pun melontar berlari menyusul pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung
yang kembali ke induk kademangan. Suara kakinya berderap di atas tanah
berbatu-batu, mengejutkan para pengawal dan bahkan orang-orang Jipang
yang sedang beristirahat di dalam rumah-rumah.
Di ujung lorong yang lain beberapa orang pengawal menghentikannya. Salah seorang dari mereka bertanya, “Kemana kau?”
“Menyusul Ki Gede Pemanahan.”
“Ada sesuatu yang penting?”
“Ya. Aku harus memberitahukan bahwa
putera Ki Gede Pemanahan bersama Agung Sedayu dan Swandaru Geni tanpa
setahu Ki Gede sendiri pergi ke Alas Mentaok.”
“Alas Mentaok?” beberapa mulut bersama-sama mengulanginya.
“Ya.”
“Mengapa?”
“Tak seorang pun di antara kami yang tahu. Apa perlunya maka putera Ki Gede itu pergi ke Mentaok.”
Para pengawal itu tidak bertanya lagi.
Prajurit itu pun kembali memacu kudanya. Derap kakinya melemparkan
kepulan debu yang putih ditimpa sinar matahari yang telah menjadi
semakin condong ke Barat.
Dengan tergesa-gesa prajurit itu berusaha
untuk dapat menyusul Ki Gede Pemanahan secepatnya. Ketika telah
dilewatinya beberapa padukuhan kecil, maka kemudian dilihatnya ujung
panji-panji. Tiba-tiba hatinya menjadi berdebar-debar. Apakah jawabnya
nanti apabila Ki Gede itu bertanya kepadanya, mengapa puteranya itu
tidak dicegahnya?
Akhirnya kuda itu menjadi semakin dekat.
Beberapa orang di barisan yang paling belakang yang lebih dahulu
mendengar derap kakinya, segera berpaling. Ketika mereka melihat seekor
kuda berlari kencang, maka mereka pun menjadi terkejut.
“Apakah yang terjadi?” pertanyaan itu mengetuk setiap dada para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung.
Untara dan Widura yang kemudian mendengar
derap itu pula, menjadi berdebar-debar. Seperti setiap prajurit yang
lain timbul pula pertanyaan di dalam dadanya, “Apakah yang telah
terjadi?”
Dalam pada itu terdengar Ki Gede Pemanahan bertanya, “Siapakah yang berkuda itu?”
“Seorang prajurit pengawal yang kita tinggalkan di Benda, Ki Gede,” sahut Untara.
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya.
Ketika orang berkuda itu menjadi semakin dekat, maka Ki Gede itu
berkata, “Mungkin ia membawa persoalan yang segera perlu kau ketahui
Untara.”
“Ya, Ki Gede,” sahut Untara yang kemudian melambaikan tangannya memanggil prajurit itu.
Kuda itu pun kemudian berlari mendahului
barisan yang menjelujur di sepanjang jalan. Beberapa langkah dari
Untara prajurit itu segera meloncat turun.
“Apakah ada sesuatu yang penting?” bertanya Untara.
“Penting bagi Ki Gede Pemanahan.” sahut prajurit itu.
Ki Gede yang mendengar jawaban itu segera bertanya, “Penting bagiku? Apakah itu?”
Prajurit itu menjadi ragu-ragu sejenak.
Baru ketika Untara menyuruhnya mengatakan, ia berkata, “Ki Gede, Putera
Ki Gede bersama Adi Agung Sedayu dan Adi Swandaru telah pergi
meninggalkan Benda ke arah Barat. Menurut keterangannya, mereka bertiga
akan pergi ke Alas Mentaok.”
“He?” bukan main terkejut Ki Gede
Pemanahan, Untara, Widura dan orang-orang lain yang mendengarnya,
sehingga sejenak justru mereka terdiam.
Barisan yang panjang itu pun kemudian
berhenti dengan sendirinya. Mereka yang tidak mendengar laporan itu
bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi berita itu pun kemudian menjalar
dari mulut ke mulut, dari ujung terdepan merambat sampai ke ujung
belakang. Hampir semua orang menggeleng-gelengkan kepala mereka.
“Bukan main,” gumam salah seorang prajurit.
“Mereka adalah anak-anak muda yang berani,” sahut yang lain. “Tetapi apakah kepentingan mereka?”
Untara dan Widura pun berdiri terpaku.
Mereka sejenak saling berpandangan, namun tak sepatah kata pun yang
mereka katakan. Sesaat kemudian terdengar Ki Gede Pemanahan bertanya,
“Apakah mereka sudah lama pergi? Dan apakah mereka berkuda?”
“Tidak, Ki Gede. Mereka berjalan kaki. Mereka berangkat sejenak setelah pasukan ini meninggalkan desa Benda.”
“Kenapa baru sekarang kau memberitahukan?” bertanya Ki Gede.
Prajurit itu terdiam. Ia tidak tahu
bagaimana ia akan menjawab. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Sejenak
mereka saling berdiam diri. Ki Demang Sangkal Putung yang mendengar
berita itu pun segera pergi ke ujung barisan. Namun ketika dilihatnya
Untara, Widura dan beberapa orang yang lain terpaku diam, maka Ki Demang
Sangkal Putung pun tidak bertanya apa-apa lagi.
“Hem,” Ki Gede Pemanahan kemudian menarik napas dalam-dalam. “Anak itu memang nakal.”
Tetapi kata-katanya tidak dilanjutkannya.
Ki Gede itu mencoba membayangkan perjalanan yang akan dilalui oleh
puteranya beserta Agung Sedayu dan Swandaru. Ki Gede Pemanahan meskipun
hanya sekilas telah melihat, bagaimana Agung Sedayu dan Swandaru
menggerakkan pedangnya.
Perjalanan ke Alas Mentaok bukanlah
perjalanan yang menyenangkan seperti sebuah tamasya. Yang dihadapi di
dalam perjalanan itu adalah alam yang keras dan mungkin juga para
penjahat.
Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak sempat memberi pesan apa pun kepada puteranya yang nakal itu.
Sebagai seorang senapati Perang, Panglima
Wiratamtama, maka Ki Gede Pemanahan pun pernah mengunjungi
daerah-daerah di seberang hutan Mentaok. Karena itu maka Ki Gede dapat
membayangkan apakah yang akan ditemui puteranya di sepanjang jalan.
Ki Gede Pemanahan itu pun kini berdiri
dalam kebimbangan. Perasaannya menjadi sangat berat untuk membiarkan
puteranya dengan dua anak-anak muda itu tanpa berbuat sesuatu. Tetapi ia
tidak melihat seorang pun yang dapat diperintahkannya menyusul mereka.
Untara atau Widura bukanlah seorang yang akan dapat melindungi
sutawijaya, sebab menurut penilaian Ki Gede Pemanahan, Untara tidak
lebih cakap berolah pedang dan tombak daripada Sutawijaya sendiri.
Tetapi Ki Gede Pemanahan sendiri sudah
tentu tidak akan dapat meninggalkan Pajang terlampau lama untuk menyusul
puteranya. Belum pasti puteranya itu segera dapat diketemukan. Apabila
anak-anak muda itu sudah masuk kedalam hutan, maka mencari seseorang di
dalam hutan adalah sama sulitnya dengan mencarinya di dalam kota yang
ramai. Bahkan mungkin di dalam kota masih sempat bertanya-tanya,
siapakah di antara orang-orang kota yang pernah melihat orang yang
ciri-cirinya dapat dikenal. Tetapi di dalam hutan, pepohonan justru
menjadi tempat-tempat bersembunyi yang baik.
Ki Gede Pemanahan seolah-olah berdiri di
persimpangan jalan antara kekhawatirannya tentang anaknya dan
kewajibannya sebagai seorang Panglima. Saat ini Pajang masih sedang
dalam pergolakan. Pajang masih mendapat penilaian daripada para adipati
di sepanjang Pantai dan adipati di wilayah Demak lainnya bagian Timur.
Apakah Pajang akan mampu berdiri tegak menggantikan Demak. Karena itu,
maka Panglima Wira Tamtama selalu harus berada di tempatnya.
Dalam kebingungan itu Ki Gede Pemanahan
berkata, “Marilah kita teruskan perjalanan ini. Biarlah kita
pertimbangkan sesudah kita sampai di induk Kademangan Sangkal Putung.”
“Marilah Ki Gede,” sahut Untara, yang
kemudian kepada prajurit yang membawa berita tentang kepergian
Sutawijaya, Untara berkata, “Kembalilah ke tempatmu.”
Prajurit itu pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik.”
Ketika Ki Gede Pemanahan kemudian
berjalan kembali diikuti oleh seluruh barisan, maka prajurit itu pun
kembali ke Benda untuk meneruskan tugasnya.
Di sepanjang jalan Ki Gede Pemanahan
hampir tidak berkata sepatah kata pun. Hatinya menjadi risau dan
gelisah. Kedatangannya di Sangkal Putung ternyata menjadikannya bingung
setelah beberapa kali ia menemui kekecewaan.Tetapi di sepanjang jalan
itu pula ia menemukan keputusan. Sebagai seorang panglima, maka ia tidak
dapat meninggalkan tugasnya. Ia harus segera kembali ke Pajang sesuai
dengan rencana yang telah dibuatnya. Ia akan mengatakan apa yang terjadi
sebenarnya dengan puteranya, Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi
Loring Pasar. Karena Sutawijaya itu telah diambil putera pula oleh
Adipati Pajang, maka sudah tentu Adipati Pajang akan menanyakannya. Baru
apabila ia mendapat perintah untuk mencari puteranya, ia akan berangkat
dengan menanggalkan baju kebesarannya sebagai seorang panglima,
sementara ia pergi.
Karena itu, maka ketika mereka telah
sampai di Sangkal Putung, Ki Gede segera memberitahukan kepada Untara
dan Widura bahwa ia tidak akan merubah rencana.
Dengan demikian, maka segera setelah
mereka beristirahat di Banjar Desa Sangkal Putung, Ki Gede Pemanahan
memanggil Untara, Widura, dan para perwira yang dibawanya dari Pajang.
“Kita besok harus kembali membawa
orang-orang Jipang itu sesuai dengan rencana,” berkata Ki Gede Pemanahan
kepada para pengawalnya.
“Ya, Ki Gede,” sahut salah seorang dari mereka.
“Tetapi kita harus mempertimbangkan
keadaan. Bagaimana dengan pertimbanganmu, Untara. Apakah kau dapat
menganggap cukup dengan membagi prajuritmu menjadi dua. Separo ikut aku
mengawal orang-orang Jipang itu ke Pajang, dan yang separo tinggal di
Sangkal Putung?”
“Bagi Sangkal Putung, separo dari
prajurit-prajurit Pajang itu telah cukup untuk melindungi Kademangan
ini. Tetapi yang aku cemaskan justru perjalanan Ki Gede. Apabila
perjalanan Ki Gede bertemu dengan laskar Tambak Wedi dan Sanakeling,
kita belum tahu pasti apakah orang-orang Jipang yang sudah menyerah ini
tidak akan terlibat dalam pertempuran itu. Meskipun mereka tidak
bersenjata, tetapi jumlah mereka cukup banyak untuk menentukan keadaan,”
jawab Untara.
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia sependapat dengan Untara. Karena itu, maka katanya
kemudian kepada perwira bawahannya yang dibawanya dari Pajang, “Dua di
antara kalian malam ini kembali ke Pajang. Kalian harus melaporkan
keadaan kami di sini. Tetapi ingat, jangan kau katakan apa pun tentang
Sutawijaya. Aku sendiri yang akan menyampaikannya kepada Adipati Pajang.
Kemudian mintalah kepada Adi Adipati supaya memberimu ijin membawa
limapuluh prajurit berkuda Wira Tamtama untuk membantu pengawalan
orang-orang Jipang itu. Dengan demikian kita terpaksa menunda saat
kembali ini dengan semalam lagi.”
“Baik, Ki Gede,” sahut perwira itu. “Kedua orang di antara kami akan segera berangkat sebelum gelap.”
Demikianlah maka segera mereka menentukan
dua orang di antara para pengawal itu untuk kembali ke Pajang.
Sementara itu mereka telah mempergunakan waktu beristirahat
sebaik-baiknya. Para prajurit yang lain pun segera bertebaran di tempat
masing-masing. Di banjar desa dan yang lain ke kademangan dan
rumah-rumah yang ditentukan.
Sementara itu Sutawijaya, Agung Sedayu,
dan Swandaru, berjalan secepat-cepatnya menuju ke hutan yang semakin
dekat di hadapan mereka. Sutawijaya masih merasa cemas kalau-kalau
ayahnya datang menyusul mereka, sehingga apabila mereka telah berada di
dalam hutan itu, maka kesempatan untuk menyembunyikan diri menjadi lebih
besar.
Matahari yang merangkak di langit kini
menjadi semakin rendah. Cahayanya tidak lagi terasa membakar kulit,
tetapi karena mereka berjalan ke arah Barat, maka mereka pun kini
menjadi silau.
“Di hutan itukah Tohpati dahulu menyembunyikan diri?” bertanya Sutawijaya.
“Ya,” jawab Agung Sedayu, “Agak ke tengah.”
“Apakah kau pernah melihatnya?”
“Belum,” sahut Agung Sedayu.
“Marilah kita lihat.”
“Marilah,” tiba-tiba Swandaru menyela, “aku juga ingin melihatnya.”
“Belum ada yang pernah melihat di antara kita,” berkata Agung Sedayu.
“Kita dapat mencarinya,” jawab Swandaru.
“Bukan pekerjaan yang mudah. Kita akan
kehilangan waktu untuk suatu kerja yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan maksud kepergian kita.”
“Tidak apa,” potong Sutawijaya. “Kita memberikan waktu sejenak.”
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Kedua
kawannya telah sependapat untuk pergi melihat-lihat bekas sarang
orang-orang Jipang itu. Karena itu, maka ia harus tunduk dan
mengikutinya.
Ketika mereka telah hampir sampai ke tepi
hutan itu, maka segera Sutawijaya memperhatikan rerumputan di hadapan
langkah kakinya. “Hati-hati,” seakan-akan ada yang dicarinya.
“Adakah yang tuan cari?” bertanya Swandaru.
“Ada,” sahut Sutawijaya.
“Apa?”
Sutawijaya tidak segera menjawab. Tetapi tiba-tiba ia tertawa, “Itulah.”
Agung Sedayu segera mengetahuinya, bahwa
Sutawijaya sedang mencari jejak kaki orang-orang Jipang. Orang-orang
Jipang yang pagi itu telah meninggalkan sarang mereka untuk menyerahkan
diri mereka ke Sangkal Putung.

“Kita mengikuti arah itu. Berlawanan dengan arah yang mereka tempuh.”
Kedua kawan-kawannya tidak menjawab.
Mereka berjalan saja di samping Sutawijaya. Sejenak lagi mereka akan
sampai kehutan yang sejuk. Panas matahari tidak lagi menyentuh tubuh
mereka karena daun pepohonan yang lebat dan rimbun.
Demikian mereka menginjakkan kaki-kaki
mereka di batas hutan itu, maka Sutawijaya segera berkata, “Di sini kita
mendapat petunjuk yang lebih jelas lagi. Lihat iring-iringan itu pasti
telah melewati jalan ini pula. Ranting-ranting yang patah, dan dedaunan
yang terinjak-injak itu akan menjadi penunjuk jalan yang baik. Marilah
kita ikuti. Kita harus menemukan perkemahan itu sebelum senja.”
Tetapi ketika Agung Sedayu menengadahkan
wajahnya, maka ia menggelengkan kepalanya sambil bergumam, “Matahari
telah turun terlampau cepat. Aku tidak yakin bahwa kita akan sampai
sebelum senja. Kalau kita dapat menentukan jalan memintas, maka kita
akan dapat mencapainya. Tetapi aku kira jalan yang dilalui oleh
orang-orang Jipang dalam rombongan yang besar ini adalah jalan yang
paling mudah, bukan yang paling dekat.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, ia pun mempunyai perhitungan yang serupa, tetapi ia menjawab, “Marilah kita coba.”
Kembali mereka bertiga berjalan
beriringan. Kali ini mereka berjalan di antara pepohonan yang belum
terlampau pepat. Yang banyak mereka lintasi barulah gerumbul-gerumbul
yang bertebaran di sana-sini. Satu dua mereka melintasi pohon-pohon yang
cukup besar. Namun sejenak kemudian, hutan itu pun menjadi semakin
pepat. Pepohonan menjadi semakin padat dan gerumbul-gerumbulnya pun
menjadi semakin rapat. Bahkan di sana-sini mereka harus melewati
rumpun-rum pun berduri.
Namun Sutawijaya yang berjalan di paling
depan tidak kehilangan jejak. Semakin rimbun hutan itu, semakin jelaslah
bekas-bekas rombongan orang-orang Jipang. Semakin banyak
ranting-ranting yang patah dan mereka patahkan untuk memberi jalan
kepada kawan-kawan mereka yang masih di belakang. Daun-daun yang
menjorok ke dalam barisan dan duri-duri yang berada di depan rombongan
itu telah disingkirkan.
Ketika Sutawijaya melihat sebuah tikungan
yang lengkung dari bekas orang-orang Jipang itu, kemudian satu putaran
lagi di hadapan mereka. Terdengar ia bergumam, “Ya, orang-orang jipang
ini mengambil jalan yang paling mudah, bukan yang paling dekat.
Seandainya kita tahu jalan memintas maka kita akan sampai ke tempat itu
segera.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu. “Tetapi dengan
mengikuti jejak ini kita pasti akan sampai. Kalau kita memilih jalan
sendiri bahkan mungkin kita sama sekali tidak akan menemukan perkemahan
itu.”
“Ya, aku sependapat,” jawab Sutawijaya, “karena itu, mari kita percepat jalan kita.”
Langkah mereka pun menjadi semakin cepat
dan panjang. Mereka ingin berlomba dengan waktu. Namun setiap kali
terasa bahwa jalan mereka terlampau lambat. Meskipun mereka telah
meloncat-loncat, berlari-lari kecil. Namun matahari serasa meluncur amat
cepatnya ke atas cakrawala. Sinarnya yang kemudian menjadi
kemerah-merahan tampak bergayutan di tepi-tepi awan yang bergerak di
langit yang biru.
Tetapi matahari itu pun turun lebih
rendah lagi. Hampir hilang ditelan punggung-punggung bukit. Sehingga
hutan itu pun kini menjadi semakin kabur.
“Apakah perkemahan itu masih jauh?” bertanya Sutawijaya.
“Aku tidak tahu,” sahut Agung Sedayu, “Aku belum pernah sampai ke perkemahan itu.”
Sutawijaya terdiam. Kini ia menjadi
semakin sukar untuk mengenal bekas-bekas yang telah di buat oleh
rombongan orang-orang Jipang yang menyerah. Tetapi tiba-tiba Sutawijaya
itu berteriak, “Ha, lihat. Ini adalah sebuah gardu peronda yang telah
mereka buat.”
Agung Sedayu dan Swandaru segera melihat
di belakang sebuah pohon yang cukup besar, tampak sebuah atap ilalang
yang cukup untuk berteduh dua orang bersama-sama.
“Kita hampir sampai,” desis Sutawijaya.
Mereka pun terdiam. Dengan penuh
perhatian mereka memandangi keadaan di sekeliling mereka. Ketika mereka
maju lagi, maka segera mereka mengenal tempat itu. Tempat itu pasti
tempat orang-orang Jipang berkemah. Sebuah halaman yang kotor dan di
sana-sini mereka melihat batang-batang kayu yang telah tumbang. Karena
itu maka tempat itu menjadi agak lebih terang dari tempat-tempat yang
lain karena sisa-sisa sinar senja.
“Kita sudah sampai. Tetapi kita harus menemukan gubug-gubug mereka di sekitar tempat ini.”
“Sudah dekat sekali,” desis Swandaru, “Tidak ada seratus langkah kita akan sampai.”
“Belum pasti,” jawab Sutawijaya.
Kembali mereka terdiam. Hutan itu menjadi
semakin suram. Sekali-sekali mereka terpaksa menggaruk-garuk tubuh
mereka karena gigitan nyamuk yang berterbangan.
Dan kini langkah mereka terhenti. Kembali Sutawijaya berteriak, “Nah, itulah. Kau lihat?”
“Ya,” hampir bersamaan Agung Sedayu dan Swandaru menyahut.
Di dalam kesuraman senja, mereka melihat
beberapa buah gubug berdiri berjajar-jajar. Udara terasa sangat lembab
dan pengab. Tetapi gubug-gubug itu adalah gubug yang kecil-kecil.
“Kita melihat-lihat keadaannya,” berkata
Sutawijaya. “Tetapi hati-hatilah. Siapa tahu, di dalam perkemahan itu
masih ada beberapa orang yang berkeras kepala.”
“Marilah,” sahut Agung Sedayu dan
Swandaru Geni. Mereka pun kemudian mencabut senjata-senjata mereka dan
berjalan hati-hati mendekati gubug-gubug itu.
“Sepi,” bisik Sutawijaya.
“Sudah kosong,” sahut Swandaru.
“Terlampau sedikit,” berkata Sutawijaya kemudian. “Di sekitar tempat ini pasti masih ada perkemahan lagi.”
“Mungkin,” jawab Agung Sedayu.
“Tetapi biarlah. Hari telah gelap. Aku
kira akan berbahayalah bagi kita apabila kita merayap-rayap di dalam
gelap di tempat yang belum kita kenal. Tetapi menilik tempat-tempat
penjagaan telah dikosongkan, maka perkemahan ini pun pasti telah
kosong. Seandainya ada tempat-tempat lain di sekitar tempat ini pun
pasti benar-benar telah menjadi kosong pula.”
“Ya,” desis Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama.
“Kita bermalam di sini,” berkata Sutawijaya. “Kita akan mendapat tempat untuk tidur.”
“Kita lihat dahulu di dalam gubug-gubug itu, apakah mungkin kita tidur di dalamnya?” berkata Swandaru.
“Marilah,” sahut Sutawijaya.
Maka dengan hati-hati ketiga anak-anak
muda itu pun memilih satu di antara kemah-kemah yang kosong itu. Mereka
pun kemudian melangkah ke pintunya.
“Siapa di dalam?” desis Sutawijaya, tetapi kemudian anak muda itu tertawa.
“Mengapa Tuan tertawa?” bertanya Swandaru.
“Aku merasa geli sendiri. Kenapa aku bertanya?”
“Kalau Tuan mendengar jawaban maka Tuan pasti akan lari,” berkata Swandaru.
“Kalau ada yang menjawab di dalam, maka ia akan aku sobek perutnya dengan tombak ini.”
“Bukankah gubug itu kosong,” berkata Swandaru
“Ya, kenapa ada jawaban?”
“Itulah. Kalau ada jawaban dari dalam
gubug yang kosong dan gelap-kelam itu, maka pasti bukan jawaban yang
keluar dari mulut orang-orang Jipang. Bukan pula keluar dari mulut orang
manapun.”
Sekali lagi Sutawijaya tertawa. Katanya,
“Ha. kau sudah mulai membayangkan, bahwa di dalam gubug itu akan kau
temui sebuah kerangka yang akan menyambut kehadiranmu.”
Swandaru dan Agung Sedayu tertawa. Tanpa
mereka sadari maka mereka pun memandang berkeliling. Gelap malam telah
mulai menyelubungi hutan itu sehingga gubug-gubug di sekitar mereka kini
hanya tampak sebagai onggokan bayangan-bayangan hitam. Tiba-tiba bulu
kuduk Swandaru meremang.
“Ngeri,” desisnya.
“Kenapa?”
“Aku seolah-olah merasa berada di
tengah-tengah kuburan. Bayangan-bayangan hitam itu seperti
bayangan-bayangan cungkup yang bertebaran. Aku lebih baik merasa berada
di tengah-tengah hutan yang lebat. Aku tidak takut diterkam macan.”
Kini Sutawijaya dan Agung Sedayu tidak
dapat menahan tertawanya. Suara tertawa itu telah menggetarkan hutan
yang sepi. Berkepanjangan, seolah-olah telah membangunkan dedaunan yang
telah mulai tidur lelap.
Tetapi akhirnya Swandaru sendiri turut tertawa pula.
“Marilah kita masuk,” ajak Sutawijaya.
“Gelap,” sahut Swandaru.
“Tidak ada kerangka yang hidup di dalam
gubug itu. Kalau ada kerangka itu pasti sudah menyambut kita di muka
pintu ini,” sela Agung Sedayu.
Namun kembali bulu-bulu mereka meremang,
bukan saja Swandaru. Ketika angin yang lemah berdesir menyentuh
leher-leher mereka, maka tanpa mereka sengaja mereka menjadi semakin
berhati-hati.
Di kejauhan ketiga anak-anak muda itu
mendengar suara burung hantu memekik-mekik. Sedang malam pun menjadi
semakin gelap pula. Tiba-tiba terdengar Sutawijaya berkata, “Siapa di
antara kita yang membawa titikan? Kita sebaiknya membuat api.”
“Aku,” sahut Swandaru sambil mencari
sesuatu di kantong bajunya. “Aku selalu membawa titikan. Setiap kali
Sekar Mirah minta aku membuat api untuknya, apabila api di dapur padam
dan beberapa orang pembantunya akan merebus air dan menanak nasi di pagi
hari.”
“Ha,” seru Sutawijaya, “Buatlah api.”
“Apakah yang akan kita bakar? Kita belum mengumpulkan kayu atau sampah.”
“Sampah telah cukup terkumpul,” potong
Agung Sedayu. Tiba-tiba tangannya meraih atap gubug yang terbuat
daripada ilalang. Sekali tangan kirinya merenggut, maka segenggam
ilalang telah didapatkannya.
“Hanya segenggam?” bertanya Swandaru.
“Kalau kurang, maka dua tiga buah gubug akan kita bakar,” sahut Agung Sedayu.
Ketiga anak-anak muda itu pun tertawa.
Swandaru kemudian menyarungkan pedangnya dan dengan hati-hati membuat
api dengan batu titikan dan emput lugut aren yang telah dihaluskan.
Sekali dua kali akhirnya lugut aren itu pun membara.
“Hembuslah kuat-kuat di atas ilalang ini,” katanya kepada Agung Sedayu.
Maka kemudian mereka bertiga pun
bergantian menghembus emput itu. Bara emput itu pun kemudian menjalar
dan sejenak kemudian ilalang di dalam genggaman tangan Agung Sedayu itu
pun mulai menyala.
“Cari yang lain, sebanyak-banyaknya,” berkata Agung Sedayu.
Sutawijaya dan Swandaru pun kemudian
berebutan merenggut ilalang atap gubug dan meletakkannya di atas tanah.
Dengan api di tangannnya Agung Sedayu pun kemudian membakar ilalang
itu.
Mereka bertiga pun kemudian mencari
sampah-sampah yang agak basah ditimbunkannya ke dalam api supaya
perapian itu tidak lekas habis.
“Kalau ada kita beri kayu di atasnya,” gumam Sutawijaya, “supaya semalam suntuk api tidak padam.”
“Dari manakah kita mendapatkan kayu ?” bertanya Swandaru.
Agung Sedayu menebarkan pandangannya
berkeliling. Karena api yang menyala di perapian itu, maka dilihatnya
beberapa buah gubug berdiri bertebaran, seolah-olah betapa lelahnya.
Sebagian dari mereka telah menjadi condong dan bahkan sebagian yang lain
telah hampir roboh.
“Bukankah tiang-tiang gubug itu sebagian terbuat dari kayu dan sebagian yang lain dari bambu?” gumam Agung Sedayu.
Sutawijaya pun kemudian menyahut, “Bagus, kita robohkan salah satu daripadanya.”
Mereka bertiga pun kemudian meletakkan
busur masing-masing dan Agung Sedayu pun menyarungkan pedangnya pula,
sedang Sutawijaya menyandarkan tombaknya di dekat perapian itu. Setelah
menyingsingkan lengan baju mereka, maka segera mereka pun bekerja.
Mereka telah merobohkan sebuah gubug dan mengambil segenap kayu yang
ada. Mereka melemparkan kayu-kayu itu ke atas perapian dan membiarkannya
terbakar.
“Perapian ini akan tahan semalam suntuk,” gumam Sutawijaya.
“Ya, kita tidak akan kedinginan,” sahut Swandaru.
“Tetapi kita tidak akan dapat tidur
bersama-sama,” berkata Sutawijaya kemudian. “Kita lebih baik tidur di
samping perapian ini, tidak di dalam gubug meskipun kita tidak takut
kepada kerangka-kerangka yang menunggui gubug-gubug itu. Atau mungkin banaspati atau semacam wedon. Tetapi di sini kita lebih aman. Kita dapat melihat keadaan di sekitar kita dalam jarak yang cukup.”
“Tetapi kita akan menjadi tontonan di
sini,” sahut Swandaru, “Kalau ada orang yang bersembunyi di dalam gelap
itu, maka mereka akan melihat kita dengan leluasa.”
“Tak ada orang di sekitar tempat ini,” jawab Sutawijaya
“Atau kita tidak terlampau dekat dengan api, supaya kita tidak terlampau jelas di lihat dari kegelapan.”
“Mungkin tetekan, peri atau prayangan
yang mengintip kita,” berkata Agung Sedayu. “Kalau demikian, maka
meskipun kita berada di dalam kegelapan pun mereka akan dapat melihat.”
“Huh. Kita bicarakan yang lain,” potong Swandaru, “Bukan tentang hantu-hantuan saja.”
Kedua kawan-kawannya tertawa. Swandaru pun kemudian tertawa pula.
“Hem,” desis Suiawijaya, “Alangkah nyamannya kalau kita mendapat daging kijang. Kita panggang di atas api.”
“Di sekitar tempat ini pasti ada kijang.”
“Kalian sering berburu?”
Agung Sedayu menggeleng, “Kakang Untara sering berburu, bahkan sejak kecil.”
“Kau tidak ikut?”
“Jarang sekali. Kalau ibu tahu, maka Kakang Untara pasti dimarahi.”
“He?” Sutawijaya menjadi heran, “Ibumu tidak mengijinkan?”
Agung Sedayu menggeleng, “Dahulu tidak.”
“Aku sering berburu juga bersama ayah.
Tetapi mencari kijang lebih baik di siang hari. Malam hari kita
jarang-jarang menemui binatang selain binatang buas yang sedang mencari
makan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Anak itu tidak pernah pergi berburu selain berburu kambing di kandang
rumahnya. Karena itu, ia sama sekali tidak tahu, bagaimanakah caranya
harus memburu kijang.
Kini mereka terdiam sejenak. Mereka duduk
memeluk lutut mereka. Namun senjata-senjata mereka tetap tergantung di
lambung dan busur-busur mereka berada di sisi, sedang Sutawijaya memeluk
tombak pendeknya sambil memandangi nyala api yang seakan-akan
melonjak-lonjak.
Angin malam semakin lama menjadi semakin
sejuk. Tetapi panas perapian telah menghangatkan tubuh mereka. Lidah api
yang merah menggapai-gapai seperti sedang menari. Cahayanya yang
melekat di dedaunan bergetaran meloncat dari lembar ke lembar yang lain.
Terkantuk-kantuk Swandaru menguap sambil bergumam, “Siapakah yang akan tidur lebih dahulu?”
“Kau sudah kantuk?” bertanya Agung Sedayu.
“Ya. Apakah aku dapat tidur lebih dahulu? Setelah tengah malam maka berganti aku yang jaga?”
“Pikiran yang bagus,” sahut Sutawijaya,
“Tetapi bagaimana kalau kau kami tinggalkan di sini seorang diri? Ketika
kau kemudian membuka mata di tengah malam, kau dikerumuni oleh
kerangka-kerangka yang bangkit dari dalam tanah? Kau pasti tahu bahwa di
sekitar perkemahan ini pasti ada kuburan. Kuburan orang-orang Jipang
yang terbunuh di peperangan atau yang mati karena luka-lukanya?”
Swandaru mengerutkan keningnya. Tiba-tiba
ditebarkannya pandangannya berkeliling. Dilihatnya dari dalam gelap
bayangan api yang kemerah-merahan seperti hantu yang sedang menari-nari,
bahkan kemudian seperti serombongan hantu yang siap menerkamnya. Tetapi
Swandaru bukan seorang penakut. Bahkan kemudian ia tertawa sambil
berkata, “Lihat, itu mereka telah datang.”
Sutawijaya dan Agung Sedayu pun tertawa.
Tanpa mereka kehendaki mereka memandang ke arah ujung jari Swandaru
yang menunjuk bayangan api yang satu-satu jatuh ke dalam gelap. Tetapi
tiba-tiba Sutawijaya mengerutkan keningnya. Ia melihat bayangan di
tempat yang terlampau jauh. Bayangan yang terlampau terang dibandingkan
dengan jarak antara perapiannya dan tempat itu. Apalagi pepohonan dan
dedaunan yang menghalanginya, pasti akan menutup jauh lebih banyak dari
apa yang dilihatnya. Karena itu, maka Sutawijaya itu pun tiba-tiba
berdiri. Digenggamnya tombak pendeknya erat-erat.
“Apa yang Tuan lihat?” bertanya Swndaru.
“Kau lihat bayangan api di kejauhan itu?” bertanya Sutawijaya.
“Ya,” sahut Swandaru.
“Kau lihat keanehannya?” bertanya Sutawijaya pula.
Swandaru menjadi heran mendengar
pertanyaan itu. Semula ia sama sekali tidak menaruh perhatian atas
bayangan api itu. Namun ternyata bayangan itu semakin lama menjadi
semakin besar. Di kejauhan itu kemudian tampaklah warna merah yang
memancar bertebaran seperti pancaran api dari perapian mereka.
“Perapian,” desis Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia pun mengulanginya, “Perapian.”
“Ya,” sahut Sutawijaya, “Seseorang telah menyalakan perapian.”
“Siapa?” desis Swandaru kemudian.
Sutawijaya menggelengkan kepalanya, “Kita tidak tahu.”
Sejenak kemudian mereka terdiam. Namun
hati mereka menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa di sekitar tempat
itu, masih juga ada seseorang setidak-tidaknya, yang mungkin telah
melihat mereka bertiga.
“Tetapi apa maksudnya membuat perapian itu?”
Pertanyaan itu timbul di dalam dada ketiga anak-anak muda itu.
“Siapkan senjata kalian,” berkata
Sutawijaya, “Kita yang akan datang melihatnya. Kita tidak akan menunggu
sampai seseorang datang kepada kita dengan maksud apa pun.”
“Marilah,” jawab Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.
———-oOo———-
(bersambung ke Jilid 017)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-16/

Tinggalkan Balasan