

NSSI-01
lanjut >>
PENGANTAR
Naskah yang diwedar ini sudah
disesuaikan dengan rontal aslinya, Jilid 1 cetakan kedua tahun 1966.
Teks dicomot dari web mana, kami lupa karena sudah tersimpan dalam
bangsal pusaka kami dalam waktu yang cukup lama. Mohon maaf bagi yang
merasa memiliki teksi asli naskah ini.
Teks sudah mengalami editing ulang disesuaikan dengan rontal
aslinya, termasuk pengaturan paragraf. Mungkin disana-sini masih
terlewatkan, kami mohon maaf
Lereng Gunung Kawi, April 2011
Arema.
———-oOo———-

I
AWAN yang hitam pekat bergulung-gulung di
langit seperti lumpur yang diaduk dan kemudian dihanyutkan oleh banjir,
sehingga malam gelap itu menjadi semakin hitam. Sehitam suasana
Kerajaan Demak pada waktu itu, dimana terjadi perebutan pengaruh antara
Wali pendukung kerajaan Demak dengan Syeh Siti Jenar.
Pertentangan itu sedemikian meruncingnya sehingga terpaksa diselesaikan dengan pertumpahan darah.
Syeh Siti Jenar dilenyapkan. Disusul
dengan terbunuhnya Ki Kebo Kenanga yang juga disebut Ki Ageng Pengging.
Ki Kebo Kenanga ini meninggalkan seorang putra bernama Mas Karebet.
Karena dibesarkan oleh Nyai Ageng Tingkir, kemudian Mas Karebet juga
disebut Jaka Tingkir.
Jaka Tingkir inilah yang kemudian akan
menjadi raja, menggantikan Sultan Trenggana. Jaka Tingkir pula yang
memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang.
Pada masa yang demikian, tersebutlah
seorang saudara muda seperguruan dari Ki Ageng Pengging yang bernama
Mahesa Jenar. Karena keadaan sangat memaksa, Jaka Tingkir pergi
meninggalkan kampung halaman, sawah, ladang, serta wajah-wajah yang
dicintainya. Ia merantau, untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang tak
diinginkan.
Telah bertahun-tahun Mahesa Jenar
mengabdikan dirinya kepada Negara sebagai seorang prajurit. Tetapi
karena masalah perbedaan ajaran tentang kepercayaan, yang telah
menimbulkan beberapa korban, ia terpaksa mengundurkan diri, meskipun
kesetiannya kepada Demak tidak juga susut.
Maka hanya dengan bekal kepercayaan
kepada diri sendiri serta kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Mahesa
Jenar mencari daerah baru yang tidak ada lagi persoalan mereka yang
berbeda pendapat mengenai pelaksanaan ibadah untuk menyembah Tuhan Yang
Maha Esa.
Mahesa Jenar adalah bekas seorang
prajurit pilihan, pengawal raja. Ia bertubuh tegap kekar, berdada
bidang. Sepasang tangannya amat kokoh, begitu mahir mempermainkan segala
macam senjata, bahkan benda apapun yang dipegangnya. Sepasang matanya
yang dalam memancar dengan tajam sebagai pernyataan keteguhan hatinya,
tetapi keseluruhan wajahnya tampak bening dan lembut.
Ia adalah kawan bermain Ki Ageng Sela
pada masa kanak-kanaknya. Ki Ageng Sela inilah yang kemudian menjadi
salah seorang guru dari Mas Karebet, yang juga disebut Jaka Tingkir,
sebelum menduduki tahta kerajaan.
Meskipun mereka bukan berasal dari satu
perguruan, tetapi karena persahabatan mereka yang karib, maka seringkali
mereka berdua tampak berlatih bersama. Saling memberi dan menerima atas
izin guru mereka masing-masing. Gerak Mahesa Jenar sedikit kalah
cekatan dibanding dengan Sela yang menurut cerita adalah cucu seorang
bidadari yang bernama Nawangwulan. Betapa gesitnya tangan Ki Ageng Sela,
sampai orang percaya bahwa ia mampu menangkap petir.
Tetapi Mahesa Jenar lebih tangguh dan
kuat. Dengan gerak yang sederhana, apabila dikehendaki ia mampu membelah
batu sebesar kepala kerbau dengan tangannya. Apalagi kalau ia sengaja
memusatkan tenaganya.
Pada malam yang kelam itu Mahesa Jenar
mulai dengan perjalanannya dari rumah almarhum kakak seperguruannya, Ki
Kebo Kenanga di Pengging. Ia sengaja menghindarkan diri dari pengamatan
orang.
Mula-mula Mahesa Jenar berjalan ke arah
selatan dengan menanggalkan pakaian keprajuritan, dan kemudian membelok
ke arah matahari terbenam.
Setelah beberapa hari berjalan, sampailah
Mahesa Jenar di suatu perbukitan yang terkenal sebagai bekas kerajaan
seorang raksasa bernama Prabu Baka, sehingga perbukitan itu kemudian
dikenal dengan nama Pegunungan Baka. Salah satu puncak dari perbukitan
ini, yang bernama Gunung Ijo, adalah daerah yang sering dikunjungi orang
untuk menyepi. Di sinilah dahulu Prabu Baka bertapa sampai diketemukan
seorang gadis yang tersesat ke puncak Gunung Ijo itu. Mula-mula gadis
itu akan dimakannya, tetapi niat itu diurungkan karena pesona
kecantikannya. Bahkan gadis itu kemudian diambilnya menjadi permaisuri,
ketika ia kemudian dapat menguasai kerajaan Prambanan. Gadis cantik
itulah yang kemudian dikenal dengan nama Roro Jonggrang. Dan karena
kecantikannya pula Roro Jonggrang oleh Bandung Bandawasa, yang juga
ingin memperistrinya setelah berhasil membunuh Prabu Baka, disumpah
menjadi patung batu. Candi tempat patung itu lah yang kemudian terkenal
dengan nama Candi Jonggrang.
Tetapi pada saat Mahesa Jenar
menginjakkan kakinya di puncak bukit itu terasalah sesuatu yang tak
wajar. Beberapa waktu yang lalu ia pernah mengunjungi daerah ini. Tetapi
sekarang alangkah bedanya. Tempat ini tidak lagi sebersih beberapa
waktu berselang. Rumput-rumput liar tumbuh di sana-sini.
Dan yang lebih mengejutkannya lagi, adalah ketika dilihatnya kerangka manusia.
Melihat kerangka manusia itu hati Mahesa
Jenar menjadi tidak enak. Ia menjadi sangat berhati-hati karenanya.
Tetapi ia menjadi tertarik untuk mengetahui keadaan di sekitar tempat
itu. Ia menjadi semakin tertarik lagi ketika dilihatnya tidak jauh dari
tempat itu terdapat beberapa macam benda alat minum dan batu-batu yang
diatur sebagai sebuah tempat pemujaan. Dan di atasnya terdapat pula
sebuah kerangka manusia. Mahesa Jenar pernah belajar dalam pelajaran
tata berkelahi mengenai beberapa hal tentang tubuh manusia. Itulah
sebabnya maka ia dapat menduga bahwa rangka-rangka itu adalah rangka
perempuan yang tidak tampak adanya tanda-tanda penganiayaan.
Cepat ia dapat menebak, bahwa beberapa
waktu berselang telah terjadi suatu upacara aneh di atas bukit ini.
Tetapi ia tidak tahu macam upacara itu.
Untuk mengetahui hal itu, ia mengharap
mendapat keterangan dari penduduk sekitarnya. Tetapi Mahesa Jenar
menjadi kecewa ketika ia melayangkan pandangannya ke sekitar bukit itu.
Tadi ia sama sekali tidak memperhatikan bahwa tanah-tanah pategalan
telah berubah menjadi belukar.Agaknya sudah beberapa waktu tanah-tanah
itu tidak lagi digarap.
Maka ketika ia sudah tidak mungkin lagi
untuk mendapatkan keterangan lebih banyak lagi tentang kerangka-kerangka
tersebut, maka dengan pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar
dikepalanya, Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya ke barat, menuruni
lembah dan mendaki tebing-tebing perbukitan sehingga sampailah ia di
atas puncak pusat kerajaan Prabu Baka. Dari atas bukit itu Mahesa Jenar
melayangkan pandangannya jauh di dataran sekitarnya. Di sebelah utara
tampaklah kumpulan candi yang terkenal itu, yaitu Candi Jonggrang.
Sempat juga Mahesa Jenar mengagumi karya yang telah menghasilkan
candi-candi itu. Menurut cerita, candi-candi yang berjumlah 1.000 itu
adalah hasil kerja Bandung Bandawasa hanya dalam satu malam saja, untuk
memenuhi permintaan Roro Jonggrang. Tetapi ketika ternyata Bandung
Bandawasa akan dapat memenuhi permintaan itu, Roro Jonggrang berbuat
curang. Maka marahlah Bandung Bandawasa. Jonggrang disumpah sehingga
menjadi candi yang ke 1.000.
Candi itu dikitari oleh persawahan yang
ditumbuhi batang-batang padi yang sedang menghijau. Daun-daunnya
mengombak seperti mengalirnya gelombang-gelombang kecil di pantai karena
permainan angin.
TIBA-TIBA Mahesa Jenar teringat akan
kerangka-kerangka yang ditemukannya di atas Gunung Ijo. Di dekat
persawahan yang sedang menghijau itu pasti ada penduduknya. Di sana,
mungkin ia akan mendapat beberapa keterangan tentang kerangka-kerangka
itu.
Karena pikiran itu maka segera ia
menuruni bukit dan cepat-cepat pergi ke arah pedesaan di sebelah Candi
Jonggrang di tepi Sungai Opak.
Ketika ia sampai di desa itu, terasa
alangkah asingnya penduduk menerima kedatangannya. Anak-anak yang sedang
bermain di halaman dengan riangnya, segera berlari-larian masuk ke
rumah. Terasa benar bahwa beberapa pasang mata mengintip dari
celah-celah dinding rumahnya.
“Apakah yang aneh padaku?” pikirnya.
Ia merasa susah untuk menemukan orang
yang dapat diajak berwawancara untuk menjalankan beberapa soal, terutama
mengenai peristiwa Gunung Ijo.
Rumah-rumah di kiri kanan jalan desa itu
serasa tertutup baginya. Beberapa kali ia berjalan hilir mudik
kalau-kalau ia berjumpa dengan seseorang yang dapat ditanyainya atau
seseorang yang menyapanya. Tetapi sudah untuk kesekian kalinya tak
seorang pun dijumpainya, dan tak seorang pun menyapanya. Akhirnya ia
mengambil keputusan untuk mengetuk salah satu dari sekian banyak
pintu-pintu yang tertutup.
Tiba-tiba terasa sesuatu yang tidak
wajar. Dari balik-balik pagar batu di sekitarnya, didengarnya dengus
nafas yang tertahan-tahan. Tidak hanya dari satu-dua orang, tetapi
rasa-rasanya banyak orang yang bersembunyi di balik pagar-pagar itu.
Mahesa Jenar tidak mengerti maksud mereka mengintip dari balik-balik
pagar. Karena itu ia pura-pura tidak mengetahui akan hal itu.
Tetapi ketika ia akan melangkahkan
kakinya menginjak ambang regol sebuah halaman, berloncatanlah beberapa
orang laki-laki dari balik pagar-pagar batu di sekitarnya. Semuanya
membawa senjata. Golok-golok besar, tombak panjang dan pendek, pedang,
keris dan sebagainya.
Mahesa Jenar sebentar terkejut juga,
tetapi cepat otaknya bekerja. Ia segera mengambil kesimpulan bahwa
agaknya memang pernah terjadi sesuatu di daerah ini. Ia juga menduga
bahwa orang-orang itu tak bermaksud jahat. Mereka hanya berjaga-jaga dan
waspada. Sebagai orang asing di daerah berbahaya sudah sepantasnyalah
bahwa ia dicurigai. Itulah sebabnya ia mengambil keputusan untuk tidak
berbuat apa-apa, dan hanya akan menurut semua perintah yang akan
diterima.
Orang yang menjadi pemimpin rombongan itu
berperawakan sedang. Badannya tak begitu besar, tetapi otot-ototnya
yang kuat menghias seluruh tubuhnya. Diantara jari-jari tangan kanannya
terselip sebuah trisula, yaitu sebuah tombak bermata tiga. Di sampingnya
berdiri seorang yang berperawakan tinggi besar, berkumis lebat.
Pandangannya tajam berkilat-kilat. Ia tak bersenjata tajam apapun
kecuali sebuah cambuk besar yang ujungnya lebih dari sedepa panjangnya,
dan pada juntai cambuk itu diikatkan beberapa potongan besi, batu dan
tulang-tulang.
Rupa-rupanya ia merupakan salah seorang
tokoh terbesar dari para pengawal desa itu, disamping beberapa pengawal
lain yang segera mengepungnya.
“Ikut kami!” Tiba-tiba terdengarlah sebuah perintah yang menggelegar keluar dari mulut orang yang tinggi besar itu.
Terasalah oleh Mahesa Jenar betapa orang yang tinggi besar itu ingin mempengaruhinya dengan suaranya.
Mahesa Jenar yang sudah mengambil
keputusan untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keributan,
menuruti perintah itu dengan patuh. Orang yang tinggi besar itu berjalan
di depan bersama-sama dengan pemimpin rombongan, kemudian berjalanlah
di belakangnya Mahesa Jenar diiringi oleh para pengawal.
Rombongan itu berjalan menyusur jalan
desa menuju ke sebuah rumah yang agak lebih besar dari rumah-rumah yang
lain, berpagar batu agak tinggi dan berhalaman luas. Mereka memasuki
halaman itu dengan melewati sebuah gerbang yang dikawal orang di
kiri-kanannya, sedangkan di halaman itu pun telah pula menanti beberapa
orang laki-laki yang juga bersenjata. Diantara mereka berdirilah seorang
laki-laki yang sudah agak lanjut usianya.
Pemimpin rombongan serta orang yang
tinggi besar langsung mendatangi orang tua itu. Mahesa Jenar masih saja
mengikuti di belakangnya.
“Kakang Demang,” lapor pemimpin rombongan itu, “orang ini terpaksa kami curigai. Selanjutnya terserah kebijaksanaan kakang.”
Orang tua yang ternyata demang dari
daerah itu, mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa garis umur telah
tergores di wajahnya, tetapi ia masih nampak segar dan kuat. Wajahnya
terang dan bersih. Giginya masih utuh, putih berkilat diantara
bibir-bibirnya yang tersenyum ramah.
“Ia sedang menyelidiki daerah kami, Kakang. Mungkin ia menemukan seorang gadis untuk korbannya,”
tiba-tiba laki-laki yang tinggi besar itu menyambung dengan suaranya
yang bergerat. Sesudah itu ia memandang berkeliling dan tampaklah setiap
laki-laki yang kena sambaran matanya mengangguk-angguk kecil tanpa
keyakinan apa-apa.
Pikiran yang terang dari Mahesa Jenar
segera dapat menghubungkan ucapan ini dengan kerangka-kerangka yang
ditemuinya di Gunung Ijo. Mungkin ucapan orang itu bertalian dengan
peristiwa yang sedang menjadi tanda tanya di dalam hatinya.
Demang tua itu memandang Mahesa Jenar
dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Umurnya yang telah lanjut,
menolongnya untuk mengenal sedikit tentang watak-watak orang yang baru
saja dijumpainya. Dan terhadap Mahesa Jenar, ia tidak menduga adanya
maksud-maksud buruk.
“Bolehkah aku bertanya?” kata Demang tua itu dengan nada yang berat tetapi sopan dan rumah. “Siapakah nama Ki Sanak dan dari manakah asal Ki Sanak? Sebab menurut pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang dari daerah kami.”
Mula-mula Mahesa Jenar ragu. Haruskah ia
mengatakan keadaan yang sebenarnya, ataukah lebih baik menyembunyikan
keadaan yang sebenarnya …? Ia masih belum tahu, sampai di mana jauh
akibat tindakan-tindakan pemerintah Kerajaan Demak terhadap para
pengikut Syeh Siti Jenar. Kalau ia tidak berkata yang sebenarnya, maka
ada suatu kemungkinan bahwa kecurigaan orang terhadapnya semakin besar.
Mungkin pula ia ditangkap, ditahan atau semacamnya itu. Akhirnya Mahesa
Jenar mengambil keputusan untuk mengatakan sebagian saja dari
keadaannya. Oleh keragu-raguannya inilah maka sampai beberapa saat
Mahesa Jenar tidak menjawab, sehingga ketika baru saja ia akan berkata,
terdengarlah orang yang tinggi besar itu membentak, “Ayo bilang!”
Mahesa Jenar sebenarnya sama sekali tidak
senang diperlakukan sedemikian, tetapi ia tidak ingin ribut-ribut. Maka
dijawabnya pertanyaan itu dengan sopan pula, “Bapak Demang, kalau
Bapak Demang ingin mengetahui, aku berasal dari Pandanaran. Aku adalah
pegawai istana Demak, yang karena sesuatu hal ingin menjelajahi
daerah-daerah wilayah Kerajaan Demak.”
Beberapa orang tampak terkejut mendengar
jawaban ini. Seorang pegawai istana adalah orang yang pantas sekali
mendapat kehormatan. Sedang orang ini? Orang yang mengaku menjadi
pegawai istana itu menjadi orang tangkapan. Apakah kalau hal semacam ini
sampai terdengar oleh kalangan istana, tidak akan menjadikan mereka
murka? Mahesa Jenar merasakan pengaruh kata-katanya itu atas orang-orang
yang mengepungnya. Demikian juga wajah orang tinggi besar itu tampak
berubah. Dahinya berkerinyut dan alisnya ditariknya tinggi-tinggi.
Demang tua itu sekali lagi
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi kemudian ia bertanya lagi dengan
nada yang masih sesopan tadi. “Menilik sikap Ki Sanak, memang
tepatlah kalau ki sanak seorang pegawai istana, atau setidak-tidaknya
orang-orang kota seperti yang pernah aku kenal. Tetapi kedatangan Ki
Sanak seorang diri kemari, merupakan sebuah pertanyaan bagi kami.”
Sekali lagi tampak wajah-wajah di sekitar Mahesa Jenar berubah. Mereka jadi ikut bertanya pula di dalam hati. “Ya, kenapa seorang pegawai istana pergi sedemikian jauhnya seorang diri?” Tetapi tak seorangpun yang mengucapkan pertanyaan itu.
“Orang ini ingin memperbodoh kita Kakang,”
kembali terdengar suara gemuruh orang yang tinggi besar itu dengan
matanya yang berkilat-kilat. Sekali lagi ia memandang berkeliling,
kepada orang-orang yang berdiri memagari.
Dan sekali lagi orang-orang itu mengangguk-angguk kecil tanpa keyakinan apa-apa.
Sikap orang yang tinggi besar itu semakin
tidak menyenangkan hati Mahesa Jenar, tetapi ia masih saja menahan
dirinya dan menjawab dengan ramah pula. “Bapak Demang, sebenarnya
memang aku mempunyai banyak keterangan mengenai diriku, tetapi
sebaiknyalah kalau keterangan-keterangan itu aku berikan khusus untuk
Bapak Demang, tidak di hadapan orang banyak. Sebab ada hal-hal yang
tidak perlu diketahui umum.”
Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga
bahwa perkataannya itu mempunyai akibat yang kurang baik. Orang yang
tinggi besar itu, yang sebenarnya bernama Baureksa, dan bertugas sebagai
kepala penjaga keamanan Kademangan Prambanan, merasa sangat
tersinggung. Ia merasa direndahkan oleh orang asing itu, dengan
mengesampingkannya dari pembicaraan. Karena itu ia membentak dengan
suaranya yang lantang. “Apa perlunya Kakang Demang meladeni orang semacam kau? Sekarang saja kau bicara.”
Perlakuan orang itu sebenarnya sudah
keterlaluan. Tetapi Mahesa Jenar masih berusaha untuk menahan diri, dan
menjawab dengan baik. “Apa yang perlu kau ketahui telah aku katakan.”
“Belum cukup,” jawab Baureksa semakin marah. “Apa yang akan kau katakan kepada kakang Demang?”
Mahesa Jenar memandang kepada orang tua
itu. Wajahnya yang bening menjadi agak suram. Sebenarnya ia dapat
menerima permintaan Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat menyakiti hati
bawahannya yang merupakan tulang punggung kademangannya. Memang, Demang
tua itu sendiri sering merasa tidak senang akan sikap Baureksa. Tetapi
orang ini terlalu berpengaruh karena kehebatannya. Malahan pernah
terpikir olehnya untuk suatu waktu memberi pelajaran sedikit kepada
Baureksa, sebab meskipun usianya telah lanjut tetapi ia masih merasa
mampu untuk melakukannya. Tetapi hal yang demikian akan tidak baik
pengaruhnya terhadap rakyat yang justru sekarang memerlukan perlindungan
dari bahaya yang setiap saat dapat mengancam.
Dan tiba-tiba saja ia mendapat suatu
pikiran baik. Menilik tubuh, sikap dan gerak-gerik Mahesa Jenar, orang
tua yang sudah banyak pengalaman itu segera mengenal, bahwa Mahesa Jenar
bukan orang yang pantas direndahkan. Ia tersenyum dalam hati karena
pikiran itu.
“Lalu bagaimanakah sebaiknya Baureksa?” tanya Demang tua itu.
Sikap Baureksa semakin garang. Ia merasa bahwa demangnya akan menyerahkan segala sesuatu kepadanya.
“Orang itu harus berkata sebenarnya,” katanya.
“Kalau tidak mau?” pancing Demang itu.
“Dipaksa!” jawab Baureksa tegas-tegas. Dan jawaban ini memang diharapkan sekali oleh demang tua itu.
“Bagus… terserah kepadamu. Yang lain sebagai saksi atas apa yang terjadi,” katanya.
Keadaan berubah menjadi tegang. Tak
seorangpun mengerti maksud dari kepala daerahnya itu. Sebenarnya
orang-orang itu sama sekali tak menghendaki kejadian-kejadian semacam
itu, sebab dalam pandangan mereka, Mahesa Jenar adalah orang yang sopan
dan baik. Kalau sekali Baureksa sudah bertindak, biasanya tak dapat
dikendalikan lagi. Dan orang yang diperiksanya biasanya kesehatannya tak
dapat pulih kembali. Tetapi tak seorang pun yang berani
menghalang-halanginya sifat-sifatnya yang mengerikan itu. Apalagi kalau
orang itu benar-benar pegawai istana, maka apakah kiranya yang akan
terjadi?.
Berbeda sekali dengan pikiran Baureksa.Ia
menjadi gembira seperti anak-anak yang mendapat mainan. Meskipun ia
juga mempunyai otak, tetapi tidak dapat bekerja dengan baik. Adatnya
keras dan lekas marah. Apalagi setelah beberapa waktu yang lalu, pada
waktu terjadi huru hara, dan ia tidak mampu untuk mengatasinya. Maka
sekarang ia ingin mengembalikan kepercayaan rakyat atas kehebatannya
dengan menumpahkan segala dendamnya kepada orang asing itu. Tetapi untuk
itu ia tidak akan segera turun tangan sendiri. Ia ingin melihat dahulu
sampai dimana kekuatan barang mainannya. Sebab bagaimana tumpulnya otak
Baureksa, namun ia masih juga melihat suatu kemungkinan yang ada pada
calon korbannya.
Sebaliknya Mahesa Jenar mengeluh dalam
hati. Cepat ia dapat menangkap maksud Demang tua yang bijaksana itu
dengan menangkap pandangan matanya.
“Permainan berbahaya” pikirnya. “Demang
tua itu sama sekali belum mengenal aku, sebaliknya aku pun belum
mengenal orang macam Baureksa itu.”
Tetapi bagaimana pun, Mahesa Jenar terpaksa melayaninya kalau ia tidak mau menjadi bulan-bulanan celaka.
“Gagak Ijo…!” tiba-tiba terdengar Baureksa berteriak keras-keras.
Dan orang yang dipanggilnya Gagak Ijo itu dengan gerak yang cekatan meloncat ke hadapan Baureksa.
Gagak Ijo yang nama sebenarnya adalah
Jagareksa adalah seorang pembantu, bahkan tangan kanan Baureksa.
Kedua-duanya mempunyai sifat yang hampir sama. Tubuhnya agak pendek
bulat, sedang otot-ototnya menjorok keluar membuat garis-garis yang sama
jeleknya dengan garis-garis wajahnya.
“Suruh orang itu bicara,” perintah Baureksa.
“Bicara tentang apa Kakang?” tanya Gagak Ijo.
Mendengar pertanyaan itu, Baureksa memaki keras-keras, “Bodoh
kau. Suruh dia bicara, di mana rumahnya, di mana gerombolannya, dan
suruh dia katakan kapan gerombolannya akan datang lagi untuk menculik
gadis.”-
Gagak Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang ia sudah tahu tugasnya. Memeras keterangan dari orang asing itu.
Perlahan-lahan Gagak Ijo memutar
tubuhnya, menghadap Mahesa Jenar. Sebentar ia mengatur jalan nafasnya,
dan dengan perlahan-lahan pula ia mendekati korbannya. Suasana menjadi
bertambah tegang. Peristiwa semacam ini telah berulang kali terjadi,
biasanya dilakukan terhadap para penjahat atau terhadap mereka yang
melanggar adat. Tetapi sekali ini, orang-orang kademangan itu merasakan
adanya suatu perbedaan dengan kejadian-kejadian yang pernah terjadi.
“Jawab setiap pertanyaanku dengan betul,” perintah Gagak Ijo dengan garangnya. Matanya menjadi berapi-api dan mulutnya komat-kamit.
“Siapa namamu?”
Pertanyaan yang pertama ini mengejutkan
Mahesa Jenar. Ia tidak menduga bahwa dari mulut orang itu akan keluar
pertanyaan yang demikian. Maka untuk pertanyaan yang pertama ini Mahesa
Jenar menjawab dengan tenangnya. “Namaku Mahesa Jenar.”
Rupa-rupanya ketenangannya ini sangat
mengagumkan orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu. Tidak pernah ada
seorang pun yang dapat bertindak setenang itu menghadapi Gagak Ijo,
apalagi Baureksa.
“Bagus…” dengus Gagak Ijo.
“Nama yang bagus. Mengenal namamu adalah perlu sekali bagiku. Kalau
terpaksa tanganku membunuhmu. Orang-orang sudah tahu bahwa kau bernama
Mahesa Jenar.” Gagak Ijo lalu mengangguk-angguk dengan sikap yang
sombong sekali. Memang, ia mempunyai kebiasaan untuk tidak segera
bertindak. Ia senang melihat korbannya ketakutan dan bahkan pernah ada
yang sampai terjatuh di tempat. Tetapi kali ini ia merasa aneh, Mahesa
Jenar tenang bukan kepalang. Dan ini sangat menjengkelkannya.
“Kau sudah dengar perintah kakang Baureksa?” katanya, “Apa yang harus kau katakan, sekarang katakanlah.”
“Tak ada yang akan aku katakan,” jawab Mahesa Jenar.
Gagak Ijo terkejut mendengar jawaban itu, sehingga membentak keras. “Bicaralah!” Lalu suaranya ditahan perlahan-lahan. “Bicaralah supaya aku tidak usah memaksamu.”
Mahesa Jenar kemudian menjadi jemu
melihat sikap Gagak Ijo yang sombong itu. Maka ia mengambil keputusan
untuk cepat-cepat menyelesaikan pertunjukan yang membosankan itu, dengan
membuat Gagak Ijo marah.
“Baiklah aku berkata,” kata Mahesa Jenar,
“bahwa rumahku adalah jauh sekali seperti yang sudah aku katakan
kepada Bapak Demang tadi. Tetapi kedatanganku kemari sama sekali tidak
akan menculik gadis-gadis. Aku datang kemari karena aku ingin menculik
kau untuk menakuti gadis-gadis.”
Mereka yang mendengar jawaban itu
terkejut bukan main. Alangkah beraninya orang asing itu. Malahan
akhirnya beberapa orang menjadi hampir-hampir tertawa, tetapi ditahannya
kuat-kuat, kecuali demang tua itu yang tampak tersenyum-senyum.
Sebaliknya Gagak Ijo menjadi marah bukan
kepalang. Mukanya menjadi merah menyala dan giginya gemeretak. Selama
hidup ia belum pernah dihinakan orang sampai sedemikian, apalagi di
hadapan Demang dan Baureksa. Maka ia tidak mau lagi berbicara, tetapi ia
ingin menyobek mulut Mahesa Jenar yang sudah menghinanya itu. Dengan
gerak yang cepat ia meloncat dan kedua tangannya menerkam wajah Mahesa
Jenar.Orang-orang yang menyaksikan gerak Gagak Ijo itu menjadi
tergoncang hatinya. Mereka telah berpuluh kali melihat ketangkasan Gagak
Ijo, tetapi kali ini gerakannya adalah diluar dugaan. Hal ini terdorong
oleh kemarahannya yang meluap-luap, sehingga semua orang yang
menyaksikan menahan nafas sambil berdebar-debar.
Tetapi gerakan ini bagi Mahesa Jenar
adalah gerakan yang sangat sederhana. Bahkan mirip dengan gerak yang
tanpa memperhitungkan kemungkinan yang ada pada lawannya. Untuk
menghindari serangan ini Mahesa Jenar tidak perlu banyak membuang
tenaga. Hanya dengan sedikit mengisarkan tubuhnya dengan menarik sebelah
kakinya, Mahesa Jenar telah dapat menghindari terkaman Gagak Ijo itu.
Dengan demikian, karena dorongan kekuatannya sendiri Gagak Ijo menjadi
kehilangan keseimbangan. Dalam keadaan yang demikian, sebenarnya Mahesa
Jenar dengan mudahnya dapat membalas serangan itu dengan suatu pukulan
yang dapat mematahkan tengkuk Gagak Ijo. Tetapi Mahesa Jenar tahu, kalau
dengan demikian akibatnya akan hebat sekali. Karena itu, ia hanya
menyerang Gagak Ijo dengan sentuhan jarinya, untuk mendorong punggung
Gagak Ijo dengan arah yang sama. Gagak Ijo yang memang sudah kehilangan
keseimbangan, segera jatuh tertelungkup mencium tanah.
Mereka yang berdiri mengitari arena
pertarungan itu, mula-mula mengira bahwa akan hancurlah muka orang asing
itu diremas oleh Gagak Ijo. Tetapi ketika mereka menyaksikan kenyataan
itu, menjadi sangat terkejut dan heran. Gagak Ijo itu sendiri malahan
yang mencium tanah. Banyak diantara mereka tidak dapat melihat apa yang
sudah terjadi.
Tetapi dengan demikian Mahesa Jenar
tambah berhati-hati, sebab ia tahu bahwa apa yang dilakukan Gagak Ijo
adalah diluar kesadarannya, karena terdorong oleh kemarahannya yang
memuncak. Sehingga dalam tindakan selanjutnya, pastilah Gagak Ijo akan
memperbaiki kesalahannya.
Gagak Ijo sendiri kemudian merasa bahwa
tindakannya kurang diperhitungkan lebih dahulu. Ia baru sadar ketika
hidungnya sudah menyentuh tanah, dan sebentar kemudian seluruh mukanya.
Peristiwa ini adalah memalukan sekali. Tokoh seperti Gagak Ijo dengan
bulat-bulat terbanting di atas tanah tanpa dapat berbuat sesuatu untuk
menahannya. Karena itu ia menjadi semakin marah. Hatinya menjadi seperti
terbakar dan matanya merah menyala-nyala. Seluruh tubuhnya menggigil
seperti orang kedinginan.
Tetapi setelah mengalami kejadian
tersebut, ia tidak berani menyerang dengan membabi buta. Karena itu,
ketika ia mulai menyerang lagi, ia berbuat lebih hati-hati. Dengan
kecepatan yang tinggi, ia menyerang dengan kakinya ke arah perut Mahesa
Jenar. Tetapi dengan cepat pula serangan ini dapat dihindari, dan
sebelum Gagak Ijo dapat berdiri tegak kembali, Mahesa Jenar telah
membalas menyerang dadanya. Tetapi Gagak Ijo cukup waspada. Ia membuat
gerakan setengah lingkaran ke belakang untuk menghindari serangan Mahesa
Jenar. Bersamaan dengan itu, kakinya menyambar tangan Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar cepat-cepat menarik serangannya, dan secepat itu pula
tangannya yang lain menyentuh kaki Gagak Ijo itu ke atas. Sekali lagi
Gagak Ijo kehilangan keseimbangan, dan kali ini ia jatuh terlentang.
Dengan gugup Gagak Ijo berguling dan kemudian berusaha tegak kembali.
Sementara itu Mahesa Jenar telah jemu dengan permainan ini. Ia ingin
segera mengakhirinya. Maka ketika Gagak Ijo hampir berhasil menegakkan
dirinya, seperti sambaran kilat telapak tangan Mahesa Jenar melekat di
dada Gagak Ijo. Meskipun Mahesa Jenar hanya mempergunakan tenaga dorong
yang tidak seberapa, tetapi akibatnya hebat sekali. Nafas Gagak Ijo
mendadak serasa berhenti, dan pandangannya menjadi kuning
berkunang-kunang. Meskipun dengan susah payah, ia mencoba untuk menahan
diri, tetapi perlahan-lahan ia terjatuh kembali. Ia terduduk di tanah
dengan nafas tersenggal-senggal, sedangkan kedua tangannya berusaha
untuk menahan berat badannya.
Orang-orang yang melihat pertandingan itu
berdiri tanpa berkedip. Gagak Ijo termasuk orang yang dikagumi di desa
itu. Tetapi Mahesa Jenar dengan mudahnya dapat menjatuhkannya. Ilmu
macam apakah yang dimilikinya?
Belum lagi mereka sempat berpikir lebih
banyak, mereka dikejutkan oleh gertak Baureksa yang gemuruh seperti
membelah langit. Ketika ia menyaksikan Gagak Ijo, orang kepercayaannya
dipermainkan orang asing itu, hatinya menjadi panas. Meskipun di antara
kemarahannya itu terselip pula perasaan was-was. Ternyata orang yang
dianggapnya barang mainan itu, adalah barang mainan yang mahal.
Itulah sebabnya maka sebelum mengadu
tenaga, Baureksa akan berusaha untuk mengurangi kegesitan lawannya
dengan melukainya lebih dahulu. Cambuknya yang besar dan panjang dengan
potongan-potongan besi, batu dan tulang-tulang itu diputarnya di atas
kepala sampai menimbulkan suara berdesing-desing. Mahesa Jenar kini
harus benar-benar waspada. Suara yang berdesing-desing itu
sedikit-banyak dapat menunjukkan kira-kira sampai di mana kekuatan
Baureksa. Hanya apakah Baureksa dapat mempergunakan kekuatan serta
tenaganya dengan baik, itulah yang masih perlu diuji.
Orang-orang yang menyaksikan menjadi
semakin berdebar-debar. Apalagi ketika mereka melihat Baureksa akan
mempergunakan senjatanya, maka menurut pikiran mereka, sedikit
kemungkinannya Mahesa Jenar dapat menyelamatkan diri.
Cambuk Baureksa yang berputar-putar itu,
cepat sekali menyambar leher Mahesa Jenar, tetapi secepat itu pula
Mahesa Jenar membungkuk menghindari, sehingga cambuk itu tidak mengenai
sasarannya. Baureksa yang merasa serangannya gagal menjadi semakin
marah. Dengan cepat ia mengubah arah cambuknya dan dengan mendatar ia
menyerang arah dada. Mahesa Jenar sadar bahwa dalam jarak yang agak jauh
sulit baginya untuk menghindari serangan-serangan cambuk Baureksa yang
cukup cepat dan keras. Karena itu sebelum cambuk Baureksa sempat
mengenainya, Mahesa Jenar dengan gerakan kilat meloncat maju, dekat
sekali di samping Baureksa, dan menggempur tangan Baureksa yang memegang
senjata itu. Gempuran itu terasa hebat sekali dan tak terduga-duga.
Terasa tulang-tulang Baureksa gemertak. Perasaan sakit serta panas
menyengat-nyengat, tidak hanya pada bagian yang terkena, tetapi
seakan-akan menjalar sampai ke ubun-ubun. Cambuknya segera terlepas dan
melontar jauh. Baureksa sama sekali tidak mengira bahwa hal yang semacam
itu bisa terjadi. Karena itu sama sekali ia tak dapat memberikan
perlawanan, dan membiarkan cambuknya terlontar.

Dengan sekuat tenaga ia menyembunyikan
rasa sakitnya, sehingga Mahesa Jenar tak dapat mengukur akibat
gempurannya dengan pasti. Baureksa cepat-cepat menarik diri untuk segera
bersiap-siap menyerang, sedangkan Mahesa Jenar pun telah bersiap pula
menghadapi segala kemungkinan. Kembali Baureksa menyerang lawannya ke
dua arah sekaligus. Tangan kanannya menyodok perut, sedangkan tangan
kirinya menghantam pelipis. Mendapat serangan ini Mahesa Jenar segera
merendahkan diri serta memutar tubuh. Tetapi ketika Baureksa melihat
bahwa Mahesa Jenar mencoba menghindar, segera Baureksa mengubah arah
serangannya. Cepat-cepat ia menarik tangannya dan dengan satu gerakan
dahsyat ia meloncat dan menendang kepala lawannya. Mahesa Jenar tidak
menduga bahwa Baureksa dapat meloncat secepat itu. Karena itu ia tidak
lagi sempat mengelak. Sebenarnya Mahesa Jenar masih akan menghindari
bentrokan-bentrokan secara langsung, sebab sampai sekian ia masih belum
dapat menjajagi sampai di mana kekuatan Baureksa yang sebenarnya. Tetapi
kali ini, ia harus melawan serangan kaki Baureksa itu. Maka untuk tidak
mengalami hal-hal yang tidak dikehendaki atas dirinya, terpaksa Mahesa
Jenar mempergunakan sebagian besar dari tenaganya yang dipusatkan pada
siku tangan kanannya. Ia merendah sedikit sambil memiringkan tubuhnya.
Maka, terjadilah suatu benturan yang hebat antara kaki Baureksa dengan
siku tangan Mahesa Jenar. Akibatnya hebat pula. Baureksa ternyata telah
mengerahkan seluruh tenaganya, dan ketika ia melihat bahwa Mahesa Jenar
tidak sempat mengelakkan serangannya, ia sudah memastikan bahwa orang
asing itu akan terpelanting dan tidak akan dapat bangun kembali.
Tetapi dugaan itu ternyata meleset sama
sekali. Ketika kaki Baureksa yang sudah mengerahkan seluruh tenaganya
itu menyentuh siku tangan Mahesa Jenar, Baureksa merasa bahwa kakinya
seolah-olah menghantam dinding batu yang keras sekali. Dan kini
tulang-tulang kakinyalah yang bergemeretakan, sedangkan ia terpental
oleh kekuatannya sendiri dan dengan kerasnya terbanting di tanah,
sehingga tidak sadarkan diri.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa
itu, serentak hatinya bergetar, sampai beberapa orang menggigil karena
tegang. Beberapa orang tidak dapat mengikuti dengan pandangan matanya
tentang apa yang terjadi. Yang mereka ketahui hanyalah Baureksa
terbanting di tanah hingga pingsan.
Demang Pananggalan, demikian nama Demang
tua itu, hatinya menjadi cemas menyaksikan pertempuran itu. Sebab kalau
sampai terjadi sesuatu hal, dia lah yang harus bertanggungjawab.
Cepat-cepat ia mendekati Baureksa yang
sedang pingsan. Dirabanya seluruh tubuhnya. Ia menjadi terkejut sekali
ketika tangannya meraba kaki Baureksa yang membentur siku Mahesa Jenar.
Kaki itu terasa dingin sekali dan di beberapa bagian terasa adanya luka
dalam yang berbahaya bila tidak lekas-lekas mendapat pertolongan.
Orang-orang yang berkerumun menjadi terdiam seperti patung. Mereka tidak
tahu lagi bagaimana harus menilai kehebatan orang asing itu, yang
dengan bermain-main saja telah dapat mengalahkan Gagak Ijo dan kemudian
sekaligus Baureksa.
Demang Penanggalan yang cemas atas
keadaan Baurekso segera memanggil orang untuk memanggil Ki Asem Gede,
seorang tua yang pandai mengobati segala macam penyakit, termasuk
luka-luka dalam yang timbul karena benturan-benturan semacam itu. Di
dalam hati ia mengagumi kehebatan orang asing itu yang dapat melukai
lawannya, sedemikian hebatnya hanya dengan pertahanan. Bagaimana kalau
ia sengaja menyerang dan sengaja menghantam lawannya.
Adapun Mahesa Jenar sendiri ketika
melihat akibat dari benturan yang terjadi, menjadi agak menyesal juga,
bahwa ia telah mempergunakan terlalu banyak tenaganya sehingga Baurekso
menjadi pingsan. Perlahan-lahan ia memandangi orang-orang yang berdiri
di sekelilingnya dengan sikap waspada. Sebab, bermacam-macam kemungkinan
dapat terjadi dengan jatuhnya Baurekso.
———-oOo———-
II
SEMENTARA itu Baureksa dan Gagak Ijo telah diangkat orang ke dalam
sambil menunggu Ki Asem Gede. Kini perhatian orang seluruhnya tertumpah
kepada Mahesa Jenar yang masih belum bergeser dari tempatnya. Hanya
sebentar mereka melirik juga kepada Demang Pananggalan, sambil
bertanya-tanya di dalam hati, apakah seterusnya yang akan diperbuat oleh
demang tua itu? Sebenarnya pada saat itu Demang Pananggalan telah
mengambil keputusan untuk mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke rumah
kademangan dan memberikan keterangan-keterangan. Tetapi segera keadaan
menjadi tegang kembali ketika seseorang dengan langkah yang tegap dan
tenang memasuki gelanggang.
“Kakang Demang,” kata orang itu dengan nada yang berat berwibawa, “perkenankanlah aku memperkenalkan diri terhadap orang asing ini.”
Alangkah terkejutnya Demang Pananggalan
melihat orang itu memasuki gelanggang. Ia menjadi kebingungan, sebab
sama sekali ia tidak menduga bahwa persoalannya akan berlarut-larut.
Orang itu adalah pemimpin pasukan yang menangkap Mahesa Jenar tadi, dan
ia adalah adik kandung demang tua itu. Beberapa kali adik kandungnya
yang bernama Mantingan itu menyatakan ketidaksenangannya atas sikap
Baureksa yang sering adigang-adigung-adiguna. Dan mendadak ia ingin membelanya. Melihat kebingungan dan keragu-raguan Demang Pananggalan, Mantingan menyambung, “Aku
tidak akan membela seseorang, Kakang. Tetapi aku tidak mau orang lain
menyangka betapa lemahnya kademangan ini. Kami tidak tahu siapakah orang
asing itu. Syukurlah kalau ia bermaksud baik, tetapi kalau orang itu
ingin menjajagi kekuatan kita, alangkah berbahayanya. Sedangkan
keterangan yang diberikan bukanlah berarti suatu kebenaran yang harus
kita percaya demikian saja.”
“Tetapi maksudku bukan kau, Mantingan,”
kata demang itu tergagap. Sebab ia tahu bahwa adiknya adalah orang yang
berilmu. Ia adalah orang yang lebih hebat daripada dirinya sendiri. Ia
adalah murid kedua Ki Ageng Supit di Wanakerta.
Mantingan adalah seorang dalang yang
secara kebetulan sedang mengunjungi kampung halamannya, yang baru saja
didatangi oleh gerombolan yang menculik gadis-gadis. Dan Mantingan
diminta untuk sementara tetap tinggal, kalau ada kemungkinan gerombolan
penculik itu datang kembali.
Tetapi saat itu Mantingan seperti tidak
mendengar kata-kata kakaknya. Ia segera menyerahkan trisulanya kepada
orang terdekat yang dengan gugup menerima senjata itu tanpa kesadaran.
“Ki Sanak,” kata Mantingan kepada Mahesa Jenar dengan sopan, “aku
belum pernah bertemu dengan kau sebelumnya dan juga belum pernah
mempunyai suatu persoalan apapun. Tetapi tadi kau telah mempertunjukkan
ketangkasan dan ketangguhanmu. Maka perkenankanlah aku sekarang mencoba
untuk melayanimu dengan sedikit pengetahuan yang aku miliki.”
Mahesa Jenar sibuk menduga-duga dalam
hati. Orang ini sikapnya agak berbeda dengan orang lain yang berada di
situ. Menilik sikapnya, sudah seharusnya kalau Mahesa Jenar lebih
berhati-hati melawannya.
“Dan sekarang,” sambung Mantingan, “awaslah… aku mulai.”
Dan sesudah itu, benar-benar ia mulai
menyerang. Langkahnya tetap ringan. Ia membuka serangannya dengan kaki,
sedangkan kedua tangannya bersilang melindungi dada.
Melihat serangan ini, Mahesa Jenar
terkejut. Ia kenal gerakan pembukaan ini. Ketika orang itu dipanggil
namanya, sama sekali ia tidak menduga bahwa orang itu pulalah yang
berdiri di hadapannya. Bahkan sedang mengadu tenaga dengan dirinya. Ia
adalah Dalang Mantingan dari Wanakerta, murid Ki Ageng Supit. Ia sering
mendengar nama itu. Bahkan pernah tersebar khabar di Demak bahwa Dalang
Mantingan seorang diri dapat menangkap tiga saudara perampok dari
Jarakah, di kaki Gunung Merapi, yang dikenal dengan satu nama: Samber
Nyawa. Gerak pembukaan ini jelas berasal dari Ki Ageng Supit, yang
meskipun belum setaraf dengan gurunya tetapi Ki Ageng Supit juga
mempunyai nama yang dikagumi pula.
Tetapi Mahesa Jenar tidak sempat berpikir
banyak. Sebab ia segera sibuk melayani lawannya, yang bergerak
menyambar-nyambar dengan gerakan-gerakan yang cukup tangguh. Akhirnya
Mahesa Jenar tidak dapat hanya bersikap mengelak dan menghindar saja. Ia
tidak bisa hanya bersikap mempertahankan diri saja. Untuk mengurangi
kebebasan gerak lawannya, ia harus ganti menyerang.
Serangan Ki Dalang Mantingan semakin lama
menjadi semakin hebat pula. Tangannya bergerak-gerak dengan cepat
dibarengi gerak kakinya yang ringan cekatan. Sekali tangan Mantingan itu
sudah berubah menyambar kening. Tetapi Mahesa Jenar adalah bekas
prajurit pengawal raja, dan ia adalah murid Pangeran Handayaningrat yang
juga disebut Ki Ageng Pengging Sepuh.
Untuk melawan Mantingan, sengaja Mahesa
Jenar mempergunakan tanda-tanda khusus dari perguruannya, sebab jelas
bahwa perguruannya mempunyai beberapa persamaan dengan gerak-gerak yang
dilakukan oleh Mantingan.
Segera Mantingan pun dapat pula mengenal
tata berkelahi Mahesa Jenar yang juga seperti ilmunya sendiri, mempunyai
sumber yang sama. Yaitu peninggalan almarhum Bra Tanjung, yang diwarisi
oleh Raden Alit yang sedikit bercampur dengan gerak-gerak penyerangan
yang mantap dari Lembu Amisani. Tetapi yang ia tidak tahu dari manakah
Mahesa Jenar mempelajari tata berkelahi itu, yang memiliki banyak
perubahan dan penyempurnaan-penyempurnaan dengan gabungan-gabungan yang
tepat dan berbahaya.
Itulah sebabnya Mantingan harus berhati-hati benar dan memeras segala kepandaiannya untuk memenangkan pertandingan ini.
Maka, ketika Mantingan berhasrat untuk
cepat-cepat mengakhiri pertandingan ini, ia memusatkan segala tenaga dan
pikiran untuk kemudian sebagai angin ribut melanda lawannya.
“Hebat …!” pikir Mahesa Jenar ketika ia
menerima serangan bertubi-tubi dari Mantingan. “Memang perguruan
Wanakerta memiliki keistimewaan yang tak dapat diabaikan.”
Kemudian terpaksa ia membuat beberapa
langkah surut. Tetapi Ki Dalang Mantingan tidak menyia-nyiakan tiap
kesempatan. Cepat ia maju dengan melancarkan gempuran-gempuran hebat.
Rupa-rupanya Ki Dalang Mantingan menjadi
agak gusar ketika serangan serangannya tidak segera dapat mengenai
lawannya, bahkan lawannya itu dapat pula mendesaknya. Karena itu
gerakan-gerakan serta serangan-serangannya menjadi bersungguh-sungguh.
Ia tidak mau mengorbankan namanya seperti Gagak Ijo dan Baureksa.
Demang Panggalan menjadi semakin cemas
dan bingung. Ia tidak menghendaki orang asing yang belum diketahuinya
benar-benar asal-usulnya itu mendapat cedera, sebab tidak mungkin ia
berdiri sendiri. Apalagi kalau benar-benar ia orang Istana Demak. Tetapi
disamping itu, Demang Pananggalan sangat sayang kepada adiknya, dan ia
sama sekali tidak rela kalau adiknya mengalami hal-hal yang tidak
diharapkan, baik tubuhnya maupun namanya.
Sementara itu pertarungan menjadi semakin
sengit. Serangan-serangan Mantingan menjadi semakin dahsyat dan ia
sudah hampir kehilangan pengamatan diri sehingga geraknya tak terkekang
lagi.
Ketika serangannya yang dilancarkan
dengan kedua tangannya sekaligus mengarah ke sasaran yang berbeda dapat
dihindari oleh Mahesa Jenar, cepat ia mengubah serangan itu dengan
serangan berikutnya, dengan kaki yang mengarah ke perut Mahesa Jenar.
Melihat perubahan itu Mahesa Jenar terpaksa meloncat mundur. Tetapi
Mantingan rupa-rupanya sudah bertekad untuk memenangkan pertempuran itu
dengan segera. Maka, demikian Mahesa Jenar meloncat mundur, disusulnya
pula dengan kaki yang lain setelah ia memutarkan tubuhnya setengah
lingkaran atas kaki yang pertama. Rupa-rupanya Mahesa Jenar sama sekali
tidak menduga bahwa serangan-serangan Mantingan akan sedemikian
bertubi-tubi datangnya, sehingga terasalah tumit Mantingan mengenai
pinggangnya.
Gempuran ini demikian hebat sehingga
tubuh Mahesa Jenar bergetar dan hampir saja ia kehilangan keseimbangan.
Meskipun tubuh Mahesa Jenar sudah cukup terlatih serta mempunyai daya
tahan yang kuat, namun terasa juga bahwa tumit yang mengenai pinggangnya
itu menimbulkan rasa sakit.
Kena tendangan ini, hati Mahesa Jenar
menjadi agak panas juga. Karena itu ia berketetapan hati untuk melayani
Ki Demang Mantingan dengan lebih bersungguh-sungguh lagi. Maka segera
geraknya berubah menjadi semakin cepat dan keras. Ia membalas setiap
serangan dengan serangan pula. Dan ia sama sekali tidak mau tubuhnya
disakiti oleh lawannya lagi.
Ki Dalang Mantingan terkejut melihat
perubahan tendangan lawannya. Maka segera ia sadar bahwa orang yang
dilawannya itu berilmu tinggi. Tetapi segala sesuatunya telah terlanjur.
Satu-satunya kemungkinan baginya adalah, lawannya menghendaki
pertempuran itu akan berlangsung mati-matian.
Dan memang sebenarnyalah demikian.
Serangan-serangan Mahesa Jenar berikutnya
datang bertubi-tubi seperti ombak yang bergulung-gulung menghantam
pantai. Bagaimanapun kukuhnya batu-batu karang tebing, namun akhirnya
segumpal demi segumpal berguguran jatuh juga ke laut.
Dalang Mantingan mengeluh di dalam hati.
Sebagai seorang yang telah banyak mempunyai pengalaman, ia merasa bahwa lawannya memiliki kepandaian yang lebih tinggi.
Dan yang kemudian terjadi adalah, Ki
Dalang Mantingan mulai tampak terdesak. Bagaimanapun ia berusaha, kini
ia terpaksa untuk bertahan saja. Ia sama sekali tidak berkesempatan
untuk menyerang. Bahkan beberapa kali ia telah dapat dikenai oleh
lawannya, meskipun tidak di tempat-tempat yang berbahaya. Tubuh
Mantingan terasa nyeri sekali.
Tetapi, meskipun demikian ia bukanlah Mantingan kalau sampai ia menyerah.
Sementara itu, Demang Pananggalan semakin
kebingungan. Ia segera melihat kesulitan adiknya. Bagaimanapun, ia
mempunyai perasaan tidak rela melihat hal yang demikian itu berlangsung.
Mantingan yang dibangga-banggakan seluruh penduduk Kademangan, sekarang
akan dikalahkan oleh orang asing di hadapan penduduknya sendiri. Karena
itu hampir di luar sadarnya ia meloncat maju. Meskipun umurnya sudah
lanjut dan tidak sekuat Mantingan, namun karena pengalamannya maka
Demang tua ini nampaknya berbahaya juga. Langsung ia menyerang Mahesa
Jenar dengan gerakan-gerakan yang tak terduga-duga untuk mengurangi
tekanannya pada Mantingan.
Maka segera Mahesa Jenar menjadi sibuk berpikir, apakah maksud yang sebenarnya dari Demang tua ini.
Penduduk yang mengitari pertarungan itu
dengan asyiknya menyaksikan gerak masing-masing dengan keheran-heranan,
sebagai suatu hal yang belum pernah dilihat sebelumnya. Mendadak mereka
terkejut sekali melihat Demang terjun langsung ke arena. Mereka serentak
merasa bangun dari sebuah mimpi yang dahsyat. Dalam hal yang demikian,
bagaimanapun hebatnya lawan, mereka merasa wajib membela pemimpin mereka
meskipun harus menyerahkan nyawanya.
Serentak mereka menggenggam senjata
masing-masing makin erat. Sedangkan beberapa orang yang berdiri di baris
paling depan sudah mulai bergerak.
Mahesa Jenar segera melihat kesulitan
yang bakal datang. Karena itu ia semakin waspada. Ia mulai menghimpun
kekuatan-kekuatannya untuk membuat gempuran-gempuran terakhir, meskipun
hal itu dilakukan dengan berat hati. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa
ia harus terlibat dalam masalah yang sama sekali tak diketahui
sebab-sebabnya. Tetapi bagaimanapun, ia tidak mau dijadikan
bulan-bulanan dari peristiwa-peristiwa yang tak diketahui ujung-
pangkalnya itu.
Tiba-tiba ketika keadaan sudah sedemikian memuncaknya, halaman itu digetarkan oleh sebuah teriakan nyaring.
“Adi Pananggalan dan Adi Mantingan, apa yang terjadi?”
Teriakan yang dilontarkan sepenuh tenaga
itu bergetar memenuhi halaman Kademangan, sehingga semuanya terkejut
karenanya. Dan pertarungan itu pun segera terhenti.
Ternyata yang berteriak itu adalah Ki Asem Gede, yang datang untuk mengobati Baureksa dan Gagak Ijo.
“Apa yang terjadi …?” ulangnya.
Perlahan-lahan matanya memandang berkeliling, ke wajah-wajah yang
berdiri di sekitar halaman itu, kemudian dipandanginya wajah Mantingan
dan Demang Pananggalan dengan matanya yang bening, sehingga membawa
pengaruh yang sejuk. Alangkah damainya hati seorang yang mempunyai wajah
dan mata yang begitu lunak. Umurnya sudah lanjut, dan hampir seluruh
rambutnya sudah putih. Ia berjalan perlahan mendekati Mahesa Jenar. Lalu
membungkuk dengan hormatnya. “Anakmas, apa yang terjadi?” tanyanya, dan kemudian ia menoleh kepada Demang Pananggalan dan Ki Dalang Mantingan, “Apa yang terjadi?” ulangnya kembali.
Demang Pananggalan merasa sulit untuk
memberi jawaban. Memang ia sendiri bertanya kepada dirinya, kenapa ini
sampai terjadi? Ketika Pananggalan tidak segera menjawab, Ki Asem Gede
kembali memandang kepada Mahesa Jenar. Matanya hampir tiada berkedip,
seakan-akan ia masih belum yakin kepada penglihatannya.
Ketika ia memasuki halaman itu, dan
melihat pertarungan yang sengit, hatinya tersirap. Ia pernah melihat
orang yang bertempur melawan Demang Pananggalan kakak-beradik.
Ia merasa pernah bertemu dengan orang itu
di Demak, ketika ia bersama-sama dengan kakaknya, yang juga seorang
ahli obat-obatan, memenuhi panggilan Panji Danapati, untuk mengobati
anaknya yang sakit.
“Anakmas…” katanya kemudian, “bolehkah aku ini, orang tua yang tak berharga menanyakan sesuatu kepada anakmas?”
Melihat wajah orang tua itu, hati Mahesa
Jenar menjadi lunak seketika, bahkan ia agak malu kepada diri sendiri
yang masih sedemikian mudahnya terbakar oleh nafsu.
“Silahkan, Bapak…” jawabnya. “Apakah kiranya yang ingin Bapak ketahui?”
“Maafkanlah orang tua ini,” kata orang tua itu selanjutnya sambil menatap Mahesa Jenar dengan penuh perhatian. “Maafkan aku, kalau aku berani mengatakan bahwa aku pernah bertemu dengan Anakmas di Demak.”
Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar
mengerutkan keningnya. Ia mulai mengingat-ingat, apakah ia benar-benar
pernah bertemu dengan orang itu.
“Aku pernah datang ke Demak,” sambung Ki Asem Gede, “bersama-sama
dengan kakakku, untuk mencoba menyembuhkan sakit putera Panji Danapati,
salah seorang perwira dari perajurit pengawal raja.”
Mendengar kata-kata Ki Asem Gede,
tiba-tiba Mahesa Jenar jadi teringat pertemuannya dengan orang tua itu.
Pada saat itu ia sedang berkunjung ke rumah kawan sepasukan yang pada
saat yang bersamaan sedang memanggil dua orang tua untuk mengobati
anaknya yang sedang sakit. Dan ia jadi teringat, bahwa salah seorang
dari kedua orang itu, adalah yang sekarang berdiri di hadapannya.
“Di sana…” Ki Asem Gede melanjutkan, “aku bertemu pula dengan seorang perwira lain, kawan Panji Danapati itu. Kenalkah Anakmas dengan Panji Danapati?”
Mahesa Jenar agak ragu, tetapi perlahan-lahan ia mengangguk juga.
“Nah…” kata orang tua itu pula, “kalau begitu aku tidak salah lagi, Anakmaslah yang aku jumpai di ndalem Danapaten. Benarkah?”
Mahesa Jenar masih saja ragu-ragu.
Sebenarnya ia ingin melupakan saja apa yang pernah terjadi. Meskipun
sebenarnya ia masih ingin mengabdikan diri kepada negerinya, tetapi
dengan terbunuhnya Ki Kebo Kenanga, saudara seperguruannya, lebih baik
ia menyingkirkan diri, dan mencari cara pengabdian yang lain.
Juga penegasan tentang dirinya akan
mempermudah setiap usaha untuk menangkapnya, apabila ia dianggap
berbahaya seperti Ki Kebo Kenanga. Ia tidak ingin kalau sampai terjadi
bentrokan dengan orang-orang yang sedang menjalankan kewajibannya,
serta,kawan-kawan seperjuangannya dahulu. Maka lebih baik baginya untuk
menjauhkan diri saja dari setiap kemungkinan itu.
Tetapi sekarang ia tidak dapat mengingkari pertanyaan orang tua itu. Karena itu, kembali Mahesa Jenar mengangguk lemah.
Oleh anggukan itu, tiba-tiba Ki Asem Gede
membungkuk lebih hormat lagi dan dengan suaranya yang lembut ia
berkata, “Kalau begitu Anakmas ini adalah tuanku Rangga Tohjaya.”
Perkataan Ki Asem Gede itu seperti petir
datang menyambar telinga Ki Dalang Mantingan serta Demang Pananggalan.
Ia pernah mendengar nama itu, bahkan nama itu terlalu besar untuk
disebut-sebut sebagai seorang pahlawan yang sudah mengamankan Demak dari
gangguan-gangguan kejahatan.
Mahesa Jenar sendiri agak terkejut juga
mendengar nama itu disebutkan. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain
daripada mengiyakan. Sebab Ki Asem Gede itu pasti pernah mendengarnya
dari Panji Danapati, bahwa ia sebagai seorang perwira pengawal raja,
disamping namanya sendiri mendapat gelar Rangga Tohjaya.
Demang Pananggalan dan Ki Demang
Mantingan masih berdiri termangu-mangu. Mereka masih belum yakin benar
akan kata-kata Ki Asem Gede, sampai Ki Asem Gede menyapanya. “Adi Pananggalan dan Adi Mantingan, belumkah adi berdua pernah mendengar nama itu?”
Mereka berdua tersadar oleh sapa itu. Dengan hati-hati Demang Pananggalan mencoba bertanya, “Ki
Asem Gede, aku memang pernah mendengar gelar itu serta kebesarannya,
tetapi aku belum mengenal wajahnya, karena aku orang yang picik dan sama
sekali tak berarti. Tetapi perkenankanlah aku bertanya bahwa beliau
tadi berkenan menyebut gelarnya dengan Mahesa Jenar …?”
Ki Asem Gede tertawa lirih. “Benar Adi berdua, Mahesa Jenar adalah namanya, sedang gelarnya sebagai seorang prajurit adalah Rangga Tohdjaja.”
Hati Demang Pananggalan dan Dalang
Mantingan berdegup keras. Tetapi pandangan mata mereka masih mengandung
seribu macam pertanyaan, sehingga akhirnya Mahesa Jenar sendiri
mengambil keputusan untuk mengatakan keadaannya yang sebenarnya sebagai
suatu hal yang tak mungkin lagi diingkari. Katanya, “Bapak Demang
dan Kakang Mantingan, memang sebenarnyalah aku yang bernama Mahesa
Jenar, telah menerima anugerah nama sebagai seorang prajurit, Rangga
Tohjaya.”
Mendengar penjelasan itu detak jantung
Demang Pananggalan dan Dalang Mantingan serasa akan berhenti. Mereka
sama sekali tidak mengira bahwa mereka telah berhadap-hadapan dengan
seorang yang sakti. Untunglah bahwa segala sesuatunya belum terlanjur.
Kalau sampai terjadi Rangga Tohjaya mengeluarkan segala kesaktiannya
maka sulitlah bagi mereka semua untuk dapat keluar dari halaman itu
dengan masih bernafas.
Maka, seperti digerakkan oleh satu tenaga
penggerak, Dalang Mantingan dan Demang Pananggalan cepat-cepat
melangkah maju ke hadapan Mahesa Jenar, dan bersama-sama membungkuk
hormat. Dengan agak terputus-putus karena berbagai perasaan yang
berdesakan di dadanya, Demang Pananggalan berkata, “Kami mohon ampun
ke hadapan Anakmas Rangga Tohjaya, bahwa kami telah berbuat suatu
kesalahan yang besar sekali. Serta mengucapkan beribu-ribu terima kasih
atas kemurahan Anakmas yang tidak sekaligus menghabisi jiwa kami. Dan
sekarang kami menjerahkan diri untuk menerima segala hukuman yang
seharusnya kami jalani.”
Mahesa Jenar terharu juga melihat Demang
tua itu ketakutan. Sejak semula ia sudah menduga bahwa Demang tua itu
sama sekali tak bermaksud jahat kepadanya. Hanya karena perkembangan
keadaan saja maka semuanya itu terjadi. Bahkan mungkin di luar dugaan
Demang tua itu sendiri.
Maka berkatalah Mahesa Jenar, “Bapak
Demang Pananggalan dan Kakang Mantingan, tak ada sesuatu yang harus aku
maafkan. Yang sudah terjadi tak perlu disesali. Yang perlu, sekarang
silahkan Ki Asem Gede mengobati kedua orang-orangmu yang terluka. Tetapi
percayalah, aku sama sekali tidak bermaksud untuk melukainya
benar-benar.”
Kembali Demang Pananggalan dan Mantingan mengagguk hormat, lalu mereka mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke Kademangan.
Orang-orang yang berada di halaman
menyaksikan semuanya itu dengan keheran heranan. Mereka yang pernah
mendengar nama Rangga Tohjaya dan pernah mendengar kesaktiannya, segera
bercerita dengan suara yang berderai derai, seakan akan dengan mengenal
nama itu mereka sudah terhitung orang yang terkemuka dalam kalangan
kepahlawanan.
Sementara itu Ki Asem Gede sudah mulai
melakukan kewajibannya. Ternyata luka Gagak Ijo dan Baureksa tidak
ringan. Beberapa kali mereka tak sadarkan diri. Untung Ki Asem Gede
segera turun tangan. Kalau sampai terlambat satu malam saja, mungkin
mereka sudah tak tertolong lagi. Kecuali itu, ternyata Ki Dalang
Mantingan juga mengalami cedera. Beberapa bagian tubuhnya tidak bekerja
seperti biasa dan di beberapa bagian yang terkena serangan Mahesa Jenar
tampak membengkak dan kemerah-merahan. Untunglah, daya tahan tubuh
Mantingan cukup kuat sehingga Ki Asem Gede tidak perlu bekerja terlalu
keras untuk menolongnya.
Maka, ketika keadaan sudah agak reda, dan
Ki Asem Gede sudah tidak sibuk lagi, duduklah mereka di atas bale-bale
besar di pendapa Kademangan, mengelilingi lampu minyak yang nyalanya
bergoyang-goyang diayun-ayunkan angin. Di luar, gelap malam mulai turun
sebagai tabir raksasa berwarna hitam kelam. Sedangkan di langit satu
demi satu bintang mulai bercahaya menembus hitamnya malam.
Maka mulailah, mereka mulai berbicara dan
bercerita tentang diri masing-masing. Mahesa Jenar tidak lagi
menyembunyikan sesuatu. Diceritakannya seluruh masalah mengenai dirinya,
kenapa ia sampai meninggalkan Demak.
“Aku telah menanggalkan pakaian keprajuritan dan telah menyisihkan segala macam senjata”, katanya,
“dengan suatu keinginan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi
rupa-rupanya Tuhan sendiri belum berkenan, sehingga aku masih
dikendalikan oleh nafsu,”.
Semuanya yang mendengarkan
mengangguk-anggukan kepala, dan mereka merasa juga bersalah, sehingga
Mahesa Jenar terpaksa menyesali dirinya.
Sementara itu mulailah hidangan mengalir.
Demang Pananggalan yang merasa telah menyakiti hati Mahesa Jenar, ingin
sedikit mengurangi kesalahannya dengan menghidangkan apa yang mungkin
dihidangkan pada saat itu. Sedangkan Ki Asem Gede, kecuali seorang yang
bijaksana serta mempunyai ilmu obat-obatan, ternyata juga seorang yang
jenaka. Banyak hal yang dapat ia ceritakan tentang dirinya dengan lucu
sekali, sehingga suasana menjadi meriah dan akrab. Diceritakan,
bagaimana ia terpaksa sekali mengobati seorang yang sakit, hanya dengan
air saja, tanpa ramu-ramuan obat yang lain. Sebab, pada saat itu ia
sedang berada dalam perjalanan dan tak membawa obat-obatan yang
diperlukan.
“Tetapi” katanya, “tiga hari
kemudian orang itu datang kepadaku, dengan membawa empat ikan gurameh
sebesar penampi, sebagai ucapan terima kasih atas obat-obatku yang
mujarab,”
“Sebabnya,” sambung Ki Asem Gede, kenapa
obat-obatku banyak yang dapat berhasil, adalah sebagian besar dari
mereka yang aku obati mempunyai kepercayaan kepadaku. Bahwa seseorang
yang menderita sakit merasa berbesar hati, adalah merupakan obat yang
banyak menolongnya. Lebih daripada itu, semuanya adalah berkat kuasa
Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi..”, suara Ki Asem Gede terputus, sedang
mereka yang mendengarkan jadi bertanya-tanya dalam hati, kenapa
tiba-tiba saja wajah Ki Asem Gede yang cerah menjadi muram? Beberapa
kali ia menelan ludah, seperti ada sesuatu yang menyumbat
kerongkongannya.
“Tetapi…” ulang Mahesa Jenar yang ingin mendengar kelanjutan ceritera Ki Asem Gede itu.
“Ah tak apalah,” tukasnya. “Segala
sesuatu ada pengecualiannya. Sebagai seorang yang beratus bahkan beribu
kali menyembuhkan orang sakit, maka sekali-kali Tuhan tak
memperkenankan juga. Itu adalah suatu bukti akan kebesaran-Nya”
Mahesa Jenar maklum bahwa ada sesuatu yang tak mau ia sebutkan. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut.
“Nah… Anakmas…” sambung Ki Asem Gede kemudian, sambil berusaha untuk mengembalikan suasana, “kenapa
tidak saja Anakmas berceritera tentang apa yang Anakmas jumpai di
perjalanan. Tidakkah Anakmas menjumpai kejadian kejadian yang lucu,
misalnya, seperti yang terjadi di sini? Seorang seperti Adi Pananggalan
dan Adi Mantingan berlagak sebagai seorang sakti.” Mendengar
pertanyaan ini Mahesa Jenar tersenyum, demikian juga Demang Pananggalan
dan Dalang Mantingan, meskipun kalau teringat akan hal itu, hati mereka
masih tergetar.
Tetapi kemudian oleh pertanyaan ini,
Mahesa Jenar teringat akan keperluannya datang ke desa itu. Yaitu, ingin
mengetahui jawaban teka-teki tentang adanya kerangka yang dijumpainya
di puncak Gunung Ijo. Karena itu bertanyalah ia, “Ki Asem Gede,
Bapak Demang Pananggalan serta Kakang Mantingan. Memang sebenarnya ada
aku jumpai sesuatu dalam perjalananku yang ingin aku tanyakan. Itulah
sebabnya maka aku datang kemari.” Ketika Mahesa Jenar tampaknya bersungguh-sungguh, maka mereka yang mendengarkanpun menjadi bersungguh-sungguh pula.
“Di puncak Gunung Ijo,” sambung Mahesa Jenar, “aku
jumpai sesuatu yang mencurigakan. Alat-alat minum yang
berserak-serakan. Bekas unggun api. Dan yang paling mengherankan adalah
adanya batu-batu yang disusun sebagai suatu tempat untuk sesaji,
sedangkan di atasnya terdapat kerangka perempuan. Dan tidak jauh dari tempat itu, aku ketemukan pula kerangka yang lain. Juga seorang perempuan.”
Mendengar pertanyaan itu Demang
Pananggalan menundukkan muka dalam-dalam. Ki Asem Gede mengerutkan
dahinya yang sudah dipenuhi oleh garis-garis ketuaannya, sedangkan
Dalang Mantingan menarik nafas dalam-dalam. Melihat keadaan itu maka
makin nyatalah bagi Mahesa Jenar bahwa daerah ini pasti langsung
mengalami bencana yang bertalian dengan peristiwa Gunung Ijo.
“Anakmas…” jawab Ki Demang Pananggalan dengan suara yang dalam. “Akulah orangnya, kalau ada orang tua yang sama sekali tak berguna.” Ia berhenti sebentar menelan ludah, lalu sambungnya, “Apalagi
aku sebagai seorang Demang, yang seharusnya dapat memberikan
perlindungan kepada rakyatku. Tetapi nyatanya aku sama sekali tak mampu
berbuat demikian.” Kembali Demang tua itu berhenti berbicara.
Matanya memandang jauh menusuk gelapnya malam. Di halaman, beberapa
orang masih duduk berkelompok-kelompok sambil berceritera tentang
kehebatan pertarungan siang tadi.
Demang Pananggalan mengeser duduknya
sedikit. Matanya masih menembus gelap, seolah-olah ada yang dicarinya di
kegelapan itu. Tetapi rupa-rupanya ia ingin melanjutkan ceriteranya. Ki
Demang pun meneruskan ceritanya. “Ketika itu, di daerah ini lewat
serombongan orang-orang berkuda. Didesa ini mereka berhenti dan minta
untuk menginap barang semalam. Mereka memasuki desa ini menjelang senja.
Karena tak ada tanda-tanda yang aneh pada mereka, serta sikap
pimpinannya yang ramah maka kami tak dapat menolak permintaan itu.
Rombongan itu dipimpin oleh dua orang suami-isteri yang akan mengadakan
ziarah ke Gunung Baka. Tetapi ketika malam pertama telah lewat, mereka
minta untuk diperkenankan bermalam semalam lagi sambil melepaskan lelah
dan mengadakan persiapan-persiapan untuk sesaji. Permintaan ini pun tak dapat aku tolak.” Sekali lagi ia berhenti. Rupa-rupanya ia sedang mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Kemudian sambungny. “Tetapi
terkutuklah mereka. Terkutuklah rombongan orang-orang berkuda itu. Pada
malam kedua mereka menangkap seorang gadis yang sedang pergi ke sungai.
Gadis ini sempat menjerit, dan seorang yang baru pulang dari mengairi
sawahnya dapat menyaksikan peristiwa itu. Pengantar gadis itu, seorang
pemuda tanggung dipukulinya sampai pingsan. Maka ketika hal itu
disampaikan kepada kami, meledaklah amarah kami. Segera Banjar
Kademangan yang kami sediakan sebagai tempat penginapan mereka, kami
kepung rapat-rapat. Mereka segera kami ancam untuk menyerah. Tetapi yang
terjadi adalah diluar dugaan kami. Mereka sama sekali tidak
menghiraukan kehadiran kami, orang-orang hampir seluruh desa ini. Ketika
kami mendengar gadis itu menjerit, hati kami tak tahan lagi.
Cepat-cepat kami menyerbu masuk. Tetapi rupa-rupanya mereka telah siap
menanti kedatangan kami. Dan segera terjadilah pertempuran. Orang-orang
kami lebih banyak dikendalikan oleh kemarahan yang meluap-luap, daripada
kesediaan untuk bertempur. Apalagi rombongan berkuda itu ternyata
terdiri dari orang-orang yang tangguh. Maka lenyaplah segala kesan
keramah-tamahan mereka. Bahkan tampaklah betapa dahsyat cara mereka
menjatuhkan lawan. Beberapa saat pertempuran itu berlangsung dengan
dahsyatnya, tetapi segera tampak betapa lemahnya kami. Segera
orang-orang kami dapat dihantam dan dicerai-beraikan. Aku tidak lagi
dapat berpikir lain daripada bertempur mati-matian. Dan aku beserta
Baureksa dan Gagak Ijo sebagai orang-orang yang paling dapat dipercaya
pada waktu itu, berhasil menerobos masuk ke banjar, sehingga kami
bertiga langsung terlibat dalam perkelahian melawan suami-istri pemimpin
gerombolan itu. Mungkin terdorong oleh kemarahanku maka terasa
seolah-olah tenagaku menjadi berlipat-lipat. Si istri itu pun ternyata
mempunyai ilmu yang tinggi, ditambah lagi betapa kasarnya cara mereka
bertempur. Si Suami menerkam dan mengaum seperti harimau, sedangkan si
isteri menyerang dengan jari-jari yang dikembangkan. Wajah-wajah mereka
yang ramah itu sekarang sudah berubah menjadi wajah-wajah iblis yang
menakutkan. Tetapi aku sama sekali tidak peduli. Mungkin saat itu,
akupun berkelahi seperti iblis. Tetapi kemudian ternyata bahwa kami
bertiga bukanlah lawan mereka. Apalagi tenagaku adalah tenaga orang tua
yang sangat terbatas. Ketika nafasku sudah mulai mengganggu, segera aku
merasa terdesak, sedangkan serangan mereka semakin lama menjadi semakin
kasar.”
Demang tua itu menarik nafas sambil membetulkan duduknya, kemudian ia melanjutkan, “Saat
itu aku sudah berpikir bahwa rupa-rupanya ajalku sudah hampir tiba.
Sebab daya tahanku semakin lama menjadi semakin lemah. Apalagi Baureksa
dan Gagak Ijo sama sekali tak dapat berbuat sesuatu. Tetapi ternyata
Tuhan menghendaki lain. Rupa-rupanya salah seorang telah memberitahukan
kesulitan-kesulitan kami ini kepada Ki Asem Gede, yang pada saat yang
tepat datang menolong kami.”
Demang itu berhenti berceritera. Pandangan matanya yang suram itu dilemparkan kepada Ki Asem Gede. Lalu katanya, “Selanjutnya Ki Asem Gede-lah yang lebih mengetahuinya.”
Mahesa Jenar mendengarkan cerita Demang
tua itu dengan penuh perhatian. Terbayang betapa Demang tua itu telah
berusaha mati-matian untuk melindungi rakyatnya, sampai ia tidak
memikirkan nasibnya sendiri. Tetapi rupa-rupanya lawannya adalah orang
yang perkasa.
Ki Asem Gede yang diminta melanjutkan
cerita itu, berkisar sedikit. Dipandangnya pelita yang nyalanya
bergerak-gerak oleh angin yang berhembus ke pendapa. Ia batuk-batuk
sedikit, lalu mulailah ia bercerita. “Anakmas,” katanya,
“sebenarnya bukanlah pertolongan yang aku berikan, tetapi semata-mata
hanyalah karena kebetulan saja dan terutama atas kehendak Tuhan. Aku
bukanlah orang yang mempunyai kepandaian yang cukup untuk bertanding.
Kalau pada masa mudaku, sekali dua kali aku pernah terlibat dalam suatu
pertarungan, itu sama sekali bukan karena aku mampu melakukannya, tetapi
itu hanyalah karena kebodohan dan kesombonganku yang kosong saja.”
Diam-Diam Mahesa Jenar mengamati tubuh Ki
Asem Gede yang sudah tua itu. Kulitnya sudah melipat-lipat dan hampir
seluruh rambutnya, bahkan alisnya pun telah memutih seluruhnya. Namun
gerak-geriknya masih tampak tanda-tanda kelincahan. Ini menandakan bahwa
pada masa mudanya ia adalah seorang yang kuat. Bahkan mungkin sampai
saat ini pun ia masih memiliki kekuatan itu.
“Pada masa mudaku,” sambung Ki Asem Gede, “memang aku pernah berguru kepada seseorang yang dikenal dengan nama Ki Tambak Manyar.”
Mendengar nama itu disebut-sebut, Mahesa
Jenar terhenyak, sebab ia pernah mendengar nama itu dari almarhum
gurunya bahwa almarhum Ki Tambak Manyar adalah seorang prajurit
Majapahit yang tangguh. Karena itu, mau tidak mau ia harus memandang Ki
Asem Gede sebagai seorang yang berilmu, baik dalam obat-obatan maupun
ilmu tata berkelahi. Bahkan rupa-rupanya ia memiliki kecerdasan otak
yang tidak mengecewakan pula.
“Tetapi,” lanjut Ki Asem Gede, “sebagai
aku katakan tadi, aku tidak banyak mendapat kemajuan. Barangkali
tubuhku terlalu ringkih untuk melakukan hal-hal yang berat dan keras.
Karena itu Ki Tambak Manyar melatih aku dalam hal mempergunakan senjata
sebaik-baiknya. Baik jarak pendek maupun jarak jauh. Dan ini adalah
suatu keuntungan. Sebab ilmu ini dapat aku berikan kepada banyak orang
sekaligus meskipun tidak sedalam-dalamnya, kecuali hanya kepada satu-dua
orang saja. Terutama dalam hal mempergunakan bandil, panah, supit dan
sebagainya.” Orang tua itu berhenti sebentar dan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia melanjutkan, “Kepandaian
yang tak berarti itu ternyata berguna juga dalam suatu waktu, dimana
Adi Pananggalan hampir menjadi korban keganasan orang-orang berkuda itu.
Ketika aku datang, penduduk kademangan ini telah kehilangan
semangat dan hampir putus-asa. Sedangkan kalau sampai terjadi penduduk
daerah ini melarikan diri, akibatnya akan hebat sekali. Orang-orang
berkuda itu pasti akan melakukan tindakan-tindakan yang ganas dan kotor
lainnya. Karena itu, segala usaha untuk mengusir mereka itu harus
dijalankan. Pada saat itulah, maka aku mengumpulkan orang-orang yang
sudah ketakutan itu dan berusaha untuk membangkitkan semangatnya
kembali. Aku peringatkan kepada mereka bahwa sebaiknya kita melawan
orang-orang berkuda itu dari jarak jauh, sebab dengan mengadu kekuatan
sudah jelas bahwa kepandaian dan keperkasaan mereka jauh di atas kita.
Dengan jumlah yang banyak dan serangan-serangan jarak jauh, mungkin kita
akan berhasil mengacaukan mereka.
Maka, dengan mempergunakan senjata ini, lanjut Ki Asem Gede, rupa-rupanya
semangat mereka bangkit kembali. Dan sebentar kemudian, setelah segala
siasat ditentukan, mulailah kami menyerang orang-orang berkuda itu dari
jarak jauh dan dari segala jurusan. Orang-orang kami mempergunakan
panah, supit dan bandil. Sedang rupa-rupanya orang-orang berkuda itu
tidak bersiap untuk melakukan pertempuran jarak jauh, sehingga
berhasilah siasat kami untuk mengacaukan perhatian mereka. Apalagi kami
mempergunakan panah yang ujungnya kami balut dengan kain berminyak serta
kami nyalakan. Akhirnya pemimpin mereka suami isteri itu terpaksa
keluar dari Banjar dan akhirnya merekapun dapat kami usir pergi.
“Tetapi yang menyedihkan kami adalah,
Adi Demang Pananggalan, Baureksa dan Gagak Ijo, mengalami luka-luka
yang cukup berat, serta tidak sadarkan diri. Apalagi gadis yang
ditangkapnya itu. Ia mengalami ketakutan yang sangat sehingga akhirnya
ia memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan kesadarannya.” Kembali Ki Asem Gede berhenti. Ia membetulkan duduknya dan seolah-olah menunggu Mahesa Jenar meresapi kata-katanya.
Bagi Mahesa Jenar, persoalannya menjadi
semakin jelas. Bahwa pernah terjadi percobaan untuk menculik gadis di
daerah ini. Untunglah bahwa usaha itu dapat digagalkan. Tetapi meskipun
demikian, rupanya, di daerah ini rombongan itu berhasil mendapatkan
gadis-gadis untuk korban upacaranya yang aneh itu.
“Kemudian sesudah itu…” Ki Asem Gede melanjutkan lagi, “di
atas salah satu puncak pegunungan Baka, yaitu puncak Gunung Ijo, hampir
tiap malam terlihat api yang menyala-nyala. Kami kemudian hampir
memastikan bahwa rombongan orang-orang berkuda itu pergi ke sana. Kami
merasa bahwa rombongan itu adalah rombongan yang berbahaya, tetapi kami
tidak segera dapat memburunya sebab kami mengetahui kekuatannya. Meskipun
demikian kami memutuskan untuk pada suatu saat akan menyusul mereka.
Mengusir mereka atau kalau mungkin menghancurkan mereka sama sekali.
Akan tetapi beberapa waktu kemudian tidak lagi pernah nampak nyala api
di puncak Gunung Ijo. Dan sekarang Anakmas datang dengan membawa
penjelasan tentang apa yang kira-kira pernah terjadi di atas puncak
Gunung Ijo itu.” Cerita Ki Asem Gede diakhiri dengan suatu tarikan nafas yang panjang. Suatu tarikan nafas penjelasan.
Mahesa Jenar sekarang sudah pasti, bahwa
orang-orang berkuda itu adalah orang orang yang mempunyai kepercayaan
sesat. Memang pernah terdengar adanya suatu aliran kepercayaan yang
dalam upacaranya menggunakan gadis-gadis sebagai korban, disamping
pemanjaan nafsu-nafsu lahirlah yang lain. Minuman keras, makan dengan
suatu cara yang hampir dapat disebut buas, dan sebagainya.
Suasana kemudian menjadi sepi. Sedang
malam semakin lama semakin dalam. Mereka dihanyutkan oleh pikiran
masing-masing serta gambaran-gambaran yang mengerikan tentang apa yang
terjadi atas gadis-gadis yang dijadikan korban kepercayaan sesat semacam
itu.
Tetapi, dI bagian belakang rumah
Kademangan itu, tampak adanya suasana yang berbeda sama sekali. Beberapa
orang perempuan sedang sibuk mempersiapkan makan malam yang kali ini
berbeda dengan kebiasaan, karena adanya seorang tamu yang sangat mereka
hormati. Mereka telah menyembelih beberapa ekor ayam yang paling besar
yang dapat mereka tangkap. Mereka juga telah mengundang juru masak yang
paling terkenal di Kademangan itu. Sehingga tiba-tiba saja seolah-olah
Demang Pananggalan sedang melangsungkan suatu perhelatan.
Di pendapa Kademangan, Ki Asem Gede-lah
yang mula-mula mencoba memecahkan kesepian, dan berusaha untuk mengubah
suasana, melenyapkan ketegangan yang mencekam. Katanya, “Adi
Pananggalan, tidakkah Adi berhasrat menjamu Anakmas Mahesa Jenar?
Tentang ceritera orang-orang berkuda itu, baiklah kita simpan lebih
dahulu, sampai kesempatan lain. Aku kira Anakmas Mahesa Jenar perlu
melepaskan lelah setelah menempuh perjalanan yang jauh serta telah
meladeni Adi berdua bermain loncat-loncatan. Nah, Adi Pananggalan, aku
ada usul. Adi pasti setuju kalau gamelan Adi Pananggalan itu dibunyikan.”
Demang Pananggalan tersenyum mendengar
usul itu. Memang ia mempunyai seperangkat gamelan yang bagus, baik
bahannya maupun bunyinya.
Tentu saja Demang Pananggalan tidak dapat menolak usul itu. Maka, katanya kepada orang-orang yang berada di halaman, “Siapa yang di luar?”
“Aku, Bapak Demang,” jawab salah seorang diantaranya. Maka, sebentar kemudian orang itu berdiri dan melangkah naik ke pendapa.
“Berapa orang seluruhnya?” tanya Demang tua itu lebih lanjut.
“Enam atau tujuh orang, Bapak Demang,” jawab orang itu.
“Nah, aku kira telah cukup. Mari kita
bermain-main dengan gamelan. Ki Asem Gede ingin mengenang masa mudanya
sebagai seorang penggemar gending,” ajak Demang Pananggalan.
Ki Asem Gede tertawa terkekeh-kekeh. Sahutnya, “Lebih dari itu…, aku adalah seorang penari juga. Tetapi tidak adakah seorang pesinden yang baik di desa ini?”
Kembali Ki Demang Pananggalan tersenyum,
juga Mahesa Jenar dan Mantingan. Rupanya Ki Asem Gede adalah seorang
penggemar uyon-uyon.
“Nah, kalau begitu panggil Nyai Jae Manis,” kata Demang Pananggalan kepada orang tadi, yang sudah turun ke halaman.
“Baik Bapak Demang,” jawabnya,
sambil melangkah turun. Sebentar kemudian terdengar suara berbisik-bisik
dan meledaklah tawa yang tertahan dari orang-orang yang berada di
halaman.
“Tetapi yang paling gembira dengan usul ini,” sambung Ki Asem Gede, “adalah Adi Mantingan, yang telah beberapa lama tidak mendengar suara gamelan.” Kembali terdengar mereka tertawa riuh.
Sebentar kemudian mulailah segala
sesuatunya berlangsung dengan meriah. Hidangan yang disiapkan oleh Nyai
Demang satu demi satu mengalir keluar. Sementara itu bunyi gamelan yang
berpadu dengan suara Nyai Jae Manis benar-benar dapat membelai hati
pendengarnya. Di halaman, satu demi satu orang berdatangan untuk turut
serta menikmati suara pesinden kenamaan dari daerah ini.
———-oOo———-
III
Tetapi, belum lagi mereka puas menikmati semuanya itu, tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh suara derap kuda yang berlari kencang. Makin lama
makin dekat dan makin dekat.
Mendengar derap kuda itu, Demang Pananggalan, Mantingan, Ki Asem Gede dan Mahesa Jenar serentak mengangkat mukanya untuk mengetahui dari mana arah kedatangan mereka. Sedangkan di halaman segera terjadi keributan. Perempuan-perempuan berlari-lari kesana-kemari, anak-anak menangis menjerit-jerit. Mereka masih belum melupakan peristiwa beberapa waktu yang lalu, ketika ada rombongan orang-orang berkuda yang mengganggu ketenteraman desa mereka.
Mendengar derap kuda itu, Demang Pananggalan, Mantingan, Ki Asem Gede dan Mahesa Jenar serentak mengangkat mukanya untuk mengetahui dari mana arah kedatangan mereka. Sedangkan di halaman segera terjadi keributan. Perempuan-perempuan berlari-lari kesana-kemari, anak-anak menangis menjerit-jerit. Mereka masih belum melupakan peristiwa beberapa waktu yang lalu, ketika ada rombongan orang-orang berkuda yang mengganggu ketenteraman desa mereka.
Untunglah bahwa Demang Pananggalan cepat bertindak. Ia segera meloncat ke halaman dan mengatasi keadaan.
“Perempuan dan anak-anak masuk ke rumah,” perintah Demang Pananggalan dengan suara nyaring. “Sedangkan semua laki-laki di halaman ini, segera memencar dan berusaha untuk mendapatkan senjata apa saja. Kita masih belum tahu siapakah yang datang, tetapi keselamatan desa ini di tangan kalian,” lanjut Demang.
Laki-laki Kademangan ini bukanlah bangsa
pengecut. Tetapi meskipun demikian, hati mereka berdebar-debar juga
mengenangkan kebuasan orang-orang berkuda yang datang beberapa waktu
yang lalu.
Cepat-cepat mereka berpencar dengan
senjata seadanya di tangan masing-masing. Karena mereka sama sekali
tidak bersiaga, maka kecuali yang sedang bertugas ronda, mereka semuanya
tidak bersenjata. Untuk mencukupi kebutuhan, ada yang memegang sabit
rumput, kapak pembelah kayu, kayu penumbuk padi, kayu tajam untuk
mengupas kelapa, bahkan ada yang bersenjata perunggu wilahan gamelan, di
tangan kanan dan kiri. Beberapa orang yang rumahnya berdekatan dengan
pendapa kademangan, berloncatan pulang untuk mengambil tombak, pedang
dan apa saja yang ada untuk mempersenjatai kawan-kawan mereka.
Tetapi getaran hati mereka terasa jauh
berkurang ketika mereka melihat di atas tangga pendapa kademangan
berdiri Ki Asem Gede dan Ki Dalang Mantingan dengan trisulanya di
tangan, serta tamu mereka yang gagah perkasa, Mahesa Jenar, yang juga
bergelar Rangga Tohjaya, dengan sikap yang tenang dan meyakinkan.
Pada saat itu, suara derap kuda itu sudah
demikian dekatnya. Sesaat kemudian mereka melihat empat orang
penunggang kuda berturut-turut menyusup regol memasuki halaman
Kademangan. Tetapi, ketika para penunggang kuda itu melihat
kesiap-siagaan orang-orang di halaman itu, mereka tampak terkejut, dan
sekuat tenaga mereka menarik kendali kuda masing-masing sehingga
kuda-kuda itu berdiri dan meringkik-ringkik. Secepatnya kuda itu
menjejak kaki depannya di atas tanah, secepat itu pula para
penunggangnya berloncatan turun.
Bersamaan dengan itu, lega pulalah hati
setiap orang yang berdiri di halaman, karena mereka menyaksikan bahwa
kedua penunggang kuda yang di depan tampak samar-samar oleh cahaya
lampu, memakai sabuk putih, serta segulung tali berjuntai di pinggangnya
dan di pinggang yang lain tergantung kantong yang berisi batu-batu
pilihan. Itulah ciri-ciri murid Ki Asem Gede yang bersenjatakan bandil.
Dua orang yang lain pun tidak menunjukkan tanda-tanda yang berbahaya,
meskipun di pinggang mereka tergantung kapak yang tajamnya putih
berkilat-kilat oleh cahaya lampu.
Tetapi, sebaliknya dari orang-orang yang
berdiri di halaman, wajah Ki Asem Gede segera berkerut ketika
menyaksikan orang-orang berkuda yang datang itu. Dijelaskan bahwa ia
sedang berusaha untuk menguasai debar jantungnya.
Begitu kedua murid Ki Asem Gede
menjejakkan kakinya, segera mereka dengan cepat menghadap gurunya,
sedangkan kedua orang yang lain berdiri sambil memegang kendali keempat
ekor kuda itu.
Kedua murid Ki Asem Gede itu segera membungkuk hormat, dan salah seorang diantara mereka berkata, “Ki Asem Gede, kedua kawan ini adalah murid-murid Ki Wirasaba.”
Mendengar laporan itu wajah Ki Asem Gede
makin berkerut. Ia memandang kepada kedua orang itu dengan gelisah, lalu
dengan langkah cepat ia mendekatinya. Rupanya ia ingin berbicara dengan
orang-orang itu tanpa didengar oleh orang lain.
“Bagaimana?” tanya Ki Asem Gede,
setelah orang itu mendekat. Meskipun kata-kata itu diucapkan
perlahan-lahan, tetapi karena jaraknya tak begitu jauh, maka suara itu
terdengar juga oleh orang-orang yang berdiri di atas tangga.
Dua orang itu sebelum menjawab, matanya menyambar beberapa orang yang berdiri di halaman, lalu ke Ki Asem Gede.
“Katakanlah,” desak Ki Asem Gede.
“Mereka telah menculik Nyi Wirasaba,” jawab salah seorang diantaranya.
“He..?” Ki Asem Gede terkejut bukan alang-kepalang, tubuhnya yang sudah kisut itu menggigil.
“Kalian tak berbuat apa-apa?”
Kedua orang itu menundukkan kepala. Mereka tak berani memandang wajah Ki Asem Gede yang sedang menahan gelora hatinya.
“Kami telah mencoba,” jawabnya,”
tetapi kekuatan kami tak berarti. Dua orang kakak seperguruan kami
telah mereka lukai dengan berat, dan bagi kami satu-satunya adalah
melaporkan ini kepada Ki Asem Gede. Tetapi kebetulan Ki Asem Gede tiada
di rumah, sehingga kami tadi diantar kemari.”
Tampaklah tubuh Ki Asem Gede semakin
menggigil. Dan adalah diluar dugaan mereka yang berada di halaman itu,
tiba-tiba secepat kilat Ki Asem Gede meloncat ke atas salah satu kuda
itu. Sekali tarik kendali, kuda itu telah berputar dan meluncur bagai
anak panah.
Mereka yang menyaksikannya menjadi
terpaku diam, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Demikian juga keempat
orang yang datang berkuda tadi, berdiri saja tegak seperti patung.
Belum lagi mereka tersadar, mendadak
mereka melihat sesosok tubuh melayang pula ke atas punggung kuda yang
satu lagi. Dengan kecepatan yang luar biasa pula, kuda ini melompat
mengikuti arah larinya kuda yang dinaiki oleh Ki Asem Gede.
Orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar.
Ketika ia mendengar percakapan Ki Asem Gede dengan keempat orang
berkuda itu, ia sudah mengira kalau terjadi sesuatu. Maka ketika secepat
itu Ki Asem Gede melarikan kudanya, ia makin yakin bahwa tentu ada
kesulitan dengan menantunya. Dan dialah orang yang pertama-tama dapat
menguasai dirinya dari pergolakan perasaannya, sehingga ia mengambil
keputusan untuk mengikuti orang tua itu.
Kuda Ki Asem Gede lari dengan kecepatan
penuh di malam yang gelap dengan meninggalkan debu putih yang
berhambur-hamburan, ke arah utara menyusur kali Opak. Jalannya begitu
sempit dan berbahaya. Tapi Ki Asem Gede sama sekali tak menghiraukan. Ia
ingin cepat-cepat sampai ke Pucangan, dimana ia yakin kalau anaknya,
Nyi Wirasaba, ditahan. Ia tahu betul bahwa segerombolan orang-orang
ternama di daerah itu, yang merasa cukup mempunyai kesaktian, menjadi
takabur dan berbuat sewenang-wenang.
Kejahatan-kejahatan seringkali mereka
lakukan. Pemerasan dan penganiayaan. Dan yang paling jahat adalah
pengambilan istri orang. Ini mereka lakukan, karena mereka merasa tak
terkalahkan. Bahkan mereka juga mengambil gadis-gadis untuk dijadikan
istri mereka yang keempat, kelima atau kesekian. Tak seorangpun yang
dapat mencegahnya. Sedang kali ini yang menjadi korban adalah anak Ki
Asem Gede. Mengingat semuanya itu, hati Ki Asem Gede bergolak hebat
sekali karena marahnya. Sejak ia mengasingkan diri di Asem Gede, ia
sudah tak pernah lagi berangan-angan bahwa pada suatu kali ia masih
harus bertempur. Ia merasa sudah masanya menyepi dan mempergunakan sisa
hidupnya untuk diabadikan pada perikemanusiaan. Tetapi menghadapi
persoalan seperti sekarang ini? Wajah Ki Asem Gede yang lunak dan damai
itu berubah menjadi merah darah. Mulutnya terkatub dan giginya
gemeretak. Kudanya yang berlari seperti setan itu rasa-rasanya begitu
lambatnya, sehingga berkali-kali Ki Asem Gede terpaksa menggebraknya.
Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki
kuda Ki Asem Gede itu, telah menolong Mahesa Jenar untuk dapat
mengikutinya dari jarak yang agak jauh. Untunglah bahwa kudanya agak
lebih baik sedikit dari kuda Ki Asem Gede, sehingga jarak mereka makin
lama makin dekat.
Berapa lama mereka berkuda, tak lagi
terasa, karena perasaan mereka masing-masing begitu tegangnya. Ki Asem
Gede ingin segera sampai ke tempat tujuannya, sedangkan Mahesa Jenar
sibuk menduga-duga apa yang sudah terjadi atas anaknya.
Perjalanan mereka kini menyusup belukar,
menjauhi Sungai Opak. Meskipun keadaan di dalam belukar itu gelapnya
bukan main, Mahesa Jenar mempunyai penglihatan dan pendengaran yang
sangat tajam, sehingga dengan mendengarkan derap kuda Ki Asem Gede, ia
dapat menyusup lewat jalan sempit itu ke arah yang benar.
Setelah beberapa lama mereka menelusur
jalan belukar, akhirnya mereka sampai ke mulutnya. Begitu mereka muncul
dari belukar, terasa hawa sejuk menyapu muka. Mahesa Jenar lebih
merasakan segarnya udara, sebab Ki Asem Gede perhatiannya penuh
tertumpah kepada putrinya.
Kini jalan yang mereka lalui mulai
menanjak dan berliku-liku. Rupanya mereka telah sampai di kaki Gunung
Merapi. Lama-lama di sebelah timur telah membayang warna merah.
“Hampir fajar,” dengus Mahesa Jenar seorang diri.
Kuda-kuda mereka kini telah mulai
menyusur jalan persawahan. Juga di daerah ini padi sedang berbunga.
Batang-batangnya yang berwarna hijau segar itu ditaburi oleh warna
kemerahan fajar menjadi sedemikian bagusnya, sehingga untuk sementara
Mahesa Jenar terpaku perhatiannya. Tetapi ketika diingatnya orang tua
yang di depannya itu semakin melarikan kudanya, ia pun segera
mengesampingkan keindahan fajar. Sekali ia sentakkan kakinya, kudanya
berlari semakin cepat seperti terbang.
Tiba-tiba kuda Ki Asem Gede membelok ke timur, dan sebentar kemudian menyusup masuk ke sebuah desa.
Itulah Pucangan. Mahesa Jenar tidak mau kehilangan jejak. Dengan ujung kendali, kudanya dicambuk agar melaju lebih cepat lagi.
Ki Asem Gede tak sedikit pun mengurangi
kecepatan kudanya. Ketika sampai di muka sebuah rumah yang berhalaman
luas dan beregol besar, ia membelokkan kudanya memasuki halaman. Kuda
yang semula lari seperti kuda gila itu, langsung menuju ke pendapa rumah
itu. Baru ketika jaraknya tinggal beberapa langkah, Ki Asem Gede
menarik kendali dan berhenti di muka pendapa. Pendapa itu ternyata
tertutup dinding di empat sisinya. Pintunya masih tertutup rapat, dan
lampu di dalamnya hanya menyala remang-remang. Cepat Ki Asem Gede turun
dari kudanya. Sebentar ia tertegun. Tempat itu tampaknya sunyi. Tetapi
ia yakin kalau putrinya berada di tempat itu. Itulah rumah pemimpin
gerombolan orang-orang yang merasa dirinya tak dapat dirintangi
kemauannya, bernama Samparan.
Ki Asem Gede mengetok pintu itu
keras-keras. Sekali, dua kali, tak ada yang menyahut. Akhirnya Ki Asem
Gede tak sabar lagi. Dengan kedua sisi telapak tangannya ia memukul daun
pintu itu sekuat tenaga, hingga berderak-derak. Maka patahlah palang
pintu itu, sehingga terbuka lebar-lebar. Cepat-cepat ia meloncat masuk,
dan tampaklah olehnya lima orang sedang duduk di atas sebuah balai-balai
bambu yang besar menghadapi meja kecil berisi bermacam-macam makanan
dan minuman keras.
Kelima orang itu memandang Ki Asem Gede
dengan pandangan kosong, dan sikap yang acuh tak acuh, sehingga Ki Asem
Gede semakin marah.
“Kalian menculik anakku!” teriaknya. Sikap Ki Asem yang sudah tua itu tampak garang dan sama sekali berobah dari sifat keramah-tamahannya.
“Kami sudah mengira kalau kau akan datang ke pondokku yang jelek ini,” jawab salah satu dari kelima orang itu, yang rupanya adalah pemimpinnya, Samparan.
“Tetapi adalah kurang bijaksana kalau seorang tamu mesti merusak pintu,” sambung orang itu. Lalu terdengarlah suara mereka berlima tertawa berderai-derai.
Ki Asem Gede semakin marah, direndahkan
sedemikian. Cepat ia membungkuk mengambil palang pintu yang telah
dipatahkannya tadi, dan dilemparkan sekuat tenaga ke arah meja kecil di
atas bale-bale di antara kelima orang itu. Begitu hebatnya lemparan Ki
Asem Gede sehingga meja kecil yang tertimpa palang pintu itu pecah
berserak-serakan. Suara tertawa kelima orang itu jadi terputus karena
terkejut bukab kepalang, dan cepat-cepat meloncat menjauhi dan turun
dari balai-balai itu. Mereka sama sekali tidak mengira kalau orang tua
itu masih memiliki tenaga yang sedemikian kuatnya. Tetapi, sebentar
kemudian terdengar Samparan tertawa terbahak-bahak. “Bagus …, bagus” katanya, “ Alangkah hebatnya”.
Ki Asem Gede sudah tidak mau mendengarkan lagi. Kembali ia berteriak. “Aku datang untuk mengambil anakku.”
Lagi, Samparan tertawa, tapi kali ini tawanya dingin. “Kami telah berbuat suatu kebaikan bagi penduduk di sekitar daerah ini, dengan menyimpan anakmu.”
“Apa kau bilang?” potong Ki Asem Gede.
“Anakmu telah melakukan
perbuatan-perbuatan terkutuk dengan mengganggu ketentraman rumah tangga
orang, meskipun ia sudah bersuami.”
“Omong kosong!” teriak Ki Asem Gede semakin marah.
Kembali Samparan tertawa tertawa dingin, “Sudah seharusnya kau tidak percaya,” sambungnya,
“sebab kau ayahnya. Tetapi ketahuilah bahwa di daerah ini telah timbul
keributan karena pokal anakmu. Bahkan lebih dari itu, di daerah barat
daya telah timbul wabah penyakit. Kau tahu sebabnya? Ketahuilah, bahwa
itu disebabkan karena salah istrimu itu pula, sehingga danyang-danyang
menjadi marah.”
Ki Asem Gede sudah sampai pada puncak
kemarahannya sehingga seluruh tubuhnya bergetar. Ia tahu benar betapa
liciknya orang-orang itu, dan betapa pandainya mereka memutar balik
kenyataan.
“Samparan…” jawab Ki Asem Gede dengan suara menggigil. “Aku
tahu siapakah kau. Jadi kau tak usah banyak bicara di hadapanku. Aku
tahu bahwa anakku menolak menuruti kehendakmu dan kawan-kawanmu,
gerombolan iblis ini, sehingga kau terpaksa menculiknya dan
menyimpannya. Sekarang aku minta anakku itu kau serahkan kepadaku.”
Samparan mendengus lewat hidungnya, lalu berkata lagi, “Aku
tetap pada keteranganku. Dan kami berlima atas persetujuan rakyat di
daerah ini, telah mengambil keputusan untuk menjatuhkan hukuman atas
anakmu itu. Aku hanya meniru apakah hukuman yang dijatuhkan pada orang
demikian pada jaman dahulu, yaitu dilempari batu sampai mati.”
Mendengar jawaban itu, tubuh Ki Asem Gede semakin menggigil dan giginya gemertak menahan marah yang hampir meledak. “Hanya
Sultan di Demak yang berhak menjatuhkan hukuman mati, atau orang yang
telah mendapat kuasanya. Orang-orang Pucangan ini pun tak berhak
melakukan itu, apalagi iblis-iblis macam kau ini.” teriak Ki Asem Gede.
Samparan mengangguk-angguk, lalu kembali terdengar tawa iblisnya. “Betul…,
betul Ki Asem Gede, tetapi di daerah terpencil sejauh ini, jari-jari
kekuasaan Demak tak begitu terasa. Maka sudah sewajarnyalah kalau kami
yang merasa sedikit ada kemampuan, membantu berlakunya undang-undang di
daerah ini, menghapuskan kekhianatan.”
Hampir Ki Asem Gede tak dapat menahan
dirinya. Untunglah bahwa pikirannya masih dapat bekerja. Ia merasa tak
akan mampu melawan kelima orang itu.
“Di Demak,” kata Ki Asem Gede kemudian, “untuk tiap-tiap keputusan ada hak pembelaan. Berlaku jugakah peraturan ini?”
Mendengar pertanyaan ini kelima orang itu
tampak berpikir. Tetapi sebentar kemudian terdengar kembali tawa iblis
keluar dari mulut Samparan.
“Kau cerdik sekali Ki Asem Gede. Kau ingin menjadikan persoalan ini menjadi persoalan umum.”
“Bukankah telah kau katakan bahwa
putusanmu itu atas persetujuan penduduk di daerah ini? Bukankah dengan
demikian hal itu sudah menjadi persoalan umum?”
Kembali Samparan merenung. Tampak ia
berpikir untuk mengatasi usul Ki Asem Gede itu. Kalau sampai terjadi ada
semacam pengadilan bagi persoalan ini, dimana dapat hadir saksi-saksi,
maka terang hal ini tidak menguntungkan pihaknya. Tetapi akhirnya ia
ketemukan juga suatu cara untuk mengatasinya.
“Ki Asem Gede,” katanya, “kami adalah bangsa yang mengenal keadilan. Kenapa
kami keberatan kalau diadakan pembelaan? Tetapi karena kekuasaan
tertinggi dalam persoalan ini adalah di tangan kami, maka kamilah yang
menentukan cara pembelaan itu.”
“Bagaimana caranya?” Dalam kesulitan ini Ki Asem Gede hanya dapat mengharap suatu perkembangan persoalan yang dapat menguntungkan dirinya.
Samparan menarik alisnya tinggi-tinggi, kemudian menjawab, “Keadilan
yang tertinggi terletak di tangan takdir. Karena itu pembelaan dalam
persoalan ini pun sudah seharusnya kalau didasarkan atas hal itu.
Tegasnya, pembelaan itu hanya dapat dilakukan dengan sebuah pertarungan.
Kau boleh memilih seorang pembela, atau barangkali kau sendiri? Sedang
di pihak kami pun akan ada seorang yang harus mempertahankan keputusan
kami itu. Nah, kemudian segala sesuatu terserah pada kehendak takdir.” Kemudian
Samparan menarik nafas panjang-panjang. Ia yakin kalau pihaknya pasti
akan menang. Sebab bagaimana hebatnya Ki Asem Gede, tetapi karena
umurnya yang sudah lanjut itu, tentu tidak akan berbahaya lagi.
“Setan…,” dengus Ki Asem Gede. Tetapi meskipun demikian ia masih berusaha untuk mendapat suatu kesempatan.
“Bagus…” katanya kemudian, “aku terima cara itu. Sekarang aku minta ditetapkan waktu. Minggu depan barangkali?”
Samparan jadi tertawa terbahak-bahak. Ia menangkap maksud Ki Asem Gede. “Kau
memang licik sekali. Kau mengharap bahwa kau dapat mencari bantuan
orang lain. Atau dalam kesempatan itu kau dapat membebaskan anakmu. Nah
Ki Asem Gede… supaya persoalan ini tidak berlarut-larut, aku tetapkan
hari pertarungan ini adalah hari ini. Bukankah fajar sudah datang?”
Seperti disengat ribuan lebah, Ki Asem
Gede mendengar putusan Samparan itu. Bahwa setan itu betul-betul licik,
kini telah terbukti. Dan ia sesali ketergesa-gesaannya tadi. Kalau saja
ia tadi membicarakan soal ini dengan sahabat-sahabatnya.
Ki Asem Gede sendiri bukan berarti takut
menghadapi persoalan itu, meskipun misalnya ia harus menyerahkan
nyawanya. Tetapi taruhannya terlalu besar. Kalau ia kalah, berarti
kekalahan itu berlipat dua, sedangkan ia sendiri sadar bahwa tenaganya
sudah mulai surut. Apalagi menghadapi iblis-iblis yang segar dan sedang
tumbuh.
Kembali Ki Asem Gede menyesali dirinya.
Biasanya ia berlaku tenang. Tetapi menghadapi persoalan satu-satunya
anak yang diharapkan dapat melanjutkan namanya, ia jadi kehilangan
ketenangan itu.
Tetapi pada saat ia sedang kebingungan,
tiba-tiba terdengarlah suatu suara yang berat, dan mengandung pengaruh
yang luar biasa. Katanya, “Ki Asem Gede akan menerima ketetapan hari itu. Dan Ki Asem Gede akan menunjuk aku sebagai pembelanya.”
Mendengar suara itu, semua yang berada di
dalam ruangan segera memandang ke arah pintu di mana berdiri seorang
dengan sikap yang tenang meyakinkan. Itulah Mahesa Jenar.
Melihat kehadiran Mahesa Jenar tanpa
diduga-duga itu, Ki Asem Gede menjadi girang bukan kepalang, sampai
hampir-hampir ia berteriak. Cepat-cepat ia melangkah mendekati dan
menggoyang-goyangkan tangan sahabatnya yang baru saja dikenalnya itu.
Sementara itu kelima orang penghuni rumah
itu memandang dengan heran dan mencoba menebak-nebak. Siapakah gerangan
orang yang begitu besar kepala sehingga berani menawarkan diri untuk
membela anak Ki Asem Gede itu? Sedang wajah orang itu belum pernah
dikenalnya.
“Siapakah dia?” tanya Samparan kemudian.
Hampir saja Ki Asem Gede menyebut gelar
Rangga Tohjaya untuk sekaligus menakut-nakuti kelima orang itu. Tetapi
melihat gelagat itu, segera Mahesa Jenar mendahului, “Aku adalah Mahesa Jenar, sahabat Ki Asem Gede.”
“Mahesa Jenar?” ulang Samparan.
Nama itu pun sama sekali tak terkenal di daerah ini. Orang yang paling
mereka takuti adalah Dalang Mantingan, yang beberapa waktu lalu berhasil
menangkap tiga serangkai perampok yang bernama tunggal Samber Nyawa.
Dan seandainya Dalang Mantingan pada saat itu ada di situ pun belum
tentu dapat mengalahkan mereka berlima yang merasa mempunyai kekuatan
dua kali lipat dari kekuatan Samber Nyawa itu. Hanya tentu saja kalau
Mantingan ada di situ, ia takkan berani membuat tantangan pertarungan
yang demikian. Tetapi sekarang yang ada hanya orang yang sama sekali tak
ternama.
Melihat keragu-raguan orang-orang itu, serta takut kalau mereka mengubah peraturannya, segera Mahesa Jenar menambahkan, “Aku
kira tak ada lagi persoalan. Apapun yang akan terjadi atas diri kami
nanti, yang melaksanakan pertandingan itu, bukanlah suatu soal yang
perlu direnungkan. Aku adalah laki-laki seperti kalian juga.”
Perkataan Mahesa Jenar ini rupa-rupanya
telah berhasil menyentuh harga diri Samparan serta kawan-kawannya,
apalagi mereka telah merasa bahwa kehebatan mereka sukar mendapat
tandingan.
Dalam pada itu salah seorang kawan Samparan segera melangkah setindak maju, dan dengan suaranya yang nyaring berkata, “Kakang
Samparan, apa yang sudah terucapkan sebaiknya dilaksanakan. Aku belum
kenal orang ini, dan orang ini pun rupa-rupanya belum kenal kami.
Baiklah kini kami saling berkenalan. Aku usulkan sebagai pelaksanaan
dari peraturan itu, pertandingan diadakan di halaman rumah ini secara
terbuka. Siapa saja boleh menyaksikan. Dan satu soal lagi, pertarungan
dilaksanakan sampai selesai. Maksudku, sampai salah satu pihak tak mampu
melawan. Jadi tidak boleh menarik diri. Siapa yang menang mempunyai hak
untuk berbuat apapun atas yang kalah, dan atas barang taruhan.” Kata-kata itu diucapkan dengan penuh keyakinan, bahwa Mahesa Jenar merupakan sebuah umpan yang sangat lunak.
Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Sedang Ki Asem Gede yang semula sangat girang, kini menjadi agak cemas juga. “Kalau… seandainya… Mahesa Jenar kalah…? Akh tak mungkin,” pikirnya.
Sementara itu Samparan tak mengangguk
meskipun ia tidak seyakin Watu Gunung, kawannya yang telah melengkapi
peraturan tadi. Ia menduga bahwa orang itu pun sedikit-banyak mempunyai
pegangan sehingga berani menyatakan dirinya sebagai pembela. BELUM lagi
ia berkata apa-apa kembali Watu Gunung menyambung, “Nah sekarang siapakah diantara kami yang pantas melayani kawan itu?”
Dari nada pertanyaan ini, Samparan tahu
bahwa Watu Gunung bernafsu untuk menjadi jago yang harus bertanding
dengan Mahesa Jenar. Watu Gunung adalah seorang yang termasuk paling
kuat di antara mereka. Kalau Samparan yang terpilih menjadi pemimpin,
adalah karena dialah yang tertua dan terbanyak mempunyai pengalaman,
baik dalam tata perkelahian maupun dalam lika-liku pembicaraan dan tipu
muslihat. uAgar tidak mengalami kegagalan, Samparan pun sependapat
dengan Watu Gunung, bahwa sebaiknya orang yang terkuatlah yang harus
melayani orang asing ini, sehingga tidak ada kemungkinan mengalami
kekalahan.
“Baiklah kawan-kawan,” katanya, “aku memilih Adi Watu Gunung untuk melayani tamu kita nanti”.
Watu Gunung menjadi gembira mendengar
putusan ini. Sebaliknya kawan-kawannya yang lain merasa kecewa karena
tidak dapat bermain-main dengan seorang yang sama sekali tak bernama
tetapi sudah berbesar kepala untuk mencoba-coba menghalang-halangi
kemauan mereka. Tetapi bagaimana pun mereka akan turut merasakan hasil
kemenangan Watu Gunung nanti. Memang, sebenarnya Watu Gununglah yang
paling berkepentingan pada saat itu. Sebagai seorang pemuda, sebelum
meninggalkan kampung halamannya, dahulu ia pernah berangan-angan untuk
dapat mengawini anak Ki Asem Gede. Tetapi ia kalah beruntung dengan
Wirasaba, sehingga ia terpaksa mengalami patah hati. Sekarang, ia ingin
membalas sakit hatinya dengan menculik Nyi Wirasaba itu.
Watu Gunung berperawakan tinggi gagah,
bertubuh kekar, dan sebenarnya ia agak tampan juga. Kalau ia sejak
semula menjadi orang baik-baik, mungkin ia juga akan mendapatkan istri
yang cantik. Tetapi sekarang, hampir semua perempuan menjadi pingsan
kalau mendengar nama Watu Gunung disebut orang.
“Sekarang,” kata Samparan kemudian, “
sambil menunggu siang, sebaiknya tamu-tamu ini kami persilahkan
beristirahat di gandok sebelah timur. Adi Wisuda, tolong antarkanlah tamu kita ke sana,”
Maka, orang yang dipanggil Wisuda, salah
seorang dari lima orang itu, segera mempersilahkan Ki Asem Gede dan
Mahesa Jenar untuk mengikutinya ke gandok sebelah timur. Di sana, mereka
berdua ditinggalkan untuk beristirahat.
Ki Asem Gede terpaksa
menggeleng-gelengkan kepala, ketika dilihatnya Mahesa Jenar segera
merebahkan dirinya di atas sebuah amben, katanya, “Ki Asem Gede,
semalaman aku tidak tidur, dan pagi-pagi benar aku sudah harus berpacu
kuda dengan Ki Asem Gede, maka sebaiknya aku tidur sebentar agar aku
nanti dapat melayani Watu Gunung itu dengan sedikit ada kegembiraan”
Sesudah berdiam diri sebentar, terdengarlah segera nafas Mahesa Jenar mengalir secara teratur. Ia sudah tertidur.
Ki Asem Gede heran bukan main. Sebentar
lagi ia harus mengadu tenaga antara hidup dan mati melawan seorang yang
termasuk mempunyai kehebatan dalam tata pertarungan. Tetapi sekarang,
dengan enaknya ia tidur mendekur. Ketika hal itu direnungkan
dalam-dalam, ternyata Mahesa Jenar sama sekali tak memandang remeh calon
lawannya. Dengan beristirahat, meskipun hanya sebentar, ia akan dapat
memulihkan tenaganya, sehingga dengan demikian ia akan dapat bertanding
dengan baik. Mendapat pikiran yang demikian ia pun merasa bahwa dirinya
juga perlu mengaso, siapa tahu tenaganya nanti diperlukan. Ternyata
hatinya tidak setenang Mahesa Jenar. Ia tetap kuatir akan nasib anak
satu-satunya itu, dan ia juga khawatir kalau Samparan dan kawan-kawannya
berbuat curang. Karena itu ia hanya berbaring. Matanya sama sekali tak
dapat dipejamkan.
Pada saat itu sinar mahatari pagi telah
mulai masuk menyusup lubang-lubang dinding meskipun masih condong
sekali. Sekali dua kali telah terdengar suara gerobag lewat di jalan di
depan rumah itu. Dan di halaman telah sibuk beberapa orang mengatur
arena untuk bertanding siang nanti. Beberapa orang yang lewat, ketika
melihat beberapa tonggak ditancapkan dan tali-tali direntangkan, mereka
tahu bahwa akan ada pertandingan lagi di halaman rumah Samparan yang
juga dikenal sebagai rumah setan. Sebenarnya tak seorang pun yang ingin
dekat dengan rumah serta penghuninya itu, sebab mereka takut kalau entah
harta kekayaannya, entah ternaknya, dan yang ditakuti adalah kalau
istri atau gadisnya dikehendaki oleh iblis-iblis itu. Tetapi di samping
itu mereka juga ingin melihat tiap-tiap pertarungan yang memang sering
diadakan di halaman itu, dengan mengharap-harap sekali waktu ada orang
yang dapat mengalahkan, syukur mengubur kelima iblis penghuni rumah itu.
Tetapi sampai sekarang, kalau ada orang yang menuntut istri atau
anaknya, dan terpaksa melewati pertandingan di arena itu, tentu
dibinasakan dengan kejamnya. Sedang istri atau anak mereka, malahan
menjadi barang taruhan yang makin tak berharga.
Hal ini, Demang Pucangan sendiri tak
dapat mengatasinya. Dan tak seorangpun berani melaporkan kepada atasan
yang berwenang. Sebab dengan perbuatannya itu nyawanya jadi terancam.
Kembali kali ini akan ada sebuah
pertandingan. Orang sudah menduga bahwa hal ini tentu berhubungan dengan
hilangnya Nyi Wirasaba. Tetapi siapakah yang akan memasuki arena?.
Ayahnya, Ki Asem Gedekah? Atau salah seorang muridnya? Atau siapa?
Sementara itu Mahesa Jenar masih enak-enak tidur. Berbareng matahari semakin tinggi, Ki Asem Gede semakin gelisah.
Adalah di luar dugaannya kalau pada saat
itu salah seorang pelayan Samparan masuk ke gandok itu dengan membawa
hidangan minuman dan makanan. Rupanya mereka akan menunjukkan bahwa
mereka adalah orang yang baik hati, serta perbuatannya itu betul-betul
untuk kepentingan penduduk setempat.
Dengan ketajaman hidung seorang ahli
obat-obatan, Ki Asem Gede mencium minuman dan makanan itu, kalau-kalau
ada semacam racun atau obat bius di dalamnya, tetapi ketika menurut
pendapatnya tak terdapat apa-apa maka sedikit demi sedikit ia mencoba
mencicipinya sebelum Mahesa Jenar bangun, yang tentu akan minum dan
makan juga. Rupanya minuman dan makanan itu benar-benar bersih.
“Rupanya Watu Gunung begitu yakin akan memenangkan pertandingan ini seperti yang sudah-sudah,” pikir Ki Asem Gede.
Sementara itu Mahesa Jenar telah
menggeliat bangun. Dengan tangannya ia menggosok-gosok matanya yang
nampak merah kurang tidur. Ketika ia melihat adanya beberapa macam
hidangan, ia memandang Ki Asem Gede dengan penuh pertanyaan. KI Asem
Gede tahu bahwa Mahesa Jenar ragu-ragu, sehingga ia segera menjelaskan, “Anakmas, kita telah mendapat kehormatan untuk menikmati masakan dari Pucangan. Aku, sebagai
orang yang mendalami masalah obat-obatan, telah meyakinkan bahwa
makanan ini bersih dari racun maupun obat bius dan malahan aku pun telah
mencicipinya.”
Mendengar keterangan itu Mahesa Jenar
menjadi tak ragu-ragu lagi. Cepat tangannya menyambar mangkuk minuman
dan segera minum beberapa teguk teh hangat, disusul beberapa potong
makanan. Segera setelah itu, tenaganya terasa telah pulih kembali,
setelah semalam tidak tidur dan berkuda sekian jauhnya.
Berita akan adanya pertarungan di halaman
rumah Samparan itu segera meluas. Beberapa orang yang pergi ke pasar
bergegas untuk segera pulang, supaya dapat menyaksikan pertandingan itu.
Sedang beberapa orang yang merasa mempunyai sedikit kekuatan,
mencibirkan bibir, bahwa orang yang berani mencoba melawan rombongan
Samparan adalah orang yang telah jemu hidup. Padahal orang-orang itu
sendiri pun tidak mampu melawannya.
Sedang orang yang diributkan, pada saat
itu sama sekali tak menghiraukan kesibukan orang-orang di halaman. Pada
saat-saat semacam itu, ia merasa perlu menenangkan pikiran dan
memusatkan tenaga. Seperti biasa, Mahesa Jenar sama sekali tak pernah
meremehkan lawannya. Sebab sikap yang demikian akan menghilangkan
kehati-hatiannya.
Ketika matahari sudah agak tinggi,
selesailah segala persiapan. Para penonton telah banyak, mengelilingi
arena. Sebentar kemudian terdengar kentongan dipukul orang lima kali –
lima kali berturut-turut. Suaranya memencar menghantam dinding-dinding
jurang dan tebing pegunungan, yang kemudian dilemparkan kembali.
Menggema seperti aum harimau kelaparan mencari makan.
Demikianlah suara kentongan itu lima
kali-lima kali berutrrut-turut bagi orang-orang Pucangan, seolah seperti
suara malaikat pencabut nyawa yang memanggil-manggil korbannya.
Kemudian keluarlah dari pendapa rumah
itu, Samparan beserta empat orang kawannya. Masing-masing dengan pakaian
yang hampir sama. Celana hitam sampai lutut, kain lurik merah soga,
sabuk kulit ular bertimang emas, dan berikat kepala merah soga pula,
tanpa baju.
Kelima orang itu langsung menuju ke arena. Orang-orang yang berkerumun bersibak memberi jalan.
Sementara itu Mahesa Jenar juga sudah
dipanggil. Seperti orang yang segan-segan, ia berjalan bersama Ki Asem
Gede menuju ke arena. Pakaiannya adalah pakaian kusut, dan habis dipakai
tidur tadi. Meskipun ia bernama Mahesa Jenar, anehnya ia suka
warna-warna hijau. Kainnya lurik berwarna hijau gadung. Ikat kepala dan
bajunya juga.
Mahesa Jenar dengan acuh tak acuh menjawab, “Selamat
pagi Watu Gunung, aku sengaja tidak mandi, sebab aku takut kalau airmu
memperlemah semangatku, sehingga aku tak dapat melayani permainanmu
dengan baik.”
Melihat Mahesa Jenar, beberapa orang
mulai menilai-nilai. Memang agak aneh bagi mereka. Begitu tenang dan
sama sekali tidak gugup. Dipandang dari segi ketegapan tubuhnya,
ternyata Watu Gunung lebih tinggi sedikit dari lawannya, serta
otot-ototnya tampak lebih kuat. Umurnya pun tampaknya tak terpaut
banyak. Tetapi, orang-orang yang sedang sibuk menilai itu menjadi
bingung. Mereka sama sekali tak menemukan satu hal pun dari Mahesa Jenar
yang dapat melebihi lawannya. Tingginya, besarnya, otot-ototnya dan
segalanya. Tetapi ketika mereka memandang matanya seakan-akan mereka
menjadi yakin kalau Mahesa Jenar akan memenangkan pertarungan ini.
Mereka sama sekali tak sampai pada pikiran bahwa mata yang
terang-cemerlang itu memancarkan suatu kebesaran pribadi yang tak ada
bandingnya. Hal ini rupanya dirasakan juga oleh Samparan dan
kawan-kawannya, sehingga ketika Watu Gunung bertemu pandang dengan
Mahesa Jenar, hatinya berdegup keras dan cepat-cepat ia melemparkan
pandangannya. Dengan gugup untuk menutupi kerisauan hatinya, Watu
Gunung berteriak, “Kakang Samparan, senjata apa yang pantas aku pakai?”
Samparan yang tak mengira akan mendapat pertanyaan itu dengan sekenanya saja menjawab, “Apa yang kau pilih!”
Kembali Watu Gunung jadi kebingungan, dan
untuk mengatasinya, ia ingin mencari jawab pada lawannya dan sekaligus
untuk lebih merapati kegelisahannya, katanya, “Mahesa Jenar, senjata apakah yang kau ingin pakai?”
Mahesa Jenar merenung sebentar, kemudian jawabannya makin menjadikan Watu Gunung kebingungan. “Watu
Gunung… senjata adalah barang yang berbahaya. Sedang permainan ini
hanya sekadar untuk menentukan pihak manakah yang dibenarkan Tuhan.
Karena itu aku menganggap bahwa aku tak ingin mempergunakan senjata.” Watu Gunung menjadi semakin keripuhan, apalagi ketika Mahesa Jenar menyambung, “Tetapi
meskipun demikian, kalau kau ingin mempergunakan senjata, kalau itu
sudah menjadi kebiasaanmu, aku sama sekali tak keberatan, sedangkan
bagiku sendiri senjata itu hanya akan merepotkan saja.”
Muka Watu Gunung menjadi merah seperti
darah. Malu dan marah bercampur aduk. Belum pernah ia direndahkan
sedemikian. Dan sekarang orang yang tak bernama itu berani berbuat
demikian. Maka dengan suara lantang penuh kesombongan dan kemarahan, ia
menjawab, “Aku bukanlah bangsa pengecut yang hanya berani bermain
dengan senjata. Kalau aku bertanya tentang senjata itu maksudku sudah
tegas, berkelahi sampai salah satu diantara kita mati. Tetapi kalau kau
takut melihat tajamnya senjata, baiklah aku juga tidak akan bersenjata,
sebab dengan tanganku ini aku akan dapat mematahkan lehermu.”
Orang yang mendengar ucapan ini bulunya
berdiri. Watu Gunung sudah terkenal kehebatannya dan kekejamannya.
Apalagi ia sekarang dikendalikan oleh kemarahan yang besar. Tetapi hal
itu bagi Mahesa Jenar adalah suatu keuntungan. Sebab dengan kemarahan
itu Watu Gunung akan kehilangan sebagian dari pengamatan dirinya.
Sementara itu Watu Gunung sudah berteriak, “Mahesa Jenar marilah kita mulai.”
Mahesa Jenar segera mempersiapkan diri. Ia tidak mau dikenai oleh
serangan yang pertama kali dan digerakkan oleh hawa kemarahan, yang
tentu akan menambah kekuatan lawannya.
Dan apa yang diduga oleh Mahesa Jenar
adalah benar. Belum lagi mulutnya terkatub rapat, Watu Gunung sudah
meloncat maju dan langsung menyerang ulu hati Mahesa Jenar. Serangan itu
begitu garang nampaknya seperti harimau menerkam mangsanya. Orang-Orang
yang menyaksikan pertarungan itu, darahnya sudah tersirat sampai ke
kepala. Tetapi Mahesa Jenar yang sudah bersiaga, cepat menarik kaki
kirinya ke belakang dan memutar sedikit tubuhnya, sehingga pukulan itu
tak mengenai sasarannya. Gagal dari serangan pertama ini Watu Gunung
menyerang pula dengan kakinya ke arah perut Mahesa Jenar, tetapi juga
seperti serangannya yang pertama. Serangan ini pun dengan mudahnya dapat
dihindarkan. Melihat kedua serangannya itu menyentuh pakaian lawan pun
tidak, Watu Gunung menjadi semakin marah. Kembali ia membuka serangan
dengan tangannya ke arah dada, dan sekaligus mempersiapkan tangan yang
lain untuk menutup jalan menghindar. Rupa-rupanya serangan ini hampir
berhasil mengenai lawannya. Tetapi pada saat terakhir ketika tangannya
sudah berjarak setebal jari dari dada, Mahesa Jenar segera menarik
tubuhnya ke belakang dengan satu loncatan yang cepat, ia menghindar ke
arah sebelah dari tangan yang lain. Watu Gunung menjadi semakin
uring-uringan. Dan meluncurlah kemudian serangan-serangan yang cukup
dahsyat. Tetapi beberapa orang telah menjadi cemas. Sebab dalam
pandangan mereka, Mahesa Jenar selalu terdesak. Pada saat terakhir,
Mahesa Jenar merasa betul-betul terdesak. Memang lawannya pada saat itu
tidaklah dapat dianggap ringan, meskipun belum sekuat Mantingan, tetapi
Watu Gunung mempunyai keistimewaan juga. Ia begitu percaya kepada
kekuatan jarinya, sehingga berkali-kali ia menyerang dengan menyodok
perut, kening dan mata.
Maka timbullah keinginan Mahesa Jenar
untuk menguji kekuatan daya tahan lawannya. Ketika pada suatu saat
pertahanan dada Watu Gunung terbuka, cepat-cepat Mahesa Jenar
mempergunakan kesempatan ini. Seperti seekor burung menyambar belalang,
ia pergunakan sisi telapak tangannya untuk menghantam dada lawannya.
Serangan itu begitu mendadak dan cepat sehingga lawannya tak sempat
menghindarinya. Merasa kena hantaman di dadanya, cepat-cepat Watu Gunung
mundur selangkah. Mulutnya meringis sebentar menahan sakit. Tetapi oleh
daya tahan badannya, segera rasa sakit itu hilang.
Mengalami hal ini, Watu Gunung malahan
sekali lagi meloncat mundur, dan aneh sekali, ia tidak bersiap-siap
untuk menyerang atau bertahan, malahan ia berdiri di atas kedua kakinya
yang direnggangkan dan kedua tangannya bertolak pinggang.
Melihat sikap yang demikian, Mahesa Jenar
pun menjadi tertegun heran. Tetapi menghadapi sikap ini ia tidak berani
gegabah, sebab siapa tahu bahwa sikap ini adalah suatu sikap untuk
mengelabuinya dan memancingnya dalam suatu keadaan yang tak
menguntungkan. Ia menjadi semakin heran ketika tiba-tiba Watu Gunung
tertawa keras dengan suaranya yang nyaring. Begitu kerasnya ia tertawa
sampai menimbulkan getaran-getaran di dada orang yang mendengarnya.
Sebaliknya para penonton yang melihat
Watu Gunung bersikap demikian, seketika tubuhnya menjadi gemetar. Sebab
dengan demikian Watu Gunung sudah menemukan suatu kepastian bahwa dalam
waktu singkat ia pasti akan dapat menghancurkan lawannya. Dan, biasanya
dipegangnya kedua kaki lawannya itu, diputar di udara, dan dengan sekali
tetak dihantamkan pada pohon sawo di tepi arena itu sehingga kepalanya
menjadi pecah berserakan.
Melihat hal itu, Ki Asem Gede ikut
menjadi cemas. Ia melihat nyata-nyata bahwa pukulan Mahesa Jenar tepat
mengenai dada, tetapi pukulan itu tak mengakibatkan apa-apa. Tetapi
melihat ketenangan Mahesa Jenar, Ki Asem Gedepun menjadi agak tenang
pula. Satu kesalahan dari Watu Gunung dan para penonton pertarungan itu
adalah bahwa mereka tidak menyadari kalau pukulan Mahesa Jenar itu hanya
mempergunakan sebagian kecil dari seluruh kekuatannya. Dengan melihat
akibat dari pukulan percobaan itu, Mahesa Jenar dapat mengukur bahwa
kalau ia mempergunakan tigaperempat saja dari kekuatannya, dada Watu
Gunung itu sudah pasti akan rontok.
Ketika suara tertawa dari Watu Gunung
makin menurun, para penonton pun menjadi semakin gelisah. Sebab,
demikian suara itu berhenti, demikian Watu Gunung akan menyerang dengan
dahsyatnya tanpa menghiraukan hantaman lawan. Dan biasanya pada waktu
yang singkat ia telah berhasil meringkus kaki lawan itu dan membenturkan
kepalanya di pohon sawo.
Berbeda dengan semua pikiran-pikiran itu,
tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat kesan yang aneh dari suara tertawa itu.
Ia jadi terkenang pada suatu peristiwa yang sangat memalukan dan
hampir-hampir menjatuhkan namanya. Peristiwa itu terjadi beberapa waktu
yang lalu ketika ia masih menjabat sebagai perwira pasukan pengawal
raja.
Pada saat Demak sedang membentuk dirinya
dan memperkokoh kedudukannya, di mana dibutuhkan kekuatan yang
sebesar-besarnya, maka di daerah pantai selatan berdirilah suatu
himpunan dari beberapa tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam yang ingin
mempergunakan kesempatan untuk kepentingan diri sendiri serta
golongannya. Gerombolan ini diketuai oleh seorang yang sakti dan
berkekuatan luar biasa, yang menamakan dirinya Lawa Ijo. Sehingga
gerombolan itu pun kemudian lazim disebut gerombolan Lawa Ijo. Pada masa
jayanya, Lawa Ijo mempunyai daerah pengaruh yang luas di daerah selatan
sepanjang pantai sampai ke daerah Bagelen dan Banyumas. Menurut kabar,
gerombolan ini bersarang di hutan Mentaok.
Demikian merasa dirinya begitu kuat,
sampai Lawa Ijo sendiri beserta beberapa orang kepercayaannya berani
melakukan pengacauan di ibukota kerajaan Demak. Meskipun pasukan
keamanan sudah dikerahkan namun Lawa Ijo tak pernah bisa dijumpai,
kecuali hanya bekas-bekas perbuatannya yang kadang-kadang tak mengenal
perikemanusiaan, dan tanda-tanda pengenal yang sengaja ditinggalkan,
yaitu secarik kain yang bergambar seekor kelelawar berwarna hijau dan
berkepala serigala diikatkan pada sebilah pisau, yang agak panjang.
Bahkan kekurangajarannya memuncak lagi
dengan usahanya memasuki kamar perbendaharaan istana, dimana disimpan
harta kekayaan istana beserta benda-benda untuk upacara yang terbuat
dari emas, berlian dan permata-permata lainnya. Adalah suatu aib yang
tercoret di muka para pengawal istana, kalau pada saat itu tak seorang
pun yang mengetahui bahwa lima orang gerombolan Lawa Ijo yang dipimpin
oleh Lawa Ijo sendiri sampai dapat memasuki halaman istana bagian dalam.
Untunglah bahwa pada saat-saat dimana
gerombolan Lawa Ijo sedang mengganas, pasukan pengawal istana telah
mengambil langkah-langkah seperlunya untuk menghadapi segala
kemungkinan. Sehingga tiap malam tidak hanya para prajurit yang bertugas
ronda keliling, tetapi juga para perwira. Malam itu adalah malam dimana
Mahesa Jenar sedang mendapat giliran bertanggungjawab pada keselamatan
raja serta istana seisinya. Dan justru pada malam itu pulalah gerombolan
Lawa Ijo bertindak.
Pada malam itu kira-kira hampir tengah
malam, Mahesa Jenar di ruang penjagaannya merasakan angin aneh bertiup
perlahan-lahan. Begitu nyamannya sampai para perajurit merasa kantuk
dengan tiba-tiba dan bahkan menjadi tak kuat lagi menahan matanya.
Mahesa Jenar sendiri merasa bahwa ia pun tak luput dari serangan itu.
Tetapi ia adalah seorang perajurit yang berpengalaman. Begitu ia
merasakan suatu ketidakwajaran, hatinya menjadi curiga. Meskipun
demikian ia tidak segera bertindak. Mula-mula ia pusatkan kekuatan
batinnya untuk melawan akibat angin yang aneh itu, sehingga lambat laun
ia berhasil mengatasinya. Kemudian ia sendiri pun berpura-pura
merebahkan diri di samping seorang perwira bawahannya yang sudah hampir
tak kuat lagi menahan kantuknya. Tetapi begitu Mahesa Jenar berbaring,
lalu berbisiklah ia perlahan-lahan sekali kepada perwira bawahannya itu.
“Adi Gadjah Alit, rupa-rupanya dirimu telah terkena sirep. Sadarlah dan cobalah melawan.”
Mendengar bisikan Mahesa Jenar ini,
Gadjah Alit menjadi seperti tersadar dari kantuknya. Cepat-cepat ia pun
memusatkan seluruh kekuatan batinnya dan dengan sekuat tenaga ia
melawannya. Akhirnya ia pun sedikit demi sedikit berhasil menguasai
dirinya kembali. Ketika Mahesa Jenar melihat bahwa Gadjah Alit telah
dapat menguasai dirinya, kembali ia berkata, “Adi Gadjah Alit,
rupa-rupanya ada sesuatu yang tidak wajar di dalam istana ini. Aku kira
sebagian besar penjaga sudah terlibat dalam cengkeraman sirep itu.
Tetapi baiklah kita tidak usah ribut. Marilah kita berdua berusaha untuk
menguasai keadaan.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan kakang Rangga Tohjaya?” tanya Gadjah Alit.
“Dengan berpura-pura tidur, mereka
tentu tidak mengira kalau kita tengah mengadakan penyelidikan. Marilah
kita berpencar. Lewat pintu belakang dari ruangan ini. Kau pergi ke
utara dan aku ke selatan. Kalau salah satu diantara kita melihat hal
yang mencurigakan dan kiranya kita masing-masing seorang diri tak mampu
mengatasi, sebaiknya kita memberi tanda dengan sebuah suitan.”
“Baiklah kakang Rangga,” jawab Gadjah Alit.
Dan setelah beberapa saat tak terjadi
apa-apa, perlahan-lahan dan berhati-hati sekali mereka berdua menyelinap
pintu belakang ruang jaga dengan tidak membangunkan seorang pun, agar
orang yang bermaksud jahat itu sama sekali tak menduga bahwa diantara
sekian banyak penjaga itu ada yang terluput dari sirepnya.
Dengan berlindung pada bayang-bayang dan
batang-batang tanaman mereka berdua menyelidiki keadaan taman itu dengan
seksama. Gadjah Alit ke utara, sedangkan Mahesa Jenar atau Rangga
Tohjaya ke selatan. Beberapa lama mereka tak menemukan tanda apa-apa.
Malahan halaman dalam istana itu rasanya jauh lebih sepi dari biasanya.
Tapi Mahesa Jenar dan Gadjah Alit adalah orang-orang yang penuh dengan
pengalaman dan mempunyai ketajaman batin yang luar biasa. Mahesa Jenar
yang meskipun pada waktu itu belum melihat adanya sesuatu yang
mencurigakan, tetapi ia sudah mendapat firasat bahwa ia telah berdekatan
dengan apa yang dicarinya. Itulah sebabnya ia segera diam menenangkan
diri di belakang sebuah tanaman yang agak rimbun. Dipusatkannya segala
perhatiannya ke suasana di sekelilingnya. Angin aneh yang ternyata
adalah mengalirnya kekuatan sirep dari seseorang yang cukup kuat ilmu
kebatinannya, masih saja bertiup. Bahkan daya sirep itu demikian kuatnya
sehingga baik Mahesa Jenar maupun Gadjah Alit harus tetap menyediakan
sebagian perhatianya untuk tetap melawan pengaruhnya. Dengan mengukur
kekuatan angin aneh itu, Mahesa Jenar sedikit banyak dapat menjajaki
sampai dimana kehebatan orang yang memasangnya. Dengan demikian Mahesa
Jenar harus betul-betul waspada, sebab ia tahu betul bahwa orang yang
memasang sirep itu tentulah seorang yang mempunyai kesaktian tinggi.
Dari tempat persembunyiannya Mahesa Jenar dapat melihat bahwa tiga orang
yang bertugas jaga di sudut dinding halaman itu telah tertidur
semuanya.
Tombaknya disandarkan pada dinding halaman, dan mereka bertiga begitu saja menggeletak tidur di atas rumput.
Maka setelah agak lama Mahesa Jenar
menanti, datanglah saat yang menyebabkan denyut jantung Mahesa Jenar
bertambah cepat. Karena pendengarannya yang sangat tajam itulah maka ia
mendengar suara berdesir di atas atap balai perbendaharaan istana.
Ketika dengan matanya yang setajam telinganya itu pula ia mengamat-amati
arah suara itu, darahnya jadi tersirap. Dilihatnya samar-samar bayangan
yang berkerudung hampir seluruh tubuhnya berjalan mengendap-ngendap.
Tiba-tiba bayangan itu berhenti hanya beberapa depa saja di atasnya.
Mahesa Jenar segera mengatur jalan nafasnya supaya tidak didengar oleh
bayangan itu. Dan memang rupa-rupanya bayangan itu sama sekali tidak
mengerti kalau di bawahnya bersembunyi seseorang.
Bayangan itu kemudian berdiri dan
terdengarlah suatu suitan nyaring. Setelah itu ia berdiri tegak sambil
memandang ke arah sudut pagar halaman. Tiba-tiba muncullah
berturut-turut, hampir seperti seekor berati yang terbang dan hinggap di
atas dinding pagar yang tingginya satu setengah kali tinggi orang. Dan
kemudian terdengarlah tawa itu. Bayangan di atas balai perbendaharaan
itu memperdengarkan suara tertawa yang walaupun tidak keras tetapi
memancarkan suatu pengaruh yang luar biasa, sehingga seseorang yang
mendengarnya hatinya menjadi begitu pedih seperti mendengar rintihan
hantu kubur. Bukan itu saja. Keempat bayangan yang muncul kemudian itu
memperdengarkan suara tertawa yang sama, sehingga terpaksa Mahesa Jenar
harus segera dengan kekuatan batinnya menutupi lubang-lubang pendengaran
hatinya untuk tidak menerima pengaruh jahat dari suara itu. Kemudian
keempat orang itu meloncat dengan gaya seperti seekor burung, turun ke
halaman. Seperti terapung di udara, mereka berlari ke arah bayangan di
atas atap itu. Sementara itu dari arah lain Mahesa Jenar melihat
bayangan seorang yang pendek bulat berlari seperti batu berguling-guling
masuk jurang begitu cepatnya ke arah empat bayangan itu. Belum lagi
Mahesa Jenar berbuat sesuatu, bayangan itu sudah langsung menyerang.
Hati Mahesa Jenar berdebar bertambah cepat. Bayangan yang gemuk pendek
dan menggelinding cepat sekali tadi sudah pasti adalah Gajah Alit.
Rupanya ketika Gajah Alit mendengar suitan bayangan di atas atap itu, ia
mengira kalau Mahesa Jenarlah yang memberi tanda kepadanya untuk
membantunya. Maka ketika ia dengan hati-hati sekali pergi ke arah suara
itu, ia mendengar suara tertawa bersahut-sahutan. Dan ia melihat keempat
bayangan itu seperti terbang mengarah ke balai perbendaharaan. Maka
dengan tidak banyak pertimbangan lagi ia langsung menyerang keempat
bayangan itu.
Keempat bayangan itu rupa-rupanya sama
sekali tidak menduga kalau ia akan mendapat serangan demikian hebatnya.
Sehingga dalam beberapa saat rupa-rupanya Gajah Alit telah berhasil
melukai satu di antaranya. Tetapi ketiga yang lain menjadi sangat marah
dan segeralah terjadi pertempuran yang hebat sekali.
Sementara itu Mahesa Jenar belum
memperlihatkan diri. Kecuali keadaan masih belum memerlukan, rupanya
Gajah Alit tidak begitu banyak mengalami kesulitan. Meskipun ia harus
bekerja mati-matian melawan tiga orang yang mempunyai tenaga tempur yang
cukup, ia sendiri memandang perlu untuk tetap mengawasi gerak-gerik
bayangan di atas atap balai perbendaharaan itu. Dan apa yang diduganya
ternyata benar. Bayangan di atas atap itu ternyata adalah pemimpinnya,
yaitu Lawa Ijo sendiri. Melihat keempat orangnya itu tak segera dapat
mengatasi lawannya, Lawa Ijo tampaknya tidak sabar lagi. Tiba-tiba ia
mengeluarkan suatu suitan nyaring dan seperti seekor elang menyambar ia
terjun dari atap. Kedua tangannya dikembangkan dan tampaklah jari-jari
tangannya yang kokoh kuat itu siap menerkam Gajah Alit. Mahesa Jenar
yang memang sudah siap, tidak membiarkan Gajah Alit dilukai, segera ia
pun meloncat dari persembunyiannya. Geraknya tampak kuat, tangkas dan
teguh seperti seekor banteng yang terluka menyerang lawannya. Mendengar
suitan dari atas atap itu, Gajah Alit segera sadar bahwa suitan itu
seperti yang didengarnya tadi, ternyata bukanlah suara Mahesa Jenar.
Maka segera ia melontarkan diri jauh ke belakang sampai empat lima depa,
dan segera bersiap menghadapi kemungkinan dari musuhnya yang baru itu.
Melihat gerak yang demikian cepatnya ketiga musuhnya jadi terkejut,
demikian juga Lawa Ijo yang terpaksa membuat satu gerakan di udara untuk
mengubah arah terjunnya. Tetapi kembali di luar dugaannya bahwa dari
arah lain datanglah dengan garangnya suatu serangan yang dahsyat.
Kembali Lawa Ijo mengubah gaya tubuhnya. Tetapi, meskipun demikian ia
tak mempunyai kekuatan lagi untuk menyerang ke arah yang berlawanan,
sehingga segera ia melipat tangan kanannya untuk melindungi dada,
sedangkan tangan kirinya disiapkan untuk menyerang. Mak, pada saat kaki
Lawa Ijo baru saja menyentuh tanah, datanglah serangan Mahesa Jenar
dengan dahsyatnya, sehingga terjadilah suatu benturan yang sangat hebat
dari dua tenaga raksasa. Tetapi rupanya Mahesa Jenar menang perhitungan,
sehingga Lawa Ijo terdorong ke belakang dan kehilangan keseimbangan. Ia
berguling dua kali ke belakang dan barulah ia dapat tegak kembali.
Tetapi, sementara dadanya terasa nyeri sekali, nafasnya agak sesak.
Pukulan Mahesa Jenar yang dilontarkan sepenuh tenaga itu rupanya telah
melukai bagian dalam tubuh Lawa Ijo. Meskipun demikian, pada saat
benturan itu terjadi, tangan kiri Lawa Ijo ternyata telah dapat mengenai
pundak Mahesa Jenar, sehingga tangan kanan Mahesa Jenar pun menjadi
sakit dan geraknya menjadi terbatas.
Gajah Alit yang melihat munculnya Mahesa
Jenar dengan tiba-tiba itu menjadi girang, dan geraknya bertambah
mantap. Sambil menyerang kembali ia sempat berkata, “Ee.., kakang Rangga, rupa-rupanya kau mau mengajak main sembunyi-sembunyian.”
Tetapi Mahesa Jenar diam saja, sebab ia sedang berhadapan dengan lawan yang sangat tangguh.
Maka, segera terjadi dua kancah
pertarungan yang dahsyat. Mahesa Jenar melawan Lawa Ijo, dan Gajah Alit
melawan tiga orang pengikut Lawa Ijo. Mungkin karena Lawa Ijo telah
berhasil dilukainya lebih dahulu, maka pertempuran antara Mahesa Jenar
dan Lawa ijo segera tampak berat sebelah. Sekali dua kali memang ia bisa
mengenai tubuh Mahesa Jenar, tetapi sebaliknya Mahesa Jenar telah
mengenainya dua kali lipat. Karena tangan kanannya terluka, Mahesa Jenar
memusatkan serangannya pada kecepatan gerak kakinya. Dan ternyata ini
berbahaya sekali bagi Lawa Ijo. Pada suatu kali Lawa Ijo dengan
dahsyatnya menyerang arah tenggorokan Mahesa Jenar dengan dua buah
jarinya yang dirapatkan. Cepat-cepat Mahesa Jenar menghindar dengan
menarik tubuhnya sedikit ke samping. Tetapi secepat kilat Lawa Ijo
mengubah serangannya dengan suatu tendangan ke arah ulu hati Mahesa
Jenar. Serangan itu datangnya cepat sekali, sehingga hanya dengan
gerakan yang kecepatannya tak dapat dilihat, Mahesa Jenar berhasil
menangkis serangan itu dan dengan tangannya mendorong kaki itu ke dalam.
Dorongan itu begitu kuatnya sehingga Lawa Ijo terputar setengah
lingkaran. Maka kembali Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan ini. Belum
lagi kaki Lawa Ijo itu menjejak tanah, Mahesa Jenar telah memberikan
suatu tendangan dan dengan tumitnya ia mengenai lambung lawannya.
Kembali Lawa Ijo terlompat beberapa langkah. Dan karena dada Lawa Ijo
memang sudah terluka, maka pukulan ini rasanya jauh lebih hebat dari
serangan yang pertama, sehingga Lawa Ijo terlompat ke belakang. Mahesa
Jenar yang akan memburunya, terpaksa segera menghentikan geraknya.
Seleret sinar putih terbang menyambar dadanya. Secepat kilat ia
miringkan tubuhnya, dan sinar putih itu lari hanya berjarak setebal daun
dari dadanya, mengenai dinding balai perbendaharaan dan langsung
menancap di sana hampir sampai ke tangkainya. Ternyata benda itu adalah
sebilah pisau yang pada tangkainya diikatkan secarik kain yang bergambar
seekor kelelawar hijau dengan kepala serigala. Melihat pisau itu
tertancap begitu dalam, hati Mahesa Jenar tersirap juga. Kalau saja
pisau itu menancap di dadanya, entahlah apa jadinya.
Sementara itu terjadilah suatu hal di
luar dugaan. Setelah melemparkan pisaunya, segera Lawa Ijo meloncat ke
belakang dan secepat kilat ia melarikan diri. Mahesa Jenar tentu saja
tak membiarkan Lawa Ijo lari, sehingga ia segera mengejarnya. Tetapi di
luar dugaannya pula, kedua orang yang turut mengeroyok Gajah Alit segera
meninggalkannya dan menghadangnya. Mereka sekarang sudah memegang
senjata di tangan masing-masing. Sebuah belati panjang. Mahesa Jenar
menjadi jengkel sekali. Sedianya ia sama sekali tak ingin melayani orang
itu, supaya tidak kehilangan Lawa Ijo. Tetapi kedua orang itu nekad
menyerang Mahesa Jenar. Terpaksa Mahesa Jenar berhenti untuk melayani
kedua orang itu. Baik Mahesa Jenar maupun Gajah Alit mengerti akan
maksud kedua pembantu Lawa Ijo itu, yaitu untuk memberi kesempatan
kepada pemimpinnya supaya dapat meloloskan diri.
Karena itu Gajah Alit pun berusaha untuk
menghindari pertarungan dengan lawannya yang tinggal seorang itu untuk
dapat mengejar Lawa Ijo. Tetapi lawannya itu pun sudah seperti orang
kemasukan setan. Maka akhirnya Mahesa Jenar dan Gajah Alit mengambil
keputusan untuk menyelesaikan lawan masing-masing, baru berusaha
menangkap Lawa Ijo. Tetapi belum lagi mereka berhasil menyelesaikan
pertempuran itu, Lawa Ijo telah meloncat ke atas dinding halaman.
Kemudian kembali terdengar suara tertawa itu, suara tertawa yang
menusuk-nusuk hati begitu pedihnya seperti suara rintihan hantu kubur.
Dengan cepat tertawanya itu makin lama makin terdengar jauh dan lemah.
Menyaksikan hilangnya Lawa Ijo di depan
matanya, Mahesa jenar dan Gajah Alit menjadi gusar bukan kepalang. Dan
sekarang kegusarannya itu hanya dapat ditumpahkan kepada lawannya yang
ketika itu juga sudah berusaha untuk melarikan diri. Maka dengan
kekuatan penuh, Mahesa Jenar segera menghantam lawannya. Pisau yang
dipegang oleh kedua orang itu sama sekali tak berarti. Dan sekali
pukulan Mahesa Jenar melayang mengenai kepala salah seorang di
antaranya, sehingga terdengar suatu jerit ngeri. Disusul teriakan keras
dari yang seorang lagi karena tulang-tulang rusuknya rontok disambar
kaki Mahesa Jenar. Maka seperti batang pisang keduanya roboh di tanah
dan tak bergerak-gerak lagi. Belum lagi gema teriakan itu berhenti,
terdengarlah suara keluhan yang tertahan. Rupanya Gajah Alit pun
berhasil menyelesaikan pertempurannya. Hanya saja ia mempunyai cara
sendiri untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan tangannya yang pendek
kukuh itu ia menyambar leher lawannya. Lalu dengan ibu jarinya yang
kokoh ia menekan leher itu sampai nafas lawannya putus.
Namun meskipun pada pagi harinya terjadi
kegemparan dalam istana, serta hampir tiap-tiap mulut menyatakan pujian
terhadap Mahesa Jenar dan Gajah Alit, yang telah berhasil menggagalkan
usaha Lawa Ijo, bahkan dapat pula membinasakan empat orang anggotanya,
tetapi Mahesa Jenar tetap merasa kagum akan kekuatan tenaga batin
lawannya. Meskipun terjadi perkelahian begitu hebatnya, serta beberapa
kali terdengar teriakan dan suitan, namun tak seorang pun dari mereka
yang tertidur karena pengaruh sirep itu terbangun.
Apalagi suara tertawa itu. Alangkah
tajamnya, sehingga mempunyai pengaruh yang luar biasa. Orang yang tidak
mempunyai daya tahan yang kuat tentu akan terpengaruh karenanya,
akhirnya menggigil ngeri dan kehilangan tenaga.
Sekarang, pada saat ia bertanding melawan
Watu Gunung untuk kepentingan Ki Asem Gede, kembali ia mendengar
tertawa yang demikian. Mirip sekali dengan suara tertawa Lawa Ijo.
Orang-orang yang tak berkepentingan serta tak terlibat dalam perkelahian
itu pun menjadi menggigil karenanya. Bahkan beberapa orang telah
terduduk lemah tanpa kekuatan lagi untuk dapat berdiri.
———-oOo———-
IV
Mendapat ingatan itu, kegusaran hati Mahesa Jenar seperti tergugah.
Dalam sejarah hidupnya belum pernah ada seseorang penjahat yang sudah
berada di bawah hidungnya terluput dari tangannya. Meskipun ia sekarang
bukan lagi seorang prajurit Demak, ia tetap memiliki jiwa pengabdian
untuk kedamaian hati rakyat. Karena itu sekali lagi ia ingin bertemu
dengan Lawa Ijo, yang sejak peristiwa itu namanya tak pernah terdengar
lagi. Tetapi ia yakin, bahwa apabila tak terbinasakan, pada suatu saat
pasti Lawa Ijo akan muncul kembali. Watu Gunung yang memiliki ciri-ciri
khas sama dengan Lawa Ijo, tentu mempunyai hubungan erat. Mungkin Watu
Gunung adalah bekas gerombolan Lawa Ijo, atau mungkin juga muridnya.
Maka timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk mempermainkan orang ini
sebagai undangan buat kehadiran Lawa Ijo.
Kenangan dan pikiran-pikiran itu hanya
sebentar saja melintas di otak Mahesa Jenar. Sementara itu suara tertawa
Watu Gunung sudah kian lemah, kian lemah. Para penonton pun menjadi
kian ngeri dan ketakutan. Beberapa orang diantaranya terjatuh lemas
seperti dicopoti tulang-tulangnya. Saat yang mengerikan tentu segera
tiba. Para penonton yang mengharap segera berakhir riwayat kelima iblis
itu, meratap dalam hati.
Tepat pada saat mulut Watu Ganung
terkatup, matanya segera berubah jadi merah dan liar. Wajahnya tampak
bertambah bengis. Ia memandang Mahesa Jenar dengan tajam. Tangannya
direntangkan ke samping, sedangkan jari-jarinya yang kuat itu
dikembangkan, siap untuk menerkam dan merobek lawannya. Setapak demi
setapak ia maju mendekati umpannya.
Tetapi, sementara Mahesa Jenar pun telah
siap, dan telah mendapat keputusan untuk mempermainkan lawannya. Tetapi
ia tetap waspada dan hati-hati, sebab ia tahu betapa kuatnya Lawa Ijo.
Kalau saja orang ini dapat mewarisi segala kehebatan Lawa Ijo,
pertarungan tentu akan menjadi sangat sengit sekali.
Ketika jarak mereka tinggal kira-kira dua
depa, Watu Gunung menggeram hebat. Lalu dengan gerak yang cepat sekali
ia melompat menerkam Mahesa Jenar. Serangan yang dilontarkan dengan
sepenuh tenaga, serta dari jarak yang begitu dekat dengan kecepatan yang
tinggi, menjadikan darah para penonton berdesir. Apalagi ketika mereka
melihat Mahesa Jenar tidak sempat menghindari serangan itu. Ia hanya
dapat melindungi dirinya dengan tangannya, yang disilangkan di muka
dadanya untuk menahan terkaman jari-jari Watu Gunung.
Memang saat itu Mahesa Jenar sama sekali
tidak berusaha menghindar. Ia hanya mempergunakan tangannya untuk
melindungi dadanya. Dan ketika serangan itu datang, terdengarlah
beberapa jeritan tertahan, justru dari para penonton. Sedangkan Ki Asem
Gede pun tak sempat mengedipkan matanya. Mereka mengira bahwa akan
terjadi suatu benturan yang dahsyat dan tangan Mahesa Jenar akan
dipatahkan.
Tetapi apa yang terjadi adalah jauh dari
itu. Sama sekali tak terjadi benturan yang keras. Sebab waktu tangan
Watu Gunung menyentuh tangannya, Mahesa Jenar surut ke belakang
selangkah untuk memusnahkan tenaga lawan. Sesudah itu ia gunakan enam
bagian tenaganya untuk mendorong lawannya. Watu Gunung sama sekali tidak
mengira bahwa ia akan mengalami pelayanan yang demikian. Karena itu
seperti bola besi yang dilemparkan ke udara oleh tenaga seekor banteng,
ia melayang sebentar dan terjatuh beberapa depa ke belakang. Hanya
karena kelincahan dan keuletannya saja maka ia tidak terpelanting dan
jatuh bergulingan. Meskipun tubuhnya bergetar, Watu Gunung berhasil
tegak di atas kedua kakinya, bahkan ia telah siap pula dengan sebuah
pertahanan.
“Bagus. Ulet juga orang ini,” desis Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar tidak mau memberi
kesempatan lagi. Watu Gunung geragapan, cepat-cepat ia rendahkan
tubuhnya dan melindungi lambungnya dengan siku. Tapi rupanya Mahesa
Jenar tidak betul-betul menyerang lambung itu, sebab sebentar kemudian
tangan kanannya sudah berputar mengenai tengkuk Watu Gunung. Kembali
Watu Gunung terhuyung-huyung ke samping. Dikerahkannya semua tenaganya
untuk menahan tubuhnya supaya tidak jatuh, dan dengan susah payah ia
berhasil juga.
Perubahan yang terjadi demikian cepatnya
itu, menyebabkan para penonton terkejut bukan kepalang. Malahan kemudian
ada yang tidak percaya pada apa yang terjadi. Setan mana yang telah
membantu Mahesa Jenar mendapat kekuatan itu.
Samparan beserta ketiga kawannya sampai
berdiri. Sebagai orang yang penuh pengalaman, Samparan segera melihat
kekuatan Mahesa Jenar yang luar biasa itu. Kalau mula-mula Mahesa Jenar
tampak lemah dan tak bertenaga, itu karena ia sedang menjajagi sampai di
mana kekuatan lawannya. Kalau mula-mula ia merasa yakin bahwa Watu
Gunung akan berhasil, sekarang adalah sebaliknya, ia menjadi yakin kalau
Watu Gunung akan binasa, atau setidak-tidaknya namanyalah yang binasa.
Rupanya ketiga kawannya pun berpikir demikian juga.
Apalagi Mahesa Jenar telah mendesak
demikian hebatnya. Anehnya, serangan serangan Mahesa Jenar tidak tampak
membahayakan. Pada suatu kali, ketika Mahesa Jenar meloncat dengan
dahsyatnya ke udara, kakinya bergerak menyambar kepala Watu Gunung,
sehingga Watu Gunung terpaksa merendahkan diri untuk menghindar. Tetapi
segera kaki itu ditarik, dan sekali menggeliat Mahesa Jenar telah
berdiri di belakang Watu Gunung. Tangannya bergerak cepat sekali ke arah
kepala Watu Gunung. Serentak hati para penonton tergetar. Hampir saja
mereka bersorak, karena pasti kepala Watu Gunung akan terhantam. Tetapi
rupanya Mahesa Jenar berbuat lain. Ia hanya menyambar saja ikat kepala
Watu Gunung yang berwarna merah soga itu.
Mendapat perlakuan ini, wajah Watu Gunung
menjadi merah, semerah ikat kepalanya yang disambar Mahesa Jenar itu.
Giginya gemeretak menahan marah, dan tubuhnya bergetar secepat getaran
darahnya. Bagi orang seperti Watu Gunung, lebih baik kepalanya
diremukkan daripada dihina sedemikian.
Ki Asem Gede, yang sejak melihat
perubahan sikap Mahesa Jenar sudah mendapat kepastian akan akhir dari
pertarungan itu, melihat Mahesa Jenar berbuat demikian tak dapat lagi
menahan geli hatinya. Tertawanya melontar tak terkendalikan sampai
tubuhnya berguncang-guncang.
Mendengar suara Ki Asem Gede tertawa
terkekeh-kekeh, hati Watu Gunung semakin terbakar. Maka secepat
halilintar menyambar, tangannya tergerak, dan seleret sinar menyambar
dada Mahesa Jenar.
Melihat sinar itu, sesaat Mahesa Jenar
bimbang. Kalau ia menghindar, tentu pisau itu akan mengenai salah
seorang penonton yang berdiri diluar arena itu. Tetapi ia tidak
mempunyai waktu banyak untuk berbimbang-bimbang. Pada saat yang tepat ia
miringkan tubuhnya seperti apa yang ia lakukan sewaktu ia menghadapi
keadaan yang sama, ketika ia bertempur dengan Lawa Ijo. Tetapi sekarang
ia tidak menghendaki pisau itu menelan korban orang yang tak berdosa.
Dengan suatu gerakan yang sukar dilihat dengan mata, tangan Mahesa Jenar
menyambar tangkai pisau itu. Tahu-tahu pisau itu sudah di tangannya.
Melihat adegan itu, penonton menjadi
gempar. Mereka menjadi lupa bahwa diantara mereka masih ada empat orang
iblis yang menyaksikan pertunjukan itu dengan penuh kemarahan.
Kecenderungan mereka untuk memihak Mahesa Jenar akan menambah dendam
keempat orang itu.
Ki Asem Gede yang paling tak dapat menguasai dirinya. Seperti orang anak kecil ia berteriak-teriak memuji. “Bagus …, bagus …, bagus ….”
Tetapi, tiba-Tiba teriakannya dan
kegemparan penonton pun mendadak terhenti. Mereka melihat seorang dengan
lincah meloncat ke dalam arena sambil memegang sebuah pedang pendek.
Itulah Gagak Bangah. Anggota termuda dari
kawanan iblis itu. Rupa-rupanya ia tidak dapat lagi mengendalikan
dirinya melihat Watu Gunung dihinakan sedemikian. Meskipun ia merasa
bahwa ia sendiri tidak akan mampu melawan Mahesa Jenar, tetapi berdua
dengan Watu Gunung adalah lain soalnya. Ia sendiri tidak sekuat Watu
Gunung, tetapi ia mempunyai kelebihan dalam hal kecepatan bergerak. Dan
kecepatannya itu apabila digabungkan dengan kekuatan tenaga Watu Gunung
mungkin akan dapat merobohkan lawan yang bagaimanapun tangguhnya.
Melihat seorang kawannya memasuki arena, hati Watu Gunung yang sudah
tipis sekali itu menjadi tergugah kembali. Ia sudah tidak peduli lagi
kepada peraturan yang ditentukan dalam pertarungan itu.
Melihat seorang lagi masuk dalam arena,
Mahesa Jenar terkejut. Ia surut beberapa langkah ke belakang, dan
pandangannya mengandung pertanyaan. Tetapi dengan tak banyak cakap,
Gagak Bangah sudah memutar pedang pendeknya dan dengan kecepatan yang
luar biasa ia menyerang Mahesa Jenar.
“Tunggu,” terpaksa Mahesa Jenar ingin mendapatkan penjelasan sambil meloncat menghindar9i serangan itu, “adakah kau ingin menggantikan Watu Gunung?”
Tetapi, ia tidak mendapat jawaban, bahkan kini Gagak Bangah dan Watu Gunung menyerang bersama-sama.
“Kalian melanggar peraturan,”
sambung Mahesa Jenar sambil meloncat menghindari sambaran pedang pendek
dan kemudian cepat sekali ia meloncat dua depa ke belakang sebelum kaki
Watu Gunung mengenai tungkaknya.
“Tidak ada suatu peraturan pun yang dapat mengikat kami,” teriak Gagak Bangah dengan garangnya. “Kami
berdiri di atas segala peraturan. Kalau kami berhak menentukan
peraturan, kami pun berhak mengubah atau menghapus peraturan itu.”
Mahesa Jenar jadi sadar bahwa ia
berhadapan dengan orang-orang yang licik dan tidak bersikap jantan. Ia
paling benci pada sifat-sifat yang demikian. Ia lebih menghargai
seseorang yang mengakui kekalahannya daripada orang yang licik dan
curang. Itulah sebabnya kemarahan Mahesa Jenar tergugah.
Tetapi ia sekarang berhadapan dengan dua
orang yang mempunyai keistimewaan masing-masing dan tergolong dalam
tingkatan yang cukup tinggi. Karena itu ia harus mengerahkan sebagian
besar kepandaiannya.
Ki Asem Gede yang menyaksikan kecurangan
itu pun menjadi gusar. Untuk melawan dua orang, belum tentu Mahesa Jenar
dapat menang. Karena itu ia sudah membulatkan tekad untuk melibatkan
diri dalam pertempuran itu. Tetapi baru saja ia akan meloncat, tiba-tiba
terdengarlah sebuah bisikan, “Jangan berbuat sesuatu Ki Asem Gede.” Ki
Asem Gede terkejut bukan kepalang. Dan terasa di kedua belah lambungnya
melekat ujung senjata tajam. Ketika ia menoleh, dilihatnya Wisuda dan
Palian, yakni anggota ke-3 dan ke-4 dari kawanan iblis itu berdiri di
belakangnya dan mengancamnya dengan keris. Maka terpaksa Ki Asem Gede
mengurungkan niatnya, meskipun hatinya bergelora hebat, sambil menanti
suatu kesempatan.
Sementara itu, pertempuran di arena
bertambah hebat. Gagak Bangah dengan gesitnya menyambar-nyambar sambil
mempermainkan pedang pendeknya, seperti seekor Sikatan menyambar
belalang. Sedangkan Watu Gunung pun dengan mengandalkan kekuatannya
menyerang dengan garangnya. Apalagi kini ia telah memegang pula sebuah
belati panjang yang dicabutnya dari bawah kainnya, seperti yang
dilemparkan tadi.
Tetapi, Mahesa Jenar pun ternyata tidak
mengecewakan. Diam-diam ia merasa bersyukur bahwa dengan tidak sengaja
Watu Gunung telah memberinya sebilah pisau belati panjang. Dan dengan
senjata itu ia melayani kedua lawannya. Ia pernah mendengar bahwa belati
kawanan Lawa Ijo terkenal keampuhannya serta terbuat dari baja pilihan.
Apalagi kini senjata itu ada di tangan Mahesa Jenar yang mempunyai
kepandaian dalam mempergunakan segala macam senjata. Maka dalam waktu
yang singkat ujung belati itu dengan dahsyatnya menyerang lawannya dan
seolah-olah berubah menjadi beribu-ribu mata pisau yang mematuk-matuk
dengan garangnya.
Keadaan yang seimbang dari pertempuran
itu tidak berlangsung lama. Sebab segera Mahesa Jenar berhasil mendesak
lawannya ke dalam keadaan yang sulit. Sebenarnya Mahesa Jenar tidak
biasa membinasakan lawannya, apalagi tidak ada sebab-sebab yang memaksa.
Ia lebih suka mengampuni seseorang apabila orang itu sudah tidak dapat
berbuat apa-apa. Tetapi tidak demikian halnya terhadap orang-orang yang
licik dan curang. Sebab orang-orang yang demikian sudah tidak menghargai
lagi sifat-sifat kejantanan dan kekesatriaan. Orang-orang semacam
itulah yang selalu akan menimbulkan bencana. Karena itu terhadap
orang-orang yang demikian, juga kepada lawannya itu, Mahesa Jenar telah
mengambil keputusan untuk membinasakan sama sekali.
Maka segera ia merangsang lawannya lebih
hebat lagi. Pisau panjang yang berada di tangannya itu bergerak semakin
cepat sehingga hampir merupakan gumpalan gumpalan sinar yang
bergulung-gulung mengerikan sekali.
Watu Gunung dan Gagak Bangah sama sekali
tidak menduga bahwa Mahesa Jenar memiliki kepandaian yang demikian
tinggi. Maka diam-diam mereka berdua mengeluh dalam hati. Karena mereka
tadi memberi kesempatan kepada orang ini untuk bertanding membela anak
Ki Asem Gede. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh mereka
berdua.
Maka, sesaat kemudian terdengarlah bunyi
berdentang dari senjata yang beradu. Ternyata pisau panjang Mahesa Jenar
telah menyambar pedang pendek Gagak Bangah. Sambaran itu begitu kuatnya
sehingga tangan Gagak Bangah merasa nyeri sekali. Belum lagi ia dapat
memperbaiki keadaannya, kembali pedangnya disambar oleh pisau Mahesa
Jenar. Dan benar-benar kali ini ia tidak mampu lagi berbuat apa-apa
sehingga pedangnya terpental jatuh.
Melihat keadaan itu, Watu Gunung segera
berusaha menolong kawannya. Dengan lompatan yang cepat ia mendesak maju,
dan membabat tangan Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar telah menarik
tangannya kembali dan dengan sisi telapak tangan kirinya ia menghantam
pergelangan tangan Watu Gunung. Hantaman itu sedemikian kerasnya
terlepas dari tangannya. Maka kini sampailah saatnya untuk mengakhiri
pertempuran.
Tetapi, Mahesa Jenar tidak mau membunuh
lawannya dengan senjata. Segera dilemparkannya belati itu, dan secepat
kilat sebelum Watu Gunung dan Gagak Bangah sempat menjatuhkan dirinya,
kedua tangan Mahesa Jenar masing-masing meraih kepala kedua orang itu.
Dengan tenaga yang didasari kegusaran hati, dibenturkannya kedua kepala
itu sekuat tenaga. Maka terdengarlah suara hampir seperti sebuah ledakan
diikuti oleh jerit ngeri melengking. Sekejap kemudian suara itu
terputus dan kedua orang itu rebah di tanah dengan kepala pecah.

Orang-orang yang melingkari arena,
melihat dua kejadian yang mengerikan dan terjadi pada saat yang hampir
bersamaan itu, terdiam seperti patung. Bahkan tubuh mereka hanya dapat
sebentar memandang Mahesa Jenar dan sebentar memandang Ki Asem Gede,
yang sesudah mengeluarkan seluruh tenaganya itu kemudian menjadi lemas
dan terduduk di atas tanah.
Mahesa Jenar tidak tahu apa yang sudah
dilakukan oleh Ki Asem Gede. Maka ketika ia melihat keadaannya, ia
menjadi cemas. Cepat-cepat ia melangkah menghampirinya. Dan pada saat
yang demikian para penonton menjadi tersadar tentang apa yang baru saja
terjadi. Segera terjadilah kegemparan. Beberapa orang berdesak-desakan
ingin menyaksikan mayat-mayat di tengah arena itu, tetapi sebagian ingin
melihat apa yang terjadi dengan Ki Asem Gede. Tetapi, kegemparan itu
segera berubah menjadi jeritan yang hampir bersamaan keluar dari
beberapa mulut para penonton. Sebab pada saat Mahesa Jenar sudah hampir
sampai pada tempat Ki Asem Gede terduduk, ada tombak meluncur yang
datangnya sangat cepat. Apalagi Mahesa Jenar sama sekali tak mengetahui,
karena perhatianya tertuju pada Ki Asem Gede. Mendengar jeritan-jeritan
itu Mahesa Jenar terhenti. Dan segera perasaannya yang tajam menangkap
bahwa ada sesuatu terjadi di belakangnya. Cepat-cepat ia membalikkan
diri. Semuanya itu terjadi hanya dalam waktu yang singkat, maka tak ada
kemungkinan bagi Mahesa Jenar untuk menghindarkan diri. Maka yang dapat
dilakukannya hanyalah, dengan tangannya melindungi dada.
Tetapi ketika tombak itu hampir menancap
di tubuh Mahesa Jenar, terjadilah suatu benturan yang dahsyat diiringi
dengan suara gemericing senjata beradu, sehingga timbullah bunga api
yang memancar. Kembali para penonton terkejut bukan main. Kecuali Mahesa
Jenar dan Ki Asem Gede, tak seorangpun yang melihat bahwa dari arah
lain menyambar pula sebuah senjata sehingga membentur tombak yang hampir
saja menembus tubuh Mahesa Jenar.
Apalagi ketika dua senjata yang beradu
itu jatuh di tanah, maka darah orang-orang yang berkeliling arena itu
berhenti dibuatnya. Ternyata tombak yang dilempar kearah Mahesa Jenar
itu patah ujungnya, sedangkan di sampingnya menancap sebuah trisula.
“Mantingan…!” Teriak salah seorang diantara mereka.
“Ya, Dalang Mantingan,” sahut
yang lain. Dan sebentar kemudian arena itu telah dipenuhi oleh teriakan
orang menyebut nama Mantingan. Memang, Mantingan telah terkenal di
daerah itu sejak beberapa waktu yang lampau. Tetapi kemudian lama ia
tidak muncul, dan sekarang mereka melihat lagi sebuah trisula, yang
bertangkai kayu berian, dan pada pangkalnya berukiran kuncup bunga
kamboja. Hampir semua orang mengenal benda itu. Di mana benda itu
berada, di sana Mantingan pasti ada, dan sebaliknya.
Tetapi meskipun mereka sudah mengetahui
hal itu, ketika mereka mengikuti arah pandangan mata Mahesa Jenar, darah
mereka tersirap juga melihat seseorang duduk dengan tenangnya di atas
seekor kuda yang berwarna abu-abu. Sungguh mengagumkan. Tetapi,
kekaguman mereka segera berubah menjadi keheran-heranan ketika mereka
melihat Ki Dalang Mantingan, yang mempunyai nama demikian agungnya itu
menunduk hormat kepada Mahesa Jenar.
“Malaikat manakah orang ini, sehingga orang seperti Mantingan masih juga menunduk hormat?” pikir mereka.
Tetapi mereka tidak sempat berpikir
banyak, sebab mereka segera melihat Mantingan meloncat turun dan memburu
ke arah dari mana tombak pendek tadi dilemparkan.
“Kau Samparan?” desis Mantingan.
Dan tampaklah diantara penonton, Samparan
yang pucat dan gemetar. Ia kenal betul kepada Mantingan. Kalau pada
saat yang lalu ia masih berani membusungkan dada, itu karena
membanggakan kekuatan mereka berlima. Tetapi kini empat kawannya telah
mengalami nasib yang mengerikan, sehingga hatinya pun berubah menjadi
kerdil.
“Masih inginkah kau mengadakan sayembara tanding?” tanya Mantingan melanjutkan.
“Ampun Ki Dalang. Aku hanya sekadar menuruti permintaan Watu Gunung,” jawab Samparan gemetar.
Mantingan tersenyum mendengarkan jawaban ini, dan ia heran pula melihat kelakuan Samparan yang begitu pengecut.
Sementara itu Mahesa Jenar dan Ki Asem
Gede yang sudah agak pulih kekuatannya telah pula berdiri di samping
Mantingan. Melihat tokoh-tokoh itu, hati Samparan semakin kecil dan
wajahnya semakin putih. Untunglah bahwa ia berhadapan dengan orang-orang
yang berhati lapang, selapang lautan yang sanggup menampung aliran
sungai.
“AKU ampuni kau kalau anakku pada saat ini masih seperti pada saat kau ambil dari suaminya,” kata Ki Asem Gede kemudian.
“Demi Tuhan, putrimu disentuh pun tidak,” jawab Samparan cepat-cepat.
“Antarkan aku padanya,” perintah Ki Asem Gede.
Segera Samparan mempersilahkan Ki Asem
Gede, Mahesa Jenar dan Mantingan untuk mengikutinya. Lewat Gandok
sebelah barat, mereka masuk ke belakang menyusup masuk ke dapur, dan di
sana mereka masuk ke kamar mandi yang kosong tak berair. Ternyata dasar
kolam kamar mandi itu adalah sebuah pintu rahasia untuk memasuki ruang
di bawah tanah.
Ki Asem Gede dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu. Apakah tempat itu bukan suatu alat perangkap saja.
“Kau mau main gila Samparan?” tanya Ki Asem Gede dengan suara geram.
“Mana aku berani berbuat sesuatu terhadap kalian,”
sahut Samparan bersungguh-sungguh. Meskipun demikian mereka harus
berhati-hati juga. Ki Asem Gede kemudian berjalan dahulu, baru Samparan
di belakangnya kemudian Mahesa Jenar dan Mantingan dengan trisulanya di
belakangnya lagi sambil mengawasi kalau-kalau Samparan akan mengkhianati
mereka. Ruang di bawah tanah itu terdiri dua bagian. Bagian pertama
adalah sebuah ruangan yang terbuka dan kosong, diterangi beberapa obor
yang ditancapkan pada dinding ruangan. Di bagian atas ruangan tampak
beberapa lubang udara yang dengan jalur-jalur bumbung dari tanah liat
dihubungkan dengan udara terbuka. Sedang bagian kedua adalah sebuah
ruang yang dipisahkan oleh sebuah dinding papan dengan ruang yang
pertama. Dinding itu mempunyai sebuah pintu yang kuat dan dikancing
dengan sebuah palang kayu yang cukup besar.
“Di situlah Nyai Wirasaba disimpan oleh Watu Gunung,” kata Samparan sambil menunjuk pada palang pintu yang besar itu.
Ki Asem Gede jadi tertegun. Ia ragu-ragu
untuk membuka pintu itu. Jangan-jangan ada sesuatu yang berbahaya.
Rupanya Samparan mengerti isi hati Ki Asem Gede, maka sambungnya, “Bolehkah aku membukanya?”
Ki Asem Gede masih ragu-ragu sebentar, tetapi kemudian katanya, “Bukalah, tetapi jangan main gila.”
Samparan maju perlahan-lahan mendekati
pintu itu. Matanya memandang dengan tajam, seakan-akan ingin melihat
langsung ke dalam ruangan yang tertutup itu. Baru setelah ia merenung
sejenak, tangannya bergerak membukanya.
Baru saja pintu itu terbuka, serentak
mereka terkejut melihat seorang yang meloncat keluar dan langsung
menyerang Samparan dengan sebuah patrem. Untunglah bahwa Samparan sempat
menghindar. Tetapi serangan itu tidak hanya terhenti di situ, bahkan
bertambah sengit. Hanya sayang bahwa penyerangnnya tidak mempunyai
pengetahuan tata berkelahi yang cukup sehingga dengan mudahnya Samparan
mengelakkan diri.
Ketika orang itu melihat beberapa orang
lain berada di tempat itu, apalagi setelah melihat Ki Asem Gede, ia jadi
tertegun dan sebentar kemudian berubah menjadi keheran-heranan.
Tetapi sesaat kemudian ia berlari menjauhkan diri dan memeluk kaki Ki Asem Gede. Ia Nyai Wirasaba, putri Ki Asem Gede.
Tetapi sesaat kemudian ia berlari menjauhkan diri dan memeluk kaki Ki Asem Gede. Ia Nyai Wirasaba, putri Ki Asem Gede.
“Ayah!” serunya. Tetapi kemudian
suaranya di kerongkongan. Ki Asem Gede pun memandang putrinya dengan
terharu. Dengan susah payah ia berhasil membendung air matanya sehingga
tidak mengalir. Baru beberapa lama ia tidak mengujungi putrinya itu. Dan
sekarang ia menyaksikan putrinya dalam keadaan yang menyedihkan.
Orang-orang yang menyaksikan perisitiwa
itu, mau tidak mau juga merasa terharu. Bahkan Samparan, seorang iblis
yang selama ini tidak mempunyai rasa perikemanusiaan sedikitpun,
menyaksikan hal itu dengan suatu perasaan yang aneh. Perasaan yang belum
pernah dimilikinya.
Setelah suasana agak reda, segera mereka
keluar dari ruangan di bawah tanah itu, dan untuk menenangkan perasaan
Nyai Wirasaba, mereka sementara waktu beristirahat di gandok sebelah
barat.
“Setan-setan itu tidak berbuat jahat kepadamu?” tanya Ki Asem Gede kepada putrinya.
Nyi Wirasaba tidak segera menjawab. Tetapi ia memandang Samparan dengan pandangan yang jijik, benci dan penuh kemarahan.
“Manakah kawan-kawan iblis itu?”
tanyanya kepada Ki Asem Gede, tetapi sementara itu beberapa kali Nyi
Wirasaba memandang Mahesa Jenar dan Mantingan dengan penuh pertanyaan.
Lamat-lamat ia ingat, bahwa dengan Mantingan ia pernah berkenalan.
Tetepi di mana, dan kapan? Sedangkan yang satu lagi sama sekali ia belum
pernah melihat.
Ki Asem Gede mengerti perasaan putrinya,
maka segera diceritakan apakah yang sudah terjadi. Dan tiba-tiba saja
Nyi Wirasaba berdiri lalu membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar dan
Mantingan. Dengan suara yang terputus-putus ia menyatakan betapa besar
terima kasihnya atas pertolongan mereka. Sekaligus ia teringat bahwa
Mantingan telah dikenalnya pada waktu mereka masih sama-sama kecil.
Tetapi yang kemudian tak lagi pernah bertemu sejak Mantingan mengikuti
gurunya ke Wanakerta.
Sementara, Mahesa Jenar dan Mantingan tak
habis-habisnya memandangi wajah Nyi Wirasaba. Wajarlah kiranya kalau
Watu Gunung tergila-gila kepadanya. Betapa bahagianya orang itu, yang
telah menerima anugerah Tuhan berupa kecantikan wajah yang sempurna, dan
keserasian tubuh yang tanpa cela. Mantingan yang pada masa
kanak-kanaknya sering bermain dan bertengkar bersama, tidak pernah
membayangkan bahwa pada usia dewasanya perempuan ini akan memiliki
kelebihan dari kawan-kawannya sepermainan. Tetapi, tak seorang pun yang
mengetahui bahwa Nyai Wirasaba sendiri selalu meratap di dalam hati,
menyesali nasibnya yang jelek. Karena memiliki wajah yang cantik dan
tubuh yang bulat, yang telah beberapa kali menjeratnya ke dalam
kesulitan-kesulitan yang hampir tak dapat diatasi. Bahkan pada saat yang
terakhir ini, ia telah mengambil keputusan bahwa apabila tak ada
pertolongan yang datang, ia lebih baik mengakhiri hidupnya dengan
sebilah patrem yang berhasil dibawanya di dalam sabuknya, daripada hidup
di dalam lingkungan iblis-iblis itu. Setelah perasaan Nyi Wirasabaa
agak tenang, maka segera Ki Asem Gede mengajaknya meninggalkan rumah
itu. Di luar masih banyak orang yang sejak tadi belum mau meninggalkan
halaman itu. Meskipun mereka setiap hari melihat wajah Nyi Wirasaba,
kalau Nyi Wirasaba kebetulan pergi ke pasar atau ke sawah, tetapi kali
ini mereka ingin juga melihat wajah itu. Wajah yang menjadi sebab
berakhirnya kelaliman Samparan dan kawan-kawannya. Ketika Nyi Wirasaba
tampak melangkah ke luar pintu rumah Samparan, orang-orang
berdesak-desakan mengerumuninya. Nyi Wirasaba menunduk malu. Di
belakangnya menyusul Ki Asem Gede, Mantingan, Mahesa Jenar dan kemudian
Samparan.
Suasana segera berubah menjadi tegang
kembali ketika tiba-tiba Mahesa Jenar membalikkan diri, dan secepat
kilat menangkap tangan Samparan dan diputarnya ke belakang. Samparan
terkejut bukan kepalang, sambil menyeringai kesakitan. Tangan Mahesa
Jenar yang menangkapnya itu begitu erat seperti tanggem besi yang
menjepit tangannya. Bahkan tidak hanya Samparan yang terkejut, tetapi
juga orang-orang yang menyaksikan, termasuk Ki Asem Gede dan Mantingan.
“Adakah aku berbuat salah?” rintih Samparan.
“Kau tidak berbuat salah, tetapi aku ingin mendapat keterangan dari kau,” jawab Mahesa Jenar.
Samparan dan orang-orang yang menyaksikan sibuk menduga-duga, keterangan apakah gerangan yang dikehendaki oleh Mahesa Jenar.
“Samparan,” Mahesa Jenar melanjutkan, “kau
dan Watu Gunung adalah termasuk dalam satu gerombolan yang mempunyai
persamaan kesenangan. Yaitu berbuat kejahatan. Dalam dunia kejahatan,
sahabat jauh lebih berharga dari saudara, bahkan orang tua. Rahasia
rahasia yang tak pernah didengar oleh keluarga sendiri, kadang-kadang
didengar oleh sahabat-sahabatnya. Nah, katakanlah, aku yakin kau
mengetahuinya, apakah hubungan Watu Gunung dengan Lawa Ijo?”.
Mendengar pertanyaan ini Samparan
terkejut seperti disambar petir meleset. Tidak pula kalah terkejutnya Ki
Asem Gede, Mantingan dan mereka yang ikut mendengarnya. Nama Lawa Ijo
adalah nama yang tabu diucapkan. Sebab dengan menyebut namanya saja,
sudah cukup alasan bagi Lawa Ijo untuk membunuh. Meskipun pada saat-saat
terakhir Lawa Ijo tidak pernah lagi muncul, tetapi apabila nama itu
disebutkan, orang yang mendengarnya telah cukup menggigil ketakutan.
Samparan tidak segera menjawab pertanyaan
itu. Ia berdiri pada suatu titik yang berbahaya sekali. Ia semakin
takut kepada Mahesa Jenar, yang sama sekali tak diduganya akan
mengajukan pertanyaan semacam itu. Dari manakah gerangan ia mencium
kabar tentang Watu Gunung dan hubungannya dengan Lawa Ijo? Teranglah
bahwa ia bukan orang sejajarnya, bahkan tidak sejajar dengan Mantingan.
Kalau tidak, ia tidak akan seenaknya saja menyebut nama Lawa Ijo.
Ki Asem Gede dan Mantingan pun tergetar juga hatinya. Mereka berdua pun maklum akan kehebatan Lawa Ijo.
“Jawablah!”- desak Mahesa Jenar. Sementara itu, pegangannya pun makin dikuatkan. Samparan berdesis menahan sakit.
“Aku tak tahu,” jawab Samparan
mencoba berbohong. Tetapi belum lagi ia selesai mengucapkan jawabannya,
tangannya yang terpuntir itu terasa semakin sakit, dan terangkat ke
atas.
“Kau tak mau menjawab?” geram Mahesa Jenar.
Keringat dingin memenuhi tubuh Samparan.
Ia merasa serba salah, dan seakan-akan ia telah dihadapkan pada suatu
keharusan memilih, mati di tangan Lawa Ijo atau Mahesa Jenar.
“Aku tak mengetahui seluruhnya. Aku hanya pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh Watu Gunung,” jawab Watu Gunung.
“Apa katanya?” desak Mahesa Jenar pula. Kembali Samparan ragu-ragu.
“Kau takut kepada Lawa Ijo?” bentak Mahesa Jenar yang sudah mulai jengkel. “Bagus. Kau takut dibunuhnya. Tetapi bagaimana kalau yang melaksanakan pembunuhan itu aku?” lanjut Mahesa Jenar.
Tubuh Samparan mulai menggigil. Ia sudah
melihat kedua kawannya dipecahkan kepalanya oleh orang itu. Kalau ia
tidak menuruti perintahnya, jangan-jangan kepalanya akan dipecahkan
pula. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk berkata, dengan harapan Lawa
Ijo sudah tidak akan muncul kembali.
“Yang aku ketahui,” katanya, “Watu
Gunung adalah tidak saja anggota gerombolan itu, tetapi ia adalah
saudara muda seperguruan Lawa Ijo.”
Mendengar jawaban Samparan ini, orang-orang jadi gemetar dan ketakutan. Saudara muda Lawa Ijo binasa di desa mereka.
“Katakan yang lain, aku jadi tanggungan kalau Lawa Ijo marah,” sahut Mahesa Jenar. Samparan merasa bahwa ia tidak dapat berbuat lain daripada menuruti perintah itu.
“Watu Gunung pasti pernah berkata, di mana Lawa Ijo sekarang.”
Samparan dengan sangat terpaksa akan
menjawab pertanyaan itu. Tetapi sebelum mulutnya bergerak, tiba-tiba ia
merasa Mahesa Jenar mendorongnya sehingga ia terpelanting jatuh. Dan
sementara itu sebuah pisau belati melayang tepat lewat tempatnya berdiri
tadi, langsung mengenai dinding dan tembus masuk ke dalam rumah. Dalam
pada itu, berkelebatlah sesosok tubuh di antara penonton meloncat lari
meninggalkan halaman. Mantingan tidak mau melepaskan orang itu begitu
saja. Secepat kilat ia memburunya, yang kemudian disusul oleh Mahesa
Jenar. Tetapi Mantingan belum berpengalaman menghadapi orang-orang
gerombolan Lawa Ijo. Maka ia tidak menyangka sama sekali bahwa orang
yang dikejarnya itu tiba-tiba berhenti membalikkan diri, dan sebuah
sinar putih menyambar dadanya. Mantingan terkejut bukan main. Secepat
kilat ia memukul sinar putih itu dengan trisulanya. Terdengarlah suara
berdentang dengan hebatnya. Tangan Mantingan yang memegang trisula itu
bergetar hebat, sedangkan pisau yang dilemparkan ke dadanya itu berubah
arah. Tetapi meskipun demikian, lengannya tergores juga sedikit. Ia
tertegun mengalami peristiwa itu. Dan Mahesa Jenar yang melihat darah di
lengan Mantingan jadi terhenti pula. Dan sementara itu orang yang telah
melemparkan pisau itu sempat menyelinap di antara pepohonan dan
menghilang. Dari kejauhan terdengarlah gema suara orang tertawa. Suara
itu mengiris ulu hati seperti suara ringkikan hantu kubur.
“Lawa Ijo telah datang,” desis Mahesa Jenar.
“Diakah Lawa Ijo?” tanya Mantingan.
“Mungkin, tetapi setidak-tidaknya salah seorang dari gerombolan itu,” jawab Mahesa Jenar. “Aku
ingin suatu kali dapat bertemu dengan Lawa Ijo. Nah lupakan dia Kakang
Mantingan untuk sementara. Marilah kita kembali. Mungkin Samparan dapat
menunjukkan tempatnya,” lanjut Mahesa Jenar.
Maka segera mereka kembali ke rumah
Samparan. Tampaklah orang-orang yang masih berdiri di halaman itu
berwajah pucat-pucat ketakutan. Beberapa diantaranya menggigil, terduduk
tak berdaya. Apalagi waktu terdengar suara tertawa di kejauhan.
Ketika Ki Asem Gede melihat tangan Matingan berdarah, cepat ia berlari menyongsongnya.
“Kau terluka?” tanya Ki Asem Gede.
Mantingan mengangguk mengiakan.
Cepat-cepat Ki Asem Gede memeriksa luka itu. Dan sebentar kemudian tampak ia mengangguk-angguk. “Tidak beracun,” gumamnya. “Karena
itu marilah kita lekas meninggalkan tempat ini dan menyerahkan kembali
anakku kepada suaminya. Sementara itu aku dapat mengobati luka Adi
Mantingan, yang untung tak berbahaya”.
Tetapi, sementara itu Ki Asem Gede
melihat Samparan seperti orang yang tidak sadar terduduk, di tanah.
Tingkah Samparan tampaknya menggelikan. Sifat-sifat garangnya sama
sekali tak berbekas. Apalagi setelah ia hampir saja disambar pisau. Yang
ia tahu pasti, bahwa itulah pisau gerombolan Lawa Ijo.
“Samparan, kau kenapa?” tegur Mahesa Jenar.
Samparan memandang kepada Mahesa Jenar dengan mata yang layu dan mengandung suatu permohonan untuk mendapat perlindungan.
Mahesa Jenar menangkap maksud itu. “Samparan, kau jangan berbuat demikian. Tidakkah
kau malu pada dirimu sendiri? Bagaimanapun kau adalah laki-laki yang
mengenal cara untuk membela diri. Meskipun demikian, kalau kau memang
merasa tak mampu berdiri sendiri, kau dapat mengikuti Kakang Mantingan
nanti ke Prambanan. Aku memang masih memerlukan engkau. Tetapi pada saat
ini kau barangkali tidak lagi dapat mengucapkan sepatah kata pun.
Kakang Mantingan nanti kalau kembali ke Prambanan, akan mampir kemari
menjemputmu. Dan percayalah bahwa pada waktu ini Lawa Ijo tidak akan
berani menginjak rumah ini. Sebaliknya kau pun jangan meninggalkan rumah
ini. Sebab ada dua kemungkinan, ditangkap oleh Lawa Ijo atau akulah
yang akan memburumu” .
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar yang
meyakinkan itu, Samparan menjadi agak tenang sedikit. Perlahan-lahan ia
berdiri dan membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar. Ia mempunyai suatu
kesan yang aneh. Kehebatannya, kegarangannya, tetapi juga keluhuran
budinya. Sehingga tidak langsung, ia telah memandang ke dirinya sendiri,
yang beberapa saat lalu masih merasa sebagai seorang yang tak
terkalahkan. Alangkah luasnya dunia ini. Dan berapa saja orang-orang
yang sakti tinggal di dalamnya. Baik dari golongan hitam maupun dari
golongan putih. Yang satu memenangkan yang lain, dan yang lain lagi
dapat mengatasinya pula. Dalam waktu yang sesingkat itu, Samparan telah
menyaksikan orang-orang seperti Watu Gunung, Ki Asem Gede, Mantingan,
Lawa Ijo, dan Mahesa Jenar. Belum lagi nama-nama yang pernah didengarnya
dan yang belum dikenalnya.
Segera setelah itu, Ki Asem Gede beserta
kawan-kawannya meninggalkan tempat itu untuk menghantar Nyi Wirasaba
kepada suaminya yang rumahnya tak begitu jauh, hanya berantara dua bulak yang tak begitu lebar.
Di perjalanan itu, timbullah suatu
pertanyaan di hati Mahesa Jenar maupun Mantingan. Sebenarnya pertanyaan
itu telah timbul sejak mereka mengetahui persoalan Nyi Wirasaba. Dalam
persoalan ini, kenapa Ki Wirasaba sendiri tidak berbuat sesuatu untuk
membebaskan istrinya? Bahkan yang didengar oleh Mahesa Jenar dari murid
Wirasaba yang menghadap Ki Asem Gede, sudah ada dua orang murid Wirasaba
terluka. Mengingat bahwa Ki Wirasaba sedikitnya memiliki empat orang
murid, menunjukkan bahwa ia pun memiliki pengetahuan tentang tata
berkelahi, tetapi ia tak berbuat apa-apa. Itulah suatu hal yang aneh.
Mungkinkah Ki Wirasaba tidak mencintai istrinya, atau barangkali terikat
sesuatu perjanjian dengan Samparan dan kawan-kawannya?
Mahesa Jenar dan Mantingan, seperti orang
yang sepakat untuk tidak menanyakan hal itu. Mereka takut kalau-kalau
ada suatu rahasia yang dapat menyinggung kehormatan Ki Asem Gede.
Setelah mereka berjalan beberapa lama, segera mereka memasuki desa tempat Ki Wirasaba tinggal.
Rumah Ki Wirasaba adalah rumah yang cukup
besar, berdiri di tepi jalan induk di desanya. Berhalaman luas dan
mempunyai ciri-ciri yang agak berbeda dengan halaman di sekelilingnya.
Halaman Ki Wirasaba disegarkan oleh tanaman-tanaman berbunga yang
berdaun hijau sejuk. Di sudut halaman terdapat sebuah jambangan berisi
air yang bersih bening. Dan di sana-sini bergantung sangkar-sangkar
burung. Berkeliaran pula binatang-binatang piaraan ayam, itik, angsa dan
sebagainya. Halaman itu berdinding batu merah yang disusun teratur,
yang seakan-akan menjadi batas dari dua daerah yang tampak sangat
berlainan. Halaman-halaman lain di desa itu masih ditumbuhi
bermacam-macam pohon serba tak teratur. Bahkan di sana-sini masih ada
pohon-pohon liar yang tumbuh, rumpun-rumpun bambu yang hebat, pohon
beringin tua, dan randu alas, yang masih merupakan tempat-tempat yang
dianggap keramat oleh penduduk di sekitarnya.
Mahesa Jenar dan Mantingan waktu
melangkahkan kaki memasuki halaman rumah Ki Wirasaba, telah dijalari
suatu perasaan aneh. Mereka berdua adalah orang-orang yang telah banyak
melihat daerah-daerah lain, bahkan kota-kota besar, tetapi jarang mereka
merasakan kesejukan seperti yang dirasakan pada saat itu. Alangkah
mesranya tangan yang telah menggarapnya, sehingga halaman itu menjadi
begitu indahnya.
Tetapi mereka tidak sempat merasakan
kesejukan itu lebih lama lagi. Tiba-tiba mereka tersentak melihat Nyi
Wirasaba yang tiba-tiba saja berlari mendahuluinya. Pintu rumah itu,
yang ternyata tidak terkunci, didorongnya kuat-kuat sehingga hampir saja
ia jatuh tertelungkup. Ia segera menghilang di balik pintu rumahnya.
Segera setelah itu terdengarlah suara Nyi Wirasaba bercampur isak yang
tertahan. “Kakang …, Kakang Wirasaba …, aku kembali Kakang. Kembali kepadamu….” Sesudah itu, yang terdengar hanyalah tangis Nyi Wirasaba yang tak tertahan lagi.
Ki Asem Gede, Mantingan dan Mahesa Jenar
tertegun sejenak. Suatu peristiwa yang mengharukan. Pertemuan antara
seorang istri dengan suaminya yang dicintai, setelah mereka dipisahkan
beberapa saat tanpa adanya suatu harapan untuk dapat bertemu kembali.
Ki Asem Gede bertiga berdiri saja di muka pintu seperti patung.
Sebentar kemudian terdengarlah suara yang berat dan dalam. “Nyai, masihkah aku berhak menerima kau kembali? Atau masih berhakkah kau kembali kepadaku …?”
———-oOo———-
Bersambung ke jilid 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar