

NSSI-06
I.
Sementara itu kuda mereka telah sampai di
muka pintu gerbang halaman rumah Gajah Sora. Dua orang penjaga gerbang
masih berdiri dengan tegapnya. Ketika mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora
dan Mahesa Jenar datang, segera kedua penjaga itu membungkuk hormat.
Gajah Sora tidak dapat menunggu lebih
lama lagi untuk menanyakan tentang keamanan rumahnya, maka kepada dua
orang penjaga itu ia bertanya, ”Apakah yang sudah terjadi?”
”Tidak ada apa-apa yang terjadi, Ki Ageng,” jawabnya.
Mendengar jawaban itu perasaan Gajah Sora
dan Mahesa Jenar agak lega sedikit, tetapi dalam lubuk hati mereka yang
paling dalam tersembunyi suatu kebimbangan atas kebenaran keterangan
penjaga itu. Mereka berdua seolah-olah mendapat suatu firasat yang
kurang menenteramkan hati mereka. Maka mereka berdua segera memasuki
halaman dan langsung menuju ke pendapa.
Di pendapa itu tampak Wanamerta dan
Sawungrana masih duduk dengan tenangnya. Ketika mereka melihat Gajah
Sora dan Mahesa Jenar, segera mereka berdua pun berdiri menyambutnya.
”Paman Wanamerta… tidak adakah sesuatu yang terjadi di sini? ” tanya Gajah Sora tidak sabar.
”Pangestu Anakmas tak ada sesuatu yang terjadi,” jawab Wanamerta.
Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam.
Agaknya ia tambah lega mendengar jawaban itu. Sebab Wanamerta dan
Sawungrana bukanlah anak kecil yang dapat dipermainkan.
Di halaman rumah itu masih nampak
beberapa orang laskar yang berjaga-jaga berjalan hilir mudik dengan
senjata siap di tangan, sedangkan di gandok kulon, tempat pondokan Ki
Ageng Lembu Sora pun masih nampak beberapa orangnya ikut berjaga-jaga.
”Bagaimanakah dengan Panjawi?” tanya Gajah Sora pula.
”Agaknya juga tidak mengalami sesuatu, Anakmas.” jawab Wanamerta, ”Baru saja Adi Sawungrana nganglang ke belakang rumah, dan di sana Panjawi tampak selalu bersiaga.
”Syukurlah” desis Gajah Sora.
Mendengar semua keterangan itu, gelora
perasaan Gajah Sora dan Mahesa Jenar terasa agak mengendor sedikit,
setelah mereka mengalami ketegangan perasaan beberapa saat lamanya.
Memang sulit untuk dapat memasuki halaman itu tanpa dilihat oleh salah
seorang pengawal. Sebab dinding halaman Gajah Sora cukup tinggi dan
gerbangnya pun terjaga rapat.
Beberapa orang pengawal berjaga-jaga di
sekeliling halaman, di setiap tujuh delapan langkah seorang dan melekat
dinding halaman. Kalau demikian, maka agaknya peringatan-peringatan yang
diberikan oleh Ki Ageng Sora Dipayana maupun Ki Ageng Pandan Alas
hanyalah sikap hati-hati dari orang-orang tua saja.
Tetapi belum lagi Gajah Sora dan Mahesa
Jenar puas menarik nafas lega, tiba-tiba dikejutkan oleh jerit Arya
Salaka dari dalam rumah. Serentak mereka berdiri dan dengan kecepatan
yang luar biasa mereka meloncat ke arah suara Arya. Wanamerta dan dua
tiga orang yang berdiri paling dekat dengan pintu segera mendorongnya
dan meloncat masuk. Gajah Sora dan Mahesa Jenar rupa-rupanya tidak sabar
lagi menunggu Wanamerta yang meskipun geraknya termasuk dalam tataran
yang tinggi, untuk bergantian masuk lewat pintu yang hanya satu itu.
Karena itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar dengan kekuatan penuh menerobos
dinding gebyok itu sehingga pecah berserakan.
Ketika mereka bersama-sama telah sampai di muka ruangan Gajah Sora, rasa-rasanya darah mereka berhenti mengalir.
Mereka masih sempat menyaksikan Arya
Salaka terpelanting dan terbentur dinding. Seketika itu juga ia terjatuh
dan pingsan. Dari mulutnya meleleh darah merah segar. Sedang di
tangannya tergenggam erat sebuah tombak pendek yang juga berlumuran
darah. Tombak itu adalah tombak pusaka Ki Ageng Gajah Sora yang bernama
Kyai Bancak, hadiah dari Pangeran Sabrang Lor, yang juga bergelar
Adipati Unus, pada waktu ia mengikuti pasukan Sabrang Lor itu ke
Semenanjung Melayu untuk mengusir penjajahan Portugis. Kyai Bancak
sebenarnya adalah pasangan dari pusaka lain yang berupa sebuah bende.
Sedang di muka pintu kamarnya ia melihat
sesosok tubuh yang terhuyung-huyung. Di dadanya tampak luka yang
menyemburkan darah. Dalam kejadian yang sekejap itu melayanglah sebuah
bayangan yang hampir tak dapat ditangkap oleh penglihatan, menyambar
orang yang hampir terjatuh karena luka di dadanya itu. Maka berpindahlah
dua buah keris yang dipegang oleh orang yang terluka di dadanya itu ke
tangan yang menyambarnya. Itulah Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.

Karena itu bergetarlah dada mereka
bertiga oleh kemarahan dan keheranan yang bercampur aduk. Bayangan itu
seolah-olah adalah bayangan hantu yang tiba-tiba muncul untuk menambah
keributan di Banyu Biru dan kemudian lenyap seperti lenyapnya asap
dihembus angin.
Tetapi bagaimanapun cepatnya bergerak bayangan itu, namun ada sesuatu yang dapat ditangkap oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar.
Bayangan itu agaknya memakai jubah
abu-abu. Tetapi Gajah Sora dan Mahesa Jenar sama sekali tak dapat
melihat wajahnya. Namun demikian segera perasaan mereka lari kepada
Pasingsingan. Orang itu beberapa saat yang lalu bertempur melawan Ki
Ageng Pandan Alas di alun-alun, tak begitu jauh dari rumah itu. Tetapi
bagaimana ia dapat berhasil melepaskan diri dari pengawasan Pandan Alas?
Maka bergulatlah di dalam otak Gajah Sora dan Mahesa Jenar berbagai
pertanyaan. Adakah Pasingsingan berhasil mengalahkan Pandan Alas…?
Pada saat itu, lebih-lebih Gajah Sora
yang menyaksikan pusaka simpanannya dan yang telah direbutnya dengan
taruhan nyawanya hilang tanpa dapat berbuat sesuatu di hadapannya. Juga
anaknya dilukai oleh seseorang yang tak dikenal di rumahnya. Seolah-olah
di dalam dadanya menyalalah api yang berkobar-kobar dan jauh lebih
panas dari api yang menyala-nyala di ujung utara kotanya. Nyala di dalam
dadanya ini memancar lewat matanya yang merah berapi-api, giginya
gemeretak, dan bibirnya bergerak-gerak. Tetapi tak sepatah kata pun yang
terucapkan. Otak Gajah Sora yang cerdas segera dapat meraba apa yang
telah terjadi di rumahnya. Rupa-rupanya seseorang telah berusaha untuk
mengambil kedua pusakanya. Tetapi malang baginya, sebab Arya dapat
mengetahui perbuatan itu sehingga anak yang otaknya cemerlang itu
mengintipnya dengan tombak pusaka di tangan. Rupa-rupanya pada saat ia
keluar dari ruang tidurnya, Arya telah menusuk dada orang itu dengan
Kyai Bancak. Tetapi meskipun demikian orang yang sudah pasti bukan orang
sembarangan itu dengan sisa tenaganya yang sudah lemah, berhasil
menghantam Arya sehingga Arya terlempar dan terbanting membentur
dinding. Pada saat itulah datang orang ketiga yang dengan kecepatan
seperti cahaya kilat, berhasil merampas kedua pusaka itu.
Maka, api kemarahan yang membentur
dinding perasaan Gajah Sora itu tidak lagi dapat dibendungnya. Karena
itu dengan gerak yang seolah-olah tak dikuasainya sendiri, ia meloncat
terjun dari atap rumahnya. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil berlari,
tangannya menggapai tombak pusakanya dan menariknya dari tangan Arya,
langsung keluar halaman dan sekaligus meloncat ke punggung kudanya.
Mahesa Jenar dapat menangkap apa yang
bergolak di dalam dada sahabatnya, sebab memang ia pun mempunyai rabaan
yang sama pula atas kejadian yang baru saja berlalu. Karena itu ia dapat
menduga kemana Gajah Sora akan pergi. Pastilah ia akan melihat apakah
Pandan Alas masih ada di antara Ringin Kurung dan bertempur dengan
Pasingsingan, ataukah Pandan Alas itu sudah tidak berdaya lagi.
Maka tanpa berpikir lagi, ia pun meloncat ke atas punggung kudanya dan lari menyusul Gajah Sora.
Wanamerta yang meskipun dapat mengambil
kesimpulan yang sama atas kejadian yang disaksikannya, namun ia sama
sekali tidak mengetahui tentang orang yang berjubah abu-abu yang telah
dilihat oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar di tengah alun-alun. Karena itu
ia menjadi bingung dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Untunglah
sebelum berangkat Mahesa Jenar sempat berkata kepadanya, Paman
Wanamerta. Paman tidak perlu ikut bersama kami, jagalah rumah ini
baik-baik. Mungkin ada suatu perkembangan keadaan. Aduklah seluruh
halaman rumah ini, meskipun kemungkinan untuk menemukan hantu itu tipis
sekali. Setelah itu Mahesa Jenar lenyap pula di atas punggung kuda
abu-abu yang berlari dengan derap yang gemuruh seperti badai, mengejar
Gajah Sora dengan kuda putihnya.
Jarak antara rumah Gajah Sora dan pohon
beringin yang berdiri tegak di tengah alun-alun, yang seakan-akan tidak
peduli atas apa yang sudah terjadi di sekitarnya itu tidaklah begitu
jauh. Karena itu dalam waktu yang singkat mereka berdua telah berhasil
mendekati ringin kurung itu.
Maka mereka menjadi terkejut dan heran
tak habis-habisnya ketika dari jarak yang sudah agak dekat mereka masih
melihat dua bayangan yang berloncat-loncat dan melontar kesana kemari
diantara sepasang beringin itu. Di sana masih jelas dapat disaksikan
Pasingsingan dan Ki Ageng Pandan Alas bertempur. Bahkan semakin sengit.
Tetapi jubah yang dipakai oleh orang yang menyambar kedua keris pusaka
itu tepat benar dengan jubah yang dipakai oleh Pasingsingan itu.
Sebenarnya dalam keadaan yang biasa,
Gajah Sora akan dapat mempertimbangkan bahwa tidak mungkin dalam satu
saat Pasingsingan dapat berada di dua tempat dan melakukan dua pekerjaan
sekaligus. Tetapi pada saat itu, karena kemarahannya yang meluap-luap,
ia membutuhkan wadah untuk menumpahkannya. Satu-satunya kemungkinan
sebagai tempat penampungan kemarahan Gajah Sora adalah Pasingsingan yang
sedang bertempur dengan Pandan Alas itu.
Meskipun ia tahu bahwa Pasingsingan
bukanlah lawannya, karena orang itu memiliki ilmu yang sejajar dengan Ki
Ageng Sora Dipayana, namun sama sekali Gajah Sora sudah tidak mampu
lagi membuat pertimbangan-pertimbangan.
Karena itu, dengan otak yang buntu, ia
memacu kudanya habis-habisan, langsung mengarah kepada kedua orang yang
sedang bertempur itu dengan Kyai Bancak siap di tangan.
Melihat sikap Gajah Sora, yang
seolah-olah tidak dapat terkendali itu, Mahesa Jenar menjadi cemas.
Sebenarnya ia sendiri merasa sangat marah atas hilangnya Nagasasra dan
Sabuk Inten, tetapi karena justru hal itu terjadi di rumah Gajah Sora
maka Gajah Sora-lah yang merasa lebih bertanggung-jawab. Ditambah lagi
cedera yang dialami oleh anak satu-satunya. Karena itu bagaimanapun
hebatnya kemarahan yang bergolak di dada, Mahesa Jenar masih dapat
bersikap lebih tenang dari Gajah Sora.
Maka segera Mahesa Jenar berusaha
sekuat-kuatnya untuk memacu kudanya lebih cepat agar dapat menyusul
Gajah Sora, untuk mencoba mencegahnya berbuat sesuatu yang berbahaya.
Dibungkukkannya badannya dalam-dalam sampai melekat ke punggung kudanya.
Namun kuda Gajah Sora bukanlah kuda sembarangan. Larinya bahkan semakin
cepat seperti angin.
Pada saat itu Gajah Sora sudah tidak
dapat berpikir lain, kecuali menyerang Pasingsingan habis-habisan. Ia
sama sekali sudah tidak mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang
dapat terjadi karena perbuatannya itu.
Maka ketika jarak mereka sudah semakin
dekat, segera Gajah Sora mengangkat tombak pusakanya. Tombak yang jarang
sekali keluar dari rangkanya. Tapi kali ini, tombak yang ujungnya sudah
membekas darah itu seolah-olah menjadi semakin haus dan buas.
Untunglah bahwa Gajah Sora tidak
bermaksud langsung menyerang Pasingsingan dengan tombak di tangan.
Ternyata bagaimanapun gelap pikirannya, namun sebagai seorang yang cukup
berpengalaman, nalurinya yang tajam masih dapat mempengaruhi
tindakannya.
Dengan hati yang dibakar oleh kemarahan,
Gajah Sora mengangkat tombaknya yang bermaksud membinasakan
Pasingsingan. Maka dengan sekuat tenaga, bahkan dengan ilmunya Lebur
Seketi yang disalurkan lewat tangannya yang memegang tombak pusaka itu,
ditambah lagi dengan tenaga dorong dari kecepatan berlari kuda putihnya
yang seperti angin, Gajah Sora melepaskan tombaknya ke arah
Pasingsingan, yang sedang sibuk melayani Ki Ageng Pandan Alas.
Perbuatan Gajah Sora itu sama sekali tak
diduganya. Meskipun Pasingsingan sudah tahu bahwa Gajah Sora bersenjata,
tetapi ia tidak mengira bahwa senjata itu akan dilemparkan kepadanya.
Karena itu ketika ia melihat Gajah Sora mengangkat tombaknya,
Pasingsingan menjadi terkejut. Kalau saja pada saat itu Pasingsingan
berdiri seorang diri, maka serangan Gajah Sora itu tidak akan berarti
sama sekali baginya. Tetapi pada saat itu ia sedang bertempur
mati-matian melawan Ki Ageng Pandan Alas. Untuk melayani lawannya itu
saja Pasingsingan sudah harus mengerahkan segenap tenaganya, apalagi
tiba-tiba ia menerima serangan yang cukup berbahaya. Sebab bagaimanapun
Gajah Sora bukanlah anak kemarin sore yang dengan begitu saja boleh
diletakkan di luar garis. Karena itu ketika Pasingsingan melihat
sebatang tombak yang berkilauan, seperti kilat datang menyambarnya, ia
menjadi agak gugup. Meskipun demikian ia adalah seorang tokoh yang
namanya boleh disejajarkan dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora
Dipayana, Titis Anganten, dan sebagainya. Karena itu, bagaimanapun
sulitnya keadaan, masih saja ia mampu menghindari.
Dengan suatu gerakan yang sukar dilihat
dengan mata, Pasingsingan melontarkan diri jauh ke belakang dan
seolah-olah hinggap di atas dinding ringin kurung. Sedang pada saat yang
bersamaan, Ki Ageng Pandan Alas meloncat beberapa langkah ke belakang
untuk menghindarkan diri dari kaki kuda Gajah Sora yang seakan-akan
tidak lagi dapat dikendalikan, seperti pikiran Gajah Sora.
Apalagi ketika Gajah Sora melihat bahwa
serangannya gagal maka hatinya yang sudah terbakar itu rasa-rasanya
menjadi semakin hangus. Dengan sekuat tenaga ia menarik kekang kudanya
dan kemudian memutarnya menghadap ke arah Pasingsingan untuk segera
menyerangnya kembali. Meskipun ia kini sudah tidak bersenjata namun di
telapak tangannya masih tersimpan aji Lebur Seketi.
Tetapi tiba-tiba Gajah Sora terpaksa
mengurungkan serangannya, sebab pada saat itu tiba-tiba terdengarlah
Pasingsingan tertawa menggelegar. Meskipun suara tertawanya tidak begitu
keras, getarannya memukul-mukul seperti akan memecahkan dada.

Mahesa Jenar yang pada saat itu telah
sampai pula ke tempat itu segera menghentikan kudanya dan memusatkan
segala kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara tertawa
Pasingsingan yang mengerikan itu. Tetapi, suara tertawa itu ternyata
tidak segera berhenti, malahan semakin berkepanjangan dan merupakan
serangan-serangan yang datang bertubi-tubi dengan dahsyatnya. Ia pernah
mendengar Lawa Ijo menyalurkan kesaktiannya lewat suara tertawa yang
menggeletar, sehingga memerlukan daya perlawanan yang kuat untuk tidak
jatuh ke dalam pengaruhnya yang berbahaya. Tetapi, suara tertawa
Pasingsingan yang tidak begitu keras itu mengandung tenaga kesaktian
yang jauh lebih hebat dari suara Lawa Ijo.
Karena itu, baik Mahesa Jenar maupun
Gajah Sora pada saat itu harus mengerahkan segenap daya kekuatan
batinnya untuk melawan pengaruh suara itu. Namun demikian kesaktian
Pasingsingan yang tersalur lewat bunyi tertawa itu bagaikan jarum yang
menusuk-nusuk ulu hati. Alangkah nyerinya, bahkan panas pula seperti
dijilat lidah api.
Meskipun pada saat itu Mahesa Jenar dan
Gajah Sora telah mengerahkan segala kekuatannya, namun terasa tubuhnya
menggigil dan semakin lama semakin kehilangan kesadaran.
Baik Gajah Sora maupun Mahesa Jenar
pernah mendengar kisah dari sahabat-sahabatnya yang sering mengarungi
samodra-samodra besar, bahwa di Laut Cina terdapat sebuah pulau kecil
yang sangat ditakuti, sehingga pulau itu dinamai pulau hantu. Apabila
ada kapal yang terjerumus ke dekat pulau itu, maka akibatnya akan
mengerikan sekali. Dari pulau itu terdengarlah berbagai macam nada orang
tertawa-tawa dengan getaran yang dahsyat sehingga orang yang
mendengarnya akan menjadi gila karenanya. Bahkan tidak jarang di antara
pelaut-pelaut itu kemudian menemui ajalnya dengan cara yang mengerikan.
Ada yang terjun ke laut, ada yang mati lemas, dan ada yang mati karena
saling bertempur dan menggigit.
Dan sekarang, mereka meskipun tidak
mendekati pulau hantu itu, mendengar pula suara tertawa yang mengerikan
dan telah hampir berhasil merontokkan kesadaran mereka.
Tetapi, ketika Gajah Sora dan Mahesa
Jenar sudah hampir benar-benar jatuh ke dalam pengaruh suara itu,
tiba-tiba terdengarlah suara tembang yang mengalun seolah-olah menyusur
dedaunan dan sulur-sulur sepasang beringin itu. Kemudian dengan pengaruh
yang sejuk, nada-nada itu menggetarkan udara dan menyusup ke dalam dada
Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Suara tembang itu pun mempunyai pengaruh
yang luar biasa pula. Tetapi dayanya berlawanan dengan suara tertawa
Pasingsingan. Suara tembang itu seolah-olah siraman air yang memadamkan
api yang menyala-nyala membakar kesadaran mereka.
Maka, bersama-sama dengan daya perlawanan
masing-masing, suara tembang itu segera dapat menenangkan pikiran Gajah
Sora dan Mahesa Jenar.
Dan ketika mereka berdua bersama-sama
menoleh ke arah suara itu, dilihatnya Ki Ageng Pandan Alas dengan
enaknya duduk di atas tanah bersandar dinding ringin kurung itu dengan
kaki bersilang. Sikapnya seperti seorang anak gembala yang dengan
tenangnya berdendang di bawah pohon rindang. Ketika itu sinar matahari
sedang dengan teriknya memanasi padang rumput. Lagunya adalah lagu
kesayangan orang tua, yang sudah sering didengar oleh Mahesa Jenar,
yaitu lagu Dandanggula.
Lewat lagunya itu, Pandan Alas pun telah memancarkan kesaktiannya pula untuk melawan kesaktian Pasingsingan.
Pasingsingan yang merasa bahwa
serangannya dapat digagalkan oleh Pandan Alas, menjadi semakin marah.
Maka dengan menggeram hebat ia berkata, “Setan tua…. Tidak dapatkah
kau menahan dirimu untuk tidak mencampuri urusanku. Aku telah mencoba
melupakan kelakuanmu di Hutan Tambakbaya beberapa minggu lalu? Kini
kembali kau berbuat gila, Pandan Alas, jangan menunggu sampai
kesabaranku habis.”
Ki Ageng Pandan Alas seolah-olah tidak
mendengar kata-kata Pasingsingan itu. Ia masih saja berlagu terus sampai
kalimat yang terakhir.
Melihat sikap Pandan Alas yang
seolah-olah tidak mempedulikan ancamannya, Pasingsingan menjadi
bertambah marah. Kini kesabarannya telah benar-benar habis. Menurut
anggapannya, Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Pandan Alas telah bersepakat
untuk bersama-sama menghinanya. Karena itu ia telah bertekad untuk
membuat perhitungan yang terakhir.
”Pandan Alas…, biarlah aku berkata
kepadamu demi persahabatan kita yang telah berpuluh-puluh tahun. Kalau
kali ini kau tidak mau mendengarkan, biarlah untuk seterusnya kau tidak
akan pernah mendengarnya lagi. Pandan Alas…, coba kau tahan dirimu
sedikit kali ini. Janganlah kau menghalangi aku untuk mengambil
Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau kau sendiri ingin memilikinya,
sebaiknya kita berlomba siapakah yang mendapatkannya lebih dahulu. Juga
terhadap kedua anak-anak yang tidak mempunyai sangkut paut apa-apa
dengan kau itu. Biarlah aku bereskan dahulu. Yang seorang telah
menghantam muridku dengan Sasra Birawa di hutan Tambakbaya, sedang
seorang lagi telah menyerang aku sehingga jubahku tersobek, kata Pasingsingan.”
Terdengarlah suara Pandan Alas tertawa pendek, jawabnya, “Pasingsingan…,
benarkah aku pernah bersahabat dengan kau? Kalau dahulu aku mempunyai
seorang sahabat yang bernama Pasingsingan pula, aku kira berbeda dengan
Pasingsingan yang aku hadapi sekarang.”
“Maksudmu?” tanya Pasingsingan.
Suaranya terdengar bergetar menahan kemarahan yang sudah memuncak.
Tetapi karena ia memakai kedok maka kesan mukanya tak dapat diketahui.
”Maksudku adalah..”. jawab Pandan Alas, ”Pasingsingan
yang aku kenal sifatnya sama sekali berbeda dengan Pasingsingan yang
sekarang berdiri di hadapanku. Pasingsingan yang aku kenal dahulu
meskipun ujud dan bentuknya tepat seperti kau ini, tetapi wataknya
adalah berlawanan sama sekali. Menurut perhitunganku, Pasingsingan
sahabatku itu tidak mungkin mengambil seorang murid yang menamakan
dirinya Lawa Ijo. Tidak mungkin pula kini bekerja mati-matian untuk
merampas Nagasasra dan sabuk Inten dari tangan murid sahabatnya yang
lain, yang bernama Ki Ageng Pengging Sepuh, serta putra sahabatnya yang
bernama Sora Dipayana.”
Tampaklah tubuh Pasingsingan menggigil
menahan diri. Nafasnya berjalan semakin cepat. Kembali terdengar
suaranya yang dalam, yang seolah-olah melingkar-lingkar di dalam
perutnya saja itu, ”Pandan Alas…, lalu siapakah menurut dugaanmu aku ini?”
Pandan Alas mengerinyitkan alisnya. Katanya, ”Kenapa
kau bertanya begitu? Bukankah kau menamakan dirimu Pasingsingan. Aku
tidak membantah bahwa kau bernama Pasingsingan. Tetapi kau bukan
Pasingsingan sahabatku itu, meskipun kau juga mempunyai tanda-tanda yang
bersamaan dan ilmu Gelap Ngampar yang baru saja kau pertunjukkan untuk
menjebol dada anak-anak itu.”
Gajah Sora dan Mahesa Jenar tak sepatah
kata pun berani mencampuri perbantahan mereka. Setelah mereka berdua
mengalami serangan Pasingsingan dengan nada tertawanya yang bernama
Gelap Ngampar itu, mereka merasa betapa kecil diri mereka untuk
menghadapinya. Untunglah bahwa Pandan Alas berhasil menolong mereka
menyelamatkan dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar yang dahsyat itu.
Sekarang mereka berdua melihat kedua tokoh itu telah kehilangan
kesabaran dan akan bertempur mati-matian. Maka sebaiknya bahwa mereka
untuk sementara tidak usah mencampurinya.
Maka berdesirlah dada mereka ketika
mereka melihat Pasingsingan yang sedang marah itu, tiba-tiba dari dalam
jubahnya menarik sebilah pisau belati panjang. Pisau ini mirip benar
bentuknya dengan pisau yang sering dipergunakan oleh gerombolan Lawa
Ijo, tetapi pisau ini tidak berwarna putih mengkilap, melainkan kuning
berkilau-kilauan. Sambil memegang belati itu, Pasingsingan menggeram, ”Pandan
Alas, aku tidak biasa bertempur dengan senjata kalau tidak sedang
mempertimbangkan untuk memotong kepala seseorang. Sekarang kau di sini
bertiga dengan tikus-tikus itu untuk bersama-sama mengeroyok aku.
Biarlah aku tidak akan mundur. Bahkan aku ingin membawa kepalamu bertiga
ke Mentaok sebagai suatu bukti bahwa Pasingsingan tak dapat dihinakan
orang.”
Melihat pisau belati panjang itu di
tangan Pasingsingan serta mendengar kata-katanya, mau tidak mau hati
Gajah Sora dan Mahesa Jenar bergetar hebat. Meskipun mereka bukan
orang-orang kerdil yang takut mati, namun menghadapi seorang seperti
Pasingsingan, mereka merasa gentar juga. Tetapi bagaimanapun apabila
keadaan sudah memaksa maka apapun yang akan terjadi pasti harus
dihadapi. Diam-diam Gajah Sora dan Mahesa Jenar memusatkan segala
kemampuannya yang ada lahir batin, dan disalurkannya menurut saluran
masing-masing. Gajah Sora dengan Lebur Seketi dan Mahesa Jenar dengan
Sasra Birawanya.
Pandan Alas yang sejak tadi tampaknya
acuh tak acuh saja, setelah melihat Pasingsingan bersenjata, menjadi
agak terkejut juga. Perlahan-lahan ia berdiri dan dengan mata yang
berapi-api ia memandang Pasingsingan seperti memandang hantu.
Rupa-rupanya orang tua itu pun telah menjadi marah sekali.
”Pasingsingan…,” katanya, ”kau ingat bahwa dahulu kita pernah bertempur?”
Pasingsingan tidak segera menjawab, agaknya ia sedang mengingat-ingat. Baru beberapa lama kemudian ia berkata, ”Aku ingat, Pandan Alas.”
”Barangkali waktu itu kita baru pertama kali bertempur”. sambung Pandan Alas, ”Bukankah begitu?”
Kembali Pasingsingan mengingat-ingat, jawabnya, ”Apakah
maksudmu dengan menceritakan kembali masa-masa yang telah lama silam
itu. Banyak hal yang sudah tak dapat aku ingat kembali.”
”Aneh…,” sahut Pandan Alas, ”pertemuan yang menarik itu, kau kira, baik kau maupun aku tak akan melupakannya.”
”Ya, aku ingat”, jawab Pasingsingan kesal.
”Waktu itu aku mengira kalau kau
adalah seorang penjahat yang sedang menyembunyikan wajah aslimu di
belakang kedokmu yang jelek itu. Tetapi setelah kita bertempur tiga hari
tiga malam tanpa berkesudahan, barulah kita saling bertanya.”
”Pandan Alas…” potong Pasingsingan, ”adakah
kau sedang mengorek rasa persahabatanku supaya aku memaafkan kau
sekarang ini? Ketahuilah, aku sudah terlanjur mencabut pisauku ini. Maka
pisau ini harus menemukan korbannya. Kalau kau menyesal telah
mencampuri urusanku, kau boleh pergi. Tetapi tikus-tikus ini tetap di
tanganku.”
Mendengar kata-kata Pasingsingan itu
bergeloralah dada Pandan Alas yang biasanya senang berkelakar. Meskipun
demikian ia masih berkata tenang, ”Kenapa kau takut mendengar
ceritera-ceritera masa silam Pasingsingan? Adakah sesuatu yang telah
menyiksa perasaanmu sehingga kau tidak berani mengingatnya lagi?”
”Persetan dengan masa lampau,” bentak Pasingsingan. ”Masa
itu tak akan kembali lagi. Yang penting bagiku adalah masa kini dan
masa depan perguruanku. Itu sebabnya aku berkeras untuk menemukan
Nagasasra dan Sabuk Inten.”
Kembali terdengar suara tertawa Pandan Alas yang dipaksakan. Katanya; “tetapi
hari ini adalah kelangsungan dari hari kemarin dan seterusnya. Hidupmu
sekarang adalah kelanjutan dari hidupmu 25 tahun yang lalu.”
“Omongan orang sekarat,” bantah Pasingsingan. “Aku dapat menjalani kehidupanku kini tanpa masa lampau itu. Dan masa lampau itu sama sekali tak berarti bagiku.”
“Sebab masa lampau dari Pasingsingan itu bukan milikmu,” jawab Pandan Alas.
Jawaban yang diucapkan meskipun diucapkan
alam nada yang rendah, tetapi mempunyai akibat yang hebat sekali.
Pasingsingan yang telah sekian lama menahan kemarahannya, mendengar
kata-kata Pandan Alas dengan darah yang menggelegak.
Maka dijawabnya hampir berteriak, “Apa
perdulimu. Bahkan aku sendiri tidak perduli kepada masa lampau itu. Dan
sekarang menghadapi saat terakhirmu kau tidak usah mengigau tentang
Pasingsingan. Apakah aku Pasingsingan sahabatmu ataukah Pasingsingan
yang lain tidaklah penting bagimu. Tetapi Pasingsingan yang sekarang
berada dihadapanmu inilah yang akan menentukan saat terakhirmu
bersama-sama dengan kedua orang yang terlalu sombong itu. Nah
bersedialah untuk mati. Aku sudah hampir mulai.”
Ketegangan yang memuncak telah melibat
otak Gajah Sora dan Mahesa Jenar. namun mereka melihat Pandan Alas
tersenyum pahit sambil berkata: ” Nah kalau demikian aku yang
seharusnya menentukan sikap pula. Kau tidak usah menyebut lagi demi
persahabatan kita, sebab persahabatan di antara kita tidak pernah kita
alami. Kalau aku menyebut masa lampau itu hanyalah supaya aku yakin
dengan siapa aku berhadapan. Sebab terhadap Pasingsingan sahabatku itu,
tak mungkin aku bersikap keras. Sekarang silahkan mulai,” lalu
tiba-tiba saja ditangan orang tua itu bercahayalah sinar yang kemilau.
Itulah pusaka Pandan Alas yang dahsyat, yang bernama Kiai Sigar
Penjalin.
———-oOo———-
II
Suasana segera menjadi hening sepi,
tetapi diliputi oleh ketegangan yang memuncak. Gajah Sora dan Mahesa
Jenar duduk di atas kuda masing-masing seperti patung. Meskipun di dalam
dada mereka bergolak berpuluh macam persoalan yang simpang siur sebab
di hadapan mereka dua orang tokoh sakti akan bertanding mati-matian
sehingga mereka berdua merasa perlu untuk mempergunakan pusak
masing-masing.
Karena itu, maka pertempuran yang akan berlangsung pasti akan merupakan pertempuran antara hidup dan mati.
Tetapi sampai beberapa saat, mereka masih
berpijak pada tempatnya masing-masing. Tak seorangpun dari kedua tokoh
sakti yang bergerak. Sehingga terdengar kembali suara Ki Ageng Pandan
Alas berkata: “Pasingsingan, silahkan mulai. Aku sudah siap.”
Tetapi Pasingsingan tidak juga bergerak
dan tidak menyahut pula. Ketika kata-katanya tidak mendapat sambutan,
kembali Pandan Alas berkata “Pasingsingan, kau jangan takut aku akan
maju bersama kedua anak-anak itu. Sebenarnya aku merasa kurang perlu
untuk mempergunakan pisau dapur yang tak berharga ini untuk melawanmu,
tetapi aku tidak ingin merendahkanmu, sehingga terpaksa aku
mempergunakannya juga. Meskipun demikian baiklah aku katakan kepadamu,
bahwa mungkin karena kau sama sekali tak menghargai masa lampaumu itulah
maka terasa ilmumu mengalami kemunduran.”
Mendengar kata Ki Ageng Pandan Alas itu
tampaklah tubuh Pasingsingan bergetar serta tangannya yang memegang
pusaka itu menggigil hebat. Ia sama sekali tidak menjawab, tetapi
terdengar ia menggeram hebat untuk menahan marahnya. Meskipun demikian
Pasingsingan masih tidak bergerak dari tempatnya.
Sampai Ki Ageng Pandan Alas berkata; “Gajah
Sora dan Mahesa Jenar, kenapa kalian datang kemari?. Tak usahlah kalian
menonton orang tua bermain-main. Barangkali bagi kalian lebih baik
apabila kalian kembali dan menjaga kedua keris itu.“
Mendengar kata Ki Ageng Pandan Alas
tergetarlah dada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Mereka segera teringat
kepada kedua pusaka yang hilang itu. Maka jawab Gajah Sora “Ki
Ageng, ketika aku pulang tadi, aku masih sempat menyaksikan pusaka itu
dicuri oleh Pasingsingan, tetapi aku sama sekali tak berdaya untuk
menahannya.“
Kata-kata itu menggelegar seperti guruh
yang meledak diatas kepala Ki Ageng Pandan Alas dan Pasingsingan,
sehingga Ki Ageng Pandan Alas terloncat maju mendekati Gajah Sora sambil
berteriak; “apa katamu? kedua pusaka itu hilang diambil Pasingsingan?.“
Belum lagi Gajah Sora menjawab terdengar Pasingsingan menyahut; “Gila,
kau jangan mencoba memutar balikkan keadaan. Tipu muslihat yang tak
berharga itu jangan kau pamerkan dihadapanku, supaya aku tidak lagi
berusaha untuk mendapatkan pusaka dari tanganmu.”
Maka terdengarlah Gajah Sora berkata, “Ki Ageng Pandan Alas, aku berkata sebenarnya bahwa kedua keris itu telah hilang.”
“Tidak mungkin,” potong Ki Ageng Pandan Alas. “Pasingsingan sejak kau meninggalkan kami masih tetap bersama dengan aku.”
Gajah Sora menjadi ragu sebentar. Memang
tidak mungkinlah bahwa Pasingsingan yang sedang bertempur dengan Ki
Ageng Pandan Alas dapat mengambil kedua keris itu. Karena itu katanya
kemudian dengan jujur, “Ki Ageng, aku tidak dapat memastikan dengan
jelas siapakah yang telah mengambil kedua keris itu. Tetapi aku dapat
melihat bahwa orang itu memakai jubah abu-abu pula tepat seperti apa
yang dipakai oleh Pasingsingan itu.”
“Apakah orang itu berkedok pula?,” tanya Pandan Alas.
“Itulah yang tidak jelas,” jawab Gajah Sora.
Ki Ageng Pandan Alas tampak merenung. Rupa-rupanya ia sedang berfikir keras apakah kira-kira yang telah terjadi.
Tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan berkata, “Aku
dapat mempercayai omonganmu Gajah Sora. Tampaknya kau memang tidak
bermaksud membohongi kami. Dan rupa-rupanya karena itu pula kau
menyerang aku dengan tombakmu. Nah kalau demikian aku tidak perlu
terlalu lama lagi berada di sini, sebab kedua keris yang aku kehendaki
itu sudah tidak ada lagi. Tak ada gunanya lagi bagiku untuk melayani
orang gila macam Pandan Alas. Tetapi meskipun demikian sekali waktu aku
ingin bertemu dengan kau kembali.” Pasingsingan tidak menunggu jawaban lagi. Dalam waktu sekejap ia telah hilang dari pandangan mereka.
Maka tinggallah kini Ki Ageng Pandan
Alas, Gajah Sora dan Mahesa Jenar yang telah maju pula mendekati Gajah
Sora, serta kemudian bersama-sama meloncat dari punggung kuda
masing-masing.
”Mahesa Jenar…,” kata Ki Ageng Pandan Alas, ”aku
berharap sekali bahwa aku atau kau berdua dapat menyerahkan kembali
pusaka-pusaka itu ke Istana Demak. Tetapi rupa-rupanya keadaan belum
mengizinkan.” Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak menjawab sepatah
kata pun. Mereka berdua merasa bahwa mereka ternyata tak dapat memenuhi
keinginan orang-orang tua. Tampaklah bahwa Ki Ageng Pandan Alas
terguncang pula hatinya. Kepalanya tertunduk dalam-dalam serta beberapa
kali ia menghela nafas panjang. Sementara itu dari arah utara tampaklah
sebuah bayangan yang seolah-olah melayang di udara mendekati mereka
bertiga yang berdiri terpaku di antara kedua batang ringin kurung yang
masih saja acuh tak acuh pada keadaan di sekitarnya.
Ternyata bahwa yang datang itu adalah Ki
Ageng Sora Dipayana. Ketika dilihatnya bahwa Ki Ageng Pandan Alas berada
di situ pula, maka segera ia menyapanya, “Selamat malam Adi Pandan Alas, apakah yang telah terjadi di sini?”
Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera
membungkuk hormat. Namun dalam dada mereka terasa bahwa jantung mereka
berdenyut semakin cepat.
“Selamat malam, Kakang,” jawab Pandan Alas. “Aku baru saja bermain-main di sini bersama Pasingsingan.”
”Pasingsingan…?” ulang Sora Dipayana sambil mengerutkan keningnya. ”Rupa-rupanya ia datang bersama muridnya Lawa Ijo.”
”Rupa-rupanya orang itu benar-benar menginginkan kedua pusaka Demak yang disimpan oleh putramu,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
”Tidak hanya Pasingsingan,” jawab Sora Dipayana. ”Untunglah bahwa Adi berada pula di sini, sebab aku tadi sedang sibuk melayani tamu dari Lodaya.”
”Sima Rodra?” potong Pandan Alas.
”Ya, ia datang bersama menantunya, dengan maksud yang sama.”
”Hebat…, hebat sekali,” desis Pandan Alas. ”Setan dari Lodaya itu memerlukan datang pula.”
”Tetapi...” sambung Pandan Alas setengah berbisik, ”tanyakanlah kepada putramu apa yang telah terjadi.”
Tampaklah Ki Ageng Sora Dipayana menarik alisnya sehingga hampir bertemu. ”Ada apa Gajah Sora…?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana kepada Gajah Sora, ”Agaknya telah terjadi sesuatu?.”
Maka segera Gajah Sora menceriterakan
tentang apa yang telah dilihatnya pada saat lenyapnya Nagasasra dan
Sabuk Inten dari rumahnya.
Mendengar keterangan Gajah Sora, hati Ki
Ageng Sora Dipayana terguncang hebat, sampai tubuhnya menggigil.
Wajahnya yang bening itu segera menjadi seolah-olah diaduk oleh
kemarahannya.
”Setan manakah yang telah mengganggu kami itu?” geramnya.
”Adi Pandan Alas…” katanya kemudian, ”bukankah kau tidak melepaskan Pasingsingan itu barang sekejap?”
”Tidak, Kakang,” jawab Pandan Alas. ”Ia tetap dalam pengawasanku.”
Kembali keadaan menjadi sunyi. Kesunyian
yang tegang. Masing-masing dikuasai oleh perasaan yang bercampur baur
diantara marah, kesal dan kecewa.
Akhirnya berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana, ”Gajah
Sora dan Mahesa Jenar… memang apa yang terjadi adalah diluar
kemampuanmu berdua. Apalagi kalian, kami yang tua-tua ini pun menjadi
pusing karenanya. Mungkin ada sesuatu yang tak beres pada Pasingsingan
itu. Bukankah begitu Adi Pandan Alas?”
Pandan Alas mengangguk mengiyakan. Lalu ia berkata, ”Aku
menjadi sulit untuk mengatakan tentang Pasingsingan. Rasa-rasanya
memang ada sesuatu yang tidak wajar. Meskipun demikian aku masih belum
berani meyakinkan bahwa ada lebih dari satu Pasingsingan.”
”Kalau begitu marilah kita lihat rumah itu,” ajak Sora Dipayana. ”Barangkali ada sesuatu yang dapat menunjukkan tanda-tanda siapakah yang telah mengambil kedua keris itu.”
Maka segera berangkatlah mereka menuju ke
rumah Gajah Sora, setelah Gajah Sora memungut kembali pusakanya. Mereka
menjadi terkejut ketika mereka melihat kesibukan yang luar biasa.
Segera mereka meloncat lebih cepat untuk segera dapat mengetahui apakah
yang telah terjadi. Ternyata di Pringgitan, mereka melihat Wanamerta dan
Sawungrana menggeletak tak sadarkan diri, sedang di sudut yang lain
Panjawi yang luka parah menggeletak tak berdaya.
Ketika mereka melangkah memasuki bagian
dalam rumah Gajah Sora, mereka melihat Nyai Ageng Gajah Sora duduk
bersimpuh, sedang di pangkuannya terletak kepala Arya yang masih
pingsan.
Melihat kejadian itu semua, kembali Gajah
Sora tergugah kemarahannya. Tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa,
sehingga karena itu giginya terdengar gemeretak dan nafasnya berjalan
semakin cepat.
Sebenarnya ketika Sora Dipayana
menyaksikan kejadian itu, hatinya tergetar pula. Tetapi wajahnya nampak
tenang-tenang saja. Perlahan-lahan Sora Dipayana membungkuk, meraba dada
Arya dan meneliti bagian-bagian tubuhnya yang lain. Dari ceritera Gajah
Sora, ia sudah tahu apakah yang menyebabkan Arya luka-luka. Tetapi
tentang Wanamerta, Sawungrana, Panjawi serta beberapa orang pengawal
yang lain, belumlah diketahuinya. Sedang di muka ruang tidur Gajah Sora
masih menggeletak sesosok tubuh yang masih belum dikenal.
”Apakah yang sudah terjadi dengan Paman Wanamerta dan yang lain-lain?” tiba-tiba terdengar suara Gajah Sora gemetar.
Istri Gajah Sora menjawab, ”Ketika
aku mendengar ribut-ribut… aku waktu itu sedang mengatur orang-orang
yang mengungsi ke rumah ini di belakang, segera aku berlari masuk. Aku
sudah tidak sempat menjumpai Kakang Gajah Sora dan Adi Mahesa Jenar
yang katanya sedang mengejar seseorang berjubah abu-abu yang mencuri
kedua pusaka simpanan Kakang. Tetapi tidak beberapa lama, muncullah
begitu tiba-tiba saja di hadapan kami. Aku, Paman Wanamerta dan Paman
Sawungrana. Seorang yang pendek bongkok dan berwajah menakutkan,
seolah-olah ia pernah mengalami suatu penyakit yang mengerikan. Orang
itu datang kemari juga untuk mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten. Paman Wanamerta menyatakan bahwa ia tidak tahu-menahu kedua keris
itu, serta menceriterakan dengan betul apa yang sudah terjadi. Tetapi
rupa-rupanya orang itu tidak percaya, sehingga terjadilah pertempuran
antara orang itu seorang melawan Paman Wanamerta berdua dengan Paman
Sawungrana yang kemudian dibantu juga oleh Panjawi dan beberapa orang.
Tetapi ternyata bahwa dengan mudahnya orang itu dapat mengalahkan
mereka. Lalu langsung dibongkarnya segala barang-barang yang ada di
rumah ini untuk mendapatkan kedua keris itu. Baru setelah ia yakin
benar-benar bahwa kedua keris itu tak dapat diketemukan, maka seperti
pada saat ia datang, segera ia pun lenyap.”
Mendengar ceritera itu betapa terkejutnya
Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Orang itu pasti seorang yang mempunyai
ilmu yang tinggi pula. Tetapi terlebih-lebih lagi adalah Sora Dipayana
dan Pandan Alas, sehingga nampaklah wajah mereka berubah. Kedua orang
itu hampir bersama-sama menyebutkan suatu nama yang cukup menggetarkan. “Itulah Bugel Kaliki dari Gunung Cerme.”
Mendengar nama itu disebut, barulah Gajah
Sora dan Mahesa Jenar sadar betapa berbahayanya orang itu. Ia pernah
mendengar nama Bugel Kaliki dari lembah Gunung Cerme itu dari mulut
seorang sakti dari Banyuwangi, Titis Anganten. Dalam sekejap itu
tiba-tiba kesunyian mencengkam suasana. Yang terdengar hanyalah tarikan
nafas mereka yang dengan tegang membayangkan apakah kira-kira yang telah
terjadi.
”Rupanya hantu itu telah mendengar pula tentang Kyai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten.” Akhirnya terdengar Ki Ageng Pandan Alas berkata perlahan.
”Keadaan telah menjadi sedemikian rumit serta saling berkait,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
”Mengenai Bugel itu, sudah jelas,” sambung Ki Ageng Pandan Alas. ”Dan
ia tidak mendapatkan apa yang dicari setelah dengan leluasa ia
menggeledah setiap sudut di dalam rumah ini. Dengan demikian ada
kemungkinan bahwa ia tidak akan kembali lagi kemari. Tetapi ia akan
mencari di tempat-tempat lain. Yang belum kita ketahui, justru yang
berhasil membawa kedua pusaka itu, seorang yang berjubah abu-abu seperti
jubah yang selalu dipakai oleh Pasingsingan.”
Alis Ki Ageng Sora Dipayana yang sudah
putih itu tampak bergerak-gerak. Rupa-rupanya ia pun sedang berpikir
hebat. Akhirnya terdengarlah ia berkata, ”Gajah Sora dan Mahesa
Jenar…, rupa-rupanya belum saatnya aku yang tua-tua ini menghabiskan
sisa hidup kami untuk menikmati ketenteraman. Rupa-rupanya kini kami
tidak dapat tinggal diam, menyendiri di puncak-puncak bukit. Aku tahu
bahwa kau tentu bingung mengalami peristiwa-peristiwa ini. Jangan cemas,
sebab kami pun telah pula menjadi bingung.”
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum mendengar kata-kata sahabatnya, sambungnya, ”Jadi kalian mempunyai kawan-kawan yang cukup banyak dalam kebingungan kalian.”
”Akh… kau badut tua,” potong Sora Dipayana. ”Maksudku,
kami pun menjadi bingung, apalagi kalian, yang masih muda-muda. Nah,
sekarang Gajah Sora… kau dapat mengundang Ki Lemah Telasih. Suruhlah
orang itu mengobati anakmu dan orang-orangmu yang luka parah. Aku yakin
bahwa luka-luka anakmu dan orang-orang itu tidak akan sampai
membahayakan jiwanya di tangan Ki Lemah Telasih. Sekarang aku kira
justru Banyu Biru ini dapat aku tinggal dengan aman setelah kedua keris
itu lenyap. Tetapi percayalah bahwa kepergianku itu merupakan suatu
usaha untuk menemukannya pula,” sambung Sora Dipayana.
Gajah Sora menundukkan kepalanya. Kemudian terdengarlah ia menjawab dengan suara yang dalam dan gemetar, ”Ayah…,
maafkan aku yang sudah setua ini masih saja selalu mengganggu
ketenteraman hidup ayah. Tetapi hal ini adalah benar-benar diluar
kemampuanku.”
Terdengarlah Ki Ageng Sora Dipayana tertawa pendek. Jawabnya, ”Jangan
salahkan dirimu. Akulah yang tidak mampu menjadikan kau orang yang luar
biasa. Tak apalah. Sekarang biarlah aku pergi dengan Adi Pandan Alas.
Mungkin arah kita berbeda, tetapi tujuan kita adalah sama. Menemukan
kedua keris itu kembali, sebab permainan ini sudah mulai dicampuri pula
oleh orang-orang tua.”
Gajah Sora tidak dapat menjawab kata-kata
ayahnya. Ia menjadi terharu sekali. Sebaliknya Mahesa Jenar merasakan
betapa sepi hidupnya sepeninggal gurunya. Tak ada lagi orang yang akan
menjadi tempat mengadu dan mohon pertolongan. Meskipun ia merasa bahwa
sebagai seorang laki-laki dirinyalah tempat untuk mengadu. Serta pada
dirinya itu pulalah kepercayaan yang terakhir harus dilandaskan. Tetapi,
menghadapi kenyataan itu, dirasakan betapa pahitnya hidup Mahesa Jenar
sebatang kara, diantara manusia-manusia perkasa yang dalam setiap saat
memungkinkan adanya bentrokan-bentrokan yang hanya dapat diselesaikan
dengan mengadu kesaktian.
Tetapi, hati Mahesa Jenar agak terhibur
juga melihat adanya orang-orang tua seperti Ki Ageng Pandan Alas, Ki
Ageng Sora Dipayana dan Titis Anganten yang sudah pernah dirasakan
betapa persahabatan mereka dengan gurunya melimpah pula kepada dirinya.
Sesaat kemudian terdengarlah Ki Ageng Pandan Alas berkata, “Gajah
Sora dan Mahesa Jenar…, aku sependapat dengan Kakang Sora Dipayana.
Sebab berhadapan dengan orang-orang tua macam Sima Rodra, Pasingsingan,
Bugel Kaliki, harus orang-orang tua pulalah yang melayaninya. Meskipun
bagi kami sebenarnya lebih senang minum-minum sambil mengunyah jadah
jenang alot. Bukan begitu, Kakang?”
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum, lalu jawabnya, “Begitulah kira-kira. Dan
sekarang, marilah kita mulai kehidupan kita seperti beberapa puluh
tahun yang lalu. Seperti seekor burung yang lepas di udara, hinggap dari
satu dahan ke lain dahan, dari satu cabang ke lain cabang.”
”Tetapi aku tak akan sebebas dahulu,” sahut Ki Ageng Pandan Alas. ”Sebab aku sekarang mempunyai seorang murid. Akan aku bawa muridku itu untuk menambah pengalamannya.”
”Murid…?” potong Ki Ageng Sora Dipayana.
”Ya, muridku seorang pemuda tampan yang masih seperti batu pecahan,” jawab Pandan Alas, ”dan aku harus mengasahnya sejak gosokan yang pertama. Untunglah bahwa ia memiliki bakat yang baik.”
Setelah mengadakan beberapa persiapan dan
pesan-pesan, Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Pandan Alas segera
minta diri untuk memulai penghidupan dalam pengembaraan yang kedua sejak
mereka menghentikan pengembaraan mereka pada masa muda mereka. Mereka
tidak perlu lagi menunggu sampai esok atau lusa. Sebab bagi seorang
pengembara, siang atau malam sama saja. Gajah Sora suami- istri dan
Mahesa Jenar melepas mereka dengan perasaan yang berat dan terharu.
Orang-orang tua yang seharusnya tinggal menikmati hasil lelah masa
mudanya, masih harus bekerja keras untuk kesejahteraan umat manusia.
”Tak ada yang membatasi umur kita untuk berjuang,” kata Ki Ageng Sora Dipayana ketika ia melangkah keluar gerbang halaman. Yang disambung oleh Ki Ageng Pandan Alas, ”He,
Mahesa Jenar, adakah kau dahulu memenuhi permintaanku? Menunggu sampai
jagungku tua? Kalau begitu aku akan singgah dahulu ke sana untuk
menikmati dua tiga buah jagung bakar.”
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, seperti
terbang Ki Ageng Pandan Alas segera lenyap di gelap malam. Ki Ageng
Sora Dipayana tersenyum melihat tingkah laku sahabatnya itu, katanya, ”Memang
Adi Pandan Alas dalam keadaan yang bagaimanapun juga, tetap saja dapat
tertawa. Dengan begitu, rupa-rupanya ia akan panjang umur. Nah Gajah
Sora dan Mahesa Jenar, hati-hatilah dengan pekerjaanmu masing-masing.
Mudah-mudahan semuanya selamat dan baik. Biarlah aku pergi sekarang,”
Gajah Sora dan Mahesa Jenar bersama-sama
mengangguk hormat dan mengucapkan selamat jalan. Maka berangkatlah Ki
Ageng Sora Dipayana ke arah yang bertentangan dengan Ki Ageng Pandan
Alas. Orang tua itu melangkah perlahan-lahan seperti orang yang sedang
berjalan-jalan menghirup kesejukan udara malam.
Setelah Ki Ageng Sora Dipayana lenyap
dari pandangan mereka, dan tenggelam dalam kehitaman malam, segera Gajah
Sora dan Mahesa Jenar masuk kembali ke dalam rumah. Dilihatnya di sana
Ki Lemah Telasih telah datang dan telah mencoba mengobati Aria Salaka,
Wanamerta, Sawungrana, Penjawi dan orang-orang yang terluka, dengan
ramuan dedaunan, dan dengan memijat-mijat berusaha mengembalikan
urat-urat yang salah letak.
Ki Lemah Telasih tampaknya masih agak
lebih muda dari Ki Asem Gede, tetapi tubuhnya jauh lebih besar dan lebih
tinggi. Hanya matanya sajalah yang mirip benar dengan Ki Asem Gede,
sejuk dan damai.
Dengan cekatan ia merawat orang-orang
yang terluka itu berganti-ganti, sehingga beberapa saat kemudian semua
telah diobatinya dan dibaringkannya di tempat yang tenang.
Nyai Gajah Sora masih saja merenungi
putranya yang terbaring di bale-bale tempat tidur ayahnya dengan tanpa
bergerak. Sedang di mata Nyi Ageng Gajah Sora itu kadang-kadang masih
tampak butiran-butiran air mata yang satu-satu menetes memercikkan
kesedihan hatinya. Tetapi karena kepandaian Ki Lemah Telasih, nafas Arya
Salaka telah mulai berjalan teratur dan detak jantungnya sudah mulai
berjalan wajar.
Gajah Sora dan Mahesa Jenar duduk berdiam
diri sebelah-menyebelah dari ruang tidur tempat Arya terbaring.
Wajah-wajah mereka tampak suram serta pandangan mereka seakan-akan jauh
menembus lantai kelam yang tak dikenal.
Suasana menjadi sepi. Di kejauhan
terdengar semakin jelas gonggongan anjing-anjing liar bersahut-sahutan,
seolah-olah mereka berkata bahwa malam adalah milik mereka.
Sepi malam yang mencengkam itu kemudian dipecahkan oleh suara Ki Lemah Telasih. ”Ki
Ageng, luka-luka Ananda Arya tidaklah begitu berat. Mudah-mudahan atas
kemurahan Tuhan, dalam waktu yang singkat luka itu akan segera sembuh
kembali.”
Gajah Sora menoleh perlahan-lahan ke arah Ki Lemah Telasih, katanya, ”Syukurlah,
Kakang. Mudah-mudahan Tuhan memperkenankan. Lalu bagaimana dengan Paman
Wanamerta, Sawungrana, Penjawi dan lain-lain?”
”Tampaknya luka-luka mereka pun akan dapat disembuhkan.”
Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun bagaimanapun, hilangnya Nagasasra dan Sabuk Inten telah
merupakan suatu lecutan pedih yang tak akan pernah dilupakan.
Tiba-tiba tanpa disengaja, pandangan mata
Gajah Sora terlempar ke arah sesosok tubuh yang masih belum ada seorang
pun yang berani mengubah letaknya, yang menggeletak di muka ruang tidur
Gajah Sora. Seketika itu dadanya menggelora kembali, tetapi dicobanya
untuk menenangkan dirinya. Perlahan-lahan ia berdiri dan memeriksa mayat
yang masih belum berkisar sama sekali itu. Tetapi pada mayat itu sama
sekali tak dijumpainya tanda-tanda apapun yang dapat memberi petunjuk
tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Karena itu ia pun segera duduk
kembali.
Suasana di dalam rumah itu kembali
dikuasai oleh kesepian yang menekan, tetapi di dalam setiap dada
orang-orang yang berada di dalam rumah itu bergulatlah perasaan-perasaan
yang simpang siur.
Di dalam kesepian malam, di sela-sela
gonggong anjing-anjing liar dan pekik burung-burung malam, lamat-lamat
terdengarlah derap kaki kuda yang menderu-deru, semakin lama semakin
dekat. Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera mengangkat kepalanya untuk
mengetahui dari manakah datangnya suara-suara itu.
Suara itu ternyata adalah suara derap
dari berpuluh-puluh ekor kuda. Tetapi karena sampai beberapa lama masih
tidak terdengar tanda apapun, maka tahulah mereka bahwa rombongan itu
pasti bukanlah rombongan dari orang-orang yang menyerang Banyu Biru.
Dan apa yang diduganya adalah benar.
Rombongan itu adalah rombongan dari Laskar Banyu Biru yang telah
berhasil mengusir laskar-laskar yang menyerbu daerah mereka. Diantara
mereka adalah Ki Ageng Lembu Sora, Pandan Kuning, dan tokoh-tokoh
lainnya.
Sampai di halaman rumah Gajah Sora,
segera mereka turun dari kuda masing-masing. Dengan wajah berseri-seri
mereka segera masuk. Tetapi demikian mereka melangkah masuk, segera
mereka menjadi terkejut dan bertanya-tanya. Di hadapan mereka terkapar
sesosok mayat, sedang di bale-bale di sisi-sisi ruangan itu terbaring
pula Wanamerta, Sawungrana, Panjawi dan beberapa orang lagi.
”Apakah yang terjadi di rumah ini, Anakmas?” tanya Pandan Kuning gugup.
”Beberapa orang telah datang ke rumah ini dan mengaduk segala isinya,” jawab Gajah Sora.
Lembu Sora ketika melihat orang yang
terbaring di depan ruang tidur Gajah Sora itu, menjadi terkejut.
Wajahnya segera berubah. Tetapi sebentar kemudian ia telah berhasil
menguasai dirinya kembali. Meskipun demikian segera ia melangkah masuk,
langsung menuju ke arah mayat yang masih terkapar itu. Dengan kakinya ia
menggerak-gerakkan tubuh itu dan membalikkannya sehingga mayat itu
terlentang.
Bagaimanapun Lembu Sora mencoba menahan hatinya, Mahesa Jenar dapat menangkap suatu kesan yang aneh pada wajah Lembu Sora itu.
”Siapakah orang ini, Kakang?” tanya Lembu Sora kepada Gajah Sora.
Gajah Sora sama sekali tidak
memperhatikan wajah adiknya sehingga tak suatu pun dapat ditangkap dari
kelakuan Lembu Sora, yang menurut tangkapan Mahesa Jenar agak kurang
wajar.
”Entahlah, Adik,” jawab Gajah Sora. ”Ia termasuk salah seorang dari tiga orang yang telah memasuki rumah ini.”
”Tiga orang?” ulang Lembu Sora terkejut.
”Ya, tiga orang. Dan satu dapat
dibinasakan. Dialah orangnya yang tak beruntung, dapat dibunuh oleh Arya
dengan tombak pusaka Kiai Banyak,” sambung Gajah Sora.
”Arya dapat membunuh orang ini?”
Agaknya, bagi Lembu Sora sangatlah mustahil bahwa Arya dapat berbuat demikian.
Gajah Sora mengangguk mengiyakan.
”Siapakah yang dua lagi?” tanya Lembu Sora lebih lanjut.
”Yang kedua, aku tidak tahu,” jawab Gajah Sora. ”Sedang yang ketiga adalah Bugel Kaliki.”
”Bugel Kaliki…? Siapakah orang itu?” tanya Lembu Sora.
Akhirnya Gajah Sora dengan agak segan-segan terpaksa menceriterakan tentang kedatangan tokoh-tokoh sakti ke dalam rumah ini.
”Adakah salah seorang dari mereka berhasil mengambil Nagasasra dan Sabuk Inten?” tanya Lembu Sora lebih lanjut.
”Orang kedua yang tak kukenal itulah yang membawanya,” jawab Gajah Sora.
Mendengar jawaban itu, wajah Lembu Sora
berubah menjadi merah membara. Tubuhnya gemetar serta giginya gemeretak.
Rupa-rupanya ia pun marah sekali akan hilangnya kedua pusaka simpanan
kakaknya itu. Tetapi dalam tanggapan Mahesa Jenar, sama sekali bukanlah
demikian. Bagaimanapun ia sudah mempunyai prasangka yang tidak baik
terhadap Lembu Sora.
”Tidakkah Kakang dapat mencurigai seseorang?” kata Lembu Sora tiba-tiba.
Mendengar kata-kata adiknya itu Gajah
Sora terkejut. Ia tidak tahu maksud kata-kata itu. Melihat kesan itu,
Lembu Sora menyambung, ”Kakang.., aku percaya akan kesetiaan rakyat
Banyu Biru terhadap Kakang, sehingga tidaklah mungkin mereka mau
mengkhianati Kakang. Tetapi ternyata keris itu lenyap juga, meskipun
menilik cara penjagaan halaman ini adalah tidak mungkin sama sekali,
kecuali orang macam Bugel Kaliki. Tetapi barangkali Kakang lupa, bahwa
diantara rakyat Banyu Biru yang setia ini, di dalam rumah ini terdapat
orang lain.” Kata-kata yang diucapkan dengan tegas itu terdengar di telinga Mahesa Jenar seperti petir yang meledak di tengkuknya.
Mahesa Jenar adalah bekas seorang
prajurit yang berwatak ksatria serta benar-benar seorang laki-laki
jantan. Ia sendiri sangat membenci sifat-sifat licik dan curang.
Sekarang didengarnya lewat telinganya sendiri, seseorang memfitnahnya,
menuduhnya berbuat curang dan pengkhianatan terhadap Gajah Sora, yang
meskipun belum begitu lama dikenalnya, tetapi karena sifat-sifatnya
serta persamaan tujuan, maka orang itu sudah dianggapnya lebih dari
seorang sahabat biasa.
Karena itu, maka segera darahnya
bergolak. Dadanya tiba-tiba merasa sesak oleh desakan kemarahan.
Untunglah bahwa masih diingatnya bahwa di ruangan itu terbaring beberapa
orang yang terluka serta di dalam ruang sebelah putera Gajah Sora masih
juga belum sadarkan diri. Karena itu sekuat-kuatnya ia masih mencoba
menguasai dirinya.
”Adi Lembu Sora…,” kata Gajah Sora, ”kau
jangan terlalu cepat mengemukakan pendapat sebelum kau pikirkan
masak-masak untung-ruginya. Sudah aku katakan bahwa aku sendiri dapat
melihat orangnya yang mengambil pusaka-pusaka itu. Jadi kalau benar
dugaanmu pasti akulah orangnya yang pertama-tama akan bertindak.”
Rupa-rupanya Lembu Sora masih belum puas mendengar jawaban kakaknya, maka ia menyahut, ”Untuk
melakukan pekerjaan itu, tidaklah perlu harus ditangani sendiri. Tetapi
adanya seorang asing di dalam halaman ini, telah merupakan suatu
kemungkinan untuk menuntun datangnya orang kedua, ketiga dan seterusnya.
Sebab segala sesuatu telah dapat dipersiapkannya dengan saksama.”
Jantung Mahesa Jenar rasa-rasanya hampir
meledak mendengar kata-kata itu. Tetapi ketika ia melihat Gajah Sora
telah berdiri dari duduknya, ia masih mencoba sekuat-kuatnya menahan
diri.
”Sudahlah, Adi Lembu Sora,” kata Gajah Sora, ”pendapatmu baik aku perhatikan. Tetapi biarlah aku yang memutuskan.”
”Tidak, Kakang…” bantah Lembu Sora, ”Mumpung
sekarang kita sedang lengkap di hadapan Kakang, siap untuk menghukum
siapapun yang mencoba untuk mengganggu ketenangan Banyu Biru, meskipun
ia adalah bekas sahabat Kakang sendiri. Adakah Kakang yakin bahwa orang
itu sama sekali tak ada hubungannya dengan orang-orang yang menyerang
Banyu Biru?”
Kembali Lembu Sora melanjutkan hasutannya, ”Kakang
Gajah Sora, paman Pandan Kuning, Bantaran Wirapati dan lain-lainnya
telah bertempur dengan gagah perkasa mengusik laskar penyerbu itu. Dan
sekarang di sini mereka harus menyaksikan seorang di antara
penjahat-penjahat itu, yang mungkin lebih licik dan licin mendapat
perlindungan dari Kakang. Apakah…..”
”Cukup!” potong Gajah Sora. ”Kau jangan mengurus aku, Lembu Sora. Aku
senang sekali bahwa kau mencoba ikut serta memecahkan
kesulitan-kesulitan yang aku alami. Tetapi janganlah kau memaksakan
suatu pendapat yang belum dapat diyakinkan kebenarannya. Menghukum
seseorang bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan begitu saja
tanpa bukti-bukti akan kesalahannya. Karena itu sekali lagi aku
mengucapkan terima kasih atas perhatianmu itu, tetapi sebaiknya kau
beristirahat di tempat yang sudah kami sediakan.”
”Paman Pandan Kuning…,” kata Lembu Sora seolah-olah tidak mendengar kata-kata kakaknya, ”… dan
paman-paman yang lain serta para perwira di Banyu Biru…. Dapatkah
kalian membiarkan orang yang berkedok persahabatan ini mengkhianati
kepala daerah kalian? Hilangnya kedua pusaka itu adalah suatu
pengkhianatan yang tiada taranya dalam sejarah Banyu Biru, sejak ayah
Sora Dipayana masih memegang pemerintahan di Pangrantunan. Tetapi
ternyata Kakang Gajah Sora adalah seorang yang terlalu luhur budi dan
pengasih, sehingga ia tidak sampai hati untuk bertindak terhadap seorang
yang menamakan diri sahabatnya. Nah, para pahlawan, sekarang adalah
waktunya bagi kalian untuk menunjukkan bakti kalian terhadap kepala
daerah kalian serta daerah kelahiran kalian.

Kini Mahesa Jenar sudah tidak dapat
menahan kesabarannya lagi. Banyak hal yang akan dikatakan untuk
menyatakan kebersihannya serta banyak hal lagi yang dapat dikatakan pula
tentang ketidakwajaran Lembu Sora. Tetapi terdorong oleh kemarahan yang
memuncak maka bibirnya hanyalah tampak bergetar tanpa mengeluarkan
sepatah katapun. Apalagi ketika ia melihat Lembu Sora telah menarik
pedangnya, maka tidak ada pilihan lain kecuali bertempur mati-matian.
Segera Mahesa Jenar memusatkan segala kekuatan lahir batin, mengatur
jalan pernafasannya dan siap untuk mempergunakan Sasra Birawa dalam
pukulan yang pertama. Sebab ia tidak mau menanggung akibatnya apabila
Lembu Sora telah memiliki aji Lebur Seketi seperti kakaknya. Maka
sebagai seekor banteng murka, ia cepat berdiri dan bersiap menghadapi
segala kemungkinan.
Tetapi ketika Lembu Sora beserta beberapa
orang yang berotak kosong serta hanya berpikir pendek untuk dapat
disebut sebagai seorang pahlawan tanpa menilik masalahnya lebih dalam
lagi, mulai bergerak. Tampaklah dengan kecepatan kilat Gajah Sora
meloncat maju ke depan adiknya beserta orang-orang itu. Dengan wajah
merah membara, Gajah Sora berteriak dengan penuh kemarahan, ”Hai
orang-orang Banyu Biru, akulah kepala daerah perdikan di sini. Kalau
kalian maju selangkah lagi, kalian akan berhadapan dengan aku.”
Lontaran suara yang penuh dengan perasaan
marah itu terdengar dahsyat sekali. Beberapa orang yang telah bergerak
seperti orang mabuk itu, tiba-tiba seperti terlempar kembali ke alam
kesadaran. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang dengan penuh
kebaktian dan kesetiaan mengabdikan diri mereka kepada tanah kelahiran
serta kepala daerah perdikan mereka. Tetapi karena itu pulalah dengan
mempergunakan kesadaran akan kesetiaan itulah maka mereka kadang-kadang
dapat dengan mudah digelincirkan ke dalam suatu perbuatan yang salah,
yang justru bertentangan dengan kesetiaan mereka sendiri tanpa
sesadarnya.
Sekarang tiba-tiba pemimpin yang
ditakuti, disegani dan dicintai itu seolah-olah telah menantang mereka.
Maka tidaklah mustahil bahwa beberapa orang kemudian menjadi gemetar
ketakutan seperti seekor tikus di tangan seekor kucing yang ganas.
Lembu Sora, bagaimanapun angkuhnya,
ketika melihat kakaknya benar-benar telah marah, dan benar-benar tidak
termakan oleh hasutan-hasutannya itu pun menjadi agak takut pula. Sebab
ia tahu betul akan sifat-sifat Gajah Sora. Meskipun dalam banyak hal
Gajah Sora selalu mencoba untuk mengalah terhadap adik kesayangan ibunya
itu. Tetapi apabila ia telah menentukan suatu sikap, tak seorang pun
mampu mengubahnya.
Karena itu dengan kecewa dan menyesal, Lembu Sora mundur beberapa langkah. Lalu katanya, “Maafkan
aku, Kakang. Maksudku adalah baik, untuk kepentingan masa datang Kakang
dan kesan yang teguh atas kepemimpinan Kakang. Tetapi agaknya Kakang
salah terima.”
“Sarungkan senjata itu,” perintah Gajah Sora.
Sekali lagi Lembu Sora tak berani melawan perintah kakaknya. Dengan segera pedangnya itu disarungkannya pula.
Suasana tegang itu kemudian untuk
beberapa saat menjadi semakin tegang. Tak seorangpun yang berani
bergerak, meskipun hanya jari kakinya. Bernafaspun mereka menjadi
berhati-hati sekali, seolah-olah takut kalau-kalau bunyi nafasnya dapat
menambah kemarahan Gajah Sora.
“Lembu Sora…,” kembali terdengar
suara Gajah Sora. Tetapi kali ini terasa bahwa kemarahannya telah
menurun. Bagaimanapun ia adalah seorang kepala daerah yang bijaksana.
Maka sekali ini pun ia menunjukkan kebijaksanaannya pula. ”Baiklah… kau beritirahat,” sambung Gajah Sora, ”mungkin
kau terlalu lelah sehingga pikiranmu tak dapat berjalan dengan baik.
Juga kalian laskar Banyu Biru, aku persilahkan meninggalkan ruangan ini
untuk mengaso. Setelah kalian bertempur untuk mempertahankan tanah ini,
mungkin sekali otak kalian pun agak terganggu. Tetapi tak apalah….
Sekarang pergilah.”
Tak seorang pun mengucapkan sepatah kata.
Dengan kepala tunduk, mereka berjalan berebutan untuk lebih dahulu
meninggalkan ruangan yang rasa-rasanya menjadi panas sekali. Demikian
mereka sampai di halaman, segera mereka meloncat ke atas kuda
masing-masing dan dengan segera kuda-kuda itu dipacu pulang ke rumah
masing-masing untuk menyatakan keselamatan mereka kepada keluarga mereka
masing-masing yang menanti dengan hati cemas. Sedang beberapa orang
lagi bertugas untuk merawat kawan-kawan mereka yang gugur, dan yang
terluka pun segera dengan tekun melakukan tugas masing-masing.
Lembu Sora pun segera mengundurkan diri
bersama-sama dengan para pengiringnya, ke tempat yang sudah disediakan,
di gandok sebelah barat.
———-oOo———-
III
Sepeninggal mereka, di dalam ruangan itu
tinggallah Gajah Sora, Mahesa Jenar, Ki Lemah Telasih, dan orang-orang
yang terluka. Mereka duduk tepekur tanpa berkata-kata. Angan-angan
mereka mengalir menuruti pikiran masing-masing.
Suasana segera menjadi hening. Kembali
terdengar di kejauhan gonggong anjing-anjing liar berebut makanan.
Sedang di ruang itu beberapa orang duduk seperti patung, kaku dan
membisu. Tetapi perasaan mereka berputar seperti baling-baling.
Baru beberapa saat kemudian terdengar Gajah Sora berkata, ”Adi
Mahesa Jenar… maafkan kelakuan Lembu Sora beserta beberapa orangku yang
sama sekali tidak sopan. Tetapi percayalah bahwa orang-orangku sama
sekali tak mempunyai pandangan yang kurang baik terhadap Adi. Sayang
bahwa Lembu Sora telah menyeret mereka ke dalam suatu tindakan yang
memalukan.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Sebenarnya ia sama sekali tidak akan dapat melupakan tuduhan
pengkhianatan yang dilancarkan oleh Lembu Sora. Terhadap laskar Banyu
Biru, memang ia tidak menaruh banyak perhatian, sebab mereka hanya
terpengaruh oleh hasutan-hasutan Lembu Sora saja. Namun, meskipun
demikian, kepada Gajah Sora ia menjawab, ”Sudahlah Kakang,
mudah-mudahan aku dapat melupakannya. Aku harapkan bahwa Ki Ageng Lembu
Sora tidak berbuat hal-hal yang dapat mengeruhkan keadaan.”
Gajah Sora mengangguk-angguk kecil. Ia
dapat merasakan sepenuhnya kekecewaan Mahesa Jenar terhadap adiknya.
Karena itu ia berkata menyambung, ”Aku akan mencoba selalu mengawasi
anak itu selama ia berada di Banyu Biru. Mudah-mudahan ia segan
meninggalkan rumah ini untuk tidak menambah pekerjaannku”
Kembali mereka berdiam diri. Dan kembali
keadaan ruangan itu menjadi sepi. Sepi dan kaku, seperti garis-garis
lurus dari sambungan-sambungan papan gebyok rumah Gajah Sora yang pecah
berserakan karena ditembus oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar
bersama-sama.
Kesepian itu tiba-tiba dipecahkan oleh
suara rintih Arya Salaka dari dalam ruang tidur Gajah Sora. Mendengar
suara itu, hampir bersamaan Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Ki Lemah
Telasih meloncat, mendekati Arya. Wajah Gajah Sora yang suram itu segera
berubah, karena tumbuhnya harapan yang semakin besar, bahwa Arya Salaka
akan segera dapat sadar kembali.
Ketika mereka bersama-sama memasuki
ruangan itu, mereka melihat Arya sudah mulai menggerakkan kepalanya, dan
perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Terdengarlah dari mulutnya ia
merintih dan akhirnya terdengar Arya perlahan-lahan sekali menangis,
meskipun agaknya ia mencoba menahannya kuat-kuat.
Ibunya yang melihat Arya mulai sadar,
segera memeluknya dan menciuminya dengan penuh rasa kasih dari seorang
ibu. Tetapi Ki Lemah Telasih sebagai seorang tabib segera mencoba
mencegahnya. ”Nyai Ageng, biarlah Ananda Arya bebas bernafas dahulu, supaya tubuhnya menjadi segar.”
Wajah Gajah Sora pun segera menjadi
cerah. Meskipun luka di hatinya dengan hilangnya kedua pusaka itu begitu
dalam, namun Arya Salaka pun merupakan mutiara di hatinya yang tidak
kalah nilainya.
Mahesa Jenar yang sejak melihat Arya
untuk pertama kali telah mengagumi anak itu, kini ia bertambah kagum
lagi. Anak-anak yang masih pantas bermain gundu itu, andaikata tidak ada
orang kedua, telah berhasil menggagalkan suatu usaha dari seorang yang
tentu berilmu tinggi, dalam usahanya mencuri Kyai Nagasasra dan Sabuk
Inten. Dalam asuhan Ki Ageng Gajah Sora, pastilah Arya kelak akan
menjadi manusia yang mumpuni lahir dan batin. Apalagi andaikata kakeknya
Ki Ageng Sora Dipayana juga mau mengasuhnya.
Sebentar kemudian Arya Salaka telah
benar-benar sadar. Ia telah mulai mengenali orang-orang yang berdiri di
sekitar tempat pembaringannya.
Pada saat itu malam telah semakin jauh,
bahkan ayam jantan telah mulai berkokok untuk ketiga kalinya, suatu
pertanda bahwa sebentar lagi fajar akan datang.
Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Ki Lemah
Telasih pun segera meninggalkan Arya Salaka yang sudah mulai dapat tidur
ditunggui oleh ibunya yang berbaring di sampingnya. Ki Lemah Telasih
dan Mahesa Jenar kemudian meninggalkan ruangan itu pula untuk
beristirahat.
Ketika Mahesa Jenar turun dari pendapa
untuk mengantarkan Ki Lemah Telasih sampai di gerbang halaman, tampaklah
di timur sudah mulai membayang warna kemerah-merahan yang melapisi
langit. Angin pagi yang sejuk menyapu wajah Mahesa Jenar yang masih
tampak berminyak karena keringat yang berlapis debu. Meskipun demikian
perasaan segar terasa menusuk sampai ke tulang sungsum.
Perlahan-lahan ia berjalan ke gandok
sebelah timur untuk beristirahat. Tetapi alangkah terkejutnya ketika ia
memasuki ruang yang disediakan untuknya. Rupa-rupanya ruangan itu pun
telah dibongkar dengan teliti.
Melihat hal itu, Mahesa Jenar tertegun.
Ia tiada tahu siapakah yang telah melakukan perbuatan itu, tetapi
kejadian itu telah menyalakan kembali kemarahannya. Sayanglah bahwa
Lembu Sora kebetulan adalah adik Gajah Sora. Kalau saja tidak ada
hubungan antara kedua orang itu, sudah pasti bahwa ia akan membuat
perhitungan secepat-cepatnya dengan Lembu Sora. Tetapi dalam keadaan
seperti sekarang ini, yang dapat dilakukannya hanyalah menyimpan
kemarahannya itu di dalam dadanya yang menjadi sesak.
Akhirnya dengan susah payah ia dapat
meredakan gelora hatinya sendiri. Dan karena kelelahan, Mahesa Jenar
kemudian merebahkan dirinya di atas pembaringan dan sejenak kemudian ia
tertidur dengan nyenyaknya.
Demikian nyenyaknya ia tidur, sehingga
tidak terasa bahwa hari telah tinggi. Meskipun demikian masih saja ia
belum bangun, apabila tidak didengarnya derap kuda di halaman. Ketika ia
bangun dan membuka pintu depan, tampak sudah siap untuk berangkat Ki
Ageng Lembu Sora beserta rombongannya.
Melihat Lembu Sora siap meninggalkan
Banyu Biru, tanpa sadar Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
merasa syukur bahwa orang yang sama sekali tak menyenangkan, baik
wataknya maupun bentuk tubuhnya yang kaku itu, segera akan meninggalkan
Banyu Biru sebelum terjadi sesuatu.
Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba Ki
Ageng Lembu Sorapun memandang ke arah pintu yang sudah terbuka sedikit
itu, dimana Mahesa Jenar sedang berdiri mengawasinya.
Benturan pandangan yang terjadi dengan
tiba-tiba itu telah menimbulkan ledakan yang hebat di hati
masing-masing. Pandangan mereka segera berubah menjadi tajam dan
seolah-olah meskipun tanpa diucapkan, mereka telah berjanji bahwa pada
suatu ketika mereka akan berhadapan sebagai lawan yang harus membuat
perhitungan dengan taruhan yang sangat mahal.
Sebentar kemudian, Ki Ageng Lembu Sora
segera memberi aba-aba kepada para pengiringnya, dan segera mereka pun
pergi meninggalkan halaman Kepala Daerah Perdikan Banyu Biru. Sampai di
regol halaman, sekali lagi Lembu Sora menoleh kepada kakaknya yang
melepasnya dari atas pendapa beserta istrinya. Dan dengan sekali lagi
menganggukkan kepalanya, Lembu Sora lenyap dari pandangan mereka.
Setelah Lembu Sora hilang di balik pagar
halaman, serta Ki Ageng Gajah Sora telah masuk kembali ke dalam rumah,
segera Mahesa Jenar keluar dari Gandok Wetan dan langsung pergi lewat
pintu pagar samping, menuruti tangga batu, pergi ke mata air dimana ia
biasa mandi.
Tetapi baru saja ia akan melepaskan
pakaiannya, tiba-tiba dilihatnya dua bayangan diantara pepohonan agak
diatas mata air itu. Dan ketika ia memandangnya lebih tajam lagi,
dilihatnya seorang tua dengan seorang pemuda tampan berdiri
memandangnya. Alangkah terkejutnya ketika diketahuinya bahwa orang tua
itu tidak lain adalah Ki Ageng Pandan Alas yang berdiri bertolak
pinggang sambil tertawa nyaring. Katanya diantara derai tertawanya, ”Kau agak kesiangan bangun, Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar segera membungkuk hormat, jawabnya, ”Ya, Ki Ageng,”
”Mahesa Jenar…” sambung Ki Ageng Pandan Alas, ”Apakah Kakang Sora Dipayana telah meninggalkan Banyu Biru?”
Mahesa jenar segera membungkuk hormat, jawabnya, ”Ya, Ki Ageng.”
”Bagus,” sahut Pandan Alas. ”Aku juga akan segera pergi. Tetapi sengaja aku singgah sebentar untuk memperkenalkan muridku ini kepadamu.”
Barulah Mahesa Jenar sadar bahwa Pandan
Alas itu berdiri di sana dengan seorang lagi. Maka ketika ia mendengar
bahwa Pandan Alas bermaksud memperkenalkannya dengan muridnya, segera ia
membetulkan pakaiannya dan melangkah mendekati. Tetapi segera ia
berhenti ketika Ki Ageng Pandan Alas menegornya, ”Tak usah kau naik
kemari, Mahesa Jenar. Muridku agak malu berkenalan dengan kau yang telah
memiliki nama besar sebagai seorang perwira prajurit Demak. Tidak saja
itu, tetapi juga sebagai penolong yang luhur budi.”
Mahesa Jenar segera tertegun heran.
Apakah hubungannya dengan nama yang pernah dimilikinya. Tetapi ketika
sekali lagi ia memandang murid Pandan Alas itu, hatinya terguncang
hebat. Apalagi ketika orang itu menundukkan wajahnya yang tampak
kemalu-maluan.
Mahesa Jenar segera mengenal siapakah
murid Ki Pandan Alas itu. Karena itu wajahnya menjadi terasa panas dan
jantungnya berdetak lebih cepat.
“Rupa-rupanya kau sudah mengenalnya Mahesa Jenar” bertanya Pandan Alas sambil tertawa.
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Mulutnya jadi seperti terkunci.
Kemudian terdengar tertawa Pandan Alas semakin keras. Katanya; “Aku
jadi geli, kalau aku teringat ketika Mahesa Jenar jadi marah bukan main
dan hampir saja membunuh orang yang sama sekali tak bersalah beberapa
pekan yang lalu di hutan Tambak Baya, ketika ia kehilangan bebannya.”
Juga kali inipun Mahesa Jenar tidak menjawab.
Ketika kata-katanya tidak mendapat jawaban Pandan Alas melanjutkan, “Mahesa Jenar, inilah muridku yang aku katakan. Siapakah nama yang pantas aku berikan kepadanya?.”
Mendengar pertanyaan yang berturut-turut
itu hati Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Ia sendiri tidak
mengetahui, kenapa ia tidak dapat menahan perasaannya sehingga ia
kehilangan ketenangan. Murid Pandan Alas itu, meskipun jelas berpakaian
seperti seorang pemuda, namun ketika Mahesa Jenar memandangnya agak
lama, ia segera mengenal bahwa murid Pandan Alas itu sama sekali bukan
seorang pemuda, melainkan ia adalah seorang gadis cantik yang sedang
mekar, yang tidak lain adalah cucu Pandan Alas sendiri yaitu Rara Wilis
yang pernah dikenalnya dan pernah ditolongnya. Pertemuan yang tidak
diduga itu membuat Mahesa Jenar kehilangan ketenangan. Disamping itu
iapun menjadi heran pula bahwa sedemikian cepat Ki Ageng Pandan Alas
telah kembali bersama gadis itu. Kalau demikian ketika Ki Ageng Pandan
Alas sedang bertempur dengan Pasingsingan, Rara Wilis pasti
disembunyikan ditempat yang tidak begitu jauh dari Banyu Biru.
Pada saat kenangannya sedang menelusur kembali ke masa lampau terdengan kembali Pandan Alas berkata, “apakah
kau mempunyai pilihan nama yang baik Mahesa Jenar ? Aku sendiri bingung
memberi nama yang sesuai. Tetapi yang jelas aku tidak akan memberinya
nama Lawa Ijo, meskipun nama aselinya bermakna hijau juga.”
Mahesa Jenar masih saja belum dapat
menguasai dirinya sehingga mulutnya masih belum dapat mengucapkan kata.
Bahkan ia menjadi gelisah. Melihat sikap Mahesa Jenar, Pandan Alas
tertawa semakin keras, katanya, “Barangkali kau tidak siap
menghadapi kejadian yang sangat tiba-tiba datangnya ini Mahesa Jenar.
Tetapi tidak mengapa. Maksudku hanyalah supaya kau tahu bahwa cucuku ini
aku bawa, supaya aku dapat melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu
yang pertama untuk mengetahui siapakah yang telah membawa kedua keris
Kiai Nagasasra dan Sabukinten, sedangkan yang kedua, supaya diperjalanan
aku masih dapat mengajari anak ini selangkah dua langkah ilmu yang tak
berarti, supaya ia dapat menjaga keselamatan dirinya. Syukur ia berhasil
melepaskan pengaruh jahat ibu tirinya atas bapaknya yang sekarang
bermukim di Gunung Tidar.”
Mendengar kata-kata Pandan Alas yang terakhir Mahesa Jenar terkejut, sahutnya; “Maksud Ki Ageng, Sima Rodra Gunung Tidar ?”
“Ya,” jawab Pandan Alas. “Sima
Rodra muda itu adalah bekas menantuku yang kemudian kena pengaruh
seorang perempuan, maka ia seperti berubah ingatan. Sekarang keturunanku
satu-satunya adalah Wilis ini. Karena itu, meskipun ia seorang gadis
aku akan mencoba untuk membuatnya setidak-tidaknya dapat menyamai ibu
tirinya. Maka supaya pantas aku beri ia pakaian laki-laki dan seharusnya
namanya pun harus nama lelaki pula. Nah apa katamu kalau anak ini aku
beri nama Pudak Wangi ?.”
Kembali Mahesa Jenar terbungkam. Tetapi
nama itu rasanya amat manisnya. karena itu, meskipun ia tidak menjawab,
tetapi dengan tidak disengaja ia mengangguk juga. Ia terkejut ketika
Pandan Alas meneruskan, “Ha rupanya kau setuju juga. Bukankah Pudak
adalah nama dari bunga Pandan. Aku harap cucuku kelak akan dapat menjadi
bunga Pandan yang wangi.”
Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung.
Ia ingin menjawab tetapi ia tidak tahu bagaimana, sampai akhirnya Pandan
Alas berkata lagi, “Mahesa Jenar kenapa kau diam saja. Setuju atau tidak, atau barangkali kau punya nama yang lebih baik ?.”
“Tidak Ki Ageng” akhirnya terpaksa ia menjawab sekenanya, “nama itu sudah baik sekali.”
“Bagus, Kau setuju dengan nama itu
bukan. Nah kalau pada suatu ketika kau bertemu dengan seorang pemuda
yang bernama Pudak Wangi, jangan kau apa-apakan dia,” sahut Ki Ageng Pandan Alas. “Nah sekarang aku akan pergi. Marilah Pudak Wangi. Sebaiknya kau minta diri pada Mahesa Jenar.”
Wajah Rara Wilis segera berubah menjadi merah. Ia mencoba tersenyum, tetapi alangkah sulitnya. Dengan terpaksa ia berkata, “Selamat tinggal tuan, aku mohon diri untuk mengikuti kakek mencari pusaka yang hilang.”
Mendengar kata cucunya segera Pandan Alas membetulkan, “eh
Mahesa Jenar adalah murid sahabatku. Kenapa kau panggil dengan sebutan
tuan? kau sekarang adalah muridku. Panggil dengan sebutan yang lebih
akrab sebagai dua murid dari dua orang sahabat.”
Kembali wajah Rara Wilis kemerahan. tetapi terpaksa ia berkata, “Aku mohon diri kakang, aku akan menyertai guru.”
“Begitulah panggilan seorang sahabat,” kata Pandan Alas sambil tertawa nyaring. Sementara itu terdengar Mahesa Jenar menjawab, “mudah-mudahan semuanya selamat, yang pergi dan yang ditinggalkan.”
“Baiklah Mahesa Jenar,” sahut Pandan Alas. “Lekaslah mandi. Aku akan berangkat. Mungkin untuk waktu yang agak lama kita tidak bertemu. Selamat tinggal.”
Sesudah mengucapkan kata-kata itu segera
Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis yang kemudian bernama Pudak Wangi
itu pergi meninggalkan Mahesa Jenar dan berjalan perlahan-lahan menyusup
pepohonan. Mahesa Jenar berdiri tegak seperti patung mengawasi mereka
berdua. Pikirannya tiba-tiba menjadi risau. Ia tidak tahu kenapa hatinya
bergetar ketika mendengar Pandan Alas mengatakan bahwa mungkin untuk
waktu yang lama mereka tidak akan bertemu.
Malam tadi, ketika ia melihat Pandan Alas
itu berangkat untuk mencari pusaka-pusaka yang hilang, ia tidak
merasakan perasaan seperti pada saat itu.
Baru beberapa saat kemudian Mahesa Jenar
seperti orang sadar dari mimpi. Kembali ia turun ke mata air untuk
mandi. Tetapi bagaimanapun terasa bahwa ada sesuatu yang mengganggu
ketentraman hatinya. Rara Wilis meskipun sudah berpakaian seperti
seorang pemuda, namun wajah itu selalu mondar-mandir saja di dalam
otaknya.
Karena itulah maka setelah ia mandi dan
kembali ke rumah sahabatnya, ia tampak agak lain dari biasanya. Tetapi
ia selalu berusaha untuk menyembunyikan perasaannya.
Dua-tiga hari kemudian, Mahesa Jenar
merasa agak kurang enak untuk tinggal berdiam diri di rumah sahabatnya
itu. Bagaimanapun ia merasa turut bertanggung jawab pula atas hilangnya
pusaka-pusaka Demak yang telah dengan susah payah diketemukan dan
direbut dari tangan Sima Rodra. Karena itu, meskipun ia tahu pasti bahwa
yang berhasil merampas kedua pusaka itu, termasuk angkatan gurunya atau
setidak-tidaknya mempunyai kesaktian yang setingkat dengan gurunya,
serta Ki Ageng, namun adalah kewajibannya pula untuk mencoba-coba
menemukannya kembali.
Mahesa Jenar memutuskan menemui Ki Gajah
Sora untuk minta diri, dan kemudian meneruskan perantauannya, dan
apabila mungkin untuk mendapatkan kembali Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten
yang telah hilang.
Tetapi ketika pada suatu pagi, Mahesa
Jenar telah bersiap-siap untuk minta diri, tiba-tiba terdengarlah
sayup-sayup suara kentongan yang dipukul bertalu-talu dengan irama dara
muluk ganda. Itu adalah suatu pertanda bahwa ada pejabat penting dari
Istana Demak yang datang ke Daerah Perdikan Banyu Biru.
Tanda itu kemudian diulang dan diulang
oleh pemukul-pemukul kentongan yang lain, sehingga suaranya terdengar
semakin lama semakin dekat.
Mendengar tanda-tanda itu, Gajah Sora
tampak agak sibuk mempersiapkan penyambutan. Tetapi bagaimanapun tampak
membayang di wajahnya perasaan yang hambar dan kurang tenang. Meskipun
ia belum tahu akan kepentingan para pejabat itu, namun ia mendapat
firasat bahwa sesuatu yang kurang baik akan terjadi.
Wanamerta yang masih belum sembuh benar,
segera diundang pula. Beberapa pejabat lain, dengan sendirinya telah
hadir pula setelah mendengar tanda-tanda itu.
Mahesa Jenar yang mengerti juga akan
tanda-tanda itu menjadi agak bingung. Ia meninggalkan Demak serta
melepaskan pakaian keprajuritan karena perbedaan-perbedaan pendapat
dengan beberapa pejabat istana. Dan sekarang di suatu tempat yang jauh
dari istana, pejabat itu datang untuk suatu keperluan. Ia menjadi
bimbang, apakah ia harus menemui pejabat-pejabat itu ataukah tidak.
Akhirnya setelah menimbang masak-masak, akhirnya Mahesa Jenar minta
kepada Gajah Sora untuk diberi kesempatan tidak usah menemui mereka dan
kehadiran tamu-tamu tersebut. Juga tidak perlu dikabarkan bahwa Mahesa
Jenar sedang berada di Banyu Biru. Ia akan berada di dalam ruangan
tengah sambil mendengarkan apakah kepentingan para pejabat itu datang ke
daerah perdikan Banyu Biru.
Sejenak kemudian terdengarlah di kejauhan
suara sangkakala. Itu adalah suatu pertanda bahwa yang datng adalah
pejabat-pejabat penting.
Mendengar sangkakala itu, Gajah Sora
menjadi bertambah sibuk. Diperintahkan seorang meniup sangkakala pula
untuk menyatakan kesediaan kepala perdikan Banyu Biru menerima tamu-tamu
penting dari pusat.
Sementara itu beberapa orang telah siap
di atas kuda untuk menyongsong tamu-tamu dari Demak itu. Ketika Ki Ageng
memberikan tanda-tanda, segera mereka pun berangkat.
Mahesa Jenar yang menanti kedatangan
tamu-tamu itu dari ruang dalam menjadi semakin lama semakin gelisah.
Kalau saja ia telah meninggalkan tempat itu, maka apapun yang terjadi,
ia sudah tidak melihatnya lagi. Tetapi sekarang, pada saat ia masih
berada di tempat itu, dapatkah kiranya ia berdiam diri? Sebab dalam
tangkapan Mahesa Jenar, kedatangan para utusan dari Demak itu pasti ada
sangkut-pautnya dengan keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Beberapa saat kemudian, sebelah punggung
Mahesa Jenar basah oleh keringat dingin yang mengalir karena
kegelisahannya. Terdengarlah derap kuda di halaman.
Perasaan ingin tahu Mahesa Jenar
sedemikian besar sehingga lewat lubang-lubang papan sambungan dinding,
ia mengintip. Ketika ia melihat pemimpin rombongan dari Demak itu,
dadanya bergetar. Rupa-rupanya rombongan ini dianggap sedemikian
pentingnya sehingga telah ditunjuk untuk memimpin rombongan ini, seorang
perwira dari pengawal Bandar Bergota, yaitu Palindih, seorang perwira
yang sangat terkenal, yang pada saat Pangeran Sabrang Lor menyerang
Portugis di Malaka, dialah yang mempergunakannya sebagai batu loncatan
untuk meluaskan jari-jari penjajahannya ke Pulau Jawa dan sekitarnya. Ia
sudah menjabat sebagai pimpinan dari salah satu kapal dalam armada yang
dipimpin langsung oleh Adipati Unus sendiri. Pada saat itu Gajah Sora,
yang masih sangat muda, yang ikut sebagai sukarelawan dalam penyerangan
itu, beruntung terpilih menjadi anggota pengawal Sabrang Lor. Karena
pemuda itu telah menunjukkan ketangkasan yang luar biasa, maka dari
Pangeran, ia menerima hadiah sebuah tombak pusaka.
Karena itu, ketika Ki Ageng Gajah Sora
melihat, siapakah yang datang, maka dengan tergopoh-gopoh ia turun ke
halaman menyambut tamunya dengan salam persahabatan. Mereka telah saling
berkenalan dan telah mengetahui kebesaran masing-masing.
Maka, segera tamu-tamunya dipersilahkan
naik ke pendapa, dimana telah hadir para pejabat tanah perdikan dan
pimpinan-pimpinan laskar Banyu Biru. Di belakang, Nyi Ageng pun telah
bekerja keras menyiapkan suguhan yang dianggapnya pantas, untuk menjamu
tamu-tamu dari kota.
Setelah mereka saling menanyakan
keselamatan masing-masing, serta setelah mereka yang datang mendapat
jamuan pelepas haus, maka mulailah Arya Palindih menyampaikan
keperluannya datang ke Perdikan Banyu Biru. Meskipun wajahnya tampak
keras, tetapi karena umurnya yang telah agak lanjut, maka ia berusaha
untuk berhati-hati.
“Anakmas Gajah Sora…, katanya,
“izinkanlah aku menyampaikan pesan Baginda untuk Anakmas kepala daerah
Perdikan Banyu Biru. Pertama Baginda Sultan Demak menyampaikan salam
taklim untuk Anakmas, serta doa mudah-mudahan pemerintahan perdikan
Banyu Biru yang didasarkan atas ketetapan sejak Baginda Brawijaya
Pamungkas ini dapat berlangsung dengan sempurna, serta keputusan Baginda
untuk tetap menghormati prasasti ketetapan tanah perdikan ini”
Adapun yang kedua, lanjut Arya Palindih, Baginda
Sultan Demak mengucap syukur ke hadirat Allah bahwa Anakmas dari Banyu
Biru yang sudah dikenal oleh Baginda sejak penyerangan kedaerah Utara,
yang pada saat itu Pemerintahan Demak masih dipegang oleh Pangeran
Sabrang Lor, telah berhasil menyelamatkan kedua pusaka istana, Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten.”
Mendengar kata-kata itu, yang
diucapkannya dengan jelas setiap suku katanya, baik Gajah Sora maupun
Mahesa Jenar yang berada di ruang dalam, dadanya merasa seolah-olah
tertindih beban yang sangat berat. Wajah Gajah Sora segera berubah,
serta pandangannya menjadi suram. Meskipun hal itu telah diduganya,
namun bagaimanapun darah Gajah Sora mengalir bertambah cepat juga.
Maka dengan agak gemetar serta berusaha untuk menguasai diri, Ki Ageng Gajah Sora menjawab, “Paman
Arya Palindih yang aku hormati…. Pertama-tama aku merasa sangat
berbesar hati atas kesudian Paman serta atas kemurahan hati Baginda
mengutus sebuah rombongan untuk datang ke daerah yang terpencil ini.
Adapun yang kedua, aku menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya
pula atas perhatian Baginda kepada hasil yang telah aku dapatkan, yaitu
menyelamatkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
Sampai sekian kata-kata Gajah Sora
terputus. Hatinya menjadi semakin gelisah serta dadanya bertambah
berdebar. Dengan berusaha sedapat-dapatnya untuk menguasai dirinya ia
melanjutkan, ”Tetapi Paman, sebaiknya aku berkata terus terang,
bahwa mungkin karena kesalahanku, karena aku tidak mampu menjaga
keselamatan kedua pusaka itu, maka beberapa hari yang lalu kedua pusaka
itu hilang kembali.”
Mendengar keterangan Gajah Sora itu, Arya
Palindih terkejut, sehingga duduknya tergeser ke belakang. Dengan mata
yang mengandung seribu satu macam pertanyaan, ia memandangi Gajah Sora
tanpa berkedip.
Gajah Sora merasakan bahwa sesuatu
bergolak di dalam dada Arya Palindih, karena itu ia merasa perlu untuk
memberikan penjelasan atas hilangnya kedua pusaka itu. Maka dengan
sedikit bergetar Gajah Sora menceriterakan bagaimana ia berhasil
mendapatkan kedua keris itu di Gunung Tidar, sampai kedua keris itu
hilang dicuri orang, dengan kesaksian orang-orang yang pada saat itu
masih belum sembuh benar, seperti Wanamerta, Panjawi dan lain-lainnya.
Tetapi sudah tentu Gajah Sora sama sekali tak menyebut-nyebut nama
Mahesa Jenar atau yang lebih terkenal dengan sebutan Rangga Tohjaya.
Meskipun Gajah Sora telah mengatakan
semuanya yang terjadi, tampaknya Arya Palindih masih memancarkan rasa
kesangsian. Beberapa kali ia memandang berkeliling. Kepada Wanamerta,
Bantaran, Panjawi, Sawungrana dan kepada para pengiringnya, seolah-olah
ia minta penjelasan yang lebih banyak lagi, serta minta
pertimbangan-pertimbangan. Akhirnya setelah beberapa saat mereka berdiam
diri, berkatalah Arya Palindih, ”Anakmas Gajah Sora, aku tahu
betapa besar kemampuan Anakmas. Anakmas adalah salah seorang kepercayaan
almarhum Pangeran Sabrang Lor yang juga disebut Adipati Unus pada usia
yang masih sangat muda. Sekarang Anakmas telah berusia dua kali lipat.
Aku percaya bahwa dalam usia yang sekarang ini Anakmas telah merupakan
seorang yang maha perkasa. Ditambah lagi aku dengar laskar Banyu Biru
adalah laskar yang teguh dan perwira. Masih adakah gelombang-gelombang
perampok yang hanya dapat mencegat pedagang-pedagang yang tak berdaya
itu, berani mendekati Banyu Biru? Apalagi memasuki rumah kepala daerah
perdikan?”
”Paman Arya Palindih…” jawab Gajah Sora, ”Apa
yang Paman katakan adalah benar. Tetapi yang datang ke Banyu Biru
bukanlah rombongan pencuri-pencuri kerdil yang hanya mampu membongkar
dinding. Tidakkah Paman pernah mendengar nama-nama seperti Lawa Ijo,
Sima Rodra, Sepasang Uling dari Rawa Pening, Jaka Soka dari
Nusakambangan dan yang lebih terkenal lagi Pasingsingan, Sima Rodra tua
dari Lodaya, Bugel Kaliki dari lembah Gunung Cerme…? Mereka itu semua
telah beramai-ramai datang ke Banyu Biru seperti orang yang
dahulu-mendahului, seolah-olah kedua pusaka itu dapat mereka miliki
dengan seenaknya saja. Kami telah berusaha sekuat tenaga kami, sampai
beberapa orang kami luka parah, bahkan anakku sendiri terluka.”
Arya Palindih menarik nafas dalam-dalam.
Dahinya tampak berkerut-kerut. Meskipun usianya telah melebihi setengah
abad, namun ia masih tampak segar dan perkasa. Beberapa rambut putih
yang tumbuh di pelipisnya, tampak menambah wibawanya. Beberapa saat
lamanya ia tidak berkata apa-apa. Ia sedang mencoba memahami
keterangan-keterangan Gajah Sora, yang bagaimanapun sebenarnya agak
janggal baginya.
Kemudian terdengarlah ia berkata, ”Aneh.
Aneh sekali. Kenapa mereka baru akan memperebutkan pusaka-pusaka itu
setelah berada di tangan Anakmas. Kenapa mereka tidak merebutnya selagi
pusaka-pusaka itu masih berada di tangan Sima Rodra Gunung Tidar.”
Gajah Sora mengerutkan keningnya. Ia sadar bahwa Arya Palindih agak membimbangkan keterangannya. Karena itu ia melanjutkan, ”Adakah
Paman dapat membayangkan kekuatan raksasa yang mendatangi Banyu Biru
bersama-sama…? Tentang keheranan Paman, kenapa baru setelah
pusaka-pusaka itu berada di Banyu Biru, mereka beramai-ramai
memperebutkan itu sama sekali tak aku ketahui. Itu adalah soal mereka.
Tetapi mungkin sebelum itu tak seorang pun yang mengetahui, bahwa kedua
pusaka itu berada di tangan Sima Rodra. Baru setelah kedua pusaka itu
lenyap dari tangannya, ia sengaja meniup-niupkan berita bahwa
pusaka-pusaka itu berada di Banyu Biru.”
”Itupun aneh,” jawab Palindih. ”Dengan demikian ia akan mendapat banyak saingan.”
Pendapat Palindih itu memang masuk akal.
Gajah Sora terdiam untuk beberapa saat. Tetapi adalah suatu kenyataan
bahwa kedua pusaka itu telah lenyap. Lalu apakah yang harus dikatakan,
selain mengatakan apa yang telah terjadi. Apapun yang akan dikatakan,
tetapi sudah pasti bahwa pada saat itu, ia tidak akan dapat menunjukkan
keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Sesaat kemudian Arya Palindih melanjutkan, “Anakmas…,
aku memang telah pernah mendengar beberapa diantara nama-nama yang
Anakmas sebutkan itu. Tetapi bagiku adalah sulit untuk dapat
membayangkan bahwa kekuatan dari sebuah gerombolan perampok akan dapat
menyamai kekuatan Banyu Biru. Bagaimanapun kuatnya Bugel Kaliki dari
Gunung Cerme, namun dapatkah ia melawan para pengawal seperti yang
anakmas katakan itu?”
Mendengar kata-kata Arya Palindih, kuping
Gajah Sora rasa-rasanya seperti terjilat api. Karena itu segera
wajahnya berubah menjadi merah. Tetapi meskipun demikian ia berkata
tenang, “Paman…, mungkin Paman tidak percaya. sebab Paman adalah
seorang perwira prajurit yang lebih sering bertempur dalam satuan yang
besar. Bukan pertempuran perorangan yang kadang-kadang mempunyai
segi-segi yang jauh berbeda. Meskipun aku tahu bahwa secara perseorangan
pun Paman termasuk seorang yang mumpuni. Atau barangkali karena Paman
adalah seorang yang maha kuat, sehingga Paman sukar membayangkan
kelemahan orang lain?”
Kata-kata Gajah Sora pun tak kurang
tajamnya, sehingga sekali lagi Arya Palindih menggeser duduknya. Tetapi
Arya Palindih juga berusaha menahan dirinya, sehingga masih dalam
suasana yang baik ia berkata: “Mungkin Anakmas, mungkin. Aku lebih
senang mengatur siasat daripada menangani lawan. Juga terhadap orang
seperti Bugel Kaliki, Pasingsingan dan Sima Rodra dari Lodaya itu pun
aku akan mempergunakan siasat untuk menjebaknya”.
Kembali perasaan Gajah Sora seperti tertusuk sembilu. Maka katanya di dalam hati, “Sayang
Paman Palindih belum pernah bertemu dengan tokoh-tokoh seperti
Pasingsingan, Sima Rodra, Ki Ageng Pandan Alas atau ayahnya sendiri.
Tokoh-tokoh yang lebih percaya pada dirinya sendiri daripada bertempur
dalam satuan-satuan yang besar, dalam keadaan-keadaan tertentu.
Seandainya sekali waktu Arya Palindih dapat berkenalan dengan salah
seorang diantara mereka, maka mungkin ia akan berubah pendirian. Sebab
mulai dengan penggemblengan diri, Arya Palindih telah berada di dalam
lingkungan keprajuritan, sehingga kecuali para pelatih di dalam
lingkungannya, ia tidak banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh di luar.”
Berbeda dengan Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Mereka masuk di dalam
lingkungan keprajuritan dengan bekal yang telah cukup. Itulah sebabnya,
mereka mempunyai kelebihan.
Suasana kemudian menjadi tegang.
Masing-ma-sing berusaha untuk tetap menguasai dirinya de-ngan baik.
Tetapi bagaimanapun mereka telah merasa bahwa keadaan tidak
menguntungkan. Arya Palindih datang dengan menjunjung kewajiban, sedang
Gajah Sora terpaksa terlibat dalam keadaan yang bertentangan dengan
tugas tamu-tamunya. Apalagi ketika Arya Palindih kemudian melanjutkan, “Anakmas,
sebenarnya, perkenankanlah aku menyatakan, bahwa yang ketiga kalinya,
dari keperluanku datang kemari, adalah menjunjung perintah Baginda
Sultan Demak, untuk menerima kembali kedua pusaka Istana yang hilang
itu, serta ada bersama kami, Baginda mengirimkan berbagai hadiah yang
seharusnya aku terimakan kepada Anakmas sebagai tanda terimakasih
Baginda kepada Kepala Daerah Perdikan Banyu Biru.”
Setelah berkata demikian, Palindih menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah sesuatu yang menyekat dadanya telah terlontar keluar.
Sebaliknya, dada Gajah Sora kini
bertambah sesak. Ia tidak tahu bagaimana ia harus bertindak.
Bagaimanapun ia seharusnya mentaati perintah Baginda Sultan Demak.
Tetapi kedua keris itu benar-benar telah lenyap. Yang menyulitkan
adalah, bahwa Arya Palindih tidak dapat mempercayai keterangannya.
Dalam pada itu, Mahesa Jenar yang
mendengarkan segala pembicaraan Gajah Sora dan Arya Palindih tidak kalah
gelisahnya. Pikirannya pun menjadi kalut. Tidak aneh kalau pada suatu
saat mereka saling tidak dapat menguasai diri, maka akibatnya akan
menjadi jelek sekali. Mahesa Jenar kenal betul keduanya,
kelebihan-kelebihan mereka dan kekurangan-kekurangan mereka. Mungkin
dalam pertempuran seorang lawan seorang, Gajah Sora akan dapat menguasai
lawannya, meskipun tidak dengan begitu mudah. Tetapi dengan beberapa
orang, Arya Palindih merupakan seorang pemimpin yang berbahaya sekali.
Usianya yang telah banyak itu, telah menunjukkan kematangannya. Ditambah
dengan pengalamannya yang jauh lebih banyak daripada Gajah Sora.
Apalagi orang-orang yang dibawa Arya Palindih rata-rata mempunyai
kekuatan yang sama. Berbeda dengan orang-orang Banyu Biru, selain Gajah
Sora, maka jarak kepandaian mereka agak jauh antaranya.
Dalam kegelisahannya, Mahesa Jenar hanya dapat berdoa, semoga keadaan berkembang ke arah yang menguntungkan.
“Paman Arya…” akhirnya Gajah Sora berkata, “Seharusnya
aku merasa bahwa aku mendapat kehormatan yang besar menerima hadiah
langsung dari Baginda Sultan Demak. Tetapi sekali lagi, bahwa kali ini
terpaksa aku tidak dapat menyerahkan kedua pusaka itu, karena
kedua-duanya sudah tidak berada di tanganku lagi. Kalau Paman tidak
percaya, aku persilahkan Paman berbuat sekehendak Paman untuk
membuktikan kebenaran kata-kataku”.
“Maafkanlah aku, Anakmas”, jawab Palindih, “Aku kira tak ada artinya, seandainya aku menggeledah rumah Anakmas ini”.
“Lalu apakah yang akan Paman lakukan?” tanya Gajah Sora.
Arya Palindih tidak segera menjawab.
Sekali lagi ia memandang berkeliling, seolah-olah sedang
membanding-bandingkan kekuatan prajurit yang dibawanya dengan Laskar
Banyu Biru yang berada di pendapa. Baru beberapa saat kemudian ia
berkata, dengan nada yang sudah agak berbeda, “Anakmas, aku adalah
petugas negara. Sebenarnya aku sama sekali tidak menaruh syak terhadap
Anakmas. Tetapi aku merasa bahwa telah terjadi keanehan-keanehan di
sini. Sampai saat ini orang masih percaya, bahwa Kyai Nagasasra dan
Sabuk Inten bersama akan dapat merupakan pusaka kebesaran raja-raja di
Jawa. Bahkan ada yang percaya, bahwa hanya mereka yang memiliki
pusaka-pusaka itu yang dapat merajai pulau ini dengan selamat. Karena
itu, seandainya Anakmas memiliki kepercayaan yang sedemikian, hendaknya
Anakmas merelakan keinginan Anakmas merajai pulau ini, sebab disamping
pusaka-pusaka itu, ketentuan tahta masih bergantung kepada wahyu pula”.
Kata-kata Arya Palindih, yang diucapkan
dengan jelas itu, setiap patah, seolah-olah merupakan sebuah tusukan
langsung ke arah jantung Gajah Sora. Karena itu ia menjadi gemetar
menahan diri. Mulutnya menjadi seolah-olah terbungkam, meskipun di dalam
dadanya bergulung-gulung keterangan-keterangan yang banyak sekali, yang
seperti banjir akan menjebol tanggul.
Sadarlah ia sekarang, bahwa pasti ada
pihak ketiga yang akan memancing ikan di air keruh. Ia jadi curiga,
siapakah yang memberitahukan kepada para pejabat di Istana Demak, bahwa
kedua pusaka itu telah berada di tangannya. Siapapun yang telah mengatur
sedemikian cermatnya sehingga seolah-olah segala sesuatu itu berjalan
menurut urutan-urutan yang sudah ditentukan. Beberapa gerombolan
bersama-sama datang menyerbu daerahnya, sesudah itu, pejabat-pejabat
Istana datang kepadanya untuk minta pusaka-pusaka yang telah lenyap itu.
Tetapi justru karena kesadaran akan
adanya pihak ketiga yang sengaja akan mengadu domba dirinya dengan
alat-alat negara itu, maka ia menjadi agak tenang. Karena itu meskipun
masih dengan bibir yang gemetar ia menjawab, ”Paman Palindih. Sekali lagi aku mohon maaf. Paman
telah mengenal aku sejak aku masih muda. Aku selalu mementingkan
kepentingan negara diatas segala-galanya. Jangankan aku berangan-angan
untuk menjadi raja di pulau ini, sedangkan daerah perdikan yang hanya
selebar daun sirih ini pun aku sama sekali tak keberatan ketika Ayah
Sora Dipayana menyatakan untuk membagi dua. Kemudian lebih dari pada itu
aku tak dapat memberikan keterangan lebih banyak lagi. Tetapi harap
Paman ketahui bahwa aku berkata sejujur-jujurnya”.
Arya Palindih adalah seorang prajurit
yang sudah berpengalaman. Wajahnya yang masih tampak segar itu ditandai
oleh kekerasan hati serta sifat kepemimpinan yang tegas. Namun
bagaimanapun ia adalah pengemban tugas negara yang mempunyai batas-batas
tertentu.
Sebenarnya ia sama sekali tidak dapat
mempercayai ceritera Gajah Sora itu. Ia mendapat keterangan bahwa
pusaka-pusaka itu benar-benar telah berada di Banyu Biru. Dan ceritera
tentang serbuan-serbuan itu adalah usaha Gajah Sora sendiri untuk
menyembunyikan kedua pusaka-pusaka itu. Dan ia tidak dapat mengerti akan
keterangan-keterangan yang didengarnya. Apalagi ketika ia melihat
bagaimana teraturnya Laskar Banyu Biru menerima kedatangannya, sehingga
anehlah kalau hanya beberapa orang gerombolan liar sampai dapat berhasil
merampas kedua pusaka itu.
Setelah mereka berdiam diri beberapa saat, kembali Palindih bertanya, “Anakmas,
bolehkah aku bertanya lagi, kenapa Anakmas tidak segera menyerahkan
kedua keris itu ke Demak setelah Anakmas berhasil merampasnya, sehingga
sampai Sultan Demak terpaksa memerintahkan petugas-petugasnya untuk
datang mengambilnya? Untunglah bahwa Sultan Demak cukup bijaksana
sehingga masih juga beliau mengirimkan hadiah-hadiah untuk Anakmas”.
Pertanyaan yang demikian, sama sekali tak
diduganya. Karena itu Gajah Sora menjadi bingung. Memang ia merasakan
suatu kekhilafan bahwa sampai beberapa hari ia masih belum menyerahkan
keris itu. Tetapi maksudnya mula-mula adalah untuk menenangkan suasana
dahulu. Pada suatu saat secara tiba-tiba ia akan mengejutkan Baginda
dengan penyerahan kedua pusaka itu. Disamping itu ia terlalu percaya
pada kekuatan laskarnya dan lingkungan ayahnya, Sora Dipayana. Namun
bagaimanapun ia telah berbuat suatu kekhilafan. Karena itu, karena ia
tidak mungkin berkata lain, maka dengan jujur ia menjawab: ”Paman, memang aku telah melakukan kekhilafan”.
Jawaban Gajah Sora itu sama sekali juga
tidak diduga oleh Palindih, seperti juga Gajah Sora tidak menduga bahwa
ia akan mendapat pertanyaan yang demikian.
Dan jawaban ini telah mengejutkannya.
Sebab ia melihat dari mata Gajah Sora bahwa ia telah berkata
sejujur-jujurnya. Karena itu ia jadi bimbang. Namun bagaimanapun
keterangan Gajah Sora tentang hilangnya kedua pusaka itu sangatlah aneh
baginya. Memang, Arya Palindih pernah mendengar nama-nama beberapa orang
penjahat ulung. Bahkan ia mendengar pula bahwa diantaranya pernah
berhasil memasuki Istana Demak dan hampir saja memasuki Gedung
Perbendaharaan. Untung pada saat itu, seorang perwira yang perkasa dari
pengawal raja yang bernama Rangga Tohjaya dapat mencegahnya. Arya
Palindih juga pernah mendengar tokoh-tokoh angkatan yang lebih tua
daripada Lawa Ijo yang berhasil memasuki istana itu, sebagai
siluman-siluman yang berbahaya.
Namun meskipun demikian, lepas dari
masalah percaya atau tidak percaya, Palindih adalah seorang perwira yang
tegas dan taat akan kewajibannya. Ia adalah prajurit sejati, namun
cukup bijaksana. Karena itu berkatalah Arya Palindih: ” Anakmas,
pengakuan Anakmas bahwa Anakmas khilaf telah membuka pikiranku. Tetapi
bagaimanapun juga aku adalah prajurit yang mendapat tugas untuk meminta
kembali pusaka-pusaka istana itu. Dan aku telah melakukan tugasku.
Sayang bahwa menurut keterangan Anakmas, kedua pusaka itu telah lenyap.
Karena aku tidak mendapat kekuasaan
untuk bertindak lebih jauh, maka aku tidak akan melakukan hal-hal lain
kecuali melaporkan peristiwa ini kepada Baginda Sultan. Baru kemudian
kalau ada kewajiban-kewajiban lain serta ketentuan-ketentuan lain,
mungkin aku segera akan datang kembali ke Banyu Biru”.
Bagaimanapun juga, namun kata-kata Arya
Palindih itu merupakan angin sejuk yang telah mengendorkan semua
wajah-wajah yang tegang dari semua yang hadir di pendapa itu. Bahkan
Mahesa Jenar yang mendengar percakapan dari balik dinding, juga menarik
nafas lega. Dengan demikian setidak-tidaknya ada waktu sehari dua hari
untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan datang.
Untunglah seandainya dalam waktu yang singkat itu Ki Ageng Pandan Alas
atau Ki Ageng Sora Dipayana setidak-tidaknya telah mendapat keterangan
tentang kedua pusaka yang hilang itu.
Gajah Sora yang dapat menanggapi keadaan serta kebijaksanaan Arya Palindih segera menjawab,: “Paman,
aku sejak semula memang percaya bahwa Paman selalu bertindak bijaksana.
Meskipun demikian aku akan selalu berusaha untuk meyakinkan Paman bahwa
aku telah berkata dengan jujur. Aku berjanji bahwa aku akan berusaha
sekuat tenaga serta kemampuan yang ada di daerah ini, berusaha menemukan
kembali kedua keris yang hilang itu sebagai bukti kesetiaanku kepada
Negara”.
Arya Palindih mendengarkan ucapan Gajah
Sora itu sambil mengangguk-anggukkan kepala. Di dalam hatinya menjalar
suatu pengertian yang berpengaruh. Akhirnya dengan kata-kata yang lunak
ia berkata, : ”Anakmas…, Anakmas adalah bekas prajurit pilihan pada
masa Anakmas masih muda. Bagaimanapun juga aku tidak bisa mengerti
peristiwa yang terjadi menurut ceritera Anakmas, namun aku percaya bahwa
oleh jiwa kepahlawanan yang tersimpan di dalam dada Anakmas itu, maka
Anakmas telah berlaku sebenarnya”.
Baik Gajah Sora, Arya Palindih, Mahesa
Jenar dan semuanya yang hadir di pendapa itu menyadari, bila sampai
terjadi suatu bentrokan, akibatnya pasti akan jelek sekali. Sebab Laskar
Banyu Biru tidak dapat dianggap remeh. Laskar yang berakar pada jiwa
rakyat yang setia. Mungkin Demak akan dapat mengatasinya dengan tidak
banyak kesukaran. Tetapi korbannya pasti akan banyak sekali. Tidak saja
korban jiwa, tetapi korban yang lebih besar artinya bagi negara yang
pada saat itu sedang terancam oleh kekuasaan penjajahan Portugis yang
sudah membangun pangkalannya di Malaka. Maka usaha yang pertama, yang
harus diutamakan adalah memperkuat garis armada Banten – Jakarta –
Cirebon – Demak – terus ke timur – Supit Urang – langsung ke Hitu dan
Ambon, sebagai garis utama untuk melumpuhkan usaha Portugis, terutama di
bidang perniagaan laut dan kesiap-siagaan armada, yang setiap saat
dapat menerobos ke wilayah Demak.
Bersandarkan pada kesadaran itulah, maka kemudian Arya Palindih yang tegas namun bijaksana itu berkata,: “Anakmas,
aku kira tugasku kali ini sudah selesai, meskipun tidak seperti yang
aku harapkan. Dengan demikian aku akan minta diri, dan mudah-mudahan
perkembangan selanjutnya tidak akan menyulitkan Anakmas dan kami”.
Meskipun Gajah Sora mencoba menahannya,
Arya Palindih sudah memutuskan untuk segera pulang ke Demak dan
melaporkan apa yang sudah terjadi, dengan harapan bersama bahwa segala
sesuatu dapat diselesaikan dengan baik.
———-oOo———-
IV
SEPENINGGAL Arya Palindih, segera Gajah
Sora mengadakan pertemuan dengan segenap pembantunya serta Mahesa Jenar.
Namun banyak hal yang tak dapat mereka selesaikan. Sebab kuncinya
terletak pada kedua keris yang hilang itu. Tetapi adalah menjadi
kewajiban Gajah Sora untuk memerintahkan kepada semua laskarnya agar
tidak berbuat hal-hal yang dapat mengeruhkan suasana.
Tetapi bagaimanapun, setelah peristiwa
kedatangan utusan dari Demak itu, Gajah Sora menjadi perenung. Mahesa
Jenar yang semula bermaksud meninggalkan Banyu Biru, kemudian menjadi
tidak sampai hati. Karena itu ditahankannya dirinya untuk tetap tinggal
di Banyu Biru sebagai kawan berunding dan berbincang Gajah Sora. Hiburan
yang utama bagi Gajah Sora adalah anaknya yang kini sudah hampir pulih
kembali. Bahkan sudah mulai lagi dengan tingkahnya yang aneh-aneh dan
diluar kebiasaan anak-anak yang sebaya dengan Arya Salaka, yang
kadang-kadang sangat memusingkan kepala ayahnya. Meskipun pada umumnya
Arya tidak berani membantah peringatan-peringatan ayahnya, tetapi
kadang-kadang diluar pengawasan ia melakukan hal-hal yang berbahaya.
Beberapa hari kemudian tidak terjadi
hal-hal yang luar biasa. Rakyat dengan tenang dan tenteram bekerja di
sawah serta ladang mereka. Padi-padi yang sudah mulai menguning, bahkan
ada diantaranya yang sudah masak untuk dipetik. Berduyun-duyunlah wanita
turun ke sawah serta saling menolong memotong padi, sedang laki-laki
bergotong royong bekerja menyiapkan sawah-sawah yang telah dituai untuk
ditanami kembali. Rumah-rumah yang terbakar pada saat penyerbuan
gerombolan-gerombolan liar itu, secara gotong royong telah dibangun
kembali. Bahkan tampak lebih kokoh dan lebih baik daripada yang semula.
Kehidupan yang aman damai telah memancar kembali menjiwai daerah Perdikan Banyu Biru.
Tetapi, tidak demikian halnya dengan
perasaan Gajah Sora. Meskipun sehari-hari ia tampak tenang dan segar,
serta seperti biasanya ia ikut serta bekerja dengan rakyat Banyu Biru
untuk kesejahteraan daerahnya, namun di dalam hatinya tersimpan duri
yang selalu menusuk-nusuk perasaannya.
Bagaimanapun, ia tidak dapat melupakan,
bahwa akan datang saatnya ia harus mempertanggungjawabkan hilangnya
kembali keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Meskipun ia dapat mengharapkan
etikad baik dari Arya Palindih, namun bagaimanapun usaha-usaha dari
pihak ketiga pasti masih selalu ada. Usaha-usaha dari golongan yang
tidak ingin melihat kehidupan damai di Banyu Biru khususnya, dan Demak
pada umumnya. Tidak aneh kalau hal ini didalangi oleh orang-orang yang
sengaja merongrong kebesaran Demak untuk mendapatkan keuntungan sendiri.
Sebab di dalam lingkungan mereka ada orang-orang yang cukup tangkas
otaknya. Pasingsingan, Bugel Kaliki, Sima Rodra tua dapat mewayangkan
orang-orang dalam yang tidak teguh imannya.
Karena itu, karena kecurigaannya kepada
golongan-golongan yang ingin dengan sengaja mengeruhkan suasana. Gajah
Sora telah mengambil kebijaksanaan untuk mengirimkan beberapa orang
kepercayaannya ke Demak untuk mengetahui perkembangan keadaan.
Orang-orang itu bertugas untuk mendengarkan desas-desus tentang keadaan
Banyu Biru yang tersiar dipusat pemerintahan itu, serta kalau perlu
mengadakan perlawanan dengan menceriterakan keadaan yang sebenarnya
kepada kalangan yang seluas-luasnya.
Tetapi akhirnya, dengan dada yang gemuruh
Gajah Sora mendengar laporan dari salah seorang kepercayaannya itu,
bahwa di Demak telah berkembang keadaan yang sama sekali tak
menguntungkan. Di Demak dengan tak diketahui sumbernya, telah tersiar
berita bahwa kini di Banyu Biru telah diadakan latihan keprajuritan
secara teratur dan besar-besaran, sebagai salah satu usaha untuk tetap
mempertahankan Keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Orang-orang Gajah Sora yang tidak
seberapa jumlahnya itu telah berusaha untuk menyebarkan berita yang
sebenarnya, namun rupanya arus kabar yang sengaja mengeruhkan suasana
itu tak dapat dibendungnya. Bahkan akhirnya telah mempengaruhi beberapa
pejabat Istana Demak.
Belum lagi Gajah Sora sempat mendalami
serta mengupas masalah itu, datanglah orangnya yang kedua dengan suatu
berita yang lebih mengejutkan lagi, yaitu, bahwa Demak telah mengirim
satu pasukan untuk meneliti keadaan di Banyu Biru.
Mendengar berita ini, pikiran Gajah Sora
seolah-olah menjadi gelap. Karena itu segera ia memanggil
pembantu-pembantunya beserta Mahesa Jenar. Apakah yang sebaiknya mereka
lakukan apabila pasukan dari Demak itu benar-benar mendatangi Banyu
Biru.
Persoalan ini kemudian menjadi buntu. Tak
seorang pun yang dapat memberikan ketetapan pendirian. Tetapi
bagaimanapun, mereka merasa bahwa sebenarnya mereka sama sekali tak
bersalah dengan hal ini. Gajah Sora hanyalah berbuat suatu kekhilafan
yang sebenarnya tak begitu besar seandainya akibatnya menjadi lain.
Akhirnya, ketika tak seorang pun yang
berhasil memecahkan persoalan itu dengan sebaik-baiknya, maka
satu-satunya kemungkinan adalah menunggu sampai pasukan dari Demak itu
datang, dan kemudian bersama-sama memperbincangkan masalahnya. Gajah
Sora sadar bahwa ia tidak boleh tergesa-gesa mengambil sikap, sebab
kemungkinan-kemungkinan yang tak diinginkan selalu akan terjadi. Maka
yang dapat dilakukan sekarang adalah mempertinggi kewaspadaan.
Diantara mereka yang selalu gelisah
karena keadaan, maka yang paling gelisah adalah Mahesa Jenar, karena ia
dapat melihat kebenaran sikap masing-masing.
Ia tidak dapat menyalahkan Ki Ageng Gajah
Sora seandainya orang itu tetap merasa tak bersalah. Sebab ia sendiri
telah berjuang mati-matian untuk merampas keris-keris itu, dan kemudian
dengan sekuat tenaga pula telah dipertahankannya. Juga orang-orang Gajah
Sora pasti akan mempertahankan kepala daerah mereka yang mereka segani
dan cintai itu.
Tetapi sebaliknya, ia mengerti juga
alasan Sultan Demak seandainya Baginda murka. Sebab Baginda merasa bahwa
yang paling berhak atas kedua pusaka itu adalah pemerintah.
Karena itu, pada malam harinya, Mahesa
Jenar hampir tidak dapat memejamkan mata. Ia selalu berangan-angan
apakah kiranya yang terjadi seandainya pasukan Demak itu telah berada di
Banyu Biru. Yang menambah kesulitan pikiran Mahesa Jenar adalah, lalu
bagaimana dengan dirinya sendiri?
Baru ketika ayam berkokok untuk ketiga
kalinya, Mahesa Jenar terlena diatas pembaringannya untuk beberapa saat.
Sebab sebentar kemudian ia mendengar hiruk-pikuk di halaman. Segera ia
meloncat bangun dan lari keluar. Dilihatnya beberapa orang telah berada
di sana, sedang Ki Ageng Gajah Sora dengan wajah merah menyala berdiri
di ambang pintu rumahnya. Segera Mahesa Jenar naik ke pendapa, langsung
menuju kepada Gajah Sora. “Kakang…, apakah yang terjadi?”
Gajah Sora memandang Mahesa Jenar dengan pandangan yang gelisah. “Aku tahu kesulitanmu Adi, karena itu sebaiknya kau tidak ikut serta,” jawabnya.
“Apakah yang akan Kakang lakukan?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Aku tidak dapat menahan diri lagi,” jawabnya. “Aku
telah memerintahkan untuk menyiapkan laskar Banyu Biru. Aku tidak
peduli akan apa yang terjadi. Aku hormati kebesaran Demak sebagai
pimpinan tertinggi atas segala pemerintahan di daerah-daerah, namun
alangkah kerdilnya pikiran mereka.”
Mendengar jawaban Gajah Sora itu darah Mahesa Jenar serasa berhenti. Dengan penuh kebingungan ia bertanya kembali, “Apa yang telah mereka lakukan?”
Sementara itu terdengarlah tanda bahaya
bergema di seluruh lereng bukit Telamaya, disusul dengan tanda-tanda
supaya laskar Banyu Biru berkumpul di alun-alun. Mahesa Jenar menjadi
semakin gelisah mendengar tanda-tanda itu, desaknya, ”Apa yang telah mereka lakukan…?”
Gajah Sora tidak menjawab, tetapi sorot
matanya bertambah menyala. Ketika dilihatnya kudanya telah siap di
halaman, tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, ia berlari melintasi
pendapa dan langsung meloncat ke atas punggung kudanya. Sesaat kemudian
Gajah Sora sudah lenyap diantara beberapa orang yang bersama-sama memacu
kudanya ke alun-alun, dimana sudah berkumpul segenap Laskar Banyu Biru.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiri
kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi untunglah
bahwa Mahesa Jenar mempunyai otak yang jernih, sehingga beberapa saat
kemudian ia telah berhasil menguasai dirinya kembali.
Maka dengan tangkasnya ia meloncat ke
belakang, ke kandang kuda. Diambilnya kuda abu-abu yang biasa
dipakainya. Dengan cekatan ia mempersiapkan pelananya. Dan dalam sekejap
kemudian, ia telah berlari diatas punggung kuda abu-abu itu menyusul
Gajah Sora, serta apabila mungkin mencegah hal-hal yang tak diinginkan.
Tetapi ketika ia keluar dari halaman,
segera di arah timur tampak api menyala-nyala. Mahesa Jenar terkejut
bukan kepalang, sehingga terlontar suatu teriakan tertahan. ”Tak mungkin.…“ gumamnya seorang diri, ”Tak mungkin. Tentara Demak bukan gerombolan-gerombolan liar yang biasa membakar rumah dan merampok isinya. ”
Maka segera timbul gambaran di dalam
otaknya, bahwa ini pasti suatu usaha pengadu-dombaan. Walaupun demikian
ia bermaksud untuk membuktikan siapakah yang telah berbuat gila itu.
Segera ia menarik kekang kudanya, dan memutar ke arah api yang
menyala-nyala di sebelah timur itu. Kudanya yang lari secepat angin itu,
dalam beberapa saat kemudian telah hampir sampai di tempat api yang
menyala-nyala. Di beberapa tempat, ia bertemu dengan orang-orang yang
berusaha mengungsikan diri. Kepada salah seorang diantaranya, ia
bertanya, “He…, Kakang yang menjauhkan diri dari keributan, tahukan kau siapakah yang membakari rumah-rumah itu?”
Orang itu berhenti sejenak, lalu
memandang kepada Mahesa Jenar dengan heran. Tetapi bagaimanapun ia
selalu mengharap perlindungan dari manapun datangnya. Maka jawabnya, “Aku
tidak tahu, tetapi mereka selalu berteriak-teriak, bahwa mereka adalah
prajurit-prajurit dari Demak yang mendapat perintah untuk menghancurkan
Banyu Biru, sebab Banyu Biru akan memberontak terhadap Demak.”
“Bagaimanakah cara mereka berpakaian?” selidik Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Mereka memakai baju merah, ikat kepala merah dan celana merah pula. Adapun kainnya berwarna hitam,” jawab pengungsi itu.
”Wiratamtama,” desis Mahesa Jenar.
“Terimakasih, Kakang,” kata
Mahesa Jenar kepada orang itu sambil menarik kekang kudanya, yang
kemudian berlari kembali secepat angin ke arah api yang semakin lama
semakin tinggi seolah-olah akan menjilat langit.
Pakaian orang-orang yang membakar rumah
itu, adalah pakaian prajurit Demak dari kesatuan penggempur yang bernama
Wiratamtama, yang terdiri dari orang-orang pilihan dan perwira, bahkan
dapat dikatakan sama dengan pasukan pengawal raja, yang disebut kesatuan
Nara Manggala. Tetapi pakaian mereka agak berbeda. Sebab Nara Manggala
memakai ikat kepala biru, ikat pinggang kuning.
Karena itu ia semakin bernafsu untuk
mengetahui siapakah sebenarnya yang telah menamakan diri mereka
prajurit-prajurit dari Demak itu.
Ketika matahari mulai bercahaya di arah
timur, Mahesa Jenar sampai di tempat kebakaran. Ternyata orang yang
membakar rumah-rumah itu sebagian besar sudah melarikan diri. Tinggallah
di sana-sini beberapa orang saja yang masih berusaha untuk menemukan
barang-barang yang berharga dari rumah-rumah yang terbakar itu.
Melihat kelakuan mereka yang tak ubahnya
dengan anjing yang mengais di keranjang sampah, hati Mahesa Jenar
terbakar oleh kemarahannya yang memuncak. Ia tidak saja merasa marah,
bahwa orang-orang yang menamakan diri prajurit-prajurit itu telah
membakar rumah-rumah penduduk yang tak bersalah, tetapi kelakuan mereka
adalah suatu penghinaan langsung terhadap kebesaran nama Wiratamtama
khususnya dan prajurit Demak umumnya. Karena itu segera ia dapat
mengambil kesimpulan, bahwa sama sekali mereka bukanlah
prajurit-prajurit Demak yang sebenarnya. Karena itu tanpa bertanya-tanya
lagi Mahesa Jenar segera menyerbu ke arah mereka.

Segera mereka melihat bahaya yang datang.
Tetapi karena jumlah mereka yang banyak itu, mereka sama sekali tidak
takut ketika dilihatnya bahwa yang datang hanyalah seorang. Meskipun
demikian mereka bersiap-siap pula menanti kedatangan Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar yang memacu kudanya seperti
badai, dengan penuh kemarahan langsung menyerang orang-orang yang
menantinya dengan sikap tak acuh itu. Baru ketika tiga orang
bersama-sama terpelanting dengan meninggalkan suara parau yang terputus,
sadarlah mereka bahwa yang datang itu bukan orang sembarangan. Dengan
kebingungan karena terkejut mereka mencoba mempersiapkan senjata-senjata
mereka, tetapi itu tidaklah banyak gunanya, sebab sekejap kemudian
Mahesa Jenar telah mengulangi serangannya. Sekali lagi dua orang
sekaligus terlempar dengan mengumandangkan teriakan tinggi.
Orang-orang lain yang melihat kelima
kawannya sudah menggeletak tak bernyawa itu, menjadi ketakutan, dan
dengan tidak menunggu lebih lama lagi segera mereka melarikan diri
bercerai-berai.
Mahesa Jenar segera berusaha menangkap
salah seorang diantaranya. Dan kemudian membantingnya di tanah. Dengan
ibu jarinya yang kuat Mahesa Jenar siap menekan leher orang itu.
Sementara itu ia bertanya, ”Siapakah kau sebenarnya?”
Orang itu menjadi ketakutan setengah
mati. Karena itu, meskipun ia berusaha menjawab, tetapi mulutnya menjadi
tergagap-gagap tak keruan. Mahesa Jenar menyumpah-nyumpah di dalam
hati. Karena bagaimanapun ia memaksa, mulut orang itu pasti tak akan
dapat mengeluarkan kata-kata yang dapat dimengerti.
Akhirnya dengan sangat marah Mahesa Jenar
menarik bajunya sehingga orang itu berdiri. Bersamaan dengan itu darah
Mahesa Jenar tersirap sampai ke kepala, ketika dilihatnya, melingkar
perut orang itu sebuah ikat pinggang yang lebar, dengan gambar dua ekor
uling yang saling melilit. Karena itu Mahesa Jenar berteriak nyaring, ”Kau dari gerombolan Uling Rawa Pening…?”
Mulut orang itu tampak bergerak-gerak,
tapi suara yang keluar dari mulutnya tak ubahnya seperti suara orang
bisu. Meskipun demikian karena kepalanya mengangguk-angguk, tahulah
Mahesa jenar bahwa orang itu benar-benar dari gerombolan Uling Rawa
Pening. Karena itu marahnya semakin membara di dalam dadanya. Alangkah
banyaknya unsur-unsur yang ingin merusak kedamaian tanah perdikan kecil
di lereng bukit Telamaya itu.
Tetapi, kemudian Mahesa Jenar terkejut
ketika ia mendengar suara tertawa di belakangnya. Ketika ia menoleh,
dilihatnya Arya Salaka agak jauh di belakangnya, duduk di atas kuda
hitamnya. Begitu asyiknya Mahesa Jenar mengurusi tangkapannya, sehinga
ia sama sekali tak memperhatikan kedatangan Arya yang tentu dengan
sengaja bersembunyi dan sangat berhati-hati.
”Apa kerjamu di situ Arya?” teriak Mahesa Jenar.
”Apa pula yang Paman kerjakan itu?” jawab Arya berteriak pula.
Mendapat jawaban yang nakal itu, Mahesa Jenar menjadi jengkel. ”Kemarilah,” panggilnya keras-keras.
Perlahan-lahan Arya menjalankan kudanya
mendekati Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak mau dekat benar, sebab ia
mengira bahwa Mahesa Jenar akan marah kepadanya.
Dengan masih memegangi tangkapannya erat-erat, Mahesa Jenar mengulangi pertanyaannya, ”Apa kerjamu disini?”
Arya menjadi agak bingung, sebab ternyata
Mahesa Jenar benar-benar tak senang akan kehadirannya. Meskipun
demikian ia menjawab dengan jujur. ”Aku melihat Paman memacu kuda ke arah timur. Aku kira pasti ada hal-hal yang menarik sehingga aku ingin ikut melihatnya.”
”Lalu apa yang sudah kau lihat?” desak Mahesa Jenar.
”Paman Mahesa Jenar menangkap kelinci,” jawab Arya. Mau tidak mau Mahesa Jenar menjadi geli mendengar jawaban Arya. Memang anak itu nakalnya bukan main. ”Nah, ayo lekas pulang,” perintah Mahesa Jenar.
“Nanti bersama Paman,” jawab Arya.
Mahesa Jenar menjadi bertambah jengkel. “Pulanglah Arya, supaya ayahmu tidak marah.”
”Aku takut pulang sendiri,” jawabnya mengelak.
Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepala.
Ia tahu betul bahwa Arya sama sekali tidak takut. Maka mau tidak mau ia
harus mengantar anak itu pulang. Lalu dengan sebuah sentakan yang keras
Mahesa Jenar mendorong tangkapannya sehingga orang itu terdorong dan
terbanting menelentang. Matanya memancarkan perasaan takut yang amat
sangat, sedang nafasnya seperti berdesak berebut keluar. Arya menjadi
geli melihat orang itu. ”Tidakkah Paman bermaksud membunuh orang itu?”
Mendengar kata-kata Arya orang itu
menjadi semakin ketakutan, sehingga akhirnya malahan Mahesa Jenar
menjadi kasihan kepadanya. Katanya, ”Kalau kau masih mempunyai sisa tenaga, pergilah cepat-cepat menjauhi aku sebelum aku mencekikmu”
Orang itu menjadi ragu-ragu sebentar
mendengar kata-kata Mahesa Jenar, seperti ia tidak percaya pada
pendengarannya. Sampai terdengar membentaknya, ”Pergilah!”
Orang itu segera berdiri dan mundur
beberapa langkah. Sesaat kemudian ia memutar tubuhnya dan berlari
sekencang-kencangnya menjauhi Mahesa Jenar, seperti kuda pacu di
lapangan pertandingan.
Arya melihat kelakuan orang itu seperti
sebuah permainan yang menyenangkan. Maka timbullah kenakalannya, untuk
menakut-nakuti orang itu. Katanya, ”Tangkap orang itu, Paman…, tangkap orang itu. Ia akan melaporkan kepada pemimpinnya bahwa Paman ada di sini.”
Mendengar Arya berteriak-teriak, orang
itu berlari semakin cepat tanpa menoleh, dibarengi dengan suara tertawa.
Arya bergelak-gelak. Arya baru berhenti tertawa ketika didengarnya
Mahesa Jenar berkata, ”Marilah Arya, ada kerja yang lebih penting daripada menunggumu bermain-main di sini.”
Belum lagi habis kata-kata Mahesa Jenar,
sayup-sayup menyusur lereng perbukitan terdengarlah suara sangkakala
bergema. Mahesa Jenar terkejut mendengar suara itu. Maka tanpa
sesadarnya ia berkata, “Itulah pasukan dari Demak.”
“Dari Demak?” ulang Arya.
Mahesa Jenar memandang wajah Arya yang
masih memancarkan kebeningan hatinya itu dengan saksama. Meskipun anak
itu nakalnya bukan main, tetapi hatinya bersih, sebersih hati ayahnya.
“Marilah kita lihat,” ajaknya.
Kemudian mereka berdua melarikan kuda
mereka naik ke lereng yang lebih tinggi lagi. Dari sana dapatlah mereka
melihat sebuah iring-iringan besar berjalan perlahan-lahan seperti semut
yang merayapi dinding-dinding batu.
Mahesa Jenar menjadi terkejut bukan
kepalang, ketika ia melihat pasukan Demak itu berjalan sudah dengan
gelar perang. Bukan lagi merupakan barisan yang akan mengunjungi sebuah
wilayah kerajaannya. Gelar itu merupakan gelar yang langsung akan dapat
menghantam pertahanan lawan. Yaitu gelar Cakra Byuha.
Hati Mahesa Jenar berdebar sangat
kerasnya. Mungkin beberapa penyelidik dari Demak telah menangkap tanda
bahwa yang sudah dibunyikan oleh Gajah Sora, serta mereka mungkin salah
terima terhadap nyala yang tidak boleh tidak pasti mereka saksikan.
Nyala api yang ditimbulkan oleh kelakuan gerombolan Uling dari
Rawapening, yang merasa sangat berkepentingan apabila di Banyu Biru
timbul keributan-keributan.
Segera Mahesa Jenar pun teringat bahwa
Gajah Sora telah pula menyiapkan pasukannya. Maka apabila tidak ada
pencegahan, pertempuran yang dahsyat pasti akan terjadi. Karena itu
dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar mengajak Arya Salaka untuk segera
kembali menemui Ki Ageng Gajah Sora.
Dengan kecepatan penuh, Mahesa Jenar dan Arya Salaka melarikan kuda masing-masing langsung menuju ke alun-alun Banyu Biru.
Ketika mereka sudah memasuki kota,
kembali dada Mahesa Jenar terpukul oleh suatu kenyataan bahwa Gajah Sora
telah membawa pasukannya untuk menyongsong pasukan Demak itu dengan
gelar yang seimbang. Yaitu gelar Gajah Meta.
Tampaklah dengan garangnya Gajah Sora di
atas kuda putihnya. Di tangannya tergenggam erat pusaka Banyu Biru yang
sakti, Kyai Bancak. Disampingnya dengan kepala menengadah tampak orang
yang telah agak lanjut usianya, tetapi ialah satu-satunya kepercayaan
yang tak pernah berkisar dari samping Gajah Sora, yaitu Wanamerta. Di
sisi yang lain dengan kepala tegak dan dada yang terbuka, seorang pemuda
yang kelak akan terkenal namanya sebagai seorang perwira, yaitu
Penjawi. Di belakangnya berturut-turut berjalan beberapa perwira
pilihan.
Di belakangnya lagi berkibarlah dengan
megahnya bendera-bendera lambang kebesaran tanah perdikan Banyu Biru.
Panji-panji di atas dasar merah terlukis gambar seekor gajah berwarna
kuning keemasan. Di samping bendera itu berkibar pula beberapa
panji-panji kemegahan serta umbul-umbul beraneka warna, yang
bertangkaikan tombak-tombak yang sudah tak bersarung.
Melihat pasukan itu, sejenak Mahesa Jenar
tertegun. Ia adalah bekas seorang prajurit yang tidak saja satu dua
kali mengalami pertempuran-pertempuran hebat. Tetapi ketika ia melihat
tata barisan Gajah Sora dan gelar Gajah Meta, hatinya kagum juga. Ia
jadi percaya bahwa Laskar Banyu Biru merupakan laskar yang sudah masak
di bawah pimpinan seorang yang mempunyai pengetahuan yang cukup.
Tetapi ketika ia teringat akan
kemungkinan yang terjadi apabila pasukan ini bertemu dengan pasukan
Demak, darahnya menjadi berdesir cepat. Maka segera ia melarikan
kudanya, langsung menuju ke arah Gajah Sora. Gajah Sora melihat
kedatangan Mahesa Jenar, tetapi sikapnya menjadi agak lain dari
biasanya. Dengan pandangan kosong, Gajah Sora menghentikan kudanya dan
bertanya hambar, ”Apakah maksud Adi Mahesa Jenar menemui aku?”
Mahesa Jenar merasakan perbedaan sikap
ini, tetapi ia tidak peduli. Dengan suara yang perlahan-lahan tetapi
jelas ia menceriterakan apa yang dilihatnya. Orang-orang yang menyaru
sebagai prajurit-prajurit Demak telah membakari rumah-rumah penduduk.
Dengan demikian maka laporan yang sampai kepada Gajah Sora pasti
prajurit-prajurit Demak yang melakukan pembakaran itu.
Gajah Sora mendengar dengan baik
kata-kata Mahesa Jenar, tetapi wajahnya sama sekali tidak berubah.
Meskipun demikian ia bertanya, ”Lalu apa kata Adi Mahesa Jenar terhadap gelar Cakra Byuha itu?”
Mendengar pertanyaan itu terasa sesuatu
berdesir di dada Mahesa Jenar. Rupa-rupanya Gajah Sora telah mengetahui
bahwa prajurit Demak mendekati Banyu Biru dalam gelar perang yang
berbahaya. Karena itu untuk beberapa saat ia tidak menjawab. Baru
kemudian Mahesa Jenar berkata, ”Kakang Gajah Sora, ini adalah suatu kesalah-pahaman yang berbahaya.”
”Sudahlah Adi,” potong Gajah Sora. ”Aku sudah mengatakan bahwa aku menyadari kesulitan Adi sekarang ini. Karena itu aku persilahkan Adi kembali saja.”
Sebenarnya Mahesa Jenar sama sekali tidak
senang mendengar kata-kata Gajah Sora itu, tetapi ketika ia akan
menjawab, dilihatnya Gajah Sora melambaikan tangannya, dan iring-iringan
itu mulai bergerak kembali. Iring-iringan raksasa yang terdiri ribuan
prajurit yang terpecah-pecah menjadi bagian-bagian dalam gelar yang
lengkap, ”Gajah Meta.”
Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung.
Ia merasa bahwa agak terlambat untuk menahan Gajah Sora, namun ia tidak
putus asa. Tanpa mengingat kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya
apabila ia bertemu dengan prajurit-prajurit Demak, Mahesa Jenar
mengikuti perjalanan pasukan Banyu Biru, untuk menyongsong kedatangan
pasukan-pasukan dari Demak.
Setelah itu tak sepatah katapun yang
terdengar. Masing-masing berjalan tanpa bersuara. Di kepala
masing-masing berputarlah berbagai masalah yang berbeda-beda.
Tetapi, selangkah demi selangkah Laskar
Banyu Biru maju terus, dan selangkah demi selangkah mereka semakin dekat
dengan pasukan-pasukan yang datang.
Tetapi setiap jengkal mereka maju, setiap
kali pula dada Mahesa Jenar merasa terbentur sesuatu yang seolah-olah
hendak pecah oleh ketegangan yang semakin memuncak.
Sebentar kemudian pasukan itu menyusup,
menerobos pepohonan dan kebun-kebun yang sedang memamerkan buah-buahan
yang lebat, menembus pagar-pagar dan meloncati dinding-dinding rendah
untuk tidak mengubah tata barisan mereka, dalam gelar perang Dirada
Meta.
Kemudian muncullah pasukan itu di
lapangan terbuka, sebuah padang rumput tempat para penggembala
melepaskan binatang-binatang peliharaan. Masih dalam tata barisan yang
teratur, mereka menuruni lereng bukit Telamaya.
Sejenak kemudian Gajah Sora melambaikan
tangannya, dan berhentilah iring-iringan pasukan Banyu Biru. Bersamaan
dengan itu hampir berbareng terdengarlah gumam yang seperti mengumandang
diantara anggota laskar itu. Sebab jauh di hadapan mereka, di bawah
kaki bukit Telamaya, tampaklah dalam gelar Cakra Byuha pasukan-pasukan
dari Demak. Lebih dari itu semua adalah goncangan dada Mahesa Jenar.
Kini benar-benar dadanya serasa akan meledak. Tidak saja sedapat mungkin
dirinya selalu berusaha untuk menjauhi setiap prajurit dari Demak,
untuk melenyapkan segala kenangan pada masa kebanggaannya sebagai
seorang prajurit pengawal raja, tetapi sekaligus ia merasa terharu
melihat kebesaran pasukan itu. Meskipun masih belum begitu jelas, tetapi
bagi Mahesa Jenar apa yang dilihatnya itu seolah-olah telah melekat di
pelupuk matanya. Dengan membeda-bedakan warna pakaian mereka yang tampak
seperti kelompok-kelompok yang beraneka warna, Mahesa Jenar segera
mengenal pasukan dari kesatuan apa saja yang telah ditugaskan untuk
datang ke Banyu Biru. Karena pengenalan itu pula Mahesa Jenar merasakan
suatu tekanan yang dahsyat dalam hatinya. Sebab ia mengetahui dengan
pasti bahwa benar-benar pasukan itu merupakan pasukan tempur yang kuat
sekali.
Dalam gelar Cakra Byuha yang merupakan
lingkaran bergerak itu, tampaklah dalam kelompok depan pasukan Wira
Tamtama dengan bendera yang terkenal, Tunggul Dahana, bendera yang
mempunyai dasar merah dan bergaris hitam lintang melintang. Pada gerigi
di sebelah kiri tampak pasukan penggempur Angkatan Laut Demak yang
terkenal. Pasukan ini diikutsertakan dengan suatu kemungkinan terjadi
pertempuran di daerah rawa-rawa. Di bawah panji-panji Sura Pati, yaitu
sebuah panji-panji yang berwarna merah bergambar ikan sura raksasa yang
menggigit sebilah keris berwarna putih, pasukan penggempur Angkatan Laut
yang bernama Wira Jala Pati itu merupakan kesatuan yang mengerikan.
Yang lebih menggetarkan dada Mahesa Jenar adalah pasukan yang berada
dalam lingkungan gerigi sebelah kanan. Pasukan ini adalah pasukan yang
tak asing lagi baginya. Sebab ia sendiri pernah menjadi bagian pasukan
tersebut, yaitu pasukan Nara Manggala di bawah panji-panji Garuda Rekta,
panji-panji yang berwarna kuning, dengan lukisan seekor garuda berwarna
merah, yaitu pasukan pengawal raja. Mahesa Jenar sadar bahwa pasukan
inilah yang harus membawa kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
dengan selamat sampai di Istana. Sedang pada gerigi bagian belakang,
yang jumlahnya tidak begitu banyak, tampaklah pasukan inti dari pasukan
pengawal kota, yang disebut pasukan Manggala Sraya, dengan bendera merah
bergaris silang putih, bernama Tunggul Mega.
Tetapi lebih dari segala itu, lebih dari
kemegahan bendera-bendera Tunggul Dahana, Sura Pati, Garuda Rekta dan
Tunggul Mega, adalah panji-panji yang berada di tengah lingkaran yang
bergerigi itu. Sebuah panji-panji yang dikelilingi oleh sekelompok kecil
prajurit dari kesatuan Manggala Pati yang hampir dapat dikatakan
kesatuan berani mati. Panji-panji itu adalah bendera Kerajaan Demak yang
berwarna gula kelapa.
Menyaksikan semuanya itu, Mahesa Jenar
seolah-olah mendadak menjadi seorang lumpuh yang duduk di atas kudanya.
Kesadarannya hilang, dan ia menurut saja kemana kudanya berjalan.
Hal itu bukanlah disebabkan ia merasa
takut berhadapan dengan kesatuan itu. Sebab ia adalah setingkat dengan
setiap perwira yang memimpin setiap kesatuan dalam pasukan Demak itu.
Bahkan mungkin Mahesa Jenar masih memiliki kelebihan-kelebihan yang
langsung diterima dari gurunya. Tetapi perasaan yang tak dapat
disebutkan sebabnya telah menjalari dirinya.
Tanpa disengaja, Mahesa Jenar memandang
ke arah Gajah Sora yang masih diam seperti patung memandangi pasukan
Demak yang mendekatinya. Perasaannya bergolak hebat. Sebenarnya Gajah
Sora sama sekali tidak mencemaskan pasukannya. Sebab ia merasa bahwa
kekuatan kedua pasukan itu tidak akan terlalu banyak terpaut. Meskipun
nilai dari setiap anggota Laskar Banyu Biru tidak dapat menandingi
prajurit-prajurit dari Demak, Gajah Sora juga mempunyai beberapa orang
pilihan dan mempunyai pasukan yang lebih banyak. Kalau perlu ia dapat
mengubah gelarnya dalam gelar Samodra Rob atau Gelatik Neba seperti
banjir melanda pasukan Demak.
Untuk beberapa saat pasukan Banyu Biru di
bawah panji-panji Dirada Sakti, yaitu panji-panji merah berlukiskan
gajah yang berwarna kuning emas itu masih diam tak bergerak, sementara
pasukan Demak semakin lama semakin dekat. Karena itu semakin jelaslah
kemudian setiap langkah dari setiap orang dalam gelar Cakra Byuha yang
sempurna. Namun sampai sekian mereka masih belum dapat mengenal
orang-orang yang diserahi tugas memimpin pasukan Demak itu.
Sesaat kemudian setelah pasukan itu
menjadi semakin dekat, tampaklah seorang yang duduk diatas kuda berwarna
sawo, yang agaknya memegang pimpinan, melambaikan tangannya. Maka
segera berhentilah pasukan itu. Pemimpin pasukan itu, yang karena
jaraknya yang masih agak jauh, belum dapat dikenal, segera memanggil dua
orang pembantunya. Rupanya mereka sedang merundingkan siasat. Mahesa
Jenar kini merasa bahwa ia sudah tidak akan mampu berbuat sesuatu. Dua
pasukan yang sudah berhadapan agaknya sukar untuk ditahannya. Apalagi
ketika yang diduganya benar-benar terjadi. Menurut perhitungan Mahesa
Jenar, pasukan Demak tidak mungkin dapat melawan pasukan Banyu Biru
dalam gelar yang demikian, sebab keadaan medan memang menguntungkan
pasukan Banyu Biru yang berada di tempat yang lebih tinggi. Menurut
perhitungan Mahesa Jenar, pasukan Demak harus mengubah tata barisannya
sehingga mereka dapat mencapai tempat yang sama tinggi. Pemimpin pasukan
Demak itu dilihatnya mengangkat kedua tangannya dan kemudian dengan
gerak melingkar tangannya bersilang dan kemudian direntangkan kembali.
Itu adalah suatu aba-aba untuk mengubah tata barisannya.
Pasukan Demak adalah pasukan yang
terlatih baik. Karena itu segera setiap pimpinan kelompok dengan
serentak mengulangi aba-aba pimpinan pasukan, dan sesaat kemudian
pasukan itu tampaknya menjadi berserak-serakan tak karuan. Tetapi
sebenarnya mereka sedang bergerak untuk menempati tempat-tempat mereka
dalam gelar perang yang baru, Garuda Nglayang. Meskipun dengan gelar ini
pasukan Demak sama sekali tak bermaksud mengepung pasukan Banyu Biru,
tetapi mereka berusaha untuk mencapai tempat yang cukup tinggi, sebab
dengan gelar yang memencar ini, sayap-sayap kanan dan kiri akan dapat
maju mendahului induk pasukannya, dan seterusnya menerjang dari arah
lambung.
Melihat pasukan dari Demak telah memulai
dengan gerakannya, setiap laskar Banyu Biru segera menjadi gelisah.
Mereka serentak memandang kepada Gajah Sora, untuk menunggu perintah
lebih lanjut, terutama pimpinan-pimpinan kelompok. Sebenarnya Gajah Sora
segera dapat berusaha mencegah maksud pasukan Demak itu dengan mengubah
gelarnya pula. Hal ini disadari oleh setiap pemimpin laskar Banyu Biru.
Karena mereka pun telah siaga untuk melaksanakan perubahan gelar itu.
Namun untuk beberapa saat Gajah Sora tidak memberikan perintah sesuatu.
Bantaran dan Sawungrana yang memegang
pimpinan sebagai ujung-ujung gading dalam gelar Dirada Meta, Pandan
Kuning dengan beberapa pasukan pilihan sebagai pengawal panji-panji
Dirada Sakti, menjadi semakin gelisah. Wanamerta dan Panjawi pun tidak
dapat mengetahui sebabnya, kenapa mereka masih harus diam menunggu.
Mahesa Jenar juga menebak-nebak di dalam hati, apakah maksud sebenarnya
dari Gajah Sora itu. Ataukah ia mempunyai suatu siasat di luar
pengetahuannya? Andaikata Mahesa Jenar memegang pimpinan, pasukan Banyu
Biru harus segera berubah dalam gelar Wulan Panunggal, untuk menghalangi
sayap-sayap gelar Garuda Nglayang yang melengkung itu, sehingga dapat
mengimbangi kekuatan sayap Garuda Nglayang, apalagi jumlah mereka lebih
banyak.
Di dalam setiap perhitungan perang, waktu
memegang peranan yang penting, sehingga meskipun hanya sekejap,
kadang-kadang mempunyai arti yang besar.
Demikianlah pasukan Demak yang terlatih
baik itu, hanya memerlukan waktu yang singkat untuk dapat menempati
kedudukannya yang baru. Bahkan pasukan sayap kanan dan kiri telah mulai
mendaki tebing.
Melihat semuanya itu, Panjawi dan
Sawungrana hanya dapat saling memandang, dan sekali dua kali mereka
melemparkan pandangannya kepada Mahesa Jenar yang berada di luar
kedudukan gelar, meskipun ia berada tidak jauh dari mereka itu.
Sebenarnya di dalam hati Mahesa Jenar
tersimpanlah suatu kecemasan yang sangat besar, melihat tingkah laku
Gajah Sora. Mungkinkah ia menjadi mata gelap dan putus asa, sehingga
sejak langkah pertama sudah akan dipergunakan gelar-gelar yang
menentukan seperti gelar Samodra Rob atau Gelatik Neba, yang sebenarnya
sama sekali tidak perlu? Memang, gelar itu akan cepat mencapai
penyelesaian, tetapi korbannya tak akan dapat dihitung lagi.
Karena itu, Mahesa Jenar menunggu
perkembangan keadaan dengan hati yang berdebar-debar. Tetapi dalam
keadaan yang demikian ia tidak akan mengganggu pemimpin pasukan.
Sementara itu, sayap-sayap kiri dan kanan
dari pasukan Demak telah mencapai tempat yang sama tinggi dengan
pasukan Banyu Biru. Bahkan mereka telah siap pula melancarkan serangan
ke arah lambung pasukan Banyu Biru yang masih mempergunakan gelar Dirada
Meta. Dalam hal ini dengan suatu isyarat tangan dari pemimpin mereka,
pastilah mereka akan segera bergerak.
Tetapi rupanya dalam barisan Demak pun
terjadi sesuatu. Pemimpin pasukan mereka ternyata tidak segera
memberikan aba-aba untuk mulai menyerang. Agaknya mereka menjadi heran
pula, kenapa dalam keadaan yang demikian pasukan Banyu Biru masih belum
juga menunjukkan tanda-tanda untuk mulai bertindak. Karena itu, pemimpin
pasukan dari Demak itu pun tidak tergesa-gesa bertindak.
———–oOo———-
V
SEMENTARA itu, terjadilah suatu hal yang
sama sekali tak terduga-duga. Dengan suara lirih dan dalam, terdengarlah
Ki Ageng Gajah Sora memanggil Wanamerta dan Panjawi. Sesaat kemudian
Gajah Sora memalingkan mukanya, mencari Mahesa Jenar, dan dengan isyarat
ia diminta mendekatinya.
Ketika Mahesa Jenar melihat wajah Ki
Ageng Gajah Sora, ia menjadi terkejut. Wajah itu nampak begitu suram dan
basah oleh keringat yang tak sempat diusapnya. Segera ia menarik kekang
kudanya, dan cepat-cepat mendekatinya. Agaknya telah terjadi suatu
pergolakan perasaan yang dahsyat, sehingga ketika Mahesa Jenar telah
berada di sampingnya, semakin jelas bahwa tubuh Gajah Sora gemetar.
Kemudian dengan suara yang bergetar pula ia berkata, : ”Paman
Wanamerta, tetua tanah perdikan Banyu Biru. Panjawi, harapan masa
datang, dan Adi Mahesa Jenar yang berpandangan luas. Harap kalian
mengetahui keputusanku…. Aku sama sekali tidak gentar menghadapi pasukan
dari Demak itu, meskipun ternyata terdiri dari pasukan penggempur yang
kuat”. Ia berhenti sebentar, lalu kemudian, ”Tetapi aku tak akan melawannya”.
Mendengar kata-kata Gajah Sora itu,
Wanamerta, Panjawi dan Mahesa Jenar sangat terkejut. Segera wajah-wajah
mereka memancarkan perasaan mereka yang menyimpan berbagai pertanyaan.
Tetapi tak seorang pun yang menyatakannya.
”Dengarlah dengan baik”, sambung Gajah Sora, ”Mungkin Adi Mahesa Jenar yang paling dapat mengerti perasaanku”. Gajah
Sora diam sebentar untuk menelan ludah yang seolah-olah menyumbat
kerongkongan. Matanya yang sayu dan kemerah-merahan itu, tanpa berkedip
memandang ke arah bendera Gula Kelapa yang berbentuk segitiga panjang
sebagai lambang kebesaran Demak.
”Beberapa tahun yang lampau…,” lanjut Gajah Sora, ”Aku
pernah bertempur melawan orang-orang Portugis di Semenanjung Malaka
untuk mempertahankan kebesarannya. Pada saat itu diatas kapalku berkibar
pula dengan megahnya bendera Gula Kelapa itu. Haruskah aku sekarang
melawannya? Tidak, aku tidak bisa.” Kemudian ia terdiam. Dan
kembali Gajah Sora menelan ludah beberapa kali. Matanya nampak semakin
merah bukan oleh nyala kemarahan.
Mendengar kata-kata itu, bulu tengkuk
Mahesa Jenar serasa serentak berdiri. Kata-kata itu langsung menyusup ke
perasaannya yang paling dalam. Agaknya perasaan yang demikian pulalah
yang menyebabkan dirinya seperti orang yang kehilangan pegangan.
Tetapi Wanamerta dan Panjawi mempunyai
tanggapan yang lain. Wajahnya menjadi tegang. Mereka tidak begitu
mengerti maksud Gajah Sora. Karena itu Wanamerta segera bertanya, ”Bagaimanakah maksud Ki Ageng sebenarnya?”
Ki Ageng Gajah Sora memandang Wanamerta dengan mata yang suram, ”Paman, aku ingin menyelesaikan masalah kedua keris itu tidak dengan cara ini”
”Lalu apakah yang akan Ki Ageng lakukan?” sela Panjawi yang menjadi semakin gelisah.
”Aku akan berbicara dengan mereka,” jawab Gajah Sora.
Mendengar jawabnya itu Wanamerta dan Panjawi saling memandang dengan kebingungan.
”Mereka tidak datang untuk berbicara,” jawab Panjawi kemudian, ”Tetapi mereka datang dengan gelar perang.”
Kembali mata Ki Ageng Gajah Sora melekat
pada Sang Saka Gula Kelapa yang seolah-olah melambaikan tangan-tangannya
kepada Gajah Sora, sebagai salam hangat setelah agak lama tidak
bertemu. Karena itu hati Ki Ageng Gajah Sora menjadi semakin
terkoyak-koyak.
”Kalau mereka tidak dapat berbicara,” kata Gajah Sora Sora selanjutnya, ”aku
akan menyertai mereka ke Demak. Sebab aku percaya bahwa pemerintahan
berjalan dalam garis-garis hukum. Bagaimanapun juga masalah ini adalah
masalah kita bersama yang harus dapat kita selesaikan, tanpa pertumpahan
darah.”
Wanamerta dan Panjawi agaknya masih belum begitu mengerti maksud Gajah Sora, sehingga terdengar suara Wanamerta agak tertahan, ”Anakmas, kami adalah orang-orang yang bersedia dibujur-lintangkan untuk keselamatan Anakmas.”
Gajah Sora memandang Wanamerta dengan
penuh pengertian dan haru. Tetapi ia sudah mempunyai suatu ketetapan
bahwa ia sama sekali tak bermaksud menodai Sang Saka Gula Kelapa. Karena
itu katanya, ”Paman…, aku tahu kesetiaan Paman dan segenap laskar
Banyu Biru. Tetapi aku harap Paman juga mengetahui kesetiaanku kepada
bendera itu, Sang Saka Gula Kelapa, sebagai lambang kesatuan negara.
Termasuk Banyu Biru. Sebab Banyu Biru sendiri tak ada artinya di muka
bumi ini, kalau tidak bersama-sama dengan daerah-daerah lainnya
berkembang di taman sarinya. Negara kita ini. Sebaliknya, negara kita
ini tidak pula akan tegak melawan badai sejarah kalau tidak berakar di
dalam jiwa rakyat di daerah-daerah, termasuk Paman dan seluruh rakyat
Banyu Biru.”
Wanamerta dan Panjawi menundukkan mukanya
dalam-dalam. Di dalam hatinya telah membayang sedikit pengertian akan
ucapan pemimpinnya yang sangat dicintainya itu. Namun bagaimanapun,
agaknya amat sulit baginya untuk melepas Gajah Sora pergi sebagai
seorang terdakwa yang telah melakukan pengkhianatan. Karena itu
Wanamerta masih mencoba bertanya, ”Anakmas, tidakkah Anakmas dapat
berbicara dengan mereka dalam kesempatan lain yang lebih baik, sehingga
Anakmas tidak dianggap sebagai seorang tangkapan?”
”Tak akan ada lagi kesempatan kecuali ini, Paman. jawab Gajah Sora, ”Sebab kalau aku tidak mempergunakan kesempatan ini, pasti akan terjadi pertumpahan darah sesama kita yang tak ada artinya”
Kembali Wanamerta menundukkan kepalanya.
Ia kenal betul akan sifat dan watak Gajah Sora. Apabila ia sudah
menjatuhkan keputusan, maka tak seorang pun yang akan dapat mengubahnya.
Karena itu, dengan perasaan yang tertekan ia terpaksa berdiam diri.
Sebaliknya Panjawi yang masih belum dapat mengendapkan dirinya, berkata
menyela,: ”Ki Ageng…, sebenarnya kami lebih senang apabila Ki Ageng
memerintahkan kepada kami untuk menghunus pedang kami daripada
melepaskan Ki Ageng pergi sebagai seorang tawanan”.
Gajah Sora tersenyum pahit. Lalu jawabnya, “Aku
bukanlah tawanan prajurit yang kalah perang, Panjawi. Hal ini pasti
disadari pula oleh orang-orang Demak itu, bahwa aku masih tegak di
hadapan pasukanku yang belum pasti dapat mereka kalahkan.”
“Karena itu berikanlah kepada kami perintah, Ki Ageng,” sahut Panjawi yang agaknya masih berdarah panas.
“Panjawi…” jawab Gajah Sora, “Memang
di dalam tubuhmu mengalir darah jantan sejati. Tetapi dengarlah
perintahku baik-baik. Kau dan Wanamerta tetap berada di tempatmu.
Jagalah bahwa tak seorang pun dalam pasukan ini yang berkisar dari
tempatnya.”
Mendengar perintah itu, dada Panjawi
serasa menerima pukulan yang maha dahsyat, sampai ia memejamkan mata
beberapa saat untuk dapat menenangkan perasaannya kembali.
“Adi Mahesa Jenar…” kata Gajah
Sora kepada Mahesa Jenar yang selama itu dengan penuh pergolakan di
dalam dadanya memperhatikan setiap kata-kata Gajah Sora. Wanamerta dan
Panjawi, “Di manakah Arya?”
Pertanyaan ini mengejutkan benar, sebab untuk beberapa saat Mahesa Jenar telah melupakan anak ini.
“Bukankah tadi anak itu datang di belakang Adi?” sambung Gajah Sora.
“Benar, Kakang,” jawab Mahesa
Jenar agak gugup sambil melayangkan pandangannya berkeliling, sampai
akhirnya tertumbuk pada seekor kuda hitam dengan seorang anak di
punggungnya dan tampaknya dengan enaknya melihat dua pasukan yang hampir
bertempur itu seperti melihat rombongan pawai prajurit. Melihat hal itu
jantung Mahesa Jenar berdesir. Apakah yang terjadi andaikata kedua
pasukan itu benar-benar bertempur, sedangkan Arya berada diatas sebuah
gundukan tanah dalam garis serangan sayap kanan pasukan Demak. Andaikata
sampai terjadi sesuatu atasnya pastilah ia harus
mempertanggungjawabkannya.
Maka dengan isyarat Arya dipanggil untuk
mendekati ayahnya. Tetapi rupa-rupanya anak itu agak takut, sehingga
isyarat itu sampai harus diulangi dua kali.
Ketika Arya telah berada disampingnya,
dengan pandangan yang semakin sayu dan kata-kata yang gemetar, Ki Ageng
Gajah Sora berkata kepada Arya, “Arya…, kau telah pernah mempergunakan tombakku yang sakti ini. Karena itu, pada hari ini tombak ini aku hadiahkan kepadamu” Arya
yang tidak tahu masalahnya, mendengar kata-kata ayahnya itu menjadi
terkejut dan menduga-duga, tetapi sekejap kemudian ia menjadi
kegirangan. Wajahnya berseri-seri dan dengan segera ia maju mendekat.
Sebaliknya adalah Wanamerta, Panjawi dan
Mahesa Jenar. Ketika mereka mendengar kata Gajah Sora itu dada mereka
bergoncang hebat. Sebab mereka sadar akan arti kata-kata itu. Dengan
demikian maka Ki Ageng Gajah Sora telah menyerahkan pemerintahan Banyu
Biru kepada putra satu-satunya yang belum dewasa.
”Apakah artinya ini Ki Ageng?” tanya Panjawi dengan suara bergetar.
”Ayah akan menghadiahkan tombak itu kepadaku”, sahut Arya dengan riangnya. ”Dan bukankah ayah bermaksud mengijinkan aku untuk turut bertempur sekarang ini?”
Semua yang mendengar kata-kata Arya itu menarik nafas dalam-dalam. Lebih-lebih Gajah Sora sendiri.
”Arya, aku tidak bermaksud demikian.
Sebab hari ini aku akan bepergian jauh sekali, dan belum tentu kapan
akan kembali. Kaulah yang berhak untuk memiliki pusaka itu, tetapi
sementara biarlah pusaka itu kau titipkan kepada eyangmu Wanamerta”, kata Gajah Sora dengan suara lembut.
Wajah Arya yang riang itu segera berubah
menjadi kecewa dan bertanya-tanya. Pandangannya beredar diantara
orang-orang yang berada di sekitarnya seperti minta penjelasan. Akhirnya
ia bertanya, ”Ayah akan pergi jauh sekali?”
Ki Ageng Gajah Sora mengangguk. ”Selama
ayah pergi, kau tidak boleh nakal Arya. Kau harus menurut segala
petunjuk eyangmu Wanamerta. Dan yang akan melanjutkan pelajaranmu dan
olah kanuragan adalah pamanmu Mahesa Jenar. Bukankah begitu Adi…?”
Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan, tetapi ia tidak dapat berkata lain daripada mengiyakan.
Sesaat kemudian kembali Gajah Sora
memandangi bendera Gula Kelapa yang melambai kepadanya. Sesaat kemudian
dilayangkan pandangannya kepada seluruh anak buahnya yang berbaris
teratur di belakangnya dalam gelar Dirada Meta.
Tiba-tiba Gajah Sora mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Pemimpin pasukan Demak yang rupa-rupanya
cukup bijaksana dan tidak berbuat sesuatu, ketika ia menyaksikan Gajah
Sora sedang berunding dengan bawahannya, juga mengangkat tangan kanannya
untuk menjawab isyarat Gajah Sora.
Sekali lagi Gajah Sora memandang kepala barisannya. Kemudian ia berkata kepada Wanamerta, ”Sepeninggalku
perintahkan pasukan ini mengundurkan diri, Paman. Aku percayakan Banyu
Biru dalam kebijaksanaan paman selama aku pergi. Sedang, aku minta agar
Adi Mahesa Jenar sudi menjadi pelindung daerah yang tak berarti ini. Aku
titipkan Arya kepadamu”
Kemudian, sehabis mengucapkan kata-kata
itu, Gajah Sora menarik kekang kudanya yang kemudian berlari dengan
kencangnya menuju ke arah pasukan dari Demak.
Melihat Gajah Sora telah datang seorang
diri, pemimpin pasukan dari Demak itu pun segera menyongsongnya bersama
dua orang pengawalnya.
Melihat Ki Ageng Gajah Sora pergi seorang
diri ke arah pasukan-pasukan dari Demak itu, Arya terkejut. Untuk
beberapa saat ia diam kebingungan. Tetapi setelah ingatannya berjalan
kembali, ia berteriak memanggil. Untunglah bahwa Mahesa Jenar cepat
bertindak, menangkap kendali kuda Arya yang hampir berlari memburu.
Dengan memanggil-manggil ayahnya, Arya meronta-ronta memukul-mukul tangan Mahesa Jenar yang memegang kendali kudanya itu.
Wanamerta memandangi Arya dengan dada
yang sesak. Perlahan-lahan ia mendekati anak itu dan menghibur
sebisa-bisanya. Namun untuk beberapa saat Arya masih saja berusaha untuk
melepaskan tangan Mahesa Jenar dan berteriak-teriak sejadi-jadinya.
Sebenarnya bukan saja Arya yang menjadi
bingung dan meronta-ronta, tetapi segenap hati laskar Banyu Biru menjadi
bingung, dan meronta-ronta pula. Bahkan kemudian terdengarlah suara
bergumam yang semakin lama semakin keras. Bantaran dan Sawungrana tampak
menjadi gelisah. Sedang Pandan Kuning yang tak dapat menahan diri lagi
berteriak nyaring, “Apakah artinya ini semua Kakang Wanamerta…?”
Wanamerta dapat mengerti semuanya itu,
dapat mengerti kenapa seluruh laskar Banyu Biru menjadi gelisah dan
bingung. Karena itu segera ia mengangkat tangannya untuk menenangkan
keadaan, sedang tangannya yang lain mengacungkan pusaka Kyai Bancak
tinggi-tinggi sebagai suatu pernyataan bahwa ia telah mendapatkan
wewenang atas nama Arya Salaka untuk memimpin daerah perdikan Banyu
Biru.
Sementara itu keributan agak dapat
ditenangkan, tetapi hati laskar Banyu Biru itu sama sekali tak dapat
ditenangkan. Mereka, dengan darah yang bergelora melihat Ki Ageng Gajah
Sora berlari di atas kudanya menemui pemimpin pasukan dari Demak yang
datang menyongsongnya. Apalagi beberapa saat kemudian seluruh laskar
Banyu Biru yang berada di lereng bukit Telamaya itu menyaksikan dengan
jelas bahwa pemimpin mereka Ki Ageng Gajah Sora pergi meninggalkan
mereka bersama-sama dengan pemimpin pasukan dari Demak itu, yang
sebentar kemudian memberi aba-aba kepada seluruh prajurit Demak untuk
menarik gelar Garuda Nglayang itu menjadi suatu barisan tidak dalam
gelar perang.
Rasa-rasanya laskar Banyu Biru itu hampir
meledak ketika mereka menyadari bahwa pemimpin mereka telah pergi
menyertai pasukan dari Demak, yang menurut anggapan mereka tidak lebih
dari seorang tawanan. Dalam keadaan yang demikian, segera Wanamerta
membalikkan kudanya dan merasa perlu untuk memberi penjelasan. Segera
dengan isyarat tangan ia memanggil segenap pimpinan kelompok dalam
kesatuan laskar Banyu Biru.
Katanya, ”Anak-anakku Laskar Banyu
Biru yang setia kepada pemimpinnya. Atas nama kekuasaan yang telah
diserahkan kepada Arya Salaka, aku perintahkan kepadamu untuk tetap
tenang, dan setelah ini menarik kembali seluruh laskar kita. Penjelasan
mengenai hal ini akan aku berikan kemudian”
Mendengar keterangan singkat dari seorang
kepercayaan Gajah Sora itu beberapa orang menjadi ribut, sedang
beberapa orang lagi menjadi kebingungan. Tetapi bagaimanapun laskar
Banyu Biru adalah laskar yang patuh dan setia sehingga bagaimanapun
terjadi pergolakan di dalam dada namun mereka harus mentaati perintah
pemimpin mereka atau yang dikuasakan. Dan sekarang, ternyata Wanamerta
yang memegang pusaka Kyai Bancak itu berbicara atas nama Pemimpin tanah
perdikan Banyu Biru.
Karena itu tak seorangpun yang berani
melanggar perintahnya. Panjawi yang sebenarnya sama sekali tidak rela
melepaskan Gajah Sora, menjadi gemetar tubuhnya. Wajahnya jadi sebentar
merah dan sebentar kemudian memutih pucat hampir seperti mayat. Giginya
terdengar gemeretak dan pengertian perasaan yang bercampur aduk antara
marah, kecewa, dan bingung, tetapi juga kesadaran dan pengertian bahwa
apa yang dikatakan Gajah Sora adalah benar.
Sementara itu iring-iringan pasukan Demak
itu berjalan terus semakin jauh, meninggalkan kepulan debu putih yang
segera lenyap disapu angin pegunungan. Sebentar kemudian pasukan yang
membawa Ki Ageng Gajah Sora itu lenyap sedikit demi sedikit di tikungan,
seperti ditelan oleh anak pegunungan yang menonjol di hadapan laskar
Banyu Biru itu. Bersama dengan lenyapnya pasukan Demak itu dari
pemandangan mereka, terdengarlah Arya Salaka terisak-isak. Wanamerta
segera mendekatinya dan kembali ia mencoba menenangkan Arya yang
meskipun berusaha menahan tangisnya tetapi akhirnya air matanya terurai
mengalir. Melihat hal itu hati Panjawi semakin bergelora, meskipun ia
sadar bahwa tak ada yang dapat dilakukan.
”Arya…, marilah kita pulang,” kata Wanamerta lembut.
Dengan masih terisak, Arya menggelengkan kepalanya.
”Pulanglah, Arya…” sambung Mahesa Jenar, ”Bukankah ayahmu telah berpesan supaya kau menuruti nasehat kakekmu Wanamerta?”
Arya memandang Mahesa Jenar dengan mata
merah yang basah. Seolah-olah ia ingin menanyakan, kenapa Mahesa Jenar
tidak berbuat sesuatu untuk menyelamatkan ayahnya.
”Tidakkah Paman pulang ke Banyu Biru?” tanya Arya di sela-sela isaknya.
”Pasti, Arya,” jawab Mahesa Jenar. ”Aku akan pulang ke Banyu Biru, tetapi berjalanlah dahulu, aku segera akan menyusul.”
Sekali lagi Arya memandang kepada Mahesa
Jenar dengan penuh pertanyaan. Tetapi sejenak kemudian ia pun menjadi
agak tenang. Bersama-sama dengan Wanamerta, Panjawi dan seluruh laskar
Banyu Biru, Arya berjalan kembali ke Banyu Biru, kecuali Mahesa Jenar.
Kepada Wanamerta, Panjawi dan Arya
Salaka, Mahesa Jenar minta izin untuk tinggal sebentar dan kemudian akan
segera menyusul kembali.
Sepeninggal pasukan Banyu Biru, Mahesa
Jenar mengendarai kudanya perlahan-lahan di sepanjang lereng-lereng
bukit. Rasanya ada sesuatu yang tidak menentramkan hatinya. Firasatnya
yang agak tajam menangkap sesuatu yang tidak wajar akan terjadi.
Beberapa saat kemudian Mahesa Jenar
muncul di sebelah bukit yang menghalangi pandangannya, dan kembali
tampak debu berhamburan jauh di bawah kakinya. Itulah iring-iringan
pasukan dari Demak. Tanpa disengaja, kudanya dilarikan agak cepat ke
arah yang sama dengan pasukan itu. Jaraknya semakin lama semakin dekat.
Tetapi apabila jarak itu sudah terlalu dekat, maka memungkinkan
orang-orang Demak itu dapat melihatnya, sehingga segera ia menghentikan
kudanya dan berdiri di tempat yang agak tersembunyi.
Tetapi ketika sudah agak jauh dari Banyu
Biru, tiba-tiba darah Mahesa Jenar tersirat ketika melihat di
lereng-lereng bukit di sekitar jalan yang dilewati pasukan Demak itu
tampak bintik-bintik yang bergerak-gerak. Ia menjadi curiga, dan dengan
penuh perhatian dicobanya untuk mengetahui apakah sebenarnya yang tampak
bergerak-gerak itu. Mahesa Jenar menjadi semakin terperanjat ketika ia
yakin bahwa bintik-bintik yang bergerak-gerak itu adalah manusia-manusia
yang bersenjata.
Tetapi sebelum sempat ia berbuat sesuatu,
orang-orang bersenjata yang bergerak-gerak di lereng-lereng bukit di
sekitar jalan itu telah mulai dengan sebuah serangan yang melanda
seperti air pasang. Inilah gelar Samodra Rob yang menyerang gelombang
demi gelombang dengan jumlah pasukan yang besar.
Dari jarak yang agak jauh, Mahesa Jenar
melihat iring-iringan pasukan Demak itu berhenti, dan sebentar kemudian
ia melihat gerakan yang cepat dari pasukan itu menjadi sebuah gelar
Gedong Minep. Ini agak aneh bagi Mahesa Jenar, kenapa pasukan dari Demak
itu mengambil gelar yang sebenarnya kurang menguntungkan untuk melawan
gelar Samodra Rob. Tetapi, terlintaslah dalam benak Mahesa Jenar, bahwa
di dalam pasukan dari Demak itu ada seorang yang akan dibawa menghadap
kepada Sultan Demak. Jadi pastilah bahwa pemimpin pasukan penyerang itu
berusaha untuk membebaskan Gajah Sora. Mendapat pikiran yang demikian,
dada Mahesa Jenar menjadi sesak. Tetapi sementara itu ia tidak dapat
berbuat sesuatu. Dalam hati Mahesa Jenar tersimpullah suatu tafsiran
bahwa ini adalah suatu kesengajaan dari pihak-pihak yang ingin melihat
suasana Banyu Biru menjadi semakin keruh. Ternyata bahwa mereka telah
menyiapkan pasukan untuk bermacam-macam kemungkinan dan kepentingan.
Di lembah, di bawah lereng-lereng bukit
Telamaya itu segera terjadi suatu pertarungan yang sengit. Gelar Samodra
Rob itu bagai gelombang menghantam pasukan dari Demak yang berada dalam
kedudukan yang kurang menguntungkan. Hal ini rupanya kemudian disadari
bahayanya. Maka dengan suatu gerakan melingkar, pasukan Demak yang
terlatih baik itu mengubah gelarnya menjadi seolah-olah suatu permainan
yang selalu bergerak-gerak. Kedudukan mereka nampaknya menjadi sangat
lemah di bagian depan sehingga banyak lubang pertahanan yang dengan
mudahnya disusupi oleh penyerang. Tetapi tidaklah demikian sebenarnya.
Melihat perubahan itu, Mahesa Jenar yang hanya dapat melihat dari jauh,
menarik nafas lega, seolah-olah ialah pemimpin pasukan dari Demak itu.
Dan segera tampak bahwa pasukan penyerang itu tidak banyak dapat berbuat
melawan satu pasukan yang teratur baik dan terdiri dari orang-orang
pilihan.
Pasukan Demak itu telah mengubah gelarnya
menjadi gelar Jurang Grawah. Gelar yang dapat menampung berapa pun
banyaknya air yang mengalir melandanya. Meskipun serangan-serangan
lawannya itu seolah-olah dengan mudah dapat menyusup ke dalam gelar
pasukan Demak, tetapi demikian gelombang itu masuk, demikian gelombang
itu dibinasakan oleh pasukan-pasukan yang justru berada di garis kedua
dan ketiga. Tetapi karena jumlah penyerang-penyerang itu sedemikian
banyaknya, maka pertempuran itu pun berlangsung dengan hebatnya.
Mahesa Jenar melihat pertempuran itu
tanpa bergerak dari punggung kudanya, seolah-olah ia terpaku di atasnya.
Meskipun hatinya bergelora hebat, ia hanya dapat menekan dadanya dengan
tangannya. Sebab dalam kedudukannya yang sekarang, tidaklah mungkin ia
turut campur.
Tiba-tiba tanpa disengaja, mata Mahesa
Jenar merayap ke atas bukit kecil di sebelah lembah, dimana pertempuran
yang hebat itu terjadi. Di sana, dilihatnya beberapa bayangan yang
ternyata adalah orang-orang berkuda. Cepat pikiran Mahesa Jenar bekerja.
Dan ia dapat mengambil kesimpulan bahwa orang-orang itu pastilah dalang
dari keributan ini. Karena itu, ia bermaksud untuk mengetahui, siapakah
kiranya yang berdiri di atas bukit kecil itu.
Mendapat pikiran itu, terus saja Mahesa
Jenar memutar kudanya, dan dengan mengambil jalan melingkar ia menuju ke
arah bukit kecil, dimana orang-orang yang dicurigainya itu berada.
Dengan hati-hati ia berusaha untuk mendekati orang itu dari arah
belakang.
Maka setelah Mahesa Jenar berhasil
mencapai bukit kecil itu, ia segera turun dari kudanya dan
menambatkannya pada sebatang pohon dengan ikatan yang tidak begitu
keras, supaya apabila setiap saat diperlukan, tidak terlalu sukar
baginya untuk melepaskan tali itu.
Dengan hati-hati sekali ia merangkak naik
dan selalu berusaha untuk melindungi dirinya dengan batang-batang pohon
dan daun-daun yang rimbun. Bahkan kadang-kadang ia memilih jalan
menyusur tebing-tebing yang curam agar tidak menarik perhatian.
Di atas bukit itu ternyata beberapa orang
berkuda yang dengan saksama mengikuti jalannya pertempuran di lembah.
Mahesa Jenar yang dengan sangat hati-hati berhasil mendekati mereka,
segera mengenal siapakah mereka itu. Pada saat Mahesa Jenar mengetahui
orang-orang yang berkuda itu, rasanya dirinya seperti terlempar ke dalam
sebuah khayalan yang sangat menakutkan dan sukar untuk dipercaya.
Karena itu jantungnya terasa seperti berdentam-dentam tak keruan. Cepat
ia berusaha menguasai diri dan mengatur pernafasan untuk menenangkan
dirinya. Meskipun demikian, ia menjadi gemetar juga.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar adalah orang
yang cukup berpengalaman, sehingga apa yang dilakukan bukanlah
pencetusan perasaannya belaka, tetapi juga hasil dari pemikirannya yang
masak.
Karena itu, meskipun di hadapannya
berdiri tokoh-tokoh yang seolah-olah merupakan kejadian yang hanya dapat
terjadi di dalam mimpi, namun ia tetap dapat mempergunakan pikirannya
dengan baik.
Orang-orang berkuda itu adalah deretan
dari tokoh-tokoh yang dikenalnya sebagai tokoh-tokoh golongan hitam yang
cukup tangguh. Diantaranya adalah Lawa Ijo dan Padas Gunung yang
rupanya telah sembuh, Sepasang Uling dari Rawa Pening, Suami-istri Sima
Rodra, Jaka Soka dari Nusakambangan, dan yang lebih mengejutkan hati
Mahesa Jenar adalah hadirnya Lembu Sora bersama-sama dengan mereka.
Dengan demikian maka apa yang terjadi di
Banyu Biru seolah-olah kini menjadi terang benderang baginya.
Berkumpulnya tokoh-tokoh itu adalah suatu petunjuk yang jelas. Karena
itu setelah ia mendapat kesimpulan dari peristiwa yang tak tersangka
itu, otaknya pun segera bekerja keras. Yang harus diusahakan
pertama-tama adalah menarik pasukan-pasukan yang menyerang pasukan dari
Demak itu. Sesudah itu entahlah apa yang akan terjadi dengan dirinya.
Menilik tata tempat mereka berada, Mahesa Jenar dapat mengambil
kesimpulan, bahwa Lembu Sora yang berada di tempat paling depan adalah
orang yang paling berkepentingan dengan pertempuran itu. Sedang menurut
perhitungan Mahesa Jenar, laskar yang paling banyak dari para penyerang
itu adalah laskar Lembu Sora. Sekali lagi Mahesa Jenar melayangkan
pandangannya ke lembah yang semakin samar dilapisi debu yang mengepul
tinggi. Tetapi dengan jelas ia dapat menyaksikan pertempuran yang
semakin dahsyat. Laskar penyerang itu kemudian hampir kehilangan
pegangan, sehingga serangannya sudah mengarah ke gelar Gelatik Neba.
Melihat hal itu, maka Mahesa Jenar merasa
perlu untuk segera bertindak sebelum korban semakin banyak yang jatuh.
Bagi Lembu Sora dan orang-orang seperti Lawa Ijo dan sebagainya,
banyaknya korban tidak merupakan soal. Yang penting, adalah maksud
mereka tercapai.
Setelah berpikir berulang kali, dan
menimbang untung-ruginya, Mahesa Jenar memutuskan untuk mengambil jalan
yang sangat berbahaya. Sebab sudah tidak ada pilihan lain baginya
kecuali menempuh bahaya itu.
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 7
Koleksi Ki Arema
Editing oleh Ki Arema
4 Tanggapan
Tinggalkan Balasan

mangga uyel2an ning KENE…..
gandok piTU…..asik