

ADBM-014

DADA Agung Sedayu berdesir mendengar
pertanyaan itu. Baru kini disadari bahwa ia telah melanggar perintah
kakaknya. Tetapi menurut pendapatnya, pertanggungan jawab atas peristiwa
itu ada pada gurunya. Karena itu maka jawabnya, “Aku telah mencoba
melakukan perintah itu Kakang. Tetapi guruku, Kiai Gringsing menyuruh
aku kembali membawa orang ini. Kiai Gringsing sendirilah yang akan
mengambil alih tugas yang harus aku lakukan itu.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun ia tersenyum di dalam hati. Perhitungannya ternyata tepat seperti
yang dikehendaki. Kiai Gringsing tidak akan melepaskan Agung Sedayu
sendiri melakukan tugas yang sangat berbahaya itu. Namun meskipun
demikian kini terasa betapa bulu tengkuknya berdiri. Seandainya. Ya
seandainya Kiai Gringsing membiarkan Agung Sedayu itu berjalan menyusur
hutan yang belum dikenalnya pada waktu itu? Alangkah berbahayanya. Kalau
adiknya waktu itu mengalami bencana, maka ialah yang telah membunuh
adiknya itu.
Tetapi adiknya kini telah kembali dengan
selamat. Bahkan membawa seorang Jipang yang terluka. Agaknya Tuhan
benar-benar telah melindungi anak itu.
Meskipun demikian wajahnya sama sekali
tidak mengesankan kegembiraan hatinya itu. Dengan kerut-kerut pada
keningnya, Untara berkata, “Apakah kau yakin bahwa Kiai Gringsing dapat
melakukan tugas itu?”
Pertanyaan ini pun mengherankannya.
Untara telah lebih lama bergaul dengan Kiai Gringsing daripada dirinya.
Menurut pendapatnya, Untara pasti lebih banyak mengenal orang itu, orang
yang bernama Ki Tanu Metir, yang telah melindunginya di dukuh Pakuwon.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu tidak
menjawab pertanyaan kakaknya, bahkan ia bertanya pula, “Bukankah Kakang
Untara telah mengenal Kiai Gringsing dengan baik?”
“Aku bertanya kepadamu,” potong Untara,
“kaulah yang seharusnya melakukan tugas itu. Kalau kau menyerahkan
tanggung jawab itu kepada orang lain, maka kau harus yakin bahwa orang
itu akan dapat melakukan tugas yang seharusnya kau lakukan.”
Agung Sedayu masih belum tahu maksud
pertanyaan kakaknya. Seharusnya pertanyaan yang demikian tidak perlu
diucapkan. Namun ia tidak berani berdebat dengan kakaknya, sehingga
kemudian dijawabnya pertanyaan itu perlahan-lahan, “Ya. Aku yakin.”
“Bagus, kalau demikian maka kita akan
menunggu hasilnya,” berkata Untara itu pula, “tetapi siapakah yang kau
bawa itu? Orang Jipang?”
“Ya.”
“Terluka?”
“Ya.”
“Parah?”
“Agak parah.”
Untara terdiam sejenak. Diedarkannya
pandangan matanya berkeliling, seakan-akan ingin mengetahui gejolak
perasaan para prajurit yang berdiri mengitarinya. Bukan saja atas orang
Jipang yang terluka ini, tetapi orang-orang Jipang yang mungkin bakal
datang, apabila seruannya dapat dimengerti oleh orang-orang Jipang itu.
Namun Untara tidak berkata apa-apa tentang perasaannya yang dipenuhi
oleh berbagai macam persoalan, kecemasan dan keragu-raguan. Sebagai
seorang pemimpin ia harus bersikap, tidak terombang-ambing oleh keadaan
yang setiap saat dapat berubah, meskipun sikap seorang pemimpin bukanlah
sikap yang mati, yang tidak dapat disesuaikan lagi dengan perkembangan
keadaan.
Malam semakin lama menjadi semakin dalam.
Bintang-bintang bertebaran dari satu sisi ke sisi yang lain, melingkupi
seluruh langit yang luas, bergayutan berangkai-rangkai.
Dalam keheningan malam yang dingin itu,
terdengar suara Untara bergetar, “Agung Sedayu. Bawa orang itu masuk ke
banjar desa. Satukan dengan orang-orang Jipang yang sudah lebih dahulu
terbaring di sana.”
“Baik Kakang,” sahut Agung Sedayu.
Ketika Agung Sedayu kemudian melangkah
maju, beberapa orang yang berdiri di regol segera menyibak. Namun
wajah-wajah mereka tampak tegang. Sebagian dari mereka memandang orang
Jipang itu dengan sorot mata penuh kebencian. Namun yang lain, melihat
Agung Sedayu dan orang Jipang itu lewat dengan pandangan mata yang
kosong.
Sejenak kemudian regol halaman banjar
desa itu menjadi sepi. Sepeninggal Agung Sedayu, para prajurit dan
anak-anak muda Sangkal Putung satu demi satu berjalan meninggalkan
regol, selain mereka yang bertugas. Hampir semua di antara mereka, sama
sekali tidak menyatakan pendapatnya tentang orang Jipang yang baru itu.
Orang Jipang yang kehadirannya agak berbeda dari orang-orang Jipang yang
mereka temukan di medan peperangan.
Para petugas yang merawat orang-orang
yang terluka pun kini sudah tidak terlampau sibuk lagi. Beberapa di
antara mereka tinggal melayani orang-orang yang terluka parah. Bahkan
ada di antara mereka yang menjadi panas dan mengigau tentang berbagai
macam persoalan. Ada yang merintih perlahan-lahan, namun ada pula yang
berteriak sepuas-puasnya.
Suasana di banjar desa itu benar-benar
menjadi suram. Beberapa orang yang lukanya tidak terlampau parah segera
minta ijin untuk pergi saja ke kademangan, berkumpul dengan para
prajurit yang berada di sana. Suasana di kademangan jauh lebih baik dari
suasana di banjar desa. Bahkan di antara mereka yang masih merasa
lapar, dapat merayap ke dapur mencari makanan yang masih banyak
tersedia.
Ternyata Swandaru pun telah pergi ke
kademangan. Langsung dibongkarnya tenong lauk pauk di dapur untuk
mencari daging lembu goreng, sisa lauk pauk makan malam mereka.
Namun dalam pada itu, kembali para
penjaga di banjar desa dikejutkan oleh kehadiran seorang yang membawa
tongkat baja putih bersama-sama dengan dukun tua yang bernama Ki Tanu
Metir.
Beberapa orang penjaga segera mengenal,
bahwa orang yang membawa tongkat baja putih itu adalah orang yang telah
membawa mayat Macan Kepatihan. Karena itu segera mereka mengetahui,
bahwa orang itu adalah orang Jipang. Dengan demikian maka segera para
penjaga itu menghentikannya dan bertanya, “Akan pergi ke mana kau?”
Sumangkar terkejut mendengar sapa yang
keras itu. Segera, ia berpaling kepada Ki Tanu Metir, seakan-akan minta
supaya Ki Tanu Metir-lah yang menjawab pertanyaan itu.
Ki Tanu Metir yang juga disebut Kiai Gringsing segera menjawab, “Akulah yang membawanya.”
“Bukankah orang ini orang Jipang?” bertanya penjaga itu.
“Ya. Orang ini orang Jipang.”
Sejenak para penjaga menjadi ragu-ragu.
Mereka saling berpandangan. Namun tampaklah bahwa mereka tidak segera
dapat menentukan sikap.
Dalam pada itu berkatalah Ki Tanu Metir, “Jangan cemas atas kehadirannya, aku yang akan bertanggung jawab.”
Namun wajah para penjaga itu masih saja
diliputi oleh kebimbangan, sehingga Ki Tanu Metir terpaksa berkata
kepada mereka, “Kalau kalian ragu-ragu, sampaikanlah kepada Angger
Untara atau Angger Widura, bahwa Ki Sumangkar ingin bertemu dengan
mereka.”
Itu adalah pendapat yang paling baik bagi
para penjaga yang sedang bimbang. Salah seorang dari mereka segera
pergi menemui Untara dan Widura, untuk menyampaikan pesan Ki Tanu Metir
tentang orang Jipang itu.
“Bawa mereka kemari,” berkata Untara kepada penjaga itu.
Sejenak kemudian, Ki Tanu Metir dan Ki
Sumangkar pun segera dibawa kepada Untara dan Widura, di ruang dalam
Banjar Desa Sangkal Putung.
Di ruang itulah kemudian terjadi
pembicaraan yang mendalam tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi
atas janji pengampunan yang disampaikan oleh Untara kepada orang-orang
Jipang. Sumangkar telah mencoba menanyakan kepada Untara, sampai berapa
jauh kemungkinan pengampunan itu dapat diberikan.
“Menurut Panglima Wira Tamtama,” berkata
Untara, “pengampunan itu bersifat umum. Namun sudah tentu, bahwa kalian
akan tetap berada dalam pengawasan. Tetapi apa yang akan kalian alami,
adalah perlakuan dari para pemimpin Pajang yang menjunjung tinggi
peradaban.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian orang tua itu pun bertanya, “Apakah jaminan yang dapat
diberikan oleh Angger Untara untuk memperkuat kepercayaan kami?”
Untara berpikir sejenak. Namun kemudian
ia menggeleng. “Tidak ada jaminan yang dapat aku berikan. Tetapi aku
berjanji, bahwa semua itu akan dilakukan sesuai dengan ucapan Ki Ageng
Pemanahan.”
Sumangkar mengerutkan keningnya. la tidak
mendapatkan jaminan apa-apa dari Untara. Memang sebenarnyalah bahwa
tidak akan ada jaminan yang dapat diberikan. Tetapi begitu saja
mempercayainya, rasa-rasanya berat juga bagi Sumangkar.
Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Nyala lampu jlupak
yang melekat di dinding seakan-akan menggapai-gapai kepanasan.
Sekali-kali terdengar di kejauhan suara burung hantu mengetuk-ngetuk
hati.
Dalam keheningan itu terasa betapa jauh
jarak yang harus mereka pertautkan dari kedua belah pihak. Permusuhan
yang setiap hari semakin meningkat. Kebencian, dendam dan berbagai macam
perasaan yang telah mendorong kedua belah pihak menjadi semakin jauh.
Tetapi Sumangkar tidak dapat menolak
kenyataan yang dihadapinya. Pajang semakin lama menjadi semakin kokoh,
sedang sisa-sisa prajurit Jipang semakin lama menjadi semakin terpecah
belah. Kekuatan mereka kini telah, berbanding berlipat ganda. Dalam
keadaan yang demikian, apakah yang dapat dilakukan olehnya? Apa yang
dijanjikan oleh Untara itu adalah selapis lebih baik daripada mereka
datang menyerahkan diri, meskipun akibatnya hampir tidak ada bedanya.
Namun dengan janji itu, mereka pasti akan mendapat perlakuan yang lebih
baik dalam batas-batas yang memungkinkan.
Karena itu, tidak ada kemungkinan lain
bagi Sumangkar untuk menerima tawaran Untara itu sebagai satu-satunya
kemungkinan yang paling baik. Sumangkar yakin, bahwa apabila kesempatan
itu tidak dipergunakan, akan datanglah saatnya Untara mengambil sikap
tegas seperti yang dikatakannya. Apabila prajurit Jipang di daerah Utara
dan di pedalaman telah ditarik menjadi satu, pada saat-saat terakhir
perjuangan Macan Kepatihan, maka daerah-daerah lain itu pun akan menjadi
aman. Prajurit Pajang akan dapat memusatkan diri pula di daerah Selatan
ini. Untara akan mendapat prajurit lebih banyak dari yang sekarang
berada di Sangkal Putung. Dengan demikian maka tingkat terakhir dari
usaha Untara melenyapkan sisa-sisa prajurit Jipang akan segera berhasil.
Sumangkar menyadari pula, bahwa ia tidak
akan dapat mengajukan bermacam-macam syarat. Sebab keseimbangan mereka
benar-benar telah goyah. Sehingga baginya, tinggal ada satu pilihan di
antara dua. “Menerima, yang berarti menyerah dalam kesempatan yang
terbuka” atau, “menolak, yang berakibat hancur menjadi debu.” Kehancuran
itu bukan saja akan dialami oleh orang Jipang, namun korban di pihak
Pajang pun bertambah pula. Sedang akibatnya sama sekali tidak
menguntungkan kedua belah pihak. Yang terjadi adalah pembunuhan,
kekerasan dan kekejaman. Dan apa yang akan terjadi itu sama sekali tidak
dapat dilupakan oleh orang-orang Pajang.
Demikianlah maka Sumangkar tidak dapat
berkata lain dari pada menerima tawaran Untara. Dengan demikian maka
segera mereka mulai membicarakan pelaksanaan dari penyerahan itu. Dalam
hal ini Sumangkar pun tidak dapat terlampau banyak mengajukan
pendapatnya. Sebagian dari pembicaraan itu datang dari pihak Untara,
sebagai sesuatu yang harus diterima oleh Sumangkar. Namun di dalam hati
Untara, masih saja selalu dirayapi oleh kecemasan tentang anak buahnya
sendiri. Apakah mereka dapat menerima sikapnya itu dengan ikhlas?
Dalam pada itu maka Untara menyadari
sepenuhnya betapa beratnya tugas yang akan dilakukannya. la telah pula
mendengar sikap Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda beserta sebagian
orang-orang Jipang yang menyingkir ke Lereng Merapi. Mengikuti hantu
yang bernama Ki Tambak Wedi. Di sana mereka akan bertemu dalam
kepentingan yang bersamaan, melawan Untara dan menolak kekuasaannya.
Sikap itu berarti melawan terhadap kekuasaan Pajang. Maka Ki Tambak Wedi
dan segala pengikutnya kemudian dapat dianggap sebagai suatu
pemberontakan, di samping Sanakeling dan pengikutnya yang masih ada.
Semuanya itu harus masuk di dalam
hitungannya. Karena itu apa bila persoalan Sumangkar dan sebagian dari
orang-orang Jipang, yang memenuhi panggilannya ini sudah selesai, maka
Untara akan segera menghadapi tugas baru: Ki Tambak Wedi.
Malam itu tak ada persoalan yang
menghambat pembicaraan di antara mereka. Untara tidak berbuat
sewenang-wenang karena kemenangannya, sedang Sumangkar tidak banyak
menuntut hal-hal yang tidak mungkin bagi orang-orangnya. Masing-masing
rnencoba menempatkan dirinya pada sikap yang sebaik-baiknya tanpa
meninggalkan tugas yang harus diselesaikan. Sehingga dengan demikian,
maka pembicaraan itu pun segera berakhir.
“Apabila tidak ada syarat-syarat yang
harus aku lakukan lagi Ngger,” berkata Sumangkar kemudian, “maka
ijinkanlah aku meninggalkan banjar desa ini. Kami bersama-sama akan
memasuki tempat yang telah Angger tentukan tanpa bersenjata.
Senjata-senjata kami akan sudah kami kumpulkan di tempat yang Angger
kehendaki. Kami percaya kepada Angger Untara, bahwa nasib kami berada di
dalam lindungan Angger. Angger pasti tidak akan khilaf seandainya ada
anak buah Angger yang tidak dapat melihat kenyataan seperti yang Angger
kehendaki, sehingga akan timbul kemungkinan-kemungkinan yang tidak kami
inginkan.”
“Aku berjanji Paman,” sahut Untara. “Aku akan mencoba sejauh-jauhnya, bahwa tidak akan ada perlakuan di luar kehendakku.”
“Namun ada satu hal yang tidak dapat aku
lakukan di saat-saat yang Angger kehendaki itu. Tongkat baja putih ini
tidak akan dapat aku kumpulkan bersama dengan senjata-senjata
orang-orang Jipang itu. Aku tidak akan sampai hati melihatnya. Senjata
ini adalah senjata ciri kebesaran perguruanku.”
Untara mengerutkan keningnya. Sesaat ia
berdiam diri, namun kemudian ia berkata, “Jadi apakah Paman menghendaki
suatu perkecualian?”
Sumangkar mengangguk, “Ya, Ngger.”
“Paman akan tetap menggenggam senjata
itu?” bertanya Untara. “Apakah masih ada keragu-raguan di dalam hati
Paman terhadap maksud baik itu?”
Sumangkar menggeleng, “Tidak Ngger. Aku
tidak berprasangka. Dan aku tidak ingin tetap memegang senjata itu.”
Sumangkar berhenti sejenak, kemudian dengan nada yang dalam ia berkata,
“Aku ingin menyerahkannya lebih dahulu Ngger, supaya senjataku itu tidak
teronggok dalam satu kumpulan dengan senjata-senjata yang lain. Senjata
para prajurit Jipang itu.”
“Maksud Paman?” Untara menegaskan.
“Senjata ini akan aku tinggalkan di sini
sekarang Ngger. Kalau Angger atau salah seorang dari anak buah Angger
sempat memungut senjata Tohpati, maka alangkah baiknya kalau kedua
senjata itu disimpan bersama. Atau kalau Angger tidak ingin melihatnya
setiap saat, maka sebaiknya senjata itu dilarung saja ke laut.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Terasa juga sesuatu berdesir di dalam dadanya. Terasa betapa beratnya
orang tua itu akan melepaskan senjatanya. Sudah tentu ia tidak akan
dapat melihat senjata ciri kebesaran perguruannya itu tergolek di antara
puluhan senjata yang berserakan. Karena itu, maka dengan penuh
pengertian Untara berkata, “Paman, biarlah aku mencoba menyimpan senjata
itu. Aku akan menyimpannya sebagai suatu senjata pusaka yang berharga.
Ketahuilah bahwa senjata Kakang Tohpati itu sekarang ada di dalam
simpananku pula.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian tampak betapa muram sinar matanya ketika ia
mengamat-amati senjatanya. Senjata yang diterima dari gurunya dahulu
bersama Patih Mantahun. Kini senjata itu harus terpisah darinya. Tetapi
ia tidak dapat mengingkarinya. Ia yakin bahwa apa yang dilakukan
sekarang ini mempunyai nilai-nilai kemanusiaan yang berharga bagi
orang-orang Jipang, sehingga pengorbanannya itu pasti akan bermanfaat
bagi mereka.
Kemudian dengan parau. Sumangkar berkata, “Aku akan menyerahkannya sekarang.”
Untara mengangguk sambil menjawab, “Baik paman.”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam.
Apabila darahnya masih sepanas darah di waktu mudanya, maka mati bersama
dengan hilangnya senjata itu pasti akan dilakukan. Tetapi kini ia telah
menjadi tua. Bukan ketuaannya itulah yang telah menyeretnya ke dalam
keputus-asaan. Tetapi dengan umurnya yang sudah semakin banyak,
Sumangkar makin menyadari nilai-nilai nyawa seseorang dibandingkan
dengan nilai benda-benda yang dikeramatkannya. Di belakangnya
berpuluh-puluh jiwa akan dapat dibebaskannya dari ketakutan, kecemasan
dan hidup tanpa arti. Mereka akan terlepas pula dari
kesempatan-kesempatan yang akan menjerumuskan mereka semakin dalam ke
lingkungan yang sebenarnya harus disirik. Kebiadaban, kekasaran,
kekejaman dan tindakan-tindakan sejenis.
Malam itu Sumangkar meninggalkan Sangkal
Putung seorang diri tanpa tongkat baja putihnya. Betapa berat hatinya,
namun semuanya itu telah bulat dikehendakinya. Ia ingin melihat
kehidupan yang damai dan tenteram di seluruh daerah Demak lama.

Untara segera menyadari keterangan itu.
Senapati muda itu dapat menangkap maksud Widura. Dengan keterangan itu
Widura ingin memperingatkan Untara, bahwa mungkin ia akan berhadapan
dengan tugas baru yang cukup berat. Bahkan mungkin tidak kalah beratnya
dengan tugas yang sedang diembannya kini.
Sejenak ruangan itu menjadi sunyi.
Masing-masing sibuk dengan angan-angan sendiri. Kiai Gringsing duduk
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah ia sedang menikmati
suatu cerita yang mengasyikkan. Untara sibuk meraba-raba janggutnya yang
belum sempat dipotongnya. Janggut yang terlampau jarang untuk
dipelihara, sehingga lebih baik baginya untuk dipotongnya licin-licin.
Sedang Widura duduk sambil terpekur, seolah-olah lagi menghitung
jari-jari di tangannya.
Di luar ruangan itu, di pendapa banjar
desa, masih terdengar rintih kesakitan. Beberapa orang di antara mereka
terdengar mengeluh tak habis-habisnya karena pedih-pedih lukanya.
Tiba-tiba Kiai Gringsing tersadar. Naluri
dukunnya tiba-tiba menjalari dadanya. Dengan serta-merta ia beringsut
sambil berkata, “Ah. Aku mohon diri sejenak Ngger. Barangkali lebih baik
bagiku mengobati orang-orang yang terluka itu daripada duduk di sini.”
Untara mengangguk sambil menjawab, “Baik
Kiai. Tetapi nanti aku mengharap Kiai apabila sempat secepatnya datang
kembali ke ruang ini.”
“Ya. Ya,” sahut Kiai Gringsing sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Segera aku datang kembali.”
Sepeninggal Kiai Gringsing Untara dan
Widura berbincang kembali tentang pelaksanaan penerimaan orang-orang
Jipang. Untara tahu benar, bahwa orang-orang mereka, yang langsung
berhadapan dan bertempur melawan orang-orang Jipang itu, sangat sulit
untuk melepaskan perasaan permusuham yang sudah tertanam dalam-dalam di
hati mereka.
Karena itu tiba-tiba Untara berkata,
“Paman Widura, aku akan mengirim utusan ke Pajang. Aku akan minta
beberapa orang prajurit langsung di bawah pimpinan perwira-perwira
tertinggi wira tamtama untuk menerima langsung orang Jipang itu. Dengan
demikian maka aku mengharap, tidak akan terjadi sesuatu yang tidak kita
kehendaki bersama. Mungkin Ki Gede Pemanahan sendiri berkenan menerima
orang-orang yang sadar itu kembali. Mungkin Ki Penjawi atau Mas Ngabehi
Loring Pasar. Meskipun anak itu masih terlampau muda, namun ternyata ia
telah mengejutkan hampir seluruh prajurit Pajang dan Jipang. Setelah ia
berhasil melawan Arya Penangsang.”
Widura mengerutkan keningnya. Ia adalah
senapati yang bertanggung jawab di Sangkal Putung. Apakah tugas untuk
menerima orang-orang Jipang itu harus dilepaskannya? Karena itu sejenak
ia berdiam diri.
Untara melihat sikap Widura dengan penuh
pengertian. Karena itu ia berkata, “Paman, hal ini sama sekali bukan
karena aku tidak percaya kepada para prajurit yang ada di Sangkal
Putung, tetapi sekedar mancegah perasaan-perasaan yang kurang terkendali
menghadapi peristiwa yang sulit ini.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Betapapun, maka ia tidak dapat membantah, seandainya Untara menjatuhkan
perintah sebagai seorang senapati atasannya. Karena itu maka katanya,
“Terserah kepadamu Untara. Kita bersama-sama menghendaki segalanya
menjadi baik.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih juga berkata, “Aku mengharap Paman dapat mengerti.”
“Ya. Aku dapat mengerti.”
Kembali mereka terdiam sejenak. Di
kejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Lamat-lamat menggema
di malam yang gelap suara kentongan dara muluk di gardu peronda, yang
kemudian sahut-menyahut dari ujung ke ujung kademangan.
Sejenak kemudian Untara itu pun berkata,
“Aku kira semuanya sudah dapat direncanakan dengan tertib Paman. Besok
pagi-pagi utusanku akan berangkat ke Pajang.”
Widura mengangguk, katanya, “Baik. Aku harap tak akan ada kesulitan lagi.”
Untara dan Widura itu pun kemudian
meninggalkan ruangan itu. Kembali mereka berjalan berkeliling di antara
orang yang terluka. Sebagian dari mereka telah dapat memejamkan mata
mereka, namun sebagian yang lain masih terbaring dengan geli-sahnya. Ki
Tanu Metir pun ternyata telah sibuk pula, mencoba meringankan
penderitaan mereka yang terluka parah. Dengan segenap pengetahuan dan
kemampuannya ia bekerja.
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka
Untara dan Widura yang tidak kalah lelahnya, bahkan mungkin melampaui
setiap orang yang berada di banjar desa itu pun mencoba beristirahat
pula. Juga Agung Sedayu telah berbaring di antara para prajurit Pajang
yang melepaskan lelah mereka. Ada yang tidak sempat membersihkan
dirinya. Begitu mereka selesai makan dan minum, begitu mereka merebahkan
diri mereka, masih dalam pakaian tempur mereka. Namun ada juga yang
sempat membersihkan diri, berganti pakaian, menyisir rambut kemudian
duduk sambil bercakap-cakap dengan beberapa kawan-kawan yang lain.
Namun malam berjalan menurut iramanya sendiri. Ajeg seperti malam-malam yang lampau.
Ketika fajar pecah, maka cerahlah
padukuhan Sangkal Putung. Para pengungsi telah merayap kembali ke rumah
masing-masing. Beberapa anak-anak muda Sangkal Putung dengan bangga
mengatakan bahwa Sangkal Putung untuk seterusnya telah menjadi jauh
lebih aman. Tohpati telah terbunuh.
Riuhlah berita itu mengumandang di
segenap sudut Kademangan Sangkal Putung. Riuh pulalah orang
menyebut-nyebut nama Untara. Ternyata pula kemudian bahwa yang dapat
membunuh Tohpati adalah Untara. Bukan orang lain.
Tetapi tak seorang pun yang
memperhatikan, ketika dua ekor kuda meluncur seperti anak panah
meninggalkan kademangan itu. Mereka adalah utusan Untara untuk
menyampaikan pesannya kepada Ki Ageng Pemanahan mengenai kebijaksanaan
terakhir yang ditempuhnya, namun juga mengenai seorang prajurit yang
bernama Sidanti dan gurunya Ki Tambak Wedi.
Di samping kematian Tohpati yang menjadi
pembicaraan segenap penduduk Sangkal Putung, bagi para prajurit Pajang
dan anak-anak muda Sangkal Putung, ada pula bahan pembicaraan yang tidak
kalah hangatnya. Yaitu tentang orang-orang Jipang. Baik orang-orang
Jipang yang terluka, maupun orang-orang lain yang akan menyerah. Para
prajurit itu sibuk berbincang tentang janji pengampunan yang diberikan
oleh Untara.
Beberapa orang prajurit menanggapi janji
pengampunan itu dengan wajah yang tegang. Salah seorang dari mereka
berkata, “Aku tidak mengerti, kenapa Ki Untara melontarkan janji itu. Ki
Untara sendiri ikut dalam peperangan yang terakhir bahkan ia telah
membunuh Macan kepatihan. Apakah hal ini tidak merendahkan harga
dirinya?”
“Aku juga tidak mengerti,” sahut yang
lain. “Kalau janji itu keluar dari orang yang tidak pernah melihat
sendiri ajang peperangan maka hal itu mungkin sekali karena ia tidak
tahu betapa banyaknya korban dan betapa panasnya hati. Tetapi Untara
adalah seorang perwira Wira Tamtama yang langsung menangani peperangan.
la sendiri pernah hangus dibakar oleh api peperangan. Bahkan nyawanya
hampir tak dapat di selamatkan meskipun akibat tusukan senjata Sidanti.”
“Untara benar-benar seperti seorang
senapati yang mendem cubung,” desis yang lain. “Aku tak dapat menerima
sikapnya. Apabila kelak orang-orang Jipang itu benar-benar datang, maka
aku akan membunuh mereka.”
Percakapan itu berhenti ketika mereka
melihat Agung Sedayu datang kepada mereka. Meskipun tidak sengaja, namun
ternyata Agung Sedayu telah memutuskan pembicaraan tentang orang-orang
Jipang.
“Apakah kalian telah melihat Adi Swandaru?” bertanya Agung Sedayu.
Para prajurit itu menggeleng, “Belum, kami belum melihatnya,” sahut salah seorang dari mereka.
“Mungkin ia belum datang ke mari,” berkata yang lain. “Semalam putera Ki Demang itu pulang ke kademangan.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Biarlah aku mencarinya ke kademangan.”
Agung Sedayu pun segera pergi ke
kademangan. Ia ingin bertemu dengan Swandaru untuk menyampaikan pesan
Untara. Untara ingin memperbincangkan masalah orang-orang Jipang dengan
para pemimpin Sangkal Putung. Supaya tidak terjadi salah paham, maka
yang pertama-pertama dikehendaki oleh Untara dan Widura adalah Ki Demang
Sangkal Putung dan Swandaru Geni. Apabila keduanya dapat mengerti
pendirian itu, maka diharap bahwa seluruh penduduk Sangkal Putung pun
akan menerima kehadiran orang-orang Jipang itu sebagai suatu kewajaran.
Sebab orang-orang Jipang itu tidak akan terlalu lama berada di Sangkal
Putung. Mereka segera akan di bawa ke Pajang. Untuk seterusnya
diserahkan kepada kebijaksanaan para pemimpin Pajang.
Namun tidak mudah untuk menjelaskan
pendirian itu kepada Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru Geni. Ketika
Agung Sedayu itu datang dengan orang Jipang yang terluka, maka dengan
serta-merta Swandaru telah mengemukakan pendiriannya. Menolak kehadiran
orang itu, apabila Agung Sedayu tidak mengatakannya bahwa apa yang
dilakukan itu atas perintah Kiai Gringsing. Tetapi terhadap keputusan
untuk mengampuni orang-orang Jipang yang jumlahnya tidak hanya satu atau
dua, bahkan tidak hanya sepuluh atau dua puluh, maka untuk
meyakinkannya, sehingga anak muda itu dapat menerima pendirian Untara,
bukanlah pekerjaan yang mudah.
Meskipun demikian, maka Untara dan Widura
harus mencobanya. Kalau mereka gagal, maka harus ditempuh cara yang
lain. Cara yang tidak bertentangan dengan keputusan bersama dengan
Sumangkar, namun tidak melukai hati rakyat Sangkal Putung yang selama
ini telah membantu prajurit Pajang dengan gigihnya.
Ketika Agung Sedayu sampai di Sangkal
Putung, maka yang pertama-pertama menemuinya di muka regol adalah Sekar
Mirah. Gadis yang berwajah riang itu menyambutnya sambil tersenyum. Baru
sehari kemarin mereka tidak bertemu, tetapi rasa-rasanya telah
berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
“Kau tidak segera datang ke kademangan, Kakang,” berkata Sekar Mirah.
“Aku masih terlalu sibuk, Mirah”
“Semalam Kakang Swandaru telah dapat tidur mendengkur di rumah. Apakah kau tidak dapat datang bersama Kakang Swandaru?”
“Adi Swandaru pergi tanpa mengajakku. Aku kira adi Swandaru pun masih berada di banjar bersama anak-anak muda yang lain.”
“Ah,” desah Sekar Mirah, “kau mengada-ada.”
Agung Sedayu tersenyum. Ia tidak menjawab lagi. Langsung ia berjalan ke pendapa, menemui Ki Demang Sangkal Putung.
“Apakah Ki Demang ada di rumah?” bertanya Agung Sedayu.
“Kenapa kau cari ayah?”
“Aku memerlukannya atas pesan Kakang Untara.”
“Kenapa kau tidak mencari aku?”
“Ah,” Agung sedayu menarik nafas, “aku juga mencarimu, Mirah. Tetapi aku juga ingin menyampaikan pesan Kakang Untara.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba berkata, “Kenapa kakakmu itu tidak saja datang sendiri kemari?
Kalau kakakmu semalam datang kemari selagi kademangan ini masih
dipenuhi oleh para pengungsi, maka aku kira kademangan ini akan runtuh
karena pujian yang akan diterimanya. Betapa rakyat Sangkal Putung
berterima kasih kepadanya, karena Kakang Untara telah berhasil membunuh
Macan Kepatihan.”
Agung sedayu tidak segera menjawab. Tetapi dahinya tampak berkerut.
“Kakang Sedayu,” berkata Sekar Mirah,
“biarlah kakakmu itu datang sendiri kemari. Biarlah ia menerima
kehormatan yang layak karena jasanya.”
“Penghormatan apa yang kau maksud? Apakah
orang-orang Sangkal Putung akan berbaris sambil meneriakkan terima
kasih mereka di hadapan Kakang Untara?”
Sekar Mirah tersenyum mendengar
pertanyaan itu. Tetapi ia menjawab, “Kalau Kakang Untara datang tadi
malam maka hal yang demikian itu pasti akan terjadi. Semua orang pasti
akan memberikan salam sebagai pernyataan terima kasih mereka. Satu demi
satu. Bahkan mereka yang tidak sempat mendapat sambutan tangan, pasti
akan puas dengan menyentuh bagian-bagian tubuh Untara. Bahkan ujung
kainnya sekalipun.”
“Ah, terlampau berlebih-lebihan,” sahut Agung Sedayu.
“Rakyat Sangkal putung adalah rakyat yang
mengenal rasa terima kasih. Apakah Kakang Agung Sedayu tidak ingat
lagi, ketika Kakang Agung Sedayu baru saja datang di kademangan ini?
Ketika Kakang Sedayu pergi ke warung di ujung desa? Bukankah hampir
setiap orang laki-laki datang memberi Kakang salam sebagai pernyataan
terima kasih mereka?”
Agung sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Ya,” namun nada suaranya terlampau dalam. Terkenang olehnya,
betapa ia menjadi cemas dan ketakutan ketika Sidanti datang
mengancamnya. Betapa ia menjadi hampir pingsan karenanya.
“Nah,” berkata Sekar Mirah, “sekarang
Kakang Agung Sedayu sebaiknya memanggil Kakang Untara. Kami harus
mengadakan upacara kemenangan.”
“Tetapi tidak dalam waktu yang singkat ini. Kini Kakang Untara masih menghadapi tugas yang cukup berat.”
“Bukankah Macan Kepatihan telah mati?”
“Macan Kepatihan memang telah mati.
Tetapi masih banyak persoalan yang harus dihadapi. Yang mati adalah
seorang saja dari sekian banyak pemimpin prajurit Jipang.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya.
Katanya, “Jadi, maksud Kakang, bahwa suatu ketika di Sangkal Putung
masih mungkin ada pertempuran lagi?”
Agung sedayu menganggukkan kepadanya.
“Oh,” wajah Sekar Mirah menjadi buram. “Aku kira kita semua telah bebas dari segala bentuk peperangan.”
“Tetapi bahaya yang sebenarnya telah
menjadi jauh lebih kecil dari masa-masa yang lalu. Namun Kakang Untara
kini menghadapi persoalan yang lain, yang apabila kurang hati-hati, akan
dapat berkembang pula menjadi semakin besar.”
“Soal apakah itu?”
“Sidanti.”
Terasa bulu-bulu tengkuk Sekar Mirah
menjadi tegak. Nama itu benar-benar mencemaskannya. Jauh lebih
menakutkan dari Macan Kepatihan. Sebab disadarinya, bahwa Sidanti
berkepentingan langsung dengan dirinya. Karena itu, maka wajah gadis itu
pun menjadi bertambah buram. “Apakah Sidanti cukup berbahaya? Bukankah
ia hanya seorang diri?”
Sedayu menyesal, bahwa ia telah menyebut
nama itu. Dengan demikian ia telah membuat hati Sekar Mirah menjadi
cemas. Karena itu maka dijawabnya untuk menenteramkan hati gadis itu,
“Jangan cemas. Sidanti hanya seorang diri. Di Sangkal Putung, ada
beberapa orang yang sanggup melawannya. Kakang Untara, paman Widura dan
kini kakakmu Swandaru pun tidak lagi dapat ditamparnya tanpa
perlawanan.”
Dahi Sekar Mirah masih berkerut, katanya, “Tetapi aku dengar guru Sidanti adalah seorang hantu yang sakti.”
“Jangan kau cemaskan pula” sahut Sedayu, “guru kakakmu pun melampaui kesaktian hantu.”
Sekar Mirah terdiam. Tetapi wajahnya masih juga memancarkan kecemasan hatinya.
“Sekarang, di mana ayahmu?” bertanya Agung Sedayu.
“Di dalam. Apakah Kakang Sedayu akan menemuinya?”
“Ya,” sahut Sedayu
“Aku tidak mau memanggilkan untukmu.”
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Tetapi carilah sendiri.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya, “Sekali ini Kakang Untara mempunyai keperluan yang
penting. Aku agak tergesa-gesa.”
“Urusanku adalah menyediakan makanan buat kalian. Kalau kau tergesa-gesa mau makan, makanlah. Aku sudah sedia.”
“Tolong, panggil ayahmu.”
“Kakang Sedayu setiap kali pasti hanya
akan memberikan beberapa perintah. Sesudah itu pergi lagi. Kau tidak
pernah menyediakan waktu untuk beristirahat untuk berjalan-jalan
menikmati senja di kademangan ini atau melihat-lihat sawah yang hijau.”
“Masa ini adalah masa berprihatin, Mirah.
Kalau semuanya telah lampau, maka aku pasti akan berjalan-jalan melihat
isi kademangan ini atau pergi ke sawah, tidak saja untuk melihat-lihat,
tetapi aku pandai pula membajak dan menyebar bibit.”
“Omong kosong,” sahut Sekar Mirah. “Dalam keadaan yang serupa, Sidanti dapat menyisihkan waktunya untuk itu.”
Terasa dada Agung Sedayu berdesir.
Wajahnya pun tiba-tiba berubah. Dan tiba-tiba pula ia menjawab, “Itulah
bedanya. Beda antara Agung Sedayu dan Sidanti. Mungkin Sidanti dapat
menemanimu berjalan-jalan di sepanjang pematang dalam keadaan yang
bagaimanapun juga. Tetapi Agung Sedayu tidak.”
Sekar Mirah terkejut mendengar jawaban
itu. Terasa bahwa kata-katanya telah terdorong terlampau jauh. Karena
itu maka katanya, “Maksudku, bahwa apabila diperlukan waktu itu dapat
diluangkan. Kalau aku menyebut Sidanti, karena Sidanti ternyata dapat
juga menyediakan waktu untuk itu.”
“Mudah-mudahan lain kali aku juga bisa,”
sahut Sedayu. “Tetapi di mana ayahmu? Aku tergesa-gesa. Mungkin Sidanti
tidak pernah berbuat seperti aku, sebab ia acuh tak acuh saja mengenai
perkembangan dan kemajuan keadaan di Sangkal Putung.”
Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Ia tidak
menjawab pertanyaan Agung Sedayu. Tetapi dengan tergesa-gesa ia
melangkah pergi. Tidak masuk ke dalam rumahnya, tetapi justru keluar
regol halaman.
Agung Sedayu sedianya tidak dapat berkata sesuatu. Namun kemudian ia mencoba memanggil, “Mirah. Mirah.”
Sekar Mirah berpaling. Tetapi ia tidak
berhenti. Agung Sedayu hanya mendengar gadis itu berkata, “Aku akan
pergi ke warung di ujung desa.”
“Bagaimana dengan Ki Demang ?”
“Masuklah,” jawabnya. “Katakanlah sendiri kepadanya.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Gadis itu memang terlampau manja. Sambil menggelengkan kepalanya Agung
Sedayu berdesis, “Terlalu anak itu.”
Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut
ketika ia mendengar suara tertawa berderai. Ketika ia berpaling,
dilihatnya Swandaru berdiri bertolak pinggang di samping pendapa.
Sekali lagi Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
“Kenapa dengan anak itu?” bertanya Swandaru.
“Tidak apa-apa,” sahut Agung Sedayu.
Tetapi suara tertawa Swandaru menjadi semakin keras. Katanya, “Kau marah kepadanya?”
“Terlalu adikmu itu,” desah Agung Sedayu.
“Begitulah tabiatnya. Jangan kaget,” sahut Swandaru.
Agung Sedayu tidak menyahut kata-kata itu, tetapi ia bertanya, “Dimana Ki Demang?”
“Di dalam, bukankah Sekar Mirah juga menjawab begitu?”
“Ya,” sahut Agung Sedayu, “aku ingin bertemu.”
“Marilah.”
Keduanya kemudian menaiki pendapa dan
masuk ke pringgitan. Pringgitan itu sama sekali masih seperti malam
kemarin ketika ia tidur di situ bersama paman dan kakaknya. Sejenak
kemudian Ki Demang pun segera keluar dari ruang dalam. Sambil
tersenyum orang tua itu duduk di samping Agung Sedayu.
“Apakah Angger Untara belum sempat kembali ke kademangan?” bertanya Ki Demang.
“Belum hari ini, Ki Demang,” jawab Sedayu. “Mungkin besok atau lusa.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya pula, “Apakah masih ada hal yang penting di banjar desa?”
“Orang-orang Jipang yang terluka itu Ki Demang.”
“Hem,” Demang Sangkal Putung itu menarik
nafas dalam-dalam. “Angger Untara memang mencari kesulitan dengan
orang-orang Jipang itu. Seperti bujang mencari momongan. Kenapa tidak
dibiarkannya saja orang-orang Jipang itu? Biarlah kawan-kawannya sendiri
yang memelihara mereka. Dengan demikian pekerjaan Angger Untara tidak
menjadi bertambah-tambah. Kini Angger Untara harus mengawasi sendiri
orang-orang Jipang itu supaya mereka tidak mengkhianati kita. Tetapi
juga supaya mereka tidak dibunuh oleh prajurit Pajang sendiri.”
Sebelum Agung Sedayu menjawab, Swandaru berkata, “Kalau bukan orang Pajang, orang Sangkal Putung-lah yang akan membunuh mereka.”
Sedayu terkejut mendengar jawaban Ki
Demang Sangkal Putung, apalagi Swandaru. Ia sama sekali tidak menyangka
bahwa ia akan mendengar jawaban serupa itu. Dahulu pada saat ia
pertama-tama menginjakkan kakinya di kademangan ini, maka yang mula-mula
ditemuinya adalah Ki Demang itu. Dari mulut Ki Demang ia mendengar,
betapa orang tua itu mengutuk perang dan segala macam akibatnya. Kini
tiba-tiba sikapnya menjadi terlampau keras menghadapi lawan.
Tetapi Agung Sedayu mencoba untuk
mengerti dan memahami jawaban itu. Selama ini Sangkal Putung benar-benar
mengalami tekanan yang luar biasa kerasnya dari orang Jipang. Hampir
setiap hari orang-orang Sangkal Putung selalu diburu oleh kecemasan,
ketakutan dan kegelisahan. Setiap hari orang-orang Sangkal Putung selalu
dibakar oleh kemarahan yang menyala-nyala di dalam dada mereka. Setiap
anak muda Sangkal Putung setiap hari selalu bersiap sedia menghadapi
segala kemungkinan, bahkan kemungkinan yang paling pahit sekalipun.
Ki Demang Sangkal Putung adalah seorang
Demang yang dekat sekali dengan hati rakyatnya. Setiap hari ia mendengar
apa yang mereka percakapkan. Setiap hari Ki Demang ikut merasakan
apakah yang mereka cemaskan. Itulah sebabnya, maka semuanya itu telah
merubah sedikit demi sedikit tanggapan Ki Demang Sangkal Putung atas
kekerasan yang dihadapinya. Setiap hari ia selalu didorong untuk
menyadari bahwa untuk menyelamatkan Sangkal Putung dari kekerasan
orang-orang Jipang, maka Sangkal Putung perlu mempergunakan kekuatan dan
kekerasan.
Sehingga akhirnya, Ki Demang itu
terdorong semakin jauh ke dalam sikapnya yang sekarang. Betapa ia setiap
hari menjadi semakin membenci orang-orang Jipang, sumber dari segala
macam kegelisahan, kecemasan dan ketakutan.
Tetapi Agung Sedayu tidak boleh hanyut
pula ke dalam sikap yang demikian. Ia sejak semula sependapat dengan
sikap kakaknya. Sudah tentu mereka tidak akan dapat membiarkan
orang-orang Jipang yang terluka terbaring di padang-padang rumput atau
di pategalan yang kering sampai mereka mati dengan sendirinya. Perbuatan
yang demikian adalah perbuatan yang melanggar perikemanusiaan. Sejak ia
berada di Sangkal Putung, para prajurit Pajang selalu bersikap jantan
terhadap lawan-lawan mereka yang terluka. Namun kali ini agaknya telah
menjadi jauh berbeda. Korban yang cukup banyak di pihak Pajang sendiri,
telah mendorong orang-orang Pajang untuk menjadi bertambah membenci dan
mendendam.
Apalagi anak-anak muda dan orang-orang Sangkal Putung. Mereka setiap saat merasa terancam nyawa dan miliknya.
Meskipun demikian Agung Sedayu tidak
berani menyampaikan persoalan itu kepada Ki Demang. “Biarlah Kakang
Untara sendiri yang mengatakannya,” katanya dalam hati. Sehingga yang
terloncat dari bibirnya adalah, “Ki Demang, Kakang Untara kini tidak
dapat meninggalkan banjar desa. Mungkin sampai besok atau lusa. Tetapi
Kakang Untara sangat ingin bertemu dengan Ki Demang. Apakah Ki Demang
dapat pergi ke banjar desa?”
Ki Demang Sangkal Putung mengerutkan
keningnya mendengar pertanyaan itu. Namun ia menyadari, bahwa meskipun
bagi Sangkal Putung ia adalah seorang pemimpin tertinggi, tetapi Untara
adalah seorang senapati dari Pajang, yang bahkan mempunyai kedudukan
lebih tinggi dari Widura, penguasa Pajang di daerah Sangkal Putung.
Dalam keadaan seperti saat itu, di mana Sangkal Putung diliputi oleh
suasana perang, maka kedudukan penguasa prajurit adalah melampui
kekuasaan demang itu sendiri.
Karena itu, maka permintaan Untara itu sebenarnya adalah perintah baginya, bahwa ia harus datang ke banjar desa.
Ki Demang itu pun kemudian menjawab,
“Baiklah Ngger. Aku akan segera datang ke banjar desa, setelah aku
menyelesaikan pekerjaanku di sini. Tetapi apakah kira-kira keperluan
Angger Untara memanggil aku?”
Agung sedayu ragu-ragu sesaat. Tetapi ia
tidak berani mendahului kakaknya. Maka jawabnya, “Aku kurang tahu,
Paman. Tetapi menurut pesan Kakang Untara, Ki Demang dan Adi Swandaru
diharap menemuinya di banjar desa.
“Baiklah,” sahut Ki Demang kemudian, “aku akan segera pergi, setelah aku menyelesaikan beberapa pekerjaan di sini.”
Agung Sedayu pun kemudian mohon diri
mendahului bersama Swandaru Geni. Mereka bersama ingin juga bertemu
dengan guru mereka. Mungkin ada rencana yang harus mereka lakukan hari
itu.
Di halaman mereka bertemu dengan Sekar
Mirah. Gadis itu sama sekali tidak pergi ke warung. Sehingga karena itu
maka Agung sedayu berkata, “Mirah, ternyata kau tidak pergi ke warung.”
Sekar Mirah mencibirkan bibirnya. Jawabnya, “Tidak. Aku memang tidak ke warung.”
“Tetapi kau bilang, bahwa kau akan pergi ke warung.”
“Tak ada kawan yang mengantarkan aku,” jawabnya.

“Siapa bilang? Siapa bilang?” sahut Sekar Mirah cepat-cepat.
Swandaru masih tertawa, katanya
seterusnya, “Itu pun kau belum berterus terang. Seharusnya kau berkata
kepada Kakang Agung Sedayu untuk mengantarkanmu berjalan-jalan. Tidak ke
warung atau ke mana saja.”
“Bohong! Bohong!” teriak Sekar Mirah.
Swandaru tertawa puas. Tetapi Agung Sedayu berdesis, “Kau selalu mengada-ada Adi Swandaru.”
Tapi Swandaru itu pun kemudian terpekik kecil ketika Sekar Mirah mencubit lengannya.
“Awas kau Kakang Swandaru. Aku tidak mau menyisihkan brutu ayam untukmu lagi.”
“Oh,” Swandaru itu pun tiba-tiba seperti teringat sesuatu. Ditariknya lengan Agung Sedayu dengan tergesa-gesa. “Mari ikut aku.”
“Kemana?” bertanya Agung Sedayu.
Swandaru tidak menjawab, tetapi ditariknya saja tangan Agung Sedayu.
“Mau kemana kalian?” bertanya Sekar Mirah.
Swandaru tidak juga menjawab. Bahkan ditariknya Agung Sedayu semakin cepat.
“Kemana?” sekali lagi Agung Sedayu bertanya.
Namun Swandaru masih saja berdiam diri.
Tetapi Agung Sedayu kemudian mengerti dengan sendirinya maksud Swandaru
itu. Mereka berdua ternyata hilang di balik pintu dapur.
“Kau pasti belum makan. Nah, daripada kau menunggu rangsum dikirim ke banjar desa, ayo, aku pun belum makan.”
Agung Sedayu menjadi tersipu-sipu ketika
ia melihat ibu Swandaru, Nyai Demang Sangkal Putung. “Marilah Ngger,
makanlah,” ia mempersilahkan.
“Jangan malu-malu,” desis Swandaru yang segera membuka tenong. “Di mana brutu ayamku?”
Yang datang kemudian sambil berlari-lari adalah Sekar Mirah. Masih di pintu ia berteriak, “Jangan ditunjukkan.”
Tetapi Sekar Mirah menjadi kecewa, sebab Swandaru telah menggenggam sepotong brutu goreng.
“Setan,” desah Sekar Mirah. “Kau tahu juga tempatnya.”
Swandaru tidak menjawab. Tetapi tangannya
telah memegang semangkuk nasi. Dituangkannya seirus sayur ke dalamnya
dan dengan lahapnya ia mulai mengunyah sesuap demi sesuap.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat
seperti Swandaru yang berada di rumah sendiri. Ia masih saja duduk
sambil mengawasi saudara seperguruannya itu makan. Alangkah enaknya.
Karena itulah maka tubuh Swandaru dapat menjadi gemuk bulat seperti
telur raksasa.
“Silahkan Ngger,” ibu Swandaru
mempersilahkan. “Mirah,” katanya kepada anak gadisnya, “kenapa kau tidak
segera mempersilahkan Kakangmu Agung Sedayu makan. Ambillah mangkok dan
layanilah.”
Sambil bersungut-sungut Sekar Mirah
melakukan perintah ibunya. Namun dengan sengaja dituangkannya sayur
lombok banyak-banyak ke dalam mangkuk Agung Sedayu. Sehingga ketika
Agung Sedayu mulai mengunyah peluhnya segera mengalir dari segenap
Iubang-lubang kulitnya. “Terlalu benar Sekar Mirah,” katanya di dalam
hati. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah katapun.
Ketika Swandaru melihat Agung Sedayu
kepedasan, maka kembali suara tertawanya berderai memenuhi dapur.
“Minumlah. Di tlundak itu ada kendi,” katanya.
Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia tidak segera berdiri.
Demikianlah setelah mereka selesai makan,
segera berdiri pergi ke banjar desa. Ternyata Swandaru tidak terlalu
lama menunggu ayahnya. Sejenak kemudian Ki Demang pun segera datang
pula.
Dipersilahkannya mereka berdua memasuki
ruangan dalam. Di dalam ruangan itu telah duduk menunggu Untara, Widura,
Ki Tanu Metir dan kemudian duduk pula bersama mereka, Agung Sedayu.
Sesaat Untara menjadi ragu-ragu untuk
mengatakan maksudnya. Apakah waktunya sudah tepat, apabila Ki Demang itu
diajaknya berbincang-bincang mengenai orang-orang Jipang? Tetapi Untara
tidak mempunyai waktu terlampau lama. Lima hari sejak pembicaraannya
dengan Sumangkar, segalanya harus sudah terlaksana. Semakin cepat bagi
Untara sebenamya semakin baik. Juga bagi Sumangkar, semakin cepat
semakin baik. Apabila Sumangkar harus menunggu terlampau lama, maka
segala kemungkinan dapat terjadi. Mungkin beberapa bagian dari
orang-orangnya berubah pendirian, mungkin mereka akan mengalami
kekurangan makan dan mungkin Sanakeling dengan orang-orang Ki Tambak
Wedi yang mendendam akan datang menghancurkan mereka.
Karena itu, maka dengan sangat hati-hati akhirnya Untara menyampaikan maksudnya pula.
Ki Demang Sangkal Putung mendengarkan
setiap kata-kata Untara dengan penuh perhatian. Sekali-sekali ia
mengangguk-anggukkan kepalanya, namum di saat lain wajahnya tampak
berkerut-kerut. Swandaru yang duduk di samping ayahnya tiba-tiba menjadi
gelisah.
“Jalan itu, bagiku adalah jalan yang
sebaik-baiknya, Ki Demang,” berkata Untara itu kemudian, “kecuali
sejalan dengan pesan Ki Ageng Pemanahan, maka cara itu adalah cara yang
paling hemat bagi kami. Korban akan dapat dibatasi, dan tugas kita pun
akan segera selesai.”
Yang pertama-tama menjawab adalah
Swandaru. “Kakang Untara, bukankah laskar Jipang itu telah
terpecah-belah? Apalagi sepeninggal Macan Kepatihan, tidak ada orang
yang dapat mengantikan kedudukannya. Bukankah dengan demikian kita akan
lebih mudah menghancurkannya dengan kekerasan? Mula-mula kita hancurkan
laskar Jipang yang bersembunyi di dalam hutan, kemudian kita datangi
padepokan Ki Tambak Wedi.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sareh ia menjawab, “Swandaru, kenapa mesti dengan kekerasan?”
“Kita berada di pihak yang kuat Kakang,”
sahut Swandaru, “kenapa kita mesti menerima persetujuan itu? Dengan
mengorbankan beberapa kemungkinan yang akan dapat mengangkat nama Kakang
Untara sendiri sebagai seorang senapati? Dengan menerima persetujuan
itu, seolah-olah kita tidak cukup mampu untuk menghancurkan sisa-sisa
laskar Jipang itu dengan kekerasan.”
“Ya,” Untara mengulangi, “kenapa mesti
dengan kekerasan? Adi Swandaru, yang penting bagi Pajang adalah
penyelesaian atas peristiwa antara Jipang dan Pajang. Apabila peristiwa
ini dapat diselesaikan dengan tanpa pertumpahan darah maka kenapa kita
mesti mempergunakan kekerasan?”
“Jadi apakah kita harus menyerah saja
terhadap orang-orang Jipang itu?” bertanya Swandaru. “Dengan demikian
kita akan menghindarkan pertumpahan darah.”
Untara menggigit bibirnya. Dengan cepat
Ki Demang Sangkal Putung berkata, “Maksudnya Ngger, maksud Swandaru,
kalau perlu kita harus berani mempergunakan kekerasan. Bukankah korban
telah banyak yang jatuh? Di saat-saat terakhir, ketika kita seakan-akan
tinggal menginjak kekuatan mereka di bawah telapak kaki kita, kita
menerima mereka dengan kedua belah tangan, seolah-olah kita harus
melupakan saja apa yang telah pernah terjadi?”
“Bukan begitu Ki Demang,” sahut Untara.
Sekilas ia memandangi wajah pamannya. Namun Widura menundukkan
kepalanya, seolah-olah sengaja ia menghindari tatapan mata Untara.
“Kita tidak membebaskan mereka dari
segenap tanggung jawab,” kata Untara kemudian, “tetapi kita menerima
orang-orang Jipang yang akan menyerah. Kita tidak membuat persetujuan
apapun, kecuali menerima penyerahan orang-orang Jipang itu. Kita tidak
membuat jaminan apa pun kepada mereka, kecuali janji untuk memperlakukan
mereka seperti seharusnya bagi prajurit-prajurit lawan yang menyerah.”
“Mereka tidak pernah berpikir sedemikian
baik, Ngger,” berkata Ki Demang. “Coba, apakah yang telah mereka lakukan
pada saat pertentangan ini meledak? Tanpa disangka-sangka, maka Sunan
Prawata terbunuh. Kemudian Pangeran Hadiri. Bahkan Adipati Adiwijaya
sendiri hampir-hampir terbunuh pula. Sesudah itu ratusan korban
berjatuhan.”
“Itulah bedanya, Ki Demang,” sahut
Untara. “Itulah bedanya. Orang-orang itu berbuat tanpa pengekangan diri,
seolah-olah mereka dapat melakukan apa saja sekehendak hatinya. Kita
adalah orang-orang yang beradab. Kita merasa bahwa perbuatan kita harus
kita pertanggungjawabkan. Tidak saja terhadap sesama manusia, tetapi
juga kepada Sumber kekuatan kita. Tuhan Yang Maha Esa.
“Namun demikian Ki Demang. Mereka yang
tidak mau menyerahkan dirinya dalam kesempatan ini seperti Sanakeling,
Alap-alap Jalatunda dan beberapa bagian dari laskarnya, maka mereka
pasti akan kita hancurkan. Hancur dalam pengertian yang
sebenar-benarnya.”
Ki Demang Sangkal Putung tidak menjawab.
Ketika Untara melihat wajahnya, Ki Demang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Mudah-mudahan Ki Demang dapat mengerti,” berkata Untara di
dalam hatinya. Namun yang bertanya kemudian adalah Swandaru. “Lalu
bagaimana sikap kita terhadap mereka yang menyerah? Apakah mereka kita
biarkan saja kembali ke tempat mereka, atau kita biarkan sekehendak hati
mereka, apa pun yang akan mereka lakukan?”
“Tentu tidak, Swandaru,” sahut Untara. “Mereka berada dalam pengawasan. Jasmaniah dan rohaniah.”
Sejenak ruangan itu menjadi sepi.
Masing-masing mencoba memandang persoalan itu menurut segi dan
kepentingan masing-masing. Namun terasa bahwa sebagian besar dari
pendirian Untara dapat dimengerti oleh Ki Demang Sangkal Putung.
Meskipun demikian, masih terdengar Swandaru berdesis, “Kita terlampau baik hati. Mereka suatu ketika akan menelan kita kembali.”
“Para perwira Wira Tamtama akan
memperhitungkan persoalan itu Swandaru,” sahut Untara. “Mudah-mudahan
hal itu tidak akan sempat terjadi.”
Kembali mereka yang duduk di ruangan itu
terdiam. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa berkata
sepatah katapun. Sekali-sekali orang tua itu memandang wajah Widura,
namun pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung itu masih menundukkan
kepalanya. Berbagai persoalan berkecamuk di dalam kepalanya. Meskipun
kemudian ia sependapat dengan Untara, bahwa apa yang dilakukan itu
setidak-tidaknya akan mengurangi pekerjaannya, namun telah terbayang di
dalam angan-angannya, suatu pekerjaan baru yang tidak kalah pentingnya.
Ki Tambak wedi, Sidanti, Sanakeling dan laskarnya.
Kemudian, ketika tidak ada persoalan yang
dibicarakan lagi mengenai dasar-dasar penyerahan orang-orang Jipang
itu, maka sampailah mereka pada perjalan pelaksanaan dari penyerahan.
Meskipun Ki Demang pada dasarnya dapat mengerti pikiran Untara, namun
bagaimanapun juga ia masih dihinggapi oleh berbagai keragu-raguan.
Karena itu maka ia berkata, “Angger Untara. Aku tidak berkeberatan
Sangkal Putung menjadi tempat menerima orang-orang Jipang itu, tetapi
tidak di induk Kademangan. Aku tidak dapat membayangkan, apakah rakyatku
akan dapat menahan luapan perasaannya melihat orang-orang Jipang yang
mereka anggap sumber dari segala macam bencana. Karena itu, aku minta
agar Angger menerima orang-orang Jipang itu tidak di induk Kademangan
ini. Aku menyediakan sabuah desa kecil. Benda, yang barangkali tepat
untuk melakukan penerimaan orang-orang Jipang itu.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sekali ia mengheIa nafas dalam-dalam. Namun ia pun dapat mengerti
keberatan Ki Demang Sangkal Putung. Bagaimanapun juga, Ki Demang masih
dibayangi oleh kecemasannya menghadapi orang-orang Jipang. Mungkin Ki
Demng masih mencemaskannya, apabila orang-orang Jipang itu tiba-tiba
mengamuk di induk Kademangan.
Karena itu maka segera Untara menjawab,
“Terima kasih Paman Demang. Di mana pun juga, maka pelaksanaan itu dapat
dilakukan. Namun aku masih ingin mengajukan parmintaan lain. Aku ingin
meminjam satu atau dua buah rumah untuk menampung orang-orang Jipang itu
sebelum mereka dibawa ke Pajang.”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Kemudian
jawabnya, “Baiklah Ngger. Aku akan menyediakan. Di Benda hanya ada
beberapa rumah yang agak besar. Dalam saat-saat penyerahan itu, penduduk
Benda akan aku singkirkan ke Kademangan ini lebih dahulu.”
Kembali Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Terima kasih Ki Demang. Kita tinggal menunggu
pelaksanaan dari hari penyerahan itu. Mudah-mudahan dapat berjalan
dengan lancar dan orang-orang Jipang itu menyadari keadaannya dengan
jujur.”
Sejak hari maka berita tentang penyerahan
orang-orang Jipang itu segera tersebar di seluruh Kademangan. Sebagian
besar dari orang-orang Sangkal Putung kecewa mendengar sikap Untara yang
menerima orang-orang Jipang itu. Kenapa Untara tidak mengerahkan saja
segenap kekuatan di Sangkal Putung untuk menghancur-lumatkan mereka di
sarang mereka? Tetapi tidak seorang pun yang berani mempersoalkannya
dengan terang-terangan. Mereka hanya memperbincangkannya di gardu-gardu
dan di perempatan-perempatan jalan apabila mereka duduk di sore hari
menjelangg senja. Apalagi ketika mereka mendengar, bahwa Demng mereka,
dan pimpinan laskar Sangkal Putung, Swandaru Geni, telah menyetujuinya
pula.
Demikianlah dari hari ke hari, rakyat
Sangkal Putung menjadi semakin tegang. Mereka masih belum dapat
melupakan. bagaimana Sanakeling mendekati induk Kademangan meraka, dan
bagaimana orang-orang Jipang itu setiap hari membuat hati mereka menjadi
cemas. Sehingga tanpa disengaja, semakin dekat dengan hari penyerahan
itu maka setiap anak muda di Sangkal Putung telah mempersiapkan dirinya
pula, seperti apabila mereka harus menghadapi sergapan Macan Kepatihan
beberapa waktu yang lalu. Hampir setiap anak muda tidak melepaskan
pedang dari lambung mereka. Hampir setiap malam gardu-gardu menjadi kian
penuh.
Dan lima hari itu adalah hari-hari yang tegang.
Dalam pada itu Kiai Gringsing telah
mendatangi Sumangkar di dalam sarangnya sebagai utusan Untara untuk
menjelaskan pelaksanaan daripada penyerahan itu. Sementara itu utusan
Untara ke Pajang pun telah kembali pula ke Sangkal Putung.
“Bagaimana dengan pesanku?” bertanya Untara.
“Telah diterima langsung oleh Ki Ageng Pemanahan,” sahut utusannya.
“Apa perintahnya?”
“Tak ada perintah. Beliau sependapat dengan pesan Ki Untara.”
“Bagus.”
Di malam menjelang hari penyerahan,
Sangkal Putung benar-benar menjadi tegang. Untara juga tidak melengahkan
diri. Ia masih juga menyiapkan pasukannya di sisi yang berhadapan
dengan desa Benda. Bahkan beberapa gardu di ujung desa kecil itu pun
telah diisi dengan beberapa prajurit pilihan dan penghubung-penghubung
berkuda. Bahkan tanda-tanda bahaya pun telah siap pula, apabila terjadi
sesuatu yang tidak diharapkan. Namun anak-anak muda Sangkal Putung-lah
yang membuat persiapan yang luar hiasa. Mereka berada di sisi prajurit
Pajang yang berada pada garis yang berhadapan dengan desa Benda.
Malam itu Untara tampak sibuk pula
mengawasi keadaan dibantu oleh Widura, Agung Sedayu, dan beberapa orang
lainnya. Hudaya yang masih belum sembuh dari lukanya, tampaknya kurang
gairah menghadapi keadaan. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang patuh
sehingga setelah kejutan perasaannya mereda, maka apa pun yang
diperintahkan kepadanya, dilakukannya dengan sebaik-baiknya.
“Jadi kau sengaja menunggu sampai besok?” bertanya Widura kepada Untara.
“Ya. Aku tidak memberitahukannya kepada
siapa pun juga kecuali kepada Paman. Kiai Gringsing pun tidak, apalagi
Ki Demang Sangkal Putung dan Agung Sedayu.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Kau akan membuat sebuah lelucon yang baik Untara.”
Malam menjelang hari yang ditentukan
semuanya telah dipersiapkan dengan baik. Besok orang-orang Jipang di
bawah pimpinan Sumangkar akan memasuki desa Benda tanpa bersenjata.
Mereka akan meletakkan senjata mereka di luar desa itu. dan prajurit
Pajang-lah kemudian yang akan mengambil senjata-senjata itu.
Besok pada tengah hari, tepat ketika
matahari mencapai puncaknya, maka beberapa orang dari prajurit Pajang
akan memungut senjata-senjata itu dan Untara beserta Widura diikuti oleh
beberapa orang prajurit yang lain akan memasuki Benda pula, menerima
orang-orang Jipang itu. Seterusnya, orang-orang Jipang akan di tempatkan
di rumah-rumah yang telah disediakn di bawah pengawasan yang kuat dari
para prajurit Pajang. Mengawasi supaya orang-orang Jipang itu tidak
ingkar, tetapi juga mengawasi agar keamanan mereka tidak terganggu.
Seterusnya maka orang-orang Jipang itu akan dibawa ke Pajang sebagai tawanan yang akan diadili oleh para penjabat di Pajang.
Ternyata malam itu, bukan saja Sangkal
Putung yang mengalami ketegangan. Perkemahan Sumangkar pun dicengkam
oleh ketegangan yang memuncak. Beberapa orang menjadi ragu-ragu kembali.
Apakah besok, setelah mereka menyerahkan senjata mereka, orang-orang
Pajang tidak akan mencincang mereka satu demi satu? Apakah besok
benar-benar orang Pajang memegang janjinya, membawa mereka ke Pajang dan
mengadili mereka dengan baik menurut ketentuan yang seharusnya berlaku?
Apakah mereka kemudian tanpa persoalan tidak saja digantung, di
sepanjang jalan-jalan kota dan dipertontonkan kepada rakyat Pajang,
sebagai orang-orang yang telah berkhianat terhadap Demak, terhadap
keturunan Sultan Trenggana.
Dengam sareh dan telaten Sumangkar
mencoba memberi mereka beberapa petunjuk hal-hal yang dapat meringankan
beban perasaan mereka.
“Kalian harus menyadari, bahwa apa yang
telah kalian lakukan selama ini sama sekali tidak akan berarti. Kalian
hanyalah merupakan orang-orang yang berputus asa, karena kalian telah
kehilangan kemungkinan yang paling lemah sekalipun untuk mendapatkan
kemenangan. Kemenangan dalam arti mencapai tujuan. Bukan
kemenangan-kemenangan kecil, merampas harta kekayaan di pedesan,
mengusir beberapa orang yang mencoba menentang kalian atau
perbuatan-perbuatan tak berarti lainnya.
“Namun yang paling penting, kalian harus
menyadari, bahwa apa yang telah kalian lakukan sejak semula adalah
salah. Kalian mencoba menentang kekuasaan Demak. Ini tidak benar. Dan
ini adalah sumber bencana yang menimpa kalian.”
Beberapa orana menjadi semakin yakin akan kebenaran sikap mereka. Namun beberapa orang masih juga ragu-ragu.
“Ingat,” berkata Sumangkar, “kalian tidak
boleh menyesal atau menyerah karena kalian telah merasa gagal. Maka
itu, seterusnya kalian masih tetap merasa bahwa pendirian kalian itu
benar. Tidak! Yang harus kalian sadari adalah apa yang kalian lakukan,
apa yang kalian cita-citakan, itulah yang salah. Sehingga apabila kalian
mendapatkan kemenangan dalam peperangan ini, maka kalian tidak berada
di dalam kebenaran dan kalian pun masih harus tetap menyadari, bahwa
kalian bersalah. Apalagi dalam keadaan kalian sekarang ini.
“Apabila kalian menang, maka yang kalian
anggap kebenaran adalah kekuasaan kalian. Kekuasaan yang kalian dapatkan
dari kemenangan itu. Bukan hakekat dari kebenaran. Sebab kalian telah
menumbangkan kekuasaan Demak yang tersalur menurut ketentuan kepada
Pajang, sepeninggal saudara-saudaranya.”
Beberapa orang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka bertambah yakin dan mantap akan keputusan mereka.
Setelah sekian lama mereka terjerumus dalam pertentangan yang panjang
karena ketamakan mereka akan kekuasaan. Maka seakan-akan kini mereka
menemukan jalan kembali, meskipun akibat dari kesalahan itu masih harus
dipertanggungjawabkan. Namun mereka akan mendapatkan batas waktu yang
tertentu. Mungkin mereka harus melakukan kerja paksa yang keras beberapa
tahun lamanya, mungkin mereka akan di sisihkan ke tempat-tempat yang
masih harus dibuka. Tetapi keluarga mereka tidak lagi merupakan keluarga
buruan yang disirik oleh masyrakat karena suaminya melakukan perlawanan
terhadap pemerintahan.
Namun masih terasa di dalam perkemahan
itu, ketegangan yang seakan-akan hampir meledak. Beberapa orang
benar-benar menjadi bimbang. Mereka menyesal, kenapa mereka tidak ikut
saja bersama-sama dengan Sanakeling dan Ki Tambak Wedi. Apalagi ketika
mereka menyadari bahwa Sumangkar hanyalah seorang juru masak yang malas.
Satu dua kali Sumangkar membuat mereka menjadi heran, orang tua itu
mampu menangkis serangan gelang-gelang Ki Tambak Wedi. Tetapi apakah itu
bukan hanya sekedar kebetulan? Dan apakah cerita tentang Sumangkar yang
berhasil mengusir Tambak Wedi tidak hanya sekedar cerita di dalam mimpi
Tundun dan Bajang, yang sengaja dibuat-buat untuk meyakinkan mereka.
Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba
timbullah keinginan mereka untuk membuktikannya. Apakah benar-benar
Sumangkar dapat mempertanggungjawabkan mereka nanti, apakah Sumangkar
itu hanya sekedar seorang yang hanya mampu membual, atau bahkan
Sumangkar adalah orang yang sengaja dipasang oleh orang Pajang di dalam
lingkungan mereka.
Demikianlah tiba-tiba dua orang di antara
mereka segera memasuki gubug pimpinan yang kini di tempati oleh
Sumangkar. Dengan wajah yang bengis salah seorang dari kedua orang itu
membentak, “Sumangkar, sebelum terjadi penyembelihan besar-besaran
besok, maka beruntunglah hahwa aku menyadari kesalahan yang kau lakukan.
Kau besok akan membawa kami ke dalam neraka yang paling mengerikan. Dan
kau pasti akan puas melihat mayat-mayat kami tergantung di pohon-pohon
atau bahkan di jalan-jalan dalam kota Pajang. Nah, sekarang kau sebagai
sumber dari bencana ini harus bertanggung jawab. Kau harus mengurungkan
penyerahan yang akan terjadi besok. Kau harus minta maaf di hadapan kami
semua, dan kau pula yang harus mempersatukan kami kembali dengam Kakang
Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan bahkan dengan Ki Tambak Wedi.”
Sumangkar memandangi kedua orang itu
dengan wajah yang muram. Seperti wajah seora ayah yang melihat
kabengalan anak-anaknya. Dengan sareh ia berkata, “Jangan salah
mengerti. Kalau besok terjadi penyembelihan besar-besaran di antara
kita, maka akulah orang yang pertama-tama akan disembelih.”
Orang yang lain tertawa terbahak-bahak
mendengar jawaban itu. Katanya, “Sekarang kalimat itu dapat kau ucapkan.
Tetapi besok ketika kami telah diikat dan meninggalkan senjata kami,
maka kau akan memberi perintah kepada kami satu demi satu untuk maju ke
tiang gantungan. Atau untuk menundukkan kepala-kepala kami di atas
landasan sepotong kayu atau tunggak pepohonan. Kapak-kapak orang Pajang
atau pedang-pedang mereka besok akan menebas leher kami sehingga kepala
kami akan terpotong dari tubuh kami.”
“Sebuah gambaran yang mengerikan,” desis Sumangkar.
“Bukankah demikian yang selalu dilakukan
oleh orang-orang Pajang? Apakah kau balum pernah mendengar, bagaimana
tubuh Plasa Ireng pada saat matinya? Tubuh itu tergores pedang lintang
melintang. Hampir tak ada bedanya dengan tubuh yang dicincang-cincang.
Dan bukankah kau sendiri yang membawa tubuh Raden Tohpati yang terluka
arang kranjang?”
“Kau tahu siapakah yang mencincang Plasa Ireng?”
“Pasti,” sahut salah seorang daripadanya. “Orang Pajang.”
“Namanya?” Bertanya Sumangkar pula.
“Sidanti.”
“Kau tahu, siapakah Sidanti itu?”
Tiba-tiba kedua orang itu terdiam.
“Nah, apakah kalian ingin bersama-sama
dengan Sanakeling bergabung dengan Sidanti, supaya kalian menjadi
semakin pandai mencincang?”
Kedua orang itu masih terdiam.
“Pertimbangkanlah baik-baik,” berkata
Sumangkar, “kalau kau percaya kepadaku. Aku melihat dengan mata kepala
sendiri, orang-orang Pajang memelihara baik-baik orang-orang kita yang
terluka di peperangan. Apakah kita sendiri sempat berbuat demikian
terhadap kawan-kawan sendiri, apalagi lawan kita?”
Kedua orang itu semakin terdiam. Tetapi
mereka masih belum melepaskan keragu-raguan mereka. Namun dengan penuh
kesabaran Sumangkar mencoba menjelaskan kalimat demi kalimat. Gambaran
demi gambaran, sehingga kedua orang itu pun kemudian menundukkan
kepala-kepala mereka sambil bergumam, “Aku dapat mengerti Kiai, tetapi
aku masih tetap dicengkam oleh keraguan itu.”
“Mudah-mudahan aku akan dapat menjadi
jaminan. Kalau besok orang-orang Pajang mengingkari janjinya, maka aku
akan berbuat apa saja yang dapat aku lakukan.”
Wajah kedua orang itu masih tetap
memancarkan keragu-raguannya. Sehingga Sumangkar berkata, “Mungkin kau
curiga kepadaku. Mungkin kau menyangka aku adalah orang Pajang yang
menyusup ke dalam Laskar Jipang. Kalau demikian, aku tidak perlu
ribut-ribut menyelenggarakan penyerahan. Aku Dapat membunuh kalian malam
tadi, atau malam nanti dengan memberi kesempatan prajunit Pajang
menyergap perkemahan ini. Tetapi itu tidak terjadi.”

Kedua prajurit itu semakin tertunduk.
Kata-kata itu menyusup ke dalam hati mereka, sehingga mereka menjadi
yakin atas tujuan penyerahan mereka besok. Salah seorang dari kedua
prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam, “Terima
kasih Kiai.” Dan di dalam hatinya ia berkata, “Alangkah benarnya
kata-kata Kiai Sumangkar. Apa yang akan aku alami secara badaniah pasti
tidak akan banyak berarti dibandingkan dengan nilai-nilai rohaniahnya.”
Ketika kedua orang itu kemudian kembali
ke gubugnya, gubug yang hanya tinggal semalam itu didiami, mereka segera
tidur mendekur. Mereka sudah tidak menjadi gelisah lagi, karena
keragu-raguan mereka, sebab mereka telah menemukan hakekat dari
penyerahan mereka kepada orang-orang Pajang. Bukan secara badaniah,
tetapi secara rohaniah, mereka menyongsong suatu kehidupan baru. Hati
mereka yang pepat kelam, kini seakan-akan telah terbuka. Dari
celah-celahnya seakan-akan mereka berdua dapat melihat, apa yang telah
pernah terjadi dan apa yang akan dilakukannya.
Sumangkar sendiri kemudian mencoba
berbaring di pembaringannya. Tetapi tidak seperti kedua orang Jipang
yang baru datang kepadanya, yang segera dapat tidur mendekur karena
perasaannya telah tidak terganggu lagi oleh berbagai kegelisahan.
Tetapi Sumangkar adalah orang yang bertangguhg jawab akan terselenggaranya penyerahan besok.
Meskipun demikian, apa yang dikatakannya
kepada kedua peajurit itu telah sedikit menenteramkan hatinya sendiri
pula. Kata-kata dan nasehat itu sebagian telah menjernihkan
kesadarannya, sehingga Sumangkar sendiri menjadi semakin yakin akan
kebenaran sikapnya.
Ketika angin malam manembus lubang-lubang
dinding gubugnya, terdengar di kejauhan jerit anjing-anjing liar
berebut mangsa. Tiba-tiba tanpa disengaja, kenangannya meluncur kepada
Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan kawan-kawannya. Sumangkar menarik
nafas dalam-dalam sambil bergumam lirih, “Kasihan Sanakeling. Seperti
anjing-anjing liar itu, mereka bersama-sama berangkat dari satu sarang,
bersama-sama mengejar mangsanya, bersama-sama menyerang dan
membinasakan. Tetapi kemudian mereka saling membunuh di antara sesama
apabila mereka sudah berebut hasil buruannya itu.”
Dan suara anjing-anjing liar itu semakin
lama menjadi semakin riuh, sehingga Sumangkar menjadi semakin tidak
mungkin lagi dapat memejamkan matanya.
Orang tua itu pun kemudian bangkit dari
pembaringannya, berjalan ke luar dan mengitari halaman. Ia masih melihat
beberapa orang prajurit berjaga-jaga untuk yang terakhir kalinya di
sudut-sudut perkemahan.
Sekali-sekali Sumangkar mendekati mereka sambil berkata, “Besok kau akan bebas dari pekerjaan semacam ini.”
Orang itu menganggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan mereka menjawab, “Kiai, rasa-rasanya kami akan memasuki
sebuah goa yang maha gelap.”
“Kenapa?” bertanya Sumangkar.
“Kami tidak tahu, apa yang berada di
dalamnya. Apakah kami akan sampai ke dalam istana yang indah ataukah
kami akan terjerumus kedalam neraka yang paling laknat.”
Sumangkar mengangguk-angukkan kepalanya.
Ia dapat mengerti sepenuhnya kata-kata itu. Bahkan secara jujur hatinya
sendiri kadang-kadang berkata demikian juga. Tetapi ia percaya kepada
Untara, percaya kepada Kiai Gringsing dan percaya kepada kewibawaan
Widura atas anak buahnya, sehingga besok tidak akan terjadi hal-hal yang
dapat mengganggu pelaksanaan penyerahan yang menjadi tanggung jawabnya.
Sebaliknya ia mengharap bahwa orang-orang Jipang sendiri akan dapat
membantu terlaksananya penyerahan itu dengan sebaik-baiknya.
Akhirnya Sumangkar itu pun menjawab,
“Jangan ragu-ragu Ngger. Mudah-mudahan pilihan kita ini benar. Telah
sekian lama kita terjerumus dalam kesalahan.”
“Tetapi ketika kita sedang mulai, bukankah Kiai turut pula beserta kita?”
“Karena itulah, maka marilah kita
mengucap sukur Ngger. Mengucap sukur bahwa akal kita dapat berkembang.
Seperti anak-anak yang dengan serta merta menggenggam bara, maka
kemudian anak-anak itu dapat mengerti bahwa ternyata ia telah berbuat
suatu kesalahan. Demikian pula aku Ngger. Mudah-mudahan demikian pula
kalian menemukannya seperti aku menemukan kesadaran itu.”
Para penjaga itu pun mengangguk-angukkan
kepala mereka. Dan Sumangkar pun kemudian berjalan meninggalkan orang
itu, berjalan dari satu sudut ke sudut yang lain, sehingga kemudian ia
menjadi penat. Akhirnya ia berbaring tidak di dalam gubugnya, tetapi di
samping gardu di ujung halaman perkemahannya. Sesaat kemudian angin yang
silir telah membelainya, seperti tangan seorang ibu membelai anaknya
tersayang. Sumangkar yang tua itu kemudian tertidur dengan nyenyaknya.
Besok ia akan melakukan kewajiban yang berat dan berbahaya.
Ketika ayam jantan berkokok di pagi-pagi
buta, orang-orang di Sangkal Putung telah menjadi sibuk. Beberapa orang
bergegas-gegas pergi ke kademangan. Seakan-akan pergi mengungsi. Mereka
cemas mendengar banyak desas-desus yang bersimpang-siur, seolah-olah
orang-orang Jipang yang ingin menyerahkan diri itu hanya sekedar suatu
cara untuk mengelabuhi kesiap-siagaan orang-orang Sangkal Putung.
Anak-anak muda Sangkal Putung telah siap
menyandang senjata masing-masing, sedang para prajurit Pajang pun telah
bersiaga sepenuhnya. Hari ini adalah hari yang sangat tegang bagi
Sangkal Putung. Seperti hari-hari di mana Tohpati akan datang menyergap
kampung halaman mereka.
“Seandainya orang-orang Jipang itu
benar-benar menyerah sekalipun, siapa yang harus memberi mereka makan?
Kami juga, orang-orang Sangkal Putung,” gerutu salah seorang anak muda
Sangkal Putung.
Tetapi ia terkejut ketika didengarnya
jawaban sareh. “Memberi makan mereka adalah jauh lebih baik daripada
kampung halaman ini dijarah-rayah. Lumbung-lumbung padi dibakar dan
rumah-rumah dijadikan karang abang. Bukankah begitu?”
Ketika anak-anak muda itu berpaling
dilihatnya Agung Sedayu berdiri di belakang mereka. Dengan serta merta
mereka segera mengangguk sambil membetulkan kata-katanya. “Ya. Ya Tuan.
Memang lebih baik demikian. Lumbung-lumbung padi kami agaknya masih
cukup sampai musim menuai yang akan datang.”
Agung Sedayu tersenyum. Katanya,
“Bukankah dengan penyelesaian yang bagaimanapun bentuknya asal tidak
mengorbankan hak-hak sendiri, jauh lebih baik daripada harus bertempur
dan berjaga-jaga setiap hari? Sawah-sawah yang bera selama ini karena
gangguan keamanan segera dapat ditanami. Saluran-saluran air dapat
segera diperbaiki. Bukan begitu?”
“Ya, ya tentu Tuan. Tentu,” sahut mereka tergagap.
Sekali lagi Agung Sedayu tersenyum sambil
berjalan ke dalam halaman banjar desa. Namun sepeninggal Agung Sedayu
anak-anak muda sangkal putung itu memberengut sambil berkata, “Anak itu
bukan anak Sangkal Putung.”
“Aku membenarkan kata-katanya.”
Tetapi seorang yang lebih dewasa daripada anak-anak itu berkata, “Aku membenarkan kata-katanya.”
Anak-anak muda itu memandangi kawannya sambil bertanya, “Kenapa kau membenarkannya?”
“Apakah kau tahu yang dikatakan oleh Agung Sedayu?” bertanya kawannya yang yang lebih dewasa berpikir itu.
“Tentu.”
“Coba katakan maksud kata-katanya.”
“Bukankah ia mengatakan bahwa
lumbung-lumbung kami masih penuh dengan padi dan sawah-sawah kami masih
dapat ditanami? Tetapi apakah kami tidak memerlukannya sendiri? Berapa
banyak beras yang sudah kami berikan kepada orang-orang Pajang yang
berada di sini, sekarang ditambah lagi dengan orang-orang Jipang yang
selama ini membuat bencana di kampung halaman kami.”
Kawannya itu tertawa. Katanya, “Ternyata
kau tidak mendengarkannya, tetapi kau sudah tergesa-gesa mengangguk
dalam-dalam sambil membenarkan kata-kata Agung Sedayu itu.”
“Kenapa?” bertanya anak muda itu sambil tersipu-sipu.
“Dengarkan, aku akan mencoba mengulangi,”
berkata kawannya. “Agung Sedayu itu berkata bahwa lebih baik memberi
makan orang-orang Jipang itu daripada tidak sempat menanami sawah dan
ladang. Bukankah sawah-sawah dan ladang kita banyak yang bera tidak
dapat ditanami karena kita ketakutan? Sawah-sawah kita yang jauh dari
induk desa ini dan ladang-ladang kita di ujung-ujung desa terpencil?
Saluran-saluran air menjadi kering, karena kita tidak sempat
memperbaikinya. Nah, kalau kita sudah tidak berkelahi lagi, maka semua
itu akan dapat kita lakukan dengan baik. Hasilnya, dibandingkan dengan
beras yang akan kita berikan untuk memberi orang-orang Jipang itu makan,
masih cukup banyak. Bukankah begitu?”
Anak muda itu merenung. Sekali-sekali
mengangguk-angguk, namun kemudian ia tidak mau kalah. “Tetapi berapa
nilai dari kawan-kawan kami yang terbunuh di peperangan?”
“Itu adalah banten. Tawur bagi kesejahteraan kampung halaman.”
Anak muda itu terdiam. Kawan-kawannya
yang lain pun terdiam pula. Ada sedikit pengertian di otaknya, namun
hatinya tetap meronta. Sehingga sulitlah bagi anak muda itu untuk
mendamaikan hati dan otaknya sendiri.
Tetapi mereka tidak bercakap-cakap lagi.
Semakin pagi semakin banyak anak-anak muda yang berdatangan di banjar
desa. Mereka telah bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan.
Prajurit-prajurit Pajang pun telah
bersiaga pula. Mereka benar-benar dalam kesiap-siagaan tertinggi. Bahkan
Widura telah memerintahkan untuk menyiapkan rontek di Banjar desa.
Umbul-umbul dan panji-panji pun dipersiapkannya pula. Pusat pimpinan
prajurit Pajang kini dengan serta merta telah berpindah dari kademangan
ke banjar desa.
Ki Demang sendiri tidak mengerti kenapa
demikian. Kenapa tiba-tiba rontek dan segala macam tanda kebesaran telah
dipasang di banjar desa. Bahkan kemudian Widura memberikan perintah
kepada prajuritnya untuk bersiap di alun-alun di hadapan banjar desa
itu, tidak di halaman banjar desa.
Beberapa orang menjadi heran. Kenapa
halaman banjar desa itu sengaja dikosongkan? Juga anak-anak muda Sangkal
Putung diminta untuk berkumpul di luar halaman Banjar desa.
“Kenapa kita harus keluar dari banjar desa?” bertanya salah seorang kepada sesama mereka.
Kawannya menggelengkan kepalanya. “Entahlah.”
“Bukankah banjar desa itu kita punya?”
“Ya. Tetapi Ki Demang sendiri tidak berbuat apa-apa. Swandaru pun berdiam diri saja.”
Mereka pun terdiam pula. Tetapi pertanyaan itu melingkar-lingkar di kepalanya.
Apalagi ketika kemudian mereka melihat
beberapa prajurit Pajang berkuda, berpacu sepanjang jalan kademangan
mereka seperti mengejar hantu. Anak-anak muda itu menjadi semakin heran.
Ketika matahari telah menjenguk dari
punggung bukit, maka Kademangan Sangkal Putung itu pun menjadi cerah.
Ujung-ujung rontek, umbul-umbul dan panji-panji seakan-akan menjadi kian
cemerlang dipanasi oleh sinar matahari pagi. Dalam belaian angin yang
lembut panji-panji dan umbul-umbul itu bergetar perlahan-lahan, seperti
anak-anak yang melambaikan tangannya menyambut kedatangan ibunya.
Banjar Desa Sangkal Putung, pagi itu
benar-benar memancarkan kesegaran dan kebesaran meskipun terbatas dalam
kademangan yang kecil namun subur dan makmur itu.
Bahkan kemudian beberapa orang
bertanya-tanya, “Apakah di sini nanti Untara akan menerima orang-orang
Jipang di Benda tengah hari nanti?”
“Tidak,” jawab yang lain. “Ki Demang
telah menentukan, bahwa Untara akan menerima orang-orang Jipang di
Benda, tengah hari nanti.”
“Lalu untuk apa banjar desa di rengga-rengga dengan segala macam rontek dan umbul-umbul?”
Kawannya mengeleng. Perlahan-lahan ia
menggeser mendekati seorang prajurit Pajang yang berdiri di alun-alun
itu pula. “Untuk apa rontek dan umbul-umbul bahkan panji-panji itu?”
Prajurit Pajang itu menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak tahu.”
“Apakah itu suatu kehormatan bagi orang-orang Jipang?”
Mata prajurit itu terbelalak, katanya,
“Pasti tidak. Kami sendiri tidak pernah mendapat sambutan dengan
tanda-tanda kebesaran itu. Apalagi orang-orang Jipang yang sudah
sekarat.”
Anak muda itu menganguk-anggukkan
kepalanya. Katanya di dalam hati, “Prajurit Pajang sendiri agaknya tidak
senang melihat penyerahan orang-orang Jipang itu. Mungkin mereka lebih
senang membinasakannya di medan-medan peperangan.”
Tetapi ternyata kemudian Untara sendiri
tidak dapat merahasiakan teka-teki itu kepada para pemimpin kelompoknya.
Beberapa orang dipanggilnya, dan diberitahukan kepada mereka apa yang
harus dilakukan. Beberapa orang di antaranya menarik nafas dalam-dalam.
“Oh,” katanya di dalam hati. “Aku sudah berdebar-debar.”
Untara tersenyum melihat sikap beberapa
orang pembantu-pembantu Widura itu. Katanya, “Kalian tidak usah
berdebar-debar. Aku ingin mengejutkan Ki Demang Sangkal Putung.”
“Bukan saja Ki Demang,” sahut Hudaya. “Aku juga terkejut. Tetapi apakah maksud Angger Untara hanya supaya Ki Demang terkejut?”
“Ya.”
“Tidak ada maksud lain?”
“Maksud lain tidak terkandung dalam persoalan yang kau dengar ini.”
Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia bertanya kembali, “Ya. Dalam hal tidak diberitahukan,
mungkin Angger Untara hanya akan membuatnya terkejut. Tetapi maksud
kedatangannya kemari?”
“Tentu,” jawab Untara, “kau telah dapat merabanya sendiri.”
Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi.
“Beberapa orang telah aku perintahkan
untuk menyongsongnya dan membawanya ke banjar desa ini,” berkata Untara
pula. “Menurut ketentuan mereka akan datang pagi-pagi.”
“Mereka berangkat tengah malam,” sela Widura.
“Ya, mereka berangkat tengah malam,” sahut Untara.
Sesaat mereka kemudian terdiam. Beberapa
orang masih juga mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hari ini akan
menjadi hari yang penting bagi Sangkal Putung. Bahkan hari yang tak akan
dapat dilupakan oleh anak-anak mudanya. Peristiwa demi peristiwa akan
berpuncak di hari ini. Namun apa yang terjadi masih juga menjadi
pertanyaan bagi anak-anak muda Sangkal Putung dan bahkan para prajurit
Pajang sendiri.
Dalam pada itu, lima orang penghubung
telah mendapat perintah khusus dari Untara dan Widura untuk menjemput
tamu yang akan datang. Tamu yang akan mendapat penyambutan yang khusus,
yang akan mengejutkan hati setiap orang di Sangkal Putung dan
prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung pula.
Tetapi yang tidak mereka perhitungkan,
bahwa pada saat ini, hantu lereng Merapi yang mereka takuti, ternyata
membuat perhitungan tersendiri. Ternyata Ki Tambak Wedi mendengar pula
bahwa hari ini, Untara akan menerima Sumangkar dengan orang-orangnya
yang menyerahkan diri.
Sesaat setelah ia mendengar berita itu,
beberapa hari yang lalu, orang tua itu tersenyum di dalam hatinya.
Dipanggilnya Sidanti dan Sanakeling. Sambil memilin-milin kumisnya ia
berkata, “Nah, apa rencana kalian menghadapi hari yang ditentukan itu?”
Dengan serta-merta Sanakeling menjawab, “Kita hancurkan Sumangkar dan orang-orangnya.”
Ki Tambak Wedi tertawa. Katanya, “Jangan
terlampau bernafsu hendak memusnahkan kawan-kawan itu sendiri dengan
tanganmu. Belum lagi dapat dipastikan kita akan dapat memenangkan
pertempuran itu, meskipun sebagian besar dari para pemimpin Jipang
berada di sini. Tetapi Sumangkar dan mungkin Kiai Gringsing akan dapat
mengganggu rencana ini.”
Sanakeling mengerutkan keningnya. Kemudian dengan tenangnya ia berkata, “Lalu apa yang sebaiknya kita kerjakan Kiai?”
Ki Tambak Wedi tersenyum. Hidungnya yang
melengkung tampak bergerak-gerak. Dijawabnya, “Kita hancurkan mereka
dengan meminjam tangan orang lain.”
Sanakeling mengerutkan keningnya. Gumamnya, “Bagaimana mungkin?”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya muridnya yang bernama Sidanti sambil bertanya, “Apa rencanamu?”
Sidanti menggeleng, “Aku belum memikirkannya guru.”
“Alangkah bodohnya kalian,” berkata orang
tua itu. “Kita akan mendapat kesempatan yang baik sekali menghadapi
saat penyerahan itu. Penyerahan itu akan terjadi di tengah hari. Kita
harus mengingat-ingat saat itu.”
“Ya. Tengah hari. Tetapi bagaimana dengan meminjam tangan orang lain itu?” desak Sanakeling.
Tambak Wedi terdiam sesaat. Kemudian
katanya, “Percayalah bahwa tidak semua orang Pajang sendiri ikhlas
menerima penyerahan itu. Sebagian dari mereka pasti masih mendendamnya
dan ingin menghancurkan orang-orang Jipang di medan-medan perang tanpa
ada persoalan lagi. Mereka pasti ingin melihat orang-orang Jipang itu
musnah. Nah, marilah kita pergunakan keadaan itu.”
Sanakeling dan Sidanti mendengarkan setiap kata Ki Tambak Wedi dengan penuh minat.
“Menjelang saat penyerahan itu, kita pengaruhi perasaan yang tersimpan di dalam dada orang-orang Pajang yang mendendam mereka.”
“Bagaimana?” Sanakeling menjadi tidak bersabar.
“Kita membawa beberapa orang prajurit
pilihan,” berkata Ki Tambak Wedi lebih lanjut. “Pada saat orang-orang
Pajang dan orang-orang Sangkal Putung menerima orang-orang Jipang yang
menyerah, kita menyelusup masuk ke kademangan itu. Kita bakar beberapa
rumah penduduk dan beberapa lumbung padi. Kita jarah saja isinya dan
kita binasakan setiap orang yang kita jumpai. Nah, bagaimanakah
kira-kira sikap orang-orang Pajang dan orang-orang Sangkal Putung
terhadap orang-orang Jipang yang menyerah itu yang justru sudah tidak
bersenjata?”
Mata Sidanti tiba-tiba menjadi
berkilat-kilat. Rencana itu terdengar amat manis di telinganya. Tetapi
Sanakeling tidak segera menanggapinya, bahkan tampak kerut-kerut
dahinya.
“Bagaimana Sanakeling?” Bertanya Ki Tambak Wedi.
“Dengan demikian,” sahut Sanakeling,
“orang-orang Pajang akan menjadi sangat marah. Kemarahan yang memang
telah terpendam di dadanya pasti segera akan meluap, seperti minyak
tersentuh api. Mereka tidak akan sempat berpikir, kepada orang-orang
Jipang yang mana mereka akan melepaskan kemarahan itu. Dan orang-orang
Jipang yang menyerah itulah yang akan memikul akibat dari perbuatan
kita.”
“Bukankah sudah aku katakan, bahwa kita telah meminjam tangan orang lain untuk membinasakan para pengkhianat itu.”
Sanakeling menarik nafas dalam-dalam.
Orang-orang Jipang itu adalah kawan sepenanggungan pada saat-saat yang
lampau. Karena itu meskipun ia sendiri bernafsu untuk menghancurkannya,
namun keadaan yang dibayangkan oleh Ki Tambak Wedi benar-benar tidak
adil. Orang-orang Jipang yang tidak bersenjata itu akan menjadi lembu
bantaian tanpa perlawanan.
Karena Sanakeling tidak segera menjawab,
maka kembali Ki Tambak Wedi mengulangi, “Bagaimana Sanakeling, bukankah
dengan demikian kita dapat memusnahkan orang-orang Jipang itu tanpa
mengotori tangan kita dengan darahnya.”
Sanakeling menggeleng lemah. Jawabnya
sama sekali tidak disangka-sangka oleh Ki Tambak Wedi. Katanya, “Aku
kurang sependapat Kiai.”
Tambak Wedi mengerutkan keningnya,
perlahan-lahan ia bertanya, “Kenapa? Apakah kau belum juga bersedia
melepaskan mereka yang jelas telah memusuhinya?”
Sanakeling terdiam kembali. Sesaat ia
berpikir. Baru kemudian ia menjawab, “Betapa dendam membakar jantungku
Kiai, tetapi aku tidak dapat melihat bekas kawan-kawanku itu mati
disembelih tanpa dapat berbuat sesuatu.”
Wajah Ki Tambak Wedi menjadi semakin berkerut-kerut. Katanya, “Lalu apa maksudmu sebenarnya?”
“Kiai,” berkata Sanakeling kemudian.
Tiba-tiba wajahnya pun menjadi tegang. Ia telah menemukan suatu cara
yang baik untuk membuat keributan di Sangkal Putung. Katanya, “Kalau
kita berbuat sesuatu sesudah penyerahan itu berlangsung, maka
kemungkinan yang lain daripada pembantaian besar-besaran adalah sikap
yang tenang dan otak yang dingin dari pimpinan orang-orang Pajang itu.
Untara dan Widura pasti mampu membuat perhitungan berdasarkan laporan
Kiai Gringsing, bahwa apa yang terjadi adalah benar-benar karena sikap
pihak lain dari orang-orang Jipang. Sehingga apabila demikian, maka
orang-orang Pajang dan Sangkal Putung tidak akan sempat berbuat sesuatu.
Tetapi bagaimana kalau keributan itu kita lakukan sebelum penyerahan
itu berlangsung?”
“Untara dan Widura akan dapat menilai seperti itu pula Sanakeling,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Tetapi orang-orang Jipang belum
berkumpul dalam satu penampungan yang langsung ditunggui oleh Untara dan
Widura yang mempunyai pengaruh yang cukup besar pada para prajurit
Pajang. Kalau prajurit Jipang itu masih belum berada di Sangkal Putung
dan apabila kemudian mereka masih menyandang senjata mereka, maka
tanggapan orang-orang Pajang dan Sangkal Putung pasti akan berbeda.
Mereka tidak melihat kambing-kambing yang sudah tertutup di dalam
kandang, tetapi mereka melihat serigala yang buas di luar rumah mereka.
Aku mengharap bahwa orang-orang Pajang dan orang-orang Sangkal Putung
akan bersikap lain. Kemarahan yang timbul di dalam dada mereka pun akan
terungkapkan dalam bentuk yang berbeda. Mudah-mudahan mereka menganggap
bahwa apa yang telah dilihat oleh Kiai Gringsing itu hanyalah sebuah
tipuan yang licik.–
“Lebih daripada itu Kiai, kau lebih
senang melihat kedua belah pihak bertempur di dalam arena. Orang-orang
Jipang akan terbunuh sebagai prajurit di medan perang, sedang
orang-orang Pajang pun pasti akan berkurang. Orang-orang yang merasa
diingkari itu akan mengamuk dalam keputus-asaan mereka.”
Ki Tambak Wedi menjadi tegang sesaat,
tetapi kemudian meledaklah suara tertawanya. Seperti suara hantu yang
melihat mayat baru terbujur di pekuburan.
“Bagus. Bagus,” katanya di antara derai tertawanya.
Demikian keras suara tertawa Ki Tambak
Wedi sehingga tubuhnya terguncnag-guncang. Sambil menepuk bahu
Sanakeling maka orang tua itu berkata, “Sidanti, kau dapat berguru
kepada Sanakeling tentang kelicikan dan akal.”
Sidanti pun tertawa pula. Ia menjadi
semakin bergembira mendengar rencana itu. Maka katanya, “Keduanya akan
bertempur sehingga keduanya akan hancur. Kita akan datang nanti pada
saatnya, mendapatkan Sangkal Putung tanpa kesulitan.”
“Kita pasti akan menjumpai kesulitan baru Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi.
“Kesulitan apa Kiai?”
“Mengubur orang-orang Jipang yang berkhianat itu dan dan orang-orang Pajang.”
Kembali mereka bertiga tertawa. Rencana itu benar-benar dapat menggembirakan hati mereka.
“Nah Sanakeling,” bertanya Ki Tambak Wedi kemudian, “bagaimana rencana selanjutnya?”
“Aku belum berpikir sampai pada pelaksanaannya,” sahut Sanakeling.
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak ia berpikir dan kemudian berkata, “Kita harus
menemukan saat yang tepat. Kita harus mulai menyerang Sangkal Putung
dari arah yang berbeda dengan arah kedatangan para penghianat itu.
Selagi mereka dalam perjalanan, kita akan membuat keributan. Kita
mengharap para prajurit Pajang dan Sangkal Putung marah dan menyangka
bahwa penyerahan itu hanyalah sekedar akal licik. Nah, kedatangan
orang-orang Jipang yang berkhianat itu akan disambut hangat oleh
orang-orang Pajang. Dalam keadaan yang demikian seandainya Untara dan
Widura dapat membuat perhitungan yang tepat terhadap keadaan yang
sebenarnya, namun akan sangat sulitlah baginya menguasai luapan perasaan
anak buahnya.”
“Demikianlah,” sahut Sanakeling. “Sedang
orang-orang Jipang yang akan menyerah itu masih menggenggam senjata
mereka masing-masing.”
Kembali mereka tertawa sepuas-puas
mereka. Seakan-akan rencana mereka itu telah berlangsung dengan baiknya.
Seakan-akan mereka telah melihat mayat orang Jipang dan orang-orang
Pajang berserak-serakan tindih menindih di hadapan mereka.
“Kita harus sudah siap sejak pagi-pagi
benar di arah yang berlawanan,” berkata Ki Tambak kemudian. “Tidak usah
terlampau banyak. Kita harus dapat menyusup masuk meskipun hanya ke
desa-desa kecil, bukan desa induknya. Kalau matahari telah naik
seperempat hari, maka kita harus segera mulai.”
“Apakah kita tidak datang dengan seluruh kekuatan guru?” bertanya Sidanti.
“Tidak Sidanti,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Kita hanya sekedar membuat kesan bahwa ada serangan dari arah lain
sehingga kita pun harus segera dapat menghilang. Kalau tidak, maka akan
timbul peperangan segi tiga. Dalam keadaan yang demikian maka Pajang dan
Sangkal Putung-lah yang terkuat.
Mendengar penjelasan itu, alis Sidanti
berkerut. Sejenak ia diam berpikir. Kemudian katanya dalam nada datar,
“Masih pula terjadi orang-orang Jipang yang berpendirian lain itu
menyadari kekeliruannya, tetapi dapat pula terjadi bahwa orang-orang
Jipang itu menggabungkan dirinya dengan orang-orang Pajang.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya,
tetapi kemudian ia tertawa. “Kau benar Sidanti. Memang perhitungan ini
dapat meleset. Karena itu, kita mengambil jalan yang sebaik-baiknya.
Yang kemungkin-kemungkinannya tidak terlampau jelek bagi kita.
Seandainya usaha kita itu tidak dihiraukan sekalipun kita tidak akan
mengalami kerugian apapun.”
Sanakeling tiba-tiba memotong,
“Mudah-mudahan usaha kita berhasil. Kita mempengaruhi perasaan
orang-orang Pajang, kemarahan yang memang masih tersimpan di dalam dada
mereka. Kesan yang harus kita buat adalah bahwa Sumangkar ternyata tidak
jujur. Ia bersedia menyerahkan diri hanya sebagai suatu usaha untuk
membuat orang-orang Pajang lengah.”
“Bagus,” sahut Tambak Wedi. “Ambil
orangmu lima puluh saja. Namun yang paling baik dari semuanya. Pagi-pagi
benar kita harus sudah berada di sebelah Timur Sangkal Putung. Mungkin
kita harus menyusup seorang demi seorang. Sekelompok dari orang-orangmu,
mungkin kau pimpin sendiri Sanakeling, harus menguasai salah sebuah
gardu peronda. Kemudian kau harus segera membunyikan tanda bahaya
seperti orang-orang Pajang membunyikannya. Sementara itu, kita yang
lain, membakar satu dua rumah atau lumbung. Apabila orang-orang Pajang
kemudian berdatangan. Secepatnya kita harus melarikan diri. Ke Utara,
menerobos sawah yang sempit dan masuk ke dalam desa-desa yang terpencar.
Di belakang desa-desa itu kita akan menemukan sebuah tegalan. Jangan
sampai terkepung di dalamnya. Kita harus mencapai semak-semak bambu liar
di sebelah Utara tegalan itu. Kemudian kita akan bebas dari kejaran
mereka.”
Ki Tambak Wedi kini sekali lagi tertawa
terbahak-bahak. Sanakeling dan Sindati pun mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Rencana itu adalah rencana yang baik, sedang bahayanya tidak
terlampau besar. Sementara orang-orang Pajang mengejar mereka, dari arah
Barat, Sumangkar membawa orang-orangnya mendekati Pajang. Mudah-mudahan
beberapa penjaga dan pengawal dari orang-orang Pajang melihat mereka,
kemudian membuat laporan kepada Untara dan Widura, bahwa induk pasukan
Jipang datang dari barat.
Sanakeling dan Sindati itu pun kemudian
tersenyum. Terbayang di dalam rongga mata mereka, pasukan Pajang dan
Sangkal Putung yang marah menyongsong orang-orang Jipang itu dengan
pedang terhunus, sedang orang-oran Jipang itu pasti akan terkejut dan
menyangka orang-orang Pajang mengingkari janji, menerima penyerahan
mereka. Namun yang mereka lihat adalah pedang ligan dan ujung-ujung
tombak telanjang.
Demikianlah pada malam menjelang hari
yang ditentukan, Sanakeling, Sidanti, dan orang-orang Jipang pilihan
sebanyak lima puluh orang telah siap untuk melakukan tugas mereka. Tugas
yang cukup berat namun yang menurut penilaian mereka tidak begitu
berbahaya meskipun seandainya mereka gagal.
Orang-orang Jipang itu menjadi semakin
berbesar hati ketika Ki Tambak Wedi telah menyatakan diri untuk pergi
bersama ke lima puluh orang itu.
“Aku ingin melihat apa yang terjadi,”
berkata Tambak Wedi. “Dan aku harus mengamat-amati kalian apabila kalian
bertemu dengan orang yang bernama Kiai Gringsing.”
Sanakeling yang mendengar nama itu
disebut-sebut tiba-tiba berkata, “Kiai, apakah Kiai Gringsing yang
melihat perpecahan di antara kita tidak akan menggagalkan rencana ini.”
“Tidak ada waktu baginya untuk membuat
penilaian atas peristiwa ini. Meskipun ia mungkin telah menceritakannya
kepada Untara dan Widura, namun gambaran mereka pasti tidak akan
terlampau jelas menghadapi peristiwa yang tiba-tiba ini.”
Sanakeling tidak bertanya lagi. Namun
debar jantungnya terasa menjadi semakin cepat. Waktu yang
ditunggu-tunggunya seakan-akan merambat terlampau malas.
Sebelum malam terlampau dalam, mereka
telah meninggalkan padepokan Ki Tambak Wedi. Berjalan memintas
sekelompok demi sekelompok menuju ke Sangkal Putung. Jarak yang mereka
tempuh kini tidak sekedar beberapa bulak, tetapi perjalanan mereka
memerlukan waktu lebih dari setengah malam. Mereka menuruni lereng
Merapi dan secepatnja menuju Sangkal Putung lalu melingkar dari arah
Timur. Mereka mengharap, bahwa mereka akan sampai ke tempat tujuan tidak
terlampau jauh lewat tengah malam. Setelah beristirahat sejenak, mereka
harus mulai menyiapkan diri. Apabila fajar nanti pecah, mereka harus
sudah menyusup ke dalam lingkungan Kademangan Sangkal Putung yang kaya
raya. Satu dua rumah yang tidak berarti serta lumbung-lumbung kecil
telah cukup untuk meluapkan kemarahan orang-orang Pajang dan Sangkal
Putung.
Di sepanjang jalan, mereka hampir tidak
mempercakapkan sesuatu. Paling depan berjalan Ki Tambak Wedi dengan
menengadahkan kapalanya, seakan-akan sibuk menghitung bintang yang
bergayutan di langit. Di belakangnya berjalan Sidanti dengan senjata
ciri perguruan Tambak Wedi di tangannya. Senjata yang baru diterimanya
dari gurunya, sebagai ganti senjatanya yang tertinggal di Sangkal
Putung. Meskipun demikian, karena selama ini ia selalu mempergunakan
pedang, maka di lambungnya pun tergantung sebilah pedang panjang. Kini
Sidanti telah membiasakan diri bertempur dengan senjata rangkap. Di
tangan kanannya sebilah pedang dan tangan kirinya senjata yang
mengerikan.
Di samping Sidanti, Sanakeling berjalan
sambil menundukkan kepalanya. Ia masih mereka-reka apa yang sebaiknya
dilakukan apabila orang-orang Jipang yang dianggapnya berkhianat itu
telah musnah. Setelah beberapa lama ia tinggal di padepokan Ki Tambak
Wedi, terasa bahwa kekuasaan Ki Tambak Wedi atas dirinya, dan atas anak
buahnya justru melampaui kekuasaan Tohpati. Apa yang dikatakan harus
terjadi, meskipun kadang-kadang orang tua itu mau juga mempertimbangkan
pendapatnya, apabila terasa manfaatnya. Tetapi banyak hal-hal yang harus
ditelannya saja tanpa mendengar pertimbangannya tentang bermacam-macam
persoalan meskipun sampai kini masih terbatas pada persoalan-persoalan
kecil.
Seakan-akan bagi Ki Tambak Wedi, sudah
seharusnya dan sudah semestinya memperlakukan Sanakeling seperti
Sidanti. Bahkan dalam beberapa hal Sidanti masih dianggapnya lebih
penting dari padanya.
Sanakeling menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia masih ingin bertahan dalam keadaannya kini, sampai ia yakin
benar-benar apa yang sebaiknya dilakukan.
Di belakang Sanakeling berjalan Alap-alap
Jalatunda. Alap-alap yang masih terlampau muda untuk kehilangan masa
depannya. Masa depan yang masih cukup panjang baginya. Namun masa depan
itu seakan-akan telah tertutup rapat oleh kabut yang hitam kelam. Sejak
ia terperosok dalam kehidupan petualangan itu, ia sendiri seolah-olah
sudah tidak mempunyai gairah untuk hidup dalam keadaan yang lebih baik.
Seolah-olah ia sudah mantap hidup dalam dunianya yang kotor seperti
sekarang. Namun hal itu disebabkan karena ia sendiri tidak pernah
mendengar berita, pemberitahuan atau semacam itu tentang dunia yang
lebih baik baginya. Tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat
ditempuhnya. Ketika sekali ia mendengar beberapa hal yang cukup menarik
perhatiannya, ia tidak sempat mencernakannya. Pertentangan kata-kata
antara Sanakeling dan Sumangkar, kemudian kehadiran Ki Tambak Wedi dan
Kiai Gringsing, sebenarnya menyentuh hatinya. Tetapi kesempatan yang
kecil itu telah dikaburkan oleh perasaan harga diri, kejantanan dan
keinginan untuk lepas bebas tanpa ikatan seperti burung alap-alap di
udara. Namun seandainya, ya seandainya berita tentang keselamatan
rohaniah itu didengarnya berulang kali, maka ia akan dapat menemukannya.
Kini, mereka dalam kelompok-kelompok
kecil dari lima sampai sepuluh orang berjalan dalam jarak yang tidak
begitu jauh. Mereka semua yang berjumlah lima puluh orang itu berjalan
seperti hantu yang menyebarkan bala dan bencana. Mereka mengharap untuk
segera bersiap di sebelah Timur Sangkal Putung. Setelah beristirahat
sejenak, selagi masih cukup waktu, mereka segera akan memasuki
padesan-padesan kecil di bagian Timur kademangan itu. Mereka sudah tentu
tidak akan melewati jalan-jalan induk, supaya mereka tidak segera
diketahui oleh para peronda. Namun Sanakeling sendiri harus dapat
menguasai salah sebuah gardu, untuk kemudian setelah mereka memasuki
desa itu, membunyikan tanda bahaya justru sebagai tanda bagi
orang-orangnya untuk mulai dengan tugas mereka. Membakar dan
membinasakan apa saja yang mereka jumpai.
Tugas itu seolah-olah terpateri di dalam
setiap kepala orang-orang Jipang itu. Sekali-kali mereka tersenyum
sendiri. Mereka sudah membayangkan peristiwa yang mengerikan akan
terjadi berikutnya. Tetapi ada pula yang menjadi ragu-ragu. Satu dua di
antara mereka, merasa kurang mapan apabila kawan-kawannya yang berbeda
pendirian itu akan terbinasakan. Namun mereka tidak dapat berbuat
apa-apa.
Perjalanan itu sendiri berlangsung tanpa
gangguan apapun. Lewat sedikit tengah malam mereka benar-benar telah
sampai di sebelah Timur Sangkal Putung dan segera mereka bertebaran di
tegalan sambil duduk beristirahat, menunggui saat-saat yang
sebaik-baiknya untuk melakukan gerakan. Mereka tidak boleh terlambat,
tetapi mereka tidak boleh pula terlampau cepat, agar orang-orang Pajang
dan Sangkal Putung tidak sempat dan tidak punya waktu untuk mengurai
peristiwa itu dan menemukan jawaban yang tepat tentang keadaan
sebenarnya.
Di tegalan itu sebagian dari mereka masih
juga sempat bertiduran di atas rumput-rumput kering. Mereka sama sekali
tidak menghiraukan embun yang membasahi pakaian mereka. Setelah
berjalan sekian lama, mereka benar-benar ingin beristirahat.
Sisa-sisa malam itu pun merayap
perlahan-lahan. Bintang-bintang di langit berkisar dari tempatnya lambat
sekali, seperti anak-anak yang malas berjongkok pagi-pagi di halaman.
Segan untuk bangkit dan berjalan.
Tetapi Betapapun lambatnya, akhirnya
mereka mendengar di kejauhan ayam jantan berkokok bersahutan. Di ujung
Timur segera membayang semburat warna-warna merah.
Ki Tambak Wedi bangkit dan berdiri tegak,
bertolak pinggang. Perlahan-lahan ia berkata kepada Sanakeling, “Hari
ini adalah permulaan dari sebuah perjuangan yang berat. Kalau
orang-orang Jipang yang berkhianat itu berhasil dihancurkan, maka kita
akan langsung berhadapan dengan Pajang untuk seterusnya. Nah, kita harus
memperkuat diri. Sidanti sedang menghimpun orang-orang di sekitar
padepokan Tambak Wedi. Sebab Tambak Wedi memiliki pengaruh melampaui
pengaruh Pajang sendiri di lereng Gunung Merapi.”
Sanakeling tidak menjawab. Tetapi ia pun
berdiri pula. Ditatapnya wajah langit di sebelah timur. Kemudian
ditebarkan pandangan matanya berkeliling, beredar di antara
orang-orangnya yang bertebaran. Timbul pertanyaan di dalam hatinya,
“Manakah yang lebih penting dalam pekerjaan ini. Ki Tambak Wedi berdua
dengan Sidanti atau Sanakeling dengan anak buahnya?”
Tetapi dibiarkannya pertanyaan itu tidak berjawab.
Ketika warna-warna merah di langit
menjadi semakin terang, maka berkatalah Ki Tambak Wedi kepada
Sanakeling, “Saatnya hampir tiba Sanakeling. Siapkan orang-orangmu.”
Sanakeling mengangguk. Kemudian ia
berjalan di antara anak buahnya sambil berkata, “Kita segera melakukan
pekerjaan kita. Bersiaplah.”
Dengan malasnya orang-orangnya bangkit.
Satu dua segera berdiri sambil membenahi pakaiannya. Menguatkan ikat
pinggang mereka, tempat pedang-pedang mereka bergayutan. Namun ada juga
satu dua yang masih saja duduk sambil menguap.
“Kembali dalam kelompok-kelompok yang sudah ditentukan,” perintah Sanakeling.
Orang-orang Jipang itu pun segera
berkumpul di antara mereka menurut ketentuan yang telah mereka buat.
Kelompok-kelompok kecil yang akan segera menyusup ke Sangkal Putung.
Tetapi tiba-tiba mereka terkejut ketika
di kejauhan terdengar derap beberapa ekor kuda laju seperti anak panah.
Semakin lama menjadi semakin dekat. Namun karena sisa-sisa gelap malam.
mereka tidak segera melihat siapakah yang berkuda di pagi-pagi buta itu.
Ki tambak Wedi, Sanakeling dan Sidanti
serentak menengadahkan wajah mereka. Dengan penuh perhatian mereka
mendengarkan derap kuda yang semakin lama menjadi semakin dekat.
“Tidak terlampau banyak,” gumam Ki Tambak Wedi.
“Ya,” sahut Sidanti. “Tidak sampai sepuluh ekor.”
“Lima atau enam,” desis Sanakeling.
Ki tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dugaan Sanakeling mendekati kebenaran. Aku menyangka seperti hitungan Sanakeling itu pula.”
Sesaat mereka terdiam. Suara derap itu semakin dekat.
“Siapakah mereka guru?” Bertanya Sidanti.
“Tentu aku tidak tahu,” Jawab ki Tambak Wedi.
“Tetapi aku kira mereka adalah orang-orang Pajang.”
“Apakah yang akan mereka lakukan?”
“Tidak tahu, apa kau sangka orang-orang Pajang mengatakan kepadaku apa yang akan dilakukan?” Sahut Tambak Wedi jengkel.
Sidanti terdiam. Namun getar di dadanya
menjadi kian cepat dan keras seperti suara derap kuda yang semakin cepat
dan keras menghentak telinganya.
Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Kalau
benar orang-orang itu orang Pajang, biarlah aku mencoba mencegatnya.
Mereka harus dibinasakan sebelum kami membakar rumah-rumah orang Sangkal
Putung.”
“Jangan,” Potong Ki Tambak Wedi. “Hal itu
akan dapat mengganggu pekerjaan kita. Kalau mereka peronda-peronda
keliling, maka kelambatan mereka akan menimbulkan kecurigaan. Mungkin
kawan-kawannya akan mencari dan penjagaan akan menjadi bertambah kuat.
Biarlah mereka lewat.”
“Bukankah pembunuhan itu akan berakibat sama seperti apabila kita membakar rumah-rumah mereka?”
“Apakah kalau kita membakar rumah-rumah mereka dan kemudian bertempur melawan mereka, mereka tidak akan mengenal kita?”
“Itulah sebabnya, kalian harus segera
melarikan diri sebelum terjadi pertempuran. Supaya mereka tidak sempat
mengenal kita. Seandainya terpaksa mereka mengenal, mereka tidak cukup
punya waktu untuk memperbincangkan. Kiai Gringsing tidak mempunyai
kesempatan untuk sesorah dan mengatakan bahwa Sanakeling dan Sumangkar
mempunyai pendirian yang berbeda. Mereka pasti menyangka, bahwa semuanya
telah direncanakan oleh orang-orang Jipang. Sebagian pura-pura
menyerah, sebagian menye-rang ketika orang-orang Pajang sedang lengah.
Yang pura-pura menyerah itu pun kemudian pasti akan menyerang pula.”
“Selisih waktu itu tidak seberapa.”
“Yang tidak seberapa itu penting dalam
peperangan. Tetapi selisih waktu itu cukup panjang. Ingat, sekarang hari
masih gelap. Kita harus mulai dengan gerakan kita masuk ke padesan.
Kita masih harus bersembunyi, kemudian Sanakeling merebut salah sebuah
gardu, dan kita mendengar tanda bahaya. Pada saat itu, kita membakar
rumah-rumah itu. Baru sejenak kemudian datang orang-orang Pajang dan
kita lari. Mereka mengejar kita beberapa lama, sampai kita menghilang di
rumpun-rum pun bambu liar itu, saat itu harus sudah mendekati tengah
hari. Saat itu kita mengharap orang-orang Jipang sudah di perjalanan dan
dekat ke desa Benda. Kau tahu akibatnya, Untara tidak sempat berpikir
dan mengendalikan anak buahnya. Kalau cukup waktu baginya, maka ia akan
datang menjemput orang-orang Jipang itu setelah ia menenangkan anak
buahnya atas jaminan Kiai Gringsing.”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia mematuhi perintah gurunya. seperti juga Sanakeling harus mematuhinya.
“Perintahkan orang-orangmu bersembunyi,” berkata Ki Tambak Wedi kepada Sanakeling.
Sanakeling pun segera melakukan perintah
itu. Orang-orangnya pun segera diperintahkan berlindung di balik
dedaunan. Bahkan beberapa orang dengan enaknya berbaring-baring di atas
rerumputan.
Kata mereka di dalam hati, “Dalam gelap ini, mereka pasti tidak akan melihat kami, asalkan kami tidak bergerak-gerak.”
Sesaat kemudian derap kuda itu pun telah
dekat benar. Mereka segera melihat samar-samar di jalan di pinggir
tegalan itu, berpacu lima ekor kuda. Orang-orang berkuda itu sama sekali
tidak menghiraukan apa yang sedang terjadi di tegalan itu. Mereka sama
sekali tidak menyangka bahwa lima puluh pasang mata memandangi mereka
dengan nyala kebencian di dalam hati mereka.
Ketika kuda itu telah lewat, segera
Sidanti berdiri sambil bergumam, “Salah seorang adalah Sonya. Ingin aku
mematahkan lehernya dan menyobek mulutnya. Ia adalah salah seorang
penghubung yang dekat dengan paman Widura.”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia berkata perlahan-lahan seperti kepada diri
sendiri, “Mereka tidak sedang meronda.”
Sidanti memandang gurunya dengan
tajamnya. Katanya, “Ya, mereka agaknya tidak sedang meronda. Kalau guru
tidak mencegah, mereka dapat kami tangkap dan kami paksa untuk
mengatakan, untuk apa mereka berpacu di pagi-pagi buta ini.”

Karena itu kemudian Ki Tambak Wedi itu
berkata, “Sekarang siapkan diri masing-masing, kita mulai bergerak. Kita
harus masuk ke desa terdekat sebelum matahari naik. Jaga supaya tidak
seorang pun melihat kita masing-masing. Bersembunyilah di dalam
rumpun-rum pun bambu atau di tengah-tengah kebun-kebun yang luas, di
antara tanaman-tanaman liar yang rimbun, jangan tergesa-gesa berbuat
sesuatu sebelum kalian mendengar tanda bahaya, supaya kalian dapat
berbuat serentak.”
Orang-orang Jipang itu pun segera berkelompok-kelompok. Mereka telah siap melakukan tugas mereka sebaik-baiknya.
Sesaat kemudian maka mereka telah berada
di jalan yang dilewati oleh Sonya dan keempat kawannya. Orang-orang itu
pun memandangi ke segala arah, kalau-kalau ada sesuatu yang akan
mengganggu tugas mereka. Tetapi yang mereka lihat adalah sisa-sisa malam
yang hitam. Meskipun di langit sudah membayang warna-warna merah, namun
warna-warna yang kelam masih mentabiri pandangan mata mereka.
Ki Tambak Wedi yang juga sudah berdiri di
tengah jalan berkata, “Kita mendekati Sangkal Putung lewat jalan ini.
Tetapi kemudian apabila kita sudah mendekati desa di ujung bulak itu,
kita akan berpencaran. Kita akan mencari jalan kita sendiri-sendiri
untuk memasuki desa itu. Ingat segala perintah yang sudah kau dengar
baserta segala petunjuknya. Siapa yang menyalahi perintah itu akan
menerima hukumannya”
Yang mendengar kata-kata Ki tambak Wedi
itu mengerutkan keningnya. Tohpati tidak pernah memberi mereka ancaman
seperti Ki Tambak Wedi. Namun mereka tidak sempat untuk memikirkannya.
Sebab Ki Tambak Wedi kemudian berkata, “Kita akan segera berangkat.”
Ki Tambak Wedi itu pun kemudian segera
berjalan mendahului orang-orangnya. Di sampingnya berjalan Sidanti.
Sanakeling berjalan bersama dengan kelompoknya yang terdiri dari enam
orang. Mereka harus langsung menuju ke gardu di ujung jalan yang
memasuki desa di hadapan mereka, setelah kawan-kawannya berbasil
menyusup ke dalam desa itu. Begitu tiba-tiba supaya orang-orang di gardu
itu tidak sempat memukul tanda bahaya. Orang-orangnyalah yang nanti
setelah datang saatnya harus membunyikan tanda itu. Sedang para peronda
di dalam gardu itu harus dimusnahkan.
Orang-orang yang lain, berjalan dalam
kelompoknya masing-masing, lima atau enam orang. Di antaranya adalah
kelompok yang dipimpin langsung oleh Alap-alap Jalatunda.
Ki Tambak Wedi dan orang-orang Jipang itu
pun kemudian berjalan mendekati Sangkal Putung. Sesaat kemudian mereka
telah berada di tengah-tengah bulak persawahan. Tetapi karena hari malam
cukup gelap, mereka tidak takut seandainya ada orang-orang Sangkal
Putung yang melihat mereka. Baru setelah nanti mereka mendekati desa
yang terbentang di hadapan mereka, maka mereka akan berpencaran dan
sambil merunduk-runduk berjalan di antara batang-batang jagung di sawah
mendekati desa itu.
Demikianlah tanpa berbicara sepatah kata
pun mereka berjalan. Di ujung depan adalah Ki Tambak Wedi sendiri,
sedang di ujung belakang adalah Sanakeling dan kelima kawan-kawannya.
Langit yang merah menjadi semakin merah.
Ketika Ki Tambak Wedi menengadahkan wajahnya, ternyata fajar telah
hampir pecah. Karena itu maka ia bergumam, “Kita hampir terlambat.
Percepat perjalanan yang pendek ini.”
Perintah itu meloncat dari kelompok ke
kelompok di belakangnya, sehingga akhirnya sampai juga ke telinga
Sanakeling. Sehingga iring-iringan itu pun kemudian maju lebih cepat
dari sebelumnya.
Tetapi tiba-tiba salah seorang di dalam
kelompok Sanakeling dengan serta merta menggamitnya sambil berkata,
“Kakang Sanakeling. Lihatlah, di belakang kita ada obor berjalan searah
dengan perjalanan kita.”
Sanakeling pun segera berpaling. Dan
seperti yang dikatakan oleh orangnya itu, di belakang mereka tampak
beberapa buah obor yang berjalan menuju ke Sangkal Putung pula. Karena
itu, maka langkahnya tertegun. Sambil bertolak pinggang ia berkata,
“Siapakah mereka itu?”
Tak seorang pun yang menyahut.
“Hanya empat buah obor,” desisnya kemudian.
“Ya, empat buah obor,” sahut salah seorang anak buah.
“Tetapi tidak berarti bahwa yang berjalan itu hanya empat orang,” berkata Sanakeling kemudian.
“Ya,” sahut kawan-kawannya hampir serentak.
“Beritahukan Ki Tambak Wedi,” berkata
Sanakeling kemudian. la menjadi heran sendiri terhadap dirinya. Tanpa
dikehendakinya ia telah menempatkan diri di bawah pimpinan orang tua
itu. Kini ia tidak dapat mengambil keputusan sendiri, meskipun ialah
sebenarnya pemimpin dari orang-orang Jipang itu.
Orang yang diperintahkan itu pun segera
berlari-lari mendahului kawan-kawannya. Ketika kawan-kawannya itu
bertanya maka dijawabnya, “Ki Tambak Wedi harus tahu, di belakang kami
ada obor.”
Serentak orang-orang itu pun berpaling. Dan segera mereka pun melihat pula obor-obor itu. Hanya empat buah.
Ketika Ki Tambak Wedi mendengar laporan
itu, maka segera ia pun berhenti. Bahkan kemudian ia berjalan kembali,
menemui Sanakeling yang berada di ujung belakang. Katanya, “Sejak kapan
kalian melihat obor-obor itu?”
“Baru saja Kiai.”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Gumamnya, “Mereka pasti baru saja muncul dari balik tikungan.
Ya, di sebelah itu ada tikungan. Di sebelah timur tegalan tempat kita
beristirahat.”
Yang mendengar kata-kata itu pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Iring-iringan itu pun kini telah
berhenti. Bahkan beberapa orang telah berjalan kembali dan berdiri di
sekitar Ki Tambak Wedi dan Sanakeling.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu berkata, “Obor itu terlampau tinggi dan terlampau cepat bagi orang yang berjalan kaki.”
“Ya,” sahut Sanakeling serta merta.
Katanya pula, “Empat orang itu pasti berkuda, tetapi perlahan-lahan,
sehingga derapnya belum kita dengar.”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Bahkan kemudian mereka melihat keempat obor itu berhenti,
meskipun masih juga bergerak-gerak tetapi tidak maju lagi ke arah
mereka.
Terdengar Ki Tambak Wedi menggeram.
Apalagi ternyata kemudian bahwa langit telah menjadi semakin cerah.
Obor-obor itu terasa sangat mengganggu perasaan orang tua itu.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak segera dapat
mengambil suatu sikap. Orang-orang yang membawa obor itu telah
menimbulkan persoalan baru yang tidak disangka-sangka. Apabila mereka
bersembunyi di balik-balik pematang, mungkin orang-orang itu tidak akan
melihat mereka, tetapi dengan demikian hari akan menjadi semakin terang.
Mereka akan menemukan banyak kesulitan untuk menerobos masuk ke dalam
padesan tanpa diketahui.
Orang-orang Jipang yang berdiri
mengerumuni Ki Tambak Wedi itu pun menjadi gelisah pula. Mereka menunggu
apa yang harus mereka lakukan menghadapi keadaan yang tiba-tiba itu.
Sekali Ki Tambak Wedi berpaling, melihat
bayangan padesan di ujung bulak itu yang semakin lama menjadi semakin
jelas, sejalan dengan hatinya yang semakin gelisah.
Tiba-tiba orang tua itu menggeram, katanya, “Kita belum tahu berapa jumlah mereka kecuali yang membawa obor itu.”
Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya, “Kita dihadapkan pada keadaan yang sulit.”
Dada Sanakeling berdesir mendengar
kata-kata itu, sehingga akalnya yang terlampau pendek menjadi bingung
menghadapi keadaan. Dengan serta merta ia melanjutkan, “Apakah Kiai
segera dapat menemukan cara yang sebaik-baiknya tanpa kebingungan.”
Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi segera ia berusaha menahan perasaaannya. Keadaan yang dihadapi benar-benar sulit.
Kini obor-obor itu mulai bergerak lagi
maju mendekati Sangkal Putung. Tetapi sejenak kemudian, maka obor-obor
itu pun dipadamkan.
Kembali Tambak Wedi menggeram. Kini
mereka telah dapat melihat ujung-ujung kaki sendiri di atas tanah yang
kehitam-hitaman. Sedang di langit cahaya yang terang menjadi semakin
terang.
“Gila,” Ki Tambak Wedi itu mengumpat.
Tiba-tiba ia berteriak, “Kita masuk ke Sangkal Putung dengan tiba-tiba.
Tidak dengan sembunyi-sembunyi. Kita langsung menyerang gardu peronda.
Biarlah mereka membunyikan tanda bahaya. Yang lain membakar rumah.
Dengan demikian kita tidak lagi tergesa-gesa meskipun kemudian hari
menjadi terang. Sekarang kita bersembunyi. Cepat, aku sudah mendengar
derap kuda. Terlampau banyak, tidak hanya lima atau enam ekor. Kalau
jumlah mereka tidak melampaui jumlah kita, kita akan menyergapnya.
Orang-orang itu pasti orang Pajang yang datang, langsung dari kota untuk
menyaksikan penyerahan orang-orang Jipang. Sonya dan kawan-kawannya
tadi pasti menyongsong orang itu. Kita akan melihat siapakah yang
menjadi wakil penglima Wira Tamtama. Bahkan seandainya Pemanahan sendiri
datang, aku akan melawannya. la bagiku sama sekali tidak berarti.
Sedang di dalam pasukan kita kini ada senapati-senapati terpilih.
Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, dan Sidanti di samping
pemimpin-pemimpin kelompok dan para prajurit terpilih. Pajang tidak akan
membawa senapati sebanyak itu. Nah, sekarang cepat bersembunyi di
balik-balik pematang. Kalau tiba saatnya aku akan memberikan tanda.
Kalau kalian mendengar tanda, maka berarti kalian harus menyerang
orang-orang Pajang itu. Jangan ada yang sempat lolos.”
Orang-orang Jipang itu mendengar perintah
Ki Tambak Wedi dengan jelas. Sebagai prajurit, perintah itu pun segera
dapat mereka mengerti. Dengan demikian, maka segera mereka menghambur
terjun ke dalam sawah-sawah dan parit-parit untuk bersembunyi di balik
tanam-tanaman jagung dan di balik pematang-pematang.
Tetapi derap kuda yang mendatang ternyata
terlampau cepat. Dari dalam gelap yang semakin menipis mereka melihat
serombongan orang-orang berkuda, meskipun tidak berpacu, tetapi cukup
cepat mendekati Sangkal Putung. Seandainya fajar tidak segera pecah di
Timur, maka orang berkuda itu tidak akan dapat melihat beberapa orang
yang terakhir dari orang-orang Jipang itu meloncat masuk ke dalam
rimbunnya batang-batang jagung muda. Tetapi hari menjadi semakin terang.
Meskipun jarak mereka belum terlampau dekat, namun orang-orang berkuda
itu sempat melihat apa yang terjadi di tengah-tengah bulak itu.
Seorang yang berada di ujung segera
mengangkat tangannya. Serentak mereka yang berada di dalam iring-iringan
orang berkuda itu memperlambat jalan kuda mereka. Tetapi sesaat
kemudian mereka telah tidak melihat apa-apa lagi. Di tengah-tengah bulak
itu telah menjadi sepi. Namun kesan yang mereka peroleh adalah, ada
sesuatu yang mencurigakan. Mereka melihat beberapa orang yang terakhir
dari kelima puluh orang Jipang itu bersembunyi.
Tetapi seorang yang sudah setengah umur,
yang berada di atas punggung kuda yang kehitam-hitaman berkata dengan
tenang, “Kita berjalan terus.”
Orang yang di ujung barisan itu mengangguk tanpa menjawab sepatah katapun. Kembali kuda itu berjalan agak cepat.
Orang setengah umur yang berada di belakang orang di ujung barisan itu berkata pula, “Di mana penghubung yang dikirim Untara?”
Sonya dan keempat kawannya segera mendesak maju, mendekati orang setengah umur itu.
“Pergilah lebih dahulu berdua. Sampaikan kepada Untara bahwa sebentar lagi aku akan memasuki Sangkal Putung.”
Sonya mengangguk dalam-dalam. Kemudian bersama seorang kawannya ia berpacu mendahului rombongan itu.
Ki Tambak Wedi yang bersembunyi di dalam
rimbunnya batang-batang jagung muda melihat dua ekor kuda mendahului
kawan-kawannya. Kembali ia menjadi bimbang. Apakah yang akan dilakukan
atas kedua orang berkuda itu? Apakah kedua orang itu telah melihat
kehadiran mereka, kemudian melaporkan kepada Untara dan Widura?
Dalam sekejap Ki Tambak Wedi yang
mengintip dari balik tanggul parit membuat perhitungan. Ketika ia yakin
bahwa orang berkuda yang sudah nampak semakin jelas dari balik tanggul
parit itu, tidak lebih dari duapuluh lima orang, tiba-tiba ia berdiri
tegak. Kepalanya ternyata masih melampui tinggi batang-batang jagung
itu, sehingga dengan demikian Ki Tambak Wedi menjadi yakin, bahwa yang
dihadapinya hanya separo dari kekuatannya. Karena itu tiba-tiba ia
berteriak, “Hentikan kedua orang Itu.”
Sonya dan seorang temannya terkejut bukan
kepalang. Ketika tiba-tiba mereka melihat sebuah kepala muncul dari
dalam batang-batang jagung muda. Tetapi jarak mereka telah terlampau
dekat sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk menghindar.
Belum lagi mereka dapat menguasai
keadaan, tiba-tiba beberapa orang lagi berloncatan dari balik
batang-batang jagung, dari balik pematang dan tanggul-tanggul parit.
Sesaat Sonya dan kawannya menjadi
bingung. Tetapi sesaat kemudian Sonya berbisik, “Kembali dan laporkan,
aku akan terus melaporkannya ke Sangkal Putung.”
Sonya tidak menunggu Iebih lama lagi.
Segera ia menarik kekang kudanya, menyentuh perut kuda itu dengan
tumitnya dan kemudian kuda itu meloncat dengan garangnya, berpacu lagi
ke Sangkal Putung.
Beberapa orang Jipang telah hampir
mencapai jalan tempat kuda itu berlari. Tetapi kuda itu berjalan
terlampau cepat, sehingga Ki Tambak Wedi yang berdiri tegak di pinggir
parit induk yang agak lebar berteriak, “Cepat! Jangan seperti keong yang
malas.”
Orang-orang Jipang itu berloncatan.
Sidanti yang menyimpan kebencian di dalam dadanya pun berusaha
secepatnya sampai ke jalan. Tetapi Sonya pun berusaha untuk mendahului
orang-orang yang mencegatnya.
Tak seorang pun yang menghiraukan kawan
Sonya yang memacu kudanya kembali ke iring-iringan yang sudah semakin
dekat. Yang penting bagi mereka adalah, Sonya tidak boleh lolos, supaya
orang-orang Sangkal Putung tidak segera mengetahui apa yang telah
terjadi. Tetapi Sonya pun tidak mau jalannya terhenti. la harus dapat
melampaui orang-orang itu, apa pun yang terjadi atas dirinya. Karena itu
ia sama sekali tidak menghiraukan ketika beberapa ujung pedang
seakan-akan menyongsongnya. Tetapi ia mengharap bahwa kudanya mampu
meloncat melampaui kecepatan loncatan orang-orang yang kini sudah berada
di sisi parit di tepi jalan.
Tetapi Sonya terlambat sekejap. Ketika
kudanya melampaui orang-orang Jipang itu, salah seorang dari mereka
telah sempat meloncat sampai ke tepi jalan. Dengan garangnya orang itu
berteriak sambil mengayunkan pedangnya ke arah lambung Sonya. Sonya
melihat ujung pedang yang menyambarnya. la adalah seorang penghubung
yang terlatih, sehingga dengan demikian ia pun adalah seorang penunggang
kuda yang baik. Dengan sigapnya ia menjatuhkan dirinya dan bergayut di
punggung kudanya pada sisi yang lain dari arah pedang itu. Usahanya itu
pun ternyata menolongnya pula, namun tidak seluruhnya. Pedang itu masih
juga sempat menyobek pahanya sehingga sebuah luka jang panjang tergores
melintang. Sonya mengaduh pendek. Namun kudanya berlari terus.
“Gila!” teriak Ki Tambak Wedi dengan
marahnya ketika ia melihat bahwa Sonya itu tidak dapat dihentikannya.
Dengan serta merta ia mengambil selingkar gelang besi dari dalam bajunya
siap untuk dilemparkannya ke arah kuda Sonya. Tetapi tiba-tiba ia
terkejut ketika ia mendengar suara dari dalam iring-iringan itu. Tenang
namun penuh wibawa, “Bukankah kau ini yang bernama Ki tambak Wedi,
seorang sakti yang namanya ditakuti oleh seluruh rakyat di lereng Gunung
Merapi?”
Suara itu sesaat mempengaruhi kepala Ki
Tambak Wedi. Tetapi ia tidak mau kehilangan Sonya, karena itu maka
segera ia teringat kembali kepada suatu keharusan membinasakan
penghubung itu. Dengan gigi gemeretak didorong oleh kemarahan yang
meluap-luap, Ki tambak Wedi melemparkan sebuah gelang-gelang besinya
mengejar laju kuda Sonya. Namun waktu yang sekejap, pada saat Ki Tambak
Wedi dikejutkan oleh sebuah panggilan atas namanya, ternyata telah
menolong penghubung itu. Sekali lagi ia berhasil melepaskan diri dari
kebinasaan akibat gelang-gelang besi itu. Meskipun gelang-gelang tidak
dapat dihindari sepenuhnya, namun sentuhannya sudah tidak terlampau
berbahaya baginya. Meskipun demikian, ketika gelang-gelang itu
menyinggung bahunya, terasa nafasnya seolah-olah tersumbat. Pedih di
pahanya dan sakit yang menyengat di bahunya, hampir-hampir telah
membunuhnya. Kalau ia terpelanting dari kudanya yang seakan-akan sedang
terbang, maka akan tamatlah ceritera tentang dirinya.
Beruntunglah bahwa Sonya masih tetap
sadar. Betapa nafasnya sesak dan batapa kakinya serasa disayat-sayat,
namun ia tetap berada di punggung kuda yang berpacu seperti dikejar
hantu.
Ki Tambak Wedi mengumpat tak
habis-habisnya. Sidanti yang terlambat pun menghentakkan kakinya
berkali-kali, sedang Sanakeling menggerem seperti kerasukan setan. Namun
Sonya telah semakin jauh.
Yang menjadi semakin dekat adalah
iring-iringan orang-orang berkuda itu. Kini benar-benar telah terlampau
dekat. Tetapi iring-iringan itu pun telah berhenti. Mereka tidak dapat
terus melampaui orang-orang Jipang yang kini seluruhnya telah berdiri
berderat-deret di tengah dan di tepi-tepi jalan.
“Kepung mereka!” perintah Ki Tambak Wedi.
Perintah itu tidak perlu diulangi. Orang-orang Jipang itu segera
bertebaran mengepung orang-orang yang berada di atas punggung kuda itu.
Sekilas Ki Tambak Wedi dapat melihat,
bahwa orang-orang itu benar-benar tidak lebih dari duapuluh lima orang.
Namun meskipun demikian hati orang tua itu agak menjadi berdebar-debar
juga. Mereka adalah prajurit-prajurit Wira Tamtama dari Pajang.
Ki Tambak Wedi yang benar-benar telah
dibakar oleh kemarahannya itu tiba-tiba berkata lantang, “He orang-orang
Pajang yang bernasib jelek. Karena seorang daripada kalian telah lolos
dari tangan kami, maka kami akan dapat membayangkan akibatnya. Orang itu
pasti akan menyampaikan kehadiran kami kepada Untara. Karena itu, maka
kami harus berbuat secepat-cepatnya. Serahkan senjata dan kuda kalian,
kami tidak akan mengganggu lagi.”
“Maaf Ki Tambak Wedi,” sahut seorang setengah umur di antara yang lain. “Kami masih memerlukan senjata dan kuda-kuda kami.”
Orang yang berbicara itu pun kemudian mendesak maju, mendorong kudanya untuk tampil di paling depan.
Sementara itu hari telah benar-benar
menjadi terang. Matahari telah memancar dari balik punggung bukit.
Meskipun kabut pagi masih agak tebal, namun semua wajah kini telah
menjadi semakin jelas.
Wajah orang berkuda yang kini berada di
paling depan itu pun kemudian menjadi jelas pula oleh Ki Tambak Wedi.
Meskipun ia telah menyebut nama orang itu, dan sedikit banyak menduga
bahwa orang itu akan datang di Sangkal Putung, namun kebenaran dari
dugaannya itu masih juga mengejutkannya. Sehingga tanpa sesadarnya ia
berkata, “Kau datang juga?”
“Ya,” sahut orang setengah umur itu.
“Peristiwa penyerahan sebagian besar orang-orang Jipang itu adalah
peristiwa besar bagi Pajang. Karena itu aku memerlukan menghadirinya.
Mudah-mudahan setelah peristiwa ini, Pajang akan menjadi aman tenteram
dari segala gangguan.”
Ki Tambak Wedi tertawa pendek. Nadanya
benar-benar menyakitkan hati, katanya, “Ternyata kau kini seperti seekor
ikan di dalam wuwu. Betapa besar namamu, namun nyawamu tidak juga
seliat nyawa demit. Kau sangka bahwa kau tidak dapat mati seperti
ceritera tentang perguruan Kedung Jati yang mampu menyimpan nyawa
rangkap, hai anak Sela.”
“Aku tidak percaya ceritera itu,” sahut orang berkuda itu karena itu. “Maka aku pun tidak mengatakan demikian tentang diriku.”
“Persetan!” teriak Ki Tambak Wedi.
“Sayang aku tidak mengenalmu sejak tadi karena kabut yang tebal dan
karena kau tertutup oleh orang-orangmu yang berkuda sebagai perisaimu.”
“Aku mengenalmu sejak aku mendengar
suaramu. Kau masih saja berteriak-teriak seperti dahulu dan kau masih
juga bermain-main dengan gelang-gelang itu.”
Ki Tambak Wedi menggeram sekali lagi.
Kemudian katanya sambil mengancam, “Jangan melawan. Orang-orangmu hanya
kurang dari separo orang-orangku. Betapa saktinya kau, namun kau tidak
akan dapat berbuat apa-apa. Serahkan senjata dan kudamu. Kau akan
selamat.”
Orang itu tersenyum. Jawabnya, “Ki Tambak
Wedi, kau belum pernah menjadi seorang prajurit. Mungkin nilai sebatang
tombak atau sehelai pedang bagimu, tidaklah begitu besar seperti kami
para prajurit menilainya.”
“Betapa besar nilai senjatamu, namun nyawamu pasti lebih bernilai dari padanya.”
Kembali orang itu tertawa. Bahkan semakin
keras. Jawabnya, “Jangan berpura-pura tidak tahu bahwa aku dan
orang-orangku tidak akan menerima permintaan itu. Bahkan aku ingin tahu,
kenapa kau menghalang-halangi penyerahan ini?”
“Itu bukan urusanku. Itu adalah urusan orang-orang Jipang dan orang-orang Pajang. Sekarang yang penting bagiku menyerahlah.”
“Kenapa kau terlalu tergesa-gesa? Marilah
kita berbicara. Mungkin ada hal-hal yang dapat kau mengerti atau
sebaliknya, yang selama ini terasa bersimpang siur. Misalnya tentang
muridmu, Sidanti. Kenapa ia terlampau tergesa-gesa untuk menjadi Iurah
Wira Tamtama? Kalau ia tekun, pasti ia akan sampai ke jabatan itu.”
“Hem, kau licik. Kau mencoba memperpanjang waktu, supaya kau sempat menunggu Untara dan Widura yang akan datang menolongmu.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sambil tersenyum ia berkata, “Kau memang cerdas Ki tambak Wedi. Tetapi
jangan kau sangka bahwa jumlah yang sedikit ini tidak akan mampu melawan
orang-orangmu. Meskipun jumlah orang-orangmu lebih dari dua kali lipat
dari orang-orangku, tetapi kami berada di atas punggung-punggung kuda.
Kaki-kaki kuda kami akan merupakan senjata tersendiri yang akan dapat
menginjak orang-orangmu menjadi lumat.”
“Hanya anak-anak kecil yang mempercayai kata-katamu itu,” sahut Ki Tambak Wedi. Tetapi Tambak Wedi menjadi mual mendengarnya.
“Ki Tambak Wedi,” berkata orang itu.
“Untuk yang terakhir kalinya aku memperingatkanmu. Aku adalah pengemban
tugas negara, Kalau kau menghalang-halangi aku dan prajurit-prajurit
Wira Tamtama ini, maka berarti bahwa kau telah memberontak terhadap
Pajang.”
“Aku tidak memerlukan peringatan itu.
Sekali lagi kau harus tahu, Tambak Wedi bukan anak-anak. Tambak Wedi
menyadari apa yang terjadi. Bahkan Tambak Wedi telah bertekad, Pajang
harus dimusnahkan.”
Orang yang berada di atas punggung kuda
itu mengerutkan keningnya. Perkataan ki Tambak Wedi itu benar-benar
menyinggung perasaannya. Meskipun demikian ia masih berkata tenang,
“Kalau demikian, kenapa kau memisahkan diri dari Patih Mantahun, dan
bahkan menyerahkan Sidanti ke dalam lingkungan keprajuritan Pajang?”
“Persetan! Aku sangka orang-orang Pajang jujur menghadapi kawan sendiri. Tetapi ternyata tidak.”
“Itu hanyalah anggapanmu ki Tambak Wedi.
Kau sendiri tidak turut berbuat sesuatu. Bahkan muridmu itu pun kemudian
berkhianat atas nasehatmu.”
“Bukankah sudah pasti bahwa dengan
demikian tidak ada kata-kata lain untuk memberi julukan kepadaku, kepada
Ki Tambak Wedi? Aku memang hendak mbalela. Apa katamu? Sekarang menyerahlah.”
Orang di atas punggung kuda itu tidak
lagi dapat menahan kemarahannya. Meskipun demikian ia tidak menjadi
kehilangan keseimbangan. Sekali dilayangkan pandangan matanya, beredar
di sekelilingnya. Diawasinya setiap orang di dalam barisannya dan setiap
orang yang berdiri mengepung orang-orangnya.
“Yakinkan dirimu,” berkata Ki Tambak Wedi, “bahwa kau harus menyerah.”
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia
berkata kepada salah seorang di dalam barisannya, “Jebeng, kau lihat
anak muda itu? Umurnya lebih tua dari padamu. la adalah murid Ki Tambak
Wedi. Anak itulah yang bernama Sidanti, yang ingin dengan tangannya
membunuh Tohpati dan kemudian mencoba membunuh Untara. Meskipun ia tidak
sesakti Arya Penangsang, tetapi kepalanya ternyata lebih dingin
daripada Adipati Jipang.”
Seorang anak muda menggerakkan kudanya
mendekati orang setengah umur itu. Di tangannya digenggamnya sebatang
tombak pendek, berjuntai seutas tali berwarna kuning emas.
Semua mata kini terarah kepada anak muda
itu. Dengan sebuah senyum yang menggores di bibirnya ia berkata, “Dari
mana ayah tahu kalau anak muda itu yang bernama Sidanti?”
Orang tua setengah umur itu menjawab,
“Senjatanya telah mengatakan kepada kita. Nenggala di tangan kirinya itu
adalah ciri perguruan lereng Merapi. Bukankah begitu Ki Tambak Wedi?”
Tambak Wedi tidak menjawab. Namun
terdengar ia menggeram. Matanya sama sekali tidak lepas dari ujung
tombak di tangan anak muda yang kini telah berada di samping orang
setengah umur yang ternyata adalah ayahya.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi berpaling ketika
ia mendengar ayah anak muda itu berkata, “Ki Tambak Wedi, tombak itu
sama sekali bukan Kyai Plered yang terkenal. Kali ini kami sama sekali
tidak membawa pusaka keramat itu. Yang dibawa oleh anak ini adalah
sebuah tombak lain, meskipun juga sebuah tombak pusaka hadiah Adipati
Pajang. Namanya mungkin belum pernah kau dengar, ‘Kiai Pasir Sewukir’.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram.
Bahkan kini ia berkata, “Aku tidak peduli apakah yang dibawanya Kiai
Plered atau bukan. Meskipun seandainya yang dibawanya itu Tombak Kiai
Plered pun, bagiku tidak berarti apa-apa. Sekarang menyerahlah. Jangan
memperpanjang waktu. Kalau habis sabarku, maka aku tidak akan memberimu
kesempatan lagi.”
Orang di atas punggung kuda itu menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian sekali lagi dipandanginya setiap wajah dari
para prajurit Jipang. Beberapa orang telah dikenalnya dengan baik.
Karena itu kemudian disapanya orang yang berdiri di sisi Sidanti, “He,
Sanakeling. Kau juga berada di sini?”
Betapa besar hati orang itu, dan betapa
kebenciannya membakar dadanya terhadap orang-orang Pajang, namun perbawa
orang itu telah menundukkan kepalanya.
Sikap itu sama sekali tidak menyenangkan
Ki Tambak Wedi, sehingga terdengar ia membentak, “Sanakeling, apakah
arti orang itu bagi panglima prajurit Jipang?”
Sanakeling menyadari kedudukannya.
Pertanyaan Ki Tambak Wedi telah benar-banar mengungkat kejantanannya,
sehingga kemudian ia mejawab lantang, “Bukan Kiai. Orang itu tidak
berarti apa-apa bagiku.”
Tiba-tiba terdengar anak muda yang
menggenggam tombak berjuntai kuning itu tertawa. Kataya, “Paman
Sanakeling. Apakah paman lupa terhadap kami. Aku dan ayah?”
Sanakeling menggeram. Tetapi kembali ia dicengkam oleh wibawa ayah dan anak yang berada di atas punggung kuda itu.
Yang menjawab kemudian adalah Sidanti,
“Kita berhadapan sebagai lawan. Jangan mencoba mengungkat perasaan yang
dapat melemahkan lawan. Seorang yang berhati jantan tidak akan berbuat
selicik itu.”
Anak muda di atas punggung kuda itu
mengerutkan keningnya. Sekilas ditatapnya wajah ayahnya. Tetapi wajah
orang tua itu sama sekali tidak membuat kesan apa pun atas kata-kata
Sidanti, bahkan sambil tersenyum ia berkata, “Murid Ki Tambak Wedi
ternyata mempunyai kesamaan dengan gurunya. Adatnya agak terlampau keras
di samping nafsunya yang melonjak-lonjak sehingga hampir-hampir Untara
dikorbankannya.”
“Aku meyesal bahwa Untara itu tidak mati,” Sahut Sidanti.
Sekali lagi anak muda di punggung kuda
itu mengerutkan keningnya, namun ayahnya masih setenang itu menjawab,
“Bagaimana kalau kau mendapat kesempatan sekali lagi?”
Sidanti heran mendengar pertanyaan itu.
la tidak mengerti sama sekali, apakah maksudnya. Namun orang itu
menjelaskan, “Maksudku, sebentar lagi Untara pasti akan datang. Bukankah
kau akan dapat berhadapan sekali lagj?”
Sidanti menggeram. Terasa dadanya
bergelora dan kemarahannya segera membakar ubun-ubunnya. Apalagi ketika
ia mendengar anak muda yang membawa tombak itu tertawa.
“Persetan dengan Untara!” teriak Sidanti,
“ayo siapa namamu dan siapa anak muda yang sombong itu. Mungkin kau
belum mengenal Sidanti.”
Sanakeling tiba-tiba berpaling.
Dipandanginya wajah Sidanti, Sanakeling hampir tidak percaya bahwa
Sidanti benar-benar belum mengenal orang itu ayah beranak. Sehingga
tanpa dikehendakinya ia berdesis, “Adi Sidanti, apakah kau belum pernah
melihatnya?”
Sidanti terkejut mendengar pertayaan itu.
la adalah bekas prajurit Pajang. Namun selama tugasnya yang pendek ia
belum pernah bertemu dengan kedua orang itu, seperti ia belum begitu
mengenal Untara sebelumnya.
Namun Sidanti tidak terlampau lama
berteka-teki. la mendengar gurunya menjawab pertanyaanya, meskipun
ternyata jawaban itu benar-benar mengejutkannya. “Apakah kau belum
pernah mengenal mereka selama kau menjadi prajurit, Sidanti? Kalau
belum, itu adalah pertanda kelicikan orang-orang yang berada di atasmu.
Mereka dengan sengaja menjauhkan kau dari pimpinan-pimpinan yang lebih
tinggi supaya mereka tidak melihat kelebihanmu daripada mereka. Bukankah
dengan sengaja Widura menyembuyikan kau di padesan dan menugaskan kau
selama ini jauh dari pusat pemerintahan Pajang, meskipun kemampuanmu
setingkat dengan senapati besar dari Jipang yang bernama Tohpati dan
bergelar Macan kepatihan?”
Sekali lagi Sidanti mencoha
mengingat-ingat, siapakah kedua orang ayah beranak itu. Mungkin ia
merasa pernah melihat perwira Wira Tamtama itu. Tetapi apakah pedulinya
sekarang, selagi keadaannya telah menjadi semakin jauh dari
kemungkinan-kemungkinan lain daripada menghadapi setiap orang Pajang
sebagai lawan.

Sidanti memandang laki-laki setengah umur
di atas punggung kuda itu tanpa berkedip. Dicobanya untuk
mengingat-ingat satu demi satu perwira Wira Tamtama yang dikenalnya.
Akhirnya, lambat laun, ingatan Sidanti menyentuh sebuah wajah yang
pernah dikenalnya. Tetapi wajah itu terlampau besar bagi orang yang
berkuda di hadapannya itu. Ketika ia melihatnya beberapa bulan yang
lampau, orang itu berada dalam satu barisan yang lengkap disertai dengan
segala macam tanda-tanda kebesaran. Orang itu memakai pakaian
kebesarannya pula. Sedang kini, Iaki-laki itu mengenakan pakaian
keprajuritan, tanpa tanda-tanda kebesaran selain ciri seorang perwira
dari Wira Tamtama.
Dada Sidanti menjadi berdebar-debar
karenanya. Namun akhirnya ia dapat menguasai dirinya ketika ia melihat
sikap gurunya. Guruya sama sekali tidak menjadi cemas menghadapi
Iaki-laki berkuda itu, bahkan seandainya kenangannya itu benar, ia pun
harus bersikap seperti gurunya pula.
Yang terdengar adalah suara Ki Tambak
Wedi, “Sidanti, kalau kau belum mengenal sekalipun bukanlah soal bagimu.
Justru lebih baik apabila kau belum tahu siapa yang kau hadapi supaya
hatimu tidak terpengaruh. Tugasmu sekarang adalah ambil tombak yang
bernama Kiai Pasir Sewukir dari tangan anak sombong itu. Jangan hiraukan
apa yang pernah dilakukan dahulu. Jangan menjadi silau, sebab ia tidak
membunuh Arya Penangsang dengan jujur, tetapi ia mempergunakan kuda
betina untuk membuat kuda Arya Penangsang tidak dapat dikendalikan.
Dengan demikian, kesempatan bertempur Arya Penangsang sangat terganggu
oleh kudanya yang bernama Gagak Rimang, karena kuda itu melihat kuda
betina Loring Pasar.”
Kini dada Sidanti benar-benar bergelora.
Anak muda itulah yang bergelar Ngabehi Loring Pasar, yang sebelumnya
lebih terkenal bernama Sutawijaya. Kalau demikian siapakah laki-laki
itu? Ayah Sutawijaya adalah Ki Gede Pemanahan, sedang ayah angkatnya
adalah Adipati Pajang sendiri. Kalau demikian benar dugaannya, laki-laki
itu adalah Ki Gede Pemanahan yang pernah dilihatnya dalam kelengkapan
kebesaran seorang Panglima Wira Tamtama.
Sidanti yang tiba-tiba terpaku itu
mendengar gurunya berkata, “Nah Sidanti, jangan cemas. Kau sekarang
tidak berada di atas punggung kuda seperti Gagak Rimang. Kau dapat
mempercayakan setiap langkah pada kakimu sendiri.”
Anak muda itu, yang sebenarya Sutawijaya,
mengerutkan keningnya. Kata-kata Ki tambak Wedi itu benar-benar
menyakitkan hatinya, seolah-olah ia telah membunuh Arya Penangsang
dengan curang. Tetapi sebelum ia menjawab, terdengar ayahnya, yang tidak
lain adalah Ki Gede Pemanahan menjawab, “Jebeng, jangan hiraukan
kata-kata orang tua itu. la ingin membesarkan hati muridnya. Apa yang
terjadi atas Arya Jipang itu, biarlah ditafsirkan menurut kehendaknya.
Sekarang hadapilah murid Ki Tambak Wedi. Ia tidak dapat bertahan diri
terhadap Macan kepatihan. Ia pernah mencoba bertempur melawannya,
seorang lawan seorang, namun Widura terpaksa membantunya sebelum
kepalanya dipecahkan oleh tongkat Baja Putih berkepala tengkorak itu.
Kemudian ia tidak berani melawan Untara wajah berhadapan dengan wajah.
Ia menusuknya dari belakang. Bahkan melawan adik Untara yang bernama
Agung Sedayu pun, Sidanti berbuat curang. Dalam perkelahian tanpa
senjata, anak muda yang gagah perkasa itu terpaksa memungut sepotong
kayu untuk mempersenjatai diri.”
“Cukup!” Potong Ki Tambak Wedi dengan
marahnya. Ternyata semua yang terjadi di Sangkal Putung telah dilaporkan
kepada Panglima Wira Tamtama ini. “Apakah dengan demikian kau tidak
sedang mencoba membesarkan hati anakmu itu pula? Anak yang kau
bangga-banggakan telah membunuh Arya Penangsang.”
Ki Ageng Pemanahan tertawa. Tetapi
sebelum ia menjawab terdengar Ki Tambak Wedi itu berteriak, “Kenapa
kalian melihat saja seperti menonton tayub?”
Para prajurit Jipang terkejut mendengar
teriakan itu. Sejenak mereka belum dapat menanggapi maksudnya. Baru
sesaat kemudian mereka menyadari kata-kata Ki Tambak Wedi yang
diterus-kanya, “Ayo, kalau kalian mampu membinasakan orang yang bernama
Pemanahan yang merupakan otak dari kematian Arya Penangsang, dan anaknya
yang hanya dipakainya sebagai alat saja dalam usaha pembunuhan yang
keji itu, maka dendam kalian akan terbalaskan. Kedua orang ini beserta
Penjawi dan Ki Juru Mertani-lah biang keladi dari pembunuhan yang tidak
jantan. Mereka menunggu saat Arya Penangsang menyeberang sungai. Sebelum
Adipati Jipang mencapai tebing, maka orang Pajang telah menghujaninya
dengan anak panah atas Arya Penangsang beserta kudanya Gagak Rimang.
Apalagi Sutawijaya telah membuat Gagak Rimang gila dengan kuda
betinanya.”
Sutawijaya tidak dapat menahan diri lagi
mendengar kata-kata Ki Tambak Wedi, tetapi ayahya menggamitnya. Sehingga
dengan dada sesak ia terpaksa masih saja tetap berdiam diri di atas
punggung kudanya. Namun ujung tombaknya yang bernama Kiai Pasir Sewukir
telah bergetar.
Ketika Ki Tambak Wedi terdiam, barulah
Pemanahan menjawab, “Apakah masih ada yang ingin kau katakan Ki Tambak
Wedi, mungkin kesempatan ini adalah kesempatanmu yang terakhir untuk
melepaskan dendam dan kebencianmu, karena kegagalan-kegagalan yang
dilakukan oleh muridmu. Tetapi sadarilah bahwa bukan hanya Pemanahan,
bukan haya Ki Juru Mertani, bukan hanya Penjawi dan beberapa orang saja
yang melihat peperangan yang menentukan, tetapi seluruh prajurit Pajang
dan Jipang yang saat itu berada dalam pertempuran, melihat apa yang
terjadi. Kalau Tohpati masih hidup, kau akan dapat bertanya kepadanya.
Bagaimana dengan Sanakeling dan, he, apakah anak muda yang bermata
setajam mata burung alap-alap itu yang bernama Alap-alap Jalatunda?”
“Persetan!” teriak Ki Tambak Wedi. “Kau
benar-benar licik. Kau hanya memperpanjang waktu saja. Ayo, para
prajurit Jipang, mulailah. Kesempatan yang aku berikan telah
disia-siakan oleh Panglima yang merasa dirinya pilih tanding ini.”
Orang-orang Jipang yang mengepung para
prajurit Wira Tamtama Pajang, yang langsung dipimpin oleh panglimanya
sendiri itu mulai bergerak. Beberapa orang segera meloncati parit-parit
dan mengayun-ayunkan senjata mereka. Tetapi bagaimanapun juga gerak
orang-orang Jipang itu masih belum mantap. Sanakeling sendiri masih
dicengkam oleh keragu-raguan dan debar jantungnya yang tidak menentu.
Orang yang berada di punggung kuda ayah beranak itu terlampau besar
baginya. Mungkin tidak bagi Ki Tambak Wedi yang sama sekali tidak
terikat dalam hubungn keprajuritan. Apabila Macan Kepatihan masih ada,
mungkin Tohpati itu pun akan menghadapi mereka dengan tatag. Tetapi
baginya, bagi Sanakeling, pekerjaan itu benar-benar merupakan pekerjaan
yang terlampau berat.
Bukan saja Sanakeling, tetapi Alap Alap
Jalatunda dan kawan-kawannya mempunyai sikap serupa. Ki Gede Pemanahan
adalah seorang panglima yang namanya menggema tidak saja di seluruh
Pajang dan Jipang. Bahkan merata ke seluruh daerah Demak.
Ki Tambak Wedi itu pun melihat
keragu-raguan dalam setiap gerak orang-orang Jipang. Mereka bergeser,
tetapi tidak mendekati para prajurit Pajang, sehingga orang tua itu
kemudian berteriak, “He, apa yang kalian tunggu. Dengar perintahku.
Bunuh semua orang-orang Pajang secepatnya sebelum Untara datang
memancung leher kalian atau menggantung kalian di alun-alun Pajang.
Perintah itu ternyata telah membangunkan
orang-orang Jipang. Mereka benar-benar dihadapkan pada suatu keharusan
untuk melawan. Kalau tidak, maka mereka akan mengalami akibat yang
sangat pahit.
Apalagi ketika Ki Tambak Wedi berteriak,
“Rencana kita tidak akan dapat berjalan seperti yang kita harapkan
sepenuhnya. Kegagalan itu disebabkan karena orang-orang Pajang ini. Ayo,
jadikanlah mereka tebusan dari kegagalan itu. Meskipun kita tetap
mengharap orang-rang Pajang di Sangkal Putung menjadi gila dan berbuat
seperti yang kita inginkan.”
Kini orang-orang Jipang menjadi semakin
mantap. Sementara itu kuda-kuda orang Pajang pun telah bergerak-gerak.
Beberapa orang mendorong kudanya maju dan yang lain menghadap ke arah
yang berlawanan. Musuh mereka berada di muka dan di belakang. Tempat itu
sama sekali tidak menguntungkan bagi pertempuran di atas punggung kuda.
Ki Gede Pemanahan memperhatikan keadaan
itu sesaat. Karena itu ia harus mendapat daerah yang cukup luas, supaya
mendapat kesempatan yang lebih baik. Orang-orang Jipang yang berdiri di
atas tanah akan menjadi lebih lincah karena daerah yang sempit.
Di kiri-kanan jalan itu adalah tanah
persawahan yang sedang ditumbuhi oleh batang-batang jagung muda.
Tanahnya tidak begitu basah, karena tanaman itu tidak memerlukan air
yang tergenang. Karena itu, maka terdengar Panglima Wira Tamtama itu
langsung memberi aba, “He para prajurit Pajang. Kita terpaksa minta maaf
kepada orang-orang Sangkal Putung. Kita akan meminjam tanah mereka
untuk berlatih perang-perangan di atas punggung kuda.”
Ki Tambak Wedi menggeram mendengar
aba-aba itu. Cepat ia berteriak, “Cegah mereka. Jangan diberi kesempatan
meninggalkan jalan sempit ini, supaya mereka segera tertumpas di
dalamya.”
Tetapi teriakan itu hampir-hampir tidak
berarti. Kuda-kuda para prajurit Pajang telah mendesak mereKa. Dengan
senjata di tangan para penunggang kuda itu mencoba mendapatkan jalan
bagi kuda mereka. Beberapa ekor kuda telah berhasil meloncat parit yang
sempit. Tetapi karena kejutan-kejutan orang-orang Jipang, ada juga kuda
yang gagal, sehingga kuda itu tergelincir masuk ke dalam parit. Namun
dengan tangkasnya para penunggangnya meloncat turun dan melawan
orang-orang Jipang yang menyerangnya di atas tanah.
Pemanahan mengerutkan keningnya melihat
orang-orangnya yang gagal itu. Tetapi mengharap bahwa mereka akan dapat
bertahan dan menyelamatkan diri mereka masing-masing. Meskipun demikian,
Ki Gede Pemanahan segera berseru, “Jangan lepaskan kuda-kuda itu.”
Memang beberapa orang yang terjatuh itu
masih berusaha untuk meloncat kembali ke atas punggung-pungung kuda
mereka yang telah berhasil merangkak keluar dari dalam parit. Tetapi
orang-orang Jipang selalu mencoba menghalang-halangi.
Peperangan pun segera berkobar.
Orang-orang Jipang mulai menyerang dengan sengitnya. Tetapi para
prajurit Pajang yang sempat meninggalkan jalan yang sempit itu segera
membuat arena menjadi semakin luas. Mereka terpaksa tidak menghiraukan
lagi batang-batang jagung muda. Kaki-kaki kuda mereka dengan garangnya
telah merambas batang-batang jagung itu, sehingga sesaat kemudian sawah
itu telah hampir menjadi gundul.
“Setan!” teriak Ki Tambak Wedi yang
menjadi semakin cemas melihat perkembangan keadaan. Ternyata para
prajurit berkuda dari Pajang itu cukup tangkas melawan orang-orang
Jipang yang jumlahnya dua kali lipat dari jumlah mereka. Bahkan beberapa
orang yang terjatuh dari kudanya, telah berhasil meloncat kembali ke
atas punggung-punggung kuda. Sedangkan mereka yang tidak berhasil, tidak
juga menjadi cemas melihat perkembangan keadaan karena kawan-kawan
mereka hampir selalu membantu mereka, dan mengusahakan kesempatan supaya
mereka berhasil meloncat ke punggung kuda masing-masing.
Para prajurit Pajang kini bertebaran di
sawah-sawah. Mereka bertempur seperti burung rajawali. Sekali mereka
memacu kudanya melingkar, namun sejenak kemudian seperti seekor burung
yang menukik dari langit, meyambar lawan-lawannya dengan garangnya.
Sidanti menjadi semakin marah melihat
perkembangan keadaan. Dengan demikian ia tidak akan berhasil mengikat
seorang lawan di arena. Ia harus dengan penuh kewaspadaan memperhatikan
setiap derap kuda yang menyambarnya.
Sanakeling pun mengumpat tak
habis-habisnya. Selagi ia sedang mencoba bersama seorang kawannya
menekan seorang prajurit Pajang yang kehilangan kudanya, maka setiap
kali kuda yang lain datang menyerangnya. Bahkan hampir menginjaknya
apabila ia tidak cukup cepat menghindar. Sehingga dengan demikian
pertempuran itu menjadi pertempuran yang cukup kalut bagi kedua belah
pihak.
Arena pertempuran itu pun menjadi semakin
lama semakin luas. Kuda-kuda para prajurit Pajang berlari
melingkar-lingkar dengan garangnya. Setiap prajurit di atas punggung
kuda itu telah me-mutar pedangnya dan menyambar-nyambar dengan
dahsyatnya. Tetapi yang dihadapi adalah prajurit-prajurit pula. Dengan
tangkasnya orang-orang Jipang melawam para prajurit berkuda itu. Tetapi
ternyata ketika orang-orang Pajang berhasil memperluas lingkaran
pertempuran maka keadaan mereka menjadi lebih menguntungkan.
Ki Tambak Wedi hanya sesaat sempat
mengamati pertempuran itu. Segera ia menggenggam kedua gelang-gelang
besi di kedua belah tangannya untuk melawan panglima Wira Tamtama yang
perkasa itu.
Ki Gede Pemanahan pun menyadari, bahwa
ia kini berhadapan dengan seorang yang memiliki kemampuan luar biasa.
Orang yang pernah menjadi sahabat Patih Mantahun dan orang kedua dari
perguruan Kedung Jati, yang bernama Sumangkar. Tetapi Ki Tambak Wedi
ternyata tidak setia. Ditinggalkannya Jipang menjelang kehancurannya.
Bahkan kemudian muridnya muncul menjadi seorang prajurit Wira Tamtama di
bawah pimpinan Widura.
Untuk melawan senjata Ki Tambak Wedi yang
aneh itu, Ki Gede Pemanahan tidak mempergunakan pedangnya. Ia ingin
melawan hantu itu pada jarak yang sependek gelang-gelang besi itu.
Karena itu ketika Ki Tambak Wedi mulai meloncat menyerangnya, maka di
tangan panglima Wira Tamtama itu tergenggam sebilah keris. Keris yang
seolah-olah bercahaya kebiru-biruan, berlekuk sebelas dan berbentuk
seekor Naga, Naga Kemala.
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya
melihat keris itu. Sesaat ia terhenyak surut. Ditatapnya keris itu
tajam-tajam. Ia terkejut ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan tertawa
sambil berkata, “Kau memperhatikan kerisku ini Ki Tambak Wedi. Sama
sekali bukan Kiai Nagasasra. Meskipun dapurnya mirip, namum kerisku ini
adalah Kiai Naga Kemala. Masih selapis lebih rendah dari Kiai Nagasasra,
yang kini telah berada di Kadipaten Pajang bersama pusaka-pusaka Demak
yang lain.”
Ki Tambak Wedi itu menggeram. Sahutnya,
“Persetan dengan Naga Kemala. Meskipun yang kau genggam itu Kiai
Nagasasra sekalipun aku tidak akan gentar. Bahkan di kedua belah
tanganmu tergenggam pusaka-pusaka Demak yang lain, Kiai Sabuk lnten,
Kiai Sengkelat dan apa saja.”
Ki Gede Pemanahan tidak menyahut.
Didorongnya kudanya maju dan dengan sigapnya ia menggerakkan senjatanya.
Ki Tambak Wedi mundur selangkah, tetapi tiba-tiba ia meloncat secepat
kilat menghantam mata kaki Ki Gede Pemanahan. Tetapi Ki Gede Pemanahan
telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan, sehingga karena itu, maka
dengan sigapnya pula ia mampu menghindarkan mata kaki itu. Sebuah
sentuhan dari gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi pasti akan mampu
memecahkan tulang-tulangnya.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak
membiarkannya. Sekali lagi ia meloncat menyerang dengan garangnya. Namun
sekali lagi Ki Gede Pemanahan mampu menghindarinya pula.
Bahkan kemudian ia tidak membiarkan
dirinya selalu menghindar dan menghindar. Sejenak kemudian ditariknya
kendali kudanya dan kuda itu pun meringkik dan meloncat. Sekali kuda itu
berputar, kemudian menerjang Ki Tambak Wedi yang berdiri tegak di atas
tanah dengan sepasang kakinya yang kokoh kuat.
Dengan mengumpat-umpat orang tua yang
menghantui Lereng Merapi itu meloncat menghindari kaki-kaki kuda Ki Gede
Pemanahan. Bahkan semakin lama ialah yang harus semakin sering
menghindarkan diri, karena kuda itu dengan lincahnya meloncat berputar
kemudian berlari menyambarnya. Keris di tangan panglima Wira Tamtama itu
sekali-sekali berada di tangan kanannya, namun kemudian telah berpindah
di tangan kiri, seolah-olah berloncatan dari satu tangan ke tangan yang
lain. Betapa kakinya menghentak-hentak, apabila kudanya berlari
terlampau jauh, namun kemudian tangannyalah yang terayun-ayun apabila
kudanya menyambar Ki Tambak Wedi.
Pertempuran antara keduanya semakin lama
mejadi semakin sengit. Ternyata serangan-serangan Ki Tambak Wedi pun
semakin lama mejadi semakin berbahaya pula. Apabjla ia gagal menyerang
tubuh lawannya, maka ia berusaha mengenai tubuh kudanya. Apabila kuda
itu dapat dirobohkan, maka pekerjaanya tidak akan sedemikian sulitnya.
Di sudut lain, Sidanti bertempur dengan
gigi gemeretak. Dilihatnya anak muda yang bernama Mas Ngabehi Loring
Pasar, meyambutnya dengan sebuah senyum yang menyakitkan hati. Tombak di
tangan anak muda itu memang mendebarkan jantungnya meskipun ia tahu
bahwa tombak itu bukanlah tombak yang bernama Kiai Pleret. Menurut
pendengaranya Kiai Pleret itu berlandean panjang, sedang yang dibawa
oleh anak muda itu berlandean agak pendek.
Hati Sidanti menjadi semakin panas ketika
ia mendengar anak muda itu berkata kepada seorang prajurit Pajang,
“Lindungi aku dari panyerang-penyerang yang curang. Aku ingin melawan
murid Ki Tambak Wedi ini dengan cara yang adil. Aku tidak mau dituduh
membuat lawanku gila karena aku memakai kuda yang tegar dan lincah,
seperti orang-orang Jipang menganggap aku berbuat curang terhadap
Adipati Jipang, meskipun anak muda yang bernama Sidanti ini sama sekali
tidak dapat disejajarkan dengan Paman Arya Penangsang yang perkasa itu.”
“Gila!” Teriak Sidanti. “Jangan terlampau
sombong. Kaulah yang ternyata menjadi gila karena orang menganggapmu
dapat mengalahkan Adipati Jipang yang lengah, sehingga kerisnya sendiri
menggores ususnya. Kalau tidak, maka perutmulah yang akan disobeknya
dengan pusakanya, Kiai Setan Kober.”
Mas Ngabehi Loring Pasar, yang juga
disebut Sutawijaya tertawa. Jawabnya, “Marilah kita lihat, apakah kau
akan mati dengan senjatamu sendiri atau karena tombakku Kiai Pasir
Sewukir.”
Hati Sidanti menjadi semakin panas ketika
tiba-tiba Sutawijaya meloncat dari punggung kudanya. Kini anak yang
masih sangat muda itu menghadapinya dengan kakinya di tanah.
Sidanti menggeram seperti seekor harimau
lapar melihat seekor kijang. Matanya merah memancarkan kemarahan dan
kebencian. Sikap Sutawijaya itu dirasakannya sebagai penghinaan
terhadapnya.
Dengan gigi yang gemeretak Sidanti
menggeram, “Kau benar-benar anak yang sombong. Meskipun dadamu berlapis
baja, tetapi kau akan luluh karena kesombonganmu itu sendiri.”
Sutawijaya yang berdiri di hadapannya
menjawab, “Aku hanya ingin berbuat adil supaya kelak tidak lagi ada
tafsiran yang aneh-aneh. Kalah atau menang, kita berada dalam keadaan
yang seimbang.”
Dengan marahnya Sidanti menyahut,
“Setelah aku melihat tampangmu, maka aku semakin yakin, bahwa bukan kau
yang sebenarnya membunuh Arya Penangsang. Tetapi adalah karena perbuatan
kalian ayah beranak yang curang dan licik itulah yang menyebabkan
gugurnya Adipati yang berani itu.”
“ltulah sebabnya aku sekarang berbuat
dengan hati-hati supaya kelak tidak ada orang yang berkata bahwa Sidanti
dibunuh dengan licik. Sidanti mati karena terinjak kaki-kaki kuda, atau
cerita lain yang nadanya serupa dengan itu. Serupa dengan nada lagu
dari kidung kematian Arya Penangsang.”
Sekali lagi Sidanti menggeram.
Kemarahannya telah sampai ke atas ubun-ubunnya. Dengan gigi gemeretak ia
meloncat sambil menggerakkan pedangnya langsung menyambar dada
Sutawijaya. Sutawijaya ternyata telah cukup bersiaga. Selangkah ia
meloncat surut. Namun dengan tiba-tiba pula tombaknya terjulur lurus
mematuk lambung Sidanti.
Sidanti terkejut melihat ujung tombak
yang demikian cepatnya menyambarnya. Hampir-hampir perutnya tersobek
pada loncatan pertama. Terdengar ia mengumpat sekali, dan dengan
cepatnya pula ia menghindar ke samping.
Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Jangan
mengumpat-umpat. Lebih baik kau memperhatikan ujung tombakku supaya
perutmu tidak terbelah.”
“Kau benar-benar anak yang sombong,”
teriak Sidanti. Tetapi kata-katanya seolah-olah patah di tengah.
Tiba-tiba sekali lagi ia terkejut. Tombak Sutawijaya seolah-olah
mengejarnya dan kembali mematuk lambungnya.
“Gila!” teriaknya tanpa sesadarnya.
Sekali lagi ia harus meloncat ke samping. Ia belum mendapat kesempatan
untuk mempergunakan pasangan senjatanya. Serangan Sutawijaya benar-benar
mengejutkannya. Bahkan kecepatan bergerak anak muda itu sama sekali di
luar dugaannya.
Sekali lagi Sutawijaya tersenyum.
Dibiarkannya Sidanti memperbaiki kedudukannya. Kini kedua senjatanya
bersilang seakan sebuah perisai yang tidak akan dapat ditembus oleh
senjata macam apapun.
Sutawijaya melihat sikap itu. Ia
menyadari bahwa Sidanti telah benar-benar berada dalam kesiap-siagaan
yang tertinggi. Kini ia tidak dapat sekedar menyerangnya dengan
kejutan-kejutan. Kini segenap geraknya harus diperhitungkan benar-benar.
———-oOo———-
(bersambung ke Jilid 015)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-14/

Tinggalkan Balasan