

ADBM-013

TETAPI yang terdengar
adalah suara tertawa lemah. Suara itu melontar dari balik sebatang pohon
yang besar. Hampir bersamaan muncullah sebuah bayangan hitam, berjalan
beberapa langkah mendekati mereka.
“Hem, kalian telah terbenam dalam
kepentingan kalian masing-masing sehingga kalian tidak sempat
memperhatikan saat-saat yang paling berbahaya dalam hidup seseorang.”
Agung Sedayu tersentak. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar la berdesis, “Kiai Gringsing.”
Kiai Gringsing tidak menjawab. la
berjalan terus ke arah orang yang terbaring itu. Dengan cekatan ia
memijit-mijit beberapa bagian dari sisi luka itu, kemudian mengambil
sebungkus ramu-ramuan obat-obatan dari dalam bajunya.
Terdengar orang itu berdesis, kemudian mengerang semakin keras.
“Memang agak pedih,” berkata Kiai
Gringsing, “mudah-mudahan akan dapat menolongmu,” berkata Kiai Gringsing
sambil mengusap luka itu dengan ramuan obatnya.
Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata,
“Bawalah orang ini ke tepi hutan. Carilah air untuknya, dan bawalah ke
banjar desa bersama orang-orang lain yang terluka.”
“Kiai,” potong Sumangkar, “apakah artinya ini?”
Kiai Gringsing berpaling. Dipandanginya wajah Sumangkar dalam kesamaran gelap malam.
“Biarlah aku mencoba menolong jiwanya.
Aku adalah seorang dukun. Aku tidak dapat melihat seseorang yang
berjuang melawan maut tanpa berbuat apa-apa. Sedang kalian masih saja
bertengkar tanpa ujung pangkal. Sehingga aku tidak tahan lagi
bersembunyi sambil mendengar keluhan ini.”
“Lalu, maksud Kiai seterusnya.”
“Biarlah Agung Sedayu kembali ke Sangkal Putung. Akulah yang akan mengambil alih tugasnya,” sahut Kiai Gringsing.
Mendengar jawaban Kiai Gringsing itu
wajah Sumangkar menjadi merah padam. Ia tahu benar arti kata-kata itu.
Dan ia tahu, akibat dari kata-kata itu pula. Karena itu sesaat ia
terbungkam. Bukan saja Sumangkar yang terkejut, tetapi juga Agung Sedayu
terkejut. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Kiai, apakah Kakang Untara akan
membenarkan?”
“Kakangmu tidak akan berbuat apa-apa. Baginya, siapa saja yang melakukan perintahnya tidak ada bedanya.”
Sedayu masih ragu-ragu. la masih saja
berdiri di tempatnya. Sehingga Kiai Gringsing berkata pula, “Selagi
masih ada kesempatan, maka setiap jiwa yang terancam maut harus mendapat
pertolongan. Adalah wajib kita berusaha, namun apabila ditentukan lain,
kita manusia tidak dapat melawan kehendak-Nya.”
Tetapi Agung Sedayu masih ragu-ragu. Dan
karena Agung Sedayu ragu-ragu Kiai Gringsing berkata, “Agung Sedayu,
pergilah. Bukankah kau masih dapat mengenal jalan kembali. Tempat ini
masih belum terlampau dalam-dalam. Kau dapat mengikuti jejak prajurit
Jipang dalam-dalam arah yang berlawanan.”
“Tetapi perintah itu.”
“Serahkan kepadaku. Kakakmu adalah
seorang Senapati yang cerdik. Aku tahu benar, kenapa yang
diperihtahkannya adalah kau. Bukan orang lain. Padahal Untara tahu,
siapakah Adi Sumangkar itu. Kakakmu pasti mempunyai perhitungan sendiri.
Ia pasti, bahwa aku tidak akan melepaskan kau sendiri dalam tingkat
sekarang. Sebab kakakmu segan untuk langsung meminta aku melakukan
pekerjaan ini.”
Terasa sesuatu bergetar di dada Agung
Sedayu. Ternyata bukan dirinya sendirilah sasaran dari perintah
kakaknya. “Hem,” Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Terdengarlah pula Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Bahkan seakan-akan orang tua itu mengeluh.
“Sekarang pergilah,” perintah Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tidak dapat menghindar lagi.
Perintah kakaknya baginya sama beratnya dengan perintah gurunya. Namun
bahwa gurunya akan mengambil alih tugasnya, telah membesarkan hatinya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu menyarungkan
pedangnya. Dan perIahan-lahan pula ia berjongkok di samping gurunya.
Dengan hati-hati, orang yang terluka itu dipapahnya pada kedua
tangannya.
“Berat?” bertanya Kiai Gringsing.
“Cukup berat,” sahut Agung Sedayu.
“Hati-hatilah. Kalau kau telah memberinya
minum maka orang itu akan dapat kau papah pada lambungnya. Mungkin ia
dapat menggantungkan dirinya pada pundakmu. Kalau tidak, kau masih harus
mengangkatnya sampai ke banjar desa.”
Agung Sedayu mengangguk, jawabnya, “Baik Kiai.”
Ketika Agung Sedayu kemudian berputar dan
melangkah, terdengar Sumangkar menggeram. “Kiai, ternyata senapati
Pajang itu tidak berkata sejujur hatinya.”
“Kenapa?” sahut Kiai Gringsing.
Agung Sedayu yang mendengar perkataan
Sumangkar itu berhenti sambil berpaling. Tetapi Kiai Gringsing berkata,
“Berjalan terus Sedayu. Jangan menunggu orang itu mati.”
Sedayu mengangguk. Ia melangkah kembali meninggalkan gurunya dan Sumangkar masuk ke dalam gelapnya malam yang semakin kejam.
Orang di tangannya itu masih mengerang. Bahkan terdengar ia berbisik, “Akan kau bawa kemana aku, Kisanak.”
“Mencari air,” sahut Agung Sedayu.
Orang itu terdiam. Namun perasaannya
bergolak tidak menentu. Ia tidak tahu, apakah yang telah mendorong
prajurit Pajang itu menyelamatkannya. Karena itu, maka rasa heran dan
haru berkecamuk di dalam dadanya.
“Kisanak,” desisnya lirih, “bukankah bagimu lebih mudah menusukkan pedangmu ke ulu hatiku dari pada membawa aku mecari air?”
Agung Sedayu tidak menjawab. Dalam
keadaan demikian Agung Sedayu sama sekali tidak teringat lagi batas
antara prajurit Pajang dan prajurit Jipang. Namun perasaan
kemanusiaannyalah yang telah mendesak semua persoalan yang pernah ada
antara dirinya, sebagai seorang yang berada dalam barisan Pajang dan
orang itu prajurit Jipang.
Sepeninggal Agung Sedayu, Kiai Gringsing
berdiri berhadapan dengan Sumangkar yang masih membawa tubuh Macan
Kepatihan di pundaknya. Keduanya berdiri tegak dalam jarak beberapa
langkah saja.
“Kiai,” berkata Sumangkar, “kalau benar
Angger Untara akan mengusahakan pengampunan kenapa Untara masih
dikungkung oleh perasaan curiga.”
“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ternyata Untara masih mengirim seseorang
untuk mengikuti aku. Bukankah dengan demikian, pengampunan yang
dikatakan itu tidak lebih dari satu jebakan saja bagi Jipang.”
“Adi Sumangkar,” berkata Kiai Gringsing,
“kita yang selama ini berdiri pada pihak yang bermusuhan, sudah tentu
tidak dapat melenyapkan kecurigaan hati kita masing-masing dalam
sekejap. Sudah tentu bukan hanya Angger Untara yang bercuriga, bukankah
kau bercuriga pula? Bukankah kau bercuriga bahwa perkataan Untara itu
hanya sekedar sebuah pancingan.
“Kalau tidak,” sahut Sumangkar, “ia tidak akan mengirim seseorang untuk mengikuti aku.”
“Tetapi sebelum kau temukan Agung Sedayu
di sini, kecurigaan telah ada di hatimu. Bukankah kau katakan bahwa kau
sudah menyangka bahwa seseorang akan mengikuti jejakmu? Bukankah itu
juga semacam perasaan curiga? Nah, kita sama-sama curiga. Lebih baik
tidak usah aku ingkari. Tetapi kecurigaan kami didasari atas kemauan
yang baik. Siapa yang menyerah, akan mendapat pergampunan meskipun tidak
mutlak seperti kata-kata Angger Untara. Yang tidak mau menyerah itulah
yang akan dimusnahkan. Karena itu Angger Agung Sedayu harus tahu, jalan
yang dapat ditempuh untuk menghancurkan mereka yang membangkang
perintah.”
Sumangkar masih saja berdiri seperti
patung. Namun hatinya berkata seperti apa yang dikatakan oleh Kiai
Gringsing itu pula, “Kita yang selama ini berdiri pada pihak yang
bermusuhan, sudah tentu tidak dapat melenyapkan kecurigaan hati kita
masing-masing dalam sekejap.”
Tetapi Sumangkar masih ingin
menghindarkan diri dari jebakan yang mungkin dibuat oleh Untara,
katanya, “Kiai, apakah tidak mungkin bahwa setelah Angger Untara
mengetahui perkemahan orang-orang Jipang, maka dengan serta merta
dihancurkannya, tanpa menunggu pernyataan mereka yang berhasrat untuk
benar-benar mencari jalan kembali?”
“Kecurigaan itu beralasan,” sahut Kiai
Gringsing. “Seperti juga Angger Untara bercuriga. Jangan-jangan
Sumangkar hanya ingin mempengaruhi perasaan orang-orang Pajang untuk
mendapat kesempatan melepaskan bersama anak buah Tohpati. Apakah kami
dapat mengetahui dengan pasti, bahwa apa yang dikatakan oleh Sumangkar
untuk kembali setelah menguburkan mayat Tohpati dan bersedia menerima
segala macam hukuman sebagai janji yang pasti ditepati?”
“Apakah kalian orang-orang Pajang tidak percaya kepadaku, Kiai?”
“Perasaan kami serupa. Seperti kau tidak
percaya bahwa kami yang benar-benar bertekad untuk menyelesaikan
persoalan ini sebaik-baiknya. Bahkan kau berprasangka, seolah-olah kami
akan menjebakmu dan orang-orang Jipang yang lain.”
Sumangkar terdiam sejenak. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berpikir. Kemudian terdengar ia
berkata, “Lalu, apakah yang akan kau lakukan kini, Kiai?”
“Meneruskan pekerjaan Agung Sedayu.”
“Memata-matai aku?”
“Ya.”
“Bagaimana kalau aku menolak.”
“Adi Sumangkar. Kalau aku orang yang taat
pada kewajibanku, maka aku harus menjawab seperti Agung Sedayu. Apa pun
yang akan terjadi. Tetapi untuk menghindari hal-hal yang saling tidak
kita inginkan, maka aku dapat menjawab lain. Sebenarnya bagi Kiai
Gringsing, sama sekali tidak perlu, apakah Sumangkar sedang lewat,
apakah ada bekas-bekas anak buah Angger Tohpati, atau petunjuk-petunjuk
yang lain. Bagi Kiai Gringsingi mencari perkemahanmu tidaklah sesulit
mencari kutu di kepala.”
“Hem,” Sumangkar menggeram, disadarinya
kini dengan siapa ia berhadapan. Kiai Gringsing ternyata telah
mengucapkan tekadnya. Dalam pada itu kadang-kadang tumbuh lagi niatnya
untuk membunuh dengan meminjam tangan Kiai Gringsing, barangkali
saat-saat yang sedemikian ini dapat dimanfaatkannya. Kalau ia mencoba
mengusir Kiai Gringsing, maka ada kemungkinan mereka terlibat dalam
perkelahian. Tetapi Sumangkar hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia
telah menyanggupi, melakukan pesan terakhir Macan Kepatihan. Mengubur
mayatnya baik-baik.
Kata-kata Kiai Gringsing itu pun cukup
tegas baginya, dan ia percaya bahwa Kiai Gringsing mampu melakukannya,
mencari perkemahannya tanpa petunjuk-petunjuk apapun. Karena itu maka
akhirnya Sumangkar berkata, “Baiklah Kiai. Silahkan Kiai melakukan
pekerjaan Kiai Gringsing. Aku percaya, bahwa Kiai akan berhasil.”
“Terima kasih,” sahut Kiai Gringsing.
“Tetapi aku harap kau tidak berprasangka. Angger Untara benar-benar
berkemauan baik untuk menyelesaikan persoalan sisa-sisa anak buah
Tohpati dengan menghindarkan pertumpahan darah sejauh mungkin. Seperti
yang dikatakannya, bahwa Panglima Wira Tamtama sendiri memberinya saran
itu.”
“Ya. Ya. Kiai. Aku akan berjalan terus
membawa mayat Angger Macan Kepatihan di antara anak buahnya. Mungkin
mayat ini dan pesan-pesannya di saat terakhir akan bermanfaat bagi
penyelesaian itu. Aku akan mengakui kekuranganku, bahwa aku tidak dapat
menghalang-halangi Kiai.”
“Marilah kita menganggap bahwa kita saat
ini tidak bertemu. Aku akan mencari jalan sendiri, sehingga apabila aku
menemukan perkemahammu, bukanlah karena kesalahan Sumangkar, yang
seakan-akan telah menuntun musuhnya menemukan perkemahan sendiri.”
“Baik Kiai. Kini aku akan pergi.”
Kiai Gringsing mengangguk. “Silahkan,” jawabnya.
Sumangkar pun kemudian berputar,
meneruskan langkahnya, menyusup ke dalam gerumbul dan menghilang di
dalam kelamnya malam. Sambil membawa mayat Raden Tohpati, Sumangkar
berjalan cepat-cepat untuk segera sampai ke perkemahannya. Betapa
hatinya menolak maksud Kiai Gringsing untuk melihat perkemahannya dan
mengetahui segala seluk-beluknya, namun ia tidak mampu
menghalang-halanginya. Sebenarnya Sumangkar ingin sampai saat-saat
terakhir, meskipun dirinya sendiri kemudian akan menyerahkan dirinya
bersama dengan orang-orang yang sependirian, namun ia tidak akan
membiarkan orang-orang yang selama ini bersama-sama berdiri pada suatu
pihak mengalami bencana yang mengerikan. Yang seolah-olah karena
kesalahannya. Bahkan akan dapat dituduh, karena pengkhianatannya, maka
mereka akan dimusnahkan.
“Tetapi Kiai Gringsing memiliki beberapa kelebihan,” desisnya.
Karena itu dicobanya untuk menenangkan
perasaannya. Ia mencoba untuk berlaku seperti apa yang dikatakan oleh
Kiai Gringsing, seolah-olah mereka tidak pernah bertemu di dalam hutan,
seolah-olah Kiai Gringsing mencari jalan sendiri. Dan apabila Kiai
Gringsing itu sampai di perkemahan juga, itu adalah karena kecakapannya
sendiri.
Dalam kesibukan angan-angan, akhirnya
Sumangkar menjadi semakin dekat dengan perkemahannya. Beberapa langkah
lagi ia menyibak gerumbul terakhir dan beberapa langkah lagi, orang tua
itu telah sampai di halaman yang kotor dari perkemahan yang sangat
sederhana.
Seorang penjaga dengan tangkasnya
meloncat, dan pedangnya langsung diangkatnya setinggi dada sambil
membentak, “Berhenti! Siapa kau?”
Sumangkar berhenti. Dengan sareh ia menjawab, “Sumangkar.”
“O,” gumam orang itu. Namun tiba-tiba terdengar suaranya menghentak, “Dari mana kau?”
Sumangkar tidak segera menjawab. Ia
berjalan semakin dekat. Dan tiba-tiba penjaga itu berkata, “He. apakah
kau baru saja berburu? Apakah yang kau dapatkan itu?”
Sumangkar tidak menjawab. Ia berjalan terus semakin dekat.
“Apa he? Apakah orang yang lain berhasil mendapatkat buruan itu, dan kau harus memasaknya?”
“Tutup mulutmu!” bentak Sumangkar.
Tiba-tiba saja dadanya dirayapi oleh kemuakan yang sangat mendengar
pertanyaan yang manyakitkan hatinya. Yang di pundaknya itu adalah mayat
murid kakak seperguruannya, pamimpin tertinggi prajurit Jipang
sepeninggal patih Mantahun.
Penjaga itu terkejut mendengar bentakan
itu. Sesaat ia diam mematung, namun kemudian tumbuhlah marahnya. Juru
masak itu berani membentak-bentaknya. Baru saja ia kembali dari
peperangan yang hampir menghancur lumatkan pasukannya. Baru saja ia
menegang nyawanya. Belum lagi ia sempat beristirahat, ia sudah mendapat
tugas untuk berada di sudut-sudut penjagaan yang diperkuat bersama-sama
beberapa orang lain yang sama sekali tidak mengalami cidera. Tiba-tiba
juru masak itu membentak-bentaknya. Karena itu, maka dengan kasar ia
menjawab, “He, Sumangkar. Apakah kau tidak dapat menjaga mulutmu he?”
Sumangkar tidak menjawab. Ia berjalan
menyusur sisi halaman perkemahan itu, tidak melewati tempat prajurit itu
berjaga-jaga. Tetapi prajurit yang marah itu mengejarnya dan sekali
lagi membentaknya, “He, tikus tua. Mintalah maaf supaya mulutmu tidak
aku remas.”
Tetapi orang tua itu berpaling pun tidak.
Ia berjalam terus. Ia ingin segera sampai ke pusat perkemahan dan
menyerahkan tubuh Macan Kapatihan kepada pimpinan yang masih ada. Namun
prajurit yang marah itu mengejarnya terus.
“Berhenti!” teriaknya. “Kalau tidak aku sobek punggungmu dengan pedangku.”
Sumangkar berhenti. Sambil memutar tubuhnya ia berkata, “Apakah sebenarnya yang kau kehendaki? Buruanku ini?”
“Keduanya. Buruanmu dan mulutmu.”
Sumangkar yang hatinya sedang gelap itu
tiba-tiba menjadi bertambah gelap. Dalam keadaan yang serupa itu,
tiba-tiba tanpa disangka-sangka, tanpa ancang-ancang, terasa sesuatu
menyengat mulut prajurit itu. Demikian kerasnya sehingga prajurit itu
terlempar beberapa langkah ke samping. Terdengar tubuhnya terbanting di
tanah dan terdengar ia mengeluh pendek.
Dalam pada itu terdengar suara Sumangkar parau, “Mulutmulah yang harus kau jaga.”
Prajurit yang terbanting itu
merangkak-rangkak bangun. Mulutnya yang berdarah, menghamburkan
kata-kata kotor. Setelah ia memungut pedangnya yang terlepas dari
tangannya, ia berdiri tegak sambil berkata, “Sumangkar. Apakah kau sudah
menjadi gila. Sekararg aku benar-benar akan membunuhmu.”
Sebelum Sumangkar menjawab, prajurit yang
marah itu telah meloncat beberapa langkah maju sambil langsung
menusukkan pedangnya menghunjam ke arah jantung Sumangkar. Namun sekali
lagi prajurit itu terkejut. Sumangkar itu seakan-akan lenyap dari
tempatnya. Dan tiba-tiba sekali lagi kepalanya terasa pening. Sekali
lagi ia terdorong beberapa langkah dan jatuh terbanting di tarah.
Kini terasa matanya berkunang-kunang.
Hampir-hampir ia kehilangan kesadaran. Kepalanya terasa hampir pecah dan
nafasnya hampir terputus di kerongkongan.
Prajurit itu mengerang. Dicobanya untuk
mengatasi segala macam perasaan sakitnya. Ketika ia dengan susah payah
berhasil bangkit dan duduk di atas tanah, maka yang dilihatnya bayangan
Sumangkar menghilang di dalam gelap.
“Gila,” umpatnya, “orang itu telah menjadi gila.”
Tertatih-tatih prajurit itu berdiri
Sekali lagi ia memungut pedangnya yang terlepas. Kepalanya yang pening
dan sakit itu masih mampu melontarkan berbagai pertanyaan tentang juru
masak yang dianggapnya sudah menjadi gila. Juru masak yang malas itu
tiba-tiba menjadi garang. Segarang babi hutan jantan.
Prajurit itu tak habis heran. Kenapa
Sumangkar yang malas itu dapat berubah menjadi seorang yang mampu
melakukan perbuatan di luar dugaannya, bahkan melampaui segala kacepatan
gerak yang pernah dilihatnya, pada pemimpinnya yang disegani, Macan
Kepatihan sekalipun.
Meskipun demikian, prajurit yang masih
dibakar oleh kemarahan itu sama sekali tidak puas mengalami perlakuan
itu. Mungkin adalah kebetulan saja Sumangkar mampu berbuat demikian. Ia
benar-benar ingin membuktikannya. Karena itu kemudian dengan langkah
yang gontai ia berjalan kembali ke sudut penjagaannya minta ijin kepada
kawan-kawannya untuk mencari Sumangkar ke dapur.
“Kenapa kau?” bertanya seorang kawannya ketika in melihat prajurit itu berjalan tertatih-tatih.
“Tidak apa-apa,” jawabnya.
“Di mana orang tua itu. Bukankah yang kau kejar tadi Sumangkar? Apakah ia mencoba menyembunyikan sesuatu?”
“Aku ingin melihatnya ke dapur.”
Kawan-kawannya tertawa. Mereka menyangka bahwa prajurit ingin mendapat sebagian dari hasil buruan orang tua itu.
Dalam pada itu Sumangkar berjalan terus.
Sekali ia membelok dan menyusur jalan sempit menuju ke kemah Macan
Kepatihan. Ia mengharap bahwa para pemimpin yang masih ada, berada di
tempat itu.
Semakin dekat Sumangkar dengan pintu
kemah hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Sekali-sekali terbayang di
wajahnya, senapati Jipang yang dipanggulnya itu bertempur sampai tltik
darahnya yang terakhir untuk melindungi anak buahnya, kemudian terbajang
pula senapati muda dari Pajang yang berkata kepadanya bahwa ia akan
mengusahakan pengampunan untuk mereka yang dengan kemauan sendiri karena
kesadaran, menyerah kepada pasukan-pasukan Pajang di Sangkal Putung.
“Kedua-duanya adalah anak-anak muda yang
perkasa,” katanya di dalam hati. “Keduanya memiliki sifat-sifat yang
mengagumkan. Tetapi ternyata dalam olah kaprajuritan senapati muda dari
Pajang itu dapat melampaui Angger Tohpati. Bukan saja ketrampilan
bermain pedang, namun ternyata senapati muda Pajang itu cukup cerdas dan
bijaksana. Seandainya apa yang dikatakannya benar, pengampunan meskipun
tidak mutlak, maka anak muda itu adalah anak muda yang terpuji.”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata Untara telah mengijinkannya membawa mayat Macan Kepatihan untuk
dikuburkannya. Tetapi kemudian terdengar ia bergumam. “Mudah-mudahan
ini bukan sekedar suatu jebakan saja. Ternyata Angger Untara benar-benar
mengirim orang untuk mengikuti aku.” Namun terdengar kembali jawaban
dari dasar hatinya. “Bukankah Kiai Gringsing dapat melakukannya meskipun
tidak mengikuti bekas kaki atau jejak siapapun?”
Dalam pada itu langkah Sumangkar menjadi
semakin dekat dengan pintu perkemahan Macan kepatihan. Sekali lagi ia
bertemu dengan seorang penjaga. Ketika penjaga itu melihatnya segera ia
menyapanya, “Siapa?”
“Aku, Sumangkar.”
“O, kau mau kemana?”
“Di mana Angger Sanakeling?”
“Kau dapat rusa untuknya?”
“Ya,” sahut Sumangkar pendek.
“Di dalam kemah itu. Mereka menunggu Raden Tohpati.”
Sumangkar mengangguk. Kemudian ia
meneruskan langkahnya. Namun baru beberapa langkah ia mendengar prajurit
itu bertanya dengan nada yang aneh, “He, Sumangkar. Siapakah itu?”
Sumangkar berhenti sejenak. Kemudian jawabnya, “Inilah yang sedang mereka tunggu.”
“He?” tiba-tiba prajurit itu gemetar.
Mulutnya serasa terbungkam dan dengan lemahnya ia tersandar pada
sebatang pohon di samping kemah Macan Kepatihan itu.
Sumangkar melihat betapa besar pengaruh
hilangnya Macan Kepatihan atas para prajurit Jipang. Mereka seakan-akan
kehilangan kekuatannya. Meskipun Macan Kepatihan seorang saja tidak akan
mampu berbuat apa-apa tanpa prajuritnya dan para pejuang lain, namun
pengaruh dan wibawanya seakan-akan telah mencengkam segenap hati anak
buahnya.
Sumangkar tidak berkata apa-apa lagi
kepada prajurit itu. Sambil menundukkan kepalanya ia berjalan terus
ketika ia sampai di muka pintu, ia tertegun sejenak. Dilihatnya cahaya
obor memancar lewat pintu yang masih terbuka sedikit jatuh di atas tanah
yang kotor lembab.
Dengan ragu-ragu Sumangkar mendekat.
Disentuhnya pintu itu dengan tongkatnya. Dan tiba-tiba ia mendengar
suara dari dalam pintu itu menyentak, “Kakang tohpati.”
Sanakeling terlonjak ketika dilihatnya
sebatang tongkat baja putih menyentuh pintu. Dengan sebuah loncatan ia
telah mencapai pintu diikuti oleh beberapa orang lain. Tetapi ketika ia
melihat, siapa yang berdiri di muka pintu dan apa yang dibawanya, maka
serasa darahnya membeku. Dengan suara yang serak parau ia berkata,
“Paman Sumangkar, apakah itu Kakang Tohpati?”
Sumangkar mengangguk. Tetapi ia tidak
mengucapkan kata-kata. Ketika ia melangkahi tlundak pintu semua orang
yang berdiri di dalamnya, menyibak. Mereka pun terdiam seperti
Sumangkar. Dengan mata terbelalak dan hati melonjak-lonjak mereka
melihat Sumangkar meletakkan tubuh itu di atas sebuah amben bambu.
Terdengar suaranya berderit seolah-olah sebuah goresan yang tajam
berderit di jantung mereka.
Sesaat mereka berdiri tegak seperti
patung. Semua mata tertancap kepada tubuh yang terbujur diam. Pakaiannya
masih berwarna darah karena lukanya yang arang kranjang. Sedang di
tubuh Sumangkar pun darah itu meleleh membasahi pakaian orang tua itu
pula.
Ruangan itu menjadi sunyi senyap. Tak
seorang pun yang bergerak. Hanya hati merekalah yang bergelora,
melonjak-lonjak menggapai langit seperti sebuah nyala api yang membakar
gunung.
Yang terdengar kemudian adalah desir
angin yang menggerakkan dedaunan. Sekali-kali kilat memancar di langit,
disusul oleh suara guruh bersahut-sahutan. Perlahan-lahan, namun semakin
lama semakin keras.
Tetapi ruangan itu masih tetap sepi.
Hati mereka seakan-akan pecah ketika
mereka mendengar Sumangkar berkata sambil menunjuk tubuh Tohpati itu
dengan tongkatnya, “Inilah orang yang kalian tunggu.”

Tiba-tiba orang kedua sesudah Macan Kepatihan itu menggeram seakan-akan ingin melontarkan tekanan yang menghimpit dadanya.
“Raden Tohpati terbunuh dengan luka arang
kranjang karena ingin menyelamatkan kita.” desah Sanakeling. Wajahnya
yang ditimpa oleh sinar obor yang nyalanya bergerak-gerak disentuh angin
tampak menjadi tegang dan buas. Seperti seekor serigala yang kehilangan
anaknya, Sanakeling itu menggeretakkan giginya sambil menghentakkan
kakinya di tanah.
Kembali ruangan itu tenggelam dalam
kesenyapan. Hanya nafas-nafas mereka yang bekejaran terdengar seperti
desah angin di luar, yang menggetarkan dedaunan dan ranting-ranting.
Sekali-kali kilat memancar di langit dan kembali suara guruh terdengar bersahut-sahutan. Namun kemudian sunyi kembali.
Tetapi tanpa sepengetahuan mereka, di
luar gubug yang satu itu, semakin lama semakin banyak orang-orang Jipang
berkumpul. Mereka mendengar dari prajurit yang melihat Sumangkar
membawa mayat Tohpati memasuki gubug itu. Berjejal-jejal mereka ingin
menyaksikan apakah yang dikatakan oleh kawannya itu benar.
Sumangkar, Sanakeling dan orang-orang
yang berada di dalam gubug itu terkejut ketika mereka mendengar pintu
berderak karena desakan orang-orang di luar. Ketika mereka berpaling,
mereka melihat wajah-wajah yang kaku tegang.
Sanakeling yang dibakar oleh luapan
kemarahannya itu memandang mereka dengan mata yang menyala. Seakan-akan
dari matanya memancar dendam tiada taranya. Seakan-akan dari matanya itu
memancar tuntutan atas kesetiaan orang-orang Jipang kepada pemimpinya
itu.
Sumangkar melihat mata yang menyala itu.
Sumangkar menangkap apa yang terbersit dari pancaran itu. Karena itu ia
menjadi berdebar-debar. Ia belum sempat menyampaikan pesan terakhir
Macan Kepatihan kepada Sanakeling, kepada Alap-alap Jalatunda, kepada
pemimipin-pemimpin Jipang yang lain. Kini tiba-tiba pemimpin-pemimpin
Jipang yang marah itu akan langsung berhadapan dengan para prajurit yang
pasti akan mudah sekali terbakar hatinya. Dalam keadaan yang
sedemikian, maka mereka dapat melakukan kebuasan dan kebiadaban yang
mengerikan. Apalagi kini Macan kepatihan sudah tidak ada lagi. Tidak ada
lagi yang dapat mencegah mereka melakukah apa saja yang mereka
kehendaki. Apa saja yang mereka lakukan, apalagi untuk mengungkapkan
kemarahan kebencian, dendam, bahkan untuk mengucapkan kegembiraan hati
mereka, mereka dapat melakukan hal-hal yang tidak wajar. Sepeninggal
Arya Jipang, sepeninggal Patih Mantahun, maka sebagian besar para
prajurit Jipang telah kehilangan pegangan. Seandainya pada saat-saat
yang demikian itu tidak ada Macan Kepatihan, maka mereka akan dapat
melakukan perbuatan-perbuatan yang sangat liar, sebab mereka sudah
kehilangan tujuan. Namun kemungkinan yang lain, bahwa sebagian besar
dari mereka justru akan meletakkan senjata mereka, apabila mereka
mendapat kesempatan dan jaminan bahwa kepada mereka tidak akan
diperlakukan di luar batas-batas ketentuan yang ada.
Dan kini Macan Kepatihan itu sudah tidak
ada. Kemungkinan yang demikian itu pasti akan berlaku lagi. Sebagian
dari mereka pasti akan melepaskan dendam mereka, kebencian mereka dan
perbuatan-perbuatan lain yang tanpa terkendali. Namun sebagian dari
mereka justru akan meletakkan senjata, apabila mereka mendengar jaminan
yang telah diucapkan oleh Untara, senapati Pajang yang langsung mendapat
kekuasaan dari Panglima Wira Tamtama.
Kini tinggal bagaimana cara menyampaikan
kepada sebagian besar para prajurit Jipang itu. Kalau Sanakeling yang
berbicara kepada mereka, maka pasti yang akan dikobarkannya adalah
dendam dan benci. Akan dibakarnya hati para prajurit itu. Dan hati
mereka pun segera akan terbakar. Mereka akan bertebaran ke segala
penjuru dengan bara di dada mereka. Dan mereka dapat berbuat apa saja di
sepanjang perjalanan mereka. Mereka dapat menakut-nakuti rakyat
padesan. Bahkan mereka akan dapat melakukan berbagai perkosaan atas
sendi-sendi kemanusian.
Karena itu Sumangkar harus bertindak
cepat. Mendahului Sanakeling yang menjadi buas, karena melihat Macan
Kepatihan yang terbunuh dengan luka arang kranjang.
Tatapi selagi Sumangkar sedang
menimbang-nimbang, maka yang terdengar dahulu adalah suara Sanakeling,
“He, para prajurit Jipang yang berani. Kini kalian dapat melihat, betapa
biadabnya orang-orang. Pajang Pemimpinmu terbunuh dengan luka arang
kranjang.”
Dada Sumangkar berdesir mendengar
kata-kata itu. Kata-kata itu adalah permulaan dari cara Sanakeling
membakar hati mereka. Dada Sumangkar itu semakin bergelora ketika
sekilas ia melihat mata yang menyala pada setiap wajah para prajurit
Jipang. Dalam sinar obor yang kemerah-merahan, maka dilihatnya mata
mereka seakan-akan melampaui panas api obor itu.
Kali ini Sumangkar tidak mau terlambat
lagi. Karena itu maka segera ia menyahut, “Ya. Lihatlah. Angger Macan
Kepatihan telah meninggalkan kita. Macan Kepatihan yang garang ini telah
bertempur untuk melindungi kalian, sehingga nyawanya sendiri telah
dikorbankan.”
Semua orang yang berdiri di samping mayat
yang terbujur itu diam. Dan mereka mendengar kata-kata Sumangkar itu
dengan hati yang penuh haru.
Namun Sumangkar masih melihat bara di wajah-wajah mereka. Bara yang justru menjadi semakin panas.
Tetapi Sumangkar berkata terus, “Nah. Apakah yang akan kalian lakukan sebagai balas budi yang tiada taranya itu?”
Sanakeling sendiri menatap wajah
Sumangkar dengan gelora yang hampir menghimpit jalan pernafasannya. Yang
pertama-tama berteriak adalah Sanakeling sendiri, “Pembalasan!”
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di luar gubug itu. “Ya. Pembalasan. Pembalasan. Nyawa dengan nyawa. Darah dengan darah.”
Sumangkar meredupkan matanya. Ia melihat
tekad yang menggelora. Namun di antara suara yang bergemuruh itu,
terdengar jantungnya sendiri berdentangan melampaui gemuruh suara
orang-orang di luar gubug itu.
“Bagus!” teriak Sumangkar. “Bagus. kalian
harus melakukan pembalasan.” Sumangkar berhenti sesaat. Lalu
diteruskannya, “Apakah kalian masih memiliki kesetiaan kepada
pemimpin-pemimpinmu ini?”
Para prajurit Jipang itu serentak menjawab, “Tentu. Kami masih memiliki kesetiaan yang utuh.”
Sumangkar memandang berkeliling.
Sanakeling, A1ap-alap Jalatunda, orang-orang yang berdiri di dalam dan
di luar gubug itu. Dengan hati-hati ia berbicara terus, “He, orang-orang
Jipang. Aku menunggu saat Angger Tohpati menghembuskan nafasnya yang
penghabisan. Aku menunggu saat-saat Raden Tohpati mengucapkan
pesan-pesannya yang terakhir. Nah, apakah kalian ingin mendengar pesan
yang terakhir itu?”
“Ya. Kami ingin mendengar,” sahut mereka serentak.
Sumangkar terdiam sesaat. Ia menjadi
ragu-ragu. Apakah sudah tiba saatnya menyampaikan pesan terakhir itu?
Apakah dengan demikian, maka tidak akan menimbulkan salah paham pada
para pemimpin Jipang yang masih ada?
Namun Sumangkar berjalan terus meskipun ia harus berhati-hati sekali. Katanya, “Pesan itu amat sulit kita lakukan.”
“Biar apa pun yang harus kami lakukan, kami tidak akan gentar,” sahut mereka serentak.
“Terlalu berat,” seakan-akan Sumangkar bergumam kapada sendiri.
“Jangan memperkecil arti kami yang ada di
sini, Paman,” berkata Sanakeling dengan mata menyala. “Apakah kau
sangka kami tidak mempunyai cukup keberanian untuk melakukannya?”
“Memang,” sahut Sumangkar, “kesetiaan
hanya dapat diwujudkan dengan perbuatan. Bukan sekedar kata-kata dan
janji. Namun apa yang harus kita lakukan seakan-akan berada di luar
jangkauan kita semua. Bahkan selama ini belum pernah terpikirkan, bahwa
kita akan melakukannya.”
“Ya, apakah menyerang jantung kota
Pajang? Apakah kami harus berusaha membunuh Adiwijaya? Atau kami harus
membalas dendam atas kematian Arya Penangsang dengan berusaha membunuh
Ngabehi Loring Pasar meskipun secara diam-diam. Atau Untara, Widura?
Apa? Apa yang harus kami lakukan?” teriak Alap-alap Jalatunda.
Sumangkar menggeleng. Selangkah ia maju
dengan tongkat baja putihnya terayun-ayun. Cahaya yang berkilat-kilat
memantul dari tongkatnya itu berwarna kemerah-merahan, seperti sinar
obor yang dengan lincahnya menari di ujung-ujung bumbung dan jlupak.
“Kalian lihat tongkat ini?” berkata Sumangkar kepada orang-orang Jipang.
“Ya. Kami lihat. Itu adalah ciri kebesaran Macan Kepatihan.”
“Kalian salah,” sahut Sumangkar, “ini bukan tongkat Angger Tohpati.”
Semuanya terdiam mendengar kata-kata itu.
Serentak mereka memandangi tongkat itu tajam-tajam. Akhirnya mereka
menemukan perbedaan itu. Mereka mengenal tongkat Macan Kepatihan
baik-baik seperti ia mengenal orangnya, tongkat ini agak lebih kecil
dari tongkat Raden Tohpati. Karena itu timbullah keheranan di dalam hati
mereka. Apakah Sumangkar juga mempunyai tongkat baja putih berkepala
tengkorak yang kekuning-kuningan seperti Macan Kepatihan? Apakah ia
memilikinya juga?
Tiba-tiba mereka tersadar, bahwa mereka
berhadapan dengan juru masak yang malas. Mereka sama sekali bukan
berhadapan dengan seorang pemimpin mereka. Namun meskipun demikian,
mereka menunggu dengan tidak sabar. Apakah yang akan dikatakannya
tentang pasan terakhir itu.
Tetapi mereka pun menjadi heran, kenapa
Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, tiba-tiba saja memberi kesempatan
kepada orang tua itu untuk seakan-akan memimpin pertemuan yang tidak
sengaja mereka adakan itu?
Dalam kebimbangan dan keheranan itulah
maka Sumangkar akan sampai pada tingkat terakhir dari permainannya.
Sebelum ia mengatakan pesan Tohpati, ia harus cukup mempunyai wibawa
atas orang Jipang itu. Setidak-tidaknya setingkat dengan wibawa yang
dimiliki oleh Sanakeling.
Karena itu, Sumangkar itu maju beberapa
langkah. Kini ia berdiri di muka pintu keluar. Ia melihat orang-orang
Jipang yang berdiri berdesak-desakan, bahkan ada di antara mereka yang
membawa obor-obor di tangan; sedang ke dalam ia melihat Sanakeling,
Alap-alap Jalatunda dan beberapa pemimpin yang lain berdiri tegang kaku
seperti patung. Namun, baik wajah-wajah orang-orang Jipang maupun para
pemimpinnya membayangkan ketidak-sabaran, mereka menunggu kata-kata
Sumangkar tentang pesan terakhir Macan Kepatihan.
Terdengar Sumangkar kemudian berkata, “Nah, jadi adakah kalian lihat bahwa tongkat ini bukan tongkat Angger Tohpati?, “
“Ya kami lihat,” sahut mereka. Namun
Sanakeling, Alapalap Jalatunda dan para pemimpin yang lain tampak
seolah-olah berdiri saja membeku. Meskipun sebagian dari mereka mengerti
bahwa sebenarnya Sumangkar bukanlah sekedar juru masak namun tongkat
baja putih itu benar-benar mengejutkan mereka. Mereka sama sekali belum
pernah melihat, bahwa Sumangkar pun memiliki tongkat semacam itu.
Apalagi Sanakeling yang jarang sekali berada di pusat pemerintahan
Jipang, dan jarang sekali bertemu dengan Sumangkar, meskipun ia tahu
bahwa Sumangkar adalah seorang sakti yang berada di dalam lingkungan
istana kepatihan. Tetapi sampai pecahnya Jipang, Sanakeling dan
Sumangkar berada di medan yang berbeda.
“Itulah yang menyedihkan aku,” berkata
Sumangkar. “Aku tidak berhasil membawa tongkat Angger Macan Kepatihan
kembali. Aku tidak dapat mengambilnya dari medan setelah Angger Macan
Kepatihan terbunuh.” Sumangkar berhenti sesaat. Kemudian katanya
melanjutkan, “Tongkat ini adalah tongkatku.”
Sumangkar melihat berpasang-pasang mata
terbelalak karenanya. Apalagi ketika mereka mendengar kata-kata
Sumangkar seterusnya, “Aku adalah paman guru dari Angger Macan
Kepatihan. Nah, itulah aku. Dan itulah sebabnya maka Angger Macan
Kepatihan mempercayakan pesannya kepadaku, sebab aku adalah saudara
seperguruan Patih Mantahun.”
Gubug itu menjadi sunyi senyap di dalam
dan di luarnya. Sesepi tanah pekuburan, orang-orang yang berdiri tegak
di halaman dan di dalam gubug itu seperti tonggak-tonggak batang kamboja
yang membeku.
Pengakuan Sumangkar terdengar oleh
sebagian besar dari mereka seperti suara guruh yang meledak di langit.
Orang-orang Jipang itu benar-benar terkejut. Sumangkar, yang mereka
kenal sebagal seorang juru masak yang malas, ternyata adalah seorang
yang sakti. Saudara seperguruan Patih Mantahun.
Tetapi beberapa orang sudah tidak
terkejut lagi. Sanakeling juga tidak terkejut. Siapa pun Sumangkar itu,
bagi Sanakeling tidak ada bedanya. Sebab ia sudah tahu sebelumnya, bahwa
Sumangkar adalah seorang yang sakti.
Kecuali Sanakeling dan beberapa pemimpin
yang lain, di antara para prajurit Jipang yang berkumpul di luar pintu
itu, terdapat Bajang, juru masak kawan sepekerjaan Sumangkar. Sambil
senyum ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada orang yang berdiri di
sampingnya ia berkata, “Aku sudah tahu lebih dahulu dari kalian
semuanya.”
Kawannya mengerinyitkan alisnya sambil bertanya, “Darimana kau tahu ?”
“Apakah kau sudah bertemu dengan Tundun?”
“Belum.”
“Anak itu belum berceritera kepadamu
tentang Ki Tambak Wedi dan Sidanti yang datang ke perkemahan ini ketika
kalian sedang pergi berperang?”
“Aku belum bertemu dengan Tundun. Bagaimana ia bisa berceritera kepadaku?”
“Mungkin Ki Lurah Sanakeling pun belum
sempat mendengar laporan Tundun,” berkata Bajang. “Tambak Wedi yang
mengerikan itu datang bersama muridnya Sidanti. Kalau tidak ada juru
masak yang malas itu, entahlah apa yang terjadi. Kami bertempur
bersama-sama dengan semua orang yang ada di sini. Tetapi melawan
muridnya, Sidanti pun kami tidak mampu. Apalagi Ki Tambak Wedi.”
“Dan Sumangkar mengalahkannya?”
“Ya, Sumangkar telah mengusirnya.”
Orang yang mendengar ceritera itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pantas. Pantas,” gumamnya.
Ketika mereka kemudian memandangi pintu
gubug itu, kembali mereka melihat Sumangkar berdiri tegak seperti batu
karang pinggir pantai. Tiba-tiba mereka melihat seolah-olah orang yang
berdiri itu bukan lagi seorang juru masak yang mereka kenal sehari-hari.
Wajah Sumangkar kini seolah-olah
memancarkan kewibawaan yang mengejutkan hati mereka. Tongkat baja putih
itu benar-benar mirip tongkat Tohpati. Dan tongkat itu adalah milik
Sumangkar.
Dalam pada itu terdengar Sumangkar
meneruskan, “Meskipun aku tidak berhasil membawa tongkat Angger Tohpati,
namun aku telah memiliki tongkat yang serupa. Tongkat yang akan mampu
melakukan apa saja seperti yang dapat dilakukan oleh tongkat Angger
Macan Kepatihan.
Semua orang masih terdiam. Namun mereka
mulai dirayapi oleh kepercayaan bahwa sebenarnya Sumangkar mampu berbuat
seperti Macan Kepatihan.
Namun Sanakeling yang mendengar kata-kata
itu mengerutkan dahinya. Ia belum tahu pasti arah kata-kata Sumangkar
seterusnya. Tetapi sebagai orang kedua sesudah Tohpati, Sanakeling
merasa berhak untuk memimpin prajurit-prajurit Jipang itu sepeninggal
Macan kepatihan, sehingga dadanya mulai berdebar-debar melihat Sumangkar
mengangkat tongkat baja putihnya.
“Apakah Sumangkar akan langsung mengambil alih pimpinan dari Raden Tohpati,” berkata Sanakeling di dalam hatinya.
Dan terdengarlah Sumangkar berkata terus, “Nah, sekarang apakah kalian dapat mempercayai kata-kataku?”
Kembali mereka terlempar dalam kesepian.
Sesaat tak seorang pun yang menyahut, sehingga Sumangkar menjadi
ragu-ragu. Kalau mereka tidak percaya, maka untuk menekankan pesan-pesan
Tohpati, apakah ia perlu menunjukkan beberapa macam permainan sehingga
ia tidak lagi dianggap hanya sekedar omong kosong?
Tetapi tiba-tiba terdengar di belakang seseorang berteriak, “Aku telah melihat sendiri Ki Sumangkar mengalahkan Ki Tambak Wedi.”
Semua orang berpaling ke arah suara itu.
Tetapi mereka tidak segera melihat siapakah yang telah berteriak-teriak
itu. Namun kemudian terdengar kembali orang itu berkata, “Kami yang
tinggal di perkemahan pada saat kalian berperang telah melihat sendiri
apa yang dilakukan oleh Ki Sumangkar.”
Beberapa orang segera mengenal bahwa
suara itu adalah suara Bajang, seorang juru masak yang masih muda, kawan
Sumangkar. Beberapa orang menjadi justru bercuriga, apakah Bajang tidak
sekedar mengangkat nama kawan sepekerjaannya. Namun tiba-tiba dari
beberapa sudut terdengar orang-orang lain menyambut. “Ya kami pun
menyaksikan. Kami telah menyaksikan sendiri.”
Sumangkar kemudian memandang berkeliling. Dan sekali lagi ia berkata, “Siapakah yang dapat mempercayai kata-kataku?”
Tiba-tiba menggeloralah jawaban, “Kami percaya, kami percaya.”
Sanakeling masih berdiri di tempatnya
dengan wajah yang tegang. Seharusnya dirinyalah yang wajib berdiri di
hadapan para prajurit Jipang itu sebagai penggganti Macan Kepatihan.
Tiba-tiba tanpa disadarinya, orang lain telah mendahului. Meskipun
demikian, ia masih mampu menahan dirinya. Mungkin Sumangkar akan
menguntungkannya. Mampu membakar hati para prajurit itu, untuk dibawanya
membalas sakit hatinya atas hilangnya pemimpin yang mereka segani.
“Terima kasih,” berkata Sumangkar
kemudian. “Kalau demikian kalau kalian percaya akan kata-kataku, maka
biarlah aku menyampaikan pesan terakhir Angger Tohpati. Namun seperti
kataku tadi, pesan itu terlampau berat bagi kita sekalian. Sebab pesan
itu sama sekali berada di luar angan-angan kita selama ini.”
Sekali lagi terdengar para prajurit
Jipang itu berteriak, “Kami akan melakukan apa saja yang dipesankan oleh
Raden Tohpati. Biar masuk ke dalam api sekalipun, kami akan
mematuhinya.”

Orang-orang Jipang menjadi hampir tidak sabar lagi. Karena itu mereka berteriak-teriak, “Kami bersumpah, kami bersumpah.”
Sanakeling pun menjadi tidak sabar pula.
Beberapa langkah ia maju mendekati Sumangkar sambil berkata,
“Berkatalah, jangan melingkar-lingkar. Apakah pesan terakhir itu. Kami
akan melakukannya. Aku adalah pemimpin laskar Jipang sepeninggal Macan
Kepatihan. Dan aku sanggup untuk memimpin pasukan ini berbuat apa saja.
Meskipun aku harus membakar istana Pajang sekalipun dan merampas
permaisurinya.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sahutnya, “Baik. Baik. Akan segera aku katakan.” Namun di dalam hati
Sumangkar bergumam, “Kalau kau mampu Sanakeling, kau tidak akan
berkeliaran di dalam hutan seperti sekarang. Apalagi kau, sedang Arya
Penangsang dan Patih Mantahun pun tidak mampu melawan Ki Gede
Pemanahan, Penjawi, dan anak muda Ngabehi Loring Pasar, di samping
Adiwijaja sendiri.”
Tetapi kemudian yang dikatakan adalah
pesan terakhir Macan Kepatihan. Sambil melangkah maju, Sumangkar
menengadahkan wajahnya. Gubug itu kemudian menjadi sunyi senyap. Yang
terdengar hanyalah deru nafas orang-orang Jipang itu memburu lewat
lubang-lubang hidung mereka yang mengembang. Mereka ingin mendengar kata
demi kata, pesan dari pemimpin mereka yang mereka segani.
“Dengarlah,” berkata Sumangkar, “sudah
aku katakan bahwa pesan itu terlampau berat bagi kami, sebab pesan itu
berbunyi,” Sumangkar berhenti sesaat. Ditatapnya setiap wajah yang
seolah-olah menyalakan tekad di dalam dada mereka. Sesaat kemudian
Sumangkar meneruskan, dan kata-katanya terdengar seperti suara guntur
dan guruh bersama-sama, beruntun susul-menyusul.
“Pada saat nafas Angger Tohpati telah satu-satu meluncur, ia berkata ’Kematianku adalah
akhir daripada bencana yang menimpa rakjat Demak. Aku adalah sisa
terakhir dari Senapati yang mendapat kepercayaan para prajurit Jipang.
Sepeninggalku aku mengharap bahwa mereka akan membuat
perhitungan-perhitungan. Bukankah begitu paman Sumangkar?’ Kemudian diteruskannya pada kesempatan lain di mana nafasnya menjadi semakin lemah, berkata Macam Kepatihan itu, ’Mudah-mudahan kematianku menjadi pertanda bahwa tak ada gunanya perselisihan ini akan berlangsung terus.’” Dan Sumangkar itu pun berhenti sesaat. Dengan tajamnya ia memandangi orang-orang yang berdiri di sekitarnya.
Setiap orang yang mendengar kata-kata
Sumangkar itu, darahnya seakan-akan berhenti mengalir. Pesan itu sama
sekali bukan pesan untuk membunuh Untara, Widura atau Adiwijaya sekali.
Bukan perintah untuk membakar istana Pajang dan melakukan serangkaian
pembunuhan sebagai pembalasan. Tetapi pesan itu seolah-olah pesan yang
sama sekali bertentangan dengan dugaan mereka.
Suasana yang sepi bertambah sepi.
Mulut-mulut yang meskipun ternganga namun serasa terbungkam. Hati-hati
yang membara seolah-olah meledak justru karena tersiram air dengan
tiba-tiba. Tetapi mereka semua benar-benar tenggelam dalam perasaan yang
aneh. Bingung dan kehilangan dasar tanggapan seterusnya.
Sumangkar membiarkan suasana itu
berlangsung beberapa lama. Dibiarkannya setiap orang berada dalam
pergolakan perasaan. Dibiarkannya mereka sampai pada kesimpulan
masing-masing apabila mereka telah menemukan keseimbangan dan sempat
mempertimbangkan.
Namun suasana yang sepi itu tiba-tiba
dipecahkan oleh teriakan Sanakeling melengking menghentak setiap
jantung. “Paman Sumangkar. Apakah arti daripada pesan itu. Apakah dengan
demikian Kakang Macan Kepatihan mengharap kita semua bertekuk lutut di
bawah kaki Untara? He?”
Sumangkar tidak terkejut mendengar
pertanyaan itu. Ia sudah menduga sebelumnya, bahkan hampir pasti, bahwa
Sanakeling adalah orang yang pertama menolak pesan itu. Karena itu
dengan tenang ia menjawab, “Ya Ngger. Demikianlah kira-kira pesan itu.
Namun agaknya pertimbangan Angger Macan Kepatihan telah cukup masak
untuk mengucapkan pesan-pesan itu.”
“Jadi haruskah kami merangkak-rangkak di bawah kaki Untara seperti anjing kudisan?” teriak Sanakeling.
“Kata-kata itu terlampau tajam.”
“Tidak. Kata-kata itu tepat seperti yang
akan terjadi apabila kita menuruti pesan itu. Dan kita akan dijerat
leher kita, diseret di sepanjang jalan antara Sangkal Putung dan Pajang.
Dipertontonkan kepada setiap orang sebelum kita digantung di alun-alun
Pajang. Berderet-deret seperti jemuran yang tidak kering-keringnya.”
Sumangkar mendengar kata-kata itu
diucapkan dengan penuh nafsu. Bahkan Sumangkar pun kemudian melihat
wajah-wajah yang seakan-akan membeku di hadapannya, mulai menegang.
Kata-kata Sanakeling agaknya telah menggugah hati mereka. Menggugah hati
keprajuritan mereka.
Karena itu segera Sumangkar berkata,
“Angger Sanakeling benar. Tetapi tidak tepat sebab aku belum mengatakan
rangkaian dari pesan itu. Pesan itu diucapkan oleh Angger Tohpati di
hadapan Untara yang menungguinya pula pada saat-saat terakhir.
Menungguinya tidak seperti dua orang yang sedang bermusuhan. Agaknya
mereka di saat-saat terakhir itu telah mengenangkan masa-masa lampau.
Masa-masa Demak masih diikat oleh tali persatuan yang erat. Keduanya
adalah sahabat yang baik dari dua daerah Kadipaten. Angger Macan
Kepatihan dari Kadipaten Jipang dan Angger Untara dari Kadipaten Pajang.
Pertentangan antara Jipang dan Pajang telah mempertentangkan mereka
pula. Namun kebesaran jiwa dari keduanya telah menemukan kembali
persahabatan itu di saat-saat Angger Macan Kepatihan menghadapi maut.
Meskipun maut itu beralatkan tangan Untara sendiri.”
Kembali mereka diterkam oleh kesenyapan.
Terasa setiap kata, baik yang diucapkan oleh Sumangkar maupun yang
diucapkan Sanakeling benar belaka. Meskipun makna dari keduanya
berlainan bahkan bertentangan. Karena itu, setiap jantung yang berdegup
di dalam dada menjadi bingung siapakah yang akan dianut? Sumangkar
melihat hari depan yang tenang, hari depan yang damai. Mereka tidak akan
lagi berlari-larian sepanjang hutan. Mereka tidak perlu lagi selalu
dikejar-kejar oleh kegelisahan. Mereka akan dapat hidup seperti manusia
biasa. Meskipun mungkin sebulan dua bulan mereka tidak dapat bebas
berbuat karena hukuman yang akan diterimamja. Namun setelah itu, tidak
ada lagi persoalan yang selalu menghantuinya siang dan malam. Seluruh
negeri akan menjadi aman. Pasar-pasar akan kembali mengumandang, dan di
malam hari kembali akan terdengar tembang. Seruling gembala di
padang-padang dan anak-anak bermain di halaman. Orang-orang tua akan
menikmati bunyi burung perkutut dengan tenang.
Tetapi gambaran-gambaran yang damai dan
tenteram itu tiba-tiba telah digoyahkan oleh pendirian Sanakeling.
Pendirian seorang prajurit yang tidak dapat ditundukkan oleh
peristiwa-peristiwa yang bagaimanapun dahsyatnya. Mereka akan menjadi
orang tangkapan dan diarak sebagai tawanan apabila mereka menyerah.
Hilanglah kejantanan mereka, dan harga diri mereka akan terkorbankan.
Lebih baik mengorbankan nyawa daripada harga diri bagi seorang prajurit
sejati. Apabila mereka harus berlari-lari ke hutan, bersembunyi di
antara semak-semak dan gerumbul, di antara padang-padang dan
lereng-lereng gunung, adalah akibat dari perjuangan mereka. Akibat dari
keteguhan hati seorang prajurit yang tidak miyur.
Demikianlah setiap wajah kemudian
memancarkan kebimbangan hati yang tiada ujung pangkal. Keduanya benar
bagi mereka. Keduanya mapan, dan keduanya wajib diturut. Pesan terakhir
pemimpin mereka yang mereka segani lewat paman gurunya yang perkasa, dan
yang lain adalah pendapat senapati yang seharusnya langsung memimpin
mereka sepeninggal Macan Kepatihan.
Dalam kebimbangan itu terdengar kemudian
suara Sanakeling seperti membelah langit, “Paman Sumangkar. Aku adalah
seorang prajurit. Prajurit hanya mengenal dua arti dalam perjuangannya.
Menang atau mati. Selain itu, adalah nista sekali untuk di jalani.
Apalagi menyerahkan dan di bawah injakan kaki lawan. Apakah paman
Sumangkar ini telah bukan lagi seorang prajurit yang baik?”
Sumangkar memandangi wajah Sanakeling
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya, “Aku hanya
menyampaikan pesan terakhir Angger Macan Kepatihan.” Kemudian kepada
para prajurit Jipang Sumangkar berkata, “Pesan itu adalah pesan Macan
Kepatihan yang sampai saat terakhir telah mengorbankan jiwa raganya
sebagai seorang prajurit jantan. Sebagai seorang pemimpin sejati ia
telah berusaha melindungi kalian. Nah, katakanlah, apakah ia seorang
prajurit yang baik atau bukan, Hai, orang-orang Jipang. Sebutlah
pemimpinmu itu, apakah ia seorang prajurit yang baik atau bukan? Ayo,
katakanlah, apakah Macan Kepatihan seorang prajurit yang baik atau
seorang pengecut?”
Terdengarlah jawaban menggemuruh, “Ia
adalah seorang prajurit yang baik. Seorang laki-laki jantan. Seorang
senapati yang tiada taranya.”
“Bagus,” sahut Sumangkar. “Pesan itu
keluar dari mulutnya. Keluar dari mulut seorang senapati jantan, keluar
dari mulut seorang prajurit yang baik.”
“Bohong!” potong sanakeling dengan nada
yang tinggi. “Senapati yang baik, prajurit jantan tidak akan
mengeluarkan perintah serupa itu. Itu pasti akal-akalmu sendiri, Paman
Sumangkar. Itu pasti caramu untuk melepaskan kejemuanmu sendiri.”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Dan ia
mendengar Sanakeling berbicara terus, “Aku tidak percaya kalau Kakang
Tohpati telah mengeluarkan pesan itu.”
Sumangkar tidak mau kahilangan
kesempatan. Karena itu segera ia menyahut, “Itulah bedanya. Seorang yang
berjiwa besar dan orang lain yang tidak dapat mengikuti kebesaran
jiwanya. Kalian dapat berpikir untuk terlalu mementingkan diri sendiri.
Kalian dapat berpijak pada harga diri yang berlebih-lebihan. Harga diri
seorang prajurit yang pantang menyerah. Tetapi itu adalah pikiran yang
sempit. Prajurit tidak akan menyerah apabila ia berjuang untuk suatu
cita-cita yang tegas, suatu cita-cita yang diyakini kebenarannya. Tetapi
apakah kalian berbuat demikian? Apakah kalian yakin, bahwa kalian telah
berjuang dalam suatu pengabdian sebagai seorang prajurit. Coba katakan,
apakah yang kalian capai dengan peperangan yang tiada ujung dan pangkal
ini?”
“Kau telah berputus asa, paman
Sumangkar,” teriak Sanakeling. “Kau telah kehilangan akal. Perjuangan
Arya Penangsang adalah perjuangan atas hak dan waris atas tahta. Ini
adalah perjuangan jantan. Perjuangan yang luhur.”
“Bukankah perjuangan itu telah berpijak
atas kepentingan diri? Warisan atas tahta-tahta. Bukan perjuangan atas
dasar yang luas bagi seluruh rakyat Demak untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup mereka? Perjuangan itu adalah perjuangan yang
sempit. Warisan memang dapat membuat sanak dan kadang sendiri saling
bertengkar. Tetapi jangan rakyat dikorbankan dalam pertengkaran itu.
Bagi rakyat yang penting bukan siapa ahli waris yang paling berhak atas
tahta. Tetapi bagi rakyat, siapakah yang paling baik bagi mereka, yang
paling banyak berpikir dan berbuat untuk mereka. Tidak untuk sendiri.
Tidak untuk seorang atau beberapa orang pemimpin. Tidak untuk Arya
Penangsang atau Adiwijaya. Tidak. Tetapi bagi rakyat, siapakah paling
langsung berbuat banyak untuk kepentingan mereka, ialah yang paling
berhak atas pimpinan negara. Orang itulah ahli waris yang sah atas
tahta.”
Kata-kata Sumangkar itu mencengkam setiap
hati. Namun kata-kata Sanakeling telah membakar setiap jantung dan
mendidihkan darah yang mengalir di dalam jaringan-jaringan urat darah.
Keduanya beralasan dan keduanya dapat mereka mengerti. Karena itulah
maka setiap orang menjadi semakin bimbang, siapakah di antara mereka
yang harus mereka turuti.
Mendengar penjelasan Sumangkar,
Sanakeling menggeram marah. Kemudian kepada prajurit-prajurit Jipang ia
berteriak, “Akulah pemimpin kalian sepeninggal Macan Kepatihan. Semua
perintahku sama nilainya dengan perintah Kakang Tohpati.”
Semua mata kemudian berpaling ke arahnya.
Sanakeling itu pun kini telah berdiri di ambang pintu di samping
Sumangkar. Wajahnya yang keras dan penuh ditandai oleh dendam dan
kebencian telah menyala seperti nyala api neraka. Tetapi Sumangkar masih
tetap tenang. Ia tidak menyahut dan memotong kata-kata Sanakeling.
Dibiarkannya Sanakeling berbicara pula, “Kita telah kehilangan pemimpin
kita. Sekarang orang tua ini menganjurkan kita merangkak di bawah kaki
Untara. Tidak! Dengar perintahku, Kobarkan dendam di segala penjuru.
Setiap orang Jipang harus mendengar bahwa Macan Kepatihan mati dengan
luka arang kranjang karena kebiadaban orang-orang Pajang seperti pada
saat Plasa Ireng terbunuh dengan dada dan punggung terbelah. Macan
Kepatihan itu sama nilainya dengan seribu orang Pajang dan setiap nyawa
di antara kita bernilai seratus orang Pajang. Timbulkan kengerian di
mana-mana. Setiap orang Pajang bertanggung jawab atas kematian Macan
Kepatihan, sehingga kepada mereka dendam kita dapat kita tumpahkan.”
Bulu-bulu kuduk Sumangkar meremang
mendengar perintah itu. Perintah itu telah diduganya akan terjadi
seandainya orang-orang Jipang itu tidak mendapat keseimbangan. Perintah
itu berarti pembunuhan yang semena-mena atas semua orang yang akan
ditemui oleh Sanakeling. Semua orang Pajang diperlakukan sama. Karena
itu maka segera ia berkata, “Bagus. Apabila Angger Sanakeling bertekad
demikian. Aku tidak akan menghalang-halangi, sebab aku tidak mempunyai
pendirian tersendiri.”
Sanakeling yang segera akan memotong
kata-kata Sumangkar tertegun mendengarnya. Karena itu niatnya
diurungkan. Terasa bahwa Sumangkar telah mundur setapak dari
pendiriannya.
Dan terdengar kata-kata Sumangkar itu,
“Apa yang aku katakan hanyalah sekedar pesan. Pesan Angger Tohpati yang
telah terbunuh karena melindungi nyawa kita. Seandainya Macan Kepatihan
itu tidak mengorbankan nyawanya, maka kitalah yang akan mati terlebih
dahulu. Dan kitalah yang akan mengucapkan pesan-pesan itu kepada orang
terakhir yang kita temui. Dan dalam pesan-pesan yang terakhir itulah
sebenarnya kita akan menunjukkan nilai dan kebesaran jiwa kita. Namun
apabila kini dikehendaki lain oleh seseorang yang berwenang, aku akan
menundukkan kepala. Memenuhi perintah yang akan dijatuhkan. Tetapi kita
pun akan segera mendengar perintah yang serupa keluar dari mulut Untara.
Bahkan mungkin dari mulut Ki Gede Pemanahan atau Adiwijaya sendiri.
Perintah itu akan berbunyi serupa, ’Bunuhlah setiap orang Jipang siapa
pun sebab mereka semuanya turut bertanggung jawab atas
kerusuhan-kerusuhan yang terjadi’. Dan orang-orang Pajang akan melakukan
perintah itu sebaik-baiknya. Apalagi mereka, yang sanak kadangnya akan
menjadi korban perintah Angger Sanakeling. Malah mereka akan dapat
mengamuk seperti orang mabuk. Anak-anak kita, isteri, ayah bunda dan
saudara-saudara kita yang sekarang selalu berada di dalam kegelisahan
karena mereka menunggu kita pulang ke rumah. Namun yang sampai sekarang
mereka masih dibiarkan hidup dan menetap di rumah-rumah mereka sendiri.
Tetapi apabila kita melakukan perintah Angger Sanakeling itu, akan dapat
berarti menekan mereka ke dalam lembah kehancuran. Bukan orang-orang
Pajang saja, tetapi orang-orang Jipang. Semua akan musnah. Dan rakyat
Demak akan menjadi punah. Hancur lebur. Bunuh membunuh tiada
habis-habisnya. Demak akan lenyap dibakar oleh dendam yang tiada akan
dapat dipadamkan lagi.”
Terdengar gigi Sanakeling menggeretak
mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak segera dapat menyahut.
Kata-kata itu meresap ke dalam dadanya seperti meresapnya berpuluh-puluh
bahkan beratus-ratus ujung jarum ke dalam jantungnya. Tetapi ia dapat
mengerti dan mengakui bahwa hal yang sedemikian itu mungkin terjadi.
Kembali gubuk dan sekitarnya itu ditelan
oleh kesenyapan. Dalam keheningan itu maka orang-orang Jipang sempat
berpikir. Menimbang yang baik dan yang buruk. Menilai makna dari setiap
kata kedua orang pemimpin yang telah membingungkan hati mereka.
Kembali mereka berdiri di persimpangan
jalan. Mereka dapat mengerti sepenuhnya kata-kata Sumangkar, namun
mereka sependapat pula dengan Sanakeling bahwa mereka harus
mempertahankan harga diri mereka sebagai seorang prajurit. Tetapi mereka
pun menjadi ngeri ketika mereka mendengar uraian Sumangkar yang
terakhir setelah darah mereka dibakar oleh perintah Sanakeling. Semula
perintah itu telah menggelegak di dalam dada mereka. Semua orang Pajang
harus dimusnahkan. Tetapi bagaimana kalau berlaku pula perintah yang
serupa yang dikatakan Sumangkar. Bagaimana dengan anak-anak, isteri, dan
sanak kadang mereka yang tidak tahu-menahu tentang perbuatan mereka?
Perlahan-lahan maka setiap orang telah
terdorong dalam satu pilihan di antara keduanya. Tetapi sayang, bahwa
tidak semua dada berisi jantung dan hati yang serupa. Tanpa diketahui,
maka pendirian orang-orang Jipang itu terbelah seperti pendirian
pemimpinnya. Sebagian dari mereka terdorong ke dalam pendirian
Sumangkar, dan sebagian lagi terseret oleh api kemarahan Sanakeling.
Namun dalam pada itu, ketika mereka
sedang dilanda oleh arus kebimbangan, terdengarlah suara tertawa di
belakang mereka, di belakang orang-orang Jipang itu. Suara tertawa yang
tinggi melengking menyakitkan telinga mereka yang mendengarnya.
Seperti digerakkan oleh tenaga ajaib,
serentak mereka semuanya yang berada di tempat itu berpaling. Mereka
serentak mencari sumber suara itu. Namun mereka tidak segera dapat
melihat. Tabir yang hitam pekat seakan-akan telah menyekat pandangan
mata mereka.
Sementara itu, suara tertawa itu masih terdengar. Bahkan semakin lama semakin keras.
Sanakeling yang mendengar pula suara
tertawa itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menjadi muak, dan
tiba-tiba pula ia berteriak keras-keras, “Cukup! Jangan membuat
jantungku pecah. Siapakah yang tertawa itu?”
Suara tertawa itu masih terdengar. Namun
kini menjadi semakin perlahan-lahan. Di antara derai tertawa itu
terdengar jawaban, “Aku angger Sanakeling.”
“Aku siapa?” teriak Sanakeling. “Setiap orang menyebut dirinya dengan sebutan serupa. Aku.”
Suara tertawa itu kemudian berhenti.
Tetapi mereka tidak segera mendengar jawaban. Sejenak mereka menunggu,
dan terasa malam yang sepi menjadi semakin sepi.
“Siapa kau, he?” sapa Sanakeling semakin
keras. “Siapa yang telah berani memasuki perkemahan prajurit Jipang?
Apakah sudah jemu melihat matahari besok pagi?”
“Jangan lekas marah,” jawaban itu semakin
mengejutkn. Terdengar Suara itu kini sudah menjadi semakin dekat. Namun
gelap malam masih melindunginya, sehingga belum seorang pun yang dapat
melihatnya. Tetapi orang-orang Jipang itu merasa, Sanakeling dan
Sumangkar merasa, bahwa orang itu pasti dapat melihat mereka dengan
jelas karena cahaya-cahaya obor di dekat mereka.
Tetapi orang itu tidak, berusaha bersembunyi terlalu lama.
Sesaat kemudian orang-orang Jipang itu
menjadi tegang ketika mereka melihat bayangan yang bergerak-gerak di
bawah pepohonan. Bayangan yang semakin lama menjadi semakin jelas.
Ketika kemudian cahaya obor yang lemah dapat mencapainya, maka
terbersitlah hati setiap orang yang melihatnya. Orang itu adalah seorang
tua, bermata tajam dan berhidung lengkung seperti paruh burung hantu.
Beberapa orang yang telah mengenalnya
mendjadi berdebar-debar karenanya. Sementara itu terdengar Sumangkar
berdesis, “Ki Tambak Wedi.”
Orang yang datang itu adalah Ki Tambak
Wedi. Ketika ia telah bendiri beberapa langkah dari para prajurit Jipang
yang berkerumun itu, kembali orang tua itu tertawa. Tetapi suara
tertawanya kini tidak lagi terlalu keras.
Sanakeling yang mendengar Sumangkar
menyebut namanya mengerutkan keningnya. Inikah orang yang bernama Ki
Tambak Wedi, guru Sidanti? Tiba-tiba dada Sanakeling itu bergolak. Tanpa
dikehendakinya sendiri terdengar Sanakeling itu berteriak, “He, adakah
kau yang disebut orang Ki Tambak Wedi dari lereng Gunung Merapi?”
Orang itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya. Mereka yang sudi menyebut namaku, demikianlah.”
Sanakeling mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba wajahnya menjadi semakin tegang dan kembali tanpa
dikehendakinya sendiri tangannya meraba hulu pedangnya.
“Apakah maksudmu datang kemari?” bertanya Sanakeling itu pula.
Ki Tambak Wedi tersenyum. Wajahnya yang
keras itu menjadi kemerah-merahan oleh sinar obor yang mengusapnya.
Jawabnya, “Aku tidak akan berbuat apa-apa Ngger. Jangan berprasangka.
Aku hanya ingin sekedar mendengarkan, apakah yang akan dikatakan oleh
pepunden para prajurit Jipang.”
Sanakeling mengerutkan keningnya. “Pepunden?” ulangnya.
“Ya. Bukankah Adi Sumangkar itu seorang pepunden bagi para prajurit Jipang?”
“Siapa yang mengatakannya?”
“Adi Sumangkar sendiri.”
“Bohong!” teriak Sanakeling.
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kini
ia tidak saja berhadapan dengan Sanakeling yang ternyata berbeda
pendirian dengan dirinya. Namun tiba-tiba datang Ki Tambak Wedi yang
licik itu. Dengan sebutannya yang pertama-tama diucapkan, segera
Sumangkar tahu maksud kedatangan hantu lereng Merapi itu. Dan lebih
celaka lagi tanggapan yang pertama-tama diucapkan oleh Sanakeling adalah
sangat menguntungkan hantu itu. Meskipun demikian Sumangkar tidak
segera menyahut. Dicobanya untuk menilai keadaan dengan seksama. Namun
ia belum menemukan pertimbangan yang tepat, sebab ia belum tahu
tanggapan para prajurit Jipang itu, atas pendiriannya dan pendirian
Sanakeling.
Mendengar teriakan Sanakeling yang serta
merta itu, Ki Tambak Wedi tersenyum. Kemudian katanya lebih lanjut, “Ah.
Jangan menyia-nyiakan orang tua itu Angger. Bukankah Ki Sumangkar itu
adik seperguruan Patih Mantahun. Bukankah Adi Sumangkar itu paman guru
dari pemimpinmu yang kau segani, Macan Kepatihan?”
“Aku hormati Patih Mantahun yang sakti
itu. Aku hormati Kakang Raden Tohpati yang perkasa. Tetapi Paman
Sumangkar dalam kedudukannya adalah seorang juru masak. Tidak lebih dan
tidak kurang.”
Terasa dada Sumangkar berdesir. Apalagi
ketika ia mendengar jawaban Ki Tambak Wedi, “Tetapi ia mendapat pesan
langsung dari Angger Tohpati. Angger Tohpati yang perkasa itu berpesan
kepada Adi Sumangkar agar membawa segenap anak buahnya untuk menyerahkan
dirinya, tanpa syarat.”
“Bohong! Bohong!” teriak Sanakeling. “Aku didak percaya.”
“Kenapa kau tidak percaya? Bukankah Adi
Sumangkar adalah satu-satunya orang dari antara kalian yang menunggui
saat-saat terakhir dari Raden Tohpati, selain Untara, Widura, dan
orang-orang Pajang. Sudah tentu Adi Sumangkar berkata dengan jujur.
Pasti bukan karena bujukan Untara atau janji-janji daripadanya untuk Adi
Sumangkar pribadi.”
Sekali lagi dada Sumangkar berdesir. Kali
ini lebih keras. Kata-kata Ki Tambak Wedi yang seakan-akan memihaknya
itu adalah suatu pancingan yang berbahaya. Berbahaya baginya dan
berbahaya bagi pesan Tohpati itu sendiri.
Ternyata kecemasannya itu beralasan.
Dengan serta merta Sanakeling menegakkan lehernya. Ia mencoba memandangi
Ki Tambak Wedi dengan saksama. Namun kemudian Sanakeling itu pun
berpaling kepada Sumangkar. Matanya kini seakan-akan menyala memancarkan
kemarahan hatinya. Dengan suara yang keras parau ia berkata, “He, Paman
Sumangkar, kenapa kau sempat menunggui saat-sat terakhir Kakang Macan
Kepatihan?”
Sumangkar tidak segera menjawab.
Ditatapnya mata Sanakeling yang menyala itu, langsung ke pusatnya.
Seakan-akan Sumangkar ingin menjajagi betapa panasnya nyala yang
memancar dari padanya.
Tiba-tiba Sanakeling itu melemparkan
pandangan matanya. Terasa betapa dalam perbawa orang itu. Juru masak
yang malas. Namun ketika disadarinya, bahwa matanya yang menghujam ke
wajah Sumangkar itu tergeser, timbullah kegelisahan yang sangat di dalam
dadanya. Sehingga untuk menutupinya maka Sanakeling itu berteriak
keras-keras, kepada orang-orang Jipang, “He, orang-orang Jipang, apakah
kau percaya bahwa Paman Sumangkar mendapat pesan itu dari Kakang
Tohpati? Apakah bukan karena Paman Sumangkar sebenarnya berpihak kepada
Pajang dan ditanam dalam perkemahan kita?”
Kembali suana menjadi sepi. Sepi sesepi kuburan. Namun di dalam setiap dada bergolak berbagai macam tanggapan.
Untuk memuaskan hatinya maka Sanakeling
berkata terus, “Itulah, sebabnya, maka setiap serangan yang kita
lancarkan pasti sudah diketahui oleh orang-orang Sangkal Putung. Bahkan
tidak mustahil bahwa orang tua inilah yang telah, memperlemah tekad
perjuangan yang menyala di dalam setiap dada anak-anak Jipang.” Kemudian
kepada Sumangkar ia berkata, “Nah Paman Sumangkar, katakanlah kepadaku
kenapa kau dapat mendekati Kakang Macan Kepatihan pada saat-saat
terakhirnya? Kenapa kau tidak dikeroyok seperti rampogan macan di
alun-alun, sehingga betapa saktinya kau, maka kau pun pasti akan
terbunuh pula dengan luka arang kranjang. Tetapi kau malahan dapat
membawa mayat Kakang Tohpati itu kemari dan mempergunakannya untuk
mempengaruhi tekad anak-anak Jipang yang telah membaja di dalam dada
mereka? He?”
Pertanyaan itu memang sulit untuk
dijawab. Pertanyaan itu memang memerlukan pembuktian. Tetapi tak ada
seorang saksi pun yang melihat, bahwa apa yang dikatakan itu bukanlah
suatu ceritera yang telah dikarangnya sendiri. Bukan suatu mimpi yang
didapatnya pada saat-saat ia tertidur di siang hari. Tetapi semuanya
adalah sebenarnya demikian.
Karena Sumangkar tidak segera dapat
mendjawab, maka terdengar Ki Tambak Wedi berkata, “Bagaimana Adi
Sumangkar? Angger Sanakeling telah mengajukan beberapa pertanyaan.
Kenapa tidak segera dapat kau jawab? Apakah pertanyaan itu tepat seperti
yang terjadi sebenarnya?”
Sumangkar menggeretakkan giginya.
Pertanyaan Ki Tambak Wedi itu lebih mendorongnya ke sudut yang sangat
sulit. Namun Sumangkar masih berdiri tegak dengan tenangnya. Betapa
hatinya bergelora namun ia sama sekali tidak goreh di tempatnya,
seolah-olah sepasang kakinya telah jauh menghunjam seperti akar yang
kukuh berpegangan pada batu karang yang teguh. Dan sikapnya itulah yang
telah menyelamatkan wibawanya atas orang-orang Jipang.
Namun yang terdengar kemudian adalah
suara Sanakeling yang gelisah, “He, bagaimana Paman Sumangkar? Apakah
kau masih akan ingkar lagi?”
Tiba-tiba Sanakeling itu menggeram ketika
ia melihat Sumangkar tersenyum. Orang tua itu seakan-akan sama sekali
tidak menjadi cemas dan takut. Bahkan ia masih sempat tersenyum.
Di antara senyumnya terdengar Sumangkar
berkata, “Baiklah aku mencoba menjelaskan apa yang telah terjadi.”
Sumangkar berhenti sesaat. Dicarinya kata-kata yang sebaik-baiknya.
Karena ia tidak segera menemukan, maka yang pertama-tama dikatakan
adalah, “Namun sebelumnya, biarlah aku mengucapkan selamat datang kepada
Kakang Tambak Wedi yang bijaksana.”
Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi hatinya mengumpat melihat ketenangan Sumangkar.
Kemudian berkata Sumangkar, “Aku akan
menolak segala tuduhan bahwa seolah-olah aku adalah orang yang
diselipkan di antara kalian orang-orang Jipang oleh Pajang. Sayang,
bahwa tidak banyak yang mengenal siapakah Sumangkar? Sebenarnya Angger
Sanakeling pun tidak. Sebab kami, aku dan Angger Sanakeling selalu
berada di medan yang berbeda. Tetapi kalau ada yang telah mengenal
Sumangkar baik-baik, bertanyalah kepada mereka siapakah yang telah
menyelamatkan tanda-tanda kebesaran Jipang? Rontek, tunggul, dan
umbul-umbul bahkan panji-panji kebesaran? Semuanya itu telah kalian bawa
hari ini ke medan peperangan. Kalian telah menjadi berbesar hati dan
bertambah berani, karena di atas gelar perang berkibar segala macam
tanda-tanda kebesaran itu. Nah, katakanlah siapakah yang paling banyak
berbuat untuk Jipang pada saat Jipang runtuh. Pada saat Arya Jipang
terbunuh dan kemudian Patih Mantahun? Semuanya pada saat itu hanya dapat
bercerai berai, semuanya hanya dapat mengungsikan diri sendiri. Nah,
Angger Sanakeling, apakah yang dapat kau lakukan saat itu? Timbanglah
apa yang dilakukan oleh Sumangkar yang tua ini.”
Kembali mereka terlempar ke dalam
cengkaman kesenyapan. Kembali orang-orang Jipang terseret ke dalam
pertentangan tanggapan atas pemimpin mereka.
Kini Sanakeling-lah yang terbungkam.
Semuanya itu memang benar telah terjadi. Namun di antara kesepian, itu
menyelusuplah suara tertawa Ki Tambak Wedi. Katanya, “Ini adalah suatu
ceritera yang telah terjadi atas seorang Sumangkar. Betapa besar
jasa-jasanya atas Jipang, namun akhirnya dikhianatinya para prajurit
yang telah mengorbankan hampir segala miliknya itu.”
Dada Sumangkar seolah-olah tertimpa
Gunung Merapi yang runtuh saat itu. Terasa betapa licik dan licin lidah
iblis yang bernama Tambak Wedi. Namun betapa jantungnya menjadi gemetar,
tetapi Sumangkar tidak mau kehilangan kejernihan pikiran. Ia berhadapan
tidak saja dengan seorang yang sakti; tetapi juga seorang yang lidahnya
mengandung bisa.
Kata-kata Tambak Wedi itu ternyata telah
menolong Sanakeling untuk menjawab pertanyaan Sumangkar. Katanya, “Nah,
Paman Sumangkar. Apa yang terjadi terdahulu bukanlah ukuran dari apa
yang terjadi sekarang. Suatu saat Sumangkar adalah seorang pahlawan,
namun di saat ini Sumangkar adalah seorang pengkhianat.”
Alangkah panas hati Sanakeling ketika ia
masih melihat Sumangkar tersenyum. “Benar Ngger,” sahut Sumangkar. Namun
jantungnya serasa akan meledak. Hanya karena hatinya yang mengendap,
maka ia masih dapat bertahan dalam ketenangan.
“Kau Benar. Apa yang terjadi terdahulu
bukanlah ukuran dari apa yang terjadi sekarang. Kalau dahulu setiap
hidung dari para prajurit Jipang menghormati Macan Kepatihan, sekarang
Macan Kepatihan tidak lebih dari sesosok mayat. Kalau dahulu Sanakeling
berjuang untuk suatu tujuan, kini Sanakeling tidak lebih dari seorang
prajurit yang dalam keputus-asaannya berbuat di luar batas
perikemanusiaan. Betapapun kabur dan sempitnya tujuan perjuangan itu
dahulu, namun masih juga ada kemungkinan untuk mencapainya. Tetapi
sekarang yang terjadi, tidak lebih dari menjajakan dendam di mana-mana.”
“Cukup!” teriak Sanakeling penuh
kemarahan. Wajahnya yang merah menjadi semakin marah. Matanya yang liar
menjadi semakin liar. Hampir saja ia meloncat dan menerkam wajah
Sumangkar. Tetapi ketika kemudian terpandang olehnya sebatang tongkat
baja putih berkepala tengkorak kekuning-kuningan, maka ia tertegun diam.
Hanya giginya sajalah yang terdengar gemeretak.
Dalam pada itu Sumangkar masih saja
tersenyum dan berkata, kali ini kepada orang-orang Jipang, “Nah,
timbanglah di hatimu. Kalian telah mendengar apa yang aku katakan dan
apa yang dikatakan oleh Sanakeling. Aku tidak menyalahkannya,
pendiriannya adalah pendirian seorang prajurit yang tertempa dalam
perjuangan yang berat. Tetapi pendirian itu bukanlah satu-satunya
pendirian yang terbentang di hadapan kita. Taraf perjuangan kalian kini
telah sampai pada suatu titik yang berbeda dengan pada saat kalian baru
mulai.”
Tetapi kata-kata Sumangkar terputus oleh
kata-kata Ki Tambak Wedi di antara derai tertawanya. “Bagus. Kau memang
benar-benar licik Adi. Kau mampu, memutar balikkan keadaan dan, memutar
balikkan penilaian atas sesuatu persoalan. Aku bukan orang Jipang. Aku
sejak semula adalah penghuni lereng Merapi. Sejak Demak berkuasa, aku
seakan-akan terlepas dari kekuasaan itu. Apalagi sekarang. Namun aku
menaruh hormat pada perjuangan Angger Sanakeling. Aku kecewa melihat
seorang Sumangkar dengan mudahnya mengingkari dan mengkhianati
perjuangan yang telah dirintis, bahkan dikorbani dengan nyawa dari
orang-orang sebesar Adipati Jipang sendiri, Patih Mantahun, dan yang
terakhir adalah Angger Macan Kepatihan.”
Ki Tambak Wedi belum selesai dengan
kata-katanya. Namun Sumangkar kini yang memotongnya. “Ki Tambak Wedi
adalah penghuni lereng Merapi sejak semula. Karena itu Ki Tambak Wedi
tidak banyak mengetahui apa yang terjadi di Jipang, di Pajang dan di
perkemahan ini. Karena itu, apa yang dikatakan adalah semata-mata suatu
cara untuk melumpuhkan kita. Dengar, apakah kata-katanya bukan sekedar
usaha untuk memecah pendirian kita? Antara aku dan Angger Sanakeling.
Ternyata usahanya hampir terjadi seperti pada saat ia membakar hati
Tundun dan kawan-kawannya di perkemahan ini siang tadi. Usaha itu pun
hampir berhasil. Untunglah Sumangkar masih mampu mengusirnya. Sekarang
kau kembali lagi dengan bisa di mulutmu. Sayang Ki Tambak Wedi.”
Kata-kata Sumagkar benar-benar menikam
jantung Tambak Wedi. Kini ialah yang dibakar oleh kata-kata itu sehingga
darahnya tersirap sampai ke kepala. Dengan serta merta ia menyawab
lantang, “Kau bena-benar licik. Tetapi kau di sini berdiri seorang diri.
Kalau Angger Sanakeling bersedia aku ingin berdiri di pihaknya. Mungkin
tak seorang pun dari kalian yang mampu melawan Sumangkar. Tetapi bagi
Tambak Wedi, Sumangkar bukan seorang yang menyilaukan.”
Sanakeling yang hatinya telah terbakar
lebih dahulu tidak dapat menimbang lagi mana yang buruk, mana yang baik.
Hatinya telah dibutakan oleh ketamakannya atas pimpinan sepeninggal
Macan Kepatihan, atas harga dirinya sebagai seorang prajurit pilihan,
atas dendam yang membara di dadanya. Itulah sebabnya tiba-tiba ia
berteriak, “Jangan banyak bicara setan tua. Ayo, selama darah prajurit
masih mengalir di dalam dada kalian, kalian akan tetap dalam pendirian
kalian yang telah kalian letakkan sejak semula. Kini apabila kalian
masih tetap dalam sumpah kalian sebagai prajurit Jipang, dengar
perintahku. Tangkap orangg tua ini!”
Teriakan Sanakeling itu menggelegar
menembus gelap pekatnya hutan, memukul pepohonan dan bergema
berulang-ulang. Susul menyusul seperti gelombang yang menghentak-hentak
pantai.
Sumangkar yang mendengar perintah itu
tiba-tiba mundur selangkah. Tanpa sesadarnya ia membelai tongkat baja
putihnya. Bahkan tiba-tiba pula ia berkata lantang, “Ayo! Inilah
Sumangkar. Siapa yang ingin menangkap Sumangkar, tangkaplah! Aku sudah
tua. Sudah banyak yang aku alami dan sudah banyak yang aku lakukan.
Tetapi kalau masih ada sepercik sinar di dalam hatimu, hati seorang
manusia yang berdiri di atas kemanusiaannya, dengarlah kata-kataku.
Mungkin kata-kataku terakhir. Kalau aku tidak sempat melakukan,
kuburkanlah mayat Angger Macan Kepatihan baik-baik. Ia adalah seorang
yang berhati jantan, tetapi ia adalah seorang yang berhati lembut,
selembut hati seorang ibu. Pada saat terakhirnya, ia berkorban untuk
kalian, namun ia juga memikirkan hari-hari depan kalian. Hari-hari yang
masih panjang, buat anak cucu kalian dan hari yang masih panjang buat
Demak. Ayo! Sekarang aku sudah bersiap. Siapa yang pertama-tama?
Sanakeling atau Tambak Wedi?”
Suara Sumangkar yang tua itu pun terasa
seakan-akan menusuk langsung ke setiap dada. Orang-orang Jipang yang
mendengar suaranya seakan-akan darahnya menyadi beku. Mereka melihat
orang tua itu menggenggam tongkatnya erat-erat, siap untuk terayun
dengan derasnya.
Tetapi bukan hanya suara Sumangkar itu
yang mempengaruhi hati setiap orang Jipang, makna dari kata-kata itu pun
telah menyentuh hati sebagian mereka pula.
Namun Sanakeling telah bena-benar bermata
gelap. Dengan serta merta ia menarik pedangnya. Dan sekali lagi
suaranya menggelegar memenuhi hutan. “Ayo, tangkap orang tua ini. Orang
tua yang telah mengkhianati perjuangan kalian. Bahkan sampai hati untuk
merendahkan diri mencium kaki orang-orang Pajang.”
Tiba-tiba orang-orang Jipang yang berdiri
di muka gubug itu pun seakan-akan bergetar. Beberapa orang menjadi
saling berdesakan. Dan beberapa di antara mereka pun tiba-tiba menarik
pedangnya pula sambil berteriak menyambut perintah Sanakeling. “Kita
telah siap Ki Lurah. Kita siap menangkap orang tua itu.”
Sumangkar memandang orang-orang Jipang
itu dengan sudut matanya. Ia melihat beberapa orang bena-benar telah
mengacungkan pedang-pedang mereka. Dan karena itulah maka hatinya
bena-benar menyadi gelisah. Bukan karena ia takut mati. Tetapi apakah ia
sampai hati urtuk menebaskan tongkatnya kepada orang-orang yang tidak
menyadari apa yang akan dilakukannya itu? Karena itu ketika ia melihat
beberapa orang di antara mereka berdesakan maju, maka kegelisahannya
menyadi semakin menyekat hati.
Apalagi ketika di kejauhan terdengar
suara Tambak Wedi, “Bagus. Kalian telah bertindak tepat. Kalau tidak ada
di antara kalian yang dapat melakukannya, maka aku bersedia menolong
kalian menangkap orang tua itu.”
Sumangkar berdesis. Kemarahannya kini
telah memuncak pula. Tetapi kepada Ki Tambak Wedi. Bukan kepada
orang-orang Jipang itu. Sehingga ketika ia melihat Sanakeling maju
selangkah maka Sumangkar itu mundur setapak.
“Jangan mencoba lagi!” bentak Sanakeling.
Sumangkar menggeram. Namun tiba-tiba,
sekali lagi ia terkejut. Kini ia melihat orang-orang Jipang itu
seakan-akan terbagi. Beberapa orang yang telah menarik senjata mereka,
seakan telah berkumpul di bagian depan dari orang-orang Jipang yang
berkerumun itu. Tetapi sebagian yang lain masih tetap berdiri tegak di
tempat mereka. Bahkan kemudian terjadilah suatu hal yang tidak
terduga-duga. Tiba-tiba di antara mereka yang masih berdiri di tempatnya
itu terdengar sebuah teriakan nyaring. “Jangan sentuh orang tua itu.
Kami berdiri di pihaknya.”
Setiap orang berpaling ke arah suara itu.
Sanakeling dan Sumangkar pun berpaling pula. Sebelum mereka melihat
siapa yang berteriak itu, terdengar orang lain menyambut, “Kami berada
di pihak Ki Sumangkar.”
Tanpa disangka-sangka pula, suara itu
segera menjalar kesegala arah. Dengan suara yang melengking-lengking
terdengar orang-orang Jipang itu berteriak-teriak, “Kami berada di pihak
Ki Sumangkar.”
Setiap darah akan tersirap ketika mereka
kemudian melihat senjata berkilauan. Kini bukan saja orang-orang yang
berdiri di pihak Sanakeling menarik senjata-senjata mereka. Namun
orang-orang yang berdiri di pihak Sumangkar pun telah menggenggam
senjata-senjata mereka yang telanjang.
Yang paling nyaring dari antara mereka
adalah suara Tundun, yang pada siang harinya hampir berusaha membunuh
Sumangkar. Kini dengan sepenuh hati ia berteriak meskipun tangannya
masih agak sakit. “Ki Sumangkar telah menyelamatkan kami siang tadi dari
keganasan Ki Tambak Wedi. Aku telah dihidupinya meskipun aku berusaha
untuk membunuhnya. Ternyata Ki Sumangkar adalah orang yang
sebaik-baiknya dan sesakti-saktinya dalam perkemahan ini.”
“Tutup mulutmu!” bentak seorang yang
lain, yang berdiri di pihak Sanakeling. “Kalau kau ingin mati
bersamanya, ayo, matilah kau lebih dahulu.”
“Bagus,” teriak Tundun. “Siapa kau?”
Tundun melihat seseorang meloncat dari
antara orang-orang Jipang yang memihak Sanakeling. Tetapi Tundun pun
segera meloncat menyongsongnya. Bahkan bukan saja Tundun. Tetapi seorang
yang bertubuh kecil dan bernama Bajang datang pula mendekatinya.
Meskipun lukanya belum sembuh benar.
“Hem,” Bajang itu menggeram, “serahkan
orang ini kepadaku. Aku setiap hari hanya mendapat pekerjaan memotong
leher binatang-binatang. Kini aku akan mencoba memotong leher orang.”
Namun kawan-kawan orang itu pun segera
berloncatan pula. Mereka tidak akan melepaskan orang itu bertempur
seorang diri. Dengan demikian maka kedua belah pihak telah berhadapan
dalam kelompok dan pihak masing-masing.
Melihat peristiwa itu, alangkah sakitnya
hati Sumangkar. Alangkah pedihnya. Karena itu ketika kedua belah pihak
telah siap untuk bertempur, terdengarlah Sumangkar itu berteriak,
“Berhenti! Berhenti! Apakah kalian, sudah menjadi gila? Bukankah kalian
sedang berhadapan dengan kawan sendiri, yang selama ini telah
bersama-sama menanggung segala macam derita dan kesulitan? Bukankah
kalian selama ini telah terumbang-ambing dalam biduk yang sama.
Tenggelam bersama dan mengambang bersama. Bila badai menempuh biduk itu,
kalian bersama-sama dibuai dengan dahsyatnya, namun bila angin silir,
kalian bersama-sama dibelai oleh kesegaran. Kini kalian telah siap
berhadapan dengan senjata telanjang. Apakah kalian benar-benar telah
menjadi gila?”
Orang-orang Jipang itu pun tertegun diam.
Masing-masing seakan-akan telah dipukau oleh suatu pesona mendengar
kata-kata itu. Bahkan Sanakeling pun hanya berdiri saja mematung untuk
sesaat. Tetapi ketika kemudian Sanakeling menyadari, bahwa sebagian dari
orang-orang Jipang itu tidak mematuhi perintahnya, maka kembali
darahnya bergelora dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap.
Sanakeling merasa bahwa sebagian dari
laskar Jipang itu telah terpengaruh oleh Sumangkar untuk berkhianat
kepadanya. Ya. Kepadanya. Kepada Sanakeling. Sehingga dengan nyaringnya
ia berkata, “He. Siapa yang berpihak kepada Sumangkar adalah
pengkhianat. Orang-orang itu harus dibinasakan pula bersama Sumangkar.”
Tetapi Sumangkar menyahut, “Dengarlah
olehmu sekalian. Apa pun yang kau dengar, baik dari mulutku, maupun dari
mulut Angger Sanakeling adalah demi keselamatan kalian. Pesan Angger
Tohpati berisi petunjuk supaya kalian dapat menemukan kedamaian hati dan
kemungkinan yang terang di hari depan. Sedang perintah Angger
Sanakeling mengandung makna, supaya kalian tetap dalam kejantanan jiwa
seorang prajurit. Kalau kalian kemudian bertempur satu sama lain, maka
kedua pesan itu sama sekali tak berarti. Kalian akan musnah, bukan
sebagai prajurit-prajurit yang sedang mempertahankan harga diri seperti
yang dimaksud oleh Angger Sanakeling. Bukan dalam kebesaran jiwa Jipang
yang berjuang sampai tetes darah terakhir. Tetapi sebagai prajurit yang
saling bunuh-membunuh berebut kebenaran, yang tidak berpangkal dan
berujung. Juga kalian tidak akan dapat memenuhi pesan Angger Tohpati
yang kalian segani, sebab kalian tidak akan sempat menemukan kedamaian
hati dan hari depan yang baik. Kalian akan mati karena pedang kawan
sendiri, dan kalian akan mati tertimbun bangkai sesama.”
Kembali orang-orang Jipang itu mematung. Sanakeling yang sudah meluap itu pun kembali mematung pula.
Namun sayang, bahwa di antara mereka,
berdiri seorang Tambak Wedi yang selalu meniup-niupkan bisa dari
mulutnya. Ketika ia melihat keragu-raguan di antara mereka, kembali ia
tertawa dan berkata, “Alangkah liciknya cara Sumangkar yang perkasa itu
menyelamatkan diri. Bagi seorang prajurit, kebenaran adalah mutlak.
Tidak pandang siapakah yang berdiri di hadapannya. Jangankan kawan
seperjuangan. Bahkan sanak kadang, ayah kandung sendiri, kalau ia
berkhianat, maka pedang kita akan menusuk ulu hatinya. Lebih baik
berkawan sepuluh duapuluh orang yang setia daripada seratus dua ratus
pengkhianat. Itulah pilihan Angger Sanakeling.”
“Tepat,” teriak Sanakeling, “tepat
seperti kata-kata Ki Tambak Wedi. Ayo jangan ragu-ragu. Pedang kalian
telah tertarik dari sarungnya.”
“Yang kalian anggap pengkhianat adalah
Sumangkar,” teriak Sumangkar. “Kalau ada yang berpihak kepadaku adalah
karena mereka terpengaruh kata-kataku. Nah, ayo. Kalau kalian ingin
bertindak, bertindaklah terhadap Sumangkar. Kepada para prajurit Jipang
yang mendengarkan pesan-pesan Tohpati lewat mulutku, aku minta kalian
tidak perlu membela Sumangkar. Biarlah Sumangkar mati memeluk kewajiban
yang dibebankan oleh pemimpinnya pada saat-saat terakhir, menyampaikan
pesan itu kepada kalian. Lepaskan Sumangkar dan kalian dapat
meninggalkan tempat ini menempuh jalan yang kalian kehendaki itu.
Sekarang ayo, siapa yang akan membunuh Sumangkar?”
Sanakeling menggeram. Namun ia masih
belum beranjak dari tempatnya. Ia tahu benar siapakah Sumangkar itu. Ia
mengharap semua prajurit Jipang bersama-sama menangkapnya. Betapapun
saktinya Sumangkar, namun ia pasti tidak akan dapat melawan semua orang
yang berada di tempat itu. Tetapi tiba-tiba orang-orang Jipang itu
terbelah. Hampir terbelah dua, yang masing-masing akan dapat bertempur
dengan pemimpin saja mampu menangkap Sumangkar. Ketika ia berpaling
dilihatnya Alap-alap Jalatunda. Anak muda itu berdiri dengan tegangnya.
Namun wajahnya tidak meyakinkan Sanakeling, kepada siapa ia akan
berpihak. Sedang beberapa orang yang lain pun sangat meragukannya.
Demikianlah maka setiap wajah kini
dicengkam oleh keragu-raguan. Meskipun pedang Sanakeling telah bergetar
namun kakinya sama sekali belum bergerak.
Dalam keragu-raguan itu terdengar kembali
suara Ki Tambak Wedi, “Kenapa kau ragu-ragu Angger Sanakeling?
Setidak-tidaknya yang sependapat dengan pendirianmu adalah separo.
Serahkan mereka menyelesaikan pendirian masng-masing. Jangan hiraukan
alasan-alasan cengeng yang keluar dan mulut Sumangkar. Sekarang Angger
Sanakeling dapat menangkap dan sekaligus menghukum mati Sumangkar itu.
Kalau Angger tidak sanggup karena kesaktian Sumangkar, biarlah Tambak
Wedi membantumu.”
Mata Sanakeling yang liar menjadi
bertambah liar. Tawaran itu menggembirakannya, sehingga ia menjawab,
“Terima kasih Ki Tambak Wedi. Orang ini memang perlu mendapat sedikit
peringatan. Peringatan atas kelicikannya membawa sebagian dari kita
untuk berkhianat.”
“Tambak Wedi,” potong Sumangkar. “Kau
bukanlah seorang dari antara kami. Tetapi mulutmu yang berbisa itu
seakan-akan menentukan apa yang harus kita lakukan. Kau telah berhasil
menghancurkan pasukan Jipang tanpa membawa seorang prajuritpun. Sehingga
dengan demikian kau berhak mengenakan tanda jasa yang setingi-tingginya
dari Pajang.”
Sekali lagi Tambak Wedi menggeram.
Sumangkar masih mampu menangkis usahanya yang terakhir. Sesaat ia
kehilangan kesempatan untuk mendororong Sanakeling bertindak lebih jauh.
Apalagi ketika kemudian ia melihat Sanakeling menjadi ragu-ragu. Karena
itu maka ia langsung sampai pada tujuannnya, katanya, “Hem. Sekali lagi
kau menunjukkan kelicikanmu Sumangkar. Baiklah aku berterus terang.
Muridku telah di sisihkan oleh Untara setelah ia gagal berusaha membunuh
senapati Pajang yang sombong itu. Ia hanya berhasil melukainya dengan
parah. Tetapi Untara itu dapat sembuh dari sakitnya. Kini muridku datang
untuk menawarkan diri kepada Angger Sanakeling. Bekerja bersama.
Mungkin kita belum menemukan titik persamaan pendirian. Namun hal itu
dapat dibicarakan kemudian.”
Darah Sanakeling tersirap mendengar
tawaran itu. Alangkah baiknya. Selagi ia kehilangan seorang pemimpin
yang kuat, tiba-tiba ia akan mendapat kawan dalam meneruskan perjuangan,
meskipun perjuangan itu tidak lebih dari menyebarkan dendam di
mana-mana.
Maka dalam kegelapan pikiran, tawaran Ki
Tambak Wedi itu bagi Sanakeling bagaikan sepercik sinar yang langsung
menyorot hatinya. Apalagi pada saat itu Sanakeling tidak sempat untuk
banyak membuat pertimbangan. Yang menyumbat otaknya adalah pengkhianatan
Sumangkar dan beberapa orang prajurit kepadanya. Karena itu maka
teriaknya, “Bagus! Tawaran itu bagus sekali Kiai. Mungkin kita dapat
menemukan titik-titik persamaan yang dapat kita pakai sebagai dasar
perjuangan bersama untuk membinasakan Untara. Nah, sekarang orang tua
inilah yang harus kita binasakan lebih dahulu.”
Ki Tambak Wedi tertawa. Katanya, “Namun
dalam beberapa hal aku sependapat dengan Adi Sumangkar. Para prajurit
Jipang ini tidak perlu saling membunuh. Mereka kini hanya diwajibkan
untuk menonton pertunjukan yang pasti akan mengasyikkan kalian.”
Para prajurit Jipang itu masih tegak
dengan senjata di tangan masing-masing. Wajah-wajah mereka masih
dicengkam oleh ketegangan dan ujung senjata-senjata mereka masih
bergetaran.
“Nah, Adi Sumangkar. Apakah kau sudah bersedia untuk mati?”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Betapa
umurnya yang telah melampaui pertengahan abad itu, telah membantunya
untuk melihat jauh ke dalam hati orang-orang yang berada di sekitarnya.
Sanakeling, Tambak Wedi, dan para prajurit yang kebingungan itu. Juga
kata-kata Tambak Wedi itu baginya sama sekali tidak diucapkan dengan
jujur. Karena itu maka jawabnya, “Kakang Tambak Wedi, Sumangkar sudah
siap sejak semula. Namun sekali lagi aku ingin berpesan. Bagi mereka
yang ingin memenuhi pesan Angger Tohpati lewat mulutku. Janganlah nonton
seperti nonton adu ayam. Kalian berada dalam bahaya. Selama aku masih
hidup, mungkin Ki Tambak Wedi dan beberapa orang terpenting dari pasukan
ini masih memerlukan menangkap dan membunuhku. Tetapi sepeninggalku,
maka akan datang giliran buat kalian. Apa yang akan dapat kalian lakukan
apabila Sanakeling dan Tambak Wedi ikut serta dalam barisan yang ingin
membinasakan kalian? Nah, karena itu, sebelum aku binasa, aku masih akan
dapat mengikat perhatian Tambak Wedi dan Sanakeling. Karena itu,
berusahalah meninggalkan tempat ini. Pergilah langsung ke Sangkal
Putung. Katakan apa yang kalian lihat di sini. Katakan bahwa kalian
mendengar pesan Tohpati dari mulut Sumangkar, yang barangkali pada
saat-saat itu telah terbunuh di sini. Jangan ragu-ragu. Pesan itu telah
didengar pula oleh Untara dan Untara telah mengucapkan jaminan untuk
kalian. Sebagai seorang senapati yang berhati jantan, pasti ia tidak
akan ingkar. Aku mengharap orang yang bernama Kiai Gringsing akan
membantu kalian apabila Angger Untara melupakan janjinya. Aku percaya
kepada orang itu. Aku percaya kepada muridnya yang bernama Agung Sedayu,
adik Untara. Mereka adalah manusia-manusia yang baik bagi kemanusiaan.
Jangan mencoba bertempur di sini. Tak akan ada gunanya. Nah, apakah
kalian dengar?”
“Sebuah jebakan yang manis,” teriak Ki
Tambak Wedi. “Kalian benar-benar akan menjadi seperti ikan masuk ke
dalam wuwu. Kalian, akan masuk Sangkal Putung dengan mudahnya. Tetapi
demikian senjata-senjata kalian dikumpulkan, maka tangan kalian akan
segera terikat. Kalian, akan menjadi bandan seumur hidup kalian atau
bahkan akan diseret sepanjang jalan dalam hukuman picis. Betapa
nyamannya kulit kalian akan disobek segores demi segores, dan dipercikan
air asam pada luka-luka itu.”
Namun Sumangkar sempat menyahut, “Adalah
suatu khayalan yang mengerikan. Kalau aku hanya sekedar ingin membunuh
kalian, para prajurit Jipang, aku tidak akan bersusah payah
mempertahankan pendirian ini dengan berperisai nyawa. Aku akan dapat
berbuat dengan mudahnya, meneteskan beberapa tetes getah racun ke dalam
masakanku, maka kalian akan binasa bersama-sama. Tetapi aku tidak
berbuat demikian. Kalian bukan anak-anak yang bodoh. Kalian kini sudah
cukup dewasa untuk berpikir dan berbuat. Nah, silahkanlah. Jangan
terlalu lama.” Kemudian kepada Ki Tambak Wedi, Sumangkar berkata, “Ayo.
Kau sudah mulai menjemukan bagiku. Berbuatlah sesuatu. Jangan selalu
berbicara saja dengan mulutmu yang berbisa. Memang mungkin mulutmu itu
lebih tajam dari senjatamu. Tetapi tongkat baja putih, ciri perguruan
Kedung Jati ini akan dapat menutup mulutmu itu untuk selama-lamanya.”
Tambak Wedi menggeram, Kemarahannya telah
benar-benar membakar dadanya. Tiba-tiba di atas kepala orang-orang
Jipang itu terdengar suara berdesing. Seperti desing anak panah raksasa
yang meluncur dengan cepatnya. Orang-orang Jipang itu terkejut. Serentak
mereka menengadahkan wajah-wajah mereka. Tetapi mereka tidak melihat
sesuatu.
Namun Sumangkar adalah lain dari mereka.
Sumangkar mempunyai beberapa kelebihan dari para prajurit itu. Betapa
lemahnya cahaya obor di sekitarnya, namun matanya yang tajam masih dapat
menangkap seleret benda yang berlari kencang, sekencang tatit,
menyambarnya. Tetapi Sumangkar adalah murid kedua dari perguruan Kedung
Jati. Itulah sebabnya, maka ia mampu bergerak menyamai kecepatan benda
yang meluncur itu. Dengan lincahnya ia bergeser surut setapak, dan dalam
pada itu tongkatnya menyambar sebuah benda yang meluncur ke arah
kepalanya. Sesaat kemudian terdengarlah sebuah benturan yang dahsyat.
Kedua benda itu beradu. Demikian dahsyatnya sehingga suaranya berdentang
memekakkan telinga, sedang dari benturan itu memercik bunga-bunga api
yang gemerlapan.
Tetapi Sumangkar tidak sekedar memukul
benda itu. Demikian tangkas gerak tongkatnya, sehingga benda itu
terpukul ke samping. Untunglah Sanakeling bukan sekedar patung batu.
Orang itu mampu menangkap keadaan. Ketika ia melihat Sumangkar memukul
benda itu ke arahnya, ia telah menyiapkan pedangnya. Tetapi demikian
pedangnya berhasil menangkis benda yang terpantul ke arahnya itu, maka
tergetarlah tangannya dan pedangnya pun terlontar jatuh.
Sanakeling itu sesaat terpaku diam di
tempatnya. Terasa tangannya menjadi pedih, tetapi terasa dadanya
seakan-akan menyala dibakar oleh kemarahannya yang meluap-luap.
Ketegangan dan kesenyapan memuncak di
sekitar gubug itu. Semua orang seperti terbungkam mulutnya oleh
tangan-tangan iblis yang mengerikan. Darah mereka bahkan terasa
seolah-olah berhenti mengalir.
Namun, selain Sanakeling yang dadanya
seolah-olah menyala maka Ki Tambak Wedi yang ternyata kini telah berdiri
di atas sebongkah batu padas itu pun mengumpat sejadi-jadinya.
Sumangkar, juru masak yang malas itu telah berhasil menghindarkan
serangan pertamanya. Dengan serangan yang dilontarkannya dari dalam
gelap, ia ingin sekaligus membunuh Sumangkar dengan gelang-gelang
besinya. Tetapi ternyata murid kedua dari perguruan Kedung Jati itu
benar-benar tangkas. Dan ternyata pula tongkat baja putih itu- pun bukan
sekedar senjata biasa. Tongkat itu mampu menahan arus yang dahsyat dan
kekuatan Ki Tambak Wedi lewat gelang-gelang besinya. Bahkan serangan itu
hampir saja mengenai Sanakeling pula. Meskipun kemudian Sanakeling
berhasil pula menangkis pantulan besi itu, namun senjatanya terlepas
dari tangannya. Dengan demikian dapat diduga, betapa dahsyatnya kekuatan
Ki Tambak Wedi, dan betapa dahsyatnya kekuatan Sumangkar serta tongkat
baja putihnya.
Semua yang terjadi itu hampir tak masuk
di akal para prajurit Jipang yang melihat peristiwa itu dengan mata yang
terbelalak. Mereka selama ini sepeninggal Adipati Jipang dan Patih
Mantahun, tidak mengenal orang sakti selain Macan Kepatihan. Bahkan
mereka menyangka bahwa tak ada seorang pun yang akan mengalahkan
pemimpinnya itu.Tetapi ternyata Raden Tohpati itu terbunuh. Selama ini
mereka menyangka, bahwa apabila tidak dikirim Ki Gede Pemanahan, atau
Mas Ngabehi Loring Pasar, maka Tohpati tidak akan dapat dibinasakan.
Tetapi mereka terpaksa melihat kenyataan, bahwa Untara telah berhasil
membunuhnya. Dan kini di antara mereka sendiri, mereka dapat melihat
kemampuan dan kesaktian yang melampaui kemampuan dan kesaktian Macan
Kepatihan. Juru masak yang malas itu ternyata adalah seorang yang telah
memukau jantung mereka.
Peristiwa ini sekaligus telah mengetok
hati para prajurit Jipang itu, bahwa kesaktian itu tersimpan di
mana-mana. Kadang-kadang di tempat-tempat yang sama sekali tak
terduga-duga. Yang dikagumi masih ada yang melampauinya, dan yang
melampaui itu pun bukanlah seorang yang tak terkalahkan.
Beberapa orang yang berotak cair segera
dapat mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Tak seorang pun yang dapat
menyebut dirinya tak terkalahkan. Tak seorang pun yang akan dapat
dianggap sebagai seorang yang maha sakti. Seperti apa yang telah terjadi
atas Jipang yang merasa diri mereka tak terkalahkan, setidak-tidaknya
mereka menganggap bahwa pemimpin-pemimpin mereka adalah orang-orang yang
tak terkalahkan, maka akhirnya Jipang terpaksa jatuh tersungkur,
terbenam dalam kehancuran yang dahsyat, sehingga sulitlah untuk dapat
bangkit kembali. Arya Jipang yang disangka tak akan dapat terbunuh kalau
tidak oleh senjata pusakanya sendiri itu pun akhirnya terbunuh juga,
hanya oleh seorang anak muda yang sama sekali tak pernah disebut
namanya. Apalagi dalam deretan nama para sakti.
Anak muda yang bernama Mas Ngabehi Loring
Pasar yang juga disebut Sutawijaya itu ternyata mendapat cara untuk
menggoreskan keris Arya Penangsang sendiri, yang disebutnya Setan Kober,
pada ususnya yang telah mencuat keluar dari luka di lambungnya. Luka
karena tusukan tombak Kiai Plered di dalam genggaman anak muda yang
bernama Sutawijaya itu.
Bagi mereka yang berotak cair, melihat
semua peristiwa itu dengan debar di dalam dadanya. Mereka seolah-olah
melihat semuanya itu terjadi kembali. Juga tidak masuk di akalnya. Namun
semua peristiwa itu telah menuntun mereka untuk mengenangkan, bahwa ada
kekuasaan di luar kekuasaan manusia. Kalau kekuasaan itu akan berlaku,
berlakulah. Di mana dan kapan saja. Semua yang tidak mungkin, akan
terjadi pula. Bahkan yang tak masuk akal sekalipun. Kekuasaan itu adalah
kekuasaan yang akan menggilas semua ketamakan, kesombongan, dan
kebanggaan manusia atas dirinya sendiri.
Tetapi tidak semua orang melihat sinar
yang betapapun terangnya. Seseorang yang berdiri di dalam gelap
sekalipun. Kadang-kadang mereka lebih senang tenggelam dalam dunianya
yang gelap, yang akan dapat melindunginya untuk berbuat apa saja
sekehendak hatinya.
Prajurit-prajurit Jipang itu pun tetap
terbagi dalam pendirian yang berbeda. Mereka masih tetap berpijak pada
sikap masing-masing. Sebagian dari mereka berkata di dalam hatinya,
“Alangkah dahsyatnya Ki Sumangkar. Ia mampu melawan serangan yang datang
dengan tiba-tiba, serangan yang licik itu.” Namun orang-orang yang lain
berkata di dalam hatinya, “Alangkah dahsyatnya lontaran tangan Ki
Tambak Wedi. Dengan bermain-main gelang itu, hampir-hampir Sumangkar
dapat dibunuhnya. Apalagi kalau ia nanti bersungguh-sungguh menyerang
Sumangkar untuk membunuhnya.”
Di antara mereka, yang tak beringsut dari
pendiriannya, dan bahkan menjadi semakin berkobar di dalam dadanya
adalah Sanakeling. Bahwa pedangnya lepas dari tangannya, adalah suatu
peristiwa yang sangat memalukan. Sumangkar dapat menahan gelang-gelang
yang langsung meluncur dari tangan Ki Tambak Wedi, sedang pedangnya
terloncat dari genggamannya hanya karena pantulan benda itu.
Sejenak kemudian kesenyapan itu
dipecahkan oleh suara Ki Tambak Wedi, “Gila kau Sumangkar. Tetapi jangan
kau sangka bahwa kau akan dapat melepaskan diri dari tangan Ki Tambak
Wedi.” Kemudian kepada Sanakeling ia berkata, “Biarkan para prajurit
Jipang membuat keputusan sendiri di antara mereka. Namun marilah, sumber
dari pengkhianatan itu kita lenyapkan.”
Sumangkar sama sekali tidak menyahut.
Perlahan-lahan tangannya membelai senjatanya, seolah-olah ia berkata,
“Marilah kita berbuat sesuatu untuk yang terakhir kalinya.”
Tetapi ternyata Sumangkar tidak berdiri
sendiri. Ketika Para prajurit yang berpihak kepadanya melihat, bahwa
Sumangkar telah bersiap untuk menyongsong segala kemungkinan, maka
orang-orang Jipang yang berpihak kepadanya pun bersiap pula.
Ki Tambak Wedi yang seakan-akan dadanya
meledak karena goncangan kemarahannya, kemudian berteriak nyaring untuk
menekan keberanian orang-orang Jipang yang berpihak kepada Sumangkar.
“He Sumangkar, di tanganmu tergenggam ciri perguruan Kedung Jati. Sebuah
tongkat baja putih yang terkenal. Tetapi perguruan di kaki Gunung
Merapi mempunyai cirinya sendiri. Bukan sekedar gelang-gelang permainan
kanak-kanak, tetapi kau sudah cukup mengenal ciri itu. Marilah kita
lihat, manakah yang lebih sempurna, ciri Kedung Jati dan ciri Lereng
Merapi.”
Semua orang berpaling ke arah Ki Tambak
Wedi berdiri. Dan semua orang melihat orang tua itu berdiri di atas
segumpal batu padas dengan sebuah senjata yang dahsyat di tangan. Sebuah
Nenggala yang runcing pada ujung dan pangkalnya. Sebuah Nenggala yang
berbentuk dua ekor ular yang saling mem belit berlawanan arah.
Lidah-lidah ular itu terjulur dalam bentuk tempaan ujung tombak.
Mengerikan. Itu adalah tanda dan senjata yang terpercaya dari perguruan
Tambak Wedi. Dan senjata itu kini telah ditarik dari selubung dan
wrangkanya.
Sumangkar pun melihat senjata itu pula
dalam keremangan cahaya obor yang kemerah-merahan. Terasa debar
jantungnya bertambah cepat. Tambak Wedi memang terkenal sebagai seorang
yang sangat sakti seakan-akan mampu menangkap angin. Namun perguruan
Kedung Jati pernah pula terkenal, seolah-olah mampu menyimpan nyawa
rangkap di dalam tubuhnya. Kini mereka berha-dapan dengan ciri kebesaran
perguruan masing-masing. Ciri yang tersimpan rapat-rapat dan
jarang-jarang dipergunakan apabila keadaan tidak sangat gawat bagi
mereka masing-masing.
Namun Sumangkar benar-benar sudah pasrah
diri. Ia tidak melihat kemungkinan lain daripada mati. Melawan Ki Tambak
Wedi seorang diri, ia pasti tidak akan dapat mengalahkannya. Apalagi Ki
Tambak Wedi masih juga bergabung dengan orang-orang seperti Sanakeling
dan mungkin para pemimpin Jipang yang lain. Meskipun mereka agaknya
ragu-ragu, namun apabila Sanakeling telah bertindak bersama-sama Tambak
Wedi, maka sebagian dari mereka pun akan berbuat pula serupa.
Sumangkar menggeram perlahan-lahan. Ia
pernah bertempur melawan Tambak Wedi. Tetapi waktu itu ia tidak
mempergunakan senjatanya, dan Tambak Wedi pun hanya sekedar
mempergunakan gelang-gelang untuk melindungi tangannya. Tetapi kini,
keduanya telah bersiap dengan senjata masing-masing.
Sanakeling yang masih berdiri di hadapan
Sumangkar hampir-hampir tak dapat lagi menahan dirinya. Kemarahannya
telah membakar darahnya sampai ke ubun-ubun. Tetapi ia tidak segera
berbuat sesuatu. Ia tidak dapat melangkah mengambil senjatanya sebab
dengan demikian Sumangkar dapat menyerangnya dengan tiba-tiba dan
memukul tengkuknya dengan tongkat baja itu. Karena itu maka satu-satunya
kemungkinan baginya adalah menunggu Tambak Wedi bertindak lebih dabulu.
Sumangkar pun tidak mau memulai
perkelahian itu. Apabila setapak ia maju mendekati Sanakeling dan
mengabaikan Tambak Wedi, maka pasti akan terbang lagi gelang-gelang
serupa menyambarnya. Karena itu maka perhatiannya justru sebagian besar
tertuju ke arah Ki Tambak Wedi daripada Sanakeling yang berdiri beberapa
langkah saja daripadanya.
Beberapa orang lain, menurut pertimbangan
Sumangkar tidak akan memulai pula. Mereka masih berdiri dalam
keragu-raguan. Sebagian dari mereka pasti hanya akan menunggu
perkembangan keadaan. Siapa yang menang itulah yang akan menentukan,
kepada siapa ia akan berpihak.
Tetapi agaknya Tambak Wedi-lah yang akan
memulai memecahkan sikap-sikap itu. Ternyata dengan tangannya ia
meloncat turun dan berjalan menyibak orang-orang Jipang ke arah
Sumangkar berdiri. Ternyata Tambak Wedi itu pun memperhitungkan semua
kemungkinan yang dihadapinya. Ia menjinjing senjatanya di tangan kiri,
dan menggenggam gelang-gelang di tangan kanan siap dilontarkan apabila
pada saat ia berjalan mendekat itu Sumangkar mulai menyerang Sanakeling
yang tidak bersenjata.
Setiap langkah Ki Tambak Wedi terasa
seakan-akan derap seorang raksasa yang berjalan di dalam dada setiap
orang yang menyaksikannya. Setiap langkah telah meningkatkan ketegangan
menjadi semakin memuncak, seakan-akan sebuah tanggul yang telah penuh
dengan air. Setiap saat akan pecah. Setiap saat banjir akan dapat
melanda dengan dahsyatnya.
Sumangkar memandang langkah Tambak Wedi
itu tanpa berkedip. Semakin dekat hantu Lereng Gunung Merapi itu,
semakin erat ia menggenggam tongkat baja putihnya. Sekali-sekali
dipandanginya beberapa orang Jipang yang berdiri saling berhadapan
seperti dua gelar perang yang siap berbenturan. Sesaat hatinya menjadi
sedih. Ia dapat membayangkan bahwa apabila perkelahian itu terjadi, maka
akan tumpaslah segenap pasukan itu. Sumangkar dapat menduga bahwa para
prajurit itu seakan-akan benar-benar terbelah di tengah. Masing-masing
pihak yang semula tercampur-baur itu, kini benar-benar telah bersibak
menurut pilihan masing-masing. Dan Tambak Wedi, yang garang itu berjalan
di tengah-tengah, di garis pemisah antara kedua pihak yang berselisih
pendapat itu.
Namun dada setiap orang yang berdiri di
tempat itu benar-benar akan pecah oleh peristiwa yang menyongsong
kemudian. Peristiwa yang benar-benar telah meledak tanpa dapat mereka
mengerti. Ketika semua orang sedang dipukau oleh ketegangan langkah Ki
Tambak Wedi, tiba-tiba mereka mendengar suara tertawa pula. Tidak
sekeras suara Ki Tambak Wedi. Namun suara itu telah menarik segenap
perhatian dari semua orang yang berada di tempat itu. Termasuk Ki Tambak
Wedi sendiri. Dan yang lebih menggemparkan dada mereka adalah pada saat
semua orang melihat sebuah bayangan berdiri di atas sebongkah batu
padas, tempat Ki Tambak Wedi tadi berdiri, dengan sebuah Nenggala di
tangannya. Nenggala ciri kebesaran perguruan Tambak Wedi yang telah
ditarik dari selubung dan wrangkanya.
Betapa terkejut orang-orang yang melihat
bayangan itu, tidak seorang pun yang menyamai Ki Tambak Wedi sendiri.
Dalam kegelapan ia melihat seolah-olah seseorang dari perguruan Tambak
Wedi berdiri di atas sebongkah batu padas dengan gagahnya. Bahkan
seperti ia melihat sendiri berdiri di situ, seperti pada saat ia
melemparkan gelang-gelang besinya ke arah Sumangkar.
Selain Tambak Wedi, Sumangkar pun
terkejut bukan buatan. Ia tidak dapat melihat dengan jelas siapakah yang
berdiri agak jauh di belakang orang-orang Jipang yang sudah siap saling
membunuh sesama mereka. Ia tidak dapat mengatakan, bahwa Ki Tambak Wedi
yang baru saja melontarkan gelang besinya meloncat kembali ke atas batu
padas itu, sebab Ki Tambak Wedi kini masih tegak berdiri di antara
kedua belah pihak orang-orang Jipang yang berbeda pendapat. Namun
menilik senjata yang dibawanya, berujung runcing di pangkal dan
ujungnya, ternyata pula dari cara orang itu memegang tangkainya, tepat
di tengah-tengah, maka orang itu mirip benar dengan Ki Tambak Wedi
sendiri.
Terdengar kemudian Ki Tambak Wedi
menggeram. Dengan lantang ia berkata, “He, setan manakah kau ini? Dari
mana mendapat senjata yang mirip dengan senjata Tambak Wedi?”
Ketika orang itu menjawab, maka dada
Sumangkar dan Ki Tambak Wedi berdesir seperti tersentuh ujung senjata
itu sendiri. Berkata orang itu, “Kenapa kau heran Ki Tambak Wedi. Apakah
hanya Tambak Wedi yang memiliki jenis senjata macam ini?”
Dalam keremangan cahaya obor yang lemah,
tampaklah wajah Sumangkar sekan-akan menjadi terang. Perlahan-lahan
ketegangan di wajahnya terurai, dan perlahan-lahan pula tampak bibirnya
tersenyum. Katanya, “Selamat malam Kiai Gringsing. Aku tidak menyangka
bahwa Kiai akan datang secepat ini. Tetapi senjata di tanganmu
benar-benar mengejutkan kami. Dalam gelap kami tidak segera mengenal
Kiai, tetapi suara Kiai tidak dapat mengelabui kami lagi.”
Kiai Gringsing tertawa. Orang itu
sebenarnya adalah Kiai Gringsing. Namun Ki Tambak Wedi-lah yang
mengumpat, “Setan tua. Kenapa kau coba menandingi jenis senjata Tambak
Wedi. Betapa saktinya Kiai Gringsing, namun senjata ciri perguruan
Tambak Wedi jauh lebih berpengalaman mempergunakannya dan jenis
senjatanya pun akan jauh lebih bernilai dari senjata-senjata serupa di
seluruh kulit bumi.”
Kiai Gringsing masih tertawa, dijawabnya,
“Apakah kau sudah tidak dapat mengenali jenis-jenis senjata perguruanmu
sendiri Kiai? Senjata ini pun adalah senjata ciri kebesaran perguruan
Tambak Wedi. Bukan sekedar senjata buatan pandai besi, apalagi buatan
almarhum pande besi Sendang Gabus. Sama sekali bukan. Apakah kau tidak
segera mengenal pamor ujung senjata ini? Sungguh dahsyat menurut
penilaianku sebab senjata Lereng Merapi memang dahsyat, sedahsyat
orangnya.”
“Gila!” seru Ki Tambak Wedi sekeras petir. “Jangan membual. Ayo katakan, kenapa kau di sini?”
“Jangan marah Kiai” sahut Kiai Gringsing. “Apakah kau tidak ingin tahu dari mana aku mendapatkan senjata ini?”
“Tidak,” jawab Ki Tambak Wedi. “Aku sudah tahu, itu pasti senjata Sidanti yang tertinggal di Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing tertawa semakin keras.
Kemudian katanya, “Nah tepat. Kau belum melupakan senjata ini. Tetapi
adalah aneh sekali bahwa senjata ciri kebesaran suatu perguruan sampai
tertinggal di suatu tampat, kenapa Kiai?”
“Jangan banyak bicara, ayo katakan, apa maumu?”
“Kenapa yang bertanya kepadaku bukan Adi
Sumangkar, atau Angger Sanakeling? Kenapa yang bertanya justru Ki Tambak
Wedi dari perguruan Lereng Merapi? Menurut hematku, tempat ini adalah
perkemahan prajurit Jipang, bukan perkemahan laskar Tambak Wedi dan
Sidanti yang telah memberontak terhadap pimpinannya itu?”
“Tutup mulutmu!”
“Sulit Kiai. Aku memang senang berkicau
seperti burung yang bebas di dahan-dahan. Tak seorang pun mampu
melarang. Kau juga tidak.”
Tambak Wedi yang sedang marah itu pun menjadi bertambah marah. Wajahnya yang membara itu pun bertambah merah.
Tetapi Kiai Gringsing berkata terus, “Ki
Tambak Wedi, bukankah kau sedang sibuk mencari kawan untuk melawan
Untara? Di sini kau menemukan beberapa orang yang dapat kau peralat
untuk keperluan itu. Itulah sebabnya aku datang. Aku adalah utusan
Angger Untara, langsung untuk menyaksikan sendiri siapakah di antara
orang-orang Jipang yang menyadari keadaannya, menyadari masa depannya
dan masa depan Demak. Aku adalah utusan senopati yang mendapat kekuasaan
langsung dari Panglima Wira Tamtama di Pajang. Karena itu maka
kata-kata yang aku ucapkan adalah kata-kata Panglima Wira Tamtama itu
sendiri Ki Gede Pemanahan, bahwa Pajang yang akan membuat penilaian yang
seadil-adilnya bagi mereka yang menyadari keadaannya sesuai dengan
pesan terakhir Angger Macan Kepatihan, senopati besar yang selama ini
kau banggakan.”
Ki Tambak Wedi tidak dapat menahan
dirinya lagi. Tiba-tiba tangan kanannya bergetar, dan dari tangan itu
meluncurlah sebuah benda langsung mengarah ke dada Kiai Gringsing.
Sepotong besi yang dibentuk seperti sebuah gelang yang besar.

Betapa bulu-bulu kuduk orang-orang Jipang
itu kemudian menjadi tegak ketika mereka mendengar bunyi gemerasak dari
gelang-gelang besi yang tidak mengenai sasarannya, tetapi langsung
memukul dahan-dahan dan ranting-ranting kayu. Suaranya seperti arus
prahara yang mematahkan cabang-cabang pepohonan hutan.
Tetapi suara gemeresak yang dahsyat
sedahsyat suara prahara itu bagi Ki Tambak Wedi, seolah-olah mengamuk di
dalam dadanya sendiri. Kemarahannya yang meluap-luap serasa telah
menghanguskan jantungnya. Namun ia tidak segera dapat berbuat apa-apa.
Bahkan dilihatnya Kiai Gringsing tertawa sambil berkata, “Huh,
hampi-hampir dadaku pecah karenanya. Kalau aku memegang senjata ciri
perguruan Kiai Gringsing, maka aku akan menggenggam senjata perguruan Ki
Tambak Wedi sendiri. Aku tidak yakin apakah senjata ini cukup kuat
untuk menangkis. Adi Sumangkar berani melakukannya karena ia yakin akan
kekuatan senjatanya. Sebab senjata itu adalah senjatanya sendiri.”
“Jangan banyak cakap,” potong Ki Tambak
Wedi. “Aku kira kita sudah sampai waktunya untuk menyelesaikan persoalan
kita yang selama ini terperam di dalam hati.”
“Aku tidak berkeberatan,” sahut Kiai
Gringsing dengan tenang. “Adalah menjadi kewajibanku untuk melayanimu.
Memang sebaiknya kau mengurus persoalanmu sendiri, persoalanmu dengan
Kiai Gringsing misalnya, daripada kamu mengurus soal orang lain. Biarkan
Adi Sumangkar dan Angger Sanakeling menyelesaikan persoalan mereka,
sementara itu, marilah kita tinggalkan tempat ini, kita selesaikan
persoalan kita sendiri.”
Keringat dingin telah mengalir membasahi
seluruh tubuh Ki Tambak Wedi yang garang itu. Betapa ia mengumpat di
dalam hatinya. Ternyata sekali lagi Kiai Gringsing telah
menghalang-halanginya. Dengan suara parau penuh kemarahan ia berkata,
“Kiai Gringsing. Kalau kau ingin membuat perhitungan dengan Ki Tambak
Wedi, tunggulah aku di sisi hutan ini. Setelah aku menyelesaikan
urusanku di sini, maka aku akan segera datang.”
“Apakah kepentinganmu di sini itu? Kau
adalah orang asing di sini, seperti aku. Kalau kau berhak turut campur
di sini, maka aku akan turut campur pula.”
“Setan!” geram Ki Tambak Wedi, “Kau selalu menggangguku.”
“Kau juga selalu mengganggu orang lain.”
“Sekarang menjadi jelas bagiku,” berkata
Tambak Wedi itu keras-keras, “Ternyata Sumangkar dan Kiai Gringsing
telah sependapat untuk bersama-sama menjerumuskan Jipang ke dalam
bencana.”
“Jangan mengigau. Kalau kami, Pajang,
benar-benar ingin menghancurkan laskar Jipang, sekarang adalah saatnya.
Aku bisa membawa seluruh kekuatan Pajang itu kemari. Mengepung kalian
dan menumpas kalian habis-habisan.”
Darah Sanakeling tersirap mendengar
kata-kata itu. Benar-benar suatu penghinaan bagi pasukan Jipang. Bukan
saja Sanakeling, tetapi terasa sesuatu berdesir pula di dalam dada
Sumangkar. Namun Kiai Gringsing itu berkata terus, “Tetapi penjelasan
yang demikian adalah penjelasan yang kurang bijaksana. Korban dari pihak
Pajang pun pasti tidak akan terhitung lagi, bahkan mungkin separo dari
kami tidak akan pernah dapat meninggalkan hutan ini. Dalam penjelasan
yang demikian itu, maka dendam akan tertanam dalam-dalam di hati kita
masing-masing, sehingga setiap saat akan terungkapkan kembali. Tetapi Ki
Gede Pemanahan akan mencoba mencari jalan yang lebih baik. Kecuali bagi
mereka yang membangkang. Mereka akan benar-benar dihancurkan, hancur
dalam arti lahir dan batinnya.”
Tiba-tiba kata-kata terpotong oleh
ledakan hati Sanakeling yang sudah tak tertahankan lagi. Katanya
berteriak, “Jangan berkicau seperti orang gila. Jangan kau sangka, kami
orang-orang Jipang adalah kelinci-kelinci yang tidak berdaya. Ayo,
kerahkan seluruh prajurit Wira Tamtama Pajang. Datangkan orang yang
bernama Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, Juru Martani, Ngabehi Loring
Pasar, bahkan Karebet itu sendiri.”
“Tidak Ngger,” sahut Kiai Gringsing. Nada
suaranya masih setenang semula. “Itu hanyalah sekedar gambaran yang
dahsyat dan mengerikan. Sebaiknya semuanya itu tidak usah terjadi. Aku
hormati pendirian Angger Raden Tohpati dan Adi Sumangkar.”
Yang terdengar kemudian adalah gemeretak
gigi Sanakeling dan geram Ki Tambak Wedi. Namun mereka berdua masih
tegak di tempatnya. Dalam keadaan yang demikian itulah maka ketegangan
menjadi semakin memuncak.
Perdebatan itu seolah-olah justru
memperkuat pendirian setiap orang di dalam pasukan yang terbagi itu.
Karena itu maka mereka menjadi semakin kukuh atas pilihan masing-masing.
Dalam pada itu Sumangkar sempat membuat
penilaian atas keadaan itu. Seandainya saat ini ia mulai, maka keadaan
Sanakeling sudah sedemikian lemahnya. Ki Tambak Wedi pasti sudah tidak
akan membantu Sanakeling lagi, karena kehadiran Kiai Gringsing. Namun
ketika orang tua itu berpaling, melihat orang-orang Jipang di halaman
gubug itu berdiri dengan tegangnya, maka hatinya berdesir. Ia tidak akan
sampai hati melihat mereka saling berkelahi, saling membunuh setelah
mereka sehari penuh berperang bersama-sama di bawah kibaran satu
panji-panji. Karena itu Sumangkar kini masih saja berdiri dalam
keragu-raguan.
Tak seorang pun yang segera dapat
mengambil keputusan, apakah yang sebaiknya dilakukan. Sanakeling pun
tidak. Ia adalah seorang prajurit yang biasa membuat penilaian atas
kawan dan lawan. Kali ini pun demikian pula. Ia menyadari bahwa dengan
kehadiran Kiai Gringsing, maka ia tidak akan segera berhasil menangkap
apalagi membinasakan Sumangkar.
Dalam pada itu, Sumangkar ternyata jauh
lebih mengendap dari Sanakeling. Mencoba membuat pemecahan sementara
atas persoalan yang dihadapinya. Karena ia tidak sampai hati melihat
benturan di antara mereka yang selama ini telah bersama-sama hidup dalam
satu lingkungan, maka katanya, “Angger Sanakeling. Kalau pendirian kita
sudah tidak dapat bertemu, maka baiklah kita memilih jalan kita
masing-masing. Dengan demikian, kita akan menghindari pertumpahan darah
di antara kita. Seterusnya, biarlah kita serahkan pada perkembangan
keadaan.
Sanakeling menggeram mendengar kata-kata
Sumangkar itu. Ia mengerti benar maksudnya. Meskipun dengan demikian ia
tidak harus bertempur melawan orang tua itu; namun hatinya sakit bukan
kepalang. Sebenarnya ia ingin menangkap Sumangkar; menyumbat mulutnya
dengan tangkai pedang; dan memukul kepalanya dengan tongkatnya itu
sendiri. Tetapi ia menyadarinya; bahwa hal itu tak akan dapat
dilakukannya. Apalagi setelah setan tua yang menamakan dirinya Kiai
Gringsing yang menurut pengamatan Sanakeling, sikap dan tanggapan Ki
Tambak Wedi dan Sumangkar telah meyakinkannya tentang orang itu, hadir
pula di tempat itu.
Karena itu, sesaat Sanakeling menjadi
ragu-ragu. Ki Tambak Wedi pun tidak berkata sesuatu. Hantu Lereng
Merapi itu pun sedang sibuk mempertimbangkan keadaan. Namun kehadiran
Kiai Gringsing benar-benar telah merusak rencananya.
Maka satu-satunya kemungkinan yang saat
itu paling baik adalah menerima tawaran Sumangkar. Meskipun hal itu
berarti kekuatan orang-orang Jipang itu kira-kira tinggal separo, namun
yang separo itu masih tetap utuh. Kalau mereka bertempur pada saat itu,
maka yang separo itu pun telah jauh berkurang lagi.
Sanakeling yang saat itu merasa memegang
pimpinan atas orang-orang Jipang itu segera berkata lantang memecah
kesenyapan. “He orang-orang Jipang yang setia. Kali ini aku terpaksa
tidak dapat menangkap dan mernbunuh pengkhianat ini. Aku akan memberinya
waktu beberapa minggu. Kalau ia beserta beberapa pengikutnya tidak
segera menyadari keadaannya, maka dosanya akan kami persamakam dengan
orang-orang Pajang. Setiap kali kita bertemu, di mana dan kapan saja,
maka mereka pasti akan kami penggal kepala mereka itu.”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia
menyadari bahwa di samping dendam yang telah ada, maka Sanakeling pasti
akan menyebarkan bibit-bibit dendam yang baru. Dan bibit-bibit yang
demikian itu pasti akan cepat tumbuh dan berkembang. Jauh lebih cepat
dari setiap bibit kebaikan dan kebajikan. Seperti bibit alang-alang,
maka bibit dendam itu segera menjadi rimbun, sedang bibit kebajikan akan
tumbuh dan berkembang sangat lambat seperti pohon anggrek. Namun
apabila keduanya kelak berbunga, maka alangkah indahnya bunga anggrek
itu dan alangkah tidak berharga bunga rumput alang-alang. Setiap orang
akan menghindarinya dan apabila tak ada jalan lain, maka bunga rumput
alang-alang akan terinjak-injak kaki.
Tetapi ia tidak mencegah saat itu. Kalau
ia mempergunakan kekerasan maka korbannya akan terlampau banyak. Ia
mengharap bahwa orang-orang yang berpihak kepada Sanakeling pun kelak
akan menyadari dirinya, dan datang kepadanya dengan penyesalan dan
kesadaran.
Demikianlah Sumangkar kemudian melihat
Sanakeling melangkah dan membungkuk mengambil pedangnya. Sesaat kemudian
dipandanginya para pemimpin Jipang yang lain. Sesaat mereka menjadi
ragu-ragu, namun kemudian terdengar Sanakeling berkata kepada mereka,
“Akulah kini pemimpinmu. Siapa yang setia pada sumpahnya sebagai seorang
prajurit, ikutlah aku. Aku perintahkan kepadamu sekalian, ikuti aku dan
para prajurit yang sadar akan harga dirinya.”
Sumangkar sama sekali tidak memotong
kata-kata Sanakeling. Dibiarkannya para pemimpin itu memilih pihak.
Namun sesaat mereka masih tetap berdiri di tempat mereka masing-masing.
Sanakeling menggeretakkan giginya melihat keragu-raguan itu. Dengan kerasnya ia berteriak, “Ikuti aku!”
Tiba-tiba dari antara para pemimpin itu terdengar Alap-alap Jalatunda bertanya, “Ke mana?”
Sanakeling terdiam sesaat. Ia menjadi
bingung ke mana? Ya, kemana ia akan pergi? Tetapi menurut
perhitungannya, memang seharusnya mereka meninggalkan tempat itu. Tempat
itu telah diketahui oleh Kiai Gringsing yang nyata-nyata memihak kepada
Pajang bahkan utusan senapati muda yang bernama Untara. Tampat itu
telah dikenal baik-baik segala sudut-sudutnya oleh Sumangkar yang
menurut penilaian Sanakeling telah berkhianat. Tetapi ke mana?
Dalam kebimbangan itu terdengar Ki Tambak
Wedi berkata dengan suara parau penuh kebencian. “Mari Ngger. Kita
pergi bersama-sama. Padepokan Tambak Wedi akan cukup luas menampung
kalian. Jangan cemas, bahwa kekuatan kalian benkurang. Kekuatan kalian
segera akan pulih kembali setelah Tambak Wedi dan Sidanti berbuat
sesuatu.”
Kata-kata Tambak Wedi yang diucapkan pada
saat Sanakeling sedang diliputi oleh kebimbangan itu, merupakan
satu-satunya kemungkinan baginya. Karena itu tanpa berpikir panjang
segera ia menyahut, “Baik. Aku akan pergi bersama Kiai.” kemudian kepada
para pemimpin Jipang ia berkata, “Tinggallah bersama pengkhianat ini
siapa yang akan berkhianat.”
Sanakeling itu kemudian tidak berkata
sepatah kata pun lagi. Segera ia melampui tlundak pintu dan berjalan ke
arah Ki Tambak Wedi di antara kedua laskarnya yang terbelah. Dengan
langkah yang tetap ia berjalan seperti seorang senapati yang berangkat
ke medan perang.
Ki Tambak Wedi pun kemudian berjalan
pula di samping Sanakeling itu. Sekali-sekali ia berpaling melihat
orang-orang yang akan pergi mengikutinya.
Sesaat para prajurit itu tidak ada yang
bergerak dari tempatnya. Masing-masing dicengkam oleh perasaan yang
sangat aneh. Tiba-tiba terasa betapa beratnya berpisah di antara mereka
setelah bertahun-tahun mereka berada dalam satu lingkungan, dan setelah
sekian lama mereka mengalami nasib yang bersama pula. Ketika mereka
meninggalkan Jipang, masuk ke dalam hutan belukar dan berjalan dari satu
tempat ke tempat yang lain, bertempur, merampok, dan bahkan berbuat
seribu macam kejahatan, mereka seolah-olah merasa bahwa tak akan ada
kekuatan satu pun yang memisahkan mereka kecuali maut. Namun perpisahan
itu kini terjadi. Pendirian mereka ternyata pecah di jalan.
Yang pertama-tama bergerak adalah
Alap-alap Jalatunda. Betapa keragu-raguan mencengkam dadanya, namun ia
tidak dapat datang ke Sangkal Putung dan menyerahkan dirinya kepada
Agung Sedayu.
Meskipun secara pribadi ia belum pernah
mengenal anak muda itu, tetapi pertemuannya yang pertama di Macanan di
sekitar tikungan Randu Alas dan kemudian dalam pertempuran di sebelah
barat Sangkal Putung, telah membentuk dendam yang dalam di dalam hati
Alap-alap yang masih muda, semuda Agung Sedayu itu sendiri.
Kekeliruannya menilai Agung Sedayu telah rmembakar dadanya, sehingga
seakan-akan ia berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa pada suatu ketika
ia harus menemukan kekuatan yang akan dapat melampaui kekuatan Agung
Sedayu.
Tetapi kepada Sidanti, Alap-alap
Jalatunda pun sama sekali tidak menaruh hormat. Bahkan betapa kebencian
menyala di dalam dadanya, sejak ia mendengar cara Sidanti membunuh
Plasa Ireng. Bagaimanapun juga, terasa kebuasan Sidanti atas Plasa Ireng
saat itu seolah-olah telah menggores kulitnya sendiri. Kini ia harus
datang kepada anak muda yang telah dengan kejamnya membunuh salah
seorang kepercayaan prajurit Jipang.
Tetapi ia tidak punya pilihan lain.
Kedua-duanya tidak menyenangkan. Kedua-duanya bagi Alap-alap Jalatunda
mempunyai keberatannya masing-masing. Tetapi Sidanti masih lebih asing
lagi baginya. Karena itu, maka dipilihnya berpihak kepada Sanakeling
yang akan membawanya ke padepokan Tambak Wedi. Menurut tangkapan
perasaannya, di sana para prajurit Jipang ini akan bergabung dengan
orang-orang Ki Tambak Wedi, atau semacam laskar yang akan dibentuknya.
Tetapi apabila kedua pasukan itu kemudian digabungkan, siapakah pemimpin
tertinggi dari pasukan itu? Sanakeling atau Sidanti?
Menurut penilaian Alap-alap Jalatunda,
Sidanti dan Sanakeling memiliki kekuatan yang seimbang. Keduanya
setingkat di bawah Macan Kepatihan dan hanya sedikit sekali di atas
Plasa Ireng. Namun di dalam lingkungan yang baru itu kemudian ada Ki
Tambak Wedi yang langsung turut campur ke dalam lingkungan kelaskaran.
Bukan sekedar seorang juru masak seperti Sumangkar.
Demikianlah, dalam keragu-raguan itu
Alap-alap Jalatunda berjalan terus. Namun langkahnya tidak setetap
Sanakeling. Sekali-sekali Alap-alap Jalatunda itu menundukkan wajahnya,
dan sekali-sekali terbayang masa-masa yang pernah dialaminya, selama ia
menjadi prajurit Jipang. Belum lama ia diterima sebagai wira tamtama
khusus dari Jipang. Tiba-tiba Jipang pecah, dan ia harus ikut serta
bersama pasukannya menghilang dari kota, masuk-keluar hutan dan
desa-desa, turun-naik jurang dan lereng-lereng pegunungan. Kini ia akan
terdampar ke lereng Gunung Merapi, ke padepokan Ki Tambak Wedi yang
masih asing baginya. Bekerja bersama dengan seorang anak muda yang
bernama Sidanti.
“Hem,” Alap-alap Jalatunda menarik nafas.
Namun ketika orang-orang yang masih
berdiri termangu-mangu melihat Alap-alap itu berjalan mengikuti
Sanakeling maka mereka yang sejak semula berketetapan hati untuk tetap
dalam petualangan sambil berbangga diri sekedar karena mereka
mempertahankan harga diri menurut penilaian yang sempit, segera
mengikutinya. Beberapa orang pemimpin segera berloncatan sambil
berpaling, memandang dengan penuh kebencian kepada kawan-kawan mereka
yang masih tegak di tempatnya. Para prajurit pun segera melangkah pula
di belakang pemimpin-pemimpin mereka. Beberapa orang prajurit yang
mempunyai simpanan-simpanan berharga di dalam kemah-kemah mereka, segera
berloncatan singgah kedalam kemah, mengambil yang mereka rasa perlu
untuk dibawa. Tetapi sebagian dari mereka sama sekali tidak lagi
menghiraukan beberapa lembar kain yang tertinggal di dalam kemah-kemah
mereka, asal senjata-senjata mereka telah di tangan.
Lembaran-lembaran kain dan baju akan
mereka dapatkan di sepanjang jalan yang akan mereka Ialui. Setiap rumah
pasti akan membuka pintu lebar-lebar bagi mereka. Setiap rumah akan
menyediakan apa yang mereka perlukan. Makan, minum bahkan pakaian.
Tetapi apa yang mereka sediakan itu sama
sekali bukan karena mereka pendukung-pendukung yang setia dari
orang-orang Jipang itu, bukan mereka serahkan dengan ikhlas. namun
karena di hadapan hidung mereka berkilat-kilat ujung-ujung pedang dan
tombak.
Tetapi bagi orang-orang yang sedang
berpetualang itu, sama sekali tak ada bedanya. Apakah semunya itu
diserahkan dengan ikhlas, atau tidak, namun apa yang mereka terima akan
dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya.
Maka sesaat kemudian, orang-orang Jipang
itu seolah-olah mengalir meninggalkan halaman yang kotor dari gubug
pimpinan perkemahan itu. Semakin lama semakin panjang. Di ujung barisan
berjalan Sanakeling dan Ki Tambak Wedi seperti sepasang pahlawan yang
sedang diarak menuju ke medan perang. Kemudian di belakangnya berjalan
Alap-alap Jalatunda yang dikejar-kejar oleh kebimbangan. Kemudian
beberapa pemimpin yang lain dan para prajurit yang merasa dirinya
seolah-olah pejuang-pejuang yang segan berkhianat atas perjuangannya.
Tetapi mereka sama sekali tidak berpijak pada dunia kenyataan yang
sedang mereka hadapi serta perkembangan keadaan di sekitar tempat mereka
bersembunyi.
Akhirnya orang-orang Jipang itu semakin
lama menjadi semakin sedikit. Separo dari mereka telah meninggalkan
mereka di tengah-tengah hutan yang gelap pekat. Yang tampak kemudian
hanyalah sinar-sinar obor di kejauhan di antara kepadatan pohon-pohon
raksasa dan gerumbul-gerumbul perdu.
Ketika obor-obor itu telah hilang di
balik dedaunan, serta debar jantung setiap orang yang tinggal di tempat
itu telah merada, maka berkatalah Sumangkar kepada orang-orang Jipang
yang masih tinggal, “Tenangkan hati kalian. Aku dapat merasakan,
peristiwa merupakan suatu goncangan yang dahsyat di dalam setiap dada
kalian masing-masing. Baik yang pergi maupun yang ditinggalkan. Tetapi
penilaian kita jelas telah bersimpangan. Karena itu adalah baik kita
berpisah jalan daripada kemudian kita akan menemui kesulitan-kesulitan
yang terus-menerus.”
Sumangkar terdiam sesaat. Ketika
diawasinya setiap wajah para pemimpin yang masih tinggal, Sumangkar
masih melihat keragu-raguan membayang di wajah-wajah mereka.
Tetapi keragu-raguan di dalam setiap dada
para pemimpin Jipang itu adalah wajar. Baru saja mereka terlibat dalam
perang gelar yang dahsyat, dengan korban yang cukup banyak di kedua
belah pihak. Apakah mereka akan segera dapat menghilangkan segala kesan
dari permusuhan mereka itu? Apakah benar orang-orang Pajang tidak
mendedamnya dan kemudian mengikat mereka di belakang kereta yang dipacu
secepat angin? Benarkah mereka akan dihadapkan pada suatu penilaian yang
tidak dipengaruhi oleh demdam dan benci?
Dalam pada itu terdengar Sumangkar
berkata, “Marilah kita mencoba menenteramkan hati kita. Marilah kita
tidak berprasangka. Aku mendengar berita pengampunan itu dari Angger
Untara sendiri pada saat Angger Macan Kepatihan menghembuskan nafas
terakhir. Aku harap Kiai Gringsing menjadi saksi atas kata-kata yang
keluar dari mulut senapati Pajang yang dipercaya oleh Ki Gede Pemanahan,
yang justru pesan itu datang dari ki Gede Pemanahan sendiri.”
Namun Sumangkar masih melihat wajah-wajah
yang penuh kebimbangan. Bagaimanapun juga mereka adalah
prajurit-prajurit yang senjata-senjata mereka telah pernah dibasahi oleh
darah orang-orang Pajang. Bagaimanapun juga hati mereka sendiri selalu
berkata kepada mereka, bahwa permusuhan itu pernah terjadi dengan
dahsyatnya.
Sumangkar yang merasa tidak segera dapat
memberi keyakinan yang pasti kepada para pemimpin Jipang itu kemudian
berkata, “Malam ini aku akan pergi ke Sangkal Putung bersama Kiai
Gringsing untuk mendapatkan jaminan, bahwa segala sesuatu akan
berlangsung dengan baik.”
Para pemimpin Jipang dan pada prajurit
itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka sependapat dengan
Sumangkar bahwa salah seorang dari mereka harus menemukan jalan yang
datar sebelum semuanya berlangsung, supaya mereka tidak menyesal kelak
apabila ada persoalan-persoalan yang tumbuh tanpa mereka kehendaki.
“Apakah kalian sependapat?” bertanya Sumangkar.
“Baik Kiai,” sahut salah seorang dari
mereka. “Kami sependapat, bahwa Kiai akan mencari jalan yang
sebaik-baiknya bagi kami semuanya. Kami percaya kepada Kiai.”
“Terima kasih,” berkata Sumangkar dengan
dada berdebar-debar. Ia terharu bahwa dalam saat yang pendek ia berhasil
mendapatkan kepercayaan dari orang-orang Jipang itu. Selama ini
sebagian besar dari mereka mengenal Sumangkar tidak lebih dari seorang
juru masak yang tua yang hampir-hampir tidak mampu lagi melakukan
tugasnya, bahkan ada yang menyangkanya sebagai seorang juru masak yang
malas.
Namun sebelum Sumangkar itu berangkat
meninggalkan perkemahan itu, maka ia berpesan, “Tetapi meskipun kalian
mengharap bahwa kalian akan meninggalkan petualangan yang dipenuhi
dengan noda-noda darah dan air mata di antara rakyat yang tidak berdosa,
namun kalian masih berhak untuk mempertahankan diri kalian dalam
saat-saat yang pendek ini. Kalian masih akan menghadapi kemungkinan yang
tidak kalian duga-duga. Sepeninggalku jangan lengah. Isilah setiap
gardu-gardu peronda. Kalian harus mampu menyelamatkan diri menghadapi
setiap bahaya. Apabila bahaya itu sangat besar dan jauh dari kemampuan
daya tahan kalian, maka kalian dapat menyelamatkan diri kalian di antara
gelapnya malam. Aku pasti sudah kembali sebelum fajar.”
Para pemimpin Jipang yang tinggal itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka merasa bahwa malam ini justru
bahaya dapat datang dari setiap penjuru. Apabila Untara ingkar janji,
apalagi bahwa pernyataannya itu hanya sekedar pancingan saja, maka malam
itu juga, selambat-lambatnya besok pagi-pagi, mereka pasti akan dilanda
oleh arus yang dahsyat dari laskar Pajang. Untara pasti tidak akan
menunggu mereka datang menyerahkan diri, supaya ia mendapat alasan untuk
berbuat menurut seleranya. Tak ada seorang pun yang akan mencoba
mencari jawab, atas sebab-sebab dari kematian seseorang yang sedang
berperang. Orang-orang Pajang dapat membunuh lawannya seperti menebas
hutan alang-alang. Tetapi apabila orang-orang Jipang itu datang
menyerah, maka persoalannya akan berbeda. Tanpa janji pengampunanpun,
maka perlakuan atas orang-orang yang sudah menyerah akan berbeda dari
mereka yang ditemukan dalam medan, selagi pedang masih terhunus dan tali
busur masih merentang.
Sedang dari sisi lain, mereka masih harus
memperhatikan kemarahan Sanakeling atas mereka. Sanakeling adalah
seorang prajurit yang seakan-akan tidak bekerja dengan otaknya. Ia
kurang mampu berpikir dan memperhitungkan masalah-masalah di luar
masalah-masalah keprajuritan. Itulah sebabnya ia tidak dapat diajak
untuk berbicara dalam masalah-masalah yang lain. Kemungkinan-kemungkinan
yang dapat ditempuh. Penyelesaian yang tidak usah mempergunakan tajam
senjata. Persoalan manusia dan kemanusiaan. Ia tidak dapat mendengar
tangis seorang isteri yang kehilangan suaminya di medan peperangan.
Baginya adalah hina bagi seorang prajurit yang tertegun hanya karena
tangis seorang bayi yang terlepas dari pelukan ibunya yang ketakutan
mendengar dentang senjata beradu.
Tetapi para prajurit Jipang yang tinggal
itu percaya kepada Sumangkar. Percaya kepada harapan yang dijanjikan.
Karena itu, maka mereka akan melakukan segala perintahnya.
Sebelum Sumangkar itu meninggalkan
mereka, maka ia masih memerlukan berpesan kepada orang-orang Jipang itu,
“Peliharalah jenazah Angger Tohpati sebaik-baiknya. Besok apabila aku
telah kembali di antara kalian, maka akan kita selenggarakan
pemakamannya.”
“Baik Kiai,” jawab salah seorang dari mereka.
“Terima kasih,” sekali lagi Sumangkar menjadi terharu.
Apabila kemudian malam bertambah malam,
maka Sumangkar dan Kiai Gringsing berjalan dengan tergesa-gesa
meninggalkan perkemahan itu menuju ke Sangkal Putung. Mereka mengharap
bahwa mereka akan segera menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk
menyelesaikan masalah orang-orang Jipang yang ingin meninggalkan cara
bidup yang selama ini ditempuhnya.

Orang-orang yang demikian kadang-kadang
sering kehilangan kesabaran dan pengamatan diri, sehingga terhadap lawan
yang terluka, maka mereka akan dapat melakukan hal-hal di luar dugaan
para pemimpin laskar Pajang.
Bahkan Hudaya, orang yang sudah cukup
mengendap itu pun seakan-akan telah kehilangan kesadaran diri,
menghadapi orang-orang Jipang. Karena itu, dengan bijaksana Untara telah
membawa orang-orang yang demikian itu dahulu ke Sangkal Putung untuk
beristirahat. Tewasnya Citra Gati telah membuat suatu goncangan yang
dahsyat di dalam hati sahabatnya itu, sehingga dendam di dalam hatinya
seakan-akan menyala membakar seluruh nadinya. Bagi Hudaja yang terluka
dan kehilangan sahabat yang paling dekat itu, tidak ada angan-angan lain
di dalam benaknya kecuali membinasakan semua orang Jipang.
Karena itulah maka kali ini Untara dan
Widura menjadi sangat prihatin melihat suasana di dalam pasukannya. Pada
pertempuran-pertempuran yang lalu, korban di pihaknya tidak terlampau
berat seperti apa yang baru saja terjadi, sehingga hati anak buahnya
tidak sepanas pada saat itu. Pertempuran gelar yang sempurna dan tata
peperangan yang masing-masing dikendalikan oleh senapati-senapati yang
matang, telah menjadikan pertempuran kali ini menjadi suatu pertempuran
yang tak akan pernah mereka lupakan. Baik oleh orang-orang Jipang,
maupun orang-orang Pajang.
Untara dan Widura sendirilah yang
kemudian menunggui orang-orang yang terluka di banjar desa. Di satu
gandok tampak orang-orang Pajang terbaring dengan darah yang memerahi
tubuh dan pakaian mereka, sedang di gandok yang lain terbaring
orang-orang Jipang yang masin mungkin ditolong hidupnya, merintih
menahan pedih yang membakar dirinya.
Namun terhadap para juru penolong, Untara
dan Widura tidak dapat berbuat banyak. Betapa mereka bekerja demi
perikemanusiaan. Namun menghadapi pihak-pihak yang terluka itu, mereka
lebih dahulu memerlukan menolong kawan mereka sendiri, orang-orang
Pajang. Baru kemudian mereka menjamah tubuh-tubuh yang terbaring sambil
menahan pedih dari pihak lawan. Orang-orang Jipang.
Beberapa prajurit yang bertugas
berjaga-jaga di halaman pendapa memandangi orang-orang Jipang itu dengan
benci. Bahkan ada di antara mereka yang tidak dapat mengerti, buat apa
mereka mencoba mengobati luka-luka orang-orang Jipang itu? Mungkin salah
seorang dari mereka, atau bahkan mungkin semuanya dari mereka itu,
telah membunuh atau melukai orang-orang Pajang. Mungkin mereka itu
pulalah yang telah menembus tubuh-tubuh orang Pajang yang kini terbaring
di sisi yang lain itu, dengan senjata-senjata mereka.
Tetapi pemimpin mereka, beserta beberapa
orang yang masih dapat menguasai perasaan mereka, di antara orang-orang
Pajang dan orang-orang Sangkal Putung, masih mencoba berbuat dalam
batas-batas perikemanusiaan. Perang itu sendiri, sebagai suatu cara
terakhir untuk menyelesaikan perbedaan pendirian, tidak boleh terperosok
dalam perbuatan-perbuatan yang menodai perikemanusiaan dalam
kemungkinan yang sejauh-jauhnya dapat dilakukan. Bahkan apabila mungkin
perang itu sendiri harus dihindarkan. Sebab betapa orang yang berhati
bening mencoba berbuat sebaik-baiknya di dalam perang, namun perang
sendiri hampir sama artinya dengan maut, kekerasan dan kebencian serta
menaburkan benih dendam di mana-mana.
Ketika mereka, orang-orang Pajang itu
sedang sibuk di pendapa banjar desa, maka para penjaga dikejutkan oleh
sebuah bayangan yang berjalan tertatih-tatih mendekati halaman. Para
penjaga di regol halaman yang melihat bayangan itu segera menyapanya,
“He, siapa?”
“Aku,” terdengar sebuah jawaban.
Bayangan itu semakin lama semakin dekat
menyusur pinggiran alun-alun di muka banjar desa. Dan semakin dekat,
semakin jelas pulalah bagi para penjaga itu, bahwa bayangan itu bukanlah
bayangan seorang saja, tetapi bayangan itu adalah bayangan seorang yang
sedang memapah orang lain di sisinya.
Sekali lagi terdengar sapa dari para penjaga, “Siapa?”
“Agung Sedayu,” jawab bayangan itu.
“O,” guman penjaga itu. Namun tiba-tiba ia bertanya pula, “Siapa yang terluka?”
Agung Sedayu, yang datang dengan seorang
yang ditemuinya di dalam hutan, tidak dapat menjawab. Orang yang
dipapahnya itu setelah mendapat seteguk air, meskipun air dari sebuah
parit, menjadi agak segar dan mampu berjalan sambil bergantung pundak
Agung Sedayu. Dan orang itu belum dikenal siapa namanya. Karena itu maka
Agung Sedayu menjawab, “Aku belum mengenal namanya.”
“He?” penjaga itu terkejut, “Kenapa belum kau kenal namanya?”
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia berjalan terus sambil membantu orang yang terluka itu.
“Panggil aku Supa,” desis orang itu, perlahan-lahan.
“O,” gumam Agung Sedayu.
Namun kemudian ia berkata, “Nama apa pun
yang akan aku sebutkan, kesannya bagi mereka akan sama saja. Mereka
pasti belum mengenal nama itu.”
Orang yang terluka menjadi berdebar-debar. Apakah orang-orang Pajang akan menerima kehadirannya di antara mereka?
Tetapi orang Jipang itu tidak menyatakan
kecemasannnya. Bahkan kemudian ia menjadi pasrah. Kalau ia mati, maka
kematian itu adalah wajar. Seandainya salah seorang prajurit Pajang
kemudian menyambutnya dengan tusukan tombak di lambungnya, maka ia tidak
akan merasa kehilangan lagi. Nyawanya yang sekarang seakan-akan bukan
miliknya, tetapi milik Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu tidak
membawanya, maka ia pun akan mati oleh anjing-anjing liar sebelum ia
menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Bulu kuduk orang Jipang itu terasa
berdiri. Alangkah mengerikan. Selagi ia masih hidup, beberapa ekor
anjing hutan berpesta dengan dagingnya. Tetapi kalau ia mati dengan
tombak menghujam di dadanya, maka ia akan mati sebagai seorang prajurit.
Agung Sedayu yang kini berdiri beberapa
langkah saja dari para penjaga itu berhenti. Salah seorang dari penjaga
itu bertanya, “Benarkah kau Adi Sedayu?”
“Lihatlah dengan seksama,” sahut Agung Sedayu.
“Yang terluka itu?”
Agung Sedayu tidak mau menjawab dengan berbelit-belit. Maka katanya, “Namanya Supa, orang Jipang.”
Orang di regol halaman itu serentak mengulangi kata-kata Agung Sedayu, “Orang Jipang?”
“Ya, aku temukan orang ini terluka di
dalam hutan. Untunglah aku masih sempat menolongnya dan memberinya air,
sehingga kemungkinan untuk hidup baginya menjadi semakin besar.”
Para prajurit Pajang dan beberapa anak
muda Sangkal Putung justru terdiam. Mereka dicekam oleh perasaan heran
tiada taranya. Mereka melihat, betapa Agung Sedayu masih sempat memapah
orang Jipang dari hutan sampai ke halaman ini. Bukankah itu suatu
pekerjaan sulit?
Tiba-tiba dari antara beberapa orang yang
berjaga-jaga di regol halaman itu terdengar salah seorang berkata,
“Hem, Kakang Sedayu, buat apa kau bawa monyet itu ke mari?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Suara
itu dikenalnya benar. Apalagi ketika ia melihat seorang yang bertubuh
gemuk bulat melangkah maju dari antara orang-orang yang kemudian
berkerumun di depan regol. Namun betapa kecewa hati Agung Sedayu
mendengar pertanyaannya. Ia tidak akan menyesal, bahkan sama sekali
tidak mempengaruhi perasaannya apabila pertanyaan itu meluncur dari
orang lain. Bukan anak muda yang gemuk bulat dan bernama Swandaru Geni
itu.
“Kakang,” berkata Swandaru seterusnya,
“buat apa kau bawa orang sakit-sakitan itu. Lihat, di sini telah
terkapar berpuluh-puluh orang semacam itu. Seandainya bukan Paman Widura
dan Kakang Untara yang menunggui mereka langsung, maka mereka itu sama
sekali tak akan berguna bagi kami. Apalagi bagi rakyat Sangkal Putung.
Coba, siapakah yang memberi mereka makan? Beras siapakah? Sedang mereka
telah mencoba menghancurkan Sangkal Putung ini?”
Agung Sedayu menarik napas. Swandaru
adalah pemimpin dari segenap anak-anak muda Sangkal Putung. Kalau ia
tetap pada pendiriannya, bahwa tidak pantas untuk membawa orang Jipang
yang terluka itu, maka akan sulitlah baginya untuk menghadapinya. Semua
anak-anak muda pasti akan sependirian dengan Swandaru, dan menolak orang
Jipang itu. Bahkan mungkin mereka akan melakukan perbuatan-perbuatan di
luar kehendak mereka sendiri.
Karena itu, Agung Sedayu harus segera
menemukan jalan, sehingga Swandaru dapat di atasinya. Maka dengan serta
merta Agung Sedayu menjawab, “Adi Swandaru, apa yang aku lakukan ini
adalah atas perintah guru kita, Kiai Gringsing.”
Kini Swandaru-lah yang mengerutkan
keningnya. Tampaklah wajahnya menjadi tegang. Cahaya obor di kejauhan
membuat wajah itu menjadi merah, semerah bara.
Tapi Swandaru tidak dapat berbuat lain
kecuali menghempaskan nafasnya. Betapa hatinya menggelegak, namun
jawaban Agung Sedayu telah menutup setiap kemungkinan baginya untuk
berbuat sesuatu. Sebab apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu adalah
karena perintah gurunya.
“Hem,” desah anak muda yang gemuk bulat
itu. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Bahkan kemudian ia segera
menyelinap kembali ke dalam kerumunan orang-orang di regol, seakan-akan
ingin membenamkan kemarahannya ke dalam linkungan orang banyak.
Tetapi demikian Swandaru menghilang, maka
tampaklah seseorang dengan tergesa-gesa menyibak orang-orang yang
berdiri di regol itu sambil berkata, “Mana orang Jipang itu?”
Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata
itu. Dari antara orang yang berdiri itu sekali lagi ia melihat
seseorang melangkah maju.
“Hem,” katanya, “rupa-rupanya kau membawa oleh-oleh buat kami.”
Agung Sedayu sekali lagi mengerutkan
keningnya. Sebelum ia sempat menjawab orang itu berkata pula, “Di dalam
banjar desa banyak juga orang-orang Jipang yang bergelimpangan menunggu
maut mencekik mereka. Tetapi orang-orang itu ditunggui langsung oleh
Untara dan Widura. Nah, sekarang ada orang lain yang kau bawa kemari.
Jangan kau bawa masuk ke pendapa. Serahkan orang itu kedaku. Aku ingin
mendapat ganti Kakang Citra Gati yang gugur di pertempuran.”
“Akan kau apakan orang ini Paman Hudaya?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku ingin mencincangnya,” sahut Hudaya.
Agung Sedayu merasa orang yang menggantung di pundaknya itu menggeliat perlahan-lahan, tetapi ia segera menggamitnya.
“Paman,” berkata Agung Sedayu, “aku membawa orang ini atas perintah Kiai Gringsing.”
“Persetan dengan Kiai Gringsing! Aku
tidak berkepentingan dengan Kiai Gringsing,” berkata Hudaya tegas. “Aku
inginkan orang itu.”
Agung Sedayu tidak segera dapat menjawab
kata-kata Hudaya itu. Terasa bahwa keadaan Hudaya yang terluka itu tidak
wajar. Ia sedang diliputi oleh suasana tegang, hilangnya sahabatnya
Citra Gati serta dirinya sendiri yang terluka. Karena itu maka hati
Hudaya itu pun sedang dibalut oleh dendam yang pekat.
Tetapi sama sekali tidak terlintas di
dalam otak Sgung Sedayu untuk menyerahkan orang yang dibawanya itu. Ia
membawanya dengan harapan untuk menolong jiwanya, apalagi kemudian telah
diperkuat oleh perintah gurunya. Sedangkan apabila orang itu sampai ke
tangan kakaknya atau pamannya, maka masih mungkin orang itu di
selamatkan dari kemarahan para prajurit Pajang.
Ketika Agung Sedayu sedang berpikir terdengar kembali suara Hudaya, “Ayo, serahkan kepada kami.”
“Paman,” berkata Agung Sedayu hati-hati.
“Aku memang akan menyerahkan orang ini, tetapi setelah Paman Widura
mengetahuinya. Bukankah pimpinan pasukan Pajang di sini adalah paman
Widura.”
Hudaya menggeram. Namun kemudian ia
menjawab, “Kakang Widura adalah pimpinan prajurit Pajang dalam hubungan
resmi. Tetapi aku kehendaki orang itu justru sebelum diketahui oleh
Kakang Widura, sehingga orang itu belum menjadi seorang tawanan.”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Apakah
yang harus dilakukannya supaya orang itu dapat dilihat oleh pamannya?
Apakah ia akan memaksa berjalan terus memasuki halaman banjar desa?
Apakah ia harus berteriak-teriak memanggil?
Belum lagi ia menemukan jawabnya, Hudaya
telah melangkah maju. Terdengar suara tertawanya yang mengerikan. Suara
itu seolah-olah bukan suara Hudaya yang selama ini dikenalnya. Ya,
tiba-tiba Agung Sedayu ingat, apa yang telah pernah dilakukan oleh
Sidanti. Ia mendengar dari beberapa orang yang menyaksikan, bahkan
Hudaya pun pernah berkata kepadanya, bagaimana Sidanti membunuh Plasa
Ireng. Menikamnya bertubi-tubi, membelah punggungnya dengan
goresan-goresan yang dalam, berdiri di atas mayat itu sambil menepuk
dada.
Bulu-bulu Agung Sedayu serentak berdiri. Mengerikan. Kini ia melihat seolah-olah Sidanti itu datang kembali sambil tertawa.
“Serahkan kepadaku supaya aku tidak
mendendammu pula,” berkata Hudaya. Tetapi nada suaranya benar-benar
mengerikan seperti suara hantu dari dalam kubur.
Namun tiba-tiba bersama dengan itu,
merayap pulalah perasaan benci Agung Sedayu kepada Sidanti, kepada
sikapnya, kepada perbuatannya. Kini ia melihat Hudaya itu bersikap dan
berbuat seperti apa yang pernah dilakukan oleh Sidanti. Karena itu
tiba-tiba Agung Sedayu melangkah surut selangkah. Terdengar ia berkata
tegas, “Paman Hudaya, Aku tidak akan menyerahkan orang ini kepada siapa
pun juga. Tidak kepada paman Hudaya dan tidak kepada orang lain. Aku
hanya akan menyerahkan kepada Paman Widura. Kalau Paman Widura akan
membunuhnya itu adalah haknya, apabila ternyata menurut Paman Widura,
tidakan itu adalah tindakan yang seadil-adilnya. Tetapi pasti tidak
dalam keadaan yang serupa ini. Tidak dalam keadaan tidak berdaya.”
Hudaya pun kemudian tertawa pula.
Jawabnya, “Kau bukan seorang prajurit. Kau tidak tau apakah yang
sebaik-baiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Sebelum orang ini sampai
pada orang yang berwenang menentukan hukuman atasnya, maka yang berlaku
asalah hukuman perang. Setiap prajurit berhak melakukannya. Aku pun
berhak. Orang ini dapat aku perlakukan menurut kehendakku. Tempat ini
dapat dianggap sebagai medan. Prajurit yang terbunuh di medan perang,
nasibnya tidak dipersoalkan lagi.”
“Tidak paman,” sahut Agung Sedayu. “Kita tidak berada di dalam medan lagi. Kita sudah di belakang garis perang.”
“Jangan membantah,” bentak Hudaya yang
sudah bermata gelap. Selangkah ia maju lagi sambil berkata, “Kau tahu
tentang peperangan. Aku adalah orang tertua sepeninggal Citra Gati.
Kalau tidak ada Widura, maka akulah yang berhak memegang atas prajurit
Pajang di sini.”
“Tetapi Paman Widura sekarang ada di sini.”
“Ia berada di dalam halaman, sedang kita
berada di luar halaman banjar desa. Jangan menjawab lagi, supaya kau
tidak aku cincang pula seperti orang Jipang itu.”
“Terdengar Agung Sedayu menggeram. Namun
hatinya menjadi semakin keras ketika ia mendengar orang Jipang itu
berbisik, “Serahkan saja. Biarlah aku dibunuhnya, supaya kau selamat.”
“Tidak,” geram Agung Sedayu. Kemudian
kepada Hudaya ia berkata, “Paman Hudaya, ternyata Paman Hudaya sekarang
tidak seperti Paman Hudaya yang aku kenal pertama-tama aku datang.
Bahkan tidak seperti Paman Hudaya lusa. Paman Hudaya sekarang ini adalah
seorang yang sama sekali berbeda.”
“Tutut mulutmu,” potong Hudaya. “Lepaskan orang itu. Biarkan ia terbaring di tanah. Aku ingin mencincangnya. Kau dengar?”
“Aku dengar,” sahut Agung Sedayu, “Tetapi aku tidak akan melakukannya.”
“He,” mata Hudaya terbelalak. Sinar obor
yang lemah seakan-akan telah membakar mata, sehingga memancar
kemerah-merahan. “Kau berani membantah perintahku?”
“Kau tidak berhak memberikan perintah itu.”
“Kalau tidak ada Widura, Hudaya adalah orang tertua kau dengar.”
“Aku bukan prajurit Pajang. Aku tidak
terkena keharusan untuk mematuhi perintah siapa pun di sini. Kalau aku
patuh terhadap Paman Widura, ia adalah pamanku. Dan kalau aku menurut
perintah Kakang Untara, karena ia adalah kakakku. Kau bukan pamanku dan
bukan ayahku. Kau tidak berhak memberikan perintah itu. Sedangkan orang
lain yang berhak memberikan perintah kepadaku adalah Kiai Gringsing,
guruku. Dan perintah itu berbunyi, “Selamatkan orang ini.”
Mata Hudaya menyala mendengar jawaban
Agung Sedayu. Apalagi ketika Agung Sedayu menegaskan, “Bukankah begitu
Paman. Bukankah Paman sendiri tadi mengatakan bahwa aku bukan seorang
prajurit.”
Terdengar gigi Hudaya gemeretak.
Tiba-tiba Hudaya yang telah menjadi sangat marah itu berkata pula, “Di
medan perang kekuasaan berada di tangan prajurit. Setiap orang harus
tunduk pada perintah. Kau pun harus tunduk meskipun kau bukan seorang
prajurit.”
Agung Sedayu benar-benar menjadi gelisah.
Ia tidak akan menyerahkan orang ini, tetapi ia juga tidak ingin
berbenturan di antara kawan sendiri. Karena itu Agung Sedayu mencoba
untuk mencari cara yang sebaik-baiknya untuk ia yakin, bahwa apabila
terpaksa ia harus menarik pedangnya, ia akan dapat membiarkan Hudaya
terjatuh sendiri karena kepayahan. Ia dapat membiarkan dirinya diserang
tanpa membalas dengan serangan. Kemampuannya akan memungkinkan berbuat
demikian sampai Hudaya berhenti sendiri karena kehabisan nafas. Apalagi
orang ini telah terluka. Namun dengan demikian akan tertanam bibit
kebencian dan dendam di antara sesama mereka.Tetapi terasa juga betapa
hatinya meronta. Perbuatan itu adalah perbuatan anak-anak. Tetapi ia
harus menemukan cara.
Ketika sekali lagi ia memandangi wajah
Hudaya, terasa hatinya berdesir. Wajahnya memang wajah yang gelap dan
keras sejak ia melihatnya yang pertama. Tetapi wajah itu tidak pernah
tampak seliar kali ini.
Tiba-tiba kembali Agung Sedayu teringat
kepada Sindati. Kekerasan dan keliaran yang menyala di wajahnya, bahkan
setiap saat. Anak muda itu benar-benar anak muda yang kasar dan liar.
Hudaya bukanlah orang yang demikian. Kali ini ia menjadi kasar dan liar
karena sebuah kejutan perasaan yang telah menggoncangkan hatinya.
Namun dengan kenangannya atas Sidanti,
Agung Sedayu menemukan suatu cara untuk menahan arus kemarahan Hudaya.
Ketika ia melihat Hudaya maju selangkah, Agung Sedayu kemudian berkata,
“Paman Hudaya, apakah Paman benar-benar tidak dapat mencegah diri?”
“Diam!” bentaknya. “Serahkan orang itu!”
“Apakah Paman akan mencincangnya?”
“Ya, aku akan mencincangnya.”
“Baiklah,” sahut Sedayu.
Terasa orang yang menggantung di
pundaknya berdesis, perlahan-lahan ia berbisik ke telinga Agung Sedayu.
“Tolong, bunuh aku dahulu. Kau dapat menusuk lambungku dengan pedangmu,
supaya aku segera terbunuh sebelum aku merasakan siksaan yang
mengerikan.”
“Mudah-mudahan itu tidak terjadi,” sahut Agung Sedayu.
“Apa yang kau katakan?” bertanya Hudaya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba ia menyahut, “Orang yang bernama Supa ini bertanya, apakah
orang inikah yang bernama Sidanti?”
“Setan. Apakah aku akan kau samakan
dengan iblis kecil itu? Aku bernama Hudaya. Sama sekali bukan Sidanti.
Apakah persamaannya antara Hudaya dan Sidanti, he? Jangan membuat aku
bertambah marah.”
“Maaf Paman, ia hanya bertanya.”
“Kenapa kau yang memintakan maaf untuk orang Jipang itu?”
“Maaf Paman, maksudku, pertanyaan itu tidak terlampau salah.”
Sekali lagi mata Hudaya terbelalak. Sekali lagi ia membentak, “Kenapa? Aku bukan Sidanti, tahu!”
“Maksudku,” sahut Agung Sedayu,
“Pertanyaan orang ini masuk akal. Sidanti pernah mencincang Plasa Ireng
di medan perang setelah ia berhasil membunuh dengan pedangnya. Sekarang
orang ini mendengar keinginan yang sama dengan apa yang pernah dilakukan
oleh Sidanti itu. Mencincang lawannya. Namun Sidanti mencincang lawan
yang telah dibunuhnya sendiri dengan pedangnya di medan perang dan orang
itu pada saat hidupnya adalah senopati pengapit di sayap kiri lawan,
sedang orang ini adalah seorang prajurit kecil yang tak berarti. Juga
tidak terbunuh di medan perang oleh tangan Paman Hudaya sendiri.”
“Cukup!” terdengar suara Hudaya
melengking memecah sepi malam, menggeletar memenuhi lapangan dan halaman
banjar desa. Betapa suara itu telah mengejutkan hampir setiap orang
yang berdiri di regol halaman, maupun di dalam halaman.
Namun Agung Sedayu tidak terkejut. Ia
memang mengharap Hudaya marah dan berteriak. Ia mengharap orang-orang
yang berada di dalam banjar akan mendengar teriakan itu. Kecuali itu
Agung Sedayu masih mempunyai harapan lain. Mudah-mudahan Hudaya
menyadari keadaannya.
Ternyata harapan Agung Sedayu
kedua-duanya berhasil. Teriakan Hudaya itu telah didengar oleh Untara
dan Widura, sehingga dengan tergesa-gesa keduanya turun ke halaman.
Tetapi yang lebih penting bagi Agung Sedayu adalah ketika kemudian ia
melihat Hudaya itu menundukkan wajahnya. Setelah ia melepaskan tekanan
yang menghimpit dadanya dengan sebuah teriakan yang menggelegar,
tiba-tiba seakan-akan dadanya menjadi jernih. Tiba-tiba ia teringat pula
apa yang pernah dilakukan oleh Sidanti. Alangkah mengerikan. Ia pernah
mengutuk habis-habisan di dalam hatinya ketika ia melihat Sidanti
membelah punggung Plasa Ireng, kemudian berdiri di atas mayatnya sambil
sesumbar. Ia merasa ngeri sendiri. Alangkah buasnya anak itu.
Seakan-akan ia telah kehilangan segenap kemanusiaannya. Tiba-tiba dalam
kegelapan pikiran hampir-hampir saja ia melakukannya pula. Hampir-hampir
saja ia mencincang orang seperti apa yang dilakukan oleh Sidanti itu.
Terasa suatu desir yang tajam menggores
jantung Hudaya. Hatinya pun menjadi pedih karenanya, melampaui pedihnya
lukanya yang ditimbulkan oleh senjata Sanakeling.
Supa, orang Jipang yang menggantung di
pundak Agung Sedayu melihat pula perubahan sikap Hudaya. Bahkan ia
melihat Hudaya itu kemudian melangkah mundur. Tetapi Supa itu sama
sekali tidak tahu apakah yang bergolak di dalam hati Hudaya.
Ketika Untara dan Widura hadir di tempat
itu, Hudaya telah mundur beberapa langkah lagi. Bahkan ia kini telah
berdiri di antara para penjaga yang merubungnya.
“Siapakah yang berteriak?”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu untuk
menjawab. Apabila ia menyebut nama Hudaya, apakah hati orang itu tidak
tersinggung kerenanya? Namun ternyata Hudaya tidak mengingkari
keadaannya. Maka katanya, “Aku yang berteriak.”
“Kenapa?” bertanya Widura.
Hudaya menarik nafas. Kemudian jawabnya,
“Hampir aku khilaf. Aku akan membunuh orang Jipang yang datang bersama
Angger Agung Sedayu. Untunglah Angger Agung Sedayu tidak memberikannya.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Peristiwa itu sendiri ternyata segera dapat di atasi. Tetapi bagaimana
dengan janji Untara yang pernah diucapkan pada saat Tohpati meninggal.
Untara, atas nama Panglima Wira Tamtama menjanjikan pengampunan bagi
mereka yang menyerah. Tanggapan itu sama sekali kurang menyenangkan bagi
prajurit. Seperti sikap Hudaya itu adalah suatu gambaran perasaan para
prajurit Pajang. Amatlah sulit untuk melenyapkan permusuhan dalam waktu
yang pendek. Apalagi pada saat-saat terakhir, korban telah berjatuhan
dari kedua belah pihak, sehingga peristiwa itu seakan-akan telah
membakar dendam di hati mereka.
Ternyata bukan saja Widura yang menjadi
berdebar-debar karenanya. Jawaban Hudaya langsung menyentuh hati Untara
pula. Hudaya adalah seorang yang telah cukup mengendap. Seorang yang
memiliki pandangan yang cukup luas dan jauh. Tetapi menghadapi
orang-orang Jipang dadanya seakan-akan meluap. Apalagi orang-orang lain.
Meskipun demikian Untara masih tetap
dalam pendiriannya. Pendirian itu adalah pendirian Panglima Wira
Tamtama. Karena itu ia mengharap bahwa ia akan dapat memenuhinya. Namun
haruslah diketemukan cara yang sebaik-baiknya, sehingga tidak terjadi
peristiwa yang tidak dikehendaki. Orang-orang yang sesat itu datang
kembali, namun kawan-kawan sendiri menjadi sakit hati karenanya. Apalagi
ada di antara mereka yang hatinya menjadi patah dan kehilangan gairah
perjuangan.
Selagi Widura dan Untara masih berdiam
diri karena angan-angan mereka, terdengar Hudaya berkata, “Maafkan aku
Kakang Widura. Mudah-mudahan aku untuk seterusnya dapat mengekang diri
sendiri.”
Widura mengangguk. Jawabnya, “Kau
ternyata sedang mengalami goncangan perasaan Hudaya. Beristirahatlah.
Mudah-mudahan kau akan mendapat ketentraman hati. Juga agar lukamu tidak
menjadi semakin parah karenanya.”
Hudaya mengangguk dalam-dalam. Kemudian
sambil melangkah surut ia menjawab, “Baiklah. Mudah-mudahan lukaku
segera dapat sembuh. Tetapi sejak tadi aku belum melihat Ki Tanu Metir
yang biasanya dapat mengobati luka-luka dengan baik.”
“Ia akan segera kembali, Paman.” sahut Untara.
Hudaya tidak menjawab. Sejenak kemudian
ia telah menghilang di antara beberapa penjaga yang berdiri berjejalan
dengan beberapa orang prajurit dan anak-anak Sangkal Putung yang ingin
melihat peristiwa itu.
Hudaya yang kemudian masuk ke dalam
halaman banjar desa langsung pergi ke gandok kanan. Di antara beberapa
orang yang terluka ia membaringkan dirinya. Namun angan-angannya terbang
jauh menelusuri awan di langit yang tinggi. Beberapa perasaan hilir
mudik di kepalanya. Sekali ia bersyukur bahwa ia telah dibebaskan dari
suatu perbuatan yang buas dan liar. Namun sekali-sekali timbulah
sesalnya. Kenapa orang Jipang tadi tidak saja ditikamnya sampai mati
tanpa minta ijin lebih dahulu dari Agung Sedayu. Kenapa ia tidak
berusaha melepaskan dendamnya atas kematian orang-orang Pajang, bahkan
sahabatnya terdekat Citra Gati? Apakah orang-orang Jipang itu juga
mengenal cara yang serupa atas orang-orang Pajang yang terluka? Tidak.
Orang-orang Pajang yang terluka tidak pernah mengalami perawatan apapun.
Apalagi perawatan, bahkan mereka sama sekali tidak dipedulikannya.
Apalagi ada kesempatan, orang Jipang pasti akan berebut tidak untuk
menolongnya, tetapi untuk mencincangnya.
Namun setiap kali, ia sadar atas
kekhilafannya. Setiap kali ia teringat kepada Sidanti, setiap kali ia
berterima kasih kepada Agung Sedayu.
Sepeninggal Hudaya, sejenak di luar regol
halaman banjar desa itu menjadi senyap. Masing-masing mencoba melihat
keadaan menurut pengamatan masing-masing. Beberapa orang prajurit
benar-benar menyesal, kenapa mereka tidak mendapat kesempatan untuk ikut
serta mencincang orang Jipang itu. Namun beberapa orang lain menyadari
keadaan mereka yang sesaat tumbuh di dalam dada Hudaya.
Sejenak kemudian terdengarlah Untara bertanya, “Siapa orang yang kau bawa itu Sedayu?”
“Supa, orang Jipang,” sahut Agung Sedayu.
“Kenapa orang itu kau bawa kemari?” bertanya Untara pula.
Agung Sedayu heran mendengar pertanyaan
kakaknya. Tetapi ia menjawab pula, “Aku menemukannya terluka di dalam
hutan ketika aku sedang mencoba mencari jejak Paman Sumangkar.”
Untara mengerutkan keningnya. Tiba-tiba
ia berkata, “Kau tidak menjalankan perintahku. Kau harus mengikuti jejak
Paman Sumangkar sampai kau menemukan tempat orang-orang Jipang
berkemah. Sekarang kau kembali membawa orang yang terluka itu. Bukankah
dengan demikian berarti kau melanggar perintahku?”
———-oOo———-
(bersambung ke Jilid 014)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-13/

Tinggalkan Balasan