

ADBM-012

BETAPAPUN kebimbangan
bergelora di dalam batinnya, namun akhirnya Sumangkar itu tidak juga
dapat membiarkan kekalahan demi kekalahan melanda pasukan murid kakak
seperguruannya. KareNa itu berkali-kali terdengar ia berdesah, kemudian
menggeram. Wajahnya semakin lama menjadi semakin tegang. Dan orang tua
itu menjadi semakin kuat menggenggam senjatanya.
Ketika ia mendengar orang-orang Pajang
bersorak, seakan-akan dirinyalah yang disorakinya. Seorang tua yang
tidak berarti dan tidak tahu diri.
Di dalam arena pertempuran itu sendiri,
Sanakeling terpaksa melihat kenyataan, bahwa adik Untara yang bernama
Agung Sedayu itu benar-benar seorang anak muda yang tangguh. Anak muda
yang lincah dan cekatan. Geraknya kadang-kadang terasa aneh dan
membingungkan. Sebenarnya Agung Sedayu mempunyai cara yang khusus dalam
olah pertempuran. ia tidak saja mempergunakan unsur-unsur yang
dipelajarinja dari gurunya, dari ayahnya, dari kakaknya, dan dari
pengalamannya yang sedikit itu, tetapi Agung Sedayu telah berhasil
membuat cara-cara dan unsur-unsur tersendiri, karena ketekunannya
membuat gambar-gambar di atas rontal.
Sehingga, Sanakeling yang dengan tatag
berani melawan Widura kini terpaksa bertempur dengan memeras segenap
ilmu yang dimilikinya.
Di induk pasukan, Tohpati pun mengalami
banyak kesulitan. Apalagi setelah Untara dapat melepaskan segenap
perhatiannya atas sayap kanannya yang agak mengalami kesulitan. Kini
sayap itu telah menjadi mantap kembali. Karena itu ia tinggal memusatkan
perhatiannya kepada Tohpati dan induk pasukannya. Namun Sonya, di sisi
kiri dan Swandaru di sisi kanan, ternyata banyak membantunya,
memperingan tekanan-tekanan yang Iangsung ke pusat pasukannya.
Apalagi di sayap kiri, Widura telah
mencoba mempengaruhi seluruh medan lewat sayapnya. Dikerahkannya
kekuatan sayapnya untuk mendesak semakin maju. Kemenangan yang
dicapainya diharapkannya dapat langsung menimbulkan pengaruh pada induk
pasukan lawan dan lebih-lebih bagi Tohpati sendiri. Menurut perhitungan
Widura, kini telah sampai saatnya, Tohpati mengalami kesulitan yang sama
seperti yang dialami oleh Untara di permulaan peperangan ini.
Sekali-sekali terdengar di induk pasukan,
Tohpati menggeram sambil menggeretakkan giginya. Kemarahannya telah
memuncak sampai ke ujung ubun-ubunnya. Tetapi ia tidak mau hangus
terbakar oleh kemarahannya. Karena itu, ia masih mempergunakan segenap
kesadaran serta perhitungan. la harus bertanan sampai matahari terbenam
meskipun seandainya harus menarik mundur pasukannya benerapa langkah
untuk beberapa kali. Tetapi ia harus memelihara agar pasukannya tidak
terpecah. Sebab dengan demikian, maka akan hilanglah gairah segenap anak
buahnya. Hati mereka akan berkeriput sekecil nati tikus. Apa pun yang
akan dilakukan besok, apabila hati anak buahnya masih tetap terpelihara
seperti hari ini, maka kemungkinan-kemungkinan lain masih akan terjadi.
Namun ia masih harus menghadapi kenyataan. Pasukan Pajang dan Sangkal Putung mendesaknya seperti prahara.
Sumangkar yang melihat
kekalahan-kekalahan yang semakin lama semakin sering, menjadi kehilangan
segenap keragu-raguannya. Bara yang menyala di dalam dadanya terasa
menjadi semakin panas. Dan tiba-tiba terdengar ia bergumam, “Tahanlah
sesaat ngger, mudah-mudahan aku akan dapat membantumu.”
Kata-kata Sumangkar itu, seakan-akan
merupakan sebuah perintah bagi dirinya sendiri. Tiba-tiba terasa
darahnya bergolak. Usianya yang sudah lanjut itu sama sekali tidak
berpengaruh atas ilmu dan ketangkasannya. Bahkan semakin tua ilmunya
menjadi semakin masak, dan segala geraknya menjadi semakin mapan.
Demikianlah dengan sigapnya Sumangkar
meloncat turun dari bongkahan tanah padas. Kemudian diamat-amatinya
tongkatnya sambil bergumam kepada diri sendiri, “Masa itu datang
kembali.” Dan kepada tongkatnya ia berkata, “Kau sudah terlalu lama
beristiratat. Marilah kita bekerja kembali. Aku tidak akan membawamu
bertempur melawan kelinci-kelinci yang tidak berdaya dari sangkal Putung
dan Pajang. Pekerjaanmu hanya mempengaruhi tekad dan gairah peperangan
itu. Tolonglah aku, karena aku terpaksa, menyingkirkan Angger Untara.”
Sumangkar itu kemudian mengangkat
wajahnya. Di berbagai tempat dilekukan-lekukan tanah yang dalam, masih
dilihatnya air yang tergenang sisa hujan semalam, meskipun karena panas
yang terik di sana-sini tampak debu yang berhamburan.
“Maafkan aku Angger Untara,” desisnya, “aku terpaksa melakukannya.”
Sumangkar itu kemudian menggigit
bibirnya, seolah-olah ia sedang mengusir parasaan lain yang
mengganggunya. Kemudian dengan dada tengadah ia melangkah menuju kearena
peperangan.
Namun tiba-tiba langkah orang tua itu
terhenti. Lamat-lamat ia mendengar orang memanggilnya. Perlahan-lahan
seperti sebuah bisikan.
“Adi Sumangkar. Adi, berhentilah sebentar.”
Langkah sumangkar tertegun.
Dipalingkannya wajahnya. Dan ia benar-benar terkejut ketika dilihatnya
seseorang duduk di bawah sebuah gerumbul kecil di samping bongkahan
tanah padas tempatnya berdiri menyaksikan peperangan itu.
Tetapi Sumangkar itu pun telah menyimpan
pengalaman yang banyak sekali di dalam dirinya, sehingga sesaat kemudian
ia sudah berhasil menguasai dirinya. Bahkan sambil tersenyum ia
menjawab, “Ah. Aku terkejut mendengar sapa Ki Sanak.”
Orang itu mengangguk. “Maafkan kalau aku
mengejutkanmu. Bukan maksudku berbuat demikian, sehingga karena itu, aku
menyapamu perlahan-lahan.”
“Ya, ya. Kau sudah berhati-hati. Tetapi orang-orang tua seperti aku ini memang mudah menjadi terkejut. Bukankah begitu.”
Orang itu pun tersenyum. Orang itu pun
sudah setua Sumangkar, bahkan setahun dua tahun di atasnya. Sambil
tersenyum ia menjawab, “Benar. Kau benar Adi. Orang-orang tua mudah
benar menjadi terkejut.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Apakah Ki Sanak memerlukan aku?”
“Ya,” sahut orang itu. “Aku ingin mempunyai seorang kawan untuk melihat peperangan itu.”
“Baik,” jawab Sumangkar, “aku akan mengawanimu. Tetapi biarlah aku melihatnya dahulu dari dekat. Nanti aku akan segera kembali.”
Orang tua itu menggeleng. Sambil masih
duduk bersandar sebongkah padas ia menggeleng, “Jangan nanti. Dan
sebaiknya Adi tidak usah pergi ke arena. Bukankah di sana tempat
anak-anak muda saling menyombongkan kecakapan mereka memainkan senjata?
Sama sekali bukan tempatnya orang-orang tua seperti kita?”
Dada Sumangkar berdesir. Sebagai seorang
yang telah cukup makan asin pahit penghidupan, segera ia menyadari
maksud kata-kata itu. Karena itu maka kemudian ia pun tersenyum. Ia
berdiri menghadap orang yang duduk bersandar padas itu. Perlahan-lahan
mengangguk-angguk sambil tersenyum. Senyumnya membayangkan tanggapannya
atas orang itu.
Sumangkar itu pun segera mengerti
siapakah yang duduk di hadapannya. Orang itu pasti seorang yang pilih
tanding sehingga Sumangkar sama sekali tidak mengetahui kehadirannya.
Sikapnya dan kata-katanya yang tenang meyakinkan. Sorot matanya yang
tajam menembus langsung ke pusat jantungnya.
Dan ternyata sesaat kemudian sumangkar
segera mengetahui, meskipun ia belum pasti. Tetapi tidak ada orang lain
yang dapat disangkanya, orang yang duduk di hadapannya itu. Sehingga
karena itu maka segera ia berkata, “Hem. Bukankah Kakang yang menamakan
diri Kiai Gringsing?”

“O,” sahut Sumangkar, “bukankah kita
pernah bertemu? Bukankah Kiai pernah mengunjungi daerah ini bersama dua
orang murid Kakang selagi aku sedang bermain-main dengan Ki Tambak Wedi
bersama muridnya yang bernama Sidanti.”
Orang tua itu, yang sebenarnya adalah
Gringsing, tertawa pula. Katanya, “Benar. Benar. Ingatanmu baik sekali
Adi. Ternyata meskipun saat itu malam tidak terlalu terang, kau masih
juga dapat mengenal aku.”
Sumangkar tertawa pula. Namun hatinya
berdebar-debar menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja tumbuh. Sudah
tentu Kiai Gringsing akan berbuat sesuatu, apabila ia benar-benar akan
terjun ke dalam arena. Karena itu, maka ia harus menentukan suatu sikap
untuk mengatasi setiap perkembangan keadaaan.
Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia berpaling
ke arah peperangan yang masih saja berkobar dengan dahsyatnya. Sekali
lagi dadanya berdesir. Ia melihat beberapa bagian dari gelar Dirada Meta
telah terdesak-mundur. Gelar perang yang tangguh itu benar-benar sudah
berada dalam bahaya.
“Kiai,” berkata sumangkar itu kemudian,
“aku tidak banyak mempunyai waktu. Apakah Kiai tidak berkeberatan
apabila Kiai duduk di sini sebentar? Aku akan pergi ke arena itu, ikut
serta dengan anak-anak Jipang bermain-main senjata.”
“Ah,” sahut Kiai Gringsing
perlahan-lahan. “Sudahlah. Jangan melelahkan diri sendiri, marilah duduk
di sini. Kita lihat pertunjukan itu.”
“Kau aneh Kiai,” berkata Sumangkar. “Pertunjukan itu terlalu menjemukan bagiku. Apakah tidak demikian bagimu?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia
melihat Sumangkar berdiri tegak seperti sebatang tonggak yang kokoh.
Karena itu maka perlahan-lahan orang tua itu pun berdiri. Banyak hal
yang dapat terjadi menilik sikap Sumangkar itu.
“Apakah yang akan kau lakukan atas permainan yang menjemukan itu?” bertanya Ki Tanu Metir.
Sumangkar terdiam sesaat. Sekali lagi ia
berpaling, dan sekali lagi ia melihat pasukan Jipang yang terdorong
mundur beberapa langkah.
“Kiai Gringsing,” berkata Sumangkar, “aku
adalah seorang bawahan dari Macan Kepatihan. Apakah aku akan dapat
berdiam diri melihat pertempuran itu? Ternyata Angger Untara memiliki
kecemerlangan rencana untuk menghadapi Macan Kepatihan. Sebelum ini aku
mengagumi ketangguhan dan ketangkasan pasukan Jipang di bawah pimpinan
Tohpati. Namun ketika aku melihat cara yang ditempuh dan
perhitungan-perhitungan yang matang dari Angger Untara, maka aku
benar-benar menundukkan kepala untuk itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk kepalanya. Sahutnya, “Lalu, bagaimana sekarang?”
“Aku harus ikut dalam permainan itu, Kiai berkeberatan?”
“O, tidak. Tentu tidak. Adalah menjadi kewajibanmu untuk melakukannya. Bukankah kau seorang prajurit?”
Sumangkar menjadi bimbang mendengar
jawaban itu. Ia tidak dapat mengerti kenapa Kiai Gringsing seakan-akan
membiarkan untuk berbuat sesuatu atas pertempuran itu. Namun Sumangkar
bukan anak-anak yang mudah terpedaya oleh ucapan-ucapan yang meragukan.
Karena itu, maka ia tidak akan dapat mempercayainya, seandainya Kiai
Gringsing dengan sukarela membiarkannya masuk ke dalam arena. Meskipun
demikian katanya, “Terima kasih Kiai. Agaknya Kiai akan bersabar
menunggu aku kembali dari arena.”
“Nanti dulu, Adi,” sahut Ki Tanu Metir.
Sumangkar tertegun sejenak. Tetapi ia
sebelumnya telah memperhitungkannya, bahwa pekerjaannya akan bertambah
berat. Ia tidak akan begitu saja dapat hadir di dalam peperangan itu,
apalagi memusnahkan Untara, selagi Kiai Gringsing masih berada di tempat
itu.
“Jangan tergesa-gesa.”
“Waktuku hanya sedikit Kakang. Lihatlah, pasukan Jipang telah terdesak jauh ke belakang garis benturan antara kedua gelar itu.”
“Belum Adi. Mereka sekarang berada pada
garis yang terjadi pada saat kedua pasukan itu berbenturan. Kau hanya
melihat pasukan Jipang terus menerus mundur. Tetapi aku melihat sejak
pertempuran itu terjadi. Mula-mula pasukan Pajang dan anak-anak muda
Sangkal Putung lah yang terdesak sampai jauh ke belakang garis itu.
Sekarang mereka mendesak maju. Namun belum terlalu jauh melampaui garis
benturan itu?
“O, agaknya kau lebih dahulu sampai di sini Kiai?”
“Aku melihat sejak peperangan itu mulai.
Sejak pasukan Jipang muncul dari balik pepohonan hutan dangan
panji-panji kebesaran, rontek dan umbul-umbul yang megah itu. Aku
melihat pasukan Pajang dan anak-anak Sangkal Putung datang dari arah
yang lain dengan ketiga panji-panji yang mereka agung-agungkan. Dan aku
melihat bagaimana mereka berbenturan.”
“Hem,” Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kalau demikian, kau melihat kedatanganku pula Kakang.”
“Ya, aku melihat kau berdiri di sini.
Sekali-sekali kau meloncat naik ke atas tanah padas itu. Sekali kau
meloncat turun. Aku tidak akan mendekatimu, kalau aku tidak tertarik
pada tongkat yang kau bawa itu. Tongkat itu mirip benar dengan tongkat
Macan Kepatihan.”
Sumangkar mengangguk-angukkan kepalanya, “Ya tongkat ini memang mirip dengan tongkat Angger Tohpati.”
“Apakah Tohpati membagikan tongkat semacam itu kepada para prajuritnya?”
Sumangkar menarik alisnya. Namun demikian
ia tersenyum. Jawabnya, “Pertanyaanmu membingungkan Kiai. Baiklah aku
mencoba menjawabnya. Tongkat ini adalah ciri dari perguruan Kedung Jati.
Aku kira Kiai sudah mengetahuinya pula.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” sahutnya. “Macan Kepatihan adalah murid Mantahun. Saudara seperguruanmu.”
“Tepat. Bukanlah wajar kalau aku membantunya? Selain paman gurunya, aku adalah prajurit Jipang pula.”
“Sudah aku katakan, bahwa adalah
kewajibanmu membantu Angger Tohpati. Namun aku ingin memberitahukan pula
kepadamu. Kalau Tohpati itu murid kakak seperguruanmu, maka Untara
adalah kakak dari muridku.”
Sumangkar menarik nafas. Ia melihat
kemungkinan yang ada di hadapannya. Namun ia masih tersenyum, katanya,
“Kalimat yang disilang-balikkan. Membingungkan Kiai.”
“Tidak terlalu sulit,” jawab Kiai Gringsing sambil tersenyum pula.
“Angger Tohpati adalah murid dari kakak seperguruanku. Jelas?”
“Ya, aku tahu.”
“Kalau demikian, maka kewajibanmu atas
Angger Tohpati tidak akan jauh berbeda dari kewajibanku atas Angger
Untara,” berkata Kiai Gringsing pula. “Namun aku tetap berdiam diri
melihat Angger Untara terdesak dengan sengitnya, sebelum laskar cadangan
itu datang.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Semuanya sudah pasti baginya. Tak ada jalan lain. Karena itu, maka
lebih baik segala sesuatunya segera terjadi daripada masih harus
menunggu perkembangan yang kecil sekali kemungkinannya.
Karena itu maka katanya, “Ada satu
perbedaan Kiai. Aku prajurit Jipang. Apakah Kiai prajurit Pajang atau
laskar Sangkal Putung? Seandainya demikian, maka kita berbeda pendirian.
Mungkin Kiai dapat berdiam diri terhadap Untara, tetapi aku tidak akan
dapat berbuat demikian. Aku harus menyingkirkan Angger Untara.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ditatapnya wajah Sumangkar dengan tajamnya, namun
sekali-sekali ia berpaling memandangi arena pertempuran pula. Ia tahu
benar bahwa Sumangkar tidak akan dapat dicegahnya dengan kata-kata.
Tetapi ia masih ingin mencoba untuk memperpanjang waktu sehingga
Sumangkar akan terlambat. Kiai Gringsing itu pun melihat pula, bahwa
pasukan Jipang sudah semakin lemah dan terus menerus terdesak mundur.
Maka katanya sambil tersenyum, “Jangan
begitu Adi. Jangan berkata sekeras itu. Bukankah kita, yang tua-tua ini
sudah tidak pantas ikut bermain-main dengan senjata? Sebaiknya kita
duduk saja di sini sambil melihat kalau Adi setuju, marilah kita
bertaruh, siapakah yang akan menang.”
“Apakah yang akan kita pertaruhkan?” bertanya Sumangkar. “Apakah Kiai, mempunyai barang-barang berharga?”
“Apa saja dapat kita pertaruhkan,” sahut Kiai Gringsing, “ikat kepala, kain panjang kita, atau timang kita?”
“Bagaimana kalau aku usulkan Kiai?” berkata Sumangkar.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Boleh. Barangkali Adi
mempunyai usul yang baik.”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Taruhan kita adalah anak-anak muda itu. Macan Kepatihan dan Untara.
“He?” bertanya Kiai Gringsing sambil
mengusap keningnya, “bagaimana mungkin? Kalau kita mengadu ayam, maka
mereka adalah ayam jantan kita masing-masing.”
“Permainannyalah yang harus kita tentukan,” potong Sumangkar.
“Oh,” Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sumangkar sudah tidak akan dapat
diperlunak lagi. Ternyata orang itu berkata, “Marilah kita yang
berlomba, bukan hanya sekedar membuat taruhan.”
“Apakah. perlombaan itu?”
“Kita berlomba lari sampai ke arena,” ajak Sumangkar.
Kiai Gringsing menggeleng. “Aku bukan
seorang pelari. Tetapi kalau Adi akan berlari, mungkin aku akan mencoba
menangkanp ujung kainmu.”
Orang-orang tua itu sudah sampai pada
kemungkinan terakhir, menyelesaikan soal mereka dengan cara yang tak
mereka kehendaki. Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat lain. Mereka
ternyata telah berada dalam puncak kemungkinan itu.
“Kiai Gringsing,” berkata Sumangkar
kemudian, “Kiai telah pernah melihat aku bermain-main melawan Ki Tambak
Wadi, tetapi aku belum pernah melihat, bagaimana Kiai melontarkan kaki.
Karena itu, maafkan aku. Aku akan mulai dengan usulku. Terserahlah
kepada Kiai, apakah Kiai akan turut serta berlomba lari atau tidak.”
Sumangkar tidak menunggu jawaban lagi.
Segera ia melontar surut sambil memutar tubuhnya. Ia mengharap Kiai
Gringsing akan meloncat mencegatnya. Tetapi sumangkar menjadi kecewa,
Kiai Gringsing belum beranjak dari tempatnya, katanya, “Apakah aku harus
mengejarmu?”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam.
Sambil menahan gelora di dadanya ia bertanya, “Kenapa Kiai tidak
mengejar aku dan menangkap kainku seperti kata Kiai.”
“Aku akan mencobanya kalau kau betul-betul telah mulai dengan lomba itu.”
“Hem,” desis Sumangkar. Ia menjadi
jengkel melihat ketenangan Kiai Gringsing. “Kiai yakin benar akan
perhitungan Kiai? Aku pasti tidak akan berlari terus meninggalkan Kiai
dengan membiarkan diriku membelakangi Kiai. Begitu? Aku tidak akan
membiarkan punggungku tersentuh oleh tangan Kiai. Karena itu Kiai tidak
perlu mengejar aku. Tetapi bagaimana seandainya aku membuat perhitungan
pula, bahwa Kiai tidak akan mengejar dan mencegat aku, lalu aku
benar-benar berlari ke arena yang semakin parah bagi Jipang itu?”
“Adi,” berkata Kiai Gringsing.
“Sebenarnya apa yang akan kita lakukan itu tidak akan ada gunanya.
Seandainya kita membuat permainan sendiri, maka permainan kita tidak
akan mempengaruhi pertempuran itu. Betapapun lemahnya satu di antara
kita, tetapi kita pasti akan memerlukan waktu. Dan lihatlah kini. Betapa
laskar Jipang telah terdesak semakin jauh.”
Dada Sumangkar bergetar mendengar
kata-kata Kiai Gringsing itu. Ia dapat mengerti dan ia sependapat pula.
Menurut perhitungan, seandainya Kiai Gringsing memiliki ilmu yang tidak
terpaut banyak daripadanya, maka waktu yang diperlukan pasti akan lebih
banyak dari waktu yang diperlukan oleh pasukan Pajang untuk memecah
barisan Macan Kepatihan. Tetapi kadang-kadang perasaan seseorang tidak
sejalan dengan pikirannya. Meskipun Sumangkar menyadarinya, namun apakah
ia akan duduk diam dan menonton pasukan Jipang terpecah belah tanpa
berbuat sesuatu? Dan benarkah bahwa Kiai Gringsing memiliki ilmu yang
cukup baik untuk bertahan cukup lama.
Akhirnya Sumangkar tidak lagi ingin
membuat perhitungan-perhitungan. Tetapi ia harus berbuat sesuatu. Karena
itu maka katanya, “Kiai, aku kagum melihat sikap dan ketenangan Kiai.
Tetapi aku tidak akan terpengaruh oleh apapun. Aku tetap dalam
pendirianku. Angger Untara harus dilenyapkan supaya prajurit Pajang
menjadi kehilangan pegangan, dan bertempur tanpa ikatan.”
“Jangan supaya aku tidak berusaha meniadakan Macan Kepatihan pula.”
“Terserah kepadamu. Aku tetap akan melakukan rencanaku.”
Kiai Gringsing menarik nafas. Setapak ia
maju, ia tidak akan membiarkan Sumangkar berlari ke arena, dan langsung
membunuh Untara.
Melihat Kiai Gringsing bergerak,
Sumangkar tiba-tiba merenggangkan kakinya. Tongkatnya digenggamnya
dengan tangan kanannya dan sinar matanya tajam hinggap di wajah Kiai
Gringsing.
Kiai Gringsing kini sudah tidak tersenyum
lagi. Ia pernah melihat Sumangkar bertempur melawan Tambak Wedi. Tetapi
Sumangkar tidak mempergunakan senjatanya yang mengerikan itu. Kini
senjata itu berada dalam genggamannya. Karena itu maka nilai orang itu
pasti akan berbeda. Sumangkar kali ini pasti akan berada di puncak
kemampuannya.
Kedua orang tua itu, Kiai Gringsing dan
Sumangkar kini telah berdiri berhadapan. Keduanya adalah orang-orang
yang berfikir bening dan berilmu hampir mumpuni. Namun kini mereka
terpaksa berdiri dalam kesiagaan yang paling tinggi.
“Adi Sumangkar, apakah kita orang tua-tua
ini pun terpaksa tidak tahu diri dan saling bertengkar seperti
anak-anak?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku tidak ingin itu terjadi Kiai, bukankah aku hanya ingin menyingkirkan Untara dari peperangan itu,” sahut Sumangkar.
“Baiklah. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Bukankah sudah aku katakan, bahwa Untara adalah kakak dari murid perguruanku?”
“Terserah kepada Kiai. Aku sudah siap.”
Kiai Gringsing kemudian menarik ujung
kainnya dan diselipkan di ikat pinggangnya. Kain itu adalah kain
gringsing. Perlahan-lahan ia mengambil sesuatu dari bawah bajunya,
melingkar di perutnya.
“Senjata Sumangkar adalah senjata pilihan,” desisnya di dalam hati. “Aku harus berhati-hati.”
Tiba-tiba di tangan Kiai Gringsing itu
pun tergenggam sebuah cambuk yang pendek namun berjuntai panjang. Itulah
senjatanya yang paling berbahaya.
Sumangkar mengerutkan keningnya melihat
senjata itu. Ia mencoba mengingat-ingat. Perguruan manakah yang
mempunyai ciri khusus sebuah cambuk yang berjuntai panjang, kira-kira
satu setengah kali panjang pedang biasa. Tetapi Sumangkar belum berhasil
menemukannya.
“Hem,” katanya dalam hati, “orang semacam
Kiai Grinsing itu pasti seorang yang berbahaya sekali. Meskipun aku
belum melihat geraknya, tetapi agaknya ia lebih berbahaya dari Ki Tambak
Wedi.”
Dalam pada itu Kiai Gringsing pun
berkata di hatinya, “Alangkah tinggi tekad Sumangkar. Dan alangkah tabah
hatinya menghadapi persoalan yang semakin gawat ini. Agaknya ia masih
mencoba untuk mengatasi persoalan ini. Persoalan antara dirinya sendiri
dan persoalan anak-anak Jipang itu.”
Dan ketika tiba-tiba Sumangkar sorak di
medan perang, ia berpaling sekali lagi. Dilihatnya pasukan Jipang
terdesak dalam jarak yang cukup panjang. Meskipun kemudian mereka
berhenti dan mencoba bertahan lagi, namun Sumangkar semakin menjadi
cemas bahwa pasukan itu segera akan pecah sebelum senja.
Tanpa disengajanya, tiba-tiba ia melangkah maju mendekati Kiai Gringsing. “Tak ada pilihan lain,” desisnya.
Kiai Gringsing mengangguk, “Ya tak ada pilihan lain.”
“Apakah Kiai siap?” bertanya Sumangkar sambil menggerakkan ujung tongkatnya yang kuning dan berbentuk tengkorak.
Kiai Gringsing mengangguk. “Aneh”
desisnya, “aku bersembunyi karena aku takut Angger Untara membawa aku
serta dalam peperangan itu. Tetapi tiba-tiba aku terpaksa menghadapi
seorang lawan.”
“Jangan terlalu merendahkan diri Kiai,” sahut Sumangkar, “marilah, sebelum anak-anak itu selesai bermain-main.”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia mempersiapkan dirinya menyambut segala kemungkinan.
Sumangkar pun kemudian maju selangkah.
Kini tongkatnya telah bergerak-gerak. Dan ketika ia mendengar sekali
lagi sorak yang gemuruh maka tiba-tiba ia meloncat menyerang Kiai
Gringsing.
Kiai Gringsing telah bersiap menyambut
serangan itu. Selangkah meloncat ke samping dan tiba-tiba ia mengerakkan
tangannya. Ujung cambuknya bergetar cepat sekali menyambar lawannya
yang melontar di sampingnya.
Sumangkar benar-benar terkejut melihat
ujung cambuk yang seakan-akan mengejar untuk mematuk tengkuknya. Cepat
ia menghindar sambil merendahkan dirinya. Tetapi sekali lagi ia
terkejut, ujung cambuk yang tidak menyentuhnya itu meledak di atas
kepalanya seperti ledakan petir di langit.
Sumangkar menggeram. Sekali lagi ia
meloncat ke samping untuk mengambil jarak yang cukup. Namun Sumangkar
adalah orang yang cukup cekatan mengimbangi gerak Kyai Gringsing.
Demikian ia berjejak di atas tanah, demikian ia melontar menyusup ke
dalam batas pertahanan lawannya. Tongkatnya terayun deras sekali ke arah
kaki Kiai Gringsing.
Kini Kiai Gringsing-lah yang terkejut.
Tetapi ia adalah orang yang cukup berpengalaman menghadapi setiap
kemungkinan. Dengan lincahnya ia meloncat ke samping dan dengan
lincahnya pula ia menggerakkan senjatanya.
Sumangkar yang gagal mengenai lutut Kiai
Gringsing cepat-cepat melontar surut menghadapi kejaran ujung cambuk
lawannya yang seakan-akan mempunyai biji mata. Hanya karena
ketrampilannya maka ia berhasil melepaskan diri dari sengatan-sengatan
ujung cambuk itu.
Demikian mereka terbenam dalam
pertempuran yang semakin lama semakin sengit. Orang-orang tua itu
bertempur dalam jarak yang tidak demikian jauhnya dari garis
pertempuran. Sekali-sekali mereka mendengar sirak yang gemuruh dari
kedua belah pihak. Pasukan Jipang yang walau pun selalu terdesak mundur
namun sekali-sekali mereka masih juga menjumpai kemenangan-kemenangan
kecil. Bahkan sekali-sekali mereka juga berhasil maju selangkah dua
langkah. Tetapi sesaat kemudian mereka terdesak kembali.
Sorak-sorai yang gemuruh itu seakan-akan
adalah sorak-sorai para penonton yang menyoraki kedua orang-orang trua
itu. Bagaimanapun juga maka suara-suara itu telah mempengaruhi perasaaan
mereka. Seolah-olah para prajurit itu melihat bahwa sekali-sekali Kiai
Gringsing terpaksa berloncatan surut namun di saat yang lain Sumangkar
terpaksa berguling-guling menghindari ujung cambuk Kiai Gringsing.
Pertempuran di kedua arena itu
berlangsung terus meskipun sifatnya sangat berbeda. Di satu lingkaran,
mereka bertempur dalam garis perang yang panjang. Benturan antara dua
kekuatan yang besar dalam gelar yang sempurna. Masing-masing dipimpin
oleh Senapati yang cukup tangguh dan beberapa senapati pengapit.
Sedangkan di arena kecil, tidak begitu
jauh dari garis perang itu, dua orang yang sudah menjelang hari-hari
tuanya, bertempur dengan serunya pula. Keduanya mampu bergerak melampaui
kecepatan gerak orang kebanyakan. Di antara bayangan yang berloncatan
mengeletarlah suara letupan-letupan cambuk Kiai Gringsing dan kilatan
cahaya keputih-putihan dari tongkat baja kuning Sumangkar. Sekali-sekali
cahaya kekuningan seleret-seleret menyambar seperti pijar bara api.
Kedua arena pertempuran yang berbeda
bentuk dan sifat itu semakin lama menjadi semakin seru. Dan matahari
pun semakin lama semakin menurun di sisi langit sebelah Barat.
Untara yang mempimpin seluruh kekuatan
Pajang dan Sangkal Putung melihat bahwa ia akan dapat mengatasi keadaan.
Karena itu, semakin besarlah usahanya untuk segera mengakhiri
peperangan sebelum korban menjadi semakin lama semakin banyak di kedua
belah pihak.
Dengan penuh tanggung jawab ia bertempur
melawan Macan Kepatihan sambil sekali-sekali mengawasi setiap sudut
pertempuran. Ketika ia yakin bahwa kedudukan sayap-sayapnya pun menjadi
bertambah baik, maka seperti angin taufan ia memperkuat
serangan-serangannya atas Macan Kepatihan.
Sekali-sekali Macan Kepatihan itu
menggeram dan menggertakkan giginya. Semakin lama disadarinya, bahwa
pasukannya menjadi semakin kalut. Satu-satu korban berjatuhan dan
sekali-kali ia mendengar pekik dan keluh kesah, bahkan sekali sebuah
jeritan melengking menyayat hatinya yang parah.
Widura pun melihat keadaan itu.
Kesempatan ini tidak boleh lampau. Ia tidak boleh menunggu anak-anak
muda Sangkal Putung yang dating kemudian menjadi kelelahan dan dengan
demikian kekuatan seluruh pasukannya menjadi surut kembali. Karena itu,
maka ia pun segera memperketat tekanan atas sayap lawan. Pedangnya yang
berat terayun-ayun seperti baling-baling. Lawannya, Alap-alap Jalatunda
yang bertempur bertiga melawannya dengan gigih. Tetapi Widura adalah
seorang Senapati yang berpengalaman menghadapi setiap keadaan medan,
sehingga dengan mudahnya ia berhasil mempersempit kesempatan lawannya.
Di sayap yang lain, Agung Sedayu gigih
melawan Sanakeling. Dalam pertempuran itu Sanakeling terpaksa mengakui,
anak yang masih sangat muda, adik Untara itu tidak dapat diabaikannya.
Bahkan beberapa kali ia mengalami kesulitan dengan unsur-unsur gerak
yang aneh dan hampir tak dapat dimengertinya. Untunglah bahwa Sanakeling
adalah prajurit sejak mudanya. Karena itu, maka dengan bekal kemampuan
dan pengalamannya ia masih tetap bertahan mengimbangi kecepatan bergerak
Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu benar-benar telah lupa akan
kewajibannya yang lain. Ia merasa bahwa ia berada dalam keadaan sendiri,
lepas dari kewajiban-kewajiban lainnya. Untunglah Hudaya masih tetap
berada di sampingnya meskipun kian lama ia menjadi semakin pucat dan
lemah. Darah masih saja mengalir dari lukanya meskipun tidak begitu
deras. Meskipun demikian ia tidak dapat meninggalkan arena, karena ia
pun menyadari sepenuhnya, bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda
yang mampu bertempur dengan baik, tetapi ia belum seorang Senapati yang
baik, yang melihat pertempuran dalam keseluruhan.
Demikian tegalan kering itu telah menjadi
kancah pertempuran yang dasyat.Tanah yang telah menjadi merah
berlumuran darah, menghamburkan debunya menjulang tinggi ke langit.
Matahari menjadi suram karenanya, sesuram wajah anak gadis yang
ditinggalkan kekasihnya ke medan pertempuran.
Kilatan cahaya yang terpantul di
ujung-ujung senjata masih gemerlapan. Panji-panji, rontek dan
umbul-umbul masih tegak di kedua pihak meskipun tidak lagi semegah
semula. Namun angin yang semakin kencang telah menyentuh-nyentuhnya dan
melambaikan daun-daun rontek dan umbul-umbul. Panji-panji yang megah
berkibaran seperti tangan yang menggelepar menyentak-nyentak,
seolah-olah tangan seorang senapati sedang memberi aba-aba.
Agak jauh dari mereka, Sumangkar masih
bertempur melawan Kiai Gringsing dengan gigihnya. Kedua orang tua yang
telah kenyang makan pahit manis perkelahian itu, bertempur dengan cara
mereka sendiri.
Tetapi bagaimanapun juga, mereka tidak
dapat melepaskan diri dari pengaruh peperangan yang berlangsung di
sebelah. Sorak-sorai yang gemuruh dan gerakan-gerakan surut dari salah
satu pihak dari antara mereka.
Sejenak kemudian, tiba-tiba Sumangkar
melontar mundur beberapa langkah sambil berdesis, “Tunggu Kiai. Aku
ingin melepaskan diri sebentar.”
Kiai Gringsing mendengar desis itu. Ia
adalah seorang yang dapat menghadapi lawan dengan hati lapang. Ia tidak
mau berbuat curang selagi lawan dalam keadaan yang tidak wajar, karena
itu demikian ia mendengar desis Sumangkar itu, ia pun segera
menghentikan serangannya. Dan bahkan terdengar ia bertanya, “Apa yang
mengganggumu Adi?”
Sumangkar tidak menjawab. Namun ia tahu
pasti bahwa Kiai Gringsing akan menghargai nilai-nilai kejantanannya,
sehingga ia tidak akan menyerangnya selagi ia tidak bersiaga.
Kini ia berdiri tegak bagaikan patung
batu. Nafasnya yang tersengal-sengal satu-satu, meluncur lewat
lubang-lubang hidungnya. Ia mengakui kini bahwa Kiai Gringsing adalah
seorang yang luar biasa. Seorang yang tidak kalah nilainya dari Ki
Tambak Wedi yang merasa dirinya tidak terlawan. Namun ternyata orang
yang tidak dikenal ini sama sekali tidak berada di bawah tingkat ilmu Ki
Tambak Wedi. Bahkan diam-diam ia mengakui, bahwa ia pasti tidak akan
dapat mengalahkannya.
Tetapi bukan itulah yang mendebarkan
jantungnya. Bahkan di luar sadarnya ia berkata, “Lihatlah Kiai, pasukan
Jipang terdorong jauh ke belakang.”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing singkat.
Namun dengan serta merta terloncatlah dari mulut Sumangkar yang gelisah, “Umbul-umbul itu kini sudah tidak tegak lagi.”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia
melihat apa yang dikatakan oleh Sumangkar. Pasukan Jipang terdorong
jauh. Namun tiba-tiba garis perang itu terhenti bergeser. Kiai Gringsing
dan Sumangkar melihat apa yang terjadi. Macan Kepatihan sedang berusaha
mempersempit gelarnya.
“Bukan main,” guman Kiai Gringsing.
Sumangkar berpaling, “Apa yang bukan main Kiai”
“Murid kakak seperguruanmu,” jawab Kiai Gringsing, “Ia berhasil menemukan cara untuk mengurangi tekanan lawannya.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tohpati telah berusaha memperpendek garis perangnya.
Dengan kekuatan yang lebih baik,
seorang-seorang, ia mengharap dapat mengurangi kekalahan-kekalahan yang
selama ini dideritanya. Macan Kepatihan mengharap, bahwa dalam keadaan
yang demikian, anak-anak muda Sangkal Putung tidak akan mendapat
kesempatan yang baik. Bahkan ketika pertempuran itu baru mulai, mereka
menjadi kebingungan untuk mengambil tempat.
Tetapi Widura di sayap kiri bukan orang
yang mudah dikelabuhi. Ketika ia melihat gelar lawannya menyempit,
segera ia menebarkan ujung sayapnya, mencoba melingkar dan mencapai
garis serangan dari belakang gelar lawannya. Tetapi Alap-alap Jalatunda
tidak membiarkannya, sehingga terpaksa ujung pasukannya pun menebar pula
mencegah pasukan Widura yang ingin memotong garis di belakang gelar.
Tohpati menggeram melihat cara Widura
melawan gelarnya. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya. Bahkan ia pun akan
mengambil sikap serupa seperti apa yang dilakukan oleh Alap-alap
Jalatunda apabila ia menghadapi keadaan yang serupa.
Tetapi Tohpati tidak juga dapat bertahan
lebih lama lagi. Ketika matahari menjadi semakin rendah, pasukannya
telah benar-benar terdesak jauh ke belakang. Ketengah-tengah padang
rumput yang terbentang di sisi hutan tempat persembunyian Macan
Kepatihan.
Sekali-sekali Macan Kepatihan masih
mencoba meneriakkan aba-aba. Namun gunanya hampir tidak ada sama sekali.
Pasukannya telah benar-benar menjadi payah dan kehilangan kesempatan.
Betapa Sanakeling mencoba menekan lawannya, namun Agung Sedayu mampu
mengimbanginya dengan baik. Bahkan sekali-sekali terdengar Sanakeling
mengumpat dengan kata-kata yang kotor.
Kini Macan Kepatihan sudah tidak dapat
berbuat lebih banyak lagi. Hatinya menyala seperti nyala matahari di
langit. Tetapi banyak hal yang telah mengganggunya selama ini. Ketika ia
berkesempatan menebarkan pandangan matanya sesaat kepada pasukannya
maka hatinya berdesir. Pasukannya benar-benar telah menjadi payah. Kalau
Untara berhasil memecah pasukannya itu segera sebelum gelap dan masih
jauh dari hutan itu maka pasukannya kali ini akan benar-benar hancur.
Kesempatan untuk mengundurkan diri dengan selamat, sangat kecil.
Pasukannya pasti akan diremuk lumatkan saat mereka mencoba mengundurkan
dirinya. Korban pasti akan bertimbun-timbun dan untuk seterusnya akan
sulit baginya untuk menyusun kekuatan kembali.
Karena itu, maka ia harus berjuang
sekuat-kuat tenaga untuk bertahan sampai matahari terbenam atau mundur
dalam gelar yang teratur sampai ke tepi hutan itu.
Tetapi Untara bukan tidak dapat menebak
maksud itu. Ia tahu benar bahwa Macan Kepatihan sedang berusaha mencari
kesempatan yang sebaik-baiknya untuk menyelamatkan pasukannya. Karena
itulah justru beberapa kali terdengar ia meneriakkan aba-aba, aba-aba
yang sebenarnya hanya merupakan cara-cara yang dapat mempengaruhi daya
dan gairah bagi prajurit-prajuritnya.
Sumangkar yang melihat peperangan itu
menjadi semakin tegang. Ia melihat umbul-umbul dan rontek, bahkan
panji-panji Jipang kadang-kadang telah tidak tegak lagi. Sekali-sekali
ia melihat umbul-umbul itu condong bahkan hampir roboh didorong oleh
geseran garis perang. Sekali-sekali ia melihat sebuah rontek dari antara
sekian banyak rontek, terseret jauh di belakang pasukan Jipang yang
sedang bertahan mati-matian. Bahkan semakin lama, Sumangkar tidak dapat
melihat umbul-umbul dan rontek, serta panji-panji Jipang masih berada di
tempat yang seharusnya bagi sebuah gelar Dirada Meta.
Sementara itu peperangan menjadi semakin
riuh. Hati Macan Kepatihan menjadi semakin cemas, matahari baginya
berjalan terlampau lambat. Bahkan seakan-akan telah berhenti di langit.
Sedang korban di pihaknya, satu-satu berjatuhan tak henti-hentinya. Di
sayap kirinya, Betapapun Sanakeling berusaha, namun Agung Sedayu mampu
mengimbanginya.
Kini yang ditempuh oleh Macan Kepatihan
adalah cara yang kedua. Perlahan-lahan pasukannya bergeser surut
terus-menerus. Mereka mencoba mendekati hutan yang sudah menjadi semakin
dekat. Pasukan itu harus mundur dalam gelar yang teratur apabila mereka
masih ingin sebagian besar dapat menyelamatkan diri. Meskipun dengan
demikian, korban akan tetap berjatuhan.
Tetapi Untara tidak dapat membiarkannya.
Segera ia memberi pertanda kepada beberapa orang penghubungnya. Dan
naiklah panji-panji pimpinan di belakangnya dengan gerak-gerak yang
khusus diulang-ulang. Gerak dari panji-panji itu adalah perintah, gelar
dari pasukan Pajang dan Sangkal Putung harus segera berubah. Gelar Sapit
Urang.
Tampaklah beberapa perubahan di dalam
gelar Pajang. Macan Kepatihan yang melihat perubahan itu, mencoba
mempergunakan kesempatan. Dengan kemarahan yang menyala-nyala ia
menyerang langsung ke induk pasukan berserta beberapa orang
pengiringnya. Namun induk pasukan itu telah siap menerimanya, sehingga
usahanya itu sama sekali tidak berarti.
Dengan kemarahan yang seakan-akan
meledakkan dadanya ia melihat Widura merubah sikap sayapnya menjadi
sebuah sapit raksasa, yang siap memotong usaha Dirada Meta itu
mengundurkan dirinya. Meskipun Agung Sedayu tidak cepat mengatur
sayapnya, namun Hudaya telah membantunya. Meskipun dalam saat perubahan
itu terjadi, sayap kanan terpaksa surut beberapa langkah. Sehingga gelar
Untara menjadi agak condong. Namun sesaat kemudian sapit kanan itu pun
segera dapat mengimbangi sapit yang lain, melingkar dalam usaha
pencegahan pasukan Jipang tenggelam ke dalam hutan.
Darah Macan Kepatihan seakan telah
mendidih melihat sikap gelar pasukan Untara. Terdengar ia menggeram
keras sekali. Tetapi ia tidak dapat hanya sekedar marah-marah saja. Ia
harus cepat mengambil tindakan untuk menyelamatkan orang-orangnja.
Macan Kepatihan sesaat menjadi bimbang.
Namun tiba-tiba melonjaklah di dalam benaknya, beberapa persoalan yang
beberapa saat yang lampau mempengaruhi perasaannya. Pertemuannya dengan
orang tua di pinggir sungai. Beberapa persoalan tentang orang-orangnya
sendiri, kejemuan, dan berpuluh-puluh macam persoalan lagi. Apakah ia
masih harus melihat pertentangan yang terjadi itu berkepanjangan tanpa
ujung dan pangkal? Apakah ia masih harus melihat bencana menimpa rakyat
Demak yang sedang dilanda oleh perpecahan yang semakin dahsyat?
Pembunuhan-pembunuhan liar, perampokan, pemerasan, perkosaan terhadap
peradaban.
Dan yang terakhir terngiang kembali adalah kata-katanya sendiri, “Kali ini adalah kali yang terakhir.”
Gigi Macan Kepatihan gemeretak. Tetapi ia
telah menemukan keputusan di dalam dirinya. Pertempuran ini harus
merupakan pertempuran yang terakhir bagi pasukannya. Kalau umbul-umbul,
rontek, dan panji-panji Jipang itu akan roboh di arena ini, biarlah
umbul-umbul, rontek, dan pandji-panji itu tidak akan bangkit kembali.
Yang tidak akan muncul lagi dalam percaturan sejarah kerajaan Demak.
Kalau pasukannya mau hancur, hancurlah sekarang. Persoalan akan segera
selesai. Kejemuan dan ketidak-pastian bagi sisa anak buahnya akan
hilang.
Tatapi apakah ia harus mengorbankan
orang-orangnya? Orang-orang yang di antaranya sama sekali tidak ikut
bertanggung jawab atas pertentangan antara Jipang dan Pajang?
Orang-orang yang hanya terseret oleh arus permusuhan tanpa tahu
sebab-sebabnya? Bahkan orang-orang yang sama sekali tidak mengenal
siapakah Arya Penangsang, dan siapakah Adipati Adiwijaya yang juga
bernama Jaka Tingkir di masa kecilnya?
Semua itu bergolak di dalam kepala
Tohpati justru pada saat-saat yang sangat berbahaya. Pada saat-saat
sapit-sapit raksasa dari gelar Supit Urang itu bergerak melingkar untuk
mencoba mengurungnya dalam lingkaran maut.
Dalam keadaan yang cukup baik, Macan
Kepatihan dapat segera merubah gelarnya dalam bentuk yang lain, yang
sanggup menghadapi lawan dari setiap arah, dan sanggup mematahkan
kepungan di setiap sisi. Gelar Cakra Byuha. Gelar sebuah lingkaran
bergerigi. Namun dalam keadaan yang telah payah benar itu, Macan
Kepatihan tidak melihat manfaatnya. Bahaya setiap usaha merubah gelar
akan memberi peluang bagi lawannya di saat-saat perubahan itu terjadi.
Tetapi Macan Kepatihan, seorang Senopati Jipang yang terpercaya itu pun
tidak akan dapat mengorbankan orang-orangnya.
Sumangkar melihat pertempuran itu dengan
dada yang berdebar-debar. Setiap kali ia melihat sebuah umbul-umbul
roboh, setiap kali terasa segores luka membekas di dalam hatinya.
Ialah yang pernah menyelamatkan
umbul-umbul, rontek dan panji-panji Jipang dari kepatihan ketika Jipang
dipukul hancur oleh pasukan Pajang dibawah pimpinan Ki Gade Pemanahan.
Kini ia menyaksikan satu demi satu umbul-umbul, rontek dan panji-panji
itu roboh. Karena itulah maka jantungnya serasa dibelah dengan sembilu.
Namun ia kini tidak dapat menghindari kenyataan. Di sampingnya berdiri
seorang yang tidak dikenal sebelumnya, namun orang itu pasti akan dapat
mencegahnya, apa saja yang akan dilakukan.
Ketika sekali lagi ia melibat sebuah
umbul-umbul roboh maka tanpa sesadarnya ia berdesis, “Harapan itu kini
telah tenggelam sama sekali seperti tenggelamnya umbul-umbul dan rontek
itu di dalam arus peperangan.”
Kiai Gringsing yang mendengar desis itu
maju selangkah. Kesan permusuhan pada wajah kedua orang itu kini sama
sekali tidak berbekas. Bahkan dengan nada yang serupa Kiai Gringsing
berkata, “Ya. Pasukan Jipang itu tidak akan dapat ditolong lagi.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Angger Macan Kepatihan kali ini mengambil tindakan yang
akibatnya dapat berbahaya sekali, seperti apa yang ternyata sedang
terjadi kini.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing.
Sesaat keduanya terdiam. Namun
wajah-wajah mereka kini menjadi tegang. Mereka sedang menyaksikan
saat-aat terakhir dari peperangan itu. Sumangkar hatinya dicengkam oleh
kecemasan, kepedihan dan kepahitan yang tiada taranya. Sedang Kiai
Gringsing sedang mencemaskan sikap para prajurit Padjang. Apakah mereka
cukup berjiwa besar menghadapi kehancuran lawannya? Apakah mereka tidak
akan kehilangan diri mereka sebagai manusia yang mengagungkan
kemanusiaan sebagai ungkapan bakti mereka kepada Sumber Hidup mereka ?
Sebenarnyalah saat itu Macan Kepatihan
telah melakukan tindakan terakhir untuk menyelamatkan orang-orangnya.
Dengan lantang ia berteriak, memerintahkan segenap pasukannya menarik
diri ke dalam hutan yang sudah tidak terlampau jauh. Mereka diberi
kesempatan selagi sapit raksasa lawan itu belum selesai dalam usaha
mereka mengepung pasukan yang sedang payah.
Sanakeling menggeram melihat isyarat itu.
Tetapi ia tidak mampu berbuat apa pun juga. Ia pun harus meyakini,
bahwa kali ini mereka tidak akan berhasil mengalahkan laskar Sangkal
Putung yang bertempur bersama-sama dengan para prajurit Pajang. Karena
itu maka perlahan-lahan ia membuat gerakan-gerakan untuk mempersiapkan
pengunduran pasukannya dengan hati-hati dan penuh bahaya. Sebab apabila
gerakan mundur ini gagal pula, maka akan tumpaslah segenap anak buahnya.
Tetapi Sanakeling itu terkejut ketika ia
melihat Tohpati dengan tongkat baja putihnya ia mengamuk sejadi-jadinya.
Seperti orang yang kehilangan kesadaran, Macan Kepatihan bertempur
dengan gigihnya. Bahkan ia sama sekali tidak berkisar dari tempatnya
meskipun laskarnya telah surut beberapa langkah.
“Raden Tohpati,” teriak Sanakeling yang mencemaskan.
“Cepat mundur!” teriak Tohpati tidak kalah kerasnya.

“Cepat!” teriak Macan Kepatihan itu kemudian. “Kalau kau terlambat, maka kaulah yang akan aku penggal lehermu.”
Sanakeling menggigit bibirnya. Kedua
senjatanya masih bergerak dengan cepatnya, melindungi dirinya.
Berkali-kali ia meloncat menyelamatkan diri dari terkaman Agung Sedayu
yang menjadi semakin garang, sehingga sekali-sekali Sanakeling mengeluh
di dalam hati, “Gila adik Untara ini.”
Namun perintah Macan Kepatihan yang
terakhir benar-benar mengejutkannya. Bahkan Untara pun terkejut pula
mendengar perintah Macan Kepatihan yang keras bagi anak buahnya.
Tetapi Sanakeling tidak berani melawan
perintah itu. Perlahan-lahan ia menarik dirinya di antara pasukannya
mengundurkan diri ke tepi padang yang berbatasan dengan hutan.
“Licik,” geram Untara. Namun ia tidak
yakin akan perkataannya sendiri. Apa yang dilakukan oleh Macan Kepatihan
adalah suatu sikap wajar yang mencerminkan kematangannya dalam olah
peperangan. Apabila terasa bahwa pasukannya tidak mungkin bertahan lebih
lama lagi, maka pasti dicari jalan untuk menyelamatkan diri.
Untara segera mengetahui apa yang sedang
dilakukan oleh Macan Kepatihan itu. Karena itu maka segera jatuhlah
printahnya, untuk memecah pasukan lawan sebelum berhasil menyembunyikan
diri di balik pepohonan dan lenyap ke dalam hutan.
Pasukan Pajang pun serentak mendesak
maju. Mereka mencoba untuk mengurungkan usaha Macan Kepatihan dengan
menggagalkan gerak mundur yang teratur itu.
Betapa beratnya usaha yang dilakukan oleh
Macan Kepatihan dan senapati-senapati bawahannya. Tekanan prajurit
Pajang semakin terasa menekan hampir tak tertahankan. Hanya kesadaran
mereka, bahwa apabila gelar mereka terpecah sebelum mereka mencapai
hutan, berarti kehancuran mutlak, itulah yang masih tetap mengikat
mereka dalam satu kesatuan.
Macan Kepatihan melihat, tekanan yang
semakin lama semakin menjadi pepat. Itulah sebabnya, maka tiba-tiba ia
melontar jauh ke samping dan segera melepaskan Untara dari lingkaran
perkelahian. Dengan garangnya ia berloncatan melindungi pasukannya yang
masih mencoba mencapai jarak yang semakin dekat.
“Gila,” geram Untara. Dengan satu ayunan
tongkat, ia melihat dua prajuritnya jatuh terkapar di tanah. Karena itu
alangkah marahnya Senapati Pajang itu, dengan serta merta ia meloncat
mengejar Macan Kepatihan. Tetapi Macan Kepatihan selalu berusaha
menjauhinya. Di antara prajurit Pajang ia berloncatan sambil memutar
senjatanya untuk menahan arus pasukan Pajang yang menjadi semakin deras.
Setiap kali ia meluncur seperti tatit mencari tempat baru untuk melepaskan kemarahannya dan menahan arus lawan.
Sekali lagi Untara menggeram. Dengan
marahnya ia mendesak terus mengejar Macan Kepatihan. Namun Macan
Kepatihan selalu berloncatan kian kemari.
Sanakeling yang melihat Macan Kepatihan
segera menyadari, bahwa Macan Kepatihan dengan caranya berusaha mencoba
menghambat gerak maju pasukan Pajang. Perkelahian di dalam lingkungan
prajurit-prajurit Pajang melawan Tohpati yang berkeliaran itu
berpengaruh juga atas gerak maju pasukan Pajang. Sebab mereka selalu
saja memperhatikan, jangan-jangan tongkat Tohpati itu tiba-tiba hinggap
di punggung mereka, atau kepala mereka terpecahkan oleh tongkat baja
putih yang mengerikan itu.
Tetapi Sanakeling tidak dapat berbuat
lain daripada membawa pasukannya mengundurkan diri. Meskipun demikian,
ia melihat beberapa orang yang terlalu setia kepada Macan Kepatihan,
membatalkan niatnya untuk beringsut mundur. Bahkan seperti Macan
Kapatihan mereka menceburkan diri mereka ke tengah-tengah pasukan lawan,
seperti serangga yang menyeburkan diri mereka ke dalam api. Namun usaha
Macan Kepatihan dan beberapa orang yang setia kepadanya itu berguna
pula. Meskipun satu demi satu orang-orang itu tergilas oleh arus
kemarahan para prajurit Pajang dan Sangkal Putung, namun gerak itu
mendapat kesempatan lebih banyak dari semula.
Widura pun kemudian melihat cara yang
ditempuh oleh Macan Kepatihan itu. Karena itu, maka segera ia harus ikut
serta mengatasinya. Maka dihentikannya usahanya untuk mengejar
Alap-alap Jalatunda. Usaha itu diserahkannya kepada anak buahnya.
Bagaimanapun juga, Alap-alap Jalatunda sedang berusaha seperti
Sanakeling membawa orang-orangnya bergeser mundur, sehingga Alap-alap
itu hampir-hampir sama sekali tidak berbahaya.
Dengan tangkasnya Widura pun mencoba
menyusup di antara prajurit Pajang sendiri. Ia melihat Macan Kepatihan
semakin lama semakin dekat ke sayapnya, sebab Untara selalu berusaha
mengejarnya. Dengan penuh tanggung jawab, tiba-tiba Widura, berhasil
berdiri berhadapan dengan Senapati Jipang itu.
“Setan tua,” teriak Tohpati, “kau mencoba mengganggu aku, Paman Widura?, “
Widura tidak menjawab, tetapi pedangnya
terjulur lurus ke arah dada Macan Kepatihan. Namun Macan Kepatihan itu
dengan garangnya menggeram dan menghindar, melepaskan diri dari tusukan
pedang itu, sekaligus dengan melontarkan serangan balasan. Tongkatnya
terayun dengan derasnya ke arah pelipis Widura. Namun Widura pun segera
berhasil menghindarkan dirinya. Cepat ia beringsut ke samping dan
meloncat kembali dalam satu putaran menyambar lambung lawannya. Tetapi
Tohpati tiba-tiba meloncat jauh-jauh dan sesaat kemudian ia telah
tenggelam dalam hiruk pikuk pasukan Pajang. Sekali-sekali tampak
tongkatnya terayun-ayun, dan bertebarlah para prajurit Pajang menjauhkan
diri dari padanya. Widura melihat peristiwa itu dengan darah yang
mendidih. Ketika ia meloncat maju, dilihatnya Untara pun telah sampai
pula di samping Macan Kepatihan itu.
Dada Macan Kepatihan berdesir ketika ia
melihat dua orang Senapati Pajang itu bersama-sama datang kepadanya.
Sesaat ia diam mematung sambil berpikir. Namun tiba-tiba ia meloncat
dengan cepatnya menyusup masuk ke dalam lingkungan prajurit-prajurit
Pajang sambil mengayunkan tongkat kian kemari. Dengan loncatan-loncatan
yang panjang ia berusaha meninggalkan Widura dan Untara. Namun sama
sekali tak dikehendakinya untuk ikut serta mundur bersama-sama dengan
pasukannya. Sebab dengan demikian, apabila ia ikut serta menarik diri,
pasukan Pajang akan mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk memecah
pasukannya yang telah menjadi semakin parah. Widura dan Untara, ketika
melihat Tohpati mencoba menghilang di antara pasukannya, segera
mengejarnya. Tetapi Untara dan Widura tidak dapat berbuat seperti
Tohpati. Melanggar siapa saja yang berada di hadapannya. Menerjang dan
bahkan menginjak tubuh yang terdorong jatuh. Untara dan Widura harus
mencari jalan di antara mereka. Kadang-kadang menunggu seseorang
menyibak, dan kadang-kadang harus mendorong seseorang ke samping, tetapi
tidak sekasar Tohpati. Untara dan Widura tidak dapat mencari jalan
dengan memutar pedangnya di antara laskarnya sendiri. Dan laskarnya pun
tidak akan berdesak-desakan menyisih seperti apabila mereka melihat
Tohpati dengan beberapa orang yang paling setia kepadanya lewat di
antara mereka. Meskipun para prajurit Pajang bukanlah prajurit-prajurit
pengecut, namun mereka pasti masih harus mempunyai berbagai pertimbangan
untuk langsung berhadapan dengan Macan Kepatihan beserta tongkat baja
putihnya.
Karena itulah, maka Untara dan Widura
tidak dapat cepat menyusul Tohpati. Meskipun demikian Tohpati itu tidak
terlepas dari pengamatan mereka. Kemana Tohpati itu pergi, maka Untara
dan Widura selalu berada di belakangnya. Dengan demikian Tohpati pun
tidak mempunyai keleluasaan untuk bertempur di satu titik. Setiap kali
ia harus melontar pergi meninggalkan seorang atau dua orang korban luka,
atau bahkan ada pula yang tak mampu bertahan karena hantaman tongkat
baja putih itu.
Tetapi para prajurit Pajang bukannya
dengan sukarela menyerahkan diri mereka. Dengan gigih mereka memberikan
perlawanan apabila mereka sudah tidak mungkin lagi untuk menghindar.
Dengan demikian, maka setiap kali mereka melihat seseorang di antara
mereka jatuh di tanah, apakah ia terluka apakah ia gugur dalam
peperangan itu, namun setiap kali pula ujung-ujung pedang tergores pada
tubuh Senapati Jipang yang perkasa itu. Dengan demikian, maka baju dan
bahkan segenap pakaian Tohpati itu telah dibasahi bukan saja oleh
keringat yang mengalir semakin deras, namun percikan-percikan darah
telah menodainya di sana-sini. Goresan-goresan yang bahkan ada yang
cukup dalam dan panjang telah membekas di tubuh itu, seperti
guratan-guratan pada tubuh seekor harimau dalam rampogan di alun-alun.
Seekor macan jantan yang garang, yang dilepaskan di alun-alun di antara
prajurit bertombak dalam hari-hari besar yang khusus.
Demikian itulah keadaan Macan Kepatihan yang tidak kalah garangnya dengan harimau jantan yang Betapapun besarnya.
Di sayap kanan, Agung Sedayu yang mencoba
memberikan tekanan yang semakin berat kepada Sanakeling selalu berusaha
untuk tidak memberi kesempatan kepada senapati Jipang itu mengatur anak
buahnya menarik diri dari peperangan. Apalagi dibantu oleh Hudaya yang
lebih cakap daripadanya mengatur pasukannya. Namun ternyata Sanakeling
masih mampu juga, perlahan-lahan menarik seluruh pasukannya dengan
teratur, meskipun beberapa kali mereka mengalami kesulitan. Satu-satu
anak buahnya berjatuhan. Namun baginya tidak ada cara lain yang lebih
baik. Cara itu adalah cara yang paling sedikit menyerahkan korban-korban
di antara anak buahnya.
Agung Sedayu yang sedang dengan gigih
bertempur melawan Sanakeling yang bertempur dengan olah-playu di dalam
suasana yang paling mungkin dilakukan itu, tiba-tiba terkejut, ketika
terjadi hiruk pikuk di belakangnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya
kilatan-kilatan tongkat baja putih di antara ujung senjata anak buahnya.
Dalam cahaja matahari yang semakin rendah tongkat itu memantulkan
sinarnya yang sudah menjadi kemerah-merahan.
Dada Agung sedayu berdesir. Ketika sekali
lagi Sanakeling menarik diri jauh-jauh dari padanya, ia tidak
mengejarnya. Bahkan kemudian ia terpaksa memperhatikan apakah yang
terjadi dalam hiruk-pikuk itu.
Agung Sedayu melihat beberapa orang
terpaksa menyibak. Hudaya yang terluka itu pun terpaksa menjauh dari
ayunan tongkat baja putih itu. Ia sama sekali tidak sekedar
menyelamatkan nyawanya, tetapi dengan penuh kesadaran dan perhitungan,
beberapa orang telah berusaha secara bersama-sama mengepung Macan
Kepatihan yang sedang mengamuk.
“Hem,” desis Agung Sedayu. “Macan yang garang itu sampai di sayap ini pula.”
Sekali ia berpaling kepada Sanakeling.
Betapa ia mengumpat di dalam hatinya. Sanakeling telah menjadi semakin
jauh. Tanpa Agung Sedayu usahanya menjadi bertambah lancar.
Berangsur-angsur ia membawa anak buahnya semakin jauh mendekati hutan
yang berada tidak jauh lagi dari mereka.
Tetapi Agung sedayu tidak dapat
membiarkan Macan Kepatihan merusak orang-orangnya di belakang garis
peperangan. Karena itu, dengan serta merta ia meloncat surut dan
langsung masuk ke dalam lingkaran pertempuran itu.
Macan Kepatihan melihat Senapati di sayap
kanan itu. Dengan serta merta ia menyerangnya. Namun Agung sedayu
berhasil menghindarinya. Bahkan dengan kelincahannya ia segera
menyerangnya kembali.
Macan Kepatihan heran melihat kelincahan
lawannya. Anak yang masih sangat muda ini. Tetapi hatinya yang telah
menjadi semakin gelap telah mendorongnya untuk bertempur semakin garang.
Dalam pada itu, Untara dan Widura pun
telah menjadi semakin dekat dengan lingkaran pertempuran antara Agung
sedayu dan Macan Kepatihan yang lukanya telah menjadi arang kranjang.
Ketika mereka melihat, bahwa Agung Sedayu
telah terlihat dalam pertempuran melawan Tohpati yang mengamuk itu,
maka keduanya tertegun. Sesaat mereka berdua melihat, betapa Agung
Sedayu mampu melawan Macan yang garang itu. Mereka melihat bahwa
kelincahan dan ketangkasan anak muda itu benar-benar membanggakan. Namun
dalam siasat dan tangguh, ternyata bahwa pengalaman Macan Kepatihan
berlipat-lipat berada di atas Agung Sedayu.
Untara dan Widura tidak terlalu lama
membiarkan Agung Sedayu bertempur sendiri melawan Tohpati, Mereka
menyadari bahwa setiap gerak Macan Kepatihan mempunyai kemungkinan yang
membahayakan jiwa Agung sedayu. Karena itu maka segera mereka berdua
berloncatan maju.
Demikian Tohpati melihat Untara dan
Widura, maka segera ia melepaskan lawannya yang masih muda itu. Dengan
cepatnya ia mencoba menyusup kembali ke tengah-tengah lawan. Ketika
sebuah goresan yanq panjang menyilang di lambungnia. Macan Kepatihan
sama sekali tidak menghiraukannya. Ternyata pedang Agung Sedayu masih
sempat menyentuhnya, pada saat Tohpati berusaha menghindari Untara dan
Widura. dan menambah segores lagi luka pada tubuh Senapati Jipang yang
perkasa itu. Darah yang merah segera mengalir dari luka itu seperti
darah yang mengalir dari luka-luka yang lain. Namun luka ini agaknya
lebih dalam dari luka-luka yang telah lebih dahulu menghiasi tubuh
Tohpati.
Untara dan Widura melihat usaha
menghindar itu. cepat mereka berusaha memotong arah. Tetapi mereka
terkejut, ketika mereka tiba, sebuah pedang yang besar, dengan derasnya
menyambar tubuh Macan Kepatihan itu.
Macan Kepatihan pun terkejut. Tak ada
waktu baginya untuk menghindar. Karena itu, maka segera dilawannya
pedang itu dengan tongkatnya.
Terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Seolah-olah bunga api memercik ke udara dari titik benturan itu.
Pedang yang berat itu terpantul. Terasa
tangan yang menggerakkannya bergetar. Seakan-akan perasaan pedih
menjalar dari tajam pedangnya menyengat tangannya. Tetapi pedang itu
tidak terlepas dari tangan seperti beberapa saat yang lampau. Pedang itu
masih tetap dalam genggaman dan bahkan sesaat kemudian pedang itu telah
terayun-ayun kembali.
Sekali lagi Tohpati terkejut. Setelah ia
meninggalkan Agung sedayu ditemuinya pula seorang anak muda yang
mengherankan baginya. Seorang anak muda yang memiliki kekuatan raksasa.
Ternyata dalam benturan itu tangan Tohpati pun bergetar meskipun
tongkatnya tidak terpantul seperti pedang yang menghantamnya. Anak muda
itu adalah seorang anak muda yang gemuk bulat. Ketika Tohpati menatap
wajah anak muda itu, tampaklah sekilas wajah itu menyeringai menahan
pedih, namun sesaat kemudiam wajah itu telah tersenyum.
“He kelinci bulat,” teriak Tohpati, “kau ingin membunuh dirimu?”
Sambil tersenyum anak muda itu, yang
tidak lain adalah Swandaru Geni menjawab, “Jumlah lukamu seperti bintang
yang melekat di langit. Tanpa dapat dihitung lagi. Apakah kau masih
akan bertempur terus.”
Macan Kepatihan tidak menjawab.
Tongkatnya dengan kerasnya terayun ke kepala Swandaru. Swandaru yang
telah dapat mengukur kekuatan Macan Kepatihan segera menghindar. Ia
tidak berani melawan pukulan tongkat itu dengan pedangnya. Demikian
tongkat itu meluncur beberapa jari saja dari kepalanya, pedangnya segera
terjulur lurus-lurus ke lambung lawannya. Tohpati yang tidak dapat
mengenai lawannya melihat pedang itu cepat ia meloncat surut. Namun
kembali ia terkejut, Agung Sedayu telah berada di sampingnya sambil
menggerakkan pedangnya pula.
Cepat Macan Kepatihan melontarkan diri
jauh-jauh. Ia berusaha menghindari setiap senapati Pajang. la hanya
ingin menahan arus desakan pasukan lawannya atas pasukannya yang sedang
mundur. Namun tak teraba apa yang tersembunji di dalam hatinya.
Berkali-kali terngiang di dalam dadanya, “Serangan ini akan merupakan
serangan terakhir bagiku.”
Tohpati itu pun kemudian mengayun-ayun
tongkatnya sambil berloncatan di antara para prajurit Pajang. Kekacauan
yang ditimbulkannya memang berpengaruh atas tekanan-tekanan pasukan
Pajang. Sekali-sekali mereka terganggu pula karena hiruk pikuk yang
ditimbulkan oleh amuk Tohpati.
Sanakeling yang melihat betapa
senapatinya telah terluka arang kranjang menjadi berdebar-debar.
Betapapun juga, terasa luka itu seperti luka pada tubuhnya sendiri.
Karena itu, maka ia berteriak, “Raden, mundurlah. Kami akan melindungi.”
“Gila kau Sanakeling,” teriak Tohpati
yang bertempur tidak demikian jauh dari Sanakeling yang sedang
menyelamatkan anak buahnya. “Kalau kau gagal, kepalamu menjadi taruhan.
Bukan kau yang melindungi kalian. Selamatkan orang-orangmu. Jangan keras
kepala.”
Sanakeling tidak menjawab. Tetapi ia
berdesah hati. Apalagi ketika dilihatnya Macan Kepatihan kemudian
menjadi semakin lemah. Meskipun demikian, tandangnya justru menjadi
semakin garang.
Laskar Jipang itu semakin lama menjadi
semakin dekat dengan batas hutan. Di sana-sini telah bertebaran
gerumbul-gerumbul liar. Ternyata keadaan medan telah memberikan sedikit
perlindungan kepada sisa pasukan Jipang itu. Sesaat lagi mereka telah
sampai ke batas hutan, dan sesaat lagi matahari pun akan tenggelam di
bawah cakrawala. Tetapi waktu yang sesaat itu adalah waktu yang
menentukan bagi Macan Kepatihan sendiri yang mati-matian mencoba
melindungi anak buahnya sejauh-jauh yang dapat dilakukan.
Setiap kali goresan-goresan ditubuhnya
itu bertambah-tambah juga. Setiap kali ia menghindari seorang Senapati
Pajang, maka setiap kali ditemuinya Senapati yang lain, seakan-akan
segenap jalan telah tertutup rapat baginya.
Untara, Widura, Agung Sedayu dan anak
yang gemuk bulat itu. Anak yang mewakili anak-anak muda Sangkal Putung.
Tidak seperti dalam pertempuran yang terdahulu, maka kini Swandaru telah
memiliki bekal dari gurunya, Kiai Gringsing meskipun belum setinggi
Agung Sedayu.
Macan Kepatihan melihat bahwa
kemungkinannya untuk menghindar telah tertutup rapat-rapat. Tetapi ia
melihat juga, bahwa pasukannya telah hampir mencapai ujung hutan dan
bahkan ia melihat juga bahwa warna merah di langit sudah menjadi semakin
suram.
Setiap pemimpin kelompok prajurit Pajang
telah berusaha untuk memperlambat gerakan mundur pasukan Jipang. Tetapi
setiap kali usaha mereka terganggu oleh hiruk pikuk yang ditimbulkan
oleh Tohpati dan beberapa orang yang terlalu setia kepadanya. Meskipun
satu demi satu orang-orang itu terpaksa menjadi korban. Namun beberapa
langkah lagi, pertempuran itu telah sampai di batas hutan. Batas yang
menentukan, bahwa pasukan Jipang telah berhasil dalam gerakan
menghindarkan diri dari kehancuran mutlak meskipun untuk tujuan itu,
korban harus berjatuhan.
Dalam pada itu Macan Kepatihan masih juga
berjuang sekuat-kuat tenaganya. Dalam hiruk-pikuk yang semakin riuh,
dalam ketegangan yang semakin memuncak sejalan dengan jarak hutan yang
semakin pendek dan matahari yang semakin rendah, betapa Macan Kepatihan
harus berjuang melawan prajurit-prajurit Pajang yang berkerumun di
sekitarnya seperti semut mengerumuni gula. Namun sekali-kali lingkaran
prajurit Pajang itu menebar apabila tongkat Tohpati terayun berputaran.
Tetapi Widura, Untara, Agung Sedayu dan Swandaru tidak turut berpencaran
mundur. Mereka siap menunggu setiap kemungkinan dengan pedang di tangan
mereka. Setiap kali Macan Kepatihan meloncat ke salah seorang dari
mereka, maka pedang di dalam genggaman menyambutnya dengan penuh gairah.
Dan setiap kali pula tubuh Tohpati menjadi bertambah rapat dihiasi
dengan luka-luka yang mengalirkan darahnya yang merah. Seakan-akan warna
merah bara yang menyala.
Tetapi tubuh Tohpati itu adalah tubuh
yang terdiri dari kulit daging dan tulang. Betapa besar tekad yang
menyala di dalam dadanya, namun kekuatan tubuhnya ternyata sangat
terbatas sebagai tubuh manusia biasa. Sehingga semakin lama, Macan yang
garang itu pun menjadi semakin lemah, meskipun tekadnya sama sekali
tidak surut.
Sumangkar menyaksikan semuanya itu dari
jarak yang semakin dekat. Sumangkar sendiri kini berdiri di batas hutan,
di atas sebongkah batu padas. Sekali-sekali wajahnya menjadi tegang,
dan sekali-sekali ia memalingkan wajahnya. Meskipun warna-warna senja
telah menjadi suram, namun Sumangkar yang tua itu masih dapat
menyaksikan betapa Macan Kepatihan mengamuk seperti harimau lapar.
Tetapi di sekitarnya berdiri senapati-senapati Pajang, Untara, Widura,
Agung Sedayu dan Swandaru. Meskipun keempat orang itu ternyata telah
dikekang oleh kejantanan mereka sehingga mereka tidak bertempur
berpasangan bersama-sama. Dan bahkan seakan-akan mereka menunggu dengan
tekunnya, siapakah di antara mereka yang dipilih oleh Macan Kepatihan
itu melawannya. Namun Tohpati tidak segera berbuat demikian. Ia masih
saja berusaha untuk melepaskan dirinya dan berjuang di antara
hiruk-pikuk pasukan-pasukan Pajang, meskipun ternyata usahanya sia-sia.
Tetapi tiba-tiba gerak Tohpati itu
terhenti. Ditegakkannya lehernya tinggi-tinggi. Ia masih melihat pasukan
yang bertempur itu susut seperti air yang tergenang dan tiba-tiba
mendapatkan saluran untuk mengalir. Bahkan seolah-olah seluruh pasukan
yang bertempur itu terhisap masuk ke dalam hutan. Hati Tohpati itu
berdesir. Tiba-tiba terdengar ia berteriak, “Hei, apakah kalian
berhasil?”
Tak ada jawaban. Tetapi dengan demikian
Tohpati itu yakin bahwa pasukannya telah berhasil menyelamatkan diri ke
dalam hutan itu. Apalagi matahari telah sedemikian rendahnya sehingga di
dalam hutan itu pasti sudah menjadi semakin gelap.
Terdengarlah kemudian suara tertawa
Tohpati itu meledak. Berkepanjangan seperti gelombang laut menempa
pantai, beruntun bergulung-gulung berkepanjangan. Di antara derai
tertawanya terdengar kata-katanya, “Bagus. Bagus. Kalian telah
berhasil.”
Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru
melihat pula pasukan Jipang yang berhasil melepaskan diri itu.
Terdengar gigi mereka gemeretak. Hampir-hampir mereka berloncatan
mengejar pasukan yang berlari itu. Tetapi kesadaran mereka, bahwa hal
itu tidak akan berarti sama sekali, telah mencegah mereka. Dan bahkan
kemudian mereka menyadari, bahwa di antara mereka masih berdiri senapati
Jipang yang terpercaya, Macan Kepatihan.
Keempat senapati Pajang itu berdiri
mematung. Ujung-ujung pedang mereka lurus-lurus terarah kepada Macan
Kepatihan yang masih saja tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan sama
sekali tidak dilihatnya keempat Senapati yang berdiri mengitarinya.
Untara. Widura, Agung Sedayu dan Swandaru itu pun belum juga
mengganggunya. Dibiarkannya Macan Kepatihan itu tertawa sepuas-puasnya.
Baru ketika suara tertawa itu mereda, mereka berempat seperti berjanji
maju beberapa langkah mendekati.
Tohpati itu pun kemudian tersadar bahwa
ia masih berada dalam kepungan. Apalagi terasa olehnya bahwa darahnya
telah terlampau banyak mengalir. Namun ia adalah seorang Senapati.
Karena itu dengan lantang ia berkata, “Ayo, inilah Macan Kepatihan.
Majulah bersama-sama hai orang-orang Pajang.”
Untara mengerutkan alisnya. Ketika ia
memandangi keadaan di sekelilingnya, dilihatnya beberapa orang prajurit
masih berdiri mengerumuninya, selain mereka yang berusaha mengejar
prajurit Jipang ke dalam hutan, yang pasti tidak akan banyak hasilnya.
Tetapi dalam keadaan yang demikian, terasa seakan-akan ia tidak sedang
berada dalam peperangan yang masing-masing telah memasang gelar yang
sempurna. Kini, ia merasa seakan-akan ia berhadapan seorang dengan
seorang. Untara dan Macan Kepatihan. Karena itu, maka Untara itu pun
melangkah maju sambil berkata, “Kakang Tohpati. Kalau Kakang bertempur
seorang diri, maka salah seorang dari kami pun akan melayani seorang
diri pula.”
Tohpati mengerutkan keningnya. Kemudian
terdengar ia menggeram. Namun di dalam hatinya terbersitlah perasaan
hormatnya kepada senapati muda ini. Dalam peperangan sebenarnya Untara
dapat menempuh jalan lain untuk membunuhnya. Ia dapat memerintahkan
setiap orang dan senapati bawahannya untuk membunuhnya beramai-ramai.
Tetapi Untara tidak berbuat demikian. la masih menghargai nilai-nilai
keperwiraan orang-seorang, sehingga betapa berat akibatnya, ia
menyediakan djri untuk melakukan perang tanding.
Macan Kepatihan itu tidak segera
menjawab. Perlahan-lahan ia memandang seorang demi seorang. Untara,
Widura, Agung Sedayu dan Swandaru. Ketika mata Tohpati hinggap pada anak
muda yang bertubuh bulat itu hati Untara menjadi berdebar-debar.
Barulah disadari kesalahannya. Ia tidak dengan tegas menawarkan dirinya
sendiri untuk menghadapi Tohpati, tetapi ia memberi kesempatan kepada
Macan Kepatihan untuk memilih lawan. Apabila kemudian Macan Kepatihan
itu memilih Swandaru atau Agung Sedayu sekalipun maka keadaan anak-anak
muda itu pasti akan sangat mengkhawatirkan. Meskipun Tohpati sudah
bermandikan darah karena luka-luka pada seluruh tubuhnya, namun
tandangnya masih saja segarang Macan Kepatihan pada saat ia terjun di
dalam arena peperangan itu.
Tetapi agaknya Swandaru sama sekali tidak
menginsyafi bahaya itu. Ketika Tohpati memandangnya dengan tajamnya,
anak muda itu tersenyum. Senyum yang hampir-hampir tak pernah hilang
dari bibirnya. la kini sama sekali tidak takut menghadapi harimau yang
garang itu. Bahkan ia ingin tahu, mencoba, sampai di mana kemampuannya
setelah ia berguru kepada Kyai Gringsing.
Tetapi Tohpati bukan seorang yang licik.
Ia tidak dapat merendahkan harga dirinya, sebagaimana Untara telah
bersikap jantan pula kepadanya. Ia tahu benar, bahwa yang paling lemah
dari mereka berempat adalah anak yang gemuk bulat itu. Tetapi dengan
lantang ia menjawab, “Baik Adi Untara. Kalau kau menawarkan lawan,
baiklah aku memilih. Orang yang aku pilih adalah Adi sendiri. Untara,
senapati Pajang yang mendapat kepercayaan untuk menyelesaikan sisa-sisa
pasukan Jipang di Lereng Gunung Merapi.”
Hati Untara berdesir mendengar jawaban
itu. Sebagaimana Tohpati merasa hormat akan keputusannya untuk melakukan
perang tanding, maka Untara pun menganggukkan kepalanya sebagai
ungkapan perasaan hormatnya. “Terima kasih,” sambutnya. “Aku telah
bersedia.”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Selangkah ia maju menghadap kepada Untara. Sementara Untara maju pula,
mendekatinya. Dalam pada itu Untara masih sempat berbisik kepada Widura,
“Paman, tariklah seluruh pasukan. Sangat berbahaya untuk
bekejar-kejaran di dalam hutan yang kurang kita kenal.”
Widura mengangguk. Tetapi ia tidak mau
meninggalkan perang tanding itu. Karena itu, diperintahkannya seorang
penghubung untuk memukul tanda, dan memerintahkannya supaya Hudaya
menghimpun kembali segenap pasukan.
Sementara itu, Untara kini telah siap
menghadapi setiap kemungkinan. Tohpati pun telah berdiri dengan kaki
renggang menghadapi senapati muda itu. Tongkatnya erat tergenggam di
tangannya yang telah basah oleh darah. Seleret-seleret warna merah
tergores pula pada tongkat baja putihnya. Pada saat-saat tongkat itu
menyambar kening lawan, maka darah yang terpercik daripadanya pasti
membasahi tongkatnya pula.
“Ayo, mulailah Untara. Senja telah hampir
menjelang kelam. Kita selesaikan, persoalan di antara kita sebelum
malam,” geram Tohpati.
Untara tidak menjawab. Ia melangkah
selangkah lagi maju. Pedangnya segera menunduk tepat mengarah kedada
lawannya. Dalam pada itu, Tohpati tidak menunggu lebih lama lagi. Segera
ia meloncat menyerang dengan sebuah ayunan tongkat baja putihnya.
Meskipun lukanya arang kranjang, namun kecepatannya bergerak masih belum
susut barang serambutpun.
Untara yang telah bersiap menghadapi
kemungkinan itu, dengan cepatnya menghindarkan diri. Bahkan pedangnya
pun segera terjulur mematuk lambung. Namun Tohpati masih sempat pula
mengelakkan dirinya.
Demikianlah kini mereka terlihat dalam
perang tanding yang dahsyat. Tohpati memeras ilmunya dalam kemungkinan
yang terakhir. Disadarinya bahwa Untara adalah seorang senapati yang
pilih tanding. Dalam keadaan yang sempurna pun ia tidak akan dapat
mengalahkannya, apalagi kini. Darahnya telah menetes dari luka, dan
keringatnya pun seolah-olah telah kering terperas. Tetapi ia adalah
seorang senapati besar yang sadar akan kebesaran dan harga dirinya
sebagai seorang laki-laki jantan.
Meskipun senja telah menjadi semakin
suram namun Sumangkar masih dapat melihat apa yang terjadi di
tengah-tengah arena itu. Ia melihat dari daerah yang lebih kelam karena
dedaunan. Bahkan kemudian ia tidak puas melihat peristiwa itu dari
tempatnya.
Tiba-tiba ia melompat turun dari
bongkahan batu padas itu dan menyusur tepi hutan yang kegelapan maju
semakin dekat. Di belakangnya Kyai Gringsing selalu mengikutinya. la
tidak ingin melepaskan Sumangkar. Kalau-kalau orang itu berbuat sesuatu
dengan tiba-tiba. Tetapi ternyata Sumangkar itu tidak langsung menuju ke
arena. Beberapa langkah ia berhenti, dan kembali ia mencari tempat yang
agak tinggi untuk menyaksikan perkelahian antara Macan Kepatihan dan
Tohpati. Sedang Kyai Gringsing pun tidak kalah nafsunya untuk melihat
pertempuran itu, sehingga kemudian ia berdiri tepat di belakang
Sumangkar.
Dengan tegangnya Sumangkar mengikuti
perkelahian itu. Selangkah demi selangkah dinilainya dengan seksama. Ia
sama sekali tidak memperdulikan hiruk-pikuk para prajurit Pajang yang
sedang berhimpun kembali, tidak jauh di hadapannya, namun para prajurit
Pajang itu pun sama sekali tidak memperhatikannya, karena ujung malam
yang turun perlahan-lahan, seperti kabut yang hitam merayap dari langit
merata keseluruh permukaan bumi.
Tetapi pertempuran antara Macan Kepatihan
dan Untara masih berlangsung terus. Semakin lama semakin dahsyat.
Sedang Sumangkar yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi semakin
tegang.
Tiba-tiba ketegangan Sumangkar itu pun
memuncak. Kini ia berdiri di atas ujung kakinya dan dijulurkannya
lehernya, supaya ia dapat melihat semakin jelas.
“Oh,” desahnya kemudian. Suaranya
seolah-olah tersekat di kerongkongan, dan darahnya serasa berhenti
mengalir. Diangkatnya kedua belah tangannya menutup wajahnya.
Perlahan-lahan ia berpaling. Gumamnya perlahan-lahan dengan suara parau,
“Raden.”
Kyai Gringsing pun melihat apa yang
terjadi. Ia melihat Tohpati menyerang dengan kekuatannya yang terakhir.
Namun tubuh Untara yang masih segar sempat menghindarinya, tetapi ujung
pedangnya dijulurkannya lurus-lurus tepat mengarah ke lambung lawannya.
Tohpati yang sudah menjadi semakin lemah, kurang tepat memperhitungkan
waktu. Ia terdorong oleh kekuatannya sendiri, dan langsung lambungnya
tersobek oleh pedang Untara. Terdengar Tohpati menggeram pendek.
Selangkah ia surut. sebuah luka yang dalam menganga pada lambungnya.
Betapa kemarahannya membakar jantungnya,
namun tiba-tiba terasa tulang-tulangnya seolah-olah terlepas dari
tubuhnya. Meskipun demikian tanpa disadari oleh Untara, Macan Kepatihan
melontarkan tongkatnya secepat petir menyambar di udara. Betapa Untara
terkejut melihat sambaran tongkat baja putih berkepala tengkorak itu.
Dengan kecepatan yang mungkin dilakukan
ia merendahkan dirinya dan berusaha memukul tongkat itu dengan
pedangnya. Tetapi demikian cepatnya sehingga ia tidak dapat melakukannya
dengan sempurna. Pedangnya berhasil menyentuh kepala tongkat itu,
tetapi dengan demikian ujung yang lain menyadi oleng dan dengan kerasnya
memukul kening Untara.
Untara yang sedang merendahkan diri itu
terdorong mundur, dan sesaat ia kehilangan keseimbangan. Dengan kerasnya
ia terbanting jatuh. Beberapa kali ia berguling. Matanya terasa menjadi
gelap dan kepalanya menyadi sangat pening. Seakan-akan sebuah bintang
di langit telah jatuh menimpanya. Namun ia masih cukup sadar. Ia sadar
bahwa lawannya, Macan Kepatihan masih tegak berdiri di hadapannya.
Karena itu cepat ia memusatkan kekuatannya dan meskipun dengan
tertatih-tatih ia mencoba berdiri, bersiaga menghadapi segala
kemungkinan yang dapat terjadi atasnya. Tetapi kini ia sudah tidak
menggenggam pedang lagi. Pedangnya terpelanting dari tangannya, pada
saat ia jatuh berguling di tanah.
Meskipun demikian terasa kening Untara
masih sedemikian sakitnya. Bintik-bintik putih seolah-olah berterbangan
di dalam rongga matanya. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu. Karena itu
maka dengan sekuat tenaganya, ia mencoba untuk menembus keremangan ujung
malam dengan pandangan matanya yang kabur.
Untara itu melihat Tohpati maju selangkah
mendekatinya. Namun tiba-tiba ia terhuyung-huyung. Sesaat kemudian
Macan yang garang itu terjatuh pada lututnya dan mencoba menahan
tubuhnya dengan kedua tangannya.
Untara masih tetap berdiri di tempatnya.
Sekilas matanya menyambar orang-orang yang berdiri mengitarinya. Widura,
Agung Sedaju, Swandaru Geni dan kini beberapa orang lain telah hadir
pula. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang pemimpin kelompok.
Ketika ia kembali memandangi Tohpati, maka dilihatnya orang itu menjadi
semakin lemah.
Sesaat tepi hutan itu dicengkam oleh
kesepian. Kesepian yang tegang. Desir angin di dedaunan terdengar
seperti tembang megatruh yang menawan hati. Sayup-sayup di kejauhan
suara burung hantu terputus-putus seperti sedu sedan yang pedih, sepedih
hati biyung kehilangan anaknya di medan peperangan.
Dalam kesenyapan itu, tiba-tiba terdengar
suara Tohpati bergetar di antara desah angin malam yang lirih, “Adi
Untara, aku mengakui kemenanganmu.”
Dada Untara berdesir mendengar suara itu.
Bukan saja Untara, tetapi juga Widura, Agung Sedaju, Swandaru, Ki
Demang Sangkal Putung dan beberapa orang yang lain. Namun di antara
mereka yang paling dalam merasakan sentuhan suara itu adalah Untara
sendiri, sehingga justru sesaat ia diam mematung. la tersadar ketika
sekali lagi Tohpati berkata dengan suaranya yang parau dalam, “Aku
mengucapkan selamat atas kemenangan ini Adi Untara.”

“Kakang Tohpati …,” terdengar suara Untara patah-patah, “maafkan aku.”
Tohpati menggeleng, “Jangan berkata
demikian Untara. Berkatalah dengan nada seorang Senapati yang menang
dalam peperangan. Supaya aku puas mengalami kekalahan ini.”
Untara terdiam. Ia tidak tahu apa yang
akan diucapkannya. Karena itu kembali ia mematung. Matanya tajam-tajam
menembus malam yang semakin gelap, hinggap pada tubuh yang sudah menjadi
kian lemah dan lemah.
Perlahan-lahan Tohpati terduduk di tanah. Bahkan kemudian terdengar ia menggeram, “Aku akan mati.”
Untara maju selangkah lagi. Ia melihat
dengan wajah yang tegang Tohpati menjatuhkan dirinya, terlentang sambil
menahan desah yang kadang-kadang terlontar dari mulutnya.
Sumangkar melihat Tohpati itu terbujur di
tanah, diam hatinya terasa menyadi sangat pedih. Anak itu bukan
anaknya, bukan muridnya, tetapi ia telah berada dalam satu lingkungan
yang sama-sama dialami. Pahit, manis dan lebih-lebih lagi ia adalah
murid saudara seperguruannya. Harapan sebagai penerus ilmu perguruan
Kedung Jati. Tetapi anak itu kini terbujur dengan darah yang mengalir
dan luka-lukanya yang arang kranjang. Darah Sumangkar itu pun tiba-tiba
bergelora. Dengan tangkasnya la meloncat turun dari bongkahan batu padas
sambil menggeram, “Celaka aku, Kyai…”
Kyai Gringsing terkejut melihat sikap
itu, sehingga untuk sesaat ia masih berdiam diri. Namun lamat-lamat ia
melihat wajah Sumangkar yang kosong memancarkan perasaan putus asa.
“Kyai,” berkata Sumangkar pula, “tak ada
yang menahan aku untuk hidup terus. Karena itu, marilah kita membuat
perhitungan terakhir. Perhitungan orang-orang tua.”
Kyai Gringsing menarik nafas dalam-dalam,
tetapi ia belum beranjak dari tempatnya. Bahkan ia masih sempat
berpaling dan melihat Untara, Widura, Agung Sedaju dan Swandaru beserta
beberapa orang lain berlutut di samping Macan Kepatihan yang nafasnya
seakan-akan tinggal tersangkut di ujung kerongkongannya.
“He Kyai,” panggil Sumangkar, “turunlah. Kita bertempur seorang lawan seorang. Antarkan aku menemani Angger Macan Kepatihan”
Sekali lagi Kyai Gringsing memandangi
orang-orang yang berdiri mengerumuni Macan Kepatihan dan orang yang
berlutut di sekitarnya. Ternyata tak seorang pun di antara mereka yang
mendengar kata-kata Sumangkar, sehingga mereka berdua masih tetap belum
dilihat oleh mereka. Namun Kyai Gringsing masih belum bergerak. Tetapi
ia menjadi kian berhati-hati. Ketika dilihatnya Sumangkar menggenggam
tongkatnya semakin erat pada pangkalnya siap untuk digunakannya.
Dan apa yang disangkanya itu terjadi.
Ketika Kyai Gringsing tidak juga mau turun dari bongkahan batu padas,
tiba-tiba Sumangkar berkata, “Baiklah kalau Kyai tidak mau mulai. Aku
yang akan mulai. Terserahlah kepadamu apakah kau bersedia untuk melawan
dan membunuhku, atau aku yang akan membunuhmu.”
Sumangkar tidak menunggu lebih lama lagi.
Segera ia meloncat dan mengayunkan tongkatnya menyambar lutut Kyai
Gringsing. Tetapi Kyai Gringsing telah bersiaga. Segera ia meloncat
menghindar dan sekaligus melontar turun dari atas batu padas itu.
Namun Sumangkar tidak melepaskannya.
Dengan sebuah loncatan yang panjang dan cepat ia mengejarnya. Seperti
orang kerasukan, tongkatnya terayun-ayun deras sekali menyambar-nyambar.
Seolah-olah ia telah kehilangan segenap perhitungan dan pikirannya yang
bening seperti Macan Kepatihan sendiri.
Kyai Gringsing pun segera berloncatan
menghindari. Dengan lincahnya ia melontar-lontarkan dirinya, menyusup di
sela-sela putaran tongkat baja putih berkepala tengkorak yang bergerak
secepat tatit. Tetapi Kyai Gringsing mampu bergerak melampaui kecepatan
tongkat itu, sehingga berkali-kali ia masih saja dapat menghindari
setiap serangan yang datang
Sumangkar benar-benar telah waringuten.
Tongkatnya bergerak semakin lama semakin cepat, sehingga kemudian
seolah-olah telah berubah menyadi gumpalan awan putih yang mengejar Kyai
Gringsing kemana ia pergi. Gumpalan awan yang siap untuk menelannya dan
menghancur-lumatkan.
Demikianlah maka serangan Sumangkar itu
menyadi semakin lama semakin dahsyat seperti prahara yang mengamuk di
padang-padang yang dengan dahsyatnya pula menghantam bukit-bukit dan
lereng-lereng gunung. Namun Kyai Gringsing adalah lawan yang tangguh
baginya. Dengan kecepatan yang melampaui kecepatan prahara, ia selalu
mampu menghindari setiap serangan yang datang.
Betapapun kalutnya otak Sumangkar, namun
ia bukanlah seorang yang mudah kehilangan harga diri dan kejantanan.
Usianya yang telah lanjut itu pun telah menuntunnya menjadi seorang yang
dapat melikat sikap-sikap yang tidak wajar. Demikian pula kali ini.
Beberapa kali ia mencoba meyakinkan dugaannya dengan memperketat
serangan-serangannya atas Kyai Gringsing itu. Namun akhirnya ia yakin,
bahwa Kyai Gringsing menghadapinya dalam sikap yang tidak wajar. Orang
itu sama sekali tidak pernah membalasnya dengan serangan-serangan,
tetapi orang itu hanya sekedar menghindari serangan-serangannya yang
bahkan dapat berakibat maut. Karena itu, maka Betapapun gelap
pikirannya, namun ia masih mampu untuk manilai sikap itu. Sehingga
tiba-tiba ia menghentikan serangannya sambil berkata, “Kyai, kenapa Kyai
tidak melawan? Kenapa Kyai hanya sekedar menghindar dan meloncat surut?
Apakah menurut anggapan Kyai, Sumangkar tidak cukup bernilai untuk
berdiri sebagai lawan Kyai?”
Kyai Gringsing menarik nafas. Dengan dahi
yang berkerut-kerut ia menjawab, “Tidak. Sama sekali tidak. Aku
menghargai Adi Sumangkar sebagai murid kedua dari perguruan Kedung Jati
yang tak kalah nilainya dari Ki Patih Mantahun sendiri. Tetapi kini kau
tidak sedang bertempur melawan Kyai Gringsing, sehingga karena itu aku
tidak dapat melayanimu.”
“He,” Sumangkar terkejut. “Kenapa aku kau anggap tidak sedang bertempur melawan Kyai Gringsing?”
Kyai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dijawabnya, “Adi Sumangkar. Ternyata kau tidak sedang
bertempur, tetapi kini kau sedang membunuh dirimu karena itu aku tidak
dapat menjadi alat untuk itu.”
Dada Sumangkar berdesir mendengar jawaban
itu. Terasa sesuatu menyentuh langsung ke pusat jantungnya. Sekali
terdengar ia menggeram, namun kemudian tangannya menjadi lemah.
Tongkatnya kini tergantung lunglai pada tangan kanannya yang kendor.
Perlahan-lahan terdengar ia bergumam, “Hem, Kyai menebak tepat. Aku
memang sedang membunuh diri, dan aku mengharap Kyai dapat membantuku.”
Kyai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak Adi Sumangkar. Aku tidak dapat melakukannya.”
“Aku tidak peduli. Kalau Kyai tidak mau
membunuhku, maka jangan menyesal kalau aku yang membunuhmu. Namun
kata-kata Sumangkar itu sama sekali tidak meyakinkan. Tangannya masih
tergantung lemah dan genggamannya atas senjatanya pun tidak bertambah
erat.
“Adi Sumangkar,” berkata Kyai Gringsing. “Apakah keputusanmu itu sudah kau pertimbangkan baik-baik.”
“Tentu,” Sahut Sumangkar. “Keputusanku tidak akan dapat berubah.”
Kyai Gringsing memandangi wajah Sumangkar
tajam-tajam. Meskipun malam telah menjadi semakin kelam namun terasa
oleh Kyai Gringsing, bahwa pada wajah Sumangkar benar-benar terbayang
keputusasaan yang dalam.
“Adi,” berkata Kyai Gringsing, “kenapa kau akan membunuh dirimu?”
“Aku telah jemu melihat kehidupan Kyai, hidupku, hidup orang-orang Jipang dan hidup kita semua.”
“Apakah Adi sudah berpikir jauh? Mungkin
Adi ingin menghindari kepahitan yang mencengkeram jantung Adi, namun
dengan jalan yang sama sekali salah. Macan Kepatihan telah mati terbunuh
dalam peperangan sebagai seorang jantan. Tetapi bagaimana kata orang
dengan Sumangkar? Murid kedua dari perguruan Kedung Jati?”
“Aku mati dalam peperangan melawan seorang sakti bernama Kyai Gringsing.”
Kyai Gringsing menggeleng. “Tidak.
Kesannya akan menjadi lain sekali. Sumangkar mati membunuh diri, itu pun
terserah kepadamu Adi. Tetapi aku tidak dapat mendengar orang lain
mengatakan, Kyai Gringsing-lah yang telah melakukan itu. Tidak. Aku
bukan alat untuk membunuh diri.”
“Tak ada orang yang mengetahui, bahwa kau membunuh aku pada saat hatiku gelap.”
“Ada.”
“Siapa?”
“Hatiku sendiri”
“Persetan!” geram Sumangkar. “Terserah kepadamu. Kalau kau tidak mau, maka aku akan membunuhmu.”
“Aku akan lari meninggalkan tempat ini
sejauh-jauhnya. Kau pasti tidak akan dapat mengejar aku. Dan aku akan
bersembunyi sampai terdengar kabar, bahwa Sumangkar telah mati. Entah ia
membunuh diri, entah ia mati dikeroyok orang.”
Kembali dada Sumangkar menjadi bergelora.
Terasa bahwa kata-kata Kyai Gringsing itu menyentuh langsung ke pusat
jantungnya, sehingga karena itu ia diam sesaat mencoba memandangi wajah
Kyai Gringsing yang seolah-olah ditabiri oleh sebuah selaput yang kelam.
Yang terdengar kemudian adalah suara Kyai
Gringsing kembali, “Adi Sumangkar. Daripada Adi sibuk membunuh apakah
tidak lebih baik Adi mencoba melihat, apakah Raden Tohpati itu masih
hidup ataukah benar-benar sudah mati?”
“Tak ada gunanya,” geram sumangkar.
“Mungkin ada. Kalau ia masih hidup ia akan dapat memberi pesan kepada Adi.”
“Kalau ia sudah mati?”
“Adi akan dapat mengurusnya. Menguburkannya dengan baik sebagai murid dari kakak seperguruanmu.”
Kembali Sumangkar terdiam. Namun tiba-tiba ia berkata, “Apakah Untara akan mengijinkan aku mendekatinya?”
“Aku sangka ia tidak akan berkeberatan.”
“Apakah Kyai yakin?”
“Ya.”
“Kalau ia menolak kehadiranku, maka aku
akan tersinggung sekali karenanya. Padahal aku sama sekali tidak ingin
membunuh lagi. Bahkan aku ingin terbunuh oleh siapapun.”
“Marilah kita pergi bersama.”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Namun
Kyai Gringsing seakan-akan tidak mempedulikannya lagi. Ia berjalan ke
arah orang-orang yang berkerumun itu sambil bergumam, “Marilah Adi.”
Sumangkar menjadi ragu-ragu sesaat.
Tetapi kemudian ia pun melangkah di samping Kyai Gringsing, berjalan ke
arah Macan Kepatihan terbaring.
Ketika kemudian beberapa orang mendengar
langkahnya, mereka menjadi terkejut. Mereka segera bersiaga. Tetapi
dalam pada itu terdengar Kyai Gringsing berkata, “Aku, Tanu Metir.”
“Oh,” desah beberapa orang.
Untara, Agung Sedayu dan orang-orang lain
pun mendengar suara itu. Serentak mereka mengangkat kepala mereka dan
mencoba mengetahui arah suara yang melontar dari luar lingkaran
orang-orang yang sedang berkerumun.
“Apakah itu Kyai Tanu Metir?” bertanya Untara.
“Ya,” sahut suara itu.
“Kyai datang tepat pada waktunya,” berkata Untara itu kemudian.
Kyai Gringsing sama sekali tidak tahu
maksud kata-kata itu. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ia berjalan
langsung manerobos beberapa orang yang menyibak, memberinya jalan. Namun
beberapa orang itu bertanya-tanya di dalam hati mereka, siapakah orang
yang berjalan bersama ki Tanu Metir itu?
Demikian Agung Sedayu dan Swandaru
melihat kedatangan Kyai Gringsing beserta Sumangkar, segera mereka
berdiri. Diamatinya orang itu, dan terasa bahwa mereka pernah
melihatnya.
Namun yang pertama-tama menyebut namanya
adalah Agung Sedayu. Dengan nada yang penuh kebimbangan ia berkata,
“Apakah paman ini paman Sumangkar?”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Sekali
ia berpaling memandang wajah anak muda itu dan kemudian jawabnya, “Ya
Ngger. Aku adalah Sumangkar.”
Dalam pada itu tanpa sesadarnya Untara
pun segera meloncat berdiri. Selangkah ia surut. Ditatapnya wajah itu
dengan tajamnya. Ia pernah mengenalinya dahulu, sebelum terjadi
persoalan antara Jipang dan Pajang, meskipun hanya sepintas. Tetapi
bersamaan dengan pecahnya Jipang orang itu pun kemudan menghilang. Baru
kemudian didengarnya, bahwa orang itu datang pada saat Macan Kepatihan
hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kenapa ia tidak datang
bersama pasukannya seperti yang mereka perhitungkan sejak semula?
Tetapi ketika Untara melihat kehadiran ki
Tanu Metir bersama Sumangkar, maka hatinya menjadi agak tenang.
Meskipun demikin ia masih tetap berdiri kaku di tempatnya.
Melihat kecurigaan Untara, Sumangkar
menarik nafas panjang-panjang. Timbullah kembali kecemasannya,
seandainya tiba-tiba Untara itu mengusirnya, atau bahkan mencobanya
untuk menangkap? Ia sama sekali sudah tidak berhasrat untuk bertempur,
apalagi membunuh seseorang. Namun apabila hatinya tersinggung, maka hal
itu akan dapat terjadi. Tetapi kemudian disadarinya bahwa Kyai Gringsing
berdiri di sampingnya. Maka apabila terjadi demikian, ia mengharap Kyai
Gringsing akan membunuhnya saja.
Sesaat mereka dicengkam oleh kebekuan yang tegang. Masing-masing saling berpandangan dengan penuh kecurigaan.
Kebekuan itu pun kemudian dipecahkan oleh sebuah gumam perlahan sekali. “Siapakah yang datang?” suara itu adalah suara Tohpati.
Semua berpaling kepada yang terbaring
diam. Hanya dadanya saja yang masih tampak bergelombang, menghembuskan
nafas yang tidak teratur lagi.
Yang menjawab pertanyaan itu adalah Sumangkar. “Aku Raden, pamanmu Sumangkar.”
“O,” desah Tohpati, “apakah paman dapat mendekati aku?”
Sumangkar menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Untara, seolah-olah ia meminta ijin kepadanya.
Untara pun tidak segera mengatakan
sesuatu. Seperti Sumangkar ia menjadi ragu-ragu. Bahkan kemudian ia
berpaling kepada Ki Tanu Metir. Dalam keremangan malam ia melihat Ki
Tanu Metir menganggukkan kepalanya, sehingga Untara itu pun kemudian
berkata, “Silahkan, Paman.”
“Terima kasih Ngger,” gumam Sumangkar, yang kemudian berjongkok di samping Macan Kepatihan.
Untara, Widura, Agung Sedayu, Swandaru
dan beberapa orang lain masih berdiri di tempatnya. Mereka sadar bahwa
Sumangkar adalah seorang yang tidak dapat diduga-duga kesaktiannya.
Kalau tiba-tiba saja ia menggerakkan tongkat baja putihnya, maka
akibatnya tidak dapat dibayangkan. Meskipun ada di antara mereka itu
seorang yang bernama Kyai Gringsing, namun Kyai Gringsing pun pasti
memerlukan waktu untuk mengatasi keadaan. Sedang dalam waktu yang
tiba-tiba itu, pasti sudah jatuh korban di antara mereka.
Di samping Sumangkar itu, kemudian mereka
melihat Kyai Gringsing berjongkok pula. Dengan saksama diamat-amatinya
tubuh Tohpati yang arang kranjang itu.
“Paman Sumangkar,” terdengar suara Macan Kepatihan perlahan-lahan sekali.
Sumangkar itu menggeram. Tiba-tiba terasa
tenggorokannya menjadi kering, ketika dilihatnya luka-luka yang tiada
terhitung di tubuh murid kakak seperguruahnya itu. “Angger,” desisnya,
“lukamu tiada terhitung jumlahnya. Kau telah berjuang untuk melindungi
seluruh anak buahmu dengan mengorbankan dirimu sendiri.”
Macan Kepatihan mencoba untuk memperbaiki pernafasannya. Tetapi terasa bahwa nafas itu semakin lemah.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara
Untara di belakang Kyai Gringsing, “Kyai, apakah Kyai masih melihat
kemungkinan untuk mengobati kakang Tohpati?”
Kyai Gringsing mengerutkan keningnya.
Namuh sebelum menjawab terdengar suara lemah Macan Kepatihan, “Tak ada
gunanya. Tak akan ada gunanya, karena aku sudah terlalu lemah. Bahkan
seandainya mungkinpun, maka kesembuhanku akan berakibat tidak baik bagi
keadaan.”
“Kenapa?” bertanya Untara.
“Kematianku adalah akhir daripada bencana
yang menimpa rakyat Demak. Aku adalah sisa terakhir dari senapati yang
mendapat kepercayaan para prajurit Jipang. Sepeninggalku aku mengharap
bahwa mereka akan membuat pertimbangan-pertimbangan. Bukankah begitu
paman Sumangkar?”
Sumangkar menganggukkan kepalanya. Jawabnya singkat, namun meluncur dari dasar hatinya. “Ya Ngger.”
“Baik. Baik,” Macan Kepatihan meneruskan.
Suaranya menjadi semakin lambat, sedang nafasnya menjadi semakin tak
teratur. Kepada Untara kemudian ia berkata, “Adi Untara. Di manakah
kau?”
Untara itu melangkah maju. Ia sudah lupa
akan setiap bahaya yang mengancamnya, apabila Sumangkar itu berbuat
hal-hal di luar dugaan. Kini ia berjongkok dekat di samping kepala Macan
kepatihan.
“Adi Untara, kau benar-benar seorang
kesatria. Kau mampu melupakan dendam atas seseorang yang menghadapi
saat-saat kematiannya. Jarang orang dapat berbuat seperti kau ini.”
Untara tidak menjawab. Dan didengarnya
suara Macan kepatihan terputus-putus, “Paman Sumangkar tidak bersalah.
Orang itu tidak pernah turut bertanggung jawab dalam segala gerak dan
perbuatan pasukan Jipang. Karena itu aku minta maaf untuknya.”
Untara menganggukkan kepalanya pula. Dari
mulutnya demikian saja meluncur jawabnya, “Ya. Paman Sumangkar tidak
turut bertanggung jawab.”
“Seluruh tanggung jawab ada padaku Adi.”
“Ya,” sahut Untara.
“Angger,” tiba-tiba Sumangkar memotong,
“biarlah kita berbagai tanggung jawab. Kenapa aku tidak ikut bertanggung
jawab pula atas segalanya yang telah terjadi?”
“Jangan membantah paman,” sahut Macan Kepatihan. “Ini adalah kata-kataku terakhir.”
Sumangkar tertegun. Tetapi ia tidak
berkata apapun. Dan didengarnya kemudian suara Macan kepatihan
terputus-putus, “Paman. Adakah paman dapat membantu aku?”
“Tentu Ngger, tentu,” sahut Sumangkar cepat-cepat.
“Terima kasih, Paman. Paman akan sudi
menguburkan mayatku, apabila Adi Untara tidak berkeberatan.
Mudah-mudahan kematianku menjadi pertanda bahwa tidak ada gunanya
perselisihan ini akan berlangsung terus.”
Tohpati mencoba menarik nafas
dalam-dalam, namun ia menjadi semakin lemah, semakin lemah. Getar
darahnya pun semakin lama semakin menjadi lemah pula. Ketika ia mencoba
memandangi orang-orang yang berdiri di sekelilingnya, maka yang
dilihatnya hanyalah bayangan-bayangan hitam yang tidak dapat dikenalnya
lagi.
“Paman,” desisnya.
Sumangkar beringsut maju semakin dekat. Dirabanya tangan Macan Kepatihan yang menjadi bertambah dingin.
“Adi Untara,” panggilnya lambat.
Untara pun berkisar pula ke samping Sumangkar.
Agaknya Tohpati ingin minta kepada mereka. Tetapi nafasnya menjadi semakin lamban.
“Angger,” panggil sumangkar.
Terasa tangan Tohpati bergetar, dan
mulutnya berdesis. Sumangkar segera meletakkn telinganya ke bibir murid
kakak seperguruannya itu, dan didengarnya kata-kata terakhir.
“Mudah-mudahan Tuhan mengampuni aku.”
“Mohonlah Ngger. Mohonlah ampun.”
Tetapi Tohpati sudah tidak mampu
menjawab. Kini matanya sudah berpejam dan nafasnya menjadi kian lemah.
Sesaat kemudian tangannya tergerak sedikit dan nafasnya pun berhentilah
untuk selama-lamanya.
“Angger,” desis Sumangkar.
Tetapi Tohpati tidak lagi dapat menyahut.
Ketika Sumangkar itu kemudian yakin bahwa Macan Kepatihan yang garang
itu sudah tidak dapat mendengar panggilannya, tiba-tiba ia menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Terasa sesuatu bergelora di dalam dadanya.
Nafasnya sendiri serasa akan putus pula seperti nafas Macan Kepatihah
itu.
Sumangkar yang tua itu terkejut sendiri
ketika terasa setetes air jatuh ke tangannya. “Hem,” ia menarik nafas
dalam-dalam. “Anak, ini telah pergi mendahului aku.”
Suasana di pinggir hutan itu kemudian
menjadi hening. Daun-daun pepohonan seolah-olah menundukkan tangkai
mereka, dan angin berhenti berhembus. Di kejauhan terdengar suara burung
hantu menyentuh ulu hati. Ngelangut.
Mereka semuanya tersentak ketika mereka
mendengar guruh meledak di udara, didahului oleh cahaya kilat yang
memercik sekilas. Seperti berjanji mereka menengadahkan wajah-wajah
mereka menatap langit. Dan kembali mereka terkejut ketika mereka melihat
awan yang kelam menggantung di langit. Mendung yang seakan-akan siap
untuk meluncur turun ke permukaan bumi.
“Adi Sumangkar,” terdengar suara Kiai Gringsing, “bagaimana dengan Angger Macan Kepatihan?”
“Aku akan mencoba memenuhi pesannya, Kiai, apabila Angger Untara mengijinkannya.”
“Silahkan Paman,” sahut Untara.
“Aku akan segera kembali. Dan aku menunggu keputusan Angger atas diriku.”
Untara menggigit bibirnya. Kemudian
katanya, “Paman telah menunjukkan kesediaan Paman untuk tidak lagi
berbuat hal-hal yang bakal merugikan Pajang. Karena itu, berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan bahwa Paman tidak turut serta bertanggung
jawab atas segala tingkah laku pasukan Jipang, maka aku akan mencoba
memohonkan ampun untuk Paman Sumangkar.”
Tiba-tiba Sumangkar menggelengkan
kepalanya, katanya, “Aku tidak ingin belas kasian. Aku tidak ingin
mengingkari tanggung jawab yang Betapapun beratnya, yang akan turut
menentukan hukuman atasku.”
Untara mengerutkan keningnya. Katanya, “Lalu apakah arti kata-kata Macan kepatihan pada saat terakhir ini?”
“Ia ingin membebankan kesalahan pada dirinya sendiri.”
“Kalau begitu Paman tidak ingin mengakui kebenaran katakatanya. Sehingga Paman menolak setiap pemaafan?”
“Aku tidak ingin mendapatkan belas kasihan itu.”
“Kalau begitu apa maksud Paman sebenarnya? Apakah Paman akan mengambil alih pimpinan dari tangan Macan Kepatihan?” desak Untara.
Tiba-tiba Sumangkar berdiri. Dipandanginya wajah Untara yang telah berdiri pula di hadapamnya.
“Angger,” berkata Sumangkar yang hatinya
sedang kelam seperti kelamnya langit. “Aku telah berkata bahwa aku akan
kembali dan akan menerima semua hukuman yang akan ditimpakan kepadaku.
Kau tidak percaya? Apakah kau akan mencoba menangkap Sumangkar
sekarang?”
“Paman,” terdengar suara Untara menjadi
semakin berat. Sebagai seorang senapati muda maka ia tidak segera dapat
mengatasi gelora di dalam dadanya sendiri. Hatinya benar-benar
tersinggung ketika ia mendengar penolakan Sumaugkar atas tawarannya
uutuk mendapatkan keringanan hukuman dan pengampunan atas
kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Karena itu sebagai seorang
pengemban tugas ia berkata, “Aku adalah Senapati Pajang yang mendapat
kepercayaan di daerah ini. Aku telah mencoba melihat kebenaran dan
kealpaan pada tempatnya sendiri-sendiri. Tetapi penolakan Paman sangat
menyakitkan hati. Karena itu apakah aku harus meneruskan tindakan
pengamanan dengan cara yang telah aku tempuh sampai saat ini terharap
Macan Kepatihan?”
Sumangkar itu mundur selangkah. Tiba-tiba
digenggamnya tongkat baja putihnya erat-erat. Dengan tajamnya
dipandanginya wajah Untara. Dari sela-sela bibirnya yang gemetar ia
berkata, “Baik. Kalau itu yang kau inginkan Ngger. Silahkan. Aku
bersedia menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi atasku. Umurku
sudah lanjut, dan aku sudah jemu untuk melakukan perbuatan-perbuatan
terkutuk di muka bumi ini. Karena itu, marilah. Apa yang akan kau
lakukan atasku.”
Untara pun tiba-tiba menggeram. Dari
matanya seolah-olah memancar api kemarahan. Ia adalah senapati Pajang
yang berwenang untuk melakukan kebijaksanaan di daerah ini. Karena itu,
maka tanpa sesadarnya, ia memandang berkeliling. Kepada Widura, Agung
Sedayu, Swandaru, dan kepada para pemimpin-pemimpin kelompok pasukannya.
Sambaran mata Untara itu, seakan-akan
merupakan perintah bagi mereka, bagi Widura, Agung Sedayu, Swandaru dan
semua orang yang berdiri mengitari mereka serentak mereka bersiaga dan
serentak pedang-pedang mereka siap untuk menerkam Sumangkar yang berdiri
di tengah-tengah lingkaran manusia itu.
Tiba-tiba dalam ketegangan yang memuncak
itu, terdengarlah suara tertawa. Perlahan-lahan, namun nadanya
seakan-akan menghantam dinding jantung.
Suara itu adalah suara Ki Tanu Metir,
yang masih saja berada di tempatnya. Namun kini ia pun telah berdiri,
menghadap ke arah Sumangkar. Di antara suara tertawanya yang
perlahan-lahan itu terdengar ia berkata, “Adi Sumangkar yang bijaksana.
Apakah sebenarnya yang akan kau lakukan? Apakah kau masih ingin membunuh
dirimu? Barangkali cara ini pun akan dapat kau tempuh. Mati dikeroyok
orang. Apakah cara ini juga dapat memberi kepuasan kepadamu?”
“Tidak. Aku hanya bersedia mati oleh
tangan Kiai Gringsing yang cukup bernilai bagiku. Bukan karena tangan
anak-anak atau pun siapa saja. Sumangkar akan bertahan sampai kesempatan
yang terakhir. Kecuali kalau kau ikut serta dengan mereka.”
Kembali suara tertawa Kiai Gringsing
mengumandang di pinggiran hutan itu, seolah-olah menelusur sampai ke
kaki bukit. Katanya, “Untara. Naluri keprajuritan Adi Sumangkar masih
terlalu tebal. Ia melihat murid kakak seperguruannya mati karena tusukan
pedang. Ia melihat Macan Kepatihan bukan saja sebagai senapati yang
dibanggakannya, tetapi Raden Tohpati adalah penerus dari perguruan
Kedung Jati. Itulah sebabnya ia merasa kehilangan. Perasaan itu
sedemikian menusuk hatinya, sehingga Betapapun mengendapnya hati Adi
Sumangkar, namun kadang-kadang ia kehilangan keseimbangan dalam kejutan
yang tiba-tiba semacam ini. Harga dirinya sama sekali tidak tersentuh
seandainya Macan Kepatihan itu tidak lebih dan tidak kurang dari
panglima perangnya saja. Tetapi karena Macan kepatihan itu
bersangkut-paut dengan perguruannya, maka ternyata sentuhan itu agak
terlalu tajam baginya.”
Untara mendengar penjelasan itu, kata
demi kata. Baginya apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu cukup
jelas. Tidak lain adalah permintaan yang serupa seperti yang telah
diucapkan. Pengampunan. Namun ternyata Kiai Gringsing mengucapkan dalam
nada yang berbeda. Meskipun demikian, ia masih tetap berdiri tegak
dengan pedang di dalam genggamannya siap untuk bertindak apabila keadaan
memaksa.
Namun bagi Sumangkar, kata-kata Kiai
Gringsing itu benar-benar telah melemahkan segala sendi tulangnya. Ia
merasa seolah-olah dihadapkan pada sebuah cermin yang besar untuk
melihat dirinya sendiri. Kegugupan, kegelisahan, kecemasan, harga diri,
putus-asa dan segala perasaan bercampur baur sehingga ia tidak menemukan
keserasian nalar dan perasaan. Tiba-tiba orang tua itu menundukkan
kepalanya. Ia sadar, bahwa Kiai Gringsing pun telah mencoba meredakan
kemarahan Untara dan mencoba mencegah ia untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang dapat menyulitkan keadaan.
Sesaat suasana kembali menjadi
sepi-senyap. Kembali di kejauhan terdengar suara burung hantu seperti
mengetuk-ngetuk dada. Dan malam pun serasa bertambah dalam.
“Adi sumangkar,” kembali terdengar suara
Kiai Gringsing. “Bagaimana kalau aku ulangi kata-kata Macan Kepatihan?
Bahwa sepeninggalnya perselisihan akan tidak berlangsung terus?”
Sumangkar menganggukkan kepalanya. Jawabnya lirih, “Ya, Kakang.”
“Nah, sekarang marilah kita singkirkan
perasaan harga diri kita masing-masing yang terlalu berlebih-lebihan.
Sekarang lakukan yang kau kehendaki. Menguburkan Tohpati dengan baik
menurut cara yang kau inginkan. Sesudah itu, kau akan kembali dan
persoalan akan selesai. Begitu?”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam.
Kata-kata Kiai Gringsing itu sama sekali tidak berbeda dengan kata-kata
Untara. Tetapi kini ia telah menjadi semakin menyadari keadaannya.
Bahkan kemudian ia berkata sambil membungkukkan kepalanya. “Baik Kakang.
Aku akan menerima segala persoalan dengan senang hati. Kalau aku harus
menerima pengampunan, biarlah aku mengucapkan terima kasih kalau aku
akan menerima hukuman, biarlah hukuman itu akan aku jalani.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ketika ia melihat Untara akan mengucapkan sesuatu,
cepat-cepat ia mendahului, “Sekarang, bukankah Adi Sumangkar akan kau
persilahkan membawa Raden Tohpati. Ngger?”
Untara tertegun sejenak. Namun ia menganggukkan kepalanya. “Ya Kiai.”
“Dan kau akan menerimanya kembali kelak?”
Kembali Untara mengangguk, “Ya Kiai.”
“Bagus. Aku bukan Panglima prajurit
Pajang, bahkan seorang prajurit pun bukan. Tetapi, aku yakin bahwa
Angger Untara memang akan berbuat demikian.”
Hati Untara itu pun menjadi luluh pula
melihat sikap Sumangkar yang kini seakan-akan melepaskan segala macam
kepentingan sendiri. Bahkan harga dirinya sekalipun. Karena itu, maka
terdengar Untara itu pun kemudian berkata, “Silahkan Paman Sumangkar.
Kesempatan itu akan Paman dapat seperti yang Paman kehendaki.”
Sekali lagi Sumangkar menganggukkan
kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih. Aku akan membawa angger
Tohpati di antara anak buahnya. Aku akan mengucapkan kembali kata-kata
terakhirnya, bahwa kematiannya akan menjadi pertanda bahwa perselisihan
tidak akan berlangsung terus.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sesaat dadanya terasa bergetar. Ada yang akan dikatakannya, namun ia
menjadi bimbang. Namun setelah melalui beberapa pertimbangan ia berkata,
“Demi kakuasaan yang ada padaku Paman Sumangkar, aku akan memberikan
pengampunan kepada anak buah Macan Kepatihan yang dengan suka rela dan
tulus menyerahkan dirinya. Namun seterusnya aku akan melakukan tugasku
sabaik-baiknya, apabila ada di antara mereka yang menolak uluran tangan
ini.”
Sekali lagi dada Sumangkar berdesir.
Namun Betapapun juga ia harus melihat kenyataan, memang sebenarnyalah
bahwa perkataan Untara itu benar. Apa yang terjadi bukannya satu
persetujuan antara seorang senapati Jipang dan seorang senapati Pajang.
Tetapi yang terjadi adalah penyerahan. Manyerah karena tak ada lagi
kekuatan untuk melawan.
Betapapun rasa sakit menghentak-hentak
dada, namun Sumangkar tidak lagi membantah kata-kata senapati muda dari
Pajang itu. Betapapun pahitnya kata-kata yang dipergunakan, menyerahkan
diri, namun tidak ada lain yang dapat dilakukan untuk menghentikan
kerusuhan-kerusuhan yang masih akan berkembang berlarut-larut. Meskipun
bagi dirinya sendiri masih akan banyak dicari kemungkinan-kemungkinan
lain, bahkan kemungkinan yang terakhir, yang baginya lebih baik daripada
menyerah itu, yaitu mati, tetapi kematiannya tidak akan berarti apa-apa
bagi ketenteraman yang akan dicarinya. Ketenteraman bagi rakyat Demak.
Ketenteraman seperti yang dipesankan oleh Tohpati. Bahkan kematian
Tohpati pun akan tidak berarti apa-apa.
Bila tanpa penyerahan dari anak buahnya.
Malahan kerusuhan akan menjadi semakin memuncak, sebab sisa-sisa
prajurit Jipang itu akan menjadi semakin tak terkekang. Namun
mudah-mudahan hilangnya pemimpin mereka, akan memperlunak hati mereka.
Mudah-mudahan mereka menjadi seakan-akan kehilangan pegangan. Dan dalam
keadaan yang demikian, mereka akan mendengar kabar pengampunan yang
diberikan oleh Untara, bagi mereka yang bersedia menyerahkan diri.
Tetapi bukan saja bagi Sumangkar
kata-kata itu mengetuk hati. Widura yang mendengar kata-kata Untara itu
mengangkat kepalanya. Sesaat hatinya bergelora. Namun kemudian ia
berhasil mengendapkannya. Dalam saat yang pendek ia dapat mangerti
maksud dari kemanakannya itu. Dan ia pun kemudian tidak berkata apa-apa.
Hatinya dikendalikannya. Sebagai seorang prajurit yang telah cukup
berpengalaman, maka nalarnya mampu menguasai perasaannya yang
melonjak-lonjak menghadapi keputusan itu.
Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika
mereka melihat beberapa orang hampir bersamaan mendesak maju. Yang
paling depan dari mereka adalah Swandaru. Dengan kalimat yang
patah-patah karena desakan perasaannya yang bergejolak ia berkata,
“Kakang Untara. Apakah artinya pengampunan itu?”
Untara mengerutkan keningnya. Terasa
bahwa keputusannya mengejutkan beberapa anak buahnya sendiri. Dan
barulah kini terasa bahwa seharusnya ia tidak tergesa-gesa
mengucapkannya sebelum ia berbicara dengan beberapa orang pemimpin
pasukan Pajang dan Sangkal Putung, serta memberi penjelasan kepada
mereka. Namun kata-kata itu sudah diucapkannya, karena ita maka jawabnya
, “Adi Swandaru. Kata-kataku cukup jelas. Aku akan memberikan
pengampunan bagi mereka yang dengan suka rela menyerah, meskipun bukan
pengampunan yang mutlak. Tetapi bagi mereka yang tidak mematuhi perintah
itu, akan aku hancurkan sampai lumat.”
“Keputusan itu terlalu lunak. Kakang tidak memperhitungkan kesalahan dan bencana yang telah mereka timbulkan.”
Untara manggigit bibirnya. Ia dapat
mengerti pertanyaan yang dilontarkan oleh Swandaru itu. Maka jawabnya,
“Kau benar Swandaru. Tetapi kita tidak akan membiarkan diri kita terus
menerus berada dalam suasana perang. Perkelahian demi perkelahian.
Pertempuran demi pertempuran. Korban yang akan terus menerus berjatuhan.
Dan kegelisahan yang semakin meningkat di antara rakyat.”
“Tidak!” tiba-tiba terdengar suara lain,
“Mereka akan kita musnahkan dalam waktu yang singkat. Lihat, Kakang
Citra Gati telah menjadi korban. Aku telah terluka dan beberapa anak
buah telah terbunuh hanya dalam satu kali pertempuran, kali ini. Belum
lagi terhitung dalam peperangan-peperangan yang lain. Apakah kita akan
dapat melupakan korban-korban yang telah berjatuhan itu? Apakah kita
dapat melihat kehadiran orang-orang yang tangannya bergelimang darah
kawan-kawan kita itu hidup di antara kita sendiri dengan tenteram?
Tidak. Hati kita akan selalu dikejar oleh perasaan tanggung jawab dan
kesetia-kawanan.”
Untara berpaling ke arah suara itu.
Dilihatnya Hudaya berdiri dengan teguhnya sebagai menara baja. Di
tangannya masih tergenggam pedangnya yang berjalur-jalur merah karena
darah.
“Kau benar Hudaya,” sahut Untara, “kau
benar. Swandaru pun benar. Tak ada lagi kini yang dapat menghalangi
kita untuk menghancurkan sisa-sisa pasukan Jipang yang sudah kehilangan
pemimpinnya itu. Mereka telah menjadi demikian lemahnya sehingga kita
akan dapat menumpasnya.”
“Nah, kenapa kita akan memberikan pengampunan ?” teriak Hudaya yang disusul oleh Sendawa, “Kita musnahkan saja mereka.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sedang
Sumangkar yang berdiri di hadapannya bergeser setapak menghadap suara
itu. Terasa dadanya yang pedih bertambah pedih. Lebih pedih dari tusukan
pedang di dada itu. Tetapi ketika ia akan memotong kata-kata itu terasa
Kyai Gringsing menggamitnya, sehingga Sumangkar itu hanya mendekap
kepedihan itu di dalam hatinya.
“Kalian benar,” terdengar kembali suara
Untara. “Kami akan dapat melakukannya. Dan hal itu pasti akan kita
lakukan. Tetapi bagaimana dengan orang-orang Jipang yang kemudian
menyesal atas segala perbuatannya? Bagaimanakah kemudian dengan
musuh-musuh kita yang merasa dirinya bersalah dan ingin menghentikan
perlawanannya? Tidak semua dari mereka tahu benar apa yang telah
dilakukan. Nah, bagi mereka yang dengan jujur merasa bersalah dan
menyerah, kita tunjukkan kebesaran jiwa kita. Sebagai mana Tuhan akan
mengampunkan dosa-dosa kita, kita pun harus bersedia memaafkan kesalahan
sesama. Tentu bagi mereka yang jujur. Tuhan melihat kejujuran dan
kecurangan di hati kita. Tetapi kita tidak dapat melihat hati sesama.
Namun kita mempunyai cara-cara untuk itu. Melalui penelitian dan
percobaan. Nah, serahkanlah hal itu kepada pimpinan Pajang. Namun dengan
demikian kita mengharap bahwa ketenteraman akan segera dapat
dipulihkan. Sedang kita akan segera melihat, siapakah yang dapat kita
maafkan, dan siapakah yang harus kita hancurkan. Meskipun aku harus
mengatakan sekali lagi, bahwa pengampunan yang aku maksudkan, bukanlah
pengampunan yang mutlak membebaskan mereka dari tanggung jawab atas
segala perbuatan mereka.”
Untara itu berhenti sejenak. Dicobanya
untuk melihat penilaian orang-orang yang berdiri di sekitarnya atas
kata-katanya. Tetapi malam menjadi semakin gelap di pinggiran hutan itu,
sehingga Untara menjadi sulit untuk dapat melihat setiap wajah dari
anak buahnya.
Namun sesaat tak ada seorang pun yang
menyahut. Batas hutan itu kembali diliputi oleh suasana yang sepi.
Kembali terdengar semakin jelas suara burung hantu dikejauhan.
Dalam kesunyian itu terdengar kemudian suara Untara kembali.
“Nah. Apakah kalian dapat mengerti maksudku?”
Jawaban Swandaru mengejutkan. Katanya, “Tidak.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia masih juga mendengar beberapa orang bergumam di antara mereka.
“Jadi bagaimana kenginanmu Swandaru?” bertanya Untara langsung kepada Swandaru.
Swandaru terkejut mendengar namanja disebut. Namun ia menjawab. “Dihancurkan sampai tujuh turunan.”
“Hem,” sekali lagi Untara menarik nafas.
Kemudian katanya, “Jadi kita menutup pintu bagi mereka yang ingin
menyerah tanpa kecuali? Jadi kita mengingkari penglihatan kita, bahwa
ada di antara mereka yang berada di pihak Adipati Jipang hanya karena
terpaksa dan kemudian tidak dapat melepaskan dirinya karena berbagai
persoalan. Persoalan yang sangkut-menyangkut. Ketakutan mereka terhadap
ancaman kawan sendiri, ketakutan mereka terhadap sikap para prajurit
Pajang yang tidak dapat dimengertinya, ketakutan mereka terhadap
bayangan mereka sendiri. Lebih-lebih bagi mereka yang pada saat belum
ada persoalan antara Jipang dan Pajang tidak lebih dari seorang hamba
dan prajurit Kadipaten. Mereka tidak menyadari apa yang akan terjadi
atas mereka. Dan bahkan mereka telah mengutuk Arya Penangsang sedalam
lautan. Namun mereka tidak melihat jalan kembali, sehingga mereka harus,
mau tidak mau, turut serta dalam peperangan melawan kita. Kepada mereka
itulah kita akan mencoba membuka pintu.”
“Bagaimana kita dapat membedakan satu
dengan yang lain di antara mereka? Bagaimana kalau kemudian orang-orang
semacam Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda datang memenuhi seruan itu?”
bertanya Hudaya dengan suara parau bergetar.
“Mereka harus menghadapi pertanggungan
jawab. Mereka yang benar-benar sadar akan perlawanannya, kepada mereka
itu akan berlaku hukuman yang akan diberikan oleh pimpinan Pajang
melalui ketentuan-ketentuan yang berlaku.”
“Sesudah mereka membunuh banyak orang di antara kita?” desak Sendawa.
“Ya. Kita akan memperhitungkan setiap
perbuatan mereka. Sebab mereka telah melakukannya dengan sengaja dan
sepenuh kesadaran mereka.”
Kembali mereka terlempar dalam kesepian.
Swandaru, Hudaya, Sendawa dan banyak lagi di antara mereka yang menjadi
pening. Mereka tidak mengerti arti dari pengampunan yang diberikan oleh
Untara. Tetapi mereka mencoba untuk melihat, apakah yang kelak akan
terjadi. Betapa perasaan mereka melonjak-lonjak, tetapi mereka tidak
dapat berdebat dengan senapati mereka. Sebagai seorang prajurit mereka
masih cukup menyadari kedudukan mereka. Karena itu mereka pun berdiam
diri. Meskipun bukan berarti bahwa mereka sependapat dengan senapatinya.
Untara pun kemudian tidak ingin berbantah
terlampau lama ia akan memberi penjelasan nanti kepada anak buahnya di
kademangan, atau kepada beberapa orang yang penting, untuk di teruskan
kepada setiap prajurit dan orang Sangkal Putung. Ia sendiri dapat
merasakan betapa beratnya keputusan yang diambilnya itu. Namun salah
satu saran yang pernah di dengar langsung dari Panglima Wira Tamtama, Ki
Gede Pemanahan, adalah pengampunan semacam itu atas mereka yang sama
sekali tidak turut bertanggung jawab terhadap persoalan antara Jipang
dan Pajang sepeninggal Sultan Trenggana.
Karena itu, maka kemudian ia berpaling
kepada Sumangkar yang masih berdiri dengan tegangnya. “Paman Sumangkar
ambillah tubuh Macan Kepatihan. Terserah kepada paman, apakah yang akan
paman lakukan.”
Sumangkar tersadar dari ketegangan yang
mencengkamnya. Sekali lagi ia membungkuk hormat. Lalu berlahan-lahan ia
melangkah mendekati tubuh Tohpati yang terbaring membeku.
“Terima kasih Ngger,” katanya, “biarlah
anak buahnya melihatnya. Dan biarlah peristiwa ini menimbulkan
kesan-kesan baru terhadap sikap mereka selama ini.”
“Bagus,” sahut Untara.
Sumangkar kemudian mengangkat tubuh itu
dan disangkutkannya di atas pundaknya. Sekali ia memandang berkeliling,
atas orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Kemudian ia melangkah surut
sambil berkata, “Aku akan meninggalkan tempat ini atas ijin Angger
Untara.”
“Silahkanlah Paman,” berkata Untara.
Sejenak kemudian Sumangkar itu melangkah
di antara beberapa orang yang menyibak memberinya jalan. Sesaat kemudian
bayangan itu pun masuk ke dalam gelap malam di antara dedaunan yang
rimbun.
Sepeninggal Sumangkar tiba-tiba Untara berkata, “Sedayu, ada perintah untukmu.”
Sedayu terkejut, selangkah ia maju. Dengan wajah yang tertanya-tanya ia menunggu perintah yang dikatakan oleh kakaknya.
“Ikuti Paman Sumangkar dengan diam-diam,
kau harus dapat melaporkan kepadaku. Di mana letak perkemahan mereka
dengan tepat. Sudut-sudut yang lemah dan penjagaan-penjagaan yang ada di
antara mereka.”
Agung Sedayu terkejut mendengar perintah
itu. Namun tidak ada kesempatan untuk mempersoalkannya. Kakaknya
menyebutnya dengan perintah. Perintah seorang senapati harus
dilakukannya Betapapun beratnya. Mengikuti Sumangkar bukanlah pekerjaan
yang mudah. Orang itu adalah seorang yang sakti, yang pendengarannya
jauh lebih tajam dari pendengarannya sendiri.
Meskipun demikian, dada Agung Sedayu
dijalari pula oleh suatu perasaan yang tidak dapat diingkarinya. Bangga,
namun juga cemas. Bangga atas tugas yang dipercayakan kepadanya, tidak
kepada orang lain. Namun ia cemas bahwa ia akan gagal melakukannya.
Bukan karena ia tidak berani, tetapi disadarinya sepenuhnya, siapa yang
dihadapinya kali ini.
Dalam pada itu terdengar kakaknya berkata, “Agung Sedayu kau harus kembali sebelum malam besok.”
Tanpa berpikir Agung Sedayu menjawab, “Baik Kakang.”
“Nah, cepat berangkat. Kalau kau terlambat kau akan kehilangan jejak Paman Sumangkar.”
“Baik Kakang,” sahut Sedayu pula.
Namun sebelum Sedayu berangkat, terdengar Kyai Gringsing berkata, “Apakah kau sungguh-sungguh, Untara.”
Untara berpaling. Ditatapnya wajah Kyai
Gringsing. Kemudian jawabnya, “Tentu Kyai. Aku memerlukan laporan
tentang daerah lawan, keadaannya, kekuatannya dan segala macam persoalan
yang mungkin dapat kita perhitungkan dalam setiap saat dan keadaan yang
perlu.”
“Bukankah kau mempunyai beberapa orang pembantu dan bahkan ada yang dekat dengan lingkungan mereka?”
“Aku kurang mempercayainya seperti aku
mempercayai Agung Sedayu. Mungkin aku berhadapan dengan ular berkepala
dua, karena itu aku harus mencocokkan keadaan, sebelum aku melakukan
tindakan terakhir. Bukankah Sumangkar akan menunjukkan jalan itu.”
Kyai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, kemudian katanya, “Kenapa Agung Sedayu, bukan orang lain, Angger Widura misalnya?”
Untara menggigit bibirnya. Sesaat ia
terdiam, namun kemudian ia menjawab, “Paman Widura adalah pimpinan
prajurit Sangkal Putung. Ia tidak dapat meninggalkam tugasnya.”
“Bagus, bagus,” desah Kyai Gringsing, “kau cerdik Untara.”
“Kenapa?” bertanya Untara.
“Tidak apa-apa,” sahut Kyai Gringsing. “Pergilah Agung Sedayu.”
“Baik Kyai,” sahut Agung Sedayu, kemudian
dengan ringkas ia mohon diri kepada kakak dan pamannya. “Aku berangkat
Kakang, dan aku minta doa Paman Widura, semoga berhasil.”
Widura berdiri tegak seperti patung. Ia
menyadari bahaya yang dapat terjadi atas kemanakannya. Sumangkar bukan
orang yang setingkat dengan anak muda itu, karena itu ia ragu-ragu
melepaskannya. Meskipun demikian, perintah itu datang dari senapati yang
mendapat kekuasaan langsung dari Panglima Wira Tamtama Pajang, karena
itu dengan hati berat ia menjawab, “Hati-hatilah Agung Sedayu. Tugasmu
terlampau berat.”
Agung Sedayu tidak berkata apa-apa lagi.
Ia takut kehilangan jejak. Karena itu, segera ia melangkah, meninggalkan
kakaknya, pamannya dan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung.
Swandaru yang tertegun keheranan atas
perintah itu, tiba-tiba seperti orang tersadar dari mimpi. Terbata-bata
ia berkata, “Aku ikut serta Kakang Sedayu.”
Sebelum Sedayu menjawab, terdengar Untara menyahut. “Jangan Swandaru. Biarlah ia berjalan sendiri.”
Yang mendengar jawaban Untara itu pun
menjadi heran pula. Apakah sebenarnya maksud Untara dengan perintahnya
kepada adiknya itu. Perintah yang sangat berbahaya dan hampir-hampir tak
masuk akal mereka. Agung Sedayu harus mengikuti jejak orang sesakti
Sumangkar.
Namun kemudian mereka benar-benar harus
melepaskan Agung Sedayu. Mereka hanya dapat memandang anak muda itu
berjalan dan menghilang di dalam gelap searah dengan menghilangnya
Sumangkar.
Demikian Agung Sedayu masuk ke dalam
hutan, demikian ia merasa terlempar ke dalam suatu daerah kelam yang
sama sekali tak dikenalnya, yang dapat dilihatnya hanyalah tabir hitam
pekat menyelubunginya. Satu-satu ia dapat melihat remang-remang
pepohonan yang sudah sedemikian dekat dengan hidungnya. Namun yang lain
tak dapat dilihatnya.
Barulah ia kini menyadari, betapa sulit
tugas yang dibebankan kepadanya. Ia tidak tahu, ke mana ia harus
berjalan dan bagaimana mungkin ia dapat mengikuti jejak orang yang
bernama Sumangkar. Ia sama sekali tidak mendengar langkah kaki, desah
nafas dan apalagi melihatnya.
Tetapi ia tidak dapat kembali. Ia telah
berangkat membawa tugas Karena itu tugas itu harus dilakukannya
sebaik-baiknya. Apa pun yang akan terjadi.
Sekali-sekali timbul di dalam hatinya
perasaan-perasaan aneh seperti yang pernah dimilikinya dahulu. Gendruwo
bermata satu, macan putih dari Lemah Tengkar, hantu berwajah tampan dari
gunung Gowok. Satu-satu kenangan itu timbul tenggelam di dalam
benaknya. Namun Agung Sedayu kini bukanlah Agung Sedayu yang dahulu.
Meskipun perasaannya tentang hal-hal serupa masih saja sering membuat
lehernya meremang.
Agung Sedayu itu pun kemudian berjalan
setapak demi setapak maju. Tangan kirinya meraba-raba batang-batang
pohon yang dilampauinya, sedang lengan kanannya kadang-kadang meraba
hulu pedangnya, di lambung kiri. Setiap saat ia memerlukan pedang itu,
sebab setiap saat ia akan bertemu dengan bahaya.
Setelah agak lama Agung Sedayu berada di
dalam gelapnya hutan, maka perlahan-lahan matanya dapat menyesuaikan
diri dengan keadaan. Perlahan-lahan ia dapat melihat beberapa bagian
hutan itu di sekitarnya. Bahkan ketika ia menengadahkan wajahnya, ia
masih dapat melihat bayangan langit yang gelap karena mendung yang
mengalir dari Selatan di celah-celah dedaunan. Namun di antara awan yang
kelabu itu, Agung Sedayu kadang-kadang melihat seleret bintang
seolah-olah berkeredip kepadanya.
“Hem,” Agung Sedayu menarik nafas. Ia
masih belum tahu sama sekali, ke mana ia akan pergi. Ia menjadi cemas;
jangan-jangan akan tersesat dan tidak dapat menemukan jalan keluar.
Tetapi bagaimanapun perasaannya bergolak,
namun Agung Sedayu itu berjalan terus. Ia tidak tahu, apakah ia akan
dapat bertemu dengan jejak Sumangkar atau tidak. Tetapi ia begitu saja
memilih jurusan tanpa diketahui arahnya.
Dengan hati-hati Agung Sedayu berjalan
terus. Setiap kali ia berhenti memperhatikannya kalau-kalau ia mendengar
sesuatu. Mungkin langkah seseorang atau mungkin tarikan nafasnya.
Tetapi yang didengarnya hanyalah desir angin yang menggerakkan dedaunan.
Gemerisik lambat-lambat.
Agung sedayu berjalan terus.
Perlahan-lahan di antara semak-semak tang tumbuh di bawah pepohonan yang
besar. Agung sedayu tidak saja harus hati-hati menghadapi
lawan-lawannya, tetapi ia harus hati-hati pula menghadapi segala macam
binatang. Lebih-lebih lagi ular. Binatang yang sangat berbahaya dan
hampir-hampir tak dapat dilihatnya bagaimana binatang itu menyerang.
Dalam keremangan malam yang gelap itu,
tiba-tiba Agung Sedayu melihat sesuatu. Ia melihat gerumbul-gerumbul
tumbuh tidak wajar. Namun kemudian ia mengambil kesimpulan, bahwa
gerumbul itu baru saja diterobos oleh seseorang. Tidak hanya seseorang
menilik dahan-dahan yang patah dan daun yang terinjak-injak.
Dengan saksama Agung sedayu mencoba
memperhatikan gerumbul-gerumbul itu. Lama sekali, sebab malamnya pun
gelap sekali. Hampir ia mengamat-amati setiap daun dan ranting.
Diraba-raba dengan tangannya. Akhirnya Agung Sedayu berkesimpulan, bahwa
bukan Sumangkar yang ditemukannya jejaknya, tetapi prajurit Jipang yang
mengundurkan diri.
“Bukankah sama saja,” pikir Agung Sedayu, “kedua-duanya membawa aku ke sarang mereka.”
Tetapi dengan demikian Agung Sedayu
menjadi semakin menyadari, betapa sulitnya pekerjaannya. Betapa bahaya
yang dihadapinya. Mungkin ia akan bertemu dengan beberapa orang dari
prajurit Jipang yang mengundurkan diri itu. Dan ia harus bertempur di
dalam hutan. Meskipun ia sering berlatih bertempur malam hari dengan
pamannya dan kakaknya Untara, namun bertempur di dalam hutan yang gelap,
memerlukan kecakapan yang khusus.
“Jangan-jangan anak buah Macan Kepatihan
sudah terlalu biasa bertempur dalam gelap,” katanya di dalam hati. Namun
ditepiskannya untuk menghibur dirinya sendiri. “Ah, tidak. Mereka masih
memerlukan obor waktu mereka menyerang sangkal Putung di malam hari.
Kalau demikian, maka kita akan mendapat kemungkinan yang sama apabila
kita harus bertempur di malam gelap.”
Kembali Agung Sedayu maju perlahan-lahan.
Ia tidak mau kehilangan jejak. Setiap kali ia berhenti mengamat-amati
setiap dahan-dahan perdu yang patah dan daun-daun yang tersibak.
Ditelusurinya bekas-bekas itu selangkah demi selangkah. Dan ia tidak mau
jejak itu terputus.
“Mereka berjalan tergesa-gesa,” pikir
Agung Sedayu seterusnya, “sehingga jejak mereka menjadi sangat jelas.
Mudah-mudahan aku dapat menemukan sarang mereka.”
Semakin lama Agung Sedayu tenggelam
semakin dalam ke dalam hutan itu. Sedang malam pun semakin lama menjadi
semakin dalam tenggelam ke pusatnya.
Dalam pada itu Agung sedayu pun menjadi semakin mengenal jejak-jejak yang harus diikutinya.
Namun kemudian terasa tubuhnya semakin
lama menjadi semakin penat. Sehari ia bertempur. Sehari ia tidak makan
dan minum kecuali makan pagi. Karena itu, kini terasa, betapa ia lapar
dan haus. Dengan demikian langkahnya pun menjadi semakin lambat, bahkan
kemudian ia berpikir, “Apakah tidak lebih baik aku beristirahat? Besuk
apabila hari menjadi terang, aku pasti akan dapat menemukan sarang
mereka.” Namun kemudian timbullah pikirannya yang lain, “Tetapi di siang
hari kedatanganku pasti segera diketahui oleh mereka. Padahal besok
sebelum malam aku harus sudah melaporkannya kepada Kakang Untara.”
Agung Sedayu menjadi bimbang. Akhirnya,
Betapapun letihnya, Betapapun haus dan lapar, ia berjalan terus. Ia
mengharap dapat menemukan tempat itu, kemudian ia mengharap hujan turun
supaya ia mendapatkan air untuk minum.
“Tetapi apabila hujan turun, aku akan kehilangan jejak. Dan mungkin aku tidak akan dapat kembali menemukan jalan ini,” pikirnya.
“Ah, aku harus membuat tanda-tanda sendiri,” desisnya tiba-tiba .
Agung sedayu itu pun segera menarik
pedangnya. Ia ingin membuat tanda-tanda yang lebih jelas dengan pedang
itu, supaya besok ia tidak tersesat pulang apabila hujan menghapuskan
jejak-jejak yang ditinggalkan oleh orang-orang Jipang. Apabila daun-daun
yang tersibak itu akan menjadi kabur karena hujan, dan karena daun-daun
itu ditundukkan oleh air hujan yang lebat.
Dengan pedangnya, Agung Sedayu membuat
goresan-goresan yang dalam pada batang-batang pepohonan, dan memotong
dahan-dahan yang agak besar. Membuat tanda-tanda dengan menancapkan
beberapa potong kayu di tanah dan berbagai macam yang lain dengan sangat
teliti, supaya suaranya tidak mengganggu ketenangan malam di dalam
hutan itu.
Ketika kemudian terdengar burung hantu di
kejauhan, kembali leher Agung Sedayu meremang. Burung hantu mempunyai
kesan yang khusus bagi yang mendengarnya. “Ah,” katanya di dalam hati,
“suara itu adalah suara burung hantu. Ia tidak dapat bersiul dengan cara
yang lain, seperti burung kepodang misalnya.” Namun meskipun demikian,
setiap bunyi burung itu; terasa sebuah ketukan di jantungnya.
Tetapi Agung Sedayu itu tiba-tiba
tertegun. Ia mendengar sebuah suara yang lain. Bukan suara burung hantu.
Perlahan-lahan, namun terus menerus.

Agung sedayu menarik nafas. Pedangnya
masih di dalam genggamannya, dan dengan ujung pedang mendatar setinggi
perutnya ia berjalan dengan sangat hati-hati.
Dengan penuh kewaspadaan ia
mengamat-amati keadaan. Mencoba menangkap setiap suara dan melihat
setiap gerak. Namun keadaan di hutan itu terlampau sepi. Dan suara itu
masih saja, didengarnya.
Agung Sedayu itu pun kemudian berhenti. Semakin lama, semakin jelas, bahwa suara itu adalah suara rintihan seseorang.
“Siapa?” desis Sedayu di dalam hatinya.
Tetapi Agung Sedayu tidak segera
mendekatinya. Ia tidak tahu pasti apa yang telah terjadi. Apakah suara
itu suara rintihan seseorang yang terluka dalam suatu perkelahian? Kalau
demikian maka lawan orang itu pasti masih ada di sekitarnya dalam
keadaan yang baik. Tetapi bagaimana kalau karena sebab lain?
Agung Sedayu itu pun kemudian malahan
mencoba mencari perlindungan di belakang dedaunan. Mungkin sesuatu
terjadi. Namun beberapa saat kemudian rintihan itu masih saja
didengarnya. Selain itu, sepi sehingga Agung Sedayu itu menjadi tidak
sabar.
Meskipun ia tidak kehilangan kewaspadaan,
namun ia berusaha mendekatinya. Perlahan-lahan, menyusur
gerumbul-gerumbul yang cukup pekat. Agung Sedayu masih cukup sadar,
bahwa bahaya mungkin akan menerkamnya dengan tiba-tiba. Karena itu, maka
setiap gerak selalu disertai dengan kesiagaan tertinggi.
Tetapi suara itu masih saja didengarnya.
Terus menerus dan dari arah yang sama. Maka dengan tidak banyak
kesukaran Agung Sedayu kemudian berhasil mendekatinya.
Ketika Agung Sedayu telah berada beberapa
langkah saja dari suara itu. Agung sedayu berhenti. Ia kini berada di
dalam sebuah gerumbul kecil. Sekali-sekali terasa tubuhnya tersentuh
beberapa macam tumbuh-tumbuhan berduri. Namun ia berdiri saja tidak
bergerak. Bahkan ia mencoba menguasai suara pernafasannya.
Dan suara itu masih saja didengarnya.
Sebuah rintihan yang panjang. Terus menerus tidak henti-hentinya. Ketika
Agung Sedayu mencoba mengamati keadaan di sekelilingnya, maka tiba-tiba
dilihatnya orang itu. Orang yang merintih-rintih dengan pedihnya.
Dalam keremangan. malam, Agung sedayu melihat tubuh orang itu tergolek di tanah; di antara pohon-pohon perdu.
Sesaat Agung Sedayu masih tegak di
tempatnya. Ia masih ragu-ragu, apakah orang itu benar merintih karena
sesuatu penderitaan jasmaniah, atau karena sebab-sebab lain. Bahkan
dalam keadaan serupa itu, Agung Sedayu dapat berprasangka bahwa orang
itu sebenarnya sama sekali tidak menderita apapun; namun dengan sengaja
telah memancingnya untuk mendekat. Adalah berbahaya sekali apabila
tiba-tiba orang itu menyerangnya selagi ia kehilangan kewaspadaan.
Namun suara orang itu selalu
menyentuh-nyentuh perasaannya. Rintihan itu terdengar sedemikian
pedihnya. Bahkan beberapa kali ia mencoba untuk memanggil beberapa nama.
Tetapi Agung Sedayu tidak begitu jelas mendengarnya.
Akhirnya Agung Sedayu, yang perasaannya mudah tergetar karena bermacam-macam hal dan keadaan; menjadi tidak sabar lagi.
Seakan-akan ia melihat seseorang yang
sedang bergulat melawan maut. Itulah sebabnya, maka dengan sangat
hati-hati ia melangkah maju lagi. Pedangnya terjulur lurus-lurus ke arah
tubuh yang terbaring itu. Setiap gerakan akan cukup menjadi alasan
untuk sekali loncat dan pedangnya akan membenam di tubuh itu.
Tetapi tubuh itu terbaring diam. Hanya suara rintihannya sajalah yang terdengar menggamit hati.
Ketika jarak orang itu tinggal beberapa
langkah lagi, Agung sedayu berhenti. Ditatapnya tubuh yang tergeletak
itu dengan saksama. Namun dalam keremangan malam, ia sama sekali tidak
dapat mengetahui, apakah ada sesuatu cedera jasmaniah pada orang itu.
Dalam keadaan yang penuh dengan
keragu-raguan dan ketegangan terdengar Agung Sedayu berdesis, “Siapa
kau, dan kenapa kau terbaring di situ?”
Orang yang merintih itu agaknya mendengar suaranya. Dengan suara yang parau dan tertahan-tahan ia menyapa lirih, “Siapakah kau?”
“Aku bertanya siapa kau?” sahut Agung Sedayu curiga.
Agung Sedayu melihat orang itu bergerak.
Selangkah ia meloncat surut, dan pedangnya terjulur lurus ke depan.
Namun orang itu tidak bangkit dan suara rintihannya kembali terdengar.
Tetapi Agung Sedayu masih saja dicengkam
kebimbangan, karena ia belum memliki pengalaman yang cukup menghadapi
berbagai keadaan yang belum dikenalnya.
Yang terdengar kemudian adalah desis yang sayu, “Aku hampir mati karena lukaku. Apakah kau dapat memberi aku air?”
“Air?” ulang Agung Sedayu.
“Ya, kerongkonganku serasa kering.”
Agung Sedayu menyadi bingung, Darimana ia
mendapatkan air, sedang ia sendiri haus bukan main. Karena itu maka
jawabnya,”Sayang. Aku tidak tahu kemana aku harus mencari air.”
“Oh,” orang itu mengeluh, lalu katanya, “siapakah kau?”
“Kau siapa? Dan kenapa kau terluka?
“Prajurit Pajang lah yang telah melukai aku.”
Dada Agung Sedayu berdesir. Cepat ia
dapat mengambil kesimpulan, bahwa orang itu adalah orang Jipang. Tetapi
kenapa ia terbaring sendiri di tengah-tengah hutan ini? Apakah ini bukan
sekedar pancingan untuk menjebaknya.
Tetapi Agung Sedayu telah terlanjur berdiri didekat orang itu, karena itu maka ia bertanya pula, “Hem. Kenapa kau dilukainya?”
Orang yang terbaring itu menjawab sayup-sayup, “Kami sedang berperang. He, siapakah kau? Apakah kau bukan kawan kami ?”
Agung Sedayu berbimbang sesaat. Kemudian jawabnya,”Bukan.”
“Oh, apakah kau orang Pajang? Kalau begitu selesaikan pekerjaanmu. Bunuhlah aku dari pada aku tersiksa di sini?”
“Kemana kawan-kawanmu?”
“Aku tidak tahu. Aku berjalan di ujung
belakang karena lukaku, sehingga tubuhku menjadi sangat lemah. Ketika
aku terjatuh di sini; tak seorang pun yang melihatnya.”
Agung Sedayu terdiam sesaat. Dicobanya
untuk mengurai persoalan yang dihadapinya itu. Namun kata-kata orang
yang terbaring itu masuk diakalnya. Meskipun demikian ia tidak dapat
segera mempercayainya. Maka kembali ia bertanya, “Orang manakah kau? Dan
kenapa kau berperang dengan orang Pajang?”
Orang itu tidak segera menyawab.
Dicobanya untuk bergerak, tetapi kemudian terdengar ia mengeluh panjang,
“Aku sudah tidak dapat menggerakkan tubuhku sama sekali. Darahku sudah
terlampau banyak mengalir. Karena itu aku tidak perlu merahasiakan
diriku lagi. Aku adalah prajurit Jipang. Apakah kau bukan orang Pajang?”
Kembali Agung Sedayu terdiam sesaat.
Bagaimana ia harus menyawab pertanyaan itu. Namun sehelum ia menyawab,
terdengar suara lemah dan parau dari orang yang terbaring itu, “Kalau
kau orang Pajang kau pasti tahu, kenapa kami berperang melawan prajurit
Pajang.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Dicobanya untuk menenangkan hatinya. Baru kemudian menjawab, “Ya. Aku
memang orang Pajang.”
Orang yang terbaring itu menggeram.
Kemudian katanya, “Bagus. Kenapa kau bertanya segala macam sebab
peperangan ini? Kau hanya berpura-pura untuk memancing pendirianku.
Sekarang bunahlah aku daripada aku menderita.”
“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kenapa kawan-kawan mu tidak menolongmu?”
“Apa kepentinganmu menanyakan itu?
Bukankah kau telah membunuh kawan-kawanku pula. Sekarang apa yang kau
tunggu lagi? Hadiahmu akan bertambah sehelai kampuh karena kau berhasil
membunuh seorang lagi dari antara kami.
“Jangan berkata begitu.”
“Kenapa?”
“Di dalam peperangan kita saling
membunuh. Itu bukan kemauan kita orang seorang. Tetapi kita dihadapkan
pada suatu keadaan yang tak dapat kita hindari. Bukankah kau
merasakannya juga.”
Terdengar nafas orangyang terbaring itu
terengah-engah. Ruparupanya di dalam dadanya yang semakin lemah itu
telah menyala api kemarahan yang membakar segenap darah dagingnya.
“Persetan,” geramnya. Namun terdengar suaranya menjadi semakin dalam,
“Sekarang bunuhlah aku supaya aku tidak membunuhmu. Bukankah di dalam
peperangan hanya ada satu pilihan dari dua kemungkinan, membunuh atau
dibunuh?”
“Kita sekarang tidak berada dalam peperangan. Kita dapat menemukan kemungkinan yang lain,” sahut Agung Sedayu.
“Kenapa kau mengingkari tugasmu sebagai seorang prajurit? Bunuhlah musuhmu. Habis perkara.”
“Seorang prajurit bukanlah seorang
manusia yang biadab. Prajurit harus memiliki sifat kejantanan, namun
harus memiliki pula sifat-sifat ksatria.”
Agung Sedayu berhenti sesaat. Ketika
orang yang terbaring itu tidak menyahut, maka diteruskannya, “Seorang
kesatria harus memiliki pengabdian yang lengkap. Bukan saja pengabdian
lahiriah. Pengabdian kepada tanah tumpah darah, kepada kampung halaman,
tetapi harus juga memiliki pengabdian rohaniah. Pengabdiannya kepada
tanah tumpah darah, kepada kampung halaman harus dilambari atas
pengabdian dan kebaktiannya kepada Sumber hidupnya dan kepada
kemanusiaan.”
“Jangan sesorah. Aku tidak dapat
mendengar lagi,” sahut orang itu terbata-bata, “kalau benar kau memiliki
sifat-sifat yang tajam dalam pengabdianmu atas kemanusiaan, kenapa kau
tidak membunuh aku? Supaya aku tidak menderita?”
“Kau belum mati. Setiap nyawa yang masih
melekat ditubuhnya masih ada kemungkinan untuk hidup terus. Kalau aku
membunuhmu dengan dalih kemanusian, maka kemanusiaan yang demikian
adalah kemanusiaan yang tidak berpijak pada Sumber Hidupnya, kepada
Tuhannya.”
“Dalam peperangan kau juga membunuh”
“Bukankah kita membunuh karena kita ingin
menghindarkan pembunuhan yang lebih besar? Kita membunuh dalam
batas-batas peri kemanusiaan. Sebab kita mempunyai keyakinan bahwa kita
sedang mempertahankan unsur kemanusiaan yang lebih besar. Kita
menghindarkan pembunuhan yang bakal terjadi karena perbuatan lawan kita
atas kami dan keluarga kami. Meskipun cara yang dipergunakan
berbeda-beda. Bahkan pembunuhan dengan cara perlahan-lahan adalah lebih
mengerikan. Kalau musuh kita merampas segala milik kita, menindas kita
dan memperlakukan kita di luar batas peri-kemanusiaan, itu adalah sama
kejamnya dengan pembunuhan itu sendiri. Penghisapan, pemerasan, dan
pengingkaran atas keadilan dan kebenaran sejati.”
Orang yang terbaring itu tidak menyahut.
“Ki Sanak. Lukamu agak parah. Kau tidak
akan dapat barbuat sesuatu lagi bagi kami. Karena itu aku tidak dapat
membunuhmu. Tetapi aku tidak mempunyai alat dan cara untuk menolongmu.”
Orang tu masih terdiam.
“Bagaimana?”
Terdengar keluhan yang panjang dari mulut
orang yang terbaring ku. Kemudian katanya, “Terserah kepadamu. Kalau
kau tidak mau membunuhku, aku tidak dapat memaksamu.”
“Kenapa kawan-kawanmu meninggalkan kau sendiri?”
“Mereka tidak mengetahuinya. Aku terjatuh jauh di belakang mereka. Dan suaraku tidak cukup keras untuk memanggil mereka.”
“Apakah mereka belum lama lewat di sini?”
“Belum.”
“Apakah paman Sumngkar juga baru saja lewat di sini?”
“Sumangkar? la adalah juru masak kami, ia tinggal di perkemahan.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
Meskipun tidak diketahuinya, apakan benar kata orang itu bahwa Sumangkar
seorang juru masak, namun menurut orang itu ternyata ia belum lewat
tempat ini.
Karena itu, maka kembali Agung Sedayu
berdebar-debar. Kalau saja Sumangkar itu lewat dan melihatnya; apakah
katanya? Tetapi kembali timbul keragu-raguannya. Sumangkar sudah
berjalan lebih dahalu, apalagi ia seorang sakti yang telah mengenal
daerah dengan baik. Mustahil kalau Sumangkar dapat dilampauinya.
Maka kemudian ia bertanya, “Apakah ada jalan lain keperkemahanmu selain jalan ini?”
“Ada seribu jalan.”
“Kenapa seribu?”
“Seribu jalan atau tak ada jalan sama sekali. Semua arah dapat dilalui. Semua arah merupakan hutan yang pepat.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Semua kata-katanya masuk akal baginya. Terasa orang yang
telah terluka itu berkata seadanya. Seakan-akan tak adayang
disembunyikannya lagi. Meskipun demikian Agung Sedayu tetap tidak
kehilangan kewaspadaan. Perlahan-lahan ia mendekatinya. Dan sekali lagi
ia mendengar orang itu mengerang,, “Aku sangat haus.”
Timbullah iba yang dalam di hati Agung Sedayu. Tetapi apa yang akan dilakukannya?
Ketika ia melangkah semakin dekat. Ujung
pedangnya sama sekali tidak bergeser dari arah tubuh orang yang
terbaring itu. Agung Sedayu kemudian melihat sesuatu terletak di
sampingnya. Sebatang tombak. Agaknya tombak itu adalah senjatanya.
“Kau tak perlu bersiaga,” desah orang
itu, “aku tidak kuat lagi mengangkat tombakku. Ambillah dan tusukan
kedadaku. Aku sudah tidak mampu melawan.”
“Tidak,” sahut Sedayu. Namun pedangnya tidak juga menunduk.
Orang itu mengeluh. Dan keluhan itu telah membuat hati Agung Sedayu semakin berdebar-debar karena ibanya.
Dalam pada itu kebimbangan di dadanya menjadi kian melonjak-lonjak.
Tetapi semakin dekat, Agung Sedayu dapat
merasakan, betapa nafas orang itu terengah-engah. Perlahan-lahan
erangnya menyentuh hatinya.
“Apakah lukamu parah?”
“Hampir mencabut nyawaku. Aku ingin itu lekas terjadi.”
“Jangan,” potong Agung Sedayu.
Orang itu tidak menyawab. Dalam keadaan
yang tegang Agung Sedayu mencoba mencari jalan untuk dapat menolong
orang itu. la kini telah menemukan jejak yang dapat membawanya
keperkemahan orang-orang Jipang. Kalau ia dapat menolong orang ini,
membawanya menepi dan keluar dari hutan ini: mungkin orang ini akan
tertolong. Seterusnya ia dapat meninggalkannya di tepi hutan setelah
diberinya minum, atau menyerahkannya kepada kawan-kawannya apabila masih
ada yang dapat dijumpai di bekas-bekas pertempuran. Mereka yang
bertugas merawat orang yang terluka.
Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu.
Bagaimana kalau dengan demikian tugasnya terlambat. Bagaimana kalau
kemudian hujan yang lebat menghapus bekas-bekas jejak orang-orang
Jipang, sehingga ia tidak dapat menemukannya lagi? Bagaimanakah kalau
perintah yang harus dilakukannya itu gagal?
Agung Sedayu menjadi bimbang. Disatu
pihak ia merasa wajib melakukan tugasnya, namun dilain pihak ia merasa
wajib menolong jiwa yang sedang berjuang melawan maut.
Dalam keragu-raguan itu Agung Sedayu
bahkan berdiri saja di tempatnya seperti patuhg. Sekali-sekali ia ingin
meneruskan perjalannya, namun sesaat kemudian rintih orang yang terluka
itu seakan-akan menggores dalam di jantungnya.
Dalam kegelapan malam Agung Sedayu
mencoba memperhatikan tubuh itu sebaik-baiknya. Bahkan kemudian ia
melangkah semakin dekat lagi.
“Kau ingin melihat luka itu ?” desah orang yang terbaring itu.
Tanpa sesadarnya Agung Sedayu berkata, “Iya.”
“Mendekatlah. Lambungku sobek karena tusukan tombak orang Pajang.”
Agung Sedayu mendekatkan wajahnya.
Pedangnya kini bahkan telah melekat di dada orang itu. Sehingga akhirnya
ia dapat melihat luka itu. Benar-benar sebuah luka yang parah. Darahnya
masih saja mengalir tak henti-hentinya. Karena itu, maka tiba-tiba ia
menggeser pedangnya, dan meraba luka itu dengan sebelah tangannya.
Orang itu mengeluh. Dan keluhan itu telah membuat hati Agung Sedayu semakin berdebar-debar karena ibanya.
Dalam pada itu kebimbangan di dadanya menyadi kian melonjak-lonjak.
Ketika ia sibuk mempertimbangkan
keputusan yang akan di ambilnya, maka hutan itu menjadi sepi. Betapapun
orang yang terbaring itu mencoba menahan diri, namun masih juga
terdengar ia mengeluh.
“Aku sangat haus,” katanya.
“Di sini tidak ada air,” sahut Sedayu.
Orang itu terdiam. Agung Sedayu pun terdiam pula.
Namun tiba-tiba Agung terkejut. Ia
mendengar gemerisik daun di sampingnya. Cepat ia menegakkan pedangnya.
Dengan satu loncatan ia telah tegak di atas kedua kakinya yang kokoh.
Pedangnya telah siap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
Gemerisik dedaunan itu masih didengarnya.
Bahkan semakin jelas. Dan tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh muncul
dari dalam rimbunnya dahan perdu. Bukan sesosok tubuh saja, tetapi
sesosok orang lain tergantung di pundaknya.
“Paman Sumangkar,” desis Agung Sedayu.
Sumangkar memandangi Agung Sedayu dengan
tajamnya. Seakan-akan mata itu dapat menyala di dalam gelap. Dari
sela-sela bibirnya terdengar ia menggeram, “Angger Agung Sedayu, kenapa
angger berada di tempat ini?”
Agung Sedayu menjadi bimbang. Bagaimana
ia harus menjawab pertanyaan itu ? Karena itu untuk sesaat ia berdiam
diri. Namun keringat dinginnya telah membasahi seluruh tububnya.
Dalam pada itu terdengar Sumangkar berkata perlahan-lahan, “Aku sudah menyangka, bahwa seseorang pasti akan mengikuti jalanku.”
Agung Sedayu masih berdiri kaku tegang di
tempatnya, seakan-akan anak muda itu membeku. Namun tanpa
dikehendakinya sendiri pedangnya perlahan-lahan terangkat dalam
genggamannya yang semakin kuat.
Yang terdengar adalah suara Sumangkar,
“Ternyata dugaanku tepat. Malahan angger Agung Sedayu sendiri yang telah
mendapat kehormatan mengikuti jejakku. Namun agaknya angger terlalu
tergesa-gesa. Angger tidak mencari jejakku, tetapi angger telah
terjerumus kedalam bekas-bekas jejak orang-orang Jipang yang
mengundurkan diri.”
Agung Sedayu menggigit bibirnya, ia
melihat bahaya menghadang di hadapanya. Namun sejak ia berangkat, ia
telah menyadari tugasnya. Tugas itu sangat berat. Tugas untuk mengikuti
seorang sakti seperti Sumangkar. Ternyata bahwa bukan ia yang mengikuti
orang itu tetapi sebaliknya, Sumangkar-lah yang telah mengikutinya.
Namun semuanya sudah terjadi. Kini ia sudah langsung berhadapan dengan
bahaya.
Terasa dada Agung Sedayu berdesir.
“Tetapi agaknya Angger Agung Sedayu
menganggap bahwa tak ada bedanya mengikuti jejakku atau jejak prajurit
Jipang itu. Memang sebagian anggapan Angger benar, karena Angger pasti
akan sampai pula di perkemahan kami.”
Agung Sedayu masih berdiri mematung. Sepatah kata pun ia belum menjawab.
Karena Agung Sedayu masih berdiam diri,
kembali terdengar suara Sumangkar, “Nah, Ngger, apakah Angger masih
tetap akan meneruskan usaha Angger untuk menemukan tempat itu?”
Terdengar Agung Sedayu menggeram.
Pertanyaan itu benar-benar memusingkan kepalanya. Ia mendapat tugas
untuk melihat dengan mata kepala sendiri perkemahan itu. Menelusuri
jalan-jalan yang dapat dilalui, bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi
bagi seluruh kekuatan pasukan Pajang. Kakaknya agaknya kurang puas
dengan laporan-laporan yang telah diterimanya mengenai perkemahan itu,
sehingga salah seorang kepercayaannya harus sempat mengetahui
kebenarannya. Namun apakah di hadapan Sumangkar ia dapat mengatakan yang
sebenarnya.
Dalam kebimbangan itu terdengar Sumangkar mendesak, “Bagaimana?”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Diaturnya debar jantungnya, ketika ia menjadi agak tenang maka ia
menjawab, “Aku telah menerima perintah itu, dan aku harus melakukannya.
Kecuali kalau hal itu tidak mungkin aku lakukan.”
“Apakah menurut penilaian Angger, Angger akan mungkin melakukannya?”
“Aku tidak tahu, tetapi aku harus mencoba.”
“Apakah Angger tidak menyadari, bahwa aku adalah salah seorang dari penghuni perkemahan itu?”
“Ya.”
“Bahwa aku akan dapat membunuh Angger Sedayu dengan mudah apabila aku mau.”
“Ya.”
“Nah, sekarang apakah Angger masih tetap dalam pendirian Angger untuk berjalan terus?”
Dada Agung Sedayu bergolak. Ia adalah
seorang anak muda yang pada dasarnya tidak senang cepat mati. Bahkan
demikian takutnya Agung Sedayu kepada kematian itu, sehingga ia pernah
mengalami suatu masa yang sangat memalukan. Namun kini, betapa ia tidak
ingin mati, tetapi terasa sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Tugas
yang diberikan oleh kakaknya, seakan-akan sedemikian berat membebani
diri dalam pertanggung-jawaban atas kehormatannya.
Karena itu, maka pertanyaan Sumangkar itu
tiba-tiba telah membakar jantungnya. Dengan wajah yang menyalakan tekad
yang membara di dalam dadanya terdengar Agung Sedayu mendjawab, “Paman
Sumangkar, aku telah berangkat melakukan tugas atas perintah Senapati
Pajang yang di tempatkan di daerah ini, dan aku telah menyanggupkan diri
untuk melakukannya. Karena itu, aku harus berjalan terus. Kalau aku
harus terbunuh dalam tugas ini, maka itu adalah salah satu akibat yang
selalu dapat terjadi atas seseorang yang sedang melakukan kewajiban yang
penting.”
Jantung Sumangkar berdentangan mendengar
jawaban itu. Bahkan terasa mulutnya menjadi gemetar, sehingga
kata-katanya pun gemetar pula, karenanya.
“Angger, kau telah membuat aku bingung.”
Agung Sedayu berdiam diri. Namun ia cukup bersiaga.
“Aku menyesal bahwa aku mengintip terlalu
lama di belakang gerumbul, sehingga aku melihat bagaimana Angger telah
berbuat atas salah seorang kawanku ini.”
Tanpa disengaja Agung Sedayu berpaling ke arah orang itu yang masih nampak mengerang, Betapapun ia mencoba menahan sakitnya.
“Orang itu benar-benar terluka,” katanya
di dalam hati. “Kalau apa yang dilakukan itu hanya sekedar pancingan,
maka setelah paman Sumangkar hadir di tempat ini ia tidak perlu masih
harus berbaring di tanah yang lembab dan kotor itu.”
Tetapi yang didengarnya adalah kata-kata
Sumangkar, “Kalau aku tidak melihat, apa yang telah Angger lakukan dan
Angger katakan kepada orang yang terluka ini, maka aku tidak usah
berpikir terlampau panjang, mungkin Angger telah terbunuh saat ini
karena Angger telah mencoba memata-matai aku.”
Gelora di dalam dada Agung Sedayu pun
menjadi semakin keras dan ia mendengar Sumangkar berkata terus. “Kenapa
Angger tidak mau membunuh atau membinasakan saja orang itu, supaya aku
tidak ragu-ragu melakukan perbuatan serupa atas Angger. Kenapa Angger
tidak membelah dadanya dan menyilang punggungnya dengan pedang seperti
yang pernah dilakukan oleh Angger Sidanti atas Plasa Ireng dahulu?”
Agung Sedayu masih terbungkam. Yang
terdengar hanyalah gemeretak giginya karena berbagai perasaan yang
bergelut di dalam dadanya.
Sejenak mereka terdiam. Sumangkar berdiri
termangu-mangu dengan Tohpati masih di pundaknya. Agung Sedayu tegak,
seperti patung seorang prajurit yang siap menusukkan pedang di lambung
lawannya. Sedang di sampingnya masih terbaring seorang yang luka parah
sambil mengerang kesakitan.
Angin malam yang dingin perlahan-lahan
mengusik tubuh mereka. Daun-daun yang bergetaran membuat suara
gemerisik, seperti suara orang yang saling berbisik di antara
batang-batang yang tegak berserak-serak.
Yang terdengar kemudian adalah suara orang yang terluka itu perlahan-lahan , “Apakah kau Sumangkar juru masak itu?”
“Ya, aku Sumangkar juru masak.”
“Apa kerjamu di sini?”
“Tidak apa-apa.”
Orang itu mengerang kembali. Kemudian katanya, “Apa kau dapat menolong aku?”
Sumangkar tertegun sejenak. Dan orang itu
berkata terus, “Rupa-rupanya kau sedang membujuk prajurit Pajang itu
untuk membunuhku Sumangkar, kalau kau dapat usahakanlah. Aku memang
sudah tidak akan dapat sembuh.”
“Tidak.”
Tiba-tiba terdengar suara Agung Sedayu
meledak. Suara itu seakan-akan dilontarkannya dengan serta merta untuk
melepaskan tekanan-tekanan yang selama itu menghimpit dadanya.
Sumangkar terkejut mendengar teriakan
itu. Bahkan orang yang sudah terbaring itu pun terkejut. Sekali ia
menggeliat namun kemudian kembali terdengar keluhnya semakin pedih dan
melambat.
“Paman Sumangkar,” berkata Agung Sedayu
lantang, “lakukanlah apa yang akan kau lakukan, kalau kau akan mencoba
membunuhku cobalah. Kalau aku mati terbunuh cepatlah terjadi. Kalau aku
mampu menyelamatkan diriku biar segera terjadi pula. Kemudian salah
seorang dari kita akan mendapat kesempatan untuk menolong orang ini.”
Yang terdengar adalah tarikan nafas
Sumangkar. Bahkan kemudian terdengar ia mengeluh, “Hem, kenapa Angger
Agung Sedayu yang mendapat tugas ini.”
“Apa bedanya?”
“Baiklah,” berkata Sumangkar sambil
mengangkat wajahnya. “Aku adalah seorang prajurit. Aku tidak boleh
tenggelam dalam kebimbangan perasaanku. Aku harus dapat mengendalikan
perasaanku dengan nalar. Karena itu, maka bagaimanapun juga Angger Agung
Sedayu harus tidak dapat mengikuti jejakku maupun jejak para prajurit
Jipang.”
“Aku sudah bersiap,” sahut Agung Sedayu dengan tatagnya, “apa pun yang akan kau lakukan.”
Terdengar Sumangkar menggeram. Namun ia
tidak beranjak dari tempatnya. Jantungnya terasa berdentangan dan
otaknya diamuk oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Sebagai seorang
prajurit ia tidak dapat mengorbankan pasukannya terjebak dalam perangkap
lawan. Namun sebagai manusia, ia tidak dapat berbuat apa-apa atas Agung
Sedayu setelah ia melihat dan mendengar bagaimana anak muda itu
bersikap dan berpendirian terhadap salah seorang prajurit Jipang.
Kembali mereka terdampar dalam keheningan
yang semakin tegang. Angin malam terdengar seperti suara gemerisik,
seolah-olah suara tarikan nafas berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus
orang yang sedang mengintai kedua orang yang berdiri kaku di tempat
masing-masing.
Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara orang yang luka parah itu, meskipun sangat perlahan-lahan, “Aku haus. Air. Air.”
Dada Agung Sedayu tersentak mendengar
keluhan itu. Suara itu langsung menyentuh dadanya. Sehingga sesaat ia
berjuang untuk mengatasi perasaannya, namun terloncat pula kata-katanya.
“Orang itu perlu air.”
Sumangkar mengangguk
“Ya, ia sangat memerlukan air.”
Tetapi keduanya tidak tahu, bagaimana
cara untuk menolongnya sebab masing-masing sedang terikat dalam
kewajiban mereka sendiri-sendiri.
Dalam ketegangan itu tiba-tiba kembali
mereka dikejutkan oleh suara gemerisik yang lain. Seperti digerakkan
oleh satu tenaga gaib, mereka berpaling, bahkan digerakkan oleh naluri
mereka masing-masing, maka segera mereka bersiap menghadapi setiap
kemungkinan.
———-oOo———-
(bersambung ke Jilid 013)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-12/
Satu Tanggapan
Tinggalkan Balasan

mbaca ulang wes sampe sini, nanti malem lanjut laGI