

NSSI-15
I.
Adapun Radite dan Anggara, ketika melihat
orang yang berjubah itu tegak di hadapan mereka seperti patung,
terlonjaklah dada mereka. Tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi bergetar
dan nafas mereka menjadi semakin cepat beredar. Karena pada tubuh yang
tegak mematung di hadapannya itu, seolah-olah terpancarlah suatu
kenangan atas masa silam. Suatu kenangan dari masa yang gemilang dari
seorang yang menamakan dirinya Pasingsingan. Ya, pada saat Radite berhak
mengenakan jubah yang berwarna abu-abu, seorang yang berhak mengenakan
topeng yang meskipun kasar dan jelek namun dari padanya terpancar suatu
harapan bagi setiap orang yang menyaksikannya. Karena dibalik wajah yang
kasar dan jelek itu tersembunyi suatu pengabdian yang luhur tanpa
pamrih. Tetapi keluhuran serta kemurnian pengabdian itu kemudian menjadi
lebur. Dan setelah itu nama Pasingsingan menjadi hancur. Nama
Pasingsingan dengan cepatnya meluncur hanyut ke dalam lumpur, karena
pokal seorang saudara seperguruannya yang bernama Umbaran. Tiba-tiba
kembali Radite terlempar pada suatu anggapan, bahwa dirinyalah sumber
dari segala bencana dan noda yang kemudian melekat dan mengotori jubah
abu-abu, topeng yang kasar dan jelek namun mamancarkan harapan damai
serta nama yang menggetarkan, ”Pasingsingan.”
Dan sekarang di hadapannya berdiri
seseorang yang mengingatkannya kepada dirinya beberapa tahun yang silam.
Tetapi yang pasti baginya orang yang berjubah itu bukanlah Umbaran.
Sebab bagaimanapun saktinya Pasingsingan, yang berasal dari orang yang
bernama Umbaran itu, namun tidaklah mungkin ia mampu menciptakan suasana
sedemikian seramnya.
Dalam pada itu, tiba-Tiba Radite teringat
akan sumber dari nama Umbaran. Sumber dari mahluk-mahluk yang kemudian
menyebut dirinya Pasingsingan. Teringatlah ia pada saat ia menerima
warisan jubah abu-abu serta segala kelengkapannya yang demikian saja
berada di dalam ruang tidurnya. Teringatlah ia ketika orang yang
mewariskan benda-benda itu kemudian lenyap tak berbekas. Yang kemudian
datang kembali ketika nama Pasingsingan itu telah ternoda dan berkata
kepadanya ”Bahwa tak ada gunanya untuk mencoba memperbaiki nama yang telah terbenam didalam arus ketamakan, kedengkian dan kejahatan.”
Radite adalah seorang tua yang mempunyai
mata hati yang tajam. Demikian pula adiknya, Anggara. Karena itu
tiba-tiba tergoreslah suatu tanggapan batin yang tak dapat diketahui
dari mana datangnya yang mengatakan padanya, bahwa kemungkinan
satu-satunya orang yang berdiri di hadapannya itu adalah gurunya
Pasingsingan Sepuh. Karena itu, seperti orang berjanji, Radite dan
Anggara tiba-tiba bersama-sama berjongkok dan membungkukkan kepala
mereka dengan takzimnya.
Orang yang berjubah abu-abu itu mundur
beberapa langkah ke belakang. Wajahnya yang kosong dan pucat, sama
sekali tak menampakkan sesuatu kesan. Apalagi didalam gelap malam, wajah
itu seolah-olah sama sekali tidak bergerak.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengarlah suara Radite serak, ”Guru…
ampunkanlah kami, atas segala ketikdaksopanan kami. Sebab kami sama
sekali tidak menduga bahwa kami masih berhak untuk memandang wajah guru
karena dosa-dosa kami.”
Orang yang berjubah abu-abu itu terdengar
menggeram. Lalu terdengarlah suaranya seolah-olah bergulung-gulung di
dalam perutnya, ”Radite dan Anggara, demikianlah, sejak aku kau
kecewakan, aku memang sudah berhasrat untuk tidak menjumpaimu lagi.
Sebab setiap aku memandang wajahmu, tergoreslah kembali luka di hati
ini. Bagaimanapun aku berusaha untuk bersikap sebagai seorang yang
berjiwa besar, namun ternyata aku bukanlah orang yang berjiwa demikian.
Meskipun aku tidak membebankan semua kesalahan kepadamu, namun dengan
menghindari pertemuan itu, aku berhasrat untuk melupakan segala-galanya
yang pernah terjadi. Melupakan gelar Pasingsingan yang sudah sejak
berpuluh tahun sebelumnya dipupuk dan disiangi, untuk kemudian dapat
berkembang dengan harumnya. Tetapi, kemudian karena sifat-sifat yang
sebenarnya alami dari setiap manusia, maka semuanya itu menjadi hancur.
Sifat-sifat alami yang tanpa kesadaran serta pengarahan yang benar, maka
kaburlah batas antara manusia yang berakal budi dengan mahluk-mahluk
lainnya, yang hanya mengenal sifat-sifat alami melulu sebagai naluri.”
Radite dan Anggara menundukkan wajahnya
dalam-dalam. Mereka sama sekali tidak berani menatap wajah orang yang
berdiri di hadapannya. Mereka merasakan benar-benar betapa kata-kata
orang itu langsung menembus jantung mereka. Dan karena kata-kata itu
pula kemudian Radite dan Anggara menjadi yakin seyakin-yakinnya bahwa
tidak mungkin ada orang lain yang dapat berbuat, bersikap dan berkata
kepadanya sedemikian itu selain Pasingsingan Sepuh. Karena itu maka
sekali lagi Radite menundukkan kepalanya sambil berkata parau, ”Guru,
telah sekian lama aku menanti, bahwa pada suatu saat aku akan dapat
membersihkan dosa-dosaku dengan menjalani hukuman yang dapat guru
jatuhkan kepadaku. Dan sekarang aku mendapat kesempatan untuk bertemu.
Karena itulah aku mohon, guru sudi berbuat sesuatu atas diriku sebagai
suatu pernyataan penyesalanku yang tiada terhingga.”
”Radite…” jawab orang yang berjubah itu, ”Pengakuan
atas kesalahan yang tiada dibuat-buat, yang diucapkan dengan jujur dan
ikhlas adalah suatu hukuman yang seberat-beratnya. Sebab, hukuman
bukanlah sekadar menyakiti, menyiksa atau penderitaan-penderitaan lain.
Tetapi tujuan dari pada hukuman yang sebenarnya adalah mencegah
terulangnya kesalahan itu. Kalau seseorang, dengan ikhlas dan jujur
telah mengakui kesalahannya dan berusaha dengan sepenuh hati untuk tidak
berbuat kesalahan-kesalahan lagi, maka menurut pendapatku tidak adalah
hukuman lain yang wajib ditimpakan atasnya.”
Sekali lagi kata-kata orang berjubah itu
meresap ke dalam setiap relung dada Radite maupun Anggara, seperti
meresapnya rasa sejuk dari percikan air yang telah wayu sewindu.
Meskipun demikian, karena beban perasaan yang terasa sangat berat
menghimpit hati, Radite mencoba sekali lagi mendesak, ”Guru,
bukankah hal yang demikian setidak-tidaknya akan dapat menjadi suri
tauladan, bahwa Radite mengalami hukuman atas kesalahannya? Sebab
apabila ada kesalahan yang lepas dari hukuman, maka ada kemungkinan
orang lain akan melakukan hal yang sama dengan harapan untuk membebaskan
diri pula dari setiap hukuman.”
Terdengarlah orang yang berjubah itu tertawa lirih. Jawabnya, ”Radite,
aku tahu bahwa kau ingin mengurangi tanggungan perasaanmu. Tetapi
ketahuilah, bahwa dengan penyesalan serta keikhlasanmu mengakui
kesalahanmu itu adalah hukuman yang sudah cukup berat. Sedang apabila
ada orang lain yang dengan sengaja berbuat kesalahan, kepadanyalah
hukuman harus dibebankan, bahkan dua kali lipat dari yang seharusnya.”
Radite menjadi terdiam. Untuk beberapa
saat suasana kembali dicekam oleh kesepian. Dalam pada itu timbul
pulalah berbagai pertanyaan di dalam dada Radite dan Anggara. Kalau
gurunya pada saat yang tiba-tiba tanpa diduga-duganya itu hadir di
hadapannya, apakah maksudnya? Ia tidak ingin memberi hukuman kepadanya,
sebaliknya gurunya itu telah bertekad untuk tidak menjumpainya lagi.
Tetapi sekarang orang itu ada disini. Baru kemudian teringatlah oleh
Radite bahwa disampingnya ada orang lain dari perguruan lain. Yaitu
Mahesa Jenar dan orang yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya.
Apakah kedatangan gurunya itu ada sangkut-pautnya dengan mereka itu?.
Karena itu kemudian bertanyalah ia, ”Guru, kalau demikian apakah aku berhak mempersilahkan guru untuk singgah ke dalam pondokku?”
Terdengar orang berjubah itu tertawa pendek. Lalu sahutnya, ”Radite,
kau agaknya terlalu cemas melihat bayanganmu sendiri. Bagiku, dosamu
tidak sebesar yang kau duga sendiri. Sudah aku katakan bahwa kalau aku
tidak ingin menjumpaimu lagi itu karena kekerdilan jiwaku sendiri. Jiwa
orang tua yang merindukan masa lampau itu tetap menjadi kebanggaannya.
Bahkan kalau mungkin, menjadi kebanggaan setiap orang”
Tetapi, Radite dan Anggara. Ternyata
apa yang cemerlang di masa lampau tidaklah selalu yang cemerlang masa
sekarang dan masa yang akan datang. Dan ini akhirnya harus aku yakini
meskipun tidak semua yang berasal dari masa lampau itu harus dilupakan
dan disisihkan. Namun satu hal yang bagiku tetap harus tak berubah dari
masa ke masa. Dari masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.
Bahwa apa yang kita lakukan seharusnya kita abdikan dengan penuh kasih
dan cinta kepada manusia dan kemanusiaan. Bukan sebaliknya
manusia dan kemanusiaan kita abdikan pada diri kita, pada kepentingan
kita pribadi. Demikianlah manusia akan mencerminkan kasih dan cinta
Tuhan.”
Tidak hanya Radite dan Anggara yang
meresapi kata-kata orang berjubah itu. Juga Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara mendengarkan kata demi kata dengan seksama. Sehingga untuk
sesaat mereka lupa pada kepentingan mereka sendiri.
Sementara itu terdengar orang berjubah itu meneruskan, “Dan
karena itulah agaknya aku datang kemari. Kalau pada saat-saat lampau
tak sepantasnya orang-orang muda menyeret orang-orang tua ke dalam satu
persoalan, namun sekarang ternyata aku terseret kemari karena pokal
anak-anak muda.”
Radite dan Anggara terkejut mendengar
kata-kata itu. tanpa disengaja mereka menoleh kepada Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara yang masih duduk disamping mereka. Namun ketika
didengarnya kata-kata orang berjubah itu, mereka pun mengangkat wajah
mereka.
Dan orang berjubah itu pun meneruskan, ”Aku terpaksa datang kemari karena aku tidak mau
Radite dan Anggara menjadi semakin
tercengang. Sedangkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa
menundukkan wajah. Dalam pada itu terdengar kelanjutan kata-kata orang
berjubah itu, ”Nah Radite… katakanlah kepadaku sekarang, apakah kau menyimpan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten…?”
Bukan main terkejutnya. Tidak hanya
Radite dan Anggara. Tetapi juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dengan
tergagap terdengar Radite menjawab, ”Guru, aku sama sekali tidak menyimpan kedua pusaka itu. seandainya demikian, buat apakah kiranya kedua pusaka itu bagiku?”
Orang berjubah itu menoleh kepada Mahesa Jenar dan bertanya kepadanya, ”Aku dengar, kau berkeras menuduh bahwa kedua pusaka itu berada di tempat ini.”
Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa ia akan mendapat pertanyaan itu. Karena itu dengan ragu-ragu ia menjawab, ”Ya Tuan… memang aku menyangka bahwa kedua keris itu berada di sini.”
”Nah…” jawab orang berjubah itu, ”Radite
dan Anggara telah menjawab bahwa kedua pusaka itu tidak berada di
tempat ini. Kau harus percaya, sebab sepengetahuanku, Radite dan Anggara
tidak pernah berbohong.”
Kembali Mahesa Jenar kebingungan.
Sesekali ia menoleh kepada Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara agaknya
sedang berpikir. Karena itu akhirnya Mahesa Jenar terpaksa menjawab, ”Tuan… memang sebenarnya aku tidak ingin menemukan keris itu di sini.”
”Lalu apakah maksudmu sebenarnya…?” desak orang berjubah itu.
Sekali lagi Mahesa Jenar ragu. Sedangkan
Radite dan Anggara pun menjadi bingung. Ia tidak mengerti arah jawaban
Mahesa Jenar. Mahesa Jenar sendiri, yang mula-mula sudah merencanakan
segala sesuatu dengan lengkap dan urut, namun di hadapan orang berjubah
abu-abu itu semuanya menjadi terpecah-pecah kembali. Seolah-olah ia
kehilangan ingatan atas segala rencana yang telah disusunnya bersama
Kebo Kanigara. Meskipun demikian satu hal yang dapat dijadikan pegangan.
Orang berjubah abu-abu itu kini sudah datang.
Karena itu ia tidak perlu berbelit-belit lagi. Dan ketika ia melihat Kebo Kanigara mengangguk kecil, berkatalah Mahesa Jenar, “Tuan
yang berjubah abu-abu, kalau aku datang kemari dan memaksakan suatu
perselisihan kepada Paman Radite dan Paman Anggara, sebenarnya adalah
karena Tuan. Sebab sejak semula aku pun sudah percaya bahwa kedua keris
itu sama sekali tidak berada di tempat ini, tetapi berada pada seseorang
yang sakti, yang mengenakan jubah abu-abu mirip dengan jubah yang
pernah dan selalu dipakai oleh Pasingsingan.”
Radite dan Anggara tersentak bersama-sama
mendengar kata-kata itu. Mula-mula jantungnya berdebar-debar, tetapi
kemudian jantung itu menjadi seolah-oleh berhenti bekerja. Keringat
dingin mulai membasahi punggungnya. Bagaimanapun mereka menyadari bahwa
sementara ini mereka telah dipergunakan oleh Mahesa Jenar untuk
memancing kehadiran gurunya. Tetapi sebelum ia sempat berkata sesuatu,
terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada mereka, ”Paman berdua…
ampunkan kami. Kami sama sekali tidak bermaksud menyakiti hati Paman
berdua. Apalagi sampai ada pertempuran yang sebenarnya antara hidup dan
mati. Apa yang kami lakukan benar-benar suatu permainan yang berbahaya.
Namun penuh dengan tanggungjawab atas kedua pusaka yang hilang itu.”
Perasaan aneh menjalar dalam dada Radite
dan Anggara. Bahkan kemudian mereka tidak tahu, bagaimana seharusnya
mereka menanggapi kejadian itu. Dalam keadaan yang demikian terdengarlah
orang berjubah itu tertawa lirih. Katanya, ”Aku kagum pada
kecerdasanmu Mahesa Jenar. Rupanya kau pernah mendengar bahwa Radite dan
Anggara adalah murid Pasingsingan. Kau pernah melihat bahwa orang yang
membawa kedua keris itu pun berjubah abu-abu seperti Pasingsingan. Nah,
kau yakin bahwa apabila kau bertempur melawan Radite dan Anggara,
pastilah orang berjubah abu-abu itu datang meleraimu. tetapi bagaimana
kalau aku berpendirian, biarlah kau berdua dibinasakan oleh Radite dan
Anggara?”
Hampir saja Mahesa Jenar menjawab bahwa
ia berusaha untuk tidak terbinasakan, karena keseimbangan yang telah
dicapainya setelah ia mesu raga. Sedangkan Kanigara adalah seorang yang
cukup sakti untuk mengimbangi Radite. Tetapi niat itu diurungkan, karena
dengan demikian, meskipun ia tidak bermaksud apa-apa, agaknya akan
nampak bahwa ia menyombongkan dirinya.
Dan karena beberapa saat Mahesa Jenar
tidak menjawab, orang berjubah abu-abu itu meneruskan, seolah-olah
mengerti perasaan Mahesa Jenar. “Atau kalau kalian merasa bahwa
kesaktian kalian berimbang, bagaimanakah kalau seandainya aku tidak
mengetahui apa yang terjadi di sini?”
Karena perkataan itu, seolah-olah Mahesa Jenar mendapat tuntunan untuk menjawabnya, “Tuan…
aku yakin bahwa Tuan akan mengetahui apa yang akan terjadi di sini.
Sebab kehadiran Tuan pada pertempuran di Gedangan, serta usaha Tuan
untuk menyempurnakan tata nadi Arya Salaka menunjukkkan kepadaku bahwa
Tuan selalu hadir di dalam saat-saat yang gawat. Sedangkan aku yakin
pula bahwa Tuan tidak akan membiarkan salah satu pihak dari kita yang
sedang bertempur menjadi binasa. Sebab Paman Radite dan Paman Anggara
adalah murid-murid Tuan yang terpercaya. Meskipun akhirnya Tuan merasa
perlu untuk menjauhinya, namun Tuan tidak akan tega sampai
sejauh-jauhnya. Sebaliknya, apakah Tuan dapat melihat kami, aku dan
Kakang Kebo Kanigara, binasa…?”
“Kenapa tidak…?” terdengar orang berjubah itu menyahut.
“Kalau demikian…” tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, “Tuan
pasti tidak akan melerai kami. Membiarkan kami bertempur terus. Dan
apabila kami binasa, selesailah persoalan Tuan, tetapi kalau kami
menguasai keadaan, Tuan akan datang membantu Paman Radite dan Paman
Anggara, tetapi ternyata yang terjadi tidaklah demikian.”
“Kau yakin bahwa aku tidak akan berbuat demikian?” jawab orang berjubah abu-abu itu.
“Bukankah kau masih berada di tempat
ini, dan aku masih belum berbuat sesuatu? Nah, agaknya kau telah
mempercepat tindakan-tindakan yang akan aku lakukan. Ketahuilah bahwa
kau benar. Aku datang untuk membantu Radite dan Anggara membinasakan
kalian berdua.”
Radite dan Anggara menjadi semakin
bingung. Persoalan yang agaknya menjadi semakin berbelit-belit. Ia
menjadi bertambah terkejut lagi ketika tiba-tiba Kebo Kanigara tertawa.
Tiba-tiba saja ia menemukan sifat-sifat yang sudah sangat dikenalnya
pada orang berjubah abu-abu itu. Karena itu tiba-tiba pula ia berkata
hampir berteriak, “Nah, Tuan yang berjubah abu-abu… lakukanlah apa
yang Tuan kehendaki. Namun aku ingin meninggalkan pesan buat anakku Arya
Salaka di Padepokan Karang Tumaritis.”
Orang berjubah itu terdiam. Bahkan tampak beberapa jengkal ia surut ke belakang. Namun kemudian ia berkata, “Aku
tidak kenal Arya Salaka dari Karang Tumaritis. Kalau yang kau maksud
itu adalah anak yang pernah aku tolong, memperbaiki tata nadinya, maka
aku tidak ada hubungan sama sekali dengan anak itu.”
Sekarang Mahesa Jenar sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Karena itu maka ia ikut berteriak, “Nah,
Tuan… aku yakin bahwa Tuan tidak berani mengganggu kami. Sebab di
belakang kami berdiri seorang yang maha sakti pula seperti Tuan, yang
bermukim di gunung Karang Tumaritis, bernama Panembahan Ismaya. Seorang
Panembahan yang sangat gemar mengumpulkan dan menyimpan hampir segala
jenis topeng-topeng serta pahatan kayu.”
Sekali lagi Radite dan Anggara terkejut.
Bahkan darahnya seolah-olah mengalir semakin cepat, ketika ia mendengar
Mahesa Jenar berkata, bahwa seolah-olah menantang gurunya. Di samping
itu ia menjadi heran pula bahwa ada orang lain yang disebut maha sakti,
apalagi sampai gurunya tidak berani bertindak karena orang itu. Dan
sSetelah perasaan mereka terguncang-guncang untuk kesekian kalinya,
kembali Radite dan Anggara menjadi tercengang ketika tiba-tiba gurunya
tertawa. Tertawa hampir terkekeh-kekeh. Dalam keadaan yang demikian
semakin jelaslah, betapa tua usia orang yang berjubah abu-abu itu.
Katanya kemudian, “Mahesa Jenar, adakah orang yang kau sebutkan maha sakti itu gurumu?”
“Bukan,” jawab Mahesa Jenar, “Tetapi
Panembahan Ismaya adalah seorang Panembahan yang tak ada duanya di
kolong langit ini. Aku sangat tertarik pada topeng-topengnya yang
beraneka ragam. Ada yang kasar dan jelek, namun penuh menyimpan watak
yang sejuk damai. Tetapi ada pula yang tampak cerdik, namun jauh dari
sifat-sifat kesombongan. Dan salah satu yang sangat menarik bagiku
adalah yang Tuan pakai sekarang ini.”
Orang berjubah abu-abu itu terdengar
menggeram. Namun sama sekali tidak menakutkan. Bahkan kemudian katanya
kepada Radite dan Anggara, “Anak-anakku, agaknya kalian menjadi
pening mendengar kata-kata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tetapi
biarkanlah mereka berkicau sesukanya.”
Radite dan Anggara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun mereka sebenarnya ingin penjelasan. Disamping itu
tiba-tiba mereka mendengar nama Kebo Kanigara disebut-sebut. Baik oleh
Mahesa Jenar maupun oleh gurunya. Karena itu terdengarlah Radite
berkata, “Benar Bapa, aku benar-benar menjadi pening. Namun sudilah kiranya Bapa memberi penjelasan.”
Orang berjubah abu-abu itu tertawa. Katanya, “Radite, sebaiknya aku kau persilahkan masuk ke dalam pondokmu dahulu bersama kedua tamu-tamumu yang aneh ini.”
Radite kemudian merasa diingatkan atas
kewajibannya sebagai tuan rumah. Karena itu dipersilahkannya gurunya
beserta kedua tamu yang membingungkan itu masuk ke dalam rumahnya.
Setelah mereka duduk melingkari lampu minyak jarak, diatas sebuah
bale-bale yang besar, mulailah orang berjubah itu berkata, ”Radite
dan Anggara… kau kenal aku karena kau adalah murid-muridku yang
seolah-olah telah merupakan bagian dari hidupnya sendiri. Tetapi kau
melihat wajahku selalu tertutup oleh sebuah topeng yang kasar dan jelek,
yang kemudian dipakai oleh Umbaran. Dan karena itulah agaknya kau belum
pernah melihat wajahku yang sebenarnya. Meskipun demikian, dengan wajah
yang lainpun kau segera dapat mengenal aku pula. Demikian pula agaknya
Kebo Kanigara yang meskipun aku mengenakan pakaian yang belum pernah
dilihatnya, namun karena pergaulan kami yang sudah lama, maka iapun
segera dapat mengenal aku pula. Sedangkan Mahesa Jenar, akan segera
mengenal aku karena perhitungan-perhitungan otaknya yang cemerlang.
Sehingga karena pokalnya kau benar dapat dipancingnya malam ini. Dan
kalian adalah umpan-umpannya.”
Radite dan Anggara memang sudah merasakan
hal itu. Namun peristiwa seterusnya adalah terlalu aneh baginya.
Apalagi orang yang disebut Kebo Kanigara, yang mula-mula menamakan
dirinya Tumenggung Surajaya itupun telah banyak bergaul dengan gurunya.
Apakah ia pun berguru pada orang yang dahulu bernama Pasingsingan itu?
Tetapi kalau demikian, maka unsur-unsur pokok ilmu mereka pasti
bersamaan. Sedangkan orang itu justru bersumber pada cabang perguruan
Pengging.
Dalam pada itu, orang yang berjubah abu-abu itu agaknya mengerti akan isi hati Radite dan Anggara, karena itu ia meneruskan, ”Satu-satunya
cara bagi Mahesa Jenar untuk dapat bercakap-cakap dengan orang yang
berjubah abu-abu ini, yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri telah
mengambil Nagasasra dan Sabuk Inten dari Banyubiru, adalah dengan cara
ini. Bertempur dengan murid-muridnya. Dengan demikian orang yang
berjubah abu-abu ini pasti tidak hanya sekadar memperlihatkan diri untuk
melerai atau memihak kepadanya saja, sebab lawan-lawannya adalah murid
orang berjubah abu-abu itu sendiri.”
Tiba-tiba Radite menggeser duduknya ke dekat Mahesa Jenar dan menepuk bahunya keras-keras sambil berkata, ”O,
ngger, ngger. Pandai benar kau buat hati orang tua kalang kabut. Hampir
saja aku kehilangan pengamatan diri. Sebab persoalan yang Angger berdua
paksakan kepada kami adalah langsung menyinggung luka hati yang paling
parah. Itulah sebabnya aku tak dapat menahan diri lagi.”
”Maafkan kami Paman,” sela Kebo Kanigara, ”Sebab
kami tahu betapa sabar dan alimnya Paman berdua, sehingga mula-mula
kami menemui kesulitan untuk membuat paman berdua marah. Maka
terpaksalah kami agak melampaui batas-batas kesopanan. Tetapi kami harap
Paman percaya, bahwa bukanlah demikian maksud kami yang sebenarnya.”
Radite mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian bertanyalah ia, ”Tetapi kenapa Angger menyinggung-nyinggung Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?”
”Sebab memang kedua keris itulah yang kami cari,” jawab Kebo Kanigara. ”Dan
terhadap orang yang kami harapkan hadir kemudian, kami menaruhkan
harapan sepenuhnya atas kedua pusaka itu. Karena orang yang berjubah
abu-abu itupun tahu pasti bahwa kedua keris itu tidak berada di sini.”
Radite menarik nafas dalam-dalam, sedang Anggara pun kemudian tertawa lirih, katanya, ”Alangkah
bingungnya aku kemudian. Baru sekarang aku menjadi jelas. Alangkah
bodohnya orang-orang tua ini, yang hanya pantas untuk menjadi penunggu
burung di sawah-sawah.”
”Tetapi…” tiba-tiba Radite menyela, ”Siapakah
sebenarnya Angger ini, yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya,
namun yang kemudian disebut oleh Bapa Guru dengan nama Kebo Kanigara…?”
Orang berjubah abu-abu itu tersenyum. Katanya, ”Itulah kesenangannya. Membingungkan orang lain dengan nama-nama yang dibuatnya. Ia pernah menamakan diri Putu Karang Jati waktu ia menemui Pandan Alas.”
”Pandan Alas…?” ulang Radite dan Anggara hampir berbareng. ”Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak…?”
”Ya,” jawab orang yang berjubah abu-abu itu. ”Dan
sekarang ia menamakan dirinya Tumenggung Surajaya. Dan orang yang suka
berganti nama itu tidak lain adalah seorang yang menganut ilmu perguruan
Pengging. Sebagaimana kau lihat, Mahesa Jenar pun memiliki nama yang
aneh pula. Di Gedangan mula-mula ia dikenal bernama Manahan. Barangkali
memang demikianlah kebiasaan anak-anak Ki Ageng Pengging Sepuh.”
”Aku sudah menduga,” sela Radite, ”Bahwa Angger ini pasti seorang murid yang sempurna dari perguruan Pengging.”
”Tidak saja murid,” sahut orang berjubah abu-abu itu, ”Tetapi ia adalah anak Handayaningrat itu, dan bahkan adik seperguruannya.”
Radite dan Anggara bersama-sama
mengerutkan keningnya. Tahulah ia sekarang kenapa ia memiliki kesaktian
yang mengagumkan. Yang dapat mengimbangi ilmu yang dimiliki oleh Radite
sendiri.
Tetapi dalam pada itu terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
”Tuan benar. Memang anak-anak perguruan Pengging suka berganti nama.
Tetapi agaknya Tuan lupa bahwa seorang yang bernama Radite pernah
bernama Pasingsingan dan pernah bernama Paniling. Seorang yang bernama
Anggara pun memiliki nama lain, yaitu Darba. Tetapi lebih daripada itu,
seorang lain yang pernah bernama pula Pasingsingan, ternyata memiliki
nama yang lain, Panembahan Ismaya.”
Bagaimanapun juga, orang berjubah abu-abu
itu tergeser beberapa jengkal. Namun wajahnya yang pucat sama sekali
tidak menunjukkan sesuatu perubahan. Sinar pelita yang menggapai-gapai
dengan gelisahnya, membuat bayangan-bayangan yang bergerak-gerak di
dinding.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu,
Paniling dan Darba masih juga terkejut. Apakah sangkut-paut antara
Pasingsingan dengan Panembahan Ismaya…?
Tiba-Tiba tampaklah orang berjubah
abu-abu itu melepas ikat kepalanya. Dan karena itu tampaklah di bawah
rambutnya yang telah memutih, suatu garis yang memisahkan antara kulit
kepalanya dengan kulit wajahnya.
“Sekarang aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi lagi,” bisiknya.
“Sebab Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah mengetahui semuanya dengan
jelas. Dan bagiku, sekarang sudah tidak ada gunanya lagi memiliki
bermacam-macam nama dan kedudukan.”
Bersamaan dengan itu, terkelupaslah kulit
yang tipis dari wajah orang berjubah abu-abu itu. Kulit kayu yang
dipahatnya halus-halus menyerupai benar wajah seseorang. Terhadap topeng
itu tak seorangpun yang terkejut. Apalagi Mahesa Jenar, yang jauh
sebelumnya telah mengenal bahwa orang berjubah abu-abu itu tidak
memiliki wajah sewajarnya, melainkan mengenakan topeng. Dan topeng itu
jauh berbeda dengan topeng yang pernah dipakainya pada saat ia bernama
Pasingsingan.
Dari balik topeng itu muncullah wajah
orang berjubah abu-abu itu. Wajah seorang tua yang lunak damai. Meskipun
berkerut-kerut namun kesegaran masih memancar dari wajahanya. Wajah
yang sudah dikenal oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Memang orang itulah Panembahan Ismaya.
Radite dan Anggara tiba-tiba merasa
terharu. Terharu karena mereka berkesempatan mengenal wajah gurunya.
Wajah yang selama ini menjadi teka-teki. Bahkan mereka menduga bahwa
seumur hidup mereka tak akan sempat memandang wajah itu. Namun suatu hal
yang mengejutkan mereka berdua, bahwa orang berjubah abu-abu itu
tidaklah setua yang mereka duga. Umurnya tidak banyak terpaut banyak
dengan umur mereka sendiri.
Meskipun demikian Radite dan Anggara membungkukkan kepalanya sambil berkata dengan hormatnya, “Bapa
Guru… aku merasa mendapatkan suatu kurnia juga tiada taranya, bahwa
Bapa Guru telah berkenan memberi kesempatan kepada kami untuk lebih
mengenal Bapa.”
Orang yang berjubah abu-abu, yang pernah
bernama Pasingsingan dan kemudian menjauhkan diri dari kesibukan dunia
ramai di Bukit Karang Tumaritis dan bernama Panembahan Ismaya itu
tersenyum. “Semua permulaan akan ada akhirnya. Hanya yang tidak
bermula sajalah yang tidak akan berakhir. Yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Di
hadapan kalian berempat aku merasa seolah-olah aku telah mencapai segala
cita-cita serta idamanku, sejak aku menamakan diriku Pasingsingan.”
Ketika orang yang berjubah abu-abu dan
menamakan dirinya Panembahan Ismaya dalam bentuknya yang lain itu
berhenti sejenak, suasana menjadi hening. Tak seorang pun yang
berkata-kata. Mereka sedang terbenam dalam arus perasaan masing-masing.
Mereka mencoba menghubung-hubungkan apa yang pernah terjadi atas orang
berjubah abu-abu itu sehingga ia terpaksa mempergunakan topeng hampir
seumur hidupnya. Sedangkan sebagai Panembahan Ismaya, ia menyepi di
sebuah bukit kecil dan menjauhkan diri dari pergaulan.
Tetapi tak seorangpun yang berani
bertanya. Mereka takut kalau ada hal-hal yang dapat menyinggung
perasaannya. Namun tanpa mereka duga, orang itu berkata dengan
sendirinya, “Mungkin apa yang terjadi atas diriku agak mengherankan. Bertopeng seumur hidup dan menyepi hampir seumur hidup pula.”
Keterangan itu akan menarik bagi Radite dan Anggara. Bahkan juga bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Tetapi tiba-tiba orang berjubah abu-abu itu membelokkan percakapan kepada Mahesa Jenar. Katanya, “Mahesa
Jenar… sekarang kau sudah bertemu dengan orang yang berjubah abu-abu,
yang mengambil kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari
Banyubiru. Dan karena pengotak-atikmu bersama Kebo Kanigara,
menghubung-hubungkan semua yang pernah kalian alami, akhirnya kalian
mengambil kesimpulan bahwa orang berjubah abu-abu itulah Panembahan
Ismaya. Lalu apakah keperluanmu dengan aku?”
Mahesa Jenar menelan ludahnya beberapa
kali. Mula-mula ia agak bimbang untuk langsung menyampaikan
keperluannya. Tetapi ia yakin bahwa sebenarnya orang tua itu pun sudah
mengerti pula. Karena itu ia mencoba mengelak, “Tuan… apakah aku masih perlu mengatakan keperluanku? Aku kira Tuan telah mengetahui selengkapnya.”
“Mahesa Jenar…” jawab orang berjubah itu, “Lebih baik kau tidak mengira-ira. Katakanlah, dan aku akan menjadi jelas, tanpa kira-kira lagi.”
Sekali lagi Mahesa Jenar menelan ludahnya. Lalu dengan suara yang parau ia menjawab, “Tuan… sebenarnya aku hanya ingin mengetahui di manakah keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada.”
“Hanya itu…?” sahut orang berjubah itu.
“Dan apabila Tuan berkenan, aku ingin
menerima kedua pusaka itu, kembali untuk menyelesaikan beberapa masalah
antara aku dan kakang Gajah Sora di satu pihak, dan Pemerintahan demak
di lain pihak.
“Hanya itu…? Hanya supaya kau dapat kembali ke Istana dan Gajah Sora dapat dibebaskan?”
“Tidak,” jawab Mahesa Jenar tergesa-gesa. “Bukan
hanya itu. Tetapi aku tidak mau menyembunyikan pamrih itu supaya aku
tidak menjadi penipu atas diri sendiri. Sebab apabila aku hanya
mengatakan bahwa aku ingin mengembalikan kedua pusaka itu demi
kelangsungan pemerintahan, maka aku telah menyembunyikan beberapa bagian
darinya, yaitu pamrih pribadi.”
Orang berjubah abu-abu itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu jawabnya, ”Kau
memang jujur dan berterus terang. Tetapi kau terlalu tergesa-gesa.
Sudah beberapa kali aku isyaratkan kepadamu, bahwa sekarang ini sedang
ada pertentangan yang tajam terjadi di Demak. Antara keturunan Sultan
Trenggana dan keturunan Sekar Seda Lepen. Karena itu kau masih harus
menilai siapakah diantara mereka yang patut mendapat sipat kandel itu.
Kalau kau muncul sekarang dengan pusaka-pusaka itu, maka akibatnya akan
menjadi lebih parah lagi. Mereka menjadi semakin bernafsu dalam
pertentangan-pertentangan yang akan timbul. Kedua pusaka itu akan
merupakan penyebab pula, karena mereka merasa perlu untuk memilikinya.
Dengan demikian kau membantu menimbulkan persoalan-persoalan baru yang
akan menambah ketegangan. Bahkan akan dapat menimbulkan
pertumpahan darah diantara para perwira, bintara dan tamtama. Kalau
demikian yang terjadi, maka tinggal menunggu besok atau lusa, Demak
pasti akan binasa. Sebab yang akan berhadapan sebagai lawan dalam
pertentangan itu adalah kekuatan-kekuatan Demak sendiri. Baik yang
berpihak kepada keturunan Sekar Seda Lepen maupun yang berpihak kepada
Sultan Trenggana. Setiap jiwa yang melayang karenanya adalah kerugian
yang harus ditanggung oleh Demak sendiri.
Karena itu janganlah suasana menjadi
bertambah tegang. Mudah-mudahan mereka dapat memecahkan persoalan itu
dengan baik. Dengan musyawarah diantara kekuatan-kekuatan saka guru
Demak sendiri.”
Mendengar keterangan itu, Mahesa Jenar
menundukkan kepala dalam-dalam. Demikian pula Kebo Kanigara. Sedangkan
Radite dan Anggara mendengarkan dengan penuh perhatian.
”Dengan demikian…” orang berjubah abu-abu itu meneruskan, ”Setiap
orang Demak akan dapat mencurahkan tenaganya untuk kesejahteraan
negeri. Membangun tempat-tempat ibadah dan pendidikan, surau-surau dan
langgar. Disamping itu setiap prajurit Demak akan berkesempatan untuk
menumpas habis golongan-golongan yang tidak senang melihat Demak menjadi
bulat. Maka setelah itu akan terjalinlah kesatuan hati rakyat.
Ketenteraman hidup dengan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa tanpa
mendapat gangguan dalam pangkuan tanah tumpah darah yang gemah ripah
lohjinawi, tata titi tentrem kertaraharja, tanpa bibit-bibit
pertentangan yang ditaburkan di hari ini, yang akan tumbuh dan menjadi
lebat di hari kemudian.”
Ketika orang berjubah abu-abu itu
berhenti, terdengarlah kokok ayam bersahutan menyambut datangnya fajar.
Fajar yang tidak akan dapat ditunda oleh siapapun. Ia akan datang
apabila saatnya datang. Biarpun ayam jantan tidak berkokok. Demikianlah
kekuasaan Tuhan yang melampaui segenap kekuasaan yang ada.
Mahesa Jenar sadar akan ketergesaannya.
Ia agaknya kurang dapat menanggapi setiap ajaran isyarat yang diberikan,
baik oleh seorang yang berjubah abu-abu yang dijumpainya dahulu di
jalannya yang hampir sesat dan kehilangan akal maupun oleh orang itu
juga dalam pakaiannya sebagai seorang Panembahan.
Namun demikian masih saja ada beberapa
hal yang belum dapat dipahami, apakah dengan diketemukannya keris itu
justru tidak dapat menghentikan persengketaan antara dua golongan besar
itu. Tetapi disamping itu timbul pula pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut
di dalam dadanya. Juga di dada Kebo Kanigara dan kedua murid
Pasingsingan itu. Demikian besar minat orang yang berjubah abu-abu itu
terhadap persatuan dan kesatuan Demak, sehingga mustahil kalau ia tidak
memiliki sangkut-paut yang sangat rapat dengan kedua golongan itu.
Meskipun demikian, meski berbagai
pertanyaan bergelut di dalam dada setiap orang yang duduk di dalam
lingkaran kecil itu, namun tak seorang pun yang menyatakannya. Agaknya
orang berjubah abu-abu itu sudah merasa perlu untuk menyatakan dirinya
tanpa satu pertanyaan pun.
Dalam sesaat orang tua berjubah itu
berdiam diri, memandangi setiap wajah dari keempat orang yang dengan
penuh minat mendengarkan ceritanya. Dan ketika sambaran matanya hinggap
pada wajah Mahesa Jenar, tertangkaplah banyak sekali persoalan yang
ingin dikatakannya. Namun tak sepatah katapun yang terloncat dari
mulutnya. Orang tua yang berjubah abu-abu itu agaknya dapat merasakan
persoalan-persoalan itu. Karena itu ia meneruskan, ”Mahesa Jenar…
seandainya salah seorang dari mereka memiliki kedua keris itu sekalipun,
tidaklah dapat dianggap sebagai suatu jaminan bahwa persengketaan
mereka akan mereda. Sebab dengan memiliki kedua keris itu tidaklah
berarti bahwa ia mutlak dapat memegang pemerintahan di Demak, selama
jiwa orang itu masih belum menjadi luluh dengan jiwa kedua keris itu.
Apabila seseorang telah benar-benar dapat menguasai, serta jiwa kedua
keris itu luluh dalam dirinya, barulah ia mendapat sipat kandel yang
sebenarnya. Selama masih ada jarak antara seseorang dengan keris itu,
maka selama itu keris-keris yang keramat itu sama sekali tak akan
berguna. Karena itulah maka meskipun orang yang berjubah abu-abu
sebagaimana kau lihat, berhasil menyimpan kedua keris itu, seandainya,
ia ingin memegang tampuk pemerintahan Demak, hal itu tidak akan dapat
dicapainya. Sebab jiwa keris itu tidak dapat luluh ke dalam dirinya.
Juga orang-orang dari golongan hitam itupun akan tidak mempunyai sesuatu
arti, apabila mereka memiliki kedua pusaka Demak itu.” Kembali
orang tua itu berhenti. Di luar, cahaya matahari pagi telah memercik
hinggap di dedaunan. Burung-burung dengan riangnya berkicau bersahutan. Demikianlah
Padepokan yang sepi itu seolah-olah telah terbangun dari tidurnya.
Namun halaman-halaman rumah penduduk padepokan itu masih tampak sepi.
Satu-dua orang yang telah muncul dari ambang pintunya, dengan
tergesa-gesa pergi ke sungai, sedang yang lain dengan sibuknya
menyalakan api untuk merebus air. Di sana-sini terdengar jeritan
anak-anak kecil yang memanggil ibunya, ketika mereka terbangun dari
tidurnya yang nyenyak, seolah-olah mereka kecewa kehilangan mimpi yang
segar.
Dalam kecerahan pagi itu tampaklah
orang-orang yang duduk di atas sebuah bale-bale besar di rumah Paniling
masih belum berkisar dari tempatnya. Mereka masih dengan asiknya
mendengarkan kisah dari orang tua yang berjubah abu-abu itu.
Sementara itu, tiba-tiba orang yang berjubah abu-abu itu berkata. ”Radite,
biarlah aku melepaskan jubah abu-abuku, supaya orang-orang yang lewat
di muka rumahmu ini tidak menjadi keheran-heranan melihat pakaianku yang
tidak biasa di pedukuhanmu ini.”
Dengan tergoboh-gopoh Radite
mempersilahkan orang tua itu masuk ke dalam sebuah ruangan untuk
berganti pakaian. Untunglah bahwa hal itu segera dilakukan, sebab ketika
matahari telah semakin naik di atas punggung-punggung perbukitan,
tampaklah jalan-jalan pedukuhan itu mulai sibuk. Beberapa orang telah
mulai turun ke sawah dengan binatang-binatang kesayangan mereka,
menjelang saat tanam padi.
Demikianlah, ketika beberapa orang lewat
di muka pondok di ujung pedukuhan itu, mereka melihat dua ekor kuda
tertambat di halaman. Karena itu teringatlah mereka, bahwa kemarin
mereka melihat dari celah-celah pintu mereka, dua orang berkuda lewat di
jalan pedukuhan itu. Karena itu sesuai dengan watak-watak mereka yang
sederhana dan penuh rasa kekeluargaan, mereka pun merasa berkepentingan
pula dengan penunggang-penunggang kuda itu. Meskipun demikian mereka
terheran-heran pula ketika mereka melihat bekas-bekas tanaman yang
terinjak-injak di halaman.
Ketika beberapa orang menjenguk ke dalam
rumah itu, dilihatnya beberapa orang duduk-duduk di atas bale-bale besar
bersama-sama dengan Ki Paniling dan Ki Darba. Karena itu dengan
ramahnya mereka menyambut kehadiran mereka. Dengan tergopoh-gopoh pula
Paniling dan Darba mempersilakan mereka masuk dan memperkenalkan mereka
yang masih dapat mengenal Mahesa Jenar. Karena itu terdengar suara orang
itu. ”He, kakang Paniling bukankah ini kemanakanmu yang beberapa tahun yang lalu pernah datang kemari?”
Ki Paniling tersenyum lebar, jawabnya, ”Otakmu agaknya baik sekali. Ya, ialah kemenakan yang beberapa tahun yang lalu pernah datang kemari.”
Kemudian sambil tertawa-tertawa bangga atas pujian itu, orang itu bertanya seterusnya, ”Dan siapakah yang dua lagi?”
”Ia juga kemanakanku,” sahut Paniling, ”Dan yang satu lagi…” Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Bagaimana ia mesti menyebut gurunya. Untunglah bahwa gurunya segera menyahut, ”Aku adalah kakaknya. Ayah anak-anak ini.”
”O…” terdengar beberapa orang bergumam. Lalu berkata salah seorang diantaranya, ”Selamatlah
Kakang berkunjung ke pedukunan ini. Mudah-mudahan Kakang krasan pula,
dan sudi singgah ke rumah tetangga-tetangga di sebelah.”
”Pasti, pasti,” jawab guru Radite itu. ”Aku akan tinggal beberapa hari di sini. Dan aku akan singgah di rumah kalian apabila waktuku memungkinkan.”
Demikianlah terjadi percakapan yang akrab
dan semanak di antara mereka. percakapan yang sama sekali tidak
dibumbui oleh maksud-maksud lain daripada apa yang mereka percakapkan.
Penduduk pedukuhan itu sama sekali tidak mengenal cara-cara yang
dilapisi oleh sifat berpura-pura. Dada mereka tak ubahnya seperti sebuah
kitab lontar yang terbuka. Setiap orang yang berkepentingan akan
langsung dapat membacanya kata demi kata. Demikianlah huruf itu
membentuk kata-kata serta kalimat-kalimat. Demikianlah maksud serta isi
dari kitab itu sebenarnya.
Tetapi mereka tidak lama berada di tempat
itu. Karena sawah serta ladang mereka selalu menunggu. Menunggu uluran
tangan para petani yang dengan setia dan tekun menggarapnya. Tanpa
banyak persoalan. Mereka bekerja untuk memetik hasilnya. Karena itu
mereka sadar bahwa apabila mereka tidak bekerja, maka mereka pun akan
kelaparan. Dengan demikian mereka tidak pernah berpikir lain daripada
kesejahteraan pedukuhan mereka, tergantung atas kesanggupan serta
kemauan mereka bekerja.
Dan seandainya ada orang lain, yang
berbelas kasihan memberi kepada pedukuhan itu kesejahteraan yang
melimpang-limpah, maka pastilah itu bukan hal yang sewajarnya. Pastilah
dengan demikian mereka mempunyai pamrih. Setidak-tidaknya orang-orang
dari pedukuhan itu akan terikat oleh suatu perasaan berhutang budi. Dan
dengan demikian hilanglah sebagian, meskipun hanya sebagian kecil,
kemerdekaan serta kedaulatan mereka atas diri sendiri.
Karena itulah maka mereka bekerja keras
dengan penuh kegembiraan dan terima kasih. Terima kasih kepada Tuhan
yang telah melimpahkan tenaga dan tanah garapan bagi mereka.
Namun ketika mereka meninggalkan halaman rumah itu, ada juga yang sempat bertanya, ”Bapak Paniling, kenapakah tanaman-tanaman Bapak rusak bekas terinjak-injak?”
Paniling agak binggung untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi akhirnya diketemukan juga jawabnya. ”Akh, semalam kuda tamu-tamuku itu lepas dari ikatannya. Terpaksalah kami beramai-ramai menangkapnya.”
Mereka percaya saja pada keterangan itu.
Bahkan beberapa orang menjadi geli karenanya. Tetapi apabila mereka tahu
apa yang sebenarnya terjadi, pastilah mereka mempunyai tanggapan yang
akan sangat jauh berbeda.
Demikianlah ketika para petani
meninggalkan rumah Ki Paniling, kembali perhatian mereka tertuju kepada
orang tua yang sekarang sudah tidak lagi mengenakan jubah abu-abu.
Tetapi orang tua itu kini mengenakan baju lurik merah coklat serta ikat
kepala yang kehijau-hijauan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah
mengenal wajah orang itu dengan baiknya sebagai seorang Panembahan.
Tetapi kali ini, dalam pakaian yang lain, tidak seperti yang biasa
dipakainya, yaitu jubah putih, tampaklah bahwa wajah itu menjadi semakin
segar. Cahaya matanya tidak saja tampak dalam dan damai, seperti biasa,
yang seolah-olah menjangkau jauh ke alam yang tidak kasat mata. Tetapi
mata itu kini memancar dengan terangnya menyorot ke depan, ke masa yang
akan datang. Ke masa yang tidak terlalu jauh. Maka seolah-olah
terjadilah suatu paduan antara masa depan yang dekat dengan masa yang
tak teraba oleh pancaindera.
Ketika suara sendau dan tawa para petani
sudah hilang di kejauhan, orang tua itu agaknya merasa perlu untuk
melanjutkan keterangannya. Karena itu ia mulai berkata, ”Anak-anakku
sekalian. Demikianlah tuah dari kedua keris yang sedang kau cari itu.
Ia baru bermanfaat bagi pemiliknya apabila jiwa keris itu sudah luluh
dalam dirinya.
Pertandanya bahwa keris itu sudah
luluh ke dalam diri pemiliknya, adalah bahwa keris itu kehilangan
kecemerlangannya. Ia kuningan. Tetapi kedua keris itu menjadi tak
ubahnya seperti besi biasa saja. Sama warnanya dengan sebuah pisau dapur
saja. Sedang apabila jiwa kedua keris itu luluh pada diri seseorang,
maka orang itu akan memiliki sifat-sifat khusus yang meresap ke dalam
dirinya. Kyai Nagasasra mempunyai watak disuyuti oleh kawula. Dicintai
dan disegani oleh rakyat. Dengan demikian ia akania akan memiliki unsur
sifat-sifat kepemimpinan. Sifat-sifat yang demikian memang seharusnya
dimiliki oleh seorang pemimpin. Pancaran dari cinta kasih Tuhan,
perikemanusiaan, memberi perlindungan kepada orang yang kehujanan dan
kepanasan, memberi makanan kepada orang yang kelaparan, memberi pakaian
kepada orang yang telanjang, memberi tuntunan bagi yang kehilangan
jalan.
Sedang Kyai Sabuk Inten mempunyai
watak seperti watak lautan. Luas tanpa tepi. Menampung segala arus
sungai dari manapun datangnya. Menerima dengan tadah banjir yang
bagaimanapun besarnya. Namun gelombangnya dapat menunjukkan kedahsyatan
dan kesediaan bergerak dan bahkan selalu bergerak. Watak yang
demikianlah yang memungkinkan seseorang dapat menemukan yang belum
pernah diketemukan. Dan karenanyalah kesejahteraan rakyatnya dapat
dijamin. Kesejahteraan lahir dan batin. Memberi kesempatan kepada mereka
untuk mengalirkan airnya yang ditampung dapat beriak dengan manisnya,
namun dapat bergulung-gulung dengan dahsyatnya, seolah-olah lautan itu
sedang mendidih.”
Orang tua itu berhenti sejenak. Ia
memandang berkeliling lalu melemparkan sorot matanya yang damai itu
lewat lubang pintu dan jatuh di atas tanah berdebu di halaman.
Sekali-kali ia menarik nafasnya dalam-dalam. Seolah-olah ada sesuatu
yang kurang pada tempatnya. Kemudian terdengarlah ia melanjutkan, ”Sayang,
bahwa kedua keris itu masih harus dilengkapi dengan yang satu lagi.
Kyai Sengkelat. Keris itupun sekarang sudah lenyap dari perbendaharaan
istana.”
”Kyai Sengkelat?” sela Mahesa Jenar hampir berteriak.
Orang tua itu mengangguk, jawabnya, ”Ya,
Kyai Sengkelat. Tidak saja keris-keris itu tidak mau luluh pada diri
seseorang, tetapi keris-keris itu ternyata lolos dari tempat
penyimpanannya. Padahal Sengkelat pun tidak kalah pentingnya. Ia
memiliki watak yang lengkap dari watak seorang prajurit. Prajurit yang
setia dan patuh akan kewajibannya, yang bekerja dan berjuang bukan untuk
kepentingan diri. Tetapi seorang prajurit akan berjuang untuk tanah
tumpah darah serta rakyatnya, dengan penuh kejujuran dan tanpa pamrih,
dalam lingkaran kebaktian dan cinta kasih Yang Maha Agung.”
Suasana kemudian menjadi hening sepi.
Masing-masing tenggelam dalam angan-angan sendiri. Mahesa Jenar yang
dengan bekerja keras dan mati-matian berusaha untuk menemukan Kyai Sabuk
Inten, bahkan usahanya itu belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya,
tiba-tiba ia mendengar bahwa Kyai Sengkelat pun sedang lolos dari
simpanannya. Sedang Kebo Kanigara, sebagai seorang keturunan Brawijaya,
menjadi sedih pula. Bagaimanapun juga, ia masih selalu merindukan
kebesaran yang pernah dicapai oleh Majapahit dahulu.
Tiba-tiba terdengarlah Kebo Kanigara bertanya, ”Tuan, tidak adakah hulubalang Istana yang dapat berusaha untuk menemukan keris-keris itu?”
Orang tua itu kemundian tersenyum. Jawabnya, ”Tidak
kurang banyaknya para prajurit Demak yang disebar ke segenap penjuru.
Bukankah Mahesa Jenar pernah juga bertemu dengan Gajah Alit dan
Panigron? Juga bukankah Arya Palindih pernah diutus ke Banyubiru untuk
menemukan keris-keris itu? Bahkan sampai sekarangpun masih banyak dari
para perwira Demak yang berkeliaran mencari pusaka-pusaka itu.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun jelas terbayang di dalam kepalanya, bahwa para prajurit
Demak itu akan menjadi selalu kecewa, karena mereka tidak akan dapat
menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Agaknya Kyai Sengkelat
pun masih terlalu sulit untuk diketahui tempatnya.
Sebenarnya tidaklah terlalu banyak orang
yang mengetahui hilangnya pusaka-pusaka itu. Sebab memang hal itu
dirahasiakan. Yang boleh mengetahui hanyalah orang-orang terbatas saja.
Tetapi ada di antara mereka yang bertugas, terutama dari pejabat-pejabat
rahasia Demak sendiri, mempunyai pamrih atas pusaka-pusaka itu. Sebab
mereka mempunyai pengertian yang salah, seolah-olah siapa saja yang
memiliki pusaka itu, dengan sendirinya akan dapat menduduki tahta. Orang
tua itu kembali membetulkan letak duduknya. Dan sekali-kali menarik
napas dalam-dalam. Kemudian ia meneruskan, ”Padahal, segala sesuatu sangat tergantung kepada orang itu sendiri. Dan
tergantung padanya pulalah pusaka-pusaka keraton itu dapat luluh atau
tidak ke dalam dirinya. Itulah yang biasa disebut orang -wahyu-. Dan
wahyu itu bukanlah semacam permainan dadu dengan mempertaruhkan
keberuntungan, tetapi untuk dapat menerima wahyu maka seseorang harus
mempersiapkan dirinya sebagai wadah dari watak dan sifat-sifat wahyu
itu. Karena itulah maka untuk menerima wahyu seseorang harus bekerja
keras, mesu raga dengan penuh keprihatinan.”
Segala sesuatunya menjadi jelas bagi
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan kedua murid Pasingsingan itu. Tetapi
justru karena itu Mahesa Jenar tidak lagi menjadi gelisah atas
pusaka-pusaka keraton yang hilang itu. Sebab meskipun ia berada di
tangan seseorang, seseorang yang mempunyai pamrih sekalipun, tidaklah ia
akan selalu berhasil setelah memiliki kedua pusaka itu.
Meskipun demikian untuk meyakinkan diri sendiri, bertanyalah Mahesa Jenar, ”Tuan,
aku sudah dapat memahami semua keterangan itu. Namun meskipun demikian,
untuk menenteramkan perasaanku sendiri, aku ingin mendapat penjelasan
yang pasti, apakah kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada
pada Tuan.”
Sekali lagi orang itu tersenyum. Sambil mengangguk ia menjawab, ”Benar…
Mahesa Jenar. Kedua keris itu ada padaku. Jangan takut. Bagiku kau
adalah lantaran yang sebaik-baiknya untuk menyerahkan kembali kedua
pusaka itu ke Demak kelak apabila kita sudah mendapat gambaran, siapakah
yang paling sesuai untuk menjadi wadah dari wahyu itu. Meskipun
demikian segala sesuatu masih tergantung atas kebenaran yang tertinggi.
Adakah Tuhan memperkenankan atau tidak. Sebab Tuhan-lah Maha Penentu
dari segala kejadian.”
Yang tiba-tiba menjadi persoalan di dalam
otak Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara kemudian adalah Ki Ageng Gajah
Sora. Ia akan dapat dibebaskan apabila kedua keris itu sudah dapat
diketemukan. Sebab dengan demikian akan dapat dibuktikan apakah ia
bersalah atau tidak. Sedang menurut orang tua itu, penyerahan kembai
keris-keris itu masih memerlukan waktu. Lalu bagaimanakah yang akan
terjadi dengan Gajah Sora itu…? Karena persoalan itu bertubi-tubi
menghantam dinding kepalanya, akhirnya Mahesa Jenar memberanikan diri
bertanya, ”Tuan… Masih ada sesuatu yang sangat mengganggu
perasaanku, yaitu masalah Kakang Gajah Sora. Dengan demikian maka ia
tidak akan segera mendapatkan penyelesaian.”
Orang tua itu, yang pernah mengenakan
gelar Pasingsingan itu, mengerutkan keningnya. Persoalan itu bagi
Banyubiru bukan persoalan yang kecil. Sebab persoalan itu bagi Banyubiru
akan menentukan garis sejarah masa depan Banyubiru, meskipun tidak
seluruhnya. Untunglah Gajah Sora meninggalkan seorang anak laki-laki
yang dapat dibanggakan, Arya Salaka. Karena itu ia berkata, ”Mahesa
Jenar… sebaiknya kalian tidak usah menunggu Gajah Sora. Bawalah Arya
Salaka ke dalam tugas sucinya. Aku kira ia cukup mampu untuk melakukan,
meskipun kau harus selalu berada di sampingnya. Sedangkan Ki Ageng Gajah
Sora… serahkan saja kepadaku.”
Sekali lagi suatu pertanyaan membersit di
dalam hati Mahesa Jenar, bahkan juga di dalam hati Kebo Kanigara dan
kedua murid Pasingsingan itu. Mereka mendapatkan suatu firasat yang
mengatakan bahwa orang tua itu bagaimanapun pasti mempunyai hubungan
sambut rapat dengan Sultan Trenggana atau pemerintah Demak.
Akhirnya Kebo Kanigara tidak dapat lagi
menahan keinginannya untuk mengetahui keadaan orang tua itu lebih banyak
lagi, sehingga kemudian ia berkata, ”Tuan, telah bertahun-tahun aku
tinggal di Bukit Karang Tumaritis, bersama-sama dengan Tuan dalam
kedudukan Tuan sebagai seorang Panembahan bergelar Panembahan Ismaya. Namun
kemudian ternyata aku sama sekali masih belum mengenal Tuan. Sebab
ternyata aku masih belum mengetahui apa yang Tuan lakukan apabila Tuan
sampai berbulan-bulan meninggalkan padepokan kami. Juga ternyata karena
keterangan-keterangan Tuan, aku malahan menjadi semakin banyak menyimpan
pertanyaan-pertanyaan tentang Tuan. Karena itu seandainya Tuan tidak
keberatan sejalan dengan pernyataan Tuan untuk tidak berahasia lagi,
khususnya terhadap kami, apakah Tuan tidak keberatan apabila Tuan
menyatakan kepada kami siapakah Tuan serta dari manakah Tuan
sebenarnya.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, berkatalah ia dengan suara yang
dalam dan perlahan, ”Kebo Kanigara dan kalian yang lain… apakah ada
perlunya aku menyatakan diri serta asal-usulku? Sebab apa yang sudah
terjadi itu tidak akan banyak pengaruhnya bagi masa yang akan datang.”
Karena Mahesa Jenar pun ingin sekali mendengar keterangan itu, ia pun mendesaknya, ”Bahwa
masa lampau selalu penting bagi masa kini maupun masa depan. Apa yang
terjadi sekarang karena telah terjadi sesuatu pada masa-masa lampau. Karena
itu kami tidak akan dapat meninggalkan angkatan dari masa lampau.
Alangkah kerdilnya jiwa kami apabila kami memperkecil arti
angkatan-angkatan sebelum kami. Meskipun bukan berarti bahwa kami akan
selalu menggantungkan diri padanya. Namun pengalaman-pengalaman adalah
mahaguru yang sangat baik. Hasil-hasil yang pernah dicapai serta
cara-cara untuk mencapainya. Juga kesalahan-kesalahan yang pernah
dilakukan adalah suatu cermin untuk mengenal cacat wajah sendiri.”
Kembali orang itu mengangguk-angguk.
Matanya yang sejuk itu sekali lagi terlempar ke atas tanah berdebu di
halaman. Matahari kini telah semakin tinggi menggantung di langit yang
biru bersih. Daun-daun yang hijau segar tampak berkilat-kilat
memantulkan cahayanya yang cerah.
———-oOo———-
II
Orang tua yang menamakan diri Panembahan
ismaya itu masih berdiam diri. Tampaknya ia agak ragu-ragu. Namun
akhirnya diceritakanlah kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan kedua
muridnya itu tentang dirinya. ”Anak-anakku sekalian…. Baiklah aku
menuruti permintaanmu. Tetapi jangan kau ceritakan kepada orang lain
dari apa yang akan kau dengar.” Ia berhenti sejenak untuk mendapat
kesan bahwa mereka yang akan mendengarkan ceritanya benar-benar tidak
akan mengatakan kepada orang lain. Sejenak kemudian ia meneruskan, ”Yang
mula-mula boleh kau ketahui, namaku yang sebenarnya yang diberikan oleh
ayah dan ibuku, adalah Buntara, lengkapnya Raden Buntara.”
Mendengar nama itu, Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan kedua muridnya bersama-sama tergerak hatinya. Bahkan
tiba-tiba Kebo Kanigara mengangkat wajahnya serta memandang orang tua
itu tajam-tajam. Memandang segenap bagian tubuhnya seolah-olah di
dalamnya tersimpan sesuatu yang sangat menarik perhatiannya. Agaknya
orang tua itu merasa betapa Kebo Kanigara tertarik pada namanya. Karena
itu ia bertanya, ”Adakah sesuatu yang menarik dari nama itu, Kanigara…?”
Kanigara mengerutkan keningnya. Otaknya
bekerja keras untuk mengingat-ingat nama-nama yang pernah didengarnya.
Akhirnya seperti orang terperanjat ia menjawab, ”Ya… nama itu sangat menarik bagiku.”
Orang tua itu tersenyum, lalu katanya, ”Apakah yang menarik?”
Kanigara kembali menarik alisnya. Ketika kemudian ia teringat sesuatu, hampir berteriak ia berkata, ”Raden Buntara, bukankah Raden Buntara itu adik Sultan Brawijaya Pamungkas dari seorang garwa ampeyan…?”
Sekali lagi orang tua itu tersenyum. Katanya, ”Kau pernah mendengar nama itu?”
”Ya,” jawab Kanigara, ”Aku pasti pernah mendengarnya. Ayahku pernah menyebut-nyebut nama itu.”
”Tentu,” sahut orang tua itu. ”Ayahmu pasti pernah menyebut-nyebut namaku. Aku adalah pamannya yang paling dekat dengan ayahmu itu.”
”Kalau demikian Tuan lah Eyang Buntara yang pernah aku dengar namanya,” kata Kanigara sambil membungkuk hormat. Hormat sekali.
Raden Buntara mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, ”Kanigara,
kau benar. Aku adalah orang yang kau maksud itu. Tetapi jangan panggil
aku Eyang Buntara. Panggilah aku Panembahan Ismaya.”
Sekali lagi Kebo Kanigara membungkukkan
kepala dengan takzimnya. Bahkan kemudian Mahesa Jenar, Radite dan
Anggara pun membungkuk hormat. Hormat kepada seorang yang mereka segani.
Tetapi lebih dari itu, orang tua itu ternyata adalah adik Baginda
Brawijaya pamungkas.
Untuk sesaat suasana ditelan oleh
kesepian. Berbagai perasaan muncul di dalam kepala masing-masing.
Sehingga kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya.
”Tetapi kemudian aku terlibat dalam berbagai persoalan, sehingga aku merasa perlu untuk mengasingkan diriku dari dunia ramai.” Sekali lagi orang tua itu berhenti untuk menarik nafas dan membetulkan duduknya. Kemudian disambungnya lagi, ”Ketika
itu terjadi perbedaan paham yang bersumber pada perbedaan kepercayaan.
Pada waktu itu aku sudah mencoba untuk meyakinkan bahwa kepercayaan
bukanlah sumber yang tak dapat dibendung. Namun agaknya Sultan merasa
bahwa ia lebih baik mengundurkan diri dari tahta serta meninggalkan
istana. Tetapi Raden Patah pun sama sekali tidak mau memperkosa
kekuasaan Majapahit. Karena itu sebelum Prabu Brawijaya itu menyerahkan
kekuasaan. Dan ternyata Prabu Brawijaya memberikan izin itu, meskipun
ia sudah berada di perjalanan.
Ketika Raden Patah kemudian memegang
pimpinan kerajaan, dipindahkannya pusat kerajaan dari Majapahit ke
Demak, sehingga dengan demikian berakhirlah suatu rangkaian pemerintahan
yang berpusat di Majapahit.
Pada saat itu Prabu Brawijaya,
diiringi oleh beberapa orang pergi berkelana dari satu tempat ke lain
tempat. Beliau berjalan menyusur pantai selatan menuju arah matahari
terbenam. Akhirnya sampailah beliau ke daerah Bukit Seribu, yang juga
terkenal dengan nama Gunungkidul.
Meskipun aku adalah adik Brawijaya,
namun umurku agak terpaut banyak daripadanya. Bahkan dengan Raden Patah
pun agaknya aku tidak lebih tua. Karena itu, pada suatu saat Raden Patah
memerintahkan kepadaku, bahwa ia mengharap dapat menerima kunjungan
ayahanda Baginda. Bahkan mengharapkan Prabu Brawijaya menghentikan
perantauannya dan menetap di suatu tempat yang dikehendakinya. Dengan
susah payah aku menyusur bekas perjalanan Baginda. Bertanya dari suatu
tempat ke tempat lain. Dengan demikian dapatlah banyak yang dilihat dan
banyaklah yang dapat didengar, tentang hidup dan penghidupan. Tentang
alam dan seluk-beluknya, untuk melengkapi pengetahuannya menjelang masa
langgeng.
Tetapi terjadilah hal yang sama
sekali tak terduga-duga. Seorang tumenggung yang ikut serta dalam
rombongan Baginda merasa curiga atas kehadiranku. Tumenggung itu
menyangka bahwa aku datang dengan pamrih. Kalau aku dianggap lawan yang
harus dibunuh, maka aku tidak akan sakit hati. Tetapi yang tidak dapat
aku terima adalah sangkaan yang bukan-bukan atas diriku dalam
persoalan-persoalan yang memalukan. Ia menganggap bahwa aku sengaja
mendekatkan diriku kepada Baginda untuk dapat mengetahui di mana
kekayaan Baginda yang dibawa sebagai bekal perjalanan, disimpan. Ia
menuduh bahwa aku ingin memiliki harta kekayaan itu. Dan yang lebih
parah lagi, ia mempergunakan istrinya yang ikut serta dalam perjalanan
itu untuk memancing persoalan. Dengan susah payah aku selalu mencoba
untuk menghindarkan diri dari setiap bentrokan yang mungkin timbul.
Namun ketika akhirnya aku ketahui bahwa sebenarnya ialah yang bermaksud
jahat atas Baginda dan harta bendanya, aku tidak dapat membiarkannya.”
Panembahan Ismaya berhenti sejenak.
Pandangannya yang jauh menatap cahaya matahari yang menari-nari di
daun-daun dan ranting-ranting pepohonan di luar, seolah-olah mencari
lembah peristiwa-peristiwa masa lalu pada bayang-bayang yang selalu
bergerak di batang-batang kayu.
Kemudian, setelah menarik nafas panjang, ia kembali meneruskan, ”Kemudian
akulah yang sengaja membuat persoalan. Atau tegasnya aku sengaja
menanggapi persoalan-persoalan yang dibuatnya. Agaknya darah mudaku pada
saat itu sangat mempengaruhi jalan pikiranku, sehingga karena itu aku
telah membuat suatu kesalahan.
Seperti yang sekali dua kali pernah
dilakukan, istri Tumenggung itu sengaja datang ke pondokku di belakang
rumah yang dipergunakan sebagai pesanggrahan sederhana. Pada saat-saat
sebelumnya, apabila perempuan itu datang, aku selalu pergi menghindar
jauh-jauh. Sebab aku sudah dapat mengetahui maksud kedatangannya. Tetapi
kali ini aku sengaja menemuinya. Aku ingin mendengar apa yang
akan dikatakannya kepadaku, meskipun aku sudah dapat menduganya lebih
dahulu. Ternyata dugaanku tidak jauh menyimpang. Perempuan itu mula-mula
mencela suaminya, kemudian memuji-muji aku sebagai seorang pemuda yang
gagah, tampan dan berani. Kemudian dengan solah yang dibuat-buat, ia
mulai mengatakan tentang ketidakpuasannya terhadap suaminya, dan yang
terakhir, yang tidak aku duga-duga bahwa sedemikian jauh pertentangan
yang ingin dibuatnya, adalah perempuan itu minta tolong kepadaku, supaya
aku membunuh suaminya. Tentu saja dengan pura-pura mengharap, supaya
aku akan menggantikan suami itu.
”Sayang” jawabku kepada perempuan itu berterus terang ”Aku
sudah tahu permainan yang harus kau lakukan. Bukankah dengan demikian
setiap orang akan menuduh aku merebut isteri orang. Suamimu mengharap
aku akan menyerangnya. Siang atau malam, apabila laki-laki itu tampaknya
sedang lengah. Namun sebenarnya ia telah siap membunuhku, sebab kau
sudah memberitahukan kepadanya. Kalau laki-laki itu sudah berhasil
melawan aku dalam suatu perkelahian, maka setiap orang akan meludah
dihadapanku. Hidup atau mati.
Nah, kalau demikian katakanlah
kepadanya. Kalau ia menghendaki suatu perkelahian, suruhlah ia menantang
aku sebagai seorang laki-laki. Ada atau tidak ada persoalan.”
Wajah perempuan itu menjadi merah. Tetapi
agaknya ia memang perempuan yang cerdik. Aku mengharap ia akan marah,
dan berlari menyampaikan kata-kataku kepada suaminya. Tetapi ia tidak
berbuat demikian. Wajahnya yang merah itu sesaat kemudian telah cerah
kembali. Sambil tersenyum-senyum ia mendekati aku. Katanya ”Kau
laki-laki jujur. Sayang kau masih terlalu muda untuk menanggapi
persoalan. Agaknya Raden belum mengenal aku sungguh-sungguh.”
Mula-mula aku menjadi gemetar ketika
tiba-tiba perempuan itu meraba tubuhku. Bahkan kemudian aku menjadi
muak. Dan karena itulah aku berbuat kesalahan. Sebenarnya lebih baik
sekali aku berlari jauh-jauh meninggalkan tempat itu. Tetapi aku tidak
berbuat demikian. Ketika aku tidak dapat menahan perasaan muak yang
bergolak di dalam dadaku, perempuan itu aku dorong keras-keras dan jatuh
terbanting di lantai. Karena itulah maka tiba-tiba terdengar ia
berteriak-teriak. Mula-mula aku menyangka bahwa ia berteriak karena
kesakitan. Tetapi dugaanku itu ternyata keliru. Perempuan itu sama
sekali tidak berteriak karena kesakitan. Ternyata beberapa saat kemudian
terdengarlah langkah beberapa orang berlari-lari. Beberapa diantaranya
langsung masuk ke dalam pondok. Hampir pecah kepalaku pada saat itu
ketika aku mendengar perempuan itu berteriak ”Lelaki gila. Aku diseretnya kemari dengan kasarnya.”
Semua mata terarah kepadaku. Diantaranya adalah sepasang mata laki-laki
tamak, suami dari perempuan gila itu. Sambil menggeram mengerikan ia
bertanya kepada isterinya dengan suara mengguntur. ”Hai perempuan rendah. Apa kerjamu disini?”

Kembali laki-laki itu mengeram. Kemudian dengan pandang mata yang mengerikan pula ia bertanya kepadaku. ”Kau hinakan nama isteriku Raden. Sayang bahwa suaminya adalah seorang laki-laki yang mempunyai harga diri. Kalau kau inginkan dia, marilah kita selesaikan dengan cara seorang laki-laki.”
Aku menjadi ragu. Untuk menjelaskan
persoalan yang sebenarnya agaknya sama sekali tidak ada gunanya. Karena
itu aku mengambil keputusan untuk menerima tantangannya. Bukankah aku
memang ingin membuat perhitungan dengan Tumenggung itu? Namun sayang,
sangatlah sayang. Bahwa tak seorangpun yang mengerti keadaan sebenarnya.
Tak seorangpun yang mengerti isi hatiku yang sesungguhnya, kecuali
seorang jajar tua yang sangat setia kepada baginda. Dan jajar itu
pulalah yang mengetahui segala seluk beluk pokal Tumenggung itu. Ia
pulalah yang mendengar dengan telinganya sendiri, bagaimana Tumenggung
itu mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para Menteri yang sependapat
dengan pikirannya. Tetapi ia hanyalah seorang jajar yang tidak berarti.
Karena itu, apa yang didengar dan diketahuinya itu tak dapat dipercaya
oleh siapapun meskipun ia sudah pernah mengajukannya kepada baginda
lewat seorang bupati dalam yang boleh dipercaya. Bahkan akhirnya Bupati
itu yang semula tertarik kepada ceriteranya berkata kepadanya ”Jajar, agaknya kau terlalu letih. Karena kau bermimpi buruk.”
Akulah orang yang pertama-tama
menaruh perhatian sepenuhnya atas keterangannya. Ia langsung berkata
kepadaku, kepada adik baginda. Ia mengharapkan keselamatan baginda dapat
terjamin.
Akhirnya terjadilah perkelahian itu.
Perkelahian yang ditunggui oleh beberapa orang saksi. Tumenggung itu
agaknya yakin bahwa ia akan dapat membunuhku. Dengan demikian
rencananya tidak akan terhalang. Ia memang pernah mengenal aku
sebelumnya, dan aku pernah mengenalnya pula, sebagai seorang Tumenggung
dalam susunan keprajuritan Majapahit. Justru dalam kesatuan pengawal
raja.
Namun perkelahian itu berakhir
sebaliknya. Akupun kemudian kehilangan pengamatan diri, sehingga tanpa
aku sadari, laki-laki itu terbunuh oleh tanganku. Mula-mula aku merasa
bhawa akibatnya tidak akan terlalu jauh. Aku akan berusaha meyakinkan,
bahwa apa yang sebenarnya terjadi tidaklah seperti yang diduga oleh
banyak orang. Tetapi aku tidak mempunyai kesempatan.”
Untuk beberapa saat Panembahan Ismaya
berhenti berceritera. Matanya yang memancar damai itu kemudian tampak
sayu dan redup. Agaknya kenangan masa silam itu tidak begitu
menyenangkan. Kemudian ia meneruskan. ”Ketika pertempuran itu
berakhir beberapa orang sahabat Tumenggung itu mengangkat mayatnya
pergi, sedang beberapa orang lain dengan pandangan yang aneh berkata
kepadaku. ”Nah, Raden. Tuan sekarang berhak memiliki perempuan itu.”
Tentu saja aku terkejut. Karena itu aku jawab ”Aku tidak perlukan perempuan itu.”
Beberapa orang itu mencibirkan bibirnya. Kata salah seorang diantaranya . “Hm, agaknya tuan mau bermain-main saja dengan isteri orang. Tetapi kemudian tuan mengingkari kewajiban tuan.”
HAMPIR saja aku meloncat dan membunuh
orang itu pula, kalau tidak tiba-tiba saja semua orang tegak memandang
ke suatu arah dan hampir bersamaan membungkuk dengan hormatnya. Agaknya
Baginda datang pula ke tempat itu. Pada saat itu keringat dingin telah
mengaliri segenap tubuhku. Aku tidak tahu apakah sebenarnya maksud
kedatangan baginda. Tetapi aku sudah menduga bahwa pasti ada hubungannya
dengan perkelahian yang baru saja terjadi. Dan apa yang aku duga adalah
benar. Baginda yang telah tampak sedemikian tuanya itu memandangku
dengan sinar mata yang marah. Meskipun terdengar Baginda berkata-kata
dengan sabar dan perlahan-lahan, namun bagiku setiap kata Baginda
terdengar sebagai meledaknya guruh diatas kepalaku. Kata Baginda,
”Adikku… apakah yang terjadi adalah sama sekali diluar dugaanku. Aku
bergembira bahwa salah seorang keluarga terdekatku sudi datang
berkunjung kepadaku. Kepada orang yang sudah hampir dilupakan. Namun
tiba-tiba kau membuat hatiku semakin parah karena kelakuanmu.”
Hampir menangis aku berjongkok di
kaki Baginda. Dengan terputus-putus aku mencoba menjelaskan apa yang
sebenarnya tersimpan di dalam kepalaku.
Tetapi keteranganku itu agaknya
terdengar aneh sekali. Meskipun Baginda tidak membantahnya, namun aku
yakin bahwa Baginda sama sekali tidak percaya. Bahkan kemudian
Baginda dengan berdiam diri meninggalkan tempat itu. Karena itulah aku
menjadi semakin tersiksa. Tersiksa oleh berbagai perasaan yang menghujam
hati.
Dengan terbunuhnya Tumenggung yang
curang itu, menyebabkan gerombolannya semakin marah. Mereka kemudian
tidak mau menunggu lebih lama lagi. Mereka menjadi takut kalau gerakan
mereka akan segera diketahui. Disamping itu mereka agaknya takut pula
kalau aku juga akan mengadakan gerakan untuk melawannya. Akhirnya
terjadilah dimalam yang mengerikan itu. Beberapa orang prajurit
kepercayaan raja mati terbunuh. Mereka disergap dengan tiba-tiba oleh
gerombolan orang-orang tamak yang sudah hampir gila itu. Dalam keadaan
yang demikian, sekali lagi aku kehilangan pengamatan diri. Kembali aku
berbuat kesalahan. Bahwa aku tidak lebih dahulu menunggu perintah
Baginda. Ketika aku mendengar keributan langsung aku menyerbu,
melibatkan diri dalam perkelahian itu. Akibatnya, beberapa orang
terbunuh. Orang-orang yang dengan sengaja ingin merebut harta kekayaan
Baginda.
Namun agaknya apa yang aku lakukan
itu tidak berkenan pula di hati Baginda. Bahkan beberapa orang dari
pihak lain pun menyalahkan aku. Mereka takut kalau kepercayaan Baginda
akan berkisar kepadaku. Sekali lagi Baginda berkata kepadaku dengan
sabar dan perlahan-lahan. ”Adikku Raden Buntara… aku tidak akan
menyalahkan kau. Jiwa muda yang tersimpan didalam dadamu memang
memerlukan penyaluran. Aku hanya ingin menunjukkan beberapa kenyataan
kepadamu. Sebelum kau datang ke tempat ini pesanggrahanku yang terpencil
ini, selalu diliputi oleh suasana damai. Tetapi dengan kehadiranmu di
sini, keadaan menjadi lain. Terserahlah atas penilaianmu terhadap
kenyataan itu.”
Aku menjadi semakin berduka atas
pernyataan Baginda itu. Beberapa orang segera memencilkan aku
seolah-olah akulah orangnya yang selalu membuat ribut. Satu-satunya
sahabatku di tempat itu adalah jajar tua yang dapat mengetahui keadaan
yang senyatanya. Ia melihat kenyataan yang sebenarnya. Dan hanya jajar
tua itulah yang melihat, bahwa aku telah berjuang untuk keselamatan
Baginda beserta rombongannya. Tetapi sekali lagi hatiku terluka. Lebih
parah dari luka-luka yang terdahulu. Pada suatu pagi aku ketemukan jajar
tua, sahabatku itu terguling di tanah di depan pondoknya tanpa nyawa.
Sebuah luka menggores di lehernya. Pada saat itu darahku tiba-tiba
mendidih. Hampir saja otakku tak dapat aku kendalikan lagi.
Untunglah bahwa pengalaman pahit selama ini agaknya dapat mengekang
segala tingkah lakuku. Dengan sedih aku mencoba untuk memberitahukan
kematian itu kepada beberapa orang. Namun tak seorangpun menaruh
perhatian kepada jajar tua yang dianggap sama sekali tak berarti itu.
Bahkan karena ia benci kepadaku. Karena itu aku tak dapat berbuat lain
daripada menguburkan mayat itu sendiri. Sendiri.
Dengan segala peristiwa yang sangat
menyakitkan hati itulah kemudian aku memutuskan untuk segera
meninggalkan tempat itu kembali ke Demak. Melaporkan apa yang sudah
terjadi. Aku mengharap agar Sultan dapat menjernihkan suasana.
Menjernihkan hubungan yang gelap antara aku dengan Baginda Brawijaya
beserta orang-orang di sekitarnya.
Tetapi apa yang terjadi kali ini tak
dapat aku pikul lebih jauh lagi. Ketika aku menghadap Baginda Sultan
Demak, beliau berkata, juga dengan sabar dan perlahan-lahan. ”Paman, aku
sudah mendapat laporan lengkap tentang Paman. Ayahanda Prabu telah
mengirim utusan kemari sebelum paman datang. Beliau merasa menyesal
bahwa segala sesuatu yang kurang pada tempatnya telah terjadi. Apalagi
persoalan itu bersumber pada persoalan seorang istri, yang karena
keadaan menjadi sedemikian buruknya. Paman tidak saja membunuh suaminya,
tetapi karena Paman, maka terjadilah bentrokan antara sahabat-sahabat
laki-laki itu dengan beberapa orang prajurit yang memihak kepada Paman.
Karena itu Paman bukanlah seorang utusan seperti yang aku harapkan.
Bahkan sebaliknya, Paman telah menjadikan Ayahanda Prabu semakin jauh
daripadaku.”
Dadaku hampir pecah mendengar tuduhan
itu. Tetapi aku tidak dapat menyangkalnya. Satu-satunya orang yang
mengetahui keadaan yang sebenarnya telah meninggal. Yaitu jajar tua yang
bermuka jelek, namun berhati bersih sebersih air yang baru memancar
dari sumbernya. Adapun nama dari jajar tua itu adalah Pasingsingan.”
Yang mendengarkan ceritera Panembahan
Ismaya itu tersentak dalam duduknya. Mereka hampir bersamaan mengulangi
nama itu. ”Pasingsingan.”
”Ya,” sahut Panembahan Ismaya. ”Jajar tua itulah yang sebenarnya bernama Pasingsingan. Aku pahatkan nama itu pada dinding-dinding hatiku.”
Mahesa Jenar, Kanigara dan kedua murid orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mahesa Jenar, Kanigara dan kedua murid
orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu Panembahan
Ismaya meneruskan, ”Ketika aku sudah tidak mendapat kesempatan lagi
untuk membersihkan namaku, maka aku menjadi sangat malu. Aku merasa
bahwa wajahku tak patut lagi berada ditengah-tengah para satria Demak.
Karena itulah maka akhirnya aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari
padanya. Mengasingkan diri di tempat yang jauh.”
Akhirnya aku menemukan suatu lembah
yang pantas bagi tempat pengasinganku. Di lembah itulah akhirnya aku
bertapa. Mencoba untuk mendapat imbangan dari segala perasaan yang
menekan dadaku. Kalau kadang-kadang aku ingin melihat kesibukan manusia,
aku datang ke desa-desa di sekitar lembah itu. Namun rasa-rasanya
setiap orang muak memandang wajahku, sehingga akhirnya aku terpaksa
mengenakan sebuah kedok. Demikianlah aku dengan prihatin hidup tidak
sebagai manusia yang sewajarnya. Aku hidup benar-benar seperti seekor
kelelawar. Yang muncul dalam saat-saat menusia tenggelam dalam mimpi.
Bahkan akhirnya ada orang yang menyangka aku hantu. Hantu bertopeng dan
berjubah abu-abu.
Namun demikian aku tetap percaya pada
keadilan. Keadilan yang maha tinggi, yang terletak di tangan Tuhan Yang
Maha Kuasa. Aku yakin, bahwa meskipun pada saat-saat itu aku
seolah-olah hilang dari percaturan manusia, namun aku yakin, bahwa pada
suatu saat aku akan kembali. Kembali ditengah-tengah pergaulan hidup.
Meskipun bukan Buntara, tetapi setidak-tidaknya cita-citaku, berlanjut
dari hidupku akan berada di tengah-tengah manusia dalam keadaan yang
baik.
Akhirnya saat itu tiba. Ketika aku
melihat seorang pemuda dalam perjalananku yang memang sering aku
lakukan, beserta seorang anak laki-laki yang memiliki wajah yang cerah,
tiba-tiba aku merasa bahwa padanya aku dapat menumpangkan harapan.
Padanya aku ingin ikut serta dengan menyerahkan tekad untuk kembali
berada di tengah manusia. Karena itulah aku selalu membayanginya. Kalau
bukan aku sendiri, aku menyuruh Kanigara untuk mengikutinya. Apalagi
ketika aku melihat, bahwa orang muda itu memiliki keturunan ilmu yang
sama dengan Kanigara. Demikianlah akhirnya aku berhasil membawa Mahesa
Jenar ke bukit kecil yang aku namakan Karang Tumaritis beserta muridnya
Arya Salaka. Aku ingin memberinya bekal-bekal dalam usahanya menjelang
hari-harinya yang akan datang. Tidak saja Nagasasra dan Sabuk Inten,
tetapi juga berbagai macam ilmu sekadarnya.
Tetapi agaknya otaknya terlalu
jernih. Sehingga bersama-sama dengan Kanigara ia justru memaksa aku
untuk mempercepat membuka diri. Untunglah bahwa segala sesuatunya bagiku
sudah terasa matang. Sehingga meskipun aku dipaksa untuk membuka diri,
tidak banyaklah pengaruhnya bagi semua rencana-rencana yang sudah aku
siapkan.
Yang mendengar ceritera itu seolah-olah
terpaksa menahan napasnya. Ternyata bahwa Panembahan Ismaya telah lama
membayangi Mahesa Jenar. Teringatlah Mahesa Jenar, pada saat ia hampir
kehilangan akal, ia telah dicegat oleh laki-laki berjubah abu-abu itu
untuk meluruskan kembali jalannya. Juga di pantai Tegal Arang, seseorang
telah mengingatkan tekadnya untuk menemukan Kiai Nagasasra dan Kiai
Sabuk Inten. Dan orang itu agaknya bukan Panembahan Ismaya, tetapi Kebo
Kanigara, dimana ia sempat menuntun Arya Salaka dalam beberapa hari
untuk menjadikan anak itu bertambah masak. Tetapi ternyata Kebo Kanigara
sendiri tidak mengerti keseluruhan dari tugasnya.
Sementara itu Panembahan Ismaya meneruskan, ”Dalam
jarak yang cukup panjang, diantara masa-masa aku melenyapkan diri dari
istana, sampai saat terakhir ini, banyaklah pengalaman yang aku jumpai.
Bahkan terlalu banyak. Di dalam hidupku muncullah orang-orang seperti
Umbaran, yang mula-mula aku sangka orang yang berhati baik, namun
akhirnya, ternyata bahwa ia telah menambah hidupku menjadi semakin
buruk. Kemudian datanglah Radite dan Anggara. Kepadanya aku mula-mula
menaruh harapan. Tetapi kembali Umbaran merusak jalan hidup mereka.
Sehingga Radite akhirnya tergelincir dan mengalami masa-masa seperti
yang pernah aku alami. Mengasingkan diri di Pudak Pungkuran ini.
Untunglah bahwa ia menemukan ruang gerak yang dapat menolong kepahitan
masa lampaunya. Juga kemudian aku jumpai Kanigara dengan gadis kecilnya.
Aku bawa ia ke Karang Tumaritis. Tetapi agaknya ia lebih cinta pada
anak gadisnya daripada masa depannya sendiri. Sehingga seolah-olah,
seluruh hidupnya telah diserahkan buat hari kemudian anaknya. Dan karena
sifat kebapaan yang sedemikian dalamnya itulah, aku tidak sampai hati
untuk memisahkannya dari anaknya, meskipun aku dapat menjamin masa depan
anak itu. Karena itu, tugas yang aku bebankan padanyapun bukanlah tugas
yang panjang-panjang. Sehingga ia akan selalu berada disamping gadis
kecil yang sudah tak beribu lagi itu. Sehingga akhirnya aku dijumpai
Mahesa Jenar beserta Arya Salaka. Meskipun dalam garis hubungan
keluarga, ia tidak dekat Kanigara, namun karena ia berasal dari istana
pula, maka aku mengharap agak banyak dari padanya. Mudah-mudahan Mahesa
Jenar tidak akan menyia-nyiakan harapanku itu.”
Tiba-tiba Mahesa Jenar merasa, suatu
beban yang sangat berat terpikul di atas pundaknya. Beban yang masih
samar-samar. Apakah yang harus ia lakukan untuk memenuhi harapan
Panembahan tua itu. Karena itu ia sambil membungkukkan kepalanya,
bertanya kepadanya, ”Panembahan, apakah agaknya yang harus aku lakukan untuk memenuhi harapan Panembahan itu?”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, ”Hampir
setiap orang telah melupakan nama Buntara. Mereka yang sekali dua kali
teringat nama itu, terutama bagi mereka yang telah lanjut usia, akan
mencibirkan bibir mereka. Tetapi itu tidak penting. Sebagaimana tekadku
sejak masa mudaku, bagiku yang penting adalah keselamatan negeri diatas
segala-galanya. Demikianlah hendaknya kau Mahesa Jenar. Adalah suatu
kebetulan bahwa aku dapat menyimpan pusaka-pusaka yang hilang itu, yang
justru akan dapat membantu membina kesejahteraan negara, dengan
menyerahkannya kepada orang yang tepat. Nah, Mahesa Jenar, pekerjaan
yang aku harap dapat kau lakukan, adalah mengadakan penilaian atas kedua
keturunan yang sudah aku katakan kepadamu, kelak. Tetapi itu tidak
berarti bahwa kau hanya menjadi penonton saja, namun dalam saat-saat
yang perlu, kau harus ikut pula.”
Dengan demikian segala sesuatu kini
menjadi jelas, kenapa Panembahan Ismaya bernama Pasingsingan dan kenapa
ia sangat menaruh perhatian atas tata pemerintahan Demak.
Setelah orang tua itu menarik nafas panjang, ia mulai lagi berkata,
”Mahesa Jenar, ternyata kau telah melakukan pekerjaan itu. Bahkan
apabila kelak ada seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat
kepemimpinan, disuyudi oleh para kawula serta berjiwa seperti jiwa
lautan, karena memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang
akibatnya akan membawa kesejahteraan bagi tanah tumpah darah ini,
sebagian adalah karena perjuanganmu. Perjuangan yang telah kau lakukan
sejak lama. Perjuangan yang tak dikenal oleh siapapun. Sebab perjuangan
yang kau lakukan adalah perjuangan yang khusus. Tetapi aku percaya akan
kebesaran jiwamu. Meskipun namamu kelak tidak akan dipahatkan di
batu-batu ataupun tertulis di lontar-lontar kitab babad, namun kaulah
hakekat dari kemenangan itu.”
Mendengar penjelasan itu, tiba-tiba
bulu-bulu kuduk Mahesa Jenar meremang. Memang sejak semula ia sama
sekali tidak bermimpi untuk mendapat tanda jasa di dadanya. Atau namanya
digoreskan di pintu-pintu gerbang kota, serta di jalan-jalan raya. Yang
diimpikan adalah kesejahteraan rakyat di bumi tercinta ini.
Kesejahteraan lahir dan batin. Jasmaniah dan rohaniah.
Dalam pada itu, terdengar Panembahan Ismaya meneruskan, ”Karena
itu Mahesa Jenar, sebagian besar dari pekerjaanmu itu sudah selesai.
Kau tidak perlu lagi bersusah payah mencari Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten, sebab kedua pusaka itu sudah di tanganku.
Sementara itu, kau dapat
menyelesaikan pekerjaanmu yang lain. Kau telah berjanji kepada sahabatmu
Ki Ageng Gajah Sora untuk menuntun anaknya. Nah, lakukanlah itu
baik-baik. Bawalah anak itu pada suatu tugas yang besar. Memperoleh
kembali tanah pusaka baginya. Sementara itu biarlah aku berusaha
mendapatkan kembali kebebasan Gajah Sora itu.”
Kemudian ruangan itu menjadi hening. Yang
terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang duduk di dalamnya sambil
mengurai gagasan masing-masing. Sehingga kemudian suasana itu dipecahkan
oleh suara Panembahan Ismaya dalam nada yang jauh berbeda dari semula.
Katanya, ”Nah, Paniling, Darba dan kedua kemanakannya. Aku sudah
selesai berceritera. Sekarang berilah aku kesempatan untuk mengenal
desamu yang sepi ini.”
Mendengar kata-kata itu Paniling seperti orang yang terbangun dari mimpi yang mengasyikkan. Dengan tergagap ia menjawab, ”Baik, baiklah Guru.”
”Jangan panggil aku Guru. Di sini aku adalah kakakmu,” potong Panembahan Ismaya. ”Namaku….” ia berhenti mengingat-ingat, lalu lanjutnya, ”Siapakah kau akan menyebut diriku kalau tetangga-tetanggamu bertanya namaku?”
Paniling tidak segera menjawab. Ia tidak tahu, nama apakah yang baik diterapkan pada orang yang menyebut dirinya kakaknya itu.
Tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, ”Among Raga.”
Panembahan Ismaya tertawa, jawabnya, ”Ah,
seolah-olah aku hanya mementingkan masalah-mnasalah jasmaniah belaka.
Tetapi nama itu baik. Memang kau pandai mencari nama. Baiklah aku pakai
nama itu di sini, meskipun isi kata itu sendiri tidak begitu mapan
bagiku.”
Kanigara sadar, bahwa memang nama itu tidak begitu menyenangkan, namun ia masih juga membela diri. ”Tetapi
Panembahan, bukankah nama itu akan menjadi aling-aling dari keadaan
Paman yang sesungguhnya. Bukankah di sini Panembahan ingin menampakkan
diri dalam ujud jasmaniahnya saja, tetapi bukan dalam ujud keseluruhan.”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya, ”Baiklah, aku tidak keberatan.”
Demikianlah, untuk sehari-dua Panembahan
Ismaya tinggal di rumah muridnya. Ia mencoba memenuhi harapan
tetangga-tetangga Paniling, untuk sekali dua kali berkunjung ke rumah
mereka berganti-ganti. Dengan penuh kesederhanaan Panembahan Ismaya,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bergaul dengan mereka.
Meskipun demikian, apabila malam datang,
serta pondok di ujung padukuhan itu telah menutup pintunya, selalu
terjadilah pembicaraan-pembicaraan yang jauh berbeda dengan setiap
pembicaraan yang sederhana dengan para tetangga mereka. Tetapi di
belakang pintu tertutup itu, Panembahan Ismaya selalu memberi kepada
keempat orang yang terdekat dari padanya itu berbagai ilmu dan
pengetahuan. Lahir dan batin. Bahkan diceriterakan pula bagaimana ia
memiliki segala macam kesaktian. Memang sejak masa mudanya, ia selalu
berusaha untuk mendapatkan berbagai macam ilmu. Sebab dalam kekisruhan
yang terjadi, pada akhir kejayaan Majapahit, ia selalu mengira bahwa
dengan kekuatan jasmaniah kejayaan itu dapat dibina kembali. Karena
itulah ia mencoba untuk mendapatkan kekuatan-kekuatan itu. Setelah ia
terpaksa meninggalkan lingkungan kesatriaan, usaha itu semakin
diperdalam. Namun jiwanya telah berbeda. Ia ingin menemukan segala
bentuk kekuatan untuk mencapai tujuan. Panembahan tua itu mengakui,
bahwa mula-mula memang dikandung maksud untuk menunjukkan kebersihan
dirinya dengan kekuatan. Ia ingin membuat hal yang aneh-aneh dengan
memaksa orang untuk berlutut di hadapannya. Dan kepada orang-orang itu
ia akan memaksakan kehendaknya. Meskipun dasar kehendak itu selalu baik
dan bermanfaat bagi beberapa orang, namun cara-cara dan sifat
kepahlawanan cengeng itu akhirnya tidak memberinya kepuasan. Dan
akhirnya maksud-maksud itu sama sekali diurungkan. Bahkan semakin banyak
ilmu yang dihirupnya, semakin jauhlah ia dari sifat-sifat itu. Dan
akhirnya malahan ia membawa dirinya dengan luka-luka di hati untuk
mengasingkan diri di lembah yang jauh dari lingkungan manusia. Di
situlah ia menerima Umbaran sebagai muridnya, tetapi orang itu kemudian
dimintanya meninggalkan tempat itu. Beberapa tahun kemudian datanglah
Radite dan Anggara. Sehingga suatu saat, ia merasa bahwa ilmu-ilmu yang
pernah dicapainya itu tak akan berarti apa-apa bagi manusia apabila
tidak diamalkan. Dengan demikian ia mengharap Radite untuk mewakilinya
dengan topeng dan jubah abu-abu. Dengan mempergunakan nama Pasingsingan,
mulailah Radite mengamalkan ilmunya. Sedang Anggara untuk sementara
dimintainya memelihara pertapaannya selama ia melenyapkan diri dari
kedua muridnya untuk menyaksikan hasil pengamalannya dari jarak yang
cukup jauh. Tetapi ia menjadi kecewa ketika Radite kemudian tergelincir.
”Bagimu Mahesa Jenar…” akhirnya Panembahan Ismaya minta, ”Jadikanlah semua itu bekal bagimu.”
Demikianlah yang mereka lakukan dari hari
ke hari. Bergaul dengan para petani disiang hari, dan menambah bekal
hidup mereka di malam hari. Sehingga akhirnya, ketika Panembahan Ismaya
memandang segala sesuatunya telah cukup, maka setelah ia bermohon diri
kepada para tetangga, pergilah ia meninggalkan padukuhan Pudak Pungkuran
mendahului Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, setelah ia berpesan kepada
Radite. ”Radite, seseorang yang membiarkan kejahatan berlangsung
tanpa berusaha untuk menghalang-halangi maka orang yang demikian itu
dapat dianggap telah ikut membantu berlangsungnya kejahatan.”
Mula-mula Radite tidak mengerti maksud
pesan itu. Tetapi beberapa waktu kemudian barulah ia sadar, bahwa ia
sama sekali tidak berbuat sesuatu terhadap saudara seperguruannya yang
terang-terangan telah melakukan berbagai kejahatan. Yaitu Umbaran.
Karena itu, tiba-tiba ia merasa bahwa gurunya telah memaafkan segala
kesalahannya, bahkan mempercayakan kepadanya, untuk menghentikan segala
kejahatan yang selalu dilakukan oleh Umbaran dengan nama Pasingsingan.
Hidup atau mati. Dengan demikian tiba-tiba beban yang selama ini
menghimpit hatinya, seolah-olah berguguran, rontok tanpa bekas.
Terasalah kemudian betapa ringan perasaannya kini. Dan dengan penuh
tekad ia berjanji, bahwa ia akan melakukan pesan itu sebaik-baiknya.
Beberapa hari kemudian Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara pun segera mohon diri pula, kembali ke Karang Tumaritis.
Kebo Kanigara telah merasa sedemikian rindunya kepada putrinya yang
ditinggalkannya beberapa hari, sedang Mahesa Jenar pun ingin segera
menemui muridnya untuk mengajaknya memulai dengan suatu tugas yang
berat, kembali ke Banyubiru.
———-oOo———-
III
Dalam perjalanan pulang, Mahesa Jenar dan
kebo Kanigara memerlukan singgah sebentar di kota Banyubiru. Ketika
malam turun perlahan-lahan di lereng-lereng bukit Telamaya, mereka
berdua menambatkan kuda mereka agak jauh di luar kota. Dengan berjalan
kaki mereka menyusuri jalan-jalan kota. Satu-dua masih tampak pintu
rumah yang terbuka. Lampu minyak yang suram melemparkan cahanyanya
berpencaran menusuk gelap malam. Bahkan di belakang regol halaman yang
masih ternganga, masih tampak beberapa orang laki-laki duduk-duduk
sambil bercakap-cakap.
Banyubiru dalam penglihatan Mahesa Jenar
tidak banyak mengalami perubahan. Jalan-jalan yang itu-itu juga menjalar
dari satu ujung ke ujung yang lain. Bangunan-bangunan tidak banyak
bertambah, bahkan beberapa banjar tampak tak terpelihara. Tempat-tempat
ibadah pun agaknya menjadi bertambah suram. Tetapi ketika Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara sampai di ujung jalan kota, mereka terkejut ketika
mereka melihat obor terpancang di tengah-tengah lapangan. seperangkat
gamelan telah siap pula di tempat itu. Beberapa orang telah mulai ramai
mengerumuninya.
Dengan penuh keinginan untuk mengetahui,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendekati lapangan itu. Kepada seorang
anak yang lewat di sampingnya, Mahesa Jenar bertanya, ”Apakah Banyubiru sedang ada perayaan?”
Anak itu memandang Mahesa Jenar dengan heran. Kemudian anak itu malah ganti bertanya, ”Apakah Bapak bukan penduduk Banyubiru…?”
Mahesa Jenar ragu sebentar. Tetapi ia harus menjawab agar tidak menimbulkan kecurigaan. Karena itu katanya, Bukan, Nak. Aku bukan penduduk Banyubiru. Aku datang dari Pangrantunan.”
”Pangrantunan…?” Anak itu tiba-tiba terkejut.
Kembali Mahesa Jenar ragu. Namun ia mengangguk. ”Ya, kenapa…?”
”Tidak apa-apa,” jawab anak itu.
”Beberapa hari yang lalu beberapa orang Pangrantunan juga datang
kemari. Mereka adalah saudara-saudara ibuku. Menurut paman-paman itu,
Pangrantunan sekarang kembali kacau. Mereka ketakutan karena Simarodra
tua sering mengunjungi pedukuhan itu. Apakah betul demikian…? Dan apakah
betul Simarodra tua itu menuntut lebih banyak dari Simarodra dahulu?”
”Betul, Nak…” jawab Mahesa Jenar sekenanya, namun karena itu ia ingin lebih banyak tahu. Karena itu ia bertanya, ”Siapakah pamanmu itu? Dan apakah yang dilakukan di sini…?”
”Pamanku bernama Reksadipa. Ia datang untuk melaporkannya kepada Ki Ageng Lembu Sora,” jawab anak itu.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu sahutnya, ”Hem… jadi kau kemenakan Kakang Reksadipa.” Kemudian Mahesa Jenar berhenti sebentar. ”Lalu apa katanya ketika ia kembali ke Pangrantunan?”
”Tidak apa-apa,” anak itu menjawab,
“Tetapi Paman mengeluh. Katanya Ki Ageng Lembu Sora sedang akan
mempertimbangkan. Tetapi itu tidak bijaksana. Sebab menurut Paman,
keadaan sudah sangat gawat. Dan rakyat Pangrantunan sendiri tidak mampu
untuk melawan mereka, meskipun rakyat Pangrantunan tidak takut.”
Mahesa Jenar menarik nafas panjang.
Memang letak Pangrantunan yang seolah-olah berhadapan dengan Gunung
Tidar itu sangat tidak menguntungkan. Tetapi menghadapi hal sedemikian
tidakkah Ki Ageng Lembu Sora Dipayana dapat berbuat sesuatu…? Namun
kepada anak itu sudah pasti Mahesa Jenar tidak bertanya demikian. Karena
itu ia bertanya tentang obor dan gamelan yang sudah siap di lapangan
itu. Katanya, ”Nak, ada apakah dengan keramaian itu?”
”Itu bukan keramaian,” jawabnya. ”Dahulu
Paman Reksadipa juga bertanya demikian. Gamelan itu memang setiap hari
berada di sana. Orang-orang sekarang sedang bersenang senang karena
panenan kemarin meskipun tidak memuaskan. Mereka setiap malam mengadakan
tayub di lapangan itu.”
”Di lapangan terbuka…? Tiba-tiba Mahesa Jenar menyela.
”Ya,” jawab anak itu. ”Setiap orang boleh ikut. Kalau siang mereka mengadu ayam. Juga di tempat itu.”
”O....” Tiba-tiba Mahesa Jenar mengeluh. Alangkah jauh kemunduran yang dialami oleh tanah perdikan ini.
Meskipun Kanigara tidak mengerti seluruh
persoalan yang berputar di dalam kepala Mahesa Jenar, namun sedikit
banyak ia pun mengerti. Tayub setiap malam dan mengadu ayam setiap hari
adalah gejala-gejala kehancuran suatu daerah.
Ketika beberapa lama Mahesa Jenar berdiam diri, berkatalah anak itu, ”Sudahlah Paman, aku akan pulang. Hari telah malam.”
Anak itu tidak menunggu jawaban Mahesa
Jenar. Demikian ia selesai berbicara segera ia menghambur ke dalam
gelap. Di kelokan jalan, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih melihat
anak itu singgah di sebuah warung untuk membeli sesuatu.
”Itulah Kakang… gambaran Banyubiru saat ini. Suram dan mengerikan. Menyabung ayam di siang hari dan tuak di malam hari,” kata Mahesa Jenar kepada Kebo Kanigara.
”Kesalahan yang tak boleh dibiarkan lebih lama lagi,” jawab Kebo Kanigara.
Kemudian kedua orang itu bersepakat untuk menyaksikan tari tayub yang sebentar lagi akan diselenggarakan di lapangan itu.
Demikianlah, ketika hari menjadi semakin
gelap, di tanah lapang itu menjadi semakin banyak orang. Beberapa orang
niyaga pun telah bersiap di belakang seperangkat gamelan. Sehingga
sesaat kemudian suara gamelan telah mulai mengalun, menggoncang kesepian
malam, yang kemudian disusul dengan suara waranggana memanjat tinggi.
Namun terasalah bahwa suasananya bukanlah suasana yang sopan.
Sebentar kemudian ternyata bahwa memang
demikianlah yang terjadi. Beberapa orang lelaki segera muncul di
gelanggang. Menari dan berdendang. Sedang dari mulut mereka menyebar bau
tuak. Disusul dengan munculnya beberapa orang ledek di tengah-tengah
arena itu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara duduk
tidak seberapa jauh dari tempat itu. Namun mereka mencari tempat yang
gelap, dimana cahaya obor tidak menyentuhnya, karena bayang-bayang
beberapa orang yang berdiri menonton.
Ketika malam menjadi semakin dalam,
suasana di tengah tanah lapang itu pun menjadi semakin riuh. Beberapa
orang telah menjadi pening karena mabok. Bahkan beberapa orang telah
kehilangan kesadaran dan berbuat hal-hal yang aneh-aneh di arena itu.
Beberapa penari wanita yang telah terlatih melayani mereka dengan
baiknya, sehingga suasana di arena itu betul-betul menjadi suasana
gila-gilaan. Dalam keadaan yang demikian tidak mustahil kalau sampai
terjadi bentrokan-bentrokan dan perkelahian-perkelahian diantara mereka,
karena mereka telah kehilangan pengamatan diri.
Di tepi arena, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara melihat beberapa orang yang sibuk berjualan. Apa saja yang
dapat mereka jual. Makanan, minuman dan tembakau. Mereka sama sekali
tidak menaruh perhatian pada suasana yang berlangsung di sekitarnya.
Yang penting bagi mereka adalah bahwa dagangan mereka laku, dan mereka
mendapat uang sebanyak-banyaknya. Para penjual yang terdiri laki-laki
dan perempuan, menghanyutkan diri saja dengan keadaan. Bersenda-gurau,
berteriak-teriak melayani orang-orang mabok atau kelelahan. Namun orang
itu tak sempat menghitung lagi berapa uang yang harus mereka bayarkan.
Asal mereka menggenggam uang logam, mereka lemparkan begitu saja kepada
penjualnya, perempuan-perempuan muda yang merajuk dengan manjanya.

Ketika beberapa orang melihatnya, segera
mereka melemparkan pandangan mata mereka. Tetapi ada juga orang yang
dengan nada mengejek berteriak, ”Marilah Nyai. Apakah yang kau cari…?”
Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi
segera matanya memandang berkeliling, kepada hampir semua orang yang
berdiri di sekitar arena itu. Seakan-akan ia sedang mencari seseorang
diantara wajah-wajah itu.
”Anakmu tidak berada di sini, Nyai,” teriak salah seorang, yang kemudian disusul dengan gelak tawa. ”Carilah anak itu di tengah rimba,” sambung suara yang lain. ”Mungkin ia berada bersama bapaknya.” Kembali terdengar suara bergelak-gelak.
Perempuan itu masih berdiam diri, berdiri
seperti patung. Namun dengan demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
dapat memandangnya lebih jelas. Dari sinar matanya, mereka dapat menduga
bahwa karena sesuatu penderitaan, orang itu agaknya menjadi agak
terganggu kesadarannya. Meskipun tidak begitu berat.
Ketika kemudian dilihatnya dari mata
perempuan itu menitik butiran-butiran air. Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara menjadi yakin bahwa sesuatu benar-benar telah menghimpit
perasaannya. Ternyata mereka tidak perlu terlalu lama berteka-teki
ketika terdengar seorang laki-laki berkata dengan kasarnya, ”Suamimu
tak berani pulang, Nyai. Demikianlah hukuman bagi pemberontak. Dan
bayimu yang mati itu tidak akan bisa hidup lagi. Apalagi ikut
bersenang-senang bersama kami sekarang, tak ada tempat bagi laki-laki
semacam suamimu itu.”
Air mata di wajah perempuan itu menjadi semakin deras. Agaknya ia dapat mengerti, bahwa suaminya tidak berada di tempat itu.
Kemudian terdengarlah suara lain yang bertanya, ”Siapakah dia?”
”Istri Penjawi,” jawab suara yang lain lagi.
”O, karena itulah ia masih muda dan cantik,” sahut suara yang pertama. ”Kalau begitu kenapa tidak saja ia kau ajak menari…?”
”Tidak mau. Ia baru saja kematian bayinya. Mungkin dua tiga hari lagi,” sahut suara lain yang disusul dengan gelak tertawa orang banyak.
Diantara suara yang riuh, di sela-sela
suara gamelan yang semakin menggila itu tiba-tiba terdengarlah suara
yang berat mengatasi yang lain. Katanya, ”Aku tidak percaya kalau ia tidak mau. Ataupun kalau ia tidak mau, seret saja ia ke arena.”
Oleh suara yang berat itu, tiba-tiba
semua terdiam. Dan semua mata memandang ke arah suara itu. Seorang yang
tinggi besar dan berwajah kasar berdiri bertolak pinggang di pinggir
arena. Sedang bola matanya dengan tajam memandang istri Penjawi itu
seperti hendak meloncat dari kepalanya. Sambungnya, ”Ternyata ledek
Banyubiru tak ada yang secantik ledek-ledek dari Pamingit. Dan perempuan
itu agaknya akan bisa setidak-tidaknya menyamainya.”
Orang yang berwajah kasar itu maju
beberapa langkah ke arah perempuan muda yang disebut istri Penjawi, yang
kemudian menjadi ketakutan. Apalagi ketika orang itu meneruskan
kata-katanya. ”Sayang bahwa wajah yang cantik itu tidak mendapat pemeliharaan.”
Ketika orang yang tinggi besar dan
berwajah kasar itu melangkah terus, keadaan segera menjadi tegang.
Tetapi beberapa orang yang mabok mulai tertawa-tawa kembali dan
menganggp bahwa apa yang akan terjadi merupakan suatu tontonan yang
menyenangkan. Namun beberapa orang lain, yang kepalanya juga sudah mulai
pening-pening, segera merasa tersinggung. Bahkan seorang yang sudah
setengah mabuk berteriak, ”Hei, monyet dari Pamingit. Jangan ganggu
orang Banyubiru. Aku sendiri sudah lama jatuh cinta kepadanya. Tetapi
aku tidak mendapat kesempatan. Nah, sekarang suaminya mungkin sudah
mampus ditelan macan. Karena itu, perempuan itu akan aku ambil sebagai
istriku yang muda.”
Orang yang bertubuh tinggi besar itu
menoleh. Dilihatnya seseorang yang bertubuh sedang, namun kokoh kuat
seperti orang hutan berjalan mendekatinya. Tampak bibir orang Pamingit
itu bergerak-gerak mengejek. Kemudian terdengar ia menjawab, ”Jangan
terlalu kasar berkelakar sahabat. Orang Banyubiru harus menghormati
orang-orang Pamingit. Sebab Banyubiru sekarang berada di bawah
pemerintahan Pamingit. Kalau kau tidak mau mati, jangan ganggu aku.
Biarkan orang Pamingit berbuat sesuka hatinya. Bahkan istrimu pun kalau
aku kehendaki harus kau serahkan.”
Mata orang Banyubiru yang kokoh kuat itu segera menyala marah. Dengan membentak-bentak ia menjawab, ”Jangan banyak mulut. Pergi atau kau akan segera jadi bangkai.”
Pertunjukan itu segera terhenti karena
ribut-ribut yang terjadi. Beberapa ledek yang sedang menari-nari dengan
tenangnya berjalan ke tengah-tengah jajaran gamelan dan duduk diantara
para niyaga. Mereka sama sekali tidak menunjukkan perasaan cemas atau
takut. Hal yang demikian sudah sering terjadi. Tetapi ketika mereka
mendengar bahwa pertengkaran itu terjadi antara orang Pamingit dan
Banyubiru, perhatian mereka agaknya tertarik juga.
Salah seorang ledek dengan memanjangkan lehernya, berusaha melihat mereka yang bertengkar, lalu bertanya, ”Siapakah yang bertengkar?”
Terdengarlah seorang niyaga menjawab, ”Jiwala dengan orang Pamingit.”
Ketika ledek itu berhasil melihat orang Pamingit yang tinggi besar berwajah kasar itu, ia tertawa sambil menyubit kawannya. ”Hei, agaknya Si Saraban yang bertengkar dengan Jiwala. Apakah kau tidak membantunya…?”
”Peduli apa?” jawab kawannya, seorang ledek yang berhidung pesek. ”Kemarin ia sanggup memberi aku uang, tetapi sampai sekarang ia tidak menepati janjinya.”
Sekali lagi mereka menjengukkan kepalanya. Lalu dengan mengerutkan keningnya, ledek yang berhidung pesek itu berkata, ”Gila. Bukankah mereka mempertengkarkan istri Penjawi itu?”
Sekali lagi kawannya mencubitnya sambil tertawa. ”He, kau agaknya mendapat saingan. Kalau Saraban menang, kaulah yang harus berkelahi melawan istri Penjawi itu.”
Kawannya tidak menjawab, tetapi ia semakin merengut.
Mendengar percakapan itu Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara terpaksa menahan nafas. Tetapi hatinya mengeluh. Sampai
sedemkian jauh orang-orang Banyubiru terperosok ke dalam jurang yang
mengerikan.
Dalam pada itu, orang Banyubiru yang
bernama Jiwala itupun sudah berdiri di hadapan Saraban. Dengan bertolak
pinggang ia memandang orang Pamingit itu dari ujung rambut sampai ke
ujung kakinya. Sedang orang Pamingit itu mengawasinya dengan marah.
Tetapi sebentar-sebentar mereka berdua terpaksa menengok ke arah
perempuan yang kekurus-kurusan dan berdiri dengan gemetar di pinggir
tanah lapang itu. Ternyata sedemikian ketakutan, sampai istri Penjawi
itu tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Dalam pada itu sekali lagi Saraban membentak, ”Pergi. Jangan halang-halangi aku.”
Jiwala tidak menjawab, tetapi dengan
tangkasnya ia menyerang perut Saraban. Namun agaknya Saraban pun bukan
orang yang dapat diremehkan. Demikian tangan Jiwala terulur ke arah
perutnya, dengan cepatnya ia memiringkan tubuhnya dan sekaligus kakinya
menyambar dada lawannya. Jiwala yang sedang mabuk itu tidak sempat
menghindarkan dirinya, sehingga terasa kaki orang yang bertubuh tinggi
besar itu mendorong tubuhnya kuat-kuat. Demikianlah ia terlempar
beberapa langkah dan jatuh berguling. Agaknya tendangan orang Pamingit
itu cukup keras, karena ternyata setelah bersusah payah berusaha barulah
Jiwala dapat bangun. Namun ia sudah tidak berani lagi mendekati orang
Pamingit yang bernama Saraban itu.
Melihat geraknya, segera Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara tahu, bahwa orang Pamingit itu bukan lawan Jiwala.
Menurut dugaan mereka, Saraban pasti termasuk orang yang cukup baik
kedudukannya, bahkan mungkin ia adalah salah seorang pimpinan laskar
Pamingit.
Perkelahian itu hanya berlangsung
beberapa saat saja. Sebab ketika Jiwala tidak berani lagi mendekati
lawannya, tak seorang pun lagi yang mengganggu Saraban. Bahkan tiba-tiba
terdengar seseorang berbisik. ”Salah Jiwala sendiri, kenapa ia melawan orang itu. Bukankah ia pengawal Ki Ageng Lembu Sora?”
Mendengar bisikan itu, dada Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara berdesir. Tentulah orang Banyubiru itu tidak akan
dapat mengalahkannya. Kemudian terdengarlah orang lain berbisik pula, ”Kalau Jiwala tidak sedang mabok, tentu ia tidak berani berbuat demikian.”
Demikianlah ternyata Saraban kemudian
akan dapat berbuat sekehendak hatinya. Kembali dengan wajah yang
menakutkan, ia memandang istri Penjawi yang berdiri gemetar. Ternyata ia
benar-benar menjadi ketakutan dan kehilangan akal, sehingga ia sama
sekali tidak berpikir untuk melarikan diri. Mula-mula ia mengharap bahwa
ada orang yang menolongnya, tetapi dengan jatuhnya Jiwala, harapannya
menjadi lenyap.
Mula-mula Saraban itu masih memandang
berkeliling. Agaknya ia masih mencari lawan untuk menunjukkan
kekuatannya. Ketika tak seorangpun yang berani mengganggu lagi, barulah
setapak demi setapak ia mendekat.
Nyi Penjawi menjadi semakin ketakutan.
Setapak ia mundur, tetapi dua tapak Saraban melangkah maju, sehingga
jarak mereka menjadi semakin dekat.
Dalam pada itu, beberapa orang yang
semula tertawa-tawa kini menjadi terdiam. Bagaimanapun juga, di dalam
sudut hati mereka yang paling dalam, tersirat juga rasa kasihan. Kasihan
kepada istri Penjawi yang sedang ditinggal suaminya menyingkir, karena
Lembu Sora akan membinasakannya. Ditambah lagi, baru beberapa minggu ia
kehilangan bayinya. Sekarang tiba-tiba seorang laki-laki berwajah kasar,
dengan rakusnya ingin merampas kecantikannya. Apalagi orang itu adalah
orang Pamingit.
Tetapi tak seorangpun yang berani berbuat
sesuatu. Sebab tak seorangpun yang merasa mampu mengalahkan Saraban.
Sedang untuk maju bersama-sama pun mereka tidak berani. Sebab dengan
demikian, orang-orang Pamingit pasti akan beramai-ramai menyerang
mereka. Meskipun sebenarnya mereka tidak bersalah, karena melindungi
seseorang yang diperlakukan tidak adil, namun orang Pamingit dapat saja
membuat alasan-alasan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
menyaksikan semua peristiwa itu dengan wajah yang tegang. Ketika Saraban
tinggal beberapa langkah saja jaraknya dari Nyi Penjawi, Mahesa Jenar
tidak dapat membiarkan hal yang kotor itu berlangsung. Tetapi ketika ia
sudah bergerak, terasa Kebo Kanigara menggamitnya sambil berbisik, ”Duduklah
Mahesa Jenar. Biarlah aku selesaikan masalah ini. Sebab belum ada di
antara mereka yang mengenal aku. Sedang kau agaknya telah dikenal oleh
beberapa orang di sini.”
Mendengar bisikan Kebo Kanigara, Mahesa
Jenar mengurungkan niatnya. Ia membiarkan Kebo Kanigara perlahan-lahan
berdiri. Tetapi ketika selangkah ia maju, mereka bersama dikejutkan oleh
sebuah suara yang berat parau dari kegelapan di belakang perempuan yang
kekurus-kurusan itu. Katanya, ”Saraban, jangan berlagak jantan
sendiri. Orang Banyubiru tidak semuanya berjiwa betina. Cobalah kau maju
selangkah lagi, namamu akan terhapus dari deretan nama-nama pengawal
Lembu Sora. Dan bangkaimu akan dikubur dengan segala macam kutuk dan
caci.”
Saraban ternyata terkejut juga mendengar
suara itu. Dengan tidak disadarinya sendiri, ia menghentikan langkahnya.
Matanya yang liar dibukanya lebar-lebar untuk mengetahui, siapakah yang
dengan sombong mencoba menghalang-halangi niatnya. Dalam pada itu, dari
dalam gelap, muncullah sebuah bayang-bayang, yang dengan tetap
melangkah maju. Sesaat kemudian tampaklah di bawah cahaya lampu yang
samar, seorang laki-laki dengan mata yang menyala-nyala karena marah,
berdiri diantara laki-laki yang bernama Saraban dengan perempuan yang
kekurus-kurusan, yang sedang meneteskan air mata putus asa. Orang itu
tidak setinggi dan sebesar Saraban. Namun tubuhnya tampak kuat seperti
baja.
Ketika Saraban mengenal wajah orang itu,
ia menggeram. Dan bersamaan dengan itu terdengar Mahesa Jenar berdesis
sambil berdiri karena terkejut, ”Bantaran….”
”Bantaran….” ulang Kebo Kanigara yang terpaksa menghentikan langkahnya. ”Siapakah dia?”
”Salah seorang kepercayaan Ki Ageng Gajah Sora yang bersama-sama dengan Penjawi terpaksa menyingkir dari Banyibiru.”
”Kalau begitu…” sahut Kanigara, ”Aku tak perlu mengganggunya.”
”Aku kira demikian,” jawab Mahesa Jenar.
Dengan demikian Kanigara mengurungkan
langkahnya, tetapi mereka mencari tempat untuk menyaksikan peristiwa
yang mendebarkan hati itu.
Dalam pada itu, Bantaran masih tetap
berdiri di muka Nyi Panjawai, dengan kaki renggang dan dada terbuka.
Sesaat kemudian, tampaklah matanya beredar kesegenap arah. Memandang
setiap wajah orang Banyu Biru yang berdiri di sekitarnya. Dan tiba-tiba
saja orang-orang Banyu Biru yang kena sambaran matanya, dengan cepat
menundukkan mukanya. Mereka seolah-olah merasa mendapat teguran dari
salah seorang pemimpin mereka. Meskipun beber:apa orang lebih senang
menjelenggarakan sabungan ayam dan tari tayub daripada berjuang
membebaskann tanah perdikan mereka, namun beberapa orang yang lain masih
juga merasa malu atas kelakuan mereka itu.
Dan dari mulut Bantaran itu kemudian
terdengar suaranya menggeram, ”Aku melihat kelakuan kalian. Hampir
setiap malam aku berada di tempat ini. Dan hampir setiap malam aku
melihat apa yang terjadi. Mabuk, judi, berkelahi di antara sesama karena
hal-hal yang memalukan, dan menyabung ayam di siang hari. Dan puncak
dari kebodohan kalian adalah membiarkan setan ini mengganggu isteri
orang. Isteri kawan setiamu, yang sekarang sedang berjuang untuk
kalian.”
Suasana menjadi sunyi diam. Tak seorang
pun yang berani menatap wajah Bantaran yang merah menyala-nyala. Bahkan
seandainya ada selembar daun kuning jang gugur, suaranya akan jelas
terdengar seperti gemuruhnja guntur di langit.
Dalam pada itu, Saraban pun mendjadi
marah pula. Ia pernah berkenalan dengan Bantaran. Karena itu ia tahu
benar bahwa Bantaran termasuk salah seorang yang sedanq dikejar-kejar
oleh laskar Pamiingit, untuk disingkirkan. Karena itu, terdengarlah
Saraban berteriak dengan suara yang gemuruh, ”Hai Bantaran.
Ternyata kau benar-benar sombong. Kedatanganmu tidak saja sangat
mengganggu kesenangan kami malam ini, tetapi akan serupa benar dengan
serangga menjelang api. Nah agaknja malam ini aku akan mendapat dua
hadiah yang berharga. Membunuh Bantaran dan mendapat isteri baru.”
Terdengar Bantaran menggeretakkain giginya. Namun perlahanlahan ia menoleh kepada Nji Penjawi sambil berkata, ”Menyingkirlah Nyai, biarlah monyet ini aku selesaikan.”
Njai Penjawi tak menjawab sepatah
katapun. Namun, air matanya mendjadi semakin deras mengalir. Sementara
itu Bantaran meneruskan. ” Suamimu selamat sampai sekarang.
Mudah-mudahan ia kelak akan datang dengan pasukannja. Nah kalau demikian
barulah orang tahu, siapakah Penjawi itu.”
”Jangan mengigau” bentak Saraban,
Mendengar bentakan itu, selanqkah Bantaran maju. la
tidak merasa perlu untuk berdebat lebih lama. Tetapi terasa bahwa tak
ada cara penyelesaian yanq lebih baik daripada bertempur dengan orang
itu. Meskipun ia sadar, bahwa seandainya kehadirannya itu didengar oleh
Lembu Sora dan laskar Pamingit yang lain, maka akibatnja akan sangat
berbahaya.
Meskipun orang-orang yang berada di tanah lapang itu sudah hampir setiap hari menyaksikan perkelahian, namun kali ini suasananya
agak berbeda. Yang mereka lihat setiap hari adalah perkelahian
di antara orang-orang mabuk. Sedang sekarang mau tidak mau mereka
melihat pertengkaran langsung tidak saja karena Nyi Penjawi,
tetapi lebih daripada itu. Yaitu di antara orang Pamingit dan orang
Banyu Biru. Orang yang dengan penuh nafsu ingin menguasai daerah orang lain melawan orang yang mempertahankan daerah itu.
agak berbeda. Yang mereka lihat setiap hari adalah perkelahian
di antara orang-orang mabuk. Sedang sekarang mau tidak mau mereka
melihat pertengkaran langsung tidak saja karena Nyi Penjawi,
tetapi lebih daripada itu. Yaitu di antara orang Pamingit dan orang
Banyu Biru. Orang yang dengan penuh nafsu ingin menguasai daerah orang lain melawan orang yang mempertahankan daerah itu.
Maka, ketika selangkah lagi Bantaran
maju, berpencaranlah orang-orang yang berada di tanah lapang itu ke
tepi. Mereka semuanya mengetahui siapakah Bantaran, dan sebagian besar
dari mereka pun mengetahui pula, siapakah Saraban. Karena itu tak
seorang pun yang berani mendekati mereka berdua jang sudah bersiap untuk
bertempur.
Demikianlah, sesaat kemudian, tanpa
berkata sepatah pun lagi, Saraban meloncat dengan garangnya rnenjerang
Bantaran, Namun Bantaran pun telah siap pula menyambutnya, sehingga
tidak usah menunggu terlalu lama, pertempuran itu segera berlangsung
dengan serunya. Saraban yang bertubuh tinggi besar itu ternyata
mempunjai tenaga yang luar biasa besarnya, sedang Bantaran meskipun
lebih kecil dan pendek, tetapi ia dapat bergerak dengan lincahnya.
Dengan cepatnya ia meloncat dari satu arah ke arah jang lain. Karena
itulah maka serangannya seolah-olah datang dari segala penjuru.
Mula-mula Saraban dapat selalu mengikuti
arah gerak Bantaran. Bahkan sekali dua kali serangannya yang berbahaya
dapat memaksa Bantaran melontar selangkah dua langkah mundur. Tetapi
lama kelamaan kaki Bantaran semakin lincah melontar-lontarkan tubuhnja
kesana kemari, sehingga akhirnya Saraban menjadi bingung. Beberapa kali
Bantaran berhasil memancing lawannya menghadap ke arah yang salah,
sehingga dalam keadaan yang demikian, meloncatlah serangan-serangan
Bantaran yanq dahsyat. Untunglah bahwa tubuh Saraban benar-benar keras
seperti kayu. Sehingga untuk beberapa lama ia dapat bertahan. Namun
karena serangan Bantaran itu datang bertubi-tubi bahkan kemudian seperti
aliran air terjun, maka, akhirnyja terasalah bahwa Saraban mulai
terpaksa bekerja mati-matian. Dan beberapa saat kemudian terpaksalah
orang Pamingit yang bertiubuh tinggi besar itu mengeluh. Tetapi meskipun
demikian, ia masih juga berusaha sekuat tenaganya untuk dapat
mengimbanyi lawannya. Sekali dua kali tangannya yang besar dan berat itu
terayun dengan kerasnja disusul dengan lontaran kakinya dibarenqi
teriakan yang memekakkan telinga. Namun Bantaran selalu berhasil
menghindar dan kemudian meloncat maju membalas menyerang. Meskipun
tenaganja tidak sebesar orang Pamingilt itu, namun pukulannya yang
selalu mengarah ke tempat-tempat yang ringkih, menjakan Saraban
terdesak terus.
Ketika Saraban lengah, tangan Bantaran berhasil masuk di antara kedua tangan lawannya yang bersilang, mengenai rahangnya.
Dengan kerasnya muka Saraban teranqkat disusul dengan sebuah
pukulan ke arah perut. Terdengarlah Saraban mengaduh pendek
sambil membungkukkan badannya. Pada saat itu, sekali lagi tangan Bantaran terayun deras sekali. Namun agaknya Saraban melihat arah sambaran tangan lawannya. Dengan sisa tenaganya ia menghindar ke samping. Dengan demikian serangan Bantaran tidak mengenai sasarannya. Bahkan tubuhnya terbawa beberapa langkah maju, terseret oleh ayunan tangannya. Saraban melihat kesempatan itu. Dengan sekuat tenaga yang masih ada ia memukul tengkuk Bantaran. Namun Bantaran yang masih segar ternyata sudah dapat memperbaiki kedudukannya menghadapi serangan itu. Demikian tangan Saraban terjulur, dengan kecepatan kilat tangan itu ditangkapnya sambil memutar tubuhnya dan merendahkan diri. Bantaran menjangkau kepala Saraban dari atas pundaknya. Dengan menghentakkan kekuatan. Bantaran menarik orang Pamingit yang bertubuh besar itu, sehingga melontar dengan kerasnya, dengan kaki terputar ke atas. Kemudian dengan gemuruhnya tubuh Saraban terbanting di tanah.
Dengan kerasnya muka Saraban teranqkat disusul dengan sebuah
pukulan ke arah perut. Terdengarlah Saraban mengaduh pendek
sambil membungkukkan badannya. Pada saat itu, sekali lagi tangan Bantaran terayun deras sekali. Namun agaknya Saraban melihat arah sambaran tangan lawannya. Dengan sisa tenaganya ia menghindar ke samping. Dengan demikian serangan Bantaran tidak mengenai sasarannya. Bahkan tubuhnya terbawa beberapa langkah maju, terseret oleh ayunan tangannya. Saraban melihat kesempatan itu. Dengan sekuat tenaga yang masih ada ia memukul tengkuk Bantaran. Namun Bantaran yang masih segar ternyata sudah dapat memperbaiki kedudukannya menghadapi serangan itu. Demikian tangan Saraban terjulur, dengan kecepatan kilat tangan itu ditangkapnya sambil memutar tubuhnya dan merendahkan diri. Bantaran menjangkau kepala Saraban dari atas pundaknya. Dengan menghentakkan kekuatan. Bantaran menarik orang Pamingit yang bertubuh besar itu, sehingga melontar dengan kerasnya, dengan kaki terputar ke atas. Kemudian dengan gemuruhnya tubuh Saraban terbanting di tanah.
Semua orang yang menyaksikan kesudahan
dari perkelahian itu menahan nafasnya. Meskipun orang-orang Banyubiru
menjadi cemas atas peristiwa itu, namun mereka di dalam hatinya bangga
juga atas keunggulan orang Banyubiru atas orang Pamingit.
Bantaran yang telah berhasil menjatuhkan
lawannya, berdiri dengan tegap di depan tubuh Saraban yang sudah tak
berdaya lagi untuk bangkit. Sekali lagi ia memandang berkeliling, ke
arah wajah-wajah orang Banyubiru yang berdiri di sekitar tempat
perkelahian itu. Dan sekali lagi wajah-wajah orang Banyubiru itu
terbanting di tanah yang ditumbuhi rumput dengan suburnya. Dalam pada
itu terdengarlah suara Bantaran parau, ”Saudara-saudaraku, rakyat
Banyubiru. Aku menyesal atas semua yang telah terjadi di tanah perdikan
ini. Kalian ternyata telah terbius oleh pemanjaan nafsu yang tak
terkendali. Tetapi dengan peristiwa ini, kalian tidak akan dapat untuk
seterusnya berpangku tangan. Sebab kawan-kawan orang Pamingit itu tidak
akan tinggal diam. Dan akibatnya akan dapat kalian rasakan. Untuk
seterusnya kalian hanya dapat memilih, menangkap aku, lalu menyerahkan
kepada Lembu Sora, yang dengan demikian kalian akan bebas dari
pembalasan dendam, atau bangkit melawan kekuasaan Pamingit atas tanah
kita sambil menunggu kehadiran pemimpin kita Ki Ageng Gajah Sora atau
putranya Arya Salaka.”
Tak seorangpun yang menyatakan
pendapatnya. Dan memang demikianlah perasaan mereka yang mendengar
kata-kata Bantaran. Sebagian diantara mereka menjadi malu atas kelakuan
mereka, tetapi memang ada juga diantaranya yang di dalam hatinya
mengumpati Bantaran. Sebab dengan perbuatannya itu, pastilah akan
terjadi hal-hal yang sama sekali tak dikehendaki. Orang-orang Pamingit
pasti akan datang ke tempat itu dan mengaduknya. Menangkapi orang-orang
yang dicurigainya, memukuli mereka tanpa alasan untuk melampiaskan
dendam mereka.
Belum lagi gema suara Bantaran itu
lenyap, tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda dengan
kencangnya menuju ke tanah lapang itu. Mendengar derap yang berdatangan
Bantaran tampak terkejut. Segera ia tahu apakah yang sebentar lagi akan
terjadi. Meskipun demikian ia tetap tenang. Dan dengan tenang pula ia
berkata lantang, ”Rupa-rupanya ada juga pengkhianat-pengkhianat di Banyubiru ini. Dan agaknya mereka telah melaporkan kehadiranku.”
Orang-orang yang berdiri di tanah lapang
itu segera menjadi gelisah. Beberapa orang telah bersiap untuk melarikan
diri. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapat kesempatan. Sebab dalam
waktu yang sangat singkat, beberapa orang berkuda telah datang dan
langsung mengepung tanah lapang itu di empat penjuru.

Dua orang diantara mereka, mendorong kuda
mereka agak ke depan. Rupa-rupanya dua orang itu adalah pemimpin
rombongan. Salah seorang daripadanya terdengar berteriak dengan suara
yang nyaring, ”Hai orang-orang Banyubiru yang tak tahu diri. Katakanlah kepada kami, siapakah diantara kalian yang bernama Bantaran.”
Bantaran masih tegak di tempatnya. Tetapi
karena kekacauan yang timbul, karena beberapa orang yang ingin
melarikan diri, maka di sekitarnyapun telah berdiri beberapa orang
dengan tubuh gemetar sehingga orang-orang berkuda itu tidak segera dapat
melihat tubuh Saraban yang terkapar di tanah.
Suara pemimpin rombongan berkuda yang
bergeletar memenuhi tanah lapang itu untuk beberapa lama tidak mendapat
jawaban. Karena itu ia mengulangi, ”Ayo… katakanlah kepada kami,
siapakah diantara kalian yang bernama Bantaran. Kalau tidak ada diantara
kalian yang mau menunjuk batang hidungnya, maka semuanya yang berada di
tanah lapang ini akan kami bawa. Sesudah itu janganlah kalian mengharap
untuk bertemu kembali dengan anak istri kalian.” Bantaran menarik
nafas dalam-dalam sambil menekan dadanya. Sudah tentu ia tidak
menghendaki sekian banyak orang menjadi korban untuk dirinya. Meskipun
demikian sekali dua kali tampaklah ia menoleh ke arah Nyi Penjawi yang
berdiri tidak jauh di belakangnya.
AGAKNYA, Nyi Penjawi itulah yang
memberati hati Bantaran. Sebagai seorang sahabat Penjawi, ia tidak akan
tega melihat nama perempuan itu dinodai.
Sebelum Bantaran mengambil suatu sikap,
tiba-tiba seorang diantara dua orang berkuda itu meloncat turun dan
menyambar baju orang yang bertubuh sedang tetapi tampak otot-ototnya
menonjol seperti orang hutan. Sambil membentak-bentak orang itu
bertanya, ”Siapa namamu…?”
Dengan tergagap orang yang masih agak mabok itu menjawab, ”Gonjang, Tuan.”
”Kenalkah kau dengan orang yang bernama Bantaran?” tanya orang Pamingit seterusnya.
Untuk beberapa saat Gonjang berdiam diri.
Namun tiba-tiba terdengarlah jawabannya di luar dugaan. Orang yang suka
mabok dan berbuat tidak sepantasnya itu ternyata memiliki
kesetiakawanan yang tinggi. Sebagai orang Banyubiru ia merasa
berkewajiban melindungi Bantaran. Karena itu jawabnya, ”Kenal Tuan. Aku kenal betul dengan orang itu.”
”Nah kalau begitu tunjukkanlah orangnya kepada kami,” desak orang Pamingit itu.
Kemudian terdengarlah jawabnya yang mengejutkan hati orang-orang di tanah lapang itu. ”Sudah sejak berbulan-bulan ia tidak pernah menampakkan dirinya, Tuan. Karena itu aku tidak dapat menunjukkannya kepada Tuan.”
Tiba-tiba mata orang Pamingit itu
seolah-olah akan meloncat dari batok kepalanya. Ternyata jawaban itu
sama sekali tidak diduganya. Karena itu ia menjadi marah sekali. Ketika
tangannya yang memegang baju Gonjang diguncang-guncangkan, Gonjang pun
ikut terguncang seperti sebatang pohon yang diputar-putar badai. Sambil
membentak-bentak lebih kasar orang Pamingit itu sekali lagi bertanya, ”Ayo katakanlah kepada kami, yang mana diantara kalian yang bernama Bantaran.”
”Betul Tuan… ia tidak berada di sini sekarang,” jawab Gonjang tergagap.
”Bohong!” bentak orang Pamingit itu. ”Aku mendapat laporan bahwa ia berada di tanah lapang ini sekarang.”
”Nah, kenapa Tuan tidak bertanya kepada orang yang melaporkan itu saja…?” sahut Gonjang.
Orang Pamingit itu tidak menjawab lagi.
Tetapi sebuah pukulan yang keras melayang ke wajah Gonjang. Dengan
kerasnya orang itu terdorong ke belakang, dan kemudian terjatuh dengan
kerasnya. Terdengarlah ia mengerang kesakitan. Namun meskipun demikian
ia tidak juga menunjukkan siapakah diantara mereka yang bernama
Bantaran.
Tetapi dalam pada itu, ternyata Gonjang
adalah orang yang cerdik. Ia telah mencoba memancing orang Pamingit itu
untuk menunjukkan kepada orang-orang Banyubiru, siapakah yang sebenarnya
tidak berkhianat. Namun agaknya orang Pamingit itu pun telah berjanji
untuk melindungi pengkhianat itu, sehingga orang itu tidak dibawanya
serta.
Bantaran yang menyaksikan peristiwa itu,
hatinya menjadi berdebar-debar. Ia menjadi bimbang, justru karena ia
sedang berusaha untuk melindungi istri Penjawi. Kalau saat itu ia dapat
ditangkap, maka bila Saraban nanti sadar kembali, nasib istri Penjawi
itupun sudah dapat dibayangkan. Sebab untuk melawan sepuluh orang
berkuda itu agaknya di luar kemampuannya. Bantaran hampir mengenal satu
demi satu orang-orang Pamingit yang akan menangkapnya. Temu Ireng,
Talang Semut, Dadahan, dan orang-orang setingkatnya. Seandainya tak
seorang diantara orang Banyubiru yang mau menunjukkannya, namun kalau
orang-orang Pamingit itu meneliti satu demi satu orang yang berada di
tanah lapang itu, meskipun makan waktu lama, akhirnya dirinya akan
diketemukan juga. Sebab orang-orang Pamingit itu pun telah mengenalnya
seperti ia mengenal mereka.
Belum lagi Bantaran mendapat suatu cara
yang sebaik-baiknya, orang Pamingit itu telah menangkap seorang lagi.
Seorang muda yang berwajah tampan, berkumis sebesar lidi. Pakaiannya
terbuat dari kain lurik yang mahal. Tetapi demikian ia diseret ke depan,
tubuhnya tiba-tiba serasa lumpuh. Dan ketika orang Pamingit itu
membentaknya, ia menjadi pingsan.
Akhirnya Bantaran mengambil suatu
ketetapan untuk menyatakan dirinya di hadapan orang-orang Pamingit itu
sebelum jatuh korban lebih banyak lagi. Ia akan mencoba melawan dan
menimbulkan kekacauan, sementara itu ia berharap Nyi Penjawi sempat
melarikan diri. Tetapi ketika Bantaran bermaksud membisiki Nyi Penjawi
tentang maksudnya itu, tiba-tiba diantara sekian banyak orang yang
berdiri di tanah lapang itu muncullah seseorang yang bertubuh sedang,
tegap dan berdada bidang. dengan suara yang berat namun penuh wibawa ia
berkata nyaring, ”Hai, orang-orang Pamingit…. Inilah Bantaran.”
Semua yang berada di tanah lapang
terkejut mendengar pengakuan itu. Untuk sesaat kembali tanah lapang itu
menjadi hening sunyi. Sesunyi tanah pekuburan. Tetapi dalam pada itu
semua mata bergerak ke arah seorang yang berjalan perlahan-lahan namun
pasti, menyibak orang-orang yang berada di depannya, menuju ke arah dua
orang yang agaknya memimpin rombongan orang-orang Pamingit itu. Ketika
mereka melihat orang itu, sekali lagi mereka terkejut. Dan yang lebih
terkejut adalah Bantaran sendiri. Orang-orang Banyubiru menjadi
bertanya-tanya di dalam hati, siapakah orang yang telah dengan beraninya
menamakan dirinya Bantaran di hadapan sepuluh orang Pamingit yang
garang-garang itu…?
Tetapi, sesaat kemudian Bantaran menjadi
sadar, bahwa seseorang telah mencoba melindunginya. Namun orang itu
belum pernah dilihatnya.
”Nyai…” bisik Bantaran kepada Nyi Penjawi, ”Adakah ia orang baru…?”
Nyai Penjawi menggelengkan kepalanya. ”Aku belum pernah melihatnya, Kakang.”
Bantaran menarik nafas dalam-dalam. Ia
mencoba menebak, siapakah orang yang telah mencoba menyelamatkan dirinya
itu. Tetapi tiba-tiba ia menjadi cemas atas keselamatan orang itu. Dua
orang pemimpin rombongan orang-orang Pamingit itu bukanlah orang yang
dapat diajak berbicara. Mereka adalah Temu Ireng dan Talang Semut. Dua
orang yang lebih suka mempergunakan tangannya daripada mulutnya. Apalagi
pengakuan orang itu hanya akan mendatangkan bencana saja baginya. Sebab
orang yang bernamaTemu Ireng dan Talang Semut itu telah mengenal
siapakah orang yang bernama Bantaran, sehingga pengorbanannya akan
menjadi sia-sia. Sebab akhirnya mereka masih akan mencari orang yang
dikehendakinya. Karena itu Bantaran ingin meloncat maju untuk mencegah
pengorbanan yang dianggapnya akan sia-sia saja.
Tetapi ketika ia sudah bersiap untuk
meloncat dan berteriak, tiba-tiba seseorang menggamitnya. Ketika ia
menoleh, ia terperanjat bukan kepalang, sampai ia tergeser dari
tempatnya. Demikian terperanjatnya Bantaran, sampai beberapa saat ia tak
dapat berkata-kata. Baru setelah debar jantungnya berkurang,
terdengarlah ia berdesis, ”Tuan… Bukankah Tuan….”
”Ssst… jangan kau sebut nama itu,” potong orang yang menggamitnya.
Bantaran mengangguk angguk cepat. Namun
ia masih agak bingung menanggapi kehadiran orang yang sama sekali tak
disangka-sangka itu.
”Tuan…” sambungnya sambil tergagap, ”Kenapa Tuan tiba-tiba saja berada di tempat ini…?”
Orang itu, yang tak lain adalah Mahesa Jenar, tersenyum lebar. ”Bantaran…
ketika sepuluh orang berkuda itu datang, kau agaknya tetap tenang.
Tetapi ketika kau lihat aku, kau menjadi kebingungan.”
Bantaran mencoba memperbaiki jalan nafasnya sambil menjawab, ”Sebab bagiku kehadiran Tuan lebih berkesan di hati, daripada monyet-monyet dari Pamingit itu.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian katanya memperingatkan Bantaran pada keadaannya kini, ”Apalagi orang-orang Pamingit itu akan menangkap kau.”
Bantaran tersadar akan bahaya yang
mengancam. Tetapi bersamaan dengan itu kembali ia teringat kepada orang
aneh yang mengaku dirinya Bantaran itu. Karena di sampingnya sekarang
ada Mahesa Jenar maka disampaikannya keheranannya itu kepadanya. ”Tuan, aku menjadi heran, ketika seseorang mengaku bernama Bantaran, dan dengan beraninya menghadapi Temu Ireng.”
Mahesa Jenar dan Bantaran bersama-sama
mengangkat wajah, memandang ke arah orang yang menamakan dirinya
Bantaran, yang sekarang telah dekat benar dengan Temu Ireng dan Talang
Semut.
Dalam pada itu terdengar Bantaran meneruskan, ”Agaknya orang itu belum mengenal siapakah mereka berdua, ditambah dengan delapan orang lainnya.”
”Jangan risaukan orang itu,” sahut Mahesa Jenar.
Bantara menoleh sambil mengerutkan keningnya. ”Kenalkah Tuan dengan orang itu?”
Mahesa Jenar mengangguk, tetapi ia masih
tetap memandang kepada orang yang menamakan diri Bantaran, yang sekarang
sudah berdiri tepat di hadapan Temu Ireng.
”Siapakah dia…?” desak Bantaran.
”Paman guruku,” jawab Mahesa Jenar singkat.
”O….” Suara Bantaran seolah-olah terpotong di kerongkongan. Baru kemudian ia meneruskan, ”Alangkah bodohnya aku. Kalau demikian sepuluh orang itu sama sekali tidak akan berarti.”
Mahesa Jenar tidak sempat memperhatikan
kata-kata Bantaran, sebab pada saat itu ia melihat Temu Ireng melangkah
maju. Kemudian terdengarlah suaranya mengguntur, ”Kaukah yang bernama
Bantaran…?”
Bantaran…?”
Orang yang bediri di hadapannya, yang sebenarnya adalah Kebo Kanigara, menjawab dengan tenangnya, ”Ya, akulah Bantaran.”
Sekali lagi temu Ireng memandang orang
yang berdiri di hadapannya itu tanpa berkedip. Kemudian terdengarlah ia
tertawa terbahak-bahak, tertawa untuk menegaskan kemarahannya yang
hampir memecahkan dadanya. Dan ketika suara tertawa itu tiba-tiba
terhenti, terdengarlah ia berkata dengan kerasnya kepada kawannya yang
masih berada di atas kudanya. ”Hai… Adi Talang Semut, agaknya mataku telah rusak. Coba katakan kepadaku, adakah orang ini Bantaran…?”
Orang-orang yang berada di tanah lapang
itu hatinya menjadi tegang. Mereka sama sekali belum pernah mengenal
orang aneh yang mengumpankan dirinya itu. Tetapi disamping itu,
orang-orang yang mula-mula mengumpati Bantaran di dalam hati, menjadi
malu. Kalau orang yang belum mereka kenal saja bersedia melindungi
pemimpin Banyubiru itu, bukankah kewajiban orang Banyubiru sendiri untuk
berbuat lebih banyak lagi?
Dalam pada itu Talang Semut tidak kalah
marahnya. Ia mendorong kudanya maju mendekati Kebo Kanigara. Semakin
dekat ia dengan Kanigara, semakin teganglah setiap wajah yang
menyaksikan peristiwa itu. Tidak pula kalah tegangnya wajah Bantaran.
Bahkan sampai ia menggigit bibirnya sendiri.
Talang Semut ternyata tidak menjawab
pertanyaan Temu Ireng dengan kata-kata. Sedemikian marahnya ia, karena
ia merasa dipermainkan oleh orang yang belum dikenalnya, yang
disangkannya juga orang Banyubiru yang ingin melindungi pemimpinnya,
sehingga Talang Semut merasa tidak perlu bertanya-tanya lagi. Maka
ketika kudanya telah dekat benar dengan tubuh Kebo Kanigara, diangkatnya
cambuknya tinggi-tinggi sambil menggeram keras.
Cambuk itu sekali menggeletar di udara, dan seterusnya dengan derasnya menyambar tengkuk Kebo Kanigara.
Hampir semua orang yang menyaksikan
peristiwa itu seakan-akan berhenti bernafas. Talang Semut bagi orang
Banyubiru tak ubahnya seperti hantu peminum darah. Sekali ia turun
tangan, maka hampir dapat dipastikan bahwa korbannya tak akan dapat lagi
melihat matahari terbit. Demikianlah mereka menyangka bahwa orang yang
mengaku bernama Bantaran itu akan menjadi korban kemarahan Talang Semut.
Tetapi sekejap kemudian, dada mereka
terguncang menyaksikan akibat perbuatan Talang Semut. Bahkan beberapa
orang menjadi tak begitu percaya kepada mata mereka. Sebab apa yang
mereka saksikan sama sekali diluar dugaan mereka.
Ketika cambuk itu melayang ke arah
tubuhnya, Kebo Kanigara meloncat dengan tangkasnya, menangkap tangkai
cambuk itu. Dengan keras sekali ia menariknya. Tetapi agaknya Talang
Semut memegang cambuk itu sedemikian eratnya, sehingga cambuk itu tak
terlepas dari tangannya. Tetapi ternyata kekuatan Talang Semut bukanlah
tandingan Kebo Kanigara, sehingga ketika Kanigara menariknya lebih keras
lagi, tubuh Talang Semut-lah yang ikut terseret dari kudanya. Karena
Talang Semut tidak menduga, maka untuk sesaat ia kehilangan akal. Ketika
ia sadar, tangan Kebo Kanigara telah memegang bagian depan bajunya
sedemikian erat, dan sebuah pukulan melayang tepat ke arah pelipisnya.
Semuanya itu berlangsung sedemikian cepatnya sehingga Talang Semut tidak
mempunyai kesempatan sama sekali untuk membela diri. Yang terjadi
kemudian adalah pelipisnya seolah-olah membentur dinding baja. Begitu
kerasnya sehingga tiba-tiba saja matanya menjadi berkunang-kunang.
Sesaat kemudian ia sama sekali tidak sadarkan diri, dan tubuhnya yang
sudah tak berdaya itu jatuh terkulai di tanah. Pingsan.
Temu Ireng melihat peristiwa itu terjadi
di depan hidungnya. tetapi ia seolah-olah terpukau oleh suatu kekuatan
gaib. Bermimpi pun ia tidak. Bahwa ada orang yang dapat sedemikian
mudahnya mengalahkan Talang Semut. Yang pernah didengar Temu Ireng
adalah, orang yang paling sakti di Banyubiru adalah Ki Ageng Sora
Dipayana. Dan orang yang telah melakukan suatu keajaiban itu adalah
seorang yang masih terhitung muda. Tiba-tiba Temu Ireng sampai pada
suatu kesimpulan bahwa hal itu terjadi atas kesalahan Talang Semut
sendiri. Sebab agaknya ia kurang berhati-hati. Dengan demikian ia
kehilangan kesiagaan diri. Karena itulah kemudian dengan menggeram Temu
Ireng mencabut goloknya, dan dengan berteriak keras ia langsung
menyerang Kebo Kanigara. Dalam pada itu Dadahan beserta kawan-kawannya
telah menyaksikan bagaimana Talang Semut dijatuhkan oleh orang yang
mengaku bernama Bantaran. Karena itu mereka tidak mau membiarkan Temu
Ireng bertempur seorang diri. Dengan demikian mereka beramai-ramai
menyerang Kebo Kanigara.
Namun Kebo Kanigara adalah seorang yang
hampir sempurna dalam ilmunya. Ilmu tata berkelahi dari keturunan ilmu
perguruan Pengging. Karena itu, meskipun kemudian empat orang
menyerangnya bersama-sama dari atas punggung kuda, namun ia sama sekali
tidak gugup. Bahkan kemudian dengan lincahnya ia menyambut setiap
serangan yang datang.
Dengan demikian, terjadilah suatu
pertempuran yang ribut. Empat orang berkuda bertempur melawan seorang
yang meloncat-loncat dengan lincahnya diantara derap kaki kuda. Bahkan
kemudian keempat penunggang kuda itu kadang-kadang menjadi bingung,
karena kuda-kuda mereka saling melanggar. Sesekali kalau Kebo Kanigara
sempat, ditusukkanlah jari-jarinya yang kuat itu ke perut salah satu
kuda yang bersimpang-siur di sekitarnya, sehingga dengan terkejut kuda
itu meringkik dan melonjak-lonjak.
Beberapa penunggang kuda yang lain masih
berusaha untuk dapat mengawasi seluruh tanah lapang, supaya orang yang
sesungguhnya dicari tidak melepaskan diri. Namun dalam pertempuran itu,
orang-orang yang berada di tanah lapang menjadi kacau balau. Mereka
berlarian kesana kemari tak tentu tujuan, menghindarkan diri dari
kemungkinan terinjak oleh kaki-kaki kuda yang seolah-olah menjadi liar.
Dalam keadaan yang demikian itulah Mahesa Jenar berbisik kepada Bantaran, ”Bantaran…
masih adakah keluarga Penjawi yang lain yang perlu diselamatkan dari
kemarahan orang Pamingit kelak, atau barangkali keluargamu sendiri…?”
”Keluargaku… tidak Tuan. Mereka semua
telah mengungsikan diri. Sedang keluarga Penjawi pun sudah tidak ada,
kecuali seorang kakek, ayah Nyi Penjawi itu,” sahut Bantaran.
”Nah, kalau demikian, pergilah kepada kakek itu,” sambung Mahesa Jenar, ”Supaya
ia tidak memikul tanggungjawab atas peristiwa ini. Sebab mungkin besok
atau lusa, Saraban benar-benar menjadi gila. Juga orang-orang yang
menjadi malu atas kekalahannya dari Paman Guru itu.”
Bantaran mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, ”Lalu bagaimanakah dengan Tuan dan Nyi Penjawi…?”
”Tinggalkan Nyi Penjawi ini padaku,” jawab Mahesa Jenar. ”Nanti kita dapat bertemu di tepi Sendang Putih. Kuda kami, kami tinggalkan di sana.”
Sekali lagi Bantaran mengangguk.
”Disamping itu…” lanjut Mahesa Jenar, ”Aku
ingin mendapat keterangan darimu tentang pasukan-pasukan yang telah kau
persiapkan bersama-sama dengan Penjawi. Mungkin sebentar lagi kita
memerlukannya.”
”Baiklah Tuan,” sahut Bantaran.
”Hati-hatilah,” bisik Mahesa Jenar kemudian. ”Aku harap kita dapat bertemu sebelum fajar.”
Setelah berpesan kepada Nyi Penjawi,
untuk mengikuti segala petunjuk Mahesa Jenar, Bantaran kemudian ikut
serta menghanyutkan diri dalam kekacauan yang terjadi. Demikian pula
Mahesa Jenar, dengan menggandeng Nyi Penjawi, berusaha mencari
kesempatan untuk melepaskan diri dari daerah tanah lapang yang terkutuk
itu. Usaha Mahesa Jenar itu tidaklah terlalu sukar. Dalam puncak
kekacauan, kelima orang berkuda yang berusaha mengawasi orang-orang di
tanah lapang itu ternyata tidak dapat menguasai keadaan. Ditambah dengan
usaha Kebo Kanigara menyeret titik pertempuran itu semakin ke tengah,
sehingga keadaan menjadi semakin kacau. Akhirnya beberapa orang
berbondong-bondong berlarian meninggalkan lapangan itu tanpa
menghiraukan apapun juga.
Meskipun kelima orang Pamingit itu
berusaha untuk tetap menahan orang-orang itu di lapangan, namun usaha
mereka tidak berhasil. Bahkan akhirnya mereka terpaksa melepaskan
orang-orang berlarian kesana kemari, karena kuda-kuda mereka seolah-olah
menjadi gila di kejutkan oleh teriakan-teriakan orang-orang yang
ketakutan.
Sesaat kemudian, lapangan itu telah
menjadi kosong, kecuali Kebo Kanigara yang masih harus bertempur melawan
orang-orang berkuda dari Pamingit itu. Apalagi kini kelima orang yang
lain, yang tidak berhasil menahan orang-orang Banyubiru di lapangan,
ingin menumpahkan kemarahan mereka kepada orang yang menamakan dirinya
Bantaran. Sebab orang itulah sumber dari kekacauan dan kegagalan mereka
menangkap Bantaran.
Dalam pada itu, Kebo Kanigara merasa
bahwa tugasnya telah selesai. Ia yakin bahwa Bantaran dan Mahesa Jenar
telah berhasil menyelamatkan Nyi Penjawi. Karena itu ia harus segera
mengakhiri pertempuran.
Demikianlah Kebo Kanigara mulai bertempur
dengan sepenuh tenaga. Ia tidak saja menghindari serangan-serangan
orang Pamingit itu, tetapi iapun telah mulai menyerang mereka. Ketika
seekor kuda dengan penunggangnya yang garang bersenjata sebilah pedang
yang gemerlapan menyerangnya, Kebo Kanigara tidak saja menghindari
serangannya, tetapi tiba-tiba iapun meloncat keatas punggung kuda itu.
Lawan-lawannya yang menyaksikan perbuatannya menjadi heran, bahkan
menjadi kebingungan untuk beberapa saat, lebih-lebih penunggang itu
sendiri. Ketika ia masih belum sadar, terasalah sebuah pukulan yang
dahsat mengenai tengkuknya. Sesudah itu, tubuhnya dengan kerasnya
terlempar dari punggung kudanya dan seterusnya tak sadarkan diri. Sedang
pedangnya yang gemerlapan kini telah berada di tangan Kebo Kanigara.

Kini tinggallah tiga orang lagi. Tentu saja ketiga orang itu mengerti bahwa lawannya bukanlah manusia setingkat mereka.
Kalau semula mereka, delapan orang, tidak
mampu mengalahkannya, apalagi kini tinggal 3 orang lagi. Bagaimanapun
juga beraninya orang-orang Pamingit itu, namun mereka harus melihat
suatu kenyataan, bahwa mereka bertiga tidak akan mungkin memenangkan
pertempuran itu.
Karena itu selagi nyawa mereka masih
tinggal didalam tubuh, serta selagi darah mereka masih belum tertumpah,
maka tidak ada cara lain yang lebih baik daripada menghindarkan diri
dari tanah lapang itu secepat-cepatnya. Untunglah kalau mereka sempat
datang kembali dengan membawa bantuan. Syukurlah kalau Sawung Sariti
atau lebih-lebih Ki Ageng Lembu Sora sendiri, yang kebetulan sedang
berada di Banyubiru dapat menyaksikan ketangkasan orang itu.
Maka setelah mereka masing-masing
berpikir dan mengambil suatu keputusan, yang seolah-olah diatur bersama,
maka ketika salah seorang daripadanya memutar kudanya dari tanah lapang
itu sambil memperingatkan kawan-kawannya, bahwa lebih baik
menyelamatkan diri serta membawa bantuan lebih banyak lagi, segera
menghamburlah ketiga ekor kuda itu dengan penunggangnya meninggalkan
Kebo Kanigara secepat mereka dapat.
———-oOo———-
IV
Kebo Kanigara memandang ketiga orang yang
meninggalkan gelanggang itu sambil mengusap peluhnya. Kemudian matanya
berkisar dari satu tubuh ketubuh yang lain, yang masih terkapar ditanah
lapang itu. Ia mengharap agar kemudian kawan-kawan mereka segera datang
dan merawat luka-luka mereka. Sebab Kebo Kanigara sama sekali tidak
bermaksud membunuh mereka semua. Kalau diantara terpaksa ada yang
menghembuskan napas penghabisan, itu adalah diluar kemauannya. Sebab
dalam bermain dengan air, pastilah ada diantaranya yang terpercik dan
menjadi basah karenanya.
Setelah itu, segera Kebo Kanigara
teringat kepada Mahesa Jenar dan Bantaran. Dengan Mahesa Jenar ia
berjanji untuk segera kembali ketempat kuda-kuda mereka tertambat.
Karena itu sebelum keadaan menjadi lebih buruk, segera Kebo Kanigara
meloncat dari kudanya, dan berlari lewat jalan semula, pergi ke Sendang
Putih. Ia terpaksa menyusur jalan-jalan sempit dan halaman-halaman
kosong seperti yang dilaluinya semula, karena ia tidak mengenal daerah
dan jalan-jalan lain di Banyubiru. Tetapi dengan demikian, beruntunglah
ia, karena sesaat kemudian lamat-lamat ia mendengar derap kuda, jauh
lebih banyak dari semula, menuju ketanah lapang dimana ia baru saja
bertempur. Karena itulah ia segera mempercepat larinya supaya tidak
terkejar oleh orang-orang yang pasti akan mencarinya.
Baru ketia ia telah menyusup ke
semak-semak, mengambil jalan yang memotong. Ia menjadi agak lega dan
memperlambat larinya. Apalagi ia terpaksa berusaha mengenal kembali
jalan setapak yang dilaluinya itu, supaya ia tidak tersesat.
Beberapa lama kemudian sampailah ia di
tempat mereka berjanji untuk bertemu. Di situ telah menanti Mahesa
Jenar, Bantaran, Nyi Penjawi dan seorang kakek tua ayah Nyi Penjawi.
Dengan tersenyum Mahesa Jenar menyambut kedatangan Kebo Kanigara, katanya, ”Sudah puaskah Kakang bermain-main dengan orang Pamingit?”
Sambil duduk di samping Mahesa Jenar, Kanigara menjawab sambil tersenyum pula, ”Mereka adalah kawan bermain yang baik. Orang-orang Pamingit itu ternyata ahli menunggang kuda.”
Dengan tersenyum pula Mahesa Jenar menjawab, ”Sayang mereka tidak dapat bermain-main dengan senjata sebaik mereka naik kuda.”
Kemudian dengan lesu Kanigara berkata seperti kepada diri sendiri, ”Aku
terpaksa melukai beberapa orang diantaranya. Sebab aku tidak dapat
bermain-main dengan senjata sebaik diantara mereka yang terbunuh.”
Mahesa Jenar sama sekali tidak menyahut.
Ia tahu betul perasaan Kebo Kanigara, bahwa bukanlah pada tempatnya,
dalam keadaan yang demikian, dimana ia tidak mempunyai persoalan
langsung dengan orang-orang Pamingit itu, tangannya terpaksa menumpahkan
darah. Tetapi dalam keadaan yang demikian, tak seorangpun yang akan
dapat menyalahkannya. Apalagi Bantaran. Sebagai seorang pemimpin laskar
Banyubiru, ia menjadi keheran-heranan, bahwa dalam pertempuran yang
berlangsung itu, dimana seorang harus melawan 10 orang bersama-sama,
masih juga menyesal kalau ia terpaksa membunuh lawannya.
Sesaat kemudian keadaan menjadi sunyi. Masing-masing membiarkan angan-angannya mengembara ke daerah yang berbeda-beda.
Kemudian terdengarlah kembali Mahesa Jenar berkata kepada Bantaran, ”Bantaran…
aku masih ingin mendapat beberapa keterangan tentang laskarmu dan
laskar Penjawi. Sebab mau tidak mau, apabila Ki Ageng Lembu Sora dan
Sawung Sariti tetap pada pendiriannya, kita akan memerlukannya.”
Bantaran menggeser duduknya, kemudian menjawabnya,
”Laskar kami sebenarnya tidaklah begitu banyak, Tuan. Apalagi sampai
saat ini kami sama sekali tidak mendapat bimbingan yang baik. Apakah
artinya kami berdua. Aku dan Penjawi. Sedang yang kami hadapi adalah Ki
Ageng Lembu Sora dan putranya, Sawung Sariti. Sedangkan tingkat
keterampilan kami tidaklah lebih daripada pengawal-pengawal Lembu Sora
itu.”
”Tetapi bagaimanakah dengan tekad mereka…?” sela Mahesa Jenar.
”Itulah yang mendorong kami untuk
tetap berjuang. Mereka ternyata bersedia menunggu pemimpin mereka. Ki
Ageng Gajah Sora atau putranya, Arya Salaka yang hilang itu.”
”Bagaimanakah dengan Wanamerta?” Mahesa Jenar mencoba bertanya.
”Orang tua itupun telah meninggalkan Banyubiru.” jawab Bantaran. ”Tetapi kami belum mengetahuinya, di mana ia berada.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata, ”Bantaran,
agaknya Wanamerta benar-benar belum berhasil mencari hubungan dengan
kalian. Ketahuilah bahwa Wanamerta telah berhasil menyusul putra Ki
Ageng Gajah Sora.”
”Arya Salaka…?” potong Bantaran terkejut.
”Ya,” jawab Mahesa Jenar, ”Dan selama ini Arya salaka dalam keadaan selamat.”
”Syukurlah,” sahut Bantaran.
”Memang demikianlah berita yang pernah aku dengar, meskipun aku belum
meyakini sebelumnya. Sekarang karena Tuan yang mengatakannya, maka aku
dapat mempercayainya.”
”Dari mana kau dengar berita itu?” tanya Mahesa Jenar.
”Aku tidak jelas sumbernya,” jawab Bantaran. ”Tetapi
aku kira dari orang-orang Pamingit. Sebab aku dengar mereka sedang
mencari untuk membunuhnya. Bahkan yang kami dengar Arya Salaka selalu
bersama-sama dengan Tuan.”
Kembali Mahesa Jenar mengangguk=anggukkan kepalanya. Katanya, ”Berita
itu benar. Hampir seluruhnya. Bahkan Sawung Sariti sendiri sudah untuk
kedua kalinya berusaha membunuh Arya Salaka dengan tangannya.”
Mendengar keterangan itu, Bantaran
mengangkat kepalanya. Bagaimanapun ia merasa tersinggung atas kelakuan
Sawung Sariti. Maka katanya, ”Untunglah bahwa Arya Salaka dapat Tuan selamatkan.”
”Ia telah dapat menyelamatkan dirinya sendiri,” jawab Mahesa Jenar.
Bantaran menjadi heran mendengar jawaban
itu. Sawung Sariti pada saat-saat terakhir telah menjadi seorang pemuda
yang tangguh, berkat tuntunan kakeknya, Ki Ageng Sora Dipayana. Meskipun
seandainya Arya Salaka mendapat tuntunan dari Mahesa Jenar, apakah anak
itu akan dapat menyamai ketangguhan Sawung Sariti. Malahan, seandainya
paman guru Mahesa Jenar itu yang mendidiknya, ia masih belum yakin bahwa
Arya dapat menyamai Sawung Sariti. Sebab Ki Ageng Sora Dipayana adalah
seorang yang sukar dicari tandingnya. Tetapi Bantaran tidak mau
menanyakannya. Ia takut kalau-kalau dengan demikian akan dapat
menyinggung perasaan Mahesa Jenar.
Dalam pada itu Mahesa Jenar meneruskan, ”Yang
penting bagimu Bantaran, peliharalah tekad dan kesetiaan laskarmu
terhadap perjuangan yang telah dirintisnya. Dalam waktu yang singkat aku
akan membawa Arya Salaka ke tengah-tengah mereka.”
Tiba-tiba dada Bantaran terasa
seolah-olah mengembang karena kegembiraan. Kalau Arya Salaka berada di
tengah-tengah mereka maka laskarnya akan menjadi laskar yang bertekad
baja, yang tidak lagi memperhitungkan hidup dan mati yang memang diluar
kekuasaan manusia.
”Karena itu…” Mahesa Jenar meneruskan, ”Bersiaplah menghadapi masa yang menentukan.”
”Baiklah Tuan,” jawab Bantaran mantap. ”Akan
kami kabarkan hal ini kepada mereka supaya mereka merasa bahwa apa yang
mereka lakukan itu mempunyai arti bagi tanah perdikan mereka.”
”Kalau demikian, ke manakah aku harus membawa Arya Salaka…?” sahut Mahesa Jenar.
”Ke Gedong Sanga, Tuan,” jawab Bantaran cepat. ”Di sekitar candi itu kami menempatkan laskar kami.”
”Baiklah. Dan beruntunglah aku dapat bertemu dengan kau di sini, sehingga aku mendapat banyak bahan untuk saat-saat terakhir.”
Demikianlah, mereka mengakhiri
pembicaraan. Setelah sekali lagi Mahesa Jenar berjanji akan membawa Arya
ke Candi Gedong Sanga, maka bersama dengan Kebo Kanigara ia minta diri
untuk segera kembali ke Karang Tumaritis, dimana Arya Salaka pasti telah
menunggunya. Bersamaan dengan itu, berangkat jugalah Bantaran lewat
jalan-jalan hutan membawa istri Penjawi beserta ayahnya untuk berkumpul
kembali dengan laskarnya, setelah beberapa hari ia berkeliaran di daerah
sekitar Banyubiru untuk melihat perkembangan daerah itu.
Namun kali ini dengan bangga ia akan
dapat berkata kepada laskarnya tentang apa yang disaksikannya di
Banyubiru, pertemuannya dengan Mahesa Jenar yang tanpa diduga-duganya.
Serta yang terakhir bahwa mereka boleh mengharap, dalam waktu singkat
Mahesa Jenar akan membawa Arya Salaka ke tengah-tengah mereka.
Di perjalanan kembali ke Karang
Tumaritis, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tak henti-hentinya
memperbincangkan kemunduran-kemunduran yang terjadi di Banyubiru.
Kemunduran dalam segala bidang. Namun mereka masih menduga-duga apakah
sebabnya Ki Ageng Sora Dipayana masih berdiam diri.
Demikianlah mereka menempuh perjalanan,
melintasi padang-padang rumput, hutan-hutan yang tidak begitu lebat,
mendaki lambung-lambung bukit, serta menuruni lereng-lerengnya, untuk
kemudian sampai ke daerah persawahan yang membentang luas di hadapan
mereka, setelah mereka bermalam di bawah bentangan langit biru.
Sedang pedukuhan yang tampak di hadapan
mereka, seperti pulau-pulau yang tersembul dari lautan, adalah pedukuhan
Gedangan. Oleh hembusan angin yang cepat-cepat lambat, butir-butir padi
yang sudah mulai menguning tampak seperti wajah lautan yang
berombak-ombak. Jauh di ujung desa tampaklah beberapa puluh orang
perempuan seperti semut yang terapung-apung, sudah mulai menuai padi.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat
semuanya itu dengan wajah yang cerah. Mereka ikut bersama-sama dengan
para petani Gedangan, merasa gembira bahwa hasil jerih payah mereka
selama beberapa bulan kini sudah dapat dipetik hasilnya. Lebih daripada
itu, Mahesa Jenar melihat benar-benar kemajuan yang telah dicapai oleh
pedukuhan kecil ini dalam bidang pertanian.
Setelah puas memandang sawah yang
terbentang di hadapan mereka itu, segera mereka menarik kekang kuda
masing-masing, dan berjalanlah kuda-kuda mereka seenaknya. Burung-burung
liar yang terkejut karena suara telapak kaki kuda itu, beterbangan
terpencar-pencar. Sedang butiran-butiran padi yang penuh berisi,
seolah-olah merundukkan batang-batang mereka kepada kedua orang yang
baru datang itu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bagi
orang-orang Gedangan adalah orang-orang yang sangat dihormati. Karena
mereka berdua telah banyak memberikan jasa mereka kepada pedukuhan kecil
itu. Karena itu ketika seseorang melihat kehadiran mereka, ia segera
berlari-lari melaporkannya kepada pejabat-pejabat pedukuhan, sehingga
sesaat kemudian ributlah pendapa kelurahan Gedangan. Mereka segera
bersiap-siap untuk menyambut kedatangan tamu-tamu mereka.
Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
sampai di halaman kelurahan, bahkan mereka menjadi terkejut. Mula-mula
mereka heran, apakah yang terjadi di kelurahan itu sehingga banyak orang
hilir-mudik kesana kemari. Tetapi ketika akhirnya mereka mengetahui
duduk perkaranya, mereka menjadi geli. Hal yang sedemikian itu
sebenarnya sama sekali tak mereka kehendaki. Sebab apa yang mereka
lakukan tidak lebih dan tidak kurang daripada melakukan kewajiban
mereka, sebagai manusia yang mengabdikan diri pada sumbernya serta hasil
pancaran dari sumber itu.
Tetapi rakyat Gedangan itu menjadi kecewa
ketika mereka mengetahui bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tidak
dapat terlalu lama tinggal di pedukuhan mereka, sebab suatu kewajiban
yang penting telah menanti. Mereka hanya dapat bermalam satu malam saja,
untuk seterusnya mereka minta diri meneruskan perjalanan ke Karang
Tumaritis. Sedangkan kuda-kuda yang dipinjamnya, masih belum mereka
kembalikan, bahkan Mahesa Jenar telah berpesan apabila diperlukan mereka
masih akan meminjamnya lebih banyak lagi nanti.
”Berapa ekor lagi yang akan Tuan perlukan…?” tanya Wiradapa.
”Lima atau enam ekor,” jawab Mahesa Jenar kepada Lurah Gedangan itu.
”Baiklah Tuan, kuda-kuda itu akan kami sediakan sejak hari ini,” sahut Wiradapa, dan seterusnya ia berkata, ”Kecuali
itu, perkenankan kami mengundang Tuan berdua beserta sahabat dan
putra-putra Tuan untuk mengunjungi pedukuhan kami ini pada akhir bulan.”
”Apakah keperluan kalian…?” tanya Mahesa Jenar.
”Kami akan mengadakan upacara bersih
desa. Sebagai pernyataan terimakasih dan kegembiraan kami atas karunia
Tuhan yang telah menjadikan sawah-sawah kami bertambah subur serta
tanaman-tanaman kami selamat dari gangguan hama.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersenyum. ”Baiklah,” jawab mereka hampir bersamaan.
Kemudian setelah itu, mumpung masih pagi, segera berangkat ke bukit kecil yang dinamai oleh penghuninya Karang Tumaritis.
Ketika matahari telah sampai di atas
kepala mereka, sampailah mereka di atas bukit kecil itu. Perjalanan
mereka di atas punggung kuda seakan-akan merupakan tamasya yang
menyenangkan.
Kedatangan mereka disambut dengan meriah
oleh penghuni bukit kecil itu. Para cantrik dan endang. Lebih-lebih
lagi, betapa gembira hati Endang Widuri yang telah beberapa lama
ditinggalkan oleh ayahnya. Untunglah bahwa saat itu ia sudah mempunyai
kawan bermain yang dapat melayaninya, yaitu Rara Wilis. Arya Salaka pun
menjadi sangat gembira. Sebab hanya dialah yang mengetahui, walaupun
hanya sedikit, bahwa apa yang dilakukan oleh gurunya beserta Kebo
Kanigara adalah tugas yang berbahaya.
Ketika mereka sudah beristirahat beberapa lama, bertanyalah Kebo Kanigara kepada anaknya, “Widuri, apakah Panembahan dalam keadaan sehat…?”
Dengan manjanya Widuri menjawab, “Yang
aku ketahui, sepeninggal ayah, Panembahan mengurung dirinya di dalam
sanggar sampai berhari-hari. Tak seorang pun yang diperkenankan ikut
serta. Bahkan makanan pun telah dibawanya sendiri sejak Panembahan mulai
dengan samadinya.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi tahulah ia, dan juga Mahesa Jenar tahu, bahwa
sebenarnya Panembahan Ismaya pada saat itu sedang pergi meninggalkan
padepokan untuk menyusulnya ke Pudak Pungkuran, dimana ia bersama-sama
dengan Mahesa Jenar sedang menemui Radite dan Anggara.
“Apakah beliau sekarang masih berada di dalam sanggar?” tanya Kanigara kemudian.
Widuri menggeleng. Jawabnya, “Sudah hampir seminggu Panembahan wudhar dari samadinya.”
Sambil memandang kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara berkata, “Kalau demikian, baiklah kita menghadap.”
Mahesa Jenar menyetujuinya pula. Dan
ketika mereka sudah melangkah sampai luar pintu pondok, menyusullah Arya
Salaka sambil berbisik, “Paman, Panembahan agak menyesal ketika aku katakan tentang kepergian Paman berdua.”
Kanigara dan Mahesa Jenar terhenti. Tetapi kemudian mereka berdua tersenyum. Jawab Kanigara, “Kami akan mencoba menjelaskan kepada Panembahan.”
“Mudah-mudahan Panembahan dapat mengerti,” sahut Arya Salaka.
“Aku kira demikian,” sahut Mahesa Jenar. “Nanti sesudah kami menghadap, aku beritahukan kepadamu.”
Arya Salaka mengangguk, tetapi hatinya
masih juga gelisah. Jangan-jangan Panembahan masih tetap kecewa terhadap
gurunya serta Kebo Kanigara.tetapi ia sudah tidak berani bertanya lagi.
Ketika Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar
sampai di rumah kediaman Panembahan Ismaya, Panembahan tua itu ternyata
sedang duduk dihadap beberapa orang cantrik tertua. Agaknya ada sesuatu
yang sedang mereka perbincangkan. Ketika dilihatnya kedatangan Kabo
Kanigara dan Mahesa Jenar, maka dengan perasaan gembira mereka berdua
disambutnya serta segera dipersilakan masuk.
“Marilah Angger berdua… beberapa hari
aku menjadi gelisah atas kepergianmu berdua. Syukurlah kalau kau berdua
tidak menemui halangan sesuatu.”
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengangguk hormat, sebagai pernyataan bakti mereka kepada Panembahan tua itu.
“Agaknya kalian berdua menjadi gembira karena perjalanan itu…? Ternyata wajah kalian bertambah segar,” sambung Panembahan Ismaya.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tidak
menjawab. Mereka hanya menundukkan muka mereka. Sebab tak ada yang akan
mereka katakan, karena Panembahan Ismaya telah mengetahui seluruhnya.
Tetapi tiba-tiba Panembahan Ismaya berkata kepada para cantrik, “Cantrik-cantrik sekalian… aku perkenankan kalian meninggalkan ruangan ini. Sediakanlah makan siangku. Aku ingin setelah ini makan bersama-sama dengan Kanigara dan Mahesa Jenar.”
Tetapi tiba-tiba Panembahan Ismaya berkata kepada para cantrik, “Cantrik-cantrik sekalian… aku perkenankan kalian meninggalkan ruangan ini. Sediakanlah makan siangku. Aku ingin setelah ini makan bersama-sama dengan Kanigara dan Mahesa Jenar.”
Maka mundurlah para cantrik dari ruangan itu, untuk mempersiapkan makan siang Panembahan Ismaya.
Sepeninggal para cantrik, barulah
Panembahan bertanya segala sesuatu mengenai perjalanan kembali Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara. Dan kepada Panembahan itu diceritakan pula
bagaimana keadaan Banyubiru sekarang. Kemunduran dalam segala bidang,
terutama kemunduran akhlak.
“Panembahan…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Menurut
pertimbanganku, segala sesuatu yang terjadi di Banyubiru itu harus
segera dihentikan, dengan mengembalikan Arya Salaka ke sana. Atau
lebih-lebih kalau mungkin Kakang Gajah Sora.”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia merasa ditagih janji, sebab merasa berkesanggupan untuk
membebaskan Gajah Sora. Tetapi untuk melaksanakan kesanggupan itu
agaknya tidak terlalu mudah. Karena itu ia menjawab, “Kau benar
Mahesa Jenar. Bawalah Arya Salaka lebih dahulu. Aku masih belum dapat
membebaskan ayahnya. Aku harap hal itu segera terjadi. Dan bukankah akan
sangat menggembirakan kalau Gajah Sora nanti dapat kembali ke Banyubiru
setelah Banyubiru dapat dipulihkan…? Dan apa yang terjadi sebelum itu,
seolah-olah hanya suatu peristiwa dalam mimpi, meskipun mimpi yang
menyedihkan.”
Mahesa Jenar masih merenungkan
masalah-masalah yang akan dihadapinya. Kalau saja tidak ada persoalan
yang lebih besar, yang akan langsung mempengaruhi pemerintahan Demak,
maka cara yang semudah-mudahnya untuk membebaskan Ki Ageng Gajah Sora
adalah menyerahkan kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Tetapi
ternyata cara itu tidak dapat ditempuhnya. Sebab Banyubiru bagi Demak
hanyalah merupakan sebagian saja dari seluruh persoalan. Namun ia
percaya kepada Panembahan Ismaya. Panembahan itu pasti akan menemukan
suatu cara untuk membebaskan Gajah Sora. Dengan atau tanpa Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Syukurlah kalau kalau nanti Gajah Sora
dapat menjumpai tanah perdikan sudah pulih kembali, meskipun belum
seluruhnya. Tetapi setidak-tidaknya Gajah Sora merasa bahwa ia kembali
ke tanahnya sendiri, seperti pada saat ditinggalkan.
Kemudian diceritakan pula oleh Mahesa
Jenar pertemuannya dengan Bantaran, salah seorang pemimpin laskar
Banyubiru, serta pasukannya di sekitar Candi Gedong Sanga.
Akhirnya Panembahan Ismaya menyetujui
permintaan Mahesa Jenar untuk mengajak Kanigara serta dalam usahanya
mengembalikan Banyubiru ke dalam tangan Arya Salaka. Sebab tanpa
orang-orang yang lebih tua itu, Arya Salaka tidak akan mampu melakukan
pekerjaan berat itu.
“Tetapi kau jangan terlalu tergesa-gesa, Mahesa Jenar…” Panembahan Ismaya menasihati,
“Sebab apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka adalah pekerjaan yang
sulit. Mula-mula kau harus berusaha untuk menjelaskan masalahnya tanpa
pertumpahan darah. Kau dapat membawa laskar yang dipimpin Bantaran hanya
untuk membuat keadaan seimbang, supaya keseimbangan itu diperhitungkan
pula oleh Lembu Sora. Sebab apabila ia hanya berhadapan dengan kalian
berdua beserta Arya Salaka, maka mereka pasti akan berkeras kepala.
Selain daripada itu, kau harus mempersiapkan Arya Salaka untuk
menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi. Lahir dan batin. Supaya
dalam setiap keadaan hatinya tidak terguncang dan kehilangan
keseimbangan.”
Demikianlah Mahesa Jenar mendapat banyak
sekali bekal yang perlu baginya untuk memenuhi kesanggupannya kepada Ki
Ageng Gajah Sora, pada saat orang itu pergi meninggalkan Banyubiru, dan
menitipkan anaknya kepadanya.
Setelah makan siang bersama-sama dengan
Panembahan Ismaya dan Kebo Kanigara, maka segera Mahesa Jenar minta diri
untuk beristirahat. Namun demikian ia tidak dapat melepaskan diri dari
persoalan-persoalan yang selalu membelit hatinya, persoalan Banyubiru.
Agaknya Arya Salaka pun hampir tidak
sabar menanti Mahesa Jenar. Ketika ia melihat gurunya itu datang, segera
ia bertanya, apakah Panembahan Ismaya marah kepadanya.
Dengan tersenyum Mahesa Jenar menjawab, “Panembahan bukanlah orang yang dapat marah. Apakah kau pernah melihat Panembahan marah?”
Arya menggeleng, tetapi ia menjawab, “Aku selalu cemas bahwa Panembahan akan marah untuk pertama kalinya kepada Paman dan Paman Kanigara.”
Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian sahutnya, “Tidak.
Panembahan tidak marah. Ia hanya memberi aku dan Kakang Kanigara
nasihat. Dan nasihat-nasihat itu akan sangat berguna bagiku dan Kakang
Kanigara.”
Sejak saat itu Mahesa Jenar mencoba untuk
memberi penjelasan kepada Arya Salaka untuk melengkapi pengetahuannya
tentang keadaan sebenarnya yang terjadi di Banyubiru. Karena Arya Salaka
sekarang menurut anggapan Mahesa Jenar telah cukup siap untuk
mengetahui segala-galanya, maka Mahesa Jenar kini tidak lagi
menyembunyikan sesuatu. Juga dijelaskan apa yang sekarang terjadi kalau
keadaan yang demikian dibiarkan berlarut-larut.
Arya Salaka mendengarkan semua penjelasan
itu dengan menekan dada. Ia telah dapat merasakan betapa jeleknya
keadaan Banyubiru sepeninggal ayahnya.
Hampir setiap malam ia duduk
bercakap-cakap dengan Mahesa Jenar, yang kadang-kadang ditemani Kebo
Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri. Apa yang mereka percakapkan
selalu berkisar pada masalah Banyubiru. Apalagi kalau Wanamerta
berkesempatan untuk ikut serta berbicara. Banyak sekali cerita yang
dapat membakar dada Arya Salaka. Sebagai orang tertua, yang pada saat
Gajah Sora meninggalkan Banyubiru menerima tanda pemerintahan Pusaka
Kyai Bancak, dan yang selajutnya kehadirannya di Banyubiru oleh Ki Ageng
Lembu Sora sama sekali tidak diperhitungkan, bahkan disingkirkan dengan
satu cara yang keji, ia benar-benar sakit hati.
Disamping semua penjelasan, untuk
mempersiapkan Arya Salaka menghadapi keadaan-keadaan di Tanah Perdikan
yang sudah kira-kira lima tahun ditinggalkan, ia selalu menerima pula
tuntunan-tuntunan lahiriah. Setiap hari ia masih harus berlatih
sekeras-kerasnya. Menambah pengetahuan tata pertempuran dan olah
senjata. Dalam keadaan yang demikian, terasalah betapa perkembangan
jasmaniah Arya Salaka menjadi bertambah cepat setelah orang aneh yang
mengenakan jubah memijiti hampir seluruh tubuhnya pada suatu malam,
setelah ia bertempur melawan Sawung Sariti. Untunglah bahwa di bukit
kecil itu ia mempunyai banyak kawan berlatih. Endang Widuri yang
memiliki cabang keturunan ilmu yang sama dengan ilmunya. Rara Wilis dari
Perguruan Pandan Alas. Serta Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Meskipun
sebenarnya Arya Salaka kadang-kadang bertanya di dalam hati tentang
persamaan yang sedemikian dekatnya antara Kebo Kanigara dengan gurunya,
Mahesa Jenar, namun pertanyaan itu tetap disimpannya. Sejalan dengan
itu, kadang-kadang ia menjadi heran pula, bahwa ilmu gurunya sendiri
agaknya menjadi jauh berkembang, seolah-olah berkembang dengan
sendirinya. tetapi juga keheranan ini disimpannya di dalam hati.
Sudah tentu bahwa dalam keadaan demikian
tidak saja Arya Salaka sendiri yang berhasil memperkuat dirinya
lahir-batin, tetapi juga kawan-kawannya berlatih. Mereka ternyata saling
menerima dan memberi. Ilmu pedang yang luar biasa lincahnya, dari
perguruan Pandan Alas, dalam keserasiannya dengan ilmunya. Sebaliknya,
keteguhan serta gerak-geraknya yang kuat dapat mempengaruhi keterampilan
Rara Wilis. Sedangkan kenakalan Endang Widuri pun kadang-kadang dapat
memberi banyak ilham kepada Arya, sehingga dalam ilmunya kadang-kadang
sifat itu terungkap dalam gerak-gerak yang tampaknya tidak masuk akal
dan kurang berhati-hati, namun sebenarnya mempunyai segi-segi yang
mengelabuhi lawan.
Maka, ketika segala sesuatunya telah
dirasa cukup, sampailah Mahesa Jenar pada taraf terakhir dari
pekerjaannya menjelang keberangkatan mereka ke Banyubiru, yaitu
mematangkan jiwa Arya Salaka menghadapi segala macam kemungkinan.
Kemungkinan yang paling menyenangkan sampai kemungkinan terakhir yang
dapat saja terjadi. Yaitu gugur dalam menunaikan kewajiban sucinya.
Tetapi jiwa Arya memang sudah mendapat
tempaan yang luar biasa sejak bertahun-tahun terakhir. Kesulitan hidup
yang hampir setiap hari dijalani, sulit lahir-batin, adalah bekal yang
baik dalam pekerjaannya itu.
Disamping itu, Mahesa Jenar tidak pula
lupa menunjukkan, bahwa apa yang akan dilakukan itu adalah suatu usaha.
Usaha yang wajib diperjuangkan oleh manusia untuk mencapai cita-citanya,
namun segala keputusan terakhir dari semua masalah, terletak ditangan
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Demikianlah, akhirnya Mahesa Jenar
menyampaikan segala macam persiapan dan anggapannya, bahwa segala
sesuatunya sudah cukup, kepada Panembahan Ismaya. Bersamaan dengan itu,
ia mohon diri bersama muridnya untuk menunaikan kewajibannya, serta
sekali lagi ia mohon kepada Panembahan untuk mengizinkan Kebo Kanigara
pergi bersamanya.
Panembahan Ismaya memandang Mahesa Jenar
dengan hampir tak berkedip. Ini adalah suatu masalah yang paling rumit,
yang selalu tumbuh hampir setiap saat. Alangkah menyedihkan, bahwa
seseorang melakukan persiapan sampai seteliti-telitinya untuk melakukan
tindakan kekerasan. Padahal, seharusnya setiap bentuk kekerasan pasti
harus ditentang. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan kenyataan, bahwa
diantara anak manusia di dunia ini masih saja ada yang sama sekali tidak
menghiraukan kemanusiaannya, yang dengan segala macam cara, menindas
manusia-manusia yang lain. Dan terhadap manusia-manusia yang demikian
itu, wajarlah bahwa ada usaha-usaha untuk mencegahnya. Usaha terakhir
pencegahan itu adalah dengan cara yang sama sekali menyimpang dari
tuntutan cinta kasih manusia. Sebab kadang-kadang yang harus dilakukan
adalah nampaknya berlawanan dengan ungkapan cinta kasih itu sendiri.
Yaitu kekerasan, perkelahian dan bahkan kadang-kadang persoalan hidup
dan mati.
Karena persoalan-persoalan yang
sedemikian itulah, maka selalu timbul pertentangan di dalam diri.
Pertentangan antara hakekat dari pengabdian diri terhadap manusia
sebagai tempat untuk meletakkan pengabdian yang tertinggi dengan penuh
cinta kasih sebagaimana Tuhan melimpahkan cinta kasihnya kepada manusia,
serta kenyataan bahwa manusia itu sendiri telah menodainya. Di sinilah
kadang-kadang dijumpainya persimpangan jalan antara tujuan dengan cara
pengabdian. Namun demikian bukanlah segala cara dapat dibenarkan untuk
mencapai tujuan. Sebab dalam hal yang demikian kaburlah batas antara
tujuan yang hendak dicapai dengan mengorbankan tujuan itu sendiri,
sebagai puncak pengabdian. Dalam hal yang demikian itu, apabila segala
macam cara dapat dibenarkan, maka akan timbullah fitnah, kebiadaban,
kekejaman dan kesewenang-wenangan, yang justru menghilangkan nilai
tertinggi dan tujuannya, yaitu manusia.
Terhadap Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara,
Panembahan Ismaya tidak tedheng aling-aling. Dan karena itulah maka
Panembahan Ismaya sendiri masih mempergunakan dua bentuk selama ini.
Orang berjubah abu-abu yang sakti dan seorang Panembahan yang menjauhkan
diri dari daerah keduniawian.
Mendengar uraian itu Kebo Kanigara dan
Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajah mereka dengan takzimnya.
Namun didalam dada mereka bergolaklah pertanyaan-pertanyaan yang tak
terucapkan. Pertanyaan tentang diri mereka, tentang Arya Salaka yang
terusir dari Banyubiru, dan tentang hak yang sudah terampas dari
tangannya.
Namun meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan, agaknya Panembahan Ismaya dapat mengertinya. Karena itu katanya, “Karena
itu Mahesa Jenar, kau harus dapat mencari keserasian dari cara dan
tujuan pengabdian. Dan dari sinilah nanti akan tampak, bahwa seseorang
memiliki ketinggian budi yang tidak sama. Ada orang yang berbudi luhur
dan berjiwa besar dan ada orang yang berbudi rendah dan berjiwa kecil. Ada
orang yang mengumandangkan nilai-nilai kemanusiaan, namun akan seribu
satu macam semboyan, tetapi nilai-nilai kemanusiaan itu tercermin dalam
tindak tanduknya sehari-hari. Seorang yang menganggap dirinya pendukung
nilai-nilai kemanusiaan, tetapi ia mengorbankan manusia untuk
mempertahankan kepentingan diri sendiri yang dipancangkannya di atas
tumpukan bangkai-bangkai. Namun sebaliknya ada orang yang dengan berdiam
diri membangun nilai-nilai itu dalam lingkungan yang jauh dari pamrih
untuk mencemerlangkan diri.
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 16
Koleksi Ki Arema
Editing oleh Ki Arema
4 Tanggapan
Tinggalkan Balasan
