

NSSI-04
I.
Kembali hati Wadas Gunung terperanjat
melihat kelincahan Mahesa Jenar. Mengertilah ia sekarang kenapa
Pasingsingan memaksanya membawa 20 orang anak buahnya bersama-sama untuk
menangkap satu orang saja. Ternyata buruannya memang bukan orang biasa.
Tetapi Wadas Gunung adalah orang yang berpengalaman cukup, sehingga
ketika ia melihat sikap Mahesa Jenar dan orang berkapak itu saling
membelakang, tahulah ia maksudnya. Untuk mencegah kesulitan-kesulitan
selanjutnya, cepat-cepat ia memerintahkan untuk menghantam lawan sebelum
mereka mencapai keseimbangan dalam bekerja bersama. Ia sendiri beserta
tokoh-tokoh rombongan itu segera melancarkan serangan-serangan yang
berbahaya. Tetapi karena perubahan keadaan yang demikian cepatnya itu,
tidak semua anak buah Wadas Gunung dapat mengikuti jalan pikiran
pimpinannya, sehingga dalam pelaksanaannya terjadilah kekacauan. Karena
lawan mereka berkumpul pada satu titik, maka ketika mereka akan
menyerang bersama-sama, terjadilah desak-mendesak diantara mereka,
sehingga mereka tidak leluasa mempergunakan senjata masing-masing. Dalam
keadaan yang demikian, segera Mahesa Jenar mengambil keuntungan yang
sebesar-besarnya. Mahesa jenar segara meloncat maju, dan memutar tombak
berkaitnya seperti baling-baling. Kemudian dengan gerakan yang sangat
mengejutkan lawannya, Mahesa Jenar langsung menyerang beberapa orang
yang berdiri di hadapannya. Mendapat serangan yang tak terduga-duga ini,
tak seorang pun sempat mengelak diri, sehingga dalam satu ayunan Mahesa
Jenar sekaligus dapat melukai 4 orang anggota gerombolan Lawa Ijo, dan
melemparkan beberapa senjata dari tangan pemiliknya. Melihat kejadian
itu, tergetarlah hati para anggota gerombolan Lawa Ijo, sehingga hampir
serentak mereka berdesakan mundur. Untunglah bahwa para pemimpin
gerombolan itu cepat bertindak. Serentak mereka berloncatan maju dan
dengan dahsyatnya mereka melakukan serangan-serangan balasan. Melihat
orang ini tampil, segera Mahesa Jenar menarik diri serta menyesuaikan
kedudukannya dengan orang yang bersenjatakan kapak, yang ternyata telah
pula memutar kapaknya untuk melindungi dirinya dan sekali-sekali
menyambar mereka yang berani mendekatinya.
Dalam siasat perkelahian ternyata Wadas
Gunung pun tak kalah cerdiknya. Untuk memecah kerja sama lawannya,
segera Watu Gunung memerintahkan untuk melumpuhkan kedudukan yang lemah.
Karena itu berkumpullah tokoh-tokoh mereka untuk menyerang orang
berkapak itu bersama-sama. Tetapi maksud ini pun segera diketahui oleh
Mahesa Jenar, karena itu katanya kepada orang berkapak itu, “Ki Sanak, baiklah kita selalu bergerak, supaya tak dapat mereka patahkan batas diantara kita.”
Kali ini orang berkapak itu pun tidak
menjawab, tetapi rupanya ia pun mengerti maksud Mahesa Jenar. Maka
ketika Mahesa Jenar mulai dengan loncatan loncatannya kesana-kemari,
orang itu pun selalu menyesuaikan dirinya, meskipun ia tidak selincah
Mahesa Jenar.
Melihat perubahan cara bertempur Mahesa
Jenar, Wadas Gunung mengeluh dalam hati. Belum lagi rencananya dapat
berjalan lancar, ia harus sudah menghadapi keadaan baru. Sehingga
kembali timbul kekacauan di barisannya. Kesempatan ini pun dipergunakan
oleh Mahesa Jenar dan orang berkapak itu. Dengan deras sekali kapak
raksasa itu terayun, dan tiga buah senjata melesat dari tangan
pemiliknya, dan sekaligus dua orang tersobek dadanya. Disamping itu
dengan lincahnya pula Mahesa Jenar mengadakan serangan. Tombaknya
mematuk-matuk membingungkan. Dalam serangan ini pun ia berhasil melukai
dua orang sekaligus. Bahkan dalam serangan berikutnya, pundak Tembini
tergores oleh tombaknya sendiri. Mengalami hal itu, Tembini menjadi
marah bukan buatan. Matanya merah menyala. Tetapi baru saja ia akan
meloncat menerkam lawannya dengan kedua pisau belatinya, mendadak Wadas
Gunung yang tidak pula kalah marahnya menyaksikan Tembini dilukai, telah
mendahuluinya mengadakan serangan yang dahsyat sekali. Mendapat
serangan Wadas Gunung dengan penuh kekuatan, segera Mahesa Jenar menarik
diri, meloncat kecil kesamping, dan dengan satu putaran mengait
senjata-senjata di tangan Wadas Gunung. Tetapi Wadas Gunung pun cukup
siaga. Segera ia menarik kedua tangannya. Sayang bahwa ia agak terlambat
sehingga satu dari pisaunya tak dapat dipertahankan sehingga jatuh dari
tangannya.
Wadas Gunung adalah seorang pemarah yang
keras hati. Bahkan karena marahnya, kadang-kadang ia kehilangan
perhitungan. Juga pada saat itu. Ia pun menjadi mata gelap. Dengan
sebuah pisau yang masih ada di tangannya, ia meloncat menyerang Mahesa
Jenar sejadi-jadinya.
Serangan ini ternyata sangat
menguntungkan Mahesa Jenar, sebab belati Wadas Gunung lebih pendek dari
tombak berkait yang dipegang oleh Mahesa Jenar. Karena itu Mahesa Jenar
sama sekali tidak menghindar. Hanya tombaknya yang dijulurkan menanti
terkaman Wadas Gunung. Melihat mata tombak mengarah ke dadanya, Wadas
Gunung terperanjat. Tetapi ia telah terlanjur meloncat keras sekali.
Maka segera ditariknya pisaunya untuk menangkis tombak Mahesa Jenar.
Tetapi tangan Mahesa Jenar adalah tangan yang perkasa, sehingga pukulan
pisau Wadas Gunung, yang tak dapat dilakukan dengan sepenuh tenaga,
karena ia sendiri baru dalam keadaan meloncat, tidaklah banyak artinya.
Tetapi pada saat terakhir, Bagolan telah
berusaha menyelamatkan pemimpinnya. Dengan sekuat tenaga ia melemparkan
bola besinya ke arah kepala Mahesa Jenar. Melihat bola besi bertangkai
itu melayang ke arahnya sedemikian kerasnya, maka mau tidak mau Mahesa
Jenar harus berusaha menghindar dengan menggerakkan kepalanya. Dan tepat
pada saatnya, kembali Tembini yang meskipun sudah terluka, menunjukkan
kegesitannya bergerak. Dengan satu loncatan Tembini memukul tombak
berkait Mahesa Jenar yang sedang berusaha menghindari bola besi itu,
sekuat-kuat tenaganya. Maka terdengarlah suara berdentang senjata
beradu. Oleh pukulan Tembini dengan kedua buah pisau belati panjangnya,
ujung tombak Mahesa Jenar berhasil digerakkan. Meskipun demikian Wadas
Gunung tak dapat membebaskan dirinya sama sekali, sehingga ujung tombak
berkait itu merobek paha kanannya.
Sambil mengerang kesakitan, Wadas Gunung
meloncat beberapa langkah mundur. Tetapi karena kesakitan yang amat
sangat, ia pun beberapa kali terhuyung-huyung hampir jatuh.
Kejadian itu rupanya sangat berpengaruh
pada semangat bertempur Wadas Gunung. Meskipun ia menyesal sekali tak
dapat membalaskan dendam adiknya serta pemimpinnya, tetapi tak adalah
yang dapat dilakukan. Ia juga menjadi marah sekali kepada orang berkapak
yang telah mencampuri urusannya. Selain itu juga kepada Sagotra, salah
seorang anak buahnya, ia menjadi marah sekali, serta berjanji dalam
hatinya, bahwa anak itu diketemukan pastilah akan dikupas kulit
kepalanya. Sebab dalam keadaan yang sedemikian sulit, ia sama sekali
tidak menampakkan dirinya.
Dalam keadaan yang demikian tidak ada
jalan lain bagi Wadas Gunung kecuali harus menyelamatkan diri, meskipun
hanya untuk sementara, sampai dapat tersusun kekuatan untuk membalas
dendam. Karena itu segera ia bersiul keras dan dengan segera pula anak
buahnya berloncatan mengundurkan diri dari gelanggang perkelahian.
Bagolan, yang ternyata mempunyai tenaga raksasa, segera mendukung Wadas
Gunung, dan dengan cepatnya berlari menjauhi lawannya. Sementara itu,
yang lain berusaha melindungi apabila mereka dikejar.
Melihat lawan-lawannya berlari, Mahesa Jenar sama sekali tidak berusaha mengejarnya. Orang berkapak itu juga tidak.
Pada saat itu, warna langit di sebelah
timur sudah semakin terang. Bayangan pepohonan serta bentuk-bentuk
batang-batang ilalang menjadi semakin jelas. Juga wajah orang berkapak
itu menjadi jelas pula.
Kalau selama ini, kecuali karena gelapnya
malam, juga karena Mahesa Jenar tidak sempat mengamati orang berkapak
itu, kini ia dapat dengan jelas melihat wajahnya.
Dan ketika Mahesa Jenar melihat wajah
orang itu, darahnya tersirap, seakan-akan ada sesuatu masalah yang
memukul rongga dadanya. Karena itu sampai beberapa saat ia berdiri diam
seperti patung.
Sedang orang berkapak itu, setelah
melihat bahwa lawan-lawan Mahesa Jenar berlari, berdiri seperti acuh tak
acuh saja. Juga ketika ia melihat Mahesa Jenar memandangnya dengan
wajah yang membayangkan keruwetan hatinya, orang berkapak itu sama
sekali tidak mempedulikannya.
Akhirnya, setelah agak tenang hatinya, Mahesa Jenar segera mendekati orang itu sambil berkata, “Terimakasih atas segala pertolongan yang telah aku terima, sehingga aku terbebaskan dari tangan mereka.”
Orang itu masih saja berdiri acuh tak acuh. Meskipun demikian ia menjawab pula, “Tak
usah kau menyatakan terimakasih kepadaku. Ketahuilah bahwa kedatanganku
membawa suatu masalah yang harus kita selesaikan. Kalau aku menolongmu,
itu adalah karena aku takut bahwa masalah kita akan tetap merupakan
masalah yang tidak selesai.”
Mendengar jawaban orang itu, sebenarnya
Mahesa Jenar merasa sedikit tersinggung oleh ketinggian hatinya. Tetapi
meskipun demikian ia berusaha juga menyabarkannya. Katanya pula, “Bagaimanapun kali ini engkau telah melepaskan aku dari kekuasaan mereka.”
“Mungkin….” jawab orang itu masih sedingin tadi, “Tetapi belumlah pasti bahwa kau dapat melepaskan diri dari persoalan yang kau hadapi sekarang,”.
Kembali Mahesa Jenar terpaksa menyabarkan dirinya. Meskipun hatinya bergetar hebat. Sampai orang tadi melanjutkan, “Kedatanganku
kemari adalah pertama-tama karena seseorang merasa mempunyai pinjaman
sesuatu barang kepadamu. Dan tak seorangpun dapat disuruhnya menyerahkan
kembali. Akulah yang menyanggupkan diri untuk mengembalikan barang itu
kepadamu. Kedua, adalah karena masalahku sendiri. Masalah yang pada saat
itu kau putar-balikkan kenyataannya dengan mengumpankan seorang yang
sama sekali tak berarti. Kau kira bahwa dengan perbuatan yang demikian
itu kau akan dapat menyembunyikan kenyataan untuk seterusnya. Dengan
kesombonganmu, menyediakan diri dalam sayembara tanding itu, aku kira
kau adalah seorang yang benar-benar jantan. Tetapi menghadapi suatu
masalah terakhir, kau melarikan diri.”
Darah Mahesa Jenar benar-benar bergolak
hebat. Tuduhan-tuduhan yang datang bertubi-tubi seperti mengalirnya
sungai yang sedang banjir melanda dirinya tanpa diduga-duganya.
Sebenarnya Mahesa Jenar bukanlah termasuk seorang pemarah. Karena itu
untuk menahan diri, Mahesa Jenar menekankan giginya sampai gemeretak.
Apalagi ketika orang itu menyambung bicaranya, “Nah,
aku beri waktu kau sehari ini untuk beristirahat. Aku kira kau masih
lelah setelah mengalami pertempuran pagi ini. Sesudah hari ini dan malam
nanti, baiklah besok kita selesaikan masalah kita. Sayang aku tak dapat
menyaksikan sebaik-baiknya cara kau membela diri terhadap orang yang
mengeroyokmu. Sebab aku terlalu cemas menyaksikan pertarungan tadi.
Kalau-kalau kau dapat dibinasakan, maka aku akan tetap menyesali hidupku
selama-lamanya. Tetapi mengingat apa yang telah kau lakukan, serta apa
yang baru saja terjadi, meskipun aku tidak menyaksikan dengan jelas, kau
adalah termasuk orang yang berkepandaian tinggi. Mungkin pula aku tak
akan dapat menyamai kepandaianmu. Tetapi bagaimanapun juga aku akan puas
dengan penyelesaian terakhir yang akan kita tentukan bersama.”
Hampir saja kemarahan Mahesa Jenar
meledak. Tetapi untunglah bahwa ia masih dapat menahan diri. Apalagi
ketika tiba-tiba dilihatnya orang itu memutar tubuhnya, lalu berjalan
perlahan-lahan menjauhinya.
Mahesa Jenar masih saja berdiri tegak
dengan gemetar menahan diri. Dipandangnya punggung orang itu dengan
seksama. Alangkah tinggi hatinya. Tetapi sejenak kemudian Mahesa Jenar
telah dapat menenangkan hatinya. Ia dapat memahami kenapa orang itu
harus bersikap sedemikian, bahkan sudah hampir merupakan sebuah
kesombongan yang besar. Tetapi menurut keterangan yang pernah
didengarnya, sebenarnya ia bukanlah seorang yang jahat. Ia hanyalah
seorang yang mempunyai dua alam yang terpisah. Alam angan-angan dan alam
kenyataan. Juga ceritera tentang masa mudanya, yang selalu dipenuhi
dengan perantauan-perantauan yang penuh dengan kejadian-kejadian yang
hebat-hebat, tetapi kemudian tak ada lagi kesempatan baginya untuk
mengalami kembali, membuatnya seperti orang yang tak tahu melihat
kenyataan.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar dapat
menguasai dirinya kembali. Apa yang baru saja terjadi dianggapnya
sebagai suatu kesalahpahaman saja. Hanya ia masih belum menemukan jalan
penyelesaian yang sebaik-baiknya.
Sementara itu matahari telah semakin
tinggi menanjak kaki langit. Terasalah betapa segar sinarnya menyentuh
tubuh Mahesa Jenar yang kelelahan. Tiba-tiba saja terasa betapa penatnya
setelah semalam suntuk harus melayani 19 orang gerombolan Lawa Ijo.
Juga terasa betapa kantuknya. Alangkah nikmatnya kalau tubuhnya segera
beristirahat, meskipun hanya sejenak. Tapi baru saja Mahesa Jenar
melangkah akan memasuki guanya, berdesirlah hatinya mendengar seruling
yang seperti membelai hatinya.
Segera ia menghentikan langkahnya dan
melemparkan pandang ke arah suara seruling yang berderai sesegar wajah
pagi. Dilihatnya diatas sebuah batu hitam yang besar, orang berkapak itu
duduk meniup serulingnya. Kapaknya disandarkan pada batu tempat ia
duduk.
Mahesa Jenar adalah juga seorang
penggemar lagu. Ia sendiri sebenarnya pandai juga meniup seruling.
Karena itu, ia sangat tertarik mendengar lagu yang demikian indahnya.
Maka ia mengurungkan niatnya untuk beristirahat. Malahan ia berdiri
bersandar bibir goa dan dengan nyamannya mendengarkan lagu yang memancar
begitu segar.
Dan diluar sadarnya ia bergumam, “Pantaslah
kalau orang menyebutnya Seruling Gading. Kepandaiannya meniup seruling
hampir sampai pada tingkat sempurna. Ternyata apa yang diceriterakan Ki
Asem Gede sama sekali tidak berlebih-lebihan.”
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba saja ia
teringat kepada masalah yang harus diselesaikannya dengan Seruling
Gading. Masalah yang ingin ia kuburkan sedalam-dalamnya. Yang kini
tiba-tiba saja telah muncul kembali dalam bentuk yang justru lebih
tegas. Karena itu ia menjadi gelisah. Bukan karena ia harus berhadapan
dengan Seruling Gading yang apabila ia tetap dalam pendiriannya, akan
merupakan suatu pertempuran yang tak dapat dianggap ringan, tetapi
seperti masalah yang pernah dihadapinya beberapa waktu yang lalu, ialah
menang atau kalah, ia akan tetap menyesali dirinya.
Berpikir tentang masalah itu,
perhatiannya terhadap lagu itu jadi berkurang. Malahan kembali terasa
betapa penatnya setelah ia bekerja keras semalam suntuk. Karena itu
timbullah kembali keinginannya untuk beristirahat. Maka segera ia pun
melangkah masuk ke dalam goa, dan merebahkan diri diatas sebuah tikar
batang ilalang yang dibentangkan diatas sebuah batu panjang. Tetapi
bagaimanapun ia berusaha untuk melupakan, meskipun hanya sejenak, namun
pikirannya tetap masih saja melingkar-lingkar kepada Seruling Gading.
Tiba-tiba saja Mahesa Jenar teringat sesuatu, sampai ia terloncat
berdiri. Bukankah Seruling Gading itu pada saat ia tinggalkan berada
dalam keadaan lumpuh…? Dan bukankah Ki Asem Gede telah meminjam biji
bisa ularnya untuk mencoba menyembuhkan kelumpuhan itu…? Ia jadi
teringat pula kata-kata Seruling Gading bahwa ia mendapat suatu titipan
untuknya. Karena pada saat pikirannya sedang digelisahkan oleh sikap
tinggi hati orang itu, sampai ia tidak begitu memperhatikan
kata-katanya. Titipan itu pastilah dari Ki Asem Gede untuk mengembalikan
biji bisa yang telah menyembuhkan kaki Seruling Gading.
Mengingat hal-hal itu semua, Mahesa Jenar
menjadi bimbang. Apakah Ki Asem Gede tidak mengatakan kepadanya bahwa
barang yang dibawa untuknya itulah yang telah menyembuhkan kakinya?
Ataukah Ki Asem Gede takut bahwa dengan demikian si Tinggi Hati itu akan
semakin tersinggung?
Mula-mula Mahesa Jenar berhasrat untuk
mengatakan hal itu, tetapi niat itu diurungkan. Sebab kalau Ki Asem Gede
saja tidak mau mengatakannya, pastilah ada sebabnya.
Tetapi sejenak kemudian, mendadak wajah
Mahesa Jenar menjadi terang. Ia telah menemukan suatu cara untuk
menyelesaikan masalah itu, meskipun ia terpaksa sedikit menyombongkan
diri, serta mempunyai kemungkinan yang berlawanan dengan tujuannya.
Maka setelah mendapat pikiran yang
demikian, agak legalah hatinya, sehingga pikirannya tidak lagi
digelisahkan oleh kehadiran Seruling Gading. Bahkan tiba-tiba kembali ia
bisa menikmati suara seruling yang lincah membentur dinding-dinding
goa. Dalam tangkapan Mahesa Jenar, Seruling Gading itu ingin
berceritera tentang derai air laut yang membelai pantai. Suaranya
gemericik berloncat-loncatan. Alangkah riangnya. Seriang anak domba yang
dilepaskan di padang hijau, di bawah lindungan gembala yang pengasih.
Namun tiba-tiba hampir mengejutkan, nada
itu melonjak berputaran melukiskan datangnya topan yang dahsyat serta
kemudian mengguruh menimbulkan badai. Ombak yang dahsyat datang
bergulung-gulung menghantam keriangan wajah pantai.
Tetapi yang mengagumkan Mahesa Jenar
adalah, Seruling Gading dalam lagunya yang gemuruh dahsyat itu, berhasil
menyelipkan sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu kecil
sedang berusaha mencapai pantai sambil melawan tantangan alam yang
ganas itu. Tetapi mendadak lagu itu berhenti sampai sekian, sehingga
Mahesa Jenar agak terkejut pula karenanya. Rupanya Seruling Gading
dengan demikian ingin mengatakan kepadanya bahwa ia sendiri, dalam
perjalanan hidupnya, bagaikan sebuah perahu kecil yang
diombang-ambingkan gelombang keadaan yang maha dahsyat. Namun demikian
ia tetap berjuang untuk masa depannya. Untuk ketenteraman hidupnya.
Sehingga mau tidak mau Mahesa Jenar memuji di dalam hatinya. Hanya saja,
perwujudan dari ketabahan Wirasaba dalam menghadapi tantangan hari
depannya, kadang-kadang dilahirkan dalam bentuk yang kurang tepat,
sehingga sifatnya yang memang sudah tinggi hati itu, mencapai bentuk
yang agak berlebih-lebihan.
Sampai sekian, Mahesa Jenar tidak sempat
lagi terlalu banyak menilai Seruling Gading. Kelelahan dan kantuknya tak
dapat lagi ditahannya, sehingga sesaat kemudian ia jatuh tertidur.
Sementara itu Seruling gading yang baru
saja menempuh perjalanan yang cukup jauh, ditambah pula dengan
pertempuran yang baru saja dilakukan, tidak pula kalah lelahnya.
Maka, ketika matahari sudah melewati puncak langit, segera ia pun terserang kantuk pula.
Apalagi ketika angin silir mengusap
tubuhnya. Terasa betapa nyamannya. Karena itu segera Seruling Gading
mencari tempat yang teduh, di bawah bayangan pohon yang rindang, untuk
merebahkan diri. Dan sejenak kemudian ia pun tertidur.
Baru ketika matahari hampir tenggelam,
Seruling Gading terbangun oleh suara seruling. Alangkah terkejutnya,
ketika ia mendengar lagu yang berkumandang demikian merdunya. Ia sendiri
demikian mahirnya meniup seruling sampai orang menyebutnya Seruling
Gading. Tetapi di sini, di padang rumput, di sela-sela hutan rimba, ia
mendengar dengan telinganya sendiri suara seruling yang demikian
indahnya, sampai ia sendiri tak dapat menilainya. Siapakah yang lebih
pandai, selain ia sendiri, yang mendapat julukan Seruling Gading?
Siapakah peniup seruling di tengah-tengah padang ilalang ini…?
Lebih kagum lagi ketika ia mendengar,
bagaimana orang yang meniup seruling itu berusaha untuk mengulang
kembali ceriteranya yang telah diungkapkan lewat nada siang tadi.
Ceritera tentang derai air laut yang membelai pantai, gemericik
berloncat-loncatan. Bahkan ceritera itu kini dilengkapi dengan desir
angin yang bermain bersama burung-burung camar yang beterbangan dengan
lincahnya.
Tetapi dengan tiba-tiba pula, nada itu
melonjak melingkar-lingkar bagaikan topan yang dengan dahsyatnya
menimbulkan putaran-putaran air serta gelombang yang bergolak
mengerikan. Sedangkan di sela-sela riuhnya gelombang yang membentur
pantai itu, terselip pula sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah
perahu yang kecil sedang menyusup diantara gelegak ombak, berusaha
mencapai pantai.
Sampai sekian perasaan Seruling Gading
menjadi tegang. Ia tidak tahu, siapakah yang telah meniup seruling
sedemikian pandainya sehingga hampir mencapai tingkat sempurna. Juga ia
sama sekali tidak tahu maksud peniup seruling itu, kenapa ia berusaha
melukiskan kembali ceriteranya, meskipun dalam ungkapan yang berbeda,
tetapi mempunyai bentuk yang sama.
Tetapi tiba-tiba Seruling Gading
terlonjak bangkit. Perahu kecil yang sedang berjuang mati-matian untuk
mencapai pantai itu, tiba-tiba terseret oleh deru gelombang dahsyat,
serta kemudian diputar oleh topan yang ganas. Sehingga nada lagu itu
menjadi menjerit seperti tangis anak-anak yang kehilangan ibunya.
Mendengar akhir lagu itu, hati Seruling
Gading tersinggung bukan main. Tahulah ia sekarang maksudnya, bahwa
peniup seruling ingin menghinanya sebagai seorang yang minta belas
kasihan, serta sedang berteriak-teriak minta pertolongan. Sebagai
seorang yang tinggi hati, Seruling Gading marah bukan buatan. Darahnya
tiba-tiba menjadi bergelora. Timbullah keinginannya untuk menjawab
hinaan itu, serta menghantam lewat nada pula.
Tetapi ketika ia ingin mengambil
serulingnya dari dalam bajunya, kembali Seruling Gading terperanjat,
sampai menjerit nyaring karena marahnya. Serulingnya yang dibuat dari
pring gadhing, serta tak pernah terpisah dari tubuhnya itu, ternyata
sudah tidak ada lagi. Ketika sekali lagi ia memperhatikan warna suara
yang masih saja melingkar-lingkar di telinganya, ternyata bahwa seruling
itu adalah miliknya.
Kembali Seruling Gading menggeram. Dua
kali ia dihinakan oleh orang yang meniup seruling itu. Pertama-tama
orang itu menuduhnya sebagai anak-anak yang berteriak-teriak minta belas
kasihan, sedang yang kedua, orang itu berhasil mencuri serulingnya
tanpa diketahui.
Maka cepat-cepat ia berdiri. Diangkatnya
kepalanya untuk mengetahui dari mana arah suara seruling itu. Tetapi
kembali darahnya meluap-luap. Suara seruling itu ternyata
melingkar-lingkar tak tentu arahnya. Meskipun sudah beberapa lama ia
mencoba untuk mengetahui, tetapi ia tidak berhasil. Semakin keras suara
seruling itu, semakin ribut pulalah gemanya bersahut-sahutan
susul-menyusul dari segala arah. Sehingga semakin bingung pulalah
Seruling Gading. Ia sendiri adalah seorang peniup seruling yang hampir
sempurna pula. Tetapi ia tidak memiliki tenaga lontar yang sedemikian
membingungkan. Getaran yang dapat diisinya dengan tenaga, hanyalah dapat
untuk menghantam perasaan seseorang, sebagai suatu tenaga kekerasan.
Tetapi tenaga yang sedemikian lunak, namun memusingkan tidaklah
dipunyainya.
Dengan demikian ia dapat mengambil
kesimpulan bahwa orang yang meniup dan sekaligus mencuri serulingnya
itu, pastilah bukan orang sembarangan. Meskipun demikian Seruling Gading
bukanlah orang yang lekas menjadi cemas dan takut. Tetapi ia adalah
orang yang tinggi hati dan terlalu percaya kepada kekuatan sendiri.
Apalagi ketika diingatnya bahwa
satu-satunya orang yang berada di daerah itu hanya Mahesa Jenar.
Marahnya semakin menjadi-jadi. Sehingga ia tidak lagi bisa menguasai
gelora perasaannya, Seruling Gading itu berteriak keras, “Hai pengecut yang hanya berani menghina dari tempat yang jauh dan tersembunyi, coba tampakkanlah dirimu…!”
Tetapi suaranya sendiri juga hanya
menghantam bukit kecil di padang ilalang itu, serta berpantulan
susul-menyusul. Sedangkan suara seruling itu masih saja merintih-rintih
hampir putus asa.
Ketika suara teriakannya tidak mendapat
sahutan, Seruling Gading semakin marah. Sekali lagi ia berteriak
bertambah keras. Tetapi juga suaranya tak mendapat sahutan.
Maka sedemikian marahnya Seruling Gading,
serta ketidaktahuannya, kepada siapa kemarahannya itu harus diarahkan.
Tiba-tiba kapaknya diayunkannya deras sekali menghantam sebatang pohon
sebesar tubuh orang, yang berdiri di hadapannya. Sedemikian besar
tenaganya, sehingga pohon itu sekaligus berderak-derak patah dan roboh
seketika.
Bersamaan dengan robohnya pohon itu, terdengarlah suara memujinya dari kejauhan. “Bagus…, bagus Wirasaba. Tenagamu memang tenaga raksasa.”
Seruling Gading terkejut mendengar suara
itu. Segera ia membalikkan diri untuk mencari siapakah yang telah
memujinya. Tetapi juga ia tak dapat menemukan seseorang. Apalagi pada
saat itu matahari telah tenggelam. Yang tampak hanyalah bentuk-bentuk
bukit-bukit kapur dan puntuk-puntuk kecil yang dibalut oleh hitamnya
malam.
RASANYA darah Seruling Gading sudah
benar-benar mendidih. Ia merasa sebagai seorang kanak-kanak yang sedang
dipermainkan. Demikian bingung serta marahnya, akhirnya ia berlari ke
mulut goa di bukit kapur, dimana dilihatnya Mahesa Jenar siang tadi
masuk. Kembali di sana ia berteriak ke dalam goa. “Hai… pengecut yang tak tahu malu. Keluarlah. Tak perlu kita menunggu esok. Marilah kita selesaikan masalah kita sekarang juga.”
Seruling Gading berteriak asal berteriak
saja, tanpa mengharapkan jawaban. Sebab telah sekian kali ia
melakukannya, namun tidak ada jawaban.
Tetapi tiba-tiba saat itu terdengarlah
orang menjawab, sehingga malahan Seruling Gading terkejut sampai
tersentak. Arah jawaban itu ternyata sama sekali tidak dari dalam goa,
tetapi malahan dari arah belakangnya, sehingga secepat kilat ia pun
membalikkan diri.
“Wirasaba…” kata suara itu,
“janganlah kau terlalu cepat berpanas hati. Sebab dengan demikian itu,
akan mudah menghilangkan ketenangan berpikir. Kalau kita tidak
lekas-lekas menjadi marah, mungkin kau tidak akan terlalu sulit mencari
aku. Nah di sinilah aku.”
Mendengar kata-kata itu, serta ketika ia
melihat bahwa orang yang dicarinya itu duduk di atas batu hitam, tempat
ia meniup seruling siang tadi, tubuhnya menjadi gemetar karena kemarahan
yang memuncak. Benar-benar ia dipermainkan.
Karena itu, tanpa berpikir panjang segera
ia berlari ke arah bayangan di atas batu hitam itu. Apalagi ketika ia
melihat bahwa orang yang dicarinya itu benar-benar Mahesa Jenar, maka
menggeramlah Seruling Gading. “Setan, kau jangan mencoba menolong
dirimu, menakuti aku dengan permainan hantu-hantuan itu. Bagaimanapun
juga aku tetap dalam pendirianku. Menyelesaikan masalah kita dengan laku
seorang jantan, sekarang juga.” Sementara itu bulan yang sudah
tidak bulat lagi mulai menampakkan dirinya, seperti mengapung di langit,
diantara mega-mega yang mengalir dihembus angin.
Sinarnya yang kuning berpencaran diantara batang-batang ilalang, serta bukit-bukit kapur.
Diantara cahaya bulan berkedipan,
wajah-wajah bintang yang iri hati atas kurnia alam kepada bulan itu,
yang memiliki kecantikan yang sempurna.
Dalam taburan sinar bulan, tampaklah
wajah Wirasaba yang merah menyala, membayangkan kemarahan yang
meluap-luap. Tangan kanannya menggenggam kapaknya erat sekali, siap
diayunkan untuk membelah kepala Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar melihat gelagat itu. Karena
itu ia pun segera mempersiapkan diri, meskipun tampaknya ia tidak
mengubah sikap duduknya. Bahkan masih dengan tersenyum ia berkata tidak
menjawab tantangan Seruling Gading. “Wirasaba…, maafkan kalau aku
meminjam serulingmu tanpa izinmu. Sebab aku tidak mau mengganggu
membangunkan kau, nampaknya kau terlalu nyenyak tidur. Mungkin kaupun
sangat lelah setelah menempuh perjalanan yang begitu jauh serta
permainan pagi tadi yang sama sekali tak menyenangkan.”
“Cukup!” bentak Wirasaba.
“Jangan kau coba lagi merendahkan aku. Sebaiknya kau jangan terlalu
yakin akan kehebatanmu dengan mengalahkan Samparan dan Watu Gunung,
serta dengan pertunjukanmu pagi tadi. Sebelum kau mampu melenyapkan diri
dalam satu kedipan mata, jangan kau merasa dirimu tak terkalahkan.
Sekarang bersiaplah kau. Ambillah
senjatamu, tombak berkait yang kau pergunakan pagi tadi. Biarlah kita
lihat bersama bagaimanakah akhir persoalan kita.”
Mahesa Jenar melihat bahwa kemarahan
Seruling Gading telah mencapai puncaknya. Meskipun demikian ia masih
ingin berusaha untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik. Baru kalau
usahanya gagal ia akan melaksanakan rencananya.
“Wirasaba…” katanya,
“baiklah tawaranmu aku terima, tetapi tidakkah kau ingin mendengarkan
dari mulutku keterangan-keterangan yang barangkali belum pernah kau
dengar sebelumnya?”
“Ha…?” teriak Wirasaba, “alangkah pengecutnya kau. Dengan
pembelaan-pembelaan itu kau ingin menghindari penyelesaian secara
jantan. Kau barangkali ingin menjelaskan bahwa kau sama sekali tak
mempunyai pamrih apa-apa dengan memasuki sayembara tanding itu. Kau
tentu akan berkata, bahwa karena kau adalah sahabat mertuaku Ki Asem
Gede. Tetapi pasti kau tidak mengatakan bahwa kau takut menghadapi cara
penyelesaian seperti yang aku maui. Juga kau pasti tidak akan mengatakan
bahwa kau telah mengumpankan Samparan untuk membersihkan namamu,
setelah kau tak berani menerima tawaranku.”
“Wirasaba…” potong Mahesa Jenar. “Bagaimana aku sempat mengumpankan Samparan, sedang saat itu aku selalu berada di hadapanmu?”
“Ooo….” jawab Seruling Gading, “tidakkah ada pencuri yang berhasil mengambil milik orang lain di hadapan orang itu sendiri…?”
Sampai sekian Mahesa Jenar yakin bahwa
Seruling Gading tidak lagi dapat diajak berunding. Karena itu
kemungkinan yang lain adalah, menyelesaikan menurut rencananya.
Maka katanya, “Wirasaba yang digelari
orang Seruling Gading… kau adalah orang yang perkasa dengan memiliki
kekuatan yang jauh lebih besar daripada kekuatan orang biasa. Seseorang
yang belum pernah melihat kau mengayunkan kapakmu pun tentu dapat
menduga yang demikian itu, dengan menilik senjatamu yang mempunyai
ukuran terlalu besar bagi senjata umumnya itu telah menunjukkan betapa
tinggi hatimu. Kau adalah orang yang tidak dapat mendengarkan keterangan
orang lain selain mendengarkan angan-anganmu sendiri. Tetapi, Wirasaba,
ketahuilah bahwa bagaimanapun perkasanya kau, jangan kau menepuk dada
serta menyangka bahwa aku tidak berani menerima tantanganmu pada saat
itu. Dengarlah, apa yang dapat dilakukan oleh seorang yang lumpuh
seperti kau pada waktu itu? Apa pula arti keperkasaanmu dengan hanya
mampu duduk di pinggir ranjang….?” Belum lagi Mahesa Jenar selesai
dengan kata-katanya, Wirasaba sudah tidak dapat menahan diri lagi.
Darahnya sudah bergelora membakar kepalanya. Karena itu dengan tidak
mengucapkan sepatah katapun, serta dengan menekan giginya, dihimpunnya
segala kekuatannya. Dan dengan dahsyatnya ia berteriak. Bersamaan dengan
itu, kapak besar itu terangkat dan dengan derasnya terayun mengarah
kepala Mahesa Jenar yang masih saja duduk di atas batu hitam itu. Memang
Wirasaba benar-benar memiliki tenaga raksasa. Ayunan kapak yang
dilambari kemarahan itu, menimbulkan suara berdesing yang hebat sekali,
sehingga seolah-olah bunyi sangkakala yang memberi pertanda bahwa dewa
maut akan melakukan kewajibannya.
Tetapi sementara itu Mahesa Jenar telah
siap pula. Memang ia menunggu-nunggu saat yang demikian itu. Saat
kemarahan Wirasaba mencapai ke puncaknya.
Maka ketika kapak itu dengan cepatnya
mengarah kepalanya, iapun segera meloncat selangkah ke samping, sehingga
kapak itu tidak mengenai sasarannya. Demikian kerasnya Wirasaba
menghantamkan senjatanya, maka ketika kapak itu tak mengenai Mahesa
Jenar, terhantamlah batu hitam yang semula dipakai sebagai tempat
duduknya. Dan ternyatalah betapa besar kekuatan Wirasaba. Dalam benturan
itu, berderailah bunga-bunga api. Serta bertebaranlah pecahan-pecahan
yang dilemparkan dari luka batu hitam itu, yang ditimbulkan karena
hantaman kapak Wirasaba, meskipun bagaimana kerasnya batu itu.

Melihat luka di atas batu hitam itu,
Mahesa Jenar memuji di dalam hatinya. Tetapi sementara itu sampailah ia
kepuncak permainannya. Ia ingin menaklukkan ketinggian hati Seruling
Gading dengan sebuah pertunjukan yang tidak kalah seramnya. Dalam waktu
yang sekejap itu, segera ia mengatur jalan pernafasannya, memusatkan
perhatian serta kekuatannya di sisi telapak tangan kanannya. Segera
disilangkannya tangan kirinya di muka dada. Satu kakinya diangkat ke
depan serta tangan kanannya diangkatnya tinggi-tinggi. Sejenak kemudian
dengan garangnya ia meloncat ke depan batu itu, dan sebelum Wirasaba
menarik kapaknya, segera Mahesa Jenar menyusul menghantam batu hitam itu
dengan tangannya yang dilambari dengan ilmu Sasra Birawa. Alangkah
dahsyat akibatnya. Batu hitam yang sedemikian kerasnya, yang terluka tak
sampai sejengkal oleh pukulan kapak Wirasaba dengan tenaga raksasanya,
pada saat itu, dengan bunyi yang mengejutkan pecah berserakan karena
sisi telapak tangan Mahesa Jenar.
Wirasaba terkejut bukan alang kepalang,
sampai tanpa disengaja ia terloncat surut serta kapaknya terlepas dari
tangannya. Tubuhnya menggigil serta jantungnya berdegupan tanpa dapat
dikuasainya. Sampai beberapa saat ia berdiri termangu seperti kehilangan
kesadaran, dan tak mengerti apa yang harus dilakukannya, karena ia
telah melihat suatu kejadian yang sama sekali tak dapat dibayangkan
sebelumnya.
Demikianlah sampai beberapa saat Wirasaba
berdiri kaku, sampai tiba-tiba terasa pundaknya ditepuk orang. Dengan
geragapan ia memandang kepada orang itu, yang tidak lain adalah Mahesa
Jenar yang membangunkannya sambil berkata, “Tenanglah hatimu Wirasaba. Itu tadi hanyalah suatu permainan yang jelek.”
Wirasaba masih belum memiliki seluruh
kesadarannya, sehingga ia tidak dapat menjawab kata-kata Mahesa Jenar,
kecuali memandangnya saja dengan pandangan yang berputar-putar
kebingungan. Sampai kembali Mahesa Jenar berkata sambil menuntunnya
duduk di atas sebuah gundukan tanah. “Wirasaba…, lupakan semua yang
telah terjadi. Marilah kita bercakap-cakap sebagai sahabat yang telah
beberapa hari tidak bertemu. Bukankah kau dapat banyak berceritera
tentang Ki Asem Gede, Kakang Dalang Mantingan, Kakang Demang Penanggalan
serta sahabat-sahabat lain di Pucangan dan Prambanan…? Sesudah itu aku
juga banyak sekali mempunyai ceritera yang barangkali menarik hati.”
Seperti kanak-kanak yang dibimbing
ibunya, Wirasaba sama sekali tak menolak. Ia menurut saja kemana Mahesa
Jenar menuntunnya, serta seperti orang bermimpi pula ia duduk disamping
Mahesa Jenar.
Ketika sampai beberapa saat Wirasaba masih berdiam diri, kembali Mahesa Jenar bertanya, “Wirasaba… siapakah yang memberitahukan kepadamu serta Ki Asem Gede bahwa aku berada di sini?”
Kini lamat-lamat Wirasaba telah dapat
mendengar pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar serta telah dapat mengerti.
Tetapi meskipun demikian ia masih belum juga dapat menjawab, sebab ia
baru mengumpulkan kembali ingatan-ingatan atas kejadian-kejadian yang
baru saja berlalu. Wirasaba adalah seorang tinggi hati yang dalam
perbendaharaan pengalamannya selalu dipenuhi dengan kejadian-kejadian
dahsyat di masa mudanya, serta keunggulan kekuatan atas hampir terhadap
semua lawan-lawannya. Sampai ia dipisahkan dari cara hidupnya itu oleh
racun-racun yang melumpuhkan simpul-simpul saraf kakinya. Tetapi
meskipun dalam keadaan lumpuh, masih saja ia merasa keperkasaannya tidak
berkurang. Sehingga suatu ketika sampailah saatnya kakinya dapat sembuh
kembali. Dengan demikian ia semakin merasa dirinya akan dapat
mengulangi peristiwa kemenangan demi kemenangan yang pernah dicapainya.
Apalagi pada saat itu ia menghadapi suatu peristiwa yang menurut
pendapatnya adalah suatu hinaan bagi sifat kejantanannya. Kehadiran
Mahesa Jenar yang telah membebaskan istrinya dari tangan Samparan,
diterimanya dengan pengertian yang salah. Ketika seseorang yang bernama
Sagotra datang kepada mertua Wirasaba dan mengabarkan bahwa Mahesa Jenar
berada di daerah Pliridan, maka maksud Wirasaba untuk membuat
perhitungan tak dapat dikekang lagi, meskipun kakinya baru saja sembuh
dan belum pulih kembali seperti sediakala.
Tetapi tiba-tiba, ketika ia telah dapat
bertemu dengan orang yang dicarinya itu, disaksikannya suatu peristiwa
yang bermimpipun belum pernah diangankan. Hanya dengan telapak tangan
saja, batu hitam sebesar itu dapat dihantam hancur. Bagaimanakah jadinya
kalau yang dikenai sisi telapak tangan itu kepalanya?
Maka menghadapi peristiwa itu, rontoklah
sifat tinggi hatinya. Mendadak tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar,
Wirasaba berdiri serta membungkuk hormat. “Siapakah sebenarnya Tuan yang telah membingungkan perasaanku?”
Sambil tersenyum, Mahesa Jenar menunduk hormat pula. Lalu jawabnya, “Sebagaimana kau ketahui, aku adalah Mahesa Jenar.”
Wirasaba mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi tampaklah bahwa ia sama sekali tidak puas dengan jawaban itu.
Sebab orang yang dapat berbuat demikian pastilah orang yang sudah punya
nama. Karena itu ia memberanikan diri untuk mendesak, “Tuan, tetapi barangkali Tuan mempunyai sebuah gelar lain yang dapat memperkenalkan diri Tuan…?”
Mahesa Jenar ragu-ragu sejenak. Adakah
untungnya kalau disebutkannya gelar keprajuritannya? Tetapi kemudian ia
berpikir, barangkali dengan demikian ia dapat mengurangi kepahitan yang
baru saja dialami oleh Wirasaba. Sebagai seorang yang tinggi hati,
pastilah Wirasaba akan menderita batin untuk seterusnya kalau ia sampai
dapat dikalahkan oleh orang yang tak bernama. Karena itu, jawabnya, “Wirasaba…, ketahuilah bahwa sebenarnya akulah yang bernama Rangga Tohjaya.”
Mendengar nama itu, membersitlah warna
merah di wajah Wirasaba, serta jantungnya berdegup keras. Pantaslah
kalau yang dapat berbuat sedemikian dahsyatnya itu adalah orang yang
bergelar Rangga Tohjaya. Karena itu kembali ia membungkuk hormat sekali.
Serta dengan suara yang berat penuh penyesalan ia berkata, “Tuan
Rangga Tohjaya yang perwira, maafkanlah segala kelancanganku. Karena
Tuan telah berbuat kemurahan hati untuk membebaskan istriku. Maka
berdosalah aku, yang telah berani menuduhkan hal yang sama sekali tidak
wajar kepada Tuan.” Karena itu aku serahkan diriku kepada Tuan untuk
menerima hukuman apapun yang Tuan kehendaki,
Kembali Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya, “Wirasaba…
tidaklah ada hukuman yang pantas aku berikan kepadamu. Sebab wajarlah
kalau seseorang dalam perjalanan hidupnya suatu kali mengalami
keterlanjuran. Hanya pengalaman yang demikian itulah yang dapat menjadi
peringatan. Bahwa untuk selanjutnya kita harus lebih hati-hati dalam
tiap-tiap tindakan kita. Tetapi selain dari itu semua, tadi kau katakan
bahwa kau mendapat suatu titipan dari seseorang. Apakah itu?”
Wirasaba menjadi seperti tersadar. Jawabnya cepat, “Tuan, aku mendapat titipan dari mertuaku Ki Asem Gede. Sebuah bumbung kecil yang aku tidak tahu isinya.” Sesudah berkata demikian segera Wirasaba mengambil bumbung dari kantong ikat pinggangnya dan diserahkannya kepada Mahesa Jenar.
Segera bumbung itu pun diterima oleh
Mahesa Jenar, serta ketika dilihat isinya, betul bahwa yang di dalamnya
adalah biji bisa ular yang telah dipinjamkan kepada Ki Asem Gede.
“Wirasaba..”. katanya kemudian, “tidakkah Ki Asem Gede mengatakan kepadamu, apakah kasiat benda yang kau bawa ini?”
“Tidak Tuan,” jawab Wirasaba sambil menggelengkan kepalanya.
“Ketahuilah,” sambung Mahesa Jenar, ”benda
ini adalah biji ular yang sangat keras, yang dapat dipergunakan sebagai
obat pemusnah bisa atau racun yang lain. Bagi perjalanan hidup, benda
ini sangat penting artinya, sebab dengan benda ini pula Ki Asem Gede
telah berhasil menyembuhkan kelumpuhanmu,”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar ini,
Wirasaba kembali terkejut. Ditambah pula dengan perasaan haru yang
mendalam. Ternyata atas pertolongan Rangga Tohjaya ini pula kelumpuhan
kakinya itu disembuhkan. Mengingat hal itu semua, semakin dalamlah
penyesalan yang dirasakannya.
Sementara itu Mahesa Jenar telah
mengajukan pula beberapa pertanyaan mengenai Ki Asem Gede. Kademangan
Pucangan serta Prambanan, dan banyak hal mengenai orang-orang yang
pernah dikenalnya. Karena itu sebentar kemudian pembicaraan telah dapat
berlangsung lancar. Dari pembicaraan itu diketahui, ternyata sepeninggal
Mahesa Jenar, Ki Dalang Mantingan pun segera kembali ke Prambanan. Dan
menurut Wirasaba yang mendengar dari Ki Asem Gede, bahwa orang yang
bernama Mantingan itu telah kembali ke Wanakerta.
Setelah pembicaraan mereka berlangsung beberapa lama, berkisar dari yang satu ke yang lain, maka berkatalah Mahesa Jenar, “Nah, Wirasaba, marilah kita anggap bahwa apa yang pernah terjadi itu merupakan suatu mimpi yang tak menyenangkan. Dan
sekarang ternyata kita telah bangun dan melupakan mimpi itu. Karena itu
kembalilah kepada istrimu seperti pada masa kau datang untuk
mengambilnya dahulu.”
“Baiklah Tuan…, aku akan kembali kepada keluargaku, serta mengatakan apa yang sudah aku lihat,” jawab Wirasaba.
“Sekarang,” sambung Mahesa Jenar, “Marilah
kita beristirahat. Besok kita akan melakukan tugas kita masing-masing.
Kau akan kembali kepada keluargamu, sedang aku masih dinanti oleh suatu
tugas berat.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, Wirasaba termenung sejenak. Lalu katanya, Kalau Tuan masih harus melalukan tugas berat, dapatkah kiranya aku membantu?
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Wirasaba…,
bagaimanapun beratnya, tetapi aku tak dapat membagi pekerjaan itu
dengan orang lain. Karena itu dengan menyesal aku tak dapat menerima
tawaranmu.
Wirasaba menjadi terdiam. Tugas apakah
yang sedang dihadapi Mahesa Jenar? Tetapi karena Mahesa Jenar sendiri
telah menyatakan keberatan atas tawarannya, maka ia pun tidak berani
lagi mendesak.
Maka, sejenak kemudian Mahesa Jenar telah berdiri, sambil melangkah ia berkata, “Selamat
malam Wirasaba, beristirahatlah. Kalau kau mau, tidurlah di dalam goa
bersama aku. Besok kita bisa menuai jagung. Dan sesudah itu kita
berangkat dengan tujuan masing-masing.”
Segera Wirasaba pun berdiri, serta
berjalan mengikuti Mahesa Jenar, masuk ke dalam goa, untuk bersama-sama
beristirahat, sebelum esok paginya mereka masing-masing akan menempuh
perjalanan yang cukup berat.
———-oOo———-
II
Bagi Mahesa Jenar, adalah sebaik-baiknya
segera meninggalkan tempat itu. Sebab apabila Wadas Gunung beserta
kawan-kawannya sampai dapat mencapai sarangnya, sebelum ia meninggalkan
tempat itu, mungkin untuk selama-lamanya ia tidak akan lagi dapat pergi.
Karena tidaklah mustahil kalau Pasingsingan sendiri akan melakukan
pembalasan.
Maka, ketika ayam hutan pada fajar pagi
harinya mulai berkokok, Mahesa Jenar pun segera bangun. Wirasaba bangun
pula. Sejenak kemudian ketika sudah mulai terang tanah, keduanya
berkemas. Tetapi sebelum mereka pergi, Mahesa Jenar bersama Wirasaba
memerlukan memenuhi pesan Ki Ageng Pandan Alas untuk menuai jagung di
belakang bukit kapur, serta menyimpannya di dalam goa. Mungkin pada
suatu saat Ki Ageng Pandan Alas akan kembali lagi ke goa itu, atau salah
satu dari mereka pada suatu kali akan mengunjungi tempat itu.
Ketika semuanya sudah selesai, maka yang
pertama-tama siap untuk berangkat adalah Wirasaba. Atas permintaan
Mahesa Jenar, Wirasaba membawa bekal beberapa ontong jagung.
Sesudah sekali lagi Wirasaba minta maaf
serta menyatakan terima kasihnya, maka segera ia pun berangkat ke timur,
kembali kepada keluarganya dengan perasaan yang seolah-olah baru sama
sekali.
Sepeninggal Wirasaba, segera Mahesa Jenar
pun ingat akan tugasnya. Maka tanpa disengaja, ia berdiri di atas
sebuah gundukan tanah sambil memandang ke arah barat, ke arah hutan
Mentaok yang pekat oleh pepohonan liar, dari yang paling kecil sampai
yang paling besar. Pohon-pohon raksasa serta pohon-pohon yang membelit.
Meskipun masih agak jauh, tetapi lamat-lamat hutan yang liar itu telah
tampak sebagai suatu tabir yang di belakangnya tersembunyi banyak sekali
rahasia dan bahaya. Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia sama
sekali tidak pernah takut untuk menghadapi bahaya yang bagaimanapun
besar. Tetapi sebagai seorang prajurit, ia bisa memperhitungkan
tindakan-tindakannya. Apa yang harus diusahakannya sekarang adalah
membebaskan keris Nagasasra dan Sabuk Inten dari tangan Sima Rodra.
Sebelum itu berhasil, harus dihindari kemungkinan-kemungkinan yang akan
menggagalkan usahanya.
Bahaya yang paling besar yang
dihadapinya, apabila ia menempuh hutan itu adalah kemungkinan bertemu
dengan Pasingsingan. Sebab bila ia bertemu dengan orang itu, pastilah ia
tidak akan dapat melepaskan diri. Bahkan tidak mungkin baginya untuk
dapat bertahan menghadapi tokoh yang terkenal itu.
Karena itu timbul pikiran dalam diri
Mahesa Jenar untuk menempuh jalan lain. Ia bisa pula mengambil jalan
utara. Lewat hutan Turi di kaki Gunung Merapi. Lalu sesudah itu akan
dilaluinya lapangan batu-batu yang luas. Konon daerah ini telah pernah
dilanda banjir batu yang dimuntahkan dari Gunung Merapi, sehingga
merupakan daerah yang sama sekali tak dapat ditumbuhi pepohonan. Karena
itu daerah ini biasa disebut Ngentak-entak. Dari sana
akan sampailah perjalanan itu ke daerah hutan di lembah antara Gunung
Merapi dan Merbabu. Dan apabila ia mendaki sedikit lambung Gunung
Merbabu itu, akan sampailah ia di daerah Parangrantunan. Dari sana ia
harus turun dan berjalan ke barat agak ke selatan. Meskipun perjalanan
melewati daerah ini pun harus menerobos rimba-rimba yang tak kalah
dahsyatnya dari alas Mentaok, tetapi kemungkinan untuk bertemu dengan
Pasingsingan adalah tipis sekali.
Maka, setelah mempertimbangkan
masak-masak, akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk mengambil
jalan utara, meskipun daerahnya agak lebih sulit. Kecuali hutan-hutan
yang cukup lebat, juga harus didaki tebing-tebing yang curam serta harus
dituruni lembah-lembah yang terjal.
Setelah tetap hatinya, maka dengan
berbekal beberapa ontong jagung, Mahesa Jenar segera berangkat. Tidak ke
barat, tetapi ke utara, untuk menghindari kemungkinan
rintangan-rintangan yang akan dapat menggagalkan usahanya.
Saat itu, matahari telah cukup tinggi.
Sinarnya telah terasa hangat mengenai tubuh. Tetapi meskipun demikian,
burung liar masih bersiul ramai, seolah-olah menyatakan ucapan selamat
jalan kepada Mahesa Jenar yang sedang memulai kembali perjalanannya
untuk menemukan pusaka yang lenyap dari perbendaharaan Kraton Demak.
Namun demikian pikirannya masih saja
terganggu oleh kata-kata Samparan, bahwa yang sedang diperebutkan oleh
golongan hitam itu adalah keturunannya saja dari keris Nagasasra dan
Sabuk Inten, jadi bukan keris aslinya. Kalau demikian, bila Sima Rodra
benar-benar menyimpan keris itu, adalah hanya keturunannya saja, ataukah
aslinya seperti yang digambarkan oleh Ki Ageng Pandan Alas…? Sebab,
dalam hal ini, dua tokoh ternama ternyata mempunyai pendapat yang
berbeda tentang Keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Pasingsingan menganggap
bahwa yang ada di luar Kraton itu adalah keturunannya saja, sehingga ia
menyuruh Lawa Ijo untuk mencari pusaka aslinya. Menilik hal tersebut
ternyata Pasingsingan tidak mengetahui bahwa pusaka aslinya itu sedang
lenyap dari perbendaharaan Kraton.
Demikianlah dengan beberapa pemikiran dan
persoalan Mahesa Jenar berjalan dengan cepatnya, dengan satu harapan
untuk dapat segera sampai ke tempat tujuannya. Menurut perhitungannya,
apabila tidak ada suatu halangan, ia akan sampai ke tujuan kira-kira
lima hari empat malam.
Tidak banyak hal-hal yang dialami Mahesa
Jenar dalam perjalanannya, kecuali kesulitan-kesulitan melawan alam.
Tetapi itu pun satu demi satu dapat diatasinya. Dan hal-hal yang
demikian bagi Mahesa Jenar bukanlah merupakan rintangan dibandingkan
dengan orang yang bernama Pasingsingan.
Apabila malam tiba, Mahesa Jenar selalu
mencari tempat untuk tidur, di atas cabang-cabang pohon untuk
menghindari gangguan-gangguan binatang buas. Sedang di siang hari, ia
berjalan sejak matahari terbit sampai matahari terbenam.
Maka pada hari ketiga, Mahesa Jenar telah
dapat meninggalkan daerah-daerah hutan di lereng Gunung Merbabu, untuk
segera sampai ke Pangrantunan.
Tetapi demikian ia sampai ke daerah
persawahan Pangrantunan, hatinya segera dikejutkan oleh sebuah
panji-panji yang terpancang dengan megahnya, bergambar harimau hitam
yang sedang mengaum hebat.
Harimau hitam itu digambar di atas dasar merah darah, pada kain yang dianyam dari serat kulit kayu yang dikemplong halus.
Melihat panji-panji itu segera Mahesa
Jenar dapat menebak, bahwa panji-panji itu adalah tanda-tanda yang
ditinggalkan oleh Gerombolan Sima Rodra. Tetapi apakah kepentingannya,
panji-panji itu dipasang di tempat ini? Itulah yang menjadi pertanyaan.
Apalagi di daerah Pangrantunan.
Menurut keterangan gurunya, Pangrantunan
pernah menjadi pusat percaturan para tokoh sakti. Sebab di daerah ini
beberapa puluh tahun yang lalu pernah diadakan semacam pertemuan dari
beberapa tokoh sakti yang saat ini pada umumnya sudah tidak pernah
menampakkan diri lagi. Diantara beberapa tokoh yang pernah mengadakan
pertemuan itu adalah Almarhum Ujung Kulon, Pasingsingan, Titis Anganten
serta Ki Ageng Pandan Alas. Adapun yang menjadi tuan rumah dalam
pertemuan itu adalah Ki Ageng Sora Dipayana, yang pada saat itu menjadi
kepala daerah Perdikan Pangrantunan.
Sekarang, di bekas daerah yang terkenal
itu berkibar panji-panji sebuah gerombolan dari golongan hitam. Ini
adalah suatu hal yang aneh. Tidak adakah seorangpun murid Ki Ageng Sora
Dipayana yang dapat mempertahankan kebesaran namanya…? Ataukah memang Ki
Ageng Sora Dipayana tidak mengambil seorang murid pun…? Atau barangkali
gerombolan Sima Rodra ini sudah merasa demikian kuatnya sehingga berani
meremehkan kebesaran Ki Ageng Sora Dipayana…? Hal itu hanyalah mungkin
apabila gerombolan Sima Rodra ini seperti juga gerombolan Lawa Ijo, yang
didalangi oleh salah seorang dari tokoh-tokoh golongan hitam.
Tetapi kemungkinan ini adalah tipis
sekali. Keberadaan Pasingsingan dalam kalangan hitam telah cukup
mengejutkan, sehingga Ki Ageng Pandan Alas sendiri perlu membayanginya,
untuk membuktikan kebenarannya. Apalagi tokoh-tokoh lain, yang tidak
seaneh Pasingsingan, pastilah akan semakin menggemparkan.
Karena hal-hal yang mencurigakan itu,
maka Mahesa Jenar harus berhati-hati untuk tidak mengalami hal-hal yang
merugikan dirinya serta tugasnya. Dengan penuh kewaspadaan ia berjalan
selangkah demi selangkah mendekati desa yang berada di hadapannya, yang
menurut ingatannya adalah desa Pangrantunan. Dahulu, saat Mahesa Jenar
belum lama berguru, pernah diajak gurunya bersama sama dengan Kebo
Kenanga menjelajahi hampir seluruh pulau Jawa bagian tengah. Dan pada
suatu kali ia pernah diajak pula mampir ke Pangrantunan. Sayang pada
saat itu Ki Ageng Sora Dipayana sedang tidak di rumah, sehingga mereka
tidak dapat bertemu. Meskipun demikian, oleh gurunya banyak yang
diceriterakan tentang orang ini. Tentang keistimewaan-keistimewaannya,
serta tentang budinya yang luhur.
Ketika Mahesa Jenar telah mendekati desa
itu, maka kesan pertama-tama didapatnya adalah, daerah ini telah
mengalami banyak kemunduran. Dinding-dinding desa sudah tidak serapi
beberapa tahun yang lalu. Saluran-saluran air juga telah tidak teratur,
bahkan banyak parit yang kering. Maka semakin nyatalah bagi Mahesa Jenar
bahwa sepeninggal Ki Ageng Sora Dipayana, tak ada orang lain, baik
keturunannya maupun muridnya yang dapat melanjutkan memelihara kebesaran
nama daerah ini. Rupanya Ki Ageng Sora Dipayana setelah memutuskan
menarik diri dari pergaulan, sudah tidak menaruh perhatian lagi kepada
daerahnya.
Maka, ketika Mahesa Jenar melihat seorang
petani tua sedang mencangkul tanah yang tampaknya keras dan tandus, ia
memerlukan mendekatinya. Barangkali darinya dapat didengar ceritera
tentang sebab-sebab kemunduran daerah ini, serta yang penting
panji-panji yang dipancangkan oleh Sima Rodra itu.
Melihat orang asing mendatanginya, maka
petani tua itu pun berhenti mencangkul, serta mengawasi Mahesa Jenar
dengan saksama. Meskipun pandangan matanya tidak memancarkan kecurigaan,
tetapi jelas mengandung pertanyaan-pertanyaan.
Setelah sampai di hadapan orang itu,
segera Mahesa Jenar membungkuk hormat. Orang itu ternyata juga orang
yang ramah dan sopan. Karena itu sambil tertawa ia pun membungkuk
hormat. Malahan sebelum Mahesa Jenar bertanya, ia sudah mendahuluinya. “Selamat datang di daerah ini Anakmas, rupa-rupanya Anakmas memerlukan pertolonganku?” Mendapat sambutan yang demikian ramahnya serta tak diduga-duga, Mahesa Jenar terperanjat. Maka cepat-cepat dijawabnya, “Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengganggu pekerjaan Bapak.”
“Tidak… tidak…” sahut orang itu, ”sama sekali tidak. Apakah yang dapat aku kerjakan untuk Anakmas?”.
“Aku ingin mendapat beberapa keterangan mengenai daerah ini,” jawab Mahesa Jenar.
Orang tua itu mengangguk-angguk kecil. Cangkulnya lalu diletakkannya. Katanya kemudian,
“Baiklah Anakmas, kalau saja aku mengetahui, pastilah aku akan
menjawabnya. Banyakkah keterangan-keterangan yang Anakmas perlukan?”
“Tidak, Bapak…” jawab Mahesa Jenar, ”hanya sekedar sebagai petunjuk jalan,”.
“Keterangan mengenai apakah itu?” tanya orang tua itu.
“Bapak…” sambung Mahesa Jenar, “Apakah Bapak mengetahui mengenai panji-panji yang terpancang di tepi desa itu?”
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, tiba-tiba wajahnya berubah. Tampaklah kecemasan membayang di wajahnya.
“Keterangan mengenai bendera itu agak
panjang Anakmas. Kalau Anakmas sudi, marilah mampir ke pondokku
sebentar. Barangkali aku dapat menyuguhkan sesuatu, walaupun hanya air
kelapa sebagai penawar haus. Serta barangkali sedikit keterangan
mengenai panji-panji merah itu.”
Sulitlah Mahesa Jenar untuk menolak
ajakan orang tua yang nampaknya sangat terbuka hatinya. Ditambah lagi
dengan keinginannya mendengar keterangan-keterangan tentang panji-panji
yang bergambar harimau itu. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali
dengan ucapan terima kasih ia menerima ajakannya.
Ternyata rumah orang tua itu tidaklah
begitu jauh. Hanya berjarak beberapa tonggak saja dari sawahnya yang
tampaknya tidak begitu subur. Rumahnya tidak lebih dari sebuah gubug
yang sudah agak miring, meskipun tampaknya masih agak baru, serta
beratapkan daun ilalang.
Dengan ramah pula dipersilahkan Mahesa
Jenar masuk serta duduk di atas balai-balai bambu satu- satunya, di
samping sebuah paga dan tlundhak tempat lampu.
“Duduklah Anakmas, aku ambilkan untuk Anakmas buah kelapa muda,” kata orang itu.
“Terima kasih, Bapak,” jawab Mahesa Jenar, ”aku
senang sekali mendapat sebuah kelapa muda. Tetapi biarlah aku sendiri
memanjatnya. Apakah Bapak yang sudah setua ini masih dapat memanjat
pohon kelapa?”
Orang itu tersenyum, lalu jawabnya, “Meskipun
aku sudah tua, tetapi karena tak ada orang lain di dalam rumah ini,
jadi aku masih harus mengerjakan apa-apa sendiri. Juga memanjat kelapa.
Malahan tidak saja mengambil buahnya, bahkan aku juga nderes beberapa
pohon.”
“Bapak masih nderes juga? — tanya Mahesa Jenar keheranan.
Orang tua itu mengangguk. Dan karena itu
Mahesa Jenar terpaksa percaya bahwa orang tua itu masih mampu memanjat
pohon kelapa. Karena itu ia tidak lagi mencoba menghalangi orang itu
memanjat untuknya.
Sejenak kemudian orang itu sudah kembali
masuk rumahnya, dengan membawa dua buah kelapa muda yang sudah diparas
serta dilubangi, langsung disuguhkan kepada Mahesa Jenar. Mahesa Jenar
yang baru saja berjalan di bawah terik matahari, menerima kelapa muda
itu dengan gembira serta berterima kasih, sehingga dengan sekali minum
habislah isi dari sebuah kelapa muda.
Maka setelah Mahesa Jenar berisitirahat sejenak, mulailah ia menanyakan kembali tentang panji-panji merah bergambar harimau itu.
“Panji-panji itu” orangtua itu mulai bercerita,
”adalah panji-panji dari sebuah gerombolan yang dikepalai oleh
suami-istri yang menamakan dirinya Sima Rodra. Desa-desa yang diberinya
panji-panji semacam itu, adalah pertanda bahwa desa itu telah menjadi
daerah yang setiap bulan harus menyediakan pajak bahan makanan untuk
gerombolan itu. Demikian juga daerah ini, yang baru menjadi daerah
perbekalan Sima Rodra sejak dua bulan yang lalu. Setiap bulan, mereka
datang untuk memasuki setiap rumah yang ada.” Mahesa Jenar
mendengarkan cerita orang tua itu dengan penuh keheranan. Sampai sekian
jauh tindakan Sima Rodra di daerah itu tanpa mendapat gangguan apapun.
“Bapak…, ”akhirnya ia bertanya, ”apakah Sima Rodra menentukan apakah yang harus diserahkan oleh masing-masing kepadanya?”
“Tidak.” jawab orang tua itu, ”Mereka
tidak menentukan bahan apa yang harus diserahkan, tetapi asal saja
mereka menyediakan. Mungkin beras, kelapa, jagung dan sebagainya,”
“Jadi, tidakkah penduduk di daerah ini mendapat perlindungan dari siapapun?” tanya Mahesa Jenar selanjutnya.
Orang tua itu menghela nafas dalam-dalam.
Wajahnya yang sudah berkerut-kerut karena garis-garis umur itu, tampak
semakin berkerut. Jawabnya, “Anakmas, benar apa yang Anakmas katakan.
Memang, penduduk di daerah ini seolah-olah tidak mendapat suatu
perlindungan dari siapapun. Sebab daerah ini adalah daerah perdikan,
yang sebenarnya segala sesuatu, seluk-beluk pemerintahan dan keamanan
serta kesejahteraan rakyatnya telah bulat-bulat diserahkan kepada daerah
ini sendiri. Tetapi pimpinan daerah perdikan yang sekarang ini rupanya
tidak begitu menghiraukan keadaan rakyatnya.”
“Bukankah daerah ini mula-mula dipimpin oleh seorang sakti serta bijaksana yang bernama Ki Ageng Sora Dipayana?” menyela Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab orang tua itu. “Tetapi
Ki Ageng itu telah lama mengundurkan diri dari pemerintahan. Daerah
Pangrantunan ini sepeninggalnya dibagi menjadi dua bagian, dan
masing-masing diserahkan kepada dua orang putranya. Maksudnya jelas,
supaya tidak ada rebutan diantara mereka. Tetapi akibatnya adalah
seperti sekarang ini. Daerah Utara yang dipimpin oleh Ki Ageng Gajah
Sora, yang berkedudukan di Banyu Biru mengalami kemajuan yang pesat.
Tetapi daerah ini, yang dipimpin oleh adiknya, Ki Ageng Lembu Sora, dan
berkedudukan di Pamingit, mengalami kemunduran dalam hal kesejahteraan
rakyatnya. Pangrantunan, yang pernah menjadi pusat pemerintahan,
sekarang tidak lebih dari sebuah desa kecil yang terpencil dilambung
Gunung Merbabu ini”.
Tampaklah wajah orang tua itu semakin bersedih. Rupanya ia sedang mengenang masa jaya dari desanya ini.
“Bapak…” tanya Mahesa Jenar kemudian, ”apakah Bapak mengalami masa-masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana?”.
Orang itu tampak ragu-ragu sebentar. Lalu akhirnya ia menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku
di sini adalah orang baru. Tetapi sebelum aku tinggal di tempat ini aku
sudah banyak mendengar ceritera tentang Ki Ageng Sora Dipayana.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jadi jelaslah bahwa rabaannya mengenai kemunduran daerah ini
adalah benar. Tetapi disamping itu ia mempunyai kesan yang aneh terhadap
orang tua itu. Menilik caranya bicara, pastilah ia bukan orang biasa
seperti yang tampak pada tata lahirnya, yang tidak lebih dari seorang
petani miskin.
“Anakmas…” orangtua itu melanjutkan, “pada
hari ini, kebetulan adalah hari pungutan pajak. Karena itu, tak seorang
pun yang meninggalkan rumahnya. Mereka menanti dengan setia, kedatangan
para pemungut pajak. Dan karena itu pulalah maka tadi tak seorang pun
yang Anakmas jumpai di sawah, kecuali aku.”
“Kenapa Bapak tidak berbuat seperti orang lain?” desak Mahesa Jenar. Orang itu menggelengkan kepala. “Aku tak mau,” jawabnya.
Belum lagi mereka habis bercakap-cakap,
tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda. Orang tua itu tampak
agak terkejut. Katanya, “Anakmas, itulah mereka datang. Pergilah ke belakang rumah ini supaya Anakmas tidak terlibat”
Mahesa Jenar ingin membantah, sebab ia
sama sekali tidak dapat membenarkan kezaliman yang demikian itu
berlangsung terus. Tetapi sebelum ia sempat berkata, dengan penuh wibawa
orang itu mendesaknya. Entahlah pengaruh apa yang menusuk perasaan
Mahesa Jenar, sehingga ia tidak dapat membantah lagi.
Sebentar kemudian benarlah apa yang
dikatakan. Beberapa orang yang dipimpin oleh seorang yang bertubuh tegap
tinggi serta berambut hampir di seluruh mukanya, datang dan langsung
memasuki rumah orang tua itu. Tanpa berkata apa-apa orang tua itu dengan
ganasnya diseret keluar dan dipukuli dengan cemeti semau-maunya. “Panggil seluruh penduduk desa ini…!” teriaknya kemudian. “Suruhlah mereka menyaksikan contoh bagi mereka yang mau sengaja menghindari kedatangan kami.”
Sesaat kemudian anak buahnya telah
berhasil memaksa penduduk desa itu berkumpul serta menyaksikan
pertunjukan yang mengerikan. Semua penduduk tidak terkecuali, tua-muda,
laki-laki dan perempuan, dengan wajah yang ketakutan terpaksa berkumpul
di halaman rumah petani tua itu. Beberapa orang perempuan menutup
mukanya dengan kedua belah tangannya, sedang beberapa orang laki-laki
hanya bergumam, “Kasihan orang tua itu, kenapa ia tidak memenuhi
permintaan orang-orang itu saja? Bukankah dua-tiga butir kelapa telah
dapat membebaskannya dari derita yang sedemikian?”
Sementara itu orang yang tinggi besar itu berhenti memukul. Lalu dengan lantangnya ia berkata, “Lihatlah,
para penduduk daerah Pengrantunan. Inilah sebuah contoh dari seorang
yang dengan sengaja membantah peraturan kami. Pada waktu kami datang
untuk pertama kalinya pagi tadi, ia telah menghindarkan diri dengan
meninggalkan rumahnya. Untunglah bahwa ketika kami datang untuk kedua
kalinya ia sudah ada di dalam rumahnya, sehingga aku dapat memaafkannya
untuk tidak membakar habis rumahnya serta merampas semua miliknya.
Tetapi meskipun demikian kami anggap perlu untuk sedikit memberi
pelajaran kepadanya.”
Selesai mengucapkan kata-kata itu,
kembali cemetinya terayun-ayun di udara serta dengan derasnya
memukul-mukul orang tua itu. Segera beberapa jalur garis-garis merah
darah membekas di punggung yang sudah berkerut-kerut serta hampir tak
berdaging itu. Kembali beberapa orang memejamkan matanya. Apalagi ketika
orang tinggi besar itu semakin keras memukul, terdengarlah
jeritan-jeritan tertahan keluar dari mulut orang tua yang disiksa dengan
ganasnya itu.
Tetapi meskipun demikian, meskipun ada
kesan-kesan kesetia kawanan diantara penduduk, ternyata sama sekali
tidak berani berbuat sesuatu. Beberapa ratus orang laki-laki yang
tampaknya juga tegap-tegap dan kuat, tak dapat berbuat apa-apa melihat
salah seorang warga desanya disiksa di hadapan matanya oleh tidak lebih
dari 10 orang. Ini adalah suatu hal yang aneh. Hanya dalam waktu berapa
tahun saja, desa ini tidak hanya mengalami kemunduran kemakmuran serta
pemerintahan tetapi juga mengalami kemunduran jiwa yang sangat
mengejutkan. Suatu daerah dimana seorang sakti yang bernama Sora
Dipayana tinggal dan memerintah, kini mengalami suatu penghinaan yang
sedemikian besarnya tanpa perlawanan sedikit pun.
Mahesa Jenar yang kemudian menggabungkan
diri dengan para penduduk setempat menyaksikan semua itu dengan darah
yang bergolak. Ia tidak bisa membiarkan kelaliman-kelaliman serta
kemaksiatan semacam itu berlangsung. Tetapi meskipun demikian ia
mempertimbangkan juga beberapa kemungkinan. Sayang bahwa saat itu ia
masih belum bisa menjajaki kekuatan Sima Rodra yang sebenarnya. Ia juga
mempunyai dugaan bahwa apabila terjadi sesuatu dengan orang-orangnya di
suatu daerah pasti Sima Rodra tidak akan tinggal diam. Mungkin daerah
itu akan digilasnya habis, serta dijadikan lautan api. Karena itu Mahesa
Jenar jadi berbimbang
Hal ini pasti merupakan salah satu sebab
kenapa tak seorangpun yang berani menentang peraturan Sima Rodra,
kecuali malahan seorang tua yang sudah putih seluruh rambutnya. Juga
merupakan suatu sebab kenapa hanya dengan 10 orang, mereka berani
melakukan tugasnya, bahkan berani melakukan siksaan yang sedemikian
kejamnya.
Sementara itu, cemeti orang berewok yang
gagah itu masih tetap memukul-mukul dengan bunyi yang menyentak-nyentak.
Juga dari mulut orangnya sendiri pun tak habis-habisnya terdengar caci
maki dan umpatan-umpatan yang kotor.
Melihat semuanya itu, hati Mahesa Jenar
semakin tidak tahan lagi. Tetapi hanya karena perhitungan keselamatan
penduduk setempat, ia tidak segera bertindak. Ia telah memutuskan untuk
mengikuti gerombolan itu sampai jauh keluar desa. Di sanalah ia akan
memuntahkan segala kemauan hatinya, kemarahannya serta kebenciannya.
Sebab dalam wawasannya, ke 10 orang itu tidaklah lebih dari
kelinci-kelinci yang sama sekali tak bekerja, kecuali hanya
berteriak-teriak saja. Tetapi tiba-tiba hatinya menjadi tak tahan lagi,
ketika ia melihat orang tua yang kesakitan itu dengan menangis-nangis
memeluk kaki orang yang tinggi besar dan sedang memukulinya itu, minta
untuk dimaafkan. Tetapi apa yang didapatnya, adalah tidak saja
pukulan-pukulan cemeti, juga kakinya yang besar-besar itu, yang sedang
dipeluk demikian eratnya, dengan sekuat tenaga dikibaskan, sehingga
orang tua yang malang itu terpelanting. Pada saat itu hampir saja Mahesa
Jenar meloncat maju. Tetapi, tiba-tiba terasa punggungnya ditepuk orang
dengan mengandung tenaga dalam yang luar biasa besarnya. Mendapat
tepukan yang bertenaga luar biasa itu, Mahesa Jenar sangat terkejut.
Apalagi ketika ia menoleh dan melihat orang yang menepuknya. Malahan
hampir saja ia berteriak, kalau saja orang itu tidak mendahuluinya
berkata, “Sst, jangan sebut namaku, panggil aku dengan sebutan lain.”
Orang itu tidak lain adalah Ki Ageng Pandan Alas. Sehingga demikian terkejutnya Mahesa Jenar menjawab sambil tergagap, “Baik Ki Ageng….”
“Sst…,” kembali Ki Ageng Pandan Alas berdesis, sambil tersenyum geli, “Jangan kau sebut itu.”
“Ach…,” jawab Mahesa Jenar. “Aku menjadi bingung atas kehadiran Tuan yang tiba-tiba.”
“Kau akan menolong orang itu?” tanya Ki Ageng Pandan Alas masih berbisik.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar, ”aku tidak sampai hati melihat siksaan yang sama sekali tak berperikemanusiaan itu”
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum dengan wajah Ki Ardi yang jenaka. Kemudian katanya, “Seharusnya kau berpikir sebaik-baiknya.”
Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan
Alas, Mahesa Jenar teringat akan kecurigaan atas pembicaraan orang tua
itu. Maka jawabnya, “Memang, Tuan, aku merasakan beberapa keanehan dari orang itu.”
“Nah lihatlah apa yang akan terjadi,” potong Ki Ageng Pandan Alas, sambil menunjuk kepada orang tinggi besar yang sedang memukuli petani miskin itu.

Sepeninggal mereka, penduduk yang
menyaksikan peristiwa itu semua, untuk sementara tertegun kaku. Mereka
tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tetapi tiba-tiba mereka sadar
akan arti ancaman gerombolan Sima Rodra itu bagi keluarga mereka
masing-masing.
Kalau benar hal itu akan mereka lakukan,
pastilah mereka akan ludes tanpa ada yang melanjutkan nama serta garis
keluarga masing-masing.
———-oOo———-III
MENGINGAT hal yang demikian itu, penduduk
Pangrantunan segera menjadi ketakutan. Takut pada pembalasan yang bakal
datang, karena seorang tua yang belum lama tinggal di tempat itu tidak
mau memenuhi permintaan gerombolan Sima Rodra untuk menyerahkan dua tiga
butir kelapa. Kalau mula-mula mereka merasa kasihan kepada orang tua
itu, kini tiba-tiba berubah menjadi perasaan marah. Alangkah kikirnya
orang tua itu. Serta karena kekikirannya maka seluruh penduduk akan
mengalami akibatnya. Meskipun andaikata dua orang anggota gerombolan itu
mati karena kebetulan saja, tetapi orang tua yang kikir itulah yang
menjadi sebabnya. Apalagi kalau orang tua itu sengaja meracun atau
menyihirnya.
Dalam pada itu tiba-tiba penduduk yang
bertubuh pendek ketat penuh dengan otot-otot yang menonjol, berteriak
dengan kerasnya, katanya, “Hai, saudara-saudara penduduk desa ini. Siapakah sebenarnya yang bersalah andaikata gerombolan Sima Rodra marah kepada kita?”
Maka terdengarlah jawaban dari segenap penjuru. “Orang tua itu, orang tua yang kikir itu.”
Orang tua yang tadi dipukuli gerombolan Sima Rodra itu menjadi bertambah gemetar. “Saudara-saudaraku,
apakah salahku terhadap desa ini. Aku telah menerima hukumanku karena
aku tidak mau membayar pajak bahan makanan kepada gerombolan Sima Rodra.
Lalu apa lagi kesalahanku terhadap kalian?”
“Jangan banyak omong,” bentak orang yang tinggi kekurus-kurusan. “Sejak
kau tinggal di desa ini bulan yang lalu, kau hanya mendatangkan bencana
saja. Sekarang kau mempergunakan ilmu sihir atau senjata-senjata racun
untuk membunuh anggota gerombolan Sima Rodra itu, tanpa mempertimbangkan
akibatnya. Bukankah kau tadi mendengar sendiri ancaman mereka terhadap
desa kita?”
Orang tua itu seolah-olah menjadi
bertambah ketakutan, seperti seekor tikus yang sudah berada di dalam
cengkeraman kucing yang sedang marah.
Sementara semua peristiwa itu
berlangsung, Mahesa Jenar yang tidak mengerti terhadap semua yang
terjadi, menjadi diam kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus
dilakukan terhadap orang tua itu. Apakah ia harus menolong ataukah
dibiarkannya saja menjadi korban kemarahan penduduk. Ki Ageng Pandan
Alas dapat meraba perasaan Mahesa Jenar, maka katanya, “Mahesa Jenar, jangan kau ributkan orang tua itu. Ia cukup mampu, bahkan berlebihanlah kemampuannya untuk menjaga diri.”
“Tuan…,” tanya Mahesa Jenar,
“permainan apakah yang sedang dilakukan oleh orang tua itu sebenarnya?
Adakah orang itu pula yang telah melakukan pembunuhan terhadap kedua
orang anggota gerombolan itu?”
“Ya….,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
“Tangan orang itu adalah tangan maut apabila dikehendakinya. Dengan
sekali tekan pada urat-urat tertentu, seseorang tidak akan dapat hidup
lebih dari lima tarikan nafas lagi.”
Mahesa Jenar mendengar keterangan itu dengan penuh keheranan. Alangkah saktinya. Sehingga akhirnya ia bertanya, “Tuan…,
guruku, termasuk Tuan yang mempunyai ciri Keris Sigar Penjalin, serta
yang akhir-akhir ini dengan sebuah tembang Dandanggula yang merdu.”
“Ah..!” potong Pandan Alas, “kau senang pada lagu itu?”
“Tentu… tentu,” sahut Mahesa Jenar, “tetapi siapakah orang tua itu, yang sama sekali tidak mempergunakan ciri-ciri khusus?”
“Aneh kau Mahesa Jenar,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
“Kalau ciri-ciri khusus itu ditunjukkan pada setiap saat dan tempat
maka ia akan kehilangan arti kekhususannya. Kecuali hanya dalam
saat-saat yang perlu dan penting. Tentang orang tua itupun demikian
pula. Ia menganggap sama sekali tidak perlu untuk memperkenalkan dirinya
di hadapan penduduk ini.”
“Tetapi siapakah sebenarnya orang itu?” desak Mahesa Jenar tidak sabar.
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum lucu,
tepat seperti pada saat Sagotra mendesaknya untuk melanjutkan ceritera
tentang dua ekor naga yang bertempur melawan orang bintang kemukus. “Mahesa Jenar…”jawab Pandan Alas kemudian,
”sebenarnya kau harus dapat menerka. Siapakah yang paling
berkepentingan dengan daerah ini? Beberapa tokoh sakti yang kau kenal?
Siapakah diantara mereka yang paling tersinggung apabila daerah ini
sampai dinodai? Aku, yang tidak begitu berkepentingan, memerlukan untuk
membuktikan kebenaran berita yang aku dengar bahwa daerah ini telah
merupakan daerah yang harus menyerahkan bulu bekti kepada salah satu
gerombolan aliran hitam. Bagaimanapun aku merasa tidak rela atas hal
yang berlaku itu, sebab aku pernah ikut serta menikmati kebesaran daerah
ini, sebagai daerah sahabatku. Tetapi untunglah bahwa yang berhak telah
datang untuk melindungi daerahnya,”.
Mendengar penjelasan Ki Ageng Pandan Alas hati Mahesa Jenar berdesir. “Jadi,” katanya, ”beliau itukah Ki Ageng Sora Dipayana?”
“Sst… jangan terlalu keras,” desis Pandan Alas.
Perasaan Mahesa Jenar menjadi
terputar-putar tidak karuan menyaksikan kenyataan itu. Gembira, terharu,
sedih dan segala macam, berkecamuk di dadanya. Seorang yang sakti,
serta telah memutuskan untuk menarik diri dari pergaulan, terpaksa turun
tangan, dan benar-benar mempergunakan tubuhnya sendiri, untuk soal-soal
tetek bengek yang seharusnya dapat diselesaikan oleh orang lain. Tetapi
disamping itu, tumbuh pulalah perasaan hormat serta kekaguman Mahesa
Jenar atas sifat kepemimpinan Ki Ageng Sora Dipayana. Sehingga apabila
perlu, ia sendiri tidak segan-segan untuk bertindak serta mengorbankan
diri.
Sementara itu, kemarahan rakyat
Pangrantunan rupa-rupanya sudah memuncak. Sehingga beberapa orang
berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tinjunya. Tiba-tiba terdengar
suara melengking dari seorang yang bertubuh gemuk, tinggi dan berwajah
keras seperti batu, “Saudara-saudara, marilah kita tangkap saja
orang itu. Kita serahkan kepada Sima Rodra sebagai tumbal untuk
keselamatan desa kita.”
“Bagus… bagus…. Setuju…, setuju….” teriak yang lain dari segala penjuru.
Orang tua yang tidak lain adalah Ki Ageng
Sora Dipayana sendiri, tampak semakin ketakutan. Tetapi perasaan Mahesa
Jenar sudah tidak lagi tersiksa menyaksikan kejadian-kejadian itu.
“Tetapi… ,” kata orang tua itu mencoba membela dirinya kembali,
“Apa yang aku lakukan sebenarnya bukanlah maksudku sendiri. Bagaimana
aku berani membantah peraturan pajak itu? Apalagi apa-apa yang
dibutuhkan telah ada tersedia.”
“Bukan maksudmu sendiri…?,” tanya yang tinggi kekurus-kurusan.
“Ya, bukan!”, jawab orang tua itu.
“Lalu, siapakah yang menyuruhmu berbuat demikian?” tanya yang pendek ketat dengan otot-otot yang menjorok keluar.”
Kembali terjadilah suatu hal di luar
dugaan. Tiba-tiba orang tua itu menunjukkan jarinya kepada Mahesa Jenar
dan Pandan Alas. Katanya, “Orang asing beserta anaknya itulah yang
telah memaksa aku untuk tidak mentaati peraturan dari gerombolan Sima
Rodra. Aku sama sekali tidak tahu maksudnya, tetapi aku tak berani
menolaknya. Tanyakan pada anak muda itu, apakah maksudnya ia berbuat
demikian”
Mendengar jawaban itu, serta merta semua
mata memandang kepada Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas yang berdiri
tidak begitu jauh di belakang mereka.
Sedang Mahesa Jenar sendiri, yang tidak
menduga sama sekali akan terlibat dalam masalah itu, menjadi terkejut
tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia jadi kecemasan. Kalau saja
kemarahan penduduk ditujukan kepada Mahesa Jenar, lalu apa yang harus
dikerjakan. Haruskah ia melawan dan mungkin akan menimbulkan bencana
bagi penduduk yang seharusnya mendapat perlindungan?. Tetapi ia lebih
tidak mengerti lagi, ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas yang
sama sekali tak berkesan apa-apa, malahan wajahnya tampak menggelikan.
Sehingga terpaksa ia bertanya, “Kenapa Ki Ageng Sora Dipayana membebankan masalah ini kepada kami, Tuan.”
“Mahesa Jenar…” jawab Pandan Alas berbisik, ”Dalam
keadaan demikian, sebagaimana kau ketahui orang tua itu telah
mengetahui kehadiranku. Serta malahan ia mempunyai cara yang aneh untuk
mengucapkan selamat datang. Tetapi rupa-rupanya ia masih belum perlu
langsung menemuiku seperti juga aku merasa belum waktunya. Tetapi
terang ia minta tolong kepadamu untuk menjelaskan maksudnya. Nah Mahesa
Jenar, terserah pelaksanaannya kepadamu, untuk membangkitkan kembali
jiwa kejantanan bagi penduduk daerah ini. Tolonglah orang tua itu serta
kalau perlu berilah sedikit penerangan dan pertunjukan yang
mengesankan,”
Sementara itu perhatian semua orang telah
tertuju kepada Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas. Bahkan ada
diantara mereka yang sudah mulai bergerak mendekati. Seorang yang kurus
pendek dengan suara yang menjerit bertanya kepada Mahesa Jenar, “He anak muda…, benarkah kau memaksa kepada orang tua itu untuk tidak mentaati peraturan Sima Rodra?”
Mahesa Jenar merasa akan canggung juga untuk menjawab, sampai orang kurus itu membentaknya kembali, “Ayo jawab!” Tetapi
Mahesa Jenar masih juga rikuh untuk berbuat gagah-gagahan di hadapan Ki
Ageng Sora Dipayana. Karena itu ia untuk beberapa saat hanya dapat
memandangi wajah orang tua itu, yang tiba-tiba tidak ada lagi perhatian
terhadapnya, tetapi tersenyum-senyum sambil mengangguk-angguk kepada Ki
Ageng Pandan Alas. Sebaliknya wajah Ki Ageng Pandan Alas yang kemudian
berubah menjadi ketakutan. Melihat permainan itu semua hampir-hampir
Mahesa Jenar tak dapat menahan tertawanya. Rupa-rupanya sedemikian karib
persahabatan orang-orang sakti pada saat itu, sehingga sampai hari
tuanya pun mereka masih saja bergurau, meskipun dalam keadaan yang
demikian.
Sejenak kemudian ketika Mahesa Jenar masih juga belum menjawab, Ki Ageng Sora Dipayana berteriak, “Ya, itulah orangnya yang memaksa aku untuk tidak mentaati peraturan Sima Rodra, sehingga mungkin akan menimbulkan bencana.”
Mendengar suara itu, Mahesa Jenar menjadi
sadar bahwa ia harus benar-benar membantu orang tua itu untuk
kepentingan kebangkitan daerah Pangrantunan. Karena itu ia menjawab, “Ya, akulah yang memaksa orang tua itu untuk tidak menyerahkan pajak kepada Sima Rodra.”
“Jadi… kaulah biang keladi dari bencana ini, “ teriak salah seorang dari mereka.
“Tangkap juga orang itu,” teriak yang lain tiba-tiba.
“Bagus, tangkap juga orang itu. Kita serahkan pula kepada Sima Rodra untuk tumbal bersama-sama orang tua celaka itu,” sahut yang gemuk tinggi serta berwajah keras seperti batu.
“Tangkap…, tangkap…. “ teriak
yang lain bersama-sama. Dan serentak mulailah mereka bergerak. Melihat
gerakan itu Ki Ageng Pandan Alas tampaknya menjadi ketakutan sekali,
sehingga tubuhnya gemetar. Dan tiba-tiba ia meloncat melarikan diri.
“Tangkap…, tangkap….” teriak
penduduk itu dengan marahnya, ketika mereka melihat salah seorang dari
orang asing itu melarikan diri. Tetapi tiba-tiba terdengarlah suara
Mahesa Jenar, “Jangan kejar dia. Akulah yang akan mempertanggung jawabkan.” Suara
itu dilontarkan dengan sepenuh tenaga yang dapat langsung merangsang
mereka yang mendengarnya, sehingga terkejutlah semua orang yang sedang
siap untuk memburu Ki Ageng Pandan Alas. Mereka tidak tahu apa yang
sudah terjadi. Tetapi yang terasa oleh mereka hanyalah suara Mahesa
Jenar itu seperti memukul dada mereka masing-masing, sehingga dengan
demikian serentak mereka berhenti.
Mereka tersadar ketika Ki Ageng Pandan Alas sudah lenyap, sehingga salah seorang berteriak marah sekali.” He…, kenapa dibiarkan orang tua tadi melarikan diri. Sekarang jangan lepaskan anak muda itu.”
“Jangan takut aku melarikan diri, “ jawab Mahesa Jenar dengan suara yang mantap. “Aku akan tetap tinggal di sini. Tangkaplah.”
Mendengar tantangan itu, beberapa orang
yang sudah akan menyerbu justru terhenti. Mereka menjadi ragu-ragu dan
bimbang. Kenapa orang itu begitu berani menghadapi seluruh penduduk
Pangrantunan.
“Saudara-saudara penduduk Pangrantunan,” kata Mahesa Jenar selanjutnya, “salahkah
aku kalau aku menasehati orang tua itu untuk tidak tunduk kepada
gerombolan liar yang mengganggu ketenteraman desa kalian?“
Mendengar pertanyaan itu semua orang
menjadi terdiam. Memang dalam hati kecil mereka, sama sekali mereka
tidak rela menyerahkan harta benda mereka kepada orang-orang yang datang
untuk memerasnya. Tetapi karena ketakutan dan tidak adanya pimpinan,
mereka terpaksa melakukannya. Baru setelah beberapa saat terdengar
jawaban diantara mereka. “Tetapi dengan tindakan itu, nasib kita semua akan celaka.”
“Nasib saudara-saudara bukanlah mereka yang menentukan,” sambung Mahesa Jenar. “Tetapi ada di tangan saudara sendiri. Kenapa saudara tidak berbuat sesuatu?” Kembali
mereka terdiam mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Ya, kenapa mereka
tidak pernah berpikir untuk suatu usaha menghindarkan diri dari
pemerasan itu. Tetapi apakah yang dapat dilakukan…?
Tiba-tiba diantara mereka berteriak seorang yang berkumis tebal dan bermata tajam seperti mata burung hantu. “Hai
anak muda, kau jangan memperuncing kemarahan kami. Dengan omonganmu itu
kau akan berusaha menjelomprongkan kami ke lembah kesengsaraan yang
lebih hebat. Kau lihat sekarang, betapa sulitnya keadaan kami
sehari-hari, tiba-tiba orang tua celaka itu menambah beban kesulitan
kami karena hasutanmu. Sekarang kau berusaha untuk menghasut seluruh
penduduk. Apa kau kira kami ini semuanya orang-orang bebal seperti si
tua celaka itu? “
“Memang…,” jawab Mahesa Jenar, “aku ingin menghasutmu supaya kamu semua tidak lagi mau menyerahkan sebutir padi pun kepada Sima Rodra.”
“Dengan perbuatan itu,” sambung si kumis tebal dan bermata Burung Hantu,
“apakah keuntunganmu? Nah, sekarang tutup mulutnya dan jangan mencoba
melawan. Kau akan kami ikat bersama-sama orang tua itu untuk tumbal
keselamatan desa ini. Bukankah begitu kawan-kawan…?”
“Betul…, betul….,” sahut mereka hampir serentak.
Dan bersamaan dengan itu, mulailah mereka
beramai-ramai menyerbu Mahesa Jenar. Tetapi seperti patung, Mahesa
Jenar tetap di tempatnya. Melihat orang asing itu sama sekali tidak
bergerak, kembali mereka jadi ragu-ragu dan malahan berhenti beberapa
langkah di sekitar Mahesa Jenar. Mereka memandang dengan mata yang
bertanya-tanya. Bahkan beberapa diantaranya malahan mulai agak
takut-takut melihat sikap yang sedemikian tenangnya.
Melihat hal itu Mahesa Jenar mengeluh
dalam hati. Juga Ki Ageng Sora Dipayana tak kalah sedihnya. Sebab dengan
peristiwa itu terbuktilah betapa mundurnya keberanian penduduk
menghadapi suatu persoalan. Beberapa tahun yang lalu mereka adalah
rakyat yang cukup tangguh dalam menghadapi kesulitan-kesulitan. Tetapi
sekarang mereka tidak lebih dari segerombolan pengecut yang berjiwa
budak yang paling rendah. Ketika Mahesa Jenar sempat mengerlingkan mata
kepada Ki Ageng Sora Dipayana, alangkah terperanjatnya, melihat mata
orang tua itu mengaca.
Tetapi tiba-tiba ia berteriak, “Ya…, itulah yang telah menghasutku, kenapa kalian diam saja? Bukankah kalian akan menangkapnya?” Selesai
mengucapkan kata-kata itu segera ia meloncat menyusup di antara orang
banyak dan langsung menyerbu Mahesa Jenar. Mahesa Jenar segera menangkap
maksud Ki Ageng Sora Dipayana. Meskipun dengan agak segan dan
malu-malu, ia meladeni juga orang tua itu. Maka segera terjadilah
perkelahian. Ki Ageng Sora Dipayana bergerak dengan sekenanya saja.
Memukul, menendang tak berketentuan. Tetapi maksudnya untuk memancing
keberanian penduduk, ternyata berhasil. Melihat orang tua itu mendahului
menyerang, segera yang lain pun bertindak. Melihat orang-orang kampung
itu mulai berlari-lari untuk menangkapnya, segera Mahesa Jenar meloncat
kesana kemari dan sekadar mengadakan perlawanan. Dalam beberapa benturan
Mahesa Jenar mengetahui bahwa diantara mereka ada juga yang mempunyai
kekuatan cukup serta pengetahuan tata berkelahi yang agak tinggi. Karena
itu anehlah kalau daerah ini tidak dapat berbuat sesuatu untuk melawan
kekuasaan Sima Rodra. Maka, kunci dari kemunduran ini pasti terletak
pada pimpinan. Bagaimanapun, kepala daerah Perdikan Pengrantunan yang
sekarang adalah putra Ki Ageng Sora Dipayana, yang bernama Ki Ageng
Lembu Sora. Apakah Ki Ageng Lembu Sora ini sama sekali tak memiliki
sifat-sifat ayahnya? Bukankah apabila dikehendaki untuk melawan Sima
Rodra, daerah ini tidak berdiri sendiri? Pangrantunan hanyalah salah
satu dari desa-desa yang berada di dalam lingkaran Perdikan yang
sekarang berkedudukan di Pamingit. Tetapi menilik kekuatan Pangrantunan
ini sendiri ditambah dengan daerah-daerah lain, pastilah mereka dapat
setidak-tidaknya mencegah kekuasaan Sima Rodra atas daerah ini.
Maka setelah mereka berkejar-kejaran
serta berkelahi beberapa lama, segera Mahesa Jenar meloncat dengan
tangkasnya menembus kepungan mereka, lalu dengan teguhnya berdiri
menghadapi penduduk Pangrantunan yang mengejarnya itu sambil berteriak
nyaring, “Cukup kawan-kawan, permainan kita ternyata berhasil baik.
Jangan menyerang aku lagi. Aku tidak akan melawan. Aku akan tunduk
kepada kalian. Tetapi sebelumnya aku ingin berbicara sedikit lagi kepada
kalian.”
Ketika penduduk Pangrantunan yang sedang
mengejar Mahesa Jenar itu melihat buruannya meloncat dengan tangkasnya,
seolah-olah melampaui kemampuan manusia biasa, serta dalam waktu yang
hanya sekejap itu telah dapat dengan tiba-tiba berdiri di luar kepungan
mereka, hati mereka tergetar hebat. Segera mereka sadar bahwa itu
pastilah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, kembali mereka berhenti
beberapa langkah di sekeliling Mahesa Jenar, yang dengan tegapnya
berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh kuat bagaikan tonggak baja.
Kesadaran mereka akan ketinggian ilmu orang asing itu, ternyata telah
menuntun ingatan penduduk Pangrantunan kepada kekaguman-kekaguman mereka
terhadap orang dari daerah mereka sendiri. Terutama pemimpin mereka
yang mereka cintai dengan sepenuh hati, yang sejak beberapa tahun lalu
telah menyisihkan diri. Yaitu Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi tak seorang
pun diantara mereka yang dapat mengenal, bahwa orang yang mereka
kenangkan itu, telah ada diantara mereka. Bahkan baru saja mengalami
siksaan di hadapan mereka. Orang kedua yang mereka kagumi adalah Ki
Ageng Gajah Sora, putra sulung Ki Ageng Sora Dipayana. Meskipun belum
dapat memiliki seluruh ketinggian ilmu ayahnya, Ki Ageng Gajah Sora
telah dapat digolongkan manusia yang memiliki kelebihan dibanding
manusia biasa. Orang ketiga sesudah itu adalah Ki Ageng Lembu Sora, adik
Ki Ageng Gajah Sora. Orang inilah yang sekarang menerima kepercayaan
dari ayahnya untuk menggantikan kedudukannya sebagai kepala daerah
perdikan Pangrantunan bagian selatan. Tetapi tabiat seseorang ternyata
tidak dapat ditentukan dari tetesan darah yang menurunkan. Ki Ageng
Lembu Sora yang oleh ayahnya diharapkan akan dapat melanjutkan
cita-citanya untuk mengembangkan daerahnya, ternyata yang terjadi adalah
kebalikannya. Ia lebih mementingkan kesenangan sendiri.
Bahkan kadang-kadang ia sampai melupakan
kedudukannya sebagai pengayom. Malahan tidak jarang ia berbuat hal yang
dapat melukai hati rakyatnya. Hal-hal yang demikian itu menimbulkan
banyak kegelisahan dan ketidakpuasan di kalangan rakyat, yang akhirnya
menjadikan rakyat tidak peduli lagi kepada keadaan di sekelilingnya,
kecuali kepentingan mereka sendiri-sendiri. Dan sekarang tiba-tiba
muncul seorang yang agaknya termasuk orang yang berilmu tinggi dan
bertabiat aneh. Kalau orang ini memaksakan sesuatu peraturan yang
bertentangan dengan kemauan gerombolan Sima Rodra, maka akan celakalah
nasib penduduk setempat. Sebab mereka tentu tidak akan mampu melawan
salah satu diantaranya.
Sementara itu ketika setiap otak dari
mereka yang ada di halaman itu sedang dipenuhi dengan berbagai masalah
dan persoalan-persoalan, terdengarlah Mahesa Jenar mulai berkata, “Saudara-saudara
penduduk Pangrantunan. Setelah kita bermain-main sebentar, aku mendapat
kesimpulan bahwa daerah ini bukanlah daerah yang seharusnya dapat
menjadi lembu perahan bagi gerombolan Sima Rodra. Seberapakah sebenarnya
kekuatan dari gerombolan itu dibandingkan dengan keperkasaan kalian?
Kalau kalian merasa bahwa apa yang kalian sediakan untuk gerombolan Sima
Rodra setiap bulannya bukanlah kekayaan yang berharga, memang mungkin
sekali. Tetapi arti dari kesediaan saudara-saudara menyerahkan pajak
kepada gerombolan itulah yang sebenarnya patut disesalkan. Sebab dengan
demikian kalian telah menempatkan diri kalian sendiri di bawah kekuasaan
Sima Rodra. Apalagi kalau kalian sampai pada perhitungan nilai dari
barang-barang itu kalian kumpulkan, lalu kalian jual. Maka pastilah
dalam waktu yang singkat kalian dapat mendirikan banjar-banjar desa,
tempat-tempat ibadah dan sebagainya. Tetapi lebih dari itu, kalian
adalah rakyat yang merdeka, bukan rakyat yang diperbudak oleh Sima
Rodra, yang patut mempergunakan segala sumber kekayaan kalian untuk
kepentingan kalian sendiri. Nah saudara-saudara, pertahankan kemerdekaan
ini. Kalau perlu dengan darah dan jiwa kalian.”
Kata-kata Mahesa Jenar ini terasa seperti
membakar dada mereka yang mendengarnya, disamping perasaan malu dan
sesal yang menghantam bertubi-tubi. Hampir semua orang tampak
menundukkan mukanya, seolah-olah hendak langsung memandang kekecilan
jiwa mereka masing-masing. Disamping itu, makin jelaslah dalam ingatan
mereka, keperwiraan serta kejantanan yang pernah mereka alami semasa
pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana.
Mahesa Jenar dapat merasakan, bahwa
kata-katanya berhasil menusuk langsung kedalam sanubari pendengarnya.
Karena itu sambungnya, “Nah saudara, keputusan terakhir adalah di
tangan saudara-saudara. Masihkah saudara ingin merdeka, ataukah saudara
telah merasa berbahagia dalam penindasan dan pemerasan Sima Rodra? Kalau
saudara memilih yang kedua maka aku bersedia untuk saudara-saudara
tangkap serta saudara-saudara serahkan kepada Sima Rodra sebagai tumbal
keselamatan penduduk.”
Kalau kata-kata Mahesa Jenar yang
terdahulu telah membakar dada rakyat Pangrantunan, maka kata-katanya
yang terakhir itu bagaikan cermin yang langsung diletakkan di hadapan
mereka. Sehingga semakin jelaslah noda-noda yang melekat dalam wajah
kepribadian mereka.
Untuk mempertegas kata-katanya, Mahesa Jenar melanjutkan, “Saudara-saudara,
kalau saudara-saudara sudah merasa bimbang maka sebaiknya
saudara-saudara pulang saja sambil merenungkan pilihan manakah yang
saudara-saudara anggap paling sesuai dengan sifat serta watak
saudara-saudara. Sekarang saudara-saudara kami persilahkan meninggalkan
halaman ini. Selama saudara merenungkan kemungkinan yang paling
menguntungkan bagi saudara-saudara, aku ingin minta ijin untuk dua-tiga
hari. Setelah itu, aku akan datang lagi untuk menerima keputusan kalian.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar yang
terakhir, penduduk Pangrantunan itu saling pandang. Mereka tidak tahu
apa yang mereka lakukan. Sampai kembali Mahesa Jenar berkata, “Aku
harap kalian meninggalkan halaman ini untuk merenungkan apa yang akan
saudara lakukan. Aku yakin bahwa saudara akan memilih keputusan yang
benar demi tanah tercinta serta kebesaran nama daerah ini, yang telah
diletakkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana.”
Meskipun Mahesa Jenar mengucapkan
kata-katanya dengan lunak serta sopan, tetapi tajamnya seperti sembilu
yang langsung membelah jantung mereka, sehingga terasa suatu desiran
yang pedih di dalam dada masing-masing.
Dengan menundukkan kepala serta langkah
yang lemah, penduduk Pangrantunan mulai satu demi satu bergerak
meninggalkan halaman rumah petani tua yang sama sekali tak diketahuinya,
bahwa beliaulah Ki Ageng Sora Dipayana. Dalam kepala mereka
berkecamuklah seribu macam masalah. Tetapi satu hal yang telah menyusup
di dalam hati mereka tanpa mereka sadari, adalah, ”Sejak saat itu
mereka bertekad untuk mempertahankan tanah tercinta ini dari segala
macam penindasan dan pemerasan. Kalau perlu akan mereka pertaruhkan
darah dan nyawa.”
Ketika tidak ada lagi seorang pun di
halaman petani miskin itu, segera Mahesa Jenar menundukkan kepalanya
kepada Ki Ageng Sora Dipayana sambil berkata, “Tuan…, maafkanlah aku yang sama sekali tidak tahu bahwa Tuanlah yang terkenal dengan sebutan Ki Ageng Sora Dipayana.”
Orang tua itu tersenyum. Jawabnya, “Tak
apalah. Kalau sampai engkau tidak mengenal, maka berbanggalah aku.
Sebab dengan demikian aku merasa bahwa permainanku dapat berhasil,” jawab orang tua itu.
Kembali Mahesa Jenar menghormat sambil berkata, “Dengan ini atas nama perguruanku aku menyampaikan hormat.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk lemah. Katanya, “Rupanya kau adalah satu-satunya waris dari gurumu,” kata Ki Ageng Sora Dipayana.
Mahesa Jenar menjawab, “Benar Tuan,
aku tinggal satu-satunya waris yang harus menjunjung nama perguruanku.
Tetapi kemampuanku sangatlah terbatas, sehingga aku sangat cemas bahwa
tugas itu tak akan berhasil.”
Ki Ageng Sora Dipayana tertawa lirih sambil menyahut, “Aku
tadi ternyata salah tebak. Ketika aku melihat orang tua dari Gunung
Kidul yang malahan terkenal dari Wanasaba tadi, aku mengira bahwa kau
adalah muridnya. Tetapi ketika aku melihat kau melangkah, barulah aku
tahu bahwa kau adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh.”
Mahesa Jenar menjawab, ”Benar Ki Ageng, aku adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh.”
”Siapakah namamu?” tanya Ki Ageng kemudian.
”Mahesa Jenar Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar.
”Lalu adakah kau mendapat tugas dari perguruanmu sehingga kau sampai ke daerah Pangrantunan ini?”
Mendengar pertanyaan Ki Ageng Sora
Dipayana, Mahesa Jenar jadi berbimbang. Haruskah ia menyatakan tujuan
sebenarnya, ataukah tidak? Dalam kebimbangan hati, Mahesa Jenar tidak
segera dapat menjawab sehingga dalam beberapa saat ia berdiri
kebingungan. Ki Ageng Sora Dipayana ternyata memang orang yang
bijaksana. Karena itu segera ia menyambung, ”Mungkin kau mendapat tugas rahasia dari seseorang. Nah, kalau begitu baiklah aku bertanya soal lain saja.”
”Tidak, Ki Ageng… tidak…,” potong Mahesa Jenar tergagap.
Ki Ageng Sora Dipayana tertawa perlahan. Kemudian ia bertanya, ”Kaukah satu-satunya murid Ki Ageng Pengging, yang masih ada?”
”Gurumu almarhum adalah sahabat
dekatku. Jadi jangan kau menaruh prasangka apapun kepadaku. Nah,
tinggallah untuk sementara bersama aku di Pangrantunan.”
”Terima kasih Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar. ”terpaksa aku dengan menyesal tak dapat memenuhi, sebab aku masih harus meneruskan perjalanan.
”Begitu tergesa-gesa?” potong Ki Ageng.
”Benar Ki Ageng.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Keningnya tampak berkerut, dan tiba-tiba terloncat kata dari mulutnya, ”Ke Gunung Tidar?”
Pertanyaan ini rupanya mengejutkan Mahesa Jenar, sehingga ia kebingungan, sampai Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan, ”Bagus,
pergilah ke sana. Barangkali ada perlunya. Aku menduga bahwa kau tidak
akan menderita sesuatu kalau kau cukup hati-hati. Bukankah Ki Ageng
Pengging Sepuh terkenal dengan Sasra Birawa-nya? Aku kira kau telah
memiliki itu pula.”
Mahesa Jenar tak dapat berbuat lain
kecuali mengiakan semua kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana, meskipun ia
sendiri tak habis heran, kenapa orang tua itu dapat menebak maksudnya
dengan tepat.
”Meskipun demikian…,” sambung orang tua itu, ”kau harus tetap waspada. Sebab
penghuni Gunung Tidar bukan pula orang yang patut direndahkan. Dan
jagalah bahwa kau dapat langsung mendekati tempat tinggal Sima Rodra.
Usahakan untuk tidak diketahui oleh para penjaga-penjaganya. Sebab
bagaimanapun, jumlah yang banyak akan turut serta menentukan
keseimbangan pertempuran. Apalagi disamping Sima Rodra sendiri masih ada
beberapa orang yang termasuk orang-orang yang berilmu.”
Kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana itu bagi
Mahesa Jenar merupakan petunjuk yang sangat berharga. Maka dengan
perasaan yang gembira ia mengucapkan terima kasih yang tak terhingga.
”Kau pernah ke Gunung itu?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana kemudian.
”Belum Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar. ”Tetapi aku pernah lewat desa Gelangan di dekat Gunung itu.”
”Desa yang berbentuk gelang serta di tengah-tengahnya ada danaunya?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
”Benar Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar.
”Tetapi sebaiknya kau mengambil jalan ke arah desa itu.” Sambung Ki Ageng Sora Dipayana, ”Sebab
kau akan terlalu banyak membuang waktu. Sebaiknya kau mengambil jalan
yang biasa dilalui oleh gerombolan itu, melewati hutan bagian selatan.
Kau tidak perlu lagi mencari-cari jalan, sebab daerah itu sering
dilewati oleh anak buah Sima Rodra sehingga seakan-akan telah menjadi
sebuah jalan raya. Sedang kalau kau bertemu dengan satu-dua orang dari
mereka maka hal itu bukanlah hal yang perlu diributkan. Kau dapat dengan
mudah menyembunyikan diri, atau dengan semudah itu pula membinasakan
mereka.”
Mahesa Jenar mendengarkan semua nasihat
itu dengan saksama. Memang pekerjaan yang akan dilakukan bukanlah
pekerjaan yang gampang. Dengan petunjuk-petunjuk yang diterima dari Ki
Ageng Sora Dipayana, semakin teranglah jalan yang akan ditempuhnya.
”Nah Mahesa Jenar,” kata Ki Ageng Sora Dipayana
akhirnya, ”memang sebaiknya kau tidak banyak membuang waktu. Kau dapat
segera berangkat sekarang juga. Kalau tidak ada halangan, besok malam
kau sudah akan sampai ke pusar pulau Jawa itu. Ingatlah, hindari
pertemuan dengan para pengawal gunung. Pergilah langsung ke lambung
utara. Di sana terletak sebuah goa tempat tinggal suami-istri
Sima Rodra itu. Sedang untuk mendekati bukit itu ambillah jalan sebelah
selatan, ambillah waktu ketika matahari telah terbenam.”
Sekali lagi Mahesa Jenar mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga. Dan sesudah itu ia mohon diri untuk
segera melanjutkan perjalanannya ke Gunung Tidar. Ia sudah memutuskan
untuk mengikuti segala petunjuk yang diberikan oleh Ki Ageng Sora
Dipayana.
Tetapi satu hal yang sama sekali tak
diduganya, adalah bahwa dengan memberikan segala petunjuk itu, Ki Ageng
Sora Dipayana telah membuat suatu rencana. Rencana yang hanya diketahui
oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu sendiri. Karena itu ketika ia melihat
Mahesa Jenar dengan langkah yang tetap berjalan menurut petunjuknya,
tampaklah orang tua itu tersenyum sambil bergumam, “Mudah-mudahan rencanaku berhasil. Bukankah dengan demikian aku telah membuat suatu jasa pada mereka…”
———-oOo———-IV
Sementara itu Mahesa Jenar berjalan
dengan langkah yang cepat. Ia mengharap bahwa besok malam ia sudah dapat
sampai ke tempat tinggal Sima Rodra. Menilik rencana pertemuan dari
golongan hitam, dimana Sima Rodra akan ikut serta, maka dapatlah
dibayangkan bahwa setidak-tidaknya Sima Rodra sendiri atau berdua dengan
istrinya, pasti mempunyai tingkat kepandaian sama dengan Lawa Ijo.
Ditambah lagi mereka ternyata memiliki pusaka keris Nagasasra dan Sabuk
Inten. Karena itu, ia harus berhati-hati dalam tiap tindakannya untuk
mendapatkan kembali keris Nagasasra dan Sabuk Inten.
Ketika itu, ketika ia telah agak jauh
meninggalkan desa Pangrantunan, matahari telah condong ke barat. Angin
yang bertiup agak kencang dari hutan terasa betapa silirnya. Meskipun
demikian panas yang dipantulkan oleh debu-debu di jalan terasa seperti
menyengat-nyengat kaki. Karena itu Mahesa Jenar semakin mempercepat
langkahnya. Sekali-kali ia meloncat-loncat di atas rumput yang tumbuh di
tepi-tepi jalan.

Tiba-tiba Mahesa Jenar yang sedang
berjalan cepat-cepat itu mendengar suara ringkik kuda. Segera ia
menghentikan langkahnya serta bersiap-siap, kalau-kalau suara ringkik
kuda itu berasal dari gerombolan Sima Rodra. Tetapi sampai beberapa saat
ia sama sekali tidak mendengar langkahnya. Karena itu Mahesa Jenar
menduga bahwa kuda itu pastilah berhenti. Perlahan-lahan Mahesa Jenar
menyusup batang-batang ilalang, mendekati arah suara ringkikan kuda itu.
Setelah beberapa langkah, benar-benar Mahesa Jenar melihat kuda lengkap
dengan pelananya, tetapi tidak ada penunggangnya. Maka timbullah
kecurigaannya. Tiba-tiba ia menjadi sangat terkejut ketika dilihatnya di
samping kuda itu, menggeletak sesosok tubuh yang rupa-rupanya sudah
tidak bernyawa lagi. Perlahan-lahan dan hati-hati ia merunduk mendekati
mayat itu. Ternyata bahwa mayat itu adalah mayat seorang laki-laki yang
gagah. Di tangannya masih tergenggam sebatang tombak pendek. Ketika
Mahesa Jenar mengamat-amati daerah di sekitar mayat itu, sama sekali
tidak terdapat bekas-bekas telapak, baik telapak kuda maupun telapak
kaki manusia yang lain kecuali telapak kuda yang seekor itu. Ketika
Mahesa Jenar sudah yakin bahwa di sekitar tempat itu sama sekali tidak
ada bahaya, maka mulailah ia mengamat-amati mayat orang gagah itu dengan
saksama. Wajah mayat itu tampak biru kemerah-merahan, hampir di seluruh
permukaan kulitnya tampak noda-noda biru kemerah-merahan. Melihat
tanda-tanda itu segera Mahesa Jenar dapat menerka bahwa orang itu pasti
meninggal karena racun. Sampai beberapa lama Mahesa Jenar mencari, masih
belum dapat ditemukan luka yang menyebabkan kematian orang itu. Baru
ketika mayat itu ditelungkupkan, tampaklah sebuah jarum sumpit yang
masih menancap di punggungnya. Maka tahulah Mahesa Jenar bahwa orang itu
telah diserang dari belakang. Atau kemungkinan lain orang itu dikenai
sumpit pada waktu ia sedang melarikan diri. Lebih heran lagi Mahesa
Jenar ketika melihat pada ikat pinggang orang itu, yang lebarnya hampir
selebar telapak tangan, dan dibuat dari kulit kerbau, tampaklah sebuah
pahatan yang mirip dengan dua ekor ular yang saling membelit. Mula-mula
Mahesa Jenar agak bingung menafsirkan gambar itu, tetapi akhirnya
berdesirlah jantungnya. Ini pastilah gambar dua ekor uling. Kalau
demikian maka orang ini pasti termasuk salah seorang anggota gerombolan
yang dikenal dengan nama pimpinannya, sepasang uling dari Rawa Pening.
Tetapi kenapa ia sampai kemari, juga siapa yang membunuhnya, merupakan
suatu teka-teki bagi Mahesa Jenar. Yang terang baginya adalah, bahwa
orang itu belum terlalu lama meninggal. Mungkin pagi tadi, atau malahan
sesudah hampir tengah hari. Belum lagi Mahesa Jenar selesai meneliti
tubuh mayat itu, tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda.
Cepat-cepat Mahesa Jenar memperhatikan arahnya, lalu dengan cepat sekali
ia meloncat ke gerumbul yang terdekat. Ia harus berusaha untuk
bersembunyi, sebab ia masih belum tahu siapakah yang datang. Beberapa
saat kemudian derap kuda itu sudah dekat benar, dan segera muncullah
dari dalam hutan beberapa orang berkuda. Rupanya mereka sedang mencari
sesuatu atau mencari jejak, sebab hampir semua dari mereka mengawasi
jalan yang akan dilewatinya. Melihat rombongan itu, sekali lagi Mahesa
Jenar tersirap. Diantara orang-orang berkuda itu, Mahesa Jenar melihat,
bahwa meskipun orang itu berpakaian laki-laki, tetapi jelas bahwa ia
adalah seorang perempuan. Maka tanggapan Mahesa Jenar segera mengarah
kepada istri Sima Rodra. Sedangkan apakah Sima Rodra sendiri ada
diantara mereka, Mahesa Jenar masih belum tahu.
Rombongan itu ternyata benar-benar sedang
mencari jejak kaki. Malahan jejak kaki orang yang meninggal itu. Karena
itu, pada mayat orang gagah itulah rombongan berkuda itu mengarah.
Dengan demikian Mahesa Jenar harus semakin rapat bersembunyi. Ternyata
setelah mereka dekat serta semakin jelas, jumlah mereka seluruhnya ada
tujuh orang, satu diantaranya seorang perempuan yang sudah hampir
setengah umur, tetapi menilik tubuh serta wajahnya ia masih tampak
lincah dan cantik.
Ketika salah seorang dari mereka melihat mayat itu, ia segera berteriak, ”Itulah dia… Ki Lurah.”
Mendengar teriakan itu, seorang yang
bertubuh tegap, gagah, bahkan lebih agak gagah dari mayat itu, segera
meloncat turun dari kudanya dan berjalan mendekati mayat itu, yang
segera disusul oleh satu-satunya perempuan dalam rombongan itu. Melihat
mereka berdua, segera Mahesa Jenar menebak bahwa mereka berdualah yang
terkenal dengan suami-istri Sima Rodra.
Setelah mereka sampai pada mayat itu,
segera suami-istri itu berjongkok mengamat-amati. Kemudian segera
tangannya meraih tombak pendek itu.
”Hem..,” gumamnya, ”sayang
adi Gemak Paron. Terpaksa aku membunuhnya. Kalau tidak, pastilah Kiai
Kala Tadah ini jatuh ke tangan sepasang Uling Rawa Pening.”
”Mungkin tujuannya lebih dari itu,” sahut istrinya, ”Mungkin Adi Gemak Paron mendapat tugas untuk mengambil kedua keris itu.”
”Mungkin juga,” jawab si suami, ”sebab kalau tidak, tugas yang penting itu pastilah bukan Adi Gemak Paron yang harus melaksanakan.”
”Tetapi kejadian ini pasti ada akibatnya,” sela istrinya, ”Apakah kakak-beradik dari Rawa Pening itu akan tinggal diam?”
”Pasti tidak,” jawab si suami,
”Tetapi ia tidak pula akan bertindak gegabah. Sebab kalau tindakannya
terdengar oleh golongan lain, pasti akan menimbulkan keributan pula.
Pastilah Lawa Ijo, Jaka Soka dan sebagainya tidak pula akan tinggal
diam.”
Si istri tampak berpikir sejenak, lalu katanya, ”itu
berarti akan mempercepat saat pertemuan akhir tahun ini di Rawa Pening.
Mungkin mereka akan bersama-sama datang ke Gunung Tidar untuk
memperebutkan pusaka-pusaka itu.”
”Mungkin,” jawab suaminya. ”Itu berarti pekerjaan kita bertambah berat.”
”Lalu bagaimana dengan Adi Gemak Paron itu?” potong istrinya. ”Sebab Adi Yuyu Rumpung yang lolos dari kejaran kami pasti segera akan melaporkan kejadian ini.”
Belum lagi mereka menentukan sikap,
tiba-tiba terdengarlah derap kuda dari arah lain. Tampaklah bahwa semua
orang dalam gerombolan itu terkejut. Tidak terkecuali suami-istri Sima
Rodra.
”Rupa-rupanya Adi Gemak Paron tidak hanya berdua,” desis si istri.
”Kau benar,” jawab suaminya. ”Bersiaplah kalian,” perintahnya kepada anak buahnya.
Maka segera mereka pun bersiap menghadapi
setiap kemungkinan. Suara derap kuda itu semakin lama semakin jelas.
Dan Mahesa Jenar pun tidak kalah cemasnya, sebab arah derap kuda itu
menuju kepadanya. Karena itu, ia pun melipat dirinya lebih kecil lagi di
bawah sebuah gerumbul yang berdaun rapat. Sejenak kemudian kuda yang
larinya seperti terbang meluncur hanya beberapa langkah di samping
Mahesa Jenar. Melihat penunggang-penunggangnya, Mahesa Jenar agak
keheran-heranan pula. Mungkinkah mereka dari gerombolan Uling Rawa
Pening? Sebab tampaklah wajah mereka berbeda dengan wajah-wajah
gerombolan Sima Rodra. Sedangkan pakaian mereka pun sama sekali tidak
seperti pakaian orang yang mati itu. Rombongan yang kedua ini terdiri
dari orang yang jumlahnya lebih banyak. Semua kira-kira ada 15 orang.
Ketika rombongan yang kedua ini melihat rombongan Sima Rodra, mereka pun
tampak terkejut. Maka dengan segera mereka menarik tali kekang kuda
mereka, sehingga kuda-kuda mereka berdiri dan berhenti seketika.
Melihat rombongan yang baru saja datang
itu, ternyata Sima Rodra beserta anak buahnya bertambah terkejut lagi,
sehingga ketika rombongan yang kedua itu telah berhenti. Sima Rodra
segera berkata, ”Aku menyampaikan hormat yang setinggi-tingginya kepada rombongan Ki Ageng Lembu Sora.”
Mendengar sapa Sima Rodra itu, giliran
Mahesa Jenar yang terkejut bukan kepalang. Inilah orangnya yang bernama
Ki Ageng Lembu Sora, putra kedua dari Ki Ageng Sora Dipayana.
Ki Ageng Lembu Sora adalah seorang yang
bertubuh sedang, berwajah keras. Matanya memancarkan sinar ketamakan dan
pemujaan kepada nafsu-nafsu jasmaniah.
Sambil masih duduk di atas kudanya ia menjawab, ”Salamku kepada kalian.”
”Terima kasih Ki Ageng,” jawab Sima Rodra.
”Kenapa kalian berada di tempat ini?” tanya Ki Ageng Lembu Sora.
”Kami sedang mengejar orang ini, Ki Ageng,” jawab Sima Rodra sambil menunjuk kepada mayat Gemak Paron.
“Siapakah dia?” tanya Lembu Sora kembali.
”Ia berusaha untuk mencuri pusaka kami, Kiai Kala Tadah. Untunglah bahwa aku dapat mengenainya dengan sumpit, sehingga ia tidak dapat melarikan diri lebih jauh lagi,” jawab Sima Rodra.
Lembu sora tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Dari manakah dia?”
“Dari daerah Rawa Pening,” jawab Sima Rodra.
“Gerombolan yang dipimpin oleh Uling Rawa Pening…?” Lembu Sora menegaskan.
“Ya,” jawab Sima Rodra.
Sekali lagi Lembu Sora mengangguk-angguk. Katanya kemudian, Untunglah
gerombolan Uling itu sampai sekarang masih diberi kesempatan berdiri.
Kalau saja Kakang Gajah Sora sudah mau bertindak maka umur gerombolan
itu tidak akan lebih dari satu senja.”
”Rupanya hal itu pun disadari oleh
sepasang Uling itu, sehingga mereka tidak berani berbuat apa-apa di
dalam wilayah kekuasaan Ki Ageng Gajah Sora.” sahut Sima Rodra, ”Meskipun secara perseorangan belumlah pasti bahwa kakak-beradik Uling itu dapat dikalahkan oleh Gajah Sora,.
“Kau yakin akan hal itu?” potong Lembu Sora.
“Hal yang mungkin sekali,” jawab Sima Rodra.
Lembu Sora tampak mengernyitkan alisnya. Ia tampak tidak begitu senang mendengar keterangan Sima Rodra itu.
”Seperti kau yakin bahwa kau tidak dapat aku kalahkan,” katanya kemudian.
Sima Rodra menarik nafas panjang.
Tampaklah betapa tajam pandangan matanya. Perlahan-lahan ia menegakkan
kepalanya, memandang ke arah puncak-puncak pohon raksasa yang bertebaran
di hutan. Jelas, betapa ia mencoba menguasai dirinya untuk tidak
bertindak tergesa-gesa. Sebentar kemudian, baru dia menjawab, “Ki
Ageng, aku tidak ingin berkata demikian. Selama kita masih saling
menghormati persetujuan kita. Biarlah, apa saja yang akan terjadi di
daerah Banyu Biru dan Rawa Pening. Sedang diantara kita hendaknya tetap
berlaku persetujuan yang sudah sama-sama kita terima, supaya kita tidak
usah menilai, siapakah diantara kita yang lebih kuat. Sedangkan apa yang
berlaku sekarang aku rasa sudah saling menguntungkan.”
Wajah Lembu Sora menjadi tegang pula. Rupanya ia pun sedang berusaha untuk menguasai perasaannya.”
Sejenak kemudian dengan mata yang berapi-api ia berkata, “Bagus,
kalau kau masih tetap dalam pendirianmu itu. Tetapi aku dengar kau
mulai membuat perkara. Karena itu aku sekarang memerlukan berkeliling
pagar perdikanku untuk mengetahui kebenaran berita bahwa kau mulai
merambah ke daerah lalu lintas dengan Pamingit.”
“Itu tidak benar, “ potong Sima Rodra,
“Aku tidak biasa berbuat kecurangan-kecurangan yang naif semacam itu.
Mungkin dalam kehidupanku telah ribuan kali aku berbuat curang, tetapi
untuk keperluan yang cukup bernilai dan seimbang dengan kecurangan yang
terpaksa aku lakukan.”
Sima Rodra diam sejenak. Suasana segera
meningkat semakin tegang. Tampaklah bahwa masing-masing telah
mempersiapkan dirinya untuk menghadapi setiap kemungkinan.
“Yang benar…” Sima Rodra melanjutkan, “dua orangku pagi ini telah mati di Pangrantunan, “.
Lembu Sora tampaknya agak terkejut mendengar berita itu, sehingga ia bertanya, “Kenapa? “
“Sebabnya masih belum begitu jelas,” jawab Sima Rodra,
“sebab aku masih belum sempat mengusutnya, karena ada peristiwa
pencurian pusaka ini. Tetapi dua-tiga hari yang akan datang, pastilah
aku sendiri akan datang ke Pangrantunan untuk melihat siapakah yang
telah berbuat kejahatan itu“
Sima Rodra…,” sahut Sima Rodra, “yang termasuk dalam persetujuan kita hanyalah sumbangan hasil bumi dari penduduk Pangrantunan, bukan orang-orangnya,.
“Tetapi aku tidak membiarkan pembunuhan itu menjadi kebiasaan.” jawab Sima Rodra, “Karena itu, yang bersalah harus mendapat hukuman, “.
“Aku beri wewenang kau melakukan
hukuman hanya kepada yang bersalah. Tetapi awas, jangan berbuat
sekehendakmu saja atas orang-orangku. Sebab ganti yang kau berikan
kepadaku akhir-akhir ini ternyata mulai merosot nilainya.“
Mendengar kata-kata Lembu Sora yang terakhir, tiba-tiba Sima Rodra tertawa menggelegar. Katanya kemudian, “Jangan takut Ki Ageng, lain kali pasti akan lebih memberi kepuasan kepada Ki Ageng…”
“Aku berkata sebenarnya,” potong Ki Lembu Sora, ”karena itu segala sesuatunya terserah kepadamu. Aku akan melanjutkan perjalanan sekarang.”
Sehabis mengucapkan kata-kata itu, segera
ia menarik tali kekang kudanya, serta mencambuknya keras-keras,
sehingga kudanya terloncat dan berlari kencang. Para pengikutnya segera
mengikutinya pula. Suami-istri Sima Rodra bersama anak buahnya
mengawasinya sampai hilang di balik semak-semak.
Setelah itu kembali terdengar Sima Rodra tertawa tergelak-gelak, katanya, “Orang
gila. Rupa-rupanya masih juga ada sisa-sisa minatnya untuk meninjau
daerah perdikannya yang sebentar lagi pasti akan dapat aku telan
seluruhnya,” kata Sima Rodra kemudian.
”Jangan terlalu tergesa-gesa.” potong istrinya, ”Apa kau kira Ki Ageng Gajah Sora akan tinggal diam?.”
”Dengan kedua pusaka keris Nagasasra
dan Sabuk Inten itu di tangan kita, pastilah bahwa kita akan menguasai
segenap aliran hitam di pulau Jawa, seperti apa yang pernah kita
janjikan bersama. Sesudah itu apakah arti kekuasaan Gajah Sora.
Sedangkan Demak sendiri lambat laun pasti akan dapat aku lenyapkan
pula.”
Si istri Sima Rodra mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, ”Mudah-mudahan semua itu tidak hanya merupakan sebuah impian yang akan lenyap bersama terbitnya matahari.”
Si suami tertawa perlahan-lahan. Seperti kepada dirinya sendiri ia berkata, ”Aku harus bekerja lebih keras. Mungkin akan banyak hal yang harus aku hadapi dalam perjalanan ke istana Demak.”
”Lalu apa yang akan kita perbuat sekarang?” Tiba-tiba istrinya bertanya.
Suami Sima Rodra itu menjadi seperti
orang yang tersadar dari lamunannya. Kembali ia mengamat-amati mayat
Gemak Paron. Sebentar kemudian ia berkata, ”Marilah Nyai, sebaiknya
kita kembali. Mungkin sehari dua hari kakak-beradik Uling dari Rawa
Pening akan berkunjung ke rumah kita. Baru sesudah itu kita pergi ke
Pangrantunan untuk mencari pembunuh-pembunuh itu.”
”Tidakkah kita selesaikan sama sekali masalah Pangrantunan yang tinggal tidak seberapa jauh lagi?”
Sima Rodra tampak agak berpikir, tetapi segera ia menjawab, ”Masalah
Pangrantunan sama sekali bukan masalah yang perlu mendapat perhatian
banyak. Tetapi sepasang Uling itu benar-benar memerlukan persiapan yang
cukup untuk menyambutnya.”
Setelah itu maka segera ia pun berdiri
meninggalkan mayat Gemak Paron, langsung menuju ke kudanya. Dan sejenak
kemudian rombongan itu pun pergi meninggalkan mayat itu tetap terkapar,
sambil membawa kembali pusaka yang disebutnya Kiai Kala Tadah.
Setelah derap kuda mereka tak terdengar
lagi, Mahesa Jenar perlahan-lahan keluar dari persembunyiannya. Tanpa
sadar ia menggelengkan kepalanya sambil mengusap dadanya. Meskipun ia
tidak tahu bunyi perjanjian antara Ki Ageng Lembu Sora dan Sima Rodra,
tetapi bahwa Ki Ageng Lembu Sora bersedia menyerahkan sebagian dari
wilayahnya untuk sumber perbekalan dari golongan hitam, adalah suatu
tindakan yang tercela. Apapun yang diterima Lembu Sora dari Sima Rodra
sebagai gantinya, hal itu adalah suatu penghinaan atas kekuasaan yang
dipegangnya, dengan membiarkan adanya kekuasaan asing turut serta
mencampuri masalah di dalam rangkah. Apalagi ketika Mahesa Jenar
teringat akan rencana Sima Rodra, tidak saja menguasai Perdikan ini,
tetapi ia sudah mulai merintis jalan ke Demak.
Tetapi ketika ia teringat bahwa Ki Ageng
Sora Dipayana dengan ujudnya yang baru telah kembali ke Pangrantunan,
hatinya menjadi agak tenteram. Pasti orang tua itu tidak akan membiarkan
pengkhianatan itu tetap berlangsung. Sebab kekuasaan yang selalu
dibayangi oleh kekuasaan lain tidaklah lebih dari kekuasaan boneka.
Sebentar kemudian segera Mahesa Jenar
sadar akan tugasnya. Ia harus cepat-cepat pergi ke Gunung Tidar. Kalau
benar apa yang diperhitungkan oleh Sima Rodra, yaitu kemungkinan akan
datangnya Uling dari Rawa Pening, maka ia harus berusaha untuk
mendahuluinya. Sebab kalau tidak, dan sepasang Uling itu sampai berhasil
merebut kedua keris pusaka itu, maka tugasnya akan bertambah sulit.
Karena itu Mahesa Jenar pun segera melanjutkan perjalanannya.
Sejenak kemudian ia telah memasuki daerah
hutan yang cukup lebat pula. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng
Sora Dipayana, bahwa di dalam hutan itu seolah-olah telah dibuat sebuah
jalan, yang walaupun sempit tetapi cukup baik untuk lalu lintas kuda
maupun orang berjalan. Maka tidaklah ada kesulitan apa-apa bagi Mahesa
Jenar untuk langsung menuju ke Gunung Tidar. Tetapi belum lama ia
menyusur jalan rimba, tiba-tiba didengarnya telapak kuda yang lari
sangat kencang dari arah depan. Mula-mula Mahesa Jenar mengira
orang-orang Sima Rodra. Tetapi ketika diketahuinya bahwa suara derap
kuda itu tidak lebih dari seekor, maka maksudnya untuk menghindar itu
diurungkan. Ia tetap saja berdiri menepi dengan maksud untuk mendapatkan
suatu pengertian baru tentang Sima Rodra dari orang itu.
Sebentar kemudian tampaklah seekor kuda
yang lari seperti terbang menuju ke arahnya. Penunggangnya adalah orang
yang pendek kokoh dan berjambang tebal. Ketika orang itu melihat Mahesa
Jenar, ia pun tampak terkejut. Segera ia menarik kekang kudanya sehingga
kuda itu berhenti beberapa langkah di hadapan Mahesa Jenar. Mula-mula
wajah orang itu tampak tegang. Tetapi ketika ia melihat ikat pinggang
orang itu, yang lebarnya hampir selebar telapak tangan serta dibuat dari
kulit kerbau, menjadi terkejut. Segera ia ingat kepada Gemak Paron yang
mati kena sumpit punggungnya, juga memakai ikat pinggang yang serupa.
Maka kesimpulan bagi Mahesa Jenar, orang ini pasti juga salah seorang
dari gerombolan Uling Rawa Pening. Mungkin orang inilah yang tadi
disebut-sebut dengan nama Yuyu Rumpung, yang berhasil meloloskan diri
dari kejaran Sima Rodra. Kalau demikian, kiranya Yuyu Rumpung tadi telah
berhasil menyelinap ke dalam hutan, sementara gemak Paron berlari
terus. Kemudian setelah diketahuinya bahwa Sima Rodra telah kembali ke
sarangnya, ia segera berusaha untuk melarikan diri.
Orang berkuda itu, setelah memandangi Mahesa Jenar sejenak segera bertanya, Siapakah kau yang berani lewat di jalan yang khusus bagi gerombolan Sima Rodra?
Tiba-tiba timbullah keinginan Mahesa
Jenar untuk menjajagi kekuatan gerombolan Uling ini, dengan mencoba
kekuatan salah seorang anggotanya yang terkemuka. Dengan demikian ia
akan dapat mengetahui kira-kira sampai dimana kekuatan anggota-anggota
yang lain. Sedang pimpinan rombongannya sendiri pastilah tidak akan
banyak terpaut dengan Lawa Ijo, Jaka Soka dan mungkin juga Sima Rodra.
Karena itu, Mahesa Jenar menjawab, “Namaku Yuyu Rumpung, dan berasal dari Rawa Pening. Aku
adalah salah seorang kepercayaan kakak-beradik Uling untuk mencari
keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi sayang bahwa aku dan Gemak Paron
hanya berhasil mengambil tombak pendek yang bernama Kala Tadah. Itu
saja Gemak Paron terpaksa menebus dengan nyawanya, sedang tombak itu
kembali kepada pemiliknya.”
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, segera
wajah orang itu, yang sebenarnya adalah Yuyu Rumpung, menjadi merah
menyala. Ia menjadi marah sekali karena jawaban itu seolah-olah
merupakan suatu sindiran akan ketidakmampuannya melakukan tugas yang
dibebankan kepadanya bersama Gemak Paron. Karena itu dengan gigi yang
gemeretak ia berteriak. ”Orang gila, jangan kau mau main-main dengan
Yuyu Rumpung. Meskipun aku tidak berhasil mencuri kedua pusaka itu,
tetapi aku pasti akan bisa mematahkan lehermu. Tetapi sebelum itu,
supaya aku tahu, siapakah yang telah aku bunuh, hendaknya kau mengatakan namamu yang sebenarnya.”

Rupanya Yuyu Rumpung sudah tidak dapat
menguasai dirinya lagi. Segera ia meloncat dari kudanya dan dengan suatu
gerakan yang dahsyat ia langsung menyerang Mahesa Jenar dengan suatu
pukulan ke arah pelipis. Ternyata Yuyu Rumpung adalah orang yang
mempunyai kekuatan yang luar biasa. Pukulannya mengandung tenaga yang
hebat, serta cepat. Mendapat serangan yang demikian cepatnya, Mahesa
Jenar segera merendahkan diri dan dengan sebagian tenaganya ia
mempergunakan ujung sikunya untuk menyerang lambung lawannya. Tetapi
Yuyu Rumpung pun ternyata lincah sekali, sehingga ia tidak terlambat
meloncat mundur menghindar. Tetapi dalam hati ia pun tidak habis heran.
Siapakah orang yang berjalan di dalam hutan seorang diri, tetapi
mempunyai keuletan yang sedemikian tinggi. Apalagi ia sudah tahu nama,
asal serta tugas yang sedang dilaksanakan. Mahesa Jenar tidak sempat
merenung-renung, sebab ketika sadar bahwa serangannya gagal, segera ia
memutar tubuhnya, dan dengan kaki kirinya ia menghantam perut Yuyu
Rumpung. Sekali lagi Yuyu Rumpung terpaksa meloncat ke samping, tetapi
kali ini ia tidak mau terus-menerus diserang. Karena itu demikian
kakinya melekat diatas tanah, segera ia maju menyodok perut Mahesa
Jenar. Kali ini sengaja Mahesa Jenar tidak menghindarkan diri, tetapi
dengan tangannya ia memukul tangan Yuyu Rumpung ke samping. Yuyu Rumpung
yang percaya pada kekuatannya, ketika melihat Mahesa Jenar menangkis
pukulannya sama sekali ia tidak berusaha menarik tangannya, malahan
seluruh tenaganya dikerahkan. Maka segera terjadilah suatu benturan yang
keras sekali. Dengan tak diduga sama sekali oleh Yuyu Rumpung, bahwa
lawannya memiliki tenaga yang dahsyat, sehingga ia jatuh terguling.
Sebaliknya Mahesa Jenar pun merasakan kekuatan Yuyu Rumpung sehingga
tangannya terasa agak sakit. Sampai sekian Mahesa Jenar dapat mengetahui
bahwa orang ini kira-kira tidak lebih dari Carang Lampit, orang kedua
sesudah Wadas Gunung dalam gerombolan Lawa Ijo. Maka ketika dengan
sedikit kesulitan Yuyu Rumpung berdiri, segera Mahesa Jenar
meloncatinya, dan dengan tangannya yang kokoh kuat, segera ia menangkap
kedua lengan Yuyu Rumpung, dan dengan lututnya ia menekan punggungnya.
Yuyu Rumpung terkejut melihat kegarangan lawannya. Tetapi tak ada lagi
kesempatan baginya untuk melepaskan diri. Selanjutnya terdengar Mahesa
Jenar bertanya, ”Yuyu Rumpung, selain kau dan Gemak Paron, siapakah yang termasuk orang-orang penting dalam gerombolanmu?”
Pertanyaan ini telah memusingkan kepala
Yuyu Rumpung. Ia pun segera mengetahui bahwa orang ini pasti bukan dari
golongan hitam, sebab dari golongan itu, pada umumnya sudah mengenal
siapa-siapa yang menjadi orang-orang terpenting dalam gerombolan
masing-masing. Ketika sampai beberapa lama ia tidak menjawab, terasa
tekanan lutut di punggungnya semakin keras semakin keras. Sehingga
terpaksa ia berkata, ”Apakah kepentinganmu dengan mengetahui orang-orang kami?”
”Itu adalah soalku,” jawab Mahesa Jenar, ”yang kuminta hanyalah kau sebutkan nama-nama itu, dan jangan bohong.”
Sementara itu punggung Yuyu Rumpung semakin terasa sakit, sehingga akhirnya ia tak dapat mengelak lagi, katanya, ”Gemak Paron adalah orang kedua dalam gerombolan kami, sedang aku adalah orang ketiga.”
”Siapakah orang pertama?” tanya Mahesa Jenar lagi.
“Orang pertama adalah kakang Seri Gunting.”
“Kenapa bukan Seri Gunting itu yang pergi untuk mencuri pusaka-pusaka itu?”
“Kakang Seri Gunting sedang tidak ada di rumah.”
”Kemana dia?”
”Ke Nusa Kambangan.”
”Ke tempat Jaka Soka?”
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu,
Yuyu Rumpung menjadi bertambah heran. Rupanya orang ini sudah agak
banyak mengenal tokoh-tokoh hitam. Karena itu ia harus lebih
berhati-hati, sebab mungkin malahan seluruhnya sudah diketahui, sehingga
pertanyaan-pertanyaannya hanya merupakan sebuah pancingan saja.
Maka jawabnya, ”Ya, kakang Seri Gunting pergi ke tempat Jaka Soka.”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Tahulah
ia bahwa kekuatan gerombolan hitam itu benar-benar seimbang, sehingga
pertemuan akhir tahun di Rawa Pening benar-benar akan menarik. Ketika
Mahesa Jenar tidak memerlukan hal-hal lain lagi, segera Yuyu Rumpung
dilepaskan, tetapi ia tidak membiarkannya pergi berkuda, katanya, ”Yuyu
Rumpung, kau boleh pergi, tetapi aku ingin meminjam kudamu. Sedang kau
dapat mencari kuda Gemak Paron untuk kau pakai. Aku temukan tadi
mayatnya di luar hutan. Kalau kau akan mencarinya, pergilah membelok ke
selatan, di mulut lorong ini.”
Mahesa Jenar sengaja membiarkan Yuyu
Rumpung berjalan kaki dan menunjukkan arah yang salah atas mayat Gemak
Paron, supaya orang ini tidak segera sampai di Rawa Pening. Ia mengharap
untuk dapat mendahului kakak beradik Uling itu.
Yuyu Rumpung yang tidak tahu maksud
Mahesa Jenar, menjadi keheranan. Tetapi bagaimanapun juga ia merasakan
keperkasaan orang itu. Maka ketika ia mendapat kesempatan untuk pergi,
segera ia pun meloncat dan melangkah cepat sekali menjauhi Mahesa Jenar,
meskipun ia menggerutu tak habisnya karena kudanya dirampas.
Sedangkan Mahesa Jenar merasa mendapat
keuntungan dengan pertemuannya dengan Yuyu Rumpung. Ia sudah mendapat
gambaran sedikit tentang kekuatan gerombolan Uling Rawa Pening,
sedangkan keuntungannya yang lain ia telah dapat menghambat dijalan
orang itu, sehingga, kemungkinan untuk dapat mendahului sampai ke Gunung
Tidar semakin besar. Sedangkan kuda yang dirampasnya, sama sekali tak
diperlukannya, sebab dengan kuda itu, ia tidak lagi bebas untuk dapat
menyusup kegerumbulan apabila ia berjumpa dengan orang yang perlu
dihindari. Juga jarak yang ditempuhnya sudah tidak begitu jauh lagi.
Kalau misalnya ia dapat mencapai Gunung itu sebelum sore, ia masih juga
harus menunggu sampai matahari terbenam. Maka akhirnya dilepaskannya
kuda Yuyu Rumpung itu, dan Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya dengan
berjalan kaki.
———-oOo———-V
Sementara itu cahaya merah telah
membayang di langit mewarnai mega yang betebaran. Sedang didalam hutan,
sinar matahari yang sudah sangat lemah itu tidak kuasa lagi untuk
melawan kegelapan yang perlahan tapi pasti akan turun menyeluruh sampai
kesegenap lekuknya.
Malam itu seperti biasa dalam
perjalanannya di hutan, Mahesa Jenar memilih tempat tidurnya diatas
cabang pohon untuk menghindari serangan binatang buas. Meskipun hutan
itu tidak segarang hutan Mentaok, tetapi didalamnya hidup pula jenis
harimau yang cukup berbahaya, yaitu harimau loreng. Malam itu tak ada
sesuatu hal yang terjadi. Kecuali tubuh Mahesa Jenar menjadi gatal
digigit nyamuk yang banyaknya bukan main.
Ketika langit disebelah Timur mulai
meremang, Mahesa Jenar segera turun dari tempat istirahatnya. Dan
setelah sekali dua kali ia menggeliat, maka ia segera memulai kembali
perjalanannya ke Gunung Tidar sambil mencari sumber air untuk mencuci
mukanya. Jalan yang ditunjukkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu ternyata
jauh lebih dekat daripada apabila ia menempuh jalan yang
direncanakannya semula. Jalan ini langsung memotong arah ketujuannya.
karena itu maka ia tidak perlu untuk tergesa sebab ia masih harus
menunggu gelap untuk bertindak.
Pada saat ia melewati longkangan hutan
itu, ia dapat jelas melihat Gunung Tidar berdiri tegak seperti jamur
raksasa, yang konon merupakan pusar Pulau Jawa, sudah tidak begitu jauh
lagi dihadapannya. Sehingga perjalanan Mahesa Jenar kali ini merupakan
sebuah perjalanan yang justru diperlambat. Meskipun demikian ia masih
juga agak kesiangan sampai didataran yang mengitari bukit itu, sehingga
ia mempunyai waktu sekedar untuk beristirahat.
Maka ketika sampai saaatnya matahari
turun serta burung mulai berkitaran mencari tempat untuk tidurnya,
berdirinya Mahesa Jenar dengan wajah yang tegang memandangi Gunug Tidar
dimana berdiam suami isteri Sima Rodra, yang telah berhasil menyimpan
sepasang keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Dalam keadaan yang demikian seolah-olah
ia mulai menilai dirinya kembali. Sudahkah ia siap untuk melakukan tugas
yang penting itu. Ia seorang diri harus terjun langsung kedalam sarang
sepasang harimau yang cukup ganas. Berkali-kali ia meremaskan tangannya
dimana disimpan senjata kepercayaannya Sasra Birawa.
Sementara kemudian, ketika benar-benar
matahari telah melenyapkan diri dibalik Gunung Tidar itu, mulailah
Mahesa Jenar melaksanakan tugas untuk membebaskan kedua pusaka itu
berdasarkan petunjuk dari Kiai Ageng Sora Dipayana.
Untuk naik ke bukit itu, ia tidak
langsung mendaki dari arah Timur, tetapi ia melingkar ke Selatan dan
dari sanalah dengan hati-hati sekali ai selangkah demi selangkah
mendekati lereng bukit itu. Sebentar ia berhenti untuk mendengarkan
kalau ada langkah seseorang ataupun tarikan napas. Untunglah bahwa
telinga dan matanya cukup terlatih.
Ketika sampai pada tanjakan pertama dari
Bukit Tidar tampaklah bahwa Sima Rodra benar-benar memasang perbentengan
untuk melindungi sarangnya. Batu besar yang tampaknya berserak itu
ternyata merupakan pasangan yang apabila sedikit saja tersentuh, pasti
akan tergelincir dan menggelundung ke bawah. Untunglah bahwa tiap gerak
Mahesa Jenar selalu dilandasi oleh ketelitian serta kehati-hatian.
Setelah merayap bebrapa saat Mahesa Jenar berhasil melintasi pagar yang
pertama untuk kemudian menjumpai benteng. Batu padas yang besar disusun
meninggi sampai hampir dua kali tinggi orang. Dengan hati-hati Mahesa
Jenar mendekati benteng itu. Kemudian dengan tangannya ia meraba-raba,
seolah ingin mengetahui sampai dimana kira-kira kekuatan padas itu.
Mungkin dengan kekuatan tangannya ia bisa, meskipun tidak sekaligus
tetapi setidaknya sedikit demi sedikit menghancurkan padas yang tidak
sekeras batu. Kalau Mahesa Jenar menghancurkan padas itu, maka besar
kemungkinannya bahwa kedatangannya akan segera diketahui oleh
pengawal-pengawal yang pasti berkeliaran di dalam benteng itu. Maka
dicarinya cara lain untuk dapat melampauinya. Sekali lagi Mahesa Jenar
meraba-raba serta menaksir kekuatannya. Kemudian dipilihnya cara dengan
memanjat saja, dan kemudian meloncat masuk.
Demikianlah Mahesa Jenar dengan hati-hati
memanjat dinding batu padas itu. Sampai di atasnya ia tidak langsung
meloncat, tetapi dengan perlahan-lahan sekali ia melekatkan dirinya
merapat dinding dan untuk beberapa lama ia menelungkup di situ sambil
mengamat-amati keadaan di dalam daerah sarang Sima Rodra itu.
Malam itu rasanya sepi sekali. Lebih sepi
daripada malam-malam yang pernah dilewatinya. Sekali duakali terdengar
anjing liar menyalak di kejauhan, disaut dengan pekikan burung hantu
yang sedang mencari mangsa.
Mahesa Jenar masih saja berbaring
menelungkup diatas dinding batu. Matanya berputar menjelajahi seluruh
lingkaran yang membentang di hadapannya. Adapun daerah di dalam benteng
Sima Rodra itu pun merupakan suatu lapangan yang bersemak-semak dan
rumput-rumput liar bertebaran tumbuh di sana sini. Sebenarnya tempat itu
merupakan tempat yang baik sekali untuk dapat menyusup mendekati goa
Sima Rodra di lambung sebelah utara bukit itu. Sebab dengan adanya
semak-semak dan rumput-rumput liar itu, justru memberi kemungkinan yang
lain, bahwa di dalam semak-semak itulah orang-orang Sima Rodra
berjaga-jaga untuk mengawasi keamanan sarangnya.
Sampai beberapa lama Mahesa Jenar masih saja melekatkan dirinya pada dinding padas itu.
Tiba-tiba terasalah angin yang bertiup
perlahan-lahan menghembuskan bau yang wangi. Bau yang dibawa angin dari
utara ini mempunyai pengaruh yang aneh sekali. Terasa betapa tubuh
Mahesa Jenar menjadi nyaman, serta matanya menjadi berat sekali.
Angin yang aneh ini datang mengalir
terus-menerus seperti mengalirnya air sungai. Sehingga pengaruhnya
semakin lama semakin mencengkeram diri Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar adalah seorang
prajurit yang terlatih lahir-batin. Untunglah bahwa ia segera menyadari
keadaannya, bahwa pasti ia telah kena pengaruh bau wangi itu, yang
sengaja disebarkan orang untuk melemahkan syaraf, sehingga orang menjadi
kantuk.
Inilah kekuatan sirep yang seperti pernah
dialami beberapa tahun lalu, yang disebarkan oleh Lawa Ijo. Tetapi
menilik kekuatannya, rasanya sirep kali ini agak lebih kuat dari yang
dahulu, serta sifatnyapun berlainan pula.
Karena itu Mahesa Jenar segera memusatkan
kekuatan batin, dan seperti orang yang sedang mengheningkan cipta,
Mahesa Jenar diam tanpa bergerak di tempatnya berusaha melawan pengaruh
sirep itu.
Meskipun agak lambat, tapi sedikit demi
sedikit ia berhasil menguasai dirinya kembali, sehingga akhirnya ia
merasa bahwa ia telah lepas dari daya sirep itu.
Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar
berpikir keras. Apakah sirep ini datang dari Sima Rodra? Tetapi kalau
benar demikian, maka anak buahnya sendiri yang tidak mempunyai daya
tahan yang cukup akan tertidur pula. Dengan demikian maka kekuatan
mereka akan jauh berkurang. Jadi adalah suatu kemungkinan bahwa sirep
ini datangnya dari luar. Dari orang lain. Tetapi siapa? Kakak-beradik
Uling tak mungkin akan secepat ini mencapai Bukit Tidar, kecuali kalau
ia berada pada jarak yang dekat sejak Gemak Paron menyusup masuk ke goa
Sima Rodra ini.
“Akh…, tak akan selesai pekerjaan ini dengan menimbang-nimbang saja.” Gerutunya, “Lebih baik aku masuk dan melihat keadaan”.
Segera setelah itu, dengan tidak meninggalkan ke hati-hatian, Mahesa
Jenar meloncat masuk ke dalam lingkungan sarang sepasang harimau yang
cukup ganas itu. Dengan mengendap-endap ia berjalan, lewat lambung
sebelah timur ia memutar ke arah utara.
Tetapi mendadak ia dikejutkan oleh
teriakan yang mirip dengan aum seekor harimau, disusul oleh jerit yang
mengerikan. Pastilah suara ini berasal dari suami-istri Sima Rodra yang
sedang marah. Cepat Mahesa Jenar meloncat semakin dekat ke arah suara
itu. Beberapa kali ia melihat beberapa penjaga tidak dapat meloloskan
diri dari pengaruh sirep yang tajam itu.

Melihat cara suami-istri Sima Rodra
bertempur, segera ia mengingat akan ceritera Demang Pananggalan. Maka
Mahesa Jenar hampir dapat memastikan bahwa yang pernah datang ke
Prambanan serta pernah menculik gadis dan dibawa ke Gunung Baka adalah
gerombolan Sima Rodra ini. Maka ketika ia telah menyaksikan sendiri
kegarangannya, ia pun menjadi yakin bahwa Demang Pananggalan memang
bukan lawan dari orang ini. Apaladi dalam menghadapi segala hal,
tampaknya suami-istri Sima Rodra selalu bertempur bersama, sehingga
untuk melawan orang yang baru setingkat Pananggalan pun mereka bertempur
bersama.
Kalau demikian halnya, maka bagaimanakah
kira-kira yang akan terjadi dalam pertemuan golongan hitam di Rawa
Pening? Bolehkah mereka bertempur berpasang-pasang, ataukah hanya
seorang-seorang?
Menilik gerak serta keperkasaannya, maka
pastilah Sima Rodra sendiri memiliki kehebatan yang sama dengan Lawa
Ijo, sedang istrinya ternyata sedikit di bawahnya. Tetapi karena
perempuan itu bersenjatakan kuku-kukunya sendiri maka ia pun nampak
sangat berbahaya. Apalagi ketika sekali tampak di ujung kuku itu
berkilat suatu cahaya, maka sudah pasti bahwa di ujung kuku-kuku itu
ditaruh logam yang mungkin sekali beracun.
Tetapi lawan Sima Rodra itu pun ternyata
orang luar biasa. Mahesa Jenar sendiri pernah bertempur berpuluh kali
menghadapi orang-orang perkasa. Yang terakhir adalah Jaka Soka serta
Lawa Ijo. Tetapi untuk menghadapi dua orang sekaligus baginya adalah
pekerjaan yang berat sekali. Kalau ia terpaksa bertempur melawan
keduanya, maka pastilah pagi-pagi ia sudah mempergunakan ilmunya Sasra
Birawa.
Sedang orang itu, yang bertempur dengan
Sima Rodra, nampaknya tanpa mempergunakan lambaran ilmu apapun, kecuali
ketangkasan serta kekuatan jasmaniah yang cukup terlatih.
Maka, Mahesa Jenar tak berhenti menebak.
Siapakah gerangan dia. Kalau yang datang kakak-beradik Uling, hampir
dapat dipastikan bahwa mereka akan bertempur berpasangan pula. Ataukah
dia yang bernama Sri Gunting? Kalau orang ini Sri Gunting, maka Uling
Rawa Pening itu seharusnya mempunyai kesaktian yang luar biasa.
Sambil berpikir berputar balik, Mahesa
Jenar menyaksikan pertempuran yang berjalan seru itu. Berkali-kali
suami-istri Sima Rodra itu mengaum dan memekik hebat dibarengi dengan
serangan-serangan sangat berbahaya. Tetapi orang yang melawannya itu
meskipun agak kerepotan selalu juga berhasil menghindar, bahkan beberapa
kali ia dapat mengadakan pembalasan-pembalasan.
Gerak suami-istri Sima Rodra itu
tampaknya memang serasi sekali dalam keganasannya. Mereka selalu
berhasil saling mengisi dengan gerak-gerak membingungkan. Kadang-kadang
mereka tidak menyerang, tetapi hanya berlari berputar mengelilingi
lawannya, dan kadang-kadang mereka bersama-sama menerkam dari arah yang
berlawanan.
Sebaliknya, lawannya pun memiliki
ketangkasan yang luar biasa pula. Sekali-kali ia melesat jauh, tetapi
sesaat kemudian ia sudah berdiri di satu sisi dari kedua-duanya dan
menyerang dengan pukulan yang dahsyat. Beberapa kali ia melingkar,
meloncat dan berputar selagi masih di udara. Tangannya bergerak
menyambar-nyambar, seolah-olah berubah menjadi seorang raksasa jelmaan
Harjuna Sasra Bahu yang mempunyai seribu tangan memegang seribu macam
senjata, dalam ceritera pewayangan.
Demikianlah maka pertempuran itu
berlangsung dengan dahsyatnya. Tetapi karena Sima Rodra seolah-olah
dapat mensenyawakan diri, serta kekuatannya, maka semakin lama tampaklah
bahwa lawannya menjadi semakin terdesak.
Melihat keadaan itu, otak Mahesa Jenar
bekerja keras. Bagaimanakah kalau ia mengambil keuntungan dari
pertempuran itu? Ia masih belum tahu sama sekali, siapakah gerangan yang
bertempur itu. Tetapi menurut perhitungan Mahesa Jenar, ia lebih baik
melawan yang seorang itu apabila terpaksa, daripada melawan Sima Rodra
suami-istri. Karena itu ia memutuskan untuk menerjunkan diri dalam
kancah pertarungan itu untuk membantu lawan Sima Rodra. Dan sesudah itu
ia akan mengadakan perhitungan dengan lawannya. Mudah-mudahan lawan Sima
Rodra itu tidak bersamaan maksud dengan kedatangannya, sehingga ia
tidak perlu berhadap-hadapan sebagai lawan.
Setelah Mahesa Jenar mendapatkan
ketetapan hati, maka segera ia mempersiapkan diri. Dibetulkannya ikat
pinggangnya, kancing-kancing bajunya, dan ikat kepalanya, supaya nanti
tidak mengganggunya. Demikianlah dengan menggeram keras untuk menandai
kehadiran, Mahesa Jenar langsung menyerang istri Sima Rodra, dengan
suatu kepercayaan bahwa ia telah dibebaskan dari akibat racun karena
jasa kawan sepermainannya, Anis dari Sela. Racun Lawa Ijo yang
didapatkannya dari Pasingsingan pun tak berhasil membunuhnya, apalagi
jenis racun yang lain, yang tidak berasal dari orang seperti
Pasingsingan.
Kedatangan Mahesa Jenar sangat
mengejutkan mereka yang sedang bertempur, sehingga suami-istri Sima
Rodra berloncatan mundur. Lawannya pun sejenak berdiri termangu,
sehingga untuk sesaat suasana jadi hening, sepi seperti daerah kematian
yang mengerikan. Tetapi hal yang sedemikian itu tidak berlangsung lama,
sebab terdengar suara parau Sima Rodra membentak Mahesa Jenar. ”Hei, siapakah kau yang ikut serta mengantarkan nyawa?”
Mahesa Jenar tidak menyahut pertanyaan itu, tetapi ia berkata kepada lawan Mahesa Jenar, ”Aku belum mengenal Tuan, tetapi aku berdiri di pihak Tuan.”
Sebelum orang itu menjawab, terdengar teriak istri Sima Rodra, ”Kita bunuh kalian berdua.” Istri
Sima Rodra tidak menantikan lagi jawaban, tetapi dengan loncatan yang
garang ia menyerang dengan kuku-kukunya yang diarahkan kepada Mahesa
Jenar.
Segera pertempuran itu dimulai kembali.
Tetapi sekarang Sima Rodra tidak dapat lagi mengurung lawannya, sebab
sekarang mereka harus berhadapan satu lawan satu. Meskipun demikian,
tidak segera dapat dilihat siapakah yang akan dapat memenangkan
pertempuran itu.
Suami-istri Sima Rodra yang menjadi
semakin marah itu bertempur semakin garang pula. Mereka segera
mengerahkan tenaga serta kesaktian mereka untuk segera dapat
membinasakan lawan-lawannya yang berani memasuki daerahnya, apalagi
berani menantangnya.
Dalam keadaan demikian, lawan Sima Rodra
itu sempat juga menyaksikan Mahesa Jenar bertempur. Menyaksikan
kelincahannya, keperkasaannya, serta kepercayaannya kepada diri seperti
lazimnya seorang perwira, ia pun menjadi berpikir tentang Mahesa Jenar.
Sebab orang yang memiliki kehebatan yang sampai ke tingkat itu, pastilah
bukan orang sembarangan.
Sementara itu, pertempuran itu
berlangsung terus. Tetapi dalam beberapa saat kemudian tampaklah bahwa
Mahesa Jenar berhasil menguasai lawannya, sebaliknya orang yang telah
bertempur itupun, setelah lawannya berkurang seorang, dapat pula sedikit
demi sedikit mendesak musuhnya. Dengan demikian pertempuran itu
ternyata sudah tidak seimbang lagi.
Dalam kemarahannya, suami-istri Sima
Rodra itu bertempur semakin buas, liar dan kasar. Sedang lawannya,
tampaknya tetap tenang dan yakin.
Sesaat kemudian terdengar suara yang aneh
keluar dari mulut Sima Rodra. Suara jeritan yang mirip dengan aba-aba.
Apalagi setelah itu, tampak pula gerak-gerak mereka yang mencurigakan.
Meskipun mereka bertempur terus, tampak bahwa mereka sedang berusaha
untuk mendekati lobang goa. Mahesa Jenar maupun lawan yang seorang lagi,
dapat segera menangkap maksud itu, karena itu mereka menjadi lebih
waspada.
Dan apa yang dicurigakan itu memang
ternyata benar. Untunglah bahwa kawan bertempur Mahesa Jenar memiliki
kecepatan bergerak yang luar biasa. Sehingga ketika pada suatu saat,
dengan sekali gerakan suami-istri Sima Rodra itu meloncat akan memasuki
goanya, secepat itu pula kawan bertempur Mahesa Jenar itu telah meloncat
menghalang-halangi.
Kembali Sima Rodra mengaum hebat karena
marahnya. Bersamaan dengan itu geraknya menjadi semakin liar. Tetapi
keadaan itu tetap tidak menolong dirinya, sehingga mereka tetap terdesak
terus. Dalam keadaan yang demikian sekali lagi terdengar suara aneh
dari harimau liar itu. Tetapi kali ini ternyata mereka lebih
berhati-hati. Demikian teriakan itu berhenti demikian mereka meloncat
cepat seperti didera halilintar ke balik sebuah batu besar di samping
goanya. Segera Mahesa Jenar dan kawan bertempurnya itu memburu. Tetapi
terlambat. Sesaat kemudian terdengar deru yang hebat dibalik batu itu,
dan berguguranlah tanah di sekitarnya menyeret batu besar itu
seolah-olah terhisap kedalam sebuah lobang besar di bawah tanah. Agar
tidak turut terseret ke dalamnya, maka Mahesa Jenar bersama dengan lawan
Sima Rodra itu serentak meloncat mundur. Selanjutnya untuk beberapa
lama mereka hanya merenungi onggokan tanah bekas guguran itu.
“Sebuah pintu rahasia,” desis orang itu.
Memang sejak semula Mahesa Jenar juga
menduganya demikian, apabila yang berkepentingan sudah ada di dalamnya,
dengan sedikit sentuhan pada alat yang diperlukan, gugurlah tanah di
atas pintu itu, dan menutup lubangnya sehingga mereka tidak akan dapat
dikejar, untuk selanjutnya keluar dari pintu rahasia yang lain.
Sebentar kemudian kembali orang itu berkata, “Terimakasih atas pertolongan Tuan.”
“Aku hanya membantu mempercepat
penyelesaian saja, sebab tanpa aku pun tampaknya Ki Sanak pasti dapat
menyelesaikan seorang diri,” jawab Mahesa jenar.
Orang itu tertawa lirih, katanya melanjutkan,
”Tuan terlalu menyanjung aku. Tetapi sebenarnya bahwa kedatangan tuan
menyelamatkan nyawaku. Hanya sayanglah bahwa aku terpaksa tidak dapat
terlalu lama menemui Tuan, sebab ada satu pekerjaan yang harus aku
selesaikan. ”
Jantung Mahesa Jenar berdesir lembut. Apakah gerangan yang akan dilakukannya? Karena itu ia mencoba bertanya, ”Apakah yang memaksa Ki Sanak begitu tergesa-gesa?”
”Suatu pekerjaan yang tak berarti.” jawabnya, ”Aku hanya ingin memeriksa keadaan di dalam goa”
Mahesa Jenar mulai melihat adanya sesuatu
rahasia pada orang itu. Karenanya ia tidak bertanya tentang siapakah
dia dan dari manakah datangnya, sebab pertanyaan yang demikian tentu
tidak akan mendapat jawaban. Maka kemudian ia hanya berkata, “Bolehkah aku turut serta masuk kedalam goa?”
Orang itu tampak ragu-ragu sejenak, baru ia menjawab dengan mengajukan sebuah pertanyaan, “Tuan, apakah sebenarnya yang akan Tuan lakukan di atas bukit kecil ini?”
Mendengar pertanyaan orang itu, Mahesa
Jenar menjadi agak bingung. Tetapi pasti bahwa ia tidak akan menyebutkan
keperluan yang sebenarnya. Maka dijawabnya dengan sekenanya saja, “Aku datang untuk menuntut balas atas kematian kakakku di Pangrantunan.”
“Pangrantunan?” sahut orang itu.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar.
Tampaklah orang itu berpikir sejenak. Lalu katanya kemudian, “Tuan… orang Pangrantunan?”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar pendek.
Sayanglah bahwa Mahesa Jenar tak dapat
melihat sorot mata orang itu di dalam gelap. Kalau saja ia mengetahui,
dapatlah ia mengerti bahwa orang itu curiga kepadanya.
Maka, sejenak kemudian, “Apakah yang Tuan lakukan seterusnya? Tuan pasti tidak akan dapat menemukan Suami-Istri itu untuk beberapa lama.”
”Tak apalah.” jawab Mahesa Jenar, ”Tetapi aku hanya ingin melihat-lihat saja.”
”Mudah-mudahan apa yang Tuan katakan
benar. Silahkan Tuan melihat. Seterusnya aku berjanji untuk membalas
budi Tuan membinasakan suami-istri Sima Rodra pada kesempatan lain.
Semoga Tuan benar-benar tidak mempunyai kepentingan lain kecuali itu.” gumam orang itu.
Maka, kemudian orang itu pergi bersama
Mahesa Jenar, memasuki goa Sima Rodra dengan hati-hati. Mungkin terdapat
berbagai rahasia di dalamnya. Goa itu sebenarnya tidaklah begitu dalam.
Tetapi di dalamnya terdapat beberapa ruang yang dindingnya dilapisi
papan, tak ubahnya seperti ruang-ruang rumah biasa. Ruang itu diterangi
dengan oncor-oncor. Dua ruang sudah mereka masuki, tetapi mereka tak
menemukan sesuatu. Maka sampailah mereka pada ruang yang ketiga, yang
tidak seperti ruang-ruang lain. Ruang ini mempergunakan pintu yang
ditutup rapat. Ternyata pintu ini tidak hanya ditutup rapat, tetapi juga
dikancing dengan kancing yang tak dapat diketahui oleh orang lain.
Ketika sudah beberapa lama mereka tak berhasil membukanya, mereka
menjadi tidak sabar lagi. Mereka berdua sepakat untuk membuka pintu itu
dengan paksa. Dengan demikian, mereka mempergunakan kaki mereka untuk
bersama-sama menjebol pintu kayu yang terkancing itu. Dengan satu
tendangan yang hampir bersamaan mereka dapat memecahkan pintu itu, yang
dengan suara gemeretak pecah berserakan. Tetapi meskipun pintu itu sudah
menganga lebar, mereka tidak tergesa-gesa masuk. Sebab bukanlah
mustahil bahwa ada apa-apa di dalamnya. Setelah beberapa saat tak
ditemukan apapun, maka dengan langkah yang sangat hati-hati mereka
melangkah masuk.
Tetapi demikian mereka melangkahkan
kakinya melewati tlundak pintu, demikian serentak bulu roma mereka
berdiri. Di sudut ruangan itu mereka melihat sebuah nampan di atas
sebuah meja yang dialasi dengan kain beludru buatan Tiongkok yang
berwarna kuning keemasan. Dan yang mengejutkan mereka adalah cahaya yang
biru kekuning-kuningan, yang memancar dari dua keris yang diletakkan di
atas kain beludru itu. Karena itu, untuk sesaat mereka tegak berdiri
seperti patung.
Mahesa Jenar, sebagai seorang perwira
istana, sudah pasti bahwa apa yang dilihatnya itu sangat mengharukan
hatinya. Ia yakin sekarang bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten itu adalah
keris-keris yang asli. Mahesa jenar memang pernah melihat keris itu
beberapa kali, dahulu sebelum lenyap dari Istana Demak. Memang tidak
semua prajurit bahkan perwira yang beruntung dapat menyaksikan keris
itu. Karena Mahesa Jenar saat itu menjadi pengawal raja dan istana, maka
ia diberi kesempatan untuk menyaksikan pada saat keris itu dimandikan
pada hari pertama setiap tahun.
Karena itu ia hampir tidak dapat lagi
mengendalikan diri. Hampir saja ia meloncat mendekati keris-keris itu
kalau saja orang yang berdiri di sampingnya itu tidak menggamitnya
sambil berkata, ”Apakah Tuan berkepentingan dengan keris-keris itu?”
Mahesa Jenar kini tak dapat mengelak
lagi. Kedua keris yang dicarinya sudah ada di hadapannya. Maka apapun
yang terjadi haruslah dihadapinya. Maka jawabnya tegas, ”Benar Ki Sanak, aku datang untuk kedua keris ini. Aku harap Tuan mempunyai kepentingan yang tidak sama dengan kepentinganku”
”Hem….!” orang itu menggeram. ”Aku sudah menduga. Tetapi sayang bahwa kepentingan kita sama.”
Mendengar kata-kata orang itu seharusnya
Mahesa Jenar tidak lagi terkejut, namun demikian darahnya bergelora
hebat. Dengan menahan diri ia berkata, ”Ki Sanak, maafkanlah, aku tidak dapat melepaskannya lagi”
Orang itu merenung sejenak. Dalam
keremangan cahaya oncor-oncor, Mahesa Jenar melihat betapa gelisah
perasaannya, sehingga akhirnya keluarlah kata dari mulutnya, ”Tuan,
aku telah berhutang budi kepada Tuan. Tetapi aku akan tetap pada
pendirianku untuk mendapatkan benda-benda keramat dari Istana Demak
itu.”
Mahesa Jenar tidak tahu siapakah orang
itu sebagaimana orang itu tidak mengenal Mahesa Jenar. Karena itu mereka
saling berketetapan hati untuk dapat menguasai kedua pusaka itu.
Bagaimanapun Mahesa Jenar menyabarkan diri, namun akhirnya terloncat
pula kata-katanya yang tajam, ”Ki Sanak, seharusnya tadi aku
membiarkan Tuan bertempur seorang diri dan sekaligus dibinasakan oleh
suami-istri Sima Rodra itu.”
”Kalau demikian…” jawab orang itu, yang meskipun nampaknya masih setenang semula, tetapi isi kata-katanya tidak kalah runcingnya,
”Tuan akan berbuat kesalahan. Bukankah lebih mudah untuk melawan aku
seorang menurut pertimbangan Tuan daripada melawan mereka berdua?”
Sekali lagi darah Mahesa Jenar
menggelegak. Ternyata orang itu dapat dengan cepat menebak
perhitungannya. Maka jawabnya tanpa tedeng aling-aling, ”Ki Sanak benar, memang demikianlah apa yang akan aku lakukan”
”Baik Tuan,” sahut orang itu, ”Tetapi sebaiknya Tuan mempertimbangkan sekali lagi.”
”Tidak ada pertimbangan lain,” jawab Mahesa Jenar. Ia sudah pasti sekarang, bahwa ia harus bertempur melawan orang itu.
Sebenarnya ia masih bimbang terhadap bakal lawannya. Menilik sikap serta kata-katanya, agak aneh kalau ia termasuk golongan hitam yang lain, yang menginginkan pusaka-pusaka itu. Sebentar kemudian Mahesa Jenar teringat pula keramahan Jaka Soka pada waktu ia akan menyertai rombongan orang-orang yang akan melintas hutan Tambakbaya, juga suami-istri Sima Rodra itu sendiri, yang dengan ramah minta menginap di Kademangan Prambanan. Karena itu ia tidak akan menilai orang itu dari sikap serta kata-katanya.
Sebenarnya ia masih bimbang terhadap bakal lawannya. Menilik sikap serta kata-katanya, agak aneh kalau ia termasuk golongan hitam yang lain, yang menginginkan pusaka-pusaka itu. Sebentar kemudian Mahesa Jenar teringat pula keramahan Jaka Soka pada waktu ia akan menyertai rombongan orang-orang yang akan melintas hutan Tambakbaya, juga suami-istri Sima Rodra itu sendiri, yang dengan ramah minta menginap di Kademangan Prambanan. Karena itu ia tidak akan menilai orang itu dari sikap serta kata-katanya.
Sementara itu orang itu menjawab, ”Kalau demikian, marilah kita tentukan bersama, siapakah yang berhak untuk menguasai kedua keris itu.”
Mahesa Jenar sudah yakin bahwa memang
demikianlah yang akan terjadi. Tetapi meskipun demikian ketika mendengar
kata-kata itu keluar dari mulut orang itu, mau tak mau ia terpaksa
menaruh hormat kepadanya. Maka jawabnya, ”Kata-kata Tuan adalah kata-kata jantan. Mudah-mudahan aku dapat mengimbangi kejantanan Tuan.”
———-oOo———-
nssi yang mbuh ke berapa belas takwoco, kok ra bosen2 yo