

NSSI-09
I.
Karena pandangan mata itu, hati Mahesa
Jenar jadi gelisah. Seolah-olah ada suatu pengaruh yang aneh pada
dirinya. Maka untuk mengatasi kegelisahannya, kembali ia berteriak, “He, siapakah kau, yang telah berani mengambil pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dari Banyu Biru…?”
Orang itu masih belum menjawab. Tetapi
pandangan matanya semakin dalam menembus dada Mahesa Jenar yang menjadi
semakin gelisah. Dan seperti orang yang bingung, Mahesa Jenar
membentak-bentak, “Kau yang mengambil, he..? Ayo bilang, tak usah kau ingkari. Kalau demikian, kembalikan keris itu kepadaku. Kembalikan…!”
Karena orang itu masih saja tidak
menjawab, perasaan Mahesa Jenar menjadi semakin melonjak-lonjak.
Timbullah suatu perasaan kecut dan ngeri di dalam dirinya. Seolah-olah
orang yang berdiri di hadapannya itu memancarkan suatu perbawa yang
aneh. Sehingga kemudian Mahesa Jenar tidak dapat mengendalikan
kecemasannya, bercampur-baur dengan perasaan bingung dan pepat. Mahesa
Jenar mundur beberapa langkah, disilangkan satu tangannya di depan dada,
satu lagi diangkat tinggi-tinggi. Sambil memusatkan segala tenaganya,
Mahesa Jenar mengangkat satu kakinya dan ditekuknya ke depan. Sambil
berteriak nyaring Mahesa Jenar meloncat maju, “Kembalikan keris-keris itu atau kau binasa.” Setelah
itu, tangannya terayun deras dengan aji Sasra Birawa tersimpan di
dalamnya. Tetapi terjadilah suatu peristiwa yang sama sekali tak
terkirakan. Dengan cekatan, tangan orang tua itu bergerak dan dalam
sekejap tangan Mahesa Jenar yang sedang mengayunkan Sasra Birawa itu
dengan tenang ditangkapnya. Dengan demikian maka Mahesa Jenar tersentak
oleh kekuatannya yang tidak tersalur itu, sehingga seolah-olah suatu
pukulan yang dahsyat telah menghantam dadanya. Tetapi hanya sebentar.
Sebab sesaat kemudian terasalah seolah-olah udara yang sejuk mengalir ke
seluruh tubuhnya, sehingga dengan demikian tubuhnya sama sekali tidak
merasakan suatu gangguan apapun.
Mengalami peristiwa itu, jantung Mahesa
Jenar berdesir hebat sekali. Sadarlah ia bahwa yang berdiri di
hadapannya itu adalah seorang yang maha sakti. Yang memiliki kedahsyatan
ilmu lahir dan batin. Karena itu, ketika tangannya telah dilepaskan,
Mahesa Jenar segera mundur beberapa langkah dan kemudian seperti orang
yang tak berdaya, Mahesa Jenar menjatuhkan dirinya duduk bersila
menghadap kepada orang yang tak dikenalnya itu. Maka, dengan gemetar
Mahesa Jenar berkata, „Maafkanlah kelancanganku Kyai, dan perkenankanlah aku mengetahui siapakah sebenarnya Tuan?”
Terdengarlah orang tua berjubah abu-abu itu tersenyum, jawabnya, „Sudahlah
Mahesa Jenar, kau tak perlu terlalu merasa bersalah. Bahkan aku menjadi
gembira ketika kau masih ingat kepada kewajibanmu untuk menemukan
kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, sehingga kau berani
bertindak terhadap apapun dan siapapun. Dengan demikian maka masa
depanmu tidaklah akan gelap sama sekali”.
Mendengar kata-kata orang tua yang sama sekali tidak menjawab pertanyaannya itu, Mahesa Jenar menjadi tertegun heran. „Apakah gerangan maksudnya?”
Kemudian terdengarlah orang tua itu melanjutkan, “Mahesa Jenar…, apakah sebenarnya yang kau cari, sehingga kau sampai ke tempat ini?”
Perasaan Mahesa Jenar terasa seperti
disentakkan mendengar pertanyaan itu. Yah, apakah sebetulnya yang
dikehendaki sehingga sampai ke tempat ini…?
Teringatlah kemudian apa yang pernah
dialami akhir-akhir ini, yang masalahnya berkisar di sekitar Rara Wilis.
Namun untuk menguraikan kepada orang tua itu, Mahesa Jenar masih merasa
kurang enak. Karena itu ia jadi bimbang sehingga beberapa lama ia tidak
menjawab.
Karena Mahesa Jenar masih berdiam diri, terdengarlah orang tua itu meneruskan, “Aku
kira, aku dapat menduga-duga apa yang sebenarnya telah kau alami Mahesa
Jenar. Dan ketika aku melihat kau berlari-lari ke arah yang sama sekali
tak kau ketahui, aku pun dapat mengira-ngira pula, apa yang akan kau
lakukan. Sebab sebagian besar dari percakapanmu dengan Kyai Ageng Pandan
Alas, serta kemarahanmu kepada Arya Salaka dapat aku dengar. Ditambah
lagi dengan beberapa kejadian akhir-akhir ini yang dapat aku lihat pula.
Hubunganmu dengan cucu Ki Ageng Pandan Alas serta murid Ki Ageng Pandan
Alas yang bernama Sarayuda.”
Mendengar uraian orang tua itu, Mahesa
Jenar seperti orang yang dihadapkan pada suatu peristiwa yang diluar
kemampuan jalan pikirannya. Demikian banyaknya masalah yang dapat
diketahui oleh orang tua itu. Kalau demikian maka orang tua itu pasti
telah beberapa hari mengikutinya. Karena itu, pasti orang itu adalah
orang yang sama sekali tidak bermaksud jahat kepadanya. Dengan demikian
ia menjadi agak berani pula. Maka katanya, “Apa yang Tuan katakan adalah benar.”
Maka terdengarlah orang tua itu tertawa. “Bagus… katanya. Kau sadari semua itu, dan sekarang kau akan pergi kemana?”
Oleh pertanyaan itu kembali, Mahesa Jenar
kebingungan. Apakah sebaiknya ia bekata terus terang? Sebab andaikata
ia berbohong maka orang tua itupun agaknya dapat mengetahui pula. Karena
itu jawabnya, “Aku akan pergi bertapa, Kyai. Menjauhi kesibukan kesibukan duniawi yang menjemukan.”
Sekali lagi orang tua itu tertawa. Katanya, “Apakah
dengan bertapa serta menjauhkan diri dari persoalan manusia itu,
kemudian keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten akan datang kepadamu
dengan sendirinya?”
Sedikit-sedikit arah pembicaraan orang
tua itu sudah dapat ditangkap oleh Mahesa Jenar. Ia menjadi bertanya
pula pada diri sendiri, apakah sebenarnya yang dicarinya selama ini?
“Mahesa Jenar…” lanjut orang tua itu, “Kau
adalah seorang kesatria, bukan seorang brahmana atau pertapa. Kewajiban
kesatria adalah membina kesejahteraan umat manusia, kesejahteraan
bangsanya dan tanah airnya. Apakah yang dapat kau lakukan apabila kau
mengasingkan dirimu di puncak gunung atau di tengah-tengah hutan yang
lebat? Di dalam goa-goa atau di bawah pohon beringin tua? Mahesa Jenar,
aku sudah tua. Aku adalah gambaran dari orang-orang yang tak berarti.
Tinggal di dalam goa yang jauh dari masalah-masalah bangsa dan tanah
air, dimana aku meneguk air jika aku haus serta mencari ketenteraman
diri. Tetapi dengan demikian masalah keluarga besar kita tak
akan dapat diselesaikan. Sekarang adakah kau mau memperbanyak jumlah
dari orang-orang yang demikian itu?”
Kata-kata orang tua itu memancar ke hati
Mahesa Jenar seperti sinar matahari yang memecahkan gelapnya malam.
Meskipun ia masih duduk tepekur, namun dadanya telah menyala kembali
dengan api kekesatriaannya.
“Masihkah kau akan melanjutkan mencari pusaka-pusaka yang hilang itu?” tanya orang tua itu.
Karena pertanyaan itu Mahesa Jenar tersentak. Jawabnya tergagap, “Ya… Tuan, aku tetap mencarinya. Dan adakah Tuan mengetahui di manakah kedua keris itu sekarang?”
Orangtua itu tersenyum, lalu jawabnya, “Aku tahu. Kedua keris itu berada di dalam kekerasan hatimu serta usahamu.”
Kembali Mahesa Jenar tertunduk. Tepat benar jawaban orang tua itu.
“Mahesa Jenar…” lanjut orang itu, “hati-hatilah
kelak akan memilih. Ada dua keturunan yang merasa berhak memiliki keris
itu. Keturunan Trenggana dan keturunan Sekar Seda Lepen. Pilihlah siapa
di antara mereka yang mengutamakan kepentingan rakyat serta
kesejahteraan negerinya. Kepadanyalah keris itu kau serahkan. Seterusnya
kau masih mempunyai satu kewajiban lagi. Membina masa depan. Dan
sekarang kau sia-siakan satu tugas kekuatan masa depan itu.” Orang tua itu diam sesaat, lalu bertanya kepada Mahesa Jenar, “Dengarlah siapakah yang menyebut-nyebut namamu?”
Lamat-lamat ketajaman pendengaran Mahesa Jenar mendengar suara memanggil-manggilnya, “Paman…, Paman Mahesa Jenar…, di manakah kau Paman…?” Mendengar
suara itu, terbantinglah hati Mahesa Jenar seperti kaca yang menimpa
batu. Itu adalah suara Arya Salaka, putra Gajah Sora.
“Apa salah anak itu kepadamu Mahesa Jenar?” tanya orang tua itu sambil tersenyum.
Karena pertanyaan itu hati Mahesa Jenar
merasa semakin pecah-pecah. Teringatlah ia, bagaimana ia
membentak-bentak anak itu, meninggalkannya dalam kebingungan dan
kekalutan pikiran.
“Mahesa Jenar…” terdengarlah kembali kata-kata orang tua itu, “Masa depan tidaklah kalah pentingnya dengan masa kini. Justru apa yang kau lakukan adalah buat kepentingan masa depan. Karena
itu peliharalah tunas-tunas buat masa depan itu dengan baik-baik. Kali
ini kau telah mendapatkan pengalaman untuk dapat kau pergunakan sebagai
cermin pada masa-masa yang akan datang. Setiap usaha pasti mengalami
rintangan-rintangan. Apabila kau terperosok pada kepatahan hati maka tak
akan ada usahamu yang berhasil. Aku setuju dengan kata-kata Pandan
Alas, hatimu sekeras baja, tetapi getas seperti baja pula. Nah sekarang
hayatilah tugasmu kembali. Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten serta anak Gajah Sora yang dititipkan kepadamu itu.”
Mahesa Jenar membungkuk hormat, namun masih juga ia mencoba bertanya, Siapakah sebenarnya Tuan?
Orang tua itu tersenyum. Jawabnya, “Tak
banyak gunanya kau mengetahui siapakah aku ini. Sebab aku adalah orang
yang tak berarti. Salah satu dari gambaran orang-orang yang tidak
bertanggungjawab buat membina bebrayan agung. Namun aku masih ingin
menitipkan sumbangsihku atas tanah ini kepadamu, dengan mencegah
kehendakmu untuk menambah barisan orang-orang yang tak berarti seperti
aku ini. Nah selamat bekerja Mahesa Jenar. Seharusnya kau memiliki
keagungan seperti gurumu, Pangeran Handayaningrat.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, orang tua yang berkumis dan berjanggut lebat itu melangkah pergi.
Mahesa Jenar yang masih belum puas itu
segera akan mengikutinya, tetapi tiba-tiba kembali didengarnya suara
sayup-sayup menyusup dedaunan, “Paman…, Paman Mahesa Jenar…. Kenapa aku kau tinggalkan sendiri, Paman…?”
Suara yang timbul-tenggelam diantara
desir angin di hutan itu telah menyentuh-nyentuh perasaan Mahesa Jenar
seperti panasnya bara api. Cepat ia menyadari kesalahannya telah
meninggalkan anak yang tak bersalah itu. Karena itu ia berteriak pula, “Arya…, tunggulah Paman segera datang.”
Setelah itu segera ia meloncat berlari
sekencang-kencangnya menuju ke arah suara Arya Salaka, yang ketika
mendengar suara Mahesa Jenar, berteriak lebih keras lagi, “Paman…, Paman….”
Ketika Arya Salaka melihat Mahesa Jenar
yang tiba-tiba muncul dari rimbunnya hutan, segera ia berlari
menyongsongnya. Tetapi karena tubuhnya sudah sangat lelah, maka ia pun
terjatuh lemas. Melihat kadaan Arya, Mahesa Jenar jadi terharu. Cepat ia
menangkap tubuh Arya yang sudah hampir terjerembab, dan dengan
hati-hati anak itu didudukkan di atas rumput-rumputan.
“Arya….” bisik Mahesa Jenar.
Arya tidak menjawab, karena kerongkongannya terasa buntu. Namun air matanya mengalir seperti tanggul yang pecah.
Arya Salaka yang sebenarnya bukanlah anak
cengeng, pada saat itu tangisnya tak tertahankan lagi, seperti
berdesak-desakan berebut jalan.
“Arya…” kata Mahesa Jenar, “Anak laki-laki tidak sepantasnya menangis. Diamlah.”
Meskipun nada suara Mahesa Jenar sudah
menjadi lunak, namun Arya masih ketakutan kalau-kalau pamannya akan
marah kembali. Karena itu ditahannya tangisnya kuat-kuat. Tetapi karena
itu pula maka dadanya menjadi sesak karena isaknya yang tersekat,
sehingga tubuhnya berguncang-guncang.
“Sudahlah Arya…” sambung Mahesa Jenar, “Kalau kau terlalu lama menangis kau dapat kemasukan angin.”
“Aku takut paman” kata Arya di sela-sela sedu sedannya.
“Takut…?” tanya Mahesa Jenar. “Apa yang kau takutkan?”
“Aku takut kalau Paman meninggalkan aku sendiri,” jawab Arya.
Mendengar jawaban itu hati Mahesa Jenar
tergetar. Adalah wajar kalau seorang anak sebesar Arya Salaka menjadi
ketakutan ditinggalkan seorang diri di padang ilalang di pinggir hutan
yang sama sekali tak dikenalnya, bagaimanapun beraninya anak itu.
“Tidak Arya…, Paman tak akan meninggalkan kau sendiri,” kata Mahesa Jenar membesarkan hati anak itu.
“Tetapi tadi Paman berlari kencang sekali,” potong Arya.
Mendengar kata-kata Arya itu, Mahesa Jenar tersenyum. Senyuman yang pahit bagi dirinya sendiri. Namun jawabnya, “Tadi Paman tidak akan meninggalkan kau, Arya. Tetapi
karena ada sesuatu yang harus aku kerjakan, dan tidak boleh orang lain
tahu, apalagi anak-anak. Karena hal itu adalah rahasia besar, maka aku
pergi mendahuluimu untuk beberapa lama.”
Arya memandang wajah Mahesa Jenar dengan
pandangan yang penuh keragu-raguan. Apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar
tadi menurut anggapannya bukanlah sekadar mendahului, tetapi
benar-benar telah berusaha untuk meninggalkannya. Karena itu ia
bertanya, “Tetapi tadi Paman marah kepadaku.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum. Namun hatinya mengeluh. “Sudahlah Arya, sekarang dan seterusnya Paman tak akan meninggalkan kau lagi.”
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun hatinya masih tetap ragu, katanya, “Kemana Paman pergi, aku ikut Paman.”
“Bagus Arya, bagus,” jawab Mahesa Jenar. “Nah, sekarang kemana?”
“Terserahlah kepada Paman,” jawab Arya.
“Kau lelah?” tanya Mahesa Jenar.
“Tidak, kalau berjalan dengan Paman aku masih kuat,”
jawab Arya dengan mantapnya, meskipun sebenarnya kakinya sudah terlalu
letih. Agaknya Mahesa Jenar mengetahui pula kelelahan Arya, karena itu
katanya, “Kita beristirahat sebentar Arya, nanti kalau kau sudah tidak begitu letih, kita berjalan kembali.”
Arya menjadi gembira mendengar ajakan
pamannya. Memang sebenarnya ia lelah sekali setelah beberapa lama
berlari-lari mengejar Mahesa Jenar. Maka jawabnya, “Baiklah Paman. Aku akan beristirahat dahulu.”
Kemudian mereka mencari tempat yang teduh
di bawah pepohonan, di tepi hutan. Arya Salaka dengan segera merebahkan
dirinya berbaring diatas rumput-rumput kering. Dan, karena lelahnya
maka segera ia pun tertidur.
Mahesa Jenar memandang Arya yang sedang
tidur itu dengan perasaan belas kasih. Apalagi kalau diingatnya, bahwa
hampir saja anak itu ditinggalkannya seorang diri. Dari wajah anak itu
tampaklah memancar ketulusan serta keberanian yang diwarisinya dari
ayahnya, Gajah Sora. Karena itu, apabila Arya Salaka menerima pendidikan
serta latihan yang baik, pastilah kelak ia akan menjadi seorang pemuda
yang perkasa.
Sementara itu matahari telah menempuh
lebih dari tigaperempat bagian dari jalan peredarannya, karena itu
panasnya tidak begitu tajam lagi. Di langit yang biru bersih, hanya
kadang-kadang saja tampak awan tipis mengalir perlahan-lahan.
Bersama dengan awan yang tipis itu
kenangan Mahesa Jenar membubung tinggi. Diingatnya segenap masa
lampaunya yang penuh dengan bermacam-macam kejadian silih berganti.
Ketenaran dua keagungan sebagai seorang perwira pasukan Naramanggala,
kepahitan dan kekecewaan, kecemasan dan bermacam-macam lagi peristiwa
yang datang silih berganti di masa perantauannya.
Namun akhirnya, ketika awan di langit itu
pecah berpencaran ditiup angin, maka hilang pulalah semua kenangan yang
mengganggu pikiran Mahesa Jenar. Yang tampak sekarang adalah masa yang
menghadang di hadapannya. Masa yang akan penuh dengan
tantangan-tantangan yang harus dijawab dengan tindakan-tindakan yang
tepat.
Tetapi kemudian tiba-tiba Mahesa Jenar
teringat kepada orang tua yang telah membawanya kembali ke jalan yang
lurus. Siapakah kira-kira orang itu? Benarkah orang itu yang telah
mengambil keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten? Ketika
pertanyaan-pertanyaan itu ditujukan kepadanya maka ia sama sekali tidak
menyangkalnya meskipun tidak pula membenarkan. Ditilik dari pakaiannya
maka Mahesa Jenar hampir pasti bahwa orang itulah yang mengambil kedua
pusaka itu dari Banyubiru, sebab jarang orang yang berpakaian jubah
berwarna abu-abu, kecuali Pasingsingan dan orang itu. Meskipun Mahesa
Jenar belum pernah melihat wajah asli Pasingsingan yang nama sebenarnya
adalah Umbaran, namun pastilah bahwa orang tua itu bukannya Umbaran.
Kalau demikian sampailah Mahesa Jenar
pada suatu dugaan bahwa orang tua itu adalah Pasingsingan tua, guru dari
Paniling, atau yang sebenarnya bernama Radite, Anggara dan Umbaran.
Namun ia sendiri tidak yakin, apakah dugaannya itu benar.
Tetapi bagaimanapun Mahesa Jenar mendapat
kesimpulan bahwa usaha untuk menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk
Inten akan merupakan suatu usaha yang berjangka panjang. Sebab sampai
saat itu segala sesuatunya masih gelap. Gelap sama sekali. Tak ada satu
titik pun yang dapat menunjukkan arah lenyapnya kedua pusaka yang sedang
menjadi rebutan oleh beberapa pihak itu. Akibat dari itu, pasti akan
menyangkut Gajah Sora pula. Makin lama waktu yang diperlukan untuk
menemukan kedua keris itu, semakin lama pula waktu pembebasan yang akan
diberikan kepadanya. Mahesa Jenar hanya dapat berdoa, mudah-mudahan
Paningron dan Gajah Alit dapat menolong meringankan tuduhan yang
dibebankan kepada Gajah Sora.
Tetapi ketika Mahesa Jenar baru asyik
berangan-angan, tiba-tiba terdengarlah derap kuda yang semakin lama
semakin dekat. Karena itu segera didukungnya Arya yang masih tidur,
dibawa masuk ke dalam semak-semak yang rimbun. Untunglah bahwa Arya yang
kelelahan itu tidak terbangun. Sedang Mahesa Jenar, dengan hati-hati
sekali mengintip dari celah-celah rapatnya dedaunan ke arah suara
kuda-kuda itu.
Sebentar kemudian dari balik tikungan
semak-semak muncullah tiga orang berkuda. Melihat tiga orang itu, dada
Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Mereka adalah sepasang Uling dari
Rawa Pening, disertai oleh Sri Gunting.
Menilik perbekalan mereka, maka Mahesa
Jenar dapat mengetahui bahwa dua bersaudara Uling itu akan menempuh
perjalanan yang jauh. Mula-mula timbul keinginan Mahesa Jenar untuk
menghadang mereka serta langsung membinasakan mereka. Tetapi tiba-tiba
diingatnya pesan Ki Paniling, bahwa ia dinasehatkan untuk tidak
bertindak tergesa-gesa. Ia harus tahu pasti bahwa tindakannya
benar-benar akan menguntungkan. Sedang pada saat itu, ia masih belum
yakin bahwa ia seorang diri dapat mengalahkan orang-orang itu. Apalagi
ia sedang membawa Arya. Kalau sampai terjadi sesuatu atas anak itu, maka
letak kesalahan ada padanya. Karena itu akhirnya, Mahesa Jenar hanya
mengintip dengan dada yang bergetar menahan perasaannya.
Ketika ketiga orang itu lenyap dari
pandangan matanya, Mahesa Jenar segera menyadari, betapa semakin
sulitnya pekerjaan yang akan dilakukan. Dengan melihat kedua orang itu
Mahesa Jenar dapat menerka, bahwa pasti tidak saja sepasang Uling itu
yang pergi merantau, tetapi pasti juga tokoh-tokoh hitam yang lain,
menempuh perjalanan dan bertebaran ke segenap penjuru untuk
dahulu-mendahului menemukan Keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten. Kalau saja ia bertemu dengan Uling, Lawa Ijo, Jaka Soka dan
sebagainya, bagaimanapun masih ada kemungkinan bagi Mahesa Jenar untuk
menyelamatkan diri. Tetapi bagaimana halnya kalau di perjalanan ia
berjumpa dengan tokoh-tokoh tua seperti Pasingsingan, Sima Rodra tua,
Bugel Kaliki dan barangkali tokoh-tokoh tua yang berdiri di belakang
Sepasang Uling dan Jaka Soka, atau guru-guru mereka, yang ternyata juga
mengingini pusaka-pusaka itu? Terhadap mereka tidak akan banyak yang
dapat dilakukan. Untunglah sampai saat ini beberapa kali jiwanya selalu
terselamatkan oleh pertolongan mereka dari angkatan yang sebaya. Tetapi
kalau tak seorangpun dari mereka yang melihat, pasti bahwa tinggal nama
Mahesa Jenar saja yang mungkin masih sering disebut-sebut orang.
Mengingat hal itu, tiba-tiba dirasanya bulu tengkuknya berdiri. Tetapi
ketika segera menyusul gema yang berkumandang di rongga hatinya, gema
suara orang tua yang tak dikenalnya, yang mengatakan bahwa Keris
Nagasasra dan Sabuk Inten berada di dalam kekerasan hatinya serta
usahanya, maka nyala tekad di dalam hatinya berkobar semakin besar,
sebesar nyala api di lubang kepundan Gunung Merapi, yang tak akan dapat
padam oleh hujan selebat apapun serta angin sekencang apapun.
Sementara itu Arya telah menggeliat pula.
Ketika ia membuka matanya maka yang pertama-tama dilakukan adalah
berteriak memanggil, “Paman…, Paman Mahesa Jenar….”
“Sst…!” desis Mahesa Jenar. “Kenapa kau berteriak, Arya…?”
Dengan pandangan yang masih diliputi oleh keragu-raguan, Arya mengawasi Mahesa Jenar tanpa berkedip. Sambungnya, “Paman tidak meninggalkan aku lagi bukan?”
Mahesa Jenar tertawa kosong, dengan penuh pengertian atas kecemasan yang mencengkam perasaan Arya. Jawabnya, “Kalau aku akan meninggalkan engkau, bukankah lebih baik pada saat kau sedang tidur?”
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Arya
menjadi percaya bahwa pamannya tidak akan pergi meninggalkannya. Setelah
beberapa kali menggeliat, segera Arya duduk di samping Mahesa Jenar.
“Sudah tidak lelah lagi kau Arya”’ tanya Mahesa Jenar.
“Bukankah sejak tadi aku tidak lelah Paman?” jawab anak itu.
Terdengar Mahesa Jenar tertawa pendek, katanya meneruskan, Bagus kalau begitu. Nah sekarang kau sudah siap untuk berjalan lagi?”
“Tentu Paman, tentu aku siap berjalan setiap saat,” sahut Arya.
“Kalau begitu, mari kita berjalan, ajak Mahesa Jenar.
Oleh ajakan itu segera Arya meloncat
berdiri dengan sigapnya. Memang setelah ia tertidur beberapa lama,
tubuhnya telah menjadi segar kembali.
“Kita sekarang kembali ke rumah kita sebentar Arya,” ajak Mahesa Jenar meneruskan.
“Kenapa hanya sebentar Paman?” tanya Arya.
“Biarlah kami tinggalkan rumah itu. Rumah dimana kau hampir saja mengalami bencana,” jawab Mahesa Jenar, seterusnya ia menerangkan, “Arya,
rumah itu ternyata sudah diketahui oleh orang-orang yang ingin
membunuhmu. Karena itu bukankah lebih baik kalau kita pergi? Kita mampir
sebentar hanyalah untuk mengambil tombak pusaka Banyubiru Kyai Bancak.
Biarlah tombak itu kau bawa serta. Supaya tidak mencurigakan, nanti
sebaiknya kita lepas tangkainya.”
“Baiklah Paman,” jawab Arya sambil menganggukkan kepalanya.
Kemudian berangkatlah mereka berdua meneruskan perjalanan. Tidak lama kemudian matahari tenggelam di ujung barat langit.
Dalam kegelapan, mereka tetap meneruskan
perjalanan. Mahesa Jenar yang berpandangan tajam dapat menempuh
perjalanan dengan tidak banyak menemui kesulitan, sambil menggandeng
Arya Salaka.
Belum sampai tengah malam, mereka berdua telah tiba di pedukuhan dimana telah mereka bangun tempat untuk berteduh.
Pada pagi harinya, tetangga-tetangga
Mahesa Jenar yang baik hati, ketika mengetahui bahwa Mahesa Jenar telah
berhasil menemukan anak yang mereka anggap anak Mahesa Jenar sendiri,
dengan selamat, segera berkerumun untuk mengucapkan syukur. Mereka
bertanya bergantian tak ada henti-hentinya sehingga Mahesa Jenar
kerepotan untuk menjawabnya.
Tetapi kemudian, mereka,
tetangga-tetangga yang baik itu menjadi tercengang-cengang ketika
tiba-tiba saja Mahesa Jenar mohon diri kepada mereka untuk pergi
meneruskan perantauannya seperti ketika belum menetap di pedukuhan itu.
Para tetangga yang menganggap Mahesa Jenar sebagai seorang petani yang
banyak memberikan sesuluh kepada mereka, menjadi agak kecewa. Kata salah
seorang dari mereka, “Adakah kami berbuat kesalahan terhadap Angger?”
“Tidak, Bapak,” sahut Mahesa Jenar cepat. “Sama sekali tidak.”
“Atau barangkali Adi marah kepada kami?” sambung yang lain, “Karena kami tidak dapat melindungi anak Adi?”
“Juga tidak,” jawab Mahesa Jenar. “Tidak ada kesalahan saudara-saudara kepada kami”.
“Lalu kenapa Adi mau pergi?” tanya seseorang pula.
Mahesa Jenar agak bingung menjawab pertanyaan itu. Tetapi akhirnya ia berkata, “Saudara-saudaraku
yang baik. Aku ingin berjalan semata-mata karena kegemaranku merantau.
Aku ingin menunjukkan beberapa pengalaman kepada anakku ini. Sebab aku
bercita-cita bahwa kelak nasib anakku ini harus lebih baik dari nasibku
sendiri.”
Para tetangga yang ramah itu pun
mengangguk-anggukkan kepala. Agaknya Mahesa Jenar sudah tidak dapat di
tahan lagi. Karena itu dengan berat hati mereka lepas Mahesa Jenar dan
anaknya berjalan.
Pada suatu saat kami akan datang kembali, kata Mahesa Jenar kepada mereka yang mengantar sampai ke ujung desa.
Setelah itu, mulailah Mahesa Jenar dengan perantauannya kembali. Tetapi kali ini Mahesa Jenar tidak berjalan sendiri.
———-oOo———-
II
Mula-mula Mahesa Jenar dan Arya Salaka
berjalan ke arah selatan, tetapi kemudian mereka membelok ke barat dan
terus ke utara. Untuk sementara mereka berjalan asal saja menjauhi
daerah kekuasaan Lembu Sora. Di bawah baju Arya Salaka terseliplah
tombak pusaka Banyubiru yang telah dilepas dari tangkainya, yang dibalut
rapi dengan kulit kayu.
Di perjalanan pagi itu Mahesa Jenar tidak
banyak berkata-kata. Pikirannya diliputi oleh kegelapan yang
menyelubungi keris-keris pusaka Demak yang hilang. Sampai saat itu ia
sama sekali masih belum tahu kemana dan bagaimana harus mencari kedua
keris itu. Apa yang dilakukan adalah seperti meraba-raba di dalam kelam.
Tetapi disamping itu masih ada yang harus dilakukan. Membentuk Arya
menjadi seorang jantan. Dan mengantarnya kembali ke daerah perdikan
Banyubiru.
Sedang Arya Salaka agaknya sama sekali
tidak menghiraukan apa-apa. Dalam cerah matahari pagi, ia berjalan agak
di depan dengan riangnya. Ia berlari-lari selincah anak kijang, tanpa
perasaan takut serta prasangka apa-apa, dalam irama nyanyi burung-burung
liar yang berloncat-loncatan di rerumputan yang hijau segar.
Sekali-sekali Arya mengambil batu serta
dilemparkan kearah gerombolan burung-burung yang asyik mematuk-matuk
biji-biji rumput, yang kemudian karena terkejut beterbangan
berputar-putar, tetapi sesaat kemudian burung-burung itu kembali hinggap
di rerumputan.
Tiba-tiba Arya Salaka terhenti ketika
didengarnya Mahesa Jenar memanggil. Ketika ia menoleh, dilihatnya
pamannya sudah agak jauh tertinggal di belakang. Karena itu Arya segera
duduk di atas batu untuk menanti Mahesa Jenar.
“Arya…” kata Mahesa Jenar setelah mereka berjalan bersama-sama. “Aku
mempunyai pikiran bahwa untuk keselamatanmu kau harus berusaha
sejauh-jauhnya agar kau tak dikenal orang. Karena itu Arya, aku
berpendapat bahwa sebaiknya nama panggilanmu harus diganti. Sebab,
selama kau masih mengenakan namamu yang sekarang, Arya Salaka, maka
orang-orang yang akan mencarimu dengan mudahnya akan dapat menemukan
kau. Sebab namamu adalah nama yang jarang-jarang dipakai orang. Maka
sekarang kau ingin mengubah namamu dengan nama lain?”
Arya memandang wajah Mahesa Jenar dengan herannya, katanya,. “Apakah kalau aku berganti nama, orang tak mengenal aku lagi?”
“Bukan begitu Arya,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi setidak-tidaknya orang tidak mendengar lagi nama Arya Salaka. Bukankah dengan mendengar namamu orang dapat menemukanmu?”
Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya ia sudah mengerti maksud Mahesa Jenar. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, “Paman,
meskipun namaku sudah diganti, tetapi apabila seseorang berkata tentang
seorang anak yang berjalan bersama-sama dengan Mahesa Jenar, bukankah
segera orang mengenal aku? Sebab yang selalu berjalan bersama-sama
dengan Arya Salaka adalah Mahesa Jenar.”
“Kau benar-benar cerdas Arya,” jawab Mahesa Jenar sambil tertawa, “Aku setuju dengan pendapatmu. Kalau begitu, marilah kita bersama-sama mengganti nama.”
Mendengar pendapat itu Arya Salaka
tertawa berderai. Agaknya hal itu merupakan suatu hal yang lucu. Melihat
Arya tertawa, Mahesa Jenar pun tertawa.
“Nah, Arya… siapakah nama yang pantas buat mengganti namamu?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
Arya tampak mengerutkan keningnya, tetapi beberapa lama kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Terserahlah kepada paman.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berpikir. Nama apakah yang sepantasnya diberikan buat
anak itu. Tiba-tiba terlintaslah suatu nama yang tepat diberikan kepada
Arya Salaka. Katanya, “Arya, kau tahu bahwa namaku adalah Mahesa
Jenar. Mahesa adalah sejenis binatang bertanduk. Maksud dari nama itu
adalah supaya aku mempunyai kesigapan dan ketangguhan seperti Mahesa.
Sedang harapanku, kau harus lebih hebat daripadaku. Karena itu aku akan
memberi nama kepadamu dengan nama yang lebih hebat pula. Bukankah nama
ayahmu hebat pula? Gajah Sora. Dan ayahmu benar-benar hebat seperti
seekor gajah. Nah, dengarlah Arya, aku akan memberimu nama Handaka.”
“Handaka…” ulang Arya, “Apakah Handaka itu?”
“Handaka adalah nama binatang bertanduk pula,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi jauh lebih hebat dari Mahesa Jenar. Sebab Handaka berarti banteng.”
Mendengar uraian Mahesa Jenar, hati Arya Salaka bergetar. Maka dengan bangga ia berkata, “Aku pernah mendengar ayah berceritera tentang seekor banteng.”
“Apa kata ayahmu?” tanya Mahesa Jenar.
“Banteng adalah binatang yang hebat sekali,” jawab Arya.
“Nah, kalau begitu sekarang aku memanggil kau, Handaka,” kata Mahesa Jenar meneruskan, “Tetapi siapakah kelanjutan nama itu?”
“Handaka Sora, seperti nama ayah,” usul Arya.
“Tetapi orang akan masih dapat mengenal kau dalam hubungan nama dengan ayahmu,” jawab Mahesa Jenar. “Juga seandainya kau bernama Handaka Jenar. Orang akan menghubungkan dengan nama Mahesa Jenar.”
“Lalu apakah yang baik menurut Paman?” tanya Arya Salaka.
“Begini Arya… aku mempunyai nama yang baik. Dengarlah…. Nama lengkapmu adalah Bagus Handaka. Bagaimana pendapatmu?”
Mata Arya menjadi berkilat-kilat. “Bagus… Paman. Bagus sekali. Nah, sejak saat ini aku bernama Bagus Handaka.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Dan sekarang siapakah namaku?”
“Terserahlah kepada Paman,” jawab Bagus Handaka.
“Jangan panggil aku Paman. Panggil aku Bapak untuk seterusnya.”
“Baiklah Bapak.”
“Bagus Handaka, dengarlah. Aku akan memakai nama seorang petani biasa. Sejak saat ini panggilah aku dengan nama Manahan, Bapak Manahan.”
“Baiklah Bapak Manahan.”
“Bagus. Kita sekarang sudah merupakan
orang baru. Meskipun apa yang kita lakukan adalah kelanjutan usaha kita
sebelumnya. Kau harus kembali ke Banyubiru kelak. Dengan atau tidak
dengan kekerasan.”
“Tentu Paman… eh… Bapak. Sebab tanah itu bagiku merupakan Tanah Pusaka sekaligus tanah tercinta.”
Manahan dengan menepuk pundak Bagus Handaka berkata pula, “Bagus
Handaka, karena semuanya itu, kau mulai saat ini harus melatih diri
dengan tekun dan sungguh-sungguh. Supaya kau kelak tidak akan
ketinggalan dengan anak pamanmu Lembu Sora.”
“Adi Sawung Sariti?” potong Bagus Handaka.
Manahan mengangguk. Katanya meneruskan, “Anak
itu pun sekarang pasti mengalami penggemblengan. Supaya kelak dapat
menjadi anak hebat pula. Karena itu kau jangan sampai kalah.”
“Baik Bapak, aku akan mencoba untuk
berlatih sekuat-kuat tenagaku, supaya aku tidak mengecewakan Bapak
Manahan serta ayah Gajah Sora,” jawab Bagus Handaka.
“Bagus Handaka. Masa yang akan datang ini bagimu adalah suatu masa pembajaan diri,” desis Bagus Handaka.
Kemudian setelah itu, mereka saling berdiam diri, hanyut dalam arus angan-angan masing-masing.
Di langit, matahari masih memancar dengan cemerlang memanasi gunung serta lembah-lembah.
Itulah permulaan dari suatu masa yang
panjang, yang akan penuh dengan latihan olah kanuragan jaya kasantikan
bagi Arya Salaka, yang kemudian bernama Bagus Handaka.
Ternyata ia memang seorang anak yang
tangkas dan cerdas. Memiliki kekuatan jasmaniah yang hebat pula. Dalam
perantauan mereka dari satu tempat ke lain tempat, mereka sama sekali
hidup dalam keprihatinan. Manahan dan Bagus Handaka tidak lebih dari dua
orang bapak dan anak yang miskin. Apabila mereka merambah hutan, maka
yang dimakan adalah buah-buahan yang dapat mereka jumpai di perjalanan
mereka. Sedangkan apabila mereka melalui jalan-jalan kota, mereka
berusaha untuk mendapatkan pekerjaan apapun yang dapat mereka lakukan.
Tetapi karena semuanya itu mereka lakukan
dengan suatu keyakinan bagi masa datang, maka hal itu sama sekali tidak
menimbulkan gangguan apapun dalam diri mereka. Baik jasmaniah maupun
tekad yang tersimpan di dalam dada mereka.
Di dalam masa perantauan itu, satu hal
yang tak seorang pun mengetahui, adalah, bahwa setiap saat Bagus Handaka
selalu menerima latihan-latihan yang berat dan teratur dari gurunya.
Setiap pagi, bila matahari belum menampakkan diri, Bagus
Handaka harus sudah melakukan latihan
berlari-lari dan kemudian dengan alat apa saja yang mungkin
dipergunakan, cabang-cabang pohon, ia harus melakukan latihan tangan
dengan bergantung dan berayun. Disamping itu, sedikit demi sedikit
Manahan mengajarinya pula gerakan-gerakan pembelaan diri dengan segala
unsur-unsurnya.
Bagus Handaka menerima semua pelajaran
dari gurunya dengan tekad yang bulat, hati yang mantap. Karena itu semua
pelajaran dengan cepatnya dapat dikuasainya dengan baik.
Maka beberapa lama kemudian perjalanan
mereka sampai ke pantai utara. Seterusnya mereka menyusur pantai
membelok ke arah barat, menerobos hutan-hutan rimba yang kadang-kadang
masih sangat lebat.
Tetapi semuanya itu tidak menghalangi
pertumbuhan Bagus Handaka. Tubuhnya semakin lama menjadi semakin kekar
dan kuat, sedang geraknya menjadi semakin sigap.
Akhirnya mereka sampai ke suatu daerah
pedukuhan yang kecil, dimana para penduduknya hidup sebagai nelayan. Di
samping itu mereka gemar berburu kalong, sejenis binatang malam yang
mirip dengan kelelawar, tetapi lebih besar dan pemakan buah-buahan.
Meskipun ada juga diantara mereka yang bercocok tanam, tetapi
penghidupan sebagai seorang petani agak tidak begitu menarik perhatian.
Di pedukuhan itulah Manahan dan Bagus
Handaka berhenti berjalan. Mereka menyatakan diri untuk tinggal
bersama-sama di padepokan itu. Meskipun penduduknya tampaknya agak
bersikap kasar, namun sebenarnya hati mereka tulus. Karena itu Manahan
dan anaknya diterima oleh mereka dengan tangan terbuka.
Di pedukuhan itulah Manahan menambah
jumlah mereka yang mengolah tanah pertanian. Dengan tidak mencolok
Manahan membawa cara-cara baru dalam pengolahan tanah dan cara-cara
pengairan yang agak teratur. Karena itu dalam waktu singkat Manahan
telah menjadi orang yang disenangi oleh penduduk pedukuhan itu.
Sedang di pedukuhan itu, Bagus Handaka
mendapat kesenangan baru. Dengan para nelayan kadang-kadang ia ikut
serta berlayar menangkap ikan. Adalah mengherankan bahwa Handaka yang
belum begitu lama hidup di kalangan para nelayan, kesigapannya telah
hampir melampaui pemuda-pemuda nelayan yang sebayanya. Agaknya
kesenangannya bermain-main di Rawa Pening, serta kegemarannya menangkap
Uling, merupakan bekal yang baik bagi seorang nelayan. Apalagi darah
pelaut yang mengalir dalam tubuh ayahnya, Gajah Sora, agaknya melimpah
juga kepada anak ini. Ditambah lagi dengan latihan-latihan keprigelan
yang diterimanya dari Manahan. Dengan demikian Handaka pun menjadi cepat
terkenal diantara teman-temannya. Bahkan orang-orang tua pun kemudian
mengaguminya.
Tetapi ada kegemaran Handaka yang lain,
yang tidak sama dengan pemuda-pemuda nelayan pada umumnya. Handaka
mempunyai kegemaran menyepi apabila semua pekerjaannya sudah selesai.
Kadang-kadang ia betah duduk lama-lama di pasir pantai yang sepi.
Memandang ke arah laut yang luas. Pada gelombang-gelombang yang selalu
bergerak disapu angin.
Apabila malam gelap yang turu, serta saat
berlatih telah lampau, juga apabila ia tidak turuta serta ke laut, maka
ia lebih senang duduk di pantai dari pada pergi tidur. Apabila tubuhnya
terasa lelah sekali, di pasir pantailah Handaka merebahkan diri, yang
kadang-kadang ketika terdengar ayam berkokok menjelang matahari terbit,
ia baru bangkit dan berjalan pulang ke pondoknya.
Manahan sama sekali tidak keberatan atas
kelakuan muridnya itu. Ia mengharap bahwa dengan demikian Bagus Handaka
mendapat ketenangan dan pengendapan. Dalam kesepian yang demikian
kadang-kadang ditemukannya masalah-masalah besar dalam perjuangan masa
depan. Karena itu ia sama sekali tak mengganggunya. Dibiarkannya Handaka
pada saat terluangnya menyepikan diri, sedang Manahan sendiri
waktu-waktu luangnya selalu diisi dengan duduk-duduk di sudut desa
bersama-sama dengan para petani yang menunggui sawahnya yang sering
diganggu oleh babi hutan. Dalam keadaan yang demikian banyaklah
masalah-masalah yang dapat diberikan kepada para petani secara tidak
langsung.
Tetapi pada suatu malam terjadilah suatu
hal yang mengejutkan. Saat itu, ketika malam kelam membalut pantai,
Handaka sedang duduk seperti biasa merenungi lampu-lampu perahu nelayan
yang hilir-mudik di laut. Tiba-tiba dilihatnya seseorang berjalan lurus
ke arahnya. Di dalam gelap malam, Handaka tidak segera mengenal siapakah
orang itu. Tetapi ia tahu pasti bahwa orang itu bukanlah Manahan.
Ketika orang itu sudah berdiri dekat di
hadapannya, mendadak tanpa berkata apa-apa orang itu langsung
menyerangnya. Mula-mula Handaka terkejut bukan main, tetapi kemudian ia
sadar bahwa ia harus membebaskan dirinya. Karena itu segera ia meloncat
menghindar. Tetapi penyerangnya tidak membiarkannya lolos, malahan
kembali ia menyerang lebih hebat. Untuk beberapa saat Handaka menjadi
ragu. Apakah salahnya dan siapakah orang itu? Sambil meloncat
menghindar, ia berteriak, “Siapakah kau, dan apakah sebabnya kau menyerang aku?”
Tetapi penyerang itu sama sekali tak menghiraukannya. Dengan penuh nafsu orang itu menyerang terus.
Akhirnya karena tak ada kemungkinan lain,
Handaka terpaksa melayaninya. Mula-mula ia masih berusaha untuk
meyakinkan orang itu, bahwa mungkin ia keliru. Sebab selama ini Handaka
merasa tak ada seorang pun yang memusuhinya di seluruh pedukuhan nelayan
itu.

Sekali lagi ia mencoba bertanya, “Apakah hubunganmu dengan diriku sehingga kau bermaksud menangkap aku? Dan siapakah sebenarnya kau ini?”
Orang itu tidak menjawab, tetapi
tertawanya yang nyaring terdengar sangat mengerikan. Dan berbareng
dengan itu serangannya menjadi bertambah cepat dan mendesak.
Tetapi Bagus Handaka sekarang bukanlah
Arya Salaka dua tahun yang lalu. Bagus Handaka adalah seorang pemuda
yang meskipun umurnya belum lebih dari 15 tahun, namun karena gemblengan
yang menempa dirinya setiap saat, maka ia adalah seorang pemuda yang
tangkas dan kuat. Karena itu ia dapat berkelahi dengan tenang dan
lincah. Sehingga serangan-serangan orang yang tak dikenalnya itu
beberapa kali dapat dihindarinya dengan mudah.
Tetapi ia tidak dapat terus-menerus
menghindar dan mengelak. Sebab orang yang menyerangnya menjadi semakin
marah. Gerak-geriknya semakin cepat dan berbahaya. Karena itu, akhirnya
Bagus Handaka terpaksa melakukan serangan-serangan pula, sebagai suatu
cara terbaik untuk mempertahankan diri.
Perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin hebat. Namun di masa-masa yang pendek, Bagus Handaka sempat
mengamat-amati wajah penyerangnya. Orang itu agaknya telah berumur
sedikit lebih tua dari gurunya. Wajahnya tampak bengis dan berkumis
tebal. Selebihnya ia tidak begitu jelas. Kecuali orang itu selalu
bergerak, juga karena malam yang kelam.
Untunglah bahwa orang itu tidak memiliki
ilmu yang tinggi, sehingga meskipun Bagus Handaka pantas menjadi
anaknya, tetapi dalam perkelahian itu, meskipun ia harus bekerja keras,
ia sama sekali tidak perlu cemas akan kesudahan dari pertempuran itu.
Setelah mereka bertempur beberapa lama,
akhirnya Bagus Handaka mendengar desah nafas lawannya semakin lama
semakin cepat. Ia menjadi bergembira, karena dengan demikian ia tahu
bahwa sebentar lagi lawannya akan kehabisan nafas. Karena itu, ia tidak
perlu untuk melawannya dengan sungguh-sungguh. Ia cukup mengganggunya
sehingga apabila nafas orang itu telah benar-benar tersekat, maka ia
dengan mudah akan dapat menangkapnya. Mungkin gurunya tahu siapakah
orang itu. Tetapi agaknya penyerang itu menyadari kelemahannya. Karena
itu, dengan tergesa-gesa orang itu meloncat mundur sebelum kehabisan
nafas dan berusaha melarikan diri. Tetapi Bagus Handaka sama sekali tak
melepaskannya. Cepat ia berusaha mengejarnya. Namun ia menjadi
keheran-heranan. Orang yang nafasnya tinggal seujung kuku itu, masih
dapat melarikan diri dari kejarannya.
Bagus Handaka berhenti mengejar ketika
orang itu menyusup ke dalam semak-semak yang rimbun. Sulitlah baginya
untuk mencari seseorang di dalam gelapnya malam diantara semak-semak
itu.
Setelah puas merenungi semak-semak itu,
kemudian dengan langkah yang berat Bagus Handaka berjalan pulang ke
pondoknya. Di dalam otaknya terjadilah suatu keributan. Ia sibuk
menebak-nebak, siapakah orang yang dengan tiba-tiba saja menyerangnya.
Bukan karena suatu kekeliruan, tetapi benar-benar dirinyalah yang
dicari.
Sampai di pondoknya segera ia mencari
gurunya. Tetapi ternyata Manahan masih belum pulang. Bagus Handaka yang
tahu akan kebiasaan gurunya segera pergi menyusul ke pojok desa.
Tetapi akhirnya ia menjadi ragu. Apakah
hal yang demikian saja sudah merupakan suatu hal yang perlu dibicarakan
dengan gurunya. Apakah dalam hal-hal yang kecil tidak cukup kalau
diselesaikannya sendiri.
Karena pikiran itu maka Bagus Handaka
kemudian membatalkan maksudnya untuk menyatakan peristiwa yang baru saja
dialami itu kepada gurunya. Sehingga ketika ia sampai di pojok desa,
dan ketika ia sudah duduk di antara para petani dan nelayan yang sedang
tidak turun ke laut, ia sama sekali tak berkata apapun mengenai
peristiwa yang baru saja terjadi. Ia tidak mau mengganggu Manahan dengan
soal-soal yang remeh-remeh.
Tetapi apa yang dialami kemudian adalah
sangat memusingkan kepalanya. Pada malam berikutnya, ketika ia sedang
berbuat seperti kebiasaannya, tiba-tiba datanglah seseorang yang juga
tanpa sebab menyerangnya. Tetapi orang ini adalah orang yang lain dari
yang menyerangnya kemarin. Orang ini agaknya sudah jauh lebih tua dari
gurunya.
Seperti malam sebelumnya, Bagus Handaka
berusaha pula meyakinkan bahwa mungkin orang itu keliru. Tetapi juga
seperti malam sebelumnya, Bagus Handaka terkejut dan keheran-heranan
ketika orang yang menyerangnya itu berkata dengan suara yang tinggi, “Tak
usah kau mengelakkan diri. Soalnya sudah cukup jelas. Dan kau harus
menyerah kepadaku sebelum orang lain berhasil menangkapmu mati atau
hidup.”
Maka bersaling-silanglah teka-teki di
dalam kepala Bagus Handaka. Apakah sebabnya maka hal ini bisa tejadi?
Tiba-tiba ia teringat kepada orang-orang yang beberapa tahun yang lalu
memburunya. Adakah orang-orang ini juga terdiri dari gerombolan yang
sama? Karena itu dengan keras Bagus Handaka berkata, “Hai orang tua
yang tak tahu diri, adakah kau termasuk dalam gerombolan orang-orang
yang akan membunuhku beberapa tahun yang lalu?”
Terdengar orang itu tertawa dengan nada yang tinggi. Jawabnya, “Aku
tidak mengenal orang-orang lain yang memburumu. Tetapi aku memerlukan
kau seperti orang-orang lain yang barangkali juga memerlukan.”
Bagus Handaka menjadi semakin bingung. Katanya, “Adakah hubungan semua itu dengan tanah perdikan Banyubiru?”
“Banyubiru?” bertanya orang tua itu dengan heran. “Aku belum pernah mendengar nama Tanah Perdikan Banyubiru.”
“Lalu apa perlumu menangkap aku?” potong Handaka.
Sekali lagi orang tua itu memperdengarkan
suara tertawanya yang semakin tinggi. Tetapi bersamaan dengan itu
serangan menjadi bertambah cepat dan berbahaya.
Bagus Handaka pun kemudian tidak
bertanya-tanya lagi. Ia menjadi jengkel sekali atas kejadian-kejadian
itu. Karena itu ia bertekad untuk menangkap penyerangnya kali ini.
Tetapi ternyata orang tua ini mempunyai
ilmu yang agak lebih tinggi dari orang yang menyerang kemarin. Meskipun
umurnya sudah lanjut, namun geraknya masih sangat membahayakan.
Serangannya datang tiba-tiba dan kadang-kadang tak terduga.
Mula-mula Bagus Handaka menjadi agak
mengalami kesulitan. Ia belum pernah melihat beberapa dari unsur-unsur
gerak lawannya. Tetapi karena orang tua itu agaknya belum memiliki
unsur-unsur gerak yang banyak macamnya, maka serangannya selalu
dilakukan berulang kali dengan unsur-unsur gerak yang hanya ada beberapa
macam itu saja. Meskipun unsur-unsur gerak itu mula-mula agak
membingungkannya, tetapi lambat laun dapat dikuasainya. Apalagi karena
Bagus Handaka sendiri telah banyak menerima bahan-bahan serta ilmu yang
cukup banyak dari gurunya.
Malahan ketika mereka telah bertempur
beberapa lama, Bagus Handaka mulai dapat mengenal ilmu lawannya dengan
baik. Karena itu seperti malam sebelumnya, ia tidak perlu
mengkhawatirkan dirinya. Ia pasti akan dapat mengatasi lawannya yang
sudah tua itu. Tetapi karena kali ini ia benar-benar ingin menangkap
penyerang itu, maka Bagus Handaka selalu berusaha untuk dengan
secepat-cepatnya menjatuhkan lawannya, meskipun hal itu tidak dapat
dilakukannya dengan mudah.
Akhirnya, ketika orang tua itu merasa
bahwa Bagus Handaka bukanlah anak-anak yang dengan mudahnya dapat
ditakut-takuti serta dengan mudahnya dapat ditangkap, bahkan malahan
dalam beberapa hal Bagus Handaka dapat melebihinya, maka tak ada jalan
lain daripada melarikan diri.
Apalagi ketika ternyata Bagus Handaka
dapat melawannya dengan mempergunakan bagian-bagian dari unsur-unsur
geraknya sendiri. Orang tua itu menjadi bertambah takut lagi.
Cepat-cepat ia meloncat mundur beberapa
langkah, dan kemudian berusaha untuk berlari secepat-cepatnya. Bagus
Handaka yang sudah mengira hal itu akan terjadi, segera meloncat
menghadang. Tetapi orang tua itu seakan-akan telah dapat memperhitungkan
pula tindakan Bagus Handaka, karena demikian Bagus Handaka melontarkan
diri, demikian orang tua itu membalik ke arah yang berlawanan, dan
seperti terbang orang itu berlari masuk ke dalam semak-semak yang gelap.
Bagus Handaka yang mengejarnya menjadi keheran-heranan. Meskipun
ternyata ilmunya tidak kalah tinggi, bahkan beberapa unsur gerak orang
tua itu malahan telah dapat dikuasai, namun dalam hal berlari ternyata
ia masih kalah. Karena itu dengan hati yang semakin jengkel Bagus
Handaka terpaksa melepaskan orang tua itu pergi.
Dengan kejadian-kejadian itu, teka teki
yang melibat dirinya menjadi semakin kisruh. Ia mencoba mengingat-ingat
semua kejadian yang pernah dialami, namun ia sama sekali tak dapat
menghubungkannya dengan peristiwa dua malam terakhir itu.
Tetapi Bagus Handaka adalah seorang
pemuda yang berani, cerdas dan banyak hal yang ingin diketahui. Karena
itulah maka, setelah mengalami peristiwa dua malam berturut-turut,
malahan ia ingin untuk mengetahui apakah yang akan terjadi seterusnya.
Ia ingin melihat apakah pada malam-malam berikutnya akan terjadi pula
hal-hal semacam itu. Malahan ia mengharap kedatangan salah seorang
diantaranya, sehingga apabila orang itu dapat ditangkapnya, maka
pastilah latar belakang dari peristiwa-peristiwa itu dapat disingkapkan.
Namun sampai sedemikian jauh Bagus Handaka masih belum merasa perlu
untuk menyampaikan masalah itu kepada gurunya. Nanti apabila salah
seorang dari mereka dapat ditangkapnya, barulah Bagus Handaka bermaksud
membawa orang itu kepada Manahan.
Pada malam berikutnya Bagus Handaka
sengaja menghindarkan diri dari beberapa kawannya yang sering
mengajaknya turun ke laut. Dengan demikian maka ia dapat leluasa pergi
ke pantai untuk menanti peristiwa yang aneh, yang barangkali masih ada
kelanjutannya.
Dan apa yang dinantinya benar-benar datang.
Ketika angin laut menghembus
perlahan-lahan mempermainkan buih di pantai, Bagus Handaka dikejutkan
oleh sebuah bayangan yang seolah-olah muncul saja dari dalam laut, dan
dengan langkah yang cepat langsung menuju ke arahnya.
Meskipun Bagus Handaka sengaja menanti
kejadian itu, namun hatinya tergetar juga. Dua malam berturut-turut ia
mengalami serangan dari orang yang tak dikenalnya. Tetapi orang-orang
itu datang dari arah semak-semak, sedangkan kali ini orang itu muncul
seakan-akan dari dalam air.
Ketika orang itu sudah semakin dekat,
Bagus Handaka segera meloncat berdiri serta mempersiapkan diri. Sebab
menilik gerak serta arah datangnya, maka orang ini pasti lebih berbahaya
dari dua orang yang pernah dilawannya.
Melihat Bagus Handaka berdiri serta
mempersiapkan diri, orang itu terhenti. Agaknya ia heran melihat sikap
Handaka. Tetapi kemudian terdengar ia tertawa pendek, menyeramkan.
Katanya, “Aku tidak akan keliru lagi. Bukankah kau yang bernama Bagus Handaka?”
Di dalam gelap, Bagus Handaka mencoba
mengawasi wajah orang itu. Tetapi yang dapat diketahuinya adalah, orang
itu janggut serta kumisnya tumbuh lebat sekali, sehingga menutupi hampir
seluruh lubang mulut serta hidungnya. Selain dari itu tak ada lagi
kesan yang diperolehnya.
Dengan suara yang mantap, Bagus Handaka menjawab, “Ya, aku Bagus Handaka. Kau mau apa?”
Kembali terdengar suara tertawa pendek yang menyeramkan. Katanya, “Kau memang berani Handaka. Aku kira kau akan memungkiri dirimu. Kau tidak takut mendapat bahaya?”
“Kenapa aku mesti takut. Aku sudah
mengira bahwa kau akan berkata seperti orang-orang yang pernah
menyerangku dua malam berturut-turut meskipun orangnya tidak sama,” potong Bagus Handaka.
Agaknya orang itu heran mendengar kata-kata Handaka, sehingga ia bertanya, “Dua malam berturut-turut kau mendapat serangan?”
Sekarang Bagus Handaka yang tertawa berderai. Jawabnya, “Aku
bukan anak-anak yang masih pantas kau bohongi dengan cara demikian.
Adakah suatu peristiwa kebetulan sampai tiga kali berturut-turut dengan
cara yang sama?”
Mendengar jawaban Bagus Handaka, orang itu berdesis, “Agaknya mereka telah mendahului aku.” Lalu tiba-tiba ia berkata kepada Bagus Handaka, “Tetapi
kenapa kau masih sempat bermain-main di sini. Kalau apa yang kau
katakan benar, aku kira kau sudah tergantung mati di tengah Alas Roban.”
Mau tidak mau jantung Handaka tergetar
hebat mendengar kata-kata itu. Apakah sebabnya orang-orang itu
memburunya dan akan menggantungnya di Alas Roban…? Karena itu pula ia
menjadi marah sekali. Ia tidak pernah merasa berbuat salah kepada orang
lain, tetapi kenapa ada orang yang menginginkan kematiannya?
Kemudian dengan tidak menunggu lebih lama
lagi, Bagus Handaka meloncat mendahului menyerang orang itu.
Serangannya hebat sekali dengan mengerahkan segenap tenaga yang ada.
Orang yang berkumis dan berjanggut lebat
itu agaknya terkejut sekali. Ia tidak mengira bahwa Bagus Handaka akan
memulai lebih dahulu. Cepat ia meloncat ke samping. Tetapi Bagus Handaka
tidak membiarkannya. Disusullah serangan itu dengan serangan
berikutnya. Serangan itu datangnya cepat sekali, sehingga orang asing
itu tidak sempat mengelakkan dirinya. Karena itu cepat-cepat ia berusaha
menahan serangan Bagus Handaka dengan kedua tangan yang disilangkan di
muka dadanya.
Maka terjadilah suatu benturan yang
keras. Bagus Handaka terdorong beberapa langkah surut, tetapi orang itu
pun tak dapat bertahan pada tempatnya dan terlempar beberapa langkah
pula. Dengan demikian masing-masing mengetahui bahwa kekuatan mereka
berimbang. Maka untuk memenangkan pertempuran selanjutnya adalah
terletak pada keprigelan dan ketinggian ilmu masing-masing.
Karena itu segera Bagus Handaka
mempersiapkan dirinya. Ia merasa bahwa apabila orang itu dapat
mengalahkannya, maka taruhannya adalah nyawanya. Ia tidak mau mati
bergantungan di tengah-tengah Alas Roban, dan bangkainya nanti akan
menjadi makanan burung gagak.
Sesaat berikutnya terjadilah pertempuran
yang dahsyat. Masing-masing mempergunakan segenap tenaganya serta
segenap ilmunya. Meskipun Bagus Handaka masih terlalu muda untuk melawan
orang yang berjanggut dan berkumis lebat itu, namun karena
latihan-latihan berat yang pernah dilakukan selama ini, maka ia pun
tidak mengecewakan. Sebaliknya orang asing itu pun ternyata bukan pula
seperti dua orang yang menyerangnya malam-malam sebelumnya. Sehingga
dengan demikian perkelahian itu berlangsung dengan serunya. Hanya
kadang-kadang saja Bagus Handaka dikejutkan oleh gerakan-gerakan yang
aneh-aneh yang dilakukan oleh lawannya. Tetapi karena lawannya itu pun
agaknya belum menguasai benar-benar ilmunya itu, sehingga pelaksanaannya
masih belum seperti yang diharapkan. Bagus Handaka yang lincah dan kuat
itu dapat untuk beberapa kali menyelamatkan diri dari serangan-serangan
yang demikian.
Setelah mereka bertempur beberapa lama
maka terasalah oleh Handaka bahwa meskipun kekuatan orang itu dapat
menyamainya tetapi ia masih dapat membanggakan kelincahannya. Orang itu
agaknya terlalu memberatkan serangan-serangannya pada kekuatan tenaga
serta beberapa unsur geraknya yang meskipun berbahaya tetapi belum dapat
dilakukannya dengan lancar. Karena itu lambat laun ia merasa bahwa ia
akan dapat berhasil mengatasinya.
Sebaliknya orang asing itu akhirnya
kehabisan akal. Semua ilmu serta tenaganya sudah dicurahkannya, namun ia
sama sekali tidak berhasil menangkap anak yang dicarinya itu. Meskipun
beberapa kali ia berhasil mengenai tubuh Bagus Handaka, namun ia sendiri
dapat dikenai oleh anak itu dua kali lipat.
Dengan demikian maka sudah tidak ada
harapan lagi baginya untuk memenangkan pertempuran itu. Maka akhirnya
orang itu putus asa, dan menyerang membabi buta dengan ilmu andalannya.
Dengan demikian bagi Bagus Handaka, malahan menguntungkan sekali. Sebab
dengan membabi buta, lawannya telah kehilangan sebagian dari pengamatan
diri serta kewaspadaan. Karena itulah agaknya Bagus Handaka semakin lama
semakin berada dalam keadaan yang menguntungkan.
Tetapi hampir seperti kejadian-kejadian
pada malam-malam sebelumnya, orang itu pun kemudian meloncat melarikan
diri. Juga kali ini Bagus Handaka sama sekali tak berhasil mengejarnya.
Apalagi orang aneh yang muncul dari dalam air itu berlari terjun ke
dalam air pula.
Ketika orang itu lenyap, Bagus Handaka
berdiri bertolak pinggang di batas air. Dadanya melonjak-lonjak dipenuhi
oleh kemarahan, keheranan dan kengerian yang bercampur aduk. Tiga malam
ia mengalami peristiwa yang disaput oleh kabut rahasia. Apakah kejadian
ini akan berlangsung berlarut-larut…?
Tetapi jiwa keingintahuan Bagus Handaka
tiba-tiba menguasai perasaannya kembali. Bagaimana dengan malam keempat?
Kalau hal ini disampaikan kepada gurunya, mungkin kejadiannya akan
berubah. Ia ingin melihat para penyerang itu datang berturut-turut
sampai orang yang terakhir. Lalu apakah yang terjadi sesudah itu…?
Demikianlah kembali pada malam keempat.
Bagus Handaka mencari-cari alasan untuk tidak terjun ke laut.
Kawan-kawannya yang mengajaknya sama sekali tidak curiga bahwa Bagus
Handaka sedang melakukan suatu perbuatan yang aneh namun sebenarnya
penuh dengan bahaya.
Dan apa yang diharapkan kali inipun benar-benar datang pula.
Dengan penuh pertanyaan di dalam hati
Bagus Handaka berjuang dengan sekuat tenaga untuk menangkap
penyerangnya. Namun kali inipun ia tidak berhasil. Malahan orang keempat
ini berhasil menghantam pergelangan tangan kirinya sehingga terasa
sangat sakit. Untunglah bahwa akhirnya ia masih dapat mengalahkan orang
itu, meskipun ia tidak pula berhasil menangkapnya.
Demikian pula pada malam kelima. Otak
bagus Handaka rasa-rasanya hampir meledak memikirkan hal itu. Apalagi
ketika orang kelima ini ternyata memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Tidak seperti keempat orang sebelumnya,
yang datang dari jurusan yang tidak sama, namun kedatangan mereka itu
dapat diketahui sebelumnya, meskipun ada dua diantaranya yang datang
dari jurusan yang aneh, dari laut. Tetapi orang kelima ini jauh lebih
aneh lagi. Tahu-tahu orang itu sudah berdiri di belakang Bagus Handaka
dengan suara garang dibarengi dengan suara tertawa yang menyeramkan ia
berkata, “Bagus Handaka, kau mau melarikan dirimu kemana lagi. Berbulan-bulan aku mencarimu, dan sekarang aku menemukan kau di sini.”
Empat malam berturut-turut Bagus Handaka
sudah bertempur dengan orang-orang yang tak dikenal, dan empat kali pula
ia berhasil mengalahkan mereka. Namun kali ini bulu tengkuknya meremang
juga. Wajah orang ini sama sekali bersih, hanya alisnya agak terlalu
lebat dan hampir bertemu di atas hidungnya. Tetapi wajah yang bersih itu
seakan-akan memancarkan udara maut dari setiap lubang-lubangnya.
Kemudian terdengar kembali orang itu berkata, “Ha,
agaknya kau sudah ketakutan. Aku kira kau anak yang berani. Bukankah
kau murid seorang perkasa yang menamakan dirinya Manahan? Sayang kalau
murid Manahan sepengecut kau ini.”
Bagus Handaka adalah seorang anak yang
berani. Meskipun hatinya tergetar pula menghadapi sesuatu, tetapi ia
tidak akan menilai seseorang berlebih-lebihan. Apalagi orang itu telah
menghinanya dengan menyebut-nyebut nama gurunya. Karena itu ia menjadi
marah sekali. Dengan mulut yang terkatub rapat serta gigi yang
gemeretak, Bagus Handaka tidak menanti orang itu selesai berkata.
Seperti seekor banteng luka ia dengan dahsyatnya menyerang orang itu.
Orang yang mendapat serangan itu agaknya
terkejut. Tetapi dengan tangkasnya ia menggeser kakinya sehingga ia
terbebas dari serangan Bagus Handaka. Tetapi Bagus Handaka yang hatinya
sudah terbakar oleh kemarahan itu, dengan cepatnya menyerang pula.
Sekali lagi orang itu terpaksa mengelakkan diri, tetapi agaknya ia tidak
mau diserang terus-menerus. Kemudian dengan garangnya ia pun menyerang
kembali. Namun ternyata Bagus Handaka memiliki kelincahan yang cukup
pula, sehingga serangan orang itu dapat dielakkannya. Kemudian
terjadilah suatu pertempuran yang hebat. Masing-masing melancarkan
serangan-serangan yang dahsyat dan berbahaya. Tetapi masing-masing
ternyata memiliki kegesitan dan ketahanan yang cukup.
Bagus Handaka yang telah bertempur empat
malam berturut-turut dan memenangkan setiap pertempuran, ternyata sangat
mempengaruhi jiwanya. Ia semakin percaya kepada kekuatan dirinya
sendiri. Dan perasaan yang demikian sangat membantu keadaannya pada
malam kelima itu. Meskipun ia merasa bahwa orang kelima ini memiliki
ilmu yang lebih tinggi dari orang-orang sebelumnya, namun hatinya yang
telah dibesarkan oleh peristiwa-peristiwa empat malam sebelumnya
menjadikannya tetap tatag dan tenang.
Tetapi suatu hal yang kurang
menguntungkan bagi Bagus Handaka, adalah karena orang itu jauh lebih
besar dan lebih tinggi, maka kesempatan orang itu untuk mengenainya agak
lebih banyak. Tangan serta kakinya yang agak lebih panjang, ternyata
mempengaruhi jalan pertempuran itu.
Rupa-rupanya orang itu mempergunakan
keuntungan itu sebaik-baiknya. Ia selalu melawan serangan Bagus Handaka
dengan serangan pula. Beberapa kali Bagus Handaka dapat dikenai dengan
cara demikian sebelum tangannya sempat menyentuh tubuh orang itu.
Sehingga Bagus Handaka menjadi semakin marah dan bertempur mati-matian.
Ternyata kali ini lawannya benar-benar
tangguh. Orang itu licin seperti belut, serta lincah seperti singgat.
Beberapa kali, apabila serangan-serangan Bagus Handaka agaknya sudah
tidak dapat dihindari, tiba-tiba saja ia melenting beberapa langkah, dan
kemudian dengan cara yang sama ia telah menyerang kembali.

Tetapi sekali lagi Bagus Handaka
keheran-heranan. Demikian orang itu terbanting, demikian ia
bergulung-gulung dan dengan cepatnya bangkit kembali. Namun sesaat
kemudian ia sadar bahwa lawannya adalah orang yang luar biasa. Karena
itu demikian orang itu berdiri, demikian kaki Bagus Handaka terlontar
mengenai perutnya. Sekali lagi orang itu terdorong beberapa langkah ke
belakang. Tetapi seterusnya ketika Bagus Handaka menyusul menyerang dagu
orang itu, maka orang itu pun menghantamnya. Kali ini Bagus Handaka
mengalami kembali hal yang sangat merugikannya. Tangannya agak lebih
pendek dari tangan lawannya. Dengan demikian sebelum tangannya menyentuh
dagu orang itu, terasa wajahnya seperti tersentuh bara. Dengan kerasnya
wajahnya terangkat dan ia terlempar beberapa langkah surut, dan
kemudian jatuh terlentang. Serangan itu disusul dengan suatu serangan
yang garang sekali. Seperti seekor harimau, lawannya menerkam selagi
Handaka belum sempat bangun. Maka tidak ada suatu cara yang mungkin
untuk membebaskan dirinya kecuali dengan kedua kakinya Bagus Handaka
menghantam tubuh orang yang seperti melayang ke arahnya. Akibatnya
adalah bebat sekali. Orang itu terlempar ke udara. Kali ini Bagus
Handaka juga menjadi keheran-heranan. Dengan gerak yang bagus orang itu
melingkar di udara dan jatuh pada punggungnya untuk kemudian berguling
dua kali. Setelah itu dengan cepatnya ia meloncat berdiri. Pada saat itu
Bagus Handaka pun telah berdiri. Keringatnya mengalir membasahi seluruh
tubuhnya, yang hampir seluruhnya terbalut oleh debu-debu pasir pantai.
Sebenarnya Bagus Handaka pada saat itu telah menjadi gelisah sekali.
Lawannya ternyata benar-benar licin seperti belut.
Tetapi kemudian terjadilah suatu hal di
luar dugaan. Orang itu tiba-tiba menjadi gelisah dan liar. Nafasnya
mengalir dengan derasnya. Bagus Handaka melihat keadaan itu, sehingga
kelegaan membersit di hatinya. Ia tahu bahwa lawannya telah kehabisan
tenaga. Karena itu ia tidak mau memberi kesempatan lagi. Cepat ia
melangkah maju dan menyerangnya dengan hebat. Ternyata orang itu telah
hampir tidak mampu melawannya. Beberapa kali Bagus Handaka berhasil
menghantamnya sampai orang itu terhuyung-huyung dan roboh. Sekali lagi
kegembiraan membayang di wajah Bagus Handaka. Orang yang hebat ini pasti
akan dapat ditangkapnya. Tetapi ketika sekali lagi ia maju menyerang,
tiba-tiba orang itu melemparkan segenggam pasir ke arah matanya.
Cepat-cepat Handaka memalingkan mukanya, namun beberapa butir pasir
telah menyebabkan matanya terasa nyeri sekali. Ketika ia sedang sibuk
membersihkan mata itu, terasa sebuah hantaman mengenai punggungnya.
Untunglah bahwa tenaga orang itu, telah
hampir separo lenyap, sehingga dengan demikian hantamannya telah tidak
lebih dari sebuah dorongan saja. Meskipun demikian, karena Bagus Handaka
sama sekali tidak menduga bahwa lawannya akan berbuat curang, menjadi
sangat terkejut dan jatuh tertelungkup. Dengan marahnya Handaka cepat
memutar tubuhnya, untuk menanti serangan berikutnya, yang dapat saja
dilakukan dengan curang oleh lawannya itu.
Tetapi Bagus Handaka menjadi terkejut
sekali sehingga tubuhnya menjadi gemetar. Orang yang sudah kehabisan
tenaga dan hampir saja dapat ditangkapnya itu lenyap seperti debu dibawa
angin. Beberapa kali Bagus Handaka mengusap-usap matanya yang masih
terasa agak nyeri, tetapi orang itu benar-benar telah lenyap.
Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di atas pasir. Dilayangkannya
pandangannya ke segenap malam, tetapi di pantai yang luas itu, pastilah
ia tak dapat melihat seseorang. Bulu tengkuknya tiba-tiba terasa
meremang. Meskipun ia selama ini mendapat didikan untuk tidak takut
kepada hantu, namun mengalami peristiwa ini, hatinya bergetar juga.
Kecuali itu, terasa pula kengerian
merayapi perasaannya. Untunglah kali ini ia masih dapat membebaskan
diri, meskipun hampir saja ia kehilangan akal.
Lalu bagaimana dengan malam besok?
Sekarang Bagus Handaka tidak berani
main-main lagi. Kalau besok datang seseorang menyerangnya, dan memiliki
sedikit saja kelebihan dari orang ini, maka pasti ia tidak dapat
melawannya. Sedangkan kalau para penyerang itu dapat menangkapnya,
hampir pasti bahwa dirinya benar-benar akan digantung di tengah-tengah
Alas Roban.
Karena itu akhirnya Bagus Handaka
memutuskan untuk menyampaikan segala peristiwa yang pernah dialami itu
kepada gurunya, serta menyerahkan segala penyelesaiannya kepadanya.
Pada saat Bagus Handaka melangkah pulang
ke pondoknya, terdengarlah ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Di
langit sebelah timur sudah mulai tampak membayang warna fajar, diantar
oleh angin pagi yang sejuk. Namun tubuh Bagus Handaka justru mulai
merasa nyeri dan sakit-sakit. Empat malam sebelumnya ia bertempur
terus-menerus, tetapi tidak pernah ia merasakan lelah, letih dan
sakit-sakit seperti saat itu.
Sampai di pondok, ia melihat Manahan
telah bangun dan menunggui api. Agaknya ia sedang merebus air.
Cepat-cepat Bagus Handaka mendekatinya dan berkata, “Bapak, biarlah aku yang merebus air dan jagung.”
Manahan tersenyum melihat kedatangan Bagus Handaka, katanya bertanya, “Apakah kau turun ke laut Handaka?”
“Tidak, Bapak,” jawab Handaka singkat.
“Dari pantai…?” tanya Manahan
lebih lanjut. Bagus Handaka menganggukkan kepalanya. Dalam cahaya api
barulah Bagus Handaka melihat tubuhnya merah-merah biru dan berdarah di
beberapa tempat. Ketika Manahan melihat luka-luka itu, serta melihat
wajah Handaka yang pucat dan nafasnya yang kurang teratur, ia menjadi
keheran-heranan. Maka kemudian ia bertanya, “Handaka, apakah yang terjadi? Apakah kau berselisih dengan kawan-kawanmu, sehingga kau berkelahi?”
“Tidak, Bapak,” jawab Handaka.
“Lalu kenapa kau?” desak Manahan.
Bagus Handaka yang memang telah
berkeputusan untuk menyampaikan keadaan yang dialaminya lima malam
berturut-turut itu pun segera duduk disamping Manahan, dan segera
mengalirlah ceritera dari mulutnya. Sejak malam pertama sampai malam
terakhir, lengkap dengan bentuk-bentuk wajah dari orang-orang yang
menyerangnya.
Mendengar ceritera Bagus Handaka itu,
Manahan menarik alisnya. Memang ia pun menjadi keheranan-heranan, apakah
pamrih orang-orang itu menyerang Bagus Handaka.
“Handaka…, kenapa kau baru sekarang mengatakan semua kejadian itu kepadaku?” tanya Manahan.
Dengan jujur Handaka mengatakan segala
keinginannya untuk mengetahui kelanjutan peristiwa-peristiwa itu, serta
keinginannya untuk menyelesaikan masalah itu sendiri.
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebenarnya di dalam hatinya berkobar pula kemarahan ketika ia mendengar
bahwa orang kelima yang menyerang Bagus Handaka itu telah
menyebut-nyebut namanya. Padahal pada saat orang itu ia hanya melawan
seorang anak-anak.
“Handaka…” kata Manahan kemudian, “Pergilah kau besok sekali lagi ke pantai. Aku akan melihat siapakah yang selalu datang itu.”
Mendengar kesanggupan gurunya, Handaka
menjadi bergembira. Besok apabila benar-benar ada seseorang yang datang
menyerangnya, meskipun kepandaiannya berlipat tiga, namun pasti orang
itu akan dapat ditangkap oleh gurunya. Karena itu ia tersenyum-senyum
sendiri. Dipandanginya api yang berkobar-kobar di hadapannya, yang
bergerak-gerak seolah-olah menari-nari riang. Dan sebentar kemudian
mendidihlah air yang dipanasinya. Segera ia bangkit untuk mengambil daun
serai serta gula kelapa. Itulah kegemaran gurunya, air serai bergula
kelapa.
Hari itu rasa-rasanya panjang sekali bagi
Bagus Handaka. Matahari seolah-olah menjalani garis edar dengan
malasnya. Sehari itu ia merasa amat malas untuk bermain-main dengan
kawan-kawannya. Dihabiskannya waktunya dengan berangan-angan. Namun
akhirnya, perlahan-lahan datanglah senja. Langit yang cerah dengan
gumpalan-gumpalan mega yang berarak-arak mulai dirayapi oleh warna-warna
lembayung. Bagus Handaka yang hampir tidak sabar itu memaki-maki di
dalam hati. Kenapa kedatangan malam tidak saja langsung tanpa melewati
senja?
Setelah melampaui masa-masa yang
menjengkelkan, kemudian malam turun dengan tabir hitamnya. Bagus Handaka
segera berangkat ke pantai, dimana ia biasa duduk-duduk memandangi
ombak lautan. Manahan sengaja tidak berangkat bersama-sama supaya
kehadirannya tidak diketahui. Ketika Manahan telah sampai di pantai
pula, segera ia bersembunyi dengan membaringkan dirinya di belakang
sebuah puntuk pasir tak begitu jauh dari Bagus Handaka.
Bersamaan dengan semakin gelapnya malam,
hati Bagus Handaka menjadi semakin tegang dan gelisah. Jangan-jangan
orang-orang yang menyerangnya telah mengetahui bahwa gurunya berada di
tempat itu, sehingga para penyerang itu tidak berani mendekatinya.
Dan dalam kesempatan itu, ia mencoba pula
mengingat-ingat kelima orang yang datang berturut-turut setiap malam.
Masing-masing menyatakan bahwa mereka satu sama lain tidak berhubungan.
Sejak semula ia sudah tidak percaya. Tetapi yang mengherankan, bahwa
seolah-olah kedatangan mereka telah diatur sedemikian, sehingga setiap
orang yang datang pasti memiliki kepandaian setingkat lebih tinggi dari
orang sebelumnya. Tiba-tiba ketika sedang berangan-angan, Bagus Handaka
dikejutkan oleh suara tertawa dekat di sampingnya. Suara itu terdengar
nyaring dan menggetarkan hatinya. Cepat ia meloncat bangkit dan bersiap.
Perasaannya telah mengatakan kepadanya bahwa orang ini pasti salah
seorang yang datang untuk menyerangnya pula seperti malam-malam yang
lewat. Ketika ia memandang wajah orang itu, hatinya menjadi bertambah
berdebar-debar. Wajah orang itu sama sekali tidak mirip dengan wajah
manusia. Barangkali demikian itulah wajah hantu yang ditakuti oleh
anak-anak. Beberapa bintil-bintil sebesar biji rambutan bertebaran
hampir di seluruh wajah itu. Gigi-giginya tampak berleret pada saat
orang itu tertawa.
Kemudian disela-sela tertawanya ia berkata, “Siapakah nama anak muda yang bermain-main di pantai di malam hari…?”
Meskipun sebenarnya Bagus Handaka ngeri
juga melihat wajah itu, namun karena ia merasa bahwa gurunya berada di
dekatnya, hatinya menjadi tabah pula. Maka jawabnya lantang, “Kenapa
kau bertanya? Kau pasti sudah tahu pula siapa aku. Dan kau pasti akan
menangkapku seperti yang pernah dilakukan oleh lima orang sebelum kau
datang, pada malam-malam sebelum malam ini.”
Mendengar kata-kata Bagus Handaka itu, tertawanya menjadi bertambah keras. Katanya, “Bagus…
bagus, jadi sebelum ini telah datang lima orang mendahului aku? Agaknya
monyet-monyet itu ingin menerima hadiah pula dengan menangkap anak ini.
Dan kau dapat mengalahkan mereka berlima?”
“Mereka datang satu-persatu,” jawab Handaka.
“Alangkah bodohnya mereka,” sambung orang berwajah iblis itu. “Tentu kau dapat mengalahkannya.”
“Jangan banyak bicara,” potong Bagus Handaka dengan beraninya, “Jangan
coba bohongi aku. Kau pasti telah bersekongkol dengan mereka. Dan
barangkali kau malam ini akan mencoba menangkap aku bersama-sama. Ayo datanglah berenam.”
Kembali orang yang menakutkan itu tertawa berderai-derai sampai seluruh tubuhnya bergetar. Katanya, “Hebat,
kau memang hebat. Tetapi jangan terlalu sombong. Sebab malam ini
nyawamu benar-benar akan lenyap. Aku harus menangkap kau, mati atau
hidup. Meskipun kalau aku membawamu hidup-hidup hadiahnya akan berlipat
banyaknya. Sebab pertunjukan membunuh Bagus Handaka akan dapat
mendatangkan uang yang banyak sekali.”
Tanpa sadar, bulu tengkuk Bagus Handaka
serentak berdiri. Perkataan orang berwajah menakutkan itu sangat
mempengaruhi perasaannya. Apakah sebenarnya latar belakang dari semua
kejadian ini? Kenapa orang itu menyebut-nyebut pertunjukan membunuh
Bagus Handaka? Mau tidak mau Bagus Handaka menjadi ngeri juga. Ia sudah
membayangkan dirinya diikat di tengah-tengah lapangan, kemudian setiap
orang diperkenankan untuk melukainya, sampai mati. Tetapi apa salahnya?
Tiba-tiba ia menjadi marah sekali. Ini hanyalah suatu gertakan saja. Karena itu ia menjawab sambil berteriak keras-keras, “Jangan coba-coba takut-takuti aku.” Namun demikian terasa suara Handaka bergetar pula.
Mendengar teriakan Bagus Handaka, orang itu sekali lagi tertawa keras-keras. “Jangan berbohong pula. Kau sudah ketakutan bukan? Bagus…, semakin takut kau, semakin lucu pertunjukan itu jadinya.”
Sekarang Bagus Handaka benar-benar
menjadi marah sekali. Ternyata orang itu telah menghinanya. Karena itu
segera ia meloncat dan langsung menyerang leher dengan jari-jarinya.
Orang itu, yang masih enak tertawa,
ternyata terkejut melihat kecepatan bergerak Bagus Handaka, sehingga
tertawanya segera terhenti. Desisnya, “Memang kau anak berani. Tetapi hati-hatilah.” Sambil
berkata demikian ia merendahkan dirinya, dan dengan kakinya ia
menghantam lambung Bagus Handaka. Bagus Handaka yang menyerang dengan
sekuat tenaga, tidak sempat menarik serangannya, maka yang dapat
dilakukan adalah memukul kaki itu dengan tangannya ke samping. Ternyata
usahanya berhasil pula. Orang itu terputar sedikit dan dengan demikian
lambungnya dapat diselamatkan, meskipun tangannya yang berbenturan
dengan kaki orang itu terasa sakit. Dengan demikian Bagus Handaka segera
dapat mengetahui, bahwa orang ini mempunyai ilmu diatas orang-orang
yang pernah menyerangnya. Tetapi meskipun demikian ia sama sekali tidak
gentar ketika diingatnya bahwa gurunya telah menungguinya. Mengingat hal
itu, segera Bagus Handaka menjadi bertambah tatag, karena itu
serangannya menjadi bertambah sengit. Tetapi perlawanan orang itu
bertambah sengit pula. Bahkan ia pun telah menyerangnya dengan
gerak-gerak yang sangat membingungkan dan berbahaya sekali. Namun
ternyata Bagus Handaka telah memberikan perlawanan dengan gigih. Setiap
serangan yang datang, bagaimanapun berbahayanya, Handaka selalu dapat
menghindarkan dirinya. Malahan tidak jarang pula iapun berhasil membalas
serangan-serangan itu dengan serangan-serangan yang tak kalah
berbahayanya. Namun serangan-serangan itu pun selalu tidak berhasil
pula.
Maka pertempuran itu semakin lama menjadi
bertambah hebat dan cepat. Masing-masing menyerang dan menghindar
berganti-ganti, sehingga tampaknya kedua orang itu seperti bayangan yang
sedang libat-melibat dengan cepatnya, semakin lama semakin cepat.
Tetapi kemudian ternyata bahwa Bagus Handaka tidak dapat menyamai
kecepatan gerak lawannya, sehingga tiba-tiba terasa punggungnya
terdorong oleh suatu kekuatan yang besar sekali. Dengan derasnya ia
terlempar ke udara. Mengalami peristiwa itu hati Bagus Handaka berdesir.
Untuk beberapa saat ia menjadi bingung. Tetapi untunglah bahwa otaknya
yang cerdas dapat bekerja dengan cepat. Ia pernah menyaksikan lawannya
terlempar ke udara pula, namun ia dapat jatuh dengan enaknya,
seolah-olah sama sekali tidak terasakan sesuatu. Maka tanpa
dikehendakinya sendiri Bagus Handaka menirukan gerak-gerak yang pernah
disaksikannya itu. Cepat-cepat ia berusaha melingkarkan diri dan
menjatuhkan diri pada punggungnya, yang kemudian dilanjutkan dengan
berguling sampai dua kali. Setelah itu ia melenting berdiri.
Untunglah bahwa Bagus Handaka telah
dibekali dengan olah keprigelan yang cukup, serta kekuatan jasmaniah
yang besar, sehingga meskipun gerak-geraknya masih belum sempurna, namun
ia tidak pula mengalami sesuatu.
Melihat cara Bagus Handaka membebaskan diri dengan cara yang demikian, terdengar lawannya tertawa keras-keras sambil berkata, “Hai
monyet kecil, dari mana kau belajar berjungkir balik demikian…?
Untunglah bahwa kau mengenal cara yang baik untuk menyelamatkan dirimu.”
Bagus Handaka tidak sempat menjawab
kata-kata itu. Dengan darah yang mendidih ia meloncat maju kembali untuk
menyerang lawannya sejadi-jadinya. Tangannya bergerak berganti-ganti
mengarah ke segenap tubuh lawannya, sedang kakinya bergerak dengan
lincahnya di atas pasir pantai. Tetapi ternyata lawannya tidak kalah
lincah pula.
Karena itu, maka untuk beberapa lama
serangan-serangannya tidak dapat menyentuh tubuh lawannya sama sekali.
Bahkan ketika ia mencoba untuk menyerang mata lawannya dengan jarinya,
maka tiba-tiba terasa kepalanya berguncang hebat. Guncangan yang
pertama, disusul dengan yang kedua. Untunglah dalam keadaan terakhir
Bagus Handaka masih sempat melihat sebuah kepalan tangan sekali lagi
mengarah ke pelipisnya. Cepat-cepat ia memalingkan wajahnya. Tangan itu
dengan derasnya menyambar tidak lebih dari tebal daun padi di muka
hidungnya. Untunglah bahwa Bagus Handaka masih dapat bekerja cepat.
Tangan itu segera ditangkapnya, serta sambil merendahkan diri ia
pergunakan tenaga dorong serta berat badan lawannya sendiri untuk
membantingnya ke tanah lewat pundaknya. Dengan kerasnya orang itu
terpelanting. Tetapi meski ia jatuh terlentang namun ia berusaha jatuh
di atas kedua kaki serta pundaknya saja yang menyentuh tanah. Bagus
Handaka tidak mau membiarkannya dalam sikap yang demikian, cepat-cepat
ia menyerang lagi lawannya sebelum sempat memperbaiki keadaannya. Dengan
kakinya ia menghantam dada orang yang masih terlentang itu. Gerak Bagus
Handaka sedemikian cepatnya sehingga lawannya tidak sempat
menghindarinya. Maka terdengarlah keluhan pendek. Tetapi sesaat kemudian
kaki lawannya itu dengan cepatnya menyapu kakinya, sehingga Bagus
Handaka jatuh terbanting pula.
Ketika ia kemudian tegak, lawannya telah
berdiri di hadapannya pula. Bahkan dengan suatu lontaran dahsyat ia
menyerang ke arah dadanya. Dengan cepatnya Bagus Handaka merendahkan
dirinya, dan bersamaan dengan itu ia menjulurkan kakinya lurus-lurus,
sehingga dengan demikian ia berhasil mengenai perut lawannya. Agaknya
lawannya sama sekali tidak menyangka bahwa Bagus Handaka akan menyerang
selagi ia melakukan serangan yang sedemikian cepat. Karena itu ia
terdorong keras beberapa langkah surut disusul dengan serangan Bagus
Handaka yang dahsyat pula.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung
semakin hebat dan cepat. Pada malam kelima, Bagus Handaka yang hampir
merasa dapat dikalahkan, ternyata memiliki nafas yang lebih baik dari
lawannya sehingga akhirnya lawannya menjadi lemas karena kehabisan
nafas. Tetapi orang keenam ini agaknya mempunyai nafas lebih baik dari
kuda. Karena itu semakin lama terasa Bagus Handaka semakin terdesak,
tenaganya semakin lama semakin berkurang pula setelah ia berjuang
mati-matian untuk mempertahankan dirinya. Akhirnya pertempuran itu pun
menjadi berat sebelah. Beberapa kali Bagus Handaka terpaksa terlempar,
terbanting dan kadang-kadang perutnya terasa terguncang-guncang hebat.
Dari mulut serta hidung melelehlah darah segar.
Sampai sedemikian jauh Bagus Handaka
tidak melihat gurunya datang membantunya. Bahkan ketika matanya sudah
mulai berkunang-kunang pun Manahan masih belum menampakkan dirinya. Ia
menjadi keheran-heranan. Apakah sebenarnya maksud Manahan dengan
membiarkannya demikian? Seolah-olah segenap sisa-sisa tenaganya ia tetap
melawan dengan beraninya. Sampai beberapa saat kemudian ketika ia
terbanting diatas pasir dan seolah-olah ia sudah sama sekali tidak dapat
bergerak lagi, dilihatnya orang berwajah menakutkan itu tertawa
berderai sambil selangkah demi selangkah mendekatinya. Bagus Handaka
tidak tahu lagi bagaimana ia harus melawan. Tangannya serasa sudah
membeku dan darahnya seolah-olah sudah tidak mengalir lagi.
Dalam keadaan yang demikian tiba-tiba
orang itu, yang sudah tinggal beberapa langkah dari padanya, terhenyak
dan memandang ke suatu titik. Maka sekali lagi meledaklah tertawanya
yang mengerikan, disusul dengan suaranya yang menggelegar, “Hai, kaukah itu? Jadi kau datang pula untuk membantu muridmu…?”
Mendengar suara orang itu, melonjaklah
sebuah kegembiraan di hati Bagus Handaka. Agaknya gurunya telah datang.
Dan apa yang diduganya adalah benar. Ketika ia mengangkat mukanya,
dilihatnya Manahan berjalan dengan tenangnya ke arah orang yang berwajah
mirip hantu itu. Melihat gurunya datang, tiba-tiba Bagus Handaka merasa
bahwa akan datanglah saatnya ia mengetahui latar belakang dari semua
peristiwa-peristiwa itu.
Ketika Manahan telah berdiri di muka orang berwajah jelek itu terdengarlah orang berwajah menakutkan itu berkata, “Kaukah yang bernama Manahan?”
Manahan menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Kenapa kau tanyakan itu? Bukankah kau sudah pasti bahwa guru Bagus Handaka bernama Manahan?”
Kembali terdengar orang itu tertawa berderai sehingga suaranya memenuhi pantai. “Aku tidak mengira bahwa Manahan orangnya seperti kau ini.”
Terdengarlah Manahan menjawab sambil tersenyum, “Lalu dari mana kau tahu bahwa aku bernama Manahan?”
“Karena kau datang pada saat Bagus
Handaka sudah tidak dapat bergerak lagi. Aku kira tidak ada orang lain
yang akan menolongnya, selain gurunya,” sahut orang itu.
“Lalu apa anehnya aku ini?” tanya Manahan pula.
“Aku jadi kecewa melihat tampangmu. Seharusnya
kau berwajah seperti asahan batu, berkumis lebat dan bertubuh seperti
orang hutan. Supaya ujudmu sesuai dengan namamu yang terkenal itu.”
“Tak ada orang yang mengenal aku
sebagai seorang yang seharusnya bertubuh demikian. Aku adalah seorang
petani yang tidak lebih dari menggarap sawah setiap hari,” jawab Manahan.
Mendengar jawaban Manahan yang masih
bernada dingin itu, Bagus Handaka bertambah heran pula. Kenapa gurunya
tidak saja langsung menghantamnya sampai pingsan. Apalagi orang itu
telah menghinanya pula.
Kemudian, dalam gelap malam Handaka
melihat orang berwajah menakutkan itu menyeringai, benar-benar seperti
hantu. Namun Manahan sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Bahkan
masih saja ia tersenyum-senyum.
“Bagus…. Kau adalah seorang petani
yang baik, Manahan. Pekerjaan petani adalah pekerjaan yang mulia pula.
Tanpa petani maka banyaklah orang yang kelaparan. Tetapi daerah
pertanian bukankah daerah pelarian? Apabila seseorang telah berputus asa
dalam melaksanakan tugasnya sendiri, maka kemudian orang itu
menerjunkan diri dalam daerah pertanian. Bukankah demikian…?”
Mendengar kata-kata orang itu tampaklah
wajah Manahan berkerut. Segera senyumnya lenyap dari bibirnya. Namun tak
sepatah katapun ia menjawab. Sehingga kemudian terdengar orang yang
menakutkan itu meneruskan, “Atau barangkali kau sudah bercita-cita
untuk menjadi seorang tuan tanah yang kaya raya, yang dapat menandingi
kekayaan demang Gunung Kidul?”
———-oOo———-
III
Hampir terlonjak Manahan mendengar
kata-kata itu. Juga Bagus Handaka menjadi keheran-heranan. Kemana arah
bicara orang yang berwajah hantu itu. Tetapi ia menjadi semakin tidak
sabar ketika ia masih saja melihat Manahan tegak seperti patung. Bahkan
kemudian ia menjadi bertambah tidak mengerti ketika kemudian orang itu
berkata, “Bagus Handaka…, untunglah gurumu datang, sehingga aku
tidak berhasil menangkap kau untuk satu pertunjukan yang menarik di
daerahku. Tetapi hati-hatilah lain kali aku datang lagi.”
Setelah itu segera ia meloncat dan melarikan diri seperti terbang di gelap malam.
“Bapak…!” teriak Bagus Handaka.
Manahan memandang anak itu dengan wajah yang dingin pula.
Sambil berdiri perlahan-lahan Bagus Handaka mendekati gurunya sambil berkata pula, “Kenapa
Bapak membiarkan orang itu pergi? Selama ini aku ingin menangkap salah
seorang diantaranya. Dengan hadirnya Bapak di sini aku mengharap bahwa
aku akan dapat mengetahui alasan mereka menyerang aku. Tetapi Bapak
membiarkan orang itu pergi.”
“Bagus Handaka,” kata Manahan tidak menjawab pertanyaan anak itu. “Bagaimana keadaan tubuhmu?”
“Sakit, Bapak,” jawabnya agak jengkel. “Tetapi bagaimana dengan orang tadi?”
“Kau sudah dapat bergerak kembali?” sambung Manahan tanpa menghiraukan kata-kata Bagus Handaka.
“Sudah, Bapak…” jawab Handaka masih belum mengerti.
“Bagus…. Bersiaplah. Aku adalah orang ketujuh yang akan menangkapmu,” kata Manahan tiba-tiba.
“Bapak… apakah artinya ini?” tanya Handaka semakin bingung.
“Aku adalah orang ketujuh yang akan
menangkap kau dan akan menyerahkan kau kepada orang yang menyuruh mereka
datang berturut-turut selama enam malam. Aku sekarang sudah tahu,
siapakah orang yang berdiri di belakang mereka. Dan aku juga ingin
menerima hadiah itu supaya aku dapat kaya-raya seperti Demang Gunung
Kidul. Jelas?”
Handaka mendengar kata-kata gurunya
seperti orang bermimpi. Tetapi tiba-tiba ia melihat gurunya benar-benar
bersiap untuk menyerangnya. Sehingga ia menjadi bertambah bingung.
“Handaka…” kata Manahan kemudian, “Terserahlah
padamu, apakah kau masih ingin hidup atau tidak. Aku tidak mempunyai
kepentingan dengan kau lagi. Kau harus melawan aku. Kalau tidak, aku
akan membawamu hidup-hidup. Kalau kau mau melawan, aku beri kau
keringanan. Aku akan membawa kau setelah kau aku binasakan, supaya kau
tidak menjadi bahan pertunjukan.”

Karena itu, Bagus Handaka menjadi
benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan kecuali meloncat-loncat
berlari, berguling dan cara-cara lain untuk menghindari
serangan-serangan Manahan. Namun demikian Manahan menyerang terus
seperti orang kehilangan akal.
Tetapi kemudian muncullah suatu pikiran
yang agak jernih dalam otak Bagus Handaka. Tiba-tiba ia merasa bahwa
saat ini adalah saat terakhir baginya untuk menunjukkan kepada gurunya,
ketekunan serta kesungguhannya selama ini dalam menerima segala ilmu
serta pelajarannya.
Ia sudah pasti, bahwa kalau benar-benar
gurunya akan membunuhnya, maka saat terakhir ini akan dipergunakan
sebaik-baiknya. Ia harus dapat menunjukkan kepada gurunya hasil-hasil
yang telah dicapainya dalam olah kanuragan.
Meskipun Handaka menjadi semakin tidak
mengerti kepada sifat-sifat gurunya, karena ketakutan-ketakutannya yang
kadang-kadang aneh, misalnya beberapa tahun yang lalu, tiba-tiba saja ia
ditinggal berlari jauh sekali sampai ia merasa bahwa tidak akan mungkin
dapat menemukannya, tetapi tiba-tiba gurunya itu, yang pada saat itu
bernama Mahesa Jenar datang kembali kepadanya, yang kemudian untuk
beberapa tahun melatihnya dengan tekun. Sekarang tiba-tiba gurunya itu
berbuat keanehan lagi. Tetapi agaknya kali ini gurunya tidak lagi
bermain-main. Sebab apabila ia lengah, maka pastilah nyawanya akan
melayang.
Namun demikian, apabila hal itu sudah
dikehendaki oleh gurunya, maka yang dapat dilakukan adalah menyenangkan
hati gurunya pada saat terakhir itu. Ia harus menunjukkan kepada gurunya
hasil pelajaran yang diterimanya selama ini dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian ia akan dapat membesarkan hati gurunya itu yang telah
berjerih payah mendidiknya.
Mendapat pikiran yang demikian, maka
tiba-tiba Bagus Handaka merasa seolah-olah telah menerima segala
kekuatannya kembali. Seolah-olah badannya merasa bertambah segar dan
sehat. Tanpa mengenal ketakutan atas kematian yang bakal datang, Handaka
kemudian bergerak dengan cepat seperti seorang anak-anak yang
menari-nari riang menjelang ayahnya pulang dari rantau.
Dengan demikian maka ia telah berbuat sebaik-baiknya untuk melawan gurunya yang sangat disegani serta dicintainya itu.
Maka, pertempuran itu segera berjalan
semakin cepat. Bagus Handaka telah berusaha untuk mengurangi tekanan
Manahan dengan menyerangnya pula berkali-kali. Ia tiba-tiba saja merasa
bahwa ia telah dapat melayani gurunya jauh lebih baik daripada saat-saat
yang lampau. Dengan tangkasnya ia menyerang, melenting, kemudian
melingkar di udara kalau kebetulan ia terlempar oleh pukulan-pukulan
gurunya yang dahsyat. Ia sudah berusaha sebaik-baiknya.
Dalam keadaan yang demikian, setitik pun
tak ada maksud Handaka untuk mencoba menyelamatkan dirinya. Sebab adalah
tidak mungkin sama sekali baginya berbuat demikian. Jadi yang dilakukan
itu adalah benar-benar suatu pernyataan kebaktian seorang murid
terhadap gurunya. Sebab bagaimanapun, Manahan adalah gurunya.
Manahan adalah seorang yang perkasa, yang
pernah menjabat sebagai seorang perwira pasukan pengawal raja. Karena
itu kemampuannya pun luar biasa. Apalagi sebenarnya tenaga Bagus Handaka
telah berada jauh di bawah kekuatannya, karena sebelumnya ia sudah
harus bertempur mati-matian melawan seorang yang berwajah seperti hantu.
Daya perlawanan Bagus Handaka pun segera
tampak surut. Dengan demikian maka serangan-serangan Manahan pun semakin
banyak mengenai tubuhnya.
Meskipun demikian, Bagus Handaka sama
sekali tidak mengeluh. Dengan tenaganya yang semakin lama semakin lemah
itu ia tetap melawan sedapat-dapatnya.
Tetapi apa yang dapat dilakukannya adalah
tidak seberapa lama. Sebuah serangan Manahan yang dahsyat datang
mengarah ke lambungnya. Dengan tenaga yang masih ada padanya, Bagus
Handaka mencoba menghindari serangan itu dengan memiringkan tubuhnya,
tetapi ia tidak berhasil. Dengan kerasnya ia terlempar beberapa langkah
dan kemudian jatuh terbanting. Yang dapat dilakukannya hanyalah mencoba
menyelamatkan tubuhnya dengan berusaha menjatuhkan diri sebaik-baiknya.
Dan apa yang diusahakan itu sebagian dapat berhasil. Namun setelah itu,
kembali seluruh tulang-tulangnya terasa telah terlepas. Tubuhnya menjadi
lemas dan darahnya seolah-olah tidak mengalir lagi. Bagaimanapun ia
berusaha namun ia sudah tidak mampu lagi menggerakkan bagian-bagian dari
tubuhnya. Meskipun demikian, Bagus Handaka tetap tidak mengeluh sama
sekali. Dengan dada menengadah ia menanti apapun yang bakal terjadi.
Sekilas dilihatnya langit yang biru gelap ditaburi bintang-bintang
seperti jutaan lampu yang tergantung jauh sekali di udara, dengan
sinarnya, yang berkedip-kedip mengelilingi bintang raksasa Bima Sakti
yang melintang ke utara.
Kemudian dilihatnya gurunya, yang
diakunya sebagai ayahnya setelah ayahnya yang sebenarnya pergi
meninggalkannya, berjalan mendekatinya. Dan Bagus Handaka telah siap
menerima apapun yang akan dilakukan oleh gurunya itu, meskipun untuk
sesaat terlintas pula wajah-wajah ayahnya Gajah Sora. Ibunya, serta
wajah-wajah yang pernah dikenalnya. Wajah-wajah bengis yang pernah akan
membunuhnya pada saat ia ditolong oleh seorang yang menamakan dirinya
Sarayuda, serta wajah keenam orang yang datang berturut-turut
menyerangnya. Dan sekarang yang berada di depannya adalah gurunya,
Manahan yang sebenarnya dikenalnya dengan nama Mahesa Jenar, yang
menyatakan dirinya sebagai orang yang ketujuh.
Dengan sekuat tenaga perasaannya, Bagus
Handaka mencoba melenyapkan semua bayangan yang berturut-turut datang
mengganggu otaknya. Dipusatkannya pikirannya untuk menghadapi apapun
yang bakal terjadi, dengan tabahnya.
Dan tiba-tiba dirasanya tangan gurunya
itu meraba-raba tubuhnya. Memijat-mijat tangannya dan kemudian dengan
suara yang rendah berkata, “Tidakkah kau dapat bergerak lagi Handaka?”
Dengan mata yang cerah, Bagus Handaka memandangi wajah gurunya. Jawabnya, “Aku sudah berusaha sebaik-baiknya, Bapak.”
Kemudian tampaklah Manahan merenungi anak
itu. Alisnya yang lebat bergerak-gerak karena kerut-kerut di keningnya.
Seolah-olah ia sedang menghitung setiap titik di permukaan tubuh
muridnya. Sesaat kemudian terdengarlah Manahan menarik nafas dalam-dalam
serta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu terdengar ia bertanya kembali, “Adakah dengan cara demikian kau melawan orang-orang yang menyerangmu enam malam berturut-turut?”
Bagus Handaka tidak segera mengerti
maksud pertanyaan gurunya. Karena untuk beberapa saat ia tidak menjawab,
terdengar kembali Manahan berkata, “Ingat-ingatlah apa yang telah kau lakukan selama enam malam berturut-turut.”
Bagus Handaka semakin tidak mengerti. Tetapi ia menjawab juga, “Bapak,
selama itu aku pun telah berusaha sebaik-baiknya melawan mereka. Bahkan
aku sudah mencoba untuk menangkap salah seorang diantaranya. Tetapi aku
tidak berhasil.”
Sekali lagi Manahan mengangguk-anggukkan
kepalanya, sedangkan Bagus Handaka menjadi bertambah bingung. Apalagi
ketika kemudian dilihatkan gurunya tersenyum sambil membangunkannya. “Duduklah Handaka. Dan cobalah menggerak-gerakkan tubuhmu perlahan-lahan.” Dengan
otak yang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan, Bagus Handaka mencoba
sedapat-dapatnya untuk bangun dan kemudian bertahan duduk di atas pasir
pantai. Adakah gurunya menunggu sampai ia mampu untuk melawannya
kembali…?
Tetapi, ternyata Manahan tidak berbuat
demikian. Juga ternyata gurunya itu tidak membunuhnya. Malahan kemudian
gurunya itu duduk pula di sampingnya dan dengan wajah yang jernih
berkata, “Sudahkah kau ingat keenam orang yang menyerangmu?”
Sambil mengangguk, Bagus Handaka menjawab sekenanya saja, “Sudah, Bapak.”
“Baik..”. sahut Manahan,
“Kau pernah berkata kepadaku tentang wajah-wajah dari kelima orang itu,
sedang orang yang keenam telah aku saksikan sendiri. Tetapi kau belum
pernah menceriterakan kepadaku bagaimanakah bentuk tubuh kelima orang
yang menyerangmu itu.”
Untuk sesaat Bagus Handaka jadi
termenung. Memang selama itu ia belum pernah menyebut-nyebut bentuk
tubuh lawan-lawannya. Dan sekarang tiba-tiba gurunya menanyakan hal itu.
Maka dicobanya sekali lagi untuk membayangkan kembali kelima orang itu
berturut-turut.
“Bagaimanakah dengan orang yang pertama?” tanya Manahan.
Dengan masih mencoba mengingat-ingat orang itu Bagus Handaka menjawab, “Orang itu bertubuh tegap tinggi dan berdada bidang.”
“Orang kedua?” desak Manahan.
Dengan mengingat-ingat mengerti
sepenuhnya maksud pertanyaan gurunya, karena itu setelah merenung
beberapa lama ia menjawab hampir berteriak, “Semuanya bertubuh tegap tinggi dan berdada bidang.”
“Lalu bagaimanakah pendapatmu mengenai mereka itu?” tanya Manahan pula.
Bagus Handaka diam menimbang-nimbang. Tetapi kemudian ia berkata, “Itu adalah aneh, Bapak. Tubuh mereka berenam hampir bersamaan. Hanya wajah merekalah yang agaknya berbeda-beda.”
“Kau yakin bahwa wajah mereka berbeda-beda?” desak Manahan.
Mendengar pertanyaan gurunya, tiba-tiba
Handaka menjadi ragu. Memang sepintas lalu, apalagi di dalam gelapnya
malam, wajah-wajah mereka tampak berbeda-beda.
“Sayang, aku tak dapat menangkapnya,” gumam Bagus Handaka.
Terdengarlah Manahan tertawa pendek, lalu katanya, “Inginkah kau menangkapnya?”
“Ya,” jawab Handaka. “Aku ingin tahu kenapa mereka menyerang aku.”
“Dan kenapa aku menjadi orang ketujuh?” tanya Manahan pula.
Bagus Handaka menatap Manahan dengan
pandangan yang aneh. Apa yang terjadi lima malam berturut-turut telah
cukup memusingkan kepalanya. Apalagi malam yang keenam itu. Segalanya
menjadi semakin kabur dan penuh teka-teki.
Melihat Bagus Handaka kebingungan, berkatalah Manahan, “Handaka….
Meskipun aku tidak menyaksikan, namun aku berani meyakinkan bahwa
keenam orang yang menyerangmu berturut-turut itu pasti mempunyai
persamaan bentuk tubuh. Dan ketahuilah Handaka bahwa kau jangan mimpi
untuk dapat menangkapnya.”
Mata Handaka masih memancarkan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan. Katanya, “Tetapi
orang yang pertama, kedua dan ketiga adalah orang-orang yang belum
memiliki ilmu yang cukup tinggi. Sehingga aku mempunyai kemungkinan yang
besar untuk dapat menangkapnya.”
Mendengar kata-kata itu Manahan tersenyum. Jawabnya, “Meskipun demikian, bukankah ternyata kau tidak mampu menangkapnya?”
Bagus Handaka mengangguk mengiyakan.
“Jangankan kau Handaka,” sambung Manahan, “Sedang aku pun tidak berani bermimpi untuk dapat menangkapnya.”
Mendengar perkataan itu Handaka terkejut
bukan main, sampai ia tergeser ke samping. Matanya semakin membayangkan
kebingungan yang memenuhi hatinya.
“Handaka…” kata Manahan seterusnya dengan perasaan iba, “Sudah sewajarnya kalau kau menjadi bingung karenanya.”
Handaka mendengarkan kata-kata gurunya itu dengan saksama, meskipun sikap gurunya itu tidak kalah membingungkan pula.
“Pertama-tama ketahuilah, bahwa apa
yang aku lakukan, tidaklah benar-benar seperti apa yang aku katakan.
Otakku masih cukup sehat untuk tidak melakukan hal-hal seperti itu.
Sedang apa yang aku lakukan, adalah untuk meyakinkan dugaanku terhadap
keenam orang yang telah menyerangmu enam malam berturut-turut. Dengan
caraku itu aku kemudian yakin siapakah orang-orang yang datang
berturut-turut itu.”
“Guru…” potong Handaka dengan penuh haru, “Jadi Bapak tidak benar-benar mau membunuhku?”
Mendengar pertanyaan Bagus Handaka, Manahan jadi terharu. Jawabnya sambil membelai kepala anak itu, “Kenapa aku akan membunuhmu?”
“Bukankah Bapak sendiri berkata demikian?” jawab Handaka.
“Dan kau telah mencoba mempertahankan dirimu?” tanya Manahan pula.
“Tidak, Bapak…. Aku sama sekali tidak
berusaha untuk menyelamatkan diri, tetapi aku hanya bermaksud untuk
menunjukkan hasil pelajaran-pelajaran yang aku terima selama ini pada
saat-saat terakhir.”
Diam-diam Manahan memuji di dalam hati.
Benar-benar anak ini berhati bersih dan setia. Karena itu Manahan
menjadi semakin terharu. Namun demikian ia berusaha agar wajahnya sama
sekali tidak membayangkan perasaannya.
“Handaka…” kata Manahan kemudian, “Baiklah aku beritahukan dugaanku atas semua kejadian-kejadian yang berlaku itu, supaya kau tidak terlalu lama menebak.”
Handaka menjadi sangat tertarik. Karena itu ia menggeser duduknya semakin dekat dengan gurunya.
“Handaka….” Manahan melanjutkan, “Mengucapkan
syukur atas semua peristiwa yang berlaku enam malam berturut-turut.
Meskipun barangkali untuk dua-tiga hari tubuhmu akan masih terasa
sakit-sakit, namun setelah itu kau akan berbangga karenanya.”
“Apakah yang dapat aku banggakan Bapak?” tanya Handaka.
Manahan tersenyum, lalu jawabnya, “Aku
telah mencoba untuk memancingmu dalam suatu perkelahian. Apapun
alasanmu tetapi kau telah berbuat sebaik-baiknya. Sedang apa yang kau
lakukan sebagian adalah bukan hasil pelajaran yang aku berikan.”
“Bapak…” potong Handaka, “Kenapa kau berbuat demikian. Aku tidak pernah belajar kepada siapapun kecuali kepada Bapak.”
Kembali Manahan tersenyum. Katanya, “Meskipun
andaikata unsur-unsur itu tidak kau miliki sekarang, kemudian aku pun
akan memberikannya pula. Tetapi kemajuan yang kau capai selama lima hari
akan sama dengan kemajuan yang akan kau capai dalam waktu
berbulan-bulan apabila hal itu kau pelajari dariku, serta dalam keadaan
yang biasa.”
Masih saja Handaka belum mengerti maksud gurunya. Sehingga kemudian Manahan berkata pula, “Handaka…, menurut dugaanku orang yang datang enam malam berturut-turut itu adalah orang yang sama.”
“Orang yang sama?” tanya Handaka keheran-heranan.
“Ya,” jawab Manahan. Orang itu
hanya mengubah mukanya sedikit dengan menggores-goreskan warna-warna
hitam dan kadang-kadang memasang kumis dan janggut palsu.
“Tetapi tingkat kepandaiannya sama sekali tidak sama, Bapak,” potong Handaka.
Sekali lagi Manahan tersenyum. Jawabnya, “Itulah
sebabnya kepandaianmu meningkat dengan wajar, meskipun waktunya
dipercepat. Dan ketahuilah bahwa yang dapat berbuat demikian hanyalah
orang-orang sakti yang berilmu mumpuni.”
Handaka menjadi termenung karenanya.
“Jadi apakah maksudnya menyerangku…?
Dan kenapa dikatakannya bahwa orang-orang itu akan menangkap aku untuk
sebuah pertunjukan pembunuhan…?” tanya Handaka.
“Satu-satunya cara untuk memaksamu bekerja sekeras-kerasnya adalah menakut-nakutimu dengan cara demikian,” jawab Manahan.
Bagus Handaka menarik nafas dalam-dalam.
Mengertilah ia sekarang bahwa orang yang datang setiap malam itu sama
sekali tidak akan membunuhnya seperti gurunya itu pula.
“Adakah Bapak mengenal orang yang datang setiap malam itu?” tanya Handaka kemudian.
Manahan menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku
tidak tahu. Meskipun aku telah berusaha mengenal gerak-geraknya
sebaik-baiknya namun aku tetap tidak dapat mengatakan siapakah dia.
Apalagi apa yang diberikan kepadamu selama ini ternyata adalah
urut-urutan pelajaran dari ilmuku sendiri yang akan aku berikan pula
kepadamu.”
Sekarang semuanya menjadi agak jelas bagi
Handaka. Ternyata orang itu datang kepadanya dengan maksud baik.
Menuntunnya untuk berlatih lebih keras. Dan tahulah ia sekarang kenapa
pada malam-malam pertama, kedua dan ketiga orang itu seolah-olah hanya
memiliki unsur-unsur gerak yang itu-itu saja, sehingga dengan demikian
ia berhasil menguasai unsur-unsur itu, serta kemudian pada malam-malam
berikutnya tanpa disengajanya unsur-unsur itu terselip pada gerak-gerak
perlawanannya, sedang lawan-lawannya dapat memberikan perlawanan
sebaik-baiknya dan diulang-ulangnya pula.
Karena itu, dadanya jadi bergelora. Apalagi ketika gurunya berkata, “Handaka…
orang yang datang berturut-turut itu pastilah seorang yang sakti, jauh
lebih sakti dari gurumu ini. Itulah sebabnya aku sama sekali tidak
berusaha untuk menangkapnya, sebab hal itu pasti akan sia-sia. Hal itu
juga ternyata pula, bahwa orang itu dapat mengetahui bahwa aku berada di
sekitar ini meskipun aku telah bersembunyi sebaik-baiknya.”
Handaka mengangguk-anggukkan kepalanya.
Hal itu sama sekali tak pernah dibayangkan sebelumnya, bahwa seorang
yang sakti, bahkan lebih sakti dari gurunya, datang kepadanya dengan
cara-cara yang aneh. Katanya, “Jadi Bapak diketahuinya sebelum Bapak menampakkan diri?”
“Tidak hanya itu saja Handaka…” Manahan meneruskan, “Sedang aku pun telah menerima nasihatnya pula.”
“Nasihat untuk Bapak?” tanya Handaka terkejut.
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Bukankah
orang itu berkata kepadaku bahwa pertanian bukanlah daerah pelarian.
Bukan daerah tempat orang-orang yang berputus asa apabila kewajibannya
sendiri sudah tak dapat ditunaikan…?”
Handaka memandang Manahan dengan mata
yang bertanya-tanya. Ia sama sekali tidak tahu maksud perkataan itu.
Sampai Manahan melanjutkan, “Handaka…, barangkali kau sama sekali
tak dapat menghubungkan perkataan-perkataan itu dengan keadaan kita.
Tetapi ketahuilah bahwa ada sesuatu hal yang selama ini belum pernah aku
katakan kepadamu, sebab kau masih aku anggap terlalu kanak-kanak.
Sekarang, aku kira kau telah cukup dewasa untuk mengetahui lebih banyak
hal tentang keadaan kita. Keadaan serta kewajiban-kewajibanku dan keadaan serta kewajiban-kewajibanmu.”
Bagus Handaka mendengarkan setiap kata
gurunya dengan saksama. Sakit-sakitnya di seluruh tubuhnya sudah tidak
dirasakannya lagi. Sementara itu angin malam bertiup lemah, dan
bintang-bintang di langit telah mengubah susunannya. bintang Waluku
telah jauh condong di barat, sedang bintang Bima Sakti telah mulai
mengabur pada kedua ujungnya, jauh di selatan dan utara.
“Bagus Handaka….” Manahan meneruskan perlahan-lahan. “Sebenarnya
saat ini aku sedang mengemban suatu tugas yang berat. Tugas yang tidak
boleh diketahui oleh orang lain. Sekarang, karena kau telah cukup
dewasa, ternyata seorang sakti yang tak dikenal telah berkenan langsung
mengajarmu, maka baiklah aku berterus-terang pula. Saat ini aku sedang
berusaha untuk mencari dua pusaka Istana yang hilang, berwujud keris
yang bernama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
Handaka mendengarkan ceritera gurunya
sampai tidak sempat berkedip. Sedang Manahan kemudian berceritera
tentang kedua keris yang pernah diketemukannya bersama ayahnya, Gajah
Sora. Tetapi keris itu kemudian hilang kembali. Dan karena itu pula maka
ayahnya terpaksa menghadap Sultan Demak untuk mempertanggungjawabkan
hilangnya kedua pusaka itu. Sepeninggal Gajah Sora, Banyubiru kemudian
ditimpa oleh banyak malapetaka dan Bagus Handaka sendiri hidupnya selalu
terancam bahaya.
“Untunglah bahwa Paman Lembu Sora segera bertindak,” desis Bagus Handaka, “Dengan demikian pasti Ibu serta Banyubiru dapat diselamatkan.”
Mendengar kata-kata Bagus Handaka itu
Manahan menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya
ia berkata dengan suara sayu, “Kau keliru Bagus Handaka.”
“Keliru?” sela Handaka terkejut.
“Ya, kau keliru”. Manahan menjelaskan, “Sayang
bahwa pamanmu sama sekali tidak berbuat demikian. Meskipun apa yang
dikatakan kepada semua warga Banyubiru, pamanmu telah berusaha
menyelamatkan ibumu serta daerah perdikan itu, namun nyatanya tidaklah
demikian. Sebab pamanmulah sebenarnya sumber keributan itu.”
Handaka menjadi semakin tidak mengerti.
Ia melihat sendiri ketika itu pamannya telah membantu ayahnya menghalau
gerombolan yang menyerang Banyubiru. Bahkan kemudian ibunya telah
memerintahkan Sawungrana untuk meminta bantuan pamannya pula ketika
kemudian timbul hura-hara.
“Bagus Handaka…” sambung Manahan, “Ketahuilah,
pamanmulah yang berusaha untuk menyingkirkan ayahmu. Karena pamanmu
ingin menguasai seluruh daerah perdikan Pangrantunan Lama. Karena itu ia
telah berusaha untuk menyingkirkan kau pula, yang pasti akan menjadi
penghalang usahanya itu.”
Mendengar kata-kata terakhir itu,
menggigillah tubuh Bagus Handaka karena kemarahan yang mencengkam
perasaannya. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa apa yang terjadi adalah
kebalikan dari dugaannya.
“Benarkah apa yang Bapak katakan…?” Handaka bertanya untuk mendapat suatu kepastian.
“Aku telah berkata sebenarnya,” jawab Manahan.
“Tetapi kenapa Bapak baru mengatakan itu kepadaku sekarang?”
“Aku menganggap bahwa sebelum ini, kau belum cukup dewasa, Handaka,” jawab Manahan pula.
Tetapi agaknya Handaka tidak puas mendengar keterangan itu, maka ia mendesak, “Dan kenapa pada saat itu Bapak tidak berbuat sesuatu untuk mencegah perbuatan itu?”
Manahan membenarkan letak duduknya. Ia
dapat mengerti sepenuhnya pergolakan perasaan muridnya. Dengan sabar
Manahan menjelaskan, “Handaka….., waktu itu aku tidak dapat berbuat
apa-apa. Aku tidak dapat menunjukkan bukti-bukti kejahatan yang telah
dilakukan oleh pamanmu. Juga karena kelicinan pamanmu, di hadapan ayahmu
aku pernah hampir-hampir dibinasakan oleh Laskar Banyubiru sendiri,
karena mereka curiga kepadaku tentang hilangnya kedua keris itu.
Untunglah bahwa ayahmu sempat mencegahnya. Kemudian aku tidak yakin
bahwa kecurigaan para pimpinan Laskar Banyubiru itu kepadaku telah
lenyap dari hati mereka seluruhnya atau baru sebagian saja dari antara
mereka.”
Mendengar penjelasan gurunya, Bagus
Handaka semakin terbakar hatinya. Matanya kemudian menjadi merah
menyalakan kemarahannya. Giginya terdengar gemeretak serta denyut
jantungnya bertambah cepat. Dan tiba-tiba saja lenyaplah segala perasaan
sakit dan nyeri. Meskipun masih agak tertatih-tatih ia bangkit berdiri
serta dengan suara lantang ia berkata, “Bapak…, apapun yang terjadi
atasku, aku tidak ambil pusing. Besok pada saat matahari terbit aku
minta ijin Bapak untuk kembali ke Banyubiru. Aku atau Paman Lembu Sora
yang akan binasa tidaklah menjadi soal. Tetapi aku harus menuntut
balas.”
“Handaka…” kata Manahan masih setenang tadi, “Duduklah.”
Handaka dengan tidak sabar memandangi Manahan yang masih saja duduk di pasir pantai. Katanya, “Tidakkah sekarang sudah saatnya Bapak…? Kita harus bertindak tegas. “
“Duduklah Handaka….” Meskipun
Manahan berkata perlahan-lahan, namun nadanya penuh dengan tekanan,
sehingga Handaka tidak dapat berbuat lain, kecuali duduk kembali di sisi
gurunya.
“Handaka…” sambung Manahan, “Aku
dapat mengerti sepenuhnya perasaan yang bergelora di dalam dadamu.
Tetapi jangan membiasakan diri bertindak tergesa-gesa. Membunuh pamanmu
Lembu Sora barangkali tidaklah terlalu sulit, meskipun bagaimana
saktinya. Tetapi akibat dari perbuatan itu sudahkah menjadi perhatianmu?
Setidak-tidaknya pasti akan timbul permusuhan antara Pamingit dan
Banyubiru. Kalau benar demikian, maka di antara kedua daerah perdikan
itu pasti akan ditelan oleh masa depan yang suram.”
Setelah diam sejenak, Manahan melanjutkan, “Dalam kekalutan itu akan hadirlah kekuatan-kekuatan dari pihak lain yang akan menelan Pamingit dan Banyubiru sekaligus. Sebab
dalam hal ini golongan hitam pasti tidak akan tinggal diam. Mereka
pasti akan mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Kemudian dapatlah
dipastikan bahwa di atas mayat-mayat laskar Pamingit dan Banyubiru akan
berkibar bendera-bendera mereka, bendera yang bergambarkan harimau
hitam, sepasang uling yang berlilitan, kelelawar raksasa berkepala
serigala, ular laut yang ganas. Setelah itu lenyaplah sudah nama daerah
perdikan Pamingit dan Banyubiru sekaligus. Lenyap pulalah hasil jerih
payah eyangmu Sora Dipayana yang dengan memeras keringat dan darah
membangun kedua daerah perdikan itu. Lenyap pulalah nama kebesaran
keluarga Sora yang selama ini disegani oleh daerah-daerah lain, bahkan
sampai ke Istana Demak. Yang ada kemudian tinggallah nama-nama Sima
Rodra, Uling Rawa Pening, Lawa Ijo, dan Jaka Soka.”
Bagus Handaka adalah seorang anak yang
cerdik. Karena itu segera ia dapat menangkap maksud gurunya. Namun
meskipun demikian amat sulitlah baginya untuk mengendalikan perasaannya.
Maka bertanyalah ia, “Bapak, kalau demikian apakah kita biarkan saja Paman Lembu Sora tidak terhukum atas kesalahannya itu?”
“Itu pasti Handaka,” jawab Manahan. “Siapa
yang bersalah harus dihukum. Tetapi kita harus menjaga agar kita dapat
menarik garis antara pamanmu Lembu Sora dan orang-orangnya yang sama
sekali tidak tahu-menahu, sehingga dengan demikian pertumpahan darah
yang luas dapat terhindar. Itu adalah tugasmu Handaka, meyakinkan
orang-orang Pamingit dan Banyubiru, bahwa pamanmu telah berbuat suatu
dosa yang harus dipertanggungjawabkan.”
Bagus Handaka menjadi tertegun diam.
Perkataan Manahan itu seolah-olah satu demi satu menyusup ke dalam
dadanya serta mendinginkan hatinya. Sadarlah bahwa pekerjaan yang
dihadapinya bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan dengan tergesa-gesa,
tetapi harus ditempuhnya dengan penuh kebijaksanaan.
“Lalu apakah yang harus aku lakukan Bapak?” tanya Handaka kemudian.

Bagus Handaka memperhatikan setiap kata
gurunya yang menambah keyakinannya bahwa pekerjaan yang betapapun
beratnya itu pasti akan dapat diselesaikan. Namun ia sadar bahwa jalan
yang akan ditempuhnya bukanlah jalan yang lurus dan licin, tetapi pasti
akan penuh dengan rintangan dan bahaya.
Namun ia sadar pula bahwa apa yang
dilakukannya nanti seharusnya tidak menyingkir dari bahaya-bahaya itu,
tetapi ia harus berani menghadapi serta mengatasinya.
Kemudian untuk sesaat mereka saling
berdiam diri. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan serta
gambaran-gambaran masa yang akan datang. Masa yang pasti akan penuh
dengan perjuangan.
“Bagus Handaka….”
Kemudian terdengar Manahan memulai, “Marilah
kita pulang. Sejak besok kita harus sudah berkemas-kemas. Kita tinggal
menunggu padi yang sudah menguning. Setelah itu baiklah kita melanjutkan
perantauan kita untuk menemukan kedua pusaka itu, beserta mempersiapkan
diri untuk mendapatkan kembali tanah pusaka yang kau tinggalkan.
Sekarang bekalmu telah jauh lebih banyak dari lima atau enam hari yang
lalu.”
Bagaimanapun Bagus Handaka masih belum
begitu yakin kepada kata-kata gurunya. Benarkah ilmunya sudah sedemikian
menanjak sehingga gurunya merasa bahwa bekalnya telah cukup banyak?
Karena itu bertanyalah ia meyakinkan, “Bapak, benarkah ilmuku telah jauh lebih banyak dari lima atau enam hari yang lalu…?”
Mendengar pertanyaan muridnya, Manahan tersenyum. “Bagus
Handaka…, aku telah mengujimu. Dalam keadaan payah dan luka-luka kau
mampu melawan aku sampai beberapa lama. Hal itu tidak akan dapat kau
lakukan lima atau enam hari yang lalu. Bahkan aku telah mencoba untuk
menyerangmu dengan bersungguh-sungguh walaupun masih dalam batas-batas
tertentu. Tetapi kau nyata-nyata telah bertambah jauh. Karena itu maka
yang akan aku berikan kepadamu seterusnya tinggallah tingkat yang
tertinggi.”
Oleh keterangan-keterangan itu, diam-diam
Bagus Handaka jadi berbangga. Beberapa kali bibirnya bergerak-gerak
mengucapkan terima kasih kepada orang yang tak dikenalnya, namun tak
sepatah kata pun yang meluncur keluar.
Kemudian berjalanlah mereka berdua
perlahan-lahan sepanjang pantai menuju ke pondoknya. Di sepanjang jalan
hampir tak ada kata-kata yang mereka ucapkan. Apalagi Bagus Handaka,
yang sedang merenungi dirinya sendiri. Dicobanya mengingat-ingat kembali
segala peristiwa yang pernah dialaminya dengan lebih saksama. Dicobanya
mengingat-ingat setiap gerak yang pernah dilakukan dan yang pernah
disaksikan. Akhirnya ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa memang banyak
unsur-unsur yang tanpa sesadarnya telah dimiliki dan bahkan telah
dikuasainya dengan baik.
Maka, sejak matahari terbit di pagi
harinya, Bagus Handaka mulai berkemas-kemas. Sesuai dengan perintah
gurunya, apabila padi telah dituai, maka mereka segera akan meninggalkan
pedukuhan Tegal Arang, untuk meneruskan perjalanan ke tempat yang tak
ditentukan.
Namun sesuai dengan harapan gurunya untuk
mengetahui perkembangan Banyubiru, maka mereka pasti akan mendekati
tempat itu, dengan harapan bahwa mereka sudah tidak akan dikenal lagi
setelah hampir tiga tahun meninggalkan tempat itu. Bila perlu, mereka
akan mempergunakan penyamaran.
Demikianlah, tidak sampai dua pekan, padi
telah masak. Tetapi demikian orang pergi menuai, demikian Manahan dan
Bagus Handaka mulai minta diri kepada tetangga-tetangganya, bahwa ia
tidak dapat tinggal lebih lama lagi di pedukuhan itu. Tentu saja, hal
itu sangat mengejutkan mereka, yang mengira bahwa Manahan dan anaknya
akan tetap tinggal bersama mereka sampai hari tuanya.
“He…, kau mau kemana lagi Manahan?” tanya salah seorang dari mereka yang bertubuh pendek, kasar dan berambut tegak, “Kami telah menerima kau dengan baik, tetapi kau agaknya tidak betah tinggal di pantai.”
Meskipun kata-kata itu diucapkan dalam
nada yang kasar seperti tubuhnya, namun sebenarnya itu adalah suatu
pernyataan yang jujur dari rasa persahabatannya.
“Maafkan Kakang,” jawab Manahan. “Aku terpaksa meninggalkan kalian karena aku masih mempunyai pekerjaan yang lain”
“Apa yang harus kau kerjakan?” tanya yang lain, seorang nelayan yang kurus dan berkumis tipis.
“Aku masih harus mencari bapakku,” jawab Manahan berbohong.
Orang yang kurus dan berkumis tipis itu mengerutkan keningnya, lalu sambungnya, “Kemana bapakmu pergi…?”
Manahan menggeleng-gelengkan kepala. Jawabnya, “Itu yang aku tidak tahu. Karena itu aku harus mengelilingi seluruh pulau untuk menemukannya.”
Hampir semua orang yang mendengar,
mengerutkan dahinya. Mereka merasa aneh bahwa seseorang sampai
kehilangan bapaknya. Tetapi meskipun demikian ternyata mereka tidak
berhasil mencegah. Manahan serta Bagus Handaka pergi meninggalkan
mereka. Banyak pula kawan-kawan Handaka yang menjadi kecewa karena
kepergiannya.
———-oOo———-
IV
Maka dengan rendah hati Manahan
menyerahkan seluruh hasil panennya kepada para tetangganya, dan dengan
hati yang agak berat pula, setelah bergaul hampir tiga tahun dengan para
nelayan yang kasar namun berhati bersih, ia terpaksa meninggalkan
mereka. Suatu hal yang terpaksa berulang kali dialaminya. Menetap di
suatu tempat dan kemudian meninggalkannya, dan kembali ia harus berjalan
menyusur jalan-jalan pedukuhan, hutan dan lereng-lereng gunung serta
lembah-lembah yang hijau padat.
Tetapi kali ini Manahan tidak membawa
muridnya menyembunyikan diri, tetapi bahkan sebaliknya. Mereka berusaha
mendekati Banyubiru untuk mengambil ancang-ancang atas perjuangan yang
bakal dilakukan. Mereka harus lebih dahulu mengetahui seluk-beluk daerah
itu dan mengetahui tanggapan rakyatnya terhadap pimpinan daerah yang
sebenarnya tidak berhak sama sekali itu.
Dengan Kyai Bancak, tanda kebesaran
Banyubiru yang berwujud sebuah ujung tombak, di pinggangnya, setelah
dilepas dari tangkainya, Bagus Handaka berjalan dengan tegapnya menuju
ke arah selatan. Manahan yang berjalan di belakangnya memandangi anak
itu dengan bangga. Ia mengharap agar Bagus Handaka benar-benar dapat
menjadi seorang anak yang kuat dan berhati mulia seperti harapan
ayahnya. Tetapi dengan demikian Manahan jadi teringat kepada Gajah Sora.
Apakah kira-kira yang terjadi atasnya? Namun ia percaya bahwa Gajah
Alit dan Paningron dapat membantu kesulitannya. Setidak-tidaknya
memperingan tuduhan yang ditimpakan atasnya.
Perjalanan Manahan dan Handaka kemudian
sampai pada daerah hutan dan kemudian mereka harus menyusur kaki gunung
Slamet, membelok kearah timur.
Demikianlah dari hari ke hari mereka
selalu berjalan tanpa henti-hentinya. Ternyata kekuatan jasmaniah Bagus
Handaka cukup memuaskan. Ia sama sekali tetap segar dan lincah.
Disamping itu selama perjalanan mereka, masih sempat juga Manahan
memberikan tambahan pengetahuan kepada muridnya. Dan bahkan karena
kecerdasan Bagus Handaka, maka dapatlah ia menemukan unsur-unsur gerak
yang bagus, yang ditirunya dari gerak-gerak binatang buas. Dengan
tuntunan gurunya, Bagus Handaka yang hampir menghabiskan waktunya selama
perjalanan itu dengan memperhatikan gerak-gerik kera-kera yang
berloncatan dari dahan ke dahan, maka kemudian ia berhasil menirukan
beberapa bagian, yang dapat dileburnya ke dalam unsur-unsur gerak yang
telah dimilikinya.
Handaka juga senang sekali memperhatikan
perkelahian antar binatang. Dari binatang yang paling buas sampai
binatang yang paling lemah. Diperhatikannya pula, bagaimana seekor
kancil berhasil melepaskan diri dari terkaman serigala-serigala yang
buas, dan bagaimana seekor banteng dengan tangguhnya menanti serangan
seekor harimau dan kemudian dengan tanduk-tanduknya yang tajam
membinasakannya.
Dengan demikian Bagus Handaka mendapatkan
berbagai macam pengetahuan dari alam. Manahan sendiri sebenarnya kagum
atas ketangkasan otak muridnya, maka ia menjadi semakin bangga bahwa
tidak sia-sialah ia menuntun anak itu.
Karena itu, Manahan selalu memberinya
petunjuk-petunjuk atas kemungkinan kemungkinan yang dapat dimanfaatkan
dari setiap gerak yang dilihatnya. Kecuali gerak-gerak binatang, juga
gerak-gerak dari benda-benda yang lain, seperti angin pusaran, air bah
dan bahkan kelincahan gerak nyala api.
Demikianlah, di sepanjang perjalanan itu,
tidak sedikitlah pengetahuan yang ditangkap oleh Handaka. Dan karena
itu pula ia sama sekali tidak merasakan suatu kejemuan atau keletihan
selama ia bersama-sama dengan gurunya menyusuri jalan-jalan hutan yang
lebat dan sulit.
Setelah meninggalkan lembah kaki gunung
Slamet, mereka mulai dengan perjalanan yang tidak kalah sulitnya. Mereka
menyusur tebing pegunungan Prau, setelah melampaui beberapa pedukuhan
yang tak berarti.
Tetapi meskipun mereka sama sekali tidak
mengenal letih, namun kadang-kadang mereka terpaksa berhenti pula untuk
beberapa lama di suatu tempat. Kadang-kadang sampai satu dua bulan,
kadang-kadang malahan lebih. Setelah itu kembali mereka meneruskan
perjalanan mereka sambil berbuat bermacam-macam kebajikan. Di
tempat-tempat yang pernah dilewati oleh mereka itu, banyaklah hal-hal
yang ditinggalkannya. Pemberitahuan tentang banyak hal. Tentang
pertanian dan sebagainya.
Karena itu mereka selalu meninggalkan
kesan yang baik, sehingga nama Manahan dan Bagus Handaka menjadi banyak
dikenal orang. Pada suatu kali mereka memasuki sebuah pedukuhan yang
sepi di ujung hutan. Penduduknya yang menamakan pedukuhannya itu
Gedangan, terdiri dari petani-petani yang menggarap sawah dengan cara
yang sederhana sekali. Mereka masih belum begitu menaruh perhatian
kepada saluran-saluran air. Untunglah bahwa tanah mereka adalah tanah
yang subur, sehingga meskipun dengan cara-cara yang sangat sederhana,
hasil pertanian mereka dapat mencukupi kebutuhan.
Berbeda dengan pengalaman-pengalaman
mereka, Manahan dan Bagus Handaka ketika memasuki pedukuhan itu,
mengalami penerimaan yang aneh. Hampir setiap mata memandang mereka
dengan penuh kecurigaan. Manahan dan Handaka merasakan keasingan
penerimaan itu. Karena itu mereka bersikap hati-hati dan berusaha untuk
tidak menyinggung perasaan mereka.
Kepada salah seorang dari para petani yang sedang berdiri di pematang, Manahan bertanya dengan hormatnya, “Kakang, apakah aku diperkenankan untuk memasuki pedukuhan ini?”
Orang itu tidak segera menjawab. Tetapi
sekali dua kali ia melemparkan pandangannya kepada beberapa orang yang
bertebaran menggarap sawah di sekitarnya. Baru setelah beberapa saat ia
menjawab, “Siapakah kau berdua?”
“Aku bernama Manahan dan ia anakku, Handaka,” jawab Manahan.
Mendengar nama itu, orang itu mengernyitkan alisnya. Agaknya nama itu asing baginya. Kemudian terdengar ia berkata, “Entahlah aku tak tahu. Berkatalah kepada lurah kami.”
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil bertanya pula, “Di manakah Bapak Lurah itu?”
“Di rumahnya” jawab yang ditanya pendek.
“Maksudku, di mana rumahnya?” sambung Manahan.
Kembali orang itu ragu-ragu dan kembali
ia menebarkan pandangannya kepada orang-orang yang sedang menggarap
sawah di sekitarnya. Tiba-tiba ia menunjuk pada salah seorang
daripadanya sambil berkata, “Bertanyalah kepada orang itu.”
Manahan menoleh menurut arah tangan orang
itu. Dilihatnya di sudut desa berdiri seorang yang bertubuh pendek
kokoh dengan urat-urat yang menonjol. Namun matanya membayangkan
kejernihan hatinya.
Setelah mengucapkan terimakasih, segera
Manahan dan Handaka berjalan ke arah orang bertubuh pendek itu. Dan
kemudian dengan hormatnya Manahan bertanya, “Adakah Bapak ini Lurah dari pedukuhan ini?”
Orang itu menggelengkan kepalanya, sambil menjawab, “Bukan Ki Sanak, aku bukan lurah di sini. Adakah kau punya keperluan dengan lurahku?”
Manahan menganggukkan kepalanya. Sambungnya, “Demikianlah, aku mempunyai sedikit keperluan.”
“Apakah keperluan itu?” tanya orang yang bertubuh pendek.
Tiba-tiba saja setelah mengalami
peristiwa itu, timbullah keinginan Manahan untuk mengetahui lebih banyak
hal lagi. Karena itu timbul pula keinginan untuk bermalam.
Maka kemudian kata Manahan, “Sebenarnya
keperluanku hanyalah akan mohon izin untuk bermalam barang semalam dua,
setelah aku berjalan beberapa hari terus-menerus tanpa beristirahat.”
Orang yang bertubuh pendek itu mengernyitkan keningnya. Kemudian ia bertanya pula, “Siapakah kau berdua?”
“Aku adalah seorang perantau dan bernama Manahan. Sedang anak ini adalah anakku, bernama Handaka,” jawab Manahan memperkenalkan diri.
Dengan seksama orang itu mengamat-amati mereka berdua. Baru sesaat kemudian ia berkata, “Saat
ini lurah kami sedang menerima beberapa orang tamu. Karena itu mungkin
tak ada tempat lagi bagi kalian untuk bermalam di rumah lurah kami. Ataupun kalau tempat itu ada, pastilah lurah kami dengan terpaksa tidak akan mengizinkan kalian bermalam di sana.”
Manahan mengangguk perlahan-lahan. Ia menjadi semakin ingin untuk mengetahui lebih banyak lagi. Karena itu katanya, “Bukan
maksudku untuk bermalam di rumah Pak Lurah. Meskipun aku ditempatkan di
kandang kuda sekalipun, asal aku diizinkan bermalam untuk melepaskan
lelah barang semalam dua malam, aku akan mengucapkan terimakasih.”
Orang yang bertubuh pendek serta bermata
jernih itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian setelah berpikir
sejenak ia menjawab, “Menilik wajah-wajah kalian yang merah hitam
terbakar terik matahari, serta menilik pakaian kalian maka aku percaya
bahwa kalian telah menempuh jarak yang sangat jauh. Maka adalah
kewajiban kami untuk memberikan sekadar tempat melepaskan lelah bagi
kalian berdua. Karena itu maka kalian akan aku bawa pulang ke rumahku,
di sana kalian dapat bermalam. Sebab selain Lurah di pedukuhan ini, aku
pun termasuk orang yang harus membantu pekerjaannya.”
Oleh jawaban itu, hati Manahan menjadi gembira. Karena itu segera ia mengangguk hormat, katanya, “Alangkah
besar hati kami berdua atas ijin sekaligus tempat yang disediakan untuk
kami berdua. Tetapi hendaknya kehadiran kami janganlah menambah
kesibukan,” katanya.
Orang itu tersenyum sambil menggelengkan kepala, “Aku memang selalu sibuk,” katanya, “jadi kehadiran Ki Sanak sama sekali tak mempengaruhi kesibukan itu.”
Memang sejak semula Manahan sudah mengira
bahwa orang itu pasti seorang yang baik hati serta ramah, ditilik dari
sinar matanya yang jernih. Apalagi setelah Manahan bercakap-cakap
sejenak, makin pastilah ia bahwa orang itu orang yang berbudi.
“Marilah Ki Sanak,” kata orang itu, “Ikutlah ke pondokku. Dan kalian dapat beristirahat sepuas-puasnya.”
Maka kemudian ikutlah Manahan serta Bagus
Handaka ke rumah orang yang bertubuh pendek bermata jernih itu. Dan
kemudian ketika mereka bercakap-cakap di sepanjang jalan, tahulah
Manahan bahwa orang itu adalah tangan kanan dari lurah mereka, namanya
Wiradapa.
Sebagai seorang kepercayaan kepala
pedukuhan, rumah Wiradapa tidaklah begitu jauh dengan rumah lurahnya.
Halamannya cukup luas ditumbuhi berbagai macam pepohonan serta dipagari
oleh deretan pohon nyiur yang berpuluh-puluh jumlahnya. Di pedukuhan
yang kecil itu, rumah Wiradapa merupakan rumah yang cukup baik meskipun
tidak begitu besar. Beratap ijuk dan bertulang-tulang kayu.
Di rumah itu pun Manahan mengalami
pelayanan yang baik, meskipun bagi Manahan dan Handaka hanya disediakan
ruangan di bagian belakang rumah. Sebab menurut tangkapan Wiradapa,
Manahan tidaklah lebih dari dua ayah-beranak yang pergi merantau untuk
mencari penghidupan yang baik. Tetapi kemudian sejak Manahan serta
Handaka dipersilakan di ruang yang diperuntukkan bagi mereka, maka
mereka tidak lagi bertemu dan bercakap-cakap dengan Wiradapa sampai
malam, karena Wiradapa harus pergi ke lurahnya.
Manahan dan Handaka yang setelah beberapa
lama selalu tidur di tempat-tempat yang sama sekali tak menentu, dan
sekarang mendapat tempat pembaringan yang selayaknya, segera
membaringkan diri sejak gelap mulai turun. Tempat pembaringan yang tidak
lebih dari sebuah bale-bale bambu serta tikar pandan yang dibentangkan
di atas galar. Bagi Manahan serta Handaka, pada saat itu dirasakan
sebagai suatu pembaringan yang sangat baik. Karena itu pula maka belum
lagi malam sampai seperempat bagian, mereka telah tertidur nyenyak.
Tetapi meskipun bagaimana nyenyaknya
mereka tidur, namun telinga Manahan adalah telinga yang terlatih baik.
Itulah sebabnya meskipun suara itu sangat perlahan-lahan tetapi sudah
cukup untuk membangunkannya.
Manahan menjadi terkejut ketika mendengar seseorang berkata perlahan, “Di mana mereka tidur…?”
“Di ruang sebelah belakang, Tuan,” jawab yang lain, yang oleh Manahan suara itu dikenalnya, yaitu suara Wiradapa.
Kemudian terdengarlah beberapa orang
melangkah mendekat ke ruang tidurnya. Mendengar langkah-langkah itu,
segera Manahan curiga. Karena itu ia pun segera bersiap-siap untuk
menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Tetapi sampai
sedemikian ia merasa masih belum perlu untuk membangunkan muridnya yang
masih tidur dengan nyenyaknya.
Sampai di muka pintu, terdengarlah langkah-langkah itu berhenti, dan terdengarlah seseorang berbisik, “Kau yakin bahwa orang itu tak berbahaya…?”
“Tidak, Kakang Lurah, aku yakin bahwa
orang itu hanyalah bagian dari orang-orang yang hidup berpindah-pindah
seperti burung yang selalu mencari tempat dimana ada makanan.” Terdengar Wiradapa menjawab.
“Aku akan melihatnya….” Terdengar suara lain lagi.
“Silakan Tuan,” jawab Wiradapa.
“Aku akan dapat mengetahui apakah dia
orang berbahaya atau benar-benar orang-orang malas yang kerjanya
mondar-mandir dari desa yang satu ke desa yang lain” terdengar lagi suara itu, “sebab aku tidak mau ada orang yang dapat mengganggu usahaku.”
Kembali terdengar Wiradapa menjawab, “Apa saja yang baik bagi Tuan.”
Kemudian terdengarlah langkah-langkah mereka semakin dekat dan dengan sekali dorong pintu itu sudah terbuka.

Untuk beberapa saat beberapa pasang mata
memandanginya dengan seksama. Mereka terdiri seorang anak sebaya dengan
Bagus Handaka, yang kira-kira baru berumur 16 tahun. Dialah yang dengan
geraknya yang lincah mengancam Manahan dengan pedangnya. Kemudian di
sampingnya sebelah-menyebelah berdiri dua orang yang lain lagi terdiri
Wiradapa dan seorang lagi yang disebutnya Kakang Lurah. Ialah kepala
daerah Pedukuhan Gedangan.
Kemudian terdengarlah anak yang memegang pedang itu berkata dengan nyaring, “Menyebutlah nama nenek moyangmu, sebab saat kematianmu telah datang.”
Handaka tidak tahu siapakah yang telah
mengancam gurunya, juga orang-orang yang berdiri di dalam ruangan itu.
Ia tidak habis herannya melihat sikap gurunya. Baginya lebih baik mati
dengan tangan terentang daripada mati seperti seekor cacing yang sama
sekali tak berdaya. Bukankah gurunya telah menuntunnya demikian dalam
menghadapi lawan-lawannya …? Tetapi sekarang gurunya sendiri bersikap
sebagai seorang pengecut. Karena perasaan-perasaan yang berdesakan
itulah Handaka menjadi gemetar. Bukan karena ketakutan, tetapi karena
pergolakan dadanya yang tak tertahan.
Hampir Handaka tak dapat menguasai dirinya ketka sekali lagi ia mendengar Manahan menjawab, “Ampun Tuan, ampun…. Apakah dosaku maka Tuan akan membunuhku?”
Melihat sikap Manahan itu Wiradapa
memandangi wajah anak muda yang memegang pedang itu dengan sikap meminta
untuk membebaskannya. Tetapi anak muda itu agaknya sama sekali tidak
menaruh belas kasihan. Namun kemudian terdengarlah ia tertawa sambil
berseru, “Apakah kerjamu berdua di sini?”
Manahan nampak gugup mendengar pertanyaan itu. Maka jawabnya gemetar, “Aku tidak apa-apa, Tuan. Sungguh aku tidak apa-apa.”
Sekali lagi anak muda itu tertawa
menyeringai. Sedang ujung pedangnya masih saja melekat di dada Manahan.
Sesaat kemudian terdengarlah ia berkata, “Kau datang pada saat yang tidak menguntungkan bagimu.” Dan setelah itu ia merenung sejenak menyambung “Kenapa kau pilih desa ini untuk bermalam…?”
Manahan emandang wajah anak muda itu
dengan wajah kecemasan. Untuk beberapa lama ia tidak menjawab, sampai
terdengar anak muda itu membentaknya, “Hei perantau malas, jawab, kenapa kau bermalam di sini”
“Aku tidak tahu,” jawab Manahan gugup.
Anak muda itu menarik nafas panjang
mendengar jawaban Manahan yang ketakutan itu. Kemudian tangannya yang
memegang pedang itu mengendor. Dan dengan nada yang merendahkan ia
berkata, “Kalau di dunia ini dipenuhi oleh orang-orang macam itu,
maka manusia ini tak ada bedanya dengan binatang-binatang melata yang
mengais makanan dari dalam tanah tanpa dapat berbuat apa-apa.” Kemudian ia membentak, “He
orang-orang malang. Kau harus menggerakkan tanganmu kalau kau ingin
mengisi perutmu. Selama kau berada di sini kau harus bekerja keras. Aku
menjadi muak melihat kau menjual belas kasihan untuk mendapat makan.
Karena itu besok pada saat matahari terbit, kau sudah harus datang ke
rumah bapak lurah untuk menerima pekerjaan yang harus kau lakukan
besok.”
Sesudah berkata demikian anak muda itu
segera menyarungkan pedangnya kembali, dan sekali lagi dengan pandangan
yang menghina ia menggerutu, “Seharusnya orang-orang macam itu wajib dimusnahkan, supaya dunia kita tidak kekurangan makan.” Setelah
itu segera ia pun melangkah pergi, diikuti oleh kedua orang yang
bertubuh kokoh kuat berwajah seram, serta lurah pedukuhan itu.
Tinggallah Wiradapa yang memandangi Manahan dengan perasaan welas.
Tetapi ketika ia akan berkata sesuatu, terdengarlah suara di luar, “He Wiradapa, apa yang kau kerjakan?”
Wiradapa mengurungkan niatnya, lalu
dengan cepatnya ia melangkah keluar. Sebentar kemudian hilanglah
langlah-langkah mereka ditelan oleh bunyi binatang-binatang malam.
Demikian langkah mereka menghilang,
melentinglah Bagus Handaka dari tempat tidurnya, dan dengan kecepatan
yang luar biasa ia sudah tegak berdiri di hadapan gurunya, seolah-olah
ia ingin memperlihatkan ketangkasannya. Dengan mata yang memancarkan
kemarahan dan gigi yang gemeretak terdengar ia menggeram, “Bapak…”
Setelah itu bibirnya sajalah yang gemetar, tetapi tak ada kata-katanya
yang meluncur keluar. Meskipun di dalam dadanya berdesak-desakkan
berbagai macam perasaan yang akan dilahirkan, namun hanya satu kata
itulah yang berhasil diucapkan.
Tetapi ia bertambah bingung dan tidak
mengerti ketika dilihatnya gurunya masih saja berbaring dengan bibir
yang tersenyum-senyum. Baru ketika ia melihat Handaka gemetar di
hadapannya, ia berkata “Duduklah Handaka.”
Tetapi Handaka masih saja tegak seperti
patung, suara gurunya itu tidak terdengar oleh telinganya yang seperti
mendesing-desing, sehingga Manahan terpaksa mengulangi lagi, “Duduklah Handaka.”
Dengan perasaan yang dipenuhi oleh
teka-teki, Handaka kemudian duduk di samping gurunya. Namun terasa bahwa
dadanya masih bergetar keras.
“Tenanglah Handaka. Tak ada yang perlu kau khawatirkan,” sambung Manahan kemudian.
“Tetapi…” sahut Handaka tergagap. “Tetapi kenapa demikian?”
Handaka menjadi semakin bingung ketika
gurunya kemudian tertawa panjang, meskipun perlahan-lahan, supaya tidak
menimbulkan suara riuh.
“Apa yang demikian…?” tanya Manahan sambil tertawa.
Handaka menjadi semakin bingung, meskipun demikian ia menjawab, “Kenapa
Bapak tadi menjadi sedemikian takut? Kalau Bapak tidak menahan aku,
barangkali aku sanggup berbuat sesuatu untuk mengusir mereka. Ataupun
kalau mereka adalah orang-orang sakti, bukankah lebih baik binasa
daripada mereka hinakan sedemikian?”
“Bagus, memang sedemikianlah seharusnya,” potong Manahan.
“Tetapi kenapa aku tidak boleh berbuat demikian?”
sambung Handaka yang merasa mendapat kesempatan untuk menyatakan
perasaannya. Maka mengalirlah kata-katanya seperti hujan yang dicurahkan
dari langit. “Dan kenapa Bapak sama sekali tidak melakukan
perlawanan. Malahan bapak minta ampun kepada orang yang sama sekali
tidak kenal. Bukankah kami tidak pernah berbuat kesalahan terhadap
mereka? Sebab kami belum pernah bertemu sebelumnya, dan… “
“Sudahlah Handaka,” potong Manahan. Tenanglah, dan dengarkanlah kata-kataku seterusnya.
Handaka menjadi terdiam. Ia mencoba untuk mendengarkan kata-kata gurunya dengan baik.
“Handaka…” kata Manahan kemudian, “Aku percaya bahwa apa yang kau katakan itu dapat kau lakukan. Memang
harusnya kita berbuat demikian. Tetapi untuk kali ini aku mempunyai
pertimbangan-pertimbangan lain. Pertimbangan pikiran yang kadang-kadang
bertentangan dengan perasaan. Sebagai seorang laki-laki yang berhati
jantan, seharusnya kita lawan setiap serangan dengan dada tengadah.
Apalagi penghinaan. Namun demikian ada kalanya keadaan menuntut
tanggapan yang lain atas penghinaan yang kita terima itu. Karena
pertimbangan-pertimbangan itulah maka aku tidak melawan sama sekali
ketika anak muda itu mengancamku dengan pedangnya.”
“Tetapi ia tidak sekadar mengancam,” bertanya Handaka, “Bagaimana kalau pedang itu benar-benar ditusukkan kepada Bapak?”
“Bukankah ia tidak berbuat demikian? jawab Manahan sambil tersenyum, dan
hal itu aku ketahui dengan pasti. Ia hanya akan menggertak untuk
mengetahui apakah aku memiliki kemampuan untuk melawan atau tidak. Ia
hanya ingin mengetahui apakah kita memiliki ilmu tata perkelahian atau
tidak. Sekarang ternyata bahwa ia telah mendapat kesan bahwa kita adalah
orang-orang yang malas, yang merantau dari satu desa ke lain desa untuk
sekadar mendapat makan. Bukankah dengan demikian kita mendapat
keuntungan?”
Setelah diam sejenak, Manahan kemudian meneruskan, “Handaka… sebenarnya aku ingin mengetahui apa yang mereka lakukan di sini, tanpa kecurigaan apapun.”
Mendengar penjelasan itu Handaka
menundukkan kepalanya. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri atas
ketergesa-gesaannya. Apalagi ia telah telanjur seolah-olah mengajari
gurunya. Ternyata apa yang dilakukan gurunya adalah suatu cara untuk
maksud-maksud tertentu.
“Sudahkah kau jelas Handaka?” tanya Manahan.
Handaka mengangguk perlahan. Sadarlah ia
sekarang, betapa banyak persoalan yang sama sekali tidak dipikirkannya,
yang ternyata perlu untuk diketahuinya. Ternyata bahwa tidak semua
persoalan harus diselesaikan dengan kekuatan dan kekerasan, tetapi dapat
diambil cara yang lain. Dengan demikian ternyata bahwa pandangan
gurunya sangat jauh mendahuluinya.
“Nah, Handaka… marilah kita tidur kembali. Hari masih malam. Tutuplah pintu itu,”
ajak Manahan sambil membaringkan dirinya kembali. Handaka sama sekali
tidak berkata sepatah kata pun. Perlahan-lahan ia pun bangkit menutup
pintu, dan kemudian merebahkan dirinya di samping Manahan. Pikirannya
sibuk menduga-duga siapakah orang-orang yang telah datang menjenguk nya
tadi. Dalam remang-remang cahaya pelita ia tidak dapat memandang wajah
mereka dengan jelas.
“Handaka… kata Manahan pelan, “Mulai
besok kita akan mendapat pekerjaan baru. Aku tidak tahu apakah
kira-kira yang harus kita kerjakan. Mudah-mudahan dengan demikian kita
akan mengetahui siapakah mereka dan apakah maksud kedatangan mereka
kemari.”
“Tetapi alangkah sombongnya anak muda itu, Bapak,” gerutu Handaka.
Manahan tertawa pendek, lalu jawabnya, “Bukankah
itu persoalan biasa? Anak-anak sebaya dengan kau memang sedang dalam
taraf pergolakan. Mereka senang menunjukkan ketangkasan serta
kelebihannya.”
Handaka tidak menjawab lagi. Ia merasa bahwa sebagian jawaban gurunya ditujukan kepadanya pula.
Sesaat kemudian terdengarlah Manahan meneruskan, “Karena
itu, jiwa yang bergolak itu harus mendapat saluran yang sebaik-baiknya.
Untuk itu perlu kesadaran. Kesadaran akan keadaan diri sendiri serta
keadaan yang melingkupinya.”
Seperti biasa, Handaka selalu
mendengarkan nasihat gurunya baik-baik. Ia berjanji dalam hati bahwa ia
akan berusaha untuk mentaatinya sejauh-jauh mungkin.
Setelah itu Manahan tidak berkata-kata
lagi. Kantuknya telah mulai menyerangnya kembali. Dan sesaat kemudian ia
pun telah tertidur pula. Demikian pula Bagus Handaka. Ketika ayam
jantan berkokok untuk kedua kalinya, kesadarannya pun mulai tenggelam.
Dan ia pun tertidur kembali dengan penuh angan-angan di kepala.
Pagi-pagi benar Manahan telah bangun.
Segera Handaka dibangunkannya pula. Sebab pada saat matahari terbit
mereka harus sudah sampai di halaman kalurahan untuk menerima
tugas-tugas yang akan diberikan oleh anak muda yang datang semalam.
Ketika mereka keluar dari ruang itu
mereka melihat Wiradapa sudah berdiri di pagar halaman. Agaknya ia pun
baru bangun. Maka ketika ia melihat Manahan mendekati, ia pun berkata
mengingatkan, “Ki Sanak, bukankah kau diwajibkan datang ke kalurahan pagi ini?”
Manahan mengangguk hormat sambil menjawab, “Benar Tuan, dan aku akan segera pergi.”
“Baik Ki Sanak, bersiap-siaplah. Nanti kita pergi bersama. Sekarang mandilah, aku pun akan membersihkan diri pula,” kata Wiradapa sambil melangkah pergi.
Manahan dan Handaka pun segera pergi ke
sumur di belakang rumah untuk membersihkan diri. Setelah itu mereka
menghangatkan diri dengan air panas dan gula kelapa yang sudah
disediakan untuk mereka. Sementara itu Manahan selalu menasihati Handaka
untuk tidak bertindak tergesa-gesa dalam segala hal. Ia harus
menyesuaikan diri dengan kedudukannya sebagai seorang yang dianggap tak
berdaya. Hanya apabila jiwanya benar-benar terancam, barulah boleh
bertindak untuk melindungi dirinya.
Beberapa saat kemudian Wiradapa pun telah siap. Bertiga mereka berjalan bersama-sama ke kalurahan.
Ketika mereka sampai ke halaman
kalurahan, ternyata di pendapa telah banyak orang. Dari pakaian mereka
segera dapat diketahui bahwa beberapa orang di antaranya bukanlah orang
dari padukuhan itu. Orang-orang asing itu berpakaian lebih baik dan
lengkap daripada orang pedukuhan itu sendiri, serta pada umumnya di
pinggang mereka terselip sebilah keris atau senjata-senjata yang lain.
Melihat Wiradapa datang, segera mereka
mempersilahkannya. Dan lurah mereka sendiri memanggilnya untuk duduk di
sampingnya. Sedang Manahan dan Handaka, mereka suruh duduk di lantai di
tangga pendapa itu. Tampaklah di wajah Handaka perasaan tidak senang,
namun Manahan sendiri, wajahnya sama sekali tidak berkesan apa-apa.
Sebentar kemudian muncullah dari ruang
dalam seorang pemuda sebaya dengan Bagus Handaka. Wajahnya memancar
cerah dan pakaiannya pun lebih baik dari pakaian mereka semua yang hadir
di pendapa itu. Di sampingnya sebelah menyebelah, berdirilah
orang-orang yang bertubuh gagah tegap dengan wajah-wajahnya yang seram.
Mereka itulah yang tadi malam datang melihat Manahan di tempatnya
menginap.
Pada saat itu, sinar matahari yang baru
saja naik, mulai menembus dedaunan dan jatuh di tanah-tanah lembab.
Embun malam yang melekat di rerumputan perlahan-lahan mulai mengering
menimbulkan asap putih yang melapisi cahaya pagi. Sedangkan
tetesan-tetesan embun yang tersangkut di dedaunan, tampak berkilat-kilat
memantulkan cahaya matahari yang masih kemerah-merahan, seperti
butiran-butiran permata yang cemerlang.
Dengan semakin cerahnya cahaya matahari,
semakin jelas pulalah wajah-wajah yang berada di dalam pendapa
kalurahan. Mulai dari wajah yang sudah dikenalnya dengan baik, yaitu
Wiradapa, sampai wajah lurah pedukuhan itu. Juga wajah orang-orang asing
itu satu demi satu mulai dapat dikenal. Manahan dan Bagus Handaka yang
duduk agak jauh dari mereka, mulai memperhatikan wajah-wajah itu pula.
Satu demi satu. Namun Manahan tak dapat mengenal seorang pun dari
mereka. Mereka bagi Manahan benar-benar orang asing yang belum pernah
dilihat sebelumnya.
Karena itu Manahan sama sekali tidak lagi
menaruh banyak perhatian, kecuali menanti pekerjaan apakah yang akan
diberikan kepadanya, dan seterusnya menyelidiki apakah yang mereka
kerjakan di situ. “Mudah-mudahan mereka tidak berbuat keributan,” pikirnya.
Lalu setelah itu mulailah perhatiannya
beredar ke sudut-sudut halaman rumah kepala pedukuhan itu. Sejak dari
pagar batu yang mengelilingi setinggi orang, sampai pada pohon-pohon
liar yang tumbuh tidak begitu teratur bertebaran di sana-sini.
Tetapi tiba-tiba Manahan terkejut karena
gemeretak gigi Handaka. Ketika ia menoleh, dilihatnya wajah Handaka yang
merah padam, sedang nafasnya mengalir cepat. Manahan menjadi agak
terkejut. Sadarlah ia bahwa pasti ada sesuatu di hati anak itu.
Untunglah bahwa Manahan cepat dapat menggamit Bagus Handaka yang hampir
saja melompat berdiri.
“Handaka…” bisik Manahan, “Ada apa?”
Mata Bagus Handaka menjadi merah menyala. Tubuhnya gemetar karena menahan diri. “Bapak, biarkan aku kali ini membuat perhitungan,” desisnya.
Manahan menjadi keheran-heranan. “Kau kenapa Handaka?” tanya Manahan.
“Aku tidak mau melepaskan anak itu pergi,” jawabnya.
Manahan menjadi semakin heran. Karena itu ia segera berusaha menenangkan hati Bagus Handaka.
Dengan perlahan-lahan ia berkata, “Tenanglah Handaka, jangan kau biarkan perasaanmu meluap-luap. Ada apakah sebenarnya dengan anak itu?”
“Bapak, belumkah Bapak kenal dia?” tanya Handaka.
Manahan menggelengkan kepalanya.
“Semalam aku agak kurang dapat
melihat wajah anak muda itu. Juga barangkali setelah tiga tahun aku
tidak bertemu, maka baru setelah aku mengingat-ingat agak lama, aku
kenal ia kembali,” sambung Bagus Handaka.
“Siapakah dia?” desak Manahan ingin tahu.
“Sawung Sariti, putra Paman Lembu Sora,” jawab Handaka.
Berdesirlah dada Manahan mendengar
jawaban itu. Memang sebelumnya ia belum pernah melihat anak itu. Tetapi
bagaimanapun, Manahan tidak ingin maksudnya gagal. Apalagi setelah ia
mengetahui bahwa anak itu adalah anak Lembu Sora, keinginannya untuk
mengetahui maksud kedatangannya di pedukuhan itu semakin mendesak. Maka
itu segera ia berkata, “Bagus Handaka, cobalah kuasai perasaanmu.
Dengan bertindak tergesa-gesa barangkali, tidak banyak keuntungannya.
Sudah aku katakan bahwa aku ingin mengetahui apakah kedatangannya
kemari. Agaknya ia sudah tidak mengenal kau kembali setelah kau menjadi
anak sawah dan anak laut. Barangkali kulitmu telah hitam terbakar
matahari dan tersiram ombak lautan. Hal itu adalah suatu keuntungan
bagimu sehingga usaha kita tidak lekas dapat diketahui. Dengan
mengetahui lebih banyak tentang Sawung Sariti itu, bukankah jalanmu
menjadi semakin licin…?”
Bagus Handaka menekan giginya kuat-kuat.
Ia sedang berusaha untuk menenangkan dirinya. Seperti biasa ia tidak
pernah berani melanggar perintah dan nasehat gurunya, bagaimanapun
nasehat atau perintah itu bertentangan dengan kehendaknya.
“Handaka…” sambung Manahan, “Barangkali permintaanku ini mengecewakan engkau, tetapi dengan sangat aku harapkan bahwa kau dapat memenuhinya.”
Handaka menundukkan kepalanya. Dengan penuh ketaatan ia menjawab, “Baiklah Bapak, aku selalu berusaha untuk dapat memenuhi nasehat Bapak.”
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Sambil tersenyum ia berkata pula, “Nah,
sekarang nikmatilah permainan ini. Ingat, kita adalah perantau yang tak
berharga. Dua orang ayah-beranak yang malas, yang pergi dari satu
tempat, ke lain tempat untuk menuntut belas kasihan orang.”
Handaka menganggukkan kepalanya, tetapi
ia tidak menjawab. Terkilaslah di dalam otaknya permainan-permainan aneh
yang pernah dilakukan oleh gurunya, yang kadang kadang sangat
membingungkannya. Kemudian teringat pulalah keanehan orang yang tak
dikenal, yang bahkan gurunya pun tak mengenalnya, yang mengajarkannya
dengan cara yang sama sekali tak diduga-duganya. Enam malam
berturut-turut menyerangnya dengan cara yang berbeda-beda menurut urutan
yang teratur.
“Apakah setiap orang sakti itu mempunyai cara-cara yang tidak menurut kebiasaan orang-orang lumrah…?” pikirnya.
Tetapi ia tidak menanyakan hal itu kepada gurunya.
Sementara itu terjadi pulalah berbagai
pembicaraan diantara orang-orang yang berada di pendapa. Pembicaraan
mereka mula-mula berkisar pada persoalan-persoalan yang berarti. Tentang
sawah, air dan tentang kebiasaan-kebiasaan penduduk pedukuhan itu.
Diantara mereka terdengarlah seorang yang tampaknya berasal dari
Pamingit, yang bersama-sama dengan Sawung Sariti memberikan beberapa
petunjuk mengenai cara-cara mengolah sawah.
Tiba-tiba kemudian terdengarlah anak muda yang ternyata adalah Sawung Sariti itu berkata nyaring, “He, Paman Lurah, siapakah dua orang yang duduk di sana itu?”
Mendengar sapa itu, semua mata kemudian
tertuju kepada Manahan dan Bagus Handaka, yang kemudian kepalanya
menjadi semakin tunduk. Dadanya terasa bergelora hebat, namun ia sama
sekali tidak berani melanggar pesan gurunya.
Sesaat kemudian terdengarlah Wiradapa menjawab, “Mereka adalah Manahan dan Bagus Handaka, yang semalam bermalam di rumahku, Tuan.”
“O…” sahut Sawung Sariti. “Untuk apa mereka datang kemari?”
“Bukankah Tuan yang memerintahkannya?” jawab Wiradapa pula.
Terdengarlah Sawung Sariti tertawa. Suaranya terdengar melengking tinggi. Katanya, “Benar
Paman, memang aku yang menyuruhnya kemari. Aku sama sekali tidak senang
melihat orang bermalas-malas seperti kedua orang itu.”
Mendengar percakapan itu dada Bagus
Handaka serasa akan pecah terdesak oleh gelora perasaannya. Ia belum
pernah mengalami tanggapan yang sangat menyakitkan hati seperti itu. Ia
menjalani semua pahit getir penghidupan dengan senang hati, tetapi tidak
untuk direndahkan sedemikian.
Namun dengan tabah ia menelan segala
kepahitan itu, sebagai suatu kewajiban. Karena itu mukanya menjadi merah
pengab. Dadanya seolah-olah berdentang dentang oleh pukulan detak
jantungnya. Manahan melihat keadaan Bagus Handaka itu dengan penuh
pengertian. Sebenarnya ia merasa kasihan kepada anak itu, namun ia harus
mengajarinya menahan diri. Maka dengan lembut ia berbisik, “Di
dalam perjalanan hidupmu kelak Handaka, banyaklah tekanan-tekanan batin
yang lebih dahsyat daripada permainan ini. Karena itu anggaplah kali ini
sebagai latihanmu yang masih terlalu ringan.”
Kata-kata Manahan itu ternyata besar
pengaruhnya. Memang latihan selamanya terasa hebat. Karena itu ia
menjadi agak tenang dan menerapkan dirinya dalam suatu keadaan latihan.
“Paman Lurah…” kembali terdengar suara Sawung Sariti, “Pekerjaan apakah yang dapat diberikan kepada orang-orang malas itu?”
Lurah Gedangan yang sama sekali tidak mempunyai rencana apapun menjadi agak bingung, maka jawabnya, “Terserahlah Tuan, sebab aku tidak memerlukan mereka berdua.”
Kembali terdengar Sawung Sariti tertawa
nyaring. Tetapi kemudian tampak wajahnya berkerut. Agaknya ia teringat
sesuatu yang sangat penting. Tiba-tiba ia berdiri dan mendekati salah
seorang pengiringnya. Untuk beberapa saat mereka saling berbisik-bisik.
Setelah itu kemudian dengan tersenyum-senyum Sawung Sariti berkata, “He orang-orang malas, siapakah namamu?”
Manahan memutar duduknya, dan sambil membungkuk hormat ia menjawab, “Namaku Manahan, Tuan… dan ini anakku bernama Handaka.”
“Nama-nama yang bagus,” sahutnya, kemudian ia meneruskan, “Apakah yang dapat kau kerjakan?”
Manahan mengangkat mukanya, jawabnya, “Apa saja yang Tuan perintahkan, aku akan mencoba melakukannya.”
Sawung Sariti mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Besok
aku mempunyai pekerjaan penting untukmu berdua. Sekarang belum. Tetapi
ingat, jangan coba-coba meninggalkan pedukuhan ini. Sebab menurut
pikiranku tak ada orang lain yang dapat melakukannya kecuali kalian
berdua. Kalau kalian mencoba dengan diam-diam pergi dari pedukuhan ini,
maka pasti orang-orangku akan menemukan kalian dan memenggal leher
kalian. Mengerti…?”
Manahan memandangi wajah anak muda itu dengan penuh pertanyaan. Dengan nada bertanya-tanya ia menjawab, “Pekerjaan apakah yang akan Tuan berikan itu. Dan adakah aku mampu melaksanakan?”
“Kau pasti dapat melakukan,” jawabnya bersungguh-sungguh lalu ia meneruskan, “Karena
kalian akan melakukan pekerjaan yang penting itu, maka sekarang kalian
boleh beristirahat, tidur untuk sehari penuh. Dan jangan takut kelaparan
untuk sehari ini. Paman Wiradapa akan memberimu makan
sebanyak-banyaknya.”
Sekali lagi dada Handaka berguncang.
Apalagi kalau diingatnya bahwa orang yang mengucapkan kata-kata itu
adalah anak pamannya yang telah berkhianat kepada ayahnya.
Tetapi kemudian Bagus Handaka telah dapat
menempatkan perasaannya sebaik baiknya, sehingga karena itu hanya suatu
tarikan nafas yang dalam yang terdengar.
“Nah, orang-orang malas…” sambung Sawung Sariti, “Sekarang kau boleh pergi. Kau boleh berjalan kemana kau suka, tetapi ingat jangan tinggalkan pedukuhan ini.”
“Baiklah Tuan,” jawab Manahan penuh hormat. Dan kemudian bersama-sama dengan Bagus Handaka mereka meninggalkan halaman kalurahan.
Mereka berjalan begitu saja sepanjang
jalan desa tanpa tujuan. Manahan berjalan di depan dengan kepala tunduk,
sedang di belakangnya Bagus Handaka mengikutinya dengan kepala yang
dipenuhi teka-teki.
“Kemana kita pergi Bapak?” tanya Handaka kemudian.
Manahan menoleh, dan kemudian memperlambat jalannya sampai Handaka berjalan di sisinya. Kemudian ia menjawab, “Asal kita berjalan Handaka. Melihat sawah-sawah, ladang serta lereng-lereng pegunungan.”
“Apakah kira-kira yang harus kita kerjakan besok pagi?” tanya Handaka pula.
“Entahlah,” jawab Manahan. “Agaknya bukan pekerjaan yang menyenangkan.”
Setelah itu mereka berdua bersama-sama
berdiam diri. Tetapi kaki mereka melangkah terus sepanjang jalan yang
kemudian sampai ke daerah persawahan. Batang-batang jagung yang sudah
setinggi lutut, tampak hijau segar di bawah sinar matahari pagi.
Burung liar terbang bertebaran mencari
mangsanya. Dan di sana sini beberapa orang telah mulai mengerjakan
sawahnya. Menyiangi tanamannya dan mengalirkan air dari parit-parit.
Meskipun apa yang mereka lakukan adalah cara-cara yang sederhana sekali,
namun karena tanah yang subur maka tanaman mereka tampak subur pula.
Manahan dan Handaka berjalan saja
berkeliling tanpa tujuan. Ketika kemudian matahari semakin tinggi,
mereka berdua beristirahat di bawah pohon rindang di simpang jalan.
Selama itu tidak juga banyak yang mereka percakapan, karena pikiran
mereka masing-masing dipenuhi oleh berbagai masalah yang
melingkar-lingkar.
Matahari merayap-rayap semakin tinggi di
kaki langit. Manahan dan Handaka melihat iring-iringan orang berkuda
keluar dari pedukuhan. Mereka adalah Sawung Sariti dengan tiga atau
empat pengawalnya, Pak Lurah dan beberapa orang lagi. Agaknya mereka
akan menempuh suatu perjalanan yang agak jauh, meskipun pasti pada hari
itu juga mereka akan kembali ke pedukuhan itu.
“Wiradapa tidak ikut dengan mereka,” bisik Manahan.
Handaka menganggukkan kepalanya. Tetapi,
ia tidak menjawab. Manahan pun tidak melanjutkan kata-katanya pula.
Kembali mereka tenggelam dalam angan-angan mereka masing-masing.
Tetapi sejenak kemudian mereka melihat
Wiradapa berjalan keluar lewat sudut desanya. Sebentar ia berhenti
sambil memperhatikan titik-titik yang semakin lama semakin jauh sambil
meninggalkan hamburan debu putih.
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 10
Koleksi Ki Arema
Editing oleh Ki Arema
4 Tanggapan
Tinggalkan Balasan
