

ADBM-005

KEMBALI terdengar tepuk
tangan yang gemuruh. Orang-orang yang berdiri berkeliling itu tak akan
mau dikecewakan. Mereka benar-benar ingin menyaksikan pertandingan yang
pasti akan menyenangkan sekali.
Orang-orang itu pun kemudian diam kembali
ketika Widura berkata pula, “Nah, aku sangka Sidanti ingin mengulangi
permainan panah seperti yang telah dilakukannya, bersama-sama Agung
Sedayu”
“Ya kakang” sahut Sidanti.
Kini Widura memandangi wajah Agung
Sedayu. Dilihatnya beberapa titik keringat membasahi keningnya. Namun
kali ini Widura sengaja ingin memaksa Agung Sedayu agar berbuat sesuatu
yang dapat mendorong dirinya untuk lebih percaya kepada kemampuan diri.
Karena itu maka katanya, “Agung Sedayu, biarlah kau melakukannya. Tak
ada persoalan apapun. Permainan ini hanya sekedar kelanjutan dari
keinginan orang-orang Sangkal Putung mengenalmu. Sedangkan Sidanti ingin
pula memperkenalkan dirinya lebih banyak lagi. Bukankah dengan kawan
bermain yang lebih baik, akan lebih banyak permainan-permainan yang
dapat dipertunjukkan? Bukan hanya sekedar menyamai atau melampaui
sedikit kemampuan-kemampuan Hudaya atau Citra Gati”
Hudaya dan Citra Gati yang berdiri di
belakang Widura pun tersenyum masam. Namun mereka tidak marah. Bahkan
mereka menjadi bersenang hati, bahwa Widura memberi kesempatan kepada
kemenakannya untuk melakukan pertandingan meskipun hanya memanah saja.
Kata-kata pamannya itu terasa sedikit
dapat menyejukkan hati Agung Sedayu. Bukankah dengan demikian, pamannya
akan menjaminnya untuk seterusnya, apabila ada akibat dari permainan
ini? Seandainya ia melampaui Sidanti, sedang Sidanti itu kemudian marah
kepadanya, bukankah itu menjadi tanggung jawab pamannya? karena itu,
terdorong pula oleh keadaan yang telah menyudutkannya, maka Agung Sedayu
tidak dapat berbuat lain. Dengan ragu-ragu ia menganggukkan kepalanya.
Katanya lirih, “Baiklah paman. Kalau paman menghendaki”
Widura tersenyum. Baru kali ini sejak
beberapa hari pamannya itu tersenyum kepadanya. Karena itu hati Agung
Sedayu itu pun menjadi bertambah besar pula.
“Nah, baiklah kita berikan tempat kepada mereka berdua” berkata Widura.
Maka orang-orang yang melingkari mereka
itu pun kemudian berlari-larian menyibak. Sedang Swandaru menjadi
bergembira pula. segera ia pun berlari-lari pula berkeliling lapangan
untuk memungut panah-panahnya yang berserakan di sekitar orang-orangan
yang telah dilepas kepalanya.
Tetapi kemudian Widura menjadi sulit
menentukan sasaran. Tidak menarik lagi apabila mereka berdua harus
mengenai orang-orangan itu, walau pun diayunkannya sekali. Mereka pasti
akan dengan mudah dapat mengenainya. Dalam pada itu tiba-tiba berkatalah
Swandaru, “Paman Widura, pertandingan ini baru dapat dimulai,
seandainya kakang Sidanti mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh anak
muda itu. Mengenai sasaran tiga kali berturut-turut di udara”
Widura mengerutkan keningnya.
Kata-katanya itu benar juga, tetapi belum seorang pun yang melihat,
Agung Sedayu melakukannya selain Swandaru.
Karena itu Widura ingin berbuat adil.
Kedua-duanya harus mulai dengan sasaran dan kesempatan yang sama. Maka
katanya, “Swandaru, apakah sasaran orang-orangan itu masih ada?”
“Masih paman” jawab Swandaru.
“Nah, ambillah bandulnya. Ikatlah bandul itu dengan tali yang agak panjang”
Swandaru belum tahu benar maksud Widura.
meskipun demikian ia berjalan juga mengambil vandul orang-orangan yang
masih terletak di ujung lapangan. Kemudian diambilnya sisa-sisa tali
yang masih terserak-serak di sana-sini. Dengan tali itu maka bandul itu
pun diikatnya.
“Sudahkah bandul itu kau ikat dengan tali?” bertanya Sonya.
Swandaru mangangguk. Jawabnya, “Bagaimanakah maksud paman Widura dengan bandul ini?”
“Peganglah ujung talinya dan putarlah bandul itu di atas kepalamu” Sahut Sonya.
“Ah” jawab Swandaru perlahan-lahan. “Jangan aku. Sidanti itu dapat membidikkan panahnya ke arah perutku”
Sonya tersenyum. Katanya, “Mereka adalah pemanah-pemanah yang baik. Mereka pasti tidak akan mengenaimu”
Swandaru menggeleng. “Peganglah”
jawabnya, “Kalau mereka membidik sasaran itu, maka sasaran itulah yang
akan dikenainya. Tetapi kalau Sidanti itu membidik perutku?”
“Marilah” jawab Sonya, “Berikanlah bandul itu, biarlah perutku yang dibidiknya”
Maka kini Sonyalah yang memegang sasaran
itu. Dipegangnya ujung tali yang lain, dan diputarnya bandul itu di atas
kepalanya dalam lingkaran yang berjari-jari sepanjang tali yang lebih
dari sedepa panjangnya, mendatar.
Swandaru itu pun kemudian berlari-lari
menepi, bahkan kemudian didekatinya Agung Sedayu yang telah memegang
busurnya dan beberapa anak panah di dalam endongnya.
“Masing-masing mendapat kesempatan tiga kali” berkata Widura ketika mereka sudah hampir mulai, “Sampai hitungan kelima belas”
Sidanti pun telah mempersiapkan busurnya
pula. dengan wajah tegang ia mengikuti bandul yang berputar di atas
kepala Sonya. Ketika Widura mulai dengan hitungan pertama, maka Sidanti
lah yang lebih dahulu mengangkat busurnya. Sesaat kemudian terbanglah
anak panahnya yang pertama, disambut dengan sorak sorai penonton di
sekitar lapangan. Anak panah itu tepat mengenai sasarannya langsung ikut
berputar pula dengan bandul itu. Dengan sudut matanya Sidanti melihat
tangan Agung Sedayu. Dan tangan itu pun telah bergerak pua. Dan
meluncurlah anak panah Agung Sedayu. Kali ini pun para penonton bersorak
bergemuruh. Anak panah Agung Sedayu pun hinggap pula pada sasarannya.
Sidanti itu pun menarik nafas panjang. Ia mengumpat di dalam hatinya, “Setan itu mampu juga mengenainya”
Tetapi hitungan Widura sudah sampai yang
keenam. Karena itu maka Sidanti itu pun sekali lagi mengangkat busurnya,
dan sekali lagi anak panahnya meloncat dari busurnya. Kali ini pun anak
panah Sidanti itu tepat mengenai sasarannya, dan karena itu maka para
penonton pun menjadi semakin riuh, bersorak dan bertepuk tangan. Dan
sorak sorai itu menjadi semakin membahana ketika anak panah Agung Sedayu
seakan-akan tanpa mereka lihat, demikian saja telah melekat pada
sasaran itu pula. agaknya ketika mereka dang asyik dengan anak panah
Sidanti, Agung Sedayu pun telah melepaskan anak panahnya yang kedua.
Sekali lagi Sidanti mengumpat pula.
Katanya dalam hati, “Aku harus mengenai untuk yang ketiga kalinya. Kalau
anak itu mampu pula mengenai tiga kali, maka harus ditempuh cara yang
lain untuk menentukan siapakah di antara kita yang akan menjadi pemanah
terbaik”
Tetapi Sidanti itu menjadi terkejut.
Tiba-tiba meledaklah sorak para penonton seperti akan meruntuhkan
langit. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya sebuah anak panah lagi
telah ikut serta dalam putaran bandul di atas kepala Sonya. Agaknya
dengan cepat Agung Sedayu telah melepaskan anak panahnya yang ketiga.
“Gila” desisnya. Ketika itu ia mendengar Widura sudah mencapai hitungan yang kesebelas.
Dengan hati-hati Sidanti mengangkat
busurnya. Kali ini ia harus benar-benar dapat mengenainya dengan tepat.
Kalau tidak, maka Sedayu sudah akan menyisihkannya pada babak yang
pertama. Namun ternyata Sidanti adalah pembidik yang baik. Panahnya yang
terbang secepat kilat itu pun kemudian mengenai sasarannya pula,
disambut oleh sorak yang semakin bergelora. Lapangan di muka banjar desa
itu benar-benar seperti akan meledak.
Agung Sedayu masih berdiri di tempatnya
sambil mengamat-amati sasaran yang kini sudah tidak diputar lagi. Dengan
kedua tangannya Sonya mengacung-acungkan bandul itu sambil berteriak,
“Enam panah!”
Widura itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Kalian ternyata mempunyai kecakapan yang sama.
Karena itu, biarlah kita adakan permainan yang lain. Namun aku belum
tahu, apakah sasaran yang lebih baik dapat kita gunakan”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya,
namun ia pun belum tahu sasaran apakah yang sebaiknya dipergunakan.
Sedang Agung Sedayu lagi sibuk mendengarkan orang menyebut-nyebut
namanya. Ia menjadi berbangga juga karenanya. Bahkan kemudian timbul
juga keinginannya untuk mendapat pujian yang lebih besar dari para
penonton itu. Untuk sesaat ia melupakan pula akibat-akibat yang bisa
terjadi. Sebab ia telah membebankan seluruh tanggung jawab kepada
pamannya.
Terasa sesuatu menjalar di dalam dada
Agung Sedayu. Belum pernah ia sepanjang umurnya mendapat pujian semeriah
ini. Pada masa-masa kecilnya, ibunya selalu memujinya. Namun bukan
karena ia berbuat sesuatu. Ibunya memuji untuk menyenangkannya saja.
Apa pun yang dilakukannya maka ibunya
tidak pernah mencelanya. Sedang ayahnya sekali-sekali sering memujinya
pula apabila ia berhasil berbuat sesuatu menurut kehendak ayahnya.
Tetapi ayahnya lebih sering kecewa terhadapnya dari pada memujinya.
Bahkan sering ia harus menangis kalau ayahnya menyuruhnya mengulang dan
mengulang suatu perbuatan yang tak dapat dilakukannya. Betapa sulitnya
latihan-latihan yang diberikan ayahnya dahulu kepadanya. Memanah, bandil
dan bermacam-macam ketangkasan membidik. Namun ayahnya selalu
mengatakan kepadanya, “Kau mampu Sedayu, kau pasti mampu melakukannya”
Dan akhrinya ternyata, setelah ayahnya memberinya contoh berkali-kali,
akhirnya ia mampu juga melakukannya. Berkali-kali ia diajak ayahnya
berdiri di pematang dengan busur di tangan. Ia harus mendapatkan tiga
ekor burung dengan tiga batang anak panah. Burung yang tidak boleh
dikenainya di atas tanah atau dahan-dahan kayu. Burung itu seakan-akan
harus dipetiknya dari udara. Namun akhirnya ia berhasil juga. Kalau ia
menangis karenanya, ayahnya berkata kepadanya, “Agung Sedayu, apakah
kira-kira yang akan dapat kau lakukan? Kau tidak berani memegang tangkai
pedang, apakah kau juga tidak mampu memegang busur?”
Kalau ibunya mendengar pertanyaan itu,
maka ibunya selalu menjawab, “Apakah dalam hidup ini tidak ada pekerjaan
yang lebih baik dari berkelahi?”
Dan ayahnya menjawab, “Tentu, tentu ada.
Dan anak-anakku seharusnya tidak berkelahi. Tetapi mereka harus menjadi
laki-laki jantan yang mampu menempatkan dirinya dalam segala keadaan. Ia
harus menjadi seorang yang dapat melakukan pengabdian dalam segala
bentuk. Mereka harus menghindari segala bentuk kekerasan, namun mereka
pun harus dapat melenyapkan kekerasan. Kekerasan yang bertentangan
dengan rasa pengabdiannya. Karena itu mereka pun harus dibekali pula
dengan ilmu yang mungkin akan berguna bagi pengabdian mereka. Melawan
kejahatan, bukan untuk sebaliknya”
Apabila demikian, maka ibunya segera
memeluknya sambil mengusap air mata. Bisiknya, “Biarlah pekerjaan itu
dilakukan orang lain. Tetapi bukan anakku. Kekerasan akan dapat
berakibat buruk perkelahian dapat meneteskan darah. Aku tidak mau
kehilangan lagi”
Ayahnya tidak membantah lagi. Bahkan
ayahnya selalu berkata dengan lembut, “Maafkan aku nyai. Aku masih
selalu ingat pada masa-masa mudaku”
Tetapi kalau ia kemudian keluar dari
bilik ibunya, Untara, kakaknya berkata kepadanya, “Ibu sekarang berubah.
Ibu dahulu ikut berbangga kalau ayah berhasil melenyapkan kejahatan.
Melindungi orang-orang lemah dari penindasan. Ibulah yang sering
menggosok pedang ayah dengan minyak dan getah-getahan untuk menjadikan
pedang ayah mengkilat seperti bersinar. Dan ibu pulalah yang menggosok
busur ayah dengan angkup kayu sehingga busur itu menjadi gemerlapan”
Suasana yang demikian itulah yang
kemudian membentuknya menjadi seorang yang kerdil. Ibunya yang selalu
memanjakannya dan menakut-nakutinya dengan segala macam cara.
Menyekapnya dalam pelukannya. Apabila ia bertanya, “Ibu, bukankah ibu
dahulu berbangga atas kejantanan ayah?” Maka ibunya akan menjawab,
“Sebuah mimpi yang menakutkan anakku. Itu terjadi pada masa-masa ayahmu
masih muda. Ternyata kini ayahmu pun menyadarinya. Bahwa tak ada yang
dapat dicapainya dengan pedang di tangan. Tak akan ditemui ketentraman
dan kedamaian di hati: dan ayahnya pun pernah pula mengatakannya
demikian. Namun menurut ayahnya, dunia masih tetap sepeti keadaannya.
Parah, karena kejahatan, nafsu, kebencian, dan segala macam bentuk
kekerasan, karena itu maka segala itu harus mendapat imbangan. Tetapi
harus memiliki landasan yang berlawanan. Dan landasan itu adalah cinta
kasih antar sesama. Kalau sekali-sekali harus digenggamnya tangkai
pedang, maka haruslah dilandasi pula dengan cinta kasih. Untuk
menegakkan sendi-sendi kehidupan manusia dan kemanusiaan berdasarkan
cinta kasih itu.
Dan terjadilah benturan-benturan perasaan
di dalam dada Agung Sedayu. Ia menjadi seorang penakut karena ibunya,
namun angan-angannya kadang-kadang membumbung tinggi dalam sifat-sifat
kejantanan dan kesatriaan.
Perasaan-perasaan itulah yang kini sedang
saling mendesak. Seorang jantan tidak boleh membiarkan dirinya dihina
tanpa sebab. Seorang jantan harus mempertahankan namanya demi kebenaran
seperti mempertahankan nyawanya. Kalau nama itu lenyap, maka biarlah
lenyap pula nyawanya. Tetapi dilain pihak, betapa tiba-tiba lututnya
menjadi gemetar apabila ia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang
dapat menimbulkan pertentangan.
Agung Sedayu yang kini sedang berdiri
diarena itu masih mendengar tepuk tangan yang semakin lama menjadi
semakin surut. Dilihatnya pula, pamannya sedang berbicara dengan
beberapa orang. Di antaranya Ki Demang Sangkal Putung dan Citra Gati.
Agaknya mereka sedang sibuk mencari kemungkinan untuk membua sasaran
yang lebih sulit dari sasaran-sasaran yang pernah dibuatnya. Ketika ia
berpaling, dilihatnya Sidanti berdiri dengan angkuhnya. Dengan acuh tak
acuh anak muda itu melihat Widura yang sedang sibuk itu. Sekali-sekali
Sidanti itu memandang berkeliling lapangan dan melambaikan tangannya
menyambut lambaian tangan anak-anak muda yang mengaguminya.
Agung Sedayu pun kemudian memandang
sekeliling lapangan. Orang-orang berjejal-jejal itu seperti sudah tidak
sabar lagi menunggu. Beberapa orang yang sudah berteriak-teriak dan
dengan tidak sabar mereka melambai-lambaikan tangan mereka. Ketika
dilihatna Sekar Mirah, maka dada Agung Sedayu itu pun berdesir. Gadis
itu tersenyum kepadanya. Senyum yang aneh, “Ah” katanya dalam hati.
“Baru tadi aku lihat ia tersenyum dan memuji-muji Sidanti”. Namun gadis
itu mempunyai kesan yang aneh di dalam hatinya. Tiba-tiba timbullah
keinginannya agar Sekar Mirah itu selalu tersenyum kepadanya, tidak
kepada Sidanti.
Sorak sorai ditepi lapangan, serta senyum
Sekar Mirah itu agaknya berpengaruh juga di hati Agung Sedayu. Ternyata
di dalam hatinya yang kerdil itu tumbuh juga keinginannya untuk
mempertahankan namanya.
“Sidanti itu pasti tidak akan mendendam”
pikirnya, “Ia seharusnya bersikap jujur. Kalah atau menang. Aku pun
demikian juga. Namun aku mengharap untuk memenangkan pertandingan ini.
Seandainya, ya seandainya Sidanti itu marah kepadaku, biarlah paman
Widura menyelesaikannya”
Karena itulah maka kemudian Sedayu
berketetapan hati untuk berbuat sebaik-baiknya. Akan ditandinginya apa
saja yang akan dilakukan oleh Sidanti. “Tetapi seandainya aku mampu”
desanya di dalam hati.
Widura masih sibuk berbicara dengan Ki
Demang Sangkal Putung. Agaknya mereka belum menemukan cara yang paling
baik untuk mengadakan pertandingan berikutnya.
Sidanti yang berdiri di samping Agung
Sedayu itu pun menjadi tidak sabar. Ia ingin segera mengakhiri
pertandingan itu. Ia ingin segera mendengar orang-orang di sekitar
lapangan itu bertepuk gemuruh untuknya. Dan ia ingin anak-anak muda
Sangkal Putung melambaikan tangannya kepadanya dan mengelu-elukannya,
mengikutinya di belakang sambil memujinya sampai di kademangan. Dan
lebih dari itu, ia ingin Sekar Mirah itu pun berjalan di sampingnya
sambil mengumpati Agung Sedayu yag ternyata tidak mampu melampaui
kecakapannya.
Karena itu, maka anak muda yang sombong
itu tiba-tiba bereriak, “Kakang Widura. marilah kita akhiri pertandingan
ini supaya kita tidak berlarut-larut, membidik sasaran yang terlalu
baik seperti perlombaan anak-anak saja. Biarlah sekarang aku dapat
menganjurkan cara yang baik”
Widura, Ki Demang Sangkal Putung,
Swandaru, dan orang-orang yang sedang sibuk berpikir itu pun berpaling
kepadanya. Dengan ragu-ragu Widura berkata, “Apakah cara itu?”
Seklai Sidanti berpaling kepada Agung
Sedayu, kemudian katanya, “Namun terserah juga, apakah adi Sedayu
sanggup melakukannya. Kalau tidak, biarlah aku mempertunjukkan permainan
itu sendiri. Dengan demikian pemenang pertandingan ini segera dapat
ditentukan”
“Ya” sahut Widura, “Tetapi bagaimanakan cara itu?”
Sidanti tersenyum. jawabnya, “Agak sukar
dimengerti. Tetapi aku pasti dapat melakukannya”. Sidanti itu berhenti
sebentar. Sengaja ia membiarkan orang-orang yan gmendengar kata-katanya
itu menjadi semakin bernafsu untuk mengetahuinya. Baru sesaat kemudian
ia berkata, “Cara yang pasti akan menarik perhatian”
“Ya” sahut Citra Gati tidak sabar, “Jangan melingkar-lingkar. Sebutkan cara itu”
“Jangan tergesa-gesa kakang Citra Gati. Kau pasti akan keheranan. Melihat pun kau tak akan dapat mengerti, apalagi melakukannya”
Citra Gati tersinggung karenanya. Maka
jawabnya lantang, “Jangan sombong anak muda. Kau masih belum mampu
mengalahkan Macan Kepatihan di pertempuran, dan melampaui lawanmu di
arena pertandingan ini”
Sidanti mengerutkan keningnya. Tetapi
dengan cepat Widura menengahinya, “Nah baiklah. Marilah kita mulai. Aku
setuju dengan cara apa pun yang kehendaki, asal masih dalam batas
kemungkinan dan tidak berbahaya. Kalau Sedayu tidak sanggup
melakukannya, maka ia dapat dianggap kalah”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kembali ia tersenyum dan sekali lagi ia memandang wajah Agung Sedayu.
Kini Agung Sedayulah yang menjadi acuh tak acuh. Apa pun cara itu, ia
akan menerimanya. Kalau masih mungkin dilakukan oleh Sidanti maka ia pun
akan mempunyai kemungkinan yang sama.
Citra Gati masih bersungut-sungut, bahkan
katanya dalam hati, “Widura terlalu memanjakannya, sehingga kepentingan
kemenakannya sendiri sama sekali tidak diperhatikannya”
Dalam pada itu terdengarlah Sidanti
berkata, “kakang Widura, perintahlah salah seorang melepaskan anak panah
menyilang lapangan ini melambung ke udara. Nah, biarlah kami mencoba
mengenainya”
Widura tertegun mendengar pendapat itu.
Apalagi Ki Demang Sangkal Putung. Bahkan sesaat Citra Gati pun
terbungkam, namun kemudian bergumam lirih, “Aneh, benar-benar aneh”
Sidanti melihat orang-orang itu menjadi
keheranan. Karena itu, maka ia menjadi semakin menengadahkan dadanya.
Dengan lantang ia berkata, “Marilah, sebelum senja. Supaya aku masih
dapat melihat anak panah yang terbang di udara itu”
Widura tidak dapat berbuat lain dari
menyetujuinya. Meskipun demikian sekilas ia menyambar wajah Agung Sedayu
dengan pandangan matanya. Namun dilihatnya anak muda itu masih acuh tak
acuh saja. Sehingga dengan demikian maka Widura itu pun tidak berkata
apa pun kepadanya.
Sidanti yang melihat Agung Sedayu sama
sekali tidak terperanjat mendengar usulnya itu, maka ialah yang menjadi
heran. Apakah anak itu tidak mendengar, atau anak itu pun akan acuh tak
acuh terhadap pertandingan berikutnya. Dan teka-teki itu ternyata telah
mendebarkan jantung Sidanti. Meskipun demikian, ia masih dapat berteriak
nyaring di dalam hatinya, “Ayolah Agung Sedayu, yang merasa menjadi
pemanah terbaik di Sangkal Putung, tandingilah Sidanti.”
Widura itu pun kemudian mengumumkan cara
yang akan ditempuh atas usul Sidanti. belum lagi mereka mulai dengan
pertandingan itu, maka lapangan itu telah menjadi gempar. Para penonton
yang keheran-heranan itu telah menyambut pengumuman Widura dengan tepuk
tangan dan sorak sorai yang bergelora.
Hudayalah yang mendapat tugas untuk
melepaskan anak panah menyilang garis bidik Sidanti dan Agung Sedayu. Ia
sendiri tidak dapat mengerti, bagaimana cara anak-anak muda itu akan
membidikkan anak panahnya. Namun Hudaya itu bergumam pula di dalam
hatinya, “Bukan siatu hal yang tak mungkin. Sebab laju anak panah itu
dapat diperhitungkan”
Tetapi kemudian Swandaru pun menjadi
gelisah. Ialah yang pertama-tama berteriak-teriak sepanjang jalan, bahwa
bukan Sidanti lah pemanah terbaik di Sangkal Putung. Namun sekarang ia
mendengar sendiri usul Sidanti itu. Memanah sebatang anak panah yang
melaju di udara, tentu lebih sukar mengenai sasaran kepala orang-orangan
itu. Karena itu ia masih belum dapat menebak, apakah Agung Sedayu dapat
juga berbuat sebaik Sidanti. Kalau kemudian Agung Sedayu tak mampu
menandingi Sidanti, maka ia pun pasti akan mendapat banyak kesulitan.
Agung Sedayu pasti akan marah padanya dan Sidanti akan semakin
mentertawakannya.
Karena itu, maka Swandaru itu pun
mendekati Agung Sedayu yang berdiri tegak di tempatnya. Bisiknya
perlahan-lahan, “Bagaimanakah tuan, apakah tuan mungkin juga berbuat
demikian?”
Agung Sedayu menggeleng lemah, jawabnya, “Entahlah Swandaru”
Swandaru menjadi semakin gelisah. Dalam
pada itu, Hudaya pun telah siap pula. kini Widura sendirilah yang
memegang bende untuk memberi tanda kepada Hudaya, kapan ia harus
melepaskan anak panahnya.
Ketika kemudian Sidanti telah
menganggukkan kepalanya, maka dibunyikahlah bende itu. Dan Hudaya
menarik tali busurnya pula. sambil tersenyum ia membidik anak panah yang
terbang itu. Orang-orang yang berjejal-jejal ditepi lapangan itu
menjadi diam kaku seperti beratus-ratus patting yang berjajar-jajar.
Semuanya memandang ke arah anak panah Sidanti. Dan sesaat kemudian anak
panah itu meloncat dari busurnya. Cepat, melampaui kecepatan anak panah
Hudaya. Semua mata pun kemudian seakan-akan terpancang pada anak panah
itu. Wajah-wajah yang tegang dan hati yang tegang pula.
Yang terjadi kemudian, betapa lapangan
itu menjadi menggelegar, seakan-akan seribu guntur meledak di langit.
Tepuk tangan sorai sorai dan bahkan di antara mereka melonjak-lonjak dan
menari-nari. Anak-anak muda saling berteriak-teriak dan orang-orang tua
mengangguk-anggukkan kepala mereka. “Luar biasa. Luar biasa” desisnya.
Citra Gati menggigit bibirnya, sedang
Hudaya menggaruk-garuk kepalanya. Widura pun sesaat terpaku diam di
tempatnya. Semua mata melihat, anak panah Sidanti itu seakan-akan
menyongsong anak panah Hudaya dalam garis silang. Dan pada suatu titik
yang condong, anak panah Sidanti berhasil mengenai ekor anak panah
Hudaya, sehingga kedua anak panah itu pun kemudian terpelanting dan
berubah arahnya masing-masing.
Ketika Sidanti berpaling ke arah Sekar
Mirah, dilihatnya gadis itu melonjak-lonjak sambil mengacung-acungkan
tangannya. “Dahsyat” teriaknya. Sidanti tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dilambaikannya tangannya kepada
orang-orang yang masih saja berteriak-teriak tak jemu-jemunya. Betapa
mereka menjadi kagum. Seakan-akan mereka tak percaya, bahwa hal yang
demikian dapat terjadi. Dua batang anak panah saling berkejaran di
udara.
Tetapi ternyata hal itu telah terjadi di hadapan mata kepala mereka. Dan karena itu, maka mereka pun menjadi takjub.
Gemuruh di lapangan itu pun kemudian
mereda, ketika mereka melihat Widura mengangkat tangannya. Kemudian
dengan tangannya pula Widura memberi isyarat kepada Hudaya untuk
bersiap-siap. Kini pertandingan itu sampai pada penentuan terakhir.
Semua orang itu pun kini terpaku memandang Agung Sedayu. Namun semua
orang itu pun telah menjadi ragu-ragu pula. Apakah Agung Sedayu juga
dapat melakukannya?
Swandaru yang berdiri di belakang Agung
Sedayu telah menjadi gemetar karenanya. Ia sama sekali tidak menyangka
bahwa Sidanti itu mampu berbuat demikian menakjubkannya. Dalam dada anak
muda itu pun kini menjalar kebimbangan yang semakin lama semakin tebal.
Karena itu, maka tubuhnya telah menjadi basah oleh keringat dingin yang
mengalir tak putus-putusnya.
“Apakah kau sudah siap Sedayu?” terdengar
suara Widura perlahan-lahan. Terasa pula pada nada suaranya,
keragu-raguan terhadap kemenakannya itu.
Agung Sedayu itu pun mengangguk perlahan. Jawabnya, “Sudah paman”
Widura memandang kemenakannya itu dengan
seksama. Seakan-akan ia menyesal juga atas pertandingan yang dilakukan
itu. Kalau Agung Sedayu gagal, maka jiwanya yang kerdil itu akan menjadi
semakin kerdil. Ia akan menjadi semakin merasa dirinya tak berharga.
Sedang Sidanti telah melakukan suatu permainan yang mengagumkan.
Meskipun demikian, pertandingan itu harus dilangsungkan. Kalah atau
menang. Sedayu harus menghadapinya dengan jujur.
Maka, setelah semuanya siap, dengan
ragu-ragu Widura memukul bendenya sebagai pertanda bahwa Hudaya harus
melepaskan satu anak panah lagi.
Perlahan-lahan Hudaya mengangkat
busurnya. Semua mata seakan-akan melekat pada anak panah itu. Dan sesaat
kemudian, anak panah Hudaya yang kedua lepas dari busurnya, melambung
ke udara seperti anak panahnya yang pertama.
Kini semua mata dengan cepatnya berpindah
ketangan Agung Sedayu. Ternyata Agung Sedayu tidak membidik
perlahan-lahan seperti Sidanti. Ia tidak menunggu anak panah Hudaya
melampaui titik yang tegak lurus di hadapannya. Dengan tangkasnya ia
menarik tali busurnya kuat-kuat, seakan-akan busur itu ingin
dipatahkannya. Kemudian, semua orang menjadi tegang karenanya. Kini anak
panah itu melontar dengan cepat, secepat petir menyambar di langit.
Para penonton tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk melihat anak
panah itu. Namun yang terjadi kemudian telah memukau mereka. Bahkan
karena itu, maka lapangan itu menjadi sunyi senyap. Seandainya sebatang
jarum terjatuh, maka suaranya pasti akan mengejutkan seperti suara
guruh. Yang terdengar kemudian adalah suatu derak di udara. Kemudian
sepi kembali. Sesepi padang yang tak berpenghuni.
Beratus-ratus pasang mata tak sempat berkedip, sedang beratus-ratus mulut menjadi ternganga karenanya.
Seperti orang bermimpi mereka melihat
anak panah Agung Sedayu secepat tatit menyambar anak panah Hudaya tepat
di tengah-tengah. Demikian kerasnya anak panah Agung Sedayu sehingga
anak panah Hudaya menjadi retak di tengah-tengah, dan terlontar ke
samping terbawa oleh anak panah Agung Sedayu.
Demikian kedua anak panah itu jatuh di
tanah, mak semua orang yang terpukau itu seakan-akan terbangun dari
mimpinya. Dengan serta-merta maka meledaklah sorak sorai mereka. Seperti
gemuruhnya gunung runtuh menimpa ombak lautan yang dahsyat. Menggelegar
beruntun susul menyusul. Tidak saja anak-anak, namun orang-orang
dewasa, anak-anak muda Sangkal Putung pun berloncat-loncatan di lapangan
itu. Menari-nari dan melemparkan apa saja ke udara. Caping-caping
mereka, ikat pinggang selebar telapak tangan, tongkat-tongkat dan bahkan
terompah-terompah mereka.
Swandaru yang berdiri di belakang Agung
Sedayu melihat pula penturan kedua anak panah itu. Terasa dadanya
menjadi bergetar seakan-akan benturan anak panah itu terjadi di dalam
rongga dadanya. Ia melihat pula kedua anak panah itu jatuh di tanah. Dan
dengan serta-merta, ia berlari sekencang-kencangnya, memungut kedua
batang anak panah itu.
Sambil berlari-lari kembali anak yang
gemuk itu berteriak-teriak sekeras-kerasnya seperti sedang mabuk tuak.
Katanya, “Lihat, lihat. Anak panah paman Hudaya dikenai di tengah-tengah
sehingga menjadi retak karenanya”
Widura pun menjadi terpaku di tempatnya.
Terasa sesuatu berdesir di dadanya. Bahkan kemudian mulutnya seakan-akan
menjadi terbungkam. Dari tempatnya berdiri, ditatapnya wajah Agung
Sedayu. Dan seakan-akan terpancar dari wajah itu, bayangan wajah
ayahnya. Ki Sadewa, ipar Widura itu. Wajah itu pun tampaknya memancarkan
kerendahan hati yang tulus. Karena itu maka timbullah iba hatinya,
kalau selama ini anak itu dibiarkannya kecemasan tentang nasibnya.dan
tiba-tiba pula terpancarlah janji di dalam hatinya, “Kalau aku mampu,
biarlah aku mencoba menjadikannya seorang anak muda yang berhati jantan.
Kecakapannya bermain panah, ketrampilannya berolah pedang dan bahkan
kekuatan-kekuatan jasmaniah yang tersimpand di dalam tubuhnya, pasti
akan memungkinkan anak itu melampaui anak-anak sebayanya, bahkan akan
dapat melampaui diriku sendiri”
Jang benar-benar tak dapat menahan
perasaannya adalah Sekar Mirah. Gadis itu benar-benar lupa akan dirinya.
Seperti kuda yang lepas dari ikatannya ia berlari kencang-kencang ke
arah Agung Sedayu yang masih berdiri di tempatnya. Namun tiba-tiba
langkahnya terhenti. Terasa seseorang menangkap tangannya dan
menariknya.
“Apakah yang akan kau lakukan?”
Sekar Mirah berpaling. Dilihatnya ayahnya
memandangnya dengan tajam. Dan Sekar Mirah pun menundukkan wajahnya.
jawabnya, “Tidak apa-apa ayah”
“Ingat Mirah” berkata ayahnya, “Kau adalah seorang gadis”
“Aku tidak akan berbuat apa-apa ayah” sahut Sekar Mirah sekali lagi.
Ki Demang Sangkal Putung melepaskan
tangannya sambil berkata, “Jangan menodai namamu sendiri. Bersoraklah
kalau kau mau bersorak. Berteriaklah kalau kau mau berteriak. Namun di
tempatmu. Tak perlu kau pergi mendekat. Baik Sidanti maupun Agung
Sedayu”
Sekar Mirah menggigit bibirnya. Namun
dengan demikian ia mulai menyadari dirinya, bahwa ia kini berada di
tengah-tengah ratusan orang yang menyaksikan pertunjukan itu. Karena
itu, ia harus lebih hati-hati membawa diri. Meskipun demikian ia berkata
juga, “Ayah, aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kemenangan Agung
Sedayu.”
“Siapa bilang ia menang?” semuanya yang
mendengar pertanyaan itu menjadi terkejut, sehingga serentak mereka
berpaling. Ternyata mereka melihat Sidanti dengan wajah yang merah
membara. Dengan tajamnya ia memandang Sekar Mirah yang masih berdiri di
samping ayahnya. Agaknya Sidanti telah mendengar Sekar Mirah memuji
Agung Sedayu dengan kemenangannya.
Ketika Sekar Mirah melihat wajah Sidanti
itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Namun ia merasa erhak berbuat apa
pun sekehendaknya. Karena itu, maka ia tidak mau dibentak-bentak oleh
Sidanti.
Tetapi sebelum ia menjawab, terasa ayahnya menggamitnya sambil berbisik, “Diamkan anak itu”
Sekar Mirah memandangi wajah ayahnya
dengan kecewa. Tetapi ia tidak bernai melanggarnya. Namun ternyata
terdengar jawab dari arah lain, “Bukankah sudah, ternyata bahwa bidikan
Agung Sedayu lebih baik dari bidikanmu”
Warna merah di wajah Sidanti menjadi
semakin menyala. Apalagi ketika ia menyadari bahwa suara itu suara
Swandaru. demikian marahnya Sidanti sehingga untuk sesaat ia bahkan
menjadi terbungkam. Namun tubuh dan dadanya menjadi bergetar.
Agung Sedayu yang melihat wajah Sidanti
itu pun tiba-tiba menjadi cemas pula. apakah anak itu akan menjadi
marah? Bahkan bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga Widura menjadi cemas.
Karena itu segera wajah melangkah maju. Diangkatnya kedua tangannya
tinggi-tinggi sambil berteriak di antara sorak para penonton yang masih
saja menggema, katanya, “Pertandingan sudah selesai. Kedua-duanya
berhasil mengenai panah-panah yang masih berada di udara. Karena itu
maka kedua-duanya memiliki kecakapan membidik yang sama. Dengan demikian
dalam pertandingan ini tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah”
Mendengar keputusan itu, sorak para
penonton justru menjadi diam. Mereka merasa aneh atas keputusan itu.
Meskipun benar, kedua-duanya dapat mengenai sasarannya, namun terasa
bidikan Agung Sedayu lebih tepat dari bidikan Sidanti. Karena itu
menurut mereka Agung Sedayu dapat dianggap memenangkan pertandingan ini.
Bahkan hampir bersamaan Hudaya, Citra Gati, Sendawa meloncat masuk ke
lapangan. Yang mula-mula berkata adalah Citra Gati, “Apakah penilaian
ini cukup adil?”
Widura mengerutkan keningnya mendengar
pertanyaan itu. Pertanyaan itu adalah wajar dan bahkan di dalam dirinya
sendiri, timbul pula pertanyaan semacam itu.
Namun demikian, tebaran pandangan Widura
tidak saja terbatas di tengah-tengah lapangan dan membiarkan perasaannya
berbicara. Pandangannya telah jauh melampaui batas-batas yang dapat
dilihatnya di tempat yang sempit itu. Dilihatnya disuatu tempat Tohpati
telah mulai menyusun kekuatannya, dan di tempat lain Ki Tambak Wedi
seakan-akan selalu mengintipnya. Karena itu, ia dengan pertimbangan yang
masak ia menjawab, “Kita tidak menentukan, bagian manakah yang harus
dikenai oleh pemanah-pemanahnya. Kita hanya melepaskan anak panah ke
udara. Nah, salah seorang dari para pemanah itu membidik ekornya, yang
lain membidik tepat di tengah-tengah. Dan keduanya mengenai tepat di
arah yang dikehendakinya. Bukankah dengan demikian kedua-duanya telah
berhasil?”
Hudaya menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil menjawab, “Kami menjadi saksi. Perasaan kami, aku dan para
penonton, mengatakan bahwa Agung Sedayu lebih baik dari Sidanti.”
Widura mengerutkan keningnya. Ia
benar-benar berada di tempat yang sulit. Ia tidak mau melepaskan
Sidanti. Tetapi Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan beberapa orang itu
adalah orang-orang yang menpunyai pengaruh yang kuat di antara
laskarnya. Sudah tentu ia tidak dapat bekerja berdua saja dengan
Sidanti, atau dengan satu dua orang yang lain.
Sementara itu, sementara Widura sedang
sibuk berpikir untuk memecahkan persoalan yang sulit itu, terdengar
suara Sidanti parau, “Kakang Widura, pertandingan dapat diulangi. Kita
harus sampai pada penentuan, siapakah yang menang dan yang kalah. Kita
tidak boleh menjadi orang-orang banci”
“Bagus” teriak Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan orang-orang lain, “Ulangi” teriak mereka.
Widura benar-benar menjadi pening. Namun
ia harus mempunyai sikap. Maka katanya, “Tidak. Pertandingan sudah
selesai. Tak ada gunanya kita ulangi. Aku sudah tahu pasti. Hasilnya
akan sama saja. Keduanya akan mendapat nilai yang sama”
“Tidak” teriak Sidanti. “Aku menuntut
perlakuan yang adil. Tidak ada yang menentukan arah bidikan pada panah
yang dilepaskan oleh kakang Hudaya. Tetapi meskipun aku mengenai tempat
yang aku kehendaki, namun orang-orang menganggap bidikan Adi Sedayu
lebih tepat. Aku ingin menghilangkan kesan itu”
Widura menggeleng. “Sudah aku katakan. Aku akan menyelenggarakannya lain kali”
“Sekarang” teriak Sidanti pula.
Suasana segera meningkat menjadi semakin
tegang. Beberapa langkah Sidanti maju mendekati Widura dengan wajah yang
merah menyala. Sedang dari arah lain, Citra Gati, Hudaya, Sendawa,
Sonya, dan beberapa orang lagi pun maju pula. wajah mereka tidak kalah
tegangnya dengan wajah Widura sendiri.
Sesaat Agung Sedayu menjadi bingung
melihat perkembangan keadaan. Ia melihat Sidanti menjadi marah, dan
dilihatnya pula Hudaya dan kawan-kawannya pun menjadi tegang. Sehingga
setiap kemungkinan akan dapat terjadi. Karena itu maka tiba-tiba
berkata, “Paman, seandainya pertandingan ini diadakan lagi, maka aku
tidak akan dapat mengikutinya”
Kata-kata itu seolah-olah merupakan
penggerak yang menggerakkan setiap kepala untuk berpaling ke arahnya.
Sidanti pun memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Dan bahkan
Citra Gati yang tidak dapat menahan perasaannya berteriak, “Kenapa?”
Sedayu menjadi berdebar-debar. Jawabnya,
“Aku tidak dapat melakukan permainan yang lebih baik. Seandainya kakang
Sidanti mempunyai cara yang lain, maka pasti aku tudak dapat
mengikutinya. Aku sudah sampai pada puncak kecakapan yang ada padaku”
“Bohong” teriak Sidanti dan Hudaya hampir
bersamaan, meskipun maksudnya berbeda-beda, sehingga keduanya menjadi
terkejut karenanya. Namun yang meneruskan kata-katanya hanyalah Sidanti,
“Kau hanya akan mempertahankan keadaan serupa ini. Dimana orang-orang
mempunyai kesan bahwa kau adalah pemanah yang lebih baik daripadaku”
Agung Sedayu menjadi bingung. Karena itu
ia tidak menjawab. sehingga yang menjawab kemudian adalah Widura,
“Sedayu berkata benar. Kalau Sidanti masih mungkin melakukan permainan
yang lebih baik lagi, maka Sedayu akan kalah”
“Tidak adil” teriak Citra Gati.
“Tidak adil” teriak Sidanti, “Kesan
orang-orang akan menjadi semakin menguntungkannya. Seolah-olah ia
sekedar mengalah untuk memberi kesempatan kepadaku. Tidak. Bukan
perlakuan jantan bagi Sidanti. Sidanti tidak sekedar ingin mendapat
perlakuan yang cengeng Sidanti adalah seorang anak muda yang jantan”
Kata-kata itu benar-benar berkesan bagi
Widura. bahkan Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain pun terdiam pula
karenanya. Betapapun mereka harus mengakui kelebihan Sidanti daripada
mereka, meskipun apabila mereka dihadapkan pada suatu keadaan yang
memaksa, mereka tidak takut pula melawan Sidanti.
Lapangan itu tiba-tiba menjadi hening.
Dengan hati yang semakin tegang, mereka, para penonton itu melihat
keadaan yang semakin tegang pula. Beberapa orang laki-laki telah
mendekat mereka. Dan membentuk sebuah gelang memagari mereka yang sedang
bertengkar. Yang berkata kemudian adalah Widura tegas, “Tak akan ada
pertandingan lagi”
“Ada” sahut Sidanti.
Sekali lagi Widura menjawab lebih keras, “Tidak!”
Tetapi tiba-tiba hati Widura itu
berdesir. Di tengah-tengah lingkaran orang-orang yang melihat keributan
itu, tiba-tiba terjatuh sebuah benda yang benar-benar mengejutkannya.
Sepotong besi yang lengkung hampir berbentuk lingkaran. “Setan” Widura
mengumpat di dalam hati. “Ki Tambak Wedi itu ada pula di sini”
Ketika ia memandang wajah Sidanti,
dilihatnya anak muda itu tersenyum. senyum yang sangat menyakitkan hati.
Sementara itu beberapa orang menjadi heran juga. Namun tak seorang pun
di antara mereka yang melihat, siapakah yang telah melemparkan sepotong
besi di tengah-tengah mereka. Meskipun demikian, beberapa orang menjadi
berdebar-debar. Meskipun mereka idak tahu arti sepotong besi itu selain
Widura, namun mereka merasakan sesuatu yang tidak wajar.
Ternyata benda itu sangat berpengaruh
bagi Widura. ia tidak tahu pasti maksud Ki Tambak Wedi, namun ia dapat
menduga bahwa Ki Tambak Wedi telah memperkuat pendapat muridnya. Dengan
demikian maka Widura itu berpikir dan berpikir sehingga kepalanya hampir
meledak karenanya. Ditinjaunya segenap segi-segi. Kalai ia mengadakan
pertandingan sekali lagi maka persoalannya tidak akan terpecahkan.
Apalagi Sidanti merasa bahwa ada semacam perlakuan yang tidak wajar
terhadapnya. Menang atau kalah, Sidanti pasti akan kecewa. Kalau ia
kalah, maka darahnya pasti akan semakin menyala, tetapi kalau ia kalah,
maka ia akan menyangka bahwa Agung Sedayu tidak bersungguh-sungguh.
Tetapi ternyata guru Sidanti itu telah ikut campur pula. bagi Widura
yang sebaik-baiknya adalah bubar. Pulang ke kademangan. Namun Sidanti
menolak dan gurunya memperkuat. Sehingga untuk menjaga ketenangan
kademangan, apakah ia harus memenuhi permintaan Sidanti yang juga
merupakan permintaraan dari Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain,
meskipun dalam perhitungan yang berlawanan?
Widura menarik nafas dalam-dalam. Hampir
saja ia hanyut oleh kehendak orang-orang yang sedang kehilangan
kejernihan pikiran itu. Hampir ia kehilangan ketetapan hati sebagai
seorang pemimpin.
Dalam keadaan yang demikian itu, ketika
dada Widura sedang bergetar karena benturan-benturan pertimbangannya,
maka sekali lagi orang-orang yang berdiri melingkar itu terkejut. Kali
ini mereka melihat sebuah cemeti kuda melenting dan jatuh hampir menimpa
Widura. Widura pun terkejut pula karenanya. Tetapi tiba-tiba jantungnya
serasa berhenti. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Namun yang
dilihatnya adalah wajah-wajah yang tegang dan penuh kecemasan. Widura
tidak berhasil melihat seseorang yang dicarinya. Ia tidak berhasil
menemukan orang yang dapat disangkanya Kiai Gringsing. Namun ia pasti,
bahwa orang aneh itu hadir pula di tengah-tengah lapangan. Cemeti kuda
itu telah memberitahukan kepadanya, bahwa orang itu ada didekatnya.
Dengan demikian, maka
pertimbangan-pertimbangan Widura yang hampir condong dan roboh sama
sekali itu itu, seakan-akan menemukan kekuatannya yang baru. Ia tahu
benar maksud Kiai Gringsing itu. Dan ia percaya bahwa Kiai Gringsing
tidak hanya sekedar mengganggunya seperti biasanya. Dengan cemetinya itu
Kiai Gringsing pasti ingin berkata kepadanya, “Jangan hiraukan orang
yang bergelang besi itu, biarlah ia menjadi urusanku”
Dan kini sekali lagi Widura mengangkat
wajahnya. ia melihat Sidanti keheran-heranan melihat cemeti itu. Juga
Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain. Namun ketika ia memandang Agung
Sedayu dilihatnya wajah Agung Sedayu tidak lagi sepucat tadi. Agaknya
Agung Sedayu pun mengenal cemeti itu pula. dan tanpa disengaja, hatinya
menjadi tenang. Kiai Gringsing yang belum dikenalnya baik-baik itu,
telah mencengkam kepercayaannya, sehingga seakan-akan orang aneh itu
dapat dipakainya sebagai sandaran apabila terjadi sesuatu.
Ketegangan itu kemudian dipecahkan oleh suara Widura tegas dan lantang, “Tidak ada apa-apa lagi. Itulah keputusanku!”
Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Betapa
dadanya dibakar oleh kemarahan. Dengan demikian, maka setiap orang di
Sangkal Putung dan setiap orang yang melihat pertandingan itu, termasuk
kawan-kawannya sendiri, akan tetap berkesan bahwa Agung Sedayu telah
mengalahkannya.
Karena itu maka sekali lagi ia mencoba memaksakan kehendaknya, katanya, “Kakang Widura, aku minta pertandingan diadakan lagi”
Widura menggeleng, namun sebelum ia
menjawab terdengarlah Citra Gati berkata, “Apakah keberatannya kakang.
Marilah kita melihat keadaan dengan jujur. Siapa yang kalah biarlah ia
kalah dan siapa yang menang biarlah ia menang. Setan atau malaikat.
Dengan demikian kita melihat kenyataan dengan pasti”
Widura mengerutkan keningnya. Dengan
tajam ia memandang Citra Gati. Jawabnya, “Apakah tujuan kita berada di
Sangkal Putung ini? Apakah kita hanya sekedar ingin mengetahui siapakah
di antara kita yang paling sakti dan paling cakap? Bahkan apakah cukup
apabila kita menemukan siapakah di antara kita yang paling benar dan
paling jujur? Sedang tujuan pokok dari perjuangan kita tidak selesai.
Ayo, katakan kepadaku, apakah dengan saling ribut di antara kita,
Tohpati dapat terselesaikan. Sisa-sisa laskar Jipang akan dapat kita
batasi kegiatannya, atau bahkan kita hancurkan. Sekarang katakan padaku,
apakah tujuan pertandingan ulangan ini jujur pula, sekedar untuk
mendapatkan pemenangnya dengan kukur? Atau karena keinginan kita
sekalian untuk menunjuk kelemahan orang lain dan menghinakannya?”
Kata-kata itu benar-benar menusuk jantung
Citra Gati. Sehingga orang itu pun kemudian menundukkan wajahnya.
demikian juga Hudaya, Sendawa yang bertubuh raksasa dan Sonya yang kecil
serta beberapa orang lainnya. Mereka merasakan kebenaran kata-kata
Widura itu. Sebenarnyalah bahwa pertandingan ulangan itu pun tidak
dilakukan dengan tujuan jujur. Karena itu, maka mereka pun menjadi
terdiam karenanya.
Tetapi ternyata kata-katawi itu tanpa
disengaja telah menjadikan Sidanti makin marah. Ia merasa bahwa di dalam
kata-kata itu tersembunyi pengertian-pengertian yang seakan-akan
memastikan bahwa Agung Sedayu akan dapat memenangkannya pula.
pebih-lebih menurut anggapan Citra Gati. Karena itu, Sidanti tidak mau
diam. Apalagi ketika diingatnya bahwa gurunya ada pula dtempat itu.
Katanya, “Kenapa kakang Widura takut melihat kenyataan seandaiknya adi
Sedayu itu tak mampu menandingi kecakapanku?”
Sekali lagi dada Widura berdesir. Namun
ia harus menahan diri. Ia tidak bileh hanyut dalam arus perasaannya,
supaya anak buahnya tidak menjadi berantakan karenanya. Tetapi sebelum
ia menjawab tiba-tiba meloncatlah seorang gadis yang telah kehilangan
pengamatan diri. Digoncang-goncangnya tubuh Agung Sedayu sambil
berteriak, “Kenapa tuan diam saja? Kenapa tuan tidak menyanggupinya dan
membuktikannya bahwa tuan dapat memenangkannya?”
Bukan main terkejutnya Widura dan Agung
Sedayu sendiri. Tetapi Hudaya, Citra Gati dan Sendawa sama sekali tidak
terkejut. Sejak tadi mereka melihat gadis itu menjadi gelisah.
Sekali-sekali ia maju, namun kemudian mundur kembali. Mereka melihat
gadis itu meremas-remas tangannya sendiri dan bahkan
menghentak-hentakkan kakinya. Tetapi yang terkejut sekali adalah Ki
Demang Sangkal Putung. Dengan cepatnya ia meloncat dan menarik anaknya
itu ketepi. Dengan marahnya ia membentak, “Mirah, apakah kau sudah
menjadi gila?”
Sekar Mirah, gadis yang selalu hanyut
menurut arus persaannya itu pun terkejut pula. Karena itu ia menyesal,
namun hal itu telah terlanjur dilakukannya. Ketika ia mencoba melihat
wajah-wajah di sekitarnya, maka seakan-akan mereka itu memandangnya
dengan heran, sehingga kemudian Sekar Mirah itu pun menundukkan
wajahnya.
Tetapi apa yang dilakukan Sekar Mirah itu
ternyata seakan-akan minyak yang ditumpahkan ke dalam api yang menyala
di dada Sidanti. Gadis itu benar-benar telah menggelaplan matanya. Gadis
yang selalu mengganggu perasaannya itu. Karena itu tiba-tiba ia
berteriak, “Aku akan melangsungkan pertandingan. Disetujui atau tidak
disetujui. Tidak ada sasaran yang lebih baik yang harus kita kenai. Ayo
Sedayu bersiaplah. Sasaran itu adalah kita masing-masing!”
Kata-kata Sidanti itu seperti guruh yang
menyambar setiap telinga yang mendengarnya. Kata-kata itu jelas mereka
mengerti maksudnya. Bukankah dengan demikian Sidanti telah menjerumuskan
dirinya dalam suatu perang tanding dengan senjata panah?
Belum lagi gema kata-kata itu lenyap,
terdengar Sidanti itu berkata pula, “Kita tentukan cara-cara menurut
kehendak kita sendiri. Jangan hiraukan orang lain kalau kau jantan. Kita
berdiri beradu pungung. Kita melangkah maju masing-masing sepuluh
langkah. Kemudian siapakah di antara kita yang paling cepat memutar
tubuh kita, membidikkan anak panah dan mengenai kepala lawan, itulah
yang menang. Kita akan tahu dengan pasti, siapakah yang lebih baik di
antara kita. Sebab yang kalah dapat segera ditandai, mati”
Denyut nadi Sedayu terasa berhenti
karenanya. Tantangan itu tak disangka-sangkanya. Karena itu betapa
tiba-tiba terasa lututnya menjadi gemetar. Mati. Kata-kata itu sangat
menakutkannya. Ia tidak pernah berpikir untuk dibunuh atau membunuh.
Apalagi dalam keadaan serupa itu.
Swandaru yang berdiri di belakang Agung
Sedayu pun jadi tergetar karenanya. Disadarilah kini, betapa jauh akibat
yang sudah terjadi akibat kelancangannya. Kalau terjadi sesuatu atas
mereka, apakah ia Agung Sedayu atau pun Sidanti, maka itu benar-benar
akan merugikan Sangkal Putung. Sidanti telah berhasil menyelamatkan
hidupnya pada saat ia melawan Tohpati, dan Sedayu pun selamat pula
meskipun ia berpapasan dengan pande besi Sendang Gabus, Alap-alap
Jalatunda berempat. Dan sekarang, salah seorang dari mereka harus mati
karena tangan keluarga sendiri. Dengan demikian maka Swandaru itu pun
menyesal tak habis-habinya. Tetapi ia sama sekali tidak tahu, bagaimana
ia harus memperbaiki kesalahannya. Apalagi sekali-sekali ia melihat
ayahnya memandanginya dengan penuh penyesalan pula.
Widura masih tegak seperti patung.
Kata-kata Sidanti itu, tak disangka-sangkanya. Juga Hudaya, Citra Gati
dan kawan-kawannya pun tidak menyangka. Namun Widura memakluminya, bahwa
Sekar Mirah lah sebab langsung dari keputusan Sidanti itu.
Ketika Widura itu memandang Agung Sedayu,
ia melihat anak itu gemetar. Beberapa orang lain pun melihat pula.
namun mereka mempunyai sangkaan lain. Seperti Sidanti yang gemetar
karena marah, maka mereka pun menyangka bahwa Agung Sedayu menjadi marah
pula. namun kemarahannya itu ditahannya, karena anak muda yang patuh
itu takut benar kepada pamannya. Dengan demikian maka semua mata kini
memandang kepada Widura, seakan-akan semua menunggu keputusan apakah
yang akan diambilnya.
Tetapi kepala Widura itu benar-benar akan
pecah karenanya. Ia kini tidak tahu, bagaimana ia akan mengatasinya.
Apakah ia sendiri harus mengambil keputusan yang dapat berakibat dirinya
sendiri yang harus berkelahi seperti beberapa waktu yang lalu. Dan
ternyata pula terdengar Sidanti berkata, “Kali ini aku tidak mau
dihalang-halangi. Siapa pun yang mencoba mencegahnya, orang itulah yang
akan menjadi lawanku. Sekarang atau kapan pun”
Lapangan itu benar-benar dicengkam oleh
ketegangan. Tak seorang pun yang berani berkata sepatah katapun. Mereka
melihat wajah-wajah yang kaku. Widura, Hudaya, Citra Gati, Agung Sedayu.
Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung. Sekar Mirah dan Sidanti sendiri.
Bahkan wajah Sidanti itu kini benar-benar telah menjadi merah biru.
Widura yang tahu benar perasaan Agung
Sedayu, menjadi semakin bingung. Kalau saja anak itu berani dan
menghadapinya dengan tatag, maka ia yakin bahwa Sidanti tak akan dapat
mendahuluinya. Widura itu yakin benar, bahwa anak-anak Ki Sadewa telah
mewarisi keahliannya dalam berbagai senjata bidik. Tetapi hati Agung
Sedayu adalah hati yang kerdil. Meskipun demikian, apabila keadaan
memaksa ia harus membesarkan hati anak itu. Ia harus mencoba meyakinkah
bahwa ia akan menang. Dan keputusan itu akhirnya menjadi bulat di dada
Widura. Ia tidak melihat persoalan lain lagi. Namun ia hanya ingin
merubah tata cara pertandingan itu. Tidak sampai mati. Dan yang harus
dikenai bukanlah tempat-tempat yang berbahaya. Namun apakah Sidanti yang
menjadi seolah-olah gila itu mau menerimanya dan apakah meskipun sudah
diperlunak itu Agung Sedayu berani menghadapinya.
Dada Widura menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar Sidanti berteriak, “Minggir. Pertandingan akan dimulai”
Ketika semua orang menyibak, maka Agung
Sedayu menjadi semakin takut. Dipandangnya wajah pamannya, dan
hampir-hampir ia berteriak memanggilnya. Hampir ia kehilangan rasa
malunya untuk sedikit saja mepertahankan namanya yang selama ini menjadi
semakin dikagumi.
Lingkaran yang mengitari mereka yang
sedang dibakar oleh ketegangan itu, semakin lama menjadi semakin luas.
Sementara itu Sidanti sudah bergerak setapak maju. Namun Widura dengan
wajah yang tegang kaku masih berdiri di tempatnya. Ketika ia memandang
wajah Sidanti, dilihatnya wajah itu telah benar-benar menjadi sedemikian
liarnya. Dalam pada itu, Widura pun menyadari, bahwa Sidanti
benar-benar tak akan dapat diajak berbicara. Kehadiran gurunya agaknya
berpengaruh juga kepadanya. Sebab dengan demikian ia menyangka, bahwa
apa yang dikehendakinya pasti akan terpenuhi.
Tetapi Widura itu pun memperhitungkan
kehadiran Kiai Gringsing. Ia tidak tahu pasti, apakah Kiai Gringsing
akan dapat mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi apabila diperlukan. Namun
ia pernah melihat, tangan Kiai Gringsing itu mampu meluruskan kembali
sepotong besi yang melengkung karena tangan Ki Tambak Wedi, sehingga
untuk sementara, maka ia dapat mengabaikan kehadiran guru Sidanti.
Biarlah Kiai Gringsing mengurusnya.
Ketika keadaan semakin meningkat, maka
Widura tidak dapat tetap berdiam diri di tempatnya. Ia harus berbuat
sesuatu. Kalau mungkin mengurungkannya. Kalau tidak, apa pun yang dapat
mengurangi kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan. Karena itu, maka
dengan lantang ia berkata, “Bagus, pertandingan akan segera dimulai.
Tetapi kita belum menentukan peraturannya”
“Aku tidak memerlukannya” teriak Sidanti. Aku sudah menetapkan peraturan itu”
“Apakah hakmu?” bertanya Widura.
“Akulah yang berkepentingan” jawab Sidanti.
“Aku yang berkuasa di sini” sahut Widura tidak kalah lantangnya, “Aku akan membuat peraturan”
“Tidak” jawab Sidanti pula, “Apa pun yang
akan kau lakukan, aku tetap pada pendirianku. Aku akan membidik jantung
Agung Sedayu dan membunuhnya. Meskipun Agung Sedayu tidak melawan”
Dada Widura kini telah bergetar semakin
cepat. Sedemikian peningnya kepalanya, sehingga ia hampir muntah
karenanya. Kini ternyata Sidanti tak dapat diajaknya berbicara. Karena
itu maka ia harus berbuat sesuatu. Adalah tidak adil apabila
dibiarkannya Agung Sedayu mati ketakutan.
“Apakah kau sudah tetap pada pendirianmu?” bertanya Widura kepada Sidanti.
“Jangan hiraukan aku” kemudian kepada
Agung Sedayu ia berkata, “Aku akan berdiri di belakangmu beradu
punggung. Aku mengharap seseorang menghitung sampai hitungan yang
kesepuluh. Nah, kemudian kau atau aku yang akan mati”
Widura telah benar-benar kehilangan
kesempatan. Maka tak ada yang dapat dilakukan kecuali mencoba
menyelamatkan Agung Sedayu. Karena itu dengan langkah yang panjang ia
berjalan di samping Agung Sedayu. Widura itu pun berhenti sesaat.
Ditatapknya wajah kemenakannya itu dengan penuh iba. Namun dari mulutnya
meluncurlah kata-katanya perlahan sekali, “Matilah kau pengecut. Apa
pun yang akan kau lakukan, kau pasti akan mati di lapangan ini.
Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirimu adalah melawan. Melawan.
Mendahuluinya, membidik dadanya, atau kepalanya atau bahu kanannya.
Kalau kau tak sampai hati untuk membunuh, maka yang dapat kau kenai
adalah tangannya yang memegang busur itu. Secepatnya, sebelum panahnya
menembus otakmu. Kalau kau tak mampu melakukannya, maka otakmulah yang
akan dirobeknya dengan anak panahnya, dan jangan mencoba menyebut nama
Ki Sadewa. Itu hanya akan menodai nama kakak iparku. Hanya mulut yang
jantan sajalah yang pantas menyebut namanya”
Mendengar kata-kata pamannya, dada Agung
Sedayu yang sudah gemetar menjadi semakin gemetar. Namun tiba-tiba
terasa sesuatu yang aneh dikepalanya. Ia akan mati. Dan sebenarnya ia
takut sekali kepada mati itu. Sedang kini, tanpa diduganya ia dihadapkan
pada kekuasaan maut. Namun pamannya itu berkata, “Satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan dirimu adalah melawan”
Kata-kata itu melingkar-lingkar saja di
dalam benaknya. Betapa ia takut menghadapi lawannya, namun betapa ia
lebih takut lagi kepada maut. Karena itu maka tiba-tiba ia dahadapkan
pada dua pilihan. Mati atau melawan.
Tubuh Agung Sedayu masih bergetar. Namun
tiba-tiba ia mengangkat wajahnya. dipandangnya wajah Sidanti yang
menyala. Sesaat getar di dadanya menjadi bertambah cepat. Namun
ketakutannya kepada maut itu telah semakin mendesaknya. Ia tidak mau
mati, apalagi di tengah-tengah lapangan di hadapan beratus-ratus orang,
dan di antaranya adalah Sekar Mirah.Terasa sesuatu bergolak di dadanya.
Dan karena itulah maka tubuhnya menjadi semakin bergetar. Namun kini ia
menemukan suatu sikap untuk menyelamatkan dirinya. Dan jalan
satu-satunya adalah melawan. Tak ada jalan lain. Kalau ia masih mungkin
melarikan dirinya, maka ia akan lari dan bersembunyi.
Namun ia tahu pasti, demikian ia
melangkah, maka anak panah Sidanti pasti akan hinggap dipunggungnya.
Karena itu Agung Sedayu tidak berani melarikan diri.
Sedayu pun terkejut ketika terdengar suara Sidanti menggelegar ditelinganya, “Ayo Sedayu. Siapkan busurmu”
Sedayu mengangkat wajahnya. dan tiba-tiba terdengar ia berkata dengan suaranya yang bergetar, “Swandaru, berilah aku anak panah”
Semua yang mendengar kata-kata itu
terkejut. Dan ketegangan pun menjadi semakin memuncak. Mereka segera
akan menyaksikan suatu perang tanding antara dua anak muda yang mereka
angap memiliki kekuatan-kekuatan diluar kekuatan kebanyakan orang,
sehingga dengan demikian maka perang tanding ini pasti akan menjadi
sangat dahsyatnya.
Widura pun terkejut mendengar jawaban
Sedayu. Namun tiba-tiba dadanya pun bergelora. Ia menjadi terharu
melihat Agung Sedayu berusaha untuk mempertahankan hidupnya.
Tetapi meskipun demikian, perasaan
khawatir merayap-rayap di dalam dada Widura. meskipun Agung Sedayu
kemudian berusaha untuk menyelamatkan dirinya, namun Betapapun juga,
hatinya yang kerdil pasti masih akan mengganggunya. Dengan demikian,
Widura kembali menjadi ragu-ragu apakah Agung Sedayu akan berhasil
menyelamatkan dirinya. Tetapi seandainya terjadi sesuatu, maka lebih
baik apabila Agung Sedayu itu menghadapinya secara jantan daripada mati
seperti kelinci betina.
Swandaru pun dengan tangan yang gemetar
pula menyerahkan sebatang anak panah kepada Agung Sedayu. Betapa ia
menyesal. Namun semuanya telah terjadi, dan kini ia tinggal menunggu
akibat dari perbuatannya.
Sementara itu Sidanti pun telah memegang
sebatang anak panah pula. kini ia maju lagi beberapa langkah. Kemudian
ia berkata dengan lantang, “Siapakah yang akan mengucapkan hitungan
sampai sepuluh?”
Lapangan itu menjadi hening seketika. Tak
seorang pun yang menjawab. Karena itu Sidanti mengulangi lebih keras
lagi, “Ayo, siapakah yang akan mengucapkan hitungan?”
Kembali lapangan itu tenggelam dalam
kesepian. Gema suara Sidanti itu pun kemudian lenyap pula. sehingga
dengan demikian Sidanti menjadi semakin marah karenanya. Ia merasa
seakan-akan semua orang di lapangan itu sama sekali tidak menghargainya.
Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Ayo adi Sedayu. Suapaya aku tidak
disangka curang, kaulah yang mengucapkan hitungan itu”
Agung Sedayu tidak dapat menjawab
kata-kata itu. Ia sedang sibuk berjuang melawan perasaannya sendiri yang
saling berbenturan. Namun Sidanti tidak menunggu Agung Sedayu menjawab.
ia langsung berjalan mendekati anak muda itu dan berdiri di belakangnya
beradu punggung.
Sementara itu, sepasang mata yang tajam
diatara para penonton, memperhatikan perkembangan keadaan dengan
seksama. Ia tersenyum ketika melihat Sedayu menerima sebatang anak panah
dari Swandaru. Ia tersenyum pula ketika melihat Sedayu menempatkan anak
panah di tali busurnya. Namun meskipun demikian, orang yang bermata
tajam itu dapat menilai apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Agung
Sedayu. Seandainya Agung Sedayu itu berhati jantan, maka kekalahannya
tak usah dikhawatirkan. Namun di dalam dada orang itu bergolaklah
perasaan seperti perasaan yang tersimpan di dalam dada Widura. dan
karena itu pula ia menjadi cemas akan nasib anak muda itu.
Dalam pada itu, Sidanti sudah tidak sabar
lagi. Ia sudah berdiri tegak di belakang Agung Sedayu beradu punggung.
Namun Agung Sedayu masih belum mulai dengan hitungannya. Sehingga
Sidanti sekali lagi berteriak, “Mulailah adi Sedayu. Kalau tidak akulah
yang akan menghitung, dan aku akan melangkah menurut irama hitungan itu.
Aku tidak peduli apa yang akan kau kalukan, namun sesudah hitungan
kesepuluh aku akan melepaskan anak panahku ini”
Debar di dada Agung Sedayu menjadi
semakin cepat dan cepat saja. Sedang mulutnya masih saja terbungkam. Ia
sengaja tidak mau mulai dengan mengucapkan hitungan. Dibiarkannya
Sidanti menghitungnya. Ia ingin dapat memusatkan segenap kekuatan yang
ada padanya untuk menindas perasaannya. Perasaan yang selalu
mengganggunya. Bahkan kemudian dicobanya untuk membulatkan tekadnya.
“Kalau aku ingin menghindari kematian, aku harus melawan. Menghentikan
sumber gerak dari terkaman kematian itu.”
Ssidanti kemudian benar-benar tidak sabar
lagi. Apalagi ketika dilihatnya matahari telah semakin rendah di atas
cakrawala. Dengan agak silau Sidanti memandang punggung-punggung bukit
disebelah barat, sebagaimana ia menghadap. Kemudian katanya, “Lihat,
matahari hampir terbenam.”
Tetapi Agung Sedayu masih berdiam diri,
sehingga Sidanti yang telah kehabisan kesabaran itu berteriak, “Aku akan
mulai dengan hitungan itu.”
Anak muda yang sedang dibakar oleh nyala
kemarahan itu tidak menunggu lebih lama lagi. Maka terdengarlah suaranya
lantang, “Satu” kemudian, “Dua” dan sejalan dengan itu, kakinya pun
terayun maju, selangkah demi selangkah. Pada saat yang bersamaan Agung
Sedayu pun bergerak pula, setapak demi setapak.
Tetapi tiba-tiba terdengar sebuah tawa
yang lunak bergetar di antara para penonton yang berjejalan itu.
Meskipun demikian suara itu telah mengejutkan setiap orang yang berdiri
di lapangan. Apalagi ketika di antara derai tertawanya terdengar
kata-katanya, “Sidanti, ternyata kau curang.”
Langkah dan hitungan Sidanti pun terhenti
pula. Mendengar kata-kata itu nyala di dalam dadanya serasa tersiram
minyak. Dengan serta-merta ia berpaling sambil berteriak, “tidak. Aku
tidak curang” namun Sidanti tidak segera dapat melihat orang itu. Orang
yang telah mentertawakannya.
Sementara itu terdengar orang itu berkata
pula, “Kenapa kau memilih arah itu? Bukankah dengan demikian kau
mengharap, bahwa apabila hitunganmu telah sampai hitungan ke sepuluh,
dan Agung Sedayu itu pun berbalik maka sinar matahari yang silau ini
akan melindungimu”
“Gila” teriak Sidanti, “Siapakah kau?”
Sidanti benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu. Memang, keadaan
itu pun mendapat perhatiannya pula, dan bahkan diperhitungkannya.
Tetapi ketika seseorang menebak dengan tepat, maka kemarahannya menjadi
semakin menggelegak.
Bukan saja Sidanti namun Agung
Sedayu,Widura, dan bahkan setiap orang menjadi sibuk mencari orang yang
berkata demikian itu. Setiap orang dengan menegakkan lehernya memandang
kesatu arah, ke tempat orang yang telah menghentikan perang tanding yang
mendebarkan itu.
Dan akhirnya mereka melihat juga. Melihat
orang yang berbicara itu sedang berjalan menyibak orang-orang yang
berdiri berjejalan di hadapannya.
Kata-kata orang yang belum diketahui itu
pun merupakan sebuah singgungan pada perasaan Widura. Kenapa ia tidak
melihat ketidakadilan itu? Baru kemudian ia menyadari, bahwa alangkah
berbahayanya seandainya pertandingan itu berlangsung. Demikian Agung
Sedayu memutar tubuhnya, maka segera ia akan segera menjadi silau karena
matahari sudah sedemikian rendahnya. Ternyata kemudian orang lainlah
yang memberi peringatan akan hal itu. Bukan dirinya pemimpin laskar
Pajang yang bertanggung jawab di Sangkal Putung.
Karena itu Widura pun segera ingin tahu,
siapakah orang itu. Dan orang itu pun datanglah kepadanya. Semakin lama
menjadi semakin dekat menyusup di antara penonton yang sengaja memberi
jalan, sehingga akhirnya, muncullah orang itu di tengah-tengah
lingkaran.
Demikian yang muncul dari antara para
penonton, maka berdesirlah dada Widura. Betapa ia terkejut melihat
kehadirannya. Seorang anak muda yang sebaya dengan Sidanti. Bertubuh
kekar padat berwajah tenang dan terang. Dengan sebuah senyum yang segar
anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi sebelum Widura sempat berkata
sesuatu karena getar dadanya, terdengar Agung Sedayu seakan-akan
menjerit tinggi, “Kakang. Kakang Untara. Kaukah itu?”
Untara, ia sebenarnyalah anak muda itu
Untara, berpaling kepada adiknya. Kini ia tertawa. Suara tertawanya
masih selunak seperti suaranya yang pertama-tama diperdengarkan.
Kemudian terdengar ia berkata, “aku datang untuk menyaksikan
pertunjukkan yang diselenggarakan oleh paman Widura”
Sekali lagi dada Widura berdesir. Dan
yang didengarnya kemudian adalah suara ribut di antara penonton.
Ternyata mereka terkejut pula melihat kehadiran anak muda itu, apalagi
setelah Agung Sedayu menyebut namanya, Untara. Jadi itulah orangnya yang
bernama Untara, kakak Agung Sedayu. Dengan demikian, maka kembali para
penonton itu berjejalan mendesak maju. Mereka ingin melihat wajah anak
muda yang namanya telah jauh lebih dahulu hadir daripada orangnya.
Dada Widura kini telah menjadi tenang
kembali. Dengan sebuah senyum yang tulus ia mendekati kemenakannya.
Diulurkannya tangannya sambil berkata lirih, “Aku tidak dapat
mencegahnya”
Untara menyambut uluran tangan pamannya.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “aku senang melihat
perang tanding ini. Namun aku ingin melihat perang tanding ini berjalan
dengan sempurna”
“Suatu kekhilafan, Untara” sahut Widura.
Sekali lagi Untara tertawa. Wajahnya yang
terang itu kemudian memandang berkeliling. Setiap wajah yang
dipandangnya, maka tanpa sengaja, wajah itu mengangguk, dan dengan
rendah hati Untara pun menganggukkan kepalanya pula.
Sidanti yang melihat kehadiran Untara itu
dadanya berdentang pula seperti melihat hantu yang palin dibencinya.
Wajahnya yang merah membara itu seakan-akan benar-benar telah menyala.
Kini ia melihat Untara itu berdiri di hadapannya. Sedang orang-orang di
sekitarnya telah mendesak maju sekedar ingin melihat wajah Untara itu.
Dengan demikian, maka Sidanti itu pun telah kehilangan segenap
pertimbangannya.
Maka semua orang yang berada di lapangan
itu tiba-tiba terkejut ketika mereka mendengar Sidanti itu berteriak,
“Minggir. Pertandingan akan tetap berlangsung terus. Jangan hiraukan
orang yang tidak tahu menahu persoalannya”
Untara mengerutkan keningnya. Ketika ia
berpaling kepada Widura, maka Widura itu pun memandangnya, seakan-akan
minta pertimbangan kepadanya.
Untara mengangkat bahunya, katanya,
“Kekuasaan di daerah ini berada di tangan paman Widura. silahkan. Aku
hanya ingin melihat apakah pertandingan ini akan berlangsung dengan
jujur”
“Jangan menyindir” teriak Sidanti. “Aku
tahu maksudmu. Meskipun semula aku tidak memperdulikan matahari itu,
namun seandainya hal-hal yang tak berarti itu harus dipertimbangkan,
baiklah kita menghadap arah utara dan selatan”.
Kembali terdengar Untara tertawa, sambil berkata, “Jangan marah Sidanti.”
Terasa kata-kata itu menusuk jantung
Sidanti seperti tusukan sembilu. Dengan menggeretakkan gigi ia berkata
lantang, “Nah Sedayu. Kau dengar?”
Sedayu yang seakan-akan terpesona karena
kehadiran kakaknya itu, tiba-tiba seperti terbangun dari mimpinya. Ia
terkejut ketika ia merasa Sidanti mendorongnya. Dan didengarnya sekali
lagi Sidanti berteriak, “Bersiaplah”.
Seperti seorang anak yang mengharapkan
sesuatu dari bapaknya Agung Sedayu memandang wajah kakaknya. Dan
tiba-tiba dilihatnya kakaknya itu mengangguk kepadanya. Hanya
mengangguk, namun anggukan kepala itu seperti telah mengalirkan suatu
kekuatan baru di dalam hatinya. Kehadiran Untara yang tiba-tiba itu,
benar-benar memperbesar hati Agung Sedayu. Karena itu, maka dengan gerak
yang lebih tenang kini ia berdiri menghadap keutara, sedang Sidanti
berdiri di belakangnya menghadap keselatan.
Dan ketika kemudian Sidanti hampir
mengulangi hitungannya, terdengarlah Untara berkata, “Biarlah aku
menolong kalian. Akulah yang akan menghitung sampai bilangan kesepuluh”
“Bagus” teriak Sidanti. “Mulailah”
Untara berjalan mendekati mereka yang
telah berdiri beradu punggung itu. Terdengar ia bergumam, “Aku telah
melihat pertandingan ini sejak permulaan. Dan aku mengagumi kalian yang
telah melakukan permainan yang aneh-aneh. Namun ternyata kalian hanya
memanah benda-benda mati. Sekarang kalian akan memanah benda-benda yang
hidup, yang mungkin mengelakkan diri dari kejaran anak panah kalian.
Benar-benar pekerjaan yang tidak terlalu mudah”
“Mulailah” potong Sidanti tidak sabar.
Tetapi kata-kata Untara itu seakan-akan memberikan petunjuk-petunjuk
baru bagi Agung Sedayu. Memberikan petunjuk bahwa dalam perang tanding
yang demikian, maka mereka diperkenankan untuk mengelakkan serangan
lawan.
Demikianlah maka akhirnya Untara itu pun mulai dengan hitungannya.
Untara itu kini berdiri tegak. Sesaat ia
memandang orang-orang yang melingkari mereka. Kemudian dengan tenang ia
berkata kepada para penonton, “Mundurlah kalian. Jangan berdiri di ujung
utara dan selatan. Kalau anak panah itu nanti tidak mengenai sasaran,
maka kalianlah yang akan terkena”
Penonton di ujung utara dan selatan itu
pun mendesak mundur. Mereka menjadi takut, kalau justru dada merekalah
yang akan tembus oleh anak panah-anak panah itu. Namun setiap kata-kata
Untara itu, semakin meyakinkan Agung Sedayu, bahwa ia masih mungkin
untuk menyelamatkan dirinya dari maut. Ia masih mungkin mengelak, dan
panah-panah itu masih mungkin tidak mengenai sasaran.
Tetapi Sidanti menjadi semakin tidak
sabar. Dengan marahnya ia berteriak sekali lagi, “He Untara. Apakah kau
tidak sanggup menghitung?”
“Baiklah” sahut Untara. “Sekarang bersiaplah”
“Aku sudah siap sejak kau belum menampakkan dirimu” jawab Sidanti.
Untara tersenyum. kemudian selangkah ia maju. Dan kini mulailah ia menghitung, “Satu…dua…”
Suasana meningkat menjadi semakin tegang,
semakin tegang, sejalan dengan bilangan-bilangan yang disebutkan
Untara. Untara sendiri sebenarnya menjadi cemas juga, seperti Widura
yang tegang kaku seperti patung batu. Namun baik Untara maupun Widura,
bahkan beberapa orang lain, Hudaya, Citra Gati, Swandaru dan beberapa
orang lagi, ternyata berdoa di dalam hatinya, setidak-tidaknya Sedayu
tidak menjadi binasa karenanya.
Kini bilangan-bilangan yan diucapkan
Untara sudah semakin tinggi. “Enam…tujuh…” Dan lapangan itu menjadi
semakin hening. Tetapi dalam pada itu, tekad di dalam dada Agung Sedayu
menjadi semakin bulat. Ia tidak mau mati.
Dan akhirnya sampailah hitungan itu pada
akhirnya. Seperti bisul yang akan pecah disetiap ubun-ubun penonton,
terdegarlah Untara menyebut bilangan terakhir dengan suara gemetar,
“Sepuluh ….”
Sidanti yan dibakar oleh kemarahan,
hampir tidak sabar menunggu bilangan yang kesepuluh. Dan ketidak
sabarannya itu sama sekali tidak menguntungkannya. Demikian ia mendengar
Untara menyebut bilangan kesepuluh itu, dengan serta-merta ia memutar
tubuhnya sekaligus menarik busurnya. Hanya sesaat ia membidikkan
panahnya, dan panah itu dengan cepatnya meluncur ke dada Agung Sedayu
arah ke kiri. Arah jantung.
Tetapi Agung Sedayu pun telah memutar
tubuhnya pula. ia tidak menyangka bahwa lawannya bertindak secepat itu.
Ia sama sekali belum pernah melihat, mengetahui dan apalagi mengalami
perang tanding semacam itu, sehingga karena itu ia masih ragu-ragu untuk
melakukannya meskipun tekadnya untuk menghindari maut telah bulat di
dalam hatinya. Karena itu, ternyata Sidanti berhasil mendahuluinya.
Dan sebenarnya Sidanti adalah pembidik
yang bail. Panah itu dengan lajunya menuju kesasarannya dengan tepat.
Dada kiri Agung Sedayu.
Tetapi Agung Sedayu itu pun sebenarnya
bukan sebuah patung. Di dalam tubuhnya tersimpan berbagai macam ilmu
yang tidak dapat diabaikan. Namun ilmi-ilmu itu seakan-akan tersimpan
dalam kotak yang tertutup.
Kini ia melihat sebuah anak panah
meluncur dengan cepatnya, menuju ke dadanya. Karena itu, dengan gerak
naluriah maka Sedayu yang memiliki ketangkasan yang tinggi itu pun
segera bergesar setapak sambil memiringkan tubuhnya.
Namun panah Sidanti terlampau cepat.
Betapapun cepatnya gerak Agung Sedayu, namun ia tidak mampu menghindari
anak panah itu sepenuhnya. Sehingga dengan cepatnya panah itu mematuk
lengan kirinya. Tetapi untunglah bahwa anak panah itu tidak mengenai
bagian yang penting pada lengannya itu, sehingga anak panah itu pun
kemudian bergeser dan jatuh di samping Agung Sedayu. Meskipun demikian,
maka segera sepercik darah mengalir dari luka itu. Semakin lama menjadi
semakin deras.
Tampaklah Agung Sedayu menyeringai
menahan sakit. Tetapi hanya sesaat. Ternyata darah yang mengalir dari
lukanya itu telah menghangatkan hatinya. Kini ia telah terluka, dan
ternyata demikianlah rasa sakit yang menggigit pundaknya. Rasa sakit itu
kini tidak saja ditakutkannya, namun sudah dirasakannya. Dan rasa sakit
itu ternyata tidak seperti apa yang dibayangkannya. Darah yang mengalir
dari lukanya itu bukanlah pertanda akan kematiannya. Dan meskipun kini
darah itu telah mengalir, tetapi ia masih tetap berdiri tegak dan hampir
luka itu dapat diabaikannya. Tiba-tiba timbullah perasaan heran di
dalam dadanya. Apakah hanya perasaan ini yang harus ditanggungnya.
Alangkah ringannya. Bahkan berkatalah Agung Sedayu di dalam hatinya,
“Jadi ternyata aku tidak mati. Aku ternyata dapat juga membebaskan diri
dari kematian itu. Dan kini aku telah melakukannya. Perang tanding”
Terasalah sesuatu bergolak di dalam dada
Agung Sedayu. Terasa seakan-akan ia telah melampaui suatu masa yang
tidak pernah dibayangkannya. Terasa seakan-akan ia telah menerobos suatu
batas yang selama ini mengungkungnya. Dan sebenarnya dinding yang
memagari Agung Sedayu kini telah terpecahkan. Dan lenyaplah seluruh
perasaan takutnya. Kini Agung Sedayu itu tidak takut lagi kepada luka,
kepada darah dan kepada maut sekalipun. Sebab ternyata ia mampu
menghindari maut, apabila Tuhan belum menghendakinya. “Ya” katanya dalam
hati, sebagai seorang yang percaya kepada Tuhan, akhirnya Sedayu itu
menemukan keyakinan, “Aku tidak perlu takut mati. Sebab kematian adalah
takdir Tuhan. Ternyata kali ini aku telah bebas dari kematian itu,
karena Tuhan belum menghendakinya”.
Bahkan kini Agung Sedayu mengangkat
wajahnya. dipandanginya Sidanti yang berdiri gemetar menahan marah,
duapuluh langkah di hadapannya. Di tangannya kini masih tergenggam
sebatang anak panah. Sedang Sidanti telah melepaskan satu-satunya anak
panahnya.
Ketegangan di lapangan itu segera sampai
kepuncaknya. Dengan tajamnya Agung Sedayu menandang lawannya. Sidanti,
yang dalam pandangan mata Sedayu, kini tidak lebih daripada dirinya
sendiri. Sidanti itu tiba-tiba bukanlah seorang yang menakutkan lagi.
Agung Sedayu, meskipun pundaknya telah
terluka, namun luka yang tidak begitu dalam itu sama sekali tidak
berpengaruh padanya. Kini ia dapat berbuat apa saja atas lawannya.
Betapapun tangkasnya lawannya itu, namun ia mempunyai banyak waktu untuk
membidiknya, menarik busurnya dalam-dalam dan melepaskan anak panah
secepat tati. Dalam keadaan yang demikian, alangkah sulitnya untuk
menghindari, sebab setiap kali ia dapat melepaskan anak panahnya dengan
tiba-tiba.
Sidanti masih berdiri tegak seperti
tonggak. Kini tubuhnya bergetar semakin keras. Kemarahannya benar-benar
telah memuncak sampai keubun-ubunnya. Meskipun demikian ia tidak gentar
menghadapi panah Agung Sedayu. Dengan kecepatannya bergerak ia yakin
bahwa ia mampu menghindari anak panah lawannya.
Tetapi Agung Sedayu itu masih belum
membidik lawannya. Meskipun kini ia sudah dapat melepaskan diri dari
sebuah belenggu yang selama ini mengungkungnya dalam satu dunia yang
gelap, namun masih belum terlintas di dalam angan-angannya untuk
membunuh seseorang. Itulah sebabnya maka ia masih berdiri dengan ragu.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara Sidanti serak, “He Sedayu, apa yang kau tunggu?”
Agung Sedayu terkejut mendengar suara
itu. Sekali lagi ia menatap wajah lawannya dengan tajamnya. Wajah yang
kras dan penuh dendam. Namun, betapa ia menjadi muak melihat wajah
Sidanti, tetapi perasaan itu belum dapat memaksanya untuk mencoba
membunuh seseorang. Dan kembali Agung Sedayu berdiri termangu-mangu.
Lapangan kecil itu kini benar-benar
dikuasai oleh kesenyapan yang tegang. Matahari di langit menjadi semakin
rendah. Warna-warna merah dengan segarnya membayang di ujung-ujung
pepohonan dan menyangkut di tepi-tepi gumpalan mega dilangit.
Sekali-sekali tampak di udara burung-burung cangak berbondong-bondong
terbang pulang ke sarangnya. Melintas dari arah barat ketimur.
Dalam kesenyapan itu, tiba-tiba terdengar
suara Untara dengan nada yang rendah, “Agung Sedayu. Pertandingan ini
akan segera selesai apabila kau telah melepaskan anak panahmu itu”
Agung Sedayu menjadi semakin bimbang.
Dicobanya untuk menenangkan perasaannya. Dan dicobanya untuk memandang
dada Sidanti. Tetapi, kembali ia tidak dapat memaksa dirinya untuk
membunuh seseorang meskipun orang itu telah bertekad untuk membunuhnya.
Yang terdengar kemudian kembali suara
Untara, “Agung Sedayu, adalah tidak bijaksana untuk membunuh lawan yang
sudah tidak berdaya”
Agung Sedayu berpaling kepada kakaknya,
seakan-akan ia telah menemukan suatu penyelesaian yang baik bagi
perselisihannya. Ia dapat mengerti kata-kata kakaknya, sebagaimana ia
selalu mendengar cerita ayahnya dahulu, bahwa penyelesaian dari
persengketaan tidak harus ditandai dengan kematian.
Tetapi tanpa disangka-sangka, maka Agung
Sedayu itu mendengar suara Sidanti menggelegar, “Agung Sedayu, aku bukan
pengecut yang minta kau kasihani. Ayo kalau kau jantan. Cobalah
membunuh Sidanti”
Agung Sedayu mengangkat keningnya. Namun
Untara itu berkata pula, “Anak panah yang sebatang itu hakmu Sedayu.
Kemana saja kau bidikkan, maka perang tanding ini sudah selesai. Dan
semua persoalan pun selesai pula”
“Jangan turut campur Untara. Urusan ini sama sekali bukan urusanmu” bentak Sidanti sambil menggertakkan giginya karena marah.
Tetapi Untara seakan-akan tidak mendengar kata-kata Sidanti. Bahkan Widura pun kemudian berkata, “Kau benar Untara”
Agung Sedayu masih tegak dengan penuh
kebimbangan. Ia kini telah berhasil menerobos dinding yang menyekapnya
dalam ketakutan. Namun ia masih belum dapat berbuat lebih jauh daripada
melihat kenyataan diri dan melihat kekuasaan yang menguasai hidupnya dan
hidup orang-orang lain. Karena itu, ia menjadi semakin bimbang.
Membunuh adalah perbuatan yang melawan kehendak Tuhan.
Dalam kebimbangan itu tiba-tiba Agung
Sedayu melihat serombongan burung cangak terbang rendah melintas di
lapangan. Dan tiba-tiba pula ia ingin melepaskan ketegangan yang
mencekam dadanya. Dengan serta-merta, ia mengangkat busurnya. Dan sesaat
kemudian satu-satunya anak panahnya itu meloncat dengan cepatnya,
menyambar seekor cangak yang terbang dengan tenang dan perlahan-lahan di
atasnya.
Semua orang terkejut melihat perbuatan
Agung Sedayu. Mereka hanya sesaat melihat Agung Sedayu mengangkat
busurnya. Dan sesaat kemudian mereka sudah melihat, seekor dari
burung-burung cangak itu terpelanting dan jatuh di tanah.
Agung Sedayu sendiri terkejut melihat
hasil bidikannya. Cangak yang sama sekali tidak tahu menahu persoalannya
itu tiba-tiba jatuh menjadi korbannya. Namun, adalah lebih baik
melepaskan ketegangan di dadanya dengan membunuh seekor burung daripada
membunuh Sidanti.
Tanpa diduga-duga sebelumnya, maka
tiba-tiba semua orang yang berdiri di lapangan itu pun kemudian
melepaskan ketegangan yang selama ini mencengkam dada mereka.
Dengan serta-merta meledaklah sorak-sorai
yang gemuruh dengan dasyatnya, sedahsyat gunung Merapi itu meledak.
Mereka bersorak karena mereka melihat akhir dari perang tanding itu
tanpa jatuhnya korban. Mereka bersorak pula karena mereka melihat
ketangkasan Agung Sedayu. Beberapa orang dari mereka bergumam, “Alangkah
dahsyatnya anak muda itu”
Tetapi, bagi Sidanti, apa yang terjadi
itu seakan-akan merupakan tamparan yang langsung mengenai wajahnya.
Karena itu, maka darahnya menjadi seakan-akan mendidih. Ia sudah tidak
ingat lagi apakah yang sebaiknya dilakukan. Dengan gigi yang gemeretak
ia meloncat maju sambil berteriak, “Perang tanding ini belum selesai.
Aku tantang kau dengan cara yang lain”
Teriakan Sidanti itu benar-benar
mengejutkan. Semua orang yang mendengar tertegun heran. Bahkan Widura,
Untara dan bahkan Agung Sedayu sendiri. mereka melihat Sidanti dengan
wajah yang menyala-nyala datang mendekati Sedayu. Dilemparkannya
busurnya ketanah, lalu berkata, “Agung Sedayu. Ada seribu macam cara
untuk melakukan perang tanding. Marilah kita pilih salah satu di
antaranya. Tidak mempergunakan jarak yang sejauh duapuluh langkah,
tetapi kita lakukan dalam jarak yang dekat”
Agung Sedayu menjadi bingung. Ia telah
menghindari kemungkinan yang lebih buruk dari perang tanding yang baru
saja dilakukan. Ia dengan sengaja tidak membidik lawannya dengan anak
panahnya. Tetapi kini bahkan ia dihadapkan pada kemungkinan yang lebih
jelek.
Namun dengan demikian, Hudaya, Citra
Gati, Sendaya dan orang-orang lain menjadi semakin muak melihat
kesombongan Sidanti. Hampir-hampir saja mereka tidak dapat mengendalikan
diri mereka pula. Tetapi yang maju ke depan adalah Widura, “Cukup
Sidanti. Jangan membuat persoalan menjadi lebih parah”
Tetapi dengan kasarnya Sidanti menyahut, “Apa pedulimu. Persoalan ini adalah persoalan antara Sidanti dan Agung Sedayu”
“Tetapi aku kali ini tidak akan mengijinkan” berkata Widura pula.
“Aku tidak perlu ijinmu” bantah Sidanti.
Widura itu pun kemudian menjadi marah
pula. meskipun demikian ia tetap pada pendiriannya, bahwa ia tidak ingin
melihat orang-orangnya menjadi hancur karena menikam dada sendiri,
sementara Macan Kepatihan sudah soap untuk menerkam mereka. Karena itu
maka katanya, “Simpanlah tenaga kalian. Marilah kita adakan perlombaan
yang lain. Kalau kalian tetap pada pendirian kalian ingin melihat
siapakah yang lebih unggul di antara kalian, nah perlihatkanlah dalam
perlawanan kalian atas Macan Kepatihan. Siapakah yang mampu membunuh
Macan Kepatihan, maka ialah yang menang”
“Aku tidak akan menunggu sampai
kesempatan itu datang” jawab Sidanti. “Biarlah kita melakukannya
sekarang. Yang menanglah yang kelak harus membunuh Macan Kepatihan.
Kalau tidak biarlah ia dibunuh saja sama sekali”
“Aku tidak mengijinkan” berkata Widura tegas-tegas.
“Persetan” teriak Sidanti. Kemudian
kepada Agung Sedayu ia berkata, “Bersiaplah Agung Sedayu. Marilah kita
bertempur tanpa senjata. Kita akan sampai pada suatu kepastian, siapakah
yang akan mati di antara kita. Jangan berhenti sebelum keputusan itu
jatuh”
Dada Agung Sedayu itu pun bergelora.
Setelah darah tertumpah dari luka di pundaknya itu, tiba-tiba Agung
Sedayu kini seolah-olah telah menemukan dirinya sendiri dalam
nilai-nilai yang sewajarnya. Karena itu tiba-tiba terdengar anak muda
itu menggeram. Dengan tatagnya ia berkata, “Kalau itu yang kau kehendaki
Sidanti, marilah aku layani”
Kembali suasana menjadi semakin tegang.
Widura benar-benar terkejut mendengar jawaban Agung Sedayu. Jawaban yang
sama sekali tak disangka-sangka. Dan sebenarnya memang Widura tidak
tahu apa yang sudah bergolak di dalam dada Agung Sedayu. Setelah ia
merasakan luka di tangannya, seakan-akan tumbuhlah kepercayaannya pada
diri sendiri, bahwa Sidanti bukanlah seorang yang tak dapat dikalahkan.
Untara tersenyum di dalam hati mendengar
jawabann Agung Sedayu. Katanya dalam hati, “Kalau anak itu selalu ikut
saja bersama aku, maka tak akan ditemukannya kepercayaan pada dirinya.
Agaknya keadaannya selama ini telah memaksa dirinya untuk mencoba
menggantungkan nasibnya kepada diri sendiri”. namun meskipun demikian,
Untara tidak menghendaki perkelahian itu berlangsung. Ia dapat mengerti
sepenuhnya, apa yang sedang dijaga sebaik-baiknya oleh Widura. Karena
itu, maka Untara itu pun berkata, “Agung Sedayu. Tidak seharusnya setiap
tantangan kau terima. Kau dapat menolaknya untuk kepentingan yang lebih
besar dari kepentingan diri kita sendiri. Pertandingan hari ini
sebenarnyalah telah selesai. Laskar Pajang di Sangkal Putung hanya
diperkenankan melakukan perlombaan memanah. Lebih daripada itu tidak.
Bahkan kalian telah melakukannya melampaui kebiasaan, dimana kalian
mempergunakan diri kalian untuk sasaran”
“Jangan ikut campur Untara” teriak
Sidanti keras-keras. “Kedatanganmu kemari sama sekali tidak kami
harapkan. Pergilah dan kalau ingin menonton, nontonlah. Jangan ribut”
“Sidanti” jawab Untara, “aku mencoba
melihat jauh seperti yang dikatakan paman Widura. Jangan mempertajam
pertentangan di antara kita sendiri”
“Aku tidak perlu mendengar sesorahmu”
bentak Sidanti. “Jangan gurui aku. Aku tahu apa yang akan terjadi di
Sangkal Putung. Kau sangka tanpa Agung Sedayu pekerjaan di Sangkal
Putung ini tidak akan selesai?”
Untara menarik alisnya. Sebelum ia menjawab, didengarnya Agung Sedayu berkata, “Kakang, berilah aku kesempatan”
Untara menjadi heran pula mendengar tekad
adiknya. Bahkan kemudian Agung Sedayu itu berkata pula kepada Widura,
“Paman, biarlah aku mencobanya”
“Tidak Sedayu” jawab Widura dan Untara hampir bersamaan.
Rupanya Agung Sedayu itu pun menjadi
kecewa. Ledakan yang meronta-ronta di dalam dadanya setelah selama ini
terkekang dalam suatu himpitan ketakutan, seakan-akan sedang mencari
salurannya. Karena itu betapa tak terduga arus yang melanda dada Agung
Sedayu itu. Meskipun demikian, Agung Sedayu adalah seorang anak yang
patuh kepada kakaknya sejak masa kecilnya. Karena itu, maka ia tidak
akan dapat memaksa seandainya kakaknya mencegahnya.
Tetapi Sidanti tidak menjadi reda
karenanya. Seperti orang gila ia berteriak-teriak, “Jangan halangi aku.
Siapa yang menghalangi aku itulah lawanku. Aku bunuh ia tanpa sebab”
Widura mengangkat wajahnya memandang
wajah Sidanti yang telah benar-benar menjadi buas. Sekali lagi ia ingin
mencoba melunakkannya.
Dengan hati-hati Widura melangkah maju
sambil berkata, “Sidanti, sadarilah keadaanmu. Keadaan kita bersama di
Sangkal Putung ini. Jangan memandang keadaan dalam suatu lingkungan yang
sempit. Tetapi pandanglah seluruh persoalan yang kita hadapi”
Namun agaknya kata-kata Widura itu
sia-sia saja. Sidanti telah menjadi seakan-akan wuru. Yang ada di dalam
benaknya hanyalah kekerasan, perkelahian, dan membunun atau dibunuh.
Karena itu ia menjawab, “Jangan halangi aku”
Untara pun melihat, bahwa sama sekali tak
ada kemungkinan untuk dapat mengekang Sidanti. Karena itu maka ia akan
berusaha untuk menyingkirkan adiknya. Apabila Agung Sedayu dapat
dijauhkannya, dan perkelahian iu dapat ditunda, maka nanti apabila
kepala Sidanti telah bertambah dingin, segala sesuatu akan dapat
diselesaikannya dengan baik.
Karena itu, betapa kecewanya Agung
Sedayu, namun ia tidak dapat berbuat apa pun ketika kakaknya menarik
tangannya dan membawanya meninggalkan tempat itu.
Tetapi sebelum Agung Sedayu dan Untara
berhasil menerobos lingkaran yang pepat itu terdengar Sidanti berteriak,
“Jangan pergi pengecut. Tak ada gunanya. Aku akan mengejarmu sampai ke
ujung bukit Merapi itu sekalipun”
Namun Untara tak menghiraukannya.
Didorongnya adiknya dan disibakkannya orang-orang yang mengerumuninya.
Meskipun demikian Sidanti yang gila itu meloncat maju sambil berteriak
lebih keras lagi, “Berhenti pengecut”
Widura lah yang kemudian kehabisan
kesabaran. Ia sudah menjadi sedemikian bingungnya mencegah perkelahian
itu. Karena itu, tiba-tiba ia pun berteriak nyaring, “Sidanti, berhenti
di tempatmu. Aku adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku
mempunyai wewenang untuk melakukan segala kebijaksanaan di sini. Aku
perintahkan kau tetap di tempatmu”
Kata-kata itu menggelegar ditelinga
Sidanti. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya menghadapi Widura. namun
Widura benar-benar telah siap. Dan bahkan tiba-tiba Sidanti itu pun
melihat Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan bahkan Swandaru meloncat maju.
Tanpa berjanji mereka seakan-akan telah mengepung Sidanti yang hampir
menjadi gila itu.
Sidanti menggeram. Matanya yang buas
menjadi semakin buas. Ditatapnya orang-orang yang berdiri di sekitarnya
seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat. Dengan kemarahan yang
seakan-akan hendak meledakkan dadanya Sidanti berteriak, “ayo, ayo.
Majulah bersama-sama. Inilah Sidanti, murid Ki Tambak Wedi”
Widura menatap wajah Sidanti yang menyala
itu dengan mata menyala pula. tiba-tiba saja ia berkata, “Sidanti,
apakah kau sedang menunggu bantuan gurumu? Jangan kau harapkan itu,
sebab di sini hadir pula orang yang dahulu pernah mencegah gurumu
membunuh aku itu. Kau lihat cemeti kuda yang terjatuh di samping tanda
yang dilemparkan gurumu itu?”
Kata-kata itu terasa berdentangan di dada
Sidanti. Namun tidak hanya Sidanti yang terkejut karenanya. Semua orang
menjadi terkejut pula. ternyata lingkaran besi dan cemeti kuda itu
adalah permulaan dari pertentangan-pertentangan yang akan menjadi
semakin memuncak dari dua orang sakti yang tak mereka ketahui dan belum
pernah mereka lihat pula orangnya.
Sesaat Sidanti berdiam diri. Memang ia
mengharap gurunya akan membantunya, melawan kelinci-kelinci yang tak
berarti itu di hadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi kemudian disadarinya,
bahwa ternyata di lapangan itu hadir pula, orang lain yang pernah
mencegah langkah gurunya di tegalan kemarin malam. Karena itu maka
Sidanti itu berbimbang untuk sesaat. Tetapi kemarahannya telah
benar-benar menguasai otaknya. Sehingga Betapapun yang akan dihadapinya,
namun ia sama sekali tidak dapat memperhitungkannya.
Dengan demikian, maka Sidanti itu sama
sekali tidak menjadi surut. Bahkan dengan lantangnya ia menjawab,
“Apakah kau sangka Sidanti hanya dapat menggantungkan dirinya kepada
orang lain? Ki Tambak Wedi telah menempa Sidanti untuk menjadi seorang
laki-laki jantan. Ayo. Siapakah yang pertama-tama. Agung Sedayu atau
kakaknya yang bernama Untara itu.”
Untara mencoba untuk tidak
menghiraukannya. Tetapi Agung Sedayu tiba-tiba berhenti di tempatnya.
Tiba-tiba ia merasa, bahwa sebenarnya ia tidak mau pula dihinakan.
Apalagi setelah ia menemukan penilaian yang wajar atas dirinya, justru
setelah sebatang anak panah menyobek pundaknya.
“Menyingkirlah Sedayu” desah Untara.
“Ia menghinaku kakang.” Jawab Sedayu.
Tetapi Untara berbisik, “Sidanti adalah
seorang anak muda yang tangguh. Sedangkan kau, agaknya baru saja
menyadari kelaki-lakianmu. Kau tidak akan dapat melawannya.”
Tetapi ledakan-ledakan yang dasyat di
dada Agung Sedayu itu pun telah membakar hatinya pula. Karena itu ia
menjawab, “berilah aku kesempatan.”
Untara menjadi jengkel karenanya. Maka dibentaknya adiknya, “Pergi. Biar paman Widura mengurus Sidanti”
Tiba-tiba Untara terkejut ketika ia
mendengar Sidanti berteriak, “Untara. Jangan kau sembunyikan adikmu.
Atau kau sendiri yang hendak bersembunyi?”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada
Untara. Ia dapat mencegah orang lain untuk tidak menghiraukan maki dan
cerca, namun ketika kata-kata itu ditujukan kepada dirinya, terasa
dadanya itu bergetar. Meskipun demikian, Untara itu tidak berpaling.
Yang didengarnya kemudian adalah suara pamannya, Widura, “Sidanti, kalau
kau tetap dalam pendirianmu, maka perintah untuk menangkapmu segera
akan aku jatuhkan”
Ternyata Sidanti benar-benar telah
kehilangan segenap pertimbangannya. Ia seolah-olah tidak mendengar
kata-kata Widura. bahkan kemudian ia berkata kepada Untara, “Untara,
kalau kau sembunyikan adikmu maka kaulah lawanku”
Kini Untara terpaksa berhenti. Terasa
dadanya bergetar semakin cepat. Namun ketika dilihatnyan luka di pundak
Sedayu, Untara menarik nafas. Sedayu, Betapapun tinggi ilmunya, namun ia
sama sekali belum berpengalaman dalam satu perkelahian yang benar-benar
menentukan hidup dan mati. Apalagi kini pundaknya itu telah terluka,
dan darah mengalir dari luka itu. Karena itu maka kekuatannya pun pasti
berkurang.
Untara terkejut ketika Agung Sedayu mendesaknya, “Kakang, apakah kakang akan membiarkan Sidanti menghina kita?”
“Jangan Sedayu” sahut Untara, “Sadarilah
keadaanmu. Pundakmu telah terluka. Mungkin pundak itu tidak terganggu
pada saat kau menarik busur, tetapi dalam pertempuran jarak dekat, maka
luka itu akan sangat berpengaruh”
Agung Sedayu meraba lukanya. Terasa luka
itu memang pedih. Tetapi serasa sama sekali tidak berpengaruh baginya.
Namun Untara itu pun dapat memperitungkannya dengan tepat, maka
sambungnya, “Kalau kau bergerak, maka darah akan semakin banyak mengalir
dari luka itu. Kau akan menjadi lemas, dan lehermu akan dipilin sampat
patah oleh iblis itu”
Tetapi seperti bendungan yang baru saja
pecah oleh banjir, maka Agung Sedayu benar-benar sedang mencari saluran
untuk menumpahkan ledakan-ledakan yang terjadi di dadanya. Namun ia
tidak berani melawan kehendak kakaknya. Karena itu hanya dadanya sajalah
yang bergelora.
Sementara itu terdengar Sidanti berkata
pula, “Untara. Jangan kau sembunyikan anak itu. Atau kau sendiri
terpaksa aku bunuh di lapangan ini”
Sekali lagi dada Untara bergetar. Ketika
ia berpaling, ia melihat Widura mengangkat tangannya. Hampir saja Widura
menjatuhkan perintah untuk menangkap Sidanti. Tetapi segera Untara
mencegahnya, “Jangan paman”
Widura tertegun. Tangannya itu pun
terkulai kembali. Dengan tegangnya ia memandang wajah Untara. Tetapi
untara itu kemudian berkata, “Paman, biarlah Agung Sedayu aku bawa
kembali kekademangan. Aku harap Sidanti dapat menenangkan hatinya
sehingga kemudian ia mendapat pertimbangan-pertimbangan yang wajar”
Tetapi kata-kata Untara itu justru
semakin menyakitkan telinga Sidanti. Hatinya yang marah itu menjadi
semakin parah. Dengan serta-merta ia melontarkan dirinya, langsung
menyerang Untara yang sekali lagi tidak bersiaga.
Tetapi Untara bukanlah anak-anak yang menangis melihat barongan-ndadi.
Ketika ia melihat Sidanti itu dengan satu loncatan panjang
menyerangnya, segera ia menarik satu kakinya ke samping dan dengan
merendahkan dirinya, Untara berhasil menghindari tangan Sidanti yang
menyambar kepalanya.
Agung Sedayu yang berdiri di muka Untara pun terpaksa menghindar pula. tidak kalah tangkasnya, ia pun meloncat surut.
Sementara itu terdengar Widura berteriak
nyaring, “Sidanti. Apakah kau telah benar-benar menjadi gila. Hai Citra
Gati, bersiaplah”
Citra Gati pun segera meloncat maju
diikuti oleh beberapa orang yang lain. Tetapi segera Untara berteriak
pula, “Jangan maju bersama-sama”
“Aku berhak menangkapnya” sahut Widura.
“Jangan” berkata Untara.
“Aku adalah senapati Pajang di Sangkal Putung” desak Widura.
“Aku adalah pemegang kuasa dari panglima
Wiratamtama, Ki Gede Pemanahan untuk daerah di sekitar gunung Merapi.
Mengamati dan mengamankan segala kebijaksanaan panglima, termasuk daerah
Sangkal Putung” potong Untara.
“Oh” Widura itu pun terdiam. Kini
benar-benar disadarinya akan kedudukan kemenakannya itu. Karena itu,
maka kemudian dibiarkannya kemenakannya itu membuat kebijaksanaan
sendiri.
Sidanti pun mendengar kata-kata Untara
itu. Sesaat kata-kata itu berpengaruh juga di dalam benaknya. Namun
sesaat kemudian ia sudah tidak memperdulikannya lagi.
Pertimbangan-pertimbangannya sudah tidak dapat mempengaruhi
kemarahannya. Di hadapan sekian banyak orang, Sidanti yang merasa
dirinya pahlawan yang tak terkalahkan itu, harus menunjukkan bahwa
sebenarnyalah ia tak dapat dikalahkan. Karena itu, bahkan Sidanti itu
berkata, “Apa yang akan kau lakukan Untara, pemegang kuasa penglima
Wiratamtama untuk daerah ini?”
“Sidanti” berkata Untara. “Atas nama
kekuasaan yang ada padaku, jangan berbuat hal-hal yang dapat merugikan
nama baik Wiratamtama”
“Ini adalah kesempatan bagiku” berkata
Sidanti, “Seharusnya akulah yang memegang jabatan itu. Sebenarnya
Sidanti lebih tangguh daripada Untara”
“Jangan mengigau Sidanti” potong Untara.
Betapapun ia mencoba menyabarkan dirinya, namun darahnya pun adalah
darah seorang prajurit muda. Ketika ia melihat Agung Sedayu melangkah
maju, didorongnya adiknya itu ke samping sambil berkata pula, “Sadari
kedudukanmu. Atau aku harus menempuh kebijaksanaan lain seperti paman
Widura”
“Terserah padamu Untara” sahut Sidanti,
“Tetapi aku ingin menantangmu kini. Apakah kau benar-benar berhak
memakai pangkatmu itu. Atau ternyata akulah yang sebenarnya berhak”
Untara menggigit bibirnya. Sidanti
benar-benar keras kepala. Pengaruh kehadiran gurunyalah yang telah
memaksanya untuk berbuat gila itu.
Sementara itu, matahari telah temggelam
dibawah garis cakrawala. Lapangan itu pun menjadi semakin lama menjadi
semakin gelap. Hanya bintang-bintang di langit sajalah yang kemudian
gemerlapan, seolah-olah ikut serta berdesak-desakan menyaksikan apa yang
akan terjadi di lapangan itu.
Untara masih berdiri sambil menggigit
bibirnya. Getar di dalam dadanya terasa menjadi semakin bergelora. Kalau
ia bertindak atas nama jabatannya, serta mengerahkan anak buah Widura
untuk menangkap Sidanti, maka dendam yang membakar hati anak muda itu
masih akan menyala untuk selama-lamanya. Sidanti akan mungkin sekali
kelak mencari kesempatan untuk membalas dendam terhadap orang-orang
Widura itu satu per satu. Dengan demikian maka keadaan Sangkal Putung
akan menjadi bertambah sulit.
Namun tiba-tiba Untara itu pun melangkah maju. Dengan lantang ia berkata, “Aku terima tantangan Sidanti”
“Untara” terdengar Widura memotong kata-kata kemenakannya.
“Paman” sahut Untara. “Persoalan ini
biarlah aku jadikan persoalan antara aku dan Sidanti. Persoalan
perseorangan yang sama sekali tidak menyangkut kedudukan kami
masing-masing. Persoalan perseorangan yang akan kami selesaikan secara
perseorangan pula. Bukankah begitu Sidanti?”
Sidanti benar-benar sudah tidak dapat
membedakan antara persoalan perseorangan dan peroalannya dalam ikatan
kelaskaran. Tiba-tiba saja ia berteriak menjawab, “Ya. Aku tidak perduli
persoalan apa pun yang kau pilih. Namun biarlah kita bertakar darah,
melihat siapa yang lebih keras tulangnya dan siapakah yang lebih liat
kulitnya”
Widura sudah tidak mungkin lagi untuk
mencegah perkelahian itu. Kini Sidanti dan Untara telah maju dan
orang-orang di sekitarnya dengan sendirinya, berdesakan mundur. Meskipun
lapangan itu menjadi semakin gelap, dan sebagian dari mereka sudah
tidak dapat lagi melihat apa yang terjadi di tengah-tengah lingkaran
manusia itu, namun mereka masih belum mau meninggalkan lapangan itu.
Mereka masih hendak menunggu, apakah yang terjadi dengan Untara dan
Sidanti.
Ternyata Sidanti benar-benar tak dapat
mengekang dirinya. Dengan penuh nafsu ia meloncat menghadapi Untara.
Sedang Untara itu pun segera bersiaga pula. Untara itu pun sadar
sesadar-sadarnya bahwa lawannya kali ini adalah murid Ki Tambak Wedi.
seorang sakti yang namanya telah dikenal oleh setiap orang hampir dari
segala penjuru.
Sidanti itu ternyata tak mau banyak bicara lagi. Dengan suatu peringatan pendek ia menggeram, “Untara, aku mulai”
Sebelum Untara sempat menjawab, Sidanti
telah meloncat menyerangnya. Sebuah pukulan mendatar mengarah kepelipis
lawannya. Namun Untara telah bersiaga sepenuhnya. Betapapun cepatnya
gerak Sidanti, namun Untara masih sempat dengan tangkasnya menghindari.
Dengan satu gerakan yang cepat, Untara menundukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak membiarkan tangan Sidanti yang masih terjulur itu. Dengan cepatnya
disambarnya tangan itu dengan sebuah ketukan dipergelangan. Tetapi
Sidanti cukup cekatan pula. dengan kecepatan yang sama Sidanti berhasil
menarik tangannya dan membebaskannya dari ketukan tangan Untara.
Untara menarik nafas dalam-dalam melihat
kecepatan Sidanti. Nama Ki Tambak Wedi benar-benar bukan sekedar cerita
yang berlebih-lebihan. Kini ternyata Untara mengalami sendiri, betapa
cekatannya murid Ki Tambak Wedi.
Ternyata pula, sesaat kemudian Sidanti
telah mulai menyerangnya kembali. Dengan garangnya Sidanti melontarkan
sebuah serangan dengan kakinya ke arah lambung lawannya. Namun sekali
lagi Untara berhasil menarik satu kakinya, dan dengan memiringkan
tubuhnya ia telah terhindar dari serangan Sidanti. Tetapi Sidanti tidak
mau membiarkan lawannya, dengan sebuah putaran pada satu kakinya,
Sidanti melepaskan serangan kaki berganda. Demikian cepatnya, sehingga
Untara terpaksa meloncat selangkah mundur.
Ketika Sidanti akan mencoba mengejarnya
dengan serangan pula, maka Untaralah yang kini mendahului lawannya.
Dengan tangkasnya ia melontar menyambar dada Sidanti yang masih mencoba
menyergapnya. Sidanti terkejut melihat serang yang tiba-tiba itu. Dengan
cepat ia merendahkan dirinya dan bahkan kemudian ketika tangan Untara
yang lain menyambar kepalanya, Sidanti terpaksa melontar ke samping.
Demikianlah maka mereka sesaat kemudian
tenggelam dalam satu pertempuran yang sengit. Sidanti yang tangkas dan
lincah melawan Untara yang tangguh-tanggon. Betapa ilmu Ki Tambak Wedi
terpaksa berbenturan dengan ilmu dari Jati Anom,
Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya,
Citra Gati, Swandaru dan bahkan Agung Sedayu yang berdiri di sekitar
arena itu, melihat perkelahian itu dengan wajah yang tegang. Mereka
mengenal Sidanti sebagai seorang anak muda yang telah berhasil
mempertahankan diri, meskipun tidak sepenuhnya, terhadap
serangan-serangan Tohpati. Karena itu, maka mereka menjadi
berdebar-debar. Seandainya Untara tak berhasil mempertahankan dirinya,
maka Sidanti yang gila itu pasti dapat berbuat hal-hal diluar
kemungkinan yang wajar. Namun sebenarnya Widura tidak menjadi cemas atas
nasib Untara. Ia ahu betul bahwa kemenakannya yang besar itu,
setidak-tidaknya pasti akan dapat menyamai Sidanti. Tetapi apakah selama
ini lukanya telah benar-benar sembuh, sehingga segenap kekuatannya
telah pulih kembali. Namun melihat kecepatannya bergerak Widura menduga
untara telah mencapai keadaan dan kemantapan ilmu seperti sediakala.
Sehingga dengan demikian, maka perkelahian itu pasti akan berlangsung
dahsyat sekali.
Sebenarnyalah pertempuran itu semakin
lama menjadi semakin seru. Sidanti yang dengan penuh nafsu bertempur
itu, segera mengerahkan segenap kemampuannya. Semakin cepat ia dapat
menjatuhkan lawannya, semakin tinggi pula nilai dirinya. Bahkan apabila
kelak Agung Sedayu tidak puas melihat kekalahan kakaknya, biarlah ia
sendiri mencobanya.
Karena itulah maka serangan-serangan
Sidanti menjadi semakin seru seperti angin ribut yang menghantam
pepohonan. Berputar-putar dengan dahsyatnya. Namun Untara itu pun
tangguh setangguh batu karang pantai. Tegak dengan kokohnya, seakan-akan
berakar menghunjam bumi. Tetapi apabila serangannya melanda lawannya,
beruntun seperti batu-batu yang berguguran di lereng Merapi.
Dengan demikian maka pertempuran di
lapangan di muka banjar desa itu semakin lama menjadi semakin seru.
Keduanya adalah anak-anak muda yang sedang berkembang. Mereka meiliki
bekal ilmu yang tak dimiliki oleh kebanyakan orang. Maka perkelahian di
antara mereka benar-benar menjadi sedemikian sengitnya seperti petir
yang sedang bersabung di udara. Sambar menyambar dalam kecepatan yang
hampir tak dapat diikuti oleh mata.
Sehingga karena itu, maka mereka berdua
kemudian, seakan-akan telah berubah menjadi bayangan-bayangan yang
terbang berputaran, bahkan kemudian mereka seakan-akan telah berubah
menjadi gumpalan asap hitam dimalam yang gelap.
Tetapi semakin lama menjadi semakin
terang bagi Untara. Selah ia bertempur dengan segenap tenaga pada taraf
permulaan, akhirnya berhasil menemukan dan mengetahui letak kekuatan dan
kelemahan lawannya. Meskipun Sidanti pun mampu pula mengamati kelemahan
lawannya, namun ternyata Untara menang seulas dari Sidanti. Untara,
yang memegang kekuasaan dari Panglima Wiratamtama di daerah itu,
ternyata bukan seorang yang hanya mempunyai nama mengagumkan. Tetapi
Untara benar-benar seorang yang dapat dipercaya. Lahir dan batinnya.
Dengan demikian, maka kemudian Untara dapat menempatkan dirinya pada
keadaan yang tepat.
Tetapi justru karena ia telah dapat
melihat nilai dari dirinya sendiri di hadapan lawannya itu, maka ia
menjadi semakin tenang. Dengan demikian sambil bertempur ia kini sempat
mencari kemungkinan-kemungkinan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan
persoalan yang disebutnya dengan persoalan pribadi.
Namun, ternyata Sidanti masih memeras tenaganya habis-habisan. Ia telah benar-benar waringuten.
Otaknya seakan-akan telah berhenti bekerja kecuali mencari
kemungkinan-kemungkinan untuk membinasakan lawannya dalam perkelahian
itu. Mula-mula memang ia merasakan tekanan Untara menjadi semakin
bertambah tajam. Namun kemudian tekanan-tekanan itu seolah-olah menjadi
terurai kembali. Dan dalam penilaian Sidanti, keadan mereka menjadi
seimbang kembali.
Sebenarnyalah, kini Untara telah
menemukan suatu cara untuk menyelesaikan persengketaan ini tanpa
menimbulkan dendam. Meskipun kemudian terasa olehnya, bahwa meskipun
berat, namun ia akan dapat menguasai lawannya, tetapi Untara tidak mau
berbuat demikian. Sebab, apabila ia menekan Sidanti, sehingga anak muda
yang keras hati itu dilumpuhkan, maka dendam akan tetap membara di
dadanya. Dendam itu akan dapat berbahaya bagi Sangkal Putung. Apabila
dendam itu meledak pada saat kedatangan laskar Jipang, maka akibatnya
akan mengerikan sekali.
Dengan demikian, terbesitlah
kebijaksanaan di dalam diri Senapati muda dari Jati Anom itu. Ia kini
tidak benar-benar ingin menundukkan Sidanti. Meskipun ia tetap memberi
kesan, bahwa ia bertempur mati-matian, namun sebenarnya Untara kin
seakan-akan tinggal melayani segala solah lawannya. Sekali-sekali ia
menghindar, dan sekali-sekali ia menyerang pula. Tetapi serangannya
tidak benar-benar mengarah ke tempat-tempat yang berbahaya.
Demikian cakapnya Untara membawakan
dirinya, serta karena kelebihan ilmunya yang kemudian meyakinkannya,
maka Sidanti selama ini masih belum tahu apa yang dilakukan oleh Untara.
Itulah sebabnya ia masih berjuang sekuat-kuat tenaganya. Dan memang
demikianlah yang dikehendaki oleh Untara. Sekali-sekali ia menekan
lawannya, kemudian melepaskannya dalam keadaan yang menguntungkan.
Dengan demikian maka nafsu bertempur Sidanti itu menjadi melonjak-lonjak
tak terkendali. Sebab sekali-sekali ia menjadi cemas, namun tiba-tiba
ia melihat kesempatan terbuka. Sehingga mau tidak mau ia ingin
mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Tetapi bagi mereka yang tidak mengalami
pertempuran itu, mempunyai kesempatan untuk menilai apa yang sebenarnya
telah terjadi. Tetapi tidak semua orang dapat berbuat demikian. Yang
pertama-tama melihat permainan Untara itu adalah Widura, dan kemudian
Agung Sedayu. Mereka dengan dada yang berdebar-debar menanti, bagaimana
akhir dari pertempuran itu. Sebab dengan permainannya maka Untara tidak
akan mau melumpuhkan lawannya.
Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang
laskar Pajang pun melihat sesuatu yang aneh. Tetapi mereka tidak dapat
mengerti, apakah sebabnya maka pertempuran itu kadang-kadang menjadi
sangat berat sebelah, namun kemudian menjadi seimbang kembali.
Sedang orang-orang lain yang berdiri
melingkari arena itu, sama sekali tidak tahu, bagaimana mereka harus
menilai perkelahian itu. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi
pening, dan ada pula yang bahkan tidak melihat sesuatu karena malam yang
menjadi semakin kelam.
Dalam pada itu, semakin lama, maka usaha
Untara untuk mencapai penyelesaian menurut rencananya, tampaknya akan
berhasil. Tenaga Sidanti yang terperas itu semakin lama menjadi semakin
susut. Sedang Untara, yangmemiliki bekal serta pengalaman yang lebih
banyak, masih tetap pada kesegarannya semula. Tetapi ia tidak mau
menunjukkan kelebihannya itu. Ia ingin Sidanti menyelesaikan pertempuran
tanpa menjadi kecewa, malu atau dendam. Untara ingin memberi kesan,
bahwa perkelahian itu akan berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang
kalah tanpa ada yang menang.
Meskipun hati kecilnya, kadang-kadang
ingin juga menunjukkan kelebihannya, sebagai seorang yang mendapat
kekuasaan yang luas, namun ia berpikir lebih jauh dari harga diri itu.
Ia melihat Sangkal Putung tidak saja malam ini. Tetapi besok, lusa,
beberapa hari dan minggu yang akan datang, bahkan Sangkal Putung untuk
masa yang tak terbatas dalam lingkungan pemerintahan Pajang.
Dan ternyata pula kemudian, tandang
Sidanti itu pun menjadi semakin susut. Kegarangannya lambat laun menjadi
berkurang dan lincahannya pun menjadi surut pula. demikian pula yang
dilakukan oleh Untara. Meskipun darahnya masih sesegar pada saat ia
datang, namun dikurangi segala ketangkasan dan ketangguhannya.
Tetapi, dalam pada itu, selain Widura dan
Agung Sedayu, di antara penonton itu, seseorang memandangi perkelahian
itu dengan nafas tertahan-tahan. Betapa matanya menyalakan kemarahan
yang tiada taranya, dan betapa hatinya mengumpat tak habis-habisnya.
Orang itu melihat peristiwa di lapangan
sejak permulaan sampai saat-saat terakhir. Namun selalu saja ia menjadi
kecewa dan marah. Apalagi sejak kehadiran Untara, maka berkali-kali ia
menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih saja selalu menahan dirinya.
Kini ia melihat permainan yang dilakukan
oleh Untara itu. Betapa ia pun menjadi tersinggung karenanya. Ia melihat
kesempatan-kesempatan untuk melumpuhkan Sidanti, namun kesempatan itu
tak dipergunakan oleh Untara. Tetapi sudah tentu Sidanti sendiri tidak
dapat melihat keadaan itu. Sidanti sendiri sedang memusatkan
perhatiannya dalam perlawanannya, sehingga kempatan dan jarak yang
diperlukan tidak dimilikinya.
Orang itu adalah Ki Tambak Wedi.
Dengan menghentak-hentakkan kakinya, ia
menahan segenap perasaan yang bergelora di dalam dadanya. Ia melihat
betapa Agung Sedayu berhasil melampaui muridnya itu dalam perlombaan
memanah. Namun di dalam hati kecilnya ia bergumam, “Benar-benar anak
setan. Kecakapan Sadewa bermain panah tercermin pada anak itu”
Sedang kini anak Ki Sadewa yang besar,
Untara, sedang bertempur pula melawan muridnya. Dan ternyata anak Sadewa
itu tak dapat dikalahkannya. Bahkan anak Sadewa itu telah memberi
beberapa peluang kepada Sidanti. Bukankah itu suatu penghinaan bagi
perguruan Tambak Wedi.
Dengan nafas yang tertahan-tahan, ia
melihat Sidanti masih bertempur mati-matian. Namun ia melihat juga bahwa
sebenarnya Untara dengan segera dapat menghancurkan pertahanan Sidanti.
“Hem” geramnya.
Ki Tambak Wedi itu kemudian memandang
berkeliling di antara orang-orang yang melihat perkelahian itu. Dadanya
tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Ia telah mencoba memaksa Widura untuk
memenuhi tuntutan muridnya dan menakut-nekutinya dengan tanda-tanda yang
diberikannya. Tetapi Ki Tambak Wedi itu akhirnya mengumpat
habis-habisan di dalam hatinya, ketika ia melihat sebuah cemeti yang
melenting jatuh di tengah-tengah arena itu pula. Meskipun ia belum tahu,
betapa tinggi nilai orang itu, namun itu adalah suatu pertanda bahwa
seseorang telah bersedia untuk ikut serta melibatkan diri dalam
pertentangan melawannya, apabila ia ikut campur dalam persoalan
anak-anak muda di Sangkal Putung itu. Tetapi sampai demikian jauh, Ki
Tambak Wedi belum mengetahui, siapakah orangnya yang telah berani
meletakkan diri untuk melawan Ki Tambak Wedi, yang berilmu hampir
sempurna itu.
Tetapi kini, ia melihat Sidanti berada
dalam kesulitan. Karena itu, maka apakah ia akan berdiam diri saja,
membiarkan Sidanti menjadi bahan permainan Untara? Tiba-tiba Ki Tambak
Wedi itu mendesak maju. Menyusup di antara para penonton dan kemudian
berusaha untuk dapat melihat setiap peristiwa dengan semakin jelas.
Pertempuran diarena itu masih saja
berlangsung dengan serunya, meskipun semakin lama sudah menjadi semakin
kendor. Namun serangan-serangan Sidanti masih cukup berbahaya apabila
Untara sedikit kurang berwaspada. Sedangkan Untara sendiri dengan
sengaja telah mengurangi tekanan-tekanannya atas Sidanti, sehingga
kemudian Sidanti benar-benar mendapat kesan seperti yang diharapkan oleh
Untara. Sidanti menganggap kemudian, bahwa perkelahian itu tidak akan
dapat berakhir. Kedua-duanya pasti akan berhenti kelelahan. Meskipun
Sidanti itu mengumpat-umpat di dalam hatinya, namun hal yang demikian
itu pasti akan lebih baik daripada apabila dirinya dilumpuhkan. Dengan
keadaannya itu, maka Sidanti masih akan dapat menepuk dada, bahwa
Sidanti tidak dapat dikalahkan oleh seeorang yang sekalipun mendapat
kepercayaan dari pimpinan tertinggi Wiratamtama.
Maka Sidanti itu pun teringat pula akan
perkelahiannya dengan Widura. mereka akhirnya terpaksa menghentikan
perkelahian setelah mereka hampir-hampir tak mampu lagi berdiri. Kini
peristiwa itu akan terulang kembali.
Dan sebenarnyalah hal itu berlaku baginya.
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka
tenaga Sidanti itu seakan-akan benar-benar telah habis terperas. Setiap
kali, ia sendiri terdorong oleh kekuatan serangan-serangannya yang tak
mengenai sasarannya. Beberapa kali ia terjatuh dan bangun kembali.
Sedang Untara pun berbuat hal-hal serupa. Kadang-kadang mereka berdua
terpaksa jatuh bersama-sama dan kemudian dengan susah payah bangun
bersama-sama pula. sedemikian sering hal-hal yang serupa terjadi,
sehingga akhirnya Widura dan Agung Sedayu menjadi ragu-ragu, apakah
Untara itu sebenarnya kelelahan ataukah ia masih dalam permainannya yang
baik. Tetapi yang mereka lihat kemudian, kedua-duanya itu pun menjadi
jatuh bangun berkali-kali.
Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi sudah
tidak sabar lagi melihat peristiwa itu. Ia akan berbuat sesuatu sebelum
Sidanti benar-benar menjadi lemas. Ia ingin menunjukkan kepada Widura
dan Untara, bahwa kemauannya tak boleh diabaikan. Ia akan tetap pada
pendiriannya, sepasar sejak malam kemarin. Widura harus sudah merubah
sikapnya terhadap Sidanti. Meskipun rencana itu kemudian pasti akan
terpengaruh oleh kehadiran Untara, namun Untara itu sendiri pun harus
dapat ditundukkannya pula seperi Widura. Tetapi Ki Tambak Wedi itu pun
sadar, bahwa agaknya pendirian Widura sukar untuk dapat ditundukkan. Ia
telah bertekad untuk memeluk kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Apalagi
kini Untara ada di antara mereka, sehingga dengan demikian pekerjaannya
akan menjadi semakin sulit.
“Aku akan hadir di antara mereka” pikir
Ki Tambak Wedi, “Dan aku akan memberikan beberapa pertunjukan, supaya
Untara itu pun meyakini keadaannya, serta keadaan Sangkal Putung. Sedang
apabila orang yang melontarkan cemetinya itu benar-benar ingin membuat
perhitungan dengan Tambak Wedi, maka kesempatan ini pun akan aku terima
pula”
Setelah mendapat ketetapan itu, maka Ki
Tambak Wedi itu pun beringsut semakin maju lagi. Sekali lagi matanya
beredar berkeliling untuk melihat segala kemungkinan yang ada di sekitar
tempat itu.
Ketika kemudian dipandanginya arena di
antara lingkaran orang yang pepat, Ki Tambak Wedi masih melihat muridnya
berjuang sekuat tenaganya. Namun sekali lagi ia melihat, Sidanti
menyerang Untara dengan kakinya. Tetapi serangan itu dapat dihindari
oleh lawannya, sehingga karena tubuhnya sudah sedemikian lemahnya
Sidanti terbawa oleh kekuatannya sendiri, terhuyung-huyung hanya
beberapa langkah di samping Untara. Kalau pada saat itu Untara meloncat
ke sampingnya dan menghantam tengkuknya, maka pertempuran itu pun akan
berakhir. Tetapi Untara tidak berbuat demikian. Dibiarkannya Sidanti
menemukan keseimbangannya kembali. Kemudian baru ia melangkah maju dan
mengayunkan tangannya menyerang dada lawannya dengan gerak yang amat
lamban. Sudah tentu Sidanti telah sempat menarik dirinya mundur,
sehingga serangan Untara itu tidak mengenainya. Bahkan Sidanti itu masih
sempat dengan tangan kanannya menghantam pergelangan tangan Untara,
meskipun Untara masih cukup cepat menghindarinya.
Tetapi bagi Ki Tambak Wedi, perbuatan
Untara itu adalah suatu penghinaan bagi harga dirinya. Ki Tambak Wedi
mengumpat tak habis-habisnya atas kekalahan muridnya berturut-turut.
Karena itu maka tak ada jalan lain daripada dengan tenaganya, memaksa
Untara dan Widura mengakui kelebihan Sidanti dari mereka untuk beberapa
persoalan, sehingga kesempatan-kesempatan Sidanti akan menjadi lebih
besar lagi dalam lingkungan Wiratamtama.
Itulah sebabnya, maka tekadnya menjadi bulat. Ia harus menampakkan dirinya.
Tetapi ketika sekali lagi ia mendesak
maju, didengarnya seseorang mendehem di sampingnya. Mula-mula Ki Tambak
Wedi sama sekali tidak menaruh perhatian kepada orang lain, namun setiap
ia menyusup, maka orang itu pun selalu berada di sampingnya, dan bahkan
selalu saja mendehem tak habis-habisnya.
Ki Tambak Wedi itu pun kemudian berpaling. Dilihatnya di sampingnya seseorang yang sebaya dengan umurnya tersenyum kepadanya.
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya.
Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun matanya yang tajam dapat
melihat beberapa bagian dari wajah orang yang berdiri sambil tersenyum
di sampingnya itu.
Namun orang itu sama sekali tak menarik
perhatian Ki Tambak Wedi, sehingga ia sama sekali tak mempedulikannya.
Tetapi ketika ia melangkah kembali, maka sekali lagi orang itu
mengikutinya, bahkan kemudian mendesaknya.
Kini Ki Tambak Wedi tidak dapat
mengabaikannya lagi. Orang ini pasti bukan tidak punya maksud dengan
perbuatan-perbuatannya itu. Karena itu sebagai seorang yang telah masak,
maka segera pikirannya hinggap pada seseorang yang telah melemparkan
cemeti kuda ketengah-tengah arena. Dan Ki Tambak Wedi pun tak mau
bertanya melingkar-lingkar. Langsung ia bertanya kepada orang di
sampingnya itu perlahan-lahan, “Kaukah yang memiliki cemeti kuda itu
tadi?”
Ternyata orang yang berdiri di samping Ki Tambak Wedi itu pun tidak mau berputar-putar pula. maka jawabnya lirih, “Ya, aku”
“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. “Apa maumu?”
“Tidak apa-apa” jawab orang itu. “Aku juga ingin menonton seperti kau”
“Hanya menonton?” desak Ki Tambak Wedi.
“Ya” jawab orang itu, “Selama kau juga hanya menonton”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya.
Kini ia telah berhadapan dengan orang yang selama ini menimbulkan
bermacam-macam teka-teki padanya. Pasti orang ini pulalah yang kemarin
malam telah menggagalkan maksudnya membunuh Widura dengan bunyi cambuk
yang menghentak-hentak. Karena itu maka katanya perlahan-lahan pula,
“He, kaukah yang kemarin malam bermain-main dengan cambuk?”
“Ya” jawab orang itu pendek.
Sekali lagi Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Siapakah kau?”
Orang itu tertawa. Sesaat ia berdiam
diri, sedang orang-orang di samping mereka, yang sedang terpukau oleh
perkelahian di tengah-tengah arena itu, agaknya sama sekali tak
memperhatikan percakapan itu.
Baru sesaat kemudian orang itu menjawab, “Gringsing. Namaku Kiai Gringsing”
“Hem” kembali Ki Tambak Wedi menggeram.
Nama yang dapat disebutkan oleh setiap mulut, juga setiap mulut dapat
menyebut nama sekehendak hatinya. Ki Tambak Wedi itu pun segera maklum,
bahwa kl itu pasti nama yang dibuatnya untuk tujuan-tujuan tertentu.
Karena itu sahutnya, “Ternyata kau lebih beruntung daripadaku”
“Kenapa?” bertanya orang itu.
“Kau telah menabung satu kemenangan. Kau mengenal aku, tetapi aku tidak mengenalmu” jawab Ki Tambak Wedi.
“Aku sudah memperkenalkan diri” berkata orang itu.
“Hem. Aku bukan anak-anak” potong Ki Tambak Wedi.
Kemudian untuk sesaat mereka pun berdiam
diri. Pertempuran antara Sidanti dan Untara menjadi semakin lambat.
Masing-masing hampir tak dapat lagi menguasai dirinhya. Ayunan-ayunan
tangan mereka adalah tenaga yang akan membawa mereka sendiri dalam satu
tarikan yang kadang-kadang tak dapat mereka cegah, menjerumuskan mereka
sehingga terguling di tanah. Tetapi mata-mata yang tajam akan meragukan
keadaan Untara. Betapapun ia mencoba berbuat sebaik-baiknya namun
kadang-kadang kelincahannya masih tampak juga. Tetapi sedemikian jauh,
Sidanti dan orang-orang yang berdiri di sekitarnya pada umumnya tak
dapat mengertinya. Bahkan di dalam hati mereka, mereka berkata, “Sidanti
benar-benar seorang yang tangguh. Ternyata ia mampu juga melawan orang
yang bernama Untara itu. Seorang yang namanya menjadi buah bibir setiap
prajurit di daerah selatan dan barat daya. Di sekitar gunung Merapi”.
Tetapi Widura berkali-kali menarik nafas
dalam-dalam, sedang Agung Sedayu yang mengetahui keadaan sebenarnya itu
pun menggeretakkan giginya. Namun mereka menyadari, betapa Untara telah
mementingkan tugasnya daripada sekedar harga dirinya yang
berlebih-lebihan.
Gigi Ki Tambak Wedi itu pun beradu pula.
seakan-akan ia sedang menahan sesuatu yang bergelora di dalam dadanya.
Maka ketika kemudian ia melihat Sidanti dan Untara itu jatuh bangun
berganti-ganti, Ki Tambak Wedi itu pun berkata, “Aku akan masuk ke dalam
arena”
Kiai Gringsing itu berpaling. Kemudian ia tersenyum kecil. Katanya, “Aku ikut. Boleh?”
“Jangan membuat persoalan dengan aku. Apakah kau guru Untara atau Widura?” bertanya Ki Tambak Wedi.
Kiai Gringsing tertawa pula. “Aneh”
jawabnya, “Apakah kau benar-benar tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu.
Bukankah guru anak-anak itu telah mati?”
“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. Katanya, “Mungkin kau meneruskan pekerjaan Sadewa?”
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan
kepala. Sahutnya, “Kau pun tahu, bahwa unsur-unsur gerak mereka
hampir-hampir murni. Kalau mereka memiliki guru lain, maka kau pasti
akan mengetahui”
“Hem” sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram, “Persetan. Tetapi jangan ganggu aku. Apa kepentinganmu dengan anak-anak itu?”
“Tidak apa-apa. Aku bukan sanak bukan
kadangnya. Tetapi sebaiknya, biarlah anak-anak itu bermain-main sesama
mereka. Bukankah Untara telah berlaku bijaksana?”
“Suatu penghinaan bagi perguruan Tambak Wedi” jawab guru Sidanti itu.
“Kau terlalu perasa” berkata Kiai
Gringsing, “Jangan terlalu kau manjakan muridmu itu, supaya ia dapat
menemukan kebahagiaan hidup kelak”
“Jangan gurui aku. Pergi kemana kau kehendaki. Aku akan mengajar Untara itu menilai pendapat orang lain”
“Aku ikut”
“Jangan gila”
“Biarlah anak-anak bermain-main sesama mereka. Dan biarlah kami orang-orang tua membuat permainan sendiri”
Mata Ki Tambak Wedi kini benar-benar
memancarkan kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Diamatinya wajah
orang yang berdiri di sampingnya itu dengan seksama. Wajah itu sama
sekali belum pernah dilihatnya. Tetapi tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu
menjadi curiga. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun kemudian Ki
Tambak Wedi itu melihat garis-garis yang tidak wajar pada wajah itu.
“Kenapa kau coreng-coreng mukamu?” tiba-tiba ia bertanya.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya, “apakah kau melihat coreng moreng ini?”
“Aku tidak buta” sahut Ki Tambak Wedi.
“Kau benar-benar bermata tajam melampaui
mata burung hantu” sahut Kiai Gringsing. Dan katanya kemudian, “Ya. Aku
agak sakit mata. Karena itu aku menggoreskan beberapa jenis obat-obatan
dahi dan pelipisku”
“Hem” kembali Ki Tambak Wedi menggeram.
Betapa kemarahannya melanda-landa dadanya, namun semakin lama menjadi
semakin menyadari, bahwa orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu
bukanlah seseorang yang membanggakan diri hanya karena
kemenangan-kemengangan kecil yang pernah dialaminya.
“Jadi bagaimanakah maksudmu?” bertanya Ki Tambak Wedi
“Biarkan mereka hidup dalam damai. Kalau
Sidanti itu tidak terlalu bernafsu untuk hal-hal yang aneh-aneh, dan kau
tak mendorong-dorongnya, maka tak akan ada persoalan di antara mereka”
“Itu adalah suatu contoh dari seorang tua
yang berotak beku. Ketenangan tidak selamanya baik. Dengan ketenangan
itu Sidanti selamanya akan tetap di tempatnya”
“Tetapi tingkat demi tingkat harus dicapainya dengan wajar”
“Diamlah. Jangan ganggu aku”
Ki Tambak Wedi itu kemudian melangkah
setapak maju di antara beberapa orang yang berdiri di sekitarnya. Namun
Kiai Gringsing itu pun melangkah maju pula.
“Aku peringatkan kau sekali lagi” desah Ki Tambak Wedi.
“Peringatan buatmu sendiri” sahut Kiai Gringsing.
Kini Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat
menahan dirinya lagi. Tetapi untuk bertempur dengan orang yang menyebut
namanya Kiai Gringsing itu pun masih memerlukan berbagai pertimbangan.
Sidanti telah benar-benar payah. Sedang agaknya Untara masih cukup segar
untuk menundukkan apabila mau. Bahkan untuk membinasakan sekali. Kalau
orang yang bernama Kiai Gringsing itu tidak dapat dikalahkannya dengan
segera, maka baik Sidanti maupun dirinya sendiri pasti akan menemui
kesulitan. Widura, Agung Sedayu dan orang-orang Widura yang lain masih
ada dalam keadaan yang segar. Betapapun mereka seorang demi seorang tak
akan berarti baginya, namun kalau mereka bergerak bersama-sama dan di
antaranya orang yang bernama Kiai Gringsing ini, maka keadaannya akan
sangat berbeda. Setidak-tidaknya keadaan Sidanti lah yang akan menjadi
sangat berbahaya. Tidak mustahil Untara menjadi bermata gelap dan
membinasakannya.
Karena itu, maka Ki Tambak Wedi itu ingin
mengetahui sampai dimana kemampuan kekuatan Kiai Gringsing. Meskipun
apa yang akan diketahuinya itu tidak tepat seperti keadaan sebenarnya,
namun dengan caranya maka Ki Tambak Wedi akan dapat mengira-irakan
sampai berapa jauh kemungkinan yang dimiliki oleh Kiai Gringsing itu.
Maka, ketika orang itu telah berdiri di
sampingnya, Ki Tambak Wedi itu pun berkata sambil menepuk bahu Kiai
Gringsing, “Ki sanak, apakah kau benar-benar tidak menghendaki aku ikut
serta dalam permainan itu?”
Tetapi Kiai Gringsing pun bukan anak-anak
yang menundukkan wajahnya apabila seseorang membelai pundaknya. Ketika
Kiai Gringsing melihat tangan Ki Tambak Wedi bergerak untuk menepuk
pundaknya, maka segera orang itu seakan-akan mengerutkan tubuhnya,
sehingga ketika pundaknya tersentuh tangan Ki Tambak Wedi, kedua-duanya
menjadi kagum akan kekuatan masing-masing. Sentuhan itu seolah-olah
beradunya dua batang besi baja yang berlaga.
Ketika Ki Tambak Wedi kemudian berpaling
dan memandang wajah Kiai Gringsing, dilihatnya wajah itu tersenyum.
katanya, “Kau akan mematahkan pundakku. Tanganmu keras seperti batu”
“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. Orang ini
benar-benar bukan orang yang sekedar menyombongkan diri. Ketika ia
meraba pundak Kiai Gringsing, seluruh kekuatannya telah dipusatkannya di
ujung jari-jarinya. Seandainya Kiai Gringsing tidak memiliki daya tahan
yang seimbang, maka pundak itu pasti akan luka di dalam. Bahkan mungkin
sebelah tangannya akan lumpuh. Apalagi orang kebanyakan, maka
tulang-tulang bahunya pasti akan remuk.
Tetapi orang yang menyebut dirinya Kiai
Gringsing itu, ternyata telah memberikan perlawanan yang wajar tanpa
menggerakkan badannya selain sekedar berkerut. Agaknya Kiai Gringsing
itu telah menyalurkan kekuatan daya tahannya di pundaknya. Sehingga
karena itu ketukan tangan Ki Tambak Wedi tak melukainya.
Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi
benar-benar harus berpikir. Diarena, pertempuran menjadi semakin lambat.
Bahkan hampir berhenti sama sekali. Sekali-sekali dilihatnya Sidanti
menebarkan pandangan matanya berkeliling. Agaknya anak itu benar-benar
mengharapkan kehadiran gurunya. Tetapi kini di samping Ki Tambak Wedi,
berdiri seorang yang dapat mengimbangi kekuatannya.
Namun Ki Tambak Wedi agaknya belum puas
dengan percobaannya. Ketukan tangannya itu belum meyakinkannya. Ia ingin
sekali lagi melihat apakah ia harus mempertimbangkan orang itu
benar-benar. Karena itu maka desisnya, “Ki sanak. Aku akan mengucapkan
selamat atas kesentausaan ki sanak. Pundak Ki Sanak itu benar-benar
sekeras baja. Aku kira aku belum pernah melihat seorang pun dari daerah
Gunung Merapi ini yang kuat seperti Ki Sanak. Dan nama Kiai Gringsing
pun merupakan nama baru bagiku”
Kiai Gringsing itu pun tiba-tiba tertawa,
meskipun ia berusaha untuk menahannya, sehingga satu dua orang
berpaling kepadanya. Tetapi karena kemudian suara tertawa itu terputus,
maka orang-orang itu pun tidak memperhatikannya lagi.
Kiai Gringsing itu segera menyadai
tantangan Ki Tambak Wedi. bahkan di dalam hati ia berkata, “Tantangan
yang bijaksana. Kami harus bertempur tanpa seorang pun yang
mengetahuinya”
“Bagaimana ki Sanak?” desak Ki Tambak Wedi.
“Terima kasih atas ucapan selamat ini”
belum lagi Kiai Gringsing selesai berkata, dilihatnya Ki Tambak Wedi
mengulurkan tangannya. Kiai Gringsing pun kemudian menyambut tangan itu.
Dan keduanya bersalaman. Namun tak seorang pun yang mengetahui, bahwa
sebenarnya mereka itu sedang bertempur. Masing-masing mengerahkan
segenap kekuatan lahir dan batinnya ketelapak tangannya, yang sedang
bersalaman itu. Masing-masing menekankan jari-jarinya sekuat-kuat tenaga
mereka dan berusaha meremukkan tulang-tulang lawannya. Namun ternyata
mereka berdua adalah orang-orang yang benar-benar sakti. Kedua tangan
itu pun seakan-akan berubah menjadi gumpalan-gumpalan besi baja yang
saling himpit menghimpit. Betapa mereka berjuang untuk melumatkan tangan
lawannya. Tetapi mereka akhirnya harus mengakui bahwa mereka satu sama
lain tak akan dapat saling mengalahkan. Meskipun demikian, keringat
mengalir dari seluruh permukaan kulit mereka, melampaui keringat mereka
yang sedang bertempur, namun mereka harus menyadari, bahwa kekuatan
mereka berimbang.
Sedemikian kuatnya mereka memeras tenaga
lahir dan batin mereka, sehingga terasa tubuh-tubuh mereka menjadi
panas, dan leher mereka serasa kering. Tetapi genggaman mereka tidak
juga menjadi berubah. Keseimbangan itu tetap berlangsung sehingga
kemudian terdengar Ki Tambak Wedi menggeram, “Bukan main”
“Apa yang bukan main?” sahut Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. dicobanya
unruk menuntaskan tenaganya, namun Kiai Gringsing pun berbuat serupa.
Sehingga karenanya maka keadaan itu pun tidak juga berubah.
Akhirnya Ki Tambak Wedi melihat, bahwa
tidak ada gunanya pertempuran yang aneh itu diteruskan. Karena itu maka
katanya, “Aku sudah menyampaikan ucapan selamat itu”
Kiai Gringsing masih belum melemahkan genggamannya. Jawabnya, “Terima kasih atas ucapan selamat yang cukup hangat ini”
Akhirnya keduanya sedikit demi sedikit
mengurangi tekanan-tekanan pada telapak-telapak tangan mereka. Sehingga
dengan demikian maka akhirnya tangan mereka itu pun terurai.
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Baru sekali ini aku
menerima ucapan selamat yang sedemikian hangatnya melampaui hangatnya
api neraka”
“Karena itu sebabnya maka kau berani
menghalang-halangi maksudku” berkata Ki Tambak Wedi tanpa menjawab
kata-kata Kiai Gringsing, “Ternyata orang yang menamakan diri Kiai
Gringsing adalah orang yang mampu menyamai kekuatanku. Namun apakah ilmu
kanuragan dan tata perkelahianmu dapat menyamai Ki Tambak Wedi?”
Kiai Gringsing menggeleng, “Entahlah, aku
belum pernah berkelahi melawan Ki Tambak Wedi. Sebenarnyalah bahwa aku
tidak senang berkelahi seperti anak-anak berebut tulang tanpa arti”
“Omong kosong” desak Ki Tambak Wedi.
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi kini ia melihat perkelahian diarena. Dan Ki Tambak Wedi pun kemudian melihat ke sana pula.
Sekali-sekali mereka masih mengayunkan
serangan-serangan mereka berganti-ganti. Tetapi perkelahian itu sudah
tidak merupakan perkelahian lagi. Mereka hanya sekedar berdiri
berhadap-hadapan dan kadang-kadang menggerakkan tangan-tangan mereka
atau kaki-kaki mereka, untuk kemudian terhuyung-huyung beberapa langkah.
Kalau tangan mereka sekali-sekali beradu. Maka mereka kedua-duanya
terdorong ke belakang dan jatuh bersama-sama.
Kini Untara dan Sidanti itu berdiri
berhadap-hadapan. Hanya mata mereka sajalah yang masih tetap menyala.
Sidanti sekali-sekali masih menggeram penuh kemarahan. Namun kemudian
terdengar Untara berkata, “Sidanti, apakah hasil dari perkelahian ini?”
Terdengat gigi Sidanti gemeretak. Nyala
yang memancar dari matanya itu seakan-akan ingin membakar hangus
lawannya. Namun demikian ia menjawab dengan bangganya, “Untara, ternyata
namamu hanya sekedar untuk menakut-nakuti lawan-lawanmu. Di sini
sekarang orang dapat melihat bahwa kau tidak lebih dari Sidanti”
“Ya” sahut Untara, “Itukah hasil yang
memang kau inginkan dari perkelahian ini, sehingga orang dapat menilai
keunggulan Sidanti dari setiap orang di Sangkal Putung?”
“Ya, Sidanti ingin membuktikan, bahwa Sidanti berhak untuk menamakan dirinya sejajar dengan Untara”
“Bagus” berkata Untara, “Kalau hanya itu
yang kau inginkan, kenapa tidak kau katakan sejak tadi? Dengan demikian
kita tidak perlu membuang-buang tenaga. Kau lihat bukan? Tenaga kita
terbuang tanpa arti”
“Cukup berarti bagiku”
“Kau menjadi puas karenanya?”
“Belum, aku ingin menundukkanmu”
“Apakah kausangka akan berhasil?”
“Kalau tidak sekarang, pada kesempatan lain”
“Baik, kalau begitu biarlah kita bicarakan pada kesempatan lain itu. Sekarang kau sudah puas?”
Sekali lagi Sidanti menggertakkan
giginya. Tetapi ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Ya, apakah ia
sudah puas? Kalau tidak, apakah yang akan dilakukan?
Sidanti itu terdiam sesaat. Tetapi untuk menutupi kegelisahannya ia bertanya, “Apakah perkelahian ini kita lanjutkan Untara?”
Untara tersenyum pahit. Jawabnya, “Apakah kau memandang bahwa perkelahian seterusnya akan bermanfaat bagimu?”
“Persetan. Aku bertanya kepadamu”
Sekarang Untara terdiam sesaat. Tetapi
tiba-tiba kemudian ia berkata, “Persoalan antara aku dan Sidanti telah
kami anggap selesai saat ini. Terserahlah apabila pada masa-masa yang
akan datang, persoalan itu akan diungkapkan kembali. Sekarang kembali ke
kademangan”
“Jangan menganggap soal di antara kita
sudah selesai. Soal itu baru selesai apabila Untara telah mengakui
keunggulan Sidanti daripadanya” berkata Sidanti dengan sombongnya.
Tetapi Untara seakan-akan tidak mendengar
kata-kata itu. Bahkan sekali lagi ia mengangkat wajahnya sambil
berkata, “Paman Widura, kembali ke kademangan”
Widura itu pun seakan-akan menjadi
tersadar dari mimpinya yang dahsyat. Karena itu dengan tergagap ia
menjawab, “Baik, Untara. Kita akan segera kembali”
Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata, “Tinggalkan lapangan ini. Kembali ke kademangan”
Orang-orang Widura pun kemudian mulai
bergerak dari tempat mereka, setelah mereka terpaku beberapa lama.
Orang-orang lain pun kemudian menghambur pula dari lingkaran itu, pulang
ke rumah masing-masing dengan kesan yang aneh di dalam hati mereka.
Mereka melihat perkelahian yang tanpa ujung dan pangkal itu. Sebagian
dari mereka bertanya-tanya pula di dalam hati mereka, “Apakah Untara
benar-benar tak mampu mengalahkan Sidanti?” Sedang orang lain berkata di
dalam hatinya, “Sidanti benar-benar seorang anak muda yang luar biasa.
Ternyata ia mampu melawan Untara dalam perkelahian yang tidak berakhir”
Tetapi Widura, Agung Sedayu, Ki Tambak
Wedi dan Kiai Gringsing melihat apa yang sebenarnya terjadi, bahkan
beberapa orang anak buah Widura pun merasakan sesuatu yang aneh dari
pertempuran itu. Meskipun demikian, mereka tidak dapat mengerti, apakah
yang aneh itu.
Ketika orang-orang di sekitar arena itu
sudah siap meninggalkan lapangan, maka terdengar Sidanti itu berkata,
“Aku tinggal di sini”
“Kau pun kembali ke kademangan, Sidanti” berkata Untara.
“Tidak” jawab Sidanti.
“Kau dengar perintah ini? Kali ini aku berbicara bukan atas nama pribadiku. Kau dengar?”
Tubuh Sidanti itu menggigil karena marah.
Tetapi tubuhnya benar-benar telah lemah. Sedang gurunya masih belum
juga menampakkan dirinya. Namun Sidanti itu kemudian menduga bahwa
gurunya pasti memperhitungkan juga, hadirnya seseorang yang telah
melemparkan cemeti kuda diarena itu.
Karena Sidanti itu masih tegak di
tempatnya terdengar Untara mengulangi, “Sidanti, kembali ke kademangan.
Jangan melawan perintah”
Sidanti menggeram. Tetapi ia telah
menjadi sedikit puas, bahwa orang-orang Sangkal Putung telah melihat,
bahwa ia mampu melawan Untara yang perkasa dalam perkelahian yang tak
berakhir. Dengan demikian, maka meskipun ia terpaksa menuruti
perintahnya, namun itu adalah karena tugasnya sebagai seorang prajurit.
Tetapi nilai seorang-seorang, ia adalah sejajar dengan Untara. Dan
karena kebanggaannya itulah, maka ia tidak menjadi terlalu berkeras
hati. Betapapun segannya, ia berjalan juga meninggalkan lapangan itu
menuju kekademangan. Di sepanjang jalan ia masih dapat menengadahkan
wajahnya, seakan-akan berkata kepada setiap orang yang dijumpainya,
“Inilah Sidanti, yang mampu menyamai keperwiraan Untara, orang yang
mendapat kuasa langsung dari pimpinan tertinggi Wiratamtama”
Demikianlah maka satu demi satu
orang-orang yang berada di lapangan itu pergi dengan kesan
masing-masing. Di belakang Sidanti yang sedang menikmati kebanggaannya,
berjalan Untara dan Widura. Di belakang mereka berjalan Agung Sedayu.
Namun Agung Sedayu itu kini tidak lagi berjalan menunduk, tetapi
wajahnya pun tengadah seperti juga Sidanti. Dan orang-orang pun
memandangnya dengan penuh kekaguman. Apabila Sidanti mampu menyamai
keperwiraan Untara, maka Agung Sedayu memiliki ketangkasan memanah
melampaui Sidanti.
Bahkan ada di antara mereka yang
bertanya-tanya di dalam hati mereka, “Apakah Agung Sedayu ini melampaui
kakak kandungnya, sehingga ia pun akan sanggup mengalahkan Sidanti?”
Namun perlombaan di lapangan itu telah
benar-benar berkesan di hati para penontonnya, orang-orang Sangkal
Putung. Mereka itu kini tahu dengan jelas, bahkan hampir pasti, siapakah
orang-orangnya yang menjadi tiang kademangannya, Sidanti, Agung Sedayu
dan sekarang hadir Untara di samping Widura sendiri. Meskipun mereka
ternyata seakan-akan bersaing satu dengan yang lain, namun berkumpulnya
tokoh-tokoh itu di Sangkal Putung, agaknya telah memberi sedikit
ketenangan kepada penduduk yang menyimpan berbagai macam perbekalan di
padukuhan dan kademangan mereka itu.
Sekar Mirah kini tak dapat berlari-lari
menyusul Agung Sedayu maupun Sidanti. Ayahnya membimbingnya tanpa
melepaskan tangannya, sedang Swandaru berjalan agak jauh di belakang
mereka sambil menuntun kudanya. Tetapi wajahnya kini telah menjadi lebih
terang. Untunglah bahwa di palagan itu benar-benar tidak jatuh korban.
Ia menjadi menyesal juga atas perbuatannya. Namun sebenarnya, di sudut
hatinya, terasa juga kekecewaannya atas Untara. Ternyata Untatra itu
tidak mampu untuk melumpuhkan Sidanti. Meskipun kadang-kadang ia
berpikir juga, ketika ia melihat Untara dan Widura lewat di mukanya,
langkah Untara itu masih jauh lebih tegap dari langkah Sidanti yang
hampir terhuyung-huyung meskipun dengan wajah tengadah.
Ketika mereka telah meninggalkan
lapangan, dan berjalan menyusur jalan-jalan padukuhan, Widura yang
berjalan di samping kemenakannya itu tiba-tiba menggamit pundaknya,
“Untara”
Untara berpaling. “Ya” katanya.
“Aku belum sempat bertanya kepadamu,
kemana kau selama ini, namun aku masih menyimpan pertanyaan lain yang
ingin aku katakan lebih dahulu kepadamu. Kenapa kau biarkan Sidanti
masih menepuk dadanya?”
Untara tersenyum sambil menarik nafas.
Ketika ia menoleh dilihatnya adiknya berjalan di belakangnya. Tiba-tiba
terbesitlah sesuatu di dalam dadanya. Adiknya kini benar-benar telah
menjadi seorang anak laki-laki. Karena itu, sebelum ia menjawab
pertanyaan pamannya ia berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri, “Hem,
Sedayu agaknya telah menemukan dirinya sendiri”
Agung Sedayu yang berjalan sambil
mengangkat wajahnya itu terkejut. Tiba-tiba saja kepalanya itu
ditundukkannya. Meskipun demikian, ia menjadi terharu juga mendengar
kata-kata kakaknya itu. Namun ia masih berdiam diri saja.
Sesaat kemudian baru Untara itu menjawab
pertanyaan Widura, “Sidanti adalah seorang anak perasa dan pendendam.
Karena itu ia sebenarnya sangat berbahaya. Biarlah ia menikmati
kebanggaan-kebanggaan yang dapat sekedar membujuknya. Kalau anak itu
memberontak terhadap perintah-perintah paman bersamaan waktunya dengan
kedatangan Tohpati, maka keadaan paman di sini akan menjadi sangat
kalut. Biarlah anak itu mendapat sekedar kepuasan dan besok kalau
Tohpati itu datang, maka kita akan dapat melawannya dengan kekuatan
sepenuhnya”
“Hem” Widura menarik nafas
panjang-panjang. Katanya, “Sudah aku usahakan dengan beribu-ribu cara.
Aku biarkan ia berbuat sekehendaknya, meskipun kadang-kadang aku
memaksanya dengan kekerasan. Namun anak itu memang mempunyai tuntutan
pribadi yang berlebih-lebihan. Apalagi agaknya gurunya selalu memberinya
harapan-harapan, sehingga karena itu perbuatan-perbuatannya
kadang-kadang melampaui batas”
“Mudah-mudahan paman bijaksana” sahut Untara.
“Tetapi” tiba-tiba Agung Sedayu menyela,
“Apabila paman telah memanjakannya, maka ia akan bertambah berani
menentang kehendak paman”
Widura dan Untara berpaling bersama-sama.
Namun kemudian Widura itu tersenyum. Katanya, “Tentu tidak mungkin
kalau aku sendiri harus memaksanya dalam suatu persoalan. Anak-anak yang
lain pun menganggap demikian. Namun bukankah berkali-kali aku memberi
kesempatan kepadamu, Agung Sedayu? Aku mengharap bahwa kaulah, sebelum
kedatangan kakakmu, seperti juga harapan anak buahku, akan dapat sedikit
memberinya peringatan. Tersnyata agaknya kau selama ini terlalu baik
hati, sehingga kau tidak pernah melayaninya, Betapapun Sidanti itu
menyakiti hatimu”
Agung Sedayu menggigit bibirnya sambil
menundukkan wajahnya. Sedang Untara pun tersenyum pula karenanya.
Katanya, “Paman, apakah yang dikerjakan Agung Sedayu selama ini?”
“Ia datang sebagai pahlawan” sehut pamannya. “Namun seterusnya ia lebih senang duduk di pringgitan siang dan malam”
“Ah” desah Agung Sedayu.
Untara tertawa. Kemudian katanya, “Aku
dengar, kau telah berhasil mengalahkan genderuwo bermata satu ditikungan
randu alas, Sedayu?”
Agung Sedayu masih menundukkan wajahnya.
Sudah beberapa lama ia lupa pada genderuwo itu. Dan tiba-tiba ia kini
menjadi geli terhadap dirinya sendiri. Betapa ia takut kepada nama-nama
yang belum pernah dikenal adanya. Genderuwo bermata satu, macan putih
dari Lemah Cengkar, namun ia lebih geli lagi kalau diingatnya, lututnya
dua-duanya menjadi gemetar ketika tiba-tiba Sidanti marah kepadanya,
pada saat ia sedang bercakap-cakap dengan Sekar Mirah.
“Sekar Mirah. Ya, Sekar Mirah” tiba-tiba
hatinya berteriak, “Aku kehilangan setiap kesempatan bertemu dengan
gadis itu, bukankah karena aku takut kepada Sidanti? Kini aku tidak
takut lagi kepadanya. Dan aku tidak akan menghindari setiap pertemuan
dengan gadis itu”
Tetapi yang kemudian didengarnya adalah
kata-kata pamannya, “Untara, kedatanganmu aku harap akan membawa angin
baru bagi kademangan ini. Dan malam nanti jangan kau harap kau akan
dapat tidur. Betapapun letihnya, kau harus bercerita kepada kami di
sini, dimana kau selama ini, dan apa yang telah terjadi dengan dirimu.
Berhari-hari aku dan Agung Sedayu mencarimu, namun yang kami ketemukan
adalah seorang bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing”.
Betapapun dinginnya malam, namun Untara
itu pun merasa, bahwa keringatnya tidak juga menjadi kering. Ketika ia
sampai di kademangan, maka pertama kali yang dilakukannya adalah mandi.
Tetapi demikian ia selesai berpakaian, peluhnya telah mulai mengaliri
tubuhnya kembali. Sedang dikepalanya selalu berputar-putar berbagai
pertanyaan yang nanti pasti harus dijawabnya. Apakah yang akan
dikatakan, seandainya seseorang bertanya kepadanya, kemanakah ia selama
ini, dan apa sajakah yang sudah dilakukannya?
Tetapi akhirnya yan dicemaskannya itu pun
terjadi. Ketika ia duduk di pringgitan bersama-sama dengan Widura,
Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal Putung, maka dari pintu berunculan
para pemimpin laskar Pajang yang berada di Sangkal Putung. Satu demi
satu, tanpa dipersilahkan. Mereka kemudian duduk melingkar di atas tikar
anyaman di tengah-tengah pringgitan itu.
Di pendapa Sidanti duduk di tempatnya
sambil menimang-nimang senjatanya yang masih terbalut wrangka di kedua
ujungnya, kemudian dengan rapinya senjatanya itu diselubunginya dengan
kain putih.
Keitka ia melihat beberapa orang masuk ke
pringgitan, ia mencibirkan bibirnya. “Buat apa mengerumuni anak yang
sombong itu?” katanya dalam hati. “Aku sangka Untara itu
setidak-tidaknya dapat menyamai kesaktian Macan Kepatihan. Tetapi
ternyata ia tidak lebih baik dari Widura sendiri”
Dengan mata yang redup ia memandangi
setiap orang yang berjalan didekatnya. Bahkan kemudian dengan malasnya
ia berbaring sambil menguap keras-keras.
Seorang prajurit yang tidak jauh daripadanya berkata, “Ah, kakang Sidanti, kau mengejutkan aku”
‘Huh” sahut Sidanti, “Kenapa kau tidak ikut masuk ke pringgitan saja?”
“Hanya para pemimpin kelompok yang boleh
masuk. Pringgitan itu terlalu sempit” jawab orang itu. “Kenapa kakang
tidak ikut masuk dan mendengarkan cerita Untara itu?”
“Buat apa aku mendengarkan bualannya?
Ternyata aku kecewa setelah aku menilai sendiri kekuatan orang yang
bernama Untara itu. Dahulu aku kagum apabila aku mendengar namanya.
Sekarang ternyata aku sama sekali tidak mempunyai harapan apa pun atas
kehadirannya. Kalau Macan Kepatihan itu datang kembali, maka nasib kita
masih akan sama saja. Apalagi agaknya Macan Kepatihan telah melihat
kekuatan yang ada di Sangkal Putung. Ia pasti tidak akan datang dengan
kekuatan yang sama dengan pada saat ia datang dahulu”
Prajurit itu tidak menjawab. ia pun
mempunyai perasaan yang sama seperti apa yang dikatakan oleh Sidanti.
Ada juga rasa kecewa di dadanya, setelah ia melihat Untara dan Sidanti
bertempur. Sedang hasilnya, keduanya tak dapat saling mengalahkan.
Dengan demikian, maka apa yang diharapkan dari Untara untuk melawan
Macan Kepatihan akan tidak terpenuhi.
Apabila kelak Macan Kepatihan itu dtang
beserta laskarnya yang lebih kuat, serta apabila Macan Kepatihan
berhasil mengumpulkan orang-orang ternama yang tersebar, maka keadaan
Sangkal Putung pasti benar-benar ada dalam bahaya.
Tetapi prajurit itu tidak bertanya
apapun. Perlahan-lahan ia berjalan kehalaman dan duduk termenung di atas
sebuah batu. Dilihatnya beberapa kawannya yang berada di regol halaman,
tampak selalu berwaspada, sedang di muka gandok dilihatnya beberapa
orang tidur mendengkur sambil memeluk pedang-pedang mereka.
Tetapi sebentar kemudian prajurit itu pun
menjadi mengantuk pula, sehingga dengan segannya ia pun berjalan
kegandok wetan, dan merebahkan diri di samping kawan-kawannya. Tetapi ia
tidak berhasil memejamkan matanya. Berkali-kali ia tersadar karena
kegelisahannya.
Di pringgitan, Untara terpaksa
mendengarkan berbagai pertanyaan yang bertubi-tubi menghujaninya.
Beberapa pertanyaan dapat dijawabnya dengan mudah. Namun yang lain telah
membingungkannya.
Pelun dingin mengalir dikening Untara
ketika ia mendengar pamannya bertanya, “Untara, aku telah sampai ke
rumah Ki Tanu Metir, sehari setelah kau hilang. Aku tidak dapat
menemukan jejakmu dan Ki Tanu Metir. Seseorang mengatakan bahwa kau
telah diculik oleh gerombolan Alap-alap Jalatunda. Tetapi sekarang,
tiba-tiba saja kau muncul dengan segar bugar. Apakah yang sebenarnya
telah terjadi di dukuh Pakuwon?”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sesaat
ia berpikir, kemudian ia menjawab, “Ya, aku memang dalam kesulitan waktu
itu. Tetapi seseorang telah menyelamatkan aku”
“Siapa?” bertanya Widura.
Untara itu kemudian memandang
berkeliling. Satu per satu, wajah-wajah yang penuh minat
memperhatikannya itu ditatapnya. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab,
“Aku ditolong oleh seorang yang tak kukenal, karena wajahnya ditutup
oleh sebuah topeng”
“Kiai Gringsing?” sela Widura.
“Ya”
Widura tertawa. Agung Sedayu pun
tersenyum juga. Tetapi orang lain, yang belum pernah mengenal Kiai
Gringsing menjadi terkejut karenanya. Tetapi mereka berdiam diri. Mereka
menunggu pertanyaan-pertanyaan Widura selanjutnya.
Tetapi yang berkata kemudian adalah Untara, “Kenapa paman tertawa?”
“Aku pernah bertemu dengan Kiai Gringsing”
“Lalu?”
“Aku pernah melihat jejak-jejak kuda dari kandang Ki Tanu Metir”
“Apa hubungannya dengan Kiai Gringsing?”
“Kiai Gringsing menyangkal bahwa ia pernah datang ke rumah Ki Tanu Metir”
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi
kemudian ia pun tersenyum pula. katanya, “Kiai Gringsing memang orang
yang aneh. Karena itu biarlah untuk sementara aku tidak bercerita
tentang orang itu”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
memahami jawaban Untara. Kiai Gringsing pasti berpesan kepadanya, untuk
merahasiakan dirinya.
“Tetapi” berkata Untara kemudian, “Aku
mengharap bahwa waktu itu tidak terlalu lama. Syukurlah kalau Kiai
Gringsing sendiri datang kepada kita di sini dan bercerita tentang
dirinya”.
“Bukankah Kiai Gringsing hadir juga di lapangan siang tadi?” bertanya Widura.
“Ya” sahut Untara, “Aku melihat
ciri-cirinya dilemparkan ke tengah-tengah arena, ketika seseorang
melemparkan ciri-cirinya yang lain, yang agaknya Ki Tambak Wedi”
Widura mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Kau kenal juga ciri Ki Tambak Wedi?”
Untara tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum.
Beberapa orang lain yang mendengarkan
cerita itu, sebagian besar sama sekali tidak tahu ujung pangkalnya.
Karena itu mereka hanya berdiam diri mendengarkan. Swandaru yang
kemudian duduk di belakang ayahnya pun sama sekali tidak mengerti apa
saja yang sedang dipersoalkan.
Tetapi pertemuan itu tidak berlangsung
lebih lama lagi. Beberapa orang menjadi sangat mengantuk dan Untara
sendiri menjadi sangat lelah. Karena itu katanya, “Aku minta maaf,
karena aku sangat lelah, apakah aku boleh meninggalkan pertemuan ini?”
Widura tersenyum, jawabnya, “Pertemuan
tanpa kau tidak akan ada gunanya. Karena itu, biarlah pertemuan ini
berakhir. Kita harus beristirahat, meskipun kita hampir sampai ke ujung
malam. Sebentar lagi kita harus sudah bangun dan menunaikan kewajiban
kita masing-masing.”
Pringgitan itu sesaat kemudian menjadi
sepi. Untara tidak mau tidur di pembaringan Widura. Ia lebih senang
tidur di atas sehelai tikar bersama adiknya.
Ketika semuanya telah pergi, dan ketika
Untara telah membaringkan dirinya di samping adiknya, maka katanya
perlahan-lahan, “Apakah yang kau kerjakan selama ini?”
Agung Sedayu menarik nafas. Jawabnya, “Aku hampir mati kecemasan”
Untara tersenyum. Katanya, “Kalau tidak
karena terpaksa oleh keadaan, aku kira kau masih saja suka
merengek-rengek. Aku turut berbangga dengan keadaanmu sekarang.
Mudah-mudahan penyakitmu tidak kambuh lagi setelah aku datang”
“Mudah-mudahan” gumam Agung Sedayu. Dalam
pada itu, terasa sesuatu bergolak di dalam dadanya. Ia tiba-tiba saja
memiliki perasaan yang asing tentang dirinya. Tentang dunia sekitarnya.
Tiba-tiba tanpa disengaja ia meraba luka di pundaknya yang telah dibalut
rapi. Luka itu tidak seberapa. Tetapi luka itu seakan-akan telah
membangunkannya dari tidur yang nyenyak. Apa yang telah dilakukannya di
lapangan, ternyata mampu membangkitkan kebanggaan atas diri sendiri,
sehingga karena itu, Agung Sedayu kini melihat kemampuan yang
dimilikinya. Karena itulah maka kini ia percaya akan dirinya sendiri.
Di hari berikutnya, hampir seluruh
penduduk Sangkal Putung bercerita sesamanya tentang apa yang mereka
saksikan di lapangan. Mereka menjadi kagum kepada Agung Sedayu, yang
dalam ketangkasan memanah dapat melampaui Sidanti. Mereka menjadi kagum
pula, bahwa sebelumnya Agung Sedayu sama sekali tidak berhasrat untuk
ikut serta dalam perlombaan itu. “Alangkah rendah hatinya anak muda itu”
beberapa orang di antara mereka memujinya.
Namun ada pula yang menjadi semakin kagum
kepada Sidanti, atau yang menjadi kecewa terhadap Untara. Meskipun
demikian, maka mereka menjadi agak tenang juga dengan kehadiran Untara.
Dengan demikian maka kekuatan di Sangkal Putung itu menjadi bertambah.
Tetapi dalam pada itu, penduduk Sangkal
Putung menjadi cemas ketika mereka melihat kesiagaan laskar Pajang itu
meningkat. Setiap hari mereka melihat, peronda-peronda berkuda hilir
mudik di padukuhan mereka. Peronda-peronda berkuda yang menghubungkan
satu desa dengan desa yang lain dalam lingkungan kademangan Sangkal
Putung. Bahkan kesiap-siagaan anak-anak muda Sangkal Putung pun
meningkat pula. gardu-gardu peronda yang dikhususkan bagi mereka pun
selalu dipenuhi oleh anak-anak muda itu. Setiap saat mereka berlatih
mempergunakan senjata. Sebab mereka merasa, bahwa ilmu tata berkelahi
yang ada pada mereka, masih belum mencukupi dibandingkan dengan laskar
Pajang, maupun laskar Jipang. Namun tekad merekalah yang agaknya telah
memperkuat ketahanan mereka menghadapi setia keadaan.
Sebenarnyalah Widura telah memberikan
beberapa peringatan kepada laskarnya, bahwa kemungkinan Macan Kepatihan
akan menyergap mereka setiap saat. Karena itulah maka setiap gardu
peronda di ujung-ujung desa selalu diperlengkapi dengan alat-alat tanda
bahaya yang sebaik-baiknya serta beberapa ekor kuda. Di halaman
kademangan pun telah dikumpulkan beberapa ekor kuda yang cukup baik dari
segenap penduduk Sangkal Putung. Setiap saat laskar Pajang itu harus
bergerak cepat ke tempat-tempat yang dianggap sangat berbahaya.
Sedang pada hari itu pula Untara sedang
mengagumi cara adiknya untuk meningkatkan ilmunya. Untara melihat
beberapa lembar rontal yang telah dilukis oleh Agung Sedayu. Dengan
pengetahuan yang jauh lebih luas, Untara berhasil memberikan beberapa
petunjuk kepada adiknya mengenai lukisan-lukisannya. Beberapa unsur
gerak ternyata menjadi lebih mantap dan lebih sempurna. Untara mencoba
mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada di dalam lukisan adiknya. “Nanti
malam biarlah aku melihat ketangkasanmu” berkata Untara kepada adiknya,
“mudah-mudahan Tohpati tidak menyergap kita hari ini”
Sehari itu dilalui dengan berbagai
ketegangan di hati anggota laskar Pajang. Dan bahkan oleh segenap
penduduk Sangkal Putung. Pagi-pagi mereka sudah pergi ke warung di ujung
desa, kemudian memasak agak lebih banyak dari biasanya. Apabila
sewaktu-waktu datang keributan, mereka sudah menyimpan makanan di
rumahnya. Bahkan beberapa orang telah mempersiapkan barang-barang yang
mereka anggap berharga.
Ketika seorang perempuan sibuk membungkus barang-barangnya, bertanyalah suaminya, “Untuk apa barang-barang itu kau kumpulkan?”
“Apakah kita tidak pergi mengungsi saja kakang?”
“Kemana kita akan mengungsi?”
“Ke kademangan-kademangan sebelah”
“Tak ada gunanya. Di kademangan ini di
tempatkan sejumlah laskar Pajang. Di kademangan-kademangan lain sama
sekali tidak, selain hanya kadang-kadang saja dilewati oleh para peronda
dari kademangan ini juga”
Istrinya termenung sesaat, namun kemudian
jawabnya, “Tetapi aku dengar, kademangan ini menjadi tujuan penyerbuan
dari laskar Jipang, sebab kademangan inilah yang dianggap menjadi sumber
perbekalan. Sedang kademangan lain tidak”
“Sesudah kademangan ini, akan datang
gilirannya kademangan- kademangan lain. Dan kita akan mengungsi dari
satu kademangan kelain kademangan”
Istrinya tidak berkata-kata lagi.
Meloncat dari satu tempat ke tempat lain dengan seluruh anak-anaknya
adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan. Tetapi tinggal di rumah pun
hatinya selalu gelisah. Sehingga kemudian suaminya berkata, “Yang
sebaik-baiknya adalah mempertahankan kademangan ini bersama-sama dengan
laskar Pajang”
“Sampai berapa tahun laskar Pajang itu akan tinggal di sini? Bukankah dengan demikian akibatnya akan hampir sama?”
“Kenapa?”
“Mereka makan beras kita yang kita pertahankan dari sergapan laskar Jipang”
“Tidak seberapa. Mereka makan hanya
sepenuh-penuh perut mereka. Sedang laskar Jipang akan mengambil
semuanya, bahkan dengan semua benda-benda berharga dari kademangan ini”
Kembali istrinya berdiam diri. Ketika
suaminya kemudian berkata lagi, hatinya berdebar-debar. Katanya, “Nyai,
sebaiknya kita pertahankan kademangan ini. Sebaiknya setiap laki-laki
ikut serta. Tidak hanya anak-anak muda saja”
“Kau akan pergi juga?”
“Ya” jawab suaminya, “Seperti Ranu dan Harda”
Alangkah cemasnya istrinya mendengar
kata-kata itu. Kenapa timbul perselisihan di pusat kerajaan, sehingga
daerah-daerah yang jauh pun mengalamai akibatnya? Peperangan benar-benar
merupakan sesuatu yang mengerikan sekali. Yang memisahkan suami-suami
dari istri-istri mereka, ayah dari anak-anak mereka, dan anak dari
ibu-ibu mereka. Peperangan telah mematahkan cinta manusia. Cinta sesama.
Tetapi, laki-laki itu kemudian pergi juga
ke banjar desa bersama dengan laki-laki yang lain. Mereka mengganti
cangkul, bajak dan garu dengan pedang di genggaman tangannya.
Demikianlah tidak saja anak-anak muda,
kemudian orang-orang yang telah meningkat kepertengahan abad pun ikut
serta menyerahkan dirinya pada pengabdian bagi tanah kelahirannya, bagi
kampung halamannya. Mereka menempatkan diri di bawah pengawasan langsung
Demang Sangkal Putung. Dan bagi mereka telah dibagikan tugas, untuk
menjaga kademangan dan lumbung-lumbung desa pada saat-saat yang genting.
Sedang anak-anak muda diperkenankan ikut dalam perlawanan langsung
apabila musuh-musuh mereka benar-benar datang.
Tetapi hari itu telah dilewati dengan
aman. Laskar Macan Kepatihan sama sekali tidak menampakkan diri. Tetapi
tidak mustahil bahwa mereka akan menyergap dimalam hari.
“Setan itu benar-benar mengganggu
kademangan ini” gerutu Widura, ketika malam turun. “Mereka barangkali
kini sedang tidur dengan nyenyaknya, sedang kita harus selalu
berjaga-jaga menunggu kedatangan mereka”
“Pada suatu ketika, kitalah yang
mengambil prakarsa. Bukan mereka. Sebab dengan demikian, keadaan kita
merekalah yang menentukan” sahut Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Seharusnyalah demikian. Apabila datang saatnya, laskar Pajanglah yang
harus mencari sisa-sisa laskar Macan Kepatihan untuk dimusnahkan.
Malam itu seperti yang biasa dilakukan
oleh Widura, adalah pergi berkeliling gardu-gardu peronda. Kali ini
Widura tidak hanya pergi berdua dengan Agung Sedayu, tetapi Untara turut
serta bersama mereka.
Satu persatu Widura mengunjungi
gardu-gardu besar, dan pusat-pusat penjagaan. Ternyata tak seorang pun
dari anak buahnya yang mengabaikan segala perintahnya. Sebab sedikit
kelengahan yang mereka lakukan, maka akibatnya dapat mengerikan sekali.
Sehingga dengan demikian dengan penuh kesadaran mereka melakukan
tugas-tugas mereka dengan penuh tanggung jawab.
Yang terakhir dilakukan oleh Widura
adalah pergi ke Gunung Gowok. Untara ingin melihat, bagaimanakah
perkembangan adiknya selama ini. Karena itu, maka ketika mereka telah
beristirahat sejenak, Untara itu pun berkata, “Nah Agung Sedayu. Aku
ingin melihat, apakah kau hanya sekedar pandai melukis di atas
rontal-rontal itu, ataukah kau pandai juga melakukannya”
“Anak itu luar biasa” berkata Widura, “Kalau ia memiliki keteguhan hati, maka ia tak akan kalah dengan aku atau Sidanti.”
Untara tersenyum. Katanya kepada adiknya,
“Hatimu sekecil hati kelinci. Namun agaknya sekarang kau telah
menemukan harga dirimu, sehingga karena itu hatimu akan berkembang.
Dengan demikian maka kau akan dapat menjadi seorang laki-laki yang tidak
menggantungkan nasibmu kepada orang lain.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia ingin menunjukkan kepada kakaknya, apakah yang telah yang dimilikinya selama ini.
———-oO0———-
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-05/

Tinggalkan Balasan