

ADBM-019

KARENA itu, maka kepala
Argajaja terdorong ke belakang. Sentuhan tangkai tombak Sutawijaya
memang tidak begitu keras, sehingga Argajaya pun tidak sampai kehilangan
keseimbangan. Tetapi tangkai tombak Sutawijaya itu pun telah membuat
luka pada pelipis Argajaya, sehingga luka itu rnoneteskan darah.
Terdengar tiba-tiba Argajaya mengumpat
kasar. Dengan tiba-tiba ia menyerang kembali Sutawijaya. Namun
Sutawijaya telah bersiaga dan dalam waktu yang singkat, ia segera dapat
menguasai lawannya. Apalagi kini Argajaya tidak lagi bersenjata.
“Bunuh aku anak setan” teriak Argajaya
“Tidak, aku akan membuatmu cacat sewnur
hidup. Tangkai tombakku akan dapat mematuk kedua belah matamu, dan kau
akan menjadi buta karenanya. Nah, apakah yang dapat kau lakukan tanpa
sepasang matamu. Aku tidak akan mempergunakan ujung tombakku, sebab
setiap goresan dapat berakibat maut.”
Ancaman itu benar-benar mengerikan.
Tiba-tiba Argajaya meloncat mundur. Ternyata Sutawijaya membiarkannya.
Ia sama sekali tidak mengejarnya”
Terdengar kemudian Argajaya menggeram.
Suaranya menggeletar melontarkan kemarahan yang pepat di dalam dadanya,
“Aku akan pergi anak demit. Tetapi jangan kau sangka bahwa aku takut
menghadapi kau. Bukan berarti aku lagi dari kematian. Tetapi kau
ternyata bengis melampaui iblis. Aku akan menunggumu di Sangkal Putung
kalau kau benar-benar anak Sangkal Putung. Aku akan mencari kesempatan
untuk melakukan perang tanding sekali lagi di hadapan para pemimpin
prajurit Pajang di Sangkal Patung. Perang tanding sampai salah seorang
di antara kita mati”
“Pergi,” teriak Sutawijaya, “jangan mengigau. Kau dan Sidanti boleh maju bersama-sama ke dalam arena.”
“Mulutmulah yang pertama-tama harus dipecahkan” geram Argajaya dengan suara yang tajam.
“Lakukanlah kalau kau mampu melakukan.”
sahut Sutawijaya. “Tetapi ada pesanku padamu. Kalau kau mencari
Sidanti, jangan kau cari ia di Sangkal Putung. Anak gila itu kini berada
di padepokan gurunya. Carilah ia kesana, dan kau akan menemukannya.
Katakanlah kepadanya, bahwa luka di pelipismu adalah luka yang dibuat
sebagai pertanda, bahwa kau telah berkelahi dengan seorang pengawal dari
Sangkal Putung.”

Tetapi kemudian ia menggeram. Dengan
marahnya ia menjawab, “Bohong. Ternyata kau bukan orang Sangkal Putung.
Sidanti adalah orang pang penting di Kademangan itu. Ia adalah sapu
kawat. Tanpa Sidanti, Sangkalu Putung tidak akan berarti sebagai suatu
pertahanan untuk mempertahankan lumbung makan.”
Terdengar suara tertawa Sutawijaya,
disusul oleh gelak Swandaru seakan-akan melengking, sehingga hampir
setiap mata berpaling kepadanya. Yang terdengar kemudian adalah jawaban
Sutawijaya, “Kau memang sedang mengigau. Kapan kau datang untuk
terakhir kalinya ke Sangkal Putung? Jangankan kau yang datang dari
pegunungan Menoreh di seberang hutan Mentaok, sedangkan orang-orang di
Prambanan, bahkan para prajurit di Prambanan ini pun belum tahu apa
yang sebenarnya terjadi di Sangkal Putung. Alangkah jeleknya
jaring-jaring perhubungan antara para prajurit Pajang yang tersebar
dimana-mana ini.”
Bukan saja Argajaya, tetapi para prajurit pun menjadi berdebar-debar mendengarkan kata-kata itu.
Kembali Sutawijaya meneruskan
kata-katanya, “Tetapi kalau kau tidak percaya, cobalah datang ke Sangkal
Putung. Setiap hidung pasti akan mentertawakan kedatanganmu, seperti
mereka mentertawakan Sidanti. Sidanti sama sekali tidak berarti apa-apa
bagi Kademangam itu.”
Tiba-tiba terdengar pemimpin prajurit
yang datang bersama Argajaya memotong kata-katanya, “Maksudmu kehadiran
para prajurit Wira Tamtama di Sangkal Putung tidak berarti apa-apa bagi
Kademangan itu serta penduduknya?”
“Siapa yang berkata demikian?” bantah Sutawijaya yang aku katakan adalah Sidanti. Sidanti, Kau dengar”
Telinga prajurit itu menjadi panas.
Tetapi ia masih melihat anak panah yang sudah melekat pada tali busurnya
di tangan Agung Sedayu dan Swandaru. Meskipun demikian ia berkata,
“Bukankah Sidanti itu seorang prajurit Wira Tamtama yang ditempatkan di
Pajang?”
“Ya” sahut Sutawijaya pendek.
“Nah, jadi bukankah demikian kau telah menghina prajurit Wira Tanttama?”
“Tidak. Aku hanya mengatakan bahwa
Sidanti tidak berada di Sangkal Pusung. Ia berada di tempat gurunya,”
kemudian Sutawijaya itu pun berpaling kepada Argajaya, “Sekarang
pergilah, Pergi kepada Sidanti. Bertanyalah kepadanya tentang pengawal
Sangkal Putung seperti yang kau lihat kini kepada Sidanti. Ia kenal
kami bertiga dengan baik.”
Argajaya tidak menjawab. Tetapi ia belum beranjak dari tempatnya.
“Jadi kau ingin aku melakukan kehendakku atasmu. Membuatmu cacat seumur hidupmu?”
Kembali terdengar Argajaya menggeram.
“Kesempatan yang aku berikan hampir
sampai pada batasnya” sambung Sutawijaya, “ternyata aku mempunyai alat
yang lebih baik daripada tangkai tombakku.” Ketika Sutawijaya kemudian
berpaling memandanqi ujung-ujung anak panah Agung Sedayu, maka
berdesirlah setiap dada. Apakah anak muda itu akan menyuruh adiknya itu
untuk melepaskan anak-panahnya mengarah ke mata Argajaya.
Argajaya pun melihat ujung anak panah
itu. Dengan demikian maka gelora di dalam dadanya semakin menyala.
Dendam, benci dan muak bercampur-baur di dalam hatinya. Dengan suara
bergetar ia melepaskan perasaannya itu katanya, “Aku ingin bertemu
sekali lagi. Aku akan mendengarkan pesanmu kali ini. Aku akan pergi
keguru Sidanti di lereng Merapi. Daripadanya aku akan mendengar keadaan
anak muda itu. Mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali. Kau
benar-benar akan menyesal kelak, bahwa kau tidak membunuhku saat ini.”
“Pergilah. Terima kasih
bahwa kau mau mendengarkan pesanku. Pesan seorang pengawal Kademangan
Sangkal Putung. Jangan lupa, sebut kami satu persatu di hadapan Sidanti.
Aku, adikku yang bertubuh sedang dan berwajah tampan seperti topeng
Panji, yang satu gemuk bulat seperti kelapa. Kau telah mengenal
nama-nama kami. Karena itu, maka ……..”
“Cukup! Kau menjadi besar kepala karenanya. Tetapi akan datang saatnya, kepalamu itu aku penggal kelak.”
Argajaya tidak menunggu jawaban
Sutawijaya. Segera ia memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan arena
dengan tergesa-gesa. Tetapi ia tertegun ketika ia mendengar Sutawijaya
berkata, “Tunggu. Kau kelupaan tombakmu. Kalau tombakmu itu memang
sebuah pusakan sipat kandel dari Tanah Perdikan Menoreh, bawalah.
Mungkin akan berguna bagimu.”
Mata Argajaya menjadi merah, semerah
darah. Giginya gemeretak dan tubuhnya bergetar. Tetapi ia melangkah
cepat-cepat ke arah tombaknya yang tergolek di atas pasir tepian.
“Anggaplah tombak itu sebuah kenang-kenangan daripadaku,” barkata Sutawijaya.
Argajaya berpaling pun tidak. Ia
berjalan cepat-cepat meninggalkan tempat itu. meskipun demikian,
meskipun ia meninggalkan lawannya, namun sebenarnya di dalam hati
Sutawijaya mengakui kejantanan lawannya itu. Sikapnya yang pantang
menyerah dalam keyakinannya, meskipun ujung tombak telah melekat di
lambungnya. Tetapi orang yang demikian, pasti benar-benar akan melakukan
kata-katanya yang diucapkan sebagai janji untuk melepaskan dendamnya
kelak apabila ada kesempatan.
Semua mata memandang langkah Argajaya
yang tergesa-gesa itu, yang kemudian disusul oleh kedua pengiringnya
dari Mentaok. Kesan keberanian dan keteguhan hatinya masih terasa di
dalam hati orang-orang yang berdiri di tepian itu. Bahkan Agung Sedayu
bergumam di dalam hatinya, “Seperti Sidanti. Keras hati. Namun nalarnya
kadang-kadang terdesak jauh ke belakang, sehingga orang itu kurang
memikirkan akibat dari perbuatannya.”
Belum lagi Argajaya itu jauh, terdengar
prajurit yang datang bersamanya menggeram, “Perbuatanmu tidak dapat lagi
dimaafkan. Kalau kelak Sidanti itu benar-benar datang kemari, maka kami
adalah saksi yang akan dapat mengatakan apa yang sebenarnya telah
terjadi.”
“Sidanti tidak akan datang kemari,” jawab Sutawijaya.
“Apakah kau pasti?” bertanya prajurit itu.
“Sidanti tidak lagi berada di Sangkal Putung.”
“Bohong! Salah seorang dari kami akan
menghadap ke Sangkal Putung. Ki Untara harus mendengar bahwa pimpinan
kami di sini telah berbuat kesalahan dengan membiarkan kalian membuat
onar di Kademangan Prambanan. Kalian bersama pimpinan kami itu harus
ditangkap.”
Pemimpin prajurit yang datang bersama
Sutawijaya itu pun segera memotong, “Kalianlah yang telah memberontak.
Aku masih tetap pimpinan di sini. Aku pun dapat mengatakan apa yang
telah terjadi dan orang-orang yang berdiri di sini yang semalam melihat
apa yang terjadi di banjar desa akan menjadi saksi.”
“Baik. Kita lihat, siapakah yang akan dipercaya oleh pimpinan kita di Sangkal Putung.”
Tiba-tiba Sutawijaya itu pun tertawa.
Katanya, “Kalian terlalu percaya bahwa Sidanti akan dapat memberimu
perlindungan. Tetapi sudah aku katakan, kami tidak takut kepada Sidanti.
Kami tidak takut pula seandainya Ki Untara mempercayai kata-katamu.
Bahkan kami tidak akan takut seandainya Panglima Wira Tamtama sendiri
datang kemari.”
Para prajurit itu pun terkejut mendengar
kata-kata itu. Prajurit yang berpihak kepadanya pun terkejut. Sejenak
ia terbungkam sambil memandangi anak muda yang masih menggenggam tombak
di tangannya itu.
Sutawijaya melihat wajah-wajah yang
menjadi semakin tegang. Tetapi ia masih saja tertawa dan berkata, “Aku
berkata sebenarnya. Tidak ada seorang pun yang akan dapat berbuat
sesuatu atas kami. Tetapi sebaliknya, kami akan dapat mengatakan apa
yang telah terjadi di sini kepada siapa pun yang akan datang kemari. Ki
Untara, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani, atau Ki Gede Pemanahan sendiri.”
Yang mendengarkan kata-kata itu menjadi
semakin tidak mengerti. Bahkan para prajurit yang berpihak kepada
Argajaya menganggap bahwa anak muda itu sebenarnya anak yang tidak tahu
adat. Karena itu maka pemimpinnya pun berkata, “Nah, semua orang telah
mendengar kata-katamu. Kau benar-benar telah menghina Wira Tamtama.
Sedang pemimpin kami yang bertanggung jawab di sini masih saja diam
mematung.”
Pemimpin prajurit yang datang bersama
Sutawijaya itu pun menjadi heran mendengar kata-kata Sutawijaya.
Kata-kata itu sendiri telah dapat digolongkan pada suatu tindakan yang
kurang pada tempatnya. Kata-kata itu sebenarnya memang menyangkut nama
Wira Tamtama dan apalagi panglimanya. Karena itu, maka sejenak ia
terdiam. Dicobanya untuk mencernakan apa yang telah dilihatnya dan apa
yang telah didengarnya.
“Aku sama sekali tidak menghinanya. Aku
justru mempercayai mereka, para pemimpin Wira Tamtama. Baik yang berada
di Prambanan, baik yang berada di Sangkal Putung maupun yang berada di
Pajang. Aku memang tidak takut seandainya mereka datang bersama-sama
kemari, sebab mereka pasti dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
salah,” berkata Sutawijaya.
Pemimpin prajurit yang datang bersamanya
tiba-tiba menganggukkan kepalanya. Katanya, “Benar, kau benar anak muda.
Orang yang yakin akan kebenarannya tidak perlu takut menghadapi apapun,
apalagi mereka yang tegak pada keadilan. Aku pun percaya bahwa para
pemimpin itu akan mempertahankan keadilan yang selurus-lurusnya.”
“Persetan!” sahut pemimpin yang lain.
“Kalian adalah orang-orang yang memang pandai berbicara. Tetapi marilah
kita lihat apakah yang akan terjadi kelak.” Kemudian kepada
kawan-kawannya ia berkata, “Marilah kita tinggalkan tempat ini.”
“Tunggu,” cegah Sutawijaya. “Persoalan
kalian belum selesai. Dengan demikian, maka di Prambanan kini masih ada
dua pimpinan prajurit yang merasa masing-masing berkuasa. Pimpinan yang
sebenarnya dan pimpinan bayangan.”
“Akulah yang memegang pimpinan sekarang. Semua prajurit di Prambanan tunduk kepadaku.”
“Tidak!” sahut yang datang bersama
Sutawijaya. “Aku tetap pimpinan di sini. Siapa yang tidak tunduk pada
perintahku, kepadanya akan dapat dikenakan hukuman.”
“Omong koaong! Jangan hiraukan. Mari kita pergi.”
Tetapi ketika mereka sudah mulai bergerak
untuk meninggalkan tempat itu, kembali mereka tertegun karena
Sutawijaya berkata, “Aku hanya mengakui pimpinan yang seorang, yang
datang bersamaku. Bukan karena ia membenarkan sikapku, tetapi karena
ialah yang menerima kekuasaan dalam jabatan itu. Setiap pelanggaran atas
perintahnya, berarti pemberontakan yang akan ditindak.”
Wajah pemimpin prajurit yang lain menjadi
merah menyala. Dengan kasarnya ia berkata, “Apakah hakmu berkata
demikian, he anak Sangkal Putung. Prambanan bukan bawahan Sangkal
Putung, meskipun kebetulan pemimpin kami berada di sana. Tetapi kami
hanya bertanggung jawab kepada Ki Untara. Kalau kau tidak mau mengakui
kami, kami tidak berkeberatan. Tetapi sebenarnya bahwa kami ingin
menangkap kalian dan mengikat di halaman banjar desa.”
Prajurit itu tidak berpaling ketika Sutawijaya berkata, “Tunggu.”
Beberapa prajurit yang lain pun segera
mengikutinya. Tetapi langkah mereka pun tertegun-tegun. Agaknya mereka
sedang membicarakan sesuatu. Sekali tampak mereka berpaling ketika
anak-anak muda yang datang bersama mereka pun telah bergerak pula.
Hanya Ki Demang-lah yang masih saja berdiri mematung.
Tetapi mereka pun terkejut ketika para
prajurit itu berhenti dan tiba-tiba saja mereka berlari berpencaran
kembali mengelilingi arena dari arah yang berbeda-beda.
Yang terjadi itu berlangsung terlampau
cepat. Sutawijaya tegak di tengah-tengah arena itu dengan hati yang
berdebar-debar, sedang Agung Sedayu sejenak menjadi seakan-akan membeku.
Mereka menyadari apa yang akan dilakukan oleh para prajurit itu, tetapi
mereka tidak segera menemukan cara untuk mengatasinya.
“Aku tidak menyangka bahwa mereka segila itu,” desah Sutawijaya di dalam hatinya.
Sejenak kemudian terdengar pemimpin
prajurit yang seorang, yang datang bersama Argajaya berteriak, “Demi
tegaknya tanggung jawab para prajurit Pajang di Prambanan, marilah kita
tangkap anak setan itu. He, para pemuda Prambanan, jangan tidur, kau
pun telah mendapat penghinaan dari orang itu.”
Tiba-tiba para pemudanya pun bergerak.
Semula mereka berdesak-desakan saja, namun kemudian sebagian dari mereka
segera memencar setelah mereka menyadari maksud gerakan para prajurit
itu. Dengan demikian mereka menghindarkan diri mereka sejauh-jauh
mungkin dari anak panah Agung Sedayu dan Swandaru, karena mereka
terpencar-pencar. Para prajurit itu mengharap, bahwa mereka dapat
membuat gerakan-gerakan yang dapat membingungkan Agung Sedayu dan
Swandaru. Agung Sedayu dan Swandaru pasti tidak akan mungkin lagi
memanah mereka dalam sekejap dan melepaskan anak panah yang kedua
sekejap kemudian, atau dengan mata terpejam mengarah kepada sekelompok
orang.
Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru,
pemimpin prajurit yang lain, dan beberapa orang kini terkepung oleh
sebuah lingkaran yang terdiri dari para prajurit Pajang di Prambanan
beserta beberapa anak-anak muda. Anak-anak muda itu bergerak saja
seperti kena pesona, karena hubungan mereka yang rapat dengan para
prajurit itu. Ki Demang pun tiba-tiba bergerak pula bersama dengan
mereka.
“Jangan berbuat sesuatu yang tidak akan
ada gunanya,” ancam pemimpin prajurit itu. “Kalian telah terkepung.
Meskipun kalian bertiga seorang-seorang menang dari orang-orang Menoreh,
tetapi jangan mimpi untuk dapat melawan kami semuanya ini.”
“Kalian benar-benar gila!” teriak pemimpin prajurit yang berada di dekat Sutawijaya. “Uraikan kepungan ini!”
“Tidak!”
“Demi kekuasaan Wira Tamtama yang berada di tanganku.”
“Tidak! Menyerahlah!”
Gigi pemimpin prajurit itu pun
gemeretak. Kini pedangnya tergenggam erat di tangannya. Sedang para
prajurit di luar lingkaran itu pun telah menggenggam senjata
masing-masing pula.
Suasana segera meningkat semakin tegang.
Orang-orang tua yang berdiri di dalam kepungan menjadi ketakutan dan
gemetar. Tetapi pemimpin prajurit yang memimpin pengepungan itu berkata,
“Siapa yang tidak turut dan tidak ingin melibatkan dirinya, segera
keluar dari kepungan ini, kecuali empat orang yang akan kami tangkap.”
Beberapa orang kemudian tersuruk-suruk
berjalan ke luar lingkaran dengan tubuh yang menggigil karena ketakutan.
Satu-satu mereka menghilang ke belakang kepungan, sehingga orang-orang
yang berada di dalam itu pun susut dengan cepatnya.
Tetapi ternyata tidak semua orang berlari
ke luar lingkaran. Ketika tidak seorang pun lagi yang bergerak, maka
tampaklah dengan jelas, siapa-siapa yang kini berdiri berseberangan.
Yang masih tinggal di dalam lingkaran itu, ternyata bukan saja
Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, dan pemimpin prajurit yang seorang,
tetapi di dalam lingkaran itu berdiri Haspada, Trapsila, dan beberapa
pemuda yang lain. Meskipun mereka tidak bersenjata panjang, tetapi
mereka dapat menduga, bahwa sesuatu akan terjadi. Ternyata di dalam baju
mereka terselip sebilah keris. Ketika keadaan meningkat menjadi semakin
tegang, meka hulu-hulu keris itu pun telah tersembul dari dalam
baju-baju mereka.
Dada Sutawijaya menjadi semakin
berdebar-debar melihat peristiwa itu. Apakah benar-benar akan terjadi
pertumpahan darah di tepian Kali Opak itu?
Tiba-tiba udara digetarkan oleh suara
tertawa berkepanjangan. Ketika semua berpaling kea rah suara itu, mereka
melihat Swandaru masih saja tertawa sambil mamandang pemimpin prajurit
yang berdiri di lingkaran, siap dengan senjata di tangan.
“Hem,” berkata Swandaru, “kalau kalian
bersungguh-sungguh, maka sudah barang tentu bahwa kami tidak akan
mempergunakan anak panah ini. Sebenarnya kami tidak senang berkelahi
dengan anak panah. Kalau aku berhasil membinasakan lawan dengan anak
panah, aku sama sekali tidak mendapat kepuasan karenanya. Aku lebih
senang membelah dada lawanku dengan pedangku ini.”
Swandaru kemudian dengan tenangnya
meletakkan busurnya, melepaskan busur Sutawijaya di punggungnya, dan
seolah-olah sedang melepaskan pakaiannya untuk mandi saja, anak yang
gemuk bulat itu melepas tali-tali endong anak panahnya.
Para prajurit Pajang, beberapa anak-anak
muda yang berdiri mengepungnya dan bahkan anak-anak muda yang berada di
dalam kepungan, menjadi heran melihat ketenangan sikapnya. Orang-orang
yang berdiri mengancamnya dengan senjata di tangan itu seakan-akan sama
sekali tidak mempengaruhinya. Namun ketenangan Swandaru itu telah
membuat para prajurit Pajang bertanya-tanya di dalam hati dan membuat
anak-anak muda Prambanan menjadi gelisah.
Dengan tenang pula tangan kanannya
kemudian menarik hulu pedangnya yang terbuat dari gading dan kini
berjuntai seutas tali yang kekuning-kuningan. Ketika pedang itu kemudian
menjadi telanjang, maka tampaklah pedang itu adalah sebilah pedang yang
panjang.
Dengan nada yang tinggi Swandaru itu pun berkata, “Apakah kita benar-benar akan berkelahi?”
Sutawijaya dan Agung Sedayu melihat sikap
itu dengan cemas, apalagi ketika kemudian mereka melihat wajah-wajah
para prajurit Pajang itu pun menjadi semakin tegang.
Tanpa berjanji maka Agung Sedayu dan
Sutawijaya itu pun saling berpandangan. Seakan-akan mereka saling
bertanya, apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Ternyata yang merayap di
dalam hati mereka serupa. Mereka mencemasakan keadaan di sekitarnya.
Bukan karena mereka cemas tentang nasib mereka masing-masing, tetapi
mereka mencemaskan nasib anak-anak muda Prambanan. kalau terjadi
perkelahian di pinggir Kali Opak ini maka korban yang paling banyak
adalah anak-anak muda itu. Sebagian dari mereka sama sekali tidak
bersenjata. Tetapi terbakar oleh darah mudanya, maka mereka akan menjadi
mabuk keberanian tanpa perhitungan. Dalam perkelahian yang demikian,
maka kemungkinan jatuhnya korban adalah besar sekali. Mereka sendiri
pasti tidak akan dapat menjamin, bahwa senjata-senjata mereka tidak akan
menyentuh tubuh lawan.
Sebelum menemukan sesuatu cara yang
sebaik-baiknya mereka mendengar pemimpin prajurit yang melingkari mereka
itu berkata, “Ternyata kalian benar-benar melawan perintah kami. Bahkan
ada beberapa anak-anak Prambanan sendiri yang mencoba menentang kami
pula. Aku memberi kesempatan terakhir kepada anak-anak muda Prambanan.
Haspada, Trapsila dan kawan-kawannya. Tinggalkan orang-orang itu, supaya
kami dapat segera menagkapnya tanpa membuat korban anak-anak muda
Prambanan sendiri.”
Haspada memandang wajah prajurit itu
dengan sorot mata yang menyala. Tiba-tiba ia menjawab, “Aku sudah jemu
melihat tingkah lakumu. Bagi Prambanan sebenarnya lebih baik apabila
kalian pergi saja. Mungkin kami memerlukan perlindungan dari para
prajurit Pajang, tetapi bukan prajurit semacam kalian.”
Kemarahan prajurit-prajurit Pajang itu
kini telah memuncak. Segera mereka bergerak maju, sehingga lingkaran
itu pun menjadi semakin sempit.
Sutawijaya masih belum bergeser dari
tempatnya, sedang Agung Sedayu masih menggenggam anak panah pada
busurnya. Hati mereka pun menjadi semakin cemas melihat perkembangan
keadaan. Tetapi mereka menyadari, bahwa mereka tidak dapat untuk sekedar
mencemaskannya saja tanpa berbuat sesuatu.
Ketika lingkaran itu menjadi semakin
menyempit, maka anak-anak muda Prambanan di dalam lingkaran itu pun
segera bersiap pula. Di tangan mereka kini tergenggam keris
masing-masing. Dengan wajah tengadah mereka menghadapi para prajurit
yang menggenggam pedang di tangannya. Sedang pemimpin prajurit yang
berpihak pada Sutawijaya pun berdiri dengan mata menyala. Sambil
mengacung-acungkan pedangnya ia berkata, “Apa pun yang kalian lakukan,
maka kalian tidak akan dapat mengingkari pertanggungan jawab.”
“Justru karena aku tidak mengingkari
pertanggungan jawabku maka aku berbuat, menangkap kalian, mengikat di
halaman banjar desa, minta maaf kepada tamu-tamu kami dan kemudian
menyerahkan kalian kepada Ki Sidanti atau Ki Untara.”
Tiba-tiba kembali terdengar suara tertawa
menggeletar. Kali ini Sutawijaya-lah yang tertawa. Suara tertawanya
itu pun telah menarik perhatian pula, sehingga segenap mata seakan-akan
tertumpah padanya.
“Apakah kira-kira yang akan kau katakan
kepada Ki Untara?” terdengar Sutawijaya itu bertanya. Ia ingin mencoba
untuk mengurungkan perkelahian itu. Tak ada jalan yang dapat ditempuhnya
selain yang sedang dicobanya itu. Tetapi kalau gagal, maka ia tidak
tahu, apakah akibatnya. Terasa sejak lama, sejak ia bertempur melawan
Argajaya, penyesalan merayapi hatinya. Apalagi kini, pertentangan itu
seakan-akan semakin menjadi-jadi.
Prajurit yang memimpin pengepungan itu menjawab kasar, “Aku akan melaporkan apa yang pernah kalian lakukan di sini.”
“Apakah Ki Untara dapat mempercayaimu?”
“Ada berpuluh-puluh saksi di sini. Ki Demang Prambanan ini pun akan dapat menjadi saksi pula.”
Kembali Sutawijaya tertawa. Katanya, “Lalu apakah yang akan dilakukan oleh Untara itu kira-kira?”
“Kalian akan diserahkan kepada kami. Dan kami akan mencincang kalian di halaman banjar desa.”
“Kalau kau berani mencincang anak itu,” berkata Sutawijaya sambil menunjuk Agung Sedayu, “maka leher kalianlah taruhannya.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya.
Tetapi kemudian ia berkata hampir berteriak, “Pengecut, kalian mencoba
mencari jalan untuk menyelamatkan diri.”
“Tidak. Kalau kau tidak percaya, pergilah
ke Sangkal Putung. Bukan saja Untara berada di sana kini. Tetapi
Panglima Wira Tamtama pun berada di sana pula. Kalau kalian ingin
memanggilnya, maka aku akan menunggu mereka itu di sini. Untara dan
Panglima Wira Tamtama itu.”
Sebelum mereka menjawab, kini tertawa
Swandaru-lah yang terdengar memenuhi udara. “He,” katanya, “apakah kau
akan mengatakan bahwa Agung Sedayu itu tak akan dihukum oleh Untara.”
Agung Sedayu berpaling ke arah adik
seperguruannya. Tetapi ia pun tahu maksud Sutawijaya. Agaknya adi
seperguruannya yang tidak begitu senang menggunakan otaknya, karena ia
lebih senang mempergunakan perasaannya, kini menyadari keadaan yang
gawat itu. Sehingga dengan demikian maka baik Sutawijaya maupun Agung
Sedayu tersenyum karenanya.
“Apakah kau tidak ingin berkelahi?” terdengar Sutawijaya bertanya kepadanya.
“Sebenarnya. Tetapi agaknya Tuan akan menutup kesempatan itu dengan cara Tuan.”
“He,” teriak pemimpin prajurit yang mengepungnya, “jangan membuat cara yang aneh-aneh untuk menyelamatkan diri.”
“Kalau Untara datang, maka kami akan
selamat. Apakah tadi kau dengar anak muda yang gemuk itu berkata?”
bertanya Sutawijaya, “Anak yang berwajah tampan seperti Panji itu adalah
adik Untara. Ya, ia adik senapati yang namanya selalu kau sebut-sebut.”
Kata-kata Sutawijaya itu terdengar
menggelegar seperti guntur yang meledak di atas kepala mereka. Sejenak
mereka terdiam seperti kena pukau yang tajam. Semua mata memandangi
Agung Sedayu yang menjadi tersipu-sipu karenanya.
Meskipun demikian pemimpin prajurit yang
mengepungnya tidak segera mempercayainya. Dengan ragu-ragu kini ia
berkata, “Kau mendapatkan suatu cara yang baik sekali. Memang kami tidak
akan berani berbuat sesuatu atas adik Ki Untara, seandainya adiknya
benar-benar berada di sini. Tetapi setiap orang dapat menyebut dirinya
adik Ki Untara. Bukan saja adik Ki Untara, setiap orang dapat menyebut
dirinya adik Panglima Wira Tamtama atau menyebut dirinya putera Ki Gede
Pemanahan.”
Suara prajurit itu terputus ketika
terdengar meledak suara tertawa Swandaru Geni. Anak itu benar-benar
tertawa terkekeh-kekeh sehingga tubuhnya yang bulat terguncang-guncang.
Namun Sutawijaya-lah yang menyahut,
“Memang kami tidak akan dapat membuktikannya bahwa anak muda itu adik Ki
Untara. Tetapi jangan mencoba memancing pertengkaran. Kalau anak muda
itu mengayunkan pedangnya, maka dalam gerakan yang pertama, lima dari
kalian pasti sudah terbunuh olehnya. Apalagi anak-anak muda Prambanan
yang tidak bersenjata atau yang bersenjata terlampau pendek. Untuk
melawan kalian, semua orang yang mencoba mengepung kami, maka Agung
Sedayu sendiri akan dapat menyelesaikannya. Apakah kalian tidak
percaya?”
Tampaknya wajah-wajah di sekitarnya
menjadi bimbang. Beberapa anak muda menjadi pucat dan beberapa yang lain
saling berpandangan.
“Persetan!” teriak prajurit itu, “Cara
yang sudah lapuk untuk menakut-nakuti lawan. Sekarang kalau kalian ingin
perlakuan yang lebih baik, menyerahlah. Aku tidak akan percaya apakah
yang akan kalian katakan tentang diri kalian.”
Sutawijaya menarik alisnya. Memang
sulitlah untuk membuktikan diri mereka di hadapan orang-orang itu.
Tetapi apabila ia tidak berhasil, maka mereka benar-benar akan menyerang
dan perkelahian pun akan terjadi. Meskipun beberapa orang prajurit dan
anak-anak muda Prambanan itu sama sekali tidak akan menitikkan
keringatnya, apalagi dibantu oleh beberapa anak-anak muda Prambanan
sendiri justru yang paling kuat di antara mereka, namun setiap korban
yang jatuh pasti akan membuatnya menyesal.
Dalam keragu-raguannya itu tiba-tiba
terdengar pemimpin prajurit yang mengepungnya berteriak sekali lagi,
“Ayo menyerahlah meskipun kau mengaku anak dewa dari langit, atau anak
iblis dari dasar bumi.”
“Tidak terlampau jauh,” Sahut Swandaru sambil tertawa, “tebakanmu yang pertama tepat.”
Pemimpin prajurit itu memandanginya sambil menunjuk Sutawijaya, “Apakah ia anak dewa dari langit.”
“Yang pertama.”
Prajurit itu terdiam. Tiba-tiba ia bertanya, “Yang mana?”
“Putra Ki Gede Pemanahan.”
Kembali udara di pinggir kali Opak itu
menggeletar oleh jawaban Swandaru itu. Kembali orang-orang yang berdiri
di tempat itu diam mematung. Kini pusat perhatian mereka adalah anak
muda yang menggenggam tombak di tangannya, yang telah berhasil
mengalahkan Argajaya dengan tidak mengalami kesulitan.
Namun kemudian pemimpin prajurit itu
berteriak kembali, meskipun terasa bahwa dadanya diamuk oleh
kebimbangan, “Nah. Aku menjadi semakin tidak yakin akan kebenaran
kata-kata kalian. Mula-mula salah seorang dari kalian dinamakan adik Ki
Untara, kemudian kini yang lain disebut putera Ki Gede Pemanahan. Nah,
yang seorang itu, yang gemuk, akan kalian namakan apalagi. Apakah anak
yang gemuk itu akan disebut sebagai Putera Sultan Hadiwijaya?”
Swandaru tertawa semakin keras mendengar
kata-kata itu. Sehingga beberapa titik air matanya membasahi pipinya
yang gembung. Sutawijaya dan Agung Sedayu pun terpaksa tersenyum
melihat tingkah lakunya.
Haspada, Trapsila, beberapa anak-anak
muda yang berada di dalam lingkaran, beserta pemimpin prajurit yang
datang bersamanya, benar-benar membeku melihat tingkah laku ketiga
anak-anak muda itu. Sebutan-sebutan yang mereka ucapkan telah
mempengaruhi sikap mereka. Tanpa mereka kehendaki, maka tiba-tiba mereka
kini semakin memperhatikan wajah-wajah dari ketiga anak-anak muda yang
menyebut dirinya Pengawal Kademangan Sangkal Putung.
Wajah Agung Sedayu yang mantap dan
tenang. Wajah Sutawijaya yang tajam berwibawa dan wajah gemuk bulat
namun memancarkan keteguhan tekad. Ketiganya sudah pasti bukan anak-anak
gembala yang kebetulan menjadi seorang pengawal kademangannya.
Tetapi meskipun ragu-ragu, namun pemimpin prajurit yang mengepungnya mencoba untuk tidak terpengaruh kata-kata itu.
Baginya setiap hidung akan dapat
mengucapkan sebutan-sebutan itu. Dengan demikian, maka apabila ia
terpengaruh olehnya, berarti kegagalan pula baginya.
Namun prajurit itu pun tidak lagi dapat
bertindak segarang semula. Di dalam hati kecilnya tersimpan pula
pengakuan, bahwa anak-anak muda itu pasti bukan anak kebanyakan. Tetapi
apabila mereka benar-benar adik Untara, apalagi putera Ki Gede
Pemanahan, apakah pula kerjanya menyelusuri hutan sampai ke Kademangan
Prambanan tanpa pengawalan seorang prajurit pun.
Tetapi kini prajurit itulah yang terkejut, ketika Swandaru membentaknya, “He, apakah kau tidak percaya?”
“Tidak,” sahutnya dengan serta merta.
Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya, “Bagaimana Tuan. Apakah kita berkelahi saja.”
“Jangan,” cegah Sutawijaya. Ia kini
tinggal mempunyai satu cara untuk mencoba meyakinkan dirinya. Sejenak ia
terdiam. Dipandanginya wajah pemimpin prajurit yang datang bersamanya.
Tiba-tiba ia berkata, “Kemarilah. Lihat landean tombak pendekku ini.
Bukankah kau pandai membaca?”
Prajurit yang dipanggil oleh Sutawijaya
itu memandanginya dengan penuh pertanyaan. Ia sama sekali tidak tahu
maksud anak muda itu.
“Kemarilah,” panggil Sutawijaya, “mendekatlah.”
Yang terdengar adalah suara pemimpin prajurit yang mengepungnya, “Jangan banyak tingkah. Menyerahlah.”
Tetapi Sutawijaya seakan-akan sama sekali
tidak mendengarkannya. Sekali lagi ia berkata, “Kemarilah. Lihat
landean tombakku ini.”
Seperti kena pesona pemimpin prajurit yang memihak kepada Sutawijaya itu pun berjalan mendekatinya.
“Kau pandai membaca bukan?” bertanya Sutawijaya.
Prajurit itu menganggukkan kepalanya.
Pada landean itu ternyata tercoreng
beberapa huruf yang dipahatkan agak dalam. Sambil menunjuk kepada
huruf-huruf itu Sutawijaya berkata, “Baca. Bacalah huruf-huruf ini.”
Prajurit itu masih belum tahu maksud
Sutawijaya. Tetapi ia membacanya juga. Diamatinya huruf-huruf yang
berjejer-jejer membentuk kata-kata itu. Pa-nglegena, sa-wulu-layar,
sa-nglegena, wa-suku dan ka-wulu-layar. “Pasir Sawukir,” gumam prajurit
itu.
“Apakah kau pernah mendengar nama itu?” bertanya Sutawijaya.
Prajurit itu menggeleng. Dan pemimpin yang lain berteriak, “He. Apakah kau sedang bermain gila-gilaan?”
“Kau juga belum pernah mendengar nama itu?” bertanya Sutawijaya kepada prajurit di luar lingkaran.
“Nama itu sama sekali tak berarti bagi kami.”
“Baik,” sahut Sutawijaya. Diputarnya
landean tombaknya. Di sisi yang lain ternyata tertera beberapa huruf
pula. Sambil menunjuk huruf yang tertera itu, maka Sutawijaya berkata,
“Sekarang bacalah huruf-huruf ini. Huruf-huruf ini akan menyebut sebuah
nama. Nama itu adalah namaku. Kalian dapat percaya atau tidak. Tetapi
itu adalah namaku. Seandainya kalian tidak percaya, dan kalian tetap
dalam pendirian kalian, maka kalian pagi ini juga pasti akan menjadi
bangkai. Burung-burung gagak pasti akan kekucah di pinggir Kali
Opak ini. Nama yang akan dibaca oleh pemimpin kalian ini adalah usahaku
yang terakhir untuk mencegah perkelahian.”
Kata-kata Sutawijaya itu menyusup ke
dalam setiap dada seperti tajamnya tombak yang menyusup ke jantung
mereka. Beberapa anak muda menjadi cemas dan ketakutan. Beberapa yang
lain setapak demi setapak surut ke belakang.
Tetapi para prajurit yang mengepungnya
masih saja tegak di tempatnya. Meskipun ke ragu-raguan semakin besar
melanda jantungnya, tetapi mereka masih belum dapat mempercayai sesuatu.
Pemimpin prajurit yang berdiri di samping
Sutawijaya itu mengamat-amati huruf demi huruf. Beberapa kali ia
mencoba membacanya di dalam hatinya. Nama itu pernah didengarnya. Ya,
nama itu telah pernah menggemparkan dada setiap prajurit Pajang. Karena
itu, tiba-tiba keringat dingin mengalir melalui segenap lubang-lubang
kulitnya. Sejenak ia diam mematung. Diawasinya huruf-huruf itu, dan
kemudian diucapkannya nama itu kembali di dalam hatinya.
“Jadi………,” kata-katanya serasa terhenti di kerongkongan.
“Baca,” minta Sutawijaya.
Prajurit itu memandang wajah Sutawijaya.
Tiba-tiba prajurit itu melihat seakan-akan wajah itu memancarkan sinar
yang menyilaukan. Dengan serta-merta ia menundukkan kepalanya sambil
berkata gemetar, “Ampun, Tuan. Ampun. Aku tidak mengenal Tuan
sebelumnya. Kalau benar Tuan yang datang di sini, maka sepantasnyalah
Tuan yang menghukum kami.”
Orang-orang yang berdiri di sekelilingnya
menjadi heran dan terperanjat. Kenapa tiba-tiba pemimpin prajurit itu
menjadi pucat pasi seperti mayat.
Pemimpin prajurit yang sedang
mengepungnya melihat peristiwa itu dengan dada yang berdebar-debar.
Tetapi tanpa disadarinya ia berteriak, “He, kenapa kau menjadi takut
seperti melihat hantu. Apakah pada landean tombak itu tertera nama
hantu-hantu, atau penjaga hutan dan lereng Merapi? Atau sebuah nama
perguruan yang menakutkan, atau sebuah gerombolan penjahat yang
mengerikan?”
Tetapi prajurit yang sedang gemetar itu
seakan-akan tidak mendengarnya. Ia masih saja berkata, “Tuan. Kami sama
sekali tidak mengetahui, dengan siapa kami berhadapan. Kalau kami
mengenal Tuan sebelumnya, maka kami tidak akan bersikap seperti ini.
Juga kawan-kawan kami dan pasti juga tamu-tamu kami akan bersikap lain.
Apalagi anak-anak muda Prambanan ini.”
“He, siapa dia?” teriak beberapa orang prajurit yang tidak sabar menunggu. Sebut namanya, supaya kami segera bersikap.”
Yang terdengar justru suara tertawa
Swandaru. Meskipun ia berusaha untuk menahannya, tetapi suara itu
meluncur juga dari sela-sela bibirnya.
Agung Sedayu memandanginya dengan
kerut-merut di dahinya. Kali ini mereka tidak sedang bergurau. Kalau
bukti terakhir ini tidak juga dipercaya, berarti darah akan mengalir di
pinggir Kali Opak ini.
Tetapi suara tertawa Swandaru itu segera dapat dihentikannya, seakan-akan ditelannya kembali, meskipun perutnya terasa sakit.
Prajurit-prajurit yang mengepung mereka
itu kini sudah menjadi tidak bersabar lagi. Hampir bersamaan mereka
berteriak, “Sebut, sebutlah namanya. Apakah kalian sedang bermain-main
untuk menakut-nakuti kami. Kalau benar nama itu menggetarkan hatimu.
Sebutlah.”
Sutawijaya mengangkat dagunya.
Dipandanginya orang-orang di sekelilingnya. Wajah-wajah yang tegang dan
penuh pertanyaan. Haspada, Trapsila dan kawan-kawannya seakan-akan
membeku di tempatnya. Namun pancaran wajahnya terasa menjadi terlampau
tegang.
“Bacalah,” desis Sutawijaya kemudian.

Dengan suara bergetar maka prajurit itu pun membaca nama itu, “Sutawijaya yang bergelar Ngabehi Loring Pasar.”
Suara prajurit yang gemetar itu terdengar
seperti ledakan Gunung Merapi di telinga orang-orang yang berdiri di
sekitarnya. Baik yang berdiri di dalam lingkaran, maupun yang berada di
luar kepungan. Sejenak mereka dicengkam oleh suasana yang aneh, sehingga
tak seorang pun yang segera dapat menentukan sikapnya. Prajurit yang
pemimpin pengepungan itu pun berdiri dengan mulut menganga. Pedang yang
di tangannya itu tiba-tiba menjadi bergetar dan hampir-hampir jatuh
dari genggamannya.
Sekali lagi dicobanya untuk menatap wajah
anak muda yang menggenggam tombak itu. Kemudian beralih kepada anak
muda yang disebutnya adik Untara, seterusnya kepada anak muda yang gemuk
bulat yang seakan-akan selalu tertawa dalam segala keadaan.
Sutawijaya melihat ketegangan dalam
setiap hati. Ia ingin mempergunakan kesempatan itu untuk meyakinkan
orang-orang Prambanan tentang dirinya. Bukan karena ia ingin bersombong
diri, tetapi dengan demikian ia mengharap para prajurit dan orang-orang
Prambanan mengurungkan niatnya untuk menangkapnya. Dengan demikian maka
perkelahian pun akan terhindar, dan pertumpahan darah pun dapat
disingkiri.
Dengan wajah tengadah anak muda itu pun
berkata, “Nah, siapa yang tidak percaya pada tulisan itu? Aku tidak
berkeberatan seandainya masih ada yang berkata, bahwa setiap orang dapat
saja menulis apa saja pada landean tombaknya. Dapat saja menulis
dirinya dengan sebutan aneh-aneh. Mungkin kalian dapat berkata bahwa
setiap orang dapat menulis namanya dan menyebutnya sebagai putera Dewa
Brahma seperti tersebut di dalam dongeng-dongeng. Atau dapat menyebut
dirinya sebagai titisan Wishnu seperti Kresna atau Kekasih Syiwa. Tetapi
aku masih mempunyai satu bukti lagi yang akan meyakinkan kalian apabila
kalian kehendaki. Aku adalah Sutawijaya putera Ki Gede Pemanahan.
Akulah yang pernah membenamkan ujung tombakku ke lambung Arya
Penangsang, meskipun tombak itu bukan tombak yang aku pergunakan
sekarang. Tombak itu adalah tombak pusaka sipat kandel Kadipaten Pajang,
yang bernama Kiai Pleret, dan berlandean panjang, jauh lebih panjang
dari tombakku ini. Meskipun demikian, meskipun aku kali ini tidak
membawa Kiai Pleret, tetapi apabila kalian tetap dalam pendirian kalian
ingin menangkap Sutawijaya, maka sebelum kalian sempat menyentuh
pakaianku, maka kalian pasti telah menjadi mayat. Apalagi kalau kedua
kawan-kawanku itu ikut serta. Pedangnya tidak kalah dahsyatnya dari
sepuluh pasang pedang di dalam genggaman tangan kalian. Aku berkata
sebenarnya bahwa yang seorang itu adalah adik Untara. Ya, adik Kakang
Untara, senapati yang mendapat kepercayaan di seluruh daerah di seputar
Gunung Merapi. Sedang yang seorang lagi, yang gemuk itu adalah putera Ki
Demang Sangkal Putung, pemimpin anak-anak muda pengawal Kademangan
Sangkal Putung. Apalagi seperti yang kalian lihat di sini berdiri
pemimpin prajurit Pajang di Prambanan yang syah dan di sini berdiri pula
beberapa anak muda yang masih dapat berpikir jernih. Yang masih sempat
melihat keruntuhan yang dengan perlahan-lahan menerkam kademangan
kalian. Keruntuhan pribadi satu-satu dari kalian adalah pertanda yang
paling jelas bahwa kademangan ini kini telah berada di pinggir jurang
kehancuran,” Sutawijaya berhenti sejenak. Dipandanginya setiap wajah
yang ada di sekitarnya. Wajah-wajah anak-anak muda yang berada di dalam
lingkaran dan wajah-wajah yang sedang mengepungnya rapat-rapat, juga
wajah-wajah yang berada di luar kepungan. Pada wajah-wajah itu
Sutawijaya dapat membaca bahwa kata-katanya telah bergolak di setiap
dada.
Pinggir Kali Opak itu kini dicengkam oleh
kesenyapan. Tak seorang pun yang mengucapkan kata-kata. Mulut mereka
terbuka, tetapi serasa kerongkongan mereka tersumbat oleh sebuah
perasaan yang aneh.
Sejenak kemudian kembali Sutawijaya
berkata, “Nah, sekarang apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian
percaya kepada kata-kataku ataukah kalian masih saja menganggap bahwa
aku hanya sekedar menakut-nakuti?”
Tak ada jawaban.
Dan Sutawijaya pun berkata pula,
“Meskipun aku baru semalam melihat wajah Kademangan kalian, tetapi aku
sudah mendapat gambaran yang jelas, apa yang sebenarnya terjadi di sini.
Kemunduran watak dan tabiat, kehilangan pegangan karena mabuk
kemenangan-kemenangan kecil yang sebenarnya tidak berarti apa-apa, dan
yang terpenting kemudian, pengingkaran atas nilai-nilai kebaktian kalian
kepada sumber hidup kalian. Kemaksiatan bukan saja pelanggaran atas
nilai-nilai hidup duniawi, tetapi lebih-lebih daripada itu, kemaksiatan
adalah jalan yang menuju kepada Bebendu Abadi. Mungkin bagi
mereka yang memegang pedang di tangan, dapat menghindari setiap tanggung
jawab duniawi dengan kekuasaan yang terpancar dari tajam pedangnya.
Tetapi apakah pedang itu akan bermanfaat untuk melawan pengadilan
tertinggi, pengadilan dari Sumber Hidup kalian?”
Orang-orang yang berdiri di tepian Kali Opak itu benar-benar seperti cengkerik terinjak kaki. Diam membeku.
Namun tiba-tiba mereka seperti tersentak bangun ketika Sutawijaya berkata, “Ayo, siapa yang akan menangkap Sutawijaya?”
Prajurit-prajurit yang berdiri memagari
Sutawijaya dan kawan-kawannya itu pun tiba-tiba terlempar pada
kesadaran mereka tentang diri mereka.
Kata-kata Sutawijaya itu seakan-akan
ujung-ujung tombak yang menghujani beribu kali ke pusat jantung mereka.
Pedih dan nyeri. Tubuh mereka itu pun kemudian bergetaran. Meskipun ada
juga perasaan ingkar atas segala tuduhan yang tidak langsung ditimpakan
kepada diri mereka, tetapi ketika terpandang wajah Sutawijaya itu, maka
wajah-wajah mereka pun tertunduk lesu. Bahkan kemudian terbayang di
rongga mata mereka, Panglima Wira Tamtama yang mereka segani, akan
datang sendiri menghakimi mereka. Menunjuk ke wajah-wajah mereka sambil
menjatuhkan hukuman yang paling berat.
Demang Prambanan pun berdiri dengan
pucatnya. Lututnya beradu seperti orang melihat hantu. Dadanya serasa
diguncang-guncang oleh perasaan yang mengerikan. Seakan-akan ia sedang
berada di dalam dunia mimpi yang menakutkan.
Orang-orang yang berdiri di pinggir kali
Opak itu kini serasa di kejar oleh perasaan bersalah dan ketakutan. Para
prajurit yang mengepung Sutawijaya itu pun merasa betapa mereka
menyesal atas kelakuan mereka. Kenapa ia harus berhadapan dengan putera
Ki Gede Pemanahan tanpa mereka ketahui.
Kini ternyata mereka telah mengancam
putera panglimanya. Bukan saja karena anak muda itu putera Panglima Wira
Tamtama, tetapi anak muda itu adalah putera angkat yang kinasih dari
Adipati Pajang sendiri.
Dengan demikian maka setiap orang di
pinggir sungai Opak itu kini justru terbungkam. Yang memecah kesenyapan
adalah suara Sutawijaya kembali, “Bagaimana? Apakah kalian masih tetap
pada pendirian kalian?”
Tiba-tiba pemimpin prajurit yang
mengepungnya itu melangkah selangkah maju. Tubuhnya yang gemetar
hampir-hampir tidak dapat lagi berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Ketika ia kemudian membungkukkan badannya maka pedangnya pun terjatuh
dari tangannya, katanya maka, “Aku dan kawan-kawanku memohon seribu
ampun”
“Apakah kau masih ragu-ragu?” bertanya Sutawijaya lantang.
“Tidak. Tidak, Tuan,” sahut prajurit itu dengan serta merta.
“Kau melihat aku berkelahi melawan Argajaya?”
“Ya, Tuan.”
“Ketahuilah, bahwa dengan dua tiga unsur
gerak aku dapat membunuhnya. Tetapi aku masih menghormatinya dan
membiarkan ia melawan sampai beberapa saat. Meskipun demikian aku tidak
akan membunuhnya. Bukan karena ia paman Sidanti, sebab Sidanti itu pun
sama sekali tidak berarti bagiku.” Sutawijaya itu berhenti sejenak.
Dipandanginya para prajurit yang menundukkan kepalanya dengan lutut
gemetar, “Ketahuilah,” katanya kemudian, “Sidanti kini memang sudah
tidak berada di Sangkal Putung lagi. Sidanti telah melarikan dirinya
karena ia melawan kepada pimpinannya. Sidanti telah mencoba membunuh
Kakang Untara untuk dapat menggantikannya. Tetapi Untara tidak terbunuh,
sehingga dengan demikian Sidanti harus melarikan diri. Anak muda yang
bernama Sidanti dan dibangga-banggakan itu sama sekali tidak mampu
melawan anak muda yang berdiri di sini itu. Adik Kakang Untara. Karena
itu, seandainya datang tiga Sidanti di pinggir Kali Opak saat ini, maka
kami bertiga tidak akan menjadi cemas sama sekali, apalagi tiga orang
Argajaya yang sombong itu.”
Prajurit-prajurit Pajang itu masih
berdiri dengan wajah yang tertunduk. Tak seorang pun kini yang berani
mengangkat wajahnya memandangi wajah putera Ki Gede Pemanahan itu.
Dalam pada itu Ki Demang Prambanan yang
masih muda itu berkata dengan nada yang datar gemetar, “Tuan, kami
benar-benar tidak tahu siapakah Tuan. Bukan kebiasaan kami tidak
menghormati tamu-tamu, tetapi hanya karena kami tidak tahu, maka mungkin
sikap kami, orang-orang kademangan ini, tidak berkenan di hati Tuan.
Terhadap Argajaya itu pun kami bersikap hormat pula, meskipun kami
tahu, betapa orang itu sangat memuakkan karena kesombongannya. Apalagi
terhadap Tuan apabila kami tahu sebelumnya.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya
mendengar kata-kata Ki Demang Prambanan itu. Sedang Ki Demang itu
berkata pula, “Karena itu, Tuan, aku mengharap Tuan sudi bermalam di
Kademangan kami. Kami akan menjamu Tuan dengan kemeriahan dua tiga kali
lipat dari jamuan yang pernah kami adakan untuk Argajaya.”
Sutawijaya memandangi wajah Demang itu dengan tajamnya. Tetapi anak muda itu tidak segera menjawab.
Ki Demang itu masih juga berkata, “Kami
akan mengadakan pertunjukan menurut kesenangan Tuan tiga hari tiga malam
dan akan menjamu Tuan menurut kehendak Tuan. Kami akan menyembelih
lembu dan kambing sebagai tanda hormat kami atas kesudian Tuan hadir di
Kademangan ini.”
Ketika terpandang oleh Sutawijaya wajah
Swandaru, maka Sutawijaya itu pun segera mengetahui, bahwa di dalam
dada anak muda itu pun bergejolak perasaan seperti yang bergolak di
dalam dadanya sendiri. Tetapi ketika ia memandangi wajah Agung Sedayu,
maka sukarlah baginya untuk menjajagi perasaan anak muda itu. Wajahnya
hampir tidak berubah. Kesannya tenang dan dalam.
Tetapi dalam ketenangan itu, sebenarnya
bergelombanglah perasaan di dalam hatinya. Bahkan tiba-tiba ia menjadi
kecewa melihat wajah Ki Demang Prambanan itu. Kecewa akan sikapnya yang miyur,
tanpa berpegangan kepada suatu sikap yang terpuji. Baru saja mereka
melihat, bagaimanakah sikapnya terhadap Argajaya, kini mereka melihat
sikap yang tiba-tiba berubah. Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk menekan
perasaannya. Ia tidak mau merusak suasana yang sudah hampir mereda.
“Marilah, Tuan,” berkata Ki Demang, yang
kemudian kepada para prajurit dan orang-orangnya ia berkata, “Marilah
kita sambut tamu-tamu kita ini dengan kegembiraan di hati. Tidak
terpaksa karena sopan santun saja seperti kita menyambut Argajaya
kemarin. Tetapi kali ini kita akan merayakannya dengan ikhlas. Bahwa
kademangan kita telah mendapat kesempatan dikunjungi oleh priyagung dari
Pajang.”
Belum lagi Ki Demang itu selesai,
terdengar Sutawijaya berkata, “Terima kasih Ki Demang. Kami bukan
orang-orang yang dapat dimabukkan oleh sambutan-sambutan dan kemeriahan
lahiriah. Kami bukan Argajaya. Mungkin ada beberapa perbedaan di antara
kami dan Argajaya itu.” Sutawijaya berhenti sejenak. Dilihatnya wajah Ki
Demang yang pucat menjadi semakin pucat. Apalagi ketika sejenak
kemudian Sutawijaya berkata, “Jangan mencoba mencuci tanganmu dengan
darah lembu dan kambing yang akan kau sembelih. Tak ada gunanya Ki
Demang. Yang dapat mencuci namamu yang agaknya selama ini menjadi buram
adalah sebuah pengakuan. Pengakuan atas kesalahan-kesalahan yang pernah
kau lakukan. Dengan janji di dalam hati bahwa kesalahan itu tidak akan
terulang kembali.”
Mulut Ki Demang kini benar-benar
terbungkam. Seluruh tubuhnya telah basah karena keringat dingin yang
mengalir seperti terperas dari dalam tubuhnya. Dengan lutut yang beradu
ia mencoba untuk dapat tegak berdiri.
Ki Demang itu hampir terjatuh ketika ia
terkejut mendengar Sutawijaya membentaknya, “Bagaimana Ki Demang. Apakah
kau dengar kata-kataku?”
“Ya, ya, Tuan. Aku mendengar.”
“Dan Mengerti pula?”
“Ya, aku mengerti, Tuan.”
“Apa?”
Jantung Ki Demang Prambanan itu serasa
dihentak-hentak oleh guruh yang meledak di dalam dadanya. Hampir-hampir
ia menjadi pingsan karena ketakutan.
“Apa yang kau ketahui he Ki Demang?”
Ki Demang tidak segera dapat menjawab. Mulutnya benar-benar serasa tersumbat.
“Kenapa kau diam, he? Kau sangka aku
bermain-main?” desak Sutawijaya agak keras. “Aku tidak bermain-main Ki
Demang. Aku juga tidak menakut-nakuti kalian. Aku akan dapat
membuktikannya apa yang aku katakan. Bukan karena aku putera Panglima
Wira Tamtama. Tetapi seandainya bukan, maka aku sanggup menghadapi
kalian dengan ujung tombakku ini, kau dengar?”
“Ya, ya, Tuan,” suara Ki Demang hampir tidak kedengaran.
“Apakah kau menyesal?”
“Ya, Tuan.”
Sutawijaya menarik nafas. Ia tahu, bahwa
Ki Demang itu memang sudah tidak mungkin lagi diajaknya berbicara.
Tetapi dengan demikian, maka semua kata-katanya besok atau lusa pasti
akan dipertimbangkannya. Karena itu maka katanya, “Aku malam nanti tidak
akan bermalam lagi di Kademangan ini. Aku sudah tahu gambaran yang
pasti tentang Kademangan ini. Beruntunglah bahwa di sini masih ada
seorang prajurit yang menyadari kesalahannya pada saat-saat terakhir.
Kepadanya aku percayakan prajurit-prajurit yang lain. Apabila masih juga
terjadi, mereka menentang perintah pemimpinnya yang syah, yang diangkat
dan bertanggung jawab kepada Kakang Untara, maka mereka akan ditindak
seperti orang-orang yang sampai saat ini masih membangkang di bawah
pimpinan Sanakeling. Sedang Kademangan Prambanan harus merasa berterima
kasih bahwa mereka masih memiliki anak-anak muda seperti Haspada,
Trapsila dan beberapa orang yang lain. Merekalah yang seterusnya harus
tampil ke depan, membimbing kawan-kawannya. Mungkin satu dua ada juga
yang tidak ingin melepaskan cara hidupnya kini. Berkeliaran, berbuat
aneh-aneh dan tidak menghiraukan lagi adat dan tata-cara. Adalah menjadi
tugas anak-anak muda sendirilah untuk menghentikannya. Bahkan
orang-orang tua yang memberi banyak contoh-contoh yang sesat itu pun
harus dihentikan. Sekarang juga. Jangan menunggu sampai gunung Merapi
meledak dan menimbuni daerah ini dengan pasir dan batu.”
Ketika Sutawijaya terdiam, maka tak ada
suara yang berderik, selain gemericik air Kali Opak dan desir angin di
dedaunan. Semaunya terdiam beku. Wajah-wajah yang menunduk dan hati yang
pepat dan kecut. Ternyata mereka berhadapan dengan seorang anak muda
yang luar biasa. Tidak saja menggerakkan tombaknya, tetapi juga
menggerakkan lidahnya.
Kesepian itu kemudian terpecahkan ketika Sutawijaya tiba-tiba berkata, “Aku akan pergi.”
Kata-kata itu pun sangat mengejutkan.
Semua wajah yang tunduk itu terangkat, dan semua mata memandang
kepadanya. Tetapi ia berkata sekali lagi, “Aku akan pergi. Marilah Agung
Sedayu dan Swandaru. Kita lanjutkan perjalanan kita.”
“Tuan,” pemimpin prajurit itu berusaha
untuk mencegahnya, “Sebaiknya Tuan bermalam di sini. Bukan maksud kami
untuk mencoba menyenang-nyenangkan hati tuan karena kesalahan-kesalahan
kami, dengan harapan supaya Tuan sudi memaafkannya, tetapi sebenarnyalah
kami ingin Tuan bermalam di sini untuk memberikan beberapa petunjuk
yang mungkin akan sangat penting bagi kami.”
“Cukup,” sahut Sutawijaya. “Aku sudah
cukup banyak berbicara. Mungkin besok atau lusa atau seminggu dua minggu
lagi ada orang lain yang berkepentingan datang kemari. Mungkin
kawan-kawanmu para prajurit yang berada di sini harus ditarik dan
diganti oleh yang lain, mungkin keputusan-keputusan lain yang akan
diambil oleh kakang Untara, tetapi mungkin kalian masih akan
dibiarkannya saja seperti sekarang, karena kesibukannya yang terlampau
banyak. Aku tidak tahu. Itu bukan urusanku. Tetapi aku mempunyai
kepentingan sendiri dan aku akan pergi.”
“Tuan,” potong prajurit itu, tetapi
Sutawijaya seperti tidak mendengarnya. Bahkan ia berkata kepada
Swandaru, “Berikan busurku itu.”
Swandaru pun kemudian memungut busur itu dan memberikannya sambil bertanya, “Apakah kita akan meneruskan perjalanan kita?”
“Ya,” sahut Sutawijaya
Swandaru tidak bertanya lagi. Yang
berbicara kemudian adalah Sutawijaya kedapa Haspada dan Trapsila,
“Selamat kepada kalian. Mudah-mudahan kalian akan tampil kembali dalam
kepemimpinan anak-anak muda. Jangan patah hati. Kalau perlu kalian dapat
berlaku agak keras. Bukankah kalian mempunyai bekal yang cukup untuk
melakukannya?”
“Mudah-mudahan kami dapat melakukannya, Tuan,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Bagus. Sekarang aku akan meninggalkan
kademangan ini. Aku mengharap di saat lain aku akan kembali mengunjungi
daerah ini. Bukankah menurut cerita yang pernah aku dengar, kademangan
ini pernah mendapat seorang demang yang sangat baik? Cobalah ulangi nama
yang baik itu. Jauhkan segala macam kericuhan dan kemaksiatan.”
Orang-orang yang berdiri di pinggir Kali
Opak itu kemudian hanya dapat melihat ketiga anak-anak muda itu berjalan
dengan langkah yang tetap meninggalkan pinggiran Kali Opak, menyeberang
ke arah Barat.
Beberapa lama mereka tegak bagaikan
sekelompok patung di tepian sungai Opak. Dengan hati yang berdebar-debar
mereka melihat ketiganya menyeberang sungai yang tidak begitu dalam,
namun cukup lebar. Kaki-kai mereka menyentuh air yang mengalir, membuat
gejolak kecil. Namun gejolak yang terjadi di dalam dada orang-orang
Prambanan itu terasa betapa besarnya melanda dinding-dinding jantung
mereka.
Ketika ketiga anak-anak muda itu meloncat
tebing di sisi seberang dan menghilang di balik rimbunnya alang-alang,
maka kini berpasang-pasang mata berpaling memandangi pemimpin prajurit
yang berdiri di dalam lingkaran bersama beberapa anak-anak muda
Prambanan. Prajurit yang masih mendapat kepercayaan dan putera Panglima
Wira Tamtama untuk memimpin Kademangan Prambanan. Betapa dada para
prajurit yang lain menjadi semakin berdebar-debar. Prajurit yang seorang
itu dapat berbuat menurut kehendaknya. Iaakan dapat melepaskan
dendaamnya kepada mereka. Bahkan dapat berbuat diluar dugaan. Juga
kepada Ki Demang Prambanan dengan batuan anak-anak muda yang tegak di
sekitarnya.
Tetapi prajurit itu berkata seperti bukan
kehendaknya sendiri, “Kalau terjadi kesalahan pada kita dimasa-masa
lalu, marilah kita sadari bersama, bahwa kesalahan itu adalah kesalahan
kita bersama. Bukan saja kesalahanku. bukan saja kesalahanmu. Tetapi
kesalahan kita seluruh isi Kademangan. Kehadiran anak muda, Putera Ki
Gede Pemanahan itu ternyata telah membawa kesadaran baru di dalam hati
kita. Kita tidak usah mempersoalkan apakah mereka itu benar-benar
anak-anak muda seperti yang mereka katakan, yang seorang pudera Ki Gede
Pemanahan, yang seorang adik Ki Untara dan yang seorang putera Ki Demang
Sangkal Putung. Tetapi ternyata apa yang mereka lakukan dan mereka
katakan membawa nafas baru didalam kehidupan Kademangan kita. Aku tidak
akan merasa bangga atas kepercayaan yang diberikan kepadaku, juga tidak
akan mempergunakan kekuasaan itu untuk berbuat menurut perasaanku.
Tetapi marilah kita berjanji, bahwa Kademangan ini harus menjadi
Kademangan yang baik seperti masa-masa lalu. Bukaukah Kademangan
Prambanan pernah menjadi Kademangan yang disegani dan dihormati karena
seorang Demang yang baik dimasa lalu? Dimasa pemerintahan masih berada
di Demak. Nah, kita harus kembali ke jaman itu. Jaman yang baik.”
Tak terdengar jawaban, tetapi wajah-wajah
yang tumungkul membayangkan kesadaran yang merayapi hati masing-masing.
Semua orang memang telah berbuat kesalahan. Mereka tidak akan dapat
melempar-lemparkan kesalahan satu kepada yang lain. Mereka bersama-sama
telah berbuat dalam satu keadaan yong membuat Prambanan memiliki wajah
seperti wajahnya kini. Tercoreng-moreng dan berbelang-bonteng.
Kuwajiban mereka adalah membersihkan coreng-moreng dan belang bonteng
itu. Tidak ada waktu untuk berbantah dan bertengkar mencari sebab
kesalahan, sebab dengan demikian mereka hanya akan membuang-buang waktu
dan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan baru yang akan menyeret
mereka ke dalam lembah perpecahan dan kehancuran.
Setiap orang yang berdiri di tepian Kah
Opak itupun seakan-akan telah berjanji di dalam hati masing-masing,
bahwa mereka untuk seterusnya akan memperbaiki kesalahan yang pernah
mereka lakukan. Keadaan yang mereka hadapi pagi itu seakan-akan cermin
yang besar yang dihadapkan kewajah-wajah mereka, untuk melihat cacat
yang bertebaran. Dan cacat itu harus mereka hilangkan.
Ketika kemudian orang-orang Prambanan itu
kembali ke Kademangan mereka dengan penuh penyesalan atau keadaan
Kademangan mereka disaat-saat lampau, sehingga hanyak menyebabkan
kemunduran di segala bidang kehidupan, maka pada saat itu Sutawijaya,
Agung Sedayu dan Swandaru telah menyusup kedalam hutan ilalang dan
perdu. Sejenak kemudian mereka membelok ke kanan untuk mencari jalan
kecil yang menuju ke padesan di sebelah timur Hutan Tambak Baya.
Swandaru yang tidak dapat lagi menahan
hatinya tiba-tiba bertanya , “Kakang, eh, tuan, kenapa tuan telah
membuat lelucon itu di Kademangan Prambanan, Kenapa tuan tidak berbuat
sesuatu atas Argajaya yang sombong?”
Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Kalau
aku melukai apalagi membunuh Argajaya, maka kesan yang didapat oleh
orang-oran Prambanan akan lain sekali. Mereka menganggap kita
orang-orang biasa saja yang berbuat seperti juga Argajaya berbuat.
Tetapi dengan demikian maka tindakan kita akan berkesan di hati mereka.
Mudah-mudahan mereka dapat mengerti dan menyadari keadaan mereka
sendiri.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi apakah Argajaya itu tidak berbahaya bagi tian?”
“Mudah-mudahan tidak. Apabila kelak ia mengetahui siapa aku, Agung Sedayu dan kau, maka ia akan bersikap lain.”
“Tetapi tuan,” Agung Sedayu bertanya
pula, “setelah Argajaya itu bertemu dengan Sidanti, maka apakah justru
tidak membakar dendam masing-masing. Apa yang dialami oleh Argajaya dan
apa yang dialami oleh Sidanti pasti akan pengaruh mempengaruhi,
masing-masing akan saling memperkuat dendam didalam hati mereka, sebab
mereka masing-masing pernah berkelahi dengan tuan dan mengalami
kekalahan yang mutlak.”
Sutawijaya terdiam sejenak. Kini ia tidak
tersenyum lagi. Pertanyaan itu memang masuk diakalnya Tetapi ia
menjawab, “Itu adalah akibat dan pertanggungan-jawab. Biarlah, apabila
kelak aku harus berhadapan dengan salah seorang dari mereka atau bahkan
kedua-duanya.”
“Dan guru Sidanrti itu?”
“Biarlah ayah menyelesaikannya. Kalau mereka mencari kalian, biarlah gurumu menemuinya”
Agung Sedalu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, di dalam hati mereka berkata,
“Bagaimana kalau kebetulan pada saat-saat seperti ini kami bertemu
dengan Ki Tambak Wedi itu”
Angan-angan itu pun terputus oleh sebuah
kejutan di belakang mereka. Terdengar seseorang terbatuk-batuk dan
ketika mereka berpaling, mereka melihat dedaunan yang tersibak.
Oleh angan-angan mereka tentang Ki Tambak
Wedi, maka kejutan itu telah melontarkan mereka selangkah surut dan
dengan serta-merta tangan-tangan mereka telah meraba hulu pedang mereka
masing-masing.
Ketika daun itu tersibak sepenuhnya, dan
mereka melihat siapa yang datang itu, maka darah mereka yang serasa
telah membeku terasa kembali mengalir. Bahkan serasa setetes embun
menitik pada hati mereka yang sedang dibakar oleh kegelisahan.
Orang yang datang itu tersenyum melihat
ketiga anak-anak muda itu terkejut. Sambil tersenyum ia berkata, “Apakah
aku mengejutkan kalian?”
Agung Sedayu dan Swandaru Geni menarik
nafas dalam-dalam, tetapi Surtawijaya masih saja memandanginya dengan
penuh pertanyaan meskipun wajahnya tidak lagi menjadi terlampau tegang.
“Ya guru” sahut Agung Sedayu, “kedatangan
guru benar-benar telah mengejutkan kami, justru kami sedang berbicara
tentang Ki Tambak Wedi. “
Orang itu adalah Ki Tanu Metir. Sambil
tersenyum ia berkata, “Aku sudah berusaha untuk tidak mengejutkan
kalian. Aku sudafi lebih dahulu terbatuk-batuk”
Agung Sedayu dan Swandaru tersenyum.
Dalam pada itu Sutawijaya masih berdiri
keheran-heranan. Orang yang datang itu belum begitu dikenalnya. Serasa
ia pernah melihatnya sepintas tetapi di mana? Ataukah memang belum
pernah ditemuinya orang ini? Namun menilik sebutan yang diucapkan oleh
Agung Sedayu maka Sutawijaya pun segera dapat mengenalinya. Orang itu
pasti guru Agung Sedayu dan Swandaru. Karena itu, maka ketika orang tua
itu memandangnya Sutawijaya mengangguk hormat sambil berkata, “Maafkan
Kiai, mungkin aku belum begitu mengenal Kiai sehingga aku tidak segera
mengerti dengan siapa aku berhadapan.”
“Ya, ya. Angger memang belum mengenal aku dengan baik.”
“Bukankah Kiai guru Agung Sedayu dan Swandaru?”
“Ya, begitulah.”
Sekali lagi Sutawijaya menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Kiai Gringsing.”
“Demikianlah orang yang sudi menyebut aku. Ada pula yang memanggilku Ki Tanu Metir.”
Tiba-tiba suara Swandaru memotong pembicaraan mereka diseling suara tertawanya, “Kiai, kalau demikian maka aku tahu sekarang.”
Semua orang berpaling kepadanya. Tampaklah wajah Sutawijaya menjadi berkerut-merut, “Apa yang kau ketahui?”
Swandaru yang gemuk itu masih saja tertawa, sehingga tubuhnya terguncang-guncang.
“Apa yang kau ketahui?” bertanya Kiai Gringsing pula.
“Nah, aku tahu sekarang. Kenapa kita
hampir menjadi gila pada waktu kita berada di bekas perkemahan Tohpati.
Api perapian dan lincak bambu itu, pasti Kiai yang membuat dan
memasangnya.”
Kiai Gringsing, Sutawijaya dan Agung Sedayu pun kemudian tertawa pula.
“Ya,” sahut Agung Sedayu, “pasti Kiai-lah yang telah membingungkan kami.”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia masih saja tertawa.
“Kami menjadi ketakutan dan hampir mengurungkan niat kami,” berkata Sutawijaya.
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya.
Katanya, “Tidak. Ternyata kalian tidak menjadi takut, tetapi kalian
menjadi marah dan mengamuk.”
Ketiga anak-anak muda itu masih saja tertawa.
“Kalian agaknya memang tidak mengenal
takut,” berkata Kiai Gringsing pula, “Aku melihat apa yang terjadi di
Kademangan Prambanan semalam, dan pagi tadi di pinggir Kali Opak.”
Ketiga anak-anak muda itu dengan
tiba-tiba berhenti tertawa. Mereka menjadi heran, bagaimana mungkin Kiai
Gringsing dapat melihat apa yang terjadi pagi tadi. Tentang semalam,
kemungkinan itu memang cukup banyak, tetapi pagi tadi, hampir setiap
wajah di sekitar arena itu telah dilihatnya. Tetapi mereka sama sekali
tidak melihat wajah Kiai Gringsing itu.
Agaknya Kiai Gringsing mengerti gejolak
perasaan anak-anak muda itu. Maka katanya, “Aku melihat apa yang terjadi
di pinggir Kali Opak itu dari atas tebing. Aku berdiri di belakang
semak-semak yang tidak terlampau rimbun. Namun karena agaknya kalian
baru sibuk dengan Argajaya, maka kalian tidak melihat aku.”
Ketiga anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi Kiai melihat kami berkelahi?” bertanya Sutawijaya.
“Menurut penglihatanku yang berkelahi hanyalah seorang saja, Anakmas Sutawijaya,” sahut Kiai Gringsing.
Sutawijaya tersenyum, “Ya Kiai. Meskipun kedua murid-murid Kiai itu pun sudah hampir pula berkelahi.”
“Aku kagum melihat sikap dan kesabaran
Anakmas. Ternyata Anakmas berhasil menghindari pertumpahan darah. Aku
tidak mendengar apa yang kalian percakapkan. Tetapi menilik sikap dan
tingkah laku kalian dan orang-orang Prambanan, aku tahu bahwa Anakmas
berhasil mencegah perkelahian itu dengan huruf-huruf yang tertera pada
landean tombak Anakmas. Apakah pada landean itu tertulis nama Anakmas
yang sebenarnya?”
“Ah,” desah Sutawijaya, “begitulah, Kiai.”
“Jarang-jarang anak muda yang dapat
mengendalikan perasaannya seperti Anakmas. Aku melihat bagaimana
Swandaru dan Agung Sedayu menarik tali busurnya. Aku menjadi
berdebar-debar karenanya.”
“Ah, aku hanya menakut-nakuti mereka saja guru,” sahut Swandaru sambil tersenyum.
“Bagus,” jawab Kiai Gringsing. “Kalau
demikian kalian telah berbuat sebaik-baiknya. Tetapi ternyata kalian
kurang menyadari bahaya yang akan dapat timbul karenanya. Apakah kalian
kini masih juga akan pergi ke alas Mentaok?”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Anakmas. Apakah tidak sebaiknya Anakmas
kembali saja ke Sangkal Putung?”
“Kenapa?” bertanya Sutawijaya.
“Jalan ke Mentaok terlampau sulit, Ngger,” jawab Kiai Gringsing.
“Tidak apa Kiai. Kami telah mendengar pula sebelumnya.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula.
Tetapi wajahnya sama sekali tidak sejalan dengan anggukkan kepalanya.
Katanya, “Anakmas. Mungkin Anakmas sudah bersedia untuk menempuh jalan
yang bagaimanapun sulitnya. Mungkin Anakmas sudah bertekad akan
mengatasi segala macam bahaya yang akan Angger jumpai di perjalanan.
Tetapi bahaya sebenarnya bagi kalian bertiga tidak terletak di
perjalanan Angger bertiga.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Ia
kurang dapat mengerti kata-kata Kiai Gringsing itu, sehingga sejenak ia
tidak menyahut. Karena Sutawijaya tidak segera menyahut, maka Kiai
Gringsing itu pun meneruskannya, “Mungkin di perjalanan ke Mentaok itu
Angger tidak akan menjumpai kesulitan apa-apa. Mungkin satu dua Angger
bertemu dengan penyamun atau perampok, tetapi mereka sama sekali tidak
berarti bagi kalian bertiga. Tetapi dengan peristiwa yang telah terjadi
di Prambanan itu, maka bahaya yang sebenarnya akan dapat terjadi di
Sangkal Putung.”
Ketiga anak-anak muda itu pun saling
berpandangan. Keterangan Kiai Gringsing itu masih belum begitu jelas
bagi mereka, sehingga Sutawijaya pun bertanya, “Kenapa Kiai, kenapa
Sangkal Putung terancam bahaya?”
“Angger,” jawab Kiai Gringsing, “Argajaya
yang telah Angger kalahkan di hadapan orang-orang Prambanan itu sudah
tentu mendendam di hatinya. Bukankah Argajaya itu seorang utusan dari
Kepala Tanah Perdikan yang bernama Argapati, dan Argapati itu ayah
Sidanti? Nah. Argajaya pasti akan bertemu dengan Sidanti. Mereka berdua
menyimpan dendam di dalam hati masing-masing kepada Angger dan juga
kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Nah, apakah kira-kira yang akan
terjadi apabila mereka masing-masing bertemu dan berbicara tentang tiga
orang anak muda Sangkal Putung seperti kalian?”
Sutawijaya pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Agung Sedayu dan Swandaru pun mulai mengerti, apakah yang
dimaksud oleh gurunya.
“Kiai,” berkata Sutawijaya, “meskipun mereka kemudian bertemu apakah kira-kira yang dapat mereka lakukan?”
“Banyak sekali, Ngger,” sahut Kiai
Gringsing. “Salah satu kemungkinan yang dapat mereka lakukan adalah
berusaha mencegat Angger bertiga, kelak jika Angger kembali dari
Mentaok.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Agung Sedayu dan Swandaru sejenak saling berpandangan.
Kata-kata Kiai Gringsing itu masuk ke dalam akal mereka. Jarak antara
Prambanan dan padukuhan Ki Tambak Wedi tidak melampaui jarak Prambanan
dan alas Mentaok. Meskipun jaraknya terpaut, tetapi jalan ke alas
Mentaok pasti akan lebih sulit. Apalagi apabila satu dua kali mereka
akan bertemu dengan beberapa orang penyamun seperti yang dikatakan oleh
Kiai Gringsing.
Tetapi yang menjawab kemudian adalah
Sutawijaya, “Benar Kiai, hal itu memang dapat terjadi. Tetapi apabila
kami telah memperhitungkannya, maka kami akan mencari jalan lain kelak.
Kami akan menempuh jalan yang sama sekali tidak diduga-duga oleh Ki
Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Memang, Angger akan dapat mencari jalan lain yang
mungkin tidak diduga-duga oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi jangan dikira,
bahwa kemungkinan mencari jalan lain itu tidak diperhitungkan pula oleh
Ki Tambak Wedi. Mungkin Ki Tambak Wedi tidak mencegat Angger di
Prambanan, di hutan Tambak Baya atau di pedukuhan-pedukuhan lain seperti
Cupu Watu atau Candi Sari, tetapi tanpa Angger duga-duga, Ki Tambak
Wedi itu justru berada di muka hidung para peronda di Sangkal Putung, di
sisi regol masuk ke dalam Kademangan itu.”
Sekali lagi Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling ke arah kedua
kawannya, maka dilihatnya Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya pula.
“Memang,” katanya dalam hati,
“kemungkinan itu dapat terjadi. Tetapi aku sudah menempuh separo jalan.
Sayang sekali apabila aku terpaksa kembali sebelum aku melihat tanah
Mentaok. Tanah yang kelak akan diterima oleh ayah dari Ramanda Adipati
Pajang sebagai hadiah.”
Karena itu, maka Sutawijaya itu pun
terdiam sejenak diamuk oleh kebimbangan. Ia dapat mengerti kata-kata
Kiai Gringsing dan menyadari bahaya yang sedang mengancam. Tetapi ia
tidak dapat melepaskan keinginannya untuk melihat hutan Mentaok.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Agung
Sedayu dan Swandaru pun menjadi berbimbang hati pula. Tetapi
kepentingan mereka tentang tanah Mentaok tidak setajam Sutawijaya.
Karena itu, maka mereka pun tidak sedemikian bernafsu untuk meneruskan
perjalanan. Meskipun demikian, karena mereka telah berjanji sejak mereka
berangkat untuk pergi bersama, maka Agung Sedayu dan Swandaru menunggu,
apa yang akan dikatakan oleh Sutawijaya.
Kiai Gringsing melihat kebimbangan di
dalam hati putera Panglima Wira Tamtama itu. Namun demikian,
dibiarkannya anak muda itu membuat pertimbangan sendiri.
“Kiai,” berkata Sutawijaya itu kemudian,
“aku sudah menempuh jarak ini. Bagaimanakah kalau aku meneruskan
beberapa langkah lagi Kiai? Aku hanya ingin melihat sejenak,
bagaimanakah ujudnya alas Mentaok itu. Tidak terlampau lama. Sekejap
saja.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Begitu besar keinginan Sutawijaya untuk melihat tanah yang kelak akan dimilikinya.
Dengan demikian maka Kiai Gringsing pun
menjadi ragu-ragu pula. Ia tidak sampai hati untuk mengecewakan putera
Panglima Wira Tamtama itu. Tetapi ia tidak pula dapat membiarkan mereka
mengalami bencana.
Namun yang dicemaskan oleh Kiai Gringsing
bukan saja Sutawijaya dan kawan-kawannya, tetapi juga Sangkal Putung.
Kalau Panglima Wira Tamtama hari ini atau besok kembali ke Pajang dengan
membawa orang-orang Jipang, maka sebagian dari prajurit Pajang di
Sangkal Putung pasti meninggalkan Kademangan itu untuk mengawal
orang-orang Jipang ke Pajang. Ki Tambak Wedi yang licik, apabila dapat
memperhitungkan dengan tepat keberangkatan Ki Gede Pemanahan, maka
Sangkal Putung benar-benar berada dalam bahaya. Sepeninggal Ki Gede
Pemanahan, maka Sangkal Putung hanya ditunggui oleh para prajurit di
bawah Untara dan Widura. Tidak ada orang-orang lain yang akan dapat
membantunya seandainya Ki Tambak Wedi benar-benar menyergap Kademangan
itu. Sedangkan di dalam barisan Ki Tambak Wedi akan muncul orang-orang
yang tangguh seperti Sidanti, Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan sudah
tentu Argajaya yang menyimpan dendam pula di hatinya. Dalam keadaan
demikian maka tenaga Agung Sedayu dan Swandaru pasti akan sangat
berarti.
Dengan demikian maka yang dapat terjadi
adalah beberapa kemungkinan. Ki Tambak Wedi, Argajaya dan Sidanti
berusaha mencegat Sutawijaya, atau mereka mengerahkan laskarnya untuk
menghantam Sangkal Putung. Kemungkinan yang lain, tetapi tidak terlampau
mencemaskan adalah bahwa Ki Tambak Wedi nanti akan mencegat Ki Gede
Pemanahan. Apabila demikian, maka kehadiran Sutawijaya pun pasti
diperlukan.
Satu demi satu kemungkinan-kemungkinan
itu pun diberitahukannya kepada Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya.
Ternyata mereka pun dapat mengerti arti dari bahaya itu. Meskipun
demikian Sutawijaya masih juga berkata, “Baik Kiai, aku akan segera
kembali. Aku harap ayah menungguku di Sangkal Putung. Aku hanya
memerlukan waktu sedikit untuk mencapai alas Mentaok. Bukankah sebentar
lagi kami akan memasuki alas Tambak Baya?”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Waktu yang Anakmas perlukan paling sedikit adalah
dua hari dua malam. Sedang Argajaya malam nanti pasti sudah akan sampai
ke Padepokan Ki Tambak Wedi. Ceriteranya pasti akan membakar kemarahan
mereka sehingga seandainya mereka tidak bernafsu untuk berbuat sesuatu,
atau rencana mereka masih berjarak beberapa waktu, maka mereka akan
segera menentukan sikap. Mereka pasti segera akan mempercepat setiap
rencana.”
“Aku akan berjalan siang dan malam, Kiai.”
“Tetapi dua malam itu tak akan dapat Angger percepat.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Belum lagi kalau Angger bertemu dengan
beberapa orang penyamun. Meskipun penyamun-penyamun di hutan Tambak Baya
itu tidak berbahaya bagi Anakmas, namun setidak-tidaknya mereka akan
menghambat rencana Anakmas. Kalau Anakmas bertemu dengan gerombolan
Daruka, maka Angger akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk
menundukkannya. Bukan karena Daruka itu seorang yang sakti tiada
taranya, tetapi karena gerombolannya terdiri dari orang-orang yang
berpengalaman dan cukup banyak jumlahnya.”
Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi kedip
matanya menunjukkan kekecewaan hatinya. Ia pernah juga mendengar dari
beberapa orang prajurit, nama Daruka. Tetapi semula ia sama sekali tidak
memperhatikannya. Ternyata menurut Kiai Gringsing, Daruka itu akan
dapat memperlambat perjalanannya.
Namun demikian Kiai Gringsing tidak
sampai hati untuk mengecewakannya. Anak itu merasa bahwa alas Mentaok
sudah berada di hadapan hidungnya. Karena itu maka katanya, “Baiklah
Anakmas. Aku menjadi iba melihat mata Angger berkedip seperti anak-anak
yang kecewa karena ibunya tidak membawa oleh-oleh dari pasar. Nah, kalau
demikian, maka pergilah terus. Tetapi cepat. Secepat-cepatnya. Seperti
yang Angger katakan, berjalan siang dan malam.”
Swandarulah yang kemudian mengerutkan
alisnya. Desisnya, “Siang dan malam? Hem, kalian tidak perlu membawa
tubuh sebesar tubuhku. Kalau ada salah seorang dari kalian bersedia
membantu membawa perutku, aku tidak berkeberatan berjalan siang dan
malam. Bahkan tanpa berhenti sekalipun.”
Mau tidak mau, yang mendengar
kata-katanya itu terpaksa tersenyum. Yang menjawab adalah Agung
Sedayu,”Kau akan menjadi langsing adi Swandaru. Kalau kau banyak
berjalan, maka gembung perutmu akan berkurang.”
“Sebuah latihan yang baik,” berkata Ki
Tanu Metir. “Nah, manfaatkan kesempatan ini apabila kalian benar-benar
tidak ingin segera kembali ke Sangkal Putung. Mungkin kalian akan
mempergunakan waktu lebih dari dua hari dua malam. Tetapi supaya kalian
tidak memilih jalan yang salah, yang akan dapat memperpanjang waktu,
atau kalian sengaja mencari jalan lain karena kenakalan kalian, maka
biarlah aku pergi bersama kalian.”
“He,” wajah Sutawijaya dan kedua kawannya tiba-tiba menjadi cerah, “Kiai akan pergi bersama kami?”
“Hanya supaya kalian cepat kembali ke Sangkal Putung.”
“Kita tidak cemas lagi dicegat oleh Ki Tambak Wedi, sehingga kita tidak perlu mencari jalan lain,” berkata Swandaru.
“Akibatnya kita segera sampai ke Sangkal Putung,” sahut Kiai Gringsing.
“Kalau begitu kita dapat berbicara sambil berjalan,” gumam Agung Sedayu.
“Tak ada lagi yang dibicarakan,” berkata
Kiai Gringsing, “ternyata kalian tidak mau kembali ke Sangkal Putung.
Nah, marilah kita berangkat, supaya kita tidak terlampau lama di
perjalanan.”
Maka segera mereka pun melangkahkan
kaki-kaki mereka kembali. Kali ini mereka membawa seorang penunjuk jalan
yang dapat diandalkan, Kiai Gringsing.
Dengan demikian maka perjalanan itu
menjadi lebih cepat. Agaknya Kiai Gringsing telah cukup mengenal daerah
yang akan mereka jalani.
Sebelum mereka memasuki hutan Tambak
Baya, maka perjalanan mereka sama sekali tidak menemui kesulitan. Candi
Sari, kemudian Cupu Watu dan ketika mereka melangkah ke barat lebih jauh
lagi, maka terbentang di hadapan mereka sebuah hutan yang lebat. Tambak
Baya.
Meskipun hutan ini tidak segarang
Mentaok, tetapi Tambak Baya cukup menyeramkan. Pepohonan yang pepat
seakan-akan berserakan di setiap jengkal tanah. Pohon-pohon perdu yang
rimbun dan pepohonan yang merambat, bahkan yang berduri sekali.
Sejenak mereka berhenti di pinggir hutan
itu. Ketika mereka menengadahkan wajah mereka, maka matahari telah
tampak condong di arah barat. Cahayanya yang kemerah-merahan memencar
menyoroti langit yang terbentang. Sehelai-sehelai mega yang putih
mengalir beriringan.
Di belakang mereka terbentang padang
rumput yang diseling oleh tanaman-tanaman perdu. Di ujung padang itu
terdapat pategalan dan kemudian tanah persawahan yang cukup subur.
Tetapi mereka sama sekali tidak melihat
seorang pun berada di tempat itu. Lengang dan terasa kesunyian mencekam
dada mereka. Sehingga, tanpa sesadarnya Swandaru berdesis, “Alangkah
lengangnya. Apakah tak pernah ada orang yang menggarap pategalan itu?”
“Tentu ada,” sahut Ki Tanu Metir, “Bagaimana mungkin tanaman-tanaman itu tumbuh teratur?”
“Tetapi tak seorang pun nampak,” berkata Swandaru pula.
“Mereka mengerjakan sawah dan ladang
mereka di pagi hari. Mereka memerlukan kawan untuk pergi ke sawah dan
ladang mereka. Di sini ada semacam warung sepekan sekali atau dua kali.
Bukan saja tempat orang-orang menukarkan barang-barang keperluan
sehari-hari, tetapi kadang-kadang ada pula orang-orang yang akan
menyeberangi hutan ini memerlukan bekal di perjalanan. Bahkan di sini
kadang-kadang ada beberapa orang pengantar yang menemani dan melindungi
orang-orang yang ingin pergi ke daerah-daerah di seberang hutan ini.
Mungkin ke Nglipura, mungkin ke Mangir.”
Anak-anak muda yang mendengarkan
kata-kata itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang bertanya adalah Agung
Sedayu, “Tetapi kenapa kali ini mereka tidak ada di tempat ini Kiai.
Bagaimana seandainya saat ini ada orang yang akan menyeberangi hutan.
Apakah tidak ada orang yang bersedia mengantarkannya?”
“Ada saat-saat tertentu bagi mereka yang
akan menyeberangi hutan ini. Para pengantar hanya bersedia di hari-hari
yang sudah mereka tentukan. Misalnya di hari Manis dan Pahing. Selain
hari-hari itu mereka tidak berada di tempat ini. Mungkin mereka sedang
di dalam perjalanan kembali setelah mengantarkan beberapa orang
bersama-sama, tetapi mungkin pula mereka sedang beristirahat.”
“Bagaimana kalau ada keperluan yang tidak mungkin tertunda?” bertanya Swandaru.
“Tergantung kepada orang itu sendiri.
Apakah mereka berani menanggung setiap kemungkinan bertemu dengan
gerombolan penyamun di dalam hutan ini. Kalau mereka itu merasa diri
mereka cukup kuat, maka mereka pun akan menyeberang tanpa pengawalan dan
perlindungan orang lain.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya pula, “Dengan demikian maka para pengawal itu pasti orang-orang
yang cukup kuat untuk menghadapi setiap kejahatan yang dapat terjadi di
hutan ini Kiai.”
“Demikianlah. Tetapi kadang-kadang para
penjahat itu saling bantu-membantu. Kadang-kadang mereka bekerja bersama
untuk suatu kepentingan. Tetapi kadang-kadang mereka saling bertempur
di antara mereka berebut korban.”
Sutawijaya mendengarkan ceritera itu
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergumam, “Seperti
kehidupan binatang-binatang yang menghuni hutan ini. Begitukah kira-kira
Kiai?”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya.
Kemudian agak ragu ia menjawab, “Ya. Begitulah kira-kira. Apabila mereka
sedang mempunyai kepentingan yang sama, maka kadang-kadang kekuatan
mereka benar-benar tak terlawan oleh para pengawal. Dalam keadaan yang
demikian, maka kadang-kadang iring-iringan itu benar-benar menjadi
korban para penyamun. Namun hal itu jarang terjadi. Kalau para pengawal
tidak lagi mampu bertahan, maka orang-orang itu sendiri pasti akan ikut
bertempur. Tetapi sekali dua kali, kemalangan memang dapat terjadi atas
para pengawal dan orang-orang yang dikawalnya.”
Ketiga anak-anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Ketika sekali lagi mereka menebarkan
pandangan mata mereka di sekitar tempat itu, maka pinggiran hutan itu
benar-benar sepi dan lengang.
“Apakah kita akan menyeberang sekarang?” terdengar Sutawijaya bertanya.
“Terserah kepada Anakmas,” sahut Kiai
Gringsing, “Tetapi apabila kita benar-benar ingin berjalan siang dan
malam, maka sebaiknya kita berjalan terus. Kita tidak perlu mencemaskan
para penyamun, sebab kita tidak membawa barang-barang yang berharga
kecuali leher-leher kita sendiri.”
Sutawijaya tersenyum, tetapi Swandaru mengerutkan dahinya.
“Apakah kalian tidak merasa lelah?”
Swandaru menjadi kecewa ketika Agung Sedayu menjawab, “Tidak. Aku tidak merasa lelah.”
“Ah,” Swandaru bertolak pinggang sambil
mendesah. Kemudian anak yang gemuk itu menggeliat, katanya, “Hem,
baiklah. Aku pun tidak lelah.”
Agung Sedayu, Sutawijaya dan Kiai Gringsing tersenyum.
“Salahmu,” berkata Agung Sedayu.
“Kenapa?” sahut Swandaru.
“Kau terlampau banyak makan.”
Swandaru memberengutkan wajahnya. Tetapi
sebelum ia menjawab, terdengar Kiai Gringsing berkata,”Marilah kita
berjalan terus. Mungkin kita terpaksa berhenti nanti sebelum kita
terlampau dalam masuk ke hutan ini.”
Sejenak Sutawijaya, Agung Sedayu dan
Swandaru saling berpandangan. Matahari telah menjadi semakin rendah.
Apabila mereka memasuki hutan itu, maka segera mereka akan terhalang
oleh gelap. Namun mereka sudah terlanjur berkata, bahwa mereka akan
berjalan siang dan malam. Sehingga karena itu maka Sutawijaya menjawab,
“Marilah Kiai. Kalau Kiai menghendaki kami berjalan terus.”
“Ya. Kita harus berjalan terus. Kalau
tidak maka kita akan kehilangan waktu. Kira harus memperhitungkan
keadaan Sangkal Putung pula. Bukan sekedar melihat keadaan diri kita
sendiri.”
“Baiklah Kiai,” sahut Sutawijaya kemudian.
“Bagus,” gumam Kiai Gringsing, “kita baru mempergunakan waktu sebaik-baiknya.”
Maka mereka pun segera melangkah
mendekati bibir hutan yang lebat. Sejenak mereka menjadi termangu-mangu,
tetapi mereka melangkah terus.
Tiba-tiba, langkah mereka tertegun ketika
mereka melihat rimbunnya daun bergerak-gerak di hadapan mereka. Dan
mereka pun terkejut ketika tiba-tiba mereka melihat beberapa orang
muncul dari balik dedaunan.
Tetapi dalam pada itu capat Kiai
Gringsing berbisik, “Mereka adalah orang-orang yang sering mengawal para
pedagang dan orang-orang lain yang berkepentingan menyeberangi hutan
ini.”
Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Orang-orang yang baru muncul itu
adalah orang-orang yang rata-rata bertubuh tegap kekar. Di lambung
mereka tersangkut pedang dan beberapa di antaranya membawa pula pisau
atau kapak.
Kiai Gringsing masih juga berbisik,
“Senjata-senjata itu kecuali berguna untuk bertempur, juga berguna untuk
merambas jalan yang pepat karena daun-daun perdu dan akar-akar yang
merambat dan menutup jalan.”
Kembali ketiga anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Sementara itu Kiai Gringsing masih berkata, “Mereka masuk hutan tiga hari yang lampau. Mungkin di hari Aditya Manis.”
“Sekarang hari apa?” bertanya Swandaru.
“Hanggara Jene.”
“He, Bintang Kuning.”
“Ya, Selasa Pon.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sementara itu orang-orang yang muncul dari dalam hutan itu telah berdiri
beberapa langkah di hadapan mereka. Namun ketika wajah-wajah mereka
menjadi semakin jelas, nampaklah bahwa beberapa orang di antara mereka
terluka. Titik-titik darah yang kering masih jelas pada pakaian mereka.
Seorang yang berkumis lebat dan tidak
berbaju melangkah mendekati mereka. Dengan nada yang berat ia bertanya,
“Apakah Ki Sanak anak menyeberangi hutan?”
Yang menjawab adalah Kiai Gringsing, “Ya Ki Sanak. Kami akan menyeberangi hutan.”
“Kemanakah kalian akan pergi?”
“Mentaok.”
“Mentaok? Ke alas Mentaok? Apakah keperluan kalian ke Mentaok?”
Kiai Gringsing berpaling ke arah
Sutawijaya. Tetapi orang tua itu menjawab, “Kami akan pergi ke Nglipura,
Ki Sanak. Ada keluargaku di sana.”
Orang yang berkumis lebat, yang agaknya pemimpin dari para pengawal itu berkata, “Kalian hanya berempat?”
“Ya.”
“Menilik persiapan dan senjata kalian,
maka kalian merasa bahwa kalian cukup kuat untuk menyeberangi hutan ini
tanpa pengawalan. Ternyata pula kalian memilih hari ini, bukan hari-hari
yang telah kami tentukan. Kami tidak berkeberatan kalian menyeberang
sendiri, tetapi kami wajib memperingatkan kalian. Kali ini gerombolan
Daruka berada di hutan ini. Kami terpaksa berkelahi. Untunglah bukan
seluruh kekuatan yang kita hadapi, sehingga kami sempat melepaskan diri
bersama orang-orang yang kami antar. Tetapi di perjalanan kembali, kami
terpaksa mencari jalan lain. Kami takut kalau gerombolan itu memperkuat
diri, apalagi Daruka sendiri, akan menghadang kami pula.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mudah-mudahan kalian menemukan jalan
yang aman. Jangan kau telusuri jalan yang biasa kami lalui. Mungkin
untuk sebulan kami tidak akan membawa orang menyeberang, kecuali kami
mendapat tambahan kawan yang dapat kami percaya.”
Kiai Gringsing masih mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, “Terima kasih Ki Sanak. Kami akan mencari jalan lain.
Mudah-mudahan kami selamat.”
“Apakah keperluan kalian tidak dapat ditunda seminggu dua minggu?”
“Kepentingan kami sangat mendesak.”
“Hati-hatilah,” pesan pemimpin pengawal itu.
“Terima kasih.”
Para pengawal itu pun kemudian
meninggalkan mereka. Tampak jelas bahwa mereka baru saja menempuh
perjalanan yang berat, dan jelas pula luka-luka silang-menyilang di
tubuh mereka. Ada yang dalam, tetapi ada pula yang dangkal. Bahkan ada
salah seorang dari mereka yang terluka agak parah di lengannya yang
telah dibalut dengan sepotong kain.
Ketika orang-orang itu telah menjadi
semakin jauh, berkata Kiai Gringsing, “Itulah isi hutan Tambak Baya.
Juga hutan Mentaok mempunyai penghuni-penghuninya sendiri. Nah, apakah
kita ingin melihat pula?”
Wajah Sutawijaya tiba-tiba menjadi
tegang. Sambil menggeram ia berkata, “Itukah isi dari tanah yang akan
diterima oleh ayah dari Ramanda Adipati Pajang? Beruntunglah paman
Penjawi mendapat tanah Pati yang sudah jauh lebih baik dari tanah
Mentaok. Kami masih harus membuka hutan yang lebat, dan mengusir
penghuni-penghuninya yang banyak itu. Untunglah bahwa aku sempat
menyaksikannya kini.”
Kiai Gringsing dan kedua muridnya
terdiam. Mereka merasakan pula, betapa anak muda putera Panglima Wira
Tamtama itu menjadi kecewa. Tanah Mentaok seakan-akan telah dimilikinya,
sehingga sudah tentu Sutawijaya sama sekali tidak senang melihat
penghuni-penghuni yang sama sekali tidak terhormat itu.
Dengan kesal anak muda itu kemudian
menggeram, “Kiai, aku mempunyai tanggung jawab atas tanah itu meskipun
belum secara resmi diserahkan kepada ayah. Aku harus mengusir setiap
orang yang mengotori hutan Mentaok.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab, “Berapa bulan Angger memerlukan waktu untuk itu?”
Sutawijaya mengerutkan keningnya, “Ya,” desisnya, “aku memerlukan waktu untuk melakukannya.”
“Jangan kau lakukan kini. Apabila datang saatnya, bersama-sama dengan beberapa orang kawan, Angger pasti dapat mengusirnya.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, marilah kita lihat,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “Mungkin kita dapat bertemu sebuah contoh dari isi hutan itu.”
“Marilah,” sahut Sutawijaya.
“Mudah-mudahan kita dapat bertemu,” Swandaru pun bergumam pula.
Kiai Gringsing tersenyum. Ia tahu, bahwa Swandaru hanya ingin berbuat sesuatu.
Demikianlah mereka berjalan kembali. Kini
mereka sudah memasuki hutan Tambak Baya. Namun demikian mereka masuk,
maka cahayua matahari telah menjadi semakin pudar. Meskipun demikian
mereka berjalan terus. Namun akhirnya malam yang semakin kelam pun
turunlah. Pohon-pohon raksasa yang bertebaran itu pun menjadi semakin
kabur.
“Malam terlampau gelap di hutan ini,” desis Swandaru.
“Ya, lebih gelap dari hutan tempat orang-orang Jipang membuat perkemahan,” sahut Agung Sedayu.
“Tentu,” berkata Kiai Gringsing, “Hutan
ini jauh lebih lebar. Isinya pun jauh lebih garang. Apalagi hutan
Mentaok. Selain yang dikatakan oleh para pengawal, maka isi hutan ini
adalah binatang buas.”
Ketiga anak-anak muda itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak takut terhadap
binatang buas maupun orang-orang jahat seperti yang dikatakan oleh para
pengawal. Tetapi berjalan di dalam kelam serasa berjalan di daerah yang
sama sekali tidak dikenalnya. Mereka seolah-olah hampir tak melihat apa
pun selain hitam pekat. Bahkan kawan-kawan seperjalanan mereka sendiri
pun hampir tidak dapat dilihatnya.
Tetapi telinga mereka adalah telinga yang
cukup baik. Mereka dapat mengenal tempat-tempat kawan seperjalanan
hanya karena pendengaran mereka.
Namun meskipun demikian, akhirnya Swandaru berkata, “Nafasku terasa sesak.”
Kiai Gringsing tertawa. “Kenapa?” ia bertanya.
“Gelapnya bukan main.”
“Ya, gelapnya bukan main,” sahut Sutawijaya.
“Jadi bagaimana?” bertanya Kiai Gringsing.
Tak seorang pun yang menjawab.
“Apakah kita akan berhenti dan tidak berjalan siang dan malam?”
Masih tidak terjawab.
“Baiklah. Kita berhenti,” berkata orang tua itu, “tetapi kita harus mendapatkan tempat yang baik. Kita akan membuat perapian.”
“Bagaimana kita mendapat kayu baka?” bertanya Swandaru.
“Di bawah kaki kita adalah setumpuk
daun-daun kering. Kalau kita sudah menyalakannya, maka kita akan
melihat, apakah kita akan dapat mencari kayu atau ranting-ranting
perdu.”
Akhirnya mereka pun mengumpulkan
daun-daun kering di bawah kaki mereka. Dengan batu titikan mereka
membuat api, dan dengan agak susah, mereka pun berhasil menyalakan
dedaunan yang sudah cukup kering.
Ketika api sudah menyala, maka segera
mereka melihat ranting-ranting perdu yang dapat mereka tebas dan mereka
lemparkan ke atas api.
Malam itu mereka beristirahat di sekitar
perapian. Tak ada yang menarik. Meskipun Swandaru mengharap,
mudah-mudahan orang-orang jahat itu mendekati mereka, tetapi tempat itu
masih belum cukup dalam, sehingga semalam itu mereka benar-benar dapat
beristirahat, meskipun bergantian mereka tetap bangun.
Pagi-pagi mereka sudah meneruskan
perjalanan. Meskipun demikian, Swandaru masih juga berkata, “Aku sudah
mulai lapar. Apakah di hutan ini tidak ada makanan?”
“Kau akan mendapatkannya,” berkata Kiai Gringsing, “Kau akan dapat mencari makan buat menambah besar perutmu.”
Ternyata yang dikatakan Kiai Gringsing itu pun benar pula.
Dengan panah-panah mereka, mereka berhasil pula mendapat makan pagi mereka.
Perjalanan mereka hari ini ternyata agak
lebih berat dari hari-hari yang telah mereka lalui. Untunglah bahwa Kiai
Gringsing berjalan beserta mereka, sehingga mereka tidak takut lagi
akan tersesat. Meskipun demikian ketiga anak-anak muda itu kadang-kadang
masih juga membuat tanda-tanda pengenal pada pepohonan yang besar,
supaya apabila terpaksa mereka harus mencari jalan keluar, mereka tidak
akan menemui kesukaran.
Gairah perjalanan hari itu didorong oleh
perasaan kecewa pada Sutawijaya, karena tanah yang akan diterimanya itu
ternyata telah dikotori oleh orang-orang jahat. Sedang Swandaru segera
ingin bertemu dengan orang-orang jahat itu. Agung Sedayu tidak terlampau
banyak dipengaruhi oleh gerombolan-gerombolan itu. Meskipun demikian,
pengalaman-pengalaman itu pasti akan berguna baginya. Sehingga karena
itu perjalanan ini pun sangat menarik hati. Ia akan mengenal
tempat-tempat yang hampir belum pernah dijamahnya. Hutan yang lebat
pepat, binatang-binatang yang buas dan alam yang keras. Agung Sedayu
baru mengenalnya lewat ceritera-ceritera yang pernah didengarnya dari
kakaknya, Untara, di masa kanak-kanaknya.
Ternyata Kiai Gringsing adalah seorang
penunjuk jalan yang terlampau baik. Tanpa kesulitan yang berarti, mereka
berjalan menembus hutan. Tetapi hutan itu sendiri telah merupakan
penghalang yang banyak memperlambat dan menelan waktu. Oyot-oyot
bebondotan dan tumbuh-tumbuhan merambat lainnya. Batang-batang kayu yang
roboh yang malang-melintang dan semak-semak yang pepat padat.
Dalam pada itu terdengar Swandaru
bertanya, “Apakah jalan ini pula yang sering dilalui oleh orang-orang
yang menyeberangi hutan ini diantar oleh para pengawal?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing.
“Apakah tidak ada jalan lain yang lebih baik?”
“Jalan inilah yang paling tipis ditumbuhi
oleh berbagai macam tetumbuhan. Telah beberapa kali aku menyeberangi
hutan ini, sekali-sekali bersama-sama dengan para pengawal.”
Swandaru tidak bertanya lagi. Tetapi ia
dapat membayangkan bahwa di tempat-tempat lain tetumbuhan pasti jauh
lebih lebat dari tempat ini, tempat yang paling banyak dilalui orang.
Ketika mereka masuk semakin dalam ke tengah-tengah hutan Tambak Baya, maka berbisiklah Kiai Gringsing, “Kita hampir sampai.”
“Sampai di mana?” bertanya Agung Sedayu, “Apakah kita sudah sampai di alas Mentaok?”
“Bukan alas Mentaok,” sahut Kiai
Gringsing. “Kita hampir sampai di tempat-tempat yang sering dipergunakan
oleh para penyamun mencegat korbannya. Di sini ada beberapa gerombolan
penyamun yang satu dengan yang lain saling bersaing. Hanya dalam
waktu-waktu yang khusus sajalah mereka dapat menyatukan diri.”
“Siapakah yang paling kuat di antara mereka, Kiai?” bertanya Sutawijaya.
“Kekuatan mereka hampir seimbang.
Kadang-kadang mereka menunggu lawan-lawan mereka itu lengah, dan
menyerang mereka dengan tiba-tiba. Tetapi meskipun demikian, Daruka lah
yang paling disegani.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi anak muda itu tidak menjawab.
Belum lagi mereka maju terlampau jauh,
maka mereka sampai di tempat yang agak lapang. Tidak terlampau banyak
pohon-pohon perdu yang tumbuh dan akar-akar yang menyilang-lintang
jalan. Tetapi Kiai Gringsing yang sudah penuh menyimpan pengalaman itu
pun berkata,”Tempat ini adalah tempat yang paling baik untuk
beristirahat, tetapi juga tempat yang paling berbahaya.”
“Kenapa?” bertanya Swandaru meskipun ia telah menduga apa yang dimaksud oleh gurunya.
“Banyak orang mempergunakan tempat ini
untuk beristirahat. Tetapi tiba-tiba saja mereka disergap, sehingga
akhirnya para pengawal selalu menjauhi tempat ini, dan membawa
orang-orang yang dikawalnya beristirahat di tempat lain. Tetapi hampir
tak ada gunanya. Hampir setiap kali para pengawal harus berkelahi.
Tetapi apabila pengawalan cukup kuat, maka para penyamunlah yang
membiarkannya lewat. Meskipun demikian, kadang-kadang para pengawal itu
menyediakan semacam pajak bagi mereka. Ditinggalkannya beberapa macam
barang, dan dengan demikian mereka tidak di ganggu.”
Ketiga anak-anak muda yang
mendengarkannya itu mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi mereka tidak
menjawab. Bahkan tiba-tiba saja mereka mempertajam pendengaran mereka,
seakan-akan mereka mendengar desir di dedaunan yang kering.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
Namun sejenak kemudian wajahnya telah menjadi tenang kembali. Bahkan ia
masih berkata terus, “Para penyamun itu datang tanpa disangka-sangka.
Tiba-tiba saja mereka telah mengepung korban-korbannya.”
Sutawijaya lah yang kemudian bertanya, “Bagaimanakah kalau mereka yang tidak membawa sesuatu lewat hutan ini Kiai?”
“Biasanya mereka adalah para pedagang yang akan pergi ke Nglipura atau Mangir atau bahkan ada yang pergi ke Menoreh.”
“Jika demikian, apakah Argajaya itu lewat daerah ini pula?”
“Adalah suatu kemungkinan. Tetapi Argajaya pasti tidak akan memerlukan pengawalan.”
Mereka terdiam sejenak. Dalam kediaman
itu mereka mendengar desir yang lembut, namun semakin jelas. Sejenak
mereka saling berpandangan. Dengan isyarat, mereka segera mengerti,
bahwa mereka kini telah terkepung. Tetapi dengan demikian justru
Swandaru tampak bergembira.
Sejenak kemudian berkatalah Kiai
Gringsing itu pula, “Tetapi para penyamun itu pasti akan dapat
membedakan. Mereka yang lewat dengan barang-barang dagangan, dan mereka
yang lewat dengan senjata di lambung.”
Tiba-tiba terdengar suara dari balik
pepohonan, “Ya, kami dapat membedakan. Mereka yang lewat dengan senjata
di lambung atau mereka yang pantas mendapat penghormatan karena memberi
kami sekedar oleh-oleh.”
Sebenarnya mereka sama sekali tidak
terkejut mendengar suara itu, tetapi Kiai Gringsing yang tua itu
terlonjak kecil sambil berputar menghadap suara itu. “He, siapakah
kalian?”
“Kau agaknya mengenal tempat ini terlampau baik kakek tua?” terdengar suara itu menyahut.
“Ya, aku sudah sering melewati tempati ini. Siapakah kau?”
“Aku sedang menunggu para pengawal yang
telah melukai bebepapa orang-orangku. Aku ingin bertemu dengan mereka.
Tetapi mereka tidak kunjung datang?”
“Tiga hari yang lalu?”
“Dua hari yang lalu.”
“Ya, dua hari yang lalu. Aku telah
bertemu dengan mereka. Mereka mengatakan bahwa mereka bertempur dengan
orang-orangmu. Ternyata mereka mencari jalan lain, sebab mereka sudah
menyangka bahwa pemimpin gerombolan yang dikalahkannya itu pasti akan
marah.”
“He, mereka sudah melewati tempat ini?”
“Jalan lain. Mereka sudah keluar dari hutan ini.”
“Gila!” teriak suara itu. Dan tiba-tiba
meloncatlah sesosok tubuh dari balik sebatang pohon yang cukup besar.
“Kau bilang mereka sudah keluar dari hutan ini?”
Yang meloncat dari balik pohon itu adalah
seorang yang bertubuh tinggi, kekar, berdada bidang dan berkepala
botak. Kumis serta janggutnya yang jarang-jarang tumbuh satu dua di
sekitar bibirnya yang tebal. Di tangannya tergenggam sebilah pedang yang
panjang.
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. “Ya” sahutnya. “Kemarin sore aku bertemu dengan mereka.”
Terdengar orang itu menggeram.
“Dimanakah rumah-rumah mereka itu?” bertanya orang itu.
Kiai Gringsing menggeleng lemah, “Aku tidak tahu.”
“Bohong, kau pasti kawan mereka.”
Kiai Gringsing tidak segera menjawab.
Ditatapnya wajah ketiga anak-anak muda yang berjalan bersamanya itu.
Yang kemudian menjawab adalah Agung Sedayu, “Kami sama sekali tidak ada
hubungan apa pun dengan mereka.”
“Bohong! He, apakan orang tua ini ayahmu? Yang mengajarmu untuk berbohong?”
“Kami bertemu di perjalanan,” sambung Sutawijaya.
“Kau pasti mendapat tugas dari mereka
untuk memata-matai kami. Kamu mungkin anak-anak mereka, atau cucu
mereka, atau kemanakan mereka.”
“Atau tetangga mereka. Atau orang lain sama sekali,” Swandaru yang gemuk itu memotong.
Orang yang botak itu membelalakkan
matanya. Dengan pedangnya ia menuding wajah Swandaru. “Jangan bergurau.
Aku sedang kehilangan buruan. Yang datang kini adalah kalian, maka
kalian akan menjadi sasaran kemarahan kami.”
“Kami bukan pengawal dan kami bukan pedagang. Kami datang mencari buruan kami pula,” berkata Swandaru.
“Siapakah buruan kalian?”
“Apa saja. Kijang, menjangan, bahkan kancil pun kami mau pula.”
Swandaru terkejut sehingga kata-katanya
terputus ketika orang yang botak itu meloncat dan langsung menyerang
mulut Swandaru dengan tangan kirinya. Ternyata orang itu mampu bergerak
sangat cepat. Beruntunglah bahwa Swandaru tidak terlampau lengah. Ketika
ia melihat orang itu mengerinyitkan dahinya, dan melihat jari tangannya
bergetar, maka Swandaru pun menyadari kemungkinan yang ternyatat
benar-benar terjadi. Dengan lincahnya ia meloncat ke samping menghindari
sambaran tangan orang yang botak itu sehingga serangan itu sama sekali
tidak menyentuh tubuhnya.
Orang yang botak itu semakin
membelalakkan matanya. Sama sekali tidak diduganya bahwa anak yang gemuk
itu mampu menghindari serangannya, sehingga dengan demikian maka
terdengar orang itu menggeram semakin keras.
Swandaru yang meloncat beberapa langkah
ke samping, kini berdiri sambil membelai pipinya. Dengan kerut-merut di
wajahnya ia berkata, “Ternyata kau pemarah. Tetapi jangan menyerang
lawan tanpa memberi kesempatan lawan itu bersiaga.”
“Kau menghina aku.”
“Sama sekali tidak. Aku berkata sebenarnya.”
“Aku tidak peduli, tetapi kalian telah
membuat aku marah. Kini aku mempunyai suatu cara untuk memeras
keterangan kalian tentang para pengawal. Kalau kalian tidak bersedia
memberitahukan kepada kami dimana rumah-rumah mereka, maka kalian akan
terpaksa mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan.”
“Kami tidak bersangkut paut dengan para
pengawal itu, Ki Sanak,” Kiai Gringsing-lah yang kemudian menjawab.
“Kami adalah pemburu yang hanya mengenal binatang-binatang buruan kami.”
“Omong kosong! Tak pernah ada pemburu
masuk sampai begini dalam. Mereka biasanya selalu berada jauh di
tepi-tepi hutan ini. Kau pasti orang-orang mereka. Meskipun kalian tidak
bersedia membuka mulut sampai tubuh kalian lumat, namun kami pasti akan
dapat menemukan rumah mereka. Kematian kalian itu pasti hanya akan
sia-sia.”
Sutawijaya ahirnya tidak bersabar lagi.
Selangkah ia maju dan berkata, “Jangan mengigau, Ki Sanak. Jangan
menakut-nakuti kami dan jangan mencoba memeras keterangan kami. Sebutkan
siapa namamu.”
Orang itu terkejut bukan buatan. Belum
pernah ia melihat anak muda segarang anak yang memegang tombak pendek
itu. Namun sejenak kemudian orang itu tertwa. Semakin lama semakin
keras. Di sela-sela derai tertawanya itu ia berkata, “Tentu. Tentu kau
berani bertolak pinggang di hadapanku, sebab kau belum tahu siapa aku.
Nah, sebaiknya aku perkenalkan diriku supaya kalian menyadari, betapa
kecil arti kalian bagiku, bagi raja hutan Tambak Baya dan Mentaok in.
Namaku Daruka.”
Belum lagi orang itu berhenti tertawa,
terdengar suara tertawa yang lain, sehingga dengan tiba-tiba suara orang
itu pun justru terputus. Suara itu adalah suara tertawa Swandaru.
“Gila!” teriak Daruka. “Apakah kau mendengar namaku?”
“Jangan kau sangka bahwa hanya kau yang
dapat tertawa sedemikian kerasnya,” Sahut Swandaru. “Nah, ketahuilah,
namaku Swandaru Geni. Gegedug anak-anak muda di seluruh Kademangan
Sangkal Putung. Kau pernah mendengar namaku?”
Mata Daruka itu seakan-akan menyala
dibakar oleh kemarahannya. Ternyata anak muda yang gemuk itu sama sekali
tidak takut mendengar namanya, bahkan seolah-olah ditanggapinya nama
yang menakutkan itu sambil bergurau saja. Tetapi bukan saja anak yang
gemuk itu. Ketika ia memandang berkeliling, maka anak muda yang memegang
tombak itu pun sama sekali tidak menunjukkan kesan apa pun di wajahnya,
sedang anak muda yang lain bahkan seolah-olah acuh tak acuh saja.
Kembali Daruka menggeram. Demikian
kemarahannya membakar dadanya, maka terdengarlah ia bersuit nyaring.
Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing pun segera
menyadari, bahwa Daruka sedang memanggil teman-temannya keluar dari
persembunyiannya.
Dugaan Kiai Gringsing dan ketiga
anak-anak muda dari Sangkal Putung itu ternyata benar. Sejenak kemudian
mereka melihat beberapa orang berloncatan mendekat dari balik pepohonan.
Di tangan mereka tergenggam berbagai macam senjata. Ada yang
menggenggam pedang seperti pedang pada lazimnya, ada yang memegang
kelewang yang besar, ada yang membawa canggah, bahkan ada yang membawa
trisula, tombak bercabang tiga.
Tanpa perintah siapapun, maka anak-anak
muda itu dengan sendirinya merenggang dan menghadap kesegala arah.
Seakan-akan mereka telah mengatur diri menghadapi serangan dari segala
penjuru.
Daruka menggeram melihat sikap anak-anak
muda itu. Kini ia yakin bahwa ia berhadapan dengan anak-anak muda yang
bukan sekedar pandai berburu kijang atau menjangan atau babi hutan.
Tetapi mereka adalah anak-anak muda yang mampu menghadap bahaya seperti
yang kini sedang mengepungnya.
“Ternyata kalian cukup menggembirakan
kami,” bergumam Daruka. “Kami tidak kecewa lagi kehilangan buruan kami.
Kalian pasti telah diminta sraya oleh para pengawal itu. Kalian pasti mendapat upah sengaja untuk menghadapi kami.”
Yang menyahut adalah Swandaru, “Ya. Kami telah mendapat upah dari mereka untuk membinasakan kalian.”
“Hus!” Agung Sedayu memotong.
Tetapi yang terdengar adalah suara Daruka
lantang, “Nah apa kataku. Betapa kalian mencoba memutar balik keadaan,
tetapi kami yakin, bahwa dengan menangkap kalian dan memeras darah
kalian, kami pasti akan mendapat keterangan tentang para pengawal itu.”
Kiai Gringsing dan Sutawijaya hanya dapat
menggeleng-gelengkan kepalanya. Swandaru ternyata hanya menuruti
kesenangannya sendiri. Tetapi perbuatannya itu benar-benar telah
membakar kemarahan kepala penyamun itu.
Bahkan Swandaru itu berkata tanpa
berpaling, karena kebetulan ia tidak menghadap ke arah Daruka yang
berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu. “Sekarang menyerahlah, supaya
hukuman kalian diperingan.”
“Setan!” Daruka itu menggeram. “Ternyata
anak yang gemuk itu merasa seperti jantan sendiri. Daruka hanya menyerah
kepada maut. Ayo, kalau mau menangkap kami, tangkaplah.”
Sutawijaya-lah yang kini menjawab dengan
tergesa-gesa supaya tidak didahului oleh Swandaru. “Begini Ki Sanak.
Sebenarnya kami tidak bersangkut-paut langsung dengan kalian, tetapi
kami ingin bahwa tak seorang pun terganggu di dalam perjalanan. Baik di
Hutan Tambak Baya, maupun di Hutan Mentaok.”
“O, ternyata kau mengigau pula. Jauh
lebih sumbang dari igauan anak yang gemuk itu. Tambak Baya adalah
kerajaanku. Aku tidak akan pernah meniggalkannya selagi aku masih
hidup.”
“Dengarlah dahulu Ki Sanak,” berkata
Sutawijaya. Kini ia berputar setengah menghadap ke arah Daruka.
“Sebentar lagi Hutan Mentaok dan Tambak Baya akan menjadi sebuah negeri.
Sebentar lagi akan berdatangan orang-orang yang akan membuka hutan ini.
Nah, apakah katamu?.”
Daruka mengerutkan keningnya. Sejenak ia
berpikir, tetapi kemudian ia berkata, “Oh, kau benar-benar seorang
pemimpi. Aku tidak ingin mendengarkan igauanmu itu. Aku ingin mendengar
kalian menunjukkan rumah beberapa orang pengawal yang telah melukai
orang-orangku.”
“Kami adalah wakilnya,” teriak Swandaru.
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia mendahului Daruka yang hampir berteriak pula. “Dengar kataku.
Aku berkata sebenarnya. Tanah Mentaok dan Tambak Baya akan menjadi milik
Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama di Pajang. Nah, apakah
kekuatanmu dapat melampaui setidak-tidaknya menyamai kekuatan Wira
Tamtama Pajang.”
Sekali lagi Daruka mengerutkan keningnya.
Tetapi sekali lagi ia membentak, “Jawab pertanyaanku. Kalau kalian yang
mewakilinya, maka nyawa kalianlah yang akan menjadi tebusannya.”
Kali ini Swandaru belum sempat menjawab,
tetapi telah didahului oleh Sutawijaya, “Jangan mengancam. Kami telah
siap untuk bertempur. Kami akan menghancurkan kalian sampai orang yang
terakhir. Tetapi perkelahian bukanlah tujuan kami. Kalau kau mau
mendengar, dengarkanlah. Kalian mempunyai kesempatan yang pertama di
hutan Tambak Baya ini. Mulailah dengan membuka hutan ini sebelum banyak
orang Iain berdatangan. Kalian akan dapat memilih tempat yang paling
baik, yang paling subur dari segala tempat di hutan ini. Kelak, kalian
pasti akan mendapat pengampunan akan segala macam kesalahan yang pernah
kau lakukan di sini.”
“Setan alas!” potong Daruka, “macam apa kata-katamu itu?”
“Jangan membantah dahulu. Aku adalah
prajurit Wira Tamtama yang datang merintis jalan. Apakah kau tidak
percaya. Berapa orang yang datang bersamamu? Kami seorang-seorang akan
bernilai sepuluh kali orang-orangmu bahkan lebih daripada itu. Kami
bukan sekedar pengawal upahan untuk mengantar orang-orang yang akan
menyeberangi hutan Tambak Baya.”
Ketika Swandaru mendengar Sutawijaya
bersungguh-sungguh, maka ia kini tidak mau lagi memotong, meskipun ia
menahan kegelian di dalam dirinya.
Tetapi seperti yang telah disangka,
Daruka tidak akan mudah percaya. Bahkan kemudian ia pun bersiap dengan
pedangnya. Sekali ia memandang berkeliling.
Sutawijaya menarik nafas. Tetapi ia
mempunyai rencana yang baik dengan orang ini. Dengan orang terkuat di
hutan Tambak Baya ini. Karena itu, maka katanya, “Daruka, aku mendengar,
bahwa kau adalah orang yang terkuat di antara para penyamun di hutan
ini. Karena itu, maka kau sebenarnya dapat membantu kami, para prajurit
Wira Tamtama. Kau dapat menebus dosa ini dengan perbuatan yang
menguntungkan dirimu dan menguntungkan kami. Aku akan menanggungmu,
bahwa kau kelak akan mendapat kedudukan yang baik. Bahkan mungkin kau
akan dapat menjadi seorang bekel.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengerutkan
keningnya mendengar kata-kata Sutawijaya. Tetapi lamat-lamat mereka
dapat menerka maksud anak muda yang akan memiliki hutan Mentaok dan
Tambak Baya itu. Apalagi Kiai Gringsing. Orang tua itu pun tersenyum di
dalam hati sambil bergumam lirih, “Alangkah tajamnya otak putera Ki
Gede Pemanahan ini,”
Tetapi agaknya Daruka sendiri merasa,
bahwa Sutawijaya telah menghinanya. Sehingga karena itu maka sekali lagi
ia menggeram sambil berkata, “Persetan ocehanmu. Apakah kau Panglima
Wira Tamtama, apakah kau Adipati Pajang, aku tidak peduli. Aku adalah
raja di sini. Semua harus tunduk kepada perintah dan kemauanku.”
“Kau mencoba menipuku. Bagaimana dengan gerombolan-gerombolan lain yang merasa dirinya raja pula di sini?
Wajah Daruka menjadi merah padam.
Katanya, “Tak ada yang berani melawan Daruka. Semua gerombolan akan
dapat aku binasakan satu demi satu kalau aku mau.”
Kenapa hal itu tidak kau lakukan?
Ternyata kau tidak mampu berbuat demikian. Bahkan kadang-kadang anak
buahmu sendiri dapat disergap dan dikalahkan.”
“Memang, mereka dapat berbuat demikian
dengan licik. Tetapi Daruka belum pernah dengan sungguh-sungguh mencoba
membinasakan mereka. Asal mereka tidak mengganggu secara langsung
kerajaanku, maka aku tidak terlalu bernafsu membinasakan mereka.
Orang-orangku masih aku perlukan untuk kepentingan lain.”
“Sekarang aku datang untuk menaklukkan kerajaanmu, atas nama Panglima Wira Tamtama di Pajaag,” sahut Sutawijaya.
Kesabaran Daruka kini telah sampai pada
batasnya. Terdengar ia bersuit nyaring. Mendengar aba-aba itu beberapa
orangnya segera mendesak maju dengan senjata-senjata mereka siap
menembus tubuh lawannya.
Tetapi lawannya ternyata benar-benar di
luar dugaan mereka. Dengan lincahnya Sutawijaya meloncat mendesak Agung
Sedayu sambil berkata, “Serahkan orang ini kepadaku. Tolong, tundukkan
orang-orangnya. Jangan kau binasakan mereka. Beri mereka kesempatan
untuk hidup dan menyesali perbuatannya.
Segera Agung Sedayu dapat menangkap
maksud itu. Swandaru yang gemuk dan hanya berbuat seenaknya sendiri itu
pun dapat mengerti pula, sehingga betapa perasaannya sendiri
melonjak-lonjak, namun ia mencoba mengekangnya.
Kiai Gringsing yang berada di antara
anak-anak muda itu menjadi termangu-mangu. Tetapi terdengar Sutawijaya
berkata”Kiai, apakah Kiai sudi bermain-main dengan kami?”
Kiai Gringsing tersenyum. Sementara itu
ia melihat ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu sudah
melibatkan diri dalam perkelahian melawan Daruka dan orang-orangnya.
Sutawijaya sendirilah yang kini berhadapan dengan pemimpin gerombolan
yang ditakuti oleh gerombolan-gerombolan Iain seisi hutan Tambak Baya
dan Mentaok.
Demikianlah, maka segera terjadilah
perkelahian yang riuh antara anak-anak muda dari Sangkal Putung bersama
Kiai Gringsing, melawan gerombolan Daruka yang Iangsung dipimpin oleh
kepala gerombolannya sendiri. Daruka, yang namanya menakutkan di segenap
sudut Alas Mentaok dan Tambak Baya.
Tetapi kali ini yang dihadapinya bukan
sekedar seorang pengawal dari padesan di ujung hutan. Tetapi yang
dihadapinya adalah putera Panglima Wira Tamtama itu sendiri. Dengan
demikian maka Daruka itu benar-benar terkejut. Hampir tidak kasat mata,
maka tombak Sutawijaya telah memukul-mukul senjatanya.
“Gila,” geramnya. Meskipun anak muda itu
membawa busur yang bersilang di punggungnya, serta endong panah di
lambungnya, namun geraknya sama sekali tidak terganggu olehnya.
Kelincahannya dan kecepatannya benar-benar mengagumkan kepala gerombolan
yang garang itu.
Di sisi lain, Agung Sedayu telah memutar
pedangnya pula, sedangkan di sisi yang lain lagi Swandaru berkelahi
sambil tertawa. Kiai Gringsing yang tua itu pun tidak ketinggalan,
tetapi karena ia tidak membawa pedang, maka ia berkelahi dengan
tangannya.
Salah seorang gerombolan itu berteriak, “He, orang tua bangka. Apakah kau mau mati pula.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
Tetapi begitu mulut orang itu terkatup, ia terkejut bukan buatan. Yang
terasa olehnya adalah suatu dorongan yang keras. Hampir saja ia
terlempar jatuh. Tetapi beruntuaglah ia segera mampu berpegangan
sebatang perdu. Tetapi matanya tiba-tiba terbelalak ketika ia melihat
senjatanya telah berpindah ke tangan orang tua itu.
“Terima kasih,” berkata Kiai Gringsing.
Swandaru tertawa melihat perbuatan gurunya. Katanya, “Kiai, tolong, ambilkan pula bagiku.”
“Hus!” kembali terdengar Agung Sedayu berdesis. Tetapi Swaudaru itu justru tertawa berkepanjangan.
Orang-orang Daruka itu pun kemudian
berdesakan maju bersama-sama, sehingga Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai
Gringsing harus bertempur melawan beberapa orang bersama-sama. Hanya
Daruka sendirilah yang justru membentak-bentak ketika beberapa orang
mencoba membantunya.
“Pergi!” teriaknya. “Aku ingin membunuh
anak ini dengan tanganku sendiri, tanpa kau ganggu sama sekali. “Namun
Daruka sendiri tidak meyakini kata-katanya Apalagi ketika tiba-tiba
tangannya menjadi pedih. Hampir saja senjatanya terlepas dari tangannya.
Beruntunglah ia bahwa ia masih mampu mempertahankannya.
Dalam pada itu Sutawijaya pun bergumam
di dalam hatinya, “Pantaslah kalau orang ini ditakuti oleh
gerombolan-gerombolan lain di hutan ini. Tandangnya cukup meyakinkan.
Tetapi ia harus segera dapat dijinakkan. Aku harus memberi kesan
kepadanya, bahwa apa yang dilakukan sama sekali tidak berarti bagiku.”
Dengan demikian, maka Sutawijaya pun segera memperketat serangannya. Bergulung-gulung seperti ombak menghantam tebing.
Adalah di luar dugaan Daruka, bahkan
mimpi pun tidak, bahwa akan dijumpainya lawan setangkas anak muda itu.
Bahkan belum pernah ia berkelahi dengan orang yang memiliki ketangkasan,
kelincahan, dan keperkasaan seperti lawannya kini. Dengan demikian maka
ia bergumam di dalam hatinya, “Mungkin benar apa yang dikatakannya,
bahwa ia adalah seorang prajurit Pajang.”
Tetapi kini ia sudah tidak mendapat kesempatan untuk menghindar.
Ketika sekali ia sempat melihat
orang-orangnya, maka ia pun terkejut bukan buatan. Duabelas
orang-orangnya itu sama sekali tidak mampu mendesak ketiga orang
lawannya. Orang yang tua itu pun masih juga mampu berkelahi melawan
beberapa orang-orangnya sekaligus.
Sejenak kemudian Daruka itu pun menjadi
bingung. Ia tidak dapat mundur. Tetapi ia tidak dapat mengingkari
kenyataan bahwa ia beserta anak buahnya itu pasti tidak akan mampu
melawan ketiga anak-anak muda itu beserta seorang tua bangka.
Maka jalan satu-satunya yang dapat
dipilihnya untuk menyelamatkan diri adalah lari. Lari meninggalkan arena
pertempuran itu. Bagi Daruka, maka nilai-nilai harga diri sama sekali
tidak akan diperhitungkan. Bahkan mengorbankan anak buahnya pun
termasuk kebiasaan pula baginya.
Demikian pula kali ini. Ketika tekanan
lawannya menjadi semakin ketat, maka Daruka itu pun telah mencoba
mencari jalan yang mungkin akan dapat dilaluinya untuk menyelamatkan
diri.
Tetapi Sutawijaya melihat gelagat itu,
Baginya untuk menjatuhkan kepala gerombolan yang paling ditakuti itu
ternyata tidak terlampau sulit. Dengan demikian, ketika Daruka itu telah
bersiap-siap untuk lari terdengar Sutawijaya bergumam, “Ayo, akan lari
ke manakah kau? Apakah seorang yang namanya menggelegar di seluruh hutan
Tambak Baya dan Mentaok ini akan tinggal-glanggang colong-playu. Apakah kau tidak malu terhadap dirimu sendiri, Daruka.”
Terdengar Daruka menggeram. Katanya, “Aku
tidak pernah meninggalkan arena sebelum lawanku menjadi mayat atau aku
sendiri yang mati.”
Kembali mereka dikejutkan oleh suara
Swandaru tertawa terputus-putus. Sambil menggerakkan pedangnya ia
berkata, “He Daruka. Apakah kau mengigau? Aku percaya bahwa kau belum
pernah meninggalkan gelanggang dalam keadaan hidup. Jadi apa yang selalu
kau lakukan adalah melarikan diri setelah kau mati.”
“Setan!” terdengar Daruka menggeram.
Bahkan kemudian orang itu pun mengumpat tak habis-habisnya. Namun
justru suara tertawa Swandaru menjadi semakin keras. Lawan-lawannya sama
sekali tidak mampu berbuat apa pun atasnya. Sambil tertawa dan
berkelakar Swandaru telah membuat lawan-lawannya menjadi pening. Bahkan
seorang dari antara mereka telah terluka.
Agung Sedayu terpaksa berkelahi melawan
lima orang. Tetapi kelimanya pun tidak dapat mendesak anak muda itu,
meskipun untuk melawannya, Agung Sedayu harus bekerja jauh lebih keras
daripad Swandaru. Mungkin anak buah Daruka itu mencoba suatu cara untuk
menjatuhkan lebih dahulu lawannya seorang demi seorang, untuk kemudian
melenyapkan semuanya berturut-turut. Tetapi ternyata yang seorang itu
pun tidak dapat dikalahkannya.
Sedang Kiai Gringsing yang tua itu pun
harus berkelahi dengan beberapa orang pula. Dengan sekedar melayani dan
mempertahankan dirinya, Kiai Gringsing sama sekali tidak banyak berbuat.
Ia menunggu saja Sutawijaya mengalahkan lawannya, dan berbuat menurut
rencananya.
Yang ditunggu Kiai Gringsing itu pasti
segera akan terjadi. Sebab Daruka kini benar-benar kehilangan segala
kesempatan. Apalagi kesempatan menyerang, kesempatan untuk
mempertahankan dirinya pun telah hampir tidak dapat dilakukannya.
“Jangan lari,” gumam Sutawijaya ketika ia melihat Daruka selalu mencoba menarik diri.
“Aku bukan pengecut,” teriak Daruka
“Huh,” sahut Sutawijaya. “Jawabanmu lebih
memalukan dari perbuatanmu. Apakah kau telah melupakan kata-katamu
sendiri bahwa hanya mautlah yang dapat memaksamu untuk menyerah? Kenapa
kau kini akan melarikan diri?”
“Setan tetekan!” mulut Daruka menghamburkan sumpah serapah tidak karuan. “Aku akan membunuhmu.”
Tetapi kata-katanya terputus. Tangkai
tombak Sutawijaya tiba-tiba mengenai kepalanya yang botak, yang sama
sekali tidak ditutupinya dengan ikat kepala.
Sekali lagi Daruka menyumpah-nyumpah
semakin kotor. Namun sekali lagi kepalanya yang botak itu terpukul oleh
tangkai tombak Sutawijaya.
“Aku baru mempergunakan tangkai tombakku,” berkata Sutawijaya. “Ayo, lebih baik menyerahlah. Aku tidak akan membunuhmu.”
Daruka membelalakkan matanya. Tetapi ia masih berkata, “Daruka hanya menyerah kepada maut.”
Kini bukan sekedar tangkai tombak
Sutawijaya mengenai kepalanya, tetapi tiba-tiba pedang Daruka tergetar
keras. Tangannya tiba-tiba terasa nyeri bukan buatan. Ketika ia mencoba
memperbaiki genggamannya, sekali lagi pedangnya terasa tersentuh senjata
lawannya. Kali ini ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu.
Pedangnya terlontar beberapa langkah daripadanya dan jatuh tergolek di
tanah yang lembab.

“Apa katamu?” bertanya Sutawijaya.
Daruka menggeram. Tetapi ketika ujung tombak lawannya tertekan semakin keras, Daruka itu pun menyeringai.
“Apakah kau hanya menyerah terhadap maut?”
Daruka tidak menjawab. Sementara itu
kawan-kawannya masih juga berkelahi. Namun ketika mereka melihat lurah
mereka sudah tidak berdaya, maka hati mereka pun segera berkeriput.
Anak buah gerombolan itu belum pernah
melihat lurahnya berdiri kaku tegang tanpa dapat berbuat apa-apa karena
ujung senjata lawan yang melekat di tubuhnya. Apalagi ketika sambil
tertawa Swandaru berkata, “Ayo, apa yang akan kalian lakukan. Lihat
kepalamu telah menyerah.”
Dalam pada itu Sutawijaya pun berkata pula, “Ayo, lekas katakan apakah kau hanya menyerah terhadap maut?”
Daruka tidak juga segera menjawab. Tetapi ia menahan nafasnya ketika ujung tombak Sutawijaya menekan semakin keras.
“Kalau kau menyerah, maka perintahkan
orang-orangmu berhenti melakukan perlawanan. Kalau tidak, maka satu
persatu kalian akan aku penggal kepala kalian dan akan kutancapkan di
ujung hutan ini sebagai pertanda bahwa Daruka kini sudah tidak
menakutkan lagi.”
Terasa dada kepala penyamun yang menakutkan itu berdesir. Betapa tabah hatinya, namun ancaman itu mendirikan bulu kuduknya.
“Cepat!” bentak Sutawijaya. “Pilihlah.
Menyerah atau mati. Kalau kau malu mengakui kekalahanmu, maka kau dapat
memberi perintah saja kepada anak buahmu supaya menyerah.”
Daruka masih juga ragu-ragu. Namanya yang menakutkan selama ini telah menahannya untuk tidak segera melakukan perintah itu.
Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika
mereka mendengar sebuah pekik kesakitan. Ketika mereka berpaling, mereka
melihat salah seorang yang berkelahi melawan Swandaru meloncat surut
sambil memegangi lengannya yang berdarah.
“Nah,” berkata Sutawijaya, “lihat, seorang anak buahmu terluka. Apakah kau menunggu mereka terbunuh?”
Daruka itu masih ragu-ragu. Sekali
dipandanginya wajah Sutawijaya dan sekali dilontarkannya pandangan
matanya berkeliling kepada anak buahnya yang sedang berkelahi itu.
Tetapi sekali lagi terasa unung senjata
Sutawijaya itu semakin menekan dadanya dan terdengar Sutawijaya
membentak tidak sabar. “Cepat, atau kau benar ingin mati.”
“Tidak,” tiba-tiba Daruka itu menjawab terbata-bata.
“Cepat, perintahkan kepada orang-orangmu.”
“Baik. Baik,” berkata kepala gerombolan itu, yang kemudian berteriak dengan penuh kebimbangan, “Hentikan perlawanan!”
Beberapa orang Daruka yang sudah merasa,
bahwa mereka tidak akan mampu melawan, tidak menunggu perintah itu
terulang. Segera mereka berloncatan mundur menjauhi lawannya.
Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki Tanu
Metir pun segera menghentikan perkelahian pula. Mereka sama sekali
tidak mengejar lawan-lawan mereka, dan membiarkannya berdiri
termangu-mangu meskipun senjata mereka masih tetap di dalam genggaman.
“Nah,” berkata Sutawijaya, “sekarang jawablah pertanyaanku. Apakah kau menyerah atau tidak?”
Mulut Daruka kembali terbungkam. Hanya matanya sajalah yang berkeredipan seperti anak burung yang menunggu induknya.
“He, apa katamu?” bertanya Sutawijaya mengejut.
Daruka itu pun terperanjat sehingga terhenyak selangkah surut. Tetapi ujung tombak Sutawijaya masih mengikutinya.
“Jawab!” bentak Sutawijaya.
“Ya,” akhirnya Daruka menjawab penuh keragu-raguan.
“Kau ragu-ragu.”
“Ya.”
“He?”
“Oh, tidak,” Daruka itu tergagap.
“Sekarang katakan. Apakah kau menyerah atau tidak?”
“Ya, aku menyerah.”
“Nah. Ternyata harga dirimu masih kalah bernilai dari nyawamu. Apakah kau benar-benar menyerah?”
“Ya.”
“Aku dapat mempercayaimu?”
“Ya.”
Sutawijaya menarik nafas. Jawaban orang
itu sama sekali tidak meyakinkannya. Memang kemungkinan yang paling
dekat adalah, Daruka sekedar mencoba menyelamatkan dirinya. Tetapi
meskipun demikian Sutawijaya ingin mencobanya. Katanya, “Daruka. Apakah
kau benar orang yang paling ditakuti di hutan Tambak Baya dan Mentaok
ini?”
Daruka kembali menjadi ragu-ragu. Tetapi ia menjawab, “Ya. Demikianlah kata orang.”
“Ketahuilah Daruka. Kau memang seharusnya
dimusnahkan dari hutan ini. Tak ada cara yang lebih baik daripada
membunuhmu dan memenggal lehermu untuk ditanjir di mulut hutan ini.”
“Tetapi,” wajah Daruka tiba-tiba menjadi pucat.
“Apakah yang lebih baik menurut pendapatmu?” bertanya Sutawijaya.
Daruka menjadi makin pucat.
“Apakah kau mempunyai cara yang lebih baik daripada ditanjir di mulut hutan untuk mengabarkan bahwa orang-orang yang ingin menyeberangi hutan ini tidak perlu takut lagi kepada Daruka?
“Tetapi, tetapi, bukankah aku udah menyerah?”
“Kau menyerah di hadapanku. Apabila aku pergi, maka tak ada lagi yang kau takuti.”
“Aku tidak akan ingkar. Aku menyerah.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam.
Namun kembali ia bergumam seperti kepada diri sendiri, “Mustahil.
Mustahil orang semacam Daruka ini dapat dipercaya. Mulutnya baru dapat
dipercaya apabila ia sudah tidak dapat berkata sepatah kata pun lagi.”
Tiba-tiba Daruka yang kekar itu menjadi
gemetar. “Jangan kau bunuh aku. Aku kira tidak akan banyak gunanya.
Bukan hanya aku sendiri perampok dan penyamun di hutan ini.”
“He,” bentak Sutawijaya, “kau ingin hidup karena bukan hanya kau endiri perampok di dalam hutan ini?”
Adalah menggelikan sekali tampaknya bahwa
seorang yang bertubuh segagah Daruka dapat menjadi gemetar dan
ketakutan. Wajahnya kini benar-benar menjadi seputih kapas. Sekali lagi
ia merengek seperti kanak-kanak yang melihat bapanya menggenggam cemeti.
“Ampun, Tuan. Ampun.”
Sutawijaya memandanginya dengan tajamnya.
Kemudian memandang beberapa anak buah Daruka. Aneh. Mereka pun menjadi
gemetar dan ketakutan. Wajah-wajah mereka pun menjadi seputih kapas.
“Hem,” desah Sutawijaya, “aku sangka kalian tidak mengenal takut, meskipun berhadapan dengan maut.”
“Tuan,” berkata Daruka, “kami bukan
seorang prajurit. Kami berkelahi sekedar untuk mendapat makan. Sedang
prajurit bertempur untuk kewajiban. Karena itu, maka mungkin Tuan
sebagai seorang prajurit tidak takut mati dalam kewajiban Tuan. Tetapi
kami ingin bahwa kami tidak mati hanya karena kami sedang mencari sesuap
nasi.”
Betapa tegang hati Sutawijaya, namun ia harus tertawa di dalam hati mendengar kata-kata Daruka.
“Karena itu, Tuan,” Daruka meneruskan, “kami mohon ampun.”
“Daruka,” sahut Sutawijaya, “mungkin kau
sekarang menyadari bahwa seakan-akan tidaklah seimbang kesalahanmu
dengan hukuman mati itu, karena kau hanya sekedar mencari makan untuk
hidupmu. Tetapi bagaimana dengan para pengawal itu? bukankah mereka pun
bekerja sekedar untuk mendapatkan upah yang berarti sekedar untuk
mendapatkan sesuap nasi juga? Apakah sudah selayaknya bahwa kau berkeras
hati untuk mencarinya dan kemudian membunuh mereka karena mereka telah
melawan anak buahmu dan mengalahkannya?”
“Aku tidak akan membunuh mereka, Tuan. Tidak.”
“Untuk apa kau cari mereka?”
“Kami hanya akan mencari siapakah yang telah mencelakai orang-orangku.”
“Ya, untuk apa?” bentak Sutawijaya.
Orang yang botak itu menundukkan kepalanya.
“Daruka,” berkata Sutawijaya kemudian.
Daruka mengangkat wajahnya.
“Wajahmu seram. Tubuhmu pun cukup
mengerikan. Kau memang pantas bernama Daruka, seorang yang menakutkan di
hutan Tambak Baya dan Mentaok. Seorang yang paling ditakuti oleh
gerombolan-gerombolan lain di alas ini.”
Daruka tidak menjawab. Ia tidak tahu, apakah maksud Sutawijaya sebenarnya.
“Apakah kau sudah benar-benar menyerah?”
“Ya, Tuan,” sahut Daruka serta-merta.
“Dan menyesal?”
“Ya, Tuan.”
“Daruka, dengarlah baik-baik,” berkata
Sutawijaya bersungguh-sungguh. “Kau dengar bahwa sebentar lagi hutan ini
akan dibuka menjadi sebuah negeri?”
“Ya, Tuan.”
“Nah, dengan demikian maka setiap kotoran
yang ada di dalam hutan ini harus dibersihkan lebih dahulu. Panglima
Wira Tamtama yang akan memiliki hutan ini tidak mau melihat orang-orang
semacam kau ini tinggal di dalam hutan ini.”
“Aku akan pergi, Tuan.”
“He,” Sutawijaya membelalakkan matanya,
“begitu mudahnya? Kau menyamun dan merampok. Setelah kau tertangkap
begitu saja kau pergi? Tidak. Kau pun pasti akan menyamun dan merampok
di tempat lain sebab kau tidak punya pekerjaan tertentu.”
“Tidak, Tuan. Aku akan mencoba mencari tanah pertanian dengan anak buahku. Aku akan hidup bercocok tanam bersama dengan mereka.”
“Sementara ini kau tidak akan dapat
melakukannya. Kau adalah seorang yang biasa hidup dengan berkelahi,”
jawab Sutawijaya. “Apalagi kau tertangkap saat kau melakukan perlawanan.
Lain halnya kalau kau menyerah sebelum aku menarik pedang dari
sarungnya.”
“Ampun, Tuan.”
“Kau harus dihukum.”
“Tetapi aku minta diampuni, Tuan. Aku masih belum ingin mati.”
“Orang-orang yang kau rampok dank au bunuh pun belum ingin mati.”
Daruka terdiam. Beberapa titik keringat dingin menetes pada pundaknya. Tubuh yang gemetar itu menjadi kian menggigil.
“Daruka,” berkata Sutawijaya seterusnya,
“kau harus menerima hukuman. Kalau kau benar menyesal atas segala
tingkah lakumu, maka kau harus dapat memenuhi beberapa syarat supaya kau
tidak dihukum mati.”
Daruka mengangkat wajahnya. Tampaklah sebersit harapan di dalam wajahnya. “Apakah syarat itu, Tuan?”
“Tetapi jangan mencoba melepaskan diri dari tanganku dan tangan Wira Tamtama.”
“Tidak, Tuan.”
“Tidak aka nada gunanya. Aku akan selalu
dapat mengawasimu dan menangkap kau setiap saat. Kau tidak dapat
mengalahkan aku, apalagi para pemimpin Wira Tamtama lainnya.”
“Ya, Tuan.”
“Nah, dengarlah syarat itu. dalam waktu
yang dekat, sebe lum hutan ini mulai dibuka, maka kau harus sudah
menyelesaikan syarat itu. kau harus mampu menangkap semua orang yang
menjadi penyamun dan perampok di dalam hutan ini. Kau dan orang-orangmu
harus mampu menumpas semuanya. Tetapi ingat. Aku tidak memerintahkan
kepadamu untuk menumpas orang-orangnya, tetapi perbuatannya. Apakah kau
dapat mengerti? Hanya apabila perlu kau boleh mempergunakan pedangmu.
Kau mengerti?”
Wajah Daruka yang telah memutih kapas itu
kini mulai dialiri oleh darahnya kembali. Ditatapnya wajah Sutawijaya
seakan-akan ia ingin mendengar ketegasan dari kata-katanya.
“Apakah yang harus kau lakukan?”
“Membinasakan setiap gerombolan yang ada di hutan ini.”
“Tetapi jangan berlaku seperti apa yang
pernah kau lakukan. Ingat, alangkah ngerinya menghadapi maut. Kau
sendiri telah melupakan kejantanan dan kesombonganmu ketika kau sudah
mulai dijamah oleh bahaya maut itu.”
“Kau dengar kata-kataku?” bertanya Sutawijaya.
“Ya, Tuan. Aku mendengar,” jawab Daruka.
“Kau mengerti?”
Daruka termangu-mangu sebentar. Tiba-tiba ia mengangguk. “Ya, Tuan aku mengerti.”
Daruka mengerutkan keningnya.
“Kau merasa tidak seimbang bahwa kau
harus mati karena sesuap nasi. Demikian pula orang-orang lain.
Gerombolan-gerombolan yang lain. Tundukkan mereka, kalau mungkin tanpa
pepati. Bawalah mereka memilih tanah yang paling baik di seluruh hutan
Mentaok. Bukalah hutan itu, kalian akan mendapat hak untuk bertempat
tinggal di sana kelak apabila tempat ini menjadi ramai. Kau mengerti?”
“Ya, aku mengerti,” sahut Daruka sambil
mengangguk lemah. Ia tahu benar apa yang harus dilakukan. Mengalahkan
gerombolan-gerombolan yang ada di hutan ini sejauh mungkin tanpa melukai
kulit mereka. Apakah ia mampu berbuat seperti anak muda itu? tetapi
Daruka tidak lagi bertanya.
“Nah, lakukan perintahku baik-baik.
Dengan demikian kau telah menyelamatkan dirimu sendiri. Memberi harapan
kepada kedamaian hatimu sendiri di masa-masa mendatang. Apakah apabila
otot-ototmu telah menjadi rapuk dimakan umur, kau masih juga merasa
orang yang paling ditakuti di hutan ini? Dan apakah kau masih merasa
mampu mencari sesuap nasi dengan pedang di genggaman?”
“Ya, Tuan,” Daruka mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mulai hari ini kau sudah dapat melakukan
pekerjaanmu. Tetapi ingat, jangan mencoba melepaskan diri dari
pengawasan Wira Tamtama. Kalau kau lancing kali ini, maka hukumanmu bukan sekedar dipancung di alun-alun, tetapi kau akan dirampog setelah kau diadu melawan harumau di alun-alun. Kalau kau juga tidak mati, maka kau akan dihukum picis. Kau dengar?”
Meskipun Daruka selama ini tidak pernah
ngeri mendengar nama harimau, namun diadu dengan harimau di alun-alun
untuk mengganti rampogan adalah tidak menyenangkan sama sekali. Apabila
ia masih hidup maka hukuman picis telah menunggu. Adalah tidak
menyenangkan mati di celah-celah gigi harimau atau mati tersayat-sayat
dalam menjalani hukuman picis.
Karena itu maka ia tidak mempunyai
pilihan lain dari bertempur melawan setiap gerombolan yang ada di hutan
Tambak Baya dan Mentaok. Hampir setiap gerombolan telah dikenalnya
dengan baik. Dan tak seorang pun yang perlu dicemaskannya apabila
mereka berhadapan beradu dada.
“Nah, apakah kau sanggup melakukan?” bertanya Sutawijaya.
Daruka tersentak mendengar pertanyaan itu. dengan serta-merta ia menjawab, “Ya, Tuan. Aku sanggup.”
“Bagus,” berkata Sutawijaya pula.
“Pergilah. Lakukan perintah ini. Tetapi kau jangan berbuat semena-mena
dan menyalahgunakan perintahku. Aku tidak memerintahkan kepadamu untuk
mengadakan pembantaian dan pembunuhan besar-besaran. Kalau mungkin
selesaikan dengan pembicaraan. Kau dapat menceriterakan kepada mereka
apa yang kau alami. Kau dapat memberitahukan bahwa sebentar lagi
sepasukan Wira Tamtama akan menjelajah seluruh isi hutan ini.”
“Ya, ya aku mengerti, Tuan,” sahut Daruka.
“Kalau demikian, pergilah. Bawa orang-orangmu. Apakah orang-orangmu hanya sebanyak dua belas orang ini?”
“Tidak, Tuan. Aku mempunyai lebih dari
duapuluh lima kawan. Aku mengharap mereka dapat mengerti apa yang harus
aku lakukan. Dan aku harap mereka dapat membantuku.”
“Bagus,” desis Sutawijaya, “sekarang
pergilah. Di Cupu watu, Nglipura, Mangir, Menoreh, tersebar
prajurit-prajurit Wira Tamtama. Kalau kau ingkar, maka kau pasti akan
menyesal.”
“Tidak, Tuan. Aku tidak akan ingkar.
Berkelahi melawan gerombolan yang ada di hutan ini bagiku adalah jauh
lebih ringan daripada berkelahi melawan Wira Tamtama seperti Tuan.”
Sutawijaya tersenyum di dalam hati.
Kemudian sekali lagi ia berkata, “Pergilah. Kumpulkan orang-orangmu, dan
mulailah melakukan pekerjaanmu itu.”
“Baik, Tuan. Kami, seluruh orang-orangku mengucapkan beribu terima kasih atas kesempatan yang Tuan berikan kepada kami.”
“Jaga kepercayaan ini baik-baik.”
“Ya, Tuan.”
Sejenak kemudian Daruka beserta
orang-orangnya pun segera meninggalkan mereka. Satu-satu mereka
menghilang ke dalam semak-semak. Satu dua di antara mereka masih juga
berpaling memandangi wajah anak-anak muda itu. tetapi segera mereka
membuang pandangan mata ketika mereka melihat Swandaru yang gemuk
mencibirkan bibirnya.
“Mudah-mudahan usaha ini berhasil,” gumam Sutawijaya.
“Anakmas cukup cerdik,” sahut Kiai
Gringsing. “Aku kira Daruka benar-benar ketakutan. Ia pasti akan
melakukan perintah itu. mudah-mudahan ia berhasil. Nanti Anakmas akan
membuka hutan ini dengan tenteram. Orang-orang yang berdatangan tidak
lagi takut mendapat gangguan dari para penyamun dan perampok. Untuk
membasmi mereka dengan cepat, alangkah sulitnya. Sekarang Anakmas
mendapat alat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pekerjaan itu. dan
pasti hasilnya pun akan lebih baik daripada Anakmas mengerahkan
sepasukan Wira Tamtama.”
Sutawijaya tersenyum. “Mudah-mudahan, Kiai,” katanya.
Swandaru yang masih berdiri di tempatnya
menyahut, “Aku tidak dapat mempercayai mereka sepenuhnya. Kalau Daruka
sendiri mungkin benar-benar telah jera, tetapi aku tidak yakin melihat
wajah-wajah dari anak buahnya.”
Sutawijaya masih saja memandangi
semak-semak di mana Daruka dan orang-orangnya menghilang. Sejenak ia
terdiam. Tetapi yang menjawab perkataan Swandaru adalah Kiai Gringsing,
“Tidak, Swandaru. Gerombolan perampok dan penyamun merasa jauh lebih
takut kepada pimpinannya daripada prajurit yang mana pun juga. Seorang
pemimpin perampok atau penyamun dapat saja menghukum mati anggotanya
setiap saat dikehendaki. Tanpa banyak pertimbangan dan tanpa banyak
pertanggungan jawab. Seorang yang dianggapnya berkhianat atau kurang
baik melakukan pekerjaannya, akan dapat mengakibatkan kepalanya
terlepas. Kalau kemudian ternyata bahwa tuduhan yang diberikan kepadanya
itu keliru, maka pimpinannya cukup bergumam ‘Oh, ternyata keliru,’
tetapi yang mati itu tetap juga mati. Dengan demikian, maka setiap
anggota perampok atau penyamun atau sebangsanya akan berusaha untuk
mentaati dan menyenangkan hati pemimpinnya.”
Swandaru mengangguk-anggukan kepalanya.
Apa yang ditemuinya kali ini benar-benar memberinya banyak pengalaman.
Meskipun hanya berpapasan, tetapi ia melihat beberapa orang pengywal
yang benar-benar telah mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi orang
lain meurut kesanggupannya. Mereka adalah orang-orang yang sebenarnya
mempunyai tanggungjawab yang tinggi atas pekerjaan yang mereka pilih.
Kemudian Swandaru itu melihat sebuah gerombolan perampok dan penyamun.
Dengan demikian, maka ia telah mendapat sedikit gambaran apa yang
sebenarnya tersimpan di gutan2 yang besar dan lebat seperti hutan
Mentaok dan Tambak Baya ini.
Bagi Sutawijaya, apa yang dilihat itu
pun telah memberikan petunjuk kepadanya, apakah yang kelak akan
dihadapinya. Mungkin Daruka dapat melakukan sebagian dari tugasnya,
tetapi mungkin uga ia akan menemui kegagalan. Seandainya Daruka
benar-benar ingin melakukan tugasnya, maka yang dihadapinya bukan saja
satu atau dua gerombolan, yang tidak begitu banyak mempunyai perbedaan
kekuatan. Mungkin gerombolan yang lain dapat bergabung satu sama lain
untuk bersama-sama mengadapi gerombolan Daruka atau bahkan memusnahkan
gerombolan Daruka ini.
Sejenak mereka saling berdiam diri
tenggelam dalam angan-angan masing-masing. Yang mula-mula memecah
kesenyapan itu adalah Kiai Gringsing, “Bagaimana, Ngger. Apakah kita
akan berjalan terus?”
“Kita sudah sampai di sini Kiai, apakah salahnya kalau kita berjalan terus?” jawab Sutawijaya.
“Kita tidak akan menemukan apa-apa lagi.
Alas Mentaok hampir tak akan ada bedanya dengan hutan ini. Kita hanya
dapat melihat pohon-pohon raksasa. Akar-akaran dan batang-batang yang
merambat. Daun-daun yang mengandung racun yang sangat gatal, sejenis
semut yang disebut semut Salaka, tetapi yang kini sudah hampir punah.
Harimau yang garang dan kijang yang bertanduk panjang. Apa lagi?”
“Apakah sama sekali tidak ada daerah yang didiami orang Kiai?”
“Tentu saja tidak di tengah-tengah Alas
Mentaok. Kalau Angger berjalan terus menembus sisi yang lain dari Alas
Mentaok maka Angger akan sampai di daerah yang berpenduduk. Daerah
Nglipura, Pliridan yang masih terlampau dekat dengan hutan ini, sebelum
kita sampai di hutan Mentaok yang menjorok ke Selatan di daerah Beringan
dan Pacetokan. Tetapi menurut pengelihatanku saat-saat terahir daerah
ini sudah ditinggalkan oleh penduduknya karena gangguan para penjahat.
Kemudian agak jauh ke Selatan Angger akan menemui daerah yang sudah agak
ramai, Mangir.”
“Apakah daerah itu juga termasuk daerah Mentaok?”
Kiai Gringsing mengerutkan keninya.
Tetapi kemudian ia menggeleng, “Aku tidak tahu, Ngger. Meskipun daerah
itu dahulu juga termasuk daerah yang tunduk kepada Sultan Demak. Apakah
daerah itu kemudian akan tunduk juga kepada Adipati Pajang untuk
seterusnya termasuk tanah yang akan dihadiahkan kepada ayahanda Ki Gede
Pemanahan, aku tidak tahu.”
Sutawijaya berpikir sejenak. Tiba-tiba ia berkata, “Aku ingin melihat daerah itu, Kiai.”
Kiai Gringsing menarik nafas. Katanya,
“Angger memerlukan waktu yang lama. Apalagi kedatangan angger belum
tentu akan mendapat sambutan yang baik. Kita belum tahu, bagaimana
tanggapan Mangir atas Pajang dan atas Alas Mentaok.”
“Karena itu aku ingin menemuinya. Siapakan yang memerintah Mangir? Seorang Demang?”
“Mangir adalah sebuah Tanah Perdikan,
Ngger. Seperti daerah-daerah di Bukit Menoreh. Perdikan yang dikukuhkan
oleh pengakuan Sultan Trenggana.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tanah
itu tanah perdikan. Tiba-tiba dadanya menjadi berdebar-debar. Di samping
tanah yang akan diterimanya, terletak sebuah tanah perdikan yang sudah
menjadi ramai. Apakah tanah itu mengakui kekuasaan Pajang atas
penyerahan kekuasaan daerah itu kepada Ki Gede Pemanahan? Lalu
bagaimanahkah sifat dan bentuk Tanah Mentaok kelak?
Kiai Gringsing yang tua itu seakan-akan
dapat membaca perasaan Sutawijaya. Maka katanya, “Anakmas. Jangan
terlampau pagi merisaukan tanah ini. Apakah Angger kini sedang dijalari
oleh kecemasan tentang Mangir itu? Apakah tidak ada bahaya yang dapat
datang dari tanah itu selagi Angger membuka Tanah Mentaok ini? Bukankah
Angger berpikir tentang itu?”
“Ya Kiai.”
“Lupakanlah. Kita akan melihat
perkembangan keadaan. Memang Mangir adalah tanah perdikan yang perllu
mendapat perhatian, Tetapi tidak sekarang. Sekarang sebaiknya kita
kembali ke Sangkal Putung.”
Sutawijaya menarik nafas. Mangir akan
dapat menumbuhkan persoalan kelak. Kemudian dipalingkannya wajahnya
kepada kedua kawan-kawannya yang perhatiannya agaknya tertarik kepada
pohon-pohon raksasa dan jenis burung2 liar yang terbang hilir mudik dari
dahan ke dahan.
“Bagaimana dengan kita?” bertanya Sutawijaya kepada kedua anak muda itu
Agung Sedayu dan Swandaru tidak segera
menjawab. Bahkan sejenak mereka saling berpandangn. Tetapi keduanya
ternyata saling berdiam diri.
Meskipun Swandaru merasa banyak
mendapatkan pengalaman dalam perjalanan itu, dan meskipun sebenarnya ia
masih ingin menjelajahin tempat-tempat yang selama ini belum pernah
dilihatnya, namun ia ingat juga kepada kademangannya. Kademangan yang
selama ini dipertahankannya dengan pengorbanan yang tidak kecil. Bahkan
nyawa dari beberapa orang telah pula dikorbankan.
Sedang Agung Sedayu pun mempunyai
pertimbangan-pertimbangan yang lain pula. Ia menjadi cemas, apakah
kakaknya Untara membenarkannya. Kalau terjadi sesuatu atas Sangkal
Putung dan para prajurit Pajang, bahkan atas kakaknya Untara dan
pamannya Widura, maka ia tidak dapat melihatnya. Ia akan dapat
dipersalahkan, bahwa ia telah meninggalkan kuwajibannya.
Tetapi mereka berdua tidak inin
mendahului pendapat Sutawijaya. Mereka telah terlanjur berjanji ingin
pergi bersamanya ke Alas Mentaok. Sehingga karena itu, maka dibiarkannya
Sutawijaya itu sendiri menjawab pertanyaannya.
“Bagaimana, Ngger?” bertanya Kiai
Gringsing kemudian. “Aku harap Angger mempertimbangkannya. Meskipun
Angger sampai juga di Alas Mentaok, maka yang akan Angger lihat adalah
serupa ini juga. Pohon-pohon besar dan rimbun, gerumbul-gerumbul perdu
yang pepat. Pohon-pohon yang merambat, yang tidak berduri dan yang
berduri. Batu-batu padas yang kotor dan jamur-jamur dari segala macam
jenis. Kemladean dan beberapa macam anggrek. Angger tidak akan dapat
melihat dengen jelas, manakah batas-batas yang memisahkan Alas Mentaok
dan Alas Tambak Baya. Mungkin sebuah padang rumput yang sempit yang
masuk dalam sebuah lekukan hutan ini dapat dianggap sebagai batas
tersebut. Tetapi di dalam hutan, maka batas itu tidak akan nampak.”
Sutawijaya menjadi bimbang. Ia menyadari,
betapa hangatnya keadaan Sangkal Putung kini. Apalagi apabila ayahnya
telah pergi meniggalkan kademangan itu. Maka Sangkal Putung akan
mengalami saat yang paling lemah tanpa adanya Agung Sedayu, Swandaru dan
lebih-lebih Kiai Gringsing. Sedang apa yang akan dilihatnya pun tidak
akan jauh berbeda dari apa yang dilihatnya sekarang. Beruntunglah bahwa
ia telah bertemu dengan gerombolan terkuat dari Alas Mentaok, Daruka,
yang dapat memberinya beberapa macam gambaran tentang Alas Mentaok yan
liar. Liar wajah dan isinya.
Ketika Agung Sedayu dan Swandaru tidak
juga menjawab, maka terdengar Sutawijaya itu berdesis, “Baiklah, Kiai.
Aku telah puas melihat sebagian saja dari Alas Mentaok. Bagian yang
bernama Tambak Baya. Aku mengerti, bahwa Sangkal Putung kini benar-benar
dalam keadaan yang sulit apabila Ki Tambak Wedi mengambil kesempatan
menyerangnya. Karena itu, baiklah kita kembali.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Bagus,” desisnya, “ternyata Angger cukup bijaksana. Sejak
saat ini kita akan memerlukan waktu sedikitnya dua malam untuk mencapai
Sangkal Putung kembali. Hari ini telah lebih dari separo kita lampaui
untuk bermain-main dengan Daruka dan kawan-kawannya. Kita masih
memerlukan waktu lagi unuk memberi kesempatan Swandaru memburu makan
malamnya nanti.”
Swandaru menggigit bibirnya, sedang kedua kawannya tertawa perlahan-lahan.
“Kalau begitu,” berkata Kiai Gringsing
kemudian, “kita segera kembali ke Sangkal Putung. Jangan kita lalui
kembali Kademangan Prambanan. Kita pasti akan terhambat pula sedikitnya
satu malam. Kita tidak akan sampai hati menyakiti perasaan mereka
apabila kita menolak permintaan mereka untuk bermalam di kademangan
itu.”
“Baik, Kiai,” sahut Sutawijaya.
“Kita berusaha mencari jalan lain pula.
Mungkin Argajaya membuat persiapan yang baik untuk menyambut kedatangan
kita di Sangkal Putung. Karena itu, biarlah kita mencoba
menghindarinya.”
“Kenapa tidak kita penggal saja lehernya, Kiai?” potong Swandaru.
“Leher yang melekat ditubuh Argajaya
bukanlah leher ayam. Ia pasti akan mempertahankan lehernya. Bahkan tidak
seorang diri. Mungkin bersama Sidanti, Sanakeling, Alap-alap Jalatunda
dan bahkan mungkin pula Ki Tambak Wedi. Nah, kalau demikian apakah bukan
lehermu yang meremang?”
Swandaru tersenyum. Kedua kawannya pun tersenyum pula.
“Nah, marilah. Kita harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu dengan Sangkal Putung.”
Tetapi dengan demikian, kata-kata Kiai
Gringsing yang terakhir itu telah membuat jantung Swandaru menjadi
berdebar-debar. Agung Sedayu pun merasa cemas pula. Apakah sebenarnya
yang paling mencemaskan baginya? Agung Sedayu sendiri kadang-kadang
menjadi ragu-ragu. Untara barangkali? Untara adalah kakaknya. Untara
adalah seorang senapati. Seorang yang memimpin sepasukan prajurit yang
kuat. Kenapa ia mesti mencemaskannya? Sangkal Putung barangkali?
Kademangan itu? Agung Sedayu tiba-tiba menggelengkan kepalanya. Ia tidak
mau menelusur lebih jauh, apakah sebabnya kecemasannya tentang Sangkal
Putung menjadi kian memuncak.
Keempatnya kini telah berjalan kembali ke
arah yang berlawanan dari jalan yang telh ditumpunya. Tiba-tiba saja
mereka merasa bahwa merka telah terlampu lama meninggalkan Sangkal
Putung. Sutawijaya pun merasa, bahwa ayahnya pasti tidak terlampau
senang kepadanya karena kepergiannya yang tanpa pamit itu.
Demikianlah maka mereka berusaha tanpa
berjanji, berjalan secepat-cepatnya untuk mencapai Sangkal Putung.
Mereka paling sedikit masih memrlukan dua malam satu hari di perjalanan.
Kalau saja tidak ada rintangan apapun, kalau saja mereka tidak berjumpa
dengan orang-orang Prambanan yang akan meminta mereka untuk singgah,
kalau saja mereka tidak bertemu dengan Argajaya dan Sidanti.
Sebagian dari harapan mereka itu pun
terjadi. Mereka setelah bermalam satu malam, dapat melampaui Prambanan
tanpa dilihat oleh seorang pun sehingga mereka tidak perlu singgah.
Bahkan mereka berusaha untuk sampai ke Sangkal Putung hari itu juga
meskipun larut malam atau bahkan sampai fajar. Seolah-olah mereka
mendapat suatu firasat, bahwa memang terjadi sesuatu di Sangkal Putung.
Kiai Gringsing agaknya melihat
kegelisahan di hati ketiga anak-anak muda itu. Maka untuk menenangkan
mereka orang tua itu berkata, “Anakmas bertiga. Kenapa Anakmas menjadi
sedemikian tergesa-gesa sperti dikejar hantu?”
Ketiga anak-anak muda itu terkejut
mendengar kata-kata Kiai Gringsing. Sejenak mereka saling berdiam diri,
tetapi sejenak kemudian mereka tersenyum.
“Bukankah Kiai ingin segera sampai ke kademangan itu? Kita harus berjalan siang dan malam.”
“Tetapi tidak seperti dikejar hantu. Aku
melihat kalian berjalan meloncat-loncat. Perjalanan kita cukup jauh.
Kalau anak mas berjalan seperti itu, maka kita pasti akan kelelahan
sebelum kita sampai ke Sangkal Putung.”
Kembali anak-anak muda itu tersenyum.
Yang menjawab kemudian adalah Swandaru, “Jadi apakah lebih baik kita
berjalan perlahan-lahan? Mungkin aku akan mendapat banyak waktu untuk
mendapatkan binatang buruan. Bahkan mungkin aku akan dapat membawa
oleh-oleh buat ayah dan ibu di rumah.”
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Tidak terlampau cepat, tetapi tidak terlalu lambat. Sedang.”
Ketiga anak-anak muda itu tidak menjawab lagi. Tetapi kini mereka tidak lagi meloncat-loncat seperti orang yang ketakutan.
Ketika malam datang, maka Sangkal Putung
sudah tidak terlalu jauh lagi. Meskipun mereka masih berada di hutan
yang tidak begitu lebat, namun mereka bertekad untuk berjalan terus.
“Bukankah kita sudah sampai di hutan tempat orang-orang Jipang dahulu berkemah?” gumam Agung Sedayu.
“Ya,” sahut Kiai Gringsing.
“Kalau begitu kita tidak usah bermalam
lagi,” berkata Swandaru. “Kita berjalan terus, meskipun perutku
terlampau kosong. Justru karena itu aku harus segera sampai di rumah.
Mungkin masih ada sisa nasi di dapur.”
“Kalau tidak?” potong Sutawijaya.
“Aku akan berburu.”
“Di mana kau akan berburu?”
“Di kandang ayam,” jawab Swandaru.
Yang mendengar jawaban itu tertawa.
Swandaru pun tertawa pula meskipun sekali-sekali ia harus menyerigai
karena kakinya terantuk kayu atau batu-batu padas.
Tetapi mereka berempat benar-benar tidak ingin berhenti berjalan.
Kiai Gringsing membiarkan saja anak-anak
muda itu mengambil sikap. Namun tampak juga, bahwa anak-anak muda itu
telah mulai dirayapi oleh perasaan lelah. Meskipun demikian, tak
seorang pun yang ingin berhenti di jalan. Sebelum fajar mereka harus
sudah sampai di Sangkal Putung. Yang dapat mereka lakukan hanyalah
memperlambat perjalanan untuk mengurangi kelelahan mereka. Tetapi tidak
untuk berhenti.
Meskipun demikian, meskipun mereka
berjalan malam hari, namun mereka tidak menempuh jalan yang terpendek.
Mereka masih juga memperhitungkan Argajaya dan Sidanti. Argajaya itu dua
hari yang lalu pasti sudah bertemu dengan Sidanti. Paman Sidanti itu
pasti sudah banyak berceritera, dan Sidanti pun telah banyak bercerita
pula. Karena itu, maka dendam mereka pasti akan berganda. Gurunya Ki
Tambak Wedi pasti tidak pula akan tinggal diam. Karena itu, maka mereka
harus menghindari kemungkinan itu, kemungkinan bertemu dengan Sidanti,
meskipun Swandaru sama sekali tidak ingin melakukannya.
Ternyata sedikit lewat tengah malam
mereka telah mendekati Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah sampai di
sebuah padang rumput yang tidak begitu luas. Karena itu mereka harus
berjalan agak labih cepat. Sebab di padang rumput, maka bayangan mereka
pasti akan lebih mudah dilihat oleh siapapun, meskipun mereka telah
bergeser beberapa puluh langkah dari jalan yang terdekat.
Semakin dekat dengan mereka Kademangan
Sangkal Putung, maka hati mereka pun menjadi berdebar-debar. Mereka
tidak melihat sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Mereka tidak melihat
kelainan daripada biasanya. Kalau terjadi sesuatu atas Kademangan itu,
maka mereka pasti melihat suatu perubahan apapun. Mereka masih melihat
lampu-lampu yang sinarnya kadang-kadang meloncat dari celah-celah
dinding rumah. Di mulut lorong mereka masih melihat sebuah pelita yang
menyala.
Tiba-tiba Swandaru memperlambat jalannya
sambil menarik nafas dalam-dalam. “Hem, ternyata Sangkal Putung tidak
mengalami sesuatu.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Begitulah agaknya.”
“Kalau begitu, sejak kini aku akan berjalan lambat-lambat. Bukankah kita tidak perlu tergesa-gesa.”
“Ah, kau”, sahut Agung Sedayu, “akulah kini yang tergesa-gesa. Bukankah kau masih ingin berburu?”
Swandaru tertawa. Tetapi tiba-tiba ia menguap. “Aku tidak terlalu lelah tetapi aku mengantuk.”
Namun mereka tidak lagi merasa gelisah.
Apalagi ketika mereka sudah memasuki padesan. Namun agaknya Swandaru
ingin mengejutkan orang-orang di kademangan, karena itu katanya,
“Marilah kita tidak melalui jalan. Kita membuat kejutan bagi orang-orang
kademangan.”
Kedua kawan-kawannya tidak membantah.
Kiai Gringsing pun menuruti saja kemauan muridnya yang aneh itu. Tetapi
ketika mereka memasuki halaman kademangan lewat belakang, mereka
benar-benar terperanjat. Ternyata kademangan itu benar-benar tidak
seperti biasanya. Bahkan lamat-lamat Swandaru mendengar tangis
perempuan. Tangis ibunya.
Mereka berempat itu pun tertegun
sejenak. Suara tangis yang lamat-lamat itu masih mereka dengar. Sejenak
mereka saling berpandangan. Namun tak seorang pun yang tahu, apakah
sebenarnya yang telah terjadi.
Menilik tanda-tanda yang mereka jumpai di
sepanjang jalan, mereka sama sekali tidak melihat bekas-bekas
keributan. Dari tempat mereka menyelinap di antara pepohonan sambil
meloncat-loncat di antara dinding-dinding halaman, mereka melihat
gardu-gardu peronda masih juga seperti biasanya. Memang mereka melihat
kesiapsiagaan yang agak lebih ketat dari kebiasaan. Tetapi mereka
menyangka bahwa keadaan sekedar meningkat menjadi lebih genting, tetapi
belum terlambat.
Swandaru menjadi bertambah cemas ketika
tangis itu tidak juga berkurang. Ibunya tidak pernah menangis karena
hal-hal yang tidak terlampau penting. Betapapun ibunya sedang sakit,
tetapi ia hanya berbaring diam. Hanya apabila ia sedang sakit gigi, maka
ibunya itu menangis. Tetapi tangisnya tidak sekeras kali ini.
“Agaknya memang telah terjadi sesuatu,” bisik Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk, “Ya.”
“Tetapi tidak ada tanda-tanda yang kita temui,” sahut Sutawijaya.
Mereka pun kemudian terdiam. Ketika mereka berpaling kepada Kiai Gringsing, orang tua itu pun sedang termenung.
“Bagaimana Kiai?”
Kiai Gringsing menggeleng, “Aku tidak tahu. Marilah kita lihat.”
“Sebenarnya aku ingin bermain-main. Aku
ingin mengejutkan orang-orang kademangan. Diam-diam aku ingin tidur,
sehingga besok pagi mereka pasti terkejut melihat kami di pendapa, atau
di gandok wetan. Tetapi agaknya kita harus berbuat lain.”
“Agaknya kita tidak sedang menghadapi
persoalan yang dapat dibawa untuk bergurau,” gumam Kiai Gringsing.
“Marilah jangan terlampau lama.”
Ketiga anak-anak muda itu pun kemudian
mengikuti langkah Kiai Gringsing. Mereka tidak lagi berkata apa pun.
Kiai Gringsing benar-benar sedang berpikir. Kalau saja Kiai Gringsing
menjadi gelisah, maka persoalan yang mereka hadapi pasti bukan sekedar
persoalan yang ringan.
Memang sekali-kali Swandaru hanya
menganggap bahwa ibunya pasti sedang sakit gigi. Sebab baik di setiap
sudut penjagaan maupun di halaman itu sendiri mereka tidak melihat
kekhususan yang mencolok. Tetapi anggapan itu tidak diyakininya sendiri.
Setiap kali dadanya terasa berdesir, semakin lama menjadi semakin
tajam.
Mereka berhenti ketika mereka melihat dua
orang berjalan di bagian belakang halaman itu. Supaya tidak menimbulkan
kegaduhan maka mereka pun berhenti dan menyelinap di balik pepohonan.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat begitu terlalu lama, sebab kedua orang
itu ternyata menuju ke tempat yang agak terlindung. Pada saat itulah
baru mereka mengetahui, bahwa di sudut yang gelap itu ternyata telah
diadakan sebuah penjagaan.
Penjagaan di tempat itu tidak pernah ada
sebelumnya. Penjagaan di bagian belakang ini berada di samping regol
yang telah ditutup mati hanya malam hari apabila keadaan
mengkhawatirkan. Sedang penjagaan yang biasa terdapat di tikungan, di
gardu perondan. Sekarang di tempat itu ternyata ada sebuah penjagaan
sehingga dengan demikian mereka dapat menduga sesuatu benar-benar telah
terjadi.
Tiba-tiba Swandaru menjadi tidak bersabar
lagi. Dengan terbata-bata ia berbisik, “Kiai, aku akan melihat apakah
yang telah terjadi.”
“Tunggu,” cegah Kiai Gringsing. “Jangan
mengejutkan para penjaga yang sedang dalam kesiapsiagaan penuh. Kalau
mereka melihat kita berempat, maka meka pasti menyangka bahwa mereka
menghadapi bahaya. Dengan demikian, maka kegaduhan pasti akan timbul.
Karena itu, biarlah aku sendiri menemui mereka dan mengatakan bahwa
kalian telah kembali.”
“Baik Kiai,” sahut Swandaru tidak sabar.
Kiai Gringsing pun kemudian melangkah maju. Perlahan-lahan dan hati-hati. Ternyata para penjaga itu pun belum melihatnya.
Untuk menghindari kesalah-pahaman, maka
Kiai Grinsing itu pun terbatuk-batuk kecil. Sehingga dari tempat yang
terlindung ia mendengar seseorang menyapanya, “He, siapakah itu?”
“Aku, Tanu Metir.”
“Oh,” terdengar seseorang berdesah. “Kenapa Kiai berada di situ?”
Kiai Grinsing tidak segera menjawab. Bahkan ia masih juga terbatuk-batuk.
———-oOo———-
(bersambung ke Jilid 20)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-19/

Tinggalkan Balasan