

ADBM-011

Tohpati melihat perubahan di dalam tata
pertempuran pasukan Pajang. Ia melihat bagaimana Untara berusaha
menyempurnakan gelar Garuda Nglayang itu menjadi gelar yang lebih
barbahaya bagi gelar Dirada Meta. Karena itu, maka Tohpati tidak
membiarkan Untara mendapat kesempatan untuk mengatur orang-orangnya.
Dengan tangkasnya is meloncat mengejar Untara yang sedanq menarik diri
ke dalam laskarnya.
Melihat Tohpati memburunya, Untara
menggeram marah. Ternyata senapati Jipang itu benar-benar berbahaya
bagina dan bagi pasukannya. Terpksa ia segera menyambut Macan Kepatihan
yang seakan-akan menerkamnya. Tongkat baja putih dengan sebuah tengkorak
kecil yang berwarna kuning itu benar-benar mengerikan. Tongkat itu
terayun-ayun dengan dahsyatnya. Setiap sambarannya selalu diikuti oleh
desingan angin yang keras.
Tetapi yang diserangnya adalah anak muda
yang bernama Untara, sehingga dengan tangkasnya anak muda itu mampu
melayaninya. Dengan pedang di tangannya, Untara merupakan lawan berat
bagi Macan Kepatihan yang garang itu. Pedang Untara benar-benar seperti
bermata di ujungnya. Pedang itu bahkan seakan-akan dapat menuntun gerak
tangan yang menggenggamnya. Menusuk, menyambar dengan sengitnya.
Untunglah bahwa Hudaya bertindak cepat.
Meskipun pada mulanya Hudaya dan Agung Sedayu di satu sisi dan di sisi
yang lain Swandaru Geni. Sonya dan Patra Cilik yang menekan sisi induk
pasukan Jipang, namaun segera terasa akibatnya.
Pasukan Jipang yang bergerak maju,
ternyata telah membuat jarak yang lebih panjang dengan sayap-sayap
pasukannya yang terpaksa gigih melayani Widura dan Citra Gati. Jarak
itulah yang sengaja dikehendaki oleh Untara. Pasukan hudaya dan Sonya
sebelah-menyebelah, merupakan penghubung dengan sayap-sayap gelar yang
sebenarnya.
Widura mula-mula terkejut melihat induk
pasukannya terpaksa melangkah surut. Ia merasakan pula, betapa berat
tekanan yang harus ditahan oleh induk pasukan itu. Sehingga mula-mula
dengan cemas Widura melihat induk pasukannya yang disangkanya
benar-benar akan pecah. Tetapi Widura tidak tinggal diam. Dengan
pengalamannya ia segera mengetahui kelemahan induk pasukannya. Widura
pun melihat bagaimana anak-anak Sangkal Putung hamper tak berdaya untuk
derbuat sesuatu karena medan yang sempit. Ketika ia melihat Hudaya dan
Agung Sedayu meloncat dari induk pasukan, dan kemudian membuat sayap
tersendiri, Widura itu tersenyum. Ia berbangga melihat kecerdasan
Untara. Katanya di dalam hati –Anak itu benar-benar mempunyai
kemungkinan yang baik sekali di masa depannya. Pada umurnya yang masih
semuda itu, ia mampu mengatasi kesulitandengan tiba-tiba.
Tetapi Widura tidak hanya sekedar
melihat, tersenyum dan berbangga. Ia harus membantu gerakan Untara.
Karena itu, ia segera mencoba memperluas gerakannya. Ia sendiri sempat
mengatur sayapnya sedemikian hingga ujung sayapnya di bagian dalan
segera dapat menghubungkan diri dengan pecahan induk pasukan yang
dipimpin oleh Hudaya dan Agung Sedayu.
Tohpati mengumpat-umpat di dalam hati.
Kerja sama antara Untara dan Widura ternyata sedemikian baiknya sehingga
sisi kiri dari pasukannya mengalami tekanan-tekanan yang perlu mendapat
perhatiannya.
Berbeda dengan sayap kiri itu, maka sayap
kanan gelar Garuda Nglayang dari pasukan Pajang menglami sedikit
kesulitan. Perhitungan Untara dan Widura ternyata salah. Tohpati tidak
menempatkan Sanakeling di sayap kanannya, tetapi justru di sisi kiri,
dan Alap-alap Jalatunda di sisi kanan. Karena itulah maka Widura
mendapat agak banyak kesempatan untuk mengatur dirinya dan menyesuaikan
dengan sebaik-baiknya untuk melawan gelar Dirada Meta yang dahsyat itu.
Tetapi keadaan Citra Gati agaknya terasa
betapa beratnya. Sanakeling dengan pedang di tangan kanan dan bindi di
tangan kiri, melawan sayap kanan yang dipimpin Citra Gati dengan
kemarahan yang menyala-nyala. Sesuai dengan perhitungan Tohpati, maka
Sanakeling tidak membawa kekuatan yang besar di sisi gelar itu. Tetapi
karena mereka adalah laskar pilihan di bawah pimpinan Sanakeling
sendiri, maka Citra Gati tidak segera dapat mengatasinya. Bahkan
kemudian Citra Gati sendiri menglami kesulitan melawan Sanakeling yang
kasar dan keras. Karena itu, maka dengan terpaksa sekali Citra Gati
menarik seorang yang dipercayanya untuk membantunya melawan Sanakeling.
Orang itu adalah Sendawa. Mereka berdua mencoba sekuat tenaga mereka
untuk menahan arus kemarahan Sanakeling. Tetapi Sanakeling benar-benar
merupakan orang yang luar biasa. Keras, kasar, dan liar. Ia dapat
berbuat apa saja yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Dalam
keadaan yang demikian itulah maka sayap kanan tidak banyak membantu
induk pasukan dalam usaha Untara memperluas medan. Namun Sonyalah yang
mencoba memperluas medan dengan menghubungkan laskar Sangkal Putung yang
dipimpinnya dengan sayap kanan itu. Dan usaha Sonya itu justru dapat
memperingan tugas-tugas di sayap kanan.
Demikan keseimbangan seluruh pertempuran
itu menjadi berat sebelah. Citra Gati terpaksa sekali-sekali bergerak
surut, sedang Widura beberapa kali berhasil mendesak maju. Dalam hal
yang demikian itu, maka gelar Garuda Nglayang yang dibuat Untara itu
berkisar ke kanan. Sedang induk pasukannya sendiri kini telah
didapatkannya beberapa perbaikan-perbaikan. Arus belalai Dirada Meta itu
tidak lagi terasa sedahsyat semula. Anak-anak muda Sangkal Putung,
terutama yang berjuang di sisi induk pasukan itu, mendapat kesempatan
yang sebaik-baiknya. Mereka kini tidak lagi berjejalan dan mereka kini
tidak lagi takut menggerakkan senjata mereka agar tidak menusuk kawan
sendiri. Beberapa orang prajurit Pajang yang sengaja ditempatkan di
antara mereka, dan beberapa orang bekas prajurit Demak, meskipun sudah
agak lanjut usia, benar-benar merupakan inti kekuatan laskar Sangkal
Putung. Sedang anak-anak mudanya yang bertekad bulat untuk
mempertahankan kampung halamannya, telah berjuang dengan penuh nafsu
yang menyala-nyala.
Namun bagaimanapun juga, Untara masih juga prihatin melihat gelarnya terpaksa berkisar karena kekuatan yang tak seimbang.
Untara melihat beberapa kelamahan pada
sayap kanannya. Di samping itu, usaha Macan Kepatihan untuk menekan
induk pasukannya masih diusahakannya terus-menerus.
Bahkan timbul pula dugaan di dalam
hatinya –Apakah Sumangkar yang garang itu berada di sayap kiri laskar
Jipang dalam bentuk seperti seorang prajurit biasa? Bukankah dengan
demikian berarti, korban di pihak Citra Gati akan berjatuhan tanpa
hitungan. Namun mudah-mudahan bahwa Sumangkar tidak berbuat demikian.
Sebab aku yakin, ia seorang yang jantan.
Ketika kemudian pasukan Sangkal Putung di
bawah pimpinan Sonya, Citra Gati dan gegeduk anak-anak muda Sangkal
Putung sendiri Swandaru Geni telah berada di sisi kanan, dan berusaha
membantu sayap itu dengan melepaskan sebagian kepentingannya di sisi
induk pasukan, maka terasa pasukan Citra Gati mampu sedikit bernafas.
Tetapi Citra Gati sendiri berada dalam keadaan yang sangat sulit.
Meskipun ia bertempur berpasangan dengan Sendawa yang bertubuh raksasa,
namun Sanakeling benar-benar seperti setan. Sepasang senjatanya
benar-benar mengerikan, hampir sedahsyat tongkat baja putih Tohpati itu
sendiri.
Demikianlah maka arena pertempuran itu
bertambah riuh. Suara pedang gemerincing beradu dengan perisai, derak
tombak patah dan pekik jerit kesakitan. Korban jatuh satu demi satu,
ditandai oleh darah merah yang segar memancar dari tubuh-tubuh yang
terluka.
Sementara itu matahari memanjat langit
semakin lama semakin tinggi. Angin yang kencang masih saja bertiup di
antara batang-batang ilalang. Mendung di langit kini telah pecah
berserakan. Langit menjadi biru cerah. Namun di sudut-sudut cakrawala
masih tampak menggantung awan yang basah. Seperti mata gadis yang
melihat kekasihnya berjuang di medan perang.
Anak-anak muda Sangkal Putung bukanlah
prajurit-prajurit yang berpengalaman seperti prajurit Pajang dan
prajurit Jipang. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka keringat
mereka seakan-akan telah terperas habis. Mereka telah memeras tenaga
mereka seperti singa yang terluka. Namun mereka kurang memperhitungkan
waktu. Berapa lama mereka harus bertempur melawan pasukan Jipang yang
tangguh itu. Belum tentu tengah hari pertempuran itu selesai. Bahkan
belum pasti sehari ini akan dapat segera dikatahui siapakah yang kalah
dan siapakah yang menang. Mungkin mereka harus berjuang sendiri, dua
hari, bahkan mungkin lebih daripada itu dalam pertempuran gelar yang
terbuka. Tidak seperti pertempuran-pertempuran hantu-hantuan yang pernah
mereka lakukan sebelumnya.
Untara menyadari kemunkinan itu. Dan
untunglah bahwa pengalamannya telah mengatakan kepadanya, bahwa hal itu
akan terjadi. Karena itu, betapapun beratnya tekanan-tekanan pasukan
Jipang, namun Untara masih tetap menyimpan tenaga cadangan. Hanya
apabila keadaannya benar-benar parah, barulah tenaga cadangan itu harus
membantu mereka. Namun karena tenaga cadangan itupun telah dipersiapkan
benar-benar, maka Untara pun masih tenang menghadapi pasukan Jipang yang
garang.
Namun semakin lama semakin terasa, betapa
tenaga anak-anak muda Sangkal Putung menjadi semakin susut. Meskipun
tekad mereka sama sekali tidak surut, tetapi tenaga mereka adalah tenaga
yang terbatas. Kemampuan mereka bertempur dan kesanggupan mereka
bertahanm semakin lama menjadi semakin berkurang.
Macan Kepatihan yang cerdik segera
melihat kelemahan itu. Ia tersenyum di dalam hati. Sesaat apabila
matahari telah melampaui titik pusatnya, maka laskar Sangkal Putung
benar-benar akan kehilangan sebagian besar dari tenaganya. Dengan
demikian maka melawan mereka akan sama mudahnya dengan membinasakan
kelinci sakit-sakitan. Maka nafsunyapun menjadi semakin menyala. Dengan
sebuah teriakan yang nyaring ia mendesak maju. Namun lawan pribadinya
bukanlah anak muda Sangkal Putung yang sudah kelelahan. Lawannya kali
ini adalah Untar, yang justru ketika ia mendengar Macan Kepatihan itu
berteriak, maka ia semakin mempercepat pedangnya. Semakin lama semakin
cepat, melampaui kecepatan tongkat baja putih yang mengerikan itu.
Tetapi Untara pun menyadari, bahwa ia
sendiri akan mampu melawan musuhnya yang berbahaya itu, tetapi bagaimana
dengan anak buahnya terutama anak-anak muda Sangkal Putung? Bukan saja
Untara, tetapi prajurit-prajurit Pajang yang bertempur di antara
anak-anak muda Sangkal Putung itupun ikut merasakan, seakan-akan
pekerjaan mereka menjadi semakin berat. Apalagi Hudaya, Agung Sedayu di
satu sisi dan Sonya, Patra Cilik dan Swandaru Geni sendiri di lain sisi.
Di antara mereka, hanya para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal
Putung bekas prajurit sajalah yang masih dapat bertempur dalam tataran
yang tetap. Tetapi anak-anak muda Sangkal Putung itu sendiri telah
menjadi kelelahan.
Dalam keadaan yang demikian, Untara
segera bersuit nyaring, sebagai suatu perintah sandi yang sudah
dipesankannya kepada para penghubung. Perintah itu telah mendorong dua
orang penghubung untuk meninggalkan pertempuran. Beberapa orang kawannya
segera melindunginya ketika orang-orang Jipang mencegah mereka itu.
Kedua orang itupun segera berlari dengan
sisa tenaga mereka. Tetapi mereka tidak harus berlari sampai ke Sangkal
Putung. Di tempat yang ditentukan segera membunyikan tanda yang segera
disaut oleh gardu pertama. Demikian tanda itu menjalar sehingga akhirnya
didengar oleh pasukan cadangan yang hampir kehilangan kesabaran.
Mendengar tanda itu segera mereka bersorak, dan dengan cepat mereka
menempatkan diri dalam satu barisan yang dengan tergesa-gesa berangkat
ke garis pertempuran.
Sementara itu, jauh di belakang garis
pertempuran, seorang yang telah jauh melampaui pertengahan abad, berdiri
sambil menatap langit. Sekali-kali ia berpaling, memandangi api yang
menjilat-jilat, memanasi belanga tempatnya memasak. Sekali-sekali ia
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya dua tiga kawannya yang
sedang sibuk menyiapkan makan untuk kawan-kawan mereka nanti apabila
pertempuran telah selesai.
Tetapi mereka masih terlalu cepat untuk
menyediakan makan itu. Kawan-kawan mereka baru akan datang setelah
matahari tenggelam. Namun dalam keadaan yang khusus keadaannya pasti
berbeda. Kalau kawan-kawan mereka menang, maka mereka pasti tidak akan
datang ke tempat ini, tidak akan pula tinggal di tempat ini. Mereka
pasti hanya menyuruh beberapa orang datang untuk mengambil makanan itu.
Tetapi kalau mereka kalah, mereka pasti datang lebih cepat, dengan
beberapa orang yang luka-luka dan bahkan mungkin beberapa orang akan
mati karenanya. Bukan lagi suatu kemungkinan, tetapi pasti.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dengan gelisahnya ia berjalan hilir mudik di dalam hutan, di
antara gubug-gubug ilalang tempat pasukannya berkemah.
“Aneh,” desisnya. “Angger Tohpati kali ini memang aneh.”
Orang tua itu berhenti ketika seseorang memanggilnya. “Ki Sumangkar, bagaimana dengan daging rusa itu?”
Sumangkar mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Sudah aku katakan. Pangganglah. Kemudian sediakan sediakan
rusa itu untuk Angger Tohpati.”
“Untuk Raden Tohpati seorang diri?”
“Biarlah kalau akan habis dimakannya,”
jawab Sumangkar. “Kalau tidak, biarlah beberapa orang pemimpin
membantunya, menghabiskan daging itu. Untuk anak-anak yang lain,
bukankah kalian sudah menyembelih kerbau liar?”
Orang yang bertanya itu terdiam. Tetapi
terdengar seorang lain yang bertubuh kekar berkata lantang, “Biarlah
orang tua itu mengerjakannya.”
Sumangkar mengerutkan keningnya, tetapi
ia mendengar orang yang bertubuh kekar itu meneruskan, “Ayo, kau pun
harus bekerja seperti kami. Kau jangan berjalan saja mondar-mandir.”
Sumangkar memandang orang itu. Orang yang
bertubuh kekar itu. Ia melihat beberapa cacat tubuhnya. Jari-jari
tangan kirinya tidak lagi genap. Tiga di antaranya terpotong dalam
pertempuran. Sebuah goresan melintang menghias dadanya, dan di
pelipisnya tampak bekas luka pula.
“Aku bukan lagi mondar-mandir saja Tundun. Tetapi aku lagi menanak nasi di belanga itu.”
Tundun, orang yang besar kekar itu
mengerutkan keningnya, jawabnya, “Tetapi menanak nasi tidak
terus-menerus harus kau tunggui. Bukankah kau dapat melakukan pekerjaan
yang lain sambil menunggu nasi itu masak.”
“Ah,” desah Sumangkar. “Biarlah kita mengerjakan pekerjaan ini di antara kita.”
“Aku mendapat tugas untuk mengawasi dan menjaga perkemahan ini,” jawabnya lantang.
Sumangkar masih berdiri di tempatnya.
Dilihatnya kemudian Tundun menghampirinya dengan mata yang memandanginya
tajam-tajam. “Ayo lakukan!” bentaknya.
“Jangan takut bahwa kami akan terlambat,” sahut Sumangkar.
Tetapi orang itu membentak sekali lagi. “Jangan membantah. Kalau tak kau lakukan perintahku, aku robek mulutmu, tua Bangka.”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam.
Ditatapnya sekali lagi mata orang itu. Mata itu menjadi semakin tajam
memandanginya. Sumangkar tersenyum di dalam hati. Tetapi ia menundukkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia berjalan kembali ke tempat kawan-kawannya
bekerja.
Ketika ia kemudian membungkukkan badannya
meraba tubuh rusa yang menggeletak di samping perapian, maka terdengar
kawannya yang pertama-tama bertanya kepadanya itu berbisik, “Sudahlah.
Biarlah nanti aku kerjakan.”
Sumangkar berpaling. Dilihatnya kawannya
itu. Seorang yang bertubuh kecil. Jawabnya, “Biarlah, biarlah aku
lakukan perintah Tundun itu.”
“Kau sudah terlalu tua untuk bekerja
terlalu banyak,” katanya. “Aku menyesal menanyakannya kepadamu, sehingga
Tundun membentak-bentakmu.”
Sumangkar menepuk bahu orang yang
bertubuh kecil itu. Kini ia benar-benar tersenyum. “Biarlah Bajang,
biarlah aku mengerjakannya.”
Orang bertubuh kecil dan mendapat
panggilan Bajang itu masih juga berkata, “Sudahlah Sumangkar. Duduk
sajalah di samping rusa itu. Tundun akan menyangka bahwa kau sudah
bekerja untuk melakukan perintahnya. Nanti kalau aku sudah selesai
dengan pekerjaan ini, biarlah aku mengerjakannya.”
Tetapi Sumangkar menyentuh tubuh rusa
itu, dan kemudian mengerjakannya dengan cekatan. Memang orang tua itu
mempunyai keahlian sebagai juru masak yang baik. Tetapi beberapa orang
menganggapnya, meskipun ia juru masak yang baik, namun ia agak terlalu
malas. Tetapi Bajang menganggap lain. Sumangkar sudah terlalu tua. Bukan
semata-mata karena malas.
Dalam mengerjakan pekerjaan itu, pkiran
Sumangkar tidak dapat lepas dari murid saudara tua seperguruannya.
Tohpati, yang hari ini terasa sangat aneh. Ia melihat betapa persiapan
Tohpati itu melampaui kebiasaan yang dilakukannya. Kali ini Macan
Kepatihan itu terlalu teliti. Perintahnya menentukan semuanya, dan
Sumangkar melihat perintah itu sedemikian rapinya, sehingga ia
seakan-akan melihat gelar Dirada Meta yang perkasa benar-benar akan
melanda Sangkal Putung. Tetapi Sumangkar menyadari pula, bahwa di
Sangkal Putung ada Untara dan Widura. Kedua orang itu benar-benar telah
mengagumkannya pula.
Tetapi yang terlebih aneh lagi bagi
Sumangkar adalah percakapannya sendiri dengan Macan Kepatihan itu.
Ketika pasukan Tohpati itu telah benar-benar dipersiapkan, maka
tiba-tiba Sumangkar ingin melihat, apakah yang akan terjadi di medan
pertempuran. Ia melihat perbedaan-perbedaan pada sikap dan perbuatan
Tohpati menjelang keberangkatan laskarnya.
Tetapi Tohpati itu berkata, “Tidak Paman.
Paman tinggal di perkemahan ini. Paman sudah cukup lama mengalami
masa-masa yang pahit. Sekarang biarlah Paman beristirahat. Biarlah
pekerjaan ini dilakukan oleh yang muda-muda.”
Tohpati benar-benar berbeda dari
kebiasaannya. Ketika Macan Kepatihan itu kemudian bermohon diri
kepadanya maka katanya, “Paman, kali ini bagiku adalah kali yang
terakhir. Hanya ada dua kemungkinan bagiku kali ini. Menang atau kalah.
Supaya peperangan ini tidak menjadi semakin berlarut-larut.”
“Apakah maksudmu Raden,” Sumangkar mencoba bertanya.
Tohpati menggelengkan kepalanya. Dan
Sumangkar ditinggalkannya. Beberapa langkah kemudian Tohpati itu
berpaling, seolah-olah ia ingin mengatakan seseuatu, tetapi tidak jadi.
“Apakah ada yang akan Angger katakan,” Sumangkar mencoba bertanya.
“Tidak Paman. Tidak ada yang akan aku katakan.”
Tohpati kemudian pergi. Pergi ke
gubugnya. Sampai kemudian pasukannya berangkat. Sumangkar tidak
bercakap-cakap lagi dengan Macan Kepatihan itu. Ia hanya melihat Tohpati
berdiri di muka pasukannya dengan tanda-tanda kebesaran sepenuhnya.
Bukan sekedar tanda-tanda kebesaran dari suatu susunan kesatuan, tetapi
benar-benar tanda-tanda kebesaran Jipang selengkapnya.
Kali ini Sumangkar melepaskan Tohpati
dengan hati yang risau. Aneh. Seperti melepaskan anak-anak menyeberangi
sungai yang lagi banjir.
Tetapi Sumangkar itu terkejut ketika
tiba-tiba ia merasa punggungnya didorong seseorang. Karena Sumangkar itu
sama sekali tidak menyangka, maka hampir-hampir ia jatuh terjerambab.
Ketika ia berpaling, dilihatnya Tundun berdiri di belakangnya. “Jangan
termenung. Aku bilang kerjakan rusa itu.”
“Ya. Ya Tundun,” jawab Sumangkar cepat-cepat.
“Tetapi kalau aku pergi, kembali kau
duduk saja termenung. Kau benar-benar malas. Kalau Macan Kepatihan
mengetahui kemalasannmu lehermu itu pasti akan dipatahkannya.”
“Ya, Tundun maksudku ……”
“Diam!” bentak Tundun. “Aku mau kau bekerja, tidak menjawab setiap kata-kataku.”
Sumangkar tidak menjawab. Ternyata ketika kenangannya terbang mengikuti Tohpati, tangannya berhenti bekerja.
“Sudahlah Tundun,” tiba-tiba Bajang
menyahut, “biarlah orang tua itu bekerja menurut kekuatan tenaganya.
Jangan dipaksa. Ia telah terlalu lemah.”
Tndun berpaling. Dipandanginya Bajang
dengan matanya yang tajam. Kemudian terdengar ia membentak, “Jangan
turut campur Bajang. Aku tahu apa yang harus aku kerjakan.”
“Tetapi keu terlalu kasar, Tundun.”
“He!” teriak Tundun. “Kau berani membantah, dan mengatakan aku terlalu kasar?”
“Aku mengatakan sebenarnya.”
“Gila kau Bajang, apa aku harus menampar mulutmu?”
“Aku tidak mau kau perlakukan kasar.”
Tundun benar-benar menjadi marah.
Tiba-tiba kakinya terayun deras sekali ke arah Bajang berjongkok di
samping Sumangkar. Tetapi ternyata Bajang pun cekatan. Segera ia
meloncat menghindari kaki Tundun. Bahkan kemudian Bajang telah berdiri
tegak. Di tangannya masih tergenggam sebilah pisau yang tajam
berkilat-kilat.
“Kau berani melawan aku Bajang?” suara Tundun gemetar karena marahnya.
“Kau sangka bahwa karena tubuhmu yang
cacat karena ciri-ciri peperangan itu kau ditakuti orang, Tundun. Bajang
adalah seorang prajurit pula. Aku menyesal telah dilemparkan di dapur
yang kotor dan memuakkan ini. Ayo, kalau kau ingin melihat, apakah
Bajang juga mampu berkelahi.”
Tundun hampir-hampir tidak mampu menahan
diri lagi. Tetapi ketika mereka hampir bertempur, maka segera Sumangkar
berkata, “Jangan bertengkar. Kalau kalian bertengkar, maka kalian akan
mempercepat kebinasaan kita sendiri.”
Tetapi Tundun dan Bajang tidak
mendengarnya. Masing-masing kemudian setapak maju lagi. Namun tiba-tiba
mereka terkejut ketika di kejauhan mereka mendengar suara ribut. “Siapa
itu he, siapa itu?” Disusul dengan suara tawa nyaring. Kemudian
terdengar teriakan di kejauhan. “Aku datang dengan dada terbuka. Ayo.
Siapa yang berada di perkemahan ini?”
“Jangan membunuh diri,” terdengar jawaban.
Tundun dan Bajang terpaksa menghentikan
permusuhan yang hampir-hampir meledak itu. Dengan marahnya Tundun
menggeram, “Tunggu Bajang, akan datang saatnya kepalamu terkelupas.”
Bajang pun tidak kalah marahnya.
Meskipun ia bertubuh kecil tetapi ternyata ia lincah bukan kepalang.
Dengan beraninya ia menjawab, “Asal kau datang dari depan saja,Tundun.
Jangan memperkecil arti Bajang yang kecil ini.”
Kemarahan Tundun tiba-tiba terungkat
semakin tajam. Tetapi di kejauhan terdengar pula suara nyaring. “Ayo.
Siapa yang bertugas menunggu kemah ini.”
Dada Tundun tergetar mendengar suara itu.
Suara itu pun seakan-akan menantangnya. Sebab ialah yang bertugas
memimpin beberapa orang untuk menunggui kemah ini.
Karena itu, maka segera Tundun berlari ke
arah suara itu. Sesaat ia melupakan Bajang dan Sumangkar. Namun Bajang
pun mendengar pula suara di kejauhan. Dan ia pun ingin melihat siapakah
yang dengan beraninya mendatangi perkemahannya. Perlahan-lahan ia pun
melangkah ke arah Tundun menghilang di belakang belukar, dan Sumangkar
pun menyusul pula di belakang mereka.
Di kejauhan kemudian Tundun melihat dua anak buahnya yang bertugas di sisi Utara berdiri tegang menatap ke balakang gerumbul.
“Ayo, kemarilah,” berkata salah seorang penjaga itu, “apakah kau bernyawa rangkap?”
Tiba-tiba sekali lagi terdengar suara
tertawa itu. Dan tiba-tiba muncullah dari balik gerumbul seorang anak
muda yang lincah sekali. Sambil tertawa ia berdiri bertolak pinggang.
Kemuadian katanya, “He, apakah laskar Tohpati tidak berangkat
seluruhnya?”
Tundun terkejut bukan buatan melihat anak
muda itu. Anak muda itu pernah dilihatnya di medan peperangan ketika ia
ikut mencoba merebut Sangkal Putung. Tetapi ia kurang yakin.
Karena itu maka tubuhnya segera menjadi gemetar. Gemetar karena marah. Namun juga gemetar karena cemas.
Sekali lagi Tundun melihat orang itu
tertawa sambil bertolak pinggang. Sambil mennjuk kepadanya ia berkata,
“Ha. Itu datang satu lagi. Ayo. Kumpulkan semua kawan-kawanmu yang
tinggal. Lima puluh atau sepuluh orang?”
Tundun memandang kedua kawannya yang
lebih dahulu melihat orang yang bertolak pinggang itu. Kemudia ia
berpaling, dan dilihatnya di belakangnya. Punggungnya terasa berdesir,
sebab Bajang masih menggenggem pisau dapur yang tajam berkilat-kilat.
Tetapi Tundun itu berlega hati ketika ternyata Bajang pun kemudian
berdiri di sampingnya sambil memandang anak muda yang tertawa
menjengkelkan.
“Kau siapa?” yang bertanya mula-mula sekali adalah Bajang.
Yang ditanya masih juga tertawa.
Bajang menjadi marah. Sekali ia membentak. , “He. Diam! Jangan seperti orang mabuk.”
Suara tertawa itu terputus. Dipandangnya Bajang dari ujung kaki ke ujung kepalanya. “Kau belum mengenal aku?”
“Apakah namamu cukup bernilai untuk dikenal oleh setiap orang?”
Anak muda itu mengerutkan keningnya.
Jawaban Bajang benar-benar menyakitkan hatinya. Namun selain menyakitkan
hati anak muda itu, juga menyakitkan hati Tundun. Seakan-akan Bajang
itu lebih berani daripadanya. Karena itu Tundun itu pun berteriak,
“Jangan merasa dirimu dikenal setiap orang. Andaikata aku mengenalmu
sekalipun aku tidak akan terkejut melihat tampangmu di sini.”
Anak muda itu menggeram. Namun sekali lagi ia tertawa. Katanya, “Hem. Empat orang. Apakah masih ada yang lain?”
Untuk apa kau cari yang lain? Agaknya kau anak yang terlalu sombong.”
“Terserahlah kau menilai diriku. Tetapi
kalian berempat ini bagiku hampir tak berarti sama sekali. Aku datang
karena aku ingin melihat kekuatan perkemahanmu. Aku ingin menghitung ada
berapa gubug yang kau dirikan di sini, dan ada berapa luas tanah yang
kau perlukan.”
“Cukup!” teriak Tundun. Tetapi terasa
suaranya ragu-ragu, sebab ia pernah mengenal akan muda itu di medan
pertempuran. Namun ia menjadi heran. Kenapa kali ini anak muda itu tidak
berada di medan? Apakah ia mendapat tugas khusus dari Untara untuk
mendatangi perkemahan ini?
Tetapi anak muda itu masih tertawa.
Suaranya semakin menyakitkan hati. Bahkan suara tertawa itu menjadi
semakin dibuat-buat agar yang mendengar menjadi marah.
“Jangan membentak-bentak. Aku ingin
berjalan berkeliling kemah ini. Kau dengar. Kalau kau berani, halangi
aku. Berempat, atau panggil kawan-kawanmu yang lain. Kalau tidak,
biarkan aku berjalan-jalan di sini.”
Bajang masih heran melihat Tundun,
pemarah itu, masih berdiri saja di tempatnya. Biasanya, dalam keadaan
yang demikian, ia pasti sudah berlari menyerbu dengan garangnya. Tetapi
kini Tundun itu masih tegak seperti patung meskipun terdengar giginya
gemeretak. Bahkan sekali lagi ia memandang berkeliling. Dua orang anak
buahnya, dan Bajang. Kemudian berempat dengan dirinya sendiri. Meskipun
baru saja ia bertengkar dengan Bajang, namun ia mengharap Bajang tidak
mengkhianatinya. Meskipun demikian, kalau perlu ia dapat memanggil
orang-orangnya yang lain dengan sebuah tanda yang telah mereka tentukan.
Empat atau lima orang akan datang bersama-sama. Tetapi apabila langsung
mereka terlibat dalam perkelahian, setidak-tidaknya mereka berempat
lebih dahulu yang harus bertahan. Mungkin berlima dengan Sumangkar.
Tetapi Sumangkar itu tidak dilihatnya. Dan Sumangkar bagi Tundun adalah
seorang tua pemalas yang sama sekali tidak berguna. Namun dalam pada itu
sekali lagi terdengar Bajang menggeram, “Kau belum menjawab
pertanyaanku, siapakah kau itu?”
Anak muda itu memandangnya dengan nyala
ketidaksenangan di matanya. Kemudian kepada Tundun ia berkata, “Apakah
kau juga belum mengenal aku?”
Tundun menggeleng. Pura-pura ia belum
mengenalnya pula. Katanya pula, “Yang aku kenal hanyalah orang-orang
yang penting di daerah ini. Tohpati, Widura, Untara, Tambak Wedi. Sedang
tampangmu sama sekali tidak berarti bagiku. Apalagi sebentar lagi kau
akan mati terkubur di sini.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya.
Katanya, “Bagus. Mungkin kalian akan mencincang aku. Tetapi baiklah aku
perkenalkan diriku. Kalian pernah mendengar nama Tambak Wedi.”
“Jangan menyebut nama itu. Apakah kau bermaksud menempatkan dirimu di sisi nama itu?”
Anak muda itu tertawa. “Tidak. Itu tidak mungkin, sebab aku adalah muridnya.”
Yang mendengar jawaban itu terkejut bukan
kepalang. Mereka pernah mendengar ceritera tentang murid Tambak Wedi
yang bernama Sidanti. Seorang yang kini berhasil menempatkan dirinya di
samping Macan Kepatihan. Karena itu maka dada mereka menjadi semakin
berdebar-debar. Tundun memang pernah melihat kegarangan anak muda itu,
yang pernah berhasil membunuh Plasa Ireng. Mengerikan. Bulu kuduk Tundun
itu meremang. Ia kini menjadi yakin. Siapakah yang kini berdiri di
mukanya. Mayat Plasa Ireng yang hampir tidak berbentuk itu terbayang di
wajahnya. Gila. Anak muda itu adalah anak muda yang sangat buas.
“Pantas, ia tidak berada di medan. Aku pernah mendengar, bahwa ada
perselisihan antara Sidanti dan Widura. Hem. Aku pernah melihat
tampangnya, dan aku pernah mendengar nama Sidanti. Tetapi baru sekarang
aku pasti, bahwa yang bernama Sidanti itu adalah anak yang membunuh
Plasa Ireng itu pula.” Tundun yang bergumam di dalam hatinya itu
kemudian mencoba mengingat-ingat kembali pada saat Plasa Ireng terbunuh.
Pada saat itu ia hampir tidak mempedulikannya, siapakah yang membunuh.
Baginya orang-orang Pajang sama saja semuanya. Semuanya harus
dibinasakan.
Namun dengan demikian ia menjadi
ragu-ragu. Apalagi kedua kawan-kawannya yang lain. Mereka berdiri
membeku di tempatnya. Kalau benar Sidanti itu telah menjadi sejajar
dengan Tohpati, maka akan binasahlah mereka semuanya.
Tetapi tiba-tiba timbul pikiran yang
memberi harapan bagi Tundun. Apabila Sidanti itu benar-benar berselisih
dengan Widura dan Untara, maka apakah kedatangannya itu dapat dianggap
sebagai kawan? Karena itu maka segera Tundun bertanya, “Sidanti, kenapa
kau tidak berada di medan. Bukankah hari ini berkobar perang yang
terbesar yang pernah terjadi di Sangkal Putung?”
Sidanti mengerutkan keningnya. Ia menjajagi pertanyaan itu. Katnaya, “Kenapa kau bertanya tentang hal itu”
“Ya kenapa? Bukankah kau prajurit Pajang?”
Sidanti tertawa. Jawabnya, “Aku dapat
berbuat sekehendakku. Apakah aku ingin berperang, apakah aku ingin
melihat-lihat hutan ini. Tak seorang pun pula yang dapat mencegah
kehendakku.”
Dada Tundun menjadi berdebar-debar. Namun
dipaksanya juga mulutnya berkata, “Hem, aku dengar kau tidak lagi
berada dalam lingkungan keprajuritan Pajang.”
Tundun terkejut mendengar jawaban Sidanti. “Apa perdulimu?”
Sesaat Tundun terdiam. Tetapi kemudian ia bertanya pula, “Lalu apa maksudmu kemari?”
“Sudah aku katakan. Aku ingin melihat,
berapa kemah yang ada dan berapa luas tanah yang diperlukan. Aku ingin
mengira-ngirakan kekuatan Tohpati.”
“Untuk apa?”
“Sekehendakku.”
Tiba-tiba Tundun bertanya, “Apakah kau tidak bermaksud bekerja bersama dengan Macan Kepatihan?”
Sidanti tertawa. Benar-benar menyakitkan
telinga, katanya, “Kau sudah gila agaknya. Apa arti Tohpati bagiku, dan
apakah arti seluruh kekuatannya?”
Sekali lagi dada Tundun berdesir.
Betapapun juga ia adalah seorang prajurit. Karena itu, maka meskipun ia
telah mendengar bahwa Sidanti itu mempunyai kesaktian yang hampir
setingkat dengan Macan Kepatihan, namun adalah kewajibannya untuk
menunaikan tugasnya. Karena itu maka katanya, “Sidanti. Aku hormat
kepadamu. Aku pernah mendengar bahwa kau memang seorang anak muda yang
pilih tanding. Tetapi kali ini perkemahan ini menjadi tanggung jawabku.
Maka jangan mencoba berbuat hal-hal yang dapat membahayakan
keselamatannmu.”
Kini Sidanti itu tertawa terbahak-bahak.
Di antara tertawanya terdengar ia berkata, “O, prajurit yang malang.
Kenapa kau berani berkata demikian padaku? Sudah aku katakan, tak
seorang pun dapat memerintah aku, dan tak seorang pun dapat menghalangi
kemauanku. Kali ini aku ingin berjalan-jalan mengelilingi perkemahan
ini. Jangan mencoba mencegahnya.”
Hati Tundun adalah hati yang mudah
terbakar. Kali ini pun betapa bara menyaka di dadanya. Namun terhadap
Sidanti ia harus berhati-hati. Sekali lagi ia memandang kedua kawannya
yang seolah-olah telah membeku. Di sampingnya berdiri Bajang seperti
patung pula. Namun tampak bahwa wajah orang yang bertubuh kecil ini sama
sekali tidak menunjukkan kecemasan di hatinya. Bajang masih juga
berdiri dengan wajah menyala. Bahkan kemudian ia menggeram. “Sidanti.
Jangan menganggap kami di sini sebagai anak-anak yang takut mendengar
anjing menggonggong.”
Sidanti terkejut mendengar kata-kata itu.
Benar-benar menyakitkan hati. Karena itu maka tiba-tiba warna merah
menjalar di wajahnya. Katanya, “Siapa kau?”
“Namaku Bajang.”
“Kau masih belum terlalu tua. Kenapa kau mencoba membunuh dirimu? Apakah kau tidak senang hidup di lingkungan Macan Kepatihan?”
“Jangan mengigau. Cobalah kau maju selangkah lagi. Maka kau akan berkubur di tanah ini.”
Sidanti benar-benar telah terbakar oleh
kemarahannya yang memuncak. Karena itu tiba-tiba ia meloncat maju sambil
berteriak. “Kumpulkan semua pengawal barak-barak di perkemahan ini.
Ayo, inilah Sidanti, murid Tambak Wedi.”
Tundun, kedua prajurit yang lain, dan
Bajang sendiri kini tidak dapat mengelakkan diri lagi. Mereka harus
menghadapi anak muda yang berani dan perkasa ini. Bagaimanapun juga
mereka adalah prajurit-prajurit yang sudah terlalu sering bermain-main
dengan senjata dan bercumbu dangan maut.
Ketika mereka melihat Sidanti dengan
sigapnya meloncat maju, maka mereka pun segera mendekat pula. Tanpa
berjanji mereka berdiri seberang-menyeberang. Seakan-akan mereka sengaja
mengepung Sidanti yang dengan garngnya berdiri di antara mereka.
“Kau yang tajam mulut,” geram Sidanti sambil menunjuk kepada Bajang, “kaulah yang pertama-tama akan aku sobek mulutmu.”
Tetapi agaknya Bajang sama sekali tidak
takut. Dengan pisaunya ia bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Tundun
pun kemudian bersiap pula. Ia tidak mau kalah daripada Bajang. Bajang
yang hanya bersenjatakan pisau dapur Betapapun besar dan tajamnya,
berani menghadapi Sidanti dengan tatagnya, maka Tundun yang di
pinggangnya tergantung sebilah pedang, pasti harus lebih berani
daripadanya.
Sidanti yang berdiri di antara mereka,
sekali lagi memandang setiap wajah di sekitarnya. Tundun yang cacat,
Bajang yang kecil dan kedua prajurit yang lain. Tiba-tiba Sidanti itu
berkata nyaring. “Ayo, siapkan senjata-senjata kalian. Apakah kalian
dapat menggerakkannya dengan baik?”
Tanpa dikehendaki, maka tiba-tiba tangan
mereka yang berdiri di sekeliling Sidanti itu menarik senjata
masing-masing. Dengan serta merta senjata-senjata itu pun segera tertuju
ke arah Sidanti.
“Nah, kalian ternyata sigap pula menarik
senjata. Sekarang aku ingin tahu, apakah kalian mampu bermain-main
dengan senjata-senjata itu.”
Tundun tidak menunggu lebih lama lagi.
Segera ia melompat menusuk Sidanti. Tetapi Sidanti benar-benar lincah
selincah sikatan. Pedang itu meluncur beberapa cengkang di muka telinga
kanannya.
Sambil menghindar Sidanti sempat
berteriak. “Ha. Ternyata kau adalah prajurit yang baik. Meskipun tubuhmu
telah dipenuhi oleh cacat badaniah, namun kesetiaanmu kepada Macan
Kepatihan tidak juga berkurang.”
Catatan: Alinea di atas dengan di bawah tidak nyambung. Sepertinya ada bagian cerita yang terlewatkan.
Tetapi ternyata mereka salah sangka.
Sidanti sama sekali tidak berusaha untuk mencegah orang yang membunyikan
tanda bahaya itu. Bahkan sambil tertawa ia berkata, “Baik. Aku beri
kesempatan kalian memanggil kawan-kawan kalian. Berapa orangkah semua
yang masih ada di perkemahan ini? Sepuluh atau lebih? Kalau lebih dari
sepuluh, aku harus berpikir-pikir untuk segera mengurangi jumlah itu
supaya aku tidak kelelahan.”
Kata-kata itu benar-benar menyiksa
perasaan prajurit-prajurit Jipang itu. Dengan penuh luapan kemarahan
mereka berjuang sekuat tenaga mereka. Tetapi bagi Sidanti mereka
benar-benar tidak berarti.
Beberapa kawan-kawan mereka di
tempat-tempat yang lain terkejut mendengar tanda itu. Mereka menyangka
bahwa beberapa orang Pajang telah menyerang mereka. Beberapa orang yang
tidak dipasang dalam gelar untuk melawan Macan Kepatihan. Karena itu
segera mereka berlari-lari menuju ke arah tanda itu. Empat orang dari
dua sudut penjagaan datang hampir bersamaan. Tetapi mereka terkejut
ketika mereka melihat, bahwa di tempat itu hanya ada seorang yang sudah
bertempur melawan empat orang prajurit Jipang.
Dengan nanar mereka mencoba memandang
berkeliling. Namun mereka tidak melihat orang selain daripada yang
sedang bertempur itu. Sehingga salah seorang dari mereka berteriak,
“Kenapa dibunyikan tanda bahaya?”
“Kau lihat lawan ini?” berteriak Tundun.
“Yang hanya seorang itu?”
“Buka matamu lebar-lebar,” jawab Tundun. “Meskipun seorang tetapi ia adalah anak iblis.”
Yang terdengar kemudian adalah suara
tertawa Sidanti, katanya, “Ya. Yang seorang ini anak iblis. Berapa orang
kalian yang datang? Apakah genap enam orang, sehingga semua berjumlah
sepuluh dengan orang-orang yang pertama?”
Keempat orang yang datang itu baru
menyadari keadaan lawannya, mereka kini melihat keempat kawannya masih
berkelahi dengan sekuat-kuat tenaga mereka dengan senjata di tangan.
Namun lawannya yang hanya seorang itu, dengan tersenyum selalu
menghindarkan diri dari serangan yang bagaimanapun dahsyatnya. Bahkan
mereka pun kemudian melihat bahwa yang seorang itu masih belum
mempergunakan senjatanya.
“Jangan berdiri seperti patung!” teriak Tundun. “Apakah kalian menunggu kami menjadi bangkai?”
Teriakan itu benar-benar telah
membangunkan mereka dari kekaguman mereka melihat tata gerak Sidanti.
Lincah, tangguh dan membingungkan. Karena itu segera mereka mencabut
senjata masing-masing dan terjun ke dalam arena perkelahian itu.
“Apakah kalian tidak akan saling menusuk di antara kawan-kawan sendiri?” teriak Sidanti.
Tak seorang pun yang menjawab. Namun kini
kepungan mereka menjadi semakin rapat. Ujung-ujung senjata semakin
cepat menyambar kulit Sidanti dari segala arah. Karena itu maka katanya
kemudian, “Nah, sekarang baru aku merasa perlu mempergunakan pedang.
Ayo, sebutkan jumlah kalian, berapa?”
Tetapi pertanyaan itu dijawab dengan
serangan yang datang bertubi-tubi dengan sengitnya. Namun akirnya
Sidanti berhasil menghitung mereka, katanya, “Delapan. Aku harus
mengurangi tiga di antara kalian. Aku hanya ingin melawan lima orang.”
“Gila!” geram Tundun. Tetapi segera ia
terdiam ketika pedang Sidanti yang baru saja ditarik itu hampir-hampir
menyentuh hidungnya. Dan hampir-hampir cacat di wajahnya bertambah
seleret lagi.
Demikianlah perkelahian itu semakin lama
menjadi semakin dahsyat. Dalam pada itu Tundun masih menunggu beberapa
orang kawannya yang sedang nganglang.
Tetapi kawan-kawannya yang nganglang itu berada di tempat yang cukup jauh. Mereka tidak menyangka bahwa akan datang bahaya …
Tetapi kawan-kawannya yang nganglang itu
berada di tempat yang cukup jauh. Mereka tidak menyangka bahwa akan
datang bahaya di perkemahan mereka, sehingga mereka kehilangan
kewaspadaan. Mereka bahkan sedang asyik berburu rusa dan kijang.
Karena itu maka mereka sama sekali tidak mendengar tanda yang dibunyikann oleh kawan Tundun di perkemahan.
Maka Tundun terpaksa bertempur dengan
kawan-kawannya yang telah ada. Delapan orang. Kemudian datang pula dua
orang, namun mereka sama sekali bukan prajurit. Mereka adalah
orang-orang dapur, kawan-kawan Sumangkar. meskipun demikian, mereka
membawa senjata di tangan mereka. Tetapi dalam perkelahian itu mereka
tidak segera dapat ikut serta.
Sidanti kemudian berkelahi dengan
lincahnya melawan delapan orang. Ia menyangka bahwa ia akan dapat
bermain-main dengan lawannya itu. Tetapi ternyata keadaannya berbeda
dengan dugaannya. Prajurit Jipang adalah sebenarnya prajurit. Hanya satu
dua dari mereka adalah orang-orang yang kurang baik. Namun yang lain
adalah prajurit-prajurit yang cukup. Meskipun bukan orang-orang puncak.
“Hem,” desis Sidanti sambil
meloncat-loncat, “ternyata kalian cukup terlatih. Karena itu, maka
jangan lebih dari lima supaya aku dapat bermain-main dengan baik tanpa
menyakiti kamu sekalian. Tetapi kalau di antara kalian tidak ada yang
meninggalkan arena ini, aku terpaksa memaksamu.”
Tak seorang pun yang menjawab. Bahkan
mereka bekerja semakin keras. Senjata-senjata mereka berganti-ganti
sambar-menyambar tak henti-hentinya, sehingga semakin lama Sidanti
semakin merasa bahwa sangat berat baginya untuk melawan delapan orang
itu sekaligus. Ia terpaksa sekali-sekali meloncat jauh ke belakang,
kemudian dengan cepatnya melingkar dan menyerang seperti petir menyambar
di udara.
Kedelapan orang itu pun merasa, betapa
besar tenaga anak muda yang bernama Sidanti itu. Kini Tundun mulai
dirayapi oleh kepercayaannya bahwa Sidanti benar-benar mampu menempatkan
diri hampir sejajar dengan Macan Kepatihan.
Namun Betapapun kuatnya Sidanti, untuk
melawan delapan orang sekaligus adalah berat baginya. Karena itu, ia
kemudian terpaksa bekerja mati-matian. Sebab kedelapan orang itu pun
bekerja dengan keras dan bertempur mati-matian pula.
“Sebenarnya aku tak ingin menyakiti
kalian,” teriak Sidanti, “tetapi ternyata melawan kalian berdelapan
adalah berat sekali. Kalian benar-benar prajurit yang tangguh. Karena
itu, seandainya pedangku melukai salah seorang dari kalian, janganlah
kalian menjadi sakit hati.”
Kata-kata itu sama sekali tidak mendapat
perhatian. Bahkan dengan demikian Tundun dan kawan-kawannya merasa,
bahwa Sidanti merasa terdesak. Karena itu justru mereka memperketat
tekanan mereka.
Sidanti yang merasa semakin terdesak
akhirnya menjadi marah pula. Darahnya semakin lama benar-benar semakin
panas. Apalagi ketika kemudian sebuah goresan melukai punggungnya.
Goresan itu tidak terlalu dalam. Namun goresan itu telah menyobek baju
dan menyentuh kulitnya.
Luka itu, meskipun tidak seberapa, namun
karena darah yang menetes, maka hati Sidanti telah benar-benar terbakar
karenanya. Hilanglah kemudian segala pengamatan diri. Dan dengan
demikian maka anak murid Tambak Wedi itu menggeram dengan dahsyatnya.
Sekali ia meloncat dengan lincahnya beberapa langkah surut, namun
kemudian dengan cepatnya ia melingkar, menyerang menyambar-nyambar
dengan sengitnya.
Perkelahian itu segera meningkat dengan
cepatnya. Semakin lama semakin dahsyat. Masing-masing piak telah
mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka.
Tundun pun kemudian merasa, bahwa
kekuatannya bersama kawan-kawannya dapat mengimbangi kelincahan Sidanti
yang hanya seorang itu. Tetapi untuk mengalahkan, menangkap atu
membinasakan adalah sulit sekali. Sidanti itu benar-benar seperti anak
setan. Sekali ia menerobos di antara lawan-lawannya, namun kemudian
melontar dan menyerang dari sisi dan belakang mereka. Kalau Tundun dan
kawan-kawannya berusaha untuk mengepungnya, maka usaha itu selalu gagal.
Sidanti mampu meloncat dengan jarak yang tidak dapat mereka jangkau
dengan loncatan dan senjata.
Ketika pertempuran itu menjadi semakin
meningkat, maka terdengarlah Tundun berteriak, “Bunyikan kembali lagi
tanda bahaya. Supaya kawan-kawan kita yang nganglang mendengarnya.”
Kembali salah seorang dari mereka
meloncat keluar arena perkelahian. Kali ini Sidanti tidak membiarkannya.
Tetapi ia tidak mampu mencegahnya, sebab tujuh orang yang lain dengan
garangnya mencoba melindungi kawannya yang seorang itu.
“Gila!” teriak Sidanti. “Bukan maksudku
membunuh salah seorang dari kalian, tetapi kalian benar-benar keras
kepala. Karena itu, aku akan terpaksa melakukannya.”
Maka Sidanti itu pun kemudian sampai pada
puncak permainannya. Rasa nyeri di punggungnya telah memaksanya untuk
mendendam. Karena itu, maka sesaat kemudian, terdengar sebuah keluhan
tertahan. Bajang meloncat surut dari lingkaran pertempuran sambil meraba
pundaknya. Tampak darah yang merah segar meleleh dari luka itu.
“Anak setan!” teriaknya. Kemudian kepada
kawan-kawannya juru masak yang berdiri menonton perkelahian itu dengan
wajah pucat ia berkata, “Berikan pedangmu itu.”
Kedua kawannya yang biasanya hanya dapat
menunggui perapian segera berlari kepadanya dan memberikan pedangnya
kepada Bajang. “Terima kasih. Senjataku terlalu pendek sehingga pundakku
terluka.”
Bajang yang teruka itu kemudian dengan
kemarahan yang membakar ubun-ubunnya meloncat kembali ke arena. Tetapi
demikian ia sampai, terdengar pula orang lain mengeluh. Sekali lagi,
salah seorang dari mereka meloncat ke luar arena. Kali ini agaknya lebih
parah dari luka yang diderita Bajang. Ternyata darah mengucur dari
tangannya. Dua buah jarinya terpenggal dan pedangnya terlempar jatuh.
Wajah prajurit yang kehilangan
jari-jarinya itu menjadi merah padam. Merah padam karena menahan marah
dan sakit. Ketika ia melihat seorang juru masak berdiri dengan pedang di
tangan, tetapi tidak ikut dalam pertempuran, terdengar ia berteriak,
“Berikan pedangmu.”
Orang itu ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian diberikan juga pedangnya.
Prajurit itu menerima dengan tangan
kirinya. Cepat ia meloncat kembali ke arena dengan pedang di tangan
kiri. Meskipun tangan kirinya tidak setangkas tangan kanan, namun
tandangnya hampir-hampir tak berkurang.
Ternyata tanda bahaya yang kedua itu
menggema, jauh lebih dalam dari yang terdahulu. Kawan-kawan Tundun,
sebanyak empat orang yang sedang nganglang dan berburu rusa, terkejut
mendengar tanda itu. Sesaat mereka berdiri termangu-mangu. Seakan-akan
bunyi tanda bahaya itu terdengar di telinga mereka.
“Kau dengar,” bergumam salah seorang dari mereka.
“Ya,” sahut yang lain.
“Aku hampir tak percaya. Apakah orang-orang Pajang tidak memasang seluruh orang-orangnya dalam perlawanan kali ini?”
“Mungkin. Mungkin mereka sengaja membagi kekuatan.”
“Bodoh. Kalau aku menjadi pemimpin
pengawal kemah ini, aku biarkan mereka masuk. Aku biarkan mereka merusak
kemah-kemah kita, sebab Macan Kepatihan pasti akan berhasil masuk
Sangkal Putung.”
“Kau yakin benar.”
“Ya, kalau pasukan Pajang mengurangi kekuatannya, Sangkal Putung pasti akan pecah.”
“Tetapi Kakang Tundun memanggil kita dengan tanda itu.”
“Mari kita pulang.”
Keempatnya segera berlari-lari kembali ke
kemah mereka. Mereka menyangka bahwa di dalam perkemahan itu telah
terjadi peperangan antara para pengawal yang jumlahnya sangat terbatas,
melawan sebagian orang-orang Pajang yang sengaja tidak dipasang dalam
peperangan di Sangkal Putung.
Semakin dekat mereka dengan kemah mereka,
hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Mereka masih belum melihat
tanda-tanda peperangan di dalam perkemahan itu.
“Aneh,” desis salah seorang dari mereka.
Sebelum yang lain menyahut, mereka telah memasuki daerah perkemahan mereka.
“Tidak ada apa-apa,” gumam yang lain.
“Kita lihat berkeliling,” berkata yang lain pula.
Mereka segera berjalan berkeliling.
Dilihatnya tempat-tempat penjagaan sudah kosong. Karena itu mereka pun
menjadi semakin berhati-hati.
Ketika mereka sampai di sisi Utara,
barulah mereka melihat kawan-kawannya berkumpul dalam satu lingkaran
perkelahian. Mereka melihat kawan-kawan mereka berkelahi melawan satu
orang saja.
“Gila!” teriak salah seorang dari mereka. “Apakah aku harus nonton permainan yang menggelikan ini.”
Tundun yang memimpin pertempuran di antara kawan-kawannya itu menjadi marah. Jawabnya lantang, “Buka matamu, jangan mulutmu!”
Keempat kawannya itu berdiam diri. Sesaat
mereka memandangi perkelahian itu. Dilihatnya beberapa orang
kawan-kawannya telah menjadi payah. Bahkan ada yang terluka.
“Bukan main,” desis salah seorang dari mereka. “Siapa anak muda yang gila itu?”
Tiba-tiba salah seorang yang lain dapat mengenal wajah itu. Jawabnya, “Anak muda yang membunuh Plasa Ireng.”
“Pantas ia berhasil membunuh Plasa Ireng. Tetapi ia kini tak akan lolos lagi.”
Orang itu pun segera berlari menghambur menerjunkan diri ke dalam arena pertempuran.
Tetepi tiba-tiba langkahnya terhenti
ketika ia mendengar salah seorang kawannya berteriak tinggi. Ia melihat
sosok tubuh terhuyung-huyung. Untunglah ia cepat dapat menangkapnya.
“Dadaku,” kaluh orang itu. Dan dari dadanya mengalir darah dengan derasnya.
Karena itu ia tidak segera dapat
bertempur. Dipapahnya orang itu menepi dan diserahkannya kepada dua
orang dapur yang berdiri terpaku di sisi pertempuran itu. Namun ketiga
kawan-kawannya yang lain telah meloncat pula mendahuluinya memasuki
arena.
Sidanti yang melihat kehadiran keempat
orang baru itu menjadi semakin marah. Dengan sekuat tenaga ia berhasil
mengurangi satu lawan. Namun yang empat itu pasti lebih baik dari yang
seorang yang terlempar dari perkelahian itu.
“Kalian benar-benar jemu hidup,” teriak
Sidanti. “Ternyata kalian tidak mau mendengar permintaanku. Karena itu,
aku tidak akan dapat menahan ujung senjataku.”
“Persetan dengan kesombonganmu. Ternyata
kau tidak akan dapat keluar dari perkemahan ini, sehingga kau akan
berkubur di sini,” sahut Tundun. Namun suaranya itu disaut oleh sebuah
teriakan. Satu lagi kawannya terluka. Telinganya tergores pedang
Sidanti, sehingga hampir putus. Tetapi dengan demikian yang akan dapat
terjadi.
Dengan demikian perkelahian itu semakin
lama menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah menumpahkan segenap
kamampuan yang ada pada diri mereka. Sidanti yang hanya seorang itupun,
tenpaksa memeras kesaktiannya. Untunglah ia murid Ki Tambak Wedi yang
namanya menakutkan setiap orang yang mendengarnya. Namun melawan sekian
banyak orang, maka akhirnya ia mendapat kesulitan juga. Bahkan nyawanya
kini terancam.
Tetapi perkelahian itu tiba-tiba
dikejutkan oleh sebuah teriakan nyaring. Teriakan itu demikian kerasnya,
sehingga hampir-hampir memecahkan telinga mereka. Meskipun mereka
sedang bertempur dengan dahsyatnya, namun suara itu dapat menembus ke
dada mereka.
“Berhenti, berhenti!” berkata suara itu melengking-lengking.
Semua orang di dalam arena berloncatan
mundur. Ketika mereka berpaling, mereka melihat seorang tua dengan wajah
yang tegang, dan mata yang tajam memandangi mereka satu per satu.
Dada para prajurit Jipang berdesir
melihat orang itu. Tatapan matanya terasa terlalu dalam menghunjam ke
dalam dada mereka. Meskipun mata itu tidak seliar mata Sidanti, namun
sinar matanya memancarkan nada serupa.
Tetapi orang itu ternyata kemudian
tersenyum. Dipandanginya Sidanti sambil berkata, “Jangan
bersungguh-sungguh Sidanti. Bukankah kita tidak akan menyakiti hati
mereka.”
Sidanti menggigit bibirnya.
“Kau telah melukai beberapa orang di antaranya.”
“Mereka benar-benar ingin membunuhku,” sahut Sidanti.
Para prajurit Jipang masih saja mematung.
Mereka belum pernah melihat orang tua itu. Mereka menjadi semakin heran
ketika orang tua itu berkata kepada mereka, “Maafkanlah muridku ini.”
Tak seorang pun yang segera menjawab. Mereka masih berdiri kaku di tempatnya, dengan senjata-senjata mereka siap di tangan.
“Kalian heran melihat kehadiranku? Mungkin kalian belum mengenal aku. Aku adalah Ki Tambak Wedi.”
Kembali dada prajurit-prajurit Jipang
berdesir. Ternyata orang inilah yang bernama Tambak Wedi. Orang yang
namanya menghantui seluruh lereng Gunung Merapi. Kini orang itu berada
di hadapan mereka dengan muridnya yang bernama Sidanti.
“Aku minta maaf,” berkata Tambak Wedi itu
pula. “Maksud kedatangan kami semula adalah baik. Kami ingin mengetahui
keadaan kalian di sini.”
Yang menjadi pimpinan pasukan pengawal
itu adalah Tundun. Karena itu, maka ialah yang menjawab, “Kiai, kami
minta maaf atas kelancangan kami. Kami terpaksa melakukan perlawanan
karena tugas-tugas kami.”
“Bagus,” potong Ki Tambak Wedi. “Kalian adalah prajurit. Jadi kalian harus melakukan kewajiban kalian.”
Jawaban itu benar-benar tidak
disangka-sangka oleh Tundun. Dan justru karena itu ia menjadi bingung,
sehingga ia tidak tahu, apalagi yang akan dikatakannya.
Yang berkata kemudian adalah Ki Tambak
Wedi. “Kisanak. Kedatangan kami sama sekali tidak bermaksud untuk
menyakiti hati kalian. Kami hanya ingin sekedar memperkenalkan diri
kami. Aku dan muridku. Apakah kalian bersedia menerima salam perkenalan
ini?”
Tundun menjadi semakin bingung. Ia tidak
tahu maksud Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka ia masih saja berdiam diri
tegak seperti tonggak.
Ki Tambak Wedi yang melihat para prajurit
Jipang itu tertawa. Katanya, “Kenapa kalian menjadi seperti orang
kehilangan ingatan? Percayalah, aku tidak akan berbuat apa-apa. Mungkin
muridku telah terlanjur melukai beberapa orang di antara kalian, tetapi
itu hanya karena umurnya yang masih muda sehingga ia tidak mudah untuk
mengendalikan dirinya. Meskipun maksudnya memang ingin mencoba
bermain-main dengan kalian, tetapi tidak untuk melukai apalagi
membunuh.”
Tundun dan kawan-kawannya semakin tidak mengerti maksud kata-kata itu. Dengan demikian mereka masih saja berdiri membisu.
Karena tidak seorag pun menyahut, Tamak
Wedi itu berkata terus. “Maksud muridku memang ingin berkelahi untuk
sekedar memperkenalkan diri. Maksudnya akan memberitahukan kepada kalian
bahwa Tohpati sama sekali bukan manusia yang aneh. Bukan manusia yang
melampaui batas kemampuan manusia yang lain. Sekarang kalian telah
melihat muridku dan mengalami perkelahian. Sudah tentu kalian akan dapat
menilai, manakah yang lebih sakti. Macan Kepatihan atau Sidanti.”
Debar di dada prajurit Jipang itu menjadi
semakin deras. Apalagi ketika terdengar Tambak Wedi berkata, “Itu pun
aku masih menganggap bahwa Sidanti masih harus berjuang membentuk
dirinya mempelajari ilmuku untuk menjadi sempurna.”
“Muridnya telah mampu berbuat sedemikian,” pikir para prajurit itu, “apalagi gurunya.”
“Nah bagaimana menurut penilaian kalian? Apakah Sidanti sudah sama dengan Macan Kepatihan?”
Tak seorang pun yang menjawab pertanyaan itu.
“Bagus, kalian pasti tidak akan dapat
menjawabnya. Tetapi biarlah kami memberikan pertanyaan-pertanyaan yang
lain. Apakah kalian masih tetap ingin berjuang bersama-sama Macan
Kepatihan?”
Masih tidak menjawab.
“Tentu, kalian tentu tidak akan menjawab.
Tetapi ketahuilah,” berkata Ki Tambak Wedi seterusnya, “bahwa kami
pernah datang kepada Tohpati. Kami ingin berbuat baik kepadanya. Kami
menawarkan jasa-jasa kami dan tenaga kami untuk kemenangannya. Tetapi
maksud kami itu ditolaknya. Saying.”
Mendengar keterangan itu Tundun
mengerutkan keningnya. Sejak semula ia sudah menanyakannya kepada
Sidanti kemungkinan itu, tetapi Sidanti malah menghinanya, menghina
pasukan Jipang itu seluruhnya.
Tambak Wedi melihat perasaan yang
bergerak di dalam hati Tundun. Maka segera ia berkata, “Aku mendengar
pertanyaanmu di permulaan perkenalanmu dengan muridku. Dan muridku
sengaja menghinamu, untuk membangkitkan kemarahanmu, supaya muridku
dapat bermain-main dengan kau. He, apakah kau pemimpin pasukan pengawal
ini?”
Tanpa sesadarnya Tundun mengangguk sambil menjawab, “Ya.”
“Nah, ketahuilah kami terlampau baik.
Kami masih tetap menawarkan tenaga kami untuk kepentingan kalian.”
Tambak Wedi diam sesaat. Namun kemudian diteruskannya, “Tetapi kalau
Macan Kepatihan menolak, apa boleh buat. Meskipun demikian, ada yang
wajib kalian ketahui. Macan Kepatihan kini tidak lagi mempunyai tempat
yang akan dijadikannya pencadan dalam gerakannya. Ia berada di
mana-mana, seperti kapuk diterbangkan angin. Tetapi aku dan muridku itu,
masih mempunyai tempat untuk berpijak. Sedang kalian telah melihat
sendiri, bahwa muridku tidak kalah dengan Macan Kepatihan.” Kembali
Tambak Wedi berhenti sesaat, namun segera diteruskannya, “Aku hanya
ingin kalian dapat menilai keadaan kami.”
Tundun dan kawan-kawannya masih belum
dapat mengerti dengan pasti maksud Tambak Wedi itu. Beberapa orang di
antara mereka saling berpandangan dan bertanya-tanya di dalam hati.
Ki Tambak Wedi yang melihat kebingungan
itu berusaha untuk menjelaskan. “Kisanak. Kalian menurut tangkapanku,
adalah prajurit-prajurit yang baik. Prajurit-prajurit yang setia pada
cita-cita. Bukan sekedar prajurit yang bertempur tanpa arah, selain
untuk membunuh atau dibunuh. Karena itulah maka kalian tetap berada
dalam lingkungan Macan Kepatihan. Tetapi aku ingin mengatakan, bahwa
Macan Kepatihan dengan caranya sekarang tidak akan dapat memenangkan
perjuangannya. Sedang tawaran kami untuk membantunya telah ditolaknya.
Nah, kalau kalian memang setia kepada cita-cita kalian, menolak
kekuasaan Pajang, maka kalian dapat mempertimbangkan antara Macan
Kepatihan dan Sidanti. Macan Kepatihan yang telah kehilangan landasan
perjuangannya dan Sidanti yang baru muIai dengan tekad yang masih segar.
KeIebihan Sidanti yang lain adalah, Sidanti berkuasa di lereng Gunung
Merapi. Suatu daerah yang cukup luas untuk membangun kekuatan dam
benteng pertahanan. Dan ia berkuasa pula di suatu daerah yang luas di
sebelah Alas Mentaok, Bukit Menoreh.”
Tundun dan kawan-kawannya kini baru
menjadi jelas maksud Ki Tambak Wedi itu. Ternyata Ki Tambak Wedi telah
menawarkan pilihan kepada para prajurit itu. Dan tawaran itu tenyata
telah mempengaruhi perasaan mereka. Namun Tundun, seorang prajurit yang
sudah lama menjadi bawahan Tohpati, sejak terjadi parselisihan antara
Jipang dan Pajang, tidak akan segera dapat melepaskan ikatan itu. Karena
itu maka jawabnya, “Ki Tambak Wedi. Tawaranmu bagus sekali. Tetapi
jangan mencoba mempengaruhi kesetiaan kami kepada pimpinan kami. Kalau
kau ingin menyatukan dirimu ke dalam lingkungan kami, maka mengharap,
mudah-mudahan pimpinan kami dapat menerimanya. Tetapi kalau kau mencoba
mempengaruhi kesetiaan kami itu, jangan mengharap.”
Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi
kemudian ia tertawa. “Aku tahu, bahwa jawaban kalian akan berbunyi
demikian. Memang aku mengharap kalian menjawab seperti yang diucapkan
oleh pimpinan kalian ini. Kalau tidak demikian, maka kalian sama sekali
tidak berharga. Bagi kami pun tidak. Tetapi karena kesetiaan itulah maka
kalian baru dapat disebut seorang prajurit jang baik. Jawaban itu
kalian ucapkan sebab kalian belum mempunyai kesempatan untuk berpikir.
Kalau kalian belum sempat berpikir, tatapi segera mempercayai kata-kata
orang lain, maka kalian adalah sampah jang tidak berarti. Tetapi kami
pun tidak ingin mendengar jawaban kalian sekarang ini. Seperti aku
katakan, jawaban yang akan aku dengar sudah aku ketahui. Namun aku
mengharap kalian sempat memikirkan tawaran itu. Aku hanya ingin kalian
memikirkan dan mempertimbangkan. Lain tidak.”
Tundun terdiam untuk sesaat. Ia menjadi
heran kembali mendengar jawaban Tambak Wedi. Tetapi dengan demikian ia
terpaksa untuk mencari sebab-ebabnya.
Yang terdengar kemudian adalah kata-kata
Tambak Wedi itu kembali. “Meskipun seandainya, kami tidak dapat bertemu
dalam pembicaraan, karena kesetiaan kalian terhadap pimpinan kalian,
namun biarlah hubungan persaudaraan ini kita langsungkan. Kami akan
selalu menunggu kalian di tempat kediaman kami. Dan dalam keadaan yang
memuncak, muridku akan dapat membangun kekuasaan tandingan dari Pajang
itu di daerah asalnya: di sebelah Barat Alas Mentaok. Daerah itu akan
dapat dibukanya menjadi daerah yang akan dapat mangimbangi kekuasaan
Pajang. Setidak-tidaknya di daerah Barat, dan Selatan.”
Tundun dan kawan-kawannya seolah-olah
menjadi beku mendengar keterangan itu. Ki Tambak Wedi yang mempunyai
pengamatan yang tajam, melihat bahwa kata-katanya bergolak di dalam hati
para prajurit Jipang itu. Maka katanya selanjutnya, “Nah. Bandingkan
dengan hari depan Tohpati. Sidanti mempunyai kekuasaan atas suatu
daerah. Meskipun daerah itu kini seakan-akan masih asing bagi kalian.
Daerah yanq masih jarang-jarang diketemukan pedukuhan dan padesan.
Tetapi di daerah itu dapat dibangun kekuasaan yang besar. Apalagi dengan
bantuan prajurit-prajurit yang berpengalaman.”
Terasa sesuatu menyentuh hati para
prajurit itu. Seakan-akan di hadapan mereka ditunjukkan oleh Ki Tambak
Wedi, betapa suram hari depan mereka. Betapa suram hari depan Macan
Kepatihan. Tetapi dengan suatu perubahan di dalam hidup mereka, maka
hari depan mereka pun akan dapat berubah pula.
Tiba-tiba merayap di dalam hati para prajurit itu pertanyaan, “Kenapa Tohpati menolak uluran tangan Ki Tambak Wedi?”
Tetapi pertanyaan itu disimpannya di
dalam hati. Mereka kini seakan-akan telah menjadi patung yang hanya
boleh mendengarkan Ki Tambak Wedi berbicara. Katanya meneruskan,
“Selanjutnya terserah kepada kalian. Tetapi aku telah memberikan
perbandingan-perbandingan.”
Suasana di perkemahan itu kemudian
menjadi sepi. Beberapa oranq berdiri tegak dengan senjata di tangan.
Namun ujung-ujung senjata itu sudah terkulai di tanah. Mereka berdiri
saja seperti patung mengerumuni dalam jarak yang tidak jauh, seorang tua
namanya ditakuti karena kesaktiannya bersama seoreng muridnya yang
garang.
Dalam suasana yang sepi itulah maka
kata-kata Tambak Wedi seakan-akan meresap semakin dalam di hati para
prajurit Jipang yang memang sudah terlalu lama mengalami kepahitan hidup
di hutan-hutan dan pengembaraan sebagai orang-orang liar. Apabila
mereka menemukan tempat yang baik, maka keadaan mereka pasti akan lebih
baik. Seandainya mereka masih haruss berjuang untuk menghancurkan
Pajang, maka landasan mereka akan Iebih kokoh.
Sejenak Ki Tambak Wedi pun berdiam diri
pula. Dibiarkannya para prajurit Jipang itu mencernakan kata-katanya. Ia
mengharap seandainya tidak sekarang, namun orang-orang itu pasti akan
memperbincangkan kata-katanya denqan beberana orang kawan-kawannya.
Semakin lama akan menjalar semakin luas di antara orang-orang Macan
Kepatihan.
Tetapi kesepian itu kemudian dipecahkan
oleh kehadiran seorang tua, juru masak Macan Kepatihan yang malas,
Sumangkar; yang dengan terbata-bata berkata. “Tundun; Tundun; rusa itu
sudah masak. Apakah kau tidak mencium baunya? Aku bumbui rusa panggang
itu dengan tanganku sendiri.”
Dalam suasana yang sepi tegang, kehadiran
Sumangkar benar-benar mengejutkan. Apalagi sebelum ia sendiri hadir di
tengah-tengah kesepian itu, suaranya telah lebih dahulu melengking di
antara mereka. Sehingga ketika Sumangkar berlari-lari, maka beberapa
orang telah berloncatan menyibak tanpa mereka kehendaki sendiri.
Tundun pun terperanjat pula. Ia melihat
Sumangkar berlari-lari ke arahnja dan kemudian berdiri di hadapannja
sambil terengah-engah.
“Gila!” teriak Tundun yang masih berdebar-debar karena terkejut.
“Rusa itu sudah masak Tundun,” ulang Sumangkar.
“Gila. Aku sangka apa saja yang kau teriakkan itu. Apakah kau tidak melihat apa jang sedang terjadi di sini?”
Sumangkar terdiam sesaat. Dipandangnya
beberapa orang yang berdiri di sekitarnya. Dan kemudian dipandanginya
kedua orang yang berdiri di antara mereka. Guru dan murid.
Tetapi sebelum Sumangkar berkata-kata
sepatah katapun, maka kembali terdengar Tundun membentak. “He orang tua
yang bodoh. Coba lihat tangan-tangan kami masih menggenggam senjata. Dan
keringat kami masih belum kering. Ayo, pergi. Atau kepalamu kami
pangkas dengan pedang kami.”
“Jangan Tundun,” sahut Sumangkar. “Aku
datang sekedar memberitahukan, bahwa apa yang harus kukerjakan sudah
selesai. Rusa panggang. Dahulu Adipati Arya Penangsang gemar sekali akan
rusa panggang pula. Dahulu ketika Adipati Jipang itu masih berkuasa di
Jipang.”
“Tutup mulutmu!” bentak Tundun.
Tetapi Sumangkar berbicara terus,
seakan-akan ia tidak mendengar Tundun membentak-bentak dan tidak melihat
kehadiran orang-orang di sekitarnya, orang-orang Jipang sendiri dan
kedua orang asing itu. Katanja, “Tetapi sayang Adipati Jipang itu sudah
tidak ada lagi. Dahulu Adipati Jipang tidak pernah melupakan rusa
panggang dalam setiap perburuan. Pamanda Kepatihan, Mantahun pun senang
sekali akan rusa panggang pula. Sayang, giginja telah hampir habis
karena usianya, sehingga Patih Mantahun tidak dapat ikut menikmatinja.”
“He, orang gila,” potong Tundun berteriak keras sekali, “pergi dari sini sebelum aku bunuh kau.”
“Ternyata sekarang Macan Kepatihan,
kemanakan Mantahun itu, gemar pula akan rusa panggang. Tetapi kasian
Macan Kepatihan itu. Ia kini hidup seperti sehelai kapuk diterbangkan
angin. Tidak mempunyai tempat landasan bagi perjuanganya. Dahulu Arya
Jipang mempunjai landasan yang kuat. Satu Kadipaten Jipang memihaknya,
lengkap dengan seluruh pasukan Wira Tamtama dari Kadipaten itu. Jipang
adalah Kadipaten yang lengkap. Bukan sekedar padukuhan atau padesan yang
masih harus dibangun, meskipun dibantu oleh prajurit-prajurit yang
berpengalaman. Tetapi Jipang sudah besar sejak permulaan mengangkat
senjata. Prajuritnja sudah lengkap di bawah pimpinan Patih Mantahun di
samping Arya Penangsang sendiri. Dan kemudian dibantu oleh Raden
Tohpati. Bukan suatu daerah asing di seberemg hutan belantara. Namun
Jipang yang kuat itu dapat dipecahkan oleh kekuatan Pajang di bawah
pimpinan Adipati Adiwijaja, yang bermama Mas Karebet semasa ia masih
menjadi seorang anak gembala. Apalagi daerah-daerah terpencil, padukuhan
dan padesan yang ringkih dan sepi.”
“Cukup!” tiba-tiba hutan itu tergetar
oleh suara Tambak Wedi yang marah bukan buatan. Ia tahu benar maksud
kata-kata Sumangkar itu. Demikian marahnya, sehingga hantu dari lereng
Gunung Merapi itu berteriak sekuat-kuatnya.
Semua orang yang berdiri memutarinya
terkejut. Hampir saja mereka berloncatan menjauh. Tundun pun terkejut
pula mendengar teriakan itu.
Bukan saja terkejut karena Tambak Wedi
berteriak. Tetapi segera Tundun pun menjadi cemas melihat Tambak Wedi
itu terbakar oleh kamarahan. Wajahnya merah dan sepasang matanya
seolah-olah menyala seperti bara.
“Kalau Tambak Wedi ini menjadi marah,
dalam suasana yang telah menjadi tenang ini, dan membunuh kami sekalian,
maka kami tidak akan dapat malawannya,” pikir Tundun. Karena itu maka
segera ia menimpakan kesalahan itu kepada Sumangkar. Untuk mengurangi
kemarahan Tambak Wedi, maka Tundun itu pun berteriak pula. “He Sumangkar
yang gila. Bukan orang lain yang akan membunuhmu karena mulutmu yang
lancang itu. Tetapi aku sendiri. Dengan pedangku dan tanganku, maka
kepalamu akan aku pancung di muka kawan-kawanmu ini.”
Tetapi Sumangkar itu seolah-olah tidak
mendengar suara Tundun dan Tambak Wedi. Dan Tundun itu pun kemudian
terkejut bukan buatan. Ketika ia melangkah setapak maju untuk
menyingkirkan Sumangkar yang telah membangkitkan kemarahan Tambak Wedi
yang menakutkan itu, tiba-tiba dilihatnya Sumangkar memutar tubuhnja,
membelakanginya dan menghadap Ki Tambak Wedi. Bahkan kemudian dilihatnja
Sumangkar itu tersenjum sambil berkata, “Jangan marah Kakang Tambak
Wedi. Jangan marah supaya kau tidak menjadi lekas tua.”
“Sumangkar,” teriak Tambak Wedi,
“kehadiranmu di sini benar-benar mengejutkan aku. Kenapa kau tidak ikut
pergi ke medan pertempuran Setan tua?”
Sumangkar menggeleng. “Tidak Kakang. Aku adalah seorang juru masak.”
“Tetapi kau kali ini benar-benar ingin merusak semua rencana yang sudah aku susun bersama muridku ini.”
Sumangkar tertawa. Sekali ia berpaling,
dan dilihatnja Tundun berdiri ternganga di belakangnya. Alangkah
peningnya kepala pemimpin prajurit pengawal perkemahan ini. Tiba-tiba
saja ia melihat seolah-olah Sumangkar, juru masak yang malas itu telah
mengenal dan dikenal olah Ki Tambak Wedi.
“Jangan heran Tundun,” berkata Sumangkar,
“aku kini berjumpa dengan kawan bermain di waktu muda. Tatapi sayang
bahwa ia kini menjadi seorang guru yang ternama, dan aku menjadi seorang
juru masak yang malas. Yang sehari ini selalu kau bentak-bentak saja.”
Namun kata-kata itu terputus oleh teriakan Ki Tambak Wedi. “Jangan mengigau. Apakah kehendakmu sebenarnya?”
Mendengar teriakan Tambak Wedi itu,
sekali lagi Sumangkar tersenyum. Dan sekali lagi ia berkata, “Jangan
marah Kakang Tambak Wedi.”
“Persetan!” teriak Tambak Wadi. “Lihat,
kalau kau masih saja berdiri di situ, aku bunuh kau dan
prajurit-prajurit Jipang seluruhnya.”
Ancaman itu telah menyadarkan Tundun dari
keheranannya. Kini kembali ia dicengkam oleh ketakutan. Dan sekali lagi
Tundun menimpakan kesalahan itu kepada Sumangkar, katanja, “He; juru
masak yang malas. Untuk membebaskan kami dari kemarahan Ki Tambak Wedi,
maka aku terpaksa membunuhmu.”
Kali ini Sumangkar terpaksa berpaling dan
menjawab, “Jangan Tundun. Jangan mengorbankan kawan sendiri untuk
memuaskan orang Iain karena kau melihat kepentinganmu sendiri. Karena
kau ingin kau dihidupi. Tentu aku tidak mau menjadi korban. Kalau kita
menjadi korban bersama-sama, marilah, biarlah aku mati paling awal dari
kalian. Tetapi kalau aku sendiri harus mati karena kalian ketakutan akan
mati itu, nanti dulu.”
Tundun menggeram mendengar kata-kata itu.
Terbersit di hatinya kebenaran kata-kata Sumangkar. Tetapi ketakutannya
kepada Ki Tambak Wedi telah mengatasi segalanya, maka katanya, “Jangan
banyak bicara. Kau tidak berarti di sini.”
“Kalau kau bunuh aku Tundun, Macan
Kepatihan pasti akan marah. Aku adalah juru masak yang dibawanya sejak
dari istana kepatihan. Tentu. Tentu kau belum mengenal aku, sebab
saat-saat itu kau adalah seorang Wira Tamtama yang tidak bertugas di
istana Kadipaten maupun di istana Kepatihan. Hanya orang-orang tua dan
mereka yang bertugas di istana dan istana Kepatihan sajalah yang
mengenal Sumangkar. Di antaranya adalah Sanakeling. Dan Ki Tambak Wedi.
Bukankah begitu Kakang?”
“Tutup mulutmu, Sumangkar! Lihat, kawanmu
sudah siap akan membunuhmu,” sahut Ki Tambak Wedi, yang kemudian
berkata kepada Tundun, “Kalau kau bunuh tikus tua itu, aku maafkan
kalian.
Tundun yang lebih sayang kepada jiwanya
sendiri menggeram. Selangkah ia maju dan pedangnya telah siap menusuk
punggung Sumangkar. Tetapi ia mendengar Sumangkar berkata, “Cara yang
baik untuk mengadu sesama kawan. Kini tinggallah kita sendiri, Tundun.
Apakah kita ini sebangsa domba-domba yang siap untuk diadu, ataukah kita
ini sebangsa prajurit yang setia kepada tugas dan pimpinan kami.
Pilihlah olehmu Tundun.”
Tundun terhenti. Kembali dadanya
berdesir. Kata-kata Sumangkar yang terakhir telah benar-benar menggugah
kesadarannya. Namun ketika sekali lagi dilihatnya Ki Tambak Wedi ia
menyahut, “Adalah salahmu sendiri Sumangkar. Kau ternyata ikut campur
dalam persoalan yang hampir dapat aku selesaikan dengan caraku. Tetapi
karena kelancanganmu, maka persoalannya menjadi panas kembali. Dan
nyawamu akan dapat menjadi tebusan dari sekian banyak orang. Karena itu
bersedialah untuk mati.”
“Baik Tundun, aku bersedia untuk mati.
Tetapi biarlah Ki Tambak Wedi sendirilah yang membunuh Sumangkar. Itu
kalau ada keberanian padanya. Sebab Tambak Wedi sudah mengenal siapakah
Sumangkar itu. Tetapi aku tidak akan bersedia mati karena pedang kawan
sendiri.” Kemudian kepada Tambak Wedi ia berkata, “Kakang, jangan
mengharap akan timbul perkelahian di antara kami. Kau tahu, bahwa Tundun
tidak akan dapat membunuh Sumangkar, dan kau tahu, bahwa apabila
dikehendaki Sumangkar akan mampu membunuh semua orang Jipang yang
bertugas di sini sekaligus seperti apa yang akan dilakukan oleh Tambak
Wedi. Tetapi kalau lidahmu barhasil mengadu kekuatan di antara kami,
maka aku dapat menghindari, melarikan diri dari tempat ini tanpa seorang
pun yang dapat menangkapnya. Kau pun tidak.”
Dada setiap orang yang mendengar
kata-kata itu berdesir. Namun Tundun yang lebih mementingkan keselamatan
diri dan kawannya, dan sejak semula menganggap Sumangkar tidak berguna
itu, agaknya lebih baik mengorbankanya. Dengan marah ia mendengar
seakan-akan kata-kata Sumangkar itu sebagai kicauan burung yang
memuakkan. Karena itu tiba-tiba ia meloncat dan menusuk punggung
Sumangkar dari belakang. Geraknya cepat seperti kilat meloncat di
langit. Kawan-kawannya yang melihat loncatan itu terkejut. Apalagi
seorang yang bernama Bajang. Tardengar ia bertariak nyaring, “Kau gila
Tundun. Aku sudah terluka. Kau sekarang ingin mengorbankan kawan
sendiri. Ayo, biarlah aku jadi banten. Aku akan mati bersama Sumangkar.”
Tetapi suara itu tak didengar oleh
Tundun. Ia sama sekali tidak mengurungkan niatnya. Bahkan loncatannya
dipercepatnya sebab ia melihat Bajang bergerak untuk mencegahnya.
Kawan-kawannya yang lain berdiri saja
seperti patung. Tak seorang pun yang mampu mencegah atau membenarkan
tindakan Tundun dan Bajang. Mereka benar-benar dicengkam oleh
kebingungan dan kekaburan pikiran. Mereka menganggap kata-kata Tundun
dan tindakannya itu dapat menyelamatkan mereka, tetapi perasaan mereka
hampir tidak rela melihat Sumangkar dikorbankan tanpa belas kasihan.
Betapapun juga Sumangkar telah berada di dalam lingkungan mereka, sejak
mereka meninggalkan Jipang.
Tetapi Bajang yang berdiri agak jauh itu
terlambat. Tundun telah berhasil mencapai Sumangkar dengan ujung
pedangnya yang langsung mengarah punggung.
Beberapa orang yang tidak sampai melihat
pembunuhan itu memejamkan matanya. Bajang sendiri langkahnya terhenti.
Sesaat ia tertegun, namun kemudian ia memalingkan wajahnya sambil
berteriak, “Gila kau Tundun. Aku kelak yang akan membunuhmu.”
Tetapi alangkah dahsyatnya goncangan
perasaan mereka saat itu. Seakan-akan darah mereka membeku dan nafas
mereka terhenti mengalir. Yang mereka lihat kemudian sama sekali bukan
Sumangkar yang jatuh tersungkur dan menyemburkan darah dari Iuka di
punggungnya. Tetapi yang mereka lihat, Tundun terdorong beberapa langkah
ke samping dan mereka melihat Sumangkar itu berdiri dengan garangnya
dengan pedang di tangannya.
Belum lagi gelora di dada mereka
berhenti, terdengar Sumangkar berkata, “Terima kasih Tundun. Ternyata
kau baik hati. Kau telah memberi aku senjata untuk mengusir Tambak Wedi
yang tamak ini.”
Yang paling terkejut atas peristiwa itu
adalah Tundun sendiri. Ketika ia meloncat menusuk punggung Sumangkar,
maka ia sudah pasti bahwa pedangnja akan menghunjam sampai ke jantung.
Meskipun di dalam dadanya, merayap juga keraguan-raguan dan
kekhawatiran, bahwa Macan Kepatihan akan marah kepadanja, serta
bagaimanapun juga ada rasa kasihan kepada orang tua itu, namun hasratnya
untuk hidup telah memaksanya melakukan tindakan itu, dan ia akan dapat
mengatakan berbagai alasan kelak kepada Macan Kepatihan.
Tetapi tanpa disangka-sangka, maka terasa
bahwa pedangnya tergetar. Bukan karena ujungnya menyobek kulit orang
tua itu, tetapi, ia melihat, orang tua itu bergeser cepat sekali ke
samping. Pedangnya berlari tidak lebih dari tebal jari tangannya di
samping tubuh juru masak yang malas itu. Namun sasaat kemudian dunianya
seakan-akan berguncang. Ia sendiri terdorong ke samping oleh kekuatan
yang dahsyat dan tangannya terasa nyeri bukan buatan, sehingga tanganya
itu terasa lumpuh. Ketika ia menyadari keadaannya, pedangnya telah
terlepas dari tangannya berpindah ke tangan Sumangkar, juru masak yang
memuakkannya.
Sesaat Tundun membeku di tempatnya.
Tangannya masih terasa sakit bukan buatan di pergelangan. Bahkan Tundun
itu menjadi cemas bahwa tangannya menjadi retak, dan cacat di tubuhnya
bertambah-tambah lagi.
“Menepilah anak manis,” berkata Sumangkar itu, “jangan turut mencampuri urusan orang tua-tua.”
Tundun memandangnya dengan pandangan yang
bergejolak. Matanya memancarkan beribu macam perasaan yang aneh di
dalam dirinya, yang justru telah mendorongnya ke dalam suatu keadaan
yang tak dikenalnya. Sumangkar itu telah membingungkannya.
Tetapi Tambak Wedi dan Sidanti sama
sekali tidak terkejut melihat peristiwa itu. Mereka sudah mengetahui,
bahwa akan demikianlah akhirnya. Tetapi mereka mengharap, bahwa
kawan-kawan Tundun akan membela pemimpinnya itu dan bersama-sama
menyerang Sumangkar. Dengan demikian maka ia dengan bebas dapat membunuh
Sumangkar bersama muridnya tanpa gangguan apapun, meskipun orang-orang
Jipang itu sama sekali tidak akan berarti.
Tetapi keadaan itu berkembang menurut
iramanya sendiri. Sumangkar yang telah menggenggam pedang di tangannya
cepat-cepat berteriak sebelum Ki Tambak Wedi berhasil mempengaruhi
suasana. “Nah, orang-orang Jipang. Sekarang, apakah kalian akan berdiam
diri? Apakah kalian akan mengikuti perbuatan Tundun membunuhku? Dengar.
Kalian bersama-sama telah dapat mengalahkan, setidak-tidaknya membuat
murid Tambak Wedi itu tidak berdaya. Apakah kalian tidak berbangga
karenanya. Murid Tambak Wedi yang menakutkan itu dapat kalian kalahkan.
Sekarang, meskipun Tundun tidak akan mampu ikut berkelahi, namun kalian
masih cukup kekuatan untuk mengulangi kemenangan itu. Sedang Tambak
Wedi, serahkanlah kepadaku. Kalau aku tidak mampu memancung kepalanya,
biarlah kepalaku yang kalian pancung di hadapan Tambak Wedi.
Bukan main besar pengaruh kata-kata
Sumangkar itu. Yang pertama-tama menyadari kedudukannya adalah Bajang.
Dengan sigapnya ia meloncat maju sambil berkata, “Aku telah dilukainya.
Kini aku akan membalasnya.”
“Bagus Bajang, kesempatan itu akan
datang. Bagaimana yang lain. Apakah kalian lebih senang melihat kawan
sendiri terbunuh, atau kalian ingin melihat kita bersama-sama melakukan
kewajiban dengan baik?”
Apa yang terjadi telah benar-benar
menggerakkan hati prajurit-prajurit Jipang itu. Ketika mereka kemudian
melihat Bajang yang telah melelehkan darah itu bergerak, maka serentak
mereka pun bergerak pula. Tanpa disadari, maka lingkaran di sekitar
Tambak Wedi dan Sidanti telah pulih kembali. Kedua orang itu kini
berdada di tengah-tengah kepungan.
“Gila,” geram Tambak Wedi, “ternyata kalian telah sekarat.
“Setiap prajurit menyadari, bahwa
kemungkinan itu dapat terjadi. Mati di peperangan. Tetapi bukan mati
karena pedang kawan sendiri,” sahut Sumangkar.
“Persetan! Aku akan menunjukkan bahwa Tambak Wedi tidak dapat dilawan oleh siapa pun juga.”
“Sumangkar adalah salah satu perkecualian,” sahut Sumangkar lantang.
Sidanti ternyata tidak dapat mengekang
dirinya lagi. Tiba-tiba ia memutar pedangnya, dan dengan derasnya pedang
itu menyambar kepala Sumangkar.
Yang melihat gerakan itu berdesir. Gerak
itu terlampau cepat. Jauh lebih cepat dari yang dilakukan oleh Tundun.
Karena itu, maka terdengar desis tertahan. Seakan-akan mereka pasti
bahwa kepala Sumangkar akan terpangkas.
Tetapi sekali lagi mereka menjadi heran.
Ternyata Sumangkar mampu menghindari serangan. Dengan cepat pula ia
berhasil merendahkan dirinya dan melontar ke samping. Bahkan dengan satu
gerakan yang lebih cepat dari gerakan Sidanti, Sumangkar berhasil
memukul pedang anak muda itu. Demikian keras dan dahsyatnya sehingga
pedang itu terpental, lepas dari genggaman dan jatuh beberapa langkah.
Tambak Wedi yang melihat peristiwa itu
menggeram marah sekali. Ia sudah tentu tidak akan membiarkan muridnya
terbunuh di hadapan hidungnya. Cepat seperti petir yang meloncat di
langit, Tambak Wedi menyerang Sumangkar. Di tangannya telah tergenggam
sepasang gelang yang melindungi tangannya, sekaligus merupakan senjata
yang berbahaya pula. Sentuhan dari gelang itu akan dapat memecahkan
tulang-tulang kepala dan merontokkan iga.
Seandainya Tohpati ada di tempat itu dan
bertempur berpasangan bersama Sumangkar, maka Sidanti sudah tidak akan
dapat keluar lingkaran pertempuran itu dengan tubuhnya. Tohpati pasti
akan dapat menyesuaikan dirinya, selagi pedang Sidanti itu terjatuh.
Sebab Sumangkar telah langsung melawan Tambak Wedi dengan sekuat
tenaganya, sehingga Tambak Wedi tidak sempat untuk menolong muridnya
itu. Tetapi kali ini yang ada di sekitar perkelahian itu adalah
prajurit-prajurit Jipang yang berdiri keheranan. Mereka baru menyadari
keadaan itu ketika Sidanti telah berhasil memungut pedangnya kembali dan
siap bertempur melawan mereka itu.
Sumangkar yang melihat Sidanti telah
berhasil menguasai dirinya kembali menjadi kecewa. Karena itu segera ia
berteriak, “He, anak-anak Jipang yang berani. Kenapa kalian berdiri saja
seperti tonggak. Ayo, selesaikan tugasmu.”
Suara Sumangkar itu seolah-olah jatuhnya
sebuah perintah dari seorang panglima yang mereka segani. Serentak
mereka berloncatan yang menyerang sejadi-jadinya. Tetapi Sidanti pun
telah bersiap pula. Karena itu, demikian serangan itu datang, maka
dengan sekuat tenaganya, serangan itu dilawannya. Dengan lincahnya ia
menari-nari di antara ujung-ujung senjata lawannya. Namun lawannya
ternyata terlalu banyak, sehingga dengan seluruh kekuatan dan
kecakapannya ia harus mempertahankan dirinya. Tetapi terasa jari-jari
tangannya menjadi nyeri karena senjatanya beradu dengan senjata
Sumangkar sampai terlepas, sehingga Betapapun kecilnya berpengaruh juga
atas kelincahan tangannya.
Tambak Wedi yang melihat keadaan muridnya
menjadi cemas. Sidanti ternyata mengalami tekanan-tekanan yang berat.
Sedang dirinya sendiri terikat pada lawannya yang menyerangnya seperti
orang yang sedang mabuk, meskipun pasti tak akan dapat menjatuhkannya.
Sumangkar memang berjuang dengan sepenuh
tenaga. Diperasnya segenap kemampuan dan kekuatannya. Menurut
perhitungannya, seandainya ia akan kehabisan tenaga, namun Sidanti akan
lebih dahulu runtuh daripadanya, sebab betapapun saktinya anak muda itu,
tetapi melawan prajurit-prajurit Jipang yang sekian banyaknya adalah
pekerjaan yang mustahil dapat dilakukannya.
Tambak Wedi yang telah menyimpan
pengalaman yang banyak sekali di dalam dirinya melihat pula keadaan itu.
Setidak-tidaknya ia mengerti apa yang dikehendaki oleh Sumangkar. Namun
sebagai seorang yang sakti, segera ia dapat mengerti pula, bahwa
sebenarnya muridnya akan banyak mengalami kesulitan, sedang dirinya
sendiri tidak akan dapat segera memberinya pertolongan.
“Sumangkar ini benar-benar gila,”
desahnya di dalam hati. Karena itu segera ia mencari cara untuk
melepaskan diri dari keadaan yang mengkhawatirkan itu.
Tiba-tiba dalam keriuhan pertempuran
terdengar Tambak Wedi menggeram. “Sidanti jangan kau lukai
lawan-lawanmu. Jangan kau sakiti hatinya. Meskipun Sumangkar yang gila
ini merusakkan rencana kita, namun aku masih tetap dalam pendirianku.
Kami harus membuka pintu untuk menolong anak-anak yang malang ini.”
Sidanti tidak segera mengerti maksud
gurunya. Bahkan ia mengumpat-umpat di dalam hatinya. Beberapa kali
terasa ujung-ujung senjata lawannya telah menyentuh pakaiannya, dan
bahkan beberapa kali terasa goresan pada kulitnya, namun kenapa gurunya
masih melarangnya untuk melukai lawannya.
Dan terdengar kembali suara Tambak Wedi.
“Sidanti, bukankah maksud kita kali ini hanya segera memperkenalkan
diri. Nah kini pekerjaan kita sudah selesai. Marilah kita tinggalkan
perkemahan ini.”
Barulah Sidanti menyadari maksud gurunya.
Betapapun kemarahan meluap di hatinya, tetapi ia harus mengakui pula
keadaannya. Ia harus menyadari bahwa ia tidak akan mampu melawan
orang-orang Jipang itu sekaligus, apalagi jari-jari tangannya kini
terasa menjadi nyeri.
Dalam pada itu terdengar kembali suara
gurunya. “Nah, Sidanti lepaskanlah lawan-lawanmu. Biarlah mereka tetap
dalam keadaannya. Kita akan tetap menanti kedatangan mereka di padukuhan
kita atau di tempat asalmu kelak apabila perlu.”
Sidanti tahu benar akan kesulitannya
sendiri. Alasan gurunya mengorbankan harga dirinya. Karena itu,
tiba-tiba ia meloncat dengan memberinya kesempatan meninggalkan
pertempuran itu dengan lincahnya, memutar senjata untuk menerobos
lawan-lawannya yang selalu berusaha untuk mengepungnya. Geraknya
benar-benar cepat tidak terduga, sehingga sesaat kemudian Sidanti telah
berhasil keluar dari lingkungan pertempuran.
Dengan tangkasnya kemudian Sidanti
menghindari setiap sergapan sambil melangkah surut. “Aku sudah bebas
guru,” katanya sambil terus-menerus mengundurkan dirinya sambil melawan
dan berusaha untuk tidak masuk ke dalam kepungan.
“Bagus,” sahut gurunya, “kau adalah
muridku yang baik. Betapapun juga kau mengalami kesulitan, tetapi kau
tetap tidak mau menyakiti hati prajurit-prajurit Jipang yang berani.
Nah, tinggalkan mereka. Aku pun akan segera pergi.”
Sidanti tidak menunggu perintah gurunya
itu diulangi. Segera ia bersiap melontar surut dan melepaskan diri dari
daerah perkemahan itu.
Sumangkar yang melihat cara Tambak Wedi
dan muridnya melepaskan diri mengumpat tak habis-habisnya. Katanya,
“Pengecut. Kalian telah berani masuk ke dalam sarang srigala. Tetapi
sifat-sifat kalian lari, meskipun alasan kalian tampaknya terlalu
meyakinkan?”
Sidanti yang sudah agak jauh mendengar
teriakan itu. Darah mudanya kembali menyala di dalam dadanya, sehingga
tiba-tiba ia berhenti sambil menyahut. “Ayo, kelinci-kelinci yang
mengaku srigala, Inilah Sidanti.”
“Jangan hiraukan,” teriak gurunya, “kalau
kau bertempur lagi Sidanti, mungkin kau akan terpaksa membunuh
lawan-lawanmu. Dengan demikian di antara kita akan timbul
persoalan-persoalan yang sulit kita lupakan. Tinggalkan tempat ini.”
Sidanti menggeram ketika ia mendengar
Sumangkar tertawa. “Bagus. Apa pun alasanmu, tetapi kami di sini akan
mendapat kesan atas nilai-nilai pribadi Tambak Wedi dan muridnya.”
Tambak Wedi-lah yang menyahut kata-kata itu. “Suatu ketika kau akan berkata lain, Sumangkar.”
Sumangkar tidak menjawab. Tetapi ia
menyerang terus dan bahkan terdengar ia meneriakkan aba-aba. “Jangan
lepaskan Sidanti. Ia akan kembali dengan dendam di dalam hatinya. Jangan
biarkan ia dapat melepaskan diri.”
“Jangan hiraukan, Sidanti,” teriak Tambak Wedi.
Betapapun juga, namun Sidanti dapat
mengerti perintah gurunya. Karena itu, meskipun darah di dalam
jantungnya serasa menyala, namun ia terpaksa meninggalkan pertempuran
itu.
Demikian Sidanti menghilang, maka
demikian pula Tambak Wedi melontarkan dirinya, menghindari
serangan-serangan Sumangkar yang datang bertubi-tubi. Sekali ia melawan
namun di saat-saat lain ia meloncat surut, semakin lama semakin jauh,
tetapi Sumangkar masih belum melepasnya.
Namun ternyata Tambak Wedi yang
sebenarnya tidak kalah dari Sumangkar itu, berhasil pula melepaskan
dirinya. Dengan menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul liar di sekitar
tempat itu, ia dapat menghindari serangan-serangan dan kejaran
Sumangkar.
Sumangkar menggeram marah sekali.
Terdengar ia berteriak di antara kawan-kawannya, “Ayo, kenapa kalian
hanya berdiri terpaku seperti nonton pacuan kuda? Kepung setan itu.”
Tetapi Betapapun usahanya, namun Tambak
Wedi benar-benar berhasil lolos dari mereka, seolah-olah mampu
menghilang. Namun di kejauhan terdengar suaranya melingkar-lingkar di
dalam hutan. “Sumangkar, suatu ketika kau akan menyesal.”
“Setan!” sahut Sumangkar dengan suara yang keras, “sekarang kami siap menunggumu.”
Tetapi Tambak Wedi itu pun lenyap dari antara mereka.
Meskipun demikian, meskipun Tambak Wedi
tidak berhasil mempengaruhi orang-orang Jipang pada saat itu, namun ia
telah berhasil melontarkan tawarannya. Ia telah berhasil menyatakan
perbandingan antara diri mereka dengan Macan Kepatihan. Sehingga
bagaimanapun juga, Tambak Wedi yakin bahwa di saat-saat mereka duduk
termenung, tawarannya akan berkumandang kembali di dalam hati mereka.
Dengan demikian, Tambak Wedi itu telah berhasil meletakkan sebuah
persoalan di dalam hati prajurit-prajurit Jipang yang sedang mengalami
kesulitan lahir dan hatin.
Tetapi yang mula-mula menggoncangkan hati
anak-anak Jipang itu adalah Sumangkar itu sendiri. Juru masak yang
malas itu telah menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam hati setiap
orang yang telah melihat apa saja yang telah dilakukannya. Apalagi
Tundun, yang kini berdiri membeku. Sekali-sekali mulutnya menyeringai
karena sengatan rasa sakit pada tangannya. Ketika ia melihat Tambak Wedi
yang ganas itu melarikan dirinya, maka hatinya benar-benar bergelora.
Ia tidak menyangka bahwa juru masak itu berhasil mengusir Tambak Wedi
yang menakutkan di seluruh wilayah lereng Gunung Merapi itu. Namun
setelah itu, setelah Tambak Wedi tidak nampak lagi di mata mereka,
timbullah kecemasan dan ketakutan yang lain di dada Tundun itu. Betapa
Sumangkar akan membalasnya. Ia pasti tidak akan mampu berbuat apa-apa,
seperti ia tidak akan mampu melawan Tambak Wedi.
Karena itu, maka kemudian dipandangnya Sumangkar itu dengan gelora di dalam dirinya.
“Apakah yang akan dilakukannya?” katanya
dalam hati. Aneh. Orang itu adalah orang yang aneh. Apakah ada setan
yang manjing ke dalam dirinya?
Sumangkar sendiri kemudian berdiri kaku
di tempatnya. Ia menjadi sangat kecewa atas lenyapnya Tambak Wedi dan
Sidanti. Kedua orang itu tidak kalah berbahayanya daripada pasukan
Pajang di Sangkal Putung bagi Macan Kepatihan dan pasukannya. Mungkin
suatu saat Macan Kepatihan akan kehilangan kewibawaannya atas anak
buahnya karena pokal Tambak Wedi itu. Mungkin anak buahnya satu demi
satu akan menghilang dan menggabungkan diri dengan Hantu Lereng Merapi
itu. Dengan demikian persoalannya akan menjadi semakin sulit. Macan
Kepatihan harus menghadapi persoalan baru yang tidak kalah rumitnya
dengan persoalan-persoalan yang telah ada, apalagi hal itu pasti akan
langsung menyentuh harga diri Macan Kepatihan itu.
Sedangkan apabila Macan Kepatihan
menerima kehadiran mereka di dalam lingkungannya, maka keadaannya sama
sekali tidak akan bertambah baik. Hubungan antara pasukan Jipang dengan
Pajang pasti akan bertambah buruk. Pertentangan akan semakin menyala dan
membakar rakyat Jipang dan Pajang sendiri. Kematian dan bencana akan
menjadi semakin bertambah-tambah. Sedangkan tujuan terakhir dari
perlawanan itu sama sekali tidak akan dapat diharapkan. Pajang tidak
saja berisi Untara, Widura dan anak buahnya di Sangkal Putung. Tetapi
Pajang memiliki panglima-panglima yang mumpuni. Ki Gede Pamanahan adalah
lambang dari kekuatan Wira Tamtama Pajang, dan puteranya Loring Pasar
adalah kekuatan yang tidak ada taranya di antara angkatan mudanya.
Sesaat Sumangkar itu tenggelam dalam
angan-angannya. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa di sekitarnya masih
berdiri para prajurit Jipang. Bahkan mereka yang luka pun masih belum
mendapat perawatan sama sekali.
“He, kenapa kalian menjadi bingung,” katanya kemudian. “Lihat kawan-kawanmu yang luka. Nah, tolonglah dan obati mereka.”
Beberapa orang tersadar dari
kekagumannya. Segera mereka mencoba merawat kawan-kawan mereka dan
membawa mereka kembali ke perkemahan. Tetapi ketika seseorang mengajak
Bajang kembali, terdengar Bajang menjawab, “Aku masih mampu berjalan
sendiri.”
Tetapi sepeninggal kawannya itu, Bajang
berjalan perlahan-lahan mendekati Sumangkar. Dengan hormatnya ia
mengangguk sambil berkata, “Maafkan aku. Bagaimana aku harus bersikap
setelah aku melihat apa yang telah kau lakukan.”
“Oh,” seru Sumangkar, “aku tidak menuntut perubahan sikap kalian terhadapku. Aku tetap seorang juru masak.”
“Hem,” desah Bajang, “alangkah bodohnya
aku. Kenapa aku tidak melihat keadaan ini sebelumnya. Kenapa aku tidak
tahu siapakah sebenarnya Sumangkar itu.”
“Jangan ribut,” sahut Sumangkar.
“Kembalilah dan pelihara lukamu. Mungkin Sidanti dan Tambak Wedi akan
datang di saat-saat lain.”
Kembali Bajang mengangguk hormat. Kemudian ia melangkah pergi meninggalkan Sumangkar yang masih berdiri di tempatnya.
Yang tinggal kemudian adalah Tundun
sendiri. Dengan cemas ia melihat Sumangkar masih menggenggam pedangnya.
Orang tua itu masih belum meninggalkan tempatnya dan bahkan kemudian
perlahan-lahan melangkah mendekatinya.
“Kenapa kau masih berdiri disitu?” terdengar orang tua itu bertanya.
Tundun itu pun kemudian menjawab dengan gemetar, “Tidak, tidak.”
“Apa yang tidak?” bertanya Sumangkar pula.
Tundun menjadi bingung. Ia tidak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan itu.
Perlahan-lahan Sumangkar datang kepadanya sambil berkata, “Kenapa kau tidak kembali ke perkemahan?”
“Ya, ya,” sahut Tundun terbata-bata, “aku akan kembali.”
“Nah kembalilah,” berkata Sumangkar pula.
Tundun memandang Sumangkar tanpa
berkedip. Terasa tengkuknya meremang, seakan-akan Sumangkar itu telah
mencengkamnya dan dengan penuh kemarahan membantingnya jatuh di tanah.
Tetapi Sumangkar masih tegak. Bahkan kembali ia mendengar suaranya. “Marilah kita kembali bersama-sama.”
Seperti orang kehilangan kesadaran ketika
Tundun melihat Sumangkar berjalan mendahului, ia pun berjalan pula di
belakangnya dengan kepala tunduk. Hanya sekali-sekali terasa sakit di
tangannya masih menyengat-nyengat. Tetapi ia sama sekali tidak berani
mengeluh. Bahkan ia terkejut ketika tiba-tiba Sumangkar berkata, “Apakah
tanganmu masih sakit?”
Sesaat Tundun menjadi bingung. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak. Sudah tidak sakit.”
Mendengar jawaban itu Sumangkar berhenti.
Ketika ia berpaling, dilihatnya tangan kiri Tundun meraba-raba tangan
kanannya. Dan Tundun pun terkejut pula. Tergagap-gagap ia berkata,
“Masih. Tanganku masih sakit.”
Sumangkar tersenyum. Ia masih menggenggam
pedang Tundun. Karena itu maka katanya sambil menyerahkan pedang itu,
“Inilah pedangmu.”
Tundun memandang Sumangkar seperti memandang hantu sehingga Sumangkar tertawa karenanya. “Jangan cemas, aku tidak apa-apa.”
Kata-kata Sumangkar itu seolah-olah telah
mengembalikan segenap kesadaran Tundun. Tiba-tiba ia merasa betapa
besar kesalahan yang telah dilakukan atas orang tua itu sehari ini.
Sehingga sampai pada puncak kebodohannya mencoba membunuhnya. Karena itu
tiba-tiba Tundun itu berjongkok di hadapan Sumangkar sambil berkata,
“Maafkan aku. Maafkan aku. Aku tidak tahu siapa sebenarnya Tuan.”
“E, e,” Sumangkar terkejut melihat sikap
itu. Dengan serta merta ditariknya lengan Tundun. “Berdirilah, aku bukan
orang berpangkat di sini. Aku adalah seorang juru masak.”
“Tetapi apa yang Tuan lakukan telah benar-benar mengejutkan. Tuan telah berhasil mengusir Ki Tambak Wedi.”
“Bukan aku seorang diri,” jawab Sumangkar, “tetapi bersama-sama.”
“Tetapi aku telah berani mencoba membunuh Tuan.”
“Jangan sebut-sebut itu lagi. Lupakanlah.
Namun hal ini dapat kau jadikan pelajaran, bahwa kau harus lebih banyak
mempergunakan otakmu daripada tenaga dan perasaanmu.”
“Baik Tuan.”
“Jangan panggil aku tuan.”
Tundun tidak menyahut, tetapi ia hanya mengangguk saja.
“Nab, kembalilah dahulu,” berkata Sumangkar, “rusa panggang itu telah masak.”
“Bukan untukku,” sahut Tundun.
Kembali Sumangkar tertawa. Dipandanginya
saja kemudian, ketika Tundun itu meninggalkannya kembali ke perkemahan.
Sekali-sekali ia masih meraba- raba tangannya yang seakan-akan terkilir.
la hanya merasakan sebuah tangkapan pada pergelangan tangannya. Dan
yang diketahui kemudian pedangnya terlepas dan berpindah ke tangan
Sumangkar, sedang dirinya sendiri terdorong beberapa langkah ke samping.
“Benar-benar di luar dugaanku,” keluh Tundun.
Sepeninggal Tundun, Sumangkar berdiri
seorang diri dalam terik cahaya matahari yang menyusup di antara
celah-celah dedaunan. Sekali-sekali ia memandangi matahari itu. Dan
setiap kali ia bergumam dengan lirih, “Apa yang terjadi di pertempuran
itu?”
Kedatangan Tambak Wedi dan Sidanti telah
menambah hati orang tua itu menjadi gelisah. Ia tidak sampai hati
melihat Macan Kepatihan kehilangan kewibawaannya, kehilangan kepercayaan
kepada diri sendiri, sebagai penerus keturunan ilmu Kedung Jati. Tetapi
ia sebenarnya tidak bisa melihat perkembangan yang semakin suram dari
murid saudara seperguruannya itu dalam perjuangannya. Sebenarnya
Sumangkar tidak dapat menyetujui seluruh apa yang dilakukan oleh
Tohpati. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya. Ia tidak dapat berbuat lain
daripada apa yang dilakukannya sampai saat terakhir. Justru karena
Tohpati tahu, bahwa ia tidak sependapat dalam beberapa hal, maka
diletakkannya Sumangkar di sudut- sudut perkemahan, di tepi-tepi
perapian, seperti kesenangannya sendiri. Memasak.
“Saat ini anak itu sedang berjuang
melawan maut,” desis Sumangkar itu sambil sekali lagi menatap matahari,
“mudah-mudahan ia selamat.”
Namun hatinya berdesir mengenang
pertempuran kali ini. Pertempuran yang menurut kata-kata Macan Kepatihan
sendiri, adalah pertempuran terakhir?
“Kenapa terakhir?” gumamnya.
Sumangkar kemudian berjalan menepi.
Perlahan-lahan diletakkannya tubuhnya di bawah rindangnya pohon Benda.
Sekali-sekali dikenangnya wajah Tambak Wedi yang bengis dan sekali
dibayangkannya wajah-wajah yang tegang di medan peperangan sangkal
Putung.
“Keduanya merupakan bahaya,” desisnya,
“kenapa aku tidak diperbolehkannya ikut serta.” Sumangkar itu berkata
kepada diri sendiri. “Tetapi kalau aku pergi, maka perkemahan ini pasti
akan menjadi ajang pengaruh Tambak Wedi itu. Mungkin Tundun dan
kawan-kawannya telah pergi meninggalkan Macan Kepatihan. Dengan
demikian, maka perkemahan ini akan menjadi kosong. Nanti apabila laskar
itu datang kembali, maka mereka akan menjadi semakin parah. Parah karena
pertempuran itu, dan parah karena mereka datang di tempat yang kosong.
Tanpa penyambutan, tanpa makanan. Alangkah sedihnya Macan Kepatihan.
Apalagi kalau usahanya kali ini untuk merebut sangkal Putung tidak
berhasil.”
Sumangkar menggelengkan kepalanya. Namun
ia tidak juga berdoa supaya Macan Kepatihan berhasil merebut Sangkal
Putung. Ia tidak ingin membayangkan bagaimana perempuan dan kanak-kanak
Sangkal Putung menjadi ketakutan dan menjadi barang rayahan yang akan
diperlakukan dengan semena-mena.
Karena itu Sumangkar menjadi bingung. Apakah yang sebaiknya dilakukan?
Ketika kemudian ia melihat seseorang di
kejauhan, maka segera ia berdiri dan berjalan ke perkemahan kembali.
Kepada orang yang dilihatnya itu Sumangkar melambaikan tangannya
memanggil.
Orang yang dipanggilnya itu pun datang mendekat, seolah-olah sedang menyongsongnya.
“Akan kemanakah kau?” bertanya Sumangkar.
“Mengambil air,” jawab orang itu.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Apakah luka Bajang sudah diobati?”
“Sudah.”
“Bagaimana keadaannya?”
“Tidak apa-apa. Ia sudah dapat bekerja lagi di dapur.”
“Tolong panggil anak itu kemari.”
Orang itu pun segera kembali untuk
memanggil Bajang. Sumangkar sendiri tidak meneruskan Iangkahnya. Kini
kembali ia duduk di bawah rimbunnya dedaunan hutan. Sekali-sekali
diamat-amatinya burung-burung liar yang berterbangan, hinggap dari dahan
yang satu ke dahan yang lainnya.
Bajang pun segera datang mendekatinya. Tetapi sikap anak itu telah jauh berbeda dari sikapnya sehari-hari.
“Kiai memanggil aku?” ia bertanya.
Mendengar pertanyaan itu Sumangkar terkejut, tetapi ia pun tersenyum. “Sejak kapan kau menyebut aku demikian?”
Bajang menjadi tersipu-sipu sehingga ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
“Duduklah Bajang,” minta Sumangkar.
Bajang pun segera duduk di samping
Sumangkar. Terasa beberapa pertanyaan melonjak-lonjak di dalam dadanya.
Dalam tanggapannya Sumangkar yang duduk di sampingnya itu sama sekali
bukan Sumangkar yang dikenalnya setiap hari. Sumangkar itu seolah-olah
adalah orang baru di dalam perkemahan itu. Orang baru yang sakti
melampaui kesaktian Macan Kepatihan sendiri.
“Bajang,” berkata Sumangkar. Sumangkar
sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba ia menaruh kepercayaan kepada anak
itu. Tiba-tiba saja ia melihat kelebihan Bajang dari orang-orang lain,
sejak ia melihat sikap anak itu menghadapi kekasaran Tundun atasnya. Dan
kemudian dilanjutkannya kata-katanya. “Apakah pekerjaanmu sudah siap?”
“Belum seluruhnya Kiai, tetapi segera akan selesai.”
“Maksudku, bagaimanakah kalau aku hari ini berhalangan membantumu di dapur? Apakah pekerjaan kita dapat selesai sebelum petang?”
“Oh, tentu, tentu. Dan seharusnya Kiai
tidak lagi bersusah payah bekerja di dapur. Kiai dapat memerintahkan
Tundun untuk melakukannya. Ia pasti tidak berani membantah lagi.”
“Tidak Bajang. Aku sendiri memang memilih
pekerjaan itu. Jangan kau sangka bahwa Macan Kepatihan tidak mengenal
aku. Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda itu pun mengenal siapa
Sumangkar. Tetapi sengaja aku minta mereka untuk membiarkan aku
melakukan pekerjaan yang aku senangi.”
“Oh, jadi Raden Tohpati telah mengenal Kiai?”
“Sudah Bajang. Sejak di Kepatihan Jipang. Mantahun adalah kakak seperguruanku.”
“Oh,” Bajang menjadi pucat.
Tetapi cepat-cepat Sumangkar menyambung,
“Tetapi aku sama sekali bukan seorang pejabat pemerintahan seperti
Patih Mantahun. Aku sejak di kepatihan, adalah seorang juru masak.”
Bajang menundukkan kepalanya. Baru kini
ia menjadi jelas siapakah kawannya yang selama ini dianggapnya sebagai
seorang tua yang telah tidak lagi mampu bekerja terlalu keras, yang oleh
orang-orang lain disebutnya juru masak yang malas.
“Tetapi Bajang,” berkata Sumangkar
kemudian, “jangan kau menganggapku berlebih-lebihan. Sikapmu jangan kau
rubah seperti terhadap seorang pemimpin.”
“Bajang,” kembali terdengar suara Sumangkar, “bagaimana dengan pertanyaanku? Hari ini aku tidak dapat membantumu?”
“Tidak apa-apa Kiai. Betul, aku dan kawan-kawan yang lain akan dapat menyelesaikannya. Silahkan Kiai beristirahat.”
Sumangkar menggeleng. Katanya, “Aku tidak ingin beristirahat, Bajang.”
Sekilas Bajang berpaling. Dilihatnya
wajah Sumangkar yang suram. Lalu terdengar ia bertanya, “Apa yang akan
Kiai lakukan sekarang?”
“Aku akan pergi.”
“Pergi?”
“Ya.”
“Kiai akan pergi ke mana?” desak Bajang.
Sesaat Sumangkar menjadi ragu-ragu.
Tetapi kemudian jawabnya, “Sebenarnya sejak Macan Kepatihan berangkat,
hatiku menjadi gelisah. Seolah-olah aku melepas anak di tepi sungai.”
Bajang mengangkat wajahnya. Tiba-tiba ia
bertanya, “Kenapa Kiai tidak turut ke Sangkal Putung. Bukankah tenaga
Kiai akan sangat berguna untuk merebut daerah itu?”
“Aku tidak tahu, kenapa Macan Kepatihan menolak tawaranku. Disuruhnya aku tinggal di perkemahan ini.”
“Apakah sekarang Kiai akan menyusul ke Sangkal Putung?”
Sumangkar mengangguk. “Ya,” jawabnya, “aku ingin melihat pertempuran itu.”
Bajang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Apakah aku dapat ikut serta Kiai.”
Sumangkar menggeleng. “Jangan.
Perjalananku mempunyai bentuk yang lain dari perjalanan sebuah pasukan.
Karena itu, biarlah aku pergi sendiri. Bukankah kau mempunyai pekerjaan
yang cukup penting di sini, menyiapkan makan untuk pasukan itu.”
Bajang mengangguk. Gumamnya, “Baik Kiai.”
Mereka berdua, Bajang dan Sumangkar,
untuk sesaat saling berdiam diri. Mata Sumangkar yang redup memandang
jauh menembus rimbunnya hutan. Hatinya kini sedang dilibat oleh
kebimbangan dan keragu-raguan. Ia merasa bahwa seakan-akan kini ia
berdiri di simpang jalan. Dan diketahuinya bahwa kedua simpangan itu
sama-sama tidak dikehendakinya. Bahkan kembali pun tidak akan dapat
ditempuhnya.
Tiba-tiba Sumangkar itu tersentak ketika
ia mendengar seperti jerit seseorang. Ketika ia mengangkat wajahnja,
barulah disadarinya, bahwa suara itu adalah suara seekor burung elang
yang bertempur di udara.
“Hem,” desahnya, “aku harus pergi Bajang.”
Bajang berpaling sambil mengangguk, “Silahkan Kiai. Kedatangan Kiai akan banyak memberi bantuan kepada pasukan itu.”
Sumangkar menggeleng. “Belum tentu. Bahkan mungkin aku akan diusir oleh angger Tohpati.”
“Kalau Raden Tohpati itu memerlukannya, maka kehadiran Kiai akan sangat membesarkan hatinya.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia berdiri, membenahi pakaiannya dan berbisik seakan-akan
kepada dirinya sendiri, “Aku akan pergi. Tetapi aku harus kembali dulu
ke perkemahan.”
“Marilah Kiai,” sahut Bajang.
Sumangkar kemudian tidak berkata-kata
lagi. Cepat-cepat ia berjalan ke perkemahan langsung masuk ke dalam
gubugnya. Bajang yang mengikutinja, berdiri tegak di muka pintu gubug
sambil mengawasi apa yang sedang dicari oleh Sumangkar itu di bawah
tumpukan jerami, tempat ia tidur di malam hari.
Bajang terkejut ketika ia melihat benda
itu. Ia pergi ke mana saja bersama pasukan dan ia pergi ke mana saja
bersama Sumangkar, tetapi ia belum pernah melihat benda itu.
“Benda ini adalah benda peninggalan,”
desis orang tua itu. “Jarang kau melihatnya. Aku selalu membawanya di
antara barang-barang yang lain dan terbalut kain.”
Benda itu mirip benar dengan benda yang
paling berharga dalam pasukan itu, meskipun agak lebih kecil. Tongkat
baja putih, dengan kepala yang berwarna kekuning-kuningan. Mirip benar
dengan tongkat baja putih milik Tohpati.
Dengan suara gemetar Bajang bertanya, “Apakah benda itu lain dengan yang dimiliki oleh Raden Tohpati?”
“Gurunya adalah seperguruan dengan aku.
Kami masing-masing menerima senjata serupa. Dan Senjata kakak
seperguruanku itu kini telah jatuh ke tangan Tohpati, murid
satu-satunja.”
Bajang mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
belum pernah melihat Sumangkar menjinjing senjata, selain menjinjing
kapak, pisau dapur atau sebuah kelewang pembelah kayu. Kini orang tua
itu menjinjing sebatang tongkat baja putih berkepala kekuning-kuningan
berbentuk tengkorak, agak lebih pendek sedikit dari tongkat Tohpati.
Alangkah jauh bedanya. Sumangkar yang setiap hari berjongkok di dapur
dan Sumangkar yang menjinjing tongkat itu. Karena itu maka terasa
hatinya berdesir.
“Kiai, ternyata Kiai adalah seorang yang
menakjubkan. Meskipun Kiai dapat mengimbangi kesaktian Tambak Wedi,
namun selama ini Kiai dapat merendam diri dalam keprihatinan,” berkata
Bajang kemudian.
“Kau salah sangka Bajang,” sahut
Sumangkar. “Selama ini aku sama sekali tidak merendam diri dalam
keprihatinan. Bahkan aku merasa bahwa aku mendapat istirahat yang
panjang. Aku tidak perlu lagi bekerja terlalu berat di peperangan.
Betapapun saktinya seseorang, namun perang adalah pekerjaan yang berat.
Mungkin aku merasa bahwa seseorang tidak berarti dalam olah senjata,
namun di dalam peperangan ia tidak berdiri sendiri. Dan aku tidak hanya
melawan musuh-musuh itu seorang lawan seorang. Seandainya musuh-musuhku
adalah orang-orang yang lemah dan sama sekali tidak berarti sehingga aku
akan dapat membunuhnya seperti menebas batang ilalang, namun dalam
keadaan yang demikian, musuh yang terberat adalah perasaan sendiri.
Apakah aku akan dapat tidur dengan tenang setelah aku mengotori tanganku
dengan darah orang yang lemah dan tidak berarti itu? Apakah aku akan
dapat tidur nyenyak kalau aku sempat menghitung orang yang telah aku
bunuh? Tidak Bajang. Aku tidak bisa. Karena itu pekerjaan di dapur
adalah pekerjaan yang menyenangkan bagiku. Bagi seorang pemalas.”
Bajang tidak menjawab. Kini ia melihat
Sumangkar itu telah siap. Dan Bajang itu mendengar Sumangkar berkata,
“Lakukan pekerjaanmu baik-baik Bajang. Aku akan pergi ke Sangkal Putung
untuk melihat peperangan itu.”
Bajang melangkah ke samping ketika
Sumangkar berjalan ke pintu. Lamat-lamat terdengar ia berdesis, “Selamat
jalan Kiai. Mudah-mudahan perjalanan Kiai akan sangat berarti.”
Sumangkar mengangguk. Sahutnya, “Mudah-mudahan. Apakah kau ingin aku turut bertempur?” bertanya orang tua itu.
Bajang mengangguk, “Ya,” jawabnya.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kata-kata Bajang adalah kata-kata yang wajar. Setiap prajurit Jipang
menghendaki kemenangan. Setiap prajurit Jipang ingin segera membelah
Sangkal Putung, menguasainya, dan memiliki setiap kekayaan yang ada di
dalamnya. Tetapi apakah dengan mengalahkan Sangkal Putung, Pajang akan
tunduk di bawah kaki Macan Kepatihan?
“Hem,” Sumangkar itu menggeleng. “Jauh.
Terlalu jauh jalan yang harus ditempuh,” katanya di dalam hati. “Mungkin
sepanjang umurku keinginan untuk itu tidak akan pernah tercapai. Yang
dapat dilakukan adalah menduduki suatu tempat, untuk kemudian
meninggalkannya setelah dirampas segenap kekayaan. Dalam keadaan
demikian, maka sulitlah bagi laskar Jipang untuk mengekang diri dalam
lingkaran peradaban dan kemanusiaan.”
Dalam kebimbangan itulah kemudian
Sumangkar siap meninggalkan perkemahannya. Ia tidak tahu, manakah yang
paling baik dilakukan. Ia tidak sampai hati melihat Macan Kepatihan
selalu disiksa oleh kekalahan demi kekalahan, namun ia tidak akan sampai
hati pula melihat Sangkal Putung menjadi ajang kehancuran.
Sebelum Sumangkar itu meninggalkan
perkemahan, maka pesan yang diberikan kepada Bajang adalah,
“Hati-hatilah dengan kawan-kawanmu Bajang. Tawaran Tambak Wedi dapat
mempengaruhi kesetiaan mereka kepada Macan Kepatihan.”
“Aku akan mencoba memperhatikannya Kiai,” jawab Bajang.
Sumangkar itu pun kemudian berjalan
dengan hati yang bimbang. Dijinjingnya tongkatnya, namun ia tidak
yakin, apakah tongkat itu akan dipergunakannya. Sudah terlalu lama ia
menyimpannya, bahkan hampir ia tidak pernah membayangkan, bahwa tongkat
itu akan dipergunakannya lagi, meskipun keadaannya masih terbelenggu
dalam kekalutan dan peperangan.
Tetapi tongkat itu kini dijinjingnya.
Sekali-sekali Sumangkar yang tua itu menengadahkan wajahnya. Di langit
matahari berjalan dengan malasnya. Namun terik panasnya seakan-akan
membakar kulit.
Sumangkar itu kemudian mempercepat
langkahnya. Sekali-sekali ia masih harus meloncati air yang tergenang,
sisa hujan yang lebat semalam.
Dalam pada itu di ujung Kademangan
Sangkal Putung pertempuran yang dahsyat masih saja terjadi. Pekik dan
ratap di antara dentang senjata. Anak-anak muda Sangkal Putung sudah
tidak berteriak-teriak lagi. Mereka seakan-akan sudah kehabisan tenaga
dalam perlawanan yang semakin berat.
Semakin lama terasa bahwa anak-anak
Sangkal Putung menjadi semakin kendor. Untara yang melihat keadaan itu
menjadi semakin prihatin. Pertempuran itu semakin bergeser ke kanan.
Bukan saja bergeser ke kanan, tetapi Untara terpaksa beberapa kali
menarik diri untuk memberi kesempatan kepada Sedayu dan Swandaru untuk
membantu mengurangi tekanan-tekanan di induk pasukan. Hudaya di satu
sisi bersama Agung Sedayu dan Sonya beserta Patra Cilik di sisi yang
lain bersama Swandaru telah memeras tenaga mereka. Mereka bertempur
sambil berusaha untuk tetap memberi kesegaran kepada anak-anak muda
Sangkal Putung. Namun pedang-pedang mereka sudah tidak terayun sederas
pada saat mereka mulai. Bahkan dengan demikian, maka korban berjatuhan.
Satu demi satu.
Setiap kali Swandaru mendengar pekik
kesakitan, setiap kali ia menggeram, dan pedangnya menyambar-nyambar
seperti kilat di langit. Tetapi lawannya adalah prajurit-prajurit
terlatih yang sedang berputus asa, sehingga bagaimanapun juga, maka ia
harus berjuang sekuat-kuat tenaganya. Untunglah bahwa Kiai Gringsing
telah memberinya bekal secukupnya, sehingga ia tidak perlu berkecil hati
menghadapi prajurit-prajurit itu. Tetapi kawan-kawannya, anak-anak muda
Sangkal Putung adalah berbeda.
Tohpati tersenyum melihat
kemenangan-kemenangan yang dicapainya. Ia telah lupa segala-galanya. Ia
lupa kebimbangan-kebimbangan yang mencengkam hatinya. Ia lupa
kejemuan-kejemuan yang selama ini merayapi jantungnya. Sebagai seorang
prajurit yang mendapatkan beberapa kemenangan di medan perang, maka
pastilah akan menggugah tekadnya lebih dahsyat. Demikianlah Macan
Kepatihan saat itu. Kemenangan-kemenangan itu seakan-akan telah menambah
kekuatannya. Bahkan perasaan itu melimpah kepada setiap prajurit yang
ikut dalam pertempuran itu.
Agak jauh dari pertempuran itu, Sumangkar
berhenti di bawah rindangnya pepohonan liar di pinggir lapangan rumput
dan tanah-tanah persawahan yang tidak ditanami, tempat pertempuran itu
terjadi. Begitu asyiknya ia melihat pertempuran itu, sehingga
perhatiannya seluruhnya ditumpahkannya kepada gemerlapnya pedang dan
sorak kemenangan pada tiap-tiap kelompok. Sorak yang masih dapat
membangkitkan gairah dan nafsu untuk menggerakkan senjata.
Berganti-ganti para prajurit itu bersorak-sorak. Sekali-sekali terdengar
prajurit Pajang meneriakkan kemenangan-kemenangan kecil apabila ada
lawan-lawannya yang terdesak dan jatuh tersungkur di kaki mereka. Namun
kemudian prajurit Jipang berusaha menebus kekalahannya. Dan bersorak
pulalah mereka, apabila mereka dapat merebut kembali garis pertempuran
yang semula ditinggalkan mundur beberapa langkah. Namun semakin lama
prajurit Jipang-lah, yang semakin sering mendesak. Apalagi di sisi
kanan.
Widura yang berada di sisi kiri dalam
gelar pasukan Pajang berusaha mengimbanginya dengan gigih. Widura
mengharap, bahwa kemenangan yang Betapapun kecilnya akan masih dapat
menyalakan tekad dan membesarkan hati anak-anak muda Sangkal Putung.
Namun karena induk pasukan itu sendiri mengalami beberapa tekanan yang
tak dapat dihindarkan, maka pasukan Pajang benar-benar harus menarik
diri beberapa kali.
Widura melihat kesulitan di induk pasukan
itu. Karena itu, maka dilepaskannya beberapa orangnya untuk ikut serta
memperkuat induk pasukan. Justru mereka adalah prajurit-prajurit yang
cukup baik. Sebab menurut perhitungan Widura, lebih baik sayap yang
dipimpinnya yang agak mengalami kesulitan daripada induk pasukan.
Usaha Widura dapat juga sedikit membantu.
Untara dapat menahan arus yang semakin dahsyat dengan beberapa tenaga
dari sayapnya, sehingga pasukan itu tidak harus menarik diri terus
menerus.
Sumangkar melihat pertempuran itu sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-kali ia tersenyum melihat
kemenangan-kemenangan yang didapatkan oleh Macan Kepatihan. Meskipun
Macan Kepatihan sendiri tidak dapat mengatasi lawannya, seorang lawan
seorang, namun pengaruh pertempuran itu seluruhnya, ternyata telah
memperkuat kedudukannya. Untara yang pikirannya terpecah-belah, ternyata
harus berjuang sekuat tenaganya, agar kepalanya tidak disambar oleh
tongkat baja putih yang berkepala tengkorak di tangan Macan Kepatihan
itu.
Sekali-kali terlintas juga di dalam hati
Sumangkar, betapa sengsaranya rakyat Sangkal Putung apabila anak Jipang
yang telah menjadi buas itu berhasil menembus pertahanan Untara kali
ini. Anak-anak, perempuan dan orang-orang tua pasti akan banyak
mengalami bencana. Namun apakah ia akan dapat rnembiarkan laskar Jipang
itu terpecah porak-poranda.
Di luar kehendaknya sendiri, maka
Sumangkar itu berbangga atas murid kakak seperguruannya itu. Ia bangga
melihat tongkat yang mirip dengan tongkatnya itu, menyambar-nyambar
dengan dahsyatnya, seolah-olah ia melihat dirinya sendiri pada masa-masa
mudanya.
“Dahsyat” geramnya, “Macan Kepatihan memang pantas memakai gelarnya. Ia benar-benar garang segarang harimau jantan.”
Sumangkar kini berdiri bersandar sebatang
pohon yang rindang. Ia tidak dapat melihat seluruh medan dengan jelas.
Namun karena pengalamannya dan pengetahuannya mengenai peperangan, ia
dapat membayangkan seluruhnya di garis peperangan itu, sekali-kali ia
berdiri di atas ujung-ujung kakinya, dan bahkan sekali-kali ia meloncat
pada bongkahan-bongkahan tanah yang agak tinggi. Lalu kemudian kembali
ia bersandar di batang pohon itu.
Ketika ia mengangkat wajahnya menatap
langit, maka dilihatnya matahari telah melampaui puncaknya.
Perlahan-lahan matahari itu merayap turun, menuju ke cakrawala di ujung
Barat.
“Tentu.” Sumangkar itu
mengangguk-anggukan kepalanya. “Anak-anak muda Sangkal Putung tidak akan
dapat bertahan sampai tengah hari. Sebentar lagi pertahanan Untara
pasti akan terpecah belah. Anak-anak sangkal Putung pasti meninggalkan
pertempuran. Meskipun mereka sama sekali tidak takut mati, tetapi mereka
tidak akan mampu bertempur selama itu.”
Namun tiba-tiba ia bergumam, “Kasihan.
Mereka akan menjadi korban karena mereka ingin mempertahankan tanahnya,
kampung halamannya. Agaknya Untara melupakan keadaan itu.”
Kembali timbul berbagai persoalan di
dalam dada sumangkar. Namun akhirnya ia berdesis, “Biarlah pertempuran
itu berlangsung sebagaimana seharusnya. Biarlah aku menonton di sini,
apa pun yang akan terjadi.”
Sebenarnya bahwa laskar Sangkal Putung
bersama-sama dengan prajurit Pajang mengalami kesulitan. Meskipun Widura
telah menyerahkan beberapa bagian dari kekuatannya, namun karena
kekuatan anak-anak Sangkal Putung telah menjadi semakin surut, maka
pasukan Pajang dan Sangkal Putung itu berkali-kali harus menarik diri,
membuat kedudukan-kedudukan baru yang dapat mengurangi tekanan laskar
Jipang. Beberapa orang yang memillki kelebihan dari prajurit-prajurit
biasa, telah mencoba memeras tenaga mereka. Agung Sedayu, semakin lama
menjadi semakin tatag. Kalau semula ia ragu-ragu karena
pertimbangan-pertimbangan yang bersimpang-siur di kepalanya, maka kini
ia tidak lagi dapat mempertimbangkannya. Setiap kali ia mendengar
anak-anak muda Sangkal Putung berdesis menahan goresan-goresan pedang
lawan, dan sekali-kali terdengar mereka memekik tinggi, karena tubuhnya
terluka. Karena desakan rasa iba akan nasib kawan-kawannya itulah maka
lenyaplah segi-segi perasaan ibanya yang lain. Dengan demikian, maka
anak muda itu menjadi seakan-akan burung rajawali yang menyambar-nyambar
di antara anak-anak kelinci yang lemah. Hanya dalam kelompok-kelompok
yang kuat orang-orang Jipang berani menempuhnya. Demikian pula Swandaru
Geni. Namun mereka dikelilingi oleh lawan-lawan mereka. Sedang
kawan-kawannya telah menjadi semakin lemah, semakin lemah. Meskipun
prajurit Pajang berjuang sekuat tenaga mereka, tetapi lawan mereka
seakan-akan menjadi bertambah banyak.
Dalam keprihatinan itulah tiba-tiba
mereka mendengar di kejauhan sorak yang gemuruh. Pemimpin laskar
cadangan yang datang dari sangkal Putung telah mendengar, betapa laskar
mereka di garis peperangan mengalami kesulitan. Karena itu, meskipun
mereka masih jauh, namun mereka barusaha untuk mempengaruhi gairah
setiap prajurit yang sedang bertempur itu.
Kedua belah pihak terkejut mendengar
sorak yang bergelora itu. Sesaat mereka mencoba melihat, siapakah yang
sedang, bersorak-sorak. Dan apa yang mereka lihat, benar mempengaruhi
perasaan mereka, sebelum laskar cadangan itu mempengaruhi pertempuran
itu dengan tenaga mereka yang segar, maka keadaan pertempuran itu telah
berubah.
Anak-anak muda Sangkal Putung yang
seakan-akan telah kehabisan tenaga tiba-tiba menjadi bingar kembali.
Meskipun mereka tidak dapat bertempur sesegar pada saat mereka baru
mulai, namun kedatangan kawan-kawan mereka itu telah menumbuhkan
semangat yang menyala-nyala. Dengan demikian, maka seakan-akan di dalam
diri mereka tumbuh kembali kekuatan-kekuatan yang seolah-olah telah
larut dihanyutkan angin.
Melihat kehadiran laskar cadangan itu
Tohpati menggeram. Terasa di dalam dirinya sesuatu yang bergejolak. Mau
tidak mau terpaksa ia mengumpat di dalam hatinya. “Gila Untara ini.
Ternyata ia cerdik seperti setan. Kenapa ia menyimpan tenaga cadangan
itu?”
Bukan saja Tohpati yang mengumpat-umpat
di dalam dirinya, namun semua orang di dalam pasukan Jipang itu
mengumpat-umpat. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi cemas bahwa
pasukannya akan mengalami kegagalan lagi. Karena itu, maka mereka
menjadi semakin buas karena keputus-asaan. Mereka sudah tidak tahan lagi
untuk tinggal di hutan-hutan, makan apa saja yang diketemukan. Berkawan
dahan-dahan kayu yanq beku dan tidur beralas yang kotor. Ketika tumbuh
di dalam dada mereka harapan untuk merubah nasib mereka dengan memecah
pertahanan rakyat Sangkal Putung, maka tiba-tiba harapan mereka larut
bersama datangnya anak-anak muda Sangkal Putung dan beberapa orang
prajurit Pajang yang ditarik dari gardu-gardu perondaan.
Kini Untara merasa, bahwa ia akan dapat
bernafas kembali. Ia bersyukur bahwa laskar cadangan itu tidak terlambat
datang, karena kelambatan perintahnya, Untara pun sama sekali tidak
menyangka bahwa laskar Jipang itu terlampau kuat, sehingga laskar
cadangan itu hampir-hampir menemukan pasukannya telah bercerai-berai.
Pasukan cadangan itu sendiri, ketika
melihat ujung-ujung pedang yang berkilat-kilat di kejauhan, seakan-akan
mereka tidak bersabar lagi. Langkah mereka serasa terlalu lambat. Karena
itu, maka tanpa mereka sengaja, seakan-akan mereka berjanyi untuk
berlari bersama-sama. Semakin lama semakin cepat. Senjata-senjata mereka
pun telah mereka tarik dari sarungnya dan mereka acung-acungkan ke
udara. Sedang gemuruh sorak mereka, tidak henti-hentinya membelah udara
yang panas karena terik matahari.
Pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung
yang kelelahan dan kecemasan itu tiba-tiba menjadi meluap-luap. Mereka
pun tiba-tiba bersorak gemuruh menyambut kedatangan kawan-kawan mereka.
“Gila…!!” geram Macan Kepatihan, “Kau menyimpan cecurut-cecurut itu, Untara..”
Untara tidak menjawab. Namun di kejauhan
di luar kesengajaannya, ia melihat sesosok tubuh meloncat ke atas sebuah
bongkahan tanah yang agak tinggi, menjinjing sebatang tongkat putih
berkilat-kilat.
Untara mengernyitkan alisnya. Namun dari
jarak itu ia tidak segera dapat melihat, siapakah orang yang agaknya
sangat tertarik melihat pertempuran yang semakin sengit. Orang itu tidak
lain adalah Sumangkar. Ketika in mendengar suara sorak yang menghambur
di kejauhan dan kemudian melihat sepasukan laskar Sangkal Putung dan
beberapa orang prajurit Pajang mendatangi pertempuran itu, hatinya
berdesir. Di luar sadarnya ia berkata kepada diri sendiri, “Oh, alangkah
bodohnya aku. Ternyata aku salah sangka. Aku kira Untara melupakan
kemungkinan itu. Kemungkinan bahwa anak-anak muda sangkal Putung
kehilangan kekuatan dalam peperangan ini karena kelelahan. Tetapi
ternyata Untara dan Widura adalah orang yang limpat pengetahuannya dalam olah peperangan.”
Sumangkar itu menjadi semakin tegang
ketika ia melihat pasukan yang datang itu menjadi semakin dekat dengan
induk pasukannya. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar melihat Macan
Kepatihan yang bertempur melawan Untara di tengah-tengah hiruk pikuknya
peperangan.
Ketika laskar cadangan itu telah menjadi
semakin dekat, Sumangkar melihat pasukan itu memecah diri. Agaknya
Untara telah meneriakkan aba-abanya, yang disaut dan diteruskan oleh
penghubungnya. Dan perintah itu kemudian telah dilaksanakan. Tenaga yang
segar itu pun kemudian terbagi. Di induk pasukan, sayap kanan, dan
sayap kiri.
“Hem,” Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Ia dapat segera melihat akibat dari kehadiran tenaga yang
segar itu. Pasukan Pajang dan Sangkal Putung yang semula telah terdesak
itu, kini dapat bertahan pada garis yang terakhir. Bahkan kemudian
Sumangkar melihat bahwa keseimbangan pertempuran itu segera berubah.
Laskar sangkal Putung dan pasukan Pajang
yang baru, yang telah ditarik dari gardu-gardu peronda itu, segera
melibatkan diri dalam pertempuran yang sudah menjadi semakin berkisar
masuk ke garis pertahanan Pajang. Para prajurit yang baru datang itu
dapat melihat, betapa parah keadaan kawan-kawannya yang selama ini
mencoba bertahan mati-matian. Karena itulah maka darah mereka serasa
mendidih sampai di kepala. Jantung mereka serasa meledak karena
kemarahan yang meluap-luap. Mereka merasa, seperti tubuh mereka sendiri
yang telah tersayat oleh kekuatan lawan. Dengan demikian maka segera
mereka mengerahkan tenaga mereka yang masih segar menempuh prajurit
Jipang yang sedang mengamuk seperti harimau Iuka.
Segera peperangan itu meningkat semakin
dahsyat. Tohpati menggeram penuh dendam dan kemarahan. Tongkatnya yang
putih berkilat-kilat menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Untara, yang menjambut kedatangan
pasukannya yang segar, segera memberikan perintah-perintahnya. Dicobanya
untuk melihat segenap kemungkinan dan pertimbangan.
Namu tiba-tiba Untara itu terkejut
mendengar sorak orang-orang Jipang di sayap kanannya. Tetapi ia tidak
segera melihat, apakah yang telah terjadi. Justru tepat pada saat
orang-orangnya yang segar itu terjun ke arena.
Yang dilihat sepintas, adalah pergolakan
di sayap itu. Beberapa lamanya ia melihat orang-orangnya mendesak dalam
satu lingkaran dan orang-orangnya yang baru datang, segera masuk ke
dalam pertempuran.
Baru kemudian disadarinya bahwa telah
terjadi malapetaka di sayap itu. Ternyata ketika Sanakeling, yang
memimpin sayap kiri lawan, melihat kehadiran orang-orang baru dari
Sangkal Putung, kemarahannya seakan-akan meledak. Itulah sebabnya, maka
dari dalam dirinya meledak pulalah kekuatan yang tidak disangka-sangka.
Meskipun Citra Gati tidak melawannya seorang diri, namun tiba-tiba ia
kehilangan kesempatan untuk menghindari serangan yang datang seperti air
bah. Ketika ia menangkis pedang di tangan kanan Sanakeling itu,
tiba-tiba terasa sebuah sengatan di pundak kirinya. Begitu kerasnya
sehingga tubuhnya terguncang, dan seolah-olah ia telah dilemparkan ke
samping. Ternyata senjata Sanakeling yang lain, sebuah bindi di tangan
kirinya, telah meremukkan tulangnya. Sesaat Citra Gati menyeringai, ia
masih sempat melihat ujung pedang yang mengarah ke dadanya. Dengan sisa
tenaganya yang terakhir ia memukul pedang itu. Tetapi ia sudah tidak
memiliki keseimbangan yang mantap, sehingga meskipun pedang itu tidak
mengehunjam ke dadanya, namun lambungnya tersobek oleh tajam senjata
lawannya.
Citra Gati mengeluh pendek. Matanya
menjadi gelap dan ia tidak melihat apa yang terjadi kemudian. Ia tidak
melihat ketika Sanakeling meloncat sambil memekik tinggi, untuk sekali
lagi menusukkan pedangnya di tubuh Citra Gati. Tetapi untunglah bahwa
Sendawa melihat semuanya itu. Seperti orang gila ia menyerbu Sanakeling
yang sedang gila pula. Senjata orang yang bertubuh raksasa itu terayun
deras sekali mengarah ke tubuh Sanakeling. Tetapi Sendawa benar-benar
tidak menyangka bahwa Sanakeling dapat melenting secepat belalang,
sehingga dengan demikian, serangannya itu dapat dihindarkan. Sendawa
sendiri bahkan terseret oleh kederasan senjatanya, sehingga
terhuyung-huyung beberapa langkah ke samping.
Meskipun demikian, apa yang dilakukan itu
ternyata berguna pula. Dalam pada itu, beberapa orang telah menyadari
keadaan. Dengan serta merta beberapa orang bersama-sama menyerbu,
seperti apa yang dilakukan oleh Sendawa itu. Dengan demikian, maka
Sanakeling sekali lagi berteriak tinggi melontarkan dendam dan kemarahan
yang meluap-luap. Namun orang-orang Jipang yang sempat menyaksikan
Sanakeling berhasil menjatuhkan lawannya, bersorak dengan kerasnya,
meneriakkan kemenangan itu. Mereka pun segera berloncatan mengambil
kesempatan, selagi orang-orang Pajang lagi berbuat gila, melindungi
pimpinannya yang terluka parah tanpa menghiraukan keadaan mereka
sendiri.
Namun beruntunglah. Pada saat yang
demikian itulah maka tenaga baru yang segera terjun dan meluas di arena
itu, sehingga orang-orang Jipang tidak sempat berbuat banyak. Mereka
harus segera menghadapi lawan-lawannya yang baru, sementara beberapa
orang sempat membawa Citra Gati mengundurkan diri dari pertempuran.
“Gila!” teriak Sanakeling membelah hiruk pikuknya dentang senjata. “Ayo siapa menyusul?”
Teriakan Sanakeling itu bagi anak buahnya
seakan-akan merupakan perintah untuk bertempur lebih dahsyat Iagi.
Seolah-olah mereka pun ikut serta meneriakkan kata-kata itu. Dan bahkan
beberapa orang pun ikut serta menantang dengan kata-kata yang garang.
“Ayo, laskar Pajang. Majulah bersama-sama. Bawalah panglima-panglimamu
beserta kalian.”
Setiap prajurit Pajang yang melihat
peristiwa itu, seakan-akan darahnya meluap ke kepala. Kemarahan,
kebencian dan dendam membakar dada mereka. Citra Gati adalah salah
seorang pemimpin kelompok yang baik. Seorang yang telah cukup mengendap
di dalam pertempuran dan di dalam pergaulan. Karena itu, banyak orang
yang senang kepadanya. Sehingga jatuhnya Citra Gati telah membuat
prajurit Pajang terbakar.
Betapapun orang-orang Jipang meneriakkan
kemenangan, namun orang Pajang sama sekali tidak menjadi gentar. Apalagi
di antara mereka telah hadir orang-orang baru itu, demikian mereka
hadir, demikian mereka melihat Citra Gati jatuh tersungkur di tanah.
Maka kemarahan dan kebencian mereka pun segera tertumpah pula.
Teriakan orang-orang Jipang, mengatakan
bahwa pemimpin sayap kanan itu telah jatuh. Bahkan sebelum mereka tahu
pasti apa yang terjadi, maka mereka telah berteriak, “Pemimpin sayap
kanan telah binasa.”
Untara pun akhirnya mendengar pula bahwa
Citra Gati mengalami cedera. Ia belum menerima berita resmi apakah Citra
Gati terbunuh atau tidak. Namun berita itu telah menggoncangkan
hatinya. Demikjan ia mendengar berita itu, demikian giginya gemeretak
karena marah. Apalagi ketika kemudian ia mendengar Tohpati tertawa
sambil berkata, “Sayapmu patah, Untara.”
Untara mencoba melihat sayapnya. Sesaat
itu terdesak beberapa langkah. Namun untunglah Sendawa bertindak cepat.
Segera ia mengambil alih pimpinan sambil berteriak, “Sayap ini tidak
akan terpengaruh karena hilangnya Kakang Citra Gati. Apalagi sekarang
telah datang laskar cadangan yang akan mampu menebus setiap kekalahan.”
Untara menjadi agak tenang melihat
kesigapan Sendawa. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika di sisi yanq lain
ia mendengar sebuah teriakan nyaring, “He, apakah Citra Gati mengalami
bencana?”
Tak ada jawaban. Namun kembali terdengar suara, “Serahkan pembunuh itu kepadaku.”
Akhirnya Untara melihat, seseorang yang
mencoba menerobos pertempuran langsung menyeberang ke sayap lang lain.
Orang itu adalah Hudaya. Karena itu segera ia berteriak, “Hudaya.
Berhenti.”
“Kakang Citra Gati terbunuh. Akulah gantinya. Siapakah yang telah berani berbuat itu?”
“Hudaya,” teriak Untara, “kembali.”
Hudaya benar-benar telah menjadi gila.
Citra Gati adalah sahabatnya yang terdekat. Sejak semula mereka telah
bersama-sama memasuki lingkungan kaprajuritan. Sejak semula mereka
mengalami pahit-getir, asin-manisnya hidup sebagai seorang prajurit.
Kini tiba-tiba ia mendengar sahabatnya itu terbunuh. Karena itu, maka
perasaannya tidak lagi dapat dikendalikan.
Tingkah laku Hudaya itu benar-benar
mencemaskan Untara. la tidak mau melihat korban dari antara
pemimpin-pemimpin kelompoknya jatuh satu lagi. Karena itu, maka sekali
lagi Untara berteriak, “Hudaya. Kembali ke tempatmu.”
“Aku akan menuntut kematian Citra Gati.”
Untara menjadi semakin cemas. Lawan Citra
Gati itu adalah Sanakeling. Citra Gati ternyata tidak dapat menahan
arus serangan Sanakeling itu. Sedang Hudaya seorang pemimpin kelompok
yang tidak berada di atas tingkat Citra Gati. Sekali lagi ia mencoba
mencegah perbuatan gila itu, menyeberang langsung dari sisi yang satu ke
sayap yang lain, apalagi di sayap yang lain itu telah menunggu seorang
yang bernama Sanakeling. Katanya, “He, Hudaya. Kembali ke tempatmu. Kau
dengar?”
“Tidak.”
“Jangan gila. Kau dengar. Ini perintah senopati daerah lereng Merapi atas nama Panglima Wira Tamtama.”
Sebutan itu ternyata berpengaruh pada
hati Hudaya yang sedang gelap. Ia sadar, bahwa Untara kini sedang
mengemban jabatan. Namun dengan demikian hatinya menjadi semakin sakit.
Dan sakit di hatinya itu diteriakannya keras-keras. “Jadi apakah
dibiarkannya saja pembunuh Citra Gati itu?”
Untara berpikir sejenak. Namun serangan
Tohpati justru semakin dahsyat, sehingga Untara menjadi terdesak
beberapa langkah. Ia harus segera mengambil keputusan. Dan tiba-tiba
keputusannya jatuh. “Agung sedayu. Kau mendapat tugas itu. Sayap kanan.”
Agung Sedayu yang tidak terlampau jauh
dari Untara mendengar teriakan itu. Sekali ia meloncat surut melepaskan
lawan-lawannya. Dan terdengar ia menjawab. “Baik. Aku lakukan.”
“Bersama aku,” teriak Hudaya.
“Hem,” Untara menggeram. Hudaya telah
kehilangan kepatuhannya karena perasaan yang lepas kendali. Kali ini
Untara tidak mencegahnya. Namun sisi kiri dari induk pasukannya harus
mendapat seorang pemimpin. Maka katanya berteriak sekali lagi, “Sonya,
gantikan tugas Hudaya.”
Terdengar Sonya menyahut. Suaranya kecil melengking tinggi. “Ya. Aku kerjakan.”
Untara masih melihat Hudaya melangkah
mundur. Ia tidak langsung menyeberangi pertempuran itu, berjalan dan
induk pasukan ke sayap yang lain. Sementara itu Agung sedayu telah
mendahului meloncat ke sayap kanan lewat belakang garis peperangan.
Namun karena kesibukan itulah, Untara
kehilangan sebagian dari perhatiannya. Tiba-tiba selagi ia sedang sibuk
mengatur orang-orangnya, ia merasa Tohpati mendesaknya. Agaknya Macan
Kepatihan sedang mempergunakan kesempatan itu untuk mendesak lawannya.
Dengan sepenuh tenaga.dan kemampuannya ia menyerang Untara seperti badai
menghantam gunung. Betapa deras dan cepatnya. Tongkat putihnya terayun
dengan dahsyatnya ke arah kepala Untara yang sedang disibukkan oleh
hilangnya Citra Gati.
Untara terkejut melihat tongkat baja
putih Macan Kepatihan seperti seekor burung elang menyambarnya.
Untunglah. Bahwa pada saat terakhir, ia berhasil mengerutkan tubuhnya
dan merendahkan kepalanya, sehingga ia dapat menyelamatkan dirinya dari
benturan yang dahsyat. Benturan yang pasti akan memecahkan kepalanya.
Meskipun demikian, namun tongkat Macan Kepatihan telah menyambar ikat
kepalanya, sehingga ikat kepala itu terlempar jatuh.
Bukan main dahsyatnya gelora hati Untara.
Seolah-olah dadanya akan meledak karenanya. Senopati itu merasa bahwa
nyawanya hampir-hampir terlepas dari tubuhnya. Tetapi meskipun ternyata
ia berhasil menghindarkan diri dari maut, namun betapa ia merasa
dihinakan. Ikat kepalanya terlempar dari kepalanya.
Dengan penuh dendam Untara menggeretakkan
giginya. Sekali ia melontar surut. Seolah-olah ia ingin memandangi
seluruh tubuh Tohpati sepuas-puasnya. Dan tiba-tiba ia berteriak nyaring
di antara dentang dan gemerincingnya senjata. “He, prajurit Pajang dan
laskar Sangkal Putung. Jangan kau beri kesempatan pada lawan-lawanmu
untuk bertahan sampai senja. Waktu telah menjadi semakin sempit. Besok
adalah hari yang harus dapat kita nikmati sebagai hari kemenangan.
Karena itu hancurkan musuhmu hari ini.”
Tohpati mencoba tidak memberi kesempatan
kepada Untara untuk menyelesaikan kata-katanya. Dengan dahsyatnya ia
menyerang dengan senjatanya yang mengerikan. Tetapi Untara telah
benar-benar siap melawannya. Itulah sebabnya ia dapat menghindarkan diri
dan menyelesaikan kalimatnya. Sesudah itu maka Untara-lah yang bergerak
seperti angin pusaran. Menyerang Tohpati dengan kemarahan yang menyala
di dalam dadanya.
Pertempuran antara keduanya menjadi
semakin dahsyat. Keduanya telah sampai pada puncak kemarahan dan
kekuatannya sehingga keduanya benar-benar tenggelam dalam permainan maut
yang mengerikan. Untara kini hampir-hampir tidak terpengaruh lagi oleh
keadaan pasukannya. Menurut perhitungannya, maka setidak-tidaknya
pasukannya tidak akan dapat dikalahkan segera. Ia mengharap bahwa
pertempurannya akan lebih dahulu dapat menentukan keadaan daripada
seluruh pasukan itu. Kehadiran orang-orang baru membuatnya tenang dan
memberinya kesempatan untuk memusatkan perhatiannya kepada lawannya,
Macan Kepatihan.
Agung Sedayu yang berpindah tempat dari
sisi induk pasukan ke sayap yang berseberangan telah masuk ke dalam
lingkungan peperangan. Ia melihat betapa Sendawa dan beberapa orang
mengalami kesulitan untuk menahan arus kemarahan Sanakeling. Agung
Sedayu masih sempat melihat seseorang terlempar jatuh karena sentuhan
pedang Sanakeling. Betapa ia melihat Sanakeling seperti orang gila
mengamuk sambil mengayun-ayunkan pedang serta bindinya. Beberapa orang
yang mencoba bersama-sama melawannya, hampir tak berani mendekatinya.
Agung Sedayu menarik nafas melihat
kedahsyatan gerak Sanakeling. Kasar dan betapa kuat tenaganya. Sesaat
Agung Sedayu dirayapi oleh perasaan-perasaan yang aneh. Namun tiba-tiba
ia menggeram. Ia pernah merasakan betapa maut pernah menyentuhnya. Dan
ia masih tetap hidup.
Agung Sedayu yang telah berhasil
memecahkan kungkungan perasaan takutnya itu pun segera membulatkan
tekadnya, untuk menghadapi lawannya yang seakan-akan telah menjadi liar
dan buas. Dengan nyaringnya ia berteriak, “Sendawa, lepaskan lawanmu.”
Sendawa terkejut mendengar suara itu. Ia
tidak segera tahu, siapakah yang akan menggantikan kedudukan Citra Gati.
Karena itu ia masih tetap melawan sambil bertanya, “Siapakah kau?”
Sendawa sama sekali tidak berani
melepaskan lawannya sekejap pun untuk berpaling. Ujung pedang Sanakeling
ternyata lebih cepat dari kejapan mata.
Di belakangnya terdengar jawaban, “Aku telah mendapat perintah untuk berada di sayap ini. Agung Sedayu.”
“Oh,” Sendawa tiba-tiba dirayapi oleh
perasaan yang menenangkannya. Ia pernah mendengar kepahlawanan Agung
Sedayu. Ia pernah melihat kelebihan Agung Sedayu daripada Sidanti di
lapangan Sangkal Putung. Kini Sedayu itu hadir menggantikan kedudukan
Citra Gati.
Tetapi Sendawa itu terkejut ketika terasa
seseorang mendesaknya dan langsung menyusup ke dalam lingkaran
pertempuran itu mendahului Agung Sedayu. Orang itu langsung menyerang
Sanakeling dengan membabi buta.
“Paman Hudaya,” teriak Agung Sedayu.
Hudaya tidak mendengarnya. Senjatanya
berputar melampaui kecepatan baling-baling. Namun perhitungannya tidak
wajar lagi, sehingga betapa cepatnya ia menyerang, tetapi senjatanya
sama sekali tidak dapat menyentuh kulit Sanakeling.
“He, kau juga man bunuh diri,” teriak Sanakeling.
Hudaya tidak menjawab. Sekali lagi ia
menyerang dengan dahsyatnya. Namun sekali lagi Sanakeling berhasil
menghindarkan dirinya, bahkan dengan kemarahan yang meluap-luap
Sanakeling berhasil memukul senjata Hudaya hampir pada tangkainya.
Hudaya terkejut. Terasa tangannya dipatuk
oleh getaran yang dahsyat. Betapapun ia mencoba bertahan, namun
senjatanya terlempar beberapa langkah daripadanya.
Terdengar Sanakeling berteriak nyaring.
Sekali ia meloncat maju dengan pedang terjulur. Demikian cepatnya,
sehingga Sendawa sama sekali tidak berdaya berbuat sesuatu untuk
membantu Hudaya. Meskipun ia mencoba meloncat sejauh-jauh ia dapat,
tetapi kecepatan gerak Sanakeling melampaui kecepatan gerakannya.
Hudaya masih mencoba untuk memiringkan
tubuhnya. Namun gerakannya itu hampir tak berarti. Ia masih melihat
ujung pedang Sanakeling itu pun beringsut seperti geseran tubuhnya
sendiri. Karena itu, segera ia mencoba melindungi dadanya dengan
tangannya yang bersilang. Tetapi ia sadar, bahwa tangannya itu sama
sekali tidak akan berarti melawan tajam ujung pedang Sanakeling.
Tetapi Hudaya terkejut, dan bahkan
Sanakeling pun menggeram ketika terdengar senjatanya berdentang.
Sanakeling itu merasa tangannya berkisar, dan karena itulah maka ujung
pedangnya pun berkisar pula.
Dalam pada itu terdengar Hudaya mengaduh
pendek. Beberapa langkah ia terdorong ke samping. Terasa lengannya
menjadi pedih. Ia sempat melihatnya, maka tampak darahnya memerahi
lengan bajunya.
Tetapi ia telah terhindar dari maut, ternyata pedang Sanakeling tidak merobek dadanya, meskipun ia terluka.
“Setan,” terdengar Sanakeling mengumpat.
“Kau berani mengganggu aku? Kau selamatkan kelinci itu, tetapi kau
sendiri yang akan terbunuh oleh pedangku.”
Kini yang berdiri di hadapan Sanakeling
adalah Agung Sedayu. Dengan cepat ia datang tepat pada waktunya
menyelamatkan nyawa Hudaya. Meskipun belum mapan benar, tetapi ia telah
berhasil memukul pedang Sanakeling, sehingga pedang itu berubah arah.
Namun pedang Sanakeling itu masih juga mematuk lengan Hudaja.
“Siapakah kau, he?” teriak Sanakeling. Matanya menjadi merah dan liar.
Terasa tengkuk Agung Sedayu meremang. Ia
pernah melihat mata yang seliar itu di belakanq halaman Kademangan
Sangkal putung ketika ia berkelahi melawan Sidanti.
“Apakah kau belum mengenal Sanakeling,” teriak Sanakeling.
Tidak sesadarnya Agung Sedaju mengangguk.
Jawabnya singkat, “Belum. Baru sekarang aku mengenalmu, meskipun aku
pernah mendengar nama itu, satu dari sekian nama prajurit Jipang.”
Agung Sedayu menjawab dengan jujur, tanpa
maksud apapun. Namun Sanakeling yang garang itu merasa, jawaban itu
suatu hinaan baginya. Bagi seorang yang merasa dirinya hanya selapis
tipis di bawah Macan Kepatihan yang namanya mengumandang dari pesisir
Lor sampai ke pesisir Kidul. Sedang yang berdiri di hadapannya tidak
lebih dari seorang anak-anak yang memandanginya dengan pandangan mata
yang kosong.
“He, apakah kau benar-benar belum mengenal Sanakeling?”
Sedayu kini mendjadi heran. Di dalam
hiruk pikuk peperangan lawannya masih sempat menanyakan dirinya sendiri.
Namun Agung Sedayu tidak ingin mendahului.
Tetapi sekali lagi Agung Sedayu terkejut.
Seseorang meloncat di sampingnya sambil mengayunkan pedangnya ke arah
Sanakeling. Tetapi dengan tenangnya Sanakeling menghindar, sambil
berteriak, “Kau benar-benar ingin mati, kelinci yang malang?”
Hudaya yang telah kehilangan segala
pertimbangannya itu tiba-tiba telah menyerang Sanakeling kembali. Kali
ini dengan segenap kemampuan dan ketangkasannya, ditumpahkannya segenap
sisa tenaganya. Namun sekali lagi Hudaya menyeringai kesakitan. Kini
tangannya terbentur bindi Sanakeling. Untunglah tidak terlalu keras,
karena Sanakeling tidak sempat mengerahkan tenaganya. Meskipun demikian,
sekali lagi senjata yang telah dipungutnya terlempar dari tangannya.
Agung Sedayu melihat Sanakeling tertawa
seperti suara hantu melihat mayat tergolek di pekuburan. Semakin keras
dan menyakitkan telinga. Bersamaan dengan itu, Agung Sedayu melihat
Sanakeling mengangkat pedangnya dan terayun deras sekali ke leher
Hudaya.
Hudaya masih berusaha untuk mengelak.
Direndahkan tubuhnya sambil berkisar ke samping. Tetapi nada suara
Sanakeling meninggi. Seperti seekor kucing bermain-main dengan seekor
tikus ia berkata nyaring, “O, kau mencoba melompat ke samping orang yang
malang. Bagus. Kau lihat ujung pedangku, supaya kau melihat maut
menghampirimu.”
Hudaya melihat ujung pedang Sanakeling.
Tetapi perasaannya seakan-akan telah mati lebih dahulu daripada dirinya
sandiri. Karena itu Hudaya sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan
berkedip pun tidak.
Tetapi sekali lagi Sanakeling berteriak
tinggi. Kemarahannya benar-benar memuncak sampai ke ubun-ubun. Kali ini
sekali lagi pedangnya membentur sesuatu. Tidak saja pedangnya bergeser
arah, tetapi pedangnya seakan-akan menghantam dinding baja, sehingga
terasa tangannja bergetar.
“Setan, hantu, gendruwo.” umpatnya, “kau benar mau mati he, anak demit?”
Agung Sedayu berdiri dengan kokohnya.
Kakinya seakan-akan jauh menghunjam menembus bumi. Kini ia dapat
mengetahui, betapa Sanakeling benar-benar memiliki tenaga raksasa.
Terasa tangannya tergetar pada saat senjatanya membentur tenaga
Sanakeling. Bahkan hampir-hampir senjata itu lepas. Untunglah, segera ia
dapat mengatasi keadaan sehingga senjata itu tetap berada di dalam
genggamannya.
Namun kali ini Agung Sedayu tidak dapat
membiarkan Hudaya berbuat di luar nalar dan pikirannya. Karena itu maka
segera ia berteriak, “Paman Hudaya. Menepilah.”
“Aku akan membunuhnya,” sahut Hudaya.
“Menepilah,” ulang Agung Sedayu.
“Jangan campuri urusanku,” bentak Hudaya keras-keras.
“Akulah pimpinan sayap kanan,” sahut Agung Sedayu tegas-tegas.
Hudaya terdiam sesaat. Namun hatinya
berdesir ketika ia melihat, Sanakeling tanpa berkata sepatah kata pun
menyerang Agung Sedayu dengan kecepatan yang mengagumkan. Bahkan nafas
Hudaya itu pun serasa berhenti karenanya. Demikiam cepat dan tangkasnya
Sanakeling itu meloncati lawannya. Ia tidak dapat melihat kecepatan itu,
selagi ia sendiri bertempur melawannya.
Namun ketika Sanakeling itu menyerang Agung Sedayu, barulah disadarinya, betapa berbahayanya orang itu.
Tetapi sekali lagi dadanya berdesir
ketika ia melihat bagaimana cara Agung Sedayu melepaskan diri dari
terkaman itu. Lincah seperti burung sikatan. Mengendap lalu melontar ke
samping, sementara itu pedangnya menusuk lambung Sanakeling yang
terbuka. Sanakeling terkejut melihat ketangkasan lawannya yang masih
muda itu. Jauh lebih muda dari lawannya yang telah dijatuhkannya, dan
lawannya yang satu lagi, yang hampir dibunuhnya sampai dua kali. Karena
itu mulutnya yang kasar sekali lagi mengumpat, “Anak setan. Tataplah
langit untuk yang terakhir kalinya, sebelum perutmu terbelah oleh
pedangku. Siapa namamu he anak muda?”
Agung Sedayu tidak segera menjawab.
Tetapi terpaksa ia melihat ketangkasan Sanakeling itu sekali lagi.
Dengan lincahnya Sanakeling berhasil menghindarkan dirinya dari sambaran
pedang Agung Sedayu. Bahkan sambil meneruskan kata-katanya, “Katakanlah
siapa namamu, supaya aku kelak dapat mengatakan, bahwa nama itu adalah
nama dari salah seorang anak muda yang telah aku bunuh, karena
kesombongannya sendiri.”
Hati Agung Sedayu bergetar mendengar
kata-kata itu. Ia sama sekali tidak senang melihat sikap, kata-kata dan
anggapan Sanakeling terhadap dirinya. Karena itu maka dijawabnya
Sanakeling, “Adakah gunanya bagimu untuk mengetahui namaku yang tidak
berarti? Aku adalah hanya seorang prajurit dari sekian banyak
prajurit-prajurit yang lain. Bahkan aku adalah prajurit yang berpangkat
paling rendah dari prajurit-prajurit yang lain.”
“Gila,” geram Sanakeling, “jangan jual tampang di pertempuran ini. Sebut namamu!”
“Baik,” jawab Agung Sedayu, “namaku adalah Agung Sedayu.”
“He, Agung Sedayu,” ulang Sanakeling.
“Ya.”
Tiba-tiba Sanakeling itu tertawa. Ia
pernah mendengar sekali dua kali nama itu disebut oleh Alap-Alap
Jalatunda. Dan bahkan nama itu permah disebut-sebut oleh hampir setiap
bibir orang Sangkal Putung. Laskar Jipang di dalam hutan itu pun pernah
mendengar nama itu dalam lingkungan kelaskaran Pajang dan Sangkal Putung
dari orang-orang yang sengaja di tempatkannya sebagai telik dan
petugas-petugas rahasia yang berhasil sedikit-sedikit mendengar tentang
Sangkal Putung. Bahkan akhirnya Sanakeling berkata lantang, “He bukankah
kata orang, Agung Sedayu itu adik Untara dan kemanakan Widura?”
Agung Sedayu tidak tahu, kenapa hatinya
bergetar mendengar pertanyaan itu. Agaknya namanya pun termasuk nama
yang harus di perhitungkan oleh orang-orang Jipang. Namun dijawabnya,
“Ya. Aku adalah adik Untara.”
“Pantas, pantas,” geram Sanakeling.
Tiba-tiba geraknya menjadi semakin cepat. Serangannya datang
menyambar-nyambar seperti elang menyerang anak ayam di tanah lapang.
Menukik dan menyambar dengan kuku-kukunya.
Tetapi Agung Sedayu kini bukan lagi anak
ayam yang ketakutan melihat elang melayang di langit. Tangannya kini
tidak lagi gemetar menggenggam tangkai pedang. Meskipun kadang-kadang
hatinya masih dilapisi seribu satu macam pertimbangan, tetapi anak itu
tidak lagi harus melawan ketakutan dan, kecemasannya.
Hudaya yang terluka itu, melihat
pertempuran antara Sanakeling dengan Agung Sedayu dengan mulut
ternganga. Pertempuran itu berjalan semakin lama semakin dahsyat.
Sanakeling yang marah menyerang Agung Sedayu dengan sengitnya, sedang
Agung Sedayu pun melawannya dengan tekad yang menyala di dalam dadanya.
Jatuhnya Citra Gati merupakan peringatan
baginya, bahwa apabila ia lengah sedikit saja, niscaya nasibnya tidak
akan lebih baik dari Citra Gati itu.
Demikianlah maka keduanya tenggelam dalam
perkelahian yang semakin seru. Keduanya adalah orang-orang yang
memiliki beberapa kelebihan dari prajurit-prajuri yang lain.
Lawannya, Agung Sedayu adalah orang baru
di dalam arena pertempuran. Tetapi keprigelannya menggerakkan senyatanya
tiba-tiba mencengangkan. Ilmu yang tersimpan di dalam tubuhnya ternyata
cukup mampu untuk menghadapi Sanakeling yang perkasa itu. Tempaan yang
pernah diterimanya dari Kiai Gringsing, ketekunannya dan bekal yang
telah diletakkan oleh ayah dan kakaknya, telahh membentuknya menjadi
Agung Sedayu yang lincah, tangguh, dan cekatan.
Namun Agung Sedayu adalah seorang yang
tidak cukup berpengalaman dalam olah keprajuritan. Ia mampu bertempur
seorang lawan seorang, sekelompok lawan sekelompok, tetapi ia tidak
dapat memanfaatkan setiap keadaan pada suatu gelar yang luas, atau
bagian-bagian dari gelar itu. Setiap kali Agung Sedayu menjadi ragu-ragu
apabila tiba-tiba ia menghadapi gelombang serangan yang berubah-ubah
dari pasukan lawannya. Setiap kali ia tidak dapat berbuat benyak dalam
keadaan yang tiba-tiba. Bahkan beberapa kali ia mendengarkan Sanakeling
meneriakkan aba-aba dan melihat gerakan-gerakan yang kurang
dimengertinya dari laskar lawannya. Sekali Sanakeling memberikan
kesempatan kepadanya untuk mendesak maju, namun tiba-tiba kedua sisi
sayap Sanakeljng itu seolah-olah menekannya dari kedua arah. Serentak
pasukan Jipang itu menyempit dalam garis lengkung yang dalam.
Hudaya yang terluka itu, kini telah
menggengam pedangnya kembali. Tetapi ia hanya mampu mempertahankan
dirinya dari serangan-serangan yang datang dengan tiba-tiba dari
prajurit-prajurit Jipang. Ia kini terpaksa melihat kenyataan, bahwa
tubuhnya telah menjadi semakin lemah, sehingga ia sudah cukup tidak
seharusnya tampil ke depan langsung melawan musuh-musuhnya.
Tetapi dalam keadaan-keadaan yang
demikian ia sempat melihat susunan sayap kanan laskar Pajang dan sangkal
Putung itu. Sayap itu semakin lama menjadi semakin kurang teratur.
Agung Sedayu sama sekali tidak pernah memberikan printah dan petunyuk
kepada pasukannya. Ia hanya memusatkan perhatiannya kepada perlawanannya
menghadapi Sanakeling.
Tetapi itu bukan karena Agung Sedayu
mengalami kesulitan. Bukan karena Sanakeling berhasil mendensaknya dan
menyudutkannya ke dalam keadaan yang sulit. Tetapi itu adalah karena
Agung Sedayu bukan seorang prajurit yang berpengalaman. Ia bukan seorang
Senapati yang terlatih. Ia sendiri mampu bertempur, namun ia tidak
mampu untuk membuat sikap dan suasana perlawanan bagi seluruh sayap yang
harus dipimpinnya. Sehingga karena itulah maka seakan-akan setiap
prajurit harus mencari sikap sendiri menghadapi lawan-lawan mereka yang
bertempur dalam satu kesatuan yang utuh.
Untara yang bertempur melawan Macan
Kepatihan di induk pasukan melihat suasana itu. Baru saja ia mendapatkan
ketenangan, kini ia melihat persoalan baru pada sayapnya itu. Baru
kemudian disadarinya bahwa Agung Sedayu bukanlah seorang senapati yang
berpengalaman. Apalagi ternyata, yang berada di sayap 1awan sama sekali
bukan Alap-alap Jalatunda; tetapi Sanakeling.
Sayap kiri, yang dipimpin oleh Widura,
yang mendapat tambahan kekuatan, menjadi semakin baik keadaannya. Ia
hanya memerlukan separuh dari tenaga yang diberikan kepadanya, sedang
yang lain dikembalikannya kepada induk pasukan untuk memperkuat
kedudukan Untara. Namun Widura itu pun kemudian menjadi berdebar-debar
melihat tata pertempuran di sayap kanan. Ia mendengar pula, bahwa Citra
Gati telah dapat dilumpuhkan oleh Sanakeling. Ia mendengar lewat
penghubungnya, bahwa Agung Sedayu-lah yang kini berada di sayap itu.
Karena itu, seperti Untara, ia segera mengetahui kelemahan anak muda
itu. Agung Sedayu bukan seorang senapati perang, meskipun ilmunya, ilmu
tata beladiri dan tata perkelahian menyamai seorang Senapati. Tetapi
Widura tidak segera dapat berbuat sesuatu.
Tetapi semakin lama, Widura dan Untara
melihat, sayap itu menjadi semakin tertib dan teratur. Beberapa bentuk
tata perlawanan yang bagus terjadi di sayap itu. Seakan-akan mereka
telah digerakkan oleh suatu perintah dari seseorang yang cukup
berpengalaman. Seolah-olah Citra Gati telah terjun kembali ke arena
itu.
“Sendawa tidak mampu melakukannya,” gumam
Untara di dalam hati. “Meskipun orang itu cukup lama menjadi seorang
prajurit, dan bahkan kemudian menjadi seorang pemimpin kelompok seperti
Citra Gati pula, namun otaknya tidak secerah Citra Gati.”
Tetapi Untara dan Widura tidak sempat
meraba-raba terlalu lama, sebab tugas mereka sendiri cukup berat. Namun
peruhahan di sayap kanan itu, benar-benar menggembirakan hati Untara,
siapa pun yang melakukanya. “Mungkin juga Sendawa,” pikir Untara.
Sebenarnya sayap kanan memang menjadi
semakin baik. Ketika Hudaya menyadari keadaannya, dan melihat bagaimana
cara Agung Sedayu melawan Sanakeling, hatinya menjadi tenang.
Perlahan-lahan ia menemukan keseimbangan perasaan. Jatuhnya sahabatnya,
tidaklah berarti, bahwa ia harus berbuat di luar batas-batas
kemungkinannya, dan kemungkinan seluruh pasukannya. Dengan demikian,
maka pikirannya semakin lama menjadi semakin bening.
Meskipun ia terluka, namun ia masih mampu
menilai keadaan sayap kanan itu. Agung Sedayu ternyata seorang yang
baik. Seorang yang cukup tangguh untuk melawan Sanakeling, namun ia
bukan seorang Senapati. Segera Hudaya melihat kelemahan-kelemahan itu.
Dan segera ia menyadari keadaannya. Dengan demikian, maka tiba-tiba
terdengarlah aba-abanya melengking di antara dentang senjata kawan dan
lawan. Dengan cepat ia membentuk sayap itu menjadi suatu benteng yang
tangguh. Sendawa, meskipun ia berada lebih lama di sayap itu, namun ia
menyadari keadaannya, sehingga dengan senang hati ia melepaskan pimpinan
yang diambilnya langsung setelah Citra Gati tersingkirkan.
Tetapi mula-mula Agung Sedayu-lah yang
terkejut mendengar aba-aba yang keluar dari mulut Hudaya, sehingga ia
melontar surut sambil herteriak, “Apa artinya Paman Hudaya.”
“Aku sudah tidak gila lagi,” sahut
Hudaya. “Aku sedang mencoba memperbaiki tata gelar sayap ini. Maafkan,
bahwa aku mengambil pimpinan di tanganku, tetapi aku tidak akan melawan
orang itu.”
Sanakeling yang mendengar jawaban itu
pula menggeram. Mula-mula ia pun melihat kelemahan pimpinan yang baru di
sayap. Karena itu, segera ia membuat bentuk-bentuk yang dapat
membingungkan lawan yang bergerak menurut cara mereka sendiri-sendiri.
Namun tiba-tiba Hudaya berhasil mengatasi keadaan.
“Setan!” teriak sanakeling. “Ayo, majulah bersama-sama.”
Agung Sedayu tidak dapat menghindar lebih
lama. Seperti angin ribut Sanakeling menyerangnya. Namun ia masih
mendengar Hudaya berkata, “Jangan ragu-ragu. Aku lebih-berpengalaman
dalam olah gelar peperangan. Hadapi lawanmu. Mudah-mudahan dendam Citra
Gati akan terbalas.”
Sanakeling tidak memberi kesempatan Agung
Sedayu untuk membalas. Betapa marahnya orang itu melihat cara-cara yang
tidak lazim telah dipergunakan oleh Agung Sedayu dan Hudaya
bersama-sama. Namun sanakeling terpaksa mengagumi, ketangkasan berpikir
orang-orang Pajang itu untuk mengatasi keadaan yang serba tiba-tiba.
Akhirnya Untara pun teringat, bahwa
Hudaya berada pula di sayap kanan. “Mudah-mudahan orang itu menyadari
dirinya,” gumam Untara di dalam hati, “dan mudah-mudahan ialah yang
telah memperbaiki keadaan.”
Demikianlah pertempuran itu dalam
keseluruhannya telah berubah. Keseimbangan di antara kedua belah pihak
telah berubah. Orang-orang baru yang terjun di dalam arena benar-benar
telah mempengaruhi keadaan. Meskipun mereka sebagian besar adalah
anak-anak muda Sangkal Putung, namun ada pula di antara
prajurit-prajurit Pajang yang ditarik dari gardu-gardu. Dan di
gardu-gardu itulah di tempatkan anak-anak muda Sangkal Putung dan
orang-orang tua yang masih sanggup memukul tanda bahaya.
Macan Kepatihan melihat perubahan itu.
Sekali-sekali terdengar ia menggeram dan giginya gemeretak. Ia sudah
bertekat bahwa kali ini adalah kali yang terakhir baginya. Kalah atau
menang. Karena itu, maka keadaan yang tiba-tiba saja berubah itu sangat
mempengaruhi perasaannya., Namun bagaimanapun juga, ia masih ingin
bertahan sampai matahari tenggelam. Kalau ia mampu bertahan, maka
keadaan anak buahnya pasti masih baik. Tekad dan nafsu mereka pasti
belum lenyap, sehingga besok ia akan dapat menempuh cara yang lain untuk
menerobos masuk ke Sangkal Putung.
Tetapi perlahan-lahan namun pasti, laskar
Sangkal Putung bersama-sama dengan prajurit-prajurit Pajang berhasil
mendesaknya. Setapak demi setapak.
Di kejauhan Sumangkar menggigit bibirnya. Ia melihat perubahan itu. Dan hatinya menjadi berdebar-debar pula karenanya.
Wajahnya pun tiba-tiba tampak berkerut-kerut. Sedang tanpa sesadarnya tangan orang tua itu segera menimang-nimang tongkatnya.
“Hem,” gumamnya, “Untara dan Widura benar-benar seorang Senapati yang limpat. Dengan cerdik mereka telah berhasil mengatasi gelar Macan Kepatihan yang garang.”
Mata orang tua itu semakin lama menjadi
semakin suram. Kembali ia terlempar ke simpang jalan yang tak mudah
dipilihnya. Ia tidak akan dapat melihat pasukan Macan Kepatihan hancur
dilanda oleh prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung. Namun kalau ia
memasuki arena peperangan itu, maka apakah ia sampai hati pula membunuhi
anak-anak muda Sangkal Putung yang masih baru dapat berlari-larian itu?
“Apakah aku harus meniadakan Angger
Untara,” desisnya. Tetapi perasaannya telah menolaknya. “Tidak
sepantasnya,” katanya di dalam hati.
Sumangkar itu menjadi semakin bingung. Ia
masih tegak di atas sebongkah tanah padas jang menjorok agak tinggi.
Dari tempat itu ia berhasil melihat keadaan medan dengan agak jelas.
Meskipun ia tidak mengira-irakan pusat-pusat daripada peperangan itu. Di
induk pasukan, pertempuran berkisar di antara Macan Kepatihan melawan
Untara. Induk pasukan itu kini telah menjadi semakin luas, karena
cara-cara Untara untuk membuat garis peperangan yang menguntungkannya.
Di sayap kanan dari laskar Jipang, Sumangkar melihat keadaan pertempuran
yang sulit bagi pasukan Macan Kepatihan. Semakin lama semakin sulit. Ia
tidak tahu pasti siapa yang berada di sayap itu untuk melawan Alap-alap
Jalatunda. Namun karena ketajaman pengetahuannya mengenai peperangan
Sumangkar segera menduga, bahwa lawan Alap-alap Jalatunda pasti
mempunyai beberapa kelebihan dari padanya. “Mungkin Widura sendiri,”
gumamnya. “Orang itu pasti tidak berada di sayap yang lain,” sambungnya
sambil melihat sayap kiri pasukan Jipang itu. Sumangkar mula-mula
melihat keuntungan dari pasukan Tohpati. Tetapi kemudian ia pun melihat
perlawanan yang gigih dan bahkan semakin lama menjadi semakin sulit bagi
pihak Jipang.
Hati orang tua itu pun menjadi gelisah.
Setiap kemenangaa pihak Pajang telah menyentuh hatinya. Seperti sepercik
api yang menyentuh perasaannya. Semakin banyak menjadi semakin panas,
dan bahkan kemudian terasa seolah-olah sebongkah bara telah menyala di
dalam dadanya.
“Kasihan Raden Tohpati,” desahnya.
———-oOo———-
(bersambung ke Jilid 011)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-11/

Tinggalkan Balasan