Sabtu, 16 November 2013

NAGASASRA DAN SABUK INTEN 12

NSSI-12

 
 
 
 
 
 
1 Vote

I.

Dalam pada itu Kebo Kanigara berbisik, “Mahesa Jenar, ingat muridmu selama ini belum pernah terpisah dari gurunya.”
“Lalu apa yang pernah dilakukan oleh gurunya?” tanya Mahesa Jenar.
“Melatihnya dan menurunkan segala sifat-sifat keluhuran budi dan kepahlawanan. Gurunya telah mengatakan kepada anak itu bahwa dalam masa-masa yang dekat, harus sudah menurunkan api kejantanan dan kesetiaan pada janji seorang ksatria, supaya api yang menyala di dalam dada angkatan tua itu tidak padam kehabisan minyak. Sebab apabila datang waktunya kita meninggalkan mereka, api itu harus sudah mereka miliki. Bahkan harus berkobar lebih hebat dari semula.”
Mahesa Jenar benar-benar tersentuh hatinya mendengar ucapan itu. Karena ia pun tak akan berbuat lain daripada itu.
“Kakang…” tanya Mahesa Jenar pula, “Tidakkah anak itu mengenal Kakang bukan sebagai gurunya?”
“Tidak Mahesa Jenar,” jawab Kebo Kanigara, “Aku selalu datang padanya, apabila ruangan itu sudah mulai gelap. Aku tidak pernah membawa obor yang cukup menerangi ruangan itu. Di samping itu aku jarang-jarang sekali bercakap-cakap dengan anak itu. Aku paksa ia bekerja keras untuk mendalami ilmunya. Nah sekarang kau pun telah memiliki rambut yang memenuhi mukamu. Aku mengharap bahwa Arya Salaka tidak sempat membeda-bedakan antara kita. Hanya mungkin aku agak lebih kasar daripadamu.”
“Mungkin ada juga terselip beberapa pertanyaan dalam hatinya,” kata Mahesa Jenar kemudian, “Karena perbedaan sifat dan cara dari apa yang pernah aku berikan kepadanya.”
“Mahesa Jenar…” Kebo Kanigara meneruskan, “Sebelumnya baiklah kita tunggu sampai esok. Lihatlah bagaimana ia berlatih dengan seseorang dari perguruan lain di dalam ruangan itu. Aku sudah menyuruhnya tinggal di situ terus menerus sampai aku, Mahesa Jenar, membawanya keluar.”
Bagaimanapun mendesaknya keinginan Mahesa Jenar untuk bertemu dengan muridnya, namun ia harus menyabarkannya sampai esok. Tetapi hari esok itu tidak akan terlalu lama datang.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar merasa bahwa ia telah menunggu terlalu lama. Agaknya matahari menjadi bertambah malas, sehingga agak kesiangan terbit. Namun lambat laun, terasalah bahwa fajar telah pecah di timur.
Selama itu ia mengisi waktunya dengan mendengarkan ceritera Kebo Kanigara tentang muridnya, dan tentang peranannya sebagai Mahesa Jenar.
“Ingat Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara, “Kau waktu itu marah kepada muridmu, karena ia kehilangan jalan. Seharusnya ia dapat berjalan lebih cepat di belakangmu. Karena itulah maka kau kurung muridmu dalam ruangan itu untuk dengan keras berusaha membajakan diri. Ternyata muridmu adalah seorang murid yang patuh. Ia tidak pernah mengeluh, meskipun kadang-kadang ia berlatih sampai hampir pingsan. Kaulah yang membawa makan dan minumnya. Disamping itu, satu hal yang penting dan seharusnya aku minta maaf kepadamu bahwa Arya Salaka telah menerima dasar – dasar ilmu khusus perguruan Pengging, Sasra Birawa”.
Mahesa Jenar terkejut mendengar ceritera itu. Karena itu ia bertanya, ”Adakah anak sebesar Arya Salaka telah cukup kuat untuk memiliki aji itu?”
”Muridmu luar biasa,” jawab Kebo Kanigara. ”Memang aku kira akibatnya akan tidak baik kalau kau dalam tingkat sebelum samadimu, memberikan ilmu itu kepadanya. Tetapi sekarang tidak. Juga aku merasa tidak. Apalagi ketika aku tunjukkan bagaimana ia harus mengatur pernafasan, pemusatan pikiran dan tenaga, aku jadi yakin bahwa mungkin ia mempunyai bakat lebih baik daripada kita. Nah, sekarang kau telah menyadari kematanganmu. Aku harap kau lanjutkan dasar-dasar ilmu Sasra Birawa. Meskipun dalam pelaksanaannya barulah dalam tingkat kekuatan lahiriah saja.”
”Itu sudah cukup Kakang, sela Mahesa Jenar, Sudah terlalu banyak bagi seorang anak-anak sebesar Arya Salaka yang baru berumur lebih kurang 16 sampai 17 tahun itu. Bukankah kecuali persiapan jasmaniah diperlukan pula persiapan rokhaniah, supaya tidak ada penyalahgunaan di kemudian hari.”
Kebo Kanigara tersenyum mendengar pendapat Mahesa Jenar. ”Kau benar-benar seorang yang teliti terhadap segala akibat dari suatu perbuatan. Tetapi khusus muridmu itu, aku kira ia telah cukup mempunyai persiapan lahir batin. Mungkin karena pengalaman-pengalamannya serta tekanan-tekanan yang dialami dalam usianya yang masih muda itu, ia menjadi agak terlampau cepat masak.”
Mahesa Jenar mengangguk membenarkan. Memang pengaruh penghidupan yang dialami, sangat terasa pula kematangan jiwa muridnya. Ia dapat berpikir hampir seperti seorang dewasa dengan menanggapi suatu kejadian,  karena itulah maka tiba-tiba timbul pulalah rasa ibanya terhadap Arya Salaka yang seakan-akan telah kehilangan sebagian dari tataran hidupnya, sebagian dari masa mudanya.
Ketika itu terasalah bahwa pagi telah datang. Obor yang dibawa oleh Kebo Kanigara telah lama padam. Kemudian mereka melanjutkan menyusur lubang-lubang gua itu mendekati ruang tempat Arya berlatih. Dari sebuah lubang mereka dapat mengintip ke dalam ruangan itu. Dari sanalah Mahesa Jenar itu melihat muridnya. Yang mula-mula memukul dadanya adalah suatu perasaan haru ketika ia melihat Arya Salaka menjadi kurus dan pucat. Tetapi kemudian ia tersenyum. Juga senyum haru. Disamping Arya Salaka ia melihat seorang pemuda yang gagah, berwajah bening dan berdada bidang. Ia adalah Putut Karang Tunggal yang agaknya menemani Arya Salaka.
”Kalau bukan aku dalam perananku sebagai Mahesa Jenar, anak itulah yang membawa makanan untuk Arya,” bisik Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar jadi bergembira ketika ia melihat muridnya bersahabat dengan Putut yang mengepalai para cantrik itu.
”Mereka berdua mempunyai banyak persamaan,” bisik Kebo Kanigara lebih lanjut,  ”Keduanya tabah dan penuh semangat. Karena itu mereka tekun berlatih bersama.”
”Berlatih bersama…?” ulang Mahesa Jenar terkejut, ”Jadi Putut Karang Tunggal juga memiliki ilmu yang cukup tinggi?”
Kebo Kanigara mengangguk.
”Aku tidak mengira. Ia terlalu halus dan sopan. Muridku adalah seorang anak yang biasa hidup dalam pergaulan yang kasar. Diantara para petani dan nelayan,” sambung Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara tersenyum aneh. ”Tetapi karena itulah muridmu menjadi seorang anak yang jujur, yang tidak memandang setiap persoalan dengan berbelit-belit,” sahut Kebo Kanigara. ”Nah, tunggu sebentar…” ia melanjutkan, ”Mereka pasti sedang mempersiapkan diri untuk berlatih bersama. Aku mengijinkan Arya Salaka melakukan tanpa pengawasanku. Dan kepada Putut Karang Tunggal itu pun aku pesankan agar tidak mengatakan kepada Arya Salaka siapakah aku sebenarnya.”
Mahesa Jenar kemudian berdiam diri. Ia memang mengharap untuk menyaksikan muridnya berlatih. Ia ingin mengetahui sampai dimana sekarang tingkat kepandaiannya. Hal itu perlu pula untuk menghilangkan kesan-kesan yang mungkin timbul, apabila ia telah kembali kepada anak itu sebagai seorang guru yang pernah diantarai oleh orang lain tanpa setahu anak itu sendiri.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Kebo Kanigara. Sesaat kemudian ia melihat Arya dan Putut Karang Tunggal mempersiapkan dirinya untuk memulai dengan latihan-latihan yang berat yang mereka lakukan hampir setiap hari.
Melihat langkah Arya yang sedang pergi ke tengah ruangan itu pun Mahesa Jenar telah merasakan betapa perubahan yang terjadi pada muridnya, sehingga ia semakin lekas ingin mengetahui, gerakan-gerakan yang akan dilakukan.
Kemudian setelah mereka masing-masing bersiap, maka latihan itupun dibuka dengan sebuah serangan yang mengejutkan dari Putut Karang Tunggal. Mahesa Jenar sendiri menjadi terkejut pula. Ia sama sekali tidak mengira bahwa anak yang halus, sopan dan sama sekali tidak menunjukkan kekasaran jasmaniah itu dapat berbuat sedemikian. Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah Arya Salaka. Ia dengan tangkasnya dapat mengelakkan serangan itu, bahkan dengan suatu gerak yang sangat lincah ia sudah memulai dengan serangannya.
Demikian latihan itu semakin lama menjadi semakin cepat. Selangkah demi selangkah mereka bergeser dari satu titik ke titik yang lain memenuhi ruangan itu.
Dalam pada itu, terjadilah gelora di dalam dada Mahesa Jenar. Ia sama sekali tidak menduga bahwa anak muridnya dapat mencapai tingkat yang sedemikian dalam waktu yang singkat. Perasaan bangga dan gembira berputar-putar di seluruh rongga dadanya.
Muridnya itu kini benar-benar merupakan banteng muda yang tangkas dan kuat. Sepasang kakinya yang cepat itu, suatu waktu dapat tegak diatas tanah bagaikan tonggak besi yang tak tergerakkan. Tangannya yang hanya sepasang itu tampak bergerak dengan cepatnya, melingkar-lingkar dan mematuk-matuk dengan dahsyatnya. Tetapi lawannya berlatih bukan pula anak kemarin sore. Iapun telah menguasai ilmunya hampir sempurna. Karena itu maka latihan itu berlangsung dengan serunya. Mereka masing-masing mempunyai kekuatan dalam bentuknya masing-masing. Arya Salaka ternyata tangguh bukan main. Tubuhnya cukup kuat dan setiap gerakannya menimbulkan desir dalam dada Mahesa Jenar. Sedangkan Putut Karang Tunggal sangat mencengangkannya. Gerakannya semakin lama menjadi semakin lincah dan cepat. Bahkan kemudian tubuhnya menjadi seakan-akan sangat ringan dan sekali-sekali seperti terbang ia meloncat-loncat membingungkan. Namun Arya Salaka dapat menanggapinya dengan baik. Iapun menjadi seolah-olah memiliki beberapa pasang mata yang terserak-serak di tubuhnya, sehingga kemana bayangan itu melontar, ia selalu dapat melihatnya dan segera menghadapinya.
Dalam pada itu, semakin lama Mahesa Jenar dapat semakin melihat jelas kekuatan-kekuatan yang tersimpan pada setiap gerak kedua anak muda itu. Bagi Arya Salaka ia hanya dapat berbangga hati, sebab setiap geraknya adalah gerak-gerak dari perguruan Pengging ditambah dengan segala macam pengalaman Arya Salaka yang dipetiknya dari gerak-gerak alam yang pernah ditekuni bersama, yang dapat disusunnya sendiri dalam satu senyawa yang serasi. Tetapi yang semakin mengetuk-ngetuk hatinya adalah setiap gerakan Putut Karang Tunggal yang cepat lincah itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar seolah-olah melihat kedua anak muda yang sedang berlatih itu seperti pernah terjadi belasan tahun yang lalu. Meskipun tidak tepat benar, namun ia pernah menyaksikan ilmu yang dimiliki oleh Putut Karang Tunggal itu. Akhirnya ketika ia menjadi semakin jelas, tergetarlah tubuhnya. Hampir saja ia berteriak menyebutkan sebuah nama, kalau ia tidak segera teringat bahwa pada saat itu ia masih belum waktunya menampakkan diri.
Namun bagaimanapun juga ia merasa bahwa kedua anak muda itu berlatih mirip seperti dirinya sendiri berlatih bersama sahabatnya pada waktu mudanya, Mahesa Jenar dan Sela Enom. Dan pada saat itulah ia mendapat kepastian bahwa anak yang menamakan diri Putut Karang Tunggal itu pasti ada sangkut pautnya dengan Ki Ageng Sela Enom yang pada masa kanak-kanaknya bernama Anis. Tetapi menilik kedahsyatannya maka ia tidak yakin bahwa anak itu adalah murid Ki Ageng Sela. Sebab bagaimana tingginya ilmu Ki Ageng Sela itu, namun ia pasti tidak akan mampu membentuk Putut Karang Tunggal sampai menjadi anak yang sedemikian mencengangkan.
Karena itu Mahesa Jenar tidak mau berteka-teki lagi. Akhirnya iapun bertanya kepada Kebo Kanigara, ”Kakang, siapakah sebenarnya Karang Tunggal itu?”
Kebo Kanigara tersenyum, jawabnya perlahan-lahan, ”Adakah sesuatu yang kau lihat padanya?”
”Ya,” sambung Mahesa Jenar. ”Aku melihat perguruan Sela ada padanya.”
”Tepat,” jawab Kebo Kanigara. ”Ia adalah murid Ki Ageng Sela.”
Mahesa Jenar menarik nafasnya. Namun ia masih bertanya lagi, ”Adakah Ki Ageng Sela mampu membentuk Karang Tunggal menjadi sedemikian mengagumkan?”
”Ki Ageng Sela yang mana yang kau tanyakan,” sahut Kebo Kanigara. ”Kalau yang kau maksud Sela Enom, maka kau benar, meskipun Sela Enom itupun sekarang telah mampu melakukan hampir seperti apa yang pernah dilakukan oleh ayahnya.”
”Menangkap petir,” potong Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara tertawa perlahan. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, ”Bukankah ceritera tentang kecakapan menangkap petir itu sudah dimiliki oleh Sela Enom sejak mudanya? Agaknya bakat turun tumurun itu tidak perlu dipelajarinya terlalu lama.”
Mahesa Jenarpun tersenyum pula mendengar jawaban itu.
”Tidak hanya itu…” Kebo Kanigara meneruskan, ”Tetapi berbagai ilmu yang lain. Ia memiliki kedahsyatan tangan seperti yang dipancarkan oleh Sasra Birawa. Ki Ageng Sela menamakannya aji Narantaka.”
”Agaknya ia mengagumi tokoh Gatutkaca,” potong Mahesa Jenar.
”Mungkin,” jawab Kebo Kanigara.
Kemudian mereka berdiam diri. Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal masih sibuk berlatih. Agaknya latihan-latihan serupa itu telah sering dilakukan sehingga bagaimanapun hebatnya, namun tidaklah sangat berbahaya.
Ketika matahari telah tegak di langit, agaknya kedua anak muda itu merasa telah cukup lama berlatih. Karena itu, terdengar Putut Karang Tunggal bersiul nyaring, dan berloncatanlah mereka surut. Meskipun tubuh masing-masing dibasahi oleh peluh yang mengalir deras sekali, namun wajah-wajah mereka menunjukkan kegembiraan.
Dalam pada itu, sekali lagi terdengar Mahesa Jenar bertanya, ”Kakang Kanigara. Siapakah sebenarnya Karang Tunggal itu? Bagaimanapun juga aku masih melihat beberapa kelebihan yang dimilikinya daripada Arya Salaka.”
Untuk beberapa lama Kebo Kanigara tidak menjawab. Ia agaknya menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian terdengar Mahesa Jenar mendesak, ”Aku merasa bahwa anak itu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh anak muda pada umumnya. Cahaya wajahnya yang terang seperti memancarkan wibawa yang mengagumkan.”
”Ia juga murid Ki Ageng Sela Sepuh,” jawab Kanigara.
”Aku sudah mengira,” sahut Mahesa Jenar, ”Tetapi siapakah dia?”
”Putut Karang Tunggal,” jawab Kanigara pula sambil tersenyum.
”Akh…!” desis Mahesa Jenar. ”Kakang Kanigara memang mempunyai kegemaran berteka-teki. Tetapi teka-teki yang pertama telah aku tebak dengan tepat. Sekarang aku menyerah. Sebab pada saat aku meninggalkan Demak, aku tidak sempat menanyakan kepada Nis Sela, apakah ia mempunyai murid yang sekaligus menjadi adik seperguruan.” 
”Mahesa Jenar…” bisik Kebo Kanigara bersungguh-sungguh, ”Kau pasti pernah mengenal anak itu. Bukankah sepeninggal Adi Kebo Kenanga kau masih beberapa tahun lagi tinggal di Demak, sebelum keadaan memburuk?”
Mahesa Jenar mengangguk.
”Kalau demikian kau pasti mengenalnya,” sambung Kebo Kanigara. ”Anak itu adalah anak yang aneh. Sebenarnya ia tidak betah untuk tinggal terlalu lama di sesuatu tempat. Ia datang berguru hanya apabila ia inginkan. Ia datang sewaktu-waktu tanpa aturan. Meskipun demikian kecerdasannya sangat mengagumkan. Ia dapat menguasai segala ilmu hanya dalam waktu yang sangat singkat. Sepersepuluh dari waktu yang diperlukan oleh anak-anak muda yang lain. Bahkan kurang dari itu. Ia datang kemari mencari aku, untuk minta diri. Ia mendapat nasehat dari seorang Wali yang terkemuka untuk mengabdikan diri di Kraton Demak, ketika Wali itu melihatnya menunggui padi gaga di ladang.”
“Seorang Wali?” tanya Mahesa Jenar. “Siapakah dia?”
“Seorang yang bertubuh tinggi besar, berikat kepala Wulung dan berbaju Wulung pula,” jawab Kebo Kanigara.
“Sunan Kali Jaga…?” gumam Mahesa Jenar.
“Ya,” Kebo Kanigara menegaskan. “Ia baru saja datang dari Pamancingan di Pantai Selatan menuju ke Demak. Pada saat itulah ia berkata kepada Putut itu, ‘Hai anak yang mendapat anugerah Allah. Pulanglah dan pergilah ke Demak. Jangan asyik menunggui pagagan, sebab kelak kau akan menduduki tahta.’ Demikian nasehat Sunan Kali. Dan agaknya anak itu akan mencoba memenuhinya. Ia datang untuk minta diri kepadaku, dan sekedar menambah bekal bagi masa depannya.”
Dada Mahesa Jenar berdebar-debar mendengar ceritera itu. Seorang yang diramalkan untuk memegang tahta.
“Adakah ia mempunyai hubungan dengan Kakang Kanigara?’ tanya Mahesa Jenar pula.
“Ada,” jawab Kanigara. “Dan barangkali aku belum menyebutkan hubungan itu. Ia adalah putra Adi Kebo Kenanga.”
“He…” Mahesa Jenar terkejut. “Putra Kakang Kebo Kenanga. Adakah dia Si Karebet yang nakal itu.”
Kebo Kanigara mengangguk. “Karebet yang kemudian dikenal bernama Jaka Tingkir setelah ia dipelihara oleh Nyai Ageng Tingkir, kakak perempuan Nyai Kebo Kenanga.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disangka-sangka sebelumnya ia akan dapat bertemu dengan anak kakak seperguruannya. Yang bahkan oleh seorang Wali yang terkenal diramalkan untuk menjadi raja.
”Nah, Kakang…” kata Mahesa Jenar kemudian, ”Marilah kita temui mereka.”
Kebo Kanigara menggeleng. ”Tidak mungkin…” jawabnya. ”Muridmu akan menjadi heran melihat ada dua orang yang menamakan diri Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar tertegun. ”Lalu bagaimana?” ia bertanya.
”Dan ingat, kau harus membersihkan janggut dan kumismu di hadapan anak itu, supaya ia mendapatkan wajah Mahesa Jenar yang sebenarnya tanpa curiga. Akupun akan berbuat demikian. Tentu saja di tempat lain. Sehingga apabila aku kemudian bertemu dengan anak itu, ia tidak akan mengenal aku lagi.”
Sekali lagi Mahesa Jenar terpaksa tersenyum, meskipun ia sebenarnya ingin segera dapat menemui kedua anak muda itu. Namun bagaimanapun ia terpaksa menuruti nasehat Kebo Kanigara.
Sehari itu Mahesa Jenar menunggu saja. Matahari di langit rasanya berjalan sangat lambatnya. Seolah-olah dengan segannya mengarungi langit menurut garis edarnya. Lingkaran-lingkaran cahayanya yang menembus lubang-lubang di atas ruang itu dengan lesunya berjalan ke arah yang berlawanan.
Ketika matahari telah condong, Putut Karang Tunggal meninggalkan Arya Salaka seorang diri.  Anak itu oleh gurunya, yang sebenarnya adalah Kebo Kanigara, dilarang meninggalkan ruangan itu, sebagai suatu cara berprihatin. Dan apa yang dicapainya adalah sangat menggembirakan meskipun kadang-kadang terselip juga beberapa pertanyaan mengenai gurunya.
Ketika Putut Karang Tunggal itu hilang ke balik lorong pintu ruangan itu berbisiklah Kebo Kanigara, ”Mahesa Jenar, kau dapat menemui Karebet. Itu saja dahulu.”
”Sekarang?” tanya Mahesa Jenar.
”Ya. Ikutlah aku,” jawab Kebo Kanigara. ”Muridmu itu tak akan hilang di situ.”
Kemudian Mahesa Jenar melangkah mengikuti Kebo Kanigara, melingkar sepanjang lubang goa yang gelap, dan yang sebentar kemudian muncul di sebuah ruangan lain yang agak lebar pula yang banyak terdapat di sepanjang saluran goa itu.
Di dalam ruangan itu pulalah mereka bertemu dengan Putut Karang Tunggal yang sedang berjalan keluar. Ketika ia melihat kedua orang itu, ia terkejut. Tetapi kemudian ia mengangguk hormat. Katanya, ”Selamat sore paman berdua.”
”Selamat sore Karang Tunggal. Permainanku sudah hampir selesai. Ini adalah pamanmu yang sebenarnya,” sahut Kanigara.
Karang Tunggal sekali lagi membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar sambil berkata, ”Baktiku untuk Paman Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar tersenyum. Ia melangkah maju. Sambil menepuk bahu anak muda itu ia berkata, ”Permainanmu sudah sempurna Karebet. Ketika aku datang mula-mula di bukit ini, benar-benar aku tidak menduga bahwa kaulah yang menamakan diri Karang Tunggal.”
”Paman Kebo Kanigara yang mengatur semuanya bersama Eyang Ismaya,” jawab Karang Tunggal.
 Mahesa Jenar menoleh kepada Kebo Kanigara sambil berkata, ”Untunglah bahwa kepalaku belum pecah memikirkan permainan kalian yang aneh itu.” Kemudian kepada Karang Tunggal ia meneruskan, ”Nah Karebet, kau sudah banyak mendengar tentang aku, tentang seorang Wali yang menasehatkan kepadamu untuk mengabdi ke Demak.”
Karebet menundukkan kepalanya. Katanya lirih, “Mudah-mudahan paman melimpahkan pangestu kepadaku. Meskipun semuanya itu hanyalah sebuah mimpi yang cemerlang, namun setidak-tidaknya aku akan dapat mengabdikan diri pada tanah kelahiran ini.”
“Bagus…” sahut Mahesa Jenar, “Kau harus mulai dengan semangat pengabdian. Jangan kau mulai dengan suatu tekad yang berlebih-lebihan supaya kau tidak mudah menjadi kecewa.”

“Akan aku junjung tinggi segala pesan paman Mahesa Jenar,” jawab Putut Karang Tunggal sambil membungkukkan tubuhnya sebagai suatu pernyataan janji. Tidak saja kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, tetapi juga kepada diri sendiri.
“Mahesa Jenar…” sela Kebo Kanigara kemudian, “Bawalah pisauku ini. Sebentar lagi apabila ruangan-ruangan ini telah gelap, masuklah ke dalam ruang muridmu. Kau dapat menyusur lubang itu, dan akan sampai ke dalamnya tanpa cabang yang lain. Aku akan menunggumu di ruang sebelah ini. Kemudian kita keluar bersama-sama supaya kau tidak usah mencari-cari jalan.”
”Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
”Jangan banyak berkata tentang waktu lampau. Ajaklah ia keluar karena segala sesuatu telah kau anggap cukup.” Kanigara menyambung. ”Dan seterusnya kau dapat menuntunnya dengan suatu cara yang lebih baik dari yang pernah kau pergunakan.”
”Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar sekali lagi.
”Aku menunggu kau di sebelah. Dari ruangan ini kau akan dapat melihat sinar obor yang akan segera aku nyalakan kalau ruangan itu telah gelap benar.” Berkata kanigara pula, ”Aku juga selalu datang pada saat-saat semacam itu, meskipun hanya karena aku harus menyembunyikan wajahku”
Setelah itu Kebo Kanigara segera melangkah pergi diikuti oleh Putut Karang Tunggal. Untuk sesaat Mahesa Jenar mengagumi anak kakang seperguruannya itu, sampai hilang ke dalam sebuah mulut lubang goa itu.
Kemudian Mahesa Jenar mempersiapkan dirinya untuk segera menemui muridnya, supaya perasaannya tidak menggelora.
Sesaat kemudian, udara menjadi semakin sejuk. Semburat merah telah memancar di langit, sebagai sisa-sisa cahaya matahari yang telah membenamkan dirinya. Ia tidak sabar untuk menunggu lebih lama lagi, karena itu segera iapun berjalan menyusur gang sempit menuju ke ruang dimana Arya Salaka sedang membajakan dirinya.
Ketika ia sampai di mulut gang itu, ia mendengar langkah-langkah di dalamnya. Agaknya Arya Salaka masih mempergunakan waktunya untuk berlatih. Sebab di dalam ruangan yang sepi itu ia benar-benar tidak mau menyia-nyiakan waktu. Karena itu ia mempergunakan setiap waktunya untuk melatih diri agar segera dapat dicapai suatu tingkatan yang dikehendaki oleh gurunya. Mula-mula ia bermaksud demikian agar dapat segera meninggalkan ruangan yang menjemukan itu, tetapi lambat laun ia berpendapat lain. Ia semakin menjadi tertarik dan bersemangat mendalami ilmunya karena ilmu itu sendiri, bukan karena kejemuan dan kesunyian.
Dengan hati-hati Mahesa Jenar melangkah masuk, sehingga tidak menimbulkan sesuatu suara yang menarik perhatian muridnya yang sedang tekun. Apalagi sesaat kemudian, anak itu agaknya sedang memusatkan segenap perhatiannya, mengatur jalan pernafasannya, dan disilangkannya satu tangannya di depan dada, satu lagi diangkat tinggi-tinggi, dan satu kakinya ditekuknya ke depan. Sesaat kemudian tubuhnya sebagai anak panah melontar maju, tangannya yang diangkat tinggi-tinggi itu terayun deras mengarah kepada sebuah batu padas di dinding goa itu. Maka kemudian terjadilah suatu benturan yang dahsyat, dan disusul dengan lontaran pecahan batu padas itu berserak-serakan. Itulah pukulan Sasra Birawa yang telah dimiliki pula oleh seorang anak sebesar Arya Salaka.
Melihat hasil yang dicapai oleh muridnya itu, hampir Mahesa Jenar tidak dapat menahan diri. Apa yang dicapainya dengan cara penurunan ilmu Ki Ageng Pengging Sepuh, sampai bertahun-tahun itu, dapat dipelajari Arya Salaka kurang lebih hanya satu bulan saja, dengan cara penurunan ilmu adik seperguruan gurunya. Karena itu ia sekarang percaya, bahwa Kebo Kanigara benar-benar melampaui Ki Ageng Pengging Sepuh, yang kebetulan adalah gurunya, yang bergelar Pangeran Handayaningrat.
Meskipun demikian, apa yang terlahir dari mulutnya adalah berbeda sekali dengan perasaannya. Maka katanya lantang, ”Ulangi!”
Arya Salaka terkejut. Segera ia menoleh dan membungkuk hormat kepada gurunya yang dirasanya pada saat-saat terakhir mempunyai kebiasaan yang jauh berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya. Ketika ia mendengar gurunya mengucapkan kata-kata itu wajahnya segera menjadi muram. Ia merasa bahwa apa yang baru saja dilakukan sama sekali tidak memuaskan gurunya.
“Jelek sekali,” gumam Mahesa Jenar, meskipun sebenarnya hatinya memuji. Sebab apa yang dilakukan Arya pada waktu itu, sama sekali tidak jauh berselisih dengan apa yang dapat dilakukannya sebelum ia melakukan samadi dan menemukan hakekat dari watak setiap unsur gerak dari ilmunya, sehingga menurut Kebo Kanigara, ia telah dapat menyamai gurunya sendiri.
Mendengar suara gurunya itu Arya Salaka menundukkan kepalanya. Ia sangat bersedih bahwa ia mengecewakan.
Melihat sikap Arya, Mahesa Jenar menjadi sangat terharu. Hampir saja ia meloncat dan membelai kepala muridnya. Untunglah bahwa ia dapat menahan diri. Sambil mengatur perasaannya ia berkata, “Arya, lihat batu hitam itu.”
Dengan mata yang suram, Arya memandang sebuah batu hitam sebesar kepalanya dalam keremangan petang, yang terselip diantara batu-batu padas yang menjorok pada dinding goa.
“Apa yang kau lihat itu? “ bentak Mahesa Jenar.”
“Sebuah batu hitam yang terjepit diantara batu-batu padas,” jawab Arya dengan suara yang dalam.
“Itulah sebabnya kau tidak dapat maju,” bentak Mahesa Jenar pula. “Perhatianmu terpecah-pecah pada semua masalah yang tak berarti. Aku bilang, lihat batu hitam itu. Aku sama sekali tidak menanyakan apakah batu itu terjepit batu padas, atau terletak di atas tanah. Seharusnya kaupun hanya melihat batu hitam itu. Batu hitam itu saja yang menjadi pusat perhatianmu. Tidak perduli apakah batu itu tergantung di langit atau apapun.”
Sekali lagi Arya menundukkan kepalanya. Tetapi ia mendapat suatu petunjuk yang sangat berarti dalam hidupnya. Bahwa ia tidak boleh memandang setiap masalah tanpa pemusatan persoalan, sehingga masalah pokoknya dapat menjadi kabur karena masalah tetek bengek yang dapat membelokkan perhatiannya.
“Arya…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Ulangi, dan pecahkan batu hitam itu.”
Sekali ini Arya Salaka tidak mau mengecewakan gurunya lagi. Dengan penuh tekad, ia membulatkan perhatiannya, mengatur pernafasannya. Satu kakinya diangkatnya dan ditekuknya ke depan, satu tangan menyilang dada, dan satu lagi diangkatnya tinggi-tinggi. Dengan satu loncatan yang dahsyat Arya Salaka mengayunkan tangannya diikuti sebuah teriakan nyaring. Dan, batu hitam yang terjepit diantara batu-batu padas itupun hancurlah berbongkah-bongkah.
Sekali lagi Mahesa Jenar terguncang hatinya. Anak itu benar-benar telah menguasai Sasra Birawa dengan baik dalam bentuk lahirnya. Tetapi baginya adalah sudah terlalu cukup. Namun ia masih mencoba menahan perasaannya. Seakan-akan ia sama sekali tidak menaruh perhatian atas muridnya itu, tetapi ia bahkan duduk di tengah dengan enaknya sambil mengeluarkan pisaunya. Dengan tenangnya Mahesa Jenar mulai mencukur janggut dan kumisnya.
Arya mula-mula tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh gurunya. Tetapi sikap acuh tak acuh itu telah mengecilkan hatinya pula, dan disamping itu ia semakin tidak mengerti pada sifat gurunya yang menjadi aneh dan lain.
Dalam kebimbangan itu, kadang-kadang terselip di sudut hatinya suatu pertanyaan, apakah orang yang menuntunnya selama ini benar-benar gurunya yang membawanya mengembara dari satu tempat ke tempat lain, sejak melarikannya dari Banyubiru? Alangkah jauh bedanya. Sejak ia terpisah di dalam salah sebuah saluran di dalam goa ini, kemudian tersesat masuk ke dalam ruangan ini, ia merasakan bahwa gurunya menjadi berubah sifat. Beberapa hari ia tinggal sendiri didalam ruangan ini, sampai kemudian gurunya menemukannya disini. Yang mula-mula di dengar dari mulut gurunya bukanlah pernyataan gembira, tetapi bentakan-bentakan kasar dan marah. Apakah Mahesa Jenar dapat berbuat demikian…? Dan apakah dalam beberapa hari itu, sudah cukup waktu untuk menjadikan gurunya berwajah gelap oleh kumis dan janggut yang tumbuh demikian lebatnya…?
Sekarang ia melihat orang yang meragukan itu mencukur janggut dan kumisnya. Tetapi kemudian ia menjadi kecewa sekali. Sebab setelah orang yang diragukan itu berwajah bersih, benarlah, ia adalah Mahesa Jenar. Gurunya yang membawanya pergi dari Banyubiru. Yang menuntunnya dengan penuh kasih sayang. Tetapi yang akhir-akhir ini selalu kecewa kepadanya. Kecewa kepada kelambatannya.
Sampai beberapa saat ia masih saja kaku berdiri memandangi Mahesa Jenar membersihkan wajahnya. Sekarang Arya tidak ragu-ragu lagi. Memang orang itulah Mahesa Jenar. Meskipun ruang itu sudah semakin suram, namun garis-garis wajah itu sudah sangat dikenalnya.
“Arya…” tiba-tiba ia mendengar gurunya berkata, “Meskipun tingkat ilmumu masih agak mengecewakan, tetapi pada saat ini aku sudah menganggap cukup. Kau sudah dapat melayani Putut Karang Tunggal meskipun belum seimbang benar. Dan barangkali jarak yang ada di antara kau berdua tidak semakin pendek, bahkan akan menjadi semakin jauh, karena Putut itu bukanlah anak-anak sewajarnya. Apa yang kau pertunjukkan pada saat terakhir tadi telah menunjukkan kemajuan yang besar selama kau berada di dalam ruang ini. Karena itu, sebentar lagi kau boleh mengikuti aku keluar dari ruang ini.”
Mendengar kata-kata gurunya, Arya menjadi gembira sekali. Kegembiraan yang hampir tak dapat ditahankan, sehingga hampir-hampir saja ia menjerit kegirangan. Tetapi segera ia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Ia tidak tahu apakah hal yang demikian itu akan dibenarkan oleh gurunya. Karena itulah maka, yang terpancar kemudian hanyalah nyala di matanya. Bahkan mata itu kemudian menjadi basah. Dan hampir saja Arya Salaka yang telah mampu memecahkan batu sebesar kepalanya itu menangis.
Untunglah bahwa ruang itu telah menjadi semakin gelap sehingga Mahesa Jenar tidak lagi melihat mata itu. Tidak lagi melihat air yang membayang di mata muridnya. Sebab apabila mata yang sayu itu dilihatnya menjadi basah, mungkin Mahesa Jenar tidak lagi dapat menahan perasaannya. Perasaan seorang guru, ia bahkan hampir seperti perasaan seorang bapa terhadap anak tunggalnya yang selama ini dibawanya merantau untuk menyelamatkan dari usaha-usaha untuk membinasakannya.
Tetapi, sekarang Mahesa Jenar melihat kemungkinan menjadi lain. Anak itu sekarang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, serta mempunyai bekal yang cukup buat masa depannya.
Demikianlah Mahesa Jenar menjadi berbangga atas muridnya itu. Kalau nanti pada suatu ketika, ia bertemu dengan Gajah Sora, maka ia akan dapat menyerahkan Arya Salaka tanpa mengecewakan sahabatnya itu.
Sesaat kemudian Mahesa Jenar pun berdiri dan melangkah keluar ruangan sambil berkata acuh tak acuh, ”Arya, ikutilah.”
Sekali lagi kegembiraan melonjak didalam dada Arya. Segera ia pun mengikuti gurunya dekat-dekat supaya ia tidak lagi kehilangan jalan.
Kemudian sampailah mereka ke dalam ruangan dimana Mahesa Jenar bertemu dengan Putut Karang Tunggal waktu ia berjalan bersama Kebo Kanigara. Benarlah dari ruangan itu ia melihat bayangan cahaya api. Segera Mahesa Jenar berjalan menyusur jalan-jalan goa yang sempit ke arah api itu.
Ketika mereka sampai, dilihatnya Putut Karang Tunggal seorang diri memegangi sebuah obor.
Selamat sore Paman Mahesa Jenar,” sapanya sambil membungkuk hormat.
”Selamat sore Karang Tunggal,” jawab Mahesa Jenar. Mula-mula ia ingin menanyakan di mana Kebo Kanigara. Tetapi maksud itu diurungkan. Namun bagaimanapun juga ia menjadi sangat berterima kasih di dalam hatinya, bahwa untuk kepentingannya serta muridnya, Kebo Kanigara bekerja keras dan melakukan hal-hal yang aneh. Tetapi lebih dari pada itu adalah untuk kesuburan persemaian perguruan Pengging.
Sejenak kemudian Putut itu berkata pula, ”Paman, marilah kita tinggalkan goa ini. Ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh Eyang Ismaya.”
Mahesa Jenar menjadi beragu. Ia tidak tahu apakah Putut itu berkata sebenarnya, ataukah hanya merupakan suatu alasan untuk membawanya keluar dari dalam goa itu. Karena itu ia berdiam diri sampai Putut itu melanjutkan, ”Seseorang yang baru saja datang kemari ingin bertemu dengan Paman.”
”Siapakah dia?” tanya Mahesa Jenar sekenanya.
”Paman Kebo Kanigara,” jawab Putut Karang Tunggal.
”Itukah yang penting?” tanya Mahesa Jenar pula.
”Bukan itu saja,” jawab Putut Karang Tunggal. ”Ada dua tiga soal yang lain.”
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dipersilahkannya Putut yang membawa obor itu berjalan dahulu, kemudian ia pun mengikutinya bersama Arya Salaka yang masih berdiam diri saja.
Setelah mereka berjalan berliku-liku, akhirnya sampailah mereka ke ruang yang sering dipergunakannya bermain para cantrik. Dari sana mereka menerobos sebuah lubang yang diluarnya tertutup oleh dedaunan yang rimbun.
Demikian mereka tegak di luar goa itu, terasalah udara malam yang segar memercik ke wajah mereka. Sedang di atas kepala mereka, bertaburan bintang-bintang yang berpencaran memenuhi langit yang biru hitam. Seleret awan putih membujur dari kutub ke kutub seolah-olah membagi langit menjadi dua bagian. Sedang dari semak-semak di sekitar mereka, terdengarlah bunyi jangkrik bersautan di antara nyanyi belalang. Bersamaan dengan itu terlonjak pula hati Arya Salaka, yang merasa telah menyelesaikan suatu kewajiban yang berat. Kalau mula-mula ia menjadi bingung atas kelakuan gurunya, maka akhirnya ia mengira bahwa hal itu adalah merupakan suatu tahap yang memang harus dilalui. Tetapi sebenarnya bukan saja Arya Salaka yang mempunyai perasaan demikian. Mahesa Jenar pun seolah-olah merasa terlepas dari suatu daerah sepi yang penuh dengan pemerasan keringat dan pikiran.
Mengingat hal itu Mahesa Jenar menjadi tersenyum sendiri. Apalagi kalau ia dengan sepintas lalu memandang wajah Arya Salaka. Ia menjadi geli. Anak itu merasa seolah-olah telah mendapat gemblengan yang berat dari padanya, padahal ia sendiri sedang melakukan hal yang serupa. Menggembleng diri sendiri.
Beberapa lama kemudian sampailah mereka ke rumah dimana mereka selalu diterima oleh Panembahan Ismaya.
Di dalam rumah itu tampak memancar cahaya pelita yang berkedip-kedip karena permainan angin pegunungan. Cahayanya yang kuning kemerahan menembus lubang-lubang dinding membuat garis-garis lurus yang berpencaran.
Ketika mereka memasuki rumah itu, tampaklah Panembahan Ismaya duduk di atas batu hitamnya yang dialasi dengan kulit kayu. Demikian orang tua itu melihat kehadirannya segera ia bangkit dan menyambut dengan hormatnya, sambil mempersilahkannya duduk.
”Agaknya Anakmas tidak begitu senang tinggal di dalam goa yang gelap itu,” kata Ismaya kemudian. Ternyata Anakmas dan Cucu Arya Salaka menjadi kurus.
Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi agak sulit untuk menjawab, karena itu katanya, ”Tidak Panembahan, kami senang tinggal di dalam goa itu.”
Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Lalu sambungnya, ”Tetapi aku girang bahwa Anakmas dan Cucu Arya Salaka tetap segar. Bukankah tiada sesuatu selama ini?”
”Tidak Panembahan,” tidak, jawab Mahesa Jenar.
”Demikianlah yang aku kehendaki,” sahut Panembahan Ismaya pula. ”Tetapi ketahuilah Anakmas, apa yang anakmas takutkan ternyata benar-benar terjadi. Orang-orang yang mengepung bukit ini menyerbu naik.”
Dada Mahesa Jenar tergetar mendengar keterangan itu. Maka iapun bertanya pula, ”Adakah mereka memperlakukan Panembahan dengan kasar?”
”Tidak begitu kasar,” jawab Panembahan Ismaya. ”Tetapi mereka mengaduk hampir segala sudut bukit ini.”
”Dan Panembahan tidak memberitahukan itu kepadaku…?” sahut Mahesa Jenar.
”Aku hanya memberitahukan kepada Anakmas kalau mereka akan menyakiti kami,” jawab Panembahan itu pula. ”Tetapi ternyata mereka hanya mencari-cari saja.”
Mahesa Jenar akan mendesak pula dengan berbagai pertanyaan, tetapi diurungkannya ketika ia ingat bahwa di sini ada Kebo Kanigara dan Putut Karang Tunggal. Sehingga seandainya Panembahan Ismaya ingin melawannya dengan kekerasan, maka tidak pula ada perlunya untuk memanggilnya.
Karena itu kemudian ia tidak berkata-kata lagi. Ia bahkan merasa malu bahwa seolah-olah di bukit kecil itu tak ada orang lain yang mampu menyelamatkannya selain daripada dirinya.
Maka untuk beberapa saat suasana menjadi hening sepi. Desir angin di dedaunan menimbulkan suara lirih seperti dendang seorang ibu yang menidurkan anaknya.
Maka kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya yang berkata, “Anakmas, agaknya malam telah larut. Karena itu beristirahat di pondok lain.”
“Baiklah Panembahan,” jawab Mahesa Jenar.
“Kalau Anakmas keluar dari ruangan ini, Anakmas akan melihat rumah di sebelah barat. Di situlah Anakmas beristirahat,” sambung Panembahan Ismaya pula. “Di sana Anakmas akan beristirahat bersama dengan Kebo Kanigara.”
Setelah sekali lagi Mahesa Jenar mengiyakan, maka melangkahlah ia keluar ruangan itu. Tidak beberapa jauh di sebelah barat tampak sebuah rumah yang lebih kecil dari rumah itu. Dari dalamnya memancar pula cahaya api yang redup.
Di dalam rumah itu ditemuinya Kebo Kanigara telah membaringkan dirinya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar berkatalah ia, “Mahesa Jenar, duduklah. Tutup pintu itu supaya tidak terlalu dingin. Dan dengarlah aku berceritera.”
Mahesa Jenar memandang wajah Kanigara yang tersenyum-senyum dan sudah bersih pula seperti wajahnya. Ia menjadi curiga. Tetapi ia melangkah juga menutup pintu dan kemudian duduk di sampingnya.
“Kau ingat pada waktu aku pertama-tama kau lihat?” tanya Kebo Kanigara.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar singkat sambil mengangguk.
”Di mana muridmu sekarang?” tanya Kanigara tiba-tiba.
”Di rumah sebelah bersama-sama dengan Karang Tunggal,” jawabnya singkat.
“Bagus, suatu kebetulan. Karang Tunggal itu suka sekali berceritera. Pengetahuannya sangat luas, sebab ia sangat gemar menyepi dan merantau. Jarang-jarang sekali ia tinggal di rumah. Sehingga ibu angkatnya, Nyai Tingkir selalu marah kepadanya.” Kanigara berhenti sebentar lalu meneruskan, “Arya akan senang bersama dia. Lalu seterusnya mengenai urusanmu. Dengarlah. Kau lihat bahwa aku pada saat itu atas nama Mahesa Jenar melarikan seorang gadis?”
Mendengar pertanyaan itu hati Mahesa Jenar berdesir. Dengan kaku ia mengangguk mengiyakan.
“Gadis itu aku sembunyikan. Sejak malam itu aku belum pernah menemuinya. Aku takut kalau ia mengenal aku yang ternyata bukan Mahesa Jenar. Dan aku juga takut kalau tiba-tiba aku merasa bahwa akulah sebenarnya Mahesa Jenar itu.” Kanigara meneruskan sambil tersenyum. Mahesa Jenarpun tersenyum pula. Tersenyum kaku.
”Kau harus menemuinya,” sambung Kanigara pula.
Mahesa Jenar mengangguk saja tanpa sesadarnya.
”Biarlah anakku mengantarkanmu nanti,” kata Kanigara pula. Mahesa Jenar terperanjat. Sehingga ia pun bertanya, ”Siapakah anak Kakang Kanigara itu?”
”Seorang anak perempuan,” jawab Kanigara, ”Namanya Widuri. ”
”Widuri…? Endang Widuri? Jadi adakah anak itu putri Kakang Kanigara?” tanya Mahesa Jenar pula.
”Ya,” jawab Kanigara singkat.
”Aku belum pernah mendengar sebelumnya,” kata Mahesa Jenar. ”Adakah anak itu dilahirkan di Demak?”
”Aku meninggalkan Demak sejauh umur anak itu,” jawab Kanigara. ”Sebenarnya aku tidak pernah menginginkan untuk meninggalkan kota itu. Tetapi keadaan memaksa aku berbuat demikian.”
Mahesa Jenar mendengarkan dengan penuh perhatian. Agaknya karena itulah maka Kebo Kanigara belasan tahun yang lalu lenyap dari pecaturan masyarakat Demak.
Sesaat kemudian Kanigara meneruskan, ”Kemudian aku bawa istriku meninggalkan Demak. Anak itu lahir di perjalanan. Sedang beberapa tahun kemudian ibunya meninggal dunia. Untunglah bahwa aku bertemu dengan seseorang yang kemudian menerima kami tinggal bersama, Panembahan Ismaya.”
Terbayanglah di mata Kebo Kanigara, suatu masa yang pahit di dalam hidupnya. Kehilangan istri pada masa putrinya masih memerlukan kasih sayang seorang ibu.
”Bahkan beberapa tahun kemudian…” kata Kanigara pula, ”Aku sudah harus mewakili menunggu bukit kecil ini kalau Panembahan Ismaya harus bepergian jauh untuk mencari obat-obatan dan menambah kewaskitaannya di hampir seluruh sudut negeri ini. Dan sejak itu pula tak pernah menampakkan diriku lagi di antara tata masyarakat Demak.”
Kanigara kemudian diam, Mahesa Jenar pun diam. Betapa hati mereka mengenyam kembali masa-masa yang silam itu. Masa-masa yang penuh dengan kesedihan bagi Kebo Kanigara.
Tetapi tiba-tiba Kebo Kanigara berkata nyaring, ”He, aku telah membelok dari arah pembicaraan semula. Aku akan berceritera tentang seorang gadis yang aku larikan, bukan tentang aku.”
Mahesa Jenar terkejut juga mendengar arah percakapan yang tiba-tiba menikung tegak. Sehingga duduknya tergeser maju. Namun kemudian iapun tersenyum kecut. Tetapi bersamaan dengan itu denyut jantungnya bertambah cepat.
”Nah Mahesa Jenar…” sambung Kanigara tiba-tiba, ”Kau akan dapat menemuinya bersama Widuri.”
Mahesa Jenar tidak menjawab, namun hatinya bergetar hebat.
”Tidak banyak yang harus aku pesankan kepadamu. Sebab aku tidak pernah berkata satu patah katapun. Karena itu anggaplah bahwa memang sebelum ini kau belum pernah bertemu dengannya. Kanigara meneruskan, Kecuali pada saat kau melarikan malam itu.”  
Mahesa Jenar  Jenar masih belum menjawab. Tetapi Kanigara pun tidak meneruskan kata-katanya. Dengan malasnya ia bangkit dan kemudian berjalan mondar-mandir. Akhirnya ia berhenti dan memasang telinganya baik-baik.
“Kau mendengar suara tembang?” tiba-tiba ia bertanya.
Mahesa Jenar kemudian mencoba menangkap setiap suara yang menyusup ke dalam pondok kecil itu. Jawabnya kemudian, “Ya aku dengar. Jauh sekali.”
“Kau tahu tembang apa itu?” tanya Kanigara pula.
Sekali lagi Mahesa Jenar memperhatikan suara lagu yang hanya lamat-lamat sampai. Ketika ia sudah mendapat suatu kepastian, hatinya menjadi berdebar-debar. “Dandanggula,” desisnya.
“Ya, Dandanggula,” ulang Kanigara. “Sudah beberapa malam berturut-turut aku mendengar lagu itu dari arah yang berbeda-beda.”
Tiba-tiba Mahesa Jenar berdiri tegak. Mula-mula ia ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu. Tetapi karena sinar mata Kanigara yang seolah-olah mendesaknya, akhirnya ia berkata, “aku kenal orang itu.”
Kanigara mengangkat alisnya, katanya, “siapakah dia”
“Ki Ageng Pandan Alas,” jawab Mahesa Jenar.
“Pandan Alas?” tanya Kanigara pula, tetapi ia tidak terkejut. “Aku kagumi suaranya. Meskipun ia sudah tua, namun suaranya masih mengingatkan aku kepadanya belasan tahun yang lalu. Ia sahabat ayahku.”
Mahesa Jenar mengangguk mengiyakan.
“Apakah yang dicarinya?” kata Kanigara kosong, meskipun ia sudah mengerti jawabnya. Sebab ia tahu betul bahwa Pudak Wangi, yang nama sebenarnya Rara Wilis, adalah cucu orang tua itu.
“Ia pasti mengira bahwa aku masih di sini. Dengan demikian ia mengharap aku datang kepadanya mengembalikan cucunya yang dikiranya benar-benar aku larikan,” jawab Mahesa Jenar.
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia bertanya, “Nah terserah kepadamu. Apakah gadis itu akan kau kembalikan apa tidak.”
“Kenapa baru beberapa hari ini ia datang?” tanya Mahesa Jenar, seolah-olah kepada dirinya sendiri.
“Mungkin ia menunggu sampai rombongan Sima Rodra itu meninggalkan bukit ini, setelah mencarimu dengan sia-sia,” jawab Kanigara.
“Tidakkah Kakang menangkap mereka?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Aku juga bersembunyi. Panembahan Ismaya  tidak mau melihat pertumpahan darah di atas padepokan Karang Tumaritis,” jawabnya.
Mahesa Jenar tidak bertanya lebih lanjut tentang gerombolan Sima Rodra dan Jaka Soka. Pikirannya sedang dikacaukan oleh suara tembang itu. Ia menjadi bimbang, apakah sebaiknya ia datang menemui atau tidak.
Di dalam kebimbangan itu, ia mendengar suara Dandang Gula itu semakin jelas.
Suara itu tiba-tiba menyusul ke dalam dada Mahesa Jenar, membawa suatu kenangan pada masa-masa yang silam. Yang mula-mula diingatnya adalah, Ki Ageng Pandan Alas pernah marah kepadanya ketika ia meninggalkan Rara Wilis tanpa pamit. Ia tahu betapa sakit hati orang tua itu, oleh tuduhannya yang barangkali sama sekali tak beralasan tentang cucunya. Tetapi bagaimanapun juga, ia merasa bahwa tidak enaklah rasanya menerima kemarahan itu.
Didalam kesepian malam itu, semakin mengumandanglah suara Ki Ageng Pandan Alas. Seorang tokoh sakti sahabat gurunya yang pernah kecewa terhadapnya. Namun tiba-tiba diingatnya pula, pertama kali ia mendengar suara itu. Pada saat jiwanya sudah berada di ujung tangan seorang tokoh hitam yang menamakan dirinya Pasingsingan, yang sebenarnya bernama Umbaran, maka terdengarlah suara itu. Dan karena suara itu pula agaknya Umbaran mengurungkan niatnya untuk membunuhnya. Karena itu tiba-tiba terasalah bahwa bagaimanapun juga orang tua itu pernah menyelamatkannya.
“Aku akan datang kepadanya,” gumamnya seolah-olah belum merupakan suatu kepastian.
Kanigara tersenyum. “Datanglah. Jangan kau bawa dahulu cucunya. Barangkali ada beberapa hal yang akan kau bicarakan dengan orang tua itu. Sebab sepengetahuanku, ada orang ketiga yang berdiri diantara kau dan gadis itu,” katanya.
Mahesa Jenar memandang Kanigara dengan tajamnya. Ia agak heran mengapa orang itu mengetahui hampir segala seluk beluk hidupnya.
Tetapi ia tidak bertanya sesuatu ketika dilihatnya Kanigara tersenyum sambil berkata pula,  “Jangan memandang aku begitu tajam. Aku jadi takut karenanya. Nah, pergilah. Kalau kau tak keberatan aku akan ikut serta.”
“Tidak, sama sekali tak keberatan,” jawab Mahesa Jenar.
“Akulah satu-satunya orang yang berhak jadi wakil orang tuamu,” sambung Kanigara sambil tertawa pendek.
“Ah…” Mahesa Jenar tidak meneruskan.
“Kenapa kau mengeluh?” tanya Kanigara seperti bersungguh-sungguh.
“Tidak,” sahut Mahesa Jenar. “Suara tertawa Kakang yang lunak itu amat memusingkan kepalaku.”
Sekali lagi Kanigara tertawa. “Ayolah,” katanya.
Maka pergilah mereka berdua, menembus hitam malam ke arah suara Ki Ageng Pandan Alas yang seolah-olah melingkar-lingkar menyusur lereng-lereng bukit Karang Tumaritis. Tetapi karena telinga Kanigara dan Mahesa Jenar sedemikian tajamnya, maka segera mereka mengetahui darimana datangnya sumber suara itu.
Ketika jarak mereka sudah tidak begitu jauh lagi, segera mereka berhenti. Mereka menunggu sampai Pandan Alas selesai dengan lagunya. Tetapi agaknya orang tua itu sudah mengetahui kehadirannya, sehingga belum lagi kalimat yang terakhir diucapkan ia sudah berhenti. Perlahan-lahan ia bangkit dari tempat duduknya, seonggok batu padas. Sapanya, “Agaknya kau datang juga Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar dan Kanigara bersama-sama berdiri sambil membungkuk hormat.
Sebelum mereka menjawab Pandan Alas meneruskan, “Sudah beberapa hari aku mencarimu dengan caraku ini. Sebab aku yakin bahwa kau sudah mengenal suaraku.”
“Baru sekarang aku dapat datang Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar. “Maafkanlah, mudah-mudahan aku tidak mengecewakan.”
Pandan Alas tertawa pendek. Kemudian iapun duduk pula diatas sebuah batu.  “Duduklah,” katanya. “Mungkin percakapan kita tidak segera selesai.”
Mahesa Jenar dan Kanigara pun segera duduk pula di muka orang tua itu. Di dalam gelap malam, terasalah bahwa Ki Ageng Pandan Alas sedang mencoba mengetahui siapakah kawan Mahesa Jenar itu. Namun agaknya ia belum mengenalnya sehingga akhirnya ia bertanya, ”Mahesa Jenar, tidakkah aku kau perkenalkan dengan sahabatmu itu?”
Mahesa Jenar tersadar dari kekeliruannya. Tetapi sebelum ia menjawab, Kanigara sudah mendahului. ”Baiklah aku memperkenalkan diriku Ki Ageng. Aku adalah salah seorang sahabat Panembahan Ismaya. Namaku Putut Karang Jati.”
Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian katanya, ”Aku bernama Pandan Alas
Aku sudah emndengar nama tuan. Nama yang mengumandang di sekitar daerah ini. Bukankah tuan yang memiliki keris Kiai Sigar Penjalin?”
Sekali lagi Pandan Alas tertawa. Jawabnya, ”Kau benar. Keris yang sama sekali tak berarti itu
Ki Ageng memang suka merendahkan dirinya” sahut Mahesa Jenar.
Pandan Alas menggelengkan kepalanya. Kemudian dengan bersungguh-sungguh ia berkata, ” Mahesa Jenar, mungkin kau telah mengetahui, buat apa aku datang kemari. Semula, aku mendengar kabar, bahwa cucuku ditangkap oleh Sima Rodra. Aku mencoba untuk membebaskannya bersama-sama dengan Sarayuda. Tetapi kemudian kau membuat suatu keajaiban. Karena ternyata aku dan Sarayuda bersama-sama tidak mampu menolongnya. Sekarang aku datang untuk mengucapkan terima kasih kepadamu
Mulut Mahesa Jenar menjadi seolah-olah terbungkam. Apakah yang akan dikatakannya? Sedang orang yang melakukan semuanya itu duduk di sampingnya. Kebo Kanigara.
Agaknya, Kebo Kanigara merasakan juga kesulitan Mahesa Jenar itu, sehingga ia pun berusaha menolongnya. Katanya kepada Mahesa Jenar, ”Memang luar biasa. Adakah tuan waktu itu bertempur melawan selian orang-orang itu?
Mahesa jenar dengan kaku menggelengkan kepalanya. Jawabnya, ”Tidak. Aku sama sekali tidak bertempur. Aku hanya melarikan diri saja”
Kanigara menjadi geli mendengar jawaban itu. Juga Pandan Alas tertawa.Sahutnya, ”Tak seorangpun yang mampu melepaskan diri dari deretan nama-nama Sima Rodra, Bugel Kaliki, Janda Sima Rodra uda dan Jaka Soka beserta laskarnya. Tetapi kau mampu melakukan itu Mahesa Jenar”
Mahesa Jenar tersenyum kecut. Jawabnya, ”Aku memang hanya mempunyai keahlian menyembunyikan diri”
Sekali lagi mereka yang mendengarnya menjadi tertawa. Tetapi punggung Mahesa Jenar sendiri telah dipenuhi keringat dingin yang mengalir dengan derasnya.
Karena itu, duduknya menjadi gelisah.
Apalagi, ketika Ki Ageng Pandan Alas bertanya, ”Mahesa Jenar, setelah kau berhasil membebaskan anak itu, apakah yang akan kau lakukan?”
Kembali Mahesa Jenar terbungkam. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Ki Ageng Pandan Alas akan bertanya demikian. Pertanyaan yang menyulitkan. Sebenarnya, apabila hatinya benar-benar terbuka ia bahkan mendapat suatu jalan untuk mengemukakan isi hatinya. Tetapi, meskipun Mahesa jenar sama sekali tidak gentar menghadapi senjata yang bagaimanapun tajamnya, namun berbicara tenatng seorang gadis, ia menjadi gemetar.
Tetapi, tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sama sekali tidak mereka duga. Mahesa Jenar tidak, Kanigara tidak, bahkan Pandan Alas pun tidak.
Pada saat itu, meskipun pembicaraan itu memerlukan hampir segenap perhatian mereka, namun mereka masih mendengar gemerisik daun kering yang tersentuh kaki. Karena itu, segera perhatian mereka teralih. Meskipun mereka masing-masing tetap pada sikap semula seolah-olah tidak terjadi sesuatu, namun orang-orang sakti itu telah menyiapkan diri masing-masing apabila ada sesuatu yang terjadi.
Mereka bertiga bertambah terkejut ketika melihat sesuatu dengan tangkasanya meloncat berdiri di hadapan Mahesa Jenar. Seorang yang gagah tampan. Berbaju sutera dan berkain lurik. Meskipun di dalam gelap malam, namun tampaklah berkeredipan permata-permata intan berlian yang terpahat pada timang ikat pinggangnya. Orang itu adalah Sarayuda, seorang Demang yang kaya raya.
Kau Sarayuda” sapa Pandan Alas
Ya Ki Ageng” jawabnya singkat
Aku kira kau telah kembali” Pandan Alas meneruskan.
Tidak guru. Aku merasa bahwa pekerjaanku belum selesai” jawab Sarayuda  pula, ”aku mengira bahwa Pudak Wangi masih berada di daerah ini. Ketika aku emndengar suara tembang Ki Ageng Pandan Alas, akupun tahu maksudnya. Ternyata Mahesa Jenar yang perkasa inipun benar-benar datang menemui guru
Pandan Alas menarik nafas dalam-dalam. Dirinyalah sekarang yang berada dalam puncak kesulitan. Ia tahu benar hubungan yang belit-membelit antara satu-satunya cucu yang sangat disayanginya, murid pertama yang dikasihaninya dan Mahesa Jenar seorang yang dikenal sebagai ksatria yang utama, bahkan yang telah menyelamatkan cucunya dari tangan Jaka Soka sampai dua kali dalam pengertiannya. Meskipun ia pernah merasa kecewa terhadap sikap Mahesa Jenar yang perasaannya mudah patah dalam hubungan itu, namun  ia tidak pernah benar-benar marah dan melepaskan perasaan kagumnya. Tetapi muridnya itu pun merupakan harapan masa datang bagi perguruannya di samping Pudak Wangi sendiri.
Sekarang ia melihat suatu benturan perasaan telah terjadi. Apalagi ketika tiba-tiba ia mendengar Sarayuda berkata, ”Guru, apakah Guru sudah menyatakan kepada Mahesa Jenar, agar Pudak Wangi dikembalikan kepada perguruan Pandan Alas?”
Pandan Alas menjadi bingung. Sedang Mahesa Jenar dan Kanigara menjadi tidak begitu senang melihat sikap itu.
Dalam kecemasannya, kemudian Pandan Alas berkata, ”Sarayuda, biarlah kita bicarakan segala sesuatunya dengan baik. Bukankah kita sudah tidak mempunyai pekerjaan lain?”
Tetapi agaknya Sarayuda tidak setuju, jawabnya, ”Ki Ageng, aku telah terlalu lama meninggalkan pekerjaanku. Dalam waktu kira-kira satu tahun, aku sudah dua kali menemui Ki Ageng. Kali ini aku ingin semuanya selesai dengan segera. Supaya aku dapat segera pula kembali ke Gunung Kidul dengan suatu ketetapan hati.”
”Aku mengerti Sarayuda,” jawab Pandan Alas. ”Tetapi tidak perlukah kiranya kalau pembicaran kita inipun menjadi tergesa-gesa. Sebab seandainya kau mundur satu haripun aku kira tidak begitu besar pengaruhnya.”
Sarayuda tidak dapat membantah lagi. Karena itu ia diam, meskipun perasaannya bergetar terus.
”Duduklah Sarayuda…” Pandan Alas mempersilahkan.
Dengan gerak kosong Sarayuda duduk pula diantara mereka. Namun tampaklah bahwa ia gelisah.
”Ki Ageng Pandan Alas…” kata Mahesa Jenar kemudian, ”Maafkanlah bahwa aku tidak dapat mempersilahkan Ki Ageng pada tempat yang lebih baik, sebab aku pun orang asing di sini.”
”Tidak apalah Mahesa Jenar,” sahut Pandan Alas. Tetapi disamping itu terasa kaki Kanigara menginjak kaki Mahesa Jenar. Katanya, ”Akulah tuan rumah di sini. Karena itu kalau tuan-tuan sudi, marilah aku persilahkan singgah di pondokku.”
Yang cepat-cepat menjawab adalah Sarayuda, katanya, ”Terimakasih Putut Karang Jati, bukankah namamu Putut Karang Jati? ”
“Ya,  ya Tuan,” jawab Kanigara.
”Tak ada bedanya. Di sini atau di pondokmu,” sambung Sarayuda.
Pandan Alas yang sedianya akan memenuhi ajakan itu menjadi terdiam. Tetapi kecemasannya semakin membelit hati. Ia berpikir keras untuk dapat menyelesaikan masalah cucunya dengan baik, tanpa suatu singgungan perasaan di kedua belah pihak. Tetapi rasa-rasanya tidaklah mungkin. Meskipun demikian ia harus berusaha.
”Ki Ageng…” desak Sarayuda kemudian, ”Marilah kita bicarakan apa yang seharusnya kita bicarakan, meskipun bagiku tak ada lagi persoalan. Bagiku hanyalah ada satu permintaan yang aku tujukan kepada yang terhormat, Kakang Mahesa Jenar, untuk menyerahkan murid perguruan Pandan Alas kepada yang berhak.”
Sekali lagi perasaan Ki Ageng Pandan Alas terguncang. Namun iapun menyambung, ”Mahesa Jenar, aku belum mendengar jawabmu. Apakah yang akan kau lakukan, setelah kau berhasil membebaskan cucuku dari tangan Sima Rodra dan Bugel Kaliki?”
”Tidak demikian Ki Ageng….” Sarayuda menyanggah. Ia merasa bahwa kata-kata gurunya itu terlalu menguntungkan Mahesa Jenar, sambungnya, ”Itu terlalu berlebih-lebihan. Kecuali kalau Ki Ageng bermaksud untuk terlalu berendah diri. Sebab ketika Mahesa Jenar membawa Pudak Wangi, tak seorang pun dapat menghalangi. Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki terikat dalam pertempuran dengan Ki Ageng, sedang janda Sima Rodra muda dan Jaka Soka bertempur melawan aku.”
Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar adat muridnya. Sebagai seorang Demang di daerahnya, segala kemauannya hampir tak terbantah. Mendengar sanggahan muridnya itupun Pandan Alas hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu Mahesa Jenar dan Kanigara menjadi semakin tidak senang terhadap kata-kata Sarayuda, meskipun mereka berdua dapat mengerti sepenuhnya, bahwa semuanya itu terdorong oleh suatu perasaan ketakutan. Takut akan kehilangan adik seperguruannya, cucu gurunya. Tetapi bagaimanapun juga hati Mahesa Jenar menjadi kalut. Kalau Demang yang kaya raya itu tidak dapat dicegah tindakannya, sehingga ia berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya, maka ia tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Dengan keadaan yang sekarang, maka Sarayuda bukanlah lawannya. Tetapi kalau sampai Sarayuda dikalahkannya di hadapan gurunya sendiri, maka akibatnya akan lain. Ki Ageng Pandan Alas pasti tidak dapat menyaksikan kekalahan muridnya. Bagaimanapun juga perguruan Pandan Alas pasti mempunyai harga diri. Kalaupun terjadi demikian, perasaannyapun akan tersayat pula. Sebab terhadap dirinya sendiri ia tidak dapat mengingkari. Ia tidak ingin melepaskan Pudak Wangi kali ini.
Dalam pada itu, angin malam berhembus lemah. Di langit bintang gemintang gemerlapan tiada henti-hentinya. Sekali dua kali tampaklah seleret bintang berpindah tempat menggores langit. Sekejap saja, lalu lenyap terbenam dalam pelukan selembar awan. Suara jengkerik masih saja bersahutan di sela-sela kemersik daun kering yang diterbangkan angin pegunungan.
Keempat orang yang duduk saling berhadapan itu untuk beberapa saat saling berdiam diri. Mereka masing-masing tenggelam dalam angan-angannya sendiri.
Yang mula-mula memecahkan kesepian adalah Sarayuda, ”Masihkah ada yang kau nanti Kakang Mahesa Jenar?
”Tidak ada,” jawab Mahesa Jenar kosong.
”Kalau demikian, marilah, serahkan Pudak Wangi kepada gurunya,” sahut Sarayuda.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia menjadi bingung. Tetapi akhirnya ia berkata kepada Ki Ageng Pandan Alas, ”Ki Ageng, Pudak Wangi adalah cucu Ki Ageng, dan murid Ki Ageng. Karena itu yang paling berhak menentukan adalah Ki Ageng sendiri.”
”Bagus…” sahut Sarayuda tiba-tiba, ”Sekarang kita nantikan putusan Ki Ageng Pandan Alas.”
Pandan Alas menjadi bertambah bingung. Benar-benar ia dihadapkan pada satu keharusan memilih yang amat sulit, seperti ceritera tentang buah bersayap yang jatuh dipangkuan seorang gadis. Dimakan bapa mati, tidak dimakan ibu mati.
Tetapi kemudian Pandan Alas menemukan persoalan yang sewajarnya. Karena itu ia ingin berbicara wajar, tidak dengan aling-aling. Ia tahu benar bahwa masalah yang dikemukakan Sarayuda pun sebenarnya bukan masalah perguruan, tetapi terlalu bersifat pribadi.
Maka kemudian ia ingin menerapkan persoalannya pada tempat yang sebenarnya. Katanya, ”Anakku berdua. Sarayuda dan Mahesa Jenar. Marilah kita berbicara antara hati, perasaan dan pikiran. Marilah kita berbicara dengan bahasa yang sewajarnya. Aku, sebagai seorang yang telah kenyang berjemur panas matahari, pernah juga merasakan betapa kisruhnya perasaan yang sedang bergulat melawan pikiran. Nah, kalian berdua, kenapa kalian tidak berterus terang saja, bahwa kalian berdua sama-sama menghendaki Pudak Wangi, bukan sebagai murid Pandan Alas tetapi sebagai seorang gadis yang bernama Rara Wilis…?”
Kata-kata itu langsung menusuk perasaan Mahesa Jenar dan Sarayuda. Mereka menjadi terdiam karenanya. Sebab apa yang dikatakan oleh orangtua itu adalah hakekat dari perasaan mereka masing-masing.
Kanigara yang mendengarkan pembicaraan itu menjadi tersenyum kecil. Ia memuji di dalam hati kebijaksanaan Ki Ageng Pandan Alas, yang dapat melepaskan diri dari persoalan yang sulit. Tetapi dengan demikian ada juga bahayanya. Sebab apabila persoalan mereka menjadi keras, sulitlah dihindarkan. Karena dengan demikian Ki Ageng Pandan Alas telah menghadapkan kedua orang itu langsung.
Tetapi kemudian Ki Ageng Pandan Alas melengkapi pendapatnya, ”Anakku berdua… kalau kalian setuju dengan pendapatku maka keputusan terakhir tidak ada padaku. Sebab masalahnya bukan masalah antara guru dan murid. Menurutku pendapatku, keputusan terakhir berada di tangan Wilis sendiri.”
Hati Mahesa Jenar dan Sarayuda bergetar bersama-sama. Mereka merasakan kebenaran kata-kata Pandan Alas. Tetapi dengan demikian Sarayuda merasa aneh terhadap sikap gurunya. Bagi Pandan Alas, Mahesa Jenar adalah orang lain. Orang yang dijumpainya di perjalanan hidup tanpa sentuhan-sentuhan tertentu seperti beribu-ribu orang lainnya. Dirinya adalah murid orang tua itu. Murid yang sudah bertahun-tahun menyerahkan diri serta masa depannya kepadanya. Sekarang, dalam persoalan ini, gurunya itu sama sekali tidak memberikan keuntungan apapun kepadanya. Sebab Ki Ageng Pandan Alas itu seolah-olah sudah tidak mau turut mencampuri masalah itu. Karena itu, bagaimanapun juga timbullah suatu tuntutan batin, bahwa seharusnya gurunya itu berada di pihaknya. Sebab apabila demikian masalahnya akan mudah sekali. Mahesa Jenar harus mengembalikan Pudak Wangi. Seterusnya Pandan Alas menyerahkan Pudak Wangi kepadanya.
Tuntutan batin itu sedemikian kuatnya sehingga akhirnya ia tidak dapat merendamnya lagi. Maka kemudian meledaklah kata-katanya, ”Ki Ageng Pandan Alas, sebenarnya Ki Ageng dapat mempermudah persoalan ini. Meskipun apa yang dikatakan Ki Ageng Pandan Alas itu benar seluruhnya, bahwa hakekatnya, masalahnya adalah masalah pribadi. Namun keputusan Ki Ageng pun akan merupakan keputusan yang menentukan. Pudak Wangi tidak akan menanyakan banyak masalah bila Ki Ageng menjatuhkan keputusan. Sedang Mahesa Jenar pun tidak akan mengganggu gugat. Dalam segala bentuk.”
Dada Kanigara berdesir. Apa yang diduganya agaknya akan menjadi kenyataan. Sarayuda rupanya sudah terlalu sulit untuk mengendalikan kata-katanya yang memancarkan kesulitan pula untuk mengendalikan perasaannya. Sedang Mahesa Jenar sedang berusaha untuk menenangkan dirinya. Meskipun ia tidak begitu senang mendengar segala-galanya, baik sikap maupun kata-kata Sarayuda. Namun karena ia mempunyai keyakinan yang semakin teguh tentang dirinya maka dipandangnya Sarayuda semakin lama semakin bertambah kecil.
Justru karena itulah maka akhirnya ia merasa bahwa ia sama sekali tidak perlu melayani. Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi semakin tenang.
Sebaliknya, Pandan Alas merasa bahwa Sarayuda telah mendesaknya untuk mengambil keputusan sesuai dengan kehendaknya sendiri, serta berusaha untuk memaksanya menyingkirkan Mahesa Jenar dengan kekerasan. Sehingga dengan demikian ia menjadi semakin cemas.
Apalagi ketika Sarayuda mendesaknya pula, ”Masih adakah yang meragukan Ki Ageng…?
Sarayuda…. jawab Ki Ageng Pandan Alas, Kalau demikian maka soalnya memang sangat sederhana. Tetapi masalahnya lain. Tidak sesederhana itu. Pudak Wangi adalah seorang seperti kita, mempunyai perasaan. Ia barangkali memang tidak akan menanyakan dengan hati terbuka. Mungkin ia akan menjalani keputusan itu hanya sekadar sebagai cucu atau murid yang patuh. Kalau demikian maka hidup anak itu seterusnya akan menjadi kering tanpa cita-cita dan harapan. Ia akan menjalani kehidupan ini tanpa hati. Ia akan melihat matahari terbit seperti memang seharusnya demikian setiap hari, setiap pagi tanpa gairah. Serta ia akan merasa bahwa purnama di setiap pertengahan bulan itu bukan miliknya tetapi milik mereka yang berbahagia.”
Untuk beberapa saat kemudian mereka kembali terdiam. Kata-kata Pandan Alas adalah kata-kata yang penuh pengalaman hidup. Penuh pengertian akan harapan, cita-cita dan cinta.
Namun selanjutnya, cinta Sarayuda ternyata tidak dapat membedakan ujung serta pangkal. Demikianlah arus cinta yang bergelora di dalam dada Demang kaya raya itu. Meskipun kata-kata gurunya itu mula-mula menggetarkan hatinya, namun kemudian tertindih perasaan itu dengan suatu gelora yang lebih dahsyat. Katanya, ”Ki Ageng, ternyata bijaksana. Aku tidak keberatan kalau seandainya Adi Pudak Wangi yang harus menentukan, siapakah diantara kita yang dikehendakinya. Namun demikian seterusnya ia harus mempertimbangkan pula ketenteraman diri. Karena itulah Pudak Wangi harus menilai, kecuali kenangan atas masa lalu serta harapan dan cita-cita bagi masa datang. Juga harus dipertimbangkan apakah kita masing-masing akan dapat melindungi dirinya.
Beberapa titik keringat dingin telah mengalir di punggung Ki Ageng Pandan Alas. Namun demikian ia merasakan kebenaran kata-kata Sarayuda sebagai laki-laki, meskipun ia tidak seluruhnya melihat keharusan penjelasan yang sedemikian. Kalau saja Pudak Wangi dapat melihat manfaat dari keunggulan ilmu, maka soalnya akan dapat dipecahkan dengan cara sedemikian.
Tetapi ia sudah tidak dapat melihat cara lain, yang harus diyakinkan adalah, bahwa dengan demikian soalnya harus selesai. Tanpa perasaan dendam dan benci.
Karena bagaimanapun, Sarayuda adalah muridnya. Ia bergaul dengan muridnya itu sejak Sarayuda menjelang dewasa. Ia telah bekerja keras agar muridnya kelak dapat memanfaatkan ilmu yang diturunkan itu sebaik-baiknya.
Kalau saja muridnya dan Mahesa Jenar dapat menepati cara penjelasan itu dengan jujur, serta Pudak Wangi menyetujuinya serta melihat manfaatnya. Tetapi apakah demikian …?
Dalam saat-saat ia mempertimbangkan segala segi yang mungkin terjadi, terdengarlah Sarayuda mendesaknya, ”Bukankah usulku adil?”
Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas panjang. Ia memandang muridnya dengan tajam, seolah-olah melihat apakah ia sudah siap. Pada saat-saat terakhir memang ia selalu menambah beberapa pokok pengetahuan kepada Sarayuda untuk menambah kekuatannya lahir dan batin. Kalau sampai ditempuh jalan yang dikehendaki, adakah ia tidak akan memalukan?  Mula-mula ia merasa bahwa Mahesa Jenar yang dilihatnya pada saat ia membebaskan Pudak Wangi adalah luar biasa. Tetapi kemudian ia mempertimbangkan juga pendapat Sarayuda. Meskipun ia tidak menutup mata bahwa sebenarnya Mahesa Jenar telah mencapai tingkatan yang lebih tinggi, namun benar-benar pada saat itu orang-orang lain sedang terikat di tempat masing-masing.
Setelah Pandan Alas mempertimbangkan beberapa segi dan kemungkinan, kemudian ia ingin menawarkan usul Sarayuda kepada Mahesa Jenar dan Pudak Wangi.
Mahesa Jenar sendiri pada saat itu dihinggapi pula oleh berbagai perasaan. Tetapi bagaimanapun ia harus mengambil suatu ketetapan. Tetapi belum lagi ia dapat suatu keputusan apapun, terdengarlah Pandan Alas bertanya kepadanya, ”Anakmas Mahesa Jenar, bagaimanakah pertimbanganmu atas usul Sarayuda?”
Mahesa Jenar membetulkan duduknya. Kemudian dijawabnya perlahan sekali, ”Ki Ageng, aku masih menyangsikan apakah seseorang dapat mempengaruhi perasaan yang paling dalam dengan berkelahi.”
Mendengar jawaban itu, Sarayuda terkejut, sehingga ia terloncat berdiri. Katanya, ”Jangan berpura-pura Mahesa Jenar. Kau adalah murid utama almarhum Pangeran Handaya-ningrat yang bergelegar Ki Ageng Pengging Sepuh. Buat apa kau berguru kepadanya kalau kau tidak melihat manfaatnya orang berkelahi?”
”Sarayuda….” jawab Mahesa Jenar. ”Aku memang melihat manfaat orang berkelahi. Aku juga melihat bahwa orang dapat memaksakan kehendaknya dengan berkelahi. Dengan keunggulan ilmu tata pertempuran. Tetapi manfaat itu hanyalah manfaat lahiriah. Tetapi katakan kepadaku Sarayuda yang perkasa, dapatkah kau mengubah ketetapan hati seseorang atau suatu hubungan perasaan dengan perkelahian? Sarayuda… hubungan yang ada diantara kita adalah hubungan yang saling bertali. Seandainya, seandainya Sarayuda… Seandainya seseorang terpaksa memilih salah satu diantara kita karena keunggulannya, tetapi sebenarnya hatinya terikat kepada yang lain, apa katamu? Aku tidak mau, meskipun kemudian aku terpilih. Aku tidak mau menerima seseorang hanya ujud jasmaniahnya, tanpa hati dan perasaan pasrah yang tulus.”
”Omong kosong!” potong Sarayuda lantang. ”Sejak kapan hatimu menjadi sekecil hati perempuan? Agaknya kau seorang yang mendamba cinta sebagai mahkota bidadari di sorga yang mulus tanpa cela. Mahesa Jenar, aku bukan seorang yang cengeng, yang merajuk dalam bercinta. Sejak dewasa, di pinggangku telah tergantung pedang perguruan Pandan Alas. Dengan pedang aku mendapat kekuatan di Gunung Kidul. Sekarang, dengan pedang pula aku ingin melengkapi kamuktenku. Dengan pedang aku ingin menemukan cinta.”
Suara Sarayuda bergetar seperti guruh yang menggelegar di lereng pegunungan, berkumandang melingkar-lingkar di lembah-lembah sekitarnya. Kata-kata yang diucapkan itu adalah tekad yang sudah tak dapat ditawar lagi.
Mendengar kata-kata yang terucapkan oleh mulut Sarayuda itu semuanya jadi terdiam. Pandan Alas, Mahesa Jenar dan Kanigara seolah-olah terpesona oleh pancaran perasaan mereka atas peristiwa itu agak berlainan. Pandan Alas, gurunya, tiba-tiba menjadi berbangga hati melihat ketetapan hati muridnya yang penuh kejantanan. Wanita bagi seorang laki-laki adalah tidak ubahnya pusaka, yang kalau perlu rela bertaruh nyawa.
Kanigara dan Mahesa Jenar pun mula-mula mengaguminya. Tetapi kemudian sebagai laki-laki berhati jantan, tersentuhlah perasaan mereka. Karena itulah maka dada Mahesa Jenar bergelora hebat. Hampir ia melepaskan, perhitungan untuk memenuhi kepuasan hatinya. Sedangkan Kanigara menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Sarayuda sudah terlalu sukar untuk mendapat perubahan bentuk. Ia sudah bertekad bulat, apapun yang akan terjadi.
Demikianlah Sarayuda berdiri dengan gagahnya pada kedua kakinya yang kokoh kuat. Satu tangannya tergantung di sisi tubuhnya, sedang tangannya yang lain melekat di hulu pedangnya. Dengan suatu keyakinan yang pasti ia menanti akibat dari kata-katanya.
Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan. Pada saat Mahesa Jenar sedang berjuang untuk tidak tenggelam dalam arus perasaannya, tiba-tiba terdengar suara tertawa lirih tertahan. Alangkah terkejut mereka yang mendengar suara itu. Hampir saja keempat orang bersama-sama bergerak dalam satu kejapan mata menghadap ke arah suara itu. Diantara mereka yang mula-mula berteriak adalah Kanigara. Suaranya lantang mengandung penjelasan, ”Kau Karang Tunggal…. Agaknya penyakitmu kambuh lagi. Datanglah kemari.”
Mendengar nama itu disebutkan, Mahesa Jenar terkejut pula. Apalagi ketika ia melihat dua anak muda muncul dari balik gerumbul di sebelah. Anak muda itu adalah Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka. Dengan tunduk ketakutan mereka berjalan mendekati Kanigara. Sedang tangan Karang Tunggal masih melekat di mulutnya.
Dengan suara gemetar menahan marah, Kanigara berkata, ”Apa yang kau lakukan itu Karang Tunggal? Aku kira kau telah benar-benar sembuh dari penyakitmu. Melihat sikapmu beberapa bulan terakhir aku sudah senang. Tetapi agaknya kau belum dapat melupakan kelakuanmu yang keterlaluan itu.”
Karang Tunggal dan Arya Salaka masih diam ketakutan. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada muridnya, ”Kenapa kau datang kemari Arya…?”
Arya Salaka menjadi gemetar. Ia belum melupakan kelakuan gurunya yang tiba-tiba berubah menjadi kasar setelah mereka berada di dalam goa, tetapi sebelum ia menjawab, terdengar suara Putut Karang Tunggal menyahut, ”Adi Arya Salaka tidak bersalah, Paman. Akulah yang membawanya kemari. Tetapi aku sama sekali tidak sengaja mengintip pertemuan ini.”
”Tutup mulutmu!” bentak Sarayuda yang hatinya lebih parah dari semuanya. Tidak hanya Karang Tunggal yang terkejut mendengar bentakan itu, tetapi juga semua yang hadir. Kanigara yang semula akan marah kepada Karang Tunggal, tiba-tiba menjadi urung. Sebab bagaimanapun ia sama sekali tidak senang kalau ada orang yang membentak-bentak kemenakannya itu.
Karang Tunggal ternyata benar-benar mempunyai sifat yang aneh. Kalau mula-mula Mahesa Jenar melihat sikapnya yang halus sopan itu agaknya seperti apa yang dimaksud oleh Kanigara sebagai penyakit yang setiap saat dapat kambuh kembali. Sebab ternyata ketika Sarayuda membentaknya, justru ia mengangkat wajahnya. Karena itu segera ia tunduk kembali dan dengan sudut matanya ia memandang mata Kanigara.
Kanigara yang kecewa atas kelancangan Sarayuda, kemudian menjadi acuh tak acuh. Ia tidak jadi mencegah kemenakannya untuk tidak berbuat yang aneh-aneh. Bahkan kemudian dengan tidak peduli ia duduk kembali.
Mahesa Jenar mengerti perasaan yang bergetar di dalam hati Kanigara. Karena itu ia menjadi bertambah gelisah. Jangan-jangan persoalannya menjadi lain. Meskipun ia juga menyesali tindakan Sarayuda yang berlebihan itu.
Ki Ageng Pandan Alas terkejut pula mendengar Sarayuda membentak Karang Tunggal justru pada saat orang yang menyebut dirinya Karang Jati, yang pasti mempunyai hubungan satu sama lain itu sedang marah pula kepada anak muda itu. Ia mengerti sepenuhnya seperti Mahesa Jenar juga,  kenapa Kanigara kemudian menjadi acuh tak acuh. Karena itu segera ia mencoba mencegah hal-hal yang tak diinginkan, katanya, ”Sudahlah Sarayuda. Serahkanlah anak itu kepada yang berwenang. Bukankah Karang Jati dapat mengajarnya untuk tidak mengganggu kita lagi?”
Tetapi agaknya pikiran Sarayuda telah benar-benar kacau. Sebab kemudian ia menjawab, ”Putut Karang Jati itu hanya dapat membentak-bentak marah saja, tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu terhadap orangnya yang sudah berbuat salah. Bukankah ia mengintip dan kemudian menertawa-kan aku? Menertawakan kata-kataku…?” Kemudian kepada Kanigara ia berkata, ”Karang Jati, dapatkah kau sedikit memberi pelajaran kepada orangmu itu? Atau barangkali kau perlu bantuanku?”
Kata-kata itu semakin tidak menyenangkan perasaan Kanigara. Maka dijawabnya kata-kata Sarayuda dengan berterus terang, ”Tuan, mula-mula aku marah kepada anakku. Tetapi aku kecewa kepada sikap Tuan, bahwa Tuan ikut memarahinya.”
Sarayuda menjadi tersinggung perasaannya. Ia telah biasa marah kepada setiap orang yang tidak memenuhi perintahnya, di daerahnya. Karena itu, ketika ia mendengar jawaban Kanigara yang berterus terang menyesalinya itu, ia sama sekali tidak mau mendengarkan. Bahkan dengan semakin marah ia berkata, ”Lalu apa maumu? Mestikah aku membiarkan anak yang katamu anakmu itu menghina aku? Menertawakan aku? Baiklah katakan kepadaku bahwa kau tidak mampu mengajarnya. Dan, katakan pula kepadaku bahwa kau perlu bantuanku untuk mengajarnya. Ayo… katakan supaya aku tidak kau anggap salah lagi kalau aku mengajarnya sedikit kesopanan.”
Kanigara menganggap bahwa kata-kata Sarayuda itu sudah berlebih-lebihan. Karena itu bagaimanapun ia menyabarkan diri namun ia menjadi jengkel pula karenanya. Maka kemudian dijawabnya. “Terserahlah kepada Tuan, kalau Tuan mempunyai waktu untuk mengajarnya. Itu kalau Tuan merasa mampu.”
Dada Mahesa Jenar berdesir mendengar jawaban Kanigara, sebab dengan demikian berarti bahwa ia mengijinkan Karang Tunggal melayani Sarayuda. Bagi Mahesa Jenar ada dua hal yang menggelisahkan. Pertama, apakah Karang Tunggal tidak akan mengalami cidera, sebab pada saat itu Sarayuda sedang dalam puncak kemarahannya, sehingga sulitlah baginya untuk mengendalikan dirinya, meskipun ia hanya berhadapan dengan anak-anak. Kedua, bagaimanakah pendapat Panembahan Ismaya yang sama sekali tak menghendaki adanya kekerasan. Apalagi dilakukan oleh seorang yang selalu berada di dekatnya, Putut Karang Tunggal.
Tetapi ia tidak dapat berpikir lebih jauh, sebab pada saat itu terdengarlah Sarayuda tertawa, meskipun sama sekali bukan karena perasaan gembira. Di sela-sela tertawanya ia berkata, ”Baiklah, sekarang kau yang menghina aku. Kau sangka aku tidak mampu mengajar anakmu. Meskipun andaikata anakmu kekasih dewa-dewa.”
Tak seorang pun dapat mencegahnya lagi. Ki Ageng Pandan Alas pun tidak. Apalagi memang orang tua itu tidak berusaha mencegahnya, ketika ia mendengar Kanigara meragukan kemampuan muridnya. Hanya saja ia selalu waspada, kalau-kalau Sarayuda akan berbuat keterlaluan terhadap Putut Karang Tunggal.
Dalam pada itu, mula-mula Karang Tunggal menjadi ragu-ragu. Ia tidak mengerti apa maksud pamannya itu. Sehingga dengan wajah yang bertanya-tanya ia memandang Kebo Kanigara tanpa berkedip minta penjelasan. Untuk beberapa saat Kanigara menunggu perkembangan suasana. Ketika ia sudah tahu benar bahwa Ki Ageng Pandan Alas tidak mencegah muridnya, maka kemudian ia pun mengangguk kecil kepada Putut Karang Tunggal.
Putut Karang Tunggal tiba-tiba menjadi gembira sekali. Matanya yang bulat bercahaya itu menjadi berseri-seri. Sejak mengunjungi pamannya di bukit kecil itu, ia merasa sangat terkekang. Ia mulai dapat melemaskan tulang-tulangnya ketika ia mendapat kawan bermain, Arya Salaka. Tetapi apa yang dilakukan adalah sangat terbatas, sekarang ia mendapat kawan bermain. Barangkali dengan orang itu ia akan dapat bertindak lebih leluasa lagi.
Meskipun demikian dengan tersenyum-senyum ia mengangguk hormat kepada Sarayuda yang sudah mulai melangkah mendekatinya dengan gigi yang gemeretak dan mulut terkatup rapat. Katanya, ”Tuan, yang dipinggangnya tergantung perguruan Pandan Alas… perkenankan aku minta maaf. Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud menertawakan Tuan. Hanya karena kelakuan Tuan-lah sebenarnya, maka aku tidak berhasil menahan hati.”
Hati Sarayuda yang sedang marah, mendengar kata-kata itu seperti disiram api. Telinganya seketika menjadi panas, dan bibirnya bergetaran.
Mahesa Jenar tidak menduga sama sekali bahwa Putut Karang Tunggal akan berkata demikian, sehingga hampir saja ia melangkah maju untuk mencegahnya. Tetapi diurungkan ketika Kanigara menggamit tangannya sambil menggelengkan kepalanya. Meskipun demikian hati Mahesa Jenar menjadi sangat berdebar-debar. Ia telah melihat persoalannya membelok dari arah semula. Sebab sebelum hal ini terjadi, ia masih dapat mengerti tuntutan perasaan Sarayuda. Tetapi kemudian agaknya ia sudah dikendalikan oleh nafsu yang terlepas dari pengamatan pikiran.
Sarayuda yang sudah berada dalam puncak kemarahannya itu, segera meloncat dan menampar mulut Karang Tunggal dengan suatu gerakan yang cepat sekali. Melihat gerak tangan Sarayuda, hati Mahesa Jenar berdesir. Sebab gerakan itu sedemikian cepat sehingga tak mungkin untuk dihindari.
Tetapi apa yang disaksikan sangat mengguncangkan hatinya. Ia melihat pukulan itu menyambar pipi Karang Tunggal, bahkan ia melihat suatu benturan yang keras. Namun demikian Karang Tunggal sama sekali tak tergetar. Bahkan dengan suatu gerak yang cepat pula ia meloncat mundur menjauhi. Juga gerak itu sangat mengagumkan. Putut Karang Tunggal dapat bergerak mundur dengan tangkas, seolah-olah tidak menggerakkan anggota badannya.
Demikian herannya sehingga Mahesa Jenar bergeser maju selangkah, seolah-olah ia ingin melihat bahwa suatu kenyataan yang aneh telah terjadi di hadapannya. Agaknya demikian juga Ki Ageng Pandan Alas, yang memandang perkelahian itu dengan mulut ternganga.
Sarayuda yang sedang terbakar hatinya, tidak begitu memperhatikan kenyataan yang aneh itu. Bahkan ia menjadi semakin bernafsu ketika ia merasa serangannya yang pertama itu gagal. Sehingga kemudian ia pun menyerang lebih dahsyat lagi.
Sekarang Putut Karang Tunggal telah siap untuk menerima serangan Sarayuda, sehingga ia tidak menjadi sasaran saja. Dengan cepat ia mengelak dan dengan cepat pula ia membalas serangan Sarayuda dengan serangan yang cepat pula.
Maka sesaat kemudian terjadilah perkelahian yang sengit. Suatu perkelahian antara dua orang yang memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan. Seperti apa yang pernah disaksikan oleh Mahesa Jenar, Putut Karang Tunggal dengan lincahnya menari-nari seperti melihat lawannya dari arah yang sama sekali tak terduga-duga.
Tetapi Sarayuda bukan anak kecil yang kagum melihat burung terbang di udara. Ia telah hampir masak dalam ilmunya. Ilmu yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Apalagi ia sendiri telah menempuh pengalaman luas, sehingga dengan demikian ilmunya menjadi bertambah sempurna. Karena itulah maka ia sama sekali tidak menjadi bingung. Kemana bayangan Karang Tunggal meluncur, Sarayuda telah siap untuk menghadapinya. Bahkan semakin lama serangannya semakin mengerikan. Kalau semula ia masih belum mempergunakan segenap kecakapannya, maka setelah ia bertempur beberapa lama maka dengan sendirinya segenap ilmunya dikerahkannya pula.
Meskipun demikian apa yang dilakukan Sarayuda sama sekali bukanlah semacam seseorang yang mengajari sedikit kesopanan kepada Karang Tunggal. Tetapi benar-benar telah terlibat dalam satu perkelahian dengan seorang yang sama sekali tidak diduganya akan dapat mengimbanginya dengan sangat baik.
Karena itu Sarayuda menjadi semakin heran, marah dan benci bercampur aduk. Ia menjadi heran karena anak itu benar-benar tidak diduganya mempunyai kemampuan yang sedemikian tinggi. Dan karena itulah ia menjadi marah sekali. Ia merasa bahwa anak itu dengan sengaja telah menghinanya dan menariknya ke dalam suatu pertentangan.
Karena itulah maka ia tidak mau lagi mengekang dirinya. Seperti badai yang dahsyat, serangan Sarayuda kemudian datang bergulung-gulung, mengerikan sekali.
Pandan Alas yang menyaksikan pertempuran itu dengan mulut ternganga menjadi tersadar, bahwa masalahnya bukanlah masalah main-main lagi. Seperti Sarayuda, ia pun tidak mengira sama sekali bahwa anak yang nakal itu dapat bertempur sedemikian gigihnya. Sehingga timbullah suatu kecurigaan di dalam hatinya, bahwa ia benar-benar hanya seorang Putut yang mengabdikan hidupnya kepada seorang Panembahan di daerah terasing seperti Karang Tumaritis, dimana segala sesuatunya lebih diberatkan pada masalah-masalah rohaniah. Pandan Alas semakin curiga pula pada orang yang mengaku bernama Karang Jati itu. Kalau saja anaknya dapat berbuat demikian, apakah kira-kira yang dapat dilakukan oleh ayahnya…? Karena itu mau tidak mau Pandan Alas harus mawas diri. Meskipun sebenarnya ia malu mencampuri perkara anak-anak, tetapi siapa tahu kalau masalahnya menjadi berlarut-larut. Dalam pada itu ia telah hampir melupakan Mahesa Jenar. Bahwa sebenarnya dengan orang itulah ia berkepentingan, sehingga ia datang ke padepokan di atas bukit kecil ini.
Sementara itu pertempuran antara Karang Tunggal yang tidak lain adalah Mas Karebet yang juga dikenal dengan nama Jaka Tingkir, yang telah diramalkan oleh seorang Wali yang waskita, Sunan Kalijaga, bahwa kelak akan menduduki tahta kerajaan, melawan murid tertua dan terpercaya dari Perguruan Pandan Alas, yang terkenal sebagai seorang sakti dari Klurak. Keduanya memiliki pegangan yang kuat serta pengalaman yang luas. Karena itu semakin lama pertempuran itu menjadi semakin dahsyat.Putut Karang Tunggal tidak lagi nampak sebagai seorang anak muda yang sedang tumbuh, tetapi ia benar-benar telah siap menjadi seorang laki-laki yang lincah, tegap, kuat dan perkasa. Sedang lawannya adalah seorang yang telah lama menjadi seorang ternama, apalagi di daerahnya.
Mahesa Jenar lah yang pada saat itu menjadi paling gelisah dan bingung. Tidak saja ia kagum atas apa yang dilihatnya pada Karang Tunggal, tetapi ia bingung pula atas perkembangan masalah yang menjurus pada hal-hal yang sama sekali tak dikehendaki. Namun ia masih sempat berdiri keheranan melihat gerak-gerak keturunan dari Perguruan Sela seperti yang pernah dikenalnya dengan baik dan yang telah disaksikan pula sewaktu Karang Tunggal berlatih dengan Arya Salaka. Tetapi ketika pertempuran itu menjadi semakin dahsyat, segera tampaklah berbagai macam ilmu bercampur aduk menjadi satu dan bersenyawa demikian serasinya, terbayang dalam gerakan Karang Tunggal. Malahan kadang-kadang tampaklah hal-hal yang tidak mungkin dapat terjadi. Dengan demikian ia dapat mengetahui bahwa anak itu benar-benar memiliki ilmu yang jauh lebih lengkap daripada apa yang pernah disaksikan.
Sedangkan yang paling mengherankan adalah, hampir setiap serangan Sarayuda, bagaimanapun tepatnya mengenai sasaran, namun anak itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu yang menyentuh tubuhnya. Ditambah lagi dengan gerak loncatnya yang aneh. Ketika Sarayuda menyerangnya dengan garang ke arah kepala, Karang Tunggal terpaksa merendahkan diri, sekaligus ia mendapat serangan kaki ke arah lambung, dan sekaligus gerak yang aneh, ia dapat melontar mundur sambil berjongkok. Gerakan ini adalah gerakan yang sulit. Namun anak itu dapat melakukannya dengan sederhana dan wajar.
Kanigara melihat keheranan yang terbayang di wajah Mahesa Jenar. Meskipun ia nampaknya masih acuh tak acuh saja, tetapi sebenarnya ia pun mengagumi kemenakannya itu. Kemenakannya yang nakal dan sulit dikendalikan sehingga ibu angkatnya Nyi Ageng Tingkir menjadi bersedih atas kelakuannya. Dengan kegemarannya pergi meninggalkan rumahnya sampai berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan menyusur hutan dan padang, bahkan menyepi ke daerah-daerah yang tak pernah dikunjungi manusia, menempuh daerah-daerah bahaya dan sengaja masuk ke dalam sarang-sarang penjahat, telah menjadikan Karebet seorang yang benar-benar tertempa lahir dan batin.
Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi untuk tetap menyaksikan saja keperkasaan Karang Tunggal, sehingga akhirnya ia perlahan-lahan pergi mendekati Kanigara, untuk menanyakan beberapa hal mengenai anak yang aneh itu.
Ketika Mahesa Jenar telah berdiri di sampingnya, dengan mata yang tak berkedip memandang perkelahian itu, Kanigara mengetahui maksudnya. Maka sebelum Mahesa Jenar bertanya, Kanigara telah berbisik lirih, ”Apakah kau menjadi heran?”
Mahesa Jenar mengangguk.
”Jangan heran…” Kanigara melanjutkan, ”Meskipun aku sendiri tidak tahu dari mana ia mendapatkannya. Tetapi ia memiliki ilmu yang disebutnya Lembu Sekilan.”
”Lembu Sekilan…?” ulang Mahesa Jenar. ”Ilmu yang pernah dimiliki oleh Empu Mada?”
Demikian. Karena itu ia seolah-olah menjadi kebal. Meskipun ilmu itu belum sempurna. Ia masih dapat dikenai serangan yang cukup tajam dari ilmu yang kuat. Apalagi ia nanti dapat menyempurnakan ilmu itu. Setidak-tidaknya mendekati apa yang dimiliki oleh Gajah Mada. Maka ia pun akan menjadi orang yang tak terkalahkan seperti Gajah Mada.”
Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepala. Seorang anak yang masih semuda itu telah memiliki suatu jenis ilmu yang sudah jarang sekali terdapat diantara para sakti sekalipun. Karena itulah maka ia melihat serangan Sarayuda yang tepat dapat mengenainya, tetapi sama sekali tak menggetarkan kulitnya.
Tetapi dengan demikian ia semakin cemas. Untunglah bahwa Sarayuda pun memiliki ketangkasan yang luar biasa, sehingga Karang Tunggal terlalu sulit untuk menyentuh kulitnya. Meskipun demikian kemarahan Sarayuda setiap saat menjadi semakin menyala-nyala. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri, kepada gurunya dan kepada semua orang yang menyaksikan. Bahwa melawan seorang anak-anak itu saja ia tak berhasil mengalahkan. Karena itulah maka kemudian ia benar-benar bertempur dengan seluruh tenaga, kemampuan dan ilmu yang dimilikinya. Ia kini tidak merasa lagi berkelahi sekadar sebagai suatu pernyataan marah, tetapi ia telah bertempur benar-benar diantara hidup dan mati.
Itulah sebabnya maka mereka yang menyaksikannya tidak dapat tetap acuh tak acuh. Kanigara pun kemudian bangkit berdiri, dan mengikuti jalannya perkelahian dengan seksama.
Tetapi yang beranggapan lain dari semuanya adalah Arya Salaka. Ia pun menjadi gembira sekali dapat menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Meskipun dalam beberapa hal ia menjadi keheran-heranan melihat gerak-gerak yang belum pernah disaksikan, namun ia dapat mengikuti sebagian besar dengan baik. Setelah ilmunya sendiri meningkat dengan pesatnya, maka ia kemudian tidak lagi mengagumi Sarayuda sebagai seorang yang terlalu tangguh. Sebab apabila gurunya mengijinkan, dalam tingkatannya yang sekarang ia pun bersedia untuk melawannya, meskipun barangkali tidak sebaik Putut Karang Tunggal. Karena itu Arya Salaka melihat pertempuran yang hebat itu dengan bergeser-geser mengikuti setiap geseran titik pertempuran. Bahkan kadang-kadang ia berlari-lari mengelilingi untuk mengambil sudut pandangan yang jelas. Karena ia sendiri sering melakukan latihan dengan Karang Tunggal maka ia dapat melihat betapa berbahayanya gerak serangan yang dilakukannya. Apalagi ketika pertempuran itu telah berlangsung lama. Tidak hanya Arya Salaka, tetapi semua yang hadir di sekitar arena pertempuran itu menyaksikan suatu hal yang tak terduga sebelumnya. Ketika Sarayuda tidak lagi mengekang dirinya, dan bertempur dengan segenap tenaganya dan kemampuannya, maka Putut Karang Tunggal pun menanggapinya. Maka dalam saat-saat terakhir, ternyata ia berhasil mendesak lawan dengan hebatnya. Gerakannya menjadi semakin cepat dan lincah. Sebaliknya Sarayuda tenaganya sudah mulai surut setelah diperas habis-habisan.
Kemudian terjadilah hal yang sangat mengejutkan. Putut Karang Tunggal yang akhirnya juga menjadi kehilangan kesabaran, tiba-tiba dari matanya yang bulat memancar seolah-olah cahaya merah kebiru-biruan. Cahaya yang mempunyai pengaruh luar biasa sebagai pancaran gaib yang melontar dari dalam dirinya. Bersamaan dengan itu geraknya pun menjadi semakin garang sebagai topan yang mengalir deras dibarengi petir yang menyebar maut.
Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang tua yang penuh pengalaman dalam perjalanan hidupnya. Banyak hal yang pernah dilihat dan dirasainya. Hal-hal yang kasar, yang halus, yang kasat mata dan yang tidak. Itulah sebabnya maka ketika ia melihat sorot mata Putut Karang Tunggal yang seakan-akan memancarkan cahaya merah kebiru-biruan itu, hatinya tergetar cepat. Segera ia dapat merasakan suatu kegaiban dari cahaya itu. Apalagi yang dilihatnya benar-benar suatu hal yang tak mungkin terjadi dalam keadaan yang wajar.  Seorang anak muda yang memiliki ketangkasan demikian mengagumkan. Tidak saja melampaui muridnya, namun apabila ia benar-benar marah, ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan Sarayuda.
Meskipun Pandan Alas belum pernah berkenalan, apalagi mempelajari semacam ilmu yang dimiliki oleh Putut Karang Tunggal, namun sebagai seorang yang banyak mengetahui berbagai macam ilmu, ia pun dapat menerka bahwa ilmu yang dipergunakan Karang Tunggal adalah ilmu yang luar biasa.
Bahkan ia pun telah menduga bahwa Putut Karang Tunggal memiliki ilmu yang hampir merupakan dongengan, Lembu Sekilan. Sebab apapun yang dilakukan Sarayuda, dan tampak benar-benar mengena, namun anak itu seolah-olah sama sekali tak merasakannya. Meskipun dalam beberapa kali, apabila Sarayuda berhasil melontarkan serangan yang tajam dan sepenuh tenaga, tampak juga betapa Karang Tunggal bertegang wajah, menerapkan ilmunya dengan sepenuh usaha. Dengan demikian Pandan Alas dapat menduga bahwa ilmu Putut Karang Tunggal itu masih belum sempurna. Tetapi yang pernah didengarnya, seperti yang pernah didengar oleh hampir semua tokoh-tokoh sakti, yang mersudi olah jaya kawijaya guna kasantikan, bahwa Lembu Sekilan adalah salah satu ilmu yang pernah dimiliki Maha Patih Gajah Mada.
Berdasarkan apa yang disaksikan itulah maka akhirnya Pandan Alas merasa bahwa bagaimanapun hebatnya Sarayuda, namun ia tak akan berhasil menandingi anak muda yang perkasa dan luar biasa itu. Karena itu ia memutuskan untuk mencegah Sarayuda bertempur lebih lama lagi. Maka kemudian terdengarlah ia berkata nyaring, “Sarayuda… cukuplah.”
Mahesa Jenar dan Kanigara terkejut mendengar seruan itu. Namun dalam hati mereka menaruh hormat kepada orang tua yang bijaksana itu. Kalau semula mereka menyangka bahwa apabila ada salah mengerti padanya, persoalan pasti akan berlarut-larut. Tetapi ternyata Pandan Alas telah berbuat suatu hal yang terpuji. Dengan demikian maka persoalannya akan dapat dibatasi. Karena itu, Kebo Kanigara yang juga cukup bijaksana segera memanggil kemenakannya. “Karang Tunggal… sudahlah. Mintalah maaf kepadanya, supaya kau dibebaskan dari kemarahannya.”
Putut Karang Tunggal yang bagaimanapun nakalnya, apalagi pada saat itu, hatinya sedang dipenuhi oleh perasaan marah, namun benar-benar takut kepada pamannya. Karena itu dengan sangat kecewa ia terpaksa memenuhi perintahnya. Dengan satu lontaran mundur yang jauh ia melepaskan diri dari libatan lawannya.
Tetapi tidaklah demikian Sarayuda. Hatinya telah diamuk oleh suatu perasaan yang tak dapat diurai lagi. Bercampur aduknya segala macam perasaan yang dapat membakar dadanya. Marah, benci, dendam, dan segala macam. Sehingga dengan demikian meskipun ia mendengar suara gurunya, namun ia sama sekali tak menaruh perhatian. Sebagai seorang yang mempunyai kekuasaan yang cukup besar, ia sama sekali tidak mau namanya menjadi cacat. Apalagi dalam perkelahian yang memerlukan segenap pemusatan pikiran dan kekuatan, ia seolah-olah tidak dapat melihat keajaiban-keajaiban yang dipancarkan lawannya, meskipun dalam beberapa hal ia merasa heran juga kalau serangan-serangannya seolah tak pernah dapat menyentuh kulit lawannya. Tetapi justru karena itulah ia menjadi semakin bernafsu, berjuang mati-matian. Demikianlah, ketika Sarayuda melihat Putut Karang Tunggal melontarkan diri surut, ia sama sekali tidak menjauhkan dirinya, bahkan ia pun memburunya dan sekaligus melontarkan suatu serangan yang dahsyat.
Putut Karang Tunggal tak mengira hal yang demikian itu terjadi. Ia tidak menduga sama sekali bahwa ia akan mendapat serangan justru pada saat ia mengundurkan dirinya. Karena itulah ia tidak bersiaga. Ilmunya yang bernama Lembu Sekilan yang belum sempurna benar itu sudah mulai dikendorkan. Karena itulah maka ketika ia menerima serangan yang tak diduganya, terasalah seolah-olah sebuah bukit karang berguguran menimpanya pada saat ia sedang lelap tidur. Itulah sebabnya, bagaimanapun ia berusaha menerapkan ilmunya Lembu Sekilan, namun dalam waktu yang mendadak itu tidak banyak berarti. Meskipun berhasil menolongnya dari cidera, tetapi ia terlempar juga beberapa langkah dan terbanting jatuh. Ternyata ilmunya itu masih belum mampu bekerja sendiri apabila sebuah perangsang menyentuhnya.
Semua yang menyaksikan kelakuan Sarayuda itu terkejut. Dada mereka berdebaran, dan darah mereka seperti berhenti mengalir. Bahkan Kanigara dan Mahesa Jenar menjadi seolah-olah terpaku di tempatnya dan tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Ki Ageng Pandan Alas pun kemudian sampai terloncat maju, dan dengan lantangnya berteriak, “Sarayuda… sadarkah kau bahwa kau telah berlaku kurang bijaksana?”
Sekali lagi Sarayuda tak mau mendengar suara gurunya. Bahkan masih saja ia meloncat dan menyerang Putut Karang Tunggal yang sedang berusaha untuk bangkit. Karena itulah maka keadaannya menjadi sangat berbahaya. Untunglah otaknya cerdas dan cepat. Segera ia menghentikan geraknya. Ia lebih baik tetap berjongkok, namun dengan sekuat tenaga diterapkannya ilmunya Lembu Sekilan. Meskipun demikian serangan Sarayuda yang ganas itu menggoncangkan tubuhnya sehingga hampir saja ia terjatuh kembali. Pada saat Sarayuda akan mengulangi serangannya kembali, tiba-tiba meloncatlah bayangan dengan cepat menyerangnya dari lambung. Meskipun kecepatannya tidak dapat disamakan dengan kecepatan karang Tunggal, namun terasa betapa kuat serangan itu. Karena itu Sarayuda segera memutar tubuhnya, dan mengurungkan serangannya atas Putut Karang Tunggal. Bayangan itu adalah Arya Salaka yang telah memiliki ilmu yang maju dengan pesatnya. Karena itulah maka sekali lagi Sarayuda terkejut. Anak yang kedua ini tidak kurang berbahayanya, karena itu ia menghadapinya dengan sepenuh tenaga. Pada saat itulah Kanigara dikecewakan oleh Sarayuda. Kalau mula-mula ia ingin mencegah kemenakannya supaya tidak menyelesaikan pertempuran itu, sekarang ia berpikir sebaliknya. Biarlah anak nakal itu menghajar orang yang sama sekali tak tahu diri. Sebaliknya, Mahesa Jenar menjadi terkejut dan cemas melihat Arya Salaka melibatkan diri dalam perkelahian itu. Namun demikian ia menjadi keheranan juga, bahwa muridnya itu dapat bertempur demikian baiknya sehingga sama sekali tak diduganya. Tetapi Arya Salaka tidak perlu berjuang terlalu lama. Sebab pada saat itu Putut Karang Tunggal telah bersiap kembali. Maka sesaat kemudian terdengarlah ia berteriak nyaring, “Adi Arya Salaka, minggirlah. Aku tidak mau diperlakukan demikian. Biarlah kami berhadapan sebagai seorang laki-laki dengan laki-laki.”
Suara Putut Karang Tunggal itu pun mengherankan pula. Getarannya bagaikan getaran guruh yang menggelegar menggoyangkan bukit-bukit kecil yang bertebaran di sana-sini. Bahkan suara itu seolah-olah telah mengejutkan matahari yang sedang tidur dengan nyenyaknya di balik cakrawala. Karena itu, di ujung timur fajar mulai menjenguk dan melemparkan cahayanya yang kemerahan.
Agak jauh di Padepokan Karang Tumaritis di puncak bukit itu, terdengarlah suara ayam jantan yang berkokok bersahutan. Seolah-olah mereka sedang membanggakan diri masing-masing dengan berteriak, ”Ini dadaku, mana dadamu…?
Demikian pula ayam jantan dari Pengging yang bernama Karebet itu, menjadi semakin marah atas kelakuan lawannya. Karena itu apapun yang terjadi, ia bertekad untuk bertempur mati-matian. Sehingga ketika Arya Salaka telah meloncat minggir, anak muda itu tegak berdiri dengan gagahnya, dengan kaki renggang dan dada menengadah. Wajahnya menjadi semakin cerah, melampaui cerahnya fajar. Sedangkan cahaya merah kebiru-biruan yang menyorot dari matanya yang bulat cemerlang itu menjadi semakin menyala-nyala.
Tiba-tiba Sarayuda yang telah bersiap pula, merasakan keanehan yang ada pada lawannya. Sekarang ia melihat sorot mata yang ajaib. Juga ia semakin merasakan bahwa serangan-serangannya menjadi seolah-olah lenyap tak berbekas. Tetapi akibat dari tanggapannya atas kenyataan yang dihadapinya itu menjadikannya semakin mata gelap. Ia sudah tidak dapat berpikir lain, kecuali membinasakan lawannya. Karena itulah maka tiba-tiba ia berbuat sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, baik oleh Mahesa Jenar, Kanigara maupun gurunya sendiri Ki Ageng Pandan Alas.
Tiba-tiba, Sarayuda yang dibakar oleh api kemarahan yang menyala-nyala di dalam dadanya, tiba-tiba berdiri tegak. Wajahnya terangkat dan matanya menjadi redup setengah terpejam. Ia menyalurkan segala tenaganya dilambari dengan pemusatan pikiran untuk kemudian meletakkan satu tangannya di atas dada, sedangkan tangan lainnya menjulur ke depan lurus-lurus. Itulah suatu sikap untuk melepaskan ilmunya yang dahsyat, ilmu pamungkas Cundha Manik, dari Perguruan Pandan Alas.
Mahesa Jenar pernah menyaksikan kedahsyatan ilmu itu, bahkan ia pernah menempurnya dengan aji Sasra Birawa. Akibatnya adalah mengerikan sekali. Sekarang, beberapa tahun kemudian, pastilah Cunda Manik itu menjadi bertambah dahsyat. Karena itu, ia menjadi pucat, dan melintaslah seleret bayangan yang mengerikan. Sebab bagaimanapun teguhnya ilmu Lembu Sekilan yang belum sempurna itu namun karena nafsu kemarahan yang tidaklah mungkin anak itu dapat bertahan diri terhadap kedahsyatan aji Cunda Manik. Karena itulah maka Mahesa Jenar tidak mau melihat pembunuhan yang tidak adil hanya karena nafsu kemarahan yang tak terkendalikan. Dengan demikian ketika ilmu Cunda Manik itu telah terhimpun di dalam tangannya serta ketika dilihatnya Sarayuda telah siap meloncat dan mengayunkan tangannya, Mahesa Jenar pun segera meloncat dengan garangnya menghadang langkah Sarayuda tepat di depan Putut Karang Tunggal dengan satu tangan bersilang di hadapan dadanya, satu tangan terangkat tinggi-tinggi. Sedang sebelah kakinya ditekuknya ke depan, siap untuk melawan Cunda Manik itu dengan ajinya yang telah jauh meningkat, Sasra Birawa. Dalam pada itu bayangan lain pun telah melontar pula, dekat di sampingnya, juga berusaha berdiri diantara Sarayuda dan Putut Karang Tunggal, bahkan agak lebih cepat sedikit darinya dengan sikap yang sama. Satu tangan bersilang, tangan yang lain terangkat tinggi-tinggi, sedang sebelah kakinya ditekuk ke depan. Itulah Kanigara yang juga berusaha melindungi kemenakannya dengan jenis ilmu yang sama, Sasra Birawa yang sempurna.
Dalam sekejap mata Sarayuda melihat pula kedua orang yang telah berdiri berjajar rapat di hadapan lawannya. Namun segalanya telah terlanjur. Ilmu itu telah terhimpun dan siap dilontarkan. Karena itu ia menjadi tidak peduli lagi siapakah yang akan binasa karenanya, apakah dirinya sendiri, Putut yang telah dianggap menghinanya, ataukah Mahesa jenar, ataukah orang yang bernama Karang Jati itu. Maka dengan mata yang hampir terpejam ia meloncat dengan dahsyatnya.
Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar dan Kanigara telah mulai menjulurkan kekuatannya lewat sisi telapak tangan untuk menerima aji yang dahsyat itu, kembali mereka dikejutkan oleh bayangan lain yang dengan dahsyatnya mendahului membentur Sarayuda dengan kekuatan yang luar biasa pula. Sehingga terjadilah bentrokan kekuatan yang mengerikan sekali. Akibatnya pun sangat mengejutkan. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dan Kanigara masih sempat mengendorkan diri sehingga mereka pun tidak perlu ikut serta dalam benturan yang terjadi, dan tidak terduga-duga itu.
Sarayuda, karena akibat benturan itu terlempar jauh ke belakang dan terbanting di atas batu karang. Suara tubuhnya ambruk hebat. Dan setelah itu ia sama sekali tidak bergerak lagi.
Sementara itu bayangan yang membenturnya, yang tidak lain adalah gurunya sendiri, Ki Ageng Pandan Alas, segera berlari-lari memburunya, dan langsung berjongkok di sampingnya.
Kanigara, Mahesa Jenar, Karang Tunggal dan Arya Salaka terguncang hatinya. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa akhir peristiwa itu demikian. Benturan langsung antara murid dan gurunya dengan akibat yang tak diduga pula.
Perlahan-lahan mereka berjalan mendekati Ki Ageng Pandan Alas yang duduk tertunduk di samping muridnya. Wajahnya suram sesuram seorang ayah yang kehilangan anaknya tersayang. Bahkan dari mata orang tua itu membayangkan titik-titik air yang berkilat-kilat kena lemparan cahaya matahari pagi.
Dari bibirnya yang bergetaran terdengarlah suaranya yang terputus-putus, ”Sarayuda… kenapa kau sampai kehilangan akal, sehingga aku terpaksa mencegahmu…? Aku pernah mengharap kau menjadi sambungan yang kuat dari perguruanku. Sekarang….”
Wajah orang tua itu menjadi semakin suram. Matanya yang kemudian terangkat dan memandang kepada Mahesa Jenar, Kanigara, Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka, yang telah berjongkok pula mengitari tubuh Sarayuda yang gilang-gilang bermandikan cahaya matahari.
Angin pagi yang bertiup lambat seolah-olah ikut serta terbenam dalam duka yang mendalam.
Mereka yang berada di tempat itu, merasakan betapa hati orang tua itu terpecah-pecah. Murid utamanya, yang dengan penuh harapan diasuhnya sekuat tenaga, kini terbaring di hadapannya justru karena tangan sendiri.
“Anak-anakku sekalian…” kata orang tua itu kemudian dengan suara yang dalam, “Maafkanlah muridku.”
Yang mendengar perkataan itu menjadi semakin terharu. Betapa orang tua itu berhati jantan. Yang melihat masalah di hadapannya dengan jujur meskipun dadanya serasa hancur.
Perlahan-lahan orang itu dengan tangannya yang lemah karena guncangan yang hebat, meraba-raba dada Sarayuda. Tiba-tiba terbersitlah suatu cahaya di matanya. Dengan cepat Ki Ageng Pandan Alas menempelkan telinganya untuk mendengarkan detak jantung muridnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Anakmas aku masih mendengar jantungnya berdetak.”
Tiba-tiba yang mendengar seruan itu, di dalam hatinya timbul pula semacam perasaan gembira, sehingga mereka bergeser setapak maju. Namun sesaat kemudian orang itu kembali menjadi muram. Gumamnya, “Tetapi detak jantung itu sudah terlalu lemah. Dan aku bukanlah seorang ahli dalam hal ini.”
Tak sepatah katapun yang dapat diucapkan oleh Mahesa Jenar, Kanigara, apalagi Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka. Hanya di wajah Karang Tunggal terbayang pula penyesalan yang dalam. Karena kelakuannyalah maka semua itu terjadi. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa hanya karena ia tidak dapat menahan tertawanya saja, maka ia terpaksa menyaksikan seorang guru dan murid saling berbenturan dan mengakibatkan malapetaka.
Dalam pada itu, Kanigara yang telah agak lama tinggal di bukit Karang Tumaritis, bersama-sama dengan seorang Panembahan yang ahli pula dalam hal pengobatan, sedikit banyak dapat pula melakukannya. Maka dengan suara yang dalam ia mencoba meminta, “Ki Ageng Pandan Alas, kalau memang masih ada detak di dalam dada Sarayuda, ijinkanlah aku mencoba untuk memperlancar jalan darahnya.”
Dengan mata yang suram Ki Ageng Pandan Alas memandang Kanigara. Tetapi kemudian ia mengangguk lemah. Segera Kanigara bangkit dan berdiri dengan kaki terbuka di atas tubuh Sarayuda. Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya untuk menolongnya menyalurkan pernafasan dan peredaran darahnya. Setelah itu, perlahan-lahan pula ia memijit-mijit dada.
Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas dengan jelas dapat melihat siapakah yang berdiri di hadapannya, yang menamakan dirinya Putut Karang Jati itu. Ia adalah seorang yang bertubuh tegap besar, berwajah bening yang memancarkan kelembutan hati. Karena itulah ia menjadi semakin curiga, bahwa orang itu hanyalah seorang Putut yang sejak semula memang mengabdikan diri pada Panembahan di bukit ini. Dengan tidak sengaja, matanya segera merayapi Putut muda yang baru saja bertempur dengan muridnya. Seorang muda yang memiliki tanda-tanda keajaiban. Juga terhadap anak ini ia selalu bertanya-tanya di dalam hati. Siapakah gerangan mereka itu sebenarnya.
Ketika itu ia melihat Sarayuda mulai dapat menyalurkan nafas perlahan-lahan serta detak jantungnya menjadi semakin lancar pula. Namun demikian apabila ia tidak segera mendapat pertolongan yang semestinya, keadaannya sangat membahayakan.
Karena itulah maka Kanigara berkata, ”Ki Ageng Pandan Alas, apabila Ki Ageng tidak berkeberatan, perkenankanlah aku membawa murid Ki Ageng ini menghadap Panembahan, supaya ia dapat disembuhkan dari keadaan yang sekarang ini.”
Ki Ageng Pandan Alas yang menaruh harapan masa depan perguruannya, sudah tentu menghendaki muridnya dapat disembuhkan. Karena itu dengan senang hati ia menjawab, ”Anak Putut Karang Jati, aku sangat berterima kasih apabila Panembahan Ismaya berkenan menyembuhkan Sarayuda.”
Kemudian oleh persetujuan itu, segera Kanigara mengajak mereka semua untuk menghadap Panembahan. Tetapi tiba-tiba terdengarlah Putut Karang Tunggal berkata, ”Paman, apakah aku harus ikut menghadap pula? Aku telah menyanggupi Adi Arya untuk membawanya berkeliling bukit kecil ini.”
Kanigara melihat ketakutan anak nakal itu terhadap Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab, ”Ayolah. Kau jangan berbuat sekehendakmu saja. Arya akan sabar menunggu sampai besok, lusa bahkan seminggu dua minggu lagi. Malahan kaulah yang seharusnya mengangkat tubuh Sarayuda, dan memapahnya menghadap Panembahan.”
Karang Tunggal sama sekali tak berani membantah kata-kata pamannya. Dengan dada berdebar-debar ia membungkuk dan mengangkat murid Pandan Alas itu pada kedua tangannya dan membawanya mengikuti pamannya yang berjalan di depan bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas. Sedang Arya Salaka berjalan dengan kepala tunduk di sampingnya.
”Beratkah tubuh itu Kakang?” tanya Arya Salaka.
Dengan tersenyum kecut Karang Tunggal menjawab, ”Cukupanlah.”
”Dapatkah aku membantu?” sambung Arya.
Sekali lagi Karang Tunggal tersenyum kecut. ”Tak usahlah.”
Setelah itu kembali mereka berdiam diri. Tak seorangpun diantara mereka yang mengucapkan sepatah katapun. Namun di dalam keheningan pagi itu, dada Ki Ageng Pandan Alas masih saja bergejolak. Disamping kecemasannya atas keselamatan muridnya, ia jadi benar-benar berpikir tentang orang yang nenamakan Putut Karang Jati dan Karang Tunggal. Yang paling mengherankan baginya adalah bahwa Karang Jati dalam keadaan yang terjepit, telah menyiapkan pula ilmu yang mirip dengan ilmu Mahesa Jenar yang dahsat peninggalan almarhum sahabatnya, Ki Ageng Pengging Sepuh.
Kedatangan rombongan itu, dengan seorang yang tak sadarkan diri di tangan Putut Karang Tunggal, sangat mengejutkan penghuni padepokan yang damai itu. Para cantrik segera bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang telah terjadi, dan siapakah yang pingsan di tangan kepala para cantrik itu.
Demikian pula agaknya Panembahan Ismaya. Dengan tergopoh-gopoh ia menerima kedatangan mereka dengan penuh pertanyaan di wajahnya yang lembut.
Segera rombongan itu dipersilahkan masuk dan dibaringkannya tubuh Sarayuda di atas sebuah pembaringan kayu.
Panembahan Ismaya melihat keadaan yang mengkhawatirkan. Karena itu ia tidak sempat untuk bertanya-tanya. Tetapi yang mula-mula dilakukan adalah merawat Sarayuda. Beberapa bagian tubuhnya dipijit-pijit serta kemudian dengan hati-hati sekali diminumkannya semangkuk kecil obat
Suasana untuk sesaat jadi hening dan tegang. Masing-masing terikat pada keadaan Sarayuda yang masih terbaring diam. Namun nafasnya telah mulai nampak mengalir teratur.
Akhirnya beberapa saat kemudian tubuh itu mulai hangat kembali. Cahaya yang merah perlahan merambat ke wajahnya. Dengan demikian maka keselamatannya semakin dapat diharapkan.
Sejalan dengan itu menjalar pula perasaan syukur di dada Pandan Alas dan semuanya yang menyaksikan. Bahkan Putut Karang Tunggal yang semula menjadi marah kepada Sarayuda, kini dengan penuh harapan mengikuti perkembangan keadaan murid Pandan Alas itu.
“Mudah-mudahan Tuhan menyelamatkan jiwanya,” gumam Panembahan Ismaya. “Namun menilik keadaannya ia telah berangsur baik. Nafasnya telah mengalir dengan teratur. Meskipun agaknya untuk beberapa bulan ia harus benar-benar beristirahat untuk segera dapat memulihkan kembali kesehatan serta kekuatan tubuhnya.”
“Betapa besar terima kasihku kepada Tuhan, yang telah mengampuni jiwa muridku dengan lantaran Panembahan,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
Perlahan-lahan Panembahan Ismaya menoleh kepada Ki Ageng Pandan Alas. Untuk beberapa saat ia memperhatikannya lalu kemudian ia bertanya, “Siapakah Anakmas yang terluka ini…?”
”Muridku, Panembahan,” jawab Pandan Alas.
Panembahan Ismaya mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Biarlah Anakmas ini beristirahat. Marilah kita duduk di ruang sebelah.”
Kemudian ditinggalah Sarayuda seorang diri terbaring. Matanya masih terpejam, tetapi wajahnya sudah nampak merah.
Di ruang sebelah, mulai Panembahan Ismaya bertanya-tanya. Apakah yang sudah terjadi dan siapakah guru dan murid yang belum dikenalnya itu. Maka berceritalah Kebo Kanigara, segala sesuatu yang menyangkut peristiwa itu. Diceritakan pula hubungan antara Mahesa Jenar, Sarayuda dan Pudak Wangi yang dititipkan di padepokan itu oleh Mahesa Jenar setelah ia berhasil menyelamatkannya dari tangan Sima Rodra. Namun Mahesa Jenar sendiri geli mendengar keterangan itu. Kemudian diceritakan pula bahwa beberapa malam kemudian didengarnya suara tembang yang sebenarnya adalah suara Ki Ageng Pandan Alas, kakek Pudak Wangi yang sedang mencari cucunya. Dan kemudian tanpa meninggalkan peristiwa yang terkecil pun Kanigara menceritakan pula pertengkaran dan akhirnya perkelahian yang terjadi antara Sarayuda dan Karang Tunggal, sehingga akhirnya guru Sarayuda sendiri terpaksa mencegah muridnya yang akan mempergunakan senjata pamungkasnya yang sangat berbahaya.
Panembahan Ismaya mendengarkan uraian Kebo Kanigara dengan seksama. dan sambil mengerutkan keningnya ia memandang Putut Karang Tunggal dengan penuh penyesalan.
Katanya kemudian, “Ki Sanak yang bijaksana, maafkanlah kelakuan orang-orangku yang sama sekali tidak bersikap baik. Untunglah bahwa Ki Ageng Pandan Alas telah mencegahnya. Kalau tidak, barangkali Putut Karang Tunggal akan mengalami cidera karena kenakalannya. Bahkan Ki Ageng telah mengorbankan murid sendiri.”
Tak seorang pun yang berani mengangkat wajah. Kanigara, Karang Tunggal maupun Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Apalagi Mahesa Jenar merasa bahwa sumber dari persoalan itu adalah persoalannya dengan Sarayuda.
Apalagi ketika Panembahan Ismaya melanjutkan, “Dengan demikian kehadiranmu di tempat itu sama sekali tak berarti Kanigara, bahwa kau tidak dapat mencegah semuanya itu terjadi.”
Kanigara menjadi semakin menundukkan wajahnya.
Tetapi akibat kata-kata itu tajam sekali bagi Ki Ageng Pandan Alas yang telah sekian lama berteka-teki tentang orang yang menamakan dirinya Putut Karang Jati itu. Apalagi setelah ia menyaksikannya mempersiapkan aji Sasra Birawa. Dan sekarang ia mendengar Panembahan Ismaya menyebutnya Kanigara. Segera Pandan Alas teringat seseorang beberapa tahun lampau, pada saat ia masih bergaul dengan sahabatnya Ki Ageng Pengging Sepuh, guru Mahesa Jenar. Ia teringat jelas putra sahabatnya itu yang kemudian menjadi saudara muda seperguruannya sendiri. Bahkan yang memiliki ilmu yang lebih masak daripadanya. Karena ia jarang menjumpainya maka ia tidak begitu mengenalnya. Dan sekarang orang itu ada di depannya. Kanigara. Ya… Kebo Kanigara.
Karena itu tiba-tiba ia menjadi gemetar. Dan dengan suara yang berat ia bertanya, “Panembahan, apakah Anakmas Kebo Kanigara putra Pangeran Handayaningrat…?”
Pangeran Ismaya mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Inilah orangnya.”
Tiba-tiba Ki Ageng Pandan Alas yang sudah tua itu mengangguk hormat kepada Kanigara sambil berkata, “Maafkan Anakmas Kebo Kanigara. Aku agaknya terlalu pikun untuk mengenal sahabat-sahabatku kembali. Agaknya Anakmas terlalu lama meninggalkan ayahanda, sehingga sejak masa hidup ayahanda aku sudah tidak pernah menjumpai Anakmas lagi.”
Kanigara membalas hormat pula kepada Pandan Alas. Lalu jawabnya, “Kita sudah terlalu lama tidak bertemu, Ki Ageng.”
“Untunglah…” sambung Pandan Alas, Bahwa aku telah mencegah muridku. “Kalau saja aku terlambat, aku kira muridku itu telah menjadi lumat.”
Kanigara mengerutkan keningnya. Juga Panembahan Ismaya. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun. Yang terdengar kemudian adalah pertanyaan Ki Ageng Pandan Alas, ”Aku memang sudah menduga bahwa yang bernama Karang Jati adalah mengandung suatu rahasia meskipun hanya sekadar sebagai suatu olok-olok saja. Namun terhadap Karang Tunggal pun aku curiga pula.”
Sekali lagi Panembahan Ismaya dan Kanigara bersama-sama mengernyitkan keningnya. Sedang Karang Tunggal sendiri kemudian menjadi berdebar-debar meskipun baginya sama sekali tak bedanya apakah ia dipanggil Putut Karang Tunggal, Karebet atau Jaka Tingkir.
”Ki Ageng…” jawab Kebo Kanigara kemudian, ”Kalau aku menyebut diriku Putut Karang Jati adalah karena aku tinggal bersama-sama Panembahan di bukit ini. Adapun nama itu adalah nama yang aku pergunakan sebagai Putut. Sedang Karang Tunggal pun demikian. Sebagai seorang Putut ia bernama Karang Tunggal. Tetapi apabila Ki Ageng ingin mengetahuinya, aku kira ia tidak keberatan.”
Lalu kepada Karang Tunggal ia berkata, ”Bukankah begitu Karang Tunggal?”
Karang Tunggal mengangguk kaku.
”Nah, Ki Ageng…” Kanigara melanjutkan, ”Ia adalah seorang Putut yang baik, tetapi ia adalah seorang anak nakal. Senakal ayahnya, yang pasti Ki Ageng pernah mendengarnya.”
Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-angguk dengan penuh perhatian.
”Anak itulah peninggalan adikku, Kebo Kenanga. Namanya Karebet,” sambung Kanigara. ”Dan selama ia tinggal di bukit ini ia mendapat kehormatan untuk menjadi pimpinan para cantrik. Baginya oleh Panembahan Ismaya diberikan nama Putut Karang Tunggal.”
Sekali lagi Pandan Alas mengangguk-angguk. Kemudian sahutnya, ”Pantaslah kalau ia cucu Ki Ageng Pengging Sepuh. Aku melihat keajaiban yang tersembunyi di dalam tubuhnya.”
”Aku hanya melihat kenakalannya,” potong Panembahan Ismaya. ”Kenakalan yang aku kira sudah berkurang. Tetapi agaknya pada suatu saat akan dengan mudahnya timbul kembali.”
Kembali kepala Karang Tunggal tertunduk. Sindiran yang langsung mengenainya.
Sementara itu tubuh Sarayuda yang terbaring di ruang sebelah ternyata sudah mulai tampak bergerak gerak. Panembahan Ismaya kemudian bersama dengan mereka yang hadir di ruang itu segera mendekatinya. Dengan hati-hati Panembahan Ismaya meraba tubuh yang sudah semakin segar itu. Dan beberapa saat kemudian Sarayuda dengan lemah membuka matanya. Alangkah gembira hati gurunya. Tidak itu saja. Juga Kanigara, Mahesa Jenar dan lainnya pun bergembira pula.
Apalagi ketika kemudian dengan sangat perlahan terdengar dari sela-sela bibirnya yang gemetar Sarayuda berkata, ”Guru….”
Segera Ki Ageng Pandan Alas mendekatinya dan mendekatkan kupingnya ke mulut Sarayuda. ”Aku di sini, Sarayuda…” bisiknya.
Sarayuda melihat gurunya membungkukkan kepalanya di hadapan wajahnya. Dengan sayu ia mencoba tersenyum dan melanjutkan kata-katanya, ”Apakah aku masih hidup…?”
”Tentu Sarayuda, tentu…” jawab Pandan Alas.
”Air…” desis Sarayuda.
Belum lagi Pandan Alas melanjutkan permintaan itu, Karang Tunggal telah meloncat untuk mengambil air yang kemudian setetes demi setetes air itu diteteskan ke mulut Sarayuda dan langsung ditelannya.
Dengan tetesan air itu Sarayuda merasa tubuhnya menjadi semakin segar. Karena itulah wajahnya menjadi semakin semringah pula.
”Terimakasih,” desisnya.
”Istirahatlah Anakmas,” bisik Panembahan Ismaya.
Mata Sarayuda yang masih redup memandang Panembahan Ismaya dengan herannya. Ia belum pernah mengenalnya. Panembahan tua itu segera mengetahui apa yang terkandung di dalam hatinya. Maka segera ia berkata, ”Mungkin Anakmas heran melihat kehadiranku di sini. Jangan pikirkan itu dahulu. Beristirahatlah supaya tubuh Anakmas menjadi baik.”
Sarayuda kembali mencoba tersenyum. Kemudian matanya beredar kepada Mahesa Jenar, Kanigara, Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal. Tetapi wajahnya sama sekali tidak memancarkan perasaan marah dan dendam. Bahkan kemudian kembali ia tersenyum, senyum yang ikhlas. Lalu katanya, ”Guru, di manakah aku sekarang ini?”
”Kau berada di Padepokan Karang Tumaritis, Sarayuda. Kau berada di dalam perawatan Panembahan Ismaya ini,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
”Ki Ageng Pandan Alas, maafkanlah aku,” katanya kemudian.
”Jangan berpikir yang aneh-aneh, Sarayuda,” potong Pandan Alas.Ikutilah nasehat Panembahan supaya tubuhmu bertambah baik.”
”Terimakasih,” jawabnya. ”Aku akan beristirahat sebaik-baiknya. Tetapi aku lebih dahulu akan minta maaf kepada kalian. Pada kesempatan ini. Kepada Ki Ageng, kepada Kakang Mahesa Jenar, kepada Putut Karang Jati, Karang Tunggal, dan Arya Salaka.”
”Tak ada kesalahan yang kau lakukan Sarayuda. Perbedaan pendapat dan persamaan kepentingan adalah lumrah, sehingga akibat yang timbul karena itu pun lumrah pula,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
Sarayuda menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian tubuhnya menjadi bertambah segar. Angin pagi yang perlahan-lahan mengalir, mengusap wajahnya dengan lembut.
Aku merasa bahwa apa yang aku lakukan telah melanggar nasehat guru. Karena itulah aku merasa bersalah,” kata Sarayuda meneruskan.
“Baiklah,” jawab gurunya, “Aku maafkan kesalahan itu. Dan aku yakin, Sarayuda, bahwa yang lainpun akan memaafkanmu.”
Sekali lagi pandangan Sarayuda beredar berkeliling, seolah-olah ia ingin mendapatkan kebenaran kata-kata gurunya.
Mahesa Jenar yang dapat meraba pertanyaan yang terpancar dari mata itu segera berkata, “Sarayuda. Marilah kita saling memaafkan. Saling melupakan apa yang pernah kita lakukan. Leburlah semua kesalahan yang ada diantara kita.”
Sekali lagi Sarayuda menarik nafas dalam-dalam. ”Leburlah kesalahan kita. Tetapi persoalan kita belum selesai,” sahutnya.
Mereka yang mendengar kata-kata itu, jantungnya bertambah cepat berdenyut. Dalam keadaan yang sedemikian Sarayuda masih mempersoalkan masalah yang rumit itu. Mahesa Jenar dengan demikian menganggap bahwa dalam keadaan yang bagaimanapun Sarayuda akan tetap pada pendiriannya. Maka tiba-tiba runtuhlah hatinya. Ia tidak sampai hati mengecewakan orang yang sedang bertahan terhadap maut.
Bagaimanapun ia mempunyai kepentingan buat diri sendiri, namun Mahesa Jenar adalah seorang yang berhati lembut. Karena itu, ia lebih baik berkorban kepentingan diri, daripada melihat Sarayuda berputus asa, dan seterusnya tidak menghendaki lagi dirinya dapat sembuh kembali dari luka-luka dalamnya itu. Kalau demikian halnya, maka tak ada obat di dunia ini yang mampu menolongnya.
Maka kemudian dengan hati berat dan kata-kata yang bergetar ia berkata, “Sarayuda… jangan pikirkan aku lagi. Jagalah ketenteraman hatimu agar kau dapat segera sembuh kembali. Dan apa yang kau idamkan selama ini akan dapat kau capai. Kelengkapan dari kamuktenmu. Lupakan aku. Aku tidak akan menghalangimu lagi.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, hampir semuanya tersentak. Kanigara, Pandan Alas, Karang Tunggal dan Arya Salaka. Bahkan Panembahan Ismaya pun mengerutkan keningnya pula. Perkataan yang demikian itu sama sekali tidak mereka duga sebelumnya. Meskipun demikian, terutama Pandan Alas merasakan pengaruh kata-kata itu dalam relung hatinya yang paling dalam. Ia menjadi semakin yakin, betapa jernih hati laki-laki itu. Sehingga tiba-tiba terasa di dadanya, sesuatu yang menyumbat pernafasannya.
Tetapi yang lebih terguncang lagi adalah perasaan Sarayuda. Wajahnya segera berubah hebat. Bahkan hampir saja ia mencoba bangun. Untunglah bahwa Panembahan Ismaya segera mencegahnya. Namun demikian dari matanya memancarlah cahaya yang aneh. Sesaat kemudian setelah hatinya agak teratur iapun berkata, ”Kakang Mahesa Jenar. Aku bukan bermaksud demikian. Kemudian dengan mata sayu dan kata-kata yang dalam ia meneruskan, Adakah Wilis di sini?.”
Tanpa disadari Mahesa Jenar menjawab, ”Ada Sarayuda. Ia berada di bukit ini. ”
Wajah Sarayuda menjadi bertambah jernih. Sambungnya, ”Mahesa Jenar, bolehkan aku bertemu?”
Masih di luar sadarnya Mahesa Jenar menjawab, ”Tentu Sarayuda. Apakah kau ingin menemuinya?”
”Ya, kalau kau tidak keberatan, tolonglah bawalah ia kemari, sebab aku sama sekali tidak dapat bangun untuk datang kepadanya,” jawabnya kemudian.
Barulah Mahesa Jenar sadar, bahwa ia sendiri tidak tahu di mana Rara Wilis berada. Karena itu ia menjadi kebingungan. Dalam kegelisahannya itu terdengarlah Kanigara menolongnya. ”Kau tak perlu pergi sendiri Mahesa Jenar, biarlah Widuri menjemputnya.”
”Terima kasih Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
Kemudian berjalanlah Kanigara keluar untuk mencari Widuri.
Beberapa saat kemudian suasana menjadi hening. Masing-masing terpaku pada masalah yang sulit ini. Masalah yang selalu terulang pada setiap masa dan setiap jaman. Masalah yang tak akan habis-habisnya selama dunia masih terkembang. Selama manusia masih ingin membina hari kemudian sebagai miliknya serta milik anak cucunya. Demikian Tuhan mengkaruniakan perasaan cinta dan kasih kepada manusia, sebagaimana perasaan cinta dan kasih-Nya yang menjelmakan dunia beserta isinya. Namun sayanglah bahwa manusia kadang-kadang tidak berhasil menanggapi kurnia yang indah itu dengan sewajarnya. Bahkan ada diantara anak manusia yang ingin mengembangkan rasa cinta kasih Tuhannya dengan landasan dendam dan nafsu. Sehingga dengan demikian kaburlah batas antara cinta dan nafsu, antara kasih dan dendam.
Demikianlah untuk sejenak mereka terbenam dalam kesepian. Barulah kemudian Panembahan Ismaya yang bijaksana berkata, ”Ki Sanak Pandan Alas, Arya Salaka dan Karang Tunggal, marilah kita tinggalkan ruangan ini, biarlah Anakmas Sarayuda beristirahat.”
Pandan Alas yang tua itupun segera menangkap maksudnya, sehingga bersama-sama dengan Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal, merekapun meninggalkan ruangan itu.
Tinggallah Mahesa Jenar dengan kakunya berdiri disamping pembaringan Sarayuda, yang menenteramkan hatinya dengan memejamkan matanya. Agaknya ada sesuatu yang bergelora didalam dadanya, yang baru akan dikatakannya apabila Wilis telah datang.
Sesaat kemudian, apa yang dinantikan datanglah. Yang mula-mula terdengar adalah suara gadis kecil yang renyah dan bersih, sebersih air yang baru memancar dari sumbernya, ”Paman, inilah bibi.”
Seperti disentakkan Mahesa Jenar memutar tubuhnya, menghadap pintu. Dan apa yang dilihatnya adalah Rara Wilis tidak dalam pakaian seorang laki-laki, tetapi ia telah mengenakan pakaian wanita. Bergetarlah seketika dada Mahesa Jenar oleh perasaan yang menyelip-nyelip tak dapat dikendalikan. Demikianlah untuk beberapa saat tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Bahkan kemudian agaknya Rara Wilis yang mula-mula dapat menguasai perasaannya yang memang telah dipersiapkan sejak lama. Katanya, ”Kakang Mahesa Jenar, yang selama ini tersimpan di dalam dadaku adalah perasaan terima kasih yang tak terhingga atas pertolongan Kakang, yang pada saat itu aku tidak sempat mengucapkannya.”
Mahesa Jenar mengangguk sedikit, jawabnya, ”Lupakanlah itu Wilis. Sebagaimana kewajiban kita, manusia yang hidup diantara manusia adalah saling menolong.” Meskipun hatinya sendiri berkata lain. Berkata tentang keindahan yang sempurna yang memancar dari tubuh gadis itu. Gadis yang pada saat terakhir telah membanting-banting perasaannya, setelah ia terpaksa membunuh ayah gadis itu. Rara Wilis tidak menjawab sepatah katapun selain wajahnya terkulai jatuh di lantai. Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada Sarayuda yang terbaring dengan lesunya, menunggu gadis itu. Untuk sesaat Mahesa Jenar jadi bimbang. Apakah ia akan tetap pada pendiriannya ? Menyerahkan kebahagiaan itu kepada Sarayuda…?  Dalam pada itu terbersitlah suatu ketetapan di hatinya, meskipun hati itu sendiri akan terpecah. Biarlah ia mengorbankan dirinya kalau dengan demikian sebuah jiwa akan tertolong. Jiwa yang sangat berharga bagi beribu-ribu jiwa lain di daerah kekuasaannya.
Katanya kemudian diantara desah jantungnya yang semakin cepat, ”Wilis… seseorang menanti kau. Masuklah.”
”Seseorang…?” katanya bertanya.
Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya, ”Ya, seseorang.”
”Kau…?” desaknya. Mahesa Jenar menggeleng lemah. Lemah sekali.
Rara Wilis menjadi ragu. Seseorang mencarinya, dan orang itu bukan Mahesa Jenar.
Akhirnya terdengar suara Mahesa Jenar, ”Masuklah Wilis.”
Untuk sesaat Wilis masih tetap tegak di muka pintu. Seolah-olah ia tidak kuasa menggerakkan kakinya untuk melangkah masuk. Wajahnya tampak membayangkan kebimbangan hatinya.
Maka kemudian Mahesa Jenar yang melangkah keluar, dengan langkah berat sambil membangunkan Wilis yang sedang tenggelam dalam keraguan. ”Masuklah Wilis. Seseorang memerlukan kau datang. Mudah-mudahan kau membawa udara segar baginya.”
Meskipun Rara Wilis masih tetap ragu, namun ia pun perlahan-lahan melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Perlahan-lahan seperti orang yang masuk ke daerah yang sama sekali asing baginya.
Ketika Rara Wilis bergerak, Mahesa Jenar melangkah pula menjauhi pintu itu. Ruangan yang semula dipergunakan Panembahan Ismaya untuk menerima rombongan itu, kini telah sepi. Tak seorang pun berada di sana. Panembahan Ismaya, Kanigara, Arya Salaka dan Karang Tunggal, bahkan Widuri pun telah tidak nampak lagi.
Bagaimanapun Mahesa Jenar mencoba untuk mengendapkan perasaannya namun terasa seolah-olah sesuatu melonjak-lonjak di dalam dadanya. Karena itulah ia dengan gelisah berjalan mondar-mandir seperti laki-laki yang gelisah menanti kelahiran anak pertamanya. Beberapa kali ia mencoba melupakan kegelisahannya dengan mengamati berbagai benda yang menghiasi ruangan itu. Beberapa patung kecil, tergantung beberapa macam clupak lampu minyak kelapa. Di tiang-tiang ruangan itu tampak juga bergantungan beberapa macam topeng dari berbagai jenis.
Tetapi Mahesa Jenar tidak sempat memperhatikan benda-benda itu satu demi satu. Meskipun ia melihat semuanya itu, namun seolah-olahtidak sadar pada penglihatannya. Bahkan kemudian dengan lesunya dibantingnya dirinya pada sebuah batu hitam tempat duduk di dalam ruangan yang sepi itu.
Di luar, matahari yang terik seakan-akan membakar padas-padas pegunungan yang memantulkan sinarnya kemerah-merahan. Daun-daunan yang menjadi tertunduk lesu seperti segan memandang sinar matahari yang agaknya tak bersikap bersahabat. Beberapa daun kering meluncur lepas dari pegangannya oleh ketuaannya, dan berguguran di tanah.
Mata Mahesa Jenar lepas lewat pintu langsung menusuk ke daerah matahari yang silau, terbanting di batu-batu padas yang kepanasan. Alangkah panasnya udara. Beberapa tetes peluh menetes dari dahinya. Kemudian dengan lesu pula Mahesa  Jenar berdiri dan melangkah ke arah pintu keluar. Di depan pintu ia tertegun heran. Pada mula-mula ia datang ke padepokan itu, di ruang ini pula ia mengagumi pertamanan yang asri, yang terbentang di hadapan rumah kecil itu. Bahkan ia mengagumi pula kesejukan udara yang dilemparkan oleh pepohonan yang pepat rimbun itu ke dalam rumah. Tetapi kenapa tiba-tiba sekarang udara di sini menjadi panas sekali? Akhirnya ia sadar bahwa udara yang panas itu tidak dilontarkan oleh udara pegunungan kecil itu, tetapi agaknya ditimbulkan dari dalam dirinya sendiri yang gelisah.
Tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut, ketika ia menoleh dilihatnya Rara Wilis berlari keluar ruangan dan menjatuhkan dirinya di atas tempat duduk batu hitam. Seterusnya ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis sejadi-jadinya.
Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah gelisah. Cepat-cepat ia memasuki ruangan tempat Sarayuda berbaring. Tetapi ia menjadi agak tenang ketika melihat Sarayuda masih bernafas dengan teratur. Bahkan ketika ia melihat Mahesa Jenar datang kepadanya, dengan tersenyum ia berkata, ”Aku bertambah segar, Mahesa Jenar.”
”Syukurlah Sarayuda,” jawab Mahesa Jenar singkat.
”Bagiku, semuanya telah selesai,” sambung Sarayuda.

Mahesa Jenar memandang wajah Sarayuda dengan tajamnya. Senyumnya masih saja membayang di wajahnya yang sudah menjadi kemerah-merahan.
”Aku mengharap demikian,” jawab Mahesa Jenar, tetapi hatinya terasa pedih.
Kemudian Sarayuda berkata, ”Mahesa Jenar, sekarang aku akan dapat tidur nyenyak. Mudah-mudahan aku lekas sembuh dan dapat kembali ke Gunung Kidul, meskipun kekuatanku belum pulih benar.”
”Aku ikut berdoa, Sarayuda,” sahut Mahesa Jenar kosong, sekosong dadanya saat itu.
Sarayuda menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia berusaha untuk memejamkan matanya.
Dengan gerak-gerak yang kaku, Mahesa Jenar melangkah keluar dari ruangan itu. Sampai di depan pintu kembali ia melihat Rara Wilis masih menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dengan tak sengaja Mahesa Jenar berjalan mendekatinya. Kemudian hampir berbisik Mahesa Jenar bertanya, ”Kenapa kau menangis Wilis…?”
Mendengar suara Mahesa Jenar, tangis Rara Wilis agak mereda. Dengan isak yang ditahan, ia mengangkat wajahnya. Matanya yang basah memandang Mahesa Jenar dengan persoalan. Meskipun demikian hati Mahesa Jenar masih saja berdebar-debar memandang wajah yang basah itu, seperti memandang bulan disaput awan. Tetapi Rara Wilis tidak menjawab pertanyaan Mahesa Jenar. Sehingga beberapa saat mereka saling berdiam diri.
”Kakang…” akhirnya terdengar Rara Wilis berkata, ”Alangkah sulitnya hidup yang harus aku tempuh. Banyak masalah yang berkembang diluar kemauanku sendiri.”
”Memang demikianlah agaknya,” jawab Mahesa Jenar. ”Banyak hal yang harus kita lakukan, meskipun kadang-kadang bertentangan dengan perasaan sendiri. Namun demikian setiap perbuatan hendaknya dilandasi dengan tujuan yang bersih. Demikianlah apa yang akan kita lakukan nanti. Dan demikian pulalah keputusanku.”
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Matanya yang mengaca itu tiba-tiba memancarkan pertanyaan-pertanyaan. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Rara Wilis terpaksa bertanya, ”Apakah maksudmu Kakang?”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan Rara Wilis. Malah ia bertanya, ”Wilis, apakah kau menangis karena sedih atau karena kau terharu atas masa depanmu yang gemilang?”
Rara Wilis menggelengkan kepala. Kemudian jawabnya, ”Aku tidak tahu Kakang.”
Mata Mahesa Jenar kemudian menatapnya tajam-tajam, seperti akan menembus dada Wilis. Dada seorang gadis yang sedang bergelora. Yang sejenak kemudian meneruskan kata-katanya, ”Kakang… aku bergaul dengan Kakang Sarayuda sejak kecil. Aku mengenalnya sebagai seorang yang paling dekat diantara kawan-kawanku. Apalagi kemudian setelah meningkat lebih besar lagi, menjelang masa dewasa kami. Ia selalu dekat dengan Kakek. Lalu, kemudian Sarayuda lenyap dari kampung halaman kami. Ternyata ia ikut dengan Kakek dan berguru kepadanya. Pada suatu saat ia muncul kembali di kampung kami. Sarayuda telah berubah menjadi seorang pemuda yang perkasa.  Ia datang untuk mengusir perempuan yang mengganggu ketenteraman kami. Mengganggu ayah serta keluarga kami. Agaknya ia mendapat  tugas dari Kakek. Tetapi sayang, ia datang terlambat. Ayah telah pergi meninggalkan kami bersama perempuan jahat itu, yang ternyata kemudian menetap di Gunung Tidar dan menamakan diri mereka suami-istri Sima Rodra muda di bawah perlindungan Sima Rodra tua dari Lodaya.
 Sejak saat itu Sarayuda sekali datang, sekali lenyap kembali. Namun agaknya ia dapat merebut hati seluruh penduduk daerah kami. Ternyata kemudian ia terpilih menjadi Demang.”
Mendengar cerita itu tubuh Mahesa Jenar menjadi gemetar. Dadanya berdesir hebat. Setiap kata Rara Wilis tentang keperkasaan Sarayuda, bahkan setiap kata yang menyebut nama laki-laki itu terasa seperti ujung-ujung duri yang menusuk-nusuk jantungnya. Dan tiba-tiba saja ia seperti orang yang ingin melarikan diri dari cerita itu. Cepat-cepat ia melangkah ke pintu dan dengan kakunya berdiri berpegangan uger-uger-nya seolah-olah ia takut bila kakinya yang bergetar itu tidak mampu lagi menahan berat tubuhnya.
Rara Wilis mengikutinya dengan sinar yang memancar dari matanya yang bulat. Tetapi ia tidak tahu apakah yang menggelegak di hati laki-laki itu. Karena itu ia masih melanjutkan ceritanya, ”Kemudian datanglah masa itu. Masa dewasa kami, masa dimana dada kami dipenuhi impian-impian masa depan. Tetapi sebagian dari masa itu sama sekali tak dapat aku nikmati. Sebab masa-masa itu aku sedang dihadapkan pada suatu kenyataan pahit. Ibuku meninggal dunia. Dan aku terpaksa meninggalkan kampung halaman, mencari kakekku untuk menyangkutkan diri dalam limpahan kasih sayang. Seperti pada masa kanak-kanakku. Akhirnya aku bertemu kembali dengan Sarayuda. Dan seperti yang Kakang ketahui, Kakang Sarayuda mengharapkan sesuatu dariku, tidak sebagai adik seperguruannya, tetapi sebagai seorang laki-laki terhadap seorang wanita.”
Kata-kata Rara Wilis itu bagi Mahesa Jenar terasa menusuk jantungnya semakin pedih. Sehingga kemudian dengan suara gemetar, tanpa menoleh ia menyahut, ”Perasaan yang lumrah, yang dapat timbul di dalam setiap dada.”
”Ya,” potong Rara Wilis. ”Perasaan yang lumrah. Dan perasaan itu sedemikian dalamnya menggores di hati Kakang Sarayuda.”
Sekarang Mahesa Jenar tidak kuasa lagi menahan perasaannya. Ia telah bertekad untuk meninggalkan impiannya terhadap gadis yang baginya memiliki keindahan yang tanpa cela itu. Tetapi untuk mendengarkan cerita itu terasa seolah-olah keindahan yang telah dilepaskannya itu diperagakan di hadapannya. Karena itu, tiba-tiba Mahesa Jenar membalikkan tubuh, dan dengan mata yang tajam ia memandang Rara Wilis yang menjadi keheran-heranan melihat sikap Mahesa Jenar. Apalagi kemudian terdengarlah suaranya menggeram, “Wilis, katakan… katakanlah kepadaku bahwa kau juga mencintainya. Dan kau menerima keadaan ini dengan dada terbuka, bahkan kau merasa bahwa kau menghadapi masa gemilang. Masa yang bahagia sebagai istri Demang yang kaya raya, yang disuyuti oleh beribu-ribu orang.” Kemudian terdengar suara Mahesa Jenar merendah, “Wilis… aku akan ikut bahagia bila aku melihat kau menjadi bahagia. Bahkan aku siap untuk berbuat apapun untuk ikut serta mempertahankan kebahagiaanmu itu, kalau seandainya orang-orang semacam Jaka Soka mengganggu ketenteraman hidupmu.”
Setelah itu Mahesa Jenar tidak kuasa lagi meneruskan kata-katanya. Namun kata-kata itu ternyata sangat mengejutkan hati Rara Wilis, sampai ia meloncat berdiri dengan wajah yang memancarkan seribu satu pertanyaan. Demikianlah untuk sesaat Rara Wilis tidak tahu apa yang akan dikatakan. Baru kemudian terdengarlah ia berkata dengan bibir yang gemetar, ”Kakang, apakah kata-kataku tidak pada tempatnya…?”
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya. Dan dengan suara yang gemetar ia menjawab, ”Aku akan dapat menyaksikan kau berbahagia, Wilis. Tetapi aku tidak dapat mendengar itu dari kau sendiri. Aku minta janganlah kau menambah hatiku jadi terpecah-pecah.”
Kening Rara Wilis jadi berkerut. Tiba-tiba ia mengerti apa yang tersimpan di dalam hati Mahesa Jenar. Namun demikian ia ingin meyakinkan, ”Kakang Mahesa Jenar… apakah yang telah terjadi padamu…? Adakah kau bermaksud melarikan diri…?”
Mahesa Jenar tersentak. ”Melarikan diri…?” desisnya.
Mata Rara Wilis jadi bercahaya. Namun cahayanya bukan cahaya yang bening, tetapi cahaya yang memancarkan kepedihan yang tumbuh di hatinya. Lalu katanya, ”Kau akan mengulangi kata-katamu beberapa tahun yang lalu? Akan kau katakan juga sekarang bahwa kau akan menjadi seorang pahlawan dalam bercinta. Kakang, kita sudah bertambah dewasa. Umur kita telah melampaui masa yang seindah-indahnya dalam hidup kita. Dan sekarang kau masih terbenam dalam cahaya purnama yang baru mengembang. Kakang, haruskah aku mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak berakar di dalam dadaku, karena aku ingin menuruti kemauanmu. Tidak Kakang. Ketahuilah bahwa sejak kepergianmu tanpa pamit beberapa tahun yang lalu, aku sudah mencobanya. Mencoba mengisi sebagian hatiku yang lenyap bersamamu dengan seorang yang bernama Sarayuda. Tetapi aku tidak berhasil Kakang. Kakang Sarayuda bagiku adalah saudara tua yang penuh kasih sayang kepada adiknya. Dan tahukah kau apa yang baru saja dikatakan kepadaku…?”
Mahesa Jenar seperti terpaku berdiri di tempatnya. Kata-kata Rara Wilis itu dengan tajamnya menusuk menembus tulang sungsum. Tetapi bersamaan dengan itu, tumbuh pula di dalam dadanya suatu perasaan yang melonjak-lonjak, sehingga tubuhnya kemudian menjadi menggigil. Dari mulut Rara Wilis sendiri sekarang ia mendengar, bahwa gadis itu menaruh harapan sepenuhnya kepadanya. Tetapi justru karena itulah malahan ia terbungkam, sampai kembali terdengar suara Rara Wilis meneruskan, ”Kakang Mahesa Jenar, aku tidak peduli apakah yang akan kau katakan tentang diriku. Tetapi aku merasa bahwa beban yang menyumbat dadaku kini telah aku tuangkan. Seluruhnya. Dan dadaku kini telah terbuka bagimu. Terserahlah kepadamu akan nilai-nilai yang kau berikan kepadaku. Kepada seorang gadis yang membuka hatinya kepada seorang laki-laki, di hadapan wajahnya.”
”Wilis…” desis Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat meneruskan sebab kembali Wilis memotong, ”Nah Kakang. Sekarang kalau kau akan pergi, pergilah. Tinggalkan aku sendiri. Katakan kepada bukit-bukit kecil itu, kepada karang-karang dan batu-batu, kepada angin dan pepohonan, kepada bulan dan bintang, bahwa seorang laki-laki telah pergi dengan hati terpecah belah untuk memberi kesempatan orang lain menikmati kebahagiaan, sedang orang lain itu sama sekali tidak menghendaki. Tetapi jangan katakan hal itu kepada seseorang yang akan kau jumpai dalam pelarianmu, sebab kau akan ditertawakan. Mungkin orang itu akan mengikutimu untuk melihat kapan kau akan membunuh dirimu.”
”Wilis…” potong Mahesa Jenar hampir berteriak. Namun kali inipun suara Rara Wilis mengatasinya, ”Jangan takut melihat bayangan wajahmu yang pucat, serta jangan takut kau melihat hatimu yang sama sekali tidak memancarkan kejujuran.”
Mahesa Jenar tertunduk lesu. Ia tidak ingin memotong kata-kata gadis itu lagi. Bahkan sekarang, ia melihat pada sorot mata Rara Wilis, bayangan tentang dirinya. Tentang seorang laki-laki yang berkelana di padang yang tandus, penuh batu-batu karang yang tajam dan pendakian yang terjal di bawah terik matahari yang membakar kulitnya yang berwarna tembaga. Yang dalam kehausan, melemparkan seteguk air yang segar dingin dari mangkuk ditangannya. Tetapi kemudian laki-laki itu sendiri menjadi hampir mati kehausan.
”Tidak,” katanya tiba-tiba. ”Aku tidak menuang air itu di atas batu-batu yang mati. Tetapi aku tuangkan air itu ke dalam mulut seseorang yang hampir mati kehausan pula.”
Rara Wilis mencoba menangkap kata-kata yang tiba-tiba saja terlontar dari mulut Mahesa Jenar itu. Namun dalam sesaat ia telah dapat mengerti maksudnya. Karena itu ia menyahut. ”Lalu kau sendiri yang akan mati. Tetapi jangan harapkan seseorang datang padamu dan menaburkan bunga di atas tubuhmu.”
Mahesa Jenar tidak dapat lagi menipu dirinya sendiri. Ia tidak lagi dapat memungkiri kata-kata Rara Wilis. Namun demikian ia berusaha untuk mematahkan pengakuannya itu. Dengan wajah yang tegang kaku ia memutar tubuhnya membelakangi Rara Wilis lalu cepat-cepat ia ingin meninggalkan ruangan itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar isak yang seolah-olah meledak begitu hebatnya. Ketika ia sekali lagi menoleh, ia melihat Rara Wilis sambil menangis terduduk di atas sebuah batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Dan kembali kedua telapak tangannya menutupi wajahnya yang basah karena air mata.
Melihat keadaan itu Mahesa Jenar tertegun sejenak. Bahkan diluar sadarnya perlahan-lahan ia berjalan mendekatinya. Namun ia menjadi bertambah bingung, dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Maka kemudian yang dapat dikatakannya hanyalah beberapa kata yang serak, “Wilis, kenapa kau menangis lagi?”
Sekali ini, seolah-olah Rara Wilis tidak mendengar kata-katanya, bahkan tangisnya menjadi semakin keras. Dan karena itu Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah.
”Wilis,” katanya kemudian sekenanya saja, ”Jangan menangis demikian. Apabila seseorang melihat keadaanmu itu, maka akan timbul berbagai prasangka yang mungkin kurang menyenangkan.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, Rara Wilis mencoba mengangkat wajahnya. Meskipun tangisnya masih belum berhenti. Diantara isaknya terdengar ia berkata, “Kakang, aku tidak akan menahanmu lagi. Pergilah seandainya itu akan membawa kepuasan bagimu.”
Hati Mahesa Jenar sekali lagi terlonjak. Namun ia melihat bahwa apa yang diucapkan oleh Rara Wilis itu sama sekali bukanlah yang dimaksud sebenarnya. Karena itu ia bertanya, “Begitukah yang kau kehendaki Wilis…?”
Bibir Rara Wilis bergerak melukiskan sebuah senyum yang pahit diantara tangisnya. Lalu jawabnya, “Aku mencoba berbuat seperti apa yang kau lakukan. Menipu diri sendiri.”
Kata-kata itu tepat menyusup ke dalam relung hati Mahesa Jenar yang paling dalam. Sekarang benar-benar ia tidak dapat melarikan diri lagi. Ia merasa seperti seseorang yang terjun ke dalam arena perkelahian, yang harus memilih salah satu diantara dua, membunuh atau dibunuh. Tetapi tiba-tiba ia teringat kata-kata Rara Wilis tentang Sarayuda. Maka dengan serta merta ia bertanya “Wilis, kau tadi bertanya kepadaku, apakah aku tahu apa yang dikatakan oleh Sarayuda?”
Rara Wilis mengangguk.
“Tentu aku tidak tahu Wilis,” sambung Mahesa Jenar, “Kau mau mengulang kata-kata itu…?”
“Tak ada gunanya,” jawab Rara Wilis.
Mahesa Jenar tertegun sebentar, lalu katanya, “Mungkin ada. Kalau kau tak berkeberatan katakanlah.”
Rara Wilis memandang wajah Mahesa Jenar yang basah oleh keringat dingin itu dengan seksama, seolah-olah ia ingin melihat setiap garis yang tergores padanya. Kemudian dengan perlahan-lahan ia berkata, ”Kakang dengarlah apa yang dikatakan Kakang Sarayuda kepadaku. Memang semula aku ingin mengatakan kepadamu, dan aku sudah mengambil ancang-ancang. Sebab aku adalah seorang gadis. Tetapi agaknya hatimu terlalu mudah tersentuh sehingga aku terpaksa melampaui batas-batas keterbukaan hati seorang gadis.”
Rara Wilis berhenti sejenak, lalu meneruskan, ”Kakang, tadi Kakang Sarayuda berkata kepadaku, bahwa aku harus memaafkannya atas segala perlakuannya yang telah melampaui perlakuan seorang kakak terhadap adiknya. Ia mengharap bahwa aku akan dapat melupakan itu semua, sebab katanya, … sepantasnya ia menjadi kakak yang baik.”
Mahesa Jenar mendengar kata Rara Wilis itu seperti beratus guntur yang menggelegar di depan telinganya. Bahkan kemudian seolah-olah ia menjadi orang yang lelap terbenam dalam alam impian. Dan di dalam mimpi itu ia mendengar suara Rara Wilis meneruskan, “Tetapi, Kakang, aku tahu bahwa hatinya remuk karena itu. Ia mencintaiku sejak lama.Sejak kami meningkat dewasa. Namun agaknya suatu kenyataan harus dihadapinya. Yaitu, bahwa ia bersaing dengan orang yang tidak dapat dikalahkannya dengan jalan apapun juga. Karena itu, sebagai seorang laki-laki yang dapat mengukur dirinya, serta seorang laki-laki yang hidupnya berjejak di atas tanah, dengan ikhlas ia berkata kepadaku, … Wilis, pilihlah jalanmu sendiri. Jangan hiraukan aku.” Rara Wilis berhenti sejenak menelan ludahnya, baru ia meneruskan. “Tetapi Kakang, aku melihat keikhlasan membayang di wajahnya. Setelah ia berceritera tentang kesalahan yang dilakukannya dengan tidak menghiraukan nasehat kakek dan sebagainya, ia akhiri kata-katanya, … Wilis, mudah-mudahan kau menemukan hari depan yang gemilang.” Sekali lagi Rara Wilis berhenti. Terasa di lehernya sesuatu yang menyumbat, sehingga dengan terputus-putus ia meneruskan, “Aku menjadi kasihan kepadanya kakang, justru karena ia melepaskan aku dengan penuh keikhlasan. Namun aku tidak dapat memaksa diriku untuk menganggapnya lain daripada seorang kakang yang baik.
Mahesa jenar masih berdiri seperti patung, namun suatu pergolakan yang dahsyat berputar di dalam dadanya. Suatu gejolak perasaan yang melanda dinding-dinding jantungnya sehingga seolah-olah akan pecah karenanya. Kemudian terdengar Rara Wilis meneruskan, “Kemudian Kakang di sini, di hadapanku, dimana aku menaruh suatu harapan atas masa depan. Di sini aku berada dalam keadaan yang sebaliknya. Kepadamu aku selalu mencoba untuk melenyapkan setiap kenangan. Apalagi setelah Kakang Mahesa Jenar membunuh ayahku yang selama ini aku cari. Tetapi kembali aku tidak dapat memaksa diriku menutup suatu kenyataan di dalam diriku atas kenangan yang muncul dalam setiap saat. Kenangan yang menjadi semakin jelas apabila aku berusaha untuk melenyapkannya. Tetapi aku ternyata menjumpai suatu kenyataan yang lain. Aku melihat sekali lagi, atas apa yang pernah aku alami. Seseorang telah berusaha melepaskan aku lagi. Namun bedanya, keikhlasanmu lain dengan keikhlasan Kakang Sarayuda. Dimana pada saat terakhir Kakang Sarayuda telah menemukan cahaya yang menyoroti hatinya, yang dengan demikian ia dapat membaca perasaan yang tergores di dalam dadaku. Tetapi kau, Kakang…, kau mencoba untuk menghapus goresan itu. Bahkan goresan di dalam dadamu sendiri, dan menggantinya dengan bunyi-bunyi yang lain.”
Suara Rara Wilis kemudian tenggelam dalam tangisnya. Mahesa Jenar tiba-tiba seperti terbangun dari kelelapannya. Dengan penuh gejolak di dalam dadanya, tiba-tiba ia meloncat dan berlari ke dalam ruangan dimana Sarayuda terbaring. Apa yang dikatakan Rara Wilis tentang laki-laki itu sangat berkesan di hatinya. Bahkan dengan demikian ia menjadi ingin mendengarnya dari mulutnya sendiri.
Mendengar langkah Mahesa Jenar, Sarayuda membuka matanya. Dan ketika dilihatnya Mahesa Jenar berdiri di sampingnya dengan nafas yang terengah-engah, tergoreslah sebuah senyuman di bibir Sarayuda. Senyum yang memancar dari lubuk hatinya.
“Sarayuda…” terloncatlah kata-kata yang terbata-bata dari mulut Mahesa Jenar. “Kenapa kau lakukan itu…?”
Senyum Sarayuda semakin jelas membayang wajahnya yang jernih. Kemudian jawabnya lirih, “Kau keberatan…?”
Mahesa Jenar tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan nafasnya menjadi semakin cepat mengalir.
“Mahesa Jenar…” bisik Sarayuda, “Akhirnya aku merasa bahwa kata-katamu mengandung kebenaran. Yang kita persoalkan adalah seseorang yang memiliki perasaan seperti kita. Karena itu, akhirnya aku insaf bahwa aku adalah seorang yang terlalu mementingkan diri sendiri. Yang melihat segala masalah seolah-olah berkisar di sekitar dan berpusat pada diriku. Namun syukurlah bahwa Tuhan memberi petunjuk, sehingga aku menemukan jalan yang wajar.”
Mahesa Jenar menundukkan kepala, dan dari bibirnya terdengarlah ia berkata, “Sarayuda, aku telah salah sangka terhadapmu.”
Sarayuda tertawa perlahan, lalu katanya, “Aku mendengar semua pembicaraanmu dengan Wilis. Kakang Mahesa Jenar, jangan lukai hatinya. Ia mempunyai lagi sangkutan kasih sayang, selain kakeknya yang tua itu. Sedang darimu ia mengharapkan kesegaran cinta yang selama ini hanya pernah didengarnya dari cerita-cerita kesejukan cinta antara Kama dan Ratih, antara Arjuna dan Sumbadra, antara Panji dan Kirana.”
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian seolah-olah ia telah berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan mencoba memenuhi permintaan Sarayuda itu.
”Nah, Mahesa Jenar…” Sarayuda meneruskan, ”Datanglah kepadanya. Kalau kau mau melaksanakan pesanku, aku akan menjadi lekas sembuh. Dan aku akan dapat menyaksikan hari bahagiamu yang akan datang.”
”Terimakasih Sarayuda,” jawab Mahesa Jenar kaku. Lalu perlahan-lahan seperti orang yang kehilangan kesadaran ia berjalan keluar. Ketika ia melangkah pintu, ia melihat Rara Wilis masih duduk di atas batu hitam itu. Namun tiba-tiba gadis itu di matanya telah berubah menjadi permata yang gemilang, permata yang melekat pada sebuah cincin yang seakan-akan telah melingkar di jarinya.
Rara Wilis yang mendengar langkah Mahesa Jenar, menoleh pula ke arah pintu. Ia pun terkejut ketika melihat wajah Mahesa Jenar yang menjadi cerah, seperti cerahnya langit musim kemarau. Ia sudah berpuluh bahkan beratus kali melihat wajah itu. Wajah yang memancarkan sifat-sifat kejantanan yang lembut. Tetapi kali ini seolah-olah ia menemukan sesuatu yang lain pada wajah itu. Menemukan yang selama ini dicarinya.
Tiba-tiba Rara Wilis tersadar. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Malu kepada penemuannya.
Meskipun kemudian tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka, namun ratusan bahkan ribuan kalimat yang menggetar di udara langsung menyentuh hati masing-masing. Sehingga dalam keheningan itu terjalinlah suatu ikatan yang semakin teguh antara dua buah hati yang sebenarnya sudah sejak lama bertemu.
Di luar terdengar burung-burung berkicau dengan riangnya. Nyanyiannya membubung tinggi, hanyut bersama angin pegunungan, menyapu wajah padepokan yang tenang sejuk itu.
Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang bening, disusul dengan langkah-langkah kecil berlari-larian. Lalu terdengarlah suara kerikil berjatuhan.
”Bukan salahku,” teriak suara yang nyaring.
”Jangan nakal Widuri,” jawab suara yang lain.
Widuri tidak menjawab, tetapi suara tertawanya yang renyah kembali menggetar, dan kembali terdengar langkahnya berlari-lari.
Sampai di depan pintu, Widuri tertegun. Dilihatnya Rara Wilis dan Mahesa Jenar masih di tempatnya masing-masing seperti patung. Bahkan gadis kecil itu melihat mata Rara Wilis masih kemerah-merahan. Widuri jadi bingung. Meskipun perasaannya masih belum begitu tajam, namun ia tahu bahwa telah terjadi sesuatu sehingga Rara Wilis terpaksa menangis. Mungkin karena pertengkaran, mungkin sebab-sebab lain. Dalam kebingungan itu terdengarlah suara Rara Wilis perlahan-lahan memanggilnya,  “Widuri… kemarilah.”
Perlahan-lahan Widuri berjalan dengan penuh keraguan mendekati Rara Wilis. Ia menjadi bertambah bingung lagi, ketika tiba-tiba Rara Wilis meraihnya dan memeluknya erat-erat. Bahkan kemudian kembali terdengar Rara Wilis menangis tersedu-sedu.
Dengan matanya yang bulat, bening dan penuh pertanyaan, Widuri memandang dengan sudut matanya, ke arah Mahesa Jenar dan Rara Wilis berganti-ganti. Namun ia sama sekali tidak berani menanyakan sesuatu. Juga kemudian ketika Rara Wilis berdiri dan menggandengnya berjalan keluar dari ruangan itu.
Sampai di depan pintu, Rara Wilis berhenti sejenak. Lalu kepada Mahesa Jenar ia berkata dengan kepala  tunduk, “Kakang,  aku akan  beristirahat   dulu.”
“Beristirahatlah,” jawab Mahesa Jenar.
Lalu hilanglah Wilis di balik pintu. Berbagai perasaan menghentak-hentak dadanya. Ia merasa bahwa hidup yang terbentang di hadapannya adalah suatu kehidupan yang cerah.
Matahari yang bulat di langit masih memancarkan sinarnya yang terik bertebaran di tanah yang kemerahan. Namun sekarang Mahesa Jenar tidak lagi merasakan bahwa udara padepokan itu terlalu panas. Bahkan kembali ia dapat mengagumi keindahan taman-taman yang asri dan hijau, yang di sana-sini diseling dengan warna-warna yang beraneka dari berbagai macam bunga. Ketika dilihatnya diantara bermacam-macam bunga itu terselip bunga melati, teringatlah ia pada kebiasaannya dahulu, yang karena keadaan menjadi agak terlupakan. Dengan tanpa sengaja tiba-tiba bunga itu telah berada di tangannya, yang kemudian diselipkan pada ikat kepalanya, di atas telinga kanannya.
Kemudian dengan segarnya Mahesa Jenar menghirup udara pegunungan sepuas-puasnya.
Demikianlah, matahari yang beredar di garisnya yang telah condong ke barat. Beberapa orang cantrik tampak berjalan mendekati pondok itu. Ketika mereka sudah berdiri dekat di depan Mahesa Jenar, segera mereka membungkuk hormat. ”Tuan…” kata salah seorang diantaranya, “Panembahan minta Tuan untuk datang makan siang.
Sementara itu seorang cantrik yang lain diperintahkan untuk menyajikan makan buat Sarayuda yang sedang terluka.”
Masuklah,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi agaknya ia masih belum dapat bangun. Rawatlah ia baik – baik.”
Sekali lagi cantrik itu mengangguk. Salah seorang diantaranya kemudian masuk dengan semangkuk bubur. Sedangkan yang lain kemudian mengajak Mahesa Jenar pergi makan siang.
Demikianlah, hari itu terasa begitu cepat berjalan. Dengan tak terasa, matahari telah jauh menurun mendekati cakrawala. Warna-warna merah yang tersirat dari matahari bertebaran memenuhi langit. Namun sejenak kemudian permukaan bumi tenggelam dalam kehitaman yang menyeluruh.
Di dalam pondok kecil, di bawah sinar lampu minyak kelapa yang berkedip-kedip digoyang angin, duduklah melingkar di atas bale-bale bambu, Panembahan Ismaya, Ki Ageng Pandan Alas, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Karang Tunggal, dan Arya Salaka.
Mereka berbicara dengan riuhnya, melingkar dari satu masalah ke masalah lain. Dari satu cerita ke cerita lain. Sehingga akhirnya setelah mereka kelelahan bercerita dan mendengarkan, menyelalah Putut Karang Tunggal, “Panembahan Ismaya serta Paman Kanigara, aku rasa bahwa aku sudah terlalu lama tinggal di padepokan ini. Hal-hal yang dapat aku pelajari sudah cukup banyak. Karena itu, aku ingin mohon diri untuk meninggalkan padepokan ini. Memenuhi anjuran seorang wali yang bijaksana, untuk mengabdikan diri ke Demak. Mungkin aku akan mendapat panjatan, setidak – tidaknya untuk mengabdikan diriku.”
Panembahan Ismaya dan Kanigara bersama-sama mengangguk-angguk. Maka terdengarlah Panembahan itu menjawab sambil tersenyum, “Bekalmu telah cukup Karang Tunggal. Pengetahuan mengenai ketrapsilaan, mengenai keteguhan hati dan perasaan, juga engkau telah banyak menerima petunjuk mengenai adat dan tatacara dari pamanmu Kanigara. Karena itu sebenarnya aku tidak keberatan lagi kalau kau akan mengabdikan dirimu. Pergilah. Hanya sayang bahwa penyakitmu masih saja sering kambuh.”
Karang Tunggal menundukkan kepala. Namun terdengarlah ia berkata, “Mudah-mudahan aku dapat menjaganya.”
Dengan tertawa kecil Kanigara menyahut, “Kalau kau tidak dapat menyembuhkan penyakitmu itu, Karang Tunggal, penyakit menuruti hatimu sendiri, mungkin akan menemukan kesulitan.”
“Aku akan berusaha sekuat tenaga, Paman,” jawab Karang Tunggal. “Mudah-mudahan aku selalu mendapat tuntunan Allah Yang Maha Agung.”
Demikianlah pada malam itu. Seluruh isi Padepokan Karang Tumaritis berkumpul bersama-sama untuk melepaskan Karang Tunggal pada keesokan harinya, pergi meninggalkan pedukuhan itu, untuk kembali ke Pengging dan seterusnya ke pusat Kerajaan, Demak.
Tidak lupa pula Putut Karang Tunggal, yang nama sebenarnya adalah Karebet dan sering juga dipanggil Jaka Tingkir, maka Kanigara menuntun Arya Salaka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan Karang Tunggal. Meladeni keperluan-keperluan Panembahan Ismaya dalam pekerjaan sehari-hari, sebagai seorang Panembahan. Mengatur pekerjaan para cantrik, baik di dalam maupun di luar padepokan.
Dalam pada itu, Ki Ageng Pandan Alas masih tetap tinggal di padepokan untuk menunggui muridnya yang sedang sakit. Namun semakin hari tampaklah bahwa luka-luka Sarayuda menjadi semakin baik berkat perawatan yang seksama dari Panembahan Ismaya.
Sejalan dengan itu, dengan perkembangan kesehatan Sarayuda, Mahesa Jenar pun bertambah gelisah. Sikapnya menjadi bertambah kaku terhadap Ki Ageng Pandan Alas. Ada sesuatu yang tersimpan di dalam dadanya, namun agak sulit baginya untuk menyampaikannya kepada orang tua itu. Meskipun ia insaf bahwa apabila Sarayuda telah sembuh, meskipun belum pulih benar, pastilah Ki Ageng Pandan Alas akan meninggalkan padepokan itu.
Hal itu akhirnya terjadi juga. Pada suatu hari Ki Ageng Pandan Alas menyatakan bahwa kini Sarayuda telah sehat. Ia telah mampu untuk menempuh perjalanan pulang ke Gunung Kidul bersama Ki Ageng. Bahkan karena perawatan yang baik, maka Sarayuda telah benar-benar hampir pulih kembali.
Dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar tidak dapat menunda-nunda lagi. Bagaimanapun sulitnya, ia terpaksa menuangkan segala masalah yang selama ini tersimpan di dalam dadanya, kepada orang tua itu. Masalah yang tidak dapat dipersoalkan dengan orang lain.
Maka kemudian Mahesa Jenar memerlukan untuk mendapatkan waktu, menemui orang tua itu seorang diri. Dan dengan kaku ia menyampaikan persoalan antara dirinya dengan cucu Ki Ageng Pandan Alas, yang bernama Rara Wilis.
“Mahesa Jenar…” jawab Pandan Alas sambil tersenyum, “Aku sudah mendengar semua itu dari Sarayuda. Sebenarnya bagiku tidak ada lagi masalah yang dapat mengganggu hubunganmu dengan Wilis. Kalau semula aku dibingungkan oleh kepentingan muridku, ternyata kini dengan ikhlas Sarayuda telah mengundurkan diri dari persoalan ini.”
Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan Alas itu, Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepala. Ia pun telah menduga sebelumnya bahwa jalan yang akan ditempuhnya telah rata.
“Seterusnya, Mahesa Jenar…” lanjut Ki Ageng Pandan Alas, “Terserahlah kepadamu berdua. Jalan manakah yang akan kau tempuh. Sebab masa depanmu terletak di tanganmu.”
“Ki Ageng…” jawab Mahesa Jenar, “Aku telah bersepakat dengan Rara Wilis, bahwa kami akan menempuh hidup bersama. Namun demikian, di hadapanku masih terbentang suatu kewajiban yang berat. Kewajiban yang memebutuhkan segenap tenaga serta pengetahuanku. Karena itu kami telah sama-sama menyetujui untuk menunda tali perkawinan kami sampai kewajiban itu selesai, meskipun seandainya umur kami menjadi bertambah juga. Bahkan Wilis pun telah berjanji untuk ikut serta bekerja keras dalam penyelesaian kewajiban itu.”
Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan kening. Tampaklah bahwa ia sedang berpikir. Kemudian jawabnya, “Terserahlah kepadamu Mahesa Jenar. Kau telah cukup dewasa, bahkan terlalu dewasa untuk mengatur dirimu. Tetapi apakah kewajiban yang kau maksud itu berhubungan dengan kedua keris yang sekarang ini kau cari…?”
Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya, “Benar, Ki Ageng. Selama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten belum aku ketemukan, selama itu aku harus membelakangi kepentingan diri. sebab akibat dari penemuan pusaka itu akan besar sekali. Keteguhan Kerajaan Demak, dan sekaligus pembebasan ayah Arya Salaka.”
 ———-oOo———-
 
Bersambung ke Jilid 13
Koleksi Ki Arema
Editing oleh Ki Arema

4 Tanggapan

  1.  
    1
     
    0
     
    Rate This
    lha kok diwet-WET…..!!!
    •  
      0
       
      0
       
      Rate This
      kleru ding maksude di-icrit-icrit….kayak pdAM
      ning padepokan sebelah,
  2.  
    0
     
    0
     
    Rate This
    habis
  3.  
    0
     
    0
     
    Rate This
    Kok Sepi ya?
    Apa masih padha nunggu Kongres PSSI?

Tinggalkan Balasan

NSSI-11


3 Votes

I.

Ketika itu di langit bertaburan jutaan bintang yang berkedip-kedip dengan cemerlangnya. Angin pegunungan yang silir, perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang dengan sangat hati-hati menuruni tebing-tebing bukit Karang Tumaritis. Mereka, Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan Arya Salaka, tidak melewati jalan-jalan yang biasa, tetapi mereka menempuh arah yang lain. Sebenarnya Mahesa Jenar sama sekali tak sampai hati melihat Panembahan Ismaya, pada malam yang gelap itu, tertatih-tatih dengan tongkatnya menuruni lambung bukit yang agak sulit itu. Namun kemauan orang itu sama sekali sudah tak dapat diubahnya. Bagi Mahesa Jenar, tebing itu sama sekali tak berarti apa-apa. Juga bagi Arya Salaka. Tetapi lainlah Panembahan Ismaya yang telah lanjut usia.
Karena itulah maka perjalanan mereka sangat perlahan-lahan. Seolah-olah mereka sama sekali tidak maju-maju dari satu titik. Kadang-kadang apabila tebing itu agak terlalu terjal, Mahesa Jenar dan Arya Salaka bersama-sama menolong Panembahan Ismaya, supaya tidak jatuh terperosok. Meskipun demikian, ketika bintang Gubug Penceng telah melampaui garis tegaknya, mereka bertiga telah sampai dikaki bukit kecil itu. Nafas Panembahan tua itu terdengar agak terlalu cepat karena kelelahan. Namun demikian sambil tersenyum ia berkata, ”Anakmas, bukankah aku mempunyai bakat untuk menjadi prajurit?”
Mahesa Jenar tertawa lirih, lalu sahutnya, ”Kalau Panembahan masih semuda aku ini, barangkali Panembahan jauh lebih kuat daripadaku.
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya tertawa terkekeh-kekeh, sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Karena itulah Mahesa Jenar kemudian menjadi cemas, jangan-jangan suara itu didengar oleh orang-orang yang berada di dalam perkemahan yang sudah tidak begitu jauh lagi, sedangkan untuk menegurnya Mahesa Jenar agak segan.  Panembahan Ismaya kemudian sadar dengan sendirinya. Katanya berbisik-bisik, “Celaka…. Apakah mereka mendengar suaraku…?” Setelah mereka berdiam diri beberapa saat, ternyata mereka tak mendengar suara apapun. Maka legalah hati mereka, karena ternyata suara Panembahan Ismaya itu tak terdengar oleh orang-orang di dalam kemah-kemah di seberang padang ilalang.
“Panembahan…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Aku persilahkan Panembahan menunggu di sini. Biarlah aku mendekati salah satu dari perkemahan mereka yang terdekat itu.
“Uh..!” keluh Panembahan Ismaya, “Aku sudah sampai di sini. Apakah salahnya kalau aku ikut serta.
Sebenarnya Mahesa Jenar agak cemas membiarkan Panembahan Ismaya mendekati perkemahan itu. Mereka masih belum tahu siapakah yang berada di dalamnya. Kalau mereka terdiri dari orang-orang yang cukup berilmu maka kedatangan mereka pasti akan ketahuan, sebab Panembahan Ismaya agaknya kurang dapat mengendalikan geraknya sebagai dirinya atau Arya Salaka, yang sudah biasa berlatih diri. Tetapi ia tidak dapat mengutarakan pikirannya itu berterus terang. Sehingga akhirnya ia terpaksa berkesimpulan, bahwa ia harus benar-benar melindungi Panembahan itu atas segala sesuatu yang mungkin terjadi.
Karena itu, maka kemudian mereka bersama-sama dengan hati-hati sekali mendekati kemah yang terdekat di depan mereka. Adalah suatu kebetulan bahwa kemah yang mereka pilih adalah kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.
Dengan sangat perlahan-lahan Mahesa Jenar merangkak paling depan menguakkan batang-batang ilalang dan kadang-kadang gerumbul-gerumbul kecil di garis perjalanannya. Di belakangnya merangkak pula Panembahan Ismaya, dan di belakang sekali Arya Salaka, yang kadang-kadang terpaksa tersenyum geli melihat orang tua di depannya.
Ketika jarak kemah itu sudah tidak begitu jauh, Mahesa Jenar sudah mulai mencium bau asap. Agaknya orang-orang itu sedang menghangatkan dirinya di tepi perapian. Karenanya Mahesa Jenar harus bertambah hati-hati. Ia berusaha bahwa setiap geraknya tidak menimbulkan suara. Baginya hal yang demikian itu tidak begitu sulit, namun tidaklah demikian bagi Panembahan Ismaya.
Untunglah bahwa sampai sedemikian jauh, kedatangan mereka masih belum diketahui.
Ketika sekali lagi Mahesa Jenar menguak batang-batang ilalang, maka tiba-tiba ia surut selangkah. Di depannya tampak dua tiga orang sedang duduk mengelilingi api yang sudah hampir padam. Meskipun perlahan-lahan namun percakapan mereka dapat didengar oleh Mahesa Jenar dengan jelas. Dengan gerak Mahesa Jenar memberi tanda kepada Panembahan tua itu agar berhenti dan berhati-hati. Panembahan Ismaya agaknya mengetahui pula. Karena itu segera ia berhenti dan duduk bersila. Ia tampaknya sudah demikian lelah. Mahesa Jenar pun segera duduk di sampingnya, dan agak ke dalam tampak Arya Salaka duduk sambil memeluk lututnya. Di situ mereka merasa aman terlindung oleh batang-batang ilalang yang cukup tinggi dan padat. Sedangkan dari tempat itu pula mereka dapat mendengar setiap pembicaraan dari ketiga orang yang sedang menghangatkan tubuhnya itu.
Untuk beberapa lama pembicaraan orang-orang itu sama sekali tidak menyangkut kepentingan mereka berkemah di situ. Mereka hanya membicarakan diri mereka masing-masing. Mereka saling menyombongkan diri tentang kecakapan mereka berburu, berolah senjata dan jumlah orang yang telah pernah mereka bunuh.  Meskipun demikian dari percakapan itu Mahesa Jenar dapat menerka bahwa rombongan itu bukanlah rombongan orang baik-baik. Rombongan itu pasti termasuk dalam golongan para penjahat, bahkan bukan penjahat-penjahat kecil, tetapi mereka termasuk dalam gerombolan yang cukup besar.
Mula-mula Mahesa Jenar hampir menganggap bahwa para penjahat itu hanya melulu menginginkan kekayaan yang mereka sangka banyak terdapat di puncak bukit kecil itu. Kalau demikian halnya maka soalnya akan menjadi sederhana dan mudah.  Arya Salaka sendiri mungkin akan sudah cukup untuk dapat menakut-nakuti mereka.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar terperanjat oleh percakapan berikutnya. Ketika salah seorang dari mereka menguap dan berdiri akan meninggalkan perapian itu, berkatalah ia, ”Hati-hatilah kawan. Jangan sampai orang itu lolos. Aku akan tidur sebentar. Kalau lurah kita nanti kehilangan orang itu, mungkin kepala kalian yang akan menjadi gantinya. Ingat, jangan coba menyelesaikan sendiri. Pukul kentongan kalau kau lihat dia. Sebab baginya kau tidak lebih dari seekor tikus tak berarti.”
Orang yang masih duduk di tepi perapian yang sudah hampir padam itu tertawa tinggi, jawabnya, ”Macam apakah orang itu, yang menganggap kita seekor tikus? Justru karena itu aku ingin melihat orangnya. Kalau ia kuat mengayunkan penggadaku ini dengan sebelah tangan seperti yang aku lakukan, aku akan menyembahnya tujuh kali.
Orang yang berdiri itulah kemudian yang tertawa nyaring. Katanya, ”Aku akan berdoa mudah-mudahan permintaanmu itu dapat terkabul. Setelah itu ia melangkah pergi memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.”
Kedua orang yang masih duduk itu menggerutu tak habis-habisnya. Salah seorang darinya berkata, ”Aku kagumi ketangkasan Kakang Sakayon. Sayang hatinya terlalu kecil.
Mendengar kata-kata itu hati Mahesa Jenar berdesir hebat. Ia ingat dengan jelas bahwa orang yang bernama Sakayon adalah salah seorang dari kepercayaan Sima Rodra di Gunung Tidar. Kalau demikian maka orang-orang yang mengepung bukit itu pasti gerombolan Sima Rodra. Mendapat pikiran itu ia menjadi berdebar-debar. Cepat ia menghubungkannya dengan peristiwa yang baru saja lampau, dimana Sima Rodra telah terbunuh olehnya di padukuhan Gedangan. Maka pikirannya bekerja dengan cepatnya. Yang dihadapi itu hanyalah anak buah gerombolan yang telah diketahui kekuatannya. Karena itu, apakah tidak lebih baik kalau gerombolan itu segera dihancurkannya sama sekali?
Panembahan Ismaya yang melihat kegelisahan Mahesa Jenar berbisik perlahan-lahan, ”Apakah yang telah Anakmas ketahui tentang percakapan mereka?
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar berbisik pula, ”Mereka adalah gerombolan Sima Rodra dari Gunung Tidar. Aku telah mengenal salah seorang diantara mereka. Dan aku mendapat pikiran untuk menghancurkan mereka sekaligus sekarang juga, kemah demi kemah tanpa mereka ketahui. Sebab benar-benar mereka tidak lebih daripada tikus-tikus yang sangat rakus.
Tiba-tiba Panembahan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya menjadi cemas. Katanya tergagap perlahan-lahan, ”Jangan anakmas, jangan dipakai kekerasan.”
Mendengar kata-kata Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar menjadi bingung. Bagaimana mungkin menghadapi gerombolan Sima Rodra itu tanpa kekerasan. Karena itu untuk beberapa saat ia menjadi kebingungan dan tidak tahu apa yang akan dikatakan. Dan karena Mahesa Jenar berdiam diri, Panembahan Ismaya meneruskan, ”Anakmas, bukankah dengan demikian akan terjadi pertempuran?
Hampir tidak sadar Mahesa Jenar berkata, ”Ya Panembahan, pertempuran dan pertumpahan darah.”
”O ngger…, aku akan mati ketakutan melihat pertempuran. Maksudku semata-mata hanyalah untuk mengetahui apakah maksud mereka mengepung bukit ini. Setelah itu biarlah aku selesaikan kemudian. Dengan mengetahui maksud itu, bukankah aku telah mempunyai ancang-ancang untuk berbicara dengan mereka?
Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Meskipun ia dapat mengerti jalan pikiran Panembahan itu, namun sebenarnya ia sangat keberatan untuk melepaskan kesempatan ini. Orang-orang dari gerombolan hitam yang dalam keadaan terpisah-pisah seperti itu, akan dengan mudahnya untuk digilas, seperti membunuh cacing. Ia dapat memasuki kemah demi kemah dan membinasakan isinya sebelum mereka sempat membunyikan tanda apapun. Kemudian ia akan menghadapi pimpinan mereka, istri Sima Rodra yang pasti akan dapat dibinasakannya pula. Tetapi Panembahan Ismaya itu melarangnya untuk berbuat demikian.
Dalam kebingungan itu terdengar kembali Panembahan Ismaya berbisik, ”Anakmas, kita telah berhasil mengetahui maksud kedatangan mereka. Marilah kita kembali dan mempertimbangkan apa yang baik aku lakukan untuk menyelesaikan masalah ini.
Hati Mahesa Jenar bergolak hebat. Karena itu ia masih duduk diam tak bergerak.
Kalau Mahesa Jenar tidak dapat mengerti apa yang akan dilakukan, apalagi Arya Salaka. Meskipun ia berdiam diri, namun tubuhnya telah basah oleh keringat dingin. Bahkan terdengar giginya gemeretak menahan hati.
Melihat gelagat itu, maka Panembahan Ismaya menjadi bertambah cemas. Apalagi ketika ia mendengar Arya Salaka berdesis dengan suara yang gemetar.
”Cucu Arya Salaka…” bisik Panembahan Ismaya, ”Apakah rencanaku itu tidak dapat cucu mengerti?
”Eyang Panembahan…” jawab Arya Salaka memaksa diri untuk berkata, ”Apakah salahnya kalau sekarang juga aku bertindak. Menurut Paman Mahesa Jenar, darma seorang lelaki adalah termasuk menumpas kejahatan. Bukankah saat ini kesempatan itu ada…?
”Kau betul cucu, kau betul. Dan pamanmu Mahesa Jenar pun betul pula. Tetapi adakah untuk menumpas kejahatan harus dilakukan dengan membinasakan mereka?
“Bapa Panembahan…” Mahesa Jenar menyahut, “Setiap sisa dari kejahatan akan dapat menjadi benih pada masa yang akan datang.”
“Kau juga benar Anakmas, kau juga benar,” jawab Panembahan Ismaya, nafasnya menjadi semakin memburu. “Tetapi membunuh sebatang pohon tidak harus memotong dahan-dahan serta cabang-cabang saja. Yang penting akarnyalah yang harus dibinasakan.”
“Akan sampai juga saatnya kelak,” potong Arya Salaka.
“Cucu…” sahut Panembahan Ismaya semakin bingung. Tetapi dari mulutnya meluncur kata-kata yang menunjukkan kedalaman tanggapannya atas keadaan yang dihadapinya. “Kalau kau mulai dengan orang-orang yang menurut pamanmu tidak lebih daripada tikus-tikus yang rakus itu, cucu, maka kau tidak akan menemukan rajanya. Atau kau akan diterkamnya tanpa sepengetahuanmu.
Mendengar kata-kata Panembahan tua itu, Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia menjadi seperti orang yang tersadar dari sebuah angan-angan yang dahsyat. Gamblanglah baginya apa yang dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu. Ternyata meskipun orang tua itu tidak cukup pengalaman dalam dunia keprajuritan, namun pandangannya yang jauh ternyata sangat bermanfaat.
Tetapi agaknya Arya Salaka sama sekali tidak dapat mengerti pikiran Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab, ”Sekarang atau nanti, soalnya sudah jelas. Baik setiap anggota gerombolan itu atau setiap orang yang memegang pimpinan, harus kita binasakan. Apakah bedanya?”
”Arya…” potong Mahesa Jenar dengan tenang, ”Biarlah kita urungkan niat kita. Biarlah kita dapat menangkap orang yang kita
Mendengar pendapat Mahesa Jenar, Arya Salaka terkejut bukan buatan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gurunya akan menjadi sedemikian lunak menghadapi gerombolan hitam yang memuakkan itu. Karena itu wajahnya jadi merah. Jawabnya, ”Guru… ijinkanlah aku bertindak atas namaku sendiri. Bukankah mereka telah bekerja sama dengan Paman Lembu Sora untuk mencelakakan ayahku…?”
Sekali lagi Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia dapat merasakan perasaan anak itu. Tetapi ia dapat pula merasakan betapa bijaksananya Panembahan Ismaya dengan pendapatnya. Maka dengan penuh kesabaran seorang guru terhadap murid yang dikasihinya, Mahesa Jenar berkata, ”Arya Salaka, kalau ada orang yang benci kepada golongan hitam, akulah orangnya yang akan berdiri di baris terdepan. Namun demikian, ada beberapa pertimbangan yang harus kita perhatikan.”
”Paman…” potong Arya Salaka, ”Haruskah kita menunggu agar mereka menjadi bertambah kuat dan bersiaga dahulu…? Ataukah kita menunggu sampai mereka menggantung aku tinggi-tinggi di pohon beringin tua itu…?”
”O cucu, jangan sebut-sebut peristiwa-peristiwa yang mengerikan itu,” sahut Panembahan Ismaya.
”Tetapi hal itu bisa terjadi, Eyang,” jawab Arya. ”Mula-mula ayahkulah yang menjadi korban, kemudian apa yang terjadi atas Paman Sawungrana menambah penjelasan. Dan apakah yang sudah mereka lakukan terhadap orang-orang Banyubiru dan Pamingit?”
”Arya…” potong Mahesa Jenar, ”Biarlah aku selesaikan penjelasanku dahulu. Kita harus mempunyai beberapa pertimbangan. Pertama kita harus menghormati Bapa Panembahan sebagai tuan rumah. Kedua, kita tidak mau kehilangan pemimpin mereka. Kalau orang-orang itu telah kita binasakan, maka pimpinan mereka tidak akan menginjakkan kakinya di daerah ini. Dengan demikian pekerjaan kita akan bertambah sulit.”
”Kalau demikian biarlah kita tinggalkan padepokan ini, supaya kita tidak terikat lagi pada sopan santun. Setelah itu kita bebas untuk bertindak atas orang-orang dari gerombolan hitam itu,” jawab Arya.  Sehabis ucapannya itu, tiba-tiba Arya sudah mulai bergerak untuk meninggalkan tempat itu.
Melihat hal itu Mahesa Jenar terkejut sekali. Karena itu segera ia mencegahnya.  ”Arya, apa yang akan kau lakukan? Ingat aku adalah gurumu. Dan aku telah mengasuhmu sampai ketingkatan ini.”
Mendengar suara gurunya yang sudah mulai keras itu Arya menjadi tergetar hatinya. Rupa-rupanya gurunya benar-benar mempunyai pendapat yang lain dari pendapatnya terhadap orang-orang dari gerombolan hitam yang tinggal memijat hancur itu.
Dalam pada itu, tiba-tiba lembah di kaki bukit Karang Tumaritis itu tergetar oleh suara tertawa yang tinggi nyaring. Suara itu jelas suara perempuan. Hati mereka yang sedang bersembunyi di dalam semak-semak itu tiba-tiba menjadi bergetaran dan berdebar-debar. Mahesa Jenar dan Arya Salaka sama sekali tidak melupakan bahwa suara itu adalah suara Istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Suara itu kemudian disahut oleh suatu suara yang tenang berat, meskipun terdengar kurang menyenangkan. Sambil tertawa pendek terdengar laki-laki itu berkata, ”Seharusnya kau sedikit memelihara kecantikanmu daripada terus-menerus merendam kuku-kukumu itu di dalam racun. Dengan begitu aku tidak akan terlalu ngeri memandangmu.”
Sekali lagi terdengar tertawa iblis betina itu, bahkan semakin dekat. Dan ketika sekali lagi terdengar suara laki-laki yang bersamanya, dada Mahesa Jenar bergoncang keras. Suara itu adalah suara berdesis dari Ular Laut Nusakambangan.  ”Jangan coba merayu aku,” katanya, ”Kecuali kalau kau benar-benar dapat menangkap gadis yang kau sebut-sebut anak bekas suamimu yang terbunuh itu. Dengan demikian kau berdua akan aku ambil sekaligus sebagai isteri-isteriku.”
”Kau benar-benar serigala,” jawab istri Sima Rodra, ”Tetapi apakah kau tidak takut kepada Pandan Alas?”
”Itu urusanmu. Kau boleh minta pertolongan ayahmu, Sima Rodra tua dari Lodaya, dan barangkali juga Paman Bugel Kaliki akan bersedia pula membantu.”
”Kenapa urusanku?” tanya Istri Sima Rodra.
”Banyak sebabnya,” jawab Jaka Soka yang berwajah tampan itu. ”Pertama, Sima Rodra adalah ayahmu. Karena itu permintaanmu akan mendapat perhatiannya. Kedua, Bugel Kaliki adalah sahabat ayahmu itu. Dan ketiga, kau yang minta aku mengawinimu.”
“He…” potong Istri Sima Rodra terkejut. “Siapa bilang aku minta kau mengawini aku?”
“Lalu apa maksudmu menyeret aku kemari serta segala macam tingkah lakumu yang aneh-aneh itu?” tanya Jaka Soka keheran-heranan.
Sekali lagi tertawa nyaring yang mengerikan itu meluncur dari mulut harimau betina liar Gunung Tidar itu. Jawabnya, “Soka… kau benar-benar telah berubah menjadi seorang yang alim. Coba katakan kepadaku, pernahkah kau mengawini segenap perempuan yang kau kumpulkan di Nusakambangan? Sekarang kau tak usah berpura-pura. Aku juga tidak. Kita tidak usah mengikat diri dengan cara apapun. Sebab itu hanya akan menertawakan orang dan mengurangi kemerdekaan kita masing-masing.”
“Gila!” gerutu Jaka Soka. “Ternyata kau jauh lebih liar dari dugaanku. Tetapi bagaimanapun juga bentuk hubungan kita, namun syaratku tetap. Kau harus membawa gadis itu kepadaku. Terserah cara yang akan kau tempuh.“
“Kau terlalu menyakitkan hatiku, tetapi aku tidak akan marah kepadamu. Jangan takut, gadis itu akan kutangkap dan akan kujadikan umpan untuk memancingmu.” Lalu suara itu disusul oleh suara tawa dengan nada tinggi yang sangat menyakitkan telinga, yang semakin lama semakin menjauh dan ternyata kemudian memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.
Mendengar percakapan itu hati Mahesa Jenar seperti tertusuk sembilu. Ketika ia menoleh kearah Panembahan Ismaya, orang tua itu menggigil seperti orang kedinginan. Terdengarlah suaranya yang lemah gemetar, ”Ya ampun, ada juga manusia-manusia semacam itu di dunia ini.”
”Itulah pimpinan mereka,” sahut Mahesa Jenar. ”Adakah Panembahan merasa bahwa orang-orang semacam itu dapat diajak berbicara?”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu. Malahan ia bertanya tentang hal yang lain. Katanya, ”Anakmas, pernahkah kau mendengar nama-nama yang disebut-sebut tadi? Pandan Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki?”
Sekali lagi Mahesa Jenar terasa seperti terbangunkan dari sebuah angan-angan yang hebat. Kalau orang-orang itu, Sima Rodra dan Bugel Kaliki, berada di tempat ini pula, maka akibatnya akan hebat sekali. Apakah yang dapat dilakukan terhadap kedua tokoh itu? Bagaimanapun juga Mahesa Jenar bukan orang yang dengan mudahnya dapat ditelan oleh perasaan saja tanpa pertimbangan-pertimbangan dan perhitungan, sebagaimana harus dilakukan oleh seorang prajurit.
”Bapa Panembahan…” jawabnya, ”Orang-orang itu adalah orang-orang yang dahsyat, yang memiliki kesaktian luar biasa. Mereka seolah-olah mampu berbuat sesuatu diluar kemampuan manusia biasa.”
Orang tua itu menjadi semakin cemas mendengar keterangan Mahesa Jenar. Sambungnya, ”Adakah orang-orang itu di tempat ini pula?
Mahesa Jenar menggelengkan kepala.  Jawabnya, ”Entahlah
Tetapi sesaat kemudian percakapan mereka terhenti oleh suatu suara, ”He, kau lihat tadi lurah kita?
Kemudian terdengar jawaban, yang ternyata adalah laki-laki yang sedang menghangatkan tubuh perapian yang hampir padam. ”Ya, aku lihat Nyi Lurah bersama-sama dengan Ular Laut yang sombong itu masuk ke dalam kemah. Apakah ada suatu keperluan?
”Ya!” jawab orang yang pertama. ”Sima Rodra tua ingin menemuinya.
Kata-kata yang diucapkan itu, telah cukup menggetarkan dada Mahesa Jenar. Sadarlah ia sekarang bahwa ia berhadapan dengan satu gerombolan lengkap dari Gunung Tidar yang di belakangnya berdiri orang-orang semacam Sima Rodra tua yang dahsyat itu.
Apalagi ketika laki-laki itu meneruskan, ”Katakan kepadanya bahwa ayahnya dan tamunya, si bongkok dari Lembah Gunung Cerme sudah menunggu.”
Kemudian sepi kembali. Yang terdengar hanyalah langkah-langkah mereka yang sesaat kemudian telah lenyap ditelan sepi malam.
Di langit, bintang-bintang masih bermain dengan riangnya. Sekali-sekali selembar awan putih lewat di depan wajah langit yang biru tua, dihanyutkan oleh angin yang berhembus perlahan-lahan. Dingin malam yang dibasahi oleh tetesan embun terasa menyusup sampai ke tulang.
Sesaat Mahesa Jenar terkenang pada pertemuan golongan hitam beberapa tahun yang lampau, ketika ia berlima, dengan Gajah Alit, Paningron, Mantingan dan Wiraraga, terlibat dalam suatu pertempuran melawan Sima Rodra tua itu bersama Pasingsingan. Pada saat itu Sima Rodra dan Pasingsingan bertempur berdua hanya karena mereka bersama-sama ingin membunuh, bukan karena mereka terpaksa menggabungkan kekuatan mereka. Sekarang, bukit kecil ini telah dikepung rapat oleh sejumlah laskar gerombolan hitam yang terkenal, ditambah lagi dengan kehadiran Sima Rodra dan Bugel Kaliki, disamping istri Sima Rodra muda dan Jaka Soka. Gabungan kekuatan mereka akan merupakan suatu tenaga dahsyat yang tak terbayangkan.
Disamping itu, ia merasa berterima kasih pula kepada Panembahan Ismaya, yang telah melarangnya bertindak, meskipun itu disebabkan oleh ketakutannya melihat kekerasan. Namun dengan demikian tanpa disengaja Panembahan tua itu telah menyelamatkannya beserta muridnya.
Sebentar kemudian kembali terdengar suara Istri Sima Rodra muda yang agaknya telah keluar dari kemahnya. ”Sakayon…” katanya, ”Kau harus menjaga supaya orang itu tidak dapat lolos.
”Baik Nyi Lurah,” jawab Sakayon.
”Aku akan tinggal di sini,” sela suara yang lain, yang ternyata suara Jaka Soka. ”Kalau ia akan mencoba menerobos, akulah yang akan membinasakan.
”Kau benar,” jawab Jaka Soka. ”Tetapi aku akan membunuhnya beramai-ramai. Bukankah di sini ada Sakayon dan kawan-kawannya…? Setidak-tidaknya aku akan dapat mencegahnya sampai ayahmu datang untuk membinasakannya.
Sekali lagi Harimau betina itu tertawa, sahutnya, ”Ternyata kau jujur menghadapi lawanmu. Tetapi jangan mimpi ayahku akan membinasakannya.
”Kenapa?” potong Jaka Soka.
Istri Sima Rodra muda itu tertawa lebih mengerikan lagi. Jawabnya sangat mengejutkan, katanya, ”Aku minta ayah menangkapnya hidup-hidup. Sayang, ia terlalu tampan untuk dibunuh.”
”Gila kau!” bentak Jaka Soka. Dan bersamaan dengan itu dada Mahesa Jenar serasa akan pecah. Tubuhnya menggigil menahan kemuakan hatinya.  Hampir ia kehilangan pengamatan diri, kalau ia tidak mendengar Panembahan tua itu berdesis, ”Adakah Sima Rodra ayah perempuan itu?
Mahesa Jenar mengangguk, tetapi giginya gemeretak. Sementara itu terdengar suara perempuan itu semakin memuakkan, ”Jangan cemburu Soka. Aku juga tidak cemburu ketika kau ajukan syarat untuk menangkap gadis anak tiriku itu. Dan jangan kira aku tidak tahu, bahwa aku akan kau jadikan alat saja, dan sesudah itu akan kaulempar jauh-jauh. Tetapi kau tidak dapat melakukan itu. Ayahku akan mencekikmu bersama-sama dengan Pandan Alas. Kecuali kalau itu atas kehendakku.
”Gila kau. Pergilah, pergilah ke ayahmu. Aku tidak mempedulikan apa yang akan kau lakukan. Tetapi ingat, sementara kau perlukan aku, syarat itu harus kau penuhi,” jawab Jaka Soka.
Terdengar kembali suara tertawa iblis betina itu, semakin lama semakin jauh dan kemudian hilang di kejauhan.
Pertunjukan yang dahsyat dan memuakkan itu telah berakhir.  Namun Panembahan tua itu masih menggigil, sedang dada Mahesa Jenar dan Arya Salaka serasa sesak oleh kemarahan dan kemuakan yang meluap-luap.
”Anakmas…” bisik Panembahan Ismaya, ”Sungguh mengerikan.”
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar, ”Aku kira lebih baik Panembahan kembali ke padepokan. Agaknya disini terlalu berbahaya bagi Bapa.
”O, ngger,” sahut Panembahan itu, ”Aku tidak dapat berjalan sendiri. Tubuhku tiba-tiba jadi lemas seperti segenap otot bayuku dilolosi. Karena itu sudilah angger berdua menuntunku mendaki bukit kecil ini.”
Mahesa Jenar tak dapat menolak permintaan itu. Meskipun ia sebenarnya masih ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang kekuatan laskar Gunung Tidar itu. Karena itu, maka perlahan-lahan mereka menggeser semakin dalam menyusup semak-semak dan batang ilalang, untuk kemudian membantu Panembahan tua itu kembali ke Padepokan diatas bukit.
Tak ada yang mereka percakapkan sepanjang jalan. Angan-angan mereka masing-masing dicengkam oleh kengerian dengan alasan yang berbeda-beda.
Dan karena itu pulalah maka Mahesa Jenar dan Arya Salaka seterusnya sama sekali tak dapat memejamkan mata sekejap pun, meskipun mereka menghendaki. Pikiran mereka menjadi kalut tak karuan. Disamping itu, Mahesa Jenar pun harus berpikir pula, bagaimanakah sebaiknya ia menghadapi iblis-iblis yang berkumpul di sekitar bukit kecil itu.
Menilik persiapan mereka, maka sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan melakukan pengepungan itu untuk waktu yang lama. Bagaimanapun juga orang-orang dari Gunung Tidar tidak mau menganggap Mahesa Jenar sebagai seorang yang tak berdaya menghadapi mereka. Lebih-lebih lagi setelah Mahesa Jenar mendengar percakapan Jaka Soka dengan Janda Sima Rodra.  Tanpa diketahuinya, bulu kuduknya meremang. Ia sama sekali tidak takut menghadapi kemungkinan yang paling berbahaya sekalipun.  Namun terhadap iblis betina itu ia merasa ngeri.
Karena itulah dihabiskannya sisa malam itu dengan hati yang berdebaran.
Pada pagi harinya, sesaat setelah matahari terbit, datanglah Jatirono ke pondok Mahesa Jenar, untuk menyampaikan undangan Panembahan Ismaya.
Mahesa Jenar merasa bahwa ada hal yang penting yang akan dibicarakan. Karena itu setelah membersihkan diri, bersama-sama dengan Arya Salaka ia pergi menghadap.
“Anakmas…” kata Panembahan itu kemudian, “Agaknya keadaan sangat gawat bagi Anakmas. Tetapi untung lah bahwa mereka sama sekali tidak mengetahui dengan pasti bahwa Anakmas masih berada di atas bukit ini.”
“Aku kira tidak demikian Panembahan,” jawab Mahesa Jenar. “Persiapan mereka menunjukkan bahwa mereka yakin aku masih berada di sini. Hanya barangkali mereka menganggap bahwa untuk menangkap aku, mereka memerlukan waktu yang panjang. Sebab bukit ini banyak sekali relung likunya yang baik sekali untuk bersembunyi. Tetapi Bapa Panembahan, aku sama sekali tidak akan bersembunyi. Kalau mereka naik ke bukit itu, akau akan menemuinya dan apa yang terjadi terserahlah kepada kekuasaan Yang Maha Adil.”
Panembahan Ismaya mengangguk-angguk.  Katanya, “Angger memang seorang jantan tiada taranya. Yang tidak sisip dengan gelar yang Anakmas miliki, Rangga Tohjaya. Namun demikian anakmas, setiap usaha dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Agung. Juga usaha untuk menyelamatkan diri. Sebab tak ada yang dapat dicapai tanpa suatu usaha apapun.”
Ucapan Panembahan tua itu mengena benar di hati Mahesa Jenar. Sebenarnya ia pun sependapat dengan pikiran itu. Bahkan menurut perhitungan, ia pun seharusnya berbuat demikian pula. Tetapi dengan demikian, Panembahan Ismaya akan mengalami akibatnya. Setidak-tidaknya bukit kecil yang telah dipeliharanya dengan baik itu, akan dibongkar oleh rombongan Gunung Tidar yang akan mencarinya.
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar, ”Pendapat Bapa adalah benar sama sekali. Tetapi aku tidak mau menyulitkan Panembahan karena kehadiranku di sini. Sebelum aku diketemukan, mereka pasti akan mengaduk Padepokan ini. Bahkan tidak mustahil kalau Panembahan akan mengalami hal-hal yang tidak diharapkan. Karena itu biarlah mereka menemukan diriku tanpa banyak kesulitan. Karena persoalannya adalah persoalanku, dan sama sekali tidak bersangkut paut dengan Panembahan. Karena aku menghadap kemari itulah sebabnya maka bukit kecil yang tenang dan damai itu mengalami kegoncangan. Karena itu, bahkan aku tidak akan menunggu mereka naik. Akulah yang akan berusaha, kalau mungkin menerobos kepungan mereka.
Sekali lagi Panembahan tua itu memancarkan pandangan kekaguman. Maka katanya, ”Sekali lagi aku menghormati kejantanan Anakmas. Namun meskipun demikian, berilah aku kesempatan berlaku sebagai tuan rumah yang baik. Aku harap Anakmas tidak menolak permintaanku, supaya aku tidak merasa bersedih. Bukankah aku yang menahan Anakmas supaya tinggal di bukit ini untuk beberapa lama? Nah, kalau demikian aku akan menunjukkan sebuah jalan, sebab menurut pendapatku, setelah aku mendengar keterangan dari Anakmas malam tadi, sulitlah untuk menerobos kepungan mereka. Meskipun aku tahu benar maksud Anakmas, bahwa dengan demikian orang-orang itu tidak lagi akan mendaki bukit ini. Dan Anakmas telah mengatakan pula, bahwa mereka tidak akan tergesa-gesa bertindak.”
”Anakmas…,” lanjut Panembahan Ismaya, ”Di lereng sebelah selatan bukit ini ada sebuah goa, Aku tidak tahu, siapakah yang telah membuatnya, atau barangkali hasil perbuatan alam. Goa itu ditakbiri sebuah gerumbul yang cukup besar. Di situ Anakmas dapat menyembunyikan diri dengan aman. Aku yakin bahwa tak seorangpun dapat menemukan mulut goa itu.”
Mendengar keterangan Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar menjadi terharu. Rupa-rupanya ia akan mempertanggungjawabkan segala sesuatu mengenai dirinya, hanya karena Panembahan tua itu telah menahannya untuk tetap tinggal dibukit kecil itu.
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar, ”Aku tidak akan dibenarkan oleh perasaanku, seandainya aku berbuat demikian. Dan adakah Panembahan telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi?”
”Sekali lagi aku minta,” potong Panembahan Ismaya, ”Anakmas jangan membuat aku bersedih. Percayalah bahwa mereka tidak akan berbuat sesuatu atas diriku serta padepokan ini, sebab aku dapat mengingkari kedatangan Anakmas di bukit ini.
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar bimbang, sedang Panembahan Ismaya selalu mendesak-desaknya saja.
”Panembahan…” akhirnya Mahesa Jenar berkata, ”Memang tidak sepantasnya aku menolak, tetapi bagaimanapun juga, aku ingin supaya aku tidak menyulitkan Bapa Panembahan. Karena itu apabila terjadi kesulitan atas Panembahan Ismaya, maka perkenankanlah aku bertindak atas pertimbanganku sendiri.
”Baiklah Anakmas, saratmu aku terima,” jawab Panembahan itu.
Setelah itu kemudian Panembahan Ismaya memerintahkan kepada cantrik-cantriknya untuk menyediakan perbekalan. Sebab Mahesa Jenar akan tinggal di dalam goa itu untuk waktu yang tidak tertentu.
———-oOo———-

II

Demikianlah pada hari itu Mahesa Jenar dan Arya Salaka diantar oleh seorang cantrik pergi ke goa di lereng selatan bukit kecil itu.
Setelah menyibakkan sebuah gerumbul yang cukup lebat, tampaklah di hadapan mereka sebuah mulut goa yang kecil. Seseorang hanya dapat memasukinya dengan merangkak.
”Di dalam goa itulah kami biasa bermain-main,” kata cantrik yang mengantarkan itu.
“He…?” Mahesa Jenar agak terkejut. “Kalian bermain-main di dalam goa ini?
“Ya,” jawab Cantrik itu, “Di dalam goa itu terdapat sebuah lobang yang tembus keatas. Dari situlah sinar matahari menerangi bagian dalam goa ini.”
“Kemanakah lubang goa ini tembus?” tanya Mahesa Jenar.
“Kami tidak tahu,” jawab Cantrik itu, “Kami belum pernah menyusurnya jauh ke dalam. Sebab diujung sebelah dalam goa itu gelap sekali.
Setelah itu maka masuklah cantrik itu ke dalam goa sambil membawa beberapa macam bekal. Setelah itu baru Mahesa Jenar dan Arya Salaka merangkak masuk. Memang sebenarnyalah di dalam goa itu, agak ke dalam, tampak sinar jatuh dari lubang di atas.  Lubang itu tidak seberapa besarnya, namun terdapat lebih dari satu lubang. Sehingga dengan demikian, beberapa berkas sinar cukup untuk menerangi sebagian dari ruangan di dalam goa itu.
Goa itu sebenarnya tidaklah seperti kebiasaan goa-goa. Lantainya licin bersih. Dan yang lebih menyenangkan lagi, di dalam goa itu terdapat sebuah bale-bale bambu. Agaknya para cantrik yang sering bermain-main di dalam goa itu telah membuatnya sebuah bale-bale di dalam.
”Nah, Tuan..” kata cantrik itu kemudian, ”Sekarang perkenankanlah aku meninggalkan Tuan-tuan. Setiap kali aku akan dapat kemari untuk menengok perbekalan Tuan. Menurut pesan Panembahan, tempat ini harus menjadi tempat rahasia. Sebab siapa tahu orang-orang yang mengepung bukit ini telah mengirimkan orang untuk memata-matai keadaan di sekitar bukit ini. Kalau aku terlalu sering datang kemari, atau Tuan keluar dari goa ini jangan-jangan orang-orang mereka dapat melihatnya.
”Pergilah,” jawab Mahesa Jenar, ”Berilah kami kabar apabila terjadi sesuatu atas padepokan ini, lebih-lebih Bapa Panembahan.”
Cantrik itu mengangguk hormat. ”Pesan Tuan akan kami laksanakan dengan baik,” katanya.  Kemudian pergilah ia keluar lewat lubang sempit itu, dan seterusnya menyibakkan daun-daun gerumbul yang menutup lubang goa itu.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar dan Arya Salaka mengamat-amati dinding goa itu. Dan kemudian mereka menemukan suatu ruangan yang agak lebar dengan lubang-lubang pula di atasnya.
”Arya…” kata Mahesa Jenar, Kita tidak tahu berapa lama kita harus meringkuk di dalam lubang ini. Tetapi aku kira sehari dua hari ini Sima Rodra masih belum akan bertindak. Karena itu kita mempunyai cukup waktu untuk menyusur goa ini sebelum kita mendapat kabar dari cantrik tadi.
Arya Salaka adalah seorang anak yang ingin mengetahui segalanya. Karena itu segera ia menjawab, ”Paman, tidakkah kita mencoba melihat setiap segi goa ini?”
Marilah, jawab Mahesa Jenar.
Maka segera dengan hati-hati mereka mulai memasuki ke bagian yang lebih dalam lagi. Di beberapa bagian, lubang-lubang yang menembus ke atas masih saja terdapat. Dan sepanjang bagian yang masih mendapat penerangan itu, ternyata terdapat bekas-bekas tempat bermain para cantrik. Di situ terdapat pula alat-alat memasak dan beberapa perlengkapan lain. Tetapi ketika kemudian mereka sampai ke bagian yang lebih gelap, hilanglah semua bekas-bekas yang menunjukkan bahwa tempat itu pernah didatangi oleh para cantrik.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar dan Arya Salaka menyusuri lubang goa yang semakin lama menjadi semakin sempit dan gelap.
Pada hari yang pertama, mereka menghentikan pengamatan mereka sampai di situ. Tak ada yang istimewa di dalamnya. Kecuali di beberapa tempat terdapat tetesan-tetesan air yang jernih. Agaknya para cantrik sering menampung air yang tetes itu pula, untuk masak-memasak.
Pada hari kedua, Mahesa Jenar dan Arya Salaka kembali menyusuri lubang goa itu jauh lebih ke dalam. Karena pandangan mereka yang sudah agak biasa di dalam gelap, maka meskipun remang-remang mereka dapat melihat di dalam goa itu. Namun yang tampak hanyalah bayangan batu-batu yang menjorok tak teratur. Ada yang runcing, ada yang seperti gerigi, dan ada yang halus licin seperti digosok.
Juga pada hari kedua mereka tak mendapatkan apapun yang menarik perhatian. Dengan perasaan jemu mereka kembali ke ujung goa, dimana mereka menemukan cantrik yang mengantarkan mereka, telah berada di situ.
”Ada sesuatu yang terjadi?” tanya Mahesa Jenar tak sabar.
Cantrik itu menggeleng tenang. Tak ada, jawabnya.
Lalu apakah yang dilakukan oleh orang-orang laskar Gunung Tidar itu selama ini?” sambung Mahesa Jenar.
Menari dan menyanyi-nyanyi seperti orang gila,” jawab cantrik itu. ”Mereka berbuat aneh-aneh. Kami tidak melihatnya dengan jelas. Tadi malam kami mencoba mengintip mereka, meskipun kami sama sekali tak berani mendekati. Tetapi dari jarak yang sedang, kami melihat mereka menari-nari mengelilingi perapian dengan laku yang aneh-aneh. Lebih mengherankan lagi bahwa diantara mereka terdapat pula laskar-laskar perempuan. Dan apa yang kami lihat adalah sangat mengerikan. Kami hampir tak percaya pada mata kami. Lebih-lebih lagi, perempuan yang mereka anggap pimpinan mereka, yang mendapat gelar Harimau Betina dari Gunung Tidar.
Mendengar ceritera cantrik itu, mulut Mahesa Jenar serasa terkunci. Tak sepatah katapun ia menjawab. Dadanya berdentang-dentang dengan kerasnya. Apalagi ketika ia sadar bahwa tak ada sesuatu yang dapat dilakukan. Dengan adanya Sima Rodra dari Alas Lodaya dan Bugel Kaliki, maka setiap usahanya pasti akan sia-sia. Karena itu untuk sementara ia terpaksa membiarkan segalanya terjadi sampai ia menemukan suatu cara untuk mengatasinya.
Cantrik itu tidak lama tinggal di dalam goa. Segera setelah ia menambah bekal-bekal buat Mahesa Jenar, ia minta diri. Dengan hati-hati sekali ia mengendap keluar, dan kemudian hilang dibalik semak-semak di muka mulut goa.
Ceritera cantrik itu menambah prihatin Mahesa Jenar. Ia merasa seperti orang yang sama sekali tak berarti. Alangkah bodoh dan picik pengetahuan yang dimilikinya, sehingga ia terpaksa membiarkan kemaksiatan itu berlaku di hadapannya tanpa suatu daya apapun untuk mencegahnya.
Karena kejemuannya pula, maka pada hari ketiga Mahesa Jenar dan Arya Salaka memasuki goa itu lebih dalam lagi. Batu-batu runcing bertebaran di sepanjang dindingnya.
Ketika mereka sampai di bagian lebih dalam lagi, tiba-tiba langkah mereka terhenti. Lamat-lamat mereka mendengar gemerisik halus di sekitar tempat itu.
Dengan ketajaman pancainderanya Mahesa Jenar mencoba untuk mengetahui sumber bunyi itu. Tetapi sebentar kemudian bunyi itu telah lenyap. Namun meskipun demikian Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi bertambah berhati-hati.
Apalagi sesaat kemudian bunyi itu terdengar lagi. Agak lebih dekat. Sekarang jelas bagi Mahesa Jenar, bahwa bunyi itu bunyi langkah manusia. Karena itu ia menggamit Arya Salaka, dan dengan isyarat ia menyuruhnya untuk waspada. Tetapi kemudian suara itu lenyap kembali.
Kemudian Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun tidak mau berkisar dari tempatnya. Mereka berdua perlahan-lahan sekali mendekat pada dinding goa. Untuk beberapa lama mereka bertahan di situ. Mereka menunggu setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Dan apa yang mereka tunggu-tunggu tiba-tiba muncullah. Di dalam gelap mereka melihat sesosok tubuh berjalan perlahan-lahan sekali dan sangat hati-hati. Tetapi agaknya ia masih belum melihat Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang berdiri melekat dinding, meskipun barangkali orang itu telah mendengar langkah mereka, sebab ternyata orang itu berjalan mendekati mereka.
Tetapi ketika jarak mereka tinggal beberapa langkah, agaknya orang itu dapat pula melihat Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Cepat ia menghentikan langkahnya, dan tiba-tiba ia meloncat dan berlari menjauh.
Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi bercuriga. Karena segera mereka menyusulnya. Namun orang itu berlari terus meskipun tidak begitu cepat karena gelap. Sedang Mahesa Jenar dan Arya Salaka tidak dapat berlari cepat pula.  Karang-karang yang runcing terbujur lintang tak tentu arah. Meskipun demikian langkah Mahesa Jenar setidak-tidaknya dapat menyamai langkah orang yang dikejarnya, sehingga jarak mereka tidak menjadi semakin jauh.
Ketika orang itu sadar bahwa ia dikejar, maka ia pun mempercepat langkahnya. Belum sedemikian jauh ia berusaha untuk melenyapkan dirinya, masuk ke dalam sebuah lekuk. Tetapi ternyata bahwa lekuk itu hanya merupakan sebuah mulut saja dari cabang goa itu yang cukup dalam pula. Mula-mula Mahesa Jenar agak ragu. Tetapi karena keinginannya untuk mengetahui siapakah orang itu, maka segera ia mengejarnya ke dalam cabang goa itu.
Beberapa lama mereka berkejar-kejaran. Orang itu agaknya sudah amat mengenal keadaan di dalam goa sehingga dengan mudahnya ia memasuki hampir setiap lobang yang ada. Ternyata di dalam goa itu tidak saja terdapat satu dua jalur lubang, tetapi berpuluh-puluh. Karena itulah Mahesa Jenar menjadi sulit untuk mengejar orang yang sudah mengenal tempat itu dengan baik.  Akhirnya ketika ia merasa bahwa usahanya tidak akan berhasil, dan orang yang dikejarnya itu sudah tidak nampak pula, segera ia menghentikan langkahnya. Peluh dinginnya telah merembes hampir membasahi seluruh tubuhnya.
Tetapi yang lebih mengejutkan lagi, ketika ia menoleh, Arya Salaka tidak dilihat bersamanya. Mahesa Jenar tertegun untuk beberapa saat. Namun kemudian ia sadar bahwa mungkin anak itu tidak dapat mengikuti kecepatannya.
Dalam pada itu Mahesa Jenar jadi gelisah. Gelisah karena kehadiran orang lain didalam goa itu, ditambah dengan terpisahnya Arya Salaka. Karena itu, untuk beberapa saat ia menanti. Mungkin Arya akan segera menyusulnya, atau orang yang dikejarnya itu muncul kembali. Tetapi usahanya itu sia-sia. Telah beberapa lama ia tinggal di situ, namun tak seorang pun yang nampak.
Mahesa Jenar kemudian bertambah gelisah lagi. Jangan-jangan Arya Salaka tak dapat menemukan jalan. Bukan itu saja, tetapi dirinya sendiri pun menjadi kebingungan pula. Ketika kemudian ia meninggalkan tempat itu dan berusaha kembali ke mulut goa kembali. Beberapa kali ia berputar-putar melingkar-lingkar, namun yang dicarinya tidak dapat diketemukannya. Dengan demikian ia pun yakin bahwa Arya Salakapun pasti kehilangan jalan pula.
Dalam kegelisahannya, kemudian Mahesa Jenar berteriak memanggil-manggil. Namun ia sama sekali tak mendengar suara Arya menyahut. Beberapa kali suaranya sendiri melingkar-lingkar dan kembali meraung-raung di dalam relung-relung goa itu. Akhirnya ia pun kelelahan sendiri. Dibantingkannya dirinya di atas sebuah batu dengan masgulnya. Di sekitarnya takbir kegelapan merubunginya. Di sana-sini meremang batu-batu yang menjorok seperti bayangan-bayangan hantu yang akan menerkamnya.
Mahesa Jenar sama sekali tidak takut menghadapi keadaan sekitarnya. Tetapi ia bingung karena kehilangan muridnya. Apapun yang terjadi atasnya bukanlah soal, sedangkan Arya masih memiliki masa depan yang panjang dengan penuh harapan-harapan.
Sekali lagi ia masih mencoba memanggil Arya. Namun suaranya memercik kembali berulang-ulang. Bagi Mahesa Jenar pantulan suaranya itu terdengar seperti guruh yang memukul-mukul dadanya yang gelisah.
Tiba-tiba dalam keriuhan perasaan itu, Mahesa Jenar dikejutkan oleh suara orang tertawa. Suara itu perlahan-lahan sekali, tetapi jelas dan dekat di sekitarnya. Mendengar suara itu darah Mahesa Jenar berdesir hebat. Karena itu segera ia meloncat berdiri dan bersiaga. Namun kemudian, suara itu terhenti dan tidak ada apa-apa lagi yang terdengar.
Oleh peristiwa itu hatinya menjadi bertambah gelisah. Ia mempunyai dugaan, bahwa seseorang telah sengaja memancingnya sampai ke tempat yang membingungkan ini. Dan mungkin sekaligus memisahkannya dari muridnya.
Ketika kemudian suara tertawa itu terdengar lagi, Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan. Dipusatkannya segenap inderanya untuk mengetahui arah suara yang mengganggunya. Mahesa Jenar adalah seorang yang terlatih baik, jasmaniah dan rohaniah. Karena itu, meskipun perlahan-lahan akhirnya ia dapat menemukan sumber suara itu. Maka perlahan-lahan sekali ia berkisar dari tempatnya, menuju ke arah suara yang menyeramkan. Beberapa langkah kemudian ia berhenti di tikungan. Suara itu berasal dari sebuah lubang dinding cabang goa itu. Dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan ia memasukinya dengan melekatkan tubuhnya di dinding.  Tiba-tiba hampir ia terlonjak ketika suara itu terdengar kembali hampir melekat di hidungnya. Dan bersamaan dengan itu dilihatnya sebuah bayangan bergerak-gerak di hadapannya.
Tetapi agaknya orang itu pun terkejut pula atas kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu. Ternyata suara tertawanya terputus, dan bayangan itu pun segera bergerak menjauh. Kali ini Mahesa Jenar tidak mau melepaskannya lagi. Ia telah kehilangan muridnya karena mengejar-ngejar bayangan itu. Maka sekarang ia harus menangkapnya untuk dipaksanya menunjukkan segala liku-liku goa untuk mencari muridnya.
Kembali terjadi kejar-mengejar di dalam goa yang gelap. Untunglah bahwa penglihatan Mahesa Jenar tajamnya melampaui mata burung hantu, sehingga meskipun agak sulit ia masih dapat terus-menerus membayangi buruannya. Tetapi seperti semula amat sulitlah untuk mendekatinya. Goa itu mempunyai beratus-ratus tikungan yang sangat membingungkan.
Hampir meledaklah dada Mahesa Jenar ketika sekali lagi ia kehilangan orang yang dikejarnya itu. Tubuhnya menggigil seperti orang kedinginan. Giginya gemeretak. Kedua tangannya mengepal tinju. Tetapi tak seorang pun yang dihadapinya.
Dalam keadaan yang serupa itu, tiba-tiba sekali lagi Mahesa Jenar terperanjat. Tidak beberapa jauh di hadapannya, ia melihat sebuah bayangan sinar yang meremang. Segera perhatiannya beralih kepada bayangan itu.  Cepat-cepat ia melangkah mendekati. Dan apa yang diketemukan adalah sebuah lubang yang agak besar. Yang lebih mendebarkan hatinya adalah, di seberang lubang itu, ia melihat cahaya yang lebih terang dari keadaan di dalam goa. Maka dengan hati-hati ia berjongkok dan mengintip keluar. Namun tak ada sesuatu yang mencurigakan. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk memasuki lubang itu. Dengan penuh kewaspadaan akhirnya ia merangkak masuk. Tetapi alangkah terkejutnya. Ketika seluruh kepalanya telah berada diluar lubang, pertama-tama benda yang disentuhnya adalah batang ilalang. Karena itu segera seperti meloncat ia melontarkan seluruh tubuhnya. Pada saat itulah angin senja menghembus tubuhnya dengan segarnya. Batang-batang ilalang di sekitarnya, yang tingginya melampaui tubuhnya, bergoyang-goyang ditiup angin. Di sebelah barat masih membayang warna-warna merah, tetapi matahari telah tenggelam di bawah kaki langit.
Untuk sementara Mahesa Jenar tertegun heran. Tiba-tiba saja ia telah berdiri di luar goa. Tetapi mulut goa ini bukanlah mulut goa dari mana ia masuk.
Bagaimanapun juga ia menjadi agak bimbang. Apakah sekarang yang akan dilakukan. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menghadap Panembahan Ismaya, sebab ia yakin bahwa ia masih berada di bukit Karang Tumaritis.
Ketika Mahesa Jenar mulai bergerak, kembali ia tertegun. Didengarnya agak jauh di bawah suara kuda meringkik, disusul oleh gelak tertawa dan sorak sorai yang riuh. Sekali lagi perhatiannya teralih.  Mahesa Jenar tiba-tiba ingin melihat apakah yang terjadi, dan sekaligus ia mengharap dapat memecahkan teka-tekinya sendiri, serta hilangnya Arya Salaka.
Karena itu segera ia melangkahkan kakinya dengan hati-hati ke arah suara yang ramai itu. Ketika suara itu telah semakin dekat, Mahesa Jenar mulai merangkak diantara batang-batang ilalang. Dan pada saat terakhir, ketika ia menyibakkan daun ilalang, ia melihat suatu pemandangan yang hampir membuatnya pingsan.
Yang mula-mula dilihatnya adalah perapian. Meskipun malam baru menginjak diambang pintu. Kemudian di dekat perapian itu ia melihat Janda Sima Rodra berdiri bertolak pinggang, sedang di hadapannya, di atas sebuah batu tampak Jaka Soka duduk memandang lidah api yang menjilat-jilat. Sikapnya acuh tak acuh saja kepada Harimau Betina yang buas itu.
“Soka…” kata Janda Sima Rodra, “Syaratmu telah aku penuhi.”
”Bohong!” jawab Jaka Soka masih acuh tak acuh.
”Jangan pura-pura tidak tahu. Aku lihat pada wajah serigalamu itu suatu kerakusan yang tak tertahan-tahan lagi. Jangan begitu. Gadis itu hanya sekadar syarat. Syaratku. Jadi jelas, akulah yang penting, sahut perempuan itu.”
Jaka Soka menoleh. Lalu dipandangnya orang-orang yang berada di sekitarnya. ”Kenapa kalian berhenti berteriak-teriak?” katanya.
Tetapi tak seorang pun menjawab. Karena tak seorang pun menjawab, ia melanjutkan, ”Teruskan, teruskan. Aku akan ikut serta.”
”Jawab pertanyaanku,” potong Harimau Betina itu.
Bagus. Bagus kau,” jawab Jaka Soka. ”Aku tak pernah mengingkari janji. Tetapi tunjukkan syarat itu di hadapanku.
Terdengarlah tertawa iblis betina itu. Sangat mengerikan. ”Kau tidak percaya kepada Sima Rodra tua dari Lodaya? Dan juga Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme?”
”Siapa bilang tidak percaya?” sahut Jaka Soka cepat-cepat. ”Aku hanya minta kau tunjukkan itu kepadaku.”
“Bagus, jawab Janda Sima Rodra muda. Sakayon…” perintahnya, “Bawa bunga pandan itu kemari. Awas Soka, durinya sangat tajam.”
Jaka Soka tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja. Senyuman yang sudah pernah dikenal oleh Mahesa Jenar sebagai senyuman Ular yang bisanya tajam bukan buatan. Dan karena senyuman itu pulalah dahulu ia mengikutinya sampai ke tengah-tengah hutan Tambak Baya, sehingga ia dapat menyelamatkan Rara Wilis. Dan sekarang, agaknya Ular Laut itu masih belum menyerah. Dengan segala cara ia agaknya berhasil memperalat Janda Sima Rodra itu untuk menangkap gadis itu.
Sebentar kemudian darah Mahesa Jenar serasa berhenti mengalir. Tiba-tiba saja dadanya bergetaran dan kepalanya menjadi pening ketika ia melihat dari dalam salah sebuah kemah, seorang yang digiring keluar dengan tangan terikat. Orang itu tidak lain adalah Pudak Wangi, yang dikenalnya dalam keadaannya sebagai seorang gadis bernama Rara Wilis.
Sampai di tepi lingkaran laskar Gunung Tidar, Pudak Wangi itu berhenti. Matanya yang merah menyala-nyala karena marahnya, beredar pada setiap wajah yang berada di lingkaran itu. Pada saat itu seorang pengawal dengan sombongnya mendorong punggung Pudak Wangi dengan kerasnya. Karena itu Pudak Wangi yang tidak bersedia, terdorong dua langkah ke depan. Tetapi setelah itu tiba-tiba ia memutar tubuhnya, dan dengan cepatnya kakinya bergerak. Malanglah nasib pengawal yang sombong itu, ketika tumit Pudak Wangi mengenai perutnya. Meskipun tendangan itu tidak terlalu keras, tetapi karena tepat mengenai arah ulu hati, maka segera orang itu jatuh tersungkur tak sadarkan diri.
Melihat peristiwa itu, dengan cepatnya Janda Sima Rodra meloncat maju, dengan marahnya. Teriaknya, ”Dalam keadaanmu itu kau masih berani menyombongkan diri di hadapanku?”
Tetapi sebelum Harimau Betina itu dengan kuku-kukunya menyobek wajah Pudak Wangi, terdengar tertawa yang rendah memuakkan. Dan terdengarlah Jaka Soka berkata, ”Kau benar-benar seorang pemarah. Kalau syarat yang kau bawa itu kau rusakkan, batallah perjanjian kita.”
Langkah Janda Sima Rodra muda terhenti. Setelah merenung sejenak ia menjawab, “Ular Laut, kau benar-benar membuat aku gila dan berbuat hal-hal yang sangat bertentangan dengan kehendakku. Tetapi biarlah. Akan aku serahkan umpan ini dengan utuh kepadamu.”
Sekali lagi terdengar Jaka Soka tertawa pendek. Matanya yang redup tetapi memancarkan sinar yang mengerikan memandangi Pudak Wangi dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya.
“Jangan memandang begitu,” kata Janda Sima Rodra, “Kalau aku yang kau pandang demikian, mungkin aku sudah pingsan.”
Jaka Soka tidak menjawab. Tetapi ia berdiri dan melangkah ke arah Pudak Wangi yang masih berdiri terpaku dengan wajah yang merah membara.
Ketika Janda Sima Rodra muda itu melihatnya, maka dengan tertawa nyaring berkata, “Jaka Soka, aku masih belum menyerahkannya kepadamu.
“Apa lagi yang ditunggu?” sahut Jaka Soka.
“Aku akan menyerahkan kepadamu dalam satu upacara resmi di hadapan laskarku sebagai saksi. Tetapi tidak sekarang. Aku masih memerlukannya. Sebab dengan adanya gadis itu di dalam tanganku, aku mengharap kehadiran seorang lagi.” Kata janda Sima Rodra
Wajah Jaka Soka seketika berubah menjadi merah. Tetapi ia masih mengendalikan dirinya. Katanya, “Kau benar-benar setan betina. Terserahlah kepadamu. Kalau dengan demikian kau akan mengangkat harga diriku, kau akan kecewa. Sebab kedatanganku kemari adalah atas permintaanmu.”
Sekali lagi keadaan jadi tenang karena suara tertawa Iblis betina yang bergetar membentur dinding-dinding pegunungan memenuhi lembah. Lalu kemudian ia berkata lantang, “Marilah kita berpesta. Kita ajak tamu kita ini serta, mungkin dengan demikian ia akan mendapatkan kegembiraan.”
Sesaat kemudian ia telah memerintahkan kepada laskarnya untuk mulai dengan teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian yang sama sekali tak menyedapkan.  Pada saat itu, Mahesa Jenar yang bersembunyi di belakang semak-semak menjadi gemetar. Ia ingat pada peritiwa yang pernah diketemukan bekas-bekasnya di atas Gunung Ijo, Prambanan. Pada saat itu ia masih belum dapat membayangkan, apakah yang terjadi. Tetapi sekarang, barulah agak jelas baginya, bahwa benar-benar rombongan Sima Rodra yang sering menculik gadis-gadis itu mempunyai kebiasaan yang mengerikan.
Mengingat kerangka-kerangka gadis-gadis di Gunung Ijo itu bulu Mahesa Jenar meremang. Dan sekarang dihadapannya ia melihat upacara itu berlangsung.
Teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian yang tak sedap, yang keluar dari mulut-mulut yang kasar itu semakin lama semakin menjadi-jadi. Mereka bergerak semakin cepat mengelilingi perapian. Janda Sima Rodra dan Jaka Soka yang berdiri sebelah-menyebelah dengan Pudak Wangi, berada di luar lingkaran. Tetapi wajah mereka membayangkan bahwa perasaan mereka telah hanyut pula dalam keadaan yang hampir tak sadar. Melihat hal itu Mahesa Jenar menjadi sangat cemas. Cemas akan keselamatan Pudak Wangi. Sebab dalam keadaan serupa itu, bisa saja malapetaka menimpanya setiap saat, meskipun selama Janda Sima Rodra itu masih berada di situ, keselamatannya agaknya masih terjamin.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar telah bersiaga penuh. Kalau terjadi sesuatu atas gadis yang berpakaian mirip seorang laki-laki itu, dalam loncatan pertama ia sudah siap mempergunakan aji Sasra Birawanya, meskipun seterusnya akan sangat membahayakan jiwanya sendiri. Sebab ia yakin bahwa Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki berada di sekitar tempat itu pula.  Tetapi apa boleh buat.
Sementara itu, upacara gila-gilaan itu menjadi semakin panas. Dan tiba-tiba lingkaran upacara itu melebar dan melingkar di luar tempat Harimau Betina itu berdiri. Dalam keadaan yang demikian tampaklah betapa cemasnya Pudak Wangi.
Dalam keadaan hampir tak sadar tiba-tiba Janda Sima Rodra itu kemudian menarik tangan Jaka Soka dan diseretnya untuk ikut serta melonjak-lonjak dan berteriak-teriak. Agaknya Jaka Soka pun menjadi seperti seorang yang tak berperasaan lagi. Tanpa membantah ia pun langsung ikut serta dalam pesta-pesta yang mengerikan itu.
Sesaat kemudian Pudak Wangi memalingkan wajahnya. Upacara itu benar-benar telah menjadi-jadi. Tetapi kemanapun ia memandang, ia melihat keadaan yang serupa. Sehingga akhirnya ia memejamkan matanya.
Mahesa Jenar akhirnya tak tahan lagi. Darahnya yang sudah mendidih itu sudah tidak dapat disabarkan. Karena itulah segera ia bersiap untuk bertindak.
Tetapi sebelum ia bergerak, terdengarlah derap suara seekor kuda. Semakin lama semakin dekat. Orang-orang yang sedang melakukan perbuatan-perbuatan gila itu sama sekali tidak mendengar derap itu. Sehingga kuda itu telah menjadi dekat sekali. Dengan mata yang tajam, Mahesa Jenar melihat seseorang diatas seekor kuda merah kehitam-hitaman meluncur seperti anak panah ke arah api yang masih menyala-nyala. Sesaat orang itu mengekang kudanya agak jauh dari perapian itu, tetapi sesaat kemudian seperti angin kuda itu meluncur kembali langsung menerjang orang-orang yang sedang sibuk dengan kelakuan-kelakuan mereka yang gila itu. Karena itu, ketika seekor kuda merah kehitam-hitaman menerjang mereka, mereka menjadi kalang kabut dan untuk sementara kehilangan akal.  Namun tidak demikianlah Harimau Betina Gunung Tidar dan Jaka Soka. Meskipun mereka baru saja tenggelam dalam irama kegilaan, namun dalam waktu sekejap mereka telah dapat menguasai diri mereka kembali.
Karena itu segera mereka berloncatan mundur sambil bersiaga, sehingga ketika orang berkuda itu mengulangi serangannya, mereka sudah siap pula menghindar.
Maka sesaat kemudian terdengarlah Janda Sima Rodra itu berteriak dengan marahnya. Dan dalam keadaan yang demikian, segera tampak jari-jarinya yang memiliki kuku-kuku yang panjang itu berkembang mengerikan. Sedang Jaka Sokapun merasa terhina pula. Dengan hebatnya ia menggeram, dan sesaat kemudian ia telah meloncat menghadang kuda yang telah berputar pula.
Ketika wajah orang berkuda itu kemudian menjadi jelas oleh api yang menyala ditengah-tengah mereka, segera terdengar suara Pudak Wangi nyaring, ”Kakang Sarayuda….”
Suara Pudak Wangi yang melengking lembut itu bagi Mahesa Jenar ternyata mempunyai akibat yang hebat sekali. Dalam saat yang bersamaan, ia telah mengenal pula wajah itu. Sarayuda, yang membuatnya berdebar-debar. Bagaimanapun juga Mahesa Jenar tidak dapat melupakan, bahwa pemuda yang perkasa itu telah pernah mengecewakannya, meskipun mungkin sama sekali tidak disengaja. Dan kehadirannya saat inipun telah menimbulkan suatu persoalan baru di dalam dadanya.
Dalam saat yang tegang itu terdengarlah Jaka Soka berteriak kasar, ”Hai Janda Sima Rodra, adakah orang ini yang kau pancing dengan umpanmu itu?”
Terdengarlah suara Janda Sima Rodra itu menjawab, ”Aku tak kenal orang ini. Betapapun gagahnya, namun ia adalah sombong sekali.”
Pada saat itu, kuda merah kehitam-hitaman itu dengan garangnya menyambar Jaka Soka. Tetapi Ular Laut itu, bukanlah anak-anak kemarin sore yang baru mampu bermain kucing-kucingan. Dengan menarik tubuhnya satu langkah ke samping, ia telah bebas dari serangan lawannya. Sambil berjongkok ia menyodok perut kuda itu dengan tongkat hitamnya. Akibatnya hebat sekali. Kuda itu terkejut dan memekik berdiri. Saat yang demikian memang ditunggunya. Dengan cepatnya ia melompat dan menghantam punggung Sarayuda.  Tetapi Demang Gunung Kidul itupun bukan pula anak ingusan. Ia adalah murid tertua Ki Ageng Pandan Alas.  Ketika Demang Gunung Kidul merasa sebuah serangan mengarah ke punggung, sedang kudanya belum dapat dikuasainya, maka dengan kecepatan yang sama ia telah berhasil meloncat dan jatuh berguling, untuk kemudian melenting bangkit dan bersiaga.
Dalam sekejap kemudian terjadilah pertempuran yang seru. Jaka Soka, Bajak Laut yang ditakuti di daerah perairan Nusakambangan dan mendapat julukan Ular Laut, menyerang dengan ganasnya, sedang Sarayuda bertempur dengan gagahnya pula. Dengan teguhnya ia berdiri di atas kedua kakinya yang lincah menari-nari membingungkan lawannya.  Pada saat yang demikian itu terdengarlah suara Janda Sima Rodra kepada laskarnya, ”Sakayon, jagalah tawanan ini. Kepung rapat-rapat dan jangan beri kesempatan bergerak. Biar aku membantu Jaka Soka membinasakan tamu yang sombong itu.”
Sesaat kemudian, berloncatanlah anak buah Sima Rodra dengan senjata terhunus berdiri rapat-rapat melingkari Pudak Wangi yang terikat tangannya.
Kemudian, Janda Sima Rodra itu pun, dengan kuku-kukunya yang tajam beracun mulai melibatkan diri dalam pertempuran melawan Sarayuda.
Sarayuda adalah seorang yang tangkas, tangguh dan perkasa. Namun demikian, ketika ia harus melawan Ular Laut dan Janda Sima Rodra itu bersama-sama, segera terasa bahwa memang kekuatan mereka tidak berimbang, karena Ular Laut dan Janda Sima Rodra itu masing-masing juga merupakan tokoh-tokoh perkasa dari golongan hitam.
Dalam keadaan yang terdesak, Sarayuda segera mencabut pedangnya. Pedang yang gemerlapan itu berputar-putar memancar berkilat-kilat karena cahaya api. Sinarnya yang putih, serta pantulan sinar kemerah-merahan, menjadikan pedang itu seperti memancarkan bunga-bunga api. Sarayuda, murid Ki Ageng Pandan Alas itu, kemudian menyerang dengan tangkasnya. Pedangnya bergetaran dalam ilmu khusus perguruan Ki Ageng Pandan Alas, terasa sangat membingungkan lawannya. Tetapi dalam pada itu, segera tampak pula sinar putih bergulung-gulung belit-membelit dengan bayangan yang kehitam-hitaman melawan pedang Sarayuda. Itulah senjata Jaka Soka. Pedang kecil yang lentur, yang dicabutnya dari dalam tongkat hitamnya di tangan kanan, dan tongkat itu sendiri ditangan kiri, merupakan sepasang senjata yang menakjubkan. Dibarengi dengan 10 batang kuku-kuku berbisa diujung jari Harimau Betina dari Gunung Tidar, senjata-senjata itu merupakan gabungan kekuatan yang mengerikan.
Untuk sesaat Mahesa Jenar terpesona memandangi pertempuran yang hebat itu.  Ia kagum akan ketangkasan Sarayuda dan memuji kelincahan Jaka Soka, yang bertempur dengan gerakan-gerakan yang cepat, melingkar, menyerang dan mematuk-matuk, benar-benar seperti laku seekor Ular yang berbahaya.
Ia baru sadar ketika dilihatnya bahwa Sarayuda benar-benar dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Dalam keadaan yang sedemikian, tiba-tiba sekali lagi Mahesa Jenar dikejutkan oleh suatu pemandangan yang tidak diduganya. Di tempat yang agak jauh dari lingkaran pertempuran itu, yang hanya dapat dicapai oleh cahaya api yang sangat lemah, dilihatnya pula seseorang bertempur melawan dua orang. Tetapi pertempuran ini jauh berbeda dengan pertempuran antara Sarayuda melawan kedua lawannya. Pertempuran yang dilihatnya kemudian itu seolah-olah hanyalah sebuah permainan lontar-melontar yang kadang-kadang diseling dengan pukulan-pukulan lamban. Namun agaknya gerak-gerak itu merupakan gerak-gerak yang meloncatkan kekuatan tiada taranya. Sesaat kemudian Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Yang seorang itu adalah Ki Ageng Pandan Alas, sedang kedua lawannya adalah Sima Rodra tua dari Lodaya dan Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme.  Melihat pertempuran itu Mahesa Jenar menjadi bertambah cemas. Ki Ageng Pandan Alas yang datang untuk menolong cucunya, ternyata menjumpai lawan yang seangkatan dan berdua pula.
Meskipun apa yang terjadi diantara mereka adalah diatas kemampuannya, namun Mahesa Jenar dapat pula melihat, bahwa Ki Ageng Pandan Alas pun menemui kesulitan untuk melawan kedua tokoh tua dari golongan hitam itu, sebagaimana Sarayuda juga menemui kesulitan dalam perjuangannya melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra muda.
Dalam waktu yang singkat itu terjadilah suatu pergolakan di dalam dada Mahesa Jenar. Sudah pasti, bahwa ia tidak akan berguna sama sekali apabila ia berani mencoba-coba mencampuri urusan Ki Ageng Pandan Alas. Apa yang dapat dikerjakan hanyalah untuk sementara memperingan pekerjaan orang tua itu. Untuk sementara saja. Sebab kemudian ia akan segera binasa. Maka yang mungkin dilakukan hanyalah melibatkan diri dalam lingkaran pertempuran antara Sarayuda dan lawan-lawannya. Meskipun sebagai manusia biasa, terdapat beberapa benih keseganan untuk membantunya, namun darah kesatria yang mengalir di dalam tubuhnya telah melanda kepicikan pandangan itu. Dengan merapatkan giginya, Mahesa Jenar berusaha untuk melupakan apa yang pernah dialaminya. Persoalan-persoalan pribadi antara dirinya dan Demang Gunung Kidul itu. Sehingga sesaat kemudian telah bulatlah hatinya untuk terjun langsung membantu Sarayuda. Ia mengharap bahwa dengan aji Sasra Birawa dan Aji Cunda Manik yang dimiliki oleh Sarayuda akan mempercepat penyelesaian, sehingga ia mengharap dapat menyelamatkan Pudak Wangi. Setelah itu, ia mengharap pula bahwa Ki Ageng Pandan Alas dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun apa yang akan dilakukan itu mengandung bahaya yang maha besar, namun tak ada pilihan lain daripada berjuang untuk membebaskan gadis cucu Pandan Alas itu. Memang akan mungkin sekali, untuk sementara salah seorang lawan Pandan Alas meninggalkan orang tua itu untuk membantu Jaka Soka dan Janda Sima Rodra, yang berarti kebinasaan baginya dan bagi Sarayuda. Tetapi itu akan merupakan sebuah pertanggungjawaban dari perjuangan. Karena itu segera Mahesa Jenar menggulung lengan bajunya dan menyangkutkan kainnya.
Tetapi, kembali dada Mahesa Jenar digetarkan oleh suatu peristiwa yang tak dapat dimengertinya.  Ketika ia sudah mulai bergerak untuk meloncat, tiba-tiba didengarnya gemerisik halus di bekalangnya. Cepat ia bersiaga dan membalikkan tubuhnya. Tetapi apa yang dilihatnya hampir tak masuk diakalnya.  Dalam remang-remang cahaya bintang serta sinar api yang menyusup di celah-celah daun ilalang, Mahesa Jenar melihat sebuah bayangan yang seolah-olah dirinya sendiri sedang terbang dan melontar cepat lewat disampingnya.  Dengan pandangan yang penuh kebingungan, matanya mengikuti bayangan itu dengan tanpa berkedip. Apalagi ketika ia melihat bayangan itu dengan lincahnya meloncat diatas batu karang tidak jauh dari perapian yang masih menyala-nyala. Dengan tangan bertolak pinggang serta kaki renggang, terdengarlah bayangan itu tertawa nyaring. Suaranya mengumandang seperti guntur yang menggelegar membentur dinding pegunungan, sambil berkata, ”Inilah murid Ki Ageng Pengging Sepuh yang dikenal dengan nama Mahesa Jenar serta bergelar Rangga Tohjaya.
Mendengar suara yang mengguruh itu, isi dada Mahesa Jenar seperti diguncang-guncang. Cepat ia memusatkan kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara yang aneh itu. Ia pernah mendengar Pasingsingan menghantamnya dengan suara tertawa yang mengerikan di alun-alun Banyu BIru.  Dan sekarang, suara orang yang berdiri diatas batu karang itu tidak pula kalah dahsyatnya menghantam dadanya.
Agaknya bukan saja Mahesa Jenar yang merasa terpukul oleh getaran suara yang dilontarkan dengan landasan kekuatan batin yang tinggi itu. Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang sedang bertempur itupun segera berloncatan mundur dan mempergunakan kekuatan batinnya untuk menahan supaya dadanya tidak rontok.  Pudak Wangi pun tampak menundukkan kepala sambil memejamkan matanya. Agaknya cucu dan sekaligus murid Pandan Alas yang muda itupun berusaha untuk membebaskan diri dari getaran yang memukul-mukul dadanya. Bahkan lebih dari pada itu, Pandan Alas, Sima Rodra dan Bugel Kaliki, tokoh-tokoh tua yang sudah banyak makan pahit asinnya penghidupan itupun menjadi terkejut pula. Ternyata bahwa karena itu pertempuran mereka jadi terhenti. Dengan pandangan yang keheran-heranan mereka memperhatikan orang yang berdiri diatas batu karang dengan kaki renggang dan kedua tangan bertolak pinggang.
Mahesa Jenar yang telah lebih dahulu melihat orang yang menyebut dirinya Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh itu, ketika sinar api mencapai wajahnya, segera ia mengenalnya, bahwa wajah itu sama sekali tidak jelas. Rambut yang kasar tumbuh lebat hampir melingkari seluruh muka, bersambungan dengan kumis dan janggut yang rapat tak teratur.
Dalam pada itu Mahesa Jenar telah berusaha keras untuk tidak tenggelam dalam suatu perasaan yang aneh, bahwa hampir-hampir ia merasa bahwa orang yang berdiri diatas batu karang itu adalah dirinya sendiri, yang dalam keadaan puncak keprihatinan, sehingga sama sekali tidak sempat memelihara diri. Meskipun beberapa kali Mahesa Jenar sudah pernah melihat wajahnya di permukaan air, namun ia dalam saat yang aneh itu, harus berjuang mati-matian untuk dapat mengenal dirinya kembali, dan membedakannya dengan orang yang berdiri diatas batu karang itu.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar mempunyai kekuatan batin yang tinggi pula, sehingga dalam sesaat ia telah berhasil menguasai dirinya kembali. Semakin lama ia menjaid semakin jelas melihat batas antara dirinya dan orang itu. Bahkan akhirnya ia dapat memperhitungkan berbagai masalah mengenai dirinya dan orang yang mengaku Mahesa Jenar itu. Orang itu pasti sengaja memakai rambut, kumis dan janggut yang kasar dan lebat, supaya wajahnya tidak segera dikenal. Tetapi, yang Mahesa Jenar masih belum dapat menemukan jawabnya, adalah gerak gerik orang itu hampir mirip bahkan tepat seperti gerak geriknya, tapi berada diatas kemampuannya. Dan hal itulah kemudian yang menjadi teka-teki yang tak dapat dipecahkannya.
Sudah untuk kedua kalinya Mahesa Jenar mengalami hal yang serupa. Ketika ia harus bertempur berlima melawan Sima Rodra dan Pasingsingan, tiba-tiba saja ia melihat dua orang Mahesa Jenar melibatkan diri. Kedua orang itu ternyata Ki Paniling atau yang nama sebenarnya adalah Radite dan Darba atau Anggara.  Namun bagaimanapun juga akhirnya ia dapat mengenal kedua orang itu.
Tetapi ternyata orang yang menyerupai dirinya kali ini lebih membingungkannya. Sebab gerak geriknya mirip sekali dengan geraknya sendiri dalam ilmu warisan Ki Ageng Pengging Sepuh.
Dalam keadaan yang demikian, suasana menjadi hening tegang. Kecuali suara berderai yang meluncur dari mulut orang yang berdiri diatas batu karang itu, selainnya sunyi.
Tetapi tiba-tiba orang itu meloncat mirip seekor garuda yang terbang menukik dari atas batu karang itu langsung ke arah Pudak Wangi yang masih berdiri mematung.
Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra itupun segera tahu maksudnya. Sebab di mata mereka, orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar yang sedang berusaha untuk membebaskan Rara Wilis. Maka kemudian terdengar suara Janda Sima Rodra itu nyaring, ”Soka, tamuku sudah datang. Tolong, tangkap dia. Sesudah itu kau boleh mengambil kami berdua sebagai istrimu. Tapi ingat, aku tidak mau kau ikat.”
Jaka Soka pun kemudian teringat apa yang pernah tejadi di hutan Tambak Baya. Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar telah menggagalkan niatnya, waktu ia hendak menculik Rara Wilis. Karena pada waktu itu, ia tidak berhasil mengalahkannya. Tetapi sekarang ia telah bekerja keras untuk menambah ilmunya.
Karena itu ia merasa bahwa ia tidak perlu takut lagi kepada Mahesa Jenar, meskipun terhadap Sasra Birawa ia masih harus sangat hati-hati dan yang dapat dilakukannya hanyalah menghindarkan diri. Apalagi sekarang ia dapat bekerja sama dengan Janda Sima Rodra.  Sedangkan Sarayuda, ia mengharap bahwa salah seorang dari Sima Rodra tua atau Bugel Kaliki mengurusnya.
Juga terhadap Mahesa Jenar itu akhirnya, apabila dirinya menemui kesulitan, meskipun ia bekerja sama dengan Janda Sima Rodra, Jaka Soka mengharap Sima Rodra Tua mau membantu menangkapnya untuk kepentingan anaknya.
Dalam pada itu, Janda Sima Rodra itu menjadi gembira. Ia ingin Mahesa Jenar tertangkap hidup-hidup. Ia ingin membalas sakit hatinya karena suaminya terbunuh. Tetapi lebih daripada itu, keliarannya telah mendorongnya untuk melakukan niat yang memuakkan. Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang kasar dan berambut lebat itu ia menjadi agak kecewa. Namun demikian ia sama sekali tidak mengurungkan niatnya.
Orang ketiga, yang berdiri di dalam arena itu adalah Sarayuda. Ia mempunyai tanggapan sendiri atas kehadiran Mahesa Jenar. Meskipun ia menduga bahwa kehadiran Mahesa Jenar kali inipun bermaksud untuk menyelamatkan Pudak Wangi, namun tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan cemburu yang meluap-luap.  Beberapa tahun yang lalu ia pernah bertempur dengan Mahesa Jenar ketika ia menolong Arya Salaka. Pada saat itu, ia merasakan suatu perhubungan yang aneh dengan orang itu. Apalagi ketika tiba-tiba saja Mahesa Jenar pergi meninggalkan pondok Ki Ageng Pandan Alas tanpa pamit. Dan sejak itulah ia mempunyai perasaan bersaing. Meskipun sejak itu Mahesa Jenar tidak pernah muncul kembali dan agaknya Ki Ageng Pandan Alas pun sangat membesarkan hatinya, namun Pudak Wangi sendiri tidak pernah membuka hatinya. Ia yakin kalau hal itu disebabkan karena hati itu telah dirampas oleh orang yang bernama Mahesa Jenar.
Berbeda dengan perasaan Mahesa Jenar sendiri, yang meskipun ia memiliki perasaan yang sama dengan Sarayuda, namun ia mendahulukan keselamatan Pudak Wangi dari perasaannya yang mengganggu. Ia memang sudah membiasakan diri, berkorban untuk kepentingan yang lebih besar dan luas tanpa pamrih, daripada kepentingan diri sendiri.
Karena perasaan itulah maka Sarayuda justru merasa tersinggung karena hadirnya Mahesa Jenar. Apalagi setelah ia berjuang mati-matian untuk membebaskan gadis cucu gurunya, namun tidak ada tanda-tanda akan berhasil, bahkan akhirnya gurunya sendiri menemui kesulitan pula karena hadirnya kecuali Sima Rodra tua yang memang sudah diduga sebelumnya, juga Bugel Kaliki.
Maka sebelum orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu sampai ke tengah-tengah arena itu, ia berteriak, ”Mahesa Jenar, murid utama Ki Ageng Pengging Sepuh, janganlah mengganggu permainan kami. Biarlah kami yang sudah dewasa ini mencoba menyelesaikan persoalan kami sendiri.
Terdengarlah orang itu tertawa pendek sambil berhenti beberapa langkah dari mereka.  Katanya, ”Aku datang untuk membantumu,”
”Aku tidak perlu bantuanmu,”  potong Sarayuda.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu mengerutkan alisnya. Kemudian ia berkata pula, ”Jangan lekas tersinggung. Bukankah kita masing-masing berjanji di dalam hati untuk menghancurkan setiap kejahatan…? Apapun persoalan yang ada di antara kita jangan menjadi sebab, bahwa kita tidak bisa bekerja bersama. Sebab juga menjadi kewajibanku untuk membebaskan Adi Pudak Wangi.
Mendengar nama itu disebut, hati Sarayuda menjadi bertambah berdebar-debar. Lalu katanya, ”Pergilah, jangan ikut campur.”
Tetapi orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu tidak pergi, malahan ia berkata kepada semua yang ada di arena itu, ”Dengarlah, aku datang untuk membebaskan Pudak Wangi. Siapa pun yang menghalangi, tidak peduli siapa saja, akan berhadapan dengan Mahesa Jenar.
Setelah itu kembali ia bergerak maju. Pada saat itu, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang paling berkepentingan untuk menangkap Mahesa Jenar itu dan menggagalkan maksudnya. Karena itulah maka mereka berloncatan maju menghalangi. Sedang Sarayuda menjadi ragu, dan untuk beberapa saat ia kehilangan pegangan, apakah yang akan dilakukannya. Sementara itu orang-orang tua yang menyaksikan perbantahan mereka menjadi tertegun heran. Sima Rodra dan Pandan Alas, dengan jelas mengetahui sampai di mana tingkat ilmu Mahesa Jenar itu, mereka menjadi agak keheran-heranan.  Namun karena yakin, bahwa segala gerakannya adalah khusus peninggalan Ki Ageng Pengging Sepuh yang dahsyat itu.
Tetapi yang paling heran diantara mereka adalah Mahesa Jenar sendiri. Apalagi setelah ia menyaksikan orang itu bertempur melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra. Setiap gerak tubuhnya, sampai ke ujung bulunya, adalah tepat sekali apa yang selalu dilakukannya atas dasar ilmu gurunya.
Karena itulah maka Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang memang benar-benar pernah bertempur dengan Mahesa Jenar, sama sekali tidak mempunyai curiga apapun terhadap lawannya. Namun Jaka Soka yang merasa bahwa setelah beberapa tahun ia menekuni ilmunya, yang diduganya telah dapat melampaui ilmu Mahesa Jenar, ternyata menjadi kecewa. Sebab Mahesa Jenar yang dihadapinya saat itu, bahkan berdua dengan Janda Sima Rodra, adalah Mahesa Jenar yang memiliki ilmu yang belum dapat disamai dengan jarak yang seolah-olah tidak berubah seperti pada saat ia bertempur di Tambak Baya beberapa tahun berselang. Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin lama semakin dahsyat.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu bertempur laksana burung Rajawali yang menyambar-nyambar melawan Ular Laut yang bertempur bersama-sama dengan seekor Harimau Liar.  Bagaimanapun, Jaka Sokapun ternyata memiliki ilmu yang luar biasa. Ketika pertempuran itu menjadi semakin hebat, gerakan-gerakan Jaka Soka menjadi bertambah membingungkan. Serangan-serangan Jaka Soka yang sebagian besar mengarah ke perut lawannya, dibarengi dengan sambaran-sambaran sinar putih yang belit membelit dengan bayangan hitam, merupakan tarian maut yang mengerikan.  Sedangkan Janda Sima Rodra yang bersenjatakan kuku-kukunya terdengar beberapa kali menjerit-jerit sambil menerkam dengan garangnya. Jari-jarinya yang mengembang dan kukunya yang gemerlapan merupakan jaringan-jaringan maut yang sukar dapat ditembus. Apalagi mereka berdua dengan Jaka Soka, selalu berusaha isi mengisi kelemahan masing-masing.
Tetapi orang yang menamakan dirinya Mahesa Jenar itu, dalam keadaan yang demikian, bahkan seolah-olah berubah menjadi Wisnu dalam bentuknya sebagai Kresna penggembala, yang menari-nari di atas seekor ular Naga yang berkepala tujuh. Namun perlahan-lahan tetapi pasti, satu demi satu kepala-kepala ular itu dipangkasnya.
Demikianlah, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Tenaga mereka yang dicurahkan habis-habisan, tanpa memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, menjadi semakin lama semakin surut. Sedang lawan mereka, malahan tampak menjadi semakin garang.
Sesaat kemudian jelaslah apa yang akan terjadi dengan pertempuran itu. Hal itu dilihat pula oleh Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki. Sudah tentu mereka tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Sedangkan Pandan Alas menjadi termangu-mangu. Ia dapat membaca perasaan kedua orang itu. Mahesa Jenar dan Sarayuda. Sedangkan ia sendiri tidak dapat memihak salah seorang diantaranya. Sehingga dengan demikian, ketika ia mendengar perbantahan Sarayuda dan Mahesa Jenar, menjadi agak bingung.  Namun bagaimanapun juga keselamatan cucunya adalah suatu hal yang mutlak baginya. Karena itulah maka ketika ia melihat Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki mulai bersiap-siap, iapun bersiap pula.
Tetapi belum mereka berbuat sesuatu, mereka dikejutkan oleh seseorang yang terjun dalam arena pertempuran itu. Ia adalah Sarayuda. Dengan menggeram marah ia berkata, ”Mahesa Jenar, sekali lagi aku minta kau tinggalkan pertempuran ini. Kau yang selama ini tidak berbuat apa-apa, sekarang kau akan berlagak menjadi pahlawan. Akulah yang pertama-tama bertindak untuk keselamatan Pudak Wangi. Biarlah urusanku itu aku selesaikan.
Bukan main terkejutnya orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu ketika Sarayuda membentak-bentaknya dengan kasar. Sambil meloncat mundur ia menjawab, ”Sadarkah kau dengan tindakanmu itu?
Jaka Soka dan Janda Sima Rodra pun menjadi tercengang-cengang. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa Sarayuda dan orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu akan bertengkar sendiri. Dalam pada itu tiba-tiba Ular Laut yang tampan itu tersenyum-senyum sambil berkata, ”Kita mempunyai kepentingan yang sama. Aku, tamu kita yang bernama Sarayuda dan Mahesa jenar. Diantara kita bertiga, ternyata akulah yang paling rendah tingkat kepandaianku. Alangkah senangnya kalau aku dapat menarik keuntungan dari perang tanding antara kedua tokoh yang sempurna ini. Tetapi agaknya akupun telah dapat memperhitungkan siapakah yang akan menang. Sebab aku telah bertempur dengan kalian berdua berganti-ganti. Sarayuda bukan tandingan Mahesa Jenar.”
Sarayuda merasakan dengan tepat singgungan kata-kata itu. Ia memang merasa bahwa ilmunya berada di bawah tingkat kepandaian Mahesa jenar. Hal yang serupa telah dirasakannya pula pada saat ia bertempur dahulu. Justru karena itulah dadanya serasa terbelah.
Dengan tidak menghiraukan apapapun lagi, dengan wajah yang menyala-nyala ia bersiap menyerang Mahesa jenar yang masih berdiri mematung. Berbareng dengan itu, terdengarlah jerit Pudak Wangi yang sejak tadi berdiam diri kebingungan. ”Bertempurlah kalian…, bertempurlah sampai binasa. Setelah itu arwah kalian akan puas melihat aku binasa pula dengan hinanya di tengah-tengah iblis ini.” Suara itu jelas merupakan luapan hati seorang gadis yang mencemaskan kehormatannya, bukan nyawanya. Sebagai cucu dan murid Ki Ageng Pandan Alas, Pudak Wangi bukanlah seorang pengecut, yang merengek-rengek menghadapi kematian. Tetapi terhadap Ular Laut dari Nusakambangan itu, ia benar-benar menjadi ngeri.
Sarayuda tersentak hatinya. Ia tegak seperti patung, dadanya digoncang oleh kebingungan yang bergelora. Tetapi dalam pada itu, orang yang menamakan dirinya Mahesa jenar merasa bahwa ia tidak mempunyai banyak waktu. Orang itu sadar, bahwa apa yang dilakukan oleh Sarayuda adalah luapan perasaannya saja. Karena itu, tiba-tiba orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, sekali lagi meloncat mundur, seterusnya apa yang dilakukan sama sekali tak dapat dilihat dengan jelas. Sekali lagi seperti seekor Rajawali, orang itu terbang dengan kecepatan kilat, menyambar Pudak Wangi. Orang-orang yang berdiri memagari gadis itu, yang sebagian telah diruntuhkan perasaannya dengan suara tertawa yang menghentak-hentak dada, dapat ditembus dengan mudahnya. Kemudian berubahlah Rajawali itu menjadi bayangan hantu menyambar Pudak Wangi, yang seterusnya lenyap ke dalam kegelapan bayang-bayang gerumbul-gerumbul lebat di sekitar tempat itu.
Kejadian itu hanya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan merupakan sebuah pesona yang seolah-olah merampas kesadaran dari semua orang yang menyaksikan. Pandan Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki pun sampai beberapa saat berdiri seperti patung. Baru setelah bayangan itu terbang, mereka menjadi tersadar dari sebuah mimpi yang hebat. Dan sadar pulalah mereka bahwa apa yang mereka usahakan selama itu, menjadi lenyap di hadapan hidungnya. Sima Rodra dan Bugel Kaliki yang sudah bersusah payah menangkapnya, dan Pandan Alas yang bersusah payah pula mencari cucunya itu, ditambah lagi dengan Jaka Soka dan Sarayuda yang mempunyai kepentingan yang sama pada saat itu, seolah-olah digerakkan oleh satu daya penggerak, berloncatanlah mereka menyusul ke arah hilangnya bayang-bayang itu.
Sesaat kemudian, seperti dihisap oleh kegelapan malam, lenyaplah semua orang yang mula-mula dengan riuhnya mengelilingi perapian, yang sampai saat itu, apinya sudah jauh surut. Maka sepilah suasana di tempat itu, setelah semua orang berlari-larian pergi. Yang terdengar kemudian kecuali keretak sisa-sisa kayu yang dimakan api, adalah napas Mahesa Jenar yang tersengal-sengal seperti berebut dahulu meloloskan diri dari tubuhnya yang gemetar. Apa yang disaksikan itu, bagi Mahesa Jenar seperti gambaran di dalam mimpi. Namun bagaimanapun, gambaran-gambaran itu telah membingungkannya. Apa yang dilakukan oleh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu adalah tepat seperti apa yang akan dilakukannya seandainya ia mampu. Sebab secara jujur, ia mengakui, bahwa orang yang menyerupainya itu mempunyai kemampuan yang luar biasa sehingga ia dapat melakukan pekerjaan itu di hadapan segerombolan orang yang sudah siap untuk menghalang-halangi. Dalam pada itu kembali Mahesa Jenar ragu. Apakah yang dilihat selama itu hanyalah khayalan-khayalan saja. Berkali-kali ia mengusap-usap matanya.  Namun cahaya api yang redup itu masih saja mengganggu kegelapan malam. Ataukah jiwanya sendiri yang telah meloncat keluar dari tubuhnya, dan kemudian melakukan segala pekerjaan itu untuknya? Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia bukan pemimpi. Karena itu segera ia sadar, bahwa memang telah ada seseorang yang melakukannya. Hanya yang aneh baginya, setiap gerak, setiap kata yang diucapkan, tepat seperti yang terkandung di dalam hatinya.
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar masih merenung-renung di dalam lindungan batang-batang ilalang. Bahkan semakin lama hal itu direnungkan, semakin kaburlah perasaannya. Tetapi lebih dari pada itu, di dalam sudut hatinya yang paling dalam, muncullah perasaan kecewanya. Pudak Wangi, yang sebenarnya bernama Rara Wilis itu, untuk kesekian kalinya ia telah menyakiti hati gadis itu.  Sewaktu ayah gadis itu terbunuh olehnya, dan sekarang, gadis itu lenyap di hadapannya dibawa oleh seseorang yang menyerupai dirinya. Karena itulah maka sekali lagi ia merasa kehilangan atas sesuatu yang belum pernah dimilikinya, namun sebaliknya, telah merampas seluruh hatinya.
———-oOo———-

III

Dalam kekalutan pikiran itu, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa lunak perlahan di belakangnya. Tersentak Mahesa Jenar berdiri dan bersiaga. Tetapi kemudian kembali ia menjadi bingung, ketika di hadapannya berdiri orang yang menamakan diri Mahesa Jenar.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itupun memandanginya dengan saksama dari ujung kaki sampai ke ujung kepalanya. Kemudian terdengarlah ia berkata, “Ki Sanak, apakah yang kau lakukan di sini? Dan siapakah kau sebenarnya?
Mendapat pertanyaan itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ia sendiri sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan sesuatu di tempat itu. Ia hanya tertarik oleh suara-suara riuh, serta keinginannya untuk mendapat jejak dalam usahanya mencari Arya Salaka. Sekarang, tiba-tiba seseorang, yang sejak semula telah membingungkannya, menanyakan keperluannya. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar tidak menjawab, sehingga kembali orang itu berkata, “Agaknya kau terkejut melihat kehadiranku di sini?”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar dengan jujur. “Aku datang ke tempat ini tanpa aku sengaja.”
Sekali lagi orang itu tertawa lunak. ”Adalah suatu kemustahilan bahwa seseorang sampai ke tempat ini tanpa sengaja. Aku kira kau datang ke tempat ini untuk mengintip apa yang terjadi di padang rumput itu. Ataukah kau memang salah seorang diantaranya?
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar merasa tersinggung oleh pertanyaan itu. Maka jawabnya, ”Ki Sanak, memang aku telah mengintip apa yang terjadi. Aku kagum keperkasaanmu. Kau mampu melepaskan diri dari tangan-tangan Jaka Soka, Janda Sima Rodra ditambah kemudian dengan Sarayuda. Bahkan kau berhasil melepaskan dirimu pula dari kejaran orang-orang seperti Sima Rodra dan Bugel Kaliki, apalagi kau membawa beban seseorang.
”Hem…” Orang itu menarik nafas. ”Kau terlalu memuji. Tetapi kau sendiri agaknya seorang yang luar biasa sehingga kehadiranmu sama sekali tak diketahui oleh seorangpun diantara mereka.”
”He…” sambung orang itu tiba-tiba seperti orang terkejut, ”Kau kenal kepada setiap orang yang ada di padang rumput itu? Siapakah kau sebenarnya?”
Sekali lagi Mahesa Jenar termangu-mangu. Namun bagaimanapun juga ia harus menjawab pertanyaan itu. Maka katanya, ”Akulah yang sebenarnya bernama Mahesa Jenar. Bukankah nama itu telah kau pinjam pada saat kau mengadakan pameran kekuatan?”
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu tampak terkejut bukan buatan. Sekali lagi ia memandang Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya. Dengan suara yang bergetar ia berkata, ”Kau bernama Mahesa Jenar…?
Mahesa Jenar mengangguk.
”Kalau demikian…” sambung orang itu,Kita bersamaan nama. Aku juga bernama Mahesa Jenar. Memang demikian. Bukan nama pinjaman seperti dugaanmu.
Ia berhenti sebentar, lalu meneruskan, ”Tetapi tak apalah. Banyak orang di dunia ini mempunyai nama yang sama.
Mahesa Jenar menggelengkan kepala. Lalu katanya, “Jangan pura-pura terkejut, dan jangan katakan tentang nama yang sama. Kau telah menyebut dirimu lengkap seperti diriku. Kau mengaku murid Ki Ageng Pengging Sepuh dan bernama Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya. Tidak sahabat. Tidak mungkin persamaan di antara kita sampai sedemikian jauhnya.
Kembali wajah orang itu membayangkan keheranan. Matanya menatap dengan tajamnya.  Kemudian hampir berdesis ia berkata, ”Ki Sanak, janganlah mencari persoalan. Kita belum saling mengenal sebelumnya. Apakah sebabnya maka Ki Sanak bersikap sedemikian terhadapku. Dalam keadaanku seperti sekarang ini, sebenarnya aku memerlukan perlindungan dan sahabat. Barangkali kau dapat melihat apa yang telah aku lakukan. Aku sedang berusaha menyelamatkan Pudak Wangi dari tangan para penjahat itu. Dan gadis itu sudah berhasil aku sembunyikan. Muridku yang bernama Arya Salaka telah hilang. Dan sekarang aku sedang berusaha mencarinya.
Mendengar uraian itu dada Mahesa Jenar bergetar dahsyat. Tetapi Mahesa Jenar adalah seseorang yang berotak cemerlang. Karena itu segera ia menjawab sambil menebak, ”Kalau demikian, kaulah yang telah memancingku dan melibatkan diriku dalam goa yang mempunyai ratusan cabang yang membingungkan itu, sehingga kau dapat mengetahui dengan tepat bahwa muridku telah hilang.”
Kembali orang itu terkejut. Katanya kemudian, ”Anehlah yang aku alami selama ini. Apa yang seharusnya aku katakan, sudah kau katakan. Sedang kau merasa bahwa apa yang akan kau katakan, sudah aku katakan.”
Jangan memutar balik keadaan. Sekarang tunjukkan kepadaku, di mana Arya Salaka.” geram Mahesa Jenar yang mulai kehilangan kesabaran.
”Jangan mengigau,” bentak orang itu. ”Dengan igauanmu itu kau bisa membuat aku gila.
Mendengar orang itu membentak-bentak, darah Mahesa Jenar bertambah cepat mengalir. Segera ia merasa bahwa suatu bentrokan jasmaniah sukar dihindarkan. Karena itu segera iapun bersiaga penuh, sebab seperti telah disaksikan sendiri, orang yang berdiri di hadapannya memiliki tingkat ilmu yang tinggi.  Namun bagaimanapun juga, Mahesa Jenar harus menghadapi setiap kemungkinan dengan kejantanan. Maka iapun kemudian membentak pula, ”Apakah keuntunganmu dengan segala macam ceritera isapan jempol itu? Nah, sekarang katakan kepadaku, kepada Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya, di mana muridku Arya Salaka dan di mana Pudak Wangi kau sembunyikan?
Orang itu menarik alisnya. Kemudian warna merah tersirat di wajahnya. Maka sahutnya, ”Tak kusangka bahwa di dunia ini ada orang semacam kau ini. Orang yang senang pada pertengkaran tanpa sebab. Aku juga tidak tahu, apakah keuntunganmu dengan kelakuanmu yang aneh-aneh itu. Meskipun demikian apa boleh buat. Agaknya kau hanya ingin mengetahui, benarkah Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh ini dapat menjunjung tinggi nama perguruannya.”
Dada Mahesa Jenar menjadi semakin bergelora ketika nama gurunya disebut-sebut, sehingga ia tak dapat menahan diri.  Dengan meloncat ia berteriak, ”Baiklah kita lihat, siapakah murid Ki Ageng Pengging Sepuh.”
Agaknya orang itu telah bersiaga pula. Ketika serangan Mahesa Jenar tiba, segera ia mengelakkan diri. Bahkan dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya, orang itu pun telah membalas menyerang. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang sengit. Pertempuran antara dua orang perkasa yang mempergunakan satu jenis ilmu keturunan dari Ki Ageng Pengging Sepuh.
Yang memusingkan kepala Mahesa Jenar adalah orang itu dapat bergerak dan mempergunakan ilmu peninggalan gurunya dengan sempurna. Bahkan dalam beberapa hal, orang itu memiliki kelebihan-kelebihan dari Mahesa Jenar.
Demikianlah kedua orang itu berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan kebenaran kata masing-masing.
Mahesa Jenar yang bertubuh tegap kekar berjuang dengan tangguhnya seperti seekor banteng yang tak surut menghadapi segala macam bahaya, sedang lawannya pun berjuang seperti seekor banteng yang tak mengenal mundur. Sehingga perang tanding itu merupakan perang tanding yang maha dahsyat. Apalagi seolah-olah bagi kedua-duanya sudah saling dapat memperhitungkan gerakan-gerakan lawan. Dengan demikian yang terjadi seakan-akan hanyalah suatu adu kekuatan. Kalau dalam beberapa pertempuran mereka kadang-kadang berhasil menembus kelemahan lawan dengan unsur-unsur gerak yang membingungkan, tetapi kali ini mereka sama sekali tidak dapat saling mencuri kesempatan. Sebab mereka seakan-akan mempunyai satu otak yang menggerakkan dua belah anak permainan macanan dengan tangan kanan di sebelah dan tangan kiri di sebelah lain.
Namun bagaimanapun juga kedua orang itu adalah orang yang berbeda, sehingga dalam kenyataannya, mereka pun tidak sama seluruhnya.  Lawan Mahesa Jenar yang mengaku juga bernama Mahesa Jenar itu ternyata memiliki kekuatan tubuh yang melampaui kekuatan tubuh Mahesa Jenar, sehingga setelah mereka bertempur berputar-putar, akhirnya terasalah bahwa Mahesa Jenar mulai terdesak. Hal ini terasa pula olehnya, sehingga dengan demikian ia menjadi gelisah. Apapun yang dilakukan, segala macam unsur gerak yang pernah dipelajari, tidak dapat menolongnya, sebab orang itupun mampu melakukannya. Bahkan kemudian terasa oleh Mahesa Jenar, bahwa seolah-olah ia telah berjalan mundur beberapa tahun. Kalau beberapa orang sakti dapat menambah ilmu hampir setiap saat, baginya, setelah sekian tahun terpisah dari gurunya, seakan-akan sama sekali tak suatupun yang dicapainya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak segera kehilangan akal. Jiwa kesatriaannya bergelora memenuhi dadanya, sehingga apapun yang terjadi, sama sekali ia tidak gentar.
Beberapa saat kemudian, di langit ujung Timur, terpencarlah warna kemerah-merahan fajar. Perlahan-lahan malam yang kelam mulai berangsur surut. Semburat merah yang mewarnai daun-daun ilalang hijau segera telah menimbulkan kesan tersendiri.
Dalam pada itu kedua orang yang bertempur itu masih saja berjuang mati-matian. Di tengah-tengah rumpun-rumpun ilalang itu, terjadilah semacam sawah yang baru dibajak oleh bekas-bekas kaki yang bertempur dengan dahsyatnya.
Tetapi bagaimanapun juga akhirnya Mahesa Jenar harus mengakui keunggulan lawannya, setelah ia berjuang sekuat tenaga. Namun demikian ia sama sekali tidak mau mengorbankan diri. Dalam setiap kemungkinan antara hidup dan mati, akhirnya terpaksalah ia mempergunakan setiap kemungkinan untuk menolong jiwanya, selama itu tidak melanggar kehormatan darah kesatriaannya. Maka karena itulah sesaat kemudian, tampaklah ia mengangkat sebelah kakinya, tangan kirinya menyilang dada, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi.
Melihat sikap itu, lawan Mahesa Jenar yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat berbuat sesuatu, sebab segera Mahesa Jenar meloncat maju dan melontarkan pukulan Sasra Birawanya yang dahsyat. Ia hanya sempat melihat lawannya itu menyilangkan kedua tangannya, dan sesudah itu, orang itu terlempar beberapa langkah surut, dan kemudian jatuh terguling-guling.
Mahesa Jenar, setelah melihat akibat pukulannya, berdiri mematung. Matanya tajam memandangi lawannya yang dijatuhkannya itu. Tetapi sesaat kemudian ia terkejut, ketika ia melihat orang itu tertatih-tatih berdiri. Agaknya pukulannya tidak membinasakan lawannya. Tetapi setelah terkejut, iapun berlega hati, melihat lawannya masih hidup. Sebab bagaimanapun juga, bukanlah maksudnya untuk membunuh hanya karena sekedar ingin membunuh. Kalau ia terpaksa mempergunakan aji Sasra Birawanya, adalah karena ia tidak mau terbunuh. Justru karena itulah, ketika ia melihat orang yang dihantamnya itu masih hidup ia jadi berbesar hati. Juga karena dengan demikian ia akan dapat menanyakan dimana muridnya dan Pudak Wangi disembunyikan.
]Tetapi kemudian kembali ia terkejut ketika orang yang dianggapnya sudah tak mampu lagi berbuat sesuatu karena pukulannya, kecuali hanya berdiri itu, membalikkan diri dan kemudian meloncat pergi. Sudah tentu Mahesa Jenar tidak membiarkannya. Kalau orang itu tidak terbunuh oleh pukulannya, ia sudah heran. Apalagi orang itu masih dapat berlari. Alangkah hebatnya daya tahan tubuhnya.
Karena itu, maka segera Mahesa Jenarpun meloncat mengejar orang itu, yang ternyata masih dapat berlari cepat. Maka terjadilah kejar-mengejar diantara batang-batang ilalang yang tumbuh lebat melampaui tubuh manusia. Tetapi pendengaran dan penglihatan Mahesa Jenar cukup tajam. Apalagi cahaya matahari sudah semakin terang. Maka tampaklah setiap ujung batang-batang ilalang yang tergoyangkan oleh sentuhan tubuh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Karena orang yang dikejarnya itu agaknya telah terluka, maka semakin lama jarak merekapun semakin pendek pula, sehingga Mahesa Jenar percaya, bahwa ia pasti akan dapat menangkap orang itu.
Tetapi kemudian ia menjadi kecewa, ketika ia tinggal meloncat saja beberapa langkah, orang yang dikejarnya itu tiba-tiba merunduk dan seolah-olah lenyap diantara batu-batu. Itulah lobang goa, tempat Mahesa Jenar menembus keluar.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiri termangu-mangu. Namun ia tidak mau kehilangan waktu. Segera ia berjongkok dan mendengarkan setiap desir di dalam goa itu, kalau-kalau lawannya telah memancingnya, dan kemudian membinasakannya pada saat ia merangkak masuk. Tetapi kemudian Mahesa Jenar mendengar suara terbatuk-batuk, tidak di depan mulut goa. Agaknya lawannya telah mengalami luka di dalam dadanya, dan sekaligus ia mengetahui bahwa lawannya tidak pula berada di muka mulut goa itu, sehingga dengan demikian segera ia melontarkan diri masuk ke dalamnya. Untuk beberapa saat ia membiasakan matanya di dalam gelapnya goa. Dan setelah itu ia perlahan-lahan berjalan sambil memperhatikan setiap suara yang didengarnya. Sekali lagi ia mendengar suara lawannya terbatuk-batuk. Dan karena itulah ia dapat mengenal arahnya.    Dengan hati-hati Mahesa Jenar menyusur dinding goa mendekati arah suara itu. Dan karena ketajaman telinganya, akhirnya Mahesa Jenar menjadi semakin dekat. Tetapi agaknya orang itupun bergerak pula semakin lama semakin dalam dan melewati berpuluh-puluh cabang yang membingungkan. Namun Mahesa Jenar telah bertekad untuk mengikuti orang itu sampai ditangkapnya. Sebab ia yakin bahwa lukanya tidak akan mengijinkan orang itu bergerak leluasa.
Beberapa langkah kemudian, tiba-tiba Mahesa Jenar tertegun. Ia sampai pada suatu ruangan yang agak lebar dan tidak terlalu gelap. Ketika ia melihat ke atas, tampaklah beberapa lobang-lobang yang tembus. Dari sanalah cahaya pagi jatuh menerangi ruangan itu seperti ruangan-ruangan yang sering dipergunakan bermain-main oleh para cantrik. Untuk beberapa lama, sekali lagi Mahesa Jenar kebingungan. Sekarang ia sama sekali tidak lagi mendengar suara apapun. Juga suara batuk-batuk orang yang dikejarnya itupun telah lenyap.
Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi marah kembali. Dengan saksama ditelitinya dinding ruangan itu kalau-kalau ada yang mencurigakan. Tetapi selain pintu masuk yang dilewatinya tadi, sama sekali tak diketemukannya lubang yang lain. Dengan demikian ia menduga bahwa orang yang dicarinya masih berada di dalam ruangan itu pula. Maka sekali lagi Mahesa Jenar meneliti setiap relung ruang itu dengan lebih saksama lagi, sambil tetap mengawasi satu-satunya lobang masuk ke dalam ruang itu.
Dan dugaannya ternyata benar. Ia terkejut sampai terlonjak ketika di belakangnya terdengar suara tertawa yang lunak perlahan.
Cepat-cepat ia memutar diri dan bersiaga. Benarlah bahwa yang berdiri di hadapannya, di samping sebuah batu yang besar, adalah orang yang dicari-carinya.
“Kau tak akan dapat melepaskan diri,” kata Mahesa Jenar.
Orang itu tidak menjawab. Ia maju beberapa langkah mendekati Mahesa Jenar. Langkahnya tetap, tegap dan cekatan. Karena itu maka Mahesa Jenar terkejut karenanya. Kalau demikian, maka orang itu dapat melenyapkan luka-lukanya hanya dalam waktu yang sangat singkat. Namun demikian Mahesa Jenar masih belum yakin, bahwa orang itu telah terbebas sama sekali dari akibat pukulannya. Maka katanya sekali lagi, “Katakan sekarang, di mana Arya Salaka.”
Orang itu berhenti beberapa langkah di hadapannya dalam keremangan. Terdengarlah kembali ia tertawa perlahan. Kemudian jawabnya,  “Kau telah mencoba menirukan aji Sasra Birawa. Tetapi sayang, jelek sekali.”
Mendengar ejekan itu darah Mahesa Jenar menggelegak sampai ke kepala. Ia tidak dapat lagi mengendalikan perasaannya. Karena itu sekali lagi ia meloncat menyerang dengan sengitnya. Kembali terjadi sebuah pertarungan yang hebat. Dua kekuatan yang tangguh saling berjuang untuk mempertahankan nama masing-masing. Tetapi beberapa saat kemudian Mahesa Jenar menjadi gelisah kembali. Orang itu sama sekali telah terbebas dari luka-luka akibat pukulan yang luar biasa. Disamping itu kemarahan Mahesa Jenar semakin membakar hatinya. Dan apa yang dilakukannya kemudian adalah mengulangi apa yang pernah dilakukan. Dipusatkannya segala kekuatan batinnya, disilangkannya satu tangannya, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi, sambil menekuk satu kaki ke depan, ia menggeram hebat siap mengayunkan ajinya Sasra Birawa.
Sesaat sebelum tangannya menghantam lawannya, dadanya terasa berdesir hebat ketika ia dalam sekejap melihat lawannya, yang mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh itu, ternyata juga mengangkat satu kaki, menyilangkan tangan kirinya di muka dada, serta mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Meskipun demikian Mahesa Jenar sudah tidak sempat lagi membuat bermacam-macam pertimbangan. Apa yang dilakukannya kemudian adalah, dengan garangnya ia meloncat dan menghantam lawannya dengan sepenuh kekuatan dialasi dengan ajinya Sasra Birawa yang dahsyat.
Tiba-tiba pada saat itu pula ia melihat lawannya itupun berbuat demikian pula sehingga terjadilah benturan yang maha dahsyat. Mahesa Jenar merasakan seolah-olah berpuluh-puluh petir meledak  bersama-sama di hadapan wajahnya. Udara yang panas yang jauh lebih panas dari api, terasa memercik membakar seluruh tubuhnya. Setelah itu, pemandangannya menjadi kuning berputar-putar, semakin lama semakin gelap. Akhirnya tanah tempatnya berpijak seolah-olah berguguran jatuh ke dalam jurang yang dalamnya tak terhingga. Sesudah itu tak satupun yang diingatnya.
Ia tidak tahu, berapa lama ia pingsan.
Yang mula-mula terasa olehnya adalah tetesan-tetesan air yang membasahi wajahnya. Perlahan-lahan Mahesa Jenar mencoba membuka matanya. Mula-mula pemandangan di sekitarnya masih tampak hitam melulu. Tetapi lambat laun, tampaklah samar-samar cahaya matahari yang menembus lubang-lubang diatas ruangan itu, semakin lama semakin terang. Sejalan dengan perkembangan kesadarannya. Kemudian, ketika pikirannya sudah semakin terang, terasalah bahwa seluruh tubuhnya basah kuyup. Agaknya seseorang telah menyiramkan air untuk membangunkannya.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar berusaha untuk mengingat-ingat apa yang terjadi. Ketika segala sesuatunya menjadi semakin jelas, maka segera ia berusaha untuk bangkit. Tetapi agaknya tubuhnya serasa dicopoti segala tulang-tulangnya. Karena itu ketika ia mencoba mengangkat kepalanya, kembali ia jatuh terbaring.
Darahnya serasa menguap ketika ia mendengar di sampingnya suara tertawa lunak perlahan. Segera ia mengenal, siapakah orang itu. Namun bagaimanapun juga ia sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa.
Ki sanak…” Terdengar orang itu berkata. “Jangan mencoba-coba menjadi rangkapan Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh. Meskipun tiruan itu sudah kau lakukan dengan saksama, namun kalau kebetulan kau bertemu dengan orangnya, seperti sekarang ini, segera akan dapat dikenal kepalsuanmu. Meskipun demikian aku menjadi heran pula bahwa apa yang kau lakukan sudah hampir dapat menyamai apa yang aku lakukan. Dan agaknya kau telah mencoba pula mendalami ilmu Sasra Birawa. Aku tidak tahu dari mana kau pelajari ilmu itu, namun dalam beberapa hal, telah benar-benar mirip dengan Sasra Birawa yang sebenarnya.”
Mendengar ucapan-ucapan itu telinga Mahesa Jenar rasanya menjadi terbakar. Ia menggeram beberapa kali, namun ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat menggerakkan kepalanya dan melihat orang yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu duduk dengan enaknya di atas sebuah batu padas, disampingnya.
Beberapa saat kemudian orang itu kembali berkata, “Aku tidak sabar menunggui orang tidur terlalu lama, karena itu aku menyirammu dengan air. Ternyata kau terbangun karenanya.”
Mahesa Jenar ingin berteriak memaki-maki. Namun suaranya tersumbat di kerongkongan. Yang terdengar hanyalah sebuah desis kemarahan.
“Bagaimanapun juga, aku hormati ketebalan tekadmu”, sambung orang itu, “Dalam keadaan yang demikian kau masih tetap pada pendirianmu. Karena itulah aku belum membunuhmu. Sebab aku ingin mengetahui siapakah orang yang telah berkeras hati mengaku bernama Mahesa Jenar.”
Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Perlahan-lahan, ia mencoba menjawab, “Jangan kau takut-takuti aku dengan kematian, sebab kematian bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti.”
Bagus…!” Tiba-tiba orang itu meloncat berdiri. “Kau sendiri yang mengatakan. Jangan salahkan aku kalau aku membunuhmu sekarang.”
Mahesa Jenar bukan seorang penakut. Apapun yang akan terjadi atasnya bukanlah suatu hal yang perlu dicemaskan. Meskipun demikian ia menjadi gelisah ketika teringat oleh Arya Salaka. Ia tidak tahu di mana anak itu sekarang berada. Apakah ia masih hidup ataukah sudah mati di dalam relung dan lekuk-lekuk goa yang membingungkan itu. Karena perasaan yang demikian itulah tiba-tiba tanpa disengajanya ia berkata, “Kau bunuh aku atau tidak, itu bukanlah urusanku, tetapi itu adalah urusanmu. Namun demikian katakan kepadaku apakah Arya Salaka masih hidup atau sudah kau bunuh pula?”
Orang itu tertegun sejenak. Tetapi hanya sejenak. Kemudian terdengar ia tertawa. “Jangan kau persulit dirimu, dan jangan kau kotori jalan kematianmu dengan dongengan-dongengan yang kisruh itu. Ataukah barangkali kau mengharap aku mengampuni kau untuk membantuku mencari muridku itu?”
“Cukup!” tiba-tiba Mahesa Jenar berteriak nyaring. Seluruh sisa kekuatannya telah mendorongnya berbuat demikian karena kemarahan yang tak tertahankan. “Kau mau membunuh, bunuhlah. Jangan membual.”
Sekali lagi terdengar suara tertawa. Lunak dan hanya perlahan-lahan. Sesudah itu, orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu melangkah justru menjauhi Mahesa Jenar. Katanya kemudian setelah ia sampai ke mulut ruang itu, “Aku tidak mau mengotori tanganku dengan membunuh orang semacam kau. Biarlah alam membunuhmu. Kau tidak akan dapat keluar dari ruangan ini sampai ajalmu tiba.” Setelah itu orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu segera meloncat keluar dan terdengarlah suara berguguran. Beberapa batu besar jatuh tertimbun menutupi lubang ruangan itu. Bersamaan dengan itu, berguguran pulalah rasanya isi dada Mahesa Jenar. Ia ditinggalkan dalam ruangan tertutup dalam keadaan yang demikian. Bukan main. Suatu penghinaan yang tiada taranya. Sebagai seorang laki-laki ia lebih senang hancur di dalam suatu pertempuran daripada dibiarkan mati kelaparan di dalam sebuah goa.
Karena itulah dirasanya seluruh tubuhnya mendidih. Seluruh isi rongga dadanya menggelegak seperti akan meledak. Terasa betapa darahnya mengalir cepat dua kali lipat. Tetapi karena itu pulalah terasa kekuatannya timbul kembali oleh dorongan perasaan yang meluap-luap.
Dengan demikian maka sedikit demi sedikit Mahesa Jenar mulai dapat menggerakkan tubuhnya, sehingga beberapa saat kemudian ia telah mampu untuk mengangkat tubuhnya dan duduk tegak.
Matahari yang telah mencapai titik tengah, sinarnya langsung tegak lurus menembus lubang-lubang di atas ruangan itu dan membuat lingkaran-lingkaran di lantai. Udara yang lembab di dalam goa itu rasa-rasanya jadi menguap oleh panas matahari.
Mahesa Jenar kemudian menjadi gelisah karenanya. Ia tidak mau menyerah pada keadaan. Ia tidak mau membiarkan dirinya mati kelaparan di dalam goa itu tanpa perlawanan. Maka dengan segenap tenaga yang ada ia pun berdiri dan dengan terhuyung-huyung berjalan sekeliling ruangan itu berpegangan dinding. Dua tiga langkah ia masih terus beristirahat, sebab dadanya masih terasa nyeri, disamping pertanyaan yang selalu memukul-mukul kepalanya. Siapakah gerangan orang yang telah mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh, yang mampu mempergunakan ilmu Sasra Birawa, dan justru lebih hebat dari ilmunya. Menurut ceritera almarhum gurunya, maka Ki Ageng Pengging Sepuh itu tidak mempunyai murid lain kecuali dirinya dan Ki Ageng Pengging yang bernama Kebo Kenanga, almarhum, putera gurunya sendiri. Tiba-tiba sekarang ia bertemu dengan seseorang yang memiliki ilmu gurunya itu dengan sempurna. Bahkan orang itu telah mengaku bernama Mahesa Jenar dan mempunyai seorang murid yang bernama Arya Salaka. Seolah-olah orang itu ingin menyindir akan ketidakmampuannya sebagai seorang murid dari perguruan Pengging.
Karena pertanyaan-pertanyaan itu, maka kembali Mahesa Jenar merasa bahwa perkembangannya seolah-olah berhenti setelah ia terpisah dari gurunya. Sejak itu, ia hanya berusaha untuk mengamalkan ilmunya saja, tanpa berusaha untuk menambahnya. Dengan demikian maka ia tidak akan dapat mencapai tingkat seperti gurunya. Apabila hal yang demikian berlaku juga untuk murid-muridnya kelak, maka perguruan Pengging semakin lama akan menjadi semakin surut. Padahal seharusnya setiap murid akhirnya harus melampaui gurunya. Dengan demikian ilmu akan berkembang terus.
Hati Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi pedih. Pedih sekali. Justru kesadaran itu timbul ketika dirinya sudah terkurung di dalam sebuah ruangan yang tertutup rapat. Mungkin ia dapat menghantam di dinding-dinding ruangan itu dengan Sasra Birawa dan membuat lubang untuk menemukan jalan keluar, tetapi agaknya sampai ia mati kehabisan tenaga, usahanya mustahil akan berhasil.
Dalam penelitiannya itu, Mahesa Jenar menemukan sebuah mata air kecil di belakang sebuah batu. Segera ia berjongkok, dan membasahi kerongkongannya yang serasa kering dan panas. Setelah itu terasa tubuhnya menjadi bertambah sehat.
Tetapi perasaannyalah yang tidak berkembang seperti tubuhnya. Perasaannya yang pedih masih saja menyayat. Tetapi tiba-tiba memancarlah suatu tekad. Tekad yang membawanya pada suatu ketetapan hati, bahwa justru dalam keadaannya yang sekarang, ia akan mengisi sisa hidupnya dengan suatu ketekunan, mendalami ilmunya mati-matian. Dalam keadaannya itu tiba-tiba ia terkejut melihat bayangan yang tegak berdiri pada sebuah relung dinding goa itu, sehingga ia terlonjak berdiri. Tetapi ketika Mahesa Jenar semakin jelas melihat menembus keremangan relung itu, sadarlah ia bahwa yang berdiri di situ hanyalah sebuah patung batu yang belum sempurna. Meskipun demikian hatinya tertarik pula untuk melihatnya. Siapakah yang sudah membuat patung itu, justru di dalam sebuah ruangan jauh di dalam goa? Akh, mungkin orang aneh yang telah menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Ketika ia telah semakin dekat, makin jelaslah bahwa patung batu itu masih belum siap seluruhnya. Dan ketika ia meraba-rabanya, tampaklah perubahan pada beberapa bagian. Pada bagian tubuhnya ia melihat lumut-lumut liar merayapi hampir seluruh bagian, tetapi di bagian kepalanya tampaklah luka-luka baru dari sebuah pahatan. Tiba-tiba, ketika ia memandang kepala patung itu, hatinya berdebar-debar. Ia melihat bunga melati terselip di atas kupingnya sebelah kanan. Rambutnya berjuntai sebatang-sebatang sangat jarang, sedang ikat kepalanya hanya dikalungkan di lehernya. Itu adalah ciri-ciri khusus dari gurunya, Ki Ageng Pengging Sepuh, yang semula bergelar Pangeran Handayaningrat.
Dan tiba-tiba, dari wajah patung itu seolah-olah memancar suatu tuntutan darinya kepada Mahesa Jenar, apakah yang dapat dicapainya sepeninggalnya.
Oleh pemandangan yang tak disangka-sangka itu, hati Mahesa Jenar seperti dicengkam oleh suatu keadaan gaib. Tanpa sesadarnya ia berjongkok dan menunduk hormat di hadapan patung itu. Seolah-olah ia merasa berhadapan dengan almarhum gurunya.
Beberapa lama kemudian barulah ia tersadar. Yang berdiri di hadapannya tidak lebih dari sebuah patung. Patung yang mempunyai ciri-ciri khusus seperti gurunya, meskipun pahatan wajahnya tidak sempurna. Namun demikian, Mahesa Jenar merasa, bahwa patung itu dapat menjadi daya pengantar untuk mencapai suatu pemusatan pikiran terhadap gurunya. Sekali lagi Mahesa Jenar merasa berada dalam suatu alam yang gaib. Lewat patung itu ia mengenang seluruh jasa-jasa gurunya. Seluruh cinta kasih yang pernah dilimpahkan kepadanya. Dan seluruh pelajaran-pelajaran yang pernah diberikan. Dari huruf pertama sampai huruf terakhir dalam ilmu tata berkelahi, jaya kawijayan dan kasantikan. Ia telah menerima pelajaran pula, bagaimana ia harus merangkai huruf itu menjadi kata-kata, dan kata-kata menjadi kalimat. Dengan demikian sebenarnya ia telah mendapat dasar-dasar pendidikan sepenuhnya. Bahkan sampai pada aji Sasra Birawa yang dahsyat itu pun telah dapat dikuasainya. Soalnya kemudian, bagaimana ia dapat mengendapkan ilmunya untuk mendapatkan inti sarinya.
Dalam keadaan yang demikian itulah, hati Mahesa Jenar menyala berkobar-kobar. Tiba-tiba sekali lagi ia dikuasai oleh keadaan yang khusus. Dengan menyebut kebesaran nama Allah, maka tanpa sesadarnya ia mulai menggerakkan tubuhnya. Dimulailah gerakan-gerakan yang pernah dipelajari, dari unsur gerak yang paling sederhana. Satu demi satu. Kemudian unsur-unsur yang semakin sukar. Seolah-olah ia sedang menempuh ujian di hadapan gurunya sendiri.
Demikianlah akhirnya Mahesa Jenar bergerak semakin lama semakin cepat dan hebat. Orang yang bertempur dengan dirinya, yang menamakan diri Mahesa Jenar itu ternyata telah melengkapi unsur-unsur gerak yang telah hampir dilupakannya. Demikianlah maka Mahesa Jenar tenggelam dalam satu pemusatan pikiran untuk menyempurnakan seluruh ilmunya.
Dalam keadaannya itu Mahesa Jenar lupa pada segala-galanya. Lupa pada keadaannya, lupa pada waktu, lupa pada orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, bahkan ia lupa pula tentang apa yang dilakukan itu. Demikianlah ia berjuang sebaik-baiknya, mengungkap segala ilmu yang pernah dimiliki.
Tetapi Mahesa Jenar sekarang, bukanlah Mahesa Jenar pada saat ia sedang mulai belajar dari gerakan pertama, kedua dan berturut-turut. Sekarang, kecuali segala macam unsur-unsur gerak yang pernah dipelajari, iapun pernah menempuh pengalaman yang luar biasa, sehingga dengan demikian, tak disengajanya pula, segala macam pengalaman itu menyusup masuk, melengkapi ilmunya sendiri. Dalam pengembaraannya, ia pernah bertemu dengan tunas-tunas dari perguruan putih dan hitam yang bermacam-macam. Ia pernah bertempur dengan Sarayuda dari cabang Perguruan Pandan Alas yang terkenal dari Klurak, yang justru sebenarnya orang Gunung Kidul, Gajah Sora, anak dan sekaligus murid Ki Ageng Sora Dipayana, Banyubiru. Ia pernah bertempur dengan murid-murid Pasingsingan seorang tokoh golongan hitam yang memiliki bermacam-macam ilmu dari golongan putih, Sima Rodra dari Gunung Tidar, Jaka Soka dari jenis perguruan golongan hitam di Nusakambangan, sepasang Uling dari Rawa Pening yang mempunyai cara bertempur yang aneh dan berpasangan. Mau tidak mau, semua jenis ilmu gerak itu saling mempengaruhi. Juga bersama-sama dengan muridnya, Arya Salaka, Mahesa Jenar pernah menekuni gerak gerik binatang hutan yang paling lemah, sampai yang paling buas. Bagaimana yang lemah berusaha melepaskan diri dari kekuasaan binatang yang buas dan kuat. Juga pertarungan antara hidup dan mati antara binatang buas yang sama kuat, pertarungan maut antara burung rajawali dengan ular naga yang besar.
Demikianlah Mahesa Jenar yang menjadi seolah olah bergerak dengan sendirinya itu, tanpa setahunya telah mengungkapkan satu jenis ilmu tata berkelahi yang maha dahsyat. Pemusatan pikiran yang luar biasa dengan perantaraan patung disampingnya itu, seolah olah Mahesa Jenar sedang mempertanggung jawabkan dirinya dihadapan gurunya sendiri.
Matahari yang mula-mula memancar dengan teriknya, semakin lama semakin jauh menjelajah kearah barat. Dan pada saat mega putih berarak arak ke arah selatan, Matahari itu dengan lelahnya menyusup kearah garis cakrawala, meninggalkan warna lembayung yang tersirat dibalik mega-mega mewarnai wajah langit.
Pada saat itulah ruangan yang dipergunakan oleh Mahesa Jenar itu dicengram oleh kehitaman warna-warna yang lemah lembayung dilangit sama sekali tidak dapat menembus masuk kedalamnya. Apalagi sebentar kemudian malam telah menjadi semakin kelam. Pada saat itulah Mahesa Jenar baru merasa seluruh tubuhnya menjadi lelah. Kecuali keadaan tubuh yang memang belum pulih benar akibat benturan aji Sasra Birawa, juga ia telah mencurahkan tenaga melampaui batas. Karena itulah, maka Mahesa Jenar menghentikan latihannya. Dengan meraba-raba dinding ia menyelusur kearah mata air didalam ruangan itu dibelakang sebuah batu. Karena kelelahan dan haus maka Mahesa Jenar segera minum sepuas-puasnya. Setelah itu iapun segera kembali kemuka patung yang mempunyai ciri gurunya. Dihadapan patung itulah Mahesa Jenar merebahkan dirinya untuk beristirahat.
Tetapi meskipun demikian, perasaannya yang sudah terikat pada patung itu, seolah-olah mempunyai kewajiban untuk menjaganya.
Maka ketika diluar goa itu binatang malam mulai meraja di padang ilalang dan lapangan rumput, mulailah Mahesa Jenar tenggelam kealam mimpi. Ia tertidur karena kelelahan…
Di langit bintang menari-nari dengan riangnya diiringi dendang angin yang berhembus lemah. Lubang lubang diatas ruang yang banyakterdapat didalam goa itu karena hembusan angin, menimbulkan bunyi-bunyi yang beraneka warna. Dari nada rendah sampai nada tinggi.
Mahesa Jenar terbangun pada saat matahari melemparkan sinarnya yang pertama. Dari lubang-lubang diatas ruangan itu Mahesa Jenar dapat melihat betapa riangnya langit menerima senyuman Matahari pagi.
Bersamaan dengan itu, terasa seakan akan datanglah waktunya bagi Mahesa Jenar untuk memulai lagi kewajibannya terhadap gurunya. Dengan khidmat ia berjongkok dimuka patung batu itu, dengan perantaraannya mulailah ia memusatkan pikirannya atas semua ajaran almarhum gurunya. Apabila pikirannya telah benar-benar terpusat, serta dalam pendekatan diri setinggi-tingginya kepada Tuhan Yang Maha Esa, mulailah ia dengan pendalaman ilmu yang pernah diterimanya.
Demikianlah apa yang dilakukan Mahesa Jenar. Tekun melatih diri. Mengulangi dan menghubungkan satu sama lain untuk kemudian mencari intisarinya.
Hari demi hari telah dilampauinya. Bagaimanapun kuat tubuh Mahesa Jenar, namun dalam kerja yang sedemikian keras dan tekun, hanya dengan minum saja, tanpa sebutir makananpun, akhirnya tubuhnya menjadi semakin lemah. Tetapi tidak demikian dengan jiwanya. Perkembangan jiwanya bertentangan dengan perkembangan tubuhnya. Semakin lemah keadaan tubuhnya, jiwanya bertambah membaja. Akhirnya, ketika pada suatu saat tubuhnya telah menjadi lemah benar karena telah berulang kali memperdahsyat aji Sasra Birawanya. Mahesa Jenar tidak lagi dapat berbuat banyak. Jasmaninya adalah wadag yang terbatas.
Maka yang dilakukan kemudian, adalah dengan tenangnya ia duduk bersila disamping batu itu. Ditutupnya kesembilan lubang tubuhnya, matanya yang redup tertanam pada ujung hidungnya. Seolah olah hilanglah dirinya, meloncat keluar dari tubuhnya yang lemah itu. Kemudian, seolah-olah dirinya yang hidup di alam lain itulah yang dengan dahsyatnya bergerak, dengan gerakan-gerakan yang luar biasa yang tak pernah mampu dilakukan wadagnya. Gerakan-gerakan yang mempunyai watak agak lain dengan gerakan-gerakan yang pernah dilakukan dialam wadag. Tiba-tiba diri Mahesa Jenar dalam alam yang lain itu, memancar dengan terangnya, menyinari tubuhnya. Pada saat itulah Mahesa Jenar merasa bahwa timbul sesuatu di dalam dirinya. Pada saat itulah ia merasa, menguasai benar setiap watak dari setiap gerak yang dilakukan, yang dilakukan oleh dirinya di luar wadagnya, yang sebenarnya adalah perwujudan dari kedahsyatan daya khayalnya dalam menekuni ilmunya, tanpa ikut sertanya wadag itu sendiri. Pada saat itulah Mahesa Jenar menemukan suatu kekuatan yang jauh melampaui kekuatan wadagnya, dengan menguasai setiap watak dari setiap gerak. Sedang apa yang pernah dilakukan selama ini adalah penguasaan gerak itu sebagai suatu gerak jasmaniah melulu. Pada saat yang terakhir, dirinya diluar wadagnya itu berdiri tegak di atas kedua kaki. Kemudian dengan gerak yang mengagumkan menyilangkan satu tangannya di muka dada, mengangkat tangannya yang lain tinggi-tinggi. Ditekuknya satu kakinya ke depan, siap menghantamkan aji Sasra Birawa. Pada saat itu, terasa seolah-olah wadagnya terbang melayang mendekati dirinya diluar wadag itu. Sehingga jarak antara wadag dan kedahsyatan daya khayalnya dalam kebulatan tekat semakin lama semakin dekat. Pada saat pertemuan diantara kedua dirinya dalam bentuknya yang berbeda itu, Mahesa Jenar mendapat suatu perasaan nikmat yang luar biasa. Perasaan yang tak dapat dilukiskan. Persenyawaan diri dari unsur-unsur yang seolah-olah memiliki watak yang berbeda itu telah memecahkan masa hidupnya selama ini. Kemudian seolah-olah lahirlah seorang Mahesa Jenar yang baru. Pada saat itulah, tiba-tiba bersenyawa pula gerakan-gerakan yang dilihatnya pada diri diluar wadagnya itu dengan wadagnya. Karena itulah maka yang ada kemudian hanya seorang Mahesa Jenar, dengan tubuh yang kurus pucat, tetapi berjiwa sekeras baja, berdiri diatas satu kakinya, satu tangannya menyilang dada dan satu tangannya terangkat tinggi-tinggi. Kemudian dengan satu loncatan lemah, Mahesa Jenar mengayunkan tangannya menghantam batu yang bertimbun-timbun menutupi pintu satu-satunya dari ruangan itu. Akibatnya adalah dahsyat sekali. Meskipun dengan tubuh yang lemah, namun kekuatan Mahesa Jenar rasanya menjadi berlipat-lipat. Batu-batu itupun segera pecah berhamburan. Dan tampaklah kemudian sebuah lubang, yang semula tertutup oleh guguran-guguran batu yang bertimbun-timbun, meskipun tidak menganga seluruhnya.
Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar sedang mengagumi tenaganya sendiri, terdengarlah sebuah suara tertawa yang lemah perlahan-lahan di belakangnya. Mahesa Jenar terkejut bukan main, dan dengan segera ia memutar tubuhnya, menghadap arah suara itu. Tetapi pada saat itu, ruang di dalam goa itu sudah mulai gelap, sehingga Mahesa Jenar tidak segera melihat sesuatu.
“Suatu latihan yang hebat,” tiba-tiba terdengar suara dari arah patung batu. Mendengar suara itu Mahesa Jenar seperti orang bermimpi. Kata-kata itulah yang sering diucapkan oleh gurunya. Adakah patung batu itu benar-benar telah berubah menjadi gurunya? Sesaat kemudian kembali terdengar suara, “Beristirahatlah, hari masih panjang.” Sekali lagi Mahesa Jenar tersentak. Gurunya selalu menasehatinya demikian kalau ia terlalu letih berlatih.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar melangkah maju mendekati patung itu. Ia menjadi ragu. Bagaimanapun juga, patung itu baginya tidak lebih daripada batu-batu biasa. Yang kebetulan dapat dipergunakan sebagai pancatan untuk memusatkan pikirannya. Tidak lebih dari pada itu. Tetapi kalau tiba-tiba patung itu dapat berbicara adalah diluar nalar.
Tetapi tiba-tiba ia menjadi terkejut sekali lagi. Ia melihat bayangan yang bergerak-gerak di belakang patung itu. Dan di dalam relung itu dilihatnya pula bayangan yang lebih kelam dari sekitarnya. Cepat Mahesa Jenar dapat mengetahui, bahwa di belakang patung itu ternyata ada sebuah pintu yang dapat ditutup dan dibuka, yang dibuat dari batu-batu pula, sehingga tidak diketahuinya sebelum itu.
“Siapakah kau…?” desis Mahesa Jenar bertanya.
“Jangan bertanya demikian,” jawab suara itu.
“Seharusnya kau sudah tahu bahwa Mahesa Jenar datang menjengukmu.”
Mendengar jawaban itu hati Mahesa Jenar tergetar. Tetapi sekarang ia sudah mendapat suatu keyakinan tentang dirinya, sehingga dengan demikian ia menjadi bertambah tenang. Maka katanya kemudian, “Adakah yang menarik hati bagimu, sehingga kau perlukan menjenguk aku?”
“Ada,” jawab orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Lewat lubang itu aku dapat mengintip apa yang selama ini kau lakukan.”
Kau keberatan?” sahut Mahesa Jenar.
Tidak,” jawabnya, “Aku tidak pernah keberatan terhadap kelakuan orang lain yang tidak merugikan diriku, apalagi tidak merugikan orang banyak. Apa yang kau lakukan tidak lebih dari sebuah pertunjukan yang menyenangkan.”
Meskipun Mahesa Jenar tidak senang mendengar kata-kata itu, namun ia masih diam saja.
Dengan pertunjukanmu itu aku pasti…” sambung orang itu, “Bahwa kau pernah membaca lontar kisah Mahabarata. Kisah seseorang yang tak berhasil berguru kepada seorang Pandeta yang bernama KombayanaOrang itu, yang bernama Bambang Ekalaya atau lebih terkenal dengan nama Palgunadi, kemudian membuat patung. Patung Pendeta itu. Pada patung itu ia berguru. Dan akhirnya benarlah ia dapat menyamai kesaktian murid Kombayana yang paling dahsyat dalam olah jemparing, yaitu Raden Arjuna.”
Mahesa Jenar merenung sebentar. Memang ia pernah mendengar ceritera itu. Dan apa yang dilakukan memang mirip sekali. Tetapi pada saat ia memulainya, ia sama sekali tidak pernah berpikir, apalagi sengaja menirukan apa yang pernah dilakukan oleh Bambang Palgunadi. Mengingat peristiwa itu ia menjadi geli sendiri. Lalu jawabnya, “Kau benar. Mudah-mudahan akupun berhasil pula seperti Palgunadi.”
Tiba-tiba orang itu tertawa tinggi. Katanya, “Kau benar-benar pemimpi. Yang bisa terjadi semacam itu, hanyalah didalam suatu dongeng saja. Dan kau agaknya ingin menjadi salah seorang tokoh dongeng-dongeng semacam itu.”
Mahesa Jenar mengangkat pundaknya. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Aku hanya mencoba.”
Bagus,” sahut orang itu melengking dengan nada yang berbeda. “Aku akan melihat apakah kau berhasil,” sambungnya.
Setelah itu tiba-tiba ia meloncat maju. Meskipun ruangan itu sudah menjadi semakin gelap, namun Mahesa Jenar masih melihat orang itu menyilangkan satu tangannya, tangannya yang lain diangkatnya tinggi-tinggi, sedang satu kakinya dingkatnya dan ditekuk ke depan.
Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa dalam gerakan yang pertama orang itu telah menyiapkan suatu bentuk aji yang mirip dengan ajinya Sasra Birawa, bahkan orang itupun menamainya demikian.
Dalam pada itu Mahesa Jenar sadar bahwa kekuatan aji orang itu adalah sangat dahsyatnya. Beberapa hari yang lalu, ia menjadi pingsan karena benturan yang hebat. Sekarang tiba-tiba orang itu akan mengulanginya kembali. Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain daripada berusaha menyelamatkan diri. Karena itu, segera iapun berbuat hal yang sama dengan tubuhnya yang lemah. Ia mengharap setidak-tidaknya, dengan perlawanannya itu, akan dapat mengurangi tekanan yang dideritanya karena pukulan aji lawannya.
Sesaat kemudian ia melihat orang itu meloncat ke depan, dan dengan derasnya mengayunkan tangan kanannya. Pada saat yang bersamaan, Mahesa Jenar pun dengan segenap kekuatan lahir batin yang disalurkan dalam aji Sasra Birawa, menghantam tangan yang terayun ke arah kepalanya itu.
Maka terjadilah suatu benturan yang maha dahsyat. Dua macam kekuatan ilmu sakti yang oleh para pemiliknya dinamai Aji Sasra Birawa telah berbenturan. Dan benturan kali ini lebih dahsyat dari benturan kedua kekuatan sakti itu beberapa waktu yang lalu, karena Mahesa Jenar telah menemukan inti kekuatan ilmunya.
Meskipun demikian bagaimanapun juga, keadaan jasmaniah mereka mempengaruhi pula. Mahesa Jenar yang telah sekian lama tersekap di dalam goa itu tanpa sebutir makananpun, harus berbenturan melawan seorang yang segar bugar. Namun pancaran kekuatan yang tersembunyi di balik kekuatan jasmaniah, ternyata memiliki kemampuan yang nggegirisi.
Demikianlah ketika benturan itu terjadi, ternyata kedua orang itu bersama terlempar surut. Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, merasakan pula betapa hebat pukulan lawannya, sehingga ia terpaksa jatuh sekali berguling, barulah ia dapat tegak kembali. Tetapi dalam pada itu, Mahesa Jenar sendiri terdorong jauh ke belakang sehingga tubuhnya membentur dinding goa.
Setelah itu dengan lemahnya Mahesa Jenar terduduk di lantai. Tetapi dalam pada itu terbesitlah suatu perasaan yang aneh dalam dirinya. Meskipun ia terlempar sampai membentur dinding goa, dan kemudian dengan lemahnya terduduk di lantai seperti orang yang kehilangan seluruh tulang-tulangnya, namun dalam benturan itu ia tidak lagi merasakan percikan panas yang membakar seluruh tubuhnya seperti yang dialaminya dahulu. Juga kali inipun kepalanya tidak menjadi pening berkunang-kunang dan ia tidak pingsan. Dengan demikian, timbul pulalah suatu pikiran di dalam kepalanya, seandainya keadaan jasmaniahnya tidak terlalu jelek, mungkin akan dapat mengimbangi pukulan lawannya. Tetapi disamping perasaan gembira yang membersit di dalam dadanya itu, iapun menjadi cemas kalau-kalau lawannya itu akan mengulangi serangannya untuk membinasakannya. Meskipun ia sama sekali tidak takut mati, namun ia masih menginginkan untuk menurunkan ilmu Perguruan Pengging itu kepada Arya Salaka. Dan karena itulah, terdorong oleh kemauannya yang keras dan tekad yang mantap, terasalah bahwa perlahan-lahan kekuatannya timbul kembali. Sehingga meskipun ia masih harus berpegangan pada dinding goa, namun iapun berhasil untuk berdiri dan menanti apa yang akan terjadi. Disamping itu ia bersyukur pula, bahwa kini di dalam ruangan itu telah menjadi semakin gelap. Dengan demikian ia mengharap bahwa orang itu tidak lagi akan menyerang segera. Kalau saja orang itu menundanya sampai esok, mungkin ia telah mendapatkan sebagian dari kekuatannya kembali. Dalam kegelapan itu, maka Mahesa Jenar yang tajam, masih mampu menangkap bayangan samar-samar di hadapannya. Tetapi sampai sekian lama ia menyaksikan bayangan itu tegak tak bergerak.
Dan kemudian ternyatalah, apa yang diharapkan Mahesa Jenar. Sebab ruangan yang semakin kelam, maka orang itu pun berkata, “Untunglah bagimu, ruangan ini menjadi amat gelap sehingga aku berhasrat untuk menunda umurmu sampai besok. Tetapi bagaimanapun juga aku jadi heran. Iblis mana yang telah merasuk dalam tanganmu, sehingga kau mampu melawan Sasra Birawa tanpa cidera.”
Mahesa Jenar menarik nafas. Ia menjadi lega oleh keputusan lawannya. Tetapi ia menjawab sindiran itu, “Bukankah kau telah berceritera tentang Ekalaya dan Pendeta Kombayana?”
Tiba-tiba orang itu tertawa. Nyaring dan panjang. Katanya kemudian, “Bagus, kau telah menghidupkan sebuah cerita petikan dari Mahabarata. Dan aku ingin melihat akhir dari cerita ini. Apakah kau benar-benar mampu menandingi aku.”
Mudah-mudahan,” jawab Mahesa Jenar pendek.
Sekali lagi orang itu tertawa. Kemudian sambungnya, “Tetapi aku ingin bertindak adil. Aku tidak mau memenangkan pertempuran ini melawan seseorang yang hampir mati kelaparan. Tunggulah kau di sini, aku akan membawa makanan untukmu.”
Kemudian terdengarlah orang itu melangkah pergi.
Mahesa Jenar berdiri termangu-mangu. Ia semakin tidak mengerti kelakuan orang yang juga menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Sesaat kemudian, apa yang dijanjikan orang itu terjadilah. Ia masuk kembali lewat mulut goa yang mula-mula ditutupinya dengan reruntuhan batu-batu, yang kemudian terbuka kembali karena tangan Mahesa Jenar.
Di tangan kanannya ia memegang sebuah obor dan di tangan kirinya sebuah bungkusan daun pisang.
Ia langsung duduk di tengah-tengah ruangan itu, sambil membuka bungkusannya ia berkata, “Kemarilah. Duduklah dan makanlah bersama aku.”
Mahesa Jenar tidak membantah. Tetapi mula-mula ia pergi dahulu ke mata air. Sesudah minum beberapa teguk baru ia duduk di depan orang yang juga menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Makanlah,” desak orang itu. “Atau kau takut aku meracunmu?”
Mahesa Jenar menggeleng. “Tidak,” jawabnya. “Orang semacam kau ini pasti tidak akan meracun orang. Sebab kau terlalu yakin akan kesaktianmu.
Sejenak kemudian mereka berdiam diri sambil menikmati isi bungkusan yang dibawa oleh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, yang ternyata adalah seonggok nasi dengan lauk pauknya. Goreng ikan gurami.
Mula-mula Mahesa Jenar tidak menaruh perhatian sama sekali kepada jenis makanan ini. Tetapi beberapa saat kemudian ia mulai berpikir.
Dari manakah orang itu mendapat goreng ikan gurami. Ataukah di dalam goa ini terdapat alat untuk menggoreng dan kolam ikan gurami?
Kau telah berbuat suatu kesalahan,” desisnya.
Orang itu terkejut. “Kesalahan…?” ia bertanya.
Mahesa Jenar mengangguk. Sambil menunjuk sisa ikan gurami itu ia berkata, “Mahesa Jenar yang kehilangan muridnya di dalam goa ini tidak akan menemukan goreng ikan gurami dengan demikian mudahnya.”
Kembali orang itu terkejut. Tetapi hanya sebentar, sebab sebentar kemudian ia tertawa tinggi.
Sambil masih menyuapi mulutnya ia menjawab, “Kau memang suka ngotak-atik. Apa salahnya kalau aku mendapat goreng ikan gurami? Aku tangkap ikan ini di kolam di sebelah selatan goa ini.
Dari mana kau dapat minyak?” potong Mahesa Jenar.
Orang itu terdiam sebentar, lalu katanya, “Sekarang ternyata kalau kau tak tahu sama sekali ujung pangkal tempat ini. Aku berada di dalam goa ini atas petunjuk seorang pendeta sakti yang bernama Panembahan Ismaya bersama muridku Arya Salaka. Tetapi sesaaat kemudian muridku itu hilang.”
Adakah seorang Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh perlu bersembunyi di dalam goa?” bantah Mahesa Jenar.
Sekali lagi orang itu terdiam. Setelah berpikir sebentar barulah ia menjawab, “Kalau kau mengaku pula bernama Mahesa Jenar, apa pula kerjamu di sini?
Mahesa Jenar membetulkan duduknya. Ia merasa mendapat sesuatu dari percakapan itu. Jawabnya, “Aku masuk ke dalam goa ini karena aku mengejar kau, orang yang mengaku bernama Mahesa Jenar.”
Tetapi menurut katamu…” sahut orang itu, “Kau telah berada di dalam goa ini sebelumnya. Bukankah kau menuduh aku memancingmu, memisahkanmu dari seorang yang kau aku menjadi muridmu?”
Kalau begitu, kita telah menghuni goa ini bersama-sama. Namun ada bedanya,” jawab Mahesa Jenar. “Kau agaknya telah mengenal segenap lekuk liku goa ini. Aku belum.”
Aku berada dalam goa ini karena ijin yang memiliki,” potong orang itu. “Kau agaknya seorang penghuni gelap?”
Mahesa Jenar tertawa pendek. Ia merasa kehilangan jalan. Karena itu ia berdiam diri.
Suasana kemudian menjadi hening. Namun dalam keheningan itu, Mahesa Jenar tidak luput dari suatu keadaan yang sibuk. Sibuk berpikir dan menebak-nebak. Ia merasa bahwa pasti ada suatu maksud yang tersembunyi. Mungkin orang itu sudah tahu bahwa dialah sebenarnya yang bernama Mahesa Jenar.
Tiba-tiba Mahesa Jenar bertanya menyentak, “Kau belum menjawab pertanyaanku, dari mana kau mendapat minyak goreng?”
Orang itu pun terkejut. Jawabnya, “Sudah aku katakan, dari cantrik padepokan Karang Tumaritis.”
Kenapa kau bersembunyi dalam goa ini?” desak Mahesa Jenar cepat.
Beberapa orang sakti mencari aku untuk membalas dendam,” jawabnya secepat pertanyaan Mahesa Jenar.
Kau takut?” desak Mahesa Jenar pula.
Tidak. Tetapi aku tidak akan mampu melawan mereka.”
Bohong!” bentak Mahesa Jenar.
Orang itu terkejut. Pandangannya jadi semakin tajam.
Kau sudah berada diantara mereka. Dan mereka tidak dapat menangkapmu.” potong Mahesa Jenar.
Tiba-tiba mata orang itu menjadi merah. Agaknya ia menjadi marah.
Tetapi Mahesa Jenar tidak peduli. Ia berkata terus, “Ada beberapa pertentangan dalam ocehanmu. Kau bersembunyi karena orang-orang sakti yang mengejarmu untuk membalas dendam, tetapi kau telah berada diantara mereka, dan mereka ternyata tak dapat berbuat sesuatu. Kemudian kau katakan bahwa kau kehilangan muridmu di dalam goa ini, sedang agaknya kau mengenal segala lekuk-likunya, sehingga mustahillah bahwa kau tak dapat menemukannya. Ataupun kalau murid yang kau katakan itu hilang diluar goa ini, kau akan dapat minta tolong kepada Panembahan Ismaya dan cantrik-cantriknya untuk mencarinya. Nah, sekarang katakan kepadaku. Apakah maksudmu sebenarnya dengan mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh?”
ORANG itu menjadi semakin marah mendengar kata-kata Mahesa Jenar yang menghambur seperti bendungan pecah. Tetapi Mahesa Jenar masih belum berhenti, sambungnya, “Apalagi kau dapat berceritera tentang semua pengalaman dan peristiwa yang aku alami. Bahkan sampai pada ke persoalan hubungan antara aku dan orang-orang sakti yang mengejarku?
Orang itu sudah tidak sabar lagi. Dengan kerasnya ia membentak, “Cukup!”. Lalu tubuhnya menjadi gemetar, dan tiba-tiba ia meloncat berdiri. Katanya melanjutkan dengan suara gemetar, “Kau memancing kemarahanku.  Aku sudah ingin menunda umurmu sampai besok. Tetapi ternyata kau ingin menyerahkannya sekarang. Berdirilah, dan jangan mati berpangku tangan. Apakah kau akan membanggakan Sasra Birawa tiruan yang hanya mampu memecah batu itu. Itu hanyalah suatu pameran jasmaniah yang sama sekali tak berharga.
Setelah itu ia mencari sebuah batu untuk menyandarkan obornya. Kemudian sambil mempersiapkan diri ia berkata, “Marilah kita mulai. Jangan lewatkan waktu dengan sia-sia.
Sekali lagi Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Kalimat itu adalah kalimat yang sering diucapkan oleh gurunya pula. Sudah beberapa kali ia mendengar orang yang menamakan dirinya Mahesa Jenar itu pasti mempunyai hubungan dengan gurunya. Kalau tidak, tidak akan ia menyebut beberapa kata-kata yang bersamaan. Yang selalu ditujukan kepada dirinya dan saudara seperguruannya almarhum.
Sebelum ia menemukan suatu jawaban, terdengar orang itu berkata pula, “Berdirilah, dan pergunakan Sasra Birawa buatanmu yang tidak lebih dari sebuah pedang yang tumpul. Dengan pedang yang berat dan tumpul itu, kau dapat mematahkan besi gligen, dengan mengandalkan kekuatan jasmaniah. Tetapi kalau ada sehelai kapuk yang melayang-layang dibawa angin, pedangmu itu tidak akan berguna. Kau tidak akan mampu membelah helaian kapuk itu bagaimanapun kuatnya tenaga jasmanimu. Tetapi untuk memotongnya, kau perlukan sebuah pedang yang tidak perlu berat dan kuat, namun ia harus tajam setajam perasaanmu.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tersentak. Kata-kata itu sama sekali bukan kata-kata seorang yang marah dan akan membunuhnya. Tetapi justru kata-kata yang sangat diperlukannya. Dengan mesu raga, ia sekarang mampu menangkap isi katakata itu. Bahkan justru sebagai penjelasan atas perbedaan watak dari gerak-gerak wadagnya dan gerak-gerak dirinya yang dilihatnya di luar wadagnya. Tetapi sekali. Dua buah pedang yang berat, kuat namun tumpul, yang mampu memecah henda apapun, dan yang lain pedang yang ringan, tetapi bermata tajam. Hanya dengan pedang semacam itulah ia akan mampu memotong sehelai kapuk yang diterbangkan angin.
Apalagi di dalam kata-katanya, orang itu ternyata menganggapnya, betapa tajam perasaannya. Sehingga untuk memangkas kapuk yang diterbangkan angin diperlukan pedang setajam perasaannya. Sesaat kemudian kembali orang itu berkata, “Berdirilah, aku sudah hampir
mulai
.”
Tetapi Mahesa Jenar tidak juga mau berdiri. Ditatapnya saja wajah orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, seolah-olah sampai menembus ke dalam otaknya. Didalam cahaya obor yang masih menyala-nyala disamping mereka. Mahesa Jenar dapat melihat wajah itu dengan agak jelas. Kalau orang itu dihilangkan rambut-rambut yang melingkari mukanya, ia akan dapat memastikan, bahwa tak seorangpun akan mengenalnya sebagai Mahesa Jenar. Tetapi yang mengherankan, segala gerak, tingkah-laku serta setiap unsur gerak yang dilakukan adalah tepat seperti yang dikenal dan dilakukannya. Bahkan tidaklah mungkin, bahwa secara kebetulan orang itu mengulang kata-kata gurunya sampai beberapa kali.
Karena itulah maka ia sampai pada suatu kesimpulan, bahwa orang itu pasti mempunyai hubungan dengan gurunya. Apapun sifatnya. Dengan demikian maka tidak sewajarnyalah kalau ia melawannya.
Bahkan ketika sekali lagi orang yang berdiri dihadapannya itu menyuruhnya berdiri, Mahesa Jenar menjawab, “Tidak. Aku lebih senang duduk menikmati makanan yang kau bawa.”
Kau takut menghadapi kematian?” tanya orang itu.
Sejak semula aku berkata, bahwa kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan,” jawab Mahesa Jenar.
Kalau begitu kau menunggu apa lagi?” desak orang itu tidak sabar.
Kau benar-benar mau berkelahi?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
Sebagaimana kau lihat. Aku sudah siap,” jawabnya.
Aku tidak,” potong Mahesa Jenar.
Kau takut?” sahut orang itu.
Mahesa Jenar menggeleng. Katanya, “Aku tidak takut. Tetapi aku tidak akan dapat menyamai kesaktianmu. Tidak ada gunanya.”
Mendengar jawaban itu, orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Nah, kalau begitu kau mengaku sekarang, bahwa kau bukanlah Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh. Sebab Mahesa Jenar bukanlah seorang pengecut.”
Siapa bilang?,” bantah Mahesa Jenar. “Aku tidak mengatakan bahwa aku bukan Mahesa Jenar. Tetapi bukan berarti bahwa di dunia ini tak ada seorang pun yang melampaui kesaktianku. Diantaranya kau.
Tiba-tiba orang itu jadi kesal sekali. Karena itu ia membentak, “aku akan membunuhmu. Melawan atau tidak melawan.”
Ki sanak,” jawab Mahesa Jenar dengan tenangnya. Agaknya ia sudah menemukan jalan untuk mendapatkan suatu ketegasan. “Aku mempunyai usul. Kenapa persoalan ini harus diselesaikan dengan sebuah perkelahian? Menurut katamu kau disembunyikan disini oleh seorang Panembahan sakti yang bernama Panembahan Ismaya. Akupun seharusnya berkata demikian pula kepadamu. Karena itu biarlah Panembahan itu yang memilih satu diantara kita, siapakah yang dianggapnya benar-benar Mahesa Jenar.”
“Tidak perlu pihak ketiga. Marilah kita selesaikan soal kita sendiri.”
Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya, “aku makin yakin sekarang bahwa aku tidak perlu berkelahi. Sebab kau sama sekali tidak bermaksud bertempur untuk mempertahan-kan suatu kebenaran dan keyakinan, tetapi kau ingin bertempur karena nafsu ketamakanmu. Nafsu ingin mempertunjukkan kemenanganmu dan kesaktianmu.”
Omong kosong,” potong orang itu.
Aku menantangmu karena kau telah menamakan dirimu Mahesa Jenar. Bukankah dengan demikian kau meniadakan adaku sebagai Mahesa Jenar yang sebenarnya?.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum. Ternyata karena keyakinan pada dirinya sudah bertambah sempurna sehingga ia tidak lagi bersikap menentang dan tidak lagi membiarkan perasaannya bergolak. Jawabnya, “kau menganggap dirimu Mahesa Jenar ?.
Aku tidak menganggap demikian,” bantah orang itu, “sebab aku memang demikian sebenarnya.
Kau dapat berkata demikian kepada orang lain, bahkan kepadaku. Kepada Mahesa Jenar murid Ki Ageng Pengging Sepuh, ” sahut Mahesa Jenar. “Tetapi dapatkan kau berkata demikian kepada dirimu sendiri. Kepada hatimu ?”
Orang itu tiba-tiba menjadi gelisah. tetapi ia diam saja.
Nah ki sanak. Sebenarnya kau tak usah mempersulit dirimu, ” sambung Mahesa Jenar. “Kau dapat berbuat sekehendakmu tanpa suatu kesaksianpun di sini. Apakah kau menamakan dirimu Mahesa Jenar atau bukan di hadapanku, sesudah kau berhasil membunuhku, akibatnya akan sama saja.”
“Aku jadi yakin terhadap suatu kebenaran tentang dirimu,” tiba-tiba orang itu berkata. “bahwa otakmu memang tidak jelek.”
Sekali lagi Mahesa Jenar terguncang. Orang yang menamakan dirinya Mahesa Jenar itu sekali lagi membuat heran dengan kalimat kalimat yang pernah diucapkan gurunya. Sehingga dengan demikian Mahesa Jenar menjadi semakin yakin pula bahwa orang itu pasti mempunyai hubungan dengan gurunya. Karena itu ia tidak mau memperpanjang keadaan dalam belitan pertanyaan-pertanyaan.
Karena itu segera Mahesa Jenar memperbaiki duduknya menghadap kearah orang yang menamakan dirinya Mahesa Jenar, yang berdiri tegak dihadapannya. Dengan hidmadnya ia membungkuk hormat sambil berkata, “Tuan, sudah beberapa kali aku mendengar tuan mengucapkan kalimat-kalimat yang sering diucapkan oleh almarhum guruku, ki Ageng Pengging Sepuh. Karena itu aku mengharap agar tuan tidak terlalu lama mengaduk otakku dengan teka-teki yang tuan berikan mengenai diri tuan.”
Orang itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya. Tetapi mata itu makin lama semakin menjadi lunak. Dengan sebuah senyuman ia menjawab, “Jadi kau benar-benar percaya bahwa aku bernama Mahesa Jenar? Bukankah kau akui bahwa aku dapat menirukan beberapa kalimat yang pernah diucapkan oleh guruku ki Ageng Pengging Sepuh?.”
Maafkanlah,” jawab Mahesa Jenar, “bagaimana aku dapat percaya bahwa diriku dapat dipecah menjadi dua orang. Aku dan tuan. Tetapi bahwa tuan dapat menirukan kalimat-kalimat ki Ageng Pengging Sepuh, aku tidak akan membantah, karena itu aku ingin tuan memecahkan jawaban itu.”
Sekali lagi orang itu tersenyum. Lalu perlahan-lahan berjalan mendekat Mahesa Jenar.
Kalau kau tidak percaya bahwa aku Mahesa Jenar, lau siapakah aku menurut pendapatmu?,” katanya.
Aku tidak tahu,” jawab Mahesa Jenar.
Kau terlalu membiarkan perasaan marahmu menjalari otakmu, sehingga kau tidak dapat lagi melihat lebih saksama. Tetapi sekarang agaknya kau telah berhasil mengendapkan diri, karena itu dengan gembira aku melihat, bahwa kau tidak lagi mudah dipaksa untuk berkelahi, tanpa tujuan.”
Mahesa Jenar. Tidakkah kau dapat mengingat-ingat lagi, siapakah yang memiliki ilmu Sasra Birawa di dunia ini ?”
———-oOo———-

IV

Mahesa Jenar seperti terbangun dari mimpi yang membingungkan. Seharusnya sejak semula ia harus sudah mengingat-ingat hal itu. Dengan teliti ia mulai mengenangkan masa lampau. Suatu lingkungan kecil didalam padepokan di Pengging dimana ia bersama kakak seperguruannya menuntut ilmu jaya kawijayan dan kesaktian, sebagai bekal hidupnya kelak. Tetapi bagaimanapun ia mengingat-ingat, namun yang diingatnya hanyalah, didalam padepokan itu, kecuali dirinya dan almarhum Kebo Kenanga tidak ada seorang muridpun lagi.
Akhirnya ia mulai mengingat siapakah yang sering datang ke padepokan itu. Orang-orang lain yang mempunyai hubungan erat dengan gurunya. Tetapi gurunya sangat teliti, sehingga tidak mungkin ada orang lain yang dapat mencuri ilmu sakti tiu tanpa setahunya.
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersentak. Ya, orang itu ada orang yang selalu datang ke padepokan itu melihat-lihat gurunya menurunkan ilmu kepadanya.
Karena ingatan itulah maka mata Mahesa Jenar menjadi berkilat-kilat. Sekali lagi ia membungkuk hormat. Katanya, “Tuan, baru sekarang agaknya otakku dapat bekerja dengan baik. Perkenankanlah aku menebak siapakah sebenarnya tuan?.”
Orang itu mengangguk. Kemudian katanya, “Kau telah berhasil mengingat kembali orang-orang yang memiliki aji Sasra Birawa?”
Sudah, Tuan,” jawab Mahesa Jenar, “Pertama adalah guru. Kedua dan ketiga adalah murid-muridnya. Aku dan almarhum Ki Ageng Pengging, Ki Kebo Kenanga. Dan keempat adalah saudara muda seperguruan Guru, yang tidak lain adalah putra guru yang tua, kakak Ki Kebo Kenanga. Karena itu aku berani memastikan bahwa Tuan adalah orang yang keempat itu.”
Orang itu mengangguk-angguk. Sahutnya, “Ingatanmu masih baik kalau kau pergunakan. Ternyata kau menebak tepat.”
Sekali lagi Mahesa Jenar membungkuk hormat. Dengan hikmat ia berkata, “Maafkanlah kelancanganku. Sudah berapa puluh tahun Tuan meninggalkan kami sehingga aku tidak dapat mengenal Tuan kembali.”
“Tidak ada yang perlu aku maafkan. Semuanya memang aku kehendaki demikian,” jawab orang itu.
Mahesa Jenar tiba-tiba merasakan suatu yang bergelora didalam dadanya. Suatu campur baur dari bermacam-macam perasaan. Sedih, gembira, bangga, terharu. Lebih dari pada itu, ia beberapa kali mengucap syukur kepada Tuhan di dalam hatinya. Dalam suatu saat yang tak disangka sangka, ia bertemu dengan putra gurunya yang tua, yang dalam perguruan menjadi adik seperguruan gurunya. Orang itu bernama Ki Kebo Kanigara, yang lenyap beberapa tahun sebelum gurunya meninggal. Dari gurunya ia pernah mendengar bahwa ilmu Ki Kebo Kanigara itu sama sekali tidak berada dibawah gurunya. Bahkan, karena kegemarannya mengembara, ia dapat menambah ilmu itu dengan bermacam-macam bentuk dan isi.
Sekarang ia bertemu dengan orang itu dalam suatu suasana yang seolah-olah mengandung pertentangan. Karena itu maka Mahesa Jenar bertanya seterusnya, “Kakang Kebo Kanigara, kalau sejak selama aku dapat berpikir dengan tenang, maka sejak semula aku tak akan berani melawan, meskipun aku tidak dapat mengerti maksud kakang dengan mempergunakan nama serta gelarku.”
Kebo Kanigara tersenyum. Lalu duduk disamping Mahesa Jenar. Dengan perlahan-lahan ia menjawab, “Mahesa Jenar, kalau kau mengenal aku sejak semula, maka keadaanmu akan berbeda pula. Apa yang kau capai selama beberapa hari ini, justru karena kau tidak mengenalku.”
Sadarlah Mahesa Jenar, bahwa Kebo Kanigara telah memaksa dengan caranya, supaya ia menekuni ilmunya lebih dalam lagi. Tetapi meskipun demikian ia masih bertanya, “Kakang, bukankah Kakang dapat menuntun aku tanpa teka-teki yang hampir memecahkan kepalaku itu.”
Sekali lagi Kebo Kanigara tersenyum. Jawabnya, “Dengan demikian keprihatinanmu akan jauh berbeda. Kau akan mendalami ilmumu dengan tahap-tahap yang biasa. Tetapi, dengan keadaanmu seperti yang kau alami, kau benar-benar membanting tulang untuk memperdalam ilmu itu. Justru dengan demikian kau benar-benar telah menemukan sarinya dalam waktu yang singkat.”
Tetapi Kakang…” bertanya pula Mahesa Jenar, “Dari mana Kakang dapat mengetahui semua keadaan yang pernah aku alami. Bagaimana Kakang tahu bahwa Panembahan Ismaya telah menyembunyikan aku di sini, dan bagaimana Kakang dapat mengenal hampir setiap orang yang pernah aku kenal pula?”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia tampak ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab pula, “Mahesa Jenar… ketahuilah bahwa aku memang merupakan salah seorang dari penghuni padepokan ini. Apa yang aku lakukan semuanya atas ijin Panembahan. Dan dari Panembahan pula aku mendapatkan beberapa petunjuk tentang kau.”
“Siapakah sebenarnya Panembahan Ismaya itu?” tanya Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya, “Pertanyaanmu aneh Mahesa Jenar. Kau bertanya tentang seseorang yang telah kau sebut namanya. Bukankah ia Panembahan Ismaya. Panembahan sakti yang mengepalai padepokan Karang Tumaritis ini?”
Dari jawaban itu Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa ada sesuatu yang tersembunyi, yang tak seorang pun boleh mengetahui. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi ia bertekad untuk pada suatu waktu dapat mengetahuinya pula, siapakah sebenarnya orang tua yang seolah-olah telah menyisihkan diri dari dunia ramai itu.
Kakang…” Mahesa Jenar memulai lagi, “Kalau demikian, di manakah muridku Kakang sembunyikan?”
Kebo Kanigara tertawa. Lunak dan perlahan-lahan. Jawabnya, “Benarkah kau bertanya tentang muridmu?”
Mahesa Jenar menjadi heran. Sambil mengangguk-angguk ia menegaskan, “Ya Kakang. Aku bertanya tentang muridku?”
Sesudah itu kau pasti akan menanyakan seorang lagi kepadaku,” sahut Kebo Kanigara sambil tersenyum. “Malahan barangkali yang lebih penting bagimu.
Ah,” desis Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Sekali lagi Kebo Kanigara tertawa lunak dan perlahan-lahan. Tetapi ia tidak melanjutkan pertanyaannya.
Kemudian Mahesa Jenar berkata untuk mengalihkan pembicaraan, “Kakang, apakah menurut pendapat kakang Kanigara, ilmuku telah meningkat selama ini?”
Kau telah merasakannya sendiri,” jawab Kebo Kanigara.  “Tetapi menurut penilaianku, kau telah memenuhi harapanku. Sebab menurut pendapatku, supaya Perguruan Pengging tidak menjadi semakin pudar, maka murid-muridnya harus dapat selalu melampaui ilmu gurunya. Demikian berturut-turut. Dan sekarang kau telah mendapatkan itu.”
Kalau ada guntur menggelegar di telinganya, Mahesa Jenar tidak akan terkejut seperti saat itu. Memang ia telah merasakan sesuatu perkembangan yang menggembirakan dalam latihan-latihan yang dilakukan selama ini dengan tekunnya. Tetapi ketika ia mendengar pernyataan Kebo Kanigara, Saudara muda seperguruan gurunya, yang memiliki ilmu lebih sempurna dari gurunya sendiri, mengatakan, bahwa ia telah dapat menyamai kesaktian almarhum gurunya.
”Kakang berkata sebenarnya?” tanya Mahesa Jenar dengan nada kurang percaya.
Kebo Kanigara tersenyum. Jawabnya, ”Aku berkata sebenarnya. Dan aku telah mencobanya. Juga terhadap gurumu, ayah Pengging Sepuh pun aku pernah mencoba ilmunya, khusus Sasra Birawa, dan memperbandingkan dengan kekuatan ilmu yang aku miliki.
Mahesa Jenar menjadi terdiam oleh perasaan yang bergulat di dalam dadanya. Ia tiba-tiba menjadi sangat bergembira. Tetapi hanya sesaat. Sesaat kemudian, ia telah memanjatkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pencipta Alam yang telah menunjukkan jalan kepadanya lewat adik seperguruan gurunya. Dan karena itu pulalah hatinya menjadi tenang. Setenang air telaga yang tidak dapat dijajagi seberapa dalamnya.
Untuk beberapa lama ruangan itu dikuasai oleh keheningan Lampu obor yang menyala-nyala dengan lincahnya, melemparkan sinarnya yang seolah-olah menari di dinding goa itu. Mahesa Jenar yang masih hanyut dalam angan-angan duduk sambil menundukkan kepala. Di dalam hatinya, terucapkanlah sebuah janji, bahwa dengan kematangan yang dicapainya, ia harus lebih banyak menyerahkan darma baktinya untuk manusia dan kemanusiaan, untuk tanah dimana ia dilahirkan dan untuk bangsa yang hidup diatasnya. Dan sekaligus ia berjanji di dalam hatinya itu, bahwa dengan segenap kemampuan yang telah dimiliki itu, ia harus menumpas segala kejahatan dan pelanggaran atas keharusan dalam hidup bernegara dan bertata masyarakat. Sehingga terpancarlah api cinta sejati di atas bumi.
Kemudian angan-angannya itu dipecahkan oleh suara Kebo Kanigara, ”Mahesa Jenar… sekarang sudah sampai waktumu untuk meninggalkan ruang samadimu ini. Biarlah patung batu itu tinggal sendiri, menjadi saksi bisu atas apa yang pernah terjadi di sini.”
Mahesa Jenar mengangguk satu kali. Kemudian perlahan-lahan ia berdiri dan memandang patung batu itu dengan tajamnya. Kebo Kanigara pun kemudian berdiri pula. ”Marilah…” katanya, ”Ikutilah aku. Sekarang kau tak usah marah lagi. Aku akan membawa obor ini, supaya kau tak kehilangan jalan.”
Mahesa Jenar mengikuti Kebo Kanigara itu dengan langkah yang berat. Seolah-olah ia segan meninggalkan patung batu itu kesepian. Tetapi ia tidak berkata sepatah pun. Karena Mahesa Jenar tidak menjawab, Kebo Kanigara meneruskan, ”Mau kau apakan patung batu itu…? Ia tidak bersedih hati kau tinggalkan di ruangan ini.”
Mahesa Jenar tersenyum dan melangkah mengikuti Kebo Kanigara meninggalkan ruangan itu.
Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian sambil berjalan menyusur goa yang memiliki beratus-ratus cabang yang membingungkan itu, ”Ada beberapa maksud, karena aku terpaksa mempergunakan nama serta gelarmu. Pertama-tama seperti yang telah aku katakan kepadamu. Kedua, aku ingin seseorang tidak merasa berhutang budi kepada orang lain kecuali kepada Mahesa Jenar.”
Kali ini benar-benar Mahesa Jenar tidak dapat menjawab. Sampai Kebo Kanigara meneruskan, ”Untunglah bahwa aku dapat meyakinkan diriku bahwa aku benar-benar bukan orang yang bernama Mahesa Jenar.”
Nanti akan diketahuinya pula Kakang,” jawab Mahesa Jenar kemudian, ”Bahwa bukan Mahesa Jenar yang sebenarnyalah yang telah berbuat jasa itu.”
Jangan Mahesa Jenar,” sela Kebo Kanigara, ”Aku telah bersusah payah berperan sebaik-baiknya sebagai Mahesa Jenar.”
Tetapi bagaimanapun juga orang akan tahu juga, bahwa yang telah melakukan suatu perbuatan yang dahsyat itu pasti bukan aku,” jawab Mahesa Jenar pula. ”Sebab Kakang Kebu Kanigara telah menggunakan sekian banyak orang. Apakah aku dapat melakukan pekerjaan seperti itu?”
”Kau masih belum dapat mengerti tentang dirimu sendiri,” sahut Kebu Kanigara. ”Dengan samadimu itu, kau akan mampu melakukan apa yang dilakukan olehku dalam perananku sebagai Mahesa Jenar. Juga terhadap Bugel Kaliki dan Sima Rodra, kau sekarang tidak berada di bawahnya.”
Sekali lagi dada Mahesa Jenar bergetar. Dan sekali lagi hatinya berjanji untuk membinasakan orang-orang itu.
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada muridnya. Apakah kira-kira yang telah dilakukannya selama ini. Maka bertanyalah ia, ”Kakang Kebo Kanigara. Lalu bagaimanakah keadaan muridku?”
”Agaknya kau benar-benar sayang kepada anak itu,” jawab Kebo Kanigara. ”Aku tidak tanggung-tanggung dalam perananku.” Ia meneruskan, ”Juga terhadap muridmu aku telah memaksanya untuk meningkatkan ilmunya dengan cara yang pernah aku tempuh.”
”Cara yang pernah Kakang tempuh?” ulang Mahesa Jenar dengan herannya. ”Adakah Kakang pernah bertemu dengan anak itu?”
Kebo Kanigara tertawa pendek. ”Pernah,” jawabnya. ”Aku selalu bertemu dengan anak itu di mana-mana. Karena itu aku banyak mengetahui tentang kau dan muridmu. Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk dari Panembahan Ismaya.”
Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar teringat akan peristiwa-peristiwa yang pernah disaksikan atas muridnya. Maka dibayangkanlah bentuk orang yang pernah melakukan perbuatan perbuatan aneh di pantai Tegal Arang. Seorang yang mempergunakan 6 wajah, menyerang muridnya setiap malam berturut-turut. Orang itu bertubuh besar dan kekar. Dan sekarang orang yang berjalan di hadapannya itu pun bertubuh besar dan kekar.
Kakang…” seru Mahesa Jenar sesaat kemudian. ”Aku sekarang berani memastikan bahwa Kakang telah menolong muridku untuk suatu loncatan yang tingkatan ilmunya di pantai Tegal Arang dengan cara kakang yang aneh.”
TERDENGAR Kebo Kanigara tertawa pendek. Jawabnya, “Aku tidak telaten melihat anak itu maju setapak demi setapak. Sejak aku dengar kabar bahwa ayah Handayaningrat meninggal dunia, aku jadi gelisah. Jangan-jangan tak seorang pun yang akan mewarisi dari perguruan Pengging. Karena adi Kebo Kenanga meninggal pula, maka satu-satunya yang ada adalah kau. Kemudian kaupun menghilang. Mati-matian aku mencarimu. Dan akhirnya aku ketemukan kau. Malahan kau telah mempunyai seorang murid yang berbakat baik. Tetapi kau pergunakan cara-cara ayah Pengging Sepuh untuk meningkatkan ilmu muridmu. Selangkah kecil demi selangkah kecil. Maka aku pun berusaha membantumu dengan caraku.”
“Kakang…” sahut Mahesa Jenar. “Sudah sewajarnyalah kalau aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih.”
“Jangan katakan itu,” potong Kebo Kanigara. “Kewajibanmu dan kewajibanku dalam hal ini tidak ada bedanya. Juga kali ini terhadap muridmu itu aku isikan ilmu dari perguruan Pengging. Berurutan seperti rencana yang akan kau berikan. Hanya caraku berbeda dengan caramu.”
Mendengar keterangan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar berdiam diri. Ia sekarang, barangkali setelah mempelajari ilmunya lebih tekun dengan suatu cara yang tidak direncanakannya lebih dahulu, tidak akan lagi mengajari muridnya dengan cara yang pernah dilakukan sebelumnya. Di mana muridnya harus menerima pelajaran setingkat demi setingkat tanpa mengikutsertakan kemampuan daya cipta muridnya itu sendiri.
“Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian, “Marilah kita melihat muridmu itu berlatih. Aku telah minta kepada seseorang untuk meneternya dan memperbandingkan dengan ilmu perguruan lain.”
“Ilmu perguruan lain?” ulang Mahesa Jenar keheran-heranan. “Adakah seseorang di sini dan perguruan lain?”
“Akan kau lihat nanti,” jawab Kebo Kanigara. “Aku telah melakukan apa saja yang mungkin atas muridmu itu dalam masa pembajaan dirinya. Aku sendiri suatu waktu datang melawannya. Dan pada saat lain aku datang sebagai gurunya, Mahesa Jenar, untuk memberinya petunjuk petunjuk. Kadang kadang aku hadapkan Arya Salaka dengan ilmu dari perguruan lain.”
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Tiba-tiba saja ia menjadi rindu sekali kepada satu-satunya murid yang telah dibawanya menjelajah daerah daerah serta mengalami kesukaran lahir dan batin. Dalam hatinya ia mengucapkan terima kasih tak habis-habisnya kepada Kebo Kanigara yang telah membantu mematangkan ilmu muridnya. Dengan demikian ia mengharap seorang yang tidak kalah saktinya, Ki Ageng Sora Dipayana dari Banyubiru.
Setelah Mahesa Jenar mengikuti Kebo Kanigara menempuh jalan yang berliku-liku, maka sampailah mereka kepada satu gang yang menuju ke dalam sebuah ruang yang agak luas seperti ruang yang dipergunakan untuk mengurung Mahesa Jenar.
Bersambung ke Jilid 12
———-oOo———-
Koleksi Ki Arema
Editing oleh Ki Arema

5 Tanggapan

  1. 1
    0

    Rate This
    selamat PAGI…
  2. 0
    0

    Rate This
    baca dewean…..terasa tuenang AMAT,
    • 0
      0

      Rate This
      Mo Temenin Ki Gun Biar agak regeng takut klo terlalu tenang nanti jadi ketiduran…
      Kepareng To Ki..?
      • 0
        0

        Rate This
        monggo ki LD, kebetulan kursi yang diSIAPkan
        pak SATPAM masih kosong,

Tinggalkan Balasan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar