

NSSI-12
I.
Dalam pada itu Kebo Kanigara berbisik, “Mahesa Jenar, ingat muridmu selama ini belum pernah terpisah dari gurunya.”
“Lalu apa yang pernah dilakukan oleh gurunya?” tanya Mahesa Jenar.
“Melatihnya dan menurunkan segala
sifat-sifat keluhuran budi dan kepahlawanan. Gurunya telah mengatakan
kepada anak itu bahwa dalam masa-masa yang dekat, harus sudah menurunkan
api kejantanan dan kesetiaan pada janji seorang ksatria, supaya api
yang menyala di dalam dada angkatan tua itu tidak padam kehabisan
minyak. Sebab apabila datang waktunya kita meninggalkan mereka, api itu
harus sudah mereka miliki. Bahkan harus berkobar lebih hebat dari
semula.”
Mahesa Jenar benar-benar tersentuh hatinya mendengar ucapan itu. Karena ia pun tak akan berbuat lain daripada itu.
“Kakang…” tanya Mahesa Jenar pula, “Tidakkah anak itu mengenal Kakang bukan sebagai gurunya?”
“Tidak Mahesa Jenar,” jawab Kebo Kanigara, “Aku
selalu datang padanya, apabila ruangan itu sudah mulai gelap. Aku tidak
pernah membawa obor yang cukup menerangi ruangan itu. Di samping itu
aku jarang-jarang sekali bercakap-cakap dengan anak itu. Aku paksa ia
bekerja keras untuk mendalami ilmunya. Nah sekarang kau pun telah
memiliki rambut yang memenuhi mukamu. Aku mengharap bahwa Arya Salaka
tidak sempat membeda-bedakan antara kita. Hanya mungkin aku agak lebih
kasar daripadamu.”
“Mungkin ada juga terselip beberapa pertanyaan dalam hatinya,” kata Mahesa Jenar kemudian, “Karena perbedaan sifat dan cara dari apa yang pernah aku berikan kepadanya.”
“Mahesa Jenar…” Kebo Kanigara meneruskan, “Sebelumnya
baiklah kita tunggu sampai esok. Lihatlah bagaimana ia berlatih dengan
seseorang dari perguruan lain di dalam ruangan itu. Aku sudah
menyuruhnya tinggal di situ terus menerus sampai aku, Mahesa Jenar,
membawanya keluar.”
Bagaimanapun mendesaknya keinginan Mahesa
Jenar untuk bertemu dengan muridnya, namun ia harus menyabarkannya
sampai esok. Tetapi hari esok itu tidak akan terlalu lama datang.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar merasa
bahwa ia telah menunggu terlalu lama. Agaknya matahari menjadi bertambah
malas, sehingga agak kesiangan terbit. Namun lambat laun, terasalah
bahwa fajar telah pecah di timur.
Selama itu ia mengisi waktunya dengan
mendengarkan ceritera Kebo Kanigara tentang muridnya, dan tentang
peranannya sebagai Mahesa Jenar.
“Ingat Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara, “Kau
waktu itu marah kepada muridmu, karena ia kehilangan jalan. Seharusnya
ia dapat berjalan lebih cepat di belakangmu. Karena itulah maka kau
kurung muridmu dalam ruangan itu untuk dengan keras berusaha membajakan
diri. Ternyata muridmu adalah seorang murid yang patuh. Ia tidak pernah
mengeluh, meskipun kadang-kadang ia berlatih sampai hampir pingsan.
Kaulah yang membawa makan dan minumnya. Disamping itu, satu hal yang
penting dan seharusnya aku minta maaf kepadamu bahwa Arya Salaka telah
menerima dasar – dasar ilmu khusus perguruan Pengging, Sasra Birawa”.
Mahesa Jenar terkejut mendengar ceritera itu. Karena itu ia bertanya, ”Adakah anak sebesar Arya Salaka telah cukup kuat untuk memiliki aji itu?”
”Muridmu luar biasa,” jawab Kebo Kanigara. ”Memang
aku kira akibatnya akan tidak baik kalau kau dalam tingkat sebelum
samadimu, memberikan ilmu itu kepadanya. Tetapi sekarang tidak. Juga aku
merasa tidak. Apalagi ketika aku tunjukkan bagaimana ia harus mengatur
pernafasan, pemusatan pikiran dan tenaga, aku jadi yakin bahwa mungkin
ia mempunyai bakat lebih baik daripada kita. Nah, sekarang kau telah
menyadari kematanganmu. Aku harap kau lanjutkan dasar-dasar ilmu Sasra
Birawa. Meskipun dalam pelaksanaannya barulah dalam tingkat kekuatan
lahiriah saja.”
”Itu sudah cukup Kakang, sela Mahesa Jenar, Sudah
terlalu banyak bagi seorang anak-anak sebesar Arya Salaka yang baru
berumur lebih kurang 16 sampai 17 tahun itu. Bukankah kecuali persiapan
jasmaniah diperlukan pula persiapan rokhaniah, supaya tidak ada
penyalahgunaan di kemudian hari.”
Kebo Kanigara tersenyum mendengar pendapat Mahesa Jenar.
”Kau benar-benar seorang yang teliti terhadap segala akibat dari suatu
perbuatan. Tetapi khusus muridmu itu, aku kira ia telah cukup mempunyai
persiapan lahir batin. Mungkin karena pengalaman-pengalamannya serta
tekanan-tekanan yang dialami dalam usianya yang masih muda itu, ia
menjadi agak terlampau cepat masak.”
Mahesa Jenar mengangguk membenarkan.
Memang pengaruh penghidupan yang dialami, sangat terasa pula kematangan
jiwa muridnya. Ia dapat berpikir hampir seperti seorang dewasa dengan
menanggapi suatu kejadian, karena itulah maka tiba-tiba timbul pulalah
rasa ibanya terhadap Arya Salaka yang seakan-akan telah kehilangan
sebagian dari tataran hidupnya, sebagian dari masa mudanya.
Ketika itu terasalah bahwa pagi telah
datang. Obor yang dibawa oleh Kebo Kanigara telah lama padam. Kemudian
mereka melanjutkan menyusur lubang-lubang gua itu mendekati ruang tempat
Arya berlatih. Dari sebuah lubang mereka dapat mengintip ke dalam
ruangan itu. Dari sanalah Mahesa Jenar itu melihat muridnya. Yang
mula-mula memukul dadanya adalah suatu perasaan haru ketika ia melihat
Arya Salaka menjadi kurus dan pucat. Tetapi kemudian ia tersenyum. Juga
senyum haru. Disamping Arya Salaka ia melihat seorang pemuda yang gagah,
berwajah bening dan berdada bidang. Ia adalah Putut Karang Tunggal yang
agaknya menemani Arya Salaka.
”Kalau bukan aku dalam perananku sebagai Mahesa Jenar, anak itulah yang membawa makanan untuk Arya,” bisik Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar jadi bergembira ketika ia melihat muridnya bersahabat dengan Putut yang mengepalai para cantrik itu.
”Mereka berdua mempunyai banyak persamaan,” bisik Kebo Kanigara lebih lanjut, ”Keduanya tabah dan penuh semangat. Karena itu mereka tekun berlatih bersama.”
”Berlatih bersama…?” ulang Mahesa Jenar terkejut, ”Jadi Putut Karang Tunggal juga memiliki ilmu yang cukup tinggi?”
Kebo Kanigara mengangguk.
”Aku tidak mengira. Ia terlalu halus
dan sopan. Muridku adalah seorang anak yang biasa hidup dalam pergaulan
yang kasar. Diantara para petani dan nelayan,” sambung Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara tersenyum aneh. ”Tetapi karena itulah muridmu menjadi seorang anak yang jujur, yang tidak memandang setiap persoalan dengan berbelit-belit,” sahut Kebo Kanigara. ”Nah, tunggu sebentar…” ia melanjutkan, ”Mereka
pasti sedang mempersiapkan diri untuk berlatih bersama. Aku mengijinkan
Arya Salaka melakukan tanpa pengawasanku. Dan kepada Putut Karang
Tunggal itu pun aku pesankan agar tidak mengatakan kepada Arya Salaka
siapakah aku sebenarnya.”
Mahesa Jenar kemudian berdiam diri. Ia
memang mengharap untuk menyaksikan muridnya berlatih. Ia ingin
mengetahui sampai dimana sekarang tingkat kepandaiannya. Hal itu perlu
pula untuk menghilangkan kesan-kesan yang mungkin timbul, apabila ia
telah kembali kepada anak itu sebagai seorang guru yang pernah diantarai
oleh orang lain tanpa setahu anak itu sendiri.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Kebo
Kanigara. Sesaat kemudian ia melihat Arya dan Putut Karang Tunggal
mempersiapkan dirinya untuk memulai dengan latihan-latihan yang berat
yang mereka lakukan hampir setiap hari.
Melihat langkah Arya yang sedang pergi ke
tengah ruangan itu pun Mahesa Jenar telah merasakan betapa perubahan
yang terjadi pada muridnya, sehingga ia semakin lekas ingin mengetahui,
gerakan-gerakan yang akan dilakukan.
Kemudian setelah mereka masing-masing
bersiap, maka latihan itupun dibuka dengan sebuah serangan yang
mengejutkan dari Putut Karang Tunggal. Mahesa Jenar sendiri menjadi
terkejut pula. Ia sama sekali tidak mengira bahwa anak yang halus, sopan
dan sama sekali tidak menunjukkan kekasaran jasmaniah itu dapat berbuat
sedemikian. Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah Arya Salaka. Ia
dengan tangkasnya dapat mengelakkan serangan itu, bahkan dengan suatu
gerak yang sangat lincah ia sudah memulai dengan serangannya.
Demikian latihan itu semakin lama menjadi
semakin cepat. Selangkah demi selangkah mereka bergeser dari satu titik
ke titik yang lain memenuhi ruangan itu.
Dalam pada itu, terjadilah gelora di
dalam dada Mahesa Jenar. Ia sama sekali tidak menduga bahwa anak
muridnya dapat mencapai tingkat yang sedemikian dalam waktu yang
singkat. Perasaan bangga dan gembira berputar-putar di seluruh rongga
dadanya.
Muridnya itu kini benar-benar merupakan
banteng muda yang tangkas dan kuat. Sepasang kakinya yang cepat itu,
suatu waktu dapat tegak diatas tanah bagaikan tonggak besi yang tak
tergerakkan. Tangannya yang hanya sepasang itu tampak bergerak dengan
cepatnya, melingkar-lingkar dan mematuk-matuk dengan dahsyatnya. Tetapi
lawannya berlatih bukan pula anak kemarin sore. Iapun telah menguasai
ilmunya hampir sempurna. Karena itu maka latihan itu berlangsung dengan
serunya. Mereka masing-masing mempunyai kekuatan dalam bentuknya
masing-masing. Arya Salaka ternyata tangguh bukan main. Tubuhnya cukup
kuat dan setiap gerakannya menimbulkan desir dalam dada Mahesa Jenar.
Sedangkan Putut Karang Tunggal sangat mencengangkannya. Gerakannya
semakin lama menjadi semakin lincah dan cepat. Bahkan kemudian tubuhnya
menjadi seakan-akan sangat ringan dan sekali-sekali seperti terbang ia
meloncat-loncat membingungkan. Namun Arya Salaka dapat menanggapinya
dengan baik. Iapun menjadi seolah-olah memiliki beberapa pasang mata
yang terserak-serak di tubuhnya, sehingga kemana bayangan itu melontar,
ia selalu dapat melihatnya dan segera menghadapinya.
Dalam pada itu, semakin lama Mahesa Jenar
dapat semakin melihat jelas kekuatan-kekuatan yang tersimpan pada
setiap gerak kedua anak muda itu. Bagi Arya Salaka ia hanya dapat
berbangga hati, sebab setiap geraknya adalah gerak-gerak dari perguruan
Pengging ditambah dengan segala macam pengalaman Arya Salaka yang
dipetiknya dari gerak-gerak alam yang pernah ditekuni bersama, yang
dapat disusunnya sendiri dalam satu senyawa yang serasi. Tetapi yang
semakin mengetuk-ngetuk hatinya adalah setiap gerakan Putut Karang
Tunggal yang cepat lincah itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar seolah-olah
melihat kedua anak muda yang sedang berlatih itu seperti pernah terjadi
belasan tahun yang lalu. Meskipun tidak tepat benar, namun ia pernah
menyaksikan ilmu yang dimiliki oleh Putut Karang Tunggal itu. Akhirnya
ketika ia menjadi semakin jelas, tergetarlah tubuhnya. Hampir saja ia
berteriak menyebutkan sebuah nama, kalau ia tidak segera teringat bahwa
pada saat itu ia masih belum waktunya menampakkan diri.
Namun bagaimanapun juga ia merasa bahwa
kedua anak muda itu berlatih mirip seperti dirinya sendiri berlatih
bersama sahabatnya pada waktu mudanya, Mahesa Jenar dan Sela Enom. Dan
pada saat itulah ia mendapat kepastian bahwa anak yang menamakan diri
Putut Karang Tunggal itu pasti ada sangkut pautnya dengan Ki Ageng Sela
Enom yang pada masa kanak-kanaknya bernama Anis. Tetapi menilik
kedahsyatannya maka ia tidak yakin bahwa anak itu adalah murid Ki Ageng
Sela. Sebab bagaimana tingginya ilmu Ki Ageng Sela itu, namun ia pasti
tidak akan mampu membentuk Putut Karang Tunggal sampai menjadi anak yang
sedemikian mencengangkan.
Karena itu Mahesa Jenar tidak mau berteka-teki lagi. Akhirnya iapun bertanya kepada Kebo Kanigara, ”Kakang, siapakah sebenarnya Karang Tunggal itu?”
Kebo Kanigara tersenyum, jawabnya perlahan-lahan, ”Adakah sesuatu yang kau lihat padanya?”
”Ya,” sambung Mahesa Jenar. ”Aku melihat perguruan Sela ada padanya.”
”Tepat,” jawab Kebo Kanigara. ”Ia adalah murid Ki Ageng Sela.”
Mahesa Jenar menarik nafasnya. Namun ia masih bertanya lagi, ”Adakah Ki Ageng Sela mampu membentuk Karang Tunggal menjadi sedemikian mengagumkan?”
”Ki Ageng Sela yang mana yang kau tanyakan,” sahut Kebo Kanigara. ”Kalau
yang kau maksud Sela Enom, maka kau benar, meskipun Sela Enom itupun
sekarang telah mampu melakukan hampir seperti apa yang pernah dilakukan
oleh ayahnya.”
”Menangkap petir,” potong Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara tertawa perlahan. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, ”Bukankah
ceritera tentang kecakapan menangkap petir itu sudah dimiliki oleh Sela
Enom sejak mudanya? Agaknya bakat turun tumurun itu tidak perlu
dipelajarinya terlalu lama.”
Mahesa Jenarpun tersenyum pula mendengar jawaban itu.
”Tidak hanya itu…” Kebo Kanigara meneruskan, ”Tetapi
berbagai ilmu yang lain. Ia memiliki kedahsyatan tangan seperti yang
dipancarkan oleh Sasra Birawa. Ki Ageng Sela menamakannya aji Narantaka.”
”Agaknya ia mengagumi tokoh Gatutkaca,” potong Mahesa Jenar.
”Mungkin,” jawab Kebo Kanigara.
Kemudian mereka berdiam diri. Arya Salaka
dan Putut Karang Tunggal masih sibuk berlatih. Agaknya latihan-latihan
serupa itu telah sering dilakukan sehingga bagaimanapun hebatnya, namun
tidaklah sangat berbahaya.
Ketika matahari telah tegak di langit,
agaknya kedua anak muda itu merasa telah cukup lama berlatih. Karena
itu, terdengar Putut Karang Tunggal bersiul nyaring, dan berloncatanlah
mereka surut. Meskipun tubuh masing-masing dibasahi oleh peluh yang
mengalir deras sekali, namun wajah-wajah mereka menunjukkan kegembiraan.
Dalam pada itu, sekali lagi terdengar Mahesa Jenar bertanya, ”Kakang
Kanigara. Siapakah sebenarnya Karang Tunggal itu? Bagaimanapun juga aku
masih melihat beberapa kelebihan yang dimilikinya daripada Arya
Salaka.”
Untuk beberapa lama Kebo Kanigara tidak
menjawab. Ia agaknya menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian terdengar Mahesa
Jenar mendesak, ”Aku merasa bahwa anak itu memiliki sesuatu yang
tidak dimiliki oleh anak muda pada umumnya. Cahaya wajahnya yang terang
seperti memancarkan wibawa yang mengagumkan.”
”Ia juga murid Ki Ageng Sela Sepuh,” jawab Kanigara.
”Aku sudah mengira,” sahut Mahesa Jenar, ”Tetapi siapakah dia?”
”Putut Karang Tunggal,” jawab Kanigara pula sambil tersenyum.
”Akh…!” desis Mahesa Jenar. ”Kakang
Kanigara memang mempunyai kegemaran berteka-teki. Tetapi teka-teki yang
pertama telah aku tebak dengan tepat. Sekarang aku menyerah. Sebab pada
saat aku meninggalkan Demak, aku tidak sempat menanyakan kepada Nis
Sela, apakah ia mempunyai murid yang sekaligus menjadi adik
seperguruan.”
”Mahesa Jenar…” bisik Kebo Kanigara bersungguh-sungguh, ”Kau
pasti pernah mengenal anak itu. Bukankah sepeninggal Adi Kebo Kenanga
kau masih beberapa tahun lagi tinggal di Demak, sebelum keadaan
memburuk?”
Mahesa Jenar mengangguk.
”Kalau demikian kau pasti mengenalnya,” sambung Kebo Kanigara. ”Anak itu adalah anak yang aneh. Sebenarnya ia tidak betah untuk tinggal terlalu lama di sesuatu tempat. Ia
datang berguru hanya apabila ia inginkan. Ia datang sewaktu-waktu tanpa
aturan. Meskipun demikian kecerdasannya sangat mengagumkan. Ia dapat
menguasai segala ilmu hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Sepersepuluh dari waktu yang diperlukan oleh anak-anak muda yang lain.
Bahkan kurang dari itu. Ia datang kemari mencari aku, untuk minta diri.
Ia mendapat nasehat dari seorang Wali yang terkemuka untuk mengabdikan
diri di Kraton Demak, ketika Wali itu melihatnya menunggui padi gaga di
ladang.”
“Seorang Wali?” tanya Mahesa Jenar. “Siapakah dia?”
“Seorang yang bertubuh tinggi besar, berikat kepala Wulung dan berbaju Wulung pula,” jawab Kebo Kanigara.
“Sunan Kali Jaga…?” gumam Mahesa Jenar.
“Ya,” Kebo Kanigara menegaskan.
“Ia baru saja datang dari Pamancingan di Pantai Selatan menuju ke
Demak. Pada saat itulah ia berkata kepada Putut itu, ‘Hai anak yang
mendapat anugerah Allah. Pulanglah dan pergilah ke Demak. Jangan asyik
menunggui pagagan, sebab kelak kau akan menduduki tahta.’ Demikian
nasehat Sunan Kali. Dan agaknya anak itu akan mencoba memenuhinya. Ia
datang untuk minta diri kepadaku, dan sekedar menambah bekal bagi masa
depannya.”
Dada Mahesa Jenar berdebar-debar mendengar ceritera itu. Seorang yang diramalkan untuk memegang tahta.
“Adakah ia mempunyai hubungan dengan Kakang Kanigara?’ tanya Mahesa Jenar pula.
“Ada,” jawab Kanigara. “Dan barangkali aku belum menyebutkan hubungan itu. Ia adalah putra Adi Kebo Kenanga.”
“He…” Mahesa Jenar terkejut. “Putra Kakang Kebo Kenanga. Adakah dia Si Karebet yang nakal itu.”
Kebo Kanigara mengangguk. “Karebet
yang kemudian dikenal bernama Jaka Tingkir setelah ia dipelihara oleh
Nyai Ageng Tingkir, kakak perempuan Nyai Kebo Kenanga.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Tanpa disangka-sangka sebelumnya ia akan dapat bertemu dengan anak kakak
seperguruannya. Yang bahkan oleh seorang Wali yang terkenal diramalkan
untuk menjadi raja.
”Nah, Kakang…” kata Mahesa Jenar kemudian, ”Marilah kita temui mereka.”
Kebo Kanigara menggeleng. ”Tidak mungkin…” jawabnya. ”Muridmu akan menjadi heran melihat ada dua orang yang menamakan diri Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar tertegun. ”Lalu bagaimana?” ia bertanya.
”Dan ingat, kau harus membersihkan
janggut dan kumismu di hadapan anak itu, supaya ia mendapatkan wajah
Mahesa Jenar yang sebenarnya tanpa curiga. Akupun akan berbuat demikian.
Tentu saja di tempat lain. Sehingga apabila aku kemudian bertemu dengan
anak itu, ia tidak akan mengenal aku lagi.”
Sekali lagi Mahesa Jenar terpaksa
tersenyum, meskipun ia sebenarnya ingin segera dapat menemui kedua anak
muda itu. Namun bagaimanapun ia terpaksa menuruti nasehat Kebo Kanigara.
Sehari itu Mahesa Jenar menunggu saja.
Matahari di langit rasanya berjalan sangat lambatnya. Seolah-olah dengan
segannya mengarungi langit menurut garis edarnya. Lingkaran-lingkaran
cahayanya yang menembus lubang-lubang di atas ruang itu dengan lesunya
berjalan ke arah yang berlawanan.
Ketika matahari telah condong, Putut
Karang Tunggal meninggalkan Arya Salaka seorang diri. Anak itu oleh
gurunya, yang sebenarnya adalah Kebo Kanigara, dilarang meninggalkan
ruangan itu, sebagai suatu cara berprihatin. Dan apa yang dicapainya
adalah sangat menggembirakan meskipun kadang-kadang terselip juga
beberapa pertanyaan mengenai gurunya.
Ketika Putut Karang Tunggal itu hilang ke balik lorong pintu ruangan itu berbisiklah Kebo Kanigara, ”Mahesa Jenar, kau dapat menemui Karebet. Itu saja dahulu.”
”Sekarang?” tanya Mahesa Jenar.
”Ya. Ikutlah aku,” jawab Kebo Kanigara. ”Muridmu itu tak akan hilang di situ.”
Kemudian Mahesa Jenar melangkah mengikuti
Kebo Kanigara, melingkar sepanjang lubang goa yang gelap, dan yang
sebentar kemudian muncul di sebuah ruangan lain yang agak lebar pula
yang banyak terdapat di sepanjang saluran goa itu.
Di dalam ruangan itu pulalah mereka
bertemu dengan Putut Karang Tunggal yang sedang berjalan keluar. Ketika
ia melihat kedua orang itu, ia terkejut. Tetapi kemudian ia mengangguk
hormat. Katanya, ”Selamat sore paman berdua.”
”Selamat sore Karang Tunggal. Permainanku sudah hampir selesai. Ini adalah pamanmu yang sebenarnya,” sahut Kanigara.
Karang Tunggal sekali lagi membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar sambil berkata, ”Baktiku untuk Paman Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar tersenyum. Ia melangkah maju. Sambil menepuk bahu anak muda itu ia berkata, ”Permainanmu
sudah sempurna Karebet. Ketika aku datang mula-mula di bukit ini,
benar-benar aku tidak menduga bahwa kaulah yang menamakan diri Karang
Tunggal.”
”Paman Kebo Kanigara yang mengatur semuanya bersama Eyang Ismaya,” jawab Karang Tunggal.
Mahesa Jenar menoleh kepada Kebo Kanigara sambil berkata, ”Untunglah bahwa kepalaku belum pecah memikirkan permainan kalian yang aneh itu.” Kemudian kepada Karang Tunggal ia meneruskan, ”Nah Karebet, kau sudah banyak mendengar tentang aku, tentang seorang Wali yang menasehatkan kepadamu untuk mengabdi ke Demak.”
Karebet menundukkan kepalanya. Katanya lirih,
“Mudah-mudahan paman melimpahkan pangestu kepadaku. Meskipun semuanya
itu hanyalah sebuah mimpi yang cemerlang, namun setidak-tidaknya aku
akan dapat mengabdikan diri pada tanah kelahiran ini.”
“Bagus…” sahut Mahesa Jenar,
“Kau harus mulai dengan semangat pengabdian. Jangan kau mulai dengan
suatu tekad yang berlebih-lebihan supaya kau tidak mudah menjadi
kecewa.”
“Akan aku junjung tinggi segala pesan paman Mahesa Jenar,” jawab
Putut Karang Tunggal sambil membungkukkan tubuhnya sebagai suatu
pernyataan janji. Tidak saja kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, tetapi
juga kepada diri sendiri.
“Mahesa Jenar…” sela Kebo Kanigara kemudian, “Bawalah pisauku ini. Sebentar
lagi apabila ruangan-ruangan ini telah gelap, masuklah ke dalam ruang
muridmu. Kau dapat menyusur lubang itu, dan akan sampai ke dalamnya
tanpa cabang yang lain. Aku akan menunggumu di ruang sebelah ini. Kemudian kita keluar bersama-sama supaya kau tidak usah mencari-cari jalan.”
”Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
”Jangan banyak berkata tentang waktu lampau. Ajaklah ia keluar karena segala sesuatu telah kau anggap cukup.” Kanigara menyambung. ”Dan seterusnya kau dapat menuntunnya dengan suatu cara yang lebih baik dari yang pernah kau pergunakan.”
”Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar sekali lagi.
”Aku menunggu kau di sebelah. Dari
ruangan ini kau akan dapat melihat sinar obor yang akan segera aku
nyalakan kalau ruangan itu telah gelap benar.” Berkata kanigara pula, ”Aku juga selalu datang pada saat-saat semacam itu, meskipun hanya karena aku harus menyembunyikan wajahku”
Setelah itu Kebo Kanigara segera
melangkah pergi diikuti oleh Putut Karang Tunggal. Untuk sesaat Mahesa
Jenar mengagumi anak kakang seperguruannya itu, sampai hilang ke dalam
sebuah mulut lubang goa itu.
Kemudian Mahesa Jenar mempersiapkan dirinya untuk segera menemui muridnya, supaya perasaannya tidak menggelora.
Sesaat kemudian, udara menjadi semakin
sejuk. Semburat merah telah memancar di langit, sebagai sisa-sisa cahaya
matahari yang telah membenamkan dirinya. Ia tidak sabar untuk menunggu
lebih lama lagi, karena itu segera iapun berjalan menyusur gang sempit
menuju ke ruang dimana Arya Salaka sedang membajakan dirinya.
Ketika ia sampai di mulut gang itu, ia
mendengar langkah-langkah di dalamnya. Agaknya Arya Salaka masih
mempergunakan waktunya untuk berlatih. Sebab di dalam ruangan yang sepi
itu ia benar-benar tidak mau menyia-nyiakan waktu. Karena itu ia
mempergunakan setiap waktunya untuk melatih diri agar segera dapat
dicapai suatu tingkatan yang dikehendaki oleh gurunya. Mula-mula ia
bermaksud demikian agar dapat segera meninggalkan ruangan yang
menjemukan itu, tetapi lambat laun ia berpendapat lain. Ia semakin
menjadi tertarik dan bersemangat mendalami ilmunya karena ilmu itu
sendiri, bukan karena kejemuan dan kesunyian.
Dengan hati-hati Mahesa Jenar melangkah
masuk, sehingga tidak menimbulkan sesuatu suara yang menarik perhatian
muridnya yang sedang tekun. Apalagi sesaat kemudian, anak itu agaknya
sedang memusatkan segenap perhatiannya, mengatur jalan pernafasannya,
dan disilangkannya satu tangannya di depan dada, satu lagi diangkat
tinggi-tinggi, dan satu kakinya ditekuknya ke depan. Sesaat kemudian
tubuhnya sebagai anak panah melontar maju, tangannya yang diangkat
tinggi-tinggi itu terayun deras mengarah kepada sebuah batu padas di
dinding goa itu. Maka kemudian terjadilah suatu benturan yang dahsyat,
dan disusul dengan lontaran pecahan batu padas itu berserak-serakan.
Itulah pukulan Sasra Birawa yang telah dimiliki pula oleh seorang anak
sebesar Arya Salaka.
Melihat hasil yang dicapai oleh muridnya
itu, hampir Mahesa Jenar tidak dapat menahan diri. Apa yang dicapainya
dengan cara penurunan ilmu Ki Ageng Pengging Sepuh, sampai
bertahun-tahun itu, dapat dipelajari Arya Salaka kurang lebih hanya satu
bulan saja, dengan cara penurunan ilmu adik seperguruan gurunya. Karena
itu ia sekarang percaya, bahwa Kebo Kanigara benar-benar melampaui Ki
Ageng Pengging Sepuh, yang kebetulan adalah gurunya, yang bergelar
Pangeran Handayaningrat.
Meskipun demikian, apa yang terlahir dari mulutnya adalah berbeda sekali dengan perasaannya. Maka katanya lantang, ”Ulangi!”
Arya Salaka terkejut. Segera ia menoleh
dan membungkuk hormat kepada gurunya yang dirasanya pada saat-saat
terakhir mempunyai kebiasaan yang jauh berbeda dengan waktu-waktu
sebelumnya. Ketika ia mendengar gurunya mengucapkan kata-kata itu
wajahnya segera menjadi muram. Ia merasa bahwa apa yang baru saja
dilakukan sama sekali tidak memuaskan gurunya.
“Jelek sekali,” gumam
Mahesa Jenar, meskipun sebenarnya hatinya memuji. Sebab apa yang
dilakukan Arya pada waktu itu, sama sekali tidak jauh berselisih dengan
apa yang dapat dilakukannya sebelum ia melakukan samadi dan menemukan
hakekat dari watak setiap unsur gerak dari ilmunya, sehingga menurut
Kebo Kanigara, ia telah dapat menyamai gurunya sendiri.
Mendengar suara gurunya itu Arya Salaka menundukkan kepalanya. Ia sangat bersedih bahwa ia mengecewakan.
Melihat sikap Arya, Mahesa Jenar menjadi
sangat terharu. Hampir saja ia meloncat dan membelai kepala muridnya.
Untunglah bahwa ia dapat menahan diri. Sambil mengatur perasaannya ia
berkata, “Arya, lihat batu hitam itu.”
Dengan mata yang suram, Arya memandang
sebuah batu hitam sebesar kepalanya dalam keremangan petang, yang
terselip diantara batu-batu padas yang menjorok pada dinding goa.
“Apa yang kau lihat itu? “ bentak Mahesa Jenar.”
“Sebuah batu hitam yang terjepit diantara batu-batu padas,” jawab Arya dengan suara yang dalam.

Sekali lagi Arya menundukkan kepalanya.
Tetapi ia mendapat suatu petunjuk yang sangat berarti dalam hidupnya.
Bahwa ia tidak boleh memandang setiap masalah tanpa pemusatan persoalan,
sehingga masalah pokoknya dapat menjadi kabur karena masalah tetek
bengek yang dapat membelokkan perhatiannya.
“Arya…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Ulangi, dan pecahkan batu hitam itu.”
Sekali ini Arya Salaka tidak mau
mengecewakan gurunya lagi. Dengan penuh tekad, ia membulatkan
perhatiannya, mengatur pernafasannya. Satu kakinya diangkatnya dan
ditekuknya ke depan, satu tangan menyilang dada, dan satu lagi
diangkatnya tinggi-tinggi. Dengan satu loncatan yang dahsyat Arya Salaka
mengayunkan tangannya diikuti sebuah teriakan nyaring. Dan, batu hitam
yang terjepit diantara batu-batu padas itupun hancurlah
berbongkah-bongkah.
Sekali lagi Mahesa Jenar terguncang
hatinya. Anak itu benar-benar telah menguasai Sasra Birawa dengan baik
dalam bentuk lahirnya. Tetapi baginya adalah sudah terlalu cukup. Namun
ia masih mencoba menahan perasaannya. Seakan-akan ia sama sekali tidak
menaruh perhatian atas muridnya itu, tetapi ia bahkan duduk di tengah
dengan enaknya sambil mengeluarkan pisaunya. Dengan tenangnya Mahesa
Jenar mulai mencukur janggut dan kumisnya.
Arya mula-mula tidak tahu apa yang akan
dilakukan oleh gurunya. Tetapi sikap acuh tak acuh itu telah mengecilkan
hatinya pula, dan disamping itu ia semakin tidak mengerti pada sifat
gurunya yang menjadi aneh dan lain.
Dalam kebimbangan itu, kadang-kadang
terselip di sudut hatinya suatu pertanyaan, apakah orang yang
menuntunnya selama ini benar-benar gurunya yang membawanya mengembara
dari satu tempat ke tempat lain, sejak melarikannya dari Banyubiru?
Alangkah jauh bedanya. Sejak ia terpisah di dalam salah sebuah saluran
di dalam goa ini, kemudian tersesat masuk ke dalam ruangan ini, ia
merasakan bahwa gurunya menjadi berubah sifat. Beberapa hari ia tinggal
sendiri didalam ruangan ini, sampai kemudian gurunya menemukannya
disini. Yang mula-mula di dengar dari mulut gurunya bukanlah pernyataan
gembira, tetapi bentakan-bentakan kasar dan marah. Apakah Mahesa Jenar
dapat berbuat demikian…? Dan apakah dalam beberapa hari itu, sudah cukup
waktu untuk menjadikan gurunya berwajah gelap oleh kumis dan janggut
yang tumbuh demikian lebatnya…?
Sekarang ia melihat orang yang meragukan
itu mencukur janggut dan kumisnya. Tetapi kemudian ia menjadi kecewa
sekali. Sebab setelah orang yang diragukan itu berwajah bersih,
benarlah, ia adalah Mahesa Jenar. Gurunya yang membawanya pergi dari
Banyubiru. Yang menuntunnya dengan penuh kasih sayang. Tetapi yang
akhir-akhir ini selalu kecewa kepadanya. Kecewa kepada kelambatannya.
Sampai beberapa saat ia masih saja kaku
berdiri memandangi Mahesa Jenar membersihkan wajahnya. Sekarang Arya
tidak ragu-ragu lagi. Memang orang itulah Mahesa Jenar. Meskipun ruang
itu sudah semakin suram, namun garis-garis wajah itu sudah sangat
dikenalnya.
“Arya…” tiba-tiba ia mendengar gurunya berkata, “Meskipun tingkat ilmumu masih agak mengecewakan, tetapi pada saat ini aku sudah menganggap cukup. Kau
sudah dapat melayani Putut Karang Tunggal meskipun belum seimbang
benar. Dan barangkali jarak yang ada di antara kau berdua tidak semakin
pendek, bahkan akan menjadi semakin jauh, karena Putut itu bukanlah
anak-anak sewajarnya. Apa yang kau pertunjukkan pada saat terakhir tadi
telah menunjukkan kemajuan yang besar selama kau berada di dalam ruang
ini. Karena itu, sebentar lagi kau boleh mengikuti aku keluar dari ruang
ini.”
Mendengar kata-kata gurunya, Arya menjadi
gembira sekali. Kegembiraan yang hampir tak dapat ditahankan, sehingga
hampir-hampir saja ia menjerit kegirangan. Tetapi segera ia berusaha
sekuat tenaga untuk menahannya. Ia tidak tahu apakah hal yang demikian
itu akan dibenarkan oleh gurunya. Karena itulah maka, yang terpancar
kemudian hanyalah nyala di matanya. Bahkan mata itu kemudian menjadi
basah. Dan hampir saja Arya Salaka yang telah mampu memecahkan batu
sebesar kepalanya itu menangis.
Untunglah bahwa ruang itu telah menjadi
semakin gelap sehingga Mahesa Jenar tidak lagi melihat mata itu. Tidak
lagi melihat air yang membayang di mata muridnya. Sebab apabila mata
yang sayu itu dilihatnya menjadi basah, mungkin Mahesa Jenar tidak lagi
dapat menahan perasaannya. Perasaan seorang guru, ia bahkan hampir
seperti perasaan seorang bapa terhadap anak tunggalnya yang selama ini
dibawanya merantau untuk menyelamatkan dari usaha-usaha untuk
membinasakannya.
Tetapi, sekarang Mahesa
Jenar melihat kemungkinan menjadi lain. Anak itu sekarang sudah dapat
menjaga dirinya sendiri, serta mempunyai bekal yang cukup buat masa
depannya.
Demikianlah Mahesa Jenar menjadi
berbangga atas muridnya itu. Kalau nanti pada suatu ketika, ia bertemu
dengan Gajah Sora, maka ia akan dapat menyerahkan Arya Salaka tanpa
mengecewakan sahabatnya itu.
Sesaat kemudian Mahesa Jenar pun berdiri dan melangkah keluar ruangan sambil berkata acuh tak acuh, ”Arya, ikutilah.”
Sekali lagi kegembiraan melonjak didalam
dada Arya. Segera ia pun mengikuti gurunya dekat-dekat supaya ia tidak
lagi kehilangan jalan.
Kemudian sampailah mereka ke dalam
ruangan dimana Mahesa Jenar bertemu dengan Putut Karang Tunggal waktu ia
berjalan bersama Kebo Kanigara. Benarlah dari ruangan itu ia melihat
bayangan cahaya api. Segera Mahesa Jenar berjalan menyusur jalan-jalan
goa yang sempit ke arah api itu.
Ketika mereka sampai, dilihatnya Putut Karang Tunggal seorang diri memegangi sebuah obor.
”Selamat sore Paman Mahesa Jenar,” sapanya sambil membungkuk hormat.
”Selamat sore Karang Tunggal,”
jawab Mahesa Jenar. Mula-mula ia ingin menanyakan di mana Kebo Kanigara.
Tetapi maksud itu diurungkan. Namun bagaimanapun juga ia menjadi sangat
berterima kasih di dalam hatinya, bahwa untuk kepentingannya serta
muridnya, Kebo Kanigara bekerja keras dan melakukan hal-hal yang aneh.
Tetapi lebih dari pada itu adalah untuk kesuburan persemaian perguruan
Pengging.
Sejenak kemudian Putut itu berkata pula, ”Paman, marilah kita tinggalkan goa ini. Ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh Eyang Ismaya.”
Mahesa Jenar menjadi beragu. Ia tidak
tahu apakah Putut itu berkata sebenarnya, ataukah hanya merupakan suatu
alasan untuk membawanya keluar dari dalam goa itu. Karena itu ia berdiam
diri sampai Putut itu melanjutkan, ”Seseorang yang baru saja datang kemari ingin bertemu dengan Paman.”
”Siapakah dia?” tanya Mahesa Jenar sekenanya.
”Paman Kebo Kanigara,” jawab Putut Karang Tunggal.
”Itukah yang penting?” tanya Mahesa Jenar pula.
”Bukan itu saja,” jawab Putut Karang Tunggal. ”Ada dua tiga soal yang lain.”
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi.
Dipersilahkannya Putut yang membawa obor itu berjalan dahulu, kemudian
ia pun mengikutinya bersama Arya Salaka yang masih berdiam diri saja.
Setelah mereka berjalan berliku-liku,
akhirnya sampailah mereka ke ruang yang sering dipergunakannya bermain
para cantrik. Dari sana mereka menerobos sebuah lubang yang diluarnya
tertutup oleh dedaunan yang rimbun.
Demikian mereka tegak di luar goa itu,
terasalah udara malam yang segar memercik ke wajah mereka. Sedang di
atas kepala mereka, bertaburan bintang-bintang yang berpencaran memenuhi
langit yang biru hitam. Seleret awan putih membujur dari kutub ke kutub
seolah-olah membagi langit menjadi dua bagian. Sedang dari semak-semak
di sekitar mereka, terdengarlah bunyi jangkrik bersautan di antara
nyanyi belalang. Bersamaan dengan itu terlonjak pula hati Arya Salaka,
yang merasa telah menyelesaikan suatu kewajiban yang berat. Kalau
mula-mula ia menjadi bingung atas kelakuan gurunya, maka akhirnya ia
mengira bahwa hal itu adalah merupakan suatu tahap yang memang harus
dilalui. Tetapi sebenarnya bukan saja Arya Salaka yang mempunyai
perasaan demikian. Mahesa Jenar pun seolah-olah merasa terlepas dari
suatu daerah sepi yang penuh dengan pemerasan keringat dan pikiran.
Mengingat hal itu Mahesa Jenar menjadi
tersenyum sendiri. Apalagi kalau ia dengan sepintas lalu memandang wajah
Arya Salaka. Ia menjadi geli. Anak itu merasa seolah-olah telah
mendapat gemblengan yang berat dari padanya, padahal ia sendiri sedang
melakukan hal yang serupa. Menggembleng diri sendiri.
Beberapa lama kemudian sampailah mereka ke rumah dimana mereka selalu diterima oleh Panembahan Ismaya.
Di dalam rumah itu tampak memancar cahaya
pelita yang berkedip-kedip karena permainan angin pegunungan. Cahayanya
yang kuning kemerahan menembus lubang-lubang dinding membuat
garis-garis lurus yang berpencaran.
Ketika mereka memasuki rumah itu,
tampaklah Panembahan Ismaya duduk di atas batu hitamnya yang dialasi
dengan kulit kayu. Demikian orang tua itu melihat kehadirannya segera ia
bangkit dan menyambut dengan hormatnya, sambil mempersilahkannya duduk.
”Agaknya Anakmas tidak begitu senang tinggal di dalam goa yang gelap itu,” kata Ismaya kemudian. Ternyata Anakmas dan Cucu Arya Salaka menjadi kurus.
Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi agak sulit untuk menjawab, karena itu katanya, ”Tidak Panembahan, kami senang tinggal di dalam goa itu.”
Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Lalu sambungnya, ”Tetapi aku girang bahwa Anakmas dan Cucu Arya Salaka tetap segar. Bukankah tiada sesuatu selama ini?”
”Tidak Panembahan,” tidak, jawab Mahesa Jenar.
”Demikianlah yang aku kehendaki,” sahut Panembahan Ismaya pula. ”Tetapi
ketahuilah Anakmas, apa yang anakmas takutkan ternyata benar-benar
terjadi. Orang-orang yang mengepung bukit ini menyerbu naik.”
Dada Mahesa Jenar tergetar mendengar keterangan itu. Maka iapun bertanya pula, ”Adakah mereka memperlakukan Panembahan dengan kasar?”
”Tidak begitu kasar,” jawab Panembahan Ismaya. ”Tetapi mereka mengaduk hampir segala sudut bukit ini.”
”Dan Panembahan tidak memberitahukan itu kepadaku…?” sahut Mahesa Jenar.
”Aku hanya memberitahukan kepada Anakmas kalau mereka akan menyakiti kami,” jawab Panembahan itu pula. ”Tetapi ternyata mereka hanya mencari-cari saja.”
Mahesa Jenar akan
mendesak pula dengan berbagai pertanyaan, tetapi diurungkannya ketika ia
ingat bahwa di sini ada Kebo Kanigara dan Putut Karang Tunggal.
Sehingga seandainya Panembahan Ismaya ingin melawannya dengan kekerasan,
maka tidak pula ada perlunya untuk memanggilnya.
Karena itu kemudian ia tidak berkata-kata
lagi. Ia bahkan merasa malu bahwa seolah-olah di bukit kecil itu tak
ada orang lain yang mampu menyelamatkannya selain daripada dirinya.
Maka untuk beberapa saat suasana menjadi
hening sepi. Desir angin di dedaunan menimbulkan suara lirih seperti
dendang seorang ibu yang menidurkan anaknya.
Maka kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya yang berkata, “Anakmas, agaknya malam telah larut. Karena itu beristirahat di pondok lain.”
“Baiklah Panembahan,” jawab Mahesa Jenar.
“Kalau Anakmas keluar dari ruangan ini, Anakmas akan melihat rumah di sebelah barat. Di situlah Anakmas beristirahat,” sambung Panembahan Ismaya pula. “Di sana Anakmas akan beristirahat bersama dengan Kebo Kanigara.”
Setelah sekali lagi Mahesa Jenar
mengiyakan, maka melangkahlah ia keluar ruangan itu. Tidak beberapa jauh
di sebelah barat tampak sebuah rumah yang lebih kecil dari rumah itu.
Dari dalamnya memancar pula cahaya api yang redup.
Di dalam rumah itu ditemuinya Kebo Kanigara telah membaringkan dirinya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar berkatalah ia, “Mahesa Jenar, duduklah. Tutup pintu itu supaya tidak terlalu dingin. Dan dengarlah aku berceritera.”
Mahesa Jenar memandang wajah Kanigara
yang tersenyum-senyum dan sudah bersih pula seperti wajahnya. Ia menjadi
curiga. Tetapi ia melangkah juga menutup pintu dan kemudian duduk di
sampingnya.
“Kau ingat pada waktu aku pertama-tama kau lihat?” tanya Kebo Kanigara.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar singkat sambil mengangguk.
”Di mana muridmu sekarang?” tanya Kanigara tiba-tiba.
”Di rumah sebelah bersama-sama dengan Karang Tunggal,” jawabnya singkat.
“Bagus, suatu kebetulan. Karang
Tunggal itu suka sekali berceritera. Pengetahuannya sangat luas, sebab
ia sangat gemar menyepi dan merantau. Jarang-jarang sekali ia tinggal di
rumah. Sehingga ibu angkatnya, Nyai Tingkir selalu marah kepadanya.” Kanigara berhenti sebentar lalu meneruskan, “Arya
akan senang bersama dia. Lalu seterusnya mengenai urusanmu. Dengarlah.
Kau lihat bahwa aku pada saat itu atas nama Mahesa Jenar melarikan
seorang gadis?”
Mendengar pertanyaan itu hati Mahesa Jenar berdesir. Dengan kaku ia mengangguk mengiyakan.
“Gadis itu aku sembunyikan. Sejak
malam itu aku belum pernah menemuinya. Aku takut kalau ia mengenal aku
yang ternyata bukan Mahesa Jenar. Dan aku juga takut kalau tiba-tiba aku
merasa bahwa akulah sebenarnya Mahesa Jenar itu.” Kanigara meneruskan sambil tersenyum. Mahesa Jenarpun tersenyum pula. Tersenyum kaku.
”Kau harus menemuinya,” sambung Kanigara pula.
Mahesa Jenar mengangguk saja tanpa sesadarnya.
”Biarlah anakku mengantarkanmu nanti,” kata Kanigara pula. Mahesa Jenar terperanjat. Sehingga ia pun bertanya, ”Siapakah anak Kakang Kanigara itu?”
”Seorang anak perempuan,” jawab Kanigara, ”Namanya Widuri. ”
”Widuri…? Endang Widuri? Jadi adakah anak itu putri Kakang Kanigara?” tanya Mahesa Jenar pula.
”Ya,” jawab Kanigara singkat.
”Aku belum pernah mendengar sebelumnya,” kata Mahesa Jenar. ”Adakah anak itu dilahirkan di Demak?”
”Aku meninggalkan Demak sejauh umur anak itu,” jawab Kanigara. ”Sebenarnya aku tidak pernah menginginkan untuk meninggalkan kota itu. Tetapi keadaan memaksa aku berbuat demikian.”
Mahesa Jenar mendengarkan dengan penuh
perhatian. Agaknya karena itulah maka Kebo Kanigara belasan tahun yang
lalu lenyap dari pecaturan masyarakat Demak.
Sesaat kemudian Kanigara meneruskan, ”Kemudian
aku bawa istriku meninggalkan Demak. Anak itu lahir di perjalanan.
Sedang beberapa tahun kemudian ibunya meninggal dunia. Untunglah bahwa
aku bertemu dengan seseorang yang kemudian menerima kami tinggal
bersama, Panembahan Ismaya.”
Terbayanglah di mata Kebo Kanigara, suatu
masa yang pahit di dalam hidupnya. Kehilangan istri pada masa putrinya
masih memerlukan kasih sayang seorang ibu.
”Bahkan beberapa tahun kemudian…” kata Kanigara pula, ”Aku
sudah harus mewakili menunggu bukit kecil ini kalau Panembahan Ismaya
harus bepergian jauh untuk mencari obat-obatan dan menambah
kewaskitaannya di hampir seluruh sudut negeri ini. Dan sejak itu pula
tak pernah menampakkan diriku lagi di antara tata masyarakat Demak.”
Kanigara kemudian diam, Mahesa Jenar pun
diam. Betapa hati mereka mengenyam kembali masa-masa yang silam itu.
Masa-masa yang penuh dengan kesedihan bagi Kebo Kanigara.
Tetapi tiba-tiba Kebo Kanigara berkata nyaring, ”He,
aku telah membelok dari arah pembicaraan semula. Aku akan berceritera
tentang seorang gadis yang aku larikan, bukan tentang aku.”
Mahesa Jenar terkejut juga mendengar arah
percakapan yang tiba-tiba menikung tegak. Sehingga duduknya tergeser
maju. Namun kemudian iapun tersenyum kecut. Tetapi bersamaan dengan itu
denyut jantungnya bertambah cepat.
”Nah Mahesa Jenar…” sambung Kanigara tiba-tiba, ”Kau akan dapat menemuinya bersama Widuri.”
Mahesa Jenar tidak menjawab, namun hatinya bergetar hebat.
”Tidak banyak yang harus aku pesankan
kepadamu. Sebab aku tidak pernah berkata satu patah katapun. Karena itu
anggaplah bahwa memang sebelum ini kau belum pernah bertemu dengannya. Kanigara meneruskan, Kecuali pada saat kau melarikan malam itu.”
Mahesa Jenar Jenar masih belum menjawab.
Tetapi Kanigara pun tidak meneruskan kata-katanya. Dengan malasnya ia
bangkit dan kemudian berjalan mondar-mandir. Akhirnya ia berhenti dan
memasang telinganya baik-baik.
“Kau mendengar suara tembang?” tiba-tiba ia bertanya.
Mahesa Jenar kemudian mencoba menangkap setiap suara yang menyusup ke dalam pondok kecil itu. Jawabnya kemudian, “Ya aku dengar. Jauh sekali.”
“Kau tahu tembang apa itu?” tanya Kanigara pula.
Sekali lagi Mahesa Jenar memperhatikan
suara lagu yang hanya lamat-lamat sampai. Ketika ia sudah mendapat suatu
kepastian, hatinya menjadi berdebar-debar. “Dandanggula,” desisnya.
“Ya, Dandanggula,” ulang Kanigara. “Sudah beberapa malam berturut-turut aku mendengar lagu itu dari arah yang berbeda-beda.”
Tiba-tiba Mahesa Jenar berdiri tegak.
Mula-mula ia ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu. Tetapi karena sinar
mata Kanigara yang seolah-olah mendesaknya, akhirnya ia berkata, “aku kenal orang itu.”
Kanigara mengangkat alisnya, katanya, “siapakah dia”
“Ki Ageng Pandan Alas,” jawab Mahesa Jenar.
“Pandan Alas?” tanya Kanigara pula, tetapi ia tidak terkejut. “Aku
kagumi suaranya. Meskipun ia sudah tua, namun suaranya masih
mengingatkan aku kepadanya belasan tahun yang lalu. Ia sahabat ayahku.”
Mahesa Jenar mengangguk mengiyakan.
“Apakah yang dicarinya?” kata
Kanigara kosong, meskipun ia sudah mengerti jawabnya. Sebab ia tahu
betul bahwa Pudak Wangi, yang nama sebenarnya Rara Wilis, adalah cucu
orang tua itu.
“Ia pasti mengira bahwa aku masih di
sini. Dengan demikian ia mengharap aku datang kepadanya mengembalikan
cucunya yang dikiranya benar-benar aku larikan,” jawab Mahesa Jenar.
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia bertanya, “Nah terserah kepadamu. Apakah gadis itu akan kau kembalikan apa tidak.”
“Kenapa baru beberapa hari ini ia datang?” tanya Mahesa Jenar, seolah-olah kepada dirinya sendiri.
“Mungkin ia menunggu sampai rombongan Sima Rodra itu meninggalkan bukit ini, setelah mencarimu dengan sia-sia,” jawab Kanigara.
“Tidakkah Kakang menangkap mereka?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Aku juga bersembunyi. Panembahan Ismaya tidak mau melihat pertumpahan darah di atas padepokan Karang Tumaritis,” jawabnya.
Mahesa Jenar tidak bertanya lebih lanjut
tentang gerombolan Sima Rodra dan Jaka Soka. Pikirannya sedang
dikacaukan oleh suara tembang itu. Ia menjadi bimbang, apakah sebaiknya
ia datang menemui atau tidak.
Di dalam kebimbangan itu, ia mendengar suara Dandang Gula itu semakin jelas.
Suara itu tiba-tiba menyusul ke dalam
dada Mahesa Jenar, membawa suatu kenangan pada masa-masa yang silam.
Yang mula-mula diingatnya adalah, Ki Ageng Pandan Alas pernah marah
kepadanya ketika ia meninggalkan Rara Wilis tanpa pamit. Ia tahu betapa
sakit hati orang tua itu, oleh tuduhannya yang barangkali sama sekali
tak beralasan tentang cucunya. Tetapi bagaimanapun juga, ia merasa bahwa
tidak enaklah rasanya menerima kemarahan itu.
Didalam kesepian malam itu, semakin
mengumandanglah suara Ki Ageng Pandan Alas. Seorang tokoh sakti sahabat
gurunya yang pernah kecewa terhadapnya. Namun tiba-tiba diingatnya pula,
pertama kali ia mendengar suara itu. Pada saat jiwanya sudah berada di
ujung tangan seorang tokoh hitam yang menamakan dirinya Pasingsingan,
yang sebenarnya bernama Umbaran, maka terdengarlah suara itu. Dan karena
suara itu pula agaknya Umbaran mengurungkan niatnya untuk membunuhnya.
Karena itu tiba-tiba terasalah bahwa bagaimanapun juga orang tua itu
pernah menyelamatkannya.
“Aku akan datang kepadanya,” gumamnya seolah-olah belum merupakan suatu kepastian.
Kanigara tersenyum. “Datanglah.
Jangan kau bawa dahulu cucunya. Barangkali ada beberapa hal yang akan
kau bicarakan dengan orang tua itu. Sebab sepengetahuanku, ada orang
ketiga yang berdiri diantara kau dan gadis itu,” katanya.
Mahesa Jenar memandang Kanigara dengan tajamnya. Ia agak heran mengapa orang itu mengetahui hampir segala seluk beluk hidupnya.
Tetapi ia tidak bertanya sesuatu ketika dilihatnya Kanigara tersenyum sambil berkata pula, “Jangan memandang aku begitu tajam. Aku jadi takut karenanya. Nah, pergilah. Kalau kau tak keberatan aku akan ikut serta.”
“Tidak, sama sekali tak keberatan,” jawab Mahesa Jenar.
“Akulah satu-satunya orang yang berhak jadi wakil orang tuamu,” sambung Kanigara sambil tertawa pendek.
“Ah…” Mahesa Jenar tidak meneruskan.
“Kenapa kau mengeluh?” tanya Kanigara seperti bersungguh-sungguh.
“Tidak,” sahut Mahesa Jenar. “Suara tertawa Kakang yang lunak itu amat memusingkan kepalaku.”
Sekali lagi Kanigara tertawa. “Ayolah,” katanya.
Maka pergilah mereka berdua, menembus
hitam malam ke arah suara Ki Ageng Pandan Alas yang seolah-olah
melingkar-lingkar menyusur lereng-lereng bukit Karang Tumaritis. Tetapi
karena telinga Kanigara dan Mahesa Jenar sedemikian tajamnya, maka
segera mereka mengetahui darimana datangnya sumber suara itu.
Ketika jarak mereka sudah tidak begitu
jauh lagi, segera mereka berhenti. Mereka menunggu sampai Pandan Alas
selesai dengan lagunya. Tetapi agaknya orang tua itu sudah mengetahui
kehadirannya, sehingga belum lagi kalimat yang terakhir diucapkan ia
sudah berhenti. Perlahan-lahan ia bangkit dari tempat duduknya, seonggok
batu padas. Sapanya, “Agaknya kau datang juga Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar dan Kanigara bersama-sama berdiri sambil membungkuk hormat.
Sebelum mereka menjawab Pandan Alas meneruskan, “Sudah beberapa hari aku mencarimu dengan caraku ini. Sebab aku yakin bahwa kau sudah mengenal suaraku.”
“Baru sekarang aku dapat datang Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar. “Maafkanlah, mudah-mudahan aku tidak mengecewakan.”
Pandan Alas tertawa pendek. Kemudian iapun duduk pula diatas sebuah batu. “Duduklah,” katanya. “Mungkin percakapan kita tidak segera selesai.”
Mahesa Jenar dan Kanigara pun segera
duduk pula di muka orang tua itu. Di dalam gelap malam, terasalah bahwa
Ki Ageng Pandan Alas sedang mencoba mengetahui siapakah kawan Mahesa
Jenar itu. Namun agaknya ia belum mengenalnya sehingga akhirnya ia
bertanya, ”Mahesa Jenar, tidakkah aku kau perkenalkan dengan sahabatmu itu?”
Mahesa Jenar tersadar dari kekeliruannya. Tetapi sebelum ia menjawab, Kanigara sudah mendahului. ”Baiklah aku memperkenalkan diriku Ki Ageng. Aku adalah salah seorang sahabat Panembahan Ismaya. Namaku Putut Karang Jati.”
Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian katanya, ”Aku bernama Pandan Alas”
”Aku sudah emndengar nama tuan. Nama
yang mengumandang di sekitar daerah ini. Bukankah tuan yang memiliki
keris Kiai Sigar Penjalin?”
Sekali lagi Pandan Alas tertawa. Jawabnya, ”Kau benar. Keris yang sama sekali tak berarti itu”
”Ki Ageng memang suka merendahkan dirinya” sahut Mahesa Jenar.
Pandan Alas menggelengkan kepalanya. Kemudian dengan bersungguh-sungguh ia berkata, ” Mahesa
Jenar, mungkin kau telah mengetahui, buat apa aku datang kemari.
Semula, aku mendengar kabar, bahwa cucuku ditangkap oleh Sima Rodra. Aku
mencoba untuk membebaskannya bersama-sama dengan Sarayuda. Tetapi
kemudian kau membuat suatu keajaiban. Karena ternyata aku dan Sarayuda
bersama-sama tidak mampu menolongnya. Sekarang aku datang untuk
mengucapkan terima kasih kepadamu”
Mulut Mahesa Jenar menjadi seolah-olah
terbungkam. Apakah yang akan dikatakannya? Sedang orang yang melakukan
semuanya itu duduk di sampingnya. Kebo Kanigara.
Agaknya, Kebo Kanigara merasakan juga
kesulitan Mahesa Jenar itu, sehingga ia pun berusaha menolongnya.
Katanya kepada Mahesa Jenar, ”Memang luar biasa. Adakah tuan waktu itu bertempur melawan selian orang-orang itu?”
Mahesa jenar dengan kaku menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, ”Tidak. Aku sama sekali tidak bertempur. Aku hanya
melarikan diri saja”
Kanigara menjadi geli mendengar jawaban
itu. Juga Pandan Alas tertawa.Sahutnya, ”Tak seorangpun yang mampu
melepaskan diri dari deretan nama-nama Sima Rodra, Bugel Kaliki, Janda
Sima Rodra uda dan Jaka Soka beserta laskarnya. Tetapi kau mampu
melakukan itu Mahesa Jenar”
Mahesa Jenar tersenyum kecut. Jawabnya, ”Aku memang hanya mempunyai keahlian menyembunyikan diri”
Sekali lagi mereka yang mendengarnya
menjadi tertawa. Tetapi punggung Mahesa Jenar sendiri telah dipenuhi
keringat dingin yang mengalir dengan derasnya.
Karena itu, duduknya menjadi gelisah.
Apalagi, ketika Ki Ageng Pandan Alas
bertanya, ”Mahesa Jenar, setelah kau berhasil membebaskan anak itu,
apakah yang akan kau lakukan?”

Tetapi, tiba-tiba terjadilah suatu hal
yang sama sekali tidak mereka duga. Mahesa Jenar tidak, Kanigara tidak,
bahkan Pandan Alas pun tidak.
Pada saat itu, meskipun pembicaraan itu
memerlukan hampir segenap perhatian mereka, namun mereka masih mendengar
gemerisik daun kering yang tersentuh kaki. Karena itu, segera perhatian
mereka teralih. Meskipun mereka masing-masing tetap pada sikap semula
seolah-olah tidak terjadi sesuatu, namun orang-orang sakti itu telah
menyiapkan diri masing-masing apabila ada sesuatu yang terjadi.
Mereka bertiga bertambah terkejut ketika
melihat sesuatu dengan tangkasanya meloncat berdiri di hadapan Mahesa
Jenar. Seorang yang gagah tampan. Berbaju sutera dan berkain lurik.
Meskipun di dalam gelap malam, namun tampaklah berkeredipan
permata-permata intan berlian yang terpahat pada timang ikat
pinggangnya. Orang itu adalah Sarayuda, seorang Demang yang kaya raya.
”Kau Sarayuda” sapa Pandan Alas
”Ya Ki Ageng” jawabnya singkat
”Aku kira kau telah kembali” Pandan Alas meneruskan.
”Tidak guru. Aku merasa bahwa pekerjaanku belum selesai” jawab Sarayuda pula, ”aku
mengira bahwa Pudak Wangi masih berada di daerah ini. Ketika aku
emndengar suara tembang Ki Ageng Pandan Alas, akupun tahu maksudnya.
Ternyata Mahesa Jenar yang perkasa inipun benar-benar datang menemui
guru”
Pandan Alas menarik nafas dalam-dalam.
Dirinyalah sekarang yang berada dalam puncak kesulitan. Ia tahu benar
hubungan yang belit-membelit antara satu-satunya cucu yang sangat
disayanginya, murid pertama yang dikasihaninya dan Mahesa Jenar seorang
yang dikenal sebagai ksatria yang utama, bahkan yang telah menyelamatkan
cucunya dari tangan Jaka Soka sampai dua kali dalam pengertiannya.
Meskipun ia pernah merasa kecewa terhadap sikap Mahesa Jenar yang
perasaannya mudah patah dalam hubungan itu, namun ia tidak pernah
benar-benar marah dan melepaskan perasaan kagumnya. Tetapi muridnya itu
pun merupakan harapan masa datang bagi perguruannya di samping Pudak
Wangi sendiri.
Sekarang ia melihat suatu benturan perasaan telah terjadi. Apalagi ketika tiba-tiba ia mendengar Sarayuda berkata, ”Guru, apakah Guru sudah menyatakan kepada Mahesa Jenar, agar Pudak Wangi dikembalikan kepada perguruan Pandan Alas?”
Pandan Alas menjadi bingung. Sedang Mahesa Jenar dan Kanigara menjadi tidak begitu senang melihat sikap itu.
Dalam kecemasannya, kemudian Pandan Alas berkata, ”Sarayuda, biarlah kita bicarakan segala sesuatunya dengan baik. Bukankah kita sudah tidak mempunyai pekerjaan lain?”
Tetapi agaknya Sarayuda tidak setuju, jawabnya, ”Ki Ageng, aku telah terlalu lama meninggalkan pekerjaanku. Dalam
waktu kira-kira satu tahun, aku sudah dua kali menemui Ki Ageng. Kali
ini aku ingin semuanya selesai dengan segera. Supaya aku dapat segera
pula kembali ke Gunung Kidul dengan suatu ketetapan hati.”
”Aku mengerti Sarayuda,” jawab Pandan Alas. ”Tetapi
tidak perlukah kiranya kalau pembicaran kita inipun menjadi
tergesa-gesa. Sebab seandainya kau mundur satu haripun aku kira tidak
begitu besar pengaruhnya.”
Sarayuda tidak dapat membantah lagi. Karena itu ia diam, meskipun perasaannya bergetar terus.
”Duduklah Sarayuda…” Pandan Alas mempersilahkan.
Dengan gerak kosong Sarayuda duduk pula diantara mereka. Namun tampaklah bahwa ia gelisah.
”Ki Ageng Pandan Alas…” kata Mahesa Jenar kemudian, ”Maafkanlah bahwa aku tidak dapat mempersilahkan Ki Ageng pada tempat yang lebih baik, sebab aku pun orang asing di sini.”
”Tidak apalah Mahesa Jenar,” sahut Pandan Alas. Tetapi disamping itu terasa kaki Kanigara menginjak kaki Mahesa Jenar. Katanya, ”Akulah tuan rumah di sini. Karena itu kalau tuan-tuan sudi, marilah aku persilahkan singgah di pondokku.”
Yang cepat-cepat menjawab adalah Sarayuda, katanya, ”Terimakasih Putut Karang Jati, bukankah namamu Putut Karang Jati? ”
“Ya, ya Tuan,” jawab Kanigara.
”Tak ada bedanya. Di sini atau di pondokmu,” sambung Sarayuda.
Pandan Alas yang sedianya akan memenuhi
ajakan itu menjadi terdiam. Tetapi kecemasannya semakin membelit hati.
Ia berpikir keras untuk dapat menyelesaikan masalah cucunya dengan baik,
tanpa suatu singgungan perasaan di kedua belah pihak. Tetapi
rasa-rasanya tidaklah mungkin. Meskipun demikian ia harus berusaha.
”Ki Ageng…” desak Sarayuda kemudian, ”Marilah
kita bicarakan apa yang seharusnya kita bicarakan, meskipun bagiku tak
ada lagi persoalan. Bagiku hanyalah ada satu permintaan yang aku tujukan
kepada yang terhormat, Kakang Mahesa Jenar, untuk menyerahkan murid
perguruan Pandan Alas kepada yang berhak.”
Sekali lagi perasaan Ki Ageng Pandan Alas terguncang. Namun iapun menyambung, ”Mahesa
Jenar, aku belum mendengar jawabmu. Apakah yang akan kau lakukan,
setelah kau berhasil membebaskan cucuku dari tangan Sima Rodra dan Bugel
Kaliki?”
”Tidak demikian Ki Ageng….” Sarayuda menyanggah. Ia merasa bahwa kata-kata gurunya itu terlalu menguntungkan Mahesa Jenar, sambungnya, ”Itu
terlalu berlebih-lebihan. Kecuali kalau Ki Ageng bermaksud untuk
terlalu berendah diri. Sebab ketika Mahesa Jenar membawa Pudak Wangi,
tak seorang pun dapat menghalangi. Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki
terikat dalam pertempuran dengan Ki Ageng, sedang janda Sima Rodra muda
dan Jaka Soka bertempur melawan aku.”
Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas
dalam-dalam. Ia tahu benar adat muridnya. Sebagai seorang Demang di
daerahnya, segala kemauannya hampir tak terbantah. Mendengar sanggahan
muridnya itupun Pandan Alas hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu Mahesa Jenar dan
Kanigara menjadi semakin tidak senang terhadap kata-kata Sarayuda,
meskipun mereka berdua dapat mengerti sepenuhnya, bahwa semuanya itu
terdorong oleh suatu perasaan ketakutan. Takut akan kehilangan adik
seperguruannya, cucu gurunya. Tetapi bagaimanapun juga hati Mahesa Jenar
menjadi kalut. Kalau Demang yang kaya raya itu tidak dapat dicegah
tindakannya, sehingga ia berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya, maka ia
tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Dengan keadaan yang sekarang,
maka Sarayuda bukanlah lawannya. Tetapi kalau sampai Sarayuda
dikalahkannya di hadapan gurunya sendiri, maka akibatnya akan lain. Ki
Ageng Pandan Alas pasti tidak dapat menyaksikan kekalahan muridnya.
Bagaimanapun juga perguruan Pandan Alas pasti mempunyai harga diri.
Kalaupun terjadi demikian, perasaannyapun akan tersayat pula. Sebab
terhadap dirinya sendiri ia tidak dapat mengingkari. Ia tidak ingin
melepaskan Pudak Wangi kali ini.
Dalam pada itu, angin malam berhembus
lemah. Di langit bintang gemintang gemerlapan tiada henti-hentinya.
Sekali dua kali tampaklah seleret bintang berpindah tempat menggores
langit. Sekejap saja, lalu lenyap terbenam dalam pelukan selembar awan.
Suara jengkerik masih saja bersahutan di sela-sela kemersik daun kering
yang diterbangkan angin pegunungan.
Keempat orang yang duduk saling
berhadapan itu untuk beberapa saat saling berdiam diri. Mereka
masing-masing tenggelam dalam angan-angannya sendiri.
Yang mula-mula memecahkan kesepian adalah Sarayuda, ”Masihkah ada yang kau nanti Kakang Mahesa Jenar?
”Tidak ada,” jawab Mahesa Jenar kosong.
”Kalau demikian, marilah, serahkan Pudak Wangi kepada gurunya,” sahut Sarayuda.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Sekali lagi ia menjadi bingung. Tetapi akhirnya ia berkata kepada Ki
Ageng Pandan Alas, ”Ki Ageng, Pudak Wangi adalah cucu Ki Ageng, dan
murid Ki Ageng. Karena itu yang paling berhak menentukan adalah Ki Ageng
sendiri.”
”Bagus…” sahut Sarayuda tiba-tiba, ”Sekarang kita nantikan putusan Ki Ageng Pandan Alas.”
Pandan Alas menjadi bertambah bingung.
Benar-benar ia dihadapkan pada satu keharusan memilih yang amat sulit,
seperti ceritera tentang buah bersayap yang jatuh dipangkuan seorang
gadis. Dimakan bapa mati, tidak dimakan ibu mati.
Tetapi kemudian Pandan Alas menemukan
persoalan yang sewajarnya. Karena itu ia ingin berbicara wajar, tidak
dengan aling-aling. Ia tahu benar bahwa masalah yang dikemukakan
Sarayuda pun sebenarnya bukan masalah perguruan, tetapi terlalu bersifat
pribadi.
Maka kemudian ia ingin menerapkan persoalannya pada tempat yang sebenarnya. Katanya, ”Anakku
berdua. Sarayuda dan Mahesa Jenar. Marilah kita berbicara antara hati,
perasaan dan pikiran. Marilah kita berbicara dengan bahasa yang
sewajarnya. Aku, sebagai seorang yang telah kenyang berjemur panas
matahari, pernah juga merasakan betapa kisruhnya perasaan yang sedang
bergulat melawan pikiran. Nah, kalian berdua, kenapa kalian tidak
berterus terang saja, bahwa kalian berdua sama-sama menghendaki Pudak
Wangi, bukan sebagai murid Pandan Alas tetapi sebagai seorang gadis yang
bernama Rara Wilis…?”
Kata-kata itu langsung menusuk perasaan
Mahesa Jenar dan Sarayuda. Mereka menjadi terdiam karenanya. Sebab apa
yang dikatakan oleh orangtua itu adalah hakekat dari perasaan mereka
masing-masing.
Kanigara yang mendengarkan pembicaraan
itu menjadi tersenyum kecil. Ia memuji di dalam hati kebijaksanaan Ki
Ageng Pandan Alas, yang dapat melepaskan diri dari persoalan yang sulit.
Tetapi dengan demikian ada juga bahayanya. Sebab apabila persoalan
mereka menjadi keras, sulitlah dihindarkan. Karena dengan demikian Ki
Ageng Pandan Alas telah menghadapkan kedua orang itu langsung.
Tetapi kemudian Ki Ageng Pandan Alas melengkapi pendapatnya, ”Anakku
berdua… kalau kalian setuju dengan pendapatku maka keputusan terakhir
tidak ada padaku. Sebab masalahnya bukan masalah antara guru dan murid.
Menurutku pendapatku, keputusan terakhir berada di tangan Wilis
sendiri.”
Hati Mahesa Jenar dan Sarayuda bergetar
bersama-sama. Mereka merasakan kebenaran kata-kata Pandan Alas. Tetapi
dengan demikian Sarayuda merasa aneh terhadap sikap gurunya. Bagi Pandan
Alas, Mahesa Jenar adalah orang lain. Orang yang dijumpainya di
perjalanan hidup tanpa sentuhan-sentuhan tertentu seperti beribu-ribu
orang lainnya. Dirinya adalah murid orang tua itu. Murid yang sudah
bertahun-tahun menyerahkan diri serta masa depannya kepadanya. Sekarang,
dalam persoalan ini, gurunya itu sama sekali tidak memberikan
keuntungan apapun kepadanya. Sebab Ki Ageng Pandan Alas itu seolah-olah
sudah tidak mau turut mencampuri masalah itu. Karena itu, bagaimanapun
juga timbullah suatu tuntutan batin, bahwa seharusnya gurunya itu berada
di pihaknya. Sebab apabila demikian masalahnya akan mudah sekali.
Mahesa Jenar harus mengembalikan Pudak Wangi. Seterusnya Pandan Alas
menyerahkan Pudak Wangi kepadanya.
Tuntutan batin itu sedemikian kuatnya
sehingga akhirnya ia tidak dapat merendamnya lagi. Maka kemudian
meledaklah kata-katanya, ”Ki Ageng Pandan Alas, sebenarnya Ki Ageng
dapat mempermudah persoalan ini. Meskipun apa yang dikatakan Ki Ageng
Pandan Alas itu benar seluruhnya, bahwa hakekatnya, masalahnya adalah
masalah pribadi. Namun keputusan Ki Ageng pun akan merupakan
keputusan yang menentukan. Pudak Wangi tidak akan menanyakan banyak
masalah bila Ki Ageng menjatuhkan keputusan. Sedang Mahesa Jenar pun
tidak akan mengganggu gugat. Dalam segala bentuk.”
Dada Kanigara berdesir. Apa yang
diduganya agaknya akan menjadi kenyataan. Sarayuda rupanya sudah terlalu
sulit untuk mengendalikan kata-katanya yang memancarkan kesulitan pula
untuk mengendalikan perasaannya. Sedang Mahesa Jenar sedang berusaha
untuk menenangkan dirinya. Meskipun ia tidak begitu senang mendengar
segala-galanya, baik sikap maupun kata-kata Sarayuda. Namun karena ia
mempunyai keyakinan yang semakin teguh tentang dirinya maka dipandangnya
Sarayuda semakin lama semakin bertambah kecil.
Justru karena itulah maka akhirnya ia
merasa bahwa ia sama sekali tidak perlu melayani. Karena itulah maka
Mahesa Jenar menjadi semakin tenang.
Sebaliknya, Pandan Alas merasa bahwa
Sarayuda telah mendesaknya untuk mengambil keputusan sesuai dengan
kehendaknya sendiri, serta berusaha untuk memaksanya menyingkirkan
Mahesa Jenar dengan kekerasan. Sehingga dengan demikian ia menjadi
semakin cemas.
Apalagi ketika Sarayuda mendesaknya pula, ”Masih adakah yang meragukan Ki Ageng…?”
Sarayuda…. jawab Ki Ageng Pandan Alas, Kalau
demikian maka soalnya memang sangat sederhana. Tetapi masalahnya lain.
Tidak sesederhana itu. Pudak Wangi adalah seorang seperti kita,
mempunyai perasaan. Ia barangkali memang tidak akan menanyakan dengan
hati terbuka. Mungkin ia akan menjalani keputusan itu hanya sekadar
sebagai cucu atau murid yang patuh. Kalau demikian maka hidup
anak itu seterusnya akan menjadi kering tanpa cita-cita dan harapan. Ia
akan menjalani kehidupan ini tanpa hati. Ia akan melihat matahari terbit
seperti memang seharusnya demikian setiap hari, setiap pagi tanpa
gairah. Serta ia akan merasa bahwa purnama di setiap pertengahan bulan
itu bukan miliknya tetapi milik mereka yang berbahagia.”
Untuk beberapa saat kemudian mereka
kembali terdiam. Kata-kata Pandan Alas adalah kata-kata yang penuh
pengalaman hidup. Penuh pengertian akan harapan, cita-cita dan cinta.
Namun selanjutnya, cinta Sarayuda
ternyata tidak dapat membedakan ujung serta pangkal. Demikianlah arus
cinta yang bergelora di dalam dada Demang kaya raya itu. Meskipun
kata-kata gurunya itu mula-mula menggetarkan hatinya, namun kemudian
tertindih perasaan itu dengan suatu gelora yang lebih dahsyat. Katanya, ”Ki
Ageng, ternyata bijaksana. Aku tidak keberatan kalau seandainya Adi
Pudak Wangi yang harus menentukan, siapakah diantara kita yang
dikehendakinya. Namun demikian seterusnya ia harus
mempertimbangkan pula ketenteraman diri. Karena itulah Pudak Wangi harus
menilai, kecuali kenangan atas masa lalu serta harapan dan cita-cita
bagi masa datang. Juga harus dipertimbangkan apakah kita masing-masing
akan dapat melindungi dirinya.”
Beberapa titik keringat dingin telah
mengalir di punggung Ki Ageng Pandan Alas. Namun demikian ia merasakan
kebenaran kata-kata Sarayuda sebagai laki-laki, meskipun ia tidak
seluruhnya melihat keharusan penjelasan yang sedemikian. Kalau saja
Pudak Wangi dapat melihat manfaat dari keunggulan ilmu, maka soalnya
akan dapat dipecahkan dengan cara sedemikian.
Tetapi ia sudah tidak dapat melihat cara
lain, yang harus diyakinkan adalah, bahwa dengan demikian soalnya harus
selesai. Tanpa perasaan dendam dan benci.
Karena bagaimanapun, Sarayuda adalah
muridnya. Ia bergaul dengan muridnya itu sejak Sarayuda menjelang
dewasa. Ia telah bekerja keras agar muridnya kelak dapat memanfaatkan
ilmu yang diturunkan itu sebaik-baiknya.
Kalau saja muridnya dan Mahesa Jenar
dapat menepati cara penjelasan itu dengan jujur, serta Pudak Wangi
menyetujuinya serta melihat manfaatnya. Tetapi apakah demikian …?
Dalam saat-saat ia mempertimbangkan segala segi yang mungkin terjadi, terdengarlah Sarayuda mendesaknya, ”Bukankah usulku adil?”
Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas
panjang. Ia memandang muridnya dengan tajam, seolah-olah melihat apakah
ia sudah siap. Pada saat-saat terakhir memang ia selalu menambah
beberapa pokok pengetahuan kepada Sarayuda untuk menambah kekuatannya
lahir dan batin. Kalau sampai ditempuh jalan yang dikehendaki, adakah ia
tidak akan memalukan? Mula-mula ia merasa bahwa Mahesa Jenar yang
dilihatnya pada saat ia membebaskan Pudak Wangi adalah luar biasa.
Tetapi kemudian ia mempertimbangkan juga pendapat Sarayuda. Meskipun ia
tidak menutup mata bahwa sebenarnya Mahesa Jenar telah mencapai
tingkatan yang lebih tinggi, namun benar-benar pada saat itu orang-orang
lain sedang terikat di tempat masing-masing.
Setelah Pandan Alas mempertimbangkan
beberapa segi dan kemungkinan, kemudian ia ingin menawarkan usul
Sarayuda kepada Mahesa Jenar dan Pudak Wangi.
Mahesa Jenar sendiri pada saat itu
dihinggapi pula oleh berbagai perasaan. Tetapi bagaimanapun ia harus
mengambil suatu ketetapan. Tetapi belum lagi ia dapat suatu keputusan
apapun, terdengarlah Pandan Alas bertanya kepadanya, ”Anakmas Mahesa Jenar, bagaimanakah pertimbanganmu atas usul Sarayuda?”
Mahesa Jenar membetulkan duduknya. Kemudian dijawabnya perlahan sekali, ”Ki Ageng, aku masih menyangsikan apakah seseorang dapat mempengaruhi perasaan yang paling dalam dengan berkelahi.”
Mendengar jawaban itu, Sarayuda terkejut, sehingga ia terloncat berdiri. Katanya, ”Jangan
berpura-pura Mahesa Jenar. Kau adalah murid utama almarhum Pangeran
Handaya-ningrat yang bergelegar Ki Ageng Pengging Sepuh. Buat apa kau berguru kepadanya kalau kau tidak melihat manfaatnya orang berkelahi?”
”Sarayuda….” jawab Mahesa Jenar. ”Aku
memang melihat manfaat orang berkelahi. Aku juga melihat bahwa orang
dapat memaksakan kehendaknya dengan berkelahi. Dengan keunggulan ilmu
tata pertempuran. Tetapi manfaat itu hanyalah manfaat lahiriah. Tetapi
katakan kepadaku Sarayuda yang perkasa, dapatkah kau mengubah ketetapan
hati seseorang atau suatu hubungan perasaan dengan perkelahian?
Sarayuda… hubungan yang ada diantara kita adalah hubungan yang saling
bertali. Seandainya, seandainya Sarayuda… Seandainya seseorang terpaksa
memilih salah satu diantara kita karena keunggulannya, tetapi sebenarnya
hatinya terikat kepada yang lain, apa katamu? Aku tidak mau, meskipun
kemudian aku terpilih. Aku tidak mau menerima seseorang hanya ujud
jasmaniahnya, tanpa hati dan perasaan pasrah yang tulus.”
”Omong kosong!” potong Sarayuda lantang. ”Sejak
kapan hatimu menjadi sekecil hati perempuan? Agaknya kau seorang yang
mendamba cinta sebagai mahkota bidadari di sorga yang mulus tanpa cela.
Mahesa Jenar, aku bukan seorang yang cengeng, yang merajuk dalam
bercinta. Sejak dewasa, di pinggangku telah tergantung pedang perguruan
Pandan Alas. Dengan pedang aku mendapat kekuatan di Gunung Kidul.
Sekarang, dengan pedang pula aku ingin melengkapi kamuktenku. Dengan
pedang aku ingin menemukan cinta.”
Suara Sarayuda bergetar seperti guruh
yang menggelegar di lereng pegunungan, berkumandang melingkar-lingkar di
lembah-lembah sekitarnya. Kata-kata yang diucapkan itu adalah tekad
yang sudah tak dapat ditawar lagi.
Mendengar kata-kata yang terucapkan oleh
mulut Sarayuda itu semuanya jadi terdiam. Pandan Alas, Mahesa Jenar dan
Kanigara seolah-olah terpesona oleh pancaran perasaan mereka atas
peristiwa itu agak berlainan. Pandan Alas, gurunya, tiba-tiba menjadi
berbangga hati melihat ketetapan hati muridnya yang penuh kejantanan.
Wanita bagi seorang laki-laki adalah tidak ubahnya pusaka, yang kalau
perlu rela bertaruh nyawa.
Kanigara dan Mahesa Jenar pun mula-mula
mengaguminya. Tetapi kemudian sebagai laki-laki berhati jantan,
tersentuhlah perasaan mereka. Karena itulah maka dada Mahesa Jenar
bergelora hebat. Hampir ia melepaskan, perhitungan untuk memenuhi
kepuasan hatinya. Sedangkan Kanigara menganggap bahwa apa yang dilakukan
oleh Sarayuda sudah terlalu sukar untuk mendapat perubahan bentuk. Ia
sudah bertekad bulat, apapun yang akan terjadi.
Demikianlah Sarayuda berdiri dengan
gagahnya pada kedua kakinya yang kokoh kuat. Satu tangannya tergantung
di sisi tubuhnya, sedang tangannya yang lain melekat di hulu pedangnya.
Dengan suatu keyakinan yang pasti ia menanti akibat dari kata-katanya.
Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan.
Pada saat Mahesa Jenar sedang berjuang untuk tidak tenggelam dalam arus
perasaannya, tiba-tiba terdengar suara tertawa lirih tertahan. Alangkah
terkejut mereka yang mendengar suara itu. Hampir saja keempat orang
bersama-sama bergerak dalam satu kejapan mata menghadap ke arah suara
itu. Diantara mereka yang mula-mula berteriak adalah Kanigara. Suaranya
lantang mengandung penjelasan, ”Kau Karang Tunggal…. Agaknya penyakitmu kambuh lagi. Datanglah kemari.”
Mendengar nama itu disebutkan, Mahesa
Jenar terkejut pula. Apalagi ketika ia melihat dua anak muda muncul dari
balik gerumbul di sebelah. Anak muda itu adalah Putut Karang Tunggal
dan Arya Salaka. Dengan tunduk ketakutan mereka berjalan mendekati
Kanigara. Sedang tangan Karang Tunggal masih melekat di mulutnya.
Dengan suara gemetar menahan marah, Kanigara berkata, ”Apa
yang kau lakukan itu Karang Tunggal? Aku kira kau telah benar-benar
sembuh dari penyakitmu. Melihat sikapmu beberapa bulan terakhir aku
sudah senang. Tetapi agaknya kau belum dapat melupakan kelakuanmu yang
keterlaluan itu.”
Karang Tunggal dan Arya Salaka masih diam ketakutan. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada muridnya, ”Kenapa kau datang kemari Arya…?”
Arya Salaka menjadi gemetar. Ia belum
melupakan kelakuan gurunya yang tiba-tiba berubah menjadi kasar setelah
mereka berada di dalam goa, tetapi sebelum ia menjawab, terdengar suara
Putut Karang Tunggal menyahut, ”Adi Arya Salaka tidak bersalah,
Paman. Akulah yang membawanya kemari. Tetapi aku sama sekali tidak
sengaja mengintip pertemuan ini.”
”Tutup mulutmu!” bentak Sarayuda
yang hatinya lebih parah dari semuanya. Tidak hanya Karang Tunggal yang
terkejut mendengar bentakan itu, tetapi juga semua yang hadir. Kanigara
yang semula akan marah kepada Karang Tunggal, tiba-tiba menjadi urung.
Sebab bagaimanapun ia sama sekali tidak senang kalau ada orang yang
membentak-bentak kemenakannya itu.
Karang Tunggal ternyata benar-benar
mempunyai sifat yang aneh. Kalau mula-mula Mahesa Jenar melihat sikapnya
yang halus sopan itu agaknya seperti apa yang dimaksud oleh Kanigara
sebagai penyakit yang setiap saat dapat kambuh kembali. Sebab ternyata
ketika Sarayuda membentaknya, justru ia mengangkat wajahnya. Karena itu
segera ia tunduk kembali dan dengan sudut matanya ia memandang mata
Kanigara.
Kanigara yang kecewa atas kelancangan
Sarayuda, kemudian menjadi acuh tak acuh. Ia tidak jadi mencegah
kemenakannya untuk tidak berbuat yang aneh-aneh. Bahkan kemudian dengan
tidak peduli ia duduk kembali.
Mahesa Jenar mengerti perasaan yang
bergetar di dalam hati Kanigara. Karena itu ia menjadi bertambah
gelisah. Jangan-jangan persoalannya menjadi lain. Meskipun ia juga
menyesali tindakan Sarayuda yang berlebihan itu.
Ki Ageng Pandan Alas terkejut pula
mendengar Sarayuda membentak Karang Tunggal justru pada saat orang yang
menyebut dirinya Karang Jati, yang pasti mempunyai hubungan satu sama
lain itu sedang marah pula kepada anak muda itu. Ia mengerti sepenuhnya
seperti Mahesa Jenar juga, kenapa Kanigara kemudian menjadi acuh tak
acuh. Karena itu segera ia mencoba mencegah hal-hal yang tak diinginkan,
katanya, ”Sudahlah Sarayuda. Serahkanlah anak itu kepada yang
berwenang. Bukankah Karang Jati dapat mengajarnya untuk tidak mengganggu
kita lagi?”
Tetapi agaknya pikiran Sarayuda telah benar-benar kacau. Sebab kemudian ia menjawab, ”Putut
Karang Jati itu hanya dapat membentak-bentak marah saja, tetapi ia
tidak dapat berbuat sesuatu terhadap orangnya yang sudah berbuat salah. Bukankah ia mengintip dan kemudian menertawa-kan aku? Menertawakan kata-kataku…?” Kemudian kepada Kanigara ia berkata, ”Karang Jati, dapatkah kau sedikit memberi pelajaran kepada orangmu itu? Atau barangkali kau perlu bantuanku?”
Kata-kata itu semakin tidak menyenangkan perasaan Kanigara. Maka dijawabnya kata-kata Sarayuda dengan berterus terang, ”Tuan, mula-mula aku marah kepada anakku. Tetapi aku kecewa kepada sikap Tuan, bahwa Tuan ikut memarahinya.”
Sarayuda menjadi tersinggung perasaannya.
Ia telah biasa marah kepada setiap orang yang tidak memenuhi
perintahnya, di daerahnya. Karena itu, ketika ia mendengar jawaban
Kanigara yang berterus terang menyesalinya itu, ia sama sekali tidak mau
mendengarkan. Bahkan dengan semakin marah ia berkata, ”Lalu apa
maumu? Mestikah aku membiarkan anak yang katamu anakmu itu menghina aku?
Menertawakan aku? Baiklah katakan kepadaku bahwa kau tidak mampu
mengajarnya. Dan, katakan pula kepadaku bahwa kau perlu bantuanku untuk
mengajarnya. Ayo… katakan supaya aku tidak kau anggap salah lagi kalau
aku mengajarnya sedikit kesopanan.”
Kanigara menganggap bahwa kata-kata
Sarayuda itu sudah berlebih-lebihan. Karena itu bagaimanapun ia
menyabarkan diri namun ia menjadi jengkel pula karenanya. Maka kemudian
dijawabnya. “Terserahlah kepada Tuan, kalau Tuan mempunyai waktu untuk mengajarnya. Itu kalau Tuan merasa mampu.”
Dada Mahesa Jenar berdesir mendengar
jawaban Kanigara, sebab dengan demikian berarti bahwa ia mengijinkan
Karang Tunggal melayani Sarayuda. Bagi Mahesa Jenar ada dua hal yang
menggelisahkan. Pertama, apakah Karang Tunggal tidak akan mengalami
cidera, sebab pada saat itu Sarayuda sedang dalam puncak kemarahannya,
sehingga sulitlah baginya untuk mengendalikan dirinya, meskipun ia hanya
berhadapan dengan anak-anak. Kedua, bagaimanakah pendapat Panembahan
Ismaya yang sama sekali tak menghendaki adanya kekerasan. Apalagi
dilakukan oleh seorang yang selalu berada di dekatnya, Putut Karang
Tunggal.
Tetapi ia tidak dapat berpikir lebih
jauh, sebab pada saat itu terdengarlah Sarayuda tertawa, meskipun sama
sekali bukan karena perasaan gembira. Di sela-sela tertawanya ia
berkata, ”Baiklah, sekarang kau yang menghina aku. Kau sangka aku
tidak mampu mengajar anakmu. Meskipun andaikata anakmu kekasih
dewa-dewa.”
Tak seorang pun dapat mencegahnya lagi.
Ki Ageng Pandan Alas pun tidak. Apalagi memang orang tua itu tidak
berusaha mencegahnya, ketika ia mendengar Kanigara meragukan kemampuan
muridnya. Hanya saja ia selalu waspada, kalau-kalau Sarayuda akan
berbuat keterlaluan terhadap Putut Karang Tunggal.
Dalam pada itu, mula-mula Karang Tunggal
menjadi ragu-ragu. Ia tidak mengerti apa maksud pamannya itu. Sehingga
dengan wajah yang bertanya-tanya ia memandang Kebo Kanigara tanpa
berkedip minta penjelasan. Untuk beberapa saat Kanigara menunggu
perkembangan suasana. Ketika ia sudah tahu benar bahwa Ki Ageng Pandan
Alas tidak mencegah muridnya, maka kemudian ia pun mengangguk kecil
kepada Putut Karang Tunggal.
Putut Karang Tunggal tiba-tiba menjadi
gembira sekali. Matanya yang bulat bercahaya itu menjadi berseri-seri.
Sejak mengunjungi pamannya di bukit kecil itu, ia merasa sangat
terkekang. Ia mulai dapat melemaskan tulang-tulangnya ketika ia mendapat
kawan bermain, Arya Salaka. Tetapi apa yang dilakukan adalah sangat
terbatas, sekarang ia mendapat kawan bermain. Barangkali dengan orang
itu ia akan dapat bertindak lebih leluasa lagi.
Meskipun demikian dengan tersenyum-senyum
ia mengangguk hormat kepada Sarayuda yang sudah mulai melangkah
mendekatinya dengan gigi yang gemeretak dan mulut terkatup rapat.
Katanya, ”Tuan, yang dipinggangnya tergantung perguruan Pandan Alas…
perkenankan aku minta maaf. Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud
menertawakan Tuan. Hanya karena kelakuan Tuan-lah sebenarnya, maka aku
tidak berhasil menahan hati.”
Hati Sarayuda yang sedang marah,
mendengar kata-kata itu seperti disiram api. Telinganya seketika menjadi
panas, dan bibirnya bergetaran.
Mahesa Jenar tidak menduga sama sekali
bahwa Putut Karang Tunggal akan berkata demikian, sehingga hampir saja
ia melangkah maju untuk mencegahnya. Tetapi diurungkan ketika Kanigara
menggamit tangannya sambil menggelengkan kepalanya. Meskipun demikian
hati Mahesa Jenar menjadi sangat berdebar-debar. Ia telah melihat
persoalannya membelok dari arah semula. Sebab sebelum hal ini terjadi,
ia masih dapat mengerti tuntutan perasaan Sarayuda. Tetapi kemudian
agaknya ia sudah dikendalikan oleh nafsu yang terlepas dari pengamatan
pikiran.
Sarayuda yang sudah berada dalam puncak
kemarahannya itu, segera meloncat dan menampar mulut Karang Tunggal
dengan suatu gerakan yang cepat sekali. Melihat gerak tangan Sarayuda,
hati Mahesa Jenar berdesir. Sebab gerakan itu sedemikian cepat sehingga
tak mungkin untuk dihindari.
Tetapi apa yang disaksikan sangat
mengguncangkan hatinya. Ia melihat pukulan itu menyambar pipi Karang
Tunggal, bahkan ia melihat suatu benturan yang keras. Namun demikian
Karang Tunggal sama sekali tak tergetar. Bahkan dengan suatu gerak yang
cepat pula ia meloncat mundur menjauhi. Juga gerak itu sangat
mengagumkan. Putut Karang Tunggal dapat bergerak mundur dengan tangkas,
seolah-olah tidak menggerakkan anggota badannya.
Demikian herannya sehingga Mahesa Jenar
bergeser maju selangkah, seolah-olah ia ingin melihat bahwa suatu
kenyataan yang aneh telah terjadi di hadapannya. Agaknya demikian juga
Ki Ageng Pandan Alas, yang memandang perkelahian itu dengan mulut
ternganga.
Sarayuda yang sedang terbakar hatinya,
tidak begitu memperhatikan kenyataan yang aneh itu. Bahkan ia menjadi
semakin bernafsu ketika ia merasa serangannya yang pertama itu gagal.
Sehingga kemudian ia pun menyerang lebih dahsyat lagi.
Sekarang Putut Karang Tunggal telah siap
untuk menerima serangan Sarayuda, sehingga ia tidak menjadi sasaran
saja. Dengan cepat ia mengelak dan dengan cepat pula ia membalas
serangan Sarayuda dengan serangan yang cepat pula.
Maka sesaat kemudian terjadilah
perkelahian yang sengit. Suatu perkelahian antara dua orang yang
memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan. Seperti apa yang pernah
disaksikan oleh Mahesa Jenar, Putut Karang Tunggal dengan lincahnya
menari-nari seperti melihat lawannya dari arah yang sama sekali tak
terduga-duga.
Tetapi Sarayuda bukan anak kecil yang
kagum melihat burung terbang di udara. Ia telah hampir masak dalam
ilmunya. Ilmu yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Apalagi ia sendiri
telah menempuh pengalaman luas, sehingga dengan demikian ilmunya
menjadi bertambah sempurna. Karena itulah maka ia sama sekali tidak
menjadi bingung. Kemana bayangan Karang Tunggal meluncur, Sarayuda telah
siap untuk menghadapinya. Bahkan semakin lama serangannya semakin
mengerikan. Kalau semula ia masih belum mempergunakan segenap
kecakapannya, maka setelah ia bertempur beberapa lama maka dengan
sendirinya segenap ilmunya dikerahkannya pula.
Meskipun demikian apa yang dilakukan
Sarayuda sama sekali bukanlah semacam seseorang yang mengajari sedikit
kesopanan kepada Karang Tunggal. Tetapi benar-benar telah terlibat dalam
satu perkelahian dengan seorang yang sama sekali tidak diduganya akan
dapat mengimbanginya dengan sangat baik.
Karena itu Sarayuda menjadi semakin
heran, marah dan benci bercampur aduk. Ia menjadi heran karena anak itu
benar-benar tidak diduganya mempunyai kemampuan yang sedemikian tinggi.
Dan karena itulah ia menjadi marah sekali. Ia merasa bahwa anak itu
dengan sengaja telah menghinanya dan menariknya ke dalam suatu
pertentangan.
Karena itulah maka ia tidak mau lagi
mengekang dirinya. Seperti badai yang dahsyat, serangan Sarayuda
kemudian datang bergulung-gulung, mengerikan sekali.
Pandan Alas yang menyaksikan pertempuran
itu dengan mulut ternganga menjadi tersadar, bahwa masalahnya bukanlah
masalah main-main lagi. Seperti Sarayuda, ia pun tidak mengira sama
sekali bahwa anak yang nakal itu dapat bertempur sedemikian gigihnya.
Sehingga timbullah suatu kecurigaan di dalam hatinya, bahwa ia
benar-benar hanya seorang Putut yang mengabdikan hidupnya kepada seorang
Panembahan di daerah terasing seperti Karang Tumaritis, dimana segala
sesuatunya lebih diberatkan pada masalah-masalah rohaniah. Pandan Alas
semakin curiga pula pada orang yang mengaku bernama Karang Jati itu.
Kalau saja anaknya dapat berbuat demikian, apakah kira-kira yang dapat
dilakukan oleh ayahnya…? Karena itu mau tidak mau Pandan Alas harus
mawas diri. Meskipun sebenarnya ia malu mencampuri perkara anak-anak,
tetapi siapa tahu kalau masalahnya menjadi berlarut-larut. Dalam pada
itu ia telah hampir melupakan Mahesa Jenar. Bahwa sebenarnya dengan
orang itulah ia berkepentingan, sehingga ia datang ke padepokan di atas
bukit kecil ini.
Sementara itu pertempuran antara Karang
Tunggal yang tidak lain adalah Mas Karebet yang juga dikenal dengan nama
Jaka Tingkir, yang telah diramalkan oleh seorang Wali yang waskita,
Sunan Kalijaga, bahwa kelak akan menduduki tahta kerajaan, melawan murid
tertua dan terpercaya dari Perguruan Pandan Alas, yang terkenal sebagai
seorang sakti dari Klurak. Keduanya memiliki pegangan yang kuat serta
pengalaman yang luas. Karena itu semakin lama pertempuran itu menjadi
semakin dahsyat.Putut Karang Tunggal tidak lagi nampak sebagai seorang
anak muda yang sedang tumbuh, tetapi ia benar-benar telah siap menjadi
seorang laki-laki yang lincah, tegap, kuat dan perkasa. Sedang lawannya
adalah seorang yang telah lama menjadi seorang ternama, apalagi di
daerahnya.
Mahesa Jenar lah yang pada saat itu
menjadi paling gelisah dan bingung. Tidak saja ia kagum atas apa yang
dilihatnya pada Karang Tunggal, tetapi ia bingung pula atas perkembangan
masalah yang menjurus pada hal-hal yang sama sekali tak dikehendaki.
Namun ia masih sempat berdiri keheranan melihat gerak-gerak keturunan
dari Perguruan Sela seperti yang pernah dikenalnya dengan baik dan yang
telah disaksikan pula sewaktu Karang Tunggal berlatih dengan Arya
Salaka. Tetapi ketika pertempuran itu menjadi semakin dahsyat, segera
tampaklah berbagai macam ilmu bercampur aduk menjadi satu dan bersenyawa
demikian serasinya, terbayang dalam gerakan Karang Tunggal. Malahan
kadang-kadang tampaklah hal-hal yang tidak mungkin dapat terjadi. Dengan
demikian ia dapat mengetahui bahwa anak itu benar-benar memiliki ilmu
yang jauh lebih lengkap daripada apa yang pernah disaksikan.
Sedangkan yang paling mengherankan
adalah, hampir setiap serangan Sarayuda, bagaimanapun tepatnya mengenai
sasaran, namun anak itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu yang
menyentuh tubuhnya. Ditambah lagi dengan gerak loncatnya yang
aneh. Ketika Sarayuda menyerangnya dengan garang ke arah kepala, Karang
Tunggal terpaksa merendahkan diri, sekaligus ia mendapat serangan kaki
ke arah lambung, dan sekaligus gerak yang aneh, ia dapat melontar mundur
sambil berjongkok. Gerakan ini adalah gerakan yang sulit. Namun anak
itu dapat melakukannya dengan sederhana dan wajar.
Kanigara melihat keheranan yang terbayang
di wajah Mahesa Jenar. Meskipun ia nampaknya masih acuh tak acuh saja,
tetapi sebenarnya ia pun mengagumi kemenakannya itu. Kemenakannya yang
nakal dan sulit dikendalikan sehingga ibu angkatnya Nyi Ageng Tingkir
menjadi bersedih atas kelakuannya. Dengan kegemarannya pergi
meninggalkan rumahnya sampai berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan
menyusur hutan dan padang, bahkan menyepi ke daerah-daerah yang tak
pernah dikunjungi manusia, menempuh daerah-daerah bahaya dan sengaja
masuk ke dalam sarang-sarang penjahat, telah menjadikan Karebet seorang
yang benar-benar tertempa lahir dan batin.
Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi
untuk tetap menyaksikan saja keperkasaan Karang Tunggal, sehingga
akhirnya ia perlahan-lahan pergi mendekati Kanigara, untuk menanyakan
beberapa hal mengenai anak yang aneh itu.
Ketika Mahesa Jenar telah berdiri di
sampingnya, dengan mata yang tak berkedip memandang perkelahian itu,
Kanigara mengetahui maksudnya. Maka sebelum Mahesa Jenar bertanya,
Kanigara telah berbisik lirih, ”Apakah kau menjadi heran?”
Mahesa Jenar mengangguk.
”Jangan heran…” Kanigara melanjutkan, ”Meskipun aku sendiri tidak tahu dari mana ia mendapatkannya. Tetapi ia memiliki ilmu yang disebutnya Lembu Sekilan.”
”Lembu Sekilan…?” ulang Mahesa Jenar. ”Ilmu yang pernah dimiliki oleh Empu Mada?”
”Demikian. Karena itu ia seolah-olah
menjadi kebal. Meskipun ilmu itu belum sempurna. Ia masih dapat dikenai
serangan yang cukup tajam dari ilmu yang kuat. Apalagi ia nanti dapat
menyempurnakan ilmu itu. Setidak-tidaknya mendekati apa yang dimiliki
oleh Gajah Mada. Maka ia pun akan menjadi orang yang tak terkalahkan
seperti Gajah Mada.”
Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan
kepala. Seorang anak yang masih semuda itu telah memiliki suatu jenis
ilmu yang sudah jarang sekali terdapat diantara para sakti sekalipun.
Karena itulah maka ia melihat serangan Sarayuda yang tepat dapat
mengenainya, tetapi sama sekali tak menggetarkan kulitnya.
Tetapi dengan demikian ia semakin cemas.
Untunglah bahwa Sarayuda pun memiliki ketangkasan yang luar biasa,
sehingga Karang Tunggal terlalu sulit untuk menyentuh kulitnya. Meskipun
demikian kemarahan Sarayuda setiap saat menjadi semakin menyala-nyala.
Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri, kepada gurunya dan kepada semua
orang yang menyaksikan. Bahwa melawan seorang anak-anak itu saja ia tak
berhasil mengalahkan. Karena itulah maka kemudian ia benar-benar
bertempur dengan seluruh tenaga, kemampuan dan ilmu yang dimilikinya. Ia
kini tidak merasa lagi berkelahi sekadar sebagai suatu pernyataan
marah, tetapi ia telah bertempur benar-benar diantara hidup dan mati.
Itulah sebabnya maka mereka yang
menyaksikannya tidak dapat tetap acuh tak acuh. Kanigara pun kemudian
bangkit berdiri, dan mengikuti jalannya perkelahian dengan seksama.
Tetapi yang beranggapan lain dari
semuanya adalah Arya Salaka. Ia pun menjadi gembira sekali dapat
menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Meskipun dalam beberapa hal ia
menjadi keheran-heranan melihat gerak-gerak yang belum pernah
disaksikan, namun ia dapat mengikuti sebagian besar dengan baik. Setelah
ilmunya sendiri meningkat dengan pesatnya, maka ia kemudian tidak lagi
mengagumi Sarayuda sebagai seorang yang terlalu tangguh. Sebab apabila
gurunya mengijinkan, dalam tingkatannya yang sekarang ia pun bersedia
untuk melawannya, meskipun barangkali tidak sebaik Putut Karang Tunggal.
Karena itu Arya Salaka melihat pertempuran yang hebat itu dengan
bergeser-geser mengikuti setiap geseran titik pertempuran. Bahkan
kadang-kadang ia berlari-lari mengelilingi untuk mengambil sudut
pandangan yang jelas. Karena ia sendiri sering melakukan latihan dengan
Karang Tunggal maka ia dapat melihat betapa berbahayanya gerak serangan
yang dilakukannya. Apalagi ketika pertempuran itu telah berlangsung
lama. Tidak hanya Arya Salaka, tetapi semua yang hadir di sekitar arena
pertempuran itu menyaksikan suatu hal yang tak terduga sebelumnya.
Ketika Sarayuda tidak lagi mengekang dirinya, dan bertempur dengan
segenap tenaganya dan kemampuannya, maka Putut Karang Tunggal pun
menanggapinya. Maka dalam saat-saat terakhir, ternyata ia berhasil
mendesak lawan dengan hebatnya. Gerakannya menjadi semakin cepat dan
lincah. Sebaliknya Sarayuda tenaganya sudah mulai surut setelah diperas
habis-habisan.
Kemudian terjadilah hal yang sangat
mengejutkan. Putut Karang Tunggal yang akhirnya juga menjadi kehilangan
kesabaran, tiba-tiba dari matanya yang bulat memancar seolah-olah cahaya
merah kebiru-biruan. Cahaya yang mempunyai pengaruh luar biasa sebagai
pancaran gaib yang melontar dari dalam dirinya. Bersamaan dengan itu
geraknya pun menjadi semakin garang sebagai topan yang mengalir deras
dibarengi petir yang menyebar maut.
Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang tua
yang penuh pengalaman dalam perjalanan hidupnya. Banyak hal yang pernah
dilihat dan dirasainya. Hal-hal yang kasar, yang halus, yang kasat mata
dan yang tidak. Itulah sebabnya maka ketika ia melihat sorot mata Putut
Karang Tunggal yang seakan-akan memancarkan cahaya merah kebiru-biruan
itu, hatinya tergetar cepat. Segera ia dapat merasakan suatu kegaiban
dari cahaya itu. Apalagi yang dilihatnya benar-benar suatu hal yang tak
mungkin terjadi dalam keadaan yang wajar. Seorang anak muda yang
memiliki ketangkasan demikian mengagumkan. Tidak saja melampaui
muridnya, namun apabila ia benar-benar marah, ia tidak tahu apa yang
akan terjadi dengan Sarayuda.
Meskipun Pandan Alas belum pernah
berkenalan, apalagi mempelajari semacam ilmu yang dimiliki oleh Putut
Karang Tunggal, namun sebagai seorang yang banyak mengetahui berbagai
macam ilmu, ia pun dapat menerka bahwa ilmu yang dipergunakan Karang
Tunggal adalah ilmu yang luar biasa.
Bahkan ia pun telah menduga bahwa Putut
Karang Tunggal memiliki ilmu yang hampir merupakan dongengan, Lembu
Sekilan. Sebab apapun yang dilakukan Sarayuda, dan tampak benar-benar
mengena, namun anak itu seolah-olah sama sekali tak merasakannya.
Meskipun dalam beberapa kali, apabila Sarayuda berhasil melontarkan
serangan yang tajam dan sepenuh tenaga, tampak juga betapa Karang
Tunggal bertegang wajah, menerapkan ilmunya dengan sepenuh usaha. Dengan
demikian Pandan Alas dapat menduga bahwa ilmu Putut Karang Tunggal itu
masih belum sempurna. Tetapi yang pernah didengarnya, seperti yang
pernah didengar oleh hampir semua tokoh-tokoh sakti, yang mersudi olah
jaya kawijaya guna kasantikan, bahwa Lembu Sekilan adalah salah satu
ilmu yang pernah dimiliki Maha Patih Gajah Mada.
Berdasarkan apa yang disaksikan itulah
maka akhirnya Pandan Alas merasa bahwa bagaimanapun hebatnya Sarayuda,
namun ia tak akan berhasil menandingi anak muda yang perkasa dan luar
biasa itu. Karena itu ia memutuskan untuk mencegah Sarayuda bertempur
lebih lama lagi. Maka kemudian terdengarlah ia berkata nyaring, “Sarayuda… cukuplah.”
Mahesa Jenar dan Kanigara terkejut
mendengar seruan itu. Namun dalam hati mereka menaruh hormat kepada
orang tua yang bijaksana itu. Kalau semula mereka menyangka bahwa
apabila ada salah mengerti padanya, persoalan pasti akan berlarut-larut.
Tetapi ternyata Pandan Alas telah berbuat suatu hal yang terpuji.
Dengan demikian maka persoalannya akan dapat dibatasi. Karena itu, Kebo
Kanigara yang juga cukup bijaksana segera memanggil kemenakannya. “Karang Tunggal… sudahlah. Mintalah maaf kepadanya, supaya kau dibebaskan dari kemarahannya.”
Putut Karang Tunggal yang bagaimanapun
nakalnya, apalagi pada saat itu, hatinya sedang dipenuhi oleh perasaan
marah, namun benar-benar takut kepada pamannya. Karena itu dengan sangat
kecewa ia terpaksa memenuhi perintahnya. Dengan satu lontaran mundur
yang jauh ia melepaskan diri dari libatan lawannya.
Tetapi tidaklah demikian Sarayuda.
Hatinya telah diamuk oleh suatu perasaan yang tak dapat diurai lagi.
Bercampur aduknya segala macam perasaan yang dapat membakar dadanya.
Marah, benci, dendam, dan segala macam. Sehingga dengan demikian
meskipun ia mendengar suara gurunya, namun ia sama sekali tak menaruh
perhatian. Sebagai seorang yang mempunyai kekuasaan yang cukup besar, ia
sama sekali tidak mau namanya menjadi cacat. Apalagi dalam perkelahian
yang memerlukan segenap pemusatan pikiran dan kekuatan, ia seolah-olah
tidak dapat melihat keajaiban-keajaiban yang dipancarkan lawannya,
meskipun dalam beberapa hal ia merasa heran juga kalau
serangan-serangannya seolah tak pernah dapat menyentuh kulit lawannya.
Tetapi justru karena itulah ia menjadi semakin bernafsu, berjuang
mati-matian. Demikianlah, ketika Sarayuda melihat Putut Karang Tunggal
melontarkan diri surut, ia sama sekali tidak menjauhkan dirinya, bahkan
ia pun memburunya dan sekaligus melontarkan suatu serangan yang dahsyat.
Putut Karang Tunggal tak mengira hal yang
demikian itu terjadi. Ia tidak menduga sama sekali bahwa ia akan
mendapat serangan justru pada saat ia mengundurkan dirinya. Karena
itulah ia tidak bersiaga. Ilmunya yang bernama Lembu Sekilan yang belum
sempurna benar itu sudah mulai dikendorkan. Karena itulah maka ketika ia
menerima serangan yang tak diduganya, terasalah seolah-olah sebuah
bukit karang berguguran menimpanya pada saat ia sedang lelap tidur.
Itulah sebabnya, bagaimanapun ia berusaha menerapkan ilmunya Lembu
Sekilan, namun dalam waktu yang mendadak itu tidak banyak berarti.
Meskipun berhasil menolongnya dari cidera, tetapi ia terlempar juga
beberapa langkah dan terbanting jatuh. Ternyata ilmunya itu masih belum
mampu bekerja sendiri apabila sebuah perangsang menyentuhnya.
Semua yang menyaksikan kelakuan Sarayuda
itu terkejut. Dada mereka berdebaran, dan darah mereka seperti berhenti
mengalir. Bahkan Kanigara dan Mahesa Jenar menjadi seolah-olah terpaku
di tempatnya dan tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Ki Ageng Pandan
Alas pun kemudian sampai terloncat maju, dan dengan lantangnya
berteriak, “Sarayuda… sadarkah kau bahwa kau telah berlaku kurang bijaksana?”
Sekali lagi Sarayuda tak mau mendengar
suara gurunya. Bahkan masih saja ia meloncat dan menyerang Putut Karang
Tunggal yang sedang berusaha untuk bangkit. Karena itulah maka
keadaannya menjadi sangat berbahaya. Untunglah otaknya cerdas dan cepat.
Segera ia menghentikan geraknya. Ia lebih baik tetap berjongkok, namun
dengan sekuat tenaga diterapkannya ilmunya Lembu Sekilan. Meskipun
demikian serangan Sarayuda yang ganas itu menggoncangkan tubuhnya
sehingga hampir saja ia terjatuh kembali. Pada saat Sarayuda akan
mengulangi serangannya kembali, tiba-tiba meloncatlah bayangan dengan
cepat menyerangnya dari lambung. Meskipun kecepatannya tidak dapat
disamakan dengan kecepatan karang Tunggal, namun terasa betapa kuat
serangan itu. Karena itu Sarayuda segera memutar tubuhnya, dan
mengurungkan serangannya atas Putut Karang Tunggal. Bayangan itu adalah
Arya Salaka yang telah memiliki ilmu yang maju dengan pesatnya. Karena
itulah maka sekali lagi Sarayuda terkejut. Anak yang kedua ini tidak
kurang berbahayanya, karena itu ia menghadapinya dengan sepenuh tenaga.
Pada saat itulah Kanigara dikecewakan oleh Sarayuda. Kalau mula-mula ia
ingin mencegah kemenakannya supaya tidak menyelesaikan pertempuran itu,
sekarang ia berpikir sebaliknya. Biarlah anak nakal itu menghajar orang
yang sama sekali tak tahu diri. Sebaliknya, Mahesa Jenar menjadi
terkejut dan cemas melihat Arya Salaka melibatkan diri dalam perkelahian
itu. Namun demikian ia menjadi keheranan juga, bahwa muridnya itu dapat
bertempur demikian baiknya sehingga sama sekali tak diduganya. Tetapi
Arya Salaka tidak perlu berjuang terlalu lama. Sebab pada saat itu Putut
Karang Tunggal telah bersiap kembali. Maka sesaat kemudian terdengarlah
ia berteriak nyaring, “Adi Arya Salaka, minggirlah. Aku tidak mau
diperlakukan demikian. Biarlah kami berhadapan sebagai seorang laki-laki
dengan laki-laki.”
Suara Putut Karang Tunggal itu pun
mengherankan pula. Getarannya bagaikan getaran guruh yang menggelegar
menggoyangkan bukit-bukit kecil yang bertebaran di sana-sini. Bahkan
suara itu seolah-olah telah mengejutkan matahari yang sedang tidur
dengan nyenyaknya di balik cakrawala. Karena itu, di ujung timur fajar
mulai menjenguk dan melemparkan cahayanya yang kemerahan.
Agak jauh di Padepokan Karang Tumaritis
di puncak bukit itu, terdengarlah suara ayam jantan yang berkokok
bersahutan. Seolah-olah mereka sedang membanggakan diri masing-masing
dengan berteriak, ”Ini dadaku, mana dadamu…?”
Demikian pula ayam jantan dari Pengging
yang bernama Karebet itu, menjadi semakin marah atas kelakuan lawannya.
Karena itu apapun yang terjadi, ia bertekad untuk bertempur mati-matian.
Sehingga ketika Arya Salaka telah meloncat minggir, anak muda itu tegak
berdiri dengan gagahnya, dengan kaki renggang dan dada menengadah.
Wajahnya menjadi semakin cerah, melampaui cerahnya fajar. Sedangkan
cahaya merah kebiru-biruan yang menyorot dari matanya yang bulat
cemerlang itu menjadi semakin menyala-nyala.
Tiba-tiba Sarayuda yang telah bersiap
pula, merasakan keanehan yang ada pada lawannya. Sekarang ia melihat
sorot mata yang ajaib. Juga ia semakin merasakan bahwa
serangan-serangannya menjadi seolah-olah lenyap tak berbekas. Tetapi
akibat dari tanggapannya atas kenyataan yang dihadapinya itu
menjadikannya semakin mata gelap. Ia sudah tidak dapat berpikir lain,
kecuali membinasakan lawannya. Karena itulah maka tiba-tiba ia berbuat
sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, baik oleh Mahesa Jenar,
Kanigara maupun gurunya sendiri Ki Ageng Pandan Alas.
Tiba-tiba, Sarayuda yang dibakar oleh api
kemarahan yang menyala-nyala di dalam dadanya, tiba-tiba berdiri tegak.
Wajahnya terangkat dan matanya menjadi redup setengah terpejam. Ia
menyalurkan segala tenaganya dilambari dengan pemusatan pikiran untuk
kemudian meletakkan satu tangannya di atas dada, sedangkan tangan
lainnya menjulur ke depan lurus-lurus. Itulah suatu sikap untuk
melepaskan ilmunya yang dahsyat, ilmu pamungkas Cundha Manik, dari
Perguruan Pandan Alas.
Mahesa Jenar pernah menyaksikan
kedahsyatan ilmu itu, bahkan ia pernah menempurnya dengan aji Sasra
Birawa. Akibatnya adalah mengerikan sekali. Sekarang, beberapa tahun
kemudian, pastilah Cunda Manik itu menjadi bertambah dahsyat. Karena
itu, ia menjadi pucat, dan melintaslah seleret bayangan yang mengerikan.
Sebab bagaimanapun teguhnya ilmu Lembu Sekilan yang belum sempurna itu
namun karena nafsu kemarahan yang tidaklah mungkin anak itu dapat
bertahan diri terhadap kedahsyatan aji Cunda Manik. Karena itulah maka
Mahesa Jenar tidak mau melihat pembunuhan yang tidak adil hanya karena
nafsu kemarahan yang tak terkendalikan. Dengan demikian ketika ilmu
Cunda Manik itu telah terhimpun di dalam tangannya serta ketika
dilihatnya Sarayuda telah siap meloncat dan mengayunkan tangannya,
Mahesa Jenar pun segera meloncat dengan garangnya menghadang langkah
Sarayuda tepat di depan Putut Karang Tunggal dengan satu tangan
bersilang di hadapan dadanya, satu tangan terangkat tinggi-tinggi.
Sedang sebelah kakinya ditekuknya ke depan, siap untuk melawan Cunda
Manik itu dengan ajinya yang telah jauh meningkat, Sasra Birawa. Dalam
pada itu bayangan lain pun telah melontar pula, dekat di sampingnya,
juga berusaha berdiri diantara Sarayuda dan Putut Karang Tunggal, bahkan
agak lebih cepat sedikit darinya dengan sikap yang sama. Satu tangan
bersilang, tangan yang lain terangkat tinggi-tinggi, sedang sebelah
kakinya ditekuk ke depan. Itulah Kanigara yang juga berusaha melindungi
kemenakannya dengan jenis ilmu yang sama, Sasra Birawa yang sempurna.
Dalam sekejap mata Sarayuda melihat pula
kedua orang yang telah berdiri berjajar rapat di hadapan lawannya. Namun
segalanya telah terlanjur. Ilmu itu telah terhimpun dan siap
dilontarkan. Karena itu ia menjadi tidak peduli lagi siapakah yang akan
binasa karenanya, apakah dirinya sendiri, Putut yang telah dianggap
menghinanya, ataukah Mahesa jenar, ataukah orang yang bernama Karang
Jati itu. Maka dengan mata yang hampir terpejam ia meloncat dengan
dahsyatnya.
Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar dan
Kanigara telah mulai menjulurkan kekuatannya lewat sisi telapak tangan
untuk menerima aji yang dahsyat itu, kembali mereka dikejutkan oleh
bayangan lain yang dengan dahsyatnya mendahului membentur Sarayuda
dengan kekuatan yang luar biasa pula. Sehingga terjadilah bentrokan
kekuatan yang mengerikan sekali. Akibatnya pun sangat mengejutkan.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar dan Kanigara masih sempat mengendorkan diri
sehingga mereka pun tidak perlu ikut serta dalam benturan yang terjadi,
dan tidak terduga-duga itu.
Sarayuda, karena akibat benturan itu
terlempar jauh ke belakang dan terbanting di atas batu karang. Suara
tubuhnya ambruk hebat. Dan setelah itu ia sama sekali tidak bergerak
lagi.
Sementara itu bayangan yang membenturnya,
yang tidak lain adalah gurunya sendiri, Ki Ageng Pandan Alas, segera
berlari-lari memburunya, dan langsung berjongkok di sampingnya.

Perlahan-lahan mereka berjalan mendekati
Ki Ageng Pandan Alas yang duduk tertunduk di samping muridnya. Wajahnya
suram sesuram seorang ayah yang kehilangan anaknya tersayang. Bahkan
dari mata orang tua itu membayangkan titik-titik air yang berkilat-kilat
kena lemparan cahaya matahari pagi.
Dari bibirnya yang bergetaran terdengarlah suaranya yang terputus-putus, ”Sarayuda…
kenapa kau sampai kehilangan akal, sehingga aku terpaksa mencegahmu…?
Aku pernah mengharap kau menjadi sambungan yang kuat dari perguruanku.
Sekarang….”
Wajah orang tua itu menjadi semakin
suram. Matanya yang kemudian terangkat dan memandang kepada Mahesa
Jenar, Kanigara, Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka, yang telah
berjongkok pula mengitari tubuh Sarayuda yang gilang-gilang bermandikan
cahaya matahari.
Angin pagi yang bertiup lambat seolah-olah ikut serta terbenam dalam duka yang mendalam.
Mereka yang berada di
tempat itu, merasakan betapa hati orang tua itu terpecah-pecah. Murid
utamanya, yang dengan penuh harapan diasuhnya sekuat tenaga, kini
terbaring di hadapannya justru karena tangan sendiri.
“Anak-anakku sekalian…” kata orang tua itu kemudian dengan suara yang dalam, “Maafkanlah muridku.”
Yang mendengar perkataan itu menjadi
semakin terharu. Betapa orang tua itu berhati jantan. Yang melihat
masalah di hadapannya dengan jujur meskipun dadanya serasa hancur.
Perlahan-lahan orang itu dengan tangannya
yang lemah karena guncangan yang hebat, meraba-raba dada Sarayuda.
Tiba-tiba terbersitlah suatu cahaya di matanya. Dengan cepat Ki Ageng
Pandan Alas menempelkan telinganya untuk mendengarkan detak jantung
muridnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Anakmas aku masih mendengar jantungnya berdetak.”
Tiba-tiba yang mendengar seruan itu, di
dalam hatinya timbul pula semacam perasaan gembira, sehingga mereka
bergeser setapak maju. Namun sesaat kemudian orang itu kembali menjadi
muram. Gumamnya, “Tetapi detak jantung itu sudah terlalu lemah. Dan aku bukanlah seorang ahli dalam hal ini.”
Tak sepatah katapun yang dapat diucapkan
oleh Mahesa Jenar, Kanigara, apalagi Putut Karang Tunggal dan Arya
Salaka. Hanya di wajah Karang Tunggal terbayang pula penyesalan yang
dalam. Karena kelakuannyalah maka semua itu terjadi. Ia sama sekali
tidak menduga, bahwa hanya karena ia tidak dapat menahan tertawanya
saja, maka ia terpaksa menyaksikan seorang guru dan murid saling
berbenturan dan mengakibatkan malapetaka.
Dalam pada itu, Kanigara yang telah agak
lama tinggal di bukit Karang Tumaritis, bersama-sama dengan seorang
Panembahan yang ahli pula dalam hal pengobatan, sedikit banyak dapat
pula melakukannya. Maka dengan suara yang dalam ia mencoba meminta, “Ki
Ageng Pandan Alas, kalau memang masih ada detak di dalam dada Sarayuda,
ijinkanlah aku mencoba untuk memperlancar jalan darahnya.”
Dengan mata yang suram Ki Ageng Pandan
Alas memandang Kanigara. Tetapi kemudian ia mengangguk lemah. Segera
Kanigara bangkit dan berdiri dengan kaki terbuka di atas tubuh Sarayuda.
Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya untuk menolongnya menyalurkan
pernafasan dan peredaran darahnya. Setelah itu, perlahan-lahan pula ia
memijit-mijit dada.
Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas
dengan jelas dapat melihat siapakah yang berdiri di hadapannya, yang
menamakan dirinya Putut Karang Jati itu. Ia adalah seorang yang bertubuh
tegap besar, berwajah bening yang memancarkan kelembutan hati. Karena
itulah ia menjadi semakin curiga, bahwa orang itu hanyalah seorang Putut
yang sejak semula memang mengabdikan diri pada Panembahan di bukit ini.
Dengan tidak sengaja, matanya segera merayapi Putut muda yang baru saja
bertempur dengan muridnya. Seorang muda yang memiliki tanda-tanda
keajaiban. Juga terhadap anak ini ia selalu bertanya-tanya di dalam
hati. Siapakah gerangan mereka itu sebenarnya.
Ketika itu ia melihat Sarayuda mulai
dapat menyalurkan nafas perlahan-lahan serta detak jantungnya menjadi
semakin lancar pula. Namun demikian apabila ia tidak segera mendapat
pertolongan yang semestinya, keadaannya sangat membahayakan.
Karena itulah maka Kanigara berkata, ”Ki
Ageng Pandan Alas, apabila Ki Ageng tidak berkeberatan, perkenankanlah
aku membawa murid Ki Ageng ini menghadap Panembahan, supaya ia dapat
disembuhkan dari keadaan yang sekarang ini.”
Ki Ageng Pandan Alas yang menaruh harapan
masa depan perguruannya, sudah tentu menghendaki muridnya dapat
disembuhkan. Karena itu dengan senang hati ia menjawab, ”Anak Putut Karang Jati, aku sangat berterima kasih apabila Panembahan Ismaya berkenan menyembuhkan Sarayuda.”
Kemudian oleh persetujuan itu, segera
Kanigara mengajak mereka semua untuk menghadap Panembahan. Tetapi
tiba-tiba terdengarlah Putut Karang Tunggal berkata, ”Paman, apakah aku harus ikut menghadap pula? Aku telah menyanggupi Adi Arya untuk membawanya berkeliling bukit kecil ini.”
Kanigara melihat ketakutan anak nakal itu terhadap Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab, ”Ayolah.
Kau jangan berbuat sekehendakmu saja. Arya akan sabar menunggu sampai
besok, lusa bahkan seminggu dua minggu lagi. Malahan kaulah yang
seharusnya mengangkat tubuh Sarayuda, dan memapahnya menghadap
Panembahan.”
Karang Tunggal sama sekali tak berani
membantah kata-kata pamannya. Dengan dada berdebar-debar ia membungkuk
dan mengangkat murid Pandan Alas itu pada kedua tangannya dan membawanya
mengikuti pamannya yang berjalan di depan bersama-sama dengan Mahesa
Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas. Sedang Arya Salaka berjalan dengan
kepala tunduk di sampingnya.
”Beratkah tubuh itu Kakang?” tanya Arya Salaka.
Dengan tersenyum kecut Karang Tunggal menjawab, ”Cukupanlah.”
”Dapatkah aku membantu?” sambung Arya.
Sekali lagi Karang Tunggal tersenyum kecut. ”Tak usahlah.”
Setelah itu kembali mereka berdiam diri.
Tak seorangpun diantara mereka yang mengucapkan sepatah katapun. Namun
di dalam keheningan pagi itu, dada Ki Ageng Pandan Alas masih saja
bergejolak. Disamping kecemasannya atas keselamatan muridnya, ia jadi
benar-benar berpikir tentang orang yang nenamakan Putut Karang Jati dan
Karang Tunggal. Yang paling mengherankan baginya adalah bahwa Karang
Jati dalam keadaan yang terjepit, telah menyiapkan pula ilmu yang mirip
dengan ilmu Mahesa Jenar yang dahsat peninggalan almarhum sahabatnya, Ki
Ageng Pengging Sepuh.
Kedatangan rombongan itu, dengan seorang
yang tak sadarkan diri di tangan Putut Karang Tunggal, sangat
mengejutkan penghuni padepokan yang damai itu. Para cantrik segera
bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang telah terjadi, dan siapakah
yang pingsan di tangan kepala para cantrik itu.
Demikian pula agaknya Panembahan Ismaya.
Dengan tergopoh-gopoh ia menerima kedatangan mereka dengan penuh
pertanyaan di wajahnya yang lembut.
Segera rombongan itu dipersilahkan masuk dan dibaringkannya tubuh Sarayuda di atas sebuah pembaringan kayu.
Panembahan Ismaya melihat keadaan yang
mengkhawatirkan. Karena itu ia tidak sempat untuk bertanya-tanya. Tetapi
yang mula-mula dilakukan adalah merawat Sarayuda. Beberapa bagian
tubuhnya dipijit-pijit serta kemudian dengan hati-hati sekali
diminumkannya semangkuk kecil obat
Suasana untuk sesaat jadi hening dan
tegang. Masing-masing terikat pada keadaan Sarayuda yang masih terbaring
diam. Namun nafasnya telah mulai nampak mengalir teratur.
Akhirnya beberapa saat kemudian tubuh itu
mulai hangat kembali. Cahaya yang merah perlahan merambat ke wajahnya.
Dengan demikian maka keselamatannya semakin dapat diharapkan.
Sejalan dengan itu menjalar pula perasaan
syukur di dada Pandan Alas dan semuanya yang menyaksikan. Bahkan Putut
Karang Tunggal yang semula menjadi marah kepada Sarayuda, kini dengan
penuh harapan mengikuti perkembangan keadaan murid Pandan Alas itu.
“Mudah-mudahan Tuhan menyelamatkan jiwanya,” gumam Panembahan Ismaya. “Namun
menilik keadaannya ia telah berangsur baik. Nafasnya telah mengalir
dengan teratur. Meskipun agaknya untuk beberapa bulan ia harus
benar-benar beristirahat untuk segera dapat memulihkan kembali kesehatan
serta kekuatan tubuhnya.”
“Betapa besar terima kasihku kepada Tuhan, yang telah mengampuni jiwa muridku dengan lantaran Panembahan,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
Perlahan-lahan Panembahan Ismaya menoleh
kepada Ki Ageng Pandan Alas. Untuk beberapa saat ia memperhatikannya
lalu kemudian ia bertanya, “Siapakah Anakmas yang terluka ini…?”
”Muridku, Panembahan,” jawab Pandan Alas.
Panembahan Ismaya mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Biarlah Anakmas ini beristirahat. Marilah kita duduk di ruang sebelah.”
Kemudian ditinggalah Sarayuda seorang diri terbaring. Matanya masih terpejam, tetapi wajahnya sudah nampak merah.
Di ruang sebelah, mulai Panembahan Ismaya
bertanya-tanya. Apakah yang sudah terjadi dan siapakah guru dan murid
yang belum dikenalnya itu. Maka berceritalah Kebo Kanigara, segala
sesuatu yang menyangkut peristiwa itu. Diceritakan pula hubungan antara
Mahesa Jenar, Sarayuda dan Pudak Wangi yang dititipkan di padepokan itu
oleh Mahesa Jenar setelah ia berhasil menyelamatkannya dari tangan Sima
Rodra. Namun Mahesa Jenar sendiri geli mendengar keterangan itu.
Kemudian diceritakan pula bahwa beberapa malam kemudian didengarnya
suara tembang yang sebenarnya adalah suara Ki Ageng Pandan Alas, kakek
Pudak Wangi yang sedang mencari cucunya. Dan kemudian tanpa meninggalkan
peristiwa yang terkecil pun Kanigara menceritakan pula pertengkaran dan
akhirnya perkelahian yang terjadi antara Sarayuda dan Karang Tunggal,
sehingga akhirnya guru Sarayuda sendiri terpaksa mencegah muridnya yang
akan mempergunakan senjata pamungkasnya yang sangat berbahaya.
Panembahan Ismaya mendengarkan uraian
Kebo Kanigara dengan seksama. dan sambil mengerutkan keningnya ia
memandang Putut Karang Tunggal dengan penuh penyesalan.
Katanya kemudian, “Ki Sanak yang
bijaksana, maafkanlah kelakuan orang-orangku yang sama sekali tidak
bersikap baik. Untunglah bahwa Ki Ageng Pandan Alas telah mencegahnya.
Kalau tidak, barangkali Putut Karang Tunggal akan mengalami cidera
karena kenakalannya. Bahkan Ki Ageng telah mengorbankan murid sendiri.”
Tak seorang pun yang berani mengangkat
wajah. Kanigara, Karang Tunggal maupun Mahesa Jenar dan Arya Salaka.
Apalagi Mahesa Jenar merasa bahwa sumber dari persoalan itu adalah
persoalannya dengan Sarayuda.
Apalagi ketika Panembahan Ismaya melanjutkan, “Dengan
demikian kehadiranmu di tempat itu sama sekali tak berarti Kanigara,
bahwa kau tidak dapat mencegah semuanya itu terjadi.”
Kanigara menjadi semakin menundukkan wajahnya.
Kanigara menjadi semakin menundukkan wajahnya.
Tetapi akibat kata-kata itu tajam sekali
bagi Ki Ageng Pandan Alas yang telah sekian lama berteka-teki tentang
orang yang menamakan dirinya Putut Karang Jati itu. Apalagi setelah ia
menyaksikannya mempersiapkan aji Sasra Birawa. Dan sekarang ia mendengar
Panembahan Ismaya menyebutnya Kanigara. Segera Pandan Alas teringat
seseorang beberapa tahun lampau, pada saat ia masih bergaul dengan
sahabatnya Ki Ageng Pengging Sepuh, guru Mahesa Jenar. Ia teringat jelas
putra sahabatnya itu yang kemudian menjadi saudara muda seperguruannya
sendiri. Bahkan yang memiliki ilmu yang lebih masak daripadanya. Karena
ia jarang menjumpainya maka ia tidak begitu mengenalnya. Dan sekarang
orang itu ada di depannya. Kanigara. Ya… Kebo Kanigara.
Karena itu tiba-tiba ia menjadi gemetar. Dan dengan suara yang berat ia bertanya, “Panembahan, apakah Anakmas Kebo Kanigara putra Pangeran Handayaningrat…?”
Pangeran Ismaya mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Inilah orangnya.”
Tiba-tiba Ki Ageng Pandan Alas yang sudah tua itu mengangguk hormat kepada Kanigara sambil berkata, “Maafkan
Anakmas Kebo Kanigara. Aku agaknya terlalu pikun untuk mengenal
sahabat-sahabatku kembali. Agaknya Anakmas terlalu lama meninggalkan
ayahanda, sehingga sejak masa hidup ayahanda aku sudah tidak pernah
menjumpai Anakmas lagi.”
Kanigara membalas hormat pula kepada Pandan Alas. Lalu jawabnya, “Kita sudah terlalu lama tidak bertemu, Ki Ageng.”
“Untunglah…” sambung Pandan Alas, Bahwa aku telah mencegah muridku. “Kalau saja aku terlambat, aku kira muridku itu telah menjadi lumat.”
Kanigara mengerutkan keningnya. Juga
Panembahan Ismaya. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun. Yang
terdengar kemudian adalah pertanyaan Ki Ageng Pandan Alas, ”Aku
memang sudah menduga bahwa yang bernama Karang Jati adalah mengandung
suatu rahasia meskipun hanya sekadar sebagai suatu olok-olok saja. Namun terhadap Karang Tunggal pun aku curiga pula.”
Sekali lagi Panembahan Ismaya dan
Kanigara bersama-sama mengernyitkan keningnya. Sedang Karang Tunggal
sendiri kemudian menjadi berdebar-debar meskipun baginya sama sekali tak
bedanya apakah ia dipanggil Putut Karang Tunggal, Karebet atau Jaka
Tingkir.
”Ki Ageng…” jawab Kebo Kanigara kemudian, ”Kalau
aku menyebut diriku Putut Karang Jati adalah karena aku tinggal
bersama-sama Panembahan di bukit ini. Adapun nama itu adalah nama yang
aku pergunakan sebagai Putut. Sedang Karang Tunggal pun demikian.
Sebagai seorang Putut ia bernama Karang Tunggal. Tetapi apabila Ki Ageng
ingin mengetahuinya, aku kira ia tidak keberatan.”
Lalu kepada Karang Tunggal ia berkata, ”Bukankah begitu Karang Tunggal?”
Karang Tunggal mengangguk kaku.
”Nah, Ki Ageng…” Kanigara melanjutkan, ”Ia
adalah seorang Putut yang baik, tetapi ia adalah seorang anak nakal.
Senakal ayahnya, yang pasti Ki Ageng pernah mendengarnya.”
Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-angguk dengan penuh perhatian.
”Anak itulah peninggalan adikku, Kebo Kenanga. Namanya Karebet,” sambung Kanigara. ”Dan
selama ia tinggal di bukit ini ia mendapat kehormatan untuk menjadi
pimpinan para cantrik. Baginya oleh Panembahan Ismaya diberikan nama
Putut Karang Tunggal.”
Sekali lagi Pandan Alas mengangguk-angguk. Kemudian sahutnya, ”Pantaslah kalau ia cucu Ki Ageng Pengging Sepuh. Aku melihat keajaiban yang tersembunyi di dalam tubuhnya.”
”Aku hanya melihat kenakalannya,” potong Panembahan Ismaya. ”Kenakalan yang aku kira sudah berkurang. Tetapi agaknya pada suatu saat akan dengan mudahnya timbul kembali.”
Kembali kepala Karang Tunggal tertunduk. Sindiran yang langsung mengenainya.
Sementara itu tubuh Sarayuda yang
terbaring di ruang sebelah ternyata sudah mulai tampak bergerak gerak.
Panembahan Ismaya kemudian bersama dengan mereka yang hadir di ruang itu
segera mendekatinya. Dengan hati-hati Panembahan Ismaya meraba tubuh
yang sudah semakin segar itu. Dan beberapa saat kemudian Sarayuda dengan
lemah membuka matanya. Alangkah gembira hati gurunya. Tidak itu saja.
Juga Kanigara, Mahesa Jenar dan lainnya pun bergembira pula.
Apalagi ketika kemudian dengan sangat perlahan terdengar dari sela-sela bibirnya yang gemetar Sarayuda berkata, ”Guru….”

Sarayuda melihat gurunya membungkukkan
kepalanya di hadapan wajahnya. Dengan sayu ia mencoba tersenyum dan
melanjutkan kata-katanya, ”Apakah aku masih hidup…?”
”Tentu Sarayuda, tentu…” jawab Pandan Alas.
”Air…” desis Sarayuda.
Belum lagi Pandan Alas melanjutkan
permintaan itu, Karang Tunggal telah meloncat untuk mengambil air yang
kemudian setetes demi setetes air itu diteteskan ke mulut Sarayuda dan
langsung ditelannya.
Dengan tetesan air itu Sarayuda merasa tubuhnya menjadi semakin segar. Karena itulah wajahnya menjadi semakin semringah pula.
”Terimakasih,” desisnya.
”Istirahatlah Anakmas,” bisik Panembahan Ismaya.
Mata Sarayuda yang masih redup memandang
Panembahan Ismaya dengan herannya. Ia belum pernah mengenalnya.
Panembahan tua itu segera mengetahui apa yang terkandung di dalam
hatinya. Maka segera ia berkata, ”Mungkin Anakmas heran melihat
kehadiranku di sini. Jangan pikirkan itu dahulu. Beristirahatlah supaya
tubuh Anakmas menjadi baik.”
Sarayuda kembali mencoba tersenyum.
Kemudian matanya beredar kepada Mahesa Jenar, Kanigara, Arya Salaka dan
Putut Karang Tunggal. Tetapi wajahnya sama sekali tidak memancarkan
perasaan marah dan dendam. Bahkan kemudian kembali ia tersenyum, senyum
yang ikhlas. Lalu katanya, ”Guru, di manakah aku sekarang ini?”
”Kau berada di Padepokan Karang Tumaritis, Sarayuda. Kau berada di dalam perawatan Panembahan Ismaya ini,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
”Ki Ageng Pandan Alas, maafkanlah aku,” katanya kemudian.
”Jangan berpikir yang aneh-aneh, Sarayuda,” potong Pandan Alas. ”Ikutilah nasehat Panembahan supaya tubuhmu bertambah baik.”
”Terimakasih,” jawabnya. ”Aku akan beristirahat sebaik-baiknya. Tetapi aku lebih dahulu akan minta maaf kepada kalian. Pada kesempatan ini. Kepada Ki Ageng, kepada Kakang Mahesa Jenar, kepada Putut Karang Jati, Karang Tunggal, dan Arya Salaka.”
”Tak ada kesalahan yang kau lakukan Sarayuda. Perbedaan pendapat dan persamaan kepentingan adalah lumrah, sehingga akibat yang timbul karena itu pun lumrah pula,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
Sarayuda menarik nafas dalam-dalam.
Dengan demikian tubuhnya menjadi bertambah segar. Angin pagi yang
perlahan-lahan mengalir, mengusap wajahnya dengan lembut.
“Aku merasa bahwa apa yang aku lakukan telah melanggar nasehat guru. Karena itulah aku merasa bersalah,” kata Sarayuda meneruskan.
“Baiklah,” jawab gurunya, “Aku maafkan kesalahan itu. Dan aku yakin, Sarayuda, bahwa yang lainpun akan memaafkanmu.”
Sekali lagi pandangan Sarayuda beredar berkeliling, seolah-olah ia ingin mendapatkan kebenaran kata-kata gurunya.
Mahesa Jenar yang dapat meraba pertanyaan yang terpancar dari mata itu segera berkata, “Sarayuda.
Marilah kita saling memaafkan. Saling melupakan apa yang pernah kita
lakukan. Leburlah semua kesalahan yang ada diantara kita.”
Sekali lagi Sarayuda menarik nafas dalam-dalam. ”Leburlah kesalahan kita. Tetapi persoalan kita belum selesai,” sahutnya.
Mereka yang mendengar kata-kata itu,
jantungnya bertambah cepat berdenyut. Dalam keadaan yang sedemikian
Sarayuda masih mempersoalkan masalah yang rumit itu. Mahesa Jenar dengan
demikian menganggap bahwa dalam keadaan yang bagaimanapun Sarayuda akan
tetap pada pendiriannya. Maka tiba-tiba runtuhlah hatinya. Ia tidak
sampai hati mengecewakan orang yang sedang bertahan terhadap maut.
Bagaimanapun ia mempunyai kepentingan
buat diri sendiri, namun Mahesa Jenar adalah seorang yang berhati
lembut. Karena itu, ia lebih baik berkorban kepentingan diri, daripada
melihat Sarayuda berputus asa, dan seterusnya tidak menghendaki lagi
dirinya dapat sembuh kembali dari luka-luka dalamnya itu. Kalau demikian
halnya, maka tak ada obat di dunia ini yang mampu menolongnya.
Maka kemudian dengan hati berat dan kata-kata yang bergetar ia berkata, “Sarayuda…
jangan pikirkan aku lagi. Jagalah ketenteraman hatimu agar kau dapat
segera sembuh kembali. Dan apa yang kau idamkan selama ini akan dapat
kau capai. Kelengkapan dari kamuktenmu. Lupakan aku. Aku tidak akan
menghalangimu lagi.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu,
hampir semuanya tersentak. Kanigara, Pandan Alas, Karang Tunggal dan
Arya Salaka. Bahkan Panembahan Ismaya pun mengerutkan keningnya pula.
Perkataan yang demikian itu sama sekali tidak mereka duga sebelumnya.
Meskipun demikian, terutama Pandan Alas merasakan pengaruh kata-kata itu
dalam relung hatinya yang paling dalam. Ia menjadi semakin yakin,
betapa jernih hati laki-laki itu. Sehingga tiba-tiba terasa di dadanya,
sesuatu yang menyumbat pernafasannya.
Tetapi yang lebih terguncang lagi adalah
perasaan Sarayuda. Wajahnya segera berubah hebat. Bahkan hampir saja ia
mencoba bangun. Untunglah bahwa Panembahan Ismaya segera mencegahnya.
Namun demikian dari matanya memancarlah cahaya yang aneh. Sesaat
kemudian setelah hatinya agak teratur iapun berkata, ”Kakang Mahesa
Jenar. Aku bukan bermaksud demikian. Kemudian dengan mata sayu dan
kata-kata yang dalam ia meneruskan, Adakah Wilis di sini?.”
Tanpa disadari Mahesa Jenar menjawab, ”Ada Sarayuda. Ia berada di bukit ini. ”
Wajah Sarayuda menjadi bertambah jernih. Sambungnya, ”Mahesa Jenar, bolehkan aku bertemu?”
Masih di luar sadarnya Mahesa Jenar menjawab, ”Tentu Sarayuda. Apakah kau ingin menemuinya?”
”Ya, kalau kau tidak keberatan, tolonglah bawalah ia kemari, sebab aku sama sekali tidak dapat bangun untuk datang kepadanya,” jawabnya kemudian.
Barulah Mahesa Jenar sadar, bahwa ia
sendiri tidak tahu di mana Rara Wilis berada. Karena itu ia menjadi
kebingungan. Dalam kegelisahannya itu terdengarlah Kanigara menolongnya.
”Kau tak perlu pergi sendiri Mahesa Jenar, biarlah Widuri menjemputnya.”
”Terima kasih Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
Kemudian berjalanlah Kanigara keluar untuk mencari Widuri.
Beberapa saat kemudian suasana menjadi
hening. Masing-masing terpaku pada masalah yang sulit ini. Masalah yang
selalu terulang pada setiap masa dan setiap jaman. Masalah yang tak akan
habis-habisnya selama dunia masih terkembang. Selama manusia masih
ingin membina hari kemudian sebagai miliknya serta milik anak cucunya.
Demikian Tuhan mengkaruniakan perasaan cinta dan kasih kepada manusia,
sebagaimana perasaan cinta dan kasih-Nya yang menjelmakan dunia beserta
isinya. Namun sayanglah bahwa manusia kadang-kadang tidak berhasil
menanggapi kurnia yang indah itu dengan sewajarnya. Bahkan ada diantara
anak manusia yang ingin mengembangkan rasa cinta kasih Tuhannya dengan
landasan dendam dan nafsu. Sehingga dengan demikian kaburlah batas
antara cinta dan nafsu, antara kasih dan dendam.
Demikianlah untuk sejenak mereka terbenam dalam kesepian. Barulah kemudian Panembahan Ismaya yang bijaksana berkata, ”Ki
Sanak Pandan Alas, Arya Salaka dan Karang Tunggal, marilah kita
tinggalkan ruangan ini, biarlah Anakmas Sarayuda beristirahat.”
Pandan Alas yang tua itupun segera
menangkap maksudnya, sehingga bersama-sama dengan Arya Salaka dan Putut
Karang Tunggal, merekapun meninggalkan ruangan itu.
Tinggallah Mahesa Jenar dengan kakunya
berdiri disamping pembaringan Sarayuda, yang menenteramkan hatinya
dengan memejamkan matanya. Agaknya ada sesuatu yang bergelora didalam
dadanya, yang baru akan dikatakannya apabila Wilis telah datang.
Sesaat kemudian, apa yang dinantikan
datanglah. Yang mula-mula terdengar adalah suara gadis kecil yang renyah
dan bersih, sebersih air yang baru memancar dari sumbernya, ”Paman, inilah bibi.”
Seperti disentakkan Mahesa Jenar memutar
tubuhnya, menghadap pintu. Dan apa yang dilihatnya adalah Rara Wilis
tidak dalam pakaian seorang laki-laki, tetapi ia telah mengenakan
pakaian wanita. Bergetarlah seketika dada Mahesa Jenar oleh perasaan
yang menyelip-nyelip tak dapat dikendalikan. Demikianlah untuk beberapa
saat tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Bahkan kemudian
agaknya Rara Wilis yang mula-mula dapat menguasai perasaannya yang
memang telah dipersiapkan sejak lama. Katanya, ”Kakang Mahesa Jenar,
yang selama ini tersimpan di dalam dadaku adalah perasaan terima kasih
yang tak terhingga atas pertolongan Kakang, yang pada saat itu aku tidak
sempat mengucapkannya.”
Mahesa Jenar mengangguk sedikit, jawabnya, ”Lupakanlah itu Wilis. Sebagaimana kewajiban kita, manusia yang hidup diantara manusia adalah saling menolong.”
Meskipun hatinya sendiri berkata lain. Berkata tentang keindahan yang
sempurna yang memancar dari tubuh gadis itu. Gadis yang pada saat
terakhir telah membanting-banting perasaannya, setelah ia terpaksa
membunuh ayah gadis itu. Rara Wilis tidak menjawab sepatah katapun
selain wajahnya terkulai jatuh di lantai. Tiba-tiba Mahesa Jenar
teringat kepada Sarayuda yang terbaring dengan lesunya, menunggu gadis
itu. Untuk sesaat Mahesa Jenar jadi bimbang. Apakah ia akan tetap pada
pendiriannya ? Menyerahkan kebahagiaan itu kepada Sarayuda…? Dalam pada
itu terbersitlah suatu ketetapan di hatinya, meskipun hati itu sendiri
akan terpecah. Biarlah ia mengorbankan dirinya kalau dengan demikian
sebuah jiwa akan tertolong. Jiwa yang sangat berharga bagi beribu-ribu
jiwa lain di daerah kekuasaannya.
Katanya kemudian diantara desah jantungnya yang semakin cepat, ”Wilis… seseorang menanti kau. Masuklah.”
”Seseorang…?” katanya bertanya.
Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya, ”Ya, seseorang.”
”Kau…?” desaknya. Mahesa Jenar menggeleng lemah. Lemah sekali.
Rara Wilis menjadi ragu. Seseorang mencarinya, dan orang itu bukan Mahesa Jenar.
Akhirnya terdengar suara Mahesa Jenar, ”Masuklah Wilis.”
Untuk sesaat Wilis masih tetap tegak di
muka pintu. Seolah-olah ia tidak kuasa menggerakkan kakinya untuk
melangkah masuk. Wajahnya tampak membayangkan kebimbangan hatinya.
Maka kemudian Mahesa Jenar yang melangkah
keluar, dengan langkah berat sambil membangunkan Wilis yang sedang
tenggelam dalam keraguan. ”Masuklah Wilis. Seseorang memerlukan kau datang. Mudah-mudahan kau membawa udara segar baginya.”
Meskipun Rara Wilis masih tetap ragu,
namun ia pun perlahan-lahan melangkah masuk ke dalam ruangan itu.
Perlahan-lahan seperti orang yang masuk ke daerah yang sama sekali asing
baginya.
Ketika Rara Wilis bergerak, Mahesa Jenar
melangkah pula menjauhi pintu itu. Ruangan yang semula dipergunakan
Panembahan Ismaya untuk menerima rombongan itu, kini telah sepi. Tak
seorang pun berada di sana. Panembahan Ismaya, Kanigara, Arya Salaka dan
Karang Tunggal, bahkan Widuri pun telah tidak nampak lagi.
Bagaimanapun Mahesa Jenar mencoba untuk
mengendapkan perasaannya namun terasa seolah-olah sesuatu
melonjak-lonjak di dalam dadanya. Karena itulah ia dengan gelisah
berjalan mondar-mandir seperti laki-laki yang gelisah menanti kelahiran
anak pertamanya. Beberapa kali ia mencoba melupakan kegelisahannya
dengan mengamati berbagai benda yang menghiasi ruangan itu. Beberapa
patung kecil, tergantung beberapa macam clupak lampu minyak kelapa. Di
tiang-tiang ruangan itu tampak juga bergantungan beberapa macam topeng
dari berbagai jenis.
Tetapi Mahesa Jenar tidak sempat
memperhatikan benda-benda itu satu demi satu. Meskipun ia melihat
semuanya itu, namun seolah-olahtidak sadar pada penglihatannya. Bahkan
kemudian dengan lesunya dibantingnya dirinya pada sebuah batu hitam
tempat duduk di dalam ruangan yang sepi itu.
Di luar, matahari yang terik seakan-akan
membakar padas-padas pegunungan yang memantulkan sinarnya
kemerah-merahan. Daun-daunan yang menjadi tertunduk lesu seperti segan
memandang sinar matahari yang agaknya tak bersikap bersahabat. Beberapa
daun kering meluncur lepas dari pegangannya oleh ketuaannya, dan
berguguran di tanah.
Mata Mahesa Jenar lepas lewat pintu
langsung menusuk ke daerah matahari yang silau, terbanting di batu-batu
padas yang kepanasan. Alangkah panasnya udara. Beberapa tetes peluh
menetes dari dahinya. Kemudian dengan lesu pula Mahesa Jenar berdiri
dan melangkah ke arah pintu keluar. Di depan pintu ia tertegun heran.
Pada mula-mula ia datang ke padepokan itu, di ruang ini pula ia
mengagumi pertamanan yang asri, yang terbentang di hadapan rumah kecil
itu. Bahkan ia mengagumi pula kesejukan udara yang dilemparkan oleh
pepohonan yang pepat rimbun itu ke dalam rumah. Tetapi kenapa tiba-tiba
sekarang udara di sini menjadi panas sekali? Akhirnya ia sadar bahwa
udara yang panas itu tidak dilontarkan oleh udara pegunungan kecil itu,
tetapi agaknya ditimbulkan dari dalam dirinya sendiri yang gelisah.
Tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut, ketika
ia menoleh dilihatnya Rara Wilis berlari keluar ruangan dan menjatuhkan
dirinya di atas tempat duduk batu hitam. Seterusnya ia menutup wajahnya
dengan kedua tangannya dan menangis sejadi-jadinya.
Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar menjadi
bertambah gelisah. Cepat-cepat ia memasuki ruangan tempat Sarayuda
berbaring. Tetapi ia menjadi agak tenang ketika melihat Sarayuda masih
bernafas dengan teratur. Bahkan ketika ia melihat Mahesa Jenar datang
kepadanya, dengan tersenyum ia berkata, ”Aku bertambah segar, Mahesa Jenar.”
”Syukurlah Sarayuda,” jawab Mahesa Jenar singkat.
”Bagiku, semuanya telah selesai,” sambung Sarayuda.
Mahesa Jenar memandang wajah Sarayuda
dengan tajamnya. Senyumnya masih saja membayang di wajahnya yang sudah
menjadi kemerah-merahan.
”Aku mengharap demikian,” jawab Mahesa Jenar, tetapi hatinya terasa pedih.
Kemudian Sarayuda berkata, ”Mahesa
Jenar, sekarang aku akan dapat tidur nyenyak. Mudah-mudahan aku lekas
sembuh dan dapat kembali ke Gunung Kidul, meskipun kekuatanku belum
pulih benar.”
”Aku ikut berdoa, Sarayuda,” sahut Mahesa Jenar kosong, sekosong dadanya saat itu.
Sarayuda menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia berusaha untuk memejamkan matanya.
Dengan gerak-gerak yang kaku, Mahesa
Jenar melangkah keluar dari ruangan itu. Sampai di depan pintu kembali
ia melihat Rara Wilis masih menangis sambil menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangannya. Dengan tak sengaja Mahesa Jenar berjalan
mendekatinya. Kemudian hampir berbisik Mahesa Jenar bertanya, ”Kenapa kau menangis Wilis…?”
Mendengar suara Mahesa Jenar, tangis Rara
Wilis agak mereda. Dengan isak yang ditahan, ia mengangkat wajahnya.
Matanya yang basah memandang Mahesa Jenar dengan persoalan. Meskipun
demikian hati Mahesa Jenar masih saja berdebar-debar memandang wajah
yang basah itu, seperti memandang bulan disaput awan. Tetapi Rara Wilis
tidak menjawab pertanyaan Mahesa Jenar. Sehingga beberapa saat mereka
saling berdiam diri.
”Kakang…” akhirnya terdengar Rara Wilis berkata, ”Alangkah sulitnya hidup yang harus aku tempuh. Banyak masalah yang berkembang diluar kemauanku sendiri.”
”Memang demikianlah agaknya,” jawab Mahesa Jenar. ”Banyak
hal yang harus kita lakukan, meskipun kadang-kadang bertentangan dengan
perasaan sendiri. Namun demikian setiap perbuatan hendaknya dilandasi
dengan tujuan yang bersih. Demikianlah apa yang akan kita lakukan nanti. Dan demikian pulalah keputusanku.”
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Matanya
yang mengaca itu tiba-tiba memancarkan pertanyaan-pertanyaan. Ia sama
sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Mahesa Jenar. Sehingga
kemudian Rara Wilis terpaksa bertanya, ”Apakah maksudmu Kakang?”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan Rara Wilis. Malah ia bertanya, ”Wilis, apakah kau menangis karena sedih atau karena kau terharu atas masa depanmu yang gemilang?”
Mata Mahesa Jenar kemudian menatapnya
tajam-tajam, seperti akan menembus dada Wilis. Dada seorang gadis yang
sedang bergelora. Yang sejenak kemudian meneruskan kata-katanya, ”Kakang…
aku bergaul dengan Kakang Sarayuda sejak kecil. Aku mengenalnya sebagai
seorang yang paling dekat diantara kawan-kawanku. Apalagi kemudian setelah meningkat lebih besar lagi, menjelang masa dewasa kami. Ia selalu dekat dengan Kakek. Lalu, kemudian Sarayuda lenyap dari kampung halaman kami. Ternyata
ia ikut dengan Kakek dan berguru kepadanya. Pada suatu saat ia muncul
kembali di kampung kami. Sarayuda telah berubah menjadi seorang pemuda
yang perkasa. Ia datang untuk mengusir perempuan yang mengganggu
ketenteraman kami. Mengganggu ayah serta keluarga kami. Agaknya ia
mendapat tugas dari Kakek. Tetapi sayang, ia datang terlambat. Ayah
telah pergi meninggalkan kami bersama perempuan jahat itu, yang ternyata
kemudian menetap di Gunung Tidar dan menamakan diri mereka suami-istri
Sima Rodra muda di bawah perlindungan Sima Rodra tua dari Lodaya.
Sejak saat itu Sarayuda sekali
datang, sekali lenyap kembali. Namun agaknya ia dapat merebut hati
seluruh penduduk daerah kami. Ternyata kemudian ia terpilih menjadi
Demang.”
Mendengar cerita itu tubuh Mahesa Jenar
menjadi gemetar. Dadanya berdesir hebat. Setiap kata Rara Wilis tentang
keperkasaan Sarayuda, bahkan setiap kata yang menyebut nama laki-laki
itu terasa seperti ujung-ujung duri yang menusuk-nusuk jantungnya. Dan
tiba-tiba saja ia seperti orang yang ingin melarikan diri dari cerita
itu. Cepat-cepat ia melangkah ke pintu dan dengan kakunya berdiri
berpegangan uger-uger-nya seolah-olah ia takut bila kakinya yang
bergetar itu tidak mampu lagi menahan berat tubuhnya.
Rara Wilis mengikutinya dengan sinar yang
memancar dari matanya yang bulat. Tetapi ia tidak tahu apakah yang
menggelegak di hati laki-laki itu. Karena itu ia masih melanjutkan
ceritanya, ”Kemudian datanglah masa itu. Masa dewasa kami, masa dimana dada kami dipenuhi impian-impian masa depan. Tetapi
sebagian dari masa itu sama sekali tak dapat aku nikmati. Sebab
masa-masa itu aku sedang dihadapkan pada suatu kenyataan pahit. Ibuku
meninggal dunia. Dan aku terpaksa meninggalkan kampung halaman, mencari
kakekku untuk menyangkutkan diri dalam limpahan kasih sayang. Seperti
pada masa kanak-kanakku. Akhirnya aku bertemu kembali dengan Sarayuda.
Dan seperti yang Kakang ketahui, Kakang Sarayuda mengharapkan sesuatu
dariku, tidak sebagai adik seperguruannya, tetapi sebagai seorang
laki-laki terhadap seorang wanita.”
Kata-kata Rara Wilis itu bagi Mahesa
Jenar terasa menusuk jantungnya semakin pedih. Sehingga kemudian dengan
suara gemetar, tanpa menoleh ia menyahut, ”Perasaan yang lumrah, yang dapat timbul di dalam setiap dada.”
”Ya,” potong Rara Wilis. ”Perasaan yang lumrah. Dan perasaan itu sedemikian dalamnya menggores di hati Kakang Sarayuda.”
Sekarang Mahesa Jenar tidak kuasa lagi
menahan perasaannya. Ia telah bertekad untuk meninggalkan impiannya
terhadap gadis yang baginya memiliki keindahan yang tanpa cela itu.
Tetapi untuk mendengarkan cerita itu terasa seolah-olah keindahan yang
telah dilepaskannya itu diperagakan di hadapannya. Karena itu, tiba-tiba Mahesa
Jenar membalikkan tubuh, dan dengan mata yang tajam ia memandang Rara
Wilis yang menjadi keheran-heranan melihat sikap Mahesa Jenar. Apalagi
kemudian terdengarlah suaranya menggeram, “Wilis, katakan…
katakanlah kepadaku bahwa kau juga mencintainya. Dan kau menerima
keadaan ini dengan dada terbuka, bahkan kau merasa bahwa kau menghadapi
masa gemilang. Masa yang bahagia sebagai istri Demang yang kaya raya,
yang disuyuti oleh beribu-ribu orang.” Kemudian terdengar suara Mahesa Jenar merendah, “Wilis…
aku akan ikut bahagia bila aku melihat kau menjadi bahagia. Bahkan aku
siap untuk berbuat apapun untuk ikut serta mempertahankan kebahagiaanmu
itu, kalau seandainya orang-orang semacam Jaka Soka mengganggu
ketenteraman hidupmu.”
Setelah itu Mahesa Jenar tidak kuasa lagi
meneruskan kata-katanya. Namun kata-kata itu ternyata sangat
mengejutkan hati Rara Wilis, sampai ia meloncat berdiri dengan wajah
yang memancarkan seribu satu pertanyaan. Demikianlah untuk sesaat Rara
Wilis tidak tahu apa yang akan dikatakan. Baru kemudian terdengarlah ia
berkata dengan bibir yang gemetar, ”Kakang, apakah kata-kataku tidak pada tempatnya…?”
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya. Dan dengan suara yang gemetar ia menjawab, ”Aku
akan dapat menyaksikan kau berbahagia, Wilis. Tetapi aku tidak dapat
mendengar itu dari kau sendiri. Aku minta janganlah kau menambah hatiku
jadi terpecah-pecah.”
Kening Rara Wilis jadi berkerut.
Tiba-tiba ia mengerti apa yang tersimpan di dalam hati Mahesa Jenar.
Namun demikian ia ingin meyakinkan, ”Kakang Mahesa Jenar… apakah yang telah terjadi padamu…? Adakah kau bermaksud melarikan diri…?”
Mahesa Jenar tersentak. ”Melarikan diri…?” desisnya.
Mata Rara Wilis jadi bercahaya. Namun
cahayanya bukan cahaya yang bening, tetapi cahaya yang memancarkan
kepedihan yang tumbuh di hatinya. Lalu katanya, ”Kau akan mengulangi kata-katamu beberapa tahun yang lalu? Akan
kau katakan juga sekarang bahwa kau akan menjadi seorang pahlawan dalam
bercinta. Kakang, kita sudah bertambah dewasa. Umur kita telah
melampaui masa yang seindah-indahnya dalam hidup kita. Dan sekarang kau
masih terbenam dalam cahaya purnama yang baru mengembang. Kakang,
haruskah aku mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak berakar di dalam
dadaku, karena aku ingin menuruti kemauanmu. Tidak Kakang. Ketahuilah
bahwa sejak kepergianmu tanpa pamit beberapa tahun yang lalu, aku sudah
mencobanya. Mencoba mengisi sebagian hatiku yang lenyap bersamamu dengan
seorang yang bernama Sarayuda. Tetapi aku tidak berhasil Kakang. Kakang
Sarayuda bagiku adalah saudara tua yang penuh kasih sayang kepada
adiknya. Dan tahukah kau apa yang baru saja dikatakan kepadaku…?”
Mahesa Jenar seperti terpaku berdiri di
tempatnya. Kata-kata Rara Wilis itu dengan tajamnya menusuk menembus
tulang sungsum. Tetapi bersamaan dengan itu, tumbuh pula di dalam
dadanya suatu perasaan yang melonjak-lonjak, sehingga tubuhnya kemudian
menjadi menggigil. Dari mulut Rara Wilis sendiri sekarang ia mendengar,
bahwa gadis itu menaruh harapan sepenuhnya kepadanya. Tetapi justru
karena itulah malahan ia terbungkam, sampai kembali terdengar suara Rara
Wilis meneruskan, ”Kakang Mahesa Jenar, aku tidak peduli apakah
yang akan kau katakan tentang diriku. Tetapi aku merasa bahwa beban yang
menyumbat dadaku kini telah aku tuangkan. Seluruhnya. Dan dadaku kini
telah terbuka bagimu. Terserahlah kepadamu akan nilai-nilai yang kau
berikan kepadaku. Kepada seorang gadis yang membuka hatinya kepada
seorang laki-laki, di hadapan wajahnya.”
”Wilis…” desis Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat meneruskan sebab kembali Wilis memotong, ”Nah
Kakang. Sekarang kalau kau akan pergi, pergilah. Tinggalkan aku
sendiri. Katakan kepada bukit-bukit kecil itu, kepada karang-karang dan
batu-batu, kepada angin dan pepohonan, kepada bulan dan bintang, bahwa
seorang laki-laki telah pergi dengan hati terpecah belah untuk memberi
kesempatan orang lain menikmati kebahagiaan, sedang orang lain itu sama
sekali tidak menghendaki. Tetapi jangan katakan hal itu kepada seseorang
yang akan kau jumpai dalam pelarianmu, sebab kau akan ditertawakan.
Mungkin orang itu akan mengikutimu untuk melihat kapan kau akan membunuh
dirimu.”
”Wilis…” potong Mahesa Jenar hampir berteriak. Namun kali inipun suara Rara Wilis mengatasinya, ”Jangan
takut melihat bayangan wajahmu yang pucat, serta jangan takut kau
melihat hatimu yang sama sekali tidak memancarkan kejujuran.”
Mahesa Jenar tertunduk lesu. Ia tidak
ingin memotong kata-kata gadis itu lagi. Bahkan sekarang, ia melihat
pada sorot mata Rara Wilis, bayangan tentang dirinya. Tentang seorang
laki-laki yang berkelana di padang yang tandus, penuh batu-batu karang
yang tajam dan pendakian yang terjal di bawah terik matahari yang
membakar kulitnya yang berwarna tembaga. Yang dalam kehausan,
melemparkan seteguk air yang segar dingin dari mangkuk ditangannya.
Tetapi kemudian laki-laki itu sendiri menjadi hampir mati kehausan.
”Tidak,” katanya tiba-tiba. ”Aku
tidak menuang air itu di atas batu-batu yang mati. Tetapi aku tuangkan
air itu ke dalam mulut seseorang yang hampir mati kehausan pula.”
Rara Wilis mencoba menangkap kata-kata
yang tiba-tiba saja terlontar dari mulut Mahesa Jenar itu. Namun dalam
sesaat ia telah dapat mengerti maksudnya. Karena itu ia menyahut. ”Lalu kau sendiri yang akan mati. Tetapi jangan harapkan seseorang datang padamu dan menaburkan bunga di atas tubuhmu.”
Mahesa Jenar tidak dapat lagi menipu
dirinya sendiri. Ia tidak lagi dapat memungkiri kata-kata Rara Wilis.
Namun demikian ia berusaha untuk mematahkan pengakuannya itu. Dengan
wajah yang tegang kaku ia memutar tubuhnya membelakangi Rara Wilis lalu
cepat-cepat ia ingin meninggalkan ruangan itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar
mendengar isak yang seolah-olah meledak begitu hebatnya. Ketika ia
sekali lagi menoleh, ia melihat Rara Wilis sambil menangis terduduk di
atas sebuah batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Dan kembali kedua
telapak tangannya menutupi wajahnya yang basah karena air mata.
Melihat keadaan itu Mahesa Jenar tertegun
sejenak. Bahkan diluar sadarnya perlahan-lahan ia berjalan
mendekatinya. Namun ia menjadi bertambah bingung, dan tidak tahu apa
yang akan dilakukan. Maka kemudian yang dapat dikatakannya hanyalah
beberapa kata yang serak, “Wilis, kenapa kau menangis lagi?”
Sekali ini, seolah-olah Rara Wilis tidak
mendengar kata-katanya, bahkan tangisnya menjadi semakin keras. Dan
karena itu Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah.
”Wilis,” katanya kemudian sekenanya saja, ”Jangan menangis demikian. Apabila seseorang melihat keadaanmu itu, maka akan timbul berbagai prasangka yang mungkin kurang menyenangkan.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu,
Rara Wilis mencoba mengangkat wajahnya. Meskipun tangisnya masih belum
berhenti. Diantara isaknya terdengar ia berkata, “Kakang, aku tidak akan menahanmu lagi. Pergilah seandainya itu akan membawa kepuasan bagimu.”
Hati Mahesa Jenar sekali lagi terlonjak.
Namun ia melihat bahwa apa yang diucapkan oleh Rara Wilis itu sama
sekali bukanlah yang dimaksud sebenarnya. Karena itu ia bertanya, “Begitukah yang kau kehendaki Wilis…?”
Bibir Rara Wilis bergerak melukiskan sebuah senyum yang pahit diantara tangisnya. Lalu jawabnya, “Aku mencoba berbuat seperti apa yang kau lakukan. Menipu diri sendiri.”
Kata-kata itu tepat menyusup ke dalam
relung hati Mahesa Jenar yang paling dalam. Sekarang benar-benar ia
tidak dapat melarikan diri lagi. Ia merasa seperti seseorang yang terjun
ke dalam arena perkelahian, yang harus memilih salah satu diantara dua,
membunuh atau dibunuh. Tetapi tiba-tiba ia teringat kata-kata Rara
Wilis tentang Sarayuda. Maka dengan serta merta ia bertanya “Wilis, kau tadi bertanya kepadaku, apakah aku tahu apa yang dikatakan oleh Sarayuda?”
Rara Wilis mengangguk.
“Tentu aku tidak tahu Wilis,” sambung Mahesa Jenar, “Kau mau mengulang kata-kata itu…?”
“Tak ada gunanya,” jawab Rara Wilis.
Mahesa Jenar tertegun sebentar, lalu katanya, “Mungkin ada. Kalau kau tak berkeberatan katakanlah.”
Rara Wilis memandang wajah Mahesa Jenar
yang basah oleh keringat dingin itu dengan seksama, seolah-olah ia ingin
melihat setiap garis yang tergores padanya. Kemudian dengan
perlahan-lahan ia berkata, ”Kakang dengarlah apa yang dikatakan
Kakang Sarayuda kepadaku. Memang semula aku ingin mengatakan kepadamu,
dan aku sudah mengambil ancang-ancang. Sebab aku adalah seorang gadis.
Tetapi agaknya hatimu terlalu mudah tersentuh sehingga aku terpaksa
melampaui batas-batas keterbukaan hati seorang gadis.”
Rara Wilis berhenti sejenak, lalu meneruskan,
”Kakang, tadi Kakang Sarayuda berkata kepadaku, bahwa aku harus
memaafkannya atas segala perlakuannya yang telah melampaui perlakuan
seorang kakak terhadap adiknya. Ia mengharap bahwa aku akan dapat
melupakan itu semua, sebab katanya, … sepantasnya ia menjadi kakak yang
baik.”
Mahesa Jenar mendengar kata Rara Wilis
itu seperti beratus guntur yang menggelegar di depan telinganya. Bahkan
kemudian seolah-olah ia menjadi orang yang lelap terbenam dalam alam
impian. Dan di dalam mimpi itu ia mendengar suara Rara Wilis meneruskan,
“Tetapi, Kakang, aku tahu bahwa hatinya remuk karena itu. Ia
mencintaiku sejak lama.Sejak kami meningkat dewasa. Namun agaknya suatu
kenyataan harus dihadapinya. Yaitu, bahwa ia bersaing dengan orang yang
tidak dapat dikalahkannya dengan jalan apapun juga. Karena itu, sebagai
seorang laki-laki yang dapat mengukur dirinya, serta seorang laki-laki
yang hidupnya berjejak di atas tanah, dengan ikhlas ia berkata kepadaku,
… Wilis, pilihlah jalanmu sendiri. Jangan hiraukan aku.” Rara Wilis berhenti sejenak menelan ludahnya, baru ia meneruskan.
“Tetapi Kakang, aku melihat keikhlasan membayang di wajahnya. Setelah
ia berceritera tentang kesalahan yang dilakukannya dengan tidak
menghiraukan nasehat kakek dan sebagainya, ia akhiri kata-katanya, …
Wilis, mudah-mudahan kau menemukan hari depan yang gemilang.” Sekali lagi Rara Wilis berhenti. Terasa di lehernya sesuatu yang menyumbat, sehingga dengan terputus-putus ia meneruskan, “Aku
menjadi kasihan kepadanya kakang, justru karena ia melepaskan aku
dengan penuh keikhlasan. Namun aku tidak dapat memaksa diriku untuk
menganggapnya lain daripada seorang kakang yang baik.
Mahesa jenar masih berdiri seperti
patung, namun suatu pergolakan yang dahsyat berputar di dalam dadanya.
Suatu gejolak perasaan yang melanda dinding-dinding jantungnya sehingga
seolah-olah akan pecah karenanya. Kemudian terdengar Rara Wilis meneruskan, “Kemudian
Kakang di sini, di hadapanku, dimana aku menaruh suatu harapan atas
masa depan. Di sini aku berada dalam keadaan yang sebaliknya. Kepadamu
aku selalu mencoba untuk melenyapkan setiap kenangan. Apalagi setelah
Kakang Mahesa Jenar membunuh ayahku yang selama ini aku cari. Tetapi
kembali aku tidak dapat memaksa diriku menutup suatu kenyataan di dalam
diriku atas kenangan yang muncul dalam setiap saat. Kenangan yang
menjadi semakin jelas apabila aku berusaha untuk melenyapkannya. Tetapi
aku ternyata menjumpai suatu kenyataan yang lain. Aku melihat sekali
lagi, atas apa yang pernah aku alami. Seseorang telah berusaha
melepaskan aku lagi. Namun bedanya, keikhlasanmu lain dengan keikhlasan
Kakang Sarayuda. Dimana pada saat terakhir Kakang Sarayuda telah
menemukan cahaya yang menyoroti hatinya, yang dengan demikian ia dapat
membaca perasaan yang tergores di dalam dadaku. Tetapi kau, Kakang…, kau
mencoba untuk menghapus goresan itu. Bahkan goresan di dalam dadamu
sendiri, dan menggantinya dengan bunyi-bunyi yang lain.”
Suara Rara Wilis kemudian tenggelam dalam
tangisnya. Mahesa Jenar tiba-tiba seperti terbangun dari kelelapannya.
Dengan penuh gejolak di dalam dadanya, tiba-tiba ia meloncat dan berlari
ke dalam ruangan dimana Sarayuda terbaring. Apa yang dikatakan Rara
Wilis tentang laki-laki itu sangat berkesan di hatinya. Bahkan dengan
demikian ia menjadi ingin mendengarnya dari mulutnya sendiri.
Mendengar langkah Mahesa Jenar, Sarayuda
membuka matanya. Dan ketika dilihatnya Mahesa Jenar berdiri di
sampingnya dengan nafas yang terengah-engah, tergoreslah sebuah senyuman
di bibir Sarayuda. Senyum yang memancar dari lubuk hatinya.
“Sarayuda…” terloncatlah kata-kata yang terbata-bata dari mulut Mahesa Jenar. “Kenapa kau lakukan itu…?”
Senyum Sarayuda semakin jelas membayang wajahnya yang jernih. Kemudian jawabnya lirih, “Kau keberatan…?”
Mahesa Jenar tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan nafasnya menjadi semakin cepat mengalir.
“Mahesa Jenar…” bisik Sarayuda, “Akhirnya
aku merasa bahwa kata-katamu mengandung kebenaran. Yang kita persoalkan
adalah seseorang yang memiliki perasaan seperti kita. Karena itu,
akhirnya aku insaf bahwa aku adalah seorang yang terlalu mementingkan
diri sendiri. Yang melihat segala masalah seolah-olah berkisar di
sekitar dan berpusat pada diriku. Namun syukurlah bahwa Tuhan memberi
petunjuk, sehingga aku menemukan jalan yang wajar.”
Mahesa Jenar menundukkan kepala, dan dari bibirnya terdengarlah ia berkata, “Sarayuda, aku telah salah sangka terhadapmu.”
Sarayuda tertawa perlahan, lalu katanya, “Aku
mendengar semua pembicaraanmu dengan Wilis. Kakang Mahesa Jenar, jangan
lukai hatinya. Ia mempunyai lagi sangkutan kasih sayang, selain
kakeknya yang tua itu. Sedang darimu ia mengharapkan kesegaran cinta
yang selama ini hanya pernah didengarnya dari cerita-cerita kesejukan
cinta antara Kama dan Ratih, antara Arjuna dan Sumbadra, antara Panji
dan Kirana.”
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia hanya
menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian seolah-olah ia telah
berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan mencoba memenuhi
permintaan Sarayuda itu.
”Nah, Mahesa Jenar…” Sarayuda meneruskan, ”Datanglah
kepadanya. Kalau kau mau melaksanakan pesanku, aku akan menjadi lekas
sembuh. Dan aku akan dapat menyaksikan hari bahagiamu yang akan datang.”
”Terimakasih Sarayuda,” jawab
Mahesa Jenar kaku. Lalu perlahan-lahan seperti orang yang kehilangan
kesadaran ia berjalan keluar. Ketika ia melangkah pintu, ia melihat Rara
Wilis masih duduk di atas batu hitam itu. Namun tiba-tiba gadis itu di
matanya telah berubah menjadi permata yang gemilang, permata yang
melekat pada sebuah cincin yang seakan-akan telah melingkar di jarinya.
Rara Wilis yang mendengar langkah Mahesa
Jenar, menoleh pula ke arah pintu. Ia pun terkejut ketika melihat wajah
Mahesa Jenar yang menjadi cerah, seperti cerahnya langit musim kemarau.
Ia sudah berpuluh bahkan beratus kali melihat wajah itu. Wajah yang
memancarkan sifat-sifat kejantanan yang lembut. Tetapi kali ini
seolah-olah ia menemukan sesuatu yang lain pada wajah itu. Menemukan
yang selama ini dicarinya.
Tiba-tiba Rara Wilis tersadar. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Malu kepada penemuannya.
Meskipun kemudian tak sepatah kata pun
yang keluar dari mulut mereka, namun ratusan bahkan ribuan kalimat yang
menggetar di udara langsung menyentuh hati masing-masing. Sehingga dalam
keheningan itu terjalinlah suatu ikatan yang semakin teguh antara dua
buah hati yang sebenarnya sudah sejak lama bertemu.
Di luar terdengar burung-burung berkicau
dengan riangnya. Nyanyiannya membubung tinggi, hanyut bersama angin
pegunungan, menyapu wajah padepokan yang tenang sejuk itu.
Dalam keheningan itu, tiba-tiba
terdengarlah suara tertawa yang bening, disusul dengan langkah-langkah
kecil berlari-larian. Lalu terdengarlah suara kerikil berjatuhan.
”Bukan salahku,” teriak suara yang nyaring.
”Jangan nakal Widuri,” jawab suara yang lain.
Widuri tidak menjawab, tetapi suara tertawanya yang renyah kembali menggetar, dan kembali terdengar langkahnya berlari-lari.
Sampai di depan pintu, Widuri tertegun.
Dilihatnya Rara Wilis dan Mahesa Jenar masih di tempatnya masing-masing
seperti patung. Bahkan gadis kecil itu melihat mata Rara Wilis masih
kemerah-merahan. Widuri jadi bingung. Meskipun perasaannya masih belum
begitu tajam, namun ia tahu bahwa telah terjadi sesuatu sehingga Rara
Wilis terpaksa menangis. Mungkin karena pertengkaran, mungkin
sebab-sebab lain. Dalam kebingungan itu terdengarlah suara Rara Wilis
perlahan-lahan memanggilnya, “Widuri… kemarilah.”
Perlahan-lahan Widuri berjalan dengan
penuh keraguan mendekati Rara Wilis. Ia menjadi bertambah bingung lagi,
ketika tiba-tiba Rara Wilis meraihnya dan memeluknya erat-erat. Bahkan
kemudian kembali terdengar Rara Wilis menangis tersedu-sedu.
Dengan matanya yang bulat, bening dan
penuh pertanyaan, Widuri memandang dengan sudut matanya, ke arah Mahesa
Jenar dan Rara Wilis berganti-ganti. Namun ia sama sekali tidak berani
menanyakan sesuatu. Juga kemudian ketika Rara Wilis berdiri dan
menggandengnya berjalan keluar dari ruangan itu.
Sampai di depan pintu, Rara Wilis berhenti sejenak. Lalu kepada Mahesa Jenar ia berkata dengan kepala tunduk, “Kakang, aku akan beristirahat dulu.”
“Beristirahatlah,” jawab Mahesa Jenar.
Lalu hilanglah Wilis di balik pintu.
Berbagai perasaan menghentak-hentak dadanya. Ia merasa bahwa hidup yang
terbentang di hadapannya adalah suatu kehidupan yang cerah.
Matahari yang bulat di langit masih
memancarkan sinarnya yang terik bertebaran di tanah yang kemerahan.
Namun sekarang Mahesa Jenar tidak lagi merasakan bahwa udara padepokan
itu terlalu panas. Bahkan kembali ia dapat mengagumi keindahan
taman-taman yang asri dan hijau, yang di sana-sini diseling dengan
warna-warna yang beraneka dari berbagai macam bunga. Ketika dilihatnya
diantara bermacam-macam bunga itu terselip bunga melati, teringatlah ia
pada kebiasaannya dahulu, yang karena keadaan menjadi agak terlupakan.
Dengan tanpa sengaja tiba-tiba bunga itu telah berada di tangannya, yang
kemudian diselipkan pada ikat kepalanya, di atas telinga kanannya.
Kemudian dengan segarnya Mahesa Jenar menghirup udara pegunungan sepuas-puasnya.
Demikianlah, matahari yang beredar di
garisnya yang telah condong ke barat. Beberapa orang cantrik tampak
berjalan mendekati pondok itu. Ketika mereka sudah berdiri dekat di
depan Mahesa Jenar, segera mereka membungkuk hormat. ”Tuan…” kata salah seorang diantaranya, “Panembahan minta Tuan untuk datang makan siang.
Sementara itu seorang cantrik yang lain diperintahkan untuk menyajikan makan buat Sarayuda yang sedang terluka.”
Sementara itu seorang cantrik yang lain diperintahkan untuk menyajikan makan buat Sarayuda yang sedang terluka.”
“Masuklah,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi agaknya ia masih belum dapat bangun. Rawatlah ia baik – baik.”
Sekali lagi cantrik itu mengangguk. Salah
seorang diantaranya kemudian masuk dengan semangkuk bubur. Sedangkan
yang lain kemudian mengajak Mahesa Jenar pergi makan siang.
Demikianlah, hari itu terasa begitu cepat
berjalan. Dengan tak terasa, matahari telah jauh menurun mendekati
cakrawala. Warna-warna merah yang tersirat dari matahari bertebaran
memenuhi langit. Namun sejenak kemudian permukaan bumi tenggelam dalam
kehitaman yang menyeluruh.
Di dalam pondok kecil, di bawah sinar
lampu minyak kelapa yang berkedip-kedip digoyang angin, duduklah
melingkar di atas bale-bale bambu, Panembahan Ismaya, Ki Ageng Pandan
Alas, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Karang Tunggal, dan Arya Salaka.
Mereka berbicara dengan riuhnya,
melingkar dari satu masalah ke masalah lain. Dari satu cerita ke cerita
lain. Sehingga akhirnya setelah mereka kelelahan bercerita dan
mendengarkan, menyelalah Putut Karang Tunggal, “Panembahan Ismaya
serta Paman Kanigara, aku rasa bahwa aku sudah terlalu lama tinggal di
padepokan ini. Hal-hal yang dapat aku pelajari sudah cukup banyak.
Karena itu, aku ingin mohon diri untuk meninggalkan padepokan ini.
Memenuhi anjuran seorang wali yang bijaksana, untuk mengabdikan diri ke
Demak. Mungkin aku akan mendapat panjatan, setidak – tidaknya untuk
mengabdikan diriku.”
Panembahan Ismaya dan Kanigara bersama-sama mengangguk-angguk. Maka terdengarlah Panembahan itu menjawab sambil tersenyum, “Bekalmu
telah cukup Karang Tunggal. Pengetahuan mengenai ketrapsilaan, mengenai
keteguhan hati dan perasaan, juga engkau telah banyak menerima petunjuk
mengenai adat dan tatacara dari pamanmu Kanigara. Karena itu sebenarnya
aku tidak keberatan lagi kalau kau akan mengabdikan dirimu. Pergilah.
Hanya sayang bahwa penyakitmu masih saja sering kambuh.”
Karang Tunggal menundukkan kepala. Namun terdengarlah ia berkata, “Mudah-mudahan aku dapat menjaganya.”
Dengan tertawa kecil Kanigara menyahut, “Kalau
kau tidak dapat menyembuhkan penyakitmu itu, Karang Tunggal, penyakit
menuruti hatimu sendiri, mungkin akan menemukan kesulitan.”
“Aku akan berusaha sekuat tenaga, Paman,” jawab Karang Tunggal. “Mudah-mudahan aku selalu mendapat tuntunan Allah Yang Maha Agung.”
Demikianlah pada malam itu. Seluruh isi
Padepokan Karang Tumaritis berkumpul bersama-sama untuk melepaskan
Karang Tunggal pada keesokan harinya, pergi meninggalkan pedukuhan itu,
untuk kembali ke Pengging dan seterusnya ke pusat Kerajaan, Demak.
Tidak lupa pula Putut Karang Tunggal,
yang nama sebenarnya adalah Karebet dan sering juga dipanggil Jaka
Tingkir, maka Kanigara menuntun Arya Salaka untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan Karang Tunggal. Meladeni
keperluan-keperluan Panembahan Ismaya dalam pekerjaan sehari-hari,
sebagai seorang Panembahan. Mengatur pekerjaan para cantrik, baik di
dalam maupun di luar padepokan.
Dalam pada itu, Ki Ageng Pandan
Alas masih tetap tinggal di padepokan untuk menunggui muridnya yang
sedang sakit. Namun semakin hari tampaklah bahwa luka-luka Sarayuda
menjadi semakin baik berkat perawatan yang seksama dari Panembahan
Ismaya.
Sejalan dengan itu, dengan perkembangan
kesehatan Sarayuda, Mahesa Jenar pun bertambah gelisah. Sikapnya menjadi
bertambah kaku terhadap Ki Ageng Pandan Alas. Ada sesuatu yang
tersimpan di dalam dadanya, namun agak sulit baginya untuk
menyampaikannya kepada orang tua itu. Meskipun ia insaf bahwa apabila
Sarayuda telah sembuh, meskipun belum pulih benar, pastilah Ki Ageng
Pandan Alas akan meninggalkan padepokan itu.
Hal itu akhirnya terjadi juga. Pada suatu
hari Ki Ageng Pandan Alas menyatakan bahwa kini Sarayuda telah sehat.
Ia telah mampu untuk menempuh perjalanan pulang ke Gunung Kidul bersama
Ki Ageng. Bahkan karena perawatan yang baik, maka Sarayuda telah
benar-benar hampir pulih kembali.
Dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar
tidak dapat menunda-nunda lagi. Bagaimanapun sulitnya, ia terpaksa
menuangkan segala masalah yang selama ini tersimpan di dalam dadanya,
kepada orang tua itu. Masalah yang tidak dapat dipersoalkan dengan orang
lain.
Maka kemudian Mahesa Jenar memerlukan
untuk mendapatkan waktu, menemui orang tua itu seorang diri. Dan dengan
kaku ia menyampaikan persoalan antara dirinya dengan cucu Ki Ageng
Pandan Alas, yang bernama Rara Wilis.
“Mahesa Jenar…” jawab Pandan Alas sambil tersenyum, “Aku
sudah mendengar semua itu dari Sarayuda. Sebenarnya bagiku tidak ada
lagi masalah yang dapat mengganggu hubunganmu dengan Wilis. Kalau semula
aku dibingungkan oleh kepentingan muridku, ternyata kini dengan ikhlas
Sarayuda telah mengundurkan diri dari persoalan ini.”
Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan Alas
itu, Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepala. Ia pun telah menduga
sebelumnya bahwa jalan yang akan ditempuhnya telah rata.
“Seterusnya, Mahesa Jenar…” lanjut Ki Ageng Pandan Alas, “Terserahlah kepadamu berdua. Jalan manakah yang akan kau tempuh. Sebab masa depanmu terletak di tanganmu.”
“Ki Ageng…” jawab Mahesa Jenar, “Aku
telah bersepakat dengan Rara Wilis, bahwa kami akan menempuh hidup
bersama. Namun demikian, di hadapanku masih terbentang suatu kewajiban
yang berat. Kewajiban yang memebutuhkan segenap tenaga serta
pengetahuanku. Karena itu kami telah sama-sama menyetujui untuk menunda
tali perkawinan kami sampai kewajiban itu selesai, meskipun seandainya
umur kami menjadi bertambah juga. Bahkan Wilis pun telah berjanji untuk
ikut serta bekerja keras dalam penyelesaian kewajiban itu.”
Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan kening. Tampaklah bahwa ia sedang berpikir. Kemudian jawabnya,
“Terserahlah kepadamu Mahesa Jenar. Kau telah cukup dewasa, bahkan
terlalu dewasa untuk mengatur dirimu. Tetapi apakah kewajiban yang kau
maksud itu berhubungan dengan kedua keris yang sekarang ini kau cari…?”
Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya, “Benar,
Ki Ageng. Selama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten belum aku
ketemukan, selama itu aku harus membelakangi kepentingan diri. sebab
akibat dari penemuan pusaka itu akan besar sekali. Keteguhan Kerajaan
Demak, dan sekaligus pembebasan ayah Arya Salaka.”
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 13
Koleksi Ki Arema
Editing oleh Ki Arema
4 Tanggapan
Tinggalkan Balasan



NSSI-11
I.
Ketika itu di langit bertaburan jutaan
bintang yang berkedip-kedip dengan cemerlangnya. Angin pegunungan yang
silir, perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang dengan sangat hati-hati
menuruni tebing-tebing bukit Karang Tumaritis. Mereka, Panembahan
Ismaya, Mahesa Jenar dan Arya Salaka, tidak melewati jalan-jalan yang
biasa, tetapi mereka menempuh arah yang lain. Sebenarnya Mahesa Jenar
sama sekali tak sampai hati melihat Panembahan Ismaya, pada malam yang
gelap itu, tertatih-tatih dengan tongkatnya menuruni lambung bukit yang
agak sulit itu. Namun kemauan orang itu sama sekali sudah tak dapat
diubahnya. Bagi Mahesa Jenar, tebing itu sama sekali tak berarti
apa-apa. Juga bagi Arya Salaka. Tetapi lainlah Panembahan Ismaya yang
telah lanjut usia.
Karena itulah maka perjalanan mereka
sangat perlahan-lahan. Seolah-olah mereka sama sekali tidak maju-maju
dari satu titik. Kadang-kadang apabila tebing itu agak terlalu terjal,
Mahesa Jenar dan Arya Salaka bersama-sama menolong Panembahan Ismaya,
supaya tidak jatuh terperosok. Meskipun demikian, ketika bintang Gubug
Penceng telah melampaui garis tegaknya, mereka bertiga telah sampai
dikaki bukit kecil itu. Nafas Panembahan tua itu terdengar agak terlalu
cepat karena kelelahan. Namun demikian sambil tersenyum ia berkata, ”Anakmas, bukankah aku mempunyai bakat untuk menjadi prajurit?”
Mahesa Jenar tertawa lirih, lalu sahutnya, ”Kalau Panembahan masih semuda aku ini, barangkali Panembahan jauh lebih kuat daripadaku.”
Mendengar jawaban Mahesa Jenar,
Panembahan Ismaya tertawa terkekeh-kekeh, sehingga tubuhnya
terguncang-guncang. Karena itulah Mahesa Jenar kemudian menjadi cemas,
jangan-jangan suara itu didengar oleh orang-orang yang berada di dalam
perkemahan yang sudah tidak begitu jauh lagi, sedangkan untuk menegurnya
Mahesa Jenar agak segan. Panembahan Ismaya kemudian sadar dengan
sendirinya. Katanya berbisik-bisik, “Celaka…. Apakah mereka mendengar suaraku…?” Setelah
mereka berdiam diri beberapa saat, ternyata mereka tak mendengar suara
apapun. Maka legalah hati mereka, karena ternyata suara Panembahan
Ismaya itu tak terdengar oleh orang-orang di dalam kemah-kemah di
seberang padang ilalang.
“Panembahan…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Aku persilahkan Panembahan menunggu di sini. Biarlah aku mendekati salah satu dari perkemahan mereka yang terdekat itu.”
“Uh..!” keluh Panembahan Ismaya, “Aku sudah sampai di sini. Apakah salahnya kalau aku ikut serta.”
Sebenarnya Mahesa Jenar agak cemas
membiarkan Panembahan Ismaya mendekati perkemahan itu. Mereka masih
belum tahu siapakah yang berada di dalamnya. Kalau mereka terdiri dari
orang-orang yang cukup berilmu maka kedatangan mereka pasti akan
ketahuan, sebab Panembahan Ismaya agaknya kurang dapat mengendalikan
geraknya sebagai dirinya atau Arya Salaka, yang sudah biasa berlatih
diri. Tetapi ia tidak dapat mengutarakan pikirannya itu berterus terang.
Sehingga akhirnya ia terpaksa berkesimpulan, bahwa ia harus benar-benar
melindungi Panembahan itu atas segala sesuatu yang mungkin terjadi.
Karena itu, maka kemudian mereka
bersama-sama dengan hati-hati sekali mendekati kemah yang terdekat di
depan mereka. Adalah suatu kebetulan bahwa kemah yang mereka pilih
adalah kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.
Dengan sangat perlahan-lahan Mahesa Jenar
merangkak paling depan menguakkan batang-batang ilalang dan
kadang-kadang gerumbul-gerumbul kecil di garis perjalanannya. Di
belakangnya merangkak pula Panembahan Ismaya, dan di belakang sekali
Arya Salaka, yang kadang-kadang terpaksa tersenyum geli melihat orang
tua di depannya.
Ketika jarak kemah itu sudah tidak begitu
jauh, Mahesa Jenar sudah mulai mencium bau asap. Agaknya orang-orang
itu sedang menghangatkan dirinya di tepi perapian. Karenanya Mahesa
Jenar harus bertambah hati-hati. Ia berusaha bahwa setiap geraknya tidak
menimbulkan suara. Baginya hal yang demikian itu tidak begitu sulit,
namun tidaklah demikian bagi Panembahan Ismaya.
Untunglah bahwa sampai sedemikian jauh, kedatangan mereka masih belum diketahui.
Ketika sekali lagi Mahesa Jenar menguak
batang-batang ilalang, maka tiba-tiba ia surut selangkah. Di depannya
tampak dua tiga orang sedang duduk mengelilingi api yang sudah hampir
padam. Meskipun perlahan-lahan namun percakapan mereka dapat didengar
oleh Mahesa Jenar dengan jelas. Dengan gerak Mahesa Jenar memberi tanda
kepada Panembahan tua itu agar berhenti dan berhati-hati. Panembahan
Ismaya agaknya mengetahui pula. Karena itu segera ia berhenti dan duduk
bersila. Ia tampaknya sudah demikian lelah. Mahesa Jenar pun segera
duduk di sampingnya, dan agak ke dalam tampak Arya Salaka duduk sambil
memeluk lututnya. Di situ mereka merasa aman terlindung oleh
batang-batang ilalang yang cukup tinggi dan padat. Sedangkan dari tempat
itu pula mereka dapat mendengar setiap pembicaraan dari ketiga orang
yang sedang menghangatkan tubuhnya itu.
Untuk beberapa lama pembicaraan
orang-orang itu sama sekali tidak menyangkut kepentingan mereka berkemah
di situ. Mereka hanya membicarakan diri mereka masing-masing. Mereka
saling menyombongkan diri tentang kecakapan mereka berburu, berolah
senjata dan jumlah orang yang telah pernah mereka bunuh. Meskipun
demikian dari percakapan itu Mahesa Jenar dapat menerka bahwa rombongan
itu bukanlah rombongan orang baik-baik. Rombongan itu pasti termasuk
dalam golongan para penjahat, bahkan bukan penjahat-penjahat kecil,
tetapi mereka termasuk dalam gerombolan yang cukup besar.
Mula-mula Mahesa Jenar hampir menganggap
bahwa para penjahat itu hanya melulu menginginkan kekayaan yang mereka
sangka banyak terdapat di puncak bukit kecil itu. Kalau demikian halnya
maka soalnya akan menjadi sederhana dan mudah. Arya Salaka sendiri
mungkin akan sudah cukup untuk dapat menakut-nakuti mereka.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar terperanjat
oleh percakapan berikutnya. Ketika salah seorang dari mereka menguap
dan berdiri akan meninggalkan perapian itu, berkatalah ia, ”Hati-hatilah
kawan. Jangan sampai orang itu lolos. Aku akan tidur sebentar. Kalau
lurah kita nanti kehilangan orang itu, mungkin kepala kalian yang akan
menjadi gantinya. Ingat, jangan coba menyelesaikan sendiri. Pukul
kentongan kalau kau lihat dia. Sebab baginya kau tidak lebih dari seekor
tikus tak berarti.”
Orang yang masih duduk di tepi perapian yang sudah hampir padam itu tertawa tinggi, jawabnya, ”Macam
apakah orang itu, yang menganggap kita seekor tikus? Justru karena itu
aku ingin melihat orangnya. Kalau ia kuat mengayunkan penggadaku ini
dengan sebelah tangan seperti yang aku lakukan, aku akan menyembahnya
tujuh kali.”
Orang yang berdiri itulah kemudian yang tertawa nyaring. Katanya, ”Aku
akan berdoa mudah-mudahan permintaanmu itu dapat terkabul. Setelah itu
ia melangkah pergi memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah
yang lain.”
Kedua orang yang masih duduk itu menggerutu tak habis-habisnya. Salah seorang darinya berkata, ”Aku kagumi ketangkasan Kakang Sakayon. Sayang hatinya terlalu kecil.”
Mendengar kata-kata itu hati Mahesa Jenar
berdesir hebat. Ia ingat dengan jelas bahwa orang yang bernama Sakayon
adalah salah seorang dari kepercayaan Sima Rodra di Gunung Tidar. Kalau
demikian maka orang-orang yang mengepung bukit itu pasti gerombolan Sima
Rodra. Mendapat pikiran itu ia menjadi berdebar-debar. Cepat ia
menghubungkannya dengan peristiwa yang baru saja lampau, dimana Sima
Rodra telah terbunuh olehnya di padukuhan Gedangan. Maka pikirannya
bekerja dengan cepatnya. Yang dihadapi itu hanyalah anak buah gerombolan
yang telah diketahui kekuatannya. Karena itu, apakah tidak lebih baik
kalau gerombolan itu segera dihancurkannya sama sekali?
Panembahan Ismaya yang melihat kegelisahan Mahesa Jenar berbisik perlahan-lahan, ”Apakah yang telah Anakmas ketahui tentang percakapan mereka?”
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar berbisik pula, ”Mereka
adalah gerombolan Sima Rodra dari Gunung Tidar. Aku telah mengenal
salah seorang diantara mereka. Dan aku mendapat pikiran untuk
menghancurkan mereka sekaligus sekarang juga, kemah demi kemah tanpa
mereka ketahui. Sebab benar-benar mereka tidak lebih daripada
tikus-tikus yang sangat rakus.”
Tiba-tiba Panembahan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya menjadi cemas. Katanya tergagap perlahan-lahan, ”Jangan anakmas, jangan dipakai kekerasan.”
Mendengar kata-kata Panembahan Ismaya,
Mahesa Jenar menjadi bingung. Bagaimana mungkin menghadapi gerombolan
Sima Rodra itu tanpa kekerasan. Karena itu untuk beberapa saat ia
menjadi kebingungan dan tidak tahu apa yang akan dikatakan. Dan karena
Mahesa Jenar berdiam diri, Panembahan Ismaya meneruskan, ”Anakmas, bukankah dengan demikian akan terjadi pertempuran?”
Hampir tidak sadar Mahesa Jenar berkata, ”Ya Panembahan, pertempuran dan pertumpahan darah.”
”O ngger…, aku akan mati ketakutan
melihat pertempuran. Maksudku semata-mata hanyalah untuk mengetahui
apakah maksud mereka mengepung bukit ini. Setelah itu biarlah aku
selesaikan kemudian. Dengan mengetahui maksud itu, bukankah aku telah
mempunyai ancang-ancang untuk berbicara dengan mereka?”
Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung.
Meskipun ia dapat mengerti jalan pikiran Panembahan itu, namun
sebenarnya ia sangat keberatan untuk melepaskan kesempatan ini.
Orang-orang dari gerombolan hitam yang dalam keadaan terpisah-pisah
seperti itu, akan dengan mudahnya untuk digilas, seperti membunuh
cacing. Ia dapat memasuki kemah demi kemah dan membinasakan isinya
sebelum mereka sempat membunyikan tanda apapun. Kemudian ia akan
menghadapi pimpinan mereka, istri Sima Rodra yang pasti akan dapat
dibinasakannya pula. Tetapi Panembahan Ismaya itu melarangnya untuk
berbuat demikian.
Dalam kebingungan itu terdengar kembali Panembahan Ismaya berbisik, ”Anakmas,
kita telah berhasil mengetahui maksud kedatangan mereka. Marilah kita
kembali dan mempertimbangkan apa yang baik aku lakukan untuk
menyelesaikan masalah ini.”
Hati Mahesa Jenar bergolak hebat. Karena itu ia masih duduk diam tak bergerak.
Kalau Mahesa Jenar tidak dapat mengerti
apa yang akan dilakukan, apalagi Arya Salaka. Meskipun ia berdiam diri,
namun tubuhnya telah basah oleh keringat dingin. Bahkan terdengar
giginya gemeretak menahan hati.
Melihat gelagat itu, maka Panembahan
Ismaya menjadi bertambah cemas. Apalagi ketika ia mendengar Arya Salaka
berdesis dengan suara yang gemetar.
”Cucu Arya Salaka…” bisik Panembahan Ismaya, ”Apakah rencanaku itu tidak dapat cucu mengerti?”
”Eyang Panembahan…” jawab Arya Salaka memaksa diri untuk berkata, ”Apakah
salahnya kalau sekarang juga aku bertindak. Menurut Paman Mahesa Jenar,
darma seorang lelaki adalah termasuk menumpas kejahatan. Bukankah saat ini kesempatan itu ada…?”
”Kau betul cucu, kau betul. Dan pamanmu Mahesa Jenar pun betul pula. Tetapi adakah untuk menumpas kejahatan harus dilakukan dengan membinasakan mereka?”
“Bapa Panembahan…” Mahesa Jenar menyahut, “Setiap sisa dari kejahatan akan dapat menjadi benih pada masa yang akan datang.”
“Kau juga benar Anakmas, kau juga benar,” jawab Panembahan Ismaya, nafasnya menjadi semakin memburu. “Tetapi
membunuh sebatang pohon tidak harus memotong dahan-dahan serta
cabang-cabang saja. Yang penting akarnyalah yang harus dibinasakan.”
“Akan sampai juga saatnya kelak,” potong Arya Salaka.
“Cucu…” sahut Panembahan Ismaya
semakin bingung. Tetapi dari mulutnya meluncur kata-kata yang
menunjukkan kedalaman tanggapannya atas keadaan yang dihadapinya. “Kalau
kau mulai dengan orang-orang yang menurut pamanmu tidak lebih daripada
tikus-tikus yang rakus itu, cucu, maka kau tidak akan menemukan rajanya.
Atau kau akan diterkamnya tanpa sepengetahuanmu.”
Mendengar kata-kata Panembahan tua itu,
Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia menjadi seperti orang yang tersadar
dari sebuah angan-angan yang dahsyat. Gamblanglah baginya apa yang
dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu. Ternyata meskipun orang tua itu
tidak cukup pengalaman dalam dunia keprajuritan, namun pandangannya yang
jauh ternyata sangat bermanfaat.
Tetapi agaknya Arya Salaka sama sekali tidak dapat mengerti pikiran Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab, ”Sekarang
atau nanti, soalnya sudah jelas. Baik setiap anggota gerombolan itu
atau setiap orang yang memegang pimpinan, harus kita binasakan. Apakah
bedanya?”
”Arya…” potong Mahesa Jenar dengan tenang, ”Biarlah kita urungkan niat kita. Biarlah kita dapat menangkap orang yang kita
Mendengar pendapat Mahesa Jenar, Arya
Salaka terkejut bukan buatan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gurunya
akan menjadi sedemikian lunak menghadapi gerombolan hitam yang
memuakkan itu. Karena itu wajahnya jadi merah. Jawabnya, ”Guru…
ijinkanlah aku bertindak atas namaku sendiri. Bukankah mereka telah
bekerja sama dengan Paman Lembu Sora untuk mencelakakan ayahku…?”
Sekali lagi Mahesa Jenar menekan dadanya.
Ia dapat merasakan perasaan anak itu. Tetapi ia dapat pula merasakan
betapa bijaksananya Panembahan Ismaya dengan pendapatnya. Maka dengan
penuh kesabaran seorang guru terhadap murid yang dikasihinya, Mahesa
Jenar berkata, ”Arya Salaka, kalau ada orang yang benci kepada
golongan hitam, akulah orangnya yang akan berdiri di baris terdepan.
Namun demikian, ada beberapa pertimbangan yang harus kita perhatikan.”
”Paman…” potong Arya Salaka, ”Haruskah
kita menunggu agar mereka menjadi bertambah kuat dan bersiaga dahulu…?
Ataukah kita menunggu sampai mereka menggantung aku tinggi-tinggi di
pohon beringin tua itu…?”
”O cucu, jangan sebut-sebut peristiwa-peristiwa yang mengerikan itu,” sahut Panembahan Ismaya.
”Tetapi hal itu bisa terjadi, Eyang,” jawab Arya. ”Mula-mula
ayahkulah yang menjadi korban, kemudian apa yang terjadi atas Paman
Sawungrana menambah penjelasan. Dan apakah yang sudah mereka lakukan
terhadap orang-orang Banyubiru dan Pamingit?”
”Arya…” potong Mahesa Jenar, ”Biarlah
aku selesaikan penjelasanku dahulu. Kita harus mempunyai beberapa
pertimbangan. Pertama kita harus menghormati Bapa Panembahan sebagai
tuan rumah. Kedua, kita tidak mau kehilangan pemimpin mereka. Kalau
orang-orang itu telah kita binasakan, maka pimpinan mereka tidak akan
menginjakkan kakinya di daerah ini. Dengan demikian pekerjaan kita akan
bertambah sulit.”
”Kalau demikian biarlah kita
tinggalkan padepokan ini, supaya kita tidak terikat lagi pada sopan
santun. Setelah itu kita bebas untuk bertindak atas orang-orang dari
gerombolan hitam itu,” jawab Arya. Sehabis ucapannya itu, tiba-tiba Arya sudah mulai bergerak untuk meninggalkan tempat itu.
Melihat hal itu Mahesa Jenar terkejut sekali. Karena itu segera ia mencegahnya. ”Arya, apa yang akan kau lakukan? Ingat aku adalah gurumu. Dan aku telah mengasuhmu sampai ketingkatan ini.”
Mendengar suara gurunya yang sudah mulai
keras itu Arya menjadi tergetar hatinya. Rupa-rupanya gurunya
benar-benar mempunyai pendapat yang lain dari pendapatnya terhadap
orang-orang dari gerombolan hitam yang tinggal memijat hancur itu.
Dalam pada itu, tiba-tiba lembah di kaki
bukit Karang Tumaritis itu tergetar oleh suara tertawa yang tinggi
nyaring. Suara itu jelas suara perempuan. Hati mereka yang sedang
bersembunyi di dalam semak-semak itu tiba-tiba menjadi bergetaran dan
berdebar-debar. Mahesa Jenar dan Arya Salaka sama sekali tidak melupakan
bahwa suara itu adalah suara Istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Suara
itu kemudian disahut oleh suatu suara yang tenang berat, meskipun
terdengar kurang menyenangkan. Sambil tertawa pendek terdengar laki-laki
itu berkata, ”Seharusnya kau sedikit memelihara kecantikanmu
daripada terus-menerus merendam kuku-kukumu itu di dalam racun. Dengan
begitu aku tidak akan terlalu ngeri memandangmu.”
Sekali lagi terdengar tertawa iblis
betina itu, bahkan semakin dekat. Dan ketika sekali lagi terdengar suara
laki-laki yang bersamanya, dada Mahesa Jenar bergoncang keras. Suara
itu adalah suara berdesis dari Ular Laut Nusakambangan. ”Jangan coba merayu aku,” katanya, ”Kecuali
kalau kau benar-benar dapat menangkap gadis yang kau sebut-sebut anak
bekas suamimu yang terbunuh itu. Dengan demikian kau berdua akan aku
ambil sekaligus sebagai isteri-isteriku.”
”Kau benar-benar serigala,” jawab istri Sima Rodra, ”Tetapi apakah kau tidak takut kepada Pandan Alas?”
”Itu urusanmu. Kau boleh minta
pertolongan ayahmu, Sima Rodra tua dari Lodaya, dan barangkali juga
Paman Bugel Kaliki akan bersedia pula membantu.”
”Kenapa urusanku?” tanya Istri Sima Rodra.
”Banyak sebabnya,” jawab Jaka Soka yang berwajah tampan itu. ”Pertama,
Sima Rodra adalah ayahmu. Karena itu permintaanmu akan mendapat
perhatiannya. Kedua, Bugel Kaliki adalah sahabat ayahmu itu. Dan ketiga,
kau yang minta aku mengawinimu.”
“He…” potong Istri Sima Rodra terkejut. “Siapa bilang aku minta kau mengawini aku?”
“Lalu apa maksudmu menyeret aku kemari serta segala macam tingkah lakumu yang aneh-aneh itu?” tanya Jaka Soka keheran-heranan.
Sekali lagi tertawa nyaring yang mengerikan itu meluncur dari mulut harimau betina liar Gunung Tidar itu. Jawabnya, “Soka…
kau benar-benar telah berubah menjadi seorang yang alim. Coba katakan
kepadaku, pernahkah kau mengawini segenap perempuan yang kau kumpulkan
di Nusakambangan? Sekarang kau tak usah berpura-pura. Aku juga tidak.
Kita tidak usah mengikat diri dengan cara apapun. Sebab itu hanya akan
menertawakan orang dan mengurangi kemerdekaan kita masing-masing.”
“Gila!” gerutu Jaka Soka. “Ternyata
kau jauh lebih liar dari dugaanku. Tetapi bagaimanapun juga bentuk
hubungan kita, namun syaratku tetap. Kau harus membawa gadis itu
kepadaku. Terserah cara yang akan kau tempuh.“
“Kau terlalu menyakitkan hatiku, tetapi aku tidak akan marah kepadamu. Jangan takut, gadis itu akan kutangkap dan akan kujadikan umpan untuk memancingmu.”
Lalu suara itu disusul oleh suara tawa dengan nada tinggi yang sangat
menyakitkan telinga, yang semakin lama semakin menjauh dan ternyata
kemudian memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang
lain.
Mendengar percakapan itu hati Mahesa
Jenar seperti tertusuk sembilu. Ketika ia menoleh kearah Panembahan
Ismaya, orang tua itu menggigil seperti orang kedinginan. Terdengarlah
suaranya yang lemah gemetar, ”Ya ampun, ada juga manusia-manusia semacam itu di dunia ini.”
”Itulah pimpinan mereka,” sahut Mahesa Jenar. ”Adakah Panembahan merasa bahwa orang-orang semacam itu dapat diajak berbicara?”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu. Malahan ia bertanya
tentang hal yang lain. Katanya, ”Anakmas, pernahkah kau mendengar nama-nama yang disebut-sebut tadi? Pandan Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki?”
Sekali lagi Mahesa Jenar terasa seperti
terbangunkan dari sebuah angan-angan yang hebat. Kalau orang-orang itu,
Sima Rodra dan Bugel Kaliki, berada di tempat ini pula, maka akibatnya
akan hebat sekali. Apakah yang dapat dilakukan terhadap kedua tokoh itu?
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar bukan orang yang dengan mudahnya dapat
ditelan oleh perasaan saja tanpa pertimbangan-pertimbangan dan
perhitungan, sebagaimana harus dilakukan oleh seorang prajurit.
”Bapa Panembahan…” jawabnya, ”Orang-orang
itu adalah orang-orang yang dahsyat, yang memiliki kesaktian luar
biasa. Mereka seolah-olah mampu berbuat sesuatu diluar kemampuan manusia
biasa.”
Orang tua itu menjadi semakin cemas mendengar keterangan Mahesa Jenar. Sambungnya, ”Adakah orang-orang itu di tempat ini pula?”
Mahesa Jenar menggelengkan kepala. Jawabnya, ”Entahlah”
Tetapi sesaat kemudian percakapan mereka terhenti oleh suatu suara, ”He, kau lihat tadi lurah kita?”
Kemudian terdengar jawaban, yang ternyata adalah laki-laki yang sedang menghangatkan tubuh perapian yang hampir padam. ”Ya, aku lihat Nyi Lurah bersama-sama dengan Ular Laut yang sombong itu masuk ke dalam kemah. Apakah ada suatu keperluan?”
”Ya!” jawab orang yang pertama. ”Sima Rodra tua ingin menemuinya.”
Kata-kata yang diucapkan itu, telah cukup
menggetarkan dada Mahesa Jenar. Sadarlah ia sekarang bahwa ia
berhadapan dengan satu gerombolan lengkap dari Gunung Tidar yang di
belakangnya berdiri orang-orang semacam Sima Rodra tua yang dahsyat itu.
Apalagi ketika laki-laki itu meneruskan, ”Katakan kepadanya bahwa ayahnya dan tamunya, si bongkok dari Lembah Gunung Cerme sudah menunggu.”
Kemudian sepi kembali. Yang terdengar hanyalah langkah-langkah mereka yang sesaat kemudian telah lenyap ditelan sepi malam.
Di langit, bintang-bintang masih bermain
dengan riangnya. Sekali-sekali selembar awan putih lewat di depan wajah
langit yang biru tua, dihanyutkan oleh angin yang berhembus
perlahan-lahan. Dingin malam yang dibasahi oleh tetesan embun terasa
menyusup sampai ke tulang.
Sesaat Mahesa Jenar terkenang pada
pertemuan golongan hitam beberapa tahun yang lampau, ketika ia berlima,
dengan Gajah Alit, Paningron, Mantingan dan Wiraraga, terlibat dalam
suatu pertempuran melawan Sima Rodra tua itu bersama Pasingsingan. Pada
saat itu Sima Rodra dan Pasingsingan bertempur berdua hanya karena
mereka bersama-sama ingin membunuh, bukan karena mereka terpaksa
menggabungkan kekuatan mereka. Sekarang, bukit kecil ini telah dikepung
rapat oleh sejumlah laskar gerombolan hitam yang terkenal, ditambah lagi
dengan kehadiran Sima Rodra dan Bugel Kaliki, disamping istri Sima
Rodra muda dan Jaka Soka. Gabungan kekuatan mereka akan merupakan suatu
tenaga dahsyat yang tak terbayangkan.
Disamping itu, ia merasa berterima kasih
pula kepada Panembahan Ismaya, yang telah melarangnya bertindak,
meskipun itu disebabkan oleh ketakutannya melihat kekerasan. Namun
dengan demikian tanpa disengaja Panembahan tua itu telah
menyelamatkannya beserta muridnya.
Sebentar kemudian kembali terdengar suara Istri Sima Rodra muda yang agaknya telah keluar dari kemahnya. ”Sakayon…” katanya, ”Kau harus menjaga supaya orang itu tidak dapat lolos.”
”Baik Nyi Lurah,” jawab Sakayon.
”Aku akan tinggal di sini,” sela suara yang lain, yang ternyata suara Jaka Soka. ”Kalau ia akan mencoba menerobos, akulah yang akan membinasakan.”
”Kau benar,” jawab Jaka Soka. ”Tetapi
aku akan membunuhnya beramai-ramai. Bukankah di sini ada Sakayon dan
kawan-kawannya…? Setidak-tidaknya aku akan dapat mencegahnya sampai
ayahmu datang untuk membinasakannya.’
Sekali lagi Harimau betina itu tertawa, sahutnya, ”Ternyata kau jujur menghadapi lawanmu. Tetapi jangan mimpi ayahku akan membinasakannya.”
”Kenapa?” potong Jaka Soka.
Istri Sima Rodra muda itu tertawa lebih mengerikan lagi. Jawabnya sangat mengejutkan, katanya, ”Aku minta ayah menangkapnya hidup-hidup. Sayang, ia terlalu tampan untuk dibunuh.”
”Gila kau!” bentak Jaka Soka.
Dan bersamaan dengan itu dada Mahesa Jenar serasa akan pecah. Tubuhnya
menggigil menahan kemuakan hatinya. Hampir ia kehilangan pengamatan
diri, kalau ia tidak mendengar Panembahan tua itu berdesis, ”Adakah Sima Rodra ayah perempuan itu?”
Mahesa Jenar mengangguk, tetapi giginya gemeretak. Sementara itu terdengar suara perempuan itu semakin memuakkan, ”Jangan
cemburu Soka. Aku juga tidak cemburu ketika kau ajukan syarat untuk
menangkap gadis anak tiriku itu. Dan jangan kira aku tidak tahu, bahwa
aku akan kau jadikan alat saja, dan sesudah itu akan kaulempar
jauh-jauh. Tetapi kau tidak dapat melakukan itu. Ayahku akan mencekikmu
bersama-sama dengan Pandan Alas. Kecuali kalau itu atas kehendakku.”
”Gila kau. Pergilah, pergilah ke
ayahmu. Aku tidak mempedulikan apa yang akan kau lakukan. Tetapi ingat,
sementara kau perlukan aku, syarat itu harus kau penuhi,” jawab Jaka Soka.
Terdengar kembali suara tertawa iblis betina itu, semakin lama semakin jauh dan kemudian hilang di kejauhan.
Pertunjukan yang dahsyat dan memuakkan
itu telah berakhir. Namun Panembahan tua itu masih menggigil, sedang
dada Mahesa Jenar dan Arya Salaka serasa sesak oleh kemarahan dan
kemuakan yang meluap-luap.
”Anakmas…” bisik Panembahan Ismaya, ”Sungguh mengerikan.”
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar, ”Aku kira lebih baik Panembahan kembali ke padepokan. Agaknya disini terlalu berbahaya bagi Bapa.”
”O, ngger,” sahut Panembahan itu, ”Aku
tidak dapat berjalan sendiri. Tubuhku tiba-tiba jadi lemas seperti
segenap otot bayuku dilolosi. Karena itu sudilah angger berdua
menuntunku mendaki bukit kecil ini.”
Mahesa Jenar tak dapat menolak permintaan
itu. Meskipun ia sebenarnya masih ingin mengetahui lebih banyak lagi
tentang kekuatan laskar Gunung Tidar itu. Karena itu, maka
perlahan-lahan mereka menggeser semakin dalam menyusup semak-semak dan
batang ilalang, untuk kemudian membantu Panembahan tua itu kembali ke
Padepokan diatas bukit.
Tak ada yang mereka percakapkan sepanjang
jalan. Angan-angan mereka masing-masing dicengkam oleh kengerian dengan
alasan yang berbeda-beda.
Dan karena itu pulalah maka Mahesa Jenar
dan Arya Salaka seterusnya sama sekali tak dapat memejamkan mata sekejap
pun, meskipun mereka menghendaki. Pikiran mereka menjadi kalut tak
karuan. Disamping itu, Mahesa Jenar pun harus berpikir pula,
bagaimanakah sebaiknya ia menghadapi iblis-iblis yang berkumpul di
sekitar bukit kecil itu.
Menilik persiapan mereka, maka sudah
dapat dipastikan bahwa mereka akan melakukan pengepungan itu untuk waktu
yang lama. Bagaimanapun juga orang-orang dari Gunung Tidar tidak mau
menganggap Mahesa Jenar sebagai seorang yang tak berdaya menghadapi
mereka. Lebih-lebih lagi setelah Mahesa Jenar mendengar percakapan Jaka
Soka dengan Janda Sima Rodra. Tanpa diketahuinya, bulu kuduknya
meremang. Ia sama sekali tidak takut menghadapi kemungkinan yang paling
berbahaya sekalipun. Namun terhadap iblis betina itu ia merasa ngeri.
Karena itulah dihabiskannya sisa malam itu dengan hati yang berdebaran.
Pada pagi harinya, sesaat setelah
matahari terbit, datanglah Jatirono ke pondok Mahesa Jenar, untuk
menyampaikan undangan Panembahan Ismaya.
Mahesa Jenar merasa bahwa ada hal yang
penting yang akan dibicarakan. Karena itu setelah membersihkan diri,
bersama-sama dengan Arya Salaka ia pergi menghadap.
“Anakmas…” kata Panembahan itu kemudian, “Agaknya
keadaan sangat gawat bagi Anakmas. Tetapi untung lah bahwa mereka sama
sekali tidak mengetahui dengan pasti bahwa Anakmas masih berada di atas
bukit ini.”
“Aku kira tidak demikian Panembahan,” jawab Mahesa Jenar. “Persiapan
mereka menunjukkan bahwa mereka yakin aku masih berada di sini. Hanya
barangkali mereka menganggap bahwa untuk menangkap aku, mereka
memerlukan waktu yang panjang. Sebab bukit ini banyak sekali relung
likunya yang baik sekali untuk bersembunyi. Tetapi Bapa Panembahan, aku
sama sekali tidak akan bersembunyi. Kalau mereka naik ke bukit itu, akau
akan menemuinya dan apa yang terjadi terserahlah kepada kekuasaan Yang
Maha Adil.”
Panembahan Ismaya mengangguk-angguk. Katanya, “Angger
memang seorang jantan tiada taranya. Yang tidak sisip dengan gelar yang
Anakmas miliki, Rangga Tohjaya. Namun demikian anakmas, setiap usaha
dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Agung. Juga usaha untuk menyelamatkan
diri. Sebab tak ada yang dapat dicapai tanpa suatu usaha apapun.”
Ucapan Panembahan tua itu mengena benar
di hati Mahesa Jenar. Sebenarnya ia pun sependapat dengan pikiran itu.
Bahkan menurut perhitungan, ia pun seharusnya berbuat demikian pula.
Tetapi dengan demikian, Panembahan Ismaya akan mengalami akibatnya.
Setidak-tidaknya bukit kecil yang telah dipeliharanya dengan baik itu,
akan dibongkar oleh rombongan Gunung Tidar yang akan mencarinya.
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar, ”Pendapat
Bapa adalah benar sama sekali. Tetapi aku tidak mau menyulitkan
Panembahan karena kehadiranku di sini. Sebelum aku diketemukan, mereka
pasti akan mengaduk Padepokan ini. Bahkan tidak mustahil kalau
Panembahan akan mengalami hal-hal yang tidak diharapkan. Karena itu
biarlah mereka menemukan diriku tanpa banyak kesulitan. Karena
persoalannya adalah persoalanku, dan sama sekali tidak bersangkut paut
dengan Panembahan. Karena aku menghadap kemari itulah sebabnya maka
bukit kecil yang tenang dan damai itu mengalami kegoncangan. Karena itu,
bahkan aku tidak akan menunggu mereka naik. Akulah yang akan berusaha,
kalau mungkin menerobos kepungan mereka.”
Sekali lagi Panembahan tua itu memancarkan pandangan kekaguman. Maka katanya, ”Sekali
lagi aku menghormati kejantanan Anakmas. Namun meskipun demikian,
berilah aku kesempatan berlaku sebagai tuan rumah yang baik. Aku harap
Anakmas tidak menolak permintaanku, supaya aku tidak merasa bersedih.
Bukankah aku yang menahan Anakmas supaya tinggal di bukit ini untuk
beberapa lama? Nah, kalau demikian aku akan menunjukkan sebuah jalan,
sebab menurut pendapatku, setelah aku mendengar keterangan dari Anakmas
malam tadi, sulitlah untuk menerobos kepungan mereka. Meskipun aku tahu
benar maksud Anakmas, bahwa dengan demikian orang-orang itu tidak lagi
akan mendaki bukit ini. Dan Anakmas telah mengatakan pula, bahwa mereka
tidak akan tergesa-gesa bertindak.”
”Anakmas…,” lanjut Panembahan Ismaya,
”Di lereng sebelah selatan bukit ini ada sebuah goa, Aku tidak tahu,
siapakah yang telah membuatnya, atau barangkali hasil perbuatan alam.
Goa itu ditakbiri sebuah gerumbul yang cukup besar. Di situ Anakmas
dapat menyembunyikan diri dengan aman. Aku yakin bahwa tak seorangpun
dapat menemukan mulut goa itu.”
Mendengar keterangan Panembahan Ismaya,
Mahesa Jenar menjadi terharu. Rupa-rupanya ia akan
mempertanggungjawabkan segala sesuatu mengenai dirinya, hanya karena
Panembahan tua itu telah menahannya untuk tetap tinggal dibukit kecil
itu.
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar, ”Aku
tidak akan dibenarkan oleh perasaanku, seandainya aku berbuat demikian.
Dan adakah Panembahan telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan
yang bisa terjadi?”
”Sekali lagi aku minta,” potong Panembahan Ismaya, ”Anakmas
jangan membuat aku bersedih. Percayalah bahwa mereka tidak akan berbuat
sesuatu atas diriku serta padepokan ini, sebab aku dapat mengingkari
kedatangan Anakmas di bukit ini.”
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar bimbang, sedang Panembahan Ismaya selalu mendesak-desaknya saja.
”Panembahan…” akhirnya Mahesa Jenar berkata, ”Memang
tidak sepantasnya aku menolak, tetapi bagaimanapun juga, aku ingin
supaya aku tidak menyulitkan Bapa Panembahan. Karena itu apabila terjadi
kesulitan atas Panembahan Ismaya, maka perkenankanlah aku bertindak
atas pertimbanganku sendiri.”
”Baiklah Anakmas, saratmu aku terima,” jawab Panembahan itu.
Setelah itu kemudian Panembahan Ismaya
memerintahkan kepada cantrik-cantriknya untuk menyediakan perbekalan.
Sebab Mahesa Jenar akan tinggal di dalam goa itu untuk waktu yang tidak
tertentu.
———-oOo———-
II
Demikianlah pada hari itu Mahesa Jenar
dan Arya Salaka diantar oleh seorang cantrik pergi ke goa di lereng
selatan bukit kecil itu.
Setelah menyibakkan sebuah gerumbul yang
cukup lebat, tampaklah di hadapan mereka sebuah mulut goa yang kecil.
Seseorang hanya dapat memasukinya dengan merangkak.
”Di dalam goa itulah kami biasa bermain-main,” kata cantrik yang mengantarkan itu.
“He…?” Mahesa Jenar agak terkejut. “Kalian bermain-main di dalam goa ini?”
“Ya,” jawab Cantrik itu, “Di dalam goa itu terdapat sebuah lobang yang tembus keatas. Dari situlah sinar matahari menerangi bagian dalam goa ini.”
“Kemanakah lubang goa ini tembus?” tanya Mahesa Jenar.
“Kami tidak tahu,” jawab Cantrik itu, “Kami belum pernah menyusurnya jauh ke dalam. Sebab diujung sebelah dalam goa itu gelap sekali.”
Setelah itu maka masuklah cantrik itu ke
dalam goa sambil membawa beberapa macam bekal. Setelah itu baru Mahesa
Jenar dan Arya Salaka merangkak masuk. Memang sebenarnyalah di dalam goa
itu, agak ke dalam, tampak sinar jatuh dari lubang di atas. Lubang itu
tidak seberapa besarnya, namun terdapat lebih dari satu lubang.
Sehingga dengan demikian, beberapa berkas sinar cukup untuk menerangi
sebagian dari ruangan di dalam goa itu.
Goa itu sebenarnya tidaklah seperti
kebiasaan goa-goa. Lantainya licin bersih. Dan yang lebih menyenangkan
lagi, di dalam goa itu terdapat sebuah bale-bale bambu. Agaknya para
cantrik yang sering bermain-main di dalam goa itu telah membuatnya
sebuah bale-bale di dalam.
”Nah, Tuan..” kata cantrik itu kemudian, ”Sekarang perkenankanlah aku meninggalkan Tuan-tuan. Setiap kali aku akan dapat kemari untuk menengok perbekalan Tuan. Menurut
pesan Panembahan, tempat ini harus menjadi tempat rahasia. Sebab siapa
tahu orang-orang yang mengepung bukit ini telah mengirimkan orang untuk
memata-matai keadaan di sekitar bukit ini. Kalau aku terlalu sering
datang kemari, atau Tuan keluar dari goa ini jangan-jangan orang-orang
mereka dapat melihatnya.”
”Pergilah,” jawab Mahesa Jenar, ”Berilah kami kabar apabila terjadi sesuatu atas padepokan ini, lebih-lebih Bapa Panembahan.”

Untuk beberapa saat Mahesa Jenar dan Arya
Salaka mengamat-amati dinding goa itu. Dan kemudian mereka menemukan
suatu ruangan yang agak lebar dengan lubang-lubang pula di atasnya.
”Arya…” kata Mahesa Jenar, Kita
tidak tahu berapa lama kita harus meringkuk di dalam lubang ini. Tetapi
aku kira sehari dua hari ini Sima Rodra masih belum akan bertindak.
Karena itu kita mempunyai cukup waktu untuk menyusur goa ini sebelum
kita mendapat kabar dari cantrik tadi.
Arya Salaka adalah seorang anak yang ingin mengetahui segalanya. Karena itu segera ia menjawab, ”Paman, tidakkah kita mencoba melihat setiap segi goa ini?”
Marilah, jawab Mahesa Jenar.
Maka segera dengan hati-hati mereka mulai
memasuki ke bagian yang lebih dalam lagi. Di beberapa bagian,
lubang-lubang yang menembus ke atas masih saja terdapat. Dan sepanjang
bagian yang masih mendapat penerangan itu, ternyata terdapat bekas-bekas
tempat bermain para cantrik. Di situ terdapat pula alat-alat memasak
dan beberapa perlengkapan lain. Tetapi ketika kemudian mereka sampai ke
bagian yang lebih gelap, hilanglah semua bekas-bekas yang menunjukkan
bahwa tempat itu pernah didatangi oleh para cantrik.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar dan Arya Salaka menyusuri lubang goa yang semakin lama menjadi semakin sempit dan gelap.
Pada hari yang pertama, mereka
menghentikan pengamatan mereka sampai di situ. Tak ada yang istimewa di
dalamnya. Kecuali di beberapa tempat terdapat tetesan-tetesan air yang
jernih. Agaknya para cantrik sering menampung air yang tetes itu pula,
untuk masak-memasak.
Pada hari kedua, Mahesa Jenar dan Arya
Salaka kembali menyusuri lubang goa itu jauh lebih ke dalam. Karena
pandangan mereka yang sudah agak biasa di dalam gelap, maka meskipun
remang-remang mereka dapat melihat di dalam goa itu. Namun yang tampak
hanyalah bayangan batu-batu yang menjorok tak teratur. Ada yang runcing,
ada yang seperti gerigi, dan ada yang halus licin seperti digosok.
Juga pada hari kedua mereka tak
mendapatkan apapun yang menarik perhatian. Dengan perasaan jemu mereka
kembali ke ujung goa, dimana mereka menemukan cantrik yang mengantarkan
mereka, telah berada di situ.
”Ada sesuatu yang terjadi?” tanya Mahesa Jenar tak sabar.
Cantrik itu menggeleng tenang. Tak ada, jawabnya.
”Lalu apakah yang dilakukan oleh orang-orang laskar Gunung Tidar itu selama ini?” sambung Mahesa Jenar.
”Menari dan menyanyi-nyanyi seperti orang gila,” jawab cantrik itu. ”Mereka
berbuat aneh-aneh. Kami tidak melihatnya dengan jelas. Tadi malam kami
mencoba mengintip mereka, meskipun kami sama sekali tak berani
mendekati. Tetapi dari jarak yang sedang, kami melihat mereka
menari-nari mengelilingi perapian dengan laku yang aneh-aneh. Lebih
mengherankan lagi bahwa diantara mereka terdapat pula laskar-laskar
perempuan. Dan apa yang kami lihat adalah sangat mengerikan. Kami hampir
tak percaya pada mata kami. Lebih-lebih lagi, perempuan yang mereka
anggap pimpinan mereka, yang mendapat gelar Harimau Betina dari Gunung
Tidar.”
Mendengar ceritera cantrik itu, mulut
Mahesa Jenar serasa terkunci. Tak sepatah katapun ia menjawab. Dadanya
berdentang-dentang dengan kerasnya. Apalagi ketika ia sadar bahwa tak
ada sesuatu yang dapat dilakukan. Dengan adanya Sima Rodra dari Alas
Lodaya dan Bugel Kaliki, maka setiap usahanya pasti akan sia-sia. Karena
itu untuk sementara ia terpaksa membiarkan segalanya terjadi sampai ia
menemukan suatu cara untuk mengatasinya.
Cantrik itu tidak lama tinggal di dalam
goa. Segera setelah ia menambah bekal-bekal buat Mahesa Jenar, ia minta
diri. Dengan hati-hati sekali ia mengendap keluar, dan kemudian hilang
dibalik semak-semak di muka mulut goa.
Ceritera cantrik itu menambah prihatin
Mahesa Jenar. Ia merasa seperti orang yang sama sekali tak berarti.
Alangkah bodoh dan picik pengetahuan yang dimilikinya, sehingga ia
terpaksa membiarkan kemaksiatan itu berlaku di hadapannya tanpa suatu
daya apapun untuk mencegahnya.
Karena kejemuannya pula, maka pada hari
ketiga Mahesa Jenar dan Arya Salaka memasuki goa itu lebih dalam lagi.
Batu-batu runcing bertebaran di sepanjang dindingnya.
Ketika mereka sampai di bagian lebih
dalam lagi, tiba-tiba langkah mereka terhenti. Lamat-lamat mereka
mendengar gemerisik halus di sekitar tempat itu.
Dengan ketajaman pancainderanya Mahesa
Jenar mencoba untuk mengetahui sumber bunyi itu. Tetapi sebentar
kemudian bunyi itu telah lenyap. Namun meskipun demikian Mahesa Jenar
dan Arya Salaka menjadi bertambah berhati-hati.
Apalagi sesaat kemudian bunyi itu
terdengar lagi. Agak lebih dekat. Sekarang jelas bagi Mahesa Jenar,
bahwa bunyi itu bunyi langkah manusia. Karena itu ia menggamit Arya
Salaka, dan dengan isyarat ia menyuruhnya untuk waspada. Tetapi kemudian
suara itu lenyap kembali.
Kemudian Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun
tidak mau berkisar dari tempatnya. Mereka berdua perlahan-lahan sekali
mendekat pada dinding goa. Untuk beberapa lama mereka bertahan di situ.
Mereka menunggu setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Dan apa yang mereka tunggu-tunggu
tiba-tiba muncullah. Di dalam gelap mereka melihat sesosok tubuh
berjalan perlahan-lahan sekali dan sangat hati-hati. Tetapi agaknya ia
masih belum melihat Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang berdiri melekat
dinding, meskipun barangkali orang itu telah mendengar langkah mereka,
sebab ternyata orang itu berjalan mendekati mereka.
Tetapi ketika jarak mereka tinggal
beberapa langkah, agaknya orang itu dapat pula melihat Mahesa Jenar dan
Arya Salaka. Cepat ia menghentikan langkahnya, dan tiba-tiba ia meloncat
dan berlari menjauh.
Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi
bercuriga. Karena segera mereka menyusulnya. Namun orang itu berlari
terus meskipun tidak begitu cepat karena gelap. Sedang Mahesa Jenar dan
Arya Salaka tidak dapat berlari cepat pula. Karang-karang yang runcing
terbujur lintang tak tentu arah. Meskipun demikian langkah Mahesa Jenar
setidak-tidaknya dapat menyamai langkah orang yang dikejarnya, sehingga
jarak mereka tidak menjadi semakin jauh.
Ketika orang itu sadar bahwa ia dikejar,
maka ia pun mempercepat langkahnya. Belum sedemikian jauh ia berusaha
untuk melenyapkan dirinya, masuk ke dalam sebuah lekuk. Tetapi ternyata
bahwa lekuk itu hanya merupakan sebuah mulut saja dari cabang goa itu
yang cukup dalam pula. Mula-mula Mahesa Jenar agak ragu. Tetapi karena
keinginannya untuk mengetahui siapakah orang itu, maka segera ia
mengejarnya ke dalam cabang goa itu.
Beberapa lama mereka berkejar-kejaran.
Orang itu agaknya sudah amat mengenal keadaan di dalam goa sehingga
dengan mudahnya ia memasuki hampir setiap lobang yang ada. Ternyata di
dalam goa itu tidak saja terdapat satu dua jalur lubang, tetapi
berpuluh-puluh. Karena itulah Mahesa Jenar menjadi sulit untuk mengejar
orang yang sudah mengenal tempat itu dengan baik. Akhirnya ketika ia
merasa bahwa usahanya tidak akan berhasil, dan orang yang dikejarnya itu
sudah tidak nampak pula, segera ia menghentikan langkahnya. Peluh
dinginnya telah merembes hampir membasahi seluruh tubuhnya.
Tetapi yang lebih mengejutkan lagi,
ketika ia menoleh, Arya Salaka tidak dilihat bersamanya. Mahesa Jenar
tertegun untuk beberapa saat. Namun kemudian ia sadar bahwa mungkin anak
itu tidak dapat mengikuti kecepatannya.
Dalam pada itu Mahesa Jenar jadi gelisah.
Gelisah karena kehadiran orang lain didalam goa itu, ditambah dengan
terpisahnya Arya Salaka. Karena itu, untuk beberapa saat ia menanti.
Mungkin Arya akan segera menyusulnya, atau orang yang dikejarnya itu
muncul kembali. Tetapi usahanya itu sia-sia. Telah beberapa lama ia
tinggal di situ, namun tak seorang pun yang nampak.
Mahesa Jenar kemudian bertambah gelisah
lagi. Jangan-jangan Arya Salaka tak dapat menemukan jalan. Bukan itu
saja, tetapi dirinya sendiri pun menjadi kebingungan pula. Ketika
kemudian ia meninggalkan tempat itu dan berusaha kembali ke mulut goa
kembali. Beberapa kali ia berputar-putar melingkar-lingkar, namun yang
dicarinya tidak dapat diketemukannya. Dengan demikian ia pun yakin bahwa
Arya Salakapun pasti kehilangan jalan pula.
Dalam kegelisahannya, kemudian Mahesa
Jenar berteriak memanggil-manggil. Namun ia sama sekali tak mendengar
suara Arya menyahut. Beberapa kali suaranya sendiri melingkar-lingkar
dan kembali meraung-raung di dalam relung-relung goa itu. Akhirnya ia
pun kelelahan sendiri. Dibantingkannya dirinya di atas sebuah batu
dengan masgulnya. Di sekitarnya takbir kegelapan merubunginya. Di
sana-sini meremang batu-batu yang menjorok seperti bayangan-bayangan
hantu yang akan menerkamnya.
Mahesa Jenar sama sekali tidak takut
menghadapi keadaan sekitarnya. Tetapi ia bingung karena kehilangan
muridnya. Apapun yang terjadi atasnya bukanlah soal, sedangkan Arya
masih memiliki masa depan yang panjang dengan penuh harapan-harapan.
Sekali lagi ia masih mencoba memanggil
Arya. Namun suaranya memercik kembali berulang-ulang. Bagi Mahesa Jenar
pantulan suaranya itu terdengar seperti guruh yang memukul-mukul dadanya
yang gelisah.
Tiba-tiba dalam keriuhan perasaan itu,
Mahesa Jenar dikejutkan oleh suara orang tertawa. Suara itu
perlahan-lahan sekali, tetapi jelas dan dekat di sekitarnya. Mendengar
suara itu darah Mahesa Jenar berdesir hebat. Karena itu segera ia
meloncat berdiri dan bersiaga. Namun kemudian, suara itu terhenti dan
tidak ada apa-apa lagi yang terdengar.
Oleh peristiwa itu hatinya menjadi
bertambah gelisah. Ia mempunyai dugaan, bahwa seseorang telah sengaja
memancingnya sampai ke tempat yang membingungkan ini. Dan mungkin
sekaligus memisahkannya dari muridnya.
Ketika kemudian suara tertawa itu
terdengar lagi, Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan. Dipusatkannya
segenap inderanya untuk mengetahui arah suara yang mengganggunya. Mahesa
Jenar adalah seorang yang terlatih baik, jasmaniah dan rohaniah. Karena
itu, meskipun perlahan-lahan akhirnya ia dapat menemukan sumber suara
itu. Maka perlahan-lahan sekali ia berkisar dari tempatnya, menuju ke
arah suara yang menyeramkan. Beberapa langkah kemudian ia berhenti di
tikungan. Suara itu berasal dari sebuah lubang dinding cabang goa itu.
Dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan ia memasukinya dengan melekatkan
tubuhnya di dinding. Tiba-tiba hampir ia terlonjak ketika suara itu
terdengar kembali hampir melekat di hidungnya. Dan bersamaan dengan itu
dilihatnya sebuah bayangan bergerak-gerak di hadapannya.
Tetapi agaknya orang itu pun terkejut
pula atas kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu. Ternyata suara
tertawanya terputus, dan bayangan itu pun segera bergerak menjauh. Kali
ini Mahesa Jenar tidak mau melepaskannya lagi. Ia telah kehilangan
muridnya karena mengejar-ngejar bayangan itu. Maka sekarang ia harus
menangkapnya untuk dipaksanya menunjukkan segala liku-liku goa untuk
mencari muridnya.
Kembali terjadi kejar-mengejar di dalam
goa yang gelap. Untunglah bahwa penglihatan Mahesa Jenar tajamnya
melampaui mata burung hantu, sehingga meskipun agak sulit ia masih dapat
terus-menerus membayangi buruannya. Tetapi seperti semula amat sulitlah
untuk mendekatinya. Goa itu mempunyai beratus-ratus tikungan yang
sangat membingungkan.
Hampir meledaklah dada Mahesa Jenar
ketika sekali lagi ia kehilangan orang yang dikejarnya itu. Tubuhnya
menggigil seperti orang kedinginan. Giginya gemeretak. Kedua tangannya
mengepal tinju. Tetapi tak seorang pun yang dihadapinya.
Dalam keadaan yang serupa itu, tiba-tiba
sekali lagi Mahesa Jenar terperanjat. Tidak beberapa jauh di hadapannya,
ia melihat sebuah bayangan sinar yang meremang. Segera perhatiannya
beralih kepada bayangan itu. Cepat-cepat ia melangkah mendekati. Dan
apa yang diketemukan adalah sebuah lubang yang agak besar. Yang lebih
mendebarkan hatinya adalah, di seberang lubang itu, ia melihat cahaya
yang lebih terang dari keadaan di dalam goa. Maka dengan hati-hati ia
berjongkok dan mengintip keluar. Namun tak ada sesuatu yang
mencurigakan. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk memasuki
lubang itu. Dengan penuh kewaspadaan akhirnya ia merangkak masuk. Tetapi
alangkah terkejutnya. Ketika seluruh kepalanya telah berada diluar
lubang, pertama-tama benda yang disentuhnya adalah batang ilalang.
Karena itu segera seperti meloncat ia melontarkan seluruh tubuhnya. Pada
saat itulah angin senja menghembus tubuhnya dengan segarnya.
Batang-batang ilalang di sekitarnya, yang tingginya melampaui tubuhnya,
bergoyang-goyang ditiup angin. Di sebelah barat masih membayang
warna-warna merah, tetapi matahari telah tenggelam di bawah kaki langit.
Untuk sementara Mahesa Jenar tertegun
heran. Tiba-tiba saja ia telah berdiri di luar goa. Tetapi mulut goa ini
bukanlah mulut goa dari mana ia masuk.
Bagaimanapun juga ia menjadi agak
bimbang. Apakah sekarang yang akan dilakukan. Akhirnya ia mengambil
keputusan untuk menghadap Panembahan Ismaya, sebab ia yakin bahwa ia
masih berada di bukit Karang Tumaritis.
Ketika Mahesa Jenar mulai bergerak,
kembali ia tertegun. Didengarnya agak jauh di bawah suara kuda
meringkik, disusul oleh gelak tertawa dan sorak sorai yang riuh. Sekali
lagi perhatiannya teralih. Mahesa Jenar tiba-tiba ingin melihat apakah
yang terjadi, dan sekaligus ia mengharap dapat memecahkan teka-tekinya
sendiri, serta hilangnya Arya Salaka.
Karena itu segera ia melangkahkan kakinya
dengan hati-hati ke arah suara yang ramai itu. Ketika suara itu telah
semakin dekat, Mahesa Jenar mulai merangkak diantara batang-batang
ilalang. Dan pada saat terakhir, ketika ia menyibakkan daun ilalang, ia
melihat suatu pemandangan yang hampir membuatnya pingsan.
Yang mula-mula dilihatnya adalah
perapian. Meskipun malam baru menginjak diambang pintu. Kemudian di
dekat perapian itu ia melihat Janda Sima Rodra berdiri bertolak
pinggang, sedang di hadapannya, di atas sebuah batu tampak Jaka Soka
duduk memandang lidah api yang menjilat-jilat. Sikapnya acuh tak acuh
saja kepada Harimau Betina yang buas itu.
“Soka…” kata Janda Sima Rodra, “Syaratmu telah aku penuhi.”
”Bohong!” jawab Jaka Soka masih acuh tak acuh.
”Jangan pura-pura tidak tahu. Aku
lihat pada wajah serigalamu itu suatu kerakusan yang tak tertahan-tahan
lagi. Jangan begitu. Gadis itu hanya sekadar syarat. Syaratku. Jadi
jelas, akulah yang penting, sahut perempuan itu.”
Jaka Soka menoleh. Lalu dipandangnya orang-orang yang berada di sekitarnya. ”Kenapa kalian berhenti berteriak-teriak?” katanya.
Tetapi tak seorang pun menjawab. Karena tak seorang pun menjawab, ia melanjutkan, ”Teruskan, teruskan. Aku akan ikut serta.”
”Jawab pertanyaanku,” potong Harimau Betina itu.
”Bagus. Bagus kau,” jawab Jaka Soka. ”Aku tak pernah mengingkari janji. Tetapi tunjukkan syarat itu di hadapanku.”
Terdengarlah tertawa iblis betina itu. Sangat mengerikan. ”Kau tidak percaya kepada Sima Rodra tua dari Lodaya? Dan juga Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme?”
”Siapa bilang tidak percaya?” sahut Jaka Soka cepat-cepat. ”Aku hanya minta kau tunjukkan itu kepadaku.”
“Bagus, jawab Janda Sima Rodra muda. Sakayon…” perintahnya, “Bawa bunga pandan itu kemari. Awas Soka, durinya sangat tajam.”
Jaka Soka tidak menjawab. Ia hanya
tersenyum saja. Senyuman yang sudah pernah dikenal oleh Mahesa Jenar
sebagai senyuman Ular yang bisanya tajam bukan buatan. Dan karena
senyuman itu pulalah dahulu ia mengikutinya sampai ke tengah-tengah
hutan Tambak Baya, sehingga ia dapat menyelamatkan Rara Wilis. Dan
sekarang, agaknya Ular Laut itu masih belum menyerah. Dengan segala cara
ia agaknya berhasil memperalat Janda Sima Rodra itu untuk menangkap
gadis itu.
Sebentar kemudian darah Mahesa Jenar
serasa berhenti mengalir. Tiba-tiba saja dadanya bergetaran dan
kepalanya menjadi pening ketika ia melihat dari dalam salah sebuah
kemah, seorang yang digiring keluar dengan tangan terikat. Orang itu
tidak lain adalah Pudak Wangi, yang dikenalnya dalam keadaannya sebagai
seorang gadis bernama Rara Wilis.
Sampai di tepi lingkaran laskar Gunung
Tidar, Pudak Wangi itu berhenti. Matanya yang merah menyala-nyala karena
marahnya, beredar pada setiap wajah yang berada di lingkaran itu. Pada
saat itu seorang pengawal dengan sombongnya mendorong punggung Pudak
Wangi dengan kerasnya. Karena itu Pudak Wangi yang tidak bersedia,
terdorong dua langkah ke depan. Tetapi setelah itu tiba-tiba ia memutar
tubuhnya, dan dengan cepatnya kakinya bergerak. Malanglah nasib pengawal
yang sombong itu, ketika tumit Pudak Wangi mengenai perutnya. Meskipun
tendangan itu tidak terlalu keras, tetapi karena tepat mengenai arah ulu
hati, maka segera orang itu jatuh tersungkur tak sadarkan diri.
Melihat peristiwa itu, dengan cepatnya Janda Sima Rodra meloncat maju, dengan marahnya. Teriaknya, ”Dalam keadaanmu itu kau masih berani menyombongkan diri di hadapanku?”
Tetapi sebelum Harimau Betina itu dengan
kuku-kukunya menyobek wajah Pudak Wangi, terdengar tertawa yang rendah
memuakkan. Dan terdengarlah Jaka Soka berkata, ”Kau benar-benar seorang pemarah. Kalau syarat yang kau bawa itu kau rusakkan, batallah perjanjian kita.”
Langkah Janda Sima Rodra muda terhenti. Setelah merenung sejenak ia menjawab, “Ular
Laut, kau benar-benar membuat aku gila dan berbuat hal-hal yang sangat
bertentangan dengan kehendakku. Tetapi biarlah. Akan aku serahkan umpan
ini dengan utuh kepadamu.”
Sekali lagi terdengar Jaka Soka tertawa
pendek. Matanya yang redup tetapi memancarkan sinar yang mengerikan
memandangi Pudak Wangi dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya.
“Jangan memandang begitu,” kata Janda Sima Rodra, “Kalau aku yang kau pandang demikian, mungkin aku sudah pingsan.”
Jaka Soka tidak menjawab. Tetapi ia
berdiri dan melangkah ke arah Pudak Wangi yang masih berdiri terpaku
dengan wajah yang merah membara.
Ketika Janda Sima Rodra muda itu melihatnya, maka dengan tertawa nyaring berkata, “Jaka Soka, aku masih belum menyerahkannya kepadamu.”
“Apa lagi yang ditunggu?” sahut Jaka Soka.
“Aku akan menyerahkan kepadamu dalam
satu upacara resmi di hadapan laskarku sebagai saksi. Tetapi tidak
sekarang. Aku masih memerlukannya. Sebab dengan adanya gadis itu di
dalam tanganku, aku mengharap kehadiran seorang lagi.” Kata janda Sima Rodra
Wajah Jaka Soka seketika berubah menjadi merah. Tetapi ia masih mengendalikan dirinya. Katanya, “Kau
benar-benar setan betina. Terserahlah kepadamu. Kalau dengan demikian
kau akan mengangkat harga diriku, kau akan kecewa. Sebab kedatanganku
kemari adalah atas permintaanmu.”
Sekali lagi keadaan jadi tenang karena
suara tertawa Iblis betina yang bergetar membentur dinding-dinding
pegunungan memenuhi lembah. Lalu kemudian ia berkata lantang, “Marilah kita berpesta. Kita ajak tamu kita ini serta, mungkin dengan demikian ia akan mendapatkan kegembiraan.”
Sesaat kemudian ia telah memerintahkan
kepada laskarnya untuk mulai dengan teriakan-teriakan dan
nyanyian-nyanyian yang sama sekali tak menyedapkan. Pada saat itu,
Mahesa Jenar yang bersembunyi di belakang semak-semak menjadi gemetar.
Ia ingat pada peritiwa yang pernah diketemukan bekas-bekasnya di atas
Gunung Ijo, Prambanan. Pada saat itu ia masih belum dapat membayangkan,
apakah yang terjadi. Tetapi sekarang, barulah agak jelas baginya, bahwa
benar-benar rombongan Sima Rodra yang sering menculik gadis-gadis itu
mempunyai kebiasaan yang mengerikan.
Mengingat kerangka-kerangka gadis-gadis
di Gunung Ijo itu bulu Mahesa Jenar meremang. Dan sekarang dihadapannya
ia melihat upacara itu berlangsung.
Teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian
yang tak sedap, yang keluar dari mulut-mulut yang kasar itu semakin lama
semakin menjadi-jadi. Mereka bergerak semakin cepat mengelilingi
perapian. Janda Sima Rodra dan Jaka Soka yang berdiri sebelah-menyebelah
dengan Pudak Wangi, berada di luar lingkaran. Tetapi wajah mereka
membayangkan bahwa perasaan mereka telah hanyut pula dalam keadaan yang
hampir tak sadar. Melihat hal itu Mahesa Jenar menjadi sangat cemas.
Cemas akan keselamatan Pudak Wangi. Sebab dalam keadaan serupa itu, bisa
saja malapetaka menimpanya setiap saat, meskipun selama Janda Sima
Rodra itu masih berada di situ, keselamatannya agaknya masih terjamin.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar telah
bersiaga penuh. Kalau terjadi sesuatu atas gadis yang berpakaian mirip
seorang laki-laki itu, dalam loncatan pertama ia sudah siap
mempergunakan aji Sasra Birawanya, meskipun seterusnya akan sangat
membahayakan jiwanya sendiri. Sebab ia yakin bahwa Sima Rodra tua dan
Bugel Kaliki berada di sekitar tempat itu pula. Tetapi apa boleh buat.
Sementara itu, upacara gila-gilaan itu
menjadi semakin panas. Dan tiba-tiba lingkaran upacara itu melebar dan
melingkar di luar tempat Harimau Betina itu berdiri. Dalam keadaan yang
demikian tampaklah betapa cemasnya Pudak Wangi.
Dalam keadaan hampir tak sadar tiba-tiba
Janda Sima Rodra itu kemudian menarik tangan Jaka Soka dan diseretnya
untuk ikut serta melonjak-lonjak dan berteriak-teriak. Agaknya Jaka Soka
pun menjadi seperti seorang yang tak berperasaan lagi. Tanpa membantah
ia pun langsung ikut serta dalam pesta-pesta yang mengerikan itu.
Sesaat kemudian Pudak Wangi memalingkan
wajahnya. Upacara itu benar-benar telah menjadi-jadi. Tetapi kemanapun
ia memandang, ia melihat keadaan yang serupa. Sehingga akhirnya ia
memejamkan matanya.
Mahesa Jenar akhirnya tak tahan lagi.
Darahnya yang sudah mendidih itu sudah tidak dapat disabarkan. Karena
itulah segera ia bersiap untuk bertindak.
Tetapi sebelum ia bergerak, terdengarlah
derap suara seekor kuda. Semakin lama semakin dekat. Orang-orang yang
sedang melakukan perbuatan-perbuatan gila itu sama sekali tidak
mendengar derap itu. Sehingga kuda itu telah menjadi dekat sekali.
Dengan mata yang tajam, Mahesa Jenar melihat seseorang diatas seekor
kuda merah kehitam-hitaman meluncur seperti anak panah ke arah api yang
masih menyala-nyala. Sesaat orang itu mengekang kudanya agak jauh dari
perapian itu, tetapi sesaat kemudian seperti angin kuda itu meluncur
kembali langsung menerjang orang-orang yang sedang sibuk dengan
kelakuan-kelakuan mereka yang gila itu. Karena itu, ketika seekor kuda
merah kehitam-hitaman menerjang mereka, mereka menjadi kalang kabut dan
untuk sementara kehilangan akal. Namun tidak demikianlah Harimau Betina
Gunung Tidar dan Jaka Soka. Meskipun mereka baru saja tenggelam dalam
irama kegilaan, namun dalam waktu sekejap mereka telah dapat menguasai
diri mereka kembali.

Maka sesaat kemudian terdengarlah Janda
Sima Rodra itu berteriak dengan marahnya. Dan dalam keadaan yang
demikian, segera tampak jari-jarinya yang memiliki kuku-kuku yang
panjang itu berkembang mengerikan. Sedang Jaka Sokapun merasa terhina
pula. Dengan hebatnya ia menggeram, dan sesaat kemudian ia telah
meloncat menghadang kuda yang telah berputar pula.
Ketika wajah orang berkuda itu kemudian
menjadi jelas oleh api yang menyala ditengah-tengah mereka, segera
terdengar suara Pudak Wangi nyaring, ”Kakang Sarayuda….”
Suara Pudak Wangi yang melengking lembut
itu bagi Mahesa Jenar ternyata mempunyai akibat yang hebat sekali. Dalam
saat yang bersamaan, ia telah mengenal pula wajah itu. Sarayuda, yang
membuatnya berdebar-debar. Bagaimanapun juga Mahesa Jenar tidak dapat
melupakan, bahwa pemuda yang perkasa itu telah pernah mengecewakannya,
meskipun mungkin sama sekali tidak disengaja. Dan kehadirannya saat
inipun telah menimbulkan suatu persoalan baru di dalam dadanya.
Dalam saat yang tegang itu terdengarlah Jaka Soka berteriak kasar, ”Hai Janda Sima Rodra, adakah orang ini yang kau pancing dengan umpanmu itu?”
Terdengarlah suara Janda Sima Rodra itu menjawab, ”Aku tak kenal orang ini. Betapapun gagahnya, namun ia adalah sombong sekali.”
Pada saat itu, kuda merah kehitam-hitaman
itu dengan garangnya menyambar Jaka Soka. Tetapi Ular Laut itu,
bukanlah anak-anak kemarin sore yang baru mampu bermain kucing-kucingan.
Dengan menarik tubuhnya satu langkah ke samping, ia telah bebas dari
serangan lawannya. Sambil berjongkok ia menyodok perut kuda itu dengan
tongkat hitamnya. Akibatnya hebat sekali. Kuda itu terkejut dan memekik
berdiri. Saat yang demikian memang ditunggunya. Dengan cepatnya ia
melompat dan menghantam punggung Sarayuda. Tetapi Demang Gunung Kidul
itupun bukan pula anak ingusan. Ia adalah murid tertua Ki Ageng Pandan
Alas. Ketika Demang Gunung Kidul merasa sebuah serangan mengarah ke
punggung, sedang kudanya belum dapat dikuasainya, maka dengan kecepatan
yang sama ia telah berhasil meloncat dan jatuh berguling, untuk kemudian
melenting bangkit dan bersiaga.
Dalam sekejap kemudian terjadilah
pertempuran yang seru. Jaka Soka, Bajak Laut yang ditakuti di daerah
perairan Nusakambangan dan mendapat julukan Ular Laut, menyerang dengan
ganasnya, sedang Sarayuda bertempur dengan gagahnya pula. Dengan
teguhnya ia berdiri di atas kedua kakinya yang lincah menari-nari
membingungkan lawannya. Pada saat yang demikian itu terdengarlah suara
Janda Sima Rodra kepada laskarnya, ”Sakayon, jagalah tawanan ini.
Kepung rapat-rapat dan jangan beri kesempatan bergerak. Biar aku
membantu Jaka Soka membinasakan tamu yang sombong itu.”
Sesaat kemudian, berloncatanlah anak buah
Sima Rodra dengan senjata terhunus berdiri rapat-rapat melingkari Pudak
Wangi yang terikat tangannya.
Kemudian, Janda Sima Rodra itu pun,
dengan kuku-kukunya yang tajam beracun mulai melibatkan diri dalam
pertempuran melawan Sarayuda.
Sarayuda adalah seorang yang tangkas,
tangguh dan perkasa. Namun demikian, ketika ia harus melawan Ular Laut
dan Janda Sima Rodra itu bersama-sama, segera terasa bahwa memang
kekuatan mereka tidak berimbang, karena Ular Laut dan Janda Sima Rodra
itu masing-masing juga merupakan tokoh-tokoh perkasa dari golongan
hitam.
Dalam keadaan yang terdesak, Sarayuda
segera mencabut pedangnya. Pedang yang gemerlapan itu berputar-putar
memancar berkilat-kilat karena cahaya api. Sinarnya yang putih, serta
pantulan sinar kemerah-merahan, menjadikan pedang itu seperti
memancarkan bunga-bunga api. Sarayuda, murid Ki Ageng Pandan Alas itu,
kemudian menyerang dengan tangkasnya. Pedangnya bergetaran dalam ilmu
khusus perguruan Ki Ageng Pandan Alas, terasa sangat membingungkan
lawannya. Tetapi dalam pada itu, segera tampak pula sinar putih
bergulung-gulung belit-membelit dengan bayangan yang kehitam-hitaman
melawan pedang Sarayuda. Itulah senjata Jaka Soka. Pedang kecil yang
lentur, yang dicabutnya dari dalam tongkat hitamnya di tangan kanan, dan
tongkat itu sendiri ditangan kiri, merupakan sepasang senjata yang
menakjubkan. Dibarengi dengan 10 batang kuku-kuku berbisa diujung jari
Harimau Betina dari Gunung Tidar, senjata-senjata itu merupakan gabungan
kekuatan yang mengerikan.
Untuk sesaat Mahesa Jenar terpesona
memandangi pertempuran yang hebat itu. Ia kagum akan ketangkasan
Sarayuda dan memuji kelincahan Jaka Soka, yang bertempur dengan
gerakan-gerakan yang cepat, melingkar, menyerang dan mematuk-matuk,
benar-benar seperti laku seekor Ular yang berbahaya.
Ia baru sadar ketika dilihatnya bahwa Sarayuda benar-benar dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Dalam keadaan yang sedemikian, tiba-tiba
sekali lagi Mahesa Jenar dikejutkan oleh suatu pemandangan yang tidak
diduganya. Di tempat yang agak jauh dari lingkaran pertempuran itu, yang
hanya dapat dicapai oleh cahaya api yang sangat lemah, dilihatnya pula
seseorang bertempur melawan dua orang. Tetapi pertempuran ini jauh
berbeda dengan pertempuran antara Sarayuda melawan kedua lawannya.
Pertempuran yang dilihatnya kemudian itu seolah-olah hanyalah sebuah
permainan lontar-melontar yang kadang-kadang diseling dengan
pukulan-pukulan lamban. Namun agaknya gerak-gerak itu merupakan
gerak-gerak yang meloncatkan kekuatan tiada taranya. Sesaat kemudian
Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Yang seorang itu adalah Ki Ageng
Pandan Alas, sedang kedua lawannya adalah Sima Rodra tua dari Lodaya dan
Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme. Melihat pertempuran itu Mahesa
Jenar menjadi bertambah cemas. Ki Ageng Pandan Alas yang datang untuk
menolong cucunya, ternyata menjumpai lawan yang seangkatan dan berdua
pula.
Meskipun apa yang terjadi diantara mereka
adalah diatas kemampuannya, namun Mahesa Jenar dapat pula melihat,
bahwa Ki Ageng Pandan Alas pun menemui kesulitan untuk melawan kedua
tokoh tua dari golongan hitam itu, sebagaimana Sarayuda juga menemui
kesulitan dalam perjuangannya melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra
muda.
Dalam waktu yang singkat itu terjadilah
suatu pergolakan di dalam dada Mahesa Jenar. Sudah pasti, bahwa ia tidak
akan berguna sama sekali apabila ia berani mencoba-coba mencampuri
urusan Ki Ageng Pandan Alas. Apa yang dapat dikerjakan hanyalah untuk
sementara memperingan pekerjaan orang tua itu. Untuk sementara saja.
Sebab kemudian ia akan segera binasa. Maka yang mungkin dilakukan
hanyalah melibatkan diri dalam lingkaran pertempuran antara Sarayuda dan
lawan-lawannya. Meskipun sebagai manusia biasa, terdapat beberapa benih
keseganan untuk membantunya, namun darah kesatria yang mengalir di
dalam tubuhnya telah melanda kepicikan pandangan itu. Dengan merapatkan
giginya, Mahesa Jenar berusaha untuk melupakan apa yang pernah
dialaminya. Persoalan-persoalan pribadi antara dirinya dan Demang Gunung
Kidul itu. Sehingga sesaat kemudian telah bulatlah hatinya untuk terjun
langsung membantu Sarayuda. Ia mengharap bahwa dengan aji Sasra Birawa
dan Aji Cunda Manik yang dimiliki oleh Sarayuda akan mempercepat
penyelesaian, sehingga ia mengharap dapat menyelamatkan Pudak Wangi.
Setelah itu, ia mengharap pula bahwa Ki Ageng Pandan Alas dapat
menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun apa yang akan dilakukan itu
mengandung bahaya yang maha besar, namun tak ada pilihan lain daripada
berjuang untuk membebaskan gadis cucu Pandan Alas itu. Memang akan
mungkin sekali, untuk sementara salah seorang lawan Pandan Alas
meninggalkan orang tua itu untuk membantu Jaka Soka dan Janda Sima
Rodra, yang berarti kebinasaan baginya dan bagi Sarayuda. Tetapi itu
akan merupakan sebuah pertanggungjawaban dari perjuangan. Karena itu
segera Mahesa Jenar menggulung lengan bajunya dan menyangkutkan kainnya.
Tetapi, kembali dada Mahesa Jenar
digetarkan oleh suatu peristiwa yang tak dapat dimengertinya. Ketika ia
sudah mulai bergerak untuk meloncat, tiba-tiba didengarnya gemerisik
halus di bekalangnya. Cepat ia bersiaga dan membalikkan tubuhnya. Tetapi
apa yang dilihatnya hampir tak masuk diakalnya. Dalam remang-remang
cahaya bintang serta sinar api yang menyusup di celah-celah daun
ilalang, Mahesa Jenar melihat sebuah bayangan yang seolah-olah dirinya
sendiri sedang terbang dan melontar cepat lewat disampingnya. Dengan
pandangan yang penuh kebingungan, matanya mengikuti bayangan itu dengan
tanpa berkedip. Apalagi ketika ia melihat bayangan itu dengan lincahnya
meloncat diatas batu karang tidak jauh dari perapian yang masih
menyala-nyala. Dengan tangan bertolak pinggang serta kaki renggang,
terdengarlah bayangan itu tertawa nyaring. Suaranya mengumandang seperti
guntur yang menggelegar membentur dinding pegunungan, sambil berkata, ”Inilah murid Ki Ageng Pengging Sepuh yang dikenal dengan nama Mahesa Jenar serta bergelar Rangga Tohjaya.”
Mendengar suara yang mengguruh itu, isi
dada Mahesa Jenar seperti diguncang-guncang. Cepat ia memusatkan
kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara yang aneh itu. Ia pernah
mendengar Pasingsingan menghantamnya dengan suara tertawa yang
mengerikan di alun-alun Banyu BIru. Dan sekarang, suara orang yang
berdiri diatas batu karang itu tidak pula kalah dahsyatnya menghantam
dadanya.
Agaknya bukan saja Mahesa Jenar yang
merasa terpukul oleh getaran suara yang dilontarkan dengan landasan
kekuatan batin yang tinggi itu. Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra
yang sedang bertempur itupun segera berloncatan mundur dan
mempergunakan kekuatan batinnya untuk menahan supaya dadanya tidak
rontok. Pudak Wangi pun tampak menundukkan kepala sambil memejamkan
matanya. Agaknya cucu dan sekaligus murid Pandan Alas yang muda itupun
berusaha untuk membebaskan diri dari getaran yang memukul-mukul dadanya.
Bahkan lebih dari pada itu, Pandan Alas, Sima Rodra dan Bugel Kaliki,
tokoh-tokoh tua yang sudah banyak makan pahit asinnya penghidupan itupun
menjadi terkejut pula. Ternyata bahwa karena itu pertempuran mereka
jadi terhenti. Dengan pandangan yang keheran-heranan mereka
memperhatikan orang yang berdiri diatas batu karang dengan kaki renggang
dan kedua tangan bertolak pinggang.
Mahesa Jenar yang telah lebih dahulu
melihat orang yang menyebut dirinya Mahesa Jenar, murid Ki Ageng
Pengging Sepuh itu, ketika sinar api mencapai wajahnya, segera ia
mengenalnya, bahwa wajah itu sama sekali tidak jelas. Rambut yang kasar
tumbuh lebat hampir melingkari seluruh muka, bersambungan dengan kumis
dan janggut yang rapat tak teratur.
Dalam pada itu Mahesa Jenar telah
berusaha keras untuk tidak tenggelam dalam suatu perasaan yang aneh,
bahwa hampir-hampir ia merasa bahwa orang yang berdiri diatas batu
karang itu adalah dirinya sendiri, yang dalam keadaan puncak
keprihatinan, sehingga sama sekali tidak sempat memelihara diri.
Meskipun beberapa kali Mahesa Jenar sudah pernah melihat wajahnya di
permukaan air, namun ia dalam saat yang aneh itu, harus berjuang
mati-matian untuk dapat mengenal dirinya kembali, dan membedakannya
dengan orang yang berdiri diatas batu karang itu.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar mempunyai
kekuatan batin yang tinggi pula, sehingga dalam sesaat ia telah berhasil
menguasai dirinya kembali. Semakin lama ia menjaid semakin jelas
melihat batas antara dirinya dan orang itu. Bahkan akhirnya ia dapat
memperhitungkan berbagai masalah mengenai dirinya dan orang yang mengaku
Mahesa Jenar itu. Orang itu pasti sengaja memakai rambut, kumis dan
janggut yang kasar dan lebat, supaya wajahnya tidak segera dikenal.
Tetapi, yang Mahesa Jenar masih belum dapat menemukan jawabnya, adalah
gerak gerik orang itu hampir mirip bahkan tepat seperti gerak geriknya,
tapi berada diatas kemampuannya. Dan hal itulah kemudian yang menjadi
teka-teki yang tak dapat dipecahkannya.
Sudah untuk kedua kalinya Mahesa Jenar
mengalami hal yang serupa. Ketika ia harus bertempur berlima melawan
Sima Rodra dan Pasingsingan, tiba-tiba saja ia melihat dua orang Mahesa
Jenar melibatkan diri. Kedua orang itu ternyata Ki Paniling atau yang
nama sebenarnya adalah Radite dan Darba atau Anggara. Namun
bagaimanapun juga akhirnya ia dapat mengenal kedua orang itu.
Tetapi ternyata orang yang menyerupai
dirinya kali ini lebih membingungkannya. Sebab gerak geriknya mirip
sekali dengan geraknya sendiri dalam ilmu warisan Ki Ageng Pengging
Sepuh.
Dalam keadaan yang demikian, suasana
menjadi hening tegang. Kecuali suara berderai yang meluncur dari mulut
orang yang berdiri diatas batu karang itu, selainnya sunyi.
Tetapi tiba-tiba orang itu meloncat mirip
seekor garuda yang terbang menukik dari atas batu karang itu langsung
ke arah Pudak Wangi yang masih berdiri mematung.
Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra
itupun segera tahu maksudnya. Sebab di mata mereka, orang itu tidak lain
adalah Mahesa Jenar yang sedang berusaha untuk membebaskan Rara Wilis.
Maka kemudian terdengar suara Janda Sima Rodra itu nyaring, ”Soka,
tamuku sudah datang. Tolong, tangkap dia. Sesudah itu kau boleh
mengambil kami berdua sebagai istrimu. Tapi ingat, aku tidak mau kau
ikat.”
Jaka Soka pun kemudian teringat apa yang
pernah tejadi di hutan Tambak Baya. Orang yang menamakan diri Mahesa
Jenar telah menggagalkan niatnya, waktu ia hendak menculik Rara Wilis.
Karena pada waktu itu, ia tidak berhasil mengalahkannya. Tetapi sekarang
ia telah bekerja keras untuk menambah ilmunya.
Karena itu ia merasa bahwa ia tidak perlu
takut lagi kepada Mahesa Jenar, meskipun terhadap Sasra Birawa ia masih
harus sangat hati-hati dan yang dapat dilakukannya hanyalah
menghindarkan diri. Apalagi sekarang ia dapat bekerja sama dengan Janda
Sima Rodra. Sedangkan Sarayuda, ia mengharap bahwa salah seorang dari
Sima Rodra tua atau Bugel Kaliki mengurusnya.
Juga terhadap Mahesa Jenar itu akhirnya,
apabila dirinya menemui kesulitan, meskipun ia bekerja sama dengan Janda
Sima Rodra, Jaka Soka mengharap Sima Rodra Tua mau membantu
menangkapnya untuk kepentingan anaknya.
Dalam pada itu, Janda Sima Rodra itu
menjadi gembira. Ia ingin Mahesa Jenar tertangkap hidup-hidup. Ia ingin
membalas sakit hatinya karena suaminya terbunuh. Tetapi lebih daripada
itu, keliarannya telah mendorongnya untuk melakukan niat yang memuakkan.
Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang kasar dan berambut
lebat itu ia menjadi agak kecewa. Namun demikian ia sama sekali tidak
mengurungkan niatnya.
Orang ketiga, yang berdiri di dalam arena
itu adalah Sarayuda. Ia mempunyai tanggapan sendiri atas kehadiran
Mahesa Jenar. Meskipun ia menduga bahwa kehadiran Mahesa Jenar kali
inipun bermaksud untuk menyelamatkan Pudak Wangi, namun tiba-tiba
menjalarlah suatu perasaan cemburu yang meluap-luap. Beberapa tahun
yang lalu ia pernah bertempur dengan Mahesa Jenar ketika ia menolong
Arya Salaka. Pada saat itu, ia merasakan suatu perhubungan yang aneh
dengan orang itu. Apalagi ketika tiba-tiba saja Mahesa Jenar pergi
meninggalkan pondok Ki Ageng Pandan Alas tanpa pamit. Dan sejak itulah
ia mempunyai perasaan bersaing. Meskipun sejak itu Mahesa Jenar tidak
pernah muncul kembali dan agaknya Ki Ageng Pandan Alas pun sangat
membesarkan hatinya, namun Pudak Wangi sendiri tidak pernah membuka
hatinya. Ia yakin kalau hal itu disebabkan karena hati itu telah
dirampas oleh orang yang bernama Mahesa Jenar.
Berbeda dengan perasaan Mahesa Jenar
sendiri, yang meskipun ia memiliki perasaan yang sama dengan Sarayuda,
namun ia mendahulukan keselamatan Pudak Wangi dari perasaannya yang
mengganggu. Ia memang sudah membiasakan diri, berkorban untuk
kepentingan yang lebih besar dan luas tanpa pamrih, daripada kepentingan
diri sendiri.
Karena perasaan itulah maka Sarayuda
justru merasa tersinggung karena hadirnya Mahesa Jenar. Apalagi setelah
ia berjuang mati-matian untuk membebaskan gadis cucu gurunya, namun
tidak ada tanda-tanda akan berhasil, bahkan akhirnya gurunya sendiri
menemui kesulitan pula karena hadirnya kecuali Sima Rodra tua yang
memang sudah diduga sebelumnya, juga Bugel Kaliki.
Maka sebelum orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu sampai ke tengah-tengah arena itu, ia berteriak, ”Mahesa
Jenar, murid utama Ki Ageng Pengging Sepuh, janganlah mengganggu
permainan kami. Biarlah kami yang sudah dewasa ini mencoba menyelesaikan
persoalan kami sendiri.”
Terdengarlah orang itu tertawa pendek sambil berhenti beberapa langkah dari mereka. Katanya, ”Aku datang untuk membantumu,”
”Aku tidak perlu bantuanmu,” potong Sarayuda.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu mengerutkan alisnya. Kemudian ia berkata pula, ”Jangan
lekas tersinggung. Bukankah kita masing-masing berjanji di dalam hati
untuk menghancurkan setiap kejahatan…? Apapun persoalan yang ada di
antara kita jangan menjadi sebab, bahwa kita tidak bisa bekerja bersama.
Sebab juga menjadi kewajibanku untuk membebaskan Adi Pudak Wangi.”
Mendengar nama itu disebut, hati Sarayuda menjadi bertambah berdebar-debar. Lalu katanya, ”Pergilah, jangan ikut campur.”
Tetapi orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu tidak pergi, malahan ia berkata kepada semua yang ada di arena itu, ”Dengarlah,
aku datang untuk membebaskan Pudak Wangi. Siapa pun yang menghalangi,
tidak peduli siapa saja, akan berhadapan dengan Mahesa Jenar.”
Setelah itu kembali ia bergerak maju.
Pada saat itu, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang paling berkepentingan
untuk menangkap Mahesa Jenar itu dan menggagalkan maksudnya. Karena
itulah maka mereka berloncatan maju menghalangi. Sedang Sarayuda menjadi
ragu, dan untuk beberapa saat ia kehilangan pegangan, apakah yang akan
dilakukannya. Sementara itu orang-orang tua yang menyaksikan perbantahan
mereka menjadi tertegun heran. Sima Rodra dan Pandan Alas, dengan jelas
mengetahui sampai di mana tingkat ilmu Mahesa Jenar itu, mereka menjadi
agak keheran-heranan. Namun karena yakin, bahwa segala gerakannya
adalah khusus peninggalan Ki Ageng Pengging Sepuh yang dahsyat itu.
Tetapi yang paling heran diantara mereka
adalah Mahesa Jenar sendiri. Apalagi setelah ia menyaksikan orang itu
bertempur melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra. Setiap gerak tubuhnya,
sampai ke ujung bulunya, adalah tepat sekali apa yang selalu
dilakukannya atas dasar ilmu gurunya.
Karena itulah maka Jaka Soka dan Janda
Sima Rodra yang memang benar-benar pernah bertempur dengan Mahesa Jenar,
sama sekali tidak mempunyai curiga apapun terhadap lawannya. Namun Jaka
Soka yang merasa bahwa setelah beberapa tahun ia menekuni ilmunya, yang
diduganya telah dapat melampaui ilmu Mahesa Jenar, ternyata menjadi
kecewa. Sebab Mahesa Jenar yang dihadapinya saat itu, bahkan berdua
dengan Janda Sima Rodra, adalah Mahesa Jenar yang memiliki ilmu yang
belum dapat disamai dengan jarak yang seolah-olah tidak berubah seperti
pada saat ia bertempur di Tambak Baya beberapa tahun berselang.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin lama semakin dahsyat.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar
itu bertempur laksana burung Rajawali yang menyambar-nyambar melawan
Ular Laut yang bertempur bersama-sama dengan seekor Harimau Liar.
Bagaimanapun, Jaka Sokapun ternyata memiliki ilmu yang luar biasa.
Ketika pertempuran itu menjadi semakin hebat, gerakan-gerakan Jaka Soka
menjadi bertambah membingungkan. Serangan-serangan Jaka Soka yang
sebagian besar mengarah ke perut lawannya, dibarengi dengan
sambaran-sambaran sinar putih yang belit membelit dengan bayangan hitam,
merupakan tarian maut yang mengerikan. Sedangkan Janda Sima Rodra yang
bersenjatakan kuku-kukunya terdengar beberapa kali menjerit-jerit
sambil menerkam dengan garangnya. Jari-jarinya yang mengembang dan
kukunya yang gemerlapan merupakan jaringan-jaringan maut yang sukar
dapat ditembus. Apalagi mereka berdua dengan Jaka Soka, selalu berusaha
isi mengisi kelemahan masing-masing.
Tetapi orang yang menamakan dirinya
Mahesa Jenar itu, dalam keadaan yang demikian, bahkan seolah-olah
berubah menjadi Wisnu dalam bentuknya sebagai Kresna penggembala, yang
menari-nari di atas seekor ular Naga yang berkepala tujuh. Namun
perlahan-lahan tetapi pasti, satu demi satu kepala-kepala ular itu
dipangkasnya.
Demikianlah, Jaka Soka dan Janda Sima
Rodra itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Tenaga mereka yang
dicurahkan habis-habisan, tanpa memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi, menjadi semakin lama semakin surut. Sedang lawan mereka,
malahan tampak menjadi semakin garang.
Sesaat kemudian jelaslah apa yang akan
terjadi dengan pertempuran itu. Hal itu dilihat pula oleh Sima Rodra tua
dan Bugel Kaliki. Sudah tentu mereka tidak akan membiarkan hal itu
terjadi. Sedangkan Pandan Alas menjadi termangu-mangu. Ia dapat membaca
perasaan kedua orang itu. Mahesa Jenar dan Sarayuda. Sedangkan ia
sendiri tidak dapat memihak salah seorang diantaranya. Sehingga dengan
demikian, ketika ia mendengar perbantahan Sarayuda dan Mahesa Jenar,
menjadi agak bingung. Namun bagaimanapun juga keselamatan cucunya
adalah suatu hal yang mutlak baginya. Karena itulah maka ketika ia
melihat Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki mulai bersiap-siap, iapun
bersiap pula.
Tetapi belum mereka berbuat sesuatu,
mereka dikejutkan oleh seseorang yang terjun dalam arena pertempuran
itu. Ia adalah Sarayuda. Dengan menggeram marah ia berkata, ”Mahesa
Jenar, sekali lagi aku minta kau tinggalkan pertempuran ini. Kau yang
selama ini tidak berbuat apa-apa, sekarang kau akan berlagak menjadi
pahlawan. Akulah yang pertama-tama bertindak untuk keselamatan Pudak
Wangi. Biarlah urusanku itu aku selesaikan.”
Bukan main terkejutnya orang yang
menamakan diri Mahesa Jenar itu ketika Sarayuda membentak-bentaknya
dengan kasar. Sambil meloncat mundur ia menjawab, ”Sadarkah kau dengan tindakanmu itu?”
Jaka Soka dan Janda Sima Rodra pun
menjadi tercengang-cengang. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa
Sarayuda dan orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu akan bertengkar
sendiri. Dalam pada itu tiba-tiba Ular Laut yang tampan itu
tersenyum-senyum sambil berkata, ”Kita mempunyai kepentingan yang
sama. Aku, tamu kita yang bernama Sarayuda dan Mahesa jenar. Diantara
kita bertiga, ternyata akulah yang paling rendah tingkat kepandaianku.
Alangkah senangnya kalau aku dapat menarik keuntungan dari perang
tanding antara kedua tokoh yang sempurna ini. Tetapi agaknya akupun
telah dapat memperhitungkan siapakah yang akan menang. Sebab aku telah
bertempur dengan kalian berdua berganti-ganti. Sarayuda bukan tandingan
Mahesa Jenar.”

Dengan tidak menghiraukan apapapun lagi,
dengan wajah yang menyala-nyala ia bersiap menyerang Mahesa jenar yang
masih berdiri mematung. Berbareng dengan itu, terdengarlah jerit Pudak
Wangi yang sejak tadi berdiam diri kebingungan. ”Bertempurlah
kalian…, bertempurlah sampai binasa. Setelah itu arwah kalian akan puas
melihat aku binasa pula dengan hinanya di tengah-tengah iblis ini.”
Suara itu jelas merupakan luapan hati seorang gadis yang mencemaskan
kehormatannya, bukan nyawanya. Sebagai cucu dan murid Ki Ageng Pandan
Alas, Pudak Wangi bukanlah seorang pengecut, yang merengek-rengek
menghadapi kematian. Tetapi terhadap Ular Laut dari Nusakambangan itu,
ia benar-benar menjadi ngeri.
Sarayuda tersentak hatinya. Ia tegak
seperti patung, dadanya digoncang oleh kebingungan yang bergelora.
Tetapi dalam pada itu, orang yang menamakan dirinya Mahesa jenar merasa
bahwa ia tidak mempunyai banyak waktu. Orang itu sadar, bahwa apa yang
dilakukan oleh Sarayuda adalah luapan perasaannya saja. Karena itu,
tiba-tiba orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, sekali lagi
meloncat mundur, seterusnya apa yang dilakukan sama sekali tak dapat
dilihat dengan jelas. Sekali lagi seperti seekor Rajawali, orang itu
terbang dengan kecepatan kilat, menyambar Pudak Wangi. Orang-orang yang
berdiri memagari gadis itu, yang sebagian telah diruntuhkan perasaannya
dengan suara tertawa yang menghentak-hentak dada, dapat ditembus dengan
mudahnya. Kemudian berubahlah Rajawali itu menjadi bayangan hantu
menyambar Pudak Wangi, yang seterusnya lenyap ke dalam kegelapan
bayang-bayang gerumbul-gerumbul lebat di sekitar tempat itu.
Kejadian itu hanya berlangsung dalam
waktu yang sangat singkat. Bahkan merupakan sebuah pesona yang
seolah-olah merampas kesadaran dari semua orang yang menyaksikan. Pandan
Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki pun sampai beberapa saat berdiri
seperti patung. Baru setelah bayangan itu terbang, mereka menjadi
tersadar dari sebuah mimpi yang hebat. Dan sadar pulalah mereka bahwa
apa yang mereka usahakan selama itu, menjadi lenyap di hadapan
hidungnya. Sima Rodra dan Bugel Kaliki yang sudah bersusah payah
menangkapnya, dan Pandan Alas yang bersusah payah pula mencari cucunya
itu, ditambah lagi dengan Jaka Soka dan Sarayuda yang mempunyai
kepentingan yang sama pada saat itu, seolah-olah digerakkan oleh satu
daya penggerak, berloncatanlah mereka menyusul ke arah hilangnya
bayang-bayang itu.
Sesaat kemudian, seperti dihisap oleh
kegelapan malam, lenyaplah semua orang yang mula-mula dengan riuhnya
mengelilingi perapian, yang sampai saat itu, apinya sudah jauh surut.
Maka sepilah suasana di tempat itu, setelah semua orang berlari-larian
pergi. Yang terdengar kemudian kecuali keretak sisa-sisa kayu yang
dimakan api, adalah napas Mahesa Jenar yang tersengal-sengal seperti
berebut dahulu meloloskan diri dari tubuhnya yang gemetar. Apa yang
disaksikan itu, bagi Mahesa Jenar seperti gambaran di dalam mimpi. Namun
bagaimanapun, gambaran-gambaran itu telah membingungkannya. Apa yang
dilakukan oleh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu adalah tepat
seperti apa yang akan dilakukannya seandainya ia mampu. Sebab secara
jujur, ia mengakui, bahwa orang yang menyerupainya itu mempunyai
kemampuan yang luar biasa sehingga ia dapat melakukan pekerjaan itu di
hadapan segerombolan orang yang sudah siap untuk menghalang-halangi.
Dalam pada itu kembali Mahesa Jenar ragu. Apakah yang dilihat selama itu
hanyalah khayalan-khayalan saja. Berkali-kali ia mengusap-usap
matanya. Namun cahaya api yang redup itu masih saja mengganggu
kegelapan malam. Ataukah jiwanya sendiri yang telah meloncat keluar dari
tubuhnya, dan kemudian melakukan segala pekerjaan itu untuknya? Mahesa
Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia bukan pemimpi. Karena itu
segera ia sadar, bahwa memang telah ada seseorang yang melakukannya.
Hanya yang aneh baginya, setiap gerak, setiap kata yang diucapkan, tepat
seperti yang terkandung di dalam hatinya.
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar masih
merenung-renung di dalam lindungan batang-batang ilalang. Bahkan semakin
lama hal itu direnungkan, semakin kaburlah perasaannya. Tetapi lebih
dari pada itu, di dalam sudut hatinya yang paling dalam, muncullah
perasaan kecewanya. Pudak Wangi, yang sebenarnya bernama Rara Wilis itu,
untuk kesekian kalinya ia telah menyakiti hati gadis itu. Sewaktu ayah
gadis itu terbunuh olehnya, dan sekarang, gadis itu lenyap di
hadapannya dibawa oleh seseorang yang menyerupai dirinya. Karena itulah
maka sekali lagi ia merasa kehilangan atas sesuatu yang belum pernah
dimilikinya, namun sebaliknya, telah merampas seluruh hatinya.
———-oOo———-
III
Dalam kekalutan pikiran itu, tiba-tiba
terdengarlah suara tertawa lunak perlahan di belakangnya. Tersentak
Mahesa Jenar berdiri dan bersiaga. Tetapi kemudian kembali ia menjadi
bingung, ketika di hadapannya berdiri orang yang menamakan diri Mahesa
Jenar.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar
itupun memandanginya dengan saksama dari ujung kaki sampai ke ujung
kepalanya. Kemudian terdengarlah ia berkata, “Ki Sanak, apakah yang kau lakukan di sini? Dan siapakah kau sebenarnya?”
Mendapat pertanyaan itu Mahesa Jenar
menjadi bingung. Ia sendiri sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan
sesuatu di tempat itu. Ia hanya tertarik oleh suara-suara riuh, serta
keinginannya untuk mendapat jejak dalam usahanya mencari Arya Salaka.
Sekarang, tiba-tiba seseorang, yang sejak semula telah membingungkannya,
menanyakan keperluannya. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar tidak
menjawab, sehingga kembali orang itu berkata, “Agaknya kau terkejut melihat kehadiranku di sini?”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar dengan jujur. “Aku datang ke tempat ini tanpa aku sengaja.”
Sekali lagi orang itu tertawa lunak. ”Adalah
suatu kemustahilan bahwa seseorang sampai ke tempat ini tanpa sengaja.
Aku kira kau datang ke tempat ini untuk mengintip apa yang terjadi di
padang rumput itu. Ataukah kau memang salah seorang diantaranya?”
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar merasa tersinggung oleh pertanyaan itu. Maka jawabnya, ”Ki
Sanak, memang aku telah mengintip apa yang terjadi. Aku kagum
keperkasaanmu. Kau mampu melepaskan diri dari tangan-tangan Jaka Soka,
Janda Sima Rodra ditambah kemudian dengan Sarayuda. Bahkan kau berhasil
melepaskan dirimu pula dari kejaran orang-orang seperti Sima Rodra dan
Bugel Kaliki, apalagi kau membawa beban seseorang.”
”Hem…” Orang itu menarik nafas. ”Kau
terlalu memuji. Tetapi kau sendiri agaknya seorang yang luar biasa
sehingga kehadiranmu sama sekali tak diketahui oleh seorangpun diantara
mereka.”
”He…” sambung orang itu tiba-tiba seperti orang terkejut, ”Kau kenal kepada setiap orang yang ada di padang rumput itu? Siapakah kau sebenarnya?”
Sekali lagi Mahesa Jenar termangu-mangu. Namun bagaimanapun juga ia harus menjawab pertanyaan itu. Maka katanya, ”Akulah yang sebenarnya bernama Mahesa Jenar. Bukankah nama itu telah kau pinjam pada saat kau mengadakan pameran kekuatan?”
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar
itu tampak terkejut bukan buatan. Sekali lagi ia memandang Mahesa Jenar
dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya. Dengan suara yang bergetar
ia berkata, ”Kau bernama Mahesa Jenar…?”
Mahesa Jenar mengangguk.
”Kalau demikian…” sambung orang itu, ”Kita bersamaan nama. Aku juga bernama Mahesa Jenar. Memang demikian. Bukan nama pinjaman seperti dugaanmu.”
Ia berhenti sebentar, lalu meneruskan, ”Tetapi tak apalah. Banyak orang di dunia ini mempunyai nama yang sama.”
Mahesa Jenar menggelengkan kepala. Lalu katanya, “Jangan
pura-pura terkejut, dan jangan katakan tentang nama yang sama. Kau
telah menyebut dirimu lengkap seperti diriku. Kau mengaku murid Ki Ageng
Pengging Sepuh dan bernama Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya.
Tidak sahabat. Tidak mungkin persamaan di antara kita sampai sedemikian
jauhnya.”
Kembali wajah orang itu membayangkan keheranan. Matanya menatap dengan tajamnya. Kemudian hampir berdesis ia berkata, ”Ki
Sanak, janganlah mencari persoalan. Kita belum saling mengenal
sebelumnya. Apakah sebabnya maka Ki Sanak bersikap sedemikian
terhadapku. Dalam keadaanku seperti sekarang ini, sebenarnya aku
memerlukan perlindungan dan sahabat. Barangkali kau dapat melihat apa
yang telah aku lakukan. Aku sedang berusaha menyelamatkan Pudak Wangi
dari tangan para penjahat itu. Dan gadis itu sudah berhasil aku
sembunyikan. Muridku yang bernama Arya Salaka telah hilang. Dan sekarang
aku sedang berusaha mencarinya.”
Mendengar uraian itu dada Mahesa Jenar
bergetar dahsyat. Tetapi Mahesa Jenar adalah seseorang yang berotak
cemerlang. Karena itu segera ia menjawab sambil menebak, ”Kalau
demikian, kaulah yang telah memancingku dan melibatkan diriku dalam goa
yang mempunyai ratusan cabang yang membingungkan itu, sehingga kau dapat
mengetahui dengan tepat bahwa muridku telah hilang.”
Kembali orang itu terkejut. Katanya kemudian, ”Anehlah
yang aku alami selama ini. Apa yang seharusnya aku katakan, sudah kau
katakan. Sedang kau merasa bahwa apa yang akan kau katakan, sudah aku
katakan.”
”Jangan memutar balik keadaan. Sekarang tunjukkan kepadaku, di mana Arya Salaka.” geram Mahesa Jenar yang mulai kehilangan kesabaran.
”Jangan mengigau,” bentak orang itu. ”Dengan igauanmu itu kau bisa membuat aku gila.”
Mendengar orang itu membentak-bentak,
darah Mahesa Jenar bertambah cepat mengalir. Segera ia merasa bahwa
suatu bentrokan jasmaniah sukar dihindarkan. Karena itu segera iapun
bersiaga penuh, sebab seperti telah disaksikan sendiri, orang yang
berdiri di hadapannya memiliki tingkat ilmu yang tinggi. Namun
bagaimanapun juga, Mahesa Jenar harus menghadapi setiap kemungkinan
dengan kejantanan. Maka iapun kemudian membentak pula, ”Apakah
keuntunganmu dengan segala macam ceritera isapan jempol itu? Nah,
sekarang katakan kepadaku, kepada Mahesa Jenar yang bergelar Rangga
Tohjaya, di mana muridku Arya Salaka dan di mana Pudak Wangi kau
sembunyikan?”
Orang itu menarik alisnya. Kemudian warna merah tersirat di wajahnya. Maka sahutnya, ”Tak
kusangka bahwa di dunia ini ada orang semacam kau ini. Orang yang
senang pada pertengkaran tanpa sebab. Aku juga tidak tahu, apakah
keuntunganmu dengan kelakuanmu yang aneh-aneh itu. Meskipun demikian apa
boleh buat. Agaknya kau hanya ingin mengetahui, benarkah Mahesa Jenar,
murid Ki Ageng Pengging Sepuh ini dapat menjunjung tinggi nama
perguruannya.”
Dada Mahesa Jenar menjadi semakin
bergelora ketika nama gurunya disebut-sebut, sehingga ia tak dapat
menahan diri. Dengan meloncat ia berteriak, ”Baiklah kita lihat, siapakah murid Ki Ageng Pengging Sepuh.”
Agaknya orang itu telah bersiaga pula.
Ketika serangan Mahesa Jenar tiba, segera ia mengelakkan diri. Bahkan
dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya, orang itu pun telah membalas
menyerang. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang sengit.
Pertempuran antara dua orang perkasa yang mempergunakan satu jenis ilmu
keturunan dari Ki Ageng Pengging Sepuh.
Yang memusingkan kepala Mahesa Jenar
adalah orang itu dapat bergerak dan mempergunakan ilmu peninggalan
gurunya dengan sempurna. Bahkan dalam beberapa hal, orang itu memiliki
kelebihan-kelebihan dari Mahesa Jenar.
Demikianlah kedua orang itu berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan kebenaran kata masing-masing.
Mahesa Jenar yang bertubuh tegap kekar
berjuang dengan tangguhnya seperti seekor banteng yang tak surut
menghadapi segala macam bahaya, sedang lawannya pun berjuang seperti
seekor banteng yang tak mengenal mundur. Sehingga perang tanding itu
merupakan perang tanding yang maha dahsyat. Apalagi seolah-olah bagi
kedua-duanya sudah saling dapat memperhitungkan gerakan-gerakan lawan.
Dengan demikian yang terjadi seakan-akan hanyalah suatu adu kekuatan.
Kalau dalam beberapa pertempuran mereka kadang-kadang berhasil menembus
kelemahan lawan dengan unsur-unsur gerak yang membingungkan, tetapi kali
ini mereka sama sekali tidak dapat saling mencuri kesempatan. Sebab
mereka seakan-akan mempunyai satu otak yang menggerakkan dua belah anak
permainan macanan dengan tangan kanan di sebelah dan tangan kiri di
sebelah lain.
Namun bagaimanapun juga kedua orang itu
adalah orang yang berbeda, sehingga dalam kenyataannya, mereka pun tidak
sama seluruhnya. Lawan Mahesa Jenar yang mengaku juga bernama Mahesa
Jenar itu ternyata memiliki kekuatan tubuh yang melampaui kekuatan tubuh
Mahesa Jenar, sehingga setelah mereka bertempur berputar-putar,
akhirnya terasalah bahwa Mahesa Jenar mulai terdesak. Hal ini terasa
pula olehnya, sehingga dengan demikian ia menjadi gelisah. Apapun yang
dilakukan, segala macam unsur gerak yang pernah dipelajari, tidak dapat
menolongnya, sebab orang itupun mampu melakukannya. Bahkan kemudian
terasa oleh Mahesa Jenar, bahwa seolah-olah ia telah berjalan mundur
beberapa tahun. Kalau beberapa orang sakti dapat menambah ilmu hampir
setiap saat, baginya, setelah sekian tahun terpisah dari gurunya,
seakan-akan sama sekali tak suatupun yang dicapainya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak
segera kehilangan akal. Jiwa kesatriaannya bergelora memenuhi dadanya,
sehingga apapun yang terjadi, sama sekali ia tidak gentar.
Beberapa saat kemudian, di langit ujung
Timur, terpencarlah warna kemerah-merahan fajar. Perlahan-lahan malam
yang kelam mulai berangsur surut. Semburat merah yang mewarnai daun-daun
ilalang hijau segera telah menimbulkan kesan tersendiri.
Dalam pada itu kedua orang yang bertempur
itu masih saja berjuang mati-matian. Di tengah-tengah rumpun-rumpun
ilalang itu, terjadilah semacam sawah yang baru dibajak oleh bekas-bekas
kaki yang bertempur dengan dahsyatnya.
Tetapi bagaimanapun juga akhirnya Mahesa
Jenar harus mengakui keunggulan lawannya, setelah ia berjuang sekuat
tenaga. Namun demikian ia sama sekali tidak mau mengorbankan diri. Dalam
setiap kemungkinan antara hidup dan mati, akhirnya terpaksalah ia
mempergunakan setiap kemungkinan untuk menolong jiwanya, selama itu
tidak melanggar kehormatan darah kesatriaannya. Maka karena itulah
sesaat kemudian, tampaklah ia mengangkat sebelah kakinya, tangan kirinya
menyilang dada, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi.
Melihat sikap itu, lawan Mahesa Jenar
yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat
berbuat sesuatu, sebab segera Mahesa Jenar meloncat maju dan melontarkan
pukulan Sasra Birawanya yang dahsyat. Ia hanya sempat melihat lawannya
itu menyilangkan kedua tangannya, dan sesudah itu, orang itu terlempar
beberapa langkah surut, dan kemudian jatuh terguling-guling.
Mahesa Jenar, setelah melihat akibat
pukulannya, berdiri mematung. Matanya tajam memandangi lawannya yang
dijatuhkannya itu. Tetapi sesaat kemudian ia terkejut, ketika ia melihat
orang itu tertatih-tatih berdiri. Agaknya pukulannya tidak membinasakan
lawannya. Tetapi setelah terkejut, iapun berlega hati, melihat lawannya
masih hidup. Sebab bagaimanapun juga, bukanlah maksudnya untuk membunuh
hanya karena sekedar ingin membunuh. Kalau ia terpaksa mempergunakan
aji Sasra Birawanya, adalah karena ia tidak mau terbunuh. Justru karena
itulah, ketika ia melihat orang yang dihantamnya itu masih hidup ia jadi
berbesar hati. Juga karena dengan demikian ia akan dapat menanyakan
dimana muridnya dan Pudak Wangi disembunyikan.
]Tetapi kemudian kembali ia terkejut
ketika orang yang dianggapnya sudah tak mampu lagi berbuat sesuatu
karena pukulannya, kecuali hanya berdiri itu, membalikkan diri dan
kemudian meloncat pergi. Sudah tentu Mahesa Jenar tidak membiarkannya.
Kalau orang itu tidak terbunuh oleh pukulannya, ia sudah heran. Apalagi
orang itu masih dapat berlari. Alangkah hebatnya daya tahan tubuhnya.
Karena itu, maka segera Mahesa Jenarpun
meloncat mengejar orang itu, yang ternyata masih dapat berlari cepat.
Maka terjadilah kejar-mengejar diantara batang-batang ilalang yang
tumbuh lebat melampaui tubuh manusia. Tetapi pendengaran dan penglihatan
Mahesa Jenar cukup tajam. Apalagi cahaya matahari sudah semakin terang.
Maka tampaklah setiap ujung batang-batang ilalang yang tergoyangkan
oleh sentuhan tubuh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Karena orang yang dikejarnya itu agaknya
telah terluka, maka semakin lama jarak merekapun semakin pendek pula,
sehingga Mahesa Jenar percaya, bahwa ia pasti akan dapat menangkap orang
itu.
Tetapi kemudian ia menjadi kecewa, ketika
ia tinggal meloncat saja beberapa langkah, orang yang dikejarnya itu
tiba-tiba merunduk dan seolah-olah lenyap diantara batu-batu. Itulah
lobang goa, tempat Mahesa Jenar menembus keluar.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiri
termangu-mangu. Namun ia tidak mau kehilangan waktu. Segera ia
berjongkok dan mendengarkan setiap desir di dalam goa itu, kalau-kalau
lawannya telah memancingnya, dan kemudian membinasakannya pada saat ia
merangkak masuk. Tetapi kemudian Mahesa Jenar mendengar suara
terbatuk-batuk, tidak di depan mulut goa. Agaknya lawannya telah
mengalami luka di dalam dadanya, dan sekaligus ia mengetahui bahwa
lawannya tidak pula berada di muka mulut goa itu, sehingga dengan
demikian segera ia melontarkan diri masuk ke dalamnya. Untuk beberapa
saat ia membiasakan matanya di dalam gelapnya goa. Dan setelah itu ia
perlahan-lahan berjalan sambil memperhatikan setiap suara yang
didengarnya. Sekali lagi ia mendengar suara lawannya terbatuk-batuk. Dan
karena itulah ia dapat mengenal arahnya. Dengan hati-hati
Mahesa Jenar menyusur dinding goa mendekati arah suara itu. Dan karena
ketajaman telinganya, akhirnya Mahesa Jenar menjadi semakin dekat.
Tetapi agaknya orang itupun bergerak pula semakin lama semakin dalam dan
melewati berpuluh-puluh cabang yang membingungkan. Namun Mahesa Jenar
telah bertekad untuk mengikuti orang itu sampai ditangkapnya. Sebab ia
yakin bahwa lukanya tidak akan mengijinkan orang itu bergerak leluasa.
Beberapa langkah kemudian, tiba-tiba
Mahesa Jenar tertegun. Ia sampai pada suatu ruangan yang agak lebar dan
tidak terlalu gelap. Ketika ia melihat ke atas, tampaklah beberapa
lobang-lobang yang tembus. Dari sanalah cahaya pagi jatuh menerangi
ruangan itu seperti ruangan-ruangan yang sering dipergunakan
bermain-main oleh para cantrik. Untuk beberapa lama, sekali lagi Mahesa
Jenar kebingungan. Sekarang ia sama sekali tidak lagi mendengar suara
apapun. Juga suara batuk-batuk orang yang dikejarnya itupun telah
lenyap.
Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi
marah kembali. Dengan saksama ditelitinya dinding ruangan itu
kalau-kalau ada yang mencurigakan. Tetapi selain pintu masuk yang
dilewatinya tadi, sama sekali tak diketemukannya lubang yang lain.
Dengan demikian ia menduga bahwa orang yang dicarinya masih berada di
dalam ruangan itu pula. Maka sekali lagi Mahesa Jenar meneliti setiap
relung ruang itu dengan lebih saksama lagi, sambil tetap mengawasi
satu-satunya lobang masuk ke dalam ruang itu.
Dan dugaannya ternyata benar. Ia terkejut sampai terlonjak ketika di belakangnya terdengar suara tertawa yang lunak perlahan.
Cepat-cepat ia memutar diri dan bersiaga.
Benarlah bahwa yang berdiri di hadapannya, di samping sebuah batu yang
besar, adalah orang yang dicari-carinya.
“Kau tak akan dapat melepaskan diri,” kata Mahesa Jenar.
Orang itu tidak menjawab. Ia maju
beberapa langkah mendekati Mahesa Jenar. Langkahnya tetap, tegap dan
cekatan. Karena itu maka Mahesa Jenar terkejut karenanya. Kalau
demikian, maka orang itu dapat melenyapkan luka-lukanya hanya dalam
waktu yang sangat singkat. Namun demikian Mahesa Jenar masih belum
yakin, bahwa orang itu telah terbebas sama sekali dari akibat
pukulannya. Maka katanya sekali lagi, “Katakan sekarang, di mana Arya Salaka.”
Orang itu berhenti beberapa langkah di
hadapannya dalam keremangan. Terdengarlah kembali ia tertawa perlahan.
Kemudian jawabnya, “Kau telah mencoba menirukan aji Sasra Birawa. Tetapi sayang, jelek sekali.”
Mendengar ejekan itu darah Mahesa Jenar
menggelegak sampai ke kepala. Ia tidak dapat lagi mengendalikan
perasaannya. Karena itu sekali lagi ia meloncat menyerang dengan
sengitnya. Kembali terjadi sebuah pertarungan yang hebat. Dua kekuatan
yang tangguh saling berjuang untuk mempertahankan nama masing-masing.
Tetapi beberapa saat kemudian Mahesa Jenar menjadi gelisah kembali.
Orang itu sama sekali telah terbebas dari luka-luka akibat pukulan yang
luar biasa. Disamping itu kemarahan Mahesa Jenar semakin membakar
hatinya. Dan apa yang dilakukannya kemudian adalah mengulangi apa yang
pernah dilakukan. Dipusatkannya segala kekuatan batinnya, disilangkannya
satu tangannya, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi,
sambil menekuk satu kaki ke depan, ia menggeram hebat siap mengayunkan
ajinya Sasra Birawa.
Sesaat sebelum tangannya menghantam
lawannya, dadanya terasa berdesir hebat ketika ia dalam sekejap melihat
lawannya, yang mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging
Sepuh itu, ternyata juga mengangkat satu kaki, menyilangkan tangan
kirinya di muka dada, serta mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Meskipun demikian Mahesa Jenar sudah
tidak sempat lagi membuat bermacam-macam pertimbangan. Apa yang
dilakukannya kemudian adalah, dengan garangnya ia meloncat dan
menghantam lawannya dengan sepenuh kekuatan dialasi dengan ajinya Sasra
Birawa yang dahsyat.
Tiba-tiba pada saat itu pula ia melihat
lawannya itupun berbuat demikian pula sehingga terjadilah benturan yang
maha dahsyat. Mahesa Jenar merasakan seolah-olah berpuluh-puluh petir
meledak bersama-sama di hadapan wajahnya. Udara yang panas yang jauh
lebih panas dari api, terasa memercik membakar seluruh tubuhnya. Setelah
itu, pemandangannya menjadi kuning berputar-putar, semakin lama semakin
gelap. Akhirnya tanah tempatnya berpijak seolah-olah berguguran jatuh
ke dalam jurang yang dalamnya tak terhingga. Sesudah itu tak satupun
yang diingatnya.
Ia tidak tahu, berapa lama ia pingsan.
Yang mula-mula terasa olehnya adalah
tetesan-tetesan air yang membasahi wajahnya. Perlahan-lahan Mahesa Jenar
mencoba membuka matanya. Mula-mula pemandangan di sekitarnya masih
tampak hitam melulu. Tetapi lambat laun, tampaklah samar-samar cahaya
matahari yang menembus lubang-lubang diatas ruangan itu, semakin lama
semakin terang. Sejalan dengan perkembangan kesadarannya. Kemudian,
ketika pikirannya sudah semakin terang, terasalah bahwa seluruh tubuhnya
basah kuyup. Agaknya seseorang telah menyiramkan air untuk
membangunkannya.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar berusaha
untuk mengingat-ingat apa yang terjadi. Ketika segala sesuatunya menjadi
semakin jelas, maka segera ia berusaha untuk bangkit. Tetapi agaknya
tubuhnya serasa dicopoti segala tulang-tulangnya. Karena itu ketika ia
mencoba mengangkat kepalanya, kembali ia jatuh terbaring.
Darahnya serasa menguap ketika ia
mendengar di sampingnya suara tertawa lunak perlahan. Segera ia
mengenal, siapakah orang itu. Namun bagaimanapun juga ia sama sekali
tidak mampu berbuat apa-apa.
“Ki sanak…” Terdengar orang itu berkata. “Jangan
mencoba-coba menjadi rangkapan Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging
Sepuh. Meskipun tiruan itu sudah kau lakukan dengan saksama, namun kalau
kebetulan kau bertemu dengan orangnya, seperti sekarang ini, segera
akan dapat dikenal kepalsuanmu. Meskipun demikian aku menjadi heran pula
bahwa apa yang kau lakukan sudah hampir dapat menyamai apa yang aku
lakukan. Dan agaknya kau telah mencoba pula mendalami ilmu Sasra Birawa.
Aku tidak tahu dari mana kau pelajari ilmu itu, namun dalam beberapa
hal, telah benar-benar mirip dengan Sasra Birawa yang sebenarnya.”
Mendengar ucapan-ucapan itu telinga
Mahesa Jenar rasanya menjadi terbakar. Ia menggeram beberapa kali, namun
ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat menggerakkan
kepalanya dan melihat orang yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu duduk
dengan enaknya di atas sebuah batu padas, disampingnya.
Beberapa saat kemudian orang itu kembali berkata, “Aku tidak sabar menunggui orang tidur terlalu lama, karena itu aku menyirammu dengan air. Ternyata kau terbangun karenanya.”
Mahesa Jenar ingin berteriak memaki-maki.
Namun suaranya tersumbat di kerongkongan. Yang terdengar hanyalah
sebuah desis kemarahan.
“Bagaimanapun juga, aku hormati ketebalan tekadmu”, sambung orang itu,
“Dalam keadaan yang demikian kau masih tetap pada pendirianmu. Karena
itulah aku belum membunuhmu. Sebab aku ingin mengetahui siapakah orang
yang telah berkeras hati mengaku bernama Mahesa Jenar.”
Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Perlahan-lahan, ia mencoba menjawab, “Jangan kau takut-takuti aku dengan kematian, sebab kematian bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti.”
“Bagus…!” Tiba-tiba orang itu meloncat berdiri. “Kau sendiri yang mengatakan. Jangan salahkan aku kalau aku membunuhmu sekarang.”
Mahesa Jenar bukan seorang penakut.
Apapun yang akan terjadi atasnya bukanlah suatu hal yang perlu
dicemaskan. Meskipun demikian ia menjadi gelisah ketika teringat oleh
Arya Salaka. Ia tidak tahu di mana anak itu sekarang berada. Apakah ia
masih hidup ataukah sudah mati di dalam relung dan lekuk-lekuk goa yang
membingungkan itu. Karena perasaan yang demikian itulah tiba-tiba tanpa
disengajanya ia berkata, “Kau bunuh aku atau tidak, itu bukanlah
urusanku, tetapi itu adalah urusanmu. Namun demikian katakan kepadaku
apakah Arya Salaka masih hidup atau sudah kau bunuh pula?”
Orang itu tertegun sejenak. Tetapi hanya sejenak. Kemudian terdengar ia tertawa. “Jangan
kau persulit dirimu, dan jangan kau kotori jalan kematianmu dengan
dongengan-dongengan yang kisruh itu. Ataukah barangkali kau mengharap
aku mengampuni kau untuk membantuku mencari muridku itu?”
“Cukup!” tiba-tiba Mahesa Jenar
berteriak nyaring. Seluruh sisa kekuatannya telah mendorongnya berbuat
demikian karena kemarahan yang tak tertahankan. “Kau mau membunuh, bunuhlah. Jangan membual.”
Sekali lagi terdengar suara tertawa.
Lunak dan hanya perlahan-lahan. Sesudah itu, orang yang menamakan diri
Mahesa Jenar itu melangkah justru menjauhi Mahesa Jenar. Katanya
kemudian setelah ia sampai ke mulut ruang itu, “Aku tidak mau
mengotori tanganku dengan membunuh orang semacam kau. Biarlah alam
membunuhmu. Kau tidak akan dapat keluar dari ruangan ini sampai ajalmu
tiba.” Setelah itu orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu
segera meloncat keluar dan terdengarlah suara berguguran. Beberapa batu
besar jatuh tertimbun menutupi lubang ruangan itu. Bersamaan dengan itu,
berguguran pulalah rasanya isi dada Mahesa Jenar. Ia ditinggalkan dalam
ruangan tertutup dalam keadaan yang demikian. Bukan main. Suatu
penghinaan yang tiada taranya. Sebagai seorang laki-laki ia lebih senang
hancur di dalam suatu pertempuran daripada dibiarkan mati kelaparan di
dalam sebuah goa.
Karena itulah dirasanya seluruh tubuhnya
mendidih. Seluruh isi rongga dadanya menggelegak seperti akan meledak.
Terasa betapa darahnya mengalir cepat dua kali lipat. Tetapi karena itu
pulalah terasa kekuatannya timbul kembali oleh dorongan perasaan yang
meluap-luap.
Dengan demikian maka sedikit demi sedikit
Mahesa Jenar mulai dapat menggerakkan tubuhnya, sehingga beberapa saat
kemudian ia telah mampu untuk mengangkat tubuhnya dan duduk tegak.
Matahari yang telah mencapai titik
tengah, sinarnya langsung tegak lurus menembus lubang-lubang di atas
ruangan itu dan membuat lingkaran-lingkaran di lantai. Udara yang lembab
di dalam goa itu rasa-rasanya jadi menguap oleh panas matahari.
Mahesa Jenar kemudian menjadi gelisah
karenanya. Ia tidak mau menyerah pada keadaan. Ia tidak mau membiarkan
dirinya mati kelaparan di dalam goa itu tanpa perlawanan. Maka dengan
segenap tenaga yang ada ia pun berdiri dan dengan terhuyung-huyung
berjalan sekeliling ruangan itu berpegangan dinding. Dua tiga langkah ia
masih terus beristirahat, sebab dadanya masih terasa nyeri, disamping
pertanyaan yang selalu memukul-mukul kepalanya. Siapakah gerangan orang
yang telah mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh,
yang mampu mempergunakan ilmu Sasra Birawa, dan justru lebih hebat dari
ilmunya. Menurut ceritera almarhum gurunya, maka Ki Ageng Pengging Sepuh
itu tidak mempunyai murid lain kecuali dirinya dan Ki Ageng Pengging
yang bernama Kebo Kenanga, almarhum, putera gurunya sendiri. Tiba-tiba
sekarang ia bertemu dengan seseorang yang memiliki ilmu gurunya itu
dengan sempurna. Bahkan orang itu telah mengaku bernama Mahesa Jenar dan
mempunyai seorang murid yang bernama Arya Salaka. Seolah-olah orang itu
ingin menyindir akan ketidakmampuannya sebagai seorang murid dari
perguruan Pengging.
Karena pertanyaan-pertanyaan itu, maka
kembali Mahesa Jenar merasa bahwa perkembangannya seolah-olah berhenti
setelah ia terpisah dari gurunya. Sejak itu, ia hanya berusaha untuk
mengamalkan ilmunya saja, tanpa berusaha untuk menambahnya. Dengan
demikian maka ia tidak akan dapat mencapai tingkat seperti gurunya.
Apabila hal yang demikian berlaku juga untuk murid-muridnya kelak, maka
perguruan Pengging semakin lama akan menjadi semakin surut. Padahal
seharusnya setiap murid akhirnya harus melampaui gurunya. Dengan
demikian ilmu akan berkembang terus.
Hati Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi
pedih. Pedih sekali. Justru kesadaran itu timbul ketika dirinya sudah
terkurung di dalam sebuah ruangan yang tertutup rapat. Mungkin ia dapat
menghantam di dinding-dinding ruangan itu dengan Sasra Birawa dan
membuat lubang untuk menemukan jalan keluar, tetapi agaknya sampai ia
mati kehabisan tenaga, usahanya mustahil akan berhasil.
Dalam penelitiannya itu, Mahesa Jenar
menemukan sebuah mata air kecil di belakang sebuah batu. Segera ia
berjongkok, dan membasahi kerongkongannya yang serasa kering dan panas.
Setelah itu terasa tubuhnya menjadi bertambah sehat.
Tetapi perasaannyalah yang tidak
berkembang seperti tubuhnya. Perasaannya yang pedih masih saja menyayat.
Tetapi tiba-tiba memancarlah suatu tekad. Tekad yang membawanya pada
suatu ketetapan hati, bahwa justru dalam keadaannya yang sekarang, ia
akan mengisi sisa hidupnya dengan suatu ketekunan, mendalami ilmunya
mati-matian. Dalam keadaannya itu tiba-tiba ia terkejut melihat bayangan
yang tegak berdiri pada sebuah relung dinding goa itu, sehingga ia
terlonjak berdiri. Tetapi ketika Mahesa Jenar semakin jelas melihat
menembus keremangan relung itu, sadarlah ia bahwa yang berdiri di situ
hanyalah sebuah patung batu yang belum sempurna. Meskipun demikian
hatinya tertarik pula untuk melihatnya. Siapakah yang sudah membuat
patung itu, justru di dalam sebuah ruangan jauh di dalam goa? Akh,
mungkin orang aneh yang telah menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Ketika ia telah semakin dekat, makin
jelaslah bahwa patung batu itu masih belum siap seluruhnya. Dan ketika
ia meraba-rabanya, tampaklah perubahan pada beberapa bagian. Pada bagian
tubuhnya ia melihat lumut-lumut liar merayapi hampir seluruh bagian,
tetapi di bagian kepalanya tampaklah luka-luka baru dari sebuah pahatan.
Tiba-tiba, ketika ia memandang kepala patung itu, hatinya
berdebar-debar. Ia melihat bunga melati terselip di atas kupingnya
sebelah kanan. Rambutnya berjuntai sebatang-sebatang sangat jarang,
sedang ikat kepalanya hanya dikalungkan di lehernya. Itu adalah
ciri-ciri khusus dari gurunya, Ki Ageng Pengging Sepuh, yang semula
bergelar Pangeran Handayaningrat.
Dan tiba-tiba, dari wajah patung itu
seolah-olah memancar suatu tuntutan darinya kepada Mahesa Jenar, apakah
yang dapat dicapainya sepeninggalnya.
Oleh pemandangan yang tak disangka-sangka
itu, hati Mahesa Jenar seperti dicengkam oleh suatu keadaan gaib. Tanpa
sesadarnya ia berjongkok dan menunduk hormat di hadapan patung itu.
Seolah-olah ia merasa berhadapan dengan almarhum gurunya.
Beberapa lama kemudian barulah ia
tersadar. Yang berdiri di hadapannya tidak lebih dari sebuah patung.
Patung yang mempunyai ciri-ciri khusus seperti gurunya, meskipun pahatan
wajahnya tidak sempurna. Namun demikian, Mahesa Jenar merasa, bahwa
patung itu dapat menjadi daya pengantar untuk mencapai suatu pemusatan
pikiran terhadap gurunya. Sekali lagi Mahesa Jenar merasa berada dalam
suatu alam yang gaib. Lewat patung itu ia mengenang seluruh jasa-jasa
gurunya. Seluruh cinta kasih yang pernah dilimpahkan kepadanya. Dan
seluruh pelajaran-pelajaran yang pernah diberikan. Dari huruf pertama
sampai huruf terakhir dalam ilmu tata berkelahi, jaya kawijayan dan
kasantikan. Ia telah menerima pelajaran pula, bagaimana ia harus
merangkai huruf itu menjadi kata-kata, dan kata-kata menjadi kalimat.
Dengan demikian sebenarnya ia telah mendapat dasar-dasar pendidikan
sepenuhnya. Bahkan sampai pada aji Sasra Birawa yang dahsyat itu pun
telah dapat dikuasainya. Soalnya kemudian, bagaimana ia dapat
mengendapkan ilmunya untuk mendapatkan inti sarinya.
Dalam keadaan yang demikian itulah, hati
Mahesa Jenar menyala berkobar-kobar. Tiba-tiba sekali lagi ia dikuasai
oleh keadaan yang khusus. Dengan menyebut kebesaran nama Allah, maka
tanpa sesadarnya ia mulai menggerakkan tubuhnya. Dimulailah
gerakan-gerakan yang pernah dipelajari, dari unsur gerak yang paling
sederhana. Satu demi satu. Kemudian unsur-unsur yang semakin sukar.
Seolah-olah ia sedang menempuh ujian di hadapan gurunya sendiri.
Demikianlah akhirnya Mahesa Jenar
bergerak semakin lama semakin cepat dan hebat. Orang yang bertempur
dengan dirinya, yang menamakan diri Mahesa Jenar itu ternyata telah
melengkapi unsur-unsur gerak yang telah hampir dilupakannya. Demikianlah
maka Mahesa Jenar tenggelam dalam satu pemusatan pikiran untuk
menyempurnakan seluruh ilmunya.
Dalam keadaannya itu Mahesa Jenar lupa
pada segala-galanya. Lupa pada keadaannya, lupa pada waktu, lupa pada
orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, bahkan ia lupa pula tentang
apa yang dilakukan itu. Demikianlah ia berjuang sebaik-baiknya,
mengungkap segala ilmu yang pernah dimiliki.
Tetapi Mahesa Jenar sekarang, bukanlah
Mahesa Jenar pada saat ia sedang mulai belajar dari gerakan pertama,
kedua dan berturut-turut. Sekarang, kecuali segala macam unsur-unsur
gerak yang pernah dipelajari, iapun pernah menempuh pengalaman yang luar
biasa, sehingga dengan demikian, tak disengajanya pula, segala macam
pengalaman itu menyusup masuk, melengkapi ilmunya sendiri. Dalam
pengembaraannya, ia pernah bertemu dengan tunas-tunas dari perguruan
putih dan hitam yang bermacam-macam. Ia pernah bertempur dengan Sarayuda
dari cabang Perguruan Pandan Alas yang terkenal dari Klurak, yang
justru sebenarnya orang Gunung Kidul, Gajah Sora, anak dan sekaligus
murid Ki Ageng Sora Dipayana, Banyubiru. Ia pernah bertempur dengan
murid-murid Pasingsingan seorang tokoh golongan hitam yang memiliki
bermacam-macam ilmu dari golongan putih, Sima Rodra dari Gunung Tidar,
Jaka Soka dari jenis perguruan golongan hitam di Nusakambangan, sepasang
Uling dari Rawa Pening yang mempunyai cara bertempur yang aneh dan
berpasangan. Mau tidak mau, semua jenis ilmu gerak itu saling
mempengaruhi. Juga bersama-sama dengan muridnya, Arya Salaka, Mahesa
Jenar pernah menekuni gerak gerik binatang hutan yang paling lemah,
sampai yang paling buas. Bagaimana yang lemah berusaha melepaskan diri
dari kekuasaan binatang yang buas dan kuat. Juga pertarungan antara
hidup dan mati antara binatang buas yang sama kuat, pertarungan maut
antara burung rajawali dengan ular naga yang besar.
Demikianlah Mahesa Jenar yang menjadi
seolah olah bergerak dengan sendirinya itu, tanpa setahunya telah
mengungkapkan satu jenis ilmu tata berkelahi yang maha dahsyat.
Pemusatan pikiran yang luar biasa dengan perantaraan patung disampingnya
itu, seolah olah Mahesa Jenar sedang mempertanggung jawabkan dirinya
dihadapan gurunya sendiri.
Matahari yang mula-mula memancar dengan
teriknya, semakin lama semakin jauh menjelajah kearah barat. Dan pada
saat mega putih berarak arak ke arah selatan, Matahari itu dengan
lelahnya menyusup kearah garis cakrawala, meninggalkan warna lembayung
yang tersirat dibalik mega-mega mewarnai wajah langit.
Pada saat itulah ruangan yang
dipergunakan oleh Mahesa Jenar itu dicengram oleh kehitaman warna-warna
yang lemah lembayung dilangit sama sekali tidak dapat menembus masuk
kedalamnya. Apalagi sebentar kemudian malam telah menjadi semakin kelam.
Pada saat itulah Mahesa Jenar baru merasa seluruh tubuhnya menjadi
lelah. Kecuali keadaan tubuh yang memang belum pulih benar akibat
benturan aji Sasra Birawa, juga ia telah mencurahkan tenaga melampaui
batas. Karena itulah, maka Mahesa Jenar menghentikan latihannya. Dengan
meraba-raba dinding ia menyelusur kearah mata air didalam ruangan itu
dibelakang sebuah batu. Karena kelelahan dan haus maka Mahesa Jenar
segera minum sepuas-puasnya. Setelah itu iapun segera kembali kemuka
patung yang mempunyai ciri gurunya. Dihadapan patung itulah Mahesa Jenar
merebahkan dirinya untuk beristirahat.
Tetapi meskipun demikian, perasaannya yang sudah terikat pada patung itu, seolah-olah mempunyai kewajiban untuk menjaganya.
Maka ketika diluar goa itu binatang malam
mulai meraja di padang ilalang dan lapangan rumput, mulailah Mahesa
Jenar tenggelam kealam mimpi. Ia tertidur karena kelelahan…
Di langit bintang menari-nari dengan
riangnya diiringi dendang angin yang berhembus lemah. Lubang lubang
diatas ruang yang banyakterdapat didalam goa itu karena hembusan angin,
menimbulkan bunyi-bunyi yang beraneka warna. Dari nada rendah sampai
nada tinggi.
Mahesa Jenar terbangun pada saat matahari
melemparkan sinarnya yang pertama. Dari lubang-lubang diatas ruangan
itu Mahesa Jenar dapat melihat betapa riangnya langit menerima senyuman
Matahari pagi.
Bersamaan dengan itu, terasa seakan akan
datanglah waktunya bagi Mahesa Jenar untuk memulai lagi kewajibannya
terhadap gurunya. Dengan khidmat ia berjongkok dimuka patung batu itu,
dengan perantaraannya mulailah ia memusatkan pikirannya atas semua
ajaran almarhum gurunya. Apabila pikirannya telah benar-benar terpusat,
serta dalam pendekatan diri setinggi-tingginya kepada Tuhan Yang Maha
Esa, mulailah ia dengan pendalaman ilmu yang pernah diterimanya.
Demikianlah apa yang dilakukan Mahesa
Jenar. Tekun melatih diri. Mengulangi dan menghubungkan satu sama lain
untuk kemudian mencari intisarinya.
Hari demi hari telah dilampauinya.
Bagaimanapun kuat tubuh Mahesa Jenar, namun dalam kerja yang sedemikian
keras dan tekun, hanya dengan minum saja, tanpa sebutir makananpun,
akhirnya tubuhnya menjadi semakin lemah. Tetapi tidak demikian dengan
jiwanya. Perkembangan jiwanya bertentangan dengan perkembangan tubuhnya.
Semakin lemah keadaan tubuhnya, jiwanya bertambah membaja. Akhirnya,
ketika pada suatu saat tubuhnya telah menjadi lemah benar karena telah
berulang kali memperdahsyat aji Sasra Birawanya. Mahesa Jenar tidak lagi
dapat berbuat banyak. Jasmaninya adalah wadag yang terbatas.

Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar
sedang mengagumi tenaganya sendiri, terdengarlah sebuah suara tertawa
yang lemah perlahan-lahan di belakangnya. Mahesa Jenar terkejut bukan
main, dan dengan segera ia memutar tubuhnya, menghadap arah suara itu.
Tetapi pada saat itu, ruang di dalam goa itu sudah mulai gelap, sehingga
Mahesa Jenar tidak segera melihat sesuatu.
“Suatu latihan yang hebat,” tiba-tiba
terdengar suara dari arah patung batu. Mendengar suara itu Mahesa Jenar
seperti orang bermimpi. Kata-kata itulah yang sering diucapkan oleh
gurunya. Adakah patung batu itu benar-benar telah berubah menjadi
gurunya? Sesaat kemudian kembali terdengar suara, “Beristirahatlah, hari masih panjang.” Sekali lagi Mahesa Jenar tersentak. Gurunya selalu menasehatinya demikian kalau ia terlalu letih berlatih.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar melangkah
maju mendekati patung itu. Ia menjadi ragu. Bagaimanapun juga, patung
itu baginya tidak lebih daripada batu-batu biasa. Yang kebetulan dapat
dipergunakan sebagai pancatan untuk memusatkan pikirannya. Tidak lebih
dari pada itu. Tetapi kalau tiba-tiba patung itu dapat berbicara adalah
diluar nalar.
Tetapi tiba-tiba ia menjadi terkejut
sekali lagi. Ia melihat bayangan yang bergerak-gerak di belakang patung
itu. Dan di dalam relung itu dilihatnya pula bayangan yang lebih kelam
dari sekitarnya. Cepat Mahesa Jenar dapat mengetahui, bahwa di belakang
patung itu ternyata ada sebuah pintu yang dapat ditutup dan dibuka, yang
dibuat dari batu-batu pula, sehingga tidak diketahuinya sebelum itu.
“Siapakah kau…?” desis Mahesa Jenar bertanya.
“Jangan bertanya demikian,” jawab suara itu.
“Seharusnya kau sudah tahu bahwa Mahesa Jenar datang menjengukmu.”
Mendengar jawaban itu hati Mahesa Jenar
tergetar. Tetapi sekarang ia sudah mendapat suatu keyakinan tentang
dirinya, sehingga dengan demikian ia menjadi bertambah tenang. Maka
katanya kemudian, “Adakah yang menarik hati bagimu, sehingga kau perlukan menjenguk aku?”
“Ada,” jawab orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu.
“Lewat lubang itu aku dapat mengintip apa yang selama ini kau lakukan.”
“Kau keberatan?” sahut Mahesa Jenar.
“Tidak,” jawabnya, “Aku tidak pernah keberatan terhadap kelakuan orang lain yang tidak merugikan diriku, apalagi tidak merugikan orang banyak. Apa yang kau lakukan tidak lebih dari sebuah pertunjukan yang menyenangkan.”
Meskipun Mahesa Jenar tidak senang mendengar kata-kata itu, namun ia masih diam saja.
“Dengan pertunjukanmu itu aku pasti…” sambung orang itu, “Bahwa
kau pernah membaca lontar kisah Mahabarata. Kisah seseorang yang tak
berhasil berguru kepada seorang Pandeta yang bernama Kombayana. Orang
itu, yang bernama Bambang Ekalaya atau lebih terkenal dengan nama
Palgunadi, kemudian membuat patung. Patung Pendeta itu. Pada patung itu
ia berguru. Dan akhirnya benarlah ia dapat menyamai kesaktian murid
Kombayana yang paling dahsyat dalam olah jemparing, yaitu Raden Arjuna.”
Mahesa Jenar merenung sebentar. Memang ia
pernah mendengar ceritera itu. Dan apa yang dilakukan memang mirip
sekali. Tetapi pada saat ia memulainya, ia sama sekali tidak pernah
berpikir, apalagi sengaja menirukan apa yang pernah dilakukan oleh
Bambang Palgunadi. Mengingat peristiwa itu ia menjadi geli sendiri. Lalu
jawabnya, “Kau benar. Mudah-mudahan akupun berhasil pula seperti Palgunadi.”
Tiba-tiba orang itu tertawa tinggi. Katanya, “Kau benar-benar pemimpi. Yang
bisa terjadi semacam itu, hanyalah didalam suatu dongeng saja. Dan kau
agaknya ingin menjadi salah seorang tokoh dongeng-dongeng semacam itu.”
Mahesa Jenar mengangkat pundaknya. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Aku hanya mencoba.”
“Bagus,” sahut orang itu melengking dengan nada yang berbeda. “Aku akan melihat apakah kau berhasil,” sambungnya.
Setelah itu tiba-tiba ia meloncat maju.
Meskipun ruangan itu sudah menjadi semakin gelap, namun Mahesa Jenar
masih melihat orang itu menyilangkan satu tangannya, tangannya yang lain
diangkatnya tinggi-tinggi, sedang satu kakinya dingkatnya dan ditekuk
ke depan.
Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Ia
sama sekali tidak menduga bahwa dalam gerakan yang pertama orang itu
telah menyiapkan suatu bentuk aji yang mirip dengan ajinya Sasra Birawa,
bahkan orang itupun menamainya demikian.
Dalam pada itu Mahesa Jenar sadar bahwa
kekuatan aji orang itu adalah sangat dahsyatnya. Beberapa hari yang
lalu, ia menjadi pingsan karena benturan yang hebat. Sekarang tiba-tiba
orang itu akan mengulanginya kembali. Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat
berbuat lain daripada berusaha menyelamatkan diri. Karena itu, segera
iapun berbuat hal yang sama dengan tubuhnya yang lemah. Ia mengharap
setidak-tidaknya, dengan perlawanannya itu, akan dapat mengurangi
tekanan yang dideritanya karena pukulan aji lawannya.
Sesaat kemudian ia melihat orang itu
meloncat ke depan, dan dengan derasnya mengayunkan tangan kanannya. Pada
saat yang bersamaan, Mahesa Jenar pun dengan segenap kekuatan lahir
batin yang disalurkan dalam aji Sasra Birawa, menghantam tangan yang
terayun ke arah kepalanya itu.
Maka terjadilah suatu benturan yang maha
dahsyat. Dua macam kekuatan ilmu sakti yang oleh para pemiliknya dinamai
Aji Sasra Birawa telah berbenturan. Dan benturan kali ini lebih dahsyat
dari benturan kedua kekuatan sakti itu beberapa waktu yang lalu, karena
Mahesa Jenar telah menemukan inti kekuatan ilmunya.
Meskipun demikian bagaimanapun juga,
keadaan jasmaniah mereka mempengaruhi pula. Mahesa Jenar yang telah
sekian lama tersekap di dalam goa itu tanpa sebutir makananpun, harus
berbenturan melawan seorang yang segar bugar. Namun pancaran kekuatan
yang tersembunyi di balik kekuatan jasmaniah, ternyata memiliki
kemampuan yang nggegirisi.
Demikianlah ketika benturan itu terjadi,
ternyata kedua orang itu bersama terlempar surut. Orang yang menamakan
diri Mahesa Jenar itu, merasakan pula betapa hebat pukulan lawannya,
sehingga ia terpaksa jatuh sekali berguling, barulah ia dapat tegak
kembali. Tetapi dalam pada itu, Mahesa Jenar sendiri terdorong jauh ke
belakang sehingga tubuhnya membentur dinding goa.
Setelah itu dengan lemahnya Mahesa Jenar
terduduk di lantai. Tetapi dalam pada itu terbesitlah suatu perasaan
yang aneh dalam dirinya. Meskipun ia terlempar sampai membentur dinding
goa, dan kemudian dengan lemahnya terduduk di lantai seperti orang yang
kehilangan seluruh tulang-tulangnya, namun dalam benturan itu ia tidak
lagi merasakan percikan panas yang membakar seluruh tubuhnya seperti
yang dialaminya dahulu. Juga kali inipun kepalanya tidak menjadi pening
berkunang-kunang dan ia tidak pingsan. Dengan demikian, timbul pulalah
suatu pikiran di dalam kepalanya, seandainya keadaan jasmaniahnya tidak
terlalu jelek, mungkin akan dapat mengimbangi pukulan lawannya. Tetapi
disamping perasaan gembira yang membersit di dalam dadanya itu, iapun
menjadi cemas kalau-kalau lawannya itu akan mengulangi serangannya untuk
membinasakannya. Meskipun ia sama sekali tidak takut mati, namun ia
masih menginginkan untuk menurunkan ilmu Perguruan Pengging itu kepada
Arya Salaka. Dan karena itulah, terdorong oleh kemauannya yang keras dan
tekad yang mantap, terasalah bahwa perlahan-lahan kekuatannya timbul
kembali. Sehingga meskipun ia masih harus berpegangan pada dinding goa,
namun iapun berhasil untuk berdiri dan menanti apa yang akan terjadi.
Disamping itu ia bersyukur pula, bahwa kini di dalam ruangan itu telah
menjadi semakin gelap. Dengan demikian ia mengharap bahwa orang itu
tidak lagi akan menyerang segera. Kalau saja orang itu menundanya sampai
esok, mungkin ia telah mendapatkan sebagian dari kekuatannya kembali.
Dalam kegelapan itu, maka Mahesa Jenar yang tajam, masih mampu menangkap
bayangan samar-samar di hadapannya. Tetapi sampai sekian lama ia
menyaksikan bayangan itu tegak tak bergerak.
Dan kemudian ternyatalah, apa yang diharapkan Mahesa Jenar. Sebab ruangan yang semakin kelam, maka orang itu pun berkata, “Untunglah
bagimu, ruangan ini menjadi amat gelap sehingga aku berhasrat untuk
menunda umurmu sampai besok. Tetapi bagaimanapun juga aku jadi heran.
Iblis mana yang telah merasuk dalam tanganmu, sehingga kau mampu melawan
Sasra Birawa tanpa cidera.”
Mahesa Jenar menarik nafas. Ia menjadi lega oleh keputusan lawannya. Tetapi ia menjawab sindiran itu, “Bukankah kau telah berceritera tentang Ekalaya dan Pendeta Kombayana?”
Tiba-tiba orang itu tertawa. Nyaring dan panjang. Katanya kemudian, “Bagus, kau telah menghidupkan sebuah cerita petikan dari Mahabarata. Dan aku ingin melihat akhir dari cerita ini. Apakah kau benar-benar mampu menandingi aku.”
“Mudah-mudahan,” jawab Mahesa Jenar pendek.
Sekali lagi orang itu tertawa. Kemudian sambungnya, “Tetapi
aku ingin bertindak adil. Aku tidak mau memenangkan pertempuran ini
melawan seseorang yang hampir mati kelaparan. Tunggulah kau di sini, aku
akan membawa makanan untukmu.”
Kemudian terdengarlah orang itu melangkah pergi.
Mahesa Jenar berdiri termangu-mangu. Ia semakin tidak mengerti kelakuan orang yang juga menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Sesaat kemudian, apa yang dijanjikan
orang itu terjadilah. Ia masuk kembali lewat mulut goa yang mula-mula
ditutupinya dengan reruntuhan batu-batu, yang kemudian terbuka kembali
karena tangan Mahesa Jenar.
Di tangan kanannya ia memegang sebuah obor dan di tangan kirinya sebuah bungkusan daun pisang.
Ia langsung duduk di tengah-tengah ruangan itu, sambil membuka bungkusannya ia berkata, “Kemarilah. Duduklah dan makanlah bersama aku.”
Mahesa Jenar tidak membantah. Tetapi
mula-mula ia pergi dahulu ke mata air. Sesudah minum beberapa teguk baru
ia duduk di depan orang yang juga menamakan diri Mahesa Jenar itu.
“Makanlah,” desak orang itu. “Atau kau takut aku meracunmu?”
Mahesa Jenar menggeleng. “Tidak,” jawabnya. “Orang semacam kau ini pasti tidak akan meracun orang. Sebab kau terlalu yakin akan kesaktianmu.”
Sejenak kemudian mereka berdiam diri
sambil menikmati isi bungkusan yang dibawa oleh orang yang menamakan
diri Mahesa Jenar itu, yang ternyata adalah seonggok nasi dengan lauk
pauknya. Goreng ikan gurami.
Mula-mula Mahesa Jenar tidak menaruh
perhatian sama sekali kepada jenis makanan ini. Tetapi beberapa saat
kemudian ia mulai berpikir.
Dari manakah orang itu mendapat goreng ikan gurami. Ataukah di dalam goa ini terdapat alat untuk menggoreng dan kolam ikan gurami?
“Kau telah berbuat suatu kesalahan,” desisnya.
Orang itu terkejut. “Kesalahan…?” ia bertanya.
Mahesa Jenar mengangguk. Sambil menunjuk sisa ikan gurami itu ia berkata, “Mahesa Jenar yang kehilangan muridnya di dalam goa ini tidak akan menemukan goreng ikan gurami dengan demikian mudahnya.”
Kembali orang itu terkejut. Tetapi hanya sebentar, sebab sebentar kemudian ia tertawa tinggi.
Sambil masih menyuapi mulutnya ia menjawab, “Kau
memang suka ngotak-atik. Apa salahnya kalau aku mendapat goreng ikan
gurami? Aku tangkap ikan ini di kolam di sebelah selatan goa ini.”
“Dari mana kau dapat minyak?” potong Mahesa Jenar.
Orang itu terdiam sebentar, lalu katanya, “Sekarang
ternyata kalau kau tak tahu sama sekali ujung pangkal tempat ini. Aku
berada di dalam goa ini atas petunjuk seorang pendeta sakti yang bernama
Panembahan Ismaya bersama muridku Arya Salaka. Tetapi sesaaat kemudian
muridku itu hilang.”
“Adakah seorang Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh perlu bersembunyi di dalam goa?” bantah Mahesa Jenar.
Sekali lagi orang itu terdiam. Setelah berpikir sebentar barulah ia menjawab, “Kalau kau mengaku pula bernama Mahesa Jenar, apa pula kerjamu di sini?”
Mahesa Jenar membetulkan duduknya. Ia merasa mendapat sesuatu dari percakapan itu. Jawabnya, “Aku masuk ke dalam goa ini karena aku mengejar kau, orang yang mengaku bernama Mahesa Jenar.”
“Tetapi menurut katamu…” sahut orang itu, “Kau
telah berada di dalam goa ini sebelumnya. Bukankah kau menuduh aku
memancingmu, memisahkanmu dari seorang yang kau aku menjadi muridmu?”
“Kalau begitu, kita telah menghuni goa ini bersama-sama. Namun ada bedanya,” jawab Mahesa Jenar. “Kau agaknya telah mengenal segenap lekuk liku goa ini. Aku belum.”
“Aku berada dalam goa ini karena ijin yang memiliki,” potong orang itu. “Kau agaknya seorang penghuni gelap?”
Mahesa Jenar tertawa pendek. Ia merasa kehilangan jalan. Karena itu ia berdiam diri.
Suasana kemudian menjadi hening. Namun
dalam keheningan itu, Mahesa Jenar tidak luput dari suatu keadaan yang
sibuk. Sibuk berpikir dan menebak-nebak. Ia merasa bahwa pasti ada suatu
maksud yang tersembunyi. Mungkin orang itu sudah tahu bahwa dialah
sebenarnya yang bernama Mahesa Jenar.
Tiba-tiba Mahesa Jenar bertanya menyentak, “Kau belum menjawab pertanyaanku, dari mana kau mendapat minyak goreng?”
Orang itu pun terkejut. Jawabnya, “Sudah aku katakan, dari cantrik padepokan Karang Tumaritis.”
“Kenapa kau bersembunyi dalam goa ini?” desak Mahesa Jenar cepat.
“Beberapa orang sakti mencari aku untuk membalas dendam,” jawabnya secepat pertanyaan Mahesa Jenar.
“Kau takut?” desak Mahesa Jenar pula.
“Tidak. Tetapi aku tidak akan mampu melawan mereka.”
“Bohong!” bentak Mahesa Jenar.
Orang itu terkejut. Pandangannya jadi semakin tajam.
“Kau sudah berada diantara mereka. Dan mereka tidak dapat menangkapmu.” potong Mahesa Jenar.
Tiba-tiba mata orang itu menjadi merah. Agaknya ia menjadi marah.
Tetapi Mahesa Jenar tidak peduli. Ia berkata terus, “Ada
beberapa pertentangan dalam ocehanmu. Kau bersembunyi karena
orang-orang sakti yang mengejarmu untuk membalas dendam, tetapi kau
telah berada diantara mereka, dan mereka ternyata tak dapat berbuat
sesuatu. Kemudian kau katakan bahwa kau kehilangan muridmu di dalam goa
ini, sedang agaknya kau mengenal segala lekuk-likunya, sehingga
mustahillah bahwa kau tak dapat menemukannya. Ataupun kalau murid yang
kau katakan itu hilang diluar goa ini, kau akan dapat minta tolong
kepada Panembahan Ismaya dan cantrik-cantriknya untuk mencarinya. Nah,
sekarang katakan kepadaku. Apakah maksudmu sebenarnya dengan mengaku
bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh?”
ORANG itu menjadi semakin marah mendengar
kata-kata Mahesa Jenar yang menghambur seperti bendungan pecah. Tetapi
Mahesa Jenar masih belum berhenti, sambungnya, “Apalagi kau dapat
berceritera tentang semua pengalaman dan peristiwa yang aku alami.
Bahkan sampai pada ke persoalan hubungan antara aku dan orang-orang
sakti yang mengejarku?”
Orang itu sudah tidak sabar lagi. Dengan kerasnya ia membentak, “Cukup!”. Lalu tubuhnya menjadi gemetar, dan tiba-tiba ia meloncat berdiri. Katanya melanjutkan dengan suara gemetar, “Kau
memancing kemarahanku. Aku sudah ingin menunda umurmu sampai besok.
Tetapi ternyata kau ingin menyerahkannya sekarang. Berdirilah, dan
jangan mati berpangku tangan. Apakah kau akan membanggakan Sasra Birawa
tiruan yang hanya mampu memecah batu itu. Itu hanyalah suatu pameran
jasmaniah yang sama sekali tak berharga.”
Setelah itu ia mencari sebuah batu untuk menyandarkan obornya. Kemudian sambil mempersiapkan diri ia berkata, “Marilah kita mulai. Jangan lewatkan waktu dengan sia-sia.”
Sekali lagi Mahesa Jenar terkejut bukan
kepalang. Kalimat itu adalah kalimat yang sering diucapkan oleh gurunya
pula. Sudah beberapa kali ia mendengar orang yang menamakan dirinya
Mahesa Jenar itu pasti mempunyai hubungan dengan gurunya. Kalau tidak,
tidak akan ia menyebut beberapa kata-kata yang bersamaan. Yang selalu
ditujukan kepada dirinya dan saudara seperguruannya almarhum.
Sebelum ia menemukan suatu jawaban,
terdengar orang itu berkata pula, “Berdirilah, dan pergunakan Sasra
Birawa buatanmu yang tidak lebih dari sebuah pedang yang tumpul. Dengan
pedang yang berat dan tumpul itu, kau dapat mematahkan besi gligen,
dengan mengandalkan kekuatan jasmaniah. Tetapi kalau ada sehelai kapuk
yang melayang-layang dibawa angin, pedangmu itu tidak akan berguna. Kau
tidak akan mampu membelah helaian kapuk itu bagaimanapun kuatnya tenaga
jasmanimu. Tetapi untuk memotongnya, kau perlukan sebuah pedang yang
tidak perlu berat dan kuat, namun ia harus tajam setajam perasaanmu.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tersentak.
Kata-kata itu sama sekali bukan kata-kata seorang yang marah dan akan
membunuhnya. Tetapi justru kata-kata yang sangat diperlukannya. Dengan
mesu raga, ia sekarang mampu menangkap isi katakata itu. Bahkan justru
sebagai penjelasan atas perbedaan watak dari gerak-gerak wadagnya dan
gerak-gerak dirinya yang dilihatnya di luar wadagnya. Tetapi sekali. Dua
buah pedang yang berat, kuat namun tumpul, yang mampu memecah henda
apapun, dan yang lain pedang yang ringan, tetapi bermata tajam. Hanya
dengan pedang semacam itulah ia akan mampu memotong sehelai kapuk yang
diterbangkan angin.
Apalagi di dalam kata-katanya, orang itu
ternyata menganggapnya, betapa tajam perasaannya. Sehingga untuk
memangkas kapuk yang diterbangkan angin diperlukan pedang setajam
perasaannya. Sesaat kemudian kembali orang itu berkata, “Berdirilah, aku sudah hampir
mulai.”
mulai.”
Tetapi Mahesa Jenar tidak juga mau
berdiri. Ditatapnya saja wajah orang yang menamakan diri Mahesa Jenar
itu, seolah-olah sampai menembus ke dalam otaknya. Didalam cahaya obor
yang masih menyala-nyala disamping mereka. Mahesa Jenar dapat melihat
wajah itu dengan agak jelas. Kalau orang itu dihilangkan rambut-rambut
yang melingkari mukanya, ia akan dapat memastikan, bahwa tak seorangpun
akan mengenalnya sebagai Mahesa Jenar. Tetapi yang mengherankan, segala
gerak, tingkah-laku serta setiap unsur gerak yang dilakukan adalah tepat
seperti yang dikenal dan dilakukannya. Bahkan tidaklah mungkin, bahwa
secara kebetulan orang itu mengulang kata-kata gurunya sampai beberapa
kali.
Karena itulah maka ia sampai pada suatu
kesimpulan, bahwa orang itu pasti mempunyai hubungan dengan gurunya.
Apapun sifatnya. Dengan demikian maka tidak sewajarnyalah kalau ia
melawannya.
Bahkan ketika sekali lagi orang yang berdiri dihadapannya itu menyuruhnya berdiri, Mahesa Jenar menjawab, “Tidak. Aku lebih senang duduk menikmati makanan yang kau bawa.”
“Kau takut menghadapi kematian?” tanya orang itu.
“Sejak semula aku berkata, bahwa kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan,” jawab Mahesa Jenar.
“Kalau begitu kau menunggu apa lagi?” desak orang itu tidak sabar.
“Kau benar-benar mau berkelahi?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Sebagaimana kau lihat. Aku sudah siap,” jawabnya.
“Aku tidak,” potong Mahesa Jenar.
“Kau takut?” sahut orang itu.
Mahesa Jenar menggeleng. Katanya, “Aku tidak takut. Tetapi aku tidak akan dapat menyamai kesaktianmu. Tidak ada gunanya.”
Mendengar jawaban itu, orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Nah,
kalau begitu kau mengaku sekarang, bahwa kau bukanlah Mahesa Jenar,
murid Ki Ageng Pengging Sepuh. Sebab Mahesa Jenar bukanlah seorang
pengecut.”
“Siapa bilang?,” bantah Mahesa Jenar. “Aku
tidak mengatakan bahwa aku bukan Mahesa Jenar. Tetapi bukan berarti
bahwa di dunia ini tak ada seorang pun yang melampaui kesaktianku. Diantaranya kau.”
Tiba-tiba orang itu jadi kesal sekali. Karena itu ia membentak, “aku akan membunuhmu. Melawan atau tidak melawan.”
“Ki sanak,” jawab Mahesa Jenar dengan tenangnya. Agaknya ia sudah menemukan jalan untuk mendapatkan suatu ketegasan. “Aku
mempunyai usul. Kenapa persoalan ini harus diselesaikan dengan sebuah
perkelahian? Menurut katamu kau disembunyikan disini oleh seorang
Panembahan sakti yang bernama Panembahan Ismaya. Akupun seharusnya
berkata demikian pula kepadamu. Karena itu biarlah Panembahan itu yang
memilih satu diantara kita, siapakah yang dianggapnya benar-benar Mahesa
Jenar.”
“Tidak perlu pihak ketiga. Marilah kita selesaikan soal kita sendiri.”
Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya, “aku
makin yakin sekarang bahwa aku tidak perlu berkelahi. Sebab kau sama
sekali tidak bermaksud bertempur untuk mempertahan-kan suatu kebenaran
dan keyakinan, tetapi kau ingin bertempur karena nafsu ketamakanmu.
Nafsu ingin mempertunjukkan kemenanganmu dan kesaktianmu.”
“Omong kosong,” potong orang itu.
“Aku menantangmu karena kau telah
menamakan dirimu Mahesa Jenar. Bukankah dengan demikian kau meniadakan
adaku sebagai Mahesa Jenar yang sebenarnya?.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum.
Ternyata karena keyakinan pada dirinya sudah bertambah sempurna sehingga
ia tidak lagi bersikap menentang dan tidak lagi membiarkan perasaannya
bergolak. Jawabnya, “kau menganggap dirimu Mahesa Jenar ?.“
“Aku tidak menganggap demikian,” bantah orang itu, “sebab aku memang demikian sebenarnya.“
“Kau dapat berkata demikian kepada orang lain, bahkan kepadaku. Kepada Mahesa Jenar murid Ki Ageng Pengging Sepuh, ” sahut Mahesa Jenar. “Tetapi dapatkan kau berkata demikian kepada dirimu sendiri. Kepada hatimu ?”
Orang itu tiba-tiba menjadi gelisah. tetapi ia diam saja.
“Nah ki sanak. Sebenarnya kau tak usah mempersulit dirimu, ” sambung Mahesa Jenar. “Kau
dapat berbuat sekehendakmu tanpa suatu kesaksianpun di sini. Apakah kau
menamakan dirimu Mahesa Jenar atau bukan di hadapanku, sesudah kau
berhasil membunuhku, akibatnya akan sama saja.”
“Aku jadi yakin terhadap suatu kebenaran tentang dirimu,” tiba-tiba orang itu berkata. “bahwa otakmu memang tidak jelek.”
Sekali lagi Mahesa Jenar terguncang.
Orang yang menamakan dirinya Mahesa Jenar itu sekali lagi membuat heran
dengan kalimat kalimat yang pernah diucapkan gurunya. Sehingga dengan
demikian Mahesa Jenar menjadi semakin yakin pula bahwa orang itu pasti
mempunyai hubungan dengan gurunya. Karena itu ia tidak mau memperpanjang
keadaan dalam belitan pertanyaan-pertanyaan.
Karena itu segera Mahesa Jenar
memperbaiki duduknya menghadap kearah orang yang menamakan dirinya
Mahesa Jenar, yang berdiri tegak dihadapannya. Dengan hidmadnya ia
membungkuk hormat sambil berkata, “Tuan, sudah beberapa kali aku
mendengar tuan mengucapkan kalimat-kalimat yang sering diucapkan oleh
almarhum guruku, ki Ageng Pengging Sepuh. Karena itu aku mengharap agar
tuan tidak terlalu lama mengaduk otakku dengan teka-teki yang tuan
berikan mengenai diri tuan.”
Orang itu memandang Mahesa Jenar dengan
tajamnya. Tetapi mata itu makin lama semakin menjadi lunak. Dengan
sebuah senyuman ia menjawab, “Jadi kau benar-benar percaya bahwa aku
bernama Mahesa Jenar? Bukankah kau akui bahwa aku dapat menirukan
beberapa kalimat yang pernah diucapkan oleh guruku ki Ageng Pengging
Sepuh?.”
“Maafkanlah,” jawab Mahesa Jenar, “bagaimana
aku dapat percaya bahwa diriku dapat dipecah menjadi dua orang. Aku dan
tuan. Tetapi bahwa tuan dapat menirukan kalimat-kalimat ki Ageng
Pengging Sepuh, aku tidak akan membantah, karena itu aku ingin tuan
memecahkan jawaban itu.”
Sekali lagi orang itu tersenyum. Lalu perlahan-lahan berjalan mendekat Mahesa Jenar.
“Kalau kau tidak percaya bahwa aku Mahesa Jenar, lau siapakah aku menurut pendapatmu?,” katanya.
“Aku tidak tahu,” jawab Mahesa Jenar.
“Kau terlalu membiarkan perasaan
marahmu menjalari otakmu, sehingga kau tidak dapat lagi melihat lebih
saksama. Tetapi sekarang agaknya kau telah berhasil mengendapkan diri,
karena itu dengan gembira aku melihat, bahwa kau tidak lagi mudah
dipaksa untuk berkelahi, tanpa tujuan.”
“Mahesa Jenar. Tidakkah kau dapat mengingat-ingat lagi, siapakah yang memiliki ilmu Sasra Birawa di dunia ini ?”
———-oOo———-
IV
Mahesa Jenar seperti terbangun dari mimpi
yang membingungkan. Seharusnya sejak semula ia harus sudah
mengingat-ingat hal itu. Dengan teliti ia mulai mengenangkan masa
lampau. Suatu lingkungan kecil didalam padepokan di Pengging dimana ia
bersama kakak seperguruannya menuntut ilmu jaya kawijayan dan kesaktian,
sebagai bekal hidupnya kelak. Tetapi bagaimanapun ia mengingat-ingat,
namun yang diingatnya hanyalah, didalam padepokan itu, kecuali dirinya
dan almarhum Kebo Kenanga tidak ada seorang muridpun lagi.
Akhirnya ia mulai mengingat siapakah yang
sering datang ke padepokan itu. Orang-orang lain yang mempunyai
hubungan erat dengan gurunya. Tetapi gurunya sangat teliti, sehingga
tidak mungkin ada orang lain yang dapat mencuri ilmu sakti tiu tanpa
setahunya.
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersentak. Ya,
orang itu ada orang yang selalu datang ke padepokan itu melihat-lihat
gurunya menurunkan ilmu kepadanya.
Karena ingatan itulah maka mata Mahesa Jenar menjadi berkilat-kilat. Sekali lagi ia membungkuk hormat. Katanya, “Tuan, baru sekarang agaknya otakku dapat bekerja dengan baik. Perkenankanlah aku menebak siapakah sebenarnya tuan?.”
Orang itu mengangguk. Kemudian katanya, “Kau telah berhasil mengingat kembali orang-orang yang memiliki aji Sasra Birawa?”
“Sudah, Tuan,” jawab Mahesa Jenar, “Pertama
adalah guru. Kedua dan ketiga adalah murid-muridnya. Aku dan almarhum
Ki Ageng Pengging, Ki Kebo Kenanga. Dan keempat adalah saudara muda
seperguruan Guru, yang tidak lain adalah putra guru yang tua, kakak Ki
Kebo Kenanga. Karena itu aku berani memastikan bahwa Tuan adalah orang
yang keempat itu.”
Orang itu mengangguk-angguk. Sahutnya, “Ingatanmu masih baik kalau kau pergunakan. Ternyata kau menebak tepat.”
Sekali lagi Mahesa Jenar membungkuk hormat. Dengan hikmat ia berkata, “Maafkanlah kelancanganku. Sudah berapa puluh tahun Tuan meninggalkan kami sehingga aku tidak dapat mengenal Tuan kembali.”
“Tidak ada yang perlu aku maafkan. Semuanya memang aku kehendaki demikian,” jawab orang itu.
Mahesa Jenar tiba-tiba merasakan suatu
yang bergelora didalam dadanya. Suatu campur baur dari bermacam-macam
perasaan. Sedih, gembira, bangga, terharu. Lebih dari pada itu, ia
beberapa kali mengucap syukur kepada Tuhan di dalam hatinya. Dalam suatu
saat yang tak disangka sangka, ia bertemu dengan putra gurunya yang
tua, yang dalam perguruan menjadi adik seperguruan gurunya. Orang itu
bernama Ki Kebo Kanigara, yang lenyap beberapa tahun sebelum gurunya
meninggal. Dari gurunya ia pernah mendengar bahwa ilmu Ki Kebo Kanigara
itu sama sekali tidak berada dibawah gurunya. Bahkan, karena
kegemarannya mengembara, ia dapat menambah ilmu itu dengan
bermacam-macam bentuk dan isi.
Sekarang ia bertemu dengan orang itu
dalam suatu suasana yang seolah-olah mengandung pertentangan. Karena itu
maka Mahesa Jenar bertanya seterusnya, “Kakang Kebo Kanigara, kalau
sejak selama aku dapat berpikir dengan tenang, maka sejak semula aku
tak akan berani melawan, meskipun aku tidak dapat mengerti maksud kakang
dengan mempergunakan nama serta gelarku.”
Kebo Kanigara tersenyum. Lalu duduk disamping Mahesa Jenar. Dengan perlahan-lahan ia menjawab, “Mahesa
Jenar, kalau kau mengenal aku sejak semula, maka keadaanmu akan berbeda
pula. Apa yang kau capai selama beberapa hari ini, justru karena kau
tidak mengenalku.”
Sadarlah Mahesa Jenar, bahwa Kebo
Kanigara telah memaksa dengan caranya, supaya ia menekuni ilmunya lebih
dalam lagi. Tetapi meskipun demikian ia masih bertanya, “Kakang, bukankah Kakang dapat menuntun aku tanpa teka-teki yang hampir memecahkan kepalaku itu.”
Sekali lagi Kebo Kanigara tersenyum. Jawabnya, “Dengan
demikian keprihatinanmu akan jauh berbeda. Kau akan mendalami ilmumu
dengan tahap-tahap yang biasa. Tetapi, dengan keadaanmu seperti yang kau
alami, kau benar-benar membanting tulang untuk memperdalam ilmu itu.
Justru dengan demikian kau benar-benar telah menemukan sarinya dalam
waktu yang singkat.”
“Tetapi Kakang…” bertanya pula Mahesa Jenar, “Dari
mana Kakang dapat mengetahui semua keadaan yang pernah aku alami.
Bagaimana Kakang tahu bahwa Panembahan Ismaya telah menyembunyikan aku
di sini, dan bagaimana Kakang dapat mengenal hampir setiap orang yang
pernah aku kenal pula?”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia tampak ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab pula, “Mahesa
Jenar… ketahuilah bahwa aku memang merupakan salah seorang dari
penghuni padepokan ini. Apa yang aku lakukan semuanya atas ijin
Panembahan. Dan dari Panembahan pula aku mendapatkan beberapa petunjuk
tentang kau.”
“Siapakah sebenarnya Panembahan Ismaya itu?” tanya Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya, “Pertanyaanmu
aneh Mahesa Jenar. Kau bertanya tentang seseorang yang telah kau sebut
namanya. Bukankah ia Panembahan Ismaya. Panembahan sakti yang mengepalai
padepokan Karang Tumaritis ini?”
Dari jawaban itu Mahesa Jenar dapat
mengetahui bahwa ada sesuatu yang tersembunyi, yang tak seorang pun
boleh mengetahui. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi ia
bertekad untuk pada suatu waktu dapat mengetahuinya pula, siapakah
sebenarnya orang tua yang seolah-olah telah menyisihkan diri dari dunia
ramai itu.
“Kakang…” Mahesa Jenar memulai lagi, “Kalau demikian, di manakah muridku Kakang sembunyikan?”
Kebo Kanigara tertawa. Lunak dan perlahan-lahan. Jawabnya, “Benarkah kau bertanya tentang muridmu?”
Mahesa Jenar menjadi heran. Sambil mengangguk-angguk ia menegaskan, “Ya Kakang. Aku bertanya tentang muridku?”
“Sesudah itu kau pasti akan menanyakan seorang lagi kepadaku,” sahut Kebo Kanigara sambil tersenyum. “Malahan barangkali yang lebih penting bagimu.”
“Ah,” desis Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Sekali lagi Kebo Kanigara tertawa lunak dan perlahan-lahan. Tetapi ia tidak melanjutkan pertanyaannya.
Kemudian Mahesa Jenar berkata untuk mengalihkan pembicaraan, “Kakang, apakah menurut pendapat kakang Kanigara, ilmuku telah meningkat selama ini?”
“Kau telah merasakannya sendiri,” jawab Kebo Kanigara. “Tetapi
menurut penilaianku, kau telah memenuhi harapanku. Sebab menurut
pendapatku, supaya Perguruan Pengging tidak menjadi semakin pudar, maka
murid-muridnya harus dapat selalu melampaui ilmu gurunya. Demikian
berturut-turut. Dan sekarang kau telah mendapatkan itu.”
Kalau ada guntur menggelegar di
telinganya, Mahesa Jenar tidak akan terkejut seperti saat itu. Memang ia
telah merasakan sesuatu perkembangan yang menggembirakan dalam
latihan-latihan yang dilakukan selama ini dengan tekunnya. Tetapi ketika
ia mendengar pernyataan Kebo Kanigara, Saudara muda seperguruan
gurunya, yang memiliki ilmu lebih sempurna dari gurunya sendiri,
mengatakan, bahwa ia telah dapat menyamai kesaktian almarhum gurunya.
”Kakang berkata sebenarnya?” tanya Mahesa Jenar dengan nada kurang percaya.
Kebo Kanigara tersenyum. Jawabnya, ”Aku
berkata sebenarnya. Dan aku telah mencobanya. Juga terhadap gurumu,
ayah Pengging Sepuh pun aku pernah mencoba ilmunya, khusus Sasra Birawa,
dan memperbandingkan dengan kekuatan ilmu yang aku miliki.”
Mahesa Jenar menjadi terdiam oleh
perasaan yang bergulat di dalam dadanya. Ia tiba-tiba menjadi sangat
bergembira. Tetapi hanya sesaat. Sesaat kemudian, ia telah memanjatkan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pencipta Alam yang
telah menunjukkan jalan kepadanya lewat adik seperguruan gurunya. Dan
karena itu pulalah hatinya menjadi tenang. Setenang air telaga yang
tidak dapat dijajagi seberapa dalamnya.
Untuk beberapa lama ruangan itu dikuasai
oleh keheningan Lampu obor yang menyala-nyala dengan lincahnya,
melemparkan sinarnya yang seolah-olah menari di dinding goa itu. Mahesa
Jenar yang masih hanyut dalam angan-angan duduk sambil menundukkan
kepala. Di dalam hatinya, terucapkanlah sebuah janji, bahwa dengan
kematangan yang dicapainya, ia harus lebih banyak menyerahkan darma
baktinya untuk manusia dan kemanusiaan, untuk tanah dimana ia dilahirkan
dan untuk bangsa yang hidup diatasnya. Dan sekaligus ia berjanji di
dalam hatinya itu, bahwa dengan segenap kemampuan yang telah dimiliki
itu, ia harus menumpas segala kejahatan dan pelanggaran atas keharusan
dalam hidup bernegara dan bertata masyarakat. Sehingga terpancarlah api
cinta sejati di atas bumi.

Mahesa Jenar mengangguk satu kali.
Kemudian perlahan-lahan ia berdiri dan memandang patung batu itu dengan
tajamnya. Kebo Kanigara pun kemudian berdiri pula. ”Marilah…” katanya, ”Ikutilah aku. Sekarang kau tak usah marah lagi. Aku akan membawa obor ini, supaya kau tak kehilangan jalan.”
Mahesa Jenar mengikuti Kebo Kanigara itu
dengan langkah yang berat. Seolah-olah ia segan meninggalkan patung batu
itu kesepian. Tetapi ia tidak berkata sepatah pun. Karena Mahesa Jenar
tidak menjawab, Kebo Kanigara meneruskan, ”Mau kau apakan patung batu itu…? Ia tidak bersedih hati kau tinggalkan di ruangan ini.”
Mahesa Jenar tersenyum dan melangkah mengikuti Kebo Kanigara meninggalkan ruangan itu.
”Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian sambil berjalan menyusur goa yang memiliki beratus-ratus cabang yang membingungkan itu, ”Ada beberapa maksud, karena aku terpaksa mempergunakan nama serta gelarmu. Pertama-tama seperti yang telah aku katakan kepadamu. Kedua, aku ingin seseorang tidak merasa berhutang budi kepada orang lain kecuali kepada Mahesa Jenar.”
Kali ini benar-benar Mahesa Jenar tidak dapat menjawab. Sampai Kebo Kanigara meneruskan, ”Untunglah bahwa aku dapat meyakinkan diriku bahwa aku benar-benar bukan orang yang bernama Mahesa Jenar.”
”Nanti akan diketahuinya pula Kakang,” jawab Mahesa Jenar kemudian, ”Bahwa bukan Mahesa Jenar yang sebenarnyalah yang telah berbuat jasa itu.”
”Jangan Mahesa Jenar,” sela Kebo Kanigara, ”Aku telah bersusah payah berperan sebaik-baiknya sebagai Mahesa Jenar.”
”Tetapi bagaimanapun juga orang akan tahu juga, bahwa yang telah melakukan suatu perbuatan yang dahsyat itu pasti bukan aku,” jawab Mahesa Jenar pula. ”Sebab Kakang Kebu Kanigara telah menggunakan sekian banyak orang. Apakah aku dapat melakukan pekerjaan seperti itu?”
”Kau masih belum dapat mengerti tentang dirimu sendiri,” sahut Kebu Kanigara. ”Dengan
samadimu itu, kau akan mampu melakukan apa yang dilakukan olehku dalam
perananku sebagai Mahesa Jenar. Juga terhadap Bugel Kaliki dan Sima
Rodra, kau sekarang tidak berada di bawahnya.”
Sekali lagi dada Mahesa Jenar bergetar. Dan sekali lagi hatinya berjanji untuk membinasakan orang-orang itu.
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada muridnya. Apakah kira-kira yang telah dilakukannya selama ini. Maka bertanyalah ia, ”Kakang Kebo Kanigara. Lalu bagaimanakah keadaan muridku?”
”Agaknya kau benar-benar sayang kepada anak itu,” jawab Kebo Kanigara. ”Aku tidak tanggung-tanggung dalam perananku.” Ia meneruskan, ”Juga terhadap muridmu aku telah memaksanya untuk meningkatkan ilmunya dengan cara yang pernah aku tempuh.”
”Cara yang pernah Kakang tempuh?” ulang Mahesa Jenar dengan herannya. ”Adakah Kakang pernah bertemu dengan anak itu?”
Kebo Kanigara tertawa pendek. ”Pernah,” jawabnya. ”Aku
selalu bertemu dengan anak itu di mana-mana. Karena itu aku banyak
mengetahui tentang kau dan muridmu. Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk
dari Panembahan Ismaya.”
Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar
teringat akan peristiwa-peristiwa yang pernah disaksikan atas muridnya.
Maka dibayangkanlah bentuk orang yang pernah melakukan perbuatan
perbuatan aneh di pantai Tegal Arang. Seorang yang mempergunakan 6
wajah, menyerang muridnya setiap malam berturut-turut. Orang itu
bertubuh besar dan kekar. Dan sekarang orang yang berjalan di hadapannya
itu pun bertubuh besar dan kekar.
”Kakang…” seru Mahesa Jenar sesaat kemudian. ”Aku
sekarang berani memastikan bahwa Kakang telah menolong muridku untuk
suatu loncatan yang tingkatan ilmunya di pantai Tegal Arang dengan cara
kakang yang aneh.”
TERDENGAR Kebo Kanigara tertawa pendek. Jawabnya, “Aku
tidak telaten melihat anak itu maju setapak demi setapak. Sejak aku
dengar kabar bahwa ayah Handayaningrat meninggal dunia, aku jadi
gelisah. Jangan-jangan tak seorang pun yang akan mewarisi dari perguruan
Pengging. Karena adi Kebo Kenanga meninggal pula, maka satu-satunya
yang ada adalah kau. Kemudian kaupun menghilang. Mati-matian aku
mencarimu. Dan akhirnya aku ketemukan kau. Malahan kau telah mempunyai
seorang murid yang berbakat baik. Tetapi kau pergunakan cara-cara ayah
Pengging Sepuh untuk meningkatkan ilmu muridmu. Selangkah kecil demi
selangkah kecil. Maka aku pun berusaha membantumu dengan caraku.”
“Kakang…” sahut Mahesa Jenar. “Sudah sewajarnyalah kalau aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih.”
“Jangan katakan itu,” potong Kebo Kanigara. “Kewajibanmu
dan kewajibanku dalam hal ini tidak ada bedanya. Juga kali ini terhadap
muridmu itu aku isikan ilmu dari perguruan Pengging. Berurutan seperti
rencana yang akan kau berikan. Hanya caraku berbeda dengan caramu.”
Mendengar keterangan Kebo Kanigara,
Mahesa Jenar berdiam diri. Ia sekarang, barangkali setelah mempelajari
ilmunya lebih tekun dengan suatu cara yang tidak direncanakannya lebih
dahulu, tidak akan lagi mengajari muridnya dengan cara yang pernah
dilakukan sebelumnya. Di mana muridnya harus menerima pelajaran
setingkat demi setingkat tanpa mengikutsertakan kemampuan daya cipta
muridnya itu sendiri.
“Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian, “Marilah
kita melihat muridmu itu berlatih. Aku telah minta kepada seseorang
untuk meneternya dan memperbandingkan dengan ilmu perguruan lain.”
“Ilmu perguruan lain?” ulang Mahesa Jenar keheran-heranan. “Adakah seseorang di sini dan perguruan lain?”
“Akan kau lihat nanti,” jawab Kebo Kanigara. “Aku
telah melakukan apa saja yang mungkin atas muridmu itu dalam masa
pembajaan dirinya. Aku sendiri suatu waktu datang melawannya. Dan pada
saat lain aku datang sebagai gurunya, Mahesa Jenar, untuk memberinya
petunjuk petunjuk. Kadang kadang aku hadapkan Arya Salaka dengan ilmu
dari perguruan lain.”
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi.
Tiba-tiba saja ia menjadi rindu sekali kepada satu-satunya murid yang
telah dibawanya menjelajah daerah daerah serta mengalami kesukaran lahir
dan batin. Dalam hatinya ia mengucapkan terima kasih tak habis-habisnya
kepada Kebo Kanigara yang telah membantu mematangkan ilmu muridnya.
Dengan demikian ia mengharap seorang yang tidak kalah saktinya, Ki Ageng
Sora Dipayana dari Banyubiru.
Setelah Mahesa Jenar mengikuti Kebo
Kanigara menempuh jalan yang berliku-liku, maka sampailah mereka kepada
satu gang yang menuju ke dalam sebuah ruang yang agak luas seperti ruang
yang dipergunakan untuk mengurung Mahesa Jenar.
Bersambung ke Jilid 12
———-oOo———-
Koleksi Ki Arema
Editing oleh Ki Arema
5 Tanggapan
-
-
-
-
Kepareng To Ki..?
-
pak SATPAM masih kosong,
-
-
Tinggalkan Balasan

ning padepokan sebelah,
Apa masih padha nunggu Kongres PSSI?