

ADBM-007

KETEGANGAN menjadi
semakin memuncak karenanya. Masing-masing agaknya mempunyai perhitungan
sendiri-sendiri. Sidanti pun kemudian sudah bergerak diikuti oleh
beberapa orang yang kebingungan, siap memasuki padesan di hadapannya.
Tetapi terdengar Citra Gati berteriak,
“Jangan berbuat hal-hal yang dapat membahayakan diri kita sendiri, dalam
usaha yang sia-sia. kalau kita pasti Untara ada di depan kita, maka
biarlah kita pertaruhkan nyawa kita untuk mencarinya. Tetapi kemungkinan
itu tipis sekali”
“Kau jangan menghinanya” sahut Sidanti
keras-keras. “Apakah kau sangka Untara terluka? Untara adalah seorang
yang luar biasa. Aku sendiri pernah berkelahi melawannya. Karena itu,
maka tak akan ia terluka dan terbaring di antara orang-orang yang luka.
Aku hormati dia aku kagumi dia”
Kata-kata itu masuk akal pula. Karena itu
beberapa orang menjadi mempercayai perhitungan itu. Tetapi Citra Gati
tetap pada pendiriannya. Seandainya Untara tealh terlanjur memasuki desa
itu, maka pasti ia akan segera kembali dan memberikan aba-aba kepada
mereka yang mengikutinya.
Dalam ketegangan yang dipenuhi oleh
keragu-raguan itu tiba-tiba terdengar kembali Sidanti berkata, “Taati
perintahku. Aku mengambil alih pimpinan. Aku adalah orang yang paling
baik di antara kalian”
“Tidak!” Citra Gati tiba-tiba berteriak
tak kalah kerasnya, “Aku ambil alih pimpinan. Aku adalah orang yang
memiliki kedudukan tertua di antara kalian. Ketika kakang Widura
meninggalkan Sangkal Putung, aku dan Hudayalah yang diserahi pimpinan”
“Persetan dengan tata cara itu. Sekarang aku mengkat diri menjadi pemimpin kalian. Apa maumu? Apakah aku harus membunuhmu?”
“Jangan berlagak jantan sendiri Sidanti.
Aku tahu kau memiliki beberapa kelebihan dari kami. Tetapi kami bukan
kelinci-kelinci yang patuh karena kami kau takut-takuti. Dengan
meninggalkan tata cara yang ditetapkan dalam keprajuritan Pajang, maka
kau adalah seorang pemberontak. Dan bagiku, bagi kami, laskar yang patuh
pada tugas kami, maka nyawa kami akan kami pertaruhkan untuk menumpas
setiap pemberontakan”
“Gila” teriak Sidanti, “Ayo, siapakah yang menentang Sidanti, majulah”
Citra Gati bukan seorang penakut.
Betapapun ia menyadari keringkihannya untuk melawan Sidanti, tetapi ia
adalah soerang prajurit yang bertanggung-jawab. Karena itu, maka ia
tidak gentar menghadapi apapun. Tetapi sayang, bahwa Citra Gati itu pun
telah terbakar oleh perasaannya, sehingga ia lupa pada pokok
persoalannya. Hilangnya Untara. Apalagi ketika Citra Gati menyadari,
bahwa sebagian besar laskarnya condong kepadanya, sehingga dengan
demikian hampir-hampir ia menjatuhkan perintah untuk bersama-sama
menangkap Sidanti yang telah melanggar tata cara keprajuritan.
Tetapi dalam pada itu terdengar suara
Agung Sedayu memecah ketegangan dan kepekatan malam. Katanya, “Persetan
dengan pimpinan atas laskar ini. Aku bukan prajurit Pajang, bukan pula
laskar Sangkal Putung. Aku di sini dalam kedirianku sendiri, dalam tugas
yang aku bebankan sendiri di pundakku, sehingga aku ikut bertempur
bersama-sama kalian. Tetapi aku tidak diperintah oleh pemimpin yang
manapun. Bertempurlah di antara kalian. Aku akan mencari kakang Untara.
Aku sependapat dengan kakang Citra Gati, kakang Untara masih berada di
belakang kita. Dan siapakah di antara kalian yang masih memiliki
kesetiaan kepadanya ikutlah aku. Yang merasa diri kalian
prajurit-prajurit yang baik, tunggulah sampai salah seorang berhasil
membunuh orang-orang lain, dan mengangkat dirinya menjadi pemimpin
laskar Pajang. Sedang tak seorang pun di antara kalian yang berusaha
memberitahukan hal ini kepada paman Widura, pemimpin yang sebenarnya
atas kalian. Dan siapa yang mencoba menghalangi Agung Sedayu, maka
pedangku akan berbicara”
Kata-kata Agung Sedayu itu seakan-akan
merupakan suatu pemecahan yang dapat mereka lakukan. tiba-tiba salah
seorang dari mereka, seorang penghubung berlari ke arah padesan di
belakang mereka. Di sanalah kudanya ditambatkan.
“He, kemana kau?” teriak Sidanti yang menjadi marah.
“Aku akan melaporkannya kepada Ki Widura”
Sidanti tidak mencegahnya. Sikap itu agaknya telah mendapat dukungan dari setiap orang dalam pasukan itu.
Sedang Agung Sedayu kemudian tidak
memperdulikan apa-apa lagi. Ia berjalan saja langsung ke garis
peperangan untuk mencari kakaknya. Dalam hiruk-pikuk perkelahian itu,
adalah sangat mungkin bagi seseorang untuk mendapat serangan tanpa
diketahuinya, apalagi Untara yang saat itu sedang menumpahkan
perhatiannya kepada Tohpati.
Citra Gati, Hudaya dan sebagian besar
dari mereka kemudian berjalan mengikuti Agung Sedayu. Mereka berjalan
sambil memperhatikan keadaan di sekeliling mereka. Dengan beberapa buah
obor di tangan mereka mencoba mengamati setiap tubuh yang terbaring.
Dengan demikian maka sekaligus mereka dapat menemukan beberapa orang
yang terluka, namun kiwanya masih mungkin diselamatkan.
“Rawat mereka” berkata Agung Sedayu. Ia
tidak tahu lagi apakah ia berhak berkata demikian atau tidak. Namun
menurut pendapatnya, semua orang berkepentingan dalam masalah
kemanusiaan. Berhak atau tidak berhak.
Dalam kesibukan itu, maka mereka
mendengar derap beberapa ekor kuda yang datang dari Sangkal Putung.
Ketika mereka mengangkat wajah-wajah mereka, maka mereka melihat
kedatangan Widura beserta beberapa orang pengawalnya.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” bertanya Widura masih dari atas kudanya.
“Kami mencari kakang Untara” sahut Agung Sedayu.
Widura mengerutkan keningnya. Sukar
dimengerti olehnya bahwa Untara terluka, dan terbaring di antara mereka
yang jatuh di dalam pertempuran itu.
“Apakah menurut perhitunganmu, hal itu mungkin terjadi Sedayu?” bertanya Widura.
Sebelum Agung Sedayu menjawab, terdengar
suara Sidanti lantang, “Aku sudah mengatakan kepada mereka, bahwa Untara
tidak mungkin terluka. Beberapa orang melihat bahwa Untara yang melukai
Tohpati bukan Untara yand dilukai”
Wajah mengerutkan keningnya. Dipandangnya
Agung Sedayu yang masih termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Kalau
kakang Untara tidak terluka, maka ia pasti sudah kembali. Apakah
menurut dugaan paman, kakang Untara tidak terluka tetapi justru
tertangkap oleh Tohpati?”
“Tidak mungkin” sahut Widura serta-merta.
“Nah kalau begitu kemana? Terluka tidak,
tertangkap tidak. Apakah kakang Untara mengejar musuh itu seorang diri
tanpa memberikan perintah kepada kami di sini?”
Widura menggeleng-gelengkan kepala. Jawabnya, “Juga tidak”
“Lalu bagaimana?” bertanya Agung Sedayu
yang menjadi sangat gelisah karena kehilangan kakaknya. Semula, ketika
ia masih digenggam oleh perasaan takut setiap saat, maka kakaknya adalah
satu-satunya tempat untuk melindungkan dirinya. Namun kini, meskipun ia
merasa bahwa akhirnya dirinya sendirilah yang paling baik untuk
menyelamatkan dirinya itu, maka yang tinggal adalah suatu ikatan kasih
sayang seorang adik terhadap seorang kakak yang telah melindunginya
bertahun-tahun. Seorang kakak yang telah banyak berkorban untuknya.
Seorang kakak yang telah berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk
membentuknya menjadi seorang laki-laki yang sebenarnya, meskipun
kakaknya itu telah hampir menjadi berputus asa atas kemajuan yang
dicapainya. Namun kini ia telah menemukan dirinya. Dan karena itu maka
terasa di dalam dirinya suatu kewajiban untuk berbuat sesuatu untuk
kepentingan kakaknya itu. Apa pun yang akan dihadapinya.
Widura itu pun kemudian meloncat pula
dari kudanya. Setelah ia melayangkan pandangan matanya sejenak
berkeliling bekas medan peperangan itu, ia bergumam, “Aku sependapat
dengan kau Sedayu” Kemudian kepada seluruh laskarnya Widura itu
mengeluarkan perintah, “Semua mencari di antara orang-orang yang
terluka”
Beberapa orang kemudian tersebar di
sepanjang garis pertempuran. Mereka berusaha untuk melihat satu persatu
dibawah cahaya obor yang suram. Hanya Sidanti sajalah yang berjalan
mondar-mandir dengan malasnya. Bahkan terdengar ia bergumam, “Tak ada
gunanya”
Agung Sedayu sama sekali tidak
memperhatikannya. Dengan tekun ia mencari kakaknya bersama-sama dengan
Citra Gati dan Hudaya. Sedangkan Widura sendiri bersama dengan beberapa
orang lain pun telah ikut mencari pula di antara mereka.
Tiba-tiba dalam kesepian malam itu
terdengar seseorang berteriak lantang sambil melambai-lambaikan obornya,
“Inilah. Inilah yang kita cari”
Agung Sedayu benar-benar terkejut
mendengar teriakan itu. Seperti kuda yang terlepas dari ikatan, ia
meloncat hampir melanggar beberapa orang lain yang berdiri di
sampingnya. diloncatinya saja setiap tubuh yang terbaring di tanah.
Bahkan beberapa kali kakinya telah terperosok kedalam lubang-lubang di
pematang.
Demikian pula dengan beberapa orang yang
lain. Widura pun terkejut bukan main. Seperti Agung Sedayu segera ia
meloncat berlari ke arah suara itu.
Ketika mereka sampai, dan ketika mereka
melihat orang yang terbaring diam dengan darah yang memerahi tubuhnya,
ternyatalah bahwa orang itu sebenarnya Untara. Tubuhnya telah menjadi
sangat lemahnya, karena darah yang banyak sekali mengalir dari lukanya,
bahkan beberapa orang telah menyangkanya mati.
Agung Sedayu dengan gemetar berlutut di samping kakaknyasambil memanggil-manggil, “Kakang, Kakang Untara. Kakang”
Tetapi Untara tidak menjawab. bibirnya menjadi seputih kapas, dan tubuhnya telah menjadi sangat dinginnya.
Perlahan-lahan Widura menempelkan
telinganya di dada Untara. Kemudian dengan penuh harapan ia berkata,
“Masih aku dengar jantungnya berdetak. Karena itu, carilah lukanya.
Usahakan untuk menyumbatnya, supaya darahnya tidak terlalu banyak
mengalir”
Tubuh Untara yang lemah itu pun segera
diangkat. Dan serentak mereka terkejut bukan kepalang. Pasti bukan
Tohpati yang melukainya. Sebuah belati tertancap di punggung Untara
itu.”Hem” terdengar Widura menggeram. Dengan hati-hati pisau itu
ditariknya. Dan kemudian katanya tergesa-gesa, “Kain. Balutlah lukanya”
Beberapa orang menjadi bingung. Mereka
tidak membawa secarik kain pun untuk membalut luka itu. Namun kemudian
Agung Sedayu membuka ikat kepalanya, dan dengan ikat kepala itu ia
mencoba menyumbat luka Untara.
Untara itu pun kemudian dikerumuni oleh
hampir semua orang di dalam pasukan itu. Sidanti pun kemudian datang
pula, menerobos lingkaran itu sambil berkata, “Apakah benar kakang
Untara terluka?”
Agung Sedayu mengangkat wajahnya,
ditatapnya wajah Sidanti. Wajah yang keras dan tajam. Namun ia tidak
menjawab pertanyaan itu. Yang menjawab adalah Widura, “Ya, Untara
ternyata terluka”
“Benar-benar tidak menyangka” katanya
sambil melangkah maju. Kini anak muda itu berdiri selangkah di belakang
Widura. Ditatapnya tubuh Untara yang lemah terbaring di tanah, sedang
beberapa orang masih berusaha membalut luka itu.
Sidanti itu kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berkata, “Seseorang melihat kakang Untara berhasil
melukai Tohpati. Tetapi kenapa tiba-tiba ia terluka?”
Tak seorang pun yang menjawab kata-kata itu. Widura juga tidak. Sedang Agung Sedayu telah sibuk kembali dengan luka Untara itu.
Semua orang yang berdiri melingkar itu
menahan nafas mereka. Seolah-olah ikut merasakan, betapa pedihnya luka
itu. Luka yang menghunjam masuk ke dalam punggung Untara.
Suasana kemudian menjadi sepi. Angin
malam yang dingin menghembus perlahan-lahan, mengguncang batang-batang
padi yang bergerak-gerak terinjak-injak oleh kaki-kaki mereka yang
sedang bertempur. Sedang dikejauhan terdengar bunyi binatang-binatang
malam bersahut-sahutan. Di langit yang biru bersih, terpancang berjuta
bintang gemintang yang berkilat-kilat. Sekali-sekali tampak kelelawar
beterbangan merajai langit dimalam hari.
Dalam keheningan malam itu tiba-tiba terdengar Sidanti berdesah, “Terlambat. Tidak ada gunanya lagi. Untara telah mati”
Semua yang mendengar desah itu terkejut.
Lebih-lebih Agung Sedayu. Karena itu, maka tiba-tiba ia berkata lantang,
“Jangan memerkecut hati kami. Kami sedang berusaha”
“Aku memandang segala persoalan menurut
pertimbangan nalar” sahut Sidanti, “Keadaan itu sudah sangat gawat. Apa
pun yang kalian usahakan akan sia-sia saja”
“Tidak” potong Widura, “Kemungkinan masih ada”
Terdengar Sidanti tertawa pendek, “Untara
bukan malaikat. Tusukan itu tepat dan dalam. Untara, seperti juga orang
lain yang mengalami peristiwa serupa, pasti akan mati”
“Tutup mulutmu!” tiba-tiba Agung Sedayu
yang tidak dapat menahan hati lagi membentak lantang, “kalau kau tidak
merasa perlu untuk menolongnya, jangan membuat kami berputus asa”
Sidanti mengerutkan keningnya mendengar
bentakan itu. Dengan tidak kalah lantangnya ia menjawab, “Jangan
bersikap seperti kaulah pemimpin laskar ini. Yang mendapat kepercayaan
dari panglima Tamtama adalah Untara, bukan kau. Karena itu jangan
membentak-bentak”
“Aku tidak peduli apakah dan siapakah
yang memimpin laskar ini. Tetapi aku tidak mau mendengar kau berkata
seolah-olah sudah sewajarnya kakang Untara harus mati. Kau lihat kami
sedang berusaha untuk menolongnya”
“Itu urusanmu” sahut Sidanti, “Aku hanya mengatakan bahwa menurut pendapatku, Untara tidak akan dapat ditolong lagi”
“Jangan kau katakan di hadapanku”
“Apa hakmu melarang aku berkata menurut pertimbanganku sendiri”
Agung Sedayu bukanlah seorang yang cepat
menjadi marah karena pengaruh sifat-sifatnya. Ia adalah seorang yang
lemah hati yang memandang semua persoalan dari segi yang paling damai.
Tetapi meskipun demikian kali ini ia merasa benar-benar tersinggung.
Kakaknya adalah orang yang paling dihormati sepeninggal orang tuanya.
Kakaknya adalah orang yang paling baik di muka bumi ini, yang telah
banyak berbuat untuknya, untuk kepentingannya. Karena itu, maka
tanggapan Sidanti atas kakaknya itu benar-benar telah membakar
telinganya sehingga Agung Sedayu itu seakan-akan kehilangan segenap
sifat-sifatnya. Tiba-tiba ia menjadi keras dan dengan serta-merta ia
berdiri sambil berkata, “Sidanti, kau ingin perselisihan, maka sekarang
adalah waktunya. Aku selalu mencoba menghindari setiap benturan di
antara kita sejauh mungkin. Namun kau selalu membuat persoalan.
Sekarang, kalau kau menantang aku, aku terima tantanganmu. Dengan atau
tanpa senjata”
Tak seorang pun yang menyangka bahwa
Agung Sedayu akan mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang terlalu
keras dan langsung. Kata-kata yang menggeletar karena getaran di dalam
dadanya. Getaran yang telah memenuhi rongga hatinya yang Betapapun
luasnya. Sehingga akhirnya meluap juga, menggetarkan udara malam yang
dingin.
Sidanti pun sama sekali tidak menyangka,
bahwa Agung Sedayu tiba-tiba saja berbuat demikian. Sesaat ia berdiri
termangu-mangu dilihatnya di dalam sinar obor yang kemerah-merahan mata
Agung Sedayu yang menyala-nyala. Namun Sidanti adalah seorang yang keras
hati. Ketika ia menyadari keadaan, tiba-tiba ia mengangkat dadanya.
Dengan lantang ia menjawab kata-kata Agung Sedayu, “Bagus. Aku tantang
kau saat ini”
Agung Sedayu tidak menunggu apa pun lagi.
Setapak ia maju. Dan ketika ia melihat di tangan Sidanti masih
tergenggam senjatanya yang aneh, maka dengan tanpa menghiraukan apa pun
lagi, dengan tangkasnya ditariknya pedangnya dari wrangkanya.
Tetapi tepat pada saatnya Widura telah
berdiri di antara mereka. Dengan tenang ia berkata, “Aku memerintahkan
kalian menghindari bentrokan yang dapat terjadi. Aku perintahkan pada
Sidanti selaku seorang prajurit dibawah pimpinanku, dan aku perintahkan
kepada Agung Sedayu selagi masih keponakanku”
Kembali suasana menjadi sunyi senyap.
Sidanti dan Agung Sedayu merasakan perbawa kata-kata Widura. Karena itu,
maka mereka pun menundukkan wajah masing-masing.
Sesaat kemudian terdengar pula Widura itu
berkata, “Sekarang bawa Untara kembali ke Sangkal Putung. Cepat supaya
kita dapat memberikan pertolongan yang lebih baik. Darah telah terlampau
banyak tertumpah di sini. Apakah masih ada yang akan memeras lagi
darahnya? Apalagi tanpa arti?”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi
segera ia melangkah mendekati tubuh kakaknya dan ikut serta
mengangkatnya. Namun terasa bahwa sesuatu bergolak di dalam dadanya.
Sedang Sidanti masih tegak di tempatnya.
Diawasinya Agung Sedayu melangkah pergi, menyarungkan pedangnya dan
kemudian bersama-sama dengan beberapa orang mengangkat tubuh Untara.
Widura pun kemudian meninggalkan Sidanti
itu pula. di belakang mereka yang mengangkat tubuh Untara, Widura
berjalan sambil menggigit bibirnya. Seribu satu macam persoalan
membentur dinding hatinya. Untara yang baru saja sembuh dari lukanya,
kini telah terluka kembali. Bahkan agak lebih parah. Kalau anak muda itu
tidak segera mendapat pengobatan yang baik, maka jiwanya ada dalam
bahaya.
Ketika laskar Pajang dan anak-anak muda
Sangkal Putung pergi meninggalkan tempat itu, maka Sidanti masih saja
berdiri seperti patung. Dilihatnya Widura berjalan sambil menundukkan
kepalanya dan dilihatnya laskar itu seakan-akan berduka.
Tiba-tiba timbullah iri di hatinya, “Apakah kalau aku terluka maka semua orang akan berduka seperti itu?” katanya dalam hati.
Ketika kemudian terdengar suara ayam
jantan berkokok, Sidanti itu terkejut. Terasa kemudian betapa silirnya
angin yang mengusap tubuhnya. Ketika ia mengangkat wajahnya dilihatnya
bintang-bintang masih bercahaya di langit di atas kepalanya. Dilihatnya
bintang Bima Sakti melintang dari kutub ke kutub, dilingkaran serbuk
bintang yang keputih-putihan seperti awan yang bercahaya.
Dimukanya berpuluh-puluh obor berjalan
semakin lama menjadi semakin jauh. Ketika ia kemudian melangkah,
tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah desir yang lembut. Cepat ia
berpaling sambil menyiagakan senjatanya. Tetapi kemudian ia menarik
nafas dalam-dalam ketika ia melihat orang yang mendatanginya. Gurunya,
Ki Tambak Wedi.
“Apakah lau terkejut Sidanti?”
Sidanti menarik nafas. Jawabnya, “Ya
guru. Aku baru saja bertempur di sini. Karena itu, maka aku masih
diliputi oleh suasana itu”
Gurunya itu tertawa pendek, “Aku melihat
pertempuran ini. Aku melihat pula kalian mencari pemimpin kalian yang
bernama Untara itu”
Sidanti tersenyum pula, “Hem. Pokal orang-orang gila itu” desisnya.
Ki Tambak Wedi itu pun kemudian mengawasi
obor-obor yang semakin menjauh. Nyala apinya kemudian seakan-akan hanya
merupakan bintik-bintik merah yang bergerak-gerak di atas layar yang
hitam.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dengan penuh
keprihatinan membawa tubuh kakaknya bersama-sama beberapa orang lain.
Terasa pula padanya, alangkah besar bahaya yang selama ini mengancam
jiwa kakaknya dalam pengabdiannya. Luka kakaknya yang pertama
seakan-akan baru kemarin dibebatnya di daerah sekitar Macanan. Kini
kakaknya sudah terluka kembali.
Namun demikian, kakaknya bukanlah korban
satu-satunya. Di daerah bekas pertempuran itu masih banyak tubuh-tubuh
lain yang bergelimpangan. Kawan atau lawan. Beberapa di antara mereka
sudah tidak bernyawa lagi. Namun sebagian lagi masih hidup,
merintih-rintih menahan sakit. Karena itu, tiba-tiba Agung Sedayu itu
berpaling kepada pamannya sambil berkata, “Paman, apakah orang-orang
lain yang terluka digaris peperangan itu tidak mendapat perawatan
seperti kakang Untara ini?”
Pamannya mengangguk. Jawabnya, “Ya.
Beberapa orang lain bertugas mengurusi mereka. Baik yang sudah
meninggal. Maupun yang masih mungkin mendapat pertolongan”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun ketika terpandang kembali wajah kakaknya yang pucat,
hatinya berdesir keras. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan
orang-orang yang membawa Untara itu berjalan semakin cepat. Untara harus
segera mendapat pengobatan sewajarnya.
Kabar tentang Untara segera tersebar ke
seluruh Sangkal Putung. Beberapa orang semula menjadi kecewa mendengar
berita itu. Salah seorang di antara mereka berkata, “Kalau begitu,
Untara benar-benar bukan orang yang pantas kita harapkan di sini.
Seperti kabar-kabar yang kita dengar, ternyata Untara sama sekali tidak
mampu mempertahankan dan menyelamatkan dirinya sendiri”
“Kau salah” jawab yang lain. “Untara
sebenarnya tidak sisip dari berita yang kita dengar di sini. Ternyata
Untara memang tidak dapat dikalahkan oleh Macan Kepatihan. Seseorang
melihat Untara berhasil merobek lengan Tohpati. Bahkan kemudian
mendesaknya terus. Seandainya Tohpati tidak segera mengundurkan dirinya,
maka kemungkinan yang hampir pasti, Tohpati akan dapat dibinasakan oleh
Untara. Namun, ketika kita sedang mengejar laskar lawan yang
mengundurkan diri, seseorang menyerangnya dengan curang, menusukkan
pisau itu terhunjam di punggungnya”
Orang pertama menyesal atas penilaiannya
terhadap Untara. Karena itu cepat-cepat ia membetulkan kesalahan, “Oh,
aku keliru. Ternyata Untara benar-benar mengagumkan. Namun jika
seandainya seseorang berhasil melukainya, meskipun dari belakang, maka
orang yang melakukan itu pasti seseorang yang pilih tanding pula”
“Mungkin” jawab orang kedua, “Di dalam laskar lawan terdapat Alap-alap Jalatunda, Plasa Ireng dan lain-lain”
“Plasa Ireng sudah mati”
Orang kedua itu mengerutkan keningnya.
“Ya, ia mati dalam keadaan yang mengerikan. Hem. Sidanti benar-benar
berdarah dingin. Dengan tangannya ia merobek-robek tubuh lawannya yang
sudah tidak berdaya”
“Sungguh berlawanan dengan Agung Sedayu”
sahut yang lain. “Menurut Swandaru Geni, Agung Sedayu menyesal ketika ia
membunuh seseorang meskipun di dalam peperangan”
Kemudian keduanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dilihatnya beberapa kawan-kawan mereka sedang
berbaring-baring saja di muka regol kademangan karena kelelahan.
Beberapa orang duduk-duduk di halaman, sedang yang lain masih berada di
banjar desa.
Orang-orang yang terluka pun kemudian
dibawa kebajar desa itu untuk mendapat pertolongan sekedarnya. Tetapi
Untara tidak dibawa ke bajar desa. Untara itu oleh Widura disuruhnya
membawa ke kademangan saja. Sebab Untara adalah orang penting bagi
Pajang. Mau tidak mau Ki Ageng Pemanahan pasti akan menjadi heran atas
keadaannya.
Untara itu pun kemudian dibaringkan di
dalam pringgitan kademangan. Agung Sedayu, Widura, Ki Demang Sangkal
Putung, Swandaru dan beberapa orang lagi berdiri memagarinya. Mereka
menyaksikan dengan penuh haru, tubuh Untara yang terbaring diam.
Meskipun demikian, mereka masih mempunyai harapan bahwa Untara akan
dapat sadar kembali, karena mereka masih melihat dada Untara
bergerak-gerak dalam pernafasan yang sulit.
Ki Demang pun menjadi gelisah pula. ia
telah menyuruh beberapa orang untuk mencari daun-daun yang menurut
pendengarannya dapat menolong sementara, menghentikan aliran darah.
“Untunglah” gumam Widura, “Lukanya agak terlalu tinggi, sehingga tidak langsung menyentuh jantungnya”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, keadaan Untara cukup berbahaya.
Dalam pada itu, hampir setiap orang
berbicara tentang Untara, tentang lukanya di punggung. Mereka bersepakat
bahwa Untara mendapat serangan dari belakang dengan cara yang curang.
“Di dalam perang brubuh hal itu memang mungkin sekali terjadi” bisik salah seorang yang bertugas di gardu pertama.
Yang diajak berbicara mengangguk.
Katanya, “Tetapi aneh. Tohpati dan Untara bertempur tepat di garis
pertempuran. Apakah kemudian Untara mendesaknya hingga masuk kedalam
lingkungan laskar Jipang, dan dalam pada itu ia mendapat serangan dari
belakang?”
“Aku tidak melihatnya demikian. Kita
bersama mendesak mereka. Dan mereka mundur dalam satu garis yang
teratur, meskipun di sana sini timbul pula kekacauan yang memungkinkan
hal-hal semacam itu terjadi”
“Tetapi yang melukai Untara pasti bukan Macan Kepatihan”
“Pasti bukan” jawab yang lain.
Mereka kemudian terdiam. Tetapi mereka
dikejutkan oleh sebuah bayangan yang perlahan-lahan mendatanginya.
Orang-orang itu segera bersiaga. Dengan menggenggam hulu pedangnya yang
masih disangkutkan di dalam sarungnya ia menyapa, “Siapa itu?”
Orang yang disapa itu mengangkat wajahnya. Sambil berjalan terus ia menjawab, “Aku ngger, aku”
“Aku siapa?” bertanya penjaga itu pula.
Orang yang disapanya itu berjalan semakin
dekat. Dengan langkah satu-satu iam menjadi semakin jelas. Seorang tua
dengan sebuah tongkat kecil di tangannya.
“Siapa itu” penjaga itu mengulangi.
“Aku ngger, aku” jawabnya. Suaranya pun telah memberitahukan kepada para penjaga bahwa orang itu adalah seorang tua.
“Siapa namamu?”
Orang itu sudah dekat benar. Dengan nafas terengah-engah ia berkata, “Huh. Aku hampir mati ketakutan melihat pertempuran itu”
“Kau melihat pertempuran itu kek? Bertanya salah seorang penjaga.
“Ya, aku melihat” jawabnya.
“Kenapa melihat, kalau kau hampir mati ketakutan?”
“Aku tidak sengaja melihat. Aku berjalan lewat daerah itu. Dan di daerah itu terjadi pertempuran”
“Mau kemana kau sebenarnya kakek?”
“Pulang ke dukuh Pakuwon”
“Dukuh Pakuwon?” bertanya para penjaga keheranan, “Dari mana?”
Orang itu terdiam. Nafasnya masih saja terengah-engah. Baru kemudian ia menjawab, “Aku baru saja pulang dari pesisir”
“Dari pesisir?”
“Ya. Aku baru saka mencari kulit kerang hijau. Kulit kerang ini sangat baik untuk mengobati luka-luka”
“Kau dapatkan kulit kerang itu?”
“Ya”
“Dapatkah dipakai untuk mengobati luka senjata tajam?”
“Tentu. Tentu”
“Banyak kawan-kawan kami terluka. Apakah kau mau mengobati mereka?”
“Tentu. Tentu”
Penjaga itu menjadi ragu-ragu sejenak. Ia
tidak dapat percaya begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya.
Karena itu, maka katanya kemudian, “Pemimpin kami terluka. Marilah, aku
antarkan kau kekademangan. Biarlah para pemimpin yang menentukan, apakah
obatmu dapat menolongnya”
“Siapakah yang terluka?”
“Untara”
“Untara?” kakek itu mengulang.
Orang tua itu pun kemudian dibawa oleh
beberapa orang penjaga kekademangan. Ketika mereka sampai di pendapa,
maka mereka melihat beberapa orang masih sibuk di pringgitan sehingga
para penjaga itu menjadi ragu-ragu. Tetapi karena keinginan mereka untuk
mengantarkan orang tua itu, maka diberanikan dirinya mengetuk pintu
yang masih terbuka itu.
Widura berpaling ke arah mereka. Dilihatnya seorang penjaga berdiri tegak di muka pintu. “Ada apa?” katanya.
Maka diceritakannya tentang orang tua yang telah mendapatkan kerang hijau yang dapat untuk menyembuhkan luka-luka.
Widura yang sedang digelisahkan oleh luka Untara itu tidak berpikir panjang. Segera ia berkata, “Bawa orang itu masuk kemari”
Orang tua itu pun segera dipersilakan
masuk ke pringgitan. Namun demikian ia melangkah pintu, terdengarlah
Agung Sedayu menyapanya lantang, “Ki Tanu Metir!”
Orang tua itu memandang berkeliling.
Akhirnya dilihatnya Agung Sedayu di antara mereka. Karena itu, maka
tampaklah ia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “Kau di sini juga
ngger?”
“Ya Ki Tanu. Aku menunggui kakakku yang
terluka” tiba-tiba Agung Sedayu itu teringat pula kepada peristiwa yang
dialaminya di Macanan. Maka katanya pula, “Ki Tanu. Kakakku yang terluka
ini ada kakakku itu pula. Kakang Untara”
“He?” orang tua itu terkejut, “Apakah angger Untara belum sembuh?”
Semua orang yang berada di pringgitan
memandang orang tua yang bernama Ki Tanu Metir itu dengan seksama.
Mereka menjadi heran, bahwa ternyata orang itu agaknya telah mengenal
Untara dan Agung Sedayu dengan baik.
Agung Sedayu pun kemudian menjelaskan,
“Kakang Untara baru saja terluka dalam pertempuran di perbatasan Sangkal
Putung. Bukan luka yang dahulu”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Hem. Itu adalah akibat dari kedudukannya.
Baru saja angger Untara sembuh, kini ia telah terluka kembali”
“Ya Kiai” sahut Widura, “Setiap prajurit menyadari hal itu. Kami pun di sini menyadari, dan Untara pun menyadari”
“Angger benar” jawab Ki Tanu Metir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katnaya, “Siapakah angger ini?”
Widura ragu-ragu sesaat. Yang menjawab adalah Agung Sedayu, “Paman Widura. pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung”
“Oh” desah orang tua itu, yang kemudian
berkata pula kepada Widura, “Angger, apakah aku diperbolehkan mencoba
mengobati luka angger Untara?”
“Silakan Kiai. Kami akan berterima kasih
kepada Kiai. Menurut cerita yang pernah aku dengar, Kiai pernah juga
merawat Untara beberapa waktu yang lewat”
“Ya ya” sahut Ki Tanu Metir sambil melangkah maju.
Kemudian dengan sangat hati-hati ia mengamati dan meraba-raba luka Untara itu.
Semua orang menegang nafas. Mereka berharap-harap cemas, mudah-mudahan orang tua itu dapat memberinya obat.
Tampaklah Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata, “Angger, tolonglah aku membuka bajunya”
Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu pun segera menolong Ki Tanu Metir, dengan sangat hati-hati membuka baju Untara.
Dari bungkusannya, Ki Tanu Metir mengeluarkan beberapa jenis obat-obatan, yang kemudian dilumurkan di sekitar luka Untara.
“Marilah kita berdoa di dalam hati kita.
Sebab kita hanya wenang berusaha, dan Tuhan lah yang akhirnya
menentukan. Mudah-mudahan angger Untara segera sembuh”
“Apakah luka itu tidak terlalu berat Kiai?” bertanya Agung Sedayu dengan cemas.
Ki Tanu Metir menggeleng, “Tidak terlalu berbahaya”
Semua orang menarik nafas panjang
mendengar keterangan Ki Tanu Metir, meskipun banyak di antara mereka
yang meragukannya. Kalau luka itu tidak berat, maka orang seperti Untara
itu tidak akan mengalami pingsan sedemikian kerasnya.
“Angger” berkata Ki Tanu Metir kepada
Widura, “Biarlah Angger Untara beristirahat. Dan biarlah udara di
pringgitan ini menjadi sejuk. Karena itu, apabila tidak berkeberatan,
biarlah yang kurang berkepentingan meninggalkan ruangan ini”
Widura menjadi ragu-ragu untuk sesaat,
diamatinya wajah orang tua itu. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah.
biarlah ruangan ini menjadi jernih”
Beberapa orang lain segera meninggalkan
ruangan itu. Mereka mengerti juga, bahwa dengan demikian udara di dalam
ruang pringgitan itu menjadi tidak terlalu panas.
Di dalam ruang itu kini tinggal Widura,
Ki Demang Sangkal Putung, Agung Sedayu dan Swandaru. Dari balik dinding
Sekar Mirah mencoba mengintip mereka. Tetapi ia tidak berani masuk ke
dalam pringgitan itu, sebab agaknya ayahnya dan beberapa orang yang lain
lagi berwajah tegang. Dari beberapa orang ia mendengar bahwa Untara
terluka.
Sekar Mirah menjadi gembira ketika
ayahnya memanggilnya. Setelah ia berlari menjauh, maka dari kejauhan itu
ia menjawab, “Ya ayah”
“Kemarilah”
Dengan berlari-lari kecil Sekar Mirah itu
masuk ke pringgitan dari pintu belakang. Gadis itu tertegun di pintu
ketika ia memandang wajah Agung Sedayu yang suram. Tetapi kesuramannya
itu tampaknya menambah Agung Sedayu menjadi dewasa.
“Ambillah jeruk” berkata ayahnya.
“Jeruk apa ayah?”
“Jeruk pecel” sahut ayahnya.
“Ya ayah” jawab gadis itu sambil berlari.
Widura sekejap memandang wajah kemenakannya. Ia melihat sesuatu pada wajah itu, tetapi ia tidak berkata apapun.
Setelah ruangan itu menjadi sepi, maka terdengarlah Agung Sedayu bertanya, “Ki Tanu, apakah benar luka itu tidak begitu parah?”
“Luka itu tidak parah ngger, tetapi aku
kira tidak membahayakan jiwanya apabila aku berhasil mengembalikan
pernafasannya dengan wajar. Yang lebih berbahaya bagi angger Untara
bukan luka itu, tetapi lihatlah” Ki Tanu Metir itu kemudian menunjukkan
sebuah noda kebiru-biruan di lambung kanan Untara. Semua yang
menyaksikan noda itu terkejut karenanya. Dengan serta-merta Agung Sedayu
bertanya, “Noda apakah itu Kiai?”
“Sebuah pukulan yang tepat di arah ulu
hati. Untunglah bahwa pukulan itu dilakukan agak tergesa-gesa, sehingga
agaknya belum mempergunakan tenaga sepenuhnya”
Semua orang yang berada di tempat itu
merenungi noda itu dengan seksama. Mereka melihat di sekitar noda yang
kebiru-biruan itu menjadi agak bengkak dan berwarna kemerah-merahan.
“Ada dua kemungkinan Kiai” berkata
Widura, “Pukulan itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga karena
tergesa-gesa atau memang penyerangnya kurang mempunyai tenaga untuk
membuat Untara itu menjadi semakin parah”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Ya. Mungkin. Namun menilik kemudian yang dapat
dilakukan atas angger Untara, maka orang itu pasti bukan orang
kebanyakan”
Kembali ruangan itu menjadi diam.
Masing-masing mencoba untuk mencari setiap kemungkinan yang dapat
terjadi atas Untara itu, namun tak seorang pun yang mampu untuk mencoba
menebak, siapakah yang telah melakukannya.
Pringgitan itu kini menjadi sepi. Ki Tanu Metir masih saja merenungi tubuh Untara. Diraba-rabanya dan dipijit-pijitnya.
Sekar Mirah pun kemudian masuk kembali ke
pringgitan itu dengan beberapa buah jeruk nipis. Diserahkannya jeruk
itu kepada ayahnya, dan kemudian oleh ayahnya, jeruk itu diberikannya
kepada Ki Tanu Metir.
“Terima kasih” sahut dukun tua itu.
Setelah dipotong-potong maka jeruk nipis
itu pun diperasnya dan dicampurkannya pada ramuan obat-obatan. Dengan
ramuan itu Ki Tanu Metir mencoba mengurut-urut jalan pernafasan Untara.
Dari lambung dada dan punggungnya.
Sesaat kemudian terdengarlah Untara itu berdesah, lalu terdengar pula sebuah tarikan nafas yang panjang.
“Bagaimana Kiai?” terdengar Widura bertanya.
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. ia masih menekan bagian bawah dada Untara dan mengurutnya perlahan-lahan.
Sekali lagi Untara menarik nafas panjang, kemudian terdengar ia mengeluh pendek.
Agung Sedayu, Widura, dan Ki Demang Sangkal Putung mendesak maju. Sedang Swandaru Geni berdiri kaku di belakang ayahnya.
Mereka kemudian menarik nafas lega ketika
Ki Tanu Metir itu berkata, “Pernafasan angger Untara sudah berangsur
baik. Mudah-mudahan segera ia menjadi sadar kembali. Gabungan dari dua
luka di tubuhnya, benar-benar menjadikannya menderita. Luka tusukan di
punggungnya telah sangat melemahkannya, dan noda biru itu telah
mengganggu pernafasannya.
Ternyata gerak dada Untara kini telah
jauh berbeda. Kini Untara telah tampak bernafas dengan mudah.
Sekali-sekali ia telah bergerak dan menggeliat perlahan-lahan sekali.
Apalagi dengan obat-obat yang dilumurkan oleh Ki Tanu Metir pada
lukanya, sama sekali telah menyumbat pendarahan.
Kemudian Ki Tanu Metir yang menarik nafas dalam-dalam. Lirih ia bergumam, “Mudah-mudahan”
Setelah pernafasan Untara itu menjadi
baik kembali, serta beberapa kali ia telah dapat menggerakkan tangannya,
maka Ki Tanu Metir itu pun berkata, “Biarlah angger Untara tidur. Ia
kini sudah tidak pingsan lagi. Namun karena tubuhnya yang sangat lemah,
maka ia belum dapat menyadari dirinya sesadar-sadarnya”
“Jadi, luka-luka itu tidak membahayakan jiwanya Kiai?” desak Agung Sedayu
Ki Tanu Metir menggeleng, “Marilah kita berdoa. Mudah-mudahan dugaanku benar. Angger Untara akan sembuh kembali”
Ruang pringgitan itu menjadi sepi
kembali. Mereka kini tidak lagi berdiri melingkari Untara, namun mereka
kini tidak lagi berdiri melingkari Untara, namun mereka kini duduk di
samping tubuh Untara yang masih terbaring diam.
Sekar Mirah yang tidak pergi keluar sejak
ia menyerahkan jeruk pecel kini ikut duduk di situ pula. Tetapi ia
menjadi kecewa ketika ayahnya berkata, “Mirah, manakah minuman kami?”
Sekar Mirah tidak menjawab, tetapi ia segera berdiri dan sambil bersungut-sungut ia keluar dari pringgitan pergi kedapur.
Sejenak kemudian, mereka yang duduk di
pringgitan itu serentak berpaling, ketika mereka mendengar gerit pintu
terbuka. Di muka pintu itu mereka melihat, Sidanti berdiri tegak. Ketika
dilihatnya Widura maka anak muda itu menganggukkan kepalanya.
“Kakang Widura” katanya, “Apakah aku boleh masuk?”
“Apakah kau mempunyai suatu keperluan Sidanti?” bertanya Widura.
Sidanti mengangguk sambil menjawab, “Ya kakang”
“Kemarilah” sahut Widura.
Sidanti itu pun kemudian masuk ke pringgitan dan duduk di samping Widura. di tangannya ia memegang sebuah bungkusan kecil.
“Kakang” katanya, “aku telah mencoba
menghubungi guruku. Aku katakan kepada guru, bahwa kakang Untara
terluka. Aku coba mengatakan besar, dalam dan letak luka itu” Sidanti
berhenti sesaat. Dicobanya mengawasi wajah-wajah mereka yang duduk di
sekitarnya. Ketika tak seorang pun menjawab maka Sidanti itu meneruskan,
“Namun sayang, menurut guruku, luka demikian adalah luka yang sangat
berbahaya. Luka yang tak akan mungkin diobati. Meskipun demikian, maka
kita wajib berusaha. Dan guruku pun akan mencoba menolongnya apabila
mungkin. Namun segala sesuatu bukanlah kita yang menentukan. Dan inilah
obat yang aku terima dari guruku itu. Biarlah aku mencoba mengusapkannya
pada luka itu”
Widura mendengar kata-kata Sidanti itu
dengan heran, dan bahkan sesaat ia berdiam diri. Timbullah perasaan aneh
terhadap Sidanti. Ternyata anak itu tidak sejahat yang disangkanya.
Dalam keadaan yang sulit, ia berusaha pula untuk berbuat sesuatu
meskipun hasilnya belum pasti akan tampak. Karena itu, maka sesaat
kemudian menjawab, “Terima kasih Sidanti”
Agung Sedayu pun menjadi heran pula.
tiba-tiba matanya menjadi suram. Ia menyesal bahwa ia telah memusuhi
anak muda itu. Ternyata kini ia telah berbuat sesuatu untuk keselamatan
kakaknya.
Ki Demang dan Swandaru Geni pun menjadi
bersenang hati atas sikap itu. Dengan demikian, maka pertentangan di
antara mereka menjadi semakin tipis. Dan karenanya akan terjalinlah
persatuan yang bulat di antara semua kekuatan di Sangkal Putung.
Tetapi yang masih saja berdiam diri
adalah Ki Tanu Metir. Ia masih belum tahu, obat apakah yang dibawa oleh
Sidanti itu. Karena itu, maka katanya, “Angger, apakah aku boleh melihat
obat itu?”
Sidanti memandang kepada Ki Tanu Metir,
dengan penuh curiga, sehingga kemudian ia bertanya kepada Widura,
“Siapakah orang ini kakang?”
Widura berpaling kepada Ki Tanu Metir,
kemudian jawabya, “Orang inilah yang telah melakukan pertolongan pertama
kepada Untara. Namanya Ki Tanu Metir. Ki Tanu adalah seorang dukun yang
berpengalaman”
Sidanti mengerutkan keningnya. Tampaklah
dari sorot matanya, bahwa ia tidak senang melihat kehadiran Ki Tanu
Metir. Maka katanya, “Apakah Ki Tanu Metir dapat pula mengobati? Atau
barangkali seorang dukun yang dapat menebak hati orang, atau menenung
orang dari jauh dan menaruh guna-guna?”
“Oh tidak, tidak ngger” sahut Ki Tanu
Metir, “Aku bukan dukun semacam itu. Aku sama sekali tidak dapat menebak
hati orang, merauh guna-guna apalagi menenung. Yang aku ketahui
hanyalah sekedar beberapa jenis obat-obatan yang dapat dipakai untuk
mengobati luka. Itu pun hanya aku dengar dari nenek dan kakek. Hanya
itu. Dan sekarang aku mencoba mengobati luka Untara dengan cara yang
pernah aku pelajari dari orang-orang tua itu”
“Hem” Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Kalau begitu, obat ini adalah obat yang
pasti akan lebih baik dari obat Ki Tanu Metir. Sebab obat ini diberikan
oleh guruku, Ki Tambak Wedi”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ditatapnya wajah Sidanti dan Agung Sedayu berganti-ganti.
Kemudian ia menyahut, “Mungkin Ki Tambak Wedi itu seorang dukun yang
pandai. Tetapi apakah ia dapat mengobati tanpa melihat luka itu?”
“Tentu” jawab Sidanti, “Ki Tambak Wedi
dapat mengobati apa saja meskipun luka itu tidak dilihatnya. Sebab ia
pasti tahu bahwa luka senjata pada dasarnya sama saja. Menghentikan
aliran darah dan kemudian memampatkan luka itu untuk memulihkan jaringan
daging yang telah pecah dan sobek”
“Ya, ya, begitu pulalah yang pernah aku
dengar dari orang-orang tua” berkata Ki Tanu Metir, “Namun setiap luka
di tempat yang berbeda-beda membawa cirinya sendiri-sendiri. Dan luka
Angger Untara itu pun sudah pampat dan tidak mengalirkan darah lagi”
Sidanti mengerutkan keningnya. Ia menjadi
semakin tidak senang melihat Ki Tanu Metir berada di ruangan itu.
Ketika ia berpaling kepada Untara, maka katanya, “Apakah tubuh itu akan
kita biarkan terbaring diam untuk kemudian mati? Kita harus berusaha,
meskipun seandainya usaha itu gagal. Namun kita akan mengkhianatinya
apabila kita biarkan saja Untara itu mati tanpa ikhtiar apapun”
Widura menjadi ragu-ragu sejenak.
Dibiarkannya mereka berdua berbicara. Sementara itu ia mencari
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Namun ia tidak akan dapat
menolak kebaikan hati Ki Tambak Wedi. akhirnya Widura itu pun berkata,
“Sidanti, darah yang mengalir dari luka itu telah berhenti. Untara kini
telah tidur nyenyak. Biarlah obat itu kau berikan kepadaku. Nanti
apabila ia telah bangun, biarlah aku mengobati lukanya, atau biarlah Ki
Tanu Metir yang melumurkannya”
“Kenapa kita menunda sampai nanti, kakang
Untara pasti akan lebih menderita. Kalau kemudian terlambat, maka akan
sia-sia segala usaha”
“Tetapi pasti tidak dapat sekarang”
potong Ki Tanu Metir. “Obat itu mungkin sekali akan mengadakan
tenggang-menenggang dengan obat yang lebih dahulu telah aku lumurkan.
Karena itu biarlah obat itu menunjukkan akibatnya dahulu. Kalau ternyata
tidak bermanfaat, baiklah kita ganti dengan obat yang lain”
“Banyak waktu yang terbuang” jawab
Sidanti, kemudian kepada Widura ia berkata, “Kakang, aku minta ijin
untuk mencoba mengobati luka itu”
“Nanti dulu Sidanti” berkata Widura
sambil berdiri, “Jangan memaksa. Aku sangat berterima kasih kepadamu dan
kepada Ki Tambak Wedi yang telah sudi memberikan obat itu. Namun sayang
bahwa luka itu telah terlanjur diobati, dan darahnya telah tuntas.
Karena itu, marilah berikan kepadaku, barangkali nanti kita perlukan”
Sidanti itu pun menjadi sangat kecewa.
Sehingga ia menggeram. Meskipun demikian ia masih ingin memaksa,
katanya, “Kakang, buat apa kita percaya kepada dukun itu. Biarlah aku
mengobati luka itu kalau dukun itu marah, biarlah aku patahkan lehernya”
“Ampun ngger, jangan patahkan leherku.
Aku masih sangat memerlukannya” Tiba-tiba Ki Tanu Metir itu menyahut,
“Tetapi demi kesembuhan angger Untara, jangan kau sentuh tubuhnya”
Agung Sedayu menjadi bingung mendengarkan
pembicaraan itu. Tetapi tiba-tiba ia menjadi sangat tidak senang
mendengar Sidanti mengancam Ki Tanu Metir. Meskipun ia dapat menghargai
usaha Sidanti, namun ia tidak dapat melupakan, bahwa Ki Tanu Metir
pernah menolong Untara itu dahulu, meskipun ia tidak tahu apa yang telah
terjadi setelah ia meninggalkan rumah Ki Tanu Metir itu, namun Untara
itu ternyata tertolong jiwanya. Sedang obat yang dibawa Sidanti itu
masih harus diuji pula. Karena itu, maka tiba-tiba ia berkata, “Kakang
Sidanti, berikanlah obat itu kepada paman Widura. biarlah besok atau
nanti, paman Widura melumurkannya”
Sidanti itu memandang wajah Agung Sedayu
dengan tajamnya. Kemudian terdengarlah suaranya parau, “Agung Sedayu.
Ternyata kau tidak mempunyai rasa kasih sayang terhadap kakakmu itu.
Apakah kau akan menunggu sampai Untara mati, baru akan kau obati
lukanya”
“Kalau kakang Untara gugur, maka sudah
tentu akulah yang paling bersedih. Tetapi ia kini sudah berangsur baik.
Karena itu jangan diganggu”
Sidanti itu berpaling kepada Widura. dengan wajah yang tegang ia berkata, “Bagaimana kakang?”
“Berikan obat itu kepadaku, Sidanti”
Sidanti itu menjadi tegang. Namun
kemudian ia tidak akan dapat memaksakan kehendaknya. Karena itu
diberikannya bungkusan daun waru di tangannya itu kepada Widura. “Inilah
kakang. Namun kalau Untara itu tidak tertolong, maka kalianlah yang
telah membunuhnya. Meskipun demikian, aku mengharap obat itu akan dicoba
pula”
“Baiklah, kami akan mencoba obat ini besok kalau ternyata kami perlukan”
Sidanti tidak berkata-kata lagi. Setelah
bungkusan di tangannya itu diterima oleh Widura, maka segera ia
meninggalkan ruangan itu. Sekali ia berpaling ke arah Ki Tanu Metir, dan
sekali kepada Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir menangkap pertanyaan yang
menyorot dari mata Widura. ia ingin penjelasan tentang obat itu. Karena
itu, maka Ki Tanu Metir itu pun berkata, “angger Widura, apakah aku
boleh melihat obat itu?”
Widura kemudian duduk kembali di
tempatnya. Diberikannya bungkusan daun waru di tangannya itu kepada Ki
Tanu Metir. Katanya, “Cobalah lihat Kiai, apakah obat ini bermanfaat
pula?”
Dengan hati-hati Ki Tanu Metir membuka
bungkusan itu. Ketika ia melihat obat yang terbungkus di dalamnya tampak
ia terkejut. Namun kemudian wajahnya menjadi tenang kembali.
“Bagaimana Kiai?” bertanya Widura ingin tahu.
Ki Tanu Metir mengangkat alisnya. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Aku tidak dapat memberikan
obat ini kepada angger Untara, sebab aku tidak melihat manfaatnya”
Widura memandang Ki Tanu Metir dengan
penuh pertanyaan. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang cukup sakti. Namun
apakah kata-kata Ki Tanu Metir sebenarnya?
Ki Tanu Metir melihat kebimbangan di
wajah Widura. Karena itu ia mencoba menjelaskan, “Aku mempergunakan obat
yang berlawanan dengan obat ini. Aku kira akibatnya akan merugikan
Angger Untara itu. Karena itu, biarlah kita tunggu saja sampai besok
pagi. Mudah-mudahan obat yang aku berikan akan berguna”
Ruangan itu kemudian menjadi sepi kembali. Dikejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan.
“Hampir fajar” gumam Ki Tanu Metir.
Agung Sedayu mengangguk. Perlahan-lahan ia bangkit dan mendekati tubuh Untara terbaring.
Tiba-tiba Agung Sedayu itu membungkukkan badannya sambil berkata lirih, “Ki Tanu, kakang Untara telah bangun”
Ki Tanu Metir itu pun segera berdiri dan
mendekati Untara pula. Demikian pula Ki Demang Sangkal Putung dan
Swandaru Geni. Mereka bersama-sama berdiri mengelilingi pembaringan
Untara.
Untara itu kini telah dapat menggerakkan
kepalanya. Sekali ia menarik nafas panjang, dan kemudian perlahan-lahan
ia membuka matanya. Namun sesaat kemudian mata itu terpejam kembali.
“Masih sangat lemah” desis Ki Tanu Metir, “Tetapi pernafasannya telah menjadi wajar kembali”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan tegang ia menunggu perkembangan keadaan Untara.
Sehingga karenanya maka ia tetap saja berdiri di samping kakaknya ketika
orang-orang lain telah duduk kembali ke tempatnya.
Sesaat kemudian Sekar Mirah datang sambil
membawa minuman hangat. Setelah diserahkannya mangkuk-mangkuk itu maka
ia duduk di samping kakaknya. Tetapi segera ayahnya berkata, “Kau harus
menyiapkan makan pagi Sekar Mirah”
Sekar Mirah itu mengerutkan keningnya.
Sambil memberengut ia menjawab, “Ayah. Aku ingin istirahat. Meskipun aku
tidak bertempur, tetapi semalam suntuk aku berjalan mondar-mandir di
dapur, menyiapkan segala macam makan dan minuman. Apakah aku tidak boleh
duduk sebentar saja?”
“Duduklah, bahkan tidurlah. Tetapi tidak di sini”
Sekar Mirah pun kemudian berdiri dan
berjalan ke belakang. Wajahnya menjadi gelap dan sekali ia berpaling
sambil mencibirkan bibirnya kepada Swandaru Geni.
“Kenapa aku” bentak Swandaru.
“Apa” sahut Sekar Mirah, “Aku kan tidak apa-apa”
“Kau mencibir aku” jawab Swandaru.
“Salahmu kau melihat bibirku”
Swandaru masih akan menjawab, tetapi
ayahnya telah menggamitnya. Karena itu ia berdiam diri. Tetapi dengan
tangannya ia mengacungkan tinjunya ke arah Sekar Mirah. Sekali lagi
Sekar Mirah mencibirkan bibirnya kepadanya. Namun kemudian ia tenggelam
kebalik pintu. Tetapi sebelum ia hilang di belakang daun pintu itu, maka
ia pun sempat memandang Agung Sedayu dengan sudut matanya, sehingga
Agung Sedayu tertunduk karenanya.
Tetapi perhatian Agung Sedayu kini
bulat-bulat tertuju kepada kakaknya, keran itu ia hampir tak
memperdulikan apa saja yang terjadi.
Ia mendengar juga sekali Sekar Mirah berteriak di belakang rumahnya, “Gila” berkata Sekar Mirah itu, “Pergi sendiri”
Swandaru mengangkat kepalanya. Hampir saja ia berdiri kalau ayahnya tidak menahannya, “Bukan kau Swandaru”
Widura menggigit bibirnya. Pasti Sidanti
telah mengganggunya. Anak itu benar-benar anak yang keras kepala. Namun
Widura telah tidak segera berbuat apa-apa, sebab suara Sekar Mirah itu
pun telah hilang, dan bahkan dekat di balik dinding gadis itu
menggerutu, “Anak setan. Kenapa ia tidak mati dibunuh Macan Kepatihan?”
Dalam pada itu sekali lagi Agung Sedayu
melihat Untara menggerakkan kepalanya. Kemudian perlahan-lahan ia
membuka matanya. Ketika ia melihat Agung Sedayu berdiri di sampingnya
terdengar ia berdesis, “Sedayu”
“Ya kakang” jawab Agung Sedayu serta-merta.
Namun Untara itu terdiam. Kembali matanya
terkatub. Namun wajahnya kini sudah tdak seputih mayat. Perlahan-lahan
warna-warna merah mulai menjalari wajah itu. Dan perlahan-lahan
kepercayaan Agung Sedayu pun tumbuh pula.
Ki Tanu Metir, setelah meneguk minuman
hangat itu, berdiri pula mendekati Untara. Dirabanya dada anak muda itu,
kemudian diurut-urutnya lambungnya pula.
Sekali lagi Untara membuka matanya.
Ketika ia melihat Ki Tanu Metir berdiri di sampingnya pula, maka
tampaklah bibirnya bergerak.
“Kiai di sini?”
“Ya ngger, aku melihat bertempuran itu. Dan aku sengaja datang karena aku mendengar Angger terluka”
Untara menarik nafas dalam-dalam.
Jawabnya, “Ya, aku terluka”. Kemudian desisnya, “Sedayu. Kemarilah. Kau
ingin tahu siapa yang melukai aku?”
Bukan main terkejutnya Sedayu mendengar
kata-kata kakaknya itu. Karena itu dengan serta-merta ia melangkah lebih
mendekati kakaknya sambil berdesis, “Ya kakang, katakanlah siapa yang
telah melukai kakang?”
Tidak saja Agung Sedayu yang tertarik
pada kata-kata itu. Namun semuanya tertarik pula. Karena itu, maka semua
yang hadir disitu bergeser mendekat.
Namun Untara ternyata masih terlalu lemah. Tiba-tiba matanya terpejam kembali.
“Kakang” panggil Agung Sedayu.
“Jangan ngger” berkata Ki Tanu Metir, “Jangan dipaksa”
“Hem” Agung Sedayu menggeram. Ia ingin
segera tahu siapa yang telah melakukan perbuatan itu. Tohpati atau
Alap-alap Jalatunda? Tetapi ia harus bersabar lagi menunggu Untara itu
menjadi lebih kuat.
Diluar, kabut yang tebal mulai turun.
Namun ayam jantan yang berkokok semakin lama menjadi semakin ramai
bersahutan. Meskipun demikian, lewat pintu mereka masih melihat
kehitaman yang kelam di antara kabut yang keputih-putihan. Tetapi mereka
menyadari bahwa sebentar lagi, fajar telah menjenguk di garis kaki
langit.
Kini mereka tidak dapat berdiri saja di
seputar Untara. Widura dan Ki Tanu Metir minta diri sesaat kepada Agung
Sedayu untuk sesuci, untuk kemudian mereka bergantian menunggu Untara
yang terluka itu.
“Silakan paman” berkata Agung Sedayu.
Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru pun kemudian meninggalkan ruangan itu, sehingga kini tinggallah Agung Sedayu seorang diri.
Telah lama Widura menunggu kesempatan
itu. Berjalan berdua dengan Ki Tanu Metir. Dan kesempatan itu kini
datang. Karena itu, maka berkata Widura itu sambil berjalan ke padasan,
“Ki Tanu Metir, apakah Ki Tanu telah pernah datang ke tempat ini
sebelumnya?”Ki Tanu Metir menggeleng, “Belum ngger”
Widura tersenyum. katanya, “Baru kali ini?”
“Ya” sahut orang tua itu
“Ke daerah-daerah sekitar tempat ini?”
“Juga belum”
“Ki Tanu Metir benar-benar belum mengenal aku?”
Ki Tanu Metir berhenti. Diamatinya Widura
dengan seksama, namun ia menggeleng, “Belum ngger. Baru kali ini aku
mengenal Angger Widura”
Sekali lagi Widura tersenyum, “Mungkin Kiai benar”
Ki Tanu Metir terkejut. Bagaimana sesaat kemudian ia tersenyum sambil berjalan terus.
Sepeninggal Widura, Agung Sedayu masih
juga menunggu kakaknya dengan tekun. Sekali-sekali dilihatnya Untara
menarik nafas panjang. Namun Untara itu masih belum juga membuka matanya
kembali.
Agung Sedayu hampir-hampir menjadi tidak
sabar menunggu. Ia ingin segera tahu, siapakah yang melukai kakaknya
itu. Tetapi ia tidak berani memaksa kakaknya untuk berbicara.
Sesaat kemudian ketika Untara itu membuka
matanya kembali, segera Agung Sedayu membungkukkan badannya sambil
berbisik, “Kakang, apakah akan mengatakan kepadaku, siapakah yang telah
melukai kakang?”
Untara menarik nafas panjang. Tampak ia
menyeringai, kemudian mencoba menggerakkan tangannya, “Tanganku masih
lemah sekali” desisnya.
“Jangan bergerak-gerak dulu kakang” Agung Sedayu mencoba mencegahnya.
Untara mengangguk kecil. “Dimana paman Widura?”
“Baru sesuci kakang” sahut Agung Sedayu.
“Aku ingin mengatakan kepadanya, siapakah yang telah melukai aku”
“Katakanlah kakang, selagi kakang sempat, nanti kakang dapat tidur dengan nyenyak”
“Dimana pamanmu?”
“Biarlah nanti aku sampaikan”
Untara menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dengan susah payah ia berkata, “Agung Sedayu. Sebenarnya aku
telah berusaha untuk melupakan setiap persoalan yang ada di antara kita
masing-masing yang berada di tempat ini untuk kepentingan yang lebih
besar. Tetapi ternyata aku menghadapi bahaya yang hampir saja merenggut
nyawaku. Kalau kali ini aku, maka mungkin lain kali paman Widura dan
kau. Karena itu maka sebelum terjadi, kau harus mencegahnya. Aku percaya
bahwa kau akan dapat melakukannya bersama paman Widura”
“Ya kakang”sahut Agung Sedayu tidak sabar, “Aku siap berbuat”
“Jangan orang itu mendapat kesempatan
meninggalkan tempat ini. Dengan demikian ia akan menjadi lebih berbahaya
bagimu dan bagi Sangkal Putung”
“Ya kakang, tetapi siapakah itu?”
“Dimanakah pamanmu Widura?”
“Sebentar lagi ia datang. Aku akan mengatakannya”
“Ya. Memang harus dilakukan secepatnya.
Kalau ia tahu aku belum mati dan masih dapat mengatakannya, maka ada
kemungkinan ia segera akan kembali”
“Ya, ya” sahut Agung Sedayu tidak sabar.
“Anak itu adalah Sidanti”
“He?” alangkah terperanjat Agung Sedayu, “Sidanti” ulangnya, “Bagaimana mungkin? Bukankah ia berada di sayap yang lain?”
“Sayap itu telah bergabung dengan induk
pasukan ketika kami mengejar lawan. Dan ternyata Sidanti telah melakukan
rencananya sendiri. Ditinggalkannya anak buahnya untuk berbuat menurut
rencananya. Aku terkejut ketika tiba-tiba ia menggamit aku. Tetapi aku
tidak mendapat kesempatan. Aku berpaling pada saat pisaunya menembus
punggungku. Tetapi aku tidak segera pingsan. Pukulannyalah yang
menyebabkan aku tidak tahu apa lagi yang terjadi. Tetapi Tuhan Maha
Besar. Aku ternyata diselamatkan oleh Nya dengan lantaran Ki Tanu Metir”
Terdengar gigi Agung Sedayu gemeretak.
Namun ketika ia masih ingin mengajukan pertanyaan lagi, dilihatnya nafas
kakaknya menjadi agak cepat.
“Kakang” panggil Agung Sedayu.
Untara memejamkan matanya. Dicobanya
untuk menenangkan hatinya. Disadarinya bahwa ia masih belum dapat
terlalu banyak berbicara. Karena itu katanya, “Aku akan beristirahat.
Katakanlah hal ini kepada paman Widura”
Agung Sedayu tidak menjawab. tetapi
dadanya seakan-akan hampir meledak. Dilihatnya kakaknya menarik nafas
dalam-dalam, dan sekali Untara itu berdesis, “Aku masih terlalu lemah.
Kini kepalaku terasa agak pening. Aku akan mencoba tidur lagi”
“Tidurlah kakang” jawab Agung Sedayu, “Tenangkanlah hatimu. Biarkan aku selesaikan persoalan Sidanti”
“Jangan seorang diri” desis Untara.
Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab,
hatinya sudah tidak dapat ditahannya lagi. Meskipun selama ini Sidanti
baginya seakan-akan hantu yang selalu mengejarnya kemana ia pergi, namun
hantu itu kini sama sekali tidak menakutkan lagi baginya.
Karena itu, maka demikian kakaknya
memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur, cepat-cepat Agung Sedayu
beringsut surut, dan dengan tergesa-gesa ia meloncat keluar pringgitan.
Sedemikian tergesa-gesa sehingga ia lupa menyandang pedangnya yang telah
diletakkannya di samping pembaringan kakaknya itu.
Di pendapa dengan nanar Agung Sedayu
mencari Sidanti. Namun di sudut pendapa itu tak dilihatnya seseorang.
Karena itu dengan berlari-lari ia turun ke halaman dan langsung
dicarinya di belakang rumah.
Namun di belakang rumah itu pun tak
ditemuinya Sidanti. Ia tadi mendengar Sekar Mirah mengumpat-umpat
disitu. Karena itu ketika ia melihat gadis itu menjengukkan kepalanya
dipintu, dengan serta-merta ia bertanya, “Mirah, kemanakah Sidanti?”
“Kenapa kau mencari Sidanti?” bertanya Sekar Mirah, “kenapa tidak mencari aku?”
“Aku tergesa-gesa Mirah”
“Apakah tuan sangka aku menyembunyikan Sidanti?”
“Tidak. Tetapi bukankah kau tadi bercakap-cakap dengan Sidanti di sini? Barangkali kau tahu kemana ia pergi?”
Sekar Mirah menggeleng sambil tersenyum.
bahkan kemudian ia melangkah keluar, “Biarlah Sidanti pergi menurut
kehendaknya sendiri. apakah kita berkepentingan atasnya?”
“Aku berkepentingan”
“Aku tidak”
“Mirah” Agung Sedayu menjadi jengkel
karenanya, “Aku sekarang sedang dihadapkan pada suatu keharusan untuk
menemukannya. Dimana ia sekarang?”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya.
Dilihatnya wajah Agung Sedayu bersungguh-sungguh. Karena itu, maka itak
tidak mau bergurau lagi. Jawabnya, “Mungkin kesungai, mungkin ke
prapatan”
Agung Sedayu berpikir sejenak. Apakah
kepentingan Sidanti keprapatan yang paling mungkin baginya adalah pergi
ke kali di sebelah ujung halaman kademangan itu. Sebuah kali yang tidak
sedemikian besar, yang airnya seakan-akan hampir kering di musim
kemarau.
Agung Sedayu itu pun tidak berkata-kata
lagi. Dengan tergesa-gesa ia berjalan menuju kekali, tempat beberapa
orang laskar Pajang sering mandi dan mencuci pakaiannya. Namun saat itu
masih terlalu pagi. Belum ada seorang pun yang pergi kesana, selain
Agung Sedayu yang sedang mencari Sidanti itu.
Ki Tanu Metir dan Widura, setelah sesuci
segera bersembahyang. Ketika mereka menengok Untara, dilihatnya anak
muda yang sedang terluka itu tidur. Karena itu, maka Ki Tanu Metir tidak
mendekatinya.
Sehabis sembahyang, mereka berdua duduk kembali, di atas tikar pandan dan kembali meneguk air yang masih hangat-hangat kuku.
“Dimanakah Sedayu?” desis Widura.
“Ya, dimana angger Sedayu?” sahut Ki Tanu Metir.
Mula-mula mereka menyangka bahwa anak
muda itu sedang sesuci di belakang. Tetapi setelah ditunggu beberapa
lama, maka Agung Sedayu tidak juga datang. Meskipun demikian, mereka
sama sekali tidak menaruh syaj bahwa Agung Sedayu sedang pergi mencari
Sidanti. Karena itu, maka Widura itu masih saja duduk dengan tenangnya
bersama dengan Ki Tanu Metir.
Sekali Ki Tanu Metir itu berdiri.
Didekatinya Untara yang kembali jatuh tertidur karena lemahnya.
Dirabanya dada anak itu sambil bergumam, “Pernafasannya menjadi
bertambah baik. Mudah-mudahan ia dapat segera memiliki kesadarannya
sepenunya kembali. Dalam keadaannya sekarang, maka angger Untara
kadang-kadang masih menjadi pening dan berkunang-kunang”
“Mudah-mudahan” sahut Widura.
“Mulai besok, angger Untara harus banyak
minum obat reramuan sehingga badannya akan menjadi segera kuat kembali.
Obat-obatan yang dapat mengganti darahnya yang sudah terlalu banyak
mengalir seperti yang pernah dialaminya dahulu”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tiba-tiba ia teringat kepada obat yang diberikan oleh Sidanti. Karena
itu, maka katanya, “Bagaimanakah dengan obat yang diberikan oleh
Sidanti?”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri. Tampaklah ia menjadi ragu-ragu karenanya.
“Bagaimana?” desak Widura pula.
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun sesaat tampak wajahnya menjadi tegang. Dan akhirnya
menjawab, “Maaf ngger. Apakah aku boleh berkata sebenarnya?”
“Ya, tentu” sahut Widura heran.
Perlahan-lahan diraihnya obat dari
Sidanti yang diletakkannya di samping kaku pembaringan Untara. Sekali
lagi obat itu dibukanya, dan ditunjukkannya kepada Widura.
“Obat ini sangat berbahaya ngger”
“Kenapa?” bertanya Widura heran.
Sekali Ki Tanu Metir memandang kedaun pintu yang terbuka, namun kemudian kepalanya itu ditundukkannya.
Widura menjadi hran melihat sikap Ki Tanu Metir itu. Karena itu, maka ia mendesaknya, “Kenapa obat itu sangat berbahaya Kiai?”
Ki Tanu Metir berpaling ke arah Untara
yang masih tertidur. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia bergumam,
“Untunglah bahwa obat ini belum menyentuh lukanya. Kalau angger pernah
melihat, ini adalah salah satu jenis warangan yang akan dapat
mempengaruhi peredaran darah”
“He?” Widura terkejut mendengar keterangan itu.
“Warangan ini” berkata Ki Tanu Metir,
“Akan dapat membekukan darah, sehingga cairan darah Angger Untara akan
bergumpal-gumpal dan menyumbat jalur-jalur nadinya”
“Jadi….” Kata-kata Widura terputus dikerongkongannya.
Namun Ki Tanu Metir sudah dapat menangkap
maksudnya. Karena itu, maka ia menyahut, “Ya. Ternyata angger Untara
benar-benar akan dibunuhnya”
Terasa keringat dingin mengalir di
tubuhnya. Tiba-tiba teringatlah Widura itu kepada peristiwa yang pernah
dialaminya sendiri. Sidanti dan Ki Tambak Wedi pernah akan membunuhnya
pula. sehingga karena itu dengan serta-merta ia berkata, “Kalau begitu,
maka luka Untara itu pun pasti dibuat oleh Sidanti”
Ki Tanu Metir terdiam sesaat. Kemudian jawabnya, “Mungkin ngger. Adalah mungkin sekali”
Tubuh Widura itu menjadi gemetar
karenanya. Perbuatan itu benar-benar tidak dapat dimaafkan lagi. Sidanti
benar-benar tidak dapat dilunakkan hatinya. Nafsunya untuk segera
menanjak ke tingkatan-tingaktan yang lebih tinggi telah mendorongnya
untuk berbuat hal-hal yang kadang-kadang tidak dapat dimengerti. Dengan
demikian maka anak muda itu telah kehilangan segala tata cara dalam
peradaban manusia. Bahkan Sidanti itu, telah sedemikan sampai hati untuk
melenyapkan kawan sendiri. membunuhnya untuk segera dapat menempati
kedudukannya.
Widura itu pun menjadi marah bukan
buatan. Karena itu, maka segera ia berdiri. Diambilnya pedangnya dan
disangkutkan dipinggangnya.
“Akan kemanakah angger Widura ini?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Aku harus menemui Sidanti. Anak itu
harus berada dalam pengawasan yang lebih baik. Kali ini Untara, besok
aku dan lusa Agung Sedayu”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun ia pun berdiri juga. Widura yang telah siap untuk
berbuat apa pun juga itu memerlukan menjenguk sesaat. Dilihatnya anak
itu membuka matanya. Ketika dilihatnya Widura, maka desisnya, “Dugaan Ki
Tanu Metir dan paman adalah benar. Aku mendengar apa yang kalian
percakapkan. Aku telah mengatakan kepada Agung Sedayu”
“He” kembali Widura terkejut, “Dimana Sedayu sekarang?”
“Aku suruh ia mengatakannya kepada paman Widura”
Widura menggigit bibirnya. Ada sesuatu
yang tersimpan di hati Agung Sedayu terhadap Sidanti, seperti minyak
yang tersekat di dalam bumbung. Kini ternyata ada api yang menyambarnya,
sehingga minyak itu pasti akan menyala dan bumbungnya akan meledak.
Karena itu, maka Widura pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil
berkata, “Baiklah aku temui anak itu”
Untara tidak mengerutkan keningnya.
Dipejamkannya kembali matanya untuk mencoba beristirahat
sebanyak-banyaknya. Ki Tanu Metir lah kemudian yang menungguinya sambil
duduk di tikar di samping pembaringannya.
Widura yang menahan kemarahan di dalam
dadanya itu, berjalan perlahan-lahan keluar pringgitan. Di luar malam
telah berangsur hilang, sehingga bayangan pepohonan di halaman semakin
lama menjadi semakin jelas karenanya. Namun ia tidak melihat Agung
Sedayu dan Sidanti di halaman itu. Karena itu, maka segera ia menjadi
cemas.
Beberapa orang yang melihat Widura
menyandang pedangnya, bertanya-tanya di dalam hati. Widura itu di
kademangan hampir tidak pernah membawa pedangnya dalam keadaan biasa.
Namun kini pedang itu tergantung di lambungnya.
“Mungkin Ki Lurah itu belum sempat melepas pedangnya” berkata salah seorang.
“Aku sudah melihatnya sesuci. Dan pedang itu tidak tergantung dipinggangnya” sahut yang lain.
“Entahlah” gumam orang yang pertama.
Sementara itu Agung Sedayu yang
berlari-lari kekali di ujung halaman dengan gelora kemarahan yang
menyala di dadanya, tiba-tiba terkejut, ketika pada keremangan pagi ia
melihat dua sosok tubuh berjalan ke arahnya. Namun tiba-tiba sesosok di
antaranya segera lenyap dan yang tinggal kemudian adalah Sidanti. Agung
Sedayu itu tidak sempat berpikir dan bertanya, siapakah orang yang satu
itu yang kemudian bersembunyi. Namun yang ada di dalam dadanya adalah
kemarahan yang menyala-nyala.
Dengan serta-merta, maka Agung Sedayu itu
berteriak, “Kau telah berusaha membunuh Untara. Sekarang aku datang
untuk menuntut balas atas luka-luka yang dideritanya”
Sidanti terkejut. Jawabnya, “Siapa bilang?”
“Untara sendiri”
“Omong kosong. Untara belum sadar”
“Jangan ingkar. Aku sudah tidak mempunyai pilihan lain sekarang”
Sidanti itu mengerutkan keningnya. Namun
tiba-tiba ia tertawa, “Bagus” katanya, “Aku yang berusaha membunuh
Untara, sekarang aku harus membunuh Agung Sedayu”
Agung Sedayu tidak menjawab. segera ia meloncat maju dan menyerang Sidanti sejadi-jadinya.
Sidanti benar-benar terkejut menerima
serangan yang tiba-tiba itu. Karena itu, maka ia tidak segera dapat
mengelak. Dengan cepatnya ia berusaha untuk memunahkan serangan Agung
Sedayu itu dengan menyilangkan kedua tangannya menyambut tangan Agung
Sedayu.
Pada saat itu, Agung Sedayu benar-benar
telah mempergunakan segenap kekuatannya dilambari dengan kemarahan yang
membara di dalam dirinya. Karena itu, maka kekuatannya pun seakan-akan
bertambah-tambah juga. Sehingga kemudian terjadi suatu benturan yang
dahsyat antara keduanya,
Benturan kekuatan antara Agung Sedayu
yang melontarkan kemarahan yang meledak dengan kekuatan Sidanti yang
tegak seperti batu karang. Demikianlah maka kedua kekuatan itu telah
melemparkan keduanya, sehingga masing-masing terpental dan jatuh
terbanting di atas tanah,
Namun setelah mereka terguling, maka segera mereka meloncat berdiri dan siap kembali untuk mempertahankan diri masing-masing.
Agung Sedayu yang sama sekali tidak dapat
mengekang dirinya karena kemarahannya, segera menyerang kembali.
Serangannya langsung mengarah ketitik-titik yang berbahaya pada tubuh
Sidanti. Kalau selama ini Sidanti dan Agung Sedayu selalu urung
bertempur dalam setiap persoalan, maka dendam yang tersimpan di hati
masing-masing itu kini seakan-akan tertumpahkan. Sidanti yang selama ini
merasa, tersisihkan karena kehadiran Agung Sedayu. Baik oleh Widura,
orang-orang Sangkal Putung, lebih-lebih Sekar Mirah, namun usahanya
untuk memancing perselisihan selalu gagal, maka kini aia terlibat dalam
suatu perkelahian dengan Agung Sedayu. Karena itu, maka kesempatan ini
harus dipergunakan. Ia harus bertempur sampai rampung. Mati atau
mematikan. Apalagi Agung Sedayu ternyata telah mengetahui bahwa
dirinyalah sebenarnya yang telah berusaha membunuh Untara. Dan Sidanti
tidak dapat mengingkari kalau itu dikatakan oleh Untara sendiri.
Meskipun demikian Sidanti itu menyesal, kenapa ia tidak dapat menusuk
anak muda yang mendapat kepercayaan langsung dari Ki Gede Pemanahan itu
sekaligus, sehingga Untara itu masih sempat berkata tentang keadaannya.
Karena itu, maka Agung Sedayu itu pun harus mati. Kalau Agung Sedayu
sudah mati di sini, maka ia akan dapat membunuh Untara nanti pada suatu
kesempatan. Mudah-mudahan obatnya diusapkan pada luka itu. Kalau
demikian maka Untara itu pun pasti akan mati. Tetapi kalau tidak? Kalau
rencana itu gagal? Sidanti itu menggeram. Apa yang dilakukan kali ini
adalah suatu sikap terakhir. Kalau ia gagal, maka kisahnya sebagai
prajurit Pajang akan berakhir. Kalau ia berhasil membunuh Agung Sedayu
dan Untara, apakah tidak ada orang-orang lain yang akan menuntutnya?,
“Hem” sekali lagi Sidanti menggeram. Kegagalannya terletak pada
kegagalannya membunuh Untara, sehingga persoalan itu menjadi
berlarut-larut. Tetapi meskipun demikian, ia tidak dapat mengingkari. Ia
sudah langsung berbuat dengan tangannya meskipun ia berusaha untuk
menghilangkan bekasnya. Ia menusuk Untara tidak dengan senjatanya,
tetapi dengan pisau yang lain. Kini tangannya telah berbekas darah.
Karena itu, maka apa pun yang akan dihadapinya ia tidak akan ingkar.
Sedangkan Agung Sedayu pun telah
menyimpan dendam yang membara di dalam dirinya. Sejak ia hadir di
Sangkal Putung, maka ia telah merasakan, bahwa seorang ini sama sekali
tidak senang melihat kehadirannya. Anak muda inilah yang seakan-akan
telah menyebabkan pamannya selalu marah kepadanya, sehingga seolah-olah
Ia menjadi seorang tawanan yang dikurung di dalam pringgitan. Anak muda
ini pulalah yang telah berusaha membunuh kakaknya. Sampai saat itu
kakaknya adalah orang yang paling baik yang dikenalnya. Orang yang
selalu melindunginya dalam setiap kesempatan. Orang yang tidak pernah
menyakiti hatinya. Orang yang telah menggantikan ibu bapaknya. Kini
orang yang bernama Sidanti itu akan membunuh kakaknya itu. Karena itu,
maka segenap kemarahan dam dendam tertumpah kepadanya. Kepada Sidanti.
Demikianlah maka pertempuran itu menjadi
seru sekali. Masing-masing telah menumpahkan segenap tenaganya dalam
luapan kemarahan dan dendam. Masing-masing sudah tidak dapat lagi
melihat kemungkinan lain daripada membunuh atau dibunuh. Agung Sedayu
yang banyak sekali mempunyai pertimbangan di kepalanya hampir dalam
setiap persoalan, kini pertimbangan-pertimbangan itu seakan-akan telah
membeku.
Tetapi ternyata bahwa Sidanti memiliki
pengalaman yang lebih luas dari Agung Sedayu. Meskipun
persiapan-persiapan di dalam diri Agung Sedayu telah cukup banyak untuk
menghadapi murid Ki Tambak Wedi itu, namun ada beberapa kelebihan dari
Sidanti atas Agung Sedayu. Karena itu, maka tampaklah bahwa Sidanti
mempunyai kesempatan-kesempatan yang lebih baik dari Agung Sedayu. Namun
meskipun demikian, Agung Sedayu pun memiliki keadaan yang tidak
dimiliki oleh Sidanti. Agung Sedayu yang seakan-akan menyimpan dan
menahan gelora yang menyala di dadanya karena keadaannya, maka tiba-tiba
kini ia menemukan saluran yang dapat memuntahkan tekanan itu. Sebagai
seorang penakut, maka Agung Sedayu selalu berangan-angan untk menjadi
seorang yang pilih tanding. Seorang yang tak terkalahkan. Namun setiap
gejolak di dalam jiwanya selalu disekapnya di dalam hati. Kemudian
setelah ia berhasil menembus dinding yang menyelubunginya, tiba-tiba ia
dihadapkan pada persoalan yang langsung menyentuh perasaannya yang
paling dalam, sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu itu seakan-akan
benar-benar sebuah bumbung minyak yang terbakar. Meledak dengan
dahsyatnya. Karena itu, maka tandangnya pun menjadi tidak menentu. Ia
telah kehilangan kemungkinan untuk mempertimbangkan setiap geraknya.
Hanya satu yang ada di dalam hatinya, membinasakan Sidanti.
Sidanti melihat tandang Agung Sedayu itu
benar-benar terkejut. Agung Sedayu dalam tangkapan Sidanti adalah
seorang yang halus dan lunak. Ia menyangka, bahwa dalam perkelahian pun
Agung Sedayu akan mencerminkan sifat-sifatnya itu. Tetapi tiba-tiba ia
berhadapan dengan gerak yang ganas dan kasar. Bahkan kadang-kadang sama
sekali diluar dugaannya. Agung Sedayu menyerang seperti seekor serigala
yang lapar. Tidak hanya seekor, namun tiba-tiba karena luapan
perasaannya, Agung Sedayu telah menumpahkan segenap ilmunya, sehingga
seakan-akan Sidanti itu menghadapi berpuluh-puluh serigala yang
kelaparan sedang berusaha bersantap dengan dagingnya.
Karena itu, maka perkelahian itu menjadi
semakin sengit. Sidanti berusaha untuk melawan Agung Sedayu dengan
segenap kemampuannya pula. dengan lincahnya ia menghindari setiap
serangan Agung Sedayu. Namun serangan itu mengalir seperti banjir.
Meskipun demikian kelincahan Sidanti, sekali-sekali berhasil menerobos
pertahanan Agung Sedayu yang kuat, sekali-sekali berhasil mengenai
tubuhnya, sehingga sekali-sekali Agung Sedayu terpaksa terlempar surut
dan bahkan jatuh berguling. Tetapi kambali anak muda itu bangkit, dan
kembali serangannya datang membadai.
Namun Sidanti pada dasarnya adalah
seorang anak muda yang berjiwa kasar. Ia adalah seorang yang berbuat
tanpa kesan membunuh lawannya dan bahkan merobek mayat lawannya sekali.
Karena itu, maka segera ia menyesuaikandiri dengan Agung Sedayu.
Sehingga sesaat kemudian Sidanti itu pun bertempur dengan cara yang
tidak kalah ganas dan kasar dari Agung Sedayu.
Dengan demikian maka perkelahian itu
benar-benar menjadi perkelahian yang keras. Seakan-akan perkelahian di
antara binatang-binatang buas yang sedang kelaparan berebut makanan.
Setiap serangan hampir tak pernah dielakkan. Namun setiap serangan
ditempuhnya dengan pengerahan tenaga.
Namun dalam perkelahian yang demikian itu
pun, Sidanti mempunyai kesempatan yang lebih banyak dari Agung Sedayu.
Pengalamannya yang jauh lebih banyak dan hatinya yang lebih keras, telah
memungkinkannya untuk berbuat lebih jauh dari apa yang dapat dilakukan
pleh Agung Sedayu.
Tetapi Sidanti itu pun menjadi heran.
Betapa ia berhasil mengenai lawannya, bahkan dengan segenap tenaganya,
dan betapa ia melihat Agung Sedayu terlempar jatuh, tetapi seakan-akan
tubuh Agung Sedayu itu sedemikian liatnya. Demikian ia terbanting,
demikian ia bangun kembali. Pukulan-pukulan yang mengenainya benar-benar
tak pernah membekas, seakan-akan tubuhnya dapat dibebaskan dari rasa
sakit.
Sebenarnya Agung Sedayu sudah waringuten,
ia seolah-olah kehilangan segenap perasaannya. Bahkan rasa sakit pun
seakan-akan tak dimilikinya. Tekanan gelora yang membakar dadanya telah
menjadikannya nggegirisi.
Sidanti benar-benar menjadi bimbang.
Apakah Agung Sedayu memiliki ilmu kekebalan?, “Omong kosong” katanya
dalam hati. Dan geraknya pun semakin dipercepatnya.
Sisa gelap malam pun semakin lama menjadi
semakin tipis. Dan sejalan dengan itu hati Sidanti pun menjadi semakin
cemas. Ia ingin segera menyelesaikan perkelahian itu. Namun betapa
mungkin. Agung Sedayu seakan-akan tak dapat disakitinya. Seandainya
seseorang melihatnya bertempur, dan orang itu mengetahui sebab dari
pertempuran itu, maka mau tak mau ia harus berhadapan dengan seluruh
laskar Pajang di Sangkal Putung. Meskipun pada saat itu gurunya berada
di sampingnya, namun alangkah baiknya kalau ia menyelesaikan persoalan
itu sendiri. tanpa gurunya. Dan persoalan itu akan selesai kalau ia
dapat membunuh Agung Sedayu. Mudah-mudahan baru Agung Sedayu sajalah
yang mendengar dari Untara bahwa ialah yang telah melukainya. Nanti,
akan dicarinya kesempatan untuk menyempurnakan pembunuhannya atas
Untara. Seandanya ia sempat menutup jalan pernafasan anak yang luka itu,
maka segera pekerjaannya akan selesai tanpa bekas.
Dengan demikian maka Sidanti semakin
memperketat tekanannya, sehingga titik pertempuran itu telah bergeser
dari tempatnya. Tanpa setahu mereka, maka mereka kini sudah merambat
mendekati kandang kuda Demang Sangkal Putung.
Sidanti terkejut ketika ia mendengar kuda
di dalam kandang itu terpekik karena terkejut. Sesaat kemudian
kuda-kuda yang lain pun menjadi gelisah pula sehingga kandang itu
menjadi ribut karenanya.
“Gila” geram Sidanti
Suara kuda itu pasti akan memanggil
beberapa orang untuk datang kepada mereka. Karena itu, maka sebelum
Agung Sedayu sempat berkata, maka ia harus dibunuh atau dilumpuhkan.
Sidanti menjadi semakin gelisah ketika
dalam keremangan fajar, benar dilihatnyan beberapa orang berdatangan.
Dan Agung Sedayu itu masih bertempur dengan garangnya.
Kini Sidanti benar-benar mengerahkan
segenap kemampuannya. Ia berkelahi seperti seekor harimau yang ganas.
Dengan segenap kemampuan dan tenaganya, ia berusaha segera mengakhiri
pertempuran. Namun tubuh Agung Sedayu itu seakan-akan terbuat dari tanah
liat. Tetapi ketika langit menjadi semakin terang, tampaklah bahwa dari
tubuh anak muda itu telah mengalir darah dari luka-luka ditubuhnya.
Pakaiannya telah rontang-ranting dan wajahnya menjadi merah biru. Bukan
saja Agung Sedayu, Sidanti pun telah mengalami tekanan-tekanan yang
berat karena serangan-serangan Agung Sedayu yang sedang mengamuk itu.
Tetapi pertempuran itu harus segera
berakhir. Dalam keadaan itu akhirnya Sidanti mengambil keputusan yang
pasti. Agung Sedayu harus dilumpuhkan dengan cara apa pun juga. Karena
itu, maka dengan serta-merta Sidanti itu meloncat, meraih sepotong kayu
yang tersandar di dinding kandang itu. Dengan kayu itu ia bertempur
melawan Agung Sedayu.
Betapapun kuatnya Agung Sedayu, namun
dalam kegelapan pikiran itu, ia sama sekali telah kehilangan hampir
segenap perhitungannya. Itulah sebabnya ia tidak dapat melihat dengan
hati yang dingin, apa yang telah dilakukan oleh Sidanti. Tangan Sidanti
benar-benar seperti tangan hantu yang sangat berbahaya. Meskipun kali
ini ia tidak memegang senjata perguruannya, namun sepotong kayu itu pun
benar-benar dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat berbahaya.
Dalam perkelahian tanpa senjata, anak muda itu telah menunjukkan
beberapa kelebihan dari lawannya. Apalagi kini ia menggenggam sepotong
kayu. Maka tanpa mempertimbangkan akibat-akibat yang dapat terjadi,
Sidanti telah mempergunakan senjatanya untuk melawan dan berusaha
membinasakan Agung Sedayu.
Sebuah pukulan yang keras telah mendorong
Agung Sedayu ke samping. Berbareng dengan teriakan beberapa orang
tiba-tiba melihat perkelahian itu. Bagaimana Sidanti tidak puas dengan
pukulan pertama itu. Sebelum Agung Sedayu sempat menguasai dirinya, maka
Sidanti telah mengulangi serangannya. Agung Sedayu masih sempat melihat
kayu yang terayun itu, karena itu, maka ia masih berusaha untuk
menghindarkan dirinya dengan membungkukkan badannya. Kayu itu menyambar
beberapa jari di atas kepalanya. Namun karena geraknya yang tiba-tiba,
Agung Sedayu kurang dapat menguasai keseimbangan dirinya, sehingga ia
jatuh terguling. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Sidanti. Agung
Sedayu harus menjadi terdiam saat itu, supaya ia tidak dapat mengatakan
sebab dari perkelahian ini. Dengan garangnya Sidanti mengangkat sepotong
kayu itu untuk diayunkan kekepala Agung Sedayu yang belum sempat bangun
kembali.
Beberapa orang yang melihat perkelahian
itu segera berlari-lari mendekati. Mereka melihat Agung Sedayu itu
terjatuh, dan mereka melihat Sidanti mengayunkan sepotong kayu kekepala
Agung Sedayu. Namun jarak mereka masih terlalu jauh. Sehingga mereka
masih belum sempat untuk mencagah Sidanti. Mereka hanya sempat berteriak
keras.
Pada saat itu Widura pun telah sampai ke
tempat itu pula. ia pun melihat sepotong kayu yang terayun itu. Namun
jaraknya pun masih beberapa langkah lagi. Karena itu, maka Widura itu
pun hanya dapat berteriak sambil melompat sejauh-jauh mungkin. Tetapi
jarak yang harus dicapainya masih ada dua tiga loncatan lagi.
Sidanti sama sekali tidak mau
mendengarkan teriakan-teriakan itu lagi. Ia lebih senang
mempertanggung-jawabkan perbuatannya itu daripada apabila Agung Sedayu
mengatakan sebab yang sebenarnya. Daripada Agung Sedayu bercerita
tentang apa yang pernah didengarnya dari Untara. Karena itu, maka sama
sekali ia tidak mau mengurungkan niatnya. Hatinya telah bulat
sebulat-bulatnya. Dengan demikian maka kayu itu pun telah diangkatnya
untuk diayunkannya kuat-kuat. Ia tidak perduli lagi seandainya kepala
Agung Sedayu itu menjadi pecah karenanya.
Tetapi justru karena itu, maka perhatian
Sidanti seluruhnya tercurah pada sepotong kayu di tangannya dan kepala
Sedayu. Anak muda itu hampir tidak memperhatikan lagi apa yang terjadi
di sekitarnya. Juga ia sama sekali tidak tahu, bahwa seseorang telah
berdiri dekat di belakangnya. Di samping kandang kuda itu.
Ketika kayu di tangannya itu telah sampai
kepuncak ayunan dan siap untuk meluncur kekepala Agung Sedayu, Sidanti
itu terkejut ketika ia mendengar sebuah suitan nyaring. Ia tahu benar,
itu adalah suara gurunya. Namun ia tidak segera mengetahui, apa yang
sebenarnya terjadi. Karena itu, maka ia menjadi bingung untuk sekejap.
Dan waktu yang sekejap itu telah merubah segala-galanya. Tiba-tiba ia
melihat sesuatu melayang dari balik gerumbul-gerumbul di sekitar tempat
itu. Namun sesaat yang pendek. Ia sadar ketika tiba-tiba terdengar
sepotong besi yang meluncur itu menghantam sebilah pedang yang terjulur
kepunggungnya.
Suara itu berdentang sedemikian kerasnya,
sehingga menggetarkan halaman belakang kademangan Sangkal Putung. Namun
semuanya telah terlambat, pedang itu telah menyentuh punggung Sidanti,
meskipun kemudian terlontar jatuh. Namun tajamnya telaha menyobek
punggung itu. Sidanti mengeluh pendek. Segera ia memutar tubuhnya.
Dilihatnya di belakangnya berdiri Swandaru Geni dengan mata yang
menyala, namun ternyata mulutnya menyeringai menahan sakit di tangannya.
Pedangnya terlempar beberapa langkah daripadanya.
Sidanti itu pun menjadi semakin marah
bukan buatan. Namun terasa luka di punggungnya itu sedemikian nyerinya.
Terasa seakan-akan dari luka itu dihisapnya segenap kekuatannya,
sehingga dalam waktu yang singkat itu, hampir-hampir ia menjadi lemas
dan tak berdaya. Namun ia tidak mau jatuh dan mati di tempat itu. Dengan
segenap kemampuan yang ada dicobanya untuk tetap tegak berdiri sambil
memandang setiap wajah yang berada di sekitarnya.
Dilihatnya Widura yang kini telah tegak
di hadapannya dengan pedang tergantung di lambungnya, di sampingnya
Swandaru Geni yang gemetar, namun dengan wajah yang menyala. Kemudian
Agung Sedayu yang telah tegak kembali, dan kemudian beberapa orang lain.
Sidanti itu menggeram penuh kemarahan dan dendam.ia belum berhasil
membunuh Agung Sedayu, dan tiba-tiba Swandaru ikut campur dalam
persoalan ini.
Sidanti menjadi semakin marah, ketika
dilihatnya beberapa orang berdatangan. Ki Demang Sangkal Putung, bahkan
Sekar Mirah dan orang-orang lain.
Dalam saat yang pendek itu, maka Sidanti
segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa hari ini adalah harinya yang
terakhir bagi jabatan keprajuritannya. Hari ini adalah hari penentuan
bahwa Sidanti bukan lagi berada dalam lingkungan laskar Pajang. Ia telah
gagal mempercepat jalan dan memperpendek jarak dari tingkat ketingkat
yang lebih tinggi. Bahkan sampati ketingkat yang paling atas. Dan kini
ia harus mempertanggung-jawabkannya. Namun Sidanti itu menjadi berbesar
hati, ketika diingatnya gurunya berada di tempat itu pula.
Dan gurunya ternyata tidak membiarkan
Sidanti itu menjadi gelisah sendiri. dengan garangnya ia meloncat dai
tempat persembunyiannya, dan dengan marahnya ia menggeram sambil
berkata, “Hem, kini kita harus berterus terang. Siapa yang harus
berhadapan sebagai lawan dan siapakah yang akan dapat kita jadikan
kawan. Namun adalah pasti, bahwa Sidanti telah kalian anggap berbuat
suatu kesalahan. Nah, cepat katakan kepadaku Widura, apa yang akan kau
lakukan? bukankah kau pemimpin dari laskar Pajang ini? Aku menuntut,
yang melukai Sidanti dengan curang, harus mendapat hukuman.
Setidak-tidaknya ia harus mengalami luka seperti yang dialami Sidanti”
Swandaru menjadi berdebar-debar. Apakah
ia mau menerima hukuman itu? Yang terdengar adalah jawaban Sedayu,
“Sidanti curang pula. Kami berkelahi tanpa senjata, tetapi Sidanti
memungut sepotong kayu”
“Itu bukan senjata. Kau memiliki kesempatan yang sama kalau kau mampu. Tetapi Sidanti tidak menyerang dari belakang”
Ketika Agung Sedayu akan menjawab, Ki
Tambak Wedi itu membentak, “Tutup mulutmu. Aku berkata kepada Widura.
jangan mencoba bermain-main dengan Ki Tambak Wedi”
Orang-orang yang berdiri di sekitar
tempat itu, yang belum reda getar jantungnya atas kehadiran orang yang
sedemikian tiba-tiba itu, kembali terguncang ketika mereka mendengar
orang itu menyebut dirinya Ki Tambak Wedi.
Sesaat Widura menjadi bimbang. Namun
kemudian kembali darah kepemimpinannya mengalir kedadanya. Maka
jawabnya, “Aku tidak akan memberikan hukuman apa pun sebelum aku tahu
benar, dimana letak kesalahan dari peristiwa ini. Dan apakah sumber yang
menyebabkan ini terjadi”
“Persetan” teriak Ki Tambak Wedi. “Kau jangan mengigau Widura. atau aku sendiri yang harus menghukumnya?”
Widura mengerutkan keningnya. Yang
berdiri di hadapannya adalah Ki Tambak Wedi, maka segala sesuatu harus
dipertimbangkannya masak-masak. Karena itu untuk sesaat ia hanya dapat
berdiam diri. Dicobanya untuk mengurai setiap peristiwa yang telah dan
bakal terjadi.
Karena Widura tidak segera menjawab, maka Ki Tambak Wedi itu pun membentaknya, “Widura, buka mulutmu”
Widura sama sekali tidak senang mendengar
Ki Tambak Wedi membentaknya. Ketika ia berpaling ke arah Sidanti,
dilihatnya anak muda itu berdiri gemetar, sedang dari punggungnya
menetes darah yang segar. Sekali-sekali tampak ia menyeringai, namun ia
masih mencoba untuk berdiri tegak.
Dalam pada itu, Widura sedang menilai
setiap orang yang berada di sekitarnya. Dirinya sendiri, Agung Sedayu,
sementara itu, beberapa orang laskarnya dan Ki Demang Sangkal Putung.
Kalau perlu ia dapat memanggil orang-orang lain, yang pasti akan segera
datang juga. Apakah dengan kekuatan itu ia akan dapat menangkap Ki
Tambak Wedi? Widura menjadi bimbang. Mungkin hal itu dapat dilakukannya,
namun apakah tidak banyak korban yang jatuh karenanya? Mungkin dirinya
sendiri, mungkin Agung Sedayu, mungkin Ki Demang Sangkal Putung dan
mungkin mereka bersama-sama.
Dalam kebimbangan itu sekali lagi Ki
Tambak Wedi berteriak, “Widura, jawab pertanyaanku. Kalau kau mau
menyerahkan anak yang melukai punggung Sidanti dan Agung Sedayu, maka
aku tidak akan berbuat apa-apa”
Kini Widura mengangkat kepalanya. Sudah
pasti permintaan itu tidak akan dapat dipenuhinya. Karena itu, maka
jawabnya, “Ki Tambak Wedi, aku adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap semua yang terjadi di Sangkal Putung. Karena itu aku tidak akan
mungkin menyerahkan orang-orangku kepada siapa pun juga, apa pun
kesalahannya. Aku sendiri yang harus melakukan hukuman atau segala macam
tuntutan atas mereka seandainya mereka ternyata bersalah. Karena itu,
tinggalkan Sidanti di sini dan aku akan melihat apakah yang telah
terjadi, dan aku akan tentukan siapakah yang bersalah. Aku adalah
pemimpin tertinggi dari semua jabatan yang berada di tempat ini,
sehingga aku tidak mau ada orang lain yang mencampuri urusanku”
Terdengar Ki Tambak Wedi menggeram.
Betapa dadanya serasa terbakar mendengar kata-kata Widura itu. Matanya
tiba-tiba menjadi merah menyala, dan rambutnya yang telah memutih
dibeberapa bagian itu, seakan-akan tegak dibawah ikat kepalanya. Tanpa
sesadarnya tangannya menggenggam sabil bergumam, “Setan. Apakah kaliah
sudah bosan hidup?”
Sekali lagi Widura melayangkan pandangan
matanya. Beberapa orang berdatangan pula berkerumun di sekitar tempat
itu. Widura menarik nafas ketika ia melihat sebagian besar dari mereka
telah membawa senjata-senjata mereka Kalau terjadi sesuatu maka mereka
pasti akan melawan Ki Tambak Wedi itu dengan gigih. Meskipun mereka
tahu, Ki Tambak Wedi adalah seorang yang ditakuti oleh hampir segenap
orang di sekitar gunung Merapi. Namun dalam melakukan kewajibannya, maka
tak akan ada di antara mereka yang mengenal takut. Apalagi mereka dalam
satu kelompok. Yang mereka hadapi kini hanya seorang saja, meskipun
orang itu Ki Tambak Wedi.
Namun meskipun demikian, sebagian besar
dari mereka berada di dalam kebimbangan. Widura sendiri menjadi bimbang
karenanya. Bukan karena ia takut mati, tetapi apakah ia akan
mengorbankan orang-orangnya yang terpercaya untuk menangkap Ki Tambak
Wedi? sedang besok atau lusa Macan Kepatihan masih mungkin menyerang
mereka kembali dengan kekuatan yang masih cukup besar? Ternyata di dalam
pasukan Macan Kepatihan itu bersembunyi tokoh-tokoh seperti Sanakeling,
Alap-alap Jalatunda dan orang-orang lain yang pernah menjadi kebanggaan
Jipang. Baru Plasa Irenglah yang dapat dibinasakan oleh Sidanti itu.
Apakah dalam keadaan yang demikian, ia harus mengurangi kekuatan
pokoknya untuk menghadapi bahaya yang datang dari jurusan lain? Widura
itu menarik nafas. Ia menyesal, benar-benar menyesal, bahwa di dalam
tubuhnya ada anak-anak muda seperti Sidanti itu. Tetapi semuanya itu
telah terjadi. Dan kini ia dihadapkan pada puncak dari kesulitan itu.
Widura itu terkejut ketika ia mendengar
Ki Tambak Wedi membentak pula, “Widura, jangan mimpi. Kau tidak dapat
berbuat lain daripada memilih di antara dua. Menyerahkan anak muda yang
melukai Sidanti dan Agung Sedayu, atau aku membunuh kalian bersama-sama.
Jawab”
Sekali lagi Widura menengadahkan dadanya.
Ia tidak dapat ingkar akan kewajibannya. Karena itu jawabnya, “Ki
Tambak Wedi, kami adalah prajurit-prajurit. Kami tidak dapat menuruti
kehendak dari seseorang yang bertentangan dengan tata keprajuritan.
Siapa pun orangnya, meskipun orang itu bernama Ki Tambak Wedi, namun
kami terpaksa mempertahankan sendi tata keprajuritan yang menjadi
pegangan kami. Kalau kami harus memilih, Ki Tambak Wedi, maka pilihan
kami adalah melawan sampai kemungkinan yang terakhir. Bahkan kami telah
bertekad untuk menangkap Ki Tambak Wedi dan Sidanti bersama-sama”
“Gila” teriak Ki Tambak Wedi.
kemarahannya menjadi semakin memuncak. Namun tiba-tiba ia terpaksa
mempertimbangkan keadaannya. Widura ternyata benar-benar telah siap
dengan segenap anak buahnya. Mereka yang mendengar kata-kata Widura itu
pun tiba-tiba telah meraba hulu pedang mereka. Dalam kemerahan sinar
matahari pagi, Ki Tambak Wedi melihat orang-orang yang berkerumun di
sekitarnya dengan wajah-wajah yang tegang. Wajah-wajah jantan yang keras
dan kasar. Wajah-wajah yang untuk kesekian kalinya dihadapkan kepada
kemungkinan yang paling akhir dari hidupnya untuk kewajibannya. Maut.
Ki Tambak Wedi tidak dapat menutup segala
penglihatannya. Pengalamannya yang panjang, segera dapat memberikan
pertimbangan kepadanya. Betapapun kesaktian yang tersimpan di dalam
dirinya, namun untuk melawan sekian banyak orang sekaligus, adalah
pekerjaan yang sangat berat dan berbahaya. Mungkin ia akan membunuh
separo dari mereka itu. Namun setelah itu ia akan kehabisan tenaga, dan
yang separo lagi akan dapat menangkapnya, mengikatnya dan membawanya ke
Pajang. “Hem” geramnya di dalam hati, “Apakah Ki Tambak Wedi terpaksa
diikat tangan dan kakinya digiring ke Pajang?”
Sesaat halaman belakang kademangan
Sangkal Putung itu menjadi sepi. Baik Ki Tambak Wedi maupun Widura
terpaksa membuat pertimbangan-pertimbangan yang memragukan diri mereka.
Keduanya agaknya segan untuk berbuat sesuatu atas yang lain.
Karena itu, maka suasana menjadi
sedemikian tegangnya, ketika tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu berkata kepada
Sidanti, “Sidanti, ikuti aku. Sangkal Putung sama sekali tak akan
memberimu sesuatu”
Sidanti yang luka itu pun menyadari
sepenuhnya kata-kata gurunya. Sangkal Putung benar-benar tak akan
memberinya sesuatu. Dan ia sependapat dengan gurunya, meninggalkan
Sangkal Putung. Tetapi masih ada yang menjadikannya bimbang. Senjatanya
berada di pendapa kademangan.
Dengan ragu-ragu ia berkata, “Guru, bagaimana dengan senjataku?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya.
Namun kemudian jawabnya, “Apakah keberatanmu dengan senjata itu. Senjata
itu dapat dibikin. Besok aku bikinkan senjata semacam itu untukmu”
Sidanti tidak menunggu apa-apa lagi. Segera ia beringsut ke samping gurunya.
Tetapi Widura melangkah selangkah maju.
Kembali kebimbangan melandanya. Apakah ia akan bertindak terhadap Ki
Tambak Wedi dan Sidanti? Tetapi apakah ia akan memberikan pengorbanan
yang sangat besar untuk mereka berdua?
Ki Tambak Wedi yang melihat Widura itu
bergerak, segera menggeram, “Widura, aku akan pergi. Kalau kau membuat
kegaduhan di antara anak buahmu, baiklah. Mari kita mati bersama-sama.
Kau tidak akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi. aku akan membuat
timbangan di antara kekuatan kita. Mungkin kau akan dapat membunuh aku,
tetapi tiga perempat dari kalian pasti akan mati bersama aku. Jangan
mimpi mengikat tangan Tambak Wedi”
Dada Widura itu pun berdesir. Ia percaya
akan kata-kata itu. Tiga perempat daripadanya, atau sedikit-sedikitya
separo pasti akan mati. Karena itu, maka ia tetap tegak di tempatnya
ketika Ki Tambak Wedi dan Sidanti beringsut mundur dari tempatnya.
Agung Sedayu menjadi gemetar melihat
keadaan itu. Dengan wajah yang merah membara ia menatap wajah pamannya.
Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Namun tatapan matanya cukup mengatakan
hasratnya untuk menangkap Sidanti.
Agung Sedayu terkejut ketika pamannya
menggeleng. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. ia tidak akan dapat
menangkap Ki Tambak Wedi itu seorang diri. Meskipun demikian, tanpa
sesadarnya ia pun beringsut dari tempatnya.
Ia terkejut ketika tiba-tiba dalam
gerakan yang sangat cepat di tangan Ki Tambak Wedi itu telah tergenggam
dua buah gelang. Masing-masing sebuah. Gelang dari sepotong besi yang
dilengkungkannya. Dengan gelang itu pula, ia mampu menangkis serangan
pedang dan alat pemukul lainnya.
Demikianlah, maka akhirnya Widura
terpaksa melepaskan Ki Tambak Wedi itu pergi. Dengan penuh pertimbangan
Widura masih lebih mengutamakan Macan Kepatihan dengan seluruh laskarnya
daripada Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Widura mengharap bahwa Ki Tambak
Wedi untuk sementara tidak akan berbuat sesuatu. Sedang Macan Kepatihan
dengan laskarnya yang masih cukup kuat itu pasti akan menyerang Sangkal
Putung kembali. Mungkin Ki Gede Pemanahan sendiri atau gurunya akan
dapat dengan mudah melenyapkan Ki Tambak Wedi yang hanya seorang diri
itu.
Namun dengan hilangnya Ki Tambak Wedi,
maka bahaya yang sebenarnya akan selalu menghantui Agung Sedayu,
Swandaru yang telah melukai Sidanti, dan Widura sendiri.
Demikianlah, ketika Ki Tambak Wedi itu
hilang dari lingkungan mereka, segera Agung Sedayu bertanya, “Paman,
kenapa mereka itu kita lepaskan?”
Widura menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya, “Dengan menangkap Ki Tambak Wedi, maka aku pasti akan
melepaskan lebih separo dari laskar kita. Seperti yang dikatakannya
sendiri, ia sama sekali tidak akan dapat kita tangkap hidup-hidup. Ki
Tambak Wedi itu pasti akan menyerah apabila ia telah mati dengan membawa
korban yang tidak sedikit dari antara kita”
Agung Sedayu menundukkan wajahnya. tetapi
ia dapat mengerti pikiran pamannya. Pamannya adalah seorang yang di
tempatkan di Sangkal Putung untuk menghadapi Macan Kepatihan sehingga
karena itu, maka segenap perhatian, perhitungan dan kekuatan
dipusatkannya dalam menghadapi lawannya itu. Persoalan lain yang tidak
menyangkut itu, adalah bukan tanggung-jawabnya yang utama, sehingga juga
dalam menghadapi Ki Tambak Wedi, maka Widura itu pun memeprhitungkan
kemungkinan-kemungkinan itu.
Sesaat kemudian orang-orang yang
berkerumun itu pun menjadi sadar bahwa bahaya yang dihadapinya telah
menghilang. Dengan lega mereka menarik nafas panjang. Dan satu demi satu
mereka pun segera pergi meninggalkan tempat itu setelah Widura berkata
kepada mereka, “Kembalilah ke tempat masing-masing. Tetapi jangan
lupakan kewaspadaan. Peristiwa ini akan dapat berbuntu panjang”.
Kemudian kepada ki Demang Widura berkata, “Kakang Demang, apakah pintu
butulan itu boleh kami tutup saja?”
“Silakan, silakan” sahut Ki Demang.
Pintu butulan dinding belakang itu pun
segera ditutup. Pintu itu hanya boleh dibuka setiap ada kepentingan yang
perlu. Mereka yang pergi ke sungai kecil itu harus mengambil jalan
lain, jalan di samping dinding kademangan. Tetapi Widura sadar, bahwa
apa yang dilakukan itu hampir tak ada gunanya. Ki Tambak Wedi sama
sekali tidak memerlukan pintu itu. Ia dapat meloncat atau memanjat atau
apa pun yang ingin dilakukan. Namun, dengan demikian maka
kemungkinan-kemungkinan yang kecil dapat dihindarinya.
Widura sendiri itu pun kemudian kembali
masuk ke pringgitan bersama Agung Sedayu. Dilihatnya Ki Tanu Metir masih
duduk di tempatnya. Ketika ia melihat Widura dan Agung Sedayu yang biru
pengab, segera ia bertanya dengan nada cemas, “Kenapa wajahmu ngger?”
Dengan singkat Agung Sedayu mengatakan apa yang terjadi. Tanpa syak tanpa curiga. Dikatakan semuanya yang telah dialaminya.
Ki Tanu Metir mendengarkan setiap
kata-kata Agung Sedayu itu dengan seksama. Sesaat Ki Tanu Metir itu
mengangkat wajahnya yang memancarkan kecemasan dan kebimbangan. Tanpa
sesadarnya ia berkata, “Jadi, Ki Tambak Wedi itu kini membawa Sidanti
serta meninggalkan Sangkal Putung?”
“Ya” jawab Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Sehingga pringgitan
itu pun menjadi sepi.
Diluar panas matahari mulai membakar
dedaunan yang letih. Di sana sini, dibawah batang-batang pohon yang
rindang, beberapa orang duduk dengan malasnya. Ada di antaranya yang
berbaring-baring di atas helaian anyaman daun-daun nyiur tua.
Dalam keheningan itu, terdengarlah tiba-tiba suara Untara yang lemah, “Jadi Sidanti itu tidak kalian tangkap?”
Widura terkejut mendengar suara Untara.
Maka segera ia berdiri dan berjalan mendekati, diikuti oleh Ki Tanu
Metir dan Agung Sedayu.
Dengan ragu-ragu Widura menjawab, “Tidak
Untara. Terpaksa aku tidak dapat menangkap anak muda itu, karena gurunya
tiba-tiba datang melindunginya”
“Ki Tambak Wedi?” bertanya Untara
Widura mengangguk, “Ya” sahutnya.
“Mungkin aku dapat menangkap Ki Tambak Wedi itu sendiri, namun berapa
orang yang harus aku korbankan?”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia menyeringai menahan sakit, namun sesaat kemudian wajahnya menjadi tenang kembali.
“Bagaimana dengan lukamu?” bertanya Widura
“Sudah jauh berkurang. Tidak terlalu pedih. Namun tubuhku masih lemah sekali”
“Ya. Beristirahatlah sebaik-baiknya” berkata Widura
Tetapi Untara itu bertanya kembali, “Apakah Agung Sedayu berkelahi dengan Sidanti?”
“Ya” jawab Widura, “Wajahnya menjadi biru-biru dan Sidanti terluka oleh Swandaru”
Sekali lagi Untara menarik nafas
dalam-dalam. Persoalan Sangkal Putung benar-benar akan menjadi pelik.
Sidanti itu pasti akan menyimpan dendam di dalam hatinya. Kepada
dirinya, kepada Agung Sedayu dan kini kepada Swandaru, dan kepada
pamannya itu sendiri. Sekilas ia membuka matanya dan memandang wajah Ki
Tanu Metir. Namun tiba-tiba Ki Tanu Metir menggeleng lemah.
“Mudah-mudahan mereka segera dapat ditangkap” desah Untara
Widura terkejut mendengar kata-kata itu.
Apakah ia harus menangkap Ki Tambak Wedi? meskipun demikian Widura itu
tidak bertanya sesuatu. Ketika dilihatnya Untara memejamkan matanya
kembali, maka Widura itu kembali duduk bersama Agung Sedayu dan Ki Tanu
Metir. Sementara itu Ki Demang dan Swandaru datang pula di antara
mereka.
Hari itu adalah hari yang tegang bagi
Sangkal Putung. Hampir setiap orang tidak terpisah dari senjata mereka.
Mungkin Macan Kepatihan, mungkin Ki Tambak Wedi. namun mereka telah
bertekad untuk melakukan tugas mereka sebaik-baiknya.
Gardu penjagaan pun masih juga diperkuat.
Beberapa pengawas berkuda hilir mudik di sekitar daerah kademangan
Sangkal Putung. Namun Sangkal Putung sendiri menjadi sangat sunyinya.
Hampir setiap rumah telah menutup pintunya, dan hampir setiap anak-anak
tidak berani keluar dari rumah mereka. Bahkan ada di antaranya yang
masih belum berani pulang ke rumah sendiri. mereka masih saja tinggal di
kademangan atau banjar desa.
Ki Tanu Metir pun kemudian tidak hanya
megobati Untara, tetapi ia pun pergi juga ke banjar desa. Dan dicobanya
pula untuk meringankan setiap penderitaan dari mereka yang terluka.
Bukan saja hari itu Sangkal Putung
diliputi oleh ketegangan. Beberapa orang pengawas yang dipasang oleh
Untara masih saja memberikan laporan bahwa Macan Kepatihan masih
menyusun kekuatannya di sekitar tempat itu. Karena itu, maka Untara itu
berkesimpulan bahwa laskar Pajang lah yang harus mengambil prakarsa
membersihkan mereka. Mereka tidak boleh menunggu saja di Sangkal Putung.
Menunggu apabila Macan Kepatihan datang menyerang mereka kembali.
Tetapi laskar Pajang suatu ketika harus mencari mereka. Menghancurkan
mereka di sarang-sarang mereka. Karena dengan demikian, maka pekerjaan
laskar Pajang di Sangkal Putung akan lekas selesai.
Tetapi Widura tidak dapat dengan
tergesa-gesa melakukan pekerjaan itu. Menurut perhitungannya, kekuatan
Macan Kepatihan masih cukup banyak untuk mengimbangi kekuatan laskarnya.
Dan di dalam pasukan mereka terdapat seorang Macan Kepatihan yang
berbahaya, dan beberapa orang penting yang lain.
Untara pun menyadari keadaan itu,
sehingga kemudian diambilnya ketetapan bahwa gerakan itu akan segera
dilakukan apabila Untara telah sembuh benar dari sakitnya itu.
Namun ketegangan itu semakin lama menjadi
semakin tipis. Ternyata Macan Kepatihan tidak segera mengadakan
penyerangan kembali. Agaknya mereka masih juga memperhitungkan setiap
kemungkinan. Dan hilangnya Plasa Ireng pun pasti mempengaruhi keadaan
mereka. Bukan saja keadaan Tohpati beserta pasukannya yang tidak lagi
tampak di seputar Sangkal Putung, namun perlahan-lahan mereka melupakan
pula Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Demikian pula Agung Sedayu dan
Swandaru. mereka semakin lama menjadi semakin kehilangan perhatian atas
orang yang menakutkan itu.
Tetapi Widura tidak mau melengahkan diri
dan seluruh laskarnya. Setiap hari ia masih saja mengawasi sendiri
keadaan anak buahnya. Bahkan setiap malam pun ia masih berjalan dari
satu gardu kegardu yang lain. Dan diperingatkannya setiap penjaga gardu
itu, bahwa bahaya yang sebenarnya masih saja berada di sekitar Sangkal
Putung.
Namun ternyata Widura sendiri telah
melupakan setiap kemungkinan yang paling berbahaya bagi dirinya dan
Agung Sedayu. Ternyata, mereka berdua sama sekali tidak memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas diri mereka.
Demikianlah, ketika mereka sedang
nganglang kademangan, tiba-tiba mereka terhenti sebelum mereka sampai ke
ujung jalan yang mengelilingi daerah Gunung Gowok. Mereka terhenti
ketika mereka melihat sesosok tubuh berjongkok ditepi jalan itu.
Widura bukanlah seorang anak kecil yang
bodoh. Ketika ia melihat orang itu, segera ia menjadi curiga. Karena
itu, maka digamitnya Agung Sedayu, dan keduanya pun berhenti.
“Kau lihat orang itu?” bertanya Widura berbisik.
“Ya” sahut Agung Sedayu perlahan-lahan.
“Siapa menurut dugaanmu?”
Agung Sedayu menggeleng, “Entahlah”
Widura mengangkat alisnya. Kemudian katanya, “Hanya ada dua kemungkinan. Ki Tambak Wedi atau Tohpati”
“Tohpati tidak akan seorang diri berada di tempat ini” sahut Agung Sedayu.
“Mungkin saja” jawab Widura. “Beberapa
orang lain berada di tempat lain pula. atau orang yang diumpankannya
untuk memancing kita”
Agung Sedayu menarik nafas. Meskipun
demikian mereka menjadi berdebar-debar juga. Baru saat itu mereka
menyadari, bahwa bahaya yang demikian itu memang dapat terjadi. Tetapi
kesadaran itu datangnya agak terlambat, sebab bahaya itu sendiri telah
berada dipelupuk mata mereka. Beberapa saat terakhir, seakan-akan mereka
telah melupakan kemungkinan ini. Namun kelengahan itu telah membawa
mereka kedalam satu bahaya.
Kini mereka tidak akan dapat mundur lagi,
siapa pun yang akan mereka hadapi. Karena itu, maka Widura itu pun
kemudian berkata, “Marilah kita lihat, siapa orang itu.”
“Kita tidak usah mendekat” berkata Widura.
“Lalu bagaimana ?” bertanya Agung Sedayu
“Biarlah ia yang mendekat.”
“Apakah ia mau?”
“Marilah kita lihat” jawab Widura. Widura
kemudian tidak menunggu jawaban Agung Sedayu lagi. Perlahan-lahan ia
berjalan menepi dan duduk dengan enaknya di tepi jalan. Namun demikian,
pedangnya telah disiapkannya, seandainya ada sesuatu yang tiba-tiba
harus dihadapinya.
Agung Sedayu kini telah memahami maksud
pamannya. Karena itu, maka ia pun berjalan menepi pula, dan berjongkok
berhadapan dengan pamannya itu.
“Kalau orang itu ingin bertemu dengan kita, ia pasti akan datang kemari” berkata pamannya.
“Ya” sahut Agung Sedayu.
“Kalau ia akan bertahan di tempatkannya, maka biarlah kita tunggu di sini sampai besok siang.”
Agung Sedayu tersenyum. Meskipun demikian
debar jantungnya menjadi semakin cepat. Seandainya orang itu
benar-benar Ki Tambak Wedi, maka apakah mereka berdua akan mati sebelum
mereka menyelesaikan pekerjaan mereka yang sebenarnya. Menumpas
sisa-sisa laskar Jipang.
Agung Sedayu kini sudah bukan seorang
penakut lagi. Tetapi ia mempunyai beberapa perhitungan, yang
dikatakannya kepada pamannya. “Paman, adalah tidak menguntungkan sekali
seandainya orang itu benar-benar Ki Tambak Wedi. Apakah dengan demikian
kita tidak akan kehilangan kesempatan untuk melawan Tohpati dengan
laskarnya?”
Widura mengangguk-angguk. “Kau benar
Sedayu” katanya, “tetapi kita sudah tidak mempunyai kesempatan lagi.
Kita hanya tinggal memilih satu kemungkinan. Mempertahankan diri.
Apalagi? Kalau kita kembali sekalipun maka orang itu pasti akan mengejar
kita, dan kita harus bertempur pula.”
“Tidak dapatkah kita memberikan tanda bahaya?”
“Kita tidak membawa alat untuk itu. Yang ada pada kita hanyalah sehelai pedang.”
Agung Sedayu terdiam. Jawaban pamannya
tak akan dapat dipungkiri. Seandainya mereka berjalan kembali, maka
orang itu pasti akan mengejarnya, atau bahkan menyerang dari arahnya
dengan senjata-senjata jarak jauh. Paser atau bandil atau apa pun yang
akan dapat dilemparkannya.
Tiba-tiba Agung Sedayu itu teringat akan
sesuatu. Ia mempunyai beberapa kelebihan dengan daya bidiknya. Mungkin
akan mengurangi tekanan-tekanan yang akan dilakukan oleh orang yang
berjongkok di pinggir jalan itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja Agung
Sedayu itu pun mengumpulkan beberapa butir batu yang berada di
sekitarnya.
“Untuk apa?” bertanya Widura.
Agung Sedayu tersenyum meskipun masam.
“Kalau kita yakin bahwa orang itu lawan kita siapa pun ia, maka aku akan
menyerangnya sebelum orang itu mendekat.”
Widura menjadi tersenyum pula. Jawabnya, “Tak ada gunanya.”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Meskipun demikian, ia tetap pada pendiriannya.
Tetapi sesaat mereka duduk di pinggir
jalan. Orang yang berjongkok itu pun tidak bergerak. Orang itu masih
juga berada di tempat itu juga. Karena itu, maka Widura dan Agung Sedayu
adalah menjadi semakin lama semakin gelisah
“Orang itu memang membiarkan kita menjadi gelisah” bisik Widura, “tetapi biarlah. Kita akan tetap berada di tempat ini.”
“Ya” sahut Agung Sedayu pendek.
Sebenarnyalah bahwa kegelisahan mereka
sudah hampir tak tertahankan lagi. Orang itu sama sekali tidak bergerak
dan seakan-akan sebuah patung yang mati.
Sikap itu sama sekali tidak menyenangkan
bagi Widura dan Agung Sedayu. Ketika kegelisahan Agung Sedayu telah
memuncak, maka ia berkata, “Paman, biarlah aku mencoba melamparnya
dengan batu, apakah ia masih akan berdiam diri? Aku kira aku akan dapat
mengenainya.”
“Jangan” jawab Widura, “kita jangan menjadi gelisah. Kita harus tetap tenang. Orang itu sengaja membuat kita gelisah.
Agung Sedayu terdiam. Namun dadanya
benar-benar akan menjadi pecah karena kegelisahan yang
menghentak-hentak. Meskipun berkali-kali pamannya mengatakan bahwa orang
itu sengaja membiarkan mereka elisah, namun Agung Sedayu itu
benar-benar hampir pingsan dibuatnya.
Sedemikian gelisahnya Agung Sedayu
sehingga sekali ia berdiri, kemudian kembali berjongkok di hadapan
pamannya. Sesaat kemudian dengan lesunya ia membantingkan diri duduk di
sini Widura.
Sebenarnya Widura itu sendiri pun menjadi
sangat gelisah. Namun ia masih berhasil mengendalikan dirinya. Ia masih
tetap dalam sikapnya. Siap untuk menarik pedangnya apabila terjadi
sesuatu.
Di Kademangan Sangkal Putung. Ki Tanu
Metir duduk sambil mengantuk. Sekali-sekali Untara yang telah menjadi
berangsur baik, bertanya-tanya kepadanya. Namun dengan segannya orang
tua itu menjawab sekenanya.
“Apakah Ki Tanu Metir sudah mengantuk?” bertanya Untara
“Hem” sahut Ki Tanu Metir sambil menguap,
“aku tidak biasa mengantuk pada saat-saat eperti ini. Kalau tengah
malam sudah lampau, biasanya barula haku mengantuk. Tetapi kali ini
mataku rasa-rasanya tak mau dibuka lagi”
“Kenapa?” bertanya Untara
“Mungkin aku makan terlalu kenyang” jawab Ki Tanu Metir
Untara tertawa. biasana Ki Tanu Metir
itu, pada saat-saat yang demikian ini, pergi berjalan-jalan keluar. Baru
segelah lewat tengah malam orang tua itu kembali ke pringgitan. Karena
itu, maka Untara bertanya pula, “Ki Tanu, apakah Kiai tidak ingin
berjalan-jalan?”
Sekali lagi Ki Tanu Metir itu menguap.
Jawabnya, “Setiap hari aku pergi berjalan-jalan. Tetapi kali ini
rasa-rasanya agak segan. Mungkin karena aku sudah terlalu lelah”
“Ya” jawab Untara singkat. Ia tahu benar,
bahwa Ki Tanu Metir sibuk mengobati orang-orang yang terluka dan
dirawat dibajar kademangan. Karena itu, maka Untara itu pun kemudian
berdiam diri. Tetapi tiba-tiba ia mendengar Ki Tanu Metir berkata,
“angger Widura dan angger Sedayu agaknya mempunyai keperluan yang
khusus, sehingga sampai saat ini masih belum kembali”
“Apakah ini telah melampaui tengah malam?” bertanya Untara
“Hampir tengah malam” sahut Ki Tanu Metir, “Biasanya pada saat-saat begini mereka telah kembali”
Untara tidak menjawab. mungkin sekali
mereka berdua berhenti di salah satu gardu perondan. Berkelakar dengan
para petugas, atau menunggu mereka merebus ubi kayu. Tetapi agaknya Ki
Tanu Metir berpendapat lain. Katanya, “Hem, aku menjadi semakin
mengantuk”
“Tidurlah Kiai” berkata Untara, “Lebih baik ki Tanu beristirahat. Tenaga Kiai masih sangat diperlukan di sini”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia berkata, “Setiap malam aku keluar berjalan-jalan.
Aku kira lebih baik aku berjalan-jalan pula malam ini supaya kantukku
hilang. Orang yang tidur sebelum tengah malam, rejekinya akan berkurang”
Untara tertawa. Jawabnya, “Jangan terlalu jauh Kiai”
Ki Tanu Metir tertawa pula, “Kenapa?” ia bertanya.
Kembali Untara tertawa. ia tahu benar,
bahwa ia tidak perlu memperingatkan orang tua itu. Karena itu, maka
jawabnya, “Nanti Kiai jadi lapar lagi”
Ki Tanu Metir itu pun tertawa. Ki Demang
Sangkal Putung yang baru datang, dan mendengar percakapan itu pun
tertawa pula. sambungnya, “Jangan takut Kiai, didapur masih tersedia ubi
rebus”
“Terima kasih” sahut Ki Tanu Metir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terima kasih. Mudah-mudahan aku tidak memerlukannya”
Ki Tanu Metir itu pun kemudian berdiri
dan perlahan-lahan berjalan keuar prtinggitan. Belum lagi ia melangkahi
pintu, maka terdengar Ki Demang berkata, “Apakah aku perlu mengantarkan
Kiai?”
“Tidak, tidak” jawab Ki Tanu Metir
cepat-cepat, “Jangan repot karena aku. Biarlah aku berjalan-jalan
sendiri. mungkin ke banjar desa, melihat mereka yang terluka, atau
mungkin ke gardu-gardu peronda”
“Jangan ke gardu peronda. Di jalan Kiai dapat bertemu dengan bahaya”
“Oh ya, baiklah” berkata Ki Tanu Metir
Kemudian Ki Tanu Metir itu pun pergi
meninggalkan Ki Demang yang kini duduk mengawani Untara. Dalam kegelapan
malam, Ki Tanu Metir itu meraba-raba tongkatnya menuju kegerbang
halaman.
“Selamat malam Kiai” bertanya orang yang sedang bertugas, “Apakah Kiai akan berjalan-jalan?”
“Ya” jawab Ki Tanu Metir
Orang yang sedang bertugas itu telah
mengetahui kebiasaan Ki Tanu Metir itu. Setiap malam berjalan-jalan
keluar halaman menikmati sejuknya udara. Karena itu, maka kepergian Ki
Tanu Metir itu sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Seorang yang
sedang duduk menguap di samping regol berkata, “Hem, dingin Kiai. Apakah
Kiai tidak lebih senang tidur saja?”
“Uh” sahut Ki Tanu Metir, “Sejak muda aku tidak pernah tidur sebelum lewat tengah malam”
Dan Ki Tanu Metir itu pun berjalan
tertatih-tatih menyusup kedalam gelapnya malam. Namun setelah cukup jauh
tiba-tiba Ki Tanu Metir itu berpaling. Sekali ia menarik nafas panjang.
Kemudian disangkutkannya kain panjangnya. Dan tiba-tiba orang tua itu
berjalan tergesa-gesa. Gumamnya, “Hem, kenapa hari ini aku lebih senang
terkantuk-kantuk di kademangan? Justru hari ini angger Widura dan angger
Agung Sedayu pulang terlambat. Mudah-mudahan tak ada seusatu yang
mengganggunya”
Meskipun demikian orang tua itu berjalan
dengan cepatnya menyusup kegelapan. Kini Ki Tanu Metir itu sama sekali
tidak mempergunakan tongkatnya lagi. Ketika dilihatnya di hadapannya
sebuah gardu perondan, maka segera dengan tangkasnya ia menyelinap dan
hilang di balik pagar. Kini orang tua itu menyusup di antara rimbunnya
dedaunan dan dengan cepatnya berjalan melingkari gardu perondan itu.
Dalam pada itu Agung Sedayu yang duduk di
pinggir jalan dengan gelisahnya, benar-benar tak dapat menguasai
dirinya lagi. Karena itu, maka katanya, “Paman, aku dapat menjadi gila
karenanya. Marilah kita datang kepadanya, kita tanyakan apakah
keperluannya”
“Itulah yang diharapkannya. Kita kehilangan kesabaran dan pengamatan diri”
Agung Sedayu menggeram. Ia dapat mengerti
kata-kata pamannya, namun ia tidak dapat melawan perasaan gelisahnya,
sehingga karenanya maka tubuhnya segera dilumuri oleh keringat dingin
yang mengalir dari segenap permukaan kulitnya.
Meskipun demikian, Agung Sedayu bertanya
juga kepada pamannya, “Paman, apakah bedanya, seandainya kita harus
benar-benar bertempur, menunggu atau datang kepadanya?”
“Kalau orang itu Ki Tambak Wedi, Sedayu,
maka keadaan kita memang hampir sama saja. Tetapi kalau orang itu
Tohpati, maka kita akan mendapat beberapa keuntungan. Kalau kita maju
lagi, mungkin kita akan dijebak oleh orang-orangnya. Sedangkan kalau
kita berada di sini, maka kita mempunyai garis ancang-ancang yang cukup
luas”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia dapat juga mengerti keterangan itu. Bahkan seandainya
orang itu Ki Tambak Wedi pun maka mereka akan lebih banyak waktu untuk
memersiapkan diri mereka. Tetapi kenapa mereka harus menunggu terlalu
lama?
“Agung Sedayu” berkata Widura,
“Sebenarnya pertempuran antara kita melawan orang itu sudah kita mulai.
Dalam taraf ini kita sedang mengadu ketabahan jati kita masing-masing.
Apakah kita dapat mengendalikan diri atau tidak. Siapa yang lebih dahulu
kehilangan kesabaran maka ialah yang lebih dahulu akan kehilangan
ketenangan. Seandainya kekuatan kita dengan orang itu seimbang, maka
siapa yang kehilangan ketenangannya pasti akan kalah”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun ia tidak dapat menyabarkan dirinya sendiri lebih lama
lagi. Bahkan akhirnya ia berkata, “Paman, meskipun kita tidak mulai
lebih dahulu, sebenarnya kita telah kehilangan ketenangan itu. Semakin
lama kita menahan diri, maka ketenangan kita akan menjadi semakin tipis.
Karena itu selagi kita masih menyadari keadaan, maka marilah kita lihat
siapakah yang berada di hadapan kita itu”
Widura menarik nafas. Ia pun sebenarnya
telah hampir kehabisan kesabarannya pula. Untunglah bahwa ia masih
bersabar sesaat. Namun ternyata waktu yang sesaat itu telah benar-benar
menguntungkannya. Bukan karena orang yang berjongkok itu menjadi bingung
dan kehilangan ketenangan, tetapi sebenarnya bahwa mereka masih
mendapat perlindungan dari Kekuasaan yang melampaui segenap Kekuasaan.
Akhirnya ternyata Agung Sedayu itu
menjadi benar-benar tidak dapat mengendalikan dirinya. Kini ia tidak
minta ijin lagi kepada pamannya. Dengan serta-merta ia berdiri dan
dengan sekuat tenaganya ia melemparkan sebuah batu mengarah kepada orang
yang berjongkok di pinggir jalan itu.
Tetapi alangkah kecewanya, dan bahkan
kemarahan di dalam dadanya menjadi semakin menyala, ketika orang itu
sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Apalagi bergerak, sikapnya
pun sama sekali tidak berubah. Jongkok.
“Hem” Agung Sedayu menggeram.
“Sudahlah Sedayu” cegah pamannya.
“Aku tidak sabar lagi. Aku akan datang kepadanya dan akan melihat wajahnya. siapakah orang yang bermain hantu-hantuan itu”
“Jangan” pamannya segera memotong kata-katanya.
“Biarlah” sahut Agung Sedayu.
“Jangan” ulang pamannya.
Agung Sedayu menjadi kecewa. Tetapi ia tidak berani melanggar kata-kata pamannya. Karena itu, maka ia menjadi semakin bingung.
Tetapi ternyata ketabahan hati Widura
telah menjengkelkan orang yang berjongkok itu. Orang itu memang
membiarkan Widura dan Agung Sedayu menjadi gelisah dan bingung. Tetapi
yang dilihatnya hanya Agung Sedayu sajalah yang benar-benar seperti
cacing kepanasan. Sedang Widura masih saja duduk di tempatnya tanpa
bergerak. Orang itu ingin melihat keduanya menjadi bingung dan dengan
demikian, ia akan mendapat permainan yang lucu dan menyenangkan. Tetapi
harapannya itu hanya separo berhasil. Ia hanya melihat Agung Sedayu yang
berjingkat-jingkat, berdiri, berjongkok, duduk dan segala macam
perbuatan-perbuatan yang aneh.
Karena itu, maka akhirnya ia menganggap
bahwa ia tidak perlu menunggu permainan yang lucu itu lebih lama lagi.
Disadarinya bahwa cara berpikir pemimpin laskar Pajang itu benar-benar
sudah dewasa. Karena itu, maka ia harus membuat permainan yang lain.
Mula-mula ia sama sekali tidak menghiraukan lemparan-lemparan batu Agung
Sedayu. Dengan sepotong besi batu-batu itu dipukulnya ke samping.
Sedemikian cepatnya, sehingga Agung Sedayu sama sekali tidak melihat
gerak itu.
Kini ia akan membuat permainan yang lain.
Ia ingin melihat Agung Sedayu mati ketakutan atas setidak-tidaknya
karena dibakar oleh kemarahannya. Mati dengan cara itu adalah mengerikan
sekali. Karena itu, maka orang itu pun tersenyum.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Widura
benar-benar menjadi sangat terkejut. Sesaat mereka bercakap-cakap
sehingga mereka tidak melihat orang yang berjongkok itu. Namun sesaat
itu benar-benar telah mendebarkan jantung mereka. Orang yang berjongkok
itu telah lenyap.
“Gila” tiba-tiba Agung Sedayu itu pun berteriak, “Kemana orang itu?”
“Jangan berteriak” potong Widura. tetapi
Widura itu pun menjadi bersiaga. Ia pun segera berdiri dan menarik
pedang dari wrangkanya. Beberapa langkah ia berjalan ketengah jalan dan
berbisik, “Orang itu akan menyerang kita dari arah yang tidak kita
ketahui”
“Kemana orang itu?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku sangka ia berguling masuk keparit di
pinggir jalan itu. Dari sana ia dapat pergi kemana saja yang
disukainya. Karena itu kita harus bersiap menghadapi lawan dari segala
arah. Ia dapat selalu memperhatikan kita, sedang kita tidak dapat
melihat orang itu”
“Marilah kita cari”
“Sangat berbahaya” sahut pamannya, “Aku
kini pasti. Orang itu bukan Macan Kepatihan, tetapi Ki Tambak Wedi.
Macan Kepatihan tidak akan berbuat sedemikian. Ternyata Ki Tambak Wedi
mencoba membunuh kita dengan cara yang paling jahat yang dapat
dilakukannya”
Agung Sedayu menggeram. Tiba-tiba
tangannya pun telah menggenggam pedangnya. Dengan suara yang berat ia
berkata, “Akhirnya akan sama saja paman. Kenapa kita tidak datang
menyerangnya”
“Sudah aku katakan” sahut pamannya, “Aku, sebelum ini tidak yakin kalau orang itu Ki Tambak Wedi”
Agung Sedayu tidak menjawab. tiba-tiba ia berputar sambil berteriak, “Ayo, kemarilah. Kita bertempur beradu pedang”
“Jangan berteriak Sedayu” desis pamannya.
“Punggungku dilemparnya dengan batu” sahut Agung Sedayu.
Pamannya mengerutkan keningnya. Ki Tambak
Wedi benar-benar ingin mempermainkan mereka. Karena itu, maka betapa
kemarahan melonjak dikepalanya. Tetapi Ki Tambak Wedi itu belum
dilihatnya.
Agung Sedayu benar-benar menjadi sangat
marah dan bingung, sehingga benar-benar seperti orang yang kehilangan
kesadaran diri. Sekali-sekali terasa punggungnya dikenai oleh
lemparan-lemparan batu dari arah yang tak diketahuinya.
“Agung Sedayu” berkata Widura, “Jangan
menjadi bingung dan kehilangan pengamatan. Tenanglah. Kita sudah
bersedia menghadapi segala kemungkinan”
Kembali Agung Sedayu menggeram. Tetapi ia
mencoba menenangkan dirinya. Sekali dua kali dibiarkannya beberapa
butir batu mengenainya, namun ternyata semakin lama menjadi semakin
keras. Betapapun ia mencoba berdiam diri, tetapi kembali kemarahannya
itu meledak. Sehingga terdengar ia berteriak, “Ayo yang bersembunyi di
balik alang-alang atau di balik gerumbul-gerumbul itu. Kemarilah, kita
bertempur sebagai laki-laki. Jangan bersembunyi dan menyerang sambil
bersembunyi”
Tetapi masih belum terdengar jawaban, sehingga Agung Sedayu seolah-olah benar-benar menjadi gila.
Widura pun telah kehabisan akal.
Bagaimana ia akan melawan orang yang tidak dilihatnya. Orang itu pasti
bersembunyi sambil berpindah-pindah. Dengan demikian, ia akan dapat
menyerangnya menurut arah yang dikehendaki. Namun akhirnya Widura harus
mengambil sikap yang dapat memecahkan kebingungan itu. Ia harus berani
menghadapi akibat yang paling parah sekalipun. Karena itu, maka katanya
berbisik, “Sedayu. Kita tidak akan dapat tetap tinggal di tempat ini.
Kita pun harus mengambil sikap. Mari kita bersembunyi pula dengan
kemungkinan yang paling pahit, apabila kita menyuruk kegerumbul yang di
tempati olehnya. Tetapi kalau tidak kita tidak akan menjadi
bulan-bulanan lagi. Dan kita mempunyai kesempatan yang sama dengan orang
itu”
“Marilah paman” sahut Agung Sedayu yang
juga telah kehilangan akal. Ia sudah tidak dapat berpikir lagi. Sehingga
apa saja yang harus dilakukannya, dilaksanakannya tanpa pertimbangan.
Tetapi tiba-tiba didengarnya suara
tertawa di dalam semak-semak diseberang parit. Suara itu tidak terlalu
keras, tetapi benar-benar menyakitkan hati. Disela-sela suara tertawa
itu terdengar ia berkata, “Agung Sedayu. Aku senang sekali melihat kau
kebingungan seperti kera yang ekornya terbakar. Kalian tak usah
bersembunyi kemana pun sebab akibatnya akan sama saja. Aku akan selalu
dapat melihat kalian. Karena itu lebih baik kalian berada di tempat yang
terbuka supaya besok ada yang dapat menemukan mayat kalian”
Bukan main marah Widura dan Agung Sedayu
mendengar suara itu. Namun suara itu seakan-akan memancar dari tempat
yang tak dapat diketahui. Suara itu seakan-akan melingkar-lingkar dan
bergetaran dari segenap arah.
Sesaat kemudian suara itu berkata
kembali, “Agung Sedayu dan Widura. aku sudah berkeputusan untuk membunuh
kalian dengan bantuan kalian sendiri. Kemarahan dan kebingungan,
kesakitan dan kelelahan adalah cara pembunuhan yang paling dahsyat.
Meskipun kalian tidak menjadi ketakutan, tetapi bagiku tidak ada
bedanya. Kalian menderita sebelum ajal datang”
“Setan” sahut Widura, “Itu bukan perbuatan seorang jantan”
Kembali suara tertawa itu menggetar.
“Jangan mengumpat-umpat” katanya. “Kau hanya akan menambah dosa saja.
Sebaiknya kalian berbaring saja disitu, tenangkan hatimu dan berdo’alah
supaya nyawamu tidak tersesat masuk neraka”
“Diam, diam!” teriak Agung Sedayu, “Aku sobek mulutmu dengan pedangku ini”
“Bagus, bagus” sahut suara itu, “Sobeklah kalau kau ingin. Mulut ini memang tidak terlalu lebar”
Mereka berdua, Widura dan Agung Sedayu
semakin lama menjadi benar-benar hampir gila dibakar oleh perasaan
sendri. Dan suara itu pun masih selalu mengganggunya dari arah yang
tidak ketahuan. Mudah-mudahan Widura masih dapat menyadari, bahwa orang
itu pasti berpindah-pindah tempat. Namun disadarinya pula bahwa orang
itu adalah seorang yang sakti. Tetapi semakin lama kesadarannya menjadi
semakin tipis, sehingga akhirnya suara itu seakan-akan melingkar-lingkar
di langit yang kelam.
Namun dalam kebingungan yang hampir
menelan Widura dan Agung Sedayu itu tiba-tiba terdengar suara yang lain
dari suara yang pertama. Suara yang kedua terdengar lunak dan lembut,
meskipun tidak pula mereka ketahui arahnya. Katanya, “Widura dan Agung
Sedayu. Jangan bingung. Biarkan saja suara itu mengganggu kalian.
Anggaplah suara itu suara angin yang lembut, menyentuh daun-daun yang
kering. Memang suaranya gemerisik menyakitkan telinga. Namun suara itu
sama sekali tidak berbahaya. Turutilah kehendak yang tersembul di dalam
hati kalian, untuk mengurangi ketegangan di hati kalian. Kalau kalian
ingin bersembunyi, bersembunyilah. Kalau kaian ingin kembali ke
kademangan, kembalilah. Kalau kalian ingin berteriak, berteriaklah.
Suara itu benar-benar tidak berbahaya”
Widura dan Agung Sedayu menggeram. Namun
mereka menjadi bertambah bingung. Sehingga karena itu, maka mereka
menjadi terpaku diam di tempatnya. Dalam pada itu syara yang kedua itu
berkata pula, “Jangan menjadi bingung. Tegasnya, jangan hiraukan suara
itu”
Widura dan Agung Sedayu itu pun mencoba
mengingat-ingat suara yang kedua itu. Suara itu pernah didengarnya.
Lembut, lunak meskipun bernada tinggi. Tiba-tiba Widura itu pun
bergumam, “Kiai Gringsing”
Agung Sedayu segera menengadahkan wajahnya. perlahan-lahan mulutnya berdesis, “Ya, Kiai Gringsing”
Sesaat kemudian suasana menjadi sunyi.
Baik Ki Tambak Wedi maupun Kiai Gringsing tidak berkata-kata lagi.
Widura dan Agung Sedayu pun berdiri kaku bertolak punggung dengan pedang
telanjang di tangan masing-masing. Namun mereka sama sekali tidak dapat
berbuat apa-apa.
Dalam pada itu angin malam yang lembut
membelai kening mereka, menggerak-gerakkan ujung ikat kepala mereka yang
berjuntai di belakang telinga. Tetapi betapa sejuknya angin menyentuh
tubuh mereka, namun hati mereka serasa tersentuh bara. Panas dalam
kesunyian malam yang dingin.
Tetapi kesunyian itu benar-benar sangat
menjemukan. Kesunyian itu terasa menjadi sedemikian tegangnya, sehingga
karenanya Widura dan Agung Sedayu itu seolah-olah telah menahan nafas
mereka.
Tiba-tiba Agung Sedayu dan Widura itu
terkejut bukan kepalang. Di balik gerumbul-gerumbul itu terdengar suara
gemerisik. Bukan saja langkah seseorang, tetapi suara itu sedemikian
ributnya.
“Suara apakah itu?” desis Agung Sedayu.
Widura memutar tubuhnya mengarah kepada
suara itu. Namun suara itu telah jauh bergeser dari tempatnya semula.
Sehingga Widura itu pun ikut berputar pula.
“Suara apakah itu paman“ ulang Agung Sedayu sambil menahan nafasnya.
Widura menggeleng lemah. Ia pun menjadi
kebingungan karenanya. Sedang suara itu masih saja terdengar di antara
rimbunnya gerumbul-gerumbul di sekitarnya. Namun seperti suara Ki Tambak
Wedi dan Kiai Gringsing, maka suara gemerisik itu pun melingkar-lingkar
tak tentu arahnya.
Namun akhirnya Widura menyadari keadaan itu. Dengan serta-merta ia berkata, “Agung Sedayu. Mereka pasti sedang bertempur”
“Siapa?”
“Ki Tambak Wedi dengan Kiai Gringsing”
“He?” Agung Sedayu itu pun terkejut. “Dimana?”
“Rupa-rupanya Ki Tambak Wedi tidak senang
mendengar suara Kiai Gringsing, sehingga orang itu langsung
menyerangnya. Dan kini keduanya sedang bertempur di dalam gelap itu.
Mereka bergeser dari satu tempat ke lain tempat. Aku tidak tahu pasti,
apakah Ki Tambak Wedi ataukah Kiai Gringsing yang sengaja memberikan
kesan kepada kita, bahwa pertempuran itu seakan-akan terjadi di langit
yang kelam”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Keterangan pamannya itu benar-benar dapat dimengertinya.dan
akhirnya ia pun merasakan, kesibukan perkelahian pada suara yang
didengarnya. Tetapi perkelahian antara dua orang yang telah memiliki
ilmu yang jauh lebih tinggi dari mereka. Meskipun demikian Agung Sedayu
itu menjadi cemas. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang telah mempunyai
nama yang cukup menggetarkan di seluruh lereng gunung Merapi itu, sedang
nama Kiai Gringsing sama sekali belum dikenal oleh siapapun. Sedemikian
besar keragu-raguan Agung Sedayu, sehingga terdengar ia berbisik kepada
pamannya, “Paman, apakah Kiai Gringsing cukup memiliki kemampuan untuk
melawan Ki Tambak Wedi?”
Widura menarik alisnya. Tetapi pedangnya
masih selalu siap di dalam genggamannya. Jawabnya, “Aku tidak
meragukannya. Orang itu memiliki beberapa kelebihan. Kekuatan tenaganya
telah membuktikannya”
“Apakah paman pernah melihat?”
“Aku belum pernah melihat ia bertempur,
namun aku pernah melihat Kiai Gringsing mengimbangi kekuatan Ki Tambak
Wedi. orang itu mampu meluruskan kembali lingkaran-lingkaran besi yang
dibuat oleh Ki Tambak Wedi dengan tangannya”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun demikian masih saja perasaannya diliputi oleh
keragu-raguan dan kecemasan. Di sekitarnya masih terdengar suara
gemerisik dan bahkan menjadi jelas. Namun kadang-kadang suara itu
menjadi semakin jauh dan berkisar dengan cepatnya.
“Marilah kita melihat paman” ajak Agung Sedayu.
“Kemana?” bertanya pamannya.
Agung Sedayu pun menjadi bingung. Ia
tidak tahu arah yang harus didatangi. Suara itu benar-benar
melingkar-lingkar seolah-olah memenuhi segenap penjuru.
Ketika Agung Sedayu dan Widura terdiam,
maka suara itu menjadi semakin jelas. Kadang-kadang suara itu sedemikian
dekatnya, namun kadang-kadang menjadi agak jauh, tetapi suara itu
menunjukkan betapa ributnya pertempuran yang sedang berlangsung.
Tiba-tiba mereka terkejut, ketika mereka
melihat bayangan yang melontar dari dalam kegelapan, disusul oleh sebuah
bayangan yang lain. Demikianlah maka kedua bayangan itu kini bertempur
di tempat yang terbuka. Masing-masing dengan caranya dan masing-masing
dengan ilmunya yang khusus. Sehingga dalam malam yang gelap itu, Widura
dan Agung Sedayu melihat pameran kekuatan yang mengagumkan.
Ki Tambak Wedi benar-benar sampai
sedemikian garangnya. Tangannya bergerak-gerak dengan pasti dan cepat.
Tangan yang hanya sepasang itu seakan-akan merupakan sepasang senjata
yang sangat dahsyatnya. Seperti sepasang tombak pendek yang
mematuk-matuk dari segenap arah.
Tetapi lawannya adalah seorang yang
sangat lincah. Seperti asap yang berputaran dalam pusaran angin yang
kencang. Sepasang kakinya seakan-akan tidak berjejak di atas tanah.
Sehingga dengan cepatnya ia dapat berpindah-pindah tempat. Betapapun
kekuatan lawan yang menghantamnya, namun serangan itu seakan-akan tidak
dapat menyentuhnya.
Demikianlah pertempuran itu menjadi
semakin sengit. Widura dan Agung Sedayu berdiri saja mematung. Dadanya
terasa berdentangan dan darahnya mengalir semakin cepat. Pedang-pedang
di tangan mereka seolah-olah sama sekali tidak akan berarti seandainya
mereka harus bertempur melawan salah seorang dari mereka.
“Seandainya kami yang harus bertempur
melawan Ki Tambak Wedi,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya, “Entahlah
apa kira-kira yang akan terjadi”
Sesungguhnyalah bahwa kekuatannya sama
sekali tak akan berarti dibandingkan dengan kekuatan dan kesaktian orang
yang menakutkan itu.
Malam yang dingin itu semakin lama
menjadi semakin dingin. Angin yang basah perlahan-lahan mengalir dari
selatan. Namun hati Widura dan Agung Sedayu terasa betapa panasnya.
Mereka melihat perkelahian yang dahsyat antara Ki Tambak Wedi dan Kiai
Gringsing. Namun kadang-kadang keduanya menjadi hilang di dalam
kegelapan malam, untuk kemudian muncul kembali di tempat yang lain.
Ternyata mereka berdua telah mempergunakan tempat yang amat luas untuk
bertempur. Mereka melontar-lontar sangat cepatnya dan loncatan-loncatan
panjang yang mengherankan. Seolah-olah kedua-duanya memiliki sayap di
punggung mereka, sehingga mereka dapat beterbangan berputar-putar.
Pertempuran itu benar-benar seperti
pertempuran antara dua ekor burung-burung raksasa di langit yang luas
berebut kekuasaan. Seakan-akan mereka sedang bertaruh, siapa yang menang
di antara mereka maka ialah yang dapat merajai langit.
Tetapi Widura dan Agung Sedayu menjadi
bingung. Mereka sama sekali tidak dapat menilai, siapakah di antara
mereka berdua yang lebih kuat. Keduanya sama-sama memiliki keunggulan
dan kelebihan yang sulit dimengerti. Desak-mendesak, silih berganti.
Sehingga kemudian keduanya menjadi seperti gumpalan-gumpalan asap yang
berbenturan tidak menentu.
Namun kemudian Widura dan Agung Sedayu
terkejut ketika mereka melihat benda yang berkilat-kilat di tangan Ki
Tambak Wedi pada kedua belahnya. Dalam genggaman tangannya, tiba-tiba
telah melingkar gelang-gelang besi baja. Sepasang senjata yang pernah
mereka lihat di halaman belakang kademangan serta ciri yang sudah pernah
mereka kenal pula. dengan senjata itu, maka tangan-tangan Ki Tambak
Wedi itu menjadi semakin berbahaya. Serangan-serangan Kiai Gringsing
kemudian selalu tidak pernah dihindarinya, namun dicobanya untuk
menempuh serangan itu dengan gelang-gelang baja yang melingkari
genggaman tangannya. Bahkan seandainya lawannya mempergunakan pedang
sekalipun, namun pedang itu akan ditahannya dengan lingkaran-lingkaran
itu.
Dengan senjata itulah maka Ki Tambak Wedi
menjadi semakin dahsyat. Tangannya menyambar-nyambar ke segenap tubuh
lawannya. Pukulan-pukulannya adalah pukulan-pukulan maut, seandainya
tersentuhpun, maka tulang-tulang Kiai Gringsing agaknya akan berserak
retak.
Karena itu, maka kini Widura dan Agung
Sedayu dapat melihat, bahwa Kiai Gringsing lah yang selalu mencoba
menghindar serangan-serangan lawannya. Berkali-kali ia melontar mundur
dan menjauh. Tetapi lawannya selalu mengejarnya dengan ganasnya.
Sambaran-sambaran tangannya berdesingan seperti lalat yang terbang
mengitari tubuh Kiai Gringsing. Sedang cahaya besi baja di tangannya
yang bergerak-gerak itu, tampaknya seolah-olah kilat yang
menyambar-nyambar.
Widura dan Agung Sedayu menjadi cemas
pula karenanya. Meskipun dengan demikian mereka dapat menduga bahwa
kemampuan Kiai Gringsing ternyata masih berada setidak-tidaknya menyamai
Ki Tambak Wedi. Ternyata dengan senjata yang kemudian terpaksa
digunakan oleh Ki Tambak Wedi. namun apabila dengan senjata itu Kiai
Gringsing dapat dikalahkan, lalu apakah jadinya mereka berdua?
Tetapi mereka berdua bukannya pengecut.
Juga Agung Sedayu kini sama sekali tidak ingin melarikan dri dari
bahaya. Meskipun kadang-kadang terasa juga sesuatu yang berdesir di
dalam dadanya, seperti yang pernah dirasakannya dahulu, namun kini ia
berkata kepada dirinya, “dia itu mempunyai kesaktian yang tiada taranya.
Seandainya aku melarikan diri, maka itu pasti hanya akan bersifat
sementara. Ia akan dapat mengejarku dan menangkapku seperti kalau aku
tetap berada di tempat ini. Karena itu, maka biarlah aku di sini
bersama-sama dengan paman Widura dan Kiai Gringsing. Meskipun kekuatanku
sama sekali tidak berarti, tetapi lebih baik menghadapinya bersama-sama
daripada aku nanti harus dikejarnya seorang diri”
karena itu, maka Agung Sedayu masih tetap
berdiri di tempatnya. Sekali-sekali ia berkisar mengikuti putaran
pertempuran Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi yang kemudian merasa bahwa
lawannya selalu terdesak, berkata dengan lantang sambil mengayukan
kedua tangannya berputaran menyerang lawannya, “He, orang yang bodoh.
Siapakah kau dan apamukah Agung Sedayu dan Widura ini?”
Jawabannya benar-benar menyakitkan hati
Ki Tambak Wedi yang menyangka bahwa lawannya telah menjadi cemas akan
nasibnya. Namun dengan jawaban itu, terasa seakan-akan lawannya itu
masih saja menganggap perkelahian itu seperti sebuah permainan, katanya,
“Bukan apa-apa. kami hanya bersama-sama menghuni daerah ini, daerah
yang diributkan oleh kehadiran Ki Tambak Wedi”
“Jangan mengigau” bentak Ki Tambak Wedi, “apakah kau benar-benar telah jemu hidup?”
“Oh, kau salah sangka. Aku berkelahi karena aku ingin hidup tenteram di daerah ini”
“Hiduplah tenteram. Kenapa kau ganggu
kami yang sedang terlibat dalam persoalan kami sendiri, apakah
hubungannya hidupmu dengan persoalan ini?”
“Ada” sahut Kiai Gringsing, “Angger
Widura sedang memanggul tugasnya mempertahankan daerah perbekalan ini
dari segapan Macan Kepatihan. Kalau kau binasakan orang itu, maka
laskarnya pun akan berhamburan tanpa ikatan. Dan daerah ini akan menjadi
kacau balau. Sangkal Putung akan berubah menjadi pusat perbekalan
laskar Macan Kepatihan. Sehingga dengan demikian hidupku pun akan
terancam”
“Gila. Jangan menganggap aku anak kambing
yang bodoh. Kalau kau mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi, kenapa
kau tidak mampu bertempur melawan Macan Kepatihan?”
“Seperti kau, kanapa kau tidak mau membunuh Macan Kepatihan? Kenapa mesti muridmu yang bernama Sidanti?”
“Gila, kau benar-benar gila. Seharusnya
aku sudah membunuhmu. Nah sekarang kesempatan itu datang, orang yang
tidak mau dikenal seperti kau ini pun harus mati. Dan aku akan dapat
mengerti, apakah sebabnya kau menyebut dirimu dan memulai dirimu seperti
itu. Bukankah kau yang aku jumpai di lapangan dekat banjar desa pada
saat Sidanti berlomba memanah?”
Sementara itu perkelahian di antara
mereka berdua, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing menjadi bertambah
cepat. Meskipun beberapa kali Kiai Gringsing terpaksa melontar surut,
namun perlawanannya masih tetap sengit. Dalam kesibukan perkelahian itu
Kiai Gringsing menjawab, “Ya, akulah yang bertemu dengan kau di lapangan
itu, kau masih ingat?”
“Tampangmu tak mudah dilupakan” jawab Ki
Tambak Wedi, “Dan di daerah ini jarang-jaranglah orang yang mampu
bertempur melawan Ki Tambak Wedi sampai dua tiga loncatan. Tetapi kau
mampu bertahan beberapa lama”
Kiai Gringsing menggeram. Katanya, “Jadi kau pasti bahwa akhirnya pertahananku pun akan runtuh?”
“Tentu, meskipun kulitmu berlapis baja sekalipun”
“Kau, yang mempergunakan lapisan baja di tanganmu”
“Persetan. Ambillah senjatamu. Kita menentukan siapa di antara angkatan tua yang akan dapat merajai lereng gunung Merapi”
“Aku tidak ingin” jawab Kiai Gringsing, “Tetapi aku juga tak ingin dirajai”
Ki Tambak Wedi tidak berkata-kata lagi.
Serangannya menjadi bertambah seru. Sepasang gelang dikedua tangannya
bergerak dengan dahsyatnya. Setiap sentuhan daripadanya, pasti akibatnya
akan sangat dahsyat.
Namun kemudian masih juga ternyata bahwa
Kiai Gringsing terpaksa selalu menghindari serangan Ki Tambak Wedi yang
semakin garang. Beberapa kali Kiai Gringsing harus melontar surut,
sedang Ki Tambak Wedi tidak akan melepaskan segenap kesempatan yang
terbuka baginya.
Tetapi kemudian Kiai Gringsing tidak mau
menjadi sasaran untuk meluapkan kemarahan Ki Tambak Wedi saja. Ketika
kemudian ternyata bahwa ia tidak dapat bertahan terlalu lama menghadapi
sepasang gelang itu, maka kemudian dari balik bajunya Kiai Gringsing
menarik pula senjatanya yang tak kalah anehnya. Sebuah cambuk.Ya, cambuk
yang tidak terlalu besar, dan berujung agak panjang. Tetapi benda itu
keseluruhan tidak lebih panjang dari setengah depa sampai ke ujung
juntainya.
Ki Tambak Wedi terkejut melihat senjata
itu. Ia lebih tatag menghadapi pedang, tombak dan tongkat baja seperti
milik Macan Kepatihan. Tetapi menghadapi senjata yang aneh ini, maka
hatinya menjadi berdebar-debar. Cambuk yang kecil itu pasti akan sulit
untuk dilawan dengan gelang besinya. Senjata itu lemas dan juntainya
akan dapat menyengat tubuhnya dari segenap arah. Dan Ki Tambak Wedi
sadar bahwa cambuk itu pasti dari bahan yang dapat dipercaya oleh
seorang yang setingkat Kiai Gringsing.
Sebenarnyalah, tiba-tiba saja mereka
telah dikejutkan oleh cambuk kecil itu. Cambuk itu memekik sedemikian
kerasnya seperti sebuah ledakan yang dahsyat dalam nada yang tinggi.
Sehingga tiba-tiba telinga mereka yang mendengarnya menjadi sakit.
Dengan serta-merta Widura dan Agung Sedayu telah menutup sebelah telinga mereka dengan tangan-tangan kiri mereka.
Kang terdengar kemudian adalah geram Ki
Tambak Wedi. “Dahsyat. Kau mau mempengaruhi kau dengan letupan yang
memekakkan telinga itu?”
“Kalau kau mau” sehut Kiai Gringsing sekenanya.
“Gila. Kau berhadapan dengan maut. Jangan menyesal kalau kau tidak sempat melihat bintang pagi terbenam”
Kiai Gringsing tidak menjawab. kini ia menyerang Ki Tambak Wedi dengan dahsyatnya dengan ujung-ujung cambuknya.
Karena itu maka perkelahian di antara
mereka menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah mempergunakan
senjata-senjata yang terpercaya. Karena itulah maka perkelahian itu
segera meningkat sampai pada saat-saat yang menentukan.
Widura dan Agung Sedayu pun menjadi
bertambah tegang pula. Meskipun mereka berada diluar lingkungan
perkelahian itu namun terasa pula oleh mereka, bahwa kedua orang yang
sedang bertempur itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka
masing-masing sedang berusah untuk menumbangkan lawannya dalam taraf
ilmu yang tertinggi yang mereka miliki.
Kini Widura dan Agung Sedayu tidak lagi
melihat Kiai Gringsing selalu terdesak mundur. Bahkan kini mereka dapat
merasakan, bahwa cambuk kecilnya benar-benar berbahaya. Sekali-sekali
terdengar cambuk itu meledak dan terasa sebuah sengatan yang pedih pada
tubuh lawannya. Kedua gelang besi di tangan Ki Tambak Wedi benar-benar
tidak dapat dipergunakannya untuk menangkis serangan senjata yang aneh
itu.
Demikianlah maka kini keadaan menjadi
berubah. Bayangan Ki Tambak Wedi yang bergerak-gerak dengan lincahnya
itu seolah-olah terdesak mundur. Bayangan yang lain perlahan-lahan telah
mengurungnya. Tidak saja tangan Kiai Gringsing yang bergerak-terak
dengan cepatnya, namun ujung cambuknya pun menjadi seakan-akan
gumpalan-gumpalan asap yang menyebarkan maut.
Ternyata kemudian, bahwa saat yang
menentukan telah datang. Ki Tambak Wedi menggeram tak henti-hentinya.
Lawannya benar-benar menakjubkannya. Betapa ia menjadi marah dan memeras
segenap kekuatannya, namun adalah diluar dugaannya bahwa suatu ketika
di lereng Merapi akan datang seseorang yang akan dapat mengalahkannya.
Karena itu mula-mula ia tidak mau melihat kenyataan itu. Dengan sekuat
tenaga ia mencoba mempertahankan diri dan namanya. Bahkan hampir-hampir
ia sampai pada suatu kesimpulan hidup dan mati. Namun tiba-tiba
disadarinya kehadiran Widura dan Agung Sedayu. Diingatnya pula muridnya
Sidanti yang belum sembuh benar dari lukanya. Dan diingatnya pula
cita-cita masa depan muridnya itu. Karena itulah maka akhirnya Ki Tambak
Wedi yang namanya ditakuti di sekitar gunung Merapi itu terpaksa
mengakui keadaannya kini.
Kiai Gringsing yang tidak dikenal itu
telah mengalahkannya. Karena itu dengan penuh kemarahan, Ki Tambak Wedi
menggeram, “He orang gila. Kau mungkin menyangka bahwa Ki Tambak Wedi
tidak akan mampu melawanmu. Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain
sehingga aku menghindari perkelahian seterusnya, hanya kali ini”
Kiai Gringsing tidak menjawab. ia ingin
bahwa Ki Tambak Wedi tidak mendapat kesempatan untuk melarikan diri.
Namun kelebihannya tidak terpaut banyak dari Ki Tambak Wedi, sehingga
karena itu maka usahanya tidak berhasil. Ki Tambak Wedi sempat
menghindarkan dirinya dan tenggelam kedalam gerumbul-gerumbul di dalam
gelap. Namun demikian terdengar Ki Tambak Wedi berkata, “He orang yang
gila. Kau ternyata telah mendorong Agung Sedayu dan Swandaru kedalam
keadaan yang menyedihkan. Dengan perbuatanmu ini, maka keinginanku untuk
membunuh mereka berdua menjadi semakin besar. Sidanti untuk seterusnya
tidak akan kembali ke Sangkal Putung. Tak akan ada yang diharapkannya di
sini. Karena itu, maka baginya, Widura sudah tidak penting lagi. Tetapi
dendamnya kepada Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan dapat dilupakan.
Aku atau Sidanti sendiri pada suatu ketika pasti akan melakukannya.
Membunuh Agung Sedayu dan Swandaru. menggantung mayat mereka di muka
banjar desa Sangkal Putung”
“Jangan berangan-angan” potong Kiai
Gringsing sambil mengejarnya, “Selama aku masih ada, maka selama itu aku
akan menghalangi maksud yang terkutuk itu. Marilah kita sejak ini
menganggap diri kita sendiri berpacu. Aku berjanji untuk menyelamatkan
Agung Sedayu dan Swandaru dari ketakutannya terhadap Sidanti. Sedang
kalau kau ikut campur, maka aku akan ikut campur pula. kalau suatu
ketika aku menjadi lengah dan kedua anak itu mengalami bencana karena
pokalmu, maka aku berjanji, bahwa aku sendiri akan membunuh Sidanti dan
kau bersama-sama”
“Setan” teriak Ki Tambak Wedi dari
kejauhan. Namun nada suarnya menggetarkan kemarahan yang tiada taranya.
Belum pernah ia mengalami penghinaan yang sedemikian kasarnya. Ancaman
yang langsung diberikan kepadanya dan muridnya.
Namun isa harus mengakui, bahwa hal itu
benar-benar mungkin dilakukan oleh orang yang belum dikenalnya dan
menamakan dirinya Kiai Gringsing itu. Justru orang itu belum dikenalnya
dengan baik, maka kemungkinan yang akan dilakukan oleh orang itu menjadi
bertambah besar.
Namun sambil melarikan diri Ki Tambak
Wedi yang bukan seorang yang tumpul otaknya itu sempat berpikir, “Aku
akan segera mengetahui siapakah orang itu. Siapa yang kemudian memimpin
dan menggurui Agung Sedayu dan Swandaru, maka orang itulah sebenarnya
yang bernama Kiai Gringsing”
Widura dan Agung Sedayu yang terpaku di
tempatnya masih saja tegak seperti tonggak. Namun tiba-tiba Agung Sedayu
terkejut ketika Widura itu berkata, “Agung Sedayu, mari kembali ke
kademangan. Cepat”
Agung Sedayu tidak sempat menjawab.
tiba-tiba dilihatnya pamannya meloncat dan berlari kencang-kencang
mendahului, setelah menyarungkan pedangnya. Karena itu, maka Agung
Sedayu yang tidak tahu maksudnya pun ikut berlari pula. sepanjang jalan
ia tidak habis berpikir tentang pamannya. Ketika Ki Tambak Wedi masih
belum dapat dikalahkan, pamannya sama sekali tidak bergerak dari
tempatnya. Kini ketika bahaya telah meninggalkan mereka, tiba-tiba
pamannya itu berlari-lari pulang. tetapi ia tidak sempat untuk
menanyakannya. Sehingga karena itu maka Agung Sedayu itu pun hanya dapat
mengikutinya tanpa tahu maksudnya.
Widura yang berlari itu meloncati
parit-parit dan pematang-pematang. Ia tidak lewat jalan yang biasanya
dilaluinya. Ditempuhnya jalan yang memintas. Kali ini Widura tidak lagi
singgah di gardu-gardu perondan seperti biasanya. Baru ketika ia
memasuki desa Sangkal Putung, maka Widura itu tidak berlari-lari lagi.
Bagaimana langkahnya pun masih tetap panjang-panjang.
Agung Sedayu yang kemudian menyusulnya bertanya sambil terengah-engah, “Kenapa paman berlari-lari?”
“Tidak apa-apa” jawabnya.
Agung Sedayu terdiam. Namun sudah tentu
ia tidak percaya. Meskipun demikian, ia sudah tidak bertanya lagi.
Dengan langkah yang panjang-panjang pula ia berjalan di samping
pamannya.
Widura itu benar-benar menjadi
seakan-akan tidak bersabar. Semakin dekat ia dengan kademangan,
langkahnya menjadi semakin cepat. Tetapi ketika ia hampir sampai regol,
maka dihentikannya langkahnya, diaturnya nafasnya. Dan seakan-akan tidak
terjadi apa-apa Widura itu berjalan tenang-tenang.
Agung Sedayu dapat mengerti apa yang
dilakukan pamannya terakhir. Widura tidak mau membuat kesan yang aneh
terhadap anak buahnya.KI Widura malam itu datang menurut kebiasaan
meskipun agak terlambat.
Seorang penjaga di regol halaman menganggukkan kepalanya sambil menyapa, “Agak terlambat Ki Lurah pulang”
“Ya” sahut Widura. Ia mencoba menjawab
tenang-tenang meskipun terasa nafasnya mendesaknya, “aku berhenti di
beberapa gardu perondan”
Seorang yang lain, yang berdiri pula di sisi pintu menyahut, “Adalah sesuatu yang perlu diperhatikan?”
“Tidak” jawab Widura sambil melangkahi regol. Namun kemudian ia berkata, “adalah seseorang yang baru saja memasuki regol ini?”
Penjaga-penjaga di regol itu mengangkat
alisnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala penjaga itu menjawab,
“Tidak. Sepengetahuanku tidak”
“Sama sekali tidak?” desak Widura.
Penjaga itu berpikir sejenak. Sambil menggeleng ia menjawab, “Tidak Ki Lurah”
Widura menggigit bibirnya. Kemudian katanya berbisik kepada Agung Sedayu, “Kalau begitu kita lebih dahulu sampai”
“Siapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Sst” desis Widura.
Namun tiba-tiba Widura itu menjadi kecewa ketika seorang penjaga berkata, “Ki Tanu Metir, maksud Ki Lurah?”
“He?” bertanya Widura.
“Yang baru saja masuk regol adalah Ki Tanu Metir yang keluar untuk berjalan-jalan seperti yang dilakukannya setiap hari”
“Setiap hari?” bertanya Widura.
“Ya” jawab penjaga regol itu. “Setiap
orang yang bertugas di regol ini melihat, bahwa orang tua itu selalu
pergi berjalan-jalan di malam hari”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Otaknya
bergerak menghubungkan keterangan-keterangan yang didengarnya itu.
Tetapi kemudian ia tersenyum, “Marilah Agung Sedayu” ajaknya.
Agung Sedayu benar-benar tidak tahu
maksud pamannya. Tetapi ketika pamannya itu berjalan naik ke pendapa,
maka ia ikut juga di belakangnya.
Widura berjalan perlahan-lahan masuk ke
pringgitan. Dilihatnya Ki Tanu Metir duduk dengan tenangnya menggulung
sehelai daun pisang pembungkus makanan, di samping Ki Demang dan
Swandaru.
“Ha, kau baru pulang?” bertanya orang tua itu ketika dilihatnya Widura dan Agung Sedayu melangkah masuk
“Ya Kiai” jawab Widura.
“Kau pulang lebih malam dari biasanya.
Aku juga baru saja datang. Berjalan-jalan dimalam hari benar-benar dapat
memberi kesegaran padaku”
“Ya Kiai. Memang udara sangat segar. Tetapi agaknya terlampau dingin” berkata Widura.
“Ya. Memang malam ini terlampau dingin” sahut Ki Tanu Metir
“Apakah Kiai juga merasakan dinginnya malam?” bertanya Widura.
“Ya, tentu. Aku menjadi menggigil karenanya”
“Aku juga” sambung Widura, “Tetapi memang sudah menjadi kebiasaanku, aku selalu berkeringat apabila aku kedinginan”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah kau berkeringat?”
“Ya, seperti Kiai juga”
Ki Tanu Metir mencoba mengamat-amati
pakaiannya. Terasa punggung bajunya memang basah oleh keringat yang
mengalir tak habis-habisnya. Karena itu, maka ia pun tersenyum sambil
berkata, “Aku juga berkeringat. Tetapi aku baru saja kepanasan minum air
jahe hangat. Inilah. Mari minumlah mangkuk itu. Bukankah ini memang
disediakan untukmu?” kemudian kepada Swandaru ia bertanya, “Begitu bukan
angger Swandaru?”
“Ya, ya. Silakan paman Widura dan tuan …..”
———-oOo———-
(bersambung ke Jilid 008)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-07/

Tinggalkan Balasan