

ADBM-015

DEMIKIANLAH, maka
sejenak kemudian mereka berdua telah terlibat dalam sebuah pekelahian
yang semakin sengit. Pedang Sidanti berputar dengan cepatnya sedang
senjata khususnya di tangan kiri dipergunakannya sebagai perisai, namun
kadang-kadang senjata itulah yang mematuk dengan sangat berbahaya.
Sebuah sentuhan dan goresan pada kulit lawan, maka akibatnya akan dapat
berarti maut.
Tetapi lawan Sidanti itu dapat
mempergunakan senjatanya dengan sangat cekatan pula. Sepasang kakinya
ternyata terlampau lincah. Loncatan-loncatan yang panjang telah
membingungkan lawannya. Ujung tombaknya yang bernama Kiai Pasir Sewukir
ternyata dapat menusuk lawannya dari segala arah. Ujung yang satu itu
seolah-olah kini berubah menjadi berpuluh-puluh mata tombak yang mematuk
dari segenap penjuru.
Sementara, itu pertempuran semakin lama
menjadi semakin seru. Orang-orang Jipang yang berjumlah lebih dari dua
kali lipat itu terpaksa menahan nafsu mereka untuk segera dapat
membinasakan lawan mereka. Para prajurit Pajang ternyata mampu menguasai
medan dengan derap kuda mereka. Bahkan kini orang-orang Jipang sama
sekali sudah tidak mampu untuk mengepung para prajurit Pajang yang dapat
bergerak lebih cepat dari mereka.
Tetapi orang-orang Jipang yang
seakan-akan mendapat kesempatan untuk meluapkan dendam mereka itu,
bertempur dengan nafsu yang menyala-nyala. Ki Gede Pemanahan dan
Sutawijaya adalah penyebab langsung dari kematian Adipati Jipang. Karena
itu, maka apabila orang-orang Jipang itu dapat membinasakan keduanya,
maka seolah-olah sebagian dari dendam mereka sudah dapat mereka
lepaskan. Apalagi jumlah mereka yang jauh lebih banyak dari pada
lawan-lawan mereka.
Dalam kekalutan peperangan, maka satu
demi satu para prajurit Pajang terpaksa berloncatan turun dari kuda-kuda
mereka. Orang-orang Jipang yang menemui beberapa kesulitan atas
kuda-kuda lawan mereka, ternyata telah berusaha untuk pertama-tama
melumpuhkan kuda-kuda itu. Dengan demikian, maka para penunggangnya akan
terpaksa turun dan bertempur di atas tanah.
Para prajurit Pajang pun menyadari pula
cara itu. Sebagian dari mereka yang masih berada di punggung-punggung
kuda mereka, kini menyerang orang-orang Jipang dengan cara yang lain.
Mereka menyambar-nyambar seperti elang. Menukik, kemudian membubung
tinggi. Pedang-pedang mereka yang tajam berkilat-kilat seakan-akan
memancarkan sinar yang melontar dari daerah maut.
Namun bagaimanapun juga, jumlah yang jauh
lebih banyak itu pun banyak mempengaruhi keadaan. Apalagi yang
berjumlah dua kali lipat itu pun terdiri dari prajurit-prajurit yang
cukup terlatih dan berpengalaman pula dalam berbagai bentuk pertempuran.
Ki Gede Pemanahan melihat keadaan itu
dengan hati yang berdebar-debar, tetapi ia tidak dapat melepaskan Ki
Tambak Wedi. Bahkan ia harus tetap berusaha mengikat orang tua itu dalam
pertempuran melawannya. Meskipun demikian Ki Gede Pemanahan berusaha
supaya ia tetap berada di atas punggung kudanya.
Meskipun demikian, keadaan yang
menguntungkan itu masih belum memuaskan Ki Tambak Wedi. Ia ingin
pekerjaan itu cepat selesai. Orang-orang Pajang itu segera dapat
dibinasakan, untuk kemudian mereka akan segera menghilang. Setelah
mereka berhasil meninggalkan bencana yang akan membakar tidak saja para
prajurit Pajang di sangkal Putung, tetapi segenap prajurit Pajang yang
tersebar di pasisir Kidul sampai ke pasisir Lor. Meskipun Ki Tambak Wedi
menyadari akibatnya kemudian, namun ia telah menyiapkan dirinya untuk
menghadapi kemungkinan itu. Ia akan dapat menghimpun kekuatan dengan
segera di lereng Merapi ini. Kemudian memanfaatkan kekuatan yang
tersimpan di seberang hutan Mentaok, di sepanjang pegunungan Menoreh,
daerah yang dikuasai oleh ayah Sidanti. Seorang kepala daerah perdikan
yang perkasa. Seorang sahabat yang mempercayakan anaknya kepada Ki
Tambak Wedi bukan karena ia sendiri tidak mampu untuk menempa anaknya,
tetapi karena pekerjaannya yang hampir merampas seluruh waktunya, maka
dipercayakannya anaknya, harapan bagi masa depannya itu kepada seorang
sahabatnya, Ki Tambak Wedi.
Karena itu, maka dalam pertempuran itu Ki
Tambak Wedi sendiri telah memeras segenap kemampuannya. Namun yang
dihadapi adalah Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan. Orang yang
kadang-kadang disebut-sebut telah mewarisi kesaktian leluhurnya, mampu
menguasai petir. Tetapi yang tampak pada Ki Gede Pemanahan adalah
kedahsyatan tangannya. Telapak tangannya benar-benar seperti menyimpan
tenaga petir. Apabila tubuh lawannya tersentuh oleh tangan itu, maka
akibatnya akan melampaui sebuah pukulan senjata yang Betapapun kerasnya.
Melampaui hantaman bindi atau bahkan tidak kalah dengan tongkat baja
putih Macan Kepatihan.
Sedang anaknya, Sutawijaya, yang
bertempur melawan Sidanti itu pun ternyata memiliki kelincahan yang
mengagumkan. Selincah petir yang menari-nari di langit.
Sidanti, murid Ki Tambak Wedi yang
perkasa itu, terpaksa memeras keringatnya menghadapi ujung tombak
Sutawijaya. Berkali-kali Sidanti terpaksa meloncat surut. Berkali-kali
Sidanti terpaksa mengumpat tak habis-habisnya. Untung tombak Sutawijaya
seakan-akan memiliki biji-biji mata. Kemana ia menghindar, ujung tombak
itu selalu mengejarnya.
Kini Sidanti terpaksa mengakui di dalam
hatinya, bahwa Sutawijaya tidak hanya dapat berceritera tentang kematian
Arya Penangsang yang perkasa. Kini Sidanti terpaksa mengalami
kegelisahan karena anak muda itu. Sepasang kakinya seolah-olah tidak
lagi terjejak di atas tanah. Berloncatan dari satu sisi ke sisi lawannya
yang lain.
Meskipun sebenarnya kemampuan Sutawijaya
belum mengimbangi kesaktian Arya Penangsang yang sewajarnya, namun
Sidanti tidak akan dapat bertahan untuk menghadapinya. Keringatnya
mengalir dari segenap lubang-lubang kulitnya, dan bahkan dari telapak
tangannya, sehingga gagang pedangnya serasa menjadi licin.
“Gila,” Sidanti menggeram di dalam hati.
Ia tidak menyangka bahwa suatu ketika ia akan berhadapan dengan anak
muda selincah itu. Ia pernah berkelahi melawan Agung Sedayu. Pernah pula
berkelahi melawan Untara dan Macan Kepatihan. Namun terasa bahwa mereka
belum dapat menyamai anak muda yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar
ini.
Ki Tambak Wedi yang bertempur melawan Ki
Gede Pemanahan melihat kesulitan muridnya. Ia melihat Sidanti
terus-menerus terdesak mundur. Sidanti kini seakan-akan hanya tinggal
mampu mencoba menyelamatkan dirinya.
Orang tua itu pun mengumpat pula di dalam
hatinya. Ia tidak rela apabila muridnya yang selalu dimanjakannya itu
mendapat bencana. Karena itu, maka ia mencoba mencari jalan lain untuk
menolong Sidanti. Ia sendiri tidak dapat meninggalkan Ki Gede Pemanahan
yang pasti akan sangat berbahaya bagi orang-orangnya yang lain.
Di sudut lain Ki Tambak Wedi melihat
Sanakeling bertempur dengan seorang perwira Wira Tamtama. Keduanya
memiliki kemampuan yang seimbang, sehingga keduanya tidak segera dapat
menguasai lawannya. Tetapi di sisi yang lain lagi Ki Tambak Wedi melihat
Alap-alap Jalatunda bertempur dalam kerumuman yang ribut. Beberapa
orang bertempur melawan dua orang perwira Wira Tamtama yang lain. Kedua
Wira Tamtama itu ternyata mengalami banyak kesulitan, namun kawan-kawan
mereka yang masih berada di atas punggung kuda selalu membantu mereka.
Kuda-kuda mereka menyambar-nyambar dengan garangnya, menyerang
orang-orang Jipang yang sedang bertempur itu.
Ki tambak Wedi menggeram keras. Dengan
serta-merta, tanpa malu-malu ia berteriak, “Alap-alap Jalatunda. Supaya
lekas selesai pakerjaan Sidanti, cepat, bantulah ia mengikat kaki dan
tangan anak Pemanahan itu. Anak muda itu akan kita bawa ke lereng
Merapi, supaya menjadi tontonan, betapa anak muda, yang diceriterakan
mampu membunuh Arya Penangsang itu, tidak dapat melepaskan diri dari
tangan kalian.”
Alap-alap Jalatunda mendengar perintah
itu. Segera ia meloncat mundur, melepaskan lawannya kepada
kawan-kawannya yang lain. Ketika ia melihat berkeliling, ia melihat
Sidanti dalam kesulitan. Karena itu dengan serta-merta ia meloncat,
menerobos perkelahian yang hiruk-pikuk itu, mendekati lingkaran
perkelahian Sidanti.
Sutawijaya yang melihat kehadiran
lawannya yang lain mengerutkan keningnya. Lawannya yang baru ini pun
masih muda pula. Matanya memancar seperti mata burung alap-alap yang
berputaran di udara mencari mangsa. Dengan demikian putera Ki Gede
Pemanahan itu menyadari, bahwa pekerjaannya akan menjadi semakin berat.
Demikian Alap-alap Jalatunda menerjunkan dirinya dalam perkelahian itu,
segera terasa, bahwa ketrampilannya sangat mambantu ketangkasan Sidanti.
Gabungan dari kecakapan mereka masing-masing terasa benar oleh
Sutawijaya. Karena itu, terdengar anak muda itu menggeretakkan giginya.
Ujung tombaknya pun menjadi semakin cepat berputar dan mematuk-matuk
semakin dahsyat.
Sementara itu, di jalan yang menuju
langsung ke Banjar Desa Sangkal Putung, Sonya masih berpacu di atas
punggung kudanya. Darah yang merah segar mengalir tak henti-hentinya
dari luka di kakinya, sedang bahunya serasa akan patah. Nafasnya yang
sesak, satu-satu berdesakan di lubang hidungnya.
Tetapi Sonya masih tetap sadar akan
kewajibannya. Ia dapat membayangkan apa yang kira-kira terjadi atas
sepasukan kecil prajurit Wira Tamtama yang justru di antaranya adalah
panglimanya sendiri.
Dengan menahan segala macam perasaan sakit, Sonya manghentak-hentakkan kendali kudanya, supaya berjalan lebih cepat.
Ketika ia memasuki desa kecil yang
pertama, di hadapan gardu peronda ia memperlambat kudanya. Ketika ia
melihat beberapa orang turun dari gardu dan berdiri di sisi-sisi jalan
seberang-menyeberang, Sonya segera berhenti.
“Kakang Sonya,” sapa salah seorang dari mereka dengan sangat terkejut. “Kenapa lukamu itu?”
“Berapa orang di sini,” bertanya Sonya tanpa menghiraukan pertanyaan orang itu.
“Yang bertugas lima orang, tetapi di sini ada sepuluh orang.”
“Kenapa sepuluh?”
“Lima orang baru saja datang untuk menggantikan kami yang bertugas malam.”
“Bagus,” desis Sonya. “Yang delapan pergi
cepat ke bulak sebelah. Di sebelah Timur simpang empat telah terjadi
pertempuran. Orang-orang Jipang mencegat perjalanan para prajurit yang
datang dari Pajang. Di antaranya Ki Gede Pemanahan.”
“He?” serentak kesepuluh orang itu menjadi kian terkejut. Hampir bersamaan pula mereka mengulang, “Ki Gede Pemanahan?”
“Ya,” sahut Sonya, “Jumlah orang Jipang
itu jauh lebih banyak. Dipimpin oleh Ki Tambak Wedi. Kalian, delapan
orang akan dapat membantu untuk sementara. Aku akan melaporkannya kepada
Kakang Widura.”
“Baik,” sahut para prajurit Pajang itu.
Kembali Sonya memacu kudanya. Kembali ia
bergulat dengan waktu dan perasaan sakitnya. Tetapi ia harus
menyelesaikan perjalanannya itu. Ia harus sampai ke Banjar Desa Sangkal
Putung.
Sepeninggal Sonya, maka delapan orang
dari kesepuluh orang di gardu itu segera membenahi diriya. Mereka tidak
mengenakan sepenuhnya kelengkapan untuk bertempur. Tetapi sebagai
seorang prajurit, maka mereka harus dapat berbuat secepatnya. Dengan
tergesa-gesa, bahkan berlari-lari kecil mereka menuju ke tempat yang
ditunjuk oleh Sonya. Sebelah Timur simpang empat di tengah-tengah bulak
di hadapan mereka.
Dari kejauhan mereka segera melihat debu
yang mengepul tinggi. Karena itu, maka segera mereka mempercepat
perjalanan mereka, mendekati pertempuran itu.
Kedatangan kedelapan orang itu segera
diketahui oleh kedua belah pihak. Ki Gede Pemanahan pun melihat
kedatangan mereka. Karena itu maka segera ia bertanya lantang, “Siapakah
yang datang?”
Pertanyaan itu sebenarya tidak penting
baginya. Ia tahu bahwa orang-orang itu adalah prajurit Pajang. Namun
jawabnya dapat mempengaruhi lawan-lawannya. Meskipun orang-orang Jipang
itu pun sudah tahu pula bahwa orang-orang itu adalah prajurit Pajang di
Sangkal Putung, namun hati mereka berdesir juga ketika mereka mendengar
jawaban, “Kami prajurit Pajang di Sangkal Putung, Ki Gede.”
“Kenapa hanya beberapa orang saja?” bertanya Ki Gede Pemanahan sambil menghindari serangan Ki Tambak Wedi.
“Kami adalah peronda di gardu dari desa
sebelah. Kakang Sonya sedang menyampaikan berita ini langsung ke pusat
kademangan Ki Gede.”

Ki Tambak Wedi menggeram keras sekali. Ia
tahu benar, betapa Ki Gede Pemanahan mempergunakan percakapan itu untuk
mempengaruhi perasaan orang-orang Jipang. Karena itu maka segera ia
berteriak, “He orang-orang Pajang yang malang. Mari, marilah kalian
datang agak terlambat. Setelah lebih dari separo kawan-kawanmu yang
datang dari Pajang binasa, baru kalian datang membantu. Akibatnya,
kalian pun akan tenggelam dalam arus ke-marahan orang-orang Jipang.
Alangkah bodohnya pimpinan-pimpinanmu di Sangkal Putung yang percaya
kepada cara kami membuat Sangkal Putung hancur lebur. Kalian menyangka
bahwa kami akan benar-benar menyerah. Tak ada seorang prajurit Jipang
pun yang bersedia menyerah. Sebentar lagi dari arah yang lain akan
datang induk pasukan di bawah pimpinan Sumangkar sendiri.
Tetapi Ki Gede Pemanahan pun segera
meyahut, “Kalau benar demikian, alangkah marahya kami. Karena itu, ayo
binasakan orang-orang Jipang yang curang.”
Ki Tambak Wedi tidak sempat untuk
menyahut. Kedelapan orang Pajang itu kini telah terjun ke medan
pertempuran yang kalut itu. Meskipun demikian, tenaga mereka yang segar
itu ternyata berpengaruh juga. Orang-orang Pajang kini mendapat
kesempatan untuk sedikit bernafas, meskipun jumlah mereka sama sekali
masih belum seimbang, tetapi kedelapan orang itu sudah tentu akan dapat
menambah daya perlawanan mereka, setidak-tidaknya memperpanjang waktu.
Dalam pada itu ternyata Sonya telah
menggemparkan halaman Banjar Desa Sangkal Putung. Dengan wajah yang
tegang Untara dan Widura meyambut kedatangan Sonya yang hampir kehabisan
tenaga. Demikian Sonya berhenti di muka pendapa Banjar Desa demikian ia
disambut oleh Widura, dan dibantuya turun dari kudanya, tetapi Sonya
telah begitu lemah karena terlampau banyak darah yang mengalir dari
lukanya. Ki Tanu Metir yang melihatnya dengan tergopoh-gopoh segera
mengambil reramuan obat-obatan untuk menghentikan arus darah yang masih
saja mengalir dari luka yang menganga di kaki Sonya itu, setelah Sonya
dibawanya naik ke pendapa.
Tetapi Sonya merasa perlu untuk segera meyampaikan berita tentang peristiwa yang dilihatnya.
Karena itu, betapa perasaan sakit serasa
menghunjam sampai ke pusat jantungya, namun dengan penuh kesadaran atas
kewajibannya ia berkata terbata-bata di sela nafasnya yang
terengah-engah. “Aku telah bertemu dengan Ki Gede Pemanahan.”
“Ya,” sahut Untara, “tetapi kenapa kau terluka?”
“Aku membawa rombongan prajurit yang datang itu memasuki Kademangan Sangkal Putung.”
“Ya.”
“Semua berjumlah duapuluh orang.”
Untara terkejut. “Jumlah itu terlampau sedikit. Apalagi di antaranya terdapat Panglima Wira Tamtama sendiri.”
“Dengan jumlah yang sedikit itu Ki Gede
Pemanahan ingin membuat kesan bahwa Sangkal Putung telah benar-benar
menjadi aman seperti laporan yang diterimanya,” berkata Sonya
seterusnya.
Dada Untara berdesir. Ia sendiri yang
membuat Iaporan itu. Menurut tanggapannya, Sangkal Putung pasti akan
segera menjadi aman. Apabila kelak terjadi benturan-benturan berikutnya,
maka pusat kegiatan orang-orang Jipang dan Sidanti pasti akan berpindah
ke lereng Merapi. Sebab menurut Kiai Gringsing, Sanakeling dan
orang-orangnya telah pergi mengikuti Ki Tambak Wedi ke padepokannya.
Tetapi menilik keadaan, pasti terjadi sesuatu dengan Ki Gede Pemanahan dengan rombongannya.
Dalam pada itu Sonya berkata dengan
terputus-putus. Badannya menjadi bertambah lemah. Namun kata-katanya
masih terdengar jelas, “Rombongan kami ternyata dicegat oleh orang-orang
Jipang. Kali ini dipimpin oleh Ki Tambak Wedi, Sanakeling, Sidanti dan
aku tidak tahu siapa lagi. Aku hanya melihat mereka sepintas lalu
memotong jalanku. Untunglah aku dapat melepaskan diri dari mereka
meskipun aku terluka. Luka pedang ini tidak begitu sakit selain darah
yang terlampau banyak megalir, tetapi bahuku serasa remuk oleh
gelang-gelang besi ki Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
Kalau demikian, maka ia harus segera merawat luka dalam yang dialami
oleh Sonya di bahunya. Tetapi dibiarkannya Sonya berkata terus.
“Seterusya aku barpacu kemari. Jumlah orang Jipang itu agaknya terlampau
banyak.”
Dada Untara serasa akan pecah. Dengan
wajah tegang ia memandang Kiai Gringsing yang keningnya semakin
berkerut-kerut. Seolah-olah Untara ingin menuntut suatu pertanggungan
jawab dari orang tua itu. Kenapa orang-orang Jipang itu tiba-tiba saja
berada di perjalanan Ki Gede Pemanahan, sedang menurut keterangan Kiai
Gringsing dan kemudian diperkuat oleh Sumangkar, orang-orang Jipang itu
telah berada di padepokan Ki Tambak Wedi.
Pancaran mata Untara itu benar-benar
terasa menusuk dada Kiai Gringsing. Ia segera merasa, bahwa
pertanggungan jawab atas peristiwa ini seolah-olah ada padanya, meskipun
Untara telah dipertemukannya sendiri dengan Sumangkar.
Tetapi perasaan Kiai Gringsing telah
cukup mengendap karena perbendaharaan pengalamannya, sehingga dengan
segera la dapat mengurai keadaan. Ketajaman pandangan dan kecepatan
menemukan hubungan antara persoalan-persoalan yang diamatinya, telah
membawa Kiai Gringsing ke dalam persoalan yang sewajarnya.
Orang tua itu pun kemudian
mengangguk-anggukan kepalanya. Dengan tenang ia berkata, “Ini adalah
pokal Ki Tambak Wedi. Aku tidak tahu, apakah ia dengan sengaja dan sadar
mencegat perjalanan Ki Gede Pemanahan, atau suatu kebetulan. Tetapi
adalah maksud Ki Tampak Wedi datang ke Sangkal Putung tepat pada hari
yang dijanjikan oleh Sumangkar, untuk mengacau keadaan. Kegagalan yang
terjadi akan memberinya peluang untuk bertindak. Ia mengharap, baik
orang-orang Jipang yang tidak sependirian dengan mereka, maupun orang
Pajang akan terlibat dalam pertentangan perasaan yang akan dapat
meledak. Ki tambak Wedi kini sedang meletakkan api pada minyak yang
sedang tergenang. Kalau kita kurang berhati-hati, maka kita akan dapat
terbakar karenanya.”
Untara menggeretakkan giginya. Sebagian
besar dari keterangan itu dapat dimengerti, tetapi kemarahanya telah
membakar ubun-ubunnya.
Apalagi ketika kemudian Sonya berkata, “Ki Gede Pemanahan dan para pengawalnya kini pasti telah terlibat dalam pertempuran.”
Wajah Untara segera menjadi merah
membara. Dengan serta-merta ia berteriak nyaring kepada seorang
penghubung yang berdiri di ujung pendapa, “Cepat siapkan kudaku!”
Orang itu terkejut. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Segera ia berlari untuk mempersiapkan kudanya.
“Apakah kau akan pergi seorang diri Untara?” bertanya pamannya.
Untara menggigit bibirnya. Kemudian ia bertanya, “Berapakah jumlah orang-orang Jipang?”
Sonya yang sedang meyeringai menahan
sakit berdesah, “Aku tidak tahu pasti, tetapi mereka tidak akan lebih
dari tujuh puluh orang.”
Darah Untara tersirap mendengar jumlah
itu. Ki Gede Pemanahan hanya membawa duapuluh orang ditambah dengan
penghubungnya yang hanya tinggal empat orang. Karena itu, maka deagan
degup jantung yang semakin cepat ia berkata kepada Widura, sebagai
seorang senapati kepada bawahannya, “Paman Widura, siapkan dua puluh
lima orang prajurit berkuda.” Meskipun demikian pertanggungan jawabnya
sebagai seorang pemimpin masih memberinya kesadaran untuk berkata,
“Biarlah Hudaya pergi bersama aku. Paman tinggal di sini supaya
orang-orang Jipang yang terluka di dalam banjar ini tidak menjadi korban
kemarahan para prajurit yang kemudian pasti mendengar apa yang telah
terjiadi atas Sonya dan Panglima Wira Tamtama. Tetapi apabila kemudian
benar-benar orang-orang Jipang itu berbuat curang, maka aku sendiri yang
akan memenggal leher mereka di alun-alun di depan banjar ini.”
Widura tidak menjawab. Diserahkannya
Sonya yang luka itu kepada Kiai Gringsing dan beberapa orang yang sedang
bertugas di halaman itu, yang berdatangan kemudian setelah mereka
melihat Sonya terluka. Namun Untara sempat berkata, “Sonya, cobalah
merahasiakan apa yang telah terjadi atasmu untuk menjaga ketenangan
keadaan.”
Sonya mengangguk lemah. Tetapi ia tidak dapat mengerti kenapa hal itu mesti harus dirahasiakan.
Beberapa orang yang berada di alun-alun
melihat Sonya berpacu seperti dikejar hantu. Tetapi karena jarak yang
tidak terlampau dekat, serta banyak peristiwa-peristiwa yang tak dapat
mereka mengerti yang terjadi pagi itu maka orang-orang di alun-alun pun
tidak bayak memperhatikanya lagi.
Sementara itu, orang-orang yang bertugas
di halaman dan mengerumuni Sonya, telah memapah Sonya ke Gandok Wetan.
Dibaringkannya Sonya di sudut gandok itu untuk segera mendapat
pengobatan dari Kiai Gringsing. Namun segera setelah Kiai Gringsing
memberikan pertolongan pertama, ditinggalkannya Sonya dan dengan
tergesa-gesa orang tua itu kembali mendekat Untara yang dengan gelisah
menunggu kudanya.
Tetapi sudah tentu Widura tidak segera
dapat mengumpulkan dua puluh lima ekor kuda di banjar desa itu. Ia harus
mengumpulkan segenap kuda prajurit Pajang yang tersebar di seluruh
kademangan, pada gardu-gardu peronda yang penting.
Di dalam banjar desa itu, yang segera
dapat dikumpulkan adalah baru sepuluh ekor kuda, tetapi segera Untara
berkata, “Biarlah kami bersepuluh berangkat dahulu. Yang lain segera
meyusul. Dua tiga, empat atau lima. Tidak perlu menunggu sampai
limabelas sekaligus sepeninggalku.”
Widura pun segera menjadi sibuk.
Beberapa orang yang melihatnya menjadi heran. Apakah yang sebenarnya
telah terjadi. Hanya orang-orang di dalam halaman sajalah yang melihat,
bahwa sebenarnya Sonya telah terluka dan Widura menjadi sedemikian
sibuknya mengumpulkan beberapa ekor kuda.
Para petugas yang harus meyediakan
kuda-kuda itu pun menjadi sibuk pula. Dengan tergesa-gesa mereka
menyiapkan kuda-kuda itu di muka pendapa.
Setelah kuda yang sepuluh itu siap, maka
segera Widura memerintahkan memanggil Hudaya dan beberapa orang untuk
ikut serta bersama Untara ke tempat pertempuran itu terjadi.
Agung Sedayu yang datang kemudian pun
menjadi terheran-heran. Ia melihat betapa wajah kakaknya menjadi tegang
dan sepuluh ekor kuda telah siap di halaman.
Dengan hati-hati ia kemudian bertanya kepada gurunya, “Apakah yang telah terjadi Kiai?”
Dengan singkat Kiai Gringsing mencoba
menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan apa yang didengarnya
itu telah menggetarkan dadanya pula. Karena itu ketika tiba-tiba ia
mendengar suara kakaknya memanggil, dengan tergopoh-gopoh ia
mendekatinya.
“Kau ikut bersamaku,” perintah kakaknya.
“Baik Kakang,” sahut, Agung Sedayu.
Karena Agung Sedayu telah mendengar apa yang terjadi maka segera ia pun
menyiapkan pedangnya dan membenahi pakaiannya.
Sesaat kemudian berkumpulah sepuluh orang
di halaman. Wajah mereka memancarkan berbagai pertanyaan yang tersimpan
di dalam hati mereka.
Di antara mereka itu adalah Hudaya yang dipanggil dari alun-alun di muka banjar desa itu.
Dengan singkat dan tergesa-gesa Untara
berkata kepada mereka, “Kalian ikut dengan aku. Bawa senjatamu. Mungkin
kita akan berhadapan dengan bahaya.”
Hudaya mengerutkan keningnya. Tetapi
sebelum ia sempat bertanya, Untara berkata pula, “Tak ada kesempatan
untuk membicarakan masalah ini. Siap di atas punggung kuda. Kita
berangkat. Hanya ada sepuluh ekor kuda. Dua di antaranya untuk aku dan
Agung Sedayu.”
Para prajurit Pajang itu benar-benar
tidak mendapat kesempatan untuk bertanya. Untara segera meloncat ke atas
punggung kudanya diikuti oleh Agung Sedayu. Meskipun berbagai
pertanyaan bergelut di dalam hati masing-masing, namun kedelapan ekor
kuda yang lain pun segera berpenumpang di punggungnya.
“Aku akan berangkat sekarang Paman. Aku
serahkan segala kebijaksanaan di sini kepada Paman dan Kiai Gringsing,”
berkata Untara. “Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi tak akan dapat melampaui
kesaktian Ki Gede. Kalau demikian, mungkin salah seorang dari kami akan
datang kembali menjemput Kiai.”
“Baik,” jawab Widura singkat.
Untara tidak berkata apa pun lagi. Segera
ia menggerakkan kendali kudanya, dan kuda itu pun segera meloncat
diikuti oleh kuda-kuda yang lain. Meskipun demikian, perkataan Untara
yang terakhir itu pun menambah pertanyaan yang meIingkar-lingkar di
dalam hati para prajurit Pajang yang lain.
Kesepuluh ekor kuda itu pun kemudian
berpacu seperti angin meninggalkan halaman banjar desa,
menghambur-hamburkan debu yang putih mengepul tinggi ke udara.
Kembali para prajurit Pajang dan
anak-anak muda Sangkal Putung bertambah heran. Bahkan Ki Demang dan
Swandaru yang kemudian berada di antara anak-anak muda Sangkal Putung di
lapangan di muka banjar desa itu pun melihat kuda yang berpacu itu
sambil bersungut-sungut. Tetapi mereka tidak ingin menanyakannya kepada
Widura. Sebab terasa bahwa ada sesuatu yang memang dirahasiakan.
Sehingga apa yang terjadi itu pun mereka sangka, adalah rangkaian dari
persoalan-persoalan yang memang dirahasiakan dan telah direncanakan.
Tetapi Untara sendiri berpacu dengan hati
yang gelisah. Kudanya serasa berlari terlampau lamban. Kalau ia
terlambat sampai di tempat pertempuran itu, dan para prajurit Wira
Tamtama yang dipimpin sendiri oleh Gede Pemanahan mengalami bencana,
maka lehernya akan menjadi taruhan, bukan soal yang menyedihkannya,
tetapi seluruh Wira Tamtama akan kehilangan panglimanya karena
kesalahannya. Memang dalam laporan yang disampaikan ke Pajang,
seakan-akan Sangkal Putung telah menjadi aman. Ternyata yang terjadi
adalah benar-benar memalukannya. Karena itu, maka dipacunya kudanya
secepat-cepatnya, supaya ia dan kawan-kawannya tidak terlampau lambat
sampai.
Hudaya dan kawan-kawannya berpacu sambil
saling berpandangan. Namun firasat keprajuritan mereka telah mengatakan,
bahwa mereka sedang berhadapan dengan bahaya.
Ternyata Untara tidak membiarkan mereka
berteka-teki sepanjang jalan. Ketika kuda-kuda itu telah meninggalkan
induk kademangan, maka berkatalah Untara tanpa berpaling, “Kita akan
bertempur melawan pecahan orang Jipang yang hari ini tidak ingin melihat
kawan-kawannya kami terima dengan baik.”
Hudaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia bertanya, “Kenapa kita hanya bersepuluh?”
“Orang-orang Jipang itu tidak terlampau
banyak. Mereka telah terlibat dalam pertempuran melawan
prajurit-prajurit Pajang yang hari ini datang ke Sangkal Putung untuk
mengawal Ki Gede Pemanahan.”
“Ki Gede Pemanahan?” Hudaya mengulangi.
“Ya.”
Hati para prajurit itu berdesir. Ki Gede
Pemanahan adalah panglima mereka, meskipun satu dua di antara mereka ada
yang belum pernah melihatnya. Namun namanya telah menjadi buah bibir
segenap prajurit Wira Tamtama.
Kuda mereka berpacu terus. Sementara itu
Hudaya berkata, “Aku sudah menyangka, orang orang Jipang tidak dapat
dipercaya. Mereka membiarkan sebagian dari mereka untuk berpura-pura
menyerah. Kemudian mereka menyerang pada hari yang sebenarnya ditentukan
untuk menerima mereka. Namun orang-orang Jipang yang lain akan
berdatangan pula, tidak untuk menyerah, tetapi untuk menjadikan Sangkal
Putung ini karang abang.”
“Marilah kita lihat apa yang sebenarnya terjadi,” berkata Untara kemudian. “Tetapi jangan terlampau terburu nafsu.”
Hudaya tidak menjawab. Tetapi
kebenciannya kepada orang-orang Jipang semakin melonjak. Karena itulah
maka tiba-tiba ia menggeretakkan giginya. Dan tanpa sadarnya tangan
kirinya membelai hulu pedangnya.
Kini mereka menyusup ke dalam sebuah desa
kecil. Mereka melihat sebuah gardu di pinggir jalan. Beberapa orang
penjaganya telah turun dan berdiri di sisi jalan. Namun Untara tidak
memperlambat kudanya. Tetapi sekali ia berteriak lantang, “Hati-hati,
awasi keadaan baik-baik.”
Para penjaga di gardu itu melihat
kuda-kuda itu berpacu dengan mulut ternganga. Belum lama berselang ia
melihat Sonya yang luka berpacu ke arah yang berlawanan. Sebelumnya, di
pagi pagi buta Sonya menempuh jalan ini pula berlima. Para penjaga itu
merasa bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi.
Ketika mereka memandangi kuda-kuda yang
berpacu maka yang tampak kemudian adalah debu yang putih mengepul tinggi
ke udara. Kuda-kuda itu masih harus berlari melampaui sebuah desa lagi,
barulah kemudian mereka sampai ke bulak yang agak panjang. Di bulak
itulah pertempuran antara orang-orang Jipang dan para prajurit Pajang
terjadi.
Di ujung desa itu pun ada sebuah gardu
pula. Tetapi yang berada di dalamnya tinggal dua orang. Yang lain telah
mendahului membantu para prajurit Pajang yang bertempur di tengah-tengah
bulak itu.
Berkali-kali Untara mencoba mempercepat
lari kudanya, yang seakan-akan terlampau malas. Di belakangnya berurutan
sembilan orang yang lain. Di antaranya Agung Sedayu. Dengan dahi yang
berkerut-kerut Agung Sedayu sekali-sekali mengusap debu yang melekat di
wajahnya yang berkeringat, meskipun matahari belum terlampau tinggi.
Di tengah-tengah bulak itu pertempuran,
kian lama menjadi kian seru. Kedua belah pihak telah mengerahkan tenaga
sejauh-jauh mungkin. Pakaian mereka telah basah oleh keringat, dan
wajah-wajah mereka telah menjadi merah hitam. Di antara mereka, para
prajurit Pajang dan orang-orang Jipang itu telah menjadi waringuten.
Tetapi karena jumlah orang-orang Jipang itu terlampau banyak bagi para
prajurit Pajang, maka Betapapun juga, ternyata para prajurit Pajang
mengalami beberapa kesulitan.
Mas Ngabehi Loring Pasar, yang harus
bertempur melawan Sidanti berdua dengan Alap-alap Jalatunda ternyata
mampu mengimbanginya. Meskipun anak yang masih sangat muda itu
sekali-sekali mengalami kesulitan, tetapi kelincahannya telah
melepaskannya dari setiap usaha lawannya untuk membinasakannya. Namun
dengan demikian berkali-kali Sutawijaya harus bergeser mundur.
Berkali-kali ia harus meloncat menghindar jauh-jauh untuk mendapat jarak
yang wajar dari kedua lawannya. Meskipun Alap-alap Jalatunda tidak
dapat berbuat selincah Sidanti, tetapi beberapa kali Alap-alap yang muda
itu berhasil menjebaknya untuk memberi kesempatan pada Sidanti
menyerangnya dengan serangan-serangan maut.
Anak muda yang mengagumkan itu pun telah
bermandi keringat. Berkali-kali terdengar ia menggeram. Betapa
kemarahannya membakar darahnya, tetapi ia masih bertempur dengan segenap
perhitungan. Apalagi menghadapi sepasang anak-anak muda yang cukup
memiliki bekal untuk melawannya.
Sementara itu Ki Gede Pemanahan pun kini
telah bertempur dengan sengitnya melawan Ki Tambak Wedi. Kalau semula
Ki Gede Pemanahan masih mencoba bertahan sambil memperhatikan setiap
prajuritnya, maka kini ia berpendirian lain. Ia harus segera mengalahkan
lawannya. Kemudian ia akan banyak mendapat kesempatan, meskipun ia
tidak akan melepaskan sama sekali perhatiannya terhadap pertempuran itu
dalam keseluruhannya. Dengan demikian, maka pertempuran antara keduanya,
antara ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi menjadi semakin seru.
Masing-masing adalah orang-orang sakti pilih tanding.
Namun, bagaimanapun juga Ki Gede
Pemanahan tidak dapat melepaskan pengaruh keadaan di sekitarnya.
Untunglah bahwa ia masih tetap di atas punggung kudanya, sehingga
kesempatan masih lebih banyak baginya daripada lawannya.
Demikianlah peperangan itu menjadi
bertambah seru. Namun ternyata bahwa para prajurit Pajang kini telah
benar-benar terdesak. Beberapa kali mereka terpaksa berkisar mendekati
Sangkal Putung, sedang kawan-kawan mereka yang masih berada di atas
punggung kuda mencoba melindungi mereka. Sekali-sekali kuda-kuda yang
menyambar-nyambar itu pun masih juga mampu untuk membuat orang-orang
Jipang menjadi bingung.
Ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi
menyadari keadaan itu. Karena itu Ki Tambak Wedi sempat tertawa sambil
berkata, “Jangan menyesal Ki Gede Pemanahan, perwira tertinggi Wira
Tamtama. Aku sudah kehilangan kesabaran, sehingga kesempatan yang aku
berikan telah aku cabut kembali. Yang akan terjadi adalah, Untara akan
datang dan akan menemukan mayatmu dan mayat orang-orangmu. Sedang anakmu
akan aku bawa ke padepokanku akan aku jadikan tontonan bagi para
prajurit Jipang. Inilah orangnya yang langsung menghujamkan tombak ke
lambung Arya Penangsang dengan akal yang sangat curang.”
Tetapi alangkah kecewanya Ki Tambak Wedi.
Ia mengharap Ki Gede Pamanahan menjadi tegang dan mengumpat-umpat.
Tetapi ternyata Ki Gede Pemanahan itu tersenyum sambil menjawab, “Aku
akan mengucapkan selamat Ki Tambak Wedi seandainya kau mampu berbuat
begitu.”
“Kau masih mencoba mengingkari kenyataan
ini?” Ki Tambak Wedi-lah yang membentak-bentak. Sementara itu kuda Ki
Gede Pemanahan menyambarnya. Ujung Keris Kiai Naga Kemala hampir-hampir
saja menyentuh tengkuknya.
“Setan!” teriaknya.
Ki Gede Pemanahan tertawa. Katanya, “Kenapa kau mengumpat Ki Tambak Wedi. Apakah anak buahmu hampir binasa?”
Ki Tambak Wedi meloncat maju menyerang Ki
Gede Pemanahan. Tetapi Ki Gede Pemanahan benar-benar tangkas, sehingga
usahanya sia-sia. Ki Tambak Wedi benar-benar menjadi sangat marah
menghadapi panglima Wira Tamtama ini. Ia benar-benar hampir tak berdaya.
Apalagi Ki Gede Pemanahan masih saja berada di punggung kudanya,
sehingga tiba-tiba hantu lereng Merapi itu berteriak, “Ayo, kalau kau
jantan, turun dari kudamu!”
“Ki Tambak Wedi,” sahut Pemanahan, “apakah kau juga akan bersikap jantan?”
“Tentu!” teriak Ki Tambak Wedi.
“Apakah kau bersedia menjadi penentu dari
pertempuran ini bersama aku. Ayo, aku akan turun dari kuda, dan aku
akan tetap mempergunakan kerisku ini untuk melawanmu. Tetapi akibat dari
perkelahian itu akan menentukan keadaan kita semuanya. Meskipun
kemudian Untara datang, tetapi keadaan tidak akan berubah, kau dan aku,
pertempuran itu akan barlangsung sampai tuntas. Salah seorang dari kita
akan mati, atau menyerah. Kau setuju?”
“Kau benar-benar licik seperti anak
demit. Ketika kau melihat anak buahmu akan binasa, kau mengajukan syarat
itu,” sahut Ki Tambak Wedi, “Kita bertemu dalam keadaan ini. Aku dengan
orang-orangku dan kau dengan orang-orangmu. Biarlah kita semuanya yang
menentukan keadaan ini.”
“Bagus. Kita bertemu dalam keadaan ini.
Kau di atas kedua kakimu, aku di atas punggung kuda. Biarlah keadaan ini
menentukan akhir dari pertempuran.”
Ki Tambak Wedi menggeram sambil mengumpat
habis-habisan. Namun betapa ia mengerahkan tenaganya, tetapi Ki Gede
Pemanahan, Panglima Wira Tamtama itu, bukanlah Widura, Untara, atau
Agung Sedayu yang dapat dipijitnya semudah memijit ranti. Bahkan terasa
bahwa semakin lama tandang Ki Gede Pemanahan itu pun menjadi semakin
garang.
Namun keseluruhan dari pertempuran itu
benar-benar tidak menguntungkannya. Berkali-kali anak panglima itu,
Sutawijaja, terpaksa berloncatan surut. Orang-orang Jipang yang datang
seakan-akan sengaja mengurungnya dan menahan setiap prajurit Pajang yang
datang di atas punggung kuda. Tetapi Mas Ngabehi Loring Pasar, betapa
kemarahan mencengkam dirinya, ia masih tetap mempergunakan perhitungan
yang baik dalam melawan sepasang musuhnya itu.
Namun keadaan para prajurit yang lain
ternyata agak lebih sulit. Mereka bertempur dalam kelompok-kelompok
untuk menghindarkan diri dari sergapan dari arah yang tak dikehendaki.
Namun lawan mereka telah mencoba menekan mereka sekuat-kuatnya. Kedua
pihak adalah prajurit-prajurit pilihan dari dua kadipaten yang saling
bermusuhan, sehingga dendam dan kebencian ikut pula berbicara dalam
pertempuran itu.
Matahari di langit merayap semakin
tinggi. Sinarnya yang cerah memancar berserakan di atas wajah bumi. Di
atas dedaunan dan batang-batang jagung muda. Namun di sekitar
pertempuran itu batang jagung telah rusak ditebas oleh kaki-kaki kuda
dan kaki-kaki para prajurit yang sedang bertempur. Semakin lama semakin
luas, berkisar dari satu titik ke titik yang lain. Sedang kuda-kuda para
prajurit Pajang kadang-kadang berlari-lari melingkari daerah yang lebih
luas lagi untuk mengambil ancang-ancang. Kuda-kuda itu seolah-olah
burung rajawali yang melayang di udara, yang kemudian menukik dengan
garangnya menyambar mangsanya. Tetapi orang-orang Jipang menyongsongnya
dengan pedang di tangan.
Dalam pertempuran yang hiruk-pikuk itu,
Ki Tambak Wedi telah mencoba untuk mempercepat penyelesaian.
Berkali-kali ia berteriak memberikan aba-aba kepada Sanakeling dan
orang-orang lain supaya mempercepat pekerjaan mereka. Tetapi pekerjaan
itu bukan pekerjaan yang dapat ditentukan oleh sepihak, sehingga Ki
Tambak Wedi itu seolah-olah tidak lagi dapat bersabar menunggu. Namun
demikian pekerjaannya sendiri tidak dapat juga segera dapat
diselesaikan.
Demikianlah, pertempuran itu berjalan
terus. Bagaimanapun juga Ki Gede Pamanahan tidak dapat mengingkari
kenyataan. Keadaan anak buahnya memang terlampau sulit. Bahkan ada di
antaranya yang telah terluka dan jatuh menjadi korban.
Dalam keadaan yang demikian itulah Untara
memacu kudanya bersama beberapa orang prajurit Pajang yang berada di
Sangkal Putung. Setiap kali Untara selalu melecut kudanya, supaya
berlari lebih cepat. Kini ia telah memasuki bulak jagung. Sebentar lagi
ia akan sampai di tempat yang ditunjuk oleh Sonya. Tetapi kudanya serasa
berlari terlampau lamban, seolah-olah sengaja memperlambat agar ia
tidak datang tepat pada waktunya. Karena itu kegelisahan di dada Untara
semakin lama menjadi semakin menyala.
Seolah-olah ia ingin meloncat mendahului
derap kaki kudanya. Tetapi hal itu sudah tentu tidak dapat dilakukannya.
Ia harus bersabar dan tetap di atas punggung kuda yang dirasanya sangat
malas itu.
Meskipun demikian, meskipun kudanya
dirasanya terlampau lamban, namun akhirnya Untara itu melihat debu yang
berhamburan di balik pohon-pohon jagung muda. Ketika jalan yang
ditempuhnya sedikit menanjak, maka dadanya seolah-olah berdentangan.
Kini ia melihat, meskipun tidak
seluruhnya karena tertutup oleh batang-batang jagung, betapa riuhnya
pertempuran yang telah terjadi antara para prajurit Pajang yang dipimpin
sendiri oleh Ki Gede Pemanahan dan orang-orang Jipang yang dipimpin
oleh ki Tambak Wedi.
Tanpa sesadarnya, Untara mencambuk
kudanya sejadi-jadinya. Kuda itu pun terkejut dan meloncat sambil
meringkik kecil. Larinya menjadi semakin bertambah cepat sehingga Untara
meninggalkan kawan-kawannya beberapa langkah di belakang.
Agung Sedayu pun mencambuk kudanya pula.
Demikian juga kawan-kawannya. Mereka seolah-olah menjadi tidak bersabar
lagi menunggu langkah kaki-kaki kuda itu. Demikian bernafsunya Untara
sehingga sebelum mencapai tempat pertempuran itu, tangannya telah
menggenggam pedang. Diacung-acungkannya pedangnya seperti sedang
menghalau burung di sawah.
Ki Tambak Wadi yang bertempur dengan
serunya melawan Ki Gede Pemanahan terkejut melihat kilatan pedang di
kejauhan. Kemudian tampak sebuah kepala muncul di atas batang-batang
jagung. Disusul oleh yang lain, yang lain lagi seperti berkejar kejaran.
Dada orang tua itu berdesir. Orang yang
datang itu tidak terlampau banyak. Tetapi yang tidak terlampau banyak
itu pasti segera akan merubah keseimbangan. Karena itu tiba-tiba ia
menggeram. Betapa kemarahan membakar dadanya. Orang-orang Jipang
benar-benar tidak memberinya kepuasan. Mereka bertempur seperti
mengejar-ngejar tupai saja, tidak cekatan dan tidak bertenaga. Ketika
musuh-musuh mereka masih terlampau lemah mereka tidak segera dapat
mengalahkan dan membinasakan. Apalagi kini datang lagi beberapa orang
berkuda. Maka keadaan orang-orang Jipang pasti tidak akan sebaik semula.
Kemarahan Ki Tambak Wedi itu semakin
memuncak ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan tertawa sambil berkata,
“Kau sedang menghitung pedang yang datang itu, bukan, Ki Tambak Wedi?”
“Persetan!” geram Ki Tambak Wedi. “Kalau
aku menjadi Hadiwijaya dari Pajang, aku malu mempunyai Panglima semacam
kau ini. Panglima yang hanya dapat mengharap orang lain datang memberi
bantuan. Kenapa kau tidak berusaha memenangkan pertempuran dengan
kekuatan yang ada padamu? Kenapa kau menggantungkan dirimu dari bantuan
yang bakal datang dengan memperpanjang waktu?”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya.
Ia benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu, sehingga sekali lagi
ia mengulangi tantangannya, “Ki Tambak Wadi, kalau kau tidak mau
melihat prajurit-prajurit Pajang yang jumlahnya jauh lebih kecil dari
orang-orangmu ini mendapatkan kemenangan, maka marilah, kita berhadapan
langsung di dalam arena. Biarlah aku layani seandainya kau ingin melihat
Pemanahan lepas dari kedudukannya, yang dapat memanggil tidak saja
prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung, tetapi seluruh Prajurit di
segenap sudut Pajang untuk menangkap dan menggantungmu di alun-alun
Pajang. Kalau kau ingin melihat Pemanahan sendiri yang terpisah dari
prajurit-prajuritnya, marilah, biarlah para prajurit dari kedua belah
pihak melihat, siapa di antara kita orang tua-tua ini yang masih cukup
mampu bermain loncat-loncatan.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram,
tantangan itu benar-benar menusuk pusat jantungnya. Betapa ia ingin
melayaninya seandainya ia tidak sedang dalam keadaan yang sulit. Ia
harus cepat melihat keadaan dalam keseluruhannya. Karena itu maka,
tiba-tiba ia bersuit panjang. Sebelum Untara sampai ke tempat
pertempuran itu, anak buahnya harus sudah mengundurkan diri dan mencoba
menghilang di antara tanaman-tanaman jagung muda. Seterusnya mereka akan
menyusup ke dalam sebuah tegalan dan segera mereka akan sampai ke
rumpun-rum pun bambu liar.
Ki Gede Pemanahan, meskipun tidak tahu
arti daripada siutan itu menurut persetujuan orang-orang Jipang, tetapi
ia sudah dapat menduga. Ada dua kemungkiman yang bakal terjadi. Ki
Tambak Wedi memanggil pasukan cadangannya, atau orang-orangnya yang
telah bertempur di arena itu harus mengundurkan diri.
Namun dalam pada itu terdengar Ki Tambak
Wedi berkata lantang, “Tunggu sampai matahari mencapai puncaknya,
Sangkal Putung akan dilanda arus induk pasukan Jipang yang akan datang
dari Barat. Mereka akan dipimpin oleh Adi Sumangkar, saudara muda
seperguruan Patih Mantahun. Bukankah kau telah mengenalnya pula
Pemanahan? Aku akan datang kembali bersama-sama dengan mereka.”
Belum lagi kata-kata itu habis
diucapkannya, maka Ki Gede Pemanahan telah melihat orang-orang Jipang
itu berkisar surut begitu cepat, sehingga ia tidak mendapat kesempatan
untuk memberikan perintah lain. Orang-orang Jipang itu bertempur sambil
mengambil ancang-ancang. Namun dalam pada itu, seperti jengkerik yang
lenyap ke dalam liangnya, mereka menyusup satu-satu ke dalam lindungan
batang-batang jagung. Orang-orang Pajang yang telah melihat kehadiran
sepasukan kecil dari Sangkal Putung menjadi berbesar hati, sehingga
dengan demikian mencoba mengejar orang-orang Jipang itu. Namun
orang-orang Jipang berlari berpencaran. Kadang-kadang satu dua di antara
mereka masih juga menyergap dengan tiba-tiba di dalam rimbunnya daun
jagung yang hijau, namun kemudian mereka kembali menghilang. Sehingga
dengan demikian amat sulitlah untuk dapat mengejar mereka dengan
sebaik-baiknya. Sehingga karena itu, maka akhirnya mereka terpaksa
melepaskan orang-orang Jipang itu menghilang.
Untara datang terlambat. Pertempuran di
bulak jagung itu telah selesai. Yang dilihatnya tinggalah
bekas-bekasnya. Darah dan beberapa sosok mayat dari kedua belah pihak.
Darah Untara serasa membeku ketika ia
melihat Ki Gede Pemanahan duduk di atas punggung kudanya. Tangannya
masih menggenggam keris Kiai Naga Kemala, sedang peluhnya seperti
terperas dari tubuh membasahi segenap pakaiannya. Apalagi ketika
kemudian dilihat oleh Untara, seorang anak muda yang menggenggam tombak
di tangannya. Tombak yang sama sekali masih belum membekas darah, tetapi
pakaian anak muda itu sendiri telah diwarnai oleh darahnya sendiri.
Ternyata lengan Sutawijaya telah terluka justru oleh Alap-alap
Jalatunda, bukan oleh Sidanti. Pedang Alap-alap muda itu berhasil
menyentuh lengan Mas Ngabehi Loring Pasar. Agaknya perhatian Sutawijaya
lebih banyak ditujukan kepada Sidanti, sehingga Alap-alap Jalatunda
mendapat kesempatan lebih banyak, tetapi anak muda itu tersenyum dan
menyapa, “Kau baru datang Kakang Untara, kami baru saja bujana
andrawina. Sayang, kau tidak dapat ikut serta.”

Ki Gede Pemanahan tersenyum. Senyum yang
kecut sekali. Dilihatnya kawan-kawan Untara yang kemudian berloncatan
pula dari punggung kudanya dan yang kemudian menyarungkan pedang
masing-masing, tetapi Untara sendiri baru menyarungkan pedang ketika ia
dikejutkan oleh suara Ki Gede Pemanahan, “Sarungkan pedangmu Untara. Tak
ada lagi yang akan kau ajak bermain pedang.”
Untara menggigit bibirnya. Sambil
menundukkan kepalanya ia menyarungkan pedangnya. Tetapi ketika ia sempat
memandang tangan Ki Gede Pemanahan dengan sudut matanya, maka
dilihatnya Ki Gede pun telah menyarungkan kerisnya Kiai Naga Kemala.
“Sambutan yang cukup hangat Untara,”
desis Ki Gede Pemanahan. “Selama aku menjadi Panglima Wira Tamtama
ternyata sambutan Sangkal Putung atas kedatangan peninjauanku adalah
yang paling hangat yang pernah aku alami.”
Kepala Untara menjadi semakin tunduk.
Hudaya, Agung Sedayu dan kawan-kawannya pun menundukkan wajah-wajah
mereka pula. Namun di dalam hati, Hudaya mengumpati orang-orang Jipang
itu tidak habis-habisnya. Kalau ia mendapat kesempatan, maka ia pasti
akan menumpahkan segenap kemarahan, kebencian dan dendam kepada mereka.
“Aku sudah menyangka bahwa mereka pasti, akan berbuat curang,” katanya
di dalam hati. “Penyerahan itu hanyalah sekedar cara untuk membuat kita
menjadi lengah.”
“Aku mohon maaf Ki Gede,” desis Untara kemudian. “Mungkin ada sesuatu yang tidak berkenan di hati Ki Gede Pemanahan.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum. Senyumnya
masih sebuah senyuman yang kecut. Jawabnya, “Untunglah aku masih hidup
sehingga aku masih mendapat kesempatan untuk memberi maaf kepadamu.
Kalau aku sudah dipenggal kepalaku oleh Ki Tambak Wedi, mungkin kau akan
menyesal. Bukan karena kematianku, tetapi karena aku tidak dapat
memberi maaf lagi kepadamu.”
Untara tidak menjawab. Terasa tubuhnya
bergetar. Ia merasa memanggul kesalahan di atas pundaknya. Dan Ki Gede
Pemanahan telah langsung menunjuk kesalahan itu.
Ki Gede itu kemudian berkata pula, “Berapa orang yang kau bawa itu?”
“Sepuluh orang Ki Gede, selain yang delapan orang telah mendahului,” jawab Untara.
Ki Gede Pemanahan kemudian memandangi
kesepuluh orang itu satu persatu, tetapi ia tidak melihat Widura.
Beberapa orang di antaranya sama sekali belum dikenalnya.
Dalam pada itu, kembali mereka mendengar
suara kaki kuda berderap. Dari kejauhan mereka melihat bermunculan
beberapa buah kepala di atas batang-batang jagung muda. Dan sejenak
kemudian tujuh orang yang sedang berpacu sampai pula di antara mereka.
Ketujuh orang itupuh dengan serta merta menghentikan kuda-kuda mereka
dan segera berloncatan turun.
“Berapa orang yang akan datang lagi?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Semuanya paling sedikit duapuluh lima orang ki Gede?” jawab Untara.
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukan
kepalanya. Jumlah yang disebutkan Untara itu telah mengurangi
kekecewaannya. Ternyata perhitungan Untara cukup baik. Ia tidak
mempercayakan diri dengan jumlah yang hanya sepuluh orang itu. Dengan
duapuluh lima orang Untara dapat menarik suatu kepastian, bukan sekedar
untung-untungan. Dalam peperangan maka diperlukan suatu perhitungan yang
mantap meskipun kadang-kadang keadaan yang khusus dan tiba-tiba dapat
merubah keadaan yang telah diperhitungkan itu, namun itu adalah akibat
dari kekhususannya.
Ternyata apa yang dikatakan Untara
bukanlah sekedar untuk mengurangi kesalahannya. Kembali dari arah yang
sama datang orang-orang berkuda. Kali ini serombongan kecil sebanyak
lima orang. Meskipun jumlah mereka seluruhnya belum mencapai duapuluh
lima orang, namun jumlah itu telah mendekati, dan bahkan melampaui
apabila yang delapan orang diperhitungkan pula.
“Jumlah orang-orangmu cukup untuk
menyambut kedatanganku Untara,” berkata Ki Gede Pemanahan. “Ternyata kau
cukup berprihatin mendengar laporan Sonya. Bukan begitu?”
Untara mengangguk. “Ya Ki Gede.”
“Kenapa hal ini dapat terjadi?”
Untara menunduk semakin dalam. Ki Gede
Pemanahan agaknya benar-benar menjadi kecewa atas kejadian ini. Dan
Untara tidak akan mengingkari, bahwa di pundaknyalah terletak segala
kesalahan.
“Aku percaya pada setiap laporanmu. Aku
percaya sebab menurut penglihatanku, pada saat-saat lampau kau hampir
tidak pernah berbuat kesalahan. Apalagi kesalahan sebodoh kali ini.
Namun ternyata kau hampir-hampir saja menyeret aku ke dalam suatu
kesulitan.”
Untara tidak menjawab. Ia berdiri tegak seperti patung dengan kepala menunduk.
Bukan saja Untara yang merasa hatinya
bergetar, tetapi semua prajurit Pajang yang berada di tempat itu. Mereka
mengenal Untara sebagai seorang senapati yang baik. Tetapi Betapapun
baiknya, seseorang suatu ketika memang dapat membuat kesalahan.
Sesaat kemudian berkata Ki Gede Pemanahan
itu pula, “Untara. Aku datang kemari karena aku memenuhi undanganmu.
Aku sependapat dengan semua usulmu. Sekarang, terserah kepadamu, apa
yang harus aku lakukan.”
Dada Untara menjadi semakin
berdebar-debar. Apa yang harus dilakukan dalam keadaan seperti sekarang
ini? Apalagi ketika Ki Gede Pemanahan kemudian berkata, “Menurut Ki
Tambak Wedi, segera akan datang induk pasukan dari arah Barat yang
dipimpin oleh Sumangkar. Tetapi sesuai dengan laporanmu, bahwa
Sanakeling dan Sumangkar berbeda pendirian, maka ada beberapa
kemungkinan yang bakal terjadi. Kalau Sumangkar barhasil mengelabui kau
Untara, maka perbedaan pendirian itu adalah semata-mata suatu cara untuk
menjebakmu. Tetapi kalau Sumangkar benar-benar akan menyerah, maka Ki
Tambak Wedi-lah yang licin seperti belut. Darimana Ki Tambak Wedi tahu
bahwa aku akan datang?”
Dengan hati-hati Untara menjawab, “Tak
seorang pun yang tahu, bahwa Ki Gede akan datang kecuali beberapa orang
penghubung, beberapa orang pemimpin kelompok dan Paman Widura sendiri.
Sebagian besar dari orang-orang yang datang ini pun baru tahu bahwa Ki
Gede berada dalam, perjalanan setelah kami berangkat dari halaman Banjar
Desa Sangkal Putung.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi pikirannya masih juga meraba-raba, apakah sebenarnya
yang akan dihadapi oleh Sangkal Putung.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing mencoba untuk mencari jalan yang sebaik-baiknya menghadapi keadaan yang sulit itu.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Mas
Ngabehi Loring Pasar berkata, “Mari kita teruskan perjalanan ini ayah.
Aku ingin melihat Sangkal Putung.”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya.
Ia melihat darah yang membasahi pakaian anaknya. Tetapi anaknya
seolah-olah tidak merasakan sesuatu pada lengannya yang terluka itu.
“Coba, tahanlah darah yang mengalir itu dengan sepotong kain, Jebeng,” perintah ayahnya.
Sutawijaya berpaling. Dipandanginya kudanya. Namun ia berkata, “Tidak apa-apa Ayah.”
“Tetapi jangan terlampau banyak darah mengalir.”
Sutawijaya menarik lengan bajunya dan
mencoba mengusap lukanya dengan lengan baju itu. Tetapi darahnya masih
juga menetes satu-satu. Karena itu, maka terpaksa ia memegangi lukanya
dengan tangan kanannya, sedang tangan yang luka itu menggenggam landean
tombaknya. Tetapi luka itu seolah-olah memang tidak terasa. Bahkan ia
berkata, “Kakang Untara, besok aku akan meneruskan perjalanan ke Barat.
Aku ingin melihat hutan Mentaok yang menurut ayah, apabila Ramanda
Hadiwijaya berkenan, akan dirampas menjadi sebuah perkampungan.”
“Ah,” potong ayahnya, “sekarang kita
sedang berbicara tentang Sangkal Putung dan orang-orang Jipang. Kau
berbicara menurut seleramu sendiri.”
Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Bukankah
yang lain-lain dapat juga dibicarakan di Sangkal Putung? Tidak di
tengah-tengah bulak ini. Dengan demikian, orang-orang yang terluka pun
segera dapat ditolong dengan cara yang lebih baik.”
Ki Gede Pemanahan menganggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Pendapatmu baik.” Kepada Untara Ki Gede Pemanahan
berkata, “Untara. Aku akan berjalan terus ke Sangkal Putung. Kalau benar
ada orang-orang Jipang yang berada di banjar desa, maka sebaiknya apa
yang terjadi ini sementara dirahasiakan supaya keadaan Banjar Desa
Sangkal Putung tidak menjadi tegang karena prajurit-prajurit Pajang yang
terbakar perasaannya karena peristiwa ini.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan ia menyahut, “Ya Ki Gede, ada beberapa orang-orang Jipang
yang luka-luka di sana.”
“Apakah persiapanmu untuk menyambut
orang-orang Jipang cukup baik? Menyerah atau seandainya mereka
menyerang?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Menurut perhitungan kami di Sangkal Putung, persiapan itu cukup baik Ki Gede.”
“Aku masih cukup percaya kepadamu. Peristiwa yang terjadi ini mungkin sama sekali di luar dugaanmu.”
Untara tidak menjawab. Tetapi ia hanya menundukkan kepalanya.
“Suruh orang-orangmu melayani orang-orang
yang terluka dan membawa para korban. Bagaimana menurut pertimbanganmu
supaya para korban dan mereka yang terluka tidak menggemparkan banjar
desa?”
Untara berpikir sejenak, kemudian
jawabnya, “Mereka akan kami tinggalkan di pedukuhan sebelah Ki Gede.
Beberapa orang akan mengawalnya. Apabila terjadi sesuatu, mereka harus
membunyikan tanda bahaya.”
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baik. Kita akan berangkat.”
Ki Gede Pemanahan pun kemudian meneruskan
perjalanannya. Kuda-kuda yang masih berkeliaran segera ditangkap
kembali. Dan mereka yang sudah kehilangan kudanya segera naik
bersama-sama dua orang di atas satu punggung kuda. Sedang para peronda
yang datang berjalan kaki harus kembali ke gardunya sambil membawa
orang-orang yang terluka dan beberapa mayat korban pertempuran itu,
dibantu oleh beberapa orang prajurit berkuda yang datang dari Sangkal
Putung.
Di sepanjang perjalanan yang sudah tidak
terlampau jauh itu, hampir-hampir tidak ada yang mengucapkan sepatah
katapun. Semuanya terdiam oleh angan-angan mereka yang berputaran.
Baru ketika mereka hampir memasuki induk
kademangan, Untara berkata, “Apakah beberapa orang dari kami
diperkenankan mendahului, Ki Gede. Kami ingin membuat beberapa
persiapan.”
Ki Gede menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Pergilah.”
Kemudian kepada seorang perwira pengiringnya Ki Gede berkata, “Kibarkan panji-panji. Pakailah tombak sebagai tunggulnya.”
Sebelum Untara mendahului rombongan itu
bersama beberapa orang untuk mengatur penyambutan, maka ia masih sempat
melihat Panji-panji Wira Tamtama berkibar pada sebuah landean tombak.
Panji-panji Wira Tamtama yang mengatakan bahwa dalam rombongan itu ada
seorang perwira tertinggi dari kesatuan Wira Tamtama.
Kepada Untara dan orang-orangnya sekali
lagi Ki Gede Pemanahan berpesan, “Untara, kalau kau masih mengharap
bahwa Sumangkar benar-benar akan menyerah, maka sekali lagi aku pesankan
rahasiakan dahulu apa yang telah terjadi.”
Untara mengangguk sambil menjawab, “Ya Ki Gede. Akan kami lakukan.”
Untara itu pun kemudian mendorong kudanya
berjalan lebih cepat untuk mendahului rombongan Ki Gede Pemanahan.
Baberapa saat kemudian mereka berpacu memasuki lorong-lorong di dalam
induk Kademangan Sangkal Putung menuju ke banjar desa.
Beberapa orang melihat Untara dengan
berbagai pertanyaan di dalam hati. Para prajurit yang berada di
alun-alun, beserta anak-anak muda Sangkal Putung, memalingkan kepala
mereka sejenak. Tetapi ketika yang mereka lihat Untara sedang berpacu,
maka kembali mereka bercakap-cakap di antara mereka. Orang-orang yang
berada di alun-alun itu sama sekali tidak tahu apa sebenarnya yang telah
terjadi. Mereka menyangka bahwa Untara memang sedang bermain-main
sendiri. Permainan yang masih dirahasiakan bagi mereka.
Melihat kedatangan Untara tanpa Ki Gede
Pemanahan hati Widura berdesir. Apakah Untara telah terlambat sehingga
Ki Gede Pemanahan menemui bencana?
Dengan tergesa-gesa ia segera menyongsong
kedatangan Untara. Demikian Untara meloncat dari punggung kudanya di
muka pendapa banjar desa, terdengar Widura bertanya perlahan-lahan,
“Apakah kau terlambat Untara?”
Untara mengerutkan keningnya. Jawabnya dengan nada rendah, “Ya Paman.”
“He?” darah Widura serasa membeku, “lalu bagaimana dengan Ki Gede Pemanahan?”
“Sebentar lagi Ki Gede akan datang.”
“Oh,” Widura menghela nafas. “Jadi Ki Gede Pemanahan tidak apa-apa?”
Baru Untara kini menyadari, bahwa
jawabannya telah mengejutkan Widura. Maka katanya, “Tidak Paman, Ki Gede
Pemanahan tidak mengalami cidera. Tetapi aku sebenarnya datang
terlambat. Orang-orang Jipang telah terusir.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Terasa dadanya menjadi lapang. Dengan mengelus dada ia berkata, “Dadaku
selama ini serasa akan meledak. Sukurlah kalau Ki Gede Pemanahan tidak
mendapat cidera apapun. Apakah Ki Gede akan segera memasuki banjar
desa?”
“Ya. Ki Gede akan memasuki banjar desa.
Ki Gede menghendaki apa yang terjadi tetap dirahasiakan,” sahut Untara
sambil memandang berkeliling kepada para petugas yang berdiri agak jauh
dari padanya yang memancarkan pertanyaan lewat sorot mata mereka. Tetapi
mereka tidak mendengar percakapan itu.
Akhirnya Untara itu pun berkata, “Kita sekarang harus segera menyiapkan penyambutan Paman.”
Widura menyadari bahwa waktu telah
menjadi sangat sempit. Karena itu, maka kemudian ia memanggil salah
seorang dari para petugas yang berdiri di muka pendapa itu. Ketika orang
itu telah menghadap di depannya maka katanya, “Bunyikan tanda bagi para
prajurit di alun-alun.”
Orang itu memandang Widura dengan
herannya. Tanda apakah yang harus dibunyikan? Karena itu maka ia
bertanya, “Ki Wídura, tanda apakah yang harus aku bunyikan. Tanda untuk
berperang? Atau tanda untuk bubar dan kembali ke pondok masing-masing.”
Widura mengerutkan keningnya. Kemudian
baru disadarinya bahwa perintahnya kurang lengkap. “Tanda bahwa akan
datang tamu agung di banjar desa ini.”
“Tamu agung?”
“Ya.”
“Siapa?”
“Cepat, kau akan melihat nanti.”
Orang itu tidak bertanya lagi. Segera ia
berlari-lari kecil ke sisi halaman di samping gandok. Dengan serta merta
diraihnya pemukul kentongan sebesar lengannya. Dan dengan sekuat-kuat
tenaganya dipukulnya kentongan itu dalam irama tiga-dua.
Para prajurit yang berada di alun-alun
beserta para anak-anak muda Sangkal Putung dan setiap orang yang berdiri
mengitari alun-alun itu terkejut. Mereka telah mengenal tanda itu.
Tanda bahwa akan ada tamu yang datang di kademangan mereka.
Sesaat mereka saling berpandangan. Kemudian terdengar bisik di antara mereka, “Siapakah yang bakal datang?”
Semua orang saling menggelengkan kepala
mereka. Mereka sama sekali belum mendengar siapa yang bakal datang ke
kademangan itu. Hanya satu dua orang kepala kelompok yang sudah
mendengar berita kedatangan Ki Pemanahan, namun mereka pun berpura-pura
menggelengkan kepala mereka pula.
Namun tanda itu masih bergema terus.
Karena itu, maka segera para prajurit dan anak-anak muda Sangkal Putung
mengatur diri dalam barisan yang teratur menurut susunan masing-masing,
sedang orang-orang yang berdiri menonton di sekitar alun-alun itu pun
segera mendesak maju.
Untara dan Widura beserta beberapa orang
pun kini telah berada di regol halaman. Mereka menanti kedatangan Ki
Gede Pemanahan beserta rombongannya dengan berdebar-debar. Apalagi
Untara, yang mengetahui bahwa rombongan yang datang dari Pajang itu
telah tidak utuh seperti semula. Ada di antara mereka yang kini terpaksa
ditinggalkan karena luka-luka mereka, bahkan ada di antara mereka yang
terbunuh.
Bukan hanya itu yang menggelisahkan
Untara. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya matahari telah
terlampau tinggi. Kalau matahari itu mencapai puncaknya, maka Sumangkar
dan sebagian orang-orang Jipang harus diterimanya.
Tetapi sudah tentu Untara tidak dapat
meninggalkan halaman itu sebelum Ki Gede Pemanahan datang. Ia hanya
dapat mengharap mudah-mudahan Ki Gede Pemanahan segera datang dan
orang-orang Jipang tidak mendahului waktu yang telah ditentukan. Apalagi
kalau orang-orang Jipang itu curang dan seperti apa yang dikatakan oleh
Ki Tambak Wedi, mereka datang untuk menghancurkan Sangkal Putung, tidak
untuk menyerah. Orang-orang di gardu-gardu akan dapat dikelabuhinya.
Mereka datang untuk berpura-pura menyerah sebelum mereka mencekik leher
para peronda, sehingga mereka tidak sempat memukul tanda bahaya.
Untara itu seakan-akan berdiri di atas
bara api. Sekali ia melangkah ke tengah-tengah jalan melihat apakah Ki
Gede Pemanahan telah tampak, sekali ia melangkah ke regol halaman sambil
berkomat-kamit. Ia beserta pasukannya harus segera ke Benda. Melihat
kehadiran orang-orang Jipang dengan senjata di tangan. Menyaksikan
mereka mengumpulkan senjata-senjata mereka dan kemudian menerima mereka
secara resmi yang seharusnya disaksikan oleh Ki Gede Pemanahan. Kemudian
orang-orang Pajang harus menyingkirkan senjata-senjata itu. Selanjutnya
orang-orang Jipang itu besuk atau lusa harus pergi ke Pajang dengan
sebuah pengawalan yang kuat bersama-sama Ki Gede Pemanahan. Tetapi
melihat perkembangan terakhir, maka rencana itu pun harus mendapat
perubahan. Ternyata Ki Tambak Wedi sudah mulai bergerak terlampau cepat
dari dugaan Untara, sehingga pada saat-saat orang Jipang nanti selama
dalam perjalanan ke Demak pun harus diperhitungkan setiap kemungkinan
yang dapat dilakukan oleh Ki Tambak Wedi.
Waktu yang pendek itu terasa betapa
panjangnya. Untara hampir-hampir menjadi tidak bersabar lagi dan
hampir-hampir ia memerintahkan menyediakan kudanya untuk kembali
menyongsong Ki Gede Pemanahan.
Dalam pada itu, para prajurit Pajang dan
orang-orang Sangkal Putung yang berada di alun-alun kecil di muka banjar
desa itu pun mulai menebak-nebak. Siapakah tamu agung yang bakal
datang? Dalam keragu-raguan itu terdengar seseorang berbisik, “Apakah
orang-orang Jipang yang menyerah itu kita terima sebagai tamu agung?”
Kawannya berbicara mengerinyitkan alisnya. Gumamnya, “Tentu tidak.”
“Siapa tahu. Anak-anak yang selama ini
menjadi liar dan gila itu, kini mendapatkan perlakuan yang
berlebih-lebihan, mereka dimanjakan dan dihormati seperti tamu agung.”
“Kalau demikian, aku akan memaki mereka di depan orang banyak ini,” sahut orang yang diajak berbicara.
“Tidak hanya memaki,” sela yang lain, yang mendengar pembicaraan itu. “Aku akan melempar mereka dengan tombakku ini.”
Pembicaran itu segera terhenti, ketika
mereka mendengar sebuah teriakan melengking dari salah seorang pemimpin
penghubung, “Tamu kita telah datang.”
“Setan,” desis salah seorang prajurit.
“Apakah benar mereka orang-orang Jipang.”
“Tetapi mereka datang dari arah yang lain. Lihat, para pemimpin kita menyongsong para tamu yang datang dari arah Timur.”
Mereka pun kemudian terdiam. Tetapi
beberapa orang yang sudah melihat kedatangan serombongan prajurit Pajang
dengan sebuah panji-panji yang telah mereka kenal menjadi terkejut
bukan kepalang. Rombongam yang semakin lama menjadi semakin dekat itu
ternyata membawa panji-panji kehormatan Wira Tamtama, bukan sekedar
panji-panji pasukan Wira Tamtama. Panji-panji yang mengabarkan bahwa di
dalam rombongan itu ikut serta Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan.
Tiba-tiba dengan serta-merta mereka pun
bersorak. Semakin lama menjadi semakin keras. Orang-orang yang berdiri
di belakang yang tidak dapat melihat arah kedatangan para tamu, karena
terhalang pepohonan di samping lapangan itu, semakin ingin tahu,
siapakah sebenarnya yang datang.
Orang-orang yang berdiri di muka, yang
dapat melihat agak jauh sepanjang jalan, di muka banjar desa itu pun
berteriak, “Ki Gede Pemanahan, Ki Gede Pemanahan.”
“Kau dengar kata-kata itu?” bertanya
salah seorang prajurit yang berdiri di belakang. “Apakah betul mereka
menyebut nama Ki Gede Pemanahan?”
Mereka pun terdiam. Kembali mereka
mendengar sorak itu, sehingga akhirnya orang-orang yang berdiri di
belakang tidak dapat mengendalikan diri lagi. Segera mereka mendesak
maju, sementara rombongan dari Pajang pun sudah semakin dekat. Yang
pertama-tama mereka lihat adalah panji-panji itu. Dan dengan serta-merta
pula mulut mereka berdesis, “Panji-panji itu adalah panji-panji
kehormatan, bukan panji-panji pasukan Wira Tamtama. Yang datang bukanlah
sepasukan prajurit dalam siaga tempur, yang datang adalah Panglima Wira
Tamtama.”
Sejenak para prajurit itu terpesona.
Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa panglima mereka yang namanya
selalu tergores di dalam dada mereka, setiap prajurit Wira Tamtama,
datang mengunjungi desa terpencil ini. Karena itu, maka hati mereka pun
menjadi menggelegak oleh suatu kebanggaan.
“Tetapi kenapa kedatangan Ki Gede
Pemanahan tidak dalam suatu sikap kebesaran? Dengan pengawal segelar
sepapan dan segala macam tanda-tanda yang lain?”
Kawannya menggelengkan kepalanya. Namun
tiba-tiba ketika Ki Gede Pemanahan sudah semakin dekat, tanpa mereka
sengaja, mulut-mulut mereka itu pun telah berteriak, “Ki Gede
Pemanahan.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum di atas
punggung kudanya. Ditatapnya gairah yang menyala dalam penyambutan yang
sederhana itu. Justru karena kedatangannya tidak diduga-duga, maka
sambutan para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung meledak
seperti ledakan gunung berapi. Mereka berteriak-teriak mbata rubuh.
Mereka melambaikan tangan-tangan mereka, bahkan senjata-senjata mereka.
Ki Demang Sangkal Putung bahkan menjadi
seolah-olah membeku. Kedatangan Panglima Wira Tamtama di Sangkal Putung,
adalah suatu kehormatan yang tidak terkira.
Karena itu, karena kebanggaan orang-orang
Sangkal Putung dan para prajurit Pajang atas kunjungan Ki Gede
Pemanahan, Panglima Wira Tamtama, maka sambutan mereka pun meledak
tanpa terkendali. Sorak yang gemuruh, pekik yang seolah-olah memecahkan
selaput kuping.
Sejenak kemudian maka banjar desa itu
pun segera menjadi ribut. Para petugas menjadi terlampau sulit untuk
menahan arus orang-orang Sangkal Putung yang akan menerobos masuk ke
halaman. Bahkan kemudian para prajurit Pajang terpaksa berdiri berjajar
rapat di pintu regol untuk mencegah orang-orang yang tanpa terkendali
memasuki halaman yang tidak terlampau luas.
Tetapi dalam pada itu, Ki Demang Sangkal
Putung mempunyai kesibukan yang lain. Ia belum siap sama sekali,
bagaimana ia nanti akan memberikan hidangan yang pantas kepada Panglima
Wira Tamtama itu, sehingga dengan agak kisruh ia dengan tergesa-gesa
bertanya kepada Widura, “Adi Widura, apakah yang harus kami hidangkan
nanti kepada tamu agung kita?”
Widura mengerutkan keningnya, kemudian
jawabnya, “Ki Gede Pemanahan adalah orang yang tidak banyak
memperhatikan masalah-masalah yang demikian. Hidangkan saja apa yang
akan Kakang Demang hidangkan kepada kita hari ini. Nasi seperti biasa
kita makan, dan minum seperti yang biasa kita minum.”
“Ah,” desah Ki demang, “itu terlampau sederhana bagi seseorang Panglima Wira Tamtama.”
“Ki Gede Pemanahan adalah seorang
prajurit,” sahut Widura. “Ia bukan prajurit di dalam bilik perang di
Pajang untuk mengatur gerak prajuritnya sambil duduk memintal kumis. Ki
Gede Pemanahan adalah seorang prajurit medan. Karena itu, maka Ki Gede
Pemanahan tidak akan pernah menilai hidangan yang dihidangkan
kepadanya.”
Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, namun keningnya
kemudian dibasahi oleh keringat dingin yang mengalir tak henti-hentinja.
Dengan serta merta dipanggilnya Swandaru sambil berkata, “Swandaru,
pulanglah ke kademangan sejenak. Berkatalah kepada ibumu dan adikmu
Sekar Mirah. Buatlah hidangan yang agak pantas untuk Ki Gede Pemanahan
dengan rombongan dari Pajang.”
“Hidangan apa ayah?”
“Makanan, makan siang dan minuman”
“Rujak degan.”
“Jangan mengigau. Itu hanya kesukaanmu sendiri”
Ki Demang terkejut bukan buatan ketika
seorang anak muda yang ternyata memisahkan diri dari rombongannya dan
berjalan di halaman itu menyahut, “Ayah senang sekali rujak degan.”
Ki Demang memandangi anak muda itu dengan
mata hampir tak berkedip. Ia melihat lengan baju anak muda itu membekas
darah dan bahkan kainnya pun terkena percikannya pula. Tetapi wajahnya
masih juga memancarkan sebuah senyuman yang segar.
Ketika dengan ragu-ragu Ki Demang ingin menanyakan siapakah anak muda itu, maka terdengar pula suara yang lain di belakangnya.
“Ki Demang, anak muda inilah yang bernama Sutawijaya dan bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.”
“Oh,” Ki Demang itu berdiri sejenak
dengan mulut ternganga. Inilah anak muda yang telah herhasil menyobek
perut Pengeran Arya Penangsang, Adipati Jipang.

“Ah,” anak muda itu berdesah. Katanya kemudian, “Bagaimana dengan rujak degan itu?”
Swandaru menjadi tersipu-sipu. Tetapi
ternyata Sutawijaya mendesaknya, “Kami terlampau haus. Apakah di sini
ada kelapa muda? Aku juga bisa memanjat untuk memetiknya.”
“Jangan, jangan,” cegah Swandaru. “Aku anak kademangan ini. Aku sudah terlalu biasa memanjat batang kelapa.”
Swandaru tidak berkata-kata lagi. Segera
ia berlari-lari ke halaman belakang banjar desa. Kepada beberapa orang
dimintanya untuk segera menurunkan beberapa kelapa muda seperti yang
diminta oleh Sutawijaya.
Dalam pada itu, Sutawijaya yang masih
berada di halaman, memandangi anak muda yang telah memperkenalkannya
kepada Ki Demang Sangkal Putung. Anak muda itu dilihatnya datang
bersama-sama dengan Untara ke bulak tempat mereka bertempur melawan
orang-orang Jipang. Tetapi anak muda itu belum dikenalnya, dan anak muda
itu tidak berpakaian atau bertanda apa pun sebagai seorang prajurit.
Karena itu, maka dengan serta-merta ia bertanya, “Bukankah kau yang
datang bersama Kakang Untara?”
Anak muda itu menganggukkan kepalanya. “Ya, Tuan.”
“Siapakah namamu?”
“Agung Sedayu.”
“Apakah kau bukan seorang prajurit meskipun di lambungmu tergantung sehelai pedang?”
“Ya, Tuan. Aku bukan seorang prajurit Wira Tamtama.”
“Apakah kau termasuk laskar Sangkal Putung?”
“Ya, Tuan, meskipun aku bukan anak Sangkal Putung.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ia bertanya, “Dari manakah kau?”
“Jati Anom.”
“Oh, jadi apakah kau mempunyai hubungan khusus dengau Kakang Untara?”
“Aku adiknya.”
Sutawijaya tertawa. “Pantas,” katanya.
Tetapi ia tidak meneruskannya. Ternyata
Agung Sedayu menarik perhatiannya. Kecuali umurnya yang sebaya, juga
ketangkasannya. Sutawijaya melihat anak muda itu meloncat dari punggung
kudanya, langkahnya dan pedang di lambungnya.
Tetapi anak muda ini tampaknya agak
berbeda dengan orang-orang yang berada di halaman itu. Bahkan dengan
Untara dan Widura sekalipun. Agung Sedayu bersikap lain dari pada para
prajurit. Anak muda itu tidak sekeras kakaknya. Sikapnya agak lebih
lunak meskipun dari sepasang matanya memancar pula sifat-sifat yang
membayangkan betapa anak muda itu memandang hari depan dengan penuh
gairah.
“Apakah kau sudah lama berada di tempat ini?” bertanya Sutawijaya.
“Belum, Tuan.”
“Sejak Paman Widura di sini?”
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. “Tidak. Belum lama. Aku datang bersama-sama dengan Kakang Untara.”
“Oh,” Sutawijaya mengerutkan keningnya.
“Ya!” serunya. Tiba-tiba putera Panglima Wira Tamtama itu teringat
sesuatu. Katanya, “Aku pernah mendengar laporan yang disampaikan oleh
seorang penghubung tentang dirimu. Tentang Agung Sedayu. Bukankah kau
yang menyampaikan berita pertama kali ke Sangkal Putung tentang gerakan
Tohpati?”
Wajah Agung Sedayu menjadi tertunduk karenanya.
“Bukankah begitu?”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Yang
menjawab kemudian adalah pamannya yang masih berdiri di sampingnya, “Ya,
Angger Agung Sedayu-lah yang telah membawa berita itu. Berita yang
seolah-olah telah melepaskan kami dari bencana.”
“Luar biasa. Kau benar-benar mengagumkan.”
Tetapi Agung Sedayu menjadi semakin
rikuh. Terasa wajahnya menjadi tebal, seakan-akan kulit di mukanya
menjadi bengkak. Yang mengucapkan pujian itu adalah anak muda sebayanya
yang pernah bertempur melawan Arya Penangsang, apa lagi kalau
dikenangnya apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu.
Tetapi pembicaraan itu pun segera
terhenti. Widura dengan tergesa-gesa harus naik ke pendapa. Para tamu
dan para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung telah duduk di
pendapa bandjar desa. Ki Demang pun segera dipanggil pula duduk di
antara mereka.
Alangkah tegang sikap Demang Sangkal
Putung itu. Menghadap seorang Panglima Wira Tamtama adalah kesempatan
yang baru pertama kali ini didapatnya. Dahulu, seorang tumenggung dari
Demak pernah datang pula ke kademangan ini. Pada saat itu, ia dan para
pamong kademangan harus duduk beberapa langkah dari para tamu itu sambil
menundukkan wajah mereka dalam-dalam. Dengan sikap yang garang
tumenggung itu memberikan beberapa perintah dan petuah. Tetapi hampir
tak seorang pun yang mendapat kesempatan untuk mengucapkan sepatah
pertanyaan pun, dan bahkan hampir tak ada kesempatan untuk menatap wajah
tumenggung yang dikawal oleh beberapa orang prajurit dengan segala
macam tanda-tanda kebesaran.
Tetapi kini, yang datang adalah orang
tertinggi dari kesatuan Wira Tamtama, justru begitu sederhana dan ramah.
Semua orang mendapat kesempatan duduk dalam lingkaran bersama-sama,
berbicara dengan ramah dan berbincang dengan terbuka. Namun dengan
demikian, maka Ki Demang itu menjadi semakin hormat kepada Panglima yang
sederhana ini.
Namun dalam pada itu, Untara-lah yang
seolah-olah dibakar oleh kegelisahannya. Meskipun Ki Gede Pemanahan
selalu mendengarkan pendapat orang lain, namun ia tidak berani
mengemukakan persoalan orang-orang Jipang itu terlampau segera. Ki Gede
Pemanahan baru saja duduk di pendapa itu. Belum lagi minuman
dihidangkan, setelah Ki Gede dan para prajurit yang mengawalnya
bertempur dengan orang-orang Jipang yang dipimpin oleh Ki Tambak Wedi.
Sekali-kali Untara itu memandangi Ki Demang Sangkal Putung dan Widura
berganti-ganti. Seakan-akan terpancarlah pertanyaan dari sorot matanya,
“Apakah tidak segera dihidangkan minumam untuk para tamu yang pasti
kehausan setelah bertempur ini?”
Tetapi pertanyaan itu dijawabnya sendiri,
“Salahmu. Kau tidak memberitahukan bahwa akan datang tamu agung dari
Pajang dan tidak kau katakan bahwa mereka habis bertempur di ladang
jagung.”
Untara menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia terkejut ketika kemudian
beberapa orang naik ke pendapa untuk menghidangkan minuman yang tidak
disangka-sangkanya. Rujak degan.
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia
menarik nafas dalam ketika Widura berkata, “Ki Gede, Puteranda
mengatakan bahwa Ki Gede sangat gemar minum rujak degan.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Sutawijaya berkata sebenarnya.”
Maka beredarlah mangkuk-mangkuk berisi rujak degan yang digulai dengan cairan legen mentah. Alangkah segarnya.
Namun Untara sama sekali tidak merasakan
kasegaran itu. Sekali-kali ia memandang bayangan matahari yang memanjat
semakin tinggi. Apakah jadinya kalau orang-orang Jipang itu datang
dengan tiba-tiba menyergap beberapa gardu perondan. Meskipun ia yakin
bahwa penjagaan induk Kademangan Sangkal Putung ini tidak akan dapat
dengan mudah ditembus. Namun kesempatan mereka mendekati induk
kademangan adalah kesempatan yang amat merugikan bagi Sangkal Putung.
Sifat dan sikap Sanakeling agak berbeda dengan Macan Kepatihan. Apalagi
kini di antara mereka ada orang-orang seperti Tambak Wedi dan Sidanti
yang tamak.
Dalam pada itu, Sutawijaya masih saja
berada di halaman. Sehingga karena itu Agung Sedayu bertanya, “Apakah
Tuan tidak duduk di antara para tamu dan pemimpin-pemimpin Sangkal
Putung?”
“Terlampau panas. Lebih sejuk di halaman ini,” sahut Sutawijaya. “Kenapa kau juga tidak naik?”
Agung Sedayu tersenyum, katanya, “Aku bukan salah seorang dari para pemimpin.”
Sutawijaya tertawa mendengar jawaban itu. Bahkan segera ia berkata, “Apakah bedanya, pemimpin dan bukan pemimpin?”
Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Tetapi justru karena itu, maka ia pun tertawa pula.
Beberapa orang yang mendengar mereka
tertawa, mengernyitkan alisnya. Tetapi mereka kemudian bertanya-tanya di
dalam hati kenapa putera Ki Gede Pemanahan itu tidak duduk di antara
para tamu yang datang dari Pajang.
Dalam pada itu, agaknya Agung Sedayu
telah menemukan jawaban atas pertanyaan Sutawijaya. Katanya, “Tuan
apabila pemimpin dan bukan pemimpin tidak dibedakan, maka pendapa itu
pasti tidak akan muat.”
“Ya, bedanya apa?” desak Sutawijaya.
“Bedanya, pemimpin boleh memilih. Duduk
di atas atau berjalan di halaman. Sedang yang bukan pemimpin hanya ada
satu pilihan. Tidak ada pilihan ke dua. Karena itu, aku tetap di sini.”
Sekali lagi Sutawijaya tertawa. Bahkan
kali ini lebih keras, sehingga orang-orang yang berada di pendapa pun
berpaling kepadanya.
Tetapi suara tertawa itu telah memberikan
isyarat tanpa disengaja kepada Ki Gede Pemanahan. Tiba-tiba Panglima
Wira Tamtama itu melihat bahwa bayangan matahari telah hampir tegak di
bawah kaki. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan itu pun segera berpaling
kepada Untara.
Panglima Wira Tamtama itu menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata dahi Untara telah dibasahi oleh keringat
dinginnya. Dari wajahnya membayang kegelisahan yang amat sangat.
Ki Gede Pemanahan tersenyum. Ia menangkap
apa yang bergolak di dalam dada anak muda itu. Katanya, “Apakah kau
gelisah karena matahari telah cukup tinggi?”
Untara membungkukkan badannya dalam-dalam. “Ya, Ki Gede.”
Namun pertanyaan itu terasa seperti embun yang menetes di jantungnya yang seakan-akan terbakar.
“Maaf Untara,” berkata Ki Gede Pemanahan
itu pula. “Mungkin aku datang terlampau siang. Aku terlambat dari waktu
yang telah aku tetapkan sendiri.”
Jantung Untara terasa berdentang keras
sekali. Sekali lagi ia merasa betapa ia telah berbuat bodoh sekali.
Laporannya ternyata jauh meleset dari apa yang terjadi. Sangkal Putung
sama sekali belum menjadi aman seperti yang disampaikannya kepada
Panglima Wira Tamtama itu.
Sejenak Untara terbungkam. Ia tidak dapat menjawab sama sekali, selain hanya menundukkan kepalanya saja.
Karena Untara tidak menjawab maka Ki Cede
Pemanahan berkata pula, “Untara, kalau kau masih mempunyai kuwajiban
yang lain lakukanlah. Kalau aku akan kau bawa pula, marilah aku sudah
bersedia.”
Untara mengigit bibirnya. Tapi ia tidak dapat menjawab lain dari pada, “Ya Ki Gede. Saat penyerahan hampir tiba.”
“Baik. Siapkan orang-orangmu. Aku akan pergi bersamamu.”
Untara pun kemudian berdiri dan turun
dari pendapa. Diberikanya beberapa perintah kepada Widura menyiapkan
pasukan yang segera akan pergi ke Benda. Beberapa orang berkuda akan
lebih dahulu pergi. Melihat apa yang terjadi di desa kecil itu. Mereka
harus membawa alat-alat tanda bahaya apabila keadaan memaksa.
Namun dalam pada itu, Untara menjadi
heran sejak ia kembali dari bulak tegalan jagung, ia belum melihat Ki
Tanu Metir. Sehingga karena itu maka ia bertanya kepada Widura, “Paman,
di manakah Kiai Gringsing ?”
Widura mengerutkan keningnya. Demikian
sibuknya ia mengurusi berbagai soal sehingga tidak diingatnya Kiai
Gringsing itu lagi. Karena itu maka jawabnya, “Aku tidak melihatnya
Untara.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kiai Gringsing adalah orang yang aneh. Orang yang hanya menuruti
kehendak sendiri, meskipun kadang-kadang bahkan sering menguntungkannya.
Karena itu Untara tidak lagi mencarinya.
Widura yang kemudian pergi ke lapangan di
muka banjar desa itu pun segera mempersiapkan orang-orangnya. Kepada
beberapa orang pemimpin kelompok diperintahkannya menyiapkan para
prajurit Panjang dan anak-anak muda Sangkal Putung dalam kesiagaan
penuh. Mereka akan menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah. Namun
segala kemungkinan dapat terjadi.
“Kami tidak percaya kepada mereka” Tiba-tiba terdengar Hudaya yang sudah berdiri di belakangnya berkata.
Widura berpaling. Ditatapnya wajah Hudaya yang tegang, “Jangan merusak rencana Hudaya. Rencana ini sudah menjadi masak.”
“Apakah yang terjadi di bulak tegalan
jagung itu tidak mendapat pertimbangan? Aku mendengar dari para tamu,
apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi.”
“Kau harus tahu, bahwa Ki Tambak Wedi dan Sumangkar tidak sependapat.”
“Bukankah mereka dapat berpura-pura berbuat begitu?”
“Karena itu marilah kita berada dalam kesiap siagaan yang penuh.”
“Belum cukup. Kalau kita biarkan mereka
mendekati barisan kita, sedang kita hanya menunggu saja di Padukuhan
Benda, maka kita akan kehilangan kesempatan. Harus kita perhitungkan
pula orang-orang Tambak Wedi yang dapat saja datang dari jurusan yang
berbeda-beda. Kalau kita sedang terlibat dalam bentrokan yang kacau,
kemudian kita dengar tanda bahaya dari sudut lain, maka kita akan
kehilangan waktu dan perhitungan.”
“Jangan terlampau berprasangka. Marilah
kita lakukan perintah yang telah disetujui oleh Panglima Wira Tamtama
dengan tidak meninggalkan kewaspadaan.”
Hudaya tidak dapat membantah lagi. Perintah ini, harus di jalankan, apalagi telah disetujui oleh Panglima Wira Tamtama.
Tetapi tiba-tiba kembali mereka menjadi
tegang ketika seorang kepala kelompok yang lain bertanya, “Apakah yang
kau katakan itu ada hubungannya dengan luka Kakang Sonya yang baru saja
mengigau tentang orang-orang Jipang di bulak jagung?”
Dada Widura berdesir mendengar pertanyaan itu, sehingga ia pun bertanya pula, “Apa kata Sonya?”
“Pertempuran di tegal jagung. Menurut
Sonya, orang-orang Jipang telah mencegat Ki Gede Pemanahan beserta
rombongannya,” sahut orang itu.
Kini dada Widura benar-benar menjadi
berdebar-debar. Ia telah minta agar Sonya merahasiakan peristiwa itu
untuk menjaga ketenteraman hati para prajurit Pajang dan orang-orang
Sangkal Putung. Tetapi agaknya seseorang bahkan lebih telah mendengar
peristiwa itu.
“Apakah Sonya telah menceriterakan kepadamu apa yang terjadi?” bertanya Widura.
Orang itu menjadi ragu-ragu. Ditatapnya
wajah Hudaya seakan-akan ia ingin mendapat penjelasan, apa yang sedang
dipercakapkannya dengan Widura. Tetapi karena Hudaya seolah-olah
membisu, maka ia pun menjawab, “Sonya telah terluka. Mula-mula ia tidak
mau mengatakan apa sebabnya ia terluka. Bahkan orang yang memapahnya
dari pendapa ke gandok pun tidak diberitakukannya. Tetapi tiba-tiba
tubuhnya menjadi sangat panas, sehingga ia mengigau. Dalam igauannya
itulah ia mengatakan bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang Jipang.
Bahkan sekali-sekali ia berteriak-teriak memanggil nama Untara.”
Widura mengerutkan keningnya. Ia tidak
mendapat laporan tentang keadaan Sonya itu. Bahkan oleh beberapa
kesibukan yang lain, ia tidak sempat menunggui orang yang terluka itu.
“Apakah Ki Tanu Metir tidak memberinya obat?”
“Ya,” sahut orang itu, “tetapi kemudian orang tua itu pergi sampai sekarang tidak kembali lagi.”
Debar di dada Widura menjadi semakin
keras. Sekali-sekali ditatapnya wajah Hudaya yang seolah-olah
memancarkan tuntutan kepadanya.
Namun Widura itu kemudian menjawab,
“Sonya hanya mengigau. Mungkin telah terjadi sesuatu dengan
perjalanannya, tetapi sebaiknya kita mendengarkan laporannya besok
apabila ia sudah tidak mengigau lagi, sehingga kata-katanya dapat
dipertanggung-jawabkan.”
Pemimpin kelompok itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjadi curiga ketika ia
melihat Hudaya tersenyum. Senyum yang aneh. Dan senyum itu sama sekali
tidak menyenangkan hati Widura. Katanya kemudian, “Sekarang, lakukan
perintah yang diberikan oleh Untara dan telah disetujui oleh Ki Gede
Pemanahan. Bersiaplah. Sebentar lagi kita akan pergi ke Padukuhan Benda.
Mudah-mudahan kita datang lebih dahulu daripada orang-orang Jipang,
sehingga kita dapat membangun pertahanan-pertahanan yang perlu apabila
keadaan berkembang tidak seperti yang diharapkan.”
Hudaya menggeleng lemah. Desisnya, “Aku
tidak dapat mengerti apa yang harus aku lakukan. Tetapi perintah ini
akan aku jalankan. Mudah-mudahan kita tidak masuk ke dalam api neraka.”
Widura memandang Hudaya dengan penuh
curiga. Tetapi dibiarkannya Hudaya berjalan ke kelompoknya. Di
belakangnya berjalan para pemimpin kelompok yang lain.
Tetapi Hudaya itu tertegun dan berpaling ketika ia mendengar Widura memanggilnya, “Hudaya. Aku minta bantuanmu.”
Hudaya mengerti sepenuhnya arti kata-kata
itu. Widura minta kepadanya supaya ia tetap merahasiakan apa yang
diketahuinya di tegal jagung. Tetapi apabila kemudian berita tentang
tegal jagung itu tersebar, adalah bukan salahnya. Ia patuh pada perintah
itu, betapa hatinya sendiri meronta.
Maka jawabnya, “Aku telah mencoba. Tetapi aku tidak dapat mencegah Sonya mengigau terus.”
Widura menarik nafas panjang. Ia pun tau
sepenuhnya bahwa bukan Hudaya sumber dari ceritera tentang tegal jagung
itu seandainya ceritera itu menjalar. Karena Sonya telah mengigau, maka
peristiwa itu tentu akan menjadi bahan pembicaraan. Sebagian dari
prajurit Pajang pasti percaya pada igauan itu. Bahkan mungkin telah
membakar hati mereka pula. Apalagi apabila laskar Sangkal Putung sampai
mendengarnya.
Tetapi Widura tidak dapat berbuat
apa-apa. Satu dua orang telah terlanjur mendengar Sonya mengigau.
Agaknya satu dua orang itu telah berceritera kepada orang-orang lain
lagi, sehingga dalam saat yang pendek, ceritera itu pasti sudah akan
tersebar di seluruh Sangkal Putung.
Sudah tentu ceritera itu menggelisahkan
para pemimpin Sangkal Putung. Ketika Widura melaporkan kesiagaan para
prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung, maka kemudian ceritera
tentang sonya itu dibisikkannya kepada Untara.
“Celaka,” Untara berdesis, “bagaimana dugaan Paman?”
“Mereka dibakar oleh dendam yang meluap-luap. Ceritera itu seperti minyak yang disiramkan ke dalam api.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi kepalanya benar-benar menjadi pening. Kalau benar orang-orang
Jipang itu curang, maka sekali lagi ia akan dibebani oleh sebuah
kesalahan yang besar setelah kebodohannya yang hampir-hampir menyiderai
Ki Gede Pemanahan. Tetapi apabila laskar Sangkal Putung dan para
prajurit Pajang yang mendahului menyergap orang-orang Jipang yang datang
untuk menyerah, maka ia pun akan membuat kesalahan yang lain. Ternyata
prajurit Pajang di Sangkal Putung telah kehilangan ikatan kepemimpinan
sehingga mereka dapat berbuat sesuka hatinya.
Tetapi Untara belum mendapat kesempatan
untuk memecahkan persoalan yang telah membuat kepalanya seperti
berputar-putar. Kini ia terpaksa mendampingi Ki Gede Pemanahan turun
dari pendapa dan berjalan ke halaman. Namun ia sempat berbisik kepada
pamannya, “Paman, kita harus berusaha sebaik-baiknya.”
Pamannya mengangguk. Ia terpaksa memisahkan diri untuk mengawasi langsung keadaan para prajurit dan laskar Sangkal Putung.
Sementara itu, Sutawijaya yang masih saja
duduk bersama Agung Sedayu berkata, “Aku akan ikut ayah melihat
orang-orang Jipang yang menyerah. Apakah kau tidak akan ikut?”
“Ya. Aku akan ikut pula,” sahut Agung Sedayu.
Sutawijaya tersenyum. Ia senang pergi
bersama-sama dengan kawan yang sebaya umurnya. Apalagi kemudian Swandaru
datang kepada mereka. Dan menyatakan keinginannya untuk pergi bersama
pula.
“Bagaimana dengan anak-anak muda Sangkal Putung?” bertanya Agung Sedayu.
“Ayah akan memimpin mereka,” sahut Swandaru.
“Marilah kita pergi bersama-sama,” ajak Sutawijaya.
Tetapi Agung Sedayu menjadi ragu-ragu.
Apakah kakaknya akan mengijinkannya, bahkan seandainya ia harus pergi
sekalipun, mungkin telah disediakan tugas khusus kepadanya. Tetapi
Sutawijaya itu berkata, “Biarlah aku mintakan ijinmu kepada Kakang
Untara.”
Agung Sedayu membiarkannya pergi kepada Untara sambil berkata, “Kakang Untara, apakah adikmu Agung Sedayu akan kau bawa?”
“Tidak, Tuan,” jawab Untara.
“Kenapa?”
“Aku dan Paman Widura harus pergi ke
Padukuhan Benda. Agung Sedayu biarlah tinggal di banjar desa ini untuk
mengawasi orang-orang yang terluka, terutama orang-orang Jipang supaya
tidak terjadi sesuatu pada mereka.”
“Serahkan pekerjaan itu kepada seorang prajurit Pajang, bukankah Agung Sedayu bukan seorang prajurit?”
Untara menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu
maksud Sutawijaya. Bahkan Ki Gede Pemanahan bertanya, “Apakah maksudmu
Sutawijaya? Meskipun Agung Sedayu bukan seorang prajurit, tetapi kalau
Untara telah memberinya kepercayaan?”
“Agung Sedayu dan Swandaru akan aku ajak pergi bersama-sama melihat orang-orang Jipang itu Ayah.”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia berkata, “Kau hanya memikirkan kesenanganmu sendiri.
Agung Sedayu mempunyai tugas di sini, tidak ada kesempatan bagi setiap
orang di Sangkal Putung yang jumlahnya sedikit untuk melihat-lihat
seperti kau.”
“Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru akan aku bawa serta.”
Ki Gede pemanahan menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian dipandanginya wajah Untara yang dipenuhi oleh
kebimbangan. Ia tidak tahu, apakah sebaiknya adiknya diijinkannya
seperti yang dikehendaki oleh Sutawijaya atau justru harus tetap
diberinya tugas seperti yang disebut-sebut oleh Ki Gede Pemanahan.
Agung Sedayu sendiri menjadi sangat
kecewa mendengar tugas yang akan diserahkan kepadanya. Menunggui orang
sakit dan mungkin harus bertengkar dengan orang-orang Pajang atau
Sangkal Putung sendiri, karena mereka akan berbuat sesuatu atas
orang-orang Jipang itu. Tetapi ia menjadi senang sekali ketika ia
mendengar Ki Gede Pemanahan berkata, “Biarlah Agung Sedayu dan kawannya
itu pergi pula. Serahkan pekerjaan itu kepada orang lain.”
Untara menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Baik Ki Gede.”
Demikianlah akhirnya Agung Sedayu dan Swandaru ikut pula pergi ke Benda, untuk menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah.
“Kita pergi berkuda,” ajak Sutawijaya.
“Tetapi yang lain berjalan kaki,” sahut Agung Sedayu.
“Biar sajalah, kita pergi berkuda.”
Agung Sedayu tidak membantah. Tetapi
sekali lagi ia menjadi ragu-ragu, apakah kakaknya akan mengijinkannya?
Katanya, “Aku akan minta ijin Kakang Untara.”
“O,” desah Sutawijaya, “kau selalu saja ragu-ragu. Biar sajalah. Kakang Untara tidak akan marah.”
“Ayolah,” desak Swandaru pula. Anak itu
pun sama sekali tidak membuat pertimbangan lagi. Bahkan ia menjadi
sangat bergembira pergi bersama dengan Sutawijaya, apalagi berkuda.
Agung Sedayu masih saja ragu-ragu. Sehingga Sutawijaya itu berkata, “Baiklah, mintalah ijin Kakang Untara.”
Sekali lagi Agung Sedayu menemui Untara untuk minta ijin kepadanya, bahwa ia akan pergi bersama Sutawijaya berkuda.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
ia tidak dapat melarang adiknya. Meskipun demikian ia berpesan, “Agung
Sedayu. Seandainya kau pergi dahulu, jangan berbuat sesuatu yang dapat
merusak rencana kita. Meskipun Adi Sutawijaya sekalipun yang akan
berbuat, tetapi kalau menurut pertimbanganmu akan dapat merusak suasana,
maka kau pun wajib memperingatkannya.”
“Baik, Kakang,” sahut Agung Sedayu, yang kemudian menyiapkan kudanya untuk pergi bersama dengan Sutawijaya dan Swandaru Geni.
Sementara itu, pasukan yang berada di
alun-alun pun telah siap sepenuhnya. Setelah Ki Gede Pemanahan dan
Untara selesai dengan semua persiapan, maka mereka pun segera keluar
dari halaman dan sekali lagi sambutan yang gemuruh telah menyongsongnya.
Ki Gede Pemanahan melambaikan tangannya
kepada para prajurit Pajang, orang-orang Sangkal Putung yang berada
dalam barisan dan kepada rakyat yang berada di sekitarnya. Kepada
Untara, Ki Gede Pemanahan minta agar para pemimpin kelompok
dikumpulkannya. Ki Gede Pemanahan sendiri ingin bercakap-cakap langsung
dengan mereka.
“Baik Ki Gede,” sahut Untara. Namun
keringat dinginnya masih saja mengalir. Sekali-sekali ia menengadahkan
wajahnya memandang matahari yang seolah-olah terlampau cepat menanjak ke
puncak langit.
“Hanya sebentar,” desis Ki Gede Pemanahan.
Untara menggigit bibirnya. Ternyata Ki Gede Pemamahan dapat membaca hatinya.
Setelah para pemimpin kelompok dari
seluruh pasukan berkumpul maka Ki Gede Pemanahan pun memberi mereka
beberapa petuah dan petunjuk. Kepada mereka akhirnya Ki Gede Pemanahan
berkata, “Kalian tidak berbuat untuk kepentingan kalian masing-masing
sesuai dengan kesenangan kalian. Tetapi kalian berbuat untuk Pajang
dalam satu rangkuman dengan segenap perbuatan yang dilakukan oleh
orang-orang lain untuk kepentingan yang serupa.”
Kata-kata Ki Gede Pemanahan itu meresap
satu-satu, seakan-akan langsung menghunjam ke pusat jantung. Para
pemimpin kelompok itu menyadari, apakah yanq telah dikatakan oleh
Panglimanya itu dengan sebaik-baiknya. Hubungan langsung dengan
berhadapan wajah dengan wajah telah menumbuhkan kecintaan dan keseganan
yang bertambah-tambah atas panglimanya.
“Nah,” berkata Ki Gede Pemanahan,
“sekarang kita berangkat. Kita harus merasa bahwa Wira Tamtama
seluruhnya seakan-akan memiliki satu otak, sehingga apa yang kita
lakukan akan merupakan sebagian dari anggota badan. Seperti juga kaki
dan tangan. Meskipun melakukan gerak yang berbeda-beda tetapi keduanya
dalam satu pusat kehendak. Bukan sebaliknya apabila kaki kita berlari
menjauhi sesuatu tetapi tangan kita berpegang sesuatu yang hendak kita
jauhi.”
Sekali lagi para pemimpin kelompok itu menganggukkan kepala mereka. Kesadaran kesatuan di antara mereka meresap semakin dalam.
Sejenak kemudian, maka segala sesuatu
telah diserahkan kembali oleh Ki Gede Pemanahan kepada Untara sambil
berkata, “Untara, sebelum dadamu meledak karena kegelisahan, maka aku
serahkan kembali pimpinan ini. Marilah kita berangkat.”
Untara menganggukkan kepalanya. Ia masih melihat Ki Gede menahan tersenyum.
Sesaat kemudian, maka seluruh pasukan
yang berada di halaman dan di lapangan kecil di muka banjar desa itu pun
telah bergerak menuju ke Desa Benda. Dengan hati yang berdebar-debar
Untara memimpin pasukannya menyongsong laskar Jipang yang akan menyerah.
Namun betapa para pemimpin kelompok menyadari, bahwa mereka tidak
sewajarnya melakukan perbuatan menurut kehendak sendiri, tetapi mereka
akan berhasil mengendalikan kemarahan yang tersimpan di dalam hati para
prajuritnya dan laskar Sangkal Putung. Laskar Sangkal Putung-lah yang
justru akan lebih sulit dikendalikan.
“Mudah-mudahan kehadiran Ki Gede Pemanahan mempunyai banyak pengaruh atas mereka.”
Namun sekali lagi Widura mendengar
percakapan di antara prajurit Pajang, tentang Sonya yang terluka. Igauan
Sonya ternyata telah menjalar dari mulut ke mulut, sehingga seluruh
pasukan telah mendengarnya. Baik para prajurit Pajang maupun laskar
Sangkal Putung.
“Kenapa kita masih juga percaya kepada orang-orang Jipang itu?” desis salah seorang prajurit Pajang.
Pemimpin kelompoknya yang mendengar
segera berkata, “Jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri tentang
peristiwa yang telah dan bakal terjadi. Ki Gede Pemanahan akan
menentukan segala macam sikap yang harus dilakukan oleh semua prajurit
Wira Tamtama.”
“Tetapi Ki Gede tidak menghadapinya
sehari-hari. Mungkin pengetahuannya tentang orang-orang Jipang tidak
terlampau banyak. Ternyata orang-orang Jipang berhasil mencegatnya di
tegal jagung pagi tadi.”
“Ki Gede Pemanahan bukannya seorang
malaekat yang tahu apa yang akan terjadi. Juga kita semua. Karena itu,
kita jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri. Kita lihat apa yang akan
terjadi. Kemudian kita serahkan semuanya pada kebijaksanaan pimpinan
kita. Apalagi pimpinan tertinggi kita ada di sini.”
Prajurit itu terdiam. Tetapi pemimpin
kelompoknya tahu benar bahwa kediaman itu, bukanlah suatu pernyataan
bahwa apa yang dilakukan itu benar-benar diyakininya.
Widura yang mendengar percakapan itu
tanpa diketahui oleh prajurit yang berkepentingan, menarik nafas
dalam-dalam. Bukan hanya satu dua orang prajurit yang berpendapat
seperti itu, seolah-olah apa yang dilakukan kini adalah perbuatan yang
sangat bodoh, setelah mereka mendengar ceritera tentang Sonya. Luka-luka
Sonya yang berat, seakan-akan meyakinkan mereka, betapa orang-orang
Jipang benar-benar telah berusaha membunuhnya.
Ketika kemudian Widura membisikkan apa
yang didengarnya itu kepada Untara, maka Untara pun mengerutkan
keningnya. Di wajahnya telah membayang kecemasan hatinya.
“Kalau mereka melihat orang-orang Jipang
datang dengan senjata masih di tangan mereka maka perasaan orang-orang
kita pun akan menjadi sangat sulit dikendalikan. Satu langkah saja di
antara kita, apakah orang-orang Pajang, apakah orang-orang Jipang,
berbuat hal-hal di luar dugaan dan mencurigakan, maka akibatnya akan
dapat menyulitkan sekali,” sahut Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, “Bagaimana pertimbanganmu Untara.”
“Padahal, menurut pembicaraan kita,
orang-orang Jipang itu akan datang dengan senjata masing-masing,
kemudian baru setelah mereka sampai di Benda, mereka akan mengumpulkan
senjata-senjata mereka untuk diserahkan. Sudah tentu mereka harus merasa
diri mereka aman. Mereka setidak-tidaknya harus melihat kita berada di
antara pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung dengan penuh
pertanggungan jawab.”
Saat yang paling berbahaya adalah saat
dimana orang-orang Jipang itu memasuki daerah pedesaan Benda. Pada
saat-saat kedua pasukan berhadapan hampir tanpa jarak. Padahal di tangan
masing-masing masih tergenggam senjata-senjata mereka. Sedang di dalam
dada masing-masing berkobar dendam dan kebencian.
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
harus benar-benar dapat menguasai keadaan. Karena itu maka katanya,
“Kami harus berada di tempat yang terpisah-pisah sehingga kami dapat
menguasai seluruh keadaan.”
“Kita hanya berdua,” desah Widura.
Untara menarik nafas. Agung Sedayu
dilihatnya duduk di atas punggung kuda, jauh di belakang pasukan yang
berjalan seperti ular menyusur jalan ke Benda.
“Hem,” Untara menarik nafas, “biarlah
kita coba. Kalau perlu kita akan bersikap keras terhadap orang-orang
kita sendiri. Kami akan mengharap pengaruh Ki Gede Pemanahan pula
apabila terpaksa.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia masih belum yakin bahwa pasukannya akan dapat dikendalikan.
Meskipun demikian ia harus berusaha.
Dengan dahi yang berkerut-kerut ia
berkata, “Untara. Peristiwa Sidanti, merupakan arang yang tercoreng di
wajahku. Ternyata aku tidak dapat menguasai anak itu sebagai anak
buahku. Bahkan ia telah mencoba membunuhmu. Aku menyadari, bahwa
seandainya senapati Pajang yang di tempatkan di lereng Merapi ini bukan
kemenakanku, apakah kira-kira laporan yang telah dikirim kepada Ki Gede
Pemanahan tentang aku dan wibawaku di daerah kekuasaanku? Meskipun kau
telah mencoba menyembunyikan beberapa hal mengenai Sidanti, namun terasa
juga terutama pada diriku sendiri, kekurangan yang telah terjadi pada
pimpinan di Sangkal Putung ini. Sekarang aku dihadapkan lagi pada suatu
keadaan yang mendebarkan. Kalau kali ini aku gagal menguasai anak
buahku, maka adalah tidak wajar aku tetap dalam kedudukanku sakarang.”
“Tetapi rencana dari pada peristiwa ini
akulah yang menyusunnya Paman. Setiap kesalahan tidak akan dapat
dibebankan pada Paman sendiri.”
“Aku adalah pimpinan langsung bagi
pasukan di Sangkal Putung. Adalah kebetulan bahwa kau kemenakanku yang
tidak dapat melepaskan hubungan keluarga di antara kita, sehingga banyak
hal yang seharusnya tidak kau tangani sendiri terpaksa kau kerjakan.
Pekerjaan yang seharusnya tinggal kau ucapkan dan akulah yang harus
melakukannya.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia tidak ingin melihat pamannya menjadi cemas. Pamannya yang
tetap tenang menghadapi laskar Jipang yang Betapapun kuatnya melanda
Sangkal Putung, namun dicemaskan oleh goyahnya keteguhan ikatan anak
buahnya sendiri karena dendam, benci dan segala macam perasaan yang
bercampur baur.
“Paman jangan terlalu cemas. Para
pemimpin kelompok telah menyadari apa yang sedang mereka hadapi.
Mudah-mudaan mereka tidak mudah menjadi goyah. Dengan demikian kita
berdua tidak berdiri sendiri.”
“Mudah-mudahan,” sahut Widura kosong.
Dalam pada itu iring-iringan itu berjalan
terus. Semakin lama menjadi semakin jauh dari induk kademangan, dan
semakin dekat dengan desa yang seolah-olah agak terpencil di ujung
kademangan itu. Pedesaan Benda yang sepi, penduduknya telah diungsikan
ke desa yang lain, untuk memberi kesempatan nanti malam kepada
orang-orang Jipang untuk bermalam, sebelum mereka dibawa ke Pajang
menerima keputusan tentang diri mereka.
Setiap kali Untara selalu menengadahkan
wajahnya menatap langit. Setiap kali hatinya menjadi berdebar-debar.
Matahari merayap terlampau cepat.
Tetapi ketika pedesaan Benda lamat-lamat
tampak di hadapan wajahnya ia bergumam, “Mudah-mudahan kita tidak
terlambat. Mudah-mudahan di desa itu tidak bersembunyi orang-orang
Jipang yang telah siap menyergap kita apabila kita memasukinya.”
Widura mendengar gumam itu, tetapi tidak jelas, sehingga terpaksa ia bertanya, “Apa yang kau katakan?”
Untara menggeleng, “Tidak apa-apa Paman. Aku hanya menyebut nama desa itu. Bukankah desa seberang bulak itu Desa Benda?”
“Ya,” Widura mengangguk.
Kemudian mereka pun terdiam. Namun hati
mereka menjadi berdebar-debar. Di hadapan mereka berjalan Ki Gede
Pemanahan dengan beberapa orang pengawalnya. Tetapi ketika mereka
menjadi semakin dekat, maka Untara dan Widura pun berjalan pula di sisi
mereka. Tanpa mereka kehendaki. Tangan-tangan mereka telah meraba-raba
hulu pedang mereka, apabila setiap saat diperlukan.
“Desa itukah yang kau maksud dengan Desa Benda?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Ya, Ki Gede,” jawab Untara singkat.
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tiba-tiba ia berpaling memandangi barisan yang berjalan di belakangnya.
Menjalar sepanjang jalan, seperti seekor ular raksasa yang
merayap-rayap.
Terasa oleh Untara dan Widura, bahwa
sikap itu pun adalah suatu sikap berhati-hati setelah hampir saja Ki
Gede Pemanahan dijebak oleh orang-orang Jipang. Namun Ki Gede itu
berjalan terus. Wajahnya masih saja tenang, seakan-akan tidak ada suatu
pun yang mencemaskannya.
Tetapi Untara-lah yang kemudian menjadi
cemas. Ia harus yakin, bahwa kedatangan Ki Gede di Benda tidak akan
mendapat bencana. Karena itu, sebelum mereka memasuki desa maka dua
orang penghubung harus mendahului dan melihat keadaan.
Namun hati Untara itu pun kemudian
berdesir ketika ia melihat Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru
mempercepat derap kudanya mendahului pasukan yang berjalan di sepanjang
jalan persawahan.
Demikian kuda-kuda itu sampai di sisinya
terdengar Sutawijaia berkata, “Kakang Untara, kami bertiga akan
mendahului kalian melihat-lihat desa di hadapan kita.”
Dada Untara sekali lagi berdesir. Segera
ia menyahut , “Jangan. Biarlah dua atau tiga orang penghubung melihat
pedesaan itu dahulu sebelum kita memasukinya.”
Sutawijaya tertawa, katanya, “Apakah
Kakang Untara mencemaskan kami? Percayalah bahwa Tambak Wedi hanya
membual. Seandainya benar orang-orang Jipang merencanakan penyerangan,
maka kegagalan Tambak Wedi pasti akan membawa perubahan. Mereka tidak
akan berani menjebak kami di desa itu.”
“Belum tentu Adi,” sanggah Untara, “segala kemungkinan akan dapat terjadi.”
Tetapi Sutawijaya tertawa terus. Katanya, “Bukankah orang-orang Jipang itu sekedar akan menyerahkan diri?”
Untara tersentak mendengar pertanyaan
itu. Sejenak ia terbungkam. Setelah menarik nafas dalam-dalam ia
menjawab, “Ya. Mereka hanya sekedar akan menyerah.”
“Karena itu, Kakang Untara tidak perlu mencemaskan aku, Agung sedayu dan Swandaru.”
Sekali lagi Untara tidak dapat
mengatasinya. Tetapi batinnya masih tetap dikuasai oleh kegelisahan dan
kecemasan. Sehingga tanpa disadarinya Untara itu memandangi Ki Gede
Pemanahan, seolah-olah minta kepadanya, supaya ia melarang anaknya pergi
mendahului barisan.
Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak menangkap
maksudnya, bahkan ia sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu.
Panglima Wira Tamtama itu berjalan dengan tenangnya di antara beberapa
orang perwira pengawalnya.
Akhirnya Untara tidak kuasa lagi mencegah
Sutawijaya ketika sambil mempercepat jalan kudanya anak muda itu
berkata, “Kami akan berhat-hati Kakang.” Kemudian kepada ayahnya ia
berkata, “Ayah, aku ingin mendahului untuk melihat-lihat daerah Sangkal
Putung yang subur ini.”
Sekali lagi Untara menarik nafas
dalam-dalam ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan menganggukkan kepalanya
sambil menjawab, “Hati-hatilah Sutawijaya. Kau tidak sedang bertamasya
sekarang ini.”
Sekejap kemudian mereka melihat kuda anak
muda itu berpacu disusul oleh kuda Swandaru. Namun Agung Sedayu masih
sekali lagi berkata kepada kakaknya, “Aku mendahului Kakang.”
“Hati-hatilah,” sahut Untara. Ia pun tidak dapat mencegah adiknya itu, karena Sutawijaya dan Swandaru telah mendahuluinya.
Agung Sedayu pun kemudian memacu
kudanya. Ia membungkukkan badannya dalam-dalam hampir melekat punggung
kuda ketika ia mendahului Ki Gede Pemanahan yang berjalan hampir di
ujung barisan, di belakang tiga orang prajurit yang membawa panji-panji
kebesaran, melekat pada landean tombak larakan yang panjang, beserta
pengawalnya.
Yang tampak kemudian hanyalah
kepulan-kepulan debu yang putih, yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda
yang berpacu seperti angin. Sutawijaya yang membawa sebatang tombak
pendek bernama Kiai Pasir Sewukir menjadi gembira sekali. Kudanya
berlari dengan tegarnya, berderap di atas tanah berdebu. Di belakang
berpacu Swandaru Geni yang gemuk. Ketika tampak olehnya juntai yang
kuning berkilauan pada tombak Sutawijaya, maka tanpa disengajanya ia
meraba hulu pedangnya. Dalam hati ia berkata, “Besok aku akan mencari
tampar yang kuning emas seperti juntai pada tombak itu. Pedangku akan
menjadi bertambah bagus. Hulunya terbuat dari gading gajah dengan juntai
yang berwarna kuning emas. Alangkah bagusnya.”
Swandaru itu pun tersenyum sendiri. Namun ketika sebutir debu masuk ke matanya, ia mengumpat-umpat.
Ketika ia berpaling, dilihatnya kuda
Agung Sedayu agak jauh di belakang. Tetapi kuda itu meluncur seperti
anak panah. Sehingga jarak di antara mereka menjadi bertambah pendek.
Swandaru itu melambaikan tangannya. Ia
menjadi gembira sekali seperti juga Sutawijaya. Seolah-olah mereka
mendapat kesempatan untuk berpacu kuda. Sehingga dengan demikian, ketika
kuda Agung Sedayu menjadi semakin dekat, Swandaru melecut kudanya. Ia
tidak mau jarak itu menjadi bertambah pendek bahkan kalau mungkin
menjadi semakin jauh. Tetapi Swandaru tidak dapat mendahului Sutawijaya.
Anak muda itu ternyata tidak mempercepat kudanya bahkan ketika sekali
ia berpaling maka agaknya ia menunggu kedua kawan-kawannya itu.
Sesaat kemudian ketiga ekor kuda itu
telah berlari berbareng. Tiga orang anak-anak muda yang sebaya. Yang
seorang menggenggam tombak di tangan. Sedang di lambung kedua orang yang
lain tergantung pedang.
Bulak itu memang merupakan bulak yang
agak panjang. Tetapi karena ketika anak-anak muda itu berkuda, maka
segera mereka menjadi semakin dekat. Beberapa saat lagi, mereka telah
melihat mulut lorong yang dilaluinya itu memasuki Desa Benda.
Ternyata sutawijaya yang jauh lebih
berpengalaman dari kedua kawan-kawannya yang lain, melihat mulut lorong
itu dengan sikap yang cukup masak. Dengan isyarat ia minta kedua
kawan-kawannya memperlambat kuda-kuda mereka.
Demikianlah semakin dekat mereka dengan
desa Benda, semakin lambat pula lari kuda-kuda mereka. Bahkan kuda-kuda
itu kemudian berjalan tidak lebih cepat dari langkah kaki.
“Mulut lorong itu seperti mulut ular yang menganga menanti kita masuk ke dalamnya,” gurau Sutawijaya.
Agung Sedayu dan Swandaru tersenyum. “Tetapi ular itu, ular mati,” sahut Swandaru.
Sutawijaya pun tertawa. Tetapi kemudian ia bertanya, “Apakah tidak ada penjagaan di desa ini?”
“Ada,” sahut Swandaru, “di ujung lorong yang lain menghadap ke bulak sebelah.”
“Di ujung ini?”
Swandaru menggeleng, “Tidak,” jawabnya.
Sutawijaya mengerutkan keningnya. “Aneh,”
katanya, “seharusnya ada gardu peronda di kedua sisi. Apa kalian
menyangka bahwa apabila musuh datang tidak dapat mengambil jalan ini?
Mereka hanya cukup menambah beberapa langkah dengan melingkar desa ini,
kemudian masuk melalui mulut lorong tanpa diketahui oleh para penjaga.
Bukankah dengan damikian hampir tak ada gunanya di ujung lain diberi
gardu peronda?”
“Desa ini adalah desa yang hampir tak
berpenghuni. Desa ini memang sengaja dilepaskan. Justru karena itu maka
orang-orang Jipang sering mendatangi desa ini. Mereka kadang-kadang
mengambil beberapa macam perbekalan sebelum mereka menghilang. Namun
dengan demikian, banyak keterangan yang kita dapatkan dari
penghuni-penghuninya. Penghuni-penghuni asli dan penghuni-penghuni yang
sengaja kita tanam di sini,” sahut Agung Sedayu.
Sutawijaya tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Agung Sedayu
mengenai desa itu. Ia senang mendengar sikap Untara dan Widura yang
cerdik.
Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi
dengan demikian, bagaimana dengan para penjaga itu? Apakah mereka tidak
sekedar menjadi umpan hidup bagi orang-orang Jipang itu?”
“Penjagaan itu baru diadakan sejak pagi
ini menjelang saat-saat penyerahan orang-orang Jipang. Mereka harus
mengawasi gerak-gerik orang-orang Jipang itu.”
Kembali Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Mari, kita temui para penjaga itu.”
“Marilah,” sahut Agung Sedayu.
Kini mereka bertiga telah sampai dimulut
lorong yang memasuki desa Benda. Desa itu tampak terlampau sepi, seperti
sebuah kuburan yang besar. Hampir tidak terasa bahwa desa itu adalah
desa yang hidup dan berpenghuni. Sebelah-menyebelah lorong adalah sebuah
pagar batu yang agak tinggi. Regol-regol yang sempit dan kurang
terpelihara. Halaman-halaman yang tidak terlampau bersih dan di
sana-sini masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang liar di antara rumpun-rum
pun bambu yang lebat.
“Desa ini memang sepi,” gumam Sutawijaya, “apakah dalam kehidupan sehari-hari desa ini juga sesepi ini?”
“Tidak jauh berbeda,” sahut Agung Sedayu,
“hanya kadang-kadang kita mendengar suara derit senggot apabila
seseorang mengambil air, atau suara pekik anak-anak yang sedang
bermain-main. Tetapi suara itu terlampau jarang. Anak-anak lebih senang
tinggal di dalam rumah masing-masing.”
“Kehidupan yang tertekan,” gumam Sutawijaya.
“Bukan hanya desa ini. Bukan saja Benda,
tetapi banyak desa lain, yang tersebar berserak-serak antara kademangan
ini dengan kademangan-kademangan di sekitarnya. Tetapi agaknya Sangkal
Putung-lah yang paling menarik perhatian bagi orang-orang Jipang.”
“Kenapa Sangkal Putung?”
“Sangkal Putung adalah kademangan yang
kaya raya sejak lama. Bukankah begitu Adi Swandaru? Putera Ki Demang ini
tahu benar kekayaan yang tersimpan di dalam kademangannya. Penduduknya
yang rajin dan tahu menghargai kerja, maka mereka telah berhasil
membangun kademangannya menjadi kademangan yang banyak menyimpan
kekayaan di dalamnya. Contohnya, pedang Adi Swandaru itu. Hulunya
terbuat dari gading yang mahal.”
Sutawijaya tersenyum tetapi ia berpaling juga melihat hulu pedang Swandaru yang benar-benar terbuat daripada gading.
“Ya,” desis Sutawijaya, “bagus benar hulu pedang itu.”
“Lebih bagus lagi apabila pada hulu ini diberi juntai tampar yang berwarna kuning emas seperti pada tombak Tuan.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Kau senang pada tali ini?”
“Ya, Tuan.”
Kembali Sutawijaya mengerutkan keningnya.
Hati Swandaru berdebar-debar ketika ia melihat Sutawijaya mengurai tali
kuningnya, “Kau ingin ini?” ia bertanya.
Mata Swandaru menjadi berkilat-kilat. Sambil tersenyum ia menjawab agak segan-segan, “Ya Tuan.”
“Pakailah. Aku masih mempunyai tali semacam ini banyak sekali di rumah.”
Swandaru menjadi gembira sekali menerima
tali yang berwarna kuning emas itu. Tali yang akan menjadikan pedangnya
bertambah cantik.
Tetapi wajahnya yang gembira itu
tiba-tiba menjadi tegang ketika ia melihat asap yang mengepul. Semakin
lama semakin besar. Asap itu menjilat ke udara dari balik rumpun bambu
agak jauh dari lorong itu.
Sutawijaya dan Agung Sedayu melihat asap itu pula, sehingga wajah mereka menjadi tegang pula.
“Asap apakah itu?” desis Sutawijaya.
Agung Sedayu menggeleng, “Entahlah.”
“Marilah kita menemui para penjaga. Mungkin mereka tahu asap apakah yang mengepul semakin besar itu?”
“Marilah,” sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir berbareng.
Sesaat kemudian mereka telah mempercepat kuda-kuda mereka menuju ke gardu penjagaan di ujung lorong.

Tetapi ternyata yang datang adalah Agung Sedayu, Swandaru, dan seorang anak muda yang belum mereka kenal.
Pemimpin penjaga di gardu itu tersenyum
sambil menyambut kedatangan mereka. “Marilah anak-anak muda. Aku kira
beberapa penghubung datang untuk menanyakan keadaan di sini. Ternyata
kalian bertiga. Apakah ada persoalan yang kalian bawa?”
“Tidak, Paman,” sahut Agung Sedayu.
Orang itu mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia bertanya, “Jadi kenapa Angger kemari mendahului barisan?”
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia
sendiri tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Yang menjawab kemudian
adalah Sutawijaya. “Kami hanya bermain-main Paman.”
Orang itu menjadi heran. Jawaban itu
hampir tak masuk di akalnya. Bermain-main di daerah yang demikian
gawatnya. Sehingga karena itu maka wajah orang itu menjadi semakin
berkerut-kerut. Agaknya jawaban itu tidak menyenangkan hatinya.
Agung Sedayu melihat kesan yang tergores
pada kerut-merut wajah pemimpin gardu itu. Karena itu maka segera ia
ingin memperbaiki suasana dengan serta-merta ia berkata, “Paman, mungkin
Paman belum mengenal anak muda ini. Ia adalah putera Ki Gede Pemanahan
yang bernama Sutawijaya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.”
Wajah yang berkerut-kerut itu tiba-tiba
menjadi tegang. Pemimpin penjaga itu benar-benar terkejut mendengar nama
itu. Nama yang selama ini menjadi kebanggaan prajurit Pajang. Nama yang
ternyata telah berhasil mengalahkan Pangeran Arya Penangsang.
Bukan saja pemimpin penjaga itu yang
menjadi tegang. Para prajurit yang lain pun tidak kalah terkejutnya.
Hampir bersamaan mereka membungkukkan badan mereka dalam-dalam sambil
berkata, “Maafkan kami Tuan. Kami ternyata terlampau bodoh sehingga kami
tidak mengenal Tuan.”
Sutawijaya tertawa. Tetapi ia berkata, “Jangan membongkok-bongkok. Nanti kau tidak melihat asap yang mengepul itu.”
“Asap?” desis penjaga itu.
“Jadi kalian belum melihat asap itu?” berkata Sutawijaya sambil menunjuk ke arah asap yang kini menjadi semakin besar.
“He?” teriak kepala penjaga itu. Ia menjadi sangat terkejut. “Asap apakah itu?”
Para penjaga yang lain menjadi terkejut
pula. Sejenak mereka saling berpandangan, tetapi tak seorang pun dari
mereka yang tahu apa yang telah terjadi.
“Lihat, asap apakah itu,” perintah kepala
penjaga. Ketika seseorang telah siap untuk meloncat berlari ke arah
asap itu, maka Sutawijaya yang cerdas dalam menanggapi setiap persoalan
itu mencegahnya, “Jangan.”
“Kenapa Tuan?”
“Mungkin Bahu Reksa Benda sedang marah,
atau ada hantu yang buas berkeliaran di desa ini. Tinggallah di sini
biarlah kami yang melihatnya.”
“Kenapa Tuan?” bertanya penjaga itu.
Sutawijaya tidak menjawab. Segera ia meloncat dari punggung kudanya diikuti oleh Swandaru dan Agung Sedayu.
“Apakah kalian menyediakan kuda pula?”
“Ada dua ekor kuda di sini. Apabila keadaan memaksa, dua dari kami harus segera melapor.”
“Kentongan raksasa itu?”
“Kalau perlu kami harus memukul tanda-tanda.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perlengkapan gardu itu cukup baik. Sambil menyerahkan kendali
kudanya ia berkata, “Biarlah kuda-kuda ini kami tinggalkan di sini.
Kami akan melihat apa yang terjadi.”
“Baik Tuan,” sahut para penjaga sambil menerima kuda-kuda itu.
Sesaat kemudian Sutawijaya, Agung Sedayu,
dan Swandaru telah melangkah meninggalkan gardu itu. Asap yang mengepul
kehitam-hitaman itu pun menjadi semakin besar. Bahkan kemudian mereka
melihat lidah api menjilat ke udara.
“Api,” desis Sutawijaya. Anak muda itu
kini tidak tersenyum lagi. “Kita ambil jalan memintas,” katanya sambil
meloncati dinding halaman di hadapannya. Agung Sedayu dan Swandaru pun
segera mengikutinya pula meloncati dinding halaman.
Tetapi sebelum mereka berlari melintasi
halaman itu menuju ke arah asap yang semakin tinggi, tiba-tiba
Sutawijaya teringat sesuatu. Sekali ia menjengukkan kepalanya sambil
berkata, “Jangan berbuat apa pun lebih dahulu sebelum aku tahu pasti apa
yang terjadi.”
Para penjaga masih berada di tempatnya. Pemimpin penjaga itu membungkukkan kepalanya sambil menyahut, “Ya tuan.”
Namun Sutawijaya itu pun kemudian
tertegun ketika mendengar di kejauhan suara tertawa terbahak-bahak.
Bahkan kemudian terdengar sapa di antara derai tertawa itu, “He, siapa
yang berada di gardu peronda?”
Para penjaga itu tidak segera menjawab.
Mereka pun terkejut bukan kepalang. Ketika mereka berpaling ke arah
suara itu, mereka melihat tiga orang muncul dari tikungan.
“Siapakah itu?” desis Swandaru.
Sutawijaya kini telah merendahkan dirinya
dan menempelkan tubuhnya pada dinding halaman bagian dalam. Sambil
meletakkan jari telunjuknya pada bibirnya ia berdesis.
Swandaru dan Agung Sedayu pun terdiam.
Kini mereka pun berbuat seperti Sutawijaya pula. Dengan hati-hati mereka
menunggu apa yang akan terjadi, dan mencoba mengetahui suara siapakah
yang menggeletar di desa Benda yang kecil ini.
Sekali lagi mereka mendengar sebuah pertanyaan, “Siapakah yang berada di gardu ronda?”
Sesaat tidak terdengar jawaban. Namun
wajah para penjaga itu pun menjadi tegang ketika mereka mengenal
orang-orang yang mendekati mereka dengan senjata telanjang di tangan
mereka.
“Bukankah kau Wira Lele?” terdengar kembali suara itu.
Swandaru hampir tidak sabar lagi. Tetapi sekali lagi Sutawijaya memberinya isyarat.
Tetapi mereka bertiga yang berada di
dalam halaman itu pun terkejut pula ketika mereka mendengar kepala
penjaga itu berdesis, “Kau, Sidanti?”
“Ya, aku sudah rindu untuk menemuimu, Wira Lele. Aku rindu melihat kumismu benar-benar seperti kumis seekor lele kurus.”
Wira Lele, kepala penjaga itu menggeram.
Tiba-tiba terdengar gemerincing pedang. Ternyata Wira Lele dan
kawan-kawannya telah menghunus pedang-pedang mereka pula.
“Ha, kau mau bergurau?” bertanya Sidanti. “Berapa orang semuanya?”
Wira-lele tidak menjawab.
Yang terdengar adalah suara Sidanti
semakin dekat. “Satu, dua, tiga, empat, lima. Lima orang. Masih ada yang
di dalam gardu? Takaran kami bertiga adalah tiga puluh orang sejenis
kalian ini.”
Wira Lele membelalakkan matanya yang
memancarkan kemarahan. Tanpa dikehendakinya ia berpaling memandangi
kentongannya. Tetapi kembali terdengar suara Sidanti, “Jangan mencoba
menyentuh kentongan itu.”
Dada Wira Lele menjadi berdebar-debar.
Nafasnya serasa semakin cepat mengalir. Betapa kemarahan membakar
jantungnya, tetapi ia menyadari siapakah yang berdiri di hadapannya. Ia
menyadari kekuatan Sidanti.
Apalagi ketika kemudian Sidanti itu
berkata, “Wira Lele, mungkin kau pernah melihat sahabatku ini. Kalau
belum, namanya pasti pernah kau dengar. Yang satu, yang kuning langsat
ini adalah Alap-alap Jalatunda, sedang yang lain, yang seperti arang ini
adalah Sanakeling.”
Jantung Wira Lele seakan-akan menjadi
berhenti berdenyut. Yang datang ternyata benar-benar orang-orang seperti
kata Sidanti, mempunyai takaran masing-masing sepuluh.
Namun terdengar Sanakeling menggeram,
“Jangan menghina Sidanti. Meskipun kulitku hitam, tetapi lebih dari dua
puluh lima gadis tergila-gila kepadaku. Nah, bagaimama dengan kau?
Bagaimana dengan gadis anak Ki Demang Sangkal Putung itu?”
Sidanti tertawa, tetapi ia tidak menaruh
perhatian akan dua puluh lima gadis yang jatuh cinta kepada Sanakeling.
Yang terdengar adalah suaranya yang menggelegar, “He, Wira Lele.
Sebenarnya pekerjaanku sudah selesai. Membakar rumah-rumah itu. Kau tahu
maksudnya? Kalau tidak, baiklah aku beritahukan. Aku sedang memberi
aba-aba kepada induk pasukan Jipang untuk menyergap. Dari jurusan induk
Kademangan Sangkal Putung, telah terlihat barisan orang-orang Pajang dan
orang-orang Sangkal Putung. Tanda itu adalah sebuah perintah. Nah, apa
katamu?”
Sekali lagi terdengar Wira Lele
menggeram. Tanpa disengaja maka ia pun beringsut mendekati kentongannya.
Namun sekali lagi terdengar Sidanti tertawa sambli berkata, “Kentongan
itu tak akan berarti. Tangan kami lebih cepat dari langan-lengan kalian
yang akan memukul kentongan itu.” Sidanti berhenti sebentar, kemudian
katanya lebih lanjut, “Nah, aku ternyata memerlukan singgah di gardumu,
untuk memberitahukan kepadamu apakah yang akan terjadi di Benda ini. Kau
sangka orang-orang Jipang itu akan menyerah? Tidak, mereka akan
menyergap kalian, orang-orang Pajang dan Sangkal Putung. Kalian boleh
saja mendengar rencana ini, sebab sebentar lagi kalian akan mati.
Begitu?”
Wira Lele tidak menjawab. Mulutnya serasa menjadi bisu. Ia berdiri saja seperti tonggak kayu.
“Kenapa kau berdiam diri?” bertanya
Sidanti. “Kau harus marah. MengambiI sikap dan marilah kita bertempur.
Waktuku hanya sedikit. Sebentar lagi orang-orang Pajang telah memasuki
pedukuhan ini.”
Tetapi Wira-lele tidak bergerak.
“Bunuh saja mereka,” terdengar desis
Sanakeling dalam nada yang berat. “Buat apa mereka dibiarkan hidup?
Orang-orang Pajang telah membunuh orang-orang Jipang yang dijumpainya.
Adalah omong kosong kalau orang-orang Pajang akan bersedia menerima kami
manyerah. Dan ternyata kami bukan orang-orang bodoh yang dapat mereka
bujuk dengan akal yang licik seperti demit.”
Wira Lele masih membeku. Namun
digenggamnya hulu pedangnya erat-erat. Sementara itu Sanakeling berkata
lagi, “Aku menyesal lewat di jalan ini. Aku terpaksa mengotori pedangku
dengan darah kelinci.”
“Aku tidak sabar menunggu kalian
berbicara berkepanjangan. Sementara itu orang-orang Pajang menjadi
semakin dekat,” sela Alap-alap Jalatunda.
“Pengecut,” desis Sanakeling.
“Kenapa?”
“Kau takut kalau orang-orang Pajang itu akan melihat hidungmu.”
Alap-alap Jalatunda mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Mungkin. Mungkin demikian, mungkin aku akan
menjadi ketakutan. Apakah kalian tidak akan lari terbirit-birit apabila
Ki Gede Pemanahan dan anaknya itu datang kemari?”
“Persetan!” desis Sanakeling.
“Nah, karena itu marilah kita selesaikan
pekerjaan kita. Pekerjaan ini adalah pekerjaan tambahan yang hanya akan
mengotori tangan-tangan kita.”
Alap-alap Jalatunda tidak menunnggu
Sanakeling atau Sidanti menyahut. Segera ia melangkah maju sambil
mengayun-ayunkan pedangnya, “Ayo, siapa yang terdahulu? Kalau masih ada
orang di dalam gardu itu, marilah, kita bermain bersama-sama.”
Tetapi di dalam gardu sudah tidak ada
orang lagi. Yang mereka hadapi hanyalah lima orang itu. Karena itu maka
Alap-alap Jalatunda berkata, “Serahkan kelima-limanya ini kepadaku.”
“Jangan sombong,” potong Sanakeling.
“Ambilah tiga. Beri kami masing-masing seorang sekedar supaya
pedang-pedang kami tidak berkarat.”
Yang terdengar adalah geram Wira Lele.
Kini ia sudah siaga menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi ia menyesal,
bahwa ia tidak dapat memberi tanda kepada para prajurit Pajang. Bukan
untuk mendapatkan pertolongan, tetapi supaya mereka menjadi lebih
barhati-hati.
Tetapi ketika Alap-alap Jalatanda maju
semakin dekat, maka tiba-tiba langkahnya tertegun. Dari balik dinding
batu di tepi jalan itu ia mendengar suara. “Siapa lagi yang masih berada
di dalam gardu?”
Bukan saja Alap-alap Jalatunda, tetapi
Sanakeling dan Sidanti pun terkejut. Mereka mendengar suara itu
sedemikian jelasnya. Karena itu, telinga Sidanti yang tajam segera
mengetahui bahwa suara itu berasal dari balik dinding batu di samping
jalan itu.
“Hem,” Sidanti menggeram. “Ternyata yang lain tidak berada di dalam gardu, tetapi mereka bersembunyi di balik dinding halaman.”
Terdengar suara dari balik dinding itu
menyahut, “Ya, kami bersembunyi di sini. Tiga puluh orang semuanya,
sebagai takaran yang pantas untuk melawan kalian bertiga. Alap-alap
cengeng, perwira Jipang yang hitam kelam, dan anak muda yang gagal dalam
bercinta menurut istilah Sanakeling.”
Suara dari balik dinding itu ternyata
telah menggetarkan jantung Sidanti dan kedua kawannya. Bahkan para
penjaga gardu itu pun terkejut pula. Orang yang berada di balik dinding
itu menganggap Sidanti, Sanakeling, dan Alap-alap Jalatunda sebagai
orang-orang yang sama sekali tidak berarti. Bahkan mereka dengan sengaja
telah menghinanya pula.
Sidanti menggeram seperti seekor harimau
kelaparan. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah membara. Sedang Sanakeling
dan Alap-alap Jalatunda untuk sesaat justru berdiri saja seperti patung.
Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa ada orang yang berani
menghinanya sedemikian menyakitkan hati.
Tiba-tiba terdengar Sidanti membentak, “He, siapa kau?”
“Kami adalah satu di antara kelinci-kelinci penjaga gardu,” jawab suara itu pula.
“Gila!” teriak Sidanti. “Jangan bersembunyi. Ayo keluar kalau kau benar-benar jantan.”
Kini yang terdengar adalah suara tertawa.
Di antara derai tertawa itu terdengar kata-kata, “Jangan marah.
Siapakah yang marah itu? Apakah kau yang bernama Sanakeling, Sidanti,
atau Alap-alap Jalatunda?”
“Persetan!” teriak Sidanti. “Keluar dari persembunyian itu.”
“Tidak sekarang.”
“Kapan?”
“Nanti, kalau para prajurit Pajang sudah
datang. Sekarang mereka pasti sudah hampir sampai ujung bulak. Sesaat
lagi mereka akan memasuki Sangkal Putung. Bukankah kalian tadi yang
mencegat mereka di bulak jagung?”
“He?” pertanyaan itu benar-benar
mengejutkan Sidanti. Orang yang bersembunyi di belakang dinding itu
mengetahuinya apa yang telah dikerjakannya pagi tadi. Karena itu,
Sidanti tidak sabar lagi. Tetapi ketika ia hampir meloncat, terdengar
Sanakeling yang lebih tua daripadanya mencegah, “Jangan Sidanti. Mungkin
di balik dinding itu, ujung-ujung tombak siap menyobek perutmu, seperti
pada saat Pengeran Arya Penangsang menyeberangi sungai. Bukankah saat
itu Arya Penangsang dibakar oleh kemarahan dan kehilangan kewaspadaan?”
“Hem,” kembali Sidanti menggeram. “Tetapi mereka tidak mau keluar dari persembunyiannya.”
“Marilah kita tunggu.”
“Sehari, sebulan atau sampai orang-orang Pajang datang?”
Tiba-tiba Sanakeling berkata, “Biarkan
mereka. Marilah para penjaga ini kita bunuh satu persatu. Kemudian kita
akan mendapat beberapa ekor kuda. Kau setuju?”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sambil tersenyum ia berkata, “Kau cerdik Sanakeling. Mari, kalau
orang-orang di balik dinding itu tidak mau keluar juga dari
persembunyiannya kita cincang saja para penjaga ini.”
Tiba-tiba terdengar suara dari balik
dinding, “Hem, kalian memang cerdik. Agaknya kalian cukup berpengalaman
mencari cengkerik. Kalau kau tak berhasil menggalinya, maka cukup kau
siram dengan air, maka cengkerik itu akan keluar sendiri dari
lubangnya.”
Kemarahan telah menghentak-hentak dada
Sidanti dan kawan-kawannya. Dengan tegang mereka menunggu, siapakah yang
akan keluar dari persembunyiannya itu. Tetapi setelah sejenak mereka
menunggu, orang-orang dari balik dinding itu sama sekali belum
menampakkan dirinya.
“Hem,” kini Alap-alap Jalatunda-lah yang
menggeram. “Mereka sengaja mempermainkan kita Kakang. Mungkin benar juga
kata mereka, supaya para prajurit Pajang itu datang sebelum kita
meninggalkan tempat ini karena terikat oleh permainan yang gila ini.”
Sanakeling tidak menjawab. Tetapi matanya
benar-benar memancarkan kemarahan yang meluap-luap. Namun ia cukup
hati-hati. Ia tidak mau meloncati pagar itu dan diterima oleh ujung
tombak atau pedang pada lambung atau perutnya. Maka cara yang paling
baik adalah cara yang telah dikatakannya, sehingga sekali lagi ia
berteriak, “Jangan hiraukan orang-orang gila di belakang dinding itu.
Bunuh para penjaga ini lebih dahulu.”
Tetapi tanpa disangka-sangka, mereka kini
dikejutkan oleh suara lantang, “Aku akan keluar dari persembunyian,”
disusul oleh sesosok tubuh yang dengan lincahnya melayang melangkahi
dinding halaman itu. Namun demikian tubuh itu tegak di atas tanah, maka
tiba-tiba orang itu menggeliat sambil menguap. “Hem. Aku menunggu kalian
terlampau lama sehingga aku menjadi terkantuk-kantuk karenanya.”
Mata Sidanti, Sanakeling, dan Alap-alap
Jalatunda terbelalak melihat orang itu. Seorang anak muda dengan
sebatang tombak di tangannya. Apalagi kemudian mereka melihat seorang
anak muda yang lain yang telah mereka kenal pula. Agung Sedayu meloncat
dinding itu pula, disusul oleh seorang lagi, seorang anak muda yang
gemuk, sedang memanjat dinding. Kemudian tubuhnya yang bulat itu pun
terjun pula dari atas dinding halaman.
“Agak hati-hati sedikit Swandaru,” berkata Sutawijaya. “Tubuhmu akan dapat menimbulkan gempa.”
Swandaru tersenyum. Tetapi ia tidak
menjawab kata-kata Sutawijaya. Dengan lucu dipandanginya Sidanti yang
memandangnya pula dengan sinar kemarahan.
“Jangan kau tampar aku kali ini Sidanti,” desis Swandaru.

“Kau sudah mengenalnya?” bertanya Sutawijaya kepada Swandaru.
“Aku sudah kenal terlampau rapat Tuan,” jawab Swandaru.
“Kalau demikian, siapakah yang disebut
Sanakeling, gadis anak Demang Sangkal Putung? Bukankah kau anak Demang
Sangkal Putung itu?”
Wajah Swandaru menjadi kemerah-merahan. Tetapi tidak semerah wajah Sidanti yang benar-benar menjadi semerah darah.
Bukan saja mereka, bahkan Agung Sedayu
pun merasa wajahnya menjadi panas. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata
pun. Ketika kemudian Swandaru berpaling kepadanya sambil tersenyum,
maka Agung Sedayu itu pun segera menundukkan wajahnya.
Mendengar senda gurau itu darah Sidanti
benar-benar telah mendidih. Ia merasa bahwa seakan-akan anak-anak muda
itu sengaja mempermainkannya. Apalagi Sanakeling yang garang. Betapa
kemarahannya telah merayap sampai ke ubun-ubun. Dengan kasarnya
berteriak, “He kau anak-anak gila. Jangan bertingkah. Apakah kalian
tidak menyadari dengan siapa kalian berhadapan?” Tetapi tiba-tiba
Sanakeling-lah yang menyadari dirinya sendiri dari kata-katanya. Anak
muda itu adalah anak muda yang dilihatnya tadi datang bersama-sama
dengan Ki Gede Pemanahan. Anak itu adalah anak Panglima Wira Tamtama
Pajang.
Yang menjawab pertanyaan itu adalah
Sutawijaya, “Tentu Sanakeling. Aku menyadari sepenuhnya, dengan siapa
aku berhadapan. Yang kuning langsat ini adalah Alap-alap Jalatunda, yang
hitam seperti arang adalah Sanakeling dan yang jatuh cinta kepada adik
atau kakak perempuanmu, he Swandaru,” berkata Sutawijaya sambil
berpaling ke arah Swandaru, “adalah anak muda murid Ki Tambak Wedi yang
garang itu.”
Karena kemarahan yang telah memuncak,
maka mulut Sidanti, seakan-akan justru terkunci. Ia berdiri saja
mematung dengan kaki bergetar. Yang terdengar hanyalah gemeretak giginya
beradu.
Sutawijaya masih saja tersenyum. Setelah
ia melihat siapakah yang membuat keonaran, membakar rumah-rumah di desa
Benda, maka justru hatinya menjadi tenang. Sidanti, Sanakeling, dan
Alap-alap Jalatunda pasti tidak puas dengan pertempuran yang terjadi di
buIak jagung pagi tadi. Mereka masih selalu berusaha memancing
kekeruhan, sehingga karena itu, maka apa yang terjadi kini sama sekali
bukanlah suatu perkembangan baru dari peristiwa orang-orang Jipang yang
akan menyerah, tetapi. peristiwa ini adalah kelanjutan saja dari
peristiwa pagi tadi. Karena.itu, tanpa menghiraukan Sidanti, Sanakeling,
dan Alap-alap Jalatunda, Sutawijaya berkata, “Paman Wira Lele, bukankah
Sidanti menyebutmu Wira Lele?” bertanya Sutawijaya.
Tanpa sesadarnya Wira Lele mengangguk, “Ya Tuan.”
“Nah, ambilah kudamu. Pergilah menemui
barisan yang mendatang. Mereka sekarang pasti hampir memasuki desa ini.
Tetapi mereka pasti terhenti di bulak sebelah karena mereka melihat asap
dan api.” Sutawijaya berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan, “Kau
harus menemui Kakang Untara. Beritahukan kepadanya bahwa di desa ini
tidak terjadi apa-apa. Katakan bahwa karena Sutawijaya bermain-main api,
maka apinya telah menjilat gardu sehingga gardumu dan setumpuk
alang-alang terbakar. Mereka harus berjalan terus, supaya orang-orang
Jipang yang sungguh-sungguh berhasrat kembali, tidak mendahului mereka
dan terjadi persoalan-persoalan di luar kehendak kedua belah pihak
karena pokal Sidanti.”
Kata-kata itu bagi Sidanti dan
kawan-kawannya terdengar seperti gunung Merapi meledak dan runtuh
menimpa dada mereka. Sidanti yang terbungkam, menjadi semakin tegang.
Namun gemeretak giginya menjadi semakin keras. Yang terdengar kemudian
adalah geram Sanakeling, “Wira Lele, kalau kau bergeser setapak saja
dari tempatmu, maka saat itu adalah saat kematianmu.”
Wira Lele tidak beranjak. Namun ia
menjadi ragu-ragu. Ia ingin melakukan perintah Sutawijaya, tetapi
ancaman Sanakeling telah mencegahnya.
“Jangan takut Wira Lele,” berkata
Sutawijaya. “Serahkan ketiganya ini kepadaku.” Kemudian kepada
Sanakeling ia berkata, “Sanakeling, jangan terlampau sombong. Hitunglah
orang-orang yang berada di sini. Dari pihakmu hanya ada tiga orang,
sedang dari pihak paman Wira Lele ada sedikitnya delapan orang. Dan
sebentar lagi pasukan Pajang yang lain akan segera datang pula.”
Kata-kata itu, meskipun diucapkan dengan
serta-merta, seakan-akan sama sekali tidak dipertimbangkan sebelumnya,
namun pengaruhnya sangat dalam menghunjam ke pusat jantung Sidanti dan
kawan-kawannya. Meskipun Sutawijaya menyebut jumlah dari kedua belah
pihak, seolah-olah ia memerlukan kedelapan orang itu untuk melawan
sidanti bertiga, namun kata-kata itu adalah peringatan yang tajam bagi
mereka. Lebih tajam dari sebuah tantangan untuk bertempur dalam perang
tanding. Sebab Sidanti harus mengakui, bahwa berdua dengan Alap-alap
Jalatunda ia tidak segera dapat mengalahkan Sutawijaya. Apalagi kini
Sutawijaya itu berkawan tujuh orang, sedang dirinya sendiri hanya
berkawan dua orang.
Dalam keragu-raguan itu terdengar
Sutawijaya berkata pula, “Cepat paman Wira Lele, sebelum Kakang Untara
mengambil sikap yang dapat merusak rencana penerimaan orang-orang Jipang
yang menyadari kedudukannya.”
“Baik Tuan,” jawab Wira Lele. Tetapi matanya memandangi Sanakeling yang membelakanginya.
“Jangan mengganggu Sanakeling,” desis
Sutawijaya sambil melangkah maju mendekati Wira Lele. Kemudian tanpa
berkata apa pun dibimbingnya orang itu ke sisi jalan di samping gardu.
Di situlah kuda-kuda mereka diikat. Sedang kuda Swandaru masih belum
sempat diikat di sisi gardu itu. Seseorang masih tetap memegangi
kendalinya.
“Pakai kudaku,” teriak Swandaru dari sisi yang lain.
Sutawijaya berpaling, kemudian katanya, “Ya, pakai kuda itu supaya lebih cepat.”
Wira Lele pun kemudian menerima kendali
kuda Swandaru. Ketika ia meloncat naik, kembali terdengar Sanakeling
menggeram, “Jangan kau teruskan rencanamu. Kau akan bertemu dengan
orang-orang Jipang di ujung lorong ini. Orang-orang Jipang yang telah
siap menerkam pasukan Pajang yang mendatang.”
Kembali Wira Lele menjadi ragu-ragu.
Ditatapnya wajah Sutawijaya, seolah-olah ia ingin mendapat ketegasan
daripada anak muda itu.
Sutawijaya menjadi jengkel melihat
kebimbangan yang mencengkam hati Wira Lele. Namun ia masih tersenyum
sambil berkata, “Jangan mau diperbodoh oleh Sanakeling itu Paman. Kalau
benar orang-orang Jipang akan menjebak prajurit Pajang di desa ini, maka
mereka pasti tidak akan sebodoh Sanakeling. Mereka tidak perlu membakar
satu atau dua rumah. Sebab dengan demikian para prajurit Pajang pasti
segera akan bersiaga. Karena itu, cepat, pergilah. Sampaikan kepada
Kakang Untara seperti pesanku.”
Wira Lele yang ragu-ragu itu tidak segera
menggerakkan kudanya, sehingga Sutawijaya yang menjadi semakin jengkel
tiba-tiba memukul lambung kuda itu. Kuda itu pun terkejut dan meloncat
berlari. Wira Lele yang berada di punggungnya pun terkejut pula. Hampir
saja ia terjatuh. Untunglah bahwa segera ia mendapatkan keseimbangannya.
“Hati-hati Paman,” teriak Sutawijaya. “Berpeganglah kuat-kuat. Kuda itu cukup jinak.”
Kuda itu berlari terus. Derap kakinya
menghentak-hentak tanah berbatu-batu seperti derap di dalam dada Wira
Lele yang menderu karena kejutan loncatan kudanya. Tetapi ketika kuda
itu menjadi semakin jauh, maka ia pun menjadi semakin tenang.
“Anak-anak itu bukan main,” desisnya.
“Mereka menghadapi keadaan yang demikian gawatnya seperti sedang
bermain-main saja. Tetapi untunglah mereka datang. Kalau tidak, maka
leherku pasti sudah dipenggal oleh Sidanti yang gila itu.”
Sambil berkumat-kumit mengucap sukur atas
keselamatannya, Wira Lele memacu kudanya. Ia harus segera menyampaikan
berita itu kepada Untara, meskipun semula ia ragu-ragu. Berita apakah
yang harus dikatakannya? Apakah ia harus berkata sebenarnya, apakah ia
harus berkata menurut pesan Sutawijaya?
“Aku harus berkata sebenarnya,” desisnya
kemudian. “Supaya Angger Untara dapat mengambil tindakan yang tepat
sesuai dengan keadaan.”
Dalam pada itu, Sanakeling yang berdiri
terpaku di tempatnya mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Ingin ia
meloncat menghalang-halangi Wira Lele, tetapi dilihatnya ujung tombak
Sutawijaya yang tergetar seolah-olah menunjuk ke jantungnya. Karena itu,
maka sagenap perhatiannya ditumpahkannya kepada ujung tumbak anak muda
itu.
“Nah, apa katamu sekarang?” tiba-tiba terdengar Sutawijaya itu bertanya.
Sanakeling menggeram. Tetapi ia tidak tahu, jawaban apakah yang sebaiknya diucapkan.
Sejenak mereka terpukau dalam kesenyapan.
Meskipun demikian masing-masing telah berada dalam puncak kesiagaan.
Sidanti, Alap-alap Jalatunda dan Sanakeling benar-benar telah dibakar
oleh kemarahan dan kegelisahan, bahwa orang-orang Pajang akan segera
datang. Mereka bertiga adalah orang-orang yang cukup berpengalam dalam
medan-medan peperangan maupun perang tanding, sehingga Betapapun
kemarahan membakar dada mereka, namun di dalam kepala mereka telah
merayap segala macam kemungkinan yang dapat terjadi atas mereka. Secara
naluriah mereka telah membuat perhitungan-perhitungan, bahwa tidak
seharusnya mereka membiarkan diri mereka terjebak dan terkurung oleh
prajurit-prajurit Pajang. Anak-anak muda yang mereka hadapi, yang
seolah-olah baru mengenal bermain kucing-kucingan itu adalah anak-anak
muda yang tidak dapat mereka rendahkan, bahkan Sidanti telah mengenal
mereka dengan baik. Ia yakin, bahwa Agung Sedayu kini pasti akan dapat
menghadapinya seorang lawan seorang. Tidak seperti pada saat mereka
berkelahi di samping kandang kuda di kademangan, di mana ia mendapat
kesempatan memungut sepotong kayu. Kini di tangan mereka sama-sama
tergenggam senjata. Sedang seorang lagi, lebih-lebih membuat hatinya
kecut. Sutawijaya mempunyai takaran mereka berdua, Sidanti dan Alap-alap
Jalatunda.
Selagi mereka diam menimbang-nimbang terdengarkah Sutawijaya berkata, “Nah, sekarang apa lagi yang akan kalian lakukan?”
Sidanti tidak segera menjawab. Juga
Sanakeling terbungkam. Sedang Alap-alap Jalatunda menjadi semakin
gelisah, karena menurut perhitungannya para prajurit Pajang sudah
menjadi semakin dekat.
“Sekarang, anggaplah keempat penjaga
gardu itu tidak ada,” berkata Sutawijaya sambil tersenyum-senyum. “Kita
berhadapan tanpa kita sengaja, dalam jumlah yang sama. Tiga lawan tiga.”
Kemudian kepada para penjaga gardu itu Sutawijaya berkata, “Jangan
ganggu kami. Kami akan mencoba bermain-main tanpa orang lain turut
campur di dalamnya. Bahkan seandainya kepalaku terpenggal, jangan kalian
ributkan. Seandainya kemudian orang-orang Jipang dan murid Tambak Wedi
ini akan mencincang Agung Sedayu atau Swandaru, jangan kalian mencoba
mencegahnya.”
Para penjaga gardu itu terpaku diam.
Mereka tidak tahu bagaimana menanggapi perintah itu, sehingga mereka
berdiri saja dengan mulut ternganga.
“Ayo, berbuatlah sesuatu,” berkata Sutawijaya. “Jangan kalian biarkan aku berbicara terus sampai mulutku meniren.
Ayo, Agung Sedayu dan Swandaru. Kalian boleh memilih, manakah yang
paling kalian sukai di antara mereka. Mungkin Swandaru memilih yang
kuning langsat, dan Agung Sedayu memilih yang hitam gelap, begitu?”
Yang terdengar adalah gemeretak gigi
Sanakeling. Bagaimana ia mampu membiarkan penghinaan itu. Karena itu
tiba-tiba ia berteriak, “Ayo, siapkan pedangmu, Kita segera akan mulai.”
Agung Sedayu pun kemudian bergeser
mendekatinya, sementara Swandaru menarik pedangnya yang berhulu gading.
“Inikah Alap-alap Jalatunda itu?” desisnya sambil menunjuk Alap-alap itu
dengan ujung pedangnya. Hati Alap-alap muda itu menjadi sangat panas,
sehingga dengan serta-merta ia memukul pedang Swandaru dengan pedangnya.
Ketika kedua pedang itu berdentang,
alangkah terkejut mereka masing-masing. Terasa pada tangan-tangan
mereka, tenaga yang kuat beradu pada tajam kedua pedang itu.
Dentang kedua pedang itu pun seakan-akan merupakan pertanda bahwa perkelahian segera akan mulai.
Sejenak Sutawijaya dan Agung Sedayu
sempat menyaksikan Swandaru memutar pedangnya. Dengan langkah yang
tangguh ia menggeser tubuhnya semakin dekat. Ayunan pedangnya terasa
menyalurkan kekuatan yang dahsyat. Namun Alap-alap Jalatunda adalah anak
muda yang cukup lincah. Sekali ia meloncat surut, tetapi kemudian
pedangnya terjulur lurus-lurus mematuk dada Swandaru. Dengan tangkasnya,
murid Kiai Gringsing itu menggerakkan pedangnya. Sekali lagi kedua
pedang itu beradu. Tetapi kini pedang Swandaru-lah yang terayun memukul
pedang Alap-alap Jalatunda. Dalam dentang kedua pedang itu, Alap-alap
Jalatunda merasakan kedahsyatan kekuatan Swandaru, sehingga Alap-alap
yang lincah itu berkata di dalam hatinya, “Hem gajah kerdil ini memang
benar-benar memiliki kekuatan luar biasa.”
Kini Alap-alap Jalatunda mengetahui bahwa
tangan Swandaru yang bulat pendek itu melampaui kekuatan tangannya. Ia
tidak boleh setiap kali beradu kekuatan. Ia harus memanfaatkan
kelincahannya untuk melawan gajah kecil yang gemuk ini.
Demikianlah perkelahaian mereka menjadi
bertambah seru. Bukan saja Alap-alap Jalatunda yang menyadari kekuatan
dan kelemahan diri, namun Swandaru pun mengetahui pula, bahwa anak muda
lawannya itu dapat bergerak selincah burung Alap-alap di udara. Sekali
menukik menyambar, namun kemudian terbang melesat menjauhinya. Karena
itu, maka Swandaru harus menghemat tenaganya. Ia tidak pernah dengan
tergesa-gesa mengejar lawannya apabila Alap-alap itu meloncat beberapa
langkah ke samping atau sengaja surut ke belakang. Ia tahu Alap-alap
Jalatunda memancingnya dalam perkelahian yang kisruh. Tetapi Swandaru
cukup waspada. Dibiarkannya lawannya berloncat-loncatan. Bahkan wajahnya
yang lucu masih sempat tersenyum. Kalau Alap-alap itu melontar agak
jauh, maka satu tangannya yang menggenggam pedang bersilang di hadapan
perutnya yang besar, sedang tangannya yang lain bertolak pinggang.
Alap-alap Jalatunda menggeram melihat
sikap Swandaru yang tenang. Ia tahu, bahwa lawannya yang gemuk itu pun
menyadari dirinya, sehingga mempunyai caranya sendiri untuk
menghadapinya.
Sidanti dan Sanakeling masih sempat
menilai lawannya. Mereka menganggap bahwa melawan Agung Sedayu masih
lebih baik daripada melawan Sutawijaya. Tetapi mereka malu untuk berebut
musuh. Bukan memilih yang paling kuat, tetapi memilih yang lebih
ringan. Karena itu, Betapapun juga, Sidanti masih sempat mencoba
menyelubungi kekecilan hatinya, “Ajo, siapakah lawanku? Yang membawa
tombak atau kawan lamaku yang bernama Agung Sedayu?”
Tetapi Agung Sedayu telah berdiri hampir
berhadapan dengan Sanakeling, sehingga Sutawijaya berkata, “Biarlah ia
melawan kawanmu yang hitam-hitam manis itu, dan kau tetap di situ untuk
melawan aku. Meskipun yang menggores tanganku tadi pagi adalah pedang
Alap-alap yang jinak itu, tetapi kaulah yang sebenarnya telah melukai
aku. Sekarang aku ingin menebus kekalahan itu. Sedikit-dikitnya aku
harus mampu melukai tanganmu atau kakimu. Aku akan mencoba untuk tidak
menyentuh wajahmu yang tampan itu dengan ujung tombakku.”
Kata-kata itu terasa sepanas api yang
menyentuh jantung. Sidanti kemudian tidak menunggu lebih lama lagi.
Pedang di tangan kanan dan nenggalanya di tangan kiri. Sekali ia
meloncat maju sambil mengajunkan pedangnya. Ketika ia melihat Iawannya,
menghindarinya sambil merendahkan diri, secepat ilu pula ujung
nenggalanya menyambar seperti tatit. Dalam satu putaran, kedua ujung
senjata itu seperti berguIung-gulung melanda Sutawijaya.
Terdengar Sutawijaya memekik kecil. Ia
benar-benar terkejut melihat cara Sidanti mempergunakan senjatanya.
Sidanti yang mengerahkan segenap kemampuannya pada saat-saat permulaan
dari perkelahiannya.
Sutawijaya terpaksa meloncat beberapa
langkah surut Sambil tersenyum ia berkata, “Dahsyat. Alangkah dahsyatnya
murid Ki Tambak Wedi yang menurut ceritera mampu menangkap angin. Mari
anak muda yang perkasa, marilah kita mulai permainan kita yang menarik
ini.”
Sidanti tidak membiarkan lawannya. Begitu
ia melihat lawannya meloncat mundur, maka dengan serta merta ia
mengejarnya. Namun kini Sidanti-lah yang terkejut, ketika tiba-tiba saja
ujung tombak Sutawijaya terjulur hampir menyentuh hidungnya.
“Gila!” teriaknya. Pedangnya dengan
tangkas menyambar tombak itu. Tetapi tombak itu telah meluncur surut,
sehingga pedang Sidanti tidak sempat menyentuhnya.
Perkelahian antara Sidanti dan Sutawijaya
itu pun segera menjadi bertambah sengit. Sidanti dengan darah yang
mendidih dibakar oleh kemarahannya, telah mencoba bertempur
sebaik-baiknya meskipun ia berhadapan dengan Sutawijaya yang telah
dianggap mampu melawan Arya Penangsang dengan cara yang khusus. Namun
sejenak kemudian ia terpaksa mengakui, bahwa Sutawijaja, meskipun
umurnya masih lebih muda daripada dirinya, tetapi kecepatannya bergerak
dan kemahirannya mempergunakan senjata telah benar-benar menggetarkan
hati murid Ki Tambak Wadi itu.
Sanakeling yang melihat kedua kawannya
telah terlibat dalam perkelahian, sudah tentu tidak akan tinggal
menonton seperti nonton adu cengkerik. Ketika ia melihat Agung Sedayu
telah menggenggam pedang, maka segera ia pun meloncat maju sambil
berkata, “Kita bertemu kembali dalam kesempatan yang luas. Kita
masing-masing tidak akan terganggu lagi oleh hiruk-pikuk perkelahian
tikus-tikus di sekitar kita. Kini kita harus menentukan diri sendiri
dalam takaran yang wajar.”
Agung Sedayu tersenyum. Ternyata
Sanakeling yang dijumpainya dalam peperangan yang terakhir, saat Tohpati
terbunuh, kini menghadapinya dengan dendam di hatinya.
Hati Sanakeling itu menjadi membara
melihat senyum Agung Sedayu. Seolah-olah anak itu sama sekali tidak
menghargai kemampuannya. Karena itu, maka tiba-tiba ia meloncat sambil
memekik tinggi.
Agung Sedayu terkejut, bukan karena kecepatan gerak Sanakeling, tetapi justru karena pekiknya yang keras itu.
“Hem,” desisnya. “Suaramu mirip gemuruhnya petir di langit.”
Sanakeling tidak menyahut. Geraknya
menjadi semakin garang. Serangannya datang membadai. Tak henti-hentinya.
Namun Agung Sedayu telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ia sama sekali
tidak menjadi bingung. Dengan lincahnya ia menghindari setiap serangan.
Bahkan kemudian hampir setiap serangan Sanakeling telah dibalas dengan
serangan pula oleh Agung Sedayu.
Demikianlah maka ketiga anak-anak muda
itu masing-masing telah menemukan lawannya. Swandaru Geni melawan
Alap-alap Jalatunda, Agung Sedayu melawan Sanakeling dan Sutawijaya
berhadapan dengan Sidanti.
Betapa murid Tambak Wedi itu berjuang,
namun lawannya benar-benar gesit seperti burung sriti. Tombaknya
mematuk-matuk dari segenap arah. Sekali-sekali tombak itu menyentuh
pedang dan nenggala Sidanti, dan dalam setiap sentuhan itu terasa,
betapa tenaga anak muda itu telah menggetarkan tangan murid dari lereng
Merapi yang selama ini menghantui anak-anak muda sebayanya.
Hati Sidanti benar-benar menjadi panas,
ketika dalam perkelahian yang semakin seru itu masih saja dilihatnya
Sutawijaya selalu tersenyum-senyum. Bahkan kemudian terdengar ia
berkata, “Sidanti, aku sudah berjanji untuk menagih hutangmu. Kau telah
meneteskan darah dari tubuhku, maka aku pun harus berbuat serupa.
Meskipun sementara ini aku belum mempunyai keinginan untuk membunuhmu.
Entah nanti, apabila keringatku telah membasahi landean tombakku dan kau
masih saja berkeras kepala mungkin aku mengambil keputusan lain.”
Yang terdengar adalah geram Sidanti.
Telinganya seperti disentuh api mendengar kata-kata Sutawijaya yang
menganggapnya terlampau remeh. Dengan sepenuh tenaga ia menyerang dengan
pedangnya, terayun ke lambung lawan. Namun Sutawijaya selalu mampu
menghindarinya. Bahkan Sutawijaya itu pun kemudian benar-benar ingin
melakukan apa yang dikatakannya, sehingga serangan-serangannya pun
semakin lama menjadi semakin cepat dan membingungkan.
Sidanti yang pernah bertempur melawan
Tohpati dan tidak dapat mengalahkan Macan yang garang itu, merasa bahwa
sebenarnya Sutawijaya masih berada selapis di atas Tohpati. Karena itu,
maka terbersit pula di dalam hatinya, pengakuan bahwa tidaklah mungkin
baginya untuk mengalahkan Sutawijaya. Sedang kedua kawannya yang lain
pun ternyata telah menemukan lawan yang seimbang. Betapa banyak
pengalaman Sanakeling dalam petualangannya, namun menghadapi Agung
Sedayu yang masih muda itu, ternyata masih harus memeras segenap
kemampuannya untuk tetap dapat bertahan menghadapi serangan-serangan
anak muda itu.
Sedang di sisi yang lain, Swandaru
bertempur dengan serunya pula melawan Alap-alap Jalatunda. Murid Kiai
Gringsing itu ternyata telah mendapat kemajuan yang jauh sekali,
dibandingkan dengan apa yang pernah dimilikinya pada saat pertama kali
ia menerima pelajarannya di pinggir kali. Betapa saat itu ia
mengumpat-umpat karena ia merasa bahwa waktunya hanya terbuang sia-sia.
Apalagi ketika ia mendengar Kiai Gringsing mengajaknya bermain
loncat-loncatan di atas batu.
Kini Swandaru telah cukup lincah
memainkan pedangnya. Meskipun tubuhnya gemuk, namun ia mampu menghadapi
kelincahan Alap-alap Jalatunda dengan gerakan-gerakan yang mantap.
Meskipun Swandaru yang gemuk itu selalu menghemat tenaganya, namun
kemana Alap-alap Jalatunda meloncat, maka Swandaru telah menghadapinya
dengan pedang terjulur.
Dalam pada itu, di luar desa Benda yang
kecil, Ki Tambak Wedi menunggu muridnya dengan hati berdebar-debar. Ia
telah melihat asap mengepul dan kemudian disusul dengan api yang
menjilat tinggi seolah-olah akan menggapai awan yang terbang rendah
dihanyutkan angin dari Selatan. Tetapi Sidanti sama sekali tidak segera
dilihatnya.
Dengan gelisah Ki Tambak Wedi itu duduk
di pematang. Matanya seakan-akan tergantung di pagar batu desa Benda
yang tidak seberapa jauh.
“Setan kecil itu apa lagi yang dilakukannya,” gumamnya.
“Mungkin anak itu sempat mengambil beberapa macam barang atau barangkali ditemuinya seorang gadis.”
Namun Ki Tambak Wedi tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya dengan berbagai-bagai dugaan.
Sekali ia berdiri, berjalan mondar-mandir
dan kemudian berjongkok lagi. Ia menyesal menyuruh muridnya pergi ke
desa itu. “Lebih baik aku kerjakan sendiri,” gerutunya. Ia menyuruh
muridnya membakar beberapa rumah dengan pertimbangan, bahwa di desa itu
pasti tidak akan ditemuinya prajurit yang mampu melawan muridnya itu
bersama-sama kedua kawannya, sedang dirinya sendiri cukup mengawasi
mereka dari kejauhan sambil mengawasi para prajurit Pajang yang pasti
segera akan datang.
Tambak Wadi itu pun menggeram. Ia telah
menyuruh orang-orangnya yang lain menyingkir. Juga penghubungnya yang
terakhir, yang dari kejauhan mengintai prajurit Pajang yang telah
meninggalkan induk kademangan. Berlari-lari penghubung itu
memberitahukan kepadanya, sehingga dengan tergesa-gesa disuruhnya
Sidanti melakukan pekerjaan itu. Tetapi agaknya Sidanti terlalu lama
berada di Desa Benda yang kecil.
“Anak gila,” geram Tambak Wedi. Menurut
perhitungannya, maka prajurit Pajang sudah menjadi semakin dekat.
Sebentar lagi prajurit-prajurit itu pasti sudah akan tampak di
tengah-tengah bulak yang agak panjang itu.
———-oOo———-
(bersambung ke Jilid 016)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-15/

Tinggalkan Balasan