

ADBM-009

SAMPAI digubug Alap-alap
Jalatunda Tohpati berhenti. Wajahnya tampak berkerut-kerut. Diangkatnya
telinganya sambil bergumam lirih, “Siapa itu paman?”
Sumangkar menarik pundaknya tinggi-tinggi. Katanya, “Itulah Raden, gambaran kehidupan kita”
Tohpati menggeram. Didengarnya sekali
lagi suara tertawa perempuan seperti seekor kucing tercekik. Kemudian
terdengar suara Alap-alap Jalatunda yang muda itu, “Jangan merajuk anak
muda. Tinggalkan istrimu di sini. Ia tidak akan berkurang cantiknya”
Yang terdengar kemudian ringkik perempua. Katanya, “Kembalilah dulu kang, aku ingin tinggal di sini dahulu”
Tohpati itu kemudian melihat anak muda
yang tinggi kurus dan berkumis jarang. Anak muda yang pernah diajaknya
bercakap-cakap. Anak muda yang istrinya jauh lebih tua dan bernama Nyai
Pinan. Laki-laki muda itu berjalan tersuruk-suruk dengan wajah yang
suram. Sekali ia berpaling, dan terdengar istrinya berkata, “Kang, aku
akan segera kembali membawa sepotong daging rusa untuk kakang. Bukankah
kakang senang makan daging rusa?”
Laki-laki itu mengangguk. Dan kembali ia
berjalan meninggalkan gubug itu diiringi oleh suara tertawa istrinya dan
Alap-alap Jalatunda. Di antara suara tertawa itu terdengar Nyai Pinan
berkata, “Suamiku adalah laki-laki yang baik hati”
Laki-laki muda yang bertubuh kurus itu berhenti sesaat mendengar pujian istrinya. Namun kemudian ia berjalan kembali.
Tetapi alangkah terkejutnya ketika
tiba-tiba sebuah tangan yang kuat menyambar bahunya. Ketika ia
berpaling, maka tubuhnya terputar dengan kuatnya.
Laki-laki itu sesaat seakan-akan
kehilangan kesadarannya. Namun ketika ia menengadahkan wajahnya, ia
bertambah terkejut lagi. Dilihatnya sepasang mata Tohpati seolah-olah
memancarkan sinar api yang merah membara.
Laki-laki muda itu tidak mengerti apa
yang harus dilakukannya, sehingga dengan gemetar ia menyeringai ketika
tubuhnya diguncang-guncang oleh tangan Tohpati yang serasa akan
meremukkan tulangnya.
“Kembali masuk kedalam gubug itu” teriak
Tohpati dengan suara parau dan gemetar, sehingga suaranya seolah-olah
telah berubah menjadi suara hantu yang sedang marah, “Masuk kembali ke
gubug itu. Seret perempuan itu keluar. Perempuan yang pernah kau larikan
dari suaminya”
Laki-laki muda yang tinggi kurus dan
berkumis jarang itu menjadi semakin bingung. Ia kini benar-benar
kehilangan akal dengan demikian maka ia masih saja berdiri dengan mulut
ternganga.
“Ayo masuk kembali kedalam gubug itu” teriak Macan Kepatihan dengan marahnya.
Laki-laki itu benar-benar menjadi
kebingungan, sehingga tanpa sesadarnya terloncat jawabannya, “Tetapi
tuan, ia masih ingin tinggal di sana”
“Ambil perempuan gila itu. Seret keluar kalau tidak mau dilemparkan dari perkemahan ini”
Otak laki-laki kurus itu kini seolah-olah
menjadi seperti baling-baling yang dipermainkan angin. Kalau angin itu
bertambah kencang sedikit saja, maka ia akan semakin kencang berputar,
dan tidak mampu untuk mencoba berhenti dengan sendirinya.
Dalam kebingungan itu tiba-tiba terdengar suara Alap-alap Jalatunda dengan garangnya, “He, siapa di luar?”
Laki-laki kurus itu tidak dapat menjawab.
mulutnya benar-benar serasa terbungkam, sehingga sekali lagi terdengar
suara Alap-alap Jalatunda, “Siapakah laki-laki gila yang
mengumpat-ngumpat itu?”
Demikian marahnya Macan Kepatihan
mendengar kata-kata itu sehingga bibirnya menjadi gemetar, dan bahkan
tak sepatah kata pun yang dapat melontar dari bibirnya.
Dalam pada itu terdengar suara perempuan
dari dalam bilik itu, “Ah, jangan marah kang. Tunggulah di luar.
Sebentar lagi antarkan aku kembali ke gubug suamiku”
Bukan main marahnya Macan Kepatihan itu.
Dan kemarahannya itu benar-benar menimbulkan keheranan pada Sumangkar
yang tua. Apa yang terjadi itu bukanlah barang baru di dalam perkemahan
ini. Tetapi agaknya Tohpati tidak pernah menaruh perhatian atasnya.
Namun tiba-tiba ada suatu perubahan pada sikapnya. Perubahan yang tak
dapat diketahui ujung dan pangkalnya. Namun yang dilihatnya kini Macan
Kepatihan itu tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Karena itu,
maka tiba-tiba Tohpati itu mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Sekali
ia meloncat mendekati gubug itu, dan dengan sekuat tenaganya tiang sudut
gubug itu berderak patah, dan runtuhlah sudut gubug Alap-alap
Jalatunda.
Mendengar suara berderak-derak itu,
alangkah terkejutnya Alap-alap Jalatunda dan Nyai Pinan. Dengan
tangkasnya anak muda itu meloncat ke pintu dan dengan sebuah loncatan
yang panjang ia telah berdiri tegak di luar pintu.
Tetapi alangkah terkejutnya Alap-alap
yang garang itu. Demikian ia berdiri tegak, maka dengan serta-merta
sebuah tangan terjulur ke arahnya dan dengan kuatnya menggenggam leher
bajunya. Alangkah kuatnya tangan itu. Alap-alap Jalatunda itu serasa
kehilangan segenap kekuatannya ketika tangan itu menariknya.
Sebelum Alap-alap Jalatunda sadar akan
keadaannya, maka sebuah tamparan yang keras mengenai pipinya. Kini ia
terhuyung-huyung. Tangan yang kuat itu telah tidak menggenggam bajunya
lagi, sehingga Alap-alap itu terbanting jatuh. Namun sebenarnya tubuh
Alap-alap Jalatunda itu sedemikian kokohnya. Demikian ia terguling, maka
segera ia meloncat berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh.
Kini barulah ia melihat siapakah
laki-laki yang telah menamparnya itu. Seorang laki-laki yang bertubuh
tinggi kekar berkumis tebal melintang. Macan Kepatihan.
Ketika disadarinya siapa yang berdiri di
hadapannya itu, maka berdesirlah hatinya. Tiba-tiba ia tidak lagi
bersikap garang. Sekali ia membungkukkan badannya dan berkata, “Maafkan
aku Raden. Aku tidak tahu, bahwa Raden berada di sini”
Terdengar gigi Macan Kepatihan gemeretak
menahan kemarahannya yang memuncak. Dengan tajamnya ia memandangi wajah
Alap-alap Jalatunda yang tunduk.
Seandainya pada saat itu Alap-alap
Jalatunda berkata sepatah kata saja, maka wajahnya pasti akan menjadi
bengkak, karena Tohpati telah menggenggam tinjunya siap untuk memukul
mulut Alap-alap Jalatunda itu. Namun untunglah bahwa Sumangkar sempat
menenangkannya, katanya, “Sudahlah ngger, biarlah ini menjadi pelajaran
bagi setiap orang di perkemahan ini. Anak muda itu telah menyesal”
Tohpati tidak menjawab. Diedarkannya
pandangan matanya berkeliling. Ternyata di sekitar tempat itu telah
berdiri berkerumun beberapa orang. Di ujung berdiri seseorang dengan
mulut yang bergerak-gerak, Sanakeling. Meskipun ia tegak dengan wajah
tegang, namun mulutnya masih saja mengunyah daging menjangan yang belum
sempat ditelannya.
Tohpati itu kemudian melangkah selangkah
maju. Dengan tongkatnya ia menunjuk kedalam kekelaman malam, ke kelaman
hutan di sekitarnya, “Perempuan yang jahat. Pergi dari sini. Kaulah yang
membawa sial dalam laskar kami”
“Raden” cegah Sumangkar hati-hati,
“Biarkan perempuan ini di sini. Tempatkanlah perempuan itu pada
suaminya. Jangan meninggalkan tempat ini. Kalau ia pergi maka
suaminyalah yang akan menjadi gantinya”
Betapa marahnya Macan Kepatihan, namun
naluri kepemimpinannya segera merayapi otaknya. Karena itu, maka
katanya, “Paman benar. Perempuan itu tidak boleh meninggalkan tempat
ini”. Kemudian katanya kepada laki-laki kurus berkumis jarang, “Kau
menjaga istrimu di gubug ini. Biarlah Alap-alap gila itu mencari tempat
lain. Kalau istrimu sampai meninggalkan tempat ini, maka lehermu menjadi
taruhannya”
Laki-laki itu mengangguk-anggukkan
kepalanya dalam-dalam sambil gemetar. Ia tidak tahu kenapa istrinya
tidak boleh meninggalkan tempat itu. Apakah besok istrinya akan dihukum,
apakah ada persoalan-persoalan lain yang akan dilakukan oleh Macan
Kepatihan itu? Tetapi ia hanya mampu menjawab, “Ya, ya tuan”
Namun Sumangkar yang berpengalaman itu
dapat membayangkan apa saja yang akan terjadi seandainya perempuan itu
benar-benar meninggalkan perkemahan itu. Perkemahan yang dengan
hati-hati dipersiapkan khusus untuk tujuan yang penting. Perkemahan yang
dibangun dengan tergesa-gesa untuk mempersiapkan laskar-laskar Jipang
yang terpencar di segala penjuru. Kalau perempuan itu lepas dengan luka
di hatinya, maka perkemahan itu pasti segera akan hancur. Sebab tidak
mustahil, tempat itu pun akan segera diketahui oleh Untara dan Widura.
Untunglah bahwa Tohpati segera menyadari pula keadaan itu, sehingga
orang-orang Untara belum dapat mengetahui dengan pasti letak perkemahan
itu. Hubungan-hubungan yang dibuat dengan orang-orang dalam masih
terlalu sulit dan kesempatan untuk itu masih belum dapat diperoleh. Yang
baru diketahui oleh orang-orang Untara adalah persiapan-persiapan dan
kesibukan dari beberapa orang yang terpencar-pencar. Pemusatan kekuatan
di sekitar daerah yang sudah dikenal. Namun secara pasti, tempat itu
belum dapat diketahui. Apalagi tempat ini belum lama dibangun, setelah
beberapa puluh kali berpindah-pindah.
Nyai Pinan kemudian menjadi ketakutan
bukan alang kepalang. Merangkak-rangkak ia menangis minta ampun. Bahkan
ketika ia hampir sampai di hadapan Tohpati, maka segera ia menjatuhkan
dirinya menelungkup. Namun Tohpati tidak menghiraukannya. Sekali lagi
matanya beredar di antara orang-orangnya yang berdiri berkerumun sambil
menahan gelora hati masing-masing. Dengan lantang ia berkata, “Aku tidak
mau melihat perbuatan terkutuk berulang di perkemahan ini”
Dan sebelum gema suaranya lenyap dalam
kekelaman malam, maka segera Tohpati itu melangkah pergi. Beberapa orang
menyibak ke samping memberinya jalan. Tanpa menoleh Tohpati berjalan
masuk kedalam malam yang gelap. Di belakangnya Sumangkar berjalan
cepat-cepat. Di ujung perkemahan itu Sumangkar masih sempat meraih
sebuah golok pembelah kayu. Kalau mereka pergi ke Sangkal Putung, maka
perjalanan itu bukanlah perjalanan tamasya di malam purnama. Sehingga
karena itu, maka golok itu akan sangat bermanfaat baginya apabila
ditemuinya bahaya di perjalanan.
Sepeninggal Tohpati, Sanakeling melangkah
maju. Mulutnya yang masih mengunyah daging menjangan itu berkata,
“Apakah yang kau lakukan Alap-alap kecil?”
Alap-alap Jalatunda menundukkan wajahnya.
Terasa darah yang seakan-akan menggelegak, namun ia tidak berani
berbuat apa-apa. Meskipun demikian terasa juga bahwa telah terjadi suatu
perubahan sikap pada Tohpati yang garang itu.
Meskipun Pratanda yang juga bergelar
Alap-alap Jalatunda itu belum menjawab, namun dengan melihat Nyai Pinan
yang masih merangkak-rangkak, segera Sanakeling dapat menduga apa yang
telah terjadi. Karena itu, maka gumamnya di dalam mulutnya, “Hem, karena
itu aku tidak mau berurusan dengan perempuan. Perempuan dimana-mana
dapat menimbulkan persoalan. Dunia ini dapat menjadi sedemikian indah
dan menggairahkan, karena perempuan. Namun dunia ini dapat berubah
menjadi neraka juga karena perempuan. Nah alap-alap kecil, jangan
menyesal. Yang sudah biarlah terjadi, tetapi ingatlah untuk seterusnya,
bahwa Macan Kepatihan yang garang itu membenci perempuan”
Alap-alap Jalatunda mengangkat wajahnya.
Dilihatnya Sanakeling masih menggerak-gerakkan mulutnya. Tetapi
Alap-alap Jalatunda tidak berkata apa-apa. dengan langkah yang gontai ia
berjalan meninggalkan tempat itu.
“Mau kemana?” bertanya Sanakeling.
“Tidak kemana-mana” sahut Alap-alap Jalatunda.
“Kau tidak boleh menempati gubug yang hampir roboh itu. Tidurlah di tempatku bersama orang-orangku”
Alap-alap Jalatunda menggeleng, katanya, “Aku akan tidur bersama orang-orangku sendiri”
Sanakeling dengan susah payah menelan
segumpal daging yang tidak dapat dikunyahnya. Sesaat terasa
kerongkongannya tersumbat. Namun setelah gumpalan daging itu melalui
lehernya ia berkata, “Terserahlah, tetapi aku akan berbicara kepadamu.
Datanglah kegubukku”
“Tentang apa?” bertanya Alap-alap Jalatunda.
“Tidak tentang perempuan” sahut Sanakeling.
“Ah” desah Alap-alap Jalatunda, “Tentang apa?”
Sanakeling memandang Alap-alap Jalatunda
dengan tajamnya. Ia tidak senang mendengar Alap-alap itu berkata tajam
kepadanya. Meskipun demikian ia menjawab, “Tentang kedudukan kita dan
Sangkal Putung. Pergilah”
“Apa yang akan kita bicarakan?”
“Pergilah ke gubugku” desak Sanakeling.
“Kita bicara di sini saja”
Sanakeling mengerutkan keningnya. Katanya, “He, apakah kau sudah menjadi gila?”
Alap-alap Jalatunda tidak memperdulikannya. Selangkah ia berjalan ke samping sambil bergumam, “Aku akan pergi”
“Pergilah ke tempatku. Aku perlu berbicara tentang berbagai persoalan”
Alap-alap Jalatunda yang sedang dibakar oleh gejolak hatinya itu menjawab dengan jengkelnya, “Berbicaralah di sini”
Sanakeling menjadi marah pula karenanya.
Selangkah ia maju sambil menggeram perlahan-lahan, “Alap-alap kecil.
Jangan menjadi gila. Kau dihukum karena kesalahanmu. Jangan membuat
persoalan baru. Pergi ke gubug itu, atau kau aku tampar mulutmu di muka
anak buahmu. Aku masih merasa berbaik hati kepadamu bahwa aku
memperingatkanmu perlahan-lahan”
Langkah Alap-alap Jalatunda itu terhenti.
Alangkah sakit hatinya mendengar geram itu. Tetapi ketika dilihatnya
mata Sanakeling yang seolah-olah menyala itupun, hatinya menjadi kecut.
Disadarinya kini kekecilannya di antara para pemimpin Jipang. Sanakeling
adalah orang yang garang segarang Plasa Ireng yang telah mati dibunuh
oleh Sidanti dengan luka arang kranjang di tubuhnya.
Sekali lagi Alap-alap Jalatunda terpaksa
menahan gelora di dadanya. Ditelannya kepahitan itu meskipun hatinya
tidak ikhlas. Karena itu, maka ia menjawab pendek, “Ya, aku akan pergi
kesana”
Sanakeling menarik nafas panjang. Namun
matanya masih saja menyalakan kemarahannya. Dengan langkah yang berat ia
berjalan meninggalkan gubug itu sambil memperingatkan perempuan yang
masih saja menangis sambil duduk di tanah, “Ingat semua kata-kata Macan
Kepatihan supaya nyawamu tidak dicabut dengan tongkatnya yang mengerikan
itu. Sekali kepalamu tersentuh kepala tongkatnya, maka otakmu pasti
akan berhamburan. Nah, masuklah ke gubug itu dan jangan meninggalkan
tempat ini”
“Baik tuan. Aku tidak berani melanggar perintah itu” tangis Nyai Pinan.
Sanakeling itu pun kemudian kembali ke
gubugnya. Ia dapat mengerti juga kenapa Nyai Pinan tidak boleh
meninggalkan tempat itu. Sebab perbuatan itu akan sangat berbahaya bagi
rahasia gerombolannya.
Alap-alap Jalatunda pun tidak dapat
berbuat lain daripada datang memenuhi permintaan Sanakeling. Ia sudah
dapat membayangkan apa saja yang akan dikatakan oleh Sanakeling itu.
Persiapan untuk menyerbu kembali Sangkal Putung.
Dalam pada itu, Tohpati berjalan dengan
tergesa-gesa meninggalkan perkemahannya, seakan-akan ia ingin segera
pergi sejauh-jauhnya dari tempat itu. Tempat yang dibangunnya sebagai
landasannya untuk meloncat kedaerah perbekalan yang subur, Sangkal
Putung. Namun perkemahan itu telah menumbuhkan kebencian padanya. Tempat
yang terkutuk. Tempat yang dipenuhi oleh berbagai ciri kehidupan liar
yang benar-benar menjemukan. Ia tidak mengerti apa yang terjadi di dalam
dirinya, bahwa baru sekarang ia merasa muak melihat perbuatan-perbuatan
itu. Bukankah sebelumnya telah diketahui, setidak-tidaknya pernah
didengarnya bahwa hal-hal semacam itu pernah dan bahkan sering terjadi?
Kenapa pada saat itu ia tidak berbuat apa-apa? Kenapa pada saat itu
dibiarkannya kemaksiatan semacam itu tumbuh seenaknya?
Macan Kepatihan itu menggeram. Ketika ia
berpaling dilihatnya Sumangkar berjalan beberapa langkah di belakangnya
sambil menjinjing sebilah golok.
“Apakah yang paman bawa itu?”
“Golok” sahut Sumangkar.
“Untuk apa?”
“Tongkat” jawabnya pendek.
Tohpati mengerutkan keningnya dan memperlambat langkahnya, sehingga Sumangkar pun berjalan lebih lambat pula.
Sekali-sekali Macan Kepatihan itu berpaling dan akhirnya ia berkata, “Golok itu terlampau pendek untuk dijadikan tongkat”
Sumangkar terkejut mendengar kata-kata
itu. Cepat ia mencari kawaban yang lain, katanya, “Tidak ngger. Bukan
tongkat sebagai penyangga tubuh. Maksudku, golok ini dapat dipakai untuk
menerabas dahan-dahan yang mengganggu jalan”
Tohpati itu tersenyum. Katanya dengan nada datar, “Paman ternyata memerlukan juga senjata”
Sumangkar tidak menjawab. Ternyata Macan
Kepatihan itu dapat menebak maksudnya. Namun bukankah ia akan pergi ke
daerah lawan? Maka adalah kewajibannya untuk berhati-hati. Meskipun
demikian Sumangkar itu tidak menjawab. Ia masih saja berjalan di
belakang Tohpati sampai mereka muncul dari balik rimbunnya dedaunan yang
agak lebat.
Demikianlah mereka melangkahkan kaki
mereka keluar hutan. Tohpati menarik nafas lega, seolah-olah ia telah
keluar dari suatu daerah yang dibencinya. Suatu daerah yang sama sekali
tidak menyenangkan. Seakan-akan ia baru keluar dari suatu tempat yang
padat pepat sehingga menyesakkan nafasnya.
Ketika Tohpati menengadahkan wajahnya, di
langit dilihatnya bulan yang terbelah. Sehelai-sehelai awan yang putih
hanyut dibawa arus angin yang lembut.
Sekali lagi Tohpati menarik nafas
dalam-dalam. Bulan itu tampaknya sangat asing baginya. Sudah beberapa
tahun ia melupakan keindahan bulan, langit yang sumeblak,
bintang-bintang dan bahkan melupakan apa saja yang dapat memberinya
kesegaran seperti malam ini. Angin yang lembut dan daun-daun yang
bergerak-gerak dibelai oleh angin yang lembut itu.
“Hem” desahnya.
Sumangkar melangkah lebih cepat lagi,
sehingga ia berjalan di samping Macan Kepatihan itu. Ketika ia mendengar
Tohpati itu berdesah, ia berpaling. Tetapi ia tidak bertanya apa-apa.
Tohpati masih mengagumi kesegaran angin
malam dan kelembutan sinar bulan setengah. Cahaya yang redup
kekuning-kuningan dan daun-daun yang hijau gelap seperti langit di garis
cakrawala. Dari dalam kekelaman malam, menjulang lamat-lamat gunung
Merapi menyentuh langit.
“Paman” tiba-tiba terdengar Tohpati itu
berkata, “Umurku sudah cukup banyak paman. Sudah sepertiga abad. Tetapi
aku merasa tiba-tiba menjadi orang asing di sini. Asing dari alam di
sekitarku ini”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pertanyaan itu telah mengatakan kepadanya, bahwa terjadi sesuatu
pergolakan di dalam dada murid saudara seperguruannya itu. Namun
Sumangkar menjawab, “Mungkin angger merasa asing. Tetapi alam yang Raden
anggap asing ini, adalah alam yang sehari-hari telah memeluk angger
dalam rangkumannya. Alam ini mengenal angger dengan baik. Sebab angger
adalah bagian daripadanya. Angger telah lahir dari sumber yang sama”
Tohpati berdesir mendengar kata-kata
Sumangkar itu. Tiba-tiba disadarinya bahwa alam adalah saudara
kandungnya. Pepohonan, hutan, gunung, ngarai, bahkan bintang dan bulan,
matahari dan seluruh isi angkasa. Semuanya telah tercipta oleh sabda
yang Maha Pencipta. Semesta alam dan isinya. Juga manusia yang amat
kecilnya dibandingkan dengan seluruh kebesaran alam ini.
Tetapi selama ini Tohpati tidak pernah
mengingat sumbernya lagi. Yang diingatnya sehari-hari adalah nafsu yang
menyala-nyala di dalam dadanya untuk memusnahkan lawan. Membunuh dan
menghancurkan. Membuat malapetaka dan meruntuhkan air mata.
Sekali lagi Tohpati menengadahkan
wajahnya. Bulan itu masih memancar di langit, dan bintang-bintang masih
bergayutan pada dataran yang biru.
“Paman” gumam Macan Kepatihan itu
perlahan-lahan, “Besok kita akan mulai dengan persiapan yang terakhir.
Mudah-mudahan kita akan dapat merebut daerah perbekalan itu kali ini”
Sumangkar berpaling. Kata-kata itu sama
sekali tidak bernafsu seperti arti katanya. Tohpati itu seakan-akan
berkata asal saja mengucapkan kata-kata. Karena itu Sumangkar tidak
segera menjawab. Dibiarkannya Tohpati berkata pula, “Besok kita akan
mulai lagi dengan suatu gerakan. Aku mengharap lusa kita telah berada di
Sangkal Putung”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya pendek, “Ya ngger”
Tohpati sama sekali tidak tertarik kepada
jawaban Sumangkar. Bahkan seolah-olah tidak didengarnya. Ia masih saja
berkata seterusnya, “Besok aku akan mulai dengan pembunuhan-pembunuhan
dan kematian-kematian baru. Besok aku mengadakan benturan benturan
antara manusia dengan manusia. Antara sesama yang mengalir dari sumber
yang satu”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kini
ia tahu benar apa yang terkandung di dalam hati Macan Kepatihan itu.
Sehingga karena itu diberanikan dirinya berkata, “Besok itu belum
terjadi. Kita masih dalam keadaan kita sekarang. Apa yang terjadi besok
bukanlah suatu kepastian dari sekarang. Kita mendapat wewenang untuk
menentukan hari besok. Hari kita sendiri”
“Ya” sahut Tohpati, “Paman benar. Tetapi
apa yang kita lakukan besok pasti berdasarkan pertimbangan tentang hari
sekarang dan hari kemarin. Apakah dan siapakah kita sekarang dan
kemarin. Dengan dasar itulah kita berbuat untuk besok”
“Ya. Kita sendiri adalah kelanjutan dari
masa lampau. Tetapi tidak seharusnya apa yang kita lakukan besok harus
senafas dengan apa yang kita lakukan kemarin” sahut Sumangkar, “Dengan
demikian maka tidak akan ada perubahan-perubahan di dalam diri manusia.
Tetapi perubahan-perubahan itu selalu terjadi. Seorang yang hidup karena
pekerjaan yang nista suatu ketika akan dapat menjadi seorang yang alim
dan berbudi. Seorang yang baik hati, suatu saat dapat berbuat di luar
batas kemanusiaan”
“Seorang pahlawan di medan-medan perang,
suatu ketika memilih jalan hidupnya di dapur-dapur dan di sudut-sudut
perapian” potong Tohpati.
“Ya, itu pun suatu perkembangan yang terjadi di dalam diri manusia” sahut Sumangkar.
Tohpati mengerutkan keningnya. Sejenak ia
berdiam diri. Ditatapnya padang rumput yang sempit di hadapannya,
kemudian di seberang padang rumput itu terdapat sawah-sawah yang tidak
pernah ditanami selama kerusuhan terjadi di daerah ini. Para petani yang
memilikinya menjadi ketakutan untuk menggarapnya, sebab setiap saat
laskat Jipang yang liar sering memerang mereka.
Ketika mereka melangkah semakin jauh
kedalam padang itu, kembali Tohpati berkata tanpa berpaling, “Paman,
apakah paman puas dengan keadaan paman sekarang?”
“Puas tentang apa, ngger?”
“Tentang keadaan paman. Paman yang pernah dikagumi digaris perang, kini tidak lebih dari seorang juru masak didapur”
“Aku puas ngger. Aku puas bahwa aku untuk
sekian lamanya berhasil meletakkan senjataku dan menggantinya dengan
pisau dapur dan golok pembelah kayu ini”
Macan Kepatihan mengerutkan keningnya.
Terasa sesuatu menggeram di dalam rongga dadanya, tetapi ia ragu-ragu
untuk mengutarakannya.
Namun yang terloncat dari bibirnya
adalah, “Paman adalah seorang yang berhati goyah. Paman telah meletakkan
suatu tekad perjuangan. Namun paman berhenti di tengah jalan”
“Raden” sahut Sumangkar perlahan-lahan,
“Aku memang pernah meletakkan suatu tekad. Tetapi aku bukan orang yang
buta pada keadaan. Orang yang dengan membabi buta pula berbuat hanya
karena sudah terlanjur. Sebenarnya ngger, terus terang, sejak Arya
Penangsang dan Pamanda Patih Mantahun melakukan rangkaian-rangkaian
pembunuhan, sejak itu hatiku telah goyah. Tetapi aku pada saat itu tidak
yakin, hatiku dapat goyah. Aku tidak percaya pada setiap persoalan yang
timbul di dalam diriku. Dan aku telah berusaha untuk membutakan mataku
dan berbuat seperti yang sudah mulai aku lakukan. Tetapi akhirnya aku
menyadari keadaanku. Aku tidak dapat membohongi perasaanku terus
memerus. Aku jemu pada peperangan”
“Jangan berkata begitu” potong Tohpati.
Langkahnya pun terhenti dan dengan pandangan yang tajam ditatapnya mata
Sumangkar. Namun kini Sumangkar tidak lagi menundukkan wajahnya. Bahkan
langsung dipandangnya biji mata Tohpati yang seakan-akan menyala itu.
Pandangan mata seorang yang sudah lanjut usia.
Tohpati lah yang kemudian berpaling.
Meskipun demikian ia bergumam, “Paman jangan mencoba melemahkan hatiku.
Apakah paman ingin memaksa aku untuk berbuat seperti paman itu.
Meletakkan senjata ini dan merunduk-runduk kepada orang Pajang untuk
menjadi juru masak atau pekatik”
“Tidak” sahut Sumangkar, “Angger tidak dan aku pun tidak”
“Lalu?”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam.
Timbullah kebimbangan di dalam hatinya. Sudah pasti ia tidak dapat
mengatakan kepada Tohpati meskipun ia tahu bahwa hati Macan Kepatihan
yang garang itu sedang goncang.
Tetapi Sumangkar itu terkejut ketika
tiba-tiba ia mendengar Tohpati berkata, “Paman, aku bukan pengecut. Aku
bukan orang yang takut melihat beberapa kekalahan kecil. Dan aku tak
akan dapat digoyahkan oleh keadaan yang bagaimanapun juga. Lusa apabila
Sanakeling telah berhasil mengumpulkan segenap orang-orang kita, maka
aku benar-benar akan menghancur-lumatkan Sangkal Putung. Kali ini yang
terakhir. Kalau aku tidak berhasil menguasai Sangkal Putung, maka lebih
baik Sangkal Putung itu aku binasakan. Rumah-rumahnya, sawah-sawahnya
dan segala kekayaan yang ada di dalamnya. Buat apa aku menyayangkan
kehancurannya, kalau aku tidak dapat memanfaatkannya”
Sumangkar memandangi wajah Tohpati dalam
keremangan cahaya bulan. Dilihatnya Macan Kepatihan itu kemudian
menggigit bibirnya dan terdengar ia menggeram.
“Hem” Sumangkar menarik nafas dalam-dalam, meskipun ia tidak segera mengucapkan kata-kata.
“Kenapa paman berdesah?” bertanya Tohpati
“Tidak” sahut Sumangkar, “Aku tidak berdesah. Aku sedang menyesal”
“Apa yang paman sesali?”
“Angger sudah mulai berkelahi dengan
pertimbangan-pertimbangan sendiri. Angger melihat kewajaran di dalam
diri angger, tetapi angger tidak mau”
“Bohong” teriak Tohpati tiba-tiba.
Wajahnya benar-benar menjadi merah. Tanpa disangka-sangka ia melangkah
maju mendekati Sumangkar sambil menundingnya, “Jangan berkhianat
terhadap pimpinanmu paman. Paman sedang berusaha melemahkan hatiku”
“Kekuatan hati seseorang tidak harus
ditampakkan pada kekerasan pendirian yang membabi buta. Mungkin angger
mampu menghancurkan Sangkal Putung. Tetapi itu perbuatan putus asa.
Angger benar-benar kehilangan akal. Dengan demikian maka beribu-ribu
jiwa akan kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian apabila
sawah-sawahnya dihancurkan. Mereka akan kelaparan dam mereka akan mati
sia-sia”
“Itu adalah akibat dari kekerasan kepala mereka. Kenapa mereka tidak menyadari bahwa mereka harus menyerah?”
“Siapakah yang keras kepala? Siapakah yang tidak menyadari keadaannya?”
“Setan” potong Tohpati, “Paman benar-benar telah berkhianat. Karena itu maka tidak sewajarnya paman ada di dalam barisanku”
“Apakah aku harus pergi ke Pajang?”
“Tidak, tidak dalam barisanku dan tidak
boleh pergi ke Pajang. Sebab dengan demikian maka pengkhianatan paman
akan menjadi sempurna”
“Jadi, apa yang harus aku kerjakan?”
Sejenak Tohpati terbungkam. Yang
terdengar hanyalah dengus nafasnya yang terengah-engah. Tetapi tiba-tiba
ia berteriak, “Mati, kau harus mati”
“He?” Sumangkar terkejut mendengar
kata-kata itu, sehingga untuk sesaat mulutnya seakan-akan terkunci.
Tetapi sesaat kemudian orang tua itu telah berhasil menguasai dirinya
kembali sepenuhnya.
Bahkan Sumangkar itu kemudian tersenyum.
Ditatapnya mata Tohpati seolah-olah orang tua itu ingin memandang tembus
kedalam pusat jantungnya. Dengan tenangnya Sumangkar itu kemudian
menjawab, “Angger, apakah angger bermaksud membunuh aku?”
Pertanyaan itu menghantam dada Tohpati
sehingga serasa akan meruntuhkan segenap tulang-tulang iganya. Sesaat
Tohpati terdiam, namun kemudian dikerahkannya segenap tenaga dan
kekuatannya untuk menjawab, hanya sepatah kata, “Ya”
Kembali Sumangkar tersenyum. Senyum yang
menggoncangkan hati Macan yang garang itu. Dimata Tohpati, Sumangkar
yang berdiri di hadapannya itu bukan lagi seorang juru masak yang malas,
namun Sumangkar itu kini berdiri dengan wajah tengadah. Sumangkar tu
kini benar-benar bersikap sebagai seorang senapati di garis peperangan.
Sumangkar yang pernah dikenalnya dahulu.
Karena itu dada Tohpati menjadi
berdentang cepat. Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk tegak
dengan wajah yang tegang, menghadapi orang tua itu.
Mendengar jawaban Tohpati yang pendek
itu, Sumangkar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan
ia berkata, “Raden, aku adalah seorang abdi yang sejak Pamanda Kepatihan
masih hidup aku adalah abdi kepatihan. Kalau aku kebetulan menjadi
saudara seperguruan Gusti Patih itu bukanlah soal dalam hubungan antara
hamba dan gustinya. Kini angger adalah pimpinan laskar Jipang
sepeninggal Arya Penangsang. Dalam hal ini pun siapa Sumangkar dan siapa
Tohpati bukan juga menjadi soal”
“Diam” potong Tohpati dengan suara bergetar, “Kubunuh kau”
Tetapi ia terkejut ketika ia melihat
Sumangkar meletakkan golok pembelah kayu di tangannya dan selangkah ia
maju mendekatinya, “Marilah ngger. Seperti juga Pamanda Kepatihan,
Sumangkar dapat pula dibunuh dan mati untuk tidak bangkit kembali. Hanya
dongeng-dongeng ngayawara saja yang mengatakan bahwa murid-murid
perguruan Kedung Jati memiliki nyawa rangkap sepuluh”
Macan Kepatihan itu kemudian menundukkan
wajahnya dalam-dalam. Bahkan kemudian kelangkah ia berjalan ke samping,
dan dengan lemahnya menjatuhkan dirinya duduk datas rerumputan liar.
Sumangkar pun kemudian duduk pula di
sampingnya. kini ia sudah yakin apa yang terjadi di dalam diri Tohpati
itu. Kini ia yakin bahwa Tohpati telah menemukan nilai-nilai yang lain
dari apa yang dimilikinya selama ini.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Sumangkar sengaja membiarkan Tohpati meyakinkan dirinya sendiri, sebelum ia membantunya.
Malam menjadi semakin lama semakin
dingin. Angin yang basah mengusap tubuh-tubuh mereka yang seakan-akan
membeku. Bagaimana di dalam dada mereka telah bergolak dengan riuhnya,
berbagai-bagai pertimbangan dan angan-angan.
“Paman” berkata Tohpati kemudian, “Sejak
aku memanggil paman Sumangkar, sebenarnya aku sudah dilanda oleh
perasaan yang tidak menentu. Itulah sebabnya aku menunda penyerangan ke
Sangkal Putung sampai beberapa kali. Tetapi aku tidak dapat berbuat
demikian terus-menerus. Aku tidak dapat membiarkan anak buahku mejadi
jemu dan semakin liar. Tetapi tiba-tiba aku kehilangan keberanian untuk
menyerang Sangkal Putung”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia
pun menjadi terharu mendengar pengakuan itu. Pengakuan seorang pemimpin
yang teguh hati serta soerang yang memiliki keberanian dan kemampuan
yang cukup. Namun orang itu dihadapkan pada suatu kenyataan yang
berlawanan dengan tekad serta kemauannya.
Dalam keremangan malam dibawah cahaya
bulan sepotong, Sumangkar melihat kegelisahan wajah Tohpati. Tampaklah
betapa ia menyesali keadaan dan menyesali kenyataan. Tetapi kenyataan
itu telah dihadapkan di muka wajahnya.
Tohpati benar-benar bukan seekor binatang
liar yang tidak mempunyai jantung. Betapa ia keras dan buas di dalam
medan-medan peperangan, namun ia memiliki perasaan yang utuh. Karena
itulah, maka ia dapat mengerti beberapa keberatan yang dikatakan oleh
orang lain kepadanya. Yang dikatakan oleh orang tua di atas batu-batu di
tengah sungai beberapa hari yang lalu, dan apa yang dikatakan Sumangkar
sejak lama kepadanya. Meskipun ia telah berusaha menindas perasaan yang
berkecamuk di dalam dadanya, meskipun ia tidak ingin terpengaruh oleh
perasaan-perasaan itu, namun sebenarnya hatinya selalu tersentuh-sentuh.
Setiap kali ia pulang dari peperangan, setiap kali ia kembali dari
nganglang, dan setiap kali ia melihat kekerasan, apalagi atas penduduk
yang tidak banyak mengetahui seluk beluk pertentangan antara Pajang dan
Jipang, hatinya selalu terganggu. Puncak dari gangguan di hatinya adalah
orang tua di tengah-tengah kali itu, dan selanjutnya kata-kata
Sumangkar itu sendiri. Sehingga seandainya benar Untara dan Widura
mengatakan, bahwa pertentangan ini menjadi amat menjemukan, adalah
benar. Kalau seseorang mengatakan bahwa pertentangan ini hanya akan
menyengsarakan rakyat, adalah beralasan. Dan sejak ia melakukan
pembunuhan yang pertama atas Sunan Prawata, apalagi ketika Sumangkar
mendengar Ratu Kalinyamat bertapa tanpa mengenakan pakaian apa pun
selain rambutnya sendiri sebagai suatu penolakan, sebagai suatu jerit
seorang wanita atas kekerasan dan kebiadaban yang terjadi pada suaminya.
Namun Sumangkar pun mencoba mengingkari perasaan sendiri pada waktu
itu.
Demikianlah meskipun Tohpati itu duduk
diam seperti patung, namun hatinya bergolak dahsyat. Sedahsyat pusaran
di muara sungai yang sedang banjir bandang.
Tiba-tiba Tohpati itu mengeluh, “Aku kini
sampai pada suatu titik yang terkatung-katung di tengah-tengah gumulan
ombak yang tidak menentu. Aku tidak dapat terus, tetapi aku tidak dapat
kembali”
Sumangkar merasakan kesulitan itu.
Sumangkar dapat mengerti sepenuhnya, bahwa Tohpati benar-benar tidak
dapat maju tetapi juga tidak dapat kembali. Meskipun demikian ia mencoba
menjajagi hati anak muda yang perkasa itu, “Angger tidak usah terus dan
tidak usah kembali. Angger dapat mencoba berhenti. Tetapi angger harus
membiarkan orang lain kembali”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Memang benar, ia dapat menghilang dan tidak muncul kembali. Ia dapat
menganjurkan orang lain untuk menghentikan perlawanan. Tetapi
kenyataannya tidak dapat membenarkannya. Ia tidak mau lari dari
kenyataan yang bagaimanapun pahitnya. Karena itu, Tohpati itu menggeleng
lemah, “Tidak paman, tidak”
Sumangkar pun tahu, bahwa Tohpati tidak
akan dapat menyetujuinya. Tetapi ia tidak mempunyai pendapat lain yang
dapat dikemukakan saat itu, sehingga sejenak ia terdiam.
Kembali mereka diamuk oleh kegelisahan di
hati masing-masing. Kembali mereka dicengkam oleh kesepian dipadang
rumput yang tidak terlalu luas itu. Suara cengkerik terdengar
mengorek-ngorek dinding telinga. Sekali-sekali terdengar pekik
binatang-binatang hutan mengejutkan.
Dalam keheningan malam itu tiba-tiba
Sumangkar menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu berdesir di hatinya,
sehingga duduknya bergeser beberapa jari. Matanya yang tajam, menembus
keremangan malam menusuk kekejauhan.
Sumangkar menarik nafas. Ia berpaling
ketika terdengar Tohpati menggeram perlahan-lahan. Tetapi Sumangkar itu
mengangguk-anggukkan kepalanya ketika ia mendengar Tohpati bergumam
perlahan-lahan, “Dua orang berjalan di ujung padang ini”
“Ya, aku melihatnya”
“Siapa paman, apakah orang itu orang-orang kita?”
“Entahlah ngger. Apakah angger memberikan perintah kepada seseorang atau kedua orang itu untuk suatu pekerjaan?”
“Aku tidak. Entahlah kalau Sanakeling.
Atau Alap-alap Jalatunda atau yang lain. Mungkin juga para pengawas yang
telah dikirim lebih dahulu”
Meskipun demikian, firasat Sumangkar yang
tua itu memberitahukan kepadana, bahwa orang itu akan dapat membawa
bahaya. Dengan demikian maka Sumangkar beringsut sejengkal demi
sejengkal untuk meraih golok pembelah kayu yang diletakkannya.
“Apakah paman memerlukan benda itu?”
“Aku tidak tahu ngger, mudah-mudahan tidak”
“Mudah-mudahan. Tetapi orang itu datang
dari jurusan yang lain dari setiap jurusan yang akan dilalui para
pengawas ke Sangkal Putung. Juga sama sekali bukan jurusan orang-orang
Pajang yang berada di Sangkal Putung”
“Mungkin mereka memilih jalan yang melingkar demi keamanan mereka”
“Mungkin”
Sumangkar memandang kedua bayangan itu
dengan seksama. Semakin lama menjadi semakin dekat. Namun agaknya mereka
belum melihat Sumangkar berdua dengan Tohpati yang sedang duduk.
“Bagaimana kalau mereka orang-orang Pajang paman?”
“Apakah angger akan membiarkannya?”
“Tidak, aku tidak dapat membiarkan mereka
mengetahui kedudukan kami. Aku tidak dapat membiarkan orang-orangku
dihancurkan oleh orang-orang Pajang dalam peperangan”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sudah tentu Tohpati tidak akan berbuat demikian. Tidak akan membiarkan
orang-orangnya hancur disergap oleh lawannya, Betapapun juga.
Maka kalau benar kedua orang itu orang
Pajang, maka kedua orang itu pasti mendapat tugas untuk menyelidiki
pertahanan laskar Jipang.
Sumangkar dan Tohpati kemudian saling
berdiam diri. Bahkan nafas mereka pun seakan-akan mereka tahankan, agar
kehadiran mereka tidak segera diketahui oleh kedua orang itu.
“Kalau orang-orang itu orang Pajang” bisik Tohpati perlahan-lahan sekali, “alangkah beraninya”
Sumangkar mengangguk, tetapi ia tidak menjawab.
“Tetapi aku pasti, mereka bukan orang-orang kita” sambung Tohpati hampir tak terdengar.
Sekali lagi Sumangkar mengangguk.
Dada mereka tiba-tiba berdesir ketika
melihat kedua orang itu berhenti sesaat. Namun kemudian mereka melangkah
kembali. Tetapi mereka kini tidak menuruti arah mereka semula.
Menyilang garis pandangan Tohpati. Jantung Tohpati hampir-hampir
berhenti berdenyut, ketika dilihatnya kedua orang itu berjalan ke
arahnya.
“Mereka kemari” bisik Tohpati.
Sumangkar menerik afas panjang-panjang,
“Tak ada gunanya untuk menyembunyikan diri dan mengintai mereka. Mereka
telah melihat kehadiran kita.”
“Belum tentu. Mungkin suatu kebetulan.”
Sumangkar menggeleng. “Aku yakin.”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Apabila demikian maka kedua orang itu pasti dua orang yang terlalu
percaya kepada diri mereka sendiri, sehingga mereka sengaja
mendatanginya.
Terkaan Sumangkar itu sesaat kemudian
ternyata terbukti. Kedua orang itu berhenti berjalan, dan salah seorang
daripada mereka berkata, “Siapa yang duduk disitu?”
Tohpati menjadi bimbang sesaat.
Ditatapnya wajah Sumangkar untuk mendapatkan pertimbangan. Ketika
Sumangkar menganggukan kepalanya, maka Macan Kepatihan itu pun segera
menjawab, “Aku di sini, siapa kalian?”
“Aku siapa?” desak salah seorang yang berdiri itu.
“Kau siapa?” Jawab Tohpati.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Kedua
orang itu masih tegak seperti patung. Dalam keremangan cahaya
bulan,mereka tempaknya seperti bayangan hitam yang menakutkan.
Tohpati menjadi semakin berdebar-debar ketika kedua orang itu melangkah kembali. Dan bahkan mendekatinya.
“Berhenti” teriak Tohpati, “Kalau tidak, aku akan menyerang kalian dengan senjata jarak jauh.”
“Apa kau membawa panah?” terdengar suara di antara mereka.
“Tulup” sahut Tohpati, “Aku tulup biji
tulupku dengan getah pohon luwing dan bisa serangga. Kalian akan mati
terkena sentuh saja”.
“Jangan terlalu kejam” sahut suara itu pula.
“Karena itu jawab, siapa kalian?”
Tohpati terkejut ketika kemudian
didengarnya suara tertawa berderai. Di antara suara tertawa itu
terdengarlah kata-kata, “Menyerang dengan tulup bukanlah pekerjaan yang
mudah. Bagaimanakah kalau aku berlari melingkar-lingkar.”
Sesaat Tohpati tidak menjawab. sebenarnya
ia tidak membawa tulup. Kalau orang itu berlari melingkar-lingkar, maka
ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jangankan berlari
melingkar-lingkar sedangkan apabila mereka berjalan perlahan-lahan dalam
garis yang lurus sekalipun ia tidak akan dapat menyerang dari jarak
yang jauh. Sebenarnya Tohpati pun tidak perlu menyerangnya dari jarak
yang jauh. Namun ia hanya ingin menggertaknya dan segera mengetahui
siapakah mereka itu. Tetapi ternyata orang itu orang yang berani dan
tidak gentar mendengar ancamannya.
Namun tiba-tiba terasa Sumangkar merebut
tongkat bajanya. Demikian tiba-tiba sehingga Tohpati tidak sempat
menahannya. Sebelum Tohpati itu menyadari, Sumangkar telah meletakkan
ujung tongkat itu di muka mulutnya sambil berjongkok. Dengan suara parau
Sumangkar berteriak, “Nah cobalah. Berlarilah melingkar-lingkar. Salah
seorang dari kalian berdua akan mati. Aku tidak akan memperdulikan yang
seorang lagi.”
Kedua orang yang berdiri beberapa puluh
langkah dari mereka itu pun terdiam. Baru sejenak kemudian terdengar
salah seorang berkata, “Bagus. Kalian benar-benar dapat mempergunakan
tulup. Kalian tidak akan dapat dibingungkan oleh bayangan kami berdua
yang berlari melingkar-lingkar. Tetapi kami benar-benar tidak akan
berbuat jahat terhadap kalian, siapa pun kalian berdua itu.”
“Kalau demikian, sebut namamu” sahut Sumangkar.
Orang itu diam sesaat , dan kemudian
terdengar ia menyebutkan sebuah nama, “Supita, namaku Supita dan kawanku
ini bernama Sukra.”
Sumangkar menarik nafas panjang-panjang.
Bahkan hampir ia tertawa mendengar orang-orang itu menyebutkan namanya.
Sekali ia berpaling memandang wajah Tohpati. Agaknya Tohpati pun
sependapat dengan pikirannya, sehingga karena itu terdengar Tohpati
menjawab lantang, “Namaku Patra dan kawanku bernama Dadi. Nah apakah kau
puas mendengar nama-nama kami?”
Orang itu terdengar tertawa. Suaranya
berderai melingkar-lingkar membentur dinding hutan dan menggema kembali
berulang-ulang. Katanya, “Adakah gunanya kita menyebutkan nama
masing-masing?”
Sumangkar menyahut, “Nama-nama yang kami
sebut, mungkin jauh lebih baik dari nama kalian sebenarnya. Nah apakah
maksudmu datang kemari.”
“Apakah kita dapat berbicara perlahan-lahan” berkata orang itu.
Sumangkar tidak segera menyahut.
Ditatapnya wajah Tohpati seakan-akan menyerahkan segenap persoalan
kepadanya. Namun Tohpati tidak dapat berbuat lain daripada menerima
orang itu. Seandainya orang itu lari sekalipun pasti akan dikejarnya.
Dan kini orang itu bersedia datang kepadanya.
Karena itu, maka Tohpati menjawab tegas, “Datanglah, supaya aku tidak menghajarmu.”
Sekali lagi terdengar salah seorang
daripadanya tertawa. Sejenak kemudian kedua bayangan itu bergerak maju
perlahan-lahan penuh kewaspadaan.
Tohpati dan Sumangkar pun segera berdiri.
Diserahkannya tongkat Tohpati kembali. Tongkat ciri kebesaran,
keperkasaan dan kewibawaan Macan Kepatihan, sehingga kawan maupun lawan
mengenal tongkat itu seperti mengenal pemiliknya sendiri.
Semakin dekat kedua bayangan itu, hati
mereka masing-masing baik yang menunggu maupun yan mendatangi, saling
berdebaran. Semakin dekat, maka wujud masing-masing menjadi semakin
jelas dibawah cahaya keremangan bulan sepotong yang menggantung di
antara bintang-bintang di langit.
Ketika bayangan itu sudah cukup dekat,
maka terdengarlah Tohpati menggeram keras. Selangkah ia maju dan
tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Bayangan itu pun kemudian berhenti
beberapa langkah daripadanya.
Yang terdengar adalah suara Macan
Kepatihan itu parau, “Kau. Kau guru dan murid lereng merapi. He, apa
kerjamu di sini Tambak Wedi?”
Terdengar orang itu, yang tak lain adalah
Ki Tambak Wedi dann Sidanti, menarik nafas perlahan-lahan. Dengan
menganggukkan kepalanya Ki Tambak Wedi menjawab, “Selamat malam angger
Macan Kepatihan. Apakah angger pernah melihat muridku?”
“Hampir kupecahkan dadanya dengan
tongkatku ini kalau paman Widura tidak menyelamatkannya. Nah, sekarang
kalian datang untuk memberi kesempatan kepadaku menyelesaikan pekerjaan
itu?”
“Jangan marah. Dengarlah dulu maksud
kedatangan kami” berkata Ki Tambak Wedi. Sesaat ia berpaling kepada
Sumangkar yang berdiri di belakang Tohpati. Tampaknya alisnya berkerut,
dan dengan ragu-ragu ia berkata, “Adi Sumangkar?”
Sumangkar tertawa pendek. Kini ia maju
selangkah. Goloknya terselip pada ikat pinggangnya. Sambil mengangguk ia
menjawab, “Ya, Kakang Tambak Wedi. Agaknya kakang masih ingat
kepadaku.”
“Ah. Aku tidak akan dapat melupakan kalian. Sepasang murid perguruan Kedung Jati.”
“Huh” potong Tohpati, “Kau juga tidak lupa kepada guruku?”
“Tentu tidak angger. Aku adalah kawan seiring dengan almarhum patih Mantahun.”
“Omong kosong. Kau tinggalkan paman dalam
kesulitan. Bahkan kemudian aku temui muridmu di Sangkal Putung dalam
laskar paman Widura.”
Tambak Wedi terbahak-bahak. Sahutnya,
“Angger keliru. Angger keliru. Muridku berada di Sangkal Putung dengan
tugasnya sendiri. apakah angger tidak mendengar bahwa Untara terluka?”
“Untara?”
Tambak Wedi mengangguk penuh kebanggaan.”Ya, Angger Untara terluka. Hampir-hampir mambawa nyawanya.”
Tohpati mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar ia bertanya, “Apakah hubungan luka Untara itu dengan paman Tambak Wedi?”
“Ada sangkut paut yang erat dengan
perjuanganmu, ngger” jawab Tambak Wedi, “Karena itulah maka aku sengaja
menemuimu. Maksudku aku akan datang keperkemahanmu.”
“Apakah paman Tambak Wedi tahu letak perkemahan kami?”
“Aku tidak tahu tepat. Tetapi aku kira-kira saja letak perkemahan itu.”
Macan Kepatihan menggeram. “Kau sedang memata-matai perkemahan kami untuk kepentingan Untara?”
“Tidak ngger, tidak.” potong Tambak Wedi cepat-cepat. “Aku datang untuk keperluan yang cukup penting.”
“Apa itu?”
“Apakah angger dapat menerima kami di perkemahan angger?”
Tohpati menggeleng. Dengan tegas ia berkata, “Tidak. Di sini paman dapat mengatakan keperluan itu.”
Tambak Wedi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia menjadi kecewa tetapi ia tahu keberatan Macan Kepatihan.
Karena itu ia berkata, “Angger. Luka Untara adalah bukti, bahwa
sebenarnya aku tidak pernah meninggalkan pamanmu patih Mantahun.”
“Apakah hubungannya?”
“Sidanti lah yang melakukannya atas petunjukku.”
Tohpati mengerutkan keningnya. Desisnya,
“Tetapi Untara masih hidup. Ia masih berkeliaran, bahkan sampai ke Benda
dan sekitarnya.”
“Sidanti salah hitung. Disangkanya serangannya berhasil, karena itu tidak diulanginya.”
“Omong kosong. Mungkin benar Sidanti
melukai Untara, sebagai suatu cara untuk berpura-pura mengusir atau
mengejar Sidanti. Sidanti akan lari kepadaku. Namun dalam pada itu,
segala rahasiaku akan jatuh ke tangan Untara.”
“Tidak angger. Tidak. Sebenarnya Untara
dan Sidanti telah bermusuhan. Aku memang memberikan beberapa petunjuk.
Bukankah aku sahabat pamanda kepatihan?”
Tohpati mengerutkan keningnya. Dan
dibiarkannya Tambak Wedi berkata, “Namun sayang. Tugas Sidanti itu tidak
dapat selesai dengan baik.”
“Apa sebabnya Sidanti melukai Untara?”
“Untara adalah pemimpin laskar Pajang di
lereng Merapi ini. Sedangkan lereng Merapi ini adalah Ki Tambak Wedi.
Apalagi Untara adalah lawan sahabat Tambak Wedi, patih Mantahun.”
Tohpati menarik alisnya. Sesaat ia
terdiam. Dicobanya untuk menimbang kata-kata Ki Tambak Wedi. Namun
kemudian terdengar Sumangkar berkata, “Muridmu yang bernama Sidanti itu,
berusaha membunuh Untara karena daerah kekuasaanmu dikuasai pula
olehnya, begitu?”
“Ya. Sebagian begitu.”
“Kalau demikian, maka kalian telah terlibat dalam persoalan kalian sendiri.” sahut Sumangkar.
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya
mendengar kata-kata Sumangkar. Namun sejenak kemudian ia tersenyum
sambil berkata, “Hem, Adi Sumangkar, jangan menarik garis dari
kepentingan yang saling mendorong itu. Aku mendendamnya karena ia berada
di dalam daerah kekuasaanku, tetapi aku tidak akan berbuat demikian
terhadap angger Macan Kepatihan, meskipun angger itu berada di lereng
merapi pula.”
Namun kata-kata itu segera disahut oleh
Tohpati, “Jangan mengelabuhi aku paman. Seorang pimpinan Jipang telah
dibunuh mati oleh Sidanti.”
Hati Sidanti menjadi berdebar-debar
karenanya. Tetapi ia sama sekali tidak ikut campur dalam percakapan itu,
seolah-olah sama sekali tidak mempunyai kepentingan, atau benar-benar
seperti anak-anak yang sedang dibicarakan nasibnya oleh ayah bundanya.
Yang menjawab kemudian adalah Ki Tambak
Wedi, “Ya, angger. Hal itu terpaksa dilakukan. Maksudnya untuk
menghilangkan jejak dibunuhnya Untara, sehingga Sidanti tidak pernah
meninggalkan Sangkal Putung dan dapat berbuat serupa terhadap
pemimpin-pemimpin yang lain”
“Hem” geram Tohpati, “Jadi Sidanti
membunuh Plasa Ireng hanya sekedar untuk mendapat kepercayaan. Jadi
Plasa Ireng itu nilainya tidak lebih dari alat untuk mendapat
kepercayaan. Seandainya demikian, kenapa Sidanti kemudian melukainya
arang kranjang meskipun Plasa Ireng telah terbunuh? Itu benar-benar
suatu kekejaman. Kekejaman yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang
yang beradab. Orang-orangku yang kalian sebut liar itu pun jarang-jarang
yang berbuat demikian.” Sekali lagi Ki Tambak Wedi menarik nafas. Ia
terdorong dalam kesulitan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Meskipun demikian ia tidak segera kehilangan akal, maka katanya,
“Angger, memang sulit untuk menjawab pertanyaan angger. Memang sukar
untuk menjelaskan sikap kami. Tetapi biarlah aku coba urut-urutannya.
Sidanti menggabungkan diri dalam kelaskaran Pajang dan berhasil memilih
Sangkal Putung sebagai daerah garis perangnya, kenapa tidak di tempat
lain? Karena aku yakin bahwa suatu ketika Untara akan hadir di tempat
itu. Kemudian Sidanti akan membunuh pimpinan-pimpinan Pajang itu satu
demi satu tanpa kecurigaan. Baru kemudian setelah selesai pekerjaannya,
ia akan memberitahukan kepada angger. Sebab apabila sebelum itu angger
telah menyadari kedudukan Sidanti, serta orang lain mendengarnya, maka
jiwa Sidanti sendiri akan terancam. Karena itulah, maka Sidanti selalu
berusaha menjadi orang yang tampaknya paling gigih di Sangkal Putung
sebagai usaha untuk menyelubungi dirinya. Tetapi usahanya itu tidak
dapat sempurna. Suatu ketika usaha itu diketahui setelah Untara hampir
mati. Sayang ia dapat sadar kembali dan mengatakan siapa yang telah
berusaha untuk membunuhnya. Nah sekarang tidak ada lagi cara lain untuk
berjuang selain melalui garis perang yang langsung berhadapan. Karena
itu Sidanti aku bawa kemari. Mungkin dapat angger pergunakan untuk ganti
yang telah terbunuh itu.”
Tohpati mendengarkan kata-kata Tambak
Wedi itu dengan wajah yang tegang. Sepercik harapan timbul di dalam
hatinya. Mungkin Sidanti tidak benar-benar seperti apa yang dikatakan
oleh Ki Tambak Wedi itu, namun dengan hadirnya Sidanti di perkemahannya,
pasti akan mengurangi kekuatan Sangkal Putung. Mungkin ia masih harus
mencoba kesetiaannya sekali dua kali dengan pangawasan yang ketat. Namun
apabila kemudian ternyata kata-kata Tambak Wedi itu benar, maka ia akan
mendapat kekuatan baru di samping berkurangnya kekuatan di Sangkal
Putung.
Tetapi tidak demikian yang terlintas
diotak Sumangkar. Ia tidak dapat menerima Sidanti apa pun alasannya. Ia
tidak mau melihat Sidanti mengkhianati Tohpati. Menusuk dari belakang
atau perbuatan apa pun yang akan mencelakakannya. Tetapi seandainya
Sidanti benar-benar ingin bekerja sama dengan Tohpati pun sama sekali
tidak dikehendakinya. Dengan demikian maka peperangan ini akan semakin
riuh. Dengan kekuatan baru mungkin Tohpati akan melupakan
persoalan-perasoaan yang sudah timbul di dalam kepalanya. Hal itu akan
menghanyutkan kejemuannya terhadap perang, seandainya ia mendapat
kemenangan baru saat-saat terakhir nanti. Dengan demikian penderitaan
akan berjalan semakin lama. Usaha yang sia-sia dan putus asa ini pun
akan berjalan semakin lama pula. Korban yang berjatuhan akan menjadi
semakin banyak. Korban-korban dari mereka yang sama sekali tidak tahu
sudut tepinya peristiwa antara Pajang dan Jipang.
Karena itu, ketika diketahuinya Tohpati
menjadi ragu-ragu maka Sumangkar itu pun menjadi cemas. Sehingga ketika
Tohpati tidak segera menjawab, berkatalah Sumangkar sambil tertawa
lirih, “Sebuah dongeng yang bagus Kakang Tambek Wedi.”
Tambak Wedi terkajut mendengar tanggapan
Sumangkar itu. Karena itu, maka segera wajahnya menjadi tegang. Suaranya
pun menjadi tegang pula. Katanya, “Adi Sumangkar. Apakah adi tidak
percaya pada muridku, murid Ki Tambak Wedi.”
“Kakang, bagaimana aku akan percaya.
Ingatkah kakang apa yang telah kakang lakukan pada saat-saat ki Patih
Mantahun terjepit antara dua pasukan Pajang yang kuat, yang dipimpin
langsung oleh Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, segera sepeninggal Arya
Penangsang. Alangkah ngerinya. Patih itu berjuang mati-matian tanpa
mengenal takut meskipun usianya telah lanjut. Nah, apa kerjamu waktu itu
Ki Tambak Wedi? Seandainya kau tidak meninggalkannya waktu itu,
setidak-tidaknya Patih Mantahun akan dapat meloloskan dirinya.”
Wajah Tambak Wedi menjadi merah semerah
bara. Untunglah malam yang remang-remang telah melindunginya, sehingga
perubahan wajah itu tidak segera diketahui oleh Tohpati. Namun demikian
terasa dadanya bergetar dan suaranya pun gemetar pula. “Adi. Adi terlalu
berparasangka. Aku sudah menasehatkan untuk meninggalkan pertempuran
kepada kakang Mantahun waktu itu. Tetapi ia menolak.”
Mendengar jawaban Tambak Wedi Sumangkar
tertawa. Dengan menengadahkan wajahnya ia berkata, “Kata-katamu aneh
kakang. Pada saat perang antara Jipang dan Pajang pecah, setelah Arya
Penangsang gagal membunuh Karebet karena ia memiliki Aji Lembu Sekilan,
maka kau hampir-hampir tak pernah tampak lagi di Kepatihan Jipang.
Apalagi setelah laskar Jipang terdesak dan Arya Penangsang terbunuh.
Sehingga tidak mungkin kau berada di sekitar Kakang Mantahun pada saat
menjelang ajalnya. Ketahuilah, bahwa Kakang Mantahun meninggal dalam
pangkuanku, setelah menyingkir dari peperangan. Namun laskar Pajang
berhasil merebut jenazahnya.”
Tubuh Tambak Wedi menjadi gemetar menahan
marah. Meskipun demikian ditenangkannya hatinya sejauh mungkin. Ia
masih mengharap Macan Kepatihan menerima muridnya. Karena itu, maka
katanya, “Angger Macan Kepatihan, terserahlah dalam penilaian angger.
Tetapi kalau angger mau bekerja bersama Sidanti, maka aku janjikan bahwa
tenagaku akan aku serahkan pula. Angger pasti percaya, bahwa Untara,
Widura, Agung Sedayu dan siapa lagi, biarlah mereka maju bersama-sama,
maka mereka akan terbunuh olehku, asal laskar Jipang membebaskan aku
dari laskar Pajang yang pasti akan membantu pemimpin-pemimpinnya”
Dentang jantung Tohpati seakan-akan
menjadi semakin cepat. Sekali-sekali dipalingkannya wajahnya memandang
Sumangkar, namun Sumangkar tidak sedang memandangnya. Bahkan Sumangkar
itu agaknya benar-benar menyerahkan persoalan itu kepadanya. Namun
percakapan Ki Tambak Wedi dan Sumangkar telah memberinya banyak bahan.
Dikenangnya apa yang pernah dilakukan oleh Ki Tambak Wedi itu atas
gurunya, Patih Mantahun. Dikenangnya pula saat Sidanti datang
menyongsongnya, benar-benar bukan sedang bermain-main. Dikenangnya
bentuk mayat Plasa Ireng yang sobek di punggungnya arang kranjang. Ya,
dikenangnya semuanya. Sehingga kemudian Tohpati itu menjawab, “Paman
Tambak Wedi, aku tidak dapat percaya, bahwa Sidanti akan melakukan
kerjasama yang jujur. Pada saat Adipati Jipang sedang berusaha merebut
kekuasaan dengan kekuatan yang agaknya cukup, paman berada di pihak
kami. Tetapi demikian Jipang terdesak oleh kekuatan Pajang yang tak
terduga-duga, murid paman itu berada di pihak Pajang. Apakah sekarang
ada persoalan baru yang telah menyebabkan Sidanti berbalik pendirian
lagi?”
“Sudah aku katakan sebabnya ngger, bukan benar-benar berpihak pada Untara”
Tohpati menggeram, kemudian katanya
sambil menggeleng, “Aku semakin yakin, bahwa kejujurannya tidak dapat
dipercaya. Mungkin ia berselisih dengan Untara atau dengan Widura.
Jangan disangka bahwa aku akan terjebak”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram
keras. Tubuhnya menjadi semakin gemetar oleh kemarahannya yang semakin
memuncak. Namun lebih dari Ki Tambak Wedi yang sudah tua itu, Sidanti
tidak dapat melawan kemarahannya. Karena itu dengan lantang ia
mendahului gurunya, “Guru. Kenapa kita harus mengemis belas kasihannya?”
Mendengar kata-kata Sidanti itu, maka
telinga Macan Kepatihan serasa tersentuh api. Sekali ia menggeretakkan
giginya, kemudian setapak ia melangkah maju sambil menunjuk wajah
Sidanti, “Kau ternyata lebih jantan dari gurumu. Nah, sekarang
bersikaplah jantan untuk seterusnya”
“Baik” sahut Sidanti dengan beraninya.
Diangkatnya dadanya sambil berkata, “Aku juga memiliki harga diri,
Tohpati yang perkasa. Jangan disangka, bahwa hidup matiku ada di
tanganmu”
Ki Tambak Wedi pun kemudian telah
benar-benar kehilangan setiap kesempatan untuk menggabungkan Sidanti
pada kekuatan Tohpati untuk membalas dendam kepada Untara beserta
laskarnya. Alangkah kecewanya ketika semua rencananya dapat ditebak oleh
Sumangkar, dan karena itu, maka di dalam hatinya, Ki Tambak Wedi itu
mengumpat tiada habisnya. Diumpatinya Sumangkar, dan bahkan Ki Tambak
Wedi itu berjanji, bahwa Sumangkar itu harus dilenyapkannya. Kini
muridnya telah kehilangan kesabaran dan merasa tersinggung harga
dirinya. Maka keadaan akan dapat berkembang ke arah yang tidak
dikehendakinya. Namun ia tidak perlu pengkhawatirkan Sidanti. Selama ini
anak muda itu telah ditempanya terus menerus. Mudah-mudahan telah
dicapainya suatu tingkatan yang dapat menyamai Macan Kepatihan itu.
Bukankah pada saat mereka bertempur di Sangkal Putung, kekuatan mereka
tidak terpaut terlalu banyak. Ki Tambak Wedi itu pun bahkan dengan
bernafsu mendorong muridnya untuk masuk kedalam pertengkaran yang lebih
dalam, sehingga ia akan mendapat kesempatan untuk membinasakan Sumangkar
yang telah merusak segenap rencananya.
Macan Kepatihan itu pun menjadi marah
bukan buatan. Tangannya pun kemudian menjadi gemetar dan dengan
serta-merta ia berkata, “Siapkan senjatamu. Tohpati akan mengayunkan
tongatnya pada gerakan yang pertama”
Sidanti tidak menjawab. selangkah ia
meloncat ke samping, ditatapnya Tohpati dengan tajamnya, dan tiba-tiba
kedua tangannya telah menggenggam dua belah pedang pendek.
Dalam pada itu Ki Tambak Wedi berkata,
“Angger Tohpati, aku tidak mengharapkan perkelahian ini. Tetapi aku
tidak dapat menyalahkan muridku. Sebagai murid lereng Merapi, ia tidak
akan bersedia menelan hinaan”
“Persetan” sahut Tohpati, “Dengan membunuhmu maka aku akan mengurangi kekuatan Sangkal Putung”
Sidanti sama sekali tidak berkata apapun. Kedua pedangnya bersilangan di muka dadanya.
Namun Tohpati masih juga menggeram, “Manakah senjatamu yang mengerikan itu?”
Sidanti masih tetap diam. Hanya di dalam
hatinya ia berkata, “Peduli apa kau dengan senjata yang tertinggal di
Sangkal Putung itu. Tetapi ternyata aku cukup kuat dengan senjata yang
sepasang ini sekuat senjata yang aneh itu”
Kediaman Sidanti benar-benar telah
membangkitkan luapan kemarahan Tohpati tiada taranya. Karena itu segera
ia meloncat dan menyerang Sidanti dengan tongkat baja putihnya.
Tohpati Sidanti telah benar-benar
bersiap. Ketika tongkat baja Tohpati terayun kekepalanya, Sidanti sama
sekali tidak berkisar dari tempatnya. Sidanti itu telah pernah bertempur
dengan Tohpati sehingga kekuatan Tohpati telah diketahuinya.
Sidanti yakin bahwa selama ini Tohpati
pasti tidak akan sempat memperdalam ilmunya, selain yang telah
dimilikinya. Karena itu sengaja ia tidak mengelak, tetapi dibenturnya
serangan itu dengan kedua pedang pendeknya. Dengan pedang itu Sidanti
ingin menunjukkan, bahwa kini kekuatannya tidak lagi seperti beberapa
waktu yang lalu, setelah dengan tekun ia melatih diri sejak ia
meninggalkan Sangkal Putung. Lukanya yang tidak terlalu parah segera
dapat disembuhkan oleh Ki Tambak Wedi. Dalam pada itu Sidanti yang
menyimpan dendam di hatinya, segera berusaha untuk menambah ilmunya.
Dendam kepada Untara dan orang-orang Sangkal Putung itu harus
ditumpahkan.
Kini tiba-tiba Sidanti menemukan lawan
yang tidak disangka-sangka. Namun lawan ini pun sedahsyat orang yang
didendamnya. Karena itu maka disadarinya, bahwa ia harus berjuang
sekuat-kuat tenaganya.
Ketika tongkat baja putih Tohpati
membentur kedua pedang pendek Sidanti, terdengarlah gemerincing
senjata-senjata itu. Suaranya membelah sepi malam, membentur ujung
rimba. Demikian dahsyatnya sehingga bunga-bunga api memercik ke udara.
Tohpati terkejut mengalami benturan
senjata itu. Apalagi ketika dilihatnya Sidanti tetap di tempatnya, dan
kedua senjatanya masih di tangannya. Bahkan kemudian terdengar anak muda
murid Ki Tambak Wedi itu menggeram.
Alangkah marahnya Macan Kepatihan. Terasa
bahwa kekuatan Sidanti telah meningkat. Anak muda itu kini dapat
mengimbangi kekuatannya yang disalurkan pada ayunan tongkat putihnya.
Namun apa yang terjadi adalah suatu peringatan baginya, bahwa lawannya
kini bukanlah Sidanti beberapa saat yang lampau.
Meskipun demikian, sebenarnya tangan
Sidanti yang melawan tongkat baja putih Macan Kepatihan, merasakan arus
kekuatan yang hampir melontarkan pedang-pedangnya. Namun dengan
menggeretakkan giginya, ia berhasil menahan senjata-senjata itu,
meskipun tangannya terasa nyeri. Dengan demikian, maka Sidanti merasa,
bahwa kekuatan Macan Kepatihan masih belum dapat dikembarinya, namun ia
masih dapat membanggakan kelincahannya dan ketajaman ujung pedangnya.
Dengan sentuhan-sentuhan kecil, ia akan dapat merobek kulit Macan
Kepatihan itu. Namun apabila ia tersentuh kepala tongkat Tohpati yang
kekuning-kuningan dan berbentuk tengkorak itu, maka tulang-tulangnya pun
akan dipecahkan.
Demikianlah maka mereka segera terlibat
dalam sebuah perkelahian yang sengit. Sidanti yang lincah
meloncat-loncat di sekitar lawannya, seakan-akan bayangan hantu yang
sedang menari-narikan sebuah tarian maut. Namun lawannya adalah seekor
harimau yang garang. Betapa Macan Kepatihan itu dengan tangguhnya
melawan sambaran-sambaran pedang Sidanti. Dilindunginya dirinya dengan
tongkat putihnya, dan sekali-sekali tongkatnya terjulur mematuk tubuh
lawannya. Namun Sidanti benar-benar seperti bayangan yang tidak dapat
disentuhnya.
Perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin cepat. Macan Kepatihan yang garang itu pun menjadi semakin
garang, sedang Sidanti yang lincah menjadi semakin lincah. Kedua
senjatanya dengan cepatnya menyambar seakan-akan dari segala penjuru.
Dengan kelincahannya, sekali-sekali ujung pedangnya berhasil menyentuh
tubuh Tohpati meskipun hanya seujung rambut. Namun ujung rambut yang
runcing itu telah berhasil menggores kulit dan bahkan telah berhasil
meneteskan darah. Tetapi darah yang menetes dari luka itu bahkan telah
membakar kemarahan Tohpati. Wajahnya yang membara seakan-akan menyala
dalam kegelapan. Sehingga tandangnya pun menjadi semakin dahsyat.
Ki Tambak Wedi untuk sesaat berdiri
mematung melihat muridnya bertempur. Mula-mula ia masih juga ragu-ragu,
apakah Sidanti dapat mengimbangi Tohpati. Namun kemudian Ia tersenyum.
Ia telah menemukan timbang-berat keduanya. Meskipun Sidanti belum dapat
menyamai Tohpati sepenuhnya, namun masih dapat diharapkan, Tohpati
berbuat kesalahan-kesalahan kecil yang dapat membantu Sidanti Seandainya
tidak sekalipun, maka ia tidak perlu terlalu cemas, bahwa muridnya akan
dikalahkan oleh lawannya.
Ki Tambak Wedi itu kemudian
mengangguk-angguk sambil bergumam, “Itulah murid Ki Tambak Wedi. He, adi
Sumangkar, apakah aku tidak berbangga karenanya?”
Sumangkar yang memperhatikan perkelahian
itu berpaling. Jawabnya, “Ya, kakang dapat berbangga karenanya. Umurnya
masih cukup muda, sehingga perkembangannya dihari depan akan menjadi
semakin menggemparkan lereng Merapi”
Ki Tambak Wedi tertawa pendek. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya terus ia berkata, “Siapakah yang akan
menang di antara mereka?”
“Aku tidak tahu” jawab Sumangkar pula.
“Mereka memiliki kelebihan sendiri-sendiri. Meskipun demikian, muridmu
masih harus belajar sebulan dua bulan lagi dengan tekun, supaya ia dapat
mensejajarkan diri dengan angger Macan Kepatihan sepenuhnya. Tetapi
meskipun demikian, bukan berarti muridmu kehilangan kesempatan untuk
memenangkan perkelahian ini”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya.
Perkelahian di antara keduanya masih berjalan dengan serunya. Bahkan
semakin seru. Seperti angin pusaran mereka berputar-putar. Tetapi
semakin seru perkelahian itu semakin nampak, bahwa sebenarnya Tohpati
adalah seorang yang pilih tanding.
“Kau lihat perkembangan perkelahian itu?” bertanya Sumangkar.
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya
kembali sambil menjawab, “Apakah kau sedang bergembira karena kau
melihat kelemahan muridku?”
“Ya” sahut Sumangkar pendek.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi tertawa. Tertawa
berkepanjangan dan sangat menyakitkan telinga. Di antara suara
tertawanya terdengar ia berkata, “Meskipun tampak kekurangan pada
muridku, namun ia akan mempunyai cukup waktu untuk menanti aku
membunuhmu, adi”
Mendengar suara tertawa dan kata-kata Ki
Tambak Wedi, Sumangkar berpaling. Dilihatnya Ki Tambak Wedi masih
tertawa dan memandang muridnya yang sedang bertempur itu. Namun
Sumangkar sama sekali tidak terkejut.
“Kau mendengar kata-kataku adi?” tiba-tiba Ki Tambak Wedi berteriak, “Bahwa aku akan membunuhmu?”
Sumangkar mengangguk perlahan, “Ya, aku mendengar” sahutnya.
Namun ancaman Ki Tambak Wedi itu telah
mempengaruhi Macan Kepatihan yang sedang bertempur dengan Sidanti,
sehingga sambil mengayunkan tongkatnya dengan dahsyatnya ia menggeram,
“Ki Tambak Wedi, biarlah aku menyelesaikan persoalan ini dengan Sidanti.
Paman Sumangkar tidak akan ikut campur dalam hal ini”
“Benar ngger, pamanmu Sumangkar tidak
ikut campur dalam persoalan ini, tetapi ia pasti menghalangi aku
seandainya aku ingin membunuh angger pula bersama-sama dengan muridku.
Karena itu maafkan aku ngger. Aku terpaksa membunuhnya. Sesudah itu
untuk membunuh Angger Macan Kepatihan yang perkasa akan mejadi semudah
seperti membunuh seekor kelinci. Biarlah aku mendapat bintang jasa di
dada, atau lebih baik Sidanti yang akan menyebut dirinya telah membunuh
Macan Kepatihan. Kepala angger akan kami bawa sebagai bukti pekerjaan
yang telah dilakukan oleh Sidanti. Besok Sidanti akan menerima anugerah
pangkat Senapati dari Wiratamtama Pajang. Kalau mereka yang membunuh
Adipati Jipang mendapat Mentaok dan Pati, maka kami akan memilih daerah
di sebelah barat Mentaok, atau daerah Wanakerta di sebelah Pajang. Dari
daerah-daerah itu kami akan dapat menguasainya, atau apabila kami
mendapat Wanakerta, kami akan langsung menembus jantung Pajang”
“Diam” teriak Tohpati keras sekali.
Suaranya mengguntur menyobek kepekatan malam yang sunyi. Namun suara itu
ditimpa oleh gelak tertawa Ki Tambak Wedi, “Bukankah itu suatu rencana
yang bagus? Aku lebih berpijak pada kenyataan daripada angger Tohpati.
Siapakah yang akan dapat mengalahkan Pemanahan, Penjawi dan Adipati
Jipang itu di dalam laskar angger? Ki Tambak Wedi akan dapat menepuk
dada melawan mereka. Karena itu jangan menyesal”
“Persetan dengan ocehanmu Tambak Wedi.
Tetapi kau benar-benar setan yang licik. Ayo, majulah bersama Sidanti,
Macan Kepatihan bukan seorang pengecut”
Suara Ki Tambak Wedi semakin
berkepanjangan. Katanya, “Nah, kenapa angger menolak uluran tangan kami?
Kalau kami bekerja bersama, bukankah kami dapat membagi tanah Demak
ini? Angger mendapat Jipang, dan kami mendapat Pajang dan Demak beserta
daerah pesisir lainnya”
“Kau jangan banyak bicara pemimpi tua.
Jipang bukanlah tempat orang-orang yang hanya dapat mengantuk dan mimpi
seperti kau. Jipang mempunyai cukup kekuatan untuk melawanmu. Apalagi
Tohpati sendiri mampu membunuh kau berdua sekarang ini”
“Jangan sombong ngger, jangan membual.
Semakin banyak kau membual, semakin tampak bahwa kau menjadi berputus
asa menjelang saat kematianmu yang nista”
Mendengar hinaan itu Macan Kepatihan
menjadi marah bukan buatan. Namun karena itu, maka tandangnya menjadi
terganggu. Dalam pada itu Sidanti mempergunakan saat itu sebaik-baiknya,
menyerang dengan segenap kemampuan dan kelincahannya.
Macan Kepatihan menggeram keras sekali
untuk melepaskan kemarahan yang seolah-olah akan meledakkan dadanya.
Apalagi suara tertawa Ki Tambak Wedi masih saja mengganggunya.
Namun Di sela suara tertawa Ki Tambak
Wedi itu kemudian terdengar Sumangkar berkata, “Angger Tohpati, kenapa
angger menjadi gelisah sehingga murid Tambak Wedi itu mendapat
kesempatan untuk memperpanjang nafasnya? Dalam pengamatan kami Raden,
maka Sidanti benar-benar sudah hampir mati terjepit oleh kekuatan
tongkat angger. Namun karena angger terganggu oleh suara Ki Tambak Wedi,
maka Sidanti itu mampu bernafas kembali”
Sekali lagi Tohpati menggeram. Kata-kata
Sumangkar telah memperingatkannya, bahwa ia telah berbuat kesalahan.
Namun dalam pada itu kembali suara Ki Tambak Wedi, “Suatu peringatan
yang baik. Peringatan yang terakhir dari adi Sumangkar. Setelah ini maka
adi akan mati aku cekik, dan angger Tohpati akan mati pula untuk
kemudian aku penggal lehernya”
Kembali kegelisahan merambat di hati
Tohpati. Namun kemudian Sumangkar berkata lantang kepada Tohpati,
“Jangan hiraukan aku ngger. Bukankah aku seorang juru masak yang baik?
Karena itu aku selalu membawa golok pembelah kayu ini. Namun sebagai
murid Kedung Jati, sebagai saudara seperguruan Patih Mantahun, maka
golok ini akan dapat aku pergunakan untuk membelah dada Ki Tambak Wedi
yang sombong. Bukankah Sumangkar murid kedua dari perguruan Kedung Jati
yang tidak kalah besarnya dari perguruan lereng Merapi?”
“Setan” desis Ki Tambak Wedi. Kini Ki
Tambak Wedi itu tidak tertawa lagi. Diamat-amatinya wajah Sumangkar di
dalam keremangan cahaya bulan. Wajah itu masih tenang setenang awan yang
berlayar lembut dikebiruan langit, “Kau merasa dirimu setingkat dengan
Ki Tambak Wedi?”
Sumangkar tidak menghiraukan pertanyaan
itu, namun kepada Tohpati ia berkata, “Cekiklah Sidanti itu Raden.
Sementara itu biarlah aku akan menyumbat mulut pemimpi tua itu dengan
golokku”
Ternyata kata-kata Sumangkar itu memberi
juga ketenangan pada Macan Kepatihan. Disadarinya kemudian, bahwa
Sumangkar adalah saudara seperguruan gurunya sendiri, sehingga karena
itu Macan Kepatihan itu tersenyum sendiri atas kegelisahan yang
mencengkam dadanya. Kenapa ia mencemaskan nasib Sumangkar juru masak
yang malas itu? Ia bukan seorang juru masak kebanyakan. Ia adalah
seorang murid dari perguruan Kedung Jati seperti juga gurunya sendiri.
Patih Mantahun yang sakti.
Dalam pada itu terdengar Ki Tambak Wedi
berkata, “Cecurut yang malang. Kau benar-benar jemu untuk hidup.
Bukankah Ki Tambak Wedi telah terkenal mampu menangkap angin?”
Sumangkar tersenyum, jawabnya, “Perguruan
Kedung Jati terkenal karena murid-muridnya mampu menyimpan nyawa
rangkapan di dalam tubuhnya”
Ki Tambak Wedi menggeram penuh kemarahan.
Apalagi ketika dilihatnya bahwa Macan Kepatihan telah menemukan
keseimbangannya kembali. Sehingga karena itu maka katanya, “Kau juga
pandai membual adi Sumangkar. Kalau murid Kedung Jati dapat menyimpan
nyawa rangkap di dalam tubuhnya, maka Patih Mantahun itu tidak akan mati
terbunuh meskipun harus bertempur melawan Ki Gede Pemanahan dan Ki
Penjawi atau Ki Juru Mertani ditambah Hadiwijaya dan Ngabehi Loring
Pasar”
Sumangkarlah yang kini tertawa
menyakitkan hati. Dengan renyah ia menjawab, “Kau salah kakang. Mantahun
waktu itu hanya membawa nyawa rangkap tiga. Tetapi ia benar-benar harus
melawan lima orang sekaligus, Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, Karebet,
Juru Mertani dan Sutawijaya dengan Kiai Plered di tangannya. Nah, karena
itulah maka ketiga nyawanya terpaksa dilepaskan”
“Setan belang” umpat Ki Tambak Wedi, “Jangan banyak bicara. Sekarang kau harus dienyahkan”
Sumangkar memutar tubuhnya menghadap Ki
Tambak Wedi yang memandanginya seolah-olah biji matanya akan meloncat
dari kepalanya. Namun Sumangkar masih tetap dalam ketenangan. Ia tahu,
bahwa Ki Tambak Wedi adalah seorang yang sakti pilih tanding. Tetapi ia
tidak bernafsu untuk mengalahkannya. Ia hanya harus bertahan, sampai
Macan Kepatihan menyelesaikan tugasnya. Setelah itu, maka ia akan dapat
menghindar bersama-sama dengan Macan Kepatihan. Dan ia mengharap bahwa
ia akan mampu melakukannya, bertahan melampaui ketahanan Sidanti melawan
Macan Kepatihan.
Karena itu ketika Ki Tambak Wedi
memakinya sekali lagi, berkatalah Sumangkar, “Kakang, aku sudah siap.
Kali ini aku pun membawa nyawa tiga rangkap. Ayo mulailah. Kalau kau
berhasil membunuh aku satu kali, maka kedua nyawaku yang lain akan mampu
mencekik lehermu itu”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Sekali ia
menggeram dan dengan dahsyatnya ia meloncat menerkam Sumangkar. Namun
Sumangkar sudah siap. Meskipun ia belum merasa perlu untuk mempergunakan
senjata, namun goloknya tidak dapat diletakkannya dan tidak dapat terus
disangkutkannya pada ikat pinggangnya karena tidak berwrangka. Karena
itu maka sambil menghindar ia berkata, “Kakang, sebenarnya aku sama
sekali tidak menganggap perlu mempergunakan senjata ini. Namun terpaksa
aku harus memeganginya terus supaya senjata ini tidak hilang apabila aku
letakkan. Sebab aku sekarang adalah seorang juru masak. Aku perlu golok
ini untuk membelah kayu bakar”
Tetapi Sumangkar itu terkejut ketika
terasa goloknya menyentuh benda keras di tangan Ki Tambak Wedi. Barulah
kini ia sadar. Di dalam kedua tangan hantu lereng Merapi itu tergenggam
sepasang gelang-gelang besi. Dengan gelang-gelang itu Ki Tambak Wedi
menyambar golok Sumangkar. Namun untunglah Sumangkar cepat menyadarinya,
sehingga goloknya tidak terloncat dari tangannya. Dengan demikian, maka
Sumangkar tidak dapat lagi berkelahi sambil membual. Ia harus
benar-benar bertempur dengan segenap kewaspadaan dan kemampuan yang ada
padanya.
Maka dalam keremangan cahaya bulan,
tampaklah dua lingkaran perkelahian yang semakin lama menjadi semakin
sengit. Ki Tambak Wedi yang menjadi amat marah itu pun bertempur dengan
darah yang seolah-olah menyala membakar seluruh tubuhnya. Sumangkar itu
adalah sumber kegagalannya malam ini. Kegagalan atas rencananya. Dan
kegagalan itu membuatnya sangat marah. Karena itu, maka Ki Tambak Wedi
pun segera berusaha untuk menyingkirkan Sumangkar supaya muridnya dapat
membunuh Tohpati meskipun ia harus membantunya. Pikirannya yang
tiba-tiba saja timbul untuk membunuh Tohpati dan membawa bukti kematian
itu ke Pajang, sangat mempengaruhinya. Dengan demikian ia ingin Sidanti
akan mendapat kepercayaan melampaui kepercayaannya yang telah didapat
Untara, sebab apabila ia berhasil, maka telah membawa bukti kesetiannya,
sedang Untara dan Widura yang telah berjuang berbulan-bulan di Sangkal
Putung sama sekali tidak mampu menangkap Macan Kepatihan hidup atau
mati.
Tetapi Sumangkar ternyata bukan seorang
yang bermalas-malasan saja. Ketika lawannya menjadi semakin dahsyat,
maka gerakannya pun menjadi semakin tangguh. Ternyata murid kedua dari
perguruan Kedung Jati itu tidak mengecewakan. Ketika terasa olehnya
bahwa kedua tangan Ki Tambak Wedi seakan-akan terbalut oleh selapis
baja, maka Sumangkar tidak lagi segan-segan mempergunakan goloknya.
Meskipun golok itu golok pembelah kayu yang tidak setajam pedang
Sidanti, namun di tangan Sumangkar senjata itu merupakan senjata yang
cukup berbahaya.
Bulan di langit beredar dengan lambannya.
Sepotong-sepotong awan mengalir keutara dihembus angin lembah yang
lembut. Betapa dinginnya malam namun keempat orang yang sedang berjuang
antara hidup dan mati itu telah basah oleh keringat yang mengalir dari
segenap lubang-lubang dipermukaan kulit mereka. Dan ketika tubuh-tubuh
mereka telah menjadi basah, maka gerak mereka pun menjadi semakin cepat
dan semakin lincah.
Sidanti kini benar-benar telah menemukan
nilai-nilai baru di dalam tata geraknya. Unsur-unsur yang dapat
memberinya kekuatan dan kelincahan. Kakinya melontar-lontar dengan
cepatnya membawa tubuhnya yang seakan-akan tidak memiliki berat. Seperti
seonggok kapuk yang diputar angin pusaran, sekali melenting tinggi,
kemudian menukik menyambar dengan sepasang pedang pendeknya.
Tohpati kini terpaksa melawannya dengan
sepenuh kemampuannya. Bahkan kadang-kadang ia menjadi bingung melihat
gerak Sidanti. Tetapi Macan Kepatihan adalah seorang yang memiliki
pengalaman yang sangat luas, sehingga sesaat kemudian ia telah berhasil
menemukan keseimbangannya kembali. Meskipun terasa juga, kadang-kadang
ujung pedang Sidanti berhasil menggores kulitnya dan meneteskan
darahnya, namun kini ia tidak menjadi cemas. Apabila sekali ia mencoba
melihat perkelahian antara Ki Tambak Wedi dan Sumangkar, maka terasa
olehnya, bahwa keduanya pun mempunyai ilmu yang dapat disejajarkan,
sehingga karenanya maka ia tidak perlu memecah perhatiannya, mencemaskan
nasib Sumangkar. Demikianlah, mereka berempat telah memeras tenaga
masing-masing. Ki Tambak Wedi terpaksa mengakui, bahwa murid kedua
perguruan Kedung Jati benar-benar mampu melawannya. Meskipun senjata
yang dipergunakan bukanlah senjata ciri perguruan Kedung Jati, namun
senjata seadanya itu benar-benar dapat membantu Sumangkar memperpanjang
umurnya.
Golok yang kehitam-hitaman di tangannya
itu, berputaran, sekali mematuk, sekali menebas menyambar seperti hendak
menebang roboh tubuh Ki Tambak Wedi itu. Namun hampir disetiap
kesempatan Ki Tambak Wedi dengan beraninya memukul golok lawannya dengan
tangannya yang terlindung oleh sepasang gelang baja. Dalam
benturan-benturan yang terjadi itu, maka menyalalah bunga api memercik
ke udara. Setiap kali terjadi benturan, senjata Sumangkar, golok
pembelah kayunya mengalami luka dibagian tajamnya, sehingga kemudian
mata golok yang memang bukan senjata buatan khusus itu, menjadi semacam
mata gergaji. Namun dengan demikian, maka setiap goresan akan mampu
menyobek kulit dengan bekas yang tersayat-sayat.
Ki Tambak Wedi pun kemudian terpaksa
berjuang dengan sengitnya untuk segera mengalahkan Sumangkar. Namun
Sumangkar tidak mau menerima keadaan dengan kedua tangan ngapurancang,
Tetapi sepasang tangannya berjuang sekuat-kuat tenaganya, tenaga murid
kedua perguruan Kedung Jati. Goloknya kadang-kadang menyambar dalam
genggaman tangan kanannya, namun kemudian mematuk dalam kelincahan
tangan kirinya.
“Demit, tetekan” Ki Tambak Wedi tak
habis-habisnya mengumpat. Tetapi lawannya sama sekali tidak takut
mendengar umpatan itu, bahkan dengan serunya Sumangkar melawannya tanpa
mengenal lelah.
Keduanya adalah orang-orang sakti yang
pilih tanding. Keduanya adalah orang-orang tua yang telah hampir merasa
dirinya harus beristirahat dan menyerahkan segala persoalan kepada
mereka yang masih muda. Namun pada saat-saat terkhir, mereka masih harus
melindungi anak-anak muda yang mereka anggap akan dapat meneruskan umur
mereka. Ki Tambak Wedi, seorang guru yang terlalu bangga akan muridnya
dan terlalu jangkaunya, sedang Sumangkar melihat Tohpati adalah penerus
perguruannya, lewat kakak seperguruan. Karena itu maka seandainya anak
muda itu lenyap, lenyap pulalah ajaran-ajaran perguruan Kedung Jati yang
pernah terkenal karena orang menyangka bahwa murid-murid perguruan
Kedung Jati tidak dapat mati, karena memiliki nyawa rangkap. Sedang
perguruan lereng Merapi yang terkenal seakan-akan setiap muridnya mampu
menangkap angin.
Di pihak lain, Sidanti bertempur dengan
sepenuh tekad melawan Macan Kepatihan. Kali ini ia akan menebus
kekalahannya pada saat ia berhadapan dengan Macan Kepatihan itu. Seperti
juga gurunya, ia benar-benar ingin membunuh Tohpati. Membawa kepalanya
ke Pajang dan mengharap hadiah daripadanya, seperti hadiah yang akan
diterima oleh mereka yang berhasil membunuh Arya Penangsang, tanah
mentaok dan Pati. Kalau ia membunuh Macan Kepatihan, maka
setidak-tidaknya ia akan menerima hadiah separo dari mereka yang
membunuh Arya Penangsang.
Dengan harapan itu, serta pangkat yang akan melampaui pangkat Untara, maka Sidanti berjuang sekuat-kuat tenaganya.
Namun ternyata Macan Kepatihan tidak
menyerahkan lehernya begitu saja. Bahkan semakin lama Tohpati
seakan-akan menjadi semakin segar. Tongkatnya menjadi semakin cepat
bergerak menyambar-nyambar seperti burung garuda yang bertempur di
udara.
Mula-mula Sidanti berbangga dengan
kemenangan-kemenangan kecilnya. Ketika sekali dua kali ujung pedangnya
mampu meneteskan darah dari tubuh Tohpati. Namun kemudian terasa, bahwa
kulitnya pasti menjadi merah biru pula. Setiap sentuhan ujung tongkat
Macan Kepatihan yang berbentuk tengkorak itu, seakan-akan benar-benar
memecahkan tulangnya. Meskipun ia selalu dapat menghindarkan dirinya
dari benturan langsung, atau dengan sepasang senjatanya menghentikan
ayunan tongkat lawannya, namun terasa tongkat itu menyengat-nyengat
tubuhnya semakin lama semakin sering. Sehingga dengan demikian, maka
Sidanti kemudian tidak lagi dapat membanggakan kelebihan-kelebihan yang
ada padanya. Betapa ia menjadi semakin lincah di saat-saat terkhir,
namun lawannya pun ternyata cukup tangguh untuk mengimbanginya.
Karena itulah maka perkelahian itu
semakin lama menjadi semakin seru. Ketika bulan menjadi semakin merendah
ke garis cakrawala di ujung barat, maka mereka yang bertempur itu
semakin ngetok kekuatan. Mereka tidak mau masing-masing menjadi korban
dari perkelahian itu, dan mereka masing-masing berusaha untuk
mengalahkan lawannya sebelum pasangannya dapat dikalahkan.
Tetapi kemudian, perkelahian itu menjadi
terganggu karenanya. Dikejauhan mereka melihat tiga bayangan yang
bergerak-gerak dalam keremangan cahaya bulan. Tiga bayangan manusia yang
datang mendekat daerah perkelahian itu.
Baik Ki Tambak Wedi maupun Sumangkar
bertanya-tanya di dalam hati mereka, siapakah mereka, orang-orang yang
mendatangi itu. Tohpati dan Sidanti pun kemudian melihat mereka pula.
Karena itu, maka mereka menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak
dapat menghentikan perkelahian itu. Perkelahian itu adalah perkelahian
antara hidup dan mati. Namun kalau yang datang itu kawan dari salah satu
pihak, maka keseimbangan perkelahian itu akan terganggu.
Sesaat Tohpati menggeram keras sekali.
Tiba-tiba ia memperketat tekanannya. Ia melihat satu tenaga cadangan
yang akan mampu mempercepat penyelesaiannya. Kalau ia mengerahkan
tenaganya dan berhasil, maka perkelahian itu akan menjadi semakin cepat
selesai. Tetapi kalau tidak, maka akibatnya ia akan menjadi lebih dahulu
kelelahan dan mungkin ia akan menjadi korban. Namun ia tidak dapat
berbuat lain. Ketiga bayangan yang menjadi semakin dekat itu benar-benar
mengganggunya.
Akibatnya terasa pula oleh Sidanti.
Serangan Macan Kepatihan menjadi bertambah dahsyat. Sedahsyat angin
prahara yang melanda tebing pegunungan, menggetarkan pepohonan dan
menggugurkan daun-daunnya. Sekali Sidanti terpaksa meloncat surut, namun
Tohpati mengejarnya terus.
Serangan Sidanti itu serasa benar-benar
menyusup dari segenap arah, mematuk seluruh bagian tubuhnya. Dengan
demikian maka Sidanti pun terseret kedalam pencurahan segenap tenaga,
segenap kekuatan dan segenap kemampuannya. Namun, meskipun demikian,
maka amat sulitlah baginya untuk segera dapat membebaskan diri dari
belitan serangan Tohpati yang seperti lesus itu.
Pada saat-saat terakhir, Ki Tambak Wedi
sebenarnya telah menemukan segi-segi lawannya. Betapapun saktinya
Sumangkar, namun pada orang tua itu masih terdapat beberapa kelemahan.
Apalagi ketika pada saat-saat terakhir ia lebih senang tinggal didapur
saja, maka nafsunya untuk bertempur tidak sehangat Ki Tambak Wedi lagi.
Meskipun Sumangkar mampu mengimbangi hampir setiap usaha Ki Tambak Wedi
untuk menembus pertahanannya, namun lambat laun, terasa bahwa Ki Tambak
Wedi masih selapis berada di atas Sumangkar.
Tetapi pada sat yang demikian, pada saat
Ki Tambak Wedi memperkuat tekanannya untuk segera mengakhiri perkelahian
itu, supaya ia sempat memenggal leher Tohpati, maka pada saat yang
demikian itu pula, Sidanti terpaksa beberapa kali beringsut surut.
“Gila” desis Ki Tambak Wedi itu, “Macan Kepatihan benar-benar berkelahi seperti seekor harimau jantan yang garang”
Dengan menggeram keras sekali ia mencoba
mengakhiri perkelahiannya dengan Sumangkar, ketika dengan tangan kirinya
ia memukul golok Sumangkar ke samping, dan dengan tangannya yang lain,
Ki Tambak Wedi berusaha memecahkan kepala lawannya itu. Namun usahanya
masih belum berhasil, Sumangkar masih mampu menggenggam golok itu di
tangannya, dan masih mampu melontar ke samping sambil merendahkan
dirinya, sehingga tangan Ki Tambak Wedi yang berlapis baja itu terbang
beberapa jari dari kepalanya. Sesaat kemudian ketika Ki Tambak Wedi
berusaha menerkamnya, maka Sumangkar sudah mampu mempersiapkan dirinya,
dan menjulurkan goloknya di muka dadanya. Bahkan kemudian ketika Ki
Tambak Wedi mengurungkan serangannya, Sumangkarlah yang meloncat maju
dengan sebuah ayunan pendek.
Namun kembali Ki Tambak Wedi mengumpat di
dalam hatinya. Kini ia benar-benar melihat muridnya dalam kesulitan.
Karena itu maka mau tidak mau ia harus membagi perhatiannya. Namun
karena orang tua itu memiliki pengalaman yang bertimbun-timbun di dalam
perbendaharaan ilmunya, maka segera ia menemukan jalan untuk
menyelamatkan muridnya tanpa mengorbankan kehormatannya. Dengan lantang
kemudian ia berkata, “Ayo, meskipun Macan Kepatihan bukan muridmu
Sumangkar, namun ia adalah murid saudara seperguruanmu, sehingga ilmumu
berdua bersumber dari perguruan yang sama. Kalau ternyata kau tidak
mampu melawan aku seorang diri, marilah, aku beri kesempatan kalian
bertempur berpasangan. Muridku pasti akan senang juga melayanimu dengan
cara itu”
“Kau licik” sahut Sumangkar, “Agaknya kau telah melihat bahwa muridmu telah hampir sampai pada titik ajalnya”
“Persetan, aku sobek mulutmu itu”
“Silakanlah kakang” jawab Sumangkar.
Ki Tambak Wedi menggeretakkan giginya.
Namun ia tidak merubah rencana. Langsung ia melepaskan Sumangkar dan
berlari ke arah Sidanti yang semakin terdesak. Dengan demikian maka
Sumangkar tidak dapat berbuat lain daripada berlari pula mengejar Ki
Tambak Wedi itu.
Sesaat kemudian maka mereka terlibat
dalam pertempuran berpasangan. Mula-mula Sumangkar dan Tohpati agak
canggung juga menyesuaikan diri masing-masing, namun karena mereka
bersumber pada ilmu yang sama, maka segera mereka menemukan titik-titik
yang dapat membuka kemungkinan-kemungkinan seterusnya.
Dalam pada itu, ketika mereka telah luluh
dalam satu lingkaran perkelahian, maka bayangan yang datang mendekati
mereka menjadi semakin dekat. Mereka berjalan perlahan-lahan dengan
penuh kebimbangan. Setapak mereka maju, dan sesaat mereka berhenti.
Sejenak mereka maju lagi, namun dua tiga langkah mereka kembali tegak
mengawasi perkelahian yang semakin seru.
“Mereka bertempur berpasangan” berkata salah seorang dari mereka.
“Ya. Salah satu pihak sedang mencari keseimbangan” jawab yang lain.
“Siapakah mereka?”
Tak seorang pun yang dapat menjawab. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Marilah kita mendekat”
Mereka berjalan maju lagi. Langkah mereka
terayun satu-satu di antara rumput-rumput liar. Ragu-ragu dan penuh
kewaspadaan, Namun kemudian mereka berhentu pada jarak yang tidak
terlalu dekat.
“Dahsyat” terdengar salah seorang bergumam.
“Ya” sahut yang lain.
Dan yang lain lagi berkata, “Aku sangka,
mereka adalah guru dan murid saling berpasangan. Dua perguruan bertemu
di padang rumput ini”
Namun sesaat kemudian mereka bertiga
mengerutkan kening mereka. Hampir bersamaan mereka dapat melihat semakin
jelas ketika mereka sudah menjadi lebih dekat lagi.
Perlahan-lahan di sela deru angin malam terdengar salah seorang berdesis, “Macan Kepatihan”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Tongkat baja putihnya, yang berkilat-kilat di keremangan cahaya
bulan yang hampir tenggelam telah menunjukkan kepada mereka, siapakah
salah seorang dari mereka yang sedang bertempur itu.
Namun kemudian timbullah kebimbangan di
hati mereka bertiga. Salah seorang berkata, “Macan Kepatihan bertempur
berpasangan. Siapakah yang seorang itu? Bukankah guru Macan Kepatihan
itu Patih Mantahun? Dan Patih Mantahun itu telah mati terbunuh?”
Salah seorang bergumam lirih, “Perguruan
Kedung Jati terkenal, bahwa murid-muridnya mampu menyimpan nyawa rangkap
di dalam tubuhnya”
“Aku juga mendengar itu” sahut yang lain.
Tetapi yang seorang lagi tertawa perlahan-lahan. Gumamnya, “Sebuah dongeng untuk menidurkan anak-anak di senja hari”
Kedua orang yang lain saling berpandangan
sesaat, seolah-olah mereka tidak mengerti, kenapa yang seorang itu sama
sekali tidak menaruh perhatian atas berita tentang nyawa yang rangkap
itu.
“Apakah kalian percaya bahwa ada seorang
yang mampu menyimpan nyawa rangkap di dalam dirinya? Aji Pancasona
barangkali? Nah, kalau kalian percaya, atau setidak-tidaknya bimbang
akan hal itu, mulailah sejak ini menganggap bahwa itu hanya sebuah
dongengan semata-mata. Dan hal itu pun terbukti pula, bahwa Patih
Mantahun tidak lagi bangkit dari kuburnya”
Kedua orang yang lain kini berdiam diri.
Namun mata mereka tajam menatap pasangan-pasangan yang sedang bertempur
dengan serunya. Dalam keremangan cahaya bulam, maka mereka seolah-olah
hanya melihat bayangan-bayangan hitam yang berputaran dan berbenturan,
di sela-sela cahaya keputih-putihan yang memantul dari tongkat putih
Macan Kepatihan dan sekali-sekali gemerlapnya pedang Sidanti. Golok
Sumangkar yang kehitam-hitaman bahkan di sana sini tampak berkarat, sama
sekali tidak mampu memantulkan cahaya bulan yang semakin rendah.
“Apakah kalian ingin melihat lebih jelas?” terdengar salah seorang bertanya.
“Marilah Kiai” jawab yang lain.
Orang yang mengajak itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kainnya yang bercorak gringsing menutupi
sebagian tubuhnya sedang kedua orang yang lain, berjalan di belakangnya
dengan penuh kewaspadaan. Mereka adalah dua orang anak muda yang
sebaya. Yang seorang bertubuh sedang dan yang lain pendek gemuk hampir
bulat. Di lambung mereka masing-masing tergantung sehelai pedang. Namun
di lambung orang yang berjalan dipaling depan dan bahkan kedua anak-anak
muda itu, melingkar sebuah cambuk yang bertangkai pendek dan berujung
janget.
Ternyata orang yang pertama, yang berkain
gringsing itu, telah menuntun mereka untuk mempergunakan senjata, ciri
perguruannya, di samping senjata yang disukainya. Cambuk yang bertangkai
tidak lebih dari sejengkal dan ujungnya berjuntai agak panjang, terbuat
dari tambang kulit yang sangat kuat beranyam rangkap tiga ganda. Lemas
namun kuatnya bukan main.
Tiba-tiba orang yang berkain gringsing itu berkata, “Kemarilah ngger”
Kedua anak muda yang berjalan di belakangnya segera berdiri di sampingnya sebelah menyebelah.
“Apakah kalian kenal yang seorang lagi?”
Keduanya mengerutkan kening mereka dan mempertajam pandangan mata mereka. Tiba-tiba mereka berdesis, “Sidanti”
“Ya, Sidanti” berkata orang yang berkain gringsing, “Yang seorang pasti Ki Tambak Wedi”
Dua orang anak muda, Agung Sedayu dan
Swandaru, mengangguk-anggukkan kepala mereka. Perlahan-lahan mereka
berdesis, “Kiai, lalu siapakah yang seorang lagi, pasangan Macan
Kepatihan itu?”
Kiai Gringsing, yang oleh murid-muridnya
lebih dikenal dengan nama Ki Tanu Metir menjawab, “Aku belum tahu,
siapakah orang itu. Aku masih belum dapat mengenalnya. Seandainya ia
adalah seorang yang telah pernah terkenal di daerah ini, atau daerah
Pajang, mungkin aku dapat menyebut namanya”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Kini mereka menjadi semakin berani. Apabila salah satu
pihak dari mereka adalah Sidanti dan Ki Tambak Wedi, sedang di pihak
lain dalam keadaan yang seimbang melayaninya, maka bersama guru mereka,
mereka tidak akan menjadi cemas lagi siapa pun yang sedang bertempur
itu. Karena itu maka Agung Sedayu kemudian berkata, “Marilah kita dekati
Kiai. Aku ingin melihat dengan pasti siapakah yang tengah bertempur
itu”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kemudian ia menjawab, “Marilah. Tetapi berhati-hatilah.
Siapa tahu bahwa mereka akan memilih lawan. Dan pilihan itu jatuh
kepada kita”
Swandaru tersenyum. Selangkah ia maju.
Tetapi ia segera berhenti ketika ia melihat perkelahian itu cepat
bergeser dari tempatnya.
“Kenapa?” desisnya. “Apakah ada perubahan dari keseimbangan mereka?”
Tetapi ternyata perkelahian itu segera berjalan kembali dengan sengitnya.
Mereka hanya bergerak sekedar menemukan bentuk yang baru dari daerah perkelahian serta letak pasangan dari antara mereka.
Namun waktu yang sesaat itu telah
menggoncangkan hati Kiai Gringsing. Pada saat yang demikian itu, ia
mengenal, siapakah seorang lagi, yang selama ini menjadi teka-teki di
antara murid-muridnya. Namun untuk meyakinkannya, ia dengan serta-merta
melangkah maju lagi beberapa langkah, sehingga jarak mereka menjadi
semakin dekat, bahkan terlalu dekat.
Yang sedang bertempur itu pun kemudian
terkejut melihat kehadiran mereka yang terlalu dekat itu. Apalagi dengan
demikian segera mereka mengenal siapakah orang-orang yang datang
mendekat. Yang pertama-tama berteriak di antara mereka adalah justru Ki
Tambak Wedi, “He, orang yang menamakan diri Kiai Gringsing , apakah
kerjamu di sini?”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Matanya
sedang menekuni gerak seorang lagi di antara mereka yang selama ini tak
pernah disangkanya akan bertemu kembali. Tiba-tiba terdengar ia
bergumam, “Sumangkar, murid kedua dari perguruan Kedung Jati”
“He, siapakah kau?” sahut Sumangkar yang mendengar namanya disebut-sebut.
“Bertanyalah kepada Ki Tambak Wedi” sahut Kiai Gringsing
“Aku mendengar ia menyebutmu Kiai Gringsing. Siapakah sebenarnya kau ini?”
“Itulah aku sebenarnya”
Sumangkar masih mau berkata lagi. Tetapi
tiba-tiba terdengar Tohpati berteriak, “He, bukankah kalian orang-orang
yang aku temukan di tengah kali itu? Yang gemuk itu, yang satunya dan
apakah kau orang tua itu pula?”
“Ya, akulah itu” jawab Kiai Gringsing.
Ternyata dada Tohpati berdesir mendengar
pengakuan itu, meskipun hal itu telah diketahuinya atau setidak-tidaknya
telah digambarkannya. Sehingga karena itu ia berkata, “Aku sudah
menyangka. Kalau aku tahu bahwa kalian orang-orang aneh dari Sangkal
Putung, maka pada saat itu kalian pasti telah aku bunuh”
“Apa salah kami?” teriak Kiai Gringsing, “Dan karena itu pula agaknya waktu itu kami tidak mengaku orang-orang aneh”
“Gila!” teriak Tohpati, “Jangan mengigau, nanti akan datang giliran kalian untuk aku bunuh setelah musuh-musuhku ini mati”
Yang terdengar adalah suara tertawa Ki
Tambak Wedi. Sementara itu mereka basih bertempur dengan serunya. Dan di
antara derai tertawa itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata, “Jangan
sombong Macan Kepatihan yang gagah perkasa. Mungkin kalian berdua mampu
membunuh kami, tetapi orang-orang itu?”
Macan Kepatihan benar-benar terkejut
mendengar kata-kata Ki Tambak Wedi yang biasanya terlalu menyombongkan
diri. Tetapi ia tidak segera bertanya lagi. Tekanan Ki Tambak Wedi
bahkan menjadi semakin mendesak.
Dalam kesibukan perkelahian itu yang
terdengar kemudian adalah geram Sidanti penuh kemarahan, “Agung Sedayu,
musuh bebuyutan, apakah kau sudah jemu hidup sehingga kau berani
mendatangi tempat ini, dimana aku dan guruku sedang berpesta?
Kedatanganmu akan merupakan hadiah terbesar bagiku sesudah kepala
Tohpati malam ini”
Ketika Agung Sedayu hampir membuka
mulutnya untuk menjawab maka terasa lengannya digamit oleh gurunya.
Dengan serta-merta ia mengurungkan niatnya sambil berpaling kepada
gurunya, untuk mendapat penjelasan. Namun Kiai Gringsing itu hanya
mengangkat dagunya ke arah perkelahian itu. Dalam kebimbangan Agung
Sedayu menuruti arah itu. Barulah kemudian ia tahu maksud gurunya, bahwa
kata-kata Sidanti itu pasti akan menyinggung perasaan Tohpati pula. Dan
Kiai Gringsing mengharap biarlah Macan Kepatihan itulah yang menjawab.
Sebenarnyalah kemudian Macan Kepatihan
menggeram, “Gila kau Sidanti, kau sangka bahwa Macan Kepatihan sama
murahnya dengan kepalamu?”
“Jangan marah ngger” sahut Ki Tambak Wedi, “Sidanti hanya berkata sebenarnya”
Betapa marahnya Macan Kepatihan mendengar
penghinaan itu. Namun kemudian terdengar Sumangkar berkata tenang, “He
orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing, kau lihat, bahwa di tempat
ini terjadi dua macam perkelahian? Yang pertama perkelahian jasmaniah.
Kami masing-masing telah bertempur dengan sekuat-kuat tenaga kami, namun
belum ada di antara kami yang dapat dikalahkan oleh pihak yang lain,
Sedang perkelahian yang kedua adalah perkelahian mulut. Kami
masing-masing mencoba saling menyombongkan diri kami. Kami masing-masing
berkata bahwa kami akan membunuh lawan-lawan kami. Kalau itu mampu
lakukan, maka sudah pasti kami lakukan. Tetapi ternyata seperti yang kau
lihat. Kami masih bertempur mati-matian sehingga kami harus tertawa
mendengar suara kami sendiri. Karena itu Kiai, kalau Kiai masih ingin
menonton, menontonlah dengan tenang. Waktu masih panjang. Kalau ada di
antara kami yang akan memusuhi Kiai, maka itu masih harus melalui waktu
yang cukup banyak untuk mengalahkan lawan-lawan kami”
Ki Tambak Wedi dan Sidanti menggeram
mendengar kata-kata itu, bahkan Tohpati sendiri menggertakkan giginya.
Namun dengan demikian mereka tidak lagi berteriak-teriak dan saling
mengancam. Mereka kini memusatkan tenaga mereka dalam pertempuran yang
terjadi. Namun meskipun demikian hati mereka telah digelisahkan oleh
kehadiran Kiai Gringsing dengan murid-muridnya. Mereka mempunyai
persoalan sendiri-sendiri terhadap mereka. Tohpati menyadari bahwa di
antara orang-orang itu terdapat orang-orang Sangkal Putung. Namun justru
karena itu ia mulai menimbang-nimbang. Kalau tidak ada persoalan di
antara mereka dengan Sidanti, maka mereka pasti akan membantu Sidanti.
Karena itu maka kehadiran mereka benar-benar mempengaruhi perasaannya.
Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi pun menjadi gelisah. Disadarinya bahwa
orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu tidak dapat dikalahkan.
Ternyata Kiai Gringsing telah mengambil lawan Sidanti menjadi muridnya.
Dengan demikian maka apabila terpaksa mereka harus berhadapan saat itu,
maka tidak akan dapat memberinya kesempatan apa-apa.
Yang terdengar kemudian adalah suara Kiai
Gringsing. Kiai Gringsing senang mendengar kejujuran sikap Sumangkar,
sehingga menyahut, “Kau benar-benar murid kedua perguruan Kedung Jati
yang perkasa. Aku terpaksa tertawa mendengar pengakuanmu. Dan aku akan
mencoba memenuhinya. Duduk di sini sambil melihat kalian berkelahi”
“Gila!” teriak Ki Tambak Wedi, namun
suaranya segera tenggelam dalam kata-kata Sumangkar, “Silakan Kiai,
silakan. Kiai akan dapat menilai, sampai sejauh mana kemungkinan yang
ada dikedua belah pihak. Dan kira-kira Kiai akan lebih senang melawan
pihak yang mana? Bukankah dengan demikian Kiai dapat berbuat sesuatu?”
Kembali Kiai Gringsing tertawa, jawabnya,
“Tidak, aku tidak berpihak. Aku tidak akan berpihak pada yang lemah
untuk nanti mendapatkan lawan yang lemah itu”
Sumangkar tertawa pendek. Sekali ia harus
meloncat ke samping untuk menghindari sambaran tangan Ki Tambak Wedi.
Namun ia harus segera menggeliat pula, ketika dilihatnya pedang Sidanti
menjulur mematuk lambungnya. Namun ketika Ki Tambak Wedi akan
menyerangnya kembali, segera Sumangkar meloncat dan memutar golok di
tangannya. Ia tidak perlu memperhatikan Sidanti lagi, karena dengan
serta-merta, tongkat Macan Kepatihan menyambar lengan anak muda itu,
sehingga ia terpaksa meloncat surut.
Namun dalam pada itu, timbullah banyak
pertimbangan di kepala Tohpati. Seandainya perkelahian itu dibiarkannya
berjalan dalam keseimbangan, maka semalam suntuk mereka pasti tidak akan
menemukan penyelesaian. Bahkan mungkin pada saat-saat mereka hampir
mati kekelahan, pada saat itulah Kiai Gringsing baru tampil ke
gelanggang.
Karena itu, maka segera timbul banyak
pertimbangan dikepala Macan Kepatihan. Ia sendiri tidak yakin, apakah
yang dapat dilakukan oleh Kiai Gringsing. Apakah ia akan berpihak
ataukah ia akan melawan segala pihak. Namun keadaannya pasti akan
menjadi paling baik. Seperti tantangan Sumangkar, Kiai Gringsing dapat
berpihak yang dianggapnya paling lemah untuk membinasakan yang kuat,
supaya apabila kemudian terpaksa bagi Kiai Gringsing untuk bertempur,
maka musuhnya adalah pihak yang lemah. Namun agaknya permusuhan telah
terjadi antara Kiai Gringsing dan Ki Tambak Wedi seperti halnya
murid-muridnya di kedua belah pihak. Apakah permusuhan itulah yang
menyebabkan Sidanti meninggalkan Sangkal Putung? Sekali-sekali terlintas
juga di dalam benaknya untuk melawan saja Kiai Gringsing bersama
muridnya itu bersama-sama dengan Sidanti dan gurunya dalam satu gabungan
kekuatan, maka pasti Kiai Gringsing dapat dikalahkan. Namun kemudian
Tohpati itu menjadi ragu-ragu pula. Meskipun hatinya cenderung berbuat
demikian. Sebab apabila yang tinggal adalah mereka berempat, maka
kekuatan mereka pasti akan tetap seimbang.
Dalam keragu-raguan itu tiba-tiba Tohpati
mendengar tawaran Ki Tambak Wedi yang agaknya mempunyai pikiran yang
sama, sehingga tawaran itu benar-benar mengejutkan Macan Kepatihan, “He,
angger Tohpati yang perwira. Orang baru itu adalah musuhku bebuyutan.
Sedangkan apa yang kita lakukan adalah suatu permainan yang tidak
berarti apa-apa. Karena itu, apakah tidak sebaiknya kita hentikan
permainan ini, dan kita binasakan saja lawan kita yang berbahaya itu
bersama-sama. Kemudian baiklah permainan ini kita lanjutkan kembali?”
Tohpati mengerutkan keningnya. Semula ia
tidak yakin akan tawaran Ki Tambak Wedi, namun kemudian tampaklah
serangan-serangan Ki Tambak Wedi mengendor, sehingga Tohpati menjadi
ragu-ragu dan bertanya, “Apakah pertimbanganmu?”
Ki Tambak Wedi tertawa, jawabnya,
“Sebenarnyalah kita sudah dapat mengetahui keadaan kita masing-masing.
Juga Kiai Gringsing itu pasti tahu, kenapa kita akan menyatukan kekuatan
kita. Bukankah dengan demikian kita akan dapat meneruskan permainan ini
tanpa terganggu dan tanpa menunggu kemungkinan yang paling buruk?
Membiarkan Kiai Gringsing menunggu kita masing-masing mati kelelahan?”
Sekali lagi Tohpati dilanda oleh
keragu-raguan. Sementara itu, Swandaru dan Agung Sedayu yang mendengar
tawaran Ki Tambak Wedi itu segera meraba hulu pedang masing-masing.
Tanpa berpikir akibat yang akan terjadi maka tiba-tiba Swandaru tertawa
sambil berkata, “Kiai, kita akan mendapat latihan yang baik”Kiai
Gringsing mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Swandaru dan Agung
Sedayu berganti-ganti. Tiba-tiba ia menjadi cemas. Mungkin Agung Sedayu
dapat mempertahankan dirinya melawan Sidanti atau Tohpati sekalipun
dalam taraf kekuatannya kini setelah ia maju dengan pesatnya.
Namun Swandaru masih belum dapat
disejajarkan dengan salah seorang dari mereka. Apalagi kalau kekuatan
mereka digabung, maka Sumangkar dan Ki Tambak Wedi akan menjadi lawan
yang amat berat meskipun kekuatan mereka telah menunjukkan tanda-tanda
menurun karena perjuangan yang berat di antara mereka.
Tetapi Swandaru yang sedang berkembang
itu tidak dapat menimbang berat ringan orang-orang yang dihadapinya. Ia
masih dalam tingkatan ingin mencoba segala kemampuan yang ada di dalam
dirinya. Apalagi kini di hadapannya berdiri Sidanti dan Tohpati. Ia
ingin menakar diri. Apakah kekuatannya sudah seimbang dengan Tohpati
atau Sidanti?
Dalam kesibukan berpikir itu, Kiai
Gringsing mendengar Sumangkar menjawab tawaran Ki Tambak Wedi sebelum
Tohpati mengambil keputusan, “Ki Tambak Wedi, di hadapan kami berdiri Ki
Tambak Wedi dan Sidanti. Kini datang Kiai Gringsing dengan kedua
muridnya, anak-anak Sangkal Putung. Adakah itu suatu kebetulan? Apakah
Ki Tambak Wedi sudah menyediakan perangkap untuk menjebak kami berdua?”
Ingatan Tohpati benar-benar seperti
tersengat lebah mendengar kata-kata itu. Alangkah mengejutkan meskipun
seharusnya kemungkinan itu telah dipertimbangkannya. Ya, seandainya
mereka telah merencanakan itu, alangkah bodohnya. Kalau ia menerima
tawaran Ki Tambak Wedi, kemudian Ki Tambak Wedi dan Sidanti
mengkhianatinya dalam perkelahian itu, maka membunuh Tohpati akan sama
mudahnya dengan memijat bji ranti. Karena itu tiba-tiba Tohpati
menggeram dengan marahnya. Katanya, “Hem. Ternyata kalian adalah
orang-orang yang sangat licik. Kalian berpura-pura saling bertentangan
antara kedua pihak guru dan murid sekali. Tetapi ternyata kalian telah
menjebak kami. Tetapi jangan kalian sangka Tohpati akan menyerah.
Tohpati hanya menyerah apabila Tohpati telah menjadi mayat”
Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam
hatinya. Sumangkar benar-benar gila. Beberapa kali ia merusak usahanya.
Kini orang itu telah menempatkannya pada kesulitan pula. Karena itu ia
berteriak, “Sumangkar, kau adalah biang keladi dari kehancuran Macan
Kepatihan. Kini kau menolak tawaranku. Baiklah marilah kita teruskan
perkelahian ini. Siapa yang menang, biarlah ia menjadi korban berikutnya
dari kebodohanmu. Dan kita berempat akan mati di lapangan rumput ini.
Apa katamu?”
“Lebih baik demikian Ki Tambak Wedi”
sehut Sumangkar, “Lebih baik kita mati berempat di sini daripada hanya
kami saja berdua. Setuju”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram.
Rupanya kesempatan untuk bersama-sama menghancurkan Kiai Gringsing telah
benar-benar tertutup baginya, sehingga tidak ada pilihan lain daripada
meneruskan perkelahian itu mati-matian.
Tetapi sejak saat itu Tohpati selalu
dihantui oleh kemungkinan yang sangat pahit. Terjebak oleh perangkap Ki
Tambak Wedi dan Kiai Gringsing bersama-sama. Karena itu maka otaknya
bekerja dengan sibuknya, di samping tenaganya yang berjuang melawan
lawan-lawannya, ia harus menemukan jalan untuk melepaskan diri
seandainya Kiai Gringsing dan kedua anak muda Sangkal Putung itu mulai
menyerangnya pula dengan cara apapun.
Karena itulah maka Tohpati harus
menemukan suatu cara untuk mengusir mereka dari padang rumput ini. Bukan
karena ia takut untuk bertempur sampai mati, tetapi ia tidak mau mati
meringkuk dalam perangkap lawannya.
Tiba-tiba dalam kesibukan pertempuran itu
Tohpati memasukkan jari-jari tangan kirinya kedalam mulutnya, dan
sesaat kemudian terdengarlah ia bersuit nyaring membelah sepi malam.
Sekali suaranya seolah-olah meluncur memenuhi padang rumput, bahkan terpantul oleh bukit dikejauhan melengking berkali-kali.
Ki Tambak Wedi terkejut mendengar suara
itu. Bahkan semua orang yang mendengarnya, termasuk Sumangkar. Namun
sebelum mereka menyadari keadaan mereka, terdengar kembali suitan
Tohpati untuk kedua kalinya dan sesaat kemudian untuk ketiga kalinya.
“Gila!” teriak Sidanti, “Apakah yang kau lakukan pengecut?”
“Mari, mari Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing, majulah bersama-sama. Cobalah tangkap Tohpati dan Sumangkar malam ini”
“Kau panggil anak buahmu?” bertanya Sidanti
“Itu adalah hakku”
“Pengecut, kau tidak berani berkelahi sebagai seorang laki-laki”
“Aku adalah pemimpin pasukan Jipang. Aku
tidak mau masuk kedalam perangkap kalian. Apakah aku harus membiarkan
kalian berbuat licik, berusaha memasukkan kami berdua ke dalam
perangkap? Sedang aku, Macan Kepatihan sebagai pemimpin pasukan tidak
boleh memanggil pasukannya?”
“Gila” desis Ki Tambak Wedi.
Namun sebelum mereka sempat berkata lagi, kembali terdengar Tohpati bersuit. Kali ini berkepanjangan.
“Apa artinya?” gumam Ki Tambak Wedi.
Macan Kepatihan tertawa, katanya, “Orang-orangku harus menangkap kalian hidup-hidup”
“Kau benar-benar licik seperti setan” geram Ki Tambak Wedi.
Tohpati tidak menjawab, namun tongkatnya berputar semakin cepat menyambar lawan-lawannya.
Dalam pada itu timbullah pikiran baru di
dalam benak Ki Tambak Wedi. Kalau pasukan Tohpati segera datang dan
membantu, maka keseimbangan akan segera berubah. Betapapun lemahnya
orang seorang dalam pasukan Tohpati, namun mereka pasti akan mampu
menambah kekuatan kedua orang yang tak dapat mereka kalahkan bersama
dengan Sidanti. Karena itu, maka tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menggeram,
“Bagus Tohpati, karena kau tidak menepati kejantananmu, maka biarlah
aku melepaskan kesempatan kali ini memenggal lehermu, memenggal leher
adik gurumu. Tetapi ingatlah, aku pasti akan datang untuk kedua kalinya”
“Pengecut” terdengar suara Tohpati, “Kau akan lari?”
“Bukan aku yang licik”
“Tidak ada kesempatan. Perintahku,
mengepung tempat ini dan merapat dari jarak yang agak jauh, supaya
setiap usaha untuk lari dapat digagalkan”
“Persetan, laskarmu akan aku tumpas kalau berani menghalangi aku”
Macan Kepatihan itu tertawa
berkepanjangan. Katanya, “Jangan mengigau. Umurmu tidak akan lebih dari
umur bintang pagi yang baru terbit itu”
Ki Tambak Wedi menggeram sekali lagi.
Tiba-tiba ia berkata kepada muridnya, “Musuh kita kali ini licik seperti
demit. Tak ada gunanya kita menjual kejantanan diri, menghadapi
setan-setan pengecut itu. Marilah kita tinggalkan padang rumput ini,
kita mencari kesempatan dilain kali”
“Tunggulah sebentar” cegah Sumangkar, “Aku belum selesai”
“Persetan” sahut Ki Tambak Wedi yang
menyangka bahwa Sumangkar ingin memperlambatnya, sehingga laskar Jipang
cukup waktu untuk mengepung mereka.
Sesaat kemudian Ki Tambak Wedi dan
Sidanti itu berloncatan menarik diri masing-masing, kemudian segera
mereka berlari meninggalkan gelanggang sebelum mereka terjebak dalam
kepungan laskar Macan Kepatihan.
Kegelisahan itu sebenarnya tidak saja
melanda Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Kiai Gringsing pun ternyata terpaksa
berpikir menghadapi keadaan itu. Seandainya laskar Jipang yang
sarangnya mungkin tidak jauh dari tempat ini benar-benar datang, maka
mereka benar-benar berada dalam kesulitan. Sebab Kiai Gringsing seperti
juga Ki Tambak Wedi menyadari, bahwa di dalam laskar Tohpati itu ada
orang-orang seperti Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, dan orang-orang
lain yang tidak jauh tingkatnya dari mereka itu. Di samping Sumangkar
dan Tohpati, maka mereka pasti akan menjadi orang-orang yang sangat
berbahaya.
Sekali dua kali Kiai Gringsing
menimbang-nimbang. Diamat-amatinya muridnya. Ia menjadi cemas apabila ia
menatap Swandaru yang gemuk itu. Anak itu kurang perhitungan. Ia merasa
tenaganya terlampau kuat, sehingga ia tidak pernah mempertimbangkan
kekuatan lawan-lawannya.
Karena itu maka ketika dilihatnya Ki
Tambak Wedi melarikan dirinya, tiba-tiba Kiai Gringsing berteriak,
“Angger Macan Kepatihan dan Sumangkar yang perkasa. Aku kali ini lebih
berkepentingan dengan Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Karena itu biarlah aku
mengejar mereka. Mudah-mudahan lain kali aku dan murid-muridku dapat
menjumpai kalian berdia dalam kesempatan seperti ini”
“Kau juga mau lari?” teriak Macan Kepatihan.
Kiai Gringsing tertawa, tetapi ia sudah meloncat sambil berkata kepada murid-muridnya, “Jangan lepaskan Sidanti”
Swandaru dan Agung Sedayu tidak sempat
bertanya lebih banyak. Segera ia pun berloncatan mengikuti Ki Tanu Metir
mengejar Ki Tambak Wedi dan Sidanti.
Tohpati dan Sumangkar melihat mereka
berlari-larian meninggalkan lapangan rumput sambil tertawa, “Hem”
geramnya, “Aku sudah hampir kehabisan akal”
Sumangkar tidak segera menyahut. Ia masih
memandang kedalam malam yang semakin gelap, karena bulan yang terbelah
telah lenyap di balik pepohonan.
Baru setelah mereka lenyap dari pandangan
mata Sumangkar, maka berkatalah orang tua itu kepada Tohpati, “Semula
aku tidak tahu, apakah maksud angger sebenarnya”
Tohpati menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian jawabnya, “Kita tidak akan dapat melawan mereka semuanya
apabila mereka benar-benar ingin menjebak kita”
“Ya, dan angger telah membuat permainan
yang baik sekali. Ternyata mereka semuanya pergi meninggalkan kita.
Mereka menyangka bahwa angger benar-benar memanggil anak buah angger”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun kemudian ia berkata bersungguh-sungguh, “Tetapi ada sesuatu yang
tidak wajar paman. Aku sangka, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing
benar-benar tidak akan bekerja bersama-sama, meskipun kita harus
berhati-hati terhadap dugaan itu”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian jawabnya, “Aku juga menyangka demikian. Bahkan aku menyangka
di antara mereka benar-benar ada persoalan yang telah membawa mereka
dalam suatu keadaan permusuhan”
“Nah, bukankah kalau demikian kita akan dapat mempergunakan salah satu pihak untuk keuntungan kita? Sidanti misalnya?”
“Belum pasti ngger. Belum pasti kalau
Sidanti dan Ki Tambak Wedi akan dapat memberi keuntungan kepada angger.
Kalau sekali ia telah meninggalkan kesetiannya kepada kesatuannya dan
berpihak kepada lawannya, maka orang yang demikian adalah orang yang
benar-benar tidak dapat dipercaya. Mungkin ia akan memperalat kita untuk
kepentingannya, kemudian menhancurkan kita sendiri. Gurunya, Ki Tambak
Wedi, bukankah contoh yang sangat baik bagi sifat Sidanti itu?”
“Aku akan dapat mempergunakannya dimana perlu paman, jangan sebaliknya”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Kembali
dadanya dirayapi oleh kecemasan. Mungkin Tohpati akan dapat
mempergunakan Sidanti tanpa mencelakakan dirinya. Mungkin kemudian
Sidanti akan dapat dibinasakan oleh Tohpati apabila ada tanda-tanda ia
akan mengkhianatinya. Namun dengan demikian, maka keadaan akan menjadi
semakin parah. Peperangan akan menjadi semakin berlarut-larut. Karena
itu, maka diberanikan dirinya berkata, “Raden, apakah Raden dapat
bekerja sama dengan anak muda itu? Setiap kali angger malahan akan
kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu. Angger setiap kali hanya
akan mengawasinya saja. Pekerjaan itu pasti akan menjemukan sekali. Dan
bukankah dengan demikian angger akan memperluas kesulitan rakyat Jipang
dan Pajang sendiri?”
Tohpati menundukkan wajahnya. Tiba-tiba
hatinya bergetar cepat sekali. Teringatlah ia kini, akan apa yang
mengganggunya akhir-akhir ini. Kesadaran diri atas segala yang telah
berlaku dan akan dilakukan benar-benar mengganggunya siang dan malam.
Perang, kebencian, kekerasan dan permusuhan merajalela.
Sesaat kemudian terdorong dalam suatu
kesepian yang pekat. Malam menjadi sangat gelapnya. Di langit
bintang-bintang masih bercanda dengan awan yang mengalir dihanyutkan
oleh angin yang lembut.
Sementara itu Ki Tambak Wedi dan Sidanti
berlari kencang-kencang meninggalkan padang rumput itu. Mereka
benar-benar menyangka bahwa Tohpati sedang memanggil anak buahnya.
Apabila demikian, maka mereka pasti akan dibinasakan. Binasa dalam
keadaan yang benar-benar mengecewakan.
Apalagi ketika mereka berpaling, mereka
melihat tiga buah bayangan mengejarnya, maka segera mereka mempercepat
langkah mereka. Sesaat kemudian mereka telah menyelinap kedalam
gerumbul-gerumbul liar dan hilang di dalamnya.
Kiai Gringsing yang berlari sambil
menunggu murid-muridnya ternyata kehilangan jejak. Karena itu, maka
segera mereka berhenti di antara gerumbul-gerumbul perdu. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing bergumam, “Hilang, mereka
hilang di sini”
“Marilah kita cari Kiai” ajak Swandaru.
Swandaru benar-benar tidak melihat bahaya
yang dapat menyergapnya apabila mereka mencari. Ki Tambak Wedi akan
dapat menerkam muridnya satu persatu. Bagi Kiai Gringsing sendiri, maka
bahaya itu tidak akan sampai membinasakannya. Namun bagaimana dengan
Swandaru dan Agung Sedayu? Ki Tambak Wedi dan Sidanti dapat berada di
setiap kegelapan di balik gerumbul-gerumbul itu. Dengan ujung-ujung
pedangnya Sidanti dapat mendahuluinya. Apalagi Ki Tambak Wedi.
Karena itu, maka Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya sambil bergumam, “Sangat berbahaya Swandaru,
terutama bagimu dan bagi Agung Sedayu”
“Kalau demikian, lalu apa yang harus kita lakukan Kiai?”
Kiai Gringsing berdiam diri untuk
sejenak. Ia tahu pasti bahwa Swandaru menjadi kecewa. Jauh lebih kecewa
dari Agung Sedayu, sebab ia kehilangan kesempatan untuk mencoba ilmunya.
Sehingga Ki Tanu Metir dengan sangat hati-hati mencoba melunakkan
hatinya, “Kita kehilangan lawan Swandaru”
“Tetapi kita tidak mencarinya”
“Disetiap ujung daun-daun perdu itu mungkin sekali kau temukan ujung pedang Sidanti atau ujung-ujung jari Ki Tambak Wedi”
“Tetapi dengan demikian mereka tidak berlaku jantan”
“Mungkin demikian, namun apakah yang
dapat kita katakan dengan kejantanan itu apabila lambung kita telah
tembus oleh pedangnya. Dan bukankah sangat sulit untuk mencari dua orang
saja di antara gerumbul-gerumbul liar itu?. Mungkin mereka tidak
menunggu kita dengan ujung pedang, tetapi mereka kini telah hilang
menyusur gerumbul-gerulbul itu masuk kedalam hutan. Nah, apakah dengan
demikian kita tidak hanya akan membuang waktu?”
“Apakah kita akan kembali ke tempat Tohpati?”
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan
kepalanya. Katanya, “Setiap kemungkinan untuk dapat bertemu semua pihak
telah hilang. Seandainya Tohpati benar-benar memanggil anak buahnya,
maka kita akan masuk kedalam perangkapnya. Seandainya Macan Kepatihan
hanya menakut-nakuti Ki Tambak Wedi dan muridnya, maka kini ia pasti
sudah pergi”
“Ternyata bukan Ki Tambak Wedi dan
Sidanti saja yang menjadi ketakutan Kiai, kita juga menjadi ketakutan
dan lari terbirit-birit”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Ia
tahu benar perasaan muridnya yang seorang itu. Swandaru menjadi sangat
kecewa, bahwa ia tidak berhasil mendapat tempat untuk mencoba segala
macam ilmu yang selama ini dipelajarinya.
Maka berkatalah dukun tua itu, “Swandaru,
kita harus mempertimbangkan segala ekmungkinan yang dapat terjadi atas
perbuatan kita. Kita bukan orang-orang yang memiliki kekhususan yang
berlebih-lebihan. Bukan orang yang tak pernah melihat kelemahan diri.
Apabila demikian ngger, maka kita telah mulai dengan langkah yang sangat
berbahaya”
“Tetapi kita bukan pengecut-pengecut Kiai. Bukankah kita anak-anak jantan yang pantang menghindari kesulitan?”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian jawabnya, “Ya, apabila kesulitan itu berada di jalan
kita, maka kita tidak boleh menghindar. Kita harus mencoba
mengatasinya. Tetapi bukan kita mencari kesulitan apabila kesulitan itu
sama sekali tidak akan berarti apa-apa bagi kita”
“Kiai, baik Sidanti maupun Tohpati adalah
orang-orang yang sangat berbahaya bagi Sangkal Putung. Kenapa mereka
kita lepaskan setelah mereka berada di ujung hidung kita? Apakah dengan
demikian kita tidak hanya malas mengatasi kesulitan yang bakal datang?”
Ki Tanu Metir tersenyum. Muridnya yang
seorang ini memang keras hati. Dalam kekerasan itu maka apabila mendapat
menyaluran yang tepat, maka Swandaru akan dapat menjadi seorang
prajurit yang nggegirisi. Tetapi ternyata bahwa akalnya masih belum
mampu mempertimbangkan setiap kemungkinan dari tindakannya.
“Swandaru” jawab Ki Tanu Metir,
“Sebaiknya mulai saat ini belajarlah menilai diri sendiri secara wajar.
Jangan terlalu menghargai kekuatan sendiri berlebih-lebihan. Dengan
demikian kita akan mudah terjerumus kedalam tindak yang kurang
bijaksana. Coba hitunglah, apa yang dapat kita lakukan bertiga dan apa
yang dilakukan oleh Tohpati berdua ditambah dengan laskarnya yang bakal
datang. Kita tidak tahu berapa orang, tiga, enam, sepuluh atau lebih. Di
antaranya akan datang Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, dan orang-orang
lain yang cukup berbahaya bagi kita. Nah, kita harus memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kalau kita bertempur melawan
mereka”
“Jadi kita tidak berani menghadapi mereka itu?”
“Ada bedanya Swandaru” jawab Ki Tanu
Metir, “Ada perbedaan antara seorang pengecut dan seorang yang
memperhitungkan kekuatan diri. Seseorang dapat saja meninggalkan
perkelahian dan pertempuran dalam keadaan tertentu. Kalau kita
meninggalkan Tohpati yang memanggil laskarnya, maka kita sama sekali
bukan pengecut. Tohpati lah yang mulai. Sebab ia memanggil orang banyak
untuk menghadapi kita bertiga. Dan kita tidak mau membunuh diri kita.
Seorang pemberani bukanlah seorang yang membabi buta dan membunuh diri
sendiri”
Swandaru terdiam sesaat. Ia dapat
mengerti keterangan gurunya itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
ia berguman, “Ya, aku mengerti Kiai”
“Bagus, ingatlah untuk seterusnya” sahut Kiai Gringsing.
Swandaru tidak menjawab. Ia dapat
mengerti keterangan gurunya, namun di hati kecilnya tumbuhlah perasaan
yang aneh. Seolah-olah ia sedang melarikan diri dari suatu tugas yang
harus diselesaikan.
Ketika malam yang hening merambat makin
jauh, maka bergumamlah kiai Gringsing, “Kita kembali ke kademangan. Ada
sesuatu yang harus kita sampaikan kepada Angger Widura dan Angger
Untara. Perjalanan kita kali ini menangkap suatu peristiwa yang tidak
kita duga-duga sebelumnya. Sidanti dan Tohpati berdiri berhadapan
langsung sebagai lawan”
“Apakah yang penting dari peristiwa ini Kiai?” bertanya Agung Sedayu.
“Mereka tidak bekerja bersama” sahut Kiai
Gringsing. “Mungkin hal ini baik bagi Sangkal Putung. Tetapi mungkin
buruk pula. Sidanti dapat membentuk suatu gerombolan baru yang akan
mempersulit keadaan. Ki Tambak Wedi mempunyai pengaruh yang kuat di
lereng Merapi ini”
Kedua murid Ki Tanu Metir itu terdiam.
Berbagai persoalan hilir mudik di dalam kepala mereka. Swandaru masih
merasa aneh tentang dirinya, sedang Agung Sedayu dapat berpikir lebih
tenang dan memandang lebih jauh. Sifat-sifatnya dimasa anak-anaknya
ternyata ikut membantu mengekangnya menghindari bentrokan-bentrokan yang
sama sekali tidak perlu. Untunglah bahwa setelah ia berhasil memecahkan
dinding yang mengungkungnya dalam dunia ketakutan, ia tidak kehilangan
keseimbangan. Untunglah bahwa ia berada di dekat kakaknya yang dapat
memberinya petunjuk-petunjuk, untunglah bahwa gurunya adalah seorang
dukun yang banyak sekali berusaha menyembuhkan orang-orang sakit, bukan
sebaliknya membuat orang menjadi sakit.
Sejenak kemudian maka mereka pun meninggalkan padang rumput itu, dan kembali ke kademangan Sangkal Putung.
Pada saat itu Tohpati dan Sumangkar telah
pula melangkah pergi. Mereka tidak meneruskan perjalanan mereka ke
Sangkal Putung. Tetapi mereka bermaksud kembali ke sarang mereka.
Tohpati berjalan dengan wajah tertunduk, sedang di sampingnya Sumangkar
berjalan sambil mengamat-amati goloknya. Perlahan-lahan ia bergumam,
“Besok aku akan mengalami kesulitan”
“Apa?” Tohpati terkejut mendengar keluhan itu.
Sambil menunjukkan goloknya Sumangkar
berkata, “Mata golokku menjadi pecah-pecah. Aku tidak dapat lagi
mempergunakannya untuk membelah kayu”
“Oh” Tohpati menarik nafas dalam-dalam.
Kalau bukan Sumangkar yang berkata demikian, maka orang itu pasti sudah
ditamparnya. Namun tiba-tiba untuk melepaskan kejengkelannya Tohpati itu
berkata lantang, “Besok aku akan pergi ke Sangkal Putung untuk yang
terakhir kalinya”
Sumangkar lah kini yang terkejut, “Besok? Apakah angger sudah cukup siap?”
Tohpati tidak segera menjawab. Ia
melangkah semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin panjang,
sehingga Sumangkar terpaksa berkali-kali mempercepat langkahnya pula.
Ketika Tohpati tidak segera menjawab
pertanyaannya maka sekali lagi Sumangkar bertanya, “Angger, apakah
angger besok dapat menyiapkan laskar Jipang untuk menyerang Sangkal
Putung?”
“Aku telah siap sejak pecah perang Jipang dan Pajang” geram Tohpati tanpa berpaling.
Sumangkar mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba terasa sesuatu pada dinding Tohpati itu. Meskipun demikian
Sumangkar mencemaskan nasib Macan Kepatihan itu pula sehingga ia
berkata, “Mungkin angger Tohpati sendiri telah siap sejak lama. Tetapi
apakah laskar angger, dan pimpinan-pimpinan yang lain telah siap pula?”
“Aku tidak peduli apakah mereka sudah siap atau belum. Besok aku akan menyerbu Sangkal Putung. Untuk yang terakhir kalinya”
“Kenapa yang terakhir kalinya ngger?”
“Aku sudah jemu pada peperangan ini. Aku sudah jemu melihat pepati. Aku sudah jemu melihat darah dan penderitaan”
Dada Sumangkar berdesir mendengar jawaban
itu. Ia sendiri adalah orang yang jemu menghadapi persoalan yang
seakan-akan tidak berpangkal dan tidak berujung. Tetapi ia melihat pada
dada Tohpati itu membayang keputus-asaan dan kekecewaan yang
meluap-luap. Di samping Widura dan Untara, kini ia mengenal lawan yang
baru, yang cukup berbahaya pula baginya. Bukan Sidanti, tetapi Ki Tambak
Wedi. Ia tidak akan dapat menggantungkan nasibnya terus menerus kepada
Sumangkar, paman gurunya itu. Bahkan kemudian diketahuinya pula bahwa di
Sangkal Putung ada orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing yang
memiliki ilmu sejajar dengan Ki Tambak Wedi, sehingga orang itu berani
menonton perkelahian yang sedang berlangsung di antara mereka. Di antara
ilmu yang bersumber dari Kedung Jati melawan ilmu yang bersumber dari
lereng Merapi.
Persoalan-persoalan yang tumbuh di dalam
perkemahannya, persoalan-persoalan yang tumbuh di sekitarnya telah
mendorong Tohpati dalam keadaan yang sulit. Tetapi semuanya itu tidak
akan menggoncangkan tekadnya, seandainya tidak ada persoalan-persoalan
yang tumbuh di dalam dadanya sendiri. Beberapa hari ia telah diganggu
oleh pertimbangan-pertimbangan yang membingungkannya.
Pertimbangan-pertimbangan yang tidak pernah dikenalnya sebelumnya. Tak
pernah sehelai bulunya pun yang meremang, apabila ia melihat darah,
mayat, mendengar pekik rintih dan tangis. Dadanya sama sekali tidak
tergetar melihat pedang yang berlumur darah dan bahkan tubuh yang
terpisah-pisah. Namun tiba-tiba kini ia merasa ngeri hanya mengenangkan
itu semua. Mengenangkan kembali dan tidak sedang menghayatinya.
“Setan” geramnya.
Sumangkar berjalan terloncat-loncat di
sampingnya. Ketika ia mendengar Tohpati menggeram, maka sekali lagi ia
bertanya, “Kenapa angger menjadi jemu?”
Sekali lagi Tohpati menggeram, katanya,
“Kenapa paman bertanya? Paman adalah salah satu sebab dari kejemuan itu.
Paman telah membujuk aku. Paman telah memperlemah tekadku. Dan paman
pasti akan menyetujui pendapatku. Peperangan ini harus segera berakhir.
Pajang atau Jipang yang akan hancur”
Dada Sumangkar benar-benar bergetar
mendengar jawaban itu. Sehingga cepat-cepat ia menjawab, “Angger telah
memilih jalan yang sama sekali tidak tepat”
Langkah Tohpati terhenti mendengar
perkataan Sumangkar itu. Dengan tajamnya ia memandang wajah orang tua
itu dengan sinar kemarahan yang menyala-nyala, “Apakah yang kau katakan
paman?”
“Angger mencoba menempuh jalan yang salah”
“Kenapa?”
“Angger telah meninggalkan segenap perhitungan seorang senapati”
“Apa gunanya perhitungan-perhitungan itu
lagi? Bukankah paman juga menghendaki supaya kami cepat hancur dan
peperangan berhenti?”
“Tidak”
“Paman” geram Tohpati, “Paman sudah tua.
Dan perkataan paman sama sekali tidak dapat didengar dengan pasti. Apa
yang paman kehendaki sebetulnya? Jangan mencla-mencle”
“Tidak, aku tetap pada pendirianku. Aku
menghendaki peperangan segera berakhir. Tetapi aku tidak menghendaki
laskar Jipang membunuh dirinya”
“Apa pedulimu paman. Hidupku adalah
wewenangku. Kalau besok aku menyerbu Sangkal Putung sebagai sulung
menjelang api, dan kemudian aku akan binasa karenanya, namun peperangan
akan berhenti, bukankah paman akan tertawa pula karenanya. Paman akan
tertawa melihat mayat Tohpati dipenggal kepalanya dan diseret sepanjang
jalan raya Pajang untuk dipertontonkan kepada rakyat. Dan paman akan
tertawa melihat Untara mendapat hadiah serupa dengan yang diterima oleh
Pemanahan dan Penjawi?”
“Angger salah terka. Aku tidak ingin melihat angger membunuh diri bersama seluruh laskar”
“Apa pedulimu? Apa pedulimu. He? Nyawa ini adalah nyawaku. Hidup ini adalah hidupku sendiri”
“Aku tidak keberatan kalau Raden membunuh
diri dengan cara itu. Tetapi jangan membinasakan laskar angger itu.
Jangan membawa mereka terjun kedalam lembah kengerian itu”
“Diam, diam kau tua bangka” teriak
Tohpati dengan marahnya sehingga tongkatnya terayun-ayun menunjuk
keakrah kepala Sumangkar. Tetapi kini Sumangkar tidak meletakkan
goloknya, tidak menyerahkan kepalanya sambil ngapurancang. Tetapi orang
tua itu tiba-tiba meloncat surut sambil mempersiapkan dirinya.
Benar-benar bukan Sumangkar juru masak yang malas, tetapi Sumangkar yang
telah berhasil mengimbangi kekuatan hantu lereng Merapi.
Mata Tohpati terbelalak karenanya,
seakan-akan ingin meloncat dari pelupuknya. Betapa dadanya menjadi
bergelora seolah-olah akan meledak melihat sikap Sumangkar itu. Melihat
Sumangkar menyilangkan goloknya di muka dadanya dan siap menghadapi
setiap kemungkinan.
Sejenak kemudian tubuhnya menjadi gemetar
karena marahnya. Tongkatnya yang putih berkilauan itu pun bergetar
dalam genggaman tangannya. Sambil menunjuk si dengan tongkatnya itu
Macan Kepatihan menbentak, “He, Sumangkar, apakah kau akan berani
melawan Macan Kepatihan?”
“Hem” Sumangkar berdesah, “Angger Macan
Kepatihan, meskipun angger bernyawa rangkap berkadang dewa-dewa di
langit, namun kau tidak akan mampu melawan Sumangkar”
“Persetan dengan kesombonganmu itu tetapi kau telah berbuat kesalahan terhadap pemimpinmu di sini”
“Apa salahku? Aku mencoba mengatakan apa
yang baik bagiku. Bagi pendirianku. Apakah itu salah? Kalau kau tidak
mau mendengarkan nasehatku, jangan kau dengar. Berbuatlah sesuka hatimu.
Kau bukan anakku, bukan cucuku. Kau bagiku tidak lebih dari murid
saudara seperguruanku. Apakah kau akan mati pancang, ataukah mati
digilas guntur dari langit, aku tidak akan kehilangan. Tetapi sebagai
orang tua aku ingin melihat, kalau kau mati, matilah dengan hormat.
Kalau kau jemu melihat penderitaan, jangan kau jerumuskan anak buahmu
dalam penderitaan. Kalau kau jemu melihat pepati, jangan kau bawa anak
buahmu kedalam lembah kematian. Kau dapat berbuat banyak, namun orang
akan menilai apa yang telah kau lakukan. Apalagi kalau kau sudah
memutuskan untuk pergi ke Sangkal Putung yang terakhir kalinya. Maka
nilaimu sebagai seorang pemimpin akan terletak pada saat-saat yang
demikian itu”
Tohpati menjadi seolah-olah terbungkam.
Ia tidak mampu menjawab kata-kata Sumangkar itu. Dan bahkan kepalanya
pun terkulai tunduk menghunjam ke tanah di muka kakinya. Tongkatnya pun
kemudian tertunduk dengan lemahnya.
Terdengar Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Maafkan aku paman”
Sesaat mereka terhentak kedalam
kesenyapan. Angin malam yang lembut mengusap mahkota dedaunan. Suaranya
yang gemerisik seolah-olah suara tembang yang sangat rawan dikejauhan.
Dalam keheningan malam itu terdengar suara Tohpati berat, “Maafkan aku paman. Ternyata aku telah kehilangan akal”
“Jangan menyesal ngger” sahut Sumangkar
sambil mendekati Tohpati yang masih berdiri di tempatnya. “Aku hanya
ingin memberimu peringatan. Rupa-rupanya dengan cara yang wajar, kau
tidak dapat mendengar kata-kataku. Mungkin dinding hatimu yang kisruh
itu hampir-hampir telah tertutup rapat oleh kebingungan dan kekecewaan,
sehingga aku harus menjebolnya dengan sedikit permainan yang agak kasar”
“Tidak paman” sahut Tohpati, “Aku
berterima kasih kepada paman. Paman telah menarik aku kembali pada
tempat yang sewajarnya bagiku. Aku akan dapat tegak kembali sebagai
seorang kesatria dari Kepatihan Jipang. Aku bukan sebangsa cecurut yang
kerdil menghadapi kesulitan. Terima kasih paman. Akan aku pikirkan
nasehat paman. Aku akan kembali ke Sangkal Putung untuk yang terakhir
kalinya, tetapi tidak besok. Aku akan berbicara dengan Sanakeling”
Sementara itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Desisnya, “Bagus. Angger adalah seorang pemimpin. Angger
tidak boleh kehilangan kebeningan pikiran. Kepadamu tergantung
beratus-ratus nyawa anak buahmu. Sedang pada beratus-ratus nyawa itu
tergantung beribu-ribu jiwa keluarganya”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata, “Marilah kita kembali keperkemahan”
Sumangkar mengangguk kecil, “Marilah” katanya.
Sepanjang jalan kembali itu mereka sama
sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Mereka terbenam dalam
kesibukan pikiran masing-masing.
Begitu sampai ke baraknya, segera Tohpati
berteriak kepada seseorang yang berada di samping barak itu untuk
berjaga-jaga, “He, panggil Sanakeling kemari”
Orang itu mengangguk hormat sambil menjawab, “Baik Raden”
Sepeninggal orang itu maka berkatalah
Sumangkar, “Aku akan kembali ke barakku Raden. Silakan Raden
membicarakan persoalan ini dengan para pemimpin laskar Jipang”
“Tidak paman” sahut Tohpati, “Paman tetap di sini”
Sumangkar menggeleng lemah, “Aku hanya
akan mengganggu saja ngger. Mungkin aku akan menambah persoalan yang
akan angger bicarakan. Mungkin aku tidak dapat menahan mulutku, apabila
aku mendengar persoalan-persoalan yang aku tidak sependapat. Karena itu,
aku tidak akan mencampuri persoalan-persoalan para pemimpin. Aku hanya
akan tunduk pada setiap perintah. Mudah-mudahan angger tetap pada
kejernihan hati”
“Nasehat paman sangat kami perlukan”
“Tetapi aku adalah orang tua ngger. Aku
sudah tidak dapat menyesuaikan diri lagi dengan anak-anak muda seperti
angger Sanakeling, angger Alap-alap Jalatunda dan beberapa orang yang
lain. Tetapi aku akan menjalankan setiap perintah”
Sumangkar benar-benar tidak mau lagi
tinggal dibarak Tohpati. Karena itu maka Macan Kepatihan terpaksa
membiarkannya pergi meninggalkannya dan berjalan tersuruk-suruk di
antara beberapa barak kembali menuju kebaraknya sendiri. Sebuah barak
doyong beratap daun-daun ilalang, bertiang bambu muda dan berdinding
anyaman bambu pula.
Di dalam barak itu ditemuinya beberapa
orang tidur mendengkur di atas tumpukan ilalang kering. Ketika salah
seorang membuka matanya terdengar suaranya parau, “Dari mana kau, paman
Sumangkar?”
“Berjalan-jalan” sahut Sumangkar
“Tidurlah, hari telah jauh malam, bahkan hampir menjelang pagi. Besok Kau terlambat bangun. Kenapa golok itu kau bawa kemari?”
“Golokku rusak”
“Kenapa?”
“Tulang-tulang harimau yang keras telah memecahkan dibagian tajamnya”
Orang yang terbangun itu menguap sekali, lalu sahutnya, “Apakah kau mendapat seekor harimau?”
“Hanya tulang-tulangnya” sahut Sumangkar.
“Huh” orang itu mencibirkan bibirnya. “Jangan membual, sekarang tidurlah”
“Aku belum mengantuk”
Orang itu, yang mengenal Sumangkar tidak
lebih dari seorang juru masak yang malas mengumpat. Katanya, “Pemalas
tua. Besok kau pasti akan terlambat bangun. Kalau kau tidak dapat
menyiapkan makan kami, maka kepalamu akan aku gunduli”
“Bukankah tidak aku sendiri juru masak di perkemahan ini?” Bantah Sumangkar.
“Tetapi kaulah yang paling malas di antara mereka. Dan kemalasanmu akan dapat menjalar ke segenap orang.”
“Bukankah itu bukan salahku.”
“Diam. Sekarang kau tidur. Kalau tidak aku sumbat mulutmu dengan ilalang.”
Sumangkar tidak menjawab. Segera ia merebahkan dirinya di atas tumpukan ilalang itu pula.
“Nah. Begitulah.” Gumam orang yang membentak-bentaknya.
Sumangkar hanya tersenyum, “Biarlah ia
mendapat kepuasan” katanya dalam hati, “kasian orang itu. Jarang-jarang
ia menemukan kepuasan seperti ini. Apa salahnya aku menyenangkan
hatinya?”
Lamat-lamat masih terdengar orang itu
berkata, “Kalau kau tidak mau menuruti perintahku, maka kau benar-benar
akan menyesal seumur hidupmu.”
Sumangkar masih saja berdiam diri. Dan
orang itu pun masih saja bergumam untuk melepaskan kepuasannya. Ia
mengumpat Sumangkar sepuas-puasnya. Akhirnya orang itu pun terdiam.
Ketika Sumangkar mengangkat kepalanya, dilihatnya orang itu tidur
mendekur menikmati mimpi yang indah.
“Kasihan” desis Sumangkar, “Anak itu
tidak pernah mendapat kesempatan untuk membentak-bentak orang lain
kecuali aku dan para juru masak. Para pemimpin lebih banyak
membentak-bentaknya daripada memberinya hati.”
Tetapi sejenak kemudian Sumangkar itu pun
benar-benar merasa sangat penat. Matanya mulai diganggu oleh kantuk
yang amat sangat, sehingga sejenak kemudian orang tua itu pun tertidur
pula di atas batang-batang ilalang kering.
Dalam pada itu, penjaga yang mendapat
perintah dari Tohpati untuk memanggil Sanakeling telah melakukan
pekerjaannya. Betapa Sanakeling mengumpat tidak habis-habisnya. Matanya
yang seolah-olah melekat itu benar-benar mengganggunya.
“Kenapa tidak menunggu sampai esok”
keluhnya. Tetapi ia tidak dapat membantah panggilan itu. Sanakeling
tahu, bahwa agaknya Macan Kepatihan sedang diganggu oleh perasaan yang
tidak menyenangkannya. Sehingga Alap-alap Jalatunda mengalami perlakuan
yang sedemikian buruknya. Karena itu, maka betapapun juga, Sanakeling
berjalan pula ke barak Tohpati.
Sedangkan Tohpati hampir tidak sabar
menunggu kedatangan Sanakeling. Mondar-mandir ia berjalan di dalam ruang
yang sempit itu. Ketika itu ia mendengar langkah seorang di luar pintu,
maka segera ia menyapa, “Kau Sanakeling”
“Ya Raden”
“Duduklah”
Sanakeling melangkah memasuki ruangan
yang diterangi oleh pelita yang samar. Meskipun demikian, betapa
terkejutnya Sanakeling melihat tubuh Tohpati. Di beberapa tempat
dilihatnya goresan-goresan dan darah yang telah kering.
“Kenapa luka itu?” bertanya Sanakeling dengan serta-merta.
Macan Kepatihan menggeram. Dipandanginya goresan-goresan itu. Tetapi sama sekali luka-luka itu tak terasa lagi.
“Kakang bertempur?” bertanya Sanakeling.
“Ya” sahut Tohpati pendek.
“Dengan orang-orang Sangkal Putung?”
Tohpati menggeleng, “Tidak” sahutnya, “Dengan Sidanti”
“Sidanti?” ulang Sanakeling. “Jadi benar dengan orang Sangkal Putung”
“Tidak” Macan Kepatihan mencoba
menjelaskan, “Sidanti sudah tidak lagi di Sangkal Putung. Agaknya ada
pertentangan di antara mereka”
“Oh” Sanakeling mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Tetapi kenapa kakang bertempur melawan Sidanti itu? Apakah
dengan demikian kakang tidak dapat mengambil keuntungan dari
pertentangan itu?”
“Sidanti telah berkhianat atas kesatuan
dan kesetiaannya. Dimana pun ia berada maka ia akan berbuat hal yang
serupa. Anak itu memang ingin menggabungkan kekuatannya dengan kita.
Namun aku menolaknya”
Sanakeling mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun tersirat pula kekecewaan hatinya. Segera ia mengetahui
apa yang agaknya terjadi. Tohpati dan Sidanti pasti telah bertempur.
Tetapi luka-luka itu benar-benar mengherankannya, sehingga ia bertanya,
“Apakah Sidanti seorang diri?”
“Tidak, bersama gurunya”
“Oh” Sanakeling mengangguk-angguk
kembali. Ia kini dapat membayangkan semakin jelas perkelahian yang
terjadi antara Tohpati dan Sumangkar melawan Sidanti dan Ki Tambak Wedi.
Namun ia masih juga diliputi oleh
perasaan kecewa. Kalau saja Sidanti dapat berada di pihaknya, maka orang
itu akan dapat menambah banyak kekuatan pada kesatuan Jipang. Sudah
pasti bahwa Ki Tambak Wedi akan membantunya pula. Mungkin pengaruh yang
dimilikinya atas orang-orang di lereng Merapi akan menambah jumlah
kekuatan mereka. Tetapi ia tidak berani menanyakannya kepada Tohpati.
Besok atau kapan saja apabila ada kesempatan ia ingin menemui Sidanti
dan membawanya dalam lingkungan mereka. Namun di antara kekecewaan yang
merayapi hatinya, Sanakeling menjadi heran pula. Agaknya Sumangkar yang
tua itu masih saja memiliki ketangguhan yang dapat dibanggakan, meskipun
selama ini ia lebih senang berada di muka perapian menanak nasi.
Sanakeling itu pun kemudian duduk di
sebuah bale-bale bambu. Ia masih memandangi tubuh Tohpati yang tergores
oleh ujung pedang di beberapa tempat.
“Sidanti menjadi semakin maju” desisnya, “Agaknya gurunya selalu mengolahnya”
Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau demikian maka Sidanti akan lebih baik baginya.
Namun seolah-olah Tohpati mengetahui apa
yang tersirat di dalam kepala Sanakeling itu. Maka katanya, “Tetapi
Betapapun baiknya anak itu, namun ia tidak dapat kita jadikan kawan.
Suatu ketika ia pasti akan menerkam kita sendiri”
Sanakeling tidak menjawab. Ia mengangguk lemah.
“Nah, lupakanlah Sidanti dan Ki Tambak
Wedi itu” berkata Tohpati tiba-tiba. “Kewajiban kita adalah menyerang
Sangkal Putung. Bagaimanamun juga kepergian Sidanti pasti akan
mengurangi kekuatan Sangkal Putung. Aku tidak tahu, apakah laskar
Sangkal Putung terpecah atau tidak. Syukurlah kalau ada sebagian dari
mereka pergi mengikuti Sidanti, tetapi ukuran kita laskar Sangkal Putung
masih utuh”
“Ya” sahut Sanakeling. Ia menjadi gembira
mendengar pendapat Macan Kepatihan itu. Laskarnya sudah terlalu lama
menunggu sehingga ia takut apabila akan timbul kejemuan dikalangan
mereka. Kejemuan itu sudah pasti akan sangat membahayakan. Mereka akan
dapat berbuat aneh-aneh untuk mengisi kekosongan waktu mereka. Dan
kadang-kadang akan sangat merugikan. Kadang-kadang mereka berpencaran
kedesa-desa dan dengan demikian maka kadang-kadang ada di antara mereka
yang dapat ditangkap oleh laskar Pajang.
“Bagaimana pendapatmu?” bertanya Macan Kepatihan itu kemudian.
“Sangat menarik. Aku sudah lama mengharap
keputusan itu. Agaknya kakang selalu ragu-ragu. Sekarang apabila kakang
telah menemukan keputusan, maka keputusan itu harus segera
dilaksanakan. Tidak ditunda-tunda lagi. Aku juga sudah membuat perintah
untuk bersiap. Tetapi karena aku ragu-ragu bahwa kakang akan menundanya
lagi, maka perintahku belum perintah terakhir, belum perintah kepastian”
“Sekarang aku sudah pasti. Kita harus secepatnya pergi ke Sangkal Putung, bagaimana kalau besok?”
“He?” mata Sanakeling terbelak. Namun
kemudian ia tersenyum, “Tidak mungkin. Besok aku baru mengambil
keputusan tentang perintah yang akan aku berikan. Besok perintah itu
pula baru akan di jalankan. Besok malam secepat-cepatnya laskar itu baru
siap. Sedang kalau ada beberapa kelambatan maka laskar itu baru akan
siap lusa. Sehingga sehari sesudah itu kita baru akan dapat mulai dengan
setiap rencana penyerangan yang baik. Bukankah kakang telah beberapa
kali mengalami kegagalan? Apakah kakang Raden Tohpati, harus gagal lagi
nanti?”
“Tidak. Kali ini harus kali yang terakhir”
Sanakeling tertawa. Sahutnya, “Bagus.
Karena itu persiapan kita harus benar-benar masak. Bukankah kita harus
mendapatkan Sangkal Putung sebagai tempat perbekalan? Kalau kita
menduduki Sangkal Putung, maka kita harus dapat memanfaatkannya. Lumbung
kademangan itu harus dapat segera kita singkirkan. Kita duduki tempat
itu sejauh dapat kita pertahankan. Meskipun kakang akan melepaskan
beberapa kepentingan di daerah selatan ini kelak, namun apa yang ada di
daerah yang subur dan kaya itu harus benar-benar bermanfaat bagi kita.
Korban telah banyak jatuh untuk merebut daerah itu”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Terbayanglahh apa saja yang pernah dilakukan untuk merebut daerah ini.
Bahkan akhirnya dirinya sendirilah yang memimpin pasukan Jipang untuk
menguasai daerah yang kaya. Kaya akan hasil bumi, sehingga
lumbung-lumbung Sangkal Putung penuh dengan padi. Dan kaya akan berbagai
macam benda-benda berharga. Penduduk Sangkal Putung terkenal sebagai
penduduk yang senang sekali menyimpan barang-barang berharga. Perhiasan,
ternak dan benda-benda lainnya.
Tetapi, meskipun ia sendiri yang memimpin
laskar Jipang di daerah Sangkal Putung, namun ia belum berhasil untuk
merebutnya. Belum berhasil untuk menguasai kekayaan yang tersimpan di
dalamnya. Dan Pajang pun agaknya tidak mau melepaskan daerah itu,
sehingga di tempatkannya Untara untuk mencoba melindunginya.
Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Sejak
Arya Jipang dan kemudian Patih Mantahun terbunuh dipeperangan, maka
korban masih saja berjatuhan. Satu demi satu dan bahkan sepuluh dua
puluh sekaligus. Peperangan masih saja terjadi dimana-mana. Gerombolan
kecil-kecil dari sisa-sisa laskar Jipang masih bergerak terus, meskipun
demikian mereka tidak lebih dari gerombolan-gerombolan perampok dan
penyamun. Tetapi karena mereka masih merasa terikat oleh seorang
pemimpin yang mereka segani, maka mereka masih belum melepaskan diri
dari kelaskaran mereka. Kesetiaan mereka kepada pemimpin mereka masih
mengikat mereka untuk merasa wajib melakukan perang untuk seterusnya.
Dan karena itulah maka dimana-mana masih timbul pepati.
Sedang pemimpin itu adalah dirinya sendiri, Tohpati
Tohpati menggigit bibirnya. Ia berterima
kasih kepada kesetiaan itu. Ia merasa betapa dirinya mendapat kehormatan
untuk mengikat sekian banyak manusia dalam satu ikatan. Tetapi ia
merasa bahwa dirinyalah sumber dari setiap akibat dari kesetiaan itu.
Akibat yang kadang-kadang tidak dikehendakinya.
Ruangan itu untuk sejenak dikuasai oleh
kesepian. Masing-masing terbenam dalam angan-angan sendiri. Angan-angan
yang bertolak dari gejolak perasaan yang berbeda-beda. Sanakeling masih
dikuasai oleh nafsu untuk memiliki segenap kekayaan yang ada di Sangkal
Putung. Kekayaan yang mungkin masih akan dapat membantu gerakan-gerakan
yang mereka lakukan. Dan kekayaan yang mungkin dapat dimilikinya. Bahkan
mungkin untuk dirinya sendiri. Mungkin akan ditemuinya
perhiasan-perhiasan yang sangat berharga. Gelang, kalung atau pendok
emas tretes berlian. Atau apa saja yang dapat dimilikinya sendiri.
Sesaat mereka masih tetap membisu.
Sanakeling masih saja berangan-angan tentang kekayaan yang akan dapat
dirampasnya dari Sangkal Putung, sedang Tohpati berjejak pada pendapat
yang berbeda. Pendapat seorang pemimpin yang melihat kenyataan-kenyataan
dari laskar yang dipimpinnya, perkembangan keadaan dan
perhitungan-perhitungan atas masa-masa yang akan datang.
Malam yang hening itu kemudian dipecahkan
oleh suara Sanakeling penuh nafsu, “Kakang, baiklah aku kembali ke
barakku. Aku berjanji bahwa orang-orangku dan orang-orang baru yang
telah aku panggil dari daerah utara akan merupakan kekuatan yang dapat
dibanggakan. Sangkal Putung kini ternyata telah berkurang kekuatan,
sedang kekuatan kita bertambah. Menurut perhitunganku maka kekuatan yang
telah ada di sini ditambah dengan kekuatan-keuatan baru, akan dapat
melanda Sangkal Putung dan menghancurkannya. Laskar dari utara itu kelak
akan kembali dengan perbekalan untuk mereka, sedang laskar di daerah
ini pun akan dapat memperkuat diri dengan semua yang akan kita dapatkan
dari Sangkal Putung”
Tohpati mengerutkan keningnya. Ia tidak
menanggapi angan-angan Sanakeling itu, tetapi ia berkata, “Kembalilah.
Aku tidak dapat menunggu lebih lama dari waktu yang kau katakan”
Sanakeling mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi timbullah keheranannya atas sikap Tohpati itu.
Beberapa kali ia menunda penyerangan sehingga laskarnya tercerai berai
kembali, namun tiba-tiba kini Macan Kepatihan itu menjadi sangat
tergesa-gesa.
“Mungkin Raden Tohpati melihat kelemahan Sangkal Putung kini” pikirnya.
Sanakeling itu kemudian berdiri. Dilihatnya halaman barak itu. Gelapnya masih menghitam.
“Aku akan kembali” katanya.
“Kembalilah. Ingat-ingat perintahku”
“Baik” sahut Sanakeling sambil melangkah
meninggalkan ruangan itu. Di sepanjang jarak yang ditempuhnya, bahkan
sampai ke tempatnya dan ketika ia telah membaringkan dirinya,
dirasakannya beberapa keanehan pada pemimpinnya itu. Ia melihat wajahnya
yang murung, dan kadang-kadang perbuatan-perbuatan yang tidak pernah
dilakukannya sebelumnya. Dalam keseluruhannya, tampaklah Tohpati menjadi
sangat gelisah. Tetapi Sanakeling tidak mempedulikannya. Mungkin
Tohpati sedang diganggu oleh beberapa persoalan yang bersifat pribadi.
Mungkin ia kesal pada kegagalan-kegagalan yang dialaminya, atau mungkin
Tohpati sedang membuat rencana-rencana baru yang belum dimengertinya.
Pada hari berikutnya, maka tampaklah
kesibukan di perkemahan itu. Beberapa orang berjalan hilir mudik dari
satu barak kebarak yang lain, sedang beberapa orang lagi pergi
meninggalkan perkemahan itu di atas punggung-punggung kuda. Mereka harus
pergi berpencaran mencari tempat-tempat yang tersebar dari kawan-kawan
mereka. Gerombolan-gerombolan yang seolah-olah liar dan melakukan
berbagai perbuatan yang kadang-kadang benar-benar kasar dan menakutkan.
Perampokan, perampasan dan sebagainya. Kadang-kadang hanya sekedar untuk
memberikan kesan bahwa keadaan sedemikian buruknya, tetapi
kadang-kadang mereka benar-benar melakukannya untuk memperpanjang hidup
mereka.
Dalam pada itu Sangkal Putung pun telah
disibukkan pula oleh persoalan yang dibawa Kiai Gringsing beserta
murid-muridnya. Untara dan Widura yang mendengarkan cerita Ki Tanu Metir
menjadi berlega hati, bahwa kekuatan Sidanti pada saat yang pendek
masih belum mungkin bergabung dengan kekuatan Tohpati. Meskipun demikian
di saat-saat yang akan datang, mereka merasa, bahwa pekerjaan mereka
akan menjadi semakin berat. Apakah Sidanti dan Tohpati menemukan
titik-titik persamaan dan kemudian dapat bekerja sama, apakah Sidanti
dengan Ki Tambak Wedi akan menyusun kekuatan baru untuk menggagalkan
semua rencananya. Kalau demikian, maka Sidanti pasti hanya akan sekedar
membalas dendam, dan mungkin setelah usaha Untara dan Widura gagal di
Sangkal Putung, Sidanti akan menjual jasa melenyapkan Tohpati.
“Tetapi kedudukan Tohpati cukup kuat ngger” berkata Ki Tanu Metir kemudian.
Untara, Widura dan bahkan Ki Demang
Sangkal Putung yang ikut pula mendengarkan segenap cerita itu
mengerutkan kening-kening mereka. Terdengarlah kemudian Untara bertanya,
“Bukankah kita sudah mengetahui kekuatan mereka?”
“Ternyata ada yang belum angger ketahui”
“Apakah itu?” bertanya Widura.
Ki Tanu Metir memandang mereka satu demi satu. Kemudian katanya, “Murid kedua dari Kedung Jati ternyata ada di antara mereka”
“Siapa?” desak Untara
“Angger pasti sudah pernah dengar namanya, Sumangkar”
“Sumangkar” Untara dan Widura hampir bersamaan mengulang nama itu.
“Ya” berkata Untara seterusnya, “Aku
pernah mendengar nama itu, dan pernah pula melihat dan bertemu dengan
orang itu di Kepatihan Jipang. Bukankah paman Sumangkar itu adik
seperguruan paman Mantahun?”
“Ya” sahut Kiai Gringsing.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Yang
terdengar kemudian adalah suara Widura, “Nama itu cukup mengejutkan
hampir seperti nama patih Matahun sendiri. Tetapi kenapa selama ini
orang itu tidak pernah hadir di dalam setiap pertempuran? Bukankah
dengan tenaganya maka Sangkal Putung pasti sudah dapat dipatahkan sejak
serangan yang pertama?”
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Entahlah. Aku tidak tahu. Apakah Sumangkar belum lama berada
di antara mereka, apakah ada sebab-sebab lain”
Namun ternyata berita itu benar-benar
telah menyebabkan Untara dan Widura berpikir keras. Kalau pada saat-saat
mendatang orang itu hadir pula dalam pertempuran, maka keadaan Sangkal
Putung pasti akan sangat berbahaya. Tetapi tiba-tiba Untara tersenyum,
katanya, “Sumangkar benar-benar berbahaya bagi kita di sini seandainya
ia ikut bertempur bersama Tohpati, kecuali Kiai Gringsing bersedia
menolong kami”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya
mendengar kata-kata Untara itu. Namun kemudian ia tersenyum sambil
menjawab, “Hem, apakah aku harus melibatkan diriku langsung dalam
pertengkaran antara Pajang dan Jipang?”
“Adalah menjadi kewajiban kita bersama
untuk berbuat demikian Kiai” sahut Untara, “Seperti Sumangkar merasa
wajib pula untuk melindungi Tohpati”
“Ya, angger benar. Angger tahu pasti
pendirian Sumangkar dalam pertentangan antara Jipang dan Pajang.
Sumangkar adalah orang kedua setelah Mantahun dalam perguruannya, sedang
orang kedua setelah Mantahun dalam tata kelaskaran Jipang adalah
Tohpati itu sendiri. Sehingga mau tidak mau, maka Sumangkar adalah orang
yang langsung berkepentingan atas Tohpati itu. Baik Tohpati sebagai
pemimpinnya maupun Tohpati sebagai murid saudara seperguruannya”
Mendengar jawaban itu, Untara mengerutkan
keningnya. Widura yang duduk di samping Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil memijit-mijit betisnya.
“Ya” desah Untara, “Kiai benar.
Seharusnya aku tidak melibatkan Kiai dalam pertentangan yang belum pasti
Kiai setujui. Sebenarnyalah bahwa aku belum tahu pasti pendirian Kiai
dalam pertentangan antara Pajang dan Jipang”
Kiai Gringsing itu pun tertawa. Sahutnya,
“Jangan menangkap kata-kataku itu terlalu tajam ngger. Meskipun aku
termasuk orang yang menjadi bersedih hati melihat pertentangan yang
berlarut-larut antara orang-orang Pajang dan orang-orang Jipang, namun
aku melihat kenyataan-kenyataan yang kini berlangsung. Aku pun tidak
akan dapat melihat kelaliman dan kekerasan berlangsung terus-menerus.
Aku tidak menutup mata, bahwa laskar Jipang yang putus asa itu menjadi
liar dan berbuat banyak hal yang terkutuk. Karena itu aku pun tidak akan
mengingkari tugasku untuk membantu mencegah perbuatan-perbuatan itu”
Tiba-tiba wajah Untara dan Widura menjadi
cerah. Meskipun Kiai Gringsing tidak menjanjikan sesuatu dengan jelas,
namun apa yang dikatakannya adalah jaminan, bahwa apabila Sumangkar
turut campur pula dalam pertempuran yang akan datang, dalam setiap
pertempuran yang pasti akan berlangsung lagi, maka Kiai Gringsing akan
dapat menjadi lawannya yang cukup berbahaya bagi murid kedua setelah
Mantahun dari perguruan Kedung Jati itu.
———-oOo———-
(bersambung ke Jilid 010)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-09/

Tinggalkan Balasan