

ADBM-020

AKHIRNYA dari tempat yang terlindung itu Kiai Gringsing melihat dua orang mendekatinya.
“Benarkah kau, Kiai?”
“Ya, aku datang bersama dengan Anakmas Swandaru dan Agung Sedayu.”
“Oh, di mana mereka sekarang?”
“Itu, di situ. Kami tidak ingin
mengejutkan kalian. Kalau kalian melihat kami berempat, maka kalian akan
terkejut dan mungkin berbuat sesuatu di luar perhitungan kami.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam pada itu Swandaru yang tidak sabar telah keluar dari
persembunyiannya diikuti oleh Sutawijaya dan Agung Sedayu.
“Seluruh kademangan menunggu kalian,” kata penjaga itu. “Kita telah menjadi bingung.”
“Apakah mereka mencemaskan nasib kami?” bertanya Swandaru. “Dan karena itu ibu menangis?”
“Bukan saja karena itu,” jawab penjaga, “kami menghadapi soal yang lain.”
Dada Swanadru berdesir mendengar jawaban
penjaga itu. Karena itu dengan serta-merta ia bertanya, “Apakah ada soal
lain yang penting?”
“Ya,” sahut penjaga itu.
“Apa?”
Penjaga itu menjadi ragu-ragu sejenak.
Pendapa Kademangan itu itu tinggal beberapa puluh langkah lagi. Di sana
duduk para pemimpin Kademangan Sangkal Putung dan para pemimpin prajurit
Pajang yang akan dapat memberi penjelasan sebaik-baiknya kepada anak
itu. Karena itu maka prajurit itu menjawab, “Biarlah Ki Demang sendiri
memberi penjelasan. Ki Demang berada di pringgitan.”
Swandaru tidak dapat menahan diri lagi.
Tanpa menjawab sepatah kata pun ia segera meloncat dan berjalan
tergesa-gesa ke pendapa. Di belakangnya berjalan Agung Sedayu dan
Sutawijaya bersama Kiai Gringsing.
Di pendapa Swandaru melihat beberapa
orang prajurit Pajang masih juga duduk dalam beberapa gerombol. Di
sana-sini mereka agaknya sedang memperbincangkan sesuatu yang cukup
penting. Tetapi kesan yang didapat oleh Swandaru adalah bahwa tidak ada
penyerbuan yang gawat telah terjadi. Kalau demikian, soal apakah yang
penting itu.
Dengan langkah yang panjang anak-anak
muda itu bersama Kiai Gringsing itu masuk kedalam pringgitan. Beberapa
orang yang melihatnya menyapa pendek, dan mereka pun menyapa pendek
pula.
Ketika pintu pringgitan terbuka, maka
setiap orang yang duduk melingkar di sekeliling sebuah pelita minyak
kelapa, berpaling memandang ke arah pintu. Hampir bersamaan mereka
melihat Swandaru melangkah masuk dan hampir bersamaan pula mereka
berdesis, “Kau, Swandaru?”
Swandaru tertegun. Ia melihat beberapa
orang pemimpin kademangan dan prajurit Pajang lengkap. Karena itu
dadanya menjadi berdebar-debar.
“Masuklah,” terdengar Untara mempersilakannya.
Swandaru tersadar dari kegelisahannya
yang mencekam dadanya. Ia pun kemudian melangkah dan meletakkan
busurnya di sisi pintu. Tetapi pedangnya masih juga menggantung di
lambungnya. Agung Sedayu dan Sutawijaya pun kemudian meletakkan
busur-busur mereka dan berjalan di belakang Swandaru duduk di dalam
lingkungan para pemimpin itu.
“Hem,” Ki Demang Sangkal Putung berdesah.
Ditatapnya wajah anaknya yang gemuk bulat itu dalam pandangan yang
aneh, setelah dipersilahkannya pula Kiai Gringsing duduk di antara
mereka.
“Kau pergi ke Mentaok?” bertanya Ki Demang.
“Ya, Ayah, bersama dengan Putranda Panglima Wira Tamtama. Mas Ngabaehi Loring Pasar.”
“Oh,” Ki Demang pun menganggukkan
kepalanya. Ia tidak dapat langsung marah kepada anaknya yang gemuk itu
karena kehadiran Sutawijaya.
Untara pun harus menahan kejengkelannya pula akan kepergian adiknya tanpa seijinnya.
Tetapi mereka tidak berani menegurnya,
menegur Swandaru dan Agung Sedayu, sebab di ruangan itu hadir juga
putera Ki Gede Pemanahan. Yang dapat mereka lakukan hanyalah berdesah di
dalam dada masing-masing, sambil sekali-sekali memandangi wajah ketiga
anak-anak muda itu berganti-ganti. Tetapi kedatangan mereka bersama-sama
dengan Kiai Gringsing yang selama ini seakan-akan menghilang
menimbulkan teka-teki pula di dalam hati mereka. Apakah Kiai Gringsing
pergi juga bersama mereka? Ataukah memang Kiai Gringsing yang telah
membawa ketiga anak-anak muda itu untuk bertamasya ke Alas Mentaok?
“Sepeninggalmu Swandaru, kademangan ini menjadi geger,” berkata Ki Demang penuh tekanan.
Swandaru mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak segera bertanya. Ia mengharap ayahnya menceriterakan apa yang telah terjadi.
Dan ayahnya itu berkata pula, “Kami,
seluruh isi kademangan, termasuk para prajurit dari Pajang menjadi
bingung. Bingung dan cemas, sebab kami tidak tahu kemana kalian pergi.
Kami hanya mendengar bahwa kalian akan pergi ke Alas Mentaok. Dan kami
mengerti bagaimana buasnya alas itu.”
Swandaru menundukkan kepalanya. Di dalam
hati ia berkata, “Kalau hanya aku sajalah yang dicemaskannya, maka
sebenarnya kademangan ini tak perlu menjadi gelisah.” Tetapi kata-kata
itu tidak terlontar lewat bibirnya.
Sutawijaya yang merasa telah membawa
kedua anak-anak muda itu pun menundukkan kepalanya. Kini baru terasa
olehnya akibat dari keterlanjurannya. Dengan demikian ia dapat
membayangkan, bahwa ayahnya Ki Gede Pemanahan pun pasti akan marah pula
kepadanya. Tetapi semuanya telah terlanjur. Semuanya telah terjadi.
Meki pun di dalam hati kecilnya ia berkata, “Bukankah kami telah cukup
dewasa. Adalah tidak sepantasnya kami harus selalu berada di dalam
pengawasan seperti kanak-kanak supaya kamu tidak terperosok ke dalam
kubangan.”
Tetapi pula pada mereka yang baru datang,
bahwa sebenarnya yang telah terjadi bukanlah sekedar kecemasan mengenai
kepergian mereka. Tetapi pasti telah terjadi pula sesuatu di kademangan
ini sepeninggal mereka. Kecemasan atas kepergian anak-anak muda itu
pasti tidak akan menimbulkan penjagaan yang semakin ketat seperti kini.
Karena itu maka Swandaru kemudian
bertanya kepada ayahnya, “Ayah, apakah hanya karena kepergianku itu ayah
telah memperkuat penjagaan di halaman ini dan di sudut-sudut padesan?”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Tentu tidak. Apakah kau dengar tangis ibumu?”
Swandaru mengangguk. “Ya, Ayah.”
“Kau sangka ibumu menangisimu?”
Swandaru tidak menjawab. Tetapi hantinya bergumam, “Tidak.”
“Dengarlah Swandaru. Sudah dua malam ini
ibumu menangis tanpa berhenti di malam hari. Hanya di siang hari agaknya
ia dapat sekedar menahan diri.”
Debar di dada Swandaru menjadi semakin
cepat berderak, seakan-akan ia tidak sabar lagi menunggu ayahnya
berkata. Dengan tatapan mata yang tegang ia memandangi wajah ayahnya
itu.
Tiba-tiba orang tua itu berpaling kepada
Kiai Gringsing yang duduk terpekur ambil menggerak-gerakkan
jari-jarinya. Seakan-akan Ki Demang itu pun berkata pula kepadanya,
kenapa ia selama ini tidak pula berada di kademangan?
“Kiai,” berkata Ki Demang itu kemudian, “isteriku telah kehilangan miliknya yang paling disayanginya.”
Ki Tanu Metir mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak dapat segera mengucapkan sesuatu.
“Ya, tetapi apa yang hilang itu, Ayah?”
desak Swandaru yang kehabisan kesabaran. Apakah perhiasan ibu, emas,
intan berlian, atau apa?”
Ki Demang menggeleng. “Yang hilang itu adalah adikmu, Swandaru.”
“He,” Swandaru berjingkat dari duduknya
sehingga bergeser selangkah maju. Tetapi bukan saja Swandaru, Agung
Sedayu pun tidak kalah terkejut. Bahkan Sutawijaya dan Kiai Gringsing
pula.
Dengan terbata-bata Swandaru berkata, “Mirah, jadi Sekar Mirah yang ayah maksud?”
Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, Sekar Mirah telah hilang sejak kemarin.”
“Bagaimana maka Sekar Mirah itu dapat hilang Ki Demang?” bertanya Agung Sedayu terpatah-patah.
“Ya bagaimana?” sahut Ki Demang. “Ia
hilang begitu saja. Hilang dari kademangan ini. Aku pun bertanya
seperti itu, kenapa Sekar Mirah dapat hilang?”
Kiai Gringsing masih juga berdiam diri.
Ia tahu benar betapa perasaan Ki Demang menjadi gelap, sehingga dengan
demikian maka orang itu akan mudah menjadi marah.
“Nah, sekarang aku bertanya kepadamu,
Swandaru,” berkata Ki Demang itu, “apa yang kau dapat dengan
perjalananmu itu? Kalau kau ada di rumah, mungkin keadaan akan berbeda.”
Yang terdengar adalah Swandaru
menggeretakkan giginya. Dengan gemetar ia kemudian bertanya, “Apakah tak
seorang pun yang tahu, dengan siapa Sekar Mirah pergi? Apakah ia
sengaja pergi dengan suka-rela, apakah seseorang telah menculiknya?”
“Pertanyaanmu itu gila sekali. Apakah kau
sangka adikmu itu sebinal kau ini? Kenapa kau dapat berpikir bahwa
adikmu itu dengan suka-rela meninggalkan kademangan? Kau sangka adikmu
sudah tergila-gila pada Sidanti dan pergi mencarinya?”
Tetapi dada Swandaru pun sudah sesak
pula, sehingga ia menjawab, “Habis, bagaimana aku harus menanggapi
persoalan ini? Beri aku jalan untuk berbuat sesuatu ayah. Malam ini juga
aku akan berbuat.”
Wajah Ki Demang pun menjadi kian tegang.
Hampir berteriak ia berkata, “Terlambat. Terlambat. Apa artinya
kepergianmu selama ini?”
Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia mengepalkan tinjunya.
“Tak ada yang kau dapatkan. Tetapi kalau
kau mati juga di perjalanan maka ibumu akan mati membeku, tahu? Sekarang
adikmu telah hilang. Hilang masuk ke dalam lingkungan yang tidak mudah
dapat disusupi.”
“Ya, kemana. Kemana ia pergi.”
“Seseorang melihat, bahwa pada pagi-pagi
hari ketika adikmu pergi ke warung, tiba-tiba ia diterkam oleh seorang
laki-laki. Bukan seorang laki-laki kademangan ini. Tetapi orang yang
melihat itu telah mengenalnya. Namanya Sidanti.”
“Sidanti. Sidanti. Jadi, adikku dibawa oleh Sidanti?” teriak Swandaru.

“Ya. Orang yang melihatnya itu pun
hampir saja mati ketakutan. Tetapi Sidanti tidak berbuat sesuatu
atasnya. Bahkan anak itu berkata, “Katakan kepada ayahnya, bahwa akulah
yang telah membawa Sekar Mirah.”
Terdengar gigi Swandaru berderak. Justru
dengan demikian maka sejenak ia terbungkam. yang terdengar hanyalah
dengus nafasnya yang berkejaran lewat lubang-lubang hidungnya.
Untara, Widura, dan Kiai Gringsing
sejenak hanya dapat mendengarkanaya. Persoalan itu hampir merupakan
persoalan keluarga, sehingga mereka tidak segera dapat turut campur.
Sedang Sutawijaya pun menjadi seakan-akan terbungkam. Ia menyadari
kesalahannya, bahwa ia telah membawa Swandaru pergi. Tetapi apakah
apabila Swandaru ada di rumah, hal itu dapat dihindari? Tiba-tiba
Sutawijaya teringat kepada Argajaya. Apakah ada hubungannya dengan
dendam yang telah ditanamnya di dalam dada orang itu? Dada Sutawijaya
pun menjadi berdebar-debar pula.
Tetapi Agung Sedayu mempunyai sikap yang
lain, Meskipun ia bukan salah seorang keluarga Ki Demang Sangkal Putung,
tetapi ia pun merasa kehilangan pula. Sehingga tiba-tiba ia pun
berkata lancing, “Tak ada lingkungan yang tidak dapat disusupi. Tak ada
dinding yang tidak dapat dipecahkan.” Agung Sedayu itu pun kemudian
berpaling kepada kakaknya. “Kakang Untara. Aku akan kembali ke Jati
Anom. Dari sana aku akan memanjat lereng Merapi untuk menemukan Sekar
Mirah kembali.”
Kini barulah Untara dapat turut
berbicara. “Seharusnya memang demikian, Agung Sedayu. Tetapi di lereng
Merapi itu tidak hanya terdapat Sidanti seorang diri.”
“Di Sangkal Putung tidak hanya terdapat
Sekar Mirah sendiri. Tidak hanya terdapat Ki Demang sendiri. Tetapi
Sidanti dapat mengambil Sekar Mirah. Apakah aku tidak dapat melakukan
hal yang sebaliknya?” sahut Agung Sedayu tidak kalah lantangnya dengan
suara Swandaru.
Tetapi Sutawijaya yang merasa, bahwa ia
telah terlibat pula dalam persoalan itu karena ia telah membawa kedua
anak-anak muda itu, berkata pula, “Aku ikut serta. Kita pergi bertiga.
Kita masuki padepokan Tambak Wedi. Kita bakar segenap isinya setelah
kita membebaskan puteri Ki Demang itu.”
Semua orang yang mendengar suara
Sutawijaya itu berpaling kepadanya. Mereka segera melihat wajah anak
muda itu berwarna kemerah-merahan menahan perasaannya. Bahkan tangannya
pun telah dikepalkannya dan diketuk-ketuknya pahanya dengan tinjunya
itu.
Tetapi terdengar kemudian Untara
menjawab, “Sayang Adi Sutawijaya. Ayahanda berpesan kepadaku, bahwa adi
Sutawijaya harus segera kembali ke Pajang. Demikian Adi datang ke
Sangkal Putung ini, maka secepat mungkin Adi harus menyusul ayahanda
supaya ayahanda tidak terlampau cemas dan Gusti Adiwijaya pun tidak
terlampau lama menanti-nanti kedatangan Adimas.”
Wajah Sutawijaya yang tegang itu menjadi berkerut-merut. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Jadi ayah sudah kembali ke Pajang?”
“Ya. Sebagaimana Adimas lihat. Di sini
ayahanda sudah tidak ada lagi. Hanya beberapa orang prajurit pilihan
berkuda telah ditinggalkannya untuk membawa Adi kembali.”
Sutawijaya terhenyak dalam kekecewaan.
Namun tiba-tiba ia berkata, “Baik. Baik, aku akan kembali bersama
prajurit pengawal itu. Tetapi biarlah aku turut menyelesaikan masalah
ini dahulu. Hilangnya Sekar Mirah merupakan tantangan yang harus
dijawab. Bukan sekedar direnungkan dan ditangisi.”
Untara menganggukkan kepalanya. Bahkan dada Ki Demang Sangkal Putung pun menjadi berdebar-debar pula karenanya.
“Adi Sutawijaya benar. Tetapi kita tidak
boleh kehilangan kesadaran dalam berbuat. Kita tahu benar siapakah
Sidanti, siapakah Ki Tambak Wedi. Dan siapakah yang berada bersama-sama
dengan mereka di dalam sarangnya. Bagi Adimas, gambaran padepokan itu
masih terlampau kabur. Kita belum tahu pasti kekuatan mereka. Bahkan
bagi kita masih jauh lebih jelas melihat kekuatan Tohpati daripada
kekuatan Tambak Wedi.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Naluri
keprajuritannya kini membenarkan pendapat Untara itu mengatasi nafsu
mudanya. Kembali ia mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia pun terdiam.
Tetapi dalam pada itu terdengar Agung
Sedayu berkata, “Kakang Untara, kita tidak dapat membiarkan Sekar Mirah
terlampau lama di sarang Sidanti. Itu terlampau berbahaya baginya. Bagi
seorang gadis.”
“Kita berangkat sekarang,” potong
Swandarau. “Sidanti mampu mengambil Sekar Mirah di Sangkal Putung.
Kenapa kita tidak mampu mengambilnya?”
“Ada bedanya Adi Swandaru. Di sini Sekar
Mirah bebas tanpa pengawasan. Sehingga karena itulah maka di pagi-pagi
itu Sidanti berhasil menunggunya di pinggir jalan di tempat yang
terlindung.Tetapi sudah tentu tidak demikian bagi Sekar Mirah di
padepokan Tambak Wedi. Di sana ia pasti terkurung di tempat yang selalu
mendapat pengawasan.
“Kalau begitu kita serbu padepokan itu
dengan kekuatan segelar sepapan. Semua anak-anak Sangkal Putung siap
melakukannya demi kehormatan kami, nama kademangan ini. Sekar Mirah
bukan saja adik kandungku, tetapi Sekar Mirah merupakan kembang dari
kesucian kami, kesucian nama keluarga kami. Setiap noda yang melekat
padanya, adalah noda yang tercoreng di wajah kami. Di wajah Kademangan
Sangkal Putung.”
Mendengar kata-kata itu tiba-tiba Ki
Demang pun menjadi bertambah tegang. Ia pun sadar apa yang dapat
terjadi atas gadisnya itu. Karena itu maka tiba-tiba orang tua itu pun
berkata, “Kita akan menyusulnya ke lereng Merapi. Setiap laki-laki akan
turut serta merebut anak itu kembali.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
ia adalah seorang senopati. Ia tidak dapat berbuat menurut nafsu yang
menyala-nyala. Ia tidak dapat berbuat hanya berdasarkan perasaan, tidak
berdasarkan perhitungan. Karena itu ia berkata, “Benar Ki Demang. Kita
akan segera menyusul Sekar Mirah ke padepokan Ki tambak Wedi. Tetapi
kita tidak boleh terjerumus dalam kesalahan karena penglihatan kita
tertutup oleh kemarahan yang meluap-luap. Dan itulah yang dikehendaki
oleh Sidanti dan Ki Tambak Wedi, sehingga kita akan kehilangan
kejernihan pikiran.”
“Kita sudah cukup lama berpikir. Bagi
Sangkal Putung tidak akan ada jalan lain daripada menerobos masuk ke
dalam sarang orang gila itu,” sahut Swandaru, yang disambung oleh Agung
Sedayu, “Hilangnya Sekar Mirah, adalah tantangan dan penghinaan bagi
kami yang berada di kademangan ini pula. Bukankah dengan demikian
Sidanti ingin mengatakan bahwa tak ada laki-laki di kademangan ini? Tak
ada seorang pun yang mampu melindungi gadis itu?”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
tahu bahwa perasaan adiknya itu pun sedang terbakar. Ia tahu perasaan
yang tersimpan di dada anak muda itu terhadap Sekar Mirah, sehingga
dengan demikian maka hatinya pun menjadi gelap. Anak yang biasanya
selalu mempergunakan berbagai macam pertimbangan dalam setiap tindakan,
bahkan lebih mirip dengan sifat yang selalu ragu-ragu, kini tiba-tiba
tidak lagi dapat membuat pertimbangan-pertimbangan sama sekali.
Tetapi menghadapi wajah-wajah yang tegang, hati-hati yang tegang dan pikiran-pikiran yang gelap, Untara menjadi cemas.
Apalagi ketika Ki Demang sendiri berkata, “Swandaru, kita siapkan orang-orang kita besok. Kita segera menyusul adikmu.”
Untara benar-benar kehilangan cara untuk
mencegahnya. Tetapi ia tahu benar bahaya yang dapat terjadi. Bahaya bagi
pasukan Sangkal Putung. Sudah tentu bahwa pasukannya sendiri tidak akan
dapat membiarkan orang-orang Sangkal Putung itu bertindak. Tetapi
dengan cara yang demikian itu, maka ia akan berbuat suatu kesalahan bagi
seorang senopati. Bertindak dengan tergesa-gesa ebelum tahu benar
imbangan kekuatan yang ada. Sebab bukan mustahil bahwa di padepokan Ki
Tambak Wedi telah tersusun kekuatan yang sangat rapi. Bukan pula
mustahil bahwa Ki Tambak Wedi telah membuat rencana tertentu. Masuk ke
dalam kademangan ini selagi kademangan ini menjadi kosong. Itulah
sebabnya ia harus membuat perhitungan-perhitungan yang lebih masak
menghadapi hantu lereng Merapi itu.
Untara menjadi semakin bingung menghadapi
orang-orang yang telah dibakar oleh perasaannya itu. Swandaru yang
mendapat perintah ayahnya itu segera menyahut, “Baik, Ayah. Malam ini
juga aku akan mempersiapkan anak-anak muda Sangkal Putung.”
Untara menjadi bertambah gelisah.
Tiba-tiba tanpa disadarinya ditatapnya wajah pamannya, Widura, kemudian
Kiai Gringsing yang masih saja berdiam diri seakan-akan minta
pertimbangan, bagaimana mengatasi persoalan yang sedang dihadapinya.
Kiai Gringsing yang selama itu hanya
berdiam diri sambil mendengarkan persoalan yang terjadi di Sangkal
Putung itu pun mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan tetapi jelas ia
berkata, “Memang, kita harus segera menemukan kembali Angger Sekar
Mirah.”
Untara menarik alisnya tinggi-tinggi.
Tetapi dibiarkannya Kiai Gringsing berkata seterusnya, “Kita tidak akan
sampai hati membiarkannya terlampau lama di tangan Angger Sidanti.”
Swandaru pun dengan serta-merta menyambung, “Nah. Bukankah begitu, Kiai. Kita harus segera menemukan Sekar Mirah.”
“Secepatnya,” sahut Kiai Gringsing.
“Ya, secepatnya,” Agung Sedayu memotong. “Sekarang kita harus segera mempersiapkan diri.”
“Tetapi ingat. Kita harus menyelamatkannya. Karena itu secepatnya, namun tidak boleh kehilangan maksudnya, menyelamatkannya.”
Swandaru dan Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun yang bertanya adalah Ki Demang Sangkal Putung, “Maksud Kiai?”
“Kita harus menyadari bahwa Sekar Mirah kini berada di tangan Sidanti.”
Ki Demang menjadi semakin tidak mengerti.
Karena itu ia berkata, “Ya, kita menjadi bingung karena Sekar Mirah
berada di tangan anak gila itu.”
“Nah, karena itu kita harus
memperhitungkan gadis itu. Gadis yang harus kita selamatkan. Kita tidak
boleh terbakar oleh nafsu dan kemarahan tanpa menghiraukan titik bidik
yang sebenarnya. Kita hanya memperhitungkan kekuatan pasukan yang
mungkin akan mampu memecahkan pertahanan padepokan Ki Tambak Wedi dan
kemudian menjadikannya karang abang. Tetapi kita lupa bahwa Sekar Mirah
berada di sana, di dalam kekuasaan orang-orang itu, di dalam pertahanan
yang ingin kita pecahkan.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Dilihatnya
sorot pandangan mata yang keheran-heranan di sekitarnya. Ki Demang,
Swandaru, Agung Sedayu, dan beberapa orang Sangkal Putung yang lain.
“Ki Demang,” berkata Kiai Gringsing
seterusnya, “Sidanti dan Ki Tambak Wedi adalah orang-orang yang dapat
berbuat hal-hal yang tidak dapat kita duga sebelumnya. Kalau kita dengan
serta-merta memecahkan pertahanan mereka, maka dengan demikian kita
hanya menuruti nafsu sendiri. Kita telah kehilangan tujuan kita,
menyelamatkan Sekar Mirah. Sebab apabila pertahanan mereka tidak dapat
melindungi padepokan mereka, maka nyawa Sekar Mirah menjadi terancam.
Mereka akan melepaskan kemarahan mereka pada Sekar Mirah. Mungkin dengan
sengaja mereka membuat kita menjadi ngeri. Dengan alat gadis itu mereka
membalas kekalahan mereka. Membalas sakit hati mereka. Nah,
bayangkanlah, apa yang akan dapat terjadi dengan Sekar Mirah?”
Ki Demang yang hampir-hampir tidak dapat
mengekang dirinya itu tiba-tiba menyadari keadaannya dan keadaan
puterinya itu. Dengan demikian maka terasa dadanya menjadi kian pepat,
bahkan hampir-hampir meledak.
Sedang Swandaru dan Agung Sedayu dapat
mendengar keterangan Kiai Gringsing itu dengan baik. Kata demi kata.
Dengan demikian berbenturanlah perasaan mereka dengan pengertian mereka
yang mereka dengar dari Kiai Gringsing itu.
Sejenak suasana di pringgitan itu dicengkam oleh kesepian. Kesepian yang seakan-akan membakar jantung.
Tiba-tiba terdengar suara Ki Demang
menyobek, “Lalu, apakah yang harus kita lakukan, Kiai? Apakah kita akan
membiarkan saja semuanya itu terjadi tanpa berbuat sesuatu? Pendapat
Kiai memang benar. Memang dapat diterima oleh nalar. Tetapi apabila kita
hanya berpangku tangan, apakah Sekar Mirah itu akan dilepaskan atau
akan dapat melepaskan dirinya sendiri? Atau kita harus menunggu sampai
Sidanti dan orang-orang liar di padepokan itu sudah puas dengan segala
macam perbuatannya atas gadis itu dan melemparkannya ke luar sarang
mereka, atau membunuhnya?”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi orang tua itu tidak kehilangan ketenangannya. Dengan
sareh ia berkata, “Tentu tidak, Ki Demang. Kita pasti harus berusaha.
Tetapi usaha kita itulah yang harus kita pertimbangkan masak-masak. Kita
dapat menangkap ikannya tanpa mengeruhkan airnya, bahkan membinasakan
ikan itu sendiri.”
Ki Demang terdiam sejenak. Tetapi hatinya
masih juga bergolak. Seakan-akan ia akan segera meloncat saat itu juga
ke padepokan Tambak Wedi di lereng Merapi. Dalam pada itu terdengar
Untara berkata, “Kita harus mempunyai persiapan yang baik untuk merebut
kembali Sekar Mirah. Bukan saja merebut Sekar Mirah, tetapi sekaligus
membinasakan orang-orang Jipang yang tidak mau mempergunakan kesempatan
yang baik, yang telah aku berikan kepada mereka.”
“Ah,” desah Ki Demang, “aku akan membantu
membinasakan Sanakeling dengan segenap kekuatannya. Tetapi rencana itu
jangan menghambat usahaku membebaskan anak itu. Kalian jangan berpihak
pada kepentingan kalian sendiri. Jangan berpihak pada pandangan searah.
Mungkin bagi kalian tidak ada bedanya, apakah kita akan menyerang
Sanakeling, Sidanti, dan Tambak Wedi itu sekarang, atau besok, atau
lusa, asal kalian yakin kekuatan kita sudah cukup, kita menyerang. Kita
hancurkan mereka. Tetapi aku tidak dapat berbuat demikian. Aku harus
segera membebaskan anakku sebelum terjadi sesuatu atasnya.”
Untara hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam mendengar jawaban Ki Demang Sangkal Putung yang lebih banyak
dipengaruhi oleh perasaan seorang ayah daripada seorang demang yang
menghadapi lawan di peperangan. Demikian juga agaknya Swandaru dan Agung
Sedayu. Bahkan segenap orang-orang Sangkal Putung. Bukan saja
orang-orang Sangkal Putung, sebagian prajurit-prajurit Pajang sendiri
merasa apa yang dilakukan oleh Sidanti itu merupakan penghinaan dan
tantangan yang harus segera mendapat pelayanan sewajarnya.
Yang menjawab kemudian adalah Kiai
Gringsing. “Ki Demang benar. Kita tidak dapat membuat pertimbangan dari
segi yang timpang. Kita tidak boleh memberatkan kepentingan Angger
Untara sebagai seorang Senopati Pajang. Tetapi kita pun tidak boleh
hanya menuruti perasaan sendiri. Harga diri yang berlebih-lebihan
sebagai laki-laki pilihan. Harga diri yang terbakar karena penghinaan
itu. Dengan demikian, maka kalian sudah kehilangan sasaran yang
sebenarnya. Angger Untara terlalu memberatkan tugasnya sebagai seorang
senopati, sedang Ki Demang terlalu dibebani oleh nilai-nilai kejantanan
yang sedang terhina. Namun kedua-duanya tidak akan menguntungkan Sekar
Mirah. Terlalu cepat maupun terlalu lambat.”
“Ki Tanu Metir,” sahut Ki Demang, “Mirah
adalah seorang gadis yang berada di antara laki-laki yang buas. Apakah
yang dapat terjadi padanya?”
“Bermacam-macam,” sahut Kiai Gringsing.
“Nah, bukankah Kiai menyadari kemungkinan yang bermacam-macam itu?” bertanya Ki Demang.
“Ya, bermacam-macam. Di antaranya
mencincang Sekar Mirah dan mengikat mayatnya di pintu gerbang yang akan
kita lalui dengan pasukan segelar sepapan.”
“He,” mata Ki Demang terbeliak. Namun
kemudian wajah yang menyala itu tertunduk lesu. Jawaban Kiai Gringsing
tepat mengenai sasarannya. Kemungkinan itu pun memang dapat terjadi
seperti kemungkinan-kemungkinan yang lain.
“Tetapi, lalu bagaimana?” terdengar suara Ki Demang menurun.
Kini kembali pringgitan itu terdampar
pada kesenyapan yang tegang. Masing-masing sibuk dengan pikiran
sendiri-sendiri. Apakah kira-kira yang dapat mereka lakukan untuk
membebaskan kembali Sekar Mirah dari tangan Sidanti?
Swandaru dan Agung Sedayu menjadi kian
gelisah, seakan-akan mereka itu duduk di atas bara. Terdengar gigi
mereka gemeretak dan nafas mereka saling memburu. Di sisi mereka,
Sutawijaya duduk tepekur. Kepalanya menjadi pening. Sebenarnya banyak
hal yang ingin dikatakannya, tetapi ia harus kembali ke Pajang. Tidak
mungkin baginya untuk menolak perintah ayahnya lagi. Karena itu betapa
kecewanya, betapa ia menyesal telah mengajak kedua anak-anak muda itu.
dan kini ia dikecewakan pula karena ia tidak mendapat kesempatan untuk
ikut serta merebut kembali Sekar Mirah. Bukan karena Sekar Mirah adalah
seorang gadis yang cantik, tetapi Sutawijaya pun merasa tersinggung
pula atas perbuatan Sidanti itu.
Dalam pada itu terdengar suara Ki Demang
bernada rendah, “Apakah aku akan membiarkan secercah noda melekat pada
kademangan ini karena keluargaku? Apakah aku harus membiarkan Sekar
Mirah menjadi korban karena persoalan yang seharusnya dipikul oleh
kekuatan jantan di kademangan ini? Oh, persoalan itu akan menjadi saling
mengait. Seperti senjata Sidanti yang mengerikan itun nenggala berujung
rangkap. Dengan ujung dan pangkalnya, ia mampu membuat kita luka
rangkap sekali gerak.”
“Itulah yang sebenarnya kita hadapi, Ki
Demang,” sahut Ki Tanu Metir. “Dengan demikian kita harus berhati-hati
menghadapinya. Kita tidak boleh tergesa-gesa tanpa memperhitungkan
setiap kemungkinan. Namun yang pertama-tama harus kita perhatikan adalah
keselamatan Sekar Mirah. Kalau kita berhasil membebaskan Sekar Mirah
dengan selamat, maka kedua-duanya telah dapat kami jawab sekaligus,
seperti kita juga menggerakkan senjata yang tajam di kedua ujungnya.”
“Ya, demikianlah,” gumam Ki Demang. “Tetapi, bagaimana? Pertimbangan dan pertimbangan saja tidak akan banyak bermanfaat.”
“Memang tidak bermanfaat. Tetapi perbuatan tanpa pertimbangan pun akan sama saja jeleknya.”
“Baiklah, Kiai,” berkata Ki Demang, “sekarang bagaimana pertimbangan Kiai?”
Kiai Gringsing menegakkan punggungnya.
Seakan-akan punggung itu menjadi sangat pegal. Kemudian orang itu pun
menarik nafasnya dalam-dalam.
Kepada Untara Kiai Gringsing itu pun bertanya, “Angger Untara, apakah ada kekuatan yang cukup kini di Sangkal Putung?”
Untara memandang wajah orang tua itu
dengan penuh pertanyaan. Senopati di tempat itu adalah dirinya. Tetapi
agaknya Kiai Gringsing mampu pula membuat perhitungan-perhitungan
menurut tata keprajuritan.
Namun Untara tahu benar, bahwa Kiai
Gringsing memang bukan orang kebanyakan, sehingga dengan demikian ia
merasa tidak berkeberatan untuk menjawab. “Tidak terlampau cukup Kiai.
Sebagian dari prajurit Pajang sedang mengawal orang-orang Jipang yang
telah menyerah bersama Ki Gede Pemanahan. Mereka sampai saat ini belum
kembali. Bahkan menurut Ki Gede Pemanahan, akan datang pula sepasukan
prajurit yang lain, yang harus pergi bersama aku ke Jati Anom untuk
menyelesaikan persoalan Sanakeling dan Sidanti.”
“Bagus,” berkata Kiai Gringsing. “Jadi
akan datang pasukan baru yang segar, sedang yang lain tetap berada di
Sangkal Putung ini bersama Angger Widura?”
“Demikianlah seharusnya menurut
perhitungan Ki Gede Pemanahan. Sebab Ki Tambak Wedi dapat dengan
tiba-tiba saja berada di sekitar tempat ini selagi kita berada di Jati
Anom.”
Kini Kiai Gringsing itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya satu demi satu anak-anak muda
yang sedang dilanda oleh arus kemarahan yang hampir tak tertahankan.
Tetapi Kiai Gringsing sendiri tidak segera menemukan jalan, bagaimanakah
sebaiknya yang harus dilakukan.
Dalam keheningan yang kemudian mencengkam
pringgitan itu terdengar beberapa kali Swandaru berdesah. Sekali-sekali
ia menggeser duduknya dengan gelisah.
Tetapi yang lebih dulu bertanya adalah Agung Sedayu, “Lalu bagaimana Kiai? Apakah yang harus kita kerjakan?”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Kita harus berpikir dengan kepala yang
dingin. Kita harus mampu mempertimbangkan tanpa diburu oleh nafsu supaya
perimbangan kita menjadi jernih.”
“Ya, lalu bagaimana pertimbangan yang
jernih itu?” sahut Swandaru. “Apakah kita harus pergi segelar sepapan ke
Jati Anom ataukah kita harus menunggu saja?”
Adalah sangat sulit untuk menenangkan
hati anak-anak muda itu. Karenanya maka Kiai Gringsing pun harus segera
berbuat sesuatu untuk memecahkan ketegangan hati mereka. Kalau
ketegangan yang telah memuncak itu tidak dapat tersalur secara wajar,
maka mereka pasti akan berbuat sesuatu yang justru menguntungkan
Sidanti. Bukan mustahil kalau Ki Tambak Wedi telah menyusun rencana
sebaik-baiknya untuk menjebak mereka. Rencana penculikan itu pun
mungkin adalah hasil dari perasan otak hantu tua itu. Karena itu maka
yang harus dilakukannya adalah terlampau rumit.
Meskipun demikian, Kiai Gringsing itu
harus menemukan suatu pemecahan. Pemecahan yang tidak membahayakan Sekar
Mirah, tidak merugikan Untara sebagai senopati yang mempunyai tanggung
jawab yang besar. Bukan hanya sekedar soal Sekar Mirah saja, tetapi
persoalan yang jauh lebih luas lagi, namun tidak pula menahan arus
kemarahan anak-anak muda itu, Swandaru dan Agung Sedayu. Karena itu maka
orang tua itu pun berkata, “Swandaru, marilah kita lihat persoalan ini
dari beberapa kemungkinan. Di antaranya adalah, bahwa Ki Tambak Wedi
telah mempergunakan Sekar Mirah sebagai perisai.”
“Tidak, Kiai,” sahut Swandaru, “Sidanti
benar-benar memerlukan Sekar Mirah sebagai kelanjutan hubungan mereka di
kademangan ini dahulu. Dengan demikian maka sangat besar kemungkinannya
bahwa Sekar Mirah akan tetap hidup. Tetapi akibat-akibat lain daripada
itulah yang harus kami cegah.”
“Mungkin juga, tetapi ada juga
kemungkinan yang lain. Kalau Sidanti harus lari meninggalkan
padepokannya karena serbuan pasukan Sangkal Putung dan Pajang, maka
Sidanti tidak akan sempat membawa gadis itu. Nah, daripada ia kehilangan
Sekar Mirah, maka lebih baik baginya apabila Sekar Mirah itu
dibinasakannya sama sekali. Itulah yang harus kita hindari.”
“Oh,” Swandaru memegang kepalanya dengan
kedua tangannya, “soal itu akan selalu kembali dan melingkar-lingkar.
Tetapi kita tidak dapat membiarkannya dengan berbantah tanpa berbuat
sesuatu di sini.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
Muridnya itu agak terlampau berani menjawab setiap kata-katanya. Tetapi
Kiai Gringsing yang sudah lanjut itu dapat mengerti, apakah sebabnya
maka Swandaru dan Agung Sedayu itu seakan-akan menjadi kehilangan
pengamatan diri.
Maka jawab orang tua itu kemudian,
“Karena itu Swandaru. Coba dengarlah, aku akan memberikan beberapa cara
yang mungkin dapat ditempuh.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Kepada
Untara ia berkata, “Angger. Senapati di daerah ini adalah Angger Untara.
Meskipun demikian perkenankanlah saya mengusulkan beberapa cara yang
mungkin dapat ditempuh.”
“Silahkanlah, Kiai,” sahut Untara.
“Apakah pasukan yang sekarang mengawal
orang-orang Jipang ke Pajang itu akan segera kembali dan bahkan
bersama-sama dengan pasukan yang baru untuk Angger Untara?”
“Demikianlah menurut Ki Gede Pemanahan.”
“Bagus. Kalau yang berkata demikian
adalah Ki Gede Pemanahan maka pasti akan terjadi,” sejenak Kiai
Gringsing itu berhenti, kemudian diteruskannya, “Kalau demikian, maka
sebaiknya Angger Untara menunggu kedatangan pasukan itu di sini.”
“Kenapa harus menunggu Kiai,” potong Agung Sedayu, “bagaimana kalau pasukan itu tidak segera datang?”
“Kita tinggal akan menemukan Sekar Mirah
yang telah menjadi klaras. Menjadi daun yang telah kering tanpa arti,”
sambung Swandaru.
“Tunggu dulu,” sahut Kiai Gringsing,
“bukan maksudku bahwa kita hanya menunggu saja sampai pasukan itu
datang. Kita harus memperhitungkan, bahwa di belakang Sidanti dan
Sanakeling itu berdiri Ki Tambak Wedi,” Kiai Gringsing itu terdiam
sejenak. Tampaklah kerut-merut menjadi semakin dalam di dahinya.
Kemudian ia berkata pula, “Kita harus bersiap menghadapi setiap
kemungkinan. Agal atau pun halus. Karena itu pasukan Angger
Untara itu sangat kami perlukan. Namun sementara itu kita tidak akan
tinggal diam. Kita harus berusaha mendekati padepokan Ki Tambak Wedi
dengan diam-diam. Nah, tugas itu dapat diserahkan kepadaku.”
“Bersama aku,” hampir bersamaan Agung Sedayu dan Swandaru berteriak.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Baik, baik,” katanya, “kami bertiga pergi mendahului pasukan
Pajang. Tetapi pesanku Sangkal Putung jangan dikosongkan. Sangkal
Putung harus tetap dijaga dengan kekuatan yang cukup. Ini adalah tugas
Angger Widura. Mudah-mudahan kita dapat memecah perhatian Ki Tambak
Wedi, seperti Ki Tambak Wedi berhasil membuat kepala kita menjadi
pening. Mudah-mudahan perhatian KI Tambak Wedi tertarik pada pasukan
Untara yang segera akan mendekati padepokan mereka. Sementara itu kami
bertiga mendapat kesempatan untuk mendekat. Mudah-mudahan kita akan
dapat melihat setidak-tidaknya mendengar nasib Sekar Mirah.”
Pringgitan itu kini terdiam, seakan-akan
ingin mencernakan kata-kata Kiai Gringsing itu. Beberapa orang saling
berpandangan untuk mendapatkan pertimbangan, meskipun hanya lewat sorot
mata masing-masing.
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesah. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
Yang mula-mula berbicara adalah Widura,
yang selama ini lebih mendengarkan daripada menyatakan pendapatnya,
katanya, “Apakah menurut pertimbangan Kiai, Ki Tambak Wedi masih akan
kembali lagi ke kademangan ini? Apakah Ki Tambak Wedi mempunyai
kepentingan yang sama seperti Tohpati terhadap Sangkal Putung?”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya, jawabnya, “Aku kira demikian. Ki Tambak Wedi tidak akan dapat
menyediakan makan yang cukup untuk waktu yang panjang kepada Sanakeling
dan anak buahnya. Mereka pada suatu saat pasti memerlukan lumbung yang
dapat disadap untuk kepentingan makan mereka.”
“Apakah tidak ada daerah yang lebih dekat dari Sangkal Putung, Kiai. Misalnya Jati Anom.”
“Tentu mungkin. Tetapi kenapa Tohpati
memilih kademangan ini daripada kademangan-kademangan lain? Pasti
Tohpati itu pun mempunyai alasan yang telah memaksanya berbuat
demikian. Bukan mustahil bahwa Ki Tambak Wedi pun mempunya pilihan yang
sama. Sebab menurut penilaian oang-orang di luar kademangan ini, di
Sangkal Putung tersimpan kekayaan yang berlipat ganda dibandingkan
dengan kademangan-kademangan yang lain, sehingga pengorbanan yang
diberikan untuk merebut kademangan ini tidak akan sia-sia.”
Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-angguk. Di dalam hati kecilnya terbersit pula secercah
kebanggaan atas pujian itu, tetapi kebanggaan itu benar-benar harus
ditebus dengan sangat mahal. Bahkan kini anak gadisnya harus direbutnya
dari tangan orang-orang yang memuakkan itu.
Widura pun mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Seperti Ki Demang ia merasa, bahwa Sangkal Putung
menelan tebusan yang mahal. Tetapi Widura adalah seorang prajurit.
Seorang prajurit yang bukan saja harus mempertahankan lumbung-lumbung
yang akan dapat memberi makan kepada lawan, tetapi prajurit memang harus
melindingi hak dan milik rakyat. Bukan sebaliknya. Karena itu,
seandainya Sangkal Putung itu tak ada apa-apa pun, adalah kuwajiban
setiap prajurit Pajang untuk menjaga dan melindunginya dari pihak-pihak
yang dapat menelan daerah itu, memperkosa hak dan kemanusiaan.

Yang bertanya kemudian adalah Swandaru, “Nah, apakah kita akan berangkat sekarang?”
“Jangan tergesa-gesa dan kehilangan
perhitungan,” jawab gurunya. “Beristirahatlah. Besok kita berangkat
setelah kita membuat persiapan-persiapan secukupnya.”
“Kenapa besok, guru?” sahut Agung Sedayu.
“Waktu yang sekejap sangat berguna bagi kita. Yang sekejap itu akan
dapat meluluhkan segenap masa depan bagi Sekar Mirah. Yang sekejap itu
akan bernilai seumur hidupnya.”
“Itu kalau kita dapat memanfaatkan waktu
yang sekejap itu,” sahut Kiai Gringsing. “Tetapi kalau kita gagal sama
sekali karena kita ditelan oleh nafsu, maka bagi kita bukan saja
kehilangan waktu yang sekejap, tetapi kita akan kehilangan semuanya.
Sekarang sebaiknya kita beristirahat. Kita dapat menilai pembicaraan
ini. Mungkin kita akan menemukan pikiran-pikiran yang ternyata lebih
bernilai dari pikiran-pikiran yang kita temukan dengan tergesa-gesa
dalam pertemuan ini. Pertemuan yang lebih banyak dipengaruhi oleh nafsu
kemarahan, kecemasan dan ketergesa-gesaan daripada perhitungan yang
cermat. Apalagi perhitungan yang bersasaran luas. Hubungan yang
bersangkut-paut dengan sikap Pajang terhadap Sanakeling dan Sidanti dan
sikap Sangkal Putung atas hilangnya Sekar Mirah. Kita masing-masing
tidak dapat memandang dari satu segi. Sebab kedua-duanya memiliki
nilainya sendiri-sendiri yang tak dapat saling dipisahkan.”
Ki Demang Sangkal Putung menarik nafas
dalam-dalam. Ia mencoba untuk dapat mengerti keterangan itu. Keterangan
Ki Tanu Metir. Ketika ia memandang Untara, maka anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Ki Tanu Metir benar-benar
berpandangan cukup luas, mencakup segenap kepentingan yang dihadapi.
Untuk mendapatkan Sekar Mirah bukan berarti dapat merusak segenap
rencana sikap yang harus ditempuh oleh para prajurit Pajang. Sekar Mirah
bagi Pajang hanya merupakan salah satu soal dari seribu macam soal yang
harus di atasi. Meskipun demikian Untara tidak akan dapat
mengabaikannya. Apalagi Untara menyadari, bahwa adiknya, Agung Sedayu
dan Swandaru benar-benar terbakar oleh peristiwa hilangnya Sekar Mirah.
Demikianlah maka akhirnya pertemuan itu
pun dibubarkan. Swandaru segera pergi ke bilik ibunya. Ditemuinya ibunya
masih juga menangis ditunggui oleh beberapa orang perempuan. Ketika
dilihatnya Swandaru masuk ke dalam biliknya maka tiba-tiba tangisnya
mengeras. Seakan-akan diteriakkan kepedihan hatinya sepuas-puasnya.
“Oh, anakku Ngger, kemana kau pergi
selama ini? Sepeninggalmu ternyata adikmu hilang dicuri orang. Apakah
kau akan membiarkannya saja? Apakah kau tidak akan berusaha untuk
mengambilnya kembali? Swandaru, kalau adikmu tidak dapat diketemukan, o,
lebih baik aku mati saja sama sekali.”
Dada Swandaru seakan-akan terbelah
mendengar tangis ibunya. Dengan dada yang sesak ia berjongkok di samping
pembaringan ibunya. Perlahan-lahan ia berkata, “Ibu, aku berjanji bahwa
aku akan mengambil Sekar Mirah kembali bersama kakang Agung Sedayu dan
guru Kiai Gringsing. Aku tidak akan kembali sebelum aku membawa anak itu
menghadap ibu.”
Mendengar janji anaknya, tangis ibunya
bahkan seakan-akan meledak. Namun di antara suara tangisnya terdengar ia
berkata, “Tidak sia-sia aku melahirkanmu Swandaru. Kau adalah anak
laki-laki yang harus dapat aku banggakan. Ayahmu menjadi semakin tua.
Kaulah yempat kami bergantung. Juga kali ini.”
Terasa dada Swandaru itu seolah-olah
menggelegak. Hampir-hampir ia kembali kehilangan pengamatan diri.
Hampir-hampir ia meloncat dan berteriak, bahwa malam ini juga ia akan
berangkat ke lereng Merapi. Tetapi kemudian kesadarannya berhasil
mengekangnya. Ia tidak dapat memaksa gurunya berangkat sekarang. Ia pun
tidak akan dapat berangkat sendiri masuk ke dalam sarang hantu Merapi
itu. Karena itu, maka betapa dadanya menjadi sesak, namun ia harus
bersabar sampai gurunya bersedia membawanya pergi.
Bilik itu pun kemudian sepi. Yang
terdengar hanyalah isak tangis Nyai Demang yang sedang kehilangan anak
gadisnya. Hilang diseret masuk ke dalam sarang yang penuh dengan
serigala yang sedang kelaparan.
Ternyata sisa malam itu sama sekali tidak
bermanfaat apa pun bagi pemimpin-pemimpin Sangkal Putung dan
prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung. Mereka tidak berhasil
menemukan pikiran-pikiran baru, meskipun mereka sama sekali tidak dapat
memejamkan mata mereka. Dengan demikian mereka tidak juga dapat
beristirahat.
Malam itu, di padepokan Ki Tambak Wedi,
Sidanti duduk menunggui Sekar Mirah. Sekali-sekali terdengar isak gadis
itu memecah kesenyapan. Namun kemudian yang terdengar adalah gemeretak
giginya beradu. Tetapi betapa kemarahan memuncak di dalam dada Sekar
Mirah, namun ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu.
Tiba-tiba Sekar Mirah terkejut ketika ia
mendengar suara Sidanti. Meskipun suara itu hanya perlahan-lahan, namun
sudah cukup untuk menghentak dadanya. “Mirah.”
Sekar Mirah berpaling. Dilihatnya mata Sidanti yang memerah liar seperti mata binatang buas yang ingin menerkam mangsanya.
“Kau sekarang berada di padepokanku. Di padepokan guruku. Kanapa agaknya kau tidak merasa senang di sini?”
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi sorot matanya mamancarkan kebencian yang tiada taranya.
“Kau tidak usah mengingkari, bahwa
perasaan kita pernah bertaut. Betapapun orang lain menyebut aku sebagai
seorang yang paling kotor di muka bumi ini, tetapi aku memiliki
kesetiaan. Apakah kau juga memilikinya? Kau yang dikatakan orang sebagai
sekar lati Kademangan Sangkal Putung itu?”
Sekar Mirah masih berdiam diri.
“Aku tidak akan dapat melupakannya Mirah.
Aku sadar bahwa kedatangan setan kecil yang bernama Agung Sedayu itu
telah mengganggu hubungan kita. Aku sadar pula, bukan saja hubungan kita
telah diganggunya, tetapi namaku di mata orang-orang Sangkal Putung
telah direbutnya. Anak itu berhasil memenangkan perlombaan memanah di
alun-alun di muka Banjar Desa Sangkal Putung. Bahkan sebelumnya,
kedatangannya untuk menyelamatkan Sangkal Putung telah mendesak
kebanggaanku sebagai anak muda yang paling jantan di kademangan itu.”
Sidanti berhenti sejenak. Ditatapnya wajah Sekar Mirah. Tetapi wajah itu
seakan-akan menyala karena kemarahan yang membara di dalam dadanya.
“Mirah,” Sidanti meneruskan, “itulah
sebabnya maka dendamku kepadanya bertimbun-timbun sampai ke langit.
Apalagi pada saat terakhir ini datang pamanku dari Menoreh. Adalah
kebetulan sekali bahwa paman yang bernama Argajaya itu bertemu dengan
tiga anak-anak muda si perjalanan. Aku tahu pasti bahwa kedua dari
anak-anak muda itu pasti Agung Sedayu dan Swandaru. Mereka telah
menghinakan Paman Argajaya itu pula. Sehingga kemarahanku tidak dapat
lagi aku tahankan. Itulah sebab-sebab yang telah mendorongku mengambil
kau dari Sangkal Putung.”
“Pengecut!” tiba-tiba Sekar Mirah itu
berteriak sehingga Sidanti terkejut karenanya. “Kau tidak berani
berhadapan dengan sikap jantan dengan Kakang Agung Sedayu dan Kakang
Swandaru yang pernah kau tampar pipinya beberapa kali itu, karena mereka
kini telah menemukan guru yang dapat menyaingi gurumu. Sekarang kau
hanya berani mengambil aku, seorang gadis yang lemah.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia tertawa. “Mirah, dengan mengambil kau dari Sangkal Putung
aku akan mendapatkan beberapa kemenangan sekaligus. Bukankah dengan
demikian adalah pertanda bahwa Sidanti mempunyai banyak kelebihan dari
orang-orang Sangkal Putung. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku dapat
masuk ke dalam kademangan itu dan mengambilmu? Alangkah ringkihnya
pertahanan kademangan itu sekarang sepeninggalku. Seorang gadis, puteri
Demang Sangkal Putung masih juga sempat dilarikan orang.”
“Tutup mulutmu!” potong Sekar Mirah beras-keras.
Kembali Sidanti terkejut, tetapi kembali
ia tertawa. Bahkan ia berkata, “Bukankah cara ini merupakan cara yang
paling baik untuk menantang salah seorang daripada kedua anak muda itu.
Agung Sedayu atau Swandaru. Apabila mereka benar-benar jantan, maka
mereka pasti akan mengambilmu kemari. Tetapi ternyata mereka tidak lebih
dari betina-betina pengecut. Sudah lebih dari sehari semalam kau berada
di padepokan ini, tak seorang pun datang menyusulmu. Apa yang disebut
pasukan Sangkal Putung dan prajurit-prajurit Pajang itu pun sama sekali
tidak berbuat sesuatu untuk membelamu.”
“Kau mengigau,” jawab Sekar Mirah. “Kau
mengambil kesempatan pada saat Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru
tidak ada di kademangan. Kau hanya berani berbuat demikian selagi mereka
tidak ada. Apakah dengan demikian kau merasa bahwa kau telah berbuat
secara jantan. Bukankah kau sendiri betina pengecut tiada taranya?”
“Oh,” Sidanti mengernyitkan keningnya,
“jadi apakah saat ini Agung Sedayu dan Swandaru tidak ada di rumah? Aku
sama sekali tidak mengetahuinya. Bahkan aku mengharap, bahwa aku akan
dapat bertemu dengan mereka. Bertempur melawan keduanya di sarang mereka
sendiri.”
“Bohong!” potong Sekar Mirah. “Kau
sendiri mengatakan, bahwa pamanmu secara kebetulan bertemu dengan kedua
anak-anak muda dari Sangkal Putung itu. Di mana mereka bertemu? Mereka
sama sekali tidak bertemu di Sangkal Putung.”
Sidanti terkejut mendengar jawaban Sekar
Mirah. Ia tidak menduga sama sekali bahwa gadis itu ternyata cukup
cerdas menanggapi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Tak diduganya
bahwa ia mampu mempertentangkan kata-katanya yang dianggapnya
berlawanan.
Tetapi sejenak kemudia Sidanti itu pun
berhasil menguasai perasaannya kembali. Dengan demikian maka ia menjadi
tenang, dan bahkan kembali tertawa. Katanya, “Mirah, aku tidak menyangka
bahwa kau memiliki otak yang cerdas. Aku sangka kau hanya mampu
mengingat macam-macam bumbu di dapur untuk bermacam-macam jenis masakan.
Namun agaknya kau mampu juga menangkap tentangan-tentangan yang ada di
sepanjang ceriteraku. Bagus. Baiklah aku berkata sebenarnya, bahwa
memang Paman Argajaya bertemu dengan Agung Sedayu dan Swandaru di
Prambanan. Tetapi, kemudian paman itu sudah berjalan sampai di padepokan
Ki Tambak Wedi ini. Menurut perhitungan, maka jarak antara Prambanan
kemari dan Prambanan ke Sangkal Putung tidak terlampau banyak terpaut.
Sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu dan Swandaru pasti sudah ada
di kademangan pada saat aku mengambilmu.”
“Bohong! Kau bohong! Kalau kau katakan,
bahwa kau ingin bertemu dengan mereka, maka kau pasti sudah berdusta.
Bukankah aku mempunyai ayah? Kalau kau jantan dan berkesopanan kau akan
datang kepada ayah. Minta aku untuk kau bawa kemari. Kalau ayah tidak
boleh, maka kau tantang ia berkelahi dalam perang tanding. Kalau ayah
tidak bersedia melakukan sendiri, ayah dapat menunjuk orang lain. Kakang
Untara misalnya atau Paman Widura yang pada saat itu berada di
kademangan.”
Sidanti itu mengerutkan keningnya, namun
kemudian ia menjawab, “Perbuatanku ini pun aku tujukan pula kepada
mereka berdua. Apakah gunanya prajurit-prajurit Pajang itu berada di
Sangkal Putung? Mereka hanya mampu menghabiskan beras rakyat Sangkal
Putung tanpa dapat berbuat sesuatu. Kau, anak Demang Sangkal Putung,
yang member para prajurit itu makan pagi, siang, dan malam, hilang tanpa
seorang pun yang mencarinya?”
Terdengar gigi Sekar Mirah gemeretak.
Kemarahannya benar-benar telah mendidihkan segenap urat darahnya. Tetapi
ia tidak dapat berbuat sesuatu. Hanya wajahnyalah yang menjadi merah
menyala dan matanya bagaikan berlapis darah.
“Mirah,” tiba-tiba suara Sidanti menjadi
lunak, “kau tidak usah marah. Marilah kita kenang kembali masa-masa di
mana kita selalu bersama-sama. Bukankah kau sering memijit pundakku
apabila tanganku kelelahan dalam peperangan? Bukankah kau juga yang
membalut lenganku yang terluka ketika aku berkelahi melawan Tohpati?
Mirah. Aku tahu bahwa kau tidak dapat melupakan aku seperti aku tidak
dapat melupakan kau.”
“Diam!” teriak Sekar Mirah. Tetapi Sidanti tertawa. Bahkan kemudian ia pun berdiri sambil menggeliat.
“Padepokan ini adalah padepokan guruku.
Guruku tidak berputra dan berputri. Akulah muridnya dan aku pulalah
anaknya. Aku mempunyai kekuasaan di sini seperti kekuasaan Ki Tambak
Wedi sendiri. Nah, renungkan kata-kataku. Aku sengaja membawamu untuk
banyak kepentingan. Memancing orang-orang Sangkal Putung untuk masuk ke
dalam perangkapku, termasuk orang-orang Pajang. Dan apabila kau tetap
berkeras kepala, maka aku akan mendapatkan kau dengan tidak ada rasa
hormat sama sekali. Aku dapat berbuat apa saja.”
Dada Sekar Mirah hampir meledak
karenanya. Tetapi sebelum ia menjawab, maka Sidanti itu pun telah
melangkah pergi meninggalkannya seorang diri.
“Tinggallah di situ sampai ada perubahan
keadaan yang akan membawamu ke luar,” kata-kata itu terlontar dari sisi
pintu yang sesaat kemudian telah didorong dan terbanting keras. Kembali
Sekar Mirah tersekat dalam bilik tertutup. Kembali ia melihat
dinding-dinding yang membatasi ruangan itu, seperti memisahkannya dari
dunia yang membatasi ruangan itu. Tiba-tiba ia merasa terdampar ke dalam
sebuah dunia yang asing. Dunia yang sempit yang dipenuhi oleh perasaan
benci, dendam, muak, dan bahkan putus asa.
Dada Sekar Mirah itu pun semakin lama
menjadi semakin sesak. Nafasnya seakan-akan tersumbat di
kerongkongannya. Sejenak kemudian ia terhenyak dalam perasaan yang tidak
menentu. Namun tiba-tiba ia pun berteriak sedemikian kerasnya sambil
menjatuhkan dirinya telungkup ke atas sebuah amben bambu.
Sekar Mirah itu kini sama sekali tidak dapat menahan tangisnya yang meledak-ledak tanpa dapat dikendalikan.
Tetapi betapa kerasnya ia menangis, ia
masih mendengar tiba-tiba pintu bilik itu pun terbuka kembali. Ia
melihat Sidanti dengan tergesa-gesa meloncat masuk sambil berteriak
pula, “Kenapa kau, Sekar Mirah?”
Oleh pertanyaan itu justru tangis Sekar
Mirah terhenti. Diangkatnya kepalanya dan dipandanginya anak muda itu
dengan sorot mata semerah nyala api. “Pergi! Pergi kau pengecut! Kau
hanya berani berbuat atas seorang gadis. Kalau kau jantan, ayo, tantang
Agung Sedayu untuk berperang tanding!”
Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
ia menjadi berlega hati ketika ia melihat Sekar Mirah masih sanggup
mengangkat wajahnya dan mengumpatnya.
“Kau mengejutkan aku Mirah, bahkan guruku pun terkejut, sehingga disuruhnya aku menengokmu.”
“Aku tidak memerlukan kau.”
“Baik-baik. Kini kau tidak memerlukan
aku. Tetapi suatu ketika kau akan merasa sepi. Dan kau akan menganggap
aku adalah satu-satunya temanmu yang paling baik di sini.”
“Enyah, enyah kau dari sini!”
“Alangkah kerasnya hatimu Mirah. Tetapi hati yang keras itu pun pasti akan lekas dapat aku patahkan.”
“Hanya mautlah yang dapat mematahkan hatiku,” bentak Sekar Mirah.
Mendengar jawaban itu hati Sidanti
Berdesir. Disadarinya bahwa gadis yang berdiri di hadapannya itu adalah
puteri Demang Sangkal Putung dan adik seorang anak muda yang bernama
Swandaru Geni. Betapa keras hati ayah dan kakanya, maka hati gadis ini
pun pasti tidak jauh terpaut daripada mereka.
Namun justru karena itulah, maka hasrat
di dalam hati Sidanti untuk menaklukkannya pun menjadi semakin besar.
Semakin keras sikap Sekar Mirah, maka semakin besar nyala api di dalam
dada Sidanti. Sebagai seorang laki-laki yang kuat dan kasar, maka
Sidanti merasa bahwa kesanggupan yang ada di dalam dirinya pasti
mratani. Juga untuk menundukkan gadis ini.
Sejenak kemudian maka kembali Sidanti
tersenyum. Sambil melangkah ke pintu ia berkata, “Baiklah Mirah. Aku
menyadari bahwa yang aku hadapi kali ini adalah seorang gadis yang
garang. Karena itu aku harus berhati-hati. Bukan saja berhati-hati,
tetapi aku harus bersabar hati.”
Sekar Mirah kini tidak mau menjerit lagi.
Ia tahu bahwa jeritnya pasti akan mengundang Sidanti itu masuk kembali
ke dalam biliknya, apabila anak muda itu belum terlampau jauh.
“Lebih baik aku mati daripada di jamah
oleh iblis itu,” desis Sekar Mirah di dalam hatinya. Tiba-tiba tangannya
meraba ikat pinggangnya. Ia menjadi berlega hati ketika tangannya
menyentuh sebuah benda yang kecil. Patremnya masih terselip diikat
pinggangnya.Ternyata kemarin Sidanti tidak mengetahuinya, pada saat
membawanya ke lereng ini dalam keadaan pingsan.
“Kalau ia mendekat, maka patrem ini akan membunuhnya atau membunuh diriku sendiri.”
Tetapi terasa bilik itu menjadi semakin
sempit. Ketika kembali malam mencekam lereng Gunung Merapi, maka kembali
bilik kecil itu menjadi gelap. Tetapi hati Sekar Mirah jauh melampaui
gelapnya malam yang paling pekat sekalipun.
Ketika Sekar Mirah mendengar pintu
bergerit cepat-cepat ia bergeser menjauh. Tangannya segera melekat pada
tangkai patremnya yang kecil. Tetapi patrem itu akan dapat mencapai
jantungnya apabila ditusukkannya tepat di dada.
Tetapi yang masuk adalah seorang yang
bertubuh kecil. Dengan nanar ia memandangi seisi bilik itu. Ketika
terlihat olehnya Sekar Mirah berdiri di sudut bersandar dinding, maka
tampaklah seleret giginya yang kemerah-merahan oleh sinar pelita yang
dibawanya.
“Heh, heh, heh,” terdengar orang kecil itu tertawa, “aku mendapat tugas untuk memasang lampu ini Sekar Mirah. Jangan takut.”
Sekar Mirah tidak menyahut. Ia menjadi ngeri melihat wajah itu. Kecil tapi liar.
Ketika orang yang bertubuh kecil itu
telah meninggalkan biliknya, maka kepedihan di dalam dada Sekar Mirah
menjadi semakin menyekat dadanya. Kini biliknya tidak lagi menjadi
gelap. Sebuah pelita yang kecil telah terpancang di dinding. Tetapi
justru sinar yang samar-samar itu telah menjadikan Sekar Mirah bertambah
ngeri.
“Oh,” desahnya, “kenapa aku terlempar ke
dalam sarang hantu-hantu semacam ini.” Namun ketika terasa dadanya
mendesak air matanya menetes, ditahannya hatinya. Ia harus tetap dapat
menguasai dirinya. Ia harus tetap melihat dan mendengar keadaan di
sekitarnya.
“Aku tidak boleh tenggelam,” desahnya.
Pada saat yang bersamaan, Kiai Gringsing
dan Agung Sedayu menunggu di depan pendapa Kademangan Sangkal Putung
dengan gelisah. Keberangkatan mereka tertunda karena perkembangan
keadaan di Sangkal Putung. Hari itu datang seorang pesuruh dari Pajang
yang mengabarkan bahwa pasukan Pajang sedang di perjalanan. Pasukan yang
akan diberikan kepada Untara untuk menghadapi hantu di lereng Merapi
bersama Sanakeling dan pasukannya. Tetapi ternyata sampai lewat senja
pasukan itu belum juga datang.
“Kenapa kita harus menunggu Kiai?” bertanya Agung Sedayu.
“Maksudku, aku akan dapat melihat pasukan
itu lebih dahulu. Kemudian apabila kita dapat melihat kekuatan Tambak
Wedi, maka segera kita akan dapat membuat perbandingan.”
“Ah. Apakah kita perlu menunggu lebih
lama lagi?” bertanya Swandaru pula. Biarlah kita berangkat. Hari telah
menjadi gelap. Kita telah kehilangan waktu lagi satu hari.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah kita segera berangkat. Lebih baik kita berangkat lebih dahulu.”
Kiai Gringsing itu pun segera menemui
Untara dan Widura. Diberitahukannya kepada Senapati itu bahwa ia tidak
dapat menunggu lebih lama lagi.
“Kalau keberangkatan kami tertunda,
Ngger, maka akibatnya pasti kurang baik bagi adikmu, Ki Demang dan
Swandaru. Apalagi kalau kedatangan kami di lereng Merapi ternyata
terlambat, maka kesalahan pasti akan ditimpakan kepadaku dan Angger.”
Untara dan Widura saling berpandangan
sejenak. Tetapi Untara masih mencoba menahannya, “Aku kira pasukan itu
pasti datang hari ini Kiai. Kiai akan segera dapat melihat kekuatan itu
dan langsung dapat menilainya. Perjalanan Kiai kemudian akan mendapat
dua nilai sekaligus. Melihat keadaan Sekar Mirah dan memperbandingkan
kekuatan kita dan kekuatan Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sudut pandangan itu akan bermanfaat bagi Untara sebagai
seorang Senapati. Tetapi ia tidak sampai hati untuk membiarkan kedua
murid-muridnya menjadi tegang, Ketegangan itu akan berbahaya bagi
anak-anak muda. Mereka akan dapat kehilangan pertimbangan dan bertindak
di luar perhitungan oleh desakan perasaan mudanya.
Karena itu sejenak Kiai Gringsing menjadi
bimbang. Menurut pendapatnya, selisih waktu yang beberapa saat pasti
tidak akan banyak pengaruhnya. Kalau Agung Sedayu dan Swandaru dapat
menunggunya lagi, maka prajurit Pajang itu pasti akan datang, Namun
perasaan kedua anak muda itu agaknya telah mencengkam mereka, sehingga
nalar mereka tidak lagi dapat bekerja dengan baik.
“Angger Untara,” berkata Kiai Gringsing
itu kemudian, “sebenarnya aku dapat mengerti perhitungan Angger. Tetapi
adik Angger itu benar-benar telah menjadi waringuten. Demikian
pula Swandaru. Kalau kami tidak segera berangkat, aku menjadi cemas
bahwa mereka akan pergi lebih dahulu tanpa aku. Nah, apabila demikian
keselamatan mereka pasti terancam.”
Untara menarik nafas dalam-dalam.
Demikian juga Widura. Tetapi agaknya Widura yang telah lebih tua dari
Untara itu lebih dapat merasakan perasaan kedua anak-anak muda itu.
Karena itu maka katanya, “Untara, biarlah mereka berangkat. Tetapi Kiai
Gringsing pasti akan dapat mengatur perjalanan mereka, sehingga mereka
akan dapat melihat kekuatanmu nanti di Jati Anom. Yang penting bagi
mereka adalah segera berangkat meninggalkan Sangkal Putung. Mereka hanya
ingin segera berbuat sesuatu.”
Akhirnya Untara tidak dapat menahan Kiai
Gringsing lebih lama lagi, kalau dengan demikian akan berbahaya bagi
adiknya dan Swandaru. Meskipun demikian mereka sempat juga membicarakan
cara-cara yang terbaik untuk menyelesaikan tugas mereka.
“Kalau malam ini pasukan itu telah
datang, Kiai,” berkata Untara, “dalam waktu yang singkat aku pasti sudah
berada di Jati Anom. Kiai dapat melihat kekuatan itu di sana. Aku akan
memasang rontek dan umbul-umbul untuk sedikit memberi sentuhan pada
perasaan orang-orang Jipang. Mudah-mudahan mereka segera akan
terpengaruh, sehingga mereka pun akan menjadi berkecil hati.”
“Bagus, Ngger,” sahut Kiai Gringsing,
“berilah tanda-tanda. Kebesaran pasukanmu akan memperkecil daya tahan
orang-orang Jipang. Dengan demikian, maka pekerjaanku mencari Sekar
Mirah pun akan menjadi lebih mudah. Mudah-mudahan perhatian mereka
terpecah. Mudah-mudahan mereka tidak menjadi gila dan berbuat liar di
luar batas-batas perikemanusiaan atas Sekar Mirah.”
“Baiklah, Kiai,” berkata Untara kemudian, “mudah-mudahan Kiai besok sempat menghubungi aku di Jati Anom untuk segala keperluan.”
Kiai Gringsing pun segera mengabarkan
kepada Agung Sedayu dan Swandaru, bahwa mereka dapat berangkat segera.
Agung Sedayu dan Swandaru pun dengan tergesa-gesa minta diri kepada
Untara, Widura dan Ki Demang berdua. Sekali lagi Swandaru berjanji
kepada ibunya bahwa ia akan membawa Sekar Mirah kembali bersama guru dan
saudara seperguruannya. Sedang ibunya melepas anak itu seperti
melepasnya masuk ke dalam api peperangan. Orang tua mereka sadar, bahwa
apa yang mereka lakukan adalah lebih berbahaya daripada menghadapi lawan
di dalam garis perang.
Sesaat kemudian maka mereka bertiga, Kiai
Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru pun segera berangkat meninggalkan
induk Kademangan. Langkah mereka tampaknya tergesa-gesa seakan-akan
sesuatu telah menunggu mereka di luar sana. Namun mereka hampir-hampir
tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Yang terdengar hanyalah gemerisik langkah
mereka. Kadang-kadang angin yang agak kencang bertiup menggerakkan
dedaunan. Dan malam pun menjadi semakin lama semakin pekat, meskiupn di
langit bintang bertabur seperti biji padi di sawah.
Tetapi tiba-tiba langkah mereka itu pun
tertegun. Di kejauhan mereka melihat dua tiga buah obor berjalan ke arah
Kademangan Sangkal Putung.
Sejenak mereka bertanya-tanya di dalam
hati. Namun kemudian terdengar Kiai Gringsing bergumam, “Aku kira mereka
itulah pasukan yang datang dari Pajang.”
“Mungkin,” sahut Agung Sedayu.
“Apakah kita akan menunggu?” bertanya Kiai Gringsing pula.
“Tidak,” jawab Swandaru, “apakah gunanya?”
“Dengan pasukan itu kita akan lebih banyak dapat berbuat.”
“Menyerang padepokan Ki Tambak Wedi?”
bertanya Swandaru, “Bukankah itu akan sangat berbahaya bagi Sekar Mirah?
Seperti tadi Kiai mengatakannya.”
“Tidak, Swandaru. Tetapi pasukan itu
dapat menarik perhatian setiap orang di dalam padepokan itu, sehingga
perhatian mereka terbagi. Mereka tidak saja terikat untuk mengawasi
Sekar Mirah di dalam ruang yang menahannya.”
“Pasukan itu dapat datang kemudian,”
berkata Agung Sedayu, “Lebih baik kita berusaha memasuki padepokan itu.
Apabila kemudian pasukan kakang Untara datang maka keadaan kita akan
menjadi lebih baik. Kalau terjadi sesuatu dengan Sekar Mirah karena
pasukan kakang Untara, kita dapat mengawasinya, dan mudah-mudahan dapat
membebaskannya.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
Perasaan anak-anak muda yang sedang terbakar memang kadang-kadang
kurang mempunyai nilai pemikiran. Tetapi Kiai Gringsing tidak membantah.
Seperti seorang yang memancing ikan. Sekali-kali talinya diulurnya,
Namun sekali-sekali ditariknya pula.
“Baiklah, Ngger. Kita tidak menunggu. Tetapi aku ingin melihat jumlah pasukan itu.”
“Apakah gunanya?”
“Kita akan membuat perbandingan.”
“Itu adalah pekerjaan Kakang Untara,”
sahut Swandaru. “Itu adalah pekerjaan petugas sandi dari Pajang. Tugas
kita adalah melepaskan Sekar Mirah.”
Sekali lagi Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam, “Baiklah,” katanya dalam nada yang rendah. Meskipun
demikian Kiai Gringsing itu sudah dapat menduga dengan pasti bahwa
segera Untara sudah berada di Jati Anom.
Tetapi tiba-tiba Kiai Gringsing itu pun
tertegun. Dengan nada yang datar ia berkata, “Apakah mereka itu
benar-benar pasukan dari Pajang yang akan diperbantukan kepada Angger
Untara?”
Agung Sedayu dan Swandaru pun mengerutkan keningnya, Dengan serta merta mereka bertanya, “Lalu siapakah mereka itu, Kiai?”
Kembali terdengar suara Kiai Gringsing,
“Bagaimana kalau mereka itu orang-orang Sanakeling atau orang-orang
Sidanti atau bahkan bersama-sama?”
Kedua anak muda itu tertegun. Terasa denyut jantung mereka menjadi lebih cepat.
“Apakah mungkin demikian?” desis Agung Sedayu.
“Kenapa tidak?” sahut Kiai Gringsing.
“Mereka tahu bahwa sebagian dari prajurit Pajang sedang pergi
mengantarkan orang-orang Jipang bersama Ki Gede Pemanahan. Bukankah saat
ini adalah waktu yang tepat untuk menyerang Sangkal Putung?”
“Kalau demikian, maka para penjaga dan
para peronda pasti akan mengetahuinya dan akan segera memberi tanda
kepada Kakang Untara. Mungkin dengan panah sendaren, panah api atau
kentongan.”
“Benar. Namun dengan demikian mereka akan menjadi terlampau tergesa-gesa. Persiapan, mereka pasti kurang matang.”
“Lalu, maksud Guru?” bertanya Swandaru.
“Kita tunggu sejenak. Kita tidak akan
menjumpai mereka, siapa pun mereka itu. Kalau mereka pasukan yang
datang dari Pajang, maka kita tinggal saja mereka pergi tanpa menyapanya
supaya langkah kita tidak tertunda lagi. Tetapi kalau mereka
orang-orang Sanakeling, maka kita wajib mengabari Untara supaya korban
kita tidak bertambah-tambah.”
“Bagaimana kita akan mengabarinya? Kita tidak membawa tanda apapun.”
“Serahkan kepadaku,” sahut Kiai
Gringsing. “Meskipun aku sudah bertambah tua, tetapi aku masih juga
seorang pelari yang cukup baik.”
Agung Sedayu dan Swandaru terdiam. Bahkan
mereka menjadi canggung akan pertanyaan mereka sendiri. Yang berdiri di
hadapan mereka itu adalah Kiai Gringsing. Guru mereka. Kenapa mereka
masih juga bertanya berbagai macam hal seperti sedang mengujinya. Namun
yang mendorong mereka sebenarnya adalah kegelisahan mereka atas
keselamatan Sekar Mirah. Karena itu mereka segera ingin dapat berbuat
sesuatu. Apa saja yang segera dapat dilakukan.
Tetapi kini mereka tidak berkata apa pun
lagi. Mereka mengikuti saja ketika guru mereka yang tua itu bersembunyi
di balik rimbunnya dedaunan di sudut pategalan.
“Jangan membuat suara apapun. Kalau
mereka orang-orang Pajang, dan melihat kehadiran kita maka mau tidak mau
kita harus menyambutnya. Bahkan mungkin kita terpaksa kembali ke
kademangan. Sedang apabila mereka orang-orang Sanakeling, tinggallah di
sini. Jangan sampai kalian terpaksa lari karena mereka beramai-ramai
menyerang kalian. Biarlah aku saja yang memberitahukan kehadiran mereka
itu kepada Angger Untara.”
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab.
Namun mereka pun segera berlindung di balik dedaunan. Obor-obor itu
kini sudah menjadi semakin dekat.
Namun tiba-tiba dada mereka berdesir.
Mereka melihat remang-remang sebuah pasukan yang kuat, hampir sekuat
pasukan Widura di Sangkal Putung. Ternyata barisan itu adalah
prajurit-prajurit dari Pajang. Sebagian adalah prajurit-prajurit Widura
yang kembali ke induk pasukannya setelah mengantarkan orang-orang
Jipang, sedang sebagian lagi adalah prajurit-prajurit yang baru yang
akan diserahkan kepada Untara untuk langsung dipimpinnya, memecahkan
pertahanan padepokan Ki Tambak Wedi.
Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru hanya
dapat menahan nafasnya. Mereka tidak mau terlihat oleh orang-orang di
dalam pasukan itu, supaya mereka tidak usah menampakkan dirinya dan
terpaksa kembali lagi ke kademangan untuk ikut serta dalam upacara
penyambutan. Bagi mereka adalah lebih baik meneruskan perjalanan ke Jati
Anom daripada kembali ke Sangkal Putung.
Ketika pasukan itu telah lewat, maka barulah mereka meloncat ke luar dari persembunyian mereka.
“Tetapi pasukan itu adalah suatu gabungan dengan pasukan Paman Widura,” sahut Agung Sedayu.
“Ya. Tetapi menilik derap langkah mereka, maka aku benar-benar yakin bahwa mereka akan dapat mengatasi keadaan.”
Ketiganya kemudian mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Tanpa sesadar mereka, mereka berdiri saja di tengah jalan
mengagumi iring-iringan yang sudah menjadi semakin jauh.
Perlahan-lahan terdengar Kiai Gringsing
bergumam, “Mudah-mudahan semuanya akan segera selesai. Mudah-mudahan
besok mereka sudah berada di Jati Anom. Nah, pekerjaan kita akan menjadi
lebih mantap.”
Seperti orang terbangun dari tidurnya,
maka Agung Sedayu dan Swandaru itu pun berkata hampir bersamaan,
“Marilah Kiai, kita berjalam terus.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah.”
Kembali mereka meneruskan langkah mereka. Namun tiba-tiba Agung Sedayu berkata, “Kita memilih jalan yang mana, Kiai?”
“Kita jalan Timur. Bukankah jalan itu
lebih pendek dari jalan yang Angger pilih dahulu? Bukankah Angger
memilih jalan Kali Asat. Sekarang kita memilih jalan yang lain. Aku
tidak berani lewat ujung Bulak Dawa. Di pohon randu alas itu ada
Gendruwo Bermata Satu. Bukankah begitu?”
Betapa kisruhnya perasaan Agung Sedayu
tentang hilangnya Sekar Mirah, namun sempat juga ia bergumam, “Ah. Itu
sudah lama terjadi, Kiai. Dan di bulak itu pula aku bertemu dengan
seorang penari topeng yang kehilangan niaganya.”
Kiai Gringsing tertawa kecil, namun
Swandaru hanya dapat bersungut-sungut saja. Ia tidak tahu ujung pangkal
dari pembicaraan itu.
Demikianlah, maka mereka pun segera
berjalan semakn cepat menembus gelapnya malam. Ditelusurinya
pematang-pematang sawah dan tegalan. Mereka menempuh jalan yang
sedekat-dekatnya yang dapat mereka lalui.
Ternyata Kiai Gringsing telah mengenal
segala lekuk dan sudut daerah itu. Bahkan pematang-pematang sawah pun
dikenalnya dengan baik. Mereka berjalan dari satu desa ke desa yang
lain. Sehingga kemudian mereka pun sampai ke sebuah hutan yang tidak
terlampau lebat. Hampir tengah malam maka mereka sampai ke suatu
pedukuhan kecil. Mereka datang dari arah Timur lewat sebuah simpang
tiga.
“Nah,” berkata Kiai Gringsing, “apakah kalian berdua mengenal tempat ini?”
Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama menggelengkan kepalanya. Dan hampir bersamaan pula mereka menjawab, “Tidak, Kiai.”
“Aneh. Apalagi Angger Agung Sedayu.
Sebelum pecah peperangan antara Pajang dan Jipang apakah Angger berdua
belum juga pernah kemari?”
“Belum, Kiai,” jawab mereka hampir bersamaan pula.
“Aku tidak percaya,” sahut Kiai Gringsing, “terutama Angger Agung Sedayu.”
Agung Sedayu menjadi heran. Kenapa Kiai
Gringsing itu tidak mempercayainya. Ia sejak kecil memang jarang sekali
pergi menjelajahi daerah-daerah kecil dan pedukuhan-pedukuhan kecil.
Meskipun agaknya padukuhan ini tidak terlampau jauh dari Jati Anom.
“Entahlah, Kiai,” berkata Agung Sedayu
kemudian. “Mungkin aku memang pernah datang ke padukuhan ini pada masa
kecilku. Tetapi di malam hari begini aku tidak dapat mengenalnya lagi.”
“Angger ingat simpang tiga itu?”
Agung Sedayu mencoba mengingat-ingat.
“Lihatlah jalan ini, Ngger.”
Tiba-tiba Agung Sedayu mengangkat alisnya.
“Jalan ini adalah jalan ke Macanan.
Apakah Angger ingat sekarang? Simpang tiga itu adalah simpangan yang
membawa kita ke Sagkal Putung lewat dua jalan. Ke Barat kita akan
melewati Kali Asat, sedang ke Timur adalah jalan yang kita lewati tadi.”
Agung Sedayu pun kemudian seakan-akan
bertemu dengan seorang kenalan lamanya. Kini ia ingat dengan jelas
pedukuhan itu. Ya, ia pernah mengenalnya. Tidak hanya satu kali.
“Jalan ini jalan ke Macanan, Kiai?”
“Bukankah begitu, dan jalan ini akan sampai ke Tangkil.”
“Simpang tiga itu adalah simpang tiga yang menuju ke Kali Asat?”
“Nah, kenalilah.”
“Oh,” Agung Sedayu mencoba memandangi
jalan yang membujur di hadapannya. Sebuah kelokan kecil yang memasuki
padukuhan kecil itu. Tiba-tiba ia berkata, “Bukankah jalan ini menuju ke
rumah dukun tua di dukuh Pakuwon?”
Kiai Gringsing tertawa, “Ya, begitulah.”
“Siapakah dukun tua itu,” bertanya Swandaru yang mendengarkan pembicaraan itu dengan wajah berkerut-merut.
“Kau kenal juga orang itu, Adi Swandaru.”
“He,” wajah Swandaru yang gemuk itu menjadi aneh.
“Namanya Ki Tanu Mtetir.”
“Oh,” Swandaru menarik nafas, “jadi di Dukuh Pakuwon inikah rumah Kiai?”
“Ya. Di sinilah rumahku.”
“Lalu bagaimana dengan rumah itu saat Kiai tinggalkan selama ini?”
“Aku pernah mengunjunginya sebelum aku
menetap di Sangkal Putung. Aku titipkan rumah itu kepada seorang
tetangga yang baik, yang mau memelihara rumah tua dan halaman yang kotor
itu.”
Kedua muridnya itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Semula rumah dan halaman itu tidak
menimbulkan persoalan di hati Agung Sedayu. Tetapi tiba-tiba kini
tumbuhlah pertanyaan di dalam dadanya. Apakah benar Ki Tanu Metir itu
memang seorang dukun yang sejak masa kanak-kanaknya berasal dari
padukuhan yang kecil itu?
Pertanyaan itu demikian mendesaknya
sehingga Agung Sedayu tidak dapat menahannya lagi dan meloncatlah
pertanyaannya, “Kiai, apakah Kiai memang sejak kecil berdiam di
padukuhan ini?”
Kiai Gringsing memandangi wajah Agung
Sedayu. Tetapi sesaat kemudian dilemparkannya pandangan matanya
menyelusur jalan yang membujur di hadapannya. Dengan nada rendah ia
berkata, “Ya, Ngger. Sejak kecil aku berada di padukuhan ini.”
Tetapi jawaban itu sama sekali tidak
meyakinkan Agung Sedayu. Jawaban itu terlampau datar menyentuh hatinya,
sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, “Ah, aku berpendapat lain, Kiai.”
Sekali lagi Kiai Gringsing memandangi
wajah muridnya itu. Tetapi tiba-tiba ia berkata, “Marilah kita berjalan
lebih cepat lagi. Kita masih belum sampai ke Tangkil.”
Yang segera menyahut adalah Swandaru,
“Marilah Kiai.” Agung Sedayu tidak berkata-kata lagi. Ia tahu bahwa
Swandaru menjadi kesal mendengar pembicaraan yang tidak diketahuinya.
Karena itu, maka ketika langkah-langkah mereka menjadi semaki panjang
dan cepat, mereka tidak lagi bercakap-cakap. Mereka melangkah di dalam
malam yang gelap, berjalan di atas jalan berbatu-batu. Tetapi jalan itu
kini kering. Tidak digenangi air yang seolah-olah ditumpahkan dari
langit, seperti pada saat Agung Sedayu datang berkuda ke padukuhan ini
bersama kakaknya Untara, yang pada saat itu sedang terluka.
Bukan saja jalan ini yang kini menjadi
jauh berbeda dengan saat-saat ia melewatinya dahulu, tetapi hatinya pun
kini sama sekali tidak lagi dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan. Ia
tidak lagi hampir pingsan melihat tonggak yang tegak di pinggir jalan
disambar oleh sinar tatit. Dan ia tidak lagi menjadi lemas melihat
sebuah bambu yang menyilang di tengah jalan. Seandainya ia kini bertemu
dengan apa yang ditemuinya saat ia berjalan dengan kakaknya, maka
hatinya justru akan menjadi gembira. Apalagi kalau yang ditemuinya di
jalan ini adalah Sidanti.
Tetapi jalan yang ditempuhnya itu amatlah
lengang. Tak seorang pun yang mereka jumpai di perjalanan. Bahkan
rumah-rumah di padukuhan kecil itu pun tampaknya gelap dan tidak
berpenghuni. Hanya kadang-kadang saja terdengar lamat-lamat rengek
anak-anak yang kepanasan oleh udara yang kering. Namun sejenak kemudian
suara itu pun terputus. Buru-buru ibunya menyumbatkan air susu ke dalam
mulut anaknya.
Mereka yang berjalan di malam yang kelam
itu pun merasakan betapa daerah ini tertekan oleh suatu keadaan yang
tidak menyenangkan. Dan Agung Sedayu pun menyadari, apalagi setelah
Tohpati meninggal, maka laskar Jipang pasti akan menjadi semakin garang
berkeliaran di daerah ini.
Dalam kekelaman malam itu Kiai Gringsing
dan kedua muridnya berjalan semakin cepat. Ternyata jalan yang mereka
tempuh bukanlah jalan yang dahulu dilewati Agung Sedayu bersama Untara.
Jalani ini adalah jalan nyidat, langsung dari Dukuh Pakuwon ke
Jati Anom. Bahkan kadang-kadang mereka harus meloncati parit-parit dan
menyeberangi sungai. Menerobos pategalan dan sawah-sawah menyusup lewat
padesan-padesan kecil. Padesan kecil yang sepi.
Akhirnya mereka pun menjadi semakin
dekat. Tetapi mereka baru semakin dekat dengan Jati Anom. Mereka masih
balum mendaki lereng Merapi mencari padepokan orang yang bernama Ki
Tambak Wedi. Padepokan itu masih jauh di arah Barat.
Ketika mereka sampai di jalan yang cukup
lebar, maka segera Agung Sedayu mengataui bahwa mereka telah berada di
Sendang Gabus. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah anak
Jati Anom sejak kecil, tetapi ternyata Kiai Gringsing lebih banyak
mengenal lekuk-lekuk padesan di sekitar tempat kelahirannya.
Tetapi Agung Sedayu kemudian tergagap
ketika ia mendengar Kiai Gringsing bertanya, “Nah, kita sudah sampai di
Sendang Gabus. Apakah kita akan pergi ke Jati Anom, ataukah kita
mempunyai tujuan lain?” Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab.
Seharusnya ialah yang mengajukan pertanyaan itu. Bukan gurunya.
Ternyata Kiai Gringsing pun berkata
seterusnya, “Angger berdua. Sudah tentu kita tidak akan dapat langsung
masuk ke padepokan Tambak Wedi malam ini. Kita masih belum mengenal
jalan-jalan di daerah itu dengan baik. Kita masih harus mendengar apakah
yang ada di padepokan itu. Sudah tentu bahwa Ki Tambak Wedi menyadari
keadaan mereka setelah mereka dengan dada terbuka menentang kekuasaan
Pajang. Kalau Di Tambak Wedi tidak mempunyai kekuatan yang cukup, maka
ia tidak akan berani berbuat demikian. Sehingga dengan demikian, maka
sudah pasti bahwa padepokan itu akan dibentengi oleh kekuatan yang dapat
mereka percayai. Karena itu, maka kita hrus mencari tempat
peristirahatan. Tempat yang baik sebagai pancadan menuju ke padepokan Tambak Wedi itu.”
Agung Sedaya dan Swandaru tidak segera
menjawab. Baru sekarang mereka menyadari, bahwa apa yang mereka lakukan
itu adalah suatu pekerjaan yang berbahaya. Meskipun mereka sama sekali
tidak takut menghadapi bahaya, namun sudah tentu bahwa mereka
menginginkan pekerjaan mereka berhasil. Sedang apa yang mereka hadapi
kini adalah suatu daerah yang masih gelap bagi mereka. Suatu daerah yang
seolah-olah berada di belakang tabir yang tak tertembus oleh
penglihatan.
Dalam pada itu terdengar Kiai Gringsing berkata pula, “Bagaimanakah pendapat kalian?”
Agung Sedayu dan Swandaru tidak tahu,
bagaimana mereka harus menjawab pertanyaan itu. Tetapi terasa oleh
mereka, bahwa sebenarnya mereka telah dibakar oleh kemarahan yang hampir
tak terkendali.
“Jadi,” berkata orang tua itu, “apa yang
akan kita lakukan sekarang? Bukankah aku hanya menuruti kehendak
kalian?” Agung Sedayu dan Swandaru masih juga terbungkam. “Nah,” berkata
orang tua itu kemudian, “Jadikanlah kali ini pelajaran buat kalian.
Kalian ternyata masih terlampau mudah dibakar oleh persaan tanpa
mempertimbangkan nalar. Aku telah membawa kalian ke kaki Gunung Merapi
seperti yang kalian kehendaki. Agaknya sampai di tempat ini kalian masih
belum tahu apa yang akan kalian lakukan. Seandainya kalian berdua pergi
tanpa aku, apakah kalian akan langsung mendaki kaki Gunung Merapi dan
masuk ke dalam padepokan Tambak Wedi?”
Agung Sedayu dan Swandaru masih belum
dapat menjawab. Namun kini mereka menjadi semakin menyadari keadaan.
Ketika sekali lagi Kiai Gringsing menasehati mereka, maka perasaan
mereka pun segera tersentuh. Berkatalah orang tua itu, “Tetapi apa yang
terjadi ini merupakan suatu pelajaran yang berharga bagi kalian.”
Kini sejenak mereka terdiam. Langkah
mereka terdengar berdesah di antara daun-daun kering yang menyentuh
tubuh-tubuh mereka yang basah oleh keringat.
Jati Anom kini sudah berada di hadapan
hidung mereka. “Kita berhenti di Jati Anom” berkata Kiai Gringsing.
“Bukankah ada rumahmu di Jati Anom” katanya kemudian kepada Agung
Sedayu.
“Ya Kiai,” sahut Agung Sedayu, “tetapi
rumah itu agaknya telah kosong. Hanya seorang perempuan tua dan anaknya
yang masih kecil sajalah yang menungguinya, pada saat kami tinggalkan.”
“Kita hanya menumpang tidur,” berkata
Kiai Gringsing pula. Segera mereka pun menuju ke rumah Agung Sedayu.
Dalam malam yang semakin dalam maka jalan-jalan di padukuhan itu pun
telah benar-benar sepi. Namun kesepian padukuhan itu agaknya terasa
berlebih-lebihan. Hampir tak terlihat nyala pelita dari rumah-rumah di
tepi-tepi jalan. Bahkan regol-regol halaman pun tertutup rapat-rapat.
Tak ada peronda di gardu-gardu ronda seperti di padesan-padesan kecil
yang telah dilaluinya.
Tetapi mereka pun segera memaklumi.
Daerah ini adalah daerah yang tidak terlampau jauh dari padepokan di
Lereng Merapi itu. Adalah mungkin sekali bahwa orang-orang Jipang di
lereng Merapi itu berkeliaran sampai ke padukuhan ini pula. Bahkan
mungkin Alap-alap Jalatunda telah mempergunakan daerahnya yang lama
untuk mencari apa saja yang diinginkannya. Dengan cara-cara yang lama
pula. Merampok dan menyamun.
Meskipun malam menjadi semakin pekat,
tetapi Agung Sedayu mengenal daerah itu dengan baik. Setiap lorong dan
tikungan dikenalnya seperti mengenali halaman rumah sendiri.
Akhirnya mereka pun sampai ke depan
sebuah regol pada halaman yang luas. Tetapi halaman yang luas itu
tampaknya gelap bukan main. Tidak ada pelita tersangkut di halaman,
bahkan tak ada sorot yang menerobos dari sela-sela dinding rumah itu.
Mereka bertiga, Kiai Gringsing, Agung
Sedayu dan Swandaru berhenti sejenak. Perlahan-lahan terdengar Agung
Sedayu berkata, “Inilah rumahku, Kiai.”
Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, “Aku sudah mengetahuinya, Ngger.”
“He?” Agung Sedayu terkejut. “Jadi Kiai sudah mengetahui bahwa ini adalah rumahku?”
“Tentu.”
“Darimana Kiai mengetahuinya?”
“Seperti ayahmu pernah mengenal ponkokku yang jelek di Dukuh Pakuwon, maka aku pun pernah juga datang ke rumah ini.”
“Oh,” Agung Sedayu menarik nafas dalam.
Tetapi lebih-lebih ia terkejut ketika Kiai Gringsing berkata, “Aku
pernah pula mengunjungi rumah ini bersama Angger Untara.”
“Kakang Untara?”
“Ya, Angger Untara yang terluka itu harus
bersembunyi. Tetapi untuk keselamatannya sebagai seorang senapati, maka
ia harus benar-benar tidak diketahui tempatnya. Sekali-sekali kami
harus berpindah tempat. Dalam kesempatan itu kami pernah bersembunyi
pula di rumah ini.”
“Oh,” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun yang terdengar adalah pertanyaan Swandaru, “Tetapi
apakah halamanmu ini sengaja kau jadikan rumah hantu?”
“Kenapa?” sahut Agung Sedayu.
“Tercium olehku bau bunga kantil. Terbayang juga pohonnya yang besar rimbun. Tetapi gelapnya bukan main.”
Agung Sedayu tersenyum. Tiba-tiba
terkenanglah masa kanak-kanaknya. Ia sama sekali tidak berani
bermain-main di bawah pohon kantil itu, meskipun di sudut halaman
rumahnya sendiri. Tetapi kini ia mendapat kesan yang lain.
Ketika kemudian angin malam berhembus
agak kencang, terdengarlah benda berjatuhan. Tidak hanya satu dua,
tetapi lima, enam, sepuluh.
“Apakah itu?” bertanya Swandaru.
“Apakah kira-kira?”
Swandaru menggeleng. “Aku tidak tahu.”
Agung Sedayu tersenyum. “Di halaman itu
terdapat pula sebatang pohon kemiri. Agaknya pohon kemiri itu sedang
berbuah. Buahnya yang sudah tua akan berjatuhan ditiup angin.
“Hem,” desah Swandaru, “rumahmu memang rumah hantu.”
“Apakah kau takut hantu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku hanya takut kepada hantu di bekas perkemahan orang-orang Jipang itu” sahut Swandaru.
Kiai Gringsing tertawa kecil. Sedang Agung Sedayu pun kemudian mempersilahkan mereka masuk.
Terdengar sebuah gerit pintu regol itu
terbuka, dan ketiganya pun kemudian hilang ditelan oleh gelap malam di
balik regol halaman itu.
Halaman itu memang gelap bukan main.
Pohon-pohon yang besar tumbuh di sebelah menyebelah. Meskipun demikian
Agung Sedayu masih mengenal halamannya dengan baik. Dengan langkah yang
tetap ia berjalan lewat sisi rumahnya langsung ke belakang, ke tempat
penunggu rumahnya itu berdiam.
“Mudah-mudahan ia masih berada di sana,” desisnya.
“Ketika aku datang bersama Angger Untara, perempuan itu masih di sana,” berkata Kiai Gringsing.
Dan ternyata di sebuah bilik kecil di
belakang rumah itu masih mereka lihat sebuah pelita yang menyala. Agung
Sedayu pun menarik nafas bergumam, “Ha itulah ia. Ternyata perempuan
itu masih di sana.”
Perlahan-lahan Agung Sedayu mengetuk pintu bilik itu. Dan dari dalam rumah itu pun terdengar suara menyapa, “Siapa?”
“Aku. Sedayu.”
“Oh, Angger Sedayu? Apakah Angger datang bersama Angger Untara?”
“Tidak, Bibi. Aku bersama dua orang kawanku.”
Yang terdengar kemudian adalah langkah
kaki perempuan itu perlahan-lahan. Terdengar sebuah gerit kecil dan
pintu itu pun terbuka.
“Angger Agung Sedayu,” desis perempuan itu.
“Ya, Bibi.”
“Marilah. Marilah masuk dahulu,” berkata
perempuan itu terbata-bata. Tetapi hal itu mula-mula sama sekali tidak
tnenarik perhatian Agung Sedayu. Disangkanya perempuan yang sudah lama
tidak melihatnya itu hanya sekedar terkejut melihat kehadiran yang
tiba-tiba jauh di tengah malam.
Tetapi ketika mereka bertiga melangkah
masuk, dengan tergesa-gesa pintu itu pun ditutupnya sambil bergumam,
“Setiap sorot lampu yang meloncat ke luar, akan dapat memanggil
orang-orang itu untuk datang.”
“Siapa?” bertanya Agung Sedayu yang mulai menjadi curiga.
Sejak perempuan itu memandangi ketiga
orang yang kini duduk di atas sebuah amben bambu. Di amben itu pula,
anaknya, seorang anak laki-laki, tidur mendengkur.
Bilik itu pun kemudian menjadi sepi.
Yang terdengar hanyalah tarikan nafas-nafas mereka, dan dengkur anak
yang sedang tidur dengan nyenyaknya itu.
Wajah perempuan itu tiba-tiba menjadi
tegang. Ia telah mengenal Agung Sedayu sejak masa kana-kanak. Ia
mengenal Agung Sedayu sebagai seorang anak laki-laki yang manja, yang
tidak berani beranjak dari sisi ibunya. Karena itu maka sejenak
perempuan itu menjadi ragu-ragu. Bahkan kemudian ia bertanya, “Angger,
apakah Angger datang hanya bertiga di malam begini?”
“Ya, Bibi. Aku datang bertiga dari Sangkal Putung. Tetapi siapa yang sering datang kemari?”
“Angger,” bisik orang itu seakan-akan
takut didengar oleh dedaunan di luar dinding biliknya, “sebaiknya Angger
Agung Sedayu menjauhi tempat ini.”
“Ya, kenapa?” Agung Sedayu menjadi tidak
sabar. Kembali perempuan tua itu menjadi ragu-ragu. Ditatapnya Agung
Sedayu dan kedua temannya berganti-ganti.
Akhirnya Agung Sedayu dapat memaklumi
perasaan perampuan itu. Dengan sungguh-sungguh ia berkata untuk
meyakinkan pepempuan itu, “Bibi. Katakanlah. Sekarang barangkali aku
tidak akan pingsan mendengar nama siapa pun yang akan Bibi sebutkan.
Mungkin Bibi masih menganggapku seperti Agung Sedayu yang dahulu, yang
sambil menangis mengikuti Kakang Untara meninggalkan Jati Anom di malam
yang gelap di bawah hujan yang lebat. Tetapi sekarang tidak, Bibi. Bukan
karena aku menjadi seorang yang sakti, tetapi aku sekarang mempunyai
seorang teman yang tidak akan dapat dilukai oleh tajamnya senjata.”
Sambil menunjuk kepada Swandaru ia berkata, “Lihatlah temanku yang gemuk
ini. Ia akan mampu melindungi rumah ini.”
Perempuan tua itu memandangi Swandaru
dengan sorot mata yang diwarnai oleh kebimbangan hatinya. Namun sekali
lagi Agung Sedayu meyakinkannya, “Bibi, namanya adalah Swandaru.
Swandaru Geni. Tangannya dapat menjadi sepanas bara dan sorot matanya
apabila ia sedang marah dapat menyala seperti semburan api.”
“Uh,” Swandaru berdesah. Tetapi ia tidak memotong kata-kata Agung Sedayu.
Perempuan itu akhirnya dapat meyakini
kata-kata Agung Sedayu. Wajah Swandaru yang bulat itu dapat melenyapkan
keragu-raguannya, sehingga perlahan sekali ia berkata, “Angger Agung
Sedayu. Daerah ini sekarang terlalu sering didatangi oleh orang-orang
dari lereng Merapi. Bahkan rumah ini pernah dimasukinya dan diaduk-aduk
seluruh isinya. Sambil memaki-maki mereka bertanya dengan kasar, apakah
ini rumah Untara dan Agung Sedayu. Angger Agung Sedayu, aku ternyata
tidak dapat ingkar. Mereka tahu benar bahwa rumah ini adalah rumah
Angger berdua. Kalau nanti Angger masuk ke ruang dalam, maka Angger akan
melihat, bahwa perabot rumah ini telah menjadi rusak.”
Dada Agung Sedayu menggelegak mendengar
kata-kata perempuan tua itu. Hatinya baru saja dibakar oleh peristiwa
hilangnya Sekar Mirah, sehingga di malam yang gelap ini ia merayapi
jalan-jalan kecil, pematang-pematang, dan kadang-kadang lumpur sawah
untuk mendekati lereng Merapi, tempat Ki Tambak Wedi membuat sarangnya.
Dan kini ia mendengar rumahnya diobrak-abrik orang.
Dengan gemetar Agung Sedayu kemudian bertanya, “Bibi siapakah yang berani masuk ke rumah ini dengan kasar?”
“Orang-orang dari lereng Merapi, Ngger. Mereka sengaja meninggalkan pesan untuk membuat Angger dan Angger Untara marah.”
“Apa kata mereka?”
“Mereka menyebut nama-nama mereka dengan Sidanti, Sanakeling, Argajaya, Alap-alap Jalatunda, dan beberapa orang lain.”
Nama-nama itu telah menyengat hati Agung
Sedayu demikian dahsyatnya sehingga anak muda itu terlonjak berdiri.
Dengan suara yang bergetar Agung Sedayu bertanya, “Kapan, kapan Bibi?
Kapan mereka itu datang kemari?”
“Kemarin, Ngger. Baru kemarin. Dan hampir setiap hari ada saja orang-orang mereka yang berkeliaran. Siang dan malam.”
Kemarahan Agung Sedayu kini memuncak.
Bukan saja Agung Sedayu, tetapi Swandaru pun tiba-tiba telah terbakar
pula. Dengan lantang ia berkata, “Mari kita cari orang-orang itu.”
“Mari,” sahut Agung Sedayu, “mudah-mudahan kita dapat bertemu.”
Namun dalam pada itu terdengar Kiai
Gringsing bertanya, “Kemana kita harus mencari mereka itu, Ngger?
Mengelilingi padukuhan ini, atau mendaki lereng Merapi?”
Agung Sedayu dan Swandaru terdiam.
“Kalau kita mengelilingi padukuhan ini,
semalam suntuk, bahkan ditambah lima hari lima malam, tetapi kebetulan
mereka tidak datang kemari, maka kita pasti tidak akan dapat bertemu.
Sedang apabila kita naik ke lereng Merapi, maka pertanyaan yang serupa
seperti tadi, tentang benteng yang mengelilingi padepokan itu, akan
berulang kembali.”
Swandaru dan Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepala mereka, Kembali mereka terpaksa menyadari
ketergesa-gesaan mereka. Namun meskipun demikian Agung Sedayu masih juga
menemukan sebab, supaya mereka dapat bertemu dengan orang-orang lareng
Merapi itu. Dengan serta-merta ia berkata, “Bibi, bukalah pintunya.”
Perempuan tua itu memandang Agung Sedayu
dengan ragu-ragu. Tetapi Agung Sedayu berkata sekali lagi, “Bukalah
pintu. Biarlah sorot lampumu meloncat ke luar. Biarlah orang-orang itu
melihatnya apabila ia berada di padukuhan ini. Biarlah mereka datang
kemari. Kami ingin bertemu dengan mereka.”
“Tetapi, Ngger……….,” sahut perempuan itu cemas.
“Jangan cemas, Bibi. Kami bertiga membawa senjata di lambung kami. Aku bukan Agung Sedayu beberapa bulan yang lampau.”
Tetapi perempuan tua itu masih juga
ragu-ragu sehingga sekali lagi Agung Sedayu berkata, “Bukalah bibi.
Bukalah.” Bahkan kemudian Agung Sedayu berkata, “Apakah di rumah ini ada
lampu yang lain? Kalau ada pasanglah di luar rumah, aku ingin melihat
sekali lagi mereka masuk ke halaman rumahku.”
Kiai Gringsing menggelengkan kepala
melihat anak-anak muda yang sedang marah itu. Tetapi ia dapat mengerti,
betapa darah muda yang sedang bergolak itu melampaui bergolaknya ombak
lautan yang paling dahsyat.
Meskipun demikian Kiai Gringsing merasa
perlu untuk memperingatkannya. “Angger Agung Sedayu. Apakah perlunya
kalian memanggil orang-orang Merapi itu sekarang.”
Agung Sedayu menjadi heran mendengar
pertanyaan gurunya. Dengan pandangan mata yang aneh ia menjawab, “Guru,
apakah masih belum jelas, bahwa mereka telah menghina aku beberapa kali?
Hilangnya Sekar Mirah dan kini rumahku diobrak-abriknya.
“Benar, Ngger. Angger pasti merasa
terhina. Tetapi apakah dengan perbuatan itu Angger akan mendapat
keuntungan, justru dalam usaha Angger menebus kekalahan yang pernah
terjadi.”
“Aku belum pernah dikalahkannya, Kiai,”
sahut Agung Sedayu, sedang Swandaru menyelanya, “Kapan kami mengalami
kekalahan sejak ia meninggalkan Sangkal Putung?”
“Kekalahan itu telah membawa Angger berdua kemari. Hilangnya Sekar Mirah.”
“Itu bukan kekalahan, Kiai. Itu adalah kecurangan,” sahut Swandaru.
“Ya, ya. Demikianlah,” berkata Kiai Gringsing memperbaiki istilahnya.
“Kenapa usaha itu akan dapat mengganggu, Kiai?”
“Dengan demikian mereka akan mengetahui
bahwa Angger telah berada di sini. Selebihnya mereka akan dapat membawa
orang-orangnya kemari, mengepung tempat ini dan menangkap kita bertiga.
Kalau kita berhasil lolos misalnya, maka penjagaan atas diri Sekar Mirah
akan menjadi semakin ketat.”
“Ah,” terdengar kedua anak muda itu
mengeluh, “lalu apa yang dapat kami lakukan, Kiai. Segala perbuatan
tidak dapat dibenarkan. Apakah keperluan kita ini kemari?” bertanya
Swandaru.
“Kita mencari Sekar Mirah,” sahut Kiai
Gringsing. “karena itu, tahanlah perasaan kalian. Jangan menimbulkan
sesuatu yang dapat mengganggu usaha itu.”
Swandaru menggeretakkan giginya, sedang Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Sekarang tidurlah. Beristirahatlah dengan
baik. Kecuali kalau malam ini mereka datang dan kita tidak mempunyai
waktu untuk menyingkir, maka kita harus berkelahi. Tetapi kalau tidak,
kita harus mempergunakan saat ini sebaik-baiknya untuk beristirahat.
Waktu kita hanya sedikit, sedang pekerjaan yang kita hadapi adalah
pekerjaan yang cukup berat.”
Kembali terdengar gemeretak gigi Swandaru. Tetapi anak-anak muda itu tidak membantah.
“Nyai” berkata Kiai Gringsing, “dimanakah kami dapat beristirahat sejenak untuk menghabiskan malam ini?
Perempuan penunggu rumah Agung Sedayu
menjadi agak bingung mendengar pertanyaan itu. Sejenak dipadanginya
wajah Agung Sedayu, seakan-akan ingin bertanya kepadanya, dimana mereka
akan beristirahat.
Agung Sedayu pun kemudian menangkap maksud perempuan tua itu, sehingga dengan ragu-ragu ia bertanya, “Bagaimana ruang dalam?”
“Ruang dalam itu telah menjadi morat-marit, Ngger. Tetapi kalau saja kalian bersedia membentangkan tikar di lantai.”
“O, itu sudah cukup,” sahut Kiai Gringsing. “Sehelai tikar sudah cukup baik untuk kami.”
Agung Sedayu dan Swandaru, tidak menyahut
lagi. Mereka pun kemudian mengikuti perempuan itu masuk ke ruang dalam
dengan sehelai tikar dan sebuah pelita kecil.

“Hem,” Agung Sedayu menggeretakkan giginya.
“Aku belum mengumpulkannya,” desis
perempuan tua itu. “Aku ingin salah seorang dari kalian berdua, kau atau
Angger Untara, melihatnya bahwa rumah ini telah menjadi berantakan.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu singkat. Dan
tiba-tiba ia ingat akan bibinya yang tinggal di Banyu Asri. Mungkin
sekali bibinya pun akan dapat menjadi sasaran kekasaran orang-orang
Sanakeling. Maka dengan serta-merta ia bertanya, “Bibi, bagaimana dengan
bibi di Banyu Asri?”
“Bibimu tiba-tiba telah hilang, Ngger.”
“He? Apakah bibi diambil pula oleh orang-orang dari lereng Gunung Merapi itu?”
“Tidak, Ngger. Mungkin bibimu mengetahui
pula kemungkinan itu. Beruntunglah bahwa bibimu sempat mengungsi. Tak
seorang pun diberitahukannya, kemana ia pergi. Tetapi rumahnya pun
menjadi sasaran kemarahan orang-orang itu seperti rumah ini.”
“Hem,” Agung Sedayu menggeram. “Untunglah
bibi mempunyai ketajaman firasat. Sebagai isteri seorang prajurit ia
harus sigap bertindak sendiri.”
Dalam pada itu, maka mereka pun kemudian
membentangkan tikar di tengah-tengah ruangan. Sejenak kemudian mereka
pun telah membaringkan diri, sementara perempuan penunggu rumah itu
merebus air. Tidak didapur, tetapi di dalam biliknya. Meskipun di dalam
rumah itu kini ada Agung Sedayu dan kedua orang teman-temannya, namun
perempuan tua itu masih juga berusaha supaya apinya tidak menarik
perhatian orang di luar halaman rumah. Bahkan ia menjadi cemas, kalau
orang-orang itu akan menangkap Agung Sedayu dan teman-temannya.
Belum lagi ketiga orang itu sempat
memejamkan mata mereka, maka lamat-lamat telah terdengar kokok ayam
jantan bersahut-sahutan. Semakin lama semakin riuh. Sedang di ujung
Timur warna-warna merah telah tersembul dari balik cakrawala.
Tetapi ketiga orang yang berada di ruang
dalam itu telah hampir dua malam sama sekali tidak memejamkan mata
mereka. Karena itu, meskipun kemudian fajar memerah, namun karena lelah
dan kantuk, maka ketiganya pun kemudian tertidur juga.
Meskipun demikian, meskipun di dalam
tidur mereka tidak dapat melenyapkan perasaan mereka. Perasaan marah,
cemas, dan ragu-ragu, sehingga tidur mereka pun sama sekali tidak dapat
nyenyak.
Maka ketika matahari kemudian menjenguk di atas dedaunan di Timur, maka mereka pun telah terbangun.
Agung Sedayu dan Swandaru sendiri tidak
tahu, apakah sebabnya mereka tergesa-gesa mandi dan kemudian duduk
dengan gelisah menghadapi air hangat.
“Kiai belum mandi?” bertanya Swandaru
kepada Kiai Gringsing yang masih duduk berkerudung kain gringsingnya
yang sudah semakin lungset.
“Kenapa tergesa-gesa?” bertanya Kiai
Gringsing. Swandaru terdiam. Tetapi Agung Sedayu-lah yang menjawab,
“Kita akan dapat segera berbuat sesuatu Kiai.”
Kiai Gringsing tersenyum. Perlahan-lahan ia berdiri sambil menggeliat. Kemudian melangkah ke luar, ke perigi.
Sementara itu matahari telah merayap
semakin tinggi di kaki langit. Di kejauhan terdengar burung-burung liar
bernyanyi bersahut-sahutan. Sekali-sekali gerit senggot timba yang
ditarik oleh Kiai Gringsing seolah-olah menjerit-jerit di antara kicau
burung yang melengking-lengking.
Tetapi tiba-tiba tangan Kiai Gringsing
yang sedang menarik senggot timba itu pun tertegun. Ia mendengar langkah
kaki tergesa-gesa di balik dinding belakang halaman rumah Agung Sedayu.
Telinganya yang tajam segera dapat menduga bahwa langkah itu adalah
langkah yang kurang wajar.
Ketika ia sedang memperhatikan langkah
itu dengan saksama, maka didengarnya perempuan tua penunggu rumah Agung
Sedayu mendekatinya untuk mengambil air ke sumur itu.
Tetapi langkah yang tergesa-gesa itu
disusul oleh langkah yang lain. Bahkan tidak hanya seorang, tetapi dua,
tiga orang. Sebelum Kiai Gringsing bertanya maka perempuan tua itu telah
berkata, “Kiai, ada beberapa orang di antara anak-anak muda yang tidak
betah tinggal di rumahnya. Mereka lebih senang dengan tergesa-gesa pergi
ke sawah atau ke ladang. Tidur sehari penuh di antara
tanaman-tanamannya. Mereka takut, apabila orang-orang dari lereng Merapi
itu turun dan memaksa mereka untuk berbuat sesuatu. Kadang-kadang
mengambil milik orang lain untuk kepentingan orang-orang dari lereng
Merapi itu. Bukan saja bahan makanan, tetapi juga perhiasan.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian orang tua itu pun bertanya, “Bagaimana kalau mereka tidak mau Nyai?”
“Ah,” sahut perempuan tua itu, “tak
seorang pun yang dapat menolak. Itulah sebabnya mereka lebih baik
menghindar. Baru nanti malam mereka kembali kerumah masing-masing.
Bahkan ada juga yang lebih baik tidur di gubug-gubug di ladang mereka.”
Kembali Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang di luar halaman masih juga
terdengar beberapa orang melangkah menjauh.
Tetapi tiba-tiba Kiai Gringsing dan
perempuan tua itu terkejut. Ternyata anak-anak muda itu tidak saja pergi
dengan tergesa-gesa meninggalkan desa mereka, tetapi kini mereka yang
terlambat pergi harus bersembunyi dengan segera. Seseorang dengan wajah
yang tegang, tersembul dari balik dinding halaman yang agak lebih tinggi
dari tubuhnya sendiri, dan dengan nafas terengah-engah memanjat masuk
ke dalam halaman.
“Nyai,” desis pemuda itu, “aku terpaksa masuk ke halaman ini. Aku mengharap Nyai tidak berkeberatan.”
Perempuan tua itu tiba-tiba menjadi
pucat. Dengan terbata-bata ia bertanya, “Kenapa Angger masuk kemari?
Apakah Angger tidak berusaha melarikan diri saja seperti kawan-kawan
Angger yang lain?”
“Aku tidak sempat, Nyai. Aku baru saja
memberitahukan kepada kawan-kawan untuk segera pergi. Tetapi agaknya aku
sendiri tidak mendapat waktu. Beberapa orang dari lereng Merapi telah
memasuki desa ini.”
“Oh,” perempuan tua itu menjadi semakin kecut, “bagaimanakah kalau mereka menemukan Angger di sini?”
“Aku akan bersembunyi, Nyai. Aku akan bersembunyi di atas kandang, atau di bawah timbunan kaju.”
“Kenapa Angger mesti bersembunyi?” bertanya Kiai Gringsing. “Apakah mereka berbahaya bagi Angger?”
“Tidak, Kiai,” sahut anak muda itu yang
tiba-tiba menjadi heran melihat kehadiran orang yang belum pernah
dikenalnya. “Siapakah kau?”
“Aku adalah saudara laki-laki dari
perempuan ini,” sahut Kiai Gringsing. Namun ia menjadi ragu-ragu
sendiri. Ia belum tahu siapakah perempuan itu sesungguhnya, tetapi ia
berkata terus, “Tetapi jangan hiraukan siapa aku. Sekarang bagaimana
dengan orang-orang dari lereng Merapi itu? Apakah mereka akan menangkap
Angger?”
“Kalau mereka tahu ada seorang anak muda
di sini, pasti mereka akan memasuki halaman ini. Mereka akan membujuk
supaya kami ikut serta dengan mereka, kalau kita berkeberatan
kadang-kadang mereka menakut-nakuti dan mengancam. Bahkan mungkin kita
akan dibawanya untuk berbuat sesuatu yang tidak kita kehendaki. Kita
harus menunjukkan di mana mereka dapat menemukan berbagai macam
barang-barang berharga dan bahan-bahan makanan.”
“Bagaimana kalau Angger tidak mau?”
“Nah apabila demikian, maka barulah
mereka berbahaya bagi kami,” sahut anak muda itu. “Tetapi waktuku
tinggal sedikit. Aku telah melihat mereka memasuki desa ini. Biarlah aku
bersembunyi, Nyai.”
“Berapa orangkah mereka itu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Enam atau tujuh orang. Mungkin ada yang lain lewat jalan lain.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya di dalam hati, “Mudah-mudahan bukan Ki Tambak Wedi
sendiri bersama Sidanti dan Argajaya.” Namun kepada anak muda itu ia
berkata, “jangan tergesa-gesa bersembunyi. Dua orang menunggumu di ruang
dalam rumah ini.”
Anak muda itu terkejut mendengar
kata-kata Kiai Gringsing. Bahkan wajahnya yang tegang menjadi bertambah
tegang. Dengan tergagap ia bertanya, “Siapakah Kiai ini sebenarnya?”
“Sudah aku katakan,” sahut Kiai
Gringsing, “jangan hiraukan aku. Marilah, masuklah ke dalam rumah ini.
Ada dua orang yang sedang menunggumu.”
“Tetapi…….,” katanya terputus, dan keragu-raguan mulai melanda perasaannya.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya,
“Apakah kau sangka aku salah seorang dari mereka itu? Bukan, Ngger. Aku
bukan salah seorang dari mereka.”
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun ia menjawab, “Kalau demikian, aku tidak ada waktu lagi. Aku harus
bersembunyi. Saat ini mereka pasti sudah berjalan-jalan di jalan-jalan
padesan kami. Suatu ketika ia akan melihat halaman demi halaman. Dan aku
harus tidak mereka lihat di sini. Bahkan Kiai pun sebaiknya masuk ke
dalam rumah. Tetapi siapakah kedua orang yang menunggu aku di dalam
rumah? Kalau mereka itu anak-anak muda, sebaiknya mereka bersembunyi
juga supaya mereka tidak terpaksa melakukan hal-hal yang tidak mereka
kehendaki sendiri.”
“Jangan tergesa-gesa, Ngger. Nanti
baiklah kau bersembunyi. Tetapi marilah masuk dahulu. Orang-orang dari
lereng Merapi itu pasti memerlukan waktu yang lama untuk melihat setiap
halaman sebelum ia sampai ke halaman ini. Bahkan mungkin sekali mereka
tidak akan masuk kerumah ini.”
“Memang,” sahut anak muda itu,
“kemungkinan itu memang dapat terjadi, tetapi kemungkinan yang lain pun
dapat pula terjadi. Satu dari dua. Kalau yang satu itu terjadi, maka
celakalah aku.”
“Rumah ini sudah dihancurkan, Ngger.
Perabot-perabotnya sudah porak-poranda tidak keruan. Apakah mereka masih
mungkin datang kemari?”
“Kemungkinan itu selalu ada.”
“Tetapi masuklah sejenak. Di dalam rumah
ini ada dua orang anak muda. Yang seorang mungkin Angger telah
mengenalnya. Namanya Agung Sedayu.”
“Agung Sedayu?” anak muda itu mengulangi. “Agung Sedayu yang mempunyai rumah ini?”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing.
“O, kasihan anak itu. Ia harus segera
tahu bahaya yang dapat mengancamnya. Tetapi ia akan dapat membeku
mendengar kemungkinan yang dapat terjadi atasnya.”
“Tidak, Ngger. Ia tidak akan menjadi
gentar mendengar apapun yang dapat terjadi atasnya, Karena itu marilah,
beritahukan kepadanya apa yang dapat terjadi.”
Anak muda itu menjadi bimbang sejenak.
Tiba-tiba ia berkata, “Marilah Kiai, cepat-cepat. Waktu kita tidak
terlampau banyak.” Kepada perempuan tua penunggu rumah itu anak muda itu
berkata, “Nyai, aku minta ijin untuk bertemu dengan Agung Sedayu
sejenak supaya aku dapat memberitahukannya, bahwa ia pun harus
bersembunyi pula.”
“Silahkan, Ngger.”
Kiai Gringsing yang belum jadi mandi itu
pun kembali masuk ke dalam rumah bersama anak muda itu. Demikan ia
memasuki pintu belakang masuk ke ruang dalam, maka dadanya pun menjadi
berdebar-debar. Ia melihat bahwa Agung Sedayu benar-benar duduk di dalam
rumah itu menghadapi semangkuk air hangat bersama seorang kawannya.
“Adi Sedayu,” sapa anak muda itu.
Agung Sedayu berpaling. Ia terperanjat
ketika dilihatnya Kiai Gringsing masuk ke rumah itu bersama seorang anak
muda. Tetapi kemudian terdengar ia menyapa sambil berdiri
tergopoh-gopoh, “Kakang Wuranta.”
Pertemuan itu adalah pertemuan yang tidak
terduga-duga. Keduanya pun kemudian duduk di samping Swandaru yang
kemudian di perkenalkannya kepada anak muda yang bernama Wuranta itu.
“Aku tidak tahu bahwa kau berada di sini,
Sedayu,” berkata Wuranta. “Adalah nasibmu memang kurang baik. Sejak kau
meninggalkan rumah ini, agaknya baru kali ini kau kembali.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu.
“Kalau saja kakakmu Untara ada.”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku masuk ke halaman ini untuk
bersembunyi. Kau dan tamumu itu pun sebaiknya bersembunyi pula. Hari ini
orang-orang dari lereng Merapi kembali memasuki padesan ini. Hampir dua
hari sekali, bahkan kadang-kadang setiap hari, mereka datang kembali ke
padesan ini. Kemarin dulu mereka telah merusak rumah dan perabot
ramahmu ini.”
Tetapi tanggapan Agung Sedayu telah
mengejutkan temannya itu. Ia menyangka Agung Sedayu akan gemetar dan
ketakutan. Kemudian lari terbirit-birit ke atas kandang atau ke bawah
kolong lumbung rumahnya. Namun kadi ini ia melihat Agung Sedayu
tersenyum dan berkata, “Aku akan menunggu mereka, Kakang Wuranta. Siapa
sajakah yang kali ini datang ke padesanku ini?”
Sejenak Wuranta terbungkam. Hampir-hampir ia tidak percaya melihat sikap itu.
“Siapa sajakah yang datang kali ini
Wuranta?” kembali Agung Sedayu bertanya. “Sidanti, Argajaya, Sanakeling,
atau Alap-alap Jalatunda.”
“Kau telah mengenal nama-nama mereka, Adi
Sedayu. Memang demikianlah nama-nama mereka. Kadang-kadang mereka
datang bersama-sama, tetapi kadang-kadang salah seorang dari mereka
datang bersama beberapa orang laskarnya.”
“Kali ini berapa orangkah yang datang?”
“Aku hanya melihatnya dari kejauhan. Enam
atau tujuh orang. Tetapi aku tidak melihat para pemimpin itu datang
bersama-sama. Mungkin hanya satu dua orang saja yang datang, yang tidak
dapat aku lihat dengan jelas. Mungkin datang pula rombongan yang lain.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tiba-tiba ia tersenyum sambil bergumam, “Kita berempat. Nah,
kalau demikian, marilah kita songsong kedatangan mereka.”
Kembali Wuranta terheran-heran melihat
sikap Agung Sedayu. Ia mengenal Untara dan Agung Sedayu dengan baik,
sebagai anak-anak muda sepedukuhan. Wuranta mengenal dan mengagumi
Untara, yang segera dapat mendapat tempat yang baik di dalam lingkungan
Wira Tamtama Pajang. Tetapi ia mengenal juga Agung Sedayu yang hanya
berani mondar-mandir dari Jati Anom ke Banyu Asri. Bahkan anak itu
kadang-kadang menggigil ketakutan apabila ia agak kemalaman di jalan.
Anak-anak muda sepadukuhan menyebut kedua bersaudara itu seperti anak
siang dan anak malam Mereka menganggap, tanpa mengetahui kebenarannya,
bahwa Agung Sedayu lablr di tengah hari dan Untara lahir di tengah
malam. Sehingga Agung Sedayu tidak berani melihat gelap, sedang Untara
dapat hidup di segala keadaan. Tetapi tiba-tiba ia kini melihat Agung
Sedayu tersenyum mendengar enam atau tujuh orang bersenjata datang
memasuki padesan ini.
“Bagaimana, Kakang Wuranta?” bertanya Agung Sedayu. “Apakah kau tidak membawa senjata?”
Tanpa sesadarnya Wuranta menggeleng sambil menjawab, “Tidak, Sedayu,”
“Dahulu ayah menyimpan bermacam-macam
senjata. Kalau kita mencarinya, maka aku kira masih ada satu dua yang
tertinggal di rumah ini meskipun baru saja rumah ini diobrak-abrik oleh
demit-demit itu.”
“Tetapi,” potong Wuranta bimbang, “mereka adalah prajurit-prajurit Wira Tamtama dari Jipang.”
“Apa salahnya?” sahut Agung Sedayu.
Melihat sikap Agung Sedayu itu, Wuranta
justru menjadi bercuriga. Seharusnya Agung Sedayu menjadi pucat dan
menggigil kecemesan, Seharusnya anak muda itu bertanya kepadanya sambil
gemetar, “Wuranta kemana aku harus bersembunyi.” Tetapi Agung Sedayu
tidak berbuat demikian. Meskipun demikian Wuranta tidak akan dapat
menyangka, bahwa Agung Sedayu termasuk di dalam lingkungan orang-orang
yang kini berada di lereng Merapi itu, sebab kakaknya, Untara adalah
Senapati Wira Tamtama Pajang. Karena itu maka Wuranta sejenak tidak
segera dapat menjawab.
Swandaru-lah yang agaknya tidak bersabar
lagi. Tiba-tiba ia berdiri. Sambil mengingsar pedangnya ia menggeliat.
Katanya, “Hem, untunglah, aku sudah minum air hangat pagi ini. Mungkin
aku harus segera minum darah Sidanti.”
Wuranta terkejut mendengar kata-kata anak
yang gemuk dan bernama Swandaru Geni itu. Dengan wajah yang tegang
dipandanginya wajah yang bulat, yang kini sedang menguap. Sidanti
menurut pendengarannya adalah seorang anak muda yang ditakuti di lereng
Merapi, sebab ia adalah murid Ki Tambak Wedi. Tetapi anak yang gemuk itu
dengan seenaknya menyebut namanya. Bahkan sambil menggeliat dan
menguap.
“Marilah, Kakang Wuranta,” ajak Agung Sedayu. “Bukankah kau masih Wuranta yang dahulu? Wuranta jago binten yang ditakuti?”
Wuranta menarik keningnya. Sejenak ia
terhenyak dalam kcragu-raguan. Kalau Agung Sedayu itu kini telah berani
menyongsong kedatangan orang-orang dari lereng Merapi itu dengan pedang
di lambungnya, kenapa ia tidak?
Dalam kebimbangan itu tiba-tiba terdengar
Kiai Gringsing berkata, “Angger Wuranta. Tunggulah sebentar. Aku
mempunyai pendapat yang barangkali baik buat kita sekalian. Duduklah
Swandaru.”
“Aku tidak mau kehilangan mereka Kiai.
Kalau mereka masuk ke halaman ini beruntunglah kami. Tetapi kalau tidak,
maka aku akan kecewa sepanjang umurku.”
“Ah,” desah Kiai Gringsing, “duduklah.”
Swandaru menjadi kecewa. Tetapi ia tidak berani membantah perintah gurunya.
“Angger,” berkata Kiai Gringsing kepada
Wuranta, “menilik sikap Angger, yang ternyata bahwa Angger telah berbuat
banyak untuk kawan-kawan Angger, anak-anak muda Jati Anom, maka menurut
penilaianku maka Angger adalah salah seorang dari tetua anak-anak muda
di padukuhan ini. Benarkah demikian?”
“Tak ada yang mengangkat aku demikian,
Kiai,” sahut Wuranta pendek. “Namun aku berbuat sekedar untuk
kepentingan padukuhan serta anak-anak mudanya.”
“Ya, ya,” berkata Kiai Gringsing
kemudian, “agaknya Angger Agung Sedayu pun telah mengenal Angger sebagai
seorang anak muda yang pantas berdiri di depan.”
“Ah, agaknya anggapan Adi Sedayu salah.”
“Tidak, Ngger,” potong Kiai Gringsing.
“Tetapi aku mempunyai usul yang barangkali bermanfaat bagi kalian, bagi
Jati Anom khususnya dan bagi Pajang umumnya, asal Angger bersedia
melakukannya. Tetapi apa yang harus Angger lakukan adalah sesuatu yang
cukup berbahaya.”
Wuranta mengerutkan keningnya. Jawabnya
ragu-ragu, “Apakah itu Kiai? Meskipun demikian, meskipun aku harus
berbuat sesuatu yang berbahaya, namun asalkan dapat menguntungkan
padesan ini dan apalagi Pajang, maka mudah-mudahan aku dapat
melakukannya.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun sekarang orang tua itulah yang ragu-ragu. Katanya,
“Tetapi taruhannya bukanlah taruhan yang dapat diperhitungkan dengan
cacah. Taruhannya adalah nyawa. Namun kalau Angger berhasil, maka
seluruh Pajang akan berhutang budi kepada Angger.”
Wuranta terdiam sejenak. Ditatapnya wajah
kedua anak muda yang duduk di hadapannya, seakan-akan ia ingin
bertanya, “Kenapa bukan anak-anak muda itu yang harus menjalani?”
“Angger Wuranta,” berkata Kiai Gringsing
yang seakan-akan dapat menjajagi perasaan anak muda itu. “Agung Sedayu
dan Swandaru tidak akan dapat melakukan pekerjaan itu, sebab mereka
berdua telah dikenal dengan baik. Oleh Sidanti maupun oleh Sanakeling.”
Wuranta mengerutkan keningnya mendengar
kata-kata orang tua itu. Ternyata Agung Sedayu dan kawannya yang bulat
itu telah mengenal dan bahkan dikenal oleh pemimpin laskar yang berada
di lereng Gunung Merapi itu.
Tetapi apa yang harus dilakukan menurut
orang tua itu pun telah mendebarkan hatinya. Dengan nada yang datar
Wuranta bertanya, “Apakah sebenarnya pekerjaan yang harus aku lakukan
itu Kiai?”
“Angger Wuranta,” berkata Kiai Gringsing, “apakah Angger satu dua kali pernah ditangkap oleh orang-orang Merapi itu?”
“Aku sendiri belum, Kiai,” dtawab Wuranta, “tetapi beberapa di antara kami pernah mengalami.”
“Bagaimanakah perlakuan mereka atas kalian?”
“Mereka tidak begitu menakutkan Kiai.
Tetapi kadang-kadang mereka bersikap kasar. Apalagi kalau kami tidak mau
menuruti perintah-perintah mereka. Meskipun demikian, kami tidak ingin
bekerja bersama dengan mereka, justru karena kami tahu, bahwa mereka
adalah orang-orang yang tidak memihak Pajang.”
“Adakah kadang-kadang mereka membujuk kalian untuk ikut dengan mereka?”
“Sekali dua kali hal itu pernah dilakukan, Kiai.”
“Bagus,” sahut Kiai Gringsing, “itulah
yang aku harapkan. Angger Wuranta, Angger adalah anak muda yang akan
dapat membantu kami. Tetapi kami tidak akan menekankan maksud ini.
Terserahlah kepada Angger. Kami hanya menawarkan kesempatan kepada
Angger untuk mencoba memberikan sesuatu kepada Pajang dan sudah tentu
kepada padukuhan ini, kepada kademangan ini. Namun sekali lagi aku
beritahukan, taruhannya adalah nyawa.”
Wuranta tertegun sejenak. Bahkan Agung Sedayu dan Swandaru pun sama sekali tidak mengerti maksud gurunya.
Anak-anak muda itu pun sejenak terdiam. Wajah mereka memancarkan keragu-raguan hati mereka.
“Angger Wuranta,” berkata Kiai Gringsing
lebih lanjut, “bagaimana kalau Angger bersedia menerima tawaran mereka
apabila kesempatan itu terbuka bagi Angger?”
“Kiai,” hampir bersamaan. Agung Sedayu
dan Swandaru memotong kata-kata gurunya. Sedang Wuranta memandangi wajah
orang tua itu dengan tegangnya.
“Tunggu dulu,” sambung Kiai Gringsing,
“aku belum selesai. Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang jauh lebih berat
dari pekerjaan prajurit yang bertempur di medan-medan perang.” Orang
tua itu berhenti sejenak, kemudian dilanjutkannya, “Bukankah dengan
demikian Angger ada di antara mereka? Nah, kami percaya bahwa meskipun
Angger dalam ujud jasmaniah berada di antara mereka, namun Angger akan
tetap berjuang untuk kepentingan Pajang dan Jati Anom.”
Kening Agung Sedayu. Swandaru, dan
Wuranta itu menjadi berkerut- merut. Kini mereka dapat membayangkan apa
yang harus dilakukan oleh anak muda itu.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Wajah
Wuranta yang tegang menjadi bertambah tegang. Dipandanginya wajah Agung
Sedayu dan Swandaru berganti-ganti.
“Pekerjaan itu memang sangat berat,
Ngger,” berkata Kiai Gringsing kemudian. “Tetapi apabila Angger
berhasil, maka Angger telah ikut serta membebaskan daerah ini dari
ketakutan dan kecemasan.
Sejenak Wuranta mencoba mencernakan
kata-kata orang tua itu. Dicobanya membayangkan apakah yang dapat
dilakukan di antara orang-orang yang menakutkan itu. Apakah yang dapat
diperbuatnya seorang diri di dalam sangkar bekas-bekas prajurit Jipang
dan orang-orang dari padepokan Ki Tambak Wedi.
“Kalau Angger dapat berhasil berada di
antara mereka,” berkata Kiai Gringsing seterusnya, “maka pekerjaan
Angger seterusnya adalah, memberi kami beberapa penjelasan mengenai
keadaan di dalam lingkungan mereka.”
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Ia
telah dapat menggambarkan pekerjaan apa yang harus dilakukannya. Tetapi
anak muda itu tidak segera dapat memberikan jawaban.
“Angger,” berkata Kiai Gringsing lebih
lanjut, “ketahuilah, bahwa hari ini, selambat-lambatnya besok, Angger
Untara akan datang bersama sepasukan prajurit yang cukup kuat. Tetapi
mereka tidak akan dengan begitu saja memasuki padepokan Ki Tambak Wedi
tanpa mengetahui seluk belum di dalamnya. Nah, kalau Angger berada di
antara mereka, maka kami bertiga, Agung Sedayu, Swandaru, dan aku
sendiri, akan berusaha selalu berada di dekat Angger di sekitar
padepokan itu. Kami akan memasuki padepokan mereka menurut
petunjuk-petunjuk Angger. Sedang dari luar, Angger Untara akan datang
bersama pasukannya yang kuat, yang pasti akan dapat mengimbangi kekuatan
Sidanti dan Sanakeling.”
Setitik keringat meleleh di kening
Wuranta. Di dalam dadanya terjadilah suatu pergolakan yang dahsyat. Ia
tahu, bahwa dengan demikian ia telah memberikan sumbangan bagi
perjuangan prajurit Pajang dalam menghadapi sisa-sisa laskar Sanakeling
dan orang-orang Sidanti dari padepokan Ki Tambak Wedi. Namun pekerjaan
itu memerlukan ketabahan, kecerdikan, dan keberanian.
“Tetapi segala sesuatu terserah kepada
Angger Wuranta,” akhirnya Kiai Gringsing berkata. “Kami menanti pilihan
Angger. Kalau Angger bersedia, maka sekarang kami harus berbuat sesuatu.
Mencoba mengelabuhi orang-orang lereng Merapi yang sedang turun itu,
sehingga Angger mendapat kepercayaan dari padanya. Tetapi kalau Angger
tidak bersedia karena sesuatu hal, maka kami harus mengambil sikap lain,
misalnya dengan membinasakan ketujuh orang itu.”
Wuranta masih belum menjawab. Terasa darahnya bergelora di dalam dadanya.
Agung Sedayu dan Swandaru pun seolah-olah
menjadi terbungkam karenanya. Ia tahu betapa beratnya pekerjaan itu.
Namun mereka pun menyadari, bahwa mereka masing-masing tidak akan dapat
melakukannya seperti kata gurunya, bahwa mereka telah dikenal oleh
orang-orang yang kini berada di padepokan Ki Tambak Wedi itu.
Sejenak ruangan itu dicengkam oleh
kesepian. Masing-masing terdiam, namun dadanya bergelora oleh berbagai
macam perasaan. Wuranta masih juga membungkam. Keringatnya menjadi
semakin banyak mengalir dari lubang-lubang kulitnya.
“Bagaimana, Ngger?” pertanyaan Kiai
Gringsing itu diucapkannya perlahan-lahan, namun meskipun demikian
ketiga anak-anak muda yang sedang dilanda oleh arus perasaan mereka itu
terkejut. Suara Kiai Gringsing yang perlahan-lahan itu terdengar seperti
pecahnya jambangan yang jatuh di atas batu.
Wuranta menarik nafas dalam-dalam.
Katanya ragu-ragu, “Tugas itu menarik perhatianku Kiai. Tetapi apakah
aku akan dapat melakukannya dengan baik?”
“Semuanya tergantung kepada keadaan dan
Angger sendiri,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi apabila Angger
benar-benar bertekad untuk melakukannya, maka mudah-mudahan Angger dapat
berhasil.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Anak muda itu memang bukan seorang penakut, tetapi disadarinya bahwa
tugas ilu adalah bukan sebuah permainan yang mengasyikkan. Ia sependapat
dengan Kiai Gringsing, bahwa taruhannya adalah nyawanya.
“Kiai,” bertanya Wuranta, “sebelumnya aku
menjawab pertanyaan itu, apakah Kiai tidak berkeberatan kalau aku
bertanya, siapakah Kiai ini sebenarnya?”
Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, “Namaku Ki Tanu Metir, Ngger.”
“He,” Wuranta terkejut, “maksud Kiai, Kiai itulah dukun dari Dukuh Pakuwon?”
“Ya, akulah Ki Tanu Metir itu. Mungkin
Angger pernah mendengar namaku. Aku memang sering berusaha menyembuhkan
orang yang sedang sakit.”
Kening Wuranta kini menjadi
berkerut-kerut. Nama itu sama sekali tidak memberinya jaminan apapun.
Apakah hubungannya dengan Pajang? Yang dapat langsung berhubungan dengan
pasukan Pajang di antara mereka hanyalah Agung Sedayu, karena kebetulan
Agung Sedayu adalah adik Untara. Tetapi apabila ia sudah berada di
antara orang-orang Jipang, apakah Agung Sedayu dapat menjaminnya, bahwa
tidak aka nada salah paham kelak antara orang-orang Pajang dengan
dirinya seandainya ia masih hidup.
Keragu-raguan itu memancar pada sorot
mata Wuranta. Sekali-sekali dipandanginya dukun tua itu, dan
sekali-sekali wajah Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti.
Kiai Gringsing adalah seorang yang
memiliki simpanan pengalaman yang cukup. Itulah sebabnya ia merasakan
getar kebimbangan di dalam hati Wuranta. Karena itu maka orang tua itu
berkata, “Terhadap prajurit Pajang, Angger jangan bimbang. Aku akan
menjadi jaminan. Sampai saat ini Angger Untara percaya kepadaku sebagai
seorang penasehat yang tidak diangkat.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepanya.
Tetapi ia masih bimbang. Sehingga Agung Sedayu yang sedikit banyak dapat
ikut merasakannya berkata, “Wuranta, Ki Tanu Metir adalah orang yang
selama ini telah membimbing aku dan Adi Swandaru. Ia adalah orang yang
mendapat banyak kepercayaan dari Kakang Untara pula. Itulah sebabnya,
kadang-kadang Ki Tanu Metir dapat berbuat sesuatu sebelum Kakang Untara
sendiri melakukannya.”
Kembali Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun di dalam dadanya masih juga bergetar keraguan dan
kecemasan, tetapi ia sudah mulai dapat menjajagi, bahwa Ki Tanu Metir di
dalam tata keprajuritan Pajang, setidak-tidaknya dalam perjuangan ini,
adalah orang yang dapat dipercaya.
“Nah, sekarang terserah kepadamu, Ngger.”
Dada Wuranta masih bergolak. Ia berdiri
di sudut jalan simpang. Kedua-duanya dapat dilaluinya. Ia melihat bahaya
bertebaran di simpang yang seaman-amannya baginya. Tetapi kesempatannya
untuk mengabdi kepada Pajang dan kademangannya telah sangat menarik
perhatiannya. Itulah sebabnya, maka tiba-tiba wajahnya menjadi kian
tegang. Ia sudah sampai pada puncak pergolakan di dalam dirinya. Anak
muda itu kemudian menghentakkan giginya untuk menemukan kekuatan buat
menentukan pilihannya. Akhirnya dengan suara bergetar ia berkata, “Kiai,
aku bersedia. Tetapi tunjukkanlaj aku jalan itu.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Yang pertama-tama mengucapkan terima kasih adalah aku dan
kedua anak-anak muda ini, Ngger. Tetapi hati-hatilah. Kalau Angger sudah
berada di antara mereka, maka usahakanlah agar Angger tetap mendapat
banyak kesempatan untuk datang ke kademangan ini. Kalau tidak maka
Angger harus mendapat suatu tempat untuk meletakkan tanda-tanda dan
keterangan yang akan kami ambil di saat-saat tertentu. Misalnya di sudut
Tegal Mlanding. Angger dapat meninggalkan rontal dengan beberapa
tulisan dan tanda-tanda.”
“Baik, Kiai. Tetapi dari mana aku mendapat rontal?”
“Angger dapat mempergunakan apa saja.
Secarik kain dengan cocokan daun sirih atau apa saja yang dapat Angger
pergunakan. Batang-batang pohon dan mungkin orang-orang yang Angger
percayai.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali setitik keringat meleleh di keningnya.
“Akan aku usahakan menghubungi Kiai dan
Adi Agung Sedayu atau Adi Swandaru. Sudut Tegal Mlanding memang tempat
yang baik. Di sudut Utara ada sebatang pohon beringin. Pohon itulah
tempat yang ditentukan apabila aku meletakkan sesuatu.”
“Baik. Baik, Ngger,” berkata Ki Tanu
Metir. “Sekarang bagaimana Angger dapat mengelabuhi orang-orang itu
sehingga Angger akan mendapat kepercayaan?”
“Terserahlah kepada Kiai.”
“Baiklah. Angger akan mengambil sesuatu
dari rumah ini. Agung Sedayu akan mengejar sampai orang-orang lereng
Merapi itu melihat Anger. Angger Wuranta akan mengatakan bahwa Angger
telah mengambil benda-benda itu dari rumah ini, tetapi ternyata Agung
Sedayu berada di dalam rumahnya. Tetapi ingat bahwa Agung Sedayu seorang
diri.”
Wuranta mendengarkan kata-kata Kiai
Gringsing itu dengan seksama. Lamat-lamat ia segera dapat menangkap
maksudnya. Meskipun demikian ia bertanya, “Kenapa Agung Sedayu hanya
seorang diri?”
Dengan demikian, maka mereka tidak akan
terlampau bersiaga. Pengaruhnya pun tidak akan terlampau banyak bagi
orang-orang di lereng Merapi itu. Mereka dapat menyangka bahwa Agung
Sedayu hanya sekedar melihat rumahnya.
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi sebelum ia berkata selanjutnya, Ki Tanu Metir telah
mendahuluinya, “Tetapi Ngger, ada soal lain yang harus kau mengerti.
Orang-orang lereng Merapi itu mendendam Agung Sedayu sampai ke
ubun-ubun.”
Ki Tanu Metir berhenti sejenak. Kemudian
sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Kalau mereka mendengar
nama Agung Sedayu, maka jantung mereka akan segera menyala. Tetapi kalau
Agung Sedayu itu seorang diri, maka tanggapan merekapun akan berbeda
daripada apabila Agung Sedayu datang bersama Swandaru atau seorang tua
yang bernama Ki Tanu Metir. Bahkan mereka pasti ingin menjebak Agung
Sedayu ke dalam perangkapnya, sebab di lereng Merapi itu memang telah
tersedia umpannya.”
Wuranta tidak segera menangkap maksud Kiai Gringsing, sementara itu wajah Agung Sedayu pun menjadi kemerah-merahan.
“Angger Wuranta,” berkata Ki Tanu Metir
itu selanjutnya, “ketahuilah, bahwa adik Swandaru yang bernama Sekar
Mirah, sejak beberapa hari yang lalu telah hilang. Ternyata Sekar Mirah
itu telah dilarikan oleh Sidanti. Hal ini adalah salah satu sebab yang
mendorong kami mendahului pasukan Untara. Dan hal ini pula termasuk
salah satu yang harus Angger perhitungkan apabila Angger berhasil masuk
ke dalam lingkungan Sidanti itu. Angger harus secepatnya berusaha
memberi kami kabar, dari mana kami akan mendapat kesempatan yang paling
aman untuk memasuki padepokan Ki Tambak Wedi dan mendekati tempat Sekar
Mirah itu disimpan. Kami harus dapat mencegah supaya Sekar Mirah tidak
akan dapat dijadikan barang taruhan untuk memeras kekuatan pasukan
Angger Untara kelak. Sebab mau tidak mau, Angger Untara pasti akan
terpengaruh seandainya Sekar Mirah itu masih tetap berada di padepokan.
Nah, barangkali Angger Wuranta kini telah dapat membayangkan, apakah
kira-kira yang harus Angger lakukan apabila Angger bersedia mengorbankan
diri untuk tugas itu.”
Sekali lagi Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Gambaran tentang tugas yang disanggupinya itu menjadi kian
jelas. Anak muda itu tahu benar hubungan apakah yang ada antara kedua
anak muda itu dengan Sekar Mirah. Sekar Mirah itu adalah adik Swandari
dan adik Swandaru itu adalah umpan yang baik untuk memancing Agung
Sedayu.
Tiba-tiba Wuranta itu tersenyum, meskipun
hatinya masih juga berdebar-debar. Sambil memandangi Agung Sedayu ia
berkata, “Baiklah Ki Tanu Metir. Aku akan mencoba melihat, darimana
sebaiknya Adi Swandaru harus menangkap umpannya, tetapi tidak tersangkut
kailnya, atau mungkin Adi Agung Sedayu?”
“Ah,” Agung Sedayu berdesah. Tetapi
Swandaru tertawa hampir tak terkendali, sehingga Ki Tanu Metir
mencegahnya. “He, Swandaru, jangan menunggu Ki Tambak Wedi menutup
mulutmu.”
Suara tertawa Swandaru itu pun terhenti.
Tetapi mulutnya masih juga tersenyum. Katanya, “Nah, ternyata kita
mendapat suatu cara yang baik untuk membebaskan Sekar Mirah karena
pertolongan Kakang Wuranta.” Kemudian kepada Wuranta ia berkata, “Kakang
Wuranta, mudah-mudahan usaha ini akan bermanfaat bagi kita semua. Bagi
kami yang datang dari Sangkal Putung ini dan bagi Jati Anom.
“Mudah-mudahan, Adi,” jawab Wuranta pendek.
“Sekarang,” berkata Ki Tanu Metir,
“Angger Wuranta harus meninggalkan rumah ini. Usahakan supaya
orang-orang lereng Merapi mencari Angger Agung Sedayu lewat halaman
depan. Kau dapat berbuat seakan-akan kau menentangnya dengan dengan
mencegah orang-orang itu dengan tergesa-gesa memasuki halaman ini.
Dengan demikian kau memberi kesempatan kepada kami untuk meninggalkan
rumah ini lewat pintu belakang. Apakah kau dapat mengerti?”
“Baik, Kiai.”
“Nah, sekarang pergilah. Kau merasa
dikejar oleh Agung Sedayu. Kau harus dilihat oleh orang-orang yang
memasuki desa ini. Lalu kau kembali bersama mereka untuk menunjukkan
bahwa di rumah itu ada seorang anak muda yang bernama Agung Sedayu yang
mengejarmu karena kau mengambil sesuatu dari rumah ini. Berangkatlah
supaya orang-orang lereng Merapi itu sempat melihatmu sebelum mereka
pergi meninggalkan padukuhan ini.
“Baik, Kiai.”
“Yang lain-lain akan menyusul. Mudah-mudahan kita akan segera bertemu lagi. Atau tinggalkan pesan di sudut Tegal Mlanding.”
“Baik, Kiai. Sekarang, baiklah aku
pergi.” Wuranta berhenti sesaat, lalu katanya, “Tetapi kemana aku harus
berlari. Apakah aku harus mengelilingi padukuhan ini sampai aku bertemu
dengan orang-orang itu?”
“Kau dapat bertanya kepada seorang dua
orang yang melihatnya. Bukankah perempuan dan anak-anak tidak perlu
melarikan dirinya apabila orang-orang itu datang?”
“Sampai sekarang anak-anak dan perempuan
tidak pernah mereka ganggu Kiai. Mungkin orang-orang itu sedang
mengambil hati orang-orang Jati Anom.”
“Demikianlah. Dan kau pasti cukup bijaksana.”
Kemudian Wuranta itu pun minta diri
kepada Kiai Gringsing dan kedua anak muda, murid orang tua itu. Dengan
tergesa-gesa meninggalkan rumah itu. Sampai di luar regol halaman ia
menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia pun berlari ke arah Barat.
Tiba-tiba ia berhenti ketika terdengar
seorang perempuan memanggilnya dari balik pintu regol. Ketika Wuranta
mendekat, perempuan itu berbisik, “Sst, Wuranta, larilah. Orang-orang
itu berada beberapa puluh langkah darimu. Dua halaman di sebelah barat
itu.”
Dada Wuranta berdesir mendengar bisik
orang itu. Sejenak ia menjadi ragu-ragu kembali. Apakah ia dapat
melakukan tugas yang diberikan kepadanya itu? Ia tahu pasti bahwa Ki
Tanu Metir dan Agung Sedayu bukanlah prajurit-prajurit Pajang yang
berwenang untuk memberinya tugas-tugas demikian. Apakah ia akan sampai
hati untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kemudian diberikan
kepadanya oleh orang-orang lereng Merapi, yang mungkin akan sangat
bertentangan dengan hatinya. Apakah kata orang-orang Jati Anom sendiri
tentang dirinya dan apakah orang-orang itu kelak akan dapat mengerti,
bahwa apa yang dilakukan itu justru untuk kepentingan mereka.
Dalam keragu-raguan itu, kembali Wuranta
mendengar perempuan di belakang regol itu berkata, “Cepat, masuklah
kemari Wuranta. Cepat. Mereka berada di halaman sebelah barat itu.”
Tetapi Wuranta kini benar-benar tidak
dapat berbuat lain. Pada saat itul ia melihat beberapa orang laki-laki
dengan senjata di lambungnya keluar dari halaman di sebelah Barat itu
berantara satu pomahan.
Ketika tampak oleh mereka itu seorang
anak muda berdiri di depan regol, maka tiba-tiba salah seorang dari
mereka melambaikan tangan mereka memanggil Wuranta mendekat.
“Masuklah,” desis perempuan di belakang regol.
“Mereka telah melihat aku,” desis Wuranta perlahan.
“Oh, kau terlambat, Nak,” kata perempuan
itu sambil bergegas-gegas meninggalkan regol halamannya naik ke rumah.
Dengan tergesa-gesa pula didorongnya pintu leregnya dan kemudian di
selaraknya rapat-rapat.
Wuranta berjalan dengan hati yang
berdebar-debar mendekati orang-orang itu. Ketika ia menjadi semakin
dekat, maka tahulah ia bahwa orang-orang itu hanyalah berjumlah enam
orang. Ketika dilihatnya seorang anak muda di antara mereka yang
berwajah tampan namun keras, segera dikenalnya anak muda itu. Anak muda
itu adalah Sidanti, seperti yang dikatakan oleh beberapa orang
kawan-kawannya yang pernah ditangkap pula. Di dalam rombongan kecil itu
pula dilihatnya seorang yang bersenjatakan tombak pendek. Maka ia pun
menduga, bahwa orang itulah yang sering disebut oleh kawan-kawannya
bernama Argajaya.
Ketika Wuranta menjadi semakin dekat,
maka kini ia menjadi semakin jelas. Di samping kedua orang yang berada
di depan itu, maka yang lain hanyalah beberapa orang prajurit
pengawalnya saja.
“Kemarilah,” berkata anak muda yang disangkanya bernama Sidanti.
Wuranta melangkah perlahan-lahan. Dadanya
diamuk oleh kecemasan dan keragu-raguan. Namun akhirnya ia membulatkan
tekadnya bahwa ia akan berbuat sebaik-baiknya seperti yang dipesankan
oleh Ki Tanu Metir.
“Siapakah kau anak muda?” bertanya orang yang disangkanya Sidanti itu.
Keringat dingin telah mengalir membasahi punggung Wuranta. Perlahan-lahan ia menjawab, “Namaku Wuranta, Tuan.”
“Nama yang baik,” desis orang yang bertanya itu. “Sebaiknya kau mengenal aku pula. Namaku Sidanti.”
“O,” Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya, “aku telah pernah mendengar nama Tuan. Apakah Tuan yang
membawa tombak pendek itu bernama Argajaya?”
Sidanti tertawa, “Darimana kau mengenal kami?”
“Kawan-kawanku mengatakan kepadaku, Tuan.”
“O,” desis Sidanti, “aku memang pernah
bertemu dengan beberapa anak-anak muda dari Jati Anom. Sayang di antara
kita belum ada sentuhan perasaan yang dapat mempererat hubungan kita.
Sebagian dari anak-anak muda Jati Anom sengaja menghindari apabila kami
datang ke kademangan ini untuk memperkenalkan diri.”
“Ya, Tuan. Kami, anak-anak Jati Anom kadang-kadang menjadi takut kepada Tuan-tuan.”
“Kenapa takut?” bertanya Sidanti.
“Justru karena kami belum mengenal Tuan.”
Sidanti tertawa. “Alasanmu bagus sekali.
Kita terperosok ke dalam suatu lingkaran yang tak berpangkal dan
berujung. Kalian takut berkenalan dengan kami, karena itu kalian selalu
menghindari kami. Ada pun sebabnya kalian takut karena kalian belum
mengenal kami. Begitu?”
Wuranta tersenyum pula. Senyum yang
dipaksakannya. Tetapi kini ia telah mencoba melakukan pekerjaannya.
Berkali-kali ia berpaling ke belakang dengan gelisahnya. Ia mengharap
Sidanti akan bertanya tentang sikapnya itu.
Ternyata harapannya itu berlaku. Dengan dahi yang berkerut-kerut, Sidanti bertanya, “Apakah kau sedang menunggu seseorang?”
“Tidak, Tuan,” sahut Wuranta. “Tetapi
seseorang tadi mengejarku. Hampir aku bersembunyi di halaman sebelah
seandainya Tuan tidak memanggilku.”
“Siapa yang mengejarmu?” bertanya Sidanti dengan serta merta. “Dan kenapa kau dikejar orang?”
“Ah, soalnya agak memalukan, Tuan.”
“Kenapa?”
“Hanya sebilah keris”
“Bagaimana dengan sebilah keris?” Argajaya tidak dapat bersabar.

“Siapa?”
“Agung Sedayu, Tuan.”
“He,” terasa darah Sidanti tersirap, “kau berkata bahwa Agung Sedayu berada di rumahnya?”
“Ya, Tuan. Agung Sedayu adalah lawan berkelahi sejak kami masih kanak-kanak.”
Wajah Sidanti tiba-tiba menjadi merah.
Dengan mata yangmenyala ia bertanya, “Wuranta, mari tunjukkan di mana
Agung Sedayu sekarang?”
“Di rumahnya, Tuan. Baru saja aku dikejarnya.”
“Apakah kau tidak berani melawan Agung Sedayu?”
“Aku tidak bersenjata, Tuan.”
“Kalau kau bersenjata?”
Wuranta terdiam sejenak. Dipandanginya Sidanti dengan wajah bertanya-tanya.
Tiba-tiba Sidanti tertawa. Katanya,
“Mungkin kau memang tidak akan dapat melawannya. Agung Sedayu tumbuh
terlampau cepat. Tetapi serahkan ia kepadaku.”
“Siapakah anak muda itu?” bertanya Argajaya. “Agung Sedayu?”
“Ya.”
“Yang aku jumpai di Prambanan?”
“Nah, itulah, Paman. Agung Sedayu.”
Dada Argajaya pun berdesir. Ia mengenal
tiga anak-anak muda di Prambanan. Tetapi Agung Sedayu itu bukanlah anak
muda yang berkelahi melawannya.
“Apakah mereka juga bertiga?” bertanya Argajaya.
Wuranta mengerutkan keningnya. Kenapa
Argajaya itu dapat menebak bahwa Agung Sedayu datang bertiga? Tetapi
maksud Argajaya adalah tiga anak-anak muda, Agung Sedayu, Swandaru, dan
seorang lagi yang mengaku bernama Sutajia.
Untunglah bahwa Wuranta segera ingat
pesan Ki Tanu Metir, bahwa Agung Sedayu datang seorang diri ke rumahnya.
Maka jawabnya, “Sendiri Tuan. Agung Sedayu hanya seorang diri menurut
penglihatanku, Tetapi entahlah aku tidak tahu apakah ia datang bersama
kawan-kawannya.”
“Beruntunglah kalau aku dapat bertemu
dengan setan itu,” desis Argajaya. “Sidanti,” katanya kepada
kemenakannya, “serahkan anak itu kepadaku.”
Sidanti tersenyum. Jawabnya, “Jangan
seperti berebut durian runtuh, Paman. Aku ingin menangkapnya
hidup-hidup. Membawanya kembali ke padepokan dan mempertemukannya dengan
Sekar Mirah. Tetapi tidak dalam keadaan yang wajar. Aku ingin supaya
Sekar Mirah melihat, Agung Sedayu akan aku ikat seperti anjing. Aku
pukuli sampai Sekar Mirah mau menerima aku sebagai suaminya.”
“Kau terlampau mementingkan dirimu
sendiri Sidanti. Kau tidak mengingat bahwa kita berada dalam keadaan
perang melawan Pajang. Persoalan-persoalan pribadi akan dapat mengganggu
bagi persoalan-persoalan yang lebih penting.”
Sidanti masih saja tersenyum. Tetapi kini
ia tidak dapat menjawab kata-kata pamannya. Kepada Wuranta ia berkata,
“Ayo bawa aku kepadanya. Kalau kau berhasil menunjukkan di mana Agung
Sedayu berada, maka kau akan mendapat keris yang kau kehendaki dan bukan
itu saja. Mungkin kau mempunyai beberapa permintaan.”
“Baik, Tuan,” sahut Wuranta. “Marilah, sebelum anak itu lari.”
Mereka pun kemudian berjalan beriringan
dengan tergesa-gesa. Wuranta berjalan di paling depan dengan tegapnya.
Sekali-kali ia meloncat berlari-lari seakan-akan ia benar-benar segera
ingin melihat Agung Sedayu itu tertangkap.
Di belakangnya, Sidanti dan Argajaya
berjalan sambil memperhatikan Wuranta. Sambil tersenyum Sidanti berkata
lirih, “Lagaknya anak itu. Seakan-akan ia sendirilah yang akan menangkap
Agung Sedayu. Ternyata ia lari pontang-panting ketika dikejarnya.”
Argajaya tidak menjawab. Tetapi dendamnya
kepada Sutajia masih belum dapat dilupakannya, kalau nanti ia
benar-benar bertemu dengan Agung Sedayu maka sekali lagi ia ingin minta
kepada Sidanti agar menyerahkan anak muda itu kepadanya, sebagai pelepas
dendamnya. Namun tiba-tiba di kepalanya melontar sebuah pertanyaan,
“Bagaimanakah kalau Sutajia itu kini bersama Agung Sedayu itu pula?”
Tanpa disengajanya ia berpaling. Di
belakang berjalan empat orang prajurit dengan senjata di lambungnya.
Tetapi bagi Argajaya, empat orang prajurit itu sama sekali tidak banyak
berarti apabila mereka benar-benar bertemu dengan ketiga anak-anak muda
yang ditemuinya di Prambanan.
Semakin dekat mereka dengan regol halaman
rumah Agung Sedayu, maka hati mereka pun menjadi semakin
berdebar-debar. Wuranta menjadi cemas, apakah Agung Sedayu benar-benar
akan berhasil melepaskan dirinya, sedang Sidanti dan Argajaya menjai
cemas kalau anak itu telah meninggalkan rumahnya.
Sampai di muka regol halaman, Wuranta
berhenti. Ia menjadi ragu-ragu. Dalam keragu-raguan itu terdengar
Sidanti bertanya, “Kenapa berhenti?”
“Aku akan memanggilnya, Tuan.”
“Tak usah. Kita masuki saja rumahnya.”
“Bagaimana kalau Agung Sedayu membawa beberapa orang kawan?”
Sidanti tersenyum, katanya, “Aku pun membawa beberapa orang kawan pula.”
Tetapi Argajaya-lah yang menyahut,
“Panggil anak itu keluar. Kita lebih baik tidak menampakkan diri. Kita
akan lebih mudah menangkapnya apabila kita telah melihat orangnya.”
Sidanti tidak membantah. Pendapat itu
baik juga agaknya. Karena itu maka katanya kepada Wuranta, “Bagaimana
caramu untuk memanggilnya. Apakah ia akan keluar juga?”
“Tunggulah, Tuan. Aku akan membuat ia marah.”
Sidanti tersenyum. Katanya, “Lakukanlah.”
Wuranta itu pun kemudian berdiri di
tengah-tengah regol halaman rumah Agung Sedayu. Tetapi sebelum
berteriak, sekali lagi berpaling kepada Sidanti sambil berkata, “Tetapi
Tuan jangan melepaskan aku sendiri. Aku akan dibunuhnya nanti.”
“Penakut,” geram Sidanti. “Aku di sini. Jangan takut.”
Beberapa orang dibelakan Sidanti hampir
tak dapat menahan tertawa mereka melihat sikap Wuranta. Sedang Argajaya
dengan garangnya berkata, “Lekas, jangan membuang waktu.”
Wuranta memandangi rumah itu lagi.
Dilihatnya pintu depan rumah Agung Sedayu tertutup. Tetapi ia mengharap
bahwa Agung Sedaya dan kawan-kawannya telah melihatnya dair balik
dinding. Sekali lagi ia berpaling kepada Sidanti, dan dilihatnya mata
anak muda itu hampir saja meloncat dari pelupuknya.
Wuranta itu pun kemudian menengadahkan
wajahnya. Dengan lantang ia berteriak, “He, Agung Sedayu. Kenapa kau
bersembunyi? Hampir mati kepayahan aku menunggumu di prapatan. Ayo kalau
kau benar-benar jantan.”
Tidak segera terdengar jawaban dari dalam
rumah itu. Sidanti dan Argajaya menjadi gelisah. Mereka masih berdiri
di balik dinding halaman, sehingga mereka tidak melihat ke dalam
halaman.
“Agung Sedayu!” teriak Wuranta kemudian. “He, Agung Sedayu! Kenapa kau tidak mengejarku terus? Aku menunggumu di prapatan.”
Masih belum terdengar jawaban, dan
Wuranta berteriak lagi, “He, kalau kau tidak berani keluar, jangan sebut
dirimu Agung Sedayu. Jangan sebut dirimu putera Ki Sadewa dan jangan
sebut dirimu adik Untara. Ayo, keluarlah!”
Dada Sidanti tiba-tiba berdesir, sedang
jantung Argajaya terasa berderak ketika mereka mendengar suara dari
dalam halaman. “Wuranta, jangan terlampau sombong. Halaman ini cukup
luas untuk mengadu liatnya kulit, kerasnya tulang. Jangan lari. Marilah
kita jajagi, siapakah yang jantan di antara kita.”
Tiba-tiba Wuranta tertawa menyakitkan
hati. Dengan nada yang tinggi ia berkata, “O, kau agaknya ingin menjebak
aku he? Ayo, keluarlah dari regol halaman rumahmu. Kalau kita berkelahi
di dalam halaman, maka mungkin kau menyimpan kawan di dalam rumahmu
yang jelek itu. Ayo, keluarlah!”
“Kaukah yang akan menjebak aku? Apakah
kau sudah mendapat kawan baru sehingga kau kembali lagi ke halaman ini?
Ha, jangan ingkar. Aku melihat kau sekali-sekali berpaling. Siapakah
kawanmu, he?”
“Persetan! Aku bukan pengecut. Ayo, kemarilah!” sahut Wuranta.
Namun dada Sidanti-lah yang tidak tahan lagi. Seakan-akan dada itu akan bengkah.
Ia bukan pengecut yang hanya berani bersembunyi, kemudian menyerang
lawanya dalam kelengahan. Karena itu, maka terdengar giginya gemeretak
menahan diri.
Ternyata Argajaya pun hampir-hampir
tidak dapat menguasai perasaannya lagi. Dengan parau ia menggeram,
“Jangan bermain sembunyi-sembunyian. Ayolah Sidanti, kita selesaikan
tikus itu.”
Sidanti tidak menunggu ajakan berikutnya.
Cepat ia meloncat dari balik diding regol hampir bersamaan dengan
Argajaya. “Agung Sedayu!” teriak Sidanti. “Kita bertemu kembali. Apakah
kau memang mencari aku.”
“O,” sahut Agung Sedayu, “kaukah itu
Sidanti? Dan yang satu itu bukankah pamanmu yang bernama Argajaya?
Apakah kau datang bersama gurumu Ki Tambak Wedi?”
Kata-kata itu terasa seperti bara api
menyentuh telinga Sidanti. Dengan gigi gemeretak ia menjawab, “Agung
Sedayu. Jangan merasa dirimu jantan sendiri. Aku bersedia untuk sekali
lagi melakukan perang tanding dengan jujur. Ayo, turunlah. Kita
berhadapan sebagai laki-laki.”
Terdengar Agung Sedayu tertawa. Nadanya menyakitkan hati. Katanya, “Wuranta, itukah minta-srayamu?”
“Jangan hanya berbicara!” sahut Wuranta. “Sekarang kau sudah berhadapan dengan lawanmu.”
“Pengecut! Agaknya kau hanya berani bersembunyi di balik punggungnya.”
“Jangan menghina Wuranta! Aku terpengaruh oleh keadaan, karena aku berada di dalam rumahmu tanpa ijinmu,” Jawab Wuranta.
Sidanti hampir tidak sabar lagi mendengar
percakapan yang tidak ada ujung pangkalnya, sekali lagi ia membentak,
“Sedayu, ayo, kita mulai!”
Agung Sedayu terdiam. Tampaklah wajahnya
menjadi tegang. Keringat dingin mengalir dari keningnya. Ia mendapat
pesan dari gurunya, untuk kepentingan yang lebih besar, ia harus
menghindari perkelahian kali ini. Ia harus masuk kedalam rumahnya dan
lari bersama-sama lewat pintu belakang dan meloncati dinding halaman
belakan. Tetapi ketika ia melihat Sidanti telah berdiri di hadapannya.
Tiba-tiba darahnya menggelegak. Hampir-hampir ia tidak dapat mengingat
lagi, apa yang harus dilakukan seandainya gurunya tidak berbisik dari
balik dinding, “Tinggalkan mereka. Cepat, kita lari sebelum rencana ini
bubrah.”
Agung Sedayu masih diam mematung. Bahkan
tangan Swandaru pun menjadi gemetar. Dengan penuh kekecewaan ia berkata,
“Guru, kenapa mereka tidak kita bantai sekarang? Bukankah guru dan kami
berdua mampu melakukannya? Wuranta itu tidak lagi perlu mencari jalan
untuk masuk kedalam padepokan Tambak Wedi.”
“Kau tidak ingin adikmu kembali? Dan apakah kau ingin melihat Jati Anom menjadi karang abang?”
Swandaru terdiam. Yang terdengar kemudian adalah suara Sidanti, “Turunlah atau aku akan naik ke rumahmu?”
“Cepat Agung Sedayu!” perintah gurunya
dari balik dinding. “Katakan kepadanya, suatu ketika kau akan
menerimanya menjadi tamumu.”
Mulut Agung Sedayu serasa terbungkam.
Namun ketika Kiai Gringsing berkata, “Agung Sedayu, taati perintah
gurumu,” maka Agung Sedayu itu pun tidak dapat menolak lagi. Ketika ia
melihat Sidanti maju setapak maka ia pun berteriak, “Sidanti kali ini
aku berkeberatan menerimamu. Tetapi lain kali aku harap kau sudi
berkunjung ke rumahku lagi.”
Agung Sedayu tidak menunggu jawaban
Sidanti. Hatinya sendiri berguncang dahsyat sekali karena ia harus
meninggalkan lawan bebuyutan itu.
Melihat Agung Sedayu meloncat dan hilang
di balik pintu, Sidanti terkejut bukan kepalang. Sama sekali tidak
disangkanya bahwa begitu cepat Agung Sedayu meniggalkannya dengan
tergesa-gesa. Ia mengharap bahwa Agung Sedayu menerima tantangannya dan
berkelahi di halaman. Namun tiba-tiba Agung Sedayu berlari seperti tikus
melihat kucing.
Justru karena itu maka sejenak ia berdiri
diam seperti patung. Argajaya terkejut pula. Sifat anak itu sama sekali
berubah dari sifat Agung Sedayu yang ditemuinya di Prambanan, yang
melihat ujung senjata dengan tengadah. Apalagi anak muda yang bernama
Sutajia. Tetapi adalah mengherankan kalau kali ini tanpa malu-malu Agung
Sedayu itu meloncat berlari sipat kuping.
Sejenak kemudian Sidanti menyadari keadaanya. Menyentak ia berkata, “Setan itu harus aku tangkap.”
Tetapi ketika Sidanti meloncat terdengar Wuranta berkata, “Tuan. Tunggulah.”
Sidanti tertegun. Diawasinya wajah anak muda Jati Anom itu dengan heran.
“Tuan, siapa tahu di dalam rumah itu ada beberapa orang yang telah siap menjebak Tuan.”
Sidanti ragu-ragu sesaat. Tetapi kemudian ia bertanya, “Bukankah kau berkata bahwa Agung Sedayu hanya seorang diri saja.”
“Itu menurut penglihatanku, Tuan. Tetapi siapa tahu, bahwa sepuluh atau dua puluh orang telah siap menanti Tuan.”
Argajaya ternyata tidak sabar menunggu
mereka berbincang. Ia tanpa berkata sepatah kata pun segera meloncat
mendahului. Sidanti berlari melintasi halaman rumah Agung Sedayu.
Sidanti pun segera menyusul sambil berkata, “Kalau kau takut,
tinggallah di luar. Kalau ia tidak sendiri, maka mereka pasti sudah
beramai-ramai mengejarmu tadi.”
Wuranta tidak menjawab lagi. Ia mengharap
bahwa waktu yang diusahakannya telah cukup panjang bagi Agung Sedayu
dan kedua kawannya.
Dalam pada itu Argajaya telah naik ke
pendapa disusul oleh Sidanti. Dengan kasarnya ia mendorong pintu sambil
berteriak, “He pengecut! Di manakah kejantananmu? Pilihlah di antara
kami, siapakah yang akan kau jadikan lawanmu.”
Suara Argajaya itu berderak memukul
dinding-dinding rumah yang kosong. Sama sekali ia tidak mendengar
jawaban. Meskipun demikian ia tidak dapat masuk dengan tanpa bersiaga
menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Peringatan Wuranta
ternyata mempengaruhinya juga.
“Ayo, keluarlah. Siapa yang berada di rumah ini?”
Masih tak ada jawaban. Sidanti pun kini
telah berada di dalam rumah itu. Tangannya telah melekat dihulu
pedangnya. Bahkan orang-orangnya yang berada di belakangnya telah
menggenggam senjata masing-masing. Sedang tombak pendek Argajaya pun
telah siap bergerak apabila terjadi sesuatu dengan tiba-tiba.
“Agung Sedayu,” terdengar Sidanti memanggil-manggil.
Masih tidak ada jawaban.
Dengan marahnya Sidanti pun segera
menendang pintu-pintu dan perabot rumah yang memang telah porak-poranda.
Suaranya berderak-derak tak keruan. Orang-orangnya pun menirukan saja
apa yang diperbuat oleh Sidanti itu.
Tiba-tiba terdengar Sidanti berkata, “Kita cari ke belakang.”
Mereka pun kemudian berlari kehalaman
belakang. Wuranta pun ikut pula deng mereka, bahkan seperti mereka juga
Wuranta ikut menendang-nendang beberapa macam barang.
“Sedayu!” teriak Sidanti.
Sepi. Tak seorang pun yang menyahut.
“Agung Sedayu, pengecut!”
Suara itu saja yang melontar menyentuh dedaunan. Seolah-olah memenuhi seluruh pedukukan Jati Anom.
“Gila,” geram Sidanti, “apakah aku akan kehilangan dia?”
Tiba-tiba Sidanti itu melihat sesuatu
yang bergerak-gerak di dalam bilik belakang. Cepat ia meloncat
mendekati. Dengan gerak seperti kilat pedangnya telah tergenggam di
dalam tangannya. Kali ini ia tidak membawa pusakanya, nenggala.
“Keluar!” teriaknya. “Ayo keluar! Apakah kau Agung Sedayu?”
Yang terdengar kemudian adalah suara
tangis kanak-kanak yang meledak. Dengan penuh ketakutan seorang
perempuan dengan anak laki-laki yang masih kecil terbongkok-bongkok
keluar dari bilik kecil itu.
“O, gila kau,” bentak Sidanti. “Di mana Agung Sedayu, he?”
“Agung Sedayu lari, Tuan,” sahut perempuan itu.
“Suruh anak itu diam!” teriak Argajaya sambil menunjuk kepala anak itu dengan ujung tombaknya.
“Cup, Ngger,” desis perempuan itu sambil menggigil. Didekapnya anak itu di dadanya.
“Suruh anak itu diam!” bentak Argajaya pula.
Perempuan itu menjadi semakin ketakutan.
Dengan gemetar ia mencoba manahan tangis anaknya, “Cup diam ya Ngger.”
Tetapi anak itu masih juga menangis.
“Di mana Sedayu?” sekali lagi Sidanti membentak.
“Lari, Tuan. Ia lari meloncat pagar dinding itu.”
“Kau berkata sebenarnya? Apakah anak itu tidak kau sembunyikan?”
“Tidak, Tuan. Tuan dapat mencari di seluruh halaman ini.”
“Kalau aku ketemukan dia, aku penggal kepalamu.”
Perempuan itu tidak menjawab, tetapi ia menggigil ketakutan.
“Ayo, tunjukkan di mana ia bersembunyi!” perintah Argajaya.
Tiba-tiba Wuranta maju selangkah sambil
berkata, “Maaf Tuan-tuan, perempuan ini adalah bibiku. Memang ia menjadi
pembantu dan penunggu rumah Agung Sedayu sejak ayahnya masih hidup.
Karena petunjuknya pula aku ingin mengambil keris hari ini, tetapi
tiba-tiba saja Agung Sedayu itu datang.”
Argajaya dan Sidanti serentak berpaling
memandangi Wuranta. Dan Wuranta mencoba meyakinkan, “Ia berada di
pihakku, Tuan. Ia tidak akan menyembunyikan Agung Sedayu.”
Sidanti dan Argajaya menjadi ragu-ragu
sejenak. Ditatapnya wajah Wuranta dan perempuan itu berganti-ganti.
Kemudian berkata Sidanti, “Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Buat apa aku membohong, Tuan. Bibi
inilah yang mengatakan bahwa Untara telah menyimpan sebuah pusaka
berbentuk keris di dalam rumah ini. Tetapi ketika aku mencoba
mencarinya, aku masih belum menemukannya. Malahan hari ini Agung Sedayu
yang datang tanpa disangka-sangka telah mengejarku.”
Sidanti dan Argajaya mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak segera berbuat sesuatu.
Ketika mereka masih saja berdiri diam,
maka tiba-tiba bertanyalah Wuranta kepada perempuan tua itu, “Bibi,
kemana Agung Sedayu melarikan dirinya? Ke samping atau ke belakang?”
“Ke belakang, Ngger,” sahut perempuan itu ragu-ragu.
“Apakah Tuan masih akan mengejarnya?” bertanya Wuranta.
Sidanti dan Argajaya tiba-tiba tersadar.
Tanpa berkata sepatah kata pun segera mereka berlari dan dengan
tangkasnya mereka meloncat dinding di bagian belakang. Wuranta pun tidak
ketinggalan pula. Ternyata ia pun cukup tangkas untuk meloncat dinding
itu tanpa kesulitan.
Tetapi mereka sudah tidak menemukan
seseorang di belakang dinding itu. Meskipun demikian mereka masih
mencoba mencarinya ke sekitar halaman rumah Agung Sedayu, bahkan sampai
ke halaman rumah tetangga-tetangganya. NAmun mereka sudah tidak
menemukan Agung Sedayu.
“Sayang,” desis Wuranta.
“Apa yang sayang?” bertanya Sidanti.
“Monyet itu.”
“Huh,” Argajaya mencibirkan bibirnya.
“Apa yang dapat kau lakukan seandainya kami menemukannya? Kau hanya
mampu lari terbirit-birit seperti anjing kena cambuk.”
Terasa dada Wuranta berdesir. Sesaat
darahnya bergolak, namun sesaat kemudian ia tersenyum kecut. Tetapi ia
tidak menjawab sepatah katapun. Meskipun demikian, terasa alangkah
menyakitkan kata-kata Argajaya itu. Ia tahu, bahwa orang-orang dari
lereng Merapi adalah orang-orang yang pilih tanding. Bahkan anak muda
yang bernama Sidanti itu memiliki kemampuan bertempur yang hampir di
luar kemampuan prajurit biasa. Argajaya itu adalah pemimpin yang agaknya
disegani juga. Tetapi untuk mendengarkan hinaan dari mereka terasa
telinganya menjadi sakit juga.
Meskipun demikian Wuranta harus menahan
diri. Ia sedang melakukan tugas yang sangat berat. Karena itu ia harus
dapat mengorbankan perasaannya dan bahkan harga dirinya. “Pekerjaan yang
tidak menyenangkan,” ia berdesah di dalam hantinya.
Namun sedikit banyak terasa olehnya,
bahwa orang-orang lereng Merapi sampai saat itu tidak mencurigainya.
Pekerjaannya kini tinggallah mencari kepercayaan yang lebih besar dan
berusaha untuk turut serta ke sarang mereka.
Setelah mereka tidak dapat menemukan
jejak Agung Sedayu, maka Sidanti kemudian berkata, “Apakah yang harus
kita lakukan kini, Paman?”
Argajaya tidak segera menjawab.
Diawasinya wajah Wuranta yang kemudian berpaling. Ia tidak mau
berpandangan mata dengan paman Sidanti yang kasar itu supaya ia tetap
dapat menahan diri dalam tugasnya.
“Bertanyalah kepada pengecut itu,” jawab Argajaya, “apa saja yang ingin dilakukan di kampung halamannya ini.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Baginya
pamannya memang terlampau kasar menghadapi orang-orang yang sedang
dipancing untuk berpihak kepada mereka.
“Baiklah,” akhirnya Sidanti itu menjawab,
dan kepada Wuranta ia bertanya, “Wuranta, apakah yang sebaiknya kita
lakukan. Apakah ada yang menarik di kademangan ini untuk dikunjungi?”
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Ia
tahu arti pertanyaan itu. Sidanti dan Argajaya ingin menemukan sesuatu
yang mungkin berharga bagi mereka.
Tetapi Wuranta pura-pura tidak mengerti maksud Sidanti. Karena itu ia bertanya, “Apakah maksud Tuan?”
Sidanti tersenyum. Kemudian katanya,
“Apakah kau tahu, di mana kami mendapat sesuatu yang dapat disumbangkan
untuk perjuangan kami melawan ketamakan orang-orang Pajang? Pusaka
misalnya atau perhiasan untuk menambah bekal?”
“Di rumah Agung Sedayu ada pusaka, Tuan, tetapi beberapa hari aku sudah mencarinya, namun belum juga ketemu.”
“Bodoh kau!” bentak Argajaya. “Apakah kau tahu, di mana ada orang-orang kaya di kademangan ini?”
“O,” desis Wuranta. Sekali lagi telinganya menjadi pedih. “Tetapi Tuan, rumah-rumah itu telah pernah Tuan kunjungi.”
Mata Argajaya terbelalak karenanya.
Hampir ia mengumpat sejadi-jadinya. Tetapi Sidanti-lah yang mendahului
sambil tertawa, “Baik. Memang barangkali kau benar. Hampir setiap rumah
yang cukup menarik telah kami kunjungi. Lalu barangkali kau mempunyai
pertimbangan lain?”
Wuranta menggelengkan kepalanya.
“Selain harta benda apakah yang dapat kau sumbangkan?” bertanya Sidanti.
“Apakah maksud Tuan?”
Sidanti tidak meneruskan kata-katanya.
Tetapi sambil tersenyum ia berkata, “Ah, hari telah siang. Apakah kita
sudah cukup, Paman?”
“Lalu anak ini?” berkata Argajaya sambil menunjuk kepada Wuranta.
Sebelum Sidanti menjawab Wuranta telah
mendahului, “Apakah Tuan akan segera kembali naik ke lereng Merapi? Aku
menjadi takut Tuan apabila nanti Agung Sedayu datang kembali.”
Sidanti tersenyum melihat Wuranta yang kecemasan itu, katanya, “Lalu? Apa yang kau kehendaki?”
Wuranta tidak segera menjawab. Ditatapnya
wajah kedua pemimpin dari lereng Merapi itu berganti-ganti. Namun
agaknya Argajaya tidak begitu senang melihat sikapnya. Maka katanya,
“Kenapa kau bertanya kepadanya? Biarkan saja, apa yang akan
dilakukannya.”
———-oOo———-
(bersambung ke Jilid 021)
diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-20/