Sabtu, 16 Mei 2015

Syekh Siti Jenar Waliullah Tanah Jawi (Nusantara)


Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyaknama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, tapi bukan Hasan AliAnshar seperti banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh diMalaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana); Syekh Jabaranta (nama ygdikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti ygnampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juganama yg diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya);Syekh Lemah Abang atauLemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dankampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan.  Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebonnama yg populer adalah Syekh Lemah Abang. Syekh Siti Jenar (nama filosofis ygmengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologishanya diciptakan dari sekedar 5 tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah;juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada DewanWali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); SyekhNurjati atau Pangeran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon,S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung(nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastraIslam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); SyekhWali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; danSyekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ingLemah Abang. Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenaryakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadianmanusia, secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi sebagaiwadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusiatidak kekal akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, ygsetelah kemusnaan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebutmanungsa sebagai bentuk “manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan). Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaansurga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa duniaadalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah nerakabagi orang yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas daribelenggu wadag-nya dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgnTuhan sering terhalang oleh badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulahinti makna nama Syekh Siti Jenar. Asal Usul Syekh Siti Jenar  Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti JenarKi Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi KeradjanTjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, PurwakaTjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya,Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani SyaikhSyekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; SartonoKartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; BabadBanten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis,‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol,1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, ygsekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatulingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan sertaperadaban berbagai suku. Lemah Abang sekarang diabadikan menjadi desa dan sebuahkecamatan di kabupaten cirebon dan kecamatan Lemah Abang dimekarkan menjadikecamatan Lemah Abang, kecamatan Japura, kecamatan Sedong, kecamatan Greged,kecamatan Susukan Lebak. Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasanasal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagaimanusia sejarah. Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan olehpenguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perluuntuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya dimasyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui KerajaanIslam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwaSyekh Siti Jenar berasal dari cacing. Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantahsecara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded,sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusunLemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasaldari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyatjelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]…. Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal darikalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, ygsaat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disampingsebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa. Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagaiSyekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka,Syekh Datuk Shalehbin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘AbdullahKhannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddinadalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalahseorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dariHandramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut. Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utamaketurunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semuaketurunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam.Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindahdari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncakpada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilahyg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqahSyathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin danSyekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah keKamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana. Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudianbermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu SyekhDatuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh DatukShaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karenaancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan padaakhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syahkepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut namaSyekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil. Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebondan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. DiTanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaranIslam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgnulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru duabulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat. Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela sertapenasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri diCirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi. Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagiketurunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon ygsaat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basisantarlintas perdagangan dunia waktu itu. Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorangulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satupusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf.Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgnsepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual. Padepokan Giri Amparan Jati Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi,pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg berpusat diCirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh halus]  Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai pelajarankeagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist,ushul fiqih dan manthiq.  Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketigaadalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah barudatang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannyadi Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan GiriAmparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun. Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan AmparanJati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalamikerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari“sangkan-paran” dirinya. Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmahHindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphalawarisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakupempat pokok laku utama. Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu ygingin dicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakanmemiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalahproses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, DiaYang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalamkondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn “Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dariniskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala danmelebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebasdari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”. Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemuiAria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri MaulanaIbrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan,Kampung Pedamaran. Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450M. bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikatketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahayaMaha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi. Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgnpara bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa SanAli untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong.Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajariberbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengahgelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agamaIslam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka inipula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini,Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an SyekhDatuk ‘Abdul Jalil. Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh SitiJenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utamapendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalahlembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia); jurang futur (nafsu menelanmakhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalanrohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun(penghalang akal dan nurani). Pencerahan Rohani di Baghdad Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlulbait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuatsegera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah. Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulamaMalaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan.Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalananrohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dansegala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidakterlihat pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untukmengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allahitu optimal bekerjadalam dirinya. Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari DewanWali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itupemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensiperbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justruperbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia,sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwasemua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satusumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud. Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud.Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluargaal-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semuakitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi.Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, ygdi kenal sebagai madzhab ahl al-bayt. Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi darial-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nyaal-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nyaal-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi(1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), danal-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenarsudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili,merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia. Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallajdan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Walimenyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memangmengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada pahamImam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskanajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan keberbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karyaSyekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak.Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang. Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesanpada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyahdan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurnadalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitabtersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili. Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawamenyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titikpangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalamteologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistikal-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya ygmemiliki ujung pemahaman yg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dansecara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi. Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangatsederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting,memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, sertayg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruhketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaranserta khotbah-khotbahnya, yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaandan politik di Jawa. Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkankonser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalahrumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkandirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdadsejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi ygterkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd. Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id(memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telahtersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); danlawami’(mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyatmelalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu ygmembuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf danberbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenarmendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj,Ibnu ‘Arabi dan al-Jili. Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgnsendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg berbunyianeh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni(mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku,sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membacadzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar,fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagaicerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai disini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah“al-Insan sirriwa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya). Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadiral-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, danal-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian,ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernahmengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhirhayat secara biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar