Selasa, 16 Juni 2015

Empat Berkah di Bulan Ramadan


La ilaha illallahul malikul haqqul mubin Muhammadurrosulullah shodiqul wa'dul amin Bulan Penuh Berkah, Rahmat, dan Ampunan telah Datang Bulan Ramadhan telah datang, bulan ini dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai bulan yang penuh berkah: عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ ». Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang kepada kalian Ramadhan bulan penuh berkah, Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya.” HR. An Nasai dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 55. Pada tulisan ini penulis mencoba mengurai berkahnya Ramadhan, tetapi sebelumnya ingin mengetahui apa itu berkah, arti berkah ada dua: Pertama: Kebaikan yang tetap dan terus menerus Kedua: Kebaikan yang banyak dan selalu bertambah {وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا } [الأعراف: 137] Artinya: “Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya.” QS. Al A’raf: 137. "ومغاربها التي باركنا فيها"، يقول: التي جعلنا فيها الخير ثابتًا دائمًا لأهلها. Artinya: “Maksud ayat “negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya” adalah: yang telah kami jadikan di dalamnya kebaikan YANG TETAP DAN TERUS MENERUS BAGI PENGHUNINYA.” Lihat kitab Tafsir Ath Thabary. {إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ} [آل عمران: 96] Artinya: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”QS. Ali Imran: 96. Berkata Imam Al Quthuby rahimahullah: جعله مباركا لتضاعف العمل فيه؛ فالبركة كثرة الخير، Artinya: “Allah menjadikannya penuh berkah karenadilipatkan amal di dalamnya, maka berkah adalah banyaknya kebaikan.” Lihat kitab Tafsir Al Qurthuby. Berkahnya Ramadhan; 1. Di dalam Ramadhan Allah menurunkan Al Quran, yang mana Al Quran adalah sebagai petunjuk, keterangan dan pembeda anatar yang haq dan batil. { شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ } Artinya: “bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” QS. Al Baqarah: 185. Berkata Ibnu Katsir rahimahullah: يمدح تعالى شهرَ الصيام من بين سائر الشهور، بأن اختاره من بينهن لإنزال القرآن العظيم فيه Artinya: “Allah Ta’ala memuji bulan puasa dari sekian bulan, yaitu dengan memilihnya dari bulan-bulan lainnya untuk menurunkan Al Quran yang Agung di dalamnya.” Lihat kitab Tafsir Al Quran Al Azhim pada tafsir ayat ini. Termasuk berkahnya Ramadhan adalah Allah menurunkan Al Quran di dalamnya, dan Al Quran adalah berkah bagi seluruh umat manusia, karena di dalamnya ada PETUNJUK, KETERANGAN DAN PEMBEDA ANTARA YANG HAQ DAN BATIL, kalau seandainya bukan petunjuk yang ada di dalam Al Quran maka manusia akan seperti binatang bahkan lebih buruk daripada binatang. Coba perhatikan ayat yang menjelaskan orang-orang yang tidak mendapatkan hidayah dan petunjuk, Allah Ta’ala berfirman: {مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (178) وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (179)} [الأعراف: 178- 179] Artinya: “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” QS. Al A’raf: 178-179. Maka tidak heran, Allah menurunkan Al Quran pada malam yang penuh berkah, karena Al Quran penuh dengan berkah petunjuk bagi manusia, Allah Ta’ala berfirman: { إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْر } Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan.” QS. Al Qadar: 1. { إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِين } Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” QS. Ad Dukhan: 3. 2. Di dalam Ramadhan dibuka seluruh pintu surga tidak ada satupun yang tertutup dan ditutup seluruh pintu neraka: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: « إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ ». Artinya: “Jika pada awal malam bulan Ramadhan, maka para syetan dan pemimpin dibelenggu dan pintu-pintu neraka ditutup maka tidak dibuka satu pintupun dan pintu-pintu surga dibuka maka tidak ditutup satu pintupun.” HR. Tirmidzi. Apa hubungannya pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup dengan adanya berkah? Lihat penjelasan dari kitab Al Muntaqa Syarah Al Muwaththa’ ( فَصْلٌ ) وَقَوْلُهُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النِّيرَانِ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ هَذَا اللَّفْظُ عَلَى ظَاهِرِهِ فَيَكُونَ ذَلِكَ عَلَامَةً عَلَى بَرَكَةِ الشَّهْرِ وَمَا يُرْجَى لِلْعَامِلِ فِيهِ مِنْ الْخَيْرِ وَيَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيدَ بِفَتْحِ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ كَثْرَةَ الثَّوَابِ عَلَى صِيَامِ الشَّهْرِ وَقِيَامِهِ وَأَنَّ الْعَمَلَ فِيهِ يُؤَدِّي إِلَى الْجَنَّةِ كَمَا يُقَالُ عِنْدَ مُلَاقَاةِ الْعَدُوِّ قَدْ فُتِّحَتْ لَكُمْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ بِمَعْنَى أَنَّهُ قَدْ أَمْكَنَكُمْ فِعْلٌ تَدْخُلُونَهَا بِهِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ بِمَعْنَى كَثْرَةِ الْغُفْرَانِ وَالتَّجَاوُزِ عَنْ الذُّنُوبِ . Dan sabdanya: “Dibukakan pintu surga dan ditutup pintu neraka, dimungkinkan bahwa lafazh ini dipahami sesuai dengan zhahirnya, maka hal itu merupakan tanda atas berkahnya bulan dan apa-apa yag diharapkan oleh seorang yang beramal di dalamnya berupa kebaikan, dan dimungkinkan maksud dari dibukanya pintu-pintu surga adalah banyaknya pahala dari puasa bulan Ramadhan serta beribadah di dalamnya dan bahwa beramal di dalamnya menghantarkan ke dalam surga sebagaimana yang dikatakan ketika bertemu dengan musuh, telah dibukan bagi kalian pintu-pintu surga, maknanya yaitu bahwa telah diberikan kekuasaan pada kalian untuk mengerjakan sesuatu yang dengannya kalian akan maksud surga, adapun maksud dari ditutup pintu-pintu neraka adalah banyaknya ampunan dan pemaafan atas dosa-dosa.” Lihat kitab Al Muntaqa Syarah Al Muwaththa’, 2/211. 3. Di dalam bulan Ramadhan terdapat satu malam lebih baik daripada seribu bulan. عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ ». Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang kepada kalian Ramadhan bulan penuh berkah, Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya, dibuka di dalamnya pintu-pintu langit dan ditutup di dalamnya pintu-pintu neraka, di belenggu di dalamnya pemimpin-pemimpin syetan dan Allah memiliki di dalamnya sebuah malam lebih baik daripada seribu bulan barangsiapa yang dilarang mendapatkan kebaikannya maka sungguh ia benar-benar merugi.” HR. An Nasai dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 55. عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ دَخَلَ رَمَضَانُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ هَذَا الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْرَ كُلَّهُ وَلاَ يُحْرَمُ خَيْرَهَا إِلاَّ مَحْرُومٌ ». Artinya: “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pernah masuk Ramadhan maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya bulan ini telah menghampiri kalian, di dalamnya terdapat sebuah malam lebih baik daripada seribu bulan barangsiapa yang diharakan darinya , maka sungguh ia telah terlarang dari seluruh kebaikan dan tidak dilarang dari kebaikannya kecuali seorang yang merugi.” HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Ibnu Majah, 2/159. 4. Bulan Ramadhan bulan dikabulkannya doa-doa. Di dalam surat Al Baqarah dari ayat ke 183, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang puasa, dan pada ayat yang ke 186, Allah Ta’ala menyebutkan ayat ini yang menyebutkan tentang berdoa, secara tersirat hal ini menunjukkan bahwa Ramadhan adalah bulan pengabulan doa-doa dan disinilah letak berkahnya bulan Ramadhan ini. Allah Ta’ala berfirman: { وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُون } Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” QS. Al Baqarah: 186. Dan Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah pernah menjelaskan bahwa hadits: عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ لِلَّهِ عُتَقَاءَ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لِكُلِّ عَبْدٍ مِنْهُمْ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ ». Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki orang-orang yang dimerdekakan pada setiap siang dan malam, setiap hamba dari mereka memiliki doa yang dikabulkan.” HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani. Berkata Al Hafizh: “Ini maksudnya di dalam Ramadhan.” Lihat kitab Athraf Al Musnad, 7/203. Apalagi, ditambah dengan hadits yang menunjukkan bahwa seorang yang berpuasa doanya tidak ditolak, hal ini menunjukkan bahwa Ramadhan dan puasa adalah memang waktu untuk berdoa, karena doa-doanya dikabulkan. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ : دَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ. Artinya: “Abu HUrairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga doa yang dikabulkan: “Doanya seorang yang berpuasa, doanya seorang yang terzhalimi, doanya seorang yang musafir.” HR. Al Baihaqy dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’: 3032.

Kamis, 11 Juni 2015

Solawat Nariyah (Api)


La ilaha illallahul malikul haqqul mubin Muhammadurrosulullah shodiqul wa,dul amin SHOLAWAT NARIYAH        Allohumma sholli ’sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman taaamman ‘ala sayyidina Muhammadinilladzi tanhallu bihil ‘uqodu wa tanfariju bihil qurobu wa tuqdho bihil hawaaiju wa tunalu bihir roghooibu wa husnul khowaatimu wa yustasqol ghomamu biwajhihil kariem wa ‘ala aalihi wa shohbihi fie kulli lamhatin wa nafasim bi’adadi kulli ma’lumin laka.          Artinya :Ya Alloh berilah sholawat dengan sholawat yang sempurna dan berilah salam dengan salam yang sempurna atas penghulu kami Muhammad yang dengannya terlepas segala ikatan, lenyap segala kesedihan, terpenuhi segala kebutuhan, tercapai segala kesenangan, semua diakhiri dengan kebaikan, hujan diturunkan, berkat dirinya yang pemtrah, juga atas keluarga dan sahabat-sahabatnya dalam setiap kedipan mata dan hembusan nafas sebanyak hitungan segala yang ada dalam pengetahuan-MU         Sholawat Tafrijiyyah (sholawat memohon kelepasan dari kesusahan dan bencana) adalah antara sholawat yang terkenal diamalkan oleh para ulama kita. Sholawat ini juga dikenali sebagai Sholawat at-Tafrijiyyah al-Qurthubiyyah (dinisbahkan kepada Imam al-Qurthubi), dan ada juga ulama yang menisbahkannya kepada Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Imam al-Husain r.anhuma. Di negeri sebelah maghrib, ianya dikenali sebagai Sholawat an-Naariyah karena menjadi amalan mereka apabila ingin melaksanakan sesuatu hajat atau menolak sesuatu bencana, mereka akan berkumpul dan membaca sholawat ini 4444 kali lalu terkabul hajat mereka dan tertolak segala malapetaka secepat api yang menyambar atau membakar. Ianya juga dikenali sebagai Miftahul Kanzil Muhiith li naili muraadil ‘abiid (kunci perbendaharaan yang meliputi untuk menyampaikan harapan si hamba). Sholawat ini empunyai keistimewaannya kerana selain sholawat ianya merupakan tawassul kepada Allah dengan Junjungan Nabi s.a.w. di mana kita menyebut nama dan dhamir Junjungan s.a.w. sebanyak 8 kali.Menurut Imam al-Qurthubi siapa yang melazimi akan sholawat ini setiap hari 41 kali atau 100 kali atau lebih, nescaya Allah melepaskan kedukaan, kebimbangan dan kesusahannya, menyingkap penderitaan dan segala bahaya, memudahkan segala urusannya, menerangi sirnya, meninggikan kedudukannya, memperbaikkan keadaannya, meluaskan rezekinya, membuka baginya segala pintu kebajikan, kata-katanya dituruti, diamankan dari bencana setiap waktu dan dari kelaparan serta kefakiran, dicintai oleh segala manusia, dimakbulkan permintaannya. Akan tetapi untuk mencapai segala ini, seseorang itu hendaklah mengamalkan sholawat ini dengan mudaawamah (istiqomah).        Imam as-Sanusi berkata bahawa siapa yang melazimi membacanya 11 kali setiap hari, maka seakan-akan rezekinya turun langsung dari langit dan dikeluarkan oleh bumi..          Imam ad-Dainuri berkata bahawa sesiapa yang membaca sholawat ini dan menjadikannya wirid setiap selepas sholat 11 kali, nescaya tidak berkeputusan rezekinya, tercapai martabat yang tinggi dan kekuasaan yang mencukupi. Sesiapa yang mendawamkannya selepas sholat Subuh setiap hari 41 kali, tercapai maksudnya. Sesiapa yang mendawamkannya 100 kali setiap hari, terhasil kehendaknya dan memperolehi kehormatan/kemuliaan melebihi kehendaknya. Sesiapa yang mendawamkannya setiap hari menurut bilangan para rasul (313 kali) untuk menyingkap segala rahsia, maka dia akan menyaksikan segala apa yang dikehendakinya. Sesiapa yang mendawamkannya 1000 kali sehari, maka baginya segala yang tidak dapat hendak diterang dengan kata-kata, tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar dan tidak pernah terbetik di hati manusia.         Imam al-Qurthubi juga berpesan bahawa sesiapa yang berkehendak untuk menghasilkan hajatnya yang besar atau menolak bencana yang menimpa, maka bacalah sholawat ini sebagai tawassul dengan Junjungan Nabi yang empunya akhlak yang agung 4,444 kali, nescaya Allah ta`ala akan menyampaikan kemahuan dan harapan itu atas niat si pembaca. Ibnu Hajar al-’Asqalani telah menyebut akan kelebihan bilangan ini sebagai iksir fi sababit ta`siir (pati ubat sebagai penyebab berlakunya kesan).       Menurut kata ulama, sholawat ini adalah merupakan satu perbendaharaan daripada khazanah-khazanah Allah, dan bersholawat dengannya merupakan kunci-kunci pembuka segala khazanah-khazanah Allah yang dibukakan Allah bagi sesiapa yang mendawaminya serta dengannya seseorang boleh sampai kepada apa yang dikehendaki Allah s.w.t. Oleh itu silalah ikhwah semua merujuk kepada para ulama kita (ingat bukan ulama mereka kerana karang semuanya akan dibid`ahsesatkan) dan melihat akan karangan-karangan terdahulu seperti “Afdhalush Sholawat ‘ala Sayyidis Saadaat” karangan Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, “Jawahirul Mawhub” dan “Lam`atul Awrad” kedua-duanya karangan Tok Syaikh Wan ‘Ali Kutan al-Kelantani, “Khazinatul Asrar” shollu ‘alan Nabiy.          Sholawat Nariyah, tidak ada dari isinya yg bertentangan dg syariah, makna kalimat : yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik, serta”, adalah kiasan, bahwa beliau saw pembawa Alqur’an, pembawa hidayah, pembawa risalah, yg dg itu semualah terurai segala ikatan dosa dan sihir, hilang segala kesedihan yaitu dengan sakinah, khusyu dan selamat dari siksa neraka, dipenuhi segala kebutuhan oleh Allah swt, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik yaitu husnul khatimah dan sorga.        Dalam kitab Khozinatul Asror (hlm. 179) dijelaskan, “Salah satu shalawat yang mustajab ialah Shalawat Tafrijiyah Qurthubiyah, yang disebut orang Maroko dengan Shalawat Nariyah karena jika mereka (umat Islam) mengharapkan apa yang dicita-citakan, atau ingin menolak yang tidak disukai mereka berkumpul dalam satu majelis untuk membaca shalawat nariyah ini sebanyak 4444 kali, tercapailah apa yang dikehendaki dengan cepat (bi idznillah).”        “Shalawat ini juga oleh para ahli yang tahu rahasia alam diyakini sebagai kunci gudang yang mumpuni:. .. Dan imam Dainuri memberikan komentarnya: Siapa membaca shalawat ini sehabis shalat (Fardhu) 11 kali digunakan sebagai wiridan maka rizekinya tidak akan putus, di samping mendapatkan pangkat kedudukan dan tingkatan orang kaya.”      Sholawat Nariyah adalah sebuah sholawat yang disusun oleh Syekh Nariyah. Syekh yang satu ini hidup pada jaman Nabi Muhammad sehingga termasuk salah satu sahabat nabi. Beliau lebih menekuni bidang ketauhidan. Syekh Nariyah selalu melihat kerja keras nabi dalam menyampaikan wahyu Allah, mengajarkan tentang Islam, amal saleh dan akhlaqul karimah sehingga syekh selalu berdoa kepada Allah memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk nabi. Doa-doa yang menyertakan nabi biasa disebut sholawat dan syekh nariyah adalah salah satu penyusun sholawat nabi yang disebut sholawat nariyah.      Suatu malam syekh nariyah membaca sholawatnya sebanyak 4444 kali. Setelah membacanya, beliau mendapat karomah dari Allah. Maka dalam suatu majelis beliau mendekati Nabi Muhammad dan minta dimasukan surga pertama kali bersama nabi. Dan Nabi pun mengiyakan. Ada seseorang sahabat yang cemburu dan lantas minta didoakan yang sama seperti syekh nariyah. Namun nabi mengatakan tidak bisa karena syekh nariyah sudah minta terlebih dahulu.        Mengapa sahabat itu ditolak nabi? dan justru syekh nariyah yang bisa? Para sahabat itu tidak mengetahui mengenai amalan yang setiap malam diamalkan oleh syekh nariyah yaitu mendoakan keselamatan dan kesejahteraan nabinya. Orang yang mendoakan Nabi Muhammad pada hakekatnya adalah mendoakan untuk dirinya sendiri karena Allah sudah menjamin nabi-nabiNya sehingga doa itu akan berbalik kepada si pengamalnya dengan keberkahan yang sangat kuat.      Jadi nabi berperan sebagai wasilah yang bisa melancarkan doa umat yang bersholawat kepadanya. Inilah salah satu rahasia doa/sholawat yang tidak banyak orang tahu sehingga banyak yang bertanya kenapa nabi malah didoakan umatnya? untuk itulah jika kita berdoa kepada Allah jangan lupa terlebih dahulu bersholawat kepada Nabi SAW karena doa kita akan lebih terkabul daripada tidak berwasilah melalui bersholawat.      Inilah riwayat singkat sholawat nariyah. Hingga kini banyak orang yang mengamalkan sholawat ini, tak lain karena meniru yang dilakukan syekh nariyah. Dan ada baiknya sholawat ini dibaca 4444 kali karena syekh nariyah memperoleh karomah setelah membaca 4444 kali. Jadi jumlah amalan itu tak lebih dari itba’ (mengikuti) ajaran syekh.        Agar bermanfaat, membacanya harus disertai keyakinan yang kuat, sebab Allah itu berada dalam prasangka hambanya. Inilah pentingnya punya pemikiran yang positif agar doa kita pun terkabul. Meski kita berdoa tapi tidak yakin (pikiran negatif) maka bisa dipastikan doanya tertolak.

Rabu, 10 Juni 2015

Tarekat Qodiriyah wa Naqshabandiyah


La ilaha illallahul malikul haqqul mubin Muhammadurrosulullah shodiqul wa'dul amin PENGENALAN TAREKAT QADIRIYYAH WA NAQSHABANDIYYAH TAREKAT QADIRIYYAH WA NAQSHABANDIYYAH: LATAR BELAKANG DAN AMALAN   Oleh Dr. Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi Universiti Sultan Zainal Abidin (UniSZA) Kampus Gong Badak, KT       Pendahuluan   Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah merupakan sebuah tarekat yang masyhur dan mempunyai ramai pengikut di Nusantara, khususnya di Kepulauan Jawa. Di Malaysia, tarekat ini juga merupakan antara tarekat yang sudah terkenal dan mempunyai ramai pengikut selain daripada tarekat Ahmadiyyah dan Naqshabandiyyah Khalidiyyah. Kertas kerja ini akan menjelaskan beberapa perkara tentang tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah menyentuh pengenalan, sejarah pembentukan, perkembangan, silsilah, amalan asas dan juga tujuan pengamalan tarekat ini.   Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah   Tarekat Qadiriyyah merupakan sebuah tarekat yang dinisbahkan kepada Shaykh Muhyi al-Din Abu Muhammad `Abd al-Qadir ibn Abi Salih Zangi Dost al-Jilani yang dilahirkan di Jilan pada tahun 470 H. (1077 M.) dan meningal dunia di Baghdad pada tahun 561 H. (1166 M.).[1] Tarekat Naqshabandiyyah pula merupakan sebuah tarekat yang dinisbahkan kepada Shaykh Bahā’ al-Dīn, Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Sharīf al-Husaynial-Hasanī al-Uwaysī al- Bukhārī[2] yang dilahirkan di Bukhara, Turkestan, Asia Tengah pada tahun 717 H. (1317 M.) dan meninggal dunia pada tahun 791 H. (1388 M.) di Qasr `Ārifān, sebuah kampung di daerah tersebut.[3]   Manakala Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah pula merupakan satu aliran tarekat yang tergabung di dalamnya beberapa aliran tarekat sufiyyah khususnya tarekat Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah yang menjadi unsur utama dalam pembentukan tarekat ini. Penggabungan tarekat ini dipercayai telah dilakukan oleh Shaykh Ahmad Khatib al-Sambasi (w. 1878 M) yang merupakan sufi dan shaykh ternama di Masjid al-Haram, Mekah al-Mukarramah, yang berasal daripada Indonesia dan menetap sampai akhir hayat beliau di Mekah.[4] Menurut keterangan Shaykh Ahmad Khatib sendiri, tarekat yang diamalkan dan dikembangkan oleh beliau itu adalah merupakan gabungan lima tarekat iaitu Qadiriyyah, Naqshabandiyyah, Anfasiyyah, Junaydiyyah dan Muwafaqah.[5] Walau bagaimanapun unsur Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah merupakan unsur yang dominan dalam penggabungan tersebut dan ini kelihatan pada silsilah, zikir, khatam dan tawassul yang dilaksanakan dalam tarekat ini.   Dari sudut nisbah kerohanian, Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah merupakan gabungan dua nisbah iaitu nisbah `Alawiyyah (nisbah kepada kerohanian Sayyiduna `Ali ibn Abi Talib k.w.j.) yang kemudiannya membentuk aliran sufiyyah dipelopori Shaykh Junayd al-Baghdadi, dan nisbah Siddiqiyyah (nisbah kepada kerohanian Sayyiduna Abu Bakr al-Siddiq r.a.) yang kemudiannya membentuk aliran malamatiyyah dipelopori oleh Shaykh Abu Yazid al-Bistami r.a. Ia adalah gabungan aliran suluk (mujahadah dan riyadah) yang menjadi asas perjalanan tarekat Qadiriyyah dan aliran jadhbah yang menjadi asas perjalanan tarekat Naqshabandiyyah. Hakikat ini terserlah antara lain pada bentuk zikir jahr Qadiriyyah yang memperlihatkan unsur keterbukaan dan kekuatan semangat serta hemah yang tinggi, dan bentuk zikir khafi Naqshabandiyyah yang memperlihatkan unsur sembunyi (tertutup), merasai kefaqiran dan kelemahan diri dan juga harapan yang tinggi.   Perkembangan Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah Di Nusantara   Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah pada asalnya berpusat di Mekah al-Mukarramah di era kepimpinan Shaykh Ahmad Khatib. Ia kemudiannya didapati telah berkembangan dengan pesat di Asia Tenggara terutamanya di Kepulauan Jawa menerusi para khalifah Shaykh Ahmad Khatib. Antara khalifah Shaykh Ahmad Khatib yang ternama ialah Shaykh Abdul Karim al-Bantani yang menggantikan beliau sebagai murshid di Mekah, Shaykh Ahmad Talhah Kalisapu Ceribon yang menyebarkan tarekat ini di Jawa Barat, Shaykh Ahmad Hasbu yang menyebarkan tarekat ini di Madura dan lain-lain. Selain itu Shaykh Ahmad Khatib mempunyai beberapa orang khalifah lagi yang agak kurang berpengaruh berbanding tiga khalifah tersebut, antara mereka ialah Shaykh Muhammad Isma`il bin Abd. Rahim dari Bali, Shaykh Yasin dari Kedah, Shaykh Haji Ahmad Lampung dari Lampung dan Shaykh M. Ma`ruf bin Abdullah al-Khatib dari Palembang [6] Shaykh Nuruddin dari Filipina dan Shaykh Muhammad Sa`ad dari Sambas.[7]    Di Malaysia, terdapat beberapa kumpulan pengamal tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah yang masyhur, antaranya ialah kumpulan yang mengambil silsilah daripada Shaykh Ahmad Sahib al-Wafa Taj al-`Arifin (Abah Anom). Shaykh Taj al-`Arifin yang lebih dikenali sebagai Abah Anom ini telah mengambil tarekat daripada ayahnya sendiri iaitu Shaykh Abdullah al-Mubarak bin Nur Muhammad yang mengambilnya daripada Shaykh Talhah yang mengambilnya daripada Shaykh Ahmad Khatib al-Sambasi.   Tarekat pimpinan Abah Anom ini berpusat di Pondok Pesantren Suryalaya, Jawa Barat, Indonesia, yang merupakan antara yang terbesar di Jawa. Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyahpimpinan Abah Anom ini telah dibawa masuk dan dikembangkan oleh para wakil (khalifah) beliau di negara ini. Antara mereka ialah Ustaz Hj. Ali (1975) dari Singapura yang selalu berulang-alik ke Kedah, Kuala Lumpur dan beberapa negeri lain, Hj. Muhammad Said al-Attas (1977) yang menyebarkan tarekat ini di Negeri Sembilan, Kuala Lumpur, Sabah dan beberapa negeri lain termasuklah Thailand, Ustaz Hj. Muhammad Trang Isa (1978) yang menyebarkan tarekat ini di Sarawak, Ustaz Hj. Muhammad Uthman bin Abdul Latif (1984) yang menyebarkan tarekat ini di Terengganu, Ustaz Hj. Muhd Zuki (1986) yang menyebarkan tarekat ini di Kedah, Ustaz Hj. Mansur (1996) dan Tun Hj. Sakaran Dandai (2005) yang menyebarkan tarekat ini di Sabah dan Ustaz Saifuddin (2005) yang menyebarkan tarekat ini di Negeri Sembilan dan Kuala Lumpur.   Hasil dari penyebaran yang dilakukan oleh para wakil Abah Anom ini, jumlah pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah menjadi semakin bertambah dari semasa ke semasa dan pusat pengamalannya juga bertambah di seluruh tanah air. Antara pusat pengamalan Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah di Malaysia sekarang ini ialah di Batu Caves (Kuala Lumpur), Lembah Kelang dan Bangi (Selangor), Nilai (Negeri Sembilan), Masjid Tanah (Melaka), Putrajaya, Kuala Nerang (Kedah), Kuala Terengganu, Dungun dan Kemaman (Terengganu), Kota Kinabalu, Tawau dan Sempoerna (Sabah), dan Kuching (Sarawak).   Selain itu antara kumpulan pengamal tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah yang masyhur di Malaysia ialah kumpulan yang terdapat di Johor iaitu yang mengambil silsilah daripada Shaykh Hasan Mustafa dan juga Shaykh Abu Naim (Sarang Buaya Semerah) yang kedua-duanya mengambil tarekat daripada Shaykh `Abd al-Karim Banten iaitu khalifah dan pengganti Shaykh Ahmad Khatib di Mekah dan Shaykh Sam`un ibn `Abd al-Karim. Begitu juga kumpulan yang mengambil silsilah daripada Shaykh Haji Siraj (Rengit, Batu Pahat) yang mengambil tarekat dari shaykh di Indonesia.[8] Sehingga kini terdapat puluhan tempat perhimpunan dan pengamalan tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah di negeri Johor dan sekitarnya.   Silsilah Perguruan Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah   Dari segi silsilah tarekat, Shaykh Ahmad Khatib mengambil tarekat Qadiriyyah daripada Shaykh Shams al-Din yang mengambilnya daripada Shaykh Muhammad Murad yang mengambilnya daripada Shaykh `Abd al-Fattah yang mengambilnya daripada Shaykh `Uthman yang mengambilnya daripada Shaykh `Abd al-Rahim yang mengambilnya daripada Shaykh Abu Bakr yang mengambilnya daripada Shaykh Yahya yang mengambilnya daripada Shaykh Hisham al-Din yang mengambilnya daripada Shaykh Walyy al-Din yang mengambilnya daripada Shaykh Nur al-Din yang mengambilnya daripada Shaykh Sharf al-Din yang mengambilnya daripada Shaykh Shams al-Din yang mengambilnya daripada Shaykh Muhammad al-Hattak yang mengambilnya daripada Shaykh `Abd al-`Aziz yang mengambilnya daripada Shaykh `Abd al-Qadir al-Jilani.   Shaykh `Abd al-Qadir al-Jilani mengambil tarekat daripada Shaykh Abu Sa`id al-Mubarak ibn `Ali al-Makhzumi yang mengambilnya daripada Shaykh Abu al-Hasan `Ali ibn Yusuf al-Qirshi al-Hakari yang mengambilnya daripada Shaykh Abu al-Fadl `Abd al-Wahid al-Tamimi yang mengambilnya daripada Shaykh Abu Bakr Dilf al-Shibli yang mengambilnya daripada Shaykh Abu al-Qasim al-Junayd al-Baghdadi yang mengambilnya daripada Shaykh Sirr al-Saqati yang mengambilnya daripada Shaykh Ma`ruf al-Karkhi yang mengambilnya daripada Shaykh  Abu al-Hasan `Ali ibn Musa al-Rida yang mengambilnya daripada Sayyiduna al-Imam Musa al-Kazim yang mengambilnya daripada Sayyiduna Ja`far al-Sadiq yang mengambilnya daripada Sayyiduna Muhammad al-Baqir yang mengambilnya daripada Sayyiduna Zayn al-`Abidin yang mengambilnya daripada Sayyiduna Husayn yang mengambilnya daripada Sayyiduna `Ali yang mengambilnya daripada Sayyiduna Muhammad s.a.w.[9]   Manakala silsilah tarekat Naqshabandiyyah pula, Shaykh Ahmad Khatib Sambas didapati tidak menyebutnya dalam karya beliau Fath al-`Arifin. Para pengkaji sejarah tarekat seperti Martin Van Bruinessen pula, tidak menemui maklumat yang dapat memberikan penjelasan mengenai perkara ini.[10] Walau bagaimanapun beberapa perguruan tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah di Jawa didapati memberikan maklumat mengenai perkara ini.   Berdasarkan karya yang diterbitkan oleh Yayasan Serba Bakti, Pondok Pesantren Suryalaya, Shaykh Ahmad Khatib didapati mengambil tarekat Naqshabandiyyah daripada Shaykh Khalid Hilmi yang mengambilnya daripada Shaykh Muhammad Jan al-Makki (Muhammad Mazhar al-Ahmadi) yang mengambilnya daripada Shaykh Ahmad Sa`id al-Ahmadi yang mengambilnya daripada Shaykh Abu Sa`id al-Ahmadi yang mengambilnya daripada Shaykh `Abd Allah al-Dahlawi yang mengambilnya daripada Shaykh Shams al-Din Habib Allah Jan Janan yang mengambilnya daripada Shaykh Nur Muhammad al-Badwani yang mengambilnya daripada Shaykh Sayf al-Din yang mengambilnya daripada Shaykh Muhammad Ma`sum al-Sirhindi yang mengambilnya daripada Shaykh Ahmad al-Faruqi al-Sirhindi yang mengambilnya daripada Shaykh Muhammad al-Baqi Billah yang mengambilnya daripada Shaykh Muhammad al-Khawajaki al-Amkani al-Samarqandi yang mengambilnya daripada Shaykh Darwish Muhammad al-Samarqandi yang mengambilnya daripada Shaykh Muhammad al-Zahid yang mengambilnya daripada Shaykh Nasiruddin `Abidullah al-Ahrar al-Samarqandi ibn Mahmud ibn Shihab al-Din yang mengambilnya daripada Shaykh Ya`qub al-Jarkhi yang mengambilnya daripada Shaykh Muhammad `Ala' al-Din al-`Attar al-Bukhari al-Khawarizami yang mengambilnya daripada imam tarekat Naqshabandiyyah Shah Naqshaband al-Sayyid Baha' al-Din Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Sharif al-Husaini al-Hasani al-Uwaisi al-Bukhari.   Shaykh Baha’ al-Din Shah Naqshaband mengambil tarekat daripada Shaykh Sayyid Amir Kulal yang mengambilnya daripada Shaykh Muhammad Baba al-Samasi yang mengambilnya daripada Shaykh `Ali al-Ramitani yang mengambilnya daripada Shaykh Mahmud al-Injir al-Faghnawi yang mengambilnya daripada Shaykh `Arif al-Riwakri yang mengambilnya daripada Shaykh `Abd al-Khaliq al-Ghujdawani yang mengambilnya daripada Shaykh Yusuf al-Hamadani yang mengambilnya daripada Shaykh Abu `Ali al-Farmadi yang mengambilnya daripada Shaykh Abu al-Hasan al-Kharqani yang mengambilnya daripada Shaykh Abu Yazid al-Bistami yang mengambilnya daripada Imam Ja`far al-Sadiq yang mengambilnya daripada al-Qasim ibn Muhammad yang mengambilnya daripada Salman al-Farisi yang mengambilnya daripada Abu Bakr al-Siddiq yang mengambilnya daripada Nabi Muhammad s.a.w.[11]   Berdasarkan silsilah ini, tarekat Naqshabandiyyah yang diambil oleh Shaykh Ahmad Khatib adalah dari cabang Mujaddidiyyah (nisbah kepada Shaykh Ahmad al-Faruqi al-Sirhindi) Mazhariyyah (nisbah kepada Shaykh Shams al-Din Habib Allah Jan Janan Mazhar al-`Alawi). Silsilah ini tidak melalui Shaykh Khalid al-Kurdi tetapi melalui Shaykh Abu Sa`id al-Ahmadi yang merupakan rakan seperguruan Shaykh Khalid di mana kedua-duanya merupakan murid dan juga khalifah kepada Shaykh `Abd Allah al-Dahlawi. Maka kerana itu tarekat Naqshabandiyyah Shaykh Ahmad Khatib bukanlah daripada cabang Khalidiyyah.   Amalan Khusus Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah   Terdapat beberapa amalan khusus yang dilaksanakan dalam tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah, antaranya ialah; Pertama, zikir yang merangkumi zikir harian dan juga zikir khatam, sama ada dilaksanakan secara individu atau berjamaah. Kedua, manaqib iaitu majlis perhimpunan bulanan bagi ikhwan tarekat yang mana antara pengisiannya ialah pembacaan manaqib Shaykh `Abd al-Qadir al-Jilani. Ketiga, riyadah iaitu latihan kerohanian khusus yang dilaksanakan oleh ikhwan menurut apa yang diajarkan oleh shaykh.   Perlaksanaan Zikir Dalam Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah   Terdapat dua jenis zikir khusus dalam tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah iaitu zikir harian dan zikir khatam. Zikir harian ialah zikir jahr, zikir khafi dan muraqabah yang dilaksanakan secara tetap (istiqamah) setiap hati selepas solat fardu.   Adab dan Kaifiyat Zikir (Jahr dan Khafi)   Merujuk kepada beberapa karya penting tarekat ini dan juga perlaksanaan zikir oleh ikhwannya mendapati bahawa adab dan kaifiyat zikir dalam tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah adalah seperti berikut;   Pertama: al-Fatihah, dihadiahkan kepada Nabi s.a.w., keluarga, para sahabat dan zuriat baginda.   Kedua: Istighfar   Ketiga: Salawat   Keempat: Munajat   Kelima: Rabitah[12]   Keenam: Zikir Jahr iaitu zikir nafy ithbat (La ilaha illallah) dan disudahi dengan ucapan “Sayyiduna Muhammad Rasulullah s.a.w.”   Ketujuh: Salawat Munjiah dan Doa   Kelapan: al-Fatihah, dihadiahkan kepada Nabi s.a.w., keluarga, para sahabat dan zuriat baginda.   Kesembilan: al-Fatihah, dihadiahkan kepada para shaykh ahli silsilah tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah.   Kesepuluh: al-Fatihah, dihadiahkan kepada ibu bapa dan seluruh orang-orang Islam   Kesebelas: Istighfar   Kedua belas: Bacaan Surah al-Ikhlas   Ketiga belas: Salawat Ibrahimiyyah   Keempat belas: Munajat   Kelima belas: Rabitah   Keenam belas: Zikir Khafi iaitu zikir ism al-dhat (Allah, Allah).[13]   Zikir Jahr   Zikir jahr ialah zikir kalimah tauhid (nafy ithbat) yang diucapkan dengan lidah dengan syarat, adab dan kaifiyyat tertentu. Antara syarat zikir ini ialah talqin daripada murshid atau wakilnya, berwuduk, suara yang bersemangat dan pukulan yang kuat ke hati sanubari. Zikir ini bukan hanya diucapkan, malah ditanamkan dalam diri manusia sehingga keyakinannya menjadi kuat dan perilaku serta amalannya menjadi baik. Menerusi pendekatan tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah, zikir kalimah tauhid ini diamalkan setiap kali selepas selesai solat fardu sejumlah paling kurang 165 kali.[14]   Praktik menanam kalimat tauhid ini berasaskan kepada pertunjuk yang ditemui dalam firman Allah s.w.t. yang bermaksud “tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah yang baik seumpama pohon yang baik, tunjangnya teguh dan cabangnya sampai ke langit (menjulang tinggi), ia membuahkan hasilnya setiap ketika dengan izin Tuhannya, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia supaya mereka selalu ingat”.[15] Ia juga berasaskan kepada hadis Nabi s.a.w. yang bermaksud “iman itu ada lebih daripada tujuh puluh tiga cabangnya, yang tertinggi ialah ucapan La ilaha illallah dan yang paling rendah ialah membuang sesuatu yang menyakitkan di jalanan, dan sifat malu itu sebahagian daripada iman”.[16] Begitu juga hadis yang bermaksud “perbaharuilah iman kamu. (Para sahabat bertanya) Bagaimana kami dapat memperbaharui iman kami wahai Rasulullah. (Baginda menjawab) Perbanyakkan menyebut La ilaha illallah”.[17]   Menurut ulama tasawuf, kalimah tauhid yang juga disebut sebagai kalimah tayyibah dapat menyucikan diri seseorang itu daripada syirik jali sebagaimana ia dapat membersihkan jiwa seseorang itu daripada syirik khafi serta menjadikannya ikhlas dan murni. Begitu juga kalimah ini dapat membuang hijab-hijab hati yang berkait dengan kebendaan serta membersihkan jiwa daripada segala kekotoran dan sifat-sifat kebinatangan.[18]   Zikir Khafi (Sirr)   Manakala zikir khafi pula ialah zikir ism al-dhat yang ditanam dan diisikan di dalam hati dan perasaan sehingga hati seseorang itu terasa dan sedar terhadap kewujudan dan kebersertaan Allah di mana juga dia berada. Zikir ini diamalkan dengan persyaratan, adab dan kaifiyyat tertentu. Zikir ism al-dhat secara khafi ini diamalkan pada setiap kali selepas selesai solat fardu iaitu selepas zikir jahr.[19] Selain itu ia digalakkan supaya dilaksanakan pada sepanjang masa sesuai dengan kemampuan dan kelapangan masa seseorang murid.   Zikir ism al-dhat secara khafi ini merujuk kepada firman Allah s.w.t. yang bermaksud "dan sebut  serta ingatlah Tuhanmu dalam dirimu dalam keadaan merendah diri dan merasa takut, dan tanpa menyaringkan suara pada pagi dan petang, dan janganlah engkau tergolong dalam golongan orang-orang yang lalai".[20] Ia juga merujuk kepada firman Allah s.w.t. yang bermaksud "serulah Tuhan kamu dalam keadaan merendah diri dan sembunyi, sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batasan".[21] Ia juga merujuk kepada firman Allah s.w.t. yang bermaksud "dan sebutlah nama Tuhanmu dan tumpukanlah perhatian kepada-Nya semata-mata".[22]   Dalam tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah, zikir ism al-dhat secara khafi ini dilaksanakan menerusi pengisian zikir pada lata’if insaniyyah iaitu dimulai dengan latifah qalb dituruti dengan latifah ruh, sirr, khafi, akhfa’, nafs al-natiqah dan latifah qalab (kullu jasad), menurut apa yang ditalqinkan oleh shaykh.[23] Pengisian zikir pada lata’if ini adalah bertujuan memudahkan suluk (perjalanan dan peningkatan kerohanian) dan mencapai maksud firman Allah iaitu ”kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka menjadi gementar terhadapnya (al-Qur’an), kemudian kulit (julud) dan hati (qulub) mereka menjadi tenang dengan mengingati Allah”.[24] Mengingati Tuhan dengan seluruh jiwa raga, zahir dan batin inilah yang dikenali di kalangan ahli tarekat Naqshabandiyyah sebagai sultan zikir.   Zikir ism al-dhat secara khafi ini adalah sebagai usaha mendapatkan malakah ihsan iaitu seseorang itu selalu merasai keberadaan (kewujudan) dan kebersertaan Allah di mana juga dia berada dan dalam apa juga keadaan dirinya. Ini adalah untuk mencapai rahsia yang terkandung dalam firman Allah yang bermaksud ”di mana saja kamu berhadap maka di sana (kamu akan menemui) wajh (dhat) Allah”,[25] dan rahsia yang terkandung dalam hadith Nabi s.a.w. yang bermaksud ”Ihsan itu ialah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sekiranya engkau tidak melihat-Nya maka Dia melihat engkau”.[26] Pencapaian ini akan memperkukuhkan keimanan dan keyakinan seseorang dan seterusnya menjadi benteng yang dapat memelihara diri daripada perkara yang tidak baik.   Muraqabah   Muraqabah merupakan salah satu amalan yang dilaksanakan dalam tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah. Muraqabah dalam tarekat bermaksud renungan batin atau tilikan rohani terhadap Allah s.w.t. dan makna-makna ketuhanan-Nya serta pengertian-pengertian yang berkaitan dengannya dalam keadaan menanti limpahan kerohanian yang dikurniakan ke dalam hati. Ia dilaksanakan setelah seseorang murid itu mencapai kemantapan zikir dan mendapat talqin (pengajaran) serta keizinan daripada shaykh. Shaykh Ahmad Khatib dalam karya beliau Fath al-`Arifin telah menyebut dua puluh jenis muraqabah iaitu;   1-Muraqabah al-Ahadiyyah 2-Muraqabah al-Ma`iyyah 3-Muraqabah al-Aqrabiyyah 4-Muraqabah al-Mahabbah fi Da’irah al-Ula 5-Muraqabah al-Mahabbah fi al-Dai’irah al-Thaniyah 6-Muraqabah al-Mahabbah fi al-Qaws 7-Muraqabah Wilayah al-`Ulya 8-Muraqabah Kamalat al-Nubuwwah 9-Muraqabah Kamalat al-Risalah 10-Muraqabah Kamalat Ulu al-`Azmi 11-Muraqabah al-Mahabbah fi Da’irah al-Khullah 12-Muraqabah Da’irah al-Mahabbah al-Sarfah (Hakikat Sayyiduna Musa) 13-Muraqabah al-Dhatiyyah al-Mumtazijah bi al-Mahabbah (Haqiqah al-Muhammadiyyah) 14-Muraqabah al-Mahbubiyyah al-Sarfah (Haqiqah al-Ahmadiyyah) 15-Muraqabah al-Hubb al-Sarf 16-Muraqabah La Ta`yin 17-Muraqabah Haqiqah al-Ka`bah 18-Muraqabah Haqiqah al-Qur’an 19-Muraqabah Haqiqah al-Salah 20-Muraqabah Da’irah al-Ma`budiyyah al-Sarfah[27]   Zikir Khatam   Zikir khatam merupakan sebahagian daripada amalan yang dilaksanakan dalam tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah. Zikir khatam ini biasanya dilaksanakan secara berjamaah dan merupakan zikir mingguan, namun ia boleh juga dilaksanakan secara individu dan diamalkan secara harian. Zikir khatam tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah merupakan gabungan beberapa khatam yang dinisbahkan kepada beberapa orang shaykh yang ternama dalam silsilah kedua-dua tarekat tersebut iaitu tarekat Qadiriyyah dan tarekat Naqshabandiyyah. Berikut ialah zikir khatam tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah;   al-Fatihah pertama dihadiahkan kepada roh Nabi s.a.w., keluarga, para sahabat dan zuriat baginda.   al-Fatihah kedua dihadiahkan kepada roh ibu bapa (keturunan) baginda, para nabi dan rasul, para malaikat muqarrabin dan karubiyyin, para shahid, orang-orang soleh, keluarga dan sahabat mereka, Nabi Adam dan Hawa dan zuriat kedua-duanya sehinggalah ke hari pebalasan (akhirat).   al-Fatihah ketiga dihadiahkan kepada roh para sahabat dan para imam dan juga orang-orang yang mengikuti mereka itu.   al-Fatihah keempat dihadiahkan kepada roh para imam mujtahid, para ulama, para qari’, ahli tafsir dan hadith, ahli tasawwuf yang sebenar, para wali dan semua muslimin.   al-Fatihah kelima dihadiahkan kepada ahli silsilah tarekat al-Qadiriyyah wa al-Naqshabandiyyah dan semua ahli tarekat khususnya para shaykh al-Qadiriyyah dan al-Naqshabandiyyah.   al-Fatihah keenam dihadiahkan kepada roh kedua ibu bapa, para shaykh, orang-orang yang telah meninggal dunia, orang-orang yang berbuat baik, orang-orang yang mempunyai hak, orang-orang yang berwasiat dan minta diwasiatkan dan orang-orang yang mendoakan kebaikan.   al-Fatihah ketujuh dihadiahkan kepada roh semua orang yang beriman dan Islam, yang masih hidup dan yang telah meninggal dunia dari keturunan Nabi Adam sehinggalah ke hari kiamat.   Khatam pertama: Salawat, Surah al-Insyirah, Surah al-Ikhlas dan al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Shaykh Ahmad (Muhammad) al-Baqir.   Khatam kedua: Salawat, Allhumma ya Qadiya al-Hajat, Allahumma ya kafiya al-muhimmat, Allahumma ya dafi`a al-baliyyat, Allahumma ya rafi`a al-darajat, Allahumma ya shafiya al-amrad, Allahumma ya mujiba al-da`wat, Allahumma ya arhama al-rahimin dan al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Imam al-Khujakan (Shaykh `Abd al-Khaliq al-Ghujdawani).   Khatam ketiga: Salawat, La hawla wa la quwwata illa billah, Salawat dan al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Imam al-Rabbani (Shaykh Ahmad al-Faruqi al-Sirhindi)   Khatam keempat: Salawat, Surah al-Falaq, Istighfar, Salawat dan al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Sayyid Muzahhir (Shaykh Muhammad Mazhar)   Khatam kelima: Salawat, Hasbuna Allah wa ni`ma al-wakil, Salawat dan al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Shaykh `Abd al-Qadir al-Jilani   Khatam keenam: Salawat, Ni`ma al-mawla wa ni`ma al-nasir, Salawat dan al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Shaykh al-Mukarram (shaykh yang memimpin)   Khatam ketujuh: Salawat, Ya khafiya al-lutfi adrikni bi lutfika al-khafi, Salawat dan al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Imam Khawajah al-Naqshabandi (Shaykh Baha’ al-Din)   Khatam kelapan: Salawat, La ilaha anta subhanaka inni kuntu mina al-zalimin, Salawat dan al-Fatihah kepada Sayyid Muhammad Ma`sum   Tawajjuh, Munajat, Ya Latif dan Doa[28]   Manaqib   Manaqib merupakan acara bulanan bagi ikhwan tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah. Dalam majlis manaqib ini, pembacaan manaqib Shaykh `Abdul al-Qadir al-Jilani akan diperdengarkan kepada para ikhwan selain daripada pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, tawassul dan beberapa acara lain lagi.   Matlamat Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah   Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah, sebagaimana juga tarekat-tarekat lain adalah bertujuan mencapai hakikat ihsan. Perkara ini dapat dilihat dengan jelas pada munajat yang menjadi dasar bagi tarekat dan seluruh pengamalannya iaitu “Allahumma (Ilahi) anta maqsudi wa ridaka matlubi a`tini mahabbataka wa ma`rifataka”[29] yang bermaksud “Tuhanku Engkaulah maksudku, keredaan Engkaulah yang aku cari, maka kurniakanlah kepadaku rasa cinta kepad-Mu dan kenal diri-Mu”. Munajat ini merangkumi tiga perkara utama iaitu taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, mencapai keredaan Allah dan mendapat mahabbah (rasa cinta) serta ma`rifah (kenal) terhadap Allah.[30] Ketiga-tiga perkara ini adalah elemen asas bagi pencapaian hakikat ihsan.   Cara yang boleh menyampaikan kepada matlamat ini menurut ahli tarekat ialah; Pertama, zikir khafi iaitu zikir dengan hati dan fikiran yang dibersihkan daripada sebarang khawatir tanpa mengingati perkara yang lalu, yang akan datang, yang sekarang dan sesuatu yang lain dari Allah. Kedua, muraqabah iaitu hati menilik kepada Allah s.w.t. dalam keadaan menanti limpahan kurnia daripada-Nya. Ketiga, melazimi khidmat kepada syakh yang mempunyai kesan dan pengaruh terhadap kerohanian murid.[31] Ketiga-tiga perkara ini ditemui perlaksanaannya dalam tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah secara khusus.   Dengan kata lain, tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah bertujuan mencapai martabat ihsan yang menjadi penyempurna kepada maqam   `ubudiyyah, zahir dan batin iaitu kesempurnaan Islam, Iman dan Ihsan yang menjadi tiga tiang asas agama seperti yang dapat difahami daripada penjelasan Nabi s.a.w. dalam sabda baginda yang bermaksud “sesungguhnya dia itulah Jibril yang datang kepada kamu bagi mengajarkan kepada kamu agama kamu”.[32] Ini kerana pencapaian hakikat ihsan menambah kesempurnaan Iman dan Islam iaitu menyumbang kepada perlaksanaan Islam secara yang lebih mantap, sempurna dan ikhlas dan juga menyumbang kepada kemantapan dan kekukuhan keimanan.   Penutup   Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah merupakan satu tarekat yang lahir daripada gabungan beberapa tarekat khususnya dua tarekat besar dalam dunia Islam iaitu Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah. Tarekat ini yang pada mulanya muncul di Mekah telah berkembang dengan begitu pesat terutamanya di Nusantara khususnya di Kepulauan Jawa. Tarekat ini sebagaimana juga tarekat-tarekat lain, memberikan tumpuan kepada amalan zikir dan muraqabah dalam usaha mencapai hakikat ihsan. Pencapaian ihsan dilihat dapat memperkuatkan keimanan dan memantapkan perlaksanaan syariat.   Rujukan   Ahmad Khatib al-Sambasi. 1346. Fath al-`Arifin. Qahirah: Matba`ah Dar Ihya’ al-Kutub al-`Arabiyyah.   al-Kurdi, Muhammad Amin.t.th. Tanwir al-Qulub. Qahirah: Dar al-Fikr.   K.H.A. Shohibulwafa Tajul Arifin. 1988. Kunci Pembuka Dada. Selangor: Thinkers Library Sdn. Bhd.   K.H.A. Shohibulwafa Tajul Arifin. 1991. Ibadah Sebagai Metoda Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja. Tasikmalaya: Institut Islam Latifah Mubarokiyyah.   K.H.A. Shohibulwafa Tajul Arifin. `Uqud al-Juman. Tasikmalaya: Yayasan Serba Bakti Pesantren Suryalaya.   Juhaya S. Praja. 1991. TQN Pondok Pesantren Suryalaya dan Perkembangannya Pada Masa Abah Anom (1950-1990) (dlm) Thoriqot Qodiriyyah Naqsabandiyyah, Sejarah, Asal-Usul dan Perkembangannya (pnyt.) Harun Nasution. Tasikmalaya: Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyyah.   Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari. 1987/1407. Al-Jami` al-Sahih al-Mukhtasar. Bayrut: Dar Ibn Kathir.   Muslim ibn al-Hajjaj al-Qushayri al-Naysaburi. 1954/1374. Sahih Muslim. Bayrut: Dar Ihya’ al-Turath al-`Arabi.   Abu Dawud Sulayman ibn al-Ash`ath al-Sajastani al-Azdi. t.th. Sunan Abi Dawud. Dar al-Fikr.   Ahmad ibn Hanbal al-Shaybani. t.th. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Misr: Muassasah Qurtubah.   al-Khani, `Abd al-Majid ibn Muhammad. 1306. Al-Hada'iq al-Wardiyyah fi Haqa'iq Ajilla’ al-Naqshabandiyyah. Damshiq: t.pt.   Darniqah, Muhammad Ahmad. t.th. Al-Tariqah al-Naqshabandiyyah wa A`lamuha. t.tp: Matba`ah Jarus Press.   Bruinessen, Martin Van. 1994. Tarekat Naqsyabandiyah Di Indonesia: Survei Historis, Geografis dan Sosiologis. Bandung: Penerbitan Mizan.   al-Dahlawi, Ahmad ibn `Abd al-Rahim. t.th. Al-Qawl al-Jamil. t.tp., t.pt.   al-Khani, Muhammad ibn `Abdillah. 1989/1409. al-Bahjah al-Saniyyah. Istanbul: Maktabah al-Haqiqah.   Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya. 2005. Satu Abad Pondok Pesantren Suryalaya, Perjalanan dan Pengabdian 1905-2005. Tasikmalaya: Yayasan Serba Bakti.   [1] H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, hlm.5. [2] al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, hlm.501. [3]H.A.R. Gibb & J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia, hlm.5; dan Van Hoeve, Ensiklopedi Islam. [4] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf, hlm.177; dan Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyah, hlm. 91. [5]Ahmad Khatib, Fath al-`Arifin, hlm. 1. [6] Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, hlm. [7] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf, hlm. 181. [8] Sulaiman Yasin, Mengenal Ilmu Tasawuf, hlm.130. [9] Ahmad Khatib, Fath al-`Arifin, hlm.9-10. Silsilah ini juga dikemukakan oleh Shaykh Ahmad Sahib al-Wafa Taj al-`Arifin (Lih. Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya, Uqudul Jumaan, hlm.26-31). [10] Lih. Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyah, hlm.91. [11] Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya, Satu Abad Pondok Pesantren Suryalaya, hlm.104. 104; Band. al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, hlm.500-502; al-Khānī, al-Hada’iq al-Wardiyyah, hlm.6; & al-Harawi, Rashahat, hlm.6. [12] Rabitah adalah wasilah yang termasuk dalam apa yang difirmankan Allah dalam al-Qur’an yang bermaksud “wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah dan carilah wasilah kepada-Nya”(al-Qur'an, al-Maidah,35). Menurut ahli tarekat, shaykh yang boleh dijadikan rabitah ialah shaykh yang telah mencapai peringkat baqa' yang sempurna setelah mencapai fana' yang sempurna. Dia juga hendaklah seorang yang kuat bertawajjuh dan sentiasa melakukan "yad dasht". (Lih. al-Khani, al-Bahjah al-Saniyyah, hlm.44; al-Dahlawi, al-Qawl al-Jamil, hlm.48). Tokoh-tokoh tasawwuf telah mengemukakan beberapa definisi rabitah. Secara umumnya, rabitah ini adalah menerangkan tentang menghadirkan ruhaniyyah para mashayikh silsilah tarekat bagi mendapatkan limpahan daripada  kerohanian mereka bagi menolak lintasan-lintasan (khawatir) syaitan (Lih. Darniqah, al-Tariqah al-Naqshabandiyyah, hlm.28.). Rabitah merupakan ikatan antara murid dengan shaykh yang berasaskan perasaan kasih (mahabbah) dan hubungan kerohanian secara ma`nawi di mana antara natijahnya ialah terhasilnya kejinakan atau kemesraan antara hati murid dengan hati shaykh (Lih. al-Harawi, Rashahat, hlm.194.). Asas rabitah ialah bersahabat dengan shaykh atau berdampingan dengannya sebagaimana yang disuruh dalam al-Qur'an yang bermaksud “wahai orang yang beriman hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah dan bersama-samalah dengan orang-orang yang benar”( al-Qur'an, al-Tawbah, 119). Antara tujuannya ialah untuk menghasilkan mujanasah dan nisbah iaitu untuk mendapatkan sifat-sifat dan hal-hal kerohanian yang ada pada diri shaykh yang mendidik. Bersama-sama dengan orang yang benar (kainunah / ma`iyyah) merangkumi dua maksud. Pertama, bersama-sama secara zahir iaitu berdampingan. Kedua, bersama-sama secara ma'nawi  dan inilah yang dikehendaki dengan rabitah (Lih.  Sahib, As`ad, Bughyah al-Wajid, hlm.73; al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, hlm.518). Oleh kerana sentiasa berdampingan dengan shaykh itu adalah satu perkara yang sukar dilakukan maka rabitah boleh menggantikan tempatnya. Ini kerana, menggambarkan rupa shaykh yang kamil juga mendatangkan faedah atau menghasilkan natijah sebagaimana juga bersahabat dengannya ( Lih. al-Dahlawi, al-Qawl al-Jamil, hlm.48). [13] Lih. Ahmad Khatib, Fath al-`Arifin, hlm.3-4; dan Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya, Uqudul Jumaan, hlm.4-9. [14] Lih. KHA Shohibulwafa Tajul Arifin, Ibadah Sebagai Metoda Pembinaan. [15] Al-Qur’an, Surah Ibrahim, 24-25. [16] Hadis Riwayat Muslim, Abu Dawud dan al-Nasa’i. [17] Hadis Riwayat al-Hakim. [18] K.H.A. Shohibulwafa Tajul Arifin, Kunci Pembuka Dada, hlm.15. [19] Lih. Yayasan Serba Bakti, `Uqud al-Juman. [20] Al-Qur’an, Surah al-A`raf, 205. [21] Al-Qur’an, Surah al-A`raf, 55. [22] Al-Qur’an, Surah al-Muzammil, 8. [23] Ahmad Khatib, Fath al-`Arifin, hlm.4-5. [24] Al-Qur’an, Surah al-Zumar,23. [25] Al-Qur’an, Surah al-Baqarah, 115. [26] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari. [27] Lih. Ahmad Khatib, Fath al-`Arifin, hlm.6-9. [28] Lih. Ahmad Khatib, Fath al-`Arifin, hlm. 10-11; Yayasan Serba Bakti, `Uqud al-Juman, hlm.10-25; al-Qazani, Dhayl Rashahat, hlm.233-335; dan al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, hlm.523-524. [29] Ahmad Khatib, Fath al-`Arifin, hlm.5. [30] Lih. Juhaya, Pondok Pesantren Suryalaya, hlm.137. [31] Ahmad Khatib, Fath al-`Arifin, hlm.5-6. [32]  al-Naysaburi, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab Bayan al-Iman wa al-Islam wa al-Ihsan ; al-Bukhari, al-Jami` al-Sahih, Kitab al-Iman, Bab Su'al Jibril al-Nabiyy Salla Allahu `Alayhi wa Sallama `an al-Iman wa al-Islam wa al-Ihsan; & Ibn Hanbal, al-Musnad, Jil.1,hlm.64.

Senin, 08 Juni 2015

Memahami Sifat 20


La ilaha illallahul malikul haqqul mubin Muhammadurrosulullah shodiqul wa'dul amin TINGKATAN-TINGKATAN ILMU Bab. (KAWERUH – JAWA) Kata Tingkatan itu artinya dari jenjang bawah sampai atas untuk menyembah (shalat) kepada Allah (Hyang Widi – Jawa), tingkatannya adalah: 1. Syari’at, artinya artinya pedoman yang sudah ditentukan harus patuh (wajibul yakin), jadi ahli Syari’at itu harus patuh keyakinannya (apa katanya) amalannya menurut hukum halal haram, yang diyakini betul-betul dan hukum membedakan halal dan haram, peraturannya, sembahyang, zakat, fitrah, puasa dan naik haji kalau mampu. Semua dijalankan berdasarkan ikut-ikutan menurut kemauan orang banyak, lalu ikut-ikutan menyembah kepada Allah, menurut peraturan agamanya masing-masing, jadi begitupun wajib harus begitu disebut imannya Wajibul yakin. Bung Karno presiden Indonesia asal dari Ngebang (blitar) sekarang menjadi Presiden Indonesia, dia mengetahui hanya cerita orang banyak, jadi kalau cerita itu salah, kepercayaan itu tetap salah. Umpama diteliti (telaah) pendapat tadi dengan jernih, tingkatan Syari’at setiap hari menunjukkan kedisiplinan bertindak menurut hukum yang ditentukan. Mengenai tentang pendapat Prof. Dr Usman dekan markas Angkatan Darat berbicara begini; ngerjakan rukun Islam itu pertama menanam rasa disiplin, jiwa atau jasmani, membersihkan diri , mempunyai semangat yang tinggi, watak kasih sayang, selalu sedekah (memberi pertolongan bagi yang membutuhkan), budi pekerti yang tinggi, yang saya lihat; saya bangun bagi lalu belum sembahyang (shalat) merasa malu kalau disebut bukan orang muslim, jadi berbuat karena malu. 2. Tarikat, meningkat mencapai kebathinan (Qalbu – Arab), melaksanakan puasa mengendalikan pikiran. Jadi tarikat itu melaksanakan berdasar pengetahuan mengendalikan pikiran (mengasah pikiran), membaca buku-buku agama, wirid, berguru, bertanya, dan musyawarah tentang ilmu Allah. Tarikat mempergunakan pikiran untuk mengupas (mencari) tanda-tanda saksi Allah. Jadi tahu kalau basil-basil itu hidup memiliki apa, membuat keyakinan menguat. Zaman dahulu para ahli kitab masih termasuk tingkatan Tarikat, artinya hanya tahu saja (mengerti), karena pengetahuan sudah mantap lalu imannya disebut Ainul Yakin, contohnya begini; pengetahuan (mengetahui) kalau Bung Karno itu Presiden, memang sudah melewati Istana Presiden dan mendengarkan pidatonya, jadinya kira-kira rumah Bung Karno sudah Tahu tetapi belum pernah jumpa dengan Bung Karno sendiri. Tataran (tingkat Tarikat) itu walaupun sudah mengetahui tidak pernah meninggalkan Syari’at agamanya, jadi Tarikat itu hanya naik kelas (tingkat). Pada tingkatan itu para pengikut menerima ajaran guru seperti berpuasa, tekadnya hanya meniru sifatnya Allah saja, sucinya dan adilnya, disitulah terbukanya ilmu itu supaya keterima ilmunya harus praktek (shalat Tarikat) mengendalikan pikiran. Ahli Tarikat itu bisa membedakan yang benar dan yang salah dari orang lain ataupun diri sendiri, lalu bisa mempunyai sifat kasih sayang dan sayang kepada seluruh umat-Nya (Allah), besar wibawanya, mengetahui kemauan dirinya sendiri. Semua itu membuat terbuka hatinya. Apa sebabnya kita harus kasih sayang kepada umat-Nya (Allah), yang mengendalikan hawa nafsu (mengupas hawa nafsu). Menurut Wedaran Wirid Tarikat itu jalannya hati (Qalbu), karena hati mempunyai kemauan yang sangat cepat seperti kilat, lalu Tarikat memerangi pengaruh yang berupa keinginan yang timbul dari hati. 3. Hakikat, yang disebut Hidayat Jati, Hakikat itu Shalat sejati yang tidak merasa geraknya aku (jasmani, pikiran, perasaan sudah disingkirkan / dikendalikan), jadi gerak (makarti-jawa) aku tidak merasakan aku. Hakikat itu imannya para Mukmin (Aulia), imannya disebut Haqkul Yakin, artinya Nyata (benar). Percaya kalo Bung Karno menjadi Presiden karena sudah masuk rumahnya tetapi belum jumpa langsung/berhadapan dengan Presiden Sukarno (Qalamullah – Arab). Ditingkat itu terbukanya Kijab atau batas antara manusia dengan Allah (kawulo – jawa), cocok dengan Hadist Nabi : “siapa yang betul-betul mengetahui dirinya benar mengetahui Allahnya”, karena Hakikat itu Sembahnya (Shalat) Roh (jiwa), keadaannya diliputi tidak merasa apa-apa, lalu para ahli suluk, Sufi, tapa dan mempunyai pendapat atau keterangan begini : “aku ini tidak ada, yang ada yang mengadakan (yang menciptakan)”, keterangan atau ketentuan tadi membuktikan sempurnanya Hakikat dan bisa menguasai jasmaninya melalui Rohaninya, kata lain sifat dan Hakikatnya DAT sudah menyatu (manunggal-jawa). Di tingkat yang begitu sebutan sakit, pening/pusing, panas, dingin dan mati itu tidak ada, yang benar yang disebut menyatu (Widhatul Wujud – Arab). Di kitab Suluk disebut begini : “hatinya yang beriman berdirinya Roh kita”, Hakkikat itu menuju sejatinya kemauan, yaitu tingkatan jiwa yanng menyerahkan diri pada Allah (Hyang Widi – jawa), karena sudah tidak mempunyai perasaan tidak ikut-ikut memilki, Iktikat itu serupa dengan menyebut serupa yang disebut satu, perjalanan sehari-hari orang yang sudah begitu menurut aku pada kemauan DAT (sifatnya Dat). 4. Ma’rifat, tingkatan itu imannya para Arifin yang disebut Isbatul Yakin, artinya sudah sempurna, sempurna keterangannya begini : sudah kerumah Bung Karno, sudah salaman dan berbicara langsung/berhadapan dengan Bung Karno. Keterangannya sudah Ma’rifat semua ilmu, pengetahuan, amal ibadah, filsafat dan lain-lainnya sudah menjadi satu, sudah mengetahui sebab dan akibat, disebut diwirid Hidayat Jati : Zikir azalalah, artinya zikirnya rasa didalam alam cahaya disebut zikir Ma’rifat, sempurnanya tidak merasa apa-apa. Keterangan tersebut diatas tadi disebut tingkatan Islam. Kata Islam sebenarnya bukan agama, itu hanya kebisaaan orang mengatakan, jadi nama-nama agama menurut yang menyiarkan, umpama agama Budha yang menyiarkan Sang Budha, Kristen yang menyiarkan Yesus Kristus, jadi agama Islam disebut agama Muhammad, artinya tidak menjadi masalah, sebab yang menyiarkan Nabi Muhammad, Islam itu kata-kata penerangan (menunjukkan) sesuatu, barangnya tidak bisa dijangkau tetapi bisa dirasakan, jadi Islam itu sesuati iktikat yang luhur (suci). Kata suci keterangan lahir dan batin, kasar dan halus (nampak dan gaib), tidak bisa berubah. Kata suci (Islam) itu artinya tidak apa-apa (tidak bisa dijangkau), itu sebabnya kata Islam disebut suci bisa dikatakan telah bersujud pada Allah. Kata bersujud (pasrah) itu bukan main-main, hanya yang bisa yang melaksanakan Nabi, Wali, Aulia, Pandita, Guru yang sudah semprna. Bukti untuk sehari walaupun hanya kata-kata (nama) sebagaimana tertera dalam wirid Hidayat Jati itu, tidak ada apa-apa, jika diteliti kata tidak ada apa-apa tadi waktu menginjak dunia yang pertama dikatakan lahir didunia melalui tidak tahu apa-apa. Jadi kata sehari-hari Islam yang kita bicarakan dari bahasa Arab, artinya bersujud suci (sunyi senyap tidak ada apa-apa), jadi bebasa dari keinginan. Dalil di kitab Al Qur’an surat Al-Baqarah : 131 : “ketika Allah berfirman, “kamu harus Islam bersujud kepada Allah”, Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”. Jadi yang namanya Islam itu umpama sudah menjalani yang empat tingkatan tadi dari yang Syari’at, lalu mencapai tingkat Ma’rifat disebut bersujud (Islam/suci) terhadap Dat yang wajib adanya, berdasarkan ukuran Layu kayafu (tidak bisa dijangkau), artinya jika kita mau bersujud (sumarah-jawa) harus memakai pakaian Layu Kayafu (tankeno kinoyo ngopo – jawa), contoh : jika tentara mau menghadap Presiden harus memakai pakaian seragam lengkap, pangkat, sikap tegak dan lain-lain baru dapat diterima, apalagi manusia menghadap Allah, harus lebih lengkap lagi, umpama Tauhid, pikiran bersih, hati bersih, pasrah, tidak ingin apa-apa (merasakan apa-apa) dan Islam, itu baru tingkat Ma’rifat. Jadi menjadi Islam itu kalau sudah bisa menyingkirkan aku pribadi, yaitu sudah diterima At-tauhidnya, sementara orang bisaa memerlukan makan, lalu belajar Ma’rifat selagi masih hidup, kalau tidak lulus (mencapai Ma’rifat) lain perkara, rahasianya begini : siapa yang (waktu) didunia belum bisa Islam (sumarah) nyerah diri, tidak bisa meninggalkan keduniaan At-tauhid (menyatu), kalau sewaktu Sekaratil maut (menjelang ajal)/koma, akan mengalami yang menakutkan dan mengalami seperti dialam kubur, sebaliknya umpama bisa At-tauhid (Islam) suci menghadap kepada Allah; itu nanti kalau Sekaratil maut (menjelang ajal) Insya Allah langsung menghadap kepada-Nya (Allah) yang disebut Inalillahi Wa inalillahi Roji’un, kalau Budha melewati alam Nirwana. Orang yang sudah Ma’rifat itu disebut Arifin, artinya Muslim, siapa yang ingin mencapai tingkatan Ma’rifat, contohnya seperti dalil dibawah ini, pesan Nabi Ibrahim As dan Nabi Yakub kepada anak cucu; Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 132 ; “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati sebelum jadi Islam (Ma’rifat)” Jadi jelas sekali yang ditakuti sewaktu Sekaratul Maut (menjelang ajal). Keterangannya begini : siapa yang hidup mencapai Islam, maka seperti sudah bisa menghadap dihadapan Allah (lihat tentang Bab pengetahuan mati), karena Islam itu bagi orang Ma’rifat menjalaninya melalui jalan yang tidak bisa dijangkau (Layu Kayafu), hanya sekali itu sudah menjadi Islam, ada yang selalu mengalami, ada yang seumur hidup hanya sekali, tergantung dengan yang menjalani. Menurut Dalil tadi para leluhur agama Islam pasti tujuannya suci. Jadi Islam suci sesungguhnya sudah diuji pada zaman sebelum Nabi Muhammad, jadi Nabi Ibrahim, Nabi Yakub, Nabi Musa, Nabi Isa as dan Nabi Muhammad SAW itu satu tujuan, yaitu Islam (mencapai Ma’rifat). Menurut Kyai Agus Salim, Islam berasal dari bahasa Arab, asalnya kata Salama, artinya Selamat, sentosa tidak kurang dan tidak rusak. Kata tadi menjadi kata Aslama, kata tadi berusaha menyelamatkan (menyucikan) dari yang tidak baik, pertama pada diri pribadi, kedua pada manusia dan makhluk-makhluk-Nya. Selain itu kata Aslama itu sama dengan pasrah menghadap kepada Allah, jadi kata Islam itu sudah mengandung arti keseluruhan. Dari keterangan diatas agama Islam itu Azazan, perintah untuk menyelamatkan manusia dan alam raya seisinya, selain dari itu kata Aslama artinya menyerahkan diri sepenuhnya, jadi kata Aslama itu pokoknya kata Islam. Kata Islam berarti sumber dari segala kata (pokoknya). Dari keterangan di atas, kata Islam itu bukan sekedar nama, umpama Hindu, Budha, Kristen, kata-kata tadi artinya supaya dipahami menurut buktinya (artinya). Agama Islam itu ajaran, perintah dan petunjuk manusia dan alam seisinya tunduk kepada Allah, jadi harus dinyatakan dengan gerak, kata-kata, budi pekerti untuk menjaga keselamatan dunia dan akhirat. Kata Kyai Agus Salim seperti diatas itu umpama diteliti dengan benar, menunjukan perbedaan antara satu agama dengan agama lain, singkatnya agama-agama tadi tidak satu tujuan dengan agama Islam, jadi Islam, Budha, Kristen itu hanya nama agama. Menurut dasar surat A-Israa : 15 terdahulu (Bab I ), semua itu hanya sebutan sekedar nama, tidak beda sebutan (nama-nama), ada yang mengatakan Allah, Got Theo, Gusti Allah, Hyang Widi dan lain-lain, itu semua yang memberi nama hanya manusia sendiri. Menurut Wirid (ajaran) kata Islam itu sebutan salah satu agama, bukan kata sebutan, tetapi kata Saik yang artinya seluruh manusia tidak membedakan agamanya yang penting bisa menyatu dengan Allah (At-tauhid). Sebenarnya kata Islam itu Ma’rifat, akan tetapi ada kata Budha, Islam sejati. Islam sejati itu hanya untuk orang jika dicubit merasa sakit. Arti Rahasia hanya tanda yang digunakan oleh orang yang membutuhkan tetapi semangat saja yang sama, yaitu mencari kebenaran Allah. Kata Ma’rifat itu asal dari bahasa Arab yaitu Arafah, artinya melihat, tetapi bukan memakai mata atau pikiran (pengetahuan). Kata-kata melihat itu bukan pakai mata tetapi mengarah ke ilmu, dan Ma’rifat itu tahap mengetahui Wirid (pelajaran); melihat Allah tidak memakai alat mata dan tidak memakai pikiran. Melihat Allah terhadap Wirid artinya siapa saja bisa mencapai Ma’rifat, tetapi apa yang akan di Ma’rifati jika tidak tahu tentang hal ketuhanan (Allah), dan Ma’rifat itu bertekad, sudah pandai melakukan Zikir, Sholat Tauhid, Semadhi (Yoga) saja tetapi disertai ta’at, patuh dan yakin kepada agamanya. Umpama ta’atnya para ahli Syari’at hanya karena takut kepada peraturan; sholat, puasa, zakat, fitrah, naik haji merasa sudah menjadi Islam. Tetapi terhadap Ma’rifat selain menurut perintah agama lalu disertai tekun (kuat) terhadap sesuatu tujuan sehingga patuh (ta’at) terhadap tujuan untuk membuktikan Allah itu ada. Orang olah (melatih) batin terhadap orang Ma’rifat itu membuktikan bukam gampang, sebab orang-orang itu batinnya sudah memiliki sifat Allah, umpama sifat kasihnya yang biasanya lalu menjadi watak kasih sayang terhadap sesama. Kata Kasih Sayang menurut Allah (Rahman dan Rahim- Arab), tidak beda-beda, buktinya para Nabi, Wali, Mukmin semua mempunyai sifat kasih sayang, sudah ditujukan untuk diri sendiri menjadi untuk semua (universal), walau begitupun masih ada ingin perang dan membunuh musuh, begitulah orang yang sudah mengerti bahwa perang atau membunuh musuh itu mestinya pasti merusak rumah tangga. Tetapi terhadap orang yang sudah mengetahui rahasia alam, itu tidak mengherankan hanya menjadi kewajiban (tugas). Perang dan membunuh terdorong oleh kasih sayang dan suci, daripada menjadi hancurnya dunia (merusak ketentraman), maka harus dibunuh (dimusnahkan). Jadi para bijaksana melaksanakan tadi sama menuju keselamatan dunia, tujuannya menyelamatkan dunia dari semua penghalang, begitulah eloknya / sempurnanya Ma’rifat. Bab. 2 DALIL, HADIST, IJEMAK DAN QIYAS Umumnya di kampung, kota dan lain-lain; pengikut Agama walaupun berbeda Agamanya yang dituju terlebih dahulu terhadap ilmu, yang dituju terlebih dahulu pasti sempurnanya kematian, maksudnya umpama mempunyai niat ingin mencoba merasakan kematian, merasakan bagaimana mati itu. Perkataan dalam Wirid; hidup yang menyebutkan sekali, itu sebenarnya bekal ilmunya Allah SWT, itu disebut kenyataan (kasunyatan – Jawa) itu tidak dusta dan bisa dibuktikan. Bahasa Arab ilmu Haq, artinya nyata. Jadi kebisaaan jawa ilmu Kasunyatan atau nyata. Di pedesaan murid-murid disumpah (diwejang – jawa) bisa juga ditakut-takuti, umpama kalau kamu melanggar maka perutmu pecah. Bagi orang-orang yang disedikitpun belum mencapai Tarikat, benar salahnya terdapat pada perbuatan, walaupun pintar atau bodoh, karena murid itu mengerjakan karena rasa takut, jadi keadaan masyarakat menjadi tentram. Murid satu perguruan dan lain perguruan saling tidak sepaham dan sering kali berdebat soal pendapat, menyebabkan pecah dan simpang siur mencari kebenaran sendiri-sendiri, perkara ilmu yang belum pasti benarnya. Keterangan diatas untuk contoh jangan sampai tersebarnya kebatinan (ilmu Qalbu) di tengah masyarakat berlarut-larut terus menjadikan orang panatik, artinya patuh terhadap ajaran gurunya, yang tujuannya bisa salah arah tujuan semula, menyembah selain Allah, lalu harus bersujud kepada Allah serta memohon petunjuk Allah supaya diberi petunjuk (dibukakan hatinya). Allah berfirman, Al-Qur’an surat Al-Israa : 72 “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)” Mengingat Firman Allah itu lalu timbul pertanyaan; “Apa sudah benar pelajaran guru itu” lihat surat Al-Israa diatas, siapa yang tanggung jawab didunia dan akhirat, kalau ilmu gurunya itu salah. Terbukanya ilmu itu mesti bergaul, bertanya, membaca buku-buku tentang ketuhanan. Kita sendiri yang teliti, yaitu akal / pikiran harus digunakan, yang penting mau menjalankan, keterangan disini dan seterusnya, baru bisa jadi mendapatkan ilham dari sifat-sifat Allah. Hasilnya menjalankan dan membersihkan diri, lalu mendapat keterangan yang sejujur-jujurnya (selurus-lurusnya). Sekarang mengenai belajar ilmu, yang penting si Guru harus waspada memilih, karena banyak orang yang mengaku-ngaku karena peringatan (wulangreh – jawa). Kalau berguru ilmu harus : 1.  memililah manusia benar. 2.  yang baik kelakuannya (terpandang). 3.  Serta mengetahui hukum. 4.  Yang beribadah dan mengetahui. 5.  Kalau bisa orang yang sudah bertapa (menjalankan shalat Hakikat). 6.  Yang sudah tekun. 7.  Tidak mau mengharapkan orang lain. 8.  Itu pantas kita jadikan Guru. 9.  Sama-sama kita ketahui. Nasehat di Wulangreh (syair jawa) : 1.  Manusia yang jelas statusnya; bukan seperti gelandangan (Avonturer), bukan tukang tipu, yang lupa janji, tetapi orang yang pantas dipercaya perkataannya. 2.  Yang baik martabatnya, yang baik budi pekertinya. 3.  Yang mengetahui hukum; orang yang telah mempelajari seluruh bidang hukum; hukum pidana, hukum tata negara, hukum perdata dan hukum agama yang penting. 4.  Yang beribadah (tawaduk – Arab) dan orang yang taat kepada peraturan agama Islam, Kristen, Budha dan lain-lain, Wirangi artinya orang yang segala tindak tanduknya (perbuatannya) tidak sembarangan. 5.  Orang yang bertapa; orang yang bisa mengendalikan hawa nafsunya. 6.  Orang yang tekun; orang yang tidak mau menjadi beban orang lain. 7.  Tidak mau pemberian orang lain; artinya tidak mau jasa orang (sepi pamrih – jawa), tidak mau di puji (takabur). 8.  pantas di Gurui; untuk simurid harus memilih terhadap siapa yang pantas digurui, yang memenuhi syarat-syarat seperti diatas. 9.  Harus kamu ketahui, itu peringatan bagi simurid harus banyak pengalaman walaupun tidak pandai, harus menerima dan mempunyai perasaan, karena sebagai murid harus mempunyai rasa malu walaupun tidak memberi, umpamanya karena siguru tidak pernah meminta, lalu kita diamkan, itu salah seorang mempunyai perasaan pasti malu jika tidak memberi imbalan kepada gurunya. Orang salah sangka dengan umum walaupun siguru masih muda dan tidak mempunyai tempat, orang yang terbuka pikiran itu tidak perduli muda atau tua, banyak yang sudah tua tetapi kosong tidak berilmu, tetapi dizaman sekarang banyak pemuda yang mempunyai satu perguruan (membentuk suatu perguruan). Tuhan (Allah) membuka hatinya menurut kehendaknya, seperti dalil Al-Qur’an surat Yusuf : 22 ; “Dan tatkala dia cukup dewasa (29) Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” 9]. Nabi Yusuf mencapai umur antara 30 – 40 tahun. Kata dewasa (ahqil baliq) terhadap siapa saja yang sudah dewasa, pikirannya sudah dewasa, buktinya begini; sang Sidarta adalah putra mahkota kaya dan pandai, ia putra Raja dipegunungan Himalaya, Raja Shudadana, lahirnya Sidarta lalu ibunya meninggal dunia, pada umur 29 tahun (muda belia) lalu ia bertapa memohon kepada Yang Maha Benar, sesudah terbuka pikirannya lalu menjadi Budha, pelajarannya sampai sekarang masih hebat dan benar. Dan lagi tentang Nabi Isa as. (Yesus Kristus) putra Mariyam, siapa saja langsung heran kepada Nabi Isa as. pada waktu lahir Nabi Isa umur 3 (tiga) hari langsung bisa bicara dan berdiri sebagai Nabi utusan Tuhan, ingat baru umur tiga hari belum dewasa sangat muda. Terakhir Nabi Muhammad SAW itu menjadi pengembala kambing (domba) ikut pamannya semasa Nabi Muhammad umur 30 tahun, didorong oleh kemauan sendiri lalu Nabi Muhammad bertapa di gua Hira mengendalikan semua kemauannya (nafsu) mencari Dat yang benar (Allah), langsung menjadi Rasul (utusan) sampai menjadi penegak Islam. Allah membuka pikiran para orang mencari kebenaran, ternyara orang-orang yang masih muda-muda sesudahnya memilih (membedakan) yang benar dan salah, berdasarkan dalil (firman Allah) atau tidak, artinya Dalil pedoman, tanpa Dalil (unik seperti tahayul). Jadi orang yang ingin menjadi guru harus memakai 4 landasan yaitu : 1. Dalil itu Firman-firman Allah di kitab suci Al-Qur’anul Karim. Sampai sekarang dicetak supaya tidak berubah isinya, hanya Al-Qur’an sendiri, artinya begini; Qur’an itu bahasa Arab, ayatnya 6666 dan sudah disalin beratus bahasa, siapa saja mau merubah isinya atau ditambah tulisan lain tentu ketahuan, karena asli bahasa Arab masih utuh. 2. Hadist itu pendapat/perbuatan Nabi Muhammad yang benar semua, pengetahuan yang tidak ada terdapat di Al-Qur’an, Hadist suci itu disebut Hadist Syahih, Bukhari, Muslim, Hadist selainnya, Hadist lainnya kurang dipercaya, membacaya harus dicocokan dengan angka-angkanya, apalagi Al-Qur’an harus dicocokkan dengan Jus, Ayat-ayat dan Surat-surat, apalagi sekarang banyak Hadist dan Al-Qur’an berbahasa Jawa. 3. Ijemak, yaitu pendapatnya para Ulama agung pada zaman Nabi Muhammad atau pendapatnya para sahabat empat yang akrab dengan Nabi Muhammad, yang teliti (cerdik), yang tidak berdasarkan Mahsab (pendapat orang yang bisa diubah-ubah). Sedang Ijemak itu dasarnya ulur tarik menurut akal pikiran, jadi Ijemak itu pendapat dimasa zaman terdahulu yang disetujui para Ulama lebih dari 5 (lima orang ulama). 4. Qiyas, yaitu pendapat berdasarkan akal/pikiran, artinya keterangannya tidak berdasarkan Al-Qur’an atau Hadist, tetapi menurut akal/pikiran saja. Intisari semua keterangan ilmu itu apa keluar dari dalil atau hanya asal bicara saja, sebab itu harus diteliti (koreksi) berdasarkan akal/pikiran, bisa diterima atau tidak (umpama bisa) pokok utama iman, umpama tidak berarti masih sangsi-sangsi kalau sangsi-sangsi itu tidak mengenakan pikiran berarti haram atau batil. Siapa saja bisa mempelajari kenyataan sifat Allah, menjalani (melaksanakan) pasti tidak susah, memang sudah dikerjakan, umpama kurang semangatnya, tujuan hati untuk mencari ilmu Allah pasti tidak tercapai. Untuk menjadi guru itu; tua, muda bukan pekerjaan yang main-main, karena murid zaman sekarang pikirannya sudah maju, akalnya banyak dan tidak bisa menerima begitu saja tetapi hanya mendengarkan saja, apa yang kuranng dipahami (susah) atau kurang diterima oleh akal pasti akan ditanyakan, umpama mengenai wejangan (nasihat) seperti dibawah ini : “Sebenarnya tidak ada apa-apa yang dulu selain Adam”, artinya Adam itu kosong (suwung – jawa), manusia asal dari Adam tadi, itu sebabnya manusia berdiri sendiri (hidup sendiri) sebelum Allah dan Malaikat ada, adanya Allah itu dari manusia, artinya adanya Allah dari manusia karena manusia yang mengatakan, jadi wajib disimpan seperti menyimpan nyawa sendiri. Sebenarnya umat dan Allah artinya satu tidak pisah (bersatu), jadi dimana saja manusia berada pasti Allah tetap menyertainya, tidak ada manusia tidak ada Allah. Pelajaran yang disebut diatas tadi sebenarnya kurang dapat dicerna (diterima oleh murid), jadi timbul banyak pertanyaan. Menjadi guru selalu marah sebab gurunya sendiri tidak bisa menerangkan, karena siguru dapatnya hanya menerima begitu saja, jadi siguru belum pintar (mempunyai ilmu) hanya menunjukan kepanatikannya. Jadi bila ada guru yang begitu tadi bisa menjadi salah arah pada muridnya (masyarakat umum). Disebutkan dalam kitab Al-Qur’an bahwa Adam itu satu-satunya Nabi, orang yang sudah dikehendaki Allah mempunyai sifat-sifat 4 perkara : 1. Sidik, yaitu jujur atau tidak dusta; 2. Amanah, yaitu bisa dipercaya atau tidak khianat. 3. Tablik, yaitu menyampaikan perintah Allah, sifat mokalnya Kitam. 4. Pathanah, yaitu bijaksana atau tidak bertindak bodoh. Sifat wenang (kuasa) hanya Cuma satu yaitu yang disebut Aral Bashri, artinya yang tidak cacat (membuat cacat kerasulannya). Seperti itu sifatnya Nabi yang dikehendaki oleh Allah. Beda dengan orang bisaa, orang bisaa kebanyakan hanya memakai sifat mokalnya (sebaliknya), maka dengan itu Nabi itu salah satu penuntun yang bisa menerangkan bahwa Adam itu yang disebut kosong (Suwung – jawa). Dikitab Al-Qur’an surat Al-An’aam : 98 ; “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui” Kata-kata Seorang diri yang diatas mengandung arti jasmani, tubuh orang. Jadi kesimpulan dari arti itu bahwa asal dari Rahim ibu, lalu ada Qur’an yang menyebutkan Adam Nabi yang terdahulu umat yang mulia di Surga. Umpama dibalikan kepelajaran guru yang disebut diatas, Adam diartikan Suwung (kosong), menjadi asal usul manusia, apa tidak salah umpama diartikan orang, karena seorang diri (jasmani) masih memasang dasar asalnya dari orang. Jadi jika ada yang mengartikan (Qiyasan) asalnya dari yang kosong (suwung-jawa) itu tidak masuk akal, karena semua asalnya orang dari rahim sang ibu, oleh karena itu Adam itu asalnya dari orang. Jadi Qiyasan (pendapat) kata kosong (suwung) tadi terhadap Wedaran Wirid (buku ini) keterangannya begini; semua isi Jagad raya (alam dan makhluk) asal dari Hakikatnya DAT yang wajib adanya Allah SWT dan mereka yang menciptakan yang disebut Allah, artinya yang kita sembah tetapi tidak nampak. Karena tidak nampak jadi disebut kosong (suwung). Selanjutnya mengartikan kata ADAM, walaupun dikatakan kosong, kenyataan bisa menciptakan Jagad raya seisinya, jadi yang berasal dari Dat dikatakan kosong tidak hanya manusia saja tetapi seluruh isi alam ini; malaikat, setan dan jin, semua berasal dari Dat Allah (kosong/suwung-jawa), maka terhadap manusia dari tidak ada (kosong), bayi lahir dari ibunya tidak tahu apa-apa. Kata lahir tidak tahu apa-apa itu alamnya bayi sewaktu keluar dari rahim ibu tidak tahu apa-apa, lahir dirumah, di rumah sakit atau di hutan, toh tidak tahu apa-apa (kosong), kenapa kalau memang kosong manusia bisa lahir sendiri, kenapa tidak mau mengakui kalau asalnya dari tidak ada (kosong)?, kenapa hanya ikut saja yang dikatakan Qodrat dan Irodat. Salahnya penngetahuan (pengertian) tentang kosong tadi disebabkan kurangnya penerangan atau memang tidak tahu sama sekali (bodoh). •   Menerangkan bahwa ADAM itu namanya Nabi/Rasul menurut agama Islam dalam Al-Qur’an ADAm itu nabi yang diusir dari Surga ke dunia bersama istrinya Siti Hawa, kata ADAM itu berasal dari bahasa Ibrani, yang artinya orang laki-laki. Di Al-Qur’an tidak menerangkan bahwa Hawa itu asal dari tulang rusuk Adam. Pendapat itu sebenarnya Adam itu orang yang bergerak dari orang. •   ADAM itu kosong (suwung-jawa), artinya manusia berdiri sendiri sebelum Allah dan Malaikat ada itu tidak benar, yang benar kosong itu sebenarnya adanya DAT yang satu adanya, tidak nampak tetapi ada, artinya ada tetapi tidak bisa diraba atau tidak bisa dijangkau oleh manusia, sebab sifatnya layu kayafu, sama dengan tidak ada tetapi bisa menciptakan seluruh Jagad Raya dengan kekuasaannya (Qodrat). Kata ADAM (kosong) itu sendiri sewaktu diutus hidup didunia sebenarnya memberi pengertian terhadap keterangan itu mudah jika sudah mempunyai pegangan (keyakinan). Dan bagi yang tahu sedikit-sedikit ilmu dalam menerima pelajaran dan dihati harus bisa membandingkan dengan apa sudah kita dengar dan menjadi tekadnya. Bisa menambah terang, umpama dibandingkan dengan ilmu lain (gebengan-jawa). Oleh karena ilmu itu bukan dapat dari sendiri tetapi dari tanah jawa, maka perguruan lebih baik para muridnya diberi kemudahan untuk bertanya, jangan terikat dengan peraturan yang melarang para murid menyamakan ilmu/pendapat orang lain. Maka dari itu ilmunya, Allah itu bisa diketahui hanya melalui manusia yang tujuannya hanya satu (benar). Ditanah jawa ilmu itu yang seperti bertingkat. Kata ilmu itu bahasa Arab, dalam bahasa jawa yaitu kaweruh. Menurut Prof. Dr. Hazairin, ilmu itui tingkatnya hanya nampak (melihat); Si A pernah melihat Radio tetapi belum pernah menghidupkan apalagi memperbaiki, berarti si A belum mempunyai ilmu hanya melihat (buta ilmu). si B pernah melihat Radio, bisa menghidupkan dan bisa memperbaiki kerusakannya, berarti si B mempunyai ilmu dan mengetahui rahasia-rahasia Radio tersebut. Bab 3 MACAM-MACAM KEPERCAYAAN DAN PENDAPAT TENTANG TUHAN (ALLAH) Qur’an surat Al-Hadiid ayat 4-6; 4-“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy) Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya). Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” 5-“Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.” 6-“Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” Ilmuwan zaman dahulu Anaxagoras dari Clazomini (yunani), ia adalah seorang ahli ilmu pasti yang disebut sebagai seorang kafir, karena tidak percaya dewa-dewa, dan ilmunya dinamakan Atomistik, ilmuwan itulah yang menyiarkan; bila roh-roh itu tidak ada batasnya dan mewujudkan gerak tertib, selanjutnyanya roh-roh menyatu dengan tuhan-tuhanan, dan ia bertekad mengatakan roh-roh itu maha kuasa dan maha tahu. Ilmuwan lain yang sam pada waktu itu Anacagoras yaitu Anaximander dari Milete Ionia; kepercayaannya kealam raya (benda), tujuannya; asalnya benda-benda itu dari zat tanpa awal tanpa akhir dan tidak bisa ditebak, zat itu disebut Apeiron, artinya kekal (abadi), menurut kepercayaannya (Apeiron) adalah tentang jiwa (roh), pendapatnya bila roh-roh itu seperti Hawa dan Angin. Ilmuwan Ibnu Araby Al Halady dan syeh Siti Jenar sama pendapatnya, jika manusia itu berasal dari Hakikatnya Maha Agung, artinya penyempurna DAT, dan Faham itu disebut Widatul Wujud. Pendapat memutuskan Allah dan manusia menyatu, dalam bahasa Wiridan disebut Chaliq, dan makhluk itu satu (menyatu), begini keterangannya; DAT Yang Maha Kuasa itu meliputi adanya sifat Ujud, tidak luar tidak didalam, tidak bertempat, tidak zaman, tidak laki-laki tidak perempuan, tidak beranak tidak diberanakan, tetapi meliputi Jagat Raya, lihat firman Allah, surat Al-Hadiid : 4-6, seperti diatas. Artinya ayat-ayat tadi Al-Hadiid 4-6; kepada siapa saja yang diciptakan tidak dibeda-bedakan (pilih kasih), yang sifat baharu semua diliputi Zat Allah. Semua itu untuk membuktikan kepada orang yang berpendapat Allah itu pilih kasih dan ada yang disayang karena dari adanya pendapat yang bermacam-macam lalu ada ada golongan yang memberanikan bahwa Allah bisa dijumpai dengan manusia dengan memuja cara masing-masing. Sebelum adanya peraturan agama, ada peraturan yang menetapkan bisa jumpa dengan Allah karena menyembah kepada benda untuk perantara. Faham tadi dinamakan Animisme yang menambah kepercayaan golongan tersebut. Manusia itu mempunyai hidup terus sesudah mati, oleh karena hidup itu Hakikatnya Allah. Allah itu meliputi semua maka menjumpai memakai (memuja) kayu, batu, patung; paham (kepercayaan) itu bisa saja percaya ada DAT yang wajib adanya, tetapi tanpa keterangan, jadi pekerjaan tadi hanya yakin ada dan cinta, jadi faham yang tidak terang, tetapi didalam hati bisa menciptakan/mengarang bahwa Allah itu ada dan menyatu, faham tadi disebut Antropormophisme. Ujud/nyata disini berarti karangan-karangan yang timbul dari angan-angan lalu ada golongan yang nebak-nebak bahwa Allah itu bisa menjelma menjadi orang, dan orang itu disebut Allah. Kitab Injil, Taurat asal pertamanya terjadi Jagat Raya; •   Allah menciptakan manusia melalui cahayanya. •   Tidak ada orang yang bisa dekat dengan Rama (Allah), kecuali tidak keluar dari Rama aku, umpama kamu bisa mengenalku pasti kamu mengenalku (Rama). •   Orang yang bisa melihatku, jadi sudah bisa melihat sang Rama, sang Rama ada berada padaku. Kata Citra tersebut diatas maksudnya sinar yang memancar, itu kata karangan, dalam perkataan Wirid disebut Hakikat, sudah sebenarnya manusia itu asal Hakikatnya Tuhan. Menurut trilogy Kristen; Tuhan sifatnya Rama sang Putra dan Rohulkudus/Rohsuji (perkataan sang Rama lebih kurang adalah DAT yang wajib adanya) Tuhan yang disembah yang paling tinggi sekali. Sang Putra sinarnya Rama (Hakikatnya cahaya tuhan) atau yang dinamakan Citra yang sifatnya makhluk yang memiliki sifat 20, Rohul kudus itu roh suci yang menempati sifatnya manusia. Karena manusia sifatnya sempurna, lalu manusia memiliki Rohul Kudus, Rohul kudus itu bisa disebut sejatinya aku, lebih-lebih tentang kemajuan rasionalnya (akal pikir) orang saja. Surat Injil diatas tadi lalu ada perkataan; “orang yang bisa melihat aku, jadi sudah melihat sang Rama”. Keteranngannya; orang yang sudah mengetahui / melihat aku sama seperti sudah mengetahui / melihat Allah. Jadi kata melihat artinya bukan dengan mata, tetapi melihat melalui hati, yakin dengan diri sendiri, aku itu meliputi Hakikatnya Allah. Wihdatul Wujud asal dari bahasa Allah, Pembagiannya begini : • Wihda dari kata Wahdat, artinya Satu. • Wujud artinya Ada. Jadi Wihdatul Wujud itu adalah Satu dan Ada (Kahanan Tunggal = Bahasa Jawa), yang menciptakan dan yang diciptakan, bahasa Ilmu (Wirid) Chaliq dan Makhluk, artinya lebih kurang Chaliq tidak ada dan Makhluk tidak ada. Sebaliknya kalau Manusia tidak ada, maka Manusia dan Chaliq tidak ada yang menyebut. Dibagian keterangan kepercayaan Wihdatul Wujud banyak para Ulama yang tidak sepakat pendapatnya atau sama tidak percaya pendapat tadi karena keadaan tunggal itu pecahan para Pertapa, Sufi, Filsuf. Ada pendapat yang simpang siur, yang satu mengatakan Chaliq dan Makhluk itu Dua, artinya Allah disamakan berada disuatu tempat dan makhluk ada tempatnya masing-masing. Di Jawa menurut surat Wirid dan sejarah-sejarah ada seorang Wali mempunyai pendapat bahwa Wihdatul Wujud itu namanya Syeh Siti Jenar, ditanah Jawa dulu ada Wali 9 (Songo=Jawa) didemak, para Wali menurut sejarah mereka tidak suka kepada Syeh Siti Jenar, karena tidak sepaham dengan para Wali, lalu dimusuhi dan ilmunya sampai sekarang diketahui. Ditahun 858 Masehi di Persia ada pujangga namanya Al Hallaj, dia terkenal didunia barat dan timur dengan bukunya dan buku-buku tersebut ditulis dengan bahasa masing-masing negara/daerah, pendapatnya mengakui Wihdatul Wujud (Yang Kuasa) adalah Tuhan Esa, dan Al Hallaj tadi dihukum oleh pemerintahan dizamannya, karena khawatir pengetahuan tadi berbahaya bagi masyarakat awam/umum. Kepercayaan Wihdatul Wujud disebut keadaan satu. Menurut pendapat Sarjana, Filsufi; Plato, Aristoteles, Al Hallaj, Syeh Siti Jenar dan menurut keterangan itu menebak bila Manusia sebenarnya penyempurnaan Dat Allah, keterangannya umpama Manusia dan Makhluk itu seperti Air yang jernih yang berada dibak air dan Allah di ibaratkan seperti Surya diatas langit yang memancarkan cahaya ke 1000 bak air tadi, dan isi 1000 bak air tadi jika dilihat masing-masing terdapat matahari/surya yang memancarkan sinarnya dari langit tetapi sebenarnya matahari tadi hanya satu. Leluasa artinya benda, manusia, besar, kecil bergerak karena memiliki Dat Allah, seperti Bak Air tadi ada Mataharinya, dan bergerak menurut keadaannya (kodratnya). Ada lagi kepercayaan yang berpendapat Chaliq dan Makhluk itu ada dua. Keterangannya kalau Makhluk-makhluk dilihat dari Chaliq (melihat matahari) keadaannya tetap satu, kalau dilihat dari makhluk (bak air tadi) matahari lebih dari satu, yaitu Makhluk (bak air) satu, Chaliq (tuhan) dua, artinya Matahari ada 1 (satu) dibak dan 1 (satu) dilangit. Al-Qur’an surat An-Najm : 43-44 ; 43. “dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis,” 44. “dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan,” Yang menyebabkan tertawa dan menangis itu Allah, artinya Manusia sudah memiliki sifat Qodrat / Irodatnya sifat 20, lalu yang memberi sifat tadi mengikuti tertawa, menangis, jadi pendapat tadi berpedoman kepada ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebenarnya Allah itu meliputi kita semua (manusia); 1.  Dat Allah; tidak nampak, layu Kayafu, Nukat Gaib, orang tidak bisa melihat tetapi bisa menguasai, bisa menghidupi, bisa mematikan, bisa menangiskan dan bisa mentertawakan. 2.  Arti keterangan diatas mengatakan tidak diragukan lagi karena Hakikatnya DAT (sifat 20) tadi, karena umat manusia tidak berhak mengatakan bahwa manusia sama dengan Allah, walaupun memiliki DAT (sifat 20) yang lengkap, karena manusia tidak mempunyai kekuasaan (Wenang – Jawa). Oleh karena itu lalu ada pendapat bila Allah dan Umat itu dua (Allah,Umat), ada yang mengatakan Allah dan Umat itu satu (Esa); Datnya sama, geraknya sama, Hakikatnya sama, karena semua sama-sama yang menguasai dan yang dikuasai, lalu diartiikan satu Dat Allah. umpama Siti itu bisa merubah diri apa saja, Dat Siti sama geraknya dengan Siti, tetapi Siti sulit untuk menyebut badannya sendiri, seolah-olah bertanya kepada diri sendiri “dari mana asalnya ini?”. Jadi keterangan kepercayaan Wihdatul Wujud asal dari satu DAT bisa menjelma apa saja. Mempelajari Pelajaran (Wedaran Wirid – Jawanya) Bab Sifat 20 itu memang sulit, karena yang diterangkan tentanng mengenai Allah (Tuhan), jadi memang sebenarnya para leluhur dizaman dahulu memikirkan tentang yang sangat sulit, karena memikirkan kalau salah menerima bisa membahayakan hidupnya sendiri dan masyarakat umum. Almarhum Mahatma Gandhi (India) sangat memuji kepada kepribadian Nabi Muhammad SAW, karena satu tujuan yaitu menyembah kepada Satu Allah, kalau dilihat kepercayaannya, Mahatma Gandhi itu pujangga Budha, dan Nabu Muhammad penyebar Agama Islam. Kalau difikir tujuan Mahatma Gandhi tentang Tuhan (Allah) adalah satu, hanya beda nama tetapi tujuan sama. Pujangga Islam Syeh M. Abdul pernah berteman dengan pujangga Kristen Graaf leo Tolstoy, dan berpendapat Nabi Muhammad SAW tidak beda dengan Mahatma Gandhi. Menurut surat-surat M. Abdul dan Tolstoy sama-sama mempercayai agamanya masing-masing. Adanya hubungan tadi hanya menyatukan tekat yang dikatakan MONOTHISME, artinya menentukan Allah itu Satu utuh (Esa). dari contoh-contoh itu lalu jelas Kitab Allah itu bahwa walaupun beda namanya tetapi sama tujuannya, yaitu menetapkan Allah itu satu (Monothisme). Beda keterangan yang terdapat pada kitab-kitab tadi yaitu : • Agama Islam; Allah – Sifat 20; • Agama Kristen; Trimurti – Tuhan Rama; • Agama Budha; Tuhan Trimurti sang Budha. Semua itu hanya sebagai pedoman, artinya untuk contoh jalannya ilmu pengetahuan, lalu ada pendapat yang berbeda-beda, itu dapat dari turun temurun, Allah mengutus para Nabi, penganutnya sama-sama meyakini ajaran Nabi Musa pada zaman itu, dan sampai sekarang tetap tidak setuju dengan pendapat lain, karena dihati yakin terhadap ajaran Nabi Musa yang dianggap benar; •   Ajaran Nabi musa yang utuh terdapat 10 (sepuluh) ajaran, dan pada zaman dahulu masyarakat belum seperti sekarang kemajuannya, turun temurun penganutnya sama-sama membenarkan ajaran Nabi Musa, dan sampai sekarang tidak setuju pada agama lain, karena ajaran Nabi Musa dinggap paling benar. •   Ajaran Nabi Isa itu menjadi ukuran masyarakat zaman dahulu sampai sekarang, turun temurun tetap menjadi kepercayaan (dianut). •   Ajaran Nabi Muhammad SAW, begitu juga membenarkan pada ajaran-ajaran Nabi-nabi, walaupun beda-beda tempat dan kemajuan cara berfikir, ajaran-ajaran tetap bertekad membenarkan Allah itu satu (Esa). Bila demikian adanya keterangan 3 macam bisa disimpullkan dengan menurunkan kitab-kitab perantaraan Nabi-nabi Allah, menilai keadaan masyarakat bahwa Al-Qur’an itu kitab yang diturunkan untuk menutup segala kitab-kitab yang diturunkan, dengan isinya yang lengkap dan meliputi politik, ekonomi, bermasyarakat, pernikahan, hukum tata negara dan lain-lain, dan semua yang terpenting Al-Qur’an itu sifatnya Allah. Seketika ada pertanyaan begini; “jika semua agama-agama itu kemauan Allah, kenapa baru sekarang menyatunya agama. Jawaban dari pertanyaan itu benar atau salah dinyatakan di Surat Al-hajj : 67 ; “Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan Syari’at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari’at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.” Keterangan dari ayat diatas begini; Agama contoh peraturan yang dikehendaki oleh Tuhan (Allah), intisarinya menuju yang benar, walupum agama tadi harus ditaati, walaupun lebih tua (lebih dahulu mencul) atau lebih tebal kitabnya, semua perintah menurut orang zaman dahulu tetap benar (lurus), yang membenarkan adalah orang yang sudah maju, menurut pendapat pasti benar untuk orang dizaman dahulu, walupun dikotak-katik (diubah-ubah) tetap benar (lurus), walupun yang membenarkan itu orang dizaman sekarang, Allah mengatakan “hati-hati, segala urusan agama itu jangan dibuat perdebatan”, sebab yang penting agama-agama itu merupakan perkataan-perkataan Allah (Firman Allah). Allah itu pujaanmu (Sembahanmu), Allah itu ada. Bila diteliti dari agama Budha, Kristen, Islam, Majusi, Sinta, Hindu, Tao, Zorowaster; semua itu seperti sungai yang mengalir deras, panjang, lebar dan mengalir pelan; semua mengalir kearah laut (samudra). Ada pertanyaan begini; “apakah agama tadi bisa bersatu dengan upacara !!”, ada yang mempunyai tekad menyatukan agama-agama itu, ia seorang Cendikiawan Sufi dari Persia yang terkenal, namanya Al-Hallaj, sebelum Cendikiawan tadi wafat, ia mempunyai tekad satu, yaitu peraturan Allah untuk Allah, umpamanya tercapai dan bisa menyatukan bangsa berjuta-juta. Tekadnya Anaxagoras tentang Hakikatnya Roh, itu umpama diteliti belok dari tujuannya yang berwujud benda, barang dll, itu sampai sekarang belum ada satu manusiapun yang membuktikannya, umpama ada orang yang cerita bisa melihat Roh, sebenarnya hanya bisa menjerumuskan, dan firman Allah surat Al-Isra : 85 ; “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” Kata sedikit itu tidak berarti barangnya, hanya sepengetahuan, buktinya orang bisa memilih hidup itu apa.. walaupun nanti pikiran manusia sudah maju, mengenai Esa itu belum ada Nabi, Wali, Mukmin, Sarjana, Profesor, Doktor dan lain-lain yang bisa memegang Roh, walaupun Roh semut, yaitu yang dinamakan Gaibnya Allah. Didunia modern sangat membingungkan tentang Allah, lalu ada paham Athisme yang membantah ada Allah. Menurut Paham tadi Allah tidak ada, hanya ciptaan manusia. Penafsiran ketuhanan itu tidak bisa untuk landasan mencari hukum kejadian dan sebabnya. Francis Bacon mengatakan dizaman kemajuan ilmu, zaman makmur semakin banyak orang yang tidak percaya kepada Allah, kenapa waktu miskin, gembel, perut lapar, sakit lalu manusia mencari pegangan (kepercayaan) kepada Allah. Bacovan Ferulame berkata demikian; sorang Athist itu orang-orang yang hatinya palsu, tidak jujur. Untuk penutup tentang Ikhtikat macam-macam untuk ketuhanan, disini perlu tambahan pendapat tentang ajaran Sidarta Gaotama, yaitu Sri Budha Gaotama, begini; menurut berabad-abad kebudhaan itu bukan agama, tetapi suatu pendapat bahwa sebenarnya kebudhaan agama Tuhan, sebab yang menyiarkan adalah seorang ahli tapa, dan kata dari Tuhan melalui sang petapa Sri Budha Gaotama, bedanya apa?, Nabi Muhammad bertapa di Gua Hira di tanah Arab, sang Gaotama bertapa di pohon Budhi dan dua-duanya mendapat kitab. Ajaran kebudhaan menghilangkan (melepaskan diri) dari kesengsaraan (kesusahan) menggunakan kekuatan diri sendiri, dan Maha Budha hanya memberi hidayah, taufik dan berkah, maksudnya pusat azas abadi atau pusatnya sumber yang ada (Jagat Raya). Pelajaran itu ternyata merupakan kebutuhannya manusia dan membenarkan bahwa kesengsaraan (penderitaan) itu sumbernya adalah Nafsu, maka nafsu itu harus dikendalikan, jalannya harus konsentrasi, meditasi, yaitu Dhiyana atau Semedi (At’tauhid bahasa arabnya) menurut keyakinan menuju kebudi (Qalbu bahasa arabnya) dan bersama melalui tata tertib susila, sesudah bisa mengendalikan Nafsu, baru bisa menerima pelajaran bila Budi (kesadaran diri) pribadi itu tiak ada, jadi hidup merasa sendiri (individu) itu salah, sebenarnya harus merasa hidup menyatu, berdiri tidak sendiri-sendiri (universalisme) dicocokan dengan sifat Afhngalnya Allah. Selanjutnya bila sudah bisa menyatu dengan keabadian tidak terikat dengan suatu sebab dan akibatnya (Karma) yang berubah-ubah, karena dengan perbuatan sendiri menyebabkan penderitaan, dengan tujuan yang baku (utama) menuju ke alam Nirwana, alam yang tidak terjamah oleh apapun. Budisme (agama Budha) itu tidak mengakui adanya roh (jiwa) pribadi, manusia itu hanya membuktikan paduan dari kumpulan zat yang hanya selalu bergerak berubah-ubah tidak kekal, karena perbuatan sendiri, dan perbuatan orang lain, keterangannya lebih kurang sebagai berikut : • Masuk Agama Budha; • Mengerjakan perintah yang Suji; • Menjalankan Puja (menyembah). Artinya ; a.  Darma itu undang-undang Tarikat yang untuk ke Budhaan (agama Budha) b.  Jalannya untuk menuju kebebasan kecuali semedi harus memenuhi syarat-syarat; berbicara harus yang benar, tekad yang benar, pikirang yang benar, pekerjaan, hidupnya sederhana, watak yang benar, jujur dan Suji (Ikhlas). Keyakinan (kepercayaan) Hindu, yang disebut Trimurti atau bentuk sifatnya Allah itu : 1.  Brahmana sifat yanng menciptakan Jagat Raya dan umat; 2.  Whisnu sifat yang menggerakkan semua yang tercipta; 3.  Shiwa, sifat yangn merusak semua yang tercipta, yaitu kalau diteliti sifat Allah yang Irodat dan Qodrat yang dimilliki manusia terdapat keadaan hidup, berkeluarga dan matinya. Jadi Trimurti tadi untuk tanda saksi, kekuasaan Dat yang wajib tadi untuk kehidupan manusia, hewann tumbuh-tumbuhan, bakteri, Jin; tidak kekal (tidak abadi) tetapi Dat yang berkuasa tadi kekal (abadi). Ajaran Budha tentang Nyuiji terhadap Allah azas abadi itu umpama diteliti dengan ajaran Islam tepat sekali; tidak salah, yaitu bahasa Arab bahasa Tauhid (ketuhanan Theologi) keterangan seperti ini; kata Tauhid dari kata hitungan Wahid (satu), lalu menjadi At’tauhid menjadi ilmu Tauhid. Wahid bahasa jawa, kalau Sunda Ngawahid, bahasa Indonesia mewahid, karena bahasa Arab menjadi menjadi Tauhid, artinya menyatukan (menyatu dengan Dat tadi). Begitupun ajaran Sariah Islam menyatukan dengan Allah, bukan menduakan Tuhan (Syirik) dan At’tauhid ilmu yang menyatakan tentang ketuhanan, ilmu tentang mengupas sifat-sifat Allah yang lengkap. Keterangan dalam Wirid, kata menyatu (menghusyukkan – Arabnya) menyatu dengan yang satu (unversalisme – Budha) menghilangkan perasaan lebih dari satu (husyuk – Arabnya) itu hilang dari perasaan. Jadi ilmu Tauhid itu suatu ilmu menyatu dengan Dat Allah wajib adanya atau ilmu yang mengatur cara-cara menghilangkan perasaan, pikiran yang bekerja sendiri-sendiri (individual) supaya merasa dirinya sendiri (universal – Budha). Begitu pula yang penting, ilmu yang menerangkan cara untuk menyucikan diri dengan Dat yang maha kuasa dengan cara membuktikan dengan rasa menyatunya umat-umatnya dan Tuhannya (Chaliq dan Umatnya). Lalu tidak hanya pengetahuan (cara berfikir) pasti harus membuktikan dengan Meditasi, Yoga (Semedi). Umpama saya yakin betul dengan Dat Allah tidak pisah dengan kita (manusia) itu termasuk masih dalam pengertian (pengetahuan) harus kita buktikan dengan jalan atau ilmu; semedi, Tafakur, Yoga, Meditasi, yang penting menuju ketuhannya. Tuhan itu tidak bisa dijangkau, Dat yang tidak bisa dijangkau itu disebut Tarikat, keterangannya sebagai berikut : Kita harus berguru, membaca buku tentang ketuhanan, maksudnya pengetahuan yang menggunakan pikiran, akal bisa dikatakan ahli kitab. Ahli-ahli kitab itu Tarikat, walaupun berhenti dipengetahuan, jadi kalau disuruh membuktikan tidak bisa, lalu Tarikat tadi harus menjalani dulu sebelum Ma’rifat, sebab Tarikat disebut kaya pengetahuan, menuju cerdasnya pikiran (perasaan) umpama nanti bisa mencapai Ma’rifat tidak bisa ditipu. Hidup bergerak-gerak kalau sudah bisa menyingkirkan perasaan yang bermacam-macam menjadi aku (ingsun-Jawa) yang satu sebenarnya, baru nama tingkatan yang kita lalui belum ada apa-apa, masih jauh. Bila memakai perasaan sendiri atau aku satu itu tadi masih merasakan. Sempurnanya tujuan harus melalui Ma’rifat. Bab 4 KETERANGAN SIFAT 20 Manusia ditakdirkan/diciptakan sempurna karena mempunyai pikiran/akal dan alat perasa serta jasmani, Maka Ulama di zaman dahulu mempunyai pendapat bahwa Allah sebenarnya yang menciptakan, dan sebahagian besar menyebutkan sifat-sifat manusia sendiri adalah panca indra seperti Mata, Hidung, Mulut, Telinga dan Lidah. Beda dengan makhluk lain seperti binatang, walaupun mempunyai alat seperti manusia tetapi tidak lengkap, oleh karena itu hidupnya makhluk-makhluk tadi ikut kodrat masing-masing, bisa melihat, berjalan dan makan tapi tidak punya akal untuk berusaha dan sudah pasti hidupnya kurang lengkap. Berdasarkan keadaan, maka para orang bijak mempunyai pendapat ; bila manusia itu sifatnya lengkap dan tidak bisa berubah artinya Allah itu tidak kekurangan sifat seperti yang diciptakan. Walaupun semua Ulama sudah sampai disatu pendapat, tetap tidak bisa menemukan Allah SWT. Maka dalam Wirid/pelajaran, Allah itu tidak bisa dijangkau oleh alat apapun bahkan oleh pikiran/perasaan. Jadi para ulama menyebut Dat yang maha agung yang bisa menciptakan Jagad raya. Selanjutnnya keterangan sifat 20 (dua puluh) begini; Atas nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, terlebih dahulu dikutip dari buku Wirid Hidayat Jati tinggalan Ronggo Warsito; Sebelum ada apa-apa yang ada hanya Allah yang berada dalam NUKAT GAIB yang diberi nama Qun, yaitu DAT sejati, Nukat artinya bibit, dan Gaib adalah samar/tidak nampak oleh mata yang disebut Nur Muhammad, yaitu Cahaya yang terang sekali tanpa bayangan, yang disebut sifat sejati QUN lalu FAYAQUN. Qun artinya Allah Bersabda (berkata) dan Fayaqun artinya Terjadi semua Afhngal (selamanya). Semua itu menjadi asalnya yang terjadi disebut Anasir Sejati. Jadi Allah memiliki 4 Anasir yaitu Dat, Sifat, Asma dan Afhngal. Umpama penerimaan salah, pelajaran yang diatas tadi ada kata tempat di Nukat Gaib (benih yang tidak nampak) itu pasti dapat menimbulkan pendapat bahwa Allah itu berada disuatu tempat, karena disebut Layu Kayafu, itu semua salah, Allah tidak bisa disentuh atau dijangkau oleh apa saja, tidak ada yang menyerupai, karena semua itu sifat Baru (yang sudah ada). Almarhum Kyai Agus Salim pernah berbicara; bahwa dasar agama Islam itu lebih dulu mengetahui nama Allah dan selanjutnya seluruh yang ada (Jagad Raya). Mustahil kalau tidak ada yang menciptakan, karena yang menciptakan wajib adanya (mokal dan wajib). Itu sebabnya manusia hanya menjumpai yang sudah ada dan tetap tidak bisa berubah. Kata mempunyai atau yang terjadi itu dalam bahasa Wirid/Pelajaran yaitu menyatu dan berpisah artinya sama, karena pusatnya itu Allah. Wirid Hidayat Jati tersebut diatas akan diterangkan hanya soal 4 Anasir saja, oleh sebab itu akan dijumpai dibacaan ke-2. penelitian tentang 4 Anasir menurut catatan pelajaran agama yang tersebut dibawah ini: 1. Dat Allah yang tidak bisa dilihat tetapi mencakup/meliputi seluruh yang diciptakan semua yang dijumpai makhluk. Terbukti Layu Kayafu (tidak bisa diganggu oleh apapun), semua keterangan ada dibelakang. Umpama ada ikhtikat kepercayaan menceritakan manusia dapat / jumpa atau menghadap maju mundur dengan Allah, karena lupa dengan yang disebut Layu Kayafu. 2. Sifat itu sebetulnya perkataan sesudah ada Dat, artinya kekuasaan Dat Allah yang sebenarnya bisa menciptakan apa saja dan mempunyai sifat seluruh yang diciptakan. Dengan kehendak Allah sifat itu apa yang telah diciptakan, sifat itu berjuta-juta (milyaran) warnanya, seperti yang tertulis dikitab Al-Quran, yang menyebutkan kekuasaan, keagungan dan Daya keperkasaan, umpanya bisa menidurkan, membangunkan,    menangiskan, menghidupkan benih. Oleh karenanya sifat-sifat yang begitu terdapat pada manusia. Para Ulama zaman dahulu kala sama-sama membicarakan satu keputusan bahwa sifat DAT yang wajib adanya itu menguasai manusia yang banyaknya 20+20+1,    maksudnya itu mempunyai sifat 20 yang wajib (tidak berubah-ubah), 20 lagi sifat    Mokal (bisa rusak/berubah) dan yang 1 adalah kuasa (wenang dalam bahasa jawa).    Jika difikir dengan benar bahwa sifat 20 itu menyatu dengan manusia, maka itulah disebut cukup alatnya. Oleh sebab itu manusia diwibawai dengan sifat 20 tadi,    umpamanya melihat, mendengar, hidup, bicara dan lain-lain. Semua sifat-sifat    Allah tersebut disebutkan dibawah ini; SIFAT 20 ARTINYA 1. WUJUD = ADA 2. QIDAM = TIDAK ADA YG MENDAHULUI 3. BAQA = KEKAL 4. MUHALAFALIL HAWADIS = BEDA DENGAN YG BARU 5.QIYAMUH BINAFSIHI = BERDIRI SENDIRI 6. WAHDA NIYAT = MENYATU 7. QODRAT = KUASA 8. IRODAT = KEHENDAK 9. ILMU = PENGETAHUAN 10. HAYAT = HIDUP 11. SAMAK = MENDENGAR 12. BASHAR = MELIHAT 13. QALAM = BERKATA 14. QADIRAN = YANG MEMPUNYAI KUASA 15. MURIDAN = YANG MEMPUNYAI KEHENDAK 16. ALIMAN = YANG MEMPUNYAI ILMU 17. HAYAN = YANG MEMPUNYAI HIDUP 18. SAMIAN = YANG MEMPUNYAI PENDENGARAN 19. BASIRAN = YANG MEMPUNYAI PENGLIHATAN 20. MUTAKALINAN = YANG MEMPUNYAI PERKATAAN Menurut pelajar Usuluddin bahwa sifat 20 itu diringkas menjadi 4; 1. Sifat kesatu disebut Nafsiah yaitu untuk badan (jasmani) nyata. 2. Sifat kedua sampai keenam disebut Salbiyah, yaitu sifat yang kekal. 3. Sifat Ke-7 sampai Ke-13 disebut Ma’ani, yaitu yang memiliki sifat Nafsiah, jika diteliti bekerjanya badan manusia bisa langsung bicara, mendengar dan berfikir. 4. Sifat ke-14 sampai ke-20 disebut Maknawiyah, yaitu yang memiliki sifat Ma’ani, artinya bisa bergerak, berkuasa, mempunyai kemauan dan ilmu. Itu semua sifat yang utuh untuk menggerakkan, terdapat pada sifat ke-7 sampai ke-13, yaitu yang menghidupi badan manusia sehingga bisa bergerak dan yang menggerakkan terdapat pada sifat ke-14 sampai ke-20. Supaya jelas Dat Allah bisa menciptakan apa yang dikehendaki, lalu ada bentuk (wujud) manusia yang disebut Nafsiah, Karena hidupnya manusia mempunyai sifat-sifat 20. jadi bekerjanya sifat Ma’ani untuk manusia oleh karena manusia mempunyai sifat-sifat ke-14 dan ke-20. Tanda-tanda bukti (terbukti) sifat Qodrat (kuasa) itu sifatnya tetap berkuasa. Untuk manusia kekuasaan itu hanya memakai akibatnya daya yang memiliki kekuasaan Allah, contoh salah satunya sifat DAT. Umpama sifat ke-18 : (Sami’an) yang mendengarkan itu berada ditelinga, jadi ditelinga bisanya mendengarkan memiliki sifat Samak, dan terjadinya sifat Maknawiyah itu karena mempunyai sifat Ma’ani. Jelasnya Dayanya sifat Samak langsung bisa untuk mengetahui itu sesudah mempunyai sifat Wujud (ujud)/nyata yaitu telinga yang dimiliki manusia. Kalau salah penerimaan, kadang menjadi lupa dan menganggap Allah itu bertempat pada manusia, sebenarnya manusia itu hanya memakai Hakikatnya sifat-sifat Allah. Walaupun tidak berada ditelinga, Allah itu bisa mendengar, oleh karena Allah yang memilki semua sifat tersebut. Maka dari itu membaca Hidayat Jati itu harus dikaji, karena satu-satunya induknya pengetahuan, artinya Hidayat Jati itu tidak salah, tetapi yang membacanya saja harus berfikir. Umpama membaca sifat-sifat yang disebutkan diatas harus diulang-ulang, baru dapat merasa tentram dan terang, baru suasana menjadi merasa terbuka pikirannya, Firman Allah Qur’an surat Ar-Ra’d : 28; “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” Dipelajaran semua sifat tadi lalu diulas (dibahas) lagi nama dan perkataan dibawah ini; a. Sifat ke-1 disebut sifat Jalal, artinya Maha Agung, yang dinamakan agung itu DAT yang menyelimuti/melingkupi apa yang diciptakan. b. Sifat ke-2, 3, 4, 5 disebut sifat Jamal, artinya Maha Elok/Sempurna, yang sempurna itu sifatnya, sebab tidak ada yang sama (menyerupai). Bukan laki, bukan perempuan, bukan banci, tidak beranak, tidak diperanakan (walam yalid walam yulad walam yakullahukufuan ahad) tidak bisa dijangkau dan tidak nyata. c. Sifat ke-11, 12, 13 dan sifat ke-18, 19, 20 disebut sifat Kamal, artinya Maha Sempurna dan Afhngal yang menciptakan keadaan tanpa cacat, sebab tidak ada makhluk yang mengherankan. d. Sifat ke-6, 7, 8, 9, 10 dan ke-14, 15, 16, 17 disebut sifat Kahar, artinya Maha Wisesa (Maha Menguasai), melayani semua tanpa pilih kasih (tidak membeda-bedakan) walaupun Jin, syetan, Manusia, dan Hewan, oleh karena itu Allah disebut Suci, jadi siapa saja yang hidup bisa menyebut Allah dengan caranya masing-masing. 3. Asma/NAMA (julukan) itu hanya kata manusia, hanya untuk menyebut nama Allah wajib adanya, karena manusia berhak menolak dan menerima, hanya terbawa diri sendiri karena bisa bicara (ngomong) mengatakan penguasa tinggi adalah Allah. Yang Maha Kuasa disembah/dipuja dan tidak bisa dilihat (tidak nyata), karena Hakikatnya menyelamatkan umat manusia, lalu menyebutnya macam-macam menurut pengetahuan masing-masing. Keterangan : satu-satunya orang menyebut Allah ada. Hidayat jati menerangkan Allah hanya nama pribadinya, pribadi itu bentuk manusia yang lengkap memiliki Datnya Allah. dan Datnya Allah meliputi Jagad Raya. Firman Allah menyatakan Qur’an surat Fushshilat (Hammim As-Sajdah) : 54 “Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.” Karena Dat itu meliputi seluruh yang ada, manusia langsung mengakui bahwa Allah itu meliputi tidak diluar dan tidak didalam, seperti sirih; akar, pohon dan daun baunya sama. Oleh karena umpama Datnya Allah itu seperti rasanya sirih, karena sulit untuk ditebak, dinyatakan “tidak diluar dan tidak didalam” 4. Afhngal (geraknya Allah). Karena Afhngal (gerak) semua makhluk yang diciptakan apa saja, Atom, seluruh zat gaib; Syetan, Malaikat dan manusia. Semua mengandung zat Allah. Jadi Jagad raya itu tidak pernah berubah (tetap) geraknya. Bekerjanya Dat itu yang wajib sifatnya; tertib, Tentram, Adil, Suci, tidak membeda-bedakan, benar, tidak pernah berubah kekuasaannya. Umpama mau membuktikan setiap hari; ada orang membuat mainan dari kaleng diberi perputaran (as), minyak bensin dan roda, umpama mainan dibunyikan bisa berjalan, itu kerja yang membuat bisanya jalan barang tadi pasti sudah direncanakan dan memang pintar, kepintaran membuat barang disebut hakikatnya Dat yang membuat. Allah itu maha cerdik, lalu apa yang dikehendaki pasti jadi, pasti bergerak, itu contoh lain bagi tanda saksi bekerjanya (bergeraknya) DAT wajib adanya. Dari zaman dahulu kala jutaan tahun; bumi, matahari, bulan, bintang, udara dan lain-lainnya itu tarik menarik selamanya tanpa berubah, menjadikan daya alam (hukum-hukum alam) yang tertib seperti; siang, malam, panas, dingin tidak pernah berubah, tidak dapat diukur seberapa kekuatan DAT itu. karena sangat tertibnya dan tenang lalu timbul menuju arah satu, tidak cerai berai; terhadap manusia tiap hari tetap saling membutuhkan, contohnya begini; a. Di hutan ada lebah madu glodok, madu kesukaan manusia dan lebah. b. Karena madu lebah untuk jamu/obat, karena membutuhkan lalu mencari kehutan. c. Di Hutan banyak bunga-bunga, itu saling dibutuhkan manusia, lebah, kupu-kupu saling mengisap. d. Adilnya Yang Maha Kuasa; supaya kupu-kupu tadi selamat dari serbuan lebah dan manusia, sayapnya diciptakan satu warna dengan bunga-bunga tadi agar manusia dan lebah tidak bisa membedakan mana yang bunga dan mana yang kupu-kupu dikarenakan sayap kupu-kupu seperti bunga-bunga yang ada dihutan. Lama-lama manusia berusaha supaya lebah tadi semua berkumpul kerumahnya, lalu dibuatkan rumah-rumahan dari kayu yang dibuat seperti sarangnya, oleh karena itu manusia juga mempunyai kekuasaan mengatur lebah. Jadi terjadinya manusia sebab dari yang satu (Allah), kalau difikir betul bentuk tentran ya DAT Allah SWT dan menuju yang satu menyebabkan terjadinya benar dan selamat. Apa buktinya bila manusia mempunyai kekuatan dari Allah, kata-kata mempunyai kekuatan bisa ditafsirkan manusia itu sama dengan Allah bagi orang yang salah tafsir (salah pendapat). Yang diatas menyatakan bila Allah itu mempunyai sifat 20 wajib, 20 mokal (sebaliknya) dan sifat berkuasa (Yang Maha Kuasa / Wenang dalam bahasa jawa), kuasa artinya yang menciptakan semua yang ada didunia ini. 1. WUJUD (Ujud) artinya ada (Allah), yang telah menciptakan Jagad Raya atau sebagai tanda saksi Bumi, Langit, Bintang, Matahari, Makhluk-makhluk semua dan Manusia Makhluk sempurna dan DAT yang tidak nampak itu wajib adanya. Keterangan itu orang bisa mengatakan ada (Ujud) karena diciptakan yaitu merupakan jasmani, hanya Cuma pinjam. Karena itu kitab Usuludin mengatakan sifat Ke-1 WUJUD untuk jasmani, itu sebabnya manusia bisa bergerak-gerak, kalau tidak ada berarti mati, sebab mati itu tidak bisa mengatakan (bicara) apa-apa. 2. QIDAM / Dulu tidak ada yang mendahului, maksudnya Allah itu Allah itu tidak ada yang lebih dulu dari padanya. Jadi jika ada sifat yang mendahului itu berarti bukan Allah. Jikalau ada yang mendahului itu pasti bukan Allah (Allah lebih dari satu), Allah 1 dan Allah 2 berebut kekuasaan, jadi manusia mengatakan Allah itu tidak ada. 3. BAQA (Abadi/kekal), maksudnya tidak bisa berubah selamanya. Jagad Raya yang diciptakan tadi tetap ujud tidak pernah berubah (abadi), Allah itu tidak seperti barang. Baru itupun yang mengatakan orang yang hidup. Sifat Allah yang bisa kita rasakan; Abadi itu sifatnya Allah sendiri sifat ke-1 sampai ke-20. Bukti untuk ukuran manusia, lidah tidak bisa merasakan manis/kelat sawo itu bila dimakan (dirasakan). Jadi sawo manis dan kelat bisa dirasakan, tetapi manis dan kelat itu sifatnya (langeng dalam bahasa jawa) kekal walaupun tidak dimakan orang. Kekalnya manusia karena bergerak, kekalnya sawo karena manis. Abadi itu batasnya masih hidup (sebelum mati). Jadi adanya senang, susah, dingin, panas yang memiliki (merasakan) orang hidup. Walaupun orang sudah mati siabadi tetap disebut abadi oleh orang yang masih hidup. 4. MUHALAFAH LIL HAWADIS (beda dengan yang baru), artinya sifat-sifat Allah yang tidak bisa disamakan (diungguli) oleh siapa saja, karena semua itu ciptaannya. Untuk manusia semua beda bentuknya disebut sifat Baru (beda dengan yang baru). Manusia dilahirkan dengan sifat baru, bisa berubah-rubah karena namanya manusia didunia dimanapun beradanya pasti sama, bersuku-suku, mempunyai mata, kaki, telinga dan lain-lain. Walaupun kata-kata beda dengan yang Baru manusia, beda dengan hewan walau sama-sama hidupnya (lembu dan kambing), 10 juta lembu dan kambing ya bentuknya sama semua. Misal Manusia ada 10 juta ya sifatnya sama. Allah SWT itu jika menciptakan makhluk satu dan yang lain berbeda antara Manusia, Binatang, tumbuh-tumbuhan. Maha Bijaksana Allah menciptakan isi Alam ini bisa membeda-bedakan ciptaannya, itulah yang disebut MUHALIFAH LIL HAWADIS (beda dengan yang baru). Didunia banyak makhluk-makhluk yang mengherankan, semuanya berbeda-beda; Manusia, Lembu, Kambing, Lebah semuanya barang baru, beda dengan yang baru lagi. Semua tadi membuktikan (saksi) Allah menciptakan makhluknya menurut kehendaknya. 5. QIYAMUH BINAFSIHI (berdiri sendiri), artinya tidur nyeyak bangun sendiri, benih timbul sendiri dan Matahari, Bulan, Bintang, Siang, Malam bergerak sendiri tidak pernah berubah-ubah. Jadi yang bergerak itu mempunyai sifat Qiyamuhu Binafsihi, contoh lain Atom, Neutron, Positron, Elektron semua itu bisa (Makarti dalam bahasa jawa) atau bergerak karena mempunyai sifat berdiri dengan sendiri otomatis. Ilmu Kesehatan Plasma darah tetap jalan sendiri, sebab kena daya panas, umpama plasma itu bisa dipecah-pecah sampai halus walaupun tidak kena/tersentuh panas jika menempel ketubuh masih bisa berjalan sendiri. Semua ilmuwan mengakui bahwa Plasma-plasma itu hidup. Contoh lagi yang membuktikan memakai mikroskop ukuran 10,000 disitu terbukti Plasma tersebut bisa berjalan/bergerak-gerak (6 mm/jam). Ternyata habisnya pendapat tentang Allah yang menggerakkan makhluknya. 6. WAHDA NIYAT (satu), artinya tunggal, sifat itu mudah diterima karena bukan dua atau tiga, artinya satu itu meyakinkan bahwa adanya Allah. Untuk manusia adalah DAT, karena manusia asal dari DAT (zat) yang satu itu. Semua tujuannya benar, karena Dat Allah itu satu (Wahda niyat) yang memiliki sifat 20. 7. QODRAT (kuasa), keterangan itu begini; orang duduk dikursi akan berdiri dan langsung berdiri karena mempunyai sifat Qudrat /kuasa, sanggup memerintah dirinya. Qudrat air (kuasa air) tidak bisa memerintah, hanya mengalir ketempat yang lebih rendah dan merata (waterpass), bisa dilihat dari daya alam surya, panas, udara dingin menghembus, air (hydrogen) atom plus/minus bisa jadi elektrik. Yang Kuasa langsung membuat hukum-hukum alam yang teratur tidak bisa mengalami benturan. Qudrat itu diberikan kepada manusia tinggal pakai. Perkataan Qudrat jauh sekali, maka alat-alat manusia; Panca indra, pikiran dan nafsu itu dikodratkan oleh Allah karena manusia tadi mempunyai sifat Qudrat. Jadi semua tadi tinggal menggunakan Qudrat tadi. Qudrat Allah yang diciptakan semua sempurna dan mempunyai daya sendiri. 8. IRODAT (Kemauan/kehendak), jadi kehendak itu yang menguasai gerak, sifat Irodatnya diam (tidak bergerak), Irodatnya Allah yang melebihi (tidak wajar), umpama bayi kembar siam, bayi berkepala duapun di ciptakan. 9. ILMU (ilmu), manusia mempunyai pengetahuan karena mempunyai ilmu, dari sifat Allah Ilmu, manusia bisa membaca, menulis karena terbuka hatinya baru menulis karena terbuka hatinya baru mempunyai ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu bisa terlaksana sempurna jika terbuka hatinya (Kijabnya), benar Firman Allah Qur’an surat An-Nissa : 126 : “Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” Begitupun orang yang tidak tau apa itu, bukan karena bodoh, tetapi karena memang masih belum terbuka hatinya (terbuka kijabnya). Terbukanya hati terhadap orang-orang jaman dahulu terjadinya para wali Allah. Ilmuwan/sarjana, Pujangga, yang terbuka hatinya menuju kepada ilmunya Allah yang sejati. Dan ilmu lainnya hanya untuk bermasyarakat, itu setiap orang bisa belajar (mempelajari). 10. HAYAT (hidup), yang dibilang hidup ialah makhluk yang bergerak karena memiliki sifat ke-10 (HAYAT) dan sifat mokal (sebaliknya, Mati), manusia hidup lebih sempurna sifat hidupnya dari pada makhluk lain. Manusia sifat Hayat lebih sempurna dari zat-zat hewan dan tumbuh-tumbuhan, sebab manusia apa saja yang dikehendaki mesti tercapai walaupun perlahan (tidak merasakan) walaupun sifatnya gaib, sperma, basil, molekul-molekul yang tidak nampak, tetapi bisa dilihat dengan alat mikroskop maka terlihat bergerak-gerak. Itulah tanda bahwa DAT wajib adanya, sebab sifat Hayat meliputi Jagad Raya, dimana saja sifat Hayat tadi memberi daya. Intisarinya hidup itu bukan Allah, tetapi sifatnya mendayai (memberi daya) apa saja yang nampak dan tidak nampak (gaib). Gundik (jawa) Raja rayap itu dibungkus rapat dengan tanah liat sehingga tidak ada udara tetapi Raja Rayap tadi bisa hidup dan bertelur. Itu membuktikan sifat 20 meliputi seluruh keadaan, jadi hidup itu dimiliki semua makhluk, beda dengan manusia sifat hayat itu sempurna karena memilki sifat 20 yang lengkap sehingga bisa meneliti sifat-sifat Allah; a. Tumbuh-tumbuhan hidup tetapi mempunyai sifat 20 b. Hewan hidup tetapi hanya memiliki sebagahagian sifat 20. 11. SAMAK (mendengar), memilki alat telinga mokalnya (jawa)/ sebaliknya tuli. Wirid Hidayat Jati yang asli halaman 12 baris kedua dari atas; DAT Allah Yang Maha Suci itu kalau melihat memakai mata kita, kalau mendengar melalui telinga kita, DAT ke-11 itu salah satu sifat Allah, walaupun punya telinga bila tidak dialiri sifat ke-11 (Samak) hanya telinga-telingaan. Pokok kata Dat sama walaupun tidak memakai telinga tetap mendengar, karena Allah yang memilki, manusia hanya memakai. Selanjutnya Datnya manusia adalah sifatnya Allah. Sebelum ada DAT tidak bisa mengetahui sifat (tidak ada), karena DAT Allah itu berada pada manusia dan manusia itu luhur (sempurna) karena itu hanya manusia yang memiliki sifat 20. 12. BASHAR (melihat), terhadap manusia dan hewan bekerjanya melalui mata, bukan berarti Allah melihat melalui manusia dan hewan, Allah itu melihat melalui mata kita kenapa kita tidak bisa melihat sebelum terjadi, sebab Allah melihat apa yang akan terjadi. Jadi pertanyaan salah menelaah tetapi benar, sebab terhadap umum (pendapat) pasti melihat itu karena mata yang melihat, sebab setiap melakukan pekerjaan selalu nampak jadi dinamakan Bashar. Jadi mata yang terang jika tidak dialiri sifat Allah yang namanya Bashar tentu tudak bisa melihat (buta), sifat mokal namanya. Bagaimana ukuran bagi Allah tentang sifat Bashar itu artinya Allah melihat tidak memakai mata karena Dat/sifat Bashar tadi memang sudah mempunyai daya sendiri, contoh orang tidur; mata tidak bisa melihat (bekerja) kenapa bisa melihat yang belum pernah dilihat atau mimpi (diwaktu mimpi). Jadi Dat yang memiliki sifat Bashar itu sebenarnya bekerja sendiri (Makarti dalam bahasa jawa). Dat yang bisa mengetahui tadi bisa dimiliki semua orang aktif (hidup), bekerjanya (Makartinya) tidak memerlukan pelajaran dan belajar, sebab anak-anak, orang dewasa selalu melihat yang belum pernah dilihat, sebab itu terjadinya bagi orang yang sempurna, orang bisaa bisanya melihat dengan tidak sengaja menurut kehendak Yang Maha Kuasa (Dat Bashar), sebab itu Dat Bashar itu salah satunya sifat Allah, lalu disebut Allah Yang Maha Melihat. 13. QALAM (berbicara), bicaranya Allah itu menurut sifatnya manusia bicara, burung berkicau dan lain-lain. Sifat-sifat yang baru dan semua isi Jagad Raya yang baru kehendaknya (Allah) atau sifat Allah yang dimiliki para Nabi, Wali dan Rasul-rasul Allah, yang maknanya menuju kebenaran, seperti kitab Al-Qur’an yang mengatakan Allah itu Rasullullah (Nabi Muhammad). Ukuran manusia sifat mokalnya / sebaliknya yaitu bisu, Sabda Allah menuju kebenaran. Orang yang bisa menunjukkan kesalahan menuju kebenaran adalah orang yang sudah memiliki sifat Qalam, umpama para Rasul, contoh manusia bergaul selalu salah menyalakan, Rasul lalu meluruskan (para Nabi), karena Rasul membawa Firman Allah, contohnya sifat ke-2 Qidam; dulu tidak ada yang mendahului, sifat ke-4 Muhalafah Lil Hawadis (sifat baharu/barang baru). Kata-kata yang benar itu tidak ada yang mendahului, artinya tidak ada ulur tarik dan tidak ada sifat mokal (saleh). Al-Qur’an itu semua tujuannya tdak ada yang berlawanan, terhadap perkataan yang dimiliki manusia, Wali, Mukmin yang telah sempurna, yang dibicarakan hanya perihal tentang Allah, perkataannya pasti benar, karena itu satu orang tidak sama oleh karena membuktikan, mereka mendapat Wahyu allah (sifat Qidam). Dan perkataan Allah beda dengan yang baru hanya terdapat pada manusia sendiri, artinya manusia berbicara berbeda dengan makhluk lain. Makhluk-makhluk yang memiliki sifat Qalam tidak hanya yang bisa bicara, tetapi semua bisaa bersuara karena dialiri oleh sifat Qalam. 14. QADIRAN (Yang Berkuasa), yang kuasa itu menurut ukuran manusia, umpama sudah mempunyai sifat Qudrat, karena memiliki sifat tadi, manusia bisa mengerjakan perintahnya, contoh mata; kalau tidur terpejam lalu bangun terbelalak-belalak, karena manusia mempunyai sifat Qadiran; bisa mejamkan mata dan membuka mata. Kuasanya manusia semua alat badan sebenarnya tidak tetap konsisten (tetap), tetapi berubah-ubah sebab manusia tidak bisa memerintah kodratnya mata, sewaktu mata tidak mengantuk; manusia tidak bisa membuka mata sampai lama dan pasti terasa pedih, memejamkan mata terus-menerus (lama) pasti tidak tahan karena tidak merasa mengantukl, jelas sifat Qadiran itu manusia bisa menundukkan alat tubuh jika tidak berlawanan demgan sipat kuasanya (kodratnya). Keterangannya sipat Qadiran itu menyebabkan manusia bisa memerintah alat-alatnya karena alat sudah tercetak ucap kerja sama (constant) tidak pernah diperintah jadi yang bisa di perintah itu hanya alat-alat yang bekerja menurut kodratnya, karena manusia bisa merintahnya, itu karena memiliki sifat Qadiran. Yang lebih tinggi tingkatannya yaitu sifat Qodrat, sebab sifat Qodrat itu yang memiliki dan sifat Qadiran yang diberi. 15. MURIDAN (yang berkehendak), sifat itu terdapat (dimiliki) oleh manusia, artinya sesudah manusia memiliki sifat Irodat, Karena diberi sifat tadi (Irodat) manusia lalu disebut memilki sifat Irodat, contoh anak menulis itu mempunyai (mengerjakan), menulis itu pekerjaan (sifat). Untuk ukuran manusia sifat Muridan tadi terbukti rasa kemauan gerak, sebab dari gerak kemauan sebenarnya mannusia mempunyai sifat Irodat (kehendak), jadi bisa bicara karena mempunyai sifat Irodat, sifat Irodat bentuknya menjadi sifat sebagai yang memiliki (manusia). alif braja at 2:00 AM