Heboh Email Resmi Komisi 8 DPR RI
HARI gini enggak punya email. Begitulah ungkapan di kalangan remaja yang menyiratkan keheranan di era teknologi ini seseorang, apalagi tokoh atau lembaga publik tidak memiliki akun surat elektronik (email).
Keheranan itu diungkapkan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia ketika berdialog dengan Komisi VIII DPR yang pelesiran ke negara Kanguru itu.
Entah mengapa Komisi VIII DPR yang berkunjung ke Australia untuk menyerap informasi tentang seluk beluk untuk mengangkat kaum fakir miskin di Indonesia memberikan akun email palsu, yakni komisi8@yahoo.com kepada PPI Australia.
Sontak perhimpunan pelajar di luar negeri yang nota bene terbuka dan amat kritis ini bereaksi keras. Bahkan, terkesan berlebihan dari kacamata etika ketimuran. Mereka spontan mengunggah jawaban email palsu ini ke jejaring sosial Youtube pada Sabtu (30/4) dengan judul Email Resmi Komisi 8 DPR RI. Video ini hingga Kamis (5/5) pukul 10.30 WIB sudah diklik sebanyak 113.318 orang. Dan, media elektronik lainnya, situs komunitas Indonesia .
Di sisi lain, Komisi VIII DPR bersikap amat defensif dengan menyebut aksi para pelajar tersebut tendensius.
Di dunia modern email pribadi atau lembaga sudah melekat dengan pribadi seseorang atau lembaga tempat orang tersebut bekerja. Tujuannya, agar lebih mudah dan cepat berkomunikasi. Tentu saja, bagi anggota DPR dalam menyerap aspirasi rakyat.
Bahkan, bukan sekadar email, jejaring sosial seperti facebook dan twitter pun sudah menjadi hal yang biasa dalam tata pergaulan modern. Jadi, wajar saja kalangan pelajar yang memang akrab dengan teknologi mutakhir di Australia ini terheran-heran kalau Komisi VIII DPR tidak memiliki email resmi.
Seyogyanya, Komisi VIII DPR yang berangkat ke Australia dengan menghabiskan dana sesuai data Fitra Rp 811.800.250 memandang kritik pedas tersebut sebagai masukan untuk kesempurnaan kelengkapan komisi tersebut, bahkan DPR di masa mendatang.
Namun, bukan dengan cara memberikan akun palsu untuk menutup-nutupi kekurangan sistem komunikasi modern yang ada di DPR. Entah malu tidak memiliki akun resmi, sehingga mengambil gampangnya dengan asal sebut saja ketika ditanya alamat surat elektronik.
Tapi kenapa harus berbohong? Kebohongan kecil memang. Yang dikhawatirkan dari kebohongan yang kecil-kecil menjadi besar dan akhirnya merasa bahwa kebohongan itu diyakini menjadi kebenaran yang pada gilirannya nanti dipaksakan ke publik.
Tentu saja perhimpunan ini berang ketika mengetahui akun itu palsu. Namun, semuanya itu tampaknya merupakan akumulasi kekecewaan para pelajar luar negeri ini terhadap kinerja DPR, khususnya Komisi VIII. Para pelajar ini dalam berbagai kesempatan sudah melontarkan sikap mereka terkait sepak terjang anggota DPR yang pelesiran ke luar negeri dengan dalih ingin menyerap informasi alias studi banding terkait penyempurnaan draf RUU Penanganan Fakir Miskin. Bahkan, mereka menulis surat terbuka tentang itu yang dimuat secara lengkap di mediaindonesia.com. Intinya, mereka menolak kehadiran delegasi wakil rakyat ini, karena jadwalnya tidak tepat sasaran, sehingga kunjungan kerja ini menjadi lebih bersifat wisata. Untuk itu, PPI Australia menawarkan sejumlah solusi, agar kunjungan wakil rakyat ini maksimal. Di antaranya, dialog dengan PPI Australia yang sebelumnya tidak terjadwal, sehingga terjadilah insiden email tersebut.
Sejatinya, email bagi wakil rakyat merupakan salah satu alat untuk menyerap aspirasi rakyat yang efektif, mudah, dan tergolong murah ketimbang harus berkunjung ke pelosok-pelosok Nusantara menyapa konstituen.
Belajar dari kasus ini, kita harap anggota Komisi VIII bahkan anggota DPR bersikap lebih jujur dan mau terus belajar hal-hal yang baru dalam upaya memperjuangkan rakyat banyak, meskipun terasa pahit memang. (Edwin Tirani)