Minggu, 31 Oktober 2010

WAJAH BERANDA DEPAN NEGERI CENDERAWASIH


WAJAH BERANDA DEPAN NEGERI CENDERAWASIH

Wilayah perbatasan ibarat teras depan yang perlu dibangun semenarik mungkin.
------------
SIANG itu, sinar mentari di bumi cendrawasih amat terik memyengat kulit sampai ke ubun-ubun. Di sepanjang jalan ke perbatasan Republik Indonesia dan Papua Nugini tampak pemandangan alam nan menawan dengan lembah dan gunung yang menghijau. Salah satunya, Gunung Bougainvelle yang puncaknya ditancapi bendera merah putih raksasa yang terlihat dari jalan raya di perbatasan.  
Di kiri kanan jalan terlihat pohon-pohon yang menghijau dan sungai yang mengalir jernih penuh dengan buaya.
Tapal batas dua negara ini sibuk dengan orang yang berlalu lalang. Entah itu dari daerah Papua Nugini ke wilayah Indonesia, atau sebaliknya.  Pos penjagaan kedua negara, menara pengintai, kantor imigrasi, dan rumah-rumah dinas para petugas perbatasan terlihat di tapal batas.
Untuk mencapai gerbang perbatasan membutuhkan waktu sekitar dua jam dari Kota Jayapura dengan menempuh jalur darat yang  kondisi jalannya cukup baik sepanjang sekitar 65 kilometer.
Lebih kurang 3 kilometer dari tapal batas menuju gerbang perlintasan utama, terdapat pos penjagaan pertama, Pos Muara Tami.  Setelah itu, memasuki Desa Wutung, Kecamatan Skouw, Kabupaten Jayapura. Wutung adalah desa terakhir di Provinsi Papua yang
berbatasan langsung dengan negara tetangga, Papua Nugini.
Mereka bersaudara
Warga dua negara ini masih memiliki hubungan persaudaraan. Banyak juga penduduk Papua Nugini yang memiliki tanah dan ladang di Papua. Orang Papua juga begitu, banyak yang memiliki tanah adat di wilayah Papua Nugini.
Khusus bagi penduduk perbatasan, setiap kali melintas hanya menggunakan kartu merah bagi warga Papua Nugini dan kartu kuning bagi warga Wutung. Adapun orang di luar Desa Wutung harus membawa paspor, baru diperkenankan melintas tapal batas.
Di antara dua gerbang Selamat Datang masing-masing negara, terdapat zona bebas yang hanya berjarak 20 meter. Melewati zona bebas dan memasuki wilayah Papua masih diizinkan berpose di dekat bendera Papua Nugini ataupun dekat merah putih jika wisatawan itu berasal dari Papua Nugini, selama gerbang perbatasan belum ditutup, sekitar pukul 18.00 WIT.  Di perbatasan dua negara ini, sama sekali tidak terasa suasana yang tegang. Warga dua negara menyeberang, tanpa perasaan was-was.

Mendekati ujung jalan perbatasan, kehidupan warga desa mulai terasa sibuk. Apalagi keberadaan pasar tradisional di Wutung dengan pedagang dan pembeli yang sibuk dengan kegiatan tawar-menawar harga. Di pasar ini devisa mengalir ke Indonesia.
Membangun perbatasan
Panjang garis perbatasan Republik Indonesia dan Papua Nugini adalah lebih kurang 780 kilometer, memanjang dari Skouw, Kabupaten Jayapura, Papua di sebelah utara membujur ke selatan sampai muara Sungai Bensbach di Kabupaten Merauke, Papua.
Garis perbatasan itu hanya ditandai dengan 52 patok batas atau monument meridian serta kondisi medan yang pada umumnya berupa hutan belantara, pegunungan dan sungai-sungai sehingga sangat sulit untuk ditempuh melalui darat.
Berdasarkan data ada delapan kabupaten di Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini dan negara tetangga lainnya. Yakni, Delapan Kabupaten se-Papua yang berbatasan langsung dengan negara tetangga adalah Keerom, Jayapura, Boven Digoel,
Pegunungan Bintang, dan Merauke yang berbatasan negara Papua Nugini. Sedangkan, Kabupaten Asmat berbatasan dengan Australia, Kabupaten Sarmi dengan Guam dan Kabupaten Supriori dengan Republik Palau disebelah utara Papua Barat.
Mayoritas warga Papua ini hidup mereka berada di bawah garis kemiskinan. Apalagi, warga yang berada di perbatasan yang amat jauh dari segala fasilitas publik.
Untuk wilayah perbatasan Republik Indonesia dan Papua Nugini hal yang amat mendesak membangun pelayanan kesehatan dan pendidikan untuk meningkatkan sumber daya manusia warga perbatasan.
‘’Semua pihak yang berkepentingan harus sesuai dan benar-benar berkeinginan kuat untuk membangun Papua, demi kesejahteraan rakyatnya,’’ ujar
Fransalbert Joku, tokoh adat Papua.
Sekretaris Kampung Mosso, Kecamatan Muara Tami, Jayapura Jocobus, 24,  mengatakan bagaimana anak-anak di daerahnya mau berkembang, kalau guru-guru SD mereka lari ke Jayapura, tiap bulan mengambil gaji buta plus tunjangan mengajar di wilayah perbatasan.
‘’Hanya satu guru yang masih menetap di sini. Itupun guru honorer,’’ ujar lelaki yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Jenderal Sudirman ini.
Peran guru di kampung yang berbatasan langsung dengan wilayah Papua Nugini ini bahkan diambil alih anggota TNI yang bertugas di perbatasan. Mereka bukan saja membantu mengajarkan baca dan tulis, melainkan juga memberi pelajaran keterampilan, seperti menjahit, memasak, dan bertani.
Adapun, dalam rangka peningkatan ekonomi,  pembangunan infrastruktur berupa jalan dan jembatan serta pasar juga harus segera terealisasi. Akses jalan tersebut paling tidak menghubungkan sekaligus membuka isolasi antarkabupaten.
Di samping itu, perlu adanya akses darat antarkabupaten di perbatasan ini. ‘’Mutlaknya, akses jalan darat ini bukan hanya untuk alasan keamanan, melainkan juga demi perkembangan ekonomi di kawasan perbatasan,’’ ujar Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen Hotma Marbun.
Dana yang dikucurkan ke Pulau Papua ini melalui Otonomi Khusus amatlah besar. Namun, jumlah tersebut belum signifikan dengan kemajuan rakyat Papua sendiri.  Kehidupan rakyat kecil di Papua seakan berjalan di tempat, tak tesentuh nikmatnya hujan uang dari pusat.
Elite setempat harus banyak belajar bagaimana mensejahterakan rakyat mereka, dengan dana sangat besar dan sumber alam yang melimpah ruah, mestinya rakyat Papua lebih sejahtera. ***


Langkanya Fasilitas Publik di Wilayah Perbatasan

TERASA amat kontras bila berada pada malam hari di wilayah perbatasan Republik Indonesia-Papua Nugini.
Pasalnya, wilayah tetangga lebih benderang, karena listriknya mengalir seakan tidak terbatas.
Berbeda halnya dengan perbatasan di wilayah Indonesia, tepatnya di Kampung Wutung Kecamatan Skouw, Kabupaten Jayapura lampu penerangan tampak temaram.
Ternyata temaramnya lampu tersebut berasal dari genset, bukan listrik PLN. Pantas saja pemakaiannya diirit sedapat mungkin untuk hal-hal yang dipandang perlu saja. Ketiadaan listrik negara ini juga sampai di Kecamatan Muara Tami, Jayapura.
Di dua wilayah tersebut bisa dihitung dengan jari sebelah tangah yang memiliki genset, hanya kantor instansi yang memilikinya, seperti Pos penjagaan TNI di Kampung Wutung, Skouw, Jayapura. Rumah penduduk tentu saja gelap gulita.
Bukan hanya listrik tampaknya terasa sangat mewah di wilayah perbatasan. Akan tetapi, seluruh fasilitas publik amat minim, kalau tidak ingin mengatakan sama sekali nihil.
Misalnya, jalan darat, sekolah dasar, puskemas dan rumah sakit, pasar, tempat ibadah, dan sebagainya yang merupakan kebutuhan dasar warga pada umumnya.
Tidak heran, kalau Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen Hotma Marbun mengatakan kendala terbesar dalam menjalankan tugas di perbatasan ini adalah belum adanya infrastruktur jalan secara sempurna di perbatasan. Jarak antara satu pos dengan pos yang lain sangat jauh.
Jarak jauh antarpos dan medan yang sulit dipantau tersebut menjadi celah yang sering dimanfaatkan penduduk lokal untuk melakukan aksi penyelundupan melalui jalan-jalan tikus baik dari wilayah Republik Indonesia ke Papua Nugini maupun sebaliknya dari Papua Nugini ke Indonesia.
Menang ada sejumlah pos yang bisa dijangkau dengan sepeda motor. Akan tetapi, sebagian besar sama sekali tidak bisa dilalui, karena medan sangat berat dan terjal.
‘’Seringkali para prajurit harus berjalan kaki seharian untuk melakukan koordinasi antarpos,’’ ujar Pangdam yang didampingi Kapendam XVII Cenderawasih Letkol Susilo, pekan lalu.
Danrem 172/Praja Wirayakti Kolonel Daniel Ambat menambahkan dalam kondisi cuaca buruk, seperti hujan jalan yang bisa ditempuh dari darat menjadi tidak memungkinkan lagi, kecuali melalui udara.
Padahal, di sepanjang perbatasan itu ada 59 pos yang bertanggung jawab menjaga 24 patok tapal batas, sisanya 28 patok tapal batas lagi menjadi tanggung jawab Papua Nugini.
Oleh karena itu, Marbun mengharapkan peran serta pemerintah maupun keterlibatan pemerintah daerah untuk membuka jalan antara satu pos dan pos yang lain untuk memudahkan prajurit dalam menjalankan tugas serta melakukan koordinasi dalam mengamankan wilayah perbatasan.
Pembukaan akses jalan ini juga bisa berfungsi untuk merangsang pengembangan wilayah perbatasan, karena jalan tersebut juga menghubungkan antarkabupaten yang berada di perbatasan.
Di samping itu, perlu adanya akses darat antarkabupaten di perbatasan ini.
mutlaknya, akses jalan darat ini bukan hanya untuk alasan keamanan, melainkan juga demi perkembangan ekonomi di kawasan perbatasan. 
''Daerah yang berhasil dari aspek ekonomi, apalagi ditambah dengan situasi keamanan yang terjamin bagi warga tentu saja kecil akan timbul gejolak atau terpengaruh dengan ide-ide yang bertentangan dengan nasionalisme,'' ujar Pangdam.
Oleh karena itu, dia menilai setelah jalan terbangun dan disusul dengan fasilitas
umum lainnya, seperti jembatan, rumah sakit, sekolah, dan pasar. Tentu saja isolasi di daerah-daerah, khususnya di kawasan perbatasan  akan terbuka. Idealnya, antarkabupaten di wilayah Papua ini bisa saling terhubung melalui jalan raya. Selama ini angkutan hanya menggunakan pesawat udara, tentu saja akan mahal sekali harganya. ***


 

Devisa Mengalir dari Pasar Tradisonal Wutung
 
MENDEKATAI ujung perbatasan Indonesia-Papua Nugini, kehidupan warga desa mulai terasa sibuk. Apalagi, dengan keberadaan Pasar tradisional Wutung. Di pasar ini  pedagang dan pembeli sibuk bertransaksi nyaris sepanjang hari.   
‘’Berapa harga lampu energi yang 8 watt itu,’’ ujar seorang pembeli. ‘’8 kina,  Jawab Lina, 30, penjual alat-alat elektronik di Pasar Wutung. Kina adalah mata uang Papua Nugini, Satu kina berkisar Rp3.200. Kalau dikurs dengan rupiah harga bohlam itu menjadi Rp25.600, tidak berbeda jauh dengan harga di toko-toko elektronik di Jakarta.
Pasar tradisional ini berada di wilayah Indonesia, sekitar 500 meter dari perbatasan Papua Nugini. Itu membuat orang-orang dari di Provinsi Vanimo, di daerah Papua Nugini harus memasuki wilayah Indonesia untuk berbelanja. Pasar tradisonal Wutung ini dibuka setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu mulai pagi hari hingga pukul 16.00 WIT. 
Sebagian besar konsumennya berasal dari Papua Nugini. ‘’Mereka bukan hanya belanja untuk kepentingan sendiri, melainkan juga untuk dijual
lagi di Pasar Vanimo di Provinsi Vanimo. Jadi, pasar ini semacam grosir juga,’’ ujar Komandan Bataliyon Infanteri (Yonif) 713 Letkol Jhonny Djamaris, yang bertugas di wilayah perbatasan, pekan lalu.
Omset di pasar ini berkisar Rp1 miliar per hari. Sebagian besar mata uang yang beredar di pasar ini adalah mata uang Papua Nugini, yakni Kina. di samping mata uang rupiah sendiri. Pasar di perbatasan ini memiliki sekitar 160 kios yang disewa kebanyakan warga Indonesia yang berasal dari luar Papua. Setahunnya, seorang pedagang menyewa satu kios senilai Rp1 juta.
Para pedagang menyewa dengan pemilik tanah adat yang menjadi warga negara Papua Nugini, yakni Andoafi (kepala suku) bernama Steinless. Pasar tradisional ini akan dipindahkan ke pasar yang lebih layak dengan toko-toko bangunan permanen. Sekarang
ini hanya terbuat dari kayu dan papan-papan. 
Bangunan baru pasar satu lantai yang dinamai Marketing Point Skouw ini terlihat di seberang jalan pasar lama dan sebagian toko-tokonya juga beroperasi melayani pembeli baik dari Papua Nugini maupun dari daerah sekitar Wutung. 
Awalnya, pasar ini dibuka setiap hari. Namun, kehadiran pasar ini membuat sepi pasar yang ada di Provinsi Panimo dan mengguncang valas negeri yang memperoleh kemerdekaan dari Australia itu. Akibatnya, pemerintah Papua Nugini membuat kesepakatan dengan pemerintah RI, agar sepekan hanya tiga hari saja bukanya. 
''Saya jual lagi ke pasar Panimo yang jauh lebih mahal, sekitar tiga kali lipat, tapi ada juga yang belanja untuk kebutuhan rumah tangga mereka, '' kilah Freddy, 35, warga negara Papua Nugini yang tengah sibuk berbelanja dalam partai besar.
Pembeli lainnya mencontohkan, harga satu sabun mandi di Pasar Wutung Rp3.500, dijual lagi ke Pasar Valimo, misalnya, 2 Kina atau Rp6.400 per satuannya.
Peluang penerimaan devisa sekitar Rp1 miliar per hari di pasar yang terletak di perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini itu, memiliki prospek bagi kedua negara.
Warga Papua Nugini membeli barang-barang di Pasar Wutung berupa barang elektronik, alat-alat dapur, serta berbagai jenis bahan pokok. 
Kehadiran pedagang Indonesia di sepanjang pasar perbatasan Indonesia-Papua Nugini sangat membantu masyarakat di kedua negara dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kegiatan pasar di perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini mendapat perlakuan khusus pemerintah kedua negara. 
Pasar tradisional ini berbeda halnya dengan pasar-pasar di perbatasan Indonesia lainnya, seperti yang berbatasan dengan Malaysia dan Filipina. Di perbatasan kedua negara ini produk mereka tampak dominan masuk pasar kita. WNI pun lebih banyak yang belanja dengan cara menyeberang ke negara tetangga
tersebut melepas devisa negara. Kali ini di Pasar Wutung, yang notabene pasar tradisional di wilayah Indonesia suasana ternyata berbeda, kita yang mengeruk devisa. ***