Rabu, 01 Desember 2010

Secercah Asa di Tengah Keterpurukan

''
Keterpurukan kaum tani di pedesaan bakal sirna seiring dengan munculnya kedaulatan mereka dalam bercocok tanam.
''

Pohon rindang dengan buah lebih kecil memanjang, rasanya lebih manis. Pepaya unggul, hasil persilangan pepaya lokal dengan pepaya Bongkok ini karya seorang petani dari Bogor, Jawa Barat.
Dengan bimbingan akademisi dari IPB, petani Awang Ahmad, begitu namanya disebut, terus mengembangkan temuannya itu hingga mencapai kesempurnaan.
''Pepaya ini ketika tinggi pohonnya mencapai 1 meter sudah berbuah lebat,'' ujar Awang Ahmad di sela-sela acara peluncuran sentra industri pepaya organik di Desa Sirna Jaya, Kecamatan Warung Kiara, Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (15/7).
Tak heran, di tempatnya uji coba, buah pepaya ini bahkan amat gampang dipetik, karena lebih rendah ketimbang orang dewasa. Berbeda dengan pepaya lokal yang pohonnya lebih tinggi.
Pepaya dengan bibit unggul yang disilangkan sendiri ini menggunakan pupuk organik yang juga dibuat dengan tangan sendiri, termasuk juga obat-obatan pembasmi hamanya.
Dengan ongkos produksi yang minim, karena tidak harus membeli bibit, pupuk, maupun pestisida pembasmi hama keuntungan petani akan jauh lebih besar. Apalagi, kalau mengetahui jalur distribusi dan pemasaran yang selama ini dikuasai, mulai dari tengkulak sampai ke pemodal besar. Contoh teranyar, harga-harga  produk pertanian belakangan ini melambung tinggi, ironisnya justru bukan petani yang menikmati.
Tentu saja, dengan keuntungan yang lebih besar, harga jual yang lebih murah ketimbang produk buah luar negeri sekali pun, bisa dipastikan pepaya organik ini memiliki daya saing yang kuat tatkala memasuki pasar bebas.
Adapun, keunggulan lainnya, pepaya ini ditanam secara organik. Artinya, kandungan buahnya lebih nyaman dan aman dari bahan-bahan kimia yang bisa merusak tubuh manusia dalam kurun waktu tertentu. Apalagi, kelas masyarakat tertentu  yang kian banyak yang memiliki kesadaran terhadap kesehatan, buah pepaya ini bakal menjadi pilihan utama mereka.
Sentra Pepaya
Setelah sukses dalam skala kecil, kini pepaya temuan Awang ini bakal dikembangkan di lahan seluas 600 hektare di wilayah Kecamatan Warung Kiara. Tahap awal baru 1.500 bibit yang ditanam.
Pengembangan lahan garapan di bekas perkebunan karet ini tidak lepas dari peran Serikat Petani Indonesia (SPI) yang memperjuangkan lahan tersebut bagi 1.060 petani penggarap di lima desa, yakni Desa Sirna Jaya, Bojongkerta, Hegar Manah, Sukarharja, dan Desa Warung Kiara.
Kini, ribuan petani ini tengah mengajukan hak kepemilikan atas lahan negara yang telah mereka garap sejak 1964.
Terkait dengan itu, Ketua Umum SPI Henry Saragih mengatakan seyogyanya petani memiliki lahan sendiri, agar bisa meningkatkan kesejahteraan mereka. Selama ini, dia merasa prihatin dengan nasib petani.
Betapa tidak, meskipun mereka telah membanting tulang, tetap  saja selalu terpuruk. Bahkan, untuk membeli kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup dari penjualan hasil pertanian mereka. Jangankan berbicara untuk menyekolahkan anak yang mahalnya tidak ketulungan.
Akan tetapi, hal ini lebih banyak disebabkan oleh paradigma bertani yang selama ini menggayuti sebagian besar petani. Yakni, ketergantungan kepada pihak luar, seperti dicontohkan Awang Ahmad tadi.
Untuk itu, SPI mengawali perubahan dengan advokasi dan mendorong sikap mental petani yang mandiri. Baru, setelah itu akan terbuka jalan, dengan belajar membuat bibit sendiri, pupuk, pestisida, racun, dan melirik distribusi serta sekaligus pemasaran.
''Jadilah mereka tidak tergantung pemodal kecil maupun besar yang selama ini menguasai mereka,'' ujar Henry seraya menambahkan pihaknya secara resmi sebagai ormas sudah 12 tahun berjuang untuk petani dan secara terpisah-pisah ketika masih dalam bentuk LSM lebih lama lagi.    
Engkos, 55, petani di Desa Sirna Jaya, mengakui selama ini keuntungannya sebagai petani sudah habis untuk membeli berbagai kebutuhan pokok. ''Jadi, kita mau berubah dan mempelajari hal-hal yang berguna, seperti bertani dengan cara organik ini. Ya untuk mengubah nasiblah,'' ujarnya.
Terkait dengan pertanian organik ini, Agus Susewo, dari Ditjen Pengolahan Lahan dan Air Kementerian Pertanian sependapat kalau pertanian organik bakal menguntungkan petani.
Bahkan, pertanian organik sudah menjadi kebijakan pemerintah. Namun, pemberlakuannya secara bertahap. ''Untuk itu, para petugas pertanian di lapangan perlu membantu petani di sini, mumpung mereka begitu tinggi minat terhadap pertanian organik,'' ujarnya.
Tak pelak, di tengah kesulitan yang menerpa kaum tani, khususnya di Kecamatan Warung Kiara tersebut menyeruak pencerahan dengan kehadiran pertanian organik di wilayah tersebut.***